Kisah Si Bangau Putih -7 | Kho Ping Hoo



Buku 7

"Hi-hi-hik, begitu baru pujaanku yang tampan dan gagah! Sampai malam nanti, Kongcu." kata wanita itu dan Sin-kiam Mo-li keluar ruangan itu, diikuti oleh Siangkoan Liong. Melihat mereka Li Sian tidak mampu menahan kemarahan dan rasa penasaran di dalam hatinya lagi. Jelaslah bahwa antara Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li nenek yang masih cantik jelita itu, terdapat hubungan gelap! Maka ia pun segera meloncat keluar dari balik pilar itu, mengejutkan mereka berdua. Tanpa mempedulikan Sin-kiam Mo-li, Li Sian lalu menghampiri Siangkoan Liong yang juga memandang dengan mata terbelalak dan hati tidak enak melihat betapa wajah gadis itu marah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi!

“Sian-moi, kau....“ Dia maju dan mengembangkan kedua lengan seolah-olah hendak memeluk Li Sian. Akan tetapi gadis itu menahan langkahnya, berhenti kurang lebih dua meter dari pemuda itu, matanya memandang tajam penuh selidik.

“Siangkoan Liong!” bentaknya dan sebutan ini saja sudah amat mengejutkan hati pemuda itu. “Aku menuntut penjelasan darimu!”

“Sian-moi ada apakah? Apakah yang telah terjadi dan penjelasan apa yang kau inginkan?” Siangkoan Liong yang memang merupakan seorang pemuda luar biasa itu sudah dapat menguasai dirinya dan bersikap tenang, sementara itu Sin-kiam Mo-li memandang dengan mulut tersenyum penuh kemenangan. Bagaimanapun juga, gadis itu telah ternoda, berarti telah dapat ditundukkan. Ia tidak percaya bahwa gadis yang telah terjatuh ke dalam pelukan Siangkoan Liong itu akan berani atau mau memberontak. “Mo-li, sebaiknya engkau keluar dulu dan biarkan aku bicara empat mata dengan Sian-moi.”

“Tidak perlu! Boleh saja ia menghadiri karena ia pun agaknya merupakan anggauta komplotanmu yang jahat!” kata pula Li Sian dan kedua orang itu saling pandang, jelas nampak ada kekagetan dalam pandang mata mereka.

“Sian-moi, aku tidak mengerti....“

“Katakan terus terang, siapakah yang telah membunuh kakakku Pouw Ciang Hin?” bentak Li Sian sambil menatap tajam.

Siangkoan Liong yang sudah menduga buruk, telah siap siaga. Wajahnya tidak berubah mendengar pertanyaan ini dan dia bahkan bersikap seperti orang terheran-heran lalu tersenyum. “Ah, Sian-moi, apakah engkau sudah lupa? Ataukah kedukaanmu membuat engkau menjadi bingung? Sudah jelas, kaulihat sendiri betapa kakakmu itu tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan, mati sampyuh (keduanya tewas)....“

“Bohong! Kakakku mati oleh tusukan pedang sedangkan lawannya itu bersenjatakan golok! Hayo katakan saja, siapa yang membunuh kakakku, dan mengapa kalian semua melakukan tipu muslihat itu untuk mengelabuhi aku tentang kematian kakakku? Hayo jawab sejujurnya!”

Tentu saja, betapa kuat pun batinnya, Siangkoan Liong terkejut bukan main mendengar pengungkapan rahasia itu dari mulut Li Sian. “Ah, itu fitnah belaka! Dari siapa engkau mendengar fitnah itu, Sian-moi?”

“Tidak peduli dari siapa! Pokoknya katakanlah siapa pembunuh kakakku dan mengapa ada siasat buruk itu untuk mengelabuhi aku?”

Tiba-tiba muncul Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek dan dia segera berkata dengan suara lantang, “Siangkoan-kongcu, tadi aku melihat ia bicara bisik-bisik dengan Bi-kwi!”

“Ah, kalau begitu siluman betina itu yang telah menyebar fitnah jahat!” Siangkoan Liong berseru marah. “Aku harus menegur wanita itu!” Dan dia pun segera meloncat pergi untuk mencari Bi-kwi di kamarnya, diikuti oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Melihat ini, Li Sian juga cepat mengikuti karena ia ingin kepastian, siapa yang benar antara mereka.

Sementara itu, Bi-kwi telah berada di dalam kamarnya, “Telah kuceritakan kepada Pouw Li Sian itu tentang pembunuhan atas diri kakaknya, dan kurasa badai akan segera datang menyerang.”

“Hemmm, biarkan saja, aku tidak takut,” kata Yo Jin dengan gagah. “Bagaimanapun juga, anak kita telah selamat, dan kita tidak boleh membantu perbuatan jahat.”

Bi-kwi merasa terharu sekali melihat kegagahan suaminya. Ia maju merangkul suaminya, merasa bahwa sekali ini mereka terancam bahaya maut yang amat berbahaya dan ia tidak berdaya menyelamatkan suaminya. “Engkau memang benar, dan aku merasa berbahagia sekali berada di sampingmu karena sikapmu yang gagah membangkitkan semangatku. Memang kita telah tertipu. Mereka itu sama sekali bukan perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang penjajah dan membebaskan nusa bangsa dari penjajahan, melainkan sekelompok orang orang jahat yang bersekutu untuk memberontak, demi diri sendiri. Siangkoan Lohan telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam di sini, dan aku mendengar bahwa usaha pemberontakan ini hanyalah untuk cita-cita agar kelak puteranya dapat diangkat menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil. Ibu Siangkoan Liong adalah seorang puteri istana, karena itu Siangkoan Lohan merasa bahwa puteranya itu adalah seorang pangeran dan karenanya patut untuk menjadi kaisar. Itulah yang mendorong adanya pemberontakan mereka, bukan karena kesadaran politik untuk membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan.”

Yo Jin bangkit berdiri dan mengepal tinju. “Dan engkau hendak mereka paksa menjadi kaki tangan mereka, membantu usaha mereka yang jahat itu? Tidak, isteriku, tidak boleh sama sekali!”

“Jangan khawatir suamiku, jangan khawatir. Aku pun setuju denganmu, aku tidak sudi membantu mereka. Akan tetapi, hal ini akan mengakibatkan bahaya besar mengancam keselamatan kita.”

“Tidak mengapa! Aku tidak takut. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan jauh lebh baik mati sebagai seorang terhormat dan bersih daripada hidup sebagai kaki tangan orang-orang jahat!”

Bi-kwi semakin kagum dan terharu. Ia merangkul dan mencium suaminya dengan kedua mata basah air mata. Dalam keadaan berangkulan itulah pintu depan jebol ditendang orang dan muncullah Siangkoan Liong, Sin-kiam Mo-li, dan Toat-beng Kiam-ong dengan sikap garang! Dan di belakang mereka, muncul pula Pouw Li Sian yang mukanya nampak pucat!

Bi-kwi cepat menyembunyikan suaminya di belakang tubuhnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang namun waspada, maklum bahwa badai yang sudah disangkanya akan muncul itu kini telah tiba.

“Bi-kwi, engkau berani menyebar fitnah, meracuni hati Sian-moi dengan berita bohong!” bentak Siangkoan Liong dengan sikap marah walaupun suaranya masih terdengar halus seperti biasa. “Hayo cepat engkau tarik kembali fitnah itu dan mengaku salah agar aku masih dapat mempertimbangkan apakah engkau dapat dimaafkan atau tidak.”

Bi-kwi tetap tenang dan ia malah tersenyum manis. “Mengapa aku harus menarik kembali tuduhan yang memang berdasar? Aku tahu bahwa kakak dari nona Pouw terbunuh oleh kaki tangan kalian sendiri, karena dia tidak mau ikut bersekutu dengan rencana pemberontakan kalian. Aku tahu bahwa pemberontakan ini sama sekali bukan perjuangan membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan, melainkan hanya untuk merebut pemerintahan agar Siangkoan Liong kelak menjadi kaisarnya!

“Ihhh....!” Li Sian mengeluarkan teriakan marah.

Akan tetapi Siangkoan Liong kini tertawa. “Heh-heh-heh, engkau sudah tahu itu? Bagus sekali! Nah, apa salahnya dengan itu? Aku adalah seorang pangeran, dalam darahku mengalir darah keluarga istana. Ibuku seorang puteri, maka sudah sepantasnya kalau kelak aku menjadi kaisar! Dan siapa yang menjadi penghalang, akan mati di tanganku. Bi-kwi, sekali lagi, berlututlah mengaku salah dan nyawamu, juga nyawa suamimu, mungkin takkan kucabut.”

“Keparat!” Tiba-tiba Yo Jin melompat keluar dari belakang punggung isterinya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Siangkoan Liong. “Siapa takut mati? Nyawaku berada di tangan Tuhan bukan di tangan seorang manusia rendah semacam engkau!”

Siangkoan Liong marah sekali, tiba-tiba saja tangannya menghantam ke arah kepala Yo Jin.

“Wuuuttttt.... klukkk!” Hantaman itu ditangkis oleh Bi-kwi, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terhuyung, akan tetapi suaminya selamat dari hantaman itu. Pada saat itu, Toat-beng Kiam-ong sudah menyerang Bi-kwi dengan sebatang pedangnya sehingga wanita ini terpaksa cepat mengelak ke kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan. Si Raja Pedang yang jahat ini memutar pedang dan mendesak Bi-kwi. Wanita ini memperlihatkan kegesitannya, mengelak ke sana-sini. Ia dapat menghindarkan diri, namun ia merasa prihatin sekali karena suaminya tidak ada lagi yang melindunginya.

Siangkoan Liong yang masih marah, kini menerjang ke depan, tangannya kembali menampar. Hanya nalurinya saja yang membuat Yo Jin mengangkat tangan menangkis.

“Desss....!” Tangan itu terpental dan juga kepalanya kena ditampar tangan Siangkoan Liong. Yo Jin terjungkal dan tewas seketika karena kepalanya retak terkena hantaman tangan pemuda yang lihai itu.

Bi-kwi menjerit nyaring dan bagaikan seekor singa betina melihat anaknya diganggu, ia mengamuk. Sebuah tendangannya nyaris membuat pedang di tangan Toat-beng Kiam-ong terlepas. Biarpun Si Raja Pedang ini masih sempat melompat ke belakang menyelamatkan pedangnya, namun tetap saja pahanya terserempet sepatu kaki Bi-kwi sehingga dia mengeluh dan hampir roboh karena paha itu terasa nyeri sekali. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li sudah meloncat ke depan dan menyerang Bi-kwi dengan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.

“Kau.... kau.... keparat jahanam!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Pouw Li Sian sudah meloncat ke depan dan menyerang Siangkoan Liong dengan pedangnya. Pemuda ini sudah mencabut pedangnya pula dan menangkis.

“Sian-moi, tenanglah, sabarlah....”

“Manusia iblis....!” Li Sian menyerang terus dan kembali Siangkoan Liong menangkis sehingga terdengar suara nyaring dan nampak api berpijar dari kedua pedang itu.

“Sian-moi, ingat, engkau adalah kekasihku, engkau tunanganku.... bahkan engkau....sudah menjadi isteriku....” Siangkoan Liong mencoba untuk memperingatkan gadis itu agar mereda kemarahannya. Akan tetapi sebaliknya daripada reda, kemarahan gadis itu makin berkobar, seolah-olah ucapan dari pemuda itu makin merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang bernyala. Ucapan itu mengingatkan Li Sian betapa dirinya telah menjadi korban siasat licik, betapa ia telah menyerahkan kehormatannya begitu saja karena terjatuh oleh rayuan pemuda itu, yang dibantu pula oleh arak perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan juga kekuatan sihir yang membuat ia malam itu menjadi jinak!

“Kalian.... kalian.... iblis-iblis busuk....!” Li Sian menjerit dan pedangnya diputar garang sekali ketika ia kembali menyerang kepada pemuda itu.

Melihat, ini, Siangkoan Liong tidak berani main-main lagi. Dia tahu betapa lihai dan berbahayanya Li Sian yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, dan memiliki kekuatan sakti yang menggiriskan. Apalagi gadis ini agaknya demikian marah dan nekat, maka akan berbahaya sekali kalau dia mengalah. Maka, Siangkoan Liong lalu memutar pula pedangnya, mengimbangi kecepatan dan kekuatan gadis itu sehingga mereka berdua lenyap ditelan gulungan sinar pedang mereka dalam suatu perkelahian yang mati-matian dan seru sekali. Karena memang tingkat kepandaian Siangkoan Liong menjadi tinggi dan hebat setelah dia digembleng oleh gurunya yang bernama Ouwyang Sianseng atau Nam San Sian-jin dan tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Pouw Li Sian, maka begitu dia membalas dan mengerahkan tenaga, mengeluarkan kepandaiannya, perlahanlahan Li Sian mulai terdesak. Namun gadis yang merasa sakit hati ini tidak menjadi jerih dan melawan terus dengan nekat. Ia tidak takut mati dan beberapa kali hendak mengadu nyawa sehingga hal ini membuat Siangkoan Liong terpaksa harus berlaku hati-hati sekali. Beberapa kali, ketika pedangnya menyambar ke arah Li Sian, gadis itu tidak menangkis atau mengelak, melainkan mencurahkan segala daya serangnya untuk membarengi menyerangnya sehingga kalau dia melanjutkan serangan itu, tentu dirinya sendiri akan menjadi korban pedang gadis itu! Tentu saja Siangkoan Liong tidak mau mati sampyuh, dan dia terpaksa menarik kembali serangannya untuk menyelamatkan diri pula.

Bi-kwi sendiri dikeroyok dua orang lawan yang tangguh. Menghadapi Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek seorang saja, kepandaiannya sudah setingkat, dan ia malah dapat terdesak hebat karena ia tidak bersenjata sedangkan lawan itu merupakan seorang ahli pedang yang lihai. Apalagi kini Sin-kiam Mo-li maju mengeroyoknya. Tingkat kepandaian Sin-kiam Mo-li lebih tinggi tingkatnya dan wanita iblis itu memegang sepasang senjata yang amat berbahaya. Namun Bikwi juga sudah nekat. Ia melihat suaminya tewas di depan matanya. Suaminya yang tercinta, satu-satunya manusia di bumi ini, selain puteranya, yang dicintanya dan melihat suaminya mati, ia pun tidak ingin hidup lebih lama lagi! Ia merasa jerih menghadapi kehidupan yang serba kejam ini tanpa bimbingan suaminya yang selalu demikian tenang dan gagah perkasa! Maka, kedukaan karena kematian suaminya membuat Bi-kwi menjadi nekat dan ia mengamuk seperti seekor naga betina. Walaupun ia tidak bersenjata lagi, namun serangan-serangannya cukup berbahaya sehingga untuk beberapa lamanya dua orang lawan yang lebih kuat karena memegang senjata itu belum juga mampu menundukkannya.

Sin-kiam Mo-li maklum bahwa Bi-kwi tidak mungkin dapat dibujuk untuk membantu mereka lagi setelah kini suaminya tewas di tangan Siangkoan Liong. Maka ia pun berseru kepada Toat-beng Kiam-ong. “Kiam-ong, kita bunuh saja perempuan ini agar di kemudian hari tidak membikin repot!”

Siangkoan Liong mendengar ucapan ini dan biarpun dia sedang sibuk menghadapi pengamukan Li Sian, dia segera berseru, “Benar! Bunuh perempuan itu!”

Setelah mendapat perintah ini, Toat-beng Kiam-ong dan Sin-kiam Mo-li tidak ragu-ragu lagi. Mereka mendesak dan menekan Bi-kwi. Namun, wanita ini memang hebat. Ia adalah bekas tokoh sesat yang amat lihai, yang dijuluki Setan Cantik, bukan saja karena sepak terjangnya yang menggiriskan, akan tetapi juga karena kelihaiannya. Ia adalah murid pertama dari Sam Kwi (Tiga Setan) yang mencintanya dan mereka bertiga telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada murid tercinta ini. Biarpun kedua tangan Bi-kwi tidak memegang senjata, namun kedua tangan itu mempergunakan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang) sehingga kedua tangan itu kalau membacok, atau menusuk, tajam dan runcingnya seperti pedang saja. Juga kedua lengan wanita ini dapat mulur sampai hampir dua meter kalau ia mempergunakan Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam). Selain tendangan-tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), ia memiliki kekebalan Kulit Baja. Dan masih menguasai banyak macam ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Maka, kedua orang lawannya yang memiliki tingkat lebih tinggi itu pun tidak mudah mengalahkannya dan hanya dapat mendesak terus. Baru setelah lewat hampir seratus jurus, mulailah Bi-kwi yang kelelahan karena selama bertahun-tahun ini ia tidak pernah berlatih silat, menerima beberapa tusukan dan lecutan cambuk yang mengakibatkan bajunya robek-robek dun kulitnya terluka.

“Siangkoan Liong manusia busuk!” Tiba-tiba terdengar makian suara seorang wanita dan muncullah Kwee Ci Hwa yang ditemani oleh Gu Hong Beng. Seperti telah kita ketahui, setelah mengalami penghinaan dan penderitaan, diperkosa oleh Siangkoan Liong setelah Ci Hwa berhasil dijatuhkan dengan rayuan, Ci Hwa merasa sakit hati dan putus harapan. Ia maklum bahwa dengan kepandaiannya yang tidak berapa tinggi, mustahil baginya untuk membalas dendam kepada Siangkoan Liong atas semua penghinaan yang dideritanya. Akan tetapi, ketika ia mencoba membunuh diri dengan menggantung di dalam hutan, ia diselamatkan oleh pendekar Gu Hong Beng yang dapat menyadarkannya dengan nasihat-nasihat. Keduanya lalu bersahabat dan mereka bersama pergi melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang karena Hong Beng juga mendengar berita akan gerakan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-liong-pang. Dan akhirnya, pada sore hari itu, setelah cuaca mulai gelap, keduanya, atas petunjuk Ci Hwa yang sudah mengenal lapangan, berhasil menyelundup masuk ke dalam perkampungan Tiat-liong-pang dan masuk ke dalam rumah induk yang besar.

Sebetulnya, Hong Beng hendak bersikap hati-hati, namun Ci Hwa yang merasa sakit hati, ingin sekali menemukan Siangkoan Liong dan hendak membalas dendam kepada pemuda itu. Kini ada Hong Beng di sampingnya maka ia tidak takut dan mengharapkan akan dapat membunuh musuh itu dengan bantuan Hong Beng. Ketika mereka berdua melihat perkelahian di ruangan tengah, dan ketika Ci Hwa melihat Siangkoan Liong sedang berkelahi melawan seorang gadis yang lihai pula, ia lalu berteriak dan segera menerjang ke depan, membantu Li Sian mengeroyok Siangkoan Liong. Gadis ini menggunakan senjata sebatang sabuk rantai yang memang sejak kecil, senjata inilah yang merupakan senjata andalan keluarganya. Dengan sabuk rantai baja ini, ia menerjang maju menyerang Siangkoan Liong dengan penuh kebencian. Karena sakit hati, maka biarpun tingkat kepandaian Ci Hwa jauh di bawah tingkat lawannya, namun seperti juga Li Sian, gadis ini siap mengadu nyawa dan melakukan serangan secara nekat sekali!

Sementara itu, Hong Beng segera mengenal Bi-kwi yang dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Juga Bi-kwi mengenal Hong Beng, maka hatinya menjadi agak besar karena ia boleh mengharapkan bantuan pendekar itu. Hong Beng melihat betapa gadis yang dibantu Ci Hwa memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia pun tanpa ragu lagi cepat mencabut sepasang pedang yang tergantung di punggungnya. Dalam usahanya melakukan penyelidikan itu, dia sudah mempersiapkan diri dengan sepasang pedang, yang merupakan senjata yang dikuasainya karena dia memiliki Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), apalagi setelah mendengar dari Ci Hwa betapa di perkampungan Tiat-liong-pang terdapat banyak tokoh pandai. Kini, dengan sepasang pedang di tangan dia pun menyerbu dan membantu Bi-kwi yang sudah mulai payah dan terdesak hebat.

Gu Hong Beng adalah murid Suma Ciang Bun. Ilmu kepandaiannya murni dengan ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es. Namun harus diakui bahwa gurunya, Suma Ciang Bun, bukan merupakan keturunan keluarga Pulau Es yang terlalu kuat, tidak menonjol bakatnya. Oleh karena itu, biarpun Hong Beng menerima gemblengan seorang pendekar keluarga Pulau Es, tingkat kepandaiannya tidak menonjol sekali dan dibandingkan dengan tingkat Bi-kwi, hanya seimbang. Namun, masuknya Hong Beng yang membantu Bi-kwi, membuat Bi-kwi seperti tumbuh sayap atau tambah semangat. Hong Beng yang juga mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li yang lihai segera mengerahkan tenaga dan memutar sepasang pedangnya dengan ganas.

Sin-kiam Mo-li terkejut melihat munculnya Hong Beng yang pernah membuat ia tergila-gila (baca kisah SULING NAGA), dan pernah pula ia dan beberapa orang sekutunya mengeroyok Hong Beng dan Bi-Kwi yang bekerja sama ketika kedua orang ini berusaha untuk merampas kembali Kao Hong Li yang diculiknya. Maka, marahlah Sin-kiam Mo-li dan ia berteriak, “Bagus! Kiranya engkau kembali datang mencampuri urusan kami. Sekali ini aku tidak akan mengampunimu, Gu Hong Beng” Dan wanita ini lalu menyambut Hong Beng dengan serangan dahsyat. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang musuh lama ini.

Kini pertempuran terjadi lebih seru lagi. Bi-kwi yang sudah luka-luka itu kini dengan mati-matian melawan Toat-beng Kiam-ong yang semakin ganas memainkan pedangnya. Gu Hong Beng bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong dikeroyok oleh Li Sian dan Ci Hwa. Diam-diam Siangkoan Liong merasa khawatir melihat sepak terjang dua orang gadis itu. Biarpun kedua orang gadis itu tidak tahu bahwa keduanya mempunyai sebab yang sama yang membuat mereka mati-matian hendak mengadu nyawa dengan Siangkoan Liong, namun pemuda ini tentu saja tahu dan inilah yang membuat dia merasa tidak enak. Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan biarpun kini Ci Hwa mengeroyoknya dia sama sekali tidak merasa takut karena dia tahu bahwa kepandaian gadis ini masih jauh untuk dapat menandinginya. Namun, kenekatan kedua orang gadis yang hendak mengadu nyawa itulah yang membuat dia khawatir. Kalau dia mau, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh mereka. Akan tetapi, diam-diam pemuda ini masih merasa sayang sekali membunuh mereka. Apalagi Li Sian. Dia ingin menangkap mereka hidup-hidup, kalau tidak mau diajak bersekutu juga mereka masih berguna untuk dijadikan hiburan hatinya, walaupun dengan paksaan!

Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring. “Gu Hong Beng, jangan takut aku datang membantumu membasmi gerombolan jahat ini!” Dan muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Usianya kurang lebih dua puluh tujuh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka kehitaman, gagah perkasa seperti tokoh Thio Hwi dalam cerita Sam Kok. Begitu pemuda ini meloncat ke depan dan mencabut sebatang pedang, terdengar suara mengaung yang menyeramkan seolah-olah pedang itu dapat menggereng dan nampak sinar berkilauan menyilaukan mata.

“Kakak Cu Kun Tek....!” Hong Beng berseru gembira setelah mengenal orang itu. “Bagus sekali engkau datang! Mari kita basmi iblis-iblis ini!”

Akan tetapi sebelum Cu Kun Tek sempat membantu Hong Beng, tiba-tiba dari dalam muncul dua orang kakek yang bukan lain adalah Siangkoan Lohan dan seorang kakek tinggi kurus berpakaian siucai yang sikapnya halus dan memegang sebatang kipas yang dikebut-kebutkan tubuhnya. Dia bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, guru Siangkoan Liong!

Tentu saja kemunculan Cu Kun Tek di tempat itu bukan merupakan suatu kebetulan. Seperti telah kita ketahui, Kun Tek bersahabat dengan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang. Ketika dia singgah di tempat kediaman Cin-sa-pangcu ini, dia mendengar akan usaha pemberontakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang yang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat. Andaikata pemberontakan itu murni, melawan pemerintah penjajah, tentu ketua Cin-sa-pang itu akan membantu dengan sekuat tenaga. Namun melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan pemberontak-pemberontak kotor seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li, tentu saja dia tidak sudi bekerja sama. Hampir saja ketua ini tewas di tangan Sin-kiam Mo-li kalau tidak tertolong oleh Sin Hong. Dalam percakapan itu, Kun Tek mendengar akan gerakan ini dan tentu saja hatinya tergerak untuk menentang. Maka, dia pun berangkat ke utara untuk melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia keluar menyelundup masuk ke perkampungan Tiat-liong-pang dan melihat perkelahian itu.

Ketika itu, Siangkoan Lohan sedang bercakap-cakap dengan tamunya, yaitu Ouwyang Sianseng, melanjutkan percakapan, mereka dengan Siangkoan Liong tadi. Setelah pemuda itu meninggalkan ruangan dalam kedua orang tua itu masih bercakap-cakap, mengatur siasat yang mulai digambarkan oleh Ouwyang Sianseng sebagai dalang pemberontakan. Selagi bercakap-cakap itulah mereka mendengar keributan dan akhirnya mereka pun keluar, tepat pada saat Kun Tek muncul dan mencabut pedangnya.

Melihat pedang itu, Siangkoan Lohan terkejut sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ternama dan sudah banyak pengalaman, dia tentu saja pernah mendengar akan pedang pusaka di tangan pemuda itu.

“Ah, bukankah itu Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)?” tanyanya sambil menggerakkan kedua kakinya. Tubuhnya melayang ke depan Cu Kun Tek dan tangannya mendadak menyambar untuk merampas gagang pedang. Caranya merampas ini hebat sekali. Tangan kiri, dengan jari telunjuk dan jari tengah, meluncur menusuk ke arah kedua mata pemuda itu, sedangkan tangan kanannya cepat berusaha merampas pedang ini!

Cu Kun Tek adalah seorang pemuda gagah perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari ayah dan ibunya. Ayahnya, Cu Kang Bu, berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang amat kuat seperti gajah, sedangkan ibunya adalah Yu Hwi, seorang pendekar wanita yang juga amat lihai. Maka, Cu Kun Tek yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, tentu saja lihai sekali, apalagi karena di tangannya terdapat Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka keluarganya yang amat ampuh. Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Dari cara kakek itu menyerangnya, Kun Tek mengenal orang pandai, maka dia pun tidak berani memandang ringan.

“Hyaaaaattt....!” Dia mengeluarkan seruan sambil meloncat ke belakang dan memutar pedangnya sebagai perisai. Menghadapi gulungan sinar pedang yang menyeramkan dan mengeluarkan suara mengaung seperti binatang buas itu, Siangkoan Lohan tentu saja tidak berani melanjutkan serangan kedua tangannya. Dia menarik kembali kedua lengannya dan ketika tangan kirinya bergerak ke arah pinggang, nampak sinar emas berkelebat dan tahu-tahu ketua Tiat-liong-pang itu telah mencabut sebatang hun-cwe (pipa tembakau) emas yang panjangnya ada tiga kaki! Emas itu hanya menghias di luarnya saja, dan di sebelah dalam, hun-cwe itu terbuat dari baja pilihan. Benda ini biasanya dia pakai untuk menghisap tembakau yang dibakar di ujung hun-cwe, akan tetapi juga merupakan senjata yang amat ampuh, dan berbahaya dari ketua Tiat-liong-pang itu. Dengan sikap tenang Siangkoan Lohan lalu menudingkan hun-cwenya kepada Kun Tek.

“Orang muda, apakah hubunganmu dengan keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman?” bentaknya.

Kun Tek maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi dia tidak tahu bahwa kakek ini adalah ketua Tiat-liong-pang yang diselidikinya. Akan tetapi, melihat bahwa kakek itu berada di situ, maka tentu saja dia menganggapnya sebagai musuh.

“Namaku Cu Kun Tek, keturunan langsung dari Lembah Naga Siluman....”

“Bagus!” Siangkoan Lohan memotong. “Benar dugaanku, pedang itu tentulah Koai-liong Po-kiam. Orang muda, serahkan pedang itu kepadaku dan engkau akan kami terima sebagai seorang sahabat baik!”

“Simpan bujukanmu!” bentak Kun Tek. “Dan hentikan penyerangan terhadap kawan baikku Gu Hong Beng dan para wanita ini!”

“Bocah sombong, engkau memilih mampus agaknya!” Siangkoan Lohan sudah menyerang dengan hun-cwenya dan nampak sinar emas berkelebat di depan mata Kun Tek yang cepat memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Mereka sudah saling serang dan dalam belasan jurus saja tahulah Kun Tek bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan tangguh.

Terutama sekali tendangan-tendangan yang dilakukan kedua kaki kakek itu sungguh amat berbahaya karena tendangan itu selain kuat, juga cepat dan tidak terduga datangnya. Agaknya kakek ini adalah seorang ahli tendangan yang hebat. Juga tangan kiri kakek itu membuat gerakan cengkeraman dan tangkapan yang cukup berbahaya. Untung bagi Kun Tek bahwa dia dilindungi oleh Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka yang agaknya membuat kakek itu agak jerih, bahkan tak pernah berani mengadu hun-cwenya dengan pedang. Tentu kakek itu sudah tahu akan keampuhan Koai-liong Po-kiam dan takut kalau hun-cwenya, akan patah sehingga dia akan terancam bahaya.

Sementara itu, para anak buah Tiat-liong-pang, dipimpin oleh Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dari Siangkoan Lohan, telah mengurung tempat itu dengan ketat. Melihat ini, diam-diam Kun Tek dan Hong Beng merasa khawatir. Tak mereka sangka bahwa pihak lawan memiliki demikian banyak orang pandai, dan tempat itu telah dikepung ketat. Agaknya sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri. Mereka tidak tahu bahwa kekuatan yang dihimpun Tiat-liong-pang memang besar dan kuat. Kalau saja sebagian besar pembantu Siangkoan Lohan tidak sedang pergi melaksanakan tugas membujuk para tokoh kang-ouw membantu gerakan mereka, berkumpul lebih banyak lagi orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.

Agaknya Ouwyang Sianseng yang menjadi tamu kehormatan merasa tidak sabar melihat betapa pihak tuan rumah masih belum mampu menundukkan dua orang pemuda dan tiga orang wanita muda itu. Hal ini mengecewakan hatinya. Baru ada lima orang muda saja yang datang mengacau, agaknya sukar untuk menundukkan mereka, apalagi kalau musuh-musuh yang lebih berat. Dia pun melihat keraguan pada diri muridnya, yang agaknya tidak ingin membunuh atau melukai dua orang gadis cantik yang mengeroyoknya. Siangkoan Lohan sendiri nampaknya jerih menghadapi pedang Koai-liong Po-kiam yang memang hebat itu, dan tingkat kepandaian Toat-beng Kiam-ong hanya mampu membuat dia mendesak Bi-kwi, tanpa dapat merobohkan wanita yang sudah luka-luka itu.

“Hemmm, sungguh membosankan, biar kuselesaikan keributan ini....!” katanya, seperti kepada diri sendiri dan dia mengembangkan kipasnya, lalu dengan langkah lebar dia memasuki medan pertempuran. Gerakannya gesit dan ringan sekali dan mula-mula dia menghampiri muridnya yang dikeroyok oleh dua orang gadis karena perkelahian ini yang terdekat dengannya. Dua kali tangan yang memegang kipas itu mengebut. Li Sian dan Ci Hwa yang sedang sibuk mengeroyok Siangkoan Liong dengan penuh dendam kebencian itu, gelagapan ketika ada serangkum angin menyambar ke muka mereka, dan tiba-tiba saja, kipas itu menutup dan dua kali digerakkan menotok tengkuk dua orang gadis itu. Mereka hanya mengeluarkan suara rintihan lirih dan tubuh mereka sudah terkulai dan roboh dengan lemas!

Dengan langkah-langkah aneh dan ringan sekali, kini Ouwyang Sianseng menghampiri Sin-kiam Mo-li yang masih berkelahi dengan amat sengitnya melawan Gu Hong Beng. Kini kipas itu ditutup dan serangkaian totokan menyerang ke arah sembilan jalan darah terpenting di tubuh Hong Beng. Pemuda perkasa ini terkejut bukan main. Menghadapi Sin-kiam Mo-li saja sudah merupakan lawan berat baginya, dan kini, muncul kakek yang luar biasa lihainya. Serangkaian serangan itu demikian cepat, tanpa mengeluarkan bunyi dan tahu-tahu dirinya telah diancam totokan-totokan aneh. Dia berusaha mengelak dan menangkis dengan sebelah pedangnya, sedangkan yang sebelah lagi masih dia pergunakan untuk menghadapi dua senjata Sin-kiam Mo-li. Karena sebagian perhatiannya harus dikerahkan untuk menghadapi serangan Sin-kiam Mo-li, maka akhirnya dia tidak mampu menghindarkan diri dari totokan gagang kipas yang mengenai pundaknya. Dia mengeluh dan terhuyung, lalu sebuah totokan susulan membuat dia roboh terkulai, lemas tak berdaya sehingga kedua pedangnya pun terlepas dari tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai.

“Biar kurampaskan pedangnya untukmu, Lohan,” kata Ouwyang Sianseng yang kini sudah meluncur ke arah perkelahian antara ketua Tiat-liong-pang yang masih dilawan dengan gigihnya oleh Cu Kun Tek. Melihat berkelebatnya kakek yang memegang kipas itu di samping kirinya, Kun Tek yang sudah repot menghadapi desakan hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan, cepat mengelebatkan pedangnya ke kanan. Akan tetapi, Ouwyang Sianseng bukan mengelak, bahkan menyambut serangan pedang itu dengan totokan gagang kipasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan yang memegang pedang. Dalam sedetik saja, pedang itu telah berpindah ke tangan Ouwyang Sianseng dan kini hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan menyambar dan menotok jalan darah di kedua pundak Kun Tek. Tak dapat dicegah lagi tubuh pemuda yang tinggi besar dan kokoh kuat itu terkulai dan roboh!

Pada saat itu Bi-kwi sudah melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, maka tiba-tiba ia meninggalkan Toat-beng Kiam-ong dan tepat pada saat Ouwyang Sianseng merampas pedang Kun Tek, wanita perkasa ini menyerangnya dari belakang dengan pukulan Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot) ke arah tengkuk kakek itu. Ia melakukannya dengan sepenuh tenaganya untuk membalas kawan-kawannya yang dirobohkan oleh kakek lihai itu.

“Desss....!” Pukulan kedua tangan Bi-kwi itu tepat mengenai punggung dan tengkuk, akan tetapi akibatnya, tubuh Bi-kwi sendiri yang terhuyung ke belakang dengan menggigil! Ia tadi merasa seperti menyerang sebuah pilar baja yang amat dingin! Maklum bahwa ia tidak akan mampu melawan lagi, dan kalau sampai tertawan tentu musuh-musuhnya takkan mengampuninya, Bi-kwi lalu meloncat ke dekat jenazah suaminya.

“Suamiku, tunggu.... aku menyusulmu....” katanya dan pada saat Sin-kiam Mo-li meloncat mendekatinya untuk mencegah, Bi-kwi telah mencengkeram kearah kepalanya sendiri. Ia mengerahkan Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kelima jari tangan kanannya menusuk dan menancap ke dalam kepalanya sampai ke otak. Ia pun terkulai dan roboh menelungkup dan merangkul jenazah Yo Jin, tewas seketika!

Biarpun hatinya girang karena memperoleh pedang Koai-liong Po-kiam yang diterimanya dari Ouwyang Sianseng, namun hati girang itu terganggu oleh kekesalan melihat betapa kekacauan terjadi di situ. “Tangkap mereka semua, jebloskan ke dalam tahanan dan jaga yang ketat. Awas, jangan sampai ada yang dapat lolos! Perkuat penjagaan dan jangan biarkan siapa juga masuk tanpa ijin!” bentaknya kepada muridnya, Tiat-liong Kiam-eng yang segera mengerahkan anak buah Tiat-liong-pang untuk menyeret tubuh Kun Tek, Hong Beng, Li Sian dan Ci Hwa dan memasukkan mereka ke dalam tahanan, ke dalam kamar sel yang terpisah-pisah, juga untuk menyingkirkan dua sosok mayat dan membersihkan ruangan itu.

Siangkoan Lohan lalu mengajak Ouwyang Sianseng dan puteranya, bersama para pembantu yang ada di situ, untuk memasuki ruangan dalam dan berunding. Menurut perhitungan Ouwyang Sianseng, kini sudah tiba saatnya untuk segera melakukan gerakan. Penyerbuan orang-orang muda itu menunjukkan bahwa gerakan mereka mulai diketahui orang luar dan hal itu berbahaya. Lebih baik mendahului sebelum pemerintah mencium akan gerakan itu. Maka, Siangkoan Lohan segera mengirim utusan menghubungi para sekutunya, terutama sekali Agakai kepala suku Mongol, dan tentu saja Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan yang berada di perbatasan, pasukan Mancu yang sudah siap membantu pemberontakan itu. Juga para pembantu yang bertugas keluar, dipanggil agar segera pulang.

***

Empat orang muda yang tadinya lemas tertotok, kini sudah dapat menggerakkan tubuh mereka. Akan tetapi, Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian mendapatkan diri mereka terbelenggu. Sehelai rantai baja panjang mengikat kaki mereka pada tonjolan besi di dinding, dan kedua pergelangan tangan mereka juga dibelenggu, disambung dengan rantai sehingga biarpun mereka mampu menggerakkan kaki tangan, namun mereka tidak dapat bebas. Hanya Ci Hwa seorang yang tidak terbelenggu dan hal ini adalah karena Tiat-liong Kiam-eng menganggap Ci Hwa tidak berbahaya. Dia menganggap bahwa ilmu kepandaian gadis itu tidak berapa tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan mampu memberontak. Dan dia sendiri yang memimpin penjagaan atas diri empat orang tawanan itu. Sejumlah lima puluh orang ditugaskan berjaga secara bergilir dan dia sendiri seringkali meronda untuk meneliti keadaan empat orang tawanan itu agar jangan sampai ada kesempatan atau kemungkinan lolos.

Ketika Ci Hwa dapat lagi menggerakkan tubuhnya, ia segera bangkit dalam kamar tahanan yang luasnya hanya tiga meter persegi itu dan memeriksa keadaan kamar tahanan. Sebuah kamar yang kuat, dengan tembok tebal dan di bagian depannya terdapat sebuah pintu besi yang bagian atasnya terdapat terali baja. Ia segera melangkah ke pintu dan memandang keluar. Tempat itu merupakan bangunan yang agaknya memang khusus dibangun menjadi sebuah penjara atau tempat tawanan karena mempunyai banyak sekali kamar-kamar seperti yang ditempatinya itu. Sebuah kamar yang kosong sama sekali sehingga orang harus tidur dan duduk di lantai yang dingin dan keras! Ketika ia didorong ke dalam kamar ini secara kasar oleh anggauta Tiat-liong-pang, ia sempat melihat betapa hal yang sama diperlakukan oleh para anggauta Tiat-liong-pang kepada Gu Hong Beng dan juga kepada gadis cantik dan pemuda tinggi besar yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang sama-sama melawan Tiat-liong-pang dan sekutunya.

“Kasihan Beng-ko....” Ci Hwa mengenang nasib Hong Beng. “Karena menolongku, dia sampai ikut tertawan. Ah, bagaimana aku harus menolongnya? Biar berkorban nyawa sekalipun, aku bersedia untuk menyelamatkannya.” Ia termenung dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda tampan dan halus yang pernah merenggutnya dari tangan maut ketika ia nekat hendak membunuh diri di hutan itu. Ia tahu bahwa tiga orang tawanan lain berada di dalam kamar-kamar sebelah karena ia dilemparkan dalam kamar terakhir, dan dia pun melihat betapa tiga orang itu lebih dahulu dibelenggu sebelum ditinggalkan dalam kamar tahanan. Akan tetapi ia tidak dapat berhubungan dengan mereka karena kamar mereka bersebelahan.

Biarpun malam itu di luar amat gelapnya, namun di bangunan besar yang menjadi tempat tawanan ini cukup terang oleh lampu-lampu gantung. Agaknya memang tempat itu sengaja diterangi agar gerak-gerik para tawanan dapat dilihat jelas oleh para penjaga. Ci Hwa melihat dua orang penjaga membawa lentera mengiringkan seorang laki-laki tinggi kurus menuju ke tempat para tawanan. Agaknya masih ada tawanan lain di tempat itu selain mereka berempat, dan kini laki-laki tinggi kurus itu melakukan perondaan, menjenguk ke dalam setiap kamar yang berisi tawanan melalui ruji besi di bagian atas pintu. Dari jauh, Ci Hwa melihat dari sinar lentera itu dan kembali ia tertegun. Tadi, ketika ia dan tiga orang lainnya diseret ke tempat tawanan ini, ia pun sudah tertegun dan terheran melihat laki-laki tinggi kurus itu, yang ternyata menjadi pimpinan para anak buah Tiat-liong-pang yang melakukan penjagaan di tempat itu. Ia merasa sudah mengenal laki-laki itu akan tetapi di mana. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata tajam dan muka agak pucat. Pedangnya tergantung di punggung dan pandang mata yang tajam itu membayangkan kecerdikan dan juga kekejaman. Kini, melihat sinar lentera menyoroti muka orang itu, melihat lirikan mata itu, tiba-tiba Ci Hwa teringat. Ciu-piauwsu! Ya, sudah beberapa kali ia bertemu dengan rekan ayahnya itu. Dia seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) di Ban-goan, di kota tempat tinggalnya, Sebagai seorang piauwsu, rekan dari ayahnya, tentu saja ia mengenalnya, seperti ia mengenal semua piauwsu di kota Ban-goan. Bahkan akhir-akhir ini, Ciu-piauwsu yang bernama Ciu Hok Kwi itu menarik perhatian keluarganya ketika Ciu-piauwsu mendatangi Ban-goan Piauwkiok dan menantang ayahnya! Ayah Kwee Tay Seng atau Kwee-piauwsu menyambut tantangan Ciu-piauwsu sehingga terjadi perkelahian, di mana Ciu-piauwsu tidak mampu menandingi ayahnya, mengaku kalah dan pergi sambil mengancam. Itulah Ciu-piauwsu! Dan kini, tahu-tahu dia muncul di tempat ini, sebagai kepala para anggauta Tiat-liong-pang! Mengingat ini, tiba-tiba saja Ci Hwa melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Hong Beng dan dua orang lainnya. Kalau saja ia dapat mendekati Ciu-piauwsu! Bagaimanapun juga, mereka adalah sekota, bahkan orang itu juga seorang piauwsu, seperti ayahnya.

Dan ia pun teringat bahwa Ciu Piauwsu adalah seorang piauwsu di perusahaan piauwkiok milik ayah Tan Sin Hong! Ciu Piauwsu adalah pembantu dari mendiang Tan Piauwsu. Apakah ini hanya suatu kebetulan saja? Otak gadis ini bekerja dan semakin mantap hatinya untuk mendekati Ciu Piauwsu, dengan cara apa pun, bukan sekadar untuk berusaha menyelamatkan Hong Beng dan dua orang tawanan lain, juga untuk menyelidiki tentang kehadiran seorang piauwsu di Ban-goan di antara orang-orang Tiat-liong-pang!

Seorang yang telah mengalami peristiwa hebat seperti yang diderita oleh Ci Hwa, memang dapat berubah segala-galanya. Rasa sakit hati, putus asa, duka dan kekhawatiran yang melanda hatinya semenjak ia diperkosa dan dihina oleh Siangkoan Liong, membuat ia menjadi seorang yang nekat. Ia tidak lagi menghargai dirinya sendiri, yang ada hanyalah satu tekad, ialah membalas dendam, melampiaskan kebencian atau rasa cinta tanpa mengenal batas lagi, tanpa mempedulikan keselamatan diri atau harga diri lagi.

Kini, Ciu Hok Kwi dan dua orang anak buahnya yang memeriksa setiap orang penghuni kamar-kamar tahanan itu, sedang menuju ke kamar tahanan di mana Ci Hwa berdiri memegangi terali besi dan memandang keluar.

“Ciu Piauwsu....!” Ci Hwa memanggil dengan suara lembut.

Ciu Hok Kwi memandang tajam dan sejenak dia menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. Ketika Ci Hwa berada di perkampungan itu dan menjadi korban Siangkoan Liong, Ciu Hok Kwi tidak berada di sana sehingga dia tidak tahu akan semua peristiwa yang menimpa diri gadis itu. Kini, ketika dia melakukan perondaan, tiba-tiba saja seorang di antara para tawanan itu, seorang gadis manis sekali dengan mulut yang penuh gairah, memanggilnya dengan sebutan Ciu Piauwsu, sebutan yang luar biasa sekali di situ karena tiada seorang pun menyebutnya seperti itu! Dia memandang tajam dan heran lalu melangkah dekat. Dia hanya tahu dan heran lalu melangkah dekat. Dia hanya tahu bahwa di antara empat orang tawanan yang tadi mengamuk dan ditangkap, gadis ini adalah yang paling lemah dan tidak berbahaya, demikian menurut keterangan Siangkoan Kongcu. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk membelenggu gadis ini.

Ci Hwa melihat sikap orang itu, maklum bahwa orang she Ciu itu agaknya lupa dan tidak mengenalnya. Memang ketika berada di Ban-goan, di antara mereka tidak ada hubungan sesuatu dan jarang berjumpa. Gemblengan batin yang mengalami guncangan dan tekanan hebat itu telah membuat gadis yang hijau itu kini menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan! Ia tersenyum, senyum manis dan ia tahu bahwa senyumnya dengan tarikan pada dagunya itu akan menciptakan lesung pipit yang manis pada lekukan pipinya yang kiri, yang sengaja ia miringkan agar tersorot sinar lentera yang dibawa oleh kedua orang anak buah Tiat-liong-pang itu.

“Aih, Ciu Piauwsu, apakah engkau sudah lupa kepadaku? Kita sama-sama dari Ban-goan, karena itu, harap kau suka mengingat akan kawan sekota dan suka menolong aku....!” dalam suaranya, Ci Hwa menggetarkan permohonan yang amat sangat, demikian pula sinar matanya memandang penuh harapan. Ciu Hok Kwi tertarik. Dia bukan seorang pelahap wanita seperti Toat-beng Kiam-ong atau Siangkoan Liong, akan tetapi dia bukanlah kanak-kanak. Dia seorang laki-laki dewasa yang sudah berpengalaman, maka tentu saja dia dapat menangkap gairah dalam pandang mata gadis manis ini, di mana terkandung penawaran dan janji manis sekali.

“Hemmm, jangan ngawur! Aku bukan piauwsu....!” Dia masih mencoba karena dia belum mengenal gadis itu, matanya tak dapat dihindarkan lagi mengamati lekukan dan tonjolan bukit dada yang menjadi amat jelas karena Ci Hwa menekan dadanya pada jeruji besi kuat-kuat.

“Aih, Ciu Piauwsu, harap jangan salah sangka. Aku.... aku mengenalmu sebagai seorang piauwsu yang gagah. Namaku Kwee Ci Hwa.... dari Ban-goan Piauwkiok! Nah, engkau tentu masih ingat, bukan?”

Ciu Hok Kwi terbelalak, lalu mengelus dagunya yang halus karena jenggotnya dia cukup bersih, matanya yang tajam itu mengamati wajah gadis cantik itu penuh perhatian.

“Ah, engkau she Kwee.... dari Ban-goan Piauw-kiok?”

“Benar, Ciu Piauwsu, aku puteri majikan Ban-goan Piauw-kiok!”

Ciu Hok Kwi mengangguk-angguk dan tersenyum simpul, lalu mendekat, untuk dapat mengamati wajah cantik itu lebih jelas lagi. “Ah, kiranya puteri Kwee Piauwsu! Dan mengapa pula engkau sampai tertawan di sini?”

Ci Hwa, gadis yang sebetulnya masih hijau itu, kini telah menjadi matang oleh musibah yang menimpa dirinya, membuatnya menjadi amat cerdik dan pandai sekali bersandiwara. Mudah saja baginya kini untuk menekan batinnya sehingga air mata mengalir turun dari kedua matanya ketika ia mendengar pertanyaan Ciu Hok Kwi itu.

“Aih, Ciu Piauwsu, harap engkau suka menaruh kasihan kepadaku dan suka menolongku, mengingat bahwa kita samasama datang dari Ban-goan. Nasibku sungguh malang.... dan di tempat asing ini, siapa lagi yang dapat kumintai tolong kecuali engkau seorang? Tolonglah aku, selamatkan aku dan.... aku akan berterima kasih sekali, aku berhutang budi dan aku akan membayarmu dengan apa saja, Ciu Piauwsu....“

Kembali Ciu Hok Kwi melihat sikap yang menantang dan penuh janji manis itu, dari sepasang mata yang basah air mata, dari mulut yang setengah terbuka, dari tonjolan dada yang ditekan pada jeruji besi.

“Bagaimana aku dapat menolongmu? Aku tidak berani membebaskanmu, nona Kwee, karena para pemimpin sendiri yang menawanmu.”

“Tidak usah membebaskan aku, asal aku.... jangan sampai terbunuh.... katakan kepada mereka bahwa aku ini calon isterimu atau apa saja, asal aku dapat terhindar dari bahaya maut....“

Berdebar rasa jantung Ciu Hok Kwi. Dia memang belum menikah, dan sukar ditemukan seorang gadis yang demikian manis seperti Ci Hwa menawarkan diri seperti ini!

“Akan tetapi ceritakan dulu bagaimana engkau sampai tertawan? Apakah engkau memusuhi Tiat-liong-pang?”

“Mana aku berani? Aku akan bercerita terus terang saja kepadamu, Ciu-toako dan hal ini baru kepadamu saja kuceritakan.” Ci Hwa berbisik-bisik dan Ciu Hok Kwi semakin tertarik karena gadis itu menyebutnya toako, bukan Piauwsu lagi, sebutan yang lebih akrab. “Aku meninggalkan rumah orang tuaku, engkau tentu mengerti, sebagai seorang gadis yang ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Ketika tiba di dekat tempat ini, aku diganggu lima orang pemburu, aku dikeroyok dan kalah, dan hampir aku diperkosa oleh mereka berlima. Aku sudah ditelanjangi, empat orang memegang kaki tanganku dan orang ke lima sudah siap untuk memperkosa aku yang masih perawan....“ Entah dari mana Ci Hwa memperoleh kemampuan bercerita seperti itu, sengaja menggambarkan keadaan yang dapat merangsang pendengarnya.

Usahanya berhasil karena mendengar cerita itu, sepasang mata Ciu Hok Kwi seakan-akan menelanjanginya, meraba-raba tubuhnya karena piauwsu muda itu menggambarkan keadaan Ci Hwa seperti yang diceritakannya itu. Dan Ci Hwa sengaja berhenti untuk memancing reaksi dari pendengarnya.

“Lalu bagaimana.... lanjutkan ceritamu....!” kata Ciu Hok Kwi agak terengah-engah dan mukanya yang biasanya pucat itu kini menjadi agak kemerahan, matanya tetap menggerayangi lekuk lekung tubuh Ci Hwa dengan lahap.

“Aku sudah putus asa, hendak menjerit mulutku dibungkam, aku hanya dapat meronta-ronta sekuatku, namun sia-sia karena empat orang itu memegangi kaki tanganku. Dan pada saat terakhir, muncullah Siangkoan Kongcu! Dengan gagahnya dia menghajar lima orang pemburu itu sampai mereka tetbunuh semua dan mayat mereka dilempar ke dalam jurang. Lalu Siangkoan Kongcu menghampiri aku yang masih belum sempat berpakaian....” Kembali ia berhenti dan melihat dengan kegembiraan yang disembunyikan betapa laki-laki itu berkeringat dan menjilati bibirnya sendiri seperti seekor anjing kelaparan melihat daging segar yang membangkitkan selera den menambah rasa lapar.

“Kemudian.... bagaimana....?” Suara Ciu Hok Kwi lirih dan parau.

“Aku adalah seorang yang mengenal budi. Kalau sudah ditolong orang, maka aku mau membalas budi itu dengan apa saja. Dan Siangkoan Liong seorang laki-laki muda yang tampan, seperti.... engkau, Ciu-toako, dan aku dalam keadaan telanjang. Kami saling tertarik dan aku menyerahkan diri bulat-bulat, menyerahkan segala dengan suka rela, segala yang tadinya hendak diminta secara paksa oleh lima orang pemburu itu, kuberikan kepada Siangkoan Kongcu dengan senang hati, apalagi karena dia berjanji hendak mengawini aku yang selamanya belum pernah berdekatan dengan pria.”

“Lalu.... lalu bagaimana....?”

Kembali Ci Hwa menangis dan suaranya tersendat-sendat ketika ia melanjutkan. “Akan tetapi dia.... dia mengingkari janji.... aku lalu pergi, hendak membunuh diri.... aku yang masih perawan telah menyerahkan kehormatanku, dan dia ingkar janji....! Ketika membunuh diri, aku dicegah oleh seorang pendekar yang bernama Gu Hong Beng itu. Dia mencegah aku bunuh diri dan menasihati aku kemudian dia hendak membelaku, hendak menuntut pertanggungan jawab Siangkoan Kongcu. Akan tetapi kami kalah dan tertawan....“

“Hemmm, salahmu sendiri, sungguh tidak tahu diri. Bagaimana berani hendak menuntut Siangkoan Kongcu?”

“Begini, Ciu-toako. Kalau tadinya dia tidak berjanji akan mengawiniku, tentu aku tidak menuntut. Tapi aku tahu bahwa itu tidak tahu diri, karena itu, aku mohon kepadamu, Ciu-toako yang baik, tolonglah aku, selamatkanlah aku dan aku akan berhutang budi kepadamu....“ Kembali pandang mata Ci Hwa menantang.

Ciu Hok Kwi yang sudah terangsang oleh cerita gadis itu tadi, kini tersenyum dan kembali mengelus dagunya, “Dan dengan apa engkau hendak membalas budiku itu?” Pertanyaannya ini, disertai kerling tajam, mengandung kegenitan yang jelas.

“Ciu-toako, sudah kukatakan bahwa aku adalah seorang gadis yang suka membalas budi. Aku akan mau melakukan apa saja yang kaukehendaki dariku!” Jawabannya demikian meyakinkan dan melenyapkan keraguan hati Ciu Hok Kwi.

“Engkau mau kalau malam ini engkau menemani aku tidur di kamarku?” tanya murid pertama Siangkoan Lohan itu dengan tegas, tanpa malu-malu lagi. Mau tidak mau, wajah Ci Hwa menjagi merah dan ia merasa betapa mukanya panas sekali, akan tetapi gadis ini memaksa diri tersenyum malu-malu.

“Tentu saja aku mau, Ciu-toako. Apa lagi engkau nampak jauh lebih jujur daripada Siangkoan Kongcu.”

“Tapi aku tidak berjanji bahwa kelak aku akan mengawinimu!”

Ci Hwa tersenyum semakin cerah. “Baik, memang benar bahwa engkau jauh lebih jujur daripada Siangkoan Kongcu. Kalau engkau tidak menjanjikannya, aku pun kelak tidak akan menuntut, Toako.”

Sepasang mata Ciu Hok Kwi, yang tajam seperti mata kucing itu bersinar-sinar. Namun, dia bukan orang bodoh. Dia tidak akan mau percaya demikian saja sebelum ada buktinya. Rasanya terlampau mudah, aneh dan tidak masuk di akal kalau seorang gadis baik-baik seperti Kwee Ci Hwa ini, puteri Kwee Piauwsu yang gagah perkasa di Ban-goan itu, begitu saja menyodorkan dirinya kepadanya!

“Kalau begitu, mari ikut denganku,” katanya sambil mengeluarkan seuntai kunci-kunci dari saku bajunya, lalu membuka daun pintu kamar sel itu. Melihat banyak kunci itu, diam-diam Ci Hwa girang sekali. Tidak keliru dugaannya, Ciu Hok Kwi ini menjadi kepala jaga di sini dan dialah yang memegang semua kunci pintu kamar-kamar tahanan! Ia pun keluar dari kamar tahanan itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan dipandang oleh Ciu Hok Kwi, bahkan ia pun dengan sikap malu-malu, melingkarkan lengannya pada pinggang laki-laki tinggi kurus itu.

“Jaga di sini baik-baik, aku mau bicara penting dengan Nona ini!” katanya kepada para anak buahnya yang berkedip-kedip sambil tersenyum simpul melihat atasan mereka menggandeng seorang tahanan wanita yang manis, hal yang tidak asing lagi bagi mereka. Sudah menjadi hak Ciu Hok Kwi agaknya, untuk melakukan apa saja terhadap para tahanan, membawa tahanan wanita cantik ke kamarnya, menyiksa, bahkan membunuh tahanan!

Setelah tiba di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi yang masih sangsi dan belum dapat percaya benar kepada Ci Hwa, segera minta bukti dari gadis itu untuk melayaninya! Barulah dia percaya benar setelah gadis itu menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan dengan sikap gembira dan manis seolah-olah gadis itu menyukai dan menikmati pula apa yang terjadi antara ia dan Ciu Hok Kwi. Orang she Ciu ini sama sekali tidak tahu betapa di dalam batinnya, gadis itu menangis dan menjerit, betapa tersiksa dan sakit rasanya badan dan batinnya ketika ia harus pasrah saja digeluti oleh orang yang dibencinya itu! Ya, ia membenci Ciu Hok Kwi, pertama-tama karena pernah Ciu Hok Kwi menantang ayahnya dan akhirnya orang ini dikalahkan oleh ayahnya. Kedua, karena melihat piauwsu ini ternyata kaki tangan pemberontak, dan kini bahkan terpaksa ia menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi biarlah! Ia sudah tidak memiliki harapan untuk dapat hidup terus, setelah apa yang dialaminya, setelah ia terhina, direnggut kehormatannya oleh Siangkoan Liong. Ia harus mati untuk menebus aib, akan tetapi sebelum mati, ia harus dapat menyelamatkan Gu Hong Beng. Pemuda itu telah menolongnya, bahkan telah memberi penerangan batin kepadanya dan sekarang, pemuda itu, karena hendak membelanya, telah terjatuh ke tangan musuh! Ia harus menyelamatkannya, dengan jalan apa pun juga. Dan kini telah ia laksanakan cara yang paling menyakitkan, baik badannya maupun batinnya. Ia telah melayani Ciu Hok Kwi, melayani dengan sikap manis pula!

Setelah memperoleh bukti berulangkali dari pelayanan manis Kwee Ci Hwa, akhirnya Ciu Hok Kwi mulai percaya. Ketika mereka mengaso dan rebah bersanding di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi tanpa ragu-ragu lagi menceritakan kepada Ci Hwa yang kini telah dianggap sebagai kekasihnya. Menceritakan bahwa dia sesungguhnya adalah Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dan terpandai dari Siangkoan Lohan, juga merupakan pembantu utama!

“Akan tetapi, Ciu-toako yang baik....” Ci Hwa bertanya sambil memeluk dengan sikap merayu, “bagaimana engkau yang menjadi murid utama Siangkoan Lohan, bekerja sebagai seorang piauwsu di Ban-goan....?”

Ciu Hok Kwi tertawa dan mencium gadis itu, “Itu adalah siasatku. Kami membutuhkan penghubung yang baik untuk keluar masuk perbatasan Tembok Besar tanpa dicurigai, agar lebih mudah bagi kami berhubungan dengan orang-orang Mongol yang akan membantu gerakan kami. Karena itulah, di Ban-goan tempatnya untuk mengatur semua itu dengan kedok perusahaan piauw-kiok.”

“Tapi bukankah engkau menjadi piauwsu pembantu dari Tan-piauwsu yang kabarnya terbunuh di utara itu?”

“Ha-ha-ha, benar, memang benar. Dan itulah siasatku yang amat cerdik. Tanpa disangka orang, aku kini menguasai piauwkiok itu, sehingga terbukalah jalan bagi gerakan kami untuk berhubungan dengan kawan-kawan di luar Tembok Besar....”

“Ah, jadi kematian Tan-piauwsu itu termasuk rencana siasatmu? Engkau sungguh lihai sekali, Koko!” Ci Hwa balas mencium walaupun di dalam hatinya ia ingin muntah karena jijik mendengar bahwa pembunuhan atas diri Tan-piauwsu itu adalah perbuatan orang ini. “Kalau begitu, yang membunuh Tan Piauwsu....”

“Ha-ha-ha, akulah orangnya!” kata Ciu Hok Kwi sambil tertawa.

Sepasang mata Ci Hwa terbelalak dan ia mengamati wajah laki-laki itu yang di bawah sinar lilincukup tampan namun juga menyeramkan. “Dan orang berkedok yang membunuh Lay-wangwe....”

“Aku juga orangnya! Eh, bagaimana engkau bisa tahu....? Ah kiranya engkaukah yang mencoba untuk menangkap aku itu, Manis? Ha-ha-ha! Untung hanya kutendang lututmu....!”

Ci Hwa terkejut dan juga marah bukan main, akan tetapi ia memaksa dirinya untuk ikut tertawa lalu merangkul dan mencium laki-laki itu sambil memuji. “Wah, kiranya engkaukah orang itu? Aku sudah merasa kagum sekali karena kelihaiannya! Dan engkau pernah menantang ayahku? Bagaimana engkau dapat dikalahkannya kalau ternyata engkau selihai itu?”

Ciu Hok Kwi balas merangkul dan mencium. “Siasat, Manisku, siasat! Aku harus pura-pura mengalah agar tidak mendatangkan kecurigaan putera Tan-piauwsu itu. Engkau tentu telah mengenalnya.”

“Ya, Tan Sin Hong itu bukan? Dia menuduh ayah yang mengatur pembunuhan terhadap ayahnya, maka aku ingin mencuci nama ayahku dan membantunya menangkap pembunuh. Kiranya engkau orangnya dan sekarang dan mencium engkau malah menjadi kekasihku, orang yang akan menyelamatkan aku dari bahaya di sini.”

Kembali Ci Hwa melayani Ciu Hok Kwi dengan sikap manja, mesra dan manis sehingga Ciu Hok Kwi menjadi tergila-gila, tenggelam dalam nafsunya dan akhirnya, setelah lewat tengah malam, diapun tidur pulas kelelahan.

Ci Hwa yang tadinya pura-pura tidur pulas lebih dahulu, segera membuka kedua matanya. Dengan hati-hati ia melepaskan lengan dan kaki pria itu yang merangkulnya, lalu melepaskan diri dan sejenak duduk di atas pembaringan sambil mengamati muka dan pernapasan laki-laki itu. Sudah tidur nyenyak, dapat di ketahuinya dari pernapasannya dan dengkurnya. Sekali pukul saja ia akan dapat membunuh laki-laki ini! Akan tetapi, ia tidak berani melakukan hal ini, karena kalau sampai ia gagal, kalau sampai Ciu Hok Kwi tidak mati oleh sekali pukul dan sempat berteriak, akan gagallah usahanya menolong Gu Hong Beng! Yang terpenting adalah menyelamatkan pemuda itu lebih dulu, pikirnya. Rasanya sudah gatal tangannya hendak menyerang dan membunuh orang yang sedang tidur ini, apalagi kalau diingatnya betapa ia tadi digeluti dan menderita siksaan lahir batin yang bagi seorang gadis tak tertandingi oleh penderitaan yang bagaimana juga. Akan tetapi, Ci Hwa dapat menekan perasaannya dan dengan hati-hati ia pun mengambil baju Ciu Hok Kwi yang tadi ditanggalkan dan dilemparkan ke sudut pembaringan. Jari-jari tangannya gemetar ketika ia mencari-cari dan akhirnya ia menemukan seuntai kunci-kunci dan matanya bersinar-sinar. Ia lalu mengenakan pakaiannya, dan sepatunya, lalu turun perlahan-lahan dari atas pembaringan, Ciu Hok Kwi masih mendengkur pulas. Melihat sebatang pedang tergantung di dinding kamar itu, dicabutnya pedang itu dan dibawanya keluar kamar bersama kunci-kunci tadi. Berindap-indap ia menghampiri tempat tahanan.

Ci Hwa menyelinap di balik dinding gelap dan mengintai. Jalan menuju ke kamar tahanan itu melalui sebuah lorong dan ada tiga orang penjaga bercakap-cakap di mulut lorong itu. Penjaga-penjaga lainnya entah pergi ke mana. Di situ terdapat belasan orang penjaga dan agaknya mereka merasa aman, maka diadakan pergantian penjagaan. Mungkin yang lainnya sedang tidur dan mereka berjaga dengan bergiliran. Kenyataan bahwa yang berjaga di situ hanya tiga orang, jantung dalam dada Ci Hwa berdebar tegang dan juga gembira. Kalau hanya tiga orang, tentu saja tidak berat baginya untuk membunuh mereka, apalagi keadaan tiga orang itu kini nampak mengantuk. Malam telah amat larut, lewat tengah malam dan mereka bertiga kini tidak bercakap-cakap lagi, melainkan duduk melenggut.

Ci Hwa lalu memungut batu kerikil dan dilontarkan ke depan. Suara kerikil jatuh menggelinding di lantai ini cukup membuat seorang di antara tiga orang penjaga itu terkejut dan memandang dengan curiga. Lalu dia mencabut goloknya dan bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah perlahan ke arah pilar yang agak gelap, di mana tadi dia mendengar suara kerikil jatuh. Baru saja kakinya menginjak di sudut dinding, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan penjaga itu tersentak kaget, matanya terbelalak ketika sebatang pedang menempel jantungnya dan mulutnya tak sempat bersuara karena ada tangan mendekap mulutnya. Dia pun roboh tanpa mengeluarkan suara dan tubuhnya diseret Ci Hwa ke tempat gelap.

Kembali Ci Hwa melempar kerikil, lebih keras dari tadi. Kini, dua orang penjaga yang mengantuk itu terkejut dan bangkit, memandang ke kanan kiri, mencari kawan mereka dan keduanya lalu melangkah perlahan-lahan ke depan, mencari-cari. Tadi ketika kawan mereka bangkit dan memeriksa keadaan, mereka sudah terlalu mengantuk sehingga tidak memperhatikan. Ci Hwa menanti mereka dengan hati tegang. Ia harus dapat sekaligus merobohkan kedua orang ini tanpa menimbulkan banyak kegaduhan, pikirnya, siap dengan pedangnya yang sudah bersih dari darah karena ia mengusapkannya ke tubuh korban pertamanya.

Ketika dua orang penjaga itu tepat tiba di sudut dinding, dua kali pedang di tangan Ci Hwa berkelebat, menyambar ke arah tenggorokan kedua orang itu. Hanya terdengar suara mengorok seperti babi disembelih ketika dua orang itu terkulai roboh mandi darah dan berkelojotan tanpa mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus! Ci Hwa tidak membuang banyak waktu lagi. Ia meloncati mayat dua orang penjaga itu dan berlari memasuki lorong. Pertama-tama ia menghampiri pintu kamar di mana Gu Hong Beng ditahan.

Hong Beng sedang duduk bersila menghimpun tenaga. Dia tentu saja, seperti yang lain, tidak dapat tidur. Melalui ketukan pada dinding, dia sudah mengadakan hubungan dengan Kun Tek yang ditahan di kamar sebelah kirinya, bahkan mereka berdua dapat bicara sambil berbisik, mengerahkan khi-kang untuk dapat saling tangkap. Dari suara bisik-bisik ini, dia dan Kun Tek sudah sepakat untuk bersiap-siap menghimpun tenaga dan pada keesokan harinya atau kapan saja ada kesempatan, mereka akan menggunakan tenaga dan kekerasan untuk mengamuk. Dengan bisikan-bisikannya, Hong Beng dan Kun Tek berjanji masing-masing akan menghubungi Ci Hwa dan Li Sian. Cu Kun Tek hendak menghubungi Li Sian yang berada di sebelah kamarnya, sedangkan Gu Hong Beng akan menghubungi Ci Hwa. Akan tetapi, setelah beberapa kali mencoba, Hong Beng tidak menerima jawaban dari Ci Hwa sehingga dia merasa gelisah sekali. Apalagi kalau dia teringat akan perjumpaan mereka pertama kali. Gadis itu hampir saja mati membunuh diri tanpa dia tahu akan sebabnya. Bagaimana kalau sekarang gadis itu mengulang kembali usahanya untuk membunuh diri dalam sel tahanannya karena putus asa? Kini takkan ada lagi yang dapat menghalanginya! Akan tetapi, satu-satunya cara membunuh diri dalam sel itu, apalagi setelah mereka semua dilucuti senjatanya, hanyalah dengan jalan membenturkan kepala sampai pecah pada dinding kamar tahanan. Dan sejak tadi, dia memperhatikan dengan hati gelisah dan tidak pernah mendengar suara mengerikan dari pecahnya kepala terbentur pada dinding. Akan tetapi kenapa gadis itu tidak menjawabnya? Sudah beberapa kali dia mengetuk-ngetuk dinding, juga melalui jeruji besi itu dia “mengirim” suaranya dengan kekuatan khi-kang ke dalam kamar tahanan Ci Hwa di sebelah, namun sia-sia belaka semua usahanya itu.

Tidak pernah ada jawaban dari kamar sebelah, bahkan dia tldak mendengar ada gerakan. Tadi memang dia tahu bahwa ada rombongan penjaga yang mendekati pintu kamar tahanan Ci Hwa, bahkan mereka bercakap-cakap, akan tetapi karena ada pula penjaga berdiri di depan pintu kamar tahanannya, dia pun tidak dapat mendekati dan mencoba untuk mendengarkan. Kemudian para penjaga itu pergi dan suasana menjadi sunyi dan sejak itu, dia tidak dapat mendengar sesuatu dari kamar Ci Hwa.

Di lain pihak, Kun Tek yang mencoba untuk menghubungi Li Sian, ternyata memperoleh hasil baik. Ketukannya pada dinding dibalas oleh Li Sian, dan ketika Kun Tek mendekati pintu, ternyata gadis di kamar sebelah itu pun sudah mendekati ke pintu.

“Maaf, Nona, apakah aku mengganggu? Aku adalah Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman, datang ke sini untuk menentang Tiat-liong-pang yang bersekutu dengan kaum sesat untuk melakukan pemberontakan. Kalau tidak berkeberatan, maukah Nona memperkenalkan diri kepadaku?”

Mendengar suara bisikan yang dikirim dengan khi-kang yang cukup kuat ini, Li Sian kagum. Tadi ia sudah melihat kemunculan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu, bahkan dia sudah mendengar pengakuan Kun Tek kepada Siangkoan Lohan. Ia pernah mendengar nama besar Lembah Naga Siluman dan ada rasa kagum terhadap pemuda itu.

“Namaku Pouw Li Sian,” ia pun berbisik dan mendorong bisikan itu dengan khi-kang sehingga dapat terdengar jelas oleh Kun Tek yang juga menjadi kagum. Dia tadi sudah melihat kehebatan Li Sian yang bertanding melawan Siangkoan Liong, dibantu Ci Hwa. “Aku seorang yatim piatu, mendiang guruku adalah Bu Beng Lokai. Aku mempunyai permusuhan pribadi dengan Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan, akan tetapi karena mereka semua adalah penjahat-penjahat yang licik, curang dan kejam, aku menentang mereka.”

Kun Tek mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Li Sian, terutama sekali ketika mendengar betapa suara bisikan gadis itu tadi gemetar pada saat mengatakan bahwa ia adalah seorang yatim piatu. Agaknya gadis itu teringat akan keadaan dirinya yang yatim piatu dan menjadi sedih, pikir Kun Tek dengan hati terharu. Biarpun baru beberapa kali saja dia mendapat kesempatan mengamati wajah gadis itu, dia masih teringat akan seraut wajah yang cantik dan anggun, dengan sinar mata tajam namun lembut, dengan mulut yang membayangkan kehalusan watak.

“Kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama, Nona. Apakah Nona sudah mengenal dua orang kawan lain yang tertawan di sebelah?”

“Belum, aku belum mengenal mereka berdua. Apakah engkau telah mengenal mereka?”

“Aku belum mengenal gadis itu, akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu adalah seorang sahabat lamaku, sahabat baik sejak bertahun-tahun yang lalu. Dia bernama Gu Hong Beng dan dia murid seorang anggauta keluarga Pulau Es yang terkenal.”

“Ahhh....!”

Mendengar seruan Li Sian, Kun Tek menjadi heran. Dalam seruan itu, bukan hanya terkandung rasa kaget atau kagum, melainkan lebih mengandung keheranan.

“Kenapakah, Nona?”

“Mendiang guruku, Bu Beng Lokai, adalah mantu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!”

“Ahhh....!” Kini Kun Tek yang berseru, seruan kaget, heran dan kagum menjadi satu. “Kalau begitu, tentu engkau mengenal Hong Beng karena ada hubungan perguruan antara dia dan engkau, Nona”

“Aku belum pernah mengenalnya. Saudara Cu Kun Tek, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Mereka itu ternyata memiliki banyak orang pandai, terutama sekali siucai tua yang tinggi kurus itu, yang merobohkan kita. Dia sungguh memiliki ilmu kepandaian tinggi dan lihai bukan main.”

“Benar, Nona. Tadi aku sudah bicara dengan Hong Beng dan kami bersepakat untuk malam ini menghimpun tenaga, bersiap-siap untuk memberontak apabila kesempatan tiba. Biarpun kakek itu lihai, kalau kita bertiga, berempat dengan nona yang seorang lagi itu, kurasa kita akan dapat menghadapi kakek lihai itu.”

Mereka menghentikan percakapan dan mereka lalu duduk bersila di tengah kamar tahanan masing-masing untuk menghimpun tenaga. Dalam hati Li Sian terasa agak lega setelah ia dapat bercakap-cakap dengan Cu Kun Tek, pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu.

Mendengar suara yang berat dan tegas itu, hatinya menjadi lebih tenang dan ia menghadapi segala kemungkinan dengan penuh semangat. Diam-diam ia mengingat kembali tiga orang yang tidak dikenalnya itu, yang berdatangan membantunya dalam perkelahian sehingga akhirnya mereka semua menjadi tawanan. Ia merasa terharu kalau teringat akan nasib Bi-kwi dan suaminya. Jo Yin, suami wanita lihai itu, tewas seperti seorang yang gagah perkasa walaupun pria itu tidak pandai silat, dan Bi-kwi tewas sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya. Ketika ia teringat akan sikap gadis yang menjadi tawanan di sebelah, ia merasa heran sekali. Gadis itu begitu muncul, memaki Siangkoan Liong dan menyerang mati-matian, walaupun tingkat kepandaian silat gadis itu masih jauh di bawah tingkat Siangkoan Liong. Gadis itu demikian nekad dan agaknya amat membenci Siangkoan Liong. Ada dendam apakah antara gadis itu dan Siangkoan Liong? Ia menduga-duga dan mengingat akan dendamnya sendiri, dia menduga bahwa agaknya gadis itu pun menjadi korbun rayuan Siangkoan Liong.

Ingin rasanya ia menampar pipinya sendiri kalau ia teringat betapa ia telah menyerahkan dirinya dengan sukarela kepada pemuda biadab itu! Ia telah terpikat dan memang telah jatuh cinta kepada pemuda tampan itu, tidak tahu bahwa pemuda itu selain mempergunakan rayuan maut, juga mempergunakan minuman yang merangsang, dan juga pengaruh ilmu sihir untuk menjatuhkannya!

“Keparat! Aku harus membunuhmu!” Ia mengepal tinju, akan tetapi lalu mengusir gangguan pikiran ini yang akan melenyapkan ketenteraman hatinya dan akan menggagalkan usahanya untuk menghimpun tenaga dalam.

Lewat tengah malam, tiba-tiba Hong Beng dikejutkan dengan munculnya Ci Hwa di luar pintu kamar selnya dan gadis itu malah membuka daun pintu kamarnya dengan kunci, dengan hati-hati sekali.

“Adik Ci Hwa....! Bagaimana engkau dapat keluar dari kamar selmu....?”

“Sssttttt....!” Ci Hwa memberi isyarat agar pemuda itu tidak membuat gaduh, dan ia pun masuk ke dalam kamar itu. Hong Beng melompat bangun dan ketika Ci Hwa lari merangkulnya, dia pun memeluk dengan hati yang cemas dan girang. Akan tetapi dia melihat Ci Hwa menangis sesenggukan di dadanya, dan dia menjadi semakin heran. Dia tentu saja tidak tahu betapa Ci Hwa menangis karena teringat akan pengorbanannya, telah membiarkan dirinya diperhina sesuka hati oleh Ciu Hok Kwi, demi untuk menyelamatkan Hong Beng. Akan tetapi hanya sebentar saja Ci Hwa dipengaruhi kesedihannya. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbisik, “Cepat, bebaskan teman-teman yang lain, ini kunci-kunci kamar tahanan, cepat dan larilah kalian semua dari sini selagi ada kesempatan!” Berkata demikian, Ci Hwa menyerahkan kunci-kunci itu kepada Hong Beng lalu melompat keluar.

“Hwa-moi....!” Hong Beng berseru lirih memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan menghilang dalam kegelapan malam. Hong Beng hanya tertegun, tidak tahu kemana gadis itu pergi, akan tetapi dia segera melangkah keluar dari kamar tahanan itu, dan dengan kunci-kunci itu, dia berhasil membebaskan Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek yang tentu saja menjadi girang sekali.

“Bagaimana engkau dapat keluar membebaskan kami?” bisik Kun Tek.

“Kita ditolong oleh adik Kwee Ci Hwa. Ialah yang tadi membebaskan aku dan menyerahkan kunci-kunci ini,” jawab Hong Beng.

“Di mana ia sekarang?” Li Sian bertanya sambil memandang wajah pemuda yang menurut keterangan Kun Tek adalah murid keluarga Pulau Es itu.”

Hong Beng juga memandang wajah Li Sian dan menggeleng kepala dengan khawatir. “Entahlah, setelah menyerahkan kunci-kunci ini, ia terus melompat pergi.”

“Ah, berbahaya sekali kalau begitu. Kita harus mencarinya, dan bersama-sama mencoba untuk meloloskan diri dari tempat ini!” kata Kun Tek, Li Sian dan Hong Beng mengangguk tanda setuju dan mereka bertiga lalu berindap-indap keluar melalui lorong kecil itu.

Akan tetapi, pada saat itu, para penjaga telah menemukan mayat tiga orang kawan mereka dan begitu muncul tiga orang tawanan ini, belasan orang penjaga sudah mengepung dan mengeroyok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru di mulut lorong, di mana tiga orang muda itu mengamuk, dengan tangan kosong saja menghadapi belasan orang penjaga yang semuanya bersenjata tajam.

Sementara itu, Ci Hwa sudah berhasil kembali ke dalam kamar Ciu Hok Kwi yang masih tidur mendengkur. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena kini ia memasuki kamar hanya dengan satu niat, yaitu membunuh Ciu Hok Kwi dengan pedang di tangannya. Karena ketegangan ini, Ci Hwa menjadi agak gugup dan tidak tenang sehingga tubuhnya melanggar bangku, membuat bangku itu roboh dan mengeluarkan bunyi gaduh. Suara ini menggugah Ciu Hok Kwi. Dia membuka mata dan tubuhnya bergerak untuk duduk. Pada saat itu, nampak sinar pedang berkelebat dan pedang di tangan Ci Hwa menyambar, membacok ke arah leher Ciu Hok Kwi dengan cepat dan kuat!

Ciu Hok Kwi adalah murid pertama dari Siangkoan Lohan, ilmu kepandaiannya sudah tinggi, bahkan dia dijuluki Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), seorang ahli pedang yang amat lihai. Oleh karena itu, biarpun dia baru saja bangun tidur dan belum sempat mempersiapkan diri lalu tiba-tiba diserang dengan bacokan pedang ke lehernya, dia tidak kehilangan akal dan dengan cepat dia melempar tubuhnya yang masih telanjang bulat itu ke bawah pembaringan, lalu bergulingan di lantai. Untung dia bergulingan sehingga pedang di tangan Ci Hwa yang mengejarnya hanya melukai pundak kiri, merobek kulit dan sedikit dagingnya sehingga darah bercucuran keluar.

“Heh, apakah engkau telah menjadi gila?” bentaknya marah sambil meloncat dan menyambar pakaiannya, dikenakan pakaian itu sedapatnya karena pada saat itu Ci Hwa sudah menyerangnya lagi. Dengan tangan kiri memegang bangku yang disambarnya, Ciu Hok Kwi menangkisi serangan Ci Hwa, sedangkan tangan kanan sibuk mengenakan pakaian pada tubuhnya. Bajunya terbalik-balik, celananya sampai robek bagian bawahnya. Akan tetapi setidaknya kini tubuhnya tidak lagi telajang bulat dan dia dapat menghadapi Ci Hwa dengan tenang.

“Ci Hwa, mengapa engkau melakukan ini? Bukankah tadi kita saling mencinta dan kau....”

“Tutup mulutmu yang busuk dan bersiaplah untuk mampus!” bentak Ci Hwa yang merasa menyesal sekali bahwa ia telah gagal membunuh orang yang amat dibencinya ini. Ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya kalah jauh, maka kini ia dengan nekat menyerang terus. Ciu Hok Kwi mulai marah, apalagi ketika dia meraba saku bajunya dan tidak mendapatkan untaian kunci-kunci itu. Dia juga seorang yang cerdik, maka tahulah dia bahwa gadis ini sengaja menyerahkan diri untuk membuat dia terlena dan tertidur, kemudian mencuri kunci-kunci kamar tahanan itu. Celaka, pikirnya, tentu tahanan-tahanan itu telah dikeluarkan oleh gadis ini! Dan tiba-tiba dia pun mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi, maka tahulah dia bahwa para tawanan lain itu telah keluar dan kini berkelahi melawan anak buahnya.

“Perempuan jahanam! Jadi engkau hanya menipu aku, ya? Kalau begitu, mampuslah kamu!” Ciu Hok Kwi menyerang dengan patahan bangku, disambut oleh Ci Hwa dengan serangan pedangnya, penuh kebencian dan kenekatan. Terjadilah perkelahian mati-matian di dalam kamar itu. Hanya karena kenekatan Ci Hwa saja maka ia mampu mengadakan perlawanan mati-matian, karena sesungguhnya, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan lawannya.

Sementara itu, tiga orang pendekar perkasa, Gu Hong Beng, Cu Kun Tek, dan Pouw Li Sian, tanpa banyak membuang waktu dan tenaga, telah merobohkan belasan penjaga itu. Mereka bertiga merampas masing-masing sebatang pedang dan berloncatan untuk mencari Ci Hwa. Akan tetapi, sebelum mereka berhasil menemukan gadis itu tiba-tiba muncul Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong, dan Ouwyang Sianseng! Di samping tiga orang sakti ini, masih nampak belasan orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan mereka, mengepung tiga orang muda yang baru saja merobohkan belasan orang penjaga itu.

Siangkoan Lohan dan puteranya mengerutkan alis dan memeriksa para penjaga yang malang melintang itu dengan pandang mata mereka.

“Di mana Ciu Hok Kwi....?” Siangkoan Lohan berseru.

“Mana Kwee Ci Hwa?” Siangkoan Liong juga berseru heran. Ayah dan anak ini masih merasa heran mengapa tiga orang tawanan ini dapat lolos dan tidak adanya Ciu Hok Kwi dan Kwee Ci Hwa membuat mereka merasa curiga. Namun, tiga orang pendekar itu yang maklum bahwa tidak perlu lagi banyak bicara dengan para pimpinan pemberontak yang lihai ini, sudah cepat menggerakkan pedang masing-masing untuk membuka jalan berdarah dan meloloskan diri dari tempat berbahaya itu.

Akan tetapi mereka segera dikeroyok. Bahkan Ouwyang Sianseng sendiri, juga Siangkoan Lohan turun tangan. Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang yang menjadi pemimpin pemberontakan itu sudah mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu hun-cwe emas. Ouwyang Sianseng juga sudah menggerakkan kipasnya, juga Siangkoan Liong sudah menggunakan pedangnya untuk ikut mengepung.

“Tangkap mereka kembali, jangan bunuh!” terdengar Ouwyang Sianseng berseru. Kakek ini sedang berusaha untuk memberontak untuk membalas dendamnya terhadap kerajaan. Dia membutuhkan bantuan orang-orang muda ini, maka dia merasa sayang kalau mereka dibunuh begitu saja. Alangkah akan menguntungkan kalau tiga orang ini dapat dibujuk untuk membantu gerakan mereka.

Sementara itu, di dalam kamar Ciu Hok Kwi masih terjadi perkelahian mati-matian antara Ci Hwa dan Ciu Hok Kwi. Biarpun Ci Hwa mengamuk dengan nekat, namun ia bukanlah lawan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi dan setelah lewat tiga puluh jurus, kayu potongan bangku di tangan Hok Kwi berhasil melukai pergelangan tangan gadis itu. Ci Hwa berteriak kesakitan dan pedangnya terlepas. Di lain saat, pedang itu telah dirampas oleh Ciu Hok Kwi dan kini, dengan pedang di tangan, Ciu Hok Kwi dengan beringas memandang gadis itu. Dia sudah marah sekali karena maklum bahwa dia telah ditipu oleh Ci Hwa, mempergunakan keindahan wajah dan tubuhnya, memikatnya sehingga kini tawanan yang lain telah keluar dari kamar-kamar mereka. Dia akan membunuh Ci Hwa, menyiksanya, untuk melampiaskan kemarahannya.

“Wuuuttt....!” Pedangnya menyambar dan karena dia memang ahli pedang, gerakan pedangnya itu cepat sekali. Ci Hwa meloncat ke belakang akan tetapi tetap saja paha kirinya terserempet ujung pedang. Celananya robek dan kulit paha berikut sedikit dagingnya robek pula. Darah menetes keluar. Ci Hwa menyambar sebuah bangku lain dari sudut kamar dan ia dengan nekat menyerang lawan itu dengan bangku. Akan tetapi, kembali sinar pedang berkelebat dan pangkal lengannya robek terluka! Ci Hwa menyerang terus mati-matian tanpa mempedulikan dirinya dan dalam belasan jurus saja, ia telah menderita belasan luka yang tidak parah namun cukup merobek pakaian dan kulit tubuhnya, membuat darah berlepotan membasahi seluruh tubuh. Mengerikan sekali keadaan gadis itu, dan Hok Kwi menyeringai puas.

“Akan kubunuh engkau, perempuan setan!” desisnya berkali-kali setiap kali pedangnya mengenai sasaran. Dia sengaja hanya melukai dengan ujung pedang karena tidak ingin segera membunuh gadis itu. Setelah gerakan Ci Hwa semakin lemah karena terlalu banyak mengeluarkan darah, Hok Kwi melakukan serangan yang sesungguhnya.

“Cappp....!” Pedangnya menancap ke lambung Ci Hwa, agak lebih dalam dan gadis itu pun terhuyung, lalu roboh.

“Mampuslah....!” Ciu Hok Kwi menggerakkan pedangnya untuk dibacokkan ke arah leher, akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan menyambar dan mengetuk pergelangan tangan kanannya.

“Dukkk! Ahhhhh....!” Ciu Hok Kwi terkejut sekali, tangannya lumpuh dan pedangnya terlepas. Ketika dia mengangkat muka, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian serba putih, bersama seorang gadis yang cantik jelita dan bersikap gagah sekali. Makin terkejutlah dia ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tan Sin Hong!

“Paman Ciu Hok Kwi ! Apa apa yang kaulakukan ini dan mengapa engkau berada di sini?” tanya Sin Hong yang juga terkejut dan heran sekali melihat bahwa orang yang hampir membunuh Kwee Ci Hwa itu bukan lain adalah Ciu Hok Kwi atau Ciu Piauwsu, bekas pembantu mendiang ayahnya!

Hok Kwi nampak kebingungan, lalu menjawab gagap. “Aku.... aku....” dan tubuhnya lalu meloncat keluar kamar dan melarikan diri!

“Biar kukejar dia!” kata Suma Lian, gadis yang datang bersama Sin Hong.

“Jangan,” kata Sin Hong. “Gadis ini luka parah, kita harus menyelamatkan dulu keluar dari sini.”

Mereka berdua lalu keluar dari dalam kamar. Sin Hong memondong tubuh Ci Hwa yang berlumuran darah dan gadis itu dalam keadaan pingsan. Karena pada saat itu para tokoh sesat sedang sibuk mengeroyok Hong Beng, Kun Tek, dan Li Sian, maka dua orang muda perkasa ini dapat melarikan diri keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang dengan aman.

Sementara itu, dengan ketakutan Ciu Hok Kwi meninggalkan kamarnya dan tiba di tempat di mana tiga orang pendekar muda itu dikeroyok. Perkelahian ini tidak seimbang. Tiga orang muda itu memang lihai bukan main, akan tetapi, mereka dikeroyok dan di antara para pengeroyok mereka terdapat orang-orang yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari mereka, seperti Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong dan terutama sekali Ouwyang Sianseng. Apalagi tiga orang pendekar ini telah kehilangan senjata mereka, hanya mempergunakan pedang biasa saja, hasil rampasan dari para penjaga tadi. Tentu saja pedang-pedang biasa itu tidak ada artinya bertemu dengan senjata-senjata pusaka di tangan para pengeroyok mereka. Ketika mereka terdesak, kembali dengan gagang kipasnya, Ouwyang Sianseng berhasil menotok roboh mereka satu demi satu. Tiga orang muda itu lalu dibelenggu dan dilempar ke dalam sebuah tahanan yang besar, disatukan dan dirantai pada dinding kamar sehingga mereka bertiga tidak akan mampu berkutik lagi!

Ciu Hok Kwi mengajak teman-temannya lari ke kamarnya untuk menghadapi Tan Sin Hong dan wanita cantik itu, akan tetapi ketika mereka tiba di sana, Sin Hong dan Suma Lian telah lenyap, bahkan Ci Hwa yang tadi telah roboh juga tidak nampak di situ.

“Hok Kwi, apa yang telah terjadi?” Siangkoan Lohan menegur muridnya, suaranya tegas dan keren. “Bagaimana mereka bisa keluar?”

Wajah Hok Kwi berubah pucat. Dia tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi dia seorang yang cerdik dan dalam waktu beberapa detik itu dia telah dapat mengatur siasat untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.

“Harap Suhu sudi memaafkan, teecu mengaku telah melakukan kesalahan, telah lalai.”

Siangkoan Lohan amat menyayang muridnya ini, karena muridnya ini selain merupakan murid paling lihai, juga cerdik sekali dan selama ini membuat jasa besar untuk kemajuan gerakan pemberontakannya. Melihat muridnya berlutut minta maaf dan mengaku salah, kesabarannya telah datang kembali.

“Sudahlah, ceritakan saja apa yang telah terjadi! Engkau memimpin anak buahmu melakukan penjagaan terhadap para tawanan itu, bagaimana mereka dapat keluar dan membuat ribut, bahkan telah membunuh banyak penjaga?”

“Maaf, Suhu. Memang teecu telah bersalah dan teledor, akan tetapi kalau tidak ada keparat Tan Sin Hong, putera Tan Piauwsu dari Ban-goan itu, tentu tidak akan terjadi pelepasan para tawanan. Harap Suhu ketahui bahwa gadis itu, yang bernama Kwee Ci Hwa, adalah puteri Kwee Piauwsu di Ban-goan dan sudah mengenal teecu. Teecu.... teecu tergoda dan membawanya ke kamar teecu, karena teecu merasa yakin bahwa para tawanan takkan mungkin dapat lolos dengan adanya penjagaan ketat. Akan tetapi, tiba-tiba saja terjadi kegaduhan dan tiga orang tawanan itu lolos, ternyata dilepaskan oleh Tan Sin Hong itu bersama seorang temannya. Karena marah, teecu lalu bunuh Kwee Ci Hwa. Tan Sin Hong dan temannya itu datang, dan terpaksa teecu melarikan diri karena tidak dapat menandingi mereka. Dan ternyata dia telah pergi bersama temannya itu, dan agaknya membawa pergi mayat Kwee Ci Hwa.”

Cerita ini dapat diterima oleh Siangkoan Lohan. “Sudahlah, sekarang jaga baik-baik, awas kalau sampai mereka terlepas lagi. Kecerobohanmu membuat kita kehilangan belasan anak buah!”

“Maaf, Suhu. Teecu akan menjaga dengan taruhan nyawa,” kata Ciu Hok Kwi.

Sementara itu, Sin Hong dan Suma Lian berhasil keluar dari sarang Tiat-liong-pang dan memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Matahari pagi telah mulai mengirim cahayanya mengusir kegelapan malam ketika mereka berhenti di atas padang rumput dalam hutan itu. Dengan hati-hati Sin Hong merebahkan tubuh Ci Hwa ke atas rumput. Tadi, dalam perjalanan, dia telah menghentikan beberapa jalan darah untuk menahan keluarnya terlalu banyak darah. Akan tetapi, keadaan Ci Hwa sudah amat payah dan lemah, disebabkan oleh luka di lambungnya yang dalam, dan juga karena terlampau banyak keluar darah.

Ci Hwa membuka matanya dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal wajah Sin Hong yang berlutut di dekatnya. “Hong-ko.... syukurlah.... aku dapat bertemu denganmu....”

“Ci Hwa, tenanglah, aku akan berusaha mengobatimu....“

Ci Hwa menggeleng kepala. Di dalam hatinya ia berkata bahwa ia tidak ingin hidup lagi, setelah penghinaan yang dideritanya dari Siangkoan Liong, dari Ciu Hok Kwi. “Hong-ko, dengarlah. Ciu Hok Kwi itu...., dialah yang mengatur semua.... yang membunuh ayahmu, membunuh Tang Piauwsu.... dia pula orang bertopeng yang membunuh orang she Lay itu....“

Sin Hong terkejut bukan main, memandang wajah Ci Hwa dengan sinar mata tidak percaya dan mengira bahwa karena keadaannya yang payah, gadis itu telah bicara tidak karuan.

“Tapi, Hwa-moi, dia.... dia itu pembantu mendiang ayahku....“

Ci Hwa menggeleng kepalanya. “Dia murid pertama Siangkoan Lohan...., mereka ingin memberontak, mereka menguasai piauw-kiok ayahmu.... agar dapat mengatur hubungan dengan luar Tembok Besar.... dengan orang-orang Mongol. Semua itu siasat belaka untuk menguasai piauw-kiok milik ayahmu.... dia telah mengaku semua ini kepadaku....“

“Keparat....!” Sin Hong terbelalak, baru dia tahu mengapa ayahnya dihunuh, kiranya ada hubungannya dengan pemberontakan. Pantas saja orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang. Kiranya Tiat-liong-pang yang mengatur, dan Ciu Hok Kwi adalah murid kepala ketuanya. Sikap Ciu Hok Kwi yang marah-marah dan menyerbu rumah Kwee Piauwsu, lalu dia dikalahkan Kwee Piauwsu, semua itu hanya siasat belaka!

“Hong-ko.... engkau telah tahu sekarang siapa musuh besarmu. Aku.... aku....“ Tiba-tiba gadis itu berusaha untuk bangkit duduk, namun tidak kuat dan ia tentu akan rebah kembali kalau saja Sin Hong tidak cepat membantunya. Dan mata gadis itu terbelalak, mukanya membayangkan kemarahan dan kebencian, telunjuk kanannya menuding ke depan, seolah-olah ada orang yang dibencinya berada di situ.

“Siangkoan Liong! Keparat kau....! Engkau telah menodaiku.... engkau.... kubunuh engkau.... ahhhhh....!” Tubuhnya terkulai dan nyawa gadis yang bernasib malang itu pun melayang pergi meninggalkan tubuhnya.

Sin Hong merebahkan gadis itu, menutupkan mulut dan matanya, lalu meletakkan kedua tangan di depan dada. Suma Lian yang melihat semua ini, mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa Sin Hong duduk tepekur, seperti tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan.

“Hong-ko, siapakah adik yang malang ini?” Suma Lian memecahkan kesunyian dengan pertanyaannya dan Sin Hong yang sedang melamun sedih itu terkejut dan seolah-olah terseret kembali ke dalam kenyataan. Dia menoleh, memandang wajah Suma Lian dan menarik napas panjang. Hubungannya dengan Suma Lian, semenjak mereka berdua meninggalkan Yo Han kepada Suma Ciang Bun dan menuju ke sarang Tiat-liong-pang itu, menjadi lebih akrab dan mereka saling menyebut kakak dan adik.

“Namanya Kwee Ci Hwa,” katanya menjelaskan. “Puteri dari Kwee Piauwsu di Ban-goan, kota kelahiranku. Tadinya aku terbujuk oleh Ciu Piauwsu tadi untuk mencurigai Kwee Piauwsu sebagai dalang pembunuhan ayahku. Agaknya, Ci Hwa menjadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri sampai ke sini ketika ia dan aku memperoleh jejak bahwa Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan pembunuh ayahku dan beberapa orang lain. Ternyata sampai di sini, ia mengalami hal-hal yang lebih menghancurkan kehidupannya, walaupun ia telah berjasa untukku, telah mengetahui rahasia pembunuhan ayahku.”

“Hemmm, agaknya ia telah diperkosa oleh Siangkoan Liong. Bukankah Siangkoan Liong itu putera Siangkoan Lohan pemimpin pemberontak seperti yang kita dapatkan keterangan di sepanjang perjalanan itu? Sungguh jahat. Kita harus segera masuk ke sana dan menghajar mereka!”

“Harap sabar dan tenang, Lian-moi. Kurasa tidak semudah itu. Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai, apalagi karena mereka sedang menyusun kekuatan untuk memberontak. Dari keterangan yang kita peroleh baru anak buah mereka saja sudah tiga ratusan orang, belum lagi anak buah Sin-kiam Mo-li yang merupakan pembantu utama mereka. Ang I Mo-pang yang menjadi anak buah Sin-kiam Mo-li itu tentu lima puluh orang lebih jumlahnya. Dan masih banyak tokoh sesat yang berada di sarang mereka. Apa artinya tenaga kita berdua?”

Suma Lian dapat membenarkan pendapat Sin Hong. “Lalu. bagaimana baiknya sekarang. Apa yang harus kita lakukan?”

“Kita rawat dulu jenazah Ci Hwa, kita kubur saja di bukit ini dengan baik-baik. Kemudian kita melakukan penyelidikan kembali. Kabarnya banyak orang gagah tertawan oleh mereka. Kalau saja kita dapat menyelundup dan dapat menolong mereka, alangkah baiknya.”

Suma Lian hanya menyetujui dan mereka berdua lalu mengurus pemakaman jenazah Ci Hwa dengan sederhana namun cukup khidmat. Sin Hong meletakkan sebuah batu besar di depan makam itu dan menuliskan nama Kwee Ci Hwa di atas batu.

Kemudian, setelah memberi penghormatan terakhir, dua orang muda perkasa itu mulai melakukan penyelidikan kembali ke sarang Tiat-liong-pang, dengan hati-hati sekali.


***

Pouw Li Sian, Gu Hong Beng, dan Cu Kun Tek kini ditahan dalam sebuah kamar tahanan yang baru. Kamar tahanan ini luas sekali, dan mereka bertiga dirantai kaki mereka pada besi di dinding yang kuat sekali. Setelah terbebas dari totokan, mereka dapat duduk bersila dan dapat bercakap-cakap karena mereka berada dalam satu kamar tahanan. Kun Tek yang sadar lebih dahulu, memandang kepada Pouw Li Sian dengan penuh iba. Gadis itu pun mulai dapat bergerak kembali, lalu membereskan pakaiannya yang agak kusut, dan duduk bersila, di sebelah kanan Kun Tek. Hong Beng duduk bersila pula di sebelah kiri Kun Tek yang berada di tengah-tengah. Jarak antara mereka hanya dua meter, namun mereka tidak dapat saling menghampiri karena rantai yang mengikat kaki mereka.

“Nona, sungguh aku merasa menyesal bahwa Nona mengalami bahaya seperti ini,” kata Kun Tek karena tidak tahu apa yang harus dikatakan dalam keadaan seperti itu.

“Kenapa menyesalkan aku, saudara Cu Kun Tek? Bukankah engkau dan saudara Gu Hong Beng ini pun mengalami nasib yang sama dengan aku? Kita sama-sama tertawan, sama-sama terancam bahaya maut!” Li Sian menatap wajah pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu sambil menahan senyumnya, senyum sedih karena gadis ini masih menderita tekanan batin karena dendamnya yang sedalam lautan setinggi langit terhadap Siangkoan Liong!

“Ucapan Kun Tek memang benar, Nona. Aku pun merasa menyesal sekali bahwa Nona sampai menjadi tawanan seperti kami. Walaupun kami sendiri tertawan, namun kami adalah laki-laki. Kalau saja kami dapat melakukan sesuatu untuk membebaskanmu,” kata pula Hong Beng.

Pouw Li Sian kini mamandang kepada Hong Beng dan ia bertanya, “Menurut keterangan saudara Cu Kun Tek, engkau adalah murid seorang keluarga Pulau Es. Bolehkah aku mengetahui siapa nama besar gurumu, saudara Gu Hong Beng?”

Biarpun Hong Heng tidak pernah membanggakan nama gurunya, namun mendengar pertanyaan ini, terpaksa dia mengaku dengan sikap rendah hati. “Suhu bernama Suma Ciang Bun.”

Li Sian mengangguk-angguk. “Pernah aku mendengar nama besar suhumu. Bukankah beliau itu masih cucu dari Pendekar, Super Sakti dari Pulau Es? Ketahuilah, saudara Hong Beng bahwa mendiang guruku adalah mantu dari Pendekar Super Sakti....“

“Aihhh....! Apakah beliau kakek guru Gak Bun Beng....?”

“Benar, akan tetapi namanya sudah berubah menjadi Bu Beng Lokai.”

“Kalau begitu, Nona adalah saudara seperguruan dari nona Suma Lian?”

“Benar sekali! Engkau mengenal suciku? Sungguh, semakin sempit saja dunia ini!” Untuk sejenak, Li Sian melupakan kedukaannya dan ia tersenyum gembira sekali. Kun Tek ikut bergembira melihat hal ini.

“Sungguh menyenangkan sekali. Kiranya engkau masih ada hubungan keluarga seperguruan yang dekat dengan Hong Beng, dan dia adalah sahabat lamaku yang amat baik. Kita ternyata masih orang segolongan yang berhubungan dekat. Sayang kita saling berjumpa dalam keadaan seperti ini.”

Li Sian teringat kembali akan keadaan mereka, teringat kembali akan keadaan dirinya. Ia membayangkan kemungkinan mengerikan yang akan menimpa dirinya. Ia tahu kini betapa kejam dan kejinya hati Siangkoan Liong dan para pimpinan pemberontak itu. Ada bahaya yang lebih mengerikan daripada sekedar kematian mengancam dirinya. Hong Beng dan Kun Tek memang benar kalau tadi mengkhawatirkan keselamatannya karena ia seorang wanita. Membayangkan semua ini, ia teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda dan ia pun mengepal tinjunya.

“Benar apa yang telah dilakukan enci Ciong Siu Kwi itu! Kalau mendapat kesempatan lagi, aku akan melawan dan mengadu nyawa dengan mereka. Lebih baik aku mati daripada sampai tertawan kembali!” Wajah gadis itu menjadi pucat dan sepasang matanya seperti bernyala.

“Jangan khawatir, Nona. Aku Cu Kun Tek bersumpah akan membelamu sampai mati.” Tiba-tiba Kun Tek berkata dengan suaranya yang dalam dan mantap. Mendengar ini, Li Sian menoleh dan menatap wajah pendekar muda yang gagah itu, dan keduanya saling pandang, sinar mata mereka bertemu dan berpaut, dan dalam saat beberapa detik itu, Li Sian melihat betapa sinar mata pemuda itu penuh dengan cinta kasih yang ditujukan kepadanya. Hal ini membuat ia terharu dan wajahnya yang pucat tadi berubah kemerahan, lalu sinar matanya menunduk dan kedua matanya menjadi basah. Melihat keadaan mereka berdua itu, timbul kekhawatiran dalam hati Hong Beng. Dia sudah mengenal watak Kun Tek yang keras dan pantang mundur, gagah perkasa dan berani menentang kematian sehingga watak ini kadang-kadang dapat membuat dia menjadi agak sembrono. Dia tahu bahwa kalau kedua orang muda itu nekat mengadu nyawa, hal itu hanya berarti bahwa mereka berdua akan membunuh diri saja, atau mati konyol karena bagaimanapun juga, mereka bertiga tidak akan mungkin mampu mengalahkan musuh yang jumlahnya demikian banyak dan memiliki banyak orang yang lebih lihai daripada mereka.

“Nona Li Sian dan Kun Tek, dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita bertiga mengalami nasib yang sama, menjadi tawanan tak berdaya di sini. Bagaimanapun juga, kita harus dapat meloloskan diri dan kurasa untuk itu, tak mungkin kalau kita hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan saja. Kita harus menggunakan akal dan kuharap kalian suka mengikuti apa yang akan kulakukan, demi keselamatan kita. Ingat, kalau aku mempergunakan akal, hal itu bukan berarti aku pengecut dan takut mati. Sama sekali bukan. Hanya agar kita dapat lolos lebih dahulu dari sini, untuk kemudian mengatur siasat bagaimana agar dapat menghancurkan mereka, kalau perlu dengan bala bantuan.”

“Menggunakan akal? Apa yang kaumaksudkan, Hong Beng?” tanya Kun Tek.

“Kita harus mengakui bahwa kalau hanya menggunakan kenekatan, kita takkan mampu mengalahkan mereka yang jauh lebih banyak jumlahnya, dan akhirnya kita takkan mampu lolos dan akan mati konyol di sini.”

“Aku tidak takut, apalagi untuk melindungi nona Li Sian!” kata Kun Tek dengan sikap gagah. Hong Beng tersenyum dan diam-diam dia teringat akan masa lampau. Pemuda tinggi besar dan yang gagah perkasa itu kalau sudah jatuh cinta memang kelihatan nekat sekali!

“Kita semua tidak takut mati, saudaraku yang baik. Akan tetapi mati konyol seperti itu bukanlah perbuatan gagah namanya, melainkan perbuatan bodoh sekali. Bukankah begitu? Tidak, untuk keadaan kita yang dalam perimbangan lebih lemah ini kita harus menggunakan akal. Kalau perlu, aku akan bermain sandiwara dan pura-pura takluk....“

“Takluk kepada mereka? Tidak sudi! Aku akan melawan!” teriak Kun Tek.

“Saudara Kun Tek, harap suka mendengarkan dulu perjelasan saudara Hong Beng. Dia benar, kalau tidak ada harapan menang menggunakan kekerasan, mengapa tidak menggunakan akal mengalah? Mengalah untuk akhirnya menang?”

Aneh sekali, demikian pikir Hong Beng. Mendengar ucapan gadis itu, Kun Tek kelihatan sabar kembali dan mengangguk, lalu berkata, “Bagaimana akalmu, coba katakan Hong Beng.”

Hemmm, raksasa ini sudah menjadi jinak agaknya, di bawah sinar mata lembut gadis hebat ini, demikian Hong Beng berkata dalam hatinya.

“Begini. Mereka itu jelas musuh kita, akan tetapi setelah kita memberontak terhadap mereka atas bantuan Ci Hwa tadi, setelah kita membunuh belasan orang anak buah mereka, kini kita ditawan kembali. Kita tidak mengalami siksaan, juga tidak dibunuh. Hal ini bukan tidak ada artinya sama sekali. Kalau kita terus dibunuh, hal itu sudah jelas. Akan tetapi tidak, kita tidak dibunuh dan ini hanya berarti bahwa mereka itu, setidaknya pemimpinnya, dan kurasa kakek berkipas itu sendiri, tidak menginginkan kita mati. Dan alasannya tentu hanya satu, yaitu dia menghendaki agar kita membantu pemberontakan mereka.”

“Tidak sudi! Aku....“ Kun Tek menghentikan teriakannya ketika melihat betapa Li Sian menoleh dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. “Teruskan, Hong Beng.... “ akhirnya dia berkata lirih.

Hong Beng menahan kegelian hatinya melihat sikap Kun Tek, lalu melanjutkan dengan suara bisik-bisik. “Tentu saja kita tidak akan bersekutu dengan kaum sesat seperti mereka. Akan tetapi, dalam keadaan terjepit dan tiada pilihan lain, kita boleh memperlihatkan sikap seolah-olah kita setuju untuk bersama mereka menentang pemerintah. Bagaimanapun juga, bukankah kita sendiri juga tidak suka melihat pemerintah penjajah menguasai tanah air kita? Tapi, sikap kita setuju menentang pemerintah penjajah bukan merupakan suatu kepura-puraan belaka. Hanya sikap mau bekerja sama itu yang menjadi permainan sandiwara kita. Nah, kalau sudah begitu, tentu muncul kesempatan bagi kita untuk membebaskan diri kelak. Bagaimana pendapat kalian?”

Kun Tek masih hendak membantah. Pemuda ini merasa betapa memalukan kalau dia harus memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada tokoh-tokoh sesat itu. Akan tetapi, melihat betapa Li Sian mengangguk-angguk menyambut pendapat Hong Beng itu dan nampaknya setuju, dia pun.... mengangguk pula beberapa kali dan menutup mulutnya!

Mereka bertiga terpaksa kini menutup mulut karena mendengar suara orang dan langkah kaki menuju ke kamar tahanan itu. Ternyata yang muncul adalah Ouwyang Sianseng bersama Siangkoan Liong! Hong Beng bertukar pandang dengan Kun Tek, memberi isyarat bahwa agaknya apa yang diduganya akan terjadi. Buktinya Ouwyang Sianseng yang lihai sekali itu, kini mengunjungi mereka! Apalagi kalau bukan untuk membujuk mereka agar suka bekerja sama? Akan tetapi, Hong Beng melihat betapa Li Sian memandang kepada Siangkoan Liong dengan sinar mata memandang penuh kebencian sehingga dia terkejut. Pandang mata seperti itu tak dapat menipu yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang amat benci karena dendam sakit hati! Apakah yang telah dilakukan pemuda tampan putera ketua Tiat-long-pang itu sehingga membuat Li Sian demikian membencinya?

Di belakang kedua orang ini nampak tiga belas orang yang keadaan tubuhnya amat menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, dengan tubuh bagian atas telanjang sehingga nampak dada dan pundak lengan yang berotot melingkar-lingkar dan juga berbulu! Mereka itu seperti segerombolan orang hutan, mata mereka sempit kemerahan dan mulut mereka, lebar menyeringai, nampak gigi yang tidak terpelihara baik-baik dan kekejaman yang buas nampak pada wajah mereka. Usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun dan celana mereka hitam dengan kaki bersepatu kulit tebal. Ketika Siangkoan Liong dan gurunya membuka pintu kamar tahanan dan memasukinya, tiga belas raksasa Mongol itu tinggal di luar, akan tetapi mereka menjenguk ke dalam melalui jeruji-jeruji besi dan mata mereka semua memandang kepada Li Sian seperti segerombolan srigala kelaparan, dengan mulut menyeringai, dan di antara mereka ada yang tak dapat menahan air liur yang mengalir keluar melalui ujung bibir mereka. Li Sian membuang muka karena merasa ngeri dan jijik.

Dua orang anak buah Tiat-liong-pang membawa dua buah bangku dan memberikannya kepada guru dan murid itu, kemudian keluar lagi. Siangkoan Liong dan gurunya duduk di dekat pintu, memandang kepada tiga orang tawanan yang kini sudah bangkit berdiri, seperti dua orang yang nonton tiga ekor binatang buas yang diikat pada dinding. Kun Tek memandang kepada mereka dengan mata melotot marah. Kalau saja kaki kirinya tidak dibelenggu rantai baja dan terikat pada dinding, ingin rasanya dia menerjang kedua orang itu! Hong Beng berdiri dengan sikap tenang saja, sedangkan Li Sian yang juga sudah berdiri, kini menundukkan pandang matanya karena tidak sudi lagi ia memandang kepada Siangkoan Liong lebih lama lagi.

“Sian-moi, sungguh aku merasa bersedih dan menyesal sekali bahwa engkau telah terkena hasutan Bi Kwi sehingga engkau memusuhi aku. Sian-moi, tidak dapatkah kita berbaik kembali? Lupakah engkau akan hubungan antara kita?”

Kalau tadinya Li Sian sudah dapat menenangkan batinnya, kini mendengar ucapan itu, seolah-olah api yang sudah mengecil itu disiram minyak sehingga berkobar kembali, mengingatkan ia akan kematian kakaknya dan akan dirinya yang telah ternoda oleh pemuda perayu ini. Ketika ia mengangkat mukanya, sepasang matanya berkilat memandang Siangkoan Liong penuh kebencian. “Siangkoan Liong, tidak perlu banyak bicara lagi! Omonganmu yang beracun tidak perlu kudengarkan lagi. Tidak ada hubungan apa-apa di antara kita kecuali hubungan dendam dan permusuhan yang hanya akan dapat dihapus dengan darah!”

Seperti juga Hong Beng, kini Kun Tek memandang dan menekan keheranan hatinya. Dia juga dapat merasakan kebencian yang mendalam dari gadis itu terhadap Siangkoan Liong.

Sebelum Siangkoan Liong menjawab atau bicara lagi, Ouwyang Sianseng sudah mencegahnya dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan kini terdengar kakek itu bicara, suaranya halus dan penuh wibawa, sikapnya tenang sekali dan sikapnya seperti dia sedang bicara kepada para muridnya saja.

“Tidak perlu perbantahan lagi, lebih baik kalau nona Pouw Li Sian mengetahui duduknya persoalan yang sebenarnya. Nona Pouw Li Sian, bukankah engkau merasa penasaran dan mendendam sakit hati karena kakak kandungmu terbunuh? Nah, ketahuilah bahwa memang sesungguhnyalah kalau dia itu dibunuh oleh kami sendiri! Lebih baik berterus terang agar engkau tahu duduknya persoalan.”

Li Sian mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Matanya terbelalak dan tentu saja ia mau mendengarkan karena kakek itu agaknya kini berterus terang dan mengakui secara jujur.

“Akan tetapi, mengapa dia dibunuh? Apa kesalahannya?” tanyanya sambil mengamati wajah kakek itu penuh selidik.

“Dia telah mengkhianati perjuangan kami! Dia hendak melaporkan kegiatan kami ke kota raja. Kalau dia tidak dibunuh, kami semua bisa celaka.”

“Bohong! Aku tidak percaya!” kata Li Sian, walaupun di sudut hatinya ia meragukan bantahannya sendiri. Bukankah kakaknya itu sudah memperlihatkan sikap aneh, seolah-olah terkejut dan sama sekali tidak setuju melihat ia membantu gerakan perjuangan yang dipimpin Siangkoan Lohan itu? “Bukankah kakakku itu anak buah Coa Tai-ciangkun yang sudah bergabung dengan Tiat-liong-pang?”

“Itulah sebabnya mengapa kami harus bertindak tegas. Pengkhianatannya itu diketahui oleh perwira lain dan ketika dia ditegur, terjadi perkelahian di antara mereka. Kakakmu menang, perwira itu dibunuhnya, akan tetapi pada saat itu, kami mengetahuinya dan kami lalu membunuhnya pula. Nah, engkau sudah mendengar sekarang, dan memang demikianlah keadaannya. Karena itu, harap engkau suka menyadari kekeliruanmu memusuhi muridku ini, nona Pouw.”

Pouw Li Sian hampir terbujuk, akan tetapi ia teringat kembali akan kematian Yo Jin dan Bi Kwi yang mengerikan, dan perasaan tidak suka sudah mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Liong yang tadinya berhasil menjatuhkan hatinya.

“Tidak, aku masih belum percaya! Ini semua tentu tipu muslihat kalian!” katanya.

“Memang kami hendak memperlihatkan bukti kebenaran omongan kami.” kata kakek itu sambil memberi isyarat ke luar kamar tahanan yang luas itu. Terdengar suara gaduh dan masuklah seorang anak buah Tiat-liong-pang menyeret lengan seorang wanita yang wajahnya pucat dan pakaiannya kusut, rambutnya juga awut-awutan. Namun masih dapat nampak jelas bahwa wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu berwajah cantik dan memiliki tubuh yang montok menggairahkan. Wanita itu terhuyung lalu jatuh berlutut di depan kaki Ouwyang Sianseng.

“Nah, Nyonya Pouw Ciang Hin, sudahkah engkau pikir baik-baik. Kalau engkau ingin agar kami mengampunimu, ceritakan dengan terus terang tentang suamimu yang menjadi pengkhianat itu!” kata Ouwyang Sianseng dengan sikap lembut namun keren.

Li Sian merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ia mengamati wajah wanita itu. Kiranya mendiang kakaknya telah mempunyai seorang isteri dan kini isterinya telah menjadi tawanan dari gerombolan ini pula!

Wajah pucat itu diangkat memandang kepada Ouwyang Sianseng dengan sinar mata mohon dikasihani. Sudah berulang kali kuceritakan semuanya, dan suamiku bukan seorang pengkhianat....“

“Bohong!” bentak Siangkoan Liong marah. “Dia mengkhianati Coa Tai-ciangkun, dia mengkhianati gerakan perjuangan kami, dia setia kepada pemerintah penjajah Mancu dan dia merencanakan pengkhianatan dengan laporan ke kota raja. Hayo. ceritakan, siapa saja sekutunya dalam pengkhianatan ini!”

“Kongcu.... sudah berulang kali kunyatakan bahwa aku tidak tahu.... dia seorang yang baik dan tidak mungkin menjadi pengkhianat.... ah, Kongcu, aku telah menceritakan segalanya dan engkau masih belum juga percaya? Kalau begitu, bunuh saja aku agar aku dapat menyusul suamiku....“ Wanita itu menangis.

Siangkoan Liong bertukar pandang dengan gurunya dan Ouwyang Sianseng mengangguk. Siangkoan Liong lalu memanggil ke luar kamar. “Hei, seorang dari kalian masuklah ke sini!”

Ketika pemuda itu menunjuk kepada mereka, tiga belas orang raksasa Mongol itu menyeringai dan mereka saling berebut hendak masuk, bahkan dorong mendorong dan tarik menarik. Siangkoan Liong menghardik dan mereka pun diam, lalu seorang di antara mereka, yang paling besar, dengan tubuh berbulu seperti seekor gorila, melangkah masuk, kedua tangannya tergantung panjang sampai ke lutut, mulutnya yang lebar menyeringai dan matanya yang sipit kemerahan itu ditujukan kepada wanita yang masih berlutut dan kini memandang dengan mata terbelalak ngeri kepada manusia monyet itu.

Raksasa itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siangkoan Liong, dan suaranya terdengar parau dan besar ketika dia bertanya, “Kongcu, apakah yang harus saya lakukan?” Karena logat bicaranya asing, maka terdengar lucu dan juga menyeramkan.

“Engkau Okatou, kau boleh melakukan apa saja terhadap wanita tawanan ini agar ia mau mengakui semua pengkhianatan suaminya. Akan tetapi jangan bunuh!”

Raksasa itu lalu menyeringai dan menoleh kepada isteri mendiang Pouw Ciang Hin. “Heh-heh-heh, Kongcu. Boleh saya melakukan apa saja terhadapnya, di sini?”

“Ya, bahkan kalau perlu kau boleh memperkosanya agar ia mau mengaku!” kata pula Siangkoan Liong. Mendengar ini, wajah Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian menjadi merah karena marah. Akan tetapi mereka tidak berdaya dan hanya dapat menonton dengan hati tegang. Sementara itu, dua belas orang raksasa lain di luar kamar, menonton dari balik jeruji dan mereka tertawa-tawa dan menyeringai dengan mulut berliur, agaknya mereka iri terhadap kawan mereka yang dianggap mujur itu

Raksasa bernama Okatou itu kini bangkit dan menghampiri isteri Pouw Ciang Hin yang terbelalak dengan muka pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun bangkit berdiri. Karena keadaan terhimpit, ia pun agaknya hendak berlaku nekat dan memasang kuda-kuda. Agaknya sedikit banyak wanita ini pernah belajar silat dari suaminya. Melihat ini, Okatou tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang besar-besar dan kotor.

“Cui Bi, mengakulah saja sebelum dia menjamah tubuhmu.” terdengar Siangkoan Liong berkata dan mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kecil nyonya itu, mudah diduga bahwa dia sudah akrab dengannya. Dan memang demikianlah semenjak suaminya meninggal, nyonya ini diboyong ke dalam kamar Siangkoan Liong dan dengan cara halus, dengan bujuk rayu dan permainan cinta, pemuda itu sudah berusaha untuk membuat wanita itu mengakui semua kegiatan suaminya. Karena tidak berhasil walaupun nyonya itu telah menyerahkan diri dengan terpaksa, maka diambil jalan ini, untuk memaksa nyonya itu mengaku, juga sekalian untuk membuat Li San dan dua orang pemuda tawanan itu menjadi jerih dan tunduk.

Nyonya itu menggeleng kepala berkali-kali. “Tidak.... tidak.... jangan lakukan ini, Kongcu.... ah, bunuh sajalah aku....”

Raksasa Okatou itu sambil menyeringai telah menubruk dengan kedua lengannya yang panjang. Wanita itu mengelak dan mencoba untuk menendang dari samping. Akan tetapi, sekali sambar, raksasa itu telah menangkap kaki dan menendang.

“Ahhhhh.... lepaskan kakiku.... Lepaskan aku....! Nyonya yang bernama Cui Bi itu meronta-ronta, namun percuma saja, kaki kanannya seperti terjepit besi. Kini tangan kiri raksasa itu menyambar ke depan dan di lain saat tubuh wanita itu telah dirangkulnya dan ditariknya mendekat, didekapnya dan sambil tersenyum menyeringai, raksasa Mongol itu itu menciumi muka Cui Bi! Wanita ini berusaha memutar kepalanya ke kanan kiri untuk mengelak, namun kini tangan kiri Okatou menjambak rambutnya, memaksa kepala itu untuk diam dan dengan lahapnya dia mencium pipi dan mulut Cui Bi dengan ciuman yang mengeluarkan bunyi.

Dua belas orang raksasa Mongol lainnya menonton dengan mata melotot dan mulut mengeluarkan air liur. Sementara itu, Li Sian menarik-narik rantai di kakinya. Ia sudah marah sekali dan kalau saja ia dapat melepaskan diri dari rantai itu, tentu ia akan menerjang raksasa Mongol yang sedang menghina kakak iparnya itu! Akan tetapi rantai itu telalu kuat. Kun tek juga mengepal tinju dan berteriak. “Jahanam busuk, lepaskan ia!” Akan tetapi, Okatou yang hanya mentaati perintah Siangkoan Liong, tentu saja tidak memperdulikan semua itu.

“Brettttt! Brettttt....!” Kini kedua tangan raksasa itu merobek-robek dan merenggut pakaian Cui Bi. Bagaikan kertas saja, kain pakaian itu robek dan tanggal sehingga kini tubuh wanita yang malang itu menjadi telanjang bulat! Dan jari-jari tangan yang besar berbulu itu, tanpa rikuh atau malu-malu di depan banyak orang, menggerayangi bagian tubuh dengan penuh nafsu. Okatou dan kawan-kawannya, yang menjadi pasukan khusus dan anak buah Siangkoan Liong, datang dari luar Tembok Besar dan mereka itu memang merupakan manusia liar yang buas. Mereka sudah biasa melakukan siksaan atau pembunuhan, perkosaan begitu saja di depan banyak orang tanpa merasa rikuh sedikit pun juga.

Cui Bi, wanita yang malang itu, hampir pingsan ketika dirinya didekap, diciumi dan kini pakaiannya telah tanggal semua, akan tetapi ia masih ingat untuk nekat menggigit pipi raksasa Mongol itu sekuat tenaga.

“Aughhh....!” Okatou mengeluarkan suara gerengan seperti binatang buas dan dia mendorong tubuh Cui Bi dengan keras sehingga gigitan itu terlepas dan tubuh Cui Bi terlempar ke arah Li Sian. Raksasa itu meraba pipinya yang kulitnya robek berdarah oleh gigitan Cui Bi, kini matanya makin merah memandang ke arah Cui Bi yang tentu akan terbanting kalau saja Li Sian tidak menyambutnya dengan tangan kirinya.

“Heh-heh-heh....“ dalam kemarahannya, Okatou menyeringai dan terkekeh, lalu melangkah perlahan-lahan menghampiri wanita telanjang itu, sinar matanya penuh ancaman mengerikan.

“Heh-heh-heh, engkau kuda betina binal.... heh-heh-heh, mari sini manis....“ Okatou tiba-tiba melompat ke depan, tangannya terulur untuk menangkap rambut Cui Bi yang kini terurai karena terlepas dari sanggulnya. Akan tetapi, sebuah kaki menyambutnya.

“Dukkk....!” Dan tubuh Okatou terjengkang keras oleh tendangan yang dilakukan Li Sian untuk melindungi Cui Bi. Tubuh Okatou terbanting keras dan Li Sian berkata kepada Cui Hi, “So-so (Kakak Ipar), bersembunyilah di belakangku. Aku akan melindungimu, aku adalah adik perempuan suamimu.”

Pada saat itu Cui Bi merangkak ke belakang Li Sian. Okatou sudah bangkit lagi dan dengan kemarahan meluap, Okatou sudah menubruk ke depan, sekali ini bukan menubruk ke arah Cui Bi, melainkan ke arah Li Sian, wanita tawanan yang berani menendang sehingga dadanya terasa nyeri dan sesak napas itu. Li Sian yang sudah amat marah dan membenci raksasa ini, sudah mempersiapkan diri, mengumpulkan tenaga sin-kang pada seluruh tubuhnya. Ia menanti sampai penyerangnya itu dekat, lalu ia mendahului dengan luncuran tangan kirinya, dengan dua jari mencuat, yaitu telunjuk dan jari tengah, agak direnggangkan dan dua buah jari itu meluncur dan menghujam ke arah kedua mata raksasa itu.

“Creppp....!” Dua batang jari itu seperti sumpit baja menusuk dan masuk ke dalam rongga mata Okatou. Tubuh Okatou menggigil dan gerengan aneh keluar dari mulutnya, kemudian dia terjengkang, akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Li Sian menyusul dengan tendangan maut.

“Desssss....!” Dan kini tubuh itu terbanting keras dan tidak mampu bergerak lagi. Kedua matanya berlumuran darah dan di bagian tengah celananya juga berlepotan darah. Kalau tusukan jari tangan itu membutakan matanya, maka tendangan tadi menghancurkan selangkangnya dan membuat nyawa raksasa buas itu melayang!

“Soso, jangan takut, aku melindungimu,” kata pula Li Sian kepada wanita telanjang yang masih berlutut di belakangnya. Akan tetapi, Cui Bi terbelalak memandangnya, kemudian berkata dengan suara lantang.

“Hemmm, kiranya engkau adik suamiku yang bernama Pouw Li Sian? Cihhh, sungguh tidak tahu malu engkau! Kakakmu dibunuh orang dan engkau menyerahkan diri dan kehormatanmu kepada Siangkoan Kongcu!”

Wajah Li Sian tiba-tiba menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah dan pada saat itu, Siangkoan Liong yang juga tidak mengira wanita itu akan mengeluarkan kata-kata seperti itu, menghardik, “Cui Bi, ke sini engkau!”

Bagaikan seekor anjing yang takut mendengar panggilan majikannya, Cui Bi berjalan menghampiri Siangkoan Liong, berusaha menggunakan kedua tangan menutupi bagian tubuh atas dan bawah, lalu ia berlutut di depan pemuda itu.

“Kongcu, jangan siksa aku seperti ini. Ampunkan atau bunuh saja aku,” ratapnya.

Ouwyang Sianseng mengerutkan alisnya menyaksikan semua peristiwa yang tidak disangkanya itu. “Hemmm, Kongcu apakah engkau masih menyayang dan membutuhkan wanita ini?” tanyanya kepada Siangkoan Liong.

Pemuda itu menggeleng kepala dan mendengus dengan pandang mata menghina.

“Tidak, Suhu, saya sudah bosan padanya.”

“Kalau begitu, suruh bunuh saja ia agar jangan mendatangkan keributan lagi,” kata Ouwyang Sianseng.

Siangkoan Liong memandang kepada Cui Bi, lalu menoleh kepada wajah dua belas orang raksasa Mongol di luar yang masih terbelalak memandang ke arah tubuh wanita telanjang itu seperti srigala-srigala kelaparan, lalu dia berkata, “Tidak Suhu. Biar untuk mereka saja! Nih, ia kuberikan kepada kalian. Bawa pergi ke belakang sana!” Siangkoan Liong tiba-tiba melakukan gerakan dengan kakinya, menendang tubuh Cui Bi yang terlempar keluar dari pintu kamar. Di luar, dua belas orang itu sambil mengeluarkan suara teriakan-teriakan liar telah menyambut dan jerit melengking yang keluar dari mulut Cui Bi mengatasi semua suara gaduh. Li Sian melihat tubuh berkulit putih mulus menjadi rebutan, di antara tangan-tangan yang berbulu ,dan berotot, lalu tubuh wanita itu diangkat pergi oleh dua belas orang raksasa itu. Yang terdengar hanya lengking tangis dan Li Sian lalu menundukkan mukanya dan mematikan pendengarannya agar ia tidak lagi mendengar jeritan kakak iparnya.

Sementara itu, Kun Tek kini duduk bersila dan matanya menatap ke arah Siangkoan Liong, bagaikan mencorong dan mengeluarkan api. Di dalam hatinya, pemuda ini mengambil keputusan untuk membunuh pemuda tampan itu. Bukan hanya untuk perbuatannya yang keji terhadap Cui Bi, melainkan juga karena Li Sian! Kini dia mulai mengerti mengapa gadis perkasa itu demikian penuh kebencian terhadap Siangkoan Liong!

Setelah para anak buah Tiat-liong-pang membawa pergi mayat Okatou, Ouwyang Sianseng lalu memandang kepada tiga orang tawanan itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata, “Ahhh, perang memang kejam. Dalam perjuangan, kadang-kadang memang harus mempergunakan kekerasan terhadap musuh. Apalagi kaum pengkhianat memang harus dibasmi. Kami mengenal Sam-wi (Kalian bertiga) sebagai orang-orang gagah, keturunan para pendekar sakti. Sudah tentu memiliki jiwa patriot dan membenci pemerintah penjajah Mancu. Kami sedang berusaha menumbangkan penjajah, membebaskan rakyat dari penjajahan, oleh karena itu, kami yakin bahwa sebagai pendekar-pendekar gagah yang membela tanah air dan rakyat, Sam-wi tentu akan berpikir panjang. Membantu perjuangan kami atau terpaksa kami lenyapkan Sam-wi sebagai lawan-lawan yang berbahaya. Kami memberi waktu untuk mengambil keputusan sampai besok pagi.” Setelah berkata demikian, Ouwyang Sianseng mengajak muridnya keluar dari kamar itu dan memesan kepada para anak buah untuk menyuguhkan hidangan yang hangat dan baik kepada mereka bertiga.

Dengan cerdik, Hong Beng diam saja, tidak menjawab pertanyaan Ouwyang Sianseng. Dia tahu bahwa Kun Tek dan Li Sian masih terguncang batinnya menyaksikan kekejaman yang tak berperikemanusiaan tadi, maka mereka berdua itu pasti akan menentangnya kalau dia menyambut dengan lembut. Apalagi, kakek itu memberi waktu sampai besok, masih banyak waktu bagi mereka bertiga berunding.

***

Suma Ceng Liong dan isterinya, biarpun tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an yang jauh dari keramaian, jauh pula dari urusan para pendekar di dunia persilatan, namun ada saja kenalan yang memerlukan singgah di dusun itu untuk mengunjungi suami isteri terkenal ini dan menyampaikan penghormatan mereka. Oleh karena itu, berita tentang gerakan orang-orang kang-ouw yang memberontak di perbatasan utara, dipimpin oleh Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang, dapat mereka dengar dan hal ini mengejutkan hati mereka.

“Sungguh mengherankan sekali berita itu.” kata Suma Ceng Liong kepada Kam Bi Eng, isterinya. “Padahal, nama Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang amat terkenal. Perkumpulan itu bahkan pernah berjasa terhadap pemerintah Mancu, dan kalau tidak salah, aku pernah mendengar bahwa Siangkoan Lohan dihadiahi seorang puteri dari keluarga kaisar untuk menjadi isterinya. Bagaimana kini tersiar berita bahwa dia memimpin orang-orang kang-ouw untuk mengadakan pemberontakan? Sungguh aneh.”

“Hal seperti itu mungkin saja terjadi,” kata isterinya. “Bagaimanapun juga, sebagai seorang pendekar yang gagah, tentu Lohan juga merasa tidak puas melihat betapa bangsa dan tanah air dijajah oleh orang-orang Mancu. Kalau sekarang dia mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang pemerintah penjajah, apakah anehnya hal itu?”

Kalau dia menggerakkan orang-orang gagah dan rakyat yang tertindas untuk berjuang menentang penjajah Mancu, hal itu tidaklah aneh dan tidak mengkhawatirkan. Akan tetapi, menurut berita yang kita dengar itu, dia menggerakkan orang-orang kang-ouw (sungai telaga), golongan hitam dan sesat. Ini amat berbahaya karena perjuangan itu jelas bukan demi rakyat, bukan demi bangsa dan tanah air, melainkan mengandung pamrih untuk golongan itu dan celakalah rakyat jelata kalau hal itu terjadi. Mereka, kalau menang, bahkan akan lebih jahat dan kejam daripada pemerintah penjajah sendiri.”

Kam Bi Eng memegang lengan suaminya. “Sudahlah, kenapa kita harus memusingkan kepala memikirkan urusan pemberontakan? Itu urusan pemerintah dan bukankah pemerintah memiliki pasukan yang kuat untuk memberantasnya? Bukan urusan kita untuk mencampurinya. Hanya, aku teringat kepada anak kita. Ke mana perginya Lian-ji? Engkau tahu, wataknya masih amat keras sehingga kalau ia mendengar tentang persekutuan golongan hitam itu, tentu ia akan maju menentangnya.”

Suma Ceng Liong mengangguk. “Itulah yang kukhawatirkan. Ia memang telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk membela diri, akan tetapi kalau ia sampai mencampuri urusan pemberontakan itu dan ia menentang Tiat-liong-pang, sungguh berbahaya. Tingkat kepandaian Siangkoan Lohan amat tinggi dan belum tentu anak kita yang kurang pengalaman itu akan mampu menandinginya, apalagi kalau diingat bahwa Siangkoan Lohan mengumpulkan banyak tokoh sesat seperti yang beritanya kita dengar.”

Kam Bi Eng mengerutkan alisnya. “Lalu bagamana baiknya? Kita harus menyusulnya dan melindunginya!

Suaminya mengangguk-angguk. “Hanya tidak mudah mencari anak kita itu. Sebaiknya kita pergi berkunjung ke pertapaan kanda Suma Ciang Bun. Tentu ia sudah tiba di tempat itu untuk menyampaikan pesan kita, dan dari sana kita bisa mengikuti jejaknya, karena tentu Bun-ko tahu kemana anak itu pergi setelah meninggalkan tempatnya.”

Karena mengkhawatirkan keadaan anak tunggal mereka yang tercinta, sepasang suami isteri perkasa ini lalu berkemas dan meninggalkan rumah mereka menuju ke Tapa-san, di mana Suma Ciang Bun bertapa untuk mulai mencari jejak puteri mereka.

Suami isteri yang sakti ini sudah lama tidak pernah memasuki dunia ramai, apalagi mencampuri urusan dunia persilatan. Belasan tahun lamanya mereka hidup dengan tenang dan tenteram di dusun Hong-cun. Kini, begitu meninggalkan rumah, apalagi setelah mereka tiba di luar dusun, timbul kegembiraan dalam hati mereka. Jiwa petualangan mereka bangkit lagi. Di waktu muda, mereka adalah orang-orang yang suka bertualang, menghadapi banyak macam bahaya sebagai pendekar-pendekar yang setiap saat siap menentang kejahatan. Kegembiraan itu nampak pada wajah mereka yang berubah cerah. Bagaikan suami isteri yang sedang bertamasya saja mereka berjalan perlahan menuruni bukit kecil menuju ke padang rumput di kaki bukit yang menjadi permulaan sawah ladang yang amat luas, dengan warna hijau menguning menyedapkan mata. Bau tanah dan tanaman gandum yang harum memasuki hidung mereka, bersama hawa udara yang amat segar dan nyaman.

Akan tetapi, tiba-tiba mata mereka yang sudah terlatih dan amat tajam melihat sesuatu yang menarik perhatian mereka. Jauh di sana, di luar padang rumput yang membatasi padang rumput dengan sawah ladang nampak beberapa orang manusia bergerak-gerak. Kecil sekali mereka itu nampak dari tempat jauh, akan tetapi gerakan-gerakan mereka itu dapat dikenal suami isteri ini sebagai gerakan orang-orang berkelahi dengan ilmu silat tinggi.

“Di sana ada orang-orang berkelahi!” kata Kam Bi Eng kepada suaminya. “Seorang dikeroyok oleh tujuh lawan!”

“Benar,” kata suaminya, seolah-olah suami isteri ini sedang mengadu ketajaman mata mereka. “Yang seorang itu agaknya wanita, dan pengeroyoknya seorang wanita dan enam orang pria.”

Mendengar ucapan suaminya itu, Kam Bi Eng mengerahkan tenaganya memandang dan ia pun berseru membenarkan. “Hayo cepat kita ke sana!” teriak wanita sakti itu dan tanpa menanti jawaban suaminya, Kam Bi Eng sudah meloncat ke depan dan berlari secepat angin menuruni bukit. Suma Ceng Liong juga segera mempergunakan ilmunya berlari cepat, mengejar isterinya. Karena keduanya mempergunakan ilmu berlari cepat yang hebat sekali, maka tak lama kemudian mereka berdua pun sudah tiba di tempat perkelahian itu. Memang penglihatan Suma Ceng Liong dari jauh tadi tidak keliru. Seorang gadis cantik manis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun sedang dikeroyok oleh seorang wanita setengah tua dan enam orang laki-laki. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun gadis muda itu pun hebat sekali ilmu silatnya.


Melihat betapa gadis cantik manis itu memainkan ilmu pedang yang aneh, namun yang tidak asing baginya, Suma Ceng Liong segera berkata kepada isterinya. “Mari kita bantu gadis itu, bubarkan para pengeroyoknya sebelum ia celaka!”


Memang pada saat itu, gadis berpedang itu sudah terdesak hebat karena memang para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan wanita setengah tua itu agaknya jauh menonjol tingkat kepandaiannya dibanding para pengeroyok lain. Sesungguhnya, tidak mengherankan kalau para pengeroyok itu lihai, karena wanita setengah tua itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, tokoh sesat yang menjadi pembantu utama dari Siangkoan Lohan! Dan selain Sin-kiam Mo-li, di antara mereka terdapat pula Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang menjadi rekan dan juga kekasihnya, dan lima orang lain adalah kaki tangan Tiat-liong-pang yang sedang mengadakan pemberontakan. Adapun gadis cantik manis yang sedang dikeroyok itu adalah Hong Li!


Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini memang sedang menuju dusun Hong-cun di luar kota Cin-an di Propinsi Shantung, lembah Huang-ho untuk berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong seperti yang dipesan oleh ayah ibunya. Ketika tiba di padang rumput di kaki bukit itu, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang laki-laki setengah tua pesolek yang genit dan ceriwis sekali. Pria itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Sudah menjadi watak atau ciri khas dari tokoh sesat yang berjuluk Raja Pedang ini untuk tidak melewatkan setiap kesempatan bertemu wanita cantik. Selalu saja dia mengganggu dan berusaha mendapatkan wanita itu dan kalau hatinya tertarik, dia tidak peduli lagi siapa wanita itu, isteri orang atau anak gadis orang. Dia akan menundukkannya, dan mungkin dengan bujuk rayu mengandalkan kegantengannya, kalau tidak, dia akan mempergunakan kepandaiannya untuk mendapatkannya. Dia tidak pantang mempergunakan kekerasan memperkosa wanita itu.


Melihat seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu, apalagi gadis itu cantik manis sekali, segera hati Giam San Ek terpikat dan dia pun menghadang sambil cengar-cerigir menyeringai untuk memikat. Baru beberapa hari dia dan Sin-kiam Mo-li bersama beberapa orang kaki tangan mereka, tinggal mondok di dusun berdekatan dalam tugas mereka menghimpun tenaga bantuan untuk gerakan yang dilakukan Tiat-liong-pang.


“Selamat pagi, Nona Manis! Dari mana hendak ke manakah? Dan bolehkah kutemani Nona yang berjalan sendirian saja agar tidak kesepian?” demkian tegur Toat-beng Kiani-ong Giam San Ek kepada Kao Hong Li.

Wajah yang bulat telur itu menjedi merah dan mata yang jeli lebar itu mengeluarkan sinar berapi. Hong Li adalah seorang gadis yang cantik dan manis sekali dan sudah lama melakukan perjalanan seorang diri, maka sudah tidak aneh baginya melihat sikap pria yang mencoba untuk menggodanya. Dan setiap kali digoda pria secara kurang ajar, ia pasti turun tangan menghajar pria yang snma sekali tidak menyangkanya bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang lihai sekali. Kini melihat sikap pria setengah tua yang amat ceriwis itu, Hong Li yang juga pandai bicara lalu tersenyum simpul, menahan kemarahannya yang membuat kedua pipinya kemerahan itu.

“Hemmm, orang tua, pernahkah engkau bercermin?”

Melihat gadis itu tersenyum simpul yang membuat wajahnya semakin manis, dan melihat kedua pipi yang halus itu kemerahan yang disangkanya gadis itu malu-malu kucing, Giam San Ek tidak marah mendengar gadis itu menyebutnya orang tua. Dia meraba rambutnya, dan meneliti pakaiannya apakah ada yang kusut, lalu menjawab.

“Tentu saja, Nona Manis! Aku selalu membawa cermin ke manapun aku pergi. Lihat!” Dan seperti bermain sulap saja, tangan kirinya yang bergerak itu telah mengeluarkan sebuah cermin kecil dari saku bajunya. Melihat betapa ucapannya itu dianggap benar-benar dan orang itu benar-benar pula mengeluarkan sebuah cermin, Kao Hong Li tak dapat menahan ledakan ketawanya.

“Hemmm, manusia tak tahu diri! Kalau engkau sering bercermin, apakah engkau belum juga melihat betapa engkau ini sudah tua? Akan tetapi engkau masih pesolek, genit dan suka menggoda gadis muda seperti aku. Tidak malukah engkau?”

Mana mungkin orang macam Giam San Ek memiliki perasaan malu? Teguran Hong Li ini dianggapnya main-main saja, bahkan disangka sebagai tanda bahwa gadis itu menanggapi godaannya.

“Ha-ha-ha, Nona Manis. Betapa tuanya seorang laki-laki, kalau melihat gadis manis sepertimu ini, siapa yang tidak menjadi tergila-gila? Hayolah, tak usah malu-malu, mari ikut dengan aku bersenang-senang!” Berkata demikian, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengulurkan tangannya untuk mencubit dagu gadis itu.

Tentu saja Kao Hong Li menjadi marah melihat sikap orang ini makin berkelanjutan, bahkan semakin berani hendak mencolek dagunya. Dengan mudah ia mengelak dengan mundur selangkah, dan tangannya menampar keras sekali ke arah muka orang.

Giam San Ek yang sama sekali tidak mengira bahwa gadis manis itu berani menamparnya, mengelak, akan tetapi karena memandang rendah, dia bergerak kurang cepat sehingga walaupun mukanya tidak kena ditampar, pundaknya masih terserempet ujung tangan gadis itu. Dia terkejut, baru tahu betapa tamparan itu mengandung tenaga yang amat kuat, maka dia pun melangkah mundur dan memandang dengan alis berkerut.

“Eh? Engkau hendak membalas keramahan orang dengan pukulan?” bentaknya, kini kurang ramah.

“Keramahanmu hanyalah kekurangajaran, dan aku adalah seorang gadis yang tidak sudi kaupermainkan. Pukulanku adalah pukulan untuk menghajar laki-laki kurang sopan macam kalian ini!” Dan kini Kao Hong Li sudah menerjang ke depan, mengirim tamparan bertubi-tubi. Gerakannya tentu saja cepat dan kuat sekali!

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengelak dan menangkis dua kali.

“Dukkk! Plak!” Pertemuan kedua tangan mereka membuat keduanya terkejut. Hong Li juga kaget karena ternyata dalam tangkisan tangan lawan itu terkandung tenaga sin-kang yang kuat, sedangkan Giam San Ek tentu saja kaget karena pertemuan lengan itu membuat tubuhnya hampir terjengkang kalau saja dia tidak dapat meloncat ke belakang. Kini dia memandang gadis itu penuh perhatian, baru tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga dalam yang kuat.

“Ah, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, pantas sikapmu jual mahal!” bentak Giam San Ek dan dia pun sudah menerjang lagi dengan cepat dan ganas, menyerang dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar ingin memegang atau mencolek.

Namun, sekali ini dia kecelik dan bukan hanya gadis itu mampu menghindarkan diri dari semua terkamannya, bahkan membalas tak kalah dahsyatnya sehingga membuat Toat-beng Kiam-ong itu terdesak mundur. Kalau dilanjutkan perkelahian tangan kosong itu, tentu dia akan kalah, karena Kao Hong Li adalah cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ahli ilmu silat tangan kosong dengan ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat, dan juga isterinya ahli silat tangan kosong Han-tok-ciang (Silat Tangan Selaksa Racun). Kedua ilmu silat ini telah diwarisi Hong Li dari ayahnya, yaitu Kao Cin Liong. Juga dari ibunya, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es gadis bermata lebar ini telah mewarisi ilmu-ilmunya, maka tidaklah mengherankan kalau Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek terdesak hebat setelah mereka berkelahi selama belasan jurus saja.

“Singgg....” Nampak sinar berkelebat ketika Giam San Ek yang berjuluk Raja Pedang Pencabut Nyawa itu menghunus pedangnya dan mengelebatkan pedang di depan tubuhnya. Melihat ini, Hong Li juga mencabut pedangnya. Giam San Ek yang berwatak tekebur itu tertawa mengejek, memandang rendah.

“Ha-ha-ha, Nona Manis. Dengan tangan kosong memang aku tidak berhasil mengalahkanmu, akan tetapi ketahuilah dengan siapa engkau berhadapan! Aku Giam San Ek terkenal dengan julukan Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa), sungguh sayang bahwa seorang gadis jelita seperti engkau terpaksa harus tercabut nyawanya oleh pedangku!”

“Tak perlu banyak cakap, lihat pedangku!” bentak Hong Li dan ia pun sudah memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya.

“Haaaiiitt!” Dengan lagak mengejek, Giam San Ek menangkis, membuat putaran dengan pedangnya dan membalas dengan tusukan ke arah dada Hong Li. Akan tetapi, gadis itu bukan hanya tangguh dalam ilmu silat tangan kosong, juga ia amat lihai dengan pedangnya. Ia mainkan Ban-tok Kiam-sut dan biarpun ilmu pedang ini paling tepat dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam milik neneknya, namun dengan pedang di tangannya pun yang tidak beracun, ilmu pedang itu tetap hebat. Kalau tadinya Giam San Ek masih mengejek dan memandang rendah, makin lama dia menjadi semakin kaget mendapat kenyataan betapa lihainya gadis itu dengan pedangnya. Apalagi mencari kemenangan dengan mudah, baru mempertahankan dirinya agar tidak sampai terkena pedang lawan saja sudah merupakan hal yang tidak mudah baginya! Bahkan makin lama, Si Raja Pedang yang sombong ini menjadi semakin terdesak.

Selagi Giam San Ek kebingungan, muncullah bantuan baginya yang amat membesarkan hatinya karena yang muncul itu bukan lain adalah kekasihnya, Sin-kiam Mo-li yang lebih lihai darinya dan lima orang anak buahnya, yaitu tiga orang anggauta Ang I Mopang dan dua orang murid Tiat-liong-pang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang sudah boleh diandalkan. Melihat betapa kekasih dan rekannya itu terdesak oleh seorang wanita muda yang lihai sekali, Sin-kiam Mo-li segera mengeluarkan pedang dan kebutannya, lalu terjun ke dalam pertempuran. Lima orang kawannya juga segera mengeluarkan senjata masing-masing dan kini Hong Li harus menghadapi pengeroyokan tujuh orang lawan tangguh! Namun, gadis perkasa ini tidak menjadi gentar walaupun kini ia terkepung, terhimpit dan terdesak karena fihak para pengeroyoknya memang amat kuat, jauh lebih kuat dari padanya. Namun, dengan putaran pedangnya, dibantu tangan kirinya yang mendorong disertai tenaga Swat-im Sin-kang, satu di antara ilmu dari Pulau Es yang amat hebat karena dorongan tangan itu mengeluarkan hawa dingin yang amat kuat, ia melindungi dirinya.

Ketika Suma Ceng Liong melihat dorongan tangan kiri ini, yakinlah dia bahwa gadis itu tentulah keluarga PulauEs, anggauta dari keluarganya sendiri. Siapa lagi gadis itu kalau bukan puteri dari encinya, Suma Hui, yang bernama Kao Hong Li? Dia lupa lagi akan wajah keponakannya itu, apalagi karena bertahun-tahun tak pernah berjumpa, akan tetapi pukulan itu bagaimanapun juga akan dikenalnya dengan baik!

“Jangan takut, kami datang membantumu!” kata Ceng Liong yang tadi sudah menganjurkan isterinya untuk membantu gadis yang dikeroyok. Kini tubuhnya berkelebat menerjang ke depan dan melihat betapa yang paling lihai di antara para pengeroyok itu adalah wanita yang berpedang dan memegang kebutan, maka dia pun lalu menerjang wanita itu dengan totokan Coan-kut-ci! Coan-kut ci (Jari Penembus Tulang) adalah suatu ilmu yang dahsyat sekali, yang dipelajari Suma Ceng Liong dari Hek I Mo-ong, gurunya yang juga seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal.

Terdengar suara mencicit dibarengi angin yang kuat bukan main menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li. Wanita ini terkejut bukan main, cepat menyambut dengan kebutannya. Akan tetapi, begitu bertemu dengan jari tangan Ceng Liong, bulu kebutan itu rontok dan wanita itu merasa betapa lengannya yang memegang kebutan tergetar hebat. Ia membalas dengan tusukan pedang, akan tetapi didahului oleh tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang cepat dari Ceng Liong, membuat wanita itu cepat-cepat melempar diri ke belakang. Nyaris perutnya tertendang dan kini Sin-kiam Mo-li benar-benar kaget bukan main, tidak menyangka akan bertemu dengan lawan sehebat ini! Ia lalu berkemak-kemik dan menudingkan pedangnya ke arah Suma Ceng Liong, mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak.

“Engkau yang berani melawan aku, berlututlah!”

Akan tetapi laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu malah tertawa bergelak. Tentu saja sihir itu tidak dapat mempengaruhi Ceng Liong karena pendekar ini pun telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri, yaitu mendiang nenek Teng Siang In. Sambil tertawa, Ceng Liong juga mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja Sin-kiam Mo-li juga tertawa bergelak, tidak dapat menahan geli hatinya karena terseret oleh suara ketawa Ceng Liong! Sambil tertawa, Ceng Liong sudah melakukan gerakan-gerakan mendorong dengan kedua tangannya silih berganti, yang kanan mengeluarkan hawa panas dengan Hwiyang Sin-kang, yang kiri mengeluarkan hawa dingin dengan Swat-im Sin-kang. Sin-kiam Mo-li sedang terkejut bukan main melihat dirinya tertawa tanpa dapat dikuasainya, cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh tawa itu. Dan pada saat itu, lawannya sudah menyerangnya dengan dua ilmu yang hebat dari Pulau Es. Tentu saja ia menjadi kaget bukan main dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan saja wanita ini dapat terhindar dari pukulan lawan yang dahsyat.

Sementara itu, Kam Bi Eng juga sudah mencabut suling emasnya dan kini suling itu mengaung-ngaung ketika ia mainkan ilmu pedang gabungan antara Koai-long Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Ilmu ini pun merupakan satu di antara ilmu-ilmu tertinggi pada waktu itu, dan yang diserang oleh Kam Bi Eng adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Orang ini terkejut, mencoba untuk memutar pedangnya, akan tetapi tangkisannya tidak dapat menahan suling itu yang terus menerobos di antara sinar pedangnya dan mengancam ulu hatinya. Giam San Ek berteriak kaget dan melempar tubuh ke samping, lalu meloncat agak jauh dengan keringat dingin membasahi tubuhnya! Nyaris dia celaka oleh suling wanita cantik dan gagah itu!

Biarpun ia pangling dan tidak mengenal suami isteri perkasa yang datang membantunya, tapi begitu menyaksikan gerakan-gerakan mereka, apalagi melihat Kam Bi Eng memainkan suling emas, Kao Hong Li segera dapat menduga siapa adanya mereka.

“Paman Liong dan bibi Eng, terima kasih kalian datang membantuku!” teriaknya dan tendangan-tendangannya membuat lima orang pengeroyoknya menjadi kalang kabut.

Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong adalah dua orang yang cerdik dan licik. Melihat kehebatan musuh, mereka berdua tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri, diikuti oleh lima orang anak buah mereka yang juga menjadi ketakutan! Kap Hong Li meloncat untuk mengejar, akan tetapi Suma Ceng Liong mencegahnya. “Musuh yang lari jangan dikejar!” kata pendekar ini. Dia maklum betapa lihainya lawan, dan tentu licik sekali sehingga mengejar mereka amatlah berbahaya. Siapa tahu mereka itu lari ke tempat kawan-kawan mereka.

Kao Hong Li mentaati cegahan pamannya akan tetapi ia mengerutkan alisnya memandang ke arah menghilangnya tujuh bayangan orang itu dan berkata, “Sayang, seharusnya mereka itu ditumpas, terutama sekali wanita itu!” Lalu, seperti baru teringat bahwa baru saja ia berjumpa dengan paman dan bibinya, gadis itu memberi hormat dan berkata, “Saya segera mengenal Paman dari gerakan Paman, dan mengenal Bibi setelah melihat suling emas itu!”

“Kami pun mengenalmu setelah melihat gerakan silatmu, Hong Li,” kata Kam Bi Eng sambil mengamati wajah yang cantik manis itu.

“Hong Li, siapakah wanita tadi? Ia kelihatan lihai sekali, dan melihat senjatanya pedang dan kebutan, mengingatkan aku akan seorang iblis betina....”

“Dugaan Paman benar. Ia adalah Sin-kiam Mo-li!”

“Ahhh!” Suami isteri itu terkejut.

“Agaknya ia tidak mengenal saya lagi, Paman, karena ketika ia menculik saya, ketika itu usia saya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, saya tidak akan pernah dapat melupakan iblis itu dan tadi, begitu bertemu, saya segera mengenalnya. Padahal, saya memang sengaja hendak mencari dan membunuhnya!” kata gadis itu penuh semangat. Ia teringat akan pengalamannya ketika berusia tiga belas tahun. Pernah ia diculik oleh iblis betina itu, bahkan kemudian diaku sebagai anak angkat dan murid, akan tetapi ia kemudian tahu bahwa sikap baik iblis betina itu hanya siasat belaka (baca kisah Suling Naga).

Suma Ceng Liong menatap tajam wajah Kao Hong Li, diam-diam merasa heran mengapa gadis ini seolah-olah diracuni dendam, padahal, dia mengenal benar pribadi ayah dan ibu gadis ini, orang-orang yang berjiwa pendekar dan tidak mudah dikuasai dendam.

“Hong Li, kenapa engkau hendak membunuhnya dan nampaknya engkau amat membencinya? Apakah karena ia dahulu menculikmu?” tanya Ceng Liong tak puas.

Hong Li menarik napas panjang. “Memang saya sedang menuju ke rumah Paman untuk menceritakan hal ini. Saya tidak mendendam karena ia pernah menculik saya, Paman. Akan tetapi karena ia dan kawan-kawannya telah menyerbu kerumah kakek dan nenek di Gurun Pasir, mereka mengeroyok dan berhasil membunuh kakek, nenek dan juga locianpwe Wan Tek Hoat, bahkan membakar Istana Gurun Pasir.”

“Ihhh....!” Kam Bi Eng berseru kaget.

Suma Ceng Liong juga terkejut sekali. “Apa? Bagaimana mungkin ia membunuh locianpwe Kao Kok Cu, isterinya, dan bahkan locianpwe Wan Tek Hoat?” Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang mampu membunuh tiga orang sakti itu, apalagi kalau orang itu hanya wanita tadi dan kawan-kawannya.

“Ayah, ibu dan saya sendiri tadinya juga merasa terkejut, heran dan tidak percaya, Paman. Akan tetapi pembawa berita itu adalah murid dari tiga orang tua sakti itu sendiri.” Hong Li lalu mengulang cerita tentang peristiwa di Istana Gurun Pasir itu seperti yang didengarnya dari Tan Sin Hong. Suami isteri perkasa itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan wajah mereka dibayangi duka mendengar akan kematian tiga orang tua sakti itu. Setelah Hong Li selesai bercerita, Kam Bi Eng tidak sabar lagi bertanya.

“Tiga orang tua yang sakti itu tewas semua, akan tetapi bagaimana mungkin murid mereka itu dapat hidup dan dapat menceritakan peristiwa itu kepada keluargamu?”

“Kami juga berpendapat demikian dan dengan penasaran menanyakan hal itu kepada Tan Sin Hong, dan ternyata bahwa pada saat penyerbuan terjadi, murid itu sama sekali tidak berdaya. Ia baru saja menerima pengoperan tenaga sakti dari tiga orang gurunya dan selama satu tahun dia pantang mempergunakan tenaga sakti karena hal itu berarti akan membunuh dirinya sendiri. Karena itulah maka dia tidak dapat melakukan perlawanan, karena sekali mengerahkan tenaga, dia akan mati konyol.”

Mendengar ini, Ceng Liong menarik napas panjang, “Aih, sungguh menyedihkan. Akan tetapi bagaimanapun juga, tiga orang locianpwe itu sudah tua sekali dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam menghadapi orang-orang sesat. Heran sekali nasib mereka sama benar dengan nasib kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es! Gugur dalam menghadapi penyerbuan tokoh-tokoh sesat. Sekarang aku mengerti. Tentu setelah mengoperkan tenaga sakti kepada murid mereka itu, ketiga locianpwe itu mengalami kekurangan tenaga dan pada saat itu, para tokoh sesat datang menyerbu. Bagaimanapun juga, hampir semua penyerbu tewas, dan ini membuktikan bahwa tiga orang locianpwe yang sudah berusia tinggi sekali itu memang masih amat hebat. Nyawa manusia di tangan Tuhan! Kalau Tuhan menghendaki, maka ada saja penyebab kematian seseorang. Kita tidak mungkin dapat mengelakkan kehendak Tuhan!”

“Untung sekali bahwa saya dapat bertemu dengan Ji-wi di sini sehingga bukan saja Paman dan Bibi dapat menyelamatkan saya dari tangan orang-orang jahat itu, akan tetapi juga saya tidak kecelik berkunjung ke rumah Paman dan Bibi yang kosong. Sebenarnya, ke manakah Paman dan Bibi hendak pergi, maka kebetulan berada di sini?”

“Kami memang meninggalkan rumah karena kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang kabarnya dilakukan oleh Tiat-liong-pang dibantu oleh para tokoh sesat. Karena anak kami Suma Lian, juga sedang merantau, maka kami merasa khawatir dan ingin mencarinya.”

“Ah, Paman! Kebetulan sekali belum lama ini saya bertemu dengan adik Suma Lian!” Hong Li segera bercerita tentang pertemuannya dengan Suma Lian yang diawali perkelahian karena kesalahpahaman ketika Hong Li mengejar seorang laki-laki yang menculik seorang anak laki-laki.

“Pertemuan itu singkat saja, Paman. Kami berpisah, saya pergi berkunjung kepada Paman sedangkan, adik Lian melakukan pengejaran terhadap laki-laki penculik anak-anak itu.”

“Di mana terjadi peristiwa itu?”

“Di kota Ban-koan.”

“Kalau begitu, kami akan cepat mencari jejaknya di sana,” kata Ceng Liong. Mereka lalu berpisah, Ceng Liong dan Bi-Eng segera menuju ke kota Ban-koan, sedangkan.Hong Li mencoba untuk mencari jejak Sin-kiam Mo-li yang tadi melarikan diri bersama kawan-kawannya. Ia kini bersikap hati-hati, maklum bahwa Sin-kiam Mo-li mempunyai banyak kawan yang lihai. Menghadapi wanita itu sendiri, ia tidak gentar, akan tetapi kalau dikeroyok banyak orang seperti tadi, ia bisa celaka.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di kota Ban-koan, tentu saja suami isteri pendekar itu sama sekali tidak dapat menemukan lagi jejak puteri mereka. Tak seorang pun tahu tentang Suma Lian dan penculik anak-anak, karena memang kedua orang ini meninggalkan kota itu secara diam-diam, di waktu malam pula. Dari tempat ini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu pergi ke Pegunungan Tapa-san untuk mengunjungi pondok tempat tinggal Suma Ciang Bun karena sebelum pergi, Suma Lian telah mereka pesan untuk berkunjung ke rumah pamannya itu dan membujuk Suma Ciang Bun yang hidup sebatanghara untuk tinggal bersama mereka di dusun Hong-cun. Tentu Suma Ciang Bun akan dapat memberi keterangan ke mana selanjutnya puteri mereka itu pergi setelah berkunjung ke sana.

Dugaan mereka yang juga menjadi harapan mereka memang tidak keliru. Di tempat kediaman Suma Ciang Bun, mereka memperoleh keterangan yang banyak. Suma Ciang Bun menyambut mereka dengan gembira sekali dan pendekar ini merangkul adiknya dengan sepasang mata basah. Dia sudah merasa rindu sekali kepada Suma Ceng Liong dan pertemuan ini sungguh membuat dia terharu dan juga gembira.

“Bagaimana, Bun-ko, engkau tentu sehat-sehat saja, bukan? Engkau nampak sehat dan segar.”

“Engkau juga semakin gagah saja, Liong-te. Dan isterimu juga semakin gagah dan cantik!” kata Suma Ciang Bun.

Kam Bi Eng tertawa, mukanya berubah agak kemerahan. “Ah, Bun-koko ini bisa saja. Orang sudah semakin tua, mana mungkin semakin cantik?”

Seorang anak laki-laki muncul. Usianya baru tujuh tahun lebih, akan tetapi keadaan anak ini sungguh mengagumkan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Anak itu memiliki sepasang mata yang tajam bersinar penuh semangat dan keberanian, juga mengandung kecerdikan dan wajahnya tampan.

“Ah, Bun-ko telah memiliki seorang murid yang baru? Dia baik sekali, Bunko....”

Suma Ciang Bun tersenyum. “Anak ini hanya titipan, yang menitipkannya di sini adalah puteri kalian!”

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang sekali. “Suma Lian, anak kami?” keduanya hampir berbareng bertanya.

Suma Ciang Bun mengangguk, dan mengajak mereka semua duduk di dalam pondoknya yang tidak besar namun karena mempunyai banyak jendela maka terbuka dan sejuk hawanya. Lalu dia menceritakan tentang kunjungan Suma Lian dan Tan Sin Hong dan tentang Yo Han yang dititipkan kepadanya oleh dua orang muda itu.

“Bun-ko, apakah kaumaksudkan Tan Sin Hong murid dari Istana Gurun Pasir itu?” tanya Ceng Liong memotong cerita kakaknya.

“Benar, engkau sudah mendengar akan malapetaka yang terjadi di sana?”

“Sudah, dari Kao Hong Li yang kami jumpai di jalan.”

“Dan tahukah engkau siapa anak ini? Anak ini adalah putera dari Ciong Siu Kwi dan suaminya, Yo Jin,” kata Suma Ciang Bun.

Bersambung ke buku 8