Jodoh Rajawali -5 | Kho Ping Hoo
Buku 5
Perwira itu dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari atasannya untuk mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap ketika mengiringkan Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.
“Semua pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil,” perwira itu berkata. “Siapa tahu, di tempat yang tidak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin.” Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang dicari-carinya dengan susah payah itu. “Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda?”
“Cui Lan, apakah engkau biasa menunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja,” tanya Hok-taijin kepada Cui Lan. Gadis itu tadinya melamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa ingin dia berjumpa dengan pendekar yang dipujanya itu. Betapa besar rasa rindu di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut.
“Eh.... saya.... hemmm, saya pun biasa naik kuda....“ jawabnya gagap.
“Bagaimana kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?” Suma Kian Lee bertanya. Perwira itu memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.
“Kau boleh menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini,” katanya. “Kalau tidak ada dia dan nona ini dan nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku.”
Perwira itu terkejut dan cepat memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab kepada Kian Lee, “Kami tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang.”
Kian Lee lalu berkata kepada gubernur itu, “Hok-taijin, kalau begitu sungguh mengkhawatirkan sekali keadaan Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Tai jin telah berada di daerah sendiri. Biarlah Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan, sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa....“
Pada saat itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat, dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa? Dia merasa heran sendiri. Betapapun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul. Tak mungkin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama dengan dia untuk mencari Siluman Kecil.
“Benar, dan pinni pun harus kembali,” kata Liang Wi Nikouw.
“Suthai....“ Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya.
Nikouw yang sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati gadis itu, maka dengan tenang dia berkata, “Engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona?”
Kedua pipi gadis itu menjadi merah, matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam, “Terima kasih, Suthai.... “
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, dlikuti pandang mata Hok-tai dan Cui Lan.
“Suma-taihiap!” Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil. Kian Lee cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit.
“Ada pesan apa yang hendak disampaikan oleh Taijin?”
Hok-taijin melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. “Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat menyatakan terima kasih kami kepadamu?”
Kian Lee tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi. “Baiklah, Taijin. Kelak, kalau sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti akan berkunjung kepada Taijin.”
Mereka pun berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para perajuritnya, bersama Cui Lan pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan. Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah perajurit pengawal itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai seorang petani.
Pada keesokan harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang.
Perwira pengawal memberi aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda itu lewat. Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa-gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu mengebul tinggi.
Cui Lan memandang kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman. Sudah banyak ia menerima pertolongan para pendekar, terutama sekali dari Kian Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih.
Tak lama kemudian, kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya.
“Heiiiii.... Enci Lan....!!” Tiba-tiba anak itu berseru. Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka.
“Ah, kiranya engkau, Hong Bu....!” Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat.
“Sam-wi Twako, kalian baik-baik saja?” Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil.
“Terima kasih, Nona,” jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.
“Eh, kalian hendak ke manakah? Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami? Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke depan,” Cui Lan bertanya.
Mendengar ini, Sim Hoat tertawa girang. “Ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!” katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.
“Sebetulnya ada urusan apakah?” Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan berita dari Siluman Kecil! Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut mendengarkan, sedangkan para perajurit tetap menanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu betapapun juga merasa curiga terhadap tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerombolan perampok itu. Heran sekali mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu.
“Kami hendak membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil.”
“Ehhhhh....?” Cui Lan berseri wajahnya dan dia maju selangkah. “Apa yang terjadi?” tanyanya penuh gairah.
“Kami hanya mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimanapun juga, kami ingin membantu beliau,” kata Sim Kun. “Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami pun tidak tahu.”
“Ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya, bukan Gi-hu?” Cui Lan menoleh kepada ayah angkatnya dengan sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapapun juga, ketika dikejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh para pemburu ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya.
“Menurut kabar angin di antara kawan-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri Siluman Kecil, lima tahun kurang lebih yang lalu, di dalam pengembaraannya, beliau bertemu dengan musuh yang amat sakti yang tinggal mengasingkan diri di atas bukit di depan sana. Orang sakti itu tinggal bersama muridmuridnya dan pelayan-pelayannya yang kesemuanya juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng itu, kabarnya orang sakti ini adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu tecjadi pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu, dan kabarnya beliau terluka parah oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir saja beliau tewas. Akan tetapi beliau dapat diselamatkan dan diobati oleh seorang pendeta wanita, dan biarpun dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu membuat rambut beliau menjadi putih semua! Nah, kabarnya beliau membuat perjanjian dengan orang sakti itu untuk saling mengadu ilmu lagi lima tahun kemudian dan hari ini adalah hari perjanjian itu. Kami yang berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai pergi ke tempat itu untuk membantu beliau.”
Setelah selesai bercerita, cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar sepotong-sepotong itu, hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka untuk menyaksikan pertandingan itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa ia ingin pergi untuk menjumpai orang yang dipujanya itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada ayah angkatnya. Maka ketika tiga orang bersama anak laki-laki itu berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka, Cui Lan melangkah maju beberapa tindak mengikuti mereka sampai ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Air matanya membasahi bulu matanya, ketika dia mendengar mereka berpamit lagi dan melompat ke atas kuda mereka.
“Selamat tinggal, Enci Cui Lan!” terdengar Hong Bu berteriak.
Cui Lan yang tadinya menunduk untuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar seruan suara Hong Bu. Terkejutlah dia ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sim Kun yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan sinar mata aneh, lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata, “Selamat berpisah sampai jumpa kembali!” lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan.
Mereka melanjutkan perjalanan dan Cui lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin bertanya, “Anakku, kenapa kau kelihatan diam? Apakah engkau masih terkesan oleh cerita tadi?”
Memperoleh kesempatan itu Cui Lan lalu berkata, “Benar sekali, Gi-hu. Gi-hu tentu tahu mengapa orang-orang kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa, bahkan lebih dari itu kepadanya, dan mendengar dia hendak bertanding melawan orang sakti, saya saya ingin sekali menonton, Gi-hu.”
Hok-taijin mengerutkan alisnya. “Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia? Tidak dapat membantu seperti para pemburu itu, bahkan kita terancam bahaya maut. Jangan khawatir, kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan mengundang Pendekar Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah kita.”
Terhibur juga hati Cui Lan mendengar janji ini, sungguhpun hatinya masih ingin sekali untuk pergi ke bukit itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia merasa malu terhadap ayah angkatnya dan para perajurit, maka dia melanjutkan perjalanan itu dengan diam saja dan termenung.
Lewat tengah hari, udara panas sekali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah lapangan terbuka dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar. Perwira itu lalu mengeluarkan perbekalan dan Hok-taijin dan Cui Lan lalu makan. Lezat bukan main makan di tempat terbuka itu, sungguhpun yang dimakan hanya roti kering dan daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya selesai makan, Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk makan pula. Kakek ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang menyerangnya ketika tubuh lelah perut kenyang itu dihembus angin sejuk.
Cui Lan berjalan-jalan di sekitar tempat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar suara orang bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira. Ketika dia menuju ke tempat itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba hitam dan ringkas, pakaian yang ketat memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat dan indah, sedang duduk di antara rumput-rumput hijau dan rebah terlentang sambil bersenandung.
Cui Lan ingin pergi lagi karena dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang beristirahat dengan enaknya itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar di dekat kakinya. Ketika dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah seekor ular yang hitam panjang dan yang kini berada di depan kakinya dengan kepala terangkat dan bergoyang-goyang seperti menari-nari, atau seperti memberi isyarat kepadanya agar jangan pergi!
Cui Lan memandang dengan muka pucat, akan tetapi memang pada dasarnya gadis ini seorang yang tabah. Dia tidak jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya untuk menjauhi.
“Hi-hik, si Hek-coa (Ular Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini bercakap-cakap dengan aku!”
Cui Lan cepat menoleh dan dia melihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan tersenyum. Bukan main cantiknya! Baru sekarang dia melihat betapa gadis itu mempunyai kecantikan yang luar biasa, cantik jelita dan manis sekali, apalagi kini sedang tersenyum. Dia memandang kagum dan melihat gadis berpakaian hitam dan ular yang kini melilit lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis di dalam perahu yang telah melempar kembali orang dari perahu besar yang meloncat ke rakit mereka.
“Kau.... bukankah kau gadis dalam perahu....“
Gadis itu memang Hwee Li adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya. “Duduklah di sini, enak, lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan takut, ularku ini tidak jahat. Aku melihat engkau bersama rombongan perajurit dan si orang tua, akan tetapi mana pemuda yang bersamamu di perahu itu?”
“Ah, dia sudah pergi....“ Cui Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita tentang urusan Pangeran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya dengan pertanyaan, “Engkau siapakah? Aneh sekali seorang gadis cantik seperti engkau bermain-main dengan seekor ular seperti itu.”
“Seekor? Ada dua! Lihat di atasmu!”
Cui Lan mengangkat mukanya dan dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang amat panjang, bergantung di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular itu dekat sekali di atas kepalanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir menjilat-jilat dahinya!
Hwee Li tertawa dan dengan gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke atas cabang dan ular yang di lengannya itu pun dia suruh pergi merayap naik ke atas pohon, berkumpul dengan temannya.
“Namaku Kim Hwee Li. Kau juga cantik manis, siapa namamu, Enci?”
“Namaku Phang Cui Lan.” Cui Lan merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput. Memang enak sekali duduk di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan tempat itu sejuk di bawah pohon besar. “Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa kau berada di sini seorang diri saja, Hwee Li? Seorang gadis seperti engkau seorang diri saja, sungguh aneh.”
“Apa anehnya? Memang aku hanya sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sendiri, melainkan bertiga dengan sepasang ular hitamku itu. Aku ingin nonton keramaian di bukit sana.”
Cui Lan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. “Kaumaksudkan.... keramaian.... pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti....?”
Kini Hwee Li yang terkejut. “Apa? Kau tahu pula tentang itu? Kau kenal Siluman Kecil?”
Cui Lan mengangguk. “Tentu saja aku mengenalnya,” dan pandang matanya kini merenung, membayangkan pendekar itu.
“Benarkah? Hebat! Namanya sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang lemah telah mengenalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah akan tetapi kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah hebat, sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat aku merasa iri.”
Terpaksa Cui Lan tersenyum mendengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika timbul rasa sayang di dalam hatinya. “Ah, Hwee Li, seorang gadis seperti engkau ini, yang cantik seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak berkenalan dengan pemuda-pemuda yang paling hebat di dunia ini?”
“Benarkah? Eh, orang macam apa sih sebetulnya Siluman Kecil itu?”
“Orang macam apa....?” Cui Lan menengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda pendekar itu dan dia menarik napas. “orang yang hebat....! Seorang pendekar yang masih amat muda, akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang perak halus mengkilap....“
“Hemmm, kau makin menambah keinginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini Siluman Kecil akan muncul dan melawan Sin-siauw Seng-jin di puncak bukit itu.”
“Sin-siauw Seng-jin? Siapakah dia?”
“Seorang tokoh yang maha sakti. Seorang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia kang-ouw tidak ada yang berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti dewa. Hemmm, aku berani bertaruh potong leher....“
“Potong leher?” Cui Lan terkejut.
“Nanti dulu, belum habis. Leher ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh namanya. Mana mungkin dia bisa menang! Hi-hik, kedua ekor ularku ini paling suka minum darah, apalagi kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu. Hemmm, mereka tentu akan senang sekali.”
Pucat wajah Cui Lan. “Apa.... apa.... maksudmu....?”
“Hi-hik, pandang matamu begitu ketakutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang matamu indah sekali, Cui Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawatir, aku tidak akan mencampuri urusan mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil akan tewas dan ularularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh.”
“Ihhh.... kau.... kau kejam sekali!” Cui Lan bangkit berdiri, sepasang matanya menyinarkan api dan kedua pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li. “Kau sungguh kejam, dan aku.... aku akan menggunakan batu menghancurkan kepala dua ekor ular-ularmu kalau mereka beralni melakukan hal itu!”
“Ehhh....?” Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. “Wah.... kau cinta padanya, hi-hik! Kau cinta padanya!”
Lemas lagi rasa tubuh Cui Lan dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia mengangguk. “Aku memang cinta padanya....“
“Kalau begitu, mengapa tidak nonton bersama aku? Dengan adanya kekasihnya di sana, hal itu akan membesarkan hatinya!”
“Aku bukan kekasihnya, jangan bicara seperti itu, Hwee Li.”
“Ihhh? Bagaimana sih kau ini? Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau kusebut kekasihnya?”
“Aku cinta padanya, memang, dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta padaku.... hemmm, hal itu aku.... aku tidak tahu....“
“Hi-hik, jangan khawatir. Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara seperti engkau? Dia pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke sana, Cui Lan.”
Cui Lan menengok ke arah rombongan ayah angkatnya. Mereka agaknya sudah berkemas dan ayahnya sudah bangkit berdiri.
“Aku.... aku tidak bisa, di sana ada ayah angkatku.... aku harus pergi bersama mereka.”
“Huh, betapa tidak enaknya hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan tetapi kenyataannya terpaksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar saja. Dan kau gadis yang memiliki keberanian hebat sungguhpun kau lemah.”
“Aku ingin sekali, akan tetapi mereka tentu melarang dan kita tidak bisa memaksa.”
“Siapa bilang? Baru dua puluh orang perajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi masih belum cukup untuk melawan aku!”
“Ah, aku tidak ingin kau bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku yang amat baik.”
“Kalau begitu tidak perlu bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat mereka kejar!”
“Benarkah? Akan tetapi aku harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah angkatku.”
“Nah, berpamitlah!” Hwee Li lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ularnya meluncur turun ke arah kedua lengannya, terus melingkar di situ. Kemudian dia mengiringkan Cui Lan berjalan menghampiri rombongan itu.
Melihat Cui Lan datang bersama seorang gadis cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai gadis yang membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah pucat ketika melihat dua ekor ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu.
“Gi-hu, ini adalah Kim Hwee Li, seorang sahabat.... dan dia.... dia mengajak saya pergi nonton adu kepandaian di bukit. Gi-hu, perkenankanlah, dan jangan khawatlr, saya pasti akan menyusul Gi-hu.... setelah selesai nonton....“
“Akan tetapi, Cui Lan....!” Hok-taijin berkata penuh keraguan.
“Mari kita pergi, Cui Lan!” Tiba-tiba Cui Lan merasa pinggangnya dibelit sesuatu dan tubuhnya terbang ke atas! Ketika dia tidak melayang lagi, ternyata dia telah berada di atas cabang pohon, dirangkul oleh lengan Hwee Li dan ayah angkatnya bersama para perajurit berada jauh di bawah pohon besar itu!
“Pejamkan mata, kita pergi sekarang,” bisik Hwee Li.
“Gi-hu, maafkan, saya pergi dulu....!”
Cui Lan berseru ke bawah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, jauh dari situ dan selanjutnya dia seperti terbang di atas tanah bersama Hwee Li, pinggangnya dipeluk oleh gadis yang luar biasa itu. Angin bertiup kencang membuat kedua telinganya mendengar suara gemuruh dan Cui Lan merasa ngeri. Dia mendengar suara ayahnya lapat-lapat memanggil namanya, lalu tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suara angin bertiup kencang dan pohon-pohon berlarian cepat di kanan kirinya. Dia memejamkan matanya.
Tak lama kemudian dia mendengar suara Hwee Li, “Kita sudah jauh meninggalkan mereka. Nah, mari kita mendaki bukit itu.”
Cui Lan membuka mata. Kiranya mereka telah berada di kaki bukit, di antara banyak pohon-pohon liar dan dia menengok ke sana-sini, akan tetapi sama sekali tidak melihat lagi rombongan gi-hunya, bahkan dia tidak mendengar suara mereka. Hanya suara burung yang berbondong-bondong terbang datang untuk berlindung di dalam pohon-pohon besar melewatkan malam, karena matahari telah condong ke barat.
Cui Lan memandang Hwee Li. “Engkau sungguh seorang gadis yang hebat, Hwee Li. Kiranya engkau juga seorang pendekar sakti.”
“Hi-hik, enak juga dipuji orang seperti engkau. Tahukah engkau, Cui Lan, ketika aku memelukmu dan meraba tulang-tulangmu, aku mendapat kenyataan bahwa andaikata engkau mempelajari ilmu silat, agaknya engkau malah dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada aku. Bakatmu baik dan nyalimu besar.”
Akan tetapi tentu saja Cui Lan menganggap kata-kata Hwee Li itu sebagai kelakar saja dan dia tidak ambil peduli. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit itu. Cui Lan terheran-heran melihat betapa tempat ini amat sunyi. Bukankah tadi terdapat banyak penungang kuda yang katanya juga menuju ke tempat ini? Akan tetapi mengapa di situ sunyi saja, tak pernah mereka bertemu dengan seorang manusia pun? Dengan hati-hati Hwee Li mengajaknya mendaki terus, berjalan di antara rumpun ilalang yang tinggi-tinggi, ada yang setinggi manusia.
“Hati-hati, Hwee Li....“ bisik Cui Lan karena gadis ini maklum betapa berbahayanya tempat seperti itu. Kalau ada orang atau harimau bersembunyi di dalam ilalang, tentu tidak kelihatan dan mereka itu dengan mudah dapat menerkam mangaa yang lewat.
“Hik-hik, jangan khawatir, Cui Lan. Dua ekor ularku ini leblh tajam pendengarannya, penciumannya dan pandang matanya daripada seekor anjlng.” Baru saja Hwee Li berkata demikian, seekor di antara dua ekor ular yang melilit di kedua lengan dara itu meluncur ke samping, memasuki rumpun ilalang dengan ekornya masih melilit lengan kiri Hwee Li. Tampak ilalang di sebelah itu bergerk-gerak keras dan terdengar suara menguik. Tak lama kemudian, kepala ular itu sudah kembali dan moncongnya yang lebar telah menggigit seekor anak babi yang telah tewas.
“Hik-hik, mengagetkan saja kau. Hayo lepas!” Hwee Li menggerakkan lengan kirinya dan ular itu melepaskan bangkai babi itu, lalu melingkar lagi di lengan Hwee Li.
Cui Lan bergidik ngeri. “Bagaimana kalau yang bersembunyi di situ tadi seorang manusia?” blsiknya.
“Ularku tahu dengan nalurinya. Kalau manusia itu berniat busuk, tentu digigit dan dibunuhnya. Sekali gigitan saja membuat racun yang mematikan membunuh orang itu, akan tetapi kalau orang itu tidak mempunyai niat jahat, ular-ularku pun tidak mau sembarangan membunuh orang tanpa perintahku.”
Hari telah menjadi gelap ketika mereka tiba di puncak bukit. Akan tetapi bulan segera muncul dari balik bukit di sebelah timur dan sinarnya cukup menerangi tempat itu. Cui Lan dan Hwee Li duduk di atas batu dan memandang ke depan. Di puncak itu, di antara batu-batu gunung yang besar-besar, berdiri sebuah bangunan kuno yang kelihatan megah dan angker. Di sekeliling rumah itu sunyi saja, tidak terdengar apa-apa dan bahkan tidak ada sedikit pun lampu penerangan, seolah-olah bangunan itu adalah sebuah rumah kuno yang kosong tidak dihuni orang.
“Agaknya kosong....“ Cui Lan berkata.
“Sssttttt.... mari kita mendekat dan setelah kita nanti bersembunyi, kau tidak boleh mengeluarkan suara, tidak boleh berisik, Hwee Li berbisik. Cui Lan mengangguk, jantungnya berdebar tegang karena sikap Hwee Li yang begitu berhati-hati mendatangkan ketegangan di dalam hatinya. Sikap gadis perkasa itu membayangkan bahwa mereka berada di tempat yang aneh dan berbahaya sekali.
Mereka merangkak dan setelah dekat dengan rumah besar itu, mereka bersembunyi di balik batu besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat dengan jelas ke arah pintu depan gedung kuno itu. Bulan makin naik tinggi dan sinarnya yang keemasan membuat tempat itu indah sekali dan tentu amat menyenangkan kalau saja suasananya tidak begitu menyeramkan.
Malam makin larut dan Cui Lan mulai menggigil kedinginan. “Telan ini....” Hwee Li berbisik dan menyerahkan sebutir pil kuning. Cui Lan menelannya dan pil itu terasa manis dan harum. Tak lama kemudian tubuhnya terasa hangat sekali seolah-olah dia baru saja minum beberapa cawan arak. Dia menyentuh tangan Hwee Li dengan rasa terima kasih dan dara berpakaian hitam itu tersenyum. Giginya berkilat putih tertimpa sinar bulan.
Tiba-tiba mereka menyelinap karena kaget melihat sinar-sinar lampu menyala di gedung itu. Keadaan tetap sunyi dan lampu-lampu penerangan itu seolah-olah dinyalakan oleh tangan setan. Tidak nampak seorang pun di sekitar gedung besar itu.
Dari jauh sekali, dari arah depan rumah, terdengarlah suara orang, suara yang bening halus, “Locianpwe, saya datang memenuhi perjanjlan kita lima tahun yang lalu!” Suara itu biarpun halus namun mengandung gema mengaung dan setelah suara itu lenyap, gemanya masih terdengar, lalu sunyi sekali, sunyi yang mencekam dan menegangkan hati.
Terdengar suara orang berdehem di dalam gedung itu, kemudian terdengar suara seorang laki-laki yang parau, “Silakan masuk!”
Cui Lan terkejut dan terheran bukan main karena entah dari mana datangnya dan bagaimana serta kapan, tahu-tahu di depan pintu gedung itu kini telah berdiri seorang kakek membawa tongkat. Agaknya kakek inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata itu. Kakek ini berdiri seperti arca, tidak bergerak-gerak dan memandang ke depan gedung, ke arah jalan kecil yang menuju ke bawah bukit. Tentu saja Cui Lan dan Hwee Li juga memandang ke arah itu, menduga-duga dari mana akan munculnya orang yang tadi mengeluarkan suara, yang mereka duga tentulah Siluman Kecil adanya.
“Sssttttt....!” Tiba-tiba Hwee Li menyentuh lengan Cui Lan dan menunjuk ke depan. Cui Lan membelalakkan matanya untuk dapat memandang lebih teliti. Dia hanya melihat sebuah titik putih naik dari bawah, dan melihat sebuah titik putih itu makin membesar. Akhirnya nampaklah bayangan putih seorang manusia bergerak dengan amat cepatnya, seolah-olah orang itu terbang di atas pucuk rumpun ilalang! Kedua kakinya bergerak di antara pucuk ilalang yang bergoyang perlahan. Cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di depan gedung dan menjura ke arah kakek yang memegang tongkat.
Hwee Li mengerahkan kekuatan pandang matanya, memperhatikan orang yang namanya begitu terkenal sebagai seorang pendekar penuh rahasia yang hanya dikenal sebagai Siluman Kecil. Ternyata orangnya masih muda dan wajahnya tampan, rambutnya dibiarkan terurai dan melambai-lambai ditiup angin, rambut yang berwarna putih dan yang mengkilap seperti perak tertimpa sinat keemasan dari bulan purnama. Pakaiannya sederhana dan juga terbuat dari bahan putih semua!
Kakek bertongkat itu sejenak memandang, seolah-olah hendak meneliti apakah benar ini orang yang telah ditunggu-tunggu, kemudian dia balas menjura dan dengan tangannya dia mempersilakan orang itu masuk. Pintu terbuka sendiri seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak. Laki-laki berambut putih itu mengangguk dan melangkah hendak memasuki pintu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dari depan gedung.
“Anakku....!”
Seorang nikouw tua melompat ke luar dari balik sebuah batu besar dan biarpun jarak antara batu dan depan gedung itu cukup jauh, namun dengan satu kali melompat saja nikouw itu telah berada di situ! Diam-diam Hwee Li meleletkan lidahnya tanda kaget dan kagum.
“lbu....!” Siluman Kecil menoleh ke arah wanita itu.
Cui Lan dan Hwee Li saling pandang dan sinar mata mereka bicara banyak. Mereka berdua terheran-heran melihat kenyataan bahwa si pendekar sakti yang berjuluk Siluman Kecil itu adalah putera seorang nikouw tua!
“Ibu, mengapa menyusulku?” tanya Siluman Kecil dengan suara halus dan penuh hormat.
“Hemmm, aku mana bisa tega membiarkan kau menemui sendiri musuhmu? Aku harus ikut, apa pun yang akan terjadi!”
Siluman Kecil membalik dan memandang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak bertanya apakah ibunya diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan mempersilakan dengan tangan. Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu, diikuti oleh kakek bertongkat dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang menutupkan.
“Diakah....?” Hwee Li berbisik.
Cui Lan mengangguk, dadanya bergelombang, air matanya berlinang.
Sementara itu, orang muda berambut putih dan nikouw tua yang masuk bersama kakek bertongkat, tiba di ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua renta yang rambut, jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini bertubuh tinggi besar dan biarpun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang matanya tetap bercahaya penuh semangat dan mulutnya tersenyum lembut. Di kanan kirinya nampak beberapa orang laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri. Mereka itu adalah murid-muridnya dan kakek bertongkat itu adalah murid pertama. Kakek bertongkat ini menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu, dia datang memenuhi janji!” katanya.
Siluman Kecil juga menjura dengan hormat sedangkan nikouw tua itu merangkap kedua tangan di depan dada tanpa bergerak atau bicara. “Dengan perkenan Locianpwe, saya kembali hendak memperlihatkan kebodohan saya,” katanya dengan sikap merendah.
Kakek itu tersenyum, akan tetapi alisnya yang putih itu berkerut. “Orang muda, kami telah mendengar bahwa selama lima tahun ini engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, bahkan telah berbuat banyak sehingga memperoleh julukan Siluman Kecil. Kami merasa girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat rnengagumi kemajuanmu. Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri kini ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu dengan perbuatan itu?”
Siluman Kecil mengangkat muka memandang dan mereka saling bertemu dan beradu pandang. “Locianpwe, menyalahi janji dan membawa kawan-kawan merupakan pantangan besar bagi saya. Apakah Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang menyusul ini merupakan pelanggaran?”
Kakek itu menggerakkan tangan seperti mencela. “Ahhh, kalau muncul dengan terang-terangan masih tidak apa. Akan tetapi apa artinya banyak kawanmu yang bersembunyi di sekitar tempat ini?”
“Ohhh....! Maksud Locianpwe mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini? Sungguh, saya tidak mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid Locianpwe yang sengaja menyambut dan mengawasi saya!”
“Hemmm, sungguh aneh. Mari kita suruh mereka keluar.” Kakek itu turun dari kursinya, kemudian bersama dengan Siluman Kecil dan nikouw tua mereka semua keluar, diiringkan oleh murid-murid kakek itu yang dipimpin oleh kakek pemegang tongkat.
Kini mereka berdiri di luar gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih sembunyi dan memandang dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat mereka keluar karena dia khawatir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung, berarti dia tidak dapat nonton! Dan kini, mereka berada di halaman sehingga dia akan dapat nonton dengan enaknya karena tempat sembunyinya itu tidak berapa jauh.
Akan tetapi, dia merasa heran karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak berdiri berhadapan, melainkan berjajar dan keduanya menghadap ke luar gedung, menoleh ke kanan kiri. Kemudian terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan halus nyaring, “Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka memperlihatkan diril”
Mendengar suara Siluman Kecil ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa orang lain yang memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat untuk membantu Siluman Kecil yang kabarnya hendak bertanding melawan musuhnya yang amat sakti. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul dari berbagai tempat persembunyian mereka! Melihat bahwa mereka adalah teman-temannya yang pernah ditolongnya, diam-diam Siluman Kecil menjadi terkejut sekali dan segera dia menegur, “Mau apa kalian berada di sini? Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?”
Semua orang itu menjura dengan hormat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka menjawab, “Kami mendengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang lawan yang tangguh, maka kami sengaja datang hendak membantu.”
Mendengar jawaban yang terus terang ini, Sin-siauw Seng-jin (Kakek Suling Sakti) tersenyum lebar.
“Aku tidak menghendaki bantuan dari siapapun!” Siluman Kecil berseru dengan muka merah karena merasa malu kepada tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Sengjin menggerakkan tangan dan berkata halus.
“Cu-wi telah datang, boleh saja menyaksikan pertandingan.” Kemudian kakek ini memandang ke kanan kiri dan berkata lagi, suaranya halus namun menembus sampai jauh seperti hembusan angin, “Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi, silakan keluar saja!”
Kini bermunculanlah dua puluh lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecli. Pendekar ini merasa heran dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah mengetahui akan semua orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-lebih heran hatinya ketika mendengar kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang berdiri dengan penuh wibawa, “Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang terhormat dari Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!”
Semua orang menjadi terkejut, termasuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri ketika mendengar si Suling Sakti menyebut dua nama perkumpulan yang besar dan amat terkenal itu. Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu, diam-diam merasa heran juga mengapa ketua-ketua perkumpulan silat yang besar itu datang pula di tempat itu.
Ketua Bu-tong-pai dan ketua Kunlun-pai menjura ke arah Sin-siauw Sengjin, kemudian ketua Kun-lun-pai mengelus jenggotnya dan berkata, “Harap Seng-jin maafkan atas kehadiran kami tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin menyaksikan ilmu aseli dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong langit ratusan tahun yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan tetapi Seng-jin telah melihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami.”
Mendengar ucapan ini, kakek pemegang tongkat yang menjadi murid pertama dari Sin-siauw Seng-jin, memandang kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat perkenan, maka majulah dia dan dengan suara halus namun bernada menantang dia berkata, “Apakah Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu? Kalau benar demikian, silakan maju, tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup dengan saya yang akan memperlihatkan kepada Cu-wi.”
Dua orang ketua itu adalah orang-orang besar yang memimpin partai persilatan besar, tentu saja mereka memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu tidak sudi mencuri lihat ilmu orang lain, hanya karena mendengar bahwa Sin-siauw Seng-jin sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding, mereka tidak dapat menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, kini setelah menerima tantangan, berarti mereka memperoleh kesempatan untuk melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu saja mereka menyambut dengan gembira. Ketua Butong-pai memberi isyarat kepada sutenya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini adalah orang ke dua dari Bu-tong-pai, tokoh ke dua setelah sang ketua sendiri. Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh ke dua, tentu saja dia memiliki kepandaian yang tinggi.
Dengan langkah tenang, Kim Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang lebar dan tersenyum menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu menjura. “Silakan!”
Kakek itu juga memandang dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti gurunya dan dia bertanya, “Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang?”
“Pintu Kim Thian Cu, tosu yang bodoh dari Bu-tong-pai,” kata tosu itu sambil menjura.
Kakek itu lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan menjura. “Kim Thian Cu totiang, sebagai fihak tuan rumah, saya hanya melayani. Silakan Totiang mulai dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah pengetahuan akan mempergunakan ilmu tangan kosong dari Suhu.”
Kim Thian Cu sebagai seorang tokoh Bu-tong-pai, tentu saja sudah mempunyai pengalaman mendalam dan sekali pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka dia tidak bersikap sungkan lagi. “Pinto mulai, sambutlah!” Dan begitu dia bergerak, Kim Thian Cu telah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari Bu-tong-pai yang hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh saja. Kedua tangannya membentuk cakar garuda dan ketika digerakkan, terdengarlah angin bersiutan dan sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi keras seperti baja! Itulah ilmu Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari Butong-pai, yang kesemuanya ada seratus dua puluh jurus. Biarpun dia sendiri sudah menduduki jabatan wakil ketua atau tokoh ke dua, Kim Thian Cu sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari ilmu kuno ini! Dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan jurus yang paling ampuh, dengan tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun kepala sedangkan tangan kanan yang tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah menjadi lurus seperti pedang! Serangan ini hebatnya bukan kepalang, yang mencengkeram ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti kilat menyambar.
“Bagus....!” Kakek yang tinggi kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, kedua tangannya menangkis dua serangan itu.
“Dukkk!.... Dukkkkk!” Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi kalau murid Sin-siauw Seng-jin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu terhuyung sampai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil ketua Bu-tong-pai itu kalah kuat.
Kim Thian Cu menjadi penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka dia mengandalkan ginkangnya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin-na dan mulailah dia menerjang dengan cepat dan kuatnya. Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan seruan keras, menyambut serangan wakil ketua Bu-tong-pai dengan ilmu silat tangan yang gerakannya aneh sekali namun dahsyat seperti badai laut mengamuk! Tubuh kakek tinggi kurus itu berputaran dan kedua lengannya seperti berubah menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat ditangkisnya semua, bahkan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya!
Giok Thian Cu mengerutkan alisnya, maklum bahwa sutenya tidak akan mampu menang. Sayang bahwa sutenya belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta Sin-na sehingga untuk menghadapi lawan yang demikian tangguh amat sukar mendesaknya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri dan hanya memandang dengan penuh perhatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu silat tangan kosong yang aneh. Gerakan tangan kakek tinggi kurus itu kadangkadang seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu dikebut-kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja! Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas, juga mengandung tenaga yang amat kuat menyambar lawan!
Tepat seperti dugaan ketua Bu-tong-pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian Cu terhuyung ke belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lumpuh. Ternyata kedua pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat meloncat ke depan dan sekali menekan kedua pundak sutenya, Kim Thian Cu pulih kembali kedua lengannya dan dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata, “Pinto mengaku kalah.”
“Hebat.... hebat....!” Giok Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil tersenyum. “Sungguh hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan dari Pendekar Suling Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu pukulan luar biasa tadi....“
Kakek itu tersenyum dan balas menjura. “Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak) dan menjadi murid pertama dari Suhu. Adapun tentang ilmuilmu yang saya mainkan, saya tidak berhak menyebutkannya kepada siapa juga, yang berhak adalah Suhu.”
Giok Thian Cu mengangguk-angguk. “Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah ratusan tahun merupakan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai kenyataan yang mengagumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau boleh pinto sendiri akan menguji kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendengar Suling Emas. Tidak tahu apakah Sin-siauw Sengjin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada muridnya?” Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang pedang dari dalam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan dada dengan kedua tangan dirangkap tanda penghormatan.
Gin-siauw Lo-jin membalas penghormatan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari dalam jubahnya. “Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba mewakili Suhu menyambut penghormatan Totiang.”
Giok Thian Cu sekali lagi menghormat, kemudian berseru halus, “Lihat pedang!” dan nampak sinar hijau berkelebat menyambar ke arah lawan.
“Bagus!” Sekali lagi kakek itu berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan menyambar ke depan, menyambut sinar hijau itu.
“Tranggg....!” Kedua fihak merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa tenaga sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihaian lawan, Giok Thian Cu juga tidak bersikap sungkan lagi, terus saja dia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hijau yang indah sekali.
Tiba-tiba Gin-siauw Lo-jin yang terkesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, berubah gulungan sinar perak yang amat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan hanya bergulung-gulung menjadi sinar perak, juga dari suling perak itu terdengar suara mengaung yang aneh dan menyakitkan telinga lawan! Gulungan sinar perak itu kini membuat gerakan coret-moret seperti membentuk huruf-huruf di udara dan setiap coretan mengandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan.
“Hebat....! Liang Sim Tosu, ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu menggeleng-geleng kepala saking kagumnya. “Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut dalam dongeng Suling Emas....“
Memang hebat sekali gerakan Gin-siauw Lo-jin. Dalam waktu , kurang dari tiga puluh jurus, sinar perak itu telah menggulung dan menekan sinar hijau sehingga sinar hijau dari pedang di tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya terdengar seruan, “Siancai....!” dan kedua gulungan sinar itu berhenti. Ketua Bu-tong-pai telah menyimpan kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak pucat dia memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya.
“Sungguh hebat, pinto mengaku kalah.”
“Ahhh, Kim Thian Cu dan Giok Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat sekali akan tetapi harus dlakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas memang amat luar biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali menguji, kalau boleh.”
Liang Sim Tosu sudah melangkah maju dan mepgeluarkan sepasang poan-koan-pit berwarna putih dan hitam yang dipegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada.
Gin-siauw Lo-jin masih memegang suling peraknya dan dia pun membalas dengan penghormatan dan menjawab, “Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji, silakan maju.”
Liang Sim Tosu cepat menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi disilangkan, yang kanan berwarna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna putih menuding ke bumi, kemudian dia berkata, “Gin-siauw Lojin, harap jaga seranganku!” Tiba-tiba nampak sinar hitam dan putih berkelebatan dan makin lama makin cepat sehingga kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling belit, kemudian bersatu menjadi segulungan sinar yang berwarna abu-abu meluncur ke arah kakek yang memegang suling perak.
“Bukan main....!” Gin-siauw Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerakkan suling peraknya sehingga nampak sinar berkilauan menangkis.
“Cring-tranggg....!
Kini Gin-siauw Lo-jin yang terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah menerjang lagi, serangan halus namun luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-pit itu memang amat lihaihya, kadang-kadang seperti dua sinar berlawanan saling menggunting, kadang-kadang bersatu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat, yang hitam mengandung tenaga Im lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang yang kuat dan panas. Kiranya dua buah poan-koan-pit itu mengandung tenaga Im dan Yang, dua unsur yang berlawanan akan tetapi kalau bersatu mempunyai daya yang luar biasa kuatnya. Juga kedua poan-koan-pit itu dapat melakukan totokan-totokan yang bertubi-tubi ke seluruh jalan darah terpenting di tubuh lawan.
Gin-siauw Lo-jin maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai, maka dia cepat mainkan Hong-in Bun-hoat dengan suling peraknya. Ilmu ini memang mujijat, karena dahulu, Pendekar Suling Emas menerima ilmu ini langsung dari manusia dewa Bu Kek Siansu, dan biarpun ilmu ini dimainkan dengan menuliskan huruf-huruf di udara, namun setiap gerakan mengandung daya serang yang amat mujijat, di samping juga dapat menjadi daya tahan yang rapat seperti tembok yang kokoh kuat sehingga kini, gulungan sinar perak itu dapat membendung semua serangan poan-koan-pit yang luar biasa itu.
Pertandingan itu amat cepat dan seru, membuat mata Cui Lan menjadi kabur dan kepalanya pening sehingga dia mengalihkan pandang matanya ke arah Siluman Kecil yang berdiri dengan tegak, tenang dan penuh perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton dengan wajah berseri. Girang sekali hati gadis ini dapat melihat pertandingan yang demikian hebatnya.
“Ahhhhh....!” Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Biarpun ilmu Hongin Bun-hoat yang dimainkannya dapat membendung serangan lawan, namun karena memang dia kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan terhuyung.
“Gin-siauw, mundurlah karena engkau sudah kalah.” Tiba-tiba terdengar suara halus dan Gin-siauw Lo-jin cepat meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah Liang Sim Tosu. Saya mengaku kalah.”
Liang Sim Tosu tersenyum lebar. “Bukan main.... terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi.”
Kini Sin-siauw Seng-jin melangkah maju. “Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan tetapi betapapun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hongin Bun-hoat yang telah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba suling kami!” Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat daripada emas. Semua mata memandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu!
“Wah-wah-wah.... kalau aku bisa mendapatkan suling itu....“ terdengar Hwee Li berbisik.
“Hemmm, kau begitu murka menginginkan emas?” Cui Lan mencela.
“Aihhh, kau mana tahu....“
Mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika kini ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan poan-koan-pit di tangannya. Akan tetapi, kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat dan setiap kali sepasang poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, ke manapun sepasang sinar hitam putih itu menyambar!
“Sekarang jagalah, Totiang!” Kakek tua renta itu berseru dan nampak kini sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas, lalu menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Akan tetapi belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!
Seorang murid Kun-lun-pai cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai cepat menjura penuh hormat. “Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng? Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah.”
Kakek itu tersenyum. “Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah ilmu Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aselinya, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan).”
Semua orang memandang kagum sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata, “Biarpun kami mengakui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah menguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena kami merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu itu.” Semua orang makin kagum mendengar ini.
“Locianpwe, saya sudah menunggu!” Tiba-tiba terdengar suara bening melengking nyaring dan ternyata suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.
Kakek tua renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan kakek itu berkata, “Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah slap, majulah!”
Pemuda berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, lalu dia menggerakkan ranting itu di depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata, “Locianpwe, saya hanya menuntut yang benar. Kalau Locianpwe mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak.”
“Hemmmm, orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertandingan antara Sin-siauw Seng-jin dan Siluman Kecil.”
“Locianpwe mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!” kata Siluman Kecil sambil menggerakkan rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. “Nah, maafkan aku!” Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti gerakannya dengan pandang mata dan tahu-tahu kakek itu sudah menggerakkan suling emasnya menanggkis.
“Tringgggg....!”
Kini semua orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan, mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas. Memang hebat sekali kakek itu. Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal, menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas sebagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini saja membuktikan bahwa memang Sin-siauw Seng-jin belum menguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.
Pertandingan itu makin lama makin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apalagi gerakan Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat penjuru!
Sudah hampir dua ratus jurus berlangsung dan belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, terpaksa memejamkan mata. Hanya orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan mata tanpa berkedip saking tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan bibirnya berkemak-kemik karena gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman Kecil!
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh terjungkal dan pingsan. Untung Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga ketika suara itu membuat kepala Cui Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu roboh pingsan pula. Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pandangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Seng-jin berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat, dahinya berkeringat napasnya agak terengah ketika dia memandang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja.
“Aku mengaku kalah.... sekali.... ini....“
“Kalau begitu Locianpwe harus mengembalikan....“
“Tidak! Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang kalah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!” Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan, dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya dipimpin oleh Gin-siauw Lojin yang membawa tongkatnya dan membawa bungkusan besar. Tidak ada orang yang berani menahan mereka, juga Siluman Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil kekerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Pula, memang kakek itu benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya adalah pertandingan ke tiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati!
“In-kong (Tuan Penolong)....!” Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua lengan di bentangkan seperti, orang hendak memeluk! Seorang gadis lain yang berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.
Siluman Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara mengandung teguran, “Ah, kau juga di sini, Nona?” Melihat sikap Siluman Kecil itu Seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang.
Seketika mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik, “In-kong.... saya....“
Akan tetapi, dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali meluncur ke arah kakinya.
“Hemmm....!” Siluman Kecil mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam itu. Akan tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tak disangkanya ujung benda yang lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.
“Ahhhhh....!” Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali.
“Brettt....!”
Siluman Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia, karena tak disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan lihainya, maka dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar kembali ke lengannya.
“Laki-laki tak berperasaan!” Hwee Li memaki marah sambil memandang kepada Siluman Kecil dengan sepasang mata berkilat.
Siluman Kecil menjadi bimbang. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak tadi hanya menonton saja dengan sikap tenahg, ”Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya.”
Nikouw tua itu mengangguk, lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat, didorongnya terbuka dengan mudah.
Sementara itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. “Nona, aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau?”
Hwee Li mencibirkan bibirnya. “Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kaukenal baik adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain?”
“Eh, bocah sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!” teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya, menjadi panas, apalagi ketika nama Cui Lan dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnye dengan golok yang telah dicabutnya.
“Huh, orang kasar!” Hwee Li mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu.
Selagi Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis pekaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, diikuti pula oleh ketua kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu.
Ternyata kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua isi lemari awut-awutan.
Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang ditempelkan di lehernya.
“Berhenti semua! Jangan mendekat atau.... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis.... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!” Gadis cantik itu memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek dengan mata bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah menghadiri undangan Kuiliong-pang mewakili gurunya, yaitu Heksin Touw-ong si Raja Maling dari perbatasan!
“Siancai.... di tempat begini ada maling!” Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, akan tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan keselamatan nikouw tua itu.
“Kau lepaskan dia....!” Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.
Ang-siocia tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu bibirnya dengan cepat “Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa kalau aku melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!” Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.
“Maling hina yang curang!” Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu.
“Totiang adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bersikap tenang seperti seorang pendeta yang berkedudukan tinggi?” Nona berpakaian serba merah itu mengejek. “Siluman Kecil, bagaimana?”
“Baiklah, kau boleh pergi membawa barang-barang yang kaucuri itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!” ucapannya terdengar halus akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan. “Hik-hik, tentu saja. Dan agar engkau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!” Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia lalu meloncat ke luar melalui jendela kamar belakang itu, lenyap ke dalam kegelapan malam.
“Aku akan segera ke sana!” Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda kecil menyambar ke luar jendela.
“Ihhhhh....!” Terdengar gadis itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak gemetar karena benda itu adalah sebuah kancing baju putih yang tahu tahu telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa! “Siluman Kecil, akudan Suhu menantimu di sana!”
Keadaan lalu sunyi kembali dan Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa-tawa Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru, “Jangan bunuh orang.... jangan lukai orang....!”
Melihat ini, Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang putih itu berkelebat.
“Aihhh....!” Hwee Li menahan jerltannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan kecepatan yang amat hebat. Tiap orang she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan kini semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang. Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang, kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu.
Tiba-tiba terdengar Hwee Li Menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam. Siluman Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam. Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw tua yang berdiri di situ, “Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku pergi!” Begitu dia berkata pergi, tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.
Semua orang tertegun dan tanpa banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang baru saja terjadi hal-hal yang amat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.
Begitu melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang bukan-bukan. Siluman Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja banyak orang, apalagi setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar menghormatinya. Sedangkan dia? Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pelayan! Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur, akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan. Ayah bundanya mudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan harapkan, kiranya sama sekali tidak mempedulikannya, apalagi mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tampat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu.
Nenek ini saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.
“Anak yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena kulihat bahwa pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu.”
Ucapan ini seperti membuka bendungan di hati Cui Lan dan tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan meninggalkan puncak itu.
Para pembaca yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Nirahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya menjadi suaminya. Adapun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mujijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si Pendekar Super Sakti. Jadi, baik suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai maupun kipas dan kitab-kitab yang terjatuh ke tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Sengjin itu?
Hal ini, akan diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau diceritakan.
Bayangan putih yang seperti terbang melayang dengan kecepatan luar biasa lari dengan ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) itu akhirnya berhenti di sebuah lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah bukit. Bulan masih bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan rumput itu seperti laut kehijauan indah bukan main dan Siluman Kecil berdiri di tepi lapangan rumput, menunduk dan melamun. Pikirannya agak kacau karena pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sennaja tidak mau memperhatikan dan bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar dara itu dapat terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih dara itu. Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara itu, Cui Lan telah jatuh cinta kepadanya dan selalu memujanya dan merindukannya. Dia merasa suka dan kasihan sekali kepada Cui Lan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak dapat mencinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta siapa-siapa lagi di dunia ini! Dia mengerti betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas cintanya, dia terlalu mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah mengalaminya! Dia pun pernah mengalami seperti Cui Lan, mencinta seseorang mati-matian, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan tetapi kenyataan amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu tidak membalas perasaan hatinya. Beberapa tahun yang lalu dia hidup merana, bahkan bosan hidup, tidak ingin hidup lagi sampai dia tiba di pucak bukit itu, bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin, dan terluka hampir mati. Akan tetapi dia tidak mati, agaknya dia masih diharuskan hidup lebih lama untuk memperpanjang hukumannya, yaitu penderitaan batin karena dia tidak dapat melupakan kedukaan hatinya.
“Ihhhh....! Kau lagi....?”
Bentakan marah ini mengejutkan dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah berdiri gadis berpakaian serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya menyerangnya!
“Hemmm....“ Dia hanya menggumam.
“Hemmm apa? Kau laki-laki tak berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka menghancurkan hati wanita! Kau tidak mempedulikan orang yang mencintamu malah mengejar wanita lain!” Dara sudah mencak-mencak marah dan menudingkan telunjuk yang berkuku runcing terpelihara ke arah hidung Siluman Kecil.
Siluman Kecil mengerutkan dahinya dan memandang tajam. “Bocah lancang mulut, apa yang kaumaksudkan itu?”
“Huh, mentang-mentang rambutmu sudah putih semua kau lantas boleh menyebut aku bocah, ya? Kaukira aku tidak tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda banyak dengan aku?”
Siluman Kecil merasa kewalahan juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik napas panjang. “Yaaah, terserah. Sekarang katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu itu tadi?”
“Maksudnya? Maksudnya sudah jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui Lann kautinggalkan begitu saja, tidak tahu kahwa hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Engkau, setelah kaujatuhkan hatinya dengan pertolonganmu, dengan kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kausia-siakan begitu saja. Lebih celaka lagi, kau malah meninggalkan dia dan mengejar aku! Mau apa kau mengejarku? Mau pamerkan kepandaianmu? Mau membunuh aku?”
Siluman Kecil beberapa kali membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkannya kembali karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata yang keluar dari mulut yang manis itu seperti memberobotnya anak panah yang dilepas dari busur sakti! Dia kini menghela napas lega setelah dara itu menghentikan serangan-serangannya dan dia mengangkat muka memandang gadis itu bertolak pinggang, sikapnya sama sekali tidak takut bahkan menantang, padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah dikalahkannya, sungguhpun harus dia akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara yang ternyata memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan aneh itu. Baru sekarang Siluman Kecil merasa serba salah dan canggung.
“Aku tidak mengejarmu, Nona.” Akhirnya dia berkata singkat.
“Dusta kau!” Dan tiba-tiba gadis berpakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut. Siluman Kecil cepat mengelak ke sana ke mari sambil berkata, “Aku tidak ingin berkelahi!” Akan tetapi Hwee Li tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar itu.
“Lari ke mana kau?” Hwee Li membentak dan mengejar. Akan tetapi pada saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu.
“Hwee Li, jangan kurang ajar. Kembalilah!”
“Eh, Subo....!” Gadis berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang.
Siluman Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat wajah itu.
Akan tetapi dia tidak ingin bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat lagi daripada si dara galak, apalagi karena memang tidak ada permusuhan apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman.
Fajar telah menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang telah menanti banyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hendak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para penjaga. Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga terurai putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar wajah yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda yang selalu memandangnya, dengan alis berkerut dan sinar mata tajam penuh selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigainya dan memperhatikan semua gerak-geriknya. Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayangkan kegagahan.
Ketika pintu gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya seorang pun, maka dia cepat memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuklah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan suara lantang.
“Lo-ciang, kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu? Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kaulupakan, ha-ha!”
“Enak saja kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang berilmu tinggi untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa? Hanya bisa sekedar menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang itu, nah....!”
Siluman Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu. Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu.
Begitu mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil, “Pelayan, hidangkan masakan yang paling istimewa dari warungmu ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!”
Tiga orang laki-laki muda itu menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata, “Kouwnio, banyak terima kasih atas kebaikanmu!” Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira.
Akan tetapi Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya, “Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubar dan air teh, dan akan saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu.”
“Ah, tidak mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini,” kata wanita itu dengan sikap gembira dan melihat sikap dan mendengar kata-kata Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah dan agar tidak menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan mukanya. Wanita itu sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman arak, agaknya ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain!
Siluman Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar.
“Sumoi....!” Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi.
“Ah, Suheng, kau baru datang?” Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya.
Lima orang pengiring wanita itu kelihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata-kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau, “Sumoi, dia kulihat di luar dusun.... sedang menuju ke sini.... sendirian.”
Wanita muda itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata, “Hemmm, tak kusangka begitu cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapapun juga kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku.” Dia bangkit berdiri dan menghadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi.
“Cu-wi, ini Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah....“ Wanita itu memperkenalkan.
“Saya Ma Kok Ciang!”
“Saya Kam Seng!”
“Saya Kam Tiong!”
Tiga orang pemuda itu memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan hormat dan mengikuti sumoinya menghadap ke arah Siluman Kecil.
“Sobat, Suhengku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang terhormat?” Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil.
Pendekar ini menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenalan dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikitnya.
“Namaku....? Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil,” jawabnya pendek.
“Ughhh-ukkkhhhhh!” Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak menoleh ke arah Siluman Kecil yang mereka hanya dapat lihat punggungnya. Sedangkan wanita baju hijau dan suhengnya itu pun memandang dengan mata terbelalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih ragu-ragu. Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu sudah menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pemuda yang berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan di dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah percaya begitu saja.
Sliurnah Kecil sendiri setelah memperkenalkan namanya sudah hendak bangkit dan pergi, akan tetapi pada saat itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke depan warung. Seorang pelayan yang tadi berada di luar tergopoh-gopoh memasuki warung dan langsung menemui pemilik warung yang duduk di belakang meja. “Celaka, rombongan pembunuh dari perkampungan nelayan itu datang!”
Pemilik warung menjadi pucat mukanya dan semua pelayan juga lari bersembunyi. Melihat ini, Siluman Kecil tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya, menunduk dan mereguk arak di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu, bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya, juga tiga orang laki-laki muda yang sudah agak mabuk, semua menengok ke arah pintu warung.
Dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap gagah dan kasar, dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya gemerlapan mewah, pakaian seorang hartawan besar. Dengan matanya yang kelihatan makin sipit karena teraling sepasang pipi yang gemuk, kakek ini menyapu ruangan warung dengan pandang matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah kepada tangan kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu berkata kepada pemilik warung yang masih duduk di belakang meja dengan muka pucat dan agaknya dia telah lumpuh saking takutnya sehingga tidak sempat pula menyembunyikan dirinya seperti yang dilakukan oleh para pelayan.
“Haaai! Pemilik warung, sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah menyerahkan hasil tangkapan ikan kepada kami, ya?” kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada suara menggertak.
Pemilik warung itu menelan ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang mencekik lehernya sebelum dapat menjawab, “Saya.... saya adalah pengusaha warung.... harap maafkan.... saya tidak lagi menangkap ikan....“
“Bohong!” Si Muka Hitam menghardik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi makin ketakutan. “Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang pandai? Engkau masih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh orang-orangmu mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kausuruh bawa ke sini, hanya yang kecil-kecil saja kausuruh menjual. kepada kami. Berani kau menyangkal?”
Gemetar seluruh tubuh pemilik Warung itu. Tak disangkanya bahwa Boan-wangwe, “raja” kaum nelayan itu demikian cerdiknya, dapat tahu setiap langkah perbuatannya. “Maaf.... ampunkan saya.... saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya....“
“Ha-ha-ha!” Kini Boan-wangwe, hartawan itu, tertawa. “Sudahlah! Sekarang kaukeluarkan hidangan dari ikan-ikan yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan minuman untuk kami dan kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu. Akan tetapi suruh pergi semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu.”
“Heiii, pelayan! Tambah araknya!” Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah-olah dia sama aekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ.
Tukang warung itu tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, membongkok-bongkok dan berkata gugup, “Harap Cu-wi sudi memaafkan saya.... harap sudi meninggalkan saja warung ini dan.... dan Cu-wi tidak usah membayar harga makanan dan minuman tadi....“
“Hemmm, apa artinya ini?” Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah.
“Maaf, Siauw-ya.... warung ini.... harus melayani Boan-wangwe dan orang-orangnya, saya tidak bisa menerima tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan....“
“Tidak peduli yang memborong itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau setan yang bernama Boan atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan harus dilayani lebih dulu!” Pemuda asing itu membentak marah. “Hayo tambah lagi araknya!”
“Ba.... baik....“ Pemilik warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing dipukul dia mundur dan mengkeret, lalu berdiri di belakang mejanya dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu, Si Muka Hitam pimpinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah maju sambli memberi isyarat kepada orang-orangnya. Meja wanita baju hijau itu dikurung, akan tetapi wanita baju hijau itu bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang.
Boan-wangwe sendiri, kakek berpakaian mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk di atas bangku di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau) dan mengisinya dengan tembakau, lalu menyulutnya dengan api, semua ini dilakukan dengan tenang seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan yang menarik. Siapakah kakek ini? Di bagian depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang bekas bajak laut yang berkepandaian tinggi, dan yang sekarang telah menjadi seorang hartawan, seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua nelayan, melepas uang panas, dan memaksa semua orang nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia mempunyai banyak anak buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di sepanjang Sungai Huangho. Hartawan she Boan ini dikenal sebagai “raja” kaum nelayan, dan dia merupakan seorang tokoh kaum sesat yang tidak saja kaya raya dan berani mengeduk saku untuk membantu segolongannya, akan tetapi juga memiliki iimu kepandaian yang tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, di waktu ketua Huangho Kui-liong-pang mengundang kaum sesat untuk mengadakan pertemuan di lembah, Boan-wangwe juga tidak ketinggalan dan menjadi seorang di antara para tamu kehormatan.
“Orang bule! Agaknya engkau sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan teman-temanmu merangkak keluar kalau tidak ingin kami seret ke luar sebagai mayat!” bentak Si Muka Hitam.
Akan tetapi pemuda asing itu bersama sumoinya masih enak-enak menggunakan sumpit lengan tangan kanan untuk menyumpit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan memakannya dengan tenang. Mendengar bentakan itu, pemuda asing yang dimaki orang bule itu menoleh, lalu berkata acuh tak acuh, “Hendak kulihat siapa yang akan mampu menyeret aku keluar!”
“Keparat!” Si Muka Hitam membentak. Dia merupakan seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan dalam perjalanan ini dia bahkan memimpin rombongan itu, maka tentu saja dia marah bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia menghantam ke depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri menjotos ke arah tengkuk. Serangan maut ini kalau mengenal sasaran, tentu akan membuat yang diserang roboh dan tewas seketika dengan kepala remuk.
“Plak-plakkk.... aughhh....” Si Muka Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata dengan tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda asing itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan lawan dan mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh!
Tentu saja hal ini membuat semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi sungguh hebat sekali pemuda ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani sumoinya yang seolah-olah tidak mempedulikan suhengnya dikeroyok, dan lima orang pengiringnya pun hanya memandang saja dengan sikap siap siaga, akan tetapi sambil melanjutkan makan hidangan, di depannya dengan sumpit, pemuda asing itu menggunakan tangan kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas senjata dan berturut-turut para pengeroyoknya itu ada yang terpelanting, ada yang terjengkang dan jatuh tumpang tindih!
Boan-wangwe yang melihat keadaan anak buahnya ini, mengerutkan alisnya dan dia menggigit ujung huncwenya, matanya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena melihat anak buahnya masih bangun lagi dan masih mengurung, kini semua mencabut senjata mereka.
Lima orang pengiring wanita baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di pinggang, akan tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang penasaran, akan tetapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk kembali sambil memandang pemuda asing yang menghabiskan hidangan di dalam mangkoknya. Setelah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri dengan muka kesal, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya. “Kalian sungguh manusia-manusia yang menjemukan!” katanya perlahan dan pemuda ini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan itu diputar-putar di depan dada.
“Suheng, jangan....!” Wanita baju hijau berseru kaget.
Akan tetapi kedua tangan pemuda itu sudah terlanjur digerakkan, mendorong ke depan dan biarpun dia mendengar seruan mencegah dari sumoinya dan sudah mengurangi tenaganya, tetap saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan dari dua puluh orang lebih itu. Mereka tidak roboh, melainkan menggigil kedinginan, gigi mereka berkeretakan berbunyi saling beradu, mulut mereka mengeluarkan suara “hu-hu-hu-huuu....” dan mereka berusaha mengusir rasa dingin dengan memeluk tubuh sendiri. Keadaan mereka sungguh lucu dan aneh sekali.
Siluman Kecil merasa terkejut bukan main. Dia melihat betapa keringat-keringat yang tadi membasahi tubuh dua puluh orang lebih itu, kini tampak membeku, berubah seperti tepung-tepung salju menempel di tubuh mereka. Bukan main, pikirnya. Seperti Swat-im Sin-ciang dari Pulau Es, akan tetapi bahkan lebih ganas! Juga Boan-wangwe terkejut dan kini dia bangkit berdiri.
“Huh!” Pemuda asing itu mendengus. “Kalau saja Sumoi tidak mengasihani kalian, tentu sekarang kalian telah menjadi patung-patung beku tak bernyawa lagi.
Boan-wangwe kini mengeluarkan semua abu dan tembakau dari huncwenya dan dengan perlahan dia mencabut ujung huncwe yang ternyata bersusun dan kini huncwe itu memanjang sampai selengan panjangnya. Kiranya huncwe itu selain dapat dipakai sebagai penghisap tembakau, juga merupakan senjata yapg aneh dan ampuh! Tangan kirinya merogoh saku dan keluar lagi menggenggam peluru-peluru kecil yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya! Kemudian, dengan mengeluarkan suara menggeram, Boan-wangwe menggerakkan kakinya dan tubuhnya yang agak gendut itu ternyata memiliki gerakan ringan dan cepat sekali, melayang melalui atas kepala orang-orangnya yang masih kedinginan, langsung menyerang pemuda asing itu dengan huncwgnya yang panjang!
“Wuuuttttt.... singgggg....!” Sambaran huncwe itu mengejutkan si pemuda asing yang dari suaranya saja maklum bahwa dia menghadapi senjata ampuh yang digerakkan oleh tenaga sakti yang kuat. Maka dia cepat melompat ke samping sambil mengelak, sambil mencabut pedangnya, kemudian balas menusuk yang dapat ditangkis oleh Boan-wangwe.
“Tranggggg!.... Cringgggg....!” Dua kali pedang bertemu huncwe dan nampak api berhamburan, keduanya menarik senjata masing-masing untuk memeriksa. Lega hati mereka melihat betapa senjata mereka tidak rusak biarpun tadi mereka merasakan getaran hebat mengiris telapak tangan mereka.
Para anak buah Boan-wangwe kini mundur dan anehnya, mereka semua kini duduk di atas lantai di sudut ruangan itu, tidak ada seorang pun yang berdiri dan mereka menonton pertandingan hebat antara majikan mereka dan pemuda asing itu penuh perhatian.
Siluman Kecil juga menonton dengan hati tertarik. Kembali dia merasa kagum karena ternyata bahwa pemuda yang berkulit putih dan berambut coklat itu selain memiliki pukulan yang mirip Swat-im Sin-ciang, juga memiliki ilmu pedang yang amat lihai sehingga biarpun Boan-wangwe juga memiliki gerakan lihai sekali, cepat kuat dan aneh, namun kakek ini kelihatan terdesak oleh ilmu pedang si pemuda asing.
“Hyaaaaattttt....!” Tiba-tiba pedang itu meluncur dengan gerakan memutar seperti seekor naga bermain di angkasa, bergulung-gulung dengan cepat sekali. Boan-wangwe menggerakkan huncwenya menangkis dan memutar huncwe untuk mengimbangi kecepatan pedang, namun tetap saja dia masih kalah cepat.
“Brettttt....!” Untung dia masih sempat menarik lengannya sehingga yang terbabat putus hanya ujung lengan bajunya saja. Akan tetapi hal ini cukup membuat dia terkejut sampai mukanya berubah dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan menempelkan ujung huncwe ke mulutnya.
“Awas, Suheng....!” Wanita baju hijau itu berseru dan pemuda asing itu sudah waspada. Dari ujung huncwe itu menyambar sinar-sinar kehitaman yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Melihat benda-benda kecil menyambar ke arahnya, pemuda itu mengelak dan dengan pedangnya dia menangkis.
“Tringgg.... tarrrrr-tarrrrr!” Dua buah peluru kecil yang kena disampok pedang itu meledak dan pemuda asing itu berteriak kaget lalu roboh. Ternyata peluru itu mengandung jarum-jarum lembut sekali yang agaknya beracun, yang berhamburan keluar ketika peluru itu meledak dan ada yang mengenai pemuda bule itu.
“Suheng....!” Wanita baju hijau itu berteriak dan dengan marah dia meloncat ke arah Boan-wangwe, gerakannya ketika meloncat membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang amat hebat. Seperti seekor burung walet menyambar saja ketika dia meloncat.
Akan tetapi Boan-wangwe sudah cepat menggerakkan huncwenya menangkis ketika melihat sinar pedang meluncur cepat.
“Tranggggg....!” Kembali nampak bunga api berhamburan dan Boan-wangwe harus cepat memutar huncwenya karena wanita baju hijau itu ternyata memiliki ilmu pedang yang bahkan lebih hebat daripada suhengnya! Dan selain itu, lima orang pengiringnya kini sudah mencabut pedang semua dan mengeroyoknya!
Boan-wangwe maklum bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran dengan senjata, jangankan dikeroyok enam, melawan wanita baju hijau itu saja sudah kewalahan, maka dia kembali melompat ke belakang dan menggunakan huncwe dan peluru-peluru kecil untuk menyerang lawan. Huncwe yang sudah berubah menjadi senjata sumpitan itu menyemburkan banyak sekali peluru-peluru kecil. Wanita baju hijau terpaksa menangkis, demikian pula lima orang pengiringnya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil. Wanita itu menjerit dan bersama lima orang pengiringnya, juga tiga orang muda yang sudah mabuk dan yang tadi menonton sambil duduk di atas kursi mereka, roboh semua tak sadarkan diri. Mereka semua, sejumlah sembilan orang itu, roboh pingsan terkena serangan jarum-jarum halus yang tak tampak oleh mata, yang berhamburan keluar dari dalam peluru-peluru kecil yang pecah dan meledak.
“Ha-ha-ha, baru kalian tahu rasa!” Boan-wangwe tertawa bergelak. “Berani kalian menentang Huncwe Maut Boan Kwi, ha-ha!” Sekarang pergilah kalian ke neraka!” Dengan iringan suara ketawa anak buahnya yang baru sekarang berani berdirl dengan tubuh masih ada yang menggigil kedinginan, Boan-wangwe melangkah lebar sambil membawa huncwenya, hendak membunuh tujuh orang bekas lawannya itu. Kini baru Siluman Kecil mengerti mengapa anak buah Boan-wangwe tadi semua duduk di atas lantai. Kiranya mereka itu tahu bahwa majikan mereka akan menggunakan huncwe mautnya dan mereka sudah lebih dulu bersembunyi dari sambaran-sambaran peluru yang berisi jarum-jarum halus itu!
Ketika Boan-wangwe sudah mengangkat huncwe untuk memukul kepala si pemuda bule yang masih pingsan, tibatiba ada angin menyambar dari kanan. Dia terkejut sekali, akan tetapi ketika dia menggerakkan huncwe ke kanan, pukulan itu lenyap dan kini hawa pukulan menyambar dari kiri! Boan-wangwe terkejut dan bingung, mengangkat tangan kirinya menangkis.
“Plakkk....! Nyesssss....!” Boan-wangwe tertegun dan matanya berkejap-kejap heran, menikmati rasa yang amat nyaman dan enak yang dirasainya ketika tangannya bertemu dengan tangan orang yang menghantamnya itu. Tadi dia masih tergetar oleh benturan-benturan tenaga dari si pemuda bule yang mendatangkan rasa dingin sekali, dan sekarang, benturan tenaga ini mendatangkan rasa hangat dan nyaman, nikmat, seolah-olah dia baru saja diserang hawa dingin lalu mendapatkan kehangatan dari perapian atau selimut hangat yang halus. Sukar dilukiskan rasanya, amat enak dan menyenangkan. Akan tetapi ketika dia memandang ke arah lengan kirinya yang tadi terbentur dengan lengan lawan dan yang mendatangkan rasa nyaman itu, dia terbelalak dan hampir saja menjerit. Ternyata lengan bajunya hancur lebur dan kulit tangannya rusak seperti habis disiram minyak mendidih.
“Celaka....!” serunya dan dia cepat menoleh ke kiri. Di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih dan berambut putih pula. Pemuda berambut putih! Muka Boan-wangwe berubah pucat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Apakah ini orangnya yang disebut-sebut di dalam pertemuan di lembah itu? Inikah dia si Siluman Kecil? Bulu tengkuknya meremang. Tak mungkin tokoh yang menggegerkan dunia kang-ouw itu masih begini muda!
Siapapun adanya orang ini, jelas orang ini memiliki ilmu pukulan yang seperti ilmu iblis! Mengerikan sekali! Maka Boan-wangwe tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Cepat dia meloncat ke belakang dan menggunakan huncwenya sebagai sumpitan. Siluman Kecil sudah siap waspada karena dia tadi telah menyaksikan sendiri betapa lihai dan berbahayanya senjata sumpitan itu. Dia harus mengelak kalau dia ingin selamat, sama sakali tidak boleh menangkis, karena justeru di situlah letak bahayanya peluru-peluru kecil itu. Sekali ditangkis, peluru akan meledak dan jarum-jarum halus yang agaknya beracun akan menyerangnya tanpa dapat dielakkannya lagi karena selain terlalu dekat juga terlalu halus tidak dapat dilihat nyata.
Maka begitu ada suara bersuitan dan ada sinar-sinar hitam menyambar, Siluman Kecil lalu menggerakkan tubuhnya dan dia pun sudah berloncatan ke sana-sini dengan kecepatan yang amat luar biasa. Seperti kilat menyambar-nyambar saja layaknya. Setiap kali berloncatan, dia hanya menggunakan satu kaki saja untuk mengenjot tubuhnya, seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki. Kaki yang sebuah lagi ditekuk ke belakang. Akan tetapi, loncatannya itu demikian tiba-tiba dan tubuhnya dapat melejit ke sana-sini, mencelat ke kanan kiri, depan belakang, atas bawah seperti sebuah bola saja melambung ke sana-sini. Cepatnya bukan main karena tubuhnya seolah-olah tidak lagi berloncatan, melainkan melenting ke sana-sini karena memantul kembali.
Pertunjukkan ginkang yang diperlihatkan oleh Siluman Kecil ini benar-benar amat luar biasa sekali. Tubuhnya seperti telah menjadi banyak loncat ke sanasini, jungkir balik, melayang ke atas, menyentuh atap dan menukik turun seolah-olah kepalanya akan menyentuh lantai, lalu membuat salto sampai lima enam kali berturut-turut, berbalik kembali ke atas, selalu meluncur diantara hujan peluru kecil itu. Kakinya menotol ke sana-sini, menjejak dinding tembok, hinggap di atas meja, di atas bangku, melayang lagi ke atas kepala Boan-wangwe, bahkan pernah kaki itu menyentuh pundaknya dan menggunakan pundak lawan untuk mencelat ke lain bagian, terus mengelak.
Warung itu menjadi sasaran ledakan-ledakan peluru yang mengenai tembok, meja dan bangku sehingga kini semua pelayan termasuk pemilik warung yang bersembunyi, tidak urung terkena jarum halus dan semua roboh pingsan di atas lantai di mana mereka bersembunyi!
Pada saat itu muncul seorang laki-laki yang masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Dia tiba di ambang pintu dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak. “Hebat!” serunya ketika dia melihat tubuh Siluman Kecil yang melayang-layang. “Ah....!” Dia berteriak kaget ketika melihat peluru-peluru kecil yang meledak itu pecah dan menyebar jarum-jarum lembut yang beracun. Dia melihat banyak orang rebah di lantai akibat serangan jarum-jarum halus itu.
“Tahan....!” Laki-laki ini berseru, suara melengking nyaring dan tubuhnya mendoyong ke depan, hampir menelungkup, dan tiba-tiba badannya meluncur ke depan, cepat sekali, lengan bajunya yang kiri berkibar-kibar dan bergerak-gerak ke kanan kiri seperti seekor ular yang hidup. Dan semua peluru yang kesasar dan menyambar ke arahnya, semua lenyap seperti tertelan atau tergulung oleh lengan baju itu, kemudian dengan gerakan yang bukan main gesitnya, dia mendekati Boan-wangwe dan ujung lengan baju yang seperti ekor naga itu bergerak-gerak di depan sumpit dan menggulung semua peluru yang disemburkan keluar, sampai akhirnya habislah peluru yang berada di mulut Boan-wangwe.
Boan-wangwe terkejut bukan main. Pelurunya habis. Tidak ada lagi yang boleh diandalkannya untuk menghadapi lawan-lawan yang amat sakti ini. Baru menghadapi pemuda rambut putih yang disangkanya tentu Siluman Kecil itu saja, dia sudah kewalahan dan tak mungkin bisa menang, sekarang muncul lagi orang aneh ini yang dengan lengan baju yang kosong dapat membikin peluru-pelurunya yang ampuh dan berbahaya itu mati kutu sama sekali!
Laki-laki tampan dan gagah perkasa itu ternyata memang hanya berlengan satu. Lengan kirinya buntung, maka lengan baju kirinya itu kosong. Akan tetapi hebatnya, justeru lengan baju yang kosong inilah yang amat lihai, yang seolah-olah merupakan ekor naga yang hidup dan mampu menangkap peluru-peluru berbahaya itu. Dengan sikap tenang, orang itu menggunakan tangan kanannya mengambil peluru-peluru kecil yang tergantung oleh lengan baju kirinya, memberikannya kepada Boan-wangwe. sambil berkata dengan suara penuh teguran, “Terimalah kembali peluru-pelurumu! Akan tetapi jangan begltu kejam lagi untuk menghamburkan barang-barang beracun yang keji ini di tempat umum. Lihatlah orang-orang itu yang menjadi korban. Engkau harus mengobati mereka.”
Boan-wangwe menerima peluru-pelurunya tanpa berkata-kata, masih terkejut sekali menyaksikan orang-orang yang begini sakti. Si lengan buntung itu melirik ke arah Siluman Kecil yang sedang berjongkok memeriksa wanita baju hijau dan suhengnya yang masih pingsan. Dia sudah memeriksa dan maklum bahwa mereka itu benar saja menjadi korban racun jarum-jarum halus, akan tetapi racunnya amat aneh dan dia tidak mampu mengobati mereka.
Melihat kekejaman orang yang menyebar jarum halus beracun yang amat keji itu, marahlah Siluman Kecil dan dia menoleh untuk memandang kepada Boan-wangwe dengan geram. Akan tetapi pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong seperti mata naga, yaitu mata laki-laki yang buntung lengan kirinya itu. Keduanya kelihatan terkejut sekali, karena si lengan satu itu pun melihat sinar mata yang amat tajam berkilat dari mata pemuda berambut putih itu. Dari pandang mata ini saja keduanya maklum bahwa masing-masing memiliki kesaktian yang hebat, karena hanya mata orang-orang yang telah memiliki tenaga sakti amat kuat sajalah yang mengeluarkan sinar seperti itu.
Laki-laki berlengan buntung itu bukan hanya terkejut melihat sinar mata berkilat dari Siluman Kecil, juga dia terkejut dan kagum sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa orang berambut putih yang memiliki kepandaian demikian dahsyatnya, yang memiliki gerakan yang demikian cepat dan mujijatnya, ternyata masih amat muda. Hal ini dapat dia lihat dari sebagian muka yang tidak tertutup oleh rambut putih riap-riapan itu. Tadinya melihat kelihaian orang itu dan melihat rambutnya yang putih, dia mengira bahwa tentu orang itu sudah tua dan merupakan seorang locianpwe yang sakti. Siapa mengira bahwa orang itu ternyata masih amat muda, hanya rambutnya yang sudah putih semua. Siluman Kecil sebaliknya terkejut dan kagum karena orang yang lengannya buntung sebelah itu memiliki sinar mata yang mencorong seperti mata harimau atau naga. Sejenak mereka beradu pandang, akhirnya keduanya mengangguk, terdorong oleh rasa kagum dan hormat.
“Sungguh hebat sekali ilmu kepandaian saudara, terutama ilmu ginkang tadi. Saya amat kagum melihatnya,” kata laki-laki berlengan sebelah itu.
“Hemmm.... tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian saudara!” jawab Siluman Kecil sambil menggerakkan kepala sehingga makin banyak rambutnya yang menutupi muka, dan dia bangkit berdiri.
“Ah, saudara terlalu merendahkan diri,” kata Si lengan satu.
“Tidak, saya berkata sungguh-sungguh. Caraku menghadapi peluru-peluru tadi hanya dengan mengelak terus sambil mencari kesempatan untuk membekuknya. Akan tetapi saudara telah langsung menghadapi peluru-peluru tadi dan merampas semua peluru sebelum meledak. Cara saya tadi menimbulkan korban kepada orang-orang lain ketika peluru meledak, tentu saja cara saudara lebih tepat dan lebih baik. Ilmu saudara tadi sungguh mengagumkan!” Kembali Siluman Kecil menjura dengan setulus hatinya karena harus dia akui bahwa selain Sin-siauw Seng-jin kakek yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, belum pernah dia bertemu orang yang kepandaiannya sehebat si lengan satu ini.
“Ah, saudara terlalu memuji dan terlalu merendahkan diri, sungguh makin mengagumkan hati saya!” kata Si lengan satu sambil memandang penuh selidik dan benar-benar merasa kagum sekali.
Siluman Kecil tidak mengacuhkannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri Boan-wangwe, berkata dengan nada mengancam, “Manusia kejam! Kalau engkau tidak lekas mengeluarkan obat penawar racunmu yang jahat, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan melumatkan kepalamu!”
“Dan aku pun tidak akan tinggal diam sebelum kau mengobati mereka sampai sembuh!” kata pula Si lengan satu sambil menghampir Boan-wangwe. Bekas bajak sungai yang lihai ini bukan orang bodoh untuk melawan dua orang sakti ini.
“Baiklah,” katanya dengan suara berat. “Aku pun tidak bermaksud membunuh orang karena pertempuran ini hanya disebabkan oleh urusan kecil saja!” Dia lalu mengeluarkan sebuah guci arak dan setelah dia menggunakan saputangan yang dibasahi dengan obat dari dalam guci itu untuk menggosok-gosok bagian yang terkena jarum halus dan meneteskan sedikit obat di lubang hidung mereka yong menjadi korban, orang-orang yang tadinya pingsan itu berbangkis beberapa kali dan sadar kembali.
Melihat ini, Siluman Kecil yang tidak ingin dirinya menjadi pusat perhatian, menyelinap pergi dengan cepat. Pula, dia ingin cepat-cepat memenuhi tantangan Ang-siocia dan mencari pencuri pusaka yang agaknya ditinggal oleh Sin-siauw Seng-jin itu di pantai Po-hai. Dia mendengar suara orang berlengan sebelah memanggilnya, akan tetapi dia malah mempercepat larinya karena justeru dia tidak ingin dikenal oleh orang gagah itu.
Setelah semua korban disembuhkan, baru laki-laki berlengan buntung itu membiarkan Boan-wangwe bersama para anak buahnya pergi meninggalkan warung. Derap kaki kuda mereka terdengar berisik ketika mereka rneninggalkan warung Diam-diam Boan-wangwe menyadari betapa pentingnya golongan mereka untuk bersatu, mengingat demikian banyaknya orang-orang sakti yang menentang mereka.
Sementara itu, suheng dan sumoi bersama lima orang pengiringnya itu segera menghaturkan terima kasih kepada si lengan satu, kemudian juga bergegas pergi meninggalkan warung setelah dengan royal mengganti semua harga makanan dan mengganti semua harga barang-barang yang rusak akibat pertempuran itu kepada si pemilik warung. Tentu saja pemilik warung menjadi girang sekali dan dalam kesempatan itu dia dapat menarik keuntungan yang tidak sedikit, karena tentu saja dia naikkan semua harga barang yang diganti oleh wanita baju hijau itu.
Kini warung itu menjadi sunyi kembali. Yang tinggal hanyalah laki-laki tampan berlengan sebelah tadi. Bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi hal-hal hebat di warung itu, laki-laki ini lalu memilih tempat duduk di sudut, di mana meja dan bangkunya masih utuh dan dia memanggil si pemilik warung. Orang ini bergegas menghampiri karena maklum bahwa pendekar berlengan satu ini merupakan seorang di antara golongannya, di samping Siluman Kecil yang telah pergi lebih dulu.
“Taihiap hendak memerintah apakah?” tanya si pemilik warung dengan sikap merendah.
“Lopek, harap buatkan masakan untukku. Masakan apa sajakah yang dapat kausediakan?”
“Wah, untuk Taihiap saya sanggup masak apa saja. Akan tetapi, warung kami ini teristimewa menyediakan hidangan-hidangan dari ikan sungai.”
“Nah, kalau begitu buatkan goreng udang bumbu tomat lima porsi, ikan lele ditim lima porsi, panggang telur ikan dua porsi, masak kuah daging kepiting lima porsi, ang-sio-hi dua porsi besar, bakso daging ikan satu panci, masak sirip ikan campur sarang burung dan telur dua porsi. Jangan lupa bumbu dan acarnya! Dan bakmi telur lima porsi!”
“Baik.... baik....!” Pemilik warung mengangguk-angguk, sungguhpun di dalam hatinya merasa heran sekali mengapa ada satu orang memesan masakan demikian banyaknya! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. Bukankah pendekar ini telah mendatangkan keuntungan besar sekali baginya, di samping menyelamatkannya? Andaikata tidak dibayar semua masakan yang dipesan itu sekalipun, dia rela memberikanya sebagai tanda terima kasih! Bergegas dia lari ke dapur untuk memimpin sendiri masakan besar itu.
Karena di situ tidak ada tamu lain sedangkan semua tenaga dikerahkan untuk melayani laki-laki berlengan buntung itu, maka terdengarlah kesibukan di dalam dapur, suara golok mencacah daging beradu dengan kayu landasan, suara api bergemuruh, suara minyak mendidih dan alat masak beradu dengan wajan berkerontangan.
Sementara itu, laki-laki berlengan buntung itu duduk termenung. Siapakah laki-laki ini? Para pembacacerita Kisah Sepasang Rajawali tentu sudah dapat menduganya dengan tepat siapa adanya laki-iaki tampan yang berlengan buntung sebelah ini. Dia adalah Kao Kok Cu, putera sulung Jenderal Kao Liang, murid Go-bi Bu Beng Lojin yang terkenal dengan sebutan Si Dewa Bongkok. Seperti telah diceritakan dalamcerita Kisah Sepasang Rajawali , Kao Kok Cu berjodoh dengan Ceng Ceng atau nama lengkapnya Wan Ceng atau Lu Ceng, puteri dari mendiang Wan Keng In dan Lu Kim Bwee, adik angkat dari Puteri Syanti Dewi. Setelah bertemu dengan Ceng Ceng, mereka menikah dan Kao Kok Cu mengajak isterinya kembali ke Istana Gurun Pasir, istana tempat tinggal gurunya di gurun pasir Go-bi di mana mereka hidup rukun dan damai, penuh kasih sayang dan sudah menjauhkan diri dari urusan dunia ramai.
Di dalamcerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Kao Kok Cu ini sejak kecil hilang karena tersesat di gurun pasir dan ditolong kemudian dipelihara dan dididik oleh gurunya. Setelah dewasa, barulah dia kembali ke selatan mencari orang tuanya dan dalam perjalanan ini dia berjumpa dengan Ceng Ceng, jatuh cinta dan setelah mengalami banyak lika-liku dalam pengalaman hidup yang amat hebat, sehingga dia terpaksa menyembunyikan mukanya di balik topeng yang membuat dia dikenal sebagai Topeng Setan, dan dia kehilangan lengan kirinya ketika membantu Ceng Ceng mencari obat, yaitu anak ular naga, akhirnya dapat juga dia dan Ceng Ceng bersatu sebagai suami isteri yang saling mencinta.
Akan tetapi, memang segala sesuatu tidak ada yang kekal di dunia ini. Keadaan kehidupan setiap orang manusia selalu berubah. Yang berada di atas setiap waktu bisa saja tergelincir ke bawah, sebaliknya yang berada di bawah juga bisa saja sewaktu-waktu naik ke atas. Oleh karena itu, tentu saja keliru kalau orang menjadi besar kepala dan sombong selagi dia berada di atas, sama kelirunya dengan orang yang menjadi putus asa selagi dia berada di bawah. Hanya orang yang wajar dan tidak mengharapkan apa-apa saja yang akan selalu merasa gembira dan bahagia, kalau dia berada di atas, dia tidak khawatir akan tergelincir ke bawah dan kalau dia berada di bawah, dia pun tidak membabi buta mengejar-ngejar tempat yang lebih tinggi. Kalau dia berada di atas, dia tidak menginjak yang berada di bawah, dan kalau dia berada di bawah, dia tidak pula menjilat yang berada di atas!
Keadaan suami isteri Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, yang menjadi majikan dan keluarga Istana Gurun Pasir, yang hidup selama beberapa tahun dalam keadaan tenteram dan rukun, kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil, menjadi berubah sama sekali ketika putera mereka itu pada suatu hari lenyap tanpa meninggalkan jejak! Peristiwa ini seketika menghancurkan semua ketenangan hidup suami isteri itu, dan mau tidak mau terpaksa mereka harus meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi merantau dan mencari putera mereka dan lenyap! Itulah sebabnya mengapa pada hari itu majikan Istana Gurun Pasir, Kao Kok Cu yang dikenal sebagai Si Naga Sakti itu berada di kota An-yang, dan kebetulan sekali dia melihat pertempuran di dalam warung dan membantu Siluman Kecil menundukkan Boan-wangwe.
Untuk lebih teliti dan mencari jejak putera mereka yang hilang, kemarin dia berpisah dari isterinya, masing-masing mengambil jalan sendiri dan mereka berjanji akan bertemu hari ini di An-yang. Dia sendiri sejak kemarin telah menyelidik tanpa hasil dan kini semua peristiwa tadi telah dilupakannya karena pikirannya sudah penuh lagi dengan urusan lenyapnya puteranya yang membuat pendekar ini duduk termenung. Bahkan ketika semua hidangan yang dipesannya telah diatur di atas meja di depannya, pendekar ini masih saja duduk termenung, tidak mempedulikan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dengan baunya yang sedap menyergap hidung dan melayang-layang tercium oleh mereka yang berada di luar warung.
Melihat betapa pendekar itu mendiamkan saja masakan yang sudah dipersiapkan dengan susah payah itu, si pemilik warung yang seperti juga pemilik warung mana saja di dunia ini ingin sekali melihat tamunya menikmati hidangannya dan sejak tadi menanti dengan pandang mata berseri-seri penuh kebanggaan, menjadi tidak sabar dan dia menghampiri pendekar itu. “Taihiap, masakan sudah siap semua. Silakan Taihiap makan dan menikmatinya selagi masih panas, karena kalau keburu dingin tentu kurang sedap.”
Akan tetapi, dengan sikap tak acuh dan kurang semangat, Kao Kok Cu menjawab, “Biarlah, aku memang sedang menanti isteriku. Sebentar lagi dia tentu akan datang. Tidak mengapalah kalau masakan-masakan itu menjadi sedikit dingin.”
Dengan mengangkat pundak penuh rasa kecewa si pemilik warung terpaksa mundur dan duduk di belakang menjaga mejanya, akan tetapi kini berkurang keheranannya mengapa pendekar itu memesan masakan begitu banyak. Ternyata pendekar itu menanti kedatangan isterinya dan tentu juga keluarga lainnya.
Seorang pengemis kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun memasuki warung itu. Para pelayan dan pemilik warung itu sudah hampir mengusirnya ketika pendekar itu dengan ramah berkata, “Anak, kau mau apakah?”
Pengemis itu cengar-cengir, hidungnya kembang kempis karena bau masakan yang sedap itu sungguh seperti tangan-tangan jahil yang meremas-remas isi perutnya yang kosong. “Saya.... saya mohon dikasihani, minta sedikit uang pembeli nasi.... katanya.
Si Naga Sakti memandang bengong sejenak, kemudian dia menggeleng kepala. “Aku tidak pernah membawa uang, dan isteriku yang membawa uang belum datang. Apakah kau lapar?”
Jembel kecil itu mengangguk dan matanya memandang ke arah piring-piring berisi masakan yang masih mengepulkan uap dan yang berjajar menantang di atas meja itu. Kao Kok Cu lalu berkata sambil melihat kaleng yang dibawa oleh anak pengemis itu. “Kesinikan kalengmu itu.”
Si pengemis dengan girang menyerahkan kalengnya dan Kao Kok Cu lalu mengisi kaleng itu penuh dengan beberapa macam masakan dan bakmi, lalu menyerahkannya kembali kepada anak itu.
“Terima kasih.... terima kasih....“ Anak itu menyambut kaleng yang telah penuh makanan dan separuh berlari dia ke luar dari warung itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Akan tetapi, tak Lama kemudian masuklah seorang anak pengemis lainnya sambil menodongkan kaleng kosongnya. Kao Kok Cu menerima kaleng kosong itu, meletakkannya di atas meja dan kembali mengisinya dengan masakan. Anak itu menghaturkan terma kasih, dan datang pula seorang anak lain. Kiranya peristiwa itu telah memancing datangnya hampir semua jembel kecil di kota An-yang itu yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang anak! Tentu saja, setelah semua orang pengemis kecil itu menerima bagiannya, semua masakan di atas m ja telah habis sama sekali! Para pelayan memandang dengan mata terbelalak dan si pemilik warung membanting-benting kakinya, akan tetapi sama sekali dia tidak berani melarang atau mencegah karena melihat pendekar itu membagi-bagi makanan dengan wajah terharu, kemudian tersenyum ketika dia melihat anak-anak itu makan sambil tertawa-tawa di emper warung, dan kadang-kadang mereka menoleh ke dalam, memandangnya seperti mata anjing-anjing yang baru saja diberi makan dan dibelai oleh majikannya. Pandang mata yang jelas membayangkan rasa gembira dan terima kasih yang mendalam.
“Terima kasih, Siauw-ya! Terima kasih, Siauw-yang! Terima kasih, Siauwya!” Anak-anak itu bersorak-sorak dan berteriak-teriak dari luar warung, ada yang bertepuk tangan dan ucapan terima kasih itu mereka nyanyikan dalam paduan suara penuh kegembiraan. Akan tetapi, Kao Kok Cu hanya tersenyum dan memandang keluar karena dia melihat dua orang wanita berjalan menuju ke warung itu. Seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa, dan yang paling cantik di antara seluruh wanita di dunia ini bagi Kao Kok Cu yang mencintanya karena wanita itu adalah Wan Ceng atau Lu Ceng, atau lebih terkenal dengan sebutan Ceng Ceng, isterinya! Dan wanita ke dua adalah seorang dara remaja yang cantik jelita pula, berpakaian serba hitam sehingga menonjolkan kulitnya yang putih halus itu. Dara jelita itu adalah Kim Hwee Li, murid dari isterlinya, atau puteri dari Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau Neraka!
Ketika Ceng Ceng yang wajahnya agak pucat dan muram karena selalu memikirkan nasib puteranya dengan hati gelisah itu melihat suaminya menjamu para jembel kecil demikian banyaknya sehingga semua masakan di atas meja telah ludes, dia menegur, “Hemmm, apa pula yang kaulakukan ini?”
“Wah, kedatanganmu terlambat, isteriku. Makanan yang kupesan telah dihabiskan oleh tamu-tamu kita itu. Engkau terlambat sekali sih!” Dia membalas teguran isterinya.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan gemas. Kelakuan suaminya memang aneh, akan tetapi kadang-kadang juga membikin hatinya mengkal, seperti sekarang ini. Dia berjanji akan bertemu dengan suaminya di kota An-yang ini, dan setelah bertemu dan perutnya lapar sekali, suaminya menyambutnya dengan piring-piring kosong karena semua masakan telah diberikan habis kepada pengemis-pengemis kecil itu! Hati siapa tidak akan mendongkol? Melihat gurunya yang cantik itu cemberut dan marah, Hwee Li tertawa dan menutupi mulutnya dengan tangan seperti menyaksikan hal yang lucu sekali.
“Wah, Suhu telah membikin pusing lagi kepada Subo! Hi-hik, Suhu harus didenda dengan minuman tiga cawan arak sebagai tambahan minta ampun kepada Subo! Kalau tidak, Subo akan marah terus!”
“Hwee Li, jangan main-main kau!” Ceng Ceng membentak muridnya yang menahan ketawa dan duduk di dekat meja.
Akan tetapi, Kao Kok Cu memandang ke luar, kepada seorang pengemis muda yang duduk di emper rumah di seberang jalan. Dia ingat bahwa pengemis yang satu itu belum memperoleh bagian tadi, maka dia lalu menegur kepada pengemis-pengemis cilik yang berada di dekat pintu warung, “Heiii, kenapa temanmu yang di seberang jalan itu tidak kalian beri bagian makanan?”
“Ah, Siauw-ya, apakah Siauw-ya maksudkan dia yang duduk di sana itu? Dia adalah Siauw-ong-ya, mana dia mau? Dia tidak pernah minta-minta, kalau kami beri tentu kami semua akan dihajar. Kami tidak berani!”
Tentu jawaban ini membuat Kao Kok Cu, Ceng Ceng dan Hwee Li merasa heran sekali dan mereka bertiga lalu memandang ke arah pengemis muda yang disebut Siauw-ong-ya oleh para pengemis kecil itu. Dan seolah-olah tahu bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, pengemis muda itu bangkit berdiri, menghadap ke arah warung dan mulutnya berkemak-kemik. Tiga orang keluarga sakti itu mendengar dengan jelas suaranya yang bergema, “Terima kasih atas perhatian Siauw-ya kepada saya. Akan tetapi tidak perlu Siauw-ya mempedulikan saya. Saya sudah merasa bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Siauw-ya mau mengasihani kawan-kawan saya.” Lalu dia berteriak kepada para pengemis kecil itu, “Hei, anak-anak, hayo haturkan terima kasih sekali lagi dan cepat pergi, jangan mengganggu terus.”
Anak pengemis itu ternyata amat mentaati seruan pengemis muda itu. Mereka beramai-ramai menyatakan terima kasih mereka kepada Kao Kok Cu, lalu menjura dan berlari-larian pergi dari tempat itu seperti sekawanan burung yang beterbangan bebas dan gembira. Pengemis muda itu sendiri pun melenggang seenaknya meninggalkan emper rumah di seberang jalan itu.
“Hemmm, lagaknya! Kaum jembel pun mempunyai raja segala! Dan bocah itu raja mudanya! Hi-hik, kalau tidak melihat sendiri siapa percaya?” Hwee Li berkata sambil tertawa geli.
“Husss!” Ceng Ceng menegur muridnya. Jangan kau bicara sembarangan, Hwee Li. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa pengemis muda itu bukan orang sembarangan? Semuda itu dia sudah pandai mengirim suara dari jauh dan khikangnya cukup kuat.”
Dengan cepat Ceng Ceng lalu memesan makanan kepada pemilik warung yang melayaninya dengan penuh perhatian.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu? Sudah mencium jejak?” tanya Ceng Ceng kemudian kepada suaminya.
Kok Cu menggeleng kepala. “Belum....“ jawabnya dengan wajah muram dan sepasang matanya kini melayang jauh, mengikuti anak-anak pengemis yang pergi dari situ. Isterinya juga memandang kepada anak-anak itu, maklum akan isi hati suaminya, dan kini dia mengerti mengapa suaminya tadi menjamu anak-anak pengemis itu. Tentu suaminya teringat akan anak mereka yang hilang dan sampai sekarang belum dapat mereka temukan jejaknya, membayangkan betapa anak mereka itu mungkin juga terlantar dan kelaparan seperti anak-anak pengemis itu! Ceng Ceng merasa lehernya seperti dicekik dan hanya kekerasan hatinya yang luar biasa sajalah yang mampu membuat dia menahan jatuhnya air matanya.
Mereka berdua telah bersusah payah mencari-cari di seluruh padang pasir. Dalam penyelidikan mereka, anak mereka itu bukan hilang diculik orang karena yang nampak dari dalam istana mereka sampai di luar, hanya tapak kaki anak mereka, tidak nampak tapak kaki orang lain. Tapak kaki anak mereka itu menuju ke luar dan tentu saja tak lama kemudian tapak kaki itu lenyap diratakan lagi oleh angin sehingga mereka tidak mampu menemukan jejak anak mereka. Agaknya anak itu bermain-main di luar, lalu bermain-main terlalu jauh dan tersesat, tidak mampu pulang kembali.
“Hemmm, sungguh mengherankan sekali. Kenapa anak kita mengalami peristiwa yang sama dengan pengalamanku ketika masih kecil? Aku dulu juga hilang di gurun pasir ketika masih kecil dan ayahku tidak berhasil menemukan. Baru setelah aku berusia dua puluh lima tahun aku dapat bertemu lagi dengan ayah dan keluargaku. Jangan-jangan Liong-ji (Anak Liong) juga....“
“Jangan kau bicara demikian, suamiku!” Ceng Ceng cepat memotong kata-kata suaminya yang menusuk perasaannya dan menimbulkan kekhawatiran besar didalam hatinya. “Kita harus mencari sampai dapat dan aku yakin kita akan dapat menemukan kembali Cin Liong!”
“Ucapan Subo benar sekali!” Hwee Li berkata dengan wajahnya yang tetap berseri cerah dan gembira. “Tidak mungkin ada orang lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Kita pasti akan dapat menemukan kembali Adik Cin Liong, dan teecu (murid) akan menjelajahi seluruh dunia golongan hitam untuk menyelidiki kalau-kalau di antara mereka ada yang melihat putera Subo.”
Ucapan dan sikap Hwee Li amat menghibur suami isteri yang sedang kebingungan dan dilanda kegelisahan itu namun tetap saja hidangan masakan di depan mereka itu hampir tidak dapat tertelan kalau mereka mengingat betapa anak mereka yang hilang itu usianya baru empat lima tahun dan betapa akan sengsaranya bagi anak sekecil itu untuk merana seorang diri, apalagi perginya dari Istana Gurun Pasir itu melalui padang pasir yang luas, panas dan amat berbahaya!
***
Pagi yang cerah. Sinar matahari yang masih menciptakan bayangan-bayangan panjang memuntahkan cahayanya dengan langsung ke bumi, tanpa halangan awan karena langit nampak biru muda dan bersih sekali, bersih dan amat tinggi. Sinar matahari di saat itu mengandung daya hidup yang mukjijzat di dalam kehangatan yang tidak terlalu panas, namun kehangatan yang dapat menembus apa saja dan memberi daya hidup kepada bumi dan apa saja yang berada di permukaannya.
Awan-awan putih yang agaknya menjauh, tidak berani menghalangi berkah yang berlimpahan itu berarak di angkasa, bergerak perlahan-lahan seperti bermalasmalasan, namun semua gerakan itu teratur rapi dan selalu berubah bentuknya, seolah-olah ada tangan gaib yang mengatur awan-awan itu, memilih dan memisah-misahkannya, mengumpul-ngumpulkannya, untuk digiring ke tempat yang membutuhkan hujan kelak.
Tidak ada angin berkelisik. Daun-daun yang bermandikan cahaya matahari nampak kekuningan seperti bermandikan cahaya keemasan, berseri-seri mengelilingi bunga-bunga yang mencuat di sana-sini, dan kupu-kupu bersayap kuning dan putih menyemarakkan suasana yang penuh dengan suka cita di pagi hari itu. Berkelompok-kelompok kecil burung-burung terbang lewat di udara tanpa suara, menuju ke sawah ladang di mana terdapat makanan berlimpah bagi mereka.
Orang-orang yang berpakaian seperti penduduk dusun, membawa bermacam-macam barang dagangan hasil kebun mereka, berlalu-lalang di jalan raya itu pergi ke dan pulang dari kota An-yang yang menjadi pasar bagi barang dagangan hasil bumi mereka. Yang berangkat dan memikul barang dagangan, kelihatan tergesa-gesa dan berjalan separuh berlari tanpa bicara, akan tetapi yang pulang ke dusun berjalan seenaknya sambil mengobrol membicarakan hasil penjualan mereka dan belanjaan mereka.
Siluman Kecil yang sudah keluar dari pintu gerbang kota An-yang, kini berdiri di luar tembok kota, memandang air yang mengalir di tepi tembok. Air itu memasuki kota dari sebelah barat dan keluar dari selatan. Ketika memasuki kota, air itu bersih dan jernih, akan tetapi setelah keluar dari kota, air itu menjadi keruh, penuh dengan sampah-sampah dan segala kekotoran kota yang dicampakkan ke dalamnya. Kekeruhan air ini tidak akan berlangsung lama, karena beberapa mil jauhnya setelah meninggalkan kota, air sungai itu sudah akan menjadi jernih kembali.
Melihat setangkai daun hijau yang agaknya rontok sebelum waktunya hanyut pula di air itu, Siluman Kecil mengikutinya dengan pandang matanya dan dia menarik napas panjang. Keadaannya seperti daun itu. Daun muda yang sudah hanyut seorang diri mengikuti ke mana air mengalir. Tidak tahu akan apa jadinya dengan dirinya. Seperti juga dia! Hanya mengikuti jalan peristiwa yang dijumpainya di jalan hidupnya. Siluman Kecil termenung dan tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang wanita yang cukup nyaring.
“Kun Cu Souw Ki Wi Ji Heng. Put Goan Houw Ki Gwee!”
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. tentu saja dia hafal pula akan ujar-ujar itu karena dia pernah mempelajari semua pelajaran dari Nabi Khong Cu. Dia masih ingat bahwa ujar-ujar yang dinyanyikan mulut wanita itu adalah ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, ayat pertama dari bagian ke tiga belas, yang berarti,
“Seorang kongcu (budiman) bertindak sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan hal-hal di luar dari kedudukannya.”
Siluman Kecil menarik napas panjang. Dia telah mengalami banyak sekali hal-hal yang amat pahit dalam kehidupannya dan kalau direnungkan secara mendalam, memang karena manusia menginginkan hal-hal yang tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum ada, yang tidak dimilikinya, yang berada di luar jangkauannya, dan KEINGINAN inilah yang menjadi biang keladi segala macam penyakit dan kesengsaraan hidup. Dia menarik napas panjang lagi.
Sesungguhnyalah, bukan hanya seperti yang disadari oleh Siluman Kecil bahwa keinginan menjadi biang keladi kesengsaraan hidup. Bahkan keinginan itulah yang membuat kita kehilangan kesbahagiaan! Betapa tidak? Keinginan membuat mata kita buta terhadap segala keindahan yang telah kita miliki. Keinginan membuat kita meremehkan dan tidak dapat melihat keindahan yang sudah berada pada kita. Contohnya : Biarpun kita telah memegang sebutir buah apel di dalam tangan, namun kalau kita menginginkan buah anggur yang belum ada, mata kita seperti buta akan kelezatan buah apel yang sudah berada di tangan, menganggapnya tidak enak dan tidak memuaskan dan yang paling memuaskan adalah buah anggur yang kita inginkan, yang belum ada itulah! Karena itu mari kita mencoba untuk membuka mata dan melihat segala sesuatu yang sudah ada pada kita, melihat keindahannya, tanpa membanding-bandingkan dengan yang belum ada, tanpa membayangkan yang lain-lain, maka kita akan melihat keindahan dan akan terbuka mata kita bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya diombang-ambingkan oleh pikiran kita yang selalu haus akan hal-hal yang belum ada pada kita! Kita selalu beranggapan bahwa kebahagiaan berada di sana, yang harus kita kejar-kejar, sama sekali kita tidak pernah mau melihat, apa yang berada di sini, yang sudah ada pada kita. Kita seperti mengejar-ngejar bayangan kita, biar dikejar sampai selama hidup pun tidak akan dapat tersusul, kita tidak pernah mau berhenti dan menyelidiki apa gerangan bayangan itu, lupa bahwa bayangan itu adalah kita sendiri, karena kitalah yang menciptakan bayangan yang kita kejar-kejar itu!
Siluman Kecil sadar kembali dari lamunannya ketika dia mendengar suara tadi bernyanyi terus.
“Cai Shang Wi, Put Leng He.
Cai He Wi, Put Wan Shang.”
Siluman Kecil mengangguk-angguk, menterjemahkan ujar-ujar itu dalam hatinya. “Dalam kedudukan tinggi, dia tidak menghina yang di bawah. Dalam kedudukan rendah, dia tidak menjilat yang di atas.
Betapa sukarnya mencari seorang kuncu (budiman) seperti itu! Sudah lajim di dunia ini, orang selalu memandang rendah kepada orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada kita, kita suka menginjak dan meremehkan orang-orang yang berada di bawah kita, kita merasa jijik kepada kaum jembel, kita menjebikan bibir terhadap orang-orang miskin dan papa, kita merendahkan mereka yang bekerja kasar dan yang kedudukannya jauh lebih rendah daripada kita. Sebalikya, sudah menjadi KESOPANAN masyarakat bahwa kita selalu bersopan santun kepada orang-orang yang tinggi kedudukannya, kita bermanis muka kepada orang-orang kaya, kita menjilatjilat kepada pejabat tinggi. Betapa palsunya kita ini! Betapa kejamnya kita ini! Namun kita marah kalau dinyatakan bahwa kita tidak memiliki perikemanusiaan!
Siluman Kecil makin dalam tenggelam dalam renungannya. Dia mengenal ujar-ujar itu yang merupakan ayat ke tiga dari bagian ke tiga belas itu, dan dia masih ingat pula akan bagian selanjutnya, yang berbunyi, “Dia memperbaiki diri sendiri dan tidak mencari kesalahan orang lain, maka dia tidak mempunyai penyesalan apa pun. Ke atas dia tidak menyalahkan Thian dan ke bawah dia tidak menyalahkan manusia lain.”
Setelah suara itu berhenti bernyanyi, Siluman Kecil menoleh. Timbul keinginan tahunya untuk melihat siapa gerangan yang di tempat seperti itu menyanyikan ujar-ujar yang mengandung sari pelajaran amat tinggi itu. Dan dia tertegun. Di bawah sebatang pohon yang rindang nampak seorang nenek tua sedang duduk di atas tanah berumput, menghadap barang dagangannya yang bertumpuk di atas tikar terhampar. Seorang nenek tua penjual sepatu rumput rupanya! Dan nenek itulah yang tadi bernyanyi. Memang harus diakui bahwa ujar-ujar dari Nabi Khong Hu Cu dikenal oleh semua orang yang pernah bersekolah, sungguhpun sebagian besar orang hanya mengenalnya sebagai ujar-ujar belaka tanpa menghayati isinya, tanpa meneliti diri sendiri apakah ujar-ujar yang setiap hari keluar dari mulutnya, terus-menerus diulang-ulanginya itu ada pula terkandung dalam langkah hidupnya sehari-hari. Akan tetapi, mendengar ujar-ujar itu dinyanyikan oleh seorang nenek penjual sepatu rumput, dinyanyikan di tempat seperti itu, yaitu di luar kota di bawah pohon, sungguh merupakan hal yang amat janggal didengar. Biasanya, ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu atau ujar-ujar dari Agama Buddha hanya didengar di sekolah-sekolah, di kuil-kuil, atau dibicarakan di antara “orang-orang pandai” sebagai bahan untuk berbantahan dan mempertahankan pendirian dan pentafsiran masing-masing, dan diperalat untuk membanggakan kepintarannya!
Melihat nenek itu menghadapi dagangannya dan kelihatan sama sekali tidak laku, terbukti dari bertumpuknya sepatu rumput itu dan tidak ada seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang itu menengok ke arah nenek itu, apalagi membeli dagangannya, Siluman Kecil merasa kasihan. Nenek itu kelihatannya miskin, pandang matanya sayu, dan siapa tahu sudah berapa hari nenek itu tidak makan. Tubuhnya begitu kurus! Siluman Kecil cepat menghampiri dan berjongkok di depan dagangan nenek itu.
“Nenek, apakah ada sepatu yang ukurannya cocok untuk kakiku?” tanyanya, sambil memandang wajah keriputan itu. Akan tetapi dari sinar matanya, Siluman Kecil tahu bahwa nenek itu agaknya tidak mengerti atau mungkin juga tidak mendengar. Ketika nenek itu menaruh tangan di belakang daun telinganya, mengertilah dia bahwa nenek ini adalah seorang yang sudah berkurang pendengarannya atau agak tuli.
“Apakah ada yang cocok dengan ukuran kakiku?” tanyanya pula dengan suara lebih keras.
“Oh, tentu ada.... ada....! Nah, ini agaknya cocok!” Nenek itu menyerahkan sepasang sepatu dan memandang wajah Siluman Kecil yang sebagian tertutup rambut putih penuh perhatian. “Agaknya Kongcu akan pergi ke selatan juga! Memang lebih enak pakai sepatu rumput, apalagi di selatan sana banyak hujan. Lebih hangat memakai sepatu rumput.”
Siluman Kecil mengukur sepatu itu dengan kakinya. Memang cocok. Agaknya pedagang sepatu ini sudah biasa mengira-ngira ukuran kaki orang yang datang membeli sepatunya. “Berapa harganya?” Dia bertanya.
“Memang banyak yang ke sana. Kemarin banyak orang muda yang membeli sepatu saya pula, mereka hendak pergi ke selatan,” jawab nenek itu dan Siluman Kecil baru sadar bahwa pertanyaannya yang kurang keras tadi telah didengar lain oleh Si Nenek, maka jawabannya pun kacau.
Dia mengeluarkan uang tembaga dan mengangkat sepatu itu. “Harganya berapa?”
“Ohhh....“ Nenek itu tertawa dan nampak mulut yang ompong! Setelah nenek itu memberi tahu harga sepatu yang hanya beberapa potong uang tembaga, Siluman Kecil membayarnya tanpa menawar. Padahal dia tahu bahwa biasanya pedagang seperti ini menawarkan dagangannya dengan harga dua kali lipat dan biasanya fihak pembeli pasti juga menawar harga itu. Nenek itu kelihatan girang menerima pembayaran Siluman Kecil dan berkata, “Terima kasih. Mudah-mudahan Kongcu akan diterima menjadi perajurit.”
“Apa? Perajurit apa?” Siluman Kecil terheran mendengar itu.
“Eh, apakah Kongcu bukan hendak pergi ke selatan seperti mereka itu, untuk memasuki ujian penerimaan perajurit?”
“Hemmm, ada apakah di selatan sana?
“Kongcu belum tahu? Kabarnya Gubernur Ho-nan sedang mengadakan ujian untuk menerima calon-calon perajurit pengawal. Gajinya besar, kedudukannya tinggi, dan mereka yang terpilih akan dijadikan pengawal gubernur, atau kalau untung malah bisa diangkat menjadi calon pengawal pribadi.”
Tiba-tiba percakapan terhenti karena ada serombongan orang menghampiri nenek itu untuk membeli sepatu rumput. Yang membeli sepatu hanya dua orang, yaitu seorang kakek bertubuh tinggi tegap dan seorang setengah tua yang sikapnya pendiam dan matanya bersinar tajam. Sedangkan di belakang dua orang kakek ini terdapat sepuluh orang lain yang berpakaian ringkas dan sikapnya juga pendiam. Kakek berusia enam puluhan tahun yang bertubuh tinggi tegap itu melirik ke arah Siluman Kecil dan pandang matanya tajam penuh selidik. Siluman Kecil menundukkan muka, pura-pura memilih sepatu dan membiarkan rambutnya yang panjang itu menutupi mukanya seperti tirai.
Setelah memilih sepatu dan membayar harganya, kakek itu bertanya kepada si pedagang sepatu, “Apakah banyak orang yang lewat ke sini dan menuju ke Ceng-couw, ibu kota Ho-nan?” Suaranya besar, tegas dan berwibawa.
“Banyak sekali.... banyak orang-orang muda yang hendak melamar pekerjaan pengawal. Agaknya Sicu semua ini juga hendak ke sana?”
Kakek itu hanya menggumam, lalu bangkit berdiri dan bersama ternan-temannya meninggalkan tempat itu.
“Wah, sungguh banyak sekali yang ingin melamar sebagai pengawal,” kata Si Nenek. “Tentu ramai sekali di Ceng-couw sana, wah, kalau aku bisa berdagang sepatu di sana, tentu laris sekali!”
“Kenapa kau tidak membawa sepatumu dan berdagang di sana saja?” kata Siluman Kecil sambil bangkit berdiri pula.
“Oh, jadi Kongcu juga ingin ke sana?” tanya nenek itu yang kembali salah dengar.
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Repot juga bicara dengan seorang tuli. Dia mengangguk-angguk sebagai jawaban, tidak mau lagi berteriak-teriak karena terdengar seperti orang cek-cok saja sehingga tentu akan banyak menarik perhatian mereka yang lewat di jalan itu. Akan tetapi, jawabannya dengan anggukan itu membuat si nenek menjadi gembira dan nenek itu pun bangkit berdiri. “Kalau begitu, sebaiknya Kongcu naik kuda ke sana! Mungkin besok pagi sudah dimulai ujian itu dan Kongcu tentu akan ketinggalan kalau berjalan kaki. Di sini terdapat seorang pedagang kuda yang bagus-bagus dan harganya pun murah. Dia masih keponakanku sendiri. Saya tinggal bersama dia di sana juga. Marilah kuantarkan Kongcu ke sana melihat-lihat. Baru kemarin dia pulang membawa dua ekor kuda peranakan Mongol yang amat baik.”
“Tapi aku sudah biasa berjalan kaki, Nek. Aku tidak ingin membeli kuda.” Siluman Kecil hendak melangkah pergi, akan tetapi dia melihat seorang pengemis muda duduk tak jauh dari tempat itu. Wajah pengemis ini menarik hatinya karena wajah itu terlalu tampan untuk seorang pengemis, dan sinar mata pengemis ini tidak seperti para pengemis lainnya. Semua pengemis selalu memiliki pandangan mata sayu, baik dibuat-buat atau tidak, akan tetapi sinar mata pengemis ini tajam berseri-seri dan sedikit pun tidak kelihatan duka terbayang di dalamnya! Keadaan ini menimbulkan keharuan di hati Siluman Kecil dan dia lalu memberikan kelebihan uang pembeli sepatu tadi kepada si pengemis muda tanpa mengeluarkan kata-kata. Pengemis itu menerima pemberian ini, membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih, akan tetapi mulutnya diam saja! Bahkan ada bayangan keangkuhan di sinar matanya!
Siluman Kecil merasa makin heran dan tertarik.
“Kongcu akan menyesal setengah mati kalau tidak membeli kuda itu!” Kembali nenek itu mendesak dan ketika Siluman Kecil menoleh, ternyata nenek itu sudah menggulung tikarnya dan membungkus semua sepatunya tanda bahwa dia sudah kukut (berkemas untuk pulang).
“Sudahlah, Nek. Aku tidak punya uang....eh, uangku tidak akan cukup untuk membeli seekor kuda peranakan Mongol yang bagus.”
“Aaahhhhh, Kongcu sungguh merendah! Kongcu mempunyai banyak uang....eh, maksud saya, seorang seperti Kongcu yang melakukan perjalanan jauh tentu kaya raya, tentu Kongcu akan mampu membeli seekor kuda yang baik. Apakah Kongcu tidak rela memberi sedikit keuntungan kepada keluarga kami?”
Siluman Kecil terkejut. Dia memang membawa banyak uang, pemberian seorang hartawan yang pernah dltolongnya, sebagai bekal dan terima kasih atat bantuannya. Bagaimana nenek ini bisa tahu?
Akan tetapi, mungkin juga sebagai seorang pedagang, nenek ini memiliki pandangan tajam tentang hal itu. Tertarik juga hatinya. Memang selama ini banyak sekali hal-hal yang menarik hatinya. Dia selalu tertarik oleh urusan orang-orang lain. Apakah hal ini menunjukkan gejala bahwa dia sudah tidak tertarik lagi kepada diri sendiri?
“Baiklah, Nek. Aku hendak melihat kuda yang kaupuji-puji itu. Akan tetapi tidak perlu kau mengemasi dagangan untuk mengantar aku. Katakan saja di mana tempat keponakanmu itu, dan aku akan mencarinya sendiri ke sana. Tidak perlu kau mengorbankan daganganmu yang menjadi tidak laku hanya untuk mengantarkan aku.”
“Kongcu, biar saya yang mengantar Kongcu ke sana. Saya juga tahu tempat pedagang kuda itu. Bukankah yang Nenek maksudkan itu adalah Paman Ciok pedagang kuda di sebelah barat jembatan hijau itu?” tiba-tiba pengemis muda itu berkata.
Nenek itu mengangguk dan mengerling ke arah Siluman Kecil. “Benar di sana....“
“Kalau begitu, biar ia ini yang mengantarku, Nek. Terima kasih!” kata Siluman Kecil dan dia lalu pergi bersama si pengemis muda.
Siluman Kecil makin tertarik kepada pengemis ini. Sungguh tidak seperti pengemis-pengemis umumnya. Memang pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi pakaian itu bersih dan jelas bahwa pakaian itu belumlah begitu butut sehingga perlu ditambal-tambal. Agaknya seperti pakaian yang masih baru akan tetapi sengaja ditambal-tambal! Hal ini tentu saja mencurigakan hatinya dan membuat dia menjadi tertarik. Jangan-jangan bocah pengemis ini mempunyai maksud tertentu dan sengaja mendekatinya, pikirnya. Banyak sekali orang-orang yang memusuhinya di dunia ini, apalagi sejak dia dikenal sebagai Siluman Kecil dan banyak menolong orang-orang yang tertindas sehingga otomatis dia dimusuhi oleh mereka yang ditentangnya. Akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa gentar, hanya tertarik kepada pribadi pengemis cilik ini.
“Siapakah namamu?”
Pengemis itu terkejut, akan tetapi lalu menjawab dengan suara tenang, “Nama saya Hong, dan orang-orang memanggil saya Siauw-hong (Hong Kecil).”
“Kenapa? Engkau tidak begitu kecil tubuhmu.”
“Entahlah, Kongcu. Sejak kecil saya disebut Siauw-hong.”
“Hemmm, di mana tempat tinggalmu?” “Saya tidak mempunyai tempat tinggal.”
“Dan ayah bundamu?”
Siauw-hong menggeleng kepala. “Tidak punya.”
Siluman Kecil mengerutkan alisnya, kemudian tiba-tiba dia berhenti, memegang pundak pengemis cilik itu dan menggunakan jari-jarinya untuk menotok jalan darah dekat leher, jalan darah kematian. Pengemis itu terkejut, cepat dia miringkan tubuh sehingga pegangan itu meleset dan totokan itu luput.
“Ha, sudah kuduga. Engkau pandai ilmu silat tinggi!” Siluman Kecil berseru.
“Dan Kongcu adalah Siluman Kecil!” pengemis cilik itu berkata.
“Hemmm, ternyata engkau bukan bocah pengemis sewajarnya, seperti pakaianmu yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan masih baru. Hayo katakan, mau apa engkau membayangi aku?” Siluman Kecil menghardik.
Pengemis muda itu menjura. “Maafkan saya, Taihiap. Sesungguhnya bukan maksud saya hendak membayangi, hanya karena sudah lama saya mendengar nama Taihiap dengan penuh kekaguman maka begitu melihat Taihiap tadi, saya sudah menduganya dan saya ingin mengenal dan berdekatan dengan Taihiap. Saya sungguh tidak bermaksud buruk dan hendak mengantar Taihiap kepada rumah pedagang kuda itu.”
“Bagaimana engkau berpakaian pengemls? Apa maksudnya?”
“Maaf, memang saya sengaja dan ini merupakan syarat menjadi murid dari guru saya. Ketahuilah bahwa sejak kecil saya diserahkan oleh kakek saya yang sekarang entah berada di mana, kepada guru saya itu, dan setelah saya menjadi muridnya, saya diharusksn berpakaian pengemis untuk memenuhi kebiasaan nenek moyang dari guru saya.”
“Hemmm, mengapa begitu?” Siluman Kecil makin tertarik.
“Guru saya adalah keturunan pengemis, Taihiap. Oleh karena itu, biarpun sekarang guru saya tidak menjadi pengemis, akan tetapi semua muridnya diharuskan berpakaian pengemis sebelum tamat belajar untuk menghormati leluhurnya.”
Siluman Kecil memandang tajam. Dari gerakan anak ini ketika mengelak tadi, dia maklum bahwa anak ini memiliki dasar ilmu silat tinggi, bukan ilmu silat sembarangan saja, maka guru anak ini tentulah seorang tokoh besar pula.
“Siapakah gurumu itu, Siauw-hong?”
“Maaf, Taihiap, akan tetapi guru saya tidak pernah mau menyebutkan namanya.”
Siluman Kecil mengangguk-angguk. Dia maklum akan hal ini karena memang demikianlah, makin tinggi pengertian seseorang, makin rendah hati pula watakhya di samping keanehan-keanehan yang tidak lumrah manusia biasa. Maka dia pun tidak mau mendesak lagi untuk menghormati pendirian guru pengemis cilik ini.
Akhirnya mereka tiba di tempat si pedagang kuda. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, bermata sipit dan berkumis pendek, menyambut kedatangan mereka dan ketika mendengar bahwa Siluman Kecil datang untuk melihat kuda keturunan Mongol itu setelah diberi tahu oleh nenek penjual sepatu rumput, dia tersenyum lebar. “Memang benar, Kongcu. Dan kalau bukan bibi saya yang memberi tahu, tidak sembarangan orang akan saya persilakan melihat dua ekor kuda dagangan saya itu. Kuda simpanan, kuda tunggangan raja-raja di daerah Mongol!”
Sambil memuji-muji kudanya, orang itu mengantar Siluman Kecil dan Siauw-hong ke kandang kuda. Dan memang dua ekor kuda itu merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan jelas kelihatan kuat sekali. Yang seekor berbulu hitam mulus sedangkan yang ke dua berbulu putih. Warna bulu mereka begitu mulus dan terang sehingga amat menyolok perbedaan warna bulu mereka. Yang putih adalah kuda betina sedangkan yang hitam adalah seekor kuda jantan yang kelihatan galak.
“Coba Kongcu lihat tanda di paha kiri mereka ini!” kata si tukang kuda.
Siluman Kecil melihat dan di paha dua ekor kuda itu, di paha belakang yang kiri, terdapat capnya, yaitu ukiran kepala naga yang tentu saja kasar karena dibuat dengan menempelkan besi membara yang bergambarkan kepala naga di bagian paha itu.
“Apa artinya gambar ini?” tanya Siluman Kecil.
“Itu adalah tanda bahwa sepasang kuda ini adalah bekas milik raja Mongol, seorang di antara raja-raja liar di antara suku bangsa Nomad di Mongol sana dan agaknya raja itu memuja naga. Atau mungkin juga dua ekor kuda ini adalah keturunan Liong-ma (Kuda Naga) yang terkenal itu. Pendeknya, bukan kuda sembarangan, Kongcu, dan kalau Kongcu dapat memiliki seekor kuda ini, Kongcu sungguh beruntung. Akan tetapi, saya anjurkan Kongcu memilih yang putih.
“Yang betina? Mengapa?”
“Karena dua ekor kuda ini memang mempunyai keanehan. Yang putih ini agaknya hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang pria! Sedangkan yang jantan, yaitu yang hitam ini, hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang wanita!”
“Ah, sungguh luar biasa!” Siluman Kecil berseru dan pengemis kecil itu tertawa.
“Ha-ha, kalau begitu mereka adalah kuda-kuda yang cabul!” seru Siauw-hong.
“Hushhhhh, jangan sembarangan saja kau, Siauw-kai (Pengemls Cilik)!” Pedagang kuda itu menghardik.
“Omongannya itu ada benarnya,” kata Siluman Kecil membela Siauw-hong.
“Tidak, Kongcu. Sama sekali tidak benar. Dua ekor kuda ini bukanlah kuda cabul, akan tetapi adalah kuda yang sudah terlatih matang di tempat asalnya. Dengan wataknya yang aneh itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tentu kuda hitam ini dahulu adalah kuda tunggangan seorang permaisuri dan dilatih sedemikian rupa, sehingga dia tidak mau ditunggangi seorang pria, maka hanya sang permaisuri sajalah yang dapat menungganginya. Mana boleh kuda tunggangan seorang permaisuri ditunggangi seorang pria? Dan demikian pula dengan kuda putih ini, tentu dahulunya menjadi kuda tunggangan seorang raja.”
Siluman Kecil mengangguk-angguk. Biarpun cerita itu agaknya terlalu dibuat-buat, akan tetapi masuk akal juga.
“Saya tidak percaya!” Tiba-tiba Siauw-hong berkata. “Saya yakin bahwa kuda hitam itu lebih baik karena dia jantan. Lebih baik Kongcu memilih yang jantan saja.”
“Eh, kau berani tidak percaya kepadaku, Siauw-kai? Kau menyuruh Kongcu naik kuda hitam kemudian dibantingkan?” bentak si tukang kuda.
“Masa dibantingkan! Kuda itu kelihatan begitu jinak!” Siauw-hong membantah.
“Kalau tidak percaya, boleh kaucoba naik di punggungnya!” tantang si tukang kuda.
“Baik, akan saya tunggangi dia!” Siauw-hong menerima tantangan itu.
“Siauw-hong, apakah kau bisa menunggang kuda?” Siluman Kecil bertanya khawatir.
Siauw-hong tersenyum dan anak ini kelihatan tampan sekali kalau tersenyum. “Jangan khawatir, Taihiap, sejak kecil saya sudah biasa menunggang kuda dan entah sudah ada berapa ratus ekor kuda jantan yang saya tunggangi, maka saya tidak percaya kalau ada kuda jantan tidak mau ditunggangi pria!”
“Kau bocah sungguh bermulut besar. Boleh kaucoba si Hitam, akan tetapi Kongcu ini menjadi saksi dan saya tidak mau dipersalahkan kalau nanti kau dibantingkan dan punggungmu patah,” kata si tukang kuda.
Siauw-hong tertawa lalu dia menuntun kuda hitam itu keluar kandang. Kelihatan si Hitam ini memang cukup jinak dan menurut saja ketika dituntun keluar. Dengan gerakan cekatan tanda bahwa dia memang biasa menunggang kuda, Siau-whong lalu meloncat ke atas punggung kuda hitam yang tinggi itu. Dan mulailah si Hitam itu memperlihatkan keliarannya. Dia meringkik keras, mendengus-dengus marah lalu berloncatan ke atas, berdiri di atas kedua kaki, meloncat lagi dan membuat punggungnya menjadi melengkung, bergerak ke kanan kiri dan membuat gerakan dengan punggung untuk melemparkan Siauw-hong yang duduk di atas punggungnya. Siauw-hong ternyata memang seorang ahli menunggang kuda. Kalau lain orang yang menunggangi punggung kuda hitam yang mengamuk itu, tentu takkan dapat bertahan lama dan sudah terlempar sejak tadi. Akan tetapi Siauw-hong juga memperlihatkan kelihalannya, biarpun beberapa kali tubuhnya kelihatan hampir terlempar dari punggung, namun ternyata dia masih dapat turun lagi duduk di atas punggung sambil memegangi kendali dengan cekatan.
Siluman Kecil menonton dengan hati tegang. Kembali dia dibuat kagum, sekali ini dibuat kagum oleh Siauw-hong dan juga oleh kuda itu. Benar-benar seekor kuda yang amat aneh, terlatih baik sekali dan penuturan pedagang kuda ini ternyata tidak bohong. Kuda jantan ini benar-benar tidak sudi ditunggangi oleh seorang pria! Kini kuda itu mengeluarkan suara ringkikan yang rendah mirip gerengan harimau dan tiba-tiba dia membanting diri ke kanan dan membuat gerakan becgulingan!
“Awas, Siauw-hong....!” Mau tidak mau Siluman Kecil memekik dan dia sudah siap menolong karena keadaan pengemis muda itu benar-benar amat berbahaya.
“Kuda iblis....!” Siauw-hong berteriak dan tubuhnya terlempar, akan tetapi dengan gerakan pok-sai (salto) dia berhasil turun ke atas tanah dengan kaki lebih dulu. Dia mengebut-ngebutkan pakaiannya dan mengomel,, “Taihiap, kuda iblis itu berbahaya sekali!”
Pedagang kuda tertrswa menyeringai akan tetapi tidak berani bicara sembarangan karena dia pun sekarang tahu bahwa pengemis cilik itu bukan orang sembarangan setelah dia melihat betapa pengemis itu tadi dapat menyelamatkan diri secara luar biasa. Dia menuntun kuda hitam yang sudah jinak kembali begitu punggungnya tidak ditunggangi orang!
“Kuda yang baik sekali!”
Mereka bertiga menoleh dan melihat seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian mentereng dan bersikap lincah memasuki tempat itu dan memuji si kuda hitam yang liar tadi, Siluman Kecil memandang penuh perhatian. Pemuda itu usianya tentu masih amat muda, mungkin baru belasan tahun, akan tetapi sinar matanya memandang penuh perhatian, dan melihat pakaiannya yang indah dan serba baru, mudah diduga bahwa pemuda ini tentulah putera seorang hartawan besar atau setidaknya putera seorang bangsawan! Tubuhnya kecil, akan tetapi kelihatan gesit, tanda bahwa pemuda hartawan ini tentu “berisi”, yaitu pernah berlatih silat. Di belakang pemuda ini berjalan seorang anak laki-laki yang membawa buntalan.
Pedagang kuda itu pun bermata tajam, tentu saja dia segera mengenal seorang hartawan, maka sambil menuntun kuda hitam dia menghampiri dan menjura, “Kuda yang manakah yang Kongcu anggap baik?” tanyanya.
“Mana lagi kalau bukan kuda yang kau tuntun itu,” jawab si pemuda tampan sambil memandangi kuda hitam dengan mata bersinar-sinar. “Ini kuda Mongol tuan!” serunya sambil mendekati kuda itu, mengelus leher kuda itu dengan tangannya.
“Apakah Kongcu ingin membeli kuda?” tanya pula si pedagang kuda.
“Benar, aku membutuhkan dua ekor kuda untuk aku dan pelayanku ini, karena aku hendak pergi ke Cheng-couw, untuk memasuki ujian pengawal gubernur!”
Siluman Kecil merasa tertarik sekali. Benar dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian silat, kalau tidak tentu tidak akan ikut-ikut memasuki ujian pengawal.
Pedagang kuda itu tersenyum lebar dan matanya berseri girang. Hari baik rupanya hari ini bagi dia. Sepagi itu sudah banyak orang datang hendak membeli kuda!
“Kongcu tidak salah kalau mencari kuda di sini!” katanya.
“Aku suka sekali dengan kuda hitam ini, berapa harganya? Akan kubeli dia!” kata si kongcu yang masih mengelus-ngelus kuda itu.
Si pedagang kuda kelihatan kaget. “Ohhh, jangan yang ini, Kongcu! Apakah Kongcu tadi tidak melihat betapa liarnya dia? Kuda ini pantang ditunggangi oleh seorang pria. Dia adalah bekas tunggangan seorang permaisuri suku Nomad di Mongol, sudah terlatih untuk menolak kalau ditunggangi seorang pria. Sebaliknya, kuda putih itu pantang ditunggangi seorang wanita. Maka, kalau Kongcu membutuhkan kuda, sebaliknya yang putih itu....eh, kalau belum jadi dibeli oleh Kongcu itu yang datang lebih dulu.
Pemuda tampan itu kini memandang kepada Siluman Kecil, menghampiri dan tersenyum, lalu menjura. Tentu saja Siluman Kecil juga cepat membalas penghormatan orang itu. “Apakah engkau juga hendak membeli kuda putih itu, Sobat?” Pertanyaan ini diajukan dengan sikap ramah sekali sehingga biarpun Siluman Kecil tidak ingin berkenalan dengan orang itu, terpaksa dia menjawab dengan anggukan kepala.
“Agaknya engkau hendak melakukan perjalanan cepat dan jauh pula, Sobat.” “Saya....kami hendak pergi ke selatan....!
“Ah! Betapa kebetulan sekali! Tidak dicari-cari di sini bertemu dengan seorang teman seperjalanan! Sobat yang baik, kalau begitu mari kita melakukan perjalanan bersama. Sungguh menyenangkan sekali! Aku mendapatkan seorang teman untuk bercakap-cakap di perjalanan!”
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin melakukan perjalanan dengan orang lain yang tidak dikenalnya. Pula, memang selama ini dia selalu menjauhkan diri dari pergaulan umum.
“Terima kasih atas kebaikan saudara” jawabnya. “Akan tetapi saya masih mempunyai banyak kepentingan lain.” Penolakan halus diterima oleh pemuda tampan itu dengan senyum.
“Tidak mengapa. Engkau boleh menyelesaikan semua kepentinganmu dulu, baru kita berangkat bersama.”
Siluman Kecil tidak menjawab lagi, melainkan menoleh kepada pedagang kuda. “Paman, berapakah harganya kuda putih itu?”
“Tiga ratus tael perak” jawab si pedagang kuda.
“Wah, masa ada kuda harganya sekian?” Siauw-hong berseru. “Biasanya, seekor kuda tidak akan lebih dari seratus tael perak harganya!”
Si pedagang kuda menyeringai. “Siau-kai, biarpun omonganmu itu ada benarnya, akan tetapi dua ekor kuda ini bukanlah kuda biasa! Coba dibayangkan, berapa biayanya mengambil dua ekor kuda ini dari tempat asalnya! Kongcu, harganya tiga ratus tael perak, tidak boleh kurang satu tael pun.”
Siluman Kecil tidak tahu akan harga kuda, akan tetapi terdengar pemuda tampan itu berkata, “Tiga ratus tael tidaklah mahal untuk seekor kuda seperti itu.”
Mendengar ini, Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Uang baginya bukan apa-apa, apalagi uang itu adalah pemberian orang untuk bekal. Dia tidak membutuhkan banyak uang, hanya memberatkan saja. Tiba-tiba dia terkejut bukan main dan baru teringat bahwa dia tidak merasakan sesuatu yang berat di buntalannya! Karena dia tidak pernah memikirkan uang, dan jarang sekali membawa uang banyak, maka dia tidak merasakan perbedaan itu! Dia mengangkat buntalannya, menimbang-nimbang dan jantungnya berdebar. Benar saja, buntalannya sudah tidak berat lagi! Padahal seingatnya, uang bekal yang diberikan oleh hartawan itu kepadanya amat berat! Cepat dia membuka buntalannya dan dia menahan napas. Uang itu telah lenyap! Dia telah diberi beberapa potong uang emas dan banyak uang perak oleh hartawan itu, yang rasanya cukup banyak untuk membeli kuda itu. Akan tetapi ternyata uang itu lenyap sama sekali, tidak ada sisanya barang satu potong pun! Dan dia tidak merasakan kehilangan itu!
“Celaka....!” serunya.
“Taihiap, ada apakah....?” Siauw-hong bertanya sambil mendekati.
“Uangku lenyap!
“Ahhh....!” Siauw-hong juga memandang bingung.
Pemuda tampan itu menghampiri Siluman Kecil dan bertanya, “Sobat, apa yang telah terjadi?”
Siluman Kecil menggeleng kepala. “Entah bagaimana, uangku yang berada di dalam buntalan ini lenyap semua tanpa kusadari. Aku lupa bahwa aku membawa uang, maka ketika lenyap aku tidak tahu....”
“Hemmm.... Si pedagang kuda berkata dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh kecurigaan kepada Siluman Kecil dan Siauw-hong.
“Kalau begitu, biarlah aku yang membayarnya! Hei, pedagang kuda, berikan kuda putih itu kepada sobatku ini dan kuda hitam itu kubeli, lalu sediakan dua ekor kuda lain untuk pembantu-pembantu kami!” Pemuda itu cepat mengeluarkan sekantung uang emas dari buntalannya yang tadi dibawa oleh kacungnya.
“Ah, tidak usah, Saudara.... biar kami jalan kaki saja....“ kata Siluman Kecil.
“Sobat yang baik, kita sudah menjadi sahabat dan calon teman seperjalanan, mengapa banyak sungkan?”
“Aku tidak mau menerima pemberian dari orang yang tidak kukenal dan....”
“Kalau begitu perkenankan, aku she Kang, bernama Swi,” katanya.
“Tetapi....”
“Kalau kau segan menerima pemberianku, biarlah kuda itu kaupinjam saja!”
Siluman Kecil tidak dapat menolak lagi, merasa tidak enak kalau menolak terus kebaikan orang yang kelihatannya demikian tulus dan ikhlas.
“Kalau begitu, baiklah, Saudara Kang Swi. Terima kasih atas kebaikanmu,” katanya sambil menjura.
“Akan tetapi saya bukanlah pembantu Taihiap ini, saya hanya mengantarnya sampai ke sini saja,” kata Siauw-hong.
Pemuda tampan itu menoleh kepadanya. “Aku melihat engkau tadi pandai sekali menunggang kuda, tentu engkau pandai pula merawat kuda, bukan? Nah, bagaimana kalau kau kuangkat sebagai perawat kuda? Berapakah gaji yang kauminta, akan kupenuhi.”
Siauw-hong mengangkat dadanya dan menjawab, “Saya menerima permintaan Kongcu, akan tetapi bukan karena besarnya gaji, melainkan karena saya memang ingin meluaskan pengalaman ke selatan.”
“Jadi kauterima?” tanya kongcu itu dengan girang, akan tetapi ada sinar keheranan melihat sikap pengemis muda itu, yang demikian angkuh sikapnya. “Paman, cepat pilihkan dua ekor kuda lain selain si Putih dan si Hitam ini, dan hitung berapa harus kubayar kepadamu.”
Tentu saja si pedagang kuda menjadi girang bukan main. Sungguh mujur dia. Hari ini bertemu dengan kongcu yang kaya dan begini royal, membeli kuda tanpa menawar lagi! Tentu saja dia tidak mau mencelakakan seorang langganan yang begini royal, maka dia berkata,
“Akan saya pilihkan seekor kuda yang terbagus untuk Kongcu....“
“Aku sudah memilih si Hitam ini!” jawab kongcu itu.
“Ahhh, jangan, Kongcu! Baru saja Siauw-kai ini hampir terbanting mati oleh kuda itu!”
Siauw-hong juga berkata, “Sebaiknya Kongcu mengambil lain kuda. Kuda hitam ini adalah kuda iblis, atau kuda porno....“
“Eh, kuda porno (cabul)....?” Kongcu itu bertanya dan memandang Siauw-hong dengan alis berkerut.
“Habis, kuda jantan ini hanya mau ditunggangi seorang wanita! Cabul dia!” Siauw-hong berkata dan memandang kepada kuda hitam itu dengan hidung dikernyitkan.
Kongcu itu tertawa. “Kalian semua tidak tahu rahasianya. Aku sudah pernah memiliki seekor kuda seperti ini dan kalau tidak tahu rahasianya, memang jangan harap dapat menjinakkan dia.”
“Kau kau hendak mengatakan bahwa kau dapat menundukkan dia?” Siluman Kecil bertanya penuh keheranan. Dia melihat sendiri tadi betapa Siauw-hong yang merupakan seorang ahli menunggang kuda, hampir celaka. Apakah pemuda halus yang kaya raya dan royal ini memiliki ilmu menunggang kuda yang lebih mahir daripada Siauw-hong? Agaknya tak mungkin. Dia sendiri pun harus mengakui bahwa dalam menunggang kuda, belum tentu dia mampu menandingi Siauw-hong dan dia akan berpikir dua kali untuk menunggangi kuda liar macam si Hitam itu.
“Tentu saja,” kata pemuda royal itu tersenyum. “Kalau tidak, untuk apa kubeli?”
“Tapi.... tapi dia benar-benar berbahaya sekali,” kata Siluman Kecil.
“Aku mengerti bagaimana harus menguasainya, harap kau jangan khawatir, Sobat.”
Akan tetapi ketika pemuda tampan itu hendak memegang kendali kuda hitam dari tangan pedagang kuda, si pedagang berkata ragu, “Wah, bagaimana kalau sampai Kongcu terbanting jatuh dan.... dan celaka? Siapa akan membayar kuda-kuda saya?”
Kongcu itu tertawa. “Hitunglah dan akan kubayar sekarang juga. Kalau seandainya nanti aku dibanting mati oleh kuda ini, kau tidak akan rugi apa-apa.”
Wajah pedagang kuda itu menjadi merah. “Bukan.... bukan maksudku begitu.... sebaiknya Kongcu jangan mencoba-coba untuk menunggang ini dia sungguh tidak mau ditunggangi oleh pria.”
Bersambung ke buku 6
Label:
Jodoh Rajawali,
Kho Ping Hoo