Suling Naga -11 | Kho Ping Hoo



Buku 11

Melihat sinar mengerikan dari pedang yang berada di tangan Bi Lan, Ok Cin Cu terkejut dan bergidik. Akan tetapi dia tidak menjadi takut dan cepat menggerakkan tongkat ular hitamnya untuk menyerang. Bi Lan menangkis dan balas menyerang sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Ok Cin Cu tidak berani memandang rendah lagi. Gadis yang menjadi sumoi dari Ciong Siu Kwi ini memiliki pedang pusaka amat menggiriskan, juga gerakan-gerakannya tidak kalah cepat dibandingkan sucinya.

Sementara itu, serangan tongkat naga hitam dari Thian Kek Seng-jin juga amat dahsyat, membuat Sim Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Terpaksa diapun mencabut pedangnya dan ketika pedang itu tercabut, terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan pula hati Thian Kek Seng-jin. Di antara kedua orang inipun segera terjadi perkelahian yang seru.

Melihat betapa dua orang tosu itu sudah dilawan oleh sumoinya dan Sim Houw, Siu Kwi lalu mengamuk, menerjang puluhan orang penjaga yang mengepung. Amukannya memang menggiriskan dan sebentar saja sudah ada delapan orang pengeroyok yang roboh oleh pedangnya. Yang lain menjadi gentar dan Siu Kwi terus menerjang maju dan mendesak para pengeroyok untuk mundur. Akhirnya ia berhasil memasuki pekarangan, terus ia meloncat ke dalam dan lari ke bagian belakang bangunan rumah keluarga Lui. Di bagian belakang, ia disambut oleh enam orang penjaga. Dengan mudah, ia merobohkan lima orang dan menangkap seorang yang hendak melarikan diri.

“Cepat bawa aku ke kamar tahanan Yo Jin!” bentaknya sambil menempelkan ujung pedang di dada orang itu. Pedang itu menembus baju dan menusuk kulit sehingga kulitnya terluka. Tentu saja penjaga itu terkejut dan ketakutan, mengangguk-angguk dan dengan ditodong pedang dia membawa Siu Kwi ke belakang. Akhirnya Siu Kwi menemukan Yo Jin yang duduk bersandar dinding di dalam sebuah kamar tahanan. Siu Kwi menampar penjaga itu dengan tangan kirinya. Tanpa mengeluh lagi penjaga itu roboh dan Siu Kwi mempergunakan pedangnya untuk menjebol daun pintu kamar tahanan.

“Kwi-moi akhirnya engkau datang....!” Yo Jin berseru girang.

“Jin-koko....!” Ingin Siu Kwi merangkul orang itu, akan tetapi perasaan ini ditahannya dan iapun melepaskan belenggu kaki dan tangan pemuda itu. Baru beberapa hari saja ditahan, tubuh pemuda ini menjadi kurus sekali dan mukanya pucat.

“Jin-koko, engkau lebih baik pulang dulu ke dusun, biar aku akan menyusul ke sana setelah selesai urusan ini!” katanya cepat. Ia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan ditawan musuh lagi ketika ia sedang mengamuk bersama sumoinya dan Sim Houw.

“Tapi kau.... kau....”

“Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri. Pulanglah, koko, aku akan menyusul nanti.”

Yo Jin mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi di luar, maka diapun mengangguk dan tidak membantah lagi ketika tangannya ditarik okh Siu Kwi, diajak menuju ke kebun. Dua orang penjaga berusaha menghadang, namun dengan tendangan kakinya, Siu Kwi merobohkan mereka.

“Cepat, keluarlah dari pintu ini!” kata Siu Kwi dan sekali dorong, pintu kecil di kebun itupun jebol. Melihat kehebatan wanita ini, Yo Jin beberapa kali terbelalak. Dia maklum bahwa wanita yang dicintanya ini adalah seorang wanita sakti, maka tanpa bicara apa-apa lagi diapun lari keluar dan cepat pulang ke rumahnya di dusun selatan.

Setelah melihat kekasihnya itu menghilang di dalam kegelapan malam, Siu Kwi lalu melompat kembali ke dalam kebun dan berlari ke dalam rumah. Para pelayan ketakutan, dan dengan mudah saja Siu Kwi menemukan kepala dusun Lui lengkap dengan isteri-isterinya dan anak-anaknya di dalam ruangan belakang. Mereka terjaga oleh belasan orang penjaga, namun setelah ia menyerbu dan merobohkan empat orang, yang lain lalu melarikan diri meninggalkan keluarga itu yang berkelompok sambil menggigil ketakutan. Lurah Lui dan keluarganya, sudah mendengar bahwa Siu Kwi yang dituduh siluman itu sebenarnya adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi, dan hanya dua orang tosu tua itu saja yang mampu menundukkannya. Akan tetapi malam ini, wanita itu datang bersama dua orang teman yang juga amat lihai dan kini “siluman” itu telah datang menemukan mereka!

Siu Kwi masuk dengan pedang di tangan. Melihat betapa pedang itu berlepotan darah, dan wajah yang cantik itu nampak beringas, sepasang matanya seperti mencorong, lurah Lui dan keluarganya menjadi pucat.

Siu Kwi menyapu mereka dengan pandang matanya, lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah Lui kongcu yang mencoba untuk menyembunyikan kepalanya di belakang punggung ibunya.

“Lui-kongcu, ke sini kau!” bentaknya.

“Tidak.... tidak....!” Pemuda itu menggigil ketakutan.

“Ke sini atau akan kuseret dan kubunuh kau!”

Pemuda itu hampir terkencing di celananya saking takutnya, akan tetapi mendengar bentakan itu dia lalu merangkak maju dan berlutut di depan Siu Kwi.

“Engkau juga ke sini, lurah Lui!” bentak Siu Kwi.

Lurah Lui bangkit berdiri dan maju. Dengan congkak akan tetapi pucat dia tetap berdiri, tidak berlutut seperti puteranya. Bagaimanapun juga, dia adalah kepala dusun itu dan sudah biasa orang-orang berlutut di depannya, bukan dia yang harus berlutut.

Siu Kwi tidak perduli akan sikap itu. “Kalian berdua yang membikin gara-gara sehingga Yo Jin ditahan dan ayahnya tewas. Kalian berdua yang membuat aku menderita pula. Pertama-tama adalah gara-gara Lui-kongcu ini yang menjadi biang keladinya. Sudah sepatutnya kalau kupenggal kepalamu sekarang, juga!” Siu Kwi mengelebatkan pedangnya.

“Ampun.... ampun.... tidak....jangan bunuh aku.... aku tidak berani lagi!” Sekali ini Lui-kongcu benar-benar terkencing di celananya. Melihat ini, Siu Kwi memandang muak. Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan Yo Jin, pemuda pilihannya. Pemuda ini seperti seekor anjing penakut yang takut digebuk, sebaliknya Yo Jin seperti seekor harimau yang pantang menyerah.

“Engkau telah membuat Yo Jin tersiksa, engkau laki-laki mata keranjang penggoda wanita dengan mengandalkan kedudukan ayahmu!” Tiba-tiba nampak sinar berkelebat. Lui-kongcu menjerit dan darah muncrat. Ketika pemuda itu melihat bahwa lengan kirinya buntung sebatas siku dan darah muncrat-muncrat, dia menjerit-jerit dan lari kepada ibunya, lalu menangis menggerung-gerung dan jatuh pingsan.

Melihat ini, tiba-tiba kedua kaki lurah Lui menjadi lemas dan diapun, roboh berlutut karena kedua lututnya seperti kehilangan tenaga. “Ampun, lihiap.... ampunkan kami....” ratapnya. Keluarganya semua berlutut minta-minta ampun. Melihat keluarga lurah itu, hati Siu Kwi menjadi agak lemah, hal yang baru sekarang ia alami.

“Baik, aku tidak akan membunuhmu. Akan tetapi engkau telah mempergunakan kedudukanmu untuk bertindak sewenang-wenang, memperalat pendeta-pendeta palsu dan jahat untuk menghina orang, maka engkau harus diberi pelajaran!” kembali pedangnya berkelebat dan lurah Lui menjerit kesakitan karena kaki kanannya terbabat buntung sampai lutut! Kembali darah muncrat-muncrat dan ketika semua orang menjerit ketakutan, wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Di luar, perkelahian masih berlangsung dengan seru. Akan tetapi, Ok Cin Cu sudah bermandi peluhnya sendiri. Gerakan lawan yang hanya seorang gadis muda itu memang luar biasa sekali dan terutama sekali pedang di tangan wanita itu membuat dia kadang-kadang menggigil. Bi Lan memang sudah memainkan ilmu pedang Ban-tok-kiam-sut dan karena ilmu itu dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, maka bukan main hebatnya. Bi Lan menyerang dengan sungguh-sungguh. Ia merasa sakit hati dan benci sekali mengingat betapa tosu ini telah menipu sucinya, membujuk sucinya melayaninya dan menyerahkan tubuhnya untuk menebus keselamatan Yo Jin. Sakit hatinya mengingat akan hal ini dan kebenciannya terhadap tosu tinggi besar perut gendut inipun memuncak. Maka ia menyerang untuk membunuh dan gerakan-gerakannya membuat tosu itu kalang kabut.

Di lain pihak, Sim Houw juga mendesak lawannya dengan hebat. Kalau pemuda ini menghendaki, sudah sejak tadi dia mampu merobohkan dan membunuh lawan. Akan tetapi, Sim Houw tidak ingin membunuh. Dia tahu bahwa ketua cabang Pek-lian-kauw ini berwatak buruk dan jahat, suka melakukan hal-hal terkutuk di balik topeng perjuangan melawan pemerintah penjajah. Akan tetapi, dia tidak ingin membunuh, hanya ingin memberi peringatan saja. Ketika dia melihat betapa serangan-serangan Bi Lan merupakan serangan-serangan maut yang amat berbahaya bagi ketua cabang Pat-kwa-kauw, dia terkejut.

“Lan-moi, jangan membunuh orang....!” teriaknya memperingatkan. Pada saat itu terdengar suara keras dan tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu patah menjadi dua, sedangkan sinar pedang Ban-tok-kiam masih terus menyambar ke arah leher kakek gendut itu!

Untung bahwa Bi Lan masih mendengar teriakan Sim Houw dan ia memang patuh sekali terhadap pemuda ini. Ia tahu bahwa sekali saja tergores Ban-tok-kiam, akan sukarlah menyelamatkan nyawa kakek gendut itu, maka ia menyelewengkan pedangnya ke samping, dan berbareng jari tangan kirinya menusuk ke depan.

“Crottt....!” Mata kanan Ok Cin Cu tertembus jari tangan Bi Lan. Kakek itu mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras.

Saat itu, pedang suling naga mengeluarkan lengking tinggi dan terdengar suara keras ketika tongkat naga hitam juga patah menjadi tiga potong. Pedang itu masih terus menyambar dan pergelangan tangan kiri Thian Kek Seng-jin terbabat putus. Kakek inipun menjerit dan melompat jauh ke belakang.

Mereka berdua cepat menotok dan mengurut jalan darah masing-masing untuk menghentikan keluarnya darah dari luka, dan tanpa bicara apa-apa lagi keduanya meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Melihat betapa dua orang tosu itu melarikan diri, para penjaga juga menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.

Siu Kwi tidak perduli akan sikap itu. “Kalian berdua yang membikin gara-gara sehingga Yo Jin ditahan dan ayahnya tewas. Kalian berdua yang membuat aku menderita pula. Pertama-tama adalah gara-gara Lui-kongcu ini yang menjadi biang keladinya. Sudah sepatutnya kalau kupenggal kepalamu sekarang, juga!” Siu Kwi mengelebatkan pedangnya.

“Ampun.... ampun.... tidak....jangan bunuh aku.... aku tidak berani lagi!” Sekali ini Lui-kongcu benar-benar terkencing di celananya. Melihat ini, Siu Kwi memandang muak. Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan Yo Jin, pemuda pilihannya. Pemuda ini seperti seekor anjing penakut yang takut digebuk, sebaliknya Yo Jin seperti seekor harimau yang pantang menyerah.

“Engkau telah membuat Yo Jin tersiksa, engkau laki-laki mata keranjang penggoda wanita dengan mengandalkan kedudukan ayahmu!” Tiba-tiba nampak sinar berkelebat. Lui-kongcu menjerit dan darah muncrat. Ketika pemuda itu melihat bahwa lengan kirinya buntung sebatas siku dan darah muncrat-muncrat, dia menjerit-jerit dan lari kepada ibunya, lalu menangis menggerung-gerung dan jatuh pingsan.

Melihat ini, tiba-tiba kedua kaki lurah Lui menjadi lemas dan diapun, roboh berlutut karena kedua lututnya seperti kehilangan tenaga. “Ampun, lihiap.... ampunkan kami....” ratapnya. Keluarganya semua berlutut minta-minta ampun. Melihat keluarga lurah itu, hati Siu Kwi menjadi agak lemah, hal yang baru sekarang ia alami.

“Baik, aku tidak akan membunuhmu. Akan tetapi engkau telah mempergunakan kedudukanmu untuk bertindak sewenang-wenang, memperalat pendeta-pendeta palsu dan jahat untuk menghina orang, maka engkau harus diberi pelajaran!” kembali pedangnya berkelebat dan lurah Lui menjerit kesakitan karena kaki kanannya terbabat buntung sampai lutut! Kembali darah muncrat-muncrat dan ketika semua orang menjerit ketakutan, wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Di luar, perkelahian masih berlangsung dengan seru. Akan tetapi, Ok Cin Cu sudah bermandi peluhnya sendiri. Gerakan lawan yang hanya seorang gadis muda itu memang luar biasa sekali dan terutama sekali pedang di tangan wanita itu membuat dia kadang-kadang menggigil. Bi Lan memang sudah memainkan ilmu pedang Ban-tok-kiam-sut dan karena ilmu itu dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, maka bukan main hebatnya. Bi Lan menyerang dengan sungguh-sungguh. Ia merasa sakit hati dan benci sekali mengingat betapa tosu ini telah menipu sucinya, membujuk sucinya melayaninya dan menyerahkan tubuhnya untuk menebus keselamatan Yo Jin. Sakit hatinya mengingat akan hal ini dan kebenciannya terhadap tosu tinggi besar perut gendut inipun memuncak. Maka ia menyerang untuk membunuh dan gerakan-gerakannya membuat tosu itu kalang kabut.

Di lain pihak, Sim Houw juga mendesak lawannya dengan hebat. Kalau pemuda ini menghendaki, sudah sejak tadi dia mampu merobohkan dan membunuh lawan. Akan tetapi, Sim Houw tidak ingin membunuh. Dia tahu bahwa ketua cabang Pek-lian-kauw ini berwatak buruk dan jahat, suka melakukan hal-hal terkutuk di balik topeng perjuangan melawan pemerintah penjajah. Akan tetapi, dia tidak ingin membunuh, hanya ingin memberi peringatan saja. Ketika dia melihat betapa serangan-serangan Bi Lan merupakan serangan-serangan maut yang amat berbahaya bagi ketua cabang Pat-kwa-kauw, dia terkejut.

“Lan-moi, jangan membunuh orang....!” teriaknya memperingatkan. Pada saat itu terdengar suara keras dan tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu patah menjadi dua, sedangkan sinar pedang Ban-tok-kiam masih terus menyambar ke arah leher kakek gendut itu!

Untung bahwa Bi Lan masih mendengar teriakan Sim Houw dan ia memang patuh sekali terhadap pemuda ini. Ia tahu bahwa sekali saja tergores Ban-tok-kiam, akan sukarlah menyelamatkan nyawa kakek gendut itu, maka ia menyelewengkan pedangnya ke samping, dan berbareng jari tangan kirinya menusuk ke depan.

“Crottt....!” Mata kanan Ok Cin Cu tertembus jari tangan Bi Lan. Kakek itu mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras.

Saat itu, pedang suling naga mengeluarkan lengking tinggi dan terdengar suara keras ketika tongkat naga hitam juga patah menjadi tiga potong. Pedang itu masih terus menyambar dan pergelangan tangan kiri Thian Kek Seng-jin terbabat putus. Kakek inipun menjerit dan melompat jauh ke belakang.

Mereka berdua cepat menotok dan mengurut jalan darah masing-masing untuk menghentikan keluarnya darah dari luka, dan tanpa bicara apa-apa lagi keduanya meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Melihat betapa dua orang tosu itu melarikan diri, para penjaga juga menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.

Pada saat itu Siu Kwi muncul. “Di mana mereka?” tanyanya ketika ia tidak melihat adanya dua orang tosu itu.

“Kami sudah memberi hajaran dan mereka melarikan diri,” kata Bi Lan, lega bahwa Sim Houw memberi peringatan pada saat yang tepat sehingga ia tidak perlu membunuh tosu yang menjadi lawannya tadi.
Lega rasa hati Siu Kwi. Dua orang tosu itu memang jahat, akan tetapi iapun tidak mempunyai nafsu untuk membunuh mereka. “Sudahlah, terima kasih atas bantuan kalian. Tanpa bantuan kalian, tak mungkin aku dapat membebaskan Yo Jin.”

“Di mana dia sekarang....?” tanya Bi Lan yang ingin sekali melihat bagaimana macamnya pemuda yang mampu merobohkan hati sucinya yang tadinya dianggap tidak mempunyai hati itu.

“Aku tadi telah membebaskannya dan menyuruhnya pulang ke dusunnya lebih dahulu, baru aku akan menyusulnya.

“Aih, suci, kenapa begitu saja membiarkan dia pergi sendiri? Bagaimana kalau sampai dia tertangkap musuh lagi?” kata Bi Lan. “Mari kita cepat pergi menyusulnya.” Bi Lan hanya mempergunakan dugaan ini agar ia dapat ikut pergi menyusul karena ia sungguh ingin sekali bertemu dengan pemuda itu.

“Baik, mari kita pergi,” kata Siu Kwi dan mereka bertiga lalu berlari cepat menuju ke dusun selatan Sim Houw diam-diam tersenyum, dapat mengetahui bahwa Bi Lan ingin melihat orang yang mampu menundukkan hati seorang wanita seperti Ciong Siu Kwi yang tadinya terkenal sebagai Bi-kwi yang amat kejam dan jahat. Diapun tidak mengeluarkan pendapatnya karena diapun harus membuktikan bahwa semua peristiwa yang diceritakan Siu Kwi itu benar dan hal ini baru terbukti kalau dia sudah bertemu dengan orang yang bernama Yo Jin itu. Kalau semua ini benar, tidak percuma dia membantu Siu Kwi dan menanam permusuhan baru dengan pihak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Bagi seorang pendekar, yang terpenting adalah bahwa setiap tindakannya berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan kelaliman. Tidak perduli untuk perbuatannya itu dia akan dibenci atau dimusuhi orang, karena yang jelas, mereka yang memusuhinya tentulah bukan orang baik-baik.

Dengan cepat tiga orang itu telah tiba di dusun selatan dan langsung mereka pergi ke rumah keluarga Yo. Akan tetapi, rumah itu kosong dan Yo Jin tidak berada di situ. Dengan hati khawatir Siu Kwi lalu bertanya kepada tetangga dan mendengar bahwa tadi pemuda itu telah pulang, akan tetapi begitu mendengar dari para tetangga bahwa ayannya telah meninggal dunia, pemuda itu berlari keluar lagi sambil menangis.

“Ah, kasihan Jin-koko....” kata Siu Kwi dengan hati terharu. Aku tahu, ia pasti pergi mengunjungi kuburan ayahnya....” Dan merekapun lalu keluar dari dusun itu, menuju ke sebuah tanah kuburan yang amat sunyi karena letaknya di luar kota, di kaki sebuah bukit.

Benar saja, mereka menemukan Yo Jin sedang berlutut dan menangis di depan sebuah kuburan yang masih baru.

“Jin-ko....!” Siu Kwi berseru memanggil. Pemuda itu bangkit, membalikkan tubuh dan dua orang itu saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang karena malam itu hanya diterangi oleh bintang-bintang bertaburan di langit hitam.

“Kwi-moi....!” Suara pemuda itu terdengar parau karena lama dia tadi menangis.

“Jin-koko....!” Siu Kwi melangkah maju dan entah siapa yang bergerak lebih dulu, keduanya saling rangkul dan keduanya terisak menangis!

Bi Lan berdiri bengong. Benarkah wanita yang menangis di dadalaki -laki itu sucinya? Benarkah ia Bi-kwi yang biasanya demikian kejam dan keras hati? Terdengar Sim Houw batuk-batuk untuk menyadarkan dua orang yang sedang dilanda keharuan itu bahwa di situ hadir lain orang!

Suara batuk itu menyadarkan mereka dan keduanya melepaskan rangkulan. “Kwi-moi, ayah.... ayahku....”

“Tenanglah, Jin-ko. Ayahmu telah meninggal dunia dengan tenang dan dia menghembuskan napas terakhir dalam rangkulanku.”

“Ahh, Kwi-moi, apakah yang telah terjadi? Ceritakanlah....”

“Mari kita duduk dengan tenang dan aku akan menceritakan semuanya, Jin-ko.”

“Kita duduk di dekat makam....”

“Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja, Jin-ko dan bicara di rumah?”

“Tidak, malam ini aku tidak akan meninggalkan makam ayah.”

“Biar aku membuat api unggun,” tiba-tiba Bi Lan berkata dan dibantu oleh Sim Houw, ia mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun di dekat makam.

Yo Jin agaknya baru sadar bahwa wanita yang dicintanya itu datang bersama dua orang lain. “Kwi-moi, siapakah mereka ini?”

“Mari kita duduk dekat api unggun dan kuperkenalkan kau kepada mereka, Jin-ko. Tanpa adanya bantuan mereka, sampai sekarangpun kita belum dapat berkumpul kembali.”

Mereka berempat lalu duduk di dekat makam, dan mereka mengelilingi api unggun yang dibuat oleh Bi Lan dan Sim Houw. Yo Jin duduk di dekat Siu Kwi, berhadapan dengan Bi Lan yang duduk di dekat Sim Houw. Mereka sejenak saling berpandangan dan diam-diam Bi Lan harus mengakui bahwa laki-laki pilihan sucinya itu biarpun nampak berpakaian sederhana, memiliki pandang mata yang jujur dan polos, wajah yang bersih dan cukup ganteng walaupun kesederhanaan dan keluguan membayangkan kebodohan. Dan biarpun pemuda ini seorang lemah, dalam arti tidak mengenal ilmu silat, namun bentuk tubuhnya jantan dan kokoh kuat karena terbiasa bekerja berat di ladang. Betapapun juga, Bi Lan masih belum dapat mengerti dan masih terheran-heran memikirkan bagaimana sucinya dapat jatuh cinta kepada seorang pemuda tani sederhana seperti ini. Pada hal kalau ia menghendakinya, sucinya dapat memiliki pemuda–pemuda terbaik dari kota, putera bangsawan atau hartawan atau bahkan putera ahli-ahli silat kenamaan sekalipun. Sucinya cantik jelita, memiliki ilmu kepandaian tinggi, cerdik dan pendeknya, memiliki segala-galanya untuk dapat menarik hati pria manapun.

“Jin-ko, mereka inilah yang telah membantuku untuk membebaskanmu. Gadis ini bernama Can Bi Lan dan ia adalah sumoiku sendiri walaupun tingkat ilmu kepandaiannya jauh melebihiku. Dan pendekar ini adalah Pendekar Pedang Suling Naga bernama Sim Houw, seorang tokoh persilatan yang bernama besar dan terkenal sekali.”

Yo Jin dengan secara sederhana, hanya memberi hormat sambil duduk ke arah mereka, berkata lantang, “Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan ji-wi yang mulia, dan semoga Thian yang akan membalas segala budi kebaikan ji-wi.”

Diam-diam Sim Houw kagum juga. Seorang pemuda dusun, petani yang bodoh dan mungkin buta huruf, namun mengerti akan tata susila dan kesopanan, mengenal budi walaupun pernyataan terima kasihnya itu sederhana saja.

“Saudara Yo Jin, harap jangan sungkan. Tidak ada istilah melepas budi di antara kita,” kata Sim Houw. “Engkau sendiri, walaupun tidak mempunyai keahlian silat telah berani membela nona Ciong, bahkan untuk semua itu selain engkau menderita dan menjadi tawanan, juga ayahmu berkorban nyawa. Dibandingkan dengan apa yang telah kaulakukan itu, perbuatan kami tidak ada artinya.”

Mendengar ucapan Sim Houw, diam-diam hati Siu Kwi merasa kagum sekali. Baru sekarang ia melihat dan mendengar sendiri akan sikap seorang pendekar yang rendah hati. Dahulu, tiga orang gurunya, Sam Kwi, selalu menekankan bahwa para pendekar adalah manusia-manusia sombong yang selalu memusuhi golongan mereka. Juga dia merasa senang bukan main mendengar betapa Yo Jin dipuji-puji. Tanpa disadari duduknya semakin mendekat pemuda dusun itu dan pandang matanya penuh kebanggaan dan cinta kasih ketika ia menatap wajah di sampingnya itu yang diterangi cahaya api unggun.

“Jin-koko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling hebat yang pernah kukenal. Dia sudah mengorbankan dirinya, bahkan kehilangan ayahnya, untuk membelaku. Berkali-kali dia membelaku mati-matian. Sungguh aku telah berhutang budi padanya, berhutang nyawa. Mulai detik ini, aku tidak akan mau berpisah darinya, sampai mati.... aku akan mendampinginya sebagai isterinya.... karena aku.... aku cinta padanya. Bagi Sim Houw dan Bi Lan yang sudah mengenal Siu Kwi ucapan yang terang-terangan ini tidak mengherankan akan tetapi wajah Yo Jin menjadi merah padam dan dia merasa malu bukan main. Akan tetapi kejujurannya melenyapkan perasaan malu itu, dan diapun hendak menumpahkan isi hatinya secara blak-blakan, selagi di situ ada orang-orang lain yang amat berharga untuk menjadi saksi.

“Kwi-moi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku semenjak pertemuan kita yang pertama kali itu, aku takkan merasa lega sebelum hal itu kukemukakan di sini. Biarlah Can-lihiap dan Sim-taihiap ini menjadi saksi.”

Siu Kwi memandang kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata berseri. Sikap yang jujur dan terus terang dari pemuda ini merupakan satu di antara watak-watak yang amat dikaguminya. “Bicaralah, Jin-ko.”

Yo Jin menarik napas panjang dan agaknya berat baginya untuk mengeluarkan isi hatinya. “Kwi-moi, terima kasih saya amat mendalam bahwa seorang seperti saya ini mendapat kehormatan untuk menerima
cinta kasih seorang wanita seperti engkau. Hal ini kuterima dengan hati gembira dan ringan seandainya engkau seorang gadis biasa, karena sesungguhpun sudah jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi....” Siu Kwi mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang menunduk itu dengan hati khawatir. “Akan tetapi.... apa Jin-ko?”

“Kwi-moi, engkau sudah melihat keadaan saya. Seorang pemuda dusun, pemuda petani yang tidak terpelajar, buta huruf, miskin, bahkan kini setelah ayah tiada, saya hidup sebatangkara, tiada sanak kadang, tiada kemampuan. Akan tetapi engkau....“

“Aku.... kenapa, Jin-koko?” Siu Kwi mendesak sambil tersenyum sehingga nampak deretan giginya yang rapi berkilau tertimpa sinar api unggun. Yo Jin memandang wajah Siu Kwi dan pandang mata mereka saling bertemu, dan masing-masing dapat merasakan kasih sayang terpancar dari pandang mata itu, akan tetapi Yo Jin lalu mengalihkan pandang matanya, kini memandang Sim Houw dan kepada Bi Lan seolah-olah minta pertimbangan dari kedua orang saksi itu.

“Kwi-moi.... ah, sesungguhnya menyebutmu moi-moi saja sudah tidak pantas bagiku. Sepatutnya engkau kusebut lihiap. Engkau adalah seorang wanita kota, terpelajar, kaya, pandai dan bahkan memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Engkau seorang wanita sakti, seorang pendekar wanita yang....”

“Cukup, Jin-ko, cukup....!” Siu Kwi memotong sambil menyentuh lengan pemuda itu. “Aku sudah mengenalmu lahir batin, akan tetapi engkau sungguh belum tahu banyak tentang diriku! Engkaulah yang terlalu berharga untukku, Jin-ko. Engkau seorang pemuda yang bersih, jujur, setia, kuat lahir batin, gagah perkasa, sedangkan aku.... aku hanya....”

“Wanita perkasa, pendekar yang sakti....”

“Tidak, tidak....! Engkau hanya tahu satu tidak mengenal dua tiga dan selanjutnya. Biarlah dari mengaku kesemuanya, Jin-ko. Keadaanku yang lalu juga akan selalu menjadi ganjalan di hatiku kalau belum kuceritakan kepadamu....”

“Suci! Perlukah itu....?” Bi Lan menegur, khawatir melihat sucinya akan menceritakan keadaan masa lalunya.

Siu Kwi tersenyum dan mengangguk kepada sumoinya. “Mutlak perlu, sumoi. Aku tidak tega membiarkan Jin-koko menggambarkan aku sebagai seorang dewi dari langit, pada hal dalam kehidupanku yang lalu aku adalah seorang iblis. Di dalam cinta harus ada kejujuran, kita harus dapat melihat orang yang kita cintai seperti apa adanya, melihat segala cacat dan keburukannya, bukan sekedar melihat kebagusannya saja.”

Sim Houw yang sejak tadi mendengarkan semua itu, menggeleng-geleng kepala dan memandang kagum. “Kalian adalah orang-orang luar biasa, hebat.... hebat....”

Yo Jin memandang bingung. ”Kwi-moi, aku tidak ingin mendengar tentang keburukanmu....“

Dengarlah baik-baik, Jin-ko, agar engkau tidak merasa rendah diri terhadap aku. Engkau hanya mengenal namaku, yaitu Ciong Siu Kwi, akan tetapi kau tidak men hal-hal lain mengenai diriku. Seperti juga engkau, aku tidak mempunyai keluarga. Sejak kecil aku ikut bersama tiga orang guruku yang terkenal dengan julukan Sam Kwi (Tiga Iblis), tokoh-tokoh golongan sesat, penahat-penjahat yang kejam dan ganas. Dan jangan mengira bahwa aku seorang pendekar wanita, sama sekali tidak! Aku bahkan dimusuhi para pendekar karena aku memang jahat dan kejam, aku seorang di antara tokoh-tokoh sesat yang dijuluki Bi-kwi (Iblis Cantik).”

“Aku tidak percaya....!” Yo Jin berseru, kaget bukan main mendengar pengakuan yang dianggap mengerikan itu.

“Kenyataannya begitu, Jin-ko. Aku kejam dan jahat, entah telah berapa banyaknya orang, baik yang bersalah maupun yang tidak, tewas di tanganku. Aku telah membunuh banyak orang, aku pendukung kejahatan dan penentang kebaikan. Bukan itu saja, aku juga bukan seorang wanita baik-baik, bukan seorang wanita bersih. Sejak remaja aku sudah menjadi kekasih tiga orang guruku dan sejak dewasa, entah sudah berapa banyak pria yang kujadikan kekasihku, baik dengan suka rela maupun dengan paksa! Aku mempermainkan pria-pria itu seperti barang mainan, kalau sudah bosan kucampakkan, atau kubunuh.”

“Tidak.... tidaaaakk....! “ Yo Jin berteriak dengan mata terbelalak karena merasa ngeri, dan juga tidak percaya. “Engkau seorang wanita gagah perkasa, halus budi dan sopan!”

“Itu menurut penglihatanmu, dan memang sejak berjumpa denganmu, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia sesat, untuk merobah kehidupan menjadi seorang baik-baik. Akan tetapi, engkau harus mengenal masa laluku, Jin-ko, agar kalau engkau masih mau memasuki hidup baru bersamaku, engkau masuk dengan mata terbuka, bukan dengan mata terpejam, dengan suka rela, bukan paksaan. Nah, sekarang kulanjutkan, Jin-ko. Baru-baru ini, baru kemarin dulu malam, aku terpaksa menyerahkan tubuhku ini kepada Ok Cin Cu, tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw yang menangkapmu, aku tidur dengan dia dan melayaninya selama satu malam....“

“Ahhhh, tidaaaakk.... ah, Kwi-moi, kenapa engkau menyiksa hatiku seperti ini....?” Yo Jin menutupi mukanya dengan kedua tangan seperti hendak mengusir gambaran yang diceritakan Siu Kwi kepadanya itu.

“Yo-toako, suci hanya menceritakan hal-hal yang memang benar terjadi. Akan tetapi ketahuilah bahwa suci terpaksa melakukan hal itu demi untuk membebaskanmu. Ia tidak berdaya menghadapi dua orang tosu itu, maka ia dapat ditipu oleh mereka yang menjanjikan untuk membebaskanmu.”

Yo Jin menurunkan kedua tangannya. Wajahnya agak pucat dan kedua matanya merah ketika dia menatap wajah wanita yang dicintanya. “Kwi-moi, apakah masih ada lagi ceritamu tentang dirimu? Kalau masih ada, tuangkanlah semua, jangan disimpan-simpan agar kelak engkau tidak akan merasa penasaran dan menceritakannya kembali kepadaku.”

Siu Kwi terbelalak. “Jin-koko, masih-belum cukupkah itu? Masih belum cukupkah kotoran yang menodaiku sehingga engkau dapat melihat bahwa akulah yang sesungguhnya tidak berharga bagimu?”

Yo Jin tersenyum dan menggeleng kepala. “Kwi-moi, kejujuranmu ini bahkan menambah cintaku kepadamu. Aku mencinta engkau sekarang ini, seperti keadaanmu sekarang ini. Aku tidak perduli akan keadaanmu yang lampau, apa lagi engkau sudah mengambil keputusan dan untuk merobah jalan hidupmu. Engkau telah melakukan penyelewengan, biarlah aku akan membantumu sekuat tenaga untuk kembali ke jalan benar, Kwi Moi.”

“Jin-koko....!” Siu Kwi menubruk dan hendak mencium kaki Yo Jin sambil menangis saking terharu hatinya. Akan tetapi Yo Jin menangkapnya dan menariknya sehingga kini wanita itu menangis dengan kepala di atas pangkuannya, menangis sesenggukan seperti anak kecil dan rambutnya dibelai sayang oleh Yo Jin.

Melihat peristiwa ini, Bi Lan tak dapat menahan keharuan hatinya dan iapun memandangi dengan kedua mata lebar akan tetapi air matanya berlinang-linang, kemudian perlahan-lahan menetes turun melalui sepasang pipinya. Hatinya dipenuhi rasa haru, kasihan, akan tetapi juga ikut gembira bahwa sucinya telah menemukan seorang pria yang sungguh-sungguh mencintanya lahir batin. Ia tidak tahu betapa dari samping, Sim Houw memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kasih sayang.

Setelah tangisnya mereda, Siu Kwi mengangkat kepalanya dari pangkuan Yo Jin dan bangkit duduk. Tangisnya terhenti dan dengan muka yang basah air mata, rambut yang kusut, ia memandang kepada Yo Jin dengan malu-malu, kemudian tersenyum dan berkata lirih, “Aihh, aku seperti anak kecil saja....“

“Aku cinta dan kasihan kepadamu, Kwi-moi, kata Yo Jin yang kini memandang kepada wanita itu dengan sinar mata lain, mengandung rasa iba. Betapa sengsara kehidupan wanita ini di masa yang lalu dan dia berjanji kepada diri sendiri untuk mencoba membahagiakan Siu Kwi dalam kehidupan mendatang.

“Sudahlah, kita hentikan percakapan tentang masa lalu dan kita bicara saja tentang hal-hal yang berada di depan kita, meninggalkan segala yang sudah terlewat di belakang kita.” kata Bi Lan dan Sim Houw mengangguk-angguk setuju.

“Kalian memang bijaksana sekali,” kata Siu Kwi, “dan aku merasa girang bahwa kalian telah menjadi saksi pengakuanku kepada Jin-ko. Baiklah, sekarang kita bicara tentang masa depan. Sumoi, engkau dan Sim-taihiap hendak pergi ke manakah dan bagaimana bisa kebetulan bertemu dengan aku sehingga kalian dapat menolong aku dan Jin-koko?” Sikap Siu Kwi sudah biasa lagi dan biarpun mukanya masih merah dan basah, rambutnya masih kusut, namun ia sudah dapat menguasai hatinya, bahkan kini setelah ia membuat pengakuan di depan Yo jin yang diterima dengan baiknya oleh pria itu, ada sinar kehahagiaan yang cerah pada wajahnya, terutama pada sinar matanya. Tadinya, ada perasaan gelisah kalau ia mengingat akan masa lalunya dan membayangkan betapa Yo Jin akan berbalik membencinya kalau mendengar akan masa lalunya. Kalau hal seperti itu terjadi, kiranya akan sukar baginya untuk dapat merobah hidupnya!

Kebaikan tidak dapat dinamakan baik lagi kalau dilakukan dengan kesadaran bahwa hal itu baik. Keinginan hati untuk berbuat baik membuat perbuatan itu sendiri menjadi tidak baik, palsu dan munafik. Kebaikan tidak dapat diperbuat dengan sengaja. Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari atau dilatih. Yang dapat dilatih itu hanyalah kepura-puraan saja. Kebaikan adalah wajar seperti sinar matahari, seperti harumnya bunga. Kebaikan adalah suatu sifat yang terpencar dari suatu kepribadian yang bersih. Kebaikan adalah suatu tindakan yang timbul dari batin yang penuh kasih.

Keinginan untuk menjadi sesuatu, biarpun sesuatu itu kelihatan agung seperti menjadi orang baik, mengotorkan kebaikan itu sendiri. Keinginan menjadi sesuatu selalu mendatangkan kepalsuan, karena pamrih atau keinginan yang menyembunyikan keuntungan bagi diri sendiri itu selalu mempunyai tujuan. Keinginan akan memperoleh buahnya atau hasilnya ini menjadi terpenting, sedangkan perbuatan baik itu sendiri hanya dijadikan alat untuk mencapai hasil yang menguntungkan atau menyenangkan itu!

Hal ini akan nampak jelas kalau kita mau mengamati diri sendiri setiap saat, pada saat keinginan timbul, keinginan yang dianggap suci dan luhur sekalipun. Kita buka mata batin, kita amati dan akan nampaklah bahwa ada setan bersembunyi di sudut belakang keinginan luhur itu, yang menanti datangnya hasil baik untuk diterkamnya.

Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, melainkan sadar akan keburukan-keburukan dalam perbuatan kita. Kesadaran akan kekotoran ini timbul dalam pengamatan kita secara serius terhadap diri sendiri lahir batin. Kesadaran akan perbuatan-perbuatan buruk kita akan menghentikan perbuatan buruk itu, bukan dengan maksud agar menjadi baik! Karena kalau menghentikan perbuatan buruk itu menyembunyikan pamrih agar menjadi baik, maka yang menjadi baik juga masih keburukan itu sendiri yang berganti baju atau bersalin warna belaka.

Cinta kasih dan kebaikan selalu ada, karena cinta kasih dan kebaikan adalah suatu kewajaran yang tidak dibuat-buat, bukan hasil latihan, tanpa teori-teori muluk. Akan tetapi, cinta kasih dan kebaikan tidak nampak sinarnya karena batin kita penuh dengan debu kotoran yang diciptakan pikiran yang membentuk si-aku yang selalu dipenuhi keinginan-keinginan. Singkirkan semua debu kotoran itu, dan cinta kasih dan kebaikan akan memancarkan sinarnya dengan terang dan wajar.

Sejak kecil kita diajar untuk melakukan hal-hal baik sehingga dengan otomatis kita selalu berusaha untuk berbuat baik karena ada pahala di ujung perbuatan baik. Pahala itu dijanjikan kepada kita oleh kebudayaan kita, melalui tradisi dan agama. Pahala itu dapat dinamakan kehidupan tenteram, kebahagiaan, sorga, nirwana dan sebagainya lagi, juga nama baik atau keuntungan materi yang lebih jelas nampak. Maka berlumba-lumbalah kita untuk melakukan perbuatan baik, yang pada hakekatnya hanya berlumba untuk mendapatkan pahala itulah!

Jadi, apa artinya melakukan perbuatan baik, atau menjadi orang baik, kalau dibaliknya tersembunyi pamrih mengejar pahala? Apa artinya kita menolong orang dan memberi sesuatu, kalau dalam perbuatan itu kita mengharapkan balas jasa dari orang yang kita tolong, atau kita mengharapkan pujian, nama baik dan sebagainya? Kalau begini, jauh lebih benar kalau kita tidak melakukan perbuatan baik dari pada melakukan perbuatan baik yang semu, palsu dan berpamrih! Lebih baik kalau kita mengamati diri sendiri dan melihat adanya kepalsuan-kepalsuan dalam kebaikan kita ini. Karena hanya dengan pengamatan yang mendalam dan menyeluruh maka terjadi perobahan, terjadi penghentian segala yang palsu itu. Dan kalau sudah tidak ada keinginan untuk memperoleh pahala, kalau sudah tidak ada keinginan menjadi orang baik, maka semua perbuatan kita adalah wajar! Bukan baik buruk lagi, melainkan wajar. Dan tentu saja kewajaran ini merupakan pencerminan dari pada kepribadian kita. Kalau pribadi sudah bersih dari pada segala macam debu kekotoran berbentuk keinginan-keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, maka yang tinggal hanya kewajaran di mana sinar cinta kasih dan kebaikan akan menerangi semua perbuatan itu.

Karena itu, bukankah jauh lebih baik kalau pelajaran berupa keinginan menjadi orang baik ini dirobah dalam kehidupan anak-anak kita, dirobah menjadi pengamatan terhadap kepalsuan-kepalsuan diri sendiri setiap saat? Agar kebaikan dan cinta kasih menyinarkan cahayanya secara wajar dengan pembersihan diri dari dalam?

Ketika Siu Kwi mengajukan pertanyaan itu kepada Bi Lan, gadis ini lalu menjawab dengan wajah gembira. “Memang hanya karena kebetulan saja kami bertemu denganmu, suci. Aku sedang melakukan perjalanan ke utara, ke gurun pasir untuk mencari suhu dan subo.”

“Perdekar Naga Sakti Gurun Pasir ?” tanya! Siu Kwi dan suaranya mengandung kekaguman. Pernah ia sebagai Bi-kwi, bertemu dengan mereka dan merasakan sendiri kesaktian mereka yang menggiriskan.

“Benar, suci. Aku hendak mengembalikan pedang. Ban-tok-kiam milik subo ini. Dan Sim-toako ini berbaik hati untuk mengantarku ke sana. Di dalam perjalanan, ketika kami tiba di hutan itu, kami mendengar tangismu dan sungguh kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sana.”

Siu Kwi menarik napas panjang. “Memang, di dunia ini terjadi banyak sekali peristiwa secara kebetulan saja. Baru sekarang aku dapat menyadarinya betapa besar kekuasaan Thian yang seolah-olah sudah mengatur segala yang nampak dan tidak nampak dalam alam semesta ini. Pertemuan dengan jin-ko juga hal yang kebetulan saja.”

Sim Houw mengangguk-angguk. “Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ciong-lihiap. Nampaknya saja kebetulan karena tadinya kita tidak tahu sama sekali, akan tetapi sesungguhnya sudah ada garisnya sendiri-sendiri. Baik buruknya garis itu sepenuhnya berada dalam tangan kita masing-masing, karena hal-hal yang nampaknya tidak ada huhungan sama sekali itu sesungguhnya masih merupakan suatu rangkaian yang tergantung dari keadaan kehidupan kita sendiri, yang ditentukan oleh kita sendiri dengan segala ulah kita.”

Siu Kwi menghela napas panjang. “Ah, betapa menariknya mempelajari soal kehidupan. Dulu, aku sama sekali tidak perduli akan sebab akibat, tidak perduli akan isi kehidupanku....“

“Sudahlah, suci, kita tadi berjanji akan meninggalkan masa lalu. Sekarang, apa yang akan kalian lakukan dan ke mana kalian hendak pergi?”

Siu Kwi memandang kepada Yo Jin yang juga sedang menatap wajahnya di bawah sinar api unggun. Wajah Siu Kwi nampak luar biasa cantik dan manisnya dalam pandangan mata Yo Jin. Dua pasang mata itu bertemu dan biarpun mulut mereka diam saja, namun mereka seperti saling mengenal isi hati masing-masing dan sudah mengadakan persetujuan dengan pandang mata mereka.

“Aahh, kami.... akan memulai suatu kehidupan baru, sumoi. Aku akan meninggalkan seluruh kehidupan lama yang pernah kulalui dengan segala kekerasannya, melupakan segala-galanya dan belajar menjadi seorang isteri yang baik dan setia, dan kalau Thian menaruh kasihan kepada seorang seperti aku, aku ingin menjadi seorang ibu yang bijaksana bagi anak-anak kami. Kami akan pergi dan tinggal di sebuah dusun yang jauh dan baru, dan aku.... ah, maaf jin-ko, aku lupa belum minta persetujuanmu dalam hal ini....“

Yo jin tersenyum dan memandang dengan sinar mata mengandung penuh kasih sayang dan pengertian. “Aku setuju saja dengan rencanamu, Kwi-moi. Memang sebaiknya kita pergi jauh dari sini untuk melupakan hal-hal lalu dan agar jangan terjadi lagi hal-hal yang buruk.”

Malam itu dilewatkan oleh empat orang muda ini dengan bercakap-cakap dan baik Bi Lan maupun Sim Houw diam-diam merasa heran, kagum dan juga girang sekali melihat betapa sikap Siu Kwi yang dulu terkenal dengan julukan Bi-kwi (Setan Cantik) berubah sama sekali! Baik sinar matanya yang menjadi lembut penuh kasih sayang, terutama kalau ditujukan kepada Yo Jin, suaranya yang menjadi halus merdu bebas dari kebencian, gerak-geriknya, pendeknya orang akan pangling dan tidak mengenalnya lagi sebagai Siu Kwi beberapa bulan yang lalu!

Sudah lajim di antara kita manusia, perbuatan sesat mendatangkan akibat yang buruk bagi kita sendiri ,dan kalau sudah demikian, timbul penyesalan dan janji bertaubat di mulut atau di hati. Akan tetapi, bertaubat seperti ini seringkali tidak ada hasilnya sama sekali dan tak lama kemudian kita akan terjerumus lagi ke dalam kesesatan yang sama! Kesesatan dilakukan orang karena orang ingin meneguk kesenangan dari perbuatan itu dan bertaubat karena penyesalan setelah timbul akibat buruk bagi diri sendiri bukanlah bertaubat yang sesungguhnya lagi. Taubat macam ini tidak akan bertahan lama, dan setelah penyesalan sebagai akibat buruk itu menipis. rasa bertaubatpun ikut pula menipis dan tak lama kemudian, daya tarik untuk meneguk kesenangan kembali mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang sama. Seperti orang minum arak. Kalau kemudian mabok dan sakit-sakit seluruh badan, mulut dan hati menyatakan bertaubat tidak akan minum arak lagi. Akan tetapi, setelah rasa sakit-sakit itu hilang, kita akan lupa karena membayangkan enak dan nikmatnya minum arak, dan kitapun minum lagi. Demikian seterusnya seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus.

Yang penting bukanlah bertaubat karena menyesal menerima akibat buruk, melainkan pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat. Pengamatan ini akan mendatangkan kesadaran dan kebijaksanaan, dan pengamatan ini akan merobah diri seketika, saat demi saat, sehingga tidak terjadi pengulangan-pengulangan. Kebaikan bukanlah suatu yang menjadi kebiasaan, melainkan harus dihayati detik demi detik dengan pengamatan terhadap diri sendiri. Yang penting itu membersihkan diri dari kotoran, bukan keinginan untuk bersih. Keinginan untuk bersih saja tidak membuat kotoran menjadi lenyap. Dan kalau kotoran sudah lenyap, untuk apa ingin menjadi bersih? Sesal dan taubatpun tidak ada kalau segala perbuatan kita didasari cinta kasih, bukan lagi menjadi pelaksanaan dari pada keinginan untuk mengejar dan memperoleh kesenangan, karena perbuatan didasari cinta kasih ini tanpa pamrih sehingga apapun yang menjadi akibat dari perbuatan ini tidak akan menimbulkan penyesalan apapun.

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, Bi Lan dan Sim Houw berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka. Siu Kwi menggandeng tangan Bi Lan dan diajaknya sumoinya itu agak menjauh dari Sim Houw dan Yo Jin karena ia ingin bicara empat mata dengan sumoinya itu. Setelah berada cukup jauh sehingga percakapan mereka tidak akan terdengar orang lain, Siu Kwi lalu merangkul adik seperguruannya.

“Sumoi, aku mengucapkan selamat kepadamu!”

“Eh, untuk apa, suci?”

“Engkau telah memperoleh seorang pacar yang pilihan! Aku ikut merasa girang, adikku. Sim-taihiap adalah seorang pria pilihan yang amat mengagumkan hatiku. Engkau tentu beruntung sekali!”

Wajah Bi Lan berubah merah. Heran ia mengapa sucinya dapat menduga dengan tepat bahwa ia memang diam-diam jatuh cinta sampai ke ujung rambutnya kepada Sim Houw! Akan tetapi, mengingat sikap Sim Houw yang tidak pernah menyatakan cintanya. ia menjadi sedih dan menarik napas panjang.

“Aihh, aku tidak seberuntung engkau, suci.”

“Eh? Salahkah rabaanku bahwa engkau mencinta Sim-taihiap?”

Siu Kwi tertawa dan merangkul sumoinya. “Anak bodoh! Tanpa pengakuan mulutpun, apakah engkau tidak dapat mengerti dan melihatnya? Aku sudah melihat dengan jelas sekali betapa Sim-taihiap amat mencintamu!”

“Ehhh....?” Bi Lan terbelalak memandang wajah sucinya penuh selidik.

“Percayalah, sumoi. Dia amat mencintamu, dan mungkin dia terlalu rendah hati untuk membuat pengakuan. Akan tetapi aku yakin bahwa dia cinta padamu, jelas nampak dalam pandang matanya kepadamu, suaranya, dan sikapnya. Hanya wanita yang buta saja yang tidak akan dapat melihat cintanya kepadamu, sumoi!”

Wajah Bi Lan menjadi semakin merah akan tetapi kini wajah itu berseri dan mulutnya tersenyum manis sekali. Ia percaya akan keterangan sucinya, karena ia tahu benar bahwa encinya adalah orang yang sudah memiliki pengalaman luas dalam menilai pria.

“Terima kasih suci!” Bi Lan merangkul dan Bi Lan mengangguk dan mencium pipi sucinya. Kini wajahnya yang manis nampak berseri penuh kebahagiaan. “Keteranganmu itu sunggh amat berharga, mendatangkan cahaya yang menerangi seluruh hati dan perasaanku. Terima kasih!”

Ketika mereka berangkulan ini, terasa oleh masing-masing betapa keduanya saling mengasihi dan menyayang seperti kakak beradik sendiri saja. Dan Siu Kwi tidak dapat menahan air mata yang membasahi kedua matanya ketika melihat Bi Lan pergi bersama Sim Houw. Akan tetapi, ketika ia merasa ada tangan menyentuh pundaknya dengan lembut, iapun membalik dan merangkul Yo Jin, menyembunyikan mukanya di dada pria yang dicintanya itu. Cinta asmara memang hebat, kuasanya terhadap perasaan manusia amat besarnya sehingga cinta asmara mampu mendatangkan sorga ataupun neraka di dalam kehidupan seseorang.

***

Mereka menemukan sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi di lereng bukit itu. Sudah hampir dua pekan mereka berpisah dari Siu Kwi dani Yo Jin dan kini mereka sudah tiba di deretan bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya dan yang nampaknya tak pernah habis itu, gunung-gunung besar kecil yang bertaburan di sepanjang perbatasan sebelah utara. Tembok Besar nampak bagaikan seekor naga yang berlika-liku dan naik turun bukit-bukit dan gunung-gunung, amat indah dan megahnya. Mereka belum melewati Tembok Besar yang sudah nampak jauh di utara dari tempat mereka berhenti untuk melewatkan malam.

Setelah makan malam dan membersihkan diri di sumber air di belakang kuil tua, makan yang cukup lezat walaupun yang mereka makan hanyalah bekal roti dan daging kering bersama air jernih karena perut lapar dan tubuh lelah, Bi Lan dan Sim Houw duduk di ruangan belakang kuil tua itu. Ruangan itu merupakan bagian yang masih paling baik di antara bagian lain yang sudah rusak dan banyak yang sudah runtuh. Mereka sore tadi sudah membersihkan tempat itu sehingga enak untuk dipakai beristirahat. Sim Houw sudah mengumpulkan kayu bakar yang diambilnya dari dalam hutan, ditumpuk di situ untuk dipakai malam nanti, pengusir nyamuk dan hawa dingin.

Setelah menumpuk beberapa potong kayu bakar, Bi Lan lalu membuat api dan sebentar saja ruangan itu yang tadinya sudah mulai gelap menjadi terang kemerahan dan hawanya yang tadinya dingin menjadi hangat. Hal ini mendatangkan perasaan gembira di hati Bi Lan. Ia memandang wajah Sim Houw yang juga duduk di dekat api unggun, di depannya. Memandang sampai lama jarang berkedip, mulutnya tersenyum seperti orang mengejek. Tadinya Sim Houw tidak menyangka sesuatu karena selama melakukan perjalanan bersama dara ini, hubungan mereka akrab dan setiap hari entah berapa puluh kali dia melihat dara yang memang lincah jenaka ini tersenyum. Dan memang wajah itu paling manis kalau tersenyum, muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya. Akan tetapi ketika melihat bahwa dara itu menatap sejak tadi hampir tak pernah berkedip, diapun merasa canggung dan kikuk sekali, menjadi salah tingkah. Ingin mengalihkan pandang mata, merasa sayang karena pada saat itu wajah Bi Lan nampak cantik jelita dan manis seperti wajah seorang bidadari dalam dongeng, akan tetapi kalau dipandang terus dia merasa malu dan khawatir kalau dianggap kurang sopan. Dicobanya mengalihkan perhatian dengan menambah kayu bakar pada api unggun, akan tetapi karena matanya tidak mau diajak pindah, dia tidak melihat bahwa tangannya terjilat api.

“Uhhh....!” Dia menarik tangannya. Untung dia bertindak cepat dan dua jari tangannya hanya terjilat dan terasa panas saja, belum sampai melepuh.

“Eh, kau kenapa, Sim-koko? Tanganmu terbakar?' tanya Bi Lan kaget dan cepat ia menangkap lengan kiri pemuda itu untuk diperiksa.

Ah, hanya terjilat sedikit, tidak terluka....”

Bi Lan merasa lega melihat bahwa tangan itu tidak melepuh, hanya hangus sedikit.

“Sakitkah, koko?”

Melihat kesungguhan sikap Bi Lan yang amat memperhatikan dan mengkhawatirkan tangannya itu, diam-diam Sim Houw merasa gembira sekali. Akan tetapi dia menggeleng kepalanya dan dengan lembut menarik kembali tangannya karena merasa malu diperlakukan seperti anak kecil oleh Bi Lan. “Tidak, Lan-moi, hanya panas sedikit saja. Salahku sendiri kurang hati-hati.”

Hening sampai agak lama. Sim Houw kini menunduk dan dia masih merasa bahwa gadis itu terus memandangnya, seolah-olah terasa olehnya sinar mata yang hangat itu menatapnya.

“Sim-koko, ada satu hal yang sudah lama menjadi pertanyaan bagiku dan ingin sekali aku mendengar jawabannya secara terus terang darimu.”

Sim Houw mengangkat mukanya memandang dengan penuh keheranan, dan sinar matanya menyelidiki wajah dara itu seperti hendak menjenguk isi hatinya. “Pertanyaan apakah itu, Lan-moi?”

“Sim-ko, perjalanan menuju ke Istana Gurun Pasir merupakan perjalanan yang amat jauh, sukar dan berbahaya, bukankah begitu?”

Sim Houw mengangguk-angguk. “Benar sekali, Lan-moi, dan juga amat jauhnya.”

“Nah, inilah yang membuat aku terheran-heran dan tiada habis kupikirkan. Kenapa engkau bersusah payah mengantar aku ke sana, Sim-ko? Perjalanan ini mengandung resiko, berbahaya dan sukar, kenapa engkau yang bukan apa-apa denganku, berani mengambil resiko dan mengantarkan aku? Kenapa, Sim-ko?”

Mendengar pertanyaan ini dan melihat betapa sinar mata dara itu memandang kepadanya dengan amat tajam penuh selidik, wajah Sim Houw berubah merah. Untung sinar api unggun itu juga berwarna merah sehingga menyembunyikan kemerahan mukanya, dan diapun menundukkan muka memandangi api unggun, seolah-olah hendak mencari jawabannya dari nyala api itu.

“Bagaimana, Sim-ko? Jawablah dengan terus terang.” kata Bi Lan dan gadis ini yang sudah tahu dari Siu Kwi bahwa pemuda ini sebenarnya cinta kepadanya, memandang dengan hati tegang akan tetapi juga dengan senyum simpul melihat sikap Sim Houw yang seperti orang kebingungan dan canggung.

Akhirnya Sim Houw menarik napas panjang. “Kenapa hal itu saja kautanyakan, Lan-moi? Bukankah sudah jelas bahwa kita adalah sahabat baik? Kita sudah banyak mengalami hal-hal yang berbahaya bersama, bahkan sudah bersama-sama terancam bahava maut. Karena engkau seorang gadis, tentu saja aku tidak ingin membiarkan engkau seorang diri saja mencari Istana Gurun Pasir yang demikian jauhnya, melakukan perjalanan yang demikian berbahayanya seorang diri saja. Karena itulah aku mengantarmu, Lan-moi.”

“Akan tetapi,.... perjalanan ini selain sukar juga mempertaruhkan nyawa! Engkau tentu mempunyai banyak sahabat, apakah terhadap semua sahabatmu engkau akan melakukan hal yang sama? Akupun mempunyai banyak sahabat, akan tetapi kiranya selain engkau tidak akan ada yang mau melakukan perjalanan berbahaya ini untuk mengantar aku. Alasan bersahabat itu kurang meyakinkan hatiku, Sim-ko!”

“Akan tetapi kita bukan sahabat biasa, Lan-moi, melainkan sahabat yang sangat baik! Melebihi saudara sendiri. Pendeknya, aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya dan aku.... aku siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu....”

Bukan main girang dan terharu rasa hati Bi Lan. Jelas sudah jawaban itu membuktikan kebenaran keterangan Siu Kwi. Perdekar ini cinta padanya. Akan tetapi ia belum puas. Kenapa tidak secara langsung saja Sim Houw menyatakan cinta padanya? Bagaimanapun juga, tidak baik kalau ia terlalu mendesak, dan iapun tersenyum manis, dengan penuh keyakinan bahwa senyumnya menciptakan lesung pipit yang tidak pernah gagal mendatangkan sinar kagum dalam sepasang mata pendekar itu. Ia tidak menyadari bahwa malam ini, ditimpa sinar api unggun, senyumnya amat istimewa, membuat Sim Houw terpesona dan pendekar ini terpaksa menundukkan pandang matanya untuk menenangkan hatinya yang terguncang oleh kekaguman.

“Kalau begitu, terima kasih atas kebaikan hatimu. Sim-ko.”

Hening lagi sejenak. Sim Houw termenung memandang nyala api unggun. Bi Lan yang termenung, kadang-kadang mengangkat muka memandang wajah orang muda itu. Bukan seorang pemuda remaja lagi. Akan tetapi juga bukan seorang kakek tua, melainkan wajah seorang laki-laki. Seorang jantan yang sudah matang, denqan wajah memperlihatkan garis-garis pengalaman dan kepahitan hidup.

“Sim-ko....”

“Hemmm....?” Sim Houw sadar dari lamunan dan menatap wajah Bi Lan. Sesaat pandang mata mereka bertemu, bertaut dan kini Bi Lan yang menundukkan pandang matanya, merenung ke arah nyala api.

“Sim-ko,” katanya lirih, tetap merenung ke arah api unggun seolah-olah ia bicara kepada api. “Engkau pernah mencinta seorang wanita namun gagal karena ia mencinta pria lain. Sakitkah hatimu, Sim-ko?”

Sim Houw menatap wajah itu penuh selidik namun tetap saja dia tidak tahu ke mana arah angin pertanyaan dara itu. Dia mengerutkan alisnya dan menjawab dengan tegas.

“Sakit hati? Ah, tidak sama sekali, Lan-moi. Kenapa aku harus sakit hati? Ia mencinta pria lain yang lebih baik dari pada aku dan ia hidup berbahagia. Tidak ada alasan bagiku untuk sakit hati.”

“Maksudku bukan sakit hati dan menaruh dendam, Sim-ko. Akan tetapi, apakah engkau tidak patah hati, tidak putus asa dan menderita sakit dalam dirimu?”

Sim Houw tersenyum dan memandang gadis itu yang kini juga menatapnya. Heran dia mendengar pertanyaan itu dan diapun menggeleng kepala dengan pasti. “Tidak, Lan-moi. Patah hati dan putus asa hanya dilakukan oleh orang yang lemah. Apapun yang terjadi di dalam hidup, suka maupun duka hanyalah bagaimana kita menilainya saja. Duka hanyalah gambaran iba hati yang berlebihan. Segala macam peristiwa hidup harus kita hadapi dengan tabah dan ikhlas, tanpa keluhan.”

“Tapi.... tapi.... apakah kegagalan cinta itu tidak membuat engkau jera, Sim-ko?”

“Jera bagaimana maksudmu?”

“Jera dan tidak berani untuk jatuh cinta kembali.”

“Cinta tidak pernah gagal, Lan-moi. Perjodohan bisa saja putus dan gagal. Akan tetapi cinta? Kurasa cinta itu abadi, Lan-moi.”

Bi Lan memandang bingung, tidak mengerti. “Akan tetapi.... apakah semenjak engkau gagal.... eh, maksudku semenjak hubungan cintamu dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri Suma Ceng Liong itu engkau pernah jatuh cinta lagi dengan seorang gadis lain?”

Sim Houw tersenyum, sampai lama tidak dapat menjawab. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Kam Bi Eng yang memilih Suma Ceng Liong sebagai jodohnya, dia tidak pernah lagi jatuh cinta, sampai sekarang, karena dia tahu benar bahwa dia jatuh cinta kepada Bi Lan! Akan tetapi untuk mengakui cintanya, dia merasa sungkan dan segan, khawatir kalau-kalau hal itu akan menyinggung perasaan Bi Lan dan juga dia merasa ngeri kalau-kalau hal itu akan memisahkan dia dengan gadis ini.

“Aku sudah tua sekarang, Lan-moi siapakah yang mau menaruh hati kepadaku?” jawabnya menyimpang.

Tiba-tiba Bi Lan tertawa, menutupi mulutnya.

“Hi-hi-hik,” Ia seperti mengajak bicara kepada nyala api unggun karena ia memandang kepada api itu “coba dengarkan keluhan kakek tua renta ini, menyesali kehidupannya yang tua renta dan sepi. Kasihan sekali dia....!”

“Lan-moi, sudahlah jangan goda aku. Kita bicara urusan lain saja....“

“Aku justeru ingin bicara tentang cintamu, Sim-ko.”

Sim Houw menarik napas panjang dan dia sungguh tidak mengerti akan sikap dan watak gadis ini yang kini begitu tiba-tiba bicara tentang hal yang bukan-bukan! “Sesukamulah, Lan-moi.”

“Kau marah....?”

Sim Houw tersenyum dan memandang dengan wajah berseri. Bagaimana mungkin dia dapat marah kepada dara ini, dara yang dicintanya? Pertanyaan yang aneh-aneh itu merupakan satu di antara keistimewaan Bi Lan, yang demikian lincah dan penuh gairah hidup. “Tidak, Lan-moi. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah marah kepadamu.”

“Kenapa?” Tiba-tiba dara itu mendesak.

“Karena.... karena engkau tidak pernah bersalah, engkau wajar dan lincah gembira....“ Kembali Bi Lan mengerutkan alisnya. Sukar benar pria ini mengakui cintanya, pikirnya penasaran.

“Jadi selama ini, sejak engkau berpisah dan gagal dalam hubunganmu yang pertama dengan wanita yang kaucinta, engkau tidak pernah jatuh cinta lagi, Sim-ko?”

Sim Houw tidak menjawab, hanya menggeleng kepala, dan tiba-tiba dia memegang tangan Bi Lan, menariknya dengan sentakan keras sehingga dara itu terlempar ke arahnya dan melalui atas api unggun. Tentu saja Bi Lan terkejut bukan main, akan tetapi Sim Houw segera memberi isyarat dengan tangannya. Kiranya seekor ular sebesar kelingking, akan tetapi panjangnya lebih dari dua kaki, telah berada di atas lantai di mana Bi Lan duduk. Ular itu adalah seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Dengan sekali menggerakkan tangannya, jari tangan Sim Houw mengetuk ke arah kepala ular yang diangkat tegak. Ular tu terlempar ke dalam api unggun dan berkelojotan.

“Mari....!” kata Sim Houw sambil menyambar tangan Bi Lan dan juga buntalan mereka dan mengajak gadis itu meloncat ke luar kuil dengan gerakan cepat. Kembali Bi Lan terkejut, akan tetapi hilanglah rasa kagetnya ketika mereka tiba di luar dan ia melihat bahwa di luar kuil telah berdiri belasan oranq! Tahulah kini Bi Lan bahwa munculnya ular berbisa tadipun tidak wajar, melainkan dimunculkan dengan sengaja oleh seorang di antara belasan orang ini untuk menyerangnya. Dan melihat bahwa di antara mereka terdapat orang-orang berpakaian seperti pendeta, iapun dapat menduga bahwa tentu mereka ini orang-orang Pek-lian-kauw atau Pat-kwa-kauw.

Dugaannya memang tidak keliru. Di bawah penerangan empat buah obor besar yang dipegang oleh empat orang di antara mereka, ia dapat melihat gambar teratai putih dan segi delapan di dada baju para pendeta itu. Jelaslah bahwa kedatangan mereka ini tentu ada hubungannya dengan dua orang pendeta, yaitu Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang telah ia kalahkan bersama Sim Houw.

“Kalian ini tentulah siluman-siluman dari Pat-kwa kauw dan Pek-lian-kauw!” Bi Lan membentak marah. “Siapakah di antara kalian yang tadi melepas ular berbisa?”

Seorang di antara tigabelas orang itu adalaah seo yang kakek bongkok yang mukanya buruk sekali, seperti monyet karena kecilnya muka itu, hidungnya pesek dan matanya juga amat kecil. Tubuhnya yang kecil pendek dan bongkok itu dibungkus jubah dan melihat gambar bunga teratai di dadanya, jelas dapat diketahui bahwa dia adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Bi Lan, kakek bongkok ini terkekeh dan suara ketawanya juga lucu dan tida lumrah seperti tubuhnya karena yang terdengar hanya suara “kek-kek-kek-kek!” seperti leher dicekik dan tubuhnya terguncang-guncang semua.

“Heh-heh-heh!” Suara tercekik-cekik itu disusul kekeh mengejek dan diapun menggurat-gurat tanah di depan kakinya dengan ujung tongkatnya. Tongkat itu berwarna hijau dan bentuknya seperti ular, dan memang tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular besar yang panjangnya tidak kurang dari lima kaki, warnanya hijau dan anehnya, kadang-kadang ular itu dapat menjadi kaku seperti ketika ekornya digutat-guratkan pada tanah tadi. “Akulah yang mengirim ular tadi untuk berkenalan denganmu, nona.”

“Kakek iblis jahanam!” bentak Bi Lan dan iapun sudah menerjang ke depan, mengirim pukulan dengan tamparan tangan kanannya ke arah kepala kakek bongkokitu. Ia marah sekali karena dengan mengirim ular berbisa tadi, berarti kakek ini ingin membunuhnya secara keji sekali. Maka, kini iapun langsung saja menyerang dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan karena ia teringat bahwa kakek ini adalah seorang ahli ular berbisa, maka iapun menggunakan ilmu yang sama kejamnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun)! Pukulan dengan ilmu ini memang amat dahsyat. Ilmu ini dipelajari oleh Bi Lan dari nenek Wan Ceng, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka selain amat kuat, juga mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali.

Kakek bongkok itu berjuluk Coa-ong Seng-jin, berusia enampuluh lima tahun dan dia masih terhitung sute dari Thian Kek Seng-jin. Biarpun dalam hal ilmu silat dan ilmu sihir, tingkatnya tidak melebihi tingkat Thian Kek Seng-jin, namun kakek ini memiliki suatu kelebihan. Sesuai dengan julukannya, yaitu Coa-ong (Raja Ular), dia adalah seorang pawang ular yang pandai. Maka, ketika belasan orang ini, atas pemberitahuan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang terluka parah oleh Sim Houw dan Bi Lan, mengejar dan mendapatkan dua orang itu, Coa-ong Seng-jin segera mengirim seekor ular berbisa yang nyaris menggigit Bi Lan. Pada hal, andaikata Sim Houw tidak menariknya sehingga gadis itu terhindar dari gigitan ular, bagi Bi Lan tidaklah terlalu berbahaya jika ia sampai digigit ular berbisa. Ia telah mewarisi ilmu Ban-tok Ciang-hoat, dan ia telah menerima pelajaran tentang racun-racun dari nenek Wan Ceng sehingga gigitan beracun tentu tidak akan mencelakainya.

Melihat betapa gadis itu dapat lolos dari “kiriman” ular, Coa-ong Seng-jin maklum bahwa gadis itu dan temannya yang berjuluk Pendekar Suling Naga merupakan dua orang lawan yang tangguh. Apalagi melihat keadaan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang terluka parah. Maka, kini melihat gadis itu menyerangnya dengan tamparan yang cepat dan kuat, Coa-ong Seng-jin juga mengerahkan tenaganya, tangan kirinya menyambut tamparan itu sedangkan tangan kanannya yang memegang tongkat ular hidup itu menggerakkan ularnya yang menyambar ke depan, ke arah leher Bi Lan!

“Dukkk!” Dua tangan itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Coa-ong Seng-jin tergetar hebat. Dia terkejut sekali, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan ular di tangan kanan. Melihat ular yang menyambar ke arah lehernya, Bi Lan sama sekali tidak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kirinya untuk menangkap leher atau kepala ular, untuk dicengkeram hancur. Untungnya kalau memiliki tongkat hidup, ular itu agaknya memiliki indriya yang tajam dan dapat mengelak dengan menarik lehernya ke belakang, melengkung dan mulutnya mendesis-desis mengeluarkan uap beracun. Biarpun ia tidak takut terhadap uap beracun itu, Bi Lan maklum bahwa setidaknya, kalau kulit terkena semburan uap itu, tentu akan gatal-gatal, maka iapun meloncat ke belakang. Coa-ong Seng-jin tidak berani memandang rendah setelah tadi pertemuan tangan dengan gadis muda itu membuat tubuhnya tergetar dan terhuyung. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat!

Sementara itu, Sim Houw tidak menghendaki Bi Lan untuk tergesa-gesa menyerang musuh yang banyak jumlahnya dan dia dapat melihat bahwa lima orang berpakaian pendeta yang berdiri di depannya itu bukanlah orang-orang lemah. Dengan sikap tenang dia lalu melangkah maju.

“Cu-wi totiang (para bapak pendeta), ada keperluan apakah cuwi malam-malam datang mengganggu kami yang sedang beristirahat melewatkan malam di kuil tua ini?”

“Siancai!” Seorang tosu yang kelihatannya sudah amat tua renta karena rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, usianya tentu lebih dari tujuhpuluh tahun, memegang sebatangtongkat yang panjang, sama dengan tinggi tubuhnya, mengelus jenggotnya yang putih panjang ketika dia mengeluarkan seruan itu dan dialah yang melangkah maju menghadapi Sim Houw. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan Sim Houw juga mengamati kakek atu penuh perhatian. Seorang kakek yang tua dan nampaknya lemah, namun melihat sikapnya yang berwibawa, pandang matanya yang mencorong, diapun dapat menduga bahwa tentu kakek yang pada dadanya ada gambar Pat-kwa ini adalah seorang dari Pat-kwa-kauw yang bertingkat tinggi. Dugaannya juga tepat karena kakek ini merupakan orang ke dua di perkumpulan Pat-kwa-kauw, menjadi wakil ketua. Nama julukannya adalah Thian Kong Cin-jin dan sebagai orang ke dua Pat-kwa-kauw, tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

“Orang muda, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Suling Naga, yang dengan semena-mena telah melukai seorang tokoh kami dari Pat-kwa-kauw, dan juga seorang tokoh sahabat kami dari Pek-lian-kauw?” Agaknya kakek ini memandang rendah kepada Bi Lan, maka dia sama sekali tidak memperdulikan gadis itu, walaupun tadi dia melihat sendiri betapa gadis itu mampu menandingi serangan balasan dari Coaong Seng-jin.

“Sim-ko, jelas bahwa mereka ini adalah silumansiluman yang hendak membalaskan kekalahan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, dua orang tosu siluman itu!” Bi Lan berseru.

“Benar, totiang,” jawab Sim Houw. “Saya bernama Sim Houw dan nona ini adalah Can Bi Lan.”

Kakek yang sikapnya halus berwibawa itu mengangguk-angguk. “Benarkah kalian telah melindungi seorang siluman betina dan melukai dua orang rekan kami?”

Sim Houw mengetutkan alisnya. “Kami berdua membela yang lemah dan benar. Saudara Yo Jin dengan sewenang-wenang ditangkap, ayahnya dibunuh, karena itu kami membantu tunangannya untuk membebaskannya. Kedua orang totiang Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin bahkan hendak menangkap kami, maka terjadilah perkelahian dan akibatnya mereka berdua terluka. Harap cu-wi totiang memaafkan karena kami sesungguhnya sama sekali tidak mencari permusuhan dengan pihak manapun juga.”

“Hemm, enak saja, heh-heh!” kata Coa-ong Seng-jin. “Sudah melukai orang sampai menderita luka parah, minta maaf. Kalian tentu orang-orang yang belum lama ini membasmi para pembantu Hou-taijin. Hayo katakan, siapa di antara kalian yang membunuh Kim Hwa Nio-nio!”

Ditanya demikian oleh si kakek bongkok, Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia tidak merasa heran kalau para tosu Pek-lian-kauw mengenal Kim Hwa Nio-nio, mungkin kenalan baik karena mereka sealiran.

“Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya membantu pembesar durna, maka aku membantu para pendekar untuk membersihkan kota raja dari pengaruh mereka. Dalam pertempuran itu, Kim Hwa Nio-nio memang terbunuh olehku,” jawabnya tenang.

Mendengar ini, lima orang tosu itu, dua dari Pat kwa-kauw dan tiga dari Pek-lian-kauw, menjadi marah. Bahkan Thian Kong Cin-jin yang memimpin rombongan itu nampak marah dan kelembutannya tertutup oleh kemarahan yang membuat mukanya merah dan matanya terbelalak. Patut diketahui bahwa Kim Hwa Nio-nio di waktu mudanya amat populer di antara para tosu Pek-lian-kauw dan menjadi sahabat baik mereka.

“Hemm, kiranya yang bernama Suling Naga adalah seorang muda yang sombong dan mudah menjatuhkan tangan maut kepada golongan kami. Sim Houw, Pendekar Suling Naga, sekarang kami datang untuk minta nyawamu guna menebus semua rekan kami yang telah terbunuh atau terluka olehmu!”

“Tidak kelirulah jalan pikiran totiang?” Sim Houw berkata dengan sikap masih tenang sekali. “Semua yang kulakukan itu bukan berdasarkan permusuhan atau kebencian pribadi, melainkan karena aku membela yang benar dan secara tidak kebetulan sekali yang totiang bela itu berdiri di pihak yang sesat. Kalau sekarang totiang hendak membela yang salah, bukankah berarti bahwa totiang juga akan mengambil jalan sesat, tidak sesuai dengan kedudukan totiang sebagai seorang pendeta?”

“Siancai....! Engkau sungguh terlalu sombong, orang muda. Pinto memiliki pandangan dan kebenaran pinto sendiri. Nah, rasakan pembalasan kami!” Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tongkatnya yang panjang dan angin besar menyambar ke arah Sim Houw. Pemuda itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Tongkat tidak mengenai dirinya, akan tetapi anginnya membuat pakaian dan rambutnya berkibar-kibar. Dia maklum akan kelihaian lawan, maka tanpa ragu-ragu lagi diapun cepat menghunus pedang Liong-siauw-kiam yang diputarnya menjadi segulungan sinar yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.

Melihat ini, Bi Lan tidak tinggal diam. Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam dan iapun menerjang maju, yang diterjangnya adalah kakek bongkok yang merasa ngeri sekali melihat pedang di tangan gadis itu. “Pedang iblis.... pedang iblis....!” katanya berkali-kali sambil berloncatan ke sana-sini dan memainkan ular hijau di tangannya untuk mencari peluang memulai serangan. Tiga orang tosu lain sudah mempergunakan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat dan tasbeh untuk mengepung Bi Lan dan Sim Houw. Seorang membantu Coa-ong Seng-jin dan dua orang membantu Thian Kong Cin-jin.

Tingkat kepandaian lima orang itu rata-rata seperti tingkat kepandaian Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, hanya tingkat Thian Kong Cin-jin yang paling tinggi. Kakek tua renta ini memang lihai bukan main dan dia merupakan seorang ahli tenaga sin-kang yang kuat. Kekuatannya itu ditambah dengan kekuatan ilmu hitam sehingga kadang-kadang tongkatnya seperti hidup dan dapat bergerak sendiri! Menghadapi kakek ini saja Sim Houw harus berhati-hati sekali, apa lagi kakek itu dibantu oleh dua orang tosu lain yang juga lihai, maka Sim Houw harus mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Untung bahwa di tangannya terdapat suling Liong-siauw-kiam. Kehebatan permainan pedang suling yang mengeluarkan suara seperti orang memainkan lagu dengan suling, membuat tiga orang lawannya gentar dan sukar menembus pertahanan Sim Houw.

Di lain pihak, Bi Lan juga mengamuk dengan pedangnya. Sebetulnya, tingkat kepandaian dua orang pengeroyoknya itu masing-masing sudah lebih tinggi sedikit dari pada tingkatnya, akan tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam, dua orang lawannya juga gentar dan berhati-hati sekali menghadapi sambaran sinar pedang yang luar biasa ampuh dan menggiriskan itu.

Thian Kong Cin-jin diam-diam merasa kagum akan tetapi juga penasaran sekali. Di situ masih terdapat beberapa orang murid kepala yang merupakan murid-murid terpandai, akan tetapi makin banyak yang mengeroyok akan membuat gerakannya dan kawan-kawannya menjadi kacau dan tidak teratur. Dia pun teringat akan rencana siasatnya sebelum mereka menyerbu. Melihat kegagahan dua orang muda itu diapun lalu mengeluarkan suara melengking, yaitu aba-aba rahasia yang hanya dimengerti oleh kawan-kawannya, sesuai dengan siasat yang telah mereka rencanakan. Mendengar aba-aba ini, lima orang tosu itu segera berlompatan mundur dan pada saat itu, tiga buah obor besar tadi tiba-tiba saja dipadamkan! Keadaan menjadi gelap gulita dan diam-diam lima orang tosu yang sudah merencanakan siasat ini, telah membentuk kepungan segi lima! Mereka dapat bergerak di dalam gelap karena memang sudah mereka rencanakan lebih dulu.

Sim Houw dan Bi Lan terkejut bukan main ketika dari keadaan yang terang kini berubah menjadi gelap dan di dalam kegelapan itu, tiba-tiba saja ada sambaran-sambaran senjata dari lima penjuru! Mereka terpaksa memutar pedang dan menangkis hanya mengandalkan pendengaran mereka saja. Akan tetapi karena sambaran senjata-senjata itu datang derigan gencar, dari arah-arah yang tidak terduga sama sekali, maka paha kiri Bi Lan terkena pukulan tongkat, sedangkan punggung Sim Houw juga terkena pukulan tongkat yapg cukup keras. Mereka tidak terluka parah namun pukulan-pukulan itu cukup mendatangkan rasa ryeri. Sim Houw maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia dan Bi Lan mungkin terluka berat karena dia tahu bahwa lima orang pengeroyok itu sudah mengatur siasat untuk bergerak di dalam gelap, gerakan yang sudah diatur semacam barisan. Belum lagi kalau delapan orang yang lain ikut maju mengeroyok!

Diapun mendapatkan akal, dan dengan mengandalkan pendengarannya, dia cepat mendekati dan mengadu punggung dengan Bi Lan, sambil keduanya memutar pedang di depan mereka. Dengan rabaan dan sentuhan lengan kiri, Sim Houw memberi isyarat dan memegang tangan kiri dara itu sambil berteriak, “Lan-moi, kita bobol kepungan di kiri!“

Sambil berkata demikian, dia menarik gadis itu ke kanan dan bersama gadis itu memutar pedang di arah kanan. Ketika dia berteriak, lima orang itu tentu saja memusatkan pertahanan di kiri untuk mencegah mereka melarikan diri. Siapa kira, dua orang yang mereka kepung itu malah menyerbu ke kanan, di mana Coa-ong Seng-jin berada. Kakek bongkok ini berusaha nmenvutar tongkat ular hijaunya, akan tetapi ular itu terpotong menjadi lima potong disambar Ban-tok-kiam dan Liong-siauw-kiam dan ia sendiri cepat melompat mundur kalau tidak ingin terbabat oleh sinar pedang yang berkilauan itu. Sim Houw terus menarik tangan Bi Lan dan keduanya melarikan diri secepanya setelah berhasil terlepas dari kepungan.

“Kejar mereka!” Thian Kong Cin-jin membentak marah.

“Nyalakan obor!”

“Mereka lari ke arah hutan!”

Obor-obor lalu dinyalakan dan tigabelas orang itu melakukan pengejaran. Namun bayangan dua orang buruan itu telah lenyap. Thian Kong Cin-jin tidak kehilangan akal. Dia lalu memecah-mecah rombongannya menjadi tiga. Dia sendiri pergi bersama dua orang, Coa-ong Seng-jin bersama empat orang, dan lima orang sisanya menjadi satu bagian. Tiga rombongan ini lalu melakukan pengejaran dan pencarian dengan berpencar, memasuki hutan sambil membawa obor.

Melakukan pengejaran sambil membawa obor merupakan suatu kebodohan. Sim Houw dan Bi Lan yang melarikan diri ke dalam hutan, tentu saja dapat melihat obor mereka dan dua orang ini dapat mengarahkan pelarian mereka menjauhi obor. Bi Lan agak terpincang dan Sim Houw juga merasa nyeri pada punggungnya. Setelah mereka keluar dari dalam hutan, mereka melalui sebuah bukit dan menjelang pagi, keduanya mengaso. Para pengejar tidak nampak lagi. Mereka berhenti di bukit yang berbatu-batu, bersembunyi di antara batu-batu besar untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga sambil mengobati bagian yang memar karena pukulan tongkat.

“Sim-ko, kita belum kalah mengapa engkau memaksa aku melarikan diri? Kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin kita akan dapat merobohkan dan membunuh seorang dua orang di antara lima ekor monyet itu,” Bi Lan yang merasa penasaran mengeluh karena merasa tidak puas. Pahanya terasa nyeri dau ia belum membalas kepada musuh-musuhnya!

“Justeru itulah yang tidak kukehendaki, Lan-moi. Kalau keadaan terang, aku masih mampu menahan dan memperingatkanmu agar tidak sembarangan membunuh orang. Akan tetapi setelah gelap, berbahaya sekali bagi kita, juga berbahaya bagi mereka karena kalau engkau mengamuk, aku tidak dapat menanggung keselamatan nyawa mereka pula.

“Akan tetapi, Sim-ko. Mereka itu berusaha matimatian untuk membunuh kita! Kenapa engkau masih tidak setuju kalau kita membunuh mereka? Bukankah mereka itu orang-orang yang jahat?”

“Belum tentu, Lan-moi. Mereka memusuhi Cionglihiap, sucimu itu dan tentu saja mereka masih mengira bahwa sucimu itu seorang yang jahat dan sesat. Kiranya hanya kita berdua sajalah yang yakin benar bahwa sucimu kini telah berubah sama sekali. Akan tetapi, orang lain belum tentu dapat percaya. Dari pada kesalahan tangan membunuh orang yang tidak berdosa sehingga tertanam benih permusuhan yang tiada kunjung habis, lebih baik kalau kita meloloskan diri.”

“Akan tetapi kita melarikan diri! Tentu mereka mentertawakan kita dan menganggap kita pengecut!” Bi Lan membantah dengan penasaran.

“Mereka tidak akan dapat mentertawakan kita, Lan-moi. Mereka sendiri yang telah memperlihatkan sikap pengecut, dengan pengeroyokan dan pemadaman obor.”

Bi Lan lalu teringat akan percakapan mereka tentang cinta sebelum orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu datang menyerbu. Hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Pria ini boleh jadi mencintanya, seperti yang dikatakan oleh sucinya. Dan memang, melihat setiap gerak-gerik Sim Houw, caranya melindunginya, pandang matanya, kata-katanya, iapun percaya bahwa Sim Houw mencintanya. Akan tetapi mengapa dia tidak pernah mengakuinya? Sudah dipancing-pancing dalam percakapan itu, tetap saja Sim Houw pandai mengelak dan mengalihkannya. Tiba-tiba ia memperoleh akal.

“Aduhhhh....!” Ia berteriak dan menggigit bibir, merintih dan kedua tangannya memegang paha kirinya, memijit-mijitnya perlahan, mukanya berkeriput menahan nyeri.

Sim Houw terkejut bukan main dan cepat dia menghampiri. “Kenapa, Lan-moi? Ada apakah dengan kakimu....?” tanyanya penuh was-was.

“Aduhh.... Sim-ko, pahaku ini....ah, tadi tidak begitu nyeri, akan tetapi sekarang....“

“Sekarang bagaimana, Lan-moi....?” Sim Houw bertanya tanpa disadarinya, saking khawatir, dia meraba paha kiri yang dipijit-pijit Bi Lan itu.

“Nyeri sekali.... auuhhh, tak tertahankan nyerinya....“

“Lan-moi, biar aku memeriksanya, jangan-jangan ada tulang yang patah atau urat yang terkilir....“

“Ya.... cepatlah.... aduhhh, pukulan monyet tua bongkok itu keras sekali....”

Sim Houw terpaksa merobek celana di bagian paha kiri dan nampaklah kulit paha yang putih mulus. Dia menggunakan kedua tangannya meraba dan memijit-mijit, memeriksa apakah ada tulang yang patah. Akan tetapi, selain tanda agak biru bekas gebukan, paha itu tidak ada apa-apa, tidak ada tulang yang patah atau urat yang terkilir. Hatinya merasa lega sekali.

“Tidak ada tulang patah dan tidak ada urat terkilir, Lan-moi,” katanya.

“Akan tetapi, nyerinya sampai menusuk ke jantung....!” Bi Lan mengaduh.

“Hanya luka memar saja, Lan-moi, akan tetapi mungkin saking kerasnya pukulan, maka menimbulkan rasa nyeri. Biar kuurut sebentar biar jalan darahnya pulih dan luka di bawah kulitnya cepat sembuh.” Mulailah Sim Houw memijit-mijit paha itu. Tadi hatinya gelisah karena mengkhawatirkan gadis itu. Sekarang, setelah dia yakin bahwa paha itu tidak apa-apa, hanya luka memar saja yang biarpun nyeri akan tetapi tidak terlalu berbahaya, barulah dia melihat betapa indahnya paha yang nampak karena kain celananya dirobek itu. Dia adalah seorang pria yang normal dan sehat. Usianyapun sudah cukup dewasa, bahkan sudah terlalu dewasa. Maka wajarlah kalau gairahnya bangkit ketika dia melihat mulusnya paha Bi Lan, apa lagi kedua tangannya meraba dan memijit bagian tubuh yang nampak indah itu, merasakan kelembutannya, kekenyalannya dan kehangatannya. Mukanya berubah merah, napasnya agak terengah dan sepuluh jari tangannya yang meraba dan memijit itu mulai gemetar.

Bi Lan yang sejak tadi mencurahkan perhatiannya untuk memperhatikan keadaan pria itu, tentu saja dapat mengetahui perubahan ini. Dan diam-diam hatinya merasa gembira sekali dan senyumnya membayang di bibir. Tentu saja paha kirinya terasa nyeri, akan tetapi tidaklah separah yang diperlihatkannya. Melihat keadaan Sim Houw, jantungnya berdebar dan kini pijitan jari-jari tangan Sim Houw itu terasa lain, membuatnya berdebar dan terangsang.

“Ahh, enak sekali, Sim-ko, nyerinya hilang. Terima kasih....”

“Tak perlu berterima kasih, Lan-moi. Syukurlah kalau pijitanku menolong,” kata Sim Houw yang berusaha keras untuk menekan gejolak perasaannya.

“Sim-ko, aku melanjutkan percakapan kita malam tadi. Apakah sampai sekarang engkau masih belum jatuh cinta kepada seorang wanita? Apakah engkau masih belum berani mengaku cinta kepada wanita lain setelah pengalamanmu yang pahit itu?”

Ditanya begini, kedua tangan Sim Houw semakin gemetar dan dia menghentikan pijitannya. Sudah berada di ujung bibirnya untuk mengaku cinta kepada Bi Lan, namun ditahannya.

“Aku.... aku....” aku saking bingungnya, tak tahu harus berkata apa, dia kembali menggunakan sepuluh jari tangannya memijati paha yang nyeri itu.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring “Tak tahu malu....!”

Baik Sim Houw maupun Bi Lan terkejut bukan main. Sim Houw menarik kedua tangannya. Bi Lan cepat menutupkan bagian celana yang terbuka di paha dan keduanya meloncat bangun dan membalikkan tubuh. Kiranya di situ telah berdiri dua orang laki-laki dan melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Gu Hong Beng yang berdiri terbelalak dengan mata berapi dan bertolak pinggang, Bi LAN teringat akan penglihatan tadi dan mukanya menjadi merah sekali. Terbayang kembali peristiwa beberapa waktu yang lalu. Pernah ia terluka dan Cu Kun Tek mengobati pinggangnya, hampir sama seperti yang dilakukan Sim Houw tadi, hanya bedanya kalau Kun Tek meraba pinggannnya, Sim Houw meraba pahanya. Ketika itu, Hong Beng muncul dan pemuda yang cemburu ini langsung saja menyerang Kun Tek karena menyangka mereka berbuat cabul! Dan kini, tiba-tiba Hong Beng muncul dan mendengar seruannya tadi yang mengatakan mereka tidak tahu malu iapun tahu bahwa kembali Hong Beng cemburu dan salah sangka! Maka, iapun menjadi marah. Dengan muka merah dan mata berapi-api, iapun melangkah maju.

“Gu Hong Beng, engkaulah laki-laki yang tak tahu malu!” ia membentak dengan marah sekali. “Selalu mencampuri urusan orang dan menjatuhkan fitnah, menuduh orang yang bukan-bukan karena cemburu. Sungguh tak tahu malu, cinta tak dibalas berubah cemburu gila!“

Wajah Hong Beng menjadi merah, bukan hanya karena marah akan tetapi juga karena malu. Ucapan itu memang tepat sekali, seperti ujung pedang yang menusuk dan menembus jantungnya. Karena tepat itulah maka mendatangan rasa nyeri yang lebih hebat lagi. Memang dia cemburu, dia iri terhadap Sim Houw. Kenapa Bi Lan demikian akrab dengan Sim Houw. Mungkinkah dara itu, yang menolak cintanya, kini jatuh cinta kepada Sim Houw? Aneh, pikirnya. Dalam segala hal, kecuali barangkali dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah oleh Sim Houw. Dia lebih muda, sebaya dengan Bi Lan, juga cukup tampan! Sim Houw terlalu tua untuk Bi Lan. Hal ini membuat dia menjadi semakin penasaran.

Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab lagi. Sim Houw yang sudah mengenal Hong Beng sebagai seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa, bahkan dia mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es, cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Hong Beng dan pria yang usianya kurang dari empatpuluh tahun dan nampak pendiam dan serius itu.

“Saudara Gu Hong Beng, harap jangan salah sangka terhadap nona Can Bi Lan. Kami semalam berkelahi melawan musuh-musuh yang lihai dan nona Can terkena pukulan pada paha kirinya. Kami beristirahat di sini dan aku hanya berusaha menghilangkan rasa yeri yang dideritanya karena luka memar di pahanya.”

“Aku tidak mempersoalkan itu!” Gu Hong Beng juga membentak dengan suara tetap ketus. “Akan tetapi kalian sungguh tidak tahu malu telah mengambil jalan sesat dan membantu, juga melindungi iblis betina Bi-kwi murid Sam Kwi! Sekarang kami datang untuk minta agar kalian memberi tahu kepada kami di mana tempat persembunyian Bi-kwi agar kami dapat membasminya!”

Bi Lan marah sekali mendengar ini. “Hong Beng, tutup mulutmu yang kotor! Kami berdua memang membela dan melindungi suci Ciong Siu Kwi dari gangguan orang-orang jahat. Dan suci sekarang telah menjadi seorang wanita yang baik-baik, jangan kau memakinya sebagai iblis betina.”

“Hemmm, bohong besar Bi Lan, aku tidak menyangka bahwa engkau sekarang telah berbalik pikir dan mencontoh kehidupan sucimu yang bejat ahlaknya itu. Siapa sudi percaya kebohonganmu bahwa orang macam Bi-kwi dapat berubah menjadi wanita baik-baik? Dan buktinyapun tidak begitu. Baru-baru ini ia bahkan membantu orang-orang jahat untuk memusuhi suhuku ini.” Berkata demikian, Hong Beng menunjuk kepada laki-laki berusia tigapuluh delapan tahun itu yang sejak tadi memandang tajam tanpa mengeluarkan sebuah katapun.

“Ahhh....!” Sim Houw dan Bi Lan berseru kaget. Kiranya pria yang datang bersama Gu Hong Beng ini adalah guru pemuda itu, berarti bahwa pria ini adalah pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es! Sim Houw memandang penuh perhatian dan merasa terkejut sekali. Para pembaca tentu akan terheran pula bagaimana Suma Ciang Bun dapat muncul bersama Gu Hong Beng di tempat itu.

Seperti telah kita ketahui, Suma Ciang Bun yang sedang bersamadhi diganggu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang minta bantuan Ciong Siu Kwi. Wanita ini terpaksa memenuhi permintaan mereka untuk menyelamatkan Yo Jin yang mereka jadikan tawanan dan semacam sandera untuk memeras Siu Kwi. Dan dalam perkelahian dikeroyok tiga ini, terpaksa Suma Ciang Bun melarikan diri dengan membawa luka.

Belum jauh dia melarikan diri, dia terpaksa beristirahat dan berusaha mengobati lukanya. Dalam keadaan demikianlah dia bertemu dengan Hong Beng, muridnya yang memang sedang mencarinya. Melihat gurunya terluka, Hong Beng lalu membantu suhunya untuk mengobati luka itu dan bertanya bagaimana suhunya sampai menderita luka.

Ditanya oleh muridnya, Suma Ciang Bun menarik napas panjang. “Dua orang dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menyerangku, dan memang dua perkumpulan itu selalu memusuhi keluarga Pulau Es. Aku herhasil mengalahkan dan mengusir mereka berdua. Akan tetapi, beberapa hari kemudian mereka datang lagi, kini dibantu oleh seorang wanita cantik yang masih muda dan lihai sekali. Dan sekali ini, pengeroyokan mereka bertiga membuat aku terluka dan terpaksa melarikan diri.”

Hong Beng marah sekali. “Hemm, siapakah wanita itu, suhu? Seperti bagaimana rupanya?”

Ketika Suma Ciang Bun menggambarkan keadaan Siu Kwi, Hong Beng menepuk pahanya.

“Ah, tidak salah lagi! Tentu iblis wanita itu yang membantu para tosu Pek-lian-kauw!” “Kaukenal wanita itu?”

“Ia tentu Bi-kwi, murid Sam Kwi. Ia memang jahat bukan main, suhu, keji dan pantas untuk dibasmi dari permukaan bumi!” Hong Beng lalu menceritakan semua pengalamannya sejak dia meninggalkan suhunya. Girang hati Suma Ciang Bun mendengar bahwa muridnya telah melakukan banyak hal gagah, bahkan muridnya telah bertemu dan bekerja sama dengan para pendekar keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir.

Dengan perawatan Hong Beng, Suma Ciang Bun cepat sembuh kembali dari luka-lukanya. Pada suatu hari, Gu Hong Beng meninggalkan gurunya di dalam guha di bukit yang berbatu-batu itu untuk mencarikan makanan bagi suhunya. Ketika dia sedang berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, menuju ke sebuah dusun, tiba-tiba di sebuah tikungan dia melihat dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu, sedang duduk mengaso di tepi jalan. Agaknya dua orang kakek itu kelelahan, atau sedang sakit. Hong Beng yang menaruh curiga karena teringat akan cerita gurunya yang diganggu oleh tosu tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, cepat menghampiri dua orang kakek itu. Mereka memakai pakaian pendeta, akan tetapi bagian luarnya memakai jubah yang tebal karena hawa memang dingin dan agaknya mereka menderita luka ketika melihat mereka seperti bukan orang jahat, Hong Beng menjura dengan penuh hormat. “Kenapakah ji-wi totiang berada di sini dan kelihatannya seperti sedang menderita? Siapakah ji-wi totiang?”

Melihat seorang pemuda yang gagah dan bersikap sopan, dua orang tosu itu sejenak memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan berperut gendut, segera berkata, “Siancai, siancai.... terima kasih atas perhatianmu, orang muda yang baik. Penglihatanmu tajam sekali, karena kami memang sedang sakit, menderita luka-luka dalam yang cukup berat.”

Hong Beng terkejut. “Ahh? Apakah ji-wi totiang baru saja berkelahi dengan orang lain?”

Kakek yang kurus kering mengangguk-angguk. “Memang penglihatanmu tajam sekali, dan tentu engkau seorang yang gagah perkasa, orang muda. Sebelum kita bicara lebih jauh, bolehkah pinto mengetahai siapa namamu dan dari perguruan manakah?”

Melihat sikap dua orang tosu itu seperti bukan orang jahat, dan memang kebanyakan pendeta dan pertapa tentulah orang-orang yang baik, maka diapun mengaku terus terang. “Saya bernama Gu Hong Beng, guru saya adalah pendekar Suma Ciang Bun....”

“Aihhh!” Si kakek gendut berseru. “Pendekar Suma dari Pulau Es?”

Hong Beng tersenyum, agak bangga. “Memang suhu adalah keturunan keluarga Pulau Es dan siapakah ji-wi totiang?”

Sebelum kakek gendut menjawab, kakek kurus sudah mendahului. “Kami adalah dua orang pertapa yang sudah lama mengasingkan diri dan kadang-kadang saja melakukan perjalanan ke gunung-gunung dan dusun-dusun. Pinto Pek-san Lo jin dan ini adalah sute Hek-san Lo-jin. Dalam perjalanan kami, di balik bukit ini, di sebuah dusun kami mendengar bahwa ada seorang siluman betina yang membikin kacau dusun dengan menculik dan membunuhi pemuda-pemuda tampan. Sebagai seorang yang selalu menentang kejahatan, kami berdua lalu melakukan penelitian dan mendapat kenyataan bahwa siluman betina itu adalah Bi-kwi, murid dari mendiang Sam Kwi....”

“Ah, aku tahu siluman itu!” Hong Beng berseru “Apakah ji-wi kalah olehnya sehingga terluka?”

“Sayang sekali, sebenarnya kami berdua dapat menundukkan siluman itu. Akan tetapi muncul dua orang yang membantunya sehingga kami terluka. Pembantunya itu bukan lain adalah seorang pemuda bernama Sim Houw, dan pacarnya bernama Can Bi Lan sumoi dari siluman betina itu....”

“Ahhhh....! Pacarnya....?” Hong Beng menegaskan dengan hati panas. Panas karena Bi Lan dan Sim Houw membantu Bi-kwi, juga panas karena mendengar bahwa Bi Lan menjadi pacar Sim Houw.

“Ya, pacarnya. Mereka demikian akrab, dan mereka lihai sekali. Kami kalah dan terluka. Ah, kalau taihiap adalah murid dari keluarga Pulau Es, kami harap taihiap suka menghadapi mereka, untuk menyelamatkan para pemuda di dusun-dusun wilayah ini.”

“Jangan khawatir, ji-wi totiang, saya dan suhu pasti akan dapat membasmi siluman itu dan kaki tangannya!”

Setelah kembali ke tempat di mana gurunya beristirahat, Hong Beng lalu bercerita tentang dua orang pertapa itu. Mendengar ini, Suma Ciang Bun menjadi marah. “Hemmm, mula-mula ia membantu para tokoh Pek-lian-kauw dan kini menculik pemuda-pemuda dusun. Hong Beng, mari kita pergi mencari mereka!”

“Akan tetapi suhu baru saja sembuh....”

“Aku sudah sembuh sama sekali. Mereka itu lihai, kalau engkau yang maju sendiri, aku khawatir engkau akan celaka. Kalau kita maju berdua, tentu mereka akan dapat kita basmi.”

Demikianlah, guru dan murid itu meninggalkan guha dan mulai dengan usaha mereka untuk mencari Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw. Dan pagi hari itu, kebetulan sekali mereka melihat Bi Lan dan Sim Houw dan melihat betapa Sim Houw memijit-mijit paha kiri Bi Lan, tentu saja cemburu, iri hati dan kemarahan membuat Hong Beng tak dapat menahan diri dan segera maju menegur dengan sikap marah.

Mendengar tuduhan Hong Beng terhadap Siu Kwi, Bi Lan segera menpambil sikap membela sucinya. “Ia juga menceritakan hal itu kepadaku!” bantahnya. “Memang benar ia telah membantu tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw untuk memusuhi Suma-locianpwe, akan tetapi ia melakukannya dengan terpaksa karena pemuda tunangannya ditawan oleh para tosu itu.”

Mendengar mereka berbantahan, Suma Ciang Bun segera melangkah maju. “Sudahlah, tidak perlu berbantahan. Yang penting, harap kalian suka memberi tahu di mana adanya siluman betina itu karena kami ingin membunuhnya.”

Bi Lan marah sekali, juga Sim Houw mengerutkan alisnya. Sikap pendekar keturunan keluarga Pulau Es ini sungguh tidak menyenangkan, dan terlalu terburu nafsu hendak membunuh orang. Tidak dapat diajak berunding dengan baik-baik, dan sikap itu agaknya didorong oleh ketinggian hati yang tidak memandang kepada orang lain.

“Suci Ciong Siu Kwi tidak bersalah dan kami tidak tahu ia berada di mana. Andaikata kami tahu sekalipun, tidak akan kami beritahukan kepada orang-orang yang berniat untuk mengganggunya!” kata Bi Lan dengan suara ketus.

Hong Beng meloncat ke depan. “Bi Lan!” katanya, suaranya keren. Antara kita sudah terjalin persahabatan sejak lama sekali, dan kita sama mengenal masing-masing sebagai pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan. Apakah engkau lupa akan hal itu? Ketika kita semua menyerbu para pembantu pembesar lalim Hou Seng. engkau melepaskan Bi-kwi dan kukira hal itu hanya karena engkau mengingat hubungan perguruan dan menaruh hati kasihan kepadanya. Akan tetapi siapa tahu, kini agaknya engkau malah tersesat dan hendak mengikuti jejaknya! Engkau melindungi seorang iblis betina, biarpun iblis itu pernah menjadi sucimu. Ingatlah, Bi Lan dan sadarlah sebelum terlambat.” Dia lalu memandang kepada Sim Houw. “Sim-taihiap selama ini kuanggap sebagai Pendekar Suling Naga yang terkenal. Kenapa setelah dekat dengan Bi Lan, tidak mau membimbing gadis ini ke arah jalan yang benar?”

“Hong Beng, tutup mulutmu! Engkau tidak berlak mengurus kehidupanku! Aku yakin akan kebenaran suciku yang ingin menjadi orang baik, dan kalau engkau tidak setuju, terserah. Tidak perlu memberi kuliah kosong kepadaku!” Bi Lan kini juga sudah marah sekali.

“Bi Lan, engkau tahu bahwa aku sayang kepadamu. Akan tetapi kalau engkau berpihak kepada iblis betina Bi-kwi, terpaksa aku menganggapmu sebagai orang yang akan menyeleweng dan patut dihajar.”

“Keparat, majulah! Siapa takut kepadamu?” Bi Lan juga membentak marah. Hong Beng maju dan mengirim tamparan yang dielakkan oleh Bi Lan dan gadis inipun membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula dielakkan oleh Hong Beng. Mereka segera terlibat dalam suatu perkelahian sengit, karena keduaya sudah menjadi panas hati dan marah sekali.

Cemburu memang merupakan suatu penyakit yang amat berbahaya. Anggapan bahwa cinta harus dihiasi cemburu adalah anggapan yang menyesatkan.

Cemburu timbul dari pementingan diri pribadi, cemburu adalah iri hati karena keinginannya untuk menguasai sesuatu atau seseorang secara mutlak, terganggu. Cemburu mendatangkan kemarahan dan bahkan kebencian, menimbulkan permusuhan. Cinta kasih adalah sesuatu yang suci murni, dan hanya dengan peniadaan kepentingan diri pribadi maka cinta kasih dapat bersinar. Cemburu adalah kembangnya nafsu, bukan kembangnya cinta.

Hong Beng tadi menganggap bahwa dia mencinta Bi Lan. Akan tetapi karena Bi Lan menolak cintanya, datanglah cemburu dan dia merasa iri hati terhadap setiap orang pria yang akrab dengan gadis yang pernah membuatnya tergila-gila itu. Dan dari kenyataan ini saja mudah dinilai bahwa cintanya terhadap Bi Lan adalah cinta nafsu, cinta karena tertarik oleh kecantikan dan pribadi gadis itu. Cintanya mudah berubah menjadi cemburu dan kebencian sehingga kini tanpa ragu-ragu lagi dia mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk berkelahi dengan gadis yang katanya pernah dia cinta itu! Berkelahi mati-matian berarti berusaha untuk mencelakai, melukai atau bahkan membunuh! Mungkinkah cinta kasih yang suci berubah menjadi nafsu ingin membunuh? Kalau cinta nafsu memang mungkin, karena antara cinta berahi dan nafsu membunuh terdapat pertalian yang kuat, yaitu keduanya timbul dari pementingan diri sendiri, merupakan nafsu yang selalu menguasai batin manusia.

Melihat betapa gadis itu dapat bergerak dengan lincah, Hong Beng lalu mengeluarkan tenaga sakti yang dilatihnya dengan tekun, yaitu tenaga Hwi-yang Sin-kang dari keluarga Pulau Es.

“Dukk!” Bi Lan menahan seruannya ketika tangannya bertemu dengan tangan Hong Beng karena dari tangan pemuda itu keluar hawa panas yang luar biasa sekali, seperti hendak membakar tangannya? Marahlah gadis ini. Ia maklum betapa lihainya murid keluarga Pulau Es ini, maka iapun cepat meraba gagang pedangnya.

“Singgg....!” Nampak sinar berkilauan ketika Ban-tok-kiam dicabut. Melihat ini, Suma Ciang Bun terkejut bukan main. Dia jarang melihat pedang Ban-tok-kiam milik nenek Wan Ceng sehingga dia tidak mengenal pedang itu. Akan tetapi dia tahu benar bahwa pedang di tangan gadis itu tentulah sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, maka dia mengeluarkan seruan kaget. Juga Hong Beng terkejut. Tentu saja dia mengenal pedang ini dan maklum betapa ampuhnya Ban-tok-kiam, maka diapun melompat ke belakang.

“Bi Lan, engkau mempergunakan pusaka itu apakah benar-benar hendak membunuh aku?”

Bi Lan tersenyum mengejek. “Hong Beng, kalau engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan ampuh itu, apakah bukan untuk membunuhku melainkan untuk bersamaku menari-nari?”

Mendengar ejekan ini, Hong Beng maju lagi. “Baiklah, kalau engkau hendak membunuhku, akupun tidak takut mati!” Dan diapun menyerang lagi, akan tetapi terpaksa meloncat ke samping ketika di sambut tusukan pedang yang mengeluarkan sinar yang menggiriskan.

“Gadis kejam menggunakan senjata yang keji!“ Tiba-tiba Suma Ciang Bun meloncat ke depan. “Biarkan aku menghadapinya, Hong Beng!”

Akan tetapi, Sim Houw sudah menghadang ke depan pendekar itu. “Locianpwe, maafkan saya. Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka dan harap locianpwe tidak mencampuri.”

Suma Ciang Bun kini menatap wajah Sim Houw. Sudah pernah aku mendengar berita tentang munculnya pendekar muda, yang berjuluk Pendekar Suling Naga. “Kalau engkau membela siluman betina, biarlah aku mencoba kelihaianmu.” Berkata demikian. Suma Ciang Bun sudah maju menampar dan tamparannya mendatangkan angin yang amat kuat. Sim Houw cepat mengelak dan diapun maklum bahwa pendekar itu memiliki tenaga sakti dari keluarga Pulau Es yang amat berbahaya, maka diapun lalu mengeluarkan Liong-siauw-kiam, yaitu suling pedangnya yang ampuh. Melihat senjata itu, Suma Ciang Bun memandang kagum.

“Itukah Liong-siauw-kiam yang terkenal itu? Bagus, hendak kucoba keampuhannya!” Dan diapun mencabut keluar sepasang pedangnya. Siang-kiam (sepasang pedang) itu indah sekali, ketika dicabut mengeluarkan sinar putih dan gagangnya dihias ronce-ronce biru dan ketika digerakkan, maka sepasang pedang itu saling berpapasan dan mengeluarkon suara berdencing dan muncratlah bunga api. Dia telah memainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat hebat dari Pulau Es.

Sim Houw tentu saja maklum akan kelihaian lawan dan diapun memutar senjatanya yang istimewa. Akan tetapi, pendekar ini tidak berniat untuk mencelakai lawan. Dia tahu benar bahwa Suma Ciang Bun adalah keturunan keluarga Pulau Es, seorang pendekar tulen dan kalau sekarang berkelahi dengannya, tidak lain hanya karena salah paham gara-gara Siu Kwi. Tentu saja pendekar ini bersama muridnya emngenal Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi karena sejak dahulu memang Siu Kwi dimusuhi para pendekar bahkan sudah beberapa kali bentrok dengan Hong Beng. Tentu saja Hong Beng dan guru nya sama sekali tidak tahu, bahkan tidak akan mau percaya bahwa Ciong Siu Kwi kini sudah bukan Bi-kwi lagi, bukan Setan Cantik, bukan manusia iblis yang jahat, melainkan seorang wanita yang jatuh cinta dan yang sedang berusaha untuk merobah jalan hidupnya, ingin menjadi seorang isteri yang baik dan setia, ingin menjadi seorang ibu yang baik dan bijaksana! Sim Houw tidak mungkin dapat memusuhi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun dan Hong Beng. Kalau dia sekarang terpaksa maju, hanyalah karena dia tidak ingin pendekar itu melawan Bi Lan.

Suma Ciang Bun adalah seorang pendekar yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Tentu saja gerakan-gerakan Sim Houw yang tidak sungguh-sungguh itu segera dapat diketahuinya dan diapun mulai meragu apakah Pendekar Suling Naga ini pantas menjadi musuhnya! Jangan-jangan pendekar ini dan gadis itu membela siluman betina itu karena memang ada dasarnya yang kuat! Diapun meragu dan tidak sungguh-sungguh pula mendesak dengan siang-kiamnya, karena tentu saja dia segan untuk mendesak lawan yang tidak bersungguh-sungguh menyerangnya.

Berbeda dengan perkelahian yang terjadi antara Bi Lan dan Hong Beng. Dua orang muda itu agaknya sudah dikuasai oleh kemarahan dan keduanya berkelahi dengan mati-matian! Akan tetapi, Hong Beng terdesak hebat karena pemuda ini jerih menghadapi Ban-tok-kiam. Dia banyak mengelak dan hanya kadang-kadang saja membalas dengan pukulan jarak jauh, mengandalkan sin-kang yang hebat dari keluarga Pulau Es yang sudah dikuasainya. Dan agaknya Bi Lan juga merasa betapa ia telah mendapatkan kemenangan karena pedangnya, maka pedangnya itu hanya dipergunakan untuk mengancam saja, dengan kelebatan sinarnya yang bergulung-gulung, sedangkan dara ini lebih condong menyerang dengan tamparan tangan kiri atau tendangan kakinya. Agaknya ia ingin menang dengan serangan kaki atau tangannya, bukan dengan pedangnya.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dari jauh, suara desis yang makin lama semakin keras dan terciumlah bau amis binatang buas! Semua orang yang sedang berkelahi itu cepat meloncat untuk menghentikan perkelahian sementara, dan nampaklah oleh mereka seorang laki-laki kecil kurus bongkok sedang mengeluarkan suara mendesis tinggi sambil kedua tangannya diacung-acungkan ke atas dan di depannyw merayap ratusan ekor ular besar kecil seperti sekumpulan bebek yang sedang digembalakan oleh orang kurus bongkok itu. Ratusan ekor ular itu mengeluarkan suara mendesis-desis dan binatang-binatang inilah yang mengeluarkan bau amis. Suara mendesis semakin keras karena ular-ular itu kini merayap dengan cepat ke arah mereka yang tadi berkelahi, agaknya diberi semangat oleh kakek bongkok yang menjadi gembalanya. Di belakang kakek bongkok itu nampak lima orang lain lagi yang kesemuanya bersenjata tongkat.

Melihat kakek bongkok itu, tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa dia adalah Coa-ong Seng-jin, tokoh Pek-lian-kauw yang semalam mengeroyok mereka. Terkejutlah Sim Houw.

“Lan-moi, mari kita pergi!” katanya dan diapun menangkap tangan Bi Lan dan meloncat jauh lalu mengajak gadis itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.

“Hendak lari ke mana kau?” bentak Hong Beng yang hendak mengejar, akan tetapi suhunya berseru. “Hong Beng, jangan kejar!”

Hong Beng tidak melanjutkan pengejarannya dan menghampiri suhunya yang masih memandang ke arah kakek bongkok yang menggiring ratusan ular itu. Kini ular-ular itu seperti binatang-binatang sirkus terlatih saja, mengepung tempat itu seperti barisan mengepung musuh. Melihat betapa penggembala ular itu memakai tanda anggauta Pek-lian-kauw di dadanya, diam-diam Suma Ciang Bun menjadi marah. Jelaslah bahwa dua orang muda tadi benar-benar telah bersekongkol dengan siluman betina yang menjadi sahabat orang-orang Pek-lian-kauw, pikirnya. Dia pernah dikeroyok tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw bersama siluman betina bernama Bi-kwi itu, dan dua orang muda tadi menbela Bi-kwi. Kini terbukti bahwa kakek Pek-lian-kauw dan ular-ularnya ini datang untuk membantu Sim Houw dan Bi Lan, dan mengepung dia dan muridnya.

Tiba-tiba Suma Ciang Bun mengeluarkan bunyi melengking tinggi sekali, suara yang keluar dari mulutnya seperti bukan suara orang, seperti suara suling melengking. Hong Beng yang pernah mendengar dari suhunya bahwa suhunya juga memiliki ilmu pawang ular, yaitu ilmu untuk menguasai ular-ular yang pernah dipelajari dari ibu suhunya, memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian. Dia sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu dan dia tidak gentar menghadapi pengepungan ular-ular itu walaupun merasa jijik. Dia melihat betapa kini semua ular yang berada di situ mengangkat kepala seperti mendengarkan suara melengking itu dan menghadap ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar itu menggerak-gerakkan kedua tangannya yang diangkat ke atas dan lengannya, membentuk ular yang mematuk-matuk, hampir sama dengan gerakan Coa-ong Seng-jin yang menggembala ular-ular itu. Dan kini ular-ular itu berhenti mendesis-desis dan nampak gelisah, bahkan sudah ada yang merayap pergi ketakutan!

Coa-ong Seng-jin terkejut bukan main melihat betapa ular-ularnya dapat dikuasai orang lain. Diapan cepat mengeluarkan suara mendesis tinggi dan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang juga membentuk tubuh ular yang mengangkat kepalanya, dengan tangan menjadi kepala ular. Dia mengerahkan seluruh kepandaian pawangnya untuk menguasai kembali ular-ularnya. Namun, Suma Ciang Bun juga terus mengeluarkan suara melengking dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. Ular-ular itu menjadi panik dan bingung sekali, tidak tahu harus mentaati perintah yang mana di antara keduanya itu karena keduanya memiliki daya tekan yang sama kuatnya. Karena panik, ular-ular itu lari simpang-siur, saling bertabrakan dan kemudian menjadi ganas dan saling gigit!

“Hooo-hoooo, anak-anak bodoh.... dengarkan aku, majulah.... maju dan serang musuhku....!” Coa-ong Seng-jin berteriak-teriak marah.

Akan tetapi karena dia berteriak-teriak, dengan sendirinya desisnya terhenti dan pengaruhnya atas ular ular itupun membuyar sehingga pengaruh lengkingan Suma Ciang Bun menjadi kuat sekali, membuat ular-ular itu mentaati dan segera mereka merayap dan lari cerai-berai meninggalkan tempat itu seperti sekelompok anjing yang disiram air atau diancam gebukan!

Coa-ong Seng-jin menjadi marah bukan main. Dengan sepasang mata berubah merah, dia lalu meloncat ke depan, menangkap seekor ular yang besar dan panjang, dan ular itu segera menjadi jinak di tangannya. Dengan senjata baru berupa ular yang ternyata adalah seekor ular senduk yang amat berbisa itu, dia melangkah maju menghampiri Suma Ciang Bun.

“Setan, siapakah engkau?” bentaknya. Coa-ong Seng-jin tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat dan akal busuk yang dipergunakan oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin untuk mengadu domba antara pendekar keluarga Pulau Es ini bersama muridnya dengan Sim Houw dan Bi Lan. Dia bersama teman-temannya sedang mencari-cari kedua orang muda itu setelah rombongannya yang terdiri dari tigabelas orang dipecah menjadi tiga rombongan kecil oleh Thian Kong Cin-jin. Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu sedang berkelahi melawan dua orang lain dia cepat memanggil ular-ular ita untuk mengepung agar, dia dapat segera turun tangan merobohkan Sim Houw dan Bi Lan. Akan tetapi, ternyata dua orang muda itu sudah lebih dahulu melarikan diri dan kini ular-ularnya malah dibikin kacau oleh laki-laki tampan yang pakaiannya indah ini!

Suma Ciang Bun sudah mengenal Coa-ong Seng-jin sebagai seorang tokoh Pek-lian-kauw dari lukisan teratai putih di jubah kakek itu, maka diapun terus terang menjawab dengan tenang. “Tosu Pek-lian-kauw, aku bernama Suma Ciang Bun dan ini muridku Gu Hong Beng.”

“Suma....? Keluarga Pulau Es....?” Coa-ong Seng-jin membentak dan empat orang temannya juga terkejut mendengar nama keluarga itu.

Suma Ciang Bun mengangguk sambil menahan senyumnya. “Celaka, kiranya keparat dari keluarga Pulau Es! Bunuh dia dan muridnya!” Dan diapun sudah menggerakkan tangannya dan ular cobra itu sudah dilemparkannya ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar ini dengan tenang saja mengulur tangan menangkap ular itu yang segera menjadi jinak pula, kemudian dia melemparkan ular itu kembali ke arah lawan! Coa-ong Seng-jin menerima ularnya kembali, akan tetapi ular itu segera dibantingnya karena dianggap tidak ada gunanya dipakai menyerang seorang yang memiliki ilmu pawang ular seperti lawannya. Dengan menggereng keras dia lalu mengeluarkan sebatang rantai dari pinggangnya, dan meluncurlah rantai itu menghantam ke arah Suma Ciang Bun. Kiranya kakek bongkok ini memang ahli mempergunakan senjata rantai dan tidak aneh kalau dia suka mempergunakan ular sebagai senjata, pengganti rantainya.

Suma Ciang Bun menyambut dengan sepasang pedangnya yang tadi sudah disimpannya. Dua gulungan sinar putih berkelebat dan bergulung-gulung ketika dia menghadapi serangan rantai lawannya. Empat orang teman Coa-ong Seng-jin yang terdiri dari tiga orang anggauta Pek-lian-kauw dan seorang anggauta Pat-kwa-kauw maju pula mengeroyok. Hong Beng tidak tinggal diam, cepat dia maju menghadapi dan membantu gurunya.

Kembali di tempat itu terjadi perkelahian yang lebih sengit dari pada tadi. Akan tetapi sekali ini, guru dan murid itulah yang menjadi pemenang dengan mendesak lima orang lawannya. Empat orang pembantu Coa-ong Seng-jin itu adalah murid-murid kepala, maka rata-rata mereka sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Namun, menghadapi Hong Beng dan gurunya, mereka repot sekali. Belum sampai tigapuluh jurus, dua orang murid kepala roboh, seorang terkena tamparan Hong Beng dan yang kedua terserempet pedang di tangan Suma Ciang Bun. Melihat ini, tiga orang tosu lainnya cepat menyambar tubuh kawan yang roboh dan melarikan diri.

Kembali Suma Ciang Bun melarang muridnya untuk melakukan pengejaran. “Tidak perlu mengejar musuh yang melarikan diri,” katanya. “Kecali kalau musuh lari membawa pergi sesuatu.”

Hong Beng menarik napas panjang. Kemarahannya yang timbul karena cemburu tadi masih belum lenyap dan dia merasa hatinya mengkal dan tidak enak sekali. “Sayang sekali tosu-tosu bedebah itu datang mengganggu, suhu, sehingga Sim Houw dan Bi Lan dapat melarikan diri.”

Suma Ciang Bun tersenyum dan memandang wajah muridnya dengan tajam, kemudian tiba-tiba dia bertanya, “Hong Beng, apakah engkau mencinta gadis itu?”

“Gadis.... gadis mana.... apa maksud suhu?” Hong Beng terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu dan biarpun dia maklum siapa yang dimaksudkan suhunya, saking kagetnya dia menjadi gugup.

“Engkau mencinta atau pernah mencinta Can Bi Lan, bukan?”

Hong Beng menundukkan mukanya yang berubah merah dan dia mencoba tersenyum, senyum pahit, lalu dia mengangguk. “Teecu tidak dapat berbohong kepada suhu. Memang sesungguhnyalah, teecu mencinta.... atau lebih tepat lagi pernah mencinta Bi Lan.”

“Dan menurut ucapan gadis tadi, hubungan kalian putus karena gadis itu menolak cintamu karena ia sudah mencinta Sim Houw?”

“Ia memang menolak cinta teecu, suhu, akan tetapi ketika itu ia belum mencinta siapapun juga. Baru sekarang teecu melihat ia akrab dengan Sim Houw, keakraban yang tidak sopan dan tidak tahu malu!”

Hatinya menjadi semakin panas ketika ia teringat dan membayangkan adegan mesra antara Bi Lan dan Sim Houw tadi.

“Engkau tidak sungguh-sungguh mencintanya, Hong Beng, karena itu lupakan saja gadis itu. Bodoh sekali kalau menyiksa diri dan membenamkan diri dalam kebencian dan kedukaan karena cintanya ditolak.”

Wajah Hong Beng menjadi merah. “Teecu juga sudah melupakannya, suhu. Hanya teecu merasa tak senang dan panas sekali melihat betapa Bi Lan yang dahulunya seorang pendekar wanita yang lihai dan menentang kejahatan, kini setelah bergaul dengan Sim Houw lalu berbalik menjadi sesat dan membela wanita iblis seperti Bi-kwi yang bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-kauw.

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. “Aku masih merasa heran dengan sikap mereka, Hong Beng. Pendekar Suling Naga itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak berkelahi sungguh-sungguh tadi ketika melawanku.”

“Ah, akan tetapi Bi Lan menyerang teecu dengan mati-matian, sehingga nyaris teecu tewas oleh Ban-tok-kiam di tangannya!” kata Hong Beng penasaran.

“Ban-tok-kiam....?” tanya Suma Ciang Bun karena dia merasa pernah mendengar nama pedang itu.

“Benar, suhu. Pedang yang mengerikan itu adalah Ban-tok-kiam, pedang milik isteri dari locianpwe Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”

“Apa....?” Suma Ciang Bun terkejut sekali, memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak.

“Kaumaksudkan pedang milik.... bibi Wan Ceng....? Apa hubungannya gadis itu dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?”

“Mereka adalah guru-guru Bi Lan, suhu.”

“Eh? Bukankah kaubilang bahwa Can Bi Lan itu sumoi dari Bi-kwi, dengan demikian murid dari Sam Kwi?”

“Benar, suhu, akan tetapi Bi Lan pernah bertemu dengan Kao-locianpwe dan isterinya, dan menerima gemblengan mereka, bahkan diberi pinjam pedang Ban-tok-kiam. Bi Lan sendiri menceritakan semua ini kepada teecu.”

Ciang Bun menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. “Sungguh aneh sekali. Bagaimana mungkin paman Kao Kok Cu dan bibi Wan Ceng mau mengambil murid seorang gadis yang telah menadi murid Sam Kwi?”

“Dan sekarang agaknya watak Sam Kwi dan Bi-wi telah menular kepada Bi Lan sehingga ia menjadi eorang wanita sesat.”

“Jangan menuduh sembarangan lebih dulu, Hong Beng. Bagaimanapun juga, aku masih merasa sangsi. Kalau mereka bersekutu dengan pihak Pek-lian-kauw, tentu mereka tadi tidak melarikan diri dan bersama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw itu mengeroyok kita. Kalau demikian halnya, mungkin kita berdua takkan kuat bertahan.”

Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. Dia bermaksud mengunjungi encinya, yaitu Suma Hui yang telah menjadi isteri Kao Cin Liong, selain untuk menjenguk kakaknya itu,juga untuk bicara dengan kakak iparnya, Kao Cin Liong, tentang keanehan orang tua pendekar itu yang mengambil gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi sebagai murid pula, bahkan meminjamkan pedang pusaka sehingga Bi Lan mempergunakan pedang pusaka itu untuk bertindak sesat.

“Sim koko, kenapa sih engkau selalu mengajak aku melarikan diri? Lama kelamaan aku bisa merasa sebagai seorang pengecut besar. Sudah beberapa kali, di tengah pertandingan engkau memaksa aku untuk melarikan diri. Untuk yang sudah-sudah engkau selalu mempunyai alasan. dan sekarang apa lagi alasanmu, Sim-ko? Aku tidak kalah menghadapi Hong Beng yang sombong itu, dan engkaupun belum tentu kalah oleh gurunya. Kemunculan para tosu Pek-lian-kauw itupun tidak membuat aku menjadi jerih. Kenapa kita harus melarikan diri seperti dikejar setan?” tanya Bi Lan dengan suara mengandung penasaran dan matanya yang jeli itu menatap wajah Sim Houw dengan tajam penuh selidik.

“Lan-moi, sebetulnya sejak semula aku ingin mencegah engkau berkelahi dengan Hong Beng dan gurunya, akan tetapi engkau dan Hong Beng demikian bernapsu untuk berkelahi. Ketika para tosu Pek-lian-kauw muncul, kesempatan baik muncul dan aku mengajak engkau pergi. Aku pikir bahwa tidak semestinya kita melayani Hong Beng dan gurunya hanya salah paham dengan kita.”

“Salah paham apa? Hong Beng menghinaku!” bentak Bi Lan marah.

Sim Houw tersenyum. “Dia marah-marah karena salah paham, Lan-moi. Pertama, bantuan kita terhadap Ciong-lihiap menimbulkan salah paham sehingga dia menyangka kita membela pihak yang jahat. Kemudian yang ke dua, dia melihat keadaan kita dan kembali dia salah kira, menyangka yang bukan-bukan. Dia bukan sengaja menghina, melainkan bertindak sembrono karena salah sangka dan karena cemburu....“

“Kenapa mesti cemburu? Aku bukan pacarnya, bukan kekasihnya, bukan apa-apanya! Sudah dua kali dia mengulang perbuatannya yang didorong oleh cemburu buta itu. Pertama kali ketika aku terluka dan Cu Kun Tek mengobati punggungku, Hong Beng juga menjadi cemburu dan menyerang Kun Tek kalang-kabut seperti orang gila. Kemudian tadi.... hemmm, dia kira aku ini siapa? Aku bukan apa-apanya, dia tidak berhak untuk cemburu!”

Sim Houw menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Hong Beng. Tahulah dia bahwa Hong Beng pernah tergila-gila kepada Bi Lan dan agaknya karena cintanya ditolak, Hong Beng menjadi sakit hati dan cemburu. Memang hal itu buruk sekali, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan Hong Beng yang masih muda itu.

“Karena engkau menolak cintanya maka dia sakit hati dan cemburu, Lan-moi.”

“Apa dia akan memaksa bahwa aku harus membalas cintanya? Phuhh, memang wataknya buruk sekali. Orang lain yang kutolak cintanya tidak marah-marah dan cemburu macam dia!”

Sim Houw tertarik sekali. “Siapakah dia itu, Lan-moi?”

Bi Lan sedang panas hatinya terhadap Hong Beng dan sedang merasa penasaran karena diajak pergi melarikan diri oleh Sim Houw, maka tanpa berpikir panjang lagi ia menjawab, “Kun Tek juga menyatakan cintanya kepadaku dan kutolak!” Tiba-tiba dara itu berhenti bicara karena ia teringat bahwa Kun Tek masih terhitung paman Sim Houw, walaupun usia Sim Houw belasan tahun lebih tua dari pemuda Lembah Naga Siluman itu.

Akan tetapi Sim Houw tersenyum, tidak nampak kaget karena memang diapun sudah pernah menduganya. “Lan-moi, dua orang pemuda gagah perkasa dan pilihan telah menyatakan cinta kepada dirimu. Akan tetapi kenapa engkau menolak keduanya?”

Bi Lan mengerutkan alisnya. “Habis, kalau aku tidak mempunyai perasaan cinta terhadap mereka, apakah aku harus menerima seorang di antara mereka?”

Sim Houw menggeleng kepalanya. “Tentu saja tidak, Lan-moi. Tetapi.... apakah selama ini engkau tidak pernah jatuh cinta kepada seseorang?”

Bi Lan melupakan kemarahannya dan ia tersenyum. “Agaknya nasibku sama dengan engkau, Sim-ko. Seperti juga engkau yang selama ini tidak pernah jatuh cinta lagi kepada seorang gadis, akupun tidak pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Agaknya ada persamaan antara kita. Kalau engkau sekali waktu jatuh cinta kepada seorang wanita, mungkin sekali akupun akan jatuh cinta kepada seorang pria, siapa tahu?” Dan gadis itupun lari mendaki bukit di depan dengan cepat. Sim Houw tertegun sejenak, lalu menggeleng kepala dan mengejar. Dia sungguh tidak mengerti akan sikap Bi Lan. Gadis itu amat menarik hatinya, amat dicintanya sejak pertama kali bertemu. Bi Lan dianggapnya memiliki watak yang amat aneh, dan mungkin keanehan watak gadis inilah yang merupakan satu di antara daya tarik gadis itu baginya. Kadang-kadang demikian mudah membaca isi hati Bi Lan, seperti membaca sebuah kitab terbuka saja. Akan tetapi ada kalanya, sikap Bi Lan merupakan teka-teki yang amat sulit baginya, sukar dimengerti. Kadang-kadang timbul harapannya karena dia melihat tanda-tanda bahwa Bi Lan sayang dan cinta kepadanya, akan tetapi dia masih meragukan hal ini. Mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan dapat jatuh cinta kepadanya? Bi Lan telah menolak cinta kasih pemuda-pemuda hebat yang sebaya dengan gadis itu. Kalau pendekar-pendekar muda seperti Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek saja ditolak cintanya, apa lagi seorang laki-laki yang sudah tua seperti dia! Usianya sudah tigapuluh empat atau tigapuluh lima tahun, sedangkan usia Bi Lan baru delapan belas tahun. Dia dua kali lebih tua dari gadis itu, pantas menjadi pamannya! Mungkinkah gadis muda seperti Bi Lan yang menolak dua orang pendekar perkasa dan muda seperti Hong Beng dan Cu Kun Tek, dapat mencinta seorang tua seperti dia? Sukar untuk dapat dipercaya dan hal inilah yang membuat hati Sim Houw senantiasa meragu dan dia takut untuk menyatakan cinta kasihnya. Takut kalau-kalau pernyataan cintanya hanya akan memisahkan dia dari Bi Lan. Biarlah tidak menyatakan cinta, disimpannya sebagai rahasianya sendiri saja asalkan dia dapat berdekatan terus dengan Bi Lan. Dia telah tergila-gila kepada Bi Lan, mencinta Bi Lan dengan seluruh batin dan badannya, sampai ke rambut-rambutnya, dan baru sekaranglah dia mencinta wanita lain setelah dulu cintanya ditolak oleh Kam Bi Eng.

Dilihatnya bayangan Bi Lan sudah sampai di puncak bukit itu, maka diapun segera mengerahkan tenaganya untuk mempercepat larinya mengejar gadis itu. Mereka sudah tiba di perbatasan utara dan Sim Houw sudah mendengar bahwa daerah tembok besar ini selain sunyi dan liar, juga amat berbahaya karena siapa yang dihadang oleh orang-orang jahat di daerah ini, jangan harap akan bisa mendapatkan pertolongan dari orang lain karena tempat itu sunyi.

***

Bekas Panglima Kao Cin Liong yang kini menjadi seorang saudagar rempa-rempa di kota Pao-teng, di kenal oleh hampir semua orang di kota itu. Bukan hanya dikenal sebagai seorang pedagang yang berhasil, melainkan juga sebagai seorang dermawan yang selalu membuka kedua tangan untuk menolong orang lain yang kesusahan, juga terkenal sebagai seorang bekas panglima dan seorang pendekar yang berilmu tinggi. Apa lagi di kalangan dunia persilatan. Semua orang kang-ouw tahu belaka siapa adanya Kao Cin Liong, karena dia adalah putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Juga isterinya amat terkenal, karena Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.

Seperti telah kita ketahui, Kao Cin Liong yang kini berusia limapuluh tahun dan Suma Hui yang berusia empatpuluh tahun itu, hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan berusia tigabelas tahun yang diberi nama Kao Hong Li. Mudah saja diduga bahwa Hong Li tentu saja memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Ayah dan ibunya adalah pendekar-pendekar kenamaan yang sakti, maka tentu saja sejak anak ini masih kecil, ia telah digembleng oleh kedua orang tuanya sehingga ketika usianya tigabelas tahun, ia telah menjadi seorang anak perempuan yang lincah dan lihai bukan main. Sukar mencari seorang dewasa, biar pria sekalipun, yang akan mampu mengalahkan gadis cilik ini. Bahkan mereka yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja, jangan harap akan mampu menandingi Hong Li. Di dalam usianya yang baru tigabelas tahun, Hong Li sudah nampak cantik. Mudah dilihat bahwa iaakan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan menarik dalam waktu beberapa tahun lagi. Tubuhnya tinggi langsing dan padat, penuh dengan tenaga terlatih. Matanya yang membuka wajahnya nampak cerah. Mata itu paling indah. Lebar dan jeli, bagaikan telaga yang bening. Sikapnya lincah, jenaka, akan tetapi galak. Hal terakhir ini mungkin timbul karena sebagai anak tunggal, tentu saja ada sedikit kemanjaan dalam hatinya. Apa lagi kesadaran bahwa ayah ibunya adalah pendekar-pendekar sakti yang dikagumi dan dihormati orang sedikit banyak mendarangkanketinggian hati. Ayah ibunya tidak menghendaki hal ini dan tentu saja mereka tidak suka kalau anak tunggal mereka tinggi hati atau manja, akan tetapi karena mereka menganggap Hong Li masih terlalu kecil dan kurang pengalaman, maka sedikit ketinggian hati dan kemanjaan itu mereka anggap sebagai hal lumrah yang kelak tentu akan hilang sendiri kalau jiwa pendekar sudah menjadi dasar batin Hong Li.

Peradaban dan kebudayaan kita telah membentuk diri kita seperti keadaannya sekarang, yaitu gila hormat dan haus akan pujian! Semenjak kecil kita dijejali kebiasaan untuk mengagungkan nilai-nilai, mengejar nilai-nilai. Anak-anak kecil dipuji kalau melakukan hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan, dicela kalau sebaliknya. Di sekolahpun para murid diajar untuk memperebutkan nilai-nilai. Kemajuan mereka diukur dengan nilai-nilai. Karena itu, kita berangkat besar dengan pengertian bahwa kita amat memerlukan nilai-nilai baik dalam kehidupan ini, dan betapa senangnya menerima pujian-pujian, betapa tidak menyenangkan menerima celaan-celaan. Kita menjadi orang-orang yang munafik dan palsu, mengejar pujian-pujian dengan segala cara. Kita selalu ingin memamerkan segi-segi yang dipandang baik oleh orang lain dalam diri kita, hanya untuk mengejar pujian. Kita berangkat dewasa menjadi manusia yang gila pujian dan gila hormat.

Tidak mengherankan kalau Hong Li tidak terkecuali. Ia berangkat besar seperti anak-anak lain yang selalu haus akan pujian dan selalu ingin memamerkan kepandaiannya, ingin menonjolkan keistimewaan yang ada pada dirinya dan yang tidak terdapat pada diri orang lain.

Seperti orang-orang tua yang hidup di alam kita ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui juga tidak terkecuali, selalu mengajarkan kepada anak tunggal mereka tentang kebaikan agar anak mereka selalu berbuat kebaikan dan menjadi “orang baik”, selalu menjauhkan perbuatan-perbuatan yang dianggap jahat dan tidak baik. Seperti juga orang-orang tua lain dalam kehidupan kita ini, mereka ingin membentuk anak mereka, seperti membentuk sebuah boneka dari tanah liat, agar menjadi sebaik-baiknya, tentu saja menurut pandangan mereka yang juga menjadi pandangan masyarakat, menjadi pandangan umum sesuai dengan kebudayaan dan peradaban kita.

Akan tetapi, dapatkah kebaikan diajarkan, dipelajari dan dilatih? Segala yang dapat dipelajari dan dilatih adalah sesuatu yang mati, dan sesuatu yang diusahakan untuk dimiliki tentu mempunyai dasar sebagai pamrih. Kalau kita berbuat kebaikan dengan pamrih, setelah mempelajari dan melatihnya, apakah itu dapat dinamakan kebaikan lagi, ataukah bukan sekedar cara dan usaha untuk mendapatkan pamrih itu, yang dapat saja berupa pujian, kepuasan hati, pahala batiniah dan sebagainya? Kebaikan yang SENGAJA DILAKUKAN dengan kesadaran bahwa kita melakukan perbuatan baik, jelas bukan kebaikan lagi namanya, melainkan suatu usaha. Dan seperti usaha-usaha lainnya, kalau sampai usaha itu gagal mendatangkan hasil, tentu akan mengecewakan. Misalnya, orang yang menolong orang lain kemudian orang yang ditolongnya itu tidak membalas kebaikannya bahkan merugikan, tentu akan merasa sakit hati dan kecewa. Orang yang melakukan kebaikan, kemudian tidak menerima pujian bahkan dicela, tentu akan marah dan kecewa! Jelaslah bahwa kebaikan-kebaikan seperti itu, yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa yang dilakukan itu adalah kebaikan, bukan kebaikan lagi namanya, melainkan hanya sekedar cara untuk menyenangkan hati sendiri memetik buahnya kelak!

Betapa jauh bedanya dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan cinta kasih. Perbuatan ini digerakkan oleh perasaan sayang, perasaan iba, tanpa pamrih apapun juga untuk diri sendiri, merupakan perbuaran spontan yang wajar. Bukan lagi dinamakan kebaikan karena si pelaku tidak mengingat lagi apakah perbuatannya itu baik ataukah tidak baik. Yang ada hanyalah kewajaran, tanpa pamrih, dan dalam perbuatan seperti ini maka sinar cinta kasih akan meneranginya.

Betapa lucu namun amat menyedihkan melihat betapa kita berlumba-lumba untuk menjadi orang baik dengan menyebar segala perbuatan palsu, seolah-olah kebaikan dapat dicapai melalui kepalsuan dan kemunafikan. Lihat betapa bangsa-bangsa berlumba di dunia ini untuk membicarakan dan mencapai perdamaian dengan senjata di tangan! Kalau ada sinar cinta kasih menerangi batin, maka tanpa diusahakan sekalipun, kedamaian tentu sudah ada, karena takkan mungkin terjadi perang! Kalau ada cinta kasih di dalam batin, maka kita tidak perlu melakukan perbuatan yang kita anggap baik lagi, karena setiap perbuatan kita yang berdasarkan cinta kasih adalah suci!

Pada suatu sore, terdengar sorak dan tepuk tangan sekumpulan anak-anak di kebun rumah besar keluarga Kao Cin Liong. Mereka adalah belasan orang anak-anak laki-laki dan perempuan yang berkumpul di kebun itu, mengagumi Hong Li yang sedang bermain silat pedang. Memang indah sekali permainan itu. Hong Li baru saja menerima oleh-oleh sebatang pedang yang indah dari ayah ibunya yang baru saja kembali dari kota raja. Sebatang pedang yang mewah, bukan pedang pusaka, namun terbuat dari baja yang baik, bentuknya kecil dan cocok untuk dimainkan seorang anak perempuan, gagangnya terukir indah dan pedang itu sendiri putih bersih berkilau seperti perak. Sarung pedangnya juga penuh dengan ukiran bunga dan kupu-kupu beraneka warna, amat halus dan indah ukirannya. Dan kini, Hong Li bermain pedang itu di dalam kebun, disaksikan dan dikagumi oleh belasan orang anak-anak. Mereka itu adalah teman-teman bermain Hong Li, anak-anak tetangga. Memang, dalam hal ini Kao Cin Liong dan isterinya bersikap bebas, tidak seperti orang-orang tua lain yang memperhitungkan derajat dan kedudukan dalam memilih teman-teman untuk anak-anak mereka. Biarpun Cin Liong dan Suma Hui adalah suami isteri pendekar yang lihai sekali, bahkan Kao Cin Liong seorang bekas panglima yang terpandang, dan kini mereka hidup berkecukupan, namun mereka membiarkan anak perempuan mereka bergaul bebas dengan anak-anak tetangga. Dalam hal membiarkan anaknya bergaul bebas, Kao Cin Liong dan Suma Hui memang menyimpann dari kebiasaan umum. Biasanya, orang-orang tua akan melarang anak perempuan mereka bergaul bebas, apalagi setelah berusia tigabelas tahun, usia remaja menjelang dewasa. Agaknya, watak mereka sebagai pendekar-pendekar yang biasa hidup berkelana dan bebas yang membuat mereka tidak berkeberatan melihat anak perempuan mereka bergaul dengan anak siapa saja, laki-laki maupun perempuan.

Bagaimanapun juga, anak-anak itu bersikap sopan terhadap Hong Li dan menyebutnya siocia (nona), tentu hal ini mereka lakukan karena melihat betapa semua orang menghormati Hong Li sebagai keluarga jagoan dan keluarga kaya pula.

“Bagus....! Bagus sekali....!”

“Kao-siocia seperti bidadari sedang menari!

“Lihat, pedang itu seperti naga putih melayang-layang....!”

Pujian-pujian ini keluar dari mulut anak-anak yang

sedang menonton Kao Hong Li memamerkan pedang barunya dan juga ilmu silatnya yang memang hebat. Sekecil itu, ia sudah pandai sekali bersilat pedang, bukan hanya indah dipandang, namun di dalamnya mengandung kekuatan-kekuatan yang akan mengejutkan seorang ahli sekalipun. Tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa Hong Li sudah berlatih Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang dipelajarinya dari ibunya, ilmu pedang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es. Apa lagi ia sudah menguasai dasar-dasar gerakan ilmu pilihan dari Istana Gunung Pasir, yaitu ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Naga Sakti). Biarpun gerakan pedangnya belum matang benar, dan tenaga sin-kang yang mendorongnya belum dapat dibilang terlalu kuat, namun gerakan-gerakan itu selain indah, juga baik sekali, karena dilatih sejak ia masih kecil.

Setelah Hong Li berhenti bermain silat pedang dan sinar yang bergulung-gulung dari pedangnya lenyap, anak-anak itu betepuk tangan memuji.

“Ilmu pedang yang jelek sekali!”

Suara ini melengking tinggi mengatasi kegaduhan anak-anak itu sehingga terdengar oleh mereka semua. Tentu saja semua anak itu terkejut dan menengok, sedangkan Hong Li juga menengok ke kanan dengan alis berkerut, hatinya mendongkol mendengar ada orang mengatakan ilmu pedangnya jelek, pada hal semua anak di situ bersorak memuji. Ketika anak-anak itu menoleh dan memandang kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di situ tanpa mereka ketahui kedatangannya, mereka merasa heran dan tidak tahu siapa adanya kakek berkepala gundul yang memakai jubah lebar berwarna merah darah ini. Akan tetapi Hong Li sudah banyak mendengar dari kedua orang tuanya tentang tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw, tentang pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat, dan betapa di antara para kakek atau nenek yang berpakaian seperti pendeta itu terdapat pula tokoh-tokohnya yang sesat. Maka, melihat munculnya kakek gundul berjubah merah ini, Hong Li memandang dengan hati agak khawatir, tidak tahu apakah kakek ini seorang baik ataukah jahat, kawan ataukah lawan dari ayah ibunya. Akan tetapi, mendengar betapa begitu muncul kakek itu sudah mencela ilmu pedangnya, agaknya tidak mungkin kalau kakek ini merupakan kawan ayah ibunya.

“Kakek tua, siapakah engkau yang berani mencela ilmu pedangku?” tanyanya dengan alis berkerut dan pedang barunya masih berada di tangan kanan. Ia mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara berdesing diikuti sinar pedang berkilat.

Kakek itu tertawa, suara ketawanya juga melengking tinggi dan halus. “Ha-ha-ha, bukan hanya ilmu pedangmu, juga pedangmu itu jelek sekali, Ha-ha!”

Tentu saja Hong Li menjadi semakin marah. Pedangnya itu adalah pedang baru oleh-oleh ayah bundanya dan pedang itu sejak kemarin menjadi pusat kekaguman teman-temannya, akan tetapi sekarang dikatakan jelek sekali oleh kakek ini! Ia memandang dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kemarahan, dan diam-diam ia memperhatikan kakek itu. Seorang kakek yang usianya enampuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka halus dan gerak-gerik lembut, sepasang matanya bening dan seperti mata wanita dengan bulu mata yang panjang melengkung. Tak dapat disangkal, wajah kakek berkepala gundul ini meninggalkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan sekali.

“Kakek pendeta, engkau ini hwesio dari manakah? Kalau ada keperluan dengan orang tuaku, datang saja lagi besok pagi karena mereka sedang pergi.."

“Omitohud.... aku tahu bahwa mereka sedang pergi membeli rempa-rempa di seberang sungai. Aku datang bukan untuk mereka, melainkan untuk nonton permainan pedangmu yang jelek.”

Hong Li menjadi marah sekali. Alisnya yang hitam panjang berkerut, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar berkilat dan mukanya menjadi kemerahan. “Engkau ini kakek pendeta yang sombong dan jahat. Apa salahku maka engkau datang datang hendak menghina aku?”

“Ha-ha, aku tidak menghina, melainkan hendak nonton ilmu pedang yang jelek.”

“Kalau begitu, apakah engkau berani menghadapi pedangku dan ilmu pedangku yang jelek ini?”

“Omitohud, tentu saja aku berani. Ilmu pedangmu dan pedangmu itu tidak ada artinya, hanya patut untuk pamer dan berlagak saja.”

Bukan main marahnya Hong Li mendengar ucapan pendeta berjubah merah itu. Sejak kecil ia hanya melihat orang-orang bersikap hormat dan kagum terhadap keluarganya, apa lagi terhadap ilmu silat keluarganya. Dan sekarang, kakek kurus ini menghina ilmu silatnya dan berani menantangnya.

“Kakek sombong, kalau begitu hadapilah pedangku ini!” bentaknya dan sekali melompat ia telah menghampiri kakek pendeta itu dengan pedang ditodongkan.

“Ha-ha, bocah lucu, engkau menodongku dengan setangkai bunga mawar?” tiba-tiba kakek itu berkata sambil tertawa dan tangannya membuat gerakan ke arah pedang dan.... Hong Li, dan belasan orang anak itu, terbelalak ketika melihat betapa yang berada di tangan Hong Li memang benar setangkai bunga mawar, bukan pedang yang tadi dimainkan dengan indahnya!

Akan tetapi, Hong Li adalah keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ibunya adalah cucu Pendekar Super Sakti, maka tentu saja ia segera dapat mengerti bahwa kakek pendeta jubah merah ini telah main-main dan mempergunakan ilmu sihir. Hanya sebentar saja ia terkejut dan terbelalak, lalu ia mengerahkan sin-kangnya, memaksa diri untuk bertahan dan tidak hanyut oleh kekuatan sihir.

“Yang kutodongkan adalah pedang baruku! Siapa bilang bunga mawar?” bentaknya dan iapun menggerak-gerakkan pedangnya. Karena tentu saja tenaga batinnya belum kuat benar, matanya melihat betapa yang berada di tangan kanannya itu berubah-ubah, kadang-kadang nampak sebagai pedang, lalu berubah menjadi setangkai bunga lagi. Namun, ia menjadi nekat, bunga atau pedang, tetap saja ia pergunakan untuk menyerang kakek kurus itu!

Dalam penglihatan belasan orang anak itu, nampak lucu sekali melihat Hong Li menyerang kakek itu kalang kabut dengan menggunakan setangkai bunga mawar! Akan tetapi, kakek itu sendiri kagum bukan main. Anak ini tidak mengecewakan menjadi cucu buyut Pendekar Super Sakti dan ilmu pedangnya memang hebat bukan main. Hatinya semakin tertarik dan suka kepada Hong Li. Menghadapi serangan-serangan gadis cilik itu, ia mempergunakan kecepatan gerakannya, tubuhnya melayang-layang dengan ringah dan lembutnya, seperti berubah menjadi sehelai bulu yang bergerak ke sana-sini, selalu luput dari terkaman ujung pedang yang dimainkan Hong Li.

“Anak baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!” tiba-tiba belasan orang anak itu mendengar suara ini yang diikuti oleh bunyi ledakan keras. Semua anak ketakutan karena tempat itu berubah menjadi lautan asap. Mereka tak dapat melihat, bahkan mereka terpaksa mundur karena asap itu tebal sekali dan menakutkan. Ketika asap itu perlahan-lahan melayang pergi, anak-anak itu menjadi bingung karena mereka tidak melihat Hong Li dan kakek pendeta jubah merah tadi. Mereka berdua telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah ikut terbang pergi bersama asap tebal. Tentu saja anak-anak ini menjadi ketakutan dan bingung. Mereka berlari-larian pulang sambil menangis melapor kepada orang tua masing-masing tentang peristiwa lenyapnya Kao Hong Li bersama kakek pendeta gundul berjubah merah. Para pelayan keluarga Kao yang mendengar laporan inipun menjadi bingung dan ketakutan. Keadaan menjadi gempar dan semua orang mencari-cari ke mana perginya Hong Li, namun tidak dapat menemukan jejak anak itu yang lenyap seperti berubah menjadi asap.

Keadaan menjadi semakin geger ketika Kao Cin Liong dan Suma Hui pulang dari perjalanan mereka ke seberang sungai untuk membeli rempa-rempa. Dua pekan sekali suami isteri itu memang pergi sendiri membeli barang dagangan. Ketika mereka mendengar akan peristiwa aneh yang mengakibatkan lenyapnya anak tunggal mereka, tentu saja sepasang pendekar ini menjadi terkejut dan marah. Mereka menggunakan kepandaian mereka untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Akan tetapi, sampai semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil dan akhirnya, menjelang pagi pada keesokan harinya, dengan lemas mereka pulang ke rumah. Suma Hui menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya merah dan wajahnya membayangkan kedukaan dan kegelisahan yang mendalam. Akan tetapi Kao Cin Liong nampak tenang saja, walaupun tentu saja dia juga merasa bingung dan gelisah.

“Tenangkan hatimu,” katanya kepada isterinya karena dia tidak tega melihat wajah isterinya demikian penuh duka dan kegelisahan. “Setidaknya kita boleh merasa yakin bahwa anak kita masih dalam keadaan selamat. Kalau penjahat atau siapa saja yang menculiknya itu berniat buruk, tentu hal itu sudah dilakukannya, tidak perlu bersusah-susah melarikannya.”

Suma Hui dapat mengerti pendapat ini. Memang, kalau penjahat itu hendak membunuh Hong Li, tidak perlu dibawa pergi. Akan tetapi, siapa yang menculik Hong Li? Dan kenapa? Mereka berdua lalu mendatangi anak-anak yang menyaksikan peristiwa itu dan kagetlah hati mereka ketika mendengar bahwa sebelum Hong Li dan kakek jubah merah itu lenyap berubah menjadi asap, terdengar kakek itu berkata, “Anak baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!”

Keterangan ini tentu saja amat penting bagi mereka. Jelaslah bahwa pendeta berkepala gundul yang berjubah merah itu adalah Ang I Lama dan dialah yang telah melarikan Hong Li. Kata “berjodoh” yang dipergunakan pendeta itu dapat berarti berjodoh untuk menjadi muridnya, akan tetapi juga untuk maksud yang cabul dan jahat. Mereka berdua tahu betapa banyaknya orang-orang jahat dan keji yang menyembunyikan kejahatannya di balik kedudukan atau pakaian. Betapa banyaknya pencuri-pencuri dan perampok-perampok besar bersembunyi di balik pakaian seorang pembesar, penjahat-penjahat kejiberse mbunyi di balik pakaian pendeta-pendeta.

“Ang I Lama....? Suma Hui mengulang nama itu sambil mengepal tinju. “Siapakah dia dan mengapa dia melakukan hal ini kepada keluarga kita?” Ia memandang suaminya dengan harapan suaminya akan mengenal nama itu. Akan tetapi sejak tadi Kao Cin Liong juga mengerutkan alisnya dan memeras ingatannya, akan tetapi dia merasa tidak pernah mengenal nama itu. Maka, menjawab pertanyaan isterinya, diapun menggeleng kepalanya.

“Aku tidak pernah mengenal nama itu, akan tetapi untung bahwa dia meninggalkan sebuah nama. Karena dia seorang pendeta Lama, maka di mana lagi dia berada kalau bukan di Tibet?”

Tiba-tiba Suma Hui menepuk meja di depannya. “Brakkk....! Ah, tentu saja!”

“Apa.... maksudmu?” suaminya bertanya sambil memandang penuh perhatian.

Isteri itu memandang suaminya. “Tentu ada hubungannya dengan Sai-cu Lama! Kita ikut membasmi komplotan Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama dan sekarang muncul seorang pendeta Lama lainnya yang menculik anak kita. Apakah kaupikir tidak ada hubungannya antara kedua orang pendeta Lama itu?”

Suaminya mengangguk-angguk. “Sangat boleh jadi, akan tetapi kita tidak mengenal. Ang I Lama itu dan tidak tahu di mana dia berada. Kurasa satu-satunya jalan untuk mencarinya adalah ke Tibet. Di sana tentu kita akan memperoleh keterangan jelas di mana adanya Ang I Lama.”

“Memang agaknya hanya itu jalannya dan marilah kita pergi sekarang saja. Aku tidak tahan berdiam di rumah lebih lama lagi memikirkan nasib anak kita....” Dan kini Suma Hui tak dapat menahan membanjirnya airmata. Melihat ini, suaminya lalu mendekatinya dan merangkulnya. Memecah bendungan air mata itu dan Suma Hui menangis tersedu-seda di dada suaminya yang membiarkannya mengangis untuk melampiaskan segala perasaan marah, khawatir dan duka yang sejak malam tadi ditahan-tahannya.

Setelah kedukaan Suma Hui mereda, suami isteri ini lalu cepat-cepat berkemas untuk menyediakan bekal perjalanan mencari anak mereka ke Tibet! Perjalanan yang amat jauh dan makan banyak waktu.

Selagi mereka sibuk, datanglah tamu yang tidak mereka duga-duga. Dua orang tamu datang dan mereka ini bukan lain adalah Suma Ciang Bun dan Gu Hong Beng! melihat adiknya, datang lagi perasaan duka di hati Suma Hui dan iapun menubruk adiknya sambil menangis.

Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut sekali melihat ulah encinya. Encinya, setahunya, adalah seorang wanita yang keras hati dan tabah bukan main, lebih tabah dari pada dia sendiri. Kalau sekarang encinya sampai bersedih dan menangis seperti itu, apa lagi melihat betapa sepasang mata encinya sudah bengkak-bengkak bekas banyak tangis, dia khawatir tentu telah terjadi hal yang luar biasa dan hebat sekali.

“Enci Hui, engkau kenapakah? Apa yang telah terjadi sehingga engkau menjadi begini berduka?” Karena encinya menangis semakin sedih, Suma Ciang Bun mengangkat muka memandang cihunya (kakak iparnya) dengan alis berkerut.

Kao Cin Liong merangkul isterinya dan dengan lembut menarik tubuh isterinya dari Suma Ciang Bun, lalu mengajak duduk. “Tenanglah dan kebetulan sekali Ciang Bun datang. Mungkin dia dapat membantu.” Mendengar ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan memandang kepada adiknya.

“Hong Li telah diculik orang....!”

Tentu saja Ciang Bun terkejut sekali. “Ah! Siapa penculiknya dan kapan terjadinya? Bagaimana dia berani melakukan hal itu?”

Kao Cin Liong yang lebih tenang segera memberi keterangan kepada adik iparnya. “Kemarin sore, ketika kami berdua pergi membeli rempah-rempah di seberang sungai dan Hong Li berada seorang diri di rumah, datang penculik itu. Dia seorang pendeta Lama yang berjuluk Ang I Lama, dan dia menculik Hong Li denganmempergunakan ilmu sihir seperti yang kami dengar dari anak-anak yang menemani Hong Li pada waktu itu.” Lalu dengan singkat namun jelas, Kao Cin Liong menceritakan tentang peristiwa penculikan itu seperti yang didengarrya jari anak-anak.

“Ang I Lama....?” Suma Ciang Bun mengulang nama itu sambil mengerutkan alis.

“Bun-te, apakah engkau mengenal nama jahanam itu?” tanya Suma Hui penuh harapan.

Suma Ciang Bun yang sudah banyak melakukan perantauan itu termenung. “Seperti pernah kudengar nama itu,akan tetapi entah di mana dan kapan. Nama itu jarang muncul di dunia kang-ouw....”

Pada saat itu Kao Cin Liong melihat betapa Gu Hong Beng, murid adik iparnya itu, memandang dengan sinar mata bercahaya. “Hong Beng, apakah engkau mengenalnya?” Dia bertanya. Suami isteri ini pernah mengenal Hong Beng, bahkan bersama pemuda ini dan para pendekar lainnya, pernah membantu untuk menghancurkan persekutuan yang meudukung Thai-kam Hou Seng.

“Ang I Lama.... apakah tidak ada hubungannya dengan Sai-cu Lama....?” Hong Beng berkata.

“Akupun berpendapat demikian,” Suma Hui berkata, “akan tetapi, di manakah adanya Ang I Lama dan mengapa dia melakukan hal ini kepada kami?”

“Ahhh....! Sekarang aku ingat, enci Hui!” kata Suma Ciang Bun. “Aku pernah mendengar nama Ang I Lama dan tentu saja ada hubungan antara dia dan Sai-cu Lama, karena Ang I Lama adalah searang di antara para pimpinan pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi.... menurut yang pernah kudengar, Ang I Lama termasuk pendeta Lama yang bersih dan tidak sudi melakukan kejahatan, apa lagi menculik keponakanku Hong Li.”

“Siapa tahu hati orang? Mungkin saja dia mendendam atas kematian Sai-cu Lama, karena bukankah mereka sama-sama dari Tibet dan sama-sama pendeta Lama? Mungkin atas dasar dendam itulah, dan mengingat bahwa kami berdua juga membantu usaha menghancurkan persekutuan Sai-cu Lama, maka kini Ang I Lama datang membalas dendam dengan cara yang curang, yaitu menculik dan melarikan anak kami,” kata Suma Hui.

“Benar, akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, enci. Hal ini harus diselidiki lebih dulu secara cermat agar jangan sampai enci menuduh orang yang tidak berdosa.”

“Tentu saja. Sekarangpun kami sedang berkemas untuk segera berangkat ke Tibet, melakukan penyelidikan tentang Ang I Lama itu!”

“Perjalanan yang amat jauh dan sukar,” kata Suma Ciang Bun.

“Jangankan baru ke Tibet, biar Ang I Lama melarikan diri ke neraka sekalipun, pasti akan kami kejar sampai dapat!” kata Suma Hui dengan gemas.

“Kalau begitu, biarlah kita membagi tugas,” kata Suma Ciang Bun. “Enci dan cihu mencari ke Tibet, dan aku akan mencari di sekitar sini. Siapa tahu yang namanya Ang I Lama itu masih bersembunyi di dekat dan di sekitar daerah ini. Sedangkan Hong Beng biarlah ke Istana Gurun Pasir untuk melapor.”

“Eh? Ada urusan apa ke sana?” Kao Cin Lion bertanya sambil memandang heran mendengar bahwa adik iparnya itu hendak menyuruh muridnya mengunjungi tempat kediaman orang tuanya yang jarang dikunjungi orang. Dia sendiri merasa tidak suka kalau ketenangan dan ketenteraman kehidupan ayah ibunya terganggu.

Suma Cang Bun menarik napas panjang. “Sebenarnya kedatanganku ini untuk melapor kepada cihu tentang perbuatan sumoimu.”

“Sumoiku? Sumoi yang mana?” Cin Liong bertanya heran.

“Bukankah cihu mempunyai seorang sumoi? Murid Sam Kwi yang diambil murid oleh ayah ibumu.”

“Ah, maksudmu gadis yang bernama Can Bi Lan itu? Mengapa ia? Bukankah ia pantas sekali menjadi murid ayah ibuku karena sepak terjangnya menghadapi persekutuan Sai-cu Lama membuat kagum?”

“Ia telah melakukan penyelewengan sekarang! Bayangkan saja, ia membela dan membantu Bi-kwi yang melakukan kecabulan dan membunuhi banyak pemuda. Padahal, Bi-kwi bekerja sama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw untuk mengeroyokku sehingga nyaris aku tewas di tangan mereka. Bi Lan itu telah mempergunakan pedang pusaka ibumu, Ban-tok-kiam untuk bersekongkol dengan tosu-tosu jahat itu, melakukan kejahatan, dan membela Bi-kwi. Dan dalam hal ini, ia dibantu pula oleh Pendekar Suling Naga yang lihai.”

Mendengar ini, Kao Cin Liong mengerutkan alisnya. “Hemm, berbahaya sekali kalau begitu. Iamembawa po-kiam (pedang pusaka) dari ibuku, kalau dipergunakan secara keliru, akan merusak nama baik keluarga kami.” Suma Hui diam saja tidak berani memberi komentar karena menyangkut nama baik keluarga suaminya.

“Sayang kita harus pergi ke Tibet untuk mencari anak kita, kalau tidak tentu kita dapat mencarinya dan meminta kembali pedang pusaka itu,” kata Suma Hui dengan hati-hati karena ia khawatir kalau suaminya akan membatalkan niatnya mencari Hong Li untuk mencari Bi Lan berhubung dengan terancamnya nama baik keluarganya.

“Biarlah seya yang akan pergi menghadap Kaolocianpwe di Istana Gurun Pasir, untuk melaporkan tentang penyelewengan Can Bi Lan dan sekalian mengabarkan tentang diculiknya adik Kao Hong Li oleh Ang I Lama,” kata Hong Beng dengan cepat.

“Ah, kalau begitu baik sekali!” Suma Hui berseru girang, memandang kepada suaminya. Cin Liong juga mengangguk dan memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata berterima kasih. Tak disangkanya bahwa kehidupannya yang selama ini tenang dan tenteram, dalam satu hari saja berubah menjadi keruh, penuh dengan persoalan yang mendatangkan duka dan kekhawatiran.

Biarpun baru pagi hari itu bertemu, mereka terpaksa harus berpisah lagi pada siang harinya karena mereka harus mulai dengan tugas masing-masing. Kao Cin Liong dan Suma Hui berangkat menuju ke Tibet untuk mencari Ang I Lama dan puteri mereka, sedangkan Suma Ciang Bun pergi mencari jejak pendeta Lama yang melarikan keponakannya. Hong Beng sendiri juga berangkat menuju ke utara, untuk berkunjung ke Istana Gurun Pasir menghadap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya. Kedukaan dan kekhawatiran terbayang di wajah mereka, terutama sekali di wajah Kao Cin Liong dan Suma Hui.

Di dalam hati yang selalu mengejar kesenangan, pasti akan sering kali dikunjungi oleh kesusahan. Tidak mungkin merangkul suka tanpa menyentuh duka, karena suka dan duka adalah sama. Sama-sama menjadi ciptaan pikiran sendiri. Yang mengandung suka atau duka bukanlah si peristiwa, melainkan pikiran kita sendiri dalam menanggapi peristiwa yang terjadi. Kalau kita menghadapi segala macam peristiwa seperti apa adanya tanpa menghendaki lain, tanpa menjangkau kesenangan atau mengelak kesusahan, maka yang ada hanyalah kewajaran yang tidak mendatangkan duka apapun. Seperti orang menghadapi panas terik matahari, tanpa mengeluh kita lalu mempergunakan akal budi untuk berteduh, dan seperti orang menghadapi malam gelap dan dingin, kita pun tidak mengeluh melainkan mempergunakan kebijaksana untuk membuat penerangan di dalam gelap dan mempergunakan sarana untuk berlindung dari kedinginan. Tanpa susah atau senang dan kalau sudah begitu, di dalam kegelapan maupun kepanasan malam dan siang kita dapat melihat keindahan di luar penilaian.

***

Kao Hong Li membuka kedua matanya dan ia merasa seperti dalam mimpi. Ia terbangun dan tidak menggerakkan badan terlebih dahulu. Setelah membuka kedua matanya, anak yang cerdik ini memutar otaknya,mengingat-ingat. Ia lalu teringat akan peristiwa aneh yang dialaminya. Mula-mula yang teringat olehnya adalah ketika ia bermain silat pedang di antara kawan-kawannya, di dalam kebun, disambut pujian para kawannya. Lalu munculnya kakek gundul berjubah merah yang lalu melawannya. Tiba-tiba terdengar ledakan itu, dan nampak asap tebal, dan tubuhnya melayang-layang di antara asap yang membuat ia merasa seperti terbang di angkasa, di antara awan-awan. Lalu iapun lemas tak ingat apa-apa lagi. Ia diculik!

Ingatan inimengejutkannya. Ia telah dilarikan oleh kakek aneh itu! Kini Hong Li, masih belum menggerakkan tubuhnya, mulai memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia rebah terlentang di atas sebuah dipan kayu yang keras dan kasar dan dipan itu terletak di sudut ruangan ini. Sebuak kamar dari empat dinding yang berlumut dan kotor, dengan daun pintu rusak terbuka di sebelah kanan. Tidak kecil juga tidak berdaun di sebelah kanan. Tidak nampak ada orang di situ, hanya ia sendiri saja di atas dipan. Ia telah dilarikan oleh kakek itu ke sini, pikirnya. Entah di mana ini. Kakek yang aneh dan sakti itu tidak ada. Inilah kesempatan baik baginya untuk melarikan diri.

Hong Li mulai menggerakkan kaki tangannya. Lega rasa hatinya karena kaki tangannya dapat digerakkan dengan mudah dan ketika ia bangkit duduk, kepalanyapun tidak terasa pening. Ia dalam sehat. Dicarinya pedangnya. Tidak nampak di situ. Ia lalu dengan hati-hati turun dari pembaringan itu, perlahan-lahan agar jangan mengeluarkan suara, lalu berindap-indap melangkah menuju ke pintu yang daunnya terbuka lebar karena memang sudah bobrok itu. Agaknya di luar, senja telah mendatang, namun matahari masih meninggalkan sisa cahayanya sehelum dia menghilang sama sekali. Dengan hati-hati Hong Li mengintai ke luar. Tidak ada orang. Dan di luar sana nampak pohon-pohon lebat. Sebuah hutan! Ia berada di dalam sebuah rumah tua, agaknya bekas kuil, di dalam sebuah hutanlebat. Ia harus cepat melarikan diri!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang halus dan sudah pernah didengar, suara Ang I Lama yang menculiknya! “Aha, anak baik, engkau sudah bangun?”

Hong Li cepat membalikkan tubuhnya dan ternyata kakek itu berada di dalam kamar itu! Pada hal tadi tidak nampak seorangpun di situ. Ah, tentu kakek ini telah mempergunakan ilmu sihirnya pula, pikirnya. Hong Li menjadi marah dan ia meraba-raba pinggangnya, lupa bahwa tadi sia-sia saja ia mencari pedangnya, pedang barunya yang indah.

“Aha, mencari pedangmu? Inilah pedangmu, terimalah!” Dia mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubah merahnya dan menyerahkan kepada Hong Li. Gadis cilik itu cepat menyambar pedangnya, pedang barunya, lalu mengambil sikap untuk menyerang.

“Anak baik, untuk apa engkau mencari pedangmu?”

“Untuk membunuhmu, kakek jahat!” bentak Hong Li dan iapun menggerakkan pedangnya, menyerang dengan marah dan dengan pengerahan seluruh tenaganya.

“Ha-ha, pedang itu tidak ada gunanya, sudah kukatakan ini kepadamu. Lihat, kauboleh tusuk perutku ini, aku takkan menangkis atau mengelak.”

Hong Li menerjang maju, menggerakkan pedangnya untuk menusuk ke arah perut. Ia melihat kakek itu berdiri tegak saja, membiarkan perutnya ditusuk! Ketika ujung pedangnya hampir menyentuh jubah merah, Hong Li menahan tenaganya dan bahkan menghentikan tusukannya. Tidak bisa ia menusuk begitu saja perut orang yang tidak melawan! Tidak mungkin ia melakukan pembunuhan dengan hati dingin seperti itu.

“Oho, kenapa tidak kau lanjutkan tusukanmu?” kakek itu tertawa.

“Lawanlah, jangan diam saja!” bentak Hong Li.

Kakek itu terbelalak, memandang heran, lalu tertawa. “Ha-ha, keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir memang aneh luar biasa. Nah, aku melawan sekarang, hendak kutangkap kepalamu dan akan kubuktikan betapa pedangmu itu tidak ada gunanya!“

Kakek itu kini menggerakkan kedua tangannya, hendak mencengkeram kepala Hong Li dari kanan kiri. Melihat ini, gadis cilik itu menyuruk ke depan, mendahului dengan tusukan pedangnya ke arah perut. Kini ia tidak ragu-ragu lagi menusuk karena bukankah musuh menyerangnya dengan hebat pula. Kalau ia tidak mendahului, tentu kepalanya akan remuk oleh kedua tangan yang kuat itu.

“Wuuutt.... krekkk....!”

Kao Hong Li terkejut bukan main. Pedangnya telah menusuk perut, akan tetapi rasanya seperti menusuk segumpal baja saja dan pedangnya kini patah-patah menjadi tiga potong! Ia membuang gagangnya dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, dan melihat betapa kakek itu tersenyum-senyum dan memandang sambil mengejek, ia marah sekali dan dengan nekat kini ia menyerang dengan kedua tangannya yang terkepal.

“Heh-heh-heh, engkau setan cilik yang nakal!” Dan kini Hong Li mengalami hal yang membuatnya semakin terkejut dan heran. Tubuhnya terhalang sesuatu yang tidak nampak, seolah-olah ada tenaga yang menahannya dari depan sehingga gerakannya terhalang dan ia tidak dapat mendekati kakek itu! Betapa kuatnya ia menerjang, selalu ia bertemu dengan tenaga itu dan tubuhnya bahkan terdorong ke belakang. Setelah beberapa kali mencoba dan tidak berhasil, akhirnya Hong Li berdiri diam dan hanya menatap kakek itu dengan sinar mata tajam dan penuh kemarahan. Ia tahu bahwa kakek itu sakti sekali dan ia tidak berdaya, namun Hong Li tidak merasa takut sedikitpun juga.

“Kakek jahat, engkau pengecut besar!” tiba-tiba ia membentak.

Kakek itu yang sedang tersenyum, tiba-tiba menghentikan senyumnya dan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan ada kemarahan membayang pada mata yang tajam mencorong itu. “Hemm. setan cilik, kenapa engkau berani memaki aku pengecut besar?”

“Kalau engkau bukan pengecut, tentu engkau tidak akan memusuhi aku, seorang anak kecil! Kalau engkau memang gagah dan memiliki kepandaian, tentu engkau akan menantang ayahku atau ibuku, bukan menculik dan melarikan diriku. Beranimu hanya mengganggu anak kecil, akan tetapi terhadap ayah dan ibuku, engkau melarikan diri sampai terkencing-kencing. Huh, pengecut besar tak tahu malu!”

Bersambung ke buku 12