Suling Emas & Naga Siluman -5 | Kho Ping Hoo



Buku 5

Pagi itu, Ci Sian berjalan di dalam hutan sambil termenung. Sudah beberapa hari lamanya dia mencari-cari akal, namun dia tetap tidak dapat menemukan siasat yang baik bagaimana dia akan dapat menolong pasukan pemerintah yang terkurung musuh itu. Hatinya menjadi kesal dan dia yang makin merindukan Kam Hong karena dia percaya bahwa kalau Kam Hong berada di sampingnya, tentu pendekar itu akan dapat mencari siasat untuk menolong pasukan yang terkepung rapat itu.

Tiba-tiba dara itu berkelebat lenyap dan dia sudah menyelinap ke belakang sebatang pohon besar. Gerakannya memang cepat bukan main seolah-olah dia pandai menghilang saja. Dia mendengar suara ringkik kuda disusul suara kaki kuda dan suara manusia mendatangi dari depan!

Tak lama kemudian nampaklah rombongan orang berkuda itu. Yang paling depan adalah seorang gadis yang cantik, usianya hanya tentu hanya lebih satu dua tahun dibandingkan dengan dia. Seorang gadis yang berbentuk tubuh ramping agak kecil, wajahnya bulat telur dan cantik manis, terutama dagunya yang runcing. Melihat pakaiannya, gadis ini adalah seorang Han, akan tetapi dua losin tentara yang mengawalnya itu jelas bukanlah tentara kerajaan, melainkan tentara Nepal!

Ci Sian bersembunyi dan tidak berani menampakkan diri, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada seorang gadis bangsanya yang kini dikawal oleh pasukan Nepal! Kini kuda yang ditungganggi gadis cantik itu, yang berbulu hitam dan bertubuh tinggi besar, seekor kuda yang amat baik, telah tiba di dekat pohon di belakang mana Ci Sian bersembunyi. Kuda hitam itu tiba-tiba meringkik mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, mendengus-dengus ke arah pohon besar itu! Jelas bahwa kuda itu bukan kuda sembarangan, dan agaknya seekor kuda yang amat terlatih, seperti seekor anjing yang cerdik, begitu mencium bau seorang asing lalu memperingatkan majikannya! Dan gadis cantik itu agaknya pun tahu akan ulah kudanya itu, dapat menduga bahwa di belakang pohon tentu ada seorang asing atau ada seekor binatang berbahaya.

“Keluarlah!” bentaknya dan begitu tangan kirinya bergerak, sebatang piauw kecil yang memakai ronce merah di gagangnya melucur ke arah belakang batang pohon itu! Ci Sian terkejut bukan main. Kehadirannya telah dilihat orang, maka dia pun cepat mengelak dari ancaman pisau dan dengan tenang dia lalu keluar dari balik pohon itu sambil memandang dengan sinar mata marah namun penuh ketabahan.

“Orang kejam!” dia membentak sambil menatap wajah gadis cantik itu. “Apa salahku maka kau datang-datang menyerangku dengan senjata rahasiamu?”

Gadis cantik itu tercengang keheranan. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa yang mengejutkan kudanya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Juga dua losin pengawalnya semua mengeluarkan seruan kaget dan heran. Mana mungkin ada seorang dara seperti itu berkeliaran di daerah ini tanpa pernah dapat nampak oleh penjaga? Kini semua mata memandang Ci Sian dengan penuh kecurigaan. Sudah tersiar berita di kalangan para tentara Nepal bahwa Kerajaan Ceng mengirim seorang penyelidik yang sakti dari kota raja menuju ke tempat itu, tentu saja dalam usaha untuk menolong pasukan kerajaan yang terkepung itu. Maka, setiap orang asing dicurigai, apalagi orang-orang Han. Biarpun Ci Sian hanya merupakan seorang dara remaja, namun mereka semua tahu bahwa wanita-wanita Han, biarpun masih muda, tak boleh dipandang ringan karena di antara mereka banyak yang merupakan aeorang ahli silat yang amat lihai.

Gadis cantik itu sendiri adalah seorang wanita yang agaknya berkepandaian tinggi, hal ini terbukti dari sambitannya dengan pisau kecil tadi. Kini gadis itu pun memandang dengan penuh curiga kepada Ci Sian, walaupun mulutnya sekarang tersenyum dan dia menjawab, “Salahmu sendiri! Orang baik-baik tidak bersembunyi-sembunyi seperti seorang pencuri, dan kudaku ini selalu marah kalau melihat orang yang memiliki niat buruk di dalam hatinya. Kemudian dia menggerakkan cambuk kudanya ke atas sehingga terdengar suara ledakan nyaring, lalu melanjutkan. “Engkau tentu seorang mata-mata, karena engkau berniat buruk maka engkau merasa takut dan bersembunyi!”

“Siapa takut? Apa yang perlu ditakuti?” Ci Sian mengejek. “Aku tidak takut, dan aku bersembunyi hanya karena enggan bertemu dengan pasukan yang kabarnya merupakan orang-orang jahat yang suka merampok, memperkosa, dan membunuh.”

Gadis cantik itu mengerutkan alisnya dan memandang marah. “Siapa bilang pasukan kami begitu jahat?”

Ci Sian tersenyum pahit. “Uhh, masih pura-pura bertanya lagi? Apakah matamu buta, apakah telingamu tuli sehingga engkau tidak melihat atau mendengar ratap tangis rakyat di sini? Jangan pura-pura bodoh!”

Wajah yang cantik itu berobah marah. “Bocah bermulut lancang! Dalam setiap peperangan tentu saja jatuh korban, itu sudah jamak! Akan tetapi jangan mengira bahwa kami membiarkan pasukan melakukan kejahatan, apalagi perkosaan! Soal menyita barang musuh, atau membunuh musuh, sudah wajar.”

“Wajar kalau yang disita itu barang musuh dan kalau yang dibunuh nyawa musuh, sesama tentara. Akan tetapi kalau rakyat yang tidak tahu apa-apa yang diganggu, dirampok, dibunuh, wanita-wanita diperkosa, lalu apa bedanya tentaramu dengan orang-orang biadab?”

“Bocah sombong bermulut besar!” Gadis itu memaki dengan marah sekali. “Kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu di sini?”

“Mengapa tidak? Apa kaukira aku takut menghadapi beberapa gelintir anjing-anjing pengawalmu ini?”

Para pengawal sudah marah sekali mendengar ini dan mereka sudah gatal-gatal tangan akan tetapi mereka tidak berani bergerak sebelum menerima perintah dan agaknya mereka itu tidak berani mendahului gadis cantik yang mereka kawal itu.

“Hemm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian juga maka berani bersikap lancang. Beranikah engkau melawanku?”

“Kau?” Ci Sian sengaja mengejek dan memandang rendah. “Biar ada sepuluh orang seperti engkau aku tidak akan mundur selangkah pun!”

Diam-diam gadis itu di samplng kemarahannya, juga kagum menyaksikan sikap Ci Sian yang sedemikian tabahnya. Dia meloncat turun dari atas kudanya, diturut oleh semua pengawalnya yang menambatkan kuda-kuda itu pada batang pohon lalu mereka membentuk sebuah lingkaran panjang, mengelilinginya dan agaknya para pasukan itu gembira dapat menyaksikan dua orang gadis cantik yang hendak mengadu ilmu itu. Ci Sian mengikuti gerak-gerik mereka itu dengan sikap gagah dan tenang. Kemudian, gadis cantik itu menghampirinya di tengah-tengah lingkaran.

“Slnggg!” Gadis cantik Itu sudah mencabut sebatang pedang dari pinggangnya dan sambil melintangkan pedang di dada, dia berkata, “Nah, kaukeluarkanlah senjatamu!”

Akan tetapi Ci Sian memang tak pernah memegang sen jata, bahkan “gelang” ular hidup tadi pun telah dilepaskannya dan dibiarkannya merayap pergl k,etika dia keluar dari tempat sembunyinya. Dia tersenyum dan memandang ca

.on lawan itu. “Aku tidak pernah mem.mwa senjata. Akan tetapi jangan dikira iku takut kalau engkau membawa pisau dapur itu!”

Mendengar ejekan ini, tentu saja gadis itu menjadi marah. Dan menyarungkan kembali pedangnya, melepaskan tali ikatan sarung pedang dan melemparkan pedang dengan sarungnya kepada seorang pengawal. “Lihat, aku telah melepaskan pedangku, kita sama-sama tidak bersenjata. Nah, kausambutlah seranganku ini” Tiba-tiba gadis cantik itu menyerang dengan pukulan yang amat cepat. Diam-diam Ci Sian terkejut melihat betapa cepatnya gadis ini bergerak dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli gin-kang yang berkepandaian cukup tinggi. Di samping itu, juga sikap gadis itu yang menyingkirkan pedangnya membuat dia senang dan berkuranglah kebenciannya. Gadis ini betapapun juga telah membuktikan kegagahannya dan tidak mau menghadapi lawan bertangan kosong dengan pedang di tangan! Maka dia pun cepat mengelak dan membalas. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang dara yang sama cantiknya ini, ditonton oleh para pengawal yang merasa yakin bahwa nona mereka akan menang karena mereka tahu bahwa nona mereka itu memiliki kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka sendiri!

Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang membuat semua pengawal menjadi bengong. Dara remaja itu ternyata bukan hanya dapat mengimbangi nona mereka, bahkan perkelahian itu terjadi amat seru dan cepat, membuat mata mereka berkunang dan sukar bagi mereka untuk mengikuti gerakan dua orang dara itu yang seolah-olah menjadi dua bayangan yang menjadi satu! Dan lebih hebat lagi, kini nona mereka mulai terdesak dan mundur terus sambil mengelak atau menangkis serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya itu!

“Serbuuuu....!” Melihat nona mereka terdesak, kepala pasukan segera memberi aba-aba dan dua puluh empat orang pengawal itu sudah bergerak memperketat kepungan dan hendak mengeroyok Ci Sian. Tangan mereka sudah meraba gagang senjata karena mereka itu merasa ragu sendiri apakah mereka harus mengeluarkan senjata kalau hanya mengeroyok seorang dara remaja saja!

Di lain pihak, ketika melihat betapa para pengawal itu bergerak maju, Ci Sian lalu mempercepat gerakannya, tubuhnya mencelat ke samping dan dari samping tangannya menampar ke arah pundak lawannya. Gerakannya itu demikian aneh dan cepatnya sehingga biarpun lawannya dengan cepat pula mengelak, tetap saja pundaknya kena diserempet oleh telapak tangan Ci Sian.

“Plakk!” Tubuh wanita cantik itu terpelanting dan dia tentu terbanting roboh kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah.

Ci Sian mesnnggosok-gosok kedua telapak tangannya, lalu dari tenggorokannya keluar suara melengking tinggi yang membuat para pengawal itu tersentak kaget dan tidak ada yang bergerak saking heran dan kagetnya karena tiba-tiba saja ada getaran aneh pada telinga mereka, getaran yang seperti menembus jantung! Sejenak keadaan menjadi sunyi sekali dan mendadak terdengar suara hiruk-pikuk ketika kuda-kuda mereka yang ditambat pada batang pohon-pohon itu meringkik dan meronta-ronta, kemudian memberontak dan terlepas dari ikatan lalu melarikan diri dengan panik! Semua pengawal terkejut dan bingung, akan tetapi segera terdengar suara mendesis-desis dan dari empat penjuru datanglah ratusan ekor ular menuju ke arah Ci Sian! Kiranya ular-ular inilah yang tadi membuat semua kuda lari ketakutan.

Kini ular-ular itu kini telah berkumpul, ratusan ekor banyaknya, besar kecil dengan bermacam-macam warna, di sekeliling kaki Ci Sian, bahkan seekor ular emas yang kecil kini merayap naik malalui kaki Ci Sian dan terus ke atas, Ci Sian memegangnya dan memakai ular emas itu di lengan tangan kirinya seperti gelang. Ular itu melingkar di situ, persis sebuah gelang emas yang berkilauan! Setelah itu, Ci Sian menggerakkan bibirnya, dan terdengarlah suara melengking lain dan kini ular-ular itu bergerak menyerang ke arah para pengawal! Gegerlah para pengawal itu diserang oleh ratusan ekor, ular yang sebagian besar adalah ular-ular beracun! Wanita cantik tadi kini sudah bangkit dan dia pun menjadi terkejut dan jijik bukan main, akan tetapi aneh sekali, tidak ada ular yang merayap ke arahnya. Semua ular merayap ke dua puluh empat orang pengawal itu.

Terjadilah pemandangan yang lucu dan juga mengerikan. Para pengawal itu ketakutan, dan mereka berusaha untuk menghalau ular-ular itu dengan golok mereka, akan tetapi karena banyaknya ular-ular itu, mereka menjadi ngeri dan bingung. Memang ada beberapa ekor yang mati kena bacokan, akan tetapi hampir semua pengawal telah kena digigit, bahkan ada seorang pengawal gendut yang roboh karena tubuhnya dililit oleh seekor ular berwarna hitam!

Pada saat itu, terdengar suara gaduh dan muncullah seorang wanita cantik yang dikawal oleh sedikitnya seratus orang perajurit! Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh lima tahun, wajahnya cantik, hidungnya mancung dan bentuk tubuhnya masih padat dan ramping. Dari pakaiannya saja mudah diketahui bahwa dia adalah seorang panglima wanita, dengan pakaian panglima yang dilindungi oleh lapisan baja di sana-sini, dengan wajah cantik yang bengis dan sepasang mata yang tajam penuh semangat! Wajah wanita ini pun membuktikan bahwa dia adalah seorang wanita berbangsa Nepal, namun rambutnya disanggul ke atas seperti model sanggul puteri-puteri bangsa Mancu! Rombongan ini datang berkuda dan kini dengan gerakan yang amat cekatan wanita itu meloncat turun dari atas kudanya dan dengan alis berkerut dia memandang ke arah dua puluh empat orang pengawal yang masih repot menghadapi amukan ular-ular itu, kemudian dia menoleh dan memandang kepada gadis cantik yang masih berdiri dalam keadaan kaget dan ngeri, kemudian menoleh ke arah Ci Sian dan sepasang matanya seperti mengeluarkan sinar berapi.

Wanita itu lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan nampaklah sinar bercahaya keluar dari batu hijau yang dipegangnya itu. Kemudian, dengan tangan kirinya dia menyebar bubuk putih ke arah ular-ular itu dan.... ular-ular yang tadinya mengamuk itu seketika diam tak bergerak liar lagi, hanya menggeliat-geliat seperti lumpuh! Wanita itu lalu memandang kepada Ci Sian, kemudian mengangkat tangannya sambil membentak, “Bunuh siluman ular ini!”

Para perajurit yang seratus orang banyaknya itu sudah mengeluarkan busur dan anak panah, siap untuk menghujankan anak panah kepada Ci Sian.

“Tahan, Ibu....!” Tiba-tiba gadis cantik itu berseru dan dia pun meloncat ke dekat Ci Sian sehingga tentu saja para perajurit tidak berani melepaskan anak panah, takut kalau mengenai puteri panglima mereka itu.

“Siok Lan, siluman ular ini telah mengganggumu dan merobohkan para pengawal, apalagi yang kaulakukan ini?”

“Tidak, Ibu. Akulah yang mula-mula membuat dia terpaksa melawan. Kami berjumpa di sini dan aku menantangnya berkelahi. Aku hampir kalah dan para pengawalku, tanpa kuperintah, maju hendak mengeroyok, maka dia lalu memanggil ular-ularnya. Bukan salahnya, Ibu, maka harap kau suka ampunkan dia.”

Panglima wanita yang gagah perkasa itu mengerutkan alisnya, kelihatan meragu sejenak, akan tetapi setelah lama beradu pandang mata dengan puterinya, agaknya karena sayangnya kepada puterinya, dia mengalah, “Hemm, baiklah, akan tetapi kalau dia kelak memperlihatkan sikap tidak semestinya, aku akan membunuhnya!”

Gadis yang bernama Siok Lan itu kelihatan girang sekali. Dia memegang tangan Ci Sian sambil tersenyum dan berbisik, “Lekas kauhaturkan terima kasih kepada Ibuku.” dan dia mengguncang tangan Ci Sian. Melihat sikap gadis bekas lawannya ini demikian baik, dan karena melihat terbukanya kesempatan baginya untuk menyelidiki keadaan pasukan Nepal dan mencari Lauw-piauwsu, maka Ci Sian yang sebetulnya tidak mengenal takut itu lalu mengangguk ke arah panglima itu.

“Terima kasih, Bibi.”

Akan tetapi panglima wanita itu bersikap tidak peduli.

“Siapa namamu?” Siok Lan berbisik.

“Namaku Ci Sian.” jawab Ci Sian tanpa menyebutkan nama keturunannya karena dia tidak ingin membuka atau memperkenalkan nama orang tuanya yang dirahasiakan.

“Ci Sian, lekas kauusir ular-ularmu itu.” Siok Lan berkata, nadanya penuh permintaan.

Ci Sian memandang ke arah ular-ular itu. Dia tahu bahwa wanita perkasa itu tadi telah menyebar garam yang membuat ular-ularnya menjadi jinak dan lumpuh, juga amat menderlta. Maka dia lalu mengeluarkan saputangannya, dan beberapa kali dia mengebut ke arah ular-ular itu dengan pengerahan sin-kang. Bubuk putih yang mengenai tubuh ular dan yang tersebar di sekeliling ular itu terkena kebutan saputangannya lalu beterbangan ke mana-mana. Melihat ini, panglima wanita itu nampak terkejut sekali, akan tetapi dia hanya mengerutkan alis dan tidak berkata apa-apa, sungguhpun dia tahu bahwa dara penaluk ular itu sungguh-sungguh amat lihai Ilmu kepandaiannya. Ular-ular itu tidak menderita lagi setelah semua bubuk putih diterbangkan bersih dari tempat itu, dan begitu Ci Sian mengeluarkan suara melengking halus, ular-ular itu lalu bergerak pergi dari tempat itu, meninggalkan beberapa ekor ular yang telah mati dalam pertempuran tadi, seperti sekumpulan pasukan pulang dari medan perang meninggalkan mayat kawan-kawan mereka!

“Terima kasih, Ci Sian, kau baik sekali. Sekarang kauobatilah pengawal-pengawalku yang luka oleh gigitan ular-ular berbisa itu.” kata pula Siok Lan. Ci Sian memandang ke arah dua puluh empat orang pengawal yang mengerang-erang kesakitan itu dan dia pun mengangguk, lalu menghampiri.

“Tidak perlu, aku bisa mengobati mereka!” Tiba-tiba wanita perkasa itu berkata, nada suaranya tidak senang. “Siok Lan, apa sih sukarnya menolong mereka? Kaupergunakan batu bintang hijau ini untuk menyedot racun dari tubuh mereka!” kata Sang Ibu dan tangannya bergerak. Batu berkilauan itu melayang ke arah Siok Lan yang menyambut dan menerimanyya dengan cekatan sekali, menggunakan tangan kanannya. Dia menoleh kepada Ci Sian sambil tersenyum.

“Adik Ci Sian, kaulihatlah betapa lihainya ibuku!” Dan dia pun menghampiri para pengawal itu, menempelkan sebentar batu hijau itu pada luka dan sungguh menakjubkan sekali, dalam waktu beberapa detik saja semua racun telah disedot oleh batu bintang hijau itu dan mereka semua tertolong, hanya menderita luka kecil bekas gigitan yang tentu saja tidak ada artinya lagi karena racunnya telah lenyap.

Tentu saja Ci Sian memandang dengan kagum dan diam-diam dia juga heran atas kelihaian wanita yang menjadi ibu Siok Lan itu. Ketika mengembalikan batu hijau itu kepada ibunya, Siok Lan berkata, suaranya mengandung kemanjaan, “Ibu, aku suka bersahabat dengan Adik Ci Sian yang lihai ini, aku akan mengajaknya menjadi tamu di tempat tinggal kita. Boleh bukan?”

Panglima itu mengerutkan alisnya, lalu mengerling ke arah Ci Sian sambil berkata singkat. “Sesukamulah, akan tetapi jangan suruh dia main-main dengan ular lagi, aku tidak akan mau mengampuninya lain kali!” Setelah berkata demtkian, dengan cekatan sekali walaupun dia berpakaian perang, wanita itu meloncat ke atas punggung kudanya dan memberi tanda kepada pasukannya untuk pergi dari situ.

Siok Lan tersenyum memandang kepada Ci Sian. “Ibuku hebat, bukan?”

Ci Sian mengangguk, bukan hanya untuk menyenangkan hati sahabat barunya ini, melainkan sesungguhnya dia pun menganggap wanita tadi hebat! Dan dia merasa suka kepada Siok Lan, karena dia melihat hal-hal yang baik pada diri gadis ini. Pertama, Siok Lan tidak mau melawannya yang bertangan kosong dengan senjata, hal ini sudah membuktikan kegagahannya, dan ke dua, Siok Lan malah mintakan ampun baginya kepada ibunya, yang tentu saja bermaksud menyelamatkannya dari bahaya maut, sungguh pun dia sendiri tadi sama sekali tidak takut menghadapi ancaman hujan anak panah. Dan hal itu saja sudah membuat Siok Lan patut menjadi sahabatnya, di samping keuntungan baginya untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu.

Setelah menyuruh para pengawalnya mengumpulkan kembali kuda yang tadi melarikan diri karena takut ular, Siok Lan lalu mengajak Ci Sian berkuda menuju ke Lhagat. Dia memberi seekor kuda kepada Ci Sian dan mengajak dara itu mendahului para pengawal menuju ke Lhagat, karena pengawal-pengawalnya selain masih luka dan kaget juga terpaksa mereka boncengan karena tidak semua kuda dapat mereka kumpulkan kembali. Hal ini saja sudah menimbulkan rasa suka dalam hati Ci Sian. Sudah jelas bahwa Siok Lan merupakan bekas lawan yang tidak mampu menandinginya, dan kalau dia menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat mencelakakan puteri panglima itu, apalagi kalau melakukan perjalanan berdua. Akan tetapi Siok Lan mengajak dia melakukan perjalanan bersama, berdua saja, hal ini menunjukkan betapa Siok Lan sudah percaya sepenuhnya kepadanya!

Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota Lhagat tentu saja Ci Sian dapat memasuki kota itu dengan mudah, bahkan ketika dia dan Siok Lan lewat berkuda, para penjaga cepat memberi hormat yang tentu saja ditujukan kepada puteri panglima itu.

Siok Lan membawa sahabat barunya itu ke dalam gedung besar yang tadinya menjadi tempat tinggal kepala daerah Lhagat. Kini, setelah pasukan Nepal menguasai Lhagat, kota itu menjadi semacam benteng dan gedung itu dipakai oleh panglima bala tentara Nepal yang melakukan penyerbuan ke daerah Tibet, yaitu panglima wanita yang kebetulan bertemu dengan Ci Sian itu, ialah ibu dari gadis cantik bersama Siok Lan.

Setelah tinggal di dalam gedung di kota Lhagat itu sebagai tamu dan sahabat Siok Lan, kemudian mereka berdua bercakap-cakap panjang lebar, barulah Ci Sian mengerti mengapa Siok Lan suka kepadanya dan bersahabat dengannya. Kiranya Siok Lan adalah seorang gadis peranakan, ibunya seorang puteri Nepal sedangkan ayahnya seorang berbangsa Han yang menurut Siok Lan adalah seorang pendekar besar yang tak pernah dilihatnya dan juga Ibunya tidak pernah menyebut siapa nama pendekar itu.

“Aku hanya diberi nama bangsamu di samping nama Nepal, yaitu Siok Lan, dan aku sendiri tidak tahu siapa nama she (nama keturunan) Ayah kandungku itu,” kata gadis itu dengan nada kesal. “Ibu amat keras hati dan tidak pernah mau bercerita tentang Ayah kandungku. Bahkan ketika Ayah tiriku masih hidup, dia pun tidak pernah mau bercerita tentang Ayahku yang sebenarnya.”

“Ayah tirimu....?” Ci Sian bertanya, heran dan juga tertarik.

Siok Lan memegang tangan Ci Sian dan menarik napas panjang. “Ibu melarang aku bercerita tentang ini, dan aku pun tidak, pernah bicara kepada orang lain tentang riwayat kami ini, akan tetapi aku suka kepadamu dan kau kuanggap adik sendiri, Ci Sian. Dengarlah Ibuku adalah seorang wanita perkasa, akan tetapi bukan bangsawan, melainkan puteri seorang pendeta yang sejak kecil mempelajari ilmu-ilmu silat. Ibu menikah dengan seorang pangeran Nepal, dan karena ibu pandai ilmu perang, maka dia lalu menduduki pangkat dalam kemiliteran. Ketika aku terlahir dan sudah agak besar, aku hanya tahu bahwa Ibu adalah isteri pangeran Nepal. Akan tetapi aku sejak kecil memakai pakaian anak bangsa Han. Kemudian Ibu mengatakan bahwa pangeran yang menjadi suaminya itu adalah Ayah tiriku, sedangkan Ayah kandungku adalah seorang pendekar Han. Hanya itulah! Ibu tidak mengatakan siapa pendekar itu dan apakah dia masih hidup....”

Siok Lan tampak berduka, kemudian melanjutkan. “Karena wajahku adalah wajah wanita Han, juga kulitku, maka aku merasa terasing dan tidak mempunyai teman. Aku tekun belajar ilmu silat dari Ibu, akan tetapi aku tidak pernah hidup bahagia di kalangan Istana Nepal. Ada bisik-bisik bahwa aku adalah anak haram, bahwa aku adalah berdarah bangsa lain dan sebagainya. Maka, ketika Ibu memimpin tentara menyerbu Tibet, aku ikut! Dan aku pun ikut bertempur! Dan di sini aku bertemu dengan engkau, betapa menyenangkan hati!”

Ci Sian yang kini mengerti mengapa gadis itu suka bersahabat dengan dia, yang dianggap merupakan orang sebangsa, dan pula juga sama-sama suka ilmu silat, bahkan puteri panglima itu agaknya kagum akan ilmu silatnya yang lebih tinggi, lalu bertanya sambil lalu, “Akan tetapi mengapa tentara Nepal menyerbu ke sini?” dan dengan hati-hati ditambahnya, “Dan mengapa pula pasukan Kerajaan Ceng kabarnya dikurung di lembah?”

Sepasang mata itu nampak bercahaya penuh semangat, seperti mata ibunya yang menjadi pangllma itu. “Tentu saja! Sejak dahulu Tibet memiliki hubungan batin yang erat dengan Nepal, dan boleh dibilang Tibet merupakan daerah yang tunduk kepada Nepal. Akan tetapi semenjak Tibet diduduki dan ditaklukkan oleh Kerajaan Ceng di timur, sikap Tibet tidak bersahabat, bahkan sering memusuhi Nepal. Kedudukan Nepal agak kacau oleh seorang koksu yang ternyata seorang jahat yang hendak memberontak, maka selama itu kami diam saja. Kini, setelah kami dapat menghimpun kekuatan, di bawah pimpinan Ibuku kami menyerbu untuk menghajar orang-orang Tibet. Eh, tahu-tahu pasukan Kerajaan Mancu di negerimu itu mencampuri, tentu saja kami tidak tinggal diam.”

Mendengar ini, Ci Sian yang tidak ingin mencampuri urusan perang, juga yang tidak tahu apa-apa tentang politik, diam saja. Bahkan dia berpura-pura menaruh simpati karena dia ingin memperoleh kepercayaan agar dia mendapat kesempatan menyelidiki dan mencari Lauwpiauwsu, satu-satunya orang yang agaknya dapat menunjukkan di mana adanya ayah kandungnya.

Kota Lhagat memang sudah mulai ramai dan biasa kembali setelah kini perang tidak lagi terjadi di daerah itu. Pasukan Tibet telah didesak mundur terus sampai jauh masuk ke daerah Tibet sendiri, sedangkan pasukan yang tidak berapa kuat itu masih menanti-nanti bantuan dari timur, dari Kerajaan Ceng. Sementara itu, pasukan Ceng yang dikurung di lembah bukit juga tidak mampu menyerbu keluar, maka keadaan untuk sementara dapat dikatakan tenang, sungguhpun sewaktu-waktu diharapkan akan meledak pertempuran besar lagi, baik dari pasukan yang terkurung itu kalau menyerbu keluar kepungan maupun kalau datang bala bantuan dari Kerajaan Ceng. Sementara itu, panglima wanita itu telah mendatangkan bala bantuan pula dari Nepal untuk sewaktu-waktu mengadakan pukulan terakhir, menyerbu sampai ke ibu kota Tibet.

Karena keadaan menjadi tenang kembali, kota Lhagat mulai ramai, para pedagang mulai berani berdagang, para pemburu mulai lagi bekerja dan para petani mulai lagi berladang. Juga ternyata kini oleh Ci Sian betapa sebenarnya Siok Lan tidak membohong, bahwa Ibu gadis itu amat keras terhadap pasukan-pasukannya dan setiap kali terdapat gangguan pasukan yang menyeleweng dan melakukan kejahatan, terutama perkosaan, tentu akan dihukum berat. Namun, tentu saja kadang-kadang sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran. Maklum dalam keadaan perang di mana hawa napsu merajalela menguasai hati semua manusia.

Ketika dia ditanya oleh Siok Lan, Ci Sian juga hanya mengatakan bahwa namanya Ci Sian bahwa dia pun tidak pernah melihat ayah bundanya dan bahwa dia tadinya ikut dengan kakeknya dan kakeknya itu tewas ketika mereka mengadakan perantauan di daerah Himalaya. Diceritakannya bahwa dia bertemu dengan Yeti dan kemudian dia berguru kepada seorang pertapa aneh yang berjuluk See-thian Coa-ong.

Mendengar disebutnya nama ini, Siok Lan berseru girang, “Ah, sudah kuduga bahwa engkau tentu murid pertapa aneh itu! Tentu Ibu pun sudah menduganya, maka dia mau mengampunimu!”

“Eh, kau mengenal Guruku?”

“Siapa tidak pernah mendengar nama See-thian Coa-ong? Dia itu orang Nepal, akan tetapi kata Ibu, sejak muda dia merantau dan bertapa di daerah Himalaya. Ilmu kepandaiannya hebat sekali, kata Ibu, dan agaknya, Ibu mengingat dialah maka Ibu bersikap lunak terhadapmu, Ci Sian. Kalau tidak demikian, kiranya engkau tentu telah dibunuhnya. Ibu keras sekali terhadap musuh. Ceritakan kepadaku tentang orang aneh itu, Adikku, kabarnya dia itu.... eh, kawin dengan ular?”

Ci Sian tertawa. “Mana ada manusia kawin dengan ular, Enci Lian? Suhu itu manusia biasa, hanya dia suka bertapa dan mempelajari ilmu, dan.... kesukaannya yang lain adalah mengadu ilmu, ilmu apa saja! Memang dia ahli menjinakkan ular, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia kawin dengan ular!”

“Soal ilmu perularan ini di Nepal tidak asing lagi, Adik Sian. Akan tetapi aku sendiri selalu takut, ngeri dan jijik terhadap ular. Bukankah binatang itu jahat dan berbahaya sekali?”

“Tidak lebih jahat dan berbahaya daripada manusia, Enci Lian.”

“Mengapa kau berkata demikian?”

“Ular tidak pernah pura-pura. Sebagai sahabat dia setia dan sebagai musuh dia jujur dan tidak curang seperti manusia.”

Mereka lalu bicara tentang ilmu silat dan dengan sejujurnya karena dia pun mulai merasa suka kepada Siok Lan, Ci Sian memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada teman barunya ini sehingga hubungan mereka semakin akrab.

Setelah tinggal selama beberapa hari di Lhagat, Ci Sian mendengar berita yang amat menggelisahkan semua orang, terutama sekali golongan atas, para pimpinan pasukan Nepal, yaitu bahwa ada seorang tokoh besar, seorang jenderal yang berilmu tinggi dari Kerajaan Ceng hendak datang melakukan penyelidikan ke Lhagat dengan tugas untuk menolong dan membebaskan pasukan Ceng yang terkepung di lembah itu. Bahkan Siok Lan membuka rahasia siasat ibunya yang menjadi panglima bahwa pengepungan pasukan itu memang sengaja dilakukan untuk memancing datangnya tokoh-tokoh Kerajaan Ceng untuk kemudian ditangkap dan dijadikan sandera untuk memaksa Kerajaan Ceng menarik mundur semua pasukannya dan tidak melakukan “campur tangan” terhadap gerakan Nepal untuk menyerbu dan menguasai Tibet.

Ci Sian mulai dipercaya oleh Siok Lan, bahkan panglima wanita yang bernama Puteri Nandini, ibu Siok Lan itu juga tidak begitu memperhatikan Ci Sian yang dianggapnya hanya seorang dara kang-ouw yang baru turun dari perguruannya, apalagi ketika dia mendengar dari puterinya bahwa Ci Sian adalah murid See-thian Coa-ong seperti yang memang telah diduganya semula ketika dia melihat dara itu pandai menguasai ular-ular.

Begitu sukanya Siok Lan kepada sahabat barunya ini, dan begitu percayanya sehingga tidak jarang Ci Sian diajak oleh puteri panglima itu melakukan perondaan disekitar Lhagat untuk meneliti keadaan dalam tugasnya membantu pekerjaan ibunya. Pada suatu senja, dua orang dara remaja itu melakukan perondaan dan seperti biasa kalau melakukan perodaan seperti itu, mereka menggunakan ilmu kepandaian mereka, berloncatan ke atas genteng-ganteng rumah untuk melihat kalau-kalau ada penjahat beraksi, atau untuk mendengar-dengarkan kalau-kalau mereka akan dapat menangkap rahasia apakah Jenderal Ceng atau tokoh pandai pihak musuh sudah ada yang menyelundup ke dalam kota Lhagat.

Selagi dia menggunakan gin-kang dengan cepat berkelebat di atas genteng-genteng rumah, tiba-tiba Ci Sian berhenti karena telinganya menangkap rintihan atau keluhan wanita yang sedang ketakutan, di antaranya tangis seorang bayi! Melihat Ci Sian berhenti lalu mendekati sahabatnya yang berdiri di atas genteng dan kemudian dia mengikuti Ci Sian yang meloncat ke atas genteng rumah di sebelah kiri, lalu keduanya berjongkok di atas sebuah kamar rumah darimana terdengar keluhan dan tangis bayi itu.

“Kalau engkau tetap keras kepala dan menolak, bayimu ini akan kukirim ke neraka lebih dulu!” terdengar suara bentakan tertahan, agaknya orang yang membentak itu pun tidak ingin membuat gaduh.

“Jangan.... ohh, Jangan bunuh Anak. ku....“ terdengar suara seorang wanita sambil terisak ketakutan.

Ci Sian cepat membuka genteng dan mereka berdua mengintai ke dalam. Apa yang mereka lihat di sebelah dalam kamar itu membuat keduanya terbelalak dengan muka berubah merah dan pandang mata penuh kemarahan! Seorang laki-laki tinggi besar bermuka bengis, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang perwira rendahan dari pasukan Nepal, sedang mencengkeram baju seorang anak kecil berusia kurang dari setahun, mengangkat anak itu dengan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya yang memegang sebatang golok besar itu diancamkan ke leher anak itu yang seolah-olah hendak disembelihnya! Anak itu meronta-ronta lemah dan menangis. Seorang wanita muda, paling banyak dua puluh dua tahun usianya, berwajah manis dan bertubuh montok karena masih menyusui, berlutut dengan air mata bercucuran dan kedua tangan menyembah-nyembah minta diampuni.

“Engkau masih menolak kehendakku?” bentak laki-laki itu bengis.

“Aku mau.... ah, aku mau.... lepaskan Anakku....“ Wanita itu menangis sambil dengan tangan gemetar mulai menanggalkan bajunya.

Melihat ini, perwira rendahan itu tertawa, melemparkan anak itu ke atas pembaringan, menancapkan goloknya di atas meja dan dengan buas dia menubruk wanita itu lalu memeluk dan menciuminya penuh nafsu. Wanita itu, demi keselamatan anaknya, hanya merintih dan menangis, tidak berani menolak atau melawan lagi.

Tentu saja Ci Sian dan Siok Lan marah bukan main. Akan tetapi sebelum dua orang dara ini mampu melakukan sesuatu, tiba-tiba jendela kamar itu jebol dan dari luar melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali. Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pria berpakaian perajurit Nepal akan tetapi wajah orang ini tidak dapat nampak jelas dari atas genteng. Perwira yang sedang menciumi wanita itu dan tangannya mulai merobeki pakaian korbannya, terkejut dan kelihatan marah. Akan tetapi, sebelum dia mampu mengeluarkan suara, tangan kiri perajurit itu bergerak dan terdengar suara benda pecah ketika tangan itu menampar dan mengenai kepala perwira itu! Tubuh perwira itu terpelanting dan tewas seketika! Wanita itu terbelalak ketakutan, lalu menghamplri anaknya yang masih menangis, mendekap anaknya sambil menangis sesenggukan.

Perajurit yang tubuhnya tidak seberapa besar itu mengeluarkan sekantung uang dan menaruh kantung itu ke atas meja. Terdengar suaranya lembut, suara dalam bahasa daerah yang tidak kaku. “Jangan takut, aku akan menyingkirkan mayat. Sebaiknya engkau bawa pindah anakmu dari Lhagat, dan uang ini dapat kaupergunakan untuk biaya.” Setelah berkata demikian, perajurit itu memondong tubuh yang sudah tewas itu, kemudian meloncat dengan gerakan yang amat tangkas keluar kamar melalui jendela. Akan tetapi sebelum ia melompat itu, dia menengadah ke atas, seolah-olah dapat memandang dua orang dara yang berada di atas genteng! Wajahnya tidak dapat nampak jelas, akan tetapi Ci Sian terkejut sekali melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, mengingatkan dia akan mata dari pendekar sakti Suling Emas atau Kam Hong!

“Lekas.... kita kejar dia! Dia mencurigakan sekali, aku mau tahu siapa perajurit itu!” Bisik Siok Lan dan kedua orang dara ini cepat melayang turun dari genteng dan ketika mereka melihat tubuh perajurit yang memanggul mayat itu berlari cepat, mereka segera mengejarnya.

Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa perajurit itu dapat berlari cepat sekali! Mereka berdua sudah mengerahkan seluruh gin-kang mereka, namun tetap saja dalam waktu singkat perajurit itu telah lenyap, seolah-olah dapat terbang atau pandai menghilang! Tentu saja kedua orang dara ini menjadi penasaran. Mereka adalah dua orang dara yang memiliki kepandaian silat tinggi, sedangkan yang dikejar hanya seorang perajurit biasa, yang malah sedang memanggul tubuh perwira yang tewas itu, namun ternyata mereka tidak mampu mengejarnya! Dengan penasaran sekali Siok Lan mengajak Ci Sian mencari-cari, namun hasilnya nihil. Perajurit yang memanggul mayat itu lenyap. Bahkan setelah Siok Lan memerintahkan pasukan untuk membantunya, tetap saja tidak dapat menemukan perajurit itu.

Akhirnya mereka merasa putus harapan dan duduk beristirahat dengan hati mengandung penuh penasaran. “Dia itu pasti seorang mata-mata.” kata Siok Lan. “Tidak mungkin ada seorang perajurit biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti itu!”

“Memang dia lihai sekali.” Ci Sian membenarkan. “Cara dia dengan sekali tampar membunuh perwira itu dan ketika dia melarikan diri. Betapapun, kita harus mengaguminya, karena dia telah menolong wanita yang sengsara itu.”

Siok Lan mengerutkan alisnya. “Dia lancang! Dia telah membunuh seorang perwira pasukan kami dan dia tidak berhak!”

“Akan tetapi, Enci Lan, engkau tidak adil! Bukankah perwira itu cabul dan jahat sekali? Andaikata orang itu tidak membunuhnya, aku sendiri tentu turun tangan membunuhnya!” Ci Sian yang berwatak jujur itu berkata terus terang.

“Memang aku sendiri pun sudah ingin turun tangan. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa penjahat itu adalah seorang perwira, maka dia tunduk kepada hukum dan disiplin.

“Mengapa harus orang lain yang menghukumnya, apalagi kalau orang lain itu agaknya adalah mata-mata musuh?”

“Betapapun juga, sekarang terbukti lagi bahwa orang-orangmu jahat-jahat, Enci Lan. Perwira itu sungguh berhati binatang, bahkan seperti iblis jahatnya, patut sekali dia dibunuh sampai sepuluh kali!”

Siok Lan menarik napas panjang. “Aahh, begitulah perang. Menurut ilmu perang yang kupelajari dari Ibuku, memang perang selalu mendatangkan akibat-akibat seperti itu! Pasukan yang berada dalam perang, selalu terancam nyawanya, penuh dengan dendam dan rasa takut, penuh dengan kebencian terhadap musuh. Hal ini baik sekali untuk semangat pasukan. Pula, mereka itu jauh dari keluarga, jauh dari isteri sehingga rata-rata menjadi lemah kalau melihat wanita. Nah, semua itu mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan seperti yang kita lihat, Adik Sian.”

“Jadi, menurut anggapanmu, perbuatan itu tidak salah dan sudah sepatutnya? Apakah engkau tidak membayangkan bagaikana seandainya engkau yang menjadi wanita itu, Enci yang baik?” Biarpun nada suaranya halus, namun penuh ejekan dan kemarahan.

Siok Lan tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. “Simpan kemarahanmu, Adik Ci Sian. Aku tadi sudah bilang bahwa aku sendiri akan membunuhnya kalau tidak didahului oleh mata-mata itu! Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya, bukan melindunginya atau membelanya. Oleh karena itu, Ibu mengeluarkan peraturan keras dan disiplin. Akan tetapi, sudah tentu saja kadang-kadang terjadi pelanggaran oleh orang-orang yang lemah batinnya dan dan hal ini adalah lumrah. Kurasa di seluruh dunia pun terjadi hal-hal yang sama di waktu terjadi perang. Akan tetapi, kalau jangan ada satu dua orang tentara yang dikuasai nafsu itu melakukan pelanggaran lalu engkau memberi cap bahwa semua pasukan Nepal seperti itu! Buktinya, aku sendiri adalah puteri panglima pasukan Nepal yang berkuasa di sini, akan tetapi aku menentang keras perbuatan jahat itu.”

Kini mengertilah Ci Sian dan dia pun mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa kagum karena biarpun usia Siok Lan masih muda, paling banyak setahun lebih tua daripadanya, namun sudah memiliki pengetahuan yang luas.

“Sekarang, apa yang hendak kaulakukan, Enci Lan?”

“Aku akan melaporkan kepada Ibu. Perajurit itu amat mencurigakan dan melihat kelihaiannya, tentu dia seorang tokoh besar Kerajaan Ceng, atau.... siapa tahu, dia malah jenderal yang diberitakan akan datang ke sini itu....” Lalu dia menghela napas panjang dan berkata, “sayang.... kita tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.”

“Ah, kurasa tidak mungkin dia seorang tokoh besar, apalagi jenderal. Biarpun aku juga tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pria yang masih muda, atau setidaknya, belum tua benar.”

Siok Lan mengangguk. “Apa anehnya seorang jenderal perkasa dan tokoh besar yang masih muda? Ibuku sendiri seorang wanita, dan belum tua benar, namun dia telah dipercaya untuk memimpin pasukan yang menyerbu ke sini dan menjadi panglima.”

Tiba-tiba datang seorang perwira melapor bahwa ada seorang perajurit yang mencurigakan kelihatan di luar kota Lhagat. Mendengar ini, Siok Lan dan Ci Sian lupa akan kelelahan tubuh mereka yang semalam suntuk tidak tidur itu dan cepat mereka lalu pergi ke tempat yang ditunjukkan itu.

Ketika mereka mengintai, memang benar ada seorang perajurit yang berjalan perlahan sambil menundukkan kepala. Karena mereka melihat dari jauh, dari belakang, maka mereka pun tidak tahu apakah benar perajurit itu yang mereka lihat semalam. Akan tetapi, menurut laporan penyelidik, perajurit itu baru saja mengubur mayat di lereng bukit itu, maka tidak salah lagi tentulah perajurit itu yang telah membunuh perwira dan yang mereka kejar-kejar.

“Mari kejar dia!” Siok Lan berseru dan Ci Sian sudah melompat keluar dari balik pohon dan mengerahkan gin-kang untuk mengejar. Karena memang kepandaian Ci Sian lebih tinggi setingkat, maka dia yang lebih dulu lari dan Siok Lan mengejar di belakangnya. Tiba-tiba perajurit itu menoleh. Sejenak saja, dan kembali Ci Sian melihat sinar mata mencorong, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi. Itulah orang yang mereka cari-cari. Mereka berdua mengejar terus, akan tetapi kini perajurit itu pun melarikan diri, sedemikian cepat larinya sehingga sebentar saja dua orang dara perkasa itu telah kehilangan jejaknya!

“Keparat! Dia menghilang lagi!” Siok Lan memaki sambil mengepal tinju ketika mereka berdua tiba di luar sebuah hutan dan tidak tahu ke mana lenyapnya perajurit yang mereka kejar itu. “Mari kita mencari terus!”

Ci Sian juga merasa penasaran. Tentu saja dia tidak mempunyai keinginan seperti Siok Lan yaitu menangkap atau menyerang perajurit itu. Akan tetapi dia ingin sekali bertemu dan melihat wajah perajurit itu dan mengetahui apakah benar dia itu adalah mata-mata Kerajaan Ceng, terutama apakah benar dugaan Siok Lan bahwa dia itu adalah seorang tokoh besar atau jenderal yang didesas-desuskan itu. Maka mereka lalu melakukan pengejaran dan Siok Lan yang sejak kecil diajar ilmu perang dan sudah berpengalaman itu dapat mengikuti jejak orang itu dengan melihat daun-daun kering yang berserakan atau jejak-jejak yang halus di atas tanah.

Menjelang tengah hari, tibalah mereka di tepi sungai. Siok Lan yang menjadi pemburu jejak itu berlari di depan sedangkan Ci Sian mengikuti dari belakang. Di tepi sungai itu nampak sebuah perahu dan seorang pengail ikan sedang duduk di ujung perahu memegang joran pancing. Mereka cepat berlari menghampiri dan melihat bahwa pengail itu adalah seorang pemuda remaja yang sedang tekun memancing. Wajah pemuda itu sebetulnya tampan, akan tetapi ketika menoleh kepada mereka, nampak betapa sepasang matanya itu juling dan mulutnya agak menyerong, ujung kiri ke bawah dan ujung kanan ke atas. Cacat pada mata dan mulut ini tentu saja membuat wajahnya yang berkulit putih itu dan berbentuk tampan itu menjadi buruk dan menggelikan.

“Heeii, apakah engkau melihat seorang perajurit lewat di sini?” Siok Lan bertanya dengan napas agak terengah-engah karena dia tadi berlari-lari.

Pemuda itu memandang dengan mata julingnya, lalu menjawab bersungut-sungut. “Kalian ini mengganggu saja! Ikan-ikan pada lari mendengar kalian membikin bising. Sejak pagi aku tidak melihat seorang pun kecuali kalian dan sungguh sialan ikan-ikan yang sudah mulai mendekati umpan kini beterbangan pergi lagi!”

“Kalau ikan-ikan dapat terbang, kepalamu pun dapat kubikin terbang!” Siok Lan yang merasa kecewa dan gemas itu mengomel, tangan kanannya menghantam ujung batu di tepi sungai itu. “Krakkk!” Ujung batu itu pecah berantakan terkena tamparan tangannya yang berkulit halus itu. Pengail itu melongo dan mukanya menjadi semakin buruk, apalagi kini tangan kirinya mengusap dahi dan ternyata tangannya itu kotor sehingga mukanya menjadi coreng-moreng.

“Am.... ampunkan.... saya....” katanya gemetar dan joran pancing di tangannya itu kini menggigil seperti kalau umpannya disambar ikan.

“Nah, jangan main-main sekarang. Katakan apakah engkau tidak melihat seorang laki-laki lewat di sini? Seorang yang berpakaian perajurit?”

“Ti.... tidak.... tidak ada.... tidak ada orang lain....”

“Berani sumpah!”

“Saya berani sumpah.... tidak ada orang lain di sini.... kecuali saya sendiri, Nona....”

Dengan hati mengkal Siok Lan lalu melanjutkan pengejarannya, menyusuri tepi sungai itu. Dia tidak melihat betapa Ci Sian tersenyum geli dan sekali lagi Ci Sian menoleh ke arah pengail itu yang melanjutkan pekerjaannya dengan tekun.

Setelah lewat tengah hari dan sama sekali tidak menemukan jejak perajurit itu, dengan hati kecewa dan penasaran sekali Siok Lan lalu mengajak Ci Sian pergi dari situ dan ketika mereka lewat di tepi sungai yang tadi, perahu Si Pengail itu sudah tidak nampak lagi. Agaknya Si Pengail merasa jemu karena tidak berhasil dan pindak ke tempat lain.

Siok Lan mengajak Ci Sian menemui ibunya dan melaporkan semua peristiwa tentang perajurit aneh yang membunuh perwira itu. Panglima Nandini marah sekali. Cepat dia memanggil pembantunya dan memerintahkan agar memperkeras tindakan terhadap anak buah yang melakukan kejahatan, dan juga agar lebih memperketat penjagaan dan menambah penyelidik untuk menangkap mata-mata yang menyamar sebagai perajurit itu dan untuk menangkap setiap orang mata-mata yang berani menyusup ke Lhagat.

Ci Sian diam-diam merasa kagum sekali kepada mata-mata yang menyamar sebagai perajurit itu dan dia mengambil keputusan untuk ikut menyelidiki, bukan sekali-kali untuk melaporkan atau mencelakakan mata-mata itu, melainkan untuk belajar kenal karena dia tahu bahwa mata-mata itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dan dia pun sudah dapat mendengar bahwa Lauw-piauwsu kini mendekam di penjara sebagai seorang tawanan penting karena ternyata Lauw-piauwsu ikut pula menentang penyerbuan pasukan Nepal dan malah memimpin orang-orang untuk melakukan perlawanan ketika pasukan Nepal menyerbu Lhagat. Oleh karena itulah maka dia dianggap musuh dan kini ditahan dalam penjara yang dijaga ketat sehingga sukarlah bagi Ci Sian untuk dapat menolongnya. Mengharapkan pertolongan dari Siok Lan dia belum berani, karena melihat betapa Lauw-piauwsu dianggap musuh maka jangan-jangan dia sendiri malah akan dicurigai. Maka dia menanti saat baik untuk dapat menyelamatkan piauwsu itu.

Beberapa hari telah lewat tanpa ada peristiwa penting dan mata-mata yang menyamar sebagai perajurit itu agaknya telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Karena tidak terjadi peristiwa penting, maka keadaan di Lhagat kembali menjadi tenang dan orang-orang berani melanjutkan pekerjaan sehari-hari dengan tenteram. Siok Lan dan Ci Sian setiap hari masih saja meronda, namun tidak pernah memergoki sesuatu yang mencurigakan. Pada suatu pagi, Siok Lan menyatakan kepada Ci Sian bahwa dia akan pergi menyelidiki serombongan pemburu yang kabarnya sedang melakukan perburuan di sebelah bukit yang penuh dengan hutan-hutan lebat di mana banyak terdapat binatang-binatang buruan. Mendengar ini, Ci Sian menjadi gembira. Dia membutuhkan hiburan dan pergantian keadaan, dan memang dia sendiri pun suka berburu.

Siok Lan yang sudah dipesan oleh ibunya agar berhati-hati, telah mempersiapkan sepasukan pengawal. Akan tetapi dia ingin bebas bersama Ci Sian, maka dia hanya memerintahkan para pengawal untuk menyusul ke bukit itu, sedangkan dia sendiri bersama Ci Sian telah mendahului naik kuda dan membalapkan kuda mereka keluar dari Lhagat menuju ke bukit itu, sebuah bukit yang tidak jauh letaknya dari bukit di mana terdapat lembah tempat pasukan musuh dikurung.

Siok Lan adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh ibunya sendiri, dengan ilmu silat dan ilmu perang sehingga dia memiliki keberanian yang tidak kalah oleh laki-laki yang gagah perkasa. Apalagi kini ada Ci Sian di sampingnya, yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya dan boleh diandalkan, maka tentu saja dia menjadi semakin berani. Dengan membalapkan kuda, dua orang dara itu tiba di kaki bukit dan memandang ke atas. Bukit itu memang penuh dengan hutan dan terkenal sebagai bukit yang dihuni oleh banyak binatang buas, menjadi tempat yang baik sekali bagi para pemburu, di samping, tentu saja, juga amat berbahaya karena di situ masih banyak terdapat harimau-harimau yang besar dan ganas.

“Mari, Adik Sian!” Siok Lan berkata dengan gembira dan dia sudah membedal kudanya naik ke bukit memasuki hutan lebat. Ci Sian juga menjadi gembira sekali dan dengan cepat dia mengikuti sahabatnya itu. Ternyata hutan itu selain lebat sekali, juga jalannya kecil melalui jurang-jurang yang curam. Namun, karena Siok Lan adalah seorang ahli menunggang kuda, maka dia tidak takut dan membalapkan kudanya menyusup di antara pohon-pohon, melompati semak belukar dan berlari cepat di tepi jurang yang mengerikan.

“Heii, Enci Lan, hati-hatilah! Beberapa kali Ci Sian memperingatkan sahabatnya itu yang dianggap bersikap lengah di tempatnya berbahaya seperti itu. Namun Siok Lan hanya menjawab dengan suara ketawa panjang dan terpaksa Ci Sian juga membedal kudanya untuk mengikuti karena dia tidak mau kalau sampai terpisah dari sahabatnya itu di tempat yang asing ini.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang disusul auman menggetarkan jantung dan dari balik semak-semak belukar keluarlah seekor harimau yang besar. Kuda yang ditunggangi Siok Lan terkejut dan ketakutan, meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meronta dan membedal ke depan!

“Enci Lian, lompatlah....!” Ci Sian berseru kaget dan cepat mengejar dengan membalapkan kudanya, tidak mempedulikan harimau yang masih menggeram dahsyat itu. Namun Siok Lan tidak mau melompat turun, berusaha menguasai kudanya yang kabur dan panik penuh rasa takut itu.

Seekor kuda yang sudah ketakutan amatlah berbahaya kalau ditunggangi. Kuda yang panik itu berlari dengan kacau dan tidak melihat lagi rintangan di depannya. Memang sebaiknya kalau dapat melompat turun dari atas punggung seekor kuda yang lari ketakutan seperti itu. Akan tetapi Siok Lan adalah seorang dara yang keras hati. Sejak kecil dia sudah mahir menunggang kuda, maka kini pun dia tidak mau mengalah dan dia merasa sanggup untuk menguasai kembali kudanya yang kabur ketakutan itu. Dengan menarik kendali kuda dia hendak mengekang dan memaksa kudanya untuk berhenti. Kuda itu meringkik dan berdiri di atas kedua kaki belakang, mendengus dan meringkik marah karena rasa nyeri pada mulutnya, kemudian begitu kendali itu mengendur, dan meloncat ke depan dan tentu saja tubuhnya melayang turun karena di depannya adalah jurang!

“Enci Lan....!” Ci Sian menjerit ketika melihat betapa kuda itu bersama Siok Lan terjatuh ke dalam jurang!

Akan tetapi pada saat itu, dari tepi jurang sebelah kiri menyambar sinar hitam kecil dari seuntai tali yang meluncur dengan amat cepatnya ke bawah, ke arah tubuh Siok Lan yang melayang di atas punggung kudanya dan disusul teriakan seorang laki-laki yang nyaring. “Cepat tangkap tali ini!”

Tali itu ternyata merupakan laso yang meluncur cepat sekali dan tahu-tahu sudah melaso tubuh Siok Lan dari atas. Kalau dara itu tidak cepat menangkap tali yang menjiratnya, tentu lehernya akan terjirat dan sentakan itu tentu membahayakan nyawanya. Untung baginya, dia mendengar teriakan itu dan cepat dia melepaskan kendali kuda dan menangkap tali yang menjirat tubuhnya, maka ketika luncuran tubuhnya tertahan oleh lasso itu, lehernya tidak terjerat dan dia dapat menahan dengan kekuatan kedua tangannya! Kini tubuhnya tergantung pada tali lasso itu.

Ci Sian sudah melompat turun dan berlari menghampiri pemuda yang memegang ujung tali di mana Siok Lan bergantung di bawah sana. Tanpa diminta, tanpa mengeluarkan kata-kata, dia pun membantu pemuda itu menarik tali perlahan-lahan dan akhirnya tubuh Siok Lan dapat ditarik keluar dari dalam jurang, sementara kudanya terus meluncur turun dan terdengar suara gedebukan mengerikan ketika akhirnya tubuh kuda itu menimpa dasar jurang tentu saja hancur dan tewas!

Siok Lan agak menggigil ketika dia dapat ditarik ke tepi jurang. Sejenak dia memandang ke dasar jurang, kemudian menoleh kepada pemuda itu. Dia tercengang karena pemuda itu ternyata adalah seorang pemuda tampan dan gagah, biarpun pakaiannya biasa dan kasar saja dan sikapnya amat sederhana. Seorang pemuda dusun atau seorang pemuda pemburu.

“Terima kasih, engkau telah menyelamatkan nyawaku.” kata Siok Lan kepada pemuda itu yang kelihatan tersipu malu.

“Ah, hanya kebetulan saja aku dapat menyelamatkanmu, Nona. Aku girang bahwa engkau demikian cekatan dapat menangkap tali lassoku.” kata pemuda itu sederhana.

“Kepandaianmu hebat sekali!” kata Ci Sian memuji.

Pemuda itu memandang kepada Ci Sian, kemudian menunduk dan memandang tali lasso di tangannya, lalu menjawab dengan sikap wajar, “Tali lasso ini? Ah, Nona, aku adalah seorang pemburu dan akhir-akhir ini banyak pedagang yang membutuhkan binatang-binatang hidup, maka kami para pemburu hanya mempelajari ilmu melempar lasso untuk dapat menangkap binatang hutan hidup-hidup. Baru saja aku sedang mengintai dan membayangi seekor kijang untuk kutangkap dengan lasso ini ketika aku melihat Nona ini terjatuh dengan kudanya ke dalam jurang.”

“Jadi engkau adalah seorang di antara para pemburu yang sedang memburu binatang di bukit ini?” Siok Lan bertanya sambil memandang tajam.

“Benar, Nona. Kami berkemah di puncak bukit. Aku she Liong bernama Cin.... dan sungguh amat mengherankan bertemu dengan dua orang dara remaja di tempat seperti ini. Tidak tahu siapakah Ji-wi dan hendak ke mana....?”

“Enci ini adalah puteri panglima pasukan Nepal....”

Siok Lan cepat memandang kepada Ci Sian penuh teguran, akan tetapi Ci Sian sudah terlanjur bicara sehingga dia tidak dapat mencegah lagi sahabatnya itu memperkenalkan dirinya. Sementara itu, pemuda pemburu itu nampak terkejut dan cepat-cepat dia menjura dengan hormat.

“Ah, harap Nona sudi memaafkan, karena tidak mengerti....“

“Sudahlah, engkau telah menyelamatkan aku dan aku berterima kasih kepadamu. Sekarang antarkan kami ke perkemahan para pemburu, aku ingin melihat keadaan mereka.” kata Siok Lan.

Mereka bertiga lalu menyusup-nyusup di antara pohon-pohon menuju keperkemahan itu. Kuda tunggangan Ci Sian dituntun oleh pemburu muda itu. Akhirnya tibalah mereka di perkemahan para pemburu. Ternyata di situ berkumpul tujuh belas orang pemburu yang semua terdiri dari laki-laki yang kasar dan kuat. Akan tetapi begitu mendengar dari Liong Cin bahwa Siok Lan adalah puteri panglima pasukan Nepal, para pemburu itu bersikap hormat. Melihat keadaan mereka yang betul-betul memburu binatang, dengan hasil-hasil buruan, mati atau hidup, dikumpulkan di perkemahan mereka. Siok Lan percaya dan tidak menaruh curiga. Setelah menerima hidangan mereka yang berupa panggang daging-daging binatang buruan, Siok Lan dan Ci Sian berpamit. Mereka diantar oleh Liong Cin dan seekor kuda diberikan oleh mereka kepada Siok Lan. Ketika hendak berpisah, Siok Lan melepaskan seuntai kalung dari lehernya, sebuah kalung dengan hiasan bunga teratai emas dihias permata, dan menyerahkan kalung itu kepada Liong Cin.

“Sebagai tanda terima kasihku atas budi pertolonganmu, terimalah kalungku ini.” katanya singkat.

Liong Cin menerimanya dan Siok Lan lalu membedal kudanya meninggalkan pemuda itu, diikuti oleh Ci Sian, dan dipandang oleh Liong Cin yang masih berdiri bengong dengan kalung itu di tangannya.

“Eh, Enci Lan, dia itu gagah dan tampan, ya?” kata Ci Sian ketika dia berhasil menjajarkan kudanya di samping

“Apa? Siapa?” Siok Lan nampak terkejut karena agaknya dia sedang melamun.

“Aih, siapa kauberi hadiah menggoda.

“Hushh! Aku memberi hadiah karena dia telah menyelamatkan nyawaku! Itu merupakan suatu kenyataan dan bukankah sudah sepatutnya kalau aku memberi hadiah kepadanya? Jangan kau mengira yang bukan-bukan!”

“Ihh, siapa yang mengira bukan-bukan? Aku pun hanya mengatakan yang sebenarnya. Bukankah dia memang tampan dan dia gagah karena sudah menolongmu? Kaukira aku menyangka Enci Lan?”

Siok Lan cemberut dan membalapkan kudanya. Ci sian mengejar sambil tertawa.

“Enci Lan, jangan marah dong! hanya mau bilang bahwa dia tentu senang sekali memiliki kalung yang biasa kaupakai di lehermu.”

Siok Lan menahan kudanya, lalu menoleh, memandang kepada sahabatnya itu. “Eh, apa maksudmu?”

Ci Sian tertawa. “Maksudku engkau tahu sendiri, hi-hik!”

“Eh, anak nakal! Engkau genit, ya? Kucubit bibirmu....!” Siok Lan meraih dengan tangannya untuk mencubit, Ci Sian mengelak dan melarikan kudanya, dikejar oleh Siok Lan. Dua orang dara itu berkejaran sambil bersendau-gurau, tertawa-tawa dan akhirnya mereka memasuki kota Lhagat dengan selamat. Siok Lan memberi laporan kepada ibunya tentang para pemburu yang dikatakannya adalah pemburu-pemburu tulen dan orang baik-baik. Para pengawal yang terpaksa balik kembali ketika mereka bertemu dengan dua orang dara yang berkejaran itu, tidak melihat apa-apa. Atas pesan Siok Lan, Ci Sian juga tidak mau bicara tentang pemburu muda yang telah menyelamatkan sahabatnya itu kepada orang lain, Siok Lan sendiri hanya secara singkat menceritakan kepada ibunya bahwa kudanya kaget melihat harimau dan membawanya terjun ke jurang, akan tetapi seorang di antara para pemburu itu telah menyelamatkannya dengan menggunakan tali lasso. Mendengar ini, Puteri Nandini terkejut juga, akan tetapi akhirnya dia mengangguk-angguk dengan alis berkerut.

“Lain kali engkau harus hati-hati. Dan bagaimanapun juga, kita harus menyuruh penyelidik mengamat-amati para pemburu itu. Seorang pemburu mampu menolong dengan lasso seperti itu, cukup aneh dan mencurigakan.

“Ah, Ibu terlalu curiga kepada semua orang pandai. Kalau memang dia itu berniat buruk dan kalau dia itu mata-mata musuh, tentu dia sudah mengenalku dan mana mungkin mata-mata musuh mau menyelamatkan puteri panglima musuhnya?” Ucapan ini dapat diterima oleh panglima wanita itu, maka kecurigaannya terhadap para pembantu pemburu itu pun banyak berkurang.

Sunyi sekali malam itu, namun para penjaga berjaga-jaga penuh kewaspadaan di sekeliling bukit yang terkurung itu. Baru kemarin pagi, ketika matahari baru timbul, ada penjaga-penjaga di bagian barat bukit itu melihat adanya bayangan-bayangan orang berkelebat dan seperti beterbangan saja cepatnya naik ke bukit. Mereka tidak tahu bagaimana ada orang-orang mampu menyusup melalui penjagaan mereka. Ataukah bayangan sosok tubuh itu bukan bayangan manusia? Para penjaga sudah menghujankan anak panah ke arah bayangan-bayangan itu, akan tetapi tak ada yang berhasil. Anak-anak panah itu seperti mengenai bayangan-bayangan saja! Oleh karena itu, malam ini juga diadakan penjagaan ketat setelah terjadinya peristiwa itu.

Pasukan yang bertugas menjaga dengan anak panah di tangan telah siap dan setiap beberapa jam sekali pasukan ini diganti agar mereka tidak sampai kelelahan dan kurang waspada. Menjelang tengah malam, dari atas bukit nampak ada cahaya berkedip dan cahaya ini lalu meluncur turun ke bukit. Melihat ini, para penjaga sudah siap menyambut karena tidak mungkin ada cahaya turun tanpa dibawa orang. Setelah agak dekat, dari jauh para penjaga dapat melihat bahwa cahaya itu adalah sebatang obor yang bernyala. Hal ini menimbulkan keyakinan dalam hati mereka bahwa memang ada orang yang berlari turun membawa obor itu.

“Siap....!” bisik komandan pasukan panah. Para penjaga itu sudah mencabut anak panah dan menyiapkan anak panah pada busur masing-masing.

Kini dari cahaya obor itu dapat nampak bahwa yang melarikan obor memang benar seorang manusia yang bergerak ringan dan cepat sekali. “Berhenti!” Tiba-tiba komandan jaga membentak.

Akan tetapi, pembawa obor itu malah melemparkan obornya ke arah para penjaga. Tentu saja keadaan menjadi geger.

“Serang!” Komandan memberi aba-aba dan puluhan batang anak panah meluncur ke arah tempat di mana orang tadi nampak. Setelah melemparkan obornya, tentu saja keadaan di mana orang itu berdiri menjadi gelap dan tidak nampak lagi orang itu. Kiranya orang itu, yang memiliki gerakan amat gesitnya, telah menyelinap ke dalam kegelapan malam, menjauhi penerangan yang ada di tempat penjagaan, dan dapat menyusup pergi selagi para penjaga menjadi panik.

Akan tetapi karena bayangan itu telah lenyap, para penjaga tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan penjagaan semakin ketat agar jangan ada lagi orang dari atas bukit yang terkurung itu dapat meloloskan diri. Sementara itu, bayangan tadi dengan sangat cepat telah berlari seperti terbang saja di antara pohon-pohon dan menuju ke kota Lhagat!

Dan malam itu terjadi geger di gedung yang menjadi tempat tinggal Sang Panglima, yaitu Puteri Nandini! Tanpa dilihat oleh seorang pun penjaga yang menjaga gedung itu dengan ketat, sesosok bayangan manusia menyelinap dan memasuki kamar kerja Sang Panglima wanita itu, dan setelah menggeledah sepuasnya, baru dia meloncat keluar sambil membawa beberapa buah benda yang amat penting. Kebetulan sekali pada saat itu, Puteri Nandini melakukan ronda dan telinganya yang amat tajam itu dapat menangkap suara tidak wajar ini. Dengan gesit, seperti seekor burung walet saja, panglima ini memakai pakaian biasa karena dia hanya meronda di gedung tempat tinggalnya sendiri, meloncat ke atas genteng. Sungguh kebetulan sekali, pada saat itu, maling yang memasuki kamar kerjanya itu baru saja melayang naik.

“Berhenti!” bentak Puteri Nandini. Akan tetapi bayangan itu hendak meloncat pergi dan sekali menggerakkan tangan, panglima ini sudah menyerang bayangan itu dengan lemparan senjata rahasianya yang amat berbahaya, yaitu segenggam jarum yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh batang. Jarum-jarum halus itu menyambar seperti anak-anak panah kecil, lembut sekali sehingga tidak nampak, hanya sinarnya saja berkelebat, dan seluruh tubuh maling itu telah dijadikan sasaran, dari mata sampai ke lutut kaki! Akan tetapi, betapa kaget hati Sang Panglima ketika dengan amat mudahnya, bayangan itu meloncat ke samping dan dengan kebutan lengan baju, jarum-jarumnya runtuh semua ke atas genteng!

“Mata-mata busuk, menyerahlah engkau atau mati!” bentak Puteri Nandini dan kini dia menyerang dengan tubrukan seperti seekor harimau betina. Tubuhnya meloncat ke depan, kedua lengannya terbentang dan kedua tangannya sudah bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher, yang kiri menusuk dengan totokan ke arah lambung. Sungguh serangan ini hebat bukan main dan amat berbahaya!

Akan tetapi, orang itu sungguh lihai bukan main. Biarpun menghadapi serangan yang amat berbahaya, dia bersikap tenang saja, tangan kirinya masih memegang benda-benda yang diambilnya dari dalam kamar itu, yaitu gulungan kertas dan beberapa buah buku.

“Plak! Plak.” Dua kali tangannya menangkis dan akibatnya tubuh panglima itu terpental! Tentu saja Puteri Nandini terkejut. Keadaan di atas genteng demikian gelapnya sehingga dia tidak dapat melihat wajah orang itu, hanya dapat menduga bahwa lawannya ini adalah seorang pria yang perawakannya sedang dan tegap, akan tetapi dia tidak dapat mengatakan apakah pria ini tua ataukah muda. Pada saat dia terhuyung oleh tangkisan yang amat kuat itu, dari bawah melayang naik beberapa orang perwira pengawal yang berkepandaian cukup tangguh, di antara mereka ada yang membawa obor. Melihat ini, orang itu melompat jauh ke depan dan sekali loncat saja dia telah turun ke atas tanah, jauh di samping gedung itu. Bukan main kagetnya hati Sang Panglima menyaksikan kehebatan gin-kang dari orang itu. Maka dia pun cepat meloncat turun sambil berteriak. “Cepat kejar!”

Sambil mengejar, Puteri Nandini mencabut pedangnya. Dia merasa menyesal mengapa tadi memandang rendah lawannya. Kalau dari tadi dia mencabut pedang, tentu setidaknya dia dapat mendesak dan mengurung, tidak memberi kesempatan kepada maling itu untuk dapat meloloskan diri.

Dan memang gin-kang orang itu hebat sekali.. Biarpun Sang Puteri dan para perwira pengawal mengejar mati-matian, tetap saja mereka tertinggal jauh dan sebentar saja orang itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Dan betapapun para penjaga melakukan penjagaan ketat pada pintu-pintu gerbang dan para pengawal sudah melakukan pencarian di seluruh kota Lhagat, semua itu sia-sia belaka. Bayangan yang memasuki gedung panglima itu lenyap dan bersama dia, lenyap pula beberapa buah benda yang penting dari dalam kamar kerja Puteri Nandini. Benda-benda itu adalah sebuah peta dari kota Lhagat dan sekelilingnya, termasuk peta yang amat jelas dan terperinci dari bukit di mana terdapat lembah yang menjadi tempat pasukan Ceng yang terkepung. Ada pula buku-buku, catatan Sang Panglima tentang penyerbuannya dan rencana-rencana penyerbuan ke Tibet selanjutnya. Dengan lenyapnya semua itu, tentu saja Puteri Nandini menjadi marah bukan main dan dia terpaksa akan diharuskan merobah semua rencana penyerbuannya!

Setelah terjadi peristiwa itu, desas-desus tentang jenderal sakti dari pihak musuh menjadi semakin santer. Betapa pun Sang Panglima mencoba untuk merahasiakan kehilangan benda-benda yang amat penting itu, namun berita bahwa ada seorang mata-mata musuh menyerbu gedung dan lalu dapat lolos, padahal Sang Panglima sendiri yang mengejarnya, membuat geger semua orang dan menggetarkan hati para perwira Nepal. Desas-desus ini bukan hanya membikin gentar hati orang-orang Nepal, akan tetapi juga membesarkan hati orang-orang Tibet dan penduduk Lhagat yang mengharapkan terusirnya pasukan Nepal dari situ. Mereka yang telah dirugikan, dirampok, dibunuh sanak keluarganya, atau diperkosa isteri dan anaknya, diam-diam mengharapkan pasukan Tibet atau pasukan Ceng dapat menghancurkan pihak musuh yang mereka benci itu.

Bahkan di antara para penghuni tetap kota Lhagat itu terdapat pula orang-orang jahat yang dahulunya menjadi jagoan-jagoan di situ dan yang hidupnya dari memeras kanan kiri mengandalkan keberanian dan kelihaian mereka, dan setelah Lhagat diduduki pasukan Nepal mereka itu kehilangan pengaruh dan sumber penghasilan. Mereka ini pun menaruh dendam kepada tentara asing itu, dan kini mereka pun mulai nampak berani karena mereka percaya bahwa jenderal sakti dari Kerajaan Ceng itu agaknya muncul! Orang-orang seperti ini beranggapan bahwa munculnya jenderal sakti itu seolah-olah hendak membantu dan melindungi mereka!

Betapa banyaknya kita melihat di sekitar kita keadaan seperti ini. Dengan jelas kita melihat, semenjak dahulu seperti yang kita baca dalam catatan sejarah, sampai sekarang ini pun, orang-orang yang sesungguhnya melakukan perbuatan-perbuatan sesat setiap saat harinya, memeras, menipu, mengandalkan kekuasaan dan kedudukan, mengandalkan harta kekayaan, mengandalkan kepintaran, melakukan penindasan sewenang-wenang. Yang berkedudukan tinggi menekan yang lebih rendah, yang lebih rendah menekan yang rendah lagi, dan selanjutnya. Hukum rimba berlaku di mana-mana. Siapa kuasa dia menang dan dia benar! Namun anehnya, kita semua masing-masing merasa bahwa kita benar! Kita saling memperebutkan pahala dan jasa! Kita masing-masing merasa bahwa kitalah orang terbaik, orang paling berguna, paling patriot dan sebagainya. Beginilah akibat dan hasilnya kalau kita tidak belajar mengenal diri sendiri. Segala sesuatu mengenai diri kita, yang kita ingat hanyalah segi-segi baiknya saja, sebaliknya segala sesuatu mengenai diri orang lain hanya kita ingat segi-segi buruknya belaka. Kalau saja kita masing-masing belajar mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri dan tidak membiarkan mata kita menilai orang-orang lain, tentu akan nampak jelas betapa buruk dan kotornya kita ini masing-masing. Dan hanya kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat inilah yang mungkin sekali dapat mengadakan perubahan dalam diri kita masing-masing. Dan kalau kita sendiri sudah berubah, barulah dapat diharapkan masyarakat, bangsa, dunia akan berubah keadaan kehidupannya, tidak seperti sekarang ini di mana kebencian, iri hati, dendam, permusuhan dan perang merajalela. Karena sesungguhnya keadaan dunia tidak dapat dipisahkan dari keadaan alam batin kita masing-masing. Kitalah yang membuat dunia seperti keadaannya pada saat ini, kita masing-masinglah yang bertanggung jawab untuk itu, oleh karena itu, harus terdapat perobahan pada diri kita, pada batin kita masing-masing.

Seorang di antara mereka yang biasa mempergunakan keberanian dan kepandaian untuk memeras orang lain adalah seorang jagoan yang bernama Su Khi. Mungkin karena dia ini masih peranakan Mancu, dan pada waktu itu bangsa Mancu dianggap sebagai bangsa besar karena berhasil menguasai seluruh Tiongkok, maka dia merasa angkuh dan lebih tinggi daripada orang lain. Hal ini ditambah lagi dengan kepandaian silatnya yang membuat dia dijuluki Toa-to Hui-houw, (Harimau Terbang Bergolok Besar), maka membuat Su Khi menjadi besar kepala dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih gagah daripada dia. Ketika pasukan Nepal menyerbu dan menguasai Lhagat, Su Khi yang selain jahat sewenang-wenang juga amat cerdik ini, hanya bersembunyi, tidak ikut melawan. Dia tahu bahwa tiada gunanya melawan pasukan yang besar sekali jumlahnya! Maka dia pun selamat dan tidak dimusuhi oleh pasukan Nepal! Akan tetapi diam-diam tentu saja dia amat benci kepada pasukan Nepal yang dianggap amat merugikannya, membuat dia tidak berani berkutik dan kehilangan nama besar dan sumber hasilnya.

Kini, semenjak munculnya penyerbuan gedung panglima dan santernya desas-desus tentang jenderal sakti, bahkan dikabarkan orang bahwa jenderal itu telah siap untuk merebut Lhagat, Su Khi mulai beraksi. Mulailah dia keluar mengganggu penduduk, minta apa saja yang dikehendakinya dengan ancaman, seperti dulu sebelum pasukan Nepal datang. Akan tetapi Su Khi tidak tahu bahwa perbuatannya itu menimbulkan keluhan penduduk yang kemudian terdengar oleh Ci Sian! Gadis ini menjadi marah sekali, apalagi ketika dia mendengar bahwa Su Khi bukan hanya ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya, akan tetapi juga karena Su Khi pandai menyogok para penjaga keamanan dan membagikan barang rampasannya kepada para penjaga sehingga dia seperti terlidung oleh para penjaga Nepal.

Pagi hari itu, ketika seperti biasa Toa-to Hui-houw Su Khi sedang menjalankan aksinya, menggoda seorang dara remaja anak seorang pemilik warung nasi dan minta dilayani untuk sarapan dengan memilih makanan yang paling enak, tiba-tiba Ci Sian muncul di depan warung itu sambil membentak, “Si Keparat yang bernama Su Khi itu di mana? Hayo keluar!”

Su Khi terkejut mendengar bentakan ini, dan terheran-heran ketika melihat bahwa yang menegurnya hanyalah seorang dara remaja yang cantik sekali. Dia belum pernah bertemu dengan Ci Sian dan tidak tahu siapa adanya dara ini. Maka tentu saja dia marah sekali dimaki keparat oleh seorang dara remaja seperti itu di depan banyak orang. Dia, seorang “patriot” yang terlindung pula oleh para penjaga Nepal, kini dihina seorang gadis, malah seorang yang masih amat muda, seperti kanak-kanak. Cepat dia keluar dari warung itu setelah melepaskan lengan perawan cilik yang tadi dia pegang, kemudian sambil menyambar golok besarnya yang selalu dibawanya, dia berjalan keluar dengan sikap mengancam dan golok besarnya diamang-amangkan untuk menakut-nakuti anak perempuan itu. Namun Ci Sian memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan bibir tersenyum mengejek.

“Engkaulah yang telah berani berlancang mulut memaki Toa-to Hui-houw Su Khi tadi?” Dia membentak setelah berhadapan dengan Ci Sian, memandang dara itu dari atas sampai ke bawah dan diam-diam dia terpesona oleh kecantikan dara itu.

“Benar!” jawab Ci Sian. “Apakah engkau yang bernama Su Khi itu?”

“Betul, akulah Toa-to Hui-houw Su Khi!” Dia membolak-balik goloknya sehingga nampak sinar berkilauan ketika cahaya matahari pagi menimpa permukaan golok.

“Tukang pukul jahanam yang suka menghina penduduk dan memeras orang-orang lemah dengan mengandalkan golok penyembelih babi itu? Kaukah itu?”

Wajah Su Khi menjadi merah sekali, matanya melotot dan alisnya yang tebal bergerak-gerak, hidungnya mendengus-dengus penuh kemarahan. “Kau.... kau.... bocah bosan hidup! Berani engkau memakiku? Hemm.... akan kubunuh kau....! Tidak, akan kutelanjangi engkau di depan umum, kemudian engkau harus melayani aku sampai engkau bertobat!”

Berkata demikian, dia menubruk maju, tangan kirinya yang besar itu mencengkeram ke arah dada Ci Sian, maksudnya untuk merenggut baju itu agar terlepas. Akan tetapi, dengan setengah langkah ke belakang, Ci Sian sudah dapat mengelaknya dan sekali tangan kiri dara itu menyambar ke depan, terdengar suara “plokkk!” dan tubuh besar itu terpelanting roboh! Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini terkejut dan bengong, akan tetapi mereka semua lalu tersenyum girang melihat betapa dara jelita itu dengan mudah mampu menghajar jagoan sombong ini.

Su Khi terbelalak dan merangkak bangun, meraba pipi kanannya yang menjadi bengkak terkena tamparan tadi. Dia tadi merasa seperti disambar petir, maka terkejutlah dia, dan dia pun tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang dara yang memiliki kepandaian silat tinggi! Pantas saja dara itu berani memakinya, kiranya mengandalkan ilmu silat pikirnya.

“Perempuan setan! Berani engkau melawan aku, ya? Benar-benar engkau bosan hidup, dan sekarang, aku tidak akan mau mengampunimu lagi!” Berkata demikian, Su Khi lalu menggerakkan goloknya dan kini dia menubruk dan membacok dengan goloknya, serangan yang dimaksudkan membunuh dara itu dengan satu kali bacok!

Hemm, manusia ini memang kejam luar biasa, pikir Ci Sian. Dia maklum bahwa tadi pun orang itu sungguh-sungguh hendak menelanjanginya, dan tentu akan melaksanakan ancamannya kalau mampu. Kini pun menyerang dengan niat membunuh. Manusia seperti ini memang tidak layak dibiarkan hidup, hanya akan membahayakan kehidupan orang lain saja. Maka begitu melihat lawan membacok, dia cepat menghindar dan dia pun maklum bahwa orang ini seperti gentong kosong, hanya nyaring suaranya saja, karena sesungguhnya hanya mengandalkan ilmu silat kasar dan tenaga besar belaka. Maka, biarpun golok itu setelah luput membacok terus menyambar-nyambar dengan ganasnya, dengan mudahnya Ci Sian dapat mengelak ke kanan kiri, kadang-kadang melompat tinggi menghindarkan golok yang membabat kaki, sambil tersenyum-senyum.

Sementara itu, banyak penduduk berdatangan ke tempat itu dan melihat perkelahian yang mereka anggap mengerikan itu, karena mereka merasa ngeri membayangkan betapa golok besar tajam itu akan membabat tubuh dara remaja itu. Sekali sambar saja pinggang ramping itu tentu akan putus!

“Perempuan setan, bocah hina, mampuslah!” Su Khi membacok lagi dan ketika Ci Sian mengelak, dia melanjutkan dengan babatan pada paha dara itu, Ci Sian melompat tinggi ke atas, kaki kirinya bergerak menendang dengan kecepatan yang sukar dapat diikuti pandang mata lawan.

“Plokk!” Dagu yang kuat itu bertemu ujung sepatu. Kepala Su Khi seperti terlempar ke belakang dan tubuhnya terjengkang. “Brukkk!” Dia terbanting roboh dan di antara para penonton ada yang tertawa, akan tetapi cepat-cepat ditutupinya mulutnya dengan tangan. Su Khi bangkit dan mukanya sebentar pucat sebentar merah, dari ujung bibirnya mengalir darah karena bibirnya pecah tergigit sendiri ketika dagunya tertendang tadi, napasnya terengah-engah dan hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau gila.

“Kau.... kau.... siapa kau mengapa kau memusuhi aku?” dia akhirnya bertanya karena dia tahu bahwa anak perempuan itu sungguh bukan orang sembarangan.

Ci Sian tersenyum. “Orang macam engkau tidak patut mengenal aku, ketahuilah bahwa kalau engkau berjuluk Harimau Terbang, aku adalah seorang ahli pembunuh harimau busuk yang mengganggu ketenteraman penduduk di sini.”

Pada saat itu, karena terjadi keributan, dari jauh datang sekelompok penjaga yang terdiri dari belasan orang. Melihat ini, bangkit kembali keberanian Su Khi karena dia merasa yakin akan mendapat bantuan dari para penjaga yang sudah biasa disogoknya itu, maka dia lalu membentak, dengan suara nyaring karena memang dimaksudkan agar terdengar oleh para penjaga yang berlarian mendatangi itu.

“Siluman betina! Engkau tentu mata-mata jahat!” Dan dia pun lalu menyerang kembali dengan ganas. Marahlah hati Ci Sian. Tadi dia bermaksud memberi hajaran saja, akan tetapi melihat lagak orang ini yang agaknya mengandalkan para penjaga itu, dia makin menjadi muak dan begitu golok berkelebat, dia mengelak dan tangannya menyusup masuk melalui bawah sinar golok.

“Kekk!” Tubuh tinggi besar itu terbungkuk dan roboh menelungkup, goloknya terlepas dari tangannya. Ci Sian menginjakkan kaki kanannya di atas punggung bawah tengkuk Su Khi dan jagoan itu tidak dapat berkutik lagi! Dia merasa seolah-olah punggungnya tertindih benda yang beratnya ratusan kati, membuat dia sukar dapat bernapas dan dia hanya mengeluh terengah-engah seperti babi terhimpit. Pada saat itu, belasan orang penjaga sudah datang dekat dan mereka telah mencabut golok masing-masing, dengan sikap mengancam mereka mendekati Ci Sian.

“Kalian mau apa?” bentak Ci Sian menatap para penjaga itu dengan marah.

“Kau mata-mata....?” Para penjaga membentak, “Lepaskan dia, dia adalah sahabat kami!”

“Huh, siapa tidak mendengar bahwa kalian sudah makan sogokan dari jahanam ini?” Ci Sian balas membentak.

Kepala pasukan lalu membentak marah. “Serang! Tangkap dia!”

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring, “Tahan!” dan di situ telah muncul Siok Lan yang menatap para penjaga dengan muka merah dan mata marah. Wanita cantik ini berdiri dengan sikap tenang dan menyilangkan kedua lengan di atas dadanya, lalu berkata dengan lantang, “Siapa yang hendak menyerang dan menangkap sahabatku ini?”

Para penjaga terkejut ketika melihat munculnya Siok Lan. Kepala penjaga itu dengan golok di tangan menunjuk kepada Ci Sian, “Maaf, tapi dia.... dia itu.... telah menganiaya Su Khi....“

“Hemm, kalian menjadi kaki tangan penjahat ini, ya?” bentak Siok Lan dan wanita ini menyambung sambil berteriak nyaring. “Hayo berlutut, kalian manusiamanusia busuk!”

Empat belas orang penjaga itu terkejut bukan main. Cepat-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut. Siok Lan mengangkat tangan kanan ke atas dan muncullah beberapa orang pengawal. “Mereka ini telah biasa makan suap dari penjahat, maka sudah sepatutnya diberi hukuman. Cambuk mereka masing-masing sepuluh kali dan komandan mereka lima belas kali!”

Tentu saja empat belas orang penjaga itu menjadi ketakutan, akan tetapi mereka tidak berani membangkang. Lima orang pengawal lalu membuka baju mereka dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi cambuk meledak-ledak ketika lima orang pengawal itu menjatuhkan hukuman itu, di tempat terbuka dan terlihat oleh semua orang. Darah mengalir dari kulit-kulit punggung yang pecah-pecah dan terdengar rintihan-rintihan kesakitan. Setelah hukuman itu dijalankan, Siok Lan berkata kepada Ci Sian.

“Adik Sian, kaulepaskan jahanam itu.”

Ci Sian melepaskan injakan kakinya dan Su Khi merangkak bangun dengan mulut merah karena dia tadi sampai muntah darah.

“Sekarang kuserahkan jahanam itu kepada kalian dan boleh kalian perbuat sesuka hati kalian terhadap dia. Awas, sekali lagi kalian makan suapan, aku akan minta kepada Ibu agar kalian dihukum penggal kepala!” kata Siok Lan.

Empat belas penjaga itu menghaturkan terima kasih, kemudian seperti serigala-serigala kelaparan mereka lalu menangkap Su Khi.

“Tidak.... tidak.... jangan.... ampunkan aku....!” Orang itu berteriak-teriak dan meronta-ronta, namun empat belas orang yang telah menerima hukuman yang amat nyeri itu kini menimpakan semua dendam mereka kepada Su Khi. Tak lama kemudian, di luar kota, Su Khi ditelanjangi dan dicambuki oleh empat belas orang itu sampai kulit tubuhnya pecah-pecah dan dia tewas dalam keadaan mengerikan!

Semenjak terjadi peristiwa itu, nama Ci Sian dikenal. Baru sekarang mereka tahu bahwa gadis bangsa Han itu menjadi sahabat baik dari puteri panglima dan bahwa dara cantik itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Akan tetapi, para pendekar merasa bersyukur juga bahwa dara itu ternyata berani membela penduduk, bahkan puteri panglima itu pun telah memperlihatkan keadilan di depan rakyat.

Menurut pendapat Siok Lan dan ibunya, Su Khi malah dianggap sebagai kaki tangan mata-mata yang sengaja menimbulkan kekeruhan di Lhagat! Memang, semenjak terjadinya pencurian di dalam kamar kerja panglima oleh seorang maling yang berilmu tinggi itu, setiap orang dicurigai dan setiap hari para pengawal menangkapi orang-orang yang dicurigai sehingga penjara menjadi penuh menampung orang-orang tangkapan baru ini.

Puteri Nandini sebagai panglima yang paling merasa terpukul dengan adanya pencurian benda-benda penting dari kamar kerjanya, bertindak keras, bahkan setiap kali ada orang tangkapan baru, dia sendiri datang untuk memeriksa. Ingin sekali dia dapat menemukan maling yang telah memasuki kamar kerjanya itu.

Ketika pada suatu pagi ada laporan bahwa tertangkap pula seorang pemuda yang amat mencurigakan karena malam-malam pemuda itu berkeliaran di dekat bukit tempat tentara musuh terkurung, cepat panglima itu berpakaian, naik kuda dan datang sendiri ke tempat penangkapan itu. Begitu panglima itu tiba di tempat penjagaan, para penjaga mendorong seorang pemuda yang kedua kakinya dibelenggu, demikian pula kedua lengannya. Seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana, berwajah terang dan sama sekali tidak menunjukkan wajah seorang jahat. Akan tetapi justeru wajah demikian ini yang menimbulkan kecurigaan, karena bukankah yang dikirim oleh pihak musuh adalah orang-orang pandai dan mungkin saja orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi?

Dari atas kudanya, panglima wanita itu mengamati pemuda tawanan itu dengan penuh perhatian. Pemuda seperti ini memang pantas menjadi seorang utusan, karena biarpun nampaknya seorang yang lemah, namun sinar matanya berkilat membayangkan kekuatan dan kecerdasan. Komandan jaga maju memberi hormat kepada panglima wanita itu lalu melaporkan bahwa pemuda itu pagi-pagi sekali tadi ditangkap ketika sedang menyusup-nyusup seorang diri di dekat perkemahan para penjaga yang sedang bertugas mengurung bukit di mana pihak musuh terjebak itu.

“Alasannya adalah mencari jejak binatang buruan dan setelah kami menggeledahnya, kami tidak menemukan senjata pada dirinya, melainkan kalung ini.” Komandan jaga menutup laporannya sambil menyerahkan seuntai kalung kepada panglimanya.

Puteri Nandini menerima kalung itu dan menyembunyikan kagetnya ketika dia mengenal kalung itu. Sebuah kalung dengan hiasan berbentuk sebatang bunga teratai emas terhias permata. Tentu saja dia mengenalnya karena kalungnya itu adalah kalungnya sendiri di waktu muda dan yang sudah diberikannya kepada puterinya, Siok Lan! Diam-diam dia terkejut dan marah, dan hampir saja dia berteriak membentak pemuda itu untuk bertanya dari mana pemuda itu memperoleh kalung puterinya. Akan tetapi dia masih sempat menahan diri dan tidak mau membuka rahasia puterinya sehingga kalau terdengar oleh para penjaga bahwa kalung puterinya berada pada pemuda ini, tentu akan menimbulkan prasangka yang buruk.

“Kau seorang pemburu?” panglima itu bertanya tanpa turun dari atas punggung kudanya.

Pemuda itu mengangguk. “Benar, Li-ciangkun. Saya adalah seorang di antara para pemburu di bukit sebelah sana itu.”

“Kenapa kau berkeliaran di sini?”

“Semalam kawan-kawan saya mengepung seekor harimau yang amat buas dan yang sudah lama kami coba untuk menangkapnya. Akan tetapi harimau itu dapat lolos dan saya mengikuti jejaknya sampai ke sini, tahu-tahu saya ditangkap....”

“Hemm, mengikuti jejak harimau dengan pakaian seperti itu? Pakaianmu bukan seperti pakaian pemburu!”

“Maaf, karena semalam saya memang sudah hendak tidur, sudah terlalu lelah memburu pada siang harinya. Akan tetapi mendengar suara ribut-ribut para kawan, saya terbangun dan ikut mengejar harimau yang lolos....”

Panglima wanita itu lalu memerintahkan untuk menahan pemuda itu di dalam kamar tahanan di tempat penjagaan itu. “Aku hendak memeriksanya sendiri,” katanya dan dia pun meloncat turun dari atas kudanya, mengikuti para penjaga yang mendorong pemuda itu tawanan itu memasuki rumah penjagaan. Setelah menyuruh semua penjaga pergi, Puteri Nandini memandang kepada pemuda yang disuruh duduk di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik. Kemudian dia mengeluarkan kalung dari saku bajunya dan memperlihatkannya kepada pemuda itu.

“Darimana engkau memperoleh kalung itu?” tanyanya halus, akan tetapi pandang matanya seperti hendak menembus dada menjenguk isi hati.

Pemuda itu nampak tenang-tenang saja, hanya agak kemalu-maluan mendengar pertanyaan ini. “Dari.... dari seorang dara....” jawabnya.

“Hemm, mengapa dia memberikan kalung ini kepadamu?”

Pemuda itu kelihatan semakin malu. “Sebetulnya.... hanya kebetulan saja, Li-ciangkun. Ketika itu.... saya melihat seorang gadis menunggang kuda dan kudanya itu terkejut karena bertemu harimau, harimau keparat yang kami kejar-kejar itulah! Dan kudanya terpeleset ke dalam jurang. Kebetulan saya berada di dekat situ dan saya memang sudah siap dengan lasso untuk menangkap harimau, maka saya berhasil mencegah dia terbawa jatuh ke dalam jurang dengan lasso saya....“

Puteri Nandini tidak terkejut karena memang dia tadi sudah menduga demikian. Oleh karena dia menduga bahwa pemuda ini adalah penyelamat puterinya itulah maka dia tadi memerintahkan penjaga membawa pemuda itu ke sini untuk diajak bicara. Akan tetapi sekarang pun dia tidak memperlihatkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang nampak bengis namun masih tetap cantik itu. Tadi sebelum memasuki tempat ini dia sudah diam-diam menyuruh pengawalnya untuk cepat-cepat memanggil Siok Lan ke tempat ini.

Puteri Nandini menyuruh pemuda itu menceritakan riwayatnya dan mengapa jauh-jauh ke tempat ini untuk berburu. Pemuda itu bercerita dengan singkat bahwa dia dan rombongannya adalah pemburu-pemburu yang selain memiliki pekerjaan memburu dan hidup dari hasil buruan, juga suka dengan pekerjaan ini.

“Kami sudah banyak menjelajahi daerah-daerah yang terkenal memiliki binatang-binatang aneh dan buas. Kami sebetulnya tiba di sini karena tertarik oleh berita tentang binatang atau mahluk aneh yang dinamakan Yeti atau dikabarkan sebagai manusia salju di daerah Himalaya. Akan tetapi ternyata kami tidak berhasil menjumpai mahluk itu maka kami memburu harimau dan lain-lain binatang buas di bukit itu.” Demikian antara lain pemuda itu bercerita. Dia mengaku she Liong bernama Cin dan sebagai seorang pemburu yang banyak bertualang ke tempat-tempat jauh, dia menguasai bahasa Tibet, bahkan sedikit dia dapat berbahasa Nepal.

Selagi mereka bicara, terdengar suara derap kaki dua ekor kuda di luar rumah penjagaan itu dan tak lama kemudian masuklah dua orang dara ke dalam ruangan itu. Mereka ini bukan lain adalah Siok Lan dan Ci Sian. Siok Lan datang dengan cepat setelah menerima panggilan ibunya dan dia mengajak Ci Sian, apalagi ketika mendengar dari pengawal itu bahwa para penjaga menangkap seorang pemuda yang mengaku sebagai seorang pemburu dan kini sedang diperiksa oleh panglima.

Begitu mereka masuk dan melihat Liong Cin, Siok Lan segera berkata kepada Ci Sian, “Benar, dia!” Lalu dia menghampiri ibunya. “Ah, Ibu, mereka salah tangkap! Dia ini adalah pemburu yang pernah meyelamatkan aku dulu!”

Puteri Nandini mengangguk. “Aku sudah menduganya, hanya menanti kedatanganmu untuk kepastiannya.” lalu Sang Puteri ini memandang kepada pemuda itu, tersenyum dan berkata. “Orang muda, kaumaafkan kesalahan para penjaga kami. Akan tetapi engkau juga bersalah mengapa mengejar buruan sampai dekat dengan perkemahan kami. Harap beritahu kawan-kawanmu agar jangan mendekati tempat ini.”

Liong Cin menggeleng kepalanya dengan sedih. “Tidak mungkin mereka berani mendekat ke sini, Li-ciangkun. Setelah mendengar atau melihat saya ditangkap, saya berani memastikan bahwa mereka tentu sudah lari ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat ini.”

Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam. “Kalau begitu engkau ditinggalkan oleh teman-temanmu?”

Liong Cin mengangguk. “Selama ini kami memang sudah khawatir melihat betapa tempat buruan kami dekat dengan medan perang dan sudah sering kali kami beruding untuk pergi saja. Akan tetapi harimau itu....”

Sudahlah, orang muda. Aku menyesal bahwa engkau terpaksa ditinggalkan teman-temanmu. Sekarang engkau boleh bebas. Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, harap kau suka melepaskan belenggu tangan dan kakimu sendiri.” Panglima itu mencoba.

Akan tetapi pemuda itu menggeleng kepala dan mukanya menjadi merah. “Harap Li-ciangkun tidak main-main. Mana mungkin saya dapat melepaskan diri dari belenggu yang sekuat ini?”

“Tapi engkau telah mampu menyelamatkan puteriku.”

“Itu lain lagi, Li-ciangkun. Saya memang mempelajari ilmu mempergunakan tali lasso, akan tetapi untuk mematahkan belenggu-belenggu ini.... sungguh saya tidak sanggup melakukannya.”

Panglima itu tersenyum. Senyumnya hanya sebentar saja, seperti kilatan cahaya di hari mendung. Lalu dihampirinya pemuda itu dan dengan kedua tangannya panglima wanita itu mematah-matahkan belenggu kaki tangan itu sedemikian mudahnya, seperti mematahkan ranting-ranting kecil saja! Pemuda itu terbelalak penuh kaget dan kagum menyaksikan kehebatan tenaga panglima wanita ini. Dan memang itulah yang dikehendaki oleh Puteri Nandini, agar pemuda ini terkejut dan jerih sehingga tidak akan berani melakukan hal-hal yang dapat merugikan pasukan Nepal. Biarpun dia percaya kepada pemuda ini, akan tetapi pemuda ini adalah bangsa Han, maka sudah tentu saja sedikit banyak dia masih bersikap hati-hati dan curiga.

Siok Lan menghampiri pemuda itu dan berkata dengan suara menyesal. “Harap kau suka memaafkan, Liong Cin. Karena ingin berhati-hati, para pasukan penjaga telah salah tangkap, engkau yang menjadi penolongku malah disangka mata-mata musuh.”

Liong Cin juga tersenyum dan menjura. “Tidak mengapa, Nona. Ini malah merupakan penambahan pengalamanku, hanya sayang.... sahabat-sahabatku telah pergi meninggalkan aku di sini....

“Kalau begitu, mari ikut bersama kami ke Lhagat.” Siok Lan mengajak dan sebelum pemuda itu menjawab, dara ini sudah berpaling kepada ibunya. “Ibu, harap Ibu perkenankan Liong Cin untuk ikut bersama kita ke Lhagat, sekedar untuk membalas budinya dan untuk minta maaf kepadanya atas perlakuan kita yang tidak semestinya terhadap seorang penolong.”

Siok Lan memang pandai bicara dan ibunya tidak dapat menolak, tidak enak untuk menolak setelah puterinya mengeluarkan kata-kata seperti itu. Biarpun, di dalam hatinya dia tidak setuju karena hal itu memungkinkan adanya bahaya kalau-kalau pemuda ini benar-benar kaki tangan musuh, namun mana mungkin dia menolak dengan adanya kenyataan bahwa pemuda ini telah menyelamatkan puterinya, kemudian malah ditangkap karena disangka mata-mata? Menolaknya sama dengan menampar muka sendiri!

Siok Lan sudah meneriaki pengawal minta seekor kuda untuk Liong Cin dan tak lama kemudian, Siok Lan, Ci Sian, dan Liong Cin sudah membalapkan kuda mereka menuju ke Lhagat. Di sepanjang perjalanan, Ci Sian tidak pernah bicara kepada Liong Cin, akan tetapi diam-diam dia amat memperhatikan pemuda itu dan dia pun melihat betapa terjadi perubahan besar pada diri Siok Lan. Dara ini kelihatan amat gembira sekali, sikapnya menjadi semakin lincah dan jenaka!

Mulai saat itu, Liong Cin diterima sebagai seorang tamu terhormat, atau juga seorang sahabat baik dari Siok Lan, dan diberi sebuah kamar tersendiri di dalam gedung tempat tinggal panglima itu. Puteri Nandini sendiri yang mengusulkan hal ini, pada lahirnya dia hendak bersikap baik terhadap pemuda yang pernah menyelamatkan nyawa puterinya itu, akan tetapi di dalam hatinya dia menghendaki agar pemuda itu tinggal di gedung karena dengan demikian akan lebih mudah baginya untuk mengawasi gerak-geriknya. Juga dia melihat betapa agaknya puterinya tertarik kepada pemuda itu, dan mengingat bahwa pemuda itu, biarpun harus diakuinya bahwa pemuda itu tampan dan gagah, hanya seorang pemburu biasa saja, maka sudah tentu hatinya tidak rela dan dia pun ingin mengamat-amati hubungan antara puterinya dan pemuda itu.

Mula-mula Liong Cin menolak halus dan menyatakan bahwa dia tidak ingin mengganggu keluarga panglima itu, akan tetapi Siok Lan cepat mendesaknya. “Saudara Liong Cin, sudah jelas kini dari pelaporan para penyelidik bahwa benar seperti dugaanmu, semua kawanmu, rombongan pemburu yang tadinya berkemah di bukit itu telah melarikan diri semua, entah ke mana. Oleh karena itu, tidak baik kalau engkau pergi mencari mereka, dalam keadaan gawat dan dalam ancaman perang ini. Sebaiknya engkau beristirahat dulu di sini bersama kami, kelak kalau keadaan sudah aman barulah engkau pergi mencari kawan-kawanmu. Setidaknya, berilah kesempatan kepadaku untuk menyatakan terima kasih. dan membalas budimu.”

Meghadapi ucapan Siok Lan ini, Liong Cin tidak dapat membantah dan demikianlah, mulai hari itu dia tinggal di gedung panglima dan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat dan memperoleh kebebasan. Dia bergaul dengan akrab sekali dengan Siok Lan, dan tentu saja Ci Sian juga sering menemani mereka bercakap-cakap, akan tetapi agaknya di antara dua orang muda ini, keduanya merupakan tamu dan sahabat Siok Lan, terdapat sesuatu yang membuat mereka agak renggang. Ada celah di antara keduanya, dan kadang-kadang mereka saling pandang dengan sinar mata membayangkan kecurigaan dan keraguan.

Memang sesungguhnyalah, Ci Sian menaruh rasa curiga kepada pemuda itu, rasa curiga yang sama sekali bukan tanpa alasan. Semenjak pemuda itu datang, dia selalu mengamati gerak-geriknya dan biarpun dia melakukan hal ini secara diam-diam, agaknya terasa juga oleh Liong Cin sehingga pemuda ini pun merasa tidak enak terhadap Ci Sian. Bahkan semenjak Liong Cin berada di gedung itu, setiap malam Ci Sian kurang dapat tidur nyenyak karena pikirannya selalu membayangkan pemuda itu dengan penuh curiga, dan sering kali dia bahkan diam-diam keluar dari dalam kamarnya untuk bersembunyi dan melakukan pengintaian!

Dan beberapa hari kemudian, pada suatu malam kecurigaannya ini memperoleh bukti. Dia melihat bayangan berkelebat cepat dan dia dapat mengenal Liong Cin yang bergerak cepat melakukan penyelidikan di dalam gedung dan keluar dari gedung itu menuju ke taman bunga dengan sikap yang mencurigakan sekali. Akan tetapi, pemuda itu ternyata lihai bukan main. Biarpun Ci Sian sudah membayangi dengan amat hati-hati, mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya bergerak cepat dan ringan tanpa menimbulkan suara berisik, agaknya pemuda itu telah tahu bahwa ada orang yang membayanginya dan tiba-tiba pemuda itu berhenti dan menoleh ke belakang, tahutahu telah berhadapan dengan Ci Sian yang bersembunyi di balik pohon dan semak-semak!

Keduanya terkejut ketika saling berhadapan itu. Sejenak mereka hanya saling pandang dengan alis berkerut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Ci Sian tersenyum berkata. “Terkejut? Aku tahu siapa engkau, Liong Cin!”

Pemuda itu memandang dengan sinar mata penuh selidik. “Apa maksudmu? Tentu saja engkau mengenalku. Aku sedang jalan-jalan dan kau mengejutkan aku, Nona....“

“Hemm, tak perlu engkau berpura-pura sebagai pemburu yang tolol! Engkaulah Si Pengail yang kami tanya tentang perajurit itu, dan engkau pula perajurit yang membunuh perwira yang hendak memperkosa wanita itu, engkau mata-mata....“

Cepat seperti kilat tangan pemuda itu sudah menangkap pundak Ci Sian dan jari-jari tangan kirinya sudah menempel di ubun-ubun kepala dara itu, ancaman maut mengerikan karena sekali jari-jari tangan itu bergerak, dara itu pasti akan tewas seketika! Ci Sian sendiri terkejut bukan main karena biarpun dia sudah waspada, ternyata dia sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tahu-tahu dia sudah “ditodong” seperti itu, sama sekali tidak berdaya! Akan tetapi dia tersenyum, sedikit pun tidak menjadi gentar sehingga berbalik pemuda itulah yang terheran-heran. Dan apa yang keluar dari mulut Ci Sian membuat dia semakin heran dan sedemikian kaget sehingga pegangannya pada pundak dara itu terlepas.

“Jenderal, engkau salah tangkap!”

Wajah pemuda itu berobah pucat, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara tegas, “Siapa engkau?”

Ci Sian tersenyum. “Aku? Aku bernama Ci Sian dan menjadi sahabat Siok Lan seperti yang kauketahui.”

“Tidak! Kalau demikian keadaanmu, tentu engkau sudah membuka rahasiaku. Ci Sian, jangan main-main, katakan siapa engkau, jangan sampai aku kesalahan tangan.” Ucapan itu mengandung kesungguhan yang membuat bulu tengkuk Ci Sian meremang. Tahulah dia bahwa kalau dia main-main dan salah bicara, tentu bagi orang ini tidak akan ragu-ragu lagi untuk turun tangan membunuhnya karena dia tentu dianggap berbahaya telah mengetahui rahasia orang itu.

“Aku bukan kaki tangan orang Nepal! Aku ke sini juga hendak mencari seseorang yang ditahan, seorang piauwsu bernama Lauw Sek. Harap kau jangan curiga aku.”

Pemuda itu kelihatan lega hatinya dan dia menarik napas panjang. “Katakan, bagaimana engkau dapat mengetahui keadaanku?”

“Dari sinar matamu.” jawab Ci Sian. “Engkau boleh menyamar, merobah bentuk muka dan berganti pakaian, berganti suara, akan tetapi engkau tak mungkin menyembunyikan sinar matamu.”

“Sinar mataku....? Mengapa dengan sinar mataku?”

“Sinar matamu mencorong seperti sinar mata seseorang yang tak pernah dapat kulupakan. Sinar matamu persis seperti sinar mata Pendekar Suling Emas.”

“Pendekar Suling Emas? Siapa itu?”

“Dia she Kam, bernama Hong.”

Pemuda itu menggeleng kepala. “Aku tidak mengenalnya. Ternyata pandang matamu tajam betul, Ci Sian. Sekarang katakan, bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku seorang jenderal....?”

Ci Sian tersenyum. “Hanya orang tolol saja yang tidak dapat menduga. Begitu mudah seperti dua tambah dua sama dengan empat. Desas-desusnya sudah santer dikabarkan orang bahwa akan ada seorang jenderal sakti dari Kerajaan Ceng yang datang menyelidik ke sini untuk membebaskan pasukan yang terkepung. Kini, melihat keadaanmu, melihat kelihaianmu, siapa lagl engkau kalau buka Si Jenderal yang didesas-desuskan orang itu?”

“Engkau luar biasal” pemuda itu berseru dan berbisik. “Mari kau ikut aku. Tidak leluasa bicara di sini!” Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dengan cepat sekali dari taman itu. Ci Sian terpaksa harus mengerahkan seluruh gin-kangnya untuk mengejar, akan tetapi betapa pun dia mengerahkan tenaga, tetap saja dia tertinggal jauh dan kadang-kadang pemuda itu terpaksa harus menunggunya dan akhirnya mereka tiba di sebuah tanah kuburan di pinggir kota yang amat sunyi. Sunyi dan menyeramkan, membuat Ci Sian bergidik. Biarpun ia seorang dara perkasa yang dapat dibilang tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga, akan tetapi pada malam hari gelap itu berada di dalam tanah kuburan, benar-benar merupakan pengalaman yang belum pernah dihadapinya.

Malam itu bulan sepotong menyinari permukaan tanah kuburan, menambah seramnya pemandangan. Gundukan-gundukan tanah itu seolah-olah dalam cuaca remang-remang merupakan tubuh-tubuh manusia raksasa yang telentang, dengan perut besar dan seperti bergerak dan bernapas. Hembusan angin pada daun-daun pohon yang tumbuh di tanah kuburan itu seperti bisikan-bisikan, agaknya dalam keadaan mati pun manusia masih tidak dapat melepaskan kebiasaannya yang lama yaitu mengoceh dan membicarakan keadaan orang-orang lain, terutama tentang kesalahan-kesalahan orang lain. Ci Sian merasa seolah-olah dialah yang kini menjadi bahan pergunjingan dalam bisikan-bisikan itu dan dia menggigil.

“Nah, kau mau bicara apa?” katanya dan suaranya agak gemetar menahan rasa ngeri.

Pemuda itu tersenyum di bawah sinar bulan yang pucat, membuat wajahnya yang tampan nampak pucat juga. “Kau takut dan seram juga? Ah, tempat ini merupakan tempat paling aman bagi kami....“

“Kau dan anak buahmu?”

Pemuda itu mengangguk. “Engkau memang luar blasa dan aku kagum padamu, Nona Ci Sian, atau.... namamu itu juga nama palsu?

“Namaku tidak palsu, perlu apa aku harus memakai narna palsu seperti engkau, Jenderal?”

“Hemm, engkau sudah menduga sedemikian jauh sehingga tahu akan nama yang kupakai?”

“Engkau seorang yang amat penting dan ternama tentu saja, maka akan bodohlah kalau engkau menggunakan nama sendiri selagi melakukan tugas mata-mata.”

“Kau memang cerdik luar biasa dan aku percaya padamu, Nona. Ketahuilah, aku memang utusan kaisar untuk menolong pasukan kami yang terkurung. Dan di sana aku memang menjadi jenderal. Biarpun nama yang kupakai palsu, akan tetapi tidak banyak selisihnya dengan namaku yang tulen, hanya di balik. Namaku adalah Cin Liong, Kao Cin Liong.”

Semenjak kecil Ci Sian sudah banyak bertemu orang pandai, akan tetapi belum pernah dia mendengar nama ini. Kalau dia tahu siapa pemuda ini, tentu dia akan terkejut setengah mati. Pemuda ini sesungguhnya bukan orang biasa, melainkan keturunan suami isteri pendekar yang pernah menggegerkan kolong langit dengan ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi. Para pembaca ceritaSEPASANG RAJAWALI danJODOH SEPASANG RAJAWALI tentu dapat mengingat atau menduga siapa adanya pemuda she Kao ini. Kao Cin Liong ini adalah cucu Jenderal Kao Liang yang sangat terkenal, seorang jenderal yang gagah perkasa dan yang membiarkan dirirnya tewas terbakar demi setianya terhadap kerajaan dan demi menjaga nama baik keluarga Kao (baca KISAH JODOH SEPASANG RAJAWALI). Ayah dari Kao Cin Liong bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, seorang pendekar yang memiliki kepandaian luar blasa dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti lawan disegani kawan. Ibunya yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi adalah saudara angkat dari Puteri Bhutan Syanti Dewi, dan juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Suami isteri ini tinggal di dalam Istana Gurun Pasir dan merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan yang disegani.

Agaknya darah kakeknya mengalir dalam dari Cin Liong karena semenjak kecil, selain suka akan ilmu silat dan sastra, anak ini juga tertarik sekali akan sejarah para pahlawan. Apalagi riwayat kakeknya seperti yang dia dengar dari ayahnya amat menarik hatinya dan sejak kecil dia pun bercita-cita untuk menjadi seperti kakeknya, menjadl seorang pahlawan dan panglima di kerajaan! Melihat bakat dan semangat puteranya, setelah puteranya itu memperoleh pendidikan Ilmu silat yang cukup tinggi darinya, Kao Kok Cu dengan persetujuan isterinya lalu membawa Kao Cin Liong ke kota raja dan dengan perantaraan adiknya, yaitu Kao Kok Han yang telah menjadi seorang perwira tinggi, Cin Liong lalu memasuki ketentaraan. Karena kepandaian silatnya memang hebat sekali, dan kaisar amat kagum kepadanya, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah cucu mendiang Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa, maka dalam waktu pendek saja pemuda perkasa ini telah memperoleh kedudukan tinggi. Apalagi ketika beberapa kali dia berhasil memimpin pasukan menindas pemberontakan-pemberontakan di sepanjang pantai Po-hai dan di utara, bahkan melakukan pembersihan terhadap para bajak laut, dia berjasa besar dan dalam usia yang masih amat muda dia sudah berpangkat jenderal! Tercapailah cita-citanya untuk hidup seperti mendiang kakeknya yang amat dikaguminya. Dan dalam melaksanakan tugasnya, pemuda ini memang hebat dan tegas, persis seperti kakeknya dahulu.

Ketika Kaisar mendengar pelaporan bahwa pasukan Nepal mengganggu perbatasan Tibet dan memukul mundur pasukan Tibet yang melakukan penjagaan di tapal batas, bahkan telah menduduki Lhagat, dia lalu memerintahkan untuk menggempur pasukan Tibet yang telah menjadi daerah taklukan itu. Lima ribu orang pasukan dikirim ke barat, dipimpin oleh panglima yang amat gagah perkasa karena panglima ini bukan lain adalah Kao Kok Han. Akan tetapi, karena kelihaian panglima Nepal, pasukan ini terjebak dan terkurung di lembah bukit sehingga tidak mampu lagi untuk membobolkan kepungan.

Mendengar ini, Kaisar menjadi marah dan hendak mengirim pasukan lebih besar. Akan tetapi Jenderal Muda Kao Cin Liong lalu menghadap Kaisar dan kepada panglima besar dia pun minta ijin untuk diperkenankan melakukan penyelidikan ke barat karena dia merasa yakin bahwa dengan bantuan orang-orang Tibet dia akan dapat menyelamatkan pasukan yang terkepung itu! Tentu saja dalam hal ini, Cin Liong bukan hanya ingin menyelamatkan pasukan itu, melainkan juga untuk menyelamatkan pamannya, yaitu Kao Kok Han pemimpin pasukan yang terkepung itu. Dia telah ditangisli oleh keluarga pamannya itu untuk menyelamatkan pamannya dan anak buahnya.

Demikianlah, karena ingin melakukan penyelidikan secara bebas terhadap kedudukan panglima wanita yang lihai itu, maka Cin Liong dengan jalan menyelamatkan Siok Lan dan membiarkan dirinya ditangkap akhirnya dapat diterima sebagai sahabat puteri panglima itu dan memperoleh kebebasan di Lhagat sehingga dia dengan mudah dapat melakukan penyelidikan, apalagi karena dia disuruh tinggal di gedung panglima!

Mendengarkan penuturan panglima muda itu, diam-diam Ci Sian menjadi kagum bukan main. Pemuda ini sungguh berani dan juga amat cerdik. Kalau saja dia sendiri tidak mengenal sinar mata mencorong itu, agaknya dia pun tidak nanti akan menduga bahwa pemuda itu adalah jenderal sakti yang datang utuk menolong pasukan yang terkepung itu!

“Dan mengapa engkau begini percaya kepadaku, Ciangkun!” .

“Ah, Nona, harap engkau jangan menyebutku dengan sebutan ciangkun. Ingat, aku masih menyamar sebagai Liong Cin di sini, maka jangan kau merobah sebutanmu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Engkau tentu mau membantu kami, bukan?”

Ci Sian tersenyum. Orang ini begitu percaya kepada diri sendiri! “Baiklah, Liong Cin.... aih betapa janggalnya menyebut nama palsu orang! Aku ingin sekali tahu mengapa engkau begini percaya kepadaku sehingga engkau telah membongkar rahasiamu kepadaku? Bukankah hal ini berbahaya sekali? Kalau aku membocorkan rahasiamu, bukan saja usahamu akan gagal, pasukan yang terkepung tidak akan dapat diselamatkan, dan engkau sendiri tentu akan tertimpa bencana.”

Cin Liong menggeleng kepala. “Aku yakin bahwa engkau tidak akan melakukan hal itu.

“Bagaimana engkau dapat yakin?” Ci Sian mendesak. “Kita baru saja bertemu dan berkenalan, engkau tidak mengenalku, tidak mengenal watakku.”

“Nona, di dalam ilmu perang terdapat Ilmu mengenal watak orang dari wajahnya, dari sikap dan gerak-geriknya. Engkau berkepandaian silat tinggi dan wajahmu membayangkan kegagahan, bahwa engkau tidak mungkin berbuat hal-hal yang rendah dan jahat. Pula, aku dapat melihat dari sinar matanya bahwa panglima wanita itu menaruh curiga kepadamu, sungguhpun Nona Siok Lan percaya penuh kepadamu. Dari semua itu saja aku sudah tahu bahwa engkau bukanlah musuh dan dapat menjadi sekutuku.”

“Hemm, terus terang saja, aku tidak mau terlibat dalam perang dan permusuhan. Apalagi harus memusuhi Siok Lan yang begitu baik. Aku hanya ingin mencari Lauw-piauwsu.”

“Aku berjanji akan mencari piauwsu itu dan membawanya kepadamu asal engkau mau membantuku, Nona.”

“Membantu bagaimana?”

“Menutupi rahasiamu.”

“Ah, kalau hanya begitu, tentu saja aku tidak keberatan.”

Tiba-tiba jenderal muda itu memegang lengan Ci Sian dan menariknya bersembunyi ke balik sebuah batu besar di tanah kuburan itu. Ci Sian hampir menjerit ngeri ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia telah ditarik dan mendekam di atas gundukan tanah kuburan! Akan tetapi melihat kesungguhan pemuda itu, dia pun memandang ke depan. Ternyata ada bayangan orang yang berjalan seenaknya ke arah mereka dan bayangan itu mengomel panjang pendek, kemudian setelah dekat, bayangan itu berkata, “Huh, tahu malu, berkencan di tanah kuburan! Berjanji simpan-simpan rahasia lagi! Persekutuan busuk, ha-ha.... sungguh persekutuan busuk!”

Tentu saja Ci Sian terkejut bukan main. Akan tetapi Cin Liong sudah meloncat keluar dan tanpa banyak cakap dia sudah menyerang dengan totokan ke arah pundak orang itu.

“Desss....!” Keduanya terdorong ke belakang dan tentu saja Cin Liong terkejut bukan main karena ternyata orang itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, atau setidaknya dapat mengimbangi tenaganya sendiri sehingga ketika orang itu menangkis, dia sampai terpental ke belakang. Sebaliknya orang itu yang juga terpental, lalu tertawa, membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tanah kuburan yang sunyi itu. Cin Liong yang merasa terkejut dan curiga, cepat melakukan pengejaran. Melihat itu, Ci Sian juga mengejar sekuatnya karena dua orang yang berkejaran itu ternyata dapat berlari secepat angin!

Bayangan yang dikejar oleh Cin Liong itu berlari terus dan melompat dinding kota tanpa mempedulikan para penjaga yang banyak berkeliaran di tempat itu. Tentu saja Cin Liong tidak mau melepaskannya karena orang yang lihai itu amat mencurigakan, dan dia terus mengejar. Demikian pula Ci Sian melakukan pengejaran. Melihat berturut-turut ada tiga bayangan orang berkelebatan meloncati pagar tembok, para penjaga menjadi geger dan mencoba untuk melakukan pengejaran, namun mereka tertinggal jauh dan komandan jaga yang merasa khawatir cepat memberi laporan ke dalam.

Sementara itu, bayangan yang dikejar-kejar itu seperti hendak mempermainkan Cin Liong dan Ci Sian yang terus melakukan pengejaran. Kadang-kadang dia tersusul dekat dan terdengar suaranya tertawa-tawa, akan tetapi kemudian tiba-tiba dia melesat jauh sekali dan meninggalkan para pengejarnya. Setelah tiba di sebuah bukit, bayangan itu mendaki naik, akan tetapi ketika tiba di lereng bukit, tiba-tiba dia memutar dan turun kembali, kini bahkan lari ke arah kota Lhagat!

“Gila dia!” Cin Liong memaki dalam hatinya dan terus mengejar. Karena bulan sepotong sudah turun ke barat, maka malam yang menjadi gelap itu menyulitkan dia untuk dapat menyusul orang itu, sedangkan Ci Sian sudah mandi keringat karena lelah. Mereka berkejaran sampai setengah malam, dipermainkan oleh bayangan itu dan akhirnya, ketika malam terganti pagi dan cuaca tidak gelap lagi, orang itu berhenti berlari, bahkan kini berhenti di tengah jalan menanti para pengejarnya sambil bertolak pinggang dan tertawa-tawa. Akan tetapi wajahnya yang penuh ditumbuhi jenggot itu juga mengkilap basah oleh peluh, tanda bahwa main berlari-larian itu membuatnya lelah juga!

Cin Liong sudah berhadapan dengan orang itu ketika Ci Sian datang terengah-engah dan kedua kakinya terasa lelah dan lemas. Mereka berdua menatap orang yang mempermainkan mereka itu dan diam-diam. Ci Sian terkejut. Untuk ketiga kalinya dia bertemu dengan orang yang matanya mencorong. Pertama adalah mata Kam Hong, ke dua mata Kao Cin Liong dan ke tiga adalah mata orang ini! Dan begitu melihat wajah yang menyeramkan itu, dan melihat bibir yang tersenyum menyeringai di balik jenggot dan kumis yang awut-awutan, tiba-tiba Ci Sian teringat. Dia pernah bertemu dengan orang ini! Akan tetapi dia telah lupa lagi di mana.

“Siapakah engkau?” Dengan suara penuh wibawa. Cin Liong bertanya sambil menatap tajam. Orang itu berusia tiga puluh tahun lebih, hampir empat puluh tahun agaknya, tubuhnya sedang dan tegap, akan tetapi pakaiannya seperti pakaian pengemis, rambutnya, jenggot dan kumisnya tak terpelihara, awut-awutan, padahal dalam keadaan seperti itupun masih nampak bahwa orang ini memiliki wajah yang gagah dan tampan, terutama sekali sepasang matanya yang tajam dan memancarkan cahaya aneh, akan tetapi kadang-kadang sinar mata itu menjadi suram dan seperti lampu hampir padam diliputi kedukaan.

Mendengar pertanyaan itu, orang berpakaian jembel ini tertawa dan ketika dia tertawa, nampak deretan giginya yang kuat dan putih, sungguh berbeda dengan keadaan rambut dan pakaiannya. “Ha-ha-ha, siapa aku, siapa engkau? Siapa jenderal yang menjadi mata-mata? Siapa yang masih muda menjadi seorang perwira tinggi, mengejar kedudukan? Haha-ha!”

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Begitu berjumpa dia dimaki orang, orang jembel dam gila lagi, dimaki sebagai pengejar kedudukan! “Siapa engkau? Kalau engkau tidiak mau mengaku, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan menyerangmu!” bentaknya mengancam.

“Kau? Menyerang aku? Ha-ha, anak kecil berhati besar. Hayo sekarang majulah, seranglah, siapa takut padamu? Ha ha!”

Ditantang seperti ini, tentu saja Cin Liong menjadi marah. Akan tetapi dia dapat menguasai hatinya, karena maklum bahwa kemarahan bukanlah cara untuk mengatasi keadaan. Dia menatap tajam, kemudian berkata, “Aku akan menyerangmu karena engkau mungkin membahayakan usahaku.”

“Ha-ha, anak kecil, kau majulah!”

Cin Liong lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menyerang dengan pukulan cepat dan kuat sekali ke arah lawan. Orang jembel itu tertawa dan cepat dia mengelak. Gerakannya aneh dan cepat sekali, juga ketika dia membalas dengan tamparan tangan kirinya, gerakannya memang hebat. Cin Liong terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Dia menduga bahwa agaknya orang ini yang menyamar seperti orang gila tentu utusan dari panglima musuh! Maka dia pun lalu menangkis dan menyerang bertubi-tubi dengan pengerahan tenaganya sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa yang mengeluarkan suara bercuitan. Lawannya berseru kagum dan juga bergerak cepat, jari-jari tangannya terbuka dan ketika tangannya bergerak, jari tangannya meluncur seperti pedang dan mengeluarkan suara bercuitan pula!

Setelah saling serang dan saling megelak sampai beberapa belas kali, tiba-tiba mereka harus mengadu lengan dan mereka saling mengerahkan tenaga. “Dukkk!” Untuk ke sekian kalinya dua lengan yang sama kuatnya bertemu dan keduanya terpental ke belakang!

“Ha-ha-ha, heh-heh-heh, kau hebat juga....!” Pengemis aneh itu tertawa lagi dan kini wajahnya berseri, nampak gembira dan dalam keadaan seperti itu dia tidak kelihatan tua benar sehingga usianya tentu tidak lebih banyak dari empat puluh tahun. Dan melihat wajah yang tertawa, mata yang berseri-seri itu, tiba-tiba Ci Sian teringat di mana dia pernah bertemu dengan jembel ini. Dahulu, di waktu dia melakukan perjalanan dengan rombongan Lauw-piauwsu! Pengemis yang mencengkeram golok sampai rompal di dalam guha itu!

“Benar dialah itu!” tiba-tiba dia berseru dan dua orang yang sedang berhadapan itu menengok dengan heran dankaget. Ci Sian menghampiri pengemis itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis itu.

“Benar dia! Inilah jembel yang menolak roti dan mencengkeram golok anak buah Lauw-piauwsu itu!”

Jembel itu tertawa dan kini dia menubruk lagi kepada Cin Liong yang cepat mengelak dan berseru, “Ci Sian, kau mundurlah!” Karena dia tahu betapa lihainya jembel itu dan amatlah berbahaya bagi Ci Sian kalau sampal diserang oleh orang itu. Akan tetapi dia terlalu memandang rendah Ci Sian. Setelah menjadi murid See-thian Coa-ong, dara ini telah memiliki kepandaian yang tinggi, maka tentu saja tidak menjadi gentar dan kini dia malah ikut maju dan menyerang, begitu tangan kanannya bergerak, seekor ular belang kuning hitam telah menyambar ke arah leher jembel itu.

“Ular! Ular....!” teriak Si Jembel dan dia mencoba untuk mencengkeram ular itu dengan tangannya. Namun ular itu dapat mengelak dan dengan pergelangan tangannya, Ci Sian membuat ular itu membalik dan menggigit ke arah lengan Si Jembel. Akan tetapi jembel itu memang lihai sekali dan dia dapat mengelak sambil meloncat ke kanan dan kini kedua tangannya menyambar-nyambar, dengan jari-jari tangan terbuka menotok dan menampar ke arah Cin Liong dan Ci Sian secara hebat sekali.

Kembali Cin Liong terkejut. Pertama dia kagum menyaksikan kehebatan Ci Sian, kedua kalinya dia terkejut karena benar-benar jembel itu amat lihai. Betapapun juga, dia masih mengkhawatirkan keselamatan Ci Sian, dan dia pun merasa malu kalau harus mengeroyok seorang jembel sinting, padahal dia adalah seorang jenderal muda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi. Ayah bundanya tentu akan marah kalau mendengar bahwa dia mengeroyok seorang jembel sinting.

“Ci Sian, aku belum kalah, biarkan aku menghadapinya. Tidak perlu kita mengeroyok!” katanya.

“Ha-ha-ha, he-heh! Keroyokan juga boleh! Kautambah lagi dengan barisan mata-matamu, orang muda, heh-heh!”

Tadinya Ci Sian, tidak mau menurut perintah Cin Liong, akan tetapi mendengar ucapan jembel itu, dia merasa malu sendiri. Seorang jembel cacat pikirannya, orang sinting begini mana pantas dikeroyok dua? Maka dia pun meloncat mundur dan hanya menonton dan diam-diam dia menjadi kagum. Dia harus mengakui bahwa pemuda itu hebat sekali ilmu silatnya, akan tetapi jembel itu pun Cin lihai dan aneh gerakan-gerakannya. Tiba-tiba jembel itu merebahkan diri ke atas tanah dan dengan menolak tanah menggunakan kedua tangan, kakinya meluncur dengan serangan aneh ke arah tubuh lawan. Hebatnya, dari kedua kakinya itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main! Cin Liong mengelak, akan tetapi masih terhuyung, dan saat itu dipergunakan oleh lawannya untuk berjungkir balik dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka sudah menghujankan tamparan bertubi-tubi.

Melihat ini, Cin Liong yang agak terdesak mudur itu tiba-tiba mengeluarkan lengking nyaring dan dia merobah ilmu silatnya, kedua lengannya kadang-kadang membentuk cakar naga dan tubuhnya menggeliat-geliat seperti seekor naga. Itulah Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Naga Sakti) dan begitu dia mainkan ilmu ini, Si Jembel itu berseru kaget dan terdesak hebat. Begitu Jembel itu mundur, Cin Liong terus mendesak dan biarpun jembel itu masih berusaha mempertahankan diri, namun serangan-serangan Cin Liong terlampau hebat membuat dia kewalahan dan tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang.

“Aih, putera Ceng Ceng sungguh kurang ajar sekali, berani melawan orang tua!”

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Cin Liong berhenti bergerak dan memandang dengan mata terbelalak kepada jembel itu. Dan anehnya, jembel itu yang tadinya tertawa-tawa, kini mulai menangis! “Ceng Ceng.... Ceng Ceng.... kau memiliki putera yang lihai.... kau bahagia.... sungguh membuat aku mengiri padamu.... hu-hu-huuhh....!” Jembel itu menangis sesenggukan seperti anak kecil. Cin Liong dan Ci Sian memandang dengan penuh keheranan dan juga mulai merasa kasihan kepada orang lihai yang sinting itu.

Akan tetapi kalau Ci Sian hanya terheran-heran, sebaliknya Cin Liong terkejut sekali mendengar ucapan dalam tangis Si Jembel itu. Wajahnya yang tampan itu berobah dan dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju dan bertanya dengan suara meragu. “Apakah Paman.... eh.... Si Jari Maut....?”

Mendengar pertanyaan ini, jembel sinting itu menghentikan tangisnya, mengangkat muka memandang Cin Liong dan seketika tangisnya terganti senyum ramah “Eh, engkau.... engkau sudah mengenalku....?”

Cin Liong merasa terharu bukan main. Kiranya jembel sinting itu adalah pendekar yang terkenal itu, saudara seayah lain ibu dengan ibunya sendiri, jadi masih terhitung pamannya sendiri! Jembel sinting ini adalah Wan Tek Hoat, saudara seayah lain Ibu dari ibunya yang bernama Wan Ceng dan menurut penuturan ibunya Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar besar yang tampan dan gagah, dan bahkan telah diambil mantu oleh Raja Bhutan, juga diangkat menjadi seorang panglima di Kerajaan Bhutan! Akan tetapi mengapa kini pendekar itu menjadi seperti ini, seorang jembel yang sinting?

“Maafkan saya, Paman Wan Tek Hoat.... karena saya tidak mengenal Paman, maka saya telah bertindak kurang ajar. Akan tetapi Paman.... ah, mengapa keadaan Paman menjadi seperti ini....?” Cin Liong berkata sambil menjura dengan sikap hormat, hal yang membuat Ci Sian menjadi bengong terheran-heran.

Orang seperti jembel yang sinting itu memang Wan Tek Hoat. Karena himpitan kecewa dan duka karena asmara gagal, pendekar ini akhirnya menjadi seperti orang sinting, suka tertawa dan menangis, dan hidup tidak mempedulikan apa pun, bahkan tidak peduli akan keadaan dirinya yang sepertl jembel itu! Kadang-kadang, kalau dia lagi sendirian di tempat sunyi, teringatlah dia akan semua kebahagiaan yang dinikmatinya, ketika dia berada di samping kekasihnya. Puteri Syanti Dewi, teringatlah dia akan cinta kasih puteri itu kepadanya yang teramat besar, lalu teringat pula dia akan semua penyelewengannya, akan semua perbuatannya yang menyakiti hati Sang Puteri, maka timbullah penyesalan yang amat hebat, yang menghentak-hentak di hatinya, yang menghimpit hatinya dan mendatangkan kedukaan dan kekecewaan serta penyesalan yang hampir tidak kuat ditahannya dan yang membuat dia beberapa kali hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri saja! Hidup ini rasanya seperti dalam neraka baginya! Bertahun-tahun dia menderita, rasa rindu yang menggerogoti kalbu, penyesalan diri yang amat mendalam, kemudian rasa khawatir bahwa kekasihnya itu mungkin kini telah melupakannya, bahkan mungkin sekali kini telah menjadi isteri orang. Semua ini membuat keadaan batin pendekar ini makin lama makin lemah dan tertekan.

Sepintas lalu kita akan merasa kasihan kepada pendekar ini. Namun kita lupa bahwa betapa kita sendiri pun hampir setiap hari menghadapi hal-hal yang sama atau tidak jauh selisihnya dengan keadaan Tek Hoat. Hidup di dunia ini begini penuh kesengsaraan, begini penuh konflik dan duka nestapa, hanya kadang-kadang, saja kita dapat menikmati kebahagiaan selintas seperti cahaya kilat diantara awan mendung yang memenuhi angkasa kehidupan. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, di seluruh dunia ini penuh dengan konflik, kebencian, dendam, permusuhan yang tak kunjung habis, bahkan yang kadang-kadang meletus dalam perang yang menewaskan ratusan ribu orang manusia! Bunuh-membunuh, dendam-mendendam yang terjadi di dalam dunia kita ini, dalam jaman modern dan “maju” ini, ternyata jauh lebih hebat dan mengerikan daripada yang terjadi dalam cerita silat mana pun!

Di dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita semakin menjauhi Ketuhanan dan Perikemanusiaan! Ketuhanan dan Perikemanusiaan hanya menjadi hiasan bibir belaka bagi kita, hanya kita dengang-dengungkan sebagai slogan-slogan kosong! Kenyataan pahit ini harus kita hadapi dengan mata dan telinga terbuka, dan untuk menyelidiki kebenarannya, kita harus membuka mata mengamati diri kita sendiri masing-masing! Benarkah kita ini ber Tuhan? Benarkah kita ini berperikemanusiaan? Tak perlulah untuk menilai orang lain apakah dia atau mereka itu ber-Tuhan atau berperikemanusiaan, karena penilaian kepada orang lain itulah yang membuat kita menjadi palsu, yang membuat kita mempergunakan pengertian ber-Tuhan dan berperikemanusiaan itu untuk menyalahkan dan menyerang orang lain! Akan tetapi marilah kita mengamati diri kita sendiri masing-masing!

Kita semua mengaku beriman, kita semua mengaku ber-Tuhan, akan tetapi mari kita singkirkan semua pengakuan yang tidak ada arti dan gunanya ini, melainkan kita mengamati batin sendiri apakah benarbenar kita ber-Tuhan! Kalau kita benar-benar ber-Tuhan, sudah tentu setiap saat kita waspada, setiap saat kita sadar bahwa Tuhan mengamati semua perbuatan kita, mendengarkan semua suara hati dan mulut kita! Sebaliknya, kalau kita ber-Tuhan hanya di mulut belaka, maka terjadilah seperti yang sekarang ini terjadi di dunia, di antara kita semua, yaitu bahwa dalam keadaan menderita saja kita ingat kepada Tuhan, sedangkan waktu selebihnya kita lupakan begitu saja, lupakan dengan sengaja karena kita haus akan kesenangan dan Tuhan kita anggap sebagai penghalang kesenangan! Dapatkah kita hidup ber-Tuhan bukan dengan kata-kata kosong, pengakuan mulut, melainkan dengan sepenuhnya, secara mendalam, mendarah daging dan nampak dalam setiap gerakan, ya, bahkan setiap tarikan napas kita? Dapatkah? Yang menjawab hanya bukti pada diri kita sendiri, karena semua jawaban teori hanya kosong melompong tanpa arti. Penghayatan dalam kehidupan setiap saatlah yang menentukan segalanya.

Kita selalu ingin disebut sebagai orang yang berperikemanusiaan! Betapa menggelikan dan juga menyedihkan! Seolah-olah perikemanusiaan hanya semacam cap atau semacam hiasan belaka! Pernahkah kita meneliti mengamati diri sendiri lahir batin apakah kita ini berperikemanusiaan ataukah tidak! Adakah api “kasih” bernyala dalam batin kita? Tidak ada! Api itu padam sudah! Yang ada hanya abu dan asapnya saja yang membutakan mata. Yang ada hanyalah pengejaran uang, kedudukan, dan pengejaran kesenangan jelas meniadakan cinta kasih! Pengejaran kesenangan memupuk dan membesarkan si aku yang ingin senang, dan makin besar adanya si aku, makin jauhlah sinar cinta kasih dari batin.

Dan semua itu, yang nampak demikian gemilang dan menyilaukan, yang nampak demikian menyenangkan, sesungguhnya hanyalah lorong lebar menuju kepada kesengsaraan hidup. Memang, kita boleh tersenyum mengejek dengan sinis, boleh saja. Kita semua seperti dalam keadaan buta selagi mengejar-ngejar kesenangan yang kita namakan dengan istilah-istilah muluk seperti kemajuan dan sebagainya.

Kapankah kita akan sadar bahwa hidup tanpa cinta kasih tidak mungkin membuat kita hidup ber-Tuhan dan berperikemanusiaan? Ber-Tuhan berarti hidup penuh sinar cinta kasih! Berperikemanusiaan berarti penuh cinta kasih! Dunia penuh konflik, penuh kebencian, penuh pertentangan dan permusuhan, penuh pemberontakan dan peperangan, namun kita masih selalu bicara tentang damai tentang perikemanusiaan dan sebagainya! Sama dengan membicarakan tentang bunga dan buah selagi pohonnya sakit dan rontok.

Mendengar pertanyaan Cin Liong, Wan Tek Hoat sejenak bengong, lalu dia menjawab dengan heran, “Aku mengapa? Keadaanku mengapa?”

Cin Liong tidak berani menyinggung lagi keadaan pamannya itu. Dia tahu bahwa orang sakti seperti pamannya ini kadang-kadang memang memiliki watak yang aneh, dan siapa tahu bahwa pakaian jembel itu, sikap sinting itu, adalah sesuatu yang disengaja karena memang banyak orang-orang sakti di dunia kangouw yang bersikap aneh-aneh.

“Paman, setelah Paman mengetahui tugas saya berada di sini, mengingat beratnya tugas itu dan betapa pasukan kita terkepung dan terancam bahaya, saya mohon bantuan dan petunjuk Paman,” Pemuda yang cerdik ini merobah bahan percakapan dan langsung saja dia mengeluarkan isi hatinya.

“Kao Cin Liong, begitu namamu, bukan? Sudah lama aku mengamati gerak-gerikmu dan engkau memang hebat sekali. Apa lagi yang dapat kubantu? Kulihat banyak orang pandai telah membantumu, bahkan Nona muda ini pun merupakan seorang pembantu yang hebat.”

Cin Liong lalu mengajak mereka bertiga untuk duduk di bawah sebatang pohon di tempat sunyi itu dan dia lalu menceritakan apa yang telah dilakukannya sebagai siasat untuk menyelamatkan pasukannya yang terkepung musuh. Kiranya jenderal muda ini memang amat cerdik dan lihai sekali. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia telah berhasil menyusup ke atas bukit di mana pasukan itu dikurung dan selama beberapa hari dia mempelajari keadaan bukit itu bersama pamannya, yaitu Panglima Kao Kok Han. Ketika dia melihat anak sungai yang mengalir menuruni lembah, dia lalu mencari sumbernya dan begitu bertemu dengan sumber air, dia lalu memerintahkan pasukan utuk membuat bendungan besar untuk menampung air sebanyak-banyaknya di tempat yang tinggi. Pasukan menggali waduk besar dan membendung air dari sumber itu. Melihat besarnya air yang keluar dari sumber, Cin Liong sudah memperhitungkan berapa lama dia harus menampung air itu untuk dapat dipakai melaksanakan siasatnya. Kemudian diam-diam dia lalu mengatur pasukan Tibet, dipilihnya pasukan-pasukan yang gagah berani dan kuat, kemudian sebagian besar dari pasukan itu diselundupkannya ke Lhagat dan sekitarnya, ada pula yang bersama dia menyamar sebagai pemburu-pemburu, sebagai pedagang-pedagang atau pencari-pencari ikan.

“Kita masih harus menunggu tiga hari lagi, Paman. Tiga hari lagi air waduk itu akan cukup banyak untuk dipergunakan. Sementara itu, aku harus tetap berada di Lhagat untuk memimpin pasukan gerilya kalau saatnya tiba. Akan tetapi, ternyata panglima wanita itu lihai sekali dan kalau aku tidak hati-hati, tentu dia dapat mengetahui rahasiaku.”

Wan Tek Hoat mengangguk-angguk. Dalam menghadapi percakapan serius itu, “gilanya” tidak kumat dan dia dapat mempergunakan pikirannya dengan baik. “Jangan khawatir, aku mendapatkan jalan untuk membantumu agar engkau tidak dicurigai lagi.” Ketika Cin Liong menanyakan “jalan” itu, Tek Hoat tidak mau menerangkan, melainkan menyuruh dua orang muda itu cepat kembali ke Lhagat.

Akan tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara orang dan Tek Hoat sudah menerjang Cin Liong dengan pukulanpukulan dahsyat sambil berbisik. “Cepat lawan aku!”

Cin Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biarpun terkejut, dia sudah dapat mengetahui siasat pamannya itu, maka dia pun cepat menangkis dan balas menyerang. Ci Sian juga seorang dara yang cerdik, akan tetapi sejenak dia bengong karena tidak tahu mengapa jembel sinting yang ternyata masih paman dari jenderal muda itu, tiba-tiba malah menyerang pemuda itu. Akan tetapi ketika dia mendengar derap kaki banyak kuda, mengertilah dia dan dia pun segera membantu Cin Liong menyerang jembel sinting itu!

Terkejutlah tiga orang yang sedang bertempur ini ketika melihat bahwa pasukan yang datang itu adalah pasukan Nepal yang dipimpin sendiri oleh panglima wanita, Puteri Nandini yang ditemani oleh Siok Lam “Kalian harus roboh....“ bisik Wan Tek Hoat dengan cepat dan lirih, hanya terdengar oleh dua orang muda itu, dan dia pun cepat melakukan serangan dahsyat kepada dua orang muda itu. Cin Liong dan Ci Sian menangkis, akan tetapi mereka berteriak kaget dan terlempar, terpelanting dan roboh. Melihat ini, Puteri Nandini dan Siok Lan membalapkan kuda mereka dan berloncatan sambil mencabut senjata dan menyerang Wan Tek Hoat. Akan tetapi jembel sinting ini mengelak dari sambaran pedang panglima wanita itu, kemudian dengan jari tangan terbuka dia menghantam pedang di tangan Siok Lan dari samping. Dara ini menjerit kaget karena pedangnya menjadi patah-patah ketika bertemu dengan jari-jari tangan itu! Puteri Nandini juga terkejut dan cepat dia menerjang sambil memberi aba-aba agar pasukannya bergerak.

Wan Tek Hoat tertawa bergelak melihat pasukan maju hendak mengeroyoknya itu. Dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di atas tanah, terus melompat jauh sambil tertawa terus. Puteri Nandini mencoba untuk mengejar, namun jembel sinting itu telah lenyap di balik pohon-pohon dan dia hanya dapat memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Sementara itu, Siok Lan sudah cepat lari menghampiri Ci Sian dan Cin Liong.

Akan tetapi pertama-tama dara ini berlutut di dekat pemuda itu dan bertanya dengan nada suara khawatir, “Kau terluka....?”

Cin Liong bangkit dan mengeluh lirih. Pangkal lengan kirinya terluka, baju di bagian itu robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Hanya luka kecil saja. Juga Ci Sian menderita luka kecil pada pundaknya, berdarah sedikit.

“Tidak berapa parah, Nona. Penjahat itu lihai luar biasa.... kami berdua tidak mampu menangkapnya....”

“Hemm, kurasa dia itulah mata-mata yang pernah mencuri dalam gedung, Enci Lan! Tentu dia itulah yang dikabarkan orang jenderal dari kota raja Ceng itu!” Ci Sian menyambung dengan bersungut-sungut.

Panglima wanita itu cepat memeriksa luka mereka dan mengobatinya, kemudian mengajak mereka bicara. Dia menanyakan bagaimana keduanya dapat berada di tempat ini dan bertanding dengan jembel yang lihai itu.

Ci Sian dan Ci Liong lalu saling bantu, menceritakan betapa malam tadi mereka berdua melihat bayangan berkelebat di gedung. Karena tidak ingin menggegerkan gedung dan pula karena percaya kepada diri sendiri bahwa mereka berdua akan mampu menangkap penjahat itu, keduanya lalu mengejar. Akan tetapi ternyata penjahat itu lihai dan mempermainkan mereka, melarikan diri keluar dari kota sampai ke tempat ini, bahkan berlari-larian dan berkejaran sampai pagi, baru penjahat itu menanti mereka dan terjadi perkelahian yang merugikan mereka berdua.

Cin Liong menarik napas panjang mengakhiri ceritanya. “Li-ciangkun, harap suka berhati-hati. Mata-mata itu sungguh amat lihai. Saya dan Nona Ci Sian sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa terhadapnya dan kalau dia menghendaki, agaknya kami berdua sudah tewas sewaktu kami melawannya tadi. Masih untung bahwa kami hanya menderita luka yang tidak parah.”

“Biarpun dia lihai seperti setan, kalau lain kali bertemu dengan dia, aku akan menantangnya untuk berkelahi sampai seribu jurus!” Ci Sian berseru dan kelihatan amat penasaran.

“Akan tetapi, bagaimana bisa begitu kebetulan bahwa hanya kalian berdua saja yang melihat mata-mata itu pada saat yang sama?” Tiba-tiba Siok Lan bertanya dan dari sikap dan suaranya jelas dapat ditangkap bahwa dara ini merasa cemburu!

“Enci Lan, Engkau menyangka apa?” Ci Sian membentak dengan wajar, sesuai dengan wataknya yang memang keras dan sikapnya ini banyak menolong dia dan Cin Liong dari pengamatan dua pasang mata yang memandang tajam dari Siok Lan dan ibunya. “Seperti biasa, malam itu karena gerah aku keluar dari kamar dan aku memang selalu waspada untuk membantumu mengamat-amati gedung kalau-kalau ada tamu tak diundang menyelundup. Dan tiba-tiba aku melihat bayangan penjahat itu, dibayangi oleh Liong Cin. Dia memberi isyarat kepadaku bahwa dia mengejar orang di depan, maka aku pun ikut mengejar. Kami membantumu untuk mengejar mata-mata dan kini engkau hendak mencurigai kami?”

“Memang benar demikian, Nona Siok Lan. Malam itu mendengar orang di luar jendela kamarku. Aku mengintai dari jendela dan melihat bayangan orang itu longak-longok seperti maling. Aku sengaja tidak menegur, melainkan diam-diam aku membayanginya, maka ketika dia lari keluar dari gedung dan aku mengejarnya. Nona Ci Sian melihat kami dan ikut mengejar.”

“Biarlah aku pergi saja dari Lhagat kalau sudah tidak kaupercaya lagi, Enci Lan!”

Siok Lan memegang lengan Ci Slan. “Maaf, Adik Sian. Bukan kami tidak percaya kepadamu atau kepada Saudara Liong Cin, melainkan.... eh, kami harus hati-hati dalam keadaan seperti ini....”

“Sudahlah, kami sungguh berterima kasih kepada kalian berdua, sungguhpun amat sayang bahwa mata-mata itu dapat meloloskan diri.”

“Lain kali, kalau kalian melihat hal-hal yang mencurigakan, harap suka berteriak memberitahu agar kami semua dapat serentak bergerak menangkapnya.” Puteri Nandini juga berkata, akan tetapi dari sikap panglima ini dan puterinya, mereka berdua agaknya sudah tidak curiga lagi dan tentu saja hal ini membuat Ci Sian dan Cin Liong merasa lega.

Akan tetapi, di samping kelegaan hati itu, ada sesuatu perasaan amat tidak enak dalam hati Ci Sian. Semenjak peristiwa itu, kalau kini dia melihat Cin Liong bersama Siok Lan berdua sedang berjalan-jalan atau bercakap-cakap, melihat betapa mesranya sikap Siok Lan, kepada pemuda itu, diam-diam dia merasa tidak senang! Kadang-kadang dia melawan perasaannya sendiri ini. Apakah dia cemburu? Ihh, mana mungkin? Perasaan ini timbul ketika dia merasa betapa Siok Lan cemburu terhadapnya. Dia amat sayang kepada Siok Lan dan merasa bahwa di samping semua keadaan mereka yang berlawanan, namun terdapat perasaan suka dan sayang antara mereka, perasaan suka antara dua orang sahabat yang cocok. Akan tetapi setelah kini dia merasa yakin bahwa Siok Lan jatuh cinta kepada pemuda itu. Dialah yang kini merasa tidak senang atau setidaknya ada perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Tentu saja dia mengambil sikap tidak peduli dan selalu dia menekankan di dalam hatinya bahwa sikap manis Cin Liong kepada Siok Lan itu merupakan “alasan” dari jenderal muda itu untuk menjauhkan kecurigaan dan untuk menyembunyikan diri, tentu saja.

Tiga hari semenjak terjadinya, peristiwa itu. Pagi hari itu Siok Lan mendekati Cin Liong dan mengajak pemuda ini berjalan-jalan ke atas sebuah bukit kecil di tepi kota Lhagat. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, berjalan berdampingan dan Siok Lan yang beberapa kali menengok dan memandang wajah pemuda itu bertanya, “Liong-ko (Kakak Liong), mengapa kau kelihatan termenung saja sejak tadi?”

Cin Liong terkejut akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Dia bukan hanya terkejut karena teguran yang membuktikan ketajaman mata dara ini, akan tetapi juga terkejut mendengar sebutan Liong-ko. Hanya jarang sekali dara ini menyebutnya koko, biasanya hanya menyebut namanya saja, terutama kalau berada di depan ibu dara ini atau di depan Ci Sian.

“Ah, tidak apa-apa, Nona.”

Mereka berjalan terus melalui tempat penjagaan dan tidak mempedullkan pandangan para perajurit Nepal yang menyeringai. Mereka berdua asyik bercakap-cakap dan agaknya sudah bukan rahasia lagi betapa akrabnya hubungan antara puteri panglima itu dengan pemuda “pemburu” itu.

Mereka kini tiba di puncak bukit kecil itu dan mereka duduk berdampingan di atas rumput hijau, memandang ke arah utara di mana nampak bukit yang dikepung tentara Nepal, bukit di mana terdapat lembah di mana tentara Ceng sedang dikepung, sudah hampir sebulan mereka dikepung tak berdaya di tempat itu! Melihat bukit ini, tak terasa lagi jantung Cin Liong berdebar keras sekali, penuh ketegangan. Malam nanti saat itu tiba, seperti telah diaturnya dengan matang. Dia telah menghubungi semua pembantunya dan semua pembantu itu tentu telah bersiap-siap melaksanakan semua perintah dan siasatnya sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya. Dia sendiri perlu berada di Lhagat, selain untuk mengamati gerakan panglima musuh, juga untuk membantu lancarnya penyerbuan ke Lhagat setelah pasukannya berhasil lolos darl kepungan malam nanti. Dan dia yakin pasukannya akan berhasil. Semua telah diperhitungkannya masak-masak. Dia dapat membayangkan apa yang akan terjadi kalau bendungan di atas itu dibobol dan air yang dipergunakan sebagai pasukan pelopor untuk menghantam dan menjebol kepungan musuh. Dan pada saat yang sama, pasukan-pasukan Tibet yang sudah dipersiapkannya akan bergerak pula menghantam dari arah lain untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan pada saat air menipis, pasukan yang terkepung akan meloloskan diri, turun dari bukit, keluar dari lembah melalui jalan yang telah dibikin rata dan aman oleh air bah itu! Dan dengan kekuatan disatukan dengan pasukan-pasukan Tibet, pasukannya akan menggempur Lhagat! Untuk semua itu, dia juga mengharapkan bantuan orang-orang pandai yang telah diam-diam diselundupkan ke Lhagat dan sekitarnya!

“Liong-koko....”

Cin Liong terkejut dan sadar dari lamunannya, dengan enggan dia menarik kembali pandang matanya yang sejak tadi ditujukan ke arah bukit itu dan dia menoleh kepada dara yang duduk di sampingnya. Dia melihat betapa sepasang mata yang jeli itu menatapnya dengan sayu, sepasang mata yang nampaknya seperti setengah terpejam, seperti mata yang mengantuk, akan tetapi ada sinar aneh dari sepasang mata di balik bulu-bulu mata yang lentik itu. Siok Lan memang cantik sekali, kecantikan yang manis dan aneh seperti biasa terdapat pada kecantikan dara-dara yang berdarah campuran. Siok Lan adalah seorang dara berdarah peranakan Han dan Nepal dan agaknya dara ini menerima kurnia yang luar biasa dari alam, dia agaknya telah mewarisi segi-segi baiknya saja dari ayah bundanya yang berbeda bangsa itu. Kulitnya putih kuning halus seperti kulit wanita bangsa ayahnya, demikian pada kehitaman dan kelebatan rambutnya, ramping dan semampainya bentuk tubuhnya. Dan dia memiliki sepasang mata yang lebar dan indah dengan bulu mata lentik, hidung yang agak mancung dan dagu meruncing seperti kemanisan wajah Ibunya.

Cin Liong adalah seorang pemuda yang sejak kecil mengejar ilmu kepandaian dan belum pernah dia melibatkan diri dengan hubungan antara pria dan wanita. Hubungannya dengan Siok Lan hanya merupakan hubungan yang berdasarkan siasat perangnya belaka, maka selama ini dia menganggap dara ini sebagai puteri dari panglima pasukan musuhnya, sungguhpun secara pribadi dia mengagumi dara ini, juga Ibunya yang dianggapnya seorang panglima yang pandai dan dara ini memiliki watak yang amat baik. Kini, dalam keadaan santai, duduk berdua di tempat sunyi itu, mendengar suara Siok Lan memanggilnya, kemudian setelah menoleh bertemu pandang mata yang demikian indah dan penuh getaran perasaan memandangnya, jantung Cin Liong terasa berdebar aneh. Baru sekarang selama dia hidup dia merasakan suatu getaran aneh dalam hatinya, dan wajah dara itu seolaholah baru sekarang dilihatnya, baru sekarang dia menemukan keindahan dan kecantikan luar biasa pada mata dan bibir itu!

Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang, bertaut seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka terpesona dan seolah-olah pandang mata saling melekat tak dapat dipisahkan lagi. Akan tetapi akhirnya Cin Liong dapat menguasai debaran jantungnya dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia bertanya lirih. “Ada apakah, Nona?”

Siok Lan juga baru sadar bahwa sejak tadi dia seperti terayun dalam alam mimpi, dan dia menjadi malu sekali, cepat dia menunduk dan mukanya menjadi lebih merah daripada muka pemuda itu. “Liong-ko, sejak tadi kulihat engkau melamun saja, seperti orang yang berduka, atau seperti orang yang khawatir. Ada apakah?”

Cin Liong tersenyum. “Tidak apa-apa, Nona.”

Dara itu mengangkat muka memandang dan kini sepasang matanya tidak sayu lagi seperti tadi, melainkan bersinar tajam penuh selidik. “Sejak kita datang ke tempat ini, engkau duduk melamun dan memandang ke arah bukit di sana itu, Liong-ko. Aku dapat merasakan bagaimana kedukaan dan kekhawatiran menekan hatimu melihat pasukan kerajaan itu terkepung di sana sudah sebulan....”

“Ah, tidak....!” Cin Liong cepat membantah dan diam-diam dia terkejut sekali. Apakah dara ini mengetahui pula rahasianya? Kalau begitu, amat berbahaya dan dia harus cepat turun tangan. Terbongkarnya rahasianya akan berbahaya sekali, dapat menggagalkan siasatnya yang akan dilaksanakan malam nanti.

Akan tetapi dara itu nampak tenang saja, bahkan tersenyum pahit. “Aku mengerti, Liong-ko. Engkau adalah seorang bangsa Han, dan tentu saja tidak senang melihat pasukan bangsamu terkepung dan menghadapi kehancuran....”

Karena masih meragu, Cin Liong belum turun tangan, dan dia memancing, “Engkau tahu bahwa aku hanyalah seorang pemburu Nona, aku tidak mencampuri urusan perang....”

“Aku mengerti, Liong-ko, akan tetapi aku pun dapat menduga betapa hatimu duka dan khawatir oleh akibat perang yang mengancam pasukan bangsamu. Aku sendiri pun benci perang! Aneh kedengarannya. Ibu seorang panglima perang, tapi aku benci perang. Dan tahukah engkau, Liong-ko, Ibu sendiri pun benci perang!”

“Ehh....?” Cin Liong benar-benar terkejut mendengar ini, dan dia menatap wajah cantik itu dengan heran.

Siok Lan mengangguk lalu menunduk, merenung. “Ya, Ibuku benci perang. Ibuku adalah seorang puteri Nepal, sejak kecil mempelajari kesenian dan kesusastraan. Akan tetapi dia pun mempelajari ilmu silat dan perang. Biarpun begitu, dia selalu mencela perang!”

“Akan tetapi mengapa dia menjadi panglima?”

“Karena.... patah hati.... gagal dalam asmara.”

“Ahhh....!”

Dara itu menoleh dan menatap wajah Cin Liong, kemudian dia menggeser duduknya sehingga berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak dia menatap tajam, kemudian dia berkata, “Dengarlah, Liong-ko, aku akan menceritakan riwayat kami kepadamu. Akan tetapi harap semua ini dirahasiakan.” Cin Liong hanya mengangguk-angguk dan merasa heran mengapa dara ini demikian percaya kepadanya.

“Ibuku adalah seorang wanita Nepal, puteri seorang pendeta yang sejak kecil mempelajari seni, sastra, silat dan ilmu perang. Kemudian Ibuku menikah dengan seorang pangeran Nepal, seorang pangeran tua yang menjadi Ayah tiriku.”

“Ayah tirimu....?”

“Ya, aku.... Ayah kandungku adalah seorang pria berbangsa Han, seperti engkau, Liong-ko.”

“Hemmm.... sudah kuduga itu, melihat keadaanmu.”

“Karena Ibu lebih perkasa dan pandai daripada Ayah tiriku, maka Ibu lalu diangkat menjadi perwira tinggi dalam ketentaraan. Ibu menerima pengangkatan itu untuk menghibur hatinya, karena.... karena sesungguhnya Ibu tidak mencinta suaminya yang jauh lebih tua, dan hal itu terjadi sampai Ayah tiriku meninggal dunia. Semenjak itu Ibu menjadi panglima dan biarpun dia membenci perang, terpaksa dia melakukan tugas kewajibannya sebaik mungkin.”

“Dan.... Ayah kadungmu?”

Dara itu menggeleng kepala. “Ibu merahasiakannya. Aku bahkan tidak tahu siapa she Ayahku itu. Aku tidak tahu di mana dia, masih hidup ataukah sudah mati. Heran sekali, Ibu agaknya amat membenci Ayah kandungku sehingga setiap kali aku bertanya, dia marah-marah dan bahkan pernah menamparku karena bertanya itu. Agaknya.... agaknya dia akan sanggup membunuhku kalau aku bertanya terus.” Dan sampai di sini, Siok Lan dara yang biasanya lincah gembira itu kelihatan berduka, bahkan ada air mata menitik turun dara kedua matanya.

Diam-diam Cin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia diam saja, masih terheran-heran mendengar cerita yang luar biasa itu. Ibu dara ini, panglima yang pandai dan perkasa itu, ternyata menyimpan rahasia kehidupan yang amat menyedihkan! Siok Lan mengusap air matanya, berhenti menangis, kemudian menarik napas panjang berulang-ulang.

“Liong-ko, betapa inginku pertemuan antara kita tidak terjadi di tempat ini, di waktu perang seperti ini. Ah, betapa akan senangnya duduk bercakap-cakap denganmu di tempat ini kalau tidak ada perang di situ, kalau keadaan tenteram dan damai. Akan tetapi.... betapapun juga.... karena adanya perang inilah, maka dia dapat saling bertemu.”

Cin Liong diam saja, tidak tahu harus mengatakan apa dan dia pun tidak tahu mengapa dara itu mengeluarkan ucapan seperti itu.

“Liong-ko, di mana adanya Ayah Bundamu?”

Pertanyaan tiba-tiba ini mengejutkan Cin Liong juga, akan tetapi dengan sikap tenang dia menjawab, “Mereka tinggal jauh di utara, Nona.”

“Liong-ko, harap kau jangan menyebut Nona padaku, Panggil saja namaku!”

“Akan tetapi, Nona....”

“Apakah engkau tidak mau menganggap aku sebagai seorang.... sahabat baikmu?” bertanya demikian, dara itu mengangkat muka dan menatap wajah Cin Liong dengan sepasang mata yang tajam berseri. Akhirnya Cin Liong menunduk dan mengangguk.

“Baiklah, Lan-moi (Adik Lan). Engkau sungguh baik sekali.”

“Bukan aku, melainkan engkaulah yang baik sekali, Liong-ko. Aku berhutang budi dan nyawa padamu....”

“Cukuplah itu, harap jangan sebut-sebut lagi soal itu. Engkau dan Ibumu telah menerimaku di sini dengan baik sekali, aku malah yang harus malu....“ Cin Liong teringat betapa kehadirannya itu adalah sebagai mata-mata padahal dara ini demikian baik kepadanya. Nampak makin jelaslah olehnya betapa keji dan kejamnya perang!

“Akan tetapi, peristiwa itu takkan terlupakan olehku selama hhdup, Liong-ko. Dan.... kalung itu.... apakah masih kau simpan?”

Otomatis tangan kiri Cin Liong meraih, ke lehernya dan gerakan ini saja membuat Siok Lan merasa girang sekali dan dia yakin bahwa kalung itu masih dipakai oleh pemuda ini, maka ia melanjutkan kata-katanya. “Terima kasih kalau masih kausimpan. Liong-ko, ketahuilah aku.... aku memberi kalung itu.... dengan sepenuh hati.... kalung itu pemberian Ibu dan.... mewakili diriku....” Tiba-tiba dia menunduk dan mukanya menjadi merah sekali.

Cin Liong juga dapat merasakan kejanggalan kata-kata ini dan makna mendalam yang dikandungnya, maka dia pun tiba-tiba merasa jengah dan malu. Sejenak mereka berdua yang duduk berhadapan itu tidak mengeluarkan kata-kata, keduanya lebih banyak menunduk dan kalau kebetulan saling pandang, lalu tersenyum canggung! Hati Cin Liong tergetar dan tertarik. Dara ini memang memiliki daya tarik yang kuat sekali, akan tetapi selama ini, biarpun bergaul dengan akrab, dia tidak merasakan daya tarik ini karena seluruh perhatiannya tercurah kepada tugasnya. Kini baru dia merasakan daya tarik itu yang membuat dia ingin sekali memandang wajah dan menikmati kejelitaannya, ingin sekali bersikap dan berbicara manis, ingin sekali menyentuh dan merangkul mesra. Akan tetapi Cin Liong masih ingat akan kedudukan dan tugasnya, maka dia mengeraskan hatinya dan akhirnya dia bangkit berdiri. Siok Lan juga ikut bangkit dan memandang heran.

“Nona.... eh, Adik Siok Lan, marilah kita pulang. Ibumu tentu akan mencarimu, dan tidak baik bagimu kalau berlama-lama kita duduk berdua saja di tempat ini.”

Dara itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mengandung kekerasan. “Liong-ko, mengapa tidak baik bagiku? Aku tidak peduli dengan orang lain, dan Ibu tentu tidak akan melarang kalau aku berdua di sini bersamamu.”

Cin Liong tersenyum. Dalam marahnya, dara itu bahkan nampak semakin cantik! “Syukurlah kalau begitu, Lan-moi. Akan tetapi, akulah yang merasa tidak enak, karena aku adalah seorang tamu yang diterima dengan ramah dan baik, dan aku hanya seorang pemburu miskin biasa, sedangkan kau.... kau puteri panglima....“

“Hussshh, jangan ucapkan lagi kata-kata seperti itu, Liong-ko! Ingat, Ibuku hanya anak seorang pendeta sederhana yang miskin dan bodoh. Dan aku.... hemm, aku bahkan tidak pernah kenal siapa Ayah kandungku! Engkau yang mempunyai Ayah Bunda yang jelas dan terhormat, engkau lebih terhormat daripada aku.”

Kemball Cin Liong tersenyum. Banyak segi-segi baik pada diri dara ini, pikirnya. “Baiklah, Lan-moi. Engkau benar, akan tetapi sudah lama kita di sini, mari kita kembali.” Tanpa disengaja, tangannya menyentuh tangan dara itu. Perbuatan tidak disengaja oleh Cin Liong ini berakibat besar karena dara itu merasa tangannya dipegang dan dia cepat memegang tangan pemuda itu dan jari-jari tangan mereka saling pegang, kemudian sambil bergandeng tangan mereka menuruni bukit itu. Dua orang muda remaja yang selama hidupnya baru pertama kali ini mendekati lawan jenisnya, merasa betapa ada getaran-getaran halus pada jari tangan mereka, getaran yang timbul dari hati mereka yang berdebar-debar tidak karuan, getaran mesra yang menjalar ke seluruh tubuh, yang membuat mereka kadang-kadang saling pandang, saling senyum tanpa kata-kata. Namun apa artinya lagi kata-kata dalam keadaan seperti itu? Pandang mata dan senyum ini sudah cukup mengeluarkan seluruh apa yang terkandung dalam perasaan masing-masing, yang belum tentu dapat dilukiskan dengan kata-kata yang betapa indah sekalipun.

Tiba-tiba Cin Liong melepaskan tangannya yang saling bergandengan dengan gadis itu dan Siok Lan juga cepat-cepat agak menjauhkan diri dari pemuda itu ketika dia melihat munculnya Ci Sian di tikungan depan.

“Eh, Enci Lan, kucari engkau ke mana-mana tidak tahunya berada di sini. Hemm, maaf ya, aku mengganggu, ya?” kata dara ini sambil tersenyum menggoda, sungguhpun ada perasaan tidak enak di dalam hatinya, perasaan tidak enak yang dia sendiri tidak tahu mengapa.

“Ah, ada-ada saja engkau, Sian-moi. Siapa mengganggu siapa? Aku bercakap-cakap dengan.... eh, Liong-ko....” Akan tetapi dia berhenti karena teringat bahwa baru sekarang di depan Ci Sian dia menyebut pemuda itu dengan sebutan koko. Mukanya menjadi merah sekali dan melihat ini, Ci Sian tersenyum walaupun hatinya terasa semakin tidak enak. Mereka bertiga lalu kembali ke gedung di mana Puteri Nandini sudah menunggu karena memang panglima inilah yang menyuruh Ci Sian untuk pergi mencari Siok Lan dan memanggilnya pulang karena dia perlu untuk bicara.

Setelah tiba di dalam gedung, Siok Lan langsung memasuki kamar ibunya dan di situ dia melihat bahwa ibunya sedang berunding dengan para panglima pembantu ibunya, dan sikap mereka menunjukkan bahwa tentu terjadi sesuatu yang gawat.

“Ibu, ada apakah?” tanyanya.

“Duduklah. Dengar baik-baik, Siok Lan. Menurut para penyelidik, ada sesuatu yang aneh sedang direncanakan oleh fihak musuh, entah apa. Ada pergerakan dari pasukan-pasukan Tibet yang telah kita kalahkan. Kita tidak percaya bahwa pasukan tibet akan berani bergerak menyerang Lhagat tanpa suatu rencana tertentu. Agaknya mereka merahasiakan rencana itu dan keadaan pasukan musuh yang terkepung juga nampak tenang-tenang saja. Ketenangan inilah yang membuat hatiku tidak enak. Maka, siapa pun harus kita curigai. Engkau bertugas selain menjaga keamanan gedung ini, juga untuk memata-matai dua orang tamu kita itu.”

“Apa? Ibu maksudkan Adik Sian dan Liong-koko?”

Mendengar puterinya menyebut koko kepada pemuda itu. Puteri Nandini memandangnya dengan sepasang mata penuh selidik dan mata ibu yang tajam ini melihat betapa ada warna kemerahan pada kedua pipi puterinya.

“Ya, dua orang itu adalah orang-orang asing bagi kita. Biarpun sampai kini tidak ada gerakan-gerakan dan bukti-bukti yang menjadikan kecurigaan kita, namun kita harus tetap waspada. Dan karena mereka adalah teman-temanmu, maka sebaiknya engkau yang menyelidiki dan membayangi keadaan mereka agar tidak terlalu mencolok.”

Siok Lan tidak dapat membantah, apalagi di situ hadir banyak pembantu ibunya, maka dia cepat mengangguk dan menjawab, “Baiklah, Ibu.”

Mereka lalu berunding dan Sang Panglima Wanita itu lalu membagi-bagi tugas untuk memperketat penjagaan dan bahkan memutuskan bahwa kalau sampai dua hari lagi pasukan yang terkepung tidak menyerah dan tidak ada tanda-tanda kedatangan orang-orang penting dari kota raja, maka lembah itu akan digempur dan pasukan terkurung itu akan dipaksa untuk menyerah!

Malam itu tidak ada bulan nampak di langit. Hanya ada bintang-bintang gemerlapan di langit hitam, seperti ratna mutu manikam di atas kain beludru hitam, berkilauan cemerlang, berkedip-kedip seperti ada selaksa bidadari bermain mata kepada manusia di atas bumi. Bima sakti nampak nyata, dibentuk oleh kelompok bintang-bintang yang berderet memanjang putih, sehingga nampaknya seperti awan putih cemerlang, membentuk bayang-bayang hitam yang tetap dan dalam.

Pada malam hari yang indah dan kelihatan penuh ketenteraman itu, dengan angin malam lembut bersilir, orang-orang di Lhagat dan sekitarnya tiba-tiba dikejutkan oleh sinar yang berluncuran dari bawah. Sinar-sinar yang seperti kembang api meluncur tinggi ke atas, berwarna hijau, kuning dan merah. Mula-mula warna merah yang lebih dulu meluncur dari lembah bukit di mana pasukan Ceng terkepung, lalu disusul oleh luncuran warna-warna lain dari bukit-bukit dan bahkan dari dalam kota Lhagat! Selagi orang-orang menonton kembang api itu dengan heran, kagum hati bertanya-tanya siapa yang meluncurkan ke atas dan apa artinya itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari atas puncak bukit di mana pasukan musuh terkepung, suara ledakan keras disusul gemuruhnya air membanjir!

Itulah permulaan dari gerakan yang dilakukan oleh Panglima Kao Kok Han bersama pasukannya yang terkepung, sesuai dengan siasat yang telah diatur oleh Panglima Kao Cin Liong! Mula-mula saling diluncurkan anak-anak panah api ke atas oleh para pasukan yang terkepung, yang disambut oleh pasukan-pasukan Tibet, kemudian disambut pula oleh para anggauta gerilya yang telah menyelundup ke dalam kota Lhagat. Kemudian, Panglima Kao Kok Han, yaitu paman dari Cin Liong, memimpin anak buahnya membobolkan bendungan air yang telah merupakan danau kecil di puncak karena mereka membendung air yang keluar dari sumber sehingga terkumpul amat banyaknya. Jebolnya bendungan ini tentu saja membuat air yang amat banyak itu membanjir ke bawah dengan derasnya, dan langsung menyerbu ke arah pasukan Nepal yang mengepung di bagian barat lembah bukit itu!

Tentu saja pasukan Nepal di sebelah barat bukit ini menjadi kaget, panik dan kacau-balau diserang oleh banjir yang datang dari puncak bukit itu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi maka ada air yang tiba-tiba menyerbu mereka dari atas, menyeret perkemahan mereka, membunuh banyak orang dan menyeret orang-orang itu, menghempaskan mereka kepada batu-batu dan pohon-pohon. Mereka masih belum menyangka bahwa ini adalah perbuatan musuh, dan kepanikan menjadi semakin hebat ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan hujan anak panah datang lari sebelah luar kepungan yang merobohkan lebih banyak orang lagi karena mereka tidak sempat berlindung dan masih panik oleh serangan air bah dari atas bukit.

Kepanikan ini menjadi-jadi ketika pasukan dari atas bukit yang terkepung itu tiba-tiba menyerbu turun, mengikuti air yang makin menipis. Pasukan Nepal yang mengepung segera memusatkan kekuatan di tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah kena gempuran air dan pasukan Tibet yang menghujankan anak panah tadi, mereka mengira bahwa tentu pasukan Ceng-tiauw memperoleh bantuan barisan Ceng-tiauw yang besar, dan mereka sudah terlalu panik sehingga mereka melakukan perlawanan dengan hati takut.

Makin banyaklah pasukan-pasukan Tibet muncul dari berbagai jurusan, menghadang bagian pasukan Nepal yang tadinya mengepung dari arah lain dan kini berdatangan ke tempat itu untuk membantu kawan-kawan mereka. Pasukan-pasukan gerilya Tibet ini memotong-motong pasukan itu dan terjadilah pertempuran di sana-sini membuat pasukan Nepal yang mengepung itu terpecah-pecah dan kacau-balau. Mereka mencoba untuk mempertahankan diri, namun akhirnya, menjelang fajar mereka semua terpaksa harus mundur dan memasuki kota Lhagat setelah mereka kehilangan lebih dari separuh jumlah pasukan yang sebagian tewas atau roboh oleh air bah, sebagian pula oleh hujan anak panah dan yang terbesar karena pertempuran yang berat sebelah itu karena kalau fihak Nepal bertempur dengan hati panik dan ketakutan, adalah fihak tentara Ceng-tiauw yang ingin bebas dari kepungan dan tentara Tibet yang ingin mengusir musuh itu bertempur dengan penuh semangat!

Panglima wanita Nandini dengan pakaian perang ternoda banyak darah musuh yang dirobohkannya dalam pertempuran tengah malam itu, dan muka serta leher basah oleh peluh terpaksa memimpin sisa pasukan itu memasuki Lhagat. Siok Lan yang bertugas menjaga kota itu menyambut bersama para pengawalnya dan terkejut melihat keadaan ibunya. Tanpa banyak tanya pun dia tahu bahwa pasukan Ibunya kalah dan kini sisa pasukan itu mundur memasuki Lhagat. Akan tetapi, baru saja pasukan yang sudah patah semangat itu memasuki kota Lhagat, nampak kebakaran terjadi di semua penjuru kota itu! Orang-orang berteriak-teriak kebakaran dan keadaan menjadi semakin panik ketika dengan marah sekali Panglima Nandini memerintahkan para pembantunya untuk memeriksa kebakaran-kebakaran itu dan memadamkannya.

“Di mana Ci Sian? Di mana Liong Cin?” Panglima itu membentak dengan muka agak pucat kepada Siok Lan.

Siok Lan memandang ibunya, wajahnya juga menjadi pucat dan dia berkata dengan hati tegang. “Tadi mereka membantuku melakukan perondaan, bahkan aku memberi tugas kepada mereka untuk menjaga di sekitar penjara agar jangan sampai tawanan memberontak dan membobol penjara dalam keadaan seperti ini, Ibu.”

Panglima itu mengangguk-angguk, akan tetapi tetap saja alisnya berkerut karena dia merasa ragu-ragu. Dia telah memperoleh pukulan hebat dan sama sekali tidak disangkanya bahwa musuh demikian lihai menjalankan siasatnya sehingga dia benar-benar tidak dapat menyangka sama sekali bahwa pasukan yang terkepung itu akan mampu meloloskan diri. Tentu ada pengaturnya semua siasat itu, dan pengaturnya tentulah jenderal sakti yang dikabarkan orang datang dari kota raja dan yang kabarnya amat lihai itu. Kini baru dia tahu bahwa berita itu tidak berlebih-lebihan, bahwa di fihak musuh terdapat seorang ahli siasat perang yang hebat.

“Celaka, Li-ciangkun....!” Tiba-tiba seorang penjaga dengan tubuh luka-luka parah datang berlari dan langsung roboh di depan kaki panglima itu.

Biarpun orang itu sudah terluka parah, akan tetapi melihat orang itu dalam keadaan ketakutan seperti itu, Panglima Nandini membentak, “Pengecut! Bangun dan ceritakan apa yang terjadi!” Suara panglima ini penuh kemarahan.

“Penjara.... bobol dan semua tawanan.... lolos.... kami tak dapat menahan mereka....“

“Ahh! Bagaimana terjadinya? Siapa yang berkhianat?”

“Mereka.... mereka.... seorang pemuda dan gadis.... tamu Li-ciangkun....”

“Keparat!” Panglima itu membentak marah dan sekali meloncat dia telah berada di atas kudanya lalu melarikan kudanya itu ke arah penjara, diikuti oleh Siok Lan yang wajahnya menjadi pucat sekali dan ada dua butir air mata meloncat turun ke atas pipinya. Hampir dia tidak percaya, Liong Cin seorang pengkhianat? Seorang mata-mata musuh yang meloloskan para tawanan bersama Ci Sian? Dan Ci Sian....? Ah, dia hampir tidak dapat mempercayai hal ini.

Akan tetapi para tawanan memang telah lolos keluar dan terjadilah pertempuran di mana-mana antara para tawanan dan para penjaga, juga di antara para tawanan itu terdapat beberapa orang yang lihai berbangsa Tibet dan Han, dan mereka ini bukanlah tawanan yang lolos, melainkan tenaga-tenaga baru yang entah muncul darimana! Puteri Nandini dengan marah lalu mengamuk dan merobohkan empat orang tawanan yang tidak dapat menahan sambaran pedangnya. Akan tetapi pada saat itu terdengar tambur tanda bahaya dari menara dan ternyata pasukan musuh telah mulai menyerang pintu-pintu gerbang kota Lhagat! Hal ini tentu saja mengejutkan Nandini dan dia terpaksa meninggalkan tempat itu untuk pergi ke menara. Penyerbuan musuh dari luar lebih penting daripada pemberontakan para tawanan itu. Siok Lan juga mengikuti ibunya karena bagaimanapun juga, dalam keadaan yang genting dan gawat itu dia harus selalu mendekati ibunya untuk membantu ibunya.

Dan memang pasukan Ceng-tiauw yang dibantu oleh banyak sekali pasukan Tibet telah mulai menyerbu benteng tembok Lhagat dari pelbagai jurusan! Serbuan itu dimulai pagi sekali ketika cuaca masih gelap. Tentu saja pasukan-pasukan Nepal menjadi semakin panik karena mereka baru saja mengalami kekalahan dan gempuran hebat. Dalam keadaan lelah lahir batin mereka kini terpaksa dikerahkan unituk mempertahankan kota itu dari kepungan musuh. Celakanya, dari sebelah dalam juga terjadi serbuan-serbuan, pembakaran-pembakaran, yang amat menggelisahkan para pasukan itu. Terutama sekali Puteri Nandini yang menerima laporan bertubi-tubi tentang adanya serbuan-serbuan pada gedung-gedung pemerintah, pembakaran-pembakaran, bahkan gedung tempat tinggalnya tidak terkecuali mengalami penyerbuan dan para pengawal gedung itu tewas semua. Mendengar laporan-laporan ini, maklumlah Sang Puteri yang menjadi panglima ini bahwa kota Lhagat ternyata penuh dengan mata-mata yang kini dibantu oleh para tawanan yang lolos untuk mengacaukan kota. Kalau kekacauan di sebelah dalam ini tidak segera dibasmi, tentu akan membahayakan pertahanan kota dari serbuan musuh di luar. Oleh karena itu, sambil mengajak puterinya dia lalu turun dari menara, menyerahkan pengaturan penjagaan pintu-pintu gerbang kepada komandannya dan dia bersama puterinya lalu menuju ke tempat-tempat terjadinya penyerbuan para pengacau itu.

Akan tetapi para pengacau itu bergerak secara bergerilya. Kalau fihak penjaga terlampau kuat mereka menghilang, menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan membakar atau mengacau di bagian lain, dan tujuan mereka agaknya selain untuk mengacaukan penjagaan juga untuk mendekati pintu-pintu gerbang karena mereka bertugas untuk membobolkan pintu itu dari sebelah dalam.

Dirongrong seperti ini dari dalam, para penjaga Nepal menjadi semakin panik dan lelah sekali dan akhirnya, pintu gerbang sebelah selatan bobol dan dengan suara hiruk-pikuk pasukan Kerajaan Ceng-tiauw bersama pasukan Tibet menyerbu masuk bagaikan air bah terlepas dari bendungan yang pecah. Keadaan dalam kota Lhagat menjadi semakin kacau dan bersama dengan terbitnya matahari, pasukan Ceng dan Tibet yang terbagi-bagi menjadi beberapa pasukan itu menyerbu dari semua pintu gerbang yang akhirnya dapat dibobolkan. Terjadilah pertempuran-pertempuran di dalam kota itu dengan hebatnya. Bala tentara Nepal kehilangan kepercayaan diri, dan para pemimpin mereka tidak dapat lagi memberi komando secara langsung karena pertempuran telah pecah di mana-mana memenuhi kota itu. Penduduk yang memang banyak bersimpati kepada Tibet, kini keluar dan membantu fihak Tibet untuk menggempur pasukan Nepal yang mereka benci! Dan di dalam pasukan mata-mata yang menyelinap di dalam kota dan tadi telah melakukan pembakaran-pembakaran terdapat banyak orang-orang pandai yang mengamuk bagaikan harimau-harimau buas, membuat pasukan Nepal menjadi makin gelisah.

Di antara pertempuran-pertempuran yang pecah di mana-mana secara kacau-balau itu, pertempuran-pertempuran jarak dekat yang amat seru, nampak Panglima Nandini dan Siok Lan mengamuk bahu membahu. Dengan pedang di tangan, ibu dan puterinya ini mengamuk, bukan lagi mempertahankan kota atau demi pasukan Nepal, melainkan untuk mempertahankan diri yang dikepung dan dikeroyok!

Sementara itu, yang membongkar penjara adalah Cin Liong sendiri dibantu oleh Ci Sian. Dara itu ikut membongkar penjara karena dia hendak mencari Lauw-piauwsu yang dia tahu berada di antara mereka yang menjadi tawanan. Setelah penjara bongkar dan semua tawanan menyerbu keluar, Ci Sian seorang diri memasuki penjara dan bertanya-tanya kepada para tawanan yang lolos itu di mana adanya Lauw-piauwsu. Para tawanan itu yang menjadi gembira sekali memberi tahu bahwa Lauw-piauwsu dalam keadaan sakit payah dan mendengar ini Ci Sian segera berlari-lari menuju ke kamar tahanan orang tua itu. Akhirnya dia melihat laki-laki tua itu rebah di atas lantai beralaskan rumput kering dalam keadaan mengenaskan sekali. Biarpun selama bertahun-tahun Ci Sian tidak bertemu dengan orang ini dan keadaan Lauw-piauwsu amat menyedihkan, namun Ci Sian segera mengenalnya dan cepat dia berlutut di atas lantai dekat tubuh yang kurus kering itu. Tubuh itu kurus sekali, dengan muka pucat dan mata sayu, napasnya tinggal satu-satu dan tubuhnya amat panas. Kiranya kakek itu diserang demam hebat. Sungguh menyedihkan sekali keadaan Toat-beng Hui-to Lauw Sek yang dulunya adalah seorang kakek yang demikian gagahnya itu!

“Paman Lauw....” Ci Sian memanggil dengan hati terharu melihat keadaan orang ini.

Lauw Sek membuka matanya yang tadinya dia pejamkan seolah-olah dalam keadaan mata terbuka sayu tadi dia tidak melihat gadis itu memasuki kamarnya setelah mematahkan rantai yang mengunci daun pintu.

Sejenak mata yang sudah kelihatan tak bersemangat itu memandang akan tetapi agaknya dia tidak ingat lagi kepada Ci Sian. “Siapa.... siapa engkau....?”

“Paman Lauw, lupakah engkau kepadaku? Aku Ci Sian....”

“Ci.... Sian....?”

“Aku Ci Sian atau.... Siauw Goat, cucu dari Kakek Kun, lupakah kau, Paman?”

“Ahhh....” Sejenak mata itu bersinar dan agaknya dia teringat. “Engkau.... ah, Nona.... aku.... aku.... amat payah....”

“Paman, tolong kauberitahukan aku menurut penuturan Kakek Kun dahulu itu, siapakah adanya Ayah kandungku, Ibu kandungku, dan di mana aku dapat mencari mereka?”

“Ahhh.... aku.... aku tidak kuat lagi membawamu ke sana....”

“Aku akan mencari sendiri, Paman. Harap kaukatakan saja di mana mereka dan siapa mereka itu.

Lauw Sek terengah-engah, agaknya pertemuannya dengan gadis yang sama sekali tak disangka-sangkanya ini, gadis yang disangkanya sudah tewas, mendatangkan ketegangan yang menambah berat penyakitnya.

“Paman.... Paman.... tolonglah, kuatkan dirimu, beritahu aku....“ Ci Sian memegang pundak orang itu. Mata yang sudah terpejam itu terbuka lagi.

“Ayahmu.... Bu-taihiap.... petualang besar.... Ibu.... Ibumu.... telah meninggal.... kau disia-siakan dan ditinggal.... dia sudah mempunyai isteri lain lagi.... dia.... dia di.... Kakek itu terkulai lemas dan Ci Sian cepat meletakkan telapak tangannya pada dada orang tua itu untuk menyalurkan tenaga sin-kang dan membantu peredaran darahnya. Mata itu dibuka lagi, nampaknya terkejut dan heran menyaksikan kelihaian dara itu.

“Di mana dia, Paman? Di mana Ayah?”

“Di puncak.... Merak Emas.... di Kongmaa La.... Kakekmu.... dia.... Kiu-bwe Sin eng Bu Thai Kun.... Ayahmu.... Ayahmu....” Kakek itu mengeluh, terkulai dan Ci Sian menarik kembali tangannya. Kakek itu telah mengakhiri hidupnya, tanpa sempat memberitahukan nama ayahnya. Dia hanya tahu bahwa ayahnya disebut Bu-taihiap, dan hal ini amat mendatangkan rasa nyeri di dalam dadanya. Teringatlah dia akan sikap dan ucapan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang pernah berhubungan dengan seorang pendekar yang disebut Bu-taihiap! Dan juga menurut penuturan mendiang Lauw Sek, ayahnya seorang petualang besar, dan Ibunya sudah meninggal dunia pula. Bahkan dia telah ditinggalkan oleh ayahnya itu, disia-siakan! Ci Sian mengepal tinjunya. Teringat dia akan pesan kakeknya bahwa dia harus bertemu dengan ayahnya yang bertanggung jawab kepadanya. Sekarang, ternyata ayahnya adalah seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab, seorang petualang besar, agaknya gila perempuan karena buktinya, bersama isterinya, entah isteri yang mana, entah ibu kandungnya atau bukan, pernah datang menemui Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang cantik dan ayah kandungnya itu berjina dengan Tang Cun Ciu. Betapa memalukan dan rendah! Ayahnya seperti itu! Apa pula perlunya dia mencari ayahnya jauh-jauh?

Dia lalu meninggalkan jenazah itu setelah menggerakkan bibir mengucapkan terima kasih kepada mendiang Lauw-piauwsu, kemudian berlari keluar dari penjara. Di mana-mana terjadi pertempuran dan malam telah terganti pagi, cuaca sudah tidak gelap lagi matahari telah terbit disambut aliran darah dan teriakan-teriakan kematian, mayat berserak-serakan dan di antara suara beradunya senjata terdengar pekik-pekik kemenangan dan jerit-jerit kesakitan.

Melihat keadaan ini, tahulah Ci Sian bala tentara Ceng sudah berhasil menyerbu dan memasuki kota Lhagat, dibantu oleh pasukan-pasukan Tibet. Maka diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada Cin Liong, karena dia tahu bahwa pemuda itulah yang mengatur segala-galanya. Dia lalu, teringat kepada Siok Lan dan mengkhawatirkan keselamatan sahabat baiknya itu. Maka dia lalu mencari-cari, tidak mempedulikan pertempuran yang terjadi di sekelilingnya.

Akhirnya dia dapat menemukan ibu dan anak itu yang sedang mengamuk, dikeroyok oleh kurang lebah dua puluh orang tentara dan perwira yang rata-rata memiliki kepandaian silat tangguh. Puteri Nandini yang masih berpakaian perang itu telah kelihatan lelah sekali, bahkan pundaknya telah luka berdarah, sedangkan Siok Lan sudah terpincang-pincang karena kaki kirinya terluka, namun dua orang wanita itu dengan gagahnya, agaknya mengambil keputusan tidak akan sudi menyerah selama masih mampu melawan dan akan melawan sampai titik darah terakhir. Melihat ini, hati Ci Sian menjadi tidak tega. Dia telah mengenal Siok Lan yang amat baik kepadanya, dan tahu akan kegagahan dara itu, maka melihat sahabat itu dikeroyok, mana mungkin dia mendiamkannya saja?

“Lan-cici, jangan khawatir, aku membantumu!” bentaknya dan dia pun meloncat ke dalam kalangan pertempuran dan begitu dia maju menubruk, dia telah berhasil menampar dari samping yang mengenai leher seorang pengeroyok. Orang itu berteriak kaget dan jatuh terpelanting tak dapat bangkit kembali, pedangnya telah pindah ke tangan Ci Sian!

“Sian-moi....!” Siok Lan berteriak girang bukan main, bukan girang karena dibantu semata, melainkan girang dan lega melihat bahwa gadis yang oleh ibunya disangka memberontak dan membantu musuh, berkhianat itu, ternyata tidak demikian dan kini dibuktikannya dengan membantu dia dan Ibunya! Juga Puteri Nandini terkejut, akan tetapi diam-diam girang juga bahwa ternyata dara yang menjadi sahabat puterinya itu bukanlah pengkhianat, melainkan seorang sahabat sejati. Maka dia pun cepat memutar pedangnya dan merobohkan seorang pengeroyok pula.

Akan tetapi kini kepungan makin ketat dengan datangnya pasukan baru dan jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang! Tentu saja tiga orang wanita itu, betapapun lihai mereka, mulai terdesak dan kepungan semakin sempit sehingga gerakan-gerakan mereka semakin tidak leluasa.

“Adik Sian, cepat panggil ular-ularmu!” Siok Lan berseru, melihat keadaan mereka terancam.

“Ah, mana mungkin, Enci Lan? Kota penuh orang yang bertempur, ular-ular itu tidak berani muncul!” jawab Ci Sian sambil memutar pedang rampasannya tadi, kini tidak lagi dapat menyerang lawan, melainkan hanya membela diri dan menangkis semua sanjata para pengeroyok yang datang menyambar bagaikan hujan demikian pula Siok Lan dan ibunya hanya mampu menangkis. Mereka bertiga kini saling membelakangi, membentuk segi tiga dan menahan serbuan senjata-senjata para pengeroyok dari luar. Namun keadaan mereka sungguh sudah amat terdesak dan mudah dibayangkan bahwa tak lama lagi akhirnya mereka tentu akan roboh juga.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan tiga orang wanita itu, tiba-tiba terdengar bentakan halus, namun nyaring dan penuh wibawa. “Tahan semua senjata! Hentikan pengeroyokan!”

Luar biasa sekali bentakan ini, karena selain dapat menembus semua suara kegaduhan, juga semua pengeroyok itu seketika berhenti, mundur dan berdiri dengan amat hormat, memberi jalan kepada seorang pemuda yang mengeluarkan perintah yang amat ditaati itu. Panglima Nandini dan Siok Lan memandang kepada orang itu dan mereka terbelalak, karena mereka mengenal pemuda yang berpakaian jenderal amat indah dan mentereng ini.

“Liong-ko....!” Siok Lan berseru kaget sekali karena jenderal muda yang gagah itu bukan lain adalah Liong Cin.

“Hemm, kiranya Liong Cin adalah jenderal sakti yang dikabarkan orang itu?” Puteri Nandini juga berkata dengan kaget dan penasaran.

Akan tetapi Cin Liong yang begitu masuk memandang kepada Ci Sian, berkata kepada dara itu dengan alis berkerut, “Ci Sian, engkau membantu mereka?”

Ditanya dengan suara penuh teguran itu, Ci Sian menegakkan kepalanya, sepasang matanya bersinar malah dan dia menjawab gagah, “Tentu saja! Aku diterima dengan baik di sini, Enci Siok Lan adalah sahabatku, melihat dia dan Ibunya terancam bahaya, tentu saja aku membantu dan membela mereka. Aku bukan seorang yang tak kenal budi!”

Mendengar jawaban ini, Cin Liong menahan senyumnya dan dia memandang kepada Siok Lan yang masih terbelalak. Ketika dara ini melihat betapa sahabatnya itu agaknya sama sekali tidak heran melihat keadaan Liong Cin yang muncul sebagai jenderal, dia lalu berkata, “Dia.... dia.... jenderal musuh....?”

“Ya, Enci Lan, jangan kaget. Dialah jenderal yang dikabarkan orang itu, jenderal muda sakti yang datang menyelundup dan kalian malah menerimanya sebagai tamu dan sahabat! Dan namanya bukanlah Liong Cin, melainkan Kao Cin Liong!” jawab Ci Sian yang tahu bahwa keadaan panglima muda itu tidak perlu lagi disembunyikan sekarang.

Bersambung ke buku 6