Kisah Si Bangau Merah -3 | Kho Ping Hoo



Kisah Si Bangau Merah Buku 3 | Kho Ping Hoo
Keduanya lalu berlari mendaki lereng dan tak lama kemudian mereka tiba di sebuah pondok sederhana yang kokoh dan yang terletak di dataran dekat puncak, sebuah tempat yang amat indah pemandangan alamnya, dan sejuk hawanya.

"Alangkah indahnya tempat ini...." Gangga Dewi memuji dan dengan wajah berseri ia memandang ke empat penjuru dari tempat ketinggian itu den menghisap hawa udara yang jernih, sejuk dan harum karena di sekitar tempat itu terdapat banyak sekali pohon dan tumbuh-tumbuhan yang sedang berkembang.

Suma Ciang Bun hanya tersenyum girang dan mencatat ucapan Gangga Dewi itu di dalam hatinya. Dia membawa pakaian dalam buntalannya dan tak lama kemudian, mereka berdua sudah menuruni puncak dengan ilmu berlari cepat mereka. Biarpun tidak mengeluarkan suara, keduanya merasa betapa ada kebahagiaan besar menyelubungi hati mereka ketika mereka melakukan perjalanan bersama seperti itu. Tanah dalam hati mereka yang tadinya hampir mengering itu seolah tersiram embun pagi yang sejuk, menerima siraman air yang membuat tanah itu hidup kembali dan bunga-bunga cinta yang tadinya seperti layu kini mekar kembali. Mereka melakukan pengejaran dan mencari jejak Ang I Moli yang melarikan Yo Han dan di sepanjang perjalanan ini, mereka saling menceritakan pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu!

Setelah mendengarkan Ciang Bun menceritakan semua pengalamannya, Gangga Dewi merasa terharu sekali. Kini ia merasa yakin bahwa Ciang Bun memang mencinta dirinya, bukan mencintanya sebagai seorang pemuda yang dulu memakai nama samaran Ganggananda, melainkan mencintainya dengan tulus walaupun sudah tahu bahwa ia seorang wanita, bukan pria seperti yang disangkanya semula. Ciang Bun rela hidup menyendiri, tidak lagi mau mencari pasangan, baik pria maupun wanita. Ia merasa terharu, akan tetapi tidak memperlihatkannya.

"Gangga, sekarang giliranmu untuk bercerita. Aku ingin sekali mendengar tentang semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah sampai sekarang."

Mereka bercakap-cakap di dalam sebuah guha di mana mereka terpaksa melewatkan malam. Jejak Ang I Moli yang mereka dapatkan melewati bukit itu dan karena malam itu gelap, mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan dan terpaksa melewatkan malam di guha itu. Mereka membuat api unggun, dan setelah makan malam, makan roti dan daging kering yang dibawa oleh Ciang Bun dan minum air jernih yang dibawa Gangga sebagai bekal, mereka lalu bercakap-cakap.

"Baiklah, Ciang Bun. Pengalamanku jauh lebih menyenangkan daripada pengalamanmu, walaupun berakhir dengan perasaan kesepian juga." Ia lalu menceritakan tentang pernikahannya dengan seorang panglima Bhutan, hidup berbahagia sampai mempunyai dua orang anak. Akan tetapi setelah kedua orang anaknya berumah tangga, dan suaminya tewas di dalam medan perang, ia merasa kesepian sekali.

"Sudah bertahun-tahun ayahku meninggalkan Bhutan, sejak ibu meninggal. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah, maka aku lalu meninggalkan Bhutan dan mencarinya di timur. Dalam perjalanan, aku bertemu dengan Yo Han yang sedang terancam keselamatannya oleh Ang I Moli itu. Aku menolong Yo Han dan berhasil mengusir Ang I Moli. Ketika mendengar bahwa guru Yo Han yang pertama yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid ayahku, tentu saja aku menganggap Yo Han seperti warga sendiri. Dia yang mengajak aku ke sini untuk menemuimu, karena menurut Yo Han, engkau tentu tahu di mana ayahku berada. Nah, sekarang katakan, di mana ayahku, Ciang Bun? Engkau tahu siapa ayahku, bukan?"

Suma Ciang Bun menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan itu nampak muram. "Tentu saja aku tahu siapa ayahmu, Gangga. Ayahmu dahulu terkenal dengan Julukan Si Jari Maut, bernama Wan Tek Hoat dan sekarang menjadi hwesio dengan Julukan Tiong Khi Hwesio. Benarkah?"

"Benar, dan ayahku selalu memuji-muji keluarga Pulau Es. Di mana dia sekarang?"

"Ketahuilah, Gangga Dewi. Kurang lebih lima tahun yang lalu, ayahmu pergi ke Istana Gurun Pasir, dan tinggal di sana bersama Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya...."

"Bibi Wan Ceng, saudara seayah dari ayahku?" Gangga Dewi memotong.

"Benar, Gangga. Tiga orang tua itu tinggal di Istana Gurun Pasir, hidup dengan tenteram dan bahagia, bahkan mereka bertiga mengambil Tan Sin Hong sebagai murid. Beruntung sekali pendekar itu, sekaligus menjadi murid mereka bertiga."

"Ahhh! Kalau begitu, ayahku kini masih di sana?"

Ciang Bun menarik napas panjang dan sampai lama tidak dapat menjawab, karena dia merasa ragu untuk menerangkan keadaan yang sesungguhnya.

"Ciang Bun, jawablah! Aku bukan anak kecil lagi, aku siap untuk mendengar berita apa pun. Masih hidupkah ayahku? Dan apakah dia masih berada di Istana Gurun Pasir?"

Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Suma Ciang Bun berkata, "Terjadi hal yang menyedihkan dan juga menggemaskan, Gangga. Tiga orang tua itu sudah mengasingkan diri di tempat sunyi itu dan tidak lagi mencampuri urusan dunia, hidup dengan tenang tenteram. Akan tetapi, agaknya orang-orang yang dahulu pernah mereka basmi atau kalahkan, orang-orang sesat dari dunia hitam, agaknya masih menaruh dendam. Orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, dan beberapa orang datuk sesat lainnya, menyerbu Istana Gurun Pasir dan mengeroyok tiga orang tua itu. Akibatnya, biarpun pihak pengeroyok itu banyak yang terluka dan tewas, namun tiga orang Locianpwe itu juga tewas.... ah, maafkan aku, Gangga Dewi, telah menyampaikan berita duka ini."

Akan tetapi Gangga Dewi sama sekali tidak nampak berduka atau terkejut, bahkan ia mengepal tinju dan bangkit berdiri. Wajahnya yang tertimpa api unggun itu kemerahan dan cantik sekali, gagah pula, dan matanya bersinar-sinar.

"Bukan berita duka, Ciang Bun! Aku bangga mendengar ayah tewas seperti itu. Sungguh sesuai dengan wataknya yang gagah. Apalagi tewas dalam menentang para datuk sesat bersama Bibi Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak, aku tidak berduka, apalagi ayah memang telah berusia lanjut. Aku bangga karena dia mati secara gagah perkasa! Akan tetapi aku penasaran kepada mereka yang melakukan penyerbuan itu. Sungguh pengecut dan curang! Mengeroyok tiga orang yang sudah tua dan yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!"

"Begitulah watak orang-orang jahat dari dunia sesat, Gangga."

"Siapakah mereka itu? Kalau engkau tahu, sebutkan namanya satu demi satu, aku akan pergi mencarinya dan membunuh mereka!" kata Gangga Dewi dengan marah.

"Tenanglah, Gangga. Mereka itu sudah tidak ada lagi. Seorang demi seorang telah tewas oleh para pendekar muda, termasuk Tan Sin Hong."

"O ya, mengapa Tan Sin Hong diam saja ketika tiga orang gurunya dikeroyok? Apakah dia tidak membantu, dan kalau demikian, mengapa, dia dapat lolos dan hidup? Apakah dia melarikan diri?"

"Sama sekali tidak. Ketika peristiwa penyerbuan itu terjadi, baru saja Sin Hong menerima sebuah ilmu dari ketiga orang gurunya, bahkan menerima, pengoperan tenaga gabungan mereka. Selama setahun Sin Hong harus memperdalam ilmu itu dan dia sama sekali tidak boleh mempergunakan sin-kang, karena kalau hal itu dilanggar, dia akan tewas oleh tenaganya sendiri! Itulah sebabnya dia tidak mampu membela ketika tiga orang gurunya dikeroyok. Dia ditawan, akan tetapi mampu meloloskan diri dan bersembunyi untuk menyelesaikan ilmu baru itu selama setahun. Setelah itu, baru dia pergi mencari mereka yang membunuh tiga orang gurunya, dan akhirnya setelah bekerja sama dengan para pendekar muda lainnya, dia berhasil menewaskan para penjahat itu. Dia bekerja sama dengan para pendekar muda keturunan Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir."

Gangga Dewi mengangguk-angguk. "Ah puaslah rasa hatiku. Kematian ayah telah dibersihkan dari penasaran oleh para pendekar keluarga Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir! Sungguh merupakan suatu kehormatan besar sekali dan aku ikut merasa bangga dan berbahagia. Tentu arwah dari ayah akan merasa bangga dan puas pula. Ingin aku bertemu dan mengucapkan terima kasihku kepada Tan Sin Hong. Dia masih terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri. Akan, tetapi, bagaimana aku dapat bertemu dengan dia tanpa membawa Yo Han, muridnya yang terculik penjahat? Mari, Ciang Bun, kita percepat usaha kita mencari jejak iblis betina itu."

Mereka lalu berlari cepat dan tiga hari kemudian baru mereka mendapatkan jejak Ang I Moli. Mereka mendapatkan keterangan dari penduduk sebuah dusun di kaki bukit. Tidak begitu sukar mencari jejak Ang I Moli dan dua orang tosu itu. Ang I Moli adalah seorang wanita cantik yang selalu menggunakan pakaian merah. Keadaannya menyolok sekali dan orang yang berjumpa dengannya tidak mudah melupakannya.

Jejak itu menuju ke Propinsi Hu-nan di sebelah selatan. Mereka melakukan pengejaran terus dan hubungan mereka menjadi semakin akrab. Dua orang setengah baya ini merasa seperti menjadi muda kembali dan mereka terkenang akan masa lalu ketika mereka masih sama muda dan juga melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi sekarang perasaan mereka lebih mendalam dibandingkan dahulu karena sekarang agaknya Suma Ciang Bun telah sembuh dari kelainan yang dideritanya. Atau mungkin juga dia tidak berubah, hanya karena sifat Gangga Dewi yang gagah perkasa, keras dan bahkan "jantan" itu yang membuat Ciang Bun semakin jatuh cinta. Andaikata sikap Gangga Dewi lunak dan penuh kewanitaan, belum tentu dia akan merasa demikian tertarik dan jatuh cinta untuk ke dua kalinya. Kalau dahulu dia mencinta Ganggananda, kini dia benar-benar mencinta Gangga Dewi sebagai wanita.

Ketika Gangga Dewi menceritakan tentang keadaan Yo Han yang aneh, Suma Ciang Bun termenung. Mereka menghadapi api unggun di sebuah kuil kosong di luar sebuah dusun di mana mereka terpaksa melewatkan malam karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan.

"Sungguh luar biasa sekali anak itu," katanya termenung. "Dahulu ketika dia kepadaku oleh Sin Hong, aku hanya melihat dia sebagai seorang anak yang luar biasa cerdiknya, berwatak halus dan berpemandangan terlalu dewasa dan luas bagi seorang anak berusia tujuh tahun. Memang sudah menonjol dan aku amat sayang kepadanya, akan tetapi belum memperlihatkan sesuatu yang aneh. Dia tidak pernah berlatih silat akan tetapi luka beracun dan kekuatan sihir tidak mempengaruhinya? Hebat!"

"Aku melihat sesuatu yang mujijat pada diri anak itu, Ciang Bun. Akan tetapi dia tidak mau menceritakan riwayatnya. Sebetulnya, anak siapakah dia?"

Suma Ciang Bun menghela gapas panjang dan sejenak menatap wajah wanita yang amat dicintanya itu. "Aihhh, dunia ini penuh dengan penderitaan. Bahkan orang yang baik hati nampaknya lebih banyak menderita ketimbang orang yang menyeleweng dari pada kebenaran. Mungkin memang demikianlah keadaannya yang wajar. Orang jahat menjadi hamba nafsu, dan penghambaan nafsu ini nampaknya mendatangkan kesenangan. Tentu saja kesenangan duniawi yang palsu. Ayah kandung Yo Han adalah seorang laki-laki bernama Yo Jin, seorang petani yang jujur dan tidak pandai silat. Akan tetapi juga seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tidak berkedip takut menghadapi ancaman maut, berani menentang kejahatan. Bahkan sikapnya yang jantan itulah yang menjatuhkan seorang tokoh seeat, seorang iblis betins cantik yang terkenal dengan sebutan Bi Kwi (Setan Cantik). Bukan hanya menjatuhkan hatinya, akan tetapi setelah mereka menjadi suami isteri, Bi Kwi yang tadinya terkenal sebagai seorang tokoh sesat yang amat jahat dan kejam itu menjadi sadar sama sekali! Ia ikut suaminya menjadi seorang petani di dusun yang mencuci tangannya dari segala macam kekerasan."

"Luar biasa dan menarik sekali!"

"Nah, mereka menikah dan lahirlah Yo Han! Suami isteri itu telah bersepakat untuk tidak memperkenalkan putera mereka dengan kekerasan dan kehidupan dunia persilatan. Mereka tidak mengajarkan ilmu silat kepada Yo Han. Tentu saja hal ini terpengaruh oleh sikap Yo Jin yang tidak suka akan kekerasan, dan juga oleh pengalaman-pengalaman pahit dari Bi Kwi selama ia menjadi tokoh sesat dalam dunia kang-ouw."

"Keputusan yang bijaksana." Gangga Dewi memuji.

"Akan tetapi, latar belakang kehidupan Bi Kwi tidak membiarkan ia hidup tenang dan tenteram. Ada saja penjahat yang menginginkan tenaganya dan orang-orang jahat menculik Yo Han yang baru berusia tujuh tahun, bahkan menculik Yo Jin pula. Karena suami dan puteranya diculik penjahat yang memaksa ia membantu golongan sesat, terpaksa Bi Kwi terjun lagi ke dunia kang-ouw. Suami isteri itu berhasil menukar diri mereka dengan putera mereka yang dibebaskan dan Yo Han diserahkan kepada Tan Sin Hong oleh ayah dan ibunya. Sin Hong menitipkan Yo Han kepadaku, dan dia sendiri bersama para pendekar membasmi penjahat di mana terdapat pula pembunuh-pembunuh yang membunuh kakek dan nenek penghuni istana Gurun Pasir dan juga ayahmu itu. Dan dalam pertempuran itu, ayah dan ibu Yo Han yang juga membalik dan membantu para pendekar menentang golongan sesat yang tadinya mereka bantu demi menyelamatkan putera mereka, tewas sehingga Yo Han menjadi seorang yatim-piatu."

Gangga Dewi berulang kali menghela napas panjang. "Omitohud....! Betapa penuh kekerasan kehidupan manusia di dunia ini. Sekarang aku mengerti mengapa Yo Han tidak pernah mau melatih ilmu silat walaupun dia memiliki suhu dan subo yang berkepandaian tinggi seperti Tan Sin Hong dan Kao Hong Li itu. Hanya yang tetap membuat aku heran, bagaimana dia dapat memiliki kekuatan aneh yang dapat menolak pengaruh racun dan ilmu sihir. Sungguh aneh sekali!"

"Hal itu tentu akan dapat kita ketahui kelak kalau kita berhasil membebaskannya dari tangan Ang I Moli," kata Suma Ciang Bun.

"Mudah-mudahan saja kita tidak akan terlambat," kata Gangga Dewi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan kuil tua itu dan melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat untuk melakukan pengejaran dan mencari Yo Han yang diculik Ang I Moli dan dua orang suhengnya dari, Pek-lian-kauw itu.



***

Siang itu cuaca cerah sekali di Bukit Naga. Matahari amat teriknya. Bahkan hutan di puncak bukit itu yang biasanya gelap karena rindangnya pohon-pohon besar yang sudah puluhan tahun umurnya, kini nampak terang ditembusi cahaya matahari yang kuat. Di langit tidak ada mendung, hanya awan-awan putih berserakan di sana sini, tidak, menghalangi kecerahan sinar matahari, bahkan menjadi hiasan langit yang indah.

Tepat pada tengah hari, nampak bayangan-bayangan orang berkelebat memasuki hutan itu. Hutan yang biasanya amat sepi itu tiba-tiba saja diramaikan oleh kunjungan orang-orang yang memiliki gerakan yang amat ringan dan cekatan. Mula-mula nampak seorang tosu yang usianya sekitar lima puluh tahun, dengan sebatang pedang di punggung. Tosu tinggi kurus itu muncul dengan loncatan yang ringan, berada di atas lapangan rumput yang dikurung pohon-pohon tinggi dan dia memandang ke sekeliling. Pandang matanya yang tajam sudah melihat adanya beberapa sosok bayangan orang yang bergerak dengan cepat dan kini suasana nampak sunyi kembali. Bayangan-bayangan itu agaknya sudah menyelinap dan bersembunyi di balik pohonpohon besar atau semak belukar.

Setelah memandang ke sekelilingnya, tosu ini tersenyum mengejek, dan dia pun berseru dengan suara lantang karena dia mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya langsung keluar dari perut dan terdengar melengking nyaring.

"Sejak kapankah orang-orang Go-bi-pai menjadi pengecut? Setelah orang yang diundang datang memenuhi tantangan, kenapa malah bersembunyi-sembunyi? Keluarlah, orang-orang Go-bi-pai. Pinto (aku) dari Kun-lun-pai sudah datang memenuhi tantanganmu!"

Belum lenyap gema suara itu, nampak sesosok tubuh melayang turun dari puncak sebuah pohon besar. Dengan ringan sekali tubuh itu berjungkir balik beberapa kali dan seorang kakek berusia enam puluh tahun berpakaian seperti seorang petani sederhana telah berdiri di depan tosu Kun-lun-pai itu. Tubuhnya tegap dan kaki tangannya kokoh kuat seperti biasa tubuh seorang petani yang biasa bekerja keras. Kulitnya juga coklat terbakar matahari.

"Siancai....!" Tosu Kun-lun-pai itu berseru dan matanya bersinar penuh kemarahan. "Kiranya Go-bi Nung-jin (Petani Gobi) yang muncul! Hem, engkau petani yang biasa berwatak jujur, katakan, sejak kapan Go- bi-pai memusuhi Kun-lun-pai dan mengirim tantangan? Pinto (aku) mewakili Kun-lun-pai untuk menyambut tantangan Go-bi-pai itu!"

"Ciang Tosu, apa artinya kata-katamu itu? Kami tidak pernah dan tidak akan memusuhi Kun-lun-pai. Kedatanganku kesini pada saat ini bukan sebagai penantang, bahkan aku mewakili Go-bi-pai untuk menyambut tantangan Bu-tong-pai!" Kemudian kakek petani itu memandang ke sekeliling dan dengan lantang dia pun berteriak, "Di mana orang-orang Bu-tong-pai yang telah berani mengirim tantangan kepada Go-bi-pai? Nah, aku datang mewakili Go-bi-pai untuk menerima tantangan itu!"

Tentu saja Ciang Tosu dari Kun-lun-pai merasa heran bukan main, akan tetapi sebelum dia dapat berkata sesuatu, nampak bayangan berkelebat keluar dari balik semak belukar dan di situ telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih. Orang ini berpakaian seperti seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah, matanya tajam memandang kepada kakek petani yang tadi menantang Bu-tong-pai. Sikap orang ini hormat, mungkin karena dia merasa lebih muda. Dia mengangkat kedua tangan di depan dada menghadapi kakek petani Go-bi Nung-jin.

"Go-bi Nung-jin adalah seorang pendekar Go-bi-pai yang gagah. Dan selama ini Bu-tong-pai selalu memandang hormat dan menganggap Go-bi-pai sebagai saudara. Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai, bahkan saya datang ke sini sebagai wakil Bu-tong-pai untuk menghadapi tantangan yang kami terima dari Siauw-lim-pai! Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai atau partai persilatan mana pun juga." Setelah berkata demikian kepada Go-bi Nung-jin yang menjadi terheran-heran, wakil Bu-tong-pai itu pun kini memandang ke sekeliling lalu berseru dengan pengerahan khi-kangnya.

"Orang-orang Siauw-lim-pai dengarlah baik-baik! Kalian telah menantang Bu-tong-pai dan inilah aku, Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai mewakili partai kami untuk menerima tantangan kalian!"

Mendengar ucapan wakil Bu-tong-pai ini, Go-bi Nung-jin dan Ciang Tosu saling pandang dengan heran. Dan pada saat itu terdengar suara halus namun terdengar jelas dan menggetarkan, "Omitohud....! Agaknya dunia sudah akan kiamat! Apa yang terjadi sungguh aneh!" Dan muncullah seorang hwesio berusia lima puluhan tahun.

Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai segera memberi hormat. "Kiranya Loan Hu Hwesio yang datang untuk mewakili Siauw-lim-pai yang menantang Bu-tong-pai. Nah, saya yang mewakili Bu-tongpai untuk menerima tantangan yang membuat kami merasa penasaran sekali itu!" Karena Phoa Cin Su agaknya sudah mengenal benar siapa hwesio Siauw-lim-pai ini, dia pun segera meloloskan pedangnya dari pinggang dan siap untuk bertanding!

Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud....! Phoa-sicu harap bersabar dulu. Ketahuilah bahwa Siauw-lim-pai selalu memandang Bu-tong-pai dengan hormat dan sebagai rekan, bagaimana Siauw-lim-pai dapat mengirim tantangan? Pinceng (aku) datang ini pun sebagai wakil Siauw-lim-pai yang menerima tantangan dari Kun-Lun-pai!"

Tentu saja wakil-wakil dari empat perkumpulan atau partai persilatan terbesar di seluruh negeri itu menjadi terheran-heran mendengar ini. Kun-lun-pai menerima tantangan dari Go-bi-pai, Go-bi-pai menerima tantangan dari Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menerima tantangan dari Siauw-lim-pai dan kini Siauw-lim-pai menerima tantangan dari Kun-lun-pai Apa artinya semua ini?

"Siancai....!" Ciang Tosu berseru heran. "Bagaimana kami dapat menantang Siauw lim-pai yang kami anggap sebagai sahabat dan juga sumber segala ilmu yang kami miliki? Itu tidak mungkin sama sekali!”

“Omitohud, demikian pula Siauw-lim-pai tidak pernah menantang Bu-tong-pai," kata Loan Hu Hwesio dari Siauw-lim-pai.

"Saya juga berani memastikan bahwa Bu-tong-pai tidak pernah menantang Go-bi-pai," kata Phoa Cin Su.

"Dan Go-bi-pai juga tidak mungkin menantang Kun-lun-pai!" kata Go-bi Nung-jin.

"Omitohud...." Kini hwesio Siauw-lim-pai itu mengangkat kedua tangannya ke atas. "Harap Cu-wi bersabar dulu. Para suhu pimpinan di Siauw-lim-pai tidak mungkin keliru. Ketika mengutus pinceng turun gunung memenuhi tantangan itu, pinceng sendiri melihat surat tantangan yang ditandai dengan cap dari Kun-lun-pai."

Ciang Tosu dari Kun-lun-pai, Phoa Cin Su dari Bu-tong-pai, dan Go-bi Nung-jin dari Go-bi-pai serempak menyatakan. Bahwa mereka pun melihat keaselian surat tantangan yang diterima pimpinan masing-masing, surat-surat tantangan itu pun memakai tanda cap dari partai yang menantang.

"Omitohud....! Kalau begitu, tentu ada pemalsuan. Ada pihak lain yang sengaja mengirim surat-surat tantangan itu untuk mengadu domba atau hendak mengacau keadaan. Kita harus waspada!"

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak. Suara ini bergema ke empat penjuru sehingga sukar diketahui dari mana asal suara itu. Empat orang wakil dari empat perkumpulan silat besar itu maklum bahwa ada orang pandai muncul, maka mereka pun sudah siap siaga. Ciang Tosu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Phoa Cin Su juga sudah mencabut pedang. Go-bi Nung-jin menyambar senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cangkul yang gagangnya lurus seperti toya, dan hwesio Siauw-lim-pai yang tidak pernah bersenjata itu siap dengan pengerahan sin-kang dan setiap urat syarafnya menegang. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang yang memiliki tingkat kedua dari perguruan masing-masing.

"Ha-ha-ha-ha-ha....!" Suara ketawa yang bergema di empat penjuru itu disusul oleh kata-kata yang juga mengandung getaran kuat. "Kalian berempat seperti tikus-tikus yang terjepit!" Tiba-tiba saja muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi besar bermuka merah dan dia mengenakan jubah lebar yang berwarna merah pula. Pakaiannya seperti seorang pendeta, akan tetapi rambutnya digelung rapi dan mengkilap bekas minyak, dan jepitan rambutnya merupakan perhiasan dari emas permata yang mahal. Akan tetapi di balik jubah merah itu nampak baju ketat sulaman benang perak yang gemerlapan. Di antara empat orang tokoh partai-partai persilatan besar itu, hanya Loan Hu Hwesio yang mengenal orang ini. Hwesio ini menjura dengan sikap hormat kepada kakek tinggi besar bermuka merah itu.

"Ah, kiranya Lauw Eng-hiong (Orang Gagah she Lauw) yang datang. Tidak tahu apa alasannya engkau datang-datang memaki kami empat orang wakil partai-partai persilatan?"

"Huh!" kakek tinggi besar itu mendengus dengan sikap mengejek. "Apalagi kalian ini kalau bukan tikus-tikus pengkhianat bangsa, atau anjing-anjing, penjilat penjajah Mancu?"

Phoa Cin Su, jago dari Bu-tong-pai itu menjadi merah mukanya karena marah. "Loan Hu Hwesio, siapakah orang yang sombong dan bermulut lancang ini?"

Sebelum hwesio Siauw-lim-pai itu menjawab, kakek tinggi besar itu sudah mendahuluinya. "Kalian wakil-wakil Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai. Ketahuilah bahwa kalian berhadapan dengan aku Lauw Kang Hui, wakil Ketua Thian-li-pang!"

Tiga orang itu terkejut. Tentu saja mereka sudah mendengar nama besar perkumpulan Thian-li-pang, sebuah perkumpulan orang-orang yang menamakan diri mereka patriot dan yang dengan gigih menentang pemerintah, yaitu penjajah Mancu dan memberontak di mana-mana untuk menjatuhkan pemerintah penjajah. Akan tetapi di antara para anak buah Thian-li-pang, banyak pula yang melakukan penyelewengan dan mereka itu melakukan kejahatan mengandalkan kekuatan mereka, mengganggu rakyat dengan perampokan dan pemerasan. Maka, dari empat buah perkumpulan persilatan besar itu, tentu sudah pernah murid-murid mereka bentrok dengan orang Thian-li-pang yang melakukan kejahatan.

"Siancai, kalau begitu agaknya Thian-li-pang yang membuat undangan palsu kepada kami empat perguruan tinggi. Benarkah begitu?" kata Ciang Tosu dari Kun-lun-pai.

"Ha-ha-ha, memang benar! Kami yang membuat undangan palsu. Empat perguruan silat seperti perkumpulan kalian hanyalah perkumpulan pengkhianat dan pengecut. Kalian tidak menentang penjajah, tidak mau bekerja sama dengan kami bahkan menentang kami dan banyak sudah anak buah kami yang tewas di tangan kalian!"

"Hemm, apa anehnya itu? Kami bukanlah perkumpulan pemberontak, kami tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan. Kalau murid-murid kami menentang murid-murid Thian-li-pang, tentu bukan perkumpulannya atau pemberontakannya yang ditentang, melainkan perbuatan jahat yang dilakukan para murid Thian-li-pang. Kami adalah perkumpulan para pendekar yang menentang kejahatan, kapan saja, di mana saja dan dilakukan siapa saja!" kata Go-bi Nung-jin.

"Benar sekali itu!" kata Phoa Cin Su. "Murid-murid kami pernah menentang anggauta Thian-li-pang, bukan karena mereka memberontak terhadap pemerintah, melainkan karena mereka itu merampok dan memeras rakyat jelata!"

"Ha-ha-ha-ha, sudah berada di ambang maut, kalian masih bermulut besar! Kalian berempat bersiaplah untuk mampus dan menjadi penyebab pertentangan antara perkumpulan kalian sendiri!" Lauw Kang Hui tertawa dan pada saat itu muncullah seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Ang I Moli Tee Kui Cu dan dua orang suhengnya dari Pek-lian-kauw, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu. Munculnya tiga orang ini disusul munculnya belasan orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang mengepung tempat itu!

"Omitohud....!" kata Loan Hu Hwesio ketika melihat orang-orang Pek-lian-kauw yang dapat dikenal dari gambar teratai putih di dada mereka. "Kiranya Thian-li-pang bersekongkol pula dengan perkumpulan siluman jahat, agama palsu Pek-lian-kauw!"

"Kepung! Bunuh mereka!" Lauw Kang Hui sudah memberi aba-aba dan dia sendiri sudah mencabut sebatang golok besar dan menyerang Loan Hu Hwesio! Golok besar yang berat itu menyambar dengan cepat, berubah menjadi sinar perak yang amat kuat menyambar ke arah leher Loan Hu Hwesio. Pendeta Siauw-lim-pai ini cepat mengelak dengan menundukkan muka dan menggeser kakinya sehingga tubuhnya mendorong ke kanan dan dari jurusan ini, lengan kirinya meluncur dan dari jari tangannya menghantam ke arah lambung lawan. Lauw Kang Hui mengelebatkan goloknya menyambut hantaman ini sehingga terpaksa Loan Hu Hwesio menarik kembali lengannya yang diancam babatan golok, lalu kakinya yang menendang dengan cepat dan kuat ke arah perut lawan. Hebat memang gerakan silat tangan kosong dari hwesio Siauw-lim-pai ini dan memang ilmu silat Siauw-lim-pai merupakan ilmu silat yang paling tua dan bahkan menjadi sumber daripada ilmu-ilmu silat lainnya.

Namun Lauw Kang Hui bukan seorang lemah. Dia juga sudah mempelajari banyak macam ilmu silat, di antara ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai sehingga dia mengenal gerakan lawan, maka dia dapat menjaga diri dan membalas dengan dahsyat pula. Terjadilah serang menyerang yang seru antara dua orang ini. Akan tetapi ada beberapa orang anggauta Thian-li-pang yang membantu wakil ketua mereka sehingga hwesio Siauw-lim-pai ini dikeroyok dan terdesak hebat. Dia hanya bersenjatakan kaki tangan dibantu dua ujung lengan bajunya yang longgar dan panjang.

Ang I Moli sudah menerjang Phoa Cin Su, jagoan Bu-tong-pai dengan pedangnya. Phoa Cin Su menyambut dengan pedang pula dan dua orang ini pun segera bertarung dengan seru. Seperti juga Lauw Kang Hui, wanita ini dibantu oleh lima orang anggauta Thian-li-pang sehingga tentu saja Phoa Cin Su segera terdesak. Menghadapi Ang I Moli seorang saja dia sudah menemukan tanding yang tidak ringan, apalagi kini dikeroyok!

Ciang Tosu diserang oleh Kwan Thian-cu yang menggunakan golok, juga Kwan Thian-cu dibantu oleh lima orang anggauta Pek-lian-kauw sehingga tosu dari Kun-lun-pai itu pun terdesak hebat. Sementara itu, Kui Thian-cu dan lima orang anggauta Pek-lian--kauw lainnya telah mengepung dan mengeroyok Go-bi Nung-jin yang bersenjata cangkul.

Memang Lauw Kang Hui yang mengirim surat tantangan kepada empat penguruan itu telah merencanakan siasatnya lebih dahulu sehingga kini empat orang itu terkurung dan terkeroyok seperti yang telah direncanakan. Setelah usaha Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar gagal, juga usaha mereka mengajak Siang Hong-houw bersekongkol membunuh Kaisar tidak berhasil bahkan mereka kehilangan Ciang Sun, tokoh Thian-li-pang yang tewas dalam usahanya membunuh Kaisar, Thian-li-pang lalu menggunakan siasat lain. Para pimpinannya berkumpul dan mengatur rencana. Pertama, mereka mengadakan persekutuan dengan Pek-lian Kauw, agama sesat yang juga merupakan perkumpulan yang memberontak terhadap pemerintah. Dan kedua, mereka merencanakan siasat adu domba untuk mengacaukan dunia persilatan sehingga para pendekar dari empat perguruan silat yang besar akan saling bermusuhan dan tidak ada kesempatan lagi untuk menentang mereka dan membantu pemerintah kalau mereka melancarkan gerakan pemberontakan. Demikianlah, surat tantangan kepada empat buah perkumpulan besar itu diatur dan kini para wakil empat perkumpulan itu dikepung dan dikeroyok, dipimpin oieh Lauw Kang Hui yang menjadi wakil Ketua Thian-li-pang.

Pek-lian-kauw mewakilkan kepada Ang I Moli, Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu bersama sepuluh orang anggauta Pek-lian-kauw untuk membantu gerakan menjebak para tokoh empat perkumpulan besar itu.

Seperti kita ketahui, Ang I Moli dan dua orang suhengnya itu melarikan diri dari kejaran Gangga Dewi yang dibantu Suma Ciang Bun. Ia menculik Yo Han dan membawa anak itu melarikan diri. Mereka berhasil lolos dari pengejaran dua orang sakti itu dan tiba di sarang Pek-lian-kauw yang kebetulan sekali menerima para pimpinan Thian-li-pang untuk mengadakan persekutuan.

Ketika empat orang wakil pimpinan para perguruan besar itu dikeroyok, Ang I Moli yang tidak pernah melepaskan Yo Han dari pengawasannya, menggantung anak itu di atas pohon! Yo Han dapat melihat dan mendengar semua yang terjadi, akan tetapi walaupun hatinya merasa penasaran dan marah, dia tidak berdaya. Kaki tangannya terbelenggu dan dia digantung jungkir balik di cabang pohon yang tinggi itu! Dia hanya dapat menonton dan mendengarkan, dan hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat betapa kejahatan mengganas tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Makin nampak olehnya betapa jahatnya orang-orang yang memiliki ilmu silat, dan betapa celaka orang-orang yang berada di pihak kebenaran apabila mereka menjadi pendekar silat. Andaikata empat orang itu merupakan orang-orang biasa, petani-petani yang tidak pandai ilmu silat, tidak mungkin kini mereka dikeroyok oleh orang-orang yang baginya nampak seperti srigala-srigala yang haus darah itu!

Akhirnya terjadi apa yang dikhawatirkan Yo Han yang tidak berdaya itu. Mula-mula Loan Hu Hwesio yang roboh. Seperti juga tiga orang tokoh lainnya, setelah dikeroyok selama lima puluh jurus yang dipertahankannya dengan mati-matian, Loan Hu Hwesio sudah menderita luka-luka. Pada suatu saat yang baik, dia berhasil memukulkan kedua tangannya ke arah dada Lauw Kang Hui dengan pengerahan tenaga sekuatnya tanpa mempedulikan lagi perlindungan diri sendiri. Dia ingin mengadu nyawa dengan wakil Ketua Thian-li-pang itu. Pukulannya berhasil mengenai sasarannya dengan tepat sekali.

"Pukkkk....!" Kedua telapak tangan itu mengenai dada yang bidang dari Lauw Kaing Hui. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Loan Hu Hwesio ketika kedua telapak tangannya bertemu dengan benda yang keras. dan kuat sekali. Pada saat kedua tangannya menghantam dada, Lauw Kang Hui sama sekali tidak mengelak bahkan membarengi dengan gerakan goloknya ke arah lambung lawan. Dan hanya sedetik setelah kedua tangan hwesio itu menghantam dada, ujung golok juga menyabet lambung dan merobek lambung perut Loan Hu Hwesio!

Lauw Kang Hui terhuyung ke belakang oleh pukulan itu, akan tetapi Loan Hu Hwesio terkulai roboh mandi darah! Wakil Ketua Thian-li-pang itu tidak terluka karena di balik jubah merahnya, dia menggunakan baju ketat dari sulaman benang perak yang membuat tubuhnya kebal!

"Jangan bunuh dulu!" bentak Lauw Kang Hui kepada para pembantunya yang tadinya hendak menghujankan senjata karena marah. Beberapa orang kawan mereka yang mengeroyok juga tadi dirobohkan hwesio yang lihai itu.

Robohnya Loan Hu Hwesio yang terluka parah disusul robohnya Ciang Tosu oleh Kwan Thian-cu dan teman-temannya Ciang Tosu roboh dengan luka parah di lehernya, membuat dia roboh pingsan dengan darah mengucur keluar dari luka itu. Phoa Cin Su juga roboh oleh tusukan pedang Ang I Moli pada dadanya, sedangkan Go-bi Nung-jin yang tadi mengamuk dengan hebat, roboh pula oleh bacokan pedang Kui Thian-cu yang mengenai pinggangnya.

Seperti juga Lauw Kang Hui, tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu melarang anak buah mereka membunuh orang yang dikeroyok dan telah roboh terluka parah. Kemudian, Lauw Kang Hui memberi isyarat kepada tiga orang sekutunya. Mereka mengangguk. Kwan Thian-cu lalu mengambil cangkul yang tadi dipergunakan Go-bi Nung-jin sebagai senjata dan dengan senjata ini dia lalu menghantam ke arah kepala Ciang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang sudah roboh tak berdaya ini. Tanpa dapat mengeluarkan keluhan lagi. Ciang Tosu yang dihantam cangkul itu tewas dengan kepala luka besar oleh cangkul.

Kini Kui Thian-cu mengambil pedang milik Phoa Cin Su dan dengan pedang itu dia pun menyerang kepala Go-bi Nung-jin. Tokoh Go-bi-pai ini pun tewas seketika dengan kepala terluka hebat oleh pedang itu.

Lauw Kang Hui yang tadi merobohkan Loan Hu Hwesio mempergunakan pedang milik Ciang Tosu dari Kun-lun-pai tadi untuk membunuh bekas lawannya itu dengan melukai kepalanya pula.

Kini tinggallah Poa Cin Su. Karena mereka mengatur siasat agar empat orang saling bunuh sesuai dengan bunyi surat tantangan masing-masing, maka seharusnya Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai terbunuh oleh murid Siauw-lim-pai yang mengirim surat tantangan. Akan tetapi Loan Hu Hwesio tidak pernah menggunakan senjata, maka Ang I Moli merasa ragu-ragu bagaimana harus membunuh murid Bu-tong-pai itu.

"Mudah saja," kata Lauw Kang Hui sambil tersenyum. "Aku pernah mempelajari ilmu pukulan Kang-see-ciang (Tangan Pasir Baja) dari Siauw-lim-pai. Biar kupukul dia dengan ilmu itu." Lauw Kang Hui lalu menghampiri tubuh Phoa Cin Su yang sudah tergolek dan tarluka parah tanpa mampu bangkit itu. Dia lalu menggerak-gerakkan jari tangan kanannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan, lalu dipukulkannya telapak tangan kanannya ke arah kepala Phoa Cin Su. Terdengar suara keras dan kepala itu menjadi retak, dan Phoa Cin Su tewas seketika. Ada tanda telapak tangan dengan sebagian jari-jarinya pada pipi dan pelipis yang terpukul!

Biarpun dia harus beberapa kali memejamkan mata karena merasa ngeri, Yo Han dapat melihat semua itu. Dia seorang anak yang cerdik, maka setelah melihat dan mendengar kesemuanya itu, dia pun mengerti apa yang menjadi siasat keji dari orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Diam-diam dia merasa penasaran bukan main. Bahaya besar mengancam keamanan negeri, pikirnya. Tentu dua gerombolan penjahat yang bersekutu itu akan mengirimkan mayat-mayat itu sebagai bukti kepada perguruan masing-masing yang telah menerima surat tantangan dan dengan demikian maka empat perguruan besar itu akan saling bermusuhan! Sungguh tipu muslihat yang amat jahat dan kejam.

Dia melihat betapa mereka membawa pergi mayat-mayat itu, akan tetapi dia tak dapat menahan kemarahannya. "Ang I Moli! Engkau telah membiarkan dirimu terseret ke dalam perbuatan yang paling keji dan jahat yang pernah kulihat! Apakah engkau tidak takut akan akibat dari perbuatanmu itu? Tuhan pasti akan menghukummu, Ang I Moli!"

Suara anak itu lantang sekali, mengejutkan Lauw Kang Hui yang tidak pernah tahu bahwa Ang I Moli datang membawa anak kecil yang kini digantung di pohon. Dia menoleh dan melihat anak yang tergantung dengan kepala di bawah itu, dia terbelalak.

"Moli,, siapa dia?"

Ang I Moli tersenyum, "Aih, jangan perhatikan dia. Dia itu punyaku!” wanita ini lalu meloncat ke atas pohon, melepaskan ikatan tangan kaki Yo Han dan mengempit tubuh anak itu lalu membawanya meloncat turun. Sementara itu, ketika Ang I Moli sibuk menurunkan Yo Han tadi, Lauw Kang Hui mendengar dari dua orang tosu Pek-lian-kauw bahwa anak itu adalah seorang anak luar biasa dan Ang I Moli hendak menghisap darah anak itu untuk memenuhi persyaratannya melatih ilmu rahasianya.

Lauw Kang Hui merasa tertarik sekali, maka ketika Ang I Moli sudah menurunkan Yo Han, dia cepat menghampiri. Kini Yo Han sudah diturunkan dan anak itu berdiri dengan gagah walaupun tubuhnya terasa nyeri semua dan kepalanya masih pening karena terlalu lama digantung terbalik. Lauw Kang Hui melihat sepasang mata yang begitu jernih akan tetapi juga tajam tanpa dibayangi takut sedikit pun.

“Anak baik, siapa namamu?” tanyanya

“Namaku Yo Han. Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah seorang yang berkedudukan tinggi, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, akan tetapi mengapa melakukan perbuatan yang demikian keji dan pengecut?”

Kembali Lauw Kang Hui terbelalak dan memandang penuh kagum. Bukan main anak ini! Begitu beraninya. Dan sinar mata itu demikian jernih. Suara itu demikian lembut.

“Moli, titipkan anak itu kepada ketua suhengmu. Aku ingin bicara penting denganmu,” kata Lauw Kang Hui.

“Ada urusan apakah, Lauw Pangcu (Ketua Lauw)?” tanya Moli setelah mereka pergi agak jauh agar percakapan mereka tidak didengarkan orang lain, terutama Yo Han. Biarpun dia wakil Ketua Thian-li-pang, namun dia selalu disebut Lauw Pangcu.

“Kuharap engkau suka berterus terang saja, Moli. Anak itu, Yo Han itu, untuk apakah kautawan?”

Ang I Moli tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih. “Aih, itu urusan pribadiku, Lauw Pangcu. Kenapa sih engkau ingin sekali mengetahui urusan pribadi orang?” Ia tersenyum dan melirik manja.

“Katakan saja terus terang. Bukankah engkau ingin menghisap darahnya untuk memenuhi persyaratan engkau mempelajari sebuah ilmu rahasia?”

Ang I Moli terbelalak, lalu menoleh ke arah dua orang suhengnya yang berdiri di sana sambil menjaga Yo Han. “Hemm, tentu dua orang lancang mulut itu yang membocorkannya kepadamu!”

“Apa salahnya, Moli? Kita bukan orang lain. Katakan saja terus terang.”

“Benar, Lauw Pangcu.”

“Kalau begitu, biarlah kutukar dengan seorang anak laki-laki lain untukmu. Yo Han itu berikan saja kepadaku!”

Ang I Moli menatap tajam wajah wakil ketua itu dengan penuh selidik. Kemudian dengan alis berkerut ia berkata, “Hemm, tentu saja aku keberatan, Lauw Pangcu. Anak itu sama harganya dengan dua belas orang perjaka remaja! Sayang dia masih terlalu kecil. Aku harus menanti satu dua tahun lagi....”

“Kalau begitu, biar kutukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang tampan dan sehat! Dan akan kupilihkan mereka yang sudah agak dewasa sehingga engkau tidak perlu menanti sampai satu dua tahun lagi. Anak itu bertingkah dan tentu akan repot sekali menawannya selama satu dua tahun. Bagaimana?”

Tawaran ini menarik hati Moli. Memang ia seringkali merasa jengkel dengan Yo Han. Setelah melarikan anak ini selama kurang lebih tiga bulan, ia sampai bosan mencoba untuk menjatuhkan anak ini ke dalam pelukannya. Berbagai macam cara sudah ia pergunakan. Dengan sihir bantuan dua orang suhengnya. Dengan ramuan obat dan racun. Dengan totokan. Dengan siksaan. Semua tidak ada gunanya. Sihir dan racun agaknya tidak mempengaruhi anak itu. Juga ancaman, siksaan dan bujuk rayu tidak mempan! Untuk mendapatkan darah anak itu melalui penghisapan darahnya melalui mulut begitu saja, selain ia merasa muak juga daya gunanya banyak berkurang. Ia membutuhkan hawa murni dari tubuh anak itu.

“Hemm, usulmu menarik juga, Lauw Pangcu. Akan tetapi kalau aku sudah berterus terang, kuharap engkau juga suka berterus terang. Untuk apakah engkau menginginkan Yo Han?”

Lauw Kang Hui menghela napas panjang. “Engkau tahu siapa kini yang paling tinggi kedudukan atau tingkatnya di Thian-li-pang?”

“Tentu saja Ouw Pangcu, suhengmu.” jawab Ang I Moli tanpa ragu lagi. “Kalau bukan Sang Ketua yang paling tinggi tingkat dan kedudukannya, habis siapa lagi.”

“Bukan dia.”

“Ah, aku tahu. Tentu guru kalian, Locianpwe Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun)! Akan tetapi dia sudah tidak lagi mengurus Thian-li-pang, bukan?”

“Memang Suhu tidak lagi mengurus Thian-li-pang dan tingkatnya lebih tinggi daripada suheng dan aku. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan Suhu.”

“Wah, kalau begitu aku tidak tahu lagi.”

“Yang paling tinggi tingkatnya di antara kami di Thian-li-pang adalah Su-pek (Uwa Guru) Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)!”

“Ahhh....? Tapi.... bukankah beliau sudah.... sudah tidak ada lagi?”

“Tidak ada di dunia ramai maksudmu. Akan tetapi beliau masih hidup. Dan Supek yang baru-baru ini memesan kepadaku bahwa kalau aku bertemu dengan seorang anak yang berbakat luar biasa, aku harus membawa anak itu menghadap Supek. Nah, ketika aku melihat Yo Han, aku tertarik dan siapa tahu, anak seperti itulah yang dicari Supek.”

“Lauw Pangcu, aku senang sekali dapat membantu Locianpwe Thian-te Tok-ong! Siapa tahu kelak beliau suka membantuku kembali sebagai imbalan jasaku.”

“Hemm, bantuan apakah yang kau kehendaki, Moli?”

“Ilmu rahasia yang akan kulatih merupakan ilmu yang mengandung hawa beracun. Aku ingin memohon bantuan Locianpwe Thian-te Tok-ong untuk membuatkan obat penawarnya.”

“Baik, akan kusampaikan kepada Supek kalau dia dapat menerima Yo Han, tentu dia akan suka membantu.”

Tepat seperti telah diduga oleh Yo Han, mayat keempat orang tokoh perguruan-perguruan silat besar itu dikirim ke perguruan masing-masing. Hanya bedanya, bukan seluruh mayatnya yang dikirim, melainkan hanya kepalanya saja! Kepala-kepala itu diberi obat, dengan cara direndam- sehingga tidak membusuk, dimasukkan ke dalam guci besar, direndam dan ditutup rapat, dimasukkan peti lalu dikirimkan ke perguruan masing-masing melalui piauw-kiok (kantor pengiriman barang).

Dapat dibayangkan betapa gemparnya para perguruan itu ketika menerima kiriman kepala. Dan petugas pengiriman itu mengaku sesuai dengan pesanan pengirim peti itu. Pengirim peti ke Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim) mengatakan bahwa orang yang mengirim peti itu mengaku sebagai seorang murid Kun-Lun-pai. Petugas pengiriman peti untuk Kun-lun-pai mengaku disuruh seorang murid Go-bi-pai. Petugas pengiriman peti untuk Go-bi-pai mengaku disuruh seorang murid Bu-tong-pai. Petugas pengiriman peti untuk Bu-tong-pai disuruh seorang murid Siauw-lim-pai.

Tentu saja para murid perguruan-perguruan silat itu menjadi marah bukan main. Mula-mula para ketua masing-masing memang masih meragukan kebenaran keterangan para pengirim barang itu. Ketika mereka menerima tantangan-tantangan itu, para ketua mengirim murid-murid terpandai untuk memenuhi undangan di Bukit Naga, untuk membuktikan sendiri apakah benar ada tantangan seperti dalam surat yang mereka terima. Kini, murid-murid itu kembali tinggal kepala saja dan ketika mereka melakukan pemeriksaan jelas bahwa murid-murid itu memang tewas oleh senjata lawan dari perguruan yang mengirim tantangan. Biarpun sudah terjadi hal ini, tetap saja para pimpinan perguruan-perguruan itu masih belum yakin benar. Mereka adalah orang-orang sakti yang tahu benar bahwa perguruan yang mengirim tantangan adalah golongan bersih, para pendekar yang tidak pernah bermusuhan dengan mereka, bahkan bersahabat. Bagaimana tiba-tiba saja timbul tantangan, bahkan kini melakukan pembunuhan terhadap murid yang mereka utus untuk memenuhi undangan di Bukit Naga itu? Bagaimanapun juga, terbukti bahwa murid mereka tewas.

Biarpun para pimpinan masih ragu-ragu, namun para muridnya tak dapat menahan lagi kemarahan dan sakit hati mereka. Terjadilah bentrokan-bentrokan di antara empat partai persilatan besar itu. Setiap kali terjadi pertemuan, murid-murid Kun-lun-pai menyerang murid-murid Go-bi-pai. Go-bi-pai menyerang Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menyerang Siauw-lim-pai dan sebaliknya Siauw-lim-pai menyerang Kun-lun-pai. Terjadi beberapa kali bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik yang terluka maupun yang tewas. Dan setelah terjadi bentrokan-bentrokan, mau tidak mau para pimpinan partai masing-masing ikut pula terseret. Dan mulailah terjadi pertentangan di antara empat partai persilatan besar itu, sesuai dengan apa yang diinginkan Thian-li-pang yang bersekongkol dengan Pek-lian-kauw!

***

Yo Han diserahkan kepada Lauw Kang Hui oleh Ang I Moli dan sebagai gantinya, wanita iblis itu oleh Lauw Kang Hui disuguhi pemuda-pemuda remaja seperti yang dijanjikannya. Remaja-remaja itu satu demi satu mati kehabisan darah dalam pelukan iblis betina itu.

Yo Han diajak ke pusat Thian-li-pang oleh Lauw Kang Hui. Dia diperlakukan dengan baik. Bahkan Lauw Kang Hui membujuknya dan berusaha menyadarkan anak itu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan patriot yang hendak membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu. Namun, semua itu percuma. Yo Han tidak dapat melupakan peristiwa mengerikan yang dilihatnya di Bukit Naga dan bagaimanapun juga, dia tetap menganggap bahwa orang-orang Thian-li-pang bukanlah orang-orang baik. Penuh tipu muslihat dan kejam. Dia sudah banyak membaca tentang para pahlawan yang dengan setulusnya hati berjuang membela tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk diri sendiri. Akan tetapi, apa yang diperlihatkan orang-orang Thian-li-pang di Bukit Naga itu tidak ada hubungannya dengan perjuangan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah! Bahkan Thian-li-pang mengadu domba antara perguruan-perguruan silat besar yang terdiri dari bangsa sendiri! Setiap orang pendekar pasti tidak setuju dengan tindakan Thian-li-pang itu. Dan Thian-li-pang bersekutu dengan orang-orang seperti Ang I Moli dan dua orang suhengnya, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. Padahal, dia sendiri sudah membuktikan sendiri betapa jahatnya Ang I Moli! Oleh karena itu, biar dia diperlakukan dengan baik oleh Lauw Kang Hui dan dibujuk dengan omongan manis, tetap saja dia tidak percaya kepada perkumpulan ini.

Di dalam perkampungan Thian-li-pang Yo Han melihat bahwa perkumpulan itu nampak kuat, dengan perkampungan yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal seperti benteng. Perkampungan di lereng bukit itu luas, di dalamnya terdapat banyak bangunan dan tidak kurang dari tiga ratus orang anak buah Thian-li-pang tinggal di situ. Mereka setiap hari latihan silat dan berbaris. Ketika dia dihadapkan kepada Ketua Thian-li-pang, yaitu Ouw Pangcu (Ketua Ouw) atau Ouw Ban yang berusia enam puluh tahun, kakek itu memandang kepada Yo Han seperti orang menaksir seekor kuda yang akan dibelinya.

“Namamu Yo Han?” tanya Sang Ketua suaranya parau dan besar.

Yo Han memandang kepada kakek tinggi kurus yang mukanya pucat kekuningan seperti orang berpenyakitan itu. Dia mengangguk. “Benar, namaku Yo Han.”

“Engkau mau menjadi murid Thian-li-pang?” tanya pula ketua itu.

Yo Han memandangnya dengan sinar mata tajam dan dengan tegas dia menggeleng kepala lalu menjawab. “Tidak! Aku tidak mau menjadi murid Thian-li-pang yang jahat, kejam dan pengecut!”

Ouw Ban membelalakkan matanya dan menoleh kepada Lauw Kang Hui. “Dan kau bilang anak ini luar biasa?”

Lauw Kang Hui tersenyum. “Suheng, bukankah sikapnya yang pemberani ini menunjukkan keluarbiasaannya?”

“Huh, kita lihat saja sampai di mana keluarbiasaannya. Bocah sombong, coba kausambut ini!” Tiba-tiba saja tangan kiri kakek itu bergerak menampar dengan cepat bukan main. Gerakan tangannya itu bahkan tidak nampak saking cepatnya tahu-tahu telapak tangan itu telah mengenai tengkuk Yo Han.

“Plakk!” Tubuh Yo Han yang duduk di kursi itu terjungkal dan anak itu roboh pingsan.

“Suheng! Kau membunuhnya?” tanya Cauw Kang Hui dengan kaget dan dia meloncat lalu berlutut memeriksa anak itu.

“Hemm, kalau dia mati pun lebih baik daripada engkau dimarahi Supek. Lihat, anak macam itu kaukatakan luar biasa?” kata Ketua Thian-li-pang. Lauw Kang Hui mendapat kenyataan bahwa Yo Han hanya pingsan saja, maka dia pun bangkit lagi berdiri dan memandang kepada kakak seperguruannya.

“Suheng, keluarbiasaan anak ini bukan hanya pada sikapnya yang gagah berani, tabah dan dewasa, akan tetapi juga menurut keterangan Ang I Moli, anak ini kebal terhadap racun dan tidak dapat dipengaruhi sihir.”

“Ha-ha-ha, apakah engkau tidak mengenal orang macam apa adanya Ang I Moli, Sute? Engkau dikibuli saja! Masa anak macam ini ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang pilihan. Engkau sungguh bodoh, Sute.”

“Kurasa ia tidak berani mempermainkan aku, Suheng. Bagaimanapun juga, biar dia kubawa menghadap Supek dan biarlah Supek yang menentukan apakah anak ini memenuhi syarat ataukah tidak.”

“Sute, agaknya engkau berusaha keras untuk menyenangkan hati Supek, ya? Engkau hendak menyuapnya agar engkau memperoleh hadiah ilmu baru sehingga tingkat kepandaianmu akan melampaui aku?”

Lauw Kang Hui yang tadinya sudah duduk kini bangkit berdiri lagi sambil memandang kepada wajah suhengnya dengan mata terbelalak. “Ehh? Kenapa engkau menyangka buruk seperti itu, Suheng? Suheng sendiri juga mendengar pesanan Supek itu, untuk mencarikan seorang anak yang luar biasa agar Supek dapat menggemblengnya dan kelak akan makin memperkuat Thian-li-pang.”

“Kalau begitu, biar kucoba lagi dia! Apakah benar dia kebal racun!” Ketua Thian-li-pang itu mengambil sesuatu dari saku jubahnya.

“Suheng, jangan! Engkau bisa membunuhnya dengan Ang-tok-ting (Paku Beracun Merah) itu!” kata Lauw Kang Hui. “Lebih baik dicoba kekebalannya terhadap, sihir saja.” Lauw Kang Hui maklum bahwa suhengnya itu merasa iri kalau sampai ada anak lain diterima menjadi murid Thian-te Tok-ong karena suhengnya itu ingin sekali agar puteranya sendiri yang mewarisi ilmu-ilmu yang ampuh dari supek mereka. Akan tetapi supek mereka menganggap bahwa Ouw Cun Ki, putera suhengnya yang berusia lima belas tahun itu tidak cukup berbakat.

Akan tetapi Ouw Ban yang memang berniat membunuh Yo Han sudah meluncurkan sebatang paku ke arah leher anak yang masih rebah di atas lantai itu. Sinar merah kecil menyambar dan Lauw Kang Hui menahan seruannya dan merasa putus harapan karena serangan itu tentu akan membunuh Yo Han. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja Yo Han siuman dari pingsannya dan anak yang tadinya sama sekali tidak bergerak itu bangkit duduk dan gerakan yang tidak disengaja ini membuat sambaran paku tidak mengenai sasaran! Paku itu lewat dekat lehernya dan menancap ke lantai bahkan amblas ke dalam dan tidak nampak lagi!

“Ehhh....?” Ouw Ban terbelalak kaget, akan tetapi dia juga merasa penasaran lalu tangannya bergerak ke saku jubahnya lagi.

“Suheng, tidak cukupkah itu?” Lauw Kang Hui memegang lengan suhengnya, mencegah suhengnya menyerang lagi. “Tidak kau lihat betapa luar biasanya itu?”

“Huh, hanya kebetulan saja dia siuman!”

“Sama sekali tidak kebetulan. Nampaknya kebetulan akan tetapi justeru yang kebetulan itulah yang luar biasa. Suheng, jangan ganggu dia. Kalau Supek menolaknya, baru Suheng boleh lakukan apa saja terhadap dirinya.”

“Sute, aku masih penasaran!” kata Ouw Ban.

“Suheng, jangan!” cegah Lauw Kang Hui. Suheng dan sute atau ketua dan wakilnya itu bersitegang dan pada saat itu terdengar suara batuk-batuk di belakang mereka. Dua orang itu mengenal suara ini dan cepat mereka membalik, lalu keduanya menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu....! Sudah lama sekali Suhu tidak meninggalkan kamar....”

Karena Yo Han sudah siuman dan berdiri, dia memandang kepada kakek yang baru muncul. Seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya yang sudah berwarna kelabu itu digelung ke atas seperti rambut pendeta tosu, yang menyolok pada wajahnya itu adalah sepasang alisnya yang amat tebal dan panjang. Pandang matanya sayu seperti orang mengantuk.

Mendengar dua orang ketua Thian-li-pang itu murid kakek ini, Yo Han maklum bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!

“Hemm, Ouw Ban dan Lauw Kang Hui,” kata kakek itu sambil mengelus jenggotnya dan memandang kepada dua orang muridnya itu silih berganti. “Entah mengapa aku ingin sekali keluar kamar dan begitu tiba di sini aku melihat kalian bertengkar dan bersitegang. Heran, kalau Thian-li-pang dipimpin oleh kalian berdua, lalu kalian saling bertengkar, apa akan jadinya dengan perkumpulan kita?” Suara kakek itu halus dan ramah, akan tetapi mengandung teguran keras.

“Maaf, Suhu. Teecu berdua tidak bertengkar, hanya teecu ingin menguji kebenaran keterangan sute tentang anak ini.”

“Benar, Suhu. Sebetulnya teecu hanya ingin mencegah suheng membunuh anak ini karena teecu hendak membawanya menghadap Supek, yang telah memesan teecu untuk mencarikan seorang anak luar biasa.”

“Anak luar biasa....?” Ban-tok Mo-ko, kakek itu kini memandang Yo Han penuh perhatian. “Apanya yang luar biasa pada anak ini?”

“Itulah, Suhu. Teecu juga menganggap bahwa ,anak ini tidak ada apa-apanya yang luar biasa. Sekali tampar saja dia tadi roboh pingsan. Akan tetapi Sute....”

“Suhu, Suheng tidak mau mengerti. Anak ini memang luar biasa. Dia kebal terhadap racun dan pengaruh sihir,” kata Lauw Kang Hui.

“Eh? Benarkah?” kata kakek itu dan kini sepasang mata yang sayu itu mengeluarkan sinar ketika dia mengamati wajah Yo Han.

“Teecu hendak menguji kekebalannya itu dengan paku merah, akan tetapi Sute mencegahnya, maka tadi teecu berdua kelihatan seperti bertengkar, Suhu.”

Kakek itu menggerakkan tangan memberi isarat kepada dua orang muridnya agar tidak bersuara, kemudian diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya, sepasang mata yang biasanya sayu itu kini mencorong penuh wibawa seperti hendak menembus kepala Yo Han melalui sepasang mata anak itu, kemudian terdengar suaranya menggetar, lirih mendesis, dan jelas sekali.

“Anak baik, siapa namamu?”

Yo Han adalah seorang anak yang sudah mengenal sopan santun. Telah menjadi kebudayaan sejak jaman dahulu untuk menghormati orang yang lebih tua, apalagi orang setua kekek itu. Karena pertanyaan kakek itu ramah dan halus, dia pun menjawab dengan sikap hormat.

“Nama saya Yo Han, Kek.”

Bagi orang yang biasa mempergunakan kekuatan sihir, jawaban ini saja sudah menunjukkan bahwa korbannya telah masuk perangkap dan tentu akan mentaati segala perintah. Kakek itu memandang lebih tajam dan suaranya semakin berwibawa ketika dia berkata, dengan nada memerintah walaupun masih ramah dan halus,

“Yo Han, kuperintahkan padamu. Hayo cepat engkau berlutut dan menyembah kepadaku!”

Orang yang terkena pengaruh sihir yang amat kuat ini tentu di luar kehendaknya dan kesadarannya sendiri akan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Akan tetapi, betapa kaget dan herannya hati kakek tokoh besar Thian-lipang itu. Anak itu sama sekali tidak mentaati perintahnya, hanya tetap berdiri dan memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih.

“Maafkan, Kek, kalau aku tidak dapat berlutut menyembah kepadamu. Engkau bukan guruku, bukan orang tuaku, bahkan bukan pula kakekku.”

Kini barulah Ouw Ban percaya akan keterangan sutenya. Juga Ban-tok Mo-ko menggeleng kepalanya, tak habis heran. Apakah kekuatan sihirnya telah punah dan kini dia telah menjadi lemah? Padahal, selama dia mengundurkan diri dari urusan perkumpulan dan berdiam di kamarnya, dia memperbanyak latihan samadhi sehingga sepatutnya kalau kekuatan sihirnya semakin bertambah.

“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, kalian bangkitlah dan pandang aku!”

Dua orang murid itu bangkit berdiri dan memandang kepada suhu mereka dengan patuh. Dan kini kakek itu berseru dengan nada memerintah.

“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, sekarang kalian duduklah di lantai dan menangis!”

Dalam keadaan wajar, walaupun yang memerintah itu suhu mereka sendiri, tentu dua orang itu tidak akan mau mentaati begitu saja. Mereka adalah ketua dan wakil ketua Thian-li-pang, tentu mereka tidak mau kalau disuruh menangis seperti anak kecil tanpa sebab, bahkan seperti orang gila. Akan tetapi karena mereka sudah dicengkeram pengaruh sihir yang amat kuat, begitu mendengar perintah Ban-tok Mo-ko, mereka lalu menjatuhkan diri di atas lantai dan keduanya menangis seperti dua orang anak kecil kehilangan barang mainan!

Tentu saja Yo Han yang tidak mengerti apa artinya itu semua, melihat dua orang kakek berusia enam puluh dan enam puluh lima tahun kini menangis mengguguk seperti anak-anak kecil tanpa sebab, menjadi terheran-heran dan juga penasaran kepada orang yang memerintah kedua orang ketua itu.

“Kek, sungguh tidak pantas sekali apa yang kaulakukan ini! Kenapa engkau menghina murid-murid sendiri seperti ini?”, Yo Han berkata dengan nada menegur. Ban-tok Mo-ko terkejut dan merasa heran bukan main. Dia menggerakkan tangannya ke arah dua orang muridnya dan berkata dengan suara tenang.

“Kalian bangkitlah!”

Dua orang pimpinan Thian-li-pang itu bangkit dan mereka seperti baru bangun dari tidur, nampak bingung dan tidak tahu apa yang telah terjadi.

“Yo Han, katakan mengapa tidak pantas dan menghina? Ban-tok Mo-ko bertanya kepada anak itu.

“Mereka ini adalah ketua dan wakil ketua perkumpulan besar dan juga murid-muridmu sendiri. Akan tetapi kenapa engkau menyuruh mereka menangis seperti anak-anak kecil? Bukankah itu tidak pantas dan menghina namanya?”

Barulah dua orang pimpinan itu tahu bahwa tadi mereka dipergunakan oleh guru mereka untuk menguji kekuatan sihirnya dan ternyata ilmu sihir suhu mereka masih ampuh. Namun, tadi jelas bahwa ilmu sihir itu tidak mempan terhadap Yo Han! Ban-tok Mo-ko juga menyadari hal ini dan diam-diam dia merasa heran dan kagum bukan main.

“Kang Hui, sebaiknya ajak anak ini menghadap supekmu. Biar dia yang menentukan!”

Mendengar ini, Lauw Kang Hui merasa girang sekali. Memang benar seperti dugaan Ouw Ban tadi, dia mengharapkan hadiah dengan menyerahkan anak luar biasa ini kepada supeknya, yaitu hadiah sebuah ilmu. Bukan karena dia ingin mengungguli suhengnya, melainkan untuk kemajuannya sendiri.

“Mari Yo Han, kita menghadap supek!” katanya sambil menggandeng tangan anak itu dan menariknya pergi. Karena tidak berdaya, walaupun hatinya menolak, namun Yo Han tidak dapat membantah dan dia pun hanya menurut saja. Anak ini memang memiliki bakat selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. imannya kuat karena sejak kecil dia ditinggal ayah ibunya dan Tuhan menjadi gantungan hidupnya, menjadi tumpuan harapannya dan dia selalu menyerahkan jiwa-raganya ke tangan Tuhan, penuh kepasrahan. Maka, menghadapi apa pun dia tidak merasa gentar karena di dasar hatinya terkandung keyakinan akan kekuasaan Tuhan, bahwa kalau Tuhan menghendaki dia harus mati sekalipun, tidak ada kekuasaan lain yang akan mampu menghalanginya. Oleh karena dia pasrah dan menghadapi maut pun dia tidak gentar.

Lauw Kang Hui membawa Yo Han ke bagian sudut paling belakang dari perkampungan Thian-li-pang yang ternyata amat luas itu. Bagian belakang itu merupakan puncak bukit dan penuh dengan jurang dan guha. Di depan sebuah guha besar, Lauw Kang Hui berhenti sambil tetap memegang tangan Yo Han. Dia tahu akan keadaan luar biasa anak ini, maka dia tidak berani melepaskannya takut kalau-kalau anak itu akan mampu meloloskan diri.

Setelah tiba di depan guha, Lauw Kang Hui menghadap ke arah guha, dan menarik tubuh Yo Han untuk bersama dia berlutut di atas tanah. Yo Han tidak mampu membantah karena tangannya ditarik ke bawah, dia pun ikut berlutut di sebelah Lauw Kang Hui walaupun dia tidak bermaksud untuk memberi hormat ke arah guha. Maka ketika wakil ketua Thian-li-pang itu mengangkat-angkat kedua tangan depan dada, dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian ke arah guha. Guha itu lebarnya ada sepuluh meter dan nampak terawat bersih seperti rumah saja. Ada pintu di kanan kiri, akan tetapi di bagian tengah terbuka dan nampak menghitam gelap.

“Supek yang mulia, teecu Lauw Kang Hui datang menghadap!” Akan tetapi suara itu bergema di dalam guha dan tidak ada jawaban, juga tidak nampak gerakan apa pun. Lauw Kang Hui menanti sejenak, maklum bahwa supeknya memang tidak pernah mau diganggu, tidak pernah mau berhubungan dunia di luar guha kalau tidak ada keperluan yang teramat penting.

“Supek, teecu datang mengajak seorang anak luar biasa seperti yang pernah Supek pesan kepada teecu!”

Kembali hening sejenak. Tiba-tiba terdengar suara angin dari dalam guha dan tiba-tiba saja tubuh Yo Han tersedot ke arah guha. Anak itu mencoba untuk mempertahankan dirinya, akan tetapi tubuhnya terguling-guling seperti bola saja menggelinding ke arah guha dan lenyap ditelan kegelapan guha. Tak lama kemudian terdengar suara yang jenaka dibarengi tawa. “Heh-heh-heh, bagus sekali, Kang Hui. Engkau boleh pergi sekarang!”

“Maaf, Supek. Teecu mendapatkan anak ini dari Ang I Moli, akan tetapi teecu sudah berjanji kepadanya untuk mohon bantuan Supek memberi obat penawar dari hawa beracun pukulan yang sedang dilatihnya.”

“Heh-heh, Si Iblis Betina Cilik Ang I Moli banyak tingkah! Pukulan apa yang sedang ia latih itu?”

“Katanya ilmu itu disebut Toat-beng-Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa).”

“Wah-wah-wah, keji sekali! Untuk menguasai Ilmu itu ia harus memperoleh hawa murni dan darah perjaka-perjaka remaja yang sehat!”

“Tadinya anak ini yang akan dijadikan korban. Katanya mengorbankan seorang saja cukup karena anak ini lebih berharga daripada dua belas orang remaja biasa.”

“Huh, iblis betina licik. Akan tetapi kalau sampai tiga hari anak ini masih di sini, berarti aku cocok dengan dia dan boleh kauserahkan obat penawar itu kepadanya. Nah, sekarang pergilah!”

“Maaf, Supek. Kalau Supek berkenan dengan anak yang teecu bawa ke sini, teecu mohon sedikit petunjuk Supek agar teecu memperoleh kemajuan dalam ilmu silat teecu.”

“Heh-heh-heh-heh, engkau orang tamak! Tapi kalau anak ini memang menyenangkan hati, kelak akan kuajarkan sebuah ilmu kepadamu.”

“Terima kasih, Supek. Terima kasih!” kata Lauw Kang Hui sambil memberi hormat lalu dia bergegas pergi sebelum kakek aneh itu membatalkan janjinya.

Sementara itu, Yo Han yang menggelinding seperti disedot tenaga yang amat kuat, kini tiba di dalam guha, masih duduk di lantai guha di dekat sepasang kaki yang kurus dan telanjang karena celana pemilik kaki itu hanya sampai ke lutut. Kaki itu memakai sandal yang amat sederhana, hanya sepotong kulit tebal diikatkan pada kaki secara kasar, di masing-masing kaki. Yo Han merasa penasaran dan juga marah sekali. Dia adalah seorang anak yang pernah menjadi murid suami isteri yang sakti, maka biarpun dia tidak pernah berlatih ilmu silat, namun pengetahuannya akan ilmu silat sudah cukup mendalam. Dia tahu bahwa pemilik kaki ini telah mempergunakan semacam ilmu yang aneh untuk menariknya dari luar gua. Semacam sinkang (tenaga sakti) yang sudah demikian tinggi tingkatnya sehingga Si Pemilik tenaga itu dapat mempergunakan seenaknya saja dapat untuk menyedot seperti tadi! Dan dia pun tahu bahwa orang ini tentu lihai bukan main. Akan tetapi dia tidak takut, bahkan marah karena merasa dipermainkan. Dia hendak bangkit berdiri dan memprotes, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak mampu bangkit berdiri!

Baru setelah Lauw Kang Hui pergi, kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han merasa leher bajunya dicengkeram tangan yang kecil, lalu tubuhnya diangkat dan dia pun sudah di jinjing pergi memasuki guha itu yang ternyata di sebelah dalamnya amat luas, seperti sebuah rumah gedung saja dengan dua buah kamar dan berikut pula ruangan duduk, dapur dan kamar mandi lengkap! Juga di sebelah dalam guha itu tidak gelap seperti nampak dari luar karena selain bagian atasnya terdapat lobang sehingga sinar matahari dapat masuk, juga guha itu menembus ke terowongan belakang dari mana datang pula sinar matahari. Belum lagi adanya lampu-lampu gantung.

Yo Han dibawa masuk ke dalam ruangan yang terang sekali dan dia lalu dilepas oleh tangan yang menjinjingnya. Ketika dia turun, dia membalik dan menghadapi orang yang membawanya ke dalam guha. Baru sekarang dia dapat melihat kakek itu dan diam-diam Yo Han terkejut. Seorang kakek yang tua renta, ada delapan puluh tahun usianya. Rambutnya putih seperti kapas, tinggal sedikit saja sehingga di bagian tengah kepalanya botak mengkilat. Tubuhnya kecil pendek. Pakaiannya sederhana seperti pakaian kanak-kanak, dengan celana setinggi lutut dan baju yang lengannya juga hanya sampai di sikunya. Kaki dan tangan yang menonjol keluar itu nampak kecil kurus seperti kaki tangan anak-anak. Wajah kakek itu pun kecil namun ketuaannya karena keriput. Matanya tajam dan lincah, dan mulutnya selalu menyeringai, memperlihatkan mulut yang ompong tanpa gigi secuil pun!

Mereka saling pandang, berdiri berhadapan dan kakek itu hanya lebih tinggi sekepala saja dibandingkan Yo Han. Sampai lama mereka saling berpandangan dan diam-diam Yo Han merasa heran. Kakek ini sama sekali tidak mendatangkan kesan buruk atau jahat. Sinar mata yang tajam lincah itu nampak demikian lembut. Bahkan kakek ini jauh berbeda di bandingkan Ban-tok Mo-ko.

“Heh-heh, aku dengar dari sini tadi bahwa namamu Yo Han?” tanya kakek itu, dan suaranya seperti suara anak-anak pula, demikian ringan dan belum pecah. Yo Han kagum. Dari tempat ini, cukup jauh dari tempat dia bicara dengan Ban-tok Mo-ko dan dua orang muridnya tadi, kakek ini dapat mendengarkan!

“Benar, Locianpwe (orang Tua Pandai), namaku Yo Han,” jawabnya dan dia bersikap hormat karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti.

“Heh-heh, dan engkau anak luar biasa?” tanya kakek itu pula. Yo Han merasa kesal. Hanya itu saja yang dibicarakan orang! Dia pun tanpa diminta menghampiri sebuah dipan dan naik, lalu duduk bersila di atas dipan itu, mulutnya cemberut.

“Orang-orang itu mengada-ada saja, Locianpwe. Aku bernama Yo Han. Yatim piatu, hidup sebatang kara saja di dunia ini, tidak bisa apa-apa, dan orang-orang mengatakan aku anak luar biasa, dan aku dijadikan rebutan! Sungguh aneh orang-orang tua di dunia ini, seperti orang gila saja. Aku ini manusia biasa, hanya ingin melanjutkan hidup wajar dan tentram, tidak senang diganggu dan tidak senang pula menggangu.”

Kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han melihat hal yang aneh. Kakek itu tidak membuat gerakan meloncat atau berjalan, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dipan dan kakek itu sudah pula duduk bersila di depan Yo Han. Akan tetapi anak itu sudah terlalu banyak melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipamerkan orang kepadanya sehingga dia tidak kelihatan heran, bahkan acuh saja.

“Heh-heh-heh, aku yakin Kang Hui tidak akan salah pilih. Dan biasanya cermat dan dia haus akan ilmu baru dariku.

Yo Han, engkau diamlah, aku akan memeriksamu.” Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan kedua tangan itu sudah memegang kepala Yo Han. Anak ini berniat hendak menolak, akan tetapi sungguh aneh. Dia tidak mampu bergerak!

Tahulah dia bahwa kakek yang katai ini telah mempergunakan semacam ilmu totok yang amat aneh yang membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, seperti menjadi lumpuh.

Thian-te Tok-ong, kakek tua renta itu, kini memijit-mijit kepala Yo Han dengan jari-jari tangannya, pijat sana, pijat sini, mengelus bagian belakang kepala yang menonjol, mengukur dengan jari dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara lidah seperti cecak berbunyi. “Ck-ck-ck-ck!” Kemudian, kedua tangan itu meraba ke seluruh tubuh Yo Han, dari kepala leher, dada perut, kaki tangan sampai ke ujung jari kaki! Dan suara seperti bunyi cecak itu semakin sering. Lalu kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Yo Han. Anak itu merasa betapa ada hawa panas dari telapak tangan itu memasuki dadanya. Dia hanya pasrah saja, tidak menerima, tidak pula melawan. Dia merasa yakin sepenuhnya bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, orang yang seribu kali lebih sakti dari kakek ini takkan mampu mencelakainya, sebaliknya kalau sampai dia menderita celaka, apa dan siapa pun penyebabnya, hal itu hanya terjadi karena Tuhan menghendakinya. Keyakinan ini membuat hatinya tenteram karena untuk berusaha membela diri pun tidak ada gunanya karena kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan.

Yo Han merasa betapa hawa panas dari tangan kakek itu memasuki tubuhnya seperti meraba-raba di bagian dalam tubuhnya, memasuki kepalanya, berputar-putaran, lalu ke dadanya, juga berputar-putar kemudian turun ke arah pusarnya.

Tiba-tiba, ketika hawa panas yang dapat bergerak-gerak itu memasuki rongga bawah pusarnya, hawa panas itu meluncur keluar dan kakek itu pun terlempar sampai ke atas lantai di bawah dipan! Kakek itu meloncat bangun, terbelalak memandang kepada Yo Han yang kini tiba-tiba mampu bergerak lagi, dan kakek itu berseru dengan penuh takjub.

“Wah-wah-wah, apa ini? Apa-apaan ini? Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang begini! Hei, Yo Han! Pernahkah engkau belajar ilmu dan menjadi murid orang-orang pandai?”

Yo Han cemberut. “Locianpwe, aku tahu bahwa Locianpwe adalah seorang tua yang berilmu tinggi. Aku menghormatimu karena kepandaianmu dan karena ketuaanmu. Akan tetapi apa yang kaulakukan terhadap aku yang muda? Biarpun aku pernah menjadi murid orang pandai, akan tetapi kalau Locianpwe mengira bahwa aku pernah mempelajari ilmu silat atau ilmu kekerasan lain lagi, Locianpwe keliru. Aku tidak pernah belajar silat!”

“Tapi.... tapi.... dari pusat tenaga di bawah pusarmu terdapat tenaga yang amat dahsyat!”

“Aku tidak tahu, Locianpwe. Apakah anehnya hal itu? Yang menghidupkan manusia adalah kekuasaan Tuhan, dan siapa dapat mengukur kekuatan dari kekuasaan Tuhan? Kekuatan yang mampu menggerakkan bintang dan bulan, mampu menciptakan segala sesuatu di alam maya pada ini? Apa anehnya kalau hanya kekuatan secuil di dalam tubuhku ini?”

“Wahhh! Luar biasa! Memang engkau anak luar biasa, Engkaulah yang telah lama kutunggu, telah lama kurindukan! Engkaulah yang pantas menjadi muridku, engkau yang pantas menjadi orang yang kelak akan mengangkat nama Thian-li-pang, yang akan membersihkan nama Thian-li-pang dan mengharumkan kembali namanya. Ha-ha-ha-heh-heh!”

“Locianpwe, aku pernah membaca pengalaman orang bijaksana jaman dahulu bahwa yang dirindukan itu akhirnya menjadi yang mengecewakan! Kalau yang dirindukan itu kesenangan, maka yang merindukan adalah nafsu pikiran dan di samping kesenangan tentu muncul kesusahan, di balik kepuasan bersembunyi kekecewaan. Menurut pengalaman para suci, hanya yang dirindukan jiwa sajalah yang berharga dan benar.”

Kakek itu terbelalak, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, kalau tidak melihat bahwa engkau ini seorang bocah, tentu aku mengira yang bicara ini seorang pendeta! Ha-ha-ha! Yo Han, apa itu yang dirindukan jiwa?”

“Apa yang dirindukan setiap tetes air kalau bukan samudera, kembali ke asalnya dan bersatu dengan samudera? Apa yang dirindukan oleh bunga api kalau bukan kepada api yang menjadi pusatnya? Demikianlah yang kubaca. Hanya persatuan, dengan sumber inilah yang akan membahagiakan hidup, Locianpwe, bukan segala kesenangan memuaskan nafsu. Apakah Locianpwe tidak rindu kepada Tuhan?”

“Kepada Tuhan?” kakek itu memandang heran.

“Tentu saja. Bukankah yang dimaksudkan dengan sumber itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah segala sesuatu datang dari padaNya dan sepatutnya kembali kepadaNya?”

“Wah-wah-wah....! Engkau ini siapa sih? katanya setengah berkelakar.

Akan tetapi Yo Han kini turun dari dipan itu, berdiri tegak dan dengan lantang berkata, “Aku ini seorang anak manusia seperti juga Locianpwe. Akut ini setetes air seperti Locianpwe, yang selalu merindukan samudera!”

“Hahhh?” Kakek itu kini benar-benar tertegun dan termenung. Dia membayangkan tetes-tetes air yang datang dari samudera melalui hujan. Semua air itu berasal dari samudera, akan tetapi setelah terbawa awan dan diturunkan ke bumi sebagai tetes-tetes air, harus mengalami banyak penderitaan dan kesukaran masing-masing sebelum dapat kembali ke samudera, tempat asalnya atau sumbernya. Lika-liku perjalanan tiap tetes air tidaklah sama. Ada yang dapat lancar kembali ke samudra, ada yang harus melalui pencomberan, lumpur dan kotoran. Akan tetapi, semua tetes air itu kalau akhirnya kembali ke samudra, akan menjadi satu dengan samudra dan tidak ada lagi perbedaan diantara mereka.

“Yo Han, engkau memang bocah ajaib dan aku girang sekali bisa mendapatkan engkau sebagai muridku.”

Locianpwe ingin menjadi guruku, akan tetapi tidak pernah bertanya apakah aku suka menjadi muridmu.”

“Ehh? Hah? Manusia mana tidak suka manjadi murid Thian-te Tok-ong? Bahkan anak Kaisar pun akan suka sekali menjadi muridku!”

“Akan tetapi aku bukan anak Kaisar dan sebelum aku mengatakan suka atau tidak, aku ingin dulu mengetahui, kalau Locianpwe menjadi guruku, Locianpwe akan mengajarkan apakah kepadaku?”

“Ha-ha-ha, apa saja yang kauingin pelajari!” Kakek ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seorang anak seperti Yo Han memiliki keteguhan hati dan tidak mengenal takut. Maka dia harus tahu dulu apa yang diinginkan dan tidak diinginkan anak ini sebelum menjawab agar dia tidak sampai bertumbuk keinginan dengan anak luar biasa ini.

“Segala macam ilmu baik untuk dipelajari dan aku suka mempelajarinya, Locianpwe, kecuali satu, yaitu ilmu silat. Aku tidak suka berlatih ilmu silat”

Kalau tidak cerdik sekali, tentu Thian-te Tok-ong sudah terkejut mendengar ucapan itu. Dia ingin mengambil anak luar biasa menjadi muridnya untuk mewariskan seluruh ilmu silatnya dan mendidik murid itu menjadi calon pemimpin Thian-li-pang yang pandai dan yang akan mengangkat nama Thian-li-pang, dan sekarang, anak yang dipilih itu terang-terangan mengatakan bahwa dia suka mempelajari ilmu apa saja kecuali ilmu silat!

“Heh-heh-heh, bagus! Engkau jujur sekali! Nah, tidak ada orang membenci sesuatu tanpa alasan tertentu. Kenapa engkau tidak suka berlatih ilmu silat, Yo Han?”

“Aku tidak membenci sesuatu, Locianpwe. Hanya aku tidak mau mempelajari ilmu silat karena aku melihat kenyataan betapa ilmu itu mengandung kekerasan, bersifat merusak dan hanya mendatangkan permusuhan dan pertentangan saja dalam kehidupan ini.”

“Heh-heh-heh, cocok! Cocok dengan aku, Yo Han. Tidak, aku tidak mengajarkan ilmu silat kepadamu, hanya akan mengajarkan ilmu tari dan senam olah raga untuk membuat tubuhmu sehat. Bagaimana?”

Yo Han mengamati wajah yang kecil itu. “Tidak mengajarkan cara memukul dan menendang orang, bahkan membunuh?”

“Ho-ho-ho, sama sekali tidak! Memang kaupikir aku ingin melihat engkau menjadi algojo? Aku suka kepadamu, maka aku ingin melihat engkau sehat lahir batin, dan pandai menari indah!”

Yo Han tersenyum. “Baiklah, kalau begitu aku suka menjadi muridmu.” Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut. “Aku akan belajar dengan rajin, Suhu, dan akan melayani Suhu di sini.”

“Ha-ha-ha, bagus, bagus, muridku. Yo Han, hari ini merupakan hari paling bahagia untukku!”

Mulai hari itu, Yo Han tinggal di dalam guha bersama gurunya. Ternyata untuk mereka telah dikirim makanan dari luar sehingga Yo Han tidak perlu lagi mencarikan makanan untuk gurunya. Dan mulailah Thian-te Tok-ong mengajarkan “tari” dan “senam” kepada Yo Han. Memang kakek ini pandai sekali. Ilmu silat memang mengandung tiga unsur, yaitu pertama tentu saja ilmu bela diri, ke dua ilmu tari dan ke tiga ilmu senam kesehatan, kesehatan lahir batin.

Dia mengajarkan kepada Yo Han gerakan semua binatang yang ada di dunia ini yang dinamakannya Tarian Harimau, Tarian Naga, Tarian Burung, Tarian Monyet dan sebagainya. Padahal, dalam gerak tari ini terkandung ilmu silat yang dahsyat. Yo Han melatih diri dengan “tari-tarian” itu, dan tanpa disadarinya sendiri dia telah menggembleng diri dengan ilmu silat yang tinggi. Dan dalam latihan ini, otomatis ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari secara teoretis tanpa disengaja keluar dan terkandung dalam gerak “tariannya”.

Kurang lebih seminggu setelah dia berada di dalam guha itu, pada suatu malam Yo Han dikejutkan oleh suara yang menyayat jantung, suara mengerikan yang merupakan semacam lolong atau lengking memanjang. Bukan lolong anjing, dan tidak mirip suara manusia, namun dalam lengking itu terkandung semua perasaan duka dan derita yang amat hebat! Seperti tangis bukan tangis, seperti tawa bukan tawa, namun dia yang tidak pernah merasa takut itu sempat terbelalak dan merasa betapa tengkuknya dingin sekali. Dia segera lari ke kamar Thian-te Tok-ong yang sedang bersamadhi, menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

“Suhu, suara apakah yang terdengar dari arah belakang itu?” tanyanya kepada kakek itu yang sudah membuka matanya ketika dia berlutut,

“Heh-heh, engkau mendengar juga, Yo Han? jangan pedulikan. Suara itu sudah sejak lima tahun ini kadang terdengar, keluar dari dalam sumur bawah tanah di ujung belakang terowongan ini.”

“Tapi.... suara apakah itu, Suhu?”

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. “Kelak engkau akan dapat mengetahuinya sendiri. Agar engkau tidak menjadi penasaran, baik engkau ketahui saja bahwa sumur itu merupakan tempat hukuman bagi seorang manusia iblis yang amat berbahaya. Dan mulai sekarang, setiap hari dua kali biar engkau mewakili aku menurunkan makanan ke bawah sana. Setiap kita mendapat kiriman makanan dan minuman, tentu ada sebungkus untuk dia dan biasanya kulemparkan saja ke dalam sumur.”

“Tapi, siapa dia, Suhu? Dan siapa pula yang menghukumnya? Dan mengapa pula dia dihukum?”

“Panjang ceritanya dan engkau tidak perlu tahu. Yang penting kauketahui, orang itu seperti iblis atau sepetti gila, dengan kepandaian yang dahsyat dan tak seorang pun mampu menandinginya. Orang lain tidak mungkin dapat menuruni sumur itu, dan andaikata ada yang dapat turun pun tentu akan mati konyol oleh manusia iblis itu. Sudahlah, itu bukan urusanmu, tidak perlu engkau mencampuri. Merupakan urusan rahasia dan pribadi dari Thian-li-pang. Mengerti?”

Yo Han mengangguk dan menunduk. Hatinya penuh perasaan iba kepada orang hukuman yang disebut manusia Iblis itu. Akan tetapi suara itu sudah lenyap lagi dan sejak hari itu, dialah yang setiap hari dua kali mengirim sebungkus makanan ke sumur itu. Sumur itu kecil saja, bergaris tengah satu meter, akan tetapi amat dalam. Ketika dia mencoba untuk menjenguk ke dalam, yang nampak hanya kehitaman belaka, hitam pekat dan gelap sekali. Pernah dia mencoba untuk memanggil-manggil dengan sebutan “locianpwe” beberapa kali, namun selalu tidak ada jawaban. Menurut pesan Thian-te Tok-ong, dia harus melemparkan begitu saja bungkusan makanan ke dalam sumur. Karena merasa kasihan dan tidak ingin makanan itu rusak kalau jatuh ke dasar sumur, pernah Yo Han mengikatnya dengan tali dan mengereknya turun. Akan tetapi belum juga dua meter. tali yang ujungnya mengikat buntelan itu turun, tiba-tiba tali itu putus dan makanan itu pun jatuh ke bawah seperti kalau dia lemparkan!

Terdorong oleh rasa iba kepada orang hukuman itu, pernah Yo Han mencoba untuk mengukur dalamnya sumur, menggunakan tali panjang. Akan tetapi seperti juga ketika mencoba mengerek bungkusan makanan ke bawah, tiba-tiba tali itu putus tanpa sebab! Dia pun dapat menduga bahwa siapa pun orangnya yang berada di bawah, gila atau tidak, manusia atau iblis, tentu memiliki ilmu yang hebat sehingga entah dengan cara apa, tali yang diturunkan tentu akan putus seperti digunting!

Karena tidak mungkin baginya untuk turun ke sumur, juga kini tidak pernah lagi ada suara mengerikan itu, akhirnya Yo Han menganggap hal itu biasa dan setiap hari mengirim makanan dengan melemparkannya ke sumur. Dan dia mulai merasa senang di situ karena Thian-te Tok-ong memegang janjinya, mengajarkan “tari-tarian” yang dianggapnya amat indah. Juga kakek itu mendatangkan banyak kitab dari luar sehingga di waktu senggang, Yo Han dapat memuaskan selera bacanya yang tak kenal bosan. Segala macam kitab dilahapnya dan di dalam kitab ini dia berkenalan dengan para pahlawan dan para pendekar, juga riwayat partai-partai besar di dunia, persilatan. Akan tetapi, gurunya tidak perah mengajaknya bicara tentang dunia persilatan, tidak pernah pula bicara tentang ilmu silat.

***

Kita tinggalkan dulu Yo Han yang belajar “tari” dan “senam” kepada Thian-te Tok-ong, tokoh paling lihai dari Thian li-pang dan mari kita melihat keadaan keluarga Tan Sin Hong yang ditinggalkan Yo Han.

Setelah ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu menanyakan suhengnya yang amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir selalu diasuh oleh Yo Han, selalu bermain-main dengan Yo Han sehingga ia menyayang Yo Han seperti kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo Han pergi meninggalkannya, siang malam ia rewel saja dan minta kepada ayah ibunya agar mereka menyusul Yo Han. Bahkan di waktu tidur, seringkali Sian Li bermimpi dan mengigau memanggil-manggil nama Yo Han.

Tentu saja Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berdua pun amat sayang kepada Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa kehilangan sekali. Akan tetapi, demi masa depan Sian Li, mereka terpaksa merelakan Yo Han pergi. Yo Han bukan anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat dan kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka berdua kecewa sekali. Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka mempunyai seorang anak yang tidak suka belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah kelak?

Hidup memang diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang berlawanan, akan tetapi juga saling mengadakan dan saling mendorong di dalam dunia ini. Justeru adanya dua kekuatan inilah yang membuat kehidupan ada dan dapat membuat segala sesuatu berputar dan hidup. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu tentu ada yang ke dua, yang menjadi kebalikannya. Bagaimana mungkin ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan adanya gelap, baru terang dikenal, atau sebaliknya. Setelah orang mengalami senang, baru tahu artinya susah atau sebaliknya setelah mengalami susah baru mengenal arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka, dua sifat yang bertentangan. Kita sudah terseret ke dalam lingkaran setan dari dua unsur yang berlawanan ini sehingga kehidupan ini diombang-ambingkan antara yang satu dari yang lain. Padahal, semua keadaan itu hanyalah hasil daripada perbandingan dan penilaian, yang selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu dengan puas, lain hari sesuatu yang sama hanya mendatangan kecewa. Apa yang hari ini mendatangkan kesenangan, besok mungkin menimbulkan kesusahan.

Sebetulnya, susah senang hanyalah akibat daripada penilaian kita sendiri. Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu daya rendah sehingga pikiran yang licik selalu membuat perhitungan yang menguntungkan kita berarti senang, sebaliknya yang merugikan kita berarti susah! Banyak sekali contohnya. Kalau hujan turun selagi kita membutuhkan air, berarti hujan itu menyenangkan karena menguntungkan kita. Sebaliknya, kalau hujan turun mengakibatkan banjir atau becek atau menghalangi kesenangan kita, maka hujan itu menyusahkan karena merugikan kita. Demikian pula dengan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Susah senang, susah senang, perasaan kita dipermainkan antara susah dan senang setiap hari, dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah. Kalau kita sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja, dan kesusahan sudah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, kalau kita sedang bersusah-susah, kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa bahwa kesusahan itu pun hanya sementara saja sifatnya, akan tertimbun kesenangan dan kesusahan lain yang datang silih berganti.

Orang bijaksana akan menerima segala sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi itu wajar karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat dirubah atau dibantah lagi. Orang bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa yang datang, melainkan menyesuaikan diri dengan arus itu, mengembalikan, kesemuanya kepada Tuhan, kepada kekuasaan Tuhan karena kekuasaanNya itulah yang mengatur dan menentukan segalanya. Hujan? Banjir? Bencana alam? Sakit dan mati? Kehilangan? Keuntungan dan keberhasilan. Semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran, penuh keikhlasan, berdasarkan kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan! Dan orang yang sudah pasrah lahir batin, secara menyeluruh kepada Tuhan, takkan lagi disentuh derita yang berlebihan, tidak akan mabok kesenangan.

Setelah lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersemangat. Melihat keadaan anak mereka ini, Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, mengambil keputusan untuk mengajak puteri mereka pergi pesiar agar terhibur hatinya. Mereka mengajak Sian Li pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan indah. Seminggu lamanya mereka tinggal di kota raja, bermalam di sebuah rumah penginapan dan setiap hari ayah dan ibu itu mengajak puteri mereka untuk berpesiar mengunjungi tempat-tempat yang indah di kota raja.

Tentu saja Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan tak lama kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihannya karena ditinggal pergi Yo Han! Senang atau susah memang hanya permainan sementara waktu dari perasaan. Sang Waktu akan menelan habis semua kesusahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi. Atau perasaan lain akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul karena peristiwa lama itu akan tertimbun dan tidak nampak lagi, terganti oleh perasaan yang timbul karena peristiwa baru. Sejak kita kanak-kanak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita sudah digelimangi nafsu yang selalu mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang baru. Kita selalu haus akan yang baru, karena yang baru selalu memiliki daya tarik yang besar, didorong oleh keinginan tahu. Kalau yang didapatkan itu sudah lama, akan membosankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru. Sejak kanakkanak, kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh barang mainan baru. Setelah kita dewasa, kita tetap tidak berubah, tetap saja tertarik oleh barang mainan yang baru, walaupun bentuk barang permainan itu yang berbeda. Permainan kita ketika masih kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau permainan dengan kawan-kawan. Sesudah kita dewasa permainan kita bukan boneka atau barang-barang mainan lain, akan tetapi, permainan berupa harta benda, kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan nafsu melalui panca-indrya. Biarpun demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah sifat nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!

Setelah berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak pernah menangis lagi. Kegembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah ibunya mengajaknya berkunjung ke kota Pao-teng di mana tinggal kakek dan neneknya, yaitu orang tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir penghuni Istana Gurun Pasir, sedangkan nenek luarnya yang bernama Suma Hui adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti penghuni Istana Pulau Es!

Suami isteri keturunan keluarga pendekar sakti itu tinggal di Pao-teng, berdagang rempa-rempa. Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh tiga tahun sedangkan isterinya, Suma Hui, berusia lima puluh tiga tahun. Semenjak puteri mereka yang menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin Hong dan ikut suaminya tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja merasa kesepian. Mereka hidup berdua saja bersama tiga orang yang membantu toko rempa-rempa dan juga membantu rumah tangga. Namun, suami isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka telah lama mengurung diri dan tidak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tidak ada golongan sesat yang berani mengganggu mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal amat lihai, juga Kao Cin Liong ketika mudanya pernah menjadi seorang panglima perang yang telah banyak jasanya. Kini, suami isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki penghasilan yang berlebihan bagi mereka dan mereka merupakan orang-orang dermawan yang suka menolong mereka yang membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota Pao-teng merasa hormat den segan kepada mereka.

Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan isterinya, nenek Suma Hui ketika mereka menerima kunjungan puteri mereka bersama suaminya dan anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini dahulu pernah merana dan berduka sekali melihat keadaan puteri tunggal mereka, Kao Hong Li. Dahulu, sebelum menjadi isteri pendekar Tan Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi isteri dari Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di Pao-teng yang adil dan jujur. Juga Thio Hui Kong merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, pandai ilmu silat dan sastra. Namun sayang, karena pernikahan di antara mereka itu tidak ada cinta, terutama di pihak Kao Hong Li, pernikahan itu gagal. Hong Li tidak pernah mencintai suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui Kong yang merasa kecewa lalu menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai! Namun, dasar sudah jodohnya. Hong Li bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu dicintanya akan tetapi Sin Hong menikah dengan wanita lain. Dalam pertemuan kembali ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai dari isterinya yang melakukan penyelewengan! Dan dua hati yang saling mencinta itu pun bertemu kembali dan menikahlah janda kembang dengan duda muda itu. Tentu saja peristiwa itu membuat Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa berbahagia sekali, apalagi setelah lahir Tan Sian Li, cucu luar mereka.

“Sian Li, cucuku yang manis....!” Nenek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya tinggi-tinggi, lalu mendekap dan menciumi kedua pipinya sambil tertawa gembira. “Aduh, engkau makin manis saja Sian Li. Dan pakaianmu merah! Heh-heh, engkau seperti seekor bangau merah!”

Kao Cin Liong mengelus rambut kepala, Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui. “Bangau Merah? Ha-ha-ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau Merah, nama yang indah. Mari, mari ikut kong-kong!” kata kakek itu dan mengambil Sian Li dari pondongan isterinya.

Suma Hui menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.

“Ehh? Mana murid kalian? Apakah Yo Han tidak ikut?”

Tiba-tiba Sian Li yang berada di pondongan kakeknya, berkata, “Kong-kong dan Bo-bo (Nenek), Suheng Yo Han nakal dia pergi bersama seorang bibi iblis!”

Kakek dan nenek itu terbelalak memandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini memang selalu membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal karena Yo Han minggat dan ikut dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini mereka tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han dan tidak selalu menagisinya.

“Apa yang terjadi dengan dia?” tanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa sayang kepada Yo Han, murid mantu mereka itu.

“Ayah dan Ibu, biarlah nanti kami ceritakan tentang dia,” kata Hong Li. “Kami masih lelah, karena baru saja kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama seminggu dan setiap hari kami mengajak, Sian Li pesiar.”

Mereka semua lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan kamar yang dahulu menjadi kamar Hong Li. Adapun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak tidur di kamar neneknya.

Setelah beristirahat dan makan malam dan setelah Sian Li tidur pulas di kamar neneknya, barulah Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan nenek itu, menceritakan tentang Yo Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang terdapat pada diri Yo Han, tentang sikapnya yang sama sekali tidak mau berlatih ilmu silat. Kemudian tentang munculnya Ang I Moli, Tee Kui Cu yang mula-mula menculik Sian Li, kemudian betapa Yo Han dapat menemukan wanita iblis itu dan menukar Sian Li dengan dirinya sendiri!

“Demikianlah, Ayah dan Ibu. Yo Han pergi bersama iblis betina itu dan menjadi muridnya. Kami tidak dapat mencegahnya karena dia memang sudah berjanji untuk menukar Sian Li dengan dirinya sendiri.”

“Ah, tapi mengapa begitu?” nenek Suma Hui mencela puterinya. “Apa artinya janji kepada iblis betina seperti itu? Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian membiarkan saja ia pergi membawa Yo Han sebagai muridnya? Iblis betina itu pantas dibasmi!”

“Tidak boleh kita berpendirian begitu,” kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. “Sudah jelas bahwa Yo Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak suka akan kekerasan, namun memiliki ketabahan yang luar biasa. Dan kalau dia sudah berjanji kepada Ang I Moli agar iblis betina itu membebaskan Sian Li dan sebagai tukarnya dia mau ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat memaksa dan melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo Han.”

“Apa yang dikatakan ayah itu memang benar, Ibu,” kata Kao Hong Li. “Akupun tadinya tidak mau mengalah begitu saja dan aku sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku bertanding. Ia memang lihai, akan tetapi kalau ia tidak melarikan diri, tentu aku akan dapat membunuhnya. Betapapun juga, kami tidak mungkin dapat membunuhnya setelah ia mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku dengan baik, dan kalau Yo Han ikut dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han sendiri. Kiranya anak yang luar biasa itu sudah tahu bahwa kami ingin menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo Han memang sengaja ikut iblis itu agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau tanpa kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil seperti yang tadinya kami rencanakan. Dia sudah tahu semuanya, Ibu.”

Kao Cin Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan kagum kepada anak itu. “Jadi, dia sengaja mengorbankan diri, sengaja meninggalkan keluargamu karena tahu bahwa kalian ingin memisahkan Sian Li darinya?”

Hong Li mengangguk dan menunduk. “Sungguh kami merasa kehilangan dia, Ibu. Kami sayang kepada Yo Han, juga Sian Li amat menyayangnya, sehingga ia rewel terus dan terpaksa kami mengajaknya pesiar ke kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami harus mementingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa oleh sikap Yo Han kalau terus dekat dengan dia.”

Sin Hong menarik napas panjang. “Benar sekali, Ayah dan Ibu. Kami amat sayang kepada Yo Han, seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak ingin melihat Sian Li menjadi seperti dia.”

“Tapi.... bagaimana dengan nasib Yo Han? Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke tangan seorang iblis betina? Jangan-jangan keselamatan nyawanya terancam....” Suma Hui menyatakan kekhawatirannya.

“Aku juga khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tidak perlu khawatir,” kata Hong Li sambil memandang suaminya.

Kini mereka bertiga semua memandang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan yang meyakinkan, karena mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Yo Han.

“Sesungguhnya pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapapun janggalnya, saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa disengaja memberi pelajaran kepada saya. Yaitu bahwa nyawa setiap orang berada di tangan Tuhan. Dia amat yakin akan hal ini, maka dia tidak pernah takut menghadapi apapun bahkan ancaman maut sekalipun. Saya merasa yakin bahwa ada sesuatu yang mujijat pada diri anak itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang melindunginya. Seperti ketika dia diserang ular berbisa itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat yang pandai, tangannya bergerak menangkap ular itu. Akan tetapi dia tidak membunuhnya, melainkan bicara kepada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah dia menguasai pula ilmu menundukkan ular.”

“Aneh!” kata Suma Hui. “Padahal, biarpun aku sendiri pernah mempelajari ilmu menundukkan ular akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku tidak pernah mengajarkannya kepadamu, Hong Li.”

“Itulah keanehannya, Ibu,” kata Hong Li. “Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari penculik Sian Li. Kami berdua yang memiliki kepandaian saja gagal menemukan penculik, akan tetapi kenapa Yo Han dapat menemukannya, bahkan lebih hebat lagi, dapat membujuk Ang I Moli untuk membebaskan Sian Li?”

Kakek dan nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimanapun juga, mereka menyayangkan bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang I Moli. “Kalau saja kalian membawa dia ke sini, kami akan suka mendidiknya.” kata Suma Hui dan suaminya juga mengangguk setuju. Akan tetapi semua sudah terlanjur dan Yo Han sudah pergi bersama Ang I Moli entah ke mana.

Malam itu, karena lelah oleh perjalanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di dalam kamar mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar neneknya, sedangkan kakek Kao Cin Liong yang merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya dan cucunya, juga sudah tidur dengan mulut tersenyum.

Kakek dan nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak? Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Kao Hong Li. Ketika puteri mereka itu menikah dengan Thio Hui Kong kemudian bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka sekali. Anak mereka satu-satunya, seorang wanita lagi, dalam usia demikian muda telah menjadi seorang janda tanpa anak! Mereka sudah merasa putus harapan karena pada masa itu, derajat seorang janda yang bercerai hidup, apalagi tanpa anak, amatlah dipandang hina dan rendah. Sungguh di luar dugaan mereka, kemudian Kao Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu tinggi, bahkan mereka hidup berbahagia dan mempunyai seorang anak yang menjadi cucu mereka yang mungil!

Menjelang tengah malam, ketika seluruh isi rumah itu tidur pulas dan juga keadaan sekeliling rumah itu sunyi karena tidak ada lagi orang berada di luar rumah dalam cuaca yang amat dingin itu, terdengarlah seruan di atas genteng kamar kakek Kao Cin Liong.

“Taihiap (Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!” terdengar teriakan di atas genteng kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.

Kao Cin Liong yang sedang duduk bersamadhi, mendengar seruan ini dengan jelas. Bahkan dia mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian Kwan Hwesio ketua kuil di sudut kota Pao-teng, seorang murid Siauw-limpai yang termasuk tokoh karena tingkat, kepandaian silatnya sudah cukup tinggi. Mendengar suara itu, tubuh Kao Cin Liong meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela dan dalam beberapa detik saja dia sudah meloncat naik ke atas genteng di mana dia melihat seorang hwesio sedang didesak dan dihajar dengan pukulan-pukulan oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To) yang lihai sekali. Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang dan dia tidak dapat melihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah payah, terhuyung-huyung di atas genteng.

“Tahan....!” seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan Hwesio yang terhuyung, menyambar lengannya.

Hwesio yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah sekali dan dia bersandar kepada rangkulan lengan Kao Cin Liong.

“Thian Kwan Suhu, ada apakah? Siapakah mereka ini?”

“Mereka.... mereka.... orang-orang Bu-tong-pai.... uhhh-uhhh!” hwesio itu terengah-engah. “Kami sudah mengalah.... akan tetapi.... seperti pernah kuceritakan.... Bu-tong-pai selalu mendesak dan menyerang kami....” Tubuh hwesio itu terkulai dan dengan lirih dia masih menyebut “omitohud....!” dan dia pun lemas dan tewas dalam rangkulan kakek Kao Cin Liong.

Kao Cin Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan mendengar bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana para murid Bu-tong-pai menyerang para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah bentrokan-bentrokan berdarah. Menurut keterangan Thian Kwan Hwesio. Bu-tong-pai menuduh seorang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh Phoa Cin Su, tokoh Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan kepala kuil itu, justeru Loan Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai, juga di puncak Bukit Naga!

Dua orang tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian Kwan Hwesio.

“Ini tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!” Dan mereka berdua maju menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Kakek Kao Cin Liong terkejut dan berseru,

“Heiii, tahan dulu!” teriaknya sambil mencoba untuk mengelak. Akan tetapi karena dia sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi mayat, tentu saja gerakannya menjadi lambat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu dan mengangkat kedua lengannya untuk menangkis.

“Desss....!” Kakek itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu memiliki tenaga yang amat kuat. Kalau saja mereka tidak maju bersama, tentu dia dapat mengatasi tenaga seorang di antara mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng dan agaknya mereka telah menggabungkan diri dan mengerahkan tenaga. Sedangkan dia sendiri karena belum tahu benar akan keadaan dan tidak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai yang banyak dikenal para pemimpinnya, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Akibatnya, kakinya menginjak pecah genteng di bawahnya dan kedua tangannya melekat kepada tangan dua orang tosu itu!

Kao Cin Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Biarpun usianya telah lanjut, sudah enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat dari Gurun Pasir. Karena maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan kedua tangannya sudah melekat pada tangan lawan dan kedua kakinya hampir tertekuk, dia lalu mengerahkan tenaga Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Istana Gurun Pasir.

“Aaarghhhh....!” Kakek itu mengeluarkan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu pun terjengkang! Akan tetapi pada saat ketika kakek yang sudah tua itu menghentikan pengerahan Sin-liong-hok-te, dari belakangnya ada dua orang tosu lain yang menghantamkan telapak tangan mereka ke punggungnya.

“Plakkk! Dukkk!”

Dua orang pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa betapa tangan mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin Liong sendiri terpelanting dan mengeluh karena dua tamparan pada punggungnya selagi dia menyimpan kembali tenaga Sin-liong-hok-te tadi sedemikian hebatnya sehingga dia merasa seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai hebat!

“Aiihhh....!” Teriakan ini terdengar dari bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.

“Kong-kong....!”

Suma Hui tadi keluar bersama cucunya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia menjerit karena sempat melihat suaminya roboh terpukul dari
belakang. Tubuhnya cepat meluncur ke atas seperti seekor burung terbang saja. Seorang di antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan serangan kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang. Tubuh wanita itu masih melayang di udara ketika pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke arah dada. Namun, Suma Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, kalau dilakukan berterang, tentu akan dapat diatasinya.

“Haiiittt....!” Suaranya melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali dan berhasil menghindarkan dari dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bukan main, membuat penyerangnya terkejut. Akan tetapi Suma Hui juga kaget karena serangan tadi nyaris mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penyerangnya adalah seorang yang lihai. Begitu kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi sudah menyambar pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan serangan pedang kepadanya. Suma Hui mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, lalu membalas pula dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga Swat-im Sin-kang yang dingin. Karena maklum bahwa suaminya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah mengerahkan ilmu yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu. Lawannya terkejut ketika merasa ada hawa yang amat dingin menyambar dari kedua tangan lawannya, maka dia bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga jarak, melindungi diri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Ketika tiga orang tosu yang lain hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dari bawah, melayang ke atas genteng itu seperti dua ekor burung garuda. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.

Melihat ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari belakang, menyambut mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa dua orang pria dan wanita muda yang baru datang ini juga amat lihai, terutama sekali yang pria. Begitu Sin Hong mengelak dan tangannya mendorong hawa pukulan tangannya membuat lawannya terhuyung ke belakang! Seorang tosu lain cepat membantu kawannya, dan baru setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong, mereka mampu saling menjaga dan terjadi perkelahian yang agak seimbang.

“Ayah....!” Kao Hong Li yang melihat ayahnya menggeletak di atas genteng, terkejut sekali dan cepat menghampiri ayahnya.

Dengan napas empas-empis Kao Cin Liong berkata, “Hong Li.... cepat.... kaubantu.... ibumu....”

Hong Li menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk menghadapi permainan pedang seorang tosu. Suaminya, biarpun dikeroyok dua, tidak nampak terdesak. Ia pun cepat meloncat dan membantu ibunya. Kini, tosu berpedang itu menjadi repot sekali ketika berhadapan dengan ibu dan anak itu.

Walaupun mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor singa betina yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari terkaman dua ekor singa betina itu! Bahkan dia sempat berteriak. “Sute, bantu....!” Teriaknya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan dua orang tosu ini pun sudah mulai terdesak ketika Sin Hong terpaksa memainkan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun. Ilmu ini adalah ilmu yang amat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang sakti, yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng. Juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu. Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai, dia terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja dua orang pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.

Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil, “Ibuuu....! Ayaahhh....!” Suara ini disusul suara yang parau dan tegas, penuh ancaman.

“Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!”

Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li Sudah terkejut, demikian pula nenek Suma Hui. Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu! Seketika lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam.

“Jangan mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!” kata pula tosu itu. Sin Hong dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah ke mana perginya.

“Uhhh....!” Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke bawah. Melihat ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu dipondongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu meloncat pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.

“Jangan bawa anakku! Kembalikan!”

“Berhenti, atau kubunuh anakmu!” Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak berani ia mengejar.

Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu telah dihantamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan. Tosu itu terkejut dan begitu merasa betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian Li ke arah Hong Li.

“Terima anakmu!” teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat menangkapnya.

“Ibuuu....!”

“Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?” Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya, menciuminya dengan hati lega. Akan tetapi, ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada aaat itu, Sin Hong sudah melayang, turun memandong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang, terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.

“Ibu....!”

Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung. “Aku.... berhasil menghajar penculik tadi.... tapi yang lain.... membokong dengan curang dari belakang.... ahhh.... bagaimana.... ayahmu....?” Wanita itu terkulai dan tentu roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.

“Cepat bawa masuk. Mari Sian Li, masuk ke dalam!” kata Sin Hong kepada isterinya. Dia masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya. Mereka masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walaupun nampak bingung dan masih belum hilang kagetnya.

Tiga orang pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian belakang rumah menjadi terkejut mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah berlarian keluar. Tentu saja mereka kaget bukan main melihat kedua majikan mereka dipondong masuk dalam keadaan luka dan pingsan.

“Kalian cepat undang tabib yang pandai di kota ini, kata Sin Hong setelah dia merebahkan tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang lain.

Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah dipan.

Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alisnya melihat dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah mertuanya menderita luka dalam yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, napasnya empas-empis, tinggal satu-satu. Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua buah benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas bahwa senjata rahasia itu beracun!

Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpabersuara. Ia terlampau gagah untuk menangis keras. Ia menahan gejolak hatinya yang penuh kekhawatiran dan kemarahan. Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, kemudian dengan lembut dia berkata, “Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biar aku yang berjaga di sini sampai tabib datang.”

Hong Li maklum akan maksud suaminya. Memang tidak baik membiarkan Sian Li di situ. Anak ini nampak kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat, kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.

“Mari, Sian Li, kita kembali ke kamar untuk tidur.”

Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Ketika Hong. Li merebahkan puterinya di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya, “Ibu siapa yang melukai Kakek dan Nenek?”

“Mereka orang-orang jahat, Sian Li.”

“Kenapa Ayah dan Ibu tidak menangkap mereka?”

“Mereka itu lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku.”

“Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?”

Kao Hong Li menggeleng kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa mereka akan tetapi sebelum tewas, Thian Kwan Suhu berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi.”

“Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?”

“Begitulah. Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li.”

Kini Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya. “Kalau begitu, kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai!. Mereka orang-orang jahat!”

“Ssttt,sudahlah.Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu.

Serahkan saja kepada ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan itu. Ibunya menghibur dan satelah putarinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena rscun itu.

Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya. “Kiraku hanya ada seorang saja yang akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita harus cepat memberi kabar dan mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biarpun tidak memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong, namun memiliki pengalaman yang luas.”

Sin Hong setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah dan ibu mertua yang luka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan yang melakukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong dan yang lain pergi Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun. Sementara itu Tan Sin Hong, yang menjadi kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.

Setelah tiga orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biarpun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha untuk membantu mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga sin-kang, namun mereka berdua tidak berhasil menyembuhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.

Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan ia berbisik kepada suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar percakapan mereka tidak mengganggu dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.

“Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!” desis Hong Li sambil mengepal tangannya “Kalau Ayah dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggungan jawab mereka. Perbuatan mereka melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak boleh didiamkan begitu saja!”

Tan Sin Hong mengerutkan alisnya. “Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu amarah saja. Kita sudah mengetahui bahwa memang akhir-akhir ini terdapat pertentangan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai sehingga seringkali terjadi bentrokan antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui sebabnya dan memang bukan urusan kita. Kalau sekarang Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu terjadi dalam perkelahian karena mereka terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai.”

“Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan Ayah, kenapa, mereka masih terus menyerang dan tidak memandang muka orang tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, kenapa Ayah dan Ibu malah mereka serang?”

“Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang bersalah.”

Akan tetapi isterinya menggeleng kepala. “Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua Bu-tong-pai membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus membalas perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Bu-tong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya menjadi pengecut-pengecut yang curang!”

Sin Hong mengangguk-angguk. “Engkau benar. Aku sendiri memang ada perasaan curiga terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan watak pendekar-pendekar Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li sebagai sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dulu mengirim surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan berkunjuhg ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan neneknya. “Ayah, Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?” tanyanya sambil mendekati pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.

“Sst, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan bermainlah di luar.”

Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya dan alisnya berkerut, mulutnya cemberut. “Kakek dan Nenek tidak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!” Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar. Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.

Mereka lalu duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat betapa keadaan mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk menyalurkan tenaga sin-kang mereka dengan telapak tangan mereka ditempelkan di punggung si sakit. Biarpun usaha ini belum dapat menyembuhkan, setidaknya dapat memperkuat hawa murni dalam tubuh ayah dan ibu mereka dan memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.

Dua orang yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat dan pernapasan mereka lemah. Sin Hong sudah memberi obat luka di lambung dan leher ibu mertuanya. Luka-luka itu tidak berat, akan tetapi racun yang terkandung di luka bagian leher amat berbahaya. Sedangkan pukulan kedua telapak tangan yang berbekas di punggung ayah mertuanya membuat keadaan ayah mertuanya itu lebih parah lagi.

“Hemm, keadaan mereka ini membuat aku menjadi sangsi,” katanya lirih kepada isterinya. “Aku mengenal Bu-tong-pai sebagai partai persilatan bersih, perkumpulan orang-orang suci dengan para tosu menjadi pimpinan. Murid-murid mereka adalah pendekar-pendekar gagah. Biarpun mereka memiliki pukulan ampuh yang mengandung sin-kang amat kuat, namun belum pernah aku mendengar mereka mempelajari ilmu pukulan beracun. Juga, belum pernah aku mendengar mereka menggunakan racun atau paku beracun seperti yang melukai leher ibumu.”

“Akan tetapi, mendiang Thian Kwan Hwesio dengan jelas menyerukan bahwa mereka adalah para tosu Bu-tong-pai,” kata isterinya dan Sin Hong menjadi bingung. Memang sukar dimengerti kalau seorang pendeta seperti ketua kuil Pao-teng itu berbohong. Apa manfaatnya berbohong. Akan tetapi, Thian Kwan Hwesio sudah tewas sehingga tidak mungkin, dapat diperoleh keterangan yang lebih jelas darinya.

“Kita harus bersabar. Surat yang kukirim kepada Ketua Bu-tong-pai itu sedikit banyak tentu akan dapat menerangkan kegelapan peristiwa semalam.”

Sementara itu, Sian Li berlari keluar rumah dengan hati kesal. Ketika ia datang ke rumah kakek dan neneknya, hatinya gembira karena kedua orang tua itu amat sayang kepadanya dan mengajaknya bermain-main. Sekarang, kakek dan neneknya hanya rebah dalam keadaan sakit. Apalagi bermain-main dengannya, bicara pun mereka itu tidak dapat lagi. Semua itu gara-gara perbuatan penjahat yang menyerbu malam tadi. Hatinya kesal dan marah, dan ia pun keluar dari pekarangan rumah, bermaksud mencari teman bermain.

Ada beberapa orang pegawai yang biasanya membantu kedua orang tua itu berdagang rempa-rempa. Mereka, empat orang itu, telah mendengar bahwa kedua majikan mereka menderita luka oleh serbuan penjahat. Mereka membuka toko rempa-rempa mewakili majikan mereka dengan wajah khawatir.

Sian Li tidak mempedullkan mereka yang tidak dikenalnya, dan ia pun keluar dari pekarangan dan terus berjalan-jalan seorang diri di jalan raya. Hatinya tertarik melihat seorang kakek berdiri di tepi jalan, memandang ke arah rumah kakek dan neneknya. Ia pun menoleh dan ikut memandang. Belasan orang hwesio memasuki pekarangan itu, dan mereka ini adalah para hwesio dari kuil di kota itu, para murid Thian Kwan Hwesio yang sudah diberi kabar tentang tewasnya guru dan ketua mereka di rumah keluarga Kao. Tak lama kemudian mereka mengangkut peti mati untuk dibawa pulang ke kuil mereka. Sian Li melihat pula ayah dan ibunya mengantar sampai di luar rumah dan belasan orang hwesio itu meninggalkan pekarangan itu sambil memikul peti mati.

Sian Li mengepal kedua tangannya, memandang dan mengikuti perjalanan para hwesio yang mengikuti peti mati sambil membaca doa sepanjang jalan. Hatinya merasa kasihan dan juga penasaran kepada para penjahat yang bukan saja telah membunuh seorang hwesio, akan tetapi juga melukai kakek dan neneknya.

“Penjahat-penjahat kejam, tunggu saja kalian. Kalau kelak aku sudah besar, akan kubalaskan kematian hwesio itu dan lukanya Kakek dan Nenekku!”

Sian Li tidak tahu betapa kakek yang tadi berdiri memandang ke arah kesibukan para hwesio mengangkut peti mati, kini memandang kepadanya dengan sinar mata yang penuh selidik dan mulut tersenyum. Kakek ini berpakaian seperti seorang sastrawan, akan tetapi jelas bahwa dia miskin melihat betapa pakaian itu sudah penuh jahitan dan ada beberapa tambalan, walaupun nampaknya bersih. Dia mirip seorang sastrawan setengah jembel, dengan rambut yang bercampur dengan cambang, kumis dan jenggot yang sudah berwarna kelabu. Namun wajah masih nampak sehat kemerahan belum dimakan keriput, matanya masih terang dan senyumnya cerah walaupun mulut itu tidak bergigi lagi. Rambut itu dibiarkan awut-awutan, sampai ke pundak. Tubuhnya jangkung kurus namun berdirinya tegak. Sebuah caping lebar tergantung di punggung, tangan kanan memegang sebatang tongkat butut dan tangan kirinya membawa sebuah keranjang obat, terisi beberapa macam akar-akaran dan daun-daunan.

“Nona kecil yang baik, apakah kakek dan nenekmu luka-luka?” Tiba-tiba kakek itu mendekat dan bertanya. Sian Li menoleh dan ia memandang kepada kakek itu penuh perhatian.

“Apakah engkau orang Bu-tong-pai?” tiba-tiba ia bertanya dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh selidik.

“Kalau betul, kenapa?” kakek itu balas bertanya sambil tersenyum.

“Kalau engkau orang Bu-tong-pai, akan kupanggilkan Ayah dan Ibu. Jangan lari, mereka tentu akan menghajarmu!”

“Kalau aku bukan orang Bu-tong-pai?”

“Kalau bukan, jangan mencampuri urusan kami. Engkau tidak akan dapat menolong, Kek!”

“Ha-ha-ha, anak baik, mengapa engkau mengatakan bahwa aku tidak akan dapat menolong?”

Sian Li memandang kepada orang itu dengan sinar mata penuh selidik. “Engkau seorang kakek tua, miskin, dan nampak lemah. Andaikata engkau memiliki ilmu kepandaian pun, bagaimana engkau mampu menandingi orang-orang Bu-tong-pai yang lihai, sedangkan Ayah Ibuku saja tidak mampu melindungi Kakek dan Nenekku?”

Kakek itu memandang dengan kagum. Anak kecil ini baru berusia empat tahun, akan tetapi telah mampu mengolah pikiran seperti orang dewasa saja. Ini menandakan bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang cerdik bukan main.

“Anak yang baik, engkau tadi bilang tentang kakek dan nenekmu yang luka-luka. Kebetulan sekali aku mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Aku mendengar bahwa ini rumah dari Pendekar Kao Cin Liong, bekas panglima besar yang amat terkenal itu. Bagaimana kalau aku mencoba kepandaianku untuk menyembuhkan kakek dan nenekmu?”

Mendengar ini, Sian Li menjadi girang sekali. Sejenak ia memandang ke arah keranjang obat di tangan kiri kakek itu, kemudian ia memegang tongkat kakek itu dan menariknya. “Kalau begitu, mari cepat, Kek. Tolonglah Kakek dan Nenekku!” Dan ia pun menarik kakek itu berlarian memasuki pekarangan, langsung masuk ke dalam rumah. Empat orang pegawai toko rempa-rempa itu memandang heran, akan tetapi mereka tidak berani menegur.

Kakek itu yang merasa rikuh sendiri dan dia berhenti di ruangan depan. “Anak baik, lebih dulu beritahukan orang tuamu bahwa aku datang, tidak sopan kalau aku terus masuk begitu saja.”

“Kakek, memang tidak sopan kalau engkau masuk sendiri. Akan tetapi aku yang membawamu masuk, jadi engkau tidak bersalah. Marilah!” Anak itu menariknya masuk dan Sian Li berteriak-teriak, “Ayah! Ibu! Aku datang bersama Kakek yang hendak mengobati Kakek dan Nenek!”

Mendengar teriakan anak mereka. Tan Sin Hong dan isterinya, Hong Li segera berlari keluar. Mereka melihat Sian Li menggandeng tangan seorang kakek tua yang memegang tongkat dan keranjang obat. Sebagai orang-orang yang berpengalaman, sekali pandang saja suami isteri ini mengenal orang luar biasa, akan tetapi mereka belum mengenal siapa dia maka keduanya memberi hormat dengan sopan dan Tan Sin Hong berkata dengan suara lembut.

“Selamat datang, Locianpwe. Kalau benar seperti yang dikatakan puteri kami maka kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe yang hendak mengobati Ayah dan Ibu kami.”

Kakek itu tertawa bergelak sehingga nampak rongga mulutnya yang sudah tidak punya gigi lagi. “Siancai.... sungguh bukan nama besar kosong belaka bahwa Pendekar Bangau Putih adalah seorang pendekar perkasa yang amat pandai membawa diri, rendah hati, dan sopan, ha-ha-ha!”

Sin Hong dan isterinya saling pandang lalu keduanya menatap wajah kakek jangkung itu. “Maafkan kami yang tidak ingat lagi siapa Locianpwe, sebaliknya Locianpwe telah mengenal kami.”

“Ha-ha, tentu saja. Rumah ini adalah rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir, bekas panglima yang amat terkenal. Dan isterinya adalah seorang wanita sakti, she Suma masih cucu Pendekar Sakti Pulau Es! Begitu melihat nona cilik pakaian merah ini, aku sudah menduga bahwa tentu ia cucu Kao Cin Liong, dan karena kalian adalah ayah ibunya, siapa lagi kalian kalau bukan puteri dan mantu bekas panglima itu?”

“Wah, Kakek tidak adil!” tiba-tiba Sian Li berseru, “Kakek sudah mengenal Ayah Ibu dan Kakek, akan tetapi belum memperkenalkan diri. Mana adil kalau perkenalan hanya sebelah pihak saja?”

“Sian Li, jangan kurang ajar!” bentak ibunya.

“Ho-ho, namamu Sian Li, anak merah, Bagus, engkau memang seperti seorang sian-li (dewi) cilik. Tan-taihiap dan Kao-lihiap, saya ini orang biasa saja, bahkan orang yang kedudukannya amat rendah, setengah tukang obat, setengah pengemis, ha-ha-ha!”

Kembali suami isteri itu saling pandang. Biarpun suami isteri pendekar ini masih muda, namun mereka sudah mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw dan sudah mendengar akan nama besar banyak orang pandai walaupun belum pernah berjumpa dengan mereka. Setengah tukang obat dan setengah pengemis?

“Kalau begitu, Locianpwe ini tentu Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat)!” seru Kao Hong Li.

Kakek itu mengelus jenggotnya dan tersenyum. “Nyonya muda sungguh berpemandangan luas!”

“Aih, maafkan kami berdua yang tidak tahu bahwa yang mulia Yok-sian (Dewa Obat) datang berkunjung!” kata Sin Hong kagum karena dia pun pernah mendengar akan nama besar tokoh ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw.

“Ha-ha-ha, alangkah tidak enaknya mendengar nama sebutan Yok-sian (Dewa Obat). Aku lebih suka disebut Lo-kai (Pengemis Tua) saja. Aku mendengar akan keributan yang terjadi di rumah Taihiap Kao Cin Liong, maka sengaja hendak melihat apa yang terjadi. Kebetulan di luar tadi aku bertemu dengan anak ini! Sian Li menarik hatiku dan ternyata ia adalah cucu Taihiap Kao Cin Liong yang sudah kukenal baik. Nah, mari antar aku melihat dia dan isterinya yang kabarnya terluka.”

Bukan main girangnya hati Hong Li dan Sin Hong. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mengantar tamu itu memasuki kamar di mana Kao Cin Liong dan Suma Hui rebah. Sian Li mengikuti dari belakang.

Kakek itu menurunkan keranjang obat dan tongkatnya yang cepat disimpan oleh Sian Li ke sudut ruangan, kemudian dia menghampiri Kao Cin Liong, memeriksa denyut nadinya sebentar, kemudian memeriksa keadaan Suma Hui. Dia mengangguk-angguk.

“Kabarnya yang menyerang orang-orang Bu-tong-pai?” Tanyanya kepada Sin Hong.

“Begitulah menurut pengakuan mendiang Thian Kwan Hwesio yang malam tadi dikejar oleh mereka sampai ke sini. Agaknya hwesio itu hendak minta bantuan Ayah dan Ibu yang sudah menjadi sahabat baik,” kata Sin Hong.

Yok-sian Lo-kai mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Pukulan pada punggung Kao-taihiap ini adalah pukulan yang mengandung Hek-coa-tok (Racun Ular Hitam), agaknya tidak mungkin orang Bu-tong-pai, apalagi yang sudah tinggi tingkatnya, menggunakan pukulan keji macam itu. Juga jarum yang memasuki leher Suma Lihiap itu merupakan senjata rahasia yang biasa dipergunakan orang-orang golongan hitam. Sebaiknya kucoba mengeluarkan jarum-jarum itu lebih dulu, karena kalau dibiarkan terlalu lama, akan berbahaya. Tan Taihiap, engkau memiliki kekuatan sin-kang yang besar, marilah kaubantu aku. Kau tempelkan telapak tanganmu ke luka di luka di tengkuk dan menggunakan sin-kang untuk menyedot, aku akan menggunakan totokan dan urutan untuk mendorong keluar jarum-jarum itu. Jangan terlampau kuat agar tidak merusak jalan darah. Kalau telapak tanganmu sudah merasakan gagang jarum tersembul, hentikan.” Lalu dia menoleh kepada Hong Li dan berkata, “Lihiap, harap kaurebus sebutir telur, kalau sudah matang, bawa ke sini putihnya saja.”

Hong Li meninggalkan kamar ,itu untuk pergi ke dapur sedangkan Sin Hong lalu duduk bersila di atas pembaringan, lalu menempelkan tangan kanan ke tengkuk yang terluka jarum, mengerahkan sin-kang menyedot. Kakek itu sendiri duduk di tepi pembaringan jari tangan menotok di sekitar pundak dan tengkuk, lalu mengurut tengkuk itu sambil mengerahkan sin-kang pula. Sian Li yang duduk di atas kursi, diam saja dan memandang penuh perhatian.

Tak lama kemudian, Sin Hong merasakan dua batang jarum tersembul menyentuh telapak tangannya. Dia memberi tanda dan Yok-sian Lo-kai menghentikan urutan jari tangannya. Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, nampak gagang dua batang jarum tersembul dan kakek itu lalu mencabutnya. Bekas luka itu nampak hijau kehitaman dan pada saat itu, Kao Hong Li sudah datang membawa putih telur yang sudah dimasak. Yok-sian Lokai lalu mencampuri putih telur itu dengan obat bubuk, memupukkan campuran ini di atas dua lubang kecil bekas jarum, lalu membalutnya.

“Dalam waktu satu jam, obat itu boleh diambil dan semua racun sudah akan dihisap keluar,” katanya dan kini dia mulai mengobati Kao Cin Liong yang masih pingsan. Luka senjata tajam pada punggung Suma Hui tidak berbahaya dan sudah diobati oleh Sin Hong dengan obat luka.

Akan tetapi, pukulan tangan yang mengandung racun Hek-coa-tok memang berbahaya sekali. Yok-sian Lo-kai yang memiliki ilmu pengobatan dengan totokan dan tusuk jarum, lalu mulai bekerja. Dia menotok banyak jalan darah di seluruh tubuh Kao Cin Liong, terutama di seputar tempat luka di punggung. Kemudian, dia mempergunakan tiga batang jarum emas untuk menusuk bagian-bagian tertentu, menggetarkan jarum-jarum itu dengan tenaga sin-kang melalui jari-jari tangannya.

Kurang lebih dua jam kakek ini melakukan pengobatan dan akhirnya, Kao Cin Liong muntah-muntah dan keluarlah darah menghitam dari mulutnya. Tentu saja melihat lni, Sin Hong dan Hong Li terkejut dan memandang dengan hati khawatir. Akan tetapi, Yok-sian tersenyum nampak lega dan pada saat itu terdengar suara rintihan lirih dari pembaringan di mana Suma Hui berbaring. Mendengar suara ibunya, Hong Li cepat menghampiri dan ternyata ibunya baru saja siuman. Melihat ibunya bergerak hendak duduk, Hong Li membantu ibunya bangkit duduk.

“Ibu, bagaimana rasanya badanmu?” Hong Li bertanya, hatinya gembira karena wajah ibunya nampak kemerahan.

Suma Hui agaknya baru teringat akan semua keadaan. “Mana ayahmu?” Ketika ia menengok ke arah kiri, dan mendengar suaminya muntah-muntah, ia hendak meloncat turun dan tentu akan terjatuh kalau saja tidak ditahan oleh puterinya.

“Perlahan, Ibu. Ayah juga terluka dan baru saja ditolong oleh Locianpwe itu.”

Suma Hui kembali duduk dan kini ia memandang ke arah kakek yang mengurut tengkuk den punggung suaminya yang masih muntah-muntah, akan tetapi tidak sehebat tadi.

“Dia.... Dia.... Yok-sian Lo-kai?” Suma Hui mengenalnya. Pengemis tua ahli pengobatan itu sudah selesai menolong Kao Cin Liong dan dia pun kini menghadapi Suma Hui sambil tersenyum.

“Suma Lihiap, engkau masih mengenal aku? Bagus! Sudah ditakdirkan Tuhan bahwa kebetulan saja aku sedang hendak berkunjung ke sini ketika aku melihat engkau dan suamimu terluka.”

“Ah, terima kasih Lo-kai. Bagaimana suamiku?”

“Aku juga sudah sembuh. Sungguh besar budi Lo-kai kepada kita!” kata Kao Cin Liong yang kini juga sudah bangkit duduk.

Yok-sian Lo-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, kalian ini suami isteri pendekar sungguh lucu. Apa itu budi dan dendam? Menjadi biang penyakit saja. Kao Taihiap, sejak engkau menjadi panglima dahulu, entah sudah berapa puluh atau ratus ribu keluarga yang selamat karena sepak terjangmu. Apa artinya pengobatan yang kuberikan sekarang ini? Pula, kalau bukan Tuhan menghendaki kalian suami isteri budiman agar masih hidup, bagaimana mungkin aku dapat kebetulan berada di sini?”

Kao Cin Liong menghela napas panjang dan dia memandang kepada puterinya dan mantunya. “Ketahuilah, dahulu, ketika aku memimpin pasukan ke barat, pernah aku menderita luka beracun yang nyaris membunuhku. Untung aku bertemu dengan Yok-sian Lo-kai ini dan dialah pula yang menyembuhkan aku.”

“Ha-ha-ha, urusan sekecil itu masih teringat oleh Kao Tahiap sedangkan cara Taihiap menyelamatkan puluhan ribu orang di dusun-dusun yang dilanda gerombolan pemberontak sama sekali dilupakannyal”

“Kong-kong....! Bo-bo....!” Sian Li datang menghampiri kakek dan neneknya. Mereka bergantian merangkul cucu mereka itu. “Kelak aku yang akan membasmi para penjahat yang telah melukai Kong-kong dan Bo-bo!” kata Sian Li penuh semangat.

“Siancai....! Kalian mempunyai seorang cucu yang sehat!” Yok-sian Lo-kai memuji. “Sian Li, anak yang baik, kalau saja engkau mempelajari ilmu pengobatan seperti itu, tentu engkau akan mudah saja tadi menyembuhkan kakek dan nenekmu. Apakah engkau tidak ingin belajar ilmu pengobatan?”

“Aku suka sekali! Kakek yang baik, kau ajarkanlah aku ilmu mengobati seperti itu!”

“Siancai....! Tentu saja aku suka sekali dan engkau memang berbakat. Akan tetapi, tentu saja keputusannya tergantung kepada ayah ibumu, Sian Li.”

Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan berkata kepada puterinya, “Hong Li, kalau anakmu bisa dididik Yok-sian Lo-kai, bukan saja ilmu pengobatan yang akan diwarisinya, akan tetapi juga ilmu totok Im-yang Sin-ci yang tidak ada duanya di seluruh dunia ini!”

Hong Li memandang kepada suaminya. Ia dan suaminya adalah sepasang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin mereka menyerahkan anak tunggal mereka kepada orang lain untuk di jadikan murid? agaknya Sin Hong dapat mengerti akan isi hatinya, maka Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu.

“Locianpwe, kami sebagai orang tua Sian Li menghaturkan banyak terima kasih atas kemurahan hati Locianpwe yang hendak mendidik anak kami. Akan, tetapi karena ia masih amat kecil, biarlah kami akan mendidik dan memberi pelajaran dasar kepadanya lebih dulu. Kelak kalau sudah tiba waktunya, tentu kami akan membawanya menghadap Locianpwe untuk menerima pendidikan Locianpwe.”

Kakek itu tersenyum. “Ah, bagus sekali kalau begitu, Taihiap. Memang seorang tua bangka yang hidup sebatang kara seperti aku ini, bagaimana mungkin mendidik seorang anak kecil? Biarlah, kelak kalau usiaku masih panjang, setelah Sian Li menjadi seorang gadis dewasa, aku akan mewariskan kepandaianku kepadanya.”

Keluarga yang kini merasa gembira karena kesembuhan Kao Cin Liong dan Suma Hui, menjamu tamu kehormatan itu dengan makan minum dan mereka mempergunakan kesempatan ini untuk bercakap-cakap.

“Engkau adalah seorang yang banyak melakukan perantauan, Lo-kai, tentu dapat menjelaskan apa artinya semua peristiwa yang menimpa kami ini,” kata Kao Cin Liong yang sudah mengenal baik dewa obat itu.

Yok-sian Lo-kai menghela napas panjang. “Seperti cerita kalian tadi, ketua kuil yang murid Siauw-lim-pai itu diserang dan dikejar-kejar beberapa orang tosu Bu-tong-pai dan dia lari ke sini sampai akhirnya tewas pula di sini. Bahkan kalian yang hendak melerai dan melindungi hwesio itu hampir menjadi korban. Memang aneh sekali. Kalian menderita pukulan beracun, padahal setahuku, Bu-tong-pai pantang mempergunakan ilmu pukulan yang keji, yang hanya pantas dimiliki para tokoh sesat. Bagaimanapun juga, permusuhan antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai memang semakin meruncing, seperti juga permusuhan antara empat perkumpulan besar, yaitu Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Aku sendiri merasa heran, bagaimana orang-orang yang mengaku pendekar dan bahkan para pemimpinnya terdiri dari pendeta-pendeta, kini bermusuhan, saling serang dan saling bunuh seperti binatang buas, penuh dendam kebencian. Hayaaaa, agaknya memang sudah jamannya begini. Jaman penjajahan yang mendatangkan segala macam bentuk kekeruhan.”

“Akan tetapi, Lo-kai, apakah kita harus tinggal diam saja? Kalau didiamkan bukankah permusuhan itu semakin berlarut-larut dan hal ini amat melemahkan dunia persilatan terutama golongan putih atau kaum pendekar?” kata Sin Hong sambil mengerutkan alisnya.

“Bukan itu saja, bahkan golongan lain yang tidak ikut bermusuhan, dapat terlibat seperti halnya kami sekarang ini,” kata Hong Li. “Kalau menurutkan hati panas, salahkah kalau kita mendatangi Bu-tong-pai dan menuntut balas atas apa yang mereka lakukan terhadap ayah dan ibuku yang sama sekali tidak bersalah terhadap mereka?”

“Dalam urusan ini, hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin,” kata pula Sin Hong. “Kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa Bu-tong-pai telah mencelakai orang tua kita. Maka, aku telah mengirim surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai dan kita lihat saja bagaimana nanti jawaban dari sana.”

“Siancai.... Ji-wi (Kalian berdua) adalah suami isteri pendekar yang tentu tidak kekurangan kebijaksanaan dan tidak akan bertindak sembarangan. Memang, di dalam jaman penjajahan ini, banyak terjadi bentrokan karena salah paham. Ada sebagian pendekar yang mendukung pemerintah karena menganggap pemerintah dapat bersikap baik terhadap rakyat jelata, ada sebaliknya yang membenci penjajah karena mereka itu orang asing. Aihhh, urusan negara adalah urusan yang ruwet, bagaimana aku dapat mencampurinya? Biarlah aku sekarang pergi dan kelak, kalau waktunya tiba, aku akan datang menagih janji untuk mewariskan kepandaian yang ada padaku kepada Sian Li.“

Yok-sian Lo-kai pergi meninggalkan rumah keluarga Kao tanpa dapat ditahan lagi. Karena Kao Cin Liong dan Suma Hui masih lemah biarpun sudah sembuh, maka Sin Hong dan Hong Li yang mewakili mereka melayat ke kuil untuk menghadiri upacara pembakaran atau perabuan jenazah Thian Kwan Hwesio.



***



Suma Ceng Liong adalah seorang pendekar sakti yang hidup bersama isterinya di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an Propinsi Shan-tung, di lembah Huang-ho yang subur dan indah. Pendekar ini merupakan cucu Pendekar Sakti yang paling lihai, putera dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil. Memang Suma Ceng Liong selain lihai juga amat gagah perkasa. Usianya sudah empat puluh enam tahun namun dia masih nampak gagah, tinggi besar dengan dagu lonjong dan wajahnya selalu cerah gembira. Pendekar ini bukan saja mewarisi ilmuilmu dari keluarga Istana Pulau Es, akan tetapi juga dia pernah digembleng oleh Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang amat lihai. Juga disamping ilmu silat, dia pernah mempelajari ilmu sihir karena ibunya, Teng Siang In almarhum, adalah seorang ahli sihir yang ampuh. Oleh karena itu, maka pada waktu itu, boleh dianggap bahwa di antara keturunan keluarga Istana Pulau Es, pendekar Suma Ceng Liong ini merupakan cucu yang paling lihai di antara tiga orang cucu dalam mendiang Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Ciang Bun, Suma Hui, dan Suma Ceng Liong.

Pendekar Suma Ceng Liong ini menikah dengan seorang wanita yang sakti pula, bahkan dalam hal ilmu kepandaian silat tingkatnya seimbang dengan tingkat kepandaian suaminya. Wanita ini bernama Kam Bi Eng, puteri dari Pendekar Sakti Kam Hong, pewaris dari ilmu-ilmu hebat dari Pendekar Suling Emas!

Suami isteri ini semenjak menikah hidup berbahagia, saling mencinta, saling menghormat dan saling setia. Mereka hanya mempunyai seorang keturunan, yaitu seorang anak perempuan yang bernama Suma Lian. Puterinya itu juga seorang pendekar yang lihai dan kini sudah menikah dengan seorang pendekar murid Suma Ciang Bun, bernama Gu Hong Beng yang kini tinggal di daerah Heng-san, sebelah selatan Po-teng.

Demikiandah sedikit riwayat pendekar sakti Suma Ceng Liong. Kini setelah puterinya yang menjadi anak tunggal itu menikah enam tahun yang lalu, Suma Ceng Liong hidup berdua saja dengan isterinya dan kadang merasa kesepian. Untuk melewatkan waktu menganggur, mereka membuka toko obat di dusun Hong-cun itu. Mereka tadinya bertahan tidak mau menerima murid karena mereka merasa sayang kalau ilmu kepandaian yang mereka peroleh dari keluarga itu, yang merupakan ilmu silat keturunan, baik dari Suma Ceng Liong maupun dari isterinya, Kam Bi Eng. Akan tetapi, setahun yang lalu, ketika di rumah keluarga Liem di dusun mereka terjadi kebakaran hebat yang menewaskan seluruh isi rumah, kecuali seorang anak laki-laki mereka yang selamat karena kebetulan berada di luar rumah, suami isteri pendekar itu merasa kasihan sekali kepada Liem Sian Lun, anak itu. Melihat betapa anak laki-laki berusia tujuh tahun itu demikian tabahnya menghadapi malapetaka yang menimpa keluarganya sehingga dia menjadi yatim piatu dan sama sekali tidak mempunyai anggauta keluarga lagi, melihat anak itu hanya berlutut di depan makam ayah ibunya seperti patung, tidak menangis, tergerak hati mereka. Suami isteri ini lalu mengajak Sian Lun pulang. Mula-mula mereka hanya ingin menolong saja, menjadikan Sian Lun sebagai pembantu rumah tangga dan pembantu toko rempa-rempa mereka. Akan tetapi, melihat betapa anak itu amat pendiam, penurut dan berwatak baik sekali, juga setelah mendapat kenyataan bahwa anak itu berbakat dan bertulang baik, keduanya sepakat untuk mengambil Sian Lun sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak karena setelah Suma Lian pergi mengikuti suami, mereka berdua seringkali merasa kesepian. Dan biarpun tahu bahwa dia disayang, digembleng ilmu silat bahkan dianggap sebagai anak angkat, Sian Lun tetap bersikap rendah hati, rajin bekerja sehingga suami isteri pendekar itu menjadi semakin sayang kepadanya.

Karena sikapnya yang rendah hati ini, walaupun para pegawai toko obat dan rempa-rempa itu tahu belaka bahwa Sian Lun diperlakukan seperti anak angkat oleh majikan mereka, namun tak seorang pun merasa iri. Sian Lun membantu pekerjaan di toko, di rumah, tidak malas dan tidak segan untuk melakukan pekerjaan dan mengepel, bahkan membantu pekerjaan pelayan di dapur. Pendeknya, di mana ada kesibukan, di situ tentu ada Sian Lun maka dia pun disayang oleh seisi rumah. Diam-diam pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya merasa sayang sekali kepada murid ini dan menaruh harapan besar kepada diri anak itu bahwa kelak akan dapat mewarisi kepandaian mereka dan menjunjung tinggi nama mereka sebagai seorang pendekar budiman. Sejak berusia tujuh tahun saja sudah nampak bahwa Sian Lun selain berotak terang, mudah menghafal pelajaran baik sastra maupun silat, bertubuh tinggi tegap, pendiam dan tabah sekali, wajahnya cerah.

Ketika utusan dari Kao Cin Liong tiba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng sedang duduk di ruangan depan. Hari masih pagi dan toko obat mereka masih tutup, para pegawai sedang membersihkan toko dan bersiap-siap untuk membukanya. Sian Lun sejak pagi tadi sudah bangun, sudah menyapu pekarangan dan kini sedang sibuk menyirami tanaman kembang kesukaan subo-nya (ibu gurunya).

Penunggang kuda yang memasukkan kudanya ke pekarangan itu, kemudian meloncat turun tergesa-gesa, amat menarik perhatian. Melihat betapa pria berusia empat puluhan tahun itu nampak lelah, pakaiannya penuh debu dan jelas bahwa dia melakukan perjalanan jauh, Suma Ceng Liong dan isterinya memandang dengan hati tertarik. Bahkan Sian Lun yang sedang menyiram kembang cepat menurunkan ember airnya dan lari menghampiri arang yang meloncat turun dari punggung kudanya.

“Paman mencari siapakah, dari mana Paman datang dan siapa nama Paman? Aku akan melaporkan kepada Suhu dan Subo,” kata Sian Lun dengan sikap hormat, akan tetapi sepasang matanya yang tajam mengamati wajah pendatang itu penuh selidik.

Mendengar anak itu menyebut suhu dan subo, utusan ini pun bersikap ramah. “Anak yang baik, tolonglah beritahu kepada Locianpwe Suma Ceng Liong dan Nyonya bahwa saya datang sebagai utusan dari keluarga Kao di Pao-teng.”

Dari suhu dan subonya, Sian Lun pernah mendengar akan nama para keluarga dan kenalan mereka yang terdiri dari para pendekar, maka mendengar bahwa orang ini utusan dari keluarga Kao di Pao-teng, dia cepat berlari menuju ke ruangan depan di mana suhu dan subonya sedang duduk minum teh pagi.

“Suhu dan Subo, maafkan kalau teecu mengganggu. Akan tetapi penunggang kuda itu mengaku utusan dari keluarga Kao di Pao-teng. Katanya membawa berita yang amat penting untuk Suhu dan Subo.

Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut mendengar bahwa penunggang kuda itu utusan keluarga Kao di Pao-teng. Kalau tidak ada urusan penting sekali, tentu Kao Cin Liong tidak akan mengirim utusan. Isteri Kao Cin Liong, yaitu Suma Hui, adalah kakak sepupu Suma Ceng Liong, maka dia pun cepat bangkit dan memandang ke arah penunggang kuda itu.

“Saudara utusan dari Pao-teng, harap lekas datang ke sini menyampaikan berita itu kepada kami!” Lalu kepada murid mereka Suma Ceng Liong berkata, “Sian Lun, cepat kaurawat kuda itu, beri makan dan minum di kandang kuda!”

Sian Lun mentaati perintah gurunya. Dia menerima kendali kuda yang nampak kelelahan itu, membawanya ke kandang di bagian belakang, sedangkan tamu itu dengan sikap hormat lalu menghampiri tuan dan nyonya rumah yang menanti di serambi depan.

Setelah dipersilakan duduk, dan memperkenalkan diri, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat yang ditulis oleh Tan Sin Hong, mantu keponakan mereka dan begitu membaca isinya, suami isteri itu mengerutkan alis dengan kaget. Surat itu memberitahu bahwa kakak sepupu Suma Ceng Liong, yaitu Sum Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, terluka parah karena pukulan-pukulan beracun dari para tosu Bu-tong-pai dan bahwa mereka berdua diminta untuk segera datang berkunjung ke Pao-teng untuk memberi pertolongan.

Suma Ceng Liong memandang utusan encinya itu dengan pandang mata penuh selidik dan minta kepadanya untuk menceritakan sejelasnya apa yang telah terjadi. Pelayan toko itu tidak dapat bercerita banyak. Dia hanya menceritakan apa yang telah didengarnya saja, yaitu bahwa pada beberapa hari yang lalu, malam-malam rumah majikannya diserbu beberapa orang tosu Bu-tong-pai yang berkelahi dengan ketua kuil, yaitu Thian Kwan Hwesio di atas rumah majikan mereka. Majikan mereka suami isteri berusaha melerai akan tetapi mereka juga menjadi korban pemukulan para tosu Bu-tong-pai yang marah itu. Akhirnya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang kebetulan berada di sana, berhasil mengusir para tosu Bu-tong-pai dan kini keadaan kedua orang majikan mereka terluka parah, sedangkan hwesio Siauw-lim-pai itu tewas.

“Kami akan berangkat sekarang juga!” kata Ceng Liong dan kepada utusan itu dia sarankan untuk beristirahat dulu sebelum pulang, dan dia menyuruh seorang pembantunya untuk menyambut tamu itu. Dia memanggil Sian Lun dan memesan kepada anak itu agar baik-baik menjaga rumah karena dia, dan isterinya akan pergi ke Pao-teng. Sian Lun mematuhi perintah suhunya tanpa berani banyak bertanya. Akan tetapi setelah suhu dan subonya pergi, Sian Lun mendapat banyak kesempatan untuk bicara dan bertanya-tanya kepada utusan dari Pao-teng itu.

Bersambung ke buku 4