Suling Emas & Naga Siluman -11 | Kho Ping Hoo



Buku 11

Kao Kok Cu menanti sampai gerakan itu tiba pada kecepatan puncak, kemudian tiba-tiba dia membentak dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, seperti sebatang anak panah, atau seperti seekor naga terbang, menyerang ke depan, lengan baju kirinya yang “kosong” itu bergerak-gerak dan seperti hidup! Melihat ini, Cu Han Bu cepat menusukkan sabuk emasnya. Akan tetapi sabuk itu dspat ditangkap dan dilibat oleh lengan baju kiri itu yang hidup seperti seekor ular yang membelit, tidak mungkin dapat ditarlk kembali dan otomatis gerakan sabuk itupun terhenti. Cu Han Bu terkejut dan menjadi nekat, menghantamkan tangan kirinya. Akan tetapi inilah kekeliruannya, karena pada saat itu Naga Sakti Gurun Pasir sedang mempergunakan Ilmu Sin-liong-hok-te dan kekuatan mujijat memasuki tubuhnya, maka begitu pendekar ini menangkis dengan tangan kanannya, dua tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Cu Han Bu terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan sabuk emas itu patah menjadi dua, yang sepotong masih dipegang dan yang sepotong lagi berada dalam libatan lengan baju Naga Sakti Gurun Pasir!

Cn Han Bu bangkit berdiri, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah dan jelaslah bahwa dia menderita luka dalam yang hebat. Sejenak dia terbelalak memandang kepada Kao Nok Cu, kemudian mengerakkan tangannya hendak memukulkan sepotong sabuk emas itu ke arah kepalanya sendiri!

“Wuuuut.... tranggg....!” Sepotong sabuk emas itu terpental dan terlepas dari pegangan, disambar potongan sabuk emas yang meluncur dari lengan baju Kao Kok Cu yang menyambitkannya ketika melihat bekas lawan itu hendak membunuh diri.

“Hanya pengecut sajalah yang tidak berani menghadapi kekalahan dalam hidup!” terdangar suara Kao Kok Cu berkata, suara yang menggetar dan mengandung kekuatan sedemikian dahsyatnya sehingga seluruh benda di sekitar tempat itupun ikut tergetar. Cu Han Bu terkejut, memandang ke bekas lawannya dan menarik napas panjang, lalu jatuh terduduk, bersila dan memejamkan matanya. Kao Kok Cu membiarkan saja dia demikian itu seketika lamanya karena dia maklum bahwa kalau tidak cepat-cepat majikan lembah itu mengumpulkan hawa murni, dia tentu takkan dapat tertolong lagi. Cu Pek In lari menghampiri ayahnya, akan tetapi sebelum dia menyentuh ayahnya dia dicegah oleh Cu Seng Bu yang memegang lengan gadis itu. Cu Pek In memandang ayahnya dengan air mata menetes di kedua pipinya dan suasana amat menyedihkan dan mengharukan hati keluarga Kao Kok Cu. Mereka ini tahu bahwa dengan berhasilnya mereka melaksanakan perintah kaisar, mereka pun berarti menghancurkan kebahagiaan keluarga Cu ini! Mereka merasa menyesal sekali, akan tetapi apa yang sudah terjadi tidak dapat diperbaiki kembali. Mereka bertiga memandang ke arah Cu Han Bu, seperti yang dilakukan oleh Cu Seng Bu dan Pek In, dan mereka menanti.

Tak lama kemudian, pernapasan yang tadinya, memburu itu menjadi semakin tenang dan akhirnya terdengar Cu Han Bu menarik napas paajang, lalu membuka matanya dan pertama kali dia menggerakkan mata, dia memandang ke arah Kao Kok Cu.

“Terima kasih, Naga Sakti Gurun Pasir, bukan karena engkau telah menyelamatkan aku, melainkan karena engkau telah ingatkan aku yang hampir menjadi pengecut. Engkau benar, dan aku tidak akan takut menghadapi kegagalan. Kami telah kalah. Nah, dengarlah. Pedang itu berada pada muridku yang bernama Sim Hong Bu. Dialah yang berhak mewarisi pedang itu bersama ilmunya dan sekarang, dialah yang berhak atas pedang itu, bukan kami.“

Kao Cin Liong merasa kecewa karena tadinya dia mengharapkan bahwa kemenangan itu akan membuat keluarga ini menyerahkan pedang pusaka itu kembali. “Dan, di mana adanya Sim Hong Bu itu, Lo-enghiong?”

Cu Han Bu tersenyum pahit. “Goan-swe engkau boleh menangkapku, menbunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat memaksa kami menjadi pengkhianat-pengkhianat yang mengkhianati dia yang menjadi muridku dan pewaris pedang pusaka kami!”

Cu Seng Bu dan Cu Pek In juga menentang pandang matanya dengan sikap menantang. Kao Kok Cu maklum bahwa tiada gunanya memaksa karena orang-orang gagah seperti ini tentu akan lebih suka menyerahkan nyawa daripada harus mengkhianati orang sendiri.

“Satu pertanyaan lagi, Saudara Cu Han Bu. Perlukah aku menggeledah di lembah ini untuk mencari Sim Hong Bu?”

Cu Han Bu memandang dengan sinar mata tajam. “Percuma, dia tidak berada di sini.”

“Biar aku akan mencarinya di sini, Ayah,” kata Cin Liong akan tetapi ayahnya mencegah.

“Tidak perlu, Cin Liong. Saudara Cu Han Bu sudah mengatakan bahwa dia tidak ada di lembah ini. Dia sudah mengatakan sejujurnya dan aku yakin dia mempunyai cukup kehormatan untuk tidak membohongi kita. Mari kita pergi, kita akan mencari sendiri Sim Hong Bu!” Setelah berkata demikian, Kao Kok Cu menjura ke arah mereka dan berkata, “Perkenankan kami pergi dari sini, Saudara Cu dan maafkan semua perbuatan kami.”

Kao Kok Cu bersama anak isterinya hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Cu Han Bu bangkit dan berkata dengan suara parau, “Kao Kok Cu!” Pendekar itu bersama isteri dan puteranya berhenti dan membalikkan tubuh, memandang dengan alis berkerut.

“Dengarlah! Hari ini kami keluarga Cu kalah olehmu, akan tetapi ingat, murid kami Sim Hong Bu yang kelak akan membuktikan bahwa kami tidak kalah olehmu, dan pedang Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka kami itu yang akan mengalahkanmu! Nah, mulai sekarang, aku dan Adikku akan mengasingkan diri sesuai dengan janji, menjadi hwesio dan bertapa di tempat sunyi. Biarlah murid kami itu yang kelak membalaskan kami. Pek In, antarkan tamu sampai menyeberang!”

Dengan muka pucat dan mata basah air mata, Cu Pek In memandang dengan mata penuh kebencian kepada keluarga Kao, lalu berkata, “Mari!” Dia pun lalu berjalan dengan tubuh ditegakkan, menuju ke arah jurang penyeberangan. Kao Kok Cu dan anak isterinya mengikutinya karena mereka maklum bahwa kalau fihak tuan rumah menghendaki, sukar bagi mereka untuk dapat keluar dari lembah itu tanpa bahaya. Andaikata dirusak saja jembatan tambang itu, berarti mereka tidak tahu bagaimana harus keluar dari lembah yang terasing dari dunia luar dan hanya dihubungkan dengan dunia luar melalui jembatan tambang itu saja.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, Pek In memberi isyarat kepada para penjaga. Jembatan tambang diangkat naik, gadis itupun meloncat ke atas jembatan tambang itu diikuti oleh tiga orang tamunya. Setelah mereka semua tiba di seberang, gadis itu lalu berkata dengan sikap kaku, “Selamat jalan!”

Kao Cin Liong merasa kasihan. “Selamat tinggal, Nona dan maafkan kami.”

Akan tetapi gadis itu telah meloncat kembali ke atas jembatan tambang dan berlari cepat menuju kembali ke lembah. Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Sungguh sayang, Cin Liong, kita telah menanam bibit kebencian dalam hati keluarga yang demikian gagahnya.”“Kita berada dalam tugas, Ayah, bukan urusan pribadi,” kata Cin Liong tenang.

Benar! Kalau mereka itu benar-benar orang gagah tentu menyadari hal itu. Urusan ini urusan tugas perintah, bukan urusan pribadi, akan tetapi kalau mereka menganggap sebagai permusuhan, perorangan dan mendendam kepada kita, adalah karena ketololan mereka sendiri!” kata Wan Ceng yang wataknya masih belum berobah, yaitu keras dan berani.

Kao Kok Cu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyangkal kebenaran ucapan isterinya dan puteranya, betapapun juga, dia tahu bahwa bagi sebuah keluarga yang hebat seperti keluarga Cu itu, nama merupakan hal yang amat penting dan sekarang mereka itu kehilangan nama, oleh karena itu sudah pasti mereka merasa sakit hati. Pendekar ini masih mendengar ancaman Cu Han Bu dan dia sudah menganggap nama Sim Hong Bu sebagai nama yang mungkin kelak akan menimbulkan kesukaran baginya dan keturunannya.

Agaknya Wan Ceng dapat membaca kekhawatirannya di wajah suaminya, maka nyonya ini berkata dengan gagah, “Bekerja tidak boleh kepalang tanggung! Kita telah mengalahkan keluarga itu, dan sekarang, bagaimanapun juga kita harua bisa mendapatkan orang yang bernama Sim Hong Bun itu dan merampas pedang pusaka istana sebelum urusan menjadi berlarut-larut.”

Kao Cin Liong mengangguk. “Ucapan Ibu benar sekali, dan saya kira murid mereka itu tentu tidak berada jauh dari lembah ini!”

Demikianlah, tiga orang itu lalu mulai mencari jejak Sim Hong Bu, akan tetapi karena mereka belum pernah melihat wajah pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu, tentu saja tidak mudah bagi mereka, apalagi, seperti kita ketahui, pemuda itu menyembunyikan diri dalam sebuah guha rahasia untuk melatih ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut sampai sempurna. Dan karena mereka selama beberapa hari menyelidiki tempat-tempat sekitar lembah itu, maka mereka melihat munculnya Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang baru kembali dari perjalanan mereka mengunjungi Sai-cu Kai-ong. Tiga orang itu bersembunyi dan membayangi Yu Hwi dan Cu Kang Bu.

“Dia.... bukankah dia itu Ang-siocia, murid dari Hek-sin Touw-ong....?” Ceng Ceng atau Wan Ceng berbisik kepada suaminya. Kao Kok Cu mengangguk. Kini dia pun teringat, Itulah gadis yang dulu pernah membantu mendiang ayahnya, yaitu Jenderal Kao Liang ketika ayahnya itu ditawan Pangeran Nepal di sebuah benteng yang amat kuat (bacaKisah Jodoh Rajawali). Gadis liar yang banyak akalnya dan yang pada dasarnya mempunyai watak yang gagah perkasa dan baik, seperti yang telah dibuktikannya ketika membantu ayahnya itu.

“Dan pria itu.... mungkinkah dia Sim Hong Bu?” bisik Cin Liong dengan jantung berdebar penuh harapan. Pria itu nampak gagah perkasa, tinggi besar seperti raksasa dan memang pantaslah kalau menjadi murid keluarga Cu yang berilmu tinggi, walaupun raksasa ini agaknya sudah terlalu tua untuk menjadi murid mereka.

“Hemm, mungkin saja. Lihat, mereka menuju ke jurang pemisah lembah” bisik Kao Kok Cu.

“Sebaiknya kita tanya secara terus terang saja. Heiii, tunggu dulu....!” Wan Ceng berseru dan meloncat keluar, diikuti suaminya dan puteranya.

Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang sedang berjalan dengan asyik dan mesranya, sambil bergandengan tangan dan bercakap-cakap diseling senyum mesra, terkejut sekali dan cepat mereka saling melepaskan tangan dan membalikkan tubuh memandang kepada tiga orang yang muncul secara tiba-tiba itu.

Seorang pendekar seperti Si Naga Gurun Pasir tentu saja sukar dapat dilupakan orang, terutama sekali karena lengannya tinggal sebelah itu. Demikian pula dengan Yu Hwi, begitu melihat pendekar ini, dia terkejut sekali dan teringat, apalagi setelah dia melihat Wan Ceng, maka dengan gagap saking kaget dan juga gembiranya dia berseru, “Bukankah.... bukankah saya berhadapsn dengan Naga Sakti Gurun Pasir, Kao Kok Cu Taihiap bersama isteri?”

Ucapan kekasihnya ini membuat Cu Kang Bu juga terkejut bukan main. Pernah dia mendengar nama besar seperti nama tokoh dalam dongeng ini, dan pernah pula kekasihnya bercerita tentang pertemuan kekasihnya dengan pendekar sakti dan isterinya ini ketika kekasihnya membantu mendiang Jenderal Kok Liang, ayah dari pendekar sakti ini.

“Ingatanmu kuat sekali, Nona. Benar, aku adalah Kao Kok Cu dan ini adalah isteri dan putera kami.”

“Hemm, engkau tentu Ang-siocia, bukan?” Wan Ceng berkata sambil memandang wajah gadis itu, akan tetapi lalu dia memandang wajah Cu Kang Bu sambil bertanya penuh curiga, “Dan siapakah dia ini?”

Ang-siocia atau Yu Hwi tertawa mendengar disebut nama julukannya yang sudah lama sekali tak pernah didengarnya yang hampir dilupakannya itu. “Ah, Bibi yang gagah perkasa, saya tidak berjuluk Ang-siocia lagi. Lihat, pakaian saya tidak merah, bukan? Dan dia ini adalah....” Wajahnya berobah dan dia tidak melanjutkan kata “tunangan” itu. “.... bernama Cu Kang Bu.”

“Ah....!” Cin Liong berseru, kecewa.

“Apakah masih saudara dengan sahabat-sahabat Cu Han Bu dan Cu Seng Bu?” Tanya Kao Kok Cu.

Cu Kang Bu yang sudah lama mengagumi nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sudah cepat menjura dengan hormat dan menjawab, “Mereka itu adalah kakak-kakak saya dan saya merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan Kao-taihiap yang nama besarnya sudah lama saya dengar dari..... tunangan saya ini.“

Mendengar bahwa laki-laki gagah perkasa bertubuh raksasa ini adalah adik dari keluarga Cu yang merahasiakan di mana adanya Sim Hong Bu yang membawa pedang pusaka itu, Wan Ceng yang cerdik cepat bertanya, “Saudara Cu Kang Bu, dapatkan engkau memberitahu kami di mana adanya Sim Hong Bu....?”

“Sim Hong Bu....?” Kang Bu dan Yu Hwi berkata heran, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Mereka tidak tahu mengapa keluarga ini bertanya tentang murid itu, dan mereka meragu apakah mereka boleh memberitahukan kepada orang lain karena pemuda itu sedang menyembunyikan dirinya untuk menggembleng diri dan melatih ilmu pedang sampai sempurna. Bukankah Sim Hong Bu mempunyai tugas yang amat berat, yaitu kelak dialah yang harus mengangkat kembali nama keluarga lembah dan menandingi kalau mungkin mengalahkan Suling Emas? Selagi mereka meragu, terdengar suara nyaring di belakang mereka.

“Paman, jangan beritahukan! Ayah dan Paman Seng Bu telah terluka oleh mereka dan sedang menanti kedatangan Paman!”

Kiranya yang bicara itu adalah Cu Pek In yang memandang ke arah keluarga Kao itu dan dengan sinar mata penuh kebencian. “Mereka ingin merampas pedang pusaka kita, dan kalau mereka tahu di mana adanya dia, tentu akan dirampasnya pedang itu!”

Cu Kang Bu memandang dengan mata terbelalak, sedangkan Yu Hwi memandang pendekar sakti den isterinya itu dengan wajah terheran-heran. “Bagaimana Ji-wi dapat melakukan hal seperti itu? Aku.... aku tidak peccaya....”

Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Kami adalah utusan Kaisar yang ingin agar pedang pusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana itu dikembalikan.”

Mengertilah kini Yu Hwi dan dia menjadi serba salah. Akan tetapi Kang Bu sudah menarik tangannya. “Mari, Hwi-moi, kita menengok kedua kakak kita yang terluka.” Dan mereka bertiga lalu lari ke arah jurang, menyeberangi jurang melalui jembatan tambang, meninggalkan tiga orang keluarga Kao yang hanya dapat memandang saja.

“Agaknya tak mungkin dapat diharapkan dapat menemukan Sim Hong Bu itu melalui mereka, dan harus dicari lebih jauh lagi! kata pendekar itu yang mengajak anak isterinya untuk meninggalkan lembah.

AKAN tetapi mereka mencari terlalu jauh. Tak lama sesudah Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke lembah, dengan hati-hati sekali Cu Kang Bu lalu meninggalkan lembah untuk pergi ke guha tempat persembunyian Sim Hong Bu dan dia mengajak pemuda itu untuk pergi ke lembah. Keluarga Cu berduka cita, bukan hanya karena Cu Han Bu dan Cu Seng Bu kalah bertanding dan terluka parah, akan tetapi juga karena keputusan dua orang tokoh itu untuk selanjutnya mencukur gundul kepala mereka dan hidup sebagai pertapa yang mengasingkan diri!

“Sebelum kami berdua mencukur rambut dan meninggalkan tempat ini untuk mengasingkan diri sebagai pendeta, aku ingin lebih dulu menunaikan kewajibanku meresmikan pernikahan kalian, Kang Bu dan Yu Hwi. Keadaan kita sedang prihatin, oleh karena itu maafkanlah saudara tuamu ini bahwa terpaksa pernikahan kalian tidak diramaikan, cukup disaksikan oleh para pembantu murid kita di lembah dan dilakukan upacara sembahyang kepada leluhur kita. Sesudah itu, kalian berdualah yang kami serahi untuk mengurus lembah ini, akan tetapi kalau kalian menghendaki untuk tinggal di tempat lain, terserah, asalkan semua anak buah dibubarkan lebih dulu dan jembatan yang menghubungkan lembah ini keluar dimusnahkan. Dan aku titip Pek In kepada kalian.” Cu Han Bu berhenti sebentar dan menarik napas panjang untuk menekan hatinya yang terharu melihat Pek In menangis terisak-isak.

“Dan engkau, Sim Hong Bu. Engkau adalah murid kami, juga pewaris pedang pusaka keluarga Cu. Bahkan engkau satu-satunya pewaris Ilmu Pedang Koa-liong Kiam-sut. Engkau menjadi buronan pemerintah, karena kaisar telah mengirim utusan untuk merampas pedang pusaka. Bersumpahlah bahwa engkau akan mempertahankan pedang pusaka kami itu, demi menjunjung nama keluarga kami!”

“Teecu bersumpah, Suhu.” kata Hong Bu dengan suara tegas. “Teecu akan mempertahankan pedang ini dengan taruhan nyawa teecu!”

“Bagus, hatiku lega mendengar itu. Dan engkau mempunyai tugas yang amat berat, Hong Bu. Selain mempertahankan pedang, juga untuk membela nama baik keluarga Cu dan Lembah Suling Emas yang terpaksa kita robah menjadi Lembah Naga Siluman ini, kelak engkau harus membuktikan bahwa Koai-liong kiam (Pedang Naga Siluman) tidak kalah terhadap Kim-siauw (Suling Emas). Carilah Kam Hong dan ajaklah dia bertanding untuk membuktikan siapa yang lebih unggul antara kalian, dengan demikian harapan kami selama ini tidak akan siasia.”

Tentu saja Hong Bu sudah pernah mendengar akan hal ini, hal yang sungguh membuat hatinya tidak enak. Dia amat kagum dan suka kepada Kam Hong, dan kenyataan bahwa dia kelak harus berhadapan dengan pendekar itu sebagai musuh, sungguh membuat hatinya tidak enak, apalagi kalau dia teringat kepada Ci Sian yang menjadi sumoi dari pendekar besar itu! Akan tetapi, dia maklum, bahwa dia tidak dapat menolak permintaan suhunya ini.

“Baik, Suhu. Pesan Suhu ini pasti akan teecu penuhi.”

“Masih ada lagi, muridku. Engkau melihat sendiri betapa Suhu-suhumu telah terluka dan terpaksa menjadi hwesio karena dikalahkan oleh keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Aku yakin bahwa kalau engkau sudah menyempurnakan latihan-latihanmu, engkau akan mampu mengalahkan dia. Maka aku menghendaki agar kelak engkau mencari Naga Sakti Gurun Pasir dan atas nama kami membalas kekalahan kami untuk mempertahankan kehormatan nama keluarga Cu!”

Sebenarnya, di lubuk hatinya, Sim Hong Bu tidak setuju dengan sikap suhunya. Suhu dan susioknya ini kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir bukan karena urusan pribadi seperti yang mereka ceritakan kepadanya tadi. Keluarga Kao itu datang sebagai utusan Kaisar dan kalau dalam pertandingan perebutan pedang itu keluarga Cu kalah, hal itu sudah wajar karena dalam setiap pertandingan tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pula, apa jeleknya kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya dipuja-puja seperti tokoh dewa dalam dongeng? Akan tetapi suhu dan keluarga suhunya memang dia tahu amat keras kepala, tidak dapat menerima kekalahan karena terlalu lama terbiasa dengan anggapan bahwa keluarga mereka adalah keluarga yang tak pernah terkalahkan, keluarga yang menyimpan rahasia ilmu-ilmu dahsyat, nenek moyang mereka yang menciptakan benda-benda, pusaka seperti Suling Emas dan Pedang Naga Siluman.

Cu Han Bu melihat keraguan muridnya dan diam-diam dia merasa agak malu juga. Dia agaknya dapat membaca apa yang menjadi keraguan hati muridnya, maka dia berkata lagi, “Hong Bu, ketahuilah bahwa kami tidak mempunyai dendam sakit hati pribadi terhadap Naga Sakti Gurun Pasir. Pertentangan antara mereka dan kami hanya kebetulan saja karena puteranya menjadi jenderal dan utusan Kaisar. Akan tetapi, kalau engkau sebagai murid dan pewaris keluarga kami tidak memperlihatkan bahwa kita tidak kalah oleh mereka, tentu dunia kang-ouw akan menganggap bahwa nama keluarga Cu adalah nama kosong belaka.”

“Baiklah, teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan.” akhirnya Hong Bu menjawab dan diam-diam dia mengeluh dalam hatinya karena selain dia kini karena pedang itu telah menjadi buronan pemerintah, juga dia sudah berjanji akan menghadapi dua orang pendekar yang paling sakti di dunia ini!

“Ada satu hal lagi, muridku. Yaitu mengenai diri Sumoimu, Pek In. Telah kupikirkan dalam-dalam hal ini untuk waktu lama sekali. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau kelak Pek In dapat menjadi isterimu, Hong Bu.”

Tentu saja Pek In menjadi malu dan menundukkan mukanya yang berobah merah sekali dan jantungnya berdebar-debar tegang. Sebaliknya, wajah Hong Bu menjadi pucat, kemudian merah. Tak disangkanya guruaya akan membicarakan hal itu secara terbuka. Dia tahu betul bahwa sumoinya jatuh cinta kepadanya, dan dia pun sudah dapat menduga dari sikap suhunya bahwa suhunya juga setuju untuk mengambil mantu dia. Akan tetapi dia sendiri menyayang Pek In hanya sebagai murid. Tanpa disengajanya, tiba-tiba saja wajah Ci Sian terbayang di depan matanya.

“Suhu.... tentang ini.... teecu.... teecu sama sekali masih belum berpikir soal perjodohan....”

Cu Han Bu menarik napas panjang. “Hong Bu, kukatakan tadi bahwa aku akan merasa berbahagia kalau kelak engkau dapat berjodoh dengan Pek In. Tentu saja aku sama sekali tidak memaksamu, urusan perjodohan adalah urusan dua orang dan terserah kepada kalian, aku hanya mengatakan akan berbahagia kalau kalian berjodoh....“ Sampai di sini, Cu Han Bu memberi isarat membubarkan pertemuan itu karena kesehatannya belum pulih benar dan terlalu banyak bicara mendatangkan rasa nyeri di dadanya.

Demikianlah, pernikahan antara Yu Hwi dan Cu Kang Bu dilangsungkan dengan sederhana sekali, dengan pesta antara keluarga dan anak buah lembah itu sendiri tanpa dihadiri oleh seorang pun dari luar lembah, dan disaksikan arwah nenek moyang mereka yang mereka sembahyangi. Dan pada keesokan harinya, Sim Hong Bu harus meninggalkan lembah, membawa bekal emas dan perak secukupnya dan menyembunyikan pedang pusaka itu di balik jubahnya. Dua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu sendiri yang mengantarnya sampai ke luar dari lembah.

Kemudian, beberapa hari sesudah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu pergi menuju ke sebuah Kuil yang berada di puncak sebuah bukit dekat lembah, lalu disaksikan oleh para hwesio mereka menggunduli rambut, menjadi hwesio lalu melakukan perjalanan untuk mengasingkan diri mereka, sesuai dengan janji mereka terhadap Si Naga Sakti Gurun Pasir!

Yu Hwi dan Cu Kang Bu kini menjadi majikan lembah. Akan tetapi baru sebulan setelah mereka menikah, mereka sudah ditimpa suatu peristiwa yang membingungkan hati mereka, yaitu lenyapnya Cu Pek In dari lembah! Di dalam kamar gadis itu mereka menemukan sehelai surat yang memberitahukan mereka bahwa gadis itu hendak pergi menyusul dan mencari Sim Hong Bu dan minta agar paman dan bibinya tidak mencarinya! Cu Kang Bu menjadi bingung sekali. Dia yang diserahi untuk mengurus Pek In oleh kakaknya, akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa gadis itu untuk kembali? Setelah berunding dengan isterinya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk tinggal diam saja sambil manyimpan surat itu.

“Pek In jatuh cinta dan merasa ditinggalkan Hong Bu, maka dicari pun tidak akan ada gunanya.” demikian Yu Hwi berkata. “Dia sudah dewasa dan memiliki ilmu kepandaian cukup, maka perlu apa khawatir? Biarlah dia merantau memperluas pengetahuannya. Keputusan hati seorang gadis yang jatuh cinta tidak mungkin dirobah lagi dan percuma saja kalau kaucari dia juga.”

Demikianlah, Cu Kang Bu tidak pergi mencari Pek In karena dia dapat mengerti akan kebenaran kata-kata isterinya. Andaikata dicari dan dapat dia temukan, apakah dia akan menggunakan kekerasan memaksa Pek In tinggal di lembah? Tidak mungkin! Dia tahu bahwa keponakannya itu bukan hanya suka memakai pakaian pria, akan tetapi juga mempunyai kekerasan hati, kadang-kadang melebihi pria.

“Suhu....”

Kakek itu membuka matanya dan memandang dengan sinar mata sayu. Kakek itu kurus sekali dan mukanya pucat, tanda bahwa selain jarang makan, juga kakek ini kurang memperoleh sinar matahari. Dan memang sudah lama Sai-cu Kai-ong, kakek yang pernah menjadi Raja Pengemis dan menjadi tokoh kang-ouw yang disegani ini, mengasingkan diri di sebuah kamar di gedung besar seperti istana kuno itu, di Puncak Bukit Nelayan, seorang diri saja. Hidupnya terasa hampa setelah dia bertemu dengan cucunya, Yu Hwi yang telah memllih suami lain. Dia tidak ingin apa-apa legi selain menanti kematian. Hidup ini baginya banyak dukanya daripada sukanya, banyak kecewanya daripada puasnya. Kekecewaannya yang paling besar adalah karena dia merasa bahwa dia adalah seorang yang tidak berbakti, seorang yang tidak dapat memenuhi kehendak mendiang ayahnya, mendiang nenek moyangnya. Dia telah gagal menjodohkan keturunan Yu dengan keturunan Kam, dan ini baginya merupakan puKuian berat, merasa dirinya put-hauw (tidak berbakti), seorang yang murtad.

Kata kebaktian masih selalu didengungkan orang, bahkan dianggap sebagai suatu sila kehidupan manusia beradab yang amat penting. Kebaktian dianggap sebagai ukuran kebudayaan, kesusilaan, bahkan kebaikan seseorang. Bagi kebanyakan orang tua, kata “hauw” atau bakti dijadikan semacam pegangan atau senjata untuk menyerang anak-anaknya kalau anak-anak itu tidak menyenangkan hatinya, dan anak-anak itu, karena takut dianggap tidak berbakti atau murtad, maka mereka itu memaksa diri untuk melakukan apa-apa yang dianggap hauw (bakti) terhadap orang tua!

Berbakti adalah suatu sikap dipaksakan! Betapa tidak? Di balik kebaktian ini jelas terkandung pamrih! Kalau orang ingin berbakti, jelas bahwa dia berpamrih untuk menjadi anak baik dan tentu karena anak yang berbakti itu mendapat berkah, banyak rejekinya, terhormat, terpandang dan sebagainya. Apakah artinya sikap berbakti kalau di dalam hati nuraninya tidak ada cinta kasih?

Kalau kita mempunyai sinar cinta kasih dalam batin kita, terhadap orang lain pun kita berhati penuh kasih, penuh iba, apalagi terhadap ayah bunda sendiri! Di mana ada kasih, maka kata berbakti itu tidak ada lagi karena dalam setiap perbuatannya terhadap orang tua, tentu penuh dengan kasih sayang yang tanpa pamrih! Berbakti karena tahu bahwa berbakti itu baik dan sebagainya hanya melahirkan sikap yang palsu dan dibuat-buat, melahirkan perbuatan dan ucapan yang tidak sama dengan isi hatinya. Hanya karena ingin berbakti, maka terjadilah kenyataan betapa mulut tersenyum berkata-kata halus sungguhpun di dalam hati memaki-maki, pada lahirnya memberi ini itu padahal di dalam hatinya tidak rela! Hal ini dapat kita lihat pada diri kita sendiri, pada kanan kiri kita, melihat kehidupan seperti apa- adanya, menelanjanginya dan tidak tertipu oleh Kuiitnya belaka. Akan tetapi, kalau batin kita penuh cinta kasih, maka tidak akan ada caci maki di dalam hati, tidak ada rela atau tidak rela. Yang ada hanyalah kasih sayang saja!

Betapa kita manusia di dunia ini sudah kehilangan api cinta kasih! Kita mengorek-orek abunya dan mengejar-ngejar asapnya belaka. Kita rindu akan cinta kasih, ingin semua manusia di dunia ini, ingin seluruh isi mayapada ini, ingin para dewata, malaikat dan Tuhan, mencinta kita! Kita haus akan cinta kasih karena di dalam diri kita kehilangan cinta kasih itu! Kita mencari-cari dan mengejar-ngejar melalui kebaktian, kewajiban, menjadi orang baik, memuja-muja dan sebagainya lagi. Akan tetapi yang kita kejar-kejar itu hanyalah asapnya. Cinta kasih tak mungkin dikejar-kejar, tak mungkin dapat diusahakan supaya ada, tak mungkin dapat dikuasai dan diikat, tak mungkin dapat dilatih seperti pengetahuan mati! Cinta kasih datang dengan sendirinya kalau batin kita terbuka, peka dan kosong, dalam arti kata bersih dari pada segala keinginan dan perasaan si-aku, yaitu keinginan untuk senang dan perasaan-perasaan iri, benci, marah, takut dan sebagainya. Kita tidak mungkin memiliki batin yang peka dan “terbuka” kalau masih ada kotoran-kotoran dari si-aku, yaitu pikiran yang selalu menjangkau, mencari, mengejar dan menginginkan segala sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, lahir maupun batin. Barulah kalau batin kita sudah penuh dengan sinar cinta kasih, segala perbuatan kita adalah benar, tidak pura-pura, tidak palsu, tanpa pamrih, wajar dan bersih seperti keadaan anak kecil yang belum dikuasai oleh aku-nya.

Ada yang berkata “tidak mungkin itu!” Nah, siapakah yang berkata demikian itu? Mari kita lihat baik-baik. Bukankah yang berkata itu adalah sang aku yang ingin baik, ingin dipenuhi cinta kasih, kemudian melihat bahwa dia tidak mungkin hidup tanpa segalanya yang dianggapnya menyenangkan itu? Kita dapat mengamati ulah tingkah si-aku ini setiap saat dalam diri kita sendiri, dan ini merupakan langkah pertama ke arah kebijaksanaan.

“Suhu....!” Kam Hong berkata lagi ketika melihat betapa kakek itu memandangnya seperti orang sedang mimpi, seolah-olah tidak mengenalnya lagi. “Suhu, teecu adalah Kam Hong”

“Kam Hong....? Engkau Siauw Hong....?”

“Benar, Suhu, teecu adalah Siauw Hong.” kata Kam Hong dengan hati terharu. Tak disangkanya bahwa suhunya yang biasanya bertubuh tegap dan bersikap gagah penuh semangat itu, yang menghadapi dunia dengan hati ringan, kini kelihatan demikian tua dan lemah seperti orang kehilangan semangat.

“Dan Nona ini siapa....”

“Teecu adalah Bu Ci Sian, Locianpwei.” jawab Ci Sian yang tadi masuk bersama Kam Hong. Mendengar suara dara yang demikian nyaring dan bersih, Sai-cu Kai-ong membuka matanya lebih lebar. Kalau saja Yu Hwi yang berlutut di samping Kam Hong itu, pikirnya!

“Suhu, dia ini adalah Sumoi teecu, sama-sama mempelajari ilmu sejati dari Suling Emas.” kata Kam Hong.

Sai-cu Kai-ong terbelalak. “Apa? Apa maksudmu? Apakah itu ilmu sejati dari Suling Emas? Bukankah engkau keturunan langsung dari Suling Emas, keluarga Kam?”

Dengan sabar Kam Hong lalu menceritakan semua pengalamannya di Pegunungan Himalaya, betapa dia bertemu dengan Ci Sian dan mereka berdua tanpa disengaja telah bertemu dengan jenazah kuno dari tokoh yang membuat suling emas, dan betapa dari jenazah itu mereka berdua menemukan ilmu sejati dari pencipta suling emas sehingga mereka menjadi kakak beradik seperguruan. Kemudian, dengan hati-hati sekali Kam Hong lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Yu Hwi di Lembah Suling Emas.

Kakek Itu menarik napas panjang. “Aku sudah tahu, Siauw Hong. Yu Hwi telah datang ke sini bersama tunangannya....”

“Cu Kang Bu....?”

“Benar, dan memang harus diaKui bahwa pilihannya itu tidak keliru, akan tetapi tetap saja hatiku penuh kekecewaan bahwa ikatan perjodohan itu putua....”

“Harap Suhu suka tenangkan dari. Urusan jodoh tidak dapat dipaksakan, Suhu. Dan bukankah kata orang bahwa jodoh berada di tangan Tuhan? Anggap saja bahwa tidak ada jodoh antara teecu dan Yu Hwi dan hal itu tidak perlu dijadikan penyesalan benar.”

Sai-cu Kai-ong tersenyum pahit. “Ah, engkau tidak tahu betapa hal itu menjadi idaman nenek moyang kami sejak dahulu...., akan tetapi sudahlah. Yang sudah terjadi tidak mungkin dirobah lagi. Siauw Hong, sekarang, ke mana engkau hendak pergi? Ketahuilah bahwa Sin-siauw Seng-jin telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, di tempat pertapaannya, di puncak tak jauh dari sini. Aku sendiri yang telah mengurus pemakamannya, di puncak itu juga.”

Kam Hong menarik napas panjang. Berita ini tidak mengejutkan hatinya karena memang kakek itu sudah tua sekali. Akan tetapi sedikit banyak dia pun merasa terharu. Kakek itu bersusah payah merahasiakan keturunan Kam, kemudian mendidiknya sebagai guru kedua sesudah Sai-cu Kai-ong, dengan penuh kasih sayang.

“Teecu akan bersembahyang ke makam beliau, kemudian teecu berdua Sumoi akan pergi ke daerah Sin-kiang....”

“Hemm, engkau baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya dan kini hendak pergi ke daerah Sin-kiang? Ada keperluan apakah di tempat liar itu?”

“Teecu hendak mengantar Sumoi mencari sarang gerombolan Hek-i-mo....”

“Ahh....?” Bekas Raja Pengemis itu nampak terkejut bukan main. Hek-i-mo....? Sungguh berbahaya sekali. Mau apa kalian hendak ke sana?”“Locianpwe, Ibu teecu tewas karena penyakit yang diderita setelah Ibu bertentangan dengan Hek-i-mo.” jawab Ci Sian.

“Hemm, jadi urusan balas dendam, ya?” Kakek itu bertanya, nada suaranya seperti orang kesal dan memang sesungguhnya dia merasa bosan karena sebagian besar daripada hidupnya dia hanya menghadapi soal balas dendam saja di dalam dunia kang-ouw dan dia merasa muak dengan hal itu.

“Bukan itu saja yang terutama, Locianpwe. Teecu berpendapat bahwa kalau gerombolan liar dan jahat macam Hek-i-mo tidak dibasmi, maka lebih banyak orang lagi orang-orang tidak berdosa akan menjadi korban mereka. Dahulu Ibu pernah gagal, biarlah sekarang teecu sebagai anaknya melanjutkan usaha yang mulia itu, membersihkan dunia dari gerombolan jahat. Dan Kam-suheng sudah sanggup untuk membantu teecu.”

Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang. “Yah, kalian masih muda dan bersemangat besar. Akan tetapi, Siauw Hong, yakin benarkah engkau dan Sumoimu ini bahwa kalian akan mampu menghadapi Hek-i-mo? Ingat, entah sudah berapa banyaknya pendekar-pendekar yang tewas di tangan mereka sehingga sampai kini pun tidak ada lagi yang berani mencoba-coba menentangnya.”

“Tentu saja sebelum melihat kekuatan mereka, teecu tidak yakin, Suhu. Betapapun juga, untuk menentang kejahatan dan membantu Sumoi, teecu sanggup dan berani.”

“Ci Sian, kalau mendiang Ibumu pernah berani menentang Hek-i-mo, tentu engkau keturunan keluarga yang hebat. Siapakah nama Ayahmu?”

Ditanya ayahnya, Ci Sian cemberut dan hatinya tidak senang. Siapa akan merasa senang mengaku Bu Seng Kin sebagai ayahnya kalau orang itu demikian gila wanita dan mempunyai isteri yang tidak kepalang banyaknya? Dia malu berayah Bu Seng Kin! Melihat keraguan sumoinya, Kam Hong lalu mewakilinya menjawab, “Sumoi adalah puteri dari Bu Taihiap yang bernama Bu Seng Kin....“

“Ah, pantas kalau begitu!” Sai-cu Kai-ong berseru girang. “Kiranya Ayahmu adalah pendekar besar itu!”

Akan tetapi Ci Sian sama sekali tidak kelihatan girang atau bangga dan hal ini dianggap oleh kakek itu sebagai sikap rendah hati yang amat baik. Setelah bercakap-cakap selama setengah hari dan dalam kesempatan mana Ci Sian memaksakkan yang enak-enak untuk Sai-cu Kai-ong yang seolah-olah memperoleh kembali kegembiraannya dalam pertemuan ini, mereka lalu mohon diri. Setelah mendapat keterangan di mana letak makam Sin-siauw Seng-jin, Kam Hong bersama Ci Sian meninggalkan puncak Bukit Nelayan itu, diantar oleh Sai-cu Kai-ong sampai ke depan pintu dan kakek ini memandang ke arah dua orang muda itu sampai mereka lenyap dari pandangan mata. Dia menarik napas panjang dan berkata lirih, “Jelas bahwa dia mencinta dara itu. Puteri Bu Taihiap! Dan Yu Hwi berjodoh dengan penghuni Lembah Suling Emas! Memang sayang sekali ikatan jodoh mereka itu putus, akan tetapi keduanya memperoleh pengganti yang sama sekali tidak mengecewakan. Semoga Yu Hwi hidup bahagia dengan suaminya dan Siauw Hong hidup bahagia dengan gadia she Bu itu.”

Kam Hong melakukan upacara sembahyang sederhana di depan makam Sin-siauw Seng-jin, diikuti juga oleh Ci Sian yang sudah mendengar penuturan suhengnya itu tentang diri kakek yang luar biasa itu. Mereka bermalam di makam itu semalam, dan pada keesokan harinya, pagipagi sekali mereka menuruni puncak dan mulailah mereka dengan perjalanan mereka menuju ke Sin-kiang, daerah barat yang liar itu, untuk mencari Hek-i-mo, gerombolan penjahat yang dikabarkan ganas dan lihai seperti segerombolan siluman. Perjalanan yang jauh, sukar dan berbahaya!

Kita tinggalkan dulu perjalanan dua orang muda itu dan mari kita menengok dan berkenalan dengan yang dinamakan gerombolan Hek-i-mo itu. Gerombolan ini bersarang di Lereng Pegunungan Ci-lian-san yang terletak di perbatasan antara propinsi Sin-kiang dan Cing-hai. Di kedua propinsi ini, nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam) amat terkenal dan boleh dibilang merekalah yang menjadi pemerintah gadungan yang menguasai semua jalan-jalan raya yang menghubungkan kedua daerah itu. Tidak ada perampok atau bajak sungai yang tidak tunduk kepada mereka, dan juga semua perusahaan pengawal dari kedua proplnsi itu semua mengenal dan bersahabat dengan Hek-i-mo. Mereka semua itu dengan sikap hormat menyeyerahkan sejumlah “pajak” atau “hadiah” kepada perkumpulan ini agar terjamin lancar pekerjaan mereka. Bukan hanya mereka yan berkepentingan lewat di daerah tapal batas kedua propinsi ini saja yang bersahabat dengan Hek-i-mo, bahkan juga para pembesar di Sin-kiang boleh dibilang sudah dikuasai oleh perkumpulan lni. Pembesar yang bersahabat dengan Hek-i-mo tentu akan dilindungi. Oleh karena itu, bukan merupakan pemandangan aneh kalau orang melihat satu dua orang anggauta Hek-i-mo yang dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam, berkeliaran di kota-kota di daerah Sin-kiang atau Cing-hai sekalipun, dan menerima “sumbangan” dari toko-toko yang besar.

Belasan tahun lamanya pengaruh Hek-i-mo merajalela tanpa ada yang barani menentangnya. Memang dahulu banyak juga pendekar-pendekar yang berusaha menentang kakuasaan hitam ini, namun satu demi satu para pendekar penentang itu roboh, tewas atau terluka parah. Tidak ada seorsng pun dapat menandingi Hek-i-mo dan akhirnya tidak ada lagi pendekar yang begitu bodoh untuk menyerahkan nyawa begitu saja. Karena daerah ini terlalu jauh dari kota raja, dan juga karena Hek-i-mo tidak pernah terdengar memberontak, juga tidak melakukan kejahatan dengan mencolok, bahkan tidak pernah merampok karena mereka ini tidak pernah kekurangan “penghasilan”, maka Hek-i-mo dapat bertahan sampai belasan tahun tanpa terganggu.

Di manakah letak kekuatan Hek-i-mo dan bagaimana kuatnya? Hek-i-mo dipimpin oleh seorang kakek yang kini usianya sudah sekitar enam puluh lima tahun dan selama belasan tahun ini dia hanya dikenal dengan nama julukannya, yaitu Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam) karena dia selalu memakai baju hitam-hitam dan tubuhnya yang seperti raksasa itu memang menyeramkan. Kuiit tubuhnya putih dan berbulu, karena memang dia mempunyai darah Han bercampur Kozak, ayahnya seorang Rusia Kozak dan ibunya seorang wanita Han. Wajahnya dapat dikatakan tampan dan gagah, akan tetapi sepasang matanya yang kebiruan itu amat tajam seperti mata setan, dan senyumnya selalu sinis, mengandung ejekan yang memandang rendah siapapun juga. Raksasa ini rambutnya sudah putuh semua, dan memang rambutnya itu agak keputihan, dan dalam usia lima puluh tahun, lima belas tahun yang lalu ketika dia pertama kali muncul di barat, rambutnya pun sudah putuh. Dahulu, aebelum dia dikenal sebagai Hek-i Mo-ong, namanya adalah Phang Kui, dan dia menggunakan she Phang yang menjadi she Ibunya. Hek-I Mo-ong ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Selain ilmu silatnya yang tinggi, tenaganya yang amat besar, juga dia memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang dipelajarinya dari Tibet. Ilmu sihir atau ilmu hitamnya inilah yang amat ditakuti orang, dan mula-mula memang dia selalu mempergunakan ilmu hitam ini untuk mencari pengaruh dan menundukkan orang-orang.

Phang Kui ini memang cerdik. Begitu muncul, kurang lebih delapan belas tahun yang lalu, dia tidak mau mengganggu orang baik-baik atau orang-orang pemerintah, melainkan merajalela di antara orang-orang jahat. Ditundukkannya semua perampok, bajak sungai, maling-maling dan semua orang jahat, ditundukkan semua perkumpulan yang menggerakkan tempat-tempat perjudian atau pelacuran, semua ketua mereka satu demi satu dikalahkannya. Namanya mulai dikenal dan ditakuti dan kalau orang sudah ditakuti oleh golongan sesat, tentu saja penduduk juga menjadi takut! Phang Kui menjadi “rajanya” orang jahat dan dia dijuluki Hek-i Mo-ong! Dan mulailah orang-orang jahat mendekatinya dan menyanjungnya. Namun, Phang Kui tidak mau sembarangan memilih orang. Dia akhirnya berhasil mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang dipilihnya, yang memiliki kepandaian atau bakat ilmu silat, memiliki tubuh yang kuat. Dia mengumpulkan lima puluh orang yang digemblengnya sehingga mereka menjadi pasukan yang amat kuat, karena masing-masing anggauta merupakan seorang ahli silat yang tangguh di samping mempelajari satu dua macam ilmu hitam.

Semenjak itulah, perkumpulan Hek-i-mo berdiri, beranggautakan lima puluh orang yang tangguh sekali. Kemudian, Hek-i Mo-ong mengumpulkan delapan orang murid yang terdiri dari orang-orang yang tadinya sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, di antara tokoh-tokoh hitam yang yang ditundukkannya. Mereka ini dianggap sebagai murid-murid kepala dan beberapa tahun kemudian, terkenal pulalah nama Hek-I Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) yang merupakan murid-murid dan wakil Hek-i Mo-ong. Delapan orang murid inilah yang mengurus segala urusan, juga mengepalai dan menggembleng anggauta-anggauta Hek-i-mo. Sedangkan Hek-i-mo sendiri lebih banyak mendekam di dalam sarangnya, yaitu sebuah gedung yang. cukup indah di lereng Pegunungan Ci-lian-san. Pekerjaannya hanyalah bersamadhi, makan enak, pesta-pesta, dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada delapan orang murid-muridnya, baik dalam hal ilmu silat atau ilmu hitam. Hanya kalau ada urusan-urusan penting sekali sajalah maka Hek-i Mo-ong keluar sendiri. Akan tetapi segala urusan harian yang tidak begitu penting, cukup diselesaikan oleh Hek-i Pat-mo saja.

Akan tetapi, sampai usia enam puluh lima tahun itu, Hek-i Mo-ong tidak pernah menikah, walaupun di bagian belakang gedungnya terdapat bagian luas di mana hidup belasan orang wanita muda dan cantik yang merupakan sekumpulan wanita-wanita peliharaan atau selir-salirnya! Dia, bukan seorang yang mata keranjang dan pengejar wanita, akan tetapi wanita-wanita muda cantik itu adalah “hadiah-hadiah” dari kepala perampok, pimpinan piauw-kiok dan juga pembesar! Dia tidak menolaknya dan mengumpulkan wanita-wanita muda itu, akan tetapi hanya jarang dia menggauli mereka, juga Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu tidak ada yang beristeri sungguhpun usia mereka sudah antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Hal ini bukan berarti mereka tidak mau berdekatan dengan wanita, akan tetapi mereka tidak mau terikat dengan wanita seperti guru mereka, dan wanita itu bagi mereka hanyalah alat bersenang-senang, tiada lain! Dan agaknya apabila mereka menghendaki seorang wanita cantik, maka wanita itu sudah pasti akan terjatuh oleh mereka, baik melalui ancaman, maupun ilmu silat atau ilmu sihir. Betapapun juga, suhu mereka sudah memperingatkan dengan keras para murid tidak mengganggu wanita-wanita keluarga pembesar atau keluarga golongan “sahabat-sahabat” mereka, dan hanya membatasi pada wanita-wanita dusun dan wanita-wanita gunung saja.

Malam itu adalah malam bulan purnama. Dan seperti biasa, pada malam-malam seperti itu, Hek-i Mo-ong tentu mengajak delapan orang muridnya untuk berlatih samadhi di tempat terbuka, untuk menampung sinar bulan purnama yang mempunyai hikmat mennperkuat ilmu hitam mereka. Akan tetapi, tidak seperti biasanya, malam itu merupakan malam istimewa bagi Hek-i Mo-ong karena ada urusan penting yang harus ditanganinya sendiri, yaitu dengan ditawannya tiga orang musuh yang berani datang menentang Hak-i-mo! Biarpun yang manghadapi musuh-musuh ini adalah murid-muridnya, bahkan yang menawan juga murid-muridnya, akan tetapi untuk memutuskan hukuman apa yang harus diberikan kepada mereka harus dia sendiri yang menentukan.

Malam itu bulan amat terang, tidak ada awan hitam menghalang. Cahaya bulan yang misterius memandikan permukaan bumi dan terutama sekali di tanah datar tertutup rumput di belakang rumah gedung yang menjadi sarang Hek-i-mo itu cahaya bulan nampak aneh dan mendatangkan hawa dingin yang mendirikan bulu roma. Sunyi sekali suasana di tempat itu, sebuah padang rumput yang luas di belakang gedung. Sejak tadi, para anak buah Hek-i-mo sudah berkumpul. Mereka memang disuruh berkumpul di tempat itu untuk menyaksikan “pengadilan” yang akan disidangkan untuk menjatuhkan hukuman kepada tiga orang tawanan. Karena sebagian dari mereka bertugas menjaga keamanan seperti biasa, maka yang berkumpul hanya sekitar tiga puluh orang, yang mcmbentuk lingkaran lebar sakali di lapangan rumput itu, seperti pagar manusia yang aneh karena mereka semua berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengan di belakang, tidak bergerak seolah-olah tiga puluhan orang itu telah berobah menjadi arca. Pakaian mereka yang hitam membuat keadaan mereka itu lebih menyeramkan lagi. Hanya karena sinar bulan yang terang saja mereka dapat nampak, karena di malam hari tanpa bulan, mereka tidak akan kelihatan sama sekali. Pakaian mereka, sampai sepatu mereka, semua berwarna hitam.

Kemudian di sebelah dalam lingkaran luas yang dibuat oleh tiga puluh orang itu, nampak sebuah lingkaran lain, sebuah lingkaran yang garis tengahnya kurang lebih empat lima meter, dan lingkaran itu pun merupakan lingkaran segi delapan yang dibentuk oleh delapan orang yang duduk teratur seperti Pat-kwa (Segi Delapan). Delapan orang ini berusia sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan sepasang mata yang berkilau tajam dan sikap mereka juga seperti arca, tanpa bergerak, duduk mereka bersila dan kedua lengan terletak di atas paha. Di tengah-tengah lingkaran mereka itu terdapat sebuah bantal bundar berwarna merah, dan tak jauh dari situ nampak tubuh tiga orang yang terbelenggu kaki tangannya. Delapan orang itu adalah Hek-i Pat-mo, juga mereka semua mengenakan pakaian dan sepatu hitam, hanya lengan kanan mereka memakai sebuah gelang berwarna kemerahan. Kepala mereka memakai penutup kepala kain hitam pula sehingga mereka nampak lebih menyeramkan daripada para anak buah yang tidak memakai penutup kepala, melainkan menggelung rambut mereka ke atas seperti kebiasaan pendeta tosu.

Tak lama kemudian, tiga puluh lebih anggauta Hek-i-mo yang berdiri dengan kedua kaki terpentang itu, tiba-tiba menggerakkan kaki mereka dan kini kedua kaki itu merapat dan mereka berdiri tegak, memandang ke arah belakang gedung dengan sikap seperti pasukan memberi hormat kepada komandan mereka. Juga delapan orang Hek-i Pat-mo itu memandang ke arah pintu belakang gedung yang terbuka dari dalam dan dari pintu itu muncullah seorang laki-laki tinggi besar dengan langkah tenang. Memang Ketua Hek-i-mo ini menyeramkan. Muncul di terang bulan seperti itu, pakaiannya yang serba hitam itu membuat wajahnya makin nampak putih, demikian pula rambutnya seperti benang-benang perak saja, berkilauan tertimpa cahaya bulan. Kepalanya tidak ditutupi, dan rambutnya yang panjang itu dibiarkan awut-awutan di atas kedua pundaknya. Bertemu dengan orang ini di tempat gelap yang sunyi seakan cukup membuat yang bertemu itu lari ketakutan, mengira bertemu dengan iblis.

Setelah memasuki lingkaran itu, Hek-i Mo-ong lalu duduk bersila di atas bantal bundar merah yang telah tersedia di situ, dan delapan orang muridnya mengangkat kedua tangan ke depan hidung, dengan tangan dirangkapkan seperti orang menyembah. Itulah penghormatan mereka sebagai murid kepada ketua mereka atau juga guru mereka.

Di bawah sinar bulan purnama, lingkaran itu cukup terang dan Hek-i Mo-ong memandang ke arah tiga tawanan yang terbelenggu kaki tangan mereka dan rebah miring itu. Tiga orang tawanan itu adalah tiga orang yang berpakaian ringkas seperti biasa dipakai oleh para kang-ouw. Seorang kakek berusia kurang lebih empat puluh tahun, seorang pemuda yang berusia antara dua puluh lima tahun dan seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh tahun. Mereka itu jelas tidak berdaya, sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan ada luka-luka berdarah di beberapa bagian tubuh mereka, namun sikap mereka masih gagah dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan ketika Hek-i Mo-ong muncul, mereka memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.

“Siapakah dia?” Hek-i Mo-ong bertanya sambil menuding ke arah kakek itu.

Seorang di antara murid-muridnya, yang bersila berhadapan dengannya dan yang kumisnya amat lebat menutupi mulutnya, “Namanya Cia Khun, adik dari Ciau-piauwsu dari kota Sin-ning.”

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. “Balas dendam, ya? Cia-piauwsu tewas karena berani menentang Hek-i-mo, apa anehnya dengan itu? Tidak ada penasaran karena salahnya sendiri. Dan orang seperti kalian ini, dengan kepandaian rendah, berani mencoba untuk menentang kami? Sekarang kau sudah tertawan, mau bilang apa lagi?”

“Hanya hendak mengatakan bahwa engkau adalah seorang manusia iblis terkutuk!” Kakek, yang bernama Cia Kun itu membentak.

Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. “Dan pemuda itu?” tanyanya tak acuh.

“Putera dari mendiang Cia-piauwsu.” jawab muridnya yang berkumis tebal.

“Gadis itu?”

“Puterinya.”

“Keduanya belum menikah?”

“Belum.”

“Sayang, sayang....! Nah, kalian bertiga orang-orang tiada guna ini, boleh pilih. Mati atau menebus nyawamu bertiga dengan seribu tail perak!”

“Iblis!” Kakek itu memaki. “Jangankan kami tidak punya uang sebanyak itu, andaikata punya sekali pun, tidak sudi kami memberikan kepada iblis macammu! Lebih baik kami mati!”

Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, masih hendak berlagak gagah-gagahan? Orang she Cia, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang dapat melarang?”

“Bunuhlah! Siapa takut mampus?” Kakek itu membentak dengan mata melotot, dan dua orang keponakannya hanya memandang dengan wajah agak pucat karena betapapun juga, ngeri hati mereka melihat Ketua Hek-i-mo ini. Mereka bertiga dengan nekat datang untuk membalaskan kematian Cian-piauwsu, yaitu ketua perusahaan pengawalan yang tewas di tangan Hek-i-mo. Mereka disambut oleh delapan orang murid kepala Hek-i-mo dan dalam perkelahian satu lawan satu, mereka bertiga kalah semua, luka-luka dan tertawan. Baru ilmu kepandaian muridnya saja sudah sehebat itu, apalagi kepandaian gurunya ini.

Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara ketawa sekali lagi, lalu memberi perintah kepada seorang di antara delapan muridnya untuk mengambilkan lilin-lilin dari dalam rumah. Seorang murid yang duduk di arah belakang, menyanggupi lalu meloncat bangun dengan cepat, tahu-tahu sudah lenyap dari situ dan memasuki rumah dari pintu belakang. Demikian cepat gerakan orang ini, apalagi karena pakaiannya hitam maka dia seolah-olah dapat menghilang saja, persis seperti lblis! Tak lama kemudian dia sudah datang lagi, membawa sebungkus lilin. Bungkusan dibuka dan keluarlah lilin yang cukup banyak. Hek-i Mo-ong mengambil sebatang lilin, lalu membuat gerakan aneh dan.... lilin yang sebatang itu menyala! Dia menaruh lilin di depannya, dan sungguh mengherankan, biarpun malam itu ada angin lembut bertiup, namun lilin yang bernyala itu sama sekali tidak terganggu. Nyala api lilin itu tetap anteng dan tidak bergerak.

Sambil tersenyum-senyum aneh Raja Iblis Hitam itu lalu mengepal-ngepal lilin-lilin tadi dengan kedua tangannya yang besar. Seperti terkena hawa panas, lilin-lilin itu menjadi lunak dan kakek raksasa ini lalu membentuk lilin-lilin putlh menjadi boneka-boneka, tiga buah boneka yang mirip dengan tiga orang tawanan itu. Seorang kakek, seorang pemuda dan seorang gadis! Tiga tawanan itu memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan dilakukan manusia Iblis itu. Membuat boneka? Sudah gila agaknya orang itu, seperti anak kecil saja, membuat boneka di saat menyeramkan seperti itu. Akan tetapi delapan orang muridnya hanya memandang penuh perhatian, seperti murid-murid yang sedang mempelajari sesuatu, sedangkan barisan anggauta Hek-i-mo yang kini sudah ikut duduk bersila, tetap dalam keadaan mengepung atau membuat lingkaran, memandang dengan takjub dan penuh hormat, sedikit pun tidak berbuat sesuatu atau mengeluarkan suara, bahkan hampir tidak berani bergerak.

Setelah selesai membuat boneka-boneka itu, Hek-i Mo-ong lalu mendirikan tiga buah boneka dari lilin putih itu di depannya sambil menyeringai girang. Tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya ke arah para tawanan. Angin dahsyat menyambar dari tangannya, membuat rambut kepala tiga orang tawanan itu berkibar dan.... beberapa helai rambut mereka itu beterbangan ke arah kakek yang luar biasa ini. Hek-i Mo-ong telah mengambil masing-masing tiga helai rambut dari kepala tiga orang tawanan secara luar biasa sekali! Dan tiga helai rambut itu lalu dia pasangkan pada kepala boneka masing-masing. Sungguh aneh sekali semua ini, dan tiga orang tawanan itu mulai merasa serem karena mereka sudah mendengar bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli ilmu hitam seperti iblis sendiri.

Setelah tersenyum-senyum melihat hasil karyanya, kakek itu lalu memandang lagi ke arah tiga orang tawanannya. “Lepaskan belenggu mereka!” perintahnya.

“Tapi, Suhu, mereka itu sudah nekat, tentu akan mengamuk dan merepotkan!” kata Si Kumis Tebal.

“Ha-ha-ha, tidak. Mereka tidak akan mampu bergerak sebelum kuperintah!” jawab kakek ini, lalu dia menggunakan jari telunjuk untuk menotok kepada tiga buah boneka itu dan benar saja, ketiga orang tawanan itu dibebaskan dari belenggu, mereka tidak mampu menggerakkan kaki tangan, biarpun mereka tidak merasakan nyeri dan sebenarnya jalan darah mereka berjalan normal. Mereka masih rebah dan hanya memandang kepada boneka-boneka di depan kakek yang menyeramkan itu.

“Ha-ha-ha, murid-muridku, kalian lihatlah baik-baik. Biarpun aku bukan seorang ahli pembuat boneka, akan tetapi kalian dapat melihat dengan jelas bahwa tiga buah boneka ini adalah mereka bertiga, bukan? Kekurang-sempurnaan pembuatan boneka ini disempurnakan dengan pemasangan rambut aseli mereka di kepala boneka masing-masing, inilah yang dinamakan ilmu Memindahkan Semangat Dalam Boneka. Kalian sudah kuajari caranya dan manteranya. Nah, dengarlah baik-baik, dan lihatiah.” Kakek itu lalu mengembangkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan gemetar ke atas boneka-boneka itu, makin lama kedua tangannya gemetar makin hebat dan mulutnya mengucapkan mantera-mantera dalam bahasa Tibet kuno. Delapan orang muridnya, Hek-i Pat-mo, memandang dengan penuh perhatian, dengan mata yang hampir tidak pernah berkedip.

Dan terjadilah keanehan yang menyeramkan. Tiga buah boneka yang rebah telentang di depan kakek itu mulai bergerak-gerak! Mula-mula hanya tiga helai rambut di kepala boneka-boneka itu yang bergerak-gerak seperti tertiup angin, dan agaknya gerakan rambut ini menjalar ke dalam boneka-boneka itu dan mulailah boneka-boneka itu bergerak-gerak seperti kemasukan roh. Dan tiga orang tawanan tu, kini tidak terbelenggu lagi, ikut pula bergerak-gerak dan gerakan tubuh mereka persis dengan gerakan boneka-boneta itu, atau mungkin sebaliknya, yaitu bagaimanapun mereka bergerak, bonekaboneka itu ikut pula bergerak.

“Lihat baik-baik, muridku, lihat baik-baik. Selama ini, ilmu yang kalian pelajari hanya teorinya saja, dan kita sekarang memperoleh kesempatan untuk mempraktekkannya dengan tawanan-tawanan bandel ini. Nah, aku mulai dengan laki-laki yang tua itu.” Dia mengambil sebuah di antara boneka-boneka itu, memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya lalu mengeluarkan sebatang jarum. Kembali dia mengucapkan mantera, dan tiba-tiba dia memasukkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan boneka.Terdengar suara mengaduh dari kakek tawanan dan kakek itu menggunakan tangan kanan untuk memegangi tangan kirinya yang tiba-tiba saja sudah berdarah, seperti juga tangan boneka tertusuk jarum itu yang mengeluarkan sedikit darah. Hek-i Mo-ong terkekeh senang sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri ketika dia melihat darah, seperti seekor harimau kelaparan mencium bau darah. Dia menancapkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan kanan boneka dan kembali kakek itu mengeluh dan telapak tangan kanannya mengucurkan darah seperti baru saja ditusuk pedang yang amat runcing dan tajam. Kedua tangannya kini telah terluka berdarah, akan tetapi biarpun begitu, dia masih memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan sepasang mata terbelalak penuh kebencian.

Hek-i Mo-ong bukan tidak tahu akan kekerasan hati tawanannya, dan agaknya hal ini menambah keganasannya. Dia menusukkan jarum itu bertubi-tubi ke semua bagian tubuh mereka. Mula-mula ke arah kedua kakinya, kemudian lengannya, kedua pipinya, pundaknya. Mula-mula ke bagian tubuh yang tidak mematikan dan seluruh tubuh kakek itu mengeluarkan darah? Di bagian tubuh boneka yang tertusuk nampak bintik-bintik darah, akan tetapi di tubuh kakek itu darah mulai bercucuran membasahi seluruh pakaianya. Akan tetapi kakek itu tidak mengeluh lagi, bahkan lalu mengatupkan bibirnya menahan semua rasa nyeri. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan melihat betapa kakek itu berkelojotan tanpa mengeluarkan suara, dan pandang matanya masih ditujukan kepada penyiksanya dengan penuh kebencian. Ada keinginan hatinya untuk nekat dan menyerang kakek iblis itu, akan tetapi setiap kali dia hendak menggerakkan kaki tangannya, dia terguling lagi dan karena kini seluruh tubuhnya penuh luka-luka dan darahnya banyak yang terbuang, maka dia menjadi semakin lemas dan akhirnya hanya rebah dan menanti datangnya maut saja.

Hek-i Mo-ong agaknya sudah merasa bosan menyiksa lawannya, maka kini dia menusukkan jarumnya ke dada boneka sampai tembus. Kakek tawanan mengeluarkan jerit tertahan satu kali, tubuhnya berkelojotan dan dari dada dan punggungnya mengucur darah, tidak banyak lagi dan tubuhnya pun terkulai lemas dan tak bernyawa lagi. Sejak tadi, dua orang keponakannya hanya dapat menonton dengan mata terbelalak penuh kengerian dan jantung berdebar tegang. Mereka berdua pun tidak mampu menggerakkan kaki tangan, seolah-olah ada tali yang tidak nampak masih membelenggu mereka. Kini, melihat paman mereka itu sudah tidak bergerak lagi, mereka merasa sedih dan marah sekali, akan tetapi bercampur juga dengan perasaan lega karena paman mereka itu tidak akan menderita lagi. Maka mereka lalu menujukan pandang mata mereka kepada Hek-i Mo-ong dengan penuh kebencian, sedikit pun mereka tidak merasa takut walaupun mereka berdua maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan kakek iblis ini.

“Ha-ha-ha, kalian yang masih muda-muda, apakah tidak sayang akan hidup kalian? Sediakan seribu tail perak dan aku akan membebaskan kalian dari kematian.” Hek-i Mo-ong masih mencoba untuk membujuk dua orang muda itu. Baginya, tentu saja uang sebanyak itu jauh lebih penting daripada nyawa dua orang yang tidak ada artinya itu.

Akan tetapi, dua orang muda itu sudah marah sekali. Selain mereka tidak mempunyai uang sebanyak itu, juga mereka tidak sudi takluk terhadap kakek iblis itu.

“Hek-i Mo-ong iblis tua bangka, siapa takut akan ancamanmu?” Pemuda itu berteriak marah dan berusaha untuk memperoleh kembali tenaganya agar dia dapat mengamuk dan menyerang kakek itu. Akan tetapi usahanya sia-sia saja karena setiap kali kaki dan tangannya dapat bergerak, segera ada tenaga lain yang membuatnya lumpuh kembali.

“Bagus, kau mau main gagah-gagahan? Nah, rasakanlah ini!” Kakek itu lalu menggunakan jarumnya yang telah menewaskan kakek tawanan tadi, untuk menusuk-nusuk kepala boneka pemuda itu, tusukannya tidak terlalu dalam akan tetapi cukup untuk mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa pada pemuda itu. Tiba-tiba saja pemuda itu dapat bergerak, mencengkeram dengan kedua tangannya kepada kepalanya, menjambak-jambak rambutnya karena dia merasakan kenyerian yang tak tertahankan lagi. Dan dari balik rambut-rambut kepalanya itu mulai bercucuran darah yang menetes-netes di leher dan mukanya. Mengerikan sekali. Hek-i Mo-ong adalah seorang ahli totok, maka tusukan-tusukannya ditujukan kepada jalan-jalan darah dan kini pemuda itu menggunakan sepuluh jari tangannya mencakar sana-sini, seluruh tubuhnya yang terasa sakit-sakit. dan gatal-gatal, bergulingan dan mengeluarkan suara seperti gerengan seekor binatang buas. Seluruh tubuhnya kini mengeluarkan darah seperti halnya pamannya tadi, akan tetapi dia lebih tersiksa daripada pamannya. Kemudian sambil tertawa bergelak Hek-i Mo-ong lalu memegang kedua kaki boneka yang sudah berbintik-bintik merah, dan menaruh boneka itu di atas api lilin yang bernyala di depannya.

Terdengar jeritan melengking yang amat mengerikan keluar dari mulut pemuda itu dan.... semua mata, terutama mata gadis itu, memandang terbelalak kepada tubuh pemuda itu. Kini tubuh pemuda itu, terutama di bagian mukanya, mulai berkeriput, mengering seperti terkena api, dan makin lama jeritannya makin lemah dan tubuhnya mulai meleleh, seperti lilin dibakar, berbareng dengan melelehnya boneka lilin yang terkena api itu. Bau sangit menusuk hidung. Bukan hanya gadis itu yang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan peristiwa ini, bahkan para anggauta Hek-i-mo juga memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka itu ketakutan, membayangkan betapa akan mengerikan kalau sampai mereka terhukum oleh ketua mereka seperti itu. Hanya wajah Hek-I Pat-mo sajalah yang tidak berobah, bahkan sinar mata mereka berapi dan penuh kegembiraan dengan demonstrasi kekuatan ilmu hitam yang mengerikan itu. Akhirnya Hek-i Mo-ong melemparkan sisa boneka pemuda yang telah terbakar itu, dan di situ nampak bekas tubuh pemuda itu yang telah menjadi seonggok daging terbakar yang mengeluarkan bau keras.

“He-he-he-he, bagaimana, Nona? Apakah engkau masih hendak berkeras kepala? Kalau engkau mau berusaha mengeluarkan uang tebusan itu, mungkin engkau akan dapat hidup!”

“Siluman keparat! Untuk apa aku hidup lagi setelah engkau membunuh Paman dan Kakakku sekejam itu? Kaukira aku takut melihat siksaan itu? Siksalah aku, bunuhlah, akan tetapi jangan harap aku akan tunduk kepadamu, Iblis berwajah manusia!”

Kakek itu tidak marah, hanya terkekeh. “Murid-muridku, lihat baik-baik, boneka-boneka yang telah mengandung satu semangat dengan orang-orangnya itu bukan hanya dapat dipergunakan untuk mempengaruhi tubuh mereka, melainkan juga piklran mereka. Lihatlah, aku akan membikin percobaan dengan gadis ini.”

Mendengar ini, gadis itu dengan mata terbelalak memandang ke arah boneka lilin yang memakai sehelai rambutnya itu, mukanya pucat dan jelas ada kengerian hebat di dalam pandang matanya, namun ia tetap tidak sudi untuk menaluk. Kakek itu mengambil guci arak yang terletak di sampingnya, kemudian menempelkan guci ke bibirnya dan dituangkan sedikit arak ke dalam mulutnya. Dia memejamkan mata sebentar, lalu disemburkan arak itu ke arah boneka yang dipegangnya, dan dengan sepasang mata yang tajam seperti mata setan itu dia menatap ke arah wajah boneka, mulutnya berkemak-kemik. Dan nampaklah boneka itu mengeluarkan uap tipis! Berbareng dengan itu, terdengar keluhan dari mulut gadis itu. Hek-i Pat-mo memandang kepada gadis itu untuk menyaksikan akibat dari ilmu hitam guru mereka.

Gadis itu mengeluh perlahan, kedua matanya terpejam, kemudian ia mengerang dan kedua tangannyaa bergerak, mula-mula ke arah dadanya, lalu ke arah kepalanya dan tubuhnya mulai bergulingan, mulutnya terengah-engah dan sikapnya seperti orang kepanasan. Makin lama, rintihannya makin sering dan keras, dan bangkitlah ia, matanya masih terpejam dan kini, seperti orang kegerahan yang berada di dalam kamar seorang diri, gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu sampai tidak ada lagi yang menutupitubuhnya. la lalu bangkit berdiri, meliuk-liukkan tubuhnya seperti orang masih kegerahan, lalu membuka matanya. Bukan lagi mata yang bersinar keras hati dan penuh kebencian dari gadis tadi, melainkan sepasang mata yang penuh gairah! Dan, seperti tertarik oleh besi semberani, gadis yang bertelanjang bulat itu menghampiri Hek-i Mo-ong, lalu menjatuhkan diri berlutut dan dengan erangan-erangan dan belaian kedua tangan, mulailah ia membelai dan merayu Hek-i Mo-ong! Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi gila, atau seorang yang kehausan karena nafsu berahi.

“Ha-ha-ha!” Hek-i Mo-ong mendorongnya sampai terjengkang, kemudian kakek itu menggunakan tangan kiri mengambil beberapa ekor semut-semut merah yang berada di situ, memijit sedikit semut-semut itu dan ditempelkannya semut-semut yang kesakitan itu pada boneka lilin. Semut-semut yang kesakitan itu tentu saja lalu menggigit tubuh boneka itu dan gadis itu menjerit-jerit lirih, tubuhnya terasa gatal-gatal dan sakit dan ia menggaruk sana-sini dan tentu saja tubuhnya yang telanjang bulat itu menggeliat-geliat, berkelojotan. Melihat ini, kalau Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja dengan dingin, delapan muridnya sudah memandang dengan mata melotot dan mulut berliur, mereka mulai terserang gairah nafsu menggelora. Melihat keadaan murid-muridnya ini, Hek-i Mo-ong malah tertawa.

“Heh-heh-heh, kalau kalian mau, bawalah ia. Akan tetapi sesudahnya, ia harus mati agar kelak tidak mendatangkan marabahaya bagi kita.”

Seperti delapan ekor serigala dilepas dari kurungan, delapan orang murid kepala itu nampak gembira sekali. Seorang di antara mereka, yang merupakan murid tertua atau pimpinan dari Hek-i Pat-mo, lalu meloncat dan menyambar tubuh telanjang gadis itu, dipanggulnya dan setelah menjura kepada Hek-i Mo-ong, dia lalu meloncat pergi diikuti oleh tujuh orang adik-adik seperguruannya. Terdengar suara ketawa mereka, biarpun bayangan mereka sudah tidak nampak lagi dan pandang mata para anggauta Hek-i-mo mengikuti bayangan mereka tadi dengan pandang mata penuh iri! Akan tetapi, ketua mereka lalu menyuruh mereka membersihkan tempat itu dan menyingkirkan dua mayat itu. Kemudian, dengan langkah gontai seolah-olah sedang berjalan-jalan dan tidak pernah terjadi sesuatu, Hek-i Mo-ong meninggalkan tempat itu untuk kembali ke gedungnya. Dia sudah menghukum tiga orang musuh yang berani melawannya, juga telah mendemonstrasikan kepandaian ilmu hitamnya, pertama untuk melatih dan memberi petunjuk kepada Hek-i Pat-mo, kedua untuk membuat para anggautanya semakin tunduk dan takut. Dia tahu bahwa gadis itu tentu akan tewas karena tidak mungkin dapat bertahan hidup setelah dikuasai oleh delapan orang murid kepala yang telah dikuasai oleh nafsu berahi yang menggelora itu. Dan dia tersenyum. Sekali-kali perlu juga semangat delapan orang muridnya itu dibangkitkan agar gairah hidupnya makin besar dan kesetiannya kepadanya semakin menebal.

Demikianlah keadaan Hek-i-mo yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong Phang Kui. Kakek ini bukan hanya lihai sekali ilmu sihirnya yang berdasarkan ilmu hitam, akan tetapi kabarnya juga amat lihai ilmu silatnya. Bahkan Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itupun hampir tidak pernah menemui tandingan. Entah sudah berapa puluh atau ratus kali kaum pendekar atau mereka yang memiliki ilmu silat dan mencoba untuk menentang Hek-i-mo, harus mengalami kekalahan terhadap delapan orang murid kepala ini. Sebagian besar di antara para pendekar yang berani menentang mereka, mengalami kematian menyedihkan, dan hanya sedikit yang dapat lolos dengan menderita luka yang cukup hebat.

Pada suatu malam bulan purnama yang sunyi. Angkasa bersih sekali sehingga nampak bulan purnama sepenuhnya, besar bulat dan terang tidak dihalangi sedikit pun awan tipis sehingga bulan nampak anteng tidak pernah bergerak dengan latar belakang langit yang hitam pekat di mana nampak bintang-bintang yang sinarnya menjadi lemah dan layu oleh sinar bulan. Tidak ada angin bersilir di padang rumput itu. Hek-i Mo-ong duduk di atas setumpukan tengkorak manusia yang disusun menjadi tumpukan piramida yang menuding ke atas. Hek-i Mo-ong duduk di puncak tumpukan itu, di atas tengkorak paling atas. Sungguh mengherankan betapa dia dapat duduk bersila di atas sebuah tengkorak saja dan tumpukan itu tidak sampai runtuh didudukinya. Untuk dapat meloncat dan duduk tak bergerak di atas tumpukan tengkorak seperti itu membutuhkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.

Di sekeliling kakek ini, di atas tumpukan tengkorak-tengkorak lain, akan tetapi tumpukan ini jauh lebih kecil dan rendah, duduklah Hek-i Pat-mo, bersila seperti suhu mereka pula, dan mereka itu duduk mengelilingi suhu mereka dalam bentuk segi delapan. Kiranya Hek-i Mo-ong Phang Kui sedang melatih diri bersama murid-muridnya, untuk bersamadhi dan menerima dan mengumpulkan kekuatan yang terkandung dalam sinar bulan purnama untuk memperkuat kekuatan sihir mereka! Kalau mereka sedang berlatih seperti ini, tidak ada seorang pun anggauta Hek-i-mo yang boleh mendekat. Mereka itu hanya diwajibkan untuk menjaga di luar pekarangan itu. Dan kalau mereka sedang berlatih seperti itu, suasananya menjadi amat menyeramkan, seolah-olah di sekitar daerah itu terasa adanya hawa yang penuh dengan kekuatan hitam yang mengerikan. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak seolah-olah alam berhenti dan mati. Yang menguasai alam di tempat itu adalah kesunyian yang tidak wajar.

Akan tetapi, kalau Hek-i Pat-mo bersila dengan tekun dan tenggelam dalam keheningan samadhi yang mereka buat, sebaliknya Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Tingkat kepandaian delapan orang muridnya itu belum mencapai tingkat setinggi yang dimilikinya sehingga kalau dia dapat merasakan datangnya getaran yang tidak wajar, murid-muridnya itu tidak mengetahuinya. Hek-i Mo-ong sudah sejak tadi sadar dari samadhinya dan dia memandang lurus ke depan, tidak bergerak-gerak karena dia sedang memperhatikan sekitar tempat itu, bukan dengan matanya melainkan dengan telinga dan perasaannya yang amat peka di saat itu. Dia tahu bahwa ada dua orang datang mendekati tempat itu, dua orang yang dia tahu bukan orang sembarangan karena getarannya terasa amat kuatnya oleh kepekaannya. Dia tahu bahwa dua orang yang dapat tiba di tempat itu, menembus penjagaan para anggauta Hek-i-mo tanpa diketahui sama sekali, tentulah orang-orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika tiba-tiba muncul dua bayangan orang yang memang telah diduganya, karena tidak seperti yang disangkanya, dua orang yang muncul itu bukanlah orang-orang tua yang sepatutnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, melainkan dua orang muda, yaitu seorang pemuda dan seorang gadis remaja! Dia terkejut dan mengerahkan kekuatannya untuk menambah peka perasaannya, akan tetapi perasaannya itu tidak membohonginya. Getaran yang amat hebat itu memang datang dari dua orang muda yang telah berada di tempat itu!

Hek-i Mo-ong masih diam saja. Dia ingin melihat apa yang hendak dilakukan oleh dua orang muda itu. Yang dia herankan adalah betapa delapan orang murid kepala yang masih bersamadhi itu sama sekali belum juga sadar. Hal ini saja sudah menjadi tanda betapa lihainya dua orang muda ini, gerakannya sedemikian ringannya, jejak kaki mereka tidak mengeluarkan sedikit pun bunyi sehingga delapan orang muridnya yang amat lihai itupun tidak dapat mendengar atau mengetahui apa-apa. Tanpa menoleh, hanya mengikuti mereka dengan pendengarannya, Hek-i Mo-ong diam saja dan terus memperhatikan. Dua orang itu nampak saling pandang, lalu keduanya mengangguk dan tiba-tiba saja mereka berdua melakukan gerakan meloncat tinggi, melampaui delapan orang yang duduk mengelilingi guru mereka dalam bentuk segi delapan itu dan ketika mereka berdua turun, di depan Hek-i Mo-ong, hanya dalam jarak empat meter, kaki mereka sama sekali tidak mengeluarkan suara! Dan bahkan setelah kedua orang itu berada di dalam lingkaran delapan orang Hek-i Pat-mo itu, tetap saja Hek-i Pat-mo belum juga sadar! Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong menjadi marah kepada delapan muridnya. Dia mengerahkan tenaga dan dengan tenaga batinnya dia membentak murid-muridnya itu yang tersentak kaget dan sadar dari samadhi mereka. Tentu saja mereka terbelalak memandang kepada pemuda dan gadis yang telah berdiri di situ, di dalam lingkaran mereka. Sungguh hal ini amat mengejutkan hati mereka. Sejak kapan dua orang itu memasuki lingkaran mereka tanpa mereka ketahui? Tentu guru mereka yang melakukan ini, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba saja mereka itu mendengar bisikan suara guru mereka di dekat telinga masing-masing.

“Mereka adalah lawan-lawan lihai, hadapi mereka dengan kekuatan sihir untuk mencoba mereka!”

Barulah delapan orang itu terkejut bukan main. Maka mereka segera mengerahkan kekuatan batin, mereka dan sekali mereka mengerahkan tenaga, tubuh mereka sudah melayang turun dan mereka sudah berdiri mengepung dua orang muda itu dengan kedudukan segi delapan.Akan tetapi mereka tidak turun tangan menyerang, melainkan bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera. Pemuda dan gadis itu memandang mereka dengan penuh kewaspadaan. Akan tetapi, alangkah kaget hati gadis remaja itu melihat betapa delapan orang yang mengepung itu, tiba-tiba saja mengeluarkan uap hitam dan tubuh mereka segera diselubungi uap hitam yang tentu saja membuat tubuh mereka hilang dan tidak nampak. Di dalam malam bulan purnama ini, peristiwa itu amat menyeramkan, seolah-olah delapan orang itu sedang menghilang atau berubah menjadi asap hitam, seperti yang terjadi pada setan-setan di dalam dongeng kuno.

DUA orang muda itu adalah Kam Hong dan Ci Sian. Seperti kita ketahui, mereka memang pergi ke barat mencari Hek-i-mo, musuh besar Ci Sian yang merasa sakit hati karena ibunya telah meninggal akibat penyerbuannya kepada Hek-i-mo dan terluka oleh gerombolan iblis itu. Dan di sepanjang perjalanan, dengan amat tekunnya Ci Sian melatih diri dengan ilmu yang mereka dapatkan dari catatan pada mayat Pangeran Cu Keng Ong itu. Selain Ci Sian memang berbakat, juga Kam Hong mengajar dan membimbingnya dengan penuh kesungguhan hati, sehingga Ci Sian yang memang telah memiliki dasar dan bakat yang amat baik itu mulai dapat menguasai ilmu silat dan ilmu meniup suling berdasarkan pelajaran rahasia itu. Untuk keperluan ini, Kam Hong telah menyuruh buat sebuah suling yang bentuknya sama benar dengan suling emas di tangannya, juga suling ini terbuat daripada emas, dibuat oleh seorang tukang pandai emas yang berpengalaman. Hanya bentuk suling itu lebih kecil, untuk disesuaikan dengan tenaga Ci Sian karena suling emas itu amat berat, lebih berat daripada pedang pusaka. Ketika malam itu mereka mendatangi sarang Hek-i-mo, kebetulan sekali mereka melihat kakek iblis itu bersama delapan orang murid kepala sedang berlatih ilmu hitam, maka dengan hati-hati sekali Kam Hong mengajak Ci Sian untuk menemui kakek itu.

Kini, melihat Ci Sian agak gentar menghadapi ilmu hitam dari delapan orang Hek-i Pat-mo, Kam Hong segera mengerahkan khikangnya dan tanpa mengeluarkan suara, dia telah mengirim suaranya kepada Ci Sian.

“Sumoi, jangan takut. itu hanya ilmu hitam, hadapi dengan tiupan sulingmu.”

Mendengar bisikan suara suhengnya ini, ketabahan hati Ci Sian timbul kembali. Ia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya, dengan tenang ia menempelkan bibirnya yang merah tipis itu ke lubang suling, jari-jari kedua tangannya siap di lubang-lubang suling dan begitu ia meniup, terdengar suara lembut. Suara ini bukan seperti suara suling, melainkan seperti suara desir angin semilir yang menggerakkan daun-daun pohon dan menghidupkan suasana yang mati dan menyeramkan. Akan tetapi, suara lembut seperti desir angin ini mengandung kekuatan yang amat dahsyat, yang mengejutkan hati Pat-mo (Delapan Iblis) itu dan membuyarkan kekuatan slhir mereka sehingga uap hitam yang menyelubungi tubuh mereka pun perlahan-lahan lenyap seperti asap yang tertiup angin! Nampaklah kembali tubuh mereka yang masih berdiri dan bersedakap itu. Mereka merasa marah sekali, akan tetapi juga penasaran. Bagaimana seorang dara remaja dengan suara sulingnya mampu memecahkan pengaruh kekuatan sihir mereka? Mereka sudah siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu, akan tetapi terdengar suara Hek-i Mo-ong yang terdengar penuh kekuatan khikang sehingga menggetarkan tempat itu.

“Pat-mo, mundur!”

Delapan orang murid kepala itu lalu membuat gerakan mundur secara otomatis, akan tetapi tetap mereka itu membentuk lingkaran segi delapan, hanya kini di luar atau di belakang guru mereka.

“Siapakah dua orang muda yang datang mengganggu kami?” Pertanyaan Hek-i Mo-ong ini terdengar manis, bahkan bersahabat. Akan tetapi Kam Hong yang sudah mendengar banyak tentang raja iblis ini, telah menasihati sumoinya dan mereka berdua sudah berhati-hati dan waspada, mengerahkan tenaga batin mereka untuk menolak semua pengaruh. Kam Hong membiarkan sumoinya yang menghadapi musuhnya, maka dia pun diam saja mendengar pertanyaan itu, memberi kebebasan kepada Ci Sian untuk menghadapi baik dalam percakapan maupun dalam pertempuran. Dia hanya akan membantu kalau memang sumoinya perlu dibantu saja. Ci Sian maklum akan hal ini, maka mendengar pertanyaan itu ia pun lalu melangkah maju.

“Apakah kami berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, ketua dari gerombolan Hek-i-mo?” Suaranya lantang dan bening, tanda bahwa sedikit pun ia tidak merasa gentar menghadapi orang-orang yang menyeramkan itu.

Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. Dia sudah sering menyaksikan sikap para pendekar muda yang datang dengan nyali besar, penuh keberanian namun yang pada akhirnya hanya akan menemui kematian atau kalau mujur, dapat meloloskan diri dengan membawa lari luka-lukanya. Dia tidak marah oleh sikap yang berani itu, malah merasa gembira, seperti seekor kucing yang melihat lagak seekor tikus muda yang penuh keberanian.

“Heh-heh-heh, engkau benar, Nona. Aku adalah Hek-i Mo-ong, dan mereka delapan orang ini adalah murid-murid dan wakilku yang disebut Hek-i Pat-mo.”

“Bagus!” Ci Sian berseru girang.

“Akhirnya aku dapat juga berhadapan dengan iblis-iblis jahat yang telah menumpuk dosa. Hek-i Mo-ong, malam ini tibalah saatnya engkau dan murid-muridmu menebus dosa-dosa kalian yang bertumpuk-tumpuk. Bersiaplah engkau untuk mampus!”

“Aih-heh-heh-heh-heh, sabar dulu, Nona. Kalau mata tuaku tidak menipuku, aku selama hidup belum pernah bertemu denganmu, jadi tidak ada urusan antara kita. Mengapa engkau datang dengan hati mengandung permusuhan? Siapakah engkau?”

“Hek-i Mo-ong, ingatkah engkau akan nama Sim Loan Ci?”

Kakek itu masih tersenyum lebar, dan alisnya berkerut. “Hemm, seolah-olah nama itu tidak asing bagiku.... ya, tidak asing sama sekali, tentu pernah aku mendengarnya, akan tetapi aku sudah lupa lagi di mapa.... Sim Loan Ci? Siapa itu?”

“Belasan tahun yang lalu, Sim Loan Ci pernah datang ke sini, bersama suaminya yang bernama Bu Seng Kin....“

“Oohhh.... ah, tentu saja! Bu-taihiap....! Ha-ha-ha, Bu-taihiap yang terkenal di seluruh dunia itu, hanya untuk mengaku kalah olehku! Ha-ha-ha, Bu-taihiap yang mata keranjang dan lihai, juga isterinya yang lihai. Akan tetapi, mereka itu bukan tandinganku! Hem, Nona, aku memang mengenal mereka, dan apa hubunganmu dengan mereka? Apa hubungannya kedatanganmu malam ini dengan mereka?”

“Engkau telah melukai mereka!”

“Ha-ha-ha, anehkah itu? Dalam setiap perkelahian, tentu akan ada yang luka atau mati. Aku sudah lupa lagi. Terlalu banyak orang yang kulukai atau kubunuh, akan tetapi yang aku ingat hanya bahwa mereka itu bukan tandinganku. Mungkin saja aku telah melukai mereka. Habis, kenapa?”

“Ibuku, Sim Loan Ci, tewas karena luka-luka itu! Sekarang aku, puterinya, datang untuk membalas dendam atas kematian Ibuku itu!”

“Ha-ha-ha, jadi engkau ini puteri mereka? Wah, pantas! Puteri Bu-taihiap, tentu saja pandai dan perkasa. Sayangnya, Bu-taihiap itu terlalu sembrono, membiarkan puterinya datang ke sini untuk mengantar nyawa saja. Kenapa tidak dia sendiri yang datang ke sini? Aku lebih senang kalau dia datang sendiri ke sini sehingga aku akan menghadapi lawan yang seimbang!”

Ci Sian merasa dipandang rendah dan ia pun membentak, “Tua bangka sombong! Kaukira akan dapat bebas dari tanganku?” Gadis ini sudah memasang kuda-kuda, tangannya yang kiri miring di depan dada sedangkan sulingnya di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala, menuding ke langit. Itu adalah kuda-kuda yang merupakan jurus pembukaan, bernama Suling Emas Menghadap Langit. Melihat ini, Hek-i Mo-ong tertawa dan memberi isarat dengan tangannya kepada Hek-i Pat-mo.

Bagaikan iblis-lblis saja, delapan orang itu bergerak dan tahu-tahu mereka telah menggerakkan kaki mereka, bukan berloncatan, melainkan menggeser kaki ke depan membuat langkah aneh, “sett-sett sett....!”“Sumoi, biar aku saja yang menghadapi Pat-mo ini, engkau bersiap saja menghadapi musuh besarmu!” tiba-tiba Kam Hong berseru. Pemuda ini melihat bahwa biarpun tentu saja para murid ini tidak selihai gurunya, namun dia dapat menduga bahwa mereka ini terlatih untuk menjadi satu barisan. Dan satu barisan yang terdiri dari delapan orang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebuah tin (barisan) dari delapan orang biasanya mempunyai bentuk segi pat-kwa (segi delapan) dan pat-kwa-tin (barisan segi delapan) terkenal mempunyai perubahan-perubahan yang amat aneh dan hebat. Seorang dara seperti Ci Sian yang belum banyak pengalamannya dalam hal bertanding melawan orang-orang pandai, sungguh berbahaya kalau dibiarkan menghadapi pat-kwa-tin sendirian saja. Pula, fihak lawan memakai siasat untuk melelahkan lawan, yaitu mula-mula disuruh maju delapan murid itu, baru kemudian andaikata delapan murid itu kalah, Si Guru yang akan maju. Kalau Ci Sian dibiarkan maju menghadapi pat-kwa-tin, andaikata ia dapat menang sekalipun, tentu sudah lelah dan kurang kuat untuk berhadapan dengan musuh besarnya. Inilah sebabnya, Kam Hong maju menggantikan sumoinya menghadapi Hek-i Pat-mo. Nanti kalau Mo-ong maju, biarlah Ci Sian menghadapinya satu lawan satu sehingga lebih mudah baginya untuk menjaga dan membantu apabila sumoinya kalah kuat.

Hek-i Mo-ong terheran mendengar seruan pemuda itu, akan tetapi juga girang. Ketika dua orang muda tadi muncul, yang dia khawatirkan adalah Si Pemuda. Dari sikapnya yang pendiam, dari sinar matanya, dia dapat menduga bahwa pemuda itulah yang harus diawasinya dan yang agaknya akan menjadi lawan tangguh. Kini, menghadapi delapan orang muridnya, malah pemuda itu yang hendak maju dan agaknya pemuda itu akan membiarkan sumoinya nanti melawannya. Biarlah, pikirnya lega, biar murid-muridnya lebih dulu menguji Si Pemuda yang dia khawatirkan sebagai lawan tangguh, dan andaikata muridmuridnya kalah, suatu hal yang tidak mungkin, sama sekali, tentu pemuda itu sudah terlalu lelah sehingga lebih ringan baginya untuk merobohkan mereka berdua.

Juga Ci Sian merasa heran mengapa suhengnya hendak melawan delapan orang murid iblis itu. Akan tetapi baginya, Kam Hong bukan hanya seorang suheng atau seorang sahabat dalam perjalanan, melainkan juga seorang guru. Oleh karena itu, semua saran Kam Hong tentu takkan dibantahnya dan mendengar ucapan suhengnya itu, ia pun sudah melompat ke belakang, berdiri tegak dengan suling siap di tangan kanan.

Sementara itu, Kam Hong sudah meloncat ke tengah lingkaran Pat-mo, sengaja membiarkan diri dikurung sebelum mereka bergerak mengurung. Dengan demikian, dia dapat berdiri tegak sambil memperhatikan semua perubahan yang mereka buat ketika mereka mulai memperketat kurungan. Diam-diam dia memperhatikan dan, dari langkah-langkah kaki mereka, dia maklum bahwa delapan orang ini bukanlah ahli-ahli ginkang yang terlalu pandai sehingga dia tidak usah mengkhawatirkan tentang kecepatan mereka. Akan tetapi, setiap langkah kaki, atau setiap geseran kaki, nampak demikian mantap dan kuat, maka dia dapat menduga bahwa mereka semua rata-rata memiliki kekuatan sin-kang yang tidak boleh dipandang ringan. Dan dia melihat mereka itu tidak bersenjata, juga tidak menyembunyikan senjata tajam di balik jubah hitam mereka. Akan tetapi, Kam Hong sama sekali tidak berani memandang rendah kepada fihak lawan. Orang-orang yang tidak mempergunakan senjata dalam perkelahian, itu hanya berarti bahwa orang itu telah memiliki tingkat kepandaian yang sedemikian tingginya seringga dia tidak membutuhkan senjata untuk membantunya, dan kaki tangannya yang penuh dengan tenaga sakti itu merupakan senjata-senjata yang cukup ampuh dan mematikan.

Setelah delapan orang Hek-i Pat-mo itu bergerak-gerak memutari Kam Hong, kadang-kadang berputar ke kiri lalu tiba-tiba berbalik ke kanan, jarak waktu perubahannya menurut hitungan-hitungan tertentu, sesuai dengan i1mu barisan mereka ciptaan Hek-i Mo-ong, pemuda ini memperhatikan dengan sudut matanya dan kekuatan telinganya. Tapi, beberapa menit kemudian, terkejutlah pemuda ini karena dia merasa semangatnya terbetot dan hampir saja kakinya ikut bergerak. Ada kekuatan mujijat yang membetot dan menariknya untuk mengikuti gerakan mereka, seperti orang-orang yang melihat penari-penari yang lemah gemulai menggerak-gerakkan tubuh lalu timbul keinginan untuk ikut menari. Cepat dia yang selalu waspada itu maklum bahwa dalam gerakan-gerakan itu terkandung kekuatan ilmu hitam yang mujijat, maka Kam Hong memusatkan perhatiannya dan mengerahkan tenaga, membebaskan diri dari pengaruh mujijat itu sehingga pikirannya menjadi terang, pandang mata dan pendengarannya menjadi terang kembali, tidak ada keinginan untuk mengikuti gerakan mereka lagi. Kini dia berdiri tegak dan tenang, sama sekali tidak bergerak, menanti gerakan lawan selanjutnya.

Bagaikan delapan orang penangkap ikan yang merasa betapa jalanya yang mereka pasang itu tidak mengenai ikan, atau ikannya telah lolos kembali dari jala begitu menyentuhnya, mereka menghentikan gerakan memutar-mutar itu dan tiba-tiba saja orang yang berada di depan Kam Hong sudah menyerangnya. Benar dugaan Kam Hong. Laki-laki baju hitam di depannya itu menyerang dengan cengkeraman tangan kanan dibarengi dengan totokan tangan kiri. Cengkeraman ditujukan ke arah kedua matanya dan totokan itu menuju ke arah dada. Serangan ini hebat dan ganas, mengandung tenaga sin-kang yang kuat sungguhpun baginya tidaklah terlalu cepat. Kam Hong menghadapi serangan ini dengan tenang dan perhatiannya terhadap tujuh orang lainnya tidak berkurang walaupun dia sedang menghadapi serangan dari depan. Dan kewaspadaannya ini menolongnya. Cengkeraman dan totokan dari depan itu, ternyata hanyalah gerak pancingan belaka karena begitu Kam Hong mengelak dari serangan lawan di depannya, secara otomatis lawan yang berada di belakangnya telah menerjang dan menyerang dengan dahsyat, menghantam ke arah tengkuknya dengan pukulan tangan miring yang amat kuat!.

Seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat seperti yang dimiliki Kam Hong telah memiliki tubuh yang begitu hidup sehingga seolah-olah di belakang tubuhnya ada matanya. Tanpa menoleh, dia tahu dengan presis bagaimana serangan itu datang mengancamnya. Dengan hanya memutar tumit kakinya, dia sudah miringkan tubuh sehingga kini serangan dari belakang itu tidak datang dari belakang lagi, melainkan dari sebelah kanannya dan sekali Kam Hong mengangkat lengan, hantaman itu tepat dapat ditangkisnya.

“Plakkk!” Dan tubuh orang itu terpental, seolah-olah tangannya tadi bertemu dengan baja yang amat keras dan kuat, juga yang mengandung hawa dorongan kuat dan panas sekali!

Akan tetapi, kembali telah datang serangan bertubi-tubi dan susul-menyusul dari delapan orang itu. Gerakan mereka seperti mesin yang sudah distel terlebih dahulu, begitu teratur dan saling menyambung. Kam Hong sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, sudah pernah pula menghadapi barisan-barisan silat seperti itu, maka dia tidak merasa gugup walaupun harus diakuinya bahwa barisan Hek-i Pat-mo ini benar-benar amat lihai dan berbahaya. Dia membenarkan tindakannya mewakili sumoinya tadi, karena biarpun tingkat kepandaian Ci Sian juga sudah tinggi, namun menghadapi pengeroyokan teratur seperti itu bisa membuat dara yang belum banyak pengalaman itu menjadi gugup.

Delapan orang itu bergerak-gerak, saling bantu dan saling sambung melakukan penyerangan dan Kam Hong juga menggerakkan tubuhnya, menangkis ke depan ke kanan kiri dan belakang, ke delapan penjuru dan kadang-kadang mengelak. Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan yang bergerak cepat, tertutup oleh gerakan delapan bayangan hitam yang kadang-kadang berputaran dan kadang-kadang berhenti di suatu tempat tertentu. Dia tahu bagaimana harus menghadapi barisan Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan), maka dia pun sejak tadi mainkan ilmu silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) yang pernah dipelajarinya dari Sin-siauw Seng-jin, kakek pewaris ilmu-ilmu dari Pendekar Suling Emas itu. Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu warisan nenek moyangnya, dan karena ilmu silat ini juga mempunyai dasar segi delapan, maka tentu saja amat tepat untuk menghadapi barisan pat-kwa itu.

Tiba-tiba terdengar suara berkerincing dan nyaring dan ternyata delapan orang kakek itu telah menggerakkan gelang yang melingkari pergelangan tangan kanan mereka. Gelang yang berwarna hitam kemerahan. Dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan digetarkan, maka terdengarlah suara berkerincingan itu!

Sungguh aneh sekali. Tadi mereka bergerak menyerang, dan tentu saja lengan kanannya berikut gelang itu bergerak pula, akan tetapi tidak terdengar sesuatu. Akan tetapi kini gelang itu mengeluarkan suara yang nyaring dan aneh. Agaknya ada sesuatu pada gelang-gelang itu yang mengandung rahasia. Suara nyaring yang amat halus itu seperti suara emas diketuk dengan nada tinggi dan menusuk telinga, bahkan rasanya menyusup ke dalam jantung! Akan tetapi Kam Hong sudah mengerahkan sin-kangnya dan dia tidak terpengaruh. Hanya kini, delapan orang itu menyerangnya dengan gerakan yang sama, dan secara berbareng. Delapan lengan tangan yang disertai gelang hitam kemerahan itu menyerangnya dengan gerakan yang sama dan berbareng, tapi dari delapan penjuru! Melihat delapan lengan yang amat kuat itu menonjok arah dadanya dari delapan penjuru dan mendatangkan angin pukulan yang kuat, dia terkejut dan maklum bahwa penggabungan tenaga itu akan kuat bukan main. Dia tidak berani menghadapi dengan kekerasan atau mengadu tenaga, maka tubuhnya mencelat ke atas dan delapan tangan itu berhenti dari delapan penjuru, saling bertemu angin pukulan mereka di tengah-tengah. Akan tetapi, melihat lawan mereka melayang ke atas, mereka itupun cepat menyerang ke atas, juga dengan gerakan yang sama. Angin pukulan dahsyat kini menyambar ke atas!Kam Hong maklum bahwa dia akan kerepotan menghadapi gaya serangan seperti itu, maka sambil meloncat, dia sudah mencabut suling emasnya dan berjungkir-balik, kini meluncur turun, didahului gulungan sinar emas dari suling yang diputar-putarnya.

Delapan orang itu mengandalkan penggabungan tenaga mereka, berani menyambut datangnya gulungan sinar emas itu, akan tetapi mereka terkejut ketika dari gulungan sinar emas itu keluar hawa yang amat kuat, yang mendorong mereka dan membuat penggabungan tenaga mereka buyar dan mereka terhuyung ke belakang. Cepat mereka berloncatan untuk mematahkan tenaga dorongan, dan kini sudah berdiri mengepung lagi dalam kedudukan pat-kwa, memandang kepada benda mengkilap di tangan pemuda itu dengan melongo.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut bukan main menyaksikan suling itu. Tadi, ketika Ci Sian meniup suling emasnya, dia sudah terheran, hanya tidak menduga atau menghubungkan suling itu dengan nama pendekar dalam dongeng, yaitu Pendekar Suling Emas. Kini, menyaksikan suling di tangan Kam Hong dan sepak terjang pemuda itu, dia terkejut dan tanpa terasa lagi olehnya, mulutnya berseru keras, “Suling Emas....!”

Kam Hong memutar tubuhnya menghadapi Mo-ong, suling emas itu melintang di depan dadanya. Dia tersenyum dan menjura, lalu berkata, “Tidak salah dugaanmu, Hek-i Mo-ong. Aku bernama Kam Hong, keturunan dari Pendekar Suling Emas. Aku datang mengantar sumoiku yang ingin membalas dendam kepadamu dan aku setuju karena engkau dan gerombolanmu merupakan iblis-iblis berwajah manusia yang kudengar telah melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa.”

Marahlah Hek-i Mo-ong. “Bunuh dia!” bentaknya dan telunjuk kirinya menuding ke arah Kam Hong dan tiba-tiba saja dari telunjuk itu menyambar benda yang berkilauan ke arah tenggorokan Kam Hong!

“Tikkk....!” Benda itu terpukul oleh suling dan lenyap ke dalam bumi. Sungguh itu merupakan senjata rahasia yang amat keji, yang amat kecil dan yang dilepaskan dari bawah kuku telunjuk yang panjang.

Mendengar perintah suhu mereka, Hek-i Pat-mo lalu saling memberi isarat. Mereka mengeluarkan sesuatu dari balik jubah hitam mereka dan tahu-tahu kini tangan kiri mereka telah disambung dengan sebuah cakar setan yang berwarna hitam, dengan kuku-kuku melengkung runcing terbuat dari baja dan tak perlu diragukan lagi bahwa kuku-kuku baja itu sudah pasti mengandung racun ganas! Dan kini mereka bergerak menyerang dari delapan penjuru! Kuku cakar setan tangan kiri itu menyambar-nyambar dan tercium bau amis, sedangkan tangan kanan yang bergelang hitam kemerahan itupun menyambar-nyambar mengeluarkan suara berkerincingan. Menyaksikan kebuasan delapan orang itu, diam-diam Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia harus menang, pikirnya sambil melihat suhengnya memutar suling emasnya. Kalau suhengnya kalah, ia sendiri pun tidak tahu apakah ia akan mampu menghadapi iblis-iblis ini. Gerakan delapan orang itu sungguh dahsyat sekali, dan ia merasa menyesal mengapa suhengnya masih saja mempergunakan ilmu-ilmu silatnya, yang lama.“

Dan memanglah, Kam Hong sejak tadi mempergunakan ilmu-ilmunya yang lama. Pertama-tama tadi ia mainkan Pat-sian-kun, dan kini pun setelah memegang suling, ia masih melanjutkan dengan ilmu Pat-sian Kiam-hoat, menggunakan sulingnya sebagai pengganti pedang. Memang ilmu ini hebat sekali, akan tetapi delapan orang pengeroyoknya itu benar-benar amat tangguh. Biarpun Kam Hong dapat membela diri dengan sulingnya, namun dia tidak diberi kesempatan sama sekali untuk balas menyerang! Kemudian Kam Hang mencoba untuk mengganti dengan ilmu-ilmu lain yang dimilikinya. Mula-mula dia mengubah Pat-sian Kiam-hwat dengan Hong-in Bun-hoat, yaitu ilmu sliat yang gerakannya dilakuken dengan membuat huruf-huruf di udara ini merupakan gerakan ilmu silat yang lihai sekali. Kemudian, karena ilmu ini juga kurang berhasil dipergunakan untuk menghadapi begitu banyak pengeroyok yang rata-rata memlilki ilmu silat tinggi, dia mengubah lagi ilmunya dan berturut-turut dia mainkan Khong-sim Sin-ciang, Kim-kong Sin-Im yang membuat sulingnya mengaung-ngaung, lalu mencabut keluar kipasnya dan menggabungkan sulingnya dengan permainan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Namun, tetap saje dia terdesak dan belum mampu merobohkan para pengeroyoknya. Memang, setiap kali dia mengganti ilmu, delapan orang pengeroyoknya itu terkejut dan terdorong, akan tetapi segera mereka menerima bisikan-bisikan guru mereka melalui pengiriman suara dari jauh sehingga mereka dapat segera mengubah gerakan mereka sesuai dengan petunjuk gurunya! Dengan demikian, walaupun delapan orang Hek-i Pat-mo itu yang maju mengeroyok Kam Hong, seaungguhnya yang dilawan Kam Hong adalah otak dari Hek-i Mo-ong yang mengatur gerakan para muridnya itu dengan bisikan-bisikannya.

Diam-diam Kam Hong terkejut. Dia, tahu bahwa ilmu-ilmu yang diwarisinya dari nenek moyangnya melalui Seng-siauw Seng-jin adalah ilmu-ilmu yang amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, ternyata semua ilmu ini tidak mampu merobohkan delapan orang pengeroyoknya ini. Jelaslah bahwa mereka ini benar-benar merupakan gerombolan yang amat tangguh dan juga amat berbahaya, dan kalau tidak dibasmi, tentu akan mendatangkan banyak sekali korban. Teringat dia akan hasil penyelidikannya di mana dikabarkan orang-orang kang-ouw bahwa entah sudah berapa ratus tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa roboh dan tewas menghadapi Hek-i Pat-mo ini, juga dia teringat akan nasihat gurunya yang pertama, yaitu Sai-cu Kai-ong bahwa gerombolan Hek-i-mo itu amat berbahaya. Memang tadinya Kam Hong tidak hendak mengeluarkan ilmu barunya yang menjadi ilmu simpanannya. Dia sudah mempunyai banyak ilmu-ilmu silat tinggi dari nenek moyangnya, dan kalau tidak terpaksa sekali dia tidak akan menggunakan Kimsiauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Ci Sian, bahkan yang sampai saat itu masih terus diperdalamnya karena ilmu itu merupakan ilmu yang amat luar biasa dan agaknya sampai mati pun orang tidak mungkin dapat mencapai titik kesempurnaannya. Kini, dia tahu bahwa kalau dia bertahan terus dengan ilmu-ilmunya yang lain, sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan dan dia pun harus menghemat tenaganya. Siapa tahu, dia harus mengerahkan sepenuh tenaga nanti kalau Mo-ong sendiri yang maju dan kalau sumoinya tidak mampu menahan raja iblis itu.

Tiba-tiba Kam Hong mengubah gerakannya. Gerakannya itu lambat-lambat saja, akan tetapi dari suling yang dia gerakkan, terdengarlah suara melengking, mula-mula rendah dan lambat, akan tetapi sesuai dengan gerakan sinar suling, makin cepat sinar itu bergulung, makin besar sinarnya, makin tinggi melengking suara suling itu! Ini bukanlah ilmu Kim-kong Sin-im seperti yang pernah dimainkannya tadi. Memang, Kim-kong Sin-im juga dapat membuat pedang atau suling mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung seperti suling bernyanyi, akan tetapi tidak seperti ilmu Kim-siauw Kiam-sut ini. Ilmu ini dibarengi dengan khikang yang amat kuat dan jangankan sinar suling yang bergulung-gulung itu, apalagi sulingnya sendiri, baru suaranya saja sudah mampu merobohkan lawan! Melihat ini, lega dan giranglah hati Ci Sian. Suhengnya mulai mengeluarkan Kim-siauw Kiam-sut dan memang hebat sekali akibatnya! Hek-i Mo-ong sendiri kellhatan terkejut dan bingung melihat betapa delapan orangnya menjadi kacau gerakannya dan terdesak hebat. Dia mencoba untuk mengirim suara, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa suaranya itu lenyap dan membuyar oleh getaran suara suling pemuda itu!

Memang hebat bukan main ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) ini. Begitu Kam Hong memainkannya dengan pengerahan tenaga sin-kang sepenuhnya, didorong oleh kekuatan khikang yang telah dilatihnya dengan tekun semenjak dia menemukan ilmu itu, maka belum sampai dua puluh jurus saja, sinar suling yang keemasan itu dan suara melengking-lengking penuh getaran yang amat kuat itu telah mengurung dan mendesak delapan orang lawannya. Akan tetapi, Kam Hong bukanlah seorang yang berhati kejam. Ketika dia menambahkan tenaga sedikit lagi, terdengar suara nyaring delapan kali dan delapan orang itu telah terpelanting ke kanan kiri, dan ketika mereka bangkit berdiri, ternyata cakar setan yang menyambung tangan kiri mereka itu telah hancur semua! Wajah mereka berubah pucat dan semakin mengerikan dalam sinar bulan purnama.

Delapan orang murid kepala dari Hek-i Mo-ong ini adalah orang-orang yang tidak biasa kalah dalam perkelahian. Bertahun-tahun mereka selalu menang menghadapi orang-orang kang-ouw yang berani menentang guru mereka, dan biarpun sudah memiliki kepandaian tinggi, mereka masih terus melanjutkan pelajaran mereka, belajar segala ilmu dari guru mereka sehingga semakin lama mereka itu menjadi semakin lihai. Maka, kini, menghadapi kekalahan mutlak melawan seorang pemuda, mereka merasa penasaran bukan main. Mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit ini, karena selama ini, kemenangan demi kemenangan telah membangun suatu keyakinan di hati mereka bahwa selain guru mereka, tidak ada lagi orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkan mereka! Mereka saling bertukar pandang, kemudian tiba-tiba mereka itu sudah duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha, kedua lengan bersilang di depan dada, dan kedua mata terpejam. Lalu terdengarlah suara mereka, keluar dengan berbareng, suara yang terdengar oleh Ci Sian dan Kam Hong sebagai suara mengaum lirih, terdengarnya seperti “Auuuummmm....!”

Akan tetapi bukan main kagetnya hati Kam Hong ketika suara itu terus berdengung dan suara itu seperti memiliki kekuatan gaib yang menyerangnya, mula-mula memasuki kedua telinganya dan terus menyusup masuk, tak tertahankan lagi, demikian kuatnya sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya digetarkan oleh suara itu. Dia mulai menggigil dan mukanya pucat. Namun, pemuda ini memiliki dasar yang amat kuat, sehingga dia yang selalu waspada itu sudah cepat menutup sulingnya. Dia membawa suling ke mulutnya, memegangi suling dengan hanya tangan kanan saja karena dia sudah meniup dengan pengerahan hawa khi-kang tingkat yang tinggi sekali sehingga dia tidak perlu menggunakan jari-jari untuk membuka dan menutup lubang-lubang suling. Tangan kirinya, telapak tangan itu, dia pergunakan untuk menekan dadanya dan dari saluran hawa hangat yang keluar dari telapak tangannya sendiri, mendatangkan getaran halus yang melindungi jantungnya. Dan terdengarlsh kini suara melengking tinggi dan suara lengkingan itu mulai berlagu! Biarpun suling itu tidak dimainkan lubang-lubangnya, hanya dibiarkan terbuka dan ditiup, namun tenaga tiupan yang sudah mencapai kekuatan tinggi itu dapat mengatur sendiri lagunya dan naik turun menurut kehendak Kam Hong.

Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa! Pertandingan antara suara! Akan tetapi suara yang bagaimana! Bukan sembarangan suara, melainkan suara yang mengandung kekuatan dasyat untuk menjatuhkan lawan masing-masing! Suara yang terus berdengung dari delapan orang itu amat kuatnya, dan biarpun langsung ditujukan kepada Kam Hong, namun Ci Sian sendiri merasakan aklbatnya sehingga dara ini pun mengerahkan sin-kang untuk melindungi dirinya. Karena suara itu ditujukan langsung kepada Kam Hong, maka dara ini hanya terserang getaran yang lemah saja. Tidak demikian dengan Kam Hong. Akan tetapi, suara suling Kam Hong yang lembut itu, berbeda sekali pengaruhnya dari suara auman mereka. Suara suling ini memang amat halus, bersih, dan kuat bukan main, akan tetapi tidak mempunyai daya untuk mencelakakan orang, bahkan terdengar merdu dan menenangkan hati. Namun, bagi Hek-i Pat-mo, suara itu merupakan malapetaka! Suara itu menyambut auman mereka dan kini tenaga getaran suara auman mereka itu kembali dan menyerang mereka sendiri! Mereka merasakan gelombang suara yang menggetar ini, akan tetapi karena mereka merasa penasaran sekali, mereka menjadi nekat dan mereka bahkan mengerahkan tenaga mereka sepenuhnya dengan tekad membunuh atau dibunuh! Kalau mereka lebih kuat, tentu tangkisan lawan itu akan bobol dan lawan akan tewas seketika, dan kalau sebaliknya mereka kalah kuat, mereka tidak peduli lagi!

Melihat kenekatan ini, diam-diam Kam Hong terkejut sekali. Dia maklum bahwa lawan-lawannya itu hendak mengadu nyawa dan dia tidak mempunyai jalan lain untuk menghindarkan adu tenaga itu. Kalau dia menghindar, berarti dia kalah, bahkan dia terancam bahaya maut. Maka dengan prihatin sekali, terpaksa dia pun memperkuat pengerahan khi-kangnya, disalurkan melalui suara suling.

Sungguh mengerikan sekali suara auman yang bertemu dan bercampur dengan suara suling melengking-lengking itu. Getarannya sampai terasa amat jauh dan kini bukan hanya Ci Sian, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri terpaksa harus mengerahkan sin-kang untuk melindungi dirinya dari pengaruh getaran suara. Akan tetapi, kakek ini mengerutkan alisnya dan maklum bahwa para muridnya itu terancam bahaya maut. Dan dugaannya ternyata benar karena tidak lama kemudian, suara auman para muridnya itu menjadi semakin lemah, tergulung oleh lengkingan suara suling, bahkan kini wajah para muridnya itu nampak pucat, juga penuh keringat dan napas mereka terengah-engah.

Melihat hal ini, Hek-i Mo-ong yang maklum bahwa murid-muridnya akan celaka, tiba-tiba mengeluarkan teriakan melengking, atau lebih mirip gerengan seekor binatang buas, tangan kirinya sudah mengeluarkan sebuah kipas merah dan tangan kanannya mencabut keluar senjatanya Long-gee-pang (Tombak Gigi Srigala) dan dengan kipas merahnya itu dia mengipas ke arah Kam Hong. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda itu. Akan tetapi, Ci Sian yang sejak tadi waspada dan sudah menduga bahwa kakek ini tidak dapat dipercaya kejujurannya, lalu meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk diputar cepat dan menyerangnya. Betapapun juga, kipas merah itu lihai bukan main dan Kam Hong merasa betapa pihak lawan ditambah oleh tenaga yang amat hebat. Kiranya sambaran angin kipas itu menambah kuat getaran suara auman lawan. Dia mengerahkan tenaganya dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan ketika tubuh delapan orang itu terjengkang, dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah dan mereka itu tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah melayang. Mereka itu tewas karena tenaga mereka sendiri yang membalik dan merusak isi dada mereka, terutama jantung mereka. Akan tetapi, Kam Hong juga terkejut sekali ketika merasa betapa dadanya agak sesak dan panas, tanda bahwa dia pun menderita luka dan hal ini terjadi karena delapan orang itu tadi dibantu oleh Hek-i Mo-ong secara tiba-tiba, di luar persangkaannya sehingga dia kurang dapat menjaga diri.

Sementara itu, Ci Sian sudah menyerang kakek raja iblis itu dengan sulingnya dan karena ia tahu bahwa lawannya itu amat sakti, maka Ci Sian tidak mau membuang banyak waktu, begitu maju ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang selama ini dilatihnya dengan amat tekun dibawah bimbingan Kam Hong. Memang tak dapat disangkal bahwa kematangan dalam ilmu ini yang dimi1iki oleh Ci Sian masih jauh dibandingkan dengan suhengnya yang sudah lebih lama melatih diri, akan tetapi Ci Sian telah menguasai dengan baik pokok-pokok dan dasar-dasarnya, dan karena Kam Hong memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh, sedangkan dara itu pun dengan amat tekunnya berlatih, ditambah lagi dengan bakatnya yang luar biasa dalam hal ginkang sehingga ia memiliki gerakan yang amat cepat, maka ia bukan merupakan lawan yang ringan bagi ketua Hek-i-mo itu.

Hek-i Mo-ong sedang marah bukan main. Dia merasa amat terkejut dan berduka melihat delapan orang murid utamanya itu tewas dan dia merasa menyesal bukan main mengapa dia tadi menyuruh mereka maju. Kehilangan mereka sama saja baginya dengan kehilangan tangan kanannya, maka dengan kemarahan yang meluap-luap kini dia menghadapi Ci Sian. Dan memang kakek ini luar biasa ganas dan tangguhnya. Tombak Long-gee-pang itu adalah semacam toya yang pada ujungnya dipasangi kaitan runcing tajam agak melengkung seperti gigi srigala, dan tentu saja ujung senjata itu mengandung racun yang amat berbahaya, telah bettahun-tahun direndam semua racun-racun yang paling jahat. Dia mainkan Long-gee-pang ini seperti orang memainkan tombak atau toya, akan tetapi dia lebih sering menggunakan sebelah tangan saja, yaitu tangan kanan, untuk memainkan Long-gee-pang, sedangkan tangan kirinya hanya kadang-kadang saja membantu karena tangan ini lebih sering memainkan kipas merahnya. Kipas merah ini ujungnya runcing dan dipergunakan untuk menotok jalan darah. Memang hebat bukan main gerakan-gerakannya, tombaknya itu bergulung-gulung sinarnya dan di antara gulungan sinar tombak itu nampak berkelebatnya sinar merah dari kipasnya. Angin dahsyat menyambar-nyambar keluar dari gerakan tombaknya.

Ci Sian memutar sulingnya dan terdengar suara melengking-lengking, sungguhpun tidak sehebat permainan Kam Hong, namun ternyata dara ini telah menguasai inti dari ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut. Biarpun lawannya bergerak bukan hanya mengandalkan ilmu silat dan serangan tombak dan totokan-totokan kipas, melainkan juga dibantu oleh kekuatan ilmu hitam untuk menguasai semangat lawan, namun Ci Sian terlindung oleh suara yang keluar dari sulingnya, karena suara ini pun mengandung kekuatan khi-kang yang hebat.

Betapapun juga, setelah lewat puluhan jurus, Ci Sian mulai merasakan betapa kuatnya kakekitu. Ia mulai merasa terdesak dan terhimpit, dan hanya berkat kelincahannya sajalah maka ia masih mampu menghindarkan diri dari cengkeraman-cengkeraman maut. Selama itu, Kam Hong duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk mengobati lukanya. Akan tetapi, perhatiannya tidak pernah terlepas dari Ci Sian. Bagaimanapun juga, dia harus membantu sumoinya. Akan tetapi dalam keadaan terluka, tentu saja amat berbahaya untuk mengerahkan tenaga membantu sumoinya, apalagi kalau yang dilawannya itu seorang yang demikian sakti seperti raja Iblis itu. Dan dalam jurus-jurus pertama, Ci Sian masih cukup kuat untuk dapat membela dan melindungi diri sendiri. Dia tahu bahwa seorang diri saja, Ci Sian masih terlalu hijau untuk dapat menandingi raja Iblis itu. Akan tetapi, dia harus mengobati lukanya lebih dulu kalau tidak ingin nanti tertimpa malapetaka kalau dia berhadapan dengan Hek-i Mo-ong.

.Setelah rasa sesak dan panas di dadanya sudah agak berkurang, dan melihat pula betapa Ci Sian sudah terdesak hebat, Kam Hong sudah siap untuk membantu sumoinya. Akan tetapi psda saat itu, terdengar bentakan nyaring. “Hek-i Mo-ong iblis yang kejam, akulah lawanmu! Ci Sian, jangan khawatir, mari kita sama-sama basmi Iblis ini!” Dan nampaklah sinar berkilauan dibarengi dengan suara berdengung-dengung amat kuatnya, bahkan dalam suara mengaung ini pun terkandung kekuatan yang mujijat.

“Sim Hong Bu, bagus kau datang membantuku!” Ci Sian berseru girang. karena tadi ia memang sudah merasa terdesak hebat, kini muncul pemuda yang sudah dikenalnya sebagai seorang pemuda yang amat lihai itu, tentu saja ia merasa lega dan girang. Ia mengira bahwa suhengnya telah terluka dan tidak dapat maju lagi.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut setengah mati ketika menangkis sinar pedang di tangan pemuda yang baru muncul itu dan merasa betapa lengannya tergetar hebat! Kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dibandingkan dengan dara remaja ini!

Adapun Kam Hong yang melihat munculnya Sim Hong Bu, diam-diam melihat dengan penuh perhatian, mengikuti pertandingan itu dan melihat betapa gerakan-gerakan pedang pemuda itu memang hebat bukan main. Tahulah dia bahwa itulah Koai-liong-pokiam, yaitu pedang pusaka yang terkenal itu, dimainkan dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut yang dibanggakan oleh keluarga Cu yang telah dikalahkannya. Keluarga Cu itu berkeinginan untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut! Dan sekarang, dari tempat dia duduk bersila, dia melihat betapa Kim-siauw Kiam-sut dimainkan dengan suling emas oleh sumoinya, sedangkan Koai-liong Kiam-sut dimainkan oleh Sim Hong Bu, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai kawan. Dua ilmu pedang itu kini bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai dan diam-diam dia memandang bengong dan kagum. Sungguh mengherankan sekali karena begitu dipakai untuk bekerja sama, kedua ilmu pedang itu ternyata amat hebat, dapat saling mengimbangi bahkan saling cocok, saling isi dan saling lindungi! Teringatlah dia bahwa kalau Kim-siauw Kiam-sut diciptakan oleh Kakek Cu Keng Ong yang merupakan nenek moyang keluarga Cu, maka Koai-liong Kiam-sut itu diciptakan pula oleh keturunannya, yaitu Cu Hak pembuat pedang itu. Dan ilmu pedang itu kemudian ditemukan dan disempurnakan oleh Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti. Pantas saja ada kecocokannya karena penciptanya adalah seketurunan. Sedikit banyak pencipta Koai-liong Kiam-sut tentu mewarisi pula sebagian dari Kim-siauw Kiam-sut, seperti halnya keluarga Cu di lembah itu.

Melihat hasil kerja sama antara Ci Sian dan Hong Bu, Kam Hong kagum sekali, amat kuat dan bahkan saling mengisi kekosongan atau kelemahan masing-masing. Dapat dikatakan bahwa penggabungan itu malah membuat Kim-siauw Kiam-sut menjadi sempurna, dan membuat Koai-liong Kiam-sut menjadi lengkap! Dan dia melihat pula hal lain! Dia melihat betapa Hong Bu selalu dengan mati-matian melindungi Ci Sian, dan di antara gerakan cepat mereka, dia dapat melihat pula sinar mata Hong Bu kalau melihat atau mengerling Ci Sian. Pemuda itu mencinta Ci Sian! Dan dia melihat pula betapa dua orang muda remaja ini memang serasi, cocok sekali, sebaya dan juga sama-sama gagah perkasa. Dan dia pun melihat betapa Ci Sian bertempur dengan wajah berseri dan tersenyum, tanda bahwa hati dara itu pun girang sekali bertemu dengan Hong Bu, apalagi dapat bersama-sama pemuda itu melawan musuh tangguh. Padahal, dia mengenal benar watak Ci Sian dan andaikata yang membantunya itu orang lain, tentu Ci Sian akan marah dan menolak bantuan itu. Kini, melihat betapa Ci Sian malah girang dibantu Hong Bu, maka kenyataan ini hanya menjadi bukti bahwa Ci Sian juga mencinta, atau setidaknya merasa suka kepada pemuda ini. Teringat pula dia betapa Ci Sian pernah memuji-muji Hong Bu di depannya. Aneh, Kam Hong merasa jantungnya seperti tertusuk!

“Bodoh kau! Manusia lemah yang hanya mementingkan diri sendiri! Lemah dan bodoh!” Kam Hong mencela diri sendiri karena dia tahu apa artinya perasaan tertusuk itu. Dia merasa cemburu!

Bodoh, dia harus tahu diri, pikirnya penasaran. Cintanya kepada Ci Sian tidak benar, tidak wajar dan tidak tepat. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun! Dan Ci Sian baru delapan belas tahun! Dia terlalu tua untuk Ci Sian. Hong Bu itulah yang tepat menjadi jodoh Ci Sian, tentu usianya sebaya, atau kalau Hong Bu lebih tua pun selisihnya hanya satu dua tahun, Dan Ci Sian telah mewarisi Kim-siauw Kiam-sut, hanya tinggal mematangkannya saja dengan jalan berlatih dan menggunakannya dalam praktek. Tidak ada lagi yang dapat diajarkannya kepada Ci Sian. Dan amat tidak baik kalau dia terus mengajak dara itu melakukan perjalanan bersama. Tidak baik bagi dara itu, juga bagi dirinya sendiri karena dia akan semakin terikat. Tidak, dia harus mengalah, dia harus mengundurkan diri, dia harus tahu diri.

Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan teriakan nyaring dan sebagai sambutan dari teriakan itu, puluhan orang berpakaian hitam bermunculan dari semua penjuru. Tahulah Kam Hong bahwa kakek itu merasa kewalahan dan memanggil anak buahnya. Maka dia pun lalu meloncat bangun dan siap dengan sulingnya. Ketika anak buah Hek-i Mo-ong itu hendak mengeroyok Hong Bu dan Ci Sian, Kam Hong sudah menyerbu dan menyambut mereka dengan putaran sulingnya yang berobah menjadi sinar emas bergulung-gulung. Dan biarpun anak buah Hek-i Mo-ong rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi suling di tangan Kam Hong tentu saja mereka itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Ke mana pun gulungan sinar emas itu menyambar, tentu sedikitnya ada dua orang anggauta Hek-i Mo-ong yang roboh.

Dan para anggauta Hek-i Mo-ong yang besar jumlahnya itu, sebagian lagi mengepung Hong Bu dan Ci Sian, akan tetapi mereka itu hanya bergerak-gerak tanpa ada yang berani ikut membantu ketua mereka karena gerakan tiga orang itu terlalu dahsyat bagi mereka. Apalagi ikut berkelahi, baru terlalu dekat saja mereka sudah mundur lagi oleh sambaran angin yang amat dahsyat. Dan ketua gerombolan itu sudah mulai lelah, dan mulai terdesak hebat. Bukan main marahnya kakek itu. Gerombolan yang dibentuknya dan telah berdiri dan terkenal di seluruh propinsi itu sebagai perkumpulan yang besar dan amat berpengaruh, yang sudah belasan tahun merajalela dan tidak ada yang berani melawan, klni mengalami ambang kehancuran.

Tiba-tiba kakek itu menggereng dan dia mengeluarkan beberapa buah benda hitam dari balik jubahnya dan begitu dia melempar dan membanting benda-benda hitam itu, terdengar ledakan-ledakan nyaring dan nampak asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu. Melihat ini, Kam Hong cepat berteriak, “Hong Bu! Ci Sian! Mundur!”

Dua orang muda remaja itu juga terkejut dan tidak berani sembrono untuk mengejar kakek yang sudah lenyap di balik asap hitam itu. Mereka tahu apa maksud Kam Hong menyuruh mereka mundur dan mereka pun bersikap waspada. Kalau saja mereka mengejar, tentu jarak serang itu akan lebih dekat dan bahaya yang mengancam lebih besar. Kini, mereka berdua memutar pedang dan suling, dan runtuhlah paku-paku dan jarum-jarum beracun yang tadi berhamburan menyerang mereka dari balik asap hitam. Dan asap itu sendiri pun mengeluarkan bau yang amat busuk, tanda bahwa asap itu mengandung racun pula.

Kam Hong, Hong Bu dan Ci Sian berloncatan jauh ke belakang menjauhi asap. Akan tetapi para anggauta Hek-i-mo yang puluhan orang banyaknya itu mengurung dan menghujani mereka dengan senjata rahasia beracun. Dengan mudah mereka bertiga memutar suling dan pedang, membuat semua senjata rahasia itu runtuh dan mereka bertiga lalu dikeroyok. Akan tetapi, karena Hek-i Mo-ong tidak nampak lagi, tentu saja anak buah Hek-i Mo-ong itu bukanlah lawan tiga orang pendekar muda yang perkasa ini. Berturut-turut robohlah mereka itu satu demi satu. Akhirnya, setelah lebih dari setengah jumlah anggauta Hek-i-mo roboh dan setelah mereka sadar bahwa ketua mereka telah lari meninggalkan mereka sisa anggauta Hek-i-mo lalu melarikan diri, menghilang di malam gelap.

“Eh, di mana Suheng?” Tiba-tiba Ci Sian sadar bahwa suhengnya tidak berada di tempat itu. Tadi, di antara pertempuran keroyokan yang gaduh itu, Ci Sian melawan pengeroyokan di samping Hong Bu dan ia melihat Kam Hong memisahkan diri dan mengamuk di bagian lain. Akan tetapi setelah semua musuh pergi dan sebagian roboh malang melintang di tempat itu, ia tidak lagi melihat Kam Hong.

Hong Bu juga melihat ke kanan kiri, bahkan lalu mereka berloncatan ke sana sini untuk mencari Kam Hong. Namun tidak nampak bayangan pendekar itu.

“Suheng....!” Ci Sian berteriak memanggil beberapa kali, namun tidak terdengar jawaban dan tidak nampak pula pendekar itu muncul. Maka mulailah la merasa khawatir.

“Mungkin dia mengejar Mo-ong” kata Hong Bu.

Ci Sian mengangguk dan mengerutkan alisnya. “Mungkin, akan tetapi mengapa dia mengejar kalau dia sendiri yang menyuruh kita mundur tadi? Pula, mengejar seorang manusia iblis yang curang seperti Mo-ong itu amat berbahaya. Mari kita ikut mengejar dan membantunya.” Tanpa menanti jawaban Ci Sian sudah meloncat ke depan.

“Tunggu, Nona. Lihat ini....!”

Ci Sian berhenti dan membalikkantubuhnya. la melihat Hong Bu menghampiri sebatang pohon tak jauh dari tempat itu dan di batang pohon itu nampak ada benda putih seperti kertas tertempel di bawah dahan rendah. Biarpun cuaca agak suram karena ada awan tipis lewat di bawah bulan, namun tulisan itu masih dapat dibaca.

“Ci Sian, ke sinilah dan baca surat ini. Agaknya Kam-twako yang meningalkan surat ini!” kata Hong Bu. Ci Sian segera berlari menghampirinya dan membaca tulisan di atas kertas putih itu.

Bu-sumoi yang baik,

Selesailah sudah tugasku, mengajarkan Kim-siauw Kiam-sut kepadamu. Tidak ada gunanya lagi bagimu aku menemani. Biarlah kita saling berpisah di sini. Jaga dirimu baik-baik, Sumoi. Tiada pertemuan tanpa perpisahan dan aku tidak ingin perpisahan antara kita menimbulkan duka.

Suhengmu : Kam Hong.



“Ah, Suheng....!” Ci Sian mengeluh dan ia berdiri termangu-mangu, mengambil kertas itu dan merasa kehilangan sekali. Tak terasa lagi matanya terasa panas dan berlinang air mata. Mengapa suhengnya meninggalkannya?

Hong Bu yang melihat keadaan Ci Sian merasa kasihan kepada dara itu. “Suhengmu pergi meninggalkanmu? Ke manakah dia pergi?”

Ci Sian tersadar mendengar suara ini, sadar bahwa ia tidak sendirian di situ. Ia menarik napas panjang. “Aku sendiri tidak tahu mengapa dia tiba-tiba saja meninggalkan aku, tanpa pamit, hanya meninggalkan sehelai surat seperti ini.... sungguh aneh sekali....”

“Kalau aku boleh bertanya.... ke manakah engkau hendak pergi, Ci Sian? Dan ke mana pula Suhengmu itu hendak pergi?”

Ci Sian menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, Hong Bu. Kami berdua tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami melakukan perjalanan bersama mencari Hek-i-mo membalas dendam kematian Ibuku, dan di sepanjang perjalanan Suheng mengajarkan ilmu kepadaku. Tapi.... ah, tak kusangka dia akan pergi begitu saja....”

Ci Sian benar-benar merasa kehilangan dan berduka. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa di dunia ini tidak ada lagi lain orang kecuali Kam Hong baginya. Dan Kam Hong pergi begitu saja meninggalkannya tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membantah atau menahannya.

“Jadi engkau tidak tahu dia akan pergi ke mana? Kalau engkau tahu, kita akan dapat mengejarnya.”

“Kita....?”

“Ya, aku akan membantumu, Ci Sian. Aku pun tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalananku ini. Aku mau membantumu mencari Kam-twako.”

“Mari kita pergi dulu dari tempat terkutuk ini!” Ci Sian berkata sambil melompat pergi. Hong Bu mengejar dan mereka berlari-lari meninggalkan sarang Hek-i-mo itu. Mereka berlari terus dan Ci Sian terus berlari, membiarkan Hong Bu mengikutinya, tanpa bicara. Mereka keluar dari daerah itu akan tetapi ketika mereka tiba di luar kota, di jalan kecil yang sunyi, dan malam menjadi agak gelap karena bulan telah condong ke barat. dan tertutup awan yang mulai berkumpul, Ci Sian berhenti berlari. Di tepi jalan terdapat sebuah pondok kosong, tempat para petani mengaso di waktu siang sehabis bekerja. Mereka duduk di atas bangku bambu di bawah pondok.

“Kita menanti sampai pagi di sini saja.” kata Ci Sian.

Hong Bu mengangguk. “Sebaiknya begitulah.” Dan mereka pun hanya duduk diam, tidak ada yang mulai bicara. Suasana amat sunyi dan Hong Bu dapat merasakan betapa kesedihan menyelubungi hati dara itu. Dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana dapat menghiburnya dan dia khawatir kalau-kalau salah bicara, maka dia memilih diam saja.

Berulang kali Ci Sian menarik napas panjang. Memang dara ini membiarkan pikirannya melayang-layang, membayangkan semua pengalamannya sejak kecil sampai ia bertemu dengan Kam Hong dan mengalami banyak hal bersama. Kiranya pendekar itu melakukan perjalanan bersama hanya untuk dua hal, yaitu pertama untuk mengajarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang mereka temukan berdua, dan membantunya membalas dendam terhadap Hek-i-mo. Tidak ada hal lain lagi kecuali itu! Tidak ada hal lain! Inilah yang membuat Ci Sian termenung dan merasa berduka. Dia.... dia tidak mencintaku! Demikian pikiran yang membuat Ci Sian merasa berduka. Kalau Kam Hong mencintanya, tidak mungkin mau meninggalkannya, meninggalkannya seorang diri saja di dunia ini. Kembali ia menarik napas panjang.

Hong Bu yang sejak dahulu telah jatuh hati kepada dara ini, dan sekarang dia merasa kagum bukan main karena tadi dia melihat aendiri betapa lihainya Ci Sian sekarang dengan ilmu sulingnya, merasa tidak tega. Dia dapat menduga bahwa Ci Sian merasa berduka ditinggalkan suhengnya, dan merasa hidupnya kesepian, merasa sendirian saja di dunia yang luas ini.

“Bagaimana kalau engkau beristirahat dan tidur di sini? Biar kubuatkan api unggun dan aku menjaga di sini.” kata Hong Bu dengan lirih dan halus.

Hampir saja Ci Sian lupa dan mengira bahwa yang bicara itu adalah Kam Hong! Akan tetapi begitu ia menoleh dan melihat bahwa yang duduk di sampingnya dan yang bicara halus tadi adalah Hong Bu, ia menggeleng kepala. “Aku tidak mengantuk. Dan lebih baik tidak membuat api unggun. Setelah apa yang terjadi di sana tadi, tentu ada orang-orang jahat yang mengejar kita. Biarlah kita beristirahat sambil duduk di sini sampai pagi. Eh Hong Bu, bagaimana engkau dapat muncul secara tiba-tiba dan membantuku menghadapi, raja iblis itu?” Tiba-tiba Ci Sian teringat dan perhatiannya mulai teralih kepada Hong Bu dan hal ini cukup untuk membuat ia melupakan kesedihannya karena ia seperti tidak merasa kesepian dan sendiri lagi.

Hong Bu tersenyum, akan tetapi senyum pahit. “Nasibku agaknya tidak lebih menyenangkan daripada nasibmu, Ci Sian. Aku pun hidup sendirian saja di dunia ini, tiada sanak saudara, tiada handai taulan, bahkan tanpa tujuan sama sekali! Kadang-kadang kalau aku sedang berjalan seorang diri dan memandang ke atas, aku merasa seakan-akan menjadi segumpal kecil awan yang terpencil sendirian terbawa angin, entah hendak dibawa ke mana oleh angin itu. Kadang-kadang aku merasa kesepian dan bingung. Apalagi kalau teringat bahwa, aku telah menjadi seorang buronan dan dikejar-kejar oleh orang-orang sakti yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan aku!”

“Eh? Kenapa? Apa dosamu maka engkau dikejar-kejar oleh Kaisar?”

Hong Bu menepuk pedang di pinggangnya. “Karena pedang inilah.”

“Koai-liong Po-kiam?”

“Ya, Koai-liong Po-kiam. Ci Sian, engkau sudah mendengar riwayat pedang yang meributkan ini. Biarpun pedang ini buatan nenek moyang keluarga Cu, akan tetapi pernah lenyap dan tahu-tahu berada di Istana Kaisar tanpa ada yang tahu bagaimana. Kemudian Bibi guru Tang Cun Ciu mencurinya dari istana, yang sesungguhnya bagi kami bukan mencuri melainkan mengambil kembali hak milik keluarga Cu. Kemudian, karena oleh mendiang Supek Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti itu aku diangkat sebagai ahli waris ilmu Koai-liong Po-kiam dan pedangnya, maka pedang dan ilmu itu jatuh kepadaku.”

“Ya, dan engkau bersembunyi lalu berlatih di dalam guha itu.” kata Ci Sian.

“Benar, akan tetapi selagi aku beristirahat, baru-baru ini, di lembah kedatangan orang-orang sakti utusan Kaisar yang menuntut dikembalikannya pedang pusaka ini. Tentu saja Suhu Cu Han Bu dan Susiok Cu Seng Bu yang berada di lembah menentang dan terjadi pertempuran, dengan janjl bahwa kalau pihak Suhu kalah, Suhu dan Susiok akan menjadi hwesio dan memberitahu di mana adanya pedang, sebaliknya kalau utusan itu yang kalah, utusan itu tidak boleh mengganggu lagi. Nah, terjadi pertempuran dan akibatnya.... Suhu dan Susiok kini menjadi hweslo....”

“Hah....?” Ci Sian terbelalak, kaget sekali. “Maksudmu.... kedua Locianpwe itu telah kalah?”

Hong Bu mengangguk.

“Tapi.... tapi menurut kata Suheng, Gurumu itu memiliki kesaktian yang luar biasa sekali, bahkan menurut Suheng ketika Suheng dan Gurumu pi-bu, Suheng mengalami kesulitan besar untuk memperoleh kemenangan tipis! Kalau begitu, alangkah saktinya utusan Kaisar ltu. Siapakah mereka itu?”

“Mereka adalah Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Dia dan puteranya yang telah mengalahkan dan melukai Suhu dan Susiok.”

“Jenderal Muda Kao Cin Liong dan ayahnya? Ahhh....!” Ci Sian terkejut dan dia pun mengerti sekarang mengapa guru dan Susiok Hong Bu sampai kalah, sungguhpun hal itu juga amat mengherankan hatinya. Dia tahu bahwa Kao Cin Liong adalah seorang pemuda sakti, akan tetapi tidak pernah mengira bahwa jenderal muda itu akan mampu mengalahkan tokoh penghuni Lembah Suling Emas!

“Agaknya engkau telah mengenal mereka.”

“Tentu saja, aku mengenal baik Jenderal Muda Kao Cin Liong. Jadi, kini engkau menjadi buruan mereka?”

“Ya, karena pedang pusaka ada padaku, dan karena memenuhi perjanjian pi-bu itu Suhu memberitahukan mereka bahwa pedang ada padaku tanpa memberitahu aku berada di mana, maka tentu mereka itu akan mencariku dan kalau bertemu, tentu mereka akan menuntut agar aku menyerahkan pedang ini.”

“Dan engkau akan menyerahkan pedang itu?”

“Tidak!” jawab Hong Bu dengan tegas. “Aku, sudah bersumpah kepada Suhu. bahwa aku akan mempertahankan pedang ini, karena pedang ini sesungguhnya adalah milik keluarga Cu dan aku telah menjadi ahli-warisnya. Betapapun juga, akan kupertahankan dengan taruhan nyawa“

Diam-diam Ci Sian memandang khawatir. “Ah, engkau berada dalam keadaan yang amat tidak enak, Hong Bu.”

Hong Bu menarik napas panjang. “Memang, demikianlah kenyataannya. Akan tetapi bukan menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir sekeluarganya yang membuat hatiku merasa amat tidak enak, melainkan menghadapi.... Suhengmu.”

“Ehhh....?” Ci Sian lalu teringat akan semua yang terjadi ketika suhengnya melakukan pi-bu (adu ilmu silat) melawan penghuni lembah, dan kata-kata Cu Han Bu bahwa kelak akan terbukti keunggulan Koai-liong Kiam-sut terhadap Kim-siauw Kiam-sut. “Jadi kau.... kau hendak mewakili keluarga Cu untuk menentang Suheng? Engkau hendak menebus kekalahan Gurumu?”

“Begitulah pesan Suhu kepadaku ....“

Sebelum Hong Bu melanjutkan kata-katanya untuk menyatakan bahwa sesungguhnya dia sama sekali tidak setuju dan tidak ingin berhadapan dengan Kam Hong yang amat dikaguminya itu sebagai lawan, Ci Sian sudah meloncat keluar dari pondok dan mencabut sulingnya!

“Bagus! Tidak perlu kau bersusah payah mencari Suheng! Mari hadapilah aku kalau engkau masih penasaran! Aku juga merupakan ahli-waris Kim-siauw Kiam-sut dan jangan harap dengan ilmu pedang tumpulnya itu akan mampu menandingi Kim-siauw Kiam-sut kami!”

“Eh-eh.... Ci Sian....!” Hong Bu meloncat keluar pula dengan maksud untuk membantah, akan tetapi dia sudah disambut oleh sinar keemasan yang mengeluarkan bunyi melengking ketika suling di angan Ci Sian itu bergerak menyambar dengan serangan yang amat hebat.

Hampir saja kepala Hong Bu kena disambar suling. Karena datangnya serangan demikian dahsyat dan tak terduga-duga, terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan, barulah dia terlepas dari cengkeraman maut! “Eh, nanti dulu, Ci Sian....!”

Akan tetapi Ci Sian sudah menyerang Lagi sambil membentak, “Mau bicara apa lagi? Mari kita lihat siapa lebih unggul di antara kita!” Dan gulungan sinar kuning emas itu sudah menyembar dengan dahsyatnya.

“Tringgg....!” Bunga api berpijar ketika pedang Koai-liong Po-kiam bertemu dengan suling emas di tangan Ci Sian. Dara itu merasa tangannya tergetar hebat, akan tetapi ia kini bukan seorang dara yang lemah, maka dengan kecepatan kilat ia sudah menyerang lagi. Percuma saja bagi Hong Bu yang berkali-kali minta gadis itu bersabar sehingga terpaksa dia pun harus mainkan pedangnya karena serangan-serangan Ci Sian sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Gadis itu telah menguasai sebuah ilmu yang amat lihai, bahkan tadi pun mampu melawan seorang tokoh sakti seperti Hek-i Mo-ong. Maka terjadilah perkelahian antara pedang dan suling yeng amat hebatnya di waktu menjelang pagi itu. Suara beradunya kedua senjata itu terdengar berkali-kali dan pertandingan yang terjadi di tempat sunyi itu benar-benar amat hebat. Baik gerakan pedang maupun suling keduanya mengeluarkan suara yang aneh. Pedang itu mengaung-ngaung seperti seekor naga yang marah, sedangkan suling itu mengeluarkan suara berlagu, sehingga nampaknya seolah-olah seekor naga yang sedang menari-nari diiringi musik yang gagah!

CI SIAN menyerang dengan sungguh-sungguh karena ia sudah marah sekali. Marah dan kecewa. Tadinya ia menganggap Hong Bu seorang pemuda yang amat menyenangkan, dan seorang sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi ternyata tidak demikian! Hong Bu adalah seorang musuh yang hendak mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut! Maka, kemarahannya membuat gerakannya menjadi semakin hebat. Kekecewaan karena kenyataan bahwa pemuda ini adalah seorang musuh yang membuat Ci Sian menjadi nekat seperti itu, ditambah lagi dengan rasa duka karena suhengnya telah pergi meninggalkannya! Biarlah, pikirnya nekat, kalau aku kalah dan mati, biar suheng akan menyesal seumur hidup!

Sebaliknya, Hong Bu menjadi sibuk dan bingung bukan main. Dia telah jatuh Cinta kepada gadis ini, seorang gadis yang amat dikaguminya dan diCintanya. Akan tetapi gadis ini sekarang menyerangnya kalang-kabut dan nekat. Dia tadi telah berterus terang, hanya karena dia tidak ingin menyimpan rahasia terhadap Ci Sian, hanya karena dia ingin bersikap jujur, akan tetapi sebelum dia menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan perintah gurunya, gadis itu telah menyerangnya demikian dahsyatnya sehingga terpaksa dia harus membela diri. Dan makin lama mereka bertanding, Hong Bu merasa makin tertarik. Tadi pun, ketika dia membantu Ci Sian menghadapi Hek-i Mo-ong, dia sudah melihat kenyataan yang amat mengherankan hatinya. Yaitu, bahwa ilmu pedangnya dapat bekerja sama dengan ilmu suling yang dimainkan Ci Sian. Bahkan terasa enak dan cocok, saling mengisi, saling melindungi dan bahkan saling melengkapi. Karena itulah, ketika kini Ci Sian menyerangnya secara bertubi-tubi, timbul keinginan tahunya untuk mempelajari ilmu suling itu, apalagi ketika dia melihat bahwa pada dasarnya, dia seperti tidak asing dengan dasar gerakan dari Kim-siauw Kiam-sut. Biarlah dia melayani Ci Sian untuk beberapa lama sehingga dia dapat menyelami bagaimana sesungguhnya Kim-siauw Kiam-sut dan di mana letak ketangguhannya. Maka dia pun membela diri, bukan hanya menangkis dan mengelak, melainkan juga balas menyerang karena dia hendak melihat pula bagaimana ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu dalam pertahanan dan serangan balasan. Juga dia amat mengagumi kekuatan khi-kang dahsyat yang keluar dari suara suling itu ketika dimainkan sedemikian cepatnya oleh Ci Sian.

Sebetulnya, tidaklah aneh kenyataan yang dilihat oleh Hong Bu itu, seperti juga sudah dilihat oleh Kam Hong dan yang diduga dengan tepat oleh pendekar ini. Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, Ciptaan Si PenCipta suling itu sendiri, yaitu Cu Keng Ong. Sedangkan Koai-liong Po-kiam adalah ilmu pedang Ciptaan Cu Hak, seorang keturunan dari Cu Keng Ong yang lihai, yang telah membuat pedang Koai-liong Pok-kiam, dan kemudian ilmu pedang ini disempurnakan oleh Ouwyang Kwan. Tentu saja penCiptaan ilmu pedang ini amat dipengaruhi oleh Kim-siauw Kiam-sut, bahkan ilmu inilah yang menjadi sumbernya maka pada dasarnya banyak terdapat persamaan-persamaan.

Dalam gembiranya karena dapat mempelajari ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu, Hong Bu lupa diri dan dia terus melayani Ci Sian sampai berjam-jam. Entah sudah berapa ratus jurus mereka bertanding dan Hong Bu selalu hanya menjaga diri saja, hanya kadang-kadang membalas serangan lawan kalau dia terlalu terdesak. Sampai matahari pagi menerangi bumi, kedua orang muda remaja itu masih saja bertanding! Muka dan leher Ci Sian sudah basah oleh keringat dan ia sudah lelah sekali karena malam tadi ia sudah banyak memeras keringat ketika melawan Mo-ong. Maka dapat dibayangkan rasa gemas hati dara ini. Gemas dan marah sekali karena dia merasa dipermainkan! Kalau ia segera roboh dan tewas, ia tidak akan merasa penasaran. Akan tetapi sekarang ini keadaannya sungguh menggemaskan dan melelahkan, menang tidak kalah pun tidak! Jurus apa pun yang dikeluarkannya, pihak lawan hanya sebentar saja terdesak, akan tetapi segera Hong Bu dapat memperbaiki kedudukannya lagi dan melawan dengan tangguhnya. Ia merasa seperti menghadapi dinding baja saja terhadap pemuda ini. Semua serangannya gagal total! Dan serangan-serangan pemuda itu agaknya tidak sungguh-sungguh, seolah-olah Hong Bu memandang rendah kepadanya. Hal ini sungguh-sungguh membuat ia mendongkol dan marah sekali. Sudah dicobanya untuk mendesak dengan sekuat tenaga, akan tetapi, sesungguhnya latihan-latihannya belum cukup matang dan memang ia kalah tenaga oleh Hong Bu, maka sampai tangannya yang memegang suling rasanya seperti lumpuh dan napasnya sudah memburu, belum juga ada ketentuannya dalam pertandingan itu. Saking jengkelnya, beberapa butir air mata keluar dari kedua matanya tanpa dapat dicegah lagi!

“Tring-trangggg....!” Keduanya melangkah mundur saking kerasnya senjata mereka beradu dan Hong Bu terbelalak.

“Ci Sian....! Kau.... kau menangis....?”

“Siapa menangis? Ah, kau.... kau.... manusia kejam!” Dan Ci Sian sudah menyerang lagi, tidak peduli betapa air matanya bertambah deras oleh pertanyaan pemuda tadi.

“Ah, maafkan aku.... ah, bukan maksudku.... aku hanya ingin memperhatikan ilmumu yang amat hebat itu, Ci Sian.... ah, trang....!”

Dan melihat Ci Sian menangis seperti itu, air matanya menetes-netes, tiba-tiba Hong Bu merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia memasukkan pedangnya di sarung pedang, dan berdiri sambil bersedakap. Suling itu menyambar datang dan Hong Bu memejamkan mata, tidak mengelak atau menangkis!

“Wuuuuttt....!” Suling itu lewat di atas kepalanya karena Ci San terkejut setengah mati melihat pemuda itu tidak mengelak, maka ia tadi menyelewengkan serangannya, lalu tangan kirinya memukul ke areh pundak pemuda itu.

“Desss....!” Tubuh Ho Bu terguling roboh. Biarpun tidak terlalu keras, namun pada waktu itu Ci Sian telah memiliki sin-kang yang amat kuat, maka pukulannya tadi cukup untuk membuat Hong Bu yang sama sekali tidak mengerahkan sin-kang itu terpelanting.

“Bangun! Hayo lawanlah! Pengecut!” Ci Sian memaki.

Hong Bu yang telentang itu memandang dan tersenyum. Dia pun berkeringat pada muka dan lehernya. “Tidak, Ci Sian, maafkan aku. Sungguh mati aku tidak bermaksud membikin engkau marah dan berduka sampai menangis....”

“Aku tidak menangis, keparat! Hayo bangkit dan lawanlah aku, mari kita lanjutkan dan bertanding sampai seorang di antara kita mampus!”

Akan tetapi Hong Bu hanya bangkit duduk dan menggeleng kepalanya. “Tidak, aku.... tidak sanggup lagi melawanmu, Ci Sian....“

“Pengecut kau, keparat! Jangan mempermainkan aku, kau!” Dan Ci Sian meaggerakkan sulingnya ke atas, lalu suling itu menyambar ke bawah. Akan tetapi Hong Bu hanya memandang, sedikit pun tidak pernah berkedip, seolah-olah dia siap menghadapi kematian dengan rela. Sinar keemasan yang menyambar turun itu berherti dan ujung suling itu sudah menyentuh kulit leher Hong Bu, dan di bawah kulit itulah terdapat jalan darah yang mematikan. Sedikit saja suling itu ditotokkan, maka nyawa Hong Bu akan melayang! Namun, pemuda itu hanya tersenyum pahit.

“Aku tidak mempermainkan engkau, Ci Sian. Aku tidak mau melawanmu....”

“Hayo bangkit kau, keparat! Atau.... hemm, kubunuh engkau sehingga mati konyol!” ujung suling itu menempel lebih ketat.

“Terserah kepadamu, Ci Sian. Aku akan rela mati di tanganmu. Aku memang lebih baik mati daripada harus berhadapan denganmu sebagai musuh. Aku tidak bisa memusuhimu, Ci Sian, dan aku rela mati di tanganmu karena aku.... aku cinta padamu....”

“Ihhh....!” Ci Sian meloncat ke belakang dan melepaskan sulingnya seolah-olah suling itu telah berobah menjadi seekor ular! Matanya terbelalak, dan air matanya masih menetes-netes turun ke atas kedua pipinya.

“Kau.... kau....” Ia tidak dapat melanjutkan katanya karena hatinya terasa sepertidiremas-remas. Ia menjadi bingung, penuh dengan perasaan marah, menyesal, juga terharu. Tidak tahu ia harus bagaimana menanggapi pengakuan cinta itu, Hong Bu cinta padanya? Apakah cinta itu? Bagaimanakah cinta itu? Ia menjadi bingung dan karena bingung itulah ia menangis!

Hong Bu kini bangkit berdiri dan memandang dengan muka yang agak pucat. “Maafkan aku, Ci Sian.... mungkin aku menyinggung perasaanmu dengan pengakuanku itu.... aku tahu bahwa aku tidak berharga untuk seorang dara seperti engkau.... akan tetapi, aku tidak dapat pula merahasiakan ini. Semenjak kita saling bertemu.... aku telah jatuh cinta padamu. Entah, begitulah kenyataannya dan kalau tadi aku melayanimu bertanding, maksudku hanya untuk melihat begaimana sesungguhnya ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu karena aku melihat betapa ilmu kita begitu serasi dan....”

Akan tetapi Ci Sian sudah menyambar sulingnya. Hong Bu siap untuk menerima serangan maut. Akan tetapi, gadis itu meloncat pergi dan lari secepatnya sambil masih menangis.

“Ci Sin....! Aku cinta padamu....!” Hong Bu melangkah beberapa tindak ke depan, kedua tangannya diulur ke depan, akan tetapi dia hanya menarik napas panjang berulang kali, kemudian menundukkan mukanya yang menjadi muram ketika melihat dara itu menghilang. Dia tidak mau mengejar, karene pengejarannya tentu akan menambah marah dan dia sama sekali tidak ingin membikin marah atau susah kepada dara yang dicintanya itu.

Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Takkan habis-habisnya kalau dibicarakan, dan di dunia ini terdapat entah berapa banyak kisah-kisah tentang cinta asmara dan akibat-akibatnya. Cinta asmara memiliki kekuasaan yang tak terbatas! Dapat menundukkan manusia yang bagaimana kuat pun. Dapat membuat hati yang sekeras-kerasnya menjadi selunak-lunaknya, sebaliknya dapat mendatangkan kekerasan yang amat mengerikan. Cinta asmara dapat mengakibatkan perbuatan yeeg selembut-lembutnya dan sebaik-baiknya, dapat pula mendatangkan perbuatan yang sekejam-kejamnya.

Betapapun hidup tanpa cinta sama dengan pohon tanpa bunga, seperti bumi tanpa matahari, hampa dan tiada artinya sama sekali. Akan tetapi, tidak seperti yang kebanyakan dari kita kehendaki, yang dimaksudkan dengan cinta di sini bukanlah cinta orang lain kepada kita, melainkan yang terpenting adalah cinta kita kepada orang lain! Cinta di dalam batin kita itulah api kehidupan, itulah kebajiken, itulah kebahagiaan. Dan cinta ini baru ada apabila batin sudah bersih daripada kebencian, iri hati, dan keinginan untuk senang sendiri. Yang penting adalah sinar kasih itu bernyala dalam hati, dan ini baru terjadi apabila hati kita kosong dan terbuka. Keinginan akan cinta kasih orang lain terhadap kita tiada lain hanyalah keinginan untuk menikmati kesenangan melalui orang yang kita harapkan cintanya itu.Lain tiada.

***

Setelah meningggalkan Hong Bu, Ci Sian melakukan perjalanan seorang diri sambil menundukkanmukanya. Ia tidak tahu ke mana kakinya melangkah, pokoknya kembali ketimur. Ia harus mencari suhengnya. Ia tidak mau menerima begitu saja sikap suhengnya yang meninggalkan ia hidup sendirian di dunia yang kejamini. Ia sungguh tidak mengerti sikap suhengnya. Suhengnya itu nampak demikian cinta kepadanya, akan tetapi mengapa tiba-tiba saja suhengnya meninggalkannya? Dan bagaimana pula dengan Hong Bu itu? Ia benar-benar bingung mengenangkan sikap dan kata-kata Hong Bu. Pemuda itu begitu saja menyatakan cinta padanya. Benarkah Hong Bu cinta padanya? Kiranya hal itu memang benar. Buktinya, selain Hong Bu mengakui cintanya, juga pemuda itu bahkan rela untuk dibunuhnya dan sama sekali tidak hendak melawan ketika ia menodongnya dengan suling. Betapa mudahnya untuk membunuh Hong Bu saat itu, dan pemuda itu hanya pasrah saja, Hong Bu memang jatuh cinta padanya! Dan Kam Hong? Apakah suhengnya itu tidak cinta padanya?

Dan bagaimana dengan ia sendiri? Apakah ia dapat menerima cinta Hong Bu? Apakah ia juga dapat membalas cintanya itu? Dan bagaimanakah perasaannya terhadap suhengnya? Ci Sian bingung sendiri menghadapi pertanyaan-pertanyaan hatinya ini. Ia tidak tahu apakah ia mencinta mereka. Yang ia ketahui adalah bahwa ia merasa kehilangan den bersedih ketika ditinggalkan Kam Hong. Dan ia juga amat suka kepada Hong Bu dan agaknya, ia akan suka melakukan perjalanan dengan pemuda itu di sampingnya, sebagai sahabatnya, kalau saja Hong Bu bukan musuhnya, musuh Kam Hong, dan terutama sekali kalau saja pemuda itu tidak lancang menyatakan cintanya!

Cinta asmara adalah pengikatan. Dan ikatan antara dua orang manusia, atau juga antara manusia dengan benda atau dengan gagasan, iakatan seperti ini dapat timbul melalui kebiasaan, melalui pergaulan. Seseorang yang dekat dengan seorang lain, yang dapat merasakan banyak kenikmatan dari pergaulannya itu, akan menjadi biasa dan terikat, dan akan sakitlah kalau pada suatu saat ia harus terpisah dari orang lain itu, baik orang lain itu anaknya, isterinya, suaminya, orang tuanya ataupun sahabatnya. Bahkan dengan benda pun dapat terjadi hal seperti itu. Cinta asmara atau cinta yang timbul karena kenikmatan adalah pengikatan yang dapat timbul dari kebiasaan atau pergaulan yang erat. Kita sejak kecil sudah terbiasa untuk mengikatkan diri kita secaca batiniah kepada segala sesuatu yang menimbulkan kenikmatan atau kesenangan. Dan justeru ikatan inilah yang menjadi sebab utama daripada rasa takut akan kehilangan, dan rasa duka karena perpisahan.

Beberapa pekan kemudian, pada suatu hari, pagi-pagi sekali Ci Sian yang melakukah perjalanan ke timur itu tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tempat itu amat sunyi, jauh dari pedusunan dan ia semakin merasa betapa ia seorang diri saja di dunia ini. Berdiri menghadapi padang rumput yang demikian luasnya, di lereng bukit, memandang ke kaki langit yang tidak memperlihatkan tanda-tanda adanya rumah atau manusia, mendatangkan rasa kesepian yang mencekik. Keadaan di situ hening sekali. Ci Sian melihat rumput-rumput hijau seperti air samudera yang bergelombang kecil, ujungnya digerakkan angin berombak-ombak amat indahnya, mengeluarkan bunyi berdesau seperti desau keluhan hatinya di saat itu. Tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di depan, di balik puncak bukit. Kesepiannya yang mencekam itu membuyar dan timbul harapan akan bertemu dengan manusia. Sudah sejak kemarin dulu ia tidak bertemu manusia di daerah yang amat sunyi itu. Maka ia pun bergerak dan berlari menuju ke puncak bukit. Setelah ia tiba di puncak itu, ia berhenti dan memandang dengan penuh kagum ke bawah puncak. Di sana, di padang rumput yang subur ia melihat sekumpulan kuda yang bergerak bebas, sedang makan rumput dan berkejaran. Sekumpulah kuda yang amat baik, akan tetapi pandang mata Ci Sian melekat kepada seekor kuda berbulu hitam yang menjadi pemimpin kuda-kuda itu. Kuda hitam yang bertubuh ramping dan nampak kuat sekali, dengan leher yang panjang dan gerakan yang lincah. Dan dari puncak itu, nampaklah atap-atap rumah di bawah bukit. Pemandangan ini membuat hatinya lega. Bukan hanya sekumpulan kuda yang sedang makan rumput itu yang amat indah dipandang, akan tetapi juga atap rumah-rumah dusun itu. Ia sudah dekat dengan sebuah dusun, akan bertemu dengan manusia, dan akan dapat makan makanan yang pantas.

Dengan hati-hati ia lalu turun dari puncak agar tidak mengejutkan sekelompok kuda itu. Matanya tidak pernah terlepas dari kuda hitam yang amat indah itu, dan diam-diam ia merasa kagum dan suka sekali karena ia maklum bahwa kuda itu amat baik dan jarang ia melihat seekor kuda sebaik itu.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut dan memandang terbelalak ke depan. Ia melihat ada dua orang laki-laki yang menghampiri sekumpulan kuda itu dan anehnya, kuda hitam itu meringkik dengan nyaring, mengangkat kedua kaki ke atas, agaknya untuk memberi tanda kepada teman-temannya dan sekumpulan kuda itu lalu lari cerai-berai! Sikap sekumpulan kuda itu jelas membuktikan bahwa mereka tidak biasa dengan dua orang itu atau melihat orang-orang asing mendekati mereka.

Dan Ci Sian melihat dengan jelas bahwa dua orang itu bermaksud menangkap kuda hitam! Dan ia pun mengerti bahwa dua orang itu ternyata memiliki gerakan yang amat ringan sekali. Seorang di antara mereka, yang bertubuh kecil, kurus dan pendek, dengan gerakan seperti seekor burung terbang telah meloncat ke depan kuda itu dan mengangkat kedua tangan. Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, dan hendak menubruk laki-laki kurus itu. Akan tetapi pada saat kuda itu mengangkat tubuhnya ke atas, kepalanya tinggi-tinggi di udara dan dengan hidung mendengus-dengus, tiba-tiba ada sinar hitam melayang dan ternyata itu adalah sebatang tali laso yang dilemparkan oleh pria ke dua, yaitu yang bertubuh tinggi besar. Cepat sekali tali laso itu meluncur dan si kuda hitam tidak sempat mengelak, tali laso sudah menjerat lehernya. Binatang itu meringkik keras dan meronta-ronta.

“Cepat naik ke punggungnya dan jinakkan dia!” kata orang tinggi besar itu kepada temannya.

Si Kurus Pendek meloncat lagi dan diam-diam Ci Sian kagum karena memang gin-kang dari Si Kurus itu hebat sekali. Sekali meloncat saja Si Kecil itu sudah melayang ke atas punggung kuda hitam itu, dan sudah duduk di atas punggungnya.

Kuda hitam meringkik semakin keras dan tubuhnya menggeliat-geliat, meronta-ronta dan meloncat-loncat, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan berusaha untuk melemparkan orang yang menempel di punggungnya. Akan tetapi Si Kecil itu agaknya memang seorang ahli menunggang kuda, karena seperti seekor lintah dia menempel di atas punggung dan tetap duduk di situ biarpun kuda itu berusaha melemparkannya dengan meloncat-loncat lucu, melekuk-lengkungkan punggungnya sejadi-jadinya. Sampai lama sekali kuda itu meronta-ronta dan Si Kecil itu dengan susah payah berusaha bertahan, diberi semangat oleh temannya dengan teriakan-teriakan.

Ci Sian yang menonton perjuangan kuda hitam itu, yang dengan sekuat tenaga hendak membebaskan diri dari pengganggunya, merasa tegang dan diam-diam ia berpihak kepada si kuda hitam, mengharapkan kuda itu berhasil melempar Si Penunggang dan menang! Maka ia ikut mengepal tinju ketika kuda itu menjerit-jerit dan meringkik-ringkik, dan tiba-tiba saja kuda itu menjatuhkan dirinya ke kanan dan tentu dengan maksud hendak bergulingan agar pengganggu di punggungnya itu tergencat! Orang tinggi besar itu terkejut sekali dan berteriak, “Cepat pergi!”

Tentu saja Si Kecil itu lebih kaget lagi. Dan untung dia memiliki ilmu ginkang yang hebat, maka dia dapat melempar tubuhnya dengan loncatan cepat menghindarkan diri sehingga tidak sampai tergencat! Ci Sian hampir bersorak gembira ketika kuda itu bangun kembali dan meringkik-ringkik seperti yang bersorak karena menang. Akan tetapi, pada saat itu, Si Tinggi Besar yang agaknya menjadi marah, telah menggunakan kedua tangannya untuk memegang ujung tali lasso dan menahan, menariknya dengan kuat. Kuda itu tertarik dan hampir terjatuh, akan tetapi kuda itu bangkit kembali dan mengerahkan tenaga, melawan tenaga tarikan itu. Tali itu tadi agak turun mengalungi pangkal lehernya yang besar dan kini dia menarik sekuat tenaga, ditahan oleh orang tinggi besar itu. Terjadilah pertandingan yang lain lagi dengan tadi. Kalau tadi kuda itu berusaha melempar penunggangnya dan dia berhasil, kini dia mengadu tenaga dengan Si Tinggi Besar yang nampak kuat itu. Si Tinggi Besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang agak merendah dan mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya, kalau temannya tadi seorang ahli ginkang, maka dia sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa!

Kembali Ci Sian, mengepal tinju dan diam-diam ia pun mengerahkan tenaganya seperti hendak membantu kuda hitam itu. Tali yang mengikat pangkal leher kuda itu menegang, tertarik antara dua kekuatan besar dan akhirnya, orang tinggi besar itu menyumpah-nyumpah dan tubuhnya terseret ke depan! Ci Sian sekali ini tidak dapat menahan ketawanya. Untung jarak antara ia dan orang-orang itu cukup jauh sehingga suara ketawanya tidak sampai terdengar orang. Akan tetapi, dua orang itu kini melompat ke depan kuda hitam dan mereka menggerak-gerakkan tangan mereka yang memegang sehelai kain hitam, dikibas-kibaskan di depan muka kuda itu. Dan kuda hitam itu berbangkis-bangkis, meringkik dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian terhuyung-huyung seperti mabok dan menjadi lemas, berdiri dengan kepala menggantung ke bawah, tubuhnya gemetaran.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring! ”Pencuri- pencuri kuda busuk!” Dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang membawa sebatang cambuk kuda. “Tar-tar-tarr!” Cambuk kudanya diledak-ledakkan di udara dan dengan sikap mengancam dia menghampiri dua orang itu. Mendengar bentakan ini, Ci Sian menjadi tertarik dan baru ia tahu bahwa dua orang yang berusaha menangkap kuda hitam itu adalah pencuri-pencuri kuda! Maka ia pun cepat lari ke tempat itu karena ia melihat betapa Si Kecil tadi telah menuntun kuda hitam untuk dibawa lari dari situ, sedangkan Si Tinggi Besar telah menyambut kakek yang memegang cambuk itu dengan permainan tali lassonya.

Pencuri kuda yang bertubuh kecil itu kini sudah menuntun kuda hitam yang menjadi jinak karena pengaruh obat bius yang dikebut-kebutkan dari kain hitam tadi, menjauhi tempat itu sedangan kawannya yang lihai menahan kejaran Si Kakek pemilik kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan kuda itu telah berdiri seorang dara yang cantik dan bersikap gagah, berdiri sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut marah seperti seorang dewasa melihat kenakalan seorang anak-anak saja.

“Eh, maling Cilik! Mau dikemanakan kuda orang ini?” bentak Ci Sian dengan suaralantang. Ia melihat bahwa laki-laki itu tidak muda lagi, akan tetapi karena tubuhnya katai dan kecil, bahkan kalah tinggi olehnya, amat sukar diduga berapa sesungguhnya usianya, akan tetapi melihat wajah yang sudah agak berkeriput itu, tentu tidak kurang dari lima puluh tahun.

Orang pendek kecil itu tadinya terkejut, akan tetapi setelah melihat bahwa yang menghadangnya hanyalah seorang dara remaja yang hanya cantik dan bersikap tabah saja, akan tetapi sama sekali tidak membawa senjata dan tidak menunjukkan seorang ahli silat, dia memandang rendah dan tersenyum lebar. Ci Sian heran melihat betapa orang yang segala-galanya serba kecil itu ternyata mempunyai mulut yang besar. Baru nampak lebarnya ketika tersenyum, karena seolah-olah mukanya robek di tengah-tengah sampai ke telinga.

““Heh, gadis manis, minggilah dan jangan mencampuri urusan orang tua. Sayang kalau sampai pipimu yang halus itu tertabrak kuda hitam dan menjadi terluka. Minggirlah, anak baik, biarkan kakekmu lewat!”

“Hemm, maling kuda adalah maling yang paling busuk di antara segala maling!” kata Ci Sian dan memang apa yang dikatakannya itu benar. Di antara kaum kang-ouw, rata-rata mereka membenci maling kuda, bahkan maling yang paling rendah sekalipun tidak sudi dinamakan maling kuda. Mungkin istilah maling paling busuk di dunia bagi maling kuda ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kuda merupakan milik yang paling penting bagi kehidupan seorang perantau, jadi kalau diambil kudanya, maka perbuatan pencuri itu amatlah kotor dan kejamnya.

Kiranya Si Katai itu pun bukan tidak mengenal kata-kata ini, karena mukanya tiba-tiba berobah merah, bukan hanya karena malu, akan tetapi terutama sekali karena marah, “Bocah setan, engkau memang bosan hidup agaknya!” Dan tubuhnya dengan amat cepatnya melesat ke depan, dan tahu-tahu dia telah menyerang Ci Sian dengan totokan pada pundak dan lambung dara itu! Agaknya maling bertubuh kecil ini memandang rendah kepada Ci Sian, dan disangkanya bahwa sekali serang dia akan dapat merobohkan dara remaja itu. Akan tetapi, dia kecelik bukan main karena begitu Ci Sian menggerakkan tangan kirinya menampar, sebaliknya malah tubuh Si Maling itu sendiri yang terpelanting dan terbanting keras ke atas tanah!

Akan tetapi, dasar ia tidak tahu diri. Dia masih belum mau percaya bahwa dia akan kalah oleh dara remaja itu, maka dengan kemarahan semakin memuncak, dia merangkak bangun dan mencabut sebatang ruyung dari punggungnya. Tanpa mengeluarkan suara lagi dia sudah menerjang maju, menyerang Ci Sian dengan ganasnya. Akan tetapi, kalau hanya kepandaian maling ini saja, masih jauh untuk dapat menandingi Ci Sian. Gadis ini melihat gerakan yang dianggapnya lemah dan lambat, biarpun ia tahu bahwa kakek kecil ini mempunyai kecepatan yang lebih daripada orang biasa. Melihat ruyung menyambar, Ci Sian hanya miringkan sedikit tubuhnya, membiarkan ruyung lewat dan begitu tangan kirinya menyambar, terdengar suara “plakkk!” dan kepala maling itu telah kena tampar di pangkal telinganya. Tubuhnya terputar dan terpelanting, roboh terbanting untuk kedua kalinya, akan tetapi sekali ini agak hebat. Ruyungnya terlepas dan dia mencoba bangkit, akan tetapi matanya menjadi juling karena dia melihat betapa dunia telah berputar di sekelilingnya!

Sementara itu, perkelahian antara kakek pemilik kuda dan maling kuda yang tinggi besar itu terjadi dengan serunya. Kepandaian mereka seimbang, akan tetapi karena Si Tinggi Besar itu memiliki tenaga yang besar dan lebih kuat, Si Kakek terdesak dan sudah beberapa kali dia kena disabet oleh tali lasso itu. Ketika Ci Sian berhasil merobohkan lawannya yang menjadi pening tujuh keliling dann tidak dapat bangkit lagi, dara ini cepat menghampiri mereka yang sedang bertempur. Akan tetapi pada saat itu, Si Tinggi Besar telah berhasil melasso kakek pemilik kuda itu. Untungnya kakek itu dapat meronta sehingga tali tasso itu tidak membelit lehernya, melainkan membelit dadanya dan terjadilah tarik-menarik!

Kakek itu kalah kuat dan hampir terdorong ke depan. Akan tetapi, Ci Sian datang dan dengan tangan kirinya ia memegang tali itu pada tengah-tengahnya, kemudian dengan suatu sentakan tiba-tiba sambil membentak nyaring, ia membuat Si Tinggi Besar itu terpelantlng dan terbanting keras!Si Tinggi Besar terkejut dan marah sekali. Dia melepaskan talinya dan menyerang Ci Sian dengan tubrukan bagaikan seekor harimau menubruk kambing. Dikiranya kalau dia mampu menerkam dara remaja itu, tentu dara itu takkan mampu bergerak lagi. Akan tetapi, Ci Sian sengaja membiarkan orang itu menubruk dekat dan tiba-tiba saja, tubuhnya menyelinap pergi.

“Brukkk....!” Si Tinggi Besar yang sudah merasa yakin akan kemenangannya itu, menubruk tempat kosong dan tengkurap seperti anak-anak menubruk katak dan luput! Dia bangkit dengan muka merah, membalik dan melihat Ci Sian berdiri sambil bertolak pinggang dan tersenyum mengejek, dia lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat itu. Ci Sian melangkahkan kaki kirinya ke belakang, lalu memutar tubuh miring dan ketika lengan yang besar itu menyambar lewat, dengan perlahan ia menggunakan jari tangannya mengetuk jalan darah di dekat siku.

“Tukk....!” Perlahan saja ketukan itu, akan tetapi karena tepat mengenai jalan darahnya Si Tinggi Besar itu mengaduh dan menekuk lengannya yang tiba-tiba saja merajadi kaku dan kejang, pada saat itu, Si Katai sudah kehilangan peningnya dan dia sudah lari menghampiri.

“Siauw-te, mari kita bekuk dulu bocah setan ini!” kata Si Katai kepada Si Tinggi Besar yang juga sudah bangkit kembali sambil menggoyang-goyang kepala seperti hendak mengusir kepeningannya karena terbanting tadi. Si Katai telah memungut lagi ruyungya yang tadi terpental, dan kini Si Tinggi besar juga mencabut sebatang goiok dari punggungnya. Dengan sikap mengancam, dua orang pencuri kuda itu menghampiri Ci Sian yang masih berdiri dengan tenang dan bertolak pinggang. Melihat ini, pemilik kuda tadi yang maklum bahwa dara itu datang membantunva, segera membentak. “Maling-maling keji, jangan mengganggu anak perempuan!”

Akan tetapi Ci Sian berkata halus, “Lo-pek, biarlah. Dua ekor tikus itu harus diberi hajaran keras agar kelak tidak berani lagi mencuri kuda.” Melihat sikap dara itu yang tenang-tenang saja menghadapi ancaman dua orang kasar itu, Si Kakek pemilik kuda lalu diam dan hanya memegang cambuk erat-erat, siap membantu kalau gadis itu terancam bahaya. Dia mulai dapat menduga bahwa tentu gadis itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang lihai, maka sikapnya begitu tenang menghadapi ancaman dua orang bersenjata itu.

Dua orang yang marah itu, dan yang menganggap Ci Sian sebagai batu penghalang yang menggagalkan usaha mereka membawa kuda hitam yang sudah hampir berhasil tadi, dengan marah menerjang dari kanan kiri, menggerakkan ruyung dan golok dengan ganasnya. Akan tetapi, dengan annat mudah Ci Sian mengelak ke sana-sini, ke kanan-kiri dan kadang-kadang melompat tinggi dan semua sambaran senjata itu tidak ada yang mangenai tubuhnya, bahkan menyentuh ujung bajunya saja tidak!

“Lepas senjata!” Tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring dan.... kakek pemilik kuda itu menyaksikan hal yang aneh. Dua orang itu, seperti anggauta pasukan yang diperintah oleh aba-aba komandannya, melepaskan senjata mereka masing-masing! Sebenarnya, tidak terjadi keanehan atau sihir seperti yang disangka oleh kakek itu, melainkan karena kecepatan gerakan Ci Sian tidak terlihat olehnya. Bukan dara ini melakukan sihir, melainkan dengan cepat sekali ia sudah membalas serangan sambil berloncatan mengelak tadi, menotok pundak kanan mereka sambil membentak dan karena totokanya tepat mengenai jalan darah, maka seketika dua orang itu merasa lengan kanan mereka lumpuh, dan tentu saja senjata yang mereka pegang itu terlepas. Dan selagi mereka belum sempat bergerak, dengan tubuh yang masih setengah lumpuh, tiba-tiba Ci Sian menyambar punggung baju Si Kecil, mengangkat tubuhnya tinggi-ttnggi dan melontarkannya ke arah Si Tinggi Besar.

“Brussss....!” Kaki Si Kecil mengenai dada Si Tinggi Besar sedangkan tangan kiri Si Tinggi Besar yang hendak menangkis tadi menghantam muka Si Kecil. Keduanya terpelanting bergulingan.

“Eh, Siauw-te, kenapa kau memukulku?” Si Kecil mengomel.

“Dan engkau menendang dadaku!” Si Tinggi Besar juga membentak.

Keduanya bangkit, akan tetapi tiba-tiba ada tangan kecil halus yang amat kuat mencengkeram tengkuk baju mereka dan sekali Ci Sian menggerakan kedua tangan, kepala dua orang itu bertumbukan.

“Brukkkk....!” Dan keduanya menjadi nanar! Ci Sian lalu memandang ke kanan kiri dan melihat benda-benda hitam di sana, benda-benda hitam kehijauan, yaitu tahi-tahi kuda, ia lalu membawa mereka ke tempat itu dan melemparkan mereka di antara tumpukan tahi-tahi kuda itu sehingga muka mereka berlepotan tahi kuda!

“Nah, pencuri-pencuri kuda harus makan tahi kuda!” katanya sambil tertawa gembira.

“Tar-tar-tarrr....!” Kakek pemilik kuda memainkan pecut kudanya meledak-ledak dan ujung pecut itu menyambar-nyambar mengenai punggung dan tubuh dua orang itu bergantian. “Pencuri-pencuri kuda! harus merasakan lecutan cambuk kuda!” katanya sambil tertawa gembira pula. Sengatan-sengatan ujung pecut itu membuat dua orang pencuri berteriak-teriak kesakitan dan mempercepat mereka merangkak bangun, kemudian sambil melindungi punggung dan pinggul yang disambar lecutan cambuk, dengan muka yang hitam coreng-moreng, terkena kotoran kuda, mereka melarikan diri, diikuti suara ketawa Ci Sian yang merasa betapa lucunya adegan itu dan juga karena hatinya lega dapat memberi hajaran kepada dua orang pencuri yang hendak memaksa kuda hitam yang dikaguminya ltu.

“Li-hiap, terima kasih atas bantuan Li-hiap menggagalkan pencurian kuda itu.”

Ci Sian memandang kakek itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh jangkung kurus akan tetapi wajahnya nampak segar seperti biasa wajah orang-orang tua yang biasa hidup di tempat terbuka, banyak terkena hawa segar dan sinar matahari yang panas.

“Engkaukah yang mempunyai kuda-kuda itu, Lo-pek?” tanya Ci Sian sambil memandang kepada kuda hitam yang masih berdiri dengan kepala tergantung.

“Benar, Nona. Dan kuda hitam itulah yang selalu diincar oleh penjahat. Pencuri-pencuri tadi bukanlah pencuri kuda biasa, Nona. Andaikata tidak ada Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam) itu, tentu mereka tidak akan sudi menyentuh kuda.”

Ci Sian mengangguk. Ia pun tadi melihat bahwa yang hendak dicuri oleh dua orang itu hanya kuda hitam itu saja.

“Hek-liong-ma....? Hemm, seekor kuda yang hebat, Lo-pek. Akan tetapi, kuda itu tadi terkena bubuk yang keluar dari kain hitam, jangan-jangan ia akan sakit.....”

“Tidak, tidak perlu khawatir, Nona. Aku tahu bahwa itulah bubuk bius yang biasa dipergunakan orang untuk menundukkan kuda liar atau binatang buas lainnya. Dengan penggunaan obat itu, maka jelas bahwa mereka tadi adalah pencuri-pencuri kuda yang baik, bukan pencuri kuda biasa.”

“Ah, pekerjaanmu ini cukup berbahaya, Lo-pek. Para penjahat itu tentu tidak mau sudah sebelum berhasil mencuri Hek-liong-ma.”

”Itulah yang menyusahkan hatiku, Li-hiap.... ah, sungguh aneh pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku.... caba saja bayangkan.... kuda ini hanya ditukar untuk makan selama dua hari dan pengobatan kuda yang tidak berapa banyak. Akan tetapi, aku tidak ingin menjual kuda pemberian ini.... aku terlalu mencinta kuda.... dan celakanya, selama berada bersamaku selalu menarik datangnya penjahat-penjahat yang menggangguku! Karena itu, aku ingin menyerahkan kuda ini kepadamu, Li-hiap.”

Ci Sian terkejut sekali. Dengan heran ia memandang kepada pemilik kuda itu, dan memperhatikan apakah orang itu tidak berobah gila. Kuda seperti ini hendak diberikan begitu saja kepadanya? Dan juga orang itu menerimanya begitu saja dari pemberian orang lain?

“Siapakah yang telah menyerahkan kuda ini kepadamu, Lo-pek? Sungguh aneh sekali kalau ada orang memberikan kuda seperti itu kepadamu begitu saja.”

“Seorang pendekar! Sungguh, biar aku tidak pernah melihat dia memperlihatkan ilmu silat, namun mata tuaku tidak akan salah lihat. Dia tentu seorang pendekar yang luar biasa, tentu seorang pendekar sakti!”

“Siapa dia, Paman? Bagaimana ceritanya?”

“Aku tidak tahu dia siapa, pergi dan datang seperti malaikat saja. Dia muncul dengan kuda hitam yang sakit cukup parah, akan tetapi aku sebagai pedagang kuda sejak kecilku tahu bahwa kuda itu hanya lelah dan kurang baik terpelihara. Dia menyerahlam kuda kepadaku, bukan untuk dijual, melainkan untuk diobati dan selama dua hari dia setiap pagi datang minta makanan untuk dua orang. Lalu dia lenyap dan tak pernah datang kembali. Itu terjadi sebulan yang lalu dan kuda hitam itu telah sembuh dan kaulihat sendiri, Li-hiap. Kuda itu memang hebat. Akan tetapi sejak itu, aku diganggu terus-terusan oleh orang-orang jahat yang ingin mencurinya.”

“Tapi...., tapi kuda itu mahal sekali tentu....”“Memang, sebagai pedagang kuda, aku tahu bahwa kuda itu harganya melebihi sepuluh ekor kuda yang baik, dan muda. Akan tetapi, aku menerimanya sebagai hadiah dan sekarang aku pun hendak menghadiahkannya kepadamu. Aku adalah pedagang, maka aku hanya menjual barang yang kubeli. Dan kuda ini kalau berada padaku hanya akan mendatangkan maling-maling belaka, dan memang sudah sepatutnya menjadi tunggangan seorang pendekar. Engkau masih muda, Li-hiap, namun ilmu kepadandaianmu sudah demikian hebat. Engkau agaknya segolongan dsngan Tai-hiap yang memberi kuda ini kepadaku, maka pakailah dia. Jangan khawatir, kuda itu kalau diperlakukan dengan halus, akan jinak dan penurut sekali.”

Kakek itu lalu mengambil sebuah botol kecil berisi tepung putih, memasukkan tepung ke dalam semangkok air dan memberi minum kuda hitam itu. Tak lama kemudian, kuda hitam itu berbangkis-bangkis dan seger kembali. Ia tidak meronta ketika dipasangi kendali oleh kakek itu.

Ketika kakek itu menyerahkan kendali kuda hitam kepada Ci Sian setelah memasangi sela yang lengkap, dara itu menerimanya. “Terima kasih, Lo-pek. Sungguh engkau baik sekali.”

“Tidak lebih baik daripada pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku, Li-hiap. Nah, selamat jalan, Li-hiap, aku sengaja tidak bertanya nama agar kalau ada yang tanya tentang kuda, kukatakan sudah hilang dibawa orang. Habis perkara.”

Ci Sian meloncat dengan hati-hati ke atas sela kuda dan memang benar, kuda itu sama sekali tidak liar atau buas, dan diam saja ketika Ci Sian naik ke atas punggungnya. Agaknya ia dapat membedakan mana perlakuan kasar dan mana yang tidak kasar.

Ci Sian memandang kepada kakek itu. “Lo-pek, jarang bertemu dengan orang aneh sepertimu. Dan sekali lagi terima kasih.”

“Ha-ha, dan jarang bertemu dengan seorang gadis seperti Li-hiap. Tidak ada terima kasih, karena kalau tidak ada Li-hiap, mungkin karena kuda itu nyawaku telah melayang tadi. Selamat jalan!” Dan kakek itu lalu membalikkan tubuh meninggalkan Ci Sian untuk menggiring rombongan kudanya meninggalkan tempat itu.

Ci Sian lalu membedalkan kudanya dan ia merasa gembira bukan main. Kuda hitam itu meloncat dan berlari seperti terbangsaja. Ia merasa betapa angin menentang mukanya dan terdengar suara desir angin di kanan kirinya. Ke empat kaki kuda itu seolah-olah tidak menginjak bumi saking cepatnya. Dan amat enak dan mudah sekali mengendalikannya, seolah-olah sedikit sentuhan pada kendali itu sudah dimengerti oleh Hek-liong-ma arah mana yang dikehendakinya. Benar-benar seekor kuda tunggangan yang baik sekali! Seekor kuda yang telah terlatih baik. Maka heranlah ia mengapa kuda sebaik itu sampai berpisah dari pemiliknya.

Maka ia menuruni lereng menuju ke kaki bukit di sebelah timur di mana ia melihat rumah-rumah pedusunan, di tengah jalan di luardusun, ia melihat tiga orang laki-laki berdiri di depan. Melihat cara mereka berdiri, terang mereka itu sengaja menghadangnya karena mereka itu berdiri di tengah-tengah jalan. Kalau ia melanjutkan larinya kuda, tentu ia akan menabraknya. Akan tetapi, Ci Sian yang tadinya hendak mencoba kudanya dengan jalan membuat kudanya meloncat ke atas, tiba-tiba menahan kendali kudanya ketika ia mengenal bahwa dua di antara tiga orang itu adalah Si Pencuri Kuda yang tinggi besar dan katai tadi! Biarpun muka mereka sudah tidak berlepotan tahi kuda lagi, namun pakaian mereka masih kotor dan ia yakin bahwa bau tahi kuda, tentu masih keras melekat pada tubuh mereka. Akan tetapi, yang ia perhatikan adalah orang ke tiga karena orang ini adalah searang yang berpakaian seperti pendeta, jubah yang lebar dan muka orang itu penuh brewok. Tentu seorang pendeta saikong yang memelihara cambang bauk dan yang mempunyai sepasang mata bundar lebar dan alis yang amat tebal menyeramkan.

“Bocah setan, kalau engkau memang ada kepandaian, hayo lawan Paman guru kami!” kata Si Tinggi Besar dengan nada menantang.

“Hemm, kiranya kalian mengundang paman guru kalian?” kata Ci Sian dan memperhatikan saikong itu. Orang itu usianya tentu kurang dari enam puluh tahun, tubuhnya gemuk tingginya sedang, namun mukanya penuh brewok dan sepasang matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor kelenci gemuk. Sinar mata itu menjelajahi seluruh tubuh Ci Sian, membuat dara ini merasa malu dan marah.

“Hei, mata iblis! Engkau memandang apa?” bentak Ci Sian sambil menambatkan kendali kuda di batang pohon.

“Ha-ha-ha, memandang wajahmu yang cantik, bentuk tubuhmu yang menggairahkan, ha-ha-ha! Biarpun murid-murid keponakanku melaporkan bahwa engkau telah merobohkan mereka, akan tetapi melihat kecantikanmu, biarlah aku mengampunkanmu asal engkau mau menemaniku selama tiga hari, ha-ha-ha!”

Ci Sian adalah seorang dara yang pada dasarnya berwatak jenaka, lincah dan periang. Biasanya, ia suka menggoda orang dan pandai bicara. Akan tetapi, ia paling benci kalau ada laki-laki yang kurang ajar, maka kini mendengar pendeta brewok itu mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya kotor, ia sudah merasa marah bukan main. Betapapun juga, ia dapat menahan kemarahannya dan tersenyum mengejek.

Bersambung ke buku 12