Kisah Si Bangau Putih -4 | Kho Ping Hoo
Buku 4
Ada lagi pasangan suami isteri pendekar sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Si suami adalah Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari keluarga para pendekar Pulau Es, cucu dari Pendekar Super Sakti. Usia Suma Ceng Liong telah empat puluh satu tahun dan dia bersama isterinya, Kam Bi Eng tinggal di dusun Hong-cun, di sebelah luar kota Cin-an di Propinsi Shantung. Pendekar Suma Ceng Liong ini, berbeda dengan cucu-cucu penghuni istana Pulau Es yang lain, dahulu adalah seorang yang ugal-ugalan, nakal dan gembira, walaupun memiliki kegagahan yang luar biasa. Tubuhnya tinggi besar dan dalam usia empat puluh satu tahun, dia kelihatan gagah dan berwibawa sekali, namun, wajahnya selalu cerah dan banyak senyum. Di antara cucu Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es, agaknya Suma Ceng Liong inilah yang paling lihai ilmu silatnya. Dia tidak saja mewarisi ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga mewarisi ilmu sihir dari mendiang ibunya. Bahkan dia pernah berguru kepada seorang datuk sesat yang amat lihai, yaitu Hek I Mo-ong.
Isterinya yang bernama Kam Bi Eng juga bukanlah orang sembarangan. Ia adalah puteri dari pendekar sakti yang terkenal sekali di waktu dahulu sebagai seorang pendekar suling emas dan dalam hal ilmu silat, kiranya tidak begitu jauh tertinggal dari suaminya.
Kini, kedua orang suami isteri itu tinggal di dusun Hong-cun dan hidup sebagai petani yang cukup kaya dan memiliki tanah pertanian yang luas. Hidup tenteram, bahkan hampir tidak pernah lagi mereka berkecimpung di dunia kangouw.
Memang agak mengherenkan bahwa suami isteri yang demikian lihainya, dan yang hanya memiliki seorang saja anak perempuan, yaitu Suma Lian, membiarkan puterinya itu digembleng oleh Bu Beng Lokai yang dahulu bernama Gak Bun Beng, masih terhitung paman sendiri dari Suma Ceng Liong. Hal ini adalah karena ketika masih kecil, dalam usia tiga belas tahun kurang, Suma Lian diculik datuk-datuk sesat dan kemudian ditolong dan dirampas kembali dari tangan para datuk sesat oleh Bu Beng Lokai. Suma Lian suka kepada kakek itu dan kedua orang tuanya tidak berkeberatan ketika puterinya menyatakan hendak ikut kakek itu merantau dan menjadi muridnya. Memang pendirian orang-orang kang-ouw seperti suami isteri ini berbeda dengan pasangan-pasangan biasa. Mereka merelakan puteri mereka di dalam asuhan paman yang mereka tahu memiliki kesaktian itu.
Akan tetapi, delapan tahun kemudian, tetap saja mereka berdua merasa rindu bukan main kepada puteri mereka. Suma Lian telah berusia dua puluh tahun lebih, sudah dewasa dan tentu sudah menjadi seorang gadis cantik yang sudah tiba saatnya untuk menikah! Maka, dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati, mereka ketika pada suatu pagi, secara tiba-tiba saja seorang gadis cantik muncul di depan mereka! Gadis itu, dengan sepasang matanya yang kocak, pakaiannya yang nyentrik, sikapnya yang lincah jenaka, dan ketika itu memandang kepada mereka dengan mulut tersenyum yang menciptakan lesung pipit di kanan kiri ujung mulutnya, segera mereka kenal dengan baik.
“Lian-ji....!” teriak suami isteri itu hampir berbareng dan Suma Lian segera menubruk ibunya.
“Aih, anakku....!” Kam Bi Eng menjerit dan merangkul gadis itu, menciuminya dengan penuh kerinduan dan kedua orang wanita itu pun menangis, menangis penuh keharuan dan kebahagiaan.
“Ayah....!” Suma Lian lalu melepaskan ibunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayahnya, akan tetapi Suma Ceng Liong menangkapnya dan menariknya berdiri, lalu memegang kedua pundaknya. “Biarkan aku melihat wajah anakku....!” katanya dengan suara gemetar karena dia pun gembira dan terharu bukan main. Ayah dan. anak itu saling pandang, kedua mata Suma Lian basah air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum sehingga nampak deretan giginya yang putih dan rapi seperti mutiara berbaris.
“Ha-ha-ha!” Tiba-tiba Suma Ceng Liong tertawa. “Engkau....engkau persis ibumu di waktu masih gadis, ha-ha-ha! Engkau cantik manis dan gagah!”.
“Dan engkau pun masih sama seperti dulu, Ayah. Malah semakin gagah saja!” kata pula Suma Lian yang juga tertawa dan ayah yang merasa amat gembira itu segera berangkulan dengan puterinya. Kam Bi Eng juga merangkulnya dan tiga orang itu saling berangkulan sambil memasuki rumah.
Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dirasakan dalam hubungan antara manusia yang melebihi pertemuan dari orang-orang yang saling merindukan dan berpisah dalam waktu yang amat lama. Apalagi bagi suami isteri itu, yang seolah-olah kehilangan puteri mereka, tidak tahu di mana adanya puteri mereka itu selama tujuh delapan tahun! Dan kini, tanpa kabar berita, puteri mereka itu muncul begitu saja, bukan hanya dalam keadaan sehat selamat, akan tetapi lebih daripada itu, telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik manis mengagumkan, dengan ilmu kepandaian yang amat tinggi pula.
Tentu saja Suma Lian ditagih untuk menceritakan segala pengalamannya selama pergi merantau dan menjadi murid paman mereka Bu Beng Lokai. Suma Lian, si gadis lincah dan pandai bicara, membuat cerita yang menarik sekali, diceritakan dengan gaya dan gerak lincah semua pengalamannya ketika merantau mengikuti kakeknya sebagai pengemis-pengemis nyentrik! Pengemis yang hanya sebatas pakaian tambal-tambalan saja, akan tetapi tidak pernah minta-minta, bahkan terlalu sering memberi sedekah kepada orang lain, baik dengan perbuatan atau pun dengan barang dan uang. Diceritakannya pula tentang sumoinya, Pouw Li Sian, dan tentang mereka berdua mempelajari ilmu silat tinggi, digembleng oleh guru dan kakeknya itu. Akhirnya ia bercerita pula tentang pamannya, Gak kembar yang datang menengok orang tua itu bersama isteri mereka yang seorang dan putera mereka. Betapa ia terpaksa harus membantu keluarga Gak mengusir nenek iblis Hek-sim Kuibo dan Hok Yang Cu, tokoh Pat-kwa-pai yang ingin menculik putera mereka. Kemudian sekali, dengan wajah berduka ia menceritakan tentang kematian kakek Gak Bun Beng.
Ketika ayah dan ibunya mendengar akan kematian kakek itu, mereka terkejut dan wajah mereka pun diliputi kedukaan.
“Ah, tak kusangka paman Gak Bun Beng sudah meninggal dunia!” kata Kam Bi Eng yang merasa terharu mendengar akan kematian kakek itu setelah bertemu dengan dua orang anak kembarnya.
Suma Ceng Liong menarik napas panjang, “Bagaimanapun juga, usia paman Gak Bun Beng sudah tua sekali, sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Memang kasihan sekali. Aku mendengar bahwa sejak ditinggal mati isterinya, bibi Milana, dia hidup menderita kesepian, apalagi karena merasa kecewa akan keadaan kedua orang putera kembarnya. Karena itulah, maka dulu ketika anak kita diajak pergi untuk dididiknya, aku menyetujuinya karena aku merasa kasihan kepadanya.”
“Ayah dan Ibu, kulihat bahwa kehidupan kedua paman Gak kembar itu cukup berbahagia dengan seorang isteri dan seorang putera mereka, mengapa mendiang kong-kong tadinya merasa kecewa melihat kedua orang putera kembarnya menikah dengan seorang wanita?”
“Aih, Lian-ji, hal itu hanya karena menyimpang dari kebiasaan saja. Biasanya, seorang pria menikah dengan seorang wanita. Kalau ada pria menikah dengan dua orang wanita, hal itu masih dianggap lumrah. Akan tetapi seorang wanita menikah dengan dua orang pria? Memang tidak lumrah.”
“Tapi mereka itu saling mencinta dan rukun sekali, dan aku melihat kedua orang paman Gak kembar itu amat serupa, bukan hanya sama wajah, tubuh dan gerak-geriknya, bahkan sikap, dan bicaranya, bahkan jalan pikirannya, serupa benar, seperti satu orang dengan dua badan saja. Kalau memang mereka sudah menghendaki, mereka berdua saling mencinta bibi Souw Hui Lian, mau apa lagi? Sebelum meninggal dunia, kong-kong sering bicara akan hal itu dan dia menyatakan kesadarannya bahwa dialah yang keliru kalau merasa kecewa dalam urusan itu. Yang penting dalam pernikahan adalah mereka yang langsung terkena dan yang mengalaminya, bukan pandangan orang lain, demikian dia pernah berkata.”
“Sudahlah, kita memang tidak berhak untuk membicarakan dan menilai, akan hal itu,” kata Suma Ceng Liong. “Sekarang ceritakan saja tentang ilmu-ilmu apa saja yang pernah kau dapatkan dari mendiang paman Gak Bun Beng. Kami ingin sekali melihatnya.”
Untuk melegakan dan memuaskan hati ayah ibunya, Suma Lian lalu memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari kakek Bu Beng Lokai. Dari kakek itu, Suma Lian menerima banyak sekali ilmu silat, terutama sekali ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-pai, juga Ilmu Silat Pengacau Lautan (Lo-thian Sin-kun) dan ilmu pedangnya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, dan disamping tenaga sakti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, juga mempelajari ilmu tenaga sakti yang disebut Tenaga Inti Bumi.
Melihat gerakan lincah puteri mereka, dan menyaksikan kekuatan sin-kang yang cukup dahsyat, Suma Ceng Liong dan isterinya merasa gembira sekali dan puas. Ternyata puteri mereka itu tidak percuma meninggalkan rumah sampai tujuh delapan tahun. Akan tetapi, tentu saja mereka tidak merasa puas kalau belum menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka. Oleh karena itu, Suma Ceng Liong lalu mengajarkan Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang dipelajarinya dahulu dari Hek I Mo-ong, juga mengajarkan ilmu sihir dari ibunya. Sementara itu, Kam Bi Eng juga mengajarkan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling atau dapat juga dengan ranting pohon, yaitu penggabungan ilmu pedang Koai-liong-kiam dan Kim-sim Kiam-sut.
Kita tinggalkan dulu Suma Lian yang kini sudah berada di rumah orang tuanya, saling melepas rindu dan juga gadis ini tekun memperdalam ilmu silatnya dengan tambahan ilmu-ilmu tinggi dari ayah bundanya, dan mari kita mengikuti perjalanan sumoinya, yaitu Pouw Li Sian.
Setelah meninggalkan lereng bukit di mana untuk beberapa tahun ia tinggal bersama gurunya dan sucinya, kemudian berpisah dari sucinya, hati Li Sian merasa berat sekali. Baru ia merasa kehilangan sekali. Selama hampir delapan tahun ini, ia seperti mengalami suatu kehidupan baru. Sebelum itu ia adalah puteri bangsawan yang hidup dalam gedung yang mewah dan besar, hidup terhormat dan mulia, berenang dalam kemewahan. Kemudian secara mendadak sekali, timbul malapetaka menghantam keluarganya dan ia lalu hidup terlunta-lunta, seperti seorang pengemis, bersama kakek Bu Beng Lokai dan sucinya, Suma Lian. Namun, akhirnya ia menemukan suatu kehidupan yang berbahagia bersama mereka menganggap mereka berdua itu seperti keluarganya sendiri, pengganti keluarganya yang sudah binasa. Ia hampir melupakan keadaannya semula dan sudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru itu. Akan tetapi kembali, kini terjadi perubahan. Ia harus meninggalkan lagi keadaan itu, memasuki keadaan lain yang amat mencemaskan hatinya. Ia seorang diri! Kehilangan gurunya yang amat disayangnya, kemudian berpisah dari sucinya yang dianggapnya seperti enci sendiri. Ingin rasanya ia menangis ketika Li Sian melakukan perjalanan seorang diri di antara pohon-pohon di tempat sunyi itu.
Keadaan yang bagaimanapun juga di dalam kehidupan ini tidaklah abadi. Sewaktu-waktu sudah pasti akan terjadi perubahan. Hal seperti inilah yang menimbulkan kesengsaraan. Orang diharuskan terpisah dari apa yang disayanginya, dan orang dipaksa bertemu dengan keadaan-keadaan baru yang asing dan dianggap tidak menyenangkan. Semua ini terjadi karena adanya ikatan-ikatan dengan masa lalu dan harapan-harapan untuk masa depan. Ikatan dengan benda, dengan orang, atau dengan gagasan, selalu menimbulkan rasa nyeri kalau ikatan itu dipaksa lepas dari kita. Dan harapan-harapan di masa depan, hanya mendatangkan kekecewaan saja kalau tidak terlaksana seperti yang kita harapkan. Hanya orang bijaksana saja, yang hidup dari saat ke saat, yang tidak terikat oleh masa lalu dan tidak menjangkau masa depan, dia saja yang akan tetap kokoh kuat dan tak tergoyahkan angin ribut yang terjadi karena suatu perubahan!
Hidup dari saat ke saat bukan berarti penyesuaian diri, karena penyesuaian diri juga hanyalah suatu pemaksaan belaka. Hidup dari saat ke saat berarti menghadapi apa pun yang terjadi SAAT INI seperti apa adanya, penuh kewajaran, tanpa menolak, tanpa menentang, tanpa menilai baik buruknya. Kewaspadaan setiap saat dalam menghadapi segala peristiwa hidup yang menimpa diri ini menimbulkan kebijaksanaan seketika, tidak lagi dituntun oleh perhitungan pikiran yang selalu ingin merangkul kesenangan dan menolak kesusahan.
Li Sian menuju ke kota raja, di mana dahulu ayahnya, Pouw Tong Ki, Menteri Pendapatan, tinggal dan menjadi seorang di antara bangsawan tinggi, seorang menteri! Karena permusuhannya dengan thai-kam (orang kebiri) Hou Seng yang menjadi kekasih kaisar, maka Menteri Pouw sekeluarganya terbasmi, dan Li Sian tertolong oleh Bu Beng Lokai. Adapun empat orang kakaknya, semuanya laki-laki, ditawan dan dimasukkan penjara.
Li Sian memasuki kota raja dan mulai melakukan penyelidikan tentang nasib keluarga orang tuanya. Ia sudah tahu bahwa keluarga ayahnya sebagian besar tewas dalam penyergapan kaki tangan Hou Seng seperti ayah dan ibunya, akan tetapi ia mendengar bahwa empat orang kakaknya telah ditawan dan dijebloskanpenjara. Ia menyelidiki tentang empat orang kakaknya itu dan mendapat berita yang amat menyedihkan hatinya. Tiga di antara mereka dibuang dan besar kemungkinan telah tewas. Akan tetapi seorang di antara mereka, kakaknya yang sulung, bernama Pouw Cian Hin, telah diampuni oleh kaisar dan kini telah menjadi seorang perwira yang bertugas di perbatasan utara. Mendengar ini, giranglah hati Li Sian. Segera ia meninggalkan kota raja dan melakukan perjalanan ke utara, ke perbatasan dekat Tembok Besar.
Akan tetapi, tentu saja sebagai seorang gadis yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang amat sukar dan berbahaya itu, amatlah sukar bagi Li Sian untuk dapat menemukan kakaknya itu. Daerah utara ini luas sekali. Tembok Besar itu panjang ribuan li, melalui gunung dan jurang, dan tak terhitung pula banyaknya pasukan yang berjaga di sepanjang Tembok Besar, sedangkan ia tidak tahu kakaknya itu bertugas di pasukan yang mana.
Kemudian teringatlah ia kepada Tiat-liong-pang! Ketua Tiat-liong-pang, Siangkoan Tek, dahulu adalah seorang sahabat baik ayahnya. Pernah ketua Tiat-liong-pang itu datang berkunjung kepada ayahnya dan berjumpa dengannya. Ia teringat betapa ketua Tiat-liong-pang itu amat baik dengan ayahnya, seorang yang amat ramah. Teringat ini, ia pun menjadi girang dan timbul harapannya. Kalau ia berkunjung ke Tiat-liong-pang dan minta bantuan ketuanya, tentu akan lebih mudah baginya untuk menemukan kakaknya yang menjadi perwira itu. Dengan penuh harapan, mulailah Li Sian menyelidiki di mana adanya Tiat-liong-pang dan ternyata tidak banyak kesukaran ia memperoleh keterangan bahwa perkumpulan itu berada di lereng bukit di luar kota Sang-cia-kou. Maka, ia pun segera melakukan perjalanan menuju ke sana.
***
Gadis hitam manis itu dengan langkah lebar menuju ke lereng bukit yang mendaki. Ia adalah seorang gadis yang baru tumbuh dewasa, berusia delapan belas tahun, bagaikan setangkai bunga mulai mekar. Tubuhnya yang agak jangkung dengan sepasang kaki panjang itu nampak segar dan tegap berisi, langkahnya lebar dan kuat, pinggangnya ramping dan ketika ia melangkah mendaki bukit, pinggulnya menari-nari. Gadis itu manis sekali, terutama sekali mulutnya yang bibirnya selalu basah kemerahan, bibir yang penuh dan membuatnya kelihatan berwajah cerah, ramah dan bergairah. Namun, sinar matanya lembut, membayangkan kehalusan dan kesabaran walaupun sinar matanya yang tajam membayangkan keberanian dan kegagahan.
Ia adalah Kwee Ci Hwa, puteri tunggal Kwee Tay Seng yang tinggal di Ban-goan. Perjalanan dari Ban-goan ke Sangcia-kou tidaklah begitu jauh, akan tetapi menempuh perjalanan melalui pegunungan dan tanah tandus, di antara Tembok Besar yang liar. Akan tetapi, Ci Hwa adalah seorang gadis yang gejak kecil sudah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu silat sehingga ia sudah cukup kuat untuk membela diri kalau ada bahaya mengancamnya.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa dunia ramai di luar pekarangan rumahnya penuh dengan orang-orang jahat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan bahwa tingkat kepandaiannya itu, kalau dipergunakan untuk berjaga diri terhadap ancaman orang-orang jahat, sungguh masih jauh daripada mencukupi. Memang, menghadapi gangguan pemuda-pemuda atau pria-pria hidung belang dan mata keranjang biasa saja yang berani mengganggunya, Ci Hwa sudah cukup mampu membela diri dan menghajar mereka. Akan tetapi, ia belum pernah bertemu dengan penjahat yang berilmu tinggi.
Dengan langkah lebar dan gagah ia mendaki bukit itu. Tiat-liong-pang, berada di lereng bukit itu dan sudah nampak pagar temboknya yang tinggi dari bawah. Akan tetapi untuk mencapai lereng itu, ia masih harus melalui beberapa daerah berhutan, dan naik turun beberapa anak bukit. Dan keadaan di situ sunyi sekali, tak nampak seorang pun manusia. Ia harus mendatangi Tiat-liong-pang. Ia akan menemui pengurus Tiat-liong-pang dan bertanya secara terang-terangan saja mengenai urusan Tiat-liong-pang dengan perusahaan piauwkiok yang dimiliki oleh Tan Piauwsu, ingin bertanya apa hubungan Tiat-liong-pang dengan kematian dan pembunuhan-pembunuhan itu. Ia ingin mencuci nama ayahnya yang tadinya dituduh sebagai pembunuh Tan Piauwsu, dan yang terakhir sekali orang she Lay si gendut itu. Ia harus membersihkan nama ayahnya dari Sin Hong! Pemuda itu amat menarik dan mengagumkan hatinya, dan ia merasa kasihan atas nasib pemuda itu, merasa ikut bertanggung jawab setelah ayahnya dicurigai.
Ketika ia melangkah memasuki hutan pertama yang tidak begitu besar, tiba-tiba saja muncul lima orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun. Melihat pakaian mereka yang ringkas, dan mereka semua membawa busur dan anak panah, mudah diduga bahwa mereka adalah lima orang pemburu binatang. Lima orang itu memang merupakan pemburu binatang di daerah itu, dan mereka tentu saja bukanlah orang-orang yang biasa melakukan kejahatan. Akan tetapi, agaknya di dunia ini memang ada suatu kelemahan pada diri semua pria. Pria yang lajim, kalau berada seorang diri saja, memang tidak mempunyai keberanian untuk mengganggu seorang wanita, kecuali kalau memang pria itu berwatak mata keranjang dan memiliki kecondongan sebagai pengganggu wanita yang nekat. Akan tetapi, biarpun pria yang tidak suka mengganggu wanita kalau berada seorang diri, akan timbul kecondongan itu kalau mereka berteman! Kekurangajarannya akan menonjol dan akan timbul keberanian bagi mereka untuk melakukan gangguan, mungkin saja karena hati mereka menjadi besar dengan adanya teman-teman, dan mungkin pula karena mereka ingin menonjol dan agar dianggap cukup “jantan”. Demikian pula dengan lima orang itu, begitu melihat bahwa di tempat sunyi itu muncul seorang gadis yang amat manis seorang diri saja, mereka segera menyeringai dan siap untuk menggoda. Kesunyian tempat itu membuat mereka iseng dan sifat kekurangajaran pria terhadap wanita pun menonjol sepenuhnya, tidak terbendung lagi oleh perasaan malu dan segan seperti kalau seorang diri saja.
“He, di sini tidak menemukan harimau, yang muncul malah seekor kijang betina muda yang amat cantik!”
“Wah, seekor domba muda yang indah sekali!”
“Tentu lunak sekali dagingnya!”
“Ha-ha-ha, jangan-jangan ia seorang dewi penunggu hutan bukit!”
“Wahai nona manis, dari mana hendak ke mana dan siapa namamu?”
Ci Hwa mengerutkan alisnya ketika lima orang laki-laki itu sudah berdiri menghadang di depannya sambil menyeringai dan jelas sekali betapa pandang mata mereka yang menjelajahi tubuhnya itu amat kurang ajar, seolah-olah hendak menelanjanginya. Namun, ia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan sikap halus ia pun menunduk.
“Aku adalah seorang yang sedang lewat jalan untuk mencari dan mengunjungi Tiat-liong-pang, harap Cu-wi (Tuan sekalian) suka memberi jalan.” katanya halus dan ia pun hendak melangkah maju, mengharapkan lima orang itu akan membuka jalan.
Akan tetapi, lima orang itu sudah melihat betapa gadis ini manis sekali, tubuhnya demikian padat dan ranum, dan terutama mulutnya demikian indah penuh gairah, menjanjikan hal-hal yang amat menyenangkan bagi mereka, maka sedikit pun mereka tidak mau membuka jalan, bahkan tertawa-tawa dan menyeringai dengan pandang mata cabul.
“Aih, mengapa tergesa-gesa, Nona?”
“Mari kita berkenalan lebih dulu.”
“Siapakah nama nona manis?”
“Apakah engkau sudah menikah dengan seorang anggauta Tiat-liong-pang?”
“Hai, nona manis, tahun ini berapa sih usiamu? Tentu kurang lebih tujuh belas tahun, ya?”
Ci Hwa mengerutkah alisnya, maklum bahwa ia berhadapan dengan segerombolan orang yang kurang ajar.
“Aku tidak mengenal kalian, dan tidak mempunyai urusan dengan kalian, kecwali kalau kalian ini anggauta-anggauta Tiat-liong-pang. Apakah kalian anggauta perkumpulan itu?”
Lima orang itu saling pandang dan tertawa-tawa ha-ha-he-he-he, menggeleng kepala. Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk, menyeramkan sekali, agaknya menjadi kepala di antara mereka, lalu bertanya, Nona manis, apakah engkau isteri seorang di antara orang Tiat-liong-pang?”
“Bukan, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan Tiat-liong-pang dan mencari perkumpulan itu.”
“Ha-ha-ha, kalau begitu, mengapa mencari mereka? Sudah ada kami di sini, dan kami tidak kalah gagah oleh mereka, bukan? Nah, engkau agaknya belum ada yang punya, Nona. Mari kau ikut saja dengan kami, kita bersenang-senang!” Si brewok itu mengulur tangannya hendak meraba dagu Ci Hwa. Gadis itii cepat melangkah mundur mengelak dan ia pun menjadi marah sekali.
“Kalian ini orang-orang kurang ajar! Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!” Setelah berkata demikian Ci Hwa lalu melangkah lebar, mengambil jalan mengitari mereka untuk melanjutkan pendakiannya naik ke bukit itu.
Akan tetapi, seorang di antara mereka sudah meloncat dan menghadangnya sambil menyeringai lebar, memperlihatkan gigi yang hitam-hitam menguning karena rusak dan tak pernah dibersihkan.
“He, he, he, jangan pergi dulu, nona manis. Sedikitnya harus memberi tinggalan cium dulu padaku, he, he, he!” Dan dia pun menubruk hendak merangkul dan mencium gadis yang menggiurkan hatinya itu.
Akan tetapi Ci Hwa yang sudah bangkit kemarahannya itu menyambut dengan tendangan yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh penyerang yang bertubuh tinggi kurus itu.
“Dukkk!” Ujung sepatu Ci Hwa mengenai perut orang itu. “Augkkk....!” Orang itu membungkuk, memegangi perutnya yang mendadak terasa mulas itu. Mungkin usus buntunya tertendang dan dia pun mengaduh-aduh sambil memegangi perut dan berloncatan seperti seekor monyet menari-nari.
Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju untuk menangkap Ci Hwa.
“Wah, galak juga perempuan ini!” kata yang seorang.
“Makin liar semakin menyenangkan, seperti seekor kuda betina yang masih belum jinak, ha-ha-ha!” kata orang kedua.
Ditubruk oleh dua orang dari kanan kiri, Ci Hwa tidak menjadi gentar. Bagaimanapun juga, sejak kecil ia sudah belajar silat dari ayahnya, maka sekali melompat ke belakang, tubrukan itu pun luput dan dari samping kembali kakinya menendang. Sekali ini, tendangannya dapat ditangkis, bahkan orang itu bermaksud menangkap kakinya, Ci Hwa sudah menarik kembali kakinya dan kini ia mendoyongkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya diayun keras sekali, menampar orang ke dua.
“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali.
“Aduhhh....!” Orang yang menjadi korban kedua itu mendekap mulutnya yang berdarah kembali meludahkan dua buah giginya yang copot akibat tamparan itu. “Bedebah!” Dia membentak dan kini dia pun maju lagi dengan amat marah.
Orang yang tadi kena tendang juga sudah bangkit, dan kini lima orang itu bagaikan lima ekor kucing yang kelaparan, mengurung Ci Hwa dengan sikap mengancam.
“Perempuan liar!” bentak si brewok. “Kita tangkap ia dan kita gilir ia sampai ia minta ampun!”
Kini Ci Hwa terpaksa harus melindungi tubuhnya dengan mengelak, menangkis dan berusaha membalas dengan tendangan dan pukulan. Akan tetapi, lima orang itu ternyata bukan orang lemah sehingga baju Ci Hwa dapat dicengkeram dan sekali tarik, terdengar suara kain robek dan terbukalah bagian dada Ci Hwa, memperlihatkan sedikit bukit dadanya yang masih tertutup pakaian dalam.
“Hemmm, mulus !” Mereka berteriak-teriak dan kini Ci Hwa cepat melolos senjatanya, yaitu sebuah sabuk rantai. terbuat dari perak. Senjata ini merupakan andalan ayahnya dan ia pun sudah pernah berlatih dengan senjata ini
Begitu ia menggerakkan tangannya, sabuk terlepas dan menyambar ke depan menjadi gulungan sinar putih. Seorang di antara mereka kurang cepat mengelak.
“Tukkk!” Ujung sabuk perak yang keras mengenai batok kepalanya dan orang itu pun menjerit kesakitan dan terpelanting, memegangi kepalanya yang mendadak bocor mengeluarkan darah itu sambil mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah. Melihat ini, empat orang temannya menjadi marah.
“Gadis liar!” bentak si brewok dan mereka lalu mengeluarkan jaring dari punggung masing-masing. Itulah senjata mereka untuk menangkap binatang buruan di samping busur dan anak panah. Jaring itu kuat sekali, terbuat daripada tali-tali sutera yang tidak mudah putus. Kini mereka mengepung Ci Hwa oengan jaring siap di tangan, mulut mereka menyeringai dengan napas memburu penuh ketegangan karena mereka merasa seolah-olah mereka sedang mengepung seekor harimau betina yang hendak mereka tangkap hidup-hidup!
Ci Hwa menjadi bingung. Selama hidupnya baru ini ia berkelahi dikeroyok banyak orang, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi orang-orang yang memegang jaring seperti itu. Tiba-tiba si brewok membentak, memberi isyarat kepada teman-temannya dan seorang yang berdiri di belakang, sudah melempar jaringnya ke arah Ci Hwa. Melihat ada jaring menyambar ke atas kepalanya dari belakang, Ci Hwa hendak menyambar pula jaring lain yang tahu-tahu telah menutupi tubuhnya! Ia meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena kini jaring-jaring yang lain sudah menyelimutinya. Ia meronta semakin keras, namun makin keras ia meronta, makin terlibat-libatlah tubuhnya dan akhirnya ia pun roboh. Ia merasa menyesal mengapa senjatanya itu bukan golok atau pedang yang tajam untuk dapat membikin putus tali-tali jala itu. Sebatang sabuk rantai yang tidak tajam, tentu saja tidak ada gunanya.
Lima orang itu kini tertawa-tawa mengitarinya dan menggunakan tali-tali jaring untuk mengikat tubuhnya. Ci Hwa yang sudah terlibat jaring-jaring itu tak mampu berkutik lagi kecuali memaki-maki.
“Lepaskan aku! Kalian ini manusia-manusia kurang ajar! Aku tidak bersalah terhadap kalian, kenapa kalian hendak menggangguku? Lepaskan!” Ia berteriak dan meronta, namun hanya dapat bergerak sedikit saja setelah tali itu membelit-belit tubuhnya.
“Ha-ha-ha, merontalah, Manis. Ha-ha-ha-ha, engkau menjadi santapan sedap kami malam ini, ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa-tawa bahkan mereka yang tadi terkena tendangan, kena gampar dan terkena hantaman ujung sabuk rantai, sudah melupakan nyerinya dan mereka tertawa-tawa karena membayangkan betapa nanti mereka akan kebagian dan mendapat kesempatan untuk membalas perbuatan gadis itu dengan kesenangan yang berlipat ganda.
Si brewok lalu mengangkat tubuh yang sudah terbelit-belit jaring itu, dan memanggulnya di atas pundak dan membawanya masuk ke dalam hutan, diikuti oleh empat orang kawannya yang tertawa-tawa. Ci Hwa nampak seperti seekor kijang yang tertangkap dalam jaringan, hanya dapat meronta-ronta sedikit.
Tiba-tiba saja, dari balik semak belukar, muncul dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Di pinggang mereka tergantung golok besar dan keduanya mengenakan pakaian seperti jagoan silat dan sikap mereka garang sekali. Mereka muncul dan berdiri menghadang di depan lima orang itu yang memandang dengan kaget.
Si brewok, pemimpin lima orang pemburu itu merasa rikuh juga bertemu orang selagi dia dan teman-temannya bukan menangkap binatang buruan melainkan seorang perempuan dalam jaringnya, maka dia yang dapat mengenal orang kang-ouw segera tersenyum ramah.
“Selamat pagi, dua orang sahabat yang gagah! Hendak ke manakah kalian?”
Akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar itu memandang dengan alis berkerut, memandangi wajah mereka satu demi satu, kemudian memandang kepada gadis dalam jaring yang tidak dapat terlihat jelas mukanya karena tali-tali jaring yang rapat.”
“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?” tanya seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, sikapnya garang. “Pakaian kalian menunjukkan bahwa kalian adalah pemburu-pemburu binatang hutan!”
Si brewok masih memperlihatkan senyumnya. Di antara para pemburu binatang dan kaum kang-ouw, para perampok, memang tidak pernah terjadi permusuhan karena jalan hidup mereka memang bersimpangan. Kalau para pemburu memburu binatang untuk dijual kulit dan dagingnya, para perampok memburu manusia yang berharta untuk dirampok hartanya.
“Tidak keliru dugaan Ji-wi (Kalian berdua). Kami memang pemburu-pemburu yang hendak mengadu untung di daerah pegunungan ini, untuk memburu binatang hutan.”
“Dan binatang hutan macam apakah yang kalian tangkap dalam jaring kalian itu?” Tiba-tiba si muka hitam bertanya, matanya yang lebar memandang kepada tubuh gadis yang dibelit jaring.
“Aih, ini? Ia ia adalah eh....tawanan kami, karena berani melawan kami, dan ia....ia menjadi milik kami....” kata si brewok agak gagap karena merasa rikuh, akan tetapi mengingat bahwa dia berlima sedangkan di depannya hanya terdiri dua orang, maka dia pun menjadi berani. “Kami kira urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi, harap Ji-wi memaklumi kami berlima yang sedang kesepian dan membutuhkan hiburan.” Dia lalu tertawa.
“Diam!” bentak si muka hitam marah yang mengejutkan si brewok. “Atas ijin siapakah kalian berani berkeliaran di sini, menangkap binatang maupun perempuan? Katakan, atas ijin siapa!”
“Kami....kami memburu di tempat bebas....“
“Butakah matamu? Tulikah telingamu? Di sini adalah wilayah kekuasaan Tiat-liong-pang, dan kalian berani memburu binatang dan perempuan di daerah kami tanpa ijin? Kalian sudah bosan hidup rupanya!” Si muka hitam sudah menerjang, mengirim pukulan dan tendangan. Serangannya demikian hebat dan cepatnya sehingga si brewok menjadi kalang kabut, untuk menangkis dan mengelak, terpaksa dia melepaskan tubuh Ci Hwa yang dipanggulnya sehingga tubuh gadis dalam selimutan jaring itu pun terbanting ke atas tanah. Kini, lima orang pemburu itu sudah berkelahi mengeroyok dua orang anggauta Tiat-liong-pang yang sudah mencabut golok mereka.
Lima orang pemburu itu mencabut pisau pemburu mereka dan melawan dengan pisau dan jaring. Untuk mempergunakan anak panah, mereka tidak sempat lagi karena mereka berkelahi dari jarak dekat. Akan tetapi sekali ini, mereka kecelik. Dua orang anggauta Tiat-liong-pang itu lihai bukan main dengan golok mereka sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, seorang demi seorang dari lima orang pemburu itu pun roboh mandi darah dan tewas di bawah bacokan dua batang golok dua orang tinggi besar itu!
Setelah lima orang lawannya tewas semua, dua orang itu tertawa dan membersihkan darah di golok mereka pada pakaian para korban. Setelah menyimpan golok mereka, keduanya lalu menghampiri Ci Hwa yang masih rebah dan menonton perkelahian itu dari antara tali-tali jaring. Si muka hitam kini membuka jaring dan membebaskan Ci Hwa. Gadis ini merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan ia pun bangkit berdiri dengan susah, agak terhuyung, lalu memandang kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya tiga puluh tahun lebih. Ia lalu memberi hormat.
“Terima kasih atas pertolongan Jiwi (Anda berdua),” katanya, tanpa merasa betapa dua orang laki-laki itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata yang tidak ada bedanya dengan cara lima orang pemburu tadi memandangnya, bahkan kini pandang mata mereka tak pernah melepaskan bagian baju yang robek terbuka sehingga memperlihatkan bukit dadanya.
Si muka bopeng, orang ke dua, terkekeh. “Ha-ha-heh-heh-heh, nona yang baik, pantas saja mereka berlima itu tergila-gila. Kiranya engkau memang seorang gadis yang manis sekali!”
Si muka hitam menyambung, “Kami telah menyelamatkanmu, nona manis, lalu bagaimana engkau hendak membalas budi kami?”
Ci Hwa terkejut. Isi ucapan dan nada suara kedua orang ini sama sekali tidak menyenangkan hatinya, bernada kurang ajar pula. Ketika ia melihat betapa mereka itu memandang ke arah dadanya, cepat ia berusaha menutupi bagian yang robek itu dan melangkah mundur dua langkah, alisnya berkerut dan wajahnya penuh kekhawatiran.
“Aku berterima kasih atas pertolongan Ji-wi, dan aku ingin melanjutkan perjalanan. “Eh, bukankah Ji-wi adalah dua orang anggauta Tiat-liong-pang?”
“Benar,” kata si muka hitam. “Ada urusan apa Nona dengan Tiat-liong-pang?”
“Aku aku ingin bertemu dengan ketuanya.“
Dua orang itu terkejut dan saling pandang, khawatir kalau-kalau gadis yang menarik hati mereka ini kenal dengan ketua mereka. Kalau begitu halnya, jelas bahwa mereka sama sekali takkan berani mengganggunya.
“Apakah Nona mengenal ketua kami?”
Ci Hwa menggeleng kepalanya, “Sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan dia dan bertanya tentang urusan yang menyangkut perusahaan piauwkiok di Ban-goan, yaitu tentang kematian piauwsu Tan Hok beberapa tahun yang lalu.”
Kembali kedua orang itu saling pandang, “Eh? Jadi Nona ini adalah dari Ban-goan?”
“Benar aku adalah puteri dari Kwee Piauwsu, kepala Ban-goan Piauw-kiok dan aku ingin menyelidiki tentang pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan orang terhadap beberapa orang piauwsu di sana.”
Kembali dua orang ini saling pandang, akan tetapi kini mulut mereka menyeringai senang. “Aha, kiranya Nona ini orang penyelidik! Akan tetapi tadi engkau belum menjawab pertanyaan kami, Nona. Kami telah menyelamatkanmu dari tangan lima orang pemburu ini, lalu dengan cara bagaimana Nona hendak berterima kasih dan membalas budi kepada kami?” Berkata demikian, si muka hitam mendekat, diikuti oleh si muka bopeng yang menyeringai.
Ci Hwa mundur lagi dan alisnya berkerut semakin mendalam.
“Aku....aku berterima kasih, kalian mau apa lagi? Aku tidak mempunyai apa-apa!”
“Heh-heh-heh, engkau memiliki segalanya, nona manis!” kata si bopeng yang tiba-tiba menubruk. Ci Hwa menahan jeritnya dan mengelak, lalu menendang dari samping. Akan tetapi, si bopeng cukup gesit dan dia menangkis tendangan itu dengan kerasnya sehingga tubuh Ci Hwa terputar. Akan tetapi, gadis ini pun bukan orang lemah. Ia sudah meloncat lagi dengan elakannya ketika si muka hitam mencoba untuk menangkapnya dari samping dengan tubrukannya. Ci Hwa dikeroyok dua. Gadis ini mencoba untuk mempertahankan diri, mengirim pukulan dan tendangan. Namun, dua orang anggauta Tiat-liong-pang itu adalah anggauta yang tingkatnya sudah agak tinggi, ilmu kepandaian mereka pun sudah cukup kuat. Sedangkan Ci Hwa kehilangan sabuk rantai yang diandalkannya.
“Brettttt!!” Tiba-tiba cengkeraman tangan si muka hitam dapat menangkap baju Ci Hwa dan baju itu berikut baju dalamnya, terlepas dari tubuhnya sehingga tubuh bagian atasnya terbuka dan buah dadanya pun nampak. Hal ini membuat kedua orang itu menjadi semakin gila dan penuh nafsu, sebaliknya Ci Hwa yang dibuat malu dan canggung karena tubuh atasnya telanjang, menjadi kacau gerakannya. Akhirnya, sebuah tendangan mengenai lututnya dan tubuh Ci Hwa terpelanting. Dua orang itu menubruknya seperti dua ekor harimau menubruk kambing. Ci Hwa berteriak-teriak ketika mereka menggumulinya, mencoba untuk melepaskan semua pakaiannya.
“Tahan!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus. Dua orang itu kelihatan terkejut, cepat melepaskan Ci Hwa dan meloncat berdiri, kini mereka berdiri berjajar, berhadapan dengan seorang pemuda dengan muka pucat dan ditundukkan, kelihatan takut sekali.
“Kiranya Kongcu yang datang....!” kata mereka dan selanjutnya mereka mengambil sikap seperti orang menunggu perintah.
Ci Hwa merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya karena kedua orang tadi dengan kasar menggumulinya, dan pakaiannya sudah tidak karuan lagi letaknya. Baju atasnya robek dan ia mengeluh, lalu bangkit duduk sambil berusaha menutupi dadanya dengan robekan bajunya, lalumemandang. Kiranya yang muncul adalah seorang pemuda yang wajahnya tampan, pakaiannya seperti seorang pemuda terpelajar tinggi, pakaian yang bersih dan rapi, wajahnya yang tampan itu pesolek dan gerak-geriknya halus, bahkan dia tidak mau terlalu lama memandang keadaan gadis yang setengah telanjang itu. Sepasang matanya ditujukan kepada lima buah mayat para pemburu, kemudian menatap kedua orang anggauta Tiat-liong-pang yang berdiri di depannya. Suaranya tetap halus, namun penuh teguran dan dari alis matanya yang berkerut itu dapat diduga bahwa hatinya tidak senang.
“Apa yang telah terjadi di sini?” tanyanya, suaranya halus namun keren.
Si muka hitam yang galak tadi kini menjawab dan Ci Hwa merasa heran mendengar betapa suara orang itu gemetar. “Begini, Kongcu....mereka itu adalah lima orang pemburu yang tanpa ijin kita berani melakukan perburuan di hutan ini. Mereka menangkap gadis ini dan menculiknya, maka kami turun tangan membunuh mereka berlima.”
“Hemmm, akan tetapi apa yang kalian lakukan tadi terhadap Nona ini?”
Dua orang kasar itu saling pandang dan untuk menyembunyikan rasa takut, mereka tersenyum menyeringai. “Hemmm, Kongcu setelah kami menolongnya, ia berterima kasih dan hendak membalas budi kami berdua....”
Pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Liong. Biarpun pemuda ini selalu bersikap halus dan jarang mendekati para anggauta Tiat-liong-pang, namun dia lebih ditakuti oleh para anggauta itu daripada terhadap Siangkoan Lohan sendiri karena pemuda ini dapat bertindak tegas dan tak mengenal ampun kepada mereka yang bersalah. Kini, mendengar laporan si muka hitam, pemuda itu menoleh ke arah Ci Hwa, hanya melirik saja. Ci Hwa tidak tahu siapa pemuda itu, akan tetapi melihat betapa dua orang itu bersikap takut-takut, ia pun dapat menduga bahwa pemuda tampan ini tentulah seorang yang amat berpengaruh di Tiat-liong-pang.
“Mereka bohong!” katanya membantah keterangan si muka hitam. “Memang benar bahwa aku diganggu dan ditawan lima orang pemburu, dan mereka berdua muncul menolongku dan membunuh lima orang itu, dan aku memang berterima kasih, akan tetapi mereka berdua itu tidak ada bedanya dengan lima orang pemburu itu. Mereka hendak memaksaku, menggangguku. Aku terlepas dari cengkeraman lima ekor srigala akan tetapi terjatuh ke cengkeraman dua ekor harimau!” Gadis yang biasanya berwatak pendiam dan halus ini sekarang bicara berapi-api, penuh kemarahan.”
Siangkoan Liong memandang dua orang anak buahnya. “Benarkah itu?”
Dua orang itu saling lirik, tidak berani berbohong lagi, akan tetapi mereka masih menyeringai. “Eh....begini, Kongcu....eh, kami melihat ia begitu cantik manis wajarlah kalau kami tertarik dan hanya ingin main-main sedikit, bukan mengganggunya “
“Cukup!” Siangkoan Liong membentak. “Cepat kalian bunuh diri sendiri!”
Tentu saja ucapan ini amat mengejutkan. Dua orang itu seketika terbelalak dan wajah mereka pucat sekali. Bahkan Ci Hwa juga kaget bukan main. Begitu mudahnya pemuda ini menjatuhkan hukuman yang luar biasa, menyuruh dua orang itu membunuh diri! Keduanya saling pandang dengan mata liar dan jelas bahwa mereka amat ketakutan, seperti dua ekor kelinci bertemu harimau.
“Tapi....tapi....“ kata yang seorang.
“Kita lapor Pangcu (ketua)!” kata yang lain dalam usahanya untuk menyelamatkan diri. Keduanya seperti dikomando tiba-tiba, segera membalikkan tubuh dan melarikan diri.
Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah meloncat, kedua tangannya bergerak dan tanpa ada suara keluhan apa pun, tubuh dua orang itu pun terjungkal dan tewas seketika? Melihat ini, Ci Hwa merasa ngeri, juga kagum juga agak takut. Pemuda tampan itu sedemikian lihainya, gerakannya ketika merobohkan orang itu sama sekali tidak dapat diikuti dengan pandang matanya, demikian cepat sehingga dia tidak tahu bagaimana dua orang itu roboh terus mati. Dan pemuda ini memiliki pembawaan yang demikian agung dan berwibawa, halus gerak-gerik dan tutur sapanya, dan demikian tampan memikat, seperti seorang tokoh bangsawan dalam dongeng saja!
Sementara itu, dengan sikap acuh, Siangkoan Liong menghampiri tujuh buah mayat itu dan setiap kali kakinya bergerak, sesosok mayat terlempar ke dalam jurang di samping jalan, jurang yang dalam seperti mulut raksasa terpentang lebar menelan mayat-mayat itu sampai tidak nampak lagi dari atas.
Setelah menendangi tujuh buah mayat itu masuk jurang, Siangkoan Liong melangkah pergi meninggalkan Ci Hwa tanpa menoleh satu kalipun, Ci Hwa cepat mengejarnya.
“Kongcu....nanti dulu....!” katanya dan sekaligus bingung juga apa yang harus dikatakan dan mengapa pula ia mengejar pemuda itu.
Siangkoan Liong dengan sikapnya yang halus lembut dan anggun itu menahan langkah dan membalikkan tubuhnya menghadapi Ci Hwa, lalu agaknya baru sekarang ia memperhatikan gadis itu, dari ujung rambut sampai ke kaki dan agaknya harus dia membenarkan pendapat dua orang anak buahnya bahwa gadis ini memang hitam manis dan cantik menarik.
“Ada apa lagikah, Nona! Sudah kusingkirkan para pengganggumu.”
Ci Hwa agak gugup dan mukanya menjadi merah. “Aku....aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu, Kongcu.”
Siangkoan Liong tersenyum dan Ci Hwa merasa betapa jantungnya seolah-olah berjungkir-balik. Betapa tampannya pemuda itu ketika tersenyum seperti itu. Sepasang matanya yang indah tajam itu seperti menyalakan api, wajahnya nampak ramah dan tampan bukan main.
“Tidak perlu berterima kasih, Nona, dan engkau boleh melanjutkan perjalanan dengan hati tenang sekarang.”
“Akan tetapi....aku memang sengaja datang hendak berkunjung ke Tiat-liong-pang dan melihat sikap kedua orang Tiat-liong-pang tadi kepadamu, agaknya Kongcu juga dari Tiat-liong-pang. Benarkah itu?”
Siangkoan Liong tertarik dan mengamati lebih tajam. Apa maunya gadis muda ini, pikirnya. “Siapakah engkau, Nona dan apa keperluanmu berkunjung kepada Tiat-long-pang?”
Ci Hwa mengangkat muka memandang. Sampai lama mereka kini saling pandang dan hati Ci Hwa semakin tertarik. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini hebat. Wajahnya demikian tampan, anggun dan juga agung, penuh wibawa namun tidak nampak galak, melainkan halus sikapnya lembut dan ramah gerak-geriknya. Ketampanan itu mengandung kegagahan tersembunyi, sedangkan pakaiannya yang seperti seorang terpelajar tinggi itu rapi, seperti pakaian seorang pemuda bangsawan saja. Ketika ditanya tentang keperluannya hendak mengunjungi Tiat-liong-pang, tentu saja ia merasa rikuh untuk memberitahukan, sebelum ia mengenal benar siapa pemuda ini dan apa hubungannya dengan Tiat-liong-pang. Akan tetapi karena orang ini telah menyelamatkannya dan bersikap baik juga ramah, ia pun segera memberi hormat dan menjawab dengan sikap halus pula.
“Nama saya Kwee Ci Hwa, Kongcu. Saya datang dari dusun Ban-goan. Ayah saya adalah Kwee Tay Seng atau Kwee Pangcu, ketua dari perusahaan Ban-goan Piauw-kiok di kota kami. Adapun keperluan saya mencari Tiat-liong-pang adalah....akan tetapi aku harus mengetahui dulu siapa Kongcu ini sebelum kuberitahukan kepentinganku.”
Pemuda itu setelah lama saling berpandangan, tidak acuh lagi cara memandangnya seperti tadi, menemukan sesuatu yang amat menarik dalam diri Ci Hwa. Seorang gadis yang memang manis sekali, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sinar mata yang memancarkan semangat dan keberanian, dengan sebuah mulut yang teramat menarik, mulut yang agaknya memang diciptakan untuk menjadi alat menyampaikan kemesraan yang penuh gairah. Mulailah sinar mata pemuda itu mencorong dan dia pun sudah mengambil keputusan bahwa dia tidak boleh melewatkan seorang gadis semanis ini begitu saja! Siangkoan Liong bukanlah seorang pemuda yang terlalu mudah jatuh menghadapi kecantikan wanita, akan tetapi, matanya tajam sekali untuk dapat menangkap keindahan yang khas seorang wanita. Terutama sekali setelah di antara semua orang yang bersekutu dengan ayahnya terdapat Sin-kiam Mo-li. Wanita itu, biar usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun masih cantik dan lemah lembut, dan tentu saja amat berpengalaman dalam ilmu menundukkan hati pria. Dengan keahliannya, ia pun pernah berhasil menundukkan pemuda yang luar biasa itu dan tentu saja dalam hal satu ini, Sin-kiam Mo-li menjadi seorang guru yang teramat pandai dan berpengalaman. Peristiwa yang terjadi dengan Sin-kiam Mo-li itu setelah membangkitkan naga yang tadinya masih tertidur dalam diri Siangkoan Liong, dan sekali naga nafsu itu bangkit maka selalu hendak mencari korban. Dan dalam pandangan pemuda itu, Ci Hwa merupakan calon korban yang amat menarik.
“Aih, kiranya engkau puteri seorang piauwsu, nona Kwee Ci Hwa. Heran sekali, mengapa puteri seorang piauwsu mencari Tiat-liong-pang. Ketahuilah, bahwa ketua Tiat-liong-pang, yaitu Siangkoan Pangcu, adalah ayah kandungku. Ibuku seorang puteri dari istana dan aku masih disebut orang pangeran karena aku putera ibuku. Namaku Siangkoan Liong.”
Ci Hwa semakin kagum. Seorang pangeran? Pantas, begini tampan gagah dan berwibawa. Dan tentang kepandaian silatnya, ia tidak meragukannya lagi, walaupun ia juga bergidik ngeri melihat betapa mudahnya pangeran ini membunuh orang, anak buahnya sendiri malah!
“Aih, kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat, Pangeran....“
“Hushhh, jangan sebut pangeran. Kita bukan di istana. Semua orang memanggil aku Siangkoan Kongcu. Nah, nona Ci Hwa, katakan mengapa seorang gadis yang begini muda dan manis seperti engkau ini, puteri seorang piauwsu, jauh-jauh datang untuk mencari Tiat-liong-pang. Ada urusan apakah?”
Hati Ci Hwa sudah jatuh benar sekarang, Siangkoan Liong memperlihatkan sikap manis, kalau bicara dibarengi senyum dan pancaran matanya tidak menyembunyikan kekagumannya, maka gadis itu pun merasa betapa jantungnya berdebar tidak karuan.
Ia pun lalu menceritakan apa maksud kedatangannya itu. Diceritakan betapa di Ban-goan terjadi pembunuhan-pembunuhan, sejak delapan tahun yang lalu ketika Tan Piauwsu dibunuh orang, kemudian juga Tang Piauwsu, dan yang terakhir adalah orang she Lay terbunuh pula oleh orang berkedok.
“Keluarga Tan menuduh ayah sebagai pembunuh itu, Kongcu, dengan alasan bahwa mungkin ayahku membenci karena persaingan dalam perusahaan. Akan tetapi, ayah sama sekali tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan aku merasa penasaran. Aku harus mencari pembunuh itu untuk mencuci nama baik ayahku. Sebelum orang she Lay itu tewas oleh orang berkedok, dia ada menyebutkan nama perkumpulan Tiat-liong-pang dan karena itulah maka aku meninggalkan rumah dan pergi mengunjungi Tiat-liong-pang untuk mencari keterangan. Akan tetapi di hutan tadi aku bertemu dengan lima orang pemburu yang menawanku, kemudian muncul dua orang anggauta Tiat-liong-pang. Untung ada engkau, Kongcu, yang telah menyelamatkan aku.”
Siangkoan Liong tersenyum lebar dan pandang matanya ramah sekali. “Aih, nona yang baik, kenapa engkau bercuriga kepada Tiat-liong-pang? Perkumpulan kami terlalu besar untuk berurusan dengan segala macam pembunuhan seperti yang terjadi di Ban-goan itu. Perkumpulan kami dekat dengan istana, dan ayahku adalah keluarga istana, mana mungkin memusuhi segala macam perusahaan piauw-kiok? Akan tetapi agar engkau merasa puas, marilah ikut denganku, dan kaulihat sendiri keadaan perkumpulan kami. Kami cukup kaya dan tidak membutuhkan barang orang lain untuk dirampok. Nah, marilah, Nona. Engkau menjadi seorang tamuku, tamu terhormat.”
Tentu saja Ci Hwa merasa girang dan terhormat sekali. Semangatnya untuk menyelidiki Tiat-liong-pang seperti awan tipis tersapu angin, lenyap sudah. Dan kini, ia berjalan di sebelah pemuda itu bukan lagi seperti seorang yang ingin menyelidiki, melainkan sebagai seorang tamu yang merasa gembira bukan main telah dapat menjadi tamu seorang tuan rumah seperti pemuda ini. Kalau saja, para gadis lain melihatnya, berjalan berdampingan dengan seorang pangeran yang demikian tampan demikian gagah perkasa, tentu mereka akan merasa iri hati!
Siangkoan Liong membawa Ci Hwa ke rumah gedung keluarganya, akan tetapi ia tidak mengajaknya berjumpa dengan ayahnya. Juga tidak memperkenalkannya kepada semua orang yang terdapat di gedung itu, dan karena dia diam saja, tak seorang pun di antara para anggauta maupun tamu di rumah itu berani bertanya kepadanya siapa gerangan gadis manis yang datang bersamanya itu. Sedangkan Ci Hwa, melihat betapa semua orang memberi hormat kepada pemuda itu, merasa semakin bangga! Apalagi ketika ia melihat betapa rumah gedung itu memang penuh dengan perabot rumah yang indah, seperti sebuah istana seorang pembesar saja. Tidak salah. Pemuda yang berdarah pangeran ini memang kaya raya dan tentu saja tidak perlu harus melakukan perampokan terhadap Tan Piauwsu. Ia dibawa ke ruangan-ruangan yang amat indah, dan akhirnya pemuda itu mengajaknya duduk di dalam sebuah ruangan makan yang tidak berapa luas, namun ruangan ini terhias indah dengan lukisan-lukisan, juga amat bersih dan berbau harum. Sebuah pintu menembus ke sebuah kamar, yaitu kamar pemuda itu, dihiasi tirai sutera dan dua pot bunga tumbuh subur di kanan kiri pintu. Inilah ruangan makan pribadi dari Siangkoan Kongcu. Pemuda ini memang merasa lebih tinggi daripada para sahabat dan anak buah ayahnya, maka dia jarang sekali mau makan bersama teman-teman ayahnya yang dianggapnya orang-orang kasar. Dia lebih suka makan seorang diri saja di ruangan khusus itu, hanya ayahnya saja yang kadang menemaninya kalau tidak sedang menjamu tamu.
“Duduklah, nona Kwee. Hari sudah siang dan aku sudah lapar. Apakah engkau tidak merasa lapar juga?”
Ditanya demikian, Ci Hwa yang berwatak pendiam dan halus itu, merasa sungkan dan hanya menggeleng kepalanya.
“Ah, sekali waktu orang harus menanggalkan rasa rikuh dan bersikap jujur, Nona. Tadi pernah aku mendengar keruyuk perutmu ketika kita jalan bersama, itu tandanya engkau pun lapar seperti aku. Kenapa harus malu mengakuinya?”
Ditegur seperti itu, mau tidak mau Ci Hwa tersenyum dengan kedua pipinya berubah merah, dan tidak dapat menjawab.
“Nah, engkau sebagai tamuku, tamu agung, harap tidak menolak kalau kuajak makari bersama sebelum kita bercakapcakap lebih lanjut.” Tanpa menanti persetujuan gadis itu, Siangkoan Liong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan wanita, gadis-gadis muda yang mulus dan cantik. Mereka memberi hormat dengan sikap lembut.
“Cepat keluarkan hidangan makan siang berikut minumannya yang lengkap untuk menghormati tamu agungku!” perintahnya. Dua orang gadis pelayan itu membungkuk lalu mengundurkan diri dengan cepat. “Silakan duduk, nona Kwee Ci Hwa.”
Terpaksa Ci Hwa mengambil tempat duduk, berhadapan dengan pemuda itu, terhalang sebuah meja yang lebarnya satu meter. Mereka kembali saling pandang dan melihat betapa sinar mata pemuda itu mengamatinya dengan kagum, debar jantung Ci Hwa mengeras dan ia pun menunduk malu-malu. Tak dibayangkannya semula bahwa ia akan dapat duduk semeja dan menjadi tamu agung putera ketua Tiat-long-pang yang hendak diselidikinya. Ia merasa malu kepada dirl sendiri. Bagaimana mungkin ia mencurigai seorang seperti pemuda ini, perkumpulan besar yang kaya raya ini? Tentu orang she Lay itu telah sengaja menyebut nama Tiat-liong-pang untuk menjebak Sin Hong.
“Aih, celaka....!” Tiba-tiba ia menggumam, suaranya yang timbul dari kekagetan hatinya. Hal ini diketahui oleh Siangkoan Liong yang memandang heran.
“Eh, ada apakah nona Ci Hwa?”
Ci Hwa merasa terkejut dan menyesal sekali mengapa ia tidak mampu menahan gejolak batinnya tadi. Tentu saja ia terkejut teringat akan hal itu karena sudah pasti Sin Hong akan datang pula menyelidiki ke sini dan kalau sampai bentrok dengan orang-orang Tiat-liong-pang yang tidak bersalah, pemuda itu bisa celaka! Padahal ia kagum dan suka sekali kepada Tan Sin Hong! Kini, karena sudah terlanjur bicara dan diketahui Siangkoan Kongcu, terpaksa ia pun menjawab.
“Kongcu, aku teringat akan putera mendiang Tan Piauwsu. Dialah orangnya yang tadinya menjatuhkan tuduhan kepada keluarga kami sebagai pembunuh ayahnya. Dan dia pun mendengar dari orang she Lay itu bahwa yang berdiri di belakang pembunuhan itu adalah Tiat-liong-pang. Tentu dia akan menyerbu ke sini!”
Siangkoan Kongcu hanya tersenyum. “Biarkanlah kalau dia akan menyerbu. Kami tidak bersalah dan kami tidak takut akan serbuan siapa pun juga.”
“Bukan begitu maksudku, Kongcu. Akan tetapi dia....Tan Sin Hong itu, dia akan salah serbu dan bahkan tentu akan celaka di sini....“
Sepasang alis yang berbentuk golok dan hitam itu agak berkerut dan sepasang mata yang tajam itu memandang penuh selidik ke arah wajah manis itu.
“Kalau begitu mengapa? Kalau dia menyerbu ke sini dan celaka, bukankah itu salahnya sendiri? Apa hubungannya dengan engkau, Nona? Kenapa engkau mengkhawatirkannya, padahal dia sudah menuduh ayahmu sebagai seorang bersalah?”
Sepasang pipi itu semakin merah. Tentu saja ia tidak dapat menyatakan bahwa ia tertarik dan kagum, bahkan suka sekali kepada Sin Hong! “Ah, tidak ada hubungan apa pun. Hanya aku kasihan kepadanya karena dia telah kehilangan ayah ibunya, kehilangan perusahaannya, kehilangan segalanya.”
“Jadi karena itu engkau membantunya dan menyelidiki kami? Apakah engkau jatuh cinta padanya, Nona?”
“Ihhh....! kenapa engkau bertanya begitu, Kongcu? Aku menyelidiki untuk menebus nama baik ayahku, bukan untuk membantunya, dan tentang cinta....ah....tidak sama sekali!” Tentu saja ia menyangkal walaupun hatinya penuh tanda tanya dan keraguan karena selama ini ia sendiri pun belum pernah bertanya kepada diri sendiri apakah rasa tertariknya kepada Sin Hong ini karena cinta.
Siangkoan Liong menarik napas lega dan sementara itu hidangan pun tiba.
“Sudahlah, kita bicarakan hal lain saja, Nona. Kalau sampai orang yang bernama Tan Sin Hong itu datang menyerbu, mengingat bahwa dia itu kenalanmu, tentu akan kujaga agar dia jangan sampai celaka.”
“Terima kasih, Kongcu. Engkau memang orang yang baik sekali.”
“Ha-ha-ha, bukan baik, Nona. Akan tetapi menghadapi seorang gadis yang begini cantik manis, begini ramah dan halus budi, juga gagah perkasa seperti engkau, siapa orangnya tidak akan menjadi baik?”
Sudah sejak sejarah dicatat orang, wanita merupakan mahluk yang amat lemah terhadap cumbu rayu dan bujukan. Pujian-pujian merupakan hal yang menyenangkan hati, bahkan didambakan setiap orang wanita. Hanya wanita yang tidak normal saja kiranya yang tidak haus akan pujian dan rayuan. Dan hal ini kiranya bukan karena suara kelemahan batin atau juga karena kekurangannya, melainkan sudah menjadi pembawaan, naluri yang ada pada setiap mahluk betina, termasuk wanita. Sudah sejak mulanya, wanita atau semua mahluk betina memiliki daya tarik yang amat besar bagi mahluk jantan, seperti juga wanita memiliki segalanya yang amat menarik hati pria. Suaranya yang lembut, rambut panjang halus, kulit mulus, raut wajah yang indah, lekuk lengkung tubuh menggairahkan, pandang mata yang penuh romantika, senyum memadu, leher jenjang, pinggang ramping, dada dan pinggul membukit, kaki yang mungil, pendeknya segala sesuatu pada diri wanita mengandung daya tarik bagi pria. Wanita menyadari akan hal ini, karena itu berupaya menonjolkan daya tarik itu dan kalau sampai terlontar pujian dari mulut atau mata pria, maka berhasillah ia dan banggalah ia. Sebaliknya, pria yang pandai, yang mengerti akan kelemahan wanita ini sengaja mempergunakan kelemahan itu sebagai umpan untuk memancing dan mendapatkan wanita yang diidamkannya. Daya tarik kedua pihak, yang menarik satu kepada yang lain, memang pembawaan sejak lahir, mungkin hal itu diperlukan sekali agar ada pendekatan antara keduanya, sebagai sarana perkembangbiakan. Tanpa saling tertarik, mana mungkin ada hasrat pendekatan, dan tanpa pendekatan, bagaimana mungkin terjadi perkembangbiakan?
Di pihak pria, memang ada pula perasaan suka dipuji itu, akan tetapi biasanya, berbeda dengan wanita, pria suka dipuji akan kejantanannya, bukan karena keelokan parasnya. Siangkoan Liong, biarpun sejak kecil digembleng dengan ilmu silat dan sastra, sebelum Sin-kiam Mo-li menjadi sekutu ayahnya, memang sama sekali tidak berpengalaman dengan wanita. Setelah dia terpikat oleh Sin-kiam Mo-li dan mendapatkan seorang guru baru dalam permainan asmara, dia pun berubah. Walaupun dia masih jual mahal dan tidak sembarangan mau mendekati wanita seperti para gadis pelayannya sendiri, namun dia mulai memperhatikan wanita dan sekali dia menaruh minat, jangan harap wanita itu akan mampu terlepas dari pikatannya yang lihai.
Ci Hwa berkali-kali memerah muka karena pujian-pujian yang dilontarkan tidak secara kasar atau langsung itu. Sambaran-sambaran sinar mata penuh kagum dari pemuda itu lebih membingungkannya daripada kalau ia dirayu. Andaikata Siangkoan Kongcu merayunya dengan kata-kata, apalagi kalau agak kasar, kiranya belum tentu ia akan terpikat. Ia bukan wanita yang mudah jatuh hati oleh ketampanan. Akan tetapi, menghadapi sikap yang demikian lembut, halus dan ramah, pandai membawa diri, bahkan kata-katanya kini mulai indah seperti sajak, dengan kata-kata pilihan, luluhlah hati Ci Hwa.
Melihat betapa calon korbannya itu sudah mulai terpikat, yang dapat diketahuinya dari senyum, dikulum, lirikan mata mengandung kegenitan, kedua pipi kemerahan, dada naik turun dan mata yang seperti mengantuk itu, Siangkoan Kongcu lalu memesan anggur merah dari pelayan. Sebuah guci berlapis emas, dengan ukiran-ukiran sepasang burung Hong sedang bermain asmara, disuguhkan dan diletakan di atas meja. Ketika Siangkoan Liong menuangkan anggurnya, ternyata anggurnya merah dan berbau harum sekali. Diisinya penuh cawan mereka dan Siangkoan Liong mengangkat cawannya yang penuh arak merah itu sambil diacungkannya kepada Ci Hwa sambil berkata dengan senyum ramah dan manis.
“Marilah kita minum anggur ini, Nona!”
Biarpun Ci Hwa tidak asing dengan minuman arak dan anggur karena ayahnya juga seorang peminum yang kuat, namun tadi sambil makan ia telah minum arak cukup banyak. Ia tidak mabuk, akan tetapi ia harus waspada karena berada di tempat asing, apalagi sebagai seorang tamu wanita. Alangkah akan memalukan kalau sampai ia mabuk dan mengeluarkan kata-kata di luar kesadarannya, maka ia pun menggeleng kepala sambil tersenyum.
“Sudah cukup, Kongcu. Sungguh aku sudah kenyang dan sudah banyak minum, rasanya tidak ada tempat lagi untuk ditambah minum anggur. Kebaikanmu sebagai tuan rumah sudah berlimpahan, membuat aku merasa tidak enak saja, dan sebaiknya kalau aku minta diri sebelum berhutang budi terlalu banyak.” Ci Hwa adalah seorang gadis pendiam dan jarang bicara, akan tetapi sekali ini ia pandai bicara. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan tempat yang indah itu, oleh kegembiraan berdua dengan Siangkoan Kongcu, atau juga lidahnya agak terlepas karena pengaruh minuman arak yang tua dan baik tadi.
“Ha-ha-ha, nona Ci Hwa yang mulia! Ketahuilah bahwa anggur ini merupakan anggur simpananku yang kuberi nama Anggur Emas. Tidak keras seperti arak, melainkan lezat, manis dan harum, juga mengandung khasiat menyehatkan tubuh dan membangkitkan hawa sakti dalam tubuh. Kalau bukan tamu agung, jangan harap bisa merasakan anggur suguhanku ini. Anggur ini adalah minuman para puteri dan pangeran di istana, Nona. Oleh karena itu, mari kita minum untuk pertemuan kita yang berbahagia ini!”
Betapa Ci Hwa dapat menolak penawaran seperti itu? Tentu saja akan tidak enak sekali dan nampak tidak dapat menerima budi orang kalau ia menolak, maka sambil tersenyum ia pun mengangkat cawan araknya. Senyumnya agak lebar kini, lebih terlepas dan dengan sinar mata kagum Siangkoan Liong melihat deretan gigi yang putih cemerlang seperti mutiara, rapi berjajar dan samar-samar nampak rongga mulut yang merah dengan ujung lidah jambon yang sehat. Keduanya mengangkat cawan, saling mengacungkan cawan sambil berkata lirih “selamat!” dan keduanya minum anggur merah dari cawan itu.
Begitu anggur memasuki mulutnya, Ci Hwa terkejut, heran dan juga kagum! Belum pernah selama hidupnya ia minum minuman selezat itu! Bagaikan sari buah anggur tulen. Mungkin anggur dengan mutu terbaik diperas dan entah dicampur apa maka dapat sedemikian manisnya dan harumnya. Tentu tidak memabukkan sama sekali, pikirnya dan ia pun menuangkan isi cawan itu seluruhnya ke dalam tenggorokannya. Terasa manis dan hangat memasuki tenggorokan dan perut. Memang ada rasa hangat, akan tetapi tidak panas menyentak seperti kalau minum arak.
Mereka berpandangan dan pemuda itu tersenyum. Nampak lebih cerah dan lebih tampan saja wajah pemuda itu. “Bagaimana, nona Ci Hwa? Enak tidak?”
“Bukan main!” Ci Hwa memuji. “Engkau sungguh pandai sekali, Kongcu. Selama hidupku, baru sekarang aku merasakan minuman yang begini lezatnya.”
“Ha-ha-ha, pujian seperti itu harus diberi hadiah secawan lagi.” Dia cepat mengisi pula dua cawan arak mereka. “Sekarang mari kita minum untuk persahabatan kita, bukan hanya karena pertemuan antara kita!”
Karena minuman itu bukan arak dan tidak akan memabukkan, Ci Hwa tanpa ragu-ragu minum lagi anggur itu sampai habis. Dan untuk ke tiga kalinya Siangkoan Liong menuangkan isi guci ke dalam cawan mereka.
Ci Hwa merasa sungkan juga, takut dianggap gembul dan murka. “Cukup, Kongcu. Minuman seperti itu amat berharga dan jangan terlalu banyak dihamburkan untukku!”
“Sama sekali bukan begitu. Memang amat mahal harganya, akan tetapi seguci hanya terisi enam cawan. Dan kiranya tidak ada orang yang lebih patut untuk mendapatkan setengah guci. Engkau tiga cawan dan aku tiga cawan baru puaslah hatiku. Sekali ini kita minum untuk menghormati perasaan suka dan tertarik di antara kita!”
Ci Hwa terkejut dan mukanya menjadi semakin merah, jantung berdebar kuat sekali. Akan tetapi ia tidak marah. Bagaimuna ia dapat marah terhadap seorang pemuda seperti ini? Dalam pandangan matanya, pemuda itu nampak terlalu tampan, terlalu halus dan sopan dan memang harus diakuinya bahwa timbul perasaan tertarik dan suka di dalam hatinya. Biarpun agak malu-malu, ia minum juga cawan ke tiga berisi anggur merah yang penuh.
Sekarang barulah terasaolehnya. Ia merasa seperti melayang ke atas, terapung-apung tanpa bobot, dibuai dan ditimang, tubuhnya seperti tidak merasakan apa-apa lagi kecuali kenikmatan yang aneh. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya masih duduk di depan meja, dan di seberangnya, wajah tampan itu nampak tersenyum ramah. Ia merasa aneh akan tetapi tidak heran, tidak merasa mabuk, akan tetapi masih agak sadar bahwa terjadi suatu keanehan yang selamanya tak pernah dirasakannya. Lukisan di dinding itu, sebuah lukisan gunung dan awan, nampak demikian indahnya seolah-olah bukan lukisan, melainkan jendela terbuka dari mana ia dapat melihat gunung dan awan yang sungguh-sungguh. Dan lukisan burung merak itu, bukankah burung itu menggerak-gerakkan sayap dan kepalanya? Dan warna sutera yang menjadi tirai depan pintu kamar itu, warnanya seperti pelangi akan tetapi dalam keadaan yang luar biasa indahnya, bukan sekedar warna biasa, melainkan warna yang demikian jelas, seperti dapat ia mendengar suara beraneka macam itu, dengan suara berbeda, seperti nyanyian, membawakan irama yang demikian halus dan enak sehingga tak terasa lagi Ci Hwa menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan irama itu!
Suara ketawa halus dari Siangkoan Liong memasuki telinganya, seperti suara bisikan dari jauh sekali, namun juga jelas sekali. “Aih, nona Kwee Ci Hwa yang manis, agaknya engkau....engkau lelah dan mengantuk. Benarkah itu?”
Ci Hwa menggeleng kepala dan menahan ketawanya. Aneh, kenapa ia ingin sekali tertawa, tertawa sepuasnya dan sebebasnya? Tidak ada lagi ikatan malu atau apa saja, yang ada hanya keinginan hati untuk senang! “Aku tidak lelah, tidak mengantuk, akan tetapi wah, enaknya rasanya....“
“Kalau dipakai beristirahat tentu lebih enak. Mari, Nona, marilah engkau beristirahat....“ Dan tiba-tiba tangan pemuda itu sudah menyentuh tangannya.
Sejenak Ci Hwa seperti orang kaget, akan tetapi lalu tersenyum. Tangan pemuda itu hangat dan halus, dan apa salahnya berpegang tangan? Wajar saja, bukan?
“Ya-ya-ya, istirahat, aku seperti melayang-layang....“ katanya seperti dalam mimpi. Ia pun sama sekali tidak memiliki daya lawan atau sama sekali tidak ingin menentang ketika Siangkoan Liongmemutari meja, menghampirinya dan memegang kedua pundaknya, bahkan lalu membantunya bangkit berdiri.
Ketika Ci Hwa berdiri, ia limbung dan tentu bisa jatuh kalau tidak segera dirangkul Siangkoan Liong pundaknya. Tubuhnya rasanya begitu ringan seperti bola karet penuh angin, kedua kakinya seperti agar-agar saja, dan pikirannya tidak ada! Yang ada hanya perasaan senang, perasaan enak, perasaan bebas dari segala persoalan hidup. Ia bahkan terkekeh sedikit ketika pemuda itu menuntunnya masuk ke dalam kamar yang bertiraikan kain sutera pelangi tadi.
Ci Hwa sama sekali tidak memiliki niat apa-apa, apalagi membantah ketika pemuda itu memondong dan merebahkannya di atas sebuah pembaringan yang tebal, lunak, harum dan indah. Bahkan ia pun tidak membantah ketika pemuda itu melepaskan sepatunya. Ia terlentang dan memandang langit-langit kelambu, lalu menarik napas panjang, penuh kelegaan.
“Aaaahhh....alangkah senangnya, alangkah enaknya....“ Ia tidak tahu bahwa gelung rambutnya terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu terurai di atas bantal. Juga ia tidak peduli ketika pemuda itu menutupkan daun pintu, bahkan tidak merasa heran atau aneh ketika pemuda itu pun membuka baju luar dan rebah di sampingnya!
Siangkoan Liong yang maklum bahwa calon korbannya sudah terbius oleh obat luar biasa yang terkandung dalam anggur tadi, juga maklum bahwa pada dasarnya gadis itu memang sudah terpikat dan tertarik kepadanya, lalu mulai mencumbunya. Hanya sekali-kali saja kesadaran seperti hendak menyeret kembali Ci Hwa ke dalam keadaan normal, namun pemuda itu pandai sekali merayu, dengan bisikan-bisikan, dengan sentuhan-sentuhan, dengan dekapan dan ciuman. Dan akhirnya, api berahi yang ada dalam diri setiap manusia, juga dalam diri Ci Hwa, tersulut dan berkobar. Ia pun membalas belaian dan pelampiasan kemesraan pemuda itu dengan menggebu-gebu, lupa akan segala, yang ada hanyalah keinginan memuaskan hasrat yang berkobar membakar seluruh keadaan dirinya, lahir batin.
Tanpa ada paksaan semua itu terjadi, walaupun Ci Hwa melakukannya dalam keadaan seperempat sadar saja. Berkali-kali ia menyerahkan diri, penuh kerelaan dan keduanya berada di dalam kamar itu sampai keesokan harinya!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ci Hwa terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun, ia merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan lelah sekali, seolah-olah telah dilolosi semua urat di tubuhnya. Ingin ia memejamkan mata kembali, tidur kembali, akan tetapi ketika tangannya bergerak, ia mendapatkan dirinya tanpa pakaian! Ia terkejut, memiringkan tubuhnya dan ia pun melihat Siangkoan Liong rebah di sampingnya dalam keadan yang sama! Teringatlah ia akan kesemuanya itu seperti ada kilat menyambar menerangi benaknya. Kini, semua pengaruh obat telah lenyap dan ia sadar seutuhnya!
“Ihhh....!” Ia menahan jeritnya, bangkit duduk dan menarik selimut menutupi tubuhnya, rambutnya terurai lepas menutupi kulit pundak dan dada yang mulus, matanya terbelalak memandang kepada Siangkoan Liong. Oleh jerit ditahan dan gerakan gadis itu, Siangkoan Liong juga terbangun. Dia memandang dan tersenyum, lalu bangkit duduk juga. Dadanya yang bidang nampak berkeringat dan biarpun rambutnya kusut dan dia baru bangun tidur, tetap saja dia merupakan seorang pria yang jantan dan menarik.
“Selamat pagi, Hwa-moi, kekasihku!” katanya dan tangannya meraih, hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Ci Hwa menggeser pinggulnya, menjauh dan matanya terbelalak.
“Kongcu....! Engkau....kita....?” bisiknya, seolah-olah baru melihat kenyataan yang sungguh teramat mengejutkan hatinya.
Melihat ini, Siangkoan Kongcu tidak menjadi gugup, bahkan sambil tersenyum dia menyentuh lengan gadis itu. Begitu merasa lengannya disentuh tangan pria, Ci Hwa merasa bulu tengkuknya meremang dan ia cepat menarik lengannya dan menjauh.
“Tenanglah, Hwa-moi, tenanglah kekasihku. Lupakah engkau? Kita memang telah berkasih-kasihan, kita telah tidur di sini sejak kemarin siang dan kita....kita telah saling mencurahkan kasih sayang. Engkau memang seorang wanita hebat....!”
“Tidak! Oohhh....tidak....!” Ci Hwa menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari celah-celah antara jari-jari tangannya mengalir air mata.
“Ci Hwa, tenangkan dirimu. Kita memang telah melakukan hubungan, dengan suka rela, karena saling menyayang, saling menyukai. Apa salahnya itu? Dan aku merasa berbahagia sekali.”
“Tidak....! Engkau....engkau tentu telah menjebakku....“
“Hwa-moi, apakah engkau mimpi? Lihat ini dadaku, leherku, masih merah-merah bekas gigitanmu. Gigitan manja! Ingat, Hwa-moi, aku tidak memaksamu dan engkau tidak memaksaku. Kita melakukan dengan suka rela, karena saling mencinta. Beberapa kali engkau membisikkan kata cinta kepadaku, kenapa sekarang tiba-tiba engkau menangis dan menyesal dan menuduh yang bukan-bukan?”
Ci Hwa menurunkan kedua tangannya. Air matanya masih mengalir turun dan matanya basah. Sejenak ia memandang wajah pemuda itu melalui air matanya dan ia pun teringatlah semuanya. Ia merasa malu sekali, akan tetapi segalanya telah terjadi.
“Aku....aku agaknya sudah gila,” ratapnya. “Aku....tergila-gila kepadamu, Kongcu. Akan tetapi, apakah engkau cinta padaku?”
Siangkoan Liong merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra dan Ci Hwa hanya setengah meronta saja. “Cinta padamu? Kalau tidak cinta padamu, untuk apa aku melakukan ini? Aku bukan pria yang kegilaan perempuan! Aku tentu saja cinta padamu, Hwa-moi.”
Sinar terang memenuhi batin Ci Hwa dan ia pun balas merangkul. “Aih, Kongcu, terima kasih. Kalau begitu, sekarang juga, hari ini juga, engkau harus ikut bersamaku ke Ban-goan.”
“Ehhh?” Siangkoan Kongcu mengerutkan alisnya dan memandang heran. “Ikut denganmu ke Ban-goan?” tanyanya ragu. “Mau apa?”
Ci Hwa yang terbelalak. “Mau apa lagi? Bukankah engkau sudah menggauli diriku, bukankah aku telah menyerahkan diriku kepadamu dan kita seperti sudah menjadi suami isteri? Tentu saja untuk menghadap ayahku dan untuk melamarku menjadi isterimu. Apa lagi!”
“Ah, ini tidak mungkin!”
Seketika pucat wajah Ci Hwa. Kemudian mukanya merah sekali dan ia pun menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaianya sejadinya. Hal ini diturut pula oleh Siangkoan Kongcu dan kini mereka berdiri di kamar itu, berdiri saling berhadapan.
“Siangkoan Kongcu, setelah apa yang kau lakukan semalam....“
“Engkau juga, bukan aku sendiri!”
“Benar, setelah apa yang kita lakukan bersama semalam, apakah engkau masih berani mengatakan bahwa engkau tidak akan melamarku dan mengambil aku sebagai isterimu?”
Pemuda itu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. Dalam keadaan seolah-olah dia terdesak itu, dia masih bersikap tenang dan halus. “Kwee Ci Hwa, dengarlah baik-baik. Engkau datang ke sini tanpa diundang. Aku menyambutmu dengan baik, bahkan untuk keselamatanmu dan harga dirimu, aku telah membunuh dua orang anggauta perkumpulan kami. Kemudian kita saling mencinta, dan saling menumpahkan perasaan cinta dan kasih sayang, tanpa paksaan dan dengan suka rela. Akan tetapi sekarang engkau menuntut aku agar mengambil engkau sebagai isteri!”
“Bukankah itu sudah pantasnya dan seharusnya?” Ci Hwa membantah dengan suara mendesak.
Siangkoan Liong menggeleng kepala. “Tidak ada paksaan dalam hubungan kita. Engkau tahu bahwa aku seorang pangeran, seorang keturunan bangsawan dan tidak mudah mengikatkan diri menikah begitu saja. Kita saling suka, dan aku pun cinta padamu. Mengapa kita tidak tetap seperti sekarang saling mencinta dan melakukan hubungan setiap kali kita inginkan? Apa perlunya ikatan pernikahan? Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu, Ci Hwa.”
Wajah gadis itu berubah pucat, matanya terbelalak dan kembali air mata bercucuran keluar. “Kongcu, setelah apa yang kaulakukan setelah engkau meniduriku, merenggut keperawananku....ah, bagimu sebagai pria memang mungkin tidak apa-apa, akan tetapi aku seorang wanita! Seorang wanita, seorang gadis! Tahukah engkau akibatnya? Aku akan dikejar aib, namaku akan rusak dan hina, lebih hebat daripada kematian!”
Siangkoan Liong menggeleng kepala dan tersenyum. “Bodoh kau! Tetap saja menjadi kekasihku seperti sekarang, dan aku akan melindungimu.”
“Tidak! Engkau harus melamarku, harus mengambilku sebagai isterimu, kalau tidak....“
“Hemmm, kalau tidak mengapa?” Siangkoan Liong kini bertanya dengan alis berkerut dan pandang matanya mencorong marah.
“Kalau tidak, engkau atau aku harus mati!” Dan tiba-tiba Ci Hwa yang sudah merasa putus asa itu lalu menyerang dengan hebatnya, menghantam ke arah dada pria yang pernah membahagiakannya selama sehari semalam itu. Serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaga karena kini, perasaan cintanya sudah berubah seketika menjadi kebencian yang bernyala-nyala. Kini baru terbuka matanya orang macam apa adanya pemuda yang tampan, halus dan perkasa itu. Ia telah terjebak dan tahulah ia bahwa semua sikap baik, kehalusan, bahkan pertolongan itu, ditambah dengan makan minum dan terutama sekali minuman anggur merah itu, hanya merupakan perangkap saja untuknya. Ia telah terperangkap, telah menjadi korban. Pemuda ini sama sekali tidak mencintanya, tidak menginginkannya menjadi isteri, melainkan mempermainkannya saja! Oleh karena kesadaran ini, ia pun menyerang dengan sekuatnya, serangan dahsyat walaupun tubuhnya masih terasa lemas karena malam tadi menghabiskan tenaga dan kurang tidur.
Akan tetapi, tingkat kepandaian Siangkoan Liong jauh lebih tinggi dibandingkan Ci Hwa, maka serangan itu dengan mudah dihadapinya dan begitu pemuda itu menggerakkan kedua tangannya, bukan dia yang terserang, bahkan Ci Hwa sudah dapat ditangkap dan ditelikungnya. Kedua lengan gadis itu dipuntir ke belakang, dipegang dengan satu tangan dan tangan lain merangkul, Ci Hwa hendak meronta, namun sekali jari tangan pemuda itu menekan, tubuh Ci Hwa menjadi lemas dan ia pun terkulai dalanm pelukannya tanpa dapat melawan lagi kecuali menangis.
“Sayang, jangan menangis. Bukankah kita saling mencinta? Ingatlah betapa mesra dan bahagianya kita semalam, dan aku masih saja rindu padamu, belum juga puas aku minum madu darimu.” Siangkoan Liong memondongnya dan membawanya kembali ke pembaringan.
Ci Hwa menangis. Menangis dalam batin. Kini, biarpun dibelai dan dihujani pernyataan dan pencurahan cinta kasih yang mesra, sama sekali ia tidak merasa senang. Sebaliknya ia merasa tersiksa tanpa mampu menolak, tanpa mampu meronta. Ia merasa diperkosa, dihina sampai sehebat-hebatnya oleh pria yang kini amat dibencinya itu. Seperti bumi dan langit bedanya dengan hubungan antara mereka mulai kemarin siang sampai semalam, begitu penuh dengan kemesraan dan perasaan cinta kedua pihak. Kini ia merasa diperkosa dan ditekan, dihancurkan dipatah-patahkan.
Hubungan sex antara pria dan wanita sesungguhnya merupakan hubungan puncak kemesraan yang indah dan suci apabila dilakukan oleh kedua pihak karena dorongan cinta kasih. Hubungan sex merupakan puncak kemesraan pernyataan sayang, saling mengisi, saling membahagiakan melalui perasaan yang paling halus dan paling dalam, di mana masing-masing sudah bebas dari keakuan masing-masing, melebur menjadi satu dan tidaklah mengherankan kalau saat yang amat suci dan indah itu menjadi sarana penciptaan seorang manusia baru! Sex adalah suatu hubungan antara dua jenis mahluk berlawanan kelamin yang indah, suci dan nikmat. Akan tetapi, betapa kenikmatan itu selalu berubah menjadi kesenangan! Kenikmatan adalah suatu pengalaman perasaan pada saat itu, detik itu, dan kalau sudah disimpan di dalam ingatan, dijadikan kenangan, lalu diharapkan dan dikejar sebagai suatu kesenangan! Alangkah jauh bedanya antara kenikmatan dan kesenangan! Kenikmatan datang seketika, pada saat itu, tanpa adanya aku yang mengecamnya, tanpa adanya aku yang mencatatnya. Sebaliknya, kesenangan adalah suatu bayangan yang digambarkan oleh si aku yang selalu mengejar-ngejarnya. Kalau sudah begini, maka terjadilah penyelewengan yang timbul dari pengejaran itu!
Cinta kasih bukanlah sex semata, walaupun sex merupakan sebagian dari cinta kasih, merupakan kembangnya yang indah. Kalau sex sudah menjadi alat bersenang diri, dikejar, maka ia berubah menjadi nafsu yang akan membakar diri lahir batin. Sex merupakan suatu hubungan yang suci di mana terdapat cinta kasih. Tanpa cinta kasih, sex hanya merupakan suatu permainan untuk memuaskan nafsu yang tak kunjung padam, tak kunjung habis, dan nafsu ini kalau dituruti akhirnya akan membakar diri sampai hangus! Bagi seorang wanita yang lebih halus perasaan ketimbang pria, sikap cinta kasih jauh lebih berkesan di dalam hati sanubarinya daripada sekedar hubungan sex yang baik saja. Pada umumnya, wanita mendambakan kasih sayang dalam sikap, pandang mata, tutur kata, dan perbuatan yang pada puncaknya akan menuju kepada hubungan sex. Sebaliknya, pria kurang peka terhadap sikap ini, dan biasanya, pria lebih condong minta bukti melalui hubungan sex dan kepatuhan, dan kesetiaan.
Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati Ci Hwa ketika ia digelut oleh Siangkoan Liong pada pagi hari itu. Ia merasa malu, terhina, tersiksa namun tidak berdaya walaupun pemuda itu berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan tubuhnya. Hanya air matanya saja yang menjadi saksi kehancuran hatinya. Bercucuran membasahi bantal.
Setelah merasa puas, Siangkoan Liong membebaskan totokan pada tubuh Ci Hwa. Gadis itu terisak dan mengenakan pakaiannya, kepalanya pening dan ia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
“Kwee Ci Hwa, engkau seorang gadis yang tidak tahu diri dan tidak mengenal budi. Gadis-gadis lain akan saling berebutan agar dapat tidur dengan aku. Aku bukan hanya tidur bersamamu, bahkan aku telah menyelamatkanmu, aku suka dan cinta padamu, akan tetapi engkau tidak mau menerimanya. Nah, sekarang tinggal kaupilih, tinggal di sini sebagai kekasihku, bukan isteri, atau engkau boleh pergi.”
Ci Hwa sudah selesai mengenakan sepatunya. Kini ia mengangkat mukanya yang pucat dan matanya yang merah itu seperti hendak membakar wajah Siangkoan Liong. Kedua tangannya dikepal. “Kalau aku mampu, tentu aku akan membunuhmu, keparat! Biar Tuhan mengutukmu!” Setelah berkata demikian, Ci Hwa lalu meloncat keluar dari dalam kamar itu, terus melarikan diri keluar. Masih ia mendengar suara tawa pemuda itu mengikutinya sampai ia jauh meninggalkan perumahan Tiat-liong-pang. Ia berlari sambil menangis, tanpa suara, hanya terisak dan air matanya terus berjatuhan di sepanjang jalan. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, satu-satunya keinginannya hanya menjauhi tempat laknat itu sejauh dan secepat mungkin. Tubuhnya teraaa nyeri semua, terutama karena perbuatan Siangkoan Liong tadi yang diterimanya dengan batin yang meronta.
Ci Hwa memasuki sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon liar dan akhirnya kakinya terantuk akar pohon dan tubuhnya pun terpelanting jatuh ke atas rumput. Ia tidak bangun dan sekaranglah baru ia menangis sesenggukan seperti anak kecil, menangis sampai mengguguk sambil menelungkup di atas tanah itu. Kedua tangannya dikepal dan ia memukuli tanah juga kakinya menendang-nendang tanah. Penyesalan demi penyesalan datang bagaikan gelombang samudera yang maha dahsyat, melanda dirinya, menyeretnya sehingga ia gelagapan dalam tangisnya, kehilangan pegangan. Ia merasa menyesal sekali mengapa ia telah bertindak demikian bodoh, kurang waspada, mudah terbujuk rayu sampai ia mengorbankan keperawanannya, kehormatannya, bahkan ia telah diilas-ilas, dihina tanpa daya sama sekali. Andaikata ia diperkosa saja, kiranya penyesalannya tidak sehebat ini. Akan tetapi tidak, ia sama sekali tidak diperkosa untuk pertama kalinya, ia menyerah dengan suka rela, bahkan menikmatinya, meneguk minuman beracun. Betapa memalukan! Betapa rendah dirinya.
“Aku layak mampus! Aku tidak berharga lagi untuk hidup!” teriaknya ketika teringat akan itu semua. Ia meninggalkan rumah dengan cita-cita untuk mencuci nama ayahnya yang ternoda karena dituduh membunuh, akan tetapi ia sendiri, apa yang dilakukannya? Menjadi perempuan hina, lebih hina dari pelacur. Seorang pelacur menyerahkan diri dengan harapan imbalan. Akan tetapi ia? Menyerah secara membuta, tak tahu bahwa ia dipermainkan orang!
“Aku harus mampus!” Dan gadis itu pun menanggalkan ikat pinggangnya, memasangnya di atas cabang sebatang pohon, mengalungkan ujung yeng lain di lehernya dan ia pun meloncat turun dari cabang itu. Tali itu mengikat dan menjerat lehernya yang berkulit halus mulus, dan tubuhnya tergantung!
Ci Hwa merasa betapa kulit lehernya nyeri dan perih, napasnya terhenti, akan tetapi ia tidak meronta dan siap menerima kematian dengan tenang. Matanya yang terpejam nampak cahaya kuning, lalu merah api, lalu kabur agak kelabu, mulai menghitam.
“Anak bodoh!” Tiba-tiba saja tubuhnya terlepas dan ia tidak tergantung lagi! Ci Hwa yang sudah hampir pingsan itu merintih, lehernya tidak terikat lagi dan ia roboh di atas tanah, merasakan ada jari tangan menekan pundak dan tengkuknya, pernapasannya yang terengah itu kembali normal. Ia lalu membuka mata dan melihat seorang pemuda sudah berlutut di dekatnya! Hampir ia memaki karena mengira bahwa pemuda itu Siangkoan Liong, akan tetapi setelah pandang matanya dapat melihat jelas, ia melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan Siangkoan Liong! Pemuda itu jelas lebih tua daripada Siangkoan Liong, usianya tentu sedikitnya dua puluh enam tahun. Ia mengerutkan alis, mengingat-ingat dan merasa tak pernah bertemu dengan pemuda ini.
Dia seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebiruan sederhana, mukanya berkulit bersih, cerah dan dapat dibilang tampan. Sinar matanya lembut, seperti sinar mata Siangkoan Liong, akan tetapi terdapat kejujuran pada sinar mata dan mulut yang tersenyum lembut itu. Sepasang mata itu kini mengamati wajahnya seperti orang yang menyesal dan menyalahkannya. Alis itu agak berkerut, dan pada pandang matanya yang lembut itu, jelas nampak penasaran dan juga keheranan. Siapa orangnya takkan heran melihat seorang gadis semuda ia berada dalam hutan sedang berusaha membunuh diri dengan menggantung?
Akan tetapi, perasaan hati Ci Hwa yang sudah dipenuhi perasaan dendam kebencian kepada pria, segera membuat ia memandang pria ini sebagai seorang musuh, seperti setan yang tentu juga berniat jahat terhadap dirinya!
Pertama kali ia terjatuh ke tangan lima orang pemburu, semuanya laki-laki yang berniat buruk memperkosanya, kemudian berganti jatuh ke tangan dua orang anggauta Tiat-liong-pang, sama saja, mereka juga hendak memperkosanya. Terakhir kali ia terjatuh ke tangan Siangkoan Liong, yang disangkanya sebaik-baiknya orang, ternyata juga ia malah terperangkap. Sekarang, ketika ia sudah di ambang pintu maut, ia diselamatkan seorang laki-laki muda pula. Orang macam apalagi ini kalau bukan seorang calon pemerkosa berikutnya?
“Engkau sama busuknya dengan mereka!” teriak Ci Hwa dan tiba-tiba saja ia pun sudah meloncat dan langsung saja menyerang dengan pukulan tangannya ke arah dada laki-laki yang sedang berlutut di dekatnya itu. Pemuda itu sama sekali tidak pernah menyangkanya dan dari jarak sedemikian dekat, tanpa menduga akan diserang, maka tentu saja pukulan tangan Ci Hwa tepat mengenai dadanya.
“Dukkk....!” Tubuh laki-laki itu terjengkang dan bergulingan, akan tetapi dia meloncat bangun dan tidak terluka, hanya memandang dengan mata terbelalak dan agaknya bingung, mengira bahwa gadis yang malang yang ditolongnya itu mungkin sudah menjadi gila!
“Eih, Nona.... kenapa.... kenapa kau memukulku?” tanyanya, suaranya tetap tenang dan pandang matanya jelas memancarkan belas kasihan karena dia menduga bahwa gadis ini tentu gila atau tergoncang jiwanya.
“Engkau menolongku, mencegah aku mati, tentu hanya dengan satu niat yang keji dan buruk! Karena itu, akan kuhunuh engkau lebih dulu sebelum aku membunuh diri!” Ci Hwa berteriak-teriak dan ia pun sudah lari maju dan menerjang kalang kabut!
Akan tetapi sekali ini, pemuda, itu sudah siap siaga. Dari pukulan gadis itu tadi, dia pun tahu bahwa gadis itu bukanlah seorang wanita sembarangan, bahkan wanita lemah dan pukulannya tadi merupakan pukulan gaya ilmu silat dan mengandung tenaga dalam yang cukup ampuh. Dia pun tertarik sekali dan kini, menghadapi serangan bertubi-tubi itu dia pun mengelak dan berloncatan ke kanan kiri sambil memperhatikan gerakan silat penyerangnya itu. Setelah lewat dua puluh jurus, dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini dapat bersilat dengan baik sekali, dan cukuplah kepandaian itu untuk membela diri dalam perjalanan, sehingga tidak aneh kalau gadis itu berani melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi mengapa di sini hendak bergantung diri? Dan pakaian atasnya itu terobek, rambutnya kusut, matanya merah, jelas bahwa gadis itu menderita kedukaan dan penekanan batin yang amat hebat.
Sementara itu, Ci Hwa semakin terkejut, dan semakin marah karena kembali ia bertemu dengan seorang pemuda yang jauh lebih lihai darinya. Semua serangannya, yang dilakukan sepenuh hati terdorong dendam dan kemarahan, sama sekali tidak pernah menyentuh tubuh pemuda itu, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah menangkis, hanya mengelak saja dengan gerakan aneh dan amat lincahnya. Timbul dugaan bahwa tentu ia akan ditangkap lagi, dipermainkan lagi dan mengingat ini, ia merasa khawatir sekali. Lebih baik mati kalau ia harus mengalami lagi penderitaan diperkosa orang seperti tadi! Pikiran ini membuat ia putus asa. Tak mungkin ia menang dan ketika ia melihat batang pohon di mana tadi ia bergantung diri, tiba-tiba ia memperoleh akal dan ia pun melompat untuk membenturkan kepalanya pada batang pohon itu, sekuat tenaganya.
“Bukkk!” Kepalanya tidak membentur benda keras, bahkan tidak membentur apa-apa karena tubuhnya tertahan ketika dua buah tangan menerima kedua pundaknya dengan lembut. Ketika Ci Hwa melihat, ternyata pemuda itu telah mendahuluinya berdiri di depan batang pohon dan menerima tubuhnya tadi! Dengan sendirinya ia semakin marah dan penasaran.
“Kau.... kau berani menghalangiku!” bentaknya dan kini ia memukul, mencakar, menendang kalang kabut, tidak memakai gerakan silat lagi melainkan gerakan seekor harimau betina yang marah. Terdengar bunyi kain robek ketika cakarannya mengenai baju pemuda itu. Pemuda itu cepat menotok pundaknya dan Ci Hwa terkulai lemas. Dengan sopan dan hati-hati, pemuda itu membaringkan tubuh Ci Hwa di bawah pohon dan kembali ia berlutut seperti tadi. Diusapnya kulit dada yang agak berdarah terkena cakaran kuku Ci Hwa.
“Nona, engkau telah bersikap keliru sama sekali. Kenapa engkau bertekad untuk membunuh diri? Sudah demikian burukkah kehidupan ini sehingga seorang gadis semuda engkau sudah putus asa dan lebih memilih mati saja?”
Ci Hwa hanya tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara dan ia membentak ketus, “Apa urusannya denganmu? Apa pedulimu kalau aku hidup atau mampus?”
“Nona, agaknya hatimu sudah penuh prasangka buruk terhadap manusia lain. Agaknya hatimu telah disakitkan orang, maka setiap kali bertemu orang lain, engkau selalu menyangka buruk. Memang tidak ada hubungannya mati hidupmu dengan diriku, akan tetapi manusia mana yang dapat membiarkan orang lain membunuh diri begitu saja? Nona, dengar baik-baik. Ketika engkau dilahirkan oleh ibumu, apakah ada engkau minta kepadanya atau kepada Tuhan agar engkau dilahirkan?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, Ci Hwa terbelalak. Kaget dan heran. Gilakah orang ini, bertanya seperti itu? Memikirkannya saja tentang itu belum pernah ia lakukan!
“Ibuku sudah tidak ada.”
“Ah, maaf, engkau tidak mempunyai ibu lagi? Akan tetapi, kuulangi pertanyaanku tadi, ketika engkau dikandung dan dilahirkan, apakah hal itu terjadi atas permohonanmu kepada Tuhan atau kepada mendiang ibumu atau ayahmu?”
Ci Hwa mengerutkan alisnya. “Tentu saja tidak! Mana bisa! Apa engkau ini orang gila, bertanya seperti itu?”
Pemuda itu tersenyum lembut dan tidak ada sedikit pun tanda bahwa dia terpikat oleh kewanitaan Ci Hwa. “Kalau engkau tidak pernah minta dilahirkan, tidak pernah minta dihidupkan, berarti engkau tidak berhak pula untuk memaksa kehidupan terhenti dengan bunuh diri! Rasakan saja, bukankah detak jantungmu bekerja tanpa kaurasai? Bukankah pernapasanmu juga berjalan tanpa kausengaja? Dan setiap anggauta tubuhmu, rambut, kuku, bulu badan, semuanya bertumbuh tanpa kau sengaja? Semua itu bukan milikmu, bukan milik pikiranmu, dan engkau berani hendak melenyapkan semua itu yang sesungguhnya bukan hakmu? Seperti juga hidupmu, matimu pun bukan berada dalam kekuasaanmu, bukan milikmu. Kalau yang berkuasa akan hidup matimu menghendaki, biar kauusahakan bagaimanapun, engkau takkan mati, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya engkau harus mati, biar ada seribu orang dewa sekali pun takkan mampu menghidupkanmu!”
Ci Hwa termenung. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar ucapan seperti itu, dan ia menjadi bingung.
“Apa kaukira kalau menghadapi kesulitan maka kesulitan itu akan berakhir dengan kematian, Nona? Ingat, yang kesulitan itu bukanlah badannya, melainkan batinnya, dan kaukira kalau sudah mati, batinmu tidak akan terus berkelanjutan menjadi setan penasaran?”
Ci Hwa semakin terpukul dan kini air matanya mengalir, tubuhnya terkulai lemas “....aku tidak tahu.... ah, aku tidak tahu....“
Melihat keadaan gadis ini, pemuda itu lalu mengurut pundaknya dan terbebaslah Ci Hwa dari totokannya. Akan tetapi, begitu dapat bergerak, Ci Hwa lalu teringat akan nasibnya dan ia pun menangis, meraung-raung seperti anak kecil sambil duduk dan menutupi mukanya. Ia megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan. Pemuda itu tiba-tiba memegang kedua pundaknya, mengguncangnya keras-keras beberapa kali sampai kepala Ci Hwa terguncang ke kanan kiri, kemudian pemuda itu melayangkan tangannya ke arah pipi Ci Hwa, dua kali.
“Plak! Plakkk!”
Tentu saja Ci Hwa terkejut bukan main. Seperti ia diseret kembali kedunia kenyataan oleh dua kali tamparan yang membuat kedua pipinya terasa panas, perih dan nyeri itu. Ia memandang terbelalak.
“Kau.... kau jahanam, berani memukulku!” katanya dan ia pun membalas dengan dua kali tamparan ke arah pipi pemuda itu.
“Plak! Plakkk!” Pemuda itu tidak mengelak, membiarkan pipinya ditampar dan Ci Hwa melihat bekas tangannya nampak jelas di kedua pipi itu, bekas tangan yang membuat tanda merah di situ. Ia terbelalak dan terheran memandang pemuda aneh itu. Akan tetapi pemuda itu tersenyum girang.
“Nah, engkau sudah waras kembali. Ditampar balas menampar. Baru ditampar saja membalas, kenapa bodoh amat membunuh diri? Tidak ada persoalan di dunia ini yang tidak dapat diatasi! Iba diri terlalu besar membuat orang kehilangan kesadaran. Dan ingat, di dunia ini tidak semua orang jahat, Nona. Aku tidak berani mengaku bahwa aku ini orang baik, akan tetapi setidaknya aku selalu berjaga dalam hidupku agar. tidak melakukan kejahatan. Karena itu, jangan takut kepadaku, Nona. Aku tidak akan mengganggumu, dan dalam keadaan seperti ini engkau membutuhkan seorang kawan yang jujur dan beriktikad baik. Bagaimana kalau engkau anggap aku ini kakakmu saja?”
Sejak tadi Ci Hwa memandang dengan mata terbelalak, mata yang masih basah, akan tetapi sinar matanya penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk isi hati orang ini melalui matanya.
Orang itu kembali tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya. “Namaku Gu Hong Beng dan selama hidupku, aku tidak pernah mau mengganggu orang lain.”
Sikap ini diterima oleh Ci Hwa dan ia pun tiba-tiba menangis dan menubruk pemuda itu, merangkul lehernya dan gadis itu menangis di atas pundak Hong Beng, merasa seperti menangis di dada ayahnya sendiri atau seorang kakaknya sendiri. Dan pemuda itu tersenyum, mengelus rambut itu penuh belas kasihan.
“Menangislah, menangislah sepuas hatimu, itu cara terbaik untuk mencairkan segala yang membeku dalam hatimu,” katanya lirih dan kata-kata ini seperti mendorong Ci Hwa untuk menangis lebih hebat lagi sampai sesenggukan.
Para pembaca Suling Naga tentu masih ingat siapa adanya Gu Hong Beng ini. Dia seorang pemuda sederhana, putera seorang tukang kayu sederhana pula, di kota Siang-nam di Propinsi Hunan. Dia sudah kehilangan ayah bundanya dan hidup sebatang kara, kemudian dia beruntung diambil murid seorang pendekar sakti keluarga Pulau Es, yaitu Suma Ciang Bun! Banyak sudah dialami oleh Gu Hong Beng sebagai seorang pendekar muda, bekerja sama dengan para pendekar lainnya untuk menentang kejahatan. Dia pernah jatuh cinta kepada seorang pendekar wanita Can Bi Lan, akan tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah karena pendekar wanita Can Bi Lan itu memilih Sim Houw sebagai suaminya. Sim Houw yang terkenal sebagai Pendekar Suling Naga. Namun Gu Hong Beng dapat menerima kenyataan pahit ini dan sudah lama dia dapat melupakan kepahitan itu, juga dia pernah diikat perjanjian ketika dia membantu nenek Teng Siang In, yaitu ibu kandung pendekar Suma Ceng Liong yang bertempur melawan seorang datuk jahat. Sai-cu Lama. Nenek sakti itu tewas dan cucunya, yaitu puteri Suma Ceng Liong yang bernama Suma Lian, dilarikan Sai-cu Lama. Dalam keadaan menghadapi maut inilah nenek Teng Siang In mengikat janji agar Hong Beng kelak memperisteri Suma Lian! Karena dia menghadapi pesan seorang nenek yang menjelang mati, terpaksa Hong Beng menyanggupi. Hal ini amat mengganggu hatinya dan akhirnya, melalui gurunya, Suma Ciang Bun yang masih saudara sepupu Suma Ceng Liong, disampaikanlah pesan itu. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng menyerahkan keputusan itu kepada yang bersangkutan kelak, yaitu puteri mereka kalau sudah dewasa. Semua ini diceritakan dalam kisah Suling Naga!
Hong Beng sudah hampir melupakan semua itu. Melupakan wanita yang pernah dicintanya, yang kini telah menjadi isteri orang lain, dan juga dia berusaha melupakan janjinya kepada mendiang nenek Teng Siang In. Dia hanyalah seorang pemuda miskin, tidak punya apa-apa, keturunan tukang kayu, bahkan tidak lagi memiliki ayah bunda. Bagaimana mungkin dia berjodoh dengan puteri seorang pendekar seperti Suma Ceng Liong? Suma Lian adalah cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Dan dia hanyalah cucu murid saja! Pula dia belum pernah bertemu lagi dengan Suma Lian selama bertahun-tahun ini. Yang pernah ditemuinya adalah Suma Lian yang baru berusia tiga belas tahun. Bagaimana dia dapat menentukan jodohnya dengan gadis itu? Andaikata dia mau, bagaimana dengan gadis itu? Dia pun sama sekali tidak pernah memikirkan soal jodoh, sampai kini berusia dua puluh enam tahun!
Gu Hong Beng meninggalkan gurunya yang kini menjadi seorang pertapa. Sudah dua tahun dia meninggalkan gurunya, Suma Ciang Bun yang kini lebih suka bersembunyi dalam sebuah gubuk kecil di lereng Pegunungan Tapa-san, tak jauh dari situ di antara sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shen-si. Kalau orang mengenal Gu Hong Beng beberapa tahun yang lalu, kini dia akan terheran melihat Hong Beng telah menjadi seorang pemuda yang matang, tenang dan sabar, berpikiran luas dan mendalam, tidak lagi seperti dulu di mana dia mudah tersinggung dan amat pencemburu! Tubuhnya agak kurus, namun sepasang matanya memancarkan kelembutan seorang yang berjiwa besar.
Ketika Ci Hwa menangis di dadanya, diam-diam keharuan menyelinap di dalam hati Hong Beng. Keharuan dan kelegaan. Gadis ini tertolong, pikirnya, tertolong secara batiniah karena telah mampu melepaskan semua duka yang menghimpit kalbu. Dan dia terharu karena pernah dia sendiri merasakan hal seperti yang dirasakan gadis itu. Kosong, berduka, merana, kecewa dan kesepian, di mana sudah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat diharapkan, ditengok, merasa seperti sepotong batang pohon kering di tengah gurun yang kering. Dia mendekap kepala itu dan mengelus rambutnya, merasa seperti mendapatkan sesuatu, merasa berguna karena dia sudah dapat menjadi tempat seorang menumpahkan kesedihannya.
“Menangislah.... menangislah sampai terkuras habis semua kedukaan itu....“ bisiknya, lebih ditujukan kepada hatinya sendiri daripada gadis yang tidak dikenalnya itu.
Duka selalu timbul dari iba diri. Tanpa adanya pikiran yang mengenangkan keadaan dirinya sendiri yang dianggap sengsara, tidak akan timbul rasa iba diri dan takkan timbul duka. Iba diri adalah pembengkakan daripada gambaran si aku, dan si aku ini memang selalu ingin meraih yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan. Selain iba diri, si aku ini pun menjadi sumber dari segala iri hati, cemburu, kemarahan, kebencian dan selanjutnya. Si aku memang diperlukan untuk kehidupan lahiriah, di mana diatur ketentuan dan norma kehidupan bermasyarakat, ada punyaku dan punyamu, hakku dan hakmu, akan tetapi seyogianya cukup sampai di situ saja. Lahiriah! Kalau sampai menyusup ke dalam, menjadi batiniah, maka si aku selalu mengadakan ikatan-ikatan sebanyaknya. Dan ikatan inilah yang menimbulkan iba diri, menimbulkan duka. Senang kalau mendapatkan, dan susah kalau kehilangan. Senang kalau diuntungkan, dan susah kalau dirugikan, demikian seterusnya. Dapatkah kita hidup tanpa bayangan si aku secara batiniah? Dapatkah batin ini bebas daripada kemilikan? Lahiriah mempunyai namun batin tidak memiliki? Mungkinkah itu? Takkan terjawab melalui teori dan pendapat yang masih bersumber daripada akal si aku, yaitu pikiran yang selalu mempertimbangkan rugi untung. Jawabannya hanya terdapat dalam penghayatan, penelitian, dan pengamatan secara waspada, mawas diri lahir batin tanpa pendapat.
Ci Hwa menemukan hiburan bagi kesedihannya yang tadi hampir tak tertahankan lagi. Hidup bukan hanya urusan hilang atau tidaknya keperawanan! Hidup, ini masih panjang, dan beraneka ragam isinya! Orang ini, benar! Tidak ada kesulitan yang tak dapat diatasi. Ia memang sudah diperkosa orang, sudah tidak perawan lagi, akan tetapi apakah hal itu harus berarti bahwa ia tidak penting lagi hidup, tidak berhak lagi untuk hidup dan menikmati hidup ini? Betapa bodohnya. Enak saja kalau ia mati tanpa hukuman bagi orang yang menjadikan ia begini! Enak, terlalu enak bagi Siangkoan Liong! Tidak, ia bahkan harus hidup, dan satu di antara tujuan hidupnya adalah membalas penghinaan ini kepada Siangkoan Liong!
Air matanya sudah habis. Tangisnya pun terhenti dan ia pun sadar bahwa secara tidak pantas ia telah bersandar di dada orang sekian lamanya, sampai baju biru itu basah kuyup oleh air matanya. Ci Hwa menarik kepalanya ke belakang, melepaskan dirinya dan mundur tiga langkah, lalu mengangkat muka memandang. Mukanya pucat sekali, pipinya masih basah, akan tetapi matanya yang membendul merah itu tidak menitikkan air mata lagi. Sinar matanya memandang penuh selidik dan karena Hong Beng juga memandang kepadanya, mereka saling pandang dan barulah tampak oleh Ci Hwa bahwa wajah pemuda di depannya ini sama sekali berbeda dengan wajah Siangkoan Liong. Bukan hanya bentuknya yang berbeda, namun bayangan yang terkandung dalam pandang mata itu, senyum itu sama sekali berbeda. Pandang mata dan senyum Siangkoan Liong penuh daya tarik memabukkan, kelembutannya seperti besi berani yang dingin dan membetot. Akan tetapi kelembutan pada wajah pemuda ini seperti kelembutan langit biru. Dan ia pun merasa malu kepada diri sendiri.
“Maafkan aku.... sekali lagi maafkan aku. Aku tadi telah gila barangkali. Engkau benar, aku telah gila dan aku hanya menuruti dorongan hati saja. Maafkan aku.” katanya.
Hong Beng tersenyum. “Namaku Gu Hong Beng, seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Boleh aku mengetahui namamu?”
“Namaku Kwee Ci Hwa, aku datang dari Ban-goan. Jawabannya yang singkat membuat Hong Beng maklum bahwa gadis ini tentu ingin menyembunyikan persoalan dirinya, maka dia pun tidak mendesak.
“Aku tidak ingin minta kepadamu untuk menceritakan segala urusanmu, nona Kwee akan tetapi....“
“Nanti dulu, kalau aku tidak salah ingat, engkau tadi menyuruh aku menganggap engkau seorang kakak sendiri. Benarkah?”
“Benar, lalu kenapa?” Hong Beng memandang, tersenyum ramah. “Aku memang belum pernah mempunyai seorang adik perempuan.”
“Aku belum pula mempunyai seorang kakak laki-laki, bahkan tidak mempunyai saudara. Boleh aku memanggilmu Bengko (kakak Beng)?”
“Tentu saja, Hwa-moi (adik Hwa), tentu saja dan aku merasa terhormat sekali!” kata Hong Beng.
“Nah, sekarang legalah hatiku. Aku mempunyai seorang kakak dan pelindung, akan tetapi maaf, aku tidak mungkin dapat menceritakan mengapa aku tadi hendak membunuh diri.”
“Jangan khawatir aku selalu menghargai rahasia seseorang. Akan tetapi, tentu boleh aku mengetahui keadaan dirimu, keluargamu, ke mana dan apa maksud perjalananmu, bukan?”
Gadis itu mengangguk dan keduanya duduk di atas akar pohon besar, saling berhadapan. Ci Hwa lalu menceritakan keadaan dirinya. Menceritakan bahwa ayahnya, Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu, seorang duda, telah tertuduh melakukan pembunuhan terhadap seorang rekannya, piauwsu lain dan segala yang terjadi kemudian di Ban-goan.
“Karena aku merasa penasaran, nama baik ayah ternoda, maka aku pun lalu pergi hendak melakukan penyelidikan kepada perkumpulan Tiat-liong-pang yang disebut-sebut oleh orang she Lay itu. Itulah sebabnya aku berada di sini.”
Gu Hong Beng mengangguk-angguk, sama sekali tdak mau menduga-duga mengapa hal itu menyebabkan Ci Hwa hendak membunuh diri tadi. “Dan engkau sudah melakukan penyelidikan?”
“Sudah, Tiat-liong-pang terletak di bukit sana itu, akan tetapi perkumpulan itu amat besar, amat berpengaruh dan amat kuat, juga dekat dengan keluarga istana sehingga rasanya sedikit kemungkinan mengapa perkumpulan itu sampai membunuh piauwsu di Ban-goan. Tidak ada hubungan dan kepentingannya sama sekali.”
“Hemmm, siapa tahu ada rahasianya yang lain. Kadang-kadang kebakaran besar dimulai dari bunga api kecil, peristiwa besar dimulai dari urusan sepele.
“Mungkin benar, akan tetapi seorang seperti aku bagaimana mungkin dapat menyelidiki perkumpulan besar itu lebih mendalam lagi? Di sana gudangnya orang pandai sedangkan ilmu silatku hanya terbatas sekali. Dan engkau sendiri, Koko, ceritakanlah keadaan dirimu dan bagaimana engkau dapat berada di sini.”
Hong Beng tersenyum. Kalau hendak menceritakan pengalamannya, tentu tidak cukup sehari (baca kisah Suling Naga), maka dia pun hanya menceritakan keadaan dirinya secara singkat saja, “Aku seorang yang sebatangkara. Aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, dan selama bertahun-tahun ini aku hidup bersama guruku. Akan tetapi, sejak dua tiga tahun ini guruku bertapa, tidak mau diganggu dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Karena itu, aku diijinkan untuk mengembara, tanpa tujuan, ikut saja keinginan hati dan kaki meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Dan di dalam perjalanan itu, aku mendengar akan kebangkitan para datuk sesat yang katanya membuat persekutuan di utara ini. Karena sejak dahulu guruku selalu membawaku menentang para datuk kaum sesat, maka aku tertarik sekali dan aku pun mendengar bahwa Tiat-liong-pang yang menjadi pusat persekutuan itu. Dan di sinilah aku, kebetulan bertemu denganmu tadi.”
Wajah Ci Hwa agak berseri.... “Ahhh, jadi engkau pun hendak menyelidiki Tiat-liong-pang?”
Hong Beng mengangguk. “Apakah barangkali dari engkau aku dapat mendengar sesuatu tentang Tiat-liong-pang? Bukankah engkau sudah menyelidiki ke sana?”
Ci Hwa mencabut sebatang kembang rumput dan menggigit-gigit tangkai kembang rumput itu. Manis sekali gadis ini kalau sedang begitu asyik dan juga memiliki daya tarik besar. Ia berpikir-pikir, mengingat apa yang pernah dialaminya dan apa yang pernah didengarnya dari Siangkoan Lohan.
“Memang aku pernah ke sana, akan tetapi tidak banyak yang kuketahui. Aku hanya tahu bahwa penjagaan di sana ketat bukan main. Pernah aku melihat betapa lima orang pemburu binatang yang memasuki wilayah itu, dibunuh begitu saja oleh dua orang anggauta Tiat-liong-pang. Dan mereka berdua itu lihai bukan main, dalam waktu sebentar saja lima orang pemburu itu tewas. Kemudian aku mendengar bahwa Tiat-liong-pang selain besar dan memiliki banyak anak buah pandai, juga dekat dengan istana. Kabarnya, ketuanya, yang bernama Siangkoan Tek atau disebut Siangkoan Lohan, dahulu beristeri seorang puteri istana....“ Ci Hwa teringat akan Siangkoan Liong dan menghentikan ceritanya, kemudian disambungnya, “selain itu, aku tidak tahu apa-apa lagi.”
Hong Beng bukanlah seorang bodoh. Gadis in hendak melakukan penyelidikan tentang Tiat-liong-pang untuk membersihkan nama baik ayahnya. Setelah tiba di situ dan melakukan penyelidikan, tiba-tiba saja hendak membunuh diri. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat menimpa dirinya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya tentang hal itu.
“Ceritamu tentang perkumpulan itu semakin menarik, Hwa-moi. Biarlah aku akan melakukan penyelidikan yang mendalam, dan kalau benar berita yang kuterima bahwa Tiat-liong-pang menghimpun persekutuan kaum sesat, aku harus menentang mereka. Bahkan kabarnya, seorang iblis betina yang berjuluk Sin-kiam Mo-li bergabung pula di situ, padahal iblis betina itu adalah musuh besarku sejak bertahun-tahun yang lalu, bersama para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Selama mereka itu masih berkeliaran, sepak terjang mereka selalu hanya membikin kacau dan mengganggu keamanan rakyat belaka.”
Ci Hwa memandang kagum. Pemuda ini kelihatannya demikian sederhana. Ia sudah membuktikannya sendiri tadi. Semua serangannya yang dilakukan dengan marah, sedikit pun tidak pernah dapat menyentuh ujung bajunya, dan kini pemuda itu menyatakan sebagai musuh datuk-datuk sesat yang lihai.
“Beng-koko, engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Bolehkah aku mengetahui, siapa gerangan gurumu?”
Hong Beng tidak pernah menyembunyikan sesuatu, akan tetapi dia pun bukan orang yang suka menyombongkan diri dan gurunya. Akan tetapi, melihat pertanyaan yang polos itu, dia pun menjawab sederhana, “Suhuku bernama Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es”
“Aihhh....!”
“Kenapa?”
“Ayahku pernah mendongeng tentang keluarga pendekar Pulau Es yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa saja! Engkau tentu lihai sekali, Koko!” pandang mata itu sekali ini tidak menyembunyikan kekaguman mendalam sehingga wajah Hong Beng menjadi kemerahan.
“Sudahlah, Hwa-moi, tidak perlu memuji. Pertemuan kita ini kebetulan saja, akan tetapi agaknya Tuhan telah mempertemukan kita sehingga kita dapat saling bantu dan seperti telah menjadi kakak beradik. Akan tetapi, aku hendak melanjutkan penyelidikanku, dan bagaimana dengan engkau, Hwa-moi?”
“Aku biarpun aku hanya seorang gadis lemah, akan tetapi aku pun masih ingin mencuci nama baik ayahku. Kalau boleh, aku akan membantumu, Beng-ko.”
“Baiklah, asal engkau berhati-hati dan melaksanakan semua petunjukku. Yang pertama, engkau harus sudah mengusir jauh-jauh kenekatan dan kebodohanmu tadi. Engkau berjanji?”
Ada perasaan perih menusuk ulu hati Ci Hwa, akan tetapi ia harus membantu Hong Beng menyelidiki dan menentang Tiat-liong-pang. Bukan sekedar mencuci nama baik ayahnya, melainkan juga mencuci noda pada dirinya dengan darah dan nyawa Siangkoan Liong!
“Aku berjanji dan bersumpah tidak akan melakukan lagi kebodohan itu, Koko.”
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu, menyusup di antara hutan-hutan lebat untuk menyelidiki keadaan Tiatliong-pang.
Setiap orang manusia hidup takkan terluput daripada peristiwa yang menimpa dirinya, baik peristiwa itu biasa saja, agak hebat, hebat atau bahkan sangat hebat seperti yang dialami Ci Hwa. Peristiwa hebat yang diterima sebagai suatu malapetaka dapat menghancurkan perasaan, melenyapkan harapan, bahkan dapat membuat orang menjadi mata gelap, ada pula yang ingin menghentikan semua derita dan siksa batin dengan jalan membunuh diri!
Akan tetapi, sesungguhnya bunuh diri bukanlah jalan pemecahan yang tepat, melainkan hanya merupakan suatu pelarian yang mata gelap,. Peristiwa yang telah terjadi pun terjadilah, merupakan sesuatu yang telah lalu. Kalau peristiwa itu terus dikeram di dalam sanubari, maka tentu saja hanya akan menjadi siksaan yang timbul dari kenangan. Kenangan ini menimbulkan iba diri, dendam, duka. Mengapa kita suka menyimpan suatu peristiwa sebagai kenangan? Mengapa tidak kita biarkan .saja peristiwa itu lenyap, bagaikan sebuah mimpi buruk? Hidup adalah saat ini, bukan kemarin! Kemarin itu sudah mati, baik maupun buruk. Kenangan akan masa lalu hanya mendatangkan dua hal, yaitu penyesalan dan duka, juga kerinduan dan harapan akan mengulang pengalaman lalu yang menyenangkan. Hanya kalau kita mampu menghapus semua kenangan peristiwa masa lalu, baik, maupun buruk, maka batin kita akan menjadi bersih, bebas dan siap menghadapi peristiwa yang terjadi di saat ini, dalam keadaan sehat, tanpa dendam, tanpa prasangka, tanpa kebencian.
Peristiwa adalah kejadian yang telah terjadi, sesuatu fakta yang tak dapat diubah pula, karena sudah terjadi. Baik buruknya hanya tergantung daripada penilaian kita sendiri. Di dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi, yang terpenting bukanlah penilaian, melainkan kewaspadaan. Kewaspadaan mendatangkan kebijaksanaan dan kesadaran, sehingga kita dengan sepenuhnya dapat menghadapi dan menanggulanginya, sepenuh akal budi yang ada pada kita. Perbuatan menghadapi sesuatu yang diliputi penilaian selalu mengandung pamrih, dan tentu tidak bijaksana lagi.
***
Cin-san-pang adalah perkumpulan orang gagah yang bermarkas di lembah Sungai Cin-sa. Kita telah mengenal ketuanya, yaitu Ciok Kim Bouw, seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan bersemangat baja. Perkumpulan ini sekarang memiliki anggauta tidak kurang dari seratus orang banyaknya, bekerja sebagai nelayan, juga sebagai pengawal perahu-perahu para pedagang yang melakukan pelayaran di sungai itu dengan berupa imbalan sekedarnya. Seperti banyak perkumpulan gagah di jaman itu, merasa tidak suka akan penjajahan yang dilakukan bangsa Mancu sejak ratusan tahun, akan tetapi mereka pun tidak berdaya. Mereka tidak memberontak terhadap pemerintah yang teramat kuat, namun mereka pun enggan menjadi kaki tangan penjajah, dan hidup sebagai kelompok orang gagah yang suka membela kepentingan rakyat dari penindasan atau kejahatan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan. Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang, ikut pula diundang dan menjadi tamu dari perkumpulan Tiat-liong-pang dengan para datuk sesat sehingga hampir saja dia menjadi korban. Sejak lama dia memang telah bermusuhan dengan Sin-kiam Mo-li (baca kisah Suling Naga), maka melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan segala pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw dia menentang dan akibatnya, hampir dia terbunuh ketika dalam perjalanan pulang dia dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Untung muncul seorang pemuda sakti yang tidak dikenalnya akan tetapi berhasil menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan musuh-musuhnya. Dia merasa menyesal sekali mengapa tidak sempat mengenal nama pemuda itu yang begitu menolongnya dan mengobati lukanya, terus pergi begitu saja. Ciok Kim Bouw tidak tahu bahwa di antara semua tamu yang tidak menyetujui persekutuan itu, hanya dia seoranglah yang selamat!
Ciok Kim Bouw adalah seorang yang gagah, dengan tubuh tinggi besar dan muka hitam seperti tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok. Keistimewaannya adalah mempergunakan senjata golok besarnya. Dan, dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang kini telah berusia dua puluh lima tahun, bernama Ciok Heng. Pemuda ini memiliki tubuh tinggi besar seperti ayahnya, dan wajahnya tidak berkulit hitam, bahkan tampan gagah dengan sepasang mata lebar yang penuh dengan kejujuran dan keterbukaan. Sejak kecil dia digembleng ayahnya dan setelah berusia dua puluh lima tahun, dia telah mewarisi semua ilmu ayahnya dan menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa.
Ketika Ciok Kim Bouw pulang dalam keadaan marah dan kecewa, puteranya segera dapat menduga bahwa tentu pertemuan itu tidak menyenangkan hati ayahnya, maka dia pun langsung bertanya. Ciok Kim Bouw menceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi di sana.
“Tiat-liong-pang telah dibawa menyeleweng oleh Siangkoan Lohan!” katanya sambil menggebrak meja. “Dia mengajak sekongkol datuk-datuk sesat. Bayangkan saja, iblis-iblis macam Sin-kiam Mo-li, para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-wa-kauw, menjadi sekutunya!”
“Ahhh....!” Ciok Heng terkejut bukan main mendengar ini.
“Bukan mereka saja,” sambung ayahnya. “Masih banyak lagi orang-orang dari golongan hitam menjadi sekutunya, dan para tamu yang tidak setuju akan persekutuan itu pasti dimusuhi. Aku terang-terangan menyatakan tidak setuju dan aku dihina di depan umum oleh putera Siangkoan Lohan yang amat lihai. Bahkan ketika aku pulang, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Nyaris aku tewas. Kalau tidak muncul seorang pemuda sakti yang tidak mau mengaku namanya, tentu aku tidak dapat pulang dan sudah mati konyol di sana.” Selanjutnya dia menceritakan apa yang telah terjadi kepada, puteranya, juga kepada para pembantunya yang setia.
“Brakkk!” Ciok Heng menggebrak meja dan mukanya menjadi marah sekali.
Tiat-liong-pang menyeleweng, kita tidak boleh mendiamkannya saja. Ayah, biarkan aku menggerakkan teman-teman untuk menyerbu dan menghancurkan Tiat-liong-pang!”
Ayahnya mengangkat tangan ke atas. “Ciok Heng, jangan bersikap bodoh seperti anak kecil yang hanya menurunkan dorongan hati marah. Tiat-liong-pang itu kuat sekali, Siangkoan Lohan amat sakti, puteranya agaknya tidak kalah hebatnya oleh ayahnya dan di sana berkumpul datuk-datuk sesat yang berilmu tinggi. Belum lagi diingat betapa anak buah mereka mungkin lebih banyak daripada jumlah teman-teman kita. Kalau engkau dan teman-teman menyerbu ke sana, akan sama artinya dengan segerombolan nyamuk menyerbu api. Memang kita harus menentangnya, akan tetapi dengan cara halus, bukan menggunakan kekerasan dan untuk itu kita harus berunding dan mengadakan kontrak dengan para pendekar.”
Ciok Heng mengangguk-angguk membenarkan ayahnya. “Kalau begitu, aku dan kawan-kawan akan menyebarkan berita itu kepada para pendekar, Ayah dan mengajak mereka untuk turun tangan karena persekutuan itu akan berbahaya sekali kalau didiamkan saja.”
Ciok Kim Bouw menyetujui. “Baiklah, kalau mungkin, undang para orang gagah untuk mengadakan perundingan di sini.”
Ciok Heng segera mempersiapkan teman-temannya dan mereka pun lalu tersebar, memberitahukan kepada para pendekar yang mereka anggap patut mengetahui perubahan di dunia kaum sesat yang sedang mengadakan persekutuan dengan pimpinan Tiat-liong-pang yang agaknya kini hendak melakukan penyelewengan itu. Memang tidak diadakan perjanjian dan ketentuan harinya untuk mengadakan perundingan, namun di antara para pendekar yang menaruh perhatian akan berita ini, berjanji akan berkunjung untuk bercakap-cakap bahkan ada pula yang mengatakan hendak langsung pergi menyelidiki urusan itu di Tiat-liong-pang. Sementata itu, dengan penuh semangat Ciok Kim Bouw dan puteranya mulai melatih anak buah mereka dengan tekun agar mereka memperoleh kemajuan sehingga sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan untuk menghadapi musuh, mereka sudah berada dalam keadaan yang kuat. Barisan golok dibentuk dan setiap hari mereka berlatih, juga golok mereka semua selalu tajam terasah.
Dua bulan lewat dengan cepatnya sementara itu berita tentang persekutuan Tiat-liong-pang yang disebarkan oleh orang-orang Cin-sa-pang itu sudah terdengar sampai ke beberapa propinsi. Berita itu disambut oleh para orang gagah di dunia persilatan dengan sikap yang bermacam-macam. Ada pula yang menanggapinya dengan senang karena bukankah sudah sepatutnya kalau orang gagah mengumpulkan kekuatan untuk menentang pemerintah penjajah Mancu? Ada pula yang merasa tidak senang karena mendengar betapa persekutuan Tiat-liong-pang itu merangkul tokoh-tokoh sesat, apalagi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai disebut dalam persekutuan itu. Biarpun niatnya baik, yaitu menentang penjajah, akan tetapi kalau harus bekerja sama dengan golongan hitam, banyak diantara para pendekar yang tidak mau. Pendeknya, berita yang disebarluaskan Cin-sa-pang di dunia persilatan itu cukup menimbulkan kegemparan dan banyak di antara para pendekar meragukan kepatriotannya, apalagi kalau mereka mendengar dan mengingat bahwa Tiat-liong-pang tadinya adalah kaki tanggn pemerintah penjajah! Betapapun juga, peristiwa ini menarik perhatian banyak kaum pendekar untuk meninggalkan tempat mereka dan menuju ke selatan untuk melakukan penyelidikan sendiri.
Pada suatu pagi yang cerah nampak seorang pemuda memasuki perkampungan perkumpulan Cin-sa-pang di lembah Sungai Cin-sa. Semua orang yang bersua di jalan dengan pemuda ini pasti menengok dan merasa kagum. Pemuda itu usianya sekitar dua puluh tujuh tahun, tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh kuat, mukanya agak hitam akan tetapi bentuk muka itu gagah, dengan hidung mancung, mata tajam dan mulut membayangkan kekerasan hati dan keberanian. Sikapnya pendiam dan dia tidak pernah menengok ke kanan kiri, hanya lurus memandang ke depan sambil melangkahkan kedua kakinya dengan mantap. Ketika melangkah, tubuhnya bergerak seperti seekor harimau berjalan. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal, dan di balik jubahnya terdapat sebatang pedang yang tergantung di pinggang, tersembunyi namun ujung gagang pedang masih nampak tersembul di bawah jubah. Tanpa melihat pedangnya pun, baru melihat perawakannya, mudah diduga bahwa dia tentu seorang pemuda gemblengan, seorang jago silat yang tangguh. Dugaan ini tepat karena dia adalah Cu Kun Tek, jago silat muda dari Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya.
Orang tua pemuda itu juga merupakan pendekar-pendekar yang lihai. Ayahnya bernama Cu Kang Bu, pewaris Lembah Naga Siluman dengan ilmu silat keluarga Cu yang amat tinggi, yaitu Koailiong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Cu Kang Bu ini terkenal pula dengan julukan Ban-kin-sian (Dewa Bertenega Selaksa Kati). Adapun ibunya juga seorang pendekar wanita yang lihai dengan ilmu-ilmu pukulan Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), dan Pat-liong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin)! Tentu saja Cu Kun Tek mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya.
Cu Kun Tek meninggalkan tempat tinggal keluarga ayahnya ketika dia mendengar berita yang disebar oleh Cin-sa-pang itu. Sebagai seorang pendekar, hatinya tergerak dan dia tidak akan tinggal diam begitu saja, maka dia pun pergi dan berkunjung ke tempat perkampungan Cin-sa-pang untuk mendengar sendiri kebenaran berita itu. Dia pernah berjumpa dengan Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang yang dianggapnya seorang yang cukup gagah dan perkumpulannya juga merupakan perkumpulan orang-orang gagah.
Ketika para anggauta Cin-sa-pang melaporkan kepada ketua mereka akan datangnya seorang tamu dan Ciok Kim Bouw cepat keluar, dia menjadi girang sekali melihat pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu.
“Aih, kiranya Cu-enghiong yang datang!” katanya sambil membalas penghormatan pemuda itu.
“Bagaimana kabarnya, Ciok Pang-cu? Mudah-mudahan baik-baik saja.”
“Terima kasih, Cu-eng-hiong. Mari silakan duduk di dalam!” Mereka masuk ke ruangan dalam dan bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini Cu Kun Tek bertanya tentang berita yang dia dengar tentang Tiat-liong-pang dan ketua Cin-sa-pang itu segera menceritakan semuanya tentang pengalamannya ketika dia menghadiri undangan Tiat-liong-pang, yaitu pada pesta ulang tahun ke enam puluh tahun dari Siangkoan Lohan.
“Bayangkan saja, hati siapa tidak menjadi geram melihat betapa di antara para tamu kehormatan itu terdapat orang-orang Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, bahkan di sana aku melihat pula iblis betina Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Jelaslah bahwa Tiat-liong-pang hendak merencanakan sesuatu pemberontakan!”
Cu Kun Tek mendengarkan penuh perhatian, alisnya berkerut dan dia pun berkata, “Akan tetapi, bukankah sudah menjadi idaman semua orang gagah untuk membantu usaha mengusir pemerintah penjajah dari tanah air, Pangcu?”
Ciok Kim Bouw menghela napas panjang. “Kalau ada gerakan seperti itu, gerakan para patriot sejati dengan tujuan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu, percayalah, kami seluruh anggauta Cin-sa-pang akan berdiri di belakangnya, akan bergabung dan siap mempertaruhkan nyawa untuk membantu gerakan itu! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang-orang Tiat-liong-pang merupakan patriot-patriot sejati? Mereka bahkan berjasa terhadap penjajah Mancu, bahkan Siangkoan Lohan dihadiahi banyak harta dan seorang puteri dari istana kaisar! Kini, dia mengadakan persekutuan dengan para pemberontak, akan tetapi pemberontak macam Pek-lian-kauw, dan bersekutu pula dengan orang-orang dari kaum sesat! Bagaimana mungkin gerakan seperti itu mengandung niat bersih dan gagah untuk membebaskan rakyat jelata?” Dia lalu menceritakan apa yang telah terjadi dalam pesta itu, tentang kecabulan dan lain-lain, kemudian menceritakan betapa dia secara terang-terangan mengatakan tidak senangnya dengan hadirnya tokoh-tokoh sesat sehingga dia dianggap menghina dan dikalahkan oleh Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan.
“Ketika aku pergi meninggalkan pesta, masih banyak di antara teman-teman sepaham yang juga meninggalkan tempat itu, sebagai protes dan pernyataan tidak suka karena Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat. Dan tahukah engkau apa yang terjadi setelah aku pergi meninggalkan tempat itu? Di tengah perjalanan, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong dan mereka itu sengaja hendak membunuhku!”
Lalu diceritakan betapa dia nyaris tewas kalau tidak muncul seorang pemuda lihai yang berhasil mengusir kedua orang itu, bahkan menyelamatkan nyawanya dari ancaman racun di lengannya akibat serangan Siangkoan Liong.
“Nah, melihat perkembangan itu, kami merasa amat khawatir, Cu-enghiong. Tadinya puteraku, Ciok Heng, berkeras hendak memimpin anak buah menyerbu ke Tiat-liong-pang, akan tetapi kularang dia karena hal itu sama dengan membunuh diri. Di sana berkumpul banyak orang pandai dan agaknya Tiat-liong-pang sudah menyusun kekuatan. Maka, kami lalu menyebarkan berita itu agar terdengar oleh para pendekar dan orang gagah sehingga gerakan yang berbahaya dari Tiat-liong-pang dapat dicegah.”
Cu Kun Tek diam-diam merasa heran juga mendengar semua cerita itu. Dia. sudah mendengar perkumpulan macam apa adanya Tiat-liong-pang, sebuah perkumpulan yang pernah membuat jasa terhadap serbuan orang Mancu sehingga perkumpulan itu dianggap pro pemerintah Mancu. Akan tetapi kenapa kini mendadak saja perkumpulan itu hendak memberontak, bahkan bersekutu dengan orang-orang golongan hitam? Hal ini perlu diselidiki secara teliti sebelum dia mempercayai begitu saja keterangan Ciok Pangcu.
Hanya satu hari Cu Kun Tek berdiam di Cin-sa-pang sebagai tamu, bercakap-cakap dengan ketua Cin-sa-pang dan puteranya, Ciok Heng yang gagah perkasa. Kemudian dia minta diri karena dia hendak melanjutkan perjalanannya ke utara, untuk melakukan penyelidikan kepada perkumpulan yang katanya bersekutu dengan para penjahat hendak memberontak itu.
Di dalam perjalanan ini, Kun Tek mengenangkan masa lampaunya, tujuh delapan tahun ketika dia baru berusia sembilan belas tahun, ketika dia bersama para pendekar lain seperti Gu Hong Beng, Can Bi Lan, Sim Houw dan yang lainlain menghadapi musuh-musuh yang amat kuat seperti Kim Hwa Nio-nio, Sai-cu Lama, dan Sam Kwi yang amat lihai itu menjadi kaki tangan Thai-kam Hou Seng yang menjadi kekasih Kaisar dan yang hendak merajalela dengan kekuasaannya. Dengan demikian, para datuk sesat itu seolah-olah bekerja sama dengan pemerintah, sehingga para pendekar kadang-kadang berhadapan dengan pasukan pemerintah (baca kisah Suling Naga).
Akan tetapi kini keadaan berbalik. Tiat-liong-pang yang tadinya juga menjadi perkumpulan yang pro pemerintah penjajah, kini kabarnya tiba-tiba membalik dan hendak memberontak, akan tetapi, melihat betapa perkumpulan itu bersekongkol dengan datuk kaum sesat, Kun Tek meragukan kebersihan usaha pemberontakan mereka itu. Tentu mereka bukan bermaksud berjuang untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman kaum penjajah, melainkan hendak memberontak dan merebut kekuasaan, untuk mengangkat diri menjadi golongan pimpinan baru! Kalau benar demikian, maka gerakan itu harus ditentangnya! Dia hanya akan membantu perjuangan yang benar-benar ditujukan untuk membebaskan rakyat dari tindasan kaum penjajah. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa Kaisar Kiang Long yang sekarang ini masih jauh lebih baik dan bijaksana daripada kaisar-kaisar Mancu yang lalu, dan dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya kalau sampai kendali pemerintahan terjatuh ke dalam tangan para datuk sesat yang jahat dan kejam melebihi iblis itu.
Teringat akan masa lalunya, dada yang bidang itu menghembuskan napas panjang. Dia pernah jatuh cinta kepada Can Bi Lan, cinta sepihak, karena akhirnya wanita itu menikah dengan Sim Houw, yang masih keponakannya sendiri biarpun usia Sim Houw lebih tua empat belas tahun darinya, dan semenjak itu dia kembali ke Lembah Naga Siluman dan tidak pernah memasuki dunia ramai. Dia tidak merasa patah hati, bahkan sudah melupakan peristiwa itu. Namun, kegagalan cintanya itu membuat dia malas dan segan untuk mencari jodoh seperti yang selalu dianjutkan kedua orang tuanya.
Sekarang, setelah kembali dia melakukan perjalanan seorang diri, baru dia dapat membayangkan betapa selama ini dia mengecewakan hati ayah bundanya, bahwa membuat mereka berduka dan kecewa merupakan suatu perbuatan yang tidak berbakti. Pula, kenapa dia seolah-olah menjadi putus asa dan tidak pernah mempunyai keinginan untuk berumah tangga? Ah, siapa tahu, sekali ini Thian akan menunjukkan jalan baginya, akan mempertemukan dia dengan jodohnya, atau mungkin juga dia akan gugur dalam menunaikan tugasnya sebagai seorang pendekar, menyelidiki Tiat-liong-pang. Bagaimana nanti sajalah! Keberuntungan atau kegagalan di masa depan, aku siap menghadapimu, demikian dia menyongsong masa depannya dengan hati lapang dan gagah.
Cu Kun Tek memang keturunan keluarga Cu yang sudah ratusan tahun tinggal di Lembah Naga Siluman sebagai keluarga sakti yang mengasingkan diri. Keluarga Cu ini memiliki ilmu silat keluarga yang sukar dicari bandingannya di dunia persilatan, dan nama besar keluarga Cu sudah dikenal oleh hampir semua tokoh dunia persilatan, baik dari golongan putih maupun golongan hitam. Dan kini, Cu Kun Tek, keturunan terakhir mereka, mengubah kebiasaan nenek moyangnya, dia keluar dari lembah untuk mencampuri urusan dunia ramai. Tentu saja sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, siap untuk melindungi yang lemah dan tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang, kalau perlu dengan taruhan nyawa! Juga diam-diam dia mengharapkan mudah-mudahan sekali ini dia akan bertemu dengan jodohnya karena bagaimanapun juga dia merasa kasihan kepada ayah dan ibunya yang sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu dan terutama sekali menimang cucu!
***
Semenjak Siangkoan Liong membunuh dua orang anggauta Tiat-liong-pang yang hendak memperkosa Kwee Ci Hwa, para anggauta Tiat-liong-pang kini tidak berani lagi berbuat jahat dan sembarangan saja. Mereka semua maklum betapa kejam dan tanpa ampun adanya putera ketua mereka itu dan mereka kini patuh akan semua perintah atasan. Siangkoan Lohan juga sudah mendengar akan hal itu dan dia sempat menegur puteranya mengapa membunuh dua orang anak buah sendiri.
“Ayah, apa yang akan dapat diharapkan dari anak buah yang suka berbuat sewenang-wenang tanpa menurut peraturan? Akhirnya mereka takkan dapat dikendalikan dan kalau sudah begitu, mungkin kelak mereka akan berani membalik dan melawan kita. Mengendalikan orang-orang itu harus dengan tangan besi. Mereka harus takut dan tunduk, taat sepenuhnya kepada kita, barulah kita dapat mempergunakan mereka dengan baik. Apalagi, bukankah kita mempunyai tujuan yang tinggi dan membutuhkan disiplin yang kuat? Kalau mereka tidak berdisiplin, tidak sangat taat seperti sepasukan tentara yang terkendali baik, bagaimana mungkin usaha kita akan berhasil?”
Siangkoan Liong yang biasanya pendiam itu kini bicara penuh semangat dan Siangkoan Lohan menjadi girang sekali.
Benar kata-kata Ouwyang Sianseng, pikirnya, puteranya ini memang ada bakat untuk menjadi kaisar! Sikapnya saja sudah nampak jelas. Maka, mulai hari itu, Siangkoan Lohan lalu mengadakan peraturan-peraturan yang membuat para anak buahnya tidak lagi berani berbuat sewenang-wenang tanpa perintah atasan. Setiap hari mereka dilatih oleh Siangkoan Lohan sendiri, kadang-kadang dibantu oleh para sekutunya, yaitu Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, bahkan kadang-kadang Siangkoan Lohan turun tangan sendiri memberi gemblengan sehingga pasukan Tiat-liong-pang yang kini ditambah jumlahnya itu terbentuk sebagai pasukan yang cukup kuat, dengan jumlah hampir tiga ratus orang!
Pada suatu hari, pasukan itu dilatih perang-perangan, dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Pasukan dibagi dua, dengan pakaian seragam yang berbeda pula, yang setengah dipimpin Sin-kiam Mo-li dan yang sebagian lagi dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong. Pasukan yang dipimpin Toat-beng Kiam-ong bertugas untuk menyerbu Tiat-liong-pang sedangkan yang dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li bertugas mempertahankan benteng perkumpulan itu. Penjagaan dilakukan dengan ketat, bahkan sebelum tiba saatnya pasukan “musuh” datang menyerbu. Benteng Tiat-liong-pang dianggap sebagai beteng kota raja yang harus diserbu dan diduduki. Tentu saja ada disebar mata-mata dari pihak penyerbu untuk menyelidiki pertahanan benteng, juga dari pihak yang diserbu untuk mengetahui gerak-gerik musuh. Sampai malam pun masih dilakukan penjagaan ketat, dan pasukan penyerbu yang dipimpin Toat-beng Kiam-ong belum juga melakukan penyerbuan.
Latihan itu dilakukan secara besar-besaran. Diam-diam Siangkoan Lohan telah memerintahkan kepada Toat-beng Kiam-ong sebagai penyerbu untuk berhubungan dengan Cia Tai-ciangkun, komandan pasukan pemerintah di perbatasan utara yang juga sudah bersekutu dengan mereka, demikian pula menghubungi Agakai dan dari dua orang sekutu itu, diterima bantuan pasukan yang akan menyergap Tiat-liong-pang dari berbagai jurusan!
Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong sendiri merencanakan bagaimana sebaiknya kelak kalau mereka sudah menyerbu kota raja, untuk menyusupkan dan menyelundupkan kawan-kawan yang berkepandaian tinggi, dari golongan hitam, dari Pek-lian-pai dan Pat-kwapai, ke dalam benteng kota raja dan dapat melakukan pengacauan dan bantuan dari dalam.
Pagi harinya nampak sunyi di sekitar bukit di luar kota San-cia-kou yang menjadi benteng Tiat-liong-pang itu. Seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Padahal, mata-mata dari kedua pihak sudah berkeliaran, bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar.
Tiba-tiba muncul seorang gadis dari kaki bukit. Ketika gadis itu tadi melewati Sang-cia-kou dan bertanya tentang letak Tiat-liong-pang, jejaknya sudah selalu diikuti orang dari jauh. Namun, gadis itu acuh saja walaupun ia tahu bahwa ada beberapa orang selalu mengamati dan membayanginya. Ketika dahulu ia berkunjung ke Tiat-liong-pang bersama ayahnya, mereka naik kereta dan tentu saja ia sudah lupa akan jalannya, apalagi hal itu sudah terjadi sangat lama, di waktu ia masih kecil. Dengan langkah santai ia mendaki bukit. Seorang gadis yang amat menarik perhatian orang, apalagi melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu.
Ketika ia sudah tiba di lereng, tentu saja kehadirannya segera menimbulkan kecurigaan para mata-mata yang bertugas mempertahankan benteng Tiat-liong-pang. Seorang gadis cantik dan sikapnya halus, gerak-geriknya pun halus, naik seorang diri ke bukit ini! Tentu mata-mata musuh! Akan tetapi kalau mata-mata musuh, mengapa naik ke bukit secara terang-terangan begitu saja, mudah dilihat dari manapun juga?
Tiba-tiba muncullah lima orang anggauta pasukan Tiat-liong-pang yang bertugas jaga di lereng itu. Kalau pasukan penyerbu mengenakan seragam kuning, pasukan yang bertahan ini mengenakan seragam biru, hampir sama dengan seragam pasukan pemerintah karena memang Tiat-liong-pang pada waktu itu dianggap sebagai benteng kota raja yang hendak diserbu. Lima orang pasukan itu muncul dan mengepung gadis itu sambil menodongkan tombak mereka, sikap mereka galak.
“Berhenti!” bentak kepala pasukan yang berkumis jarang itu, “Siapa engkau dan menyerahlah, engkau tentu mata-mata musuh!”
Gadis itu bukan lain adalah Pouw Li Sian. Seperti telah kita ketahui, gadis ini baru saja datang dari kota raja di mana ia menyelidiki keadaan keluarganya. Dengan hati berduka ia memperoleh berita bahwa selain ayah ibunya, juga semua keluarganya, kakak-kakaknya telah ditawan dan tewas, kecuali seorang kakaknya yang sulung, bernama Pouw Ciang Hin, yang kabarnya diampuni, bahkan kini menjadi seorang perwira yang bertugas di perbatasan utara. Karena Pouw Ciang Hin kini merupakan satu-satunya anggauta keluarganya, maka dengan nekat ia pun menyusul ke utara. Ia teringat akan Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan, ketua dari Tiat-liong-pang yang pernah menjadi sahabat baik ayahnya. Ayahnya dahulu seorang Menteri Pendapatan, sedangkan Siangkoan Lohan amat berjasa terhadap pemerintah sehingga mendapat kekuasaan dan dikenal semua pembesar tinggi. Pernah ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang dan karena ia tahu betapa sulitnya mencari seorang perwira di antara pasukan yang berjaga di tapal batas utara, maka ia ingin minta bantuan ketua Tiat-liong-pang agar dapat diselidiki, di mana kakaknya itu ditugaskan.
Kini, tiba-tiba saja ia ditodong tombak, oleh lima orang perajurit! Ia tidak merasa gentar, bahkan dengan wajahnya yang manis itu berseri gembira, ia balas bertanya, “Apakah kalian ini perajurit kerajaan yang berjaga di tapal batas utara?”
Lima orang perajurit itu saling pandang. Mereka jelas anak buah Tiat-liong-pang, akan tetapi pada saat itu mereka bertugas sebagai pasukan yang harus mempertahankan benteng “kota raja”, oleh karena itu, ketika ditanya apakah mereka perajurit kerajaan, mereka menjadi bingung.
“Kalau benar kami perajurit kerajaan, lalu engkau mau apa, Nona?” Lima orang perajurit itu memandang kagum. Mereka adalah orang-orang kasar yang biasanya bersikap kasar dan kurang ajar terhadap wanita, apalagi secantik ini, akan tetapi semenjak ada dua orang kawan mereka dibunuh oleh Siangkoan Kongcu karena mengganggu wanita, mereka kini harus menahan diri dan tidak berani mengulangi perbuatan itu.
Dengan wajah tetap gembira penuh harap, Pouw Li Sian berkata, “Aku bernama Pouw Li Sian dan aku datang ke sini untuk mencari kakak sulungku yang bernama Pouw Ciang Hin. Dia menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di tapal batas utara....“
Mendengar bahwa gadis ini adik seorang perwira kerajaan, berarti musuh, tentu saja berubah sikap lima orang itu.
Tombak-tombak itu dipegang semakin erat dan pemimpin mereka membentak, “Kalau begitu, menyerahlah engkau, karena engkau harus menjadi tawanan kami dan akan kami hadapkan kepada pimpinan kami!”
Li Sian adalah seorang gadis yang berwatak halus. Biarpun ia telah menjadi murid seorang sakti seperti Bu Beng Lokai dan kini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun ia tetap berwatak halus, bahkan belum pernah ia berkelahi mempergunakan ilmu kepandaiannya. Sikapnya jauh berbeda dengan Suma Lian yang menjadi sucinya. Suma Lian galak, keras dan pemberani di samping lincah jenaka. Akan tetapi Li Sian pendiam dan penyabar. Ia tahu bahwa berurusan dengan lima orang perajurit biasa ini tidak ada gunanya, bahkan hanya akan menimbulkan keributan saja, maka ia pun mengangguk dan senyumnya masih melekat di bibir.
“Baiklah, aku tidak akan melawan, dan bawalah aku kepada pemimpin kalian agar aku dapat bicara dengan dia.”
Lima orang itu dengan masih menodongkan tombak mereka, memberi isyarat agar Li Sian berjalan memasuki hutan. Hemmm, pikir mereka. Kalau saja mereka tidak takut kepada Siangkoan Lohan apalagi Siangkoan Kongcu, tentu gadis yang cantik ini sudah menjadi korban mereka. Takkan ada orang yang tahu!
Tak lama kemudian, di dalam hutan yang menjadi markas besar sementara dari Sin-kiam Mo-li yang bertugas sebagai komandan yang mempertahankan benteng, Li Sian digiring masuk ke dalam sebuah pondok besar di mana duduk Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang pembantunya yang menjadi perwira-perwira dalam pasukan mereka. Jumlah para perwira itu ada lima orang dan mereka sedang merundingkan siasat pertahanan menggunakan sebuah peta yang mereka bentangkan di atas meja. Melihat masuknya lima orang perajurit yang menggiring seorang gadis cantik, Sin-kiam Mo-li mengangkat muka dan mengerutkan alisnya.
Lima orang perajurit itu memberi hormat dan pimpinan mereka lalu melapor kepada Sin-kiam Mo-li dengan sikap seperti seorang perajurit melapor kepada atasannya. “Li-ciangkun (Panglima Wanita), kami berlima telah menangkap seorang wanita yang kami curigai sebagai mata-mata, dan menurut pengakuannya ia bernama Pouw Li Sian yang hendak mencari kakaknya yang katanya menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di perbatasan.”
Kerut di antara alis mata Sin-kiam Mo-li makin dalam dan sinar matanya membayangkan kemarahan, Hemmm, tentu ini seorang mata-mata yang dilepas oleh Toat-beng Kiam-ong, pikirnya. Dan laki-laki macam Toat-beng Kiam-ong mana mau melepaskan seorang gadis seeantik ini? Tentu gadis ini seorang di antara kekasihnya, pikirnya dengan hati penuh cemburu. Memang, sejak ia berkasih-kasihan dengan Toat-beng Kiam-ong, di antara keduanya terdapat rasa cemburu besar karena keduanya saling menemukan pasangan yang cocok sekali. Tentu saja Toat-beng Kiam-ong juga membatasi rasa cemburunya sehingga biarpun dia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li juga bermain cinta dengan Siangkoan Liong, dia tidak berani mencampuri.
“Tinggalkan ia di sini dan kalian boleh ke luar lagi, berjaga yang hati-hati dan jangan ijinkan siapa pun juga masuk!” perintah Sin-kiam Mo-li kepada lima orang itu yang cepat memberi hormat dan keluar lagi.
Kini Pouw Li Sian yang masih tegak itu beradu pandang dengan Sin-kiam Mo-li. Ia tidak memperhatikan lima orang laki-laki berpakaian perwira yang juga duduk di situ memandangnya, karena ia tahu bahwa agaknya pimpinan di sini adalah wanita cantik itu. Diam-diam Li Sian merasa heran dan juga kagum melihat Sin-kiam Mo-li, wanita yang sudah setengah tua akan tetapi nampak cantik lemah lembut akan tetapi juga gagah perkasa dan memiliki wibawa besar itu. Teringatlah ia akan cerita gurunya, mendiang Bu Beng Lokai, yang pernah menceritakan tentang isteri gurunya itu. Isteri gurunya juga seorang panglima wanita yang amat terkenal, bernama Panglima Milana, yang kabarnya memimpin laksaan pasukan menundukkan pemberontakan di mana-mana. Juga ibu dari isteri gurunya itu bernama Puteri Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, pernah menjadi seorang panglima wanita yang gagah perkasa. Seperti inikah mereka itu? Karena membayangkan isteri dan ibu mertua gurunya, Li Sian cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Sin-kiam Mo-li.
“Harap Ciangkun suka memaafkan kalau kedatangan saya ini merupakan gangguan. Sesungguhnya, seperti dilaporkan oleh para perajurit tadi, saya datang untuk mencari kakak kandung saya, kakak sulung yang bernama Pouw Ciang Hin yang kabarnya menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang bertugas di perbatasan utara. Semenjak berusia dua belas tahun saya berpisah darinya dan sekarang saya mencarinya.”
Sin-kiam Mo-li masih memandang dengan sikap tidak senang karena ia masih curiga. “Kalau mencari kakakmu, kenapa di sini? Apakah di sini tempat pasukan kerajaan bertugas? Tahukah engkau tempat ini, bukit ini?” tanya Sinkiam Mo-li. Biarpun pertanyaan itu diajukan dengan kaku, namun Li Sian tidak menjadi marah. Dianggapnya bahwa memang harus tegas seperti itulah sikap seorang panglima perang!
“Maaf, Ciangkun Saya tahu bahwa bukit ini adalah tempat pusat perkumpulan Tiat-liong-pang. Saya memang hendak mencari ketua Tiat-liong-pang untuk bertanya barangkali dia dapat membantu saya memberi tahu di mana adanya kakak saya itu.”
Sin-kiam Mo-li menjadi semakin curiga. Tak salah, lagi, tentulah seorang mata-mata yang dikirim oleh Toat-beng Kiam-ong, dan wanita secantik ini siapa lagi kalau bukan seorang di antara kekasih laki-laki mata keranjang itu?
“Jangan berbohong!” bentaknya. “Engkau tentu mata-mata yang dikirim Toat-beng Kiam-ong! Mengakulah saja!”
Li Sian terkejut, dan cepat ia menggeleng kepala. “Saya bukan mata-mata dan tidak mengenal siapa itu Toat-beng Kiam-ong. Saya datang untuk mencari kakak saya dan bertanya kepada ketua Tiat-liong-pang!”
Sin-kiam Mo-li tersenyum. “Mana ada mata-mata mau mengaku? Kalau mengaku bukan mata-mata yang baik dan melihat engkau berani memasuki wilayah ini seorang diri, tentu engkau memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Nah, engkau menyerahlah, kami tangkap untuk menjadi tawanan perang!”
Tentu saja Li Sian menjadi semakin kaget dan mulailah ia merasa curiga dan penasaran. Jangan-jangan ia masih dianggap musuh oleh pasukan pemerintah, sebagai keturunan keluarga Pouw! Akan tettapi, mengapa kakaknya sudah diampuni bahkan di jadikan perwira?
“Ciangkun, kalau tadi saya ikut lima orang perajurit itu menghadap ke sini adalah karena saya yakin akan dapat bicara lebih baik dengan pimpinan pasukan. Akan tetapi saya datang bukan untuk menyerahkan diri ditangkap begitu saja tanpa bersalah!”
Sin-kiam Mo-li bangkit dan matanya memancarkan sinar mencorong. “Apa? Engkau seorang mata-mata biasa berani membantah? Tentu engkau mata-mata istimewa dari Toat-beng Kiam-ong maka berani menentang aku. A Sam, tangkap wanita ini!” perintahnya kepada seorang di antara lima perwira yang duduk di situ.
Yang dipanggil A Sam ini seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang tubuhnya gendut seperti babi dikebiri. Perutnya besar dan kepalanya kecil, akan tetapi ketika dia meloncat dari tempat duduknya, dia memiliki kegesitan sehingga mudah diduga bahwa tubuh yang gembrot ini memiliki ketangkasan seorang ahli silat. Dia tersenyum senang, membayangkan bahwa setidaknya dia akan dapat merangkul dan mendekap tubuh gadis cantik manis di depannya itu!
“Baik, Li-ciangkun!” katanya dan dia pun menubruk ke depan, agaknya dengan kedua lengannya yang panjang dan besar itu, dia hendak sekali tubruk sudah dapat menempelkan mukanya pada muka yang cantik itu!
“Hemmm....!” Li Sian berseru lirih dengan hati penuh penasaran, sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapatkan sambutan seperti itu! Tentu saja baginya, gerakan A Sam itu terlalu lambat dan dengan teramat mudahnya, sekali menggeser kaki, tubrukan A Sam itu mengenai angin kosong saja dan begitu Li Sian menggerakkan kaki menotok pinggiran lutut, tanpa dapat dicegah lagi, tubuh yang perutnya membengkak itu terjerumus ke depan, ketika terbanting ke atas lantai, perutnya yang lebih dulu menghantam lantai mengeluarkan bunyi “ngekkk!” dan orang itu pun terengah-engah sukar bernapas!
Melihat ini, Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya, tak senang hatinya dan diam-diam ia memaki pembantu yang tidak becus itu. Juga ia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada yang diduganya. Akan tetapi tentu saja ia masih memandang rendah. Seorang mata-mata dari Toat-beng Kiamong, sepandai-pandainya, tentu masih jauh kalau dibandingkan dengantingkatnya merasa malu kalau harus turun tangan sendiri menandingi seorang mata-mata! Memang dalam latihan perang-perangan ini, tidak boleh saling membunuh atau melukai dengan berat tentu saja karena mereka semua adalah satu golongan. Bahkan sudah direncanakan bahwa kalau sampai terjadi pertempuran, semua senjata harus dibuang dan hanya mempergunakan kaki tangan saja, ini pun dengan larangan keras saling membunuh atau melukai dengan parah. Dan melihat betapa gadis itu tadi hanya menotok tepi lutut A Sam dengan ujung sepatunya, yang hanya mengakibatkan A Sam jatuh telungkup, ia lebih yakin bahwa tentu gadis ini mata-mata yang sudah tahu pula akan peraturan itu sehingga tidak sampai melukai A Sam.
“Tangkap gadis ini!” bentaknya kepada empat orang perwira yang lain. Empat orang itu pun penasaran melihat betapa kawan mereka, dalam segebrakan saja sudah roboh oleh gadis cantik itu. Mendengar perintah ini, mereka berempat lalu bangkit dan mengurung Li Sian dari empat penjuru. Pondok itu cukup besar dan karena kosong dan hanya ada meja kursi yang mereka duduki tadi, tempat itu cukup luas untuk suatu perkelahian walau dikeroyok empat sekali pun. Li Sian tidak merasa gentar, hanya menyayangkan bahwa penyelidikannya harus bertumbuk pada halangan perkelahian seperti ini.
“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi!” katanya, kini suaranya agak marah, “Aku datang mencari kakakku. Kalau kalian tahu, beritahulah, kalau tidak, tidak mengapa, aku akan pergi lagi dari sini!”
“Engkau harus menyerah, Nona. Itu peraturannya. Menyerah atau kalau dapat mengalahkan kami dan dapat meloloskan diri, cobalah!” kata empat orang perwira itu yang sudah mengurungnya dan kini mereka berempat sudah menerjang maju sambil mengulur tangan hendak menangkap gadis yang cantik manis itu, ada yang mencoba untuk menangkap lengannya, pundaknya, pinggangnya, bahkan ada yang langsung merangkulnya. Karena gerakan mereka itu datang dari empat penjuru, agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi Li Sian, demikian pendapat empat orang perwira atau sebenarnya merupakan murid-murid atau anggauta Tiat-liong-pang yang tingkatnya sudah agak tinggi itu. Akan tetapi, betapa heran dan kaget hati mereka ketika tiba-tiba saja gadis itu lenyap berkelebat ke atas dan mereka hanya dapat saling menangkap lengan masing-masing! Mereka kebingungan, akan tetapi Sin-kiam Mo-li dapat melihat dengan jelas betapa gadis cantik itu tadi ketika ditubruk dari empat penjuru, telah meloncat dengan gerakan seperti seekor burung walet cepatnya, sehingga luput dari tubrukan itu dan tubuhnya sudah melayang keluar dari pintu pondok. Ia terkejut dan sekali melompat ia pun sudah meluncur keluar pondok dan menghadang di depan gadis itu.
“Berhenti!” bentaknya.
Lima orang perwira itu kini berlarian keluar dan mereka memandang kepada Li Sian penuh kagum. Baru kini mereka mengerti bahwa Li Sian bukanlah seorang gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Sin-kiam Mo-li kini berhadapan dengan Li Sian. Gadis ini mengerutkan alisnya, merasa semakin tidak senang. Kenapa ia dianggap musuh dan hendak ditangkap, pikirnya penuh dengan perasaan yang penasaran.
“Hemmm, Ciangkun, apa kesalahanku maka engkau agaknya hendak memaksa dan menangkap aku?” tanyanya, kini sepasang matanya yang biasanya bersinar halus penuh kesabaran itu mencorong. Melihat sinar mata ini, Sin-kiam Moli juga terkejut dan tahulah ia bahwa gadis ini benar-benar hebat, seorang yang berilmu tinggi, hal yang sama sekali tidak pernah diduganya. Apakah kekasih Toat-beng Kiam-ong? Agaknya bukan, pikirnya dan biarpun ia tidak merasa cemburu lagi, namun ia merasa penasaran. Alangkah akan malunya kalau tersiar kemudian bahwa ia, sebagai komandan pasukan yang mempertahankan benteng, tidak mampu menahan seorang wanita asing yang kesalahan masuk ke tempat itu! Kemudian ia teringat akan sesuatu! Ketika dirayakan ulang tahun Siangkoan Lohan, terjadi keributan di tempat ini dan belasan orang tamu, yaitu para pendekar yang tidak sudi menggabungkan diri, telah dibunuh. Jangan-jangan gadis ini mempunyai seorang kakak yang ikut pula terbunuh di waktu itu dan kini ia datang untuk mencari dan menyelidiki!
“Bocah yang tak tahu diri!” bentak Sin-kiam Mo-li sambil menuding dengan telunjuknya ke arah wajah Li Sian. “Engkau seorang asing berani datang ke wilayah kami tanpa ijin, dan kami masih menerimamu dengan baik-baik dan hanya akan menahanmu menanti sampai para pimpinan berkumpul untuk menentukan keputusan atas dirimu, dan engkau berani memamerkan kepandaian di depanku?”
Wajah Li Sian berubah merah. Baru kini ia melihat bahwa wanita cantik ini sama sekali tidak mengagumkan sikapnya, walaupun ia menjadi seorang panglima wanita. Isteri gurunya tentu tidak seperti ini sikapnya, tinggi hati dan memandang rendah orang lain.
“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi, aku datang dengan baik-baik akan tetapi disambut dengan kekerasan. Sudah menjadi hak setiap orang untuk membela diri. Aku sudah banyak mengalah dan hendak pergi saja, kenapa engkau masih juga berkeras hendak menghalangi aku?”
Sin-kiam Mo-li tersenyum mengejek. Memang cantik sekali kalau ia tersenyum, akan tetapi kecantikan yang membayangkan kekejaman. “Engkau masih muda sudah lihai mulutmu dan ilmumu, coba aku ingin melihat apakah engkau akan mampu melawan aku.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Li Sian, Sin-kiam Mo-li sudah menyerang gadis itu dengan cepat dan ganas sekali. Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah tinggi ilmu silatnya, amat lihai. Banyak ilmu silat kaum sesat ia kuasai, akan tetapi selain kebutan gagang emas dan pedang yang keduanya beracun, ia pun memiliki ilmu silat tangan kosong yang ampuh karena kedua tangannya berubah kehitaman dan terutama sekali ujung kuku jari-jari tangannya berubah hitam sekali dan mengandung racun jahat. Sekali tergores kuku saja sudah cukup membuat kulit yang terluka menjadi bengkak, apalagi kalau sampai terkena tamparan tangan yang penuh mengandung hawa beracun itu. Ilmunya ini diberi nama Hek-tok-ciang dan kini, begitu maju menyerang, ia sudah mengerahkan Hek-tok-ciang!
Li Sian memang belum berpengalaman dalam hal perkelahian. Namun, gadis ini sejak berusia dua belas tahun telah digembleng dengan hebat dan tekun oleh seorang sakti dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang hebat-hebat selain juga telah berhasil menghimpun tenaga sin-kang yang tinggi seperti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari keluarga Pulau Es, juga tenaga Inti Bumi yang luar biasa kuatnya. Pula, ia sudah banyak mendengar nasihat kakek Gak Bun Beng tentang jahatnya ilmu-ilmu yang dikuasai para datuk sesat, maka kini melihat betapa kedua tangan wanita itu berubah kehitaman, ia pun dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan lawan dari golongan hitam yang memiliki ilmu pukulan sesat dan curang. Ia pun berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya untuk mengelak, tidak berani sembarangan menangkis.
Sin-kiam Mo-li merasa penasaran sekali ketika serangannya yang dilakukan dengan cepat dan kuat itu dengan amat mudahnya dielakkan oleh gadis muda itu. Ia mengeluarkan suara melengking dan kini tubuhnya bergerak cepat sekali, menghujankan serangan secara bertubi-tubi dan setiap serangan, mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh lawan. Diam-diam Li Sian menjadi marah sekali. Tak disangkanya bahwa wanita cantik ini, yang semula disangkanya gagah perkasa seperti mendiang isteri gurunya, ternyata hanya seorang wanita yang berhati kejam dan serangannya itu ganas sekali, juga jelas menunjukkan gejala bahwa wanita ini adalah dari golongan sesat! Maka, ia pun cepat memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun yang sudah dilatihnya dengan baik. Ilmu Silat Lothian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) adalah ilmu silat yang memiliki kecepatan, juga didukung tenaga Inti Bumi, maka kini ia berani untuk menangkal dan balas menyerang. Ketika sebuah cengkeraman kuku dan tangan menghitam itu menyambar ke arah dadanya, Li Sian menangkisnya dengan memutar lengannya dari samping.
“Dukkk!” Keduanya tergetar dan melangkah mundur. Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa gadis itu sedemikian lihai dan kuatnya sehingga mampu menangkis serangan pukulan Hek-tok-ciang, bahkan membuat lengannya tergetar hebat! Ia menyerang lagi, namun kini Li Sian bukan hanya menjaga diri, melainkan juga membalas dengan tamparan dan totokan dari ilmu silat Lo-thian Sin-kun, karena ia pun maklum akan kelihaian lawan sehingga kalau saja ia hanya membiarkan diri diserang terus dan hanya bertahan, besar kemungkinan ia akan celaka dan terkena tangan hitam yang jahat itu. Serang-menyerang terjadi dengan hebatnya sampai dua puluh jurus lebih, dan hal ini dianggap keterlaluan oleh Sin-kiam Mo-li. Menghadapi seorang gadis muda, sampai dua puluh jurus Hek-tok-ciang kedua tangannya tidak mampu merobohkannya, jangankan merobohkan, baru mendesak pun tidak mampu. Padahal di situ telah berkumpul belasan orang perwira atau anggauta Tiat-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya menjadi saksi. Sin-kiam Mo-li yang selalu membanggakan kepandaiannya itu merasa malu sekali dan kemarahannya pun berkobar. Kalau tadi ia hanya menggertak dan hendak membuat gadis itu menyerahkan diri, maka kini timbul niatnya untuk merobohkan, kalau perlu membunuh gadis muda yang dianggapnya telah membuat malu ini.
“Keparat, engkau tidak boleh dikasih hati!” bentaknya dan tiba-tiba saja kedua tangannya sudah mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh. Tangan kiri sudah memegang sebuah kebutan berbulu merah bergagang emas, dan tangan kanannya memegang sebatang pedang. Inilah sepasang senjatanya yang amat ampuh, dan selain ia ahli bersilat pedang sehingga mendapat julukan Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), juga kebutannya itu tidak kalah berbahaya daripada pedangnya karena bulu-bulu kebutan berwarna merah itu mengandung racun yang jahat.
Setelah membentak demikian, tanpa malu-malu lagi melihat bahwa gadis muda yang diserangnya itu bertangan kosong, Sin-kiam Mo-li sudah menggerakkan kedua senjatanya, menyerang dengan dahsyatnya. Melihat ini, Li Sian terkejut. Namun, gadis ini memang memiliki ketenangan luar biasa dan ia pun tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat ia memainkan Ilmu San-po Cin-keng, yaitu ilmu langkah ajaib dan bersilat dengan Kong-jiu Jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan). Langkah-langkah atau geseran-geseran kedua kakinya dengan indah dan lembutnya membuat tubuhnya berkelebatan seperti bayangan yang sukar diserang! Biarpun pedang dan kebutan itu mengepung dan menyambarnya dari semua jurusan, namun Li Sian tetap saja dapat menghindarkan diri dengan langkah ajaibnya! Namun, melihat kehebatan lawan, kalau hanya terus mengelak pun ia masih terancam bahaya, maka kedua tangannya tidak tinggal diam, kadangkadang ia pun melayangkan tamparan yang mengandung Hui-yang Sin-kang di tangan kanan dan Swat-im Sin-kang di tangan kiri.
Kembali Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Sambaran tangan kanan yang mengandung hawa panas dan tangan kiri mengandung hawa dingin itu amat mengejutkannya.
“Bocah setan! Apakah engkau murid Pulau Es?” bentaknya tanpa mengurangi serangannya, kebutannya membabat ke arah muka sedangkan pedangnya menusuk dada. Li Sian menggeser kaki memutar tubuh sehingga kedua serangan itu luput dan ia pun mendorong dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Hui-yang Sin-kang. Hawa panas menyambar ke arah dada Sin-kiam Mo-li yang terpaksa harus meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari serangan yang cukup berbahaya itu.
“Tidak ada hubungannya denganmu!” jawab Li Sian dan gadis ini melihat sebatang ranting tak jauh dari situ, maka cepat kakinya membuat langkah-langkah aneh dan ia sudah berhasil menyambar ranting itu. Sebatang ranting kayu sebesar ibu jari kaki yang panjangnya kurang lebih empat kaki, tepat sekali untuk dipakai sebagai pengganti pedang dan ia pun kini memutar ranting itu sambil memainkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut, menghadapi sepasang senjata lawan! Kini lebih mudah bagi Li Sian untuk melindungi dirinya, akan tetapi karena maklum akan lihainya sepasang senjata lawan, tetap saja ia mengandalkan langkah-langkah ajaib San-po Cin-keng untuk mengelak dan membalas dengan tusukan ranting yang dimainkan sebagai pedang!
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan mereka itu cepat dan aneh sehingga para murid Tiat-liong-pang menjadi penonton, memandang dengan mata kabur dan kepala pening. Mereka tidak berani turun tangan membantu tanpa diperintah karena hal ini tentu akan membuat Sin-kiam Mo-li marah.
Tiba-tiba terdengar suara orang melerai. “Tahan senjata!” Mendengar suara Siangkoan Lohan ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li menahan serangannya, Li Sian juga melompat mundur dan mengangkat muka memandang. Ia melihat munculnya seorang laki-laki yang usianya sekitar enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka merah dan jenggot panjang sampai ke dada. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda tampan yang berpakaian indah seperti seorang pelajar kaya raya atau seorang pemuda bangsawan. Melihat kakek itu, hatinya berdebar girang karena ia masih mengenal bahwa kakek ini adalah Siangkoan Lohan yang pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu.
“Apakah yang telah terjadi di sini?” tanya Siangkoan Lohan, diam-diam kagum sekali melihat betapa seorang gadis muda, dengan hanya sebatang ranting di tangan, mampu menandingi Sin-kiam Mo-li yang mempergunakan sepasang senjatanya.
“Ia datang secara mencurigakan sekali, tentu ia seorang mata-mata pihak musuh!” kata Sin-kiam Mo-li kepada Siangkoan Lohan, agak malu karena tuan rumah dan puteranya itu melihat betapa ia tadi belum mampu merobohkan seorang gadis yang hanya bersenjata ranting.
Kini Siangkoan Lohan menghadapi gadis itu, memandang penuh perhatian, lalu bertanya, “Nona, siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke wilayah kami?”
Li Sian melangkah maju menghampiri kakek itu, memberi hormat setelah melepaskan ranting dari tangannya dan berkata, “Bukankah saya berhadapan dengan paman Siangkoan Tek, pangcu dari Tiat-liong-pang?”
Siangkoan Lohan memandang semakin tajam, akan tetapi betapapun dia mengingat-ingat, dia tidak dapat mengingat siapa adanya gadis yang cantik manis dengan tahi lalat di dagunya ini.
“Maaf, Nona, mungkin penglihatanku sudah tidak terang lagi. Aku memang benar Siangkoan Tek, akan tetapi siapakah engkau?”
Bersambung ke buku 5
Label:
Kho Ping Hoo,
Kisah Si Bangau Putih