Kisah Para Pendekar Pulau Es -12 | Kho Ping Hoo
Buku 12
Nenek itu mengerutkan alisnya dan terkena cahaya api unggun, wajahnya nampak kemerahan. Akan tetapi wajah itu tidak mengerikan,bahkan sebaliknya, wajah itu jelas membayangkan bahwa nenek itu amat cantik di waktu mudanya. “Kepentingan? Tugas? Tugas apakah itu yang membawamu ke tepi rawa ini?”
“Aku harus mencarikan obat untuk orang yang keracunan pukulan Hoa-mo-kang....”
“Ihh! Su-ok sudah lama mampus dan pukulan jahat itu dibawanya mati. Siapa yang mampu melukai orang dengan pukulan Hoa-mo-kang?”
“Entahlah. Pokoknya, seorang sahabat baikku terkena pukulan itu dan menurut keterangan tabib yang ahli, obatnya harus dicari di tempat ini.”
“Katak buduk hitam?”
“Benar, nek, karena itu aku mengharapkan bantuanmu.”
“Engkau takkan berhasil!”
“Kenapa tidak? Menurut keterangan ahli itu, besok pagi aku akan dapat menangkap anak-anak katak di tepi rawa, diberi makan induknya.”
“Hi-hik, engkau tolol!”
Ganggananda mengerutkan alisnya, akan tetapi dia menahan kemarahannya. “Hemm, mungkin juga, akan tetapi mengapa engkau menyebutku tolol? Dalam hal apa?”
“Engkau takkan berhasil, tak mungkin berhasil karena kini belum waktunya terdapat anak-anak katak. Tiga bulan lagi mungkin ada karena sekarang belum waktunya katak-katak itu bertelur. Yang ada hanyalah katak-katak buduk hitam besar dan engkau takkan mampu menangkap mereka.”
“Ahh....!” Ganggananda terkejut dan bingung, mukanya berobah pucat. “Lalu bagaimana baiknya? Sahabatku itu akan mati kalau selama tiga hari tidak memperoleh obat itu, nek.”
“Mengobati pukulan beracun Hoa-mo-kang dengan anak-anak katak memang tepat dan manjur sekali, akan tetapi tidak praktis. Aku mempunyai pel-pel racun katak buduk yang jauh lebih mudah ditelan, juga menelan berturut-turut tiga butir saja sudah akan menyembuhkan, tidak perlu menghancurkan belasan ekor anak katak untuk diminumkan airnya. Ihh, kejam membunuhi begitu banyak anak katak.”
“Nenek yang baik, kau tolonglah aku. Tolonglah sahabatku itu dan aku mohon kau suka memberi pel-pel itu kepadaku.”
Nenek itu memandang tajam. “Hemm, di dunia ini memang harus tolong-menolong. Kalau menolong sepihak saja tentu tidak mungkin. Aku mau menolongmu, akan tetapi ada syarat-syaratnya, orang muda.”
“Apa syarat-syarat itu, nek?”
“Pertama, engkau harus dapat mengalahkan aku, dan ke dua engkau harus dapat membantuku menghadapi musuh besarku.”
Ganggananda mengerutkan alisnya. Menandingi nenek ini merupakan hal yang berat, karena dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu lihai sekali. “Nek, untuk menghadapi musuh bersama, aku mau membantu asal kaukatakan dulu mengapa engkau memusuhinya. Akan tetapi apa perlunya aku harus menandingimu lebih dulu?”
“Heh-heh, kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, apa perlunya engkau membantuku? Musuhku itu jauh lebih lihai daripada aku. Kalau aku mampu mengalahkannya sendiri, apa perlunya minta bantuan orang lain?”
“Ah, begitukah?” Jantung Ganggananda berdebar tegang. Nenek ini saja dia duga tentu sudah amat lihai, kalau musuhnya itu lebih lihai, wah, tugasnya sungguh tidak ringan. “Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengira bahwa akn memiliki kepandaian silat, nek? Aku hanya seorang perantau yang tidak berilmu, mana bisa menandingimu?”
“Heh-heh, orang muda, jangan engkau mencoba untuk membodohi aku. Seorang muda seperti engkau ini sudah berani melakukan perjalanan jauh seorang diri, apalagi bermalam di tepi rawa berbahaya ini seorang diri, bahkan bertugas mencari katak buduk hitam, mana mungkin berani kalau tidak memiliki kepandaian lihai?”
“Mungkin sedikit latihan silat pernah kulakukan, akan tetapi bagaimana akan dapat menandingimu? Engkau yang selihai ini saja tidak mampu mengalahkan musuh besarmu itu, apalagi aku. Sudahlah, nek, lebih baik engkau berbaik hati memberi pel obat itu kepadaku dan hal itu berarti engkau telah berjasa besar menyelamatkan nyawa orang dari cengkeraman maut.”
“Enak saja kau bicara. Orang hidup harus saling menolong! Sebetulnya, dalam ilmu silat dan tenaga, aku tidak kalah oleh musuhku itu, hanya aku kewalahan dan selalu kalah karena dia memiliki gin-kang yang amat tinggi. Dia terlampau cepat bagiku.”
“Gin-kang?” Ganggananda bertanya dan sinar harapan muncul di dalam hatinya. “Jadi aku harus memiliki gin-kang yang lebih tinggi darinya?”
“Setidaknya, harus setingkat agar engkau mampu membantuku.”
Ganggananda mengangguk. “Baiklah, nek, hendak kucoba. Bagaimana kalau kita berlumba memetik bunga putih di puncak pohon di depan itu?”
Biarpun malam itu hanya diterangi sinar bintang-bintang yang remang-remang, akan tetapi bunga-bunga putih bergerombol di puncak pohon tinggi di depan itu mudah dilihat karena menyolok warna putihnya di antara daun-daun yang nampak hitam.
Nenek itu mengangkat muka memandang. “Setinggi itu? Kita berlomba memanjat dan memetiknya?”
“Dengan gin-kang, tentu akan dapat dilakukan dengan cepat, berloncatan dari cabang ke cabang.”
“Baik, nah, mari kita siap. Aku menghitung sampai tiga dan kita berlomba.” Nenek itu berkata dengan suara girang karena ia mulai memperoleh harapan. Kalau pemuda ini sanggup bertanding gin-kang, berarti pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi yang boleh diharapkan akan dapat membantunya sampai ia berhasil menghadapi lawannya yang tangguh.
Mereka berdiri dan nenek itu menghitung “Satu.... dua.... tiga....!” Dan melesatlah tubuh nenek itu ke depan karena ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk meloncat dan berlari ke arah pohon itu. Ia hanya melihat bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu ia melihat pemuda itu sudah tiba di pohon, padahal ia sendiri masih jauh dari tempat itu. Dan ketika ia melihat betapa tubuh pemuda itu berloncat tinggi sekali, kemudian seperti burung terbang atau seekor tupai berloncatan dari cabang ke cabang, maklum bahwa pemuda itu memiliki gin-kang yang hebat. Maka iapun tidak melanjutkan larinya, melainkan menonton saja dari bawah, melihat betapa pemuda itu dengan cepat sekali telah memetik bunga, kemudian dari atas meloncat turun, bahkan melayang tanpa melalui cabang-cabang pohon lagi ke atas tanah, hinggap di tanah sedemikian ringannya seperti sehelai daun kering melayang, kemudian melesat ke dekat api unggun kembali.
“Hebat.... engkau telah mengalahkan aku....!” Nenek itu berkata sambil berlari menyusul. Wajahnya berseri gembira. “Engkau.... kiranya engkau lihai sekali, engkau tentu akan dapat mengalahkan gin-kangnya! Engkau bantulah aku, orang muda, dan kalau aku sudah berhasil membunuhnya, engkau akan kuberi tiga butir pel racun katak buduk hitam untuk menyembuhkan sahabatmu.”
“Nanti dulu, nek. Aku bukan tukang pukul yang suka membantu orang membunuh orang lain begitu saja. Aku hanya mau membantu orang tertindas, bukan membantu orang melakukan kejahatan atau berbuat sewenang-wenang. Ceritakan dulu, siapakah musuh besarmu itu dan kenapa engkau hendak membunuhnya?”
“A-ha, engkau berjiwa pendekar, ya? Bagus, memang aku mencari bantuan dari pendekar, bukan dari kaum sesat. Orang muda, siapakah namamu dan siapa gurumu maka engkau dapat memiliki gin-kang yang sedemikian hebatnya?”
“Namaku Ganggananda, nek.”
“Ha, orang Nepal?”
“Bukan, orang Bhutan. Dan yang mengajarkan sedikit ilmu silat kepadaku adalah ayah bundaku sendiri,” kata Ganggananda cepat dan segera menyambungnya karena ia tidak suka banyak cerita tentang keluarganya, tidak suka diketahui orang bahwa ia adalah keluarga Raja Bhutan. “Sekarang ceritakanlah, nek, agar aku dapat mengambil keputusan apakah aku akan membantumu atau tidak.”“Baik, dengarkanlah ceritaku. Puluhan tahun yang lalu, ketika usiaku baru tiga puluh tahun lebih, aku hidup sebagai isteri seorang pendekar dan tinggal di selatan. Pada suatu hari datanglah seorang sahabat suamiku bertahun di rumah kami. Dia amat tampan dan gagah, pandai merayu dan akupun jatuh oleh rayuannya.” Nenek itu menarik napas panjang dan Ganggananda memandang penuh perhatian, merasa tertarik sekali. Tak disangkanya bahwa nenek ini mempunyai riwayat yang demikian romantis, akan tetapi juga penuh aib. Seorang isteri jatuh hati kepada sahabat suaminya sendiri?
“Aku jatuh hati benar olehnya dan lupa daratan sehingga akupun rela menyerahkan diri kepadanya, menyambut uluran cintanya. Akhirnya, hal ini diketahui oleh suamiku. Kami tertangkap basah. Tentu saja suamiku marah dan sahabat itu diserangnya. Terjadilah perkelahian seru. Ilmu kepandaian sahabat itu amat tinggi dan kalau dia mau, dengan mudah dia akan dapat membunuh atau mengalahkan suamiku, akan tetapi sahabat itu juga seorang pendekar gagah. Dia merasa bersalah, maka diapun hanya melindungi diri saja tanpa mau membalas. Melihat ini, aku berpikir. Kalau sampai aku harus kembali kepada suamiku, tentu suamiku benci kepadaku, dan bahkan mungkin akan membunuhku, setidaknya menceraikan aku. Sudah kepalang bermain air sampai basah, lebih baik menyelam saja sekali, pikirku. Maka akupun membantu kekasihku itu dan karena kesalahan tangan, suamiku roboh dan tewas oleh sahabatnya. Inilah yang kukehendaki agar aku terlepas dari suamiku dan selanjutnya hidup bersama pria yang telah menjatuhkan hatiku itu.”
Ganggananda mengerutkan alisnya. “Ah, engkau kejam terhadap suamimu, nek,” celanya.
“Tidak, bukan kejam. Sejak menikah, pilihan orang tua, aku tidak pernah cinta suamiku. Dan aku sudah jatuh hati kepada orang she Bu, sahabat suamiku itu. Dan akupun bukan turun tangan membunuh suamiku, melainkan hanya membantu sahabat itu, terutama sekali untuk membuka mata suamiku bahwa aku berpihak kepada kekasihku, juga membuka mata kekasihku agar dia tahu bahwa aku bersedia membantunya dan ikut dengannya. Akan tetapi terjadi kesalahan tangan sehingga suamiku roboh dan tewas.”
“Hemm, lalu bagaimana?” Ganggananda bertanya tidak puas. Dia sudah memperoleh gambaran bahwa nenek ini dan orang she Bu itu keduanya adalah orang-orang yang tidak baik! “Setelah suamimu tewas, engkau lalu hidup bersama orang itu?”
Nenek itu mengepal tinju tangan kanannya dan mengacungkannya ke atas. “Itulah yang membuat aku sakit hati, mendendam dan harus membunuhnya! Dia menolakku. Dia merasa menyesal sekali telah kesalahan tangan membunuh suamiku dan dia menyalahkan aku, memaki aku bahwa akulah yang menyebabkan sahabatnya tewas!”
Diam-diam Ganggananda mentertawakan nenek itu dan hatinya berbisik, “Puas! Rasakan engkau!” akan tetapi mulutnya diam saja.
“Aku telah memohon, membujuk dan menangis, akan tetapi tetap saja dia tidak mau menerimaku dan meninggalkan aku. Tentu saja aku merasa sakit hati sekali. Aku memperdalam ilmuku dan mencarinya, menyelidiki siapa sebenarnya kekasihku itu yang belum kukenal baik karena baru pertama kali itulah aku bertemu dengan dia. Kemudian aku mendengar bahwa kiranya dia itu memang seorang laki-laki yang terkenal sebagai tukang mempermainkan wanita! Dengan modal kegagahannya, ketampanannya dan kepandaiannya yang tinggi, dia merayu dan menjatuhkan hati banyak wanita, tidak perduli masih gadis, isteri orang, muda atau tua. Orang she Bu yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu ternyata adalah seorang perayu dan gila perempuan!”
Ganggananda tidak pernah mendengar nama Bu-taihiap ini dan hatinya merasa semakin tidak suka kepada laki-laki itu. Kini diapun dapat membayangkan bahwa bukan semata kesalahan nenek ini kalau sampai menyeleweng, akan tetapi terutama karena pandainya orang she Bu itu merayu wanita sehingga nenek ini pernah tergelincir.
“Aku berusaha menemuinya dan minta pertanggungan jawabnya. Aku hidup sebatangkara setelah suamiku meninggal dunia, dan hanya dialah satu-satunya orang yang menjadi harapanku. Akan tetapi, dia tetap marah-marah kepadaku dan mengusirku. Aku bahkan berusaha untuk menyerangnya, akan tetapi selalu aku kalah olehnya.”
Ganggananda merasa bingung. Dia tidak tahu bagaimana dia harus bersikap menghadapi urusan itu. Dia ingin mendengarkan terus.
“Puluhan tahun aku menekan dendam ini, aku bertapa, berkelana mencari guru-guru dan belajar silat dengan tekun dan mati-matian sampai akhirnya aku dapat mengimbangi tingkat musuh besarku itu. Akan tetapi, aku masih kalah dalam gin-kang sehingga masih sukarlah bagiku untuk mencapai kemenangan. Maka, aku minta bantuanmu.”
“Hemm, tidak begitu mudah, nek. Aku hanya mempunyai waktu tiga hari untuk mengobati sahabatku, dan sekarang sudah lewat sehari. Tinggal dua hari lagi. Kalau terlambat, sahabatku akan tewas. Jadi waktuku untuk membantumu hanya ada sehari saja, karena pada hari ke tiga harus kupergunakan untuk berlari cepat kembali ke kota raja.”
“Cukup, engkau takkan terlambat kalau sekarang juga kita berangkat. Kebetulan musuhku itu berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini. Dia senang melakukan perjalanan dan si bedehah itu membawa ketiga orang isterinya!”
“Tiga....?”
“Itu yang resmi menurut penyelidikanku. Di mana-mana dia mempunyai kekasih yang ditinggalkan begitu saja seperti aku. Mereka tidak berdaya menuntut, tidak mampu melawan. Dan sampai sekarangpun, si tua bangka itu masih saja suka merayu dan mempermainkan wanita-wanita muda.”
“Dia tentu sudah tua sekali!”
“Sedikitnya enam puluh lima tahun usianya, akan tetapi dia masih.... gagah dan tampan. Marilah, mari kita berangkat dan pada besok pagi-pagi kita sudah dapat tiba di tempatnya.”
“Tapi obat itu....”
Nenek itu mengeluarkan tiga butir pel dari dalam sebuah botol. “Inilah obatnya, akan tetapi kusimpan dulu sampai selesai tugas kita. Mari!” Dan nenek itupun sudah lari meninggalkan tempat itu, seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada Ganggananda untuk membantah lagi.
Dara yang menyamar pria ini terkejut. Satu-satunya harapan untuk dapat menyelamatkan nyawa Ciang Bun adalah nenek itu, maka diapun cepat menyambar buntalan pakaiannya dan meloncat, lari mengejar. Karena memang gin-kang dari Ganggananda amat hebat, sebentar saja nenek itu sudah tersusul. Mereka turun dari lembah dan perjalanan itu melalui tanah datar, menuju ke sebuah bukit yang banyak batu-batu besarnya. Perjalanan mendaki dan agak sukar, dan karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang, cuaca suram muram, maka perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, tidak dapat berlari cepat lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ganggananda untuk mencari keterangan lebih lanjut. Nenek itu memperkenalkan diri sebagai Gan Cui, akan tetapi ketika ditanya tentang keadaan Bu-taihiap, ia tidak mau banyak bicara, hanya mengatakan bahwa Bu-taihiap adalah seorang laki-laki yang gila perempuan.Kalau saja Ganggananda tahu siapa adanya Bu-taihiap, tentu dia akan terkejut sekali karena Bu-taihiap yang dianggap musuh besar oleh nenek Gan Cui sebetulnya adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi. Di dalamKisah Suling Emas dan Naga Siluman banyak diceritakan tentang pendekar ini. Bu-taihiap bernama Bu Seng Kin. Memang dia terkenal sebagai seorang pria yang ganteng, tampan dan gagah dan pandai sekali merayu wanita. Memang dia remantis sekali, dan tidak aneh kalau disebut gila perempuan karena dia jarang mau melepaskan kesempatan untuk menggoda dan merayu setiap kali bertemu wanita cantik. Entah berapa ratus wanita cantik yang sudah jatuh oleh rayuannya, menjadi kekasihnya. Bahkan isterinyapun banyak, di antaranya yang terus mendampinginya sampai tua adalah Tang Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li, tokoh Lembah Suling Emas yang kini berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman karena nyonya ini tadinya adalah isteri seorang di antara tokoh keluarga Cu, yaitu mendiang Cu San Bu. Begitu bertemu dengan Bu-taihiap, nyonya inipun dirayu dan jatuh. Dan akhirnya nyonya inipun mencari Bu-taihiap dan ikut mendampinginya. Ada pula yang bernama Gu Cui Bi, seorang nikouw! Nikouw yang sudah jatuh pula inipun mendampingi suaminya yang bangor. Yang ke tiga adalah Nandini, seorang wanita Nepal, bukan sembarang orang karena wanita ini pernah menjadi panglima Nepal. Tiga orang isteri yang mendampinginya di hari tua ini rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Nenek Gan Cui adalah satu di antara ratusan orang wanita yang jatuh oleh rayuannya, kemudian ditinggalkannya begitu saja. Tidak mengherankan kalau nenek itu tidak pernah berhasil membalas dendam, karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar sakti yang amat terkenal. Kalau dahulu di waktu mudanya Bu-taihiap tinggal di Puncak Merak Emas di Pegunungan Himalaya, kini dia lebih suka merantau di seluruh daratan bersama tiga orang isterinya. Karena mereka kini sudah tua, sudah rata-rata enam puluh tahun usianya, maka kalau mereka memperoleh tempat yang indah menyenangkan, mereka tinggal di tempat itu untuk sementara. Setelah bosan lalu berangkat merantau lagi.
Dan pada waktu itu, Bu-taihiap dan tiga orang isterinya tinggal untuk sementara di bukit berbatu-batu itu. Bukit itu puncaknya ternyata datar dan indah, penuh dengan pohon bunga yang aneh-aneh dan yang jarang terdapat di daerah lain. Di tempat ini Bu-taihiap membangun sebuah pondok kayu yang cukup besar dengan beberapa buah kamar untuk dia dan tiga orang isterinya.
“Nenek Gan, engkau sendiri yang begini pandai tidak mampu mengalahkan Bu-taihiap, lalu bagaimana seorang muda seperti aku akan mampu mengalahkannya. Aku harus tahu diri, dan kalau aku disuruh menghadapi seorang yang ilmunya jauh lebih tinggi dariku, bukaukah itu berarti aku akan mati konyol dan akan bunuh diri?”
“Heh-heh, aku tidak setolol itu. Aku sudah mengenal wataknya. Selain mata keranjang, manusia she Bu itupun tinggi hati dan angkuh sekali. Dia tidak pernah mau kalah dalam ilmu kepandaian bu. Maka, aku akan menemuinya dan menantang kepadanya untuk mengadu ilmu gin-kang. Karena ilmu itu merupakan andalan dan kebanggaannya, tentu dia dengan girang menerimanya dan aku akan mengajukan engkau sebagai jagoku. Dan kalau dia sampai kalah, heh-heh, selain dia harus memenuhi janji, juga dia akan malu setengah mati. Dia, Bu-taihiap jagoan terkenal itu, jagoan perempuan, akhirnya harus mengaku kalah oleh seorang wanita!”
Ganggananda terkejut sekali dan cepat ia agak menjauh dan menghentikan langkah, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu, nek?”
“Hi-hik, antara kita sama-sama wanita, tentu engkau berpihak padaku daripada laki-laki gila perempuan itu, bukan?”
“Bagaimana engkau bisa tahu, nek?” Ganggananda bertanya penasaran. Selama ini, penyamarannya dapat dibilang sempurna sehingga belum pernah ada orang yang dapat mengenalnya sebagai wanita. Akan tetapi nenek ini yang sejak tadi tidak memperlihatkan sikap bahwa ia tahu akan keadaan dirinya, menyebutnya orang muda, bagaimana tiba-tiba kini mengatakan bahwa ia seorang wanita?
“Ah, apa sukarnya bagiku! Penyamaranmu memang baik dan engkau seorang ahli pula dalam hal itu. Akan tetapi terhadap ketajaman penciumanku, mana mungkin engkau mampu menyembunyikan atau merobah bau khas seorang wanita? Dengan ketajaman hidungku, aku dapat mencium bau binatang-binatang berbisa dari jarak jauh. Ular itupun dapat kucium biarpun ia bersembunyi di dalam lubang, bukan? Dan sejak pertemuan pertama, baumu sebagai wanita sudah pula tercium olehku. Dan karena engkau seorang wanita pulalah yang mendorongku untuk minta bantuanmu. Wanita manapun akan membenci pria yang suka mempermainkan wanita.”
Ganggananda atau Gangga Dewi atau yang biasa disebut Gangga saja, menarik napas panjang dan diam-diam dara ini kagum terhadap nenek yang selain lihai juga memiliki ketajaman penciuman yang istimewa itu. “Engkau benar, nek. Aku adalah seorang gadis. Akan tetapi merantau seorang diri dalam dunia yang begini kotor dan penuh dengan orang jahat....”
“Memang tepat menyamar sebagai pria agar lebih aman, apalagi kalau bertemu dengan laki-laki jahat dan gila perempuan macam Bu-taihiap, sungguh tidak aman sekali bagi seorang wanita yang muda lagi cantik seperti engkau.”
Pada keesokan harinya, ketika matahari telah menyinari permukaan bumi, membuat bayangan panjang dan masih lemah, tibalah nenek Gan Cui dan Gangga di depan sebuah pondok kayu yang berada di tanah datar puncak bukit itu. Rumah itu terpencil, sederhana dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi namun indah. Memang indah pemandangan alam di tempat itu. Dari puncak ini nampak bumi terhampar luas, sinar matahari tak terhalang apapun dan tanah di puncak itu sendiri amat subur, penuh dengan tanaman bunga dan tanaman obat. Akan tetapi tidak nampak seorangpun manusia, seolah-olah pondok itu kosong. Hal ini mulai dikhawatirkan Gangga. Kalau pondok itu kosong, berarti usaha mereka gagal dan bagaimana nenek itu akan mau memberikan obat yang amat dibutuhkan Ciang Bun? Akan tetapi, nenek itu tidak nampak khawatir seperti Gangga. Ia kelihatan tegang dan siap, maju menghampiri pondok dari depan.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang muncul dari sebelah kiri pondok dan ternyata ia adalah seorang nenek yang usianya tentu sudah lima puluh lima tahun kurang lebih, namun masih nampak bekas kecantikannya. Nenek ini memakai pakaian mewah, tubuhnya masih ramping dan padat dan gerakannya gesit. Wajahnya yang cantik dan terawat baik itu membayangkan kegalakan dengan sinar matanya yang tajam. Sebatang pedang yang tergantung di punggungnya menandakan bahwa nenek ini adalah seorang ahli silat dan hal inipun kentara dari gerakannya ketika berkelebat datang tadi. Kini ia sudah berdiri di depan Gan Cui dan Gangga, sejenak memandang tajam penuh selidik, kemudian tersenyum mengejek menatap wajah nenek Gan Cui.
“Hemm, perempuan tak tahu malu. Engkau masih berani merangkak datang lagi setelah berkali-kali kalah oleh suamiku?” kata wanita itu dengan suara mengejek. Wanita ini adalah seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap dan ialah yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi. Ia adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, janda tokoh keluarga Lu yang tergila-gila kepada Bu-taihiap dan kini menjadi seorang di antara isteri-isterinya yang selalu mendampingi pendekar petualang asmara itu.
Disambut dengan ucapan keras itu, nenek Gan Cui tetap tenang saja. Agaknya ia tidak mau ribut dengan para isteri Bu-taihiap karena urusannya adalah urusan pribadi, antara ia dan pendekar itu sendiri. Kalau sampai ia melibatkan isteri-isterinya, terlalu berat dan berbahaya baginya, karena iapun maklum betapa lihainya para isteri Bu-taihiap. Maka, iapun hanya memandang tajam dan berkata, “Aku datang untuk bertemu dengan orang she Bu. Dan sekali ini aku tidak akan gagal.”
“Kami sudah tahu akan kedatanganmu dan kami sudah siap menyambutmu. Marilah masuk dan langsung saja ke ruangan belakang di mana suami kami telah menantimu,” kata nyonya itu yang segera membalikkan tubuhnya masuk ke dalam pondok. Nenek Gan Cui mengikutinya tanpa ragu-ragu, sedikitpun tidak kelihatan takut, padahal Gangga mempunyai perasaan seperti memasuki guha naga atau sarang harimau. Bagaimana tidak akan merasa ngeri memasuki rumah orang yang dianggap musuh? Dan melihat sikap gagah nyonya rumah itu, iapun merasa semakin ngeri. Ia sudah dapat menduga, dari langkah kaki nyonya tua itu, bahwa nyonya itu tentu lihai sekali, apalagi telah berani bersikap memandang rendah seperti itu terhadap seorang nenek seperti Gan Cui.Ruangan belakang itu ternyata cukup luas dan dinding belakangnya tidak ada, terbuka menembus ke taman bunga di belakang. Hawanya sejuk sekali di ruangan itu. Di ruangan ini nampak duduk seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan di sebelah kirinya duduk dua orang wanita. Kakek itu bertubuh tegap dan wajahnya yang sudah mulai dibayangi ketuaan usianya itu masih nampak amat tajam dan ganteng, dengan kulit mukanya yang bersih kemerahan, alisnya yang tebal dan pandang matanya yang demikian tenang dan penuh pengertian, mulutnya selalu tersenyum dan tahulah Gangga mengapa pria ini banyak digandrungi wanita. Senyumnya itu! Sungguh merupakan senyum yang melumpuhkan. Dan sepasang matanya juga begitu hidup seolah-olah dia dapat menyatakan isi hatinya melalui pandang mata dan senyumnya. Dua orang wanita itupun cantik-cantik. Yang seorang memakai penutup kepala pendeta, berjubah seperti seorang nikouw, wajahnya putih bundar, mulutnya kecil dan ia nampak manis sekali walaupun usianya juga sudah lima puluh tahun lebih. Wanita ke dua juga beberapa tahun lebih tua, akan tetapi wanita ini jelas bukan orang Han. Sekali pandang saja tahulah Gangga bahwa wanita itu adalah seorang wanita berbangsa India atau Nepal, tubuhnya kecil jangkung, hidungnya mancung dan matanya hitam tajam sekali, sikapnya ketika duduk itu membayangkan kegagahan. Dua orang nenek ini adalah dua orang isteri Bu-taihiap di samping Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang menyambut tamu tadi. Yang seorang adalah Gu Cui Bi yang pernah menjadi nikouw dan sampai sekarang tidak pernah mengganti jubah nikouwnya dan selalu menutupi kepalanya dengan penutup kepala para nikouw. Adapun yang ke dua adalah Nandini, puteri Nepal yang pernah memimpin pasukan Nepal sebagai panglima yang gagah perkasa. Dua orang wanita ini duduk dengan anteng, hanya pandang mata mereka menyambut munculnya nenek Gan Cui dan Gangga dengan sikap memandang rendah. Tanpa bicara, Tang Cun Ciu juga duduk di kursi pertama di sebelah kiri suaminya.
Kini Bu-taihiap memandang nenek Gan Cui sambil tersenyum. “Adik Cui, engkau baru datang? Apakah sekali ini engkau datang untuk menerima usulku dan menghabiskan sisa hidup bersama kami? Agaknya engkau membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengambil keputusan yang amat baik itu.”
“Orang she Bu! Jangan engkau mimpi bahwa aku akan mengalah begitu saja! Aku datang untuk menantangmu!”
Pendekar itu menarik napas panjang dan masih tersenyum, menoleh kepada tiga orang isterinya dan berkata lirih, “Lihat, ia ini sungguh memiliki hati yang keras seperti baja!”
Ucapan itu bukan memburukkan, bahkan lebih condong memuji. Tiga orang wanita di sampingnya hanya melirik dan melihat cebiran bibir mereka menunjukkan bahwa ketiganya merasa tidak puas dengan ucapan ini dan di dalam hati mereka mengejek, walaupun tidak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Gangga melihat semua ini dan diam-diam dara ini tertarik sekali. Sebuah keluarga yang aneh, pikirnya, juga penuh diliputi sikap gagah.
Kini Bu-taihiap memandang kepada Can Cui, masih tersenyum. “Adik Cui, kiranya selama tiga tahun tidak jumpa, engkau menghimpun kekuatan untuk berusaha menantangku kembali? Hemm, engkau menantangku? Ingat baik-baik, tidak mudah mengalahkan ilmuku dan andaikata aku kewalahan menghadapimu, tentu tiga orang isteriku ini tidak akan tinggal diam. Apakah engkau mampu menghadapi kami berempat?”
“Boleh! Kalau kalian begitu tidak tahu malu untuk mengeroyokku, akupun tidak takut!”
“Bukan mengeroyok, akan tetapi sebagai isteri, tak mungkin mendiamkan saja suaminya terancam bahaya. Sudahlah, kenapa engkau tidak mau menempuh jalan damai saja?”
“Orang she Bu, aku datang bukan untuk mendengar ocehan dan rayuanmu, Pendeknya, sekali ini aku datang untuk menantangmu mengadu ilmu gin-kang. Kalau aku kalah, aku akan pergi dan takkan mengganggumu lagi. Akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus memenuhi tuntutanku!”
“Wah, tuntutanmu itu tidak masuk akal, adikku yang manis! Mereka bertiga ini adalah isteri-isteriku yang setia, mana mungkin harus kutinggalkan begitu saja agar aku dapat hidup berdua saja denganmu? Sebaiknya kalau engkau tinggal bersama kami, hidup aman dan damai bersama kami....”
“Tidak! Tidak sudi aku kalau cintamu dibagi-bagi!”
“Siapa yang membagi-bagi? Cinta tidak mungkin dibagi-bagi. Aku cinta kepada mereka, aku cinta kepadamu seperti cinta kepada banyak orang lain lagi. Kalau aku menghadapimu, aku mencintamu sepenuhnya, demikian pula kalau aku menghadapi seorang di antara mereka. Marilah, adikku, untuk apa kita bersitegang? Kita sudah tua, tinggal menikmati hidup tenteram beberapa tahun lagi saja.” Pendekar itu sungguh pandai merayu dengan suara halus dan pandang mata demikian lembut, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Dan Gangga yang mendengarkan percakapan itu diam-diam terkejut bukan main. Bagaimana pula ini? Pendekar itu dengan baik membujuk nenek Gan Cui untuk hidup bersama dia dan isteri-isterinya, akau tetapi sebaliknya nenek ini ingin Bu-taihiap meninggalkan isteri-isterinya yang lain agar dapat hidup berdua saja dengannya, agar ia dapat memonopolinya? Mulailah ia mengerti dan ia meragukan kebenaran nenek yang dibantunya.
“Cukup semua kata-kata itu! Berani atau tidak engkau menerima tantanganku mengadu gin-kang? Kalau tidak berani engkau harus memenuhi tuntutanku dan mengaku kalah!”
Tiba-tiba pendekar itu tertawa dan begitu dia tertawa, dia nampak jauh lebih muda daripada usianya. Dan memang dia masih ganteng! “Ha-ha-ha, engkau lucu, adik Cui. Engkau tahu bahwa dalam hal gin-kang, engkau kalah jauh dari aku, biar engkau belajar puluhan tahun lagi, belum tentu engkau akan mampu mengalahkan aku. Tentu saja kuterima tantanganmu.”
“Dan kalau engkau kalah, engkau akau memenuhi tuntutanku?”
“Aha, soal itu nanti dulu.”
“Tapi, tiga tahun yang lalu, seperti yang sudah-sudah, engkau menerima taruhan itu!” Nenek Gan Cui berteriak penasaran.
“Hemm, karena ketika itu aku merasa yakin akan kemenanganku. Dan sekarang, selagi aku semakin tua dan engkau semakin bersemangat mempelajari ilmu-ilmu, aku harus hati-hati.”
“Tapi engkau terima tantanganku?”
“Tentu saja.”
“Nah, dengarkan baik-baik, Bu Seng Kin! Aku menantangmu untuk mengadu ilmu gin-kang dan aku mengajukan jagoku ini!” Nenek Gan Cui menepuk pundak Gangga.
“Siapa dia?” Bu-taihiap bertanya dengan sikap kaget, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang datang bersama Gan Cui itu ternyata adalah jago yang hendak diajukan oleh nenek yang keras hati itu. Kini dia menatap tajam wajah dan tubuh Gangga, penuh selidik.
“Siapa dia tak perlu kau tahu. Pendeknya, dia adalah jago dan wakilku untuk menandingimu dalam ilmu gin-kang. Kalau dia kalah, berarti aku kalah olehmu, akan tetapi kalau dia menang, berarti engkau harus mengaku kalah.”
Bu-taihiap tidak merasa khawatir, bahkan kelihatan sepasang matanya bersinar-sinar, seperti merasa gembira menghadapi peristiwa yang menarik. Dia mengangguk-angguk. “Baiklah, adik Cui, lalu bagaimana pertandingan ini akan diatur?”
“Aku tidak ingin tertipu olehmu yang licik. Aku akan pergi ke ujung puncak ini dan membawa ini. Kemudian kalian berdua merebut botol ini dari tanganku dan berlari dari sini.” Nenek itu mengeluarkan sebuah botol dan melihat ini, Gangga terkejut karena botol itu adalah botol yang terisi tiga butir pel katak buduk hitam yang dibutuhkannya! Agaknya nenek yang cerdik itu sengaja mengeluarkan benda itu untnk dipakai berebut, agar ia mau berlumba dengan sesungguhnya mengalahkan Bu-taihiap untuk memiliki obat itu!
“Perempuan licik!” Tiba-tiba Tang Cun Ciu membentak. “Pertandingan macam apa itu? Kalau engkau yang menjadi sasarannya, tentu engkau akan membantu agar jagomu yang menang! Katakan saja engkau hendak mengeroyok!”
Bu-taihiap tertawa dan menggerakkan tangan mencegah isterinya itu marah-marah. “Biarkanlah. Tentu saja aku tahu bahwa kalau kami berdua tiba di dekatnya, ia akan menyerahkan benda itu kepada jagoannya dan kalau aku yang hendak mengambilnya tentu ia akan melawan. Akan tetapi, jagoannya itu masih begini muda, patutnya menjadi muridku, maka biarlah dibantu oleh adik Cui. Bagaimanapun juga, akhirnya aku yang akan menang. Baik, adik Cui, engkau bawalah benda itu ke ujung sana dan kami berdua akan berlumba. Siapa yang lebih dahulu mendapatkan botol ditanganmu itu, dia menang!”Nenek itu menyeringai. “Orang she Bu, sekali ini engkau akan kecelik dan kalah!” Dan iapun menoleh kepada Gangga sambil berkata, “Ingat, engkau tidak boleh kalah kalau engkau menghendaki benda ini!” Setelah berkata demikian, nenek itupun berlari cepat sekali menuju ke ujung puncak itu. Jarak itu cukup jauh dan tubuhnya semakin kecil, akhirnya hanya menjadi sebuah titik hitam yang makin mengecil. Puncak itu memang merupakan tanah datar yang amat panjang, akan tetapi permukaannya yang halus hanyalah di sekitar pondok, sedangkan jarak itu melalui tanah yang penuh dengan batu besar kecil yang kasar dan tidak mudah dilalui karena kalau tidak berhati-hati, orang dapat tergelincir.
Gangga tadinya sudah merasa tidak senang kepada nenek Gan Cui yang ternyata sedikit membohong ketika bercerita tentang urusannya dengan Bu-taihiap. Ia sudah mulai ragu-ragu apakah baik kalau ia melanjutkan pertolongan dan bantuannya kepada nenek itu. Akan tetapi ketika ia mendengar kata-kata Bu-taihiap tentang dirinya yang dianggap terlalu muda dan hanya patut menjadi murid pendekar itu dengan pandang mata dan nada suara memandang rendah, hatinya menjadi panas juga. Pendekar ini terlampau sombong, pikirnya, memandang rendah orang lain. Inilah sebabnya timbul dorongan hati untuk membuktikan bahwa ia tidaklah lemah untuk dapat dipandang ringan saja.
Bu-taihiap sudah bangkit berdiri bersama tiga orang isterinya. Bagaimanapun juga, tiga orang isterinya tidak akan tinggal diam saja dan mereka itu hendak mengikuti sang suami agar jangan menjadi korban kecurangan lawan. “Kita mulai?” tanya Bu-taihiap kepada Gangga sambil tersenyum. Setelah Gangga mengangguk, Bu-taihiap berkata lagi. “Akan kuhitung sampai tiga dan kita mulai berlari. Satu, dua.... tiga!”
Dua tubuh itu melesat ke depan. Bu-taihiap mengerahkan tenaganya dan larinya cepat sekali, seperti terbang saja. Akan tetapi, betapa kaget hatinya ketika dia melihat Gangga berkelebat di sampingnya dan ternyata pemuda itu bergerak dengan demikian ringannya seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi! Sebentar saja tubuh pemuda itu sudah melesat ke depan dan melewatinya. Bu-taihiap menjadi penasaran dan diapun mengerahkan seluruh tenaganya, mengenjot tubuhnya untuk menyusul. Akan tetapi, pemuda itu agaknya juga menambah tenaganya dan betapapun dia membalap, tetap saja pemuda itu berada di depannya! Barulah dia benar-benar terkejut dan dari gerakan kaki pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu memiliki ilmu gin-kang Jouw-sang Hui-teng (Ilmu Terbang Di Atas Rumput) yang amat hebat. Mereka berkejaran dengan cepat sehingga tiga orang wanita yang juga membayangi tertinggal jauh dan sebentar saja mereka sudah dapat melihat nenek Gan Cui berdiri di ujung timur tanah datar puncak bukit itu.
Sementara itu, Gangga merasa puas bahwa ternyata gin-kangnya tidak kalah oleh Bu-taihiap. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa sebenarnya ia membantu orang yang tidak benar, dan diam-diam ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Kalau sampai nanti ia menang, seperti yang sudah jelas dapat diduga, lalu nenek itu minta yang bukan-bukan, bukankah berarti ia telah membantu kesewenang-wenangan? Akan tetapi ia membutuhkan obat itu!
Tiba-tiba nenek Gan Cui lari menuju ke selatan, menjauhi dua orang yang sedang berlari cepat ke arahnya itu. Hal ini mengingatkan lagi kepada Gangga bahwa nenek yang dibantunya itu adalah seorang yang penuh tipu muslihat dan sudah beberapa kali memperlihatkan kecurangannya. Bagaimana kalau nanti melanggar janji dan tidak mau memberikan obat itu kepadanya?
Mereka kini terpaksa juga merobah arah mengejar nenek itu yang sudah berada di ujung selatan. Dan dengan sengaja Gangga memperlambat larinya sehingga Bu-taihiap dapat berlari di sampingnya. Kakek itu sudah agak terengah dan mandi peluh. Gangga menoleh kepadanya, tersenyum dan menambah lagi tenaganya sehingga tubuhnya kembali melesat ke depan dalam jarak satu tombak. Ia masih ingin meyakinkan hatinya bahwa ia memang lebih menang dalam adu gin-kang ini.
“Nona, perlahan dulu....!” Tiba-tiba ia mendengar suara Bu-taihiap dan ada tenaga aneh yang menahannya dari belakang. Pendekar tua itu agaknya telah mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk menahannya dari belakang, dengan tenaga sin-kang! Dan pendekar tua itupun telah mengetahui penyamarannya, tahu bahwa ia adalah seorang wanita. Gangga cepat mengerahkan sin-kangnya pula dan tangan kanannya ditepiskan dengan pengerahan sin-kang yang kuat.
“Wuutttt....!” Dan tenaga yang menahannya dari belakang itupun terlepas.
Kembali Bu-taihiap terkejut bukan main. Kiranya gadis ini bukan hanya tukang lari yang ahli gin-kang, melainkan juga mampu menangkis sin-kangnya yang dipergunakan untuk menahan larinya yang cepat itu.
“Ahhh.... nona....” katanya agak terengah-engah. “Engkau sungguh.... seorang dara yang luar biasa! Masih begini muda, begini cantik, dan memiliki kepandian tinggi.... aku kagum sekali, nona....”
Berdebar rasa jantung dalam dada Gangga. Hati siapa takkan senang mendengar pujian? Apalagi kalau pujian itu keluar dari mulut orang penting, dan Bu-taihiap adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi iapun teringat bahwa pendekar tua ini adalah seorang perayu, seorang penaluk wanita, maka sikapnya menjadi keras lagi.
“Nona, sehebat engkau ini.... mengapa membantu orang yang sesat? Gan Cui bertindak salah dalam urusan kami.... aku membujuknya untuk hidup rukun.... tapi ia menghendaki agar aku menceraikan semua isteriku dan harus melayani ia seorang saja.... apakah itu adil namanya?”
Biarpun ia bersikap tak acuh, namun diam-diam Gangga mendengarkan semua kata-kata itu dan dengan sendirinya iapun mengurangi lagi kecepatanlarinya. Ia sudah menduga apa yang terjadi antara pendekar ini dan nenek itulah yang mau menang sendiri dalam urusan itu.
“Aku membutuhkan obatnya itu untuk menolong seorang sahabatku yang keracunan,” katanya.
“Aha, jadi ia memaksamu membantu dan mengalahkan aku karena obat itu? Sudah kuduga. Dan kaukira ia akan menyerahkan obat itu padamu? Ia seorang yang keras hati dan licik sekali, dan kalau ia tidak mau memberikan kepadamu, jangan harap dengan mudah engkau akan bisa memperolehnya. Ia curang dan lihai!”
“Aku.... aku sudah menduga begitu....”
“Nona, biarkan aku yang merampasnya untukmu. Kalau engkau tidak mendahuluiku, dan aku lebih dahulu mencapainya, tentu ia akan berusaha menghindariku, akan tetapi, aku dapat menguasainya.”
Gangga hanya mempergunakan waktu sejenak untuk berpikir dan mengambil keputusan. Entah bagaimana, ia merasa jauh lebih percaya kepada pendekar ini daripada nenek Gan Cui yang curang.
“Silahkan....” katanya dan iapun memperlambat larinya. Tubuh Bu-taihiap melesat ke depan dan berlari di depannya, seolah-olah pendekar itu mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya dan dapat menyusul dara itu. Melihat ini, tiga orang isterinya yang tertinggal jauh di belakang merasa lega. Mereka bertiga memang tidak dapat dibilang suka kalau melihat suami mereka menambah seorang isteri lagi, akan tetapi urusan seperti itu bagi mereka kecil saja artinya. Mereka sudah terbiasa oleh ulah suaminya yang suka perempuan itu dan agaknya baru akan sembuh kalau sudah mati. Bagi mereka, lebih penting lagi kalau suaminya tidak sampai kalah, karena wanita itu tentu akan berbuat yang bukan-bukan, menuntut yang tidak-tidak dan juga, suaminya akan terpukul perasaannya dan akan merasa malu kalau sampai kalah oleh seorang muda!
Sebaliknya, ketika melihat betapa kini jagonya tertinggal, nenek Gan Cui terkejut sekali. Tadi ia sudah merasa girang melihat betapa Gangga dapat berada di depan dan ia sengaja lari menjauh untuk memberi kesempatan kepada Gangga untuk meninggalkanlawannya jauh di belakang. Ia sudah merasa yakin bahwa jagonya tentu akan menang karena selain sudah berada di depan, tentu daya tahan Gangga lebih kuat daripada lawannya yang sudah tua, napasnya juga lebih panjang. Akan tetapi kenyataannya, kini Gangga tersusul dan tertinggal, makin lama makin jauh.
Gan Cui segera menjauhkan diri lagi, lari ke arah barat. “Bocah tolol, lari ke sini....!” Ia berteriak-teriak dan berusaha mendekati Gangga.Akan tetapi Bu-taihiap selalu menghadang antara ia dan Gangga, dan pendekar itu kini makin dekat dengannya. Terpaksa nenek itu membalikkan tubuh dan melarikan diri. Akan tetapi, gin-kangnya memang kalah dibandingkan Bu-taihiap sehingga pendekar itu sebentar saja dapat mengejarnya.
“Adik Cui, jangan curang. Aku yang lebih dulu mencapaimu, serahkan botol obat itu!”
“Tidak.... tidak....!” Gan Cui menghindarkan diri ketika Bu-taihiap mengulur tangan untuk menyambar botol di tangannya itu.
“Adik Cui, jagomu sudah kalah, kau jangan main curang! Serahkan botol itu!” kembali Bu-taihiap menubruk, akan tetapi sekali ini Gan Cui menyambutnya dengan pukulan yang dilakukan dengan cepat dan kuat sekali, pukulan maut karena pukulan itu adalah jurus dari Ilmu Coa-tok-ciang (Tangan Racun Ular) yang dahsyat sekali!
Bu-taihiap tentu saja mengenal pukulan ganas itu dan cepat dia mengelak dan membalas dengan totokan jari tangannya ke arah leher Gan Cui. Namun, nenek itupun memiliki gerakan cepat dan ia sudah mengelak sambil melayangkan kakinya menendang ke arah perut lawan disusul dengan cengkeraman tangan kanan ke arah mata, sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol itupun disodokkan ke arah ulu hati. Sekali bergerak wanita itu telah mengirim tiga serangan yang kesemuanya mematikan!
“Hemm, engkau sungguh keras hati, adik manis!” kata Bu-taihiap mengejek dan pendekar ini mengerahkan tenaga sin-kangnya menerima tendangan di perutnya, mengelak dari cengkeraman ke arah mata dan tangan kiri yang menggenggam botol itu disambutnya dengan cengkeraman untuk merampas botol.
“Bukk!” Tendangan itu tepat mengenai perut dan sebagian mengenai bawah perut di mana terletak anggauta rahasia. Akan tetapi Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang memiliki sin-kang amat kuatnya. Bukan saja seluruh bagian perut telah dilindungi oleh hawa sakti sehingga menjadi kebal, akan tetapi juga anggauta kelaminnya telah tersedot memasuki perut dan terlindung sehingga ketika tertendang, yang terkena tendangan hanyalah kulit yang keras dan licin saja.
Gan Cui terkejut. Ia memang membual ketika menceritakan kepada Gangga bahwa dalam hal ilmu silat ia dapat menandingi Bu-taihiap, hanya kalah dalam hal gin-kang saja. Sebetulnya, mana ia mampu mengalahkan tingkat kepandaian Bu-taihiap? Biar ia belajar sampai selama hidupnya, agaknya ia tidak akan mampu menyusul tingkat pendekar itu karena selain kalah dasar, juga kalah bakat. Kini, setelah melakukan tiga serangan sekaligus, ia berbalik malah terancam akan dirampas botol obat di tangannya. Gan Cui mengeluarkan teriakan nyaring, tangan kanannya mencabut saputangan hitam yang dikebutkannya ke arah muka Bu-taihiap sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol diangkatnya tinggi-tinggi untuk dijauhkan dari lawan.
Menghadapi kebutan kain hitam yang mengeluarkan debuhitam kehijauan ini, Bu-taihiap terkejut dan cepat dia meniup dan mengebutkan ujung lengan bajunya untuk mengusir debu beracun, dan pada saat itu, Gan Cui menjerit karena tiba-tiba saja botol di tangan kirinya terlepas dan terampas dari tangannya. Ia mengangkat mukanya dan melihat bahwa yang merampas botol itu adalah Gangga! Kiranya Gangga mempergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan gin-kangnya, melompat ke atas tinggi sekali lalu menukik turun dan merampas botol itu tanpa Gan Cui mengetahuinya.
Tentu saja nenek itu menjadi terkejut dan marah. “Bocah tolol! Kembalikan botol itu....!” Akan tetapi ia tidak dapat bergerak lagi karena pada saat itu Bu-taihiap telah menubruk dan merangkulnya, memegangi kedua pergelangan tangannya. Nenek itu hendak meronta, akan tetapi Bu-taihiap memeluknya dan berbisik di telinganya.
“Adik Cui yang manis, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan selalu memusuhiku? Aku masih cinta padamu....” Dan pendekar itu mengusap leher Gan Cui dengan hidungnya.
Seketika lemaslah seluruh tubuh Gan Cui. Merasa betapa kulit lehernya dicium oleh laki-laki yang sebenarnya masih amat dicinta dan dirindukannya ini, lenyaplah seluruh daya lawannya dan ia seperti lumpuh, menyandarkan diri ke atas dada yang bidang itu dan menangis lirih! Tiga orang isteri Bu-taihiap yang telah tiba di situ membuang muka dan mencibirkan bibir, akan tetapi tidak merasa cemburu lagi karena memang sejak dahulu mereka tahu bahwa Gan Cui adalah seorang di antara wanita-wanita yang jatuh oleh rayuan suami mereka. Sementara itu, Gangga yang telah berhasil merampas botol terisi tiga butir pel, memandang dengan muka merah.
“Adik Cui, mulai saat ini, engkau mau bukan hidup bersama kami dengan damai?” Kembali Bu-taihiap berbisik dan Gan Cui mengangguk. Bu-tahiap maklum bahwa dia telah menalukkan hati nenek itu, maka diapun melepaskan kedua tangannya dan masih tetap menggandeng lengannya dengan sikap mesra. Gan Cui mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya, kemudian memandang ke arah Gangga. Biarpun sikapnya tidak ga1ak lagi seperti tadi, seolah-olah seekor kucing liar yang sudah dijinakkan, namun suaranya masih tidak senang ketika ia berkata kepada Gangga.
“Engkau telah kalah, engkau tidak berhak mengambil obat itu. Kembalikan!”
“Adik Cui, engkau salah paham. Sesungguhnya, dalam hal gin-kang, aku Bu Seng Kin harus mengakui keunggulan gadis ini.”
Sepasang mata Gan Cui terbelalak. “Engkau.... kalah? Dan engkau tahu ia seorang gadis? Engkau tidak malu kalah oleh seorang gadis muda?”
“Mengapa mesti malu? Ia memang memiliki ilmu Jouw-sang Hui-teng yang langka. Sungguh luar biasa sekali ilmu gin-kangnya itu. Nona, kulihat engkau bukan gadis Han. Dari manakah engkau dan siapa gurumu?”
“Tak salah lagi, ia tentu puteri atau murid Syanti Dewi!” Tiba-tiba nenek Nandini berkata.
Gangga terkejut dan memandang wanita Nepal itu, juga Bu-taihiap terkejut karena diapun sudah pernah mendengar nama puteri Bhutan yang kabarnya memiliki kecantikan amat luar biasa, juga di samping itu memiliki gin-kang yang hebat. “Benarkah, nona?”
Gangga mengangguk. “Benar, ibuku adalah Puteri Syanti Dewi dan ayahku bernama Ang Tek Hoat yang pernah berjuluk Si Jari Maut.”
“Ahhh....!” Bu-taihiap berseru kaget dan kagum. “Kalau begitu, aku semakin tidak merasa malu lagi kalah dalam gin-kang olehmu, nona!”
“Siapakah namamu?” tanya Nandini.
“Gangga Dewi.”
“Nama yang indah sekali. Mari, nona, mari silahkan duduk dalam pondok kami dan kita bercakap-cakap.” Bu-taihiap berkata dan tiba-tiba dia berteriak kesakitan ketika lengannya dicubit keras sekali oleh Gan Cui.
“Lelaki mata keranjang! Baru saja berkumpul denganku, sudah berani berlagak memikat gadis muda?” bentak Gan Cui, dan tiga orang isteri pendekar itu menahan tawa, kelihatan geli dan juga mengejek dan menyukurkan keadaan suami mereka. Rasakan kau sekarang, pikir mereka, mendapatkan isteri lagi yang amat cemburu dan galak! Tentu saja Bu-taihiap tersipu-sipu mendengar teguran ini karena sesungguhnya dia sama sekali tidak mempunyai niat sedikitpun untuk merayu Gangga Dewi, hanya mempersilahkan ke rumah untuk beramah tamah karena diapun kagum sekali mendengar bahwa gadis muda ini ternyata puteri orang-orang terkenal.
“Terima kasih atas kebaikan kalian semua.” Kata Gangga Dewi sambil menjura. “Sahabatku itu terancam nyawanya oleh pukulan Hoa-mo-kang dan obatnya hanya racun katak buduk inilah. Maka, aku mohon diri, tak dapat berlama-lama di sini. Aku harus cepat ke kota raja untuk memberikan obat ini kepadanya.”
“Pukulan beracun Hoa-mo-kang?” tanya Bu-taihiap kaget. “Bukankah Su-ok Siauw Siang-cu sudah mati?” Pertanyaan yang sama seperti pernah diajukan oleh nenek Gan Cui kepada Gangga.
“Bukan Su-ok yang memukulnya, mungkin murid atau keturunannya. Menurut kata ahli yang mengobatinya, hanya tinggal waktu tiga hari. Kalau dia tidak mendapatkan obat racun katak buduk hitam, dia akan mati. Sejak kemarin pagi aku melakukan perjalanan, kini sudah lewat dua hari, tinggal sehari lagi. Maka aku harus pergi sekarang juga.” Lalu ia menoleh kepada Gan Cui. “Sudah benarkah obat ini? Dan bagaimana cara menelan pil ini? Sehari berapa kali, sekaligus ataukah satu-satu?”
Akan tetapi nenek Gan Cui mendengus marah. “Engkau merampasnya dariku dengan curang, perlu apa aku memberitahu? Cari saja sendiri bagaimana caranya!”
Akan tetapi Bu-taihiap yang sudah amat tertarik mendengar cerita tadi bertanya, “Nona Gangga, bolehkah aku bertanya siapa pendekar atau sahabatmu yang terkena pukulan Hoa-mo-kang itu?”
“Namanya Suma Ciang Bun dan dia berada di kota raja....”
“Suma....?” Bu-taihiap terbelalak.
“Ya, dia cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!” kata Gangga dengan suara bangga.
“Ah....! Adik Cui, kalau begitu kita tidak boleh sembarangan. Hayo katakan bagaimana caranya mempergunakan pelmu itu untuk mengobatinya.”
“Sehari makan satu pel, dalam waktu tiga hari tentu penyakit itu lenyap dan orangnya sembuh,” Jawab nenek itu singkat dan dengan muka masih cemberut. Agaknya kegalakan wanita ini sudah benar-benar dapat ditundukkan dan dijinakkan oleh Bu-taihiap.
“Terima kasih!” kata Gangga dan sekali berkelebat gadis itu lenyap dari depan mereka. Bu-taihiap menggeleng-geleng kepala kagum.
“Bukan main....!” katanya dan sambil menggandeng isterinya yang baru, pendekar ini lalu kembali ke pondoknya, diikuti oleh ketiga isterinya yang lain.
Kembali Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee menggunakan seluruh kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin, kembali ke kota raja. Ia melakukan perjalanan secepatnya dan pada keesokan harinya, pada hari ke tiga tibalah ia kembali ke tempat tinggal tabib yang mengobati Ciang Bun. Tabib dan hwesio ahli racun yang menjadi sahabatnya itu sudah hampir putus asa menanti kembalinya. Bagaimanapun, bagi mereka agaknya tidak mungkin bisa mendapatkan obat yang amat langka itu dalam waktu tiga hari. Baru perjalanannya saja, menggunakan kuda umpamanya, baru akan sampai dalam waktu tiga hari pulang pergi! Maka, kemunculan Gangga yang tiba-tiba itu selain mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan harapan yang menggembirakan.
“Bagaimana hasilnya, siauw-si-cu (tuan muda yang gagah)?” tanya mereka.
Gangga mengangguk dan mengeluarkan botol berisi tiga butir pel itu. “Kini belum musimnya telur katak menetes, tak mungkin mencari anak-anak katak buduk hitam. Akan tetapi aku mendapatkan pel racun katak buduk hitam itu dari seorang sakti yang harus diberikan kepada Ciang Bun sehari sebutir, berturut-turut sampai tiga hari.”
Tabib dan hwesio itu membuka tutup botol dan memeriksa tiga butir pel itu. Hwesio itu begitu mencium baunya, segera mengangguk-angguk. “Omitohud.... racun katak buduk hitam yang amat keras! Memang inilah obatnya, dan pinceng yakin pemuda gagah itu akan dapat disembuhkan.”
Dengan girang Gangga lalu membantu si tabib memberi pel itu kepada Ciang Bun yang masih belum sadar. Dan dengan teliti dan telaten, Gangga mendampingi Ciang Bun sampai tiga hari tiga malam lamanya! Dara ini tidak pernah mau meninggalkan pembaringan Ciang Bun dan bahkan makan atau tidurpun ia lakukan di dekat pembaringan Ciang Bun. Ia tidur sambil duduk dan selama tiga hari itu, wajahnya menjadi agak pucat karena kurang tidur dan kurang beristirahat. Akan tetapi hatinya girang bukan main karena baru pada hari pertama saja, wajah Ciang Bun yang tadinya biru kehijauan itu sudah mulai berobah, dan setiap hari berangsur baik sampai pada hari ke tiga, sinar biru kehijauan pada wajahnya sudah lenyap sama sekali. Dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali, pemuda itu mengeluh dan siuman! Akan tetapi karena dia kurang makan, hanya menelan bubur encer saja selama tiga hari lebih, tubuhnya masih lemah dan dia hanya dapat bergerak membuka mata dan menoleh ke kanan kiri.
“Di manakah aku....?” tanyanya lemah.
Gangga yang duduk di dekatnya dan mengantuk, segera bangun dan mendekatinya. Ia tersenyum girang sekali. “Ah, engkau sudah siuman? Bagus sekali! Engkau telah sembuh, bahaya telah lewat!”
Melihat pemuda ini, Ciang Bun teringat dan dia segera bangkit hendak duduk. Akan tetapi tubuhnya terasa lemas dan dia terpaksa merebahkan dirinya kembali. Ganggananda cepat membantunya rebah kembali dan berkata dengan halus, “Jangan engkau bangun dulu. Sudah empat hari engkau tak sadarkan diri. Tunggu, biar aku buatkan bubur untukmu.” Setelah berkata demikian, diapun bangkit dan cepat meninggalkan kamar menuju ke dapur.
“Omitohud, engkau beruntung sekali mempunyai sahabat sebaik itu, orang muda.”
Ciang Bun menoleh dan memandang heran kepada dua orang kakek yang duduk tak jauh dari situ. Dia tidak pernah mengenal hwesio dan kakek berpakaian sasterawan itu, yang duduk di sudut kamar dan memandang kepadanya sambil tersenyum girang. Akan tetapi dia cerdik dan dapat menduga bahwa tentu pemuda yang menjadi sahabatnya itulah yang membawanya ke sini dan agaknya dua orang kakek ini menjadi tuan rumah, bahkan mungkin sekali yang menolongnya dan mengobatinya. Bukankah menurut Gangga tadi dia pingsan selama empat hari?
Sambil terus rebahan Ciang Bun mengangkat kedua tangan di depan dada. “Ji-wi locianpwe, maafkan kalau saya belum mampu memberi hormat sepantasnya untuk menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan kebaikan ji-wi.”
Dua orang kakek itu nampak semakin gembira. Sikap Ciang Bun itu menyenangkan hati mereka. Kadang-kadang sikap jauh lebih berharga daripada pemberian benda berharga apapun juga. “Si-cu tidak perlu berterima kasih kepada kami karena yang menyelamatkan nyawa si-cu sesungguhnya adalah sahabat si-cu itu,” kata kakek tabib yang segera menceritakan kepada Ciang Bun bahwa pemuda ini pingsan dan terancam bahaya maut oleh pukulan Hoa-mo-kang dan betapa Ganggananda dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya telah pergi mencarikan obat penawarnya sampai berhasil menyembuhkan Ciang Bun.
“Omitohud....! Yang paling sukar didapatkan di dunia ini adalah seorang sahabat yang setia tanpa pamrih. Sahabat si-cu itu lupa makan lupa tidur untuk menjaga si-cu, sungguh kebaikannya amat mengharukan hati pinceng.”
Diam-diam Ciang Bun merasa terharu sekali dan hatinya semakin erat terikat kepada Ganggananda yang sebelumnya memang sudah amat menarik hatinya. Tak di sangkanya bahwa pemuda yang lincah jenaka, yang pandai bersajak dan amat menyenangkan itu ternyata memiliki hati semulia itu dan merupakan seorang sahabat yang amat baik. Dia merasa bersyukur sekali.“Terus-terang saja, si-cu, kalau tidak ada sahabatmu itu, nyawamu tidak mungkin dapat ditolong lagi. Si-cu berhutang nyawa kepadanya,” kata si tabib dengan suara sungguh-sungguh.
Perasaan cinta yang tulus semakin mendalam di hati Ciang Bun terhadap pemuda yang selain menarik hatinya, juga telah menyelamatkan nyawanya itu. Dan setelah kekuatannya pulih kembali, dia bersama Ganggananda berpamit dari tabib yang ramah tamah itu dan meninggalkan rumah tabib dengan ucapan terima kasih. Ganggananda bahkan memberi biaya yang cukup besar, dan ternyata pemuda ini membawa bekal emas yang cukup banyak sehingga mengherankan hati Ciang Bun. Tahulah dia bahwa sahabatnya itu adalah seorang yang selain pandai sastera dan silat, juga kaya raya.
“Ah, tak terasa lima hari telah lewat dan hari ini adalah hari yang telah kami tentukan untuk bertemu di kota raja,” katanya kepada Ganggananda.
Gangga memandang penuh perhatian. “Kami? Siapa yang kau maksudkan?”
“Adik Ganggananda yang baik, aku belum menceritakan riwayatku kepadamu. Yang kumaksudkan dengan kami adalah aku dan ciciku yang bernama Suma Hui.”
“Hemm, agaknya ada hubungannya dengan musuh besarmu itu, ya? Diapun menyebutmu seolah-olah engkau masih sanaknya. Apakah musuh besarmu itu.... kakak iparmu, suami encimu?”
“Engkau adalah seorang yang amat mulia, Gangga, dan aku sudah berhutang budi dan nyawa padamu, maka baiklah kuceritakan keadaan keluargaku, keluarga kami yang malang.” Ciang Bun menoleh ke kanan kiri, akan tetapi taman itu masih sunyi karena hari masih pagi sekali. Dia mengajak Gangga pergi ke taman ini karena di sinilah dia berjanji dengan encinya untuk mengadakan pertemuan pada hari ini atau hari-hari berikutnya kalau-kalau ada yang terlambat. Mereka duduk di atas sebuah bangku panjang, di bawah pohon yang rindang sambil menghadapi sebuah empang ikan emas yang dihias tumbuh-tumbuhan bunga teratai merah dan putih.
Dengan hati mengandung penuh kepercayaan kepada sahabat barunya ini, Ciang Bun lalu menceritakan semua riwayatnya, sejak dia bersama encinya dan Ceng Liong belajar ilmu di Pulau Es sampai pertemuannya dengan musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang. Diceritakannya malapetaka yang menimpa keluarga kakeknya di Pulau Es yang kemudian disusul malapetaka yang menimpa diri encinya, Suma Hui dan kejahatan yang dilakukan Tek Ciang yang menjadi murid ayahnya dan juga menjadi suami encinya itu.
Gangga mendengarkan dengan penuh perhatian dan penuh perasaan sehingga wajahnya sebentar merah karena marah dan pucat karena ikut merasa terharu dan berduka. Pandang matanya tak pernah lepas dari wajah pemuda itu. Baru sekaranglah ia tahu mengapa pemuda ini mati- matian menyerang Louw Tek Ciang yang telah menjadi kakak iparnya. Dan ia ikut merasa marah sekali mendengar akan kelicikan dan kejahatan Louw Tek Ciang yang telah menghancurkan kehidupan Suma Hui, kakak perempuan pemuda ini. Setelah Ciang Bun menceritakan semuanya, pemuda itu menarik napas panjang.
“Demikianlah, Gangga. Sudah bertahun-tahun kami mendendam kepada jahanam itu dan secara tak tersangka- sangka dan kebetulan sekali aku bertemu dengannya di telaga dalam taman. Dapat kaubayangkan betapa girang rasa hatiku dan betapa dengan penuh semangat aku berusaha untuk membunuhnya. Akan tetapi dia lihai dan juga licik, bahkan kinipun dia dibantu seorang kawan yang agaknya lihai pula. Nyaris aku tewas kalau tidak ada engkau yang menyelamatkanku, sahabatku.” Berkata demikian, Ciang Bun menjulurkan tangannya dan dipegangnya tangan Gangga. Pegangan ini dilakukan dengan perasaan penuh keharuan dan juga penuh rasa kasih sayang sehingga terasa oleh Gangga betapa jari-jari tangan itu mengandung getaran halus yang seolah- olah menembus kulit tangannya dan menjalar sampai ke dalam dada, membuat jantungnya berdebar-debar dan bulu-bulu di lengannya dan tengkuknya meremang. Maka dengan halus pula ia menarik dan melepaskan tangannya dari genggaman tangan pemuda itu.
“Ahhh, kenapa engkau begini sungkan dan bicara seperti itu, Ciang Bun? Bukankah kita ini sahabat dan di antara sahabat baik tidak ada istilah tolong- menolong? Apa yang kulakukan untukmu itu adalah wajar saja di antara sahabat. Andaikata aku yang menderita seperti engkau, apakah engkau tidak mau menolongku juga?”
Jawaban yang sederhana dan jujur ini membuat Ciang Bun merasa terharu dan semakin suka kepada pemuda ini. Dan diam-diam diapun mengeluh. Penyakit lamanya telah kambuh dan kini semakin hebat! Selama ini, sudah tiga kali dia tertarik kepada pria, bukan hanya tertarik biasa sebagai teman, melainkan tertarik seperti orang jatuh cinta yang mengandung gairah! Pertama adalah kepada Kao Cin Liong, walaupun pada waktu itu dia belum dewasa benar dan rasa sukanya kepada Cin Liong disertai kekaguman akan kelihaian pemuda itu dan juga rasa akrab sebagai seorang kekasih encinya. Kemudian diapun jatuh cinta kepada Liu Lee Siang, pemuda Pulau Nelayan itu walaupun pada waktu itu dia masih belum sadar benar akan kelainan pada dirinya. Akan tetapi yang ke tiga kali ini, dia merasa betapa dia benar-benar jatuh cinta kepada Ganggananda! Kini dia menyadari benar keadaan dirinya, bahkan selama ini dia sudah berusaha dengan segala kekuatan batinnya untuk melawan hasrat dan kecondongan hati yang tidak seperti pria pada umumnya itu. Kini dia merasa betapa seluruh batinnya mencintai Gangga, dan timbul hasrat untuk berdekatan, sedekat mungkin, untuk melindungi, untuk bergantung. Ada suatu kemesraan di dalam batinnya terhadap Gangga dan segala gerak-gerik pemuda ini amat manis dalam pandang matanya, amat gagah, baik dan membuatnya tidak ingin berjauhan, tidak ingin berpisah lagi.
Itulah yang amat membingungkan dan menyedihkan hatinya. Dia tahu bahwa kalau dilanjutkan hubungannya dengan pemuda Nepal atau Bhutan ini, dia akan jatuh cinta semakin dalam. Padahal, dia tahu bahwa hal ini tidak boleh terjadi. Dan Ganggananda tentu akan memandangnya penuh penghinaan kalau sampai tahu akan kelainan dirinya. Tidak, dia tidak akan dapat menahan kalau sampai Ganggananda membencinya dan jijik melihatnya. Ganggananda tidak boleh tahu akan kelainan dirinya. Ganggananda amat baik kepadanya, tentu hanya sebagai sahabat, suka dan sayang kepadanya sebagai seorang sahabat, rasa suka yang jujur dan bersih. Akan tetapi dia? Dia mencinta Ganggananda, bukan hanya sayang dan suka, akan tetapi juga bangkit berahinya berdekatan dengan pemuda halus itu! Dan mana mungkin dia dapat bertahan kalau berdekatan terus. Tidak, dia harus menjauhkan diri, harus membiarkan bayangan dirinya tetap tinggal di hati Ganggananda sebagai seorang sahabat yang disukanya, bukan sebagai seorang laki-laki ganjil yang dibencinya.
“Gangga, tentu saja aku akan berusaha menolongmu kalau engkau berada dalam kesukaran, bahkan aku rela untuk membelamu dengan nyawaku sekalipun. Gangga, aku suka padamu, aku sayang dan cinta padamu, karena itu kalau engkau tidak berkeberatan, aku ingin sekali mengangkatmu sebagai saudaraku!” Aneh sekali, dalam suaranya terkandung keharuan dan kesedihan sehingga suara pendekar muda ini gemetar. Tidak mengherankan karena memang hatinya berduka. Ciang Bun telah mengambil keputusan karena hanya itulah satu-satunya jalan keluar. Dia harus mengangkat Gangga sebagai saudara! Kalau sudah menjadi saudara, tentu akan lain pandangannya, lain lagi perasaan hatinya terhadap Gangga. Ikatan persaudaraan itu diharapkannya akan merobah perasaan cinta berahi menjadi cinta saudara tanpa berahi, tanpa gairah yang menyesakkan dadanya untuk dapat berdekatan dan bermesraan dengan Gangga.
Akan tetapi mendengar ucapan Ciang Bun itu, Gangga membelalakkan sepasang matanya yang indah. Ia nampak terkejut sekali dan sebelum ia menjawab, ia sudah menggeleng kepala tanda tidak setuju. Kemudian terdengar ia berkata, “Ah, tidak, Ciang Bun. Aku tidak mau, aku lebih senang menjadi sahabatmu saja, sahabatmu yang amat baik. Apa sih bedanya menjadi sahabat atau saudara angkat?”
Dan Ciang Bun merasa lega dengan jawaban ini! “Tidak.... tidak apa-apa, hanya aku ingin agar hubungan antara kita lebih erat, akan tetapi kalau engkau tidak mau, akupun tidak kecewa dan kita menjadi sahabat yang amat baik.”Ganggananda khawatir kalau menyinggung hati pemuda itu dan dipegangnya tangan Ciang Bun. “Sahabatku yang baik. Siapa orangnya tidak akan merasa bangga menjadi saudara angkat seorang pendekar sepertimu? Apalagi engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es! Akan tetapi, aku sudah cukup bangga dan puas menjadi sahabatmu saja, sahabat yang setia dan akrab.”
“Terima kasih, Gangga, terima kasih. Engkau lebih baik daripada seorang saudara bagiku.” kata Ciang Bun dan kembali tangannya gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari tangan Gangga, membuat Gangga kembali menarik tangannya dengan halus.
Percakapan mereka terhenti karena pada saat itu muncul seorang pemuda dan seorang gadis dikawal oleh tujuh orang. Melihat pakaian dua orang muda itu, mudah diduga bahwa mereka tentulah anak-anak pembesar atau hartawan. Pemuda itu berwajah tampan, dan gadis itupun manis dan melihat wajah mereka, dapat diduga bahwa mereka itu tentu saudara sekandung. Mata, hidung dan mulut mereka mirip sekali. Pemuda itu usianya kurang lebih enam belas tahun dan si gadis agaknya adiknya, lebih muda satu dua tahun. Tujuh orang yang mengawal mereka itu tidak berpakaian seragam, akan tetapi dari sikap mereka ketika berjalan, dapat diduga bahwa mereka tentulah anak buah pasukan pengawal yang memiliki ilmu silat tangguh. Di punggung mereka terselip senjata, ada yang membawa pedang, ada pula golok. Sikap tujuh orang ini congkak seperti sikap pengawal-pengawal dan tukang-tukang pukul pada umumnya. Kalau muda-mudi itu berjalan-jalan sambil melihat-lihat bunga dengan sikap gembira, tujuh orang pengawal itu melirik ke arah Ciang Bun dan Ganggananda dengan pandang mata penuh selidik. Akan tetapi karena dua orang muda ini tidak membawa apa-apa dan sikapnya tidak mencurigakan, merekapun tidak memperhatikan lagi dan sebentar saja mereka sudah lewat.
“Uh, congkak-congkak benar sikap tukang-tukang pukul itu.” kata Ganggananda dengan nada suara gemas. “Kalau ada alasannya, tentu akan senang hati aku menghajar mereka.”
Ciang Bun tersenyum. “Jangan galak-galak, Gangga. Tiada hujan atau angin, engkau ingin menghajar orang. Apalagi kalau hujan angin....”
“Kalau hujan angin, aku tentu lari mencari tempat perlindungan!” Gangga memotong dan tertawa. Ciang Bun juga tertawa, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan menyentuh lengan Gangga sambil menoleh ke kiri. Gangganada juga menoleh dan perhatiannya tertarik kepada dua orang kakek yang datang menuju ke tempat itu. Dua orang kakek itu agaknya mengikuti atau membayangi rombongan muda-mudi tadi, dan keadaan dua orang kakek itu menarik perhatian mereka. Dari sikap mereka, gerak-gerak mereka dan langkah kaki mereka, Ciang Bun dapat menduga bahwa dua orang kakek ini bukan sembarangan, sama sekali tidak boleh disamakan dengan tujuh orang pengawal yang garang dan congkak tadi.
Pandang mata Ciang Bun memang tajam. Dua orang kakek yang berjalan perlahan-lahan memasuki taman dan membayangi rombongan muda mudi itu dari jauh memang bukan orang-orang sembarangan. Bahkan keduanya adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, walaupun mereka jarang muncul di dunia kang-ouw. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan melihat jubah dan kepalanya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pendeta Lama. Kepalanya gundul tak tertutup, jubahnya berwarna merah kotak-kotak, telinganya amat menarik karena besar sekali, dua kali lebih besar daripada ukuran telinga manusia biasa. Di lehernya tergantung tasbeh hitam dan di pinggangnya terselip sebatang suling. Kelihatannya seorang pendeta Lama biasa saja, akan tetapi sebenarnya dia adalah Thai Hong Lama, seorang sakti yang tadinya pernah menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok yang memberontak di Sin-kiang. Adapun orang ke dua tidak kalah lihainya. Diapun berpakaian pendeta atau pertapa, seperti pakaian seorang tosu. Pakaiannya putih bersih dan rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih dan tubuhnya tinggi kurus, matanya sipit. Dia adalah Pek-bin Tok-ong, seorang pertapa dari Pegunungan Gobi yang selain lihai, juga berhati kejam. Biarpun kedua orang kakek ini datang dari tempat yang berjauhan, akan tetapi keduanya menjadi rekan dan sahabat ketika mereka menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang kakek ini membantu gerakan Gubernur Yong di barat yang memberontak. Akan tetapi gerakan itu dapat dihancurkan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong. Gubernur itu sendiri tertawan dan tewas, gerakannya hancur. Akan tetapi dua orang kakek ini yang memiliki kepandaian tinggi, berhasil menyelamatkan diri dan lolos dan karena mereka berdua merasa seperjuangan dan senasib, maka merekapun selanjutnya menjadi sahabat dan ke manapun mereka bersama-sama. Sebagai buronan pemerintah, mereka menyembunyikan diri dan baru setelah kini keadaan menjadi reda dan dingin, mereka berani muncul. Keadaan mereka sebagai dua orang pendeta tentu saja tidak mencurigakan dan tidak menarik perhatian, bahkan mereka dihormati dan tidak pernah diganggu oleh para penjaga. Dan kedua orang inipun memiliki kepandaian dan kedudukan yang terlalu tinggi untuk merendahkan diri melakukan kejahatan-kejahatan biasa yang remeh. Andaikata mereka itu membutuhkan uang, tentu mereka akan mengambilnya dari kamar harta seorang pembesar atau hartawan tanpa ada yang tahu, bukan hanya mencuri atau merampok biasa saja.
Melihat betapa dua orang kakek itu dengan langkah kaki perlahan namun mantap berjalan-jalan akan tetapi jelas membayangi rombongan muda-mudi yang dikawal tujuh orang itu, Suma Ciang Bun memberi isyarat kepada Ganggananda. Mereka saling pandang dan kemudian mengikuti perjalanan rombongan muda-mudi dengan dua orang kakek yang membayanginya itu dengan penuh perhatian sampai mombongan itu keluar dari dalam taman menuju ke taman atau hutan kecil di depan. Hutan ini hutan buatan untuk keperluan kaisar dan para pembesar tinggi melakukan perburuan. Kalau musim berburu tiba, hutan kecil itu diramaikan oleh binatang-binatang yang sengaja dilepas di situ untuk diburu dan dibunuh oleh para pejabat tinggi. Setelah bayangan rombongan itu lenyap, Ciang Bun mengerutkan alisnya.
“Gangga, sikap dua orang kakek itu amat mencurigakan. Apa yang mereka kerjakan dengan membayangi rombongan muda-mudi itu?”
Ganggananda mengangguk. “Memang mencurigakan. Mungkin mereka itu merupakan pengawal pribadi yang melakukan pengawalan secara tersembunyi. Sikap mereka jelas membayangkan bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi.”
“Engkau benar, mereka itu tentu bukan orang-orang sembarangan. Mungkin juga mereka itu menjadi pengawal-pengawal rahasia muda-mudi mewah itu, akan tetapi aku khawatir jangan-jangan mereka itu malah mempunyai niat yang tidak sehat terhadap rombongan pertama itu. Aku melihat kekejaman membayang pada pandang mata dua orang kakek itu, terutama sekali si tosu. Ketika dia melirik ke sini dan memandang kita, aku merasa serem.”
“Hemm, biarkan saja, urusan mereka sendiri. Tujuh orang pengawal itupun congkak sekali, bukan watak orang-orang baik, maka biarkan mereka itu saling hantam sendiri dengan dua orang kakek itu.”
“Akan tetapi aku tetap curiga, Gangga. Jangan-jangan dua orang kakek itu mempunyai niat buruk terhadap muda-mudi itu dan biarpun mereka itu dikawal oleh orang-orang congkak, mereka sendiri adalah remaja-remaja yang tidak berdosa. Mari kita bayangi mereka dan lihat apa yang akan terjadi.”
“Bagaimana kalau encimu muncul nanti?”
“Jangan khawatir, kami sudah saling berjanji untuk saling menanti di sini selama sepekan terhitung hari ini, menjaga kalau-kalau seorang di antara kami akan terlambat. Kalau nanti ia datang, tentu ia akan menungguku.”Keduanya lalu bangkit dan melakukan pengejaran ke arah lenyapnya rombongan muda-mudi berpakaian mewah tadi. Akan tetapi bayangan mereka sudah tidak nampak lagi. Ketika Ganggananda dan Ciang Bun sedang mencari dengan mata dan telinga mereka dan bingung karena tidak tahu harus melakukan pengejaran ke arah yang mana, tiba-tiba mereka mendengar lapat-lapat suara orang berkelahi di sebelah barat. Keduanya lalu cepat lari menuju ke arah itu dan tak lama kemudian mereka melihat perkelahian yang sungguh berat sebelah.
Kakek pendeta Lama berkepala gundul itu sedang dikepung dan dikeroyok oleh tujuh orang pengawal itu! Para pengawal mempergunakan senjata golok atau pedang, sedangkan pendeta Lama itu hanya bertangan kosong saja menghadapi mereka. Akan tetapi, sekali pandang saja tahulah Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu lihai luar
biasa dan sedang mempermainkan tujuh orang lawannya yang kelihatan galak dan garang. Sambaran pedang dan golok berkelebatan dan bergulung-gulung menyilaukan mata, akan tetapi tubuh kakek pendeta Lama itu seperti melayang-layang di antara gulungan sinar pedang dan golok, dan jika ada sinar senjata yang menyambar terlalu dekat, dia cukup mengebutkan ujung lengan bajunya dan senjata itupun terpental! Adapun kakek ke dua yang seperti tosu itu hanya berdiri di pinggir, menonton. Dia sama sekali tidak membantu temannya karena kakek ini tentu yakin pula bahwa temannya akan menang dengan mudah menghadapi tujuh orang pengeroyok yang hanya mengandalkan senjata tajam dan tenaga kasar itu.
“Lama tua, jangan main-main seperti anak kecil. Lekas bereskan mereka!” kata tosu yang sudah kita kenal sebagai Pek-bin Tok-ong itu.
“Ha-ha-ha!” Thai Hong Lama tertawa sambil menyampok sebuah golok dengan lengan bajunya sehingga golok itu terpental dan hampir terlepas dari tangan pemegangnya. “Agaknya kau sudah tidak sabar lagi, Tok- ong? Lihat, sepasang burung dara remaja yang lunak dagingnya itu takkan dapat terbang ke manapun juga, ha-ha!”
Akan tetapi, biarpun berkata demikian, agaknya pendeta Lama itupun sudah jemu mempermainkan tujuh orang pengeroyoknya. Tiba-tiba saja tangannya menyentuh tasbeh yang tergantung di lehernya dan sekali tarik, dia sudah mengambil tasbeh itu keluar dari lehernya dan dan nampaklah sinar hitam berguung-gulung ketika tasbeh iu diputar-putar. Dan terdengarlah suara nyaring berdentangan ketika pedang dan golok tujuh orang itu terlempar karena benturan tasbeh, disusul teriakan mereka yang roboh satu demi satu dengan kepala pecah terpukul tasbeh! Berturut-turut dengan masing-masing sekali serangan saja, lama itu telah merobohkan dan menewaskan tujuh orang pengeroyoknya.
Melihat ini, Ciang Bun dan Gangga terkejut sekali. Tadinya, melihat perkelahian itu mereka tidak mau turut campur, karena mereka tidak tahu apa urusan mereka yang sedang berkelahi itu. Apalagi melihat betapa pendeta Lama itu dikeroyok tujuh. Bagaimana mungkin mereka turun tangan. Pendeta itu tidak terdesak dan jelas akan menang, dan mereka berdua enggan membantu tujuh orang pengawal yang kasar, congkak dan yang kini secara curang mengeroyok seorang lawan dengan tujuh orang. Akan tetapi, sungguh tidak disangka oleh Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu akan menurunkan tangan maut seganas itu, sekaligus membunuh tujuh orang lawannya. Juga mereka berdua terkejut, maklum bahwa sesungguhnya pendeta Lama itu lihai bukan main dan merekapun dapat menduga bahwa temannya, si tosu itu, tentu lihai pula.
Kini, dua orang muda yang agaknya kakak dan adiknya itu memandang terbelalak dan dara remaja itu menangis dalam rangkulan kakaknya. Mereka memandang pucat dan ketakutan melihat betapa para pengawal mereka terbunuh. Keduanya lalu membalikkan tubuh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, dua orang kakek itu tertawa dan sekali berkelebat, mereka sudah meloncat dan di lain saat, Thai Hong Lama sudah menyambar tubuh gadis kecil itu sedangkan Pek-bin Tok-ong menyambar tubuh pemuda remaja. Mereka menyambar bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar dua ekor burung dara yang ketakutan dan sambil tertawa-tawa, keduanya memondong korban mereka dan berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Ciang Bun dan Gangga sejak tadi bengong saja. Mereka masih terkejut melihat betapa kakek pendeta itu membunuh tujuh orang dengan ganas, akan tetapi ketika mereka melihat dua orang kakek itu menangkap dan melarikan muda-mudi, mereka berdua masih ragu-ragu dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan dua orang kakek itu.
“Kita kejar mereka!” kata Ciang Bun. Akan tetapi sebelum dia bergerak, Gangga menyentuh tangannya.
“Apa gunanya kita mengejar mereka? Mungkin dua orang kakek lihai itu hendak mengambil mereka sebagai murid! Kalau kita mengejar dan dapat menyusul, habis kita mau apa? Perkelahian mereka dengan tujuh pengawal itu bukan urusan kita dan kalau mereka hendak mengambil murid, itupun tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Kenapa kita harus mencampuri urusan orang dan hanya mencari permusuhan dengan orang-orang lihai?”
“Bukan demikian, Gangga. Akan tetapi hatiku tidak enak. Apakah engkau tidak melihat betapa kakek gundul itu ketika menangkap gadis cilik, telah mengelus pipi gadis itu? Dan aku melihat jelas betapa tosu itupun mencium pipi si pemuda remaja! Begitukah sikap orang yang akan mengambil murid? Aku curiga sekali dan mari kita kejar mereka, dan kita lihat dan dengan teliti apa yang akan mereka lakukan. Kalau memang benar mereka berniat baik terhadap muda-mudi itu, tentu saja kita tidak usah mencampuri. Akan tetapi kalau mereka itu mempunyai niat busuk, seperti yang kukhawatirkan, kita harus menolong dua orang remaja itu.”
Gangga terpaksa harus membenarkan pendapat sahabatnya dan mereka cepat meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran ke arah larinya dua orang kakek yang menculik dia orang muda-mudi itu. Dan ternyata mereka harus berlari cepat dan mencari ke sana-sini karena dua orang kakek itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Setelah menjelajahi hutan kecil itu tanpa hasil, Gangga menjadi putus harapan dan hendak membujuk sahabatnya untuk menyudahi saja pencarian yang sia-sia itu. Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala.
“Gangga, entah bagaimana, akan tetapi perasaanku mengatakan bahwa dua orang kakek itu adalah datuk- datuk sesat yang mampu melakukan segala macam hal yang mengerikan dan jahat sekali. Aku mengkhawatirkan keselamatan dua orang remaja itu. Kita harus cari dan susul sampai dapat.”
“Akan tetapi, ke mana kita harus menyusul dan mencari? Mereka tidak berada di dalam hutan ini, dan ternyata mereka mampu berlari cepat sekali sehingga kita kehilangan jejak mereka.”
Ciang Bun berpikir keras sambil menundukkan mukanya. Kemudian dia mengangkat muka dan memandang wajah sahabatnya. “Gangga, di waktu siang seperti ini, mereka tidak akan dapat melakukan perbuatan jahat di tempat umum. Maka, kalau mereka memang berniat jahat, tentu mereka akan mencari tempat sunyi dan satu- satunya tempat sunyi tentu saja keluar dari kota raja ini. Tempat ini paling dekat dengan pintu gerbang kota raja sebelah barat, maka kurasa mereka lari melalui pintu gerbang itu. Mari kita kejar ke sana.”
Perhitungan Ciang Bun memang tepat sekali. Ketika mereka tiba di pintu gerbang dan melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, mereka mendengar bahwa memang tadi ada dua orang kakek yang menurut penggambarannya adalah benar dua orang yang mereka kejar, memondong pemuda remaja dan seorang gadis cilik. Menurut keterangan dua orang kakek pendeta itu, dua orang remaja itu menderita sakit lumpuh dan kini mereka hendak membawa muda-mudi itu ke gunung untuk diobati. Adapun muda-mudi itu selain lumpuh, nampaknya payah sekali karena seperti orang pingsan dan lemas. Melihat bahwa dua orang kakek itu adalah pendeta-pendeta yang kelihatannya alim, tidak ada yang menaruh curiga dan dengan mudah dua orang pendeta itu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang sebelah barat ini.
Mendengar keterangan ini, makin besar keyakinan hati Ciang Bun bahwa dua orang kakek itu tentulah mempunyai niat yang busuk terhadap dua orang muda-mudi yang mereka tawan. Bahkan kini Gangga sendiripun menanuh curiga dan dengan penuh semangat iapun bersama Ciang Bun melakukan pengejaran ke barat.
Setelah matahari condong ke barat, tiba-tiba Ciang Bun memegang lengan Gangga dan menudingkan telunjuknya ke arah sebuah kuil tua yang terletak di lereng bukit di depan. “Lihat, kuil tua itu berada di tempat terpencil, jauh dari desa dan agaknya kosong. Merupakan tempat yang baik sekali untuk melakukan perbuatan busuk, bukan?”
“Entahlah, aku tidak pernah melakukan perbuatan busuk sih!”
Mendengar jawaban ini, Ciang Bun menatap wajah Gangga dan tersenyum lebar. “Akupun belum pernah. Apa kaukira aku biasa melakukan perbuatan busuk?” Pertanyaan yang dimaksudkan untuk melayani kelakar Gangga itu tanpa disengaja telah menusuk hatinya sendiri. Apakah kelainannya itu termasuk sesuatu yang busuk?“Nah, kalau kita belum pernah melakukan, mana bisa tahu apakah tempat seperti kuil itu baik untuk melakukan perbuatan busuk.”
“Gangga, maaf, bukan waktunya bergurau. Mari kita cepat ke sana, aku khawatir kalau-kalau kita terlambat!”
Mereka berlari lagi menuju ke lereng bukit itu. Di waktu mereka berlari cepat, Gangga masih sempat bertanya, “Ciang Bun, aku tidak mengerti. Kejahatan apa yang dapat dilakukan dua orang kakek itu terhadap muda- mudi remaja itu?”
“Kejahatan apa? Mungkin mereka.... akan diperkosa, seperti yang telah menimpa diri enciku.”
“Hemm, mungkin saja. Akan tetapi mana bisa hal itu menimpa si pemuda remaja? Mengapa pula dia ikut diculik? Mau diapakan?”
“Mungkin mau dibunuh!”
“Tidak mungkin, kalau memang dua orang kakek itu berniat membunuh mereka, tentu sudah dilakukannya di hutan itu, tidak usah repot-repot diculik.”
“Atau bisa jadi untuk disiksa, dijadikan sandera, untuk minta uang tebusan. Nampaknya dua orang muda- mudi itu anak-anak orang kaya atau pejabat tinggi.”
“Itupun kecil kemungkinannya. Dua orang kakek itu andaikata benar penjahat, tentu bukan penjahat- penjahat kecil yang suka menculik dan melakukan pemerasan.”
Ciang Bun kehabisan akal. Dia mempunyai dugaan lain di dalam hatinya terhadap diri pemuda itu, akan tetapi dia tidak dapat menceritakan dugaannya itu kepada Gangga. Seorang pemuda seperti Gangga tentu akan tidak percaya dan merasa heran, juga jijik kalau dia mengatakan bahwa mungkin kakek-kakek itu akan memperkosa pula diri pemuda itu.
“Barangkali dua orang kakek itu mempunyai bibit permusuhan dan dendam dengan keluarga muda-mudi itu.”
Mendengar ini, Gangga terkejut. “Ah, kenapa aku tidak memikirkan hal itu? Mungkin sekali tepat dugaanmu terakhir ini. Mari kita percepat lari kita!” Dan kini Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya karena begitu Gangga mempercepat larinya, dia tertinggal jauh di belakang. Dia merasa khawatir sekali.
“Gangga tunggu....! Jangan sembrono, mereka itu lihai sekali!”
Setelah tiba di depan kuil mereka bersembunyi dan mengintai. Sebuah kuil tua yang memang kosong dan sudah tidak dipergunakan atau ditinggali orang lagi. Pintunya sudah jebol, temboknya penuh lumut dan dijalari tanaman-tanaman liar. Atapnya sebagian juga sudah jebol. Ciang Bun memberi isyarat kepada Gangga dan mereka lalu berindap menghampiri kuil dari dua jurusan. Mereka berpencar untuk mengintai dan mengelilingi kuil dan bertemu di belakang kuil. Gangga mengambil jalan sebelah kiri kuil dan Ciang Bun sebelah kanan.
Dengan cekatan Ciang Bun meloncat mendekati dinding kuil yang berlumut, kemudian berjalan menuju ke belakang dan mengintai melalui jendela-jendela jebol. Tiba-tiba dia menahan kakinya dan mengintai dari celah-celah dinding yang retak. Dia mendengar suara di dalam dan ketika mengintai, matanya terbelalak dan mukanya berobah merah sekali. Dia melihat hal yang memang dikhawatirkan terjadi di balik dinding retak itu. Pemuda remaja itu nampak terbelalak ketakutan, wajahnya pucat sekali, pakaiannya awut-awutan dan dia dipangku oleh kakek tinggi kurus seperti tosu yang menciumi dan menjilati seluruh tubuhnya yang sebagian banyak sudah telanjang karena pakaiannya direnggut lepas. Pemuda remaja itu tidak melawan, hanya menggigil ketakutan dan hampir pingsan. Ciang Bun mengepal tinju. Hatinya merasa muak dan jijik. Kini dia melihat sendiri seorang kakek yang agaknya mempunyai kelainan seperti dia, yaitu suka kepada sama-sama lelaki, sedang melampiaskan nafsu birahinya kepada seorang pemuda remaja. Dia merasa malu dan muak, juga jijik. Dia merasa seolah-olah dia sendiri yang melakukan itu, karena melihat pemuda tampan itu hampir telanjang, harus diakuinya bahwa ada semacam gairah menyesak di dadanya. Gairah itu segera ditekannya dan jiwa pendekarnya bangkit.
Pada saat yang sama, Gangga juga mengepal tinju dan terbelalak melihat betapa dara cilik yang usianya baru tiga belas atau empat belas tahun itu, menangis dan menggeliat-geliat di atas pangkuan pendeta Lama yang tinggi besar dan yang menggunakan kedua tangannya yang besar dan berbulu untuk membelai dan menggerayangi seluruh tubuh anak itu sambil menyeringai lebar menjijikkan.
“Iblis tua bangka cabul!” Gangga membentak marah.
Teriakan Gangga ini terdenggar oleh Ciang Bun yang juga membentak, “Kakek iblis tak tahu malu!” Mendengar bentakan-bentakan dari kanan kiri, dua orang kakek itu terkejut sekali, juga marah. Mereka merasa betapa kesenangan mereka terganggu dan mereka mendorong tubuh korban masing-masing dari atas pangkuan, kemudian keduanya berloncatan keluar dari dalam kuil untuk melihat siapa yang berani menentang mereka.
Baru saja mereka tiba di halaman depan kuil tua itu, Gangga sudah menyerang Thai Hong Lama yang tinggi besar dan yang diintainya tadi dengan pukulan kilat dan dahsyat. Juga Ciang Bun sudah menerjang dan memapaki Pek-bin Tok-ong dengan pukulan mautnya.
“Haiiiiittt....!” Gangga mengeluarkan suara melengking nyaring dan terkejutlah Thai Hong Lama melihat serangan yang amat cepat ini.
“Hahh! Ehhh....!” Dia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya, akan tetapi demikian cepatnya gerakan tangan Gangga sehingga sebelum tangan itu tertangkis, gerakannya sudah berobah lagi dan kini mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Thai Hong Lama. Untuk dapat menyerang ubun-ubun kepala lawan yang tinggi besar ini, Gangga meloncat dengan amat ringan seperti seekor burung terbang saja.
“Hemm....!” Thai Hong Lama tidak berani memandang ringan lawannya. Dia tahu bahwa biarpun lawan ini masih amat muda, namun telah memiliki kepandaian hebat, terutama sekali gin-kangnya sungguh amat luar biasa dan berbahaya. Maka diapun tidak bersikap sungkan dan malu lagi. Dikeluarkannya senjata tasbeh hitam yang melingkari lehernya, juga dicabutnya sebatang suling bambu dari saku jubahnya. Inilah senjata istimewa kakek itu. Seuntai tasbeh hitam dan sebatang suling! Dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, terdengar suara berkerotokan dari tasbeh dan suara melengking sulingnya. Kedua senjata itu melakukan serangan dahsyat yang membuat Gangga terpaksa mengandalkan gin-kangnya untuk meloncat jauh ke belakang. Ia kaget sekali karena biarpun gerakannya cepat, namun serangan tadi hampir melukainya.
“Ha-ha-ha-ha....! Tok-ong, ini namanya ikan mendarat ke penggorengan, ha-ha-ha. Kita disuguhi calon makanan yang lezat.” Thai Hong Lama tertawa dan dia sudah bergerak maju lagi menerjang Gangga. Sulingnya melakukan totokan-tatokan yang mengarah jalan darah yang melumpuhkan, dan dari serangan-serangan ini saja maklumlah Gangga bahwa lawannya tidak bermaksud mengalahkannya dengan membunuh, melainkan menangkapnya hidup-hidup. Teringat akan penglihatan di dalam tadi, ia dapat membayangkan bagaimana nasibnya kalau sampai tertawan hidup-hidup. Mukanya berobah semakin merah dan kemarahannya memuncak. Iapun mengeluarkan suara melengking-lengking dan tubuhnya berkelebatan membuat lawannya terkejut sekali.
Di lain pihak, Pek-bin Tok-ong juga sudah menyambut serangan Ciang Bun dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaga.
“Dukkk!” Mereka mengadu sin-kang dan ternyata kakek itu cukup kuat menahan pukulan Ciang Bun dengan lengannya, walaupun diam-diam kakek ini terkejut ketika merasakan betapa ampuh dan kuatnya pukulan orang muda yang tampan ini. Dia tidak mau kalah lagak dengan temannya. Mendengar suara temannya dia pun tertawa.“Bagus, orang muda yang tampan. Engkau boleh menemaniku untuk beberapa malam lamanya. Engkau tentu lebih kuat daripada pemuda hartawan itu, ha-ha-ha!”
Akan tetapi, kakek tinggi kurus ini tidak dapat melanjutkan sikapnya memandang remeh kepada lawannya. Cian Bun sekarang bukanlah Ciang Bun beberapa tahun yang lalu. Dia telah menerima gemblengan dari ayah ibunya selama tiga tahun ini dan telah mewarisi ilmu- ilmu Pulau Es! Dan kini, menghadapi seorang lawan tangguh, pemuda ini segera mengerahkan tenaga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Biarpun tentu saja latihannya belum matang karena ilmu- ilmu Pulau Es adalah ilmu-ilmu tinggi yang membutuhkan banyak waktu untuk berlatih, namun karena ilmu-ilmunya memang ilmu pilihan, sebentar saja kakek Pek-bin Tok- ong merasa repot menghadapi pemuda ini.
“Heiiiiittt....!” Dia membentak dan kini dia mengeluarkan pukulan-pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Kedua tangannya seperti dua batang golok saja membacok dan menyambar-nyambar, mengeluarkan suara bersiutan mengerikan ketika bergerak.
“Plakk! Dukk....!” ketika dua kali lengan Ciang Bun bertemu dengan tangan yang dimiringkan itu, dia tidak kalah tenaga, akan tetapi kulitnya terasa perih seperti terbacok senjata tajam. Kedua lengannya untung terlindung oleh sin-kang yang amat kuat, kalau tidak tentu otot-ototnya putus dan tangannya terlepas! Pemuda ini berhati-hati dan memainkan Toat-beng Bian-kun yang membuat kedua tangannya lembut dan lunak seperti kapas namun mengandung kekuatan yang dapat mencabut nyawa, dan melengkapianya dengan ilmu silat aneh Cui-beng Pat-ciang yang dipelajarinya dari ibunya. Menghadapi ilmu campuran yang serba aneh dan tinggi ini, beberapa kali Pek-bin Tok-ong mengeluarkan seruan kaget dan heran.
Kalau Ciang Bun dapat menguasai keadaan dengan ilmu silatnya yang pada dasarnya memang jauh lebih menang mutunya ketimbang lawan, sebaliknya Gangga repot sekali menghadapi desakan Thai Hong Lama. Suling dan tasbeh hitam di tangan kakek gendut itu benar-benar amat berbahaya dan pendeta Lama ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, juga tubuhnya kebal sehingga beberapa kali tamparan tangan Gangga yang mengenai perut atau dadanya mental kembali seperti bola karet yang amat kuat saja. Sebaliknya, senjata-senjata di tangan kakek itu harus selalu dielakkannya, karena Gangga tidak berani menangkis dengan tangan. Terlampau berbahaya baginya untuk mencoba-coba menyambut kedua senjata itu dengan tangan, walaupun ia sudah pernah mempelajari dan menghimpun tenaga Inti Bumi dari ayahnya. Maka, ia hanya mengandalkan gin-kangnya yang menang jauh ketimbang lawan untuk mengelak, berlompatan ke sana-sini seolah-olah ia sedang menari-nari di antara dua gulungan hitam dan putih dari tasbeh dan suling kakek itu.
Biarpun Ciang Bun dapat mendesak lawan, akan tetapi dia maklum bahwa untuk menjatuhkan lawannya ini membutuhkan waktu, sedangkan dari tempat dia berkelahi dilihatnya bahwa keadaan Gangga tidak menguntungkan. Maka, diapun cepat mencabut sepasang siang-kiam dari punggungnya.
“Sringggg....!” Nampak dua gulungan sinar dan begitu Ciang Bun maikan pedang di kedua tangannya, Pek-bin Tok-ong yang bermuka putih ini menjadi pucat. Menghadapi pemuda ini bertangan kosong saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi pemuda itu kini menggunakan sepasang pedang dan ternyata ilmu pedang pemuda ini hehat bukan main! Dia cepat meloncat mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciang Bun untuk meloncat ke tempat Gangga berkelahi dan pedangnya meluncur menyerang Thai Hong Lama yang mendesak sahabatnya itu dengan suling dan tasbeh.
“Tringgg.... trangg....!” Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika sepasang pedang bertemu dengan dua senjata di tangan Thai Hong Lama itu, dan Thai Hong Lama terkejut merasa betapa kedua telapak tangannya menjadi panas dan tergetar hebat. Pada saat itu Pek-bin Tok-ong menerjang maju disambut Gangga dan kini mereka bertukar lawan! Ciang Bun dengan sepasang pedang di tangan melawan Thai Hong Lama yang bersenjata tasbeh dan suling sedangkan Gangga yang bertangan kosong berhadapan dengan Pek-bin Tok-ong yang juga bertangan kosong.
“Dukk! Plakk....!” Kembali kecepatan gerakan Gangga menolongnya. Ia beradu lengan dengan Pek-bin Tok-ong, merasa betapa lengan kakek kurus ini kuat sekali dan begitu lengan beradu, tangan kakek itu sudah mencengkeram ke arah dadanya dengan ganas sekali. Akan tetapi, kembali kehebatan gin-kang Gangga menyelamatkannya. Ia dapat berkelebat ke belakang seperti seekor burung walet saja, membuat penyerangnya bengong saking kagumnya. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-bin Tokong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Lama, tak usah repot-repot lagi, mereka segera roboh, ha-ha. Tok-ciang (Tangan Beracun) yang kupergunakan tentu akan segera bekerja!”
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ciang Bun yang sedang mendesak Thai Hong Lama dengan sepasang pedangnya terkejut bukan main. Sejak tadi dia sudah merasa betapa kedua lengannya gatal-gatal dan kini bahkan mulai terasa kesemutan pada persendian kedua tangannya.
“Celaka....!” Teriaknya sambil melompat ke belakang. “Gangga, jangan biarkan tangannu bersentuhan dengan tangan iblis itu!”
Akan tetapi sahabatnya itupun sudah merasa betapa lengannya yang tadi beradu dengan tangan lawan gatal- gatal. Marahlah Ganggananda. “Iblis tua curang!” Dan iapun sudah menyerang dengan cepatnya. Dara ini adalah anak tunggal Wan Tek Hoat seorang pendekar perkasa yang pernah dijuluki Si Jari Maut. Dari ayahnya, selain ilmu-ilmu silat yang tinggi, juga ia telah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Kini, mendengar bahwa lawan telah mempergunakan jari beracun untuk mencelakai ia dan Ciang Bun, ia menjadi marah dan tubuhnya sudah menyambar seperti terbang cepatnya, dan ia menyerang Pek-bin Tok-ong dengan totokan Toat-beng-ci yang dilanjutkan dengan pukulan-pukulan tangan miring. Bertubi-tubi datangnya serangan kedua tangan ini, apalagi dilakukan dengan tubuh yang demikian cepat gerakannya seperti terbang saja. Pek-bin Tok-ong sudah berusaha mengelak, bahkan menangkap tubuh lawan atau menangkis, namun tetap saja dia kalah cepat.
“Plakk.... aduhhh....!” Tubuhnya terpelanting dan kalau saja tubuhnya tidak begitu kebal penuh kekuatan, atau kalau saja yang menamparnya tadi bukan Gangga melainkan ayahnya, tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Tamparan tangan Gangga yang kecil halus tadipun hanya mengenai pundak kirinya, akan tetapi akibatnya membuat sambungan tulang pundaknya terlepas dan nyeri bukan kepalang. Dia yang sudah terkenal dengan ilmu pukulan memutuskan otot dan melepaskan tulang, kini terpaksa mengakui keunggulan seorang dara dengan tamparan yang membuat tulang pundaknya terlepas. Dia masih mampu meloncat bangun dan menyerang membabi-buta dengan tangan kanannya, menggunakan pukulan beracun. Terpaksa Gangga kembali mengelak ke sana-sini berloncatan cepat.
Pada saat itu, Ciang Bun sudah menyerang Thai Hong Lama lagi dan biarpun dia merasa kedua tangannya gatal-gatal dan kesemutan, pemuda ini masih terlalu tangkas untuk dapat dikalahkan lawan.
“Iblis-iblis tua bangka, berani kalian mengganggu adikku?” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang menyerang Thai Hong Lama dari samping. Biarpun pendeta Lama itu masih mencoba untuk meloncat mundur, tetap saja sebuah kaki menyambar pinggangnya dan diapun terlempar ke belakang. Ketika dia bergulingan sambil menyabetkan tasbehnya dan meloncat berdiri, memandang dan melihat seorang wanita cantik gagah perkasa berdiri dengan sikap marah, tahulah dia bahwa dia dan kawannya berada dalam bahaya. Menghadapi dua orang muda pertama saja mereka sudah kewalahan, apalagi kini muncul kakak si pemuda yang agaknya lebih galak lagi.“Mari kita pergi....!” Teriaknya dan Pek-bin Tok- ong yang sudah terluka tidak menanti ajakan kedua kalinya. Mereka berloncatan dan melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu.
“Iblis-iblis busuk, ke mana kalian hendak lari?” Suma Hui, yang baru saja datang dan menendang Thai Hong Lama sampai terpental, bergerak hendak melakukan pengejaran.
“Enci, jangan kejar.... aku.... kami.... keracunan....!”
Ucapan adiknya ini membuat Suma Hui menghentikan larinya dan cepat ia menghampiri adiknya.
“Bun-te, apa yang terjadi? Engkau keracunan?” tanyanya dengan khawatir sambil memandang adiknya penuh perhatian. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada diri adiknya yang menunjukkan bahwa adiknya terluka. Iapun menoleh kepada pemuda langsing yang berdiri pula di dekat adiknya dan juga ia tidak melihat pemuda ini terluka.
“Lenganku.... iblis itu telah mempergunakan Tok- ciang (Tangan Beracun)!” kata Ciang Bun, akan tetapi dia tidak memperdulikan kedua lengannya sendiri yang terasa kesemutan dan gatal-gatal, melainkan cepat menghampiri Gangga.
“Gangga, engkau tadi beradu lengan dengannya. Apakah engkau tidak merasakan sesuatu yang tidak wajar?”
“Lengan kananku bertemu satu kali dan kini terasa gatal-gatal.” jawab Gangga.
“Coba kuperiksa.” kata Ciang Bun sambil menyingkap lengan baju Gangga. Akan tetapi jantungnya berdebar ketika jari-jari tangannya menyentuh kulit lengan yang putih halus itu sehingga terpaksa dia melepaskannya kembali, khawatir akan gejolak berahi yang tiba-tiba saja bergelora di dalam hatinya.
Gangga melanjutkan pekerjaan yang tertunda itu. Ia menyingkap lengan bajunya memeriksa dan ternyata pada lengannya nampak bekas-bekas jari yang kemerahan, bahkan agak membiru, tanda bahwa kulit lengannya keracunan. Juga Ciang Bun sibuk menyingkap kedua lengan bajunya dan pada kulit kedua lengannya terdapat pula bekas-bekas jari tangan lawan yang membuat kulit lengannya keracunan. Suma Hui ikut memeriksa dan gadis ini mengerutkan alisnya.
“Memang kulit lenganmu telah keracunan, akan tetapi karena engkau telah mempergunakan sin-kang, kurasa racun itu tidak akan menembus ke dalam dan tidak akan meracuni darah. Gunakan bubuk anti racun gigitan serangga, tentu sembuh.”
Suma Hui mendahului adiknya, mengeluarkan obat bubuk itu dari buntalannya dan iapun lalu mengobati dengan menggosok-gosok kulit yang keracunan dengan bubuk putih. Obat ini adalah satu di antara obat-obat buatan keluarga Pulau Es dan mereka selalu membawa bekal obat-obat yang penting dan praktis kalau melakukan perjalanan. Dan memang tepat ucapan gadis itu. Setelah di gosok obat bubuk putih, maka hilanglah rasa gatal-gatal dan tak lama kemudian warna merah itupun menghilang.
Kakak beradik itu saling pandang dan tahulah Ciang Bun bahwa encinya kecewa dan hal ini tentu karena ia tidak berhasil mencari musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang. “Bagaimana, Hui-ci, apakah ada hasilnya perjalananmu?”
Suma Hui menggeleng kepala. “Iblis itu tidak dapat kutemukan, jejaknyapun tidak. Ketika aku tiba di kota raja, aku langsung menemui ke taman yang menjadi tempat pertemuan seperti yang kita janjikan. Akan tetapi aku tidak melihat engkau di sana. Untung aku melihat coretanmu di batang pohon dekat kolam akan emas itu, maka aku segera menyusul ke barat secepatnya. Kiranya engkau dan kawanmu ini sedang berkelahi melawan dua orang kakek yang lihai. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dua orang kakek itu? Siapa pula temanmu ini?”
“Nanti dulu, Hui-ci. Di dalam kuil terdapat dua orang muda-mudi yang nyaris menjadi korban dua orang kakek iblis cabul itu, mari kita tolong mereka lebih dulu.” kata Ciang Bun. Ketika kakak dan adik ini bicara, Gangga hanya memandang dan diam-diam ia merasa kagum sekali kepada gadis yang cantik dan gagah itu, juga merasa kasihan karena ia telah mendengar cerita Ciang Bun tentang Suma Hui yang menjadi korban kejahatan seorang laki-laki yang pernah diserang oleh Ciang Bun di telaga hutan dalam taman di kota raja itu.
Mendengar ucapan Ciang Bun, mereka bertiga lalu melangkah menuju ke kuil kuno dan di dalam kuil itu mereka melihat muda-mudi itu saling rangkul di sudut dengan tubuh gemetar dan muka pucat. Kiranya muda-mudi yang kakak beradik telah saling bertemu sesudah dua orang kakek itu melepaskan mereka untuk menghadapi lawan.
Mereka hanya dapat saling rangkul dan menangis ketakutan. Ketika Ciang Bun, Suma Hui dan Gangga mumcul, mereka tadinya terkejut dan gadis cilik itu hampir menjerit ketakutan, akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul bukanlah dua orang kakek iblis yang mereka takuti, keduanya menghentikan tangis mereka dan memandang kepada tiga orang yang masuk itu dengan mata terbelalak.
“Jangan takut,” kata Gangga. “Dua orang kakek iblis itu telah dapat kami usir dari sini dan kami datang untuk menolong kalian.”
Mendengar ucapan ini, kakak beradik itu mengeluarkan seruan girang dan sang kakak lalu menarik tangan adiknya diajak menjatuhkan diri berlutut di atas lantai. “Terima kasih, terima kasih....” kata mereka berulang-ulang.
“Bangkitlah dan ceritakan siapa kalian dan mengapa kalian sampai diculik oleh dua orang kakek itu.” kata Ciang Bun.Kakak beradik itu bangkit berdiri dan sang kakak lalu menceritakan bahwa mereka berdua adalah putera dan puteri keluarga hartawan Ciok di kota raja. Hari itu mereka pagi-pagi sekali pergi pelesir di dalam taman itu, dikawal oleh tujuh orang pengawal atau tukang pukul mereka.
“Kami tidak pernah mengenal dua orang kakek itu. Ketika kami tiba di dekat hutan buatan yang sunyi itu, tiba-tiba saja dua orang kakek itu menyerang dan tujuh orang pengawal kami tewas oleh seorang di antara mereka. Lalu kami ditangkap dan dilarikan ke sini.”
Ciang Bun dan Gangga sudah tahu akan hal itu dan mereka dapat menduga bahwa tentu kedua orang kakak beradik ini telah ditotok ketika dibawa keluar pintu gerbang sebelah barat.
“Hemm, kalau begitu mari kami antar kalian pulang.” katanya dan mereka bertiga lalu mengantar dua orang kakak beradik itu kembali ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap.
“Bun-te, siapakah kawanmu ini?” tanya Suma Hui sambil memandang kepada Gangga. Di dalam suara gadis ini terdapat keheranan yang disembunyikan. Memang ia merasa heran sekali. Ia sudah tahu akan kelainan yang diderita adiknya, yaitu kecondongan untuk lebih suka pria daripada wanita. Akan tetapi, kini ia melihat betapa Ciang Bun memandang amat mesra dan bersikap amat manis, bahkan agaknya menjadi sahabat akrab sekali dengan seorang gadis, walaupun gadis itu menyamar sebagai seorang pria! Dan ketika ia tahu, dari logat bicara gadis yang menyamar pria itu, bahwa gadis itu bukan orang Han, melainkan seorang asing, ia merasa lebih heran lagi.
“Dia bernama Ganggananda, enci.”
“Ah, seorang Nepal?”
“Bukan, saya seorang berbangsa Bhutan.” kata Gangga.
Suma Hui mengangguk-angguk dan memandang tajam. Seorang gadis yang amat cantik, pikirnya, akan tetapi penyamarannya juga baik sekali. Ia hanya dapat mengenal penyamaran itu melalui perasaan kewanitaannya saja. Kalau jarak jauh sedikit saja, ia sendiripun tidak akan dapat mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang wanita.
“Dan bagaimanakah kalian dapat berkenalan dan bersahabat?” tanyanya ingin tahu sekali.
“Enci, saudara Gangga ini telah menyelamatkan nyawaku dan aku berhutang budi besar sekali kepadanya. Kalau tidak ada dia yang telah menolongku secara mati- matian, kiranya engkau takkan dapat bertemu lagi dengan adikmu ini.”
“Aih, itu terlalu dilebih-lebihkan.” Gangga merendahkan diri walaupun hatinya girang sekali oleh pujian ini.
Suma Hui terkejut mendengar betapa adiknya nyaris tewas. “Apakah yang telah terjadi denganmu, Bun-te?”
“Aku nyaris tewas di tangan.... Tek Ciang, Hui-ci.”
Suma Hui terkejut bukan main, sampai meloncat dan memegang tangan adiknya. “Apa? Dia? Kau bertemu dia? Di mana jahanam itu sekarang?”
“Teranglah, enci, aku akan ceritakan semuanya. Akan tetapi sebaiknya kata antarkan dulu dua orang anak ini ke rumah mereka.” jawab Ciang Bun. Suma Hui maklum betapa pentingnya hal yang akan diceritakan adiknya, maka ia menahan gejolak hatinya dan mengangguk. Setelah tiba di kota raja dan mengantarkan muda-mudi itu sampai ke pekarangan gedung keluarga mereka, tiga orang pendekar ini segera pergi, tidak mau menerima undangan dua orang muda-mudi kaya-raya itu untuk singgah.
“Ceritakan saja semua yang terjadi dan menimpa diri kalian kepada orang tua kalian, agar jenazah tujuh orang pengawal kalian itu dapat diambil dan diurus. Kami akan pergi sekarang juga.” Ciang Bun tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda-mudi itu untuk banyak cakap. Dia lalu pergi bersama Suma Hui dan Gangga, dan tak lama kemudian mereka bertiga telah berada di atas sebuah perahu kecil di atas telaga dalam taman itu. Mereka membiarkan perahu itu terapung-apung di sudut yang sunyi dan Ciang Bun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya ketika dia tiba di telaga itu, mencari encinya. Diceritakannya pertemuannya dengan Gangga dan mereka bersahabat lalu berperahu berdua, kemudian betapa Tek Ciang dan seorang pria lain muncul. Betapa mereka berkelahi dan dia telah terpukul oleh Tek Ciang dengan Hoa-mo-kang yang hampir saja menewaskannya kalau tidak saja Gangga yang mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa untuk mencarikan obat penawarnya.
Mendengar penuturan adiknya secara panjang lebar itu, Suma Hui mengepal tinjunya. “Sayang sekali aku tidak bertemu ketika jahanam itu muncul. Keparat, belum juga aku berhasil membunuhnya, dia telah melukai dan hampir saja membunuhmu, Untung ada.... sahabatmu ini. Saudara Ganggananda, saya ikut merasa bersyukur dan menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu kepada adik saya.”
Melihat Suma Hui memberi hormat kepadanya, Gangga cepat membalas. “Ahh.... nona, harap jangan sungkan. Ciang Bun telah menjadi sahabat baikku, di antara sahabat mana ada istilah tolong-menolong? Sudah sewajarnya dan selayaknya kalau ada seorang di antara sahabat kesukaran, yang lain membantunya, bukan?”
Suma Hui mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa suka kepada gadis yang menyamar sebagai pria ini. Juga ia dapat menyelami hati gadis ini. Apa lagi kalau bukan cinta yang mendekatkan gadis itu dengan Ciang Bun? Anehnya kini ia tahu benar bahwa Ciang Bun menganggap gadis itu sebagai seorang pria. Mengapa begitu?
“Ahhh....” Tiba-tiba Suma Hui menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan dua orang muda yang lain.
“Ada apakah, Hui-ci?”
Suma Hui tertegun dan menjadi bingung, tidak mengira bahwa jalan pikirannya membuat ia lupa diri tadi. “Ah, tidak, hanya aku masih merasa kecewa tidak dapat bertemu sendiri dengan jahanam itu.”
“Biarpun demikian, pertemuanku dengan dia di telaga ini menunjukkan bahwa dia tidak berada jauh dari kota raja. Kita akan mencari lagi sampai dapat, enci. Akan tetapi, sebaiknya kalau kita minta bantuan kanda Kao Cin Liong. Kita cari dia di kota raja dan kita ceritakan tentang jahanam itu....”
Mendengar adiknya menyebut “kanda” kepada Cin Liong, diam-diam Suma Hui merasa girang dan berterima kasih. Adiknya sebetulnya masih terhitung paman dari Cin Liong, akan tetapi adiknya itu memandang kepadanya dan menyebut “kanda”.“Baiklah, usulmu memang baik dan tanpa bantuan banyak tenaga, agaknya sukar menemukan jahanam yang licik itu.”
Karena hari sudah menjelang malam, mereka mengambil keputusan untuk mencari Cin Liong pada keosokan harinya dan malam hari itu mereka bermalam di sebuah rumah penginapan. Melihat betapa Ciang Bun tidak sekamar dengan Ganggananda, Suma Hui mengerutkan alisnya. Bagaimanakah adiknya ini? Benarkah adiknya belum tahu akan keadaan Gangga sebenarnya, bahwa Gangga adalah seorang gadis? Akan tetapi kalau Ciang Bun mengira bahwa Gangga seorang pemuda, mengapa pula mereka berpisah kamar? Barangkali Gangga yang tidak mau tidur sekamar, pikirnya. Andaikata ia menjadi Gangga, dalam penyamaran sebagai seorang pria, iapun tentu tidak mau tidur sekamar dengan seorang kawan pria, dan akan mencari dalih apapun agar mereka tidur berpisah. Betapapun juga, untuk menghilangkan keraguannya apakah adiknya itu tahu atau tidak akan keadaan Gangga, ia lalu mendatangi kamar adiknya dan bertanya.
“Bun-te, di mana Gangga?”
“Dia berada di kamarnya, di sudut lorong ini.”
“Eh, kenapa tidak di sini saja, sekamar denganmu? Bukankah tempat tidur ini cukup besar untuk kalian berdua?”
Wajah Ciang Bun berobah merah dan dia lalu menyuruh encinya duduk, kemudian menutupkan daun pintu. “Hui-ci, aku mau bicara denganmu.” katanya serius.
“Bicara apa? Katakanlah.” kata Suma Hui sambil duduk di tepi pembaringan dan memandang adiknya dengan sinar mata penuh kasih sayang. Ia tahu akan kesulitan yang berkecamuk di dalam hati adiknya dan ia merasa kasihan karena keadaan adiknya sungguh membuat ia sendiri menjadi bingung.
“Enci, maukah enci andaikata harus tidur sepembaringan dengan seorang pemuda seperti halnya Gangga?”
“Eh? apa maksud pertanyaanmu ini? Aneh-aneh saja engkau. Tentu saja aku tidak mau!” Suma Hui berkata tegas dan heran.
“Nah, begitulah perasaanku, enci. Mana mungkin aku tidur sekamar dengan seorang pemuda seperti Gangga kalau aku mempunyai perasaan wanita seperti engkau itu? Dan aku.... aku takut kepada diriku sendiri, dan aku.... tidak ingin kehilangan Gangga, Hui-ci. Aku cinta padanya, aku cinta padanya dan aku tidak ingin kehilangan dia, tidak ingin berpisah darinya. Karena itulah aku selalu berusaha menjauhkan diri.... aku khawatir dia akan merasa jijik dan membenciku kalau dia tahu akan keadaanku, dan aku.... aku tidak ingin kehilangan dia, Hui-ci.”
Melihat adiknya yang gagah perkasa itu kini duduk menundukkan muka, dengan kedua pundak bergantung ke depan, gambaran seorang yang patah semangat dan penuh kegelisahan, Suma Hui merasa kasihan sekali. Hal ini sudah diduganya ketika mereka bertiga berada dalam perahu, yang membuat ia menepuk paha sendiri mengejutkan Ciang Bun. Di dalam perahu itu iapun teringat bahwa Ciang Bun tentu jatuh cinta kepada Gangga sebagai seorang pria! Teringat ia akan kelainan adiknya. Tak dapat dibayangkan bagaimana akan jadinya kalau adiknya tahu bahwa Gangga bukan pria, melainkan wanita! Dan tiba-tiba saja ia seperti memperoleh ilham! Inikah cara pengobatan untuk memulihkan keadaan adiknya sehingga batinnya akan seirama dengan badannya? Ingin ia melihat Ciang Bun pulih seperti seorang laki-laki biasa, bertubuh pria dan juga berselera dan berbatin pria agar adiknya tidak akan mengalami rintangan dan kesulitan-kesulitan di dalam hidup selanjutnya. Dan kini Suma Hui melihat cahaya berkilat yang agaknya akan dapat memberi penerangan dalam kehidupan adiknya. Ia tidak ingin melihat adiknya mengalami derita hidup seperti yang pernah dialaminya.
“Adikku yang baik,” katanya sambil memegang kedua pundak Ciang Bun dan menegakkannya. “Seorang gagah tidak pernah putus asa dan tunduk terhadap nasib! Aku sudah tahu akan keadaanmu dan aku dapat ikut merasakan betapa hebat penderitaan batinmu. Akan tetapi, janganlah kau membiarkan kedukaan mengotori batinmu. Duka dan putus asa hanya permainan orang lemah. Engkau harus berani melihat kenyataan dirimu sendiri, berani menghadapinya dan berusaha mengatasinya. Segala yang tidak wajar berarti suatu keadaan yang tidak seimbang, katakanlah suatu penyakit. Karena itu, engkau tidak perlu merasa malu. Bersikaplah wajar saja namun dengan penuh kesadaran dan tertib diri, tidak hanya menurutkan dorongan nafsu yang timbul dari ketidakwajaran atau penyakitmu itu.”
“Aku tahu akan hal itu, Hui-ci dan selama ini, akupun sudah bertahan dan menentang dorongan hasrat nafsuku sendiri yang tidak wajar. Akan tetapi, aku jatuh cinta kepada Gangga, bukan semata karena dorongan nafsu birahi, bukan hanya karena gairah, akan tetapi segala-galanya pada diri Gangga menarik hatiku, menimbulkan rasa cinta dan aku tidak mau kehilangan dia, Hui-ci.”
Suma Hui menarik napas panjang. Ia dapat merasakan apa yang terkandung dalam hati adiknya. Seperti itulah agaknya perasaannya sendiri terhadap Cin Liong. Mencinta, sayang dan mesra, ingin sekali berdekatan dan selamanya tidak ingin berpisah lagi.
“Adikku, engkaupun tahu dan tentu ingat akan semua pelajaran ayah. Cinta kasih adalah sesuatu yang suci. Jangan sekali-kali salah kira dan mencampuradukkan cinta kasih dengan cinta birahi. Gejolak hatimu yang timbul dari gairah berahi itu bukanlah cinta kasih yang sesungguhnya. Itu hanya berahi yang timbul dari pikiran dan badan, dan bagi dirimu yang mempunyai kelainan, berahimu timbul kalau engkau melihat seorang pria yang tampan atau yang menyenangkan hatimu. Maka, sekarang aku hendak bertanya, adikku. Engkau bilang bahwa engkau cinta kepada Gangga, apakah cintamu itu semata-mata timbul karena kenyataan bahwa Gangga adalah seorang pemuda tampan dan gagah?”
“Kurasa kesemuanya itu mengambil bagian, Hui-ci. Bukan hanya karena dia seorang pemuda tampan dan gagah, akan tetapi juga karena dia berhati mulia, karena semua gerak-geriknya amat menarik dan menyenangkan hatiku, karena dia pernah menolongku dan mati-matian menyelamatkan diriku. Pendek kata, aku cinta padanya karena pribadinya, bukan semata karena dia seorang pemuda tampan.”
“Kalau begitu, bersikaplah wajar saja dalam cintamu, adikku. Anggap dia seorang sahabat yang baik sekali. Dan sekali waktu, kalau keadaan mengijinkan, lebih baik engkau berterus terang kepadanya tentang keadaan dirimu, tentang kelainanmu.”
“Ah, aku tidak berani, enci! Dia tentu akan marah dan jijik dan membenciku....!”
“Belum tentu, adikku. Apalagi kalau dia mencintamu sebagai seorang sahabat baik yang sudah dibuktikannya ketika dia mencarikanobat untukmu. Dia, seperti aku, tentu akan dapat memaklumi kelainanmu sebagai suatu penyakit dan dia tidak akan membencimu, malah akan merasa kasihan kepadamu.”Setelah menghibur adiknya, Suma Hui lalu meninggalkannya untuk pergi tidur. Akan tetapi, gadis ini tidak pergi ke kamarnya, melainkan diamdiam ia pergi ke kamar Ganggananda di sudut lorong. Ia bersikap hati-hati sekali dan menjaga agar adiknya jangan sampai mengetahui perbuatannya.
Setelah tiba di depan pintu kamar Gangga, ia mengetuk pintu perlahan.
“Siapa....?” terdengar suara Gangga dari dalam.
“Adik Gangga, bukalah, aku ingin bicara.” kata Suma Hui lirih.
Daun pintu terbuka dan Ganggananda muncul, memandang kepada Suma Hui dengan sinar mata penuh selidik. Tentu saja Ganggananda merasa heran mengapa malam-malam begini seorang gadis seperti Suma Hui mengetuk pintu kamar seorang “pemuda”.
“Ah, kiranya nona Suma Hui. Ada keperluan apakah....?”
Belum habis Gangga bicara, Suma Hui sudah melangkah masuk dan menutupkan daun pintu kamar itu. Gangga memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Suma Hui tersenyum dan berkata, “Adik yang manis, tak perlu lagi bersandiwara. Kita sama-sama perempuan, apa salahnya bicara dalam kamar tertutup?”
Ganggananda atau Gangga Dewi terkejut, lalu menarik napas panjang dan tersenyum. “Ah, enci Suma Hui, kiranya engkau sudah tahu? Lupa aku bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan bermata tajam. Maafkan penyamaranku.”
“Sstt, adik Gangga. Mari kita keluar dari kamarmu, melalui jendela saja agar jangan sampai ketahuan Ciang Bun. Aku ingin bicara empat mata denganmu.” kata Suma Hui yang segera menghampiri jendela kamar Gangga Dewi yang menembus ke kebun samping rumah penginapan. Ia memberi isyarat dan tak lama kemudian dua orang gadis itu telah meloncat keluar pagar setelah menutupkan daun jendela kamar itu.
“Kita ke taman dan bicara di tempat sepi....” kata Suma Hui dan merekapun lalu berloncatan naik ke atas genteng-genteng bangunan rumah di sepanjang jalan. Suma Hui sudah mendengar penuturan Ciang Bun betapa dengan mengandalkan gin-kangnya, Gangga telah menyelamatkannya dan berhasil mencari obat penawar racun Hoa-mo-kang. Maka kini Suma Hui memperoleh kesempatan untuk menguji kehebatan gin-kang dari gadis Bhutan itu. Ia sengaja mengerahkan gin-kang dan berlompatan dengan cepat sekali, melompati rumah-rumah dan kadang-kadang melayang turun dan berlari cepat menuju ke taman besar di mana siang tadi ia mencari adiknya kemudian melihat coretan-coretan di batang pohon. Memang pemuda ini dengan cerdik telah membuat coretan-coretan di batang pohon dengan harapan encinya akan dapat menemukannya kalau encinya datang. Coretan-coretan itu dibuatnya dengan kuku jari tangan sebelum dia bersama Gangga berangkat mencari dua orang kakek yang melarikan muda- mudi itu. Dan ternyata Suma Hui yang cermat itu dapat menemukan coretan itu yang berisi pesan bahwa adiknya itu pergi keluar kota melalui pintu barat.
Suma Hui harus mengakui kehebatan Gangga karena betapapun ia mengerahkan tenaga untuk meninggalkan Gangga, ia tetap tidak berhasil. Gadis Bhutan itu seperti bayangannya sendiri saja, selalu di belakang atau sampingnya, tidak pernah tertinggal jauh. Bahkan dari gerakan Gangga kalau berkelebat di sampingnya ia maklum bahwa kalau gadis itu menghendaki tentu akan dengan mudah mendahuluinya. Percayalah ia kini akan kehebatan ilmu gin-kang gadis ini.
Tak lama kemudian dua orang gadis itu telah duduk di atas batu-batu yang disusun secara nyeni sekali di tepi kolam ikan yang sunyi. Sepi sekali malam itu di taman karena tidak ada orang mengunjunginya di waktu malam. Dan dua orang gadis itu memang memilih tempat yang sunyi dan terbuka agar mereka dapat melihat kalau ada orang lain mendekat.
“Nah, enci Hui. Apakah yang akan kau bicarakan denganku?” tanya Gangga sambil memandang wajah yang cantik dan gagah itu. Sepasang mata Suma Hui yang cerdik itu memandang kepada Gangga penuh selidik, kemudian ia berkata dengan suara yang penuh kesungguhan.
“Adik Gangga, sekarang ceritakanlah siapa sebetulnya dirimu, siapa namamu yang sebenarnya dan dari mana kau datang.”
Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Nada suara Suma Hui seperti orang menyelidik! Hal ini membuat hatinya merasa tidak senang. Mengapa Suma Hui curiga kepada dirinya? Bukankah sudah jelas bahwa ia adalah sahabat baik Ciang Bun yang bahkan sudah membuktikan dengan usahanya menyelamatkan pemuda itu? Kenapa kini encinya malah seperti orang menaruh curiga dan bertanya dengan nada menyelidik?
“Enci Suma Hui, sebelum aku menjawab, katakanlah dulu kenapa engkau kelihatan seperti orang sedang menyelidiki diriku? Apakah engkau curiga kepadaku?”
Suma Hui mengangguk. Di bawah sinar bulan, Gangga Dewi dapat melihat betapa sepasang mata gadis itu seperti mengeluarkan cahaya mencorong, membuatnya bergidik kagum. Gadis ini tentu memiliki sin-kang yang hebat, pikinrya, teringat bahwa gadis ini adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!
“Terus terang saja, aku memang merasa heran dan curiga. Engkau seorang gadis cantik menyamar sebagai pria dan engkau membiarkan adikku mengira engkau seorang pria tulen. Kenapa begitu? Dan engkau datang dari Bhutan. Semua ini merupakan teka-teki yang mencurigakan hatiku. Karena itulah maka kini, sebagai sama-sama wanita, aku ingin mendengar sendiri darimu tentang keadaan dirimu.”
“Engkau adalah seorang wanita yang lihai, gagah perkasa dan juga amat jujur dan cerdik, enci Hui. Baiklah, aku berterus terang saja karena akupun sudah tahu bahwa engkau dan Ciang Bun adalah cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang terkenal itu. Sudah sejak kecil aku mendengar nama keluarga Pulau Es, dan Ciang Bun sedemikian percayanya kepadaku sehingga dia telah ceritakan semua tentang keadaan keluargamu. Bahkan tentang semua peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga kalian dan dirimu.”
“Hemmm, dia cerita tentang aku?” Suma Hui bertanya kaget dan semakin yakin hatinya bahwa adiknya tentu sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya dan benar-benar amat mencinta gadis yang menyamar sebagai pria ini.
“Ya, dan maafkan dia, enci Hui. Aku sudah mendengar semuanya, maka tidak adillah kalau aku tidak mengaku terus terang siapa diriku. Aku bernama Gangga Dewi atau juga Wan Hong Bwee....”
“Kau.... peranakan....?”
“Benar, ayahku bernama Wan Tek Hoat dan ibuku bernama Syanti Dewi....”
“Ah, Puteri Bhutan yang terkenal itu?”
“Enci, engkau sudah mengenal ibuku?”
“Sejak kecil, seperti engkau pula, aku sudah mendengar tentang bibi Puteri Syanti Dewi. Ah, adik Gangga, kiranya engkau puterinya? Kalau begitu.... kita bukan orang lain. Engkau masih adikku sendiri....!” Suma Hui lalu merangkul Gangga dan puteri Bhutan ini juga membalas pelukan gadis itu walaupun hatinya merasa heran.
“Enci Hui, menurut ibu dan ayah, memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga yang dekat dengan mereka, dan ayah ibuku amat menghormati keluarga Pulau Es. Akan tetapi, tentang hubungan keluarga, aku belum tahu....”
“Memang antara keluarga kita tidak ada hubungan langsung, akan tetapi ketahuilah hahwa ayahmu itu, Wan Tek Hoat, adalah cucu kandung dari mendiang nenekku Lulu....! Nah, bukankah dengan demikian di antara kita masih ada hubungan keluarga, walaupun jauh?”
Gangga Dewi mengangguk-angguk dan hatinya merasa girang bukan main. “Setelah engkau mengenal keadaanku, tentu engkau tidak menaruh hati curiga lagi kepadaku, bukan?”
Suma Hui menggeleng kepala dan tersenyum. “Sejak tadipun aku tidak menaruh curiga, hanya aku ingin merasa yakin tentang hubunganmu dengan Ciang Bun. Engkau seorang gadis, dan engkau menyembunyikan keadaanmu, menyamar sebagai pemuda. Akan tetapi engkau membela adikku mati-matian. Hal ini hanya mempunyai arti, yaitu bahwa engkau.... engkau jatuh cinta kepada adikku Suma Ciang Bun. Tidak benarkah dugaanku, adik Gangga?”
Sekatika wajah Gangga Dewi menjadi kemerahan dan menundukkan mukanya. “Enci Hui, aku tidak tahu.... akan tetapi sesungguhnya aku amat suka kepadanya aku merasa kasihan melihat dia menghadapi maut ketika terluka. Tentang cinta.... aku tidak tahu....”
“Adikku yang baik,” Suma Hui memegang tangan Gangga dan menggenggamnya. “Biarlah berterus terang saja kepadamu. Memang, kejujuranku ini mungkin akan menyakitkan, akan tetapi demi kebaikanmu, demi kebaikan adikku, demi kebahagiaanmu berdua, aku harus berterus terang. Gangga, ketahuilah bahwa Ciang Bun juga mencintamu, dia sudah mengaku kepadaku bahwa dia jatuh cinta padamu....”
“Ahhh....!” Gangga Dewi memandang wajah Suma Hui dengan mata terbelalak. “Tidak mungkin! Dia mengira bahwa aku seorang pria! Ataukah.... jangan-jangan dia sudah tahu akan keadaanku, bahwa aku seorang wanita?”
Suma Hui menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. Bagian tersukar dari tugasnya kini harus ia lalui. Maka iapun duduk mendekat dan merangkul pundak Gangga Dewi karena apa yang akan diceritakannya adalah rahasia adiknya yang amat gawat dan tidak boleh sampai terdengar orang lain. Dengan suara lirih iapun berkata setelah menengok ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tempat itu sunyi tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.
“Adik Gangga, dari sikapmu dan juga pertolonganmu terhadap Ciang Bun aku merasa yakin bahwa engkau sungguh mencinta dia seperti juga dia mencintaimu. Oleh karena itu, jika kuberitahu kepadamu bahwa Ciang Bun menderita suatu penyakit yang amat gawat, sudikah kiranya engkau membantuku untuk menyembuhkannya kembali?”
Gangga terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya yang cerah itu berobah agak pucat, alisnya berkerut penuh kekhawatiran. “Sakit? Dia sakit? Akan tetapi, ketika tabib itu memeriksa, penyakitnya hanya keracunan pukulan Hoa-mo-kang, tidak ada penyakit lain. Dan dia kelihatan begitu sehat dan segar!”
“Memang benar, akan tetapi penyakitnya bukan penyakit badan. Tidak ada yang dapat mengetahui kecuali dia sendiri dan aku karena dia percaya kepadaku dan menceritakan tentang penyakitnya itu. Dan aku yakin bahwa pengobatannya hanya ada pada dirimu. Hanya engkaulah yang dapat menyembuhkannya, Gangga.”
“Ahh, enci Hui, jangan main-main. Engkau membikin hatiku bingung dan khawatir. Seperti orang-orang lain yang pernah belajar silat, aku hanya membawa bekal obat-obat luka dan hanya dapat mengobati luka-luka pukulan dan senjata saja. Mana mungkin aku dapat mengobati penyakit Ciang Bun kalau orang lain yang ahli tidak mampu menyembuhkannya? Penyakit apakah itu?”
“Kami berduapun tidak tahu penyakit apa itu namanya. Akan tetapi adikku amat menderita karenanya. Jangan kaget, Gangga. Adikku itu adalah seorang laki- laki, seorang jantan sejati, berwatak pendekar yang tidak memalukan keluarga kami. Akan tetapi, dia.... dia mempunyai penyakit aneh, yaitu dia.... condong untuk menyukai pria daripada wanita.”
Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan mulut yang kecil itu ternganga saking herannya hati Gangga Dewi mendengar ucapan Suma Hui itu. “Apa.... apa yang kau maksudkan, enci Hui? Aku tidak mengerti....!”
“Adik Gangga, memang penyakit itu amat aneh. Biarpun Ciang Bun adalah seorang pemuda, jasmaninya adalah seorang pria yang sempurna, akan tetapi selera dan berahinya seperti seorang wanita. Dia.... dia lebih tertarik dan suka kepada seorang pria daripada seorang wanita. Mengertikah engkau?”
“Ahhh....!” Gangga Dewi menunduk, kedua pipinya kemerahan dan alisnya berkerut. Ia merasa bingung sekali, dan tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapi keterangan yang amat mengejutkan dan mengherankan hatinya itu. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ada penyakit yang demikian anehnya, apalagi kalau penyakit seperti itu diderita oleh Ciang Bun yang amat dikaguminya itu. Ia seorang gadis yang cerdik dan tanpa dijelaskan sekalipun kini tahulah ia akan kenyataan yang amat menusuk perasaannya. Jadi kalau begitu, Ciang Bun dikatakan mencinta dirinya karena mengira ia seorang pria!
“Enci, kalau.... kalau begitu.... engkau hendak mengatakan bahwa jika Ciang Bun mengerti bahwa aku sebenarnya seorang wanita, maka dia.... dia tidak akan suka kepadaku, begitukah?”
Suma Hui mengangguk. “Akan tetapi, cinta tidak dapat disamakan dengan rasa suka yang terdorong gairah berahi, adikku. Ciang Bun mengaku kepadaku bahwa dia amat mencintamu, walaupun rasa cintanya itu mengandung gairah berahi karena mengira bahwa engkau seorang pemuda. Nah, rasa cintanya inilah yang harus kita pergunakan untuk menyembuhkan penyakit aneh yang dideritanya itu. Tentu saja.... tentu saja kalau engkau juga mencintanya seperti yang kuduga. Adik Gangga yang baik, demi hubungan antara orang tua kita, demi cinta Ciang Bun kepadamu, dan demi cintamu sendiri.... sudikah engkau menolongnya?” Dalam suaranya terkandung nada yang penuh permohonan dan ketika Gangga Dewi memandang, ternyata kedua mata gadis perkasa itu berlinang air mata! Gangga Dewi merasa terharu sekali dan ia dapat merasakan betapa besar cinta kasih gadis itu kepada adiknya. Ia sendiripun merasa kasihan kepada Ciang Bun, walaupun terdapat perasaan tidak enak menganggu hatinya mendengar akan keadaan Ciang Bun yang aneh itu.
“Enci Hui, tentu saja aku suka menolong, akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau dia tidak suka kepada wanita, dan setelah nanti dia tahu bahwa aku sesungguhnya adalah seorang wanita dan dia pun tidak suka kepadaku, bagaimana aku akan dapat merobah seleranya?”
“Kita menggunakan cinta sebagai obatnya, adikku. Biarlah cinta kasih murni yang akan menyembuhkannya dari penyakit aneh itu.”
“Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Hui?”
“Begini, Gangga. Biarkan cinta kasihnya kepadamu bersemi dengan subur dan berakar kuat dalam hatinya dan untuk itu perlu pemupukan.”
“Pemupukan bagaimana maksudmu, enci? Aku.... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang cinta.”
“Sekali waktu engkau harus meninggalkan dia, kita harus memberi pupuk kepada cintanya dengan kerinduan. Biar dia merasakan betapa besar rasa kehilangannya kalau engkau tidak berada di dekatnya. Rasa cintanya yang semakin subur itu akan menghapus perbedaan antara wanita dan pria, dia akan mencintamu, tidak perduli engkau pria ataupun wanita. Rasa cinta murni itu mungkin sekali akan merupakan obat dan lebih kuat daripada sekedar berahinya yang ganjil itu. Maukah engkau melakukannya, demi cinta kalian berdua, adikku?”
Gangga Dewi mengangguk.
“Kita sama sekali tidak boleh menyalahkannya, Gangga. Keadaan diri Ciang Bun itu adalah suatu kelainan yang bukan timbul karena disengaja, atau karena memang wataknya yang kotor, melainkan karena tentu ada sebab-sebabnya. Dia adalah penderita suatu penyakit aneh, suatu kelainan yang mungkin timbul dari keadaan darahnya, atau susunan tubuhnya, atau juga karena sebab-sebab batiniah yang kita tidak mengerti. Bagaimanapua juga, karena keadaan itu menggambarkan hal yang tidak sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana umumnya, maka biarlah kita menamakannya suatu penyakit. Keadaan setengah-setengah itu, setengah pria karena bertubuh pria, dan setengah wanita karena berselera wanita, tentu saja merupakan hal yang amat mengganggu dan menyiksa batin. Jalan satu-satunya hanyalah menjadikannya wanita sepenuhnya atau pria sepenuhnya. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya, akan lebih sempurnalah kalau dia dapat dijadikan pria sepenuhnya dan hal ini mungkin saja disembuhkan dengan cinta kasih.
Gangga Dewi mendengarkan dengan kagum. Dari kata- katanya dapat dimengerti bahwa Suma Hui adalah seorang gadis yang luas pengetahuannya dan pintar. Dan memang demikianlah. Semenjak menderita aib yang menimpa dirinya, setelah mengalami banyak hal-hal yang amat menyakitkan hatinya, setelah memperdalam ilmunya dan banyak melakukan perantauan, Suma Hui berobah menjadi seorang wanita yang matang dan berpemandangan luas. masalah adiknya amat mengganggu hatinya dan selama ini banyak ia memikirkan tentang adiknya sehingga ia dapat mengambil kesimpulan seperti yang dikatakannya kepada Gangga Dewi.
Demikianlah, terdapat suatu kerjasama antara Suma Hui dan Gangga Dewi, untuk menolong pemuda yang sama- sama mereka cinta, yang seorang mencintanya sebagai seorang kakak perempuan sedangkan yang lain mencinta sebagai seorang wanita terhadap seorang pria yang dikaguminya.
***
Dengan mudah mereka dapat menemukan Kao Cin Liong. Kiranya panglima muda ini masih menduduki pangkatnya di kota raja sebagai seorang jenderal muda. Ketika Kao Cin Liong menghadap kaisar untuk meletakkan jabatannya agar dia dapat mencurahkan semua tenaganya untuk membantu tunangannya mencari musuh besar mereka, kaisar menyatakan keberatan! Dan ketika Kao Kok Cu, ayah pemuda itu mendengar akan hal ini, diapun memarahi puteranya dan menyatakan tidak setuju pula.
“Cin Liong, lupakah engkau akan ceritaku tentang kakekmu? Kakekmu adalah seorang panglima besar yang amat setia dan berjiwa pahlawan. Dan sejak dahulu, keluarga Kao adalah keturunan para panglima yang gagah perkasa. Sayang bahwa aku sendiri tidak memperoleh kesempatan untuk melanjutkan kepahlawanan nenek moyang kita. Akan tetapi engkau yang masih muda, mempunyai kesempatan cukup dan engkau bahkan berhasil menjadi jenderal yang banyak jasanya. Bagaimana sekarang hendak mengundurkan diri dalam usia muda hanya karena urusan wanita?”
“Akan tetapi, ayah, demi cintaku terhadap Suma Hui, aku rela melepaskan apapun juga. Ia menderita aib, siapa lagi kalau bukan aku yang mengangkatnya dan mencuci nama baiknya dengan mencari dan membunuh jahanam yang telah mencemarkan kehormatannya, juga mencemarkan namaku karena dia mempergunakan namaku dan melakukan fitnah?”
“Benar, akan tetapi engkau harus berpikir panjang. Ingat, keluarga Suma adalah keluarga besar dan gagah. Karena lengah dan lalai, mereka terjebak dan mengalami aib. Biarlah mereka itu mempertanggungjawabkan sendiri kelalaian mereka dan menghukum sendiri jahanam itu. Engkau hanya membantu saja. Kalau engkau yang turun tangan membalas, apakah hal itu tidak bahkan menyinggung harga diri keluarga Suma?”
Bujukan ayahnya dan larangan kaisar akhirnya membuat Cin Liong mengalah dan itulah sebabnya, ketika Suma Hui dan Ciang Bun mencarinya, kakak beradik ini mendapatkan Cin Liong di gedungnya, masih menjadi seorang jenderal muda yang disegani.
Dapat dibayangkan betapa girang dan terharu hati Jenderal Muda Kao Cin Liong ketika dia keluar menyambut tamu dan melihat bahwa tamunya adalah Suma Hui dan Ciang Bun bersama seorang pemuda asing. Melihat kekasihnya yang selama ini amat dirindukannya, ingin Cin Liong merangkulnya. Akan tetapi tentu saja di depan banyak orang dia tidak dapat melakukan hal ini dan dia hanya membalas penghormatan para tamu itu dengan menjura.
“Liong-ko....!” kata Suma Hui lirih. Biarpun ia masih terhitung bibi dari kekasihnya itu, akan tetapi karena dapat dibilang secara resmi telah mendapatkan restu dari orang tua dan mereka adalah tunangan, maka tanpa ragu lagi ia kini menyebut koko kepada pemuda itu.
“Hui-moi, kau baik-baik saja, bukan?” Cin Liong juga menyapa dengan halus.
Hanya itulah yang dapat mereka sampaikan melalui mulut di depan orang banyak, akan tetapi dua pasang mata itu saling bertemu, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan bicara banyak sekali. Keharuan membuat sepasang mata Suma Hui agak basah.
“Bun-te, engkau kelihatan semakin gagah saja!” Cin Liong menegur pemuda yang dahulu disebutnya paman itu. “Dan siapakah saudara ini?”
“Saya adalah sahabat saudara Suma Ciang Bun, nama saya Ganggananda.” kata Gangga memperkenalkan diri sambil memberi hormat.
“Ahh, saudara dari Nepal?”
“Bukan, dari Bhutan.” jawab Gangga singkat dan matanya menatap tajam wajah jenderal muda itu. Hatinya juga terharu karena ia sudah mendengar penuturan ibunya bahwa ibunya mempunyai seorang saudara angkat yang amat disayangnya, dan saudara angkat ibunya itu adalah ibu dari jenderal ini! Bukan hanya di situ saja hubungannya dengan jenderal gagah perkasa ini, melainkan lebih dekat lagi. Ada hubungan saudara antara ayah kandungnya dengan ibu jenderal ini karena mereka itu masih saudara tiri, seayah berlainan ibu. Ayahnya she Wan, dan ibu jenderal ini juga she Wan. Akan tetapi, ia diam saja dan tidak membuka rahasia itu. Ia sudah memesan kepada Suma Hui, satu-satunya orang yang sampai kini sudah tahu akan rahasianya, agar tidak membuka rahasia itu kepada siapapun juga, tidak pula kepada Ciang Bun atau kepada jenderal Kao Cin Liong yang masih ada pertalian keluarga dekat, karena satu kakek dengannya. Dan demi penyamaran Gangga, demi kepentingan adiknya, Suma Hui memegang janji itu dan tidak bicara tentang Gangga.
“Silahkan masuk, kita bicara di dalam. Kebetulan sekali ayah berada di sini, baru pagi tadi ayah dan ibu datang mengunjungiku.”
Mendengar bahwa ayah bunda kekasihnya berada di situ, wajah Suma Hui berubah merah. Ia merasa malu sekali teringat akan sikapnya dahulu terhadap mereka, maka tentu saja kini ia merasa canggung, malu dan takut. Melihat sikap kekasihnya, Cin Liong maklum. Tanpa malu-malu lagi terhadap Ciang Bun dan Ganggananda, diapun lalu menggandeng tangan gadis itu dan ditariknya, diajak ke dalam, diikuti oleh Ciang Bun dan Ganggananda.
Mereka menunggu di ruangan dalam. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya. Biarpun usia mereka sudah lanjut, si pendekar enam puluh tahun lebih dan isterinya, Wan Ceng sudah lima puluh tujuh tahun, akan tetapi keduanya masih nampak sehat dan gagah.
Karena maklum apa yang dirasakan kekasihnya dan ingin menolong kekasihnya mengurangi perasaan tidak enak itu, begitu tiba di depan ayah bundanya, Cin Liong menarik tangan Suma Hui dan diajaknya menjatuhkan diri berlutut, sedangkan Ciang Bun dan Ganggananda memberi hormat dengan menjura.
“Ayah, ibu, terimalah hormat kami, putera dan mantu ayah ibu.” kata Cin Liong.
Melihat wajah gadis yang menunduk itu, wajah yang membayangkan kecantikan, kegagahan dan kekerasan hati, yang menunduk dengan bayangan kesedihan, hati Wan Ceng menjadi lunak. Teringatlah ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih gadis. Iapun dahulu pernah menjadi korban perkosaan orang yang menghancurkan hidup
dan kebahagiaannya, membuat selalu ingin mencari dan membunuh pemerkosanya itu. Kini Suma Hui mengalami nasib yang sama. Hanya bedanya, kalau ia bahkan bertemu jodohnya dengan pemerkosanya yang bukan lain adalah suaminya yang sekarang, yang melakukan hal itu di luar kesadarannya (baca kisah Jodoh Sepasang Rajawali ) , sebaliknya Suma Hui menjadi korban kekejian seorang laki-laki yang amat jahat. Laki-laki yang memperkosanya dengan menyamar sebagai Cin Liong! Dan penjahat itu sedemikian pandainya memikat hati keluarga Suma sehingga selain diterima menjadi murid, juga menjadi mantu! Semua telah didengarnya dari Cin Liong dan kini melihat gadis itu menghadapnya, Wan Ceng melupakan semua kesalahfahaman antara keluarganya dan keluarga gadis itu. Iapun turun dari kursinya, membungkuk menghampiri Suma Hui dan merangkulnya.“Suma Hui, engkau adalah calon mantu kami yang baik....” Dan iapun menarik bangun gadis itu, menuntunnya dan mengajaknya duduk di kursi. Mereka semua duduk di kursi menghadap meja besar dan sikap Wan Ceng ini ternyata telah melenyapkan perasaan canggung, malu dan tidak enak dari hati Suma Hui. Ketika ditanya, Suma Ciang Bun dan Ganggananda memperkenalkan diri. Suami isteri perkasa itu merasa girang dan bersikap amat manis.
Diam-diam Gangga Dewi terharu sekali karena ia mengerti bahwa wanita yang rambutnya sudah bercampur uban itu, yang demikian cantik dan gagah perkasa, adalah bibinya sendiri! Nyonya itu adalah saudara seayah berlainan ibu dengan ayahnya. Akan tetapi, demi menjaga perjanjian rahasianya dengan Suma Hui untuk menolong Ciang Bun, ia diam saja dan hanya duduk sebagai penanton dan pendengar.
Dalam pertemuan kekeluargaan ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng terang-terangan menyatakan keinginan hati mereka kepada Suma Hui agar pernikahan antara Suma Hui dan Cin Liong dapat dilaksanakan dengan secepatnya.
“Saatnya sudah lebih dari matang.” antara lain pendekar berlengan satu itu berkata. “Hendaknya kalian berdua ingat bahwa aku dan ibumu sudah tidak muda lagi. Kukira demikian pula dengan ayah bunda Suma Hui, tentu seperti juga kami, mereka sudah ingin sekali menimang cucu. Itu alasan pertama. Ke dua, tahun ini Cin Liong sudah berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun dan kami kira Suma Hui juga bukan seorang gadis remaja lagi. Karena cintanya dan setianya kepadamu, Suma Hui, putera kami itu sampai kini sama sekali tidak mau mendekati wanita lain, tidak menikah, bahkan memiliki seorang selirpun tidak sehingga kawan-kawannya suka menggodanya dan mengatakan bahwa dia banci.”
Hanya Suma Hui, Ganggananda dan tentu saja Ciang Bun sendiri yang merasakan kata “banci” ini sebagai sindiran terhadap diri Ciang Bun.
“Akan tetapi.... saya.... saya telah bertekad untuk mencari dan membunuh musuh besar saya....”
“Kami semua juga mengerti akan perasaanmu itu, anak Hui.” kata Wan Ceng sambil menyentuh kepala gadis itu yang duduk di sebelahnya. “Menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam Louw Tek Ciang itu merupakan tugas setiap orang gagah, bukan? Tidak perduli urusan pribadi, akan tetapi perbuatannya itu cukup membuat kita semua memusuhinya. Akan tetapi, urusan dendam itu dapat dilakukan setelah menikah. Suamimu tentu akan membantumu, dan kami juga.”
“Jangan khawatir, Suma Hui,” sambung Kao Kok Cu, “Suamimu terikat tugas dan kiranya hanya mempunyai sedikit waktu untuk urusan pribadi. Akan tetapi, kalau kalian sudah menikah, aku sendiri yang akan turun tangan menyeret iblis itu ke depan kakimu!”
“Tapi.... iblis itu harus mampus di tangan saya sendiri!” Suma Hui berkata penuh geram.
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. “Baiklah, terserah kepadamu, akan tetapi kami sungguh mengharapkan engkau akan dapat mempertimbangkan dengan baik untuk segera menikah dengan tunanganmu.”
Suma Hui termenung. Ia memang merasa terharu dan kasihan kepada kekasihnya yang begitu setia dan mencintanya, padahal ia sudah bukan seorang perawan lagi. Jarang di dunia ini terdapat seorang pria seperti Cin Liong dan kalau sekarang ia menolak lagi, berarti dia yang keterlaluan dan tidak mengenal budi orang. Akhirnya ia menyetujui.
Bukan main girangnya hati Wan Ceng. Ia melompat dan merangkul calon mantunya, menciumnya dengan kedua mata basah. Keluarga itu lalu menahan Suma Hui, Ciang Bun dan juga Ganggananda yang dianggap sebagai tamu, untuk bermalam di gedung besar jenderal Kao Cin Liong dan utusan lalu dikirimkan ke Thian-cin untuk memberi kabar kepada keluarga Suma tentang akan dilangsungkannya pernikahan itu. Menurut usul keluarga Kao, pernikahan itu diadakan di kota raja dan di rumah keluarga Suma tidak diadakan pernikahan lagi karena Suma Hui pernah dinikahkan di situ dengan Louw Tek Ciang tiga tahun yang lalu. Untuk keperluan itu, keluarga Suma diundang untuk datang ke kota raja agar dapat bersama-sama merayakan pernikahan yang sudah lama ditunggu-tunggu itu.
Akan tetapi Ganggananda hanya tinggal di situ semalam saja. Malam itu, setelah berkesempatan bertemu dan bicara berdua saja dengan Suma Hui, gadis itu menganjurkan kepadanya agar segera mulai dengan usahanya menolong dan menyelamatkan Ciang Bun seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Rencana itu adalah pertama-tama meninggalkan Ciang Bun agar pemuda itu merasa kehilangan dan menderita rindu. Maka pada keesokan harinya, secara tiba-tiba saja Ganggananda berpamit dari keluarga Kao untuk melanjutkan perjalanannya. Karena hal itu ia lakukan pagi-pagi sekali, yang mengetahui kepergiannya hanyalah Suma Hui dan suami isteri Kao Kok Cu, sedangkan Cin Liong dan Ciang Bun masih berada di dalam kamarnya.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ciang Bun ketika dia keluar dari kamarnya, dia tidak mendapatkan lagi Ganggananda yang sudah pergi. Apalagi ketika dia mendengar dari encinya bahwa pemuda Bhutan itu memang benar-benar sudah pergi dari rumah itu.
“Ah, kenapa dia tidak pamit kepadaku? Kenapa dia pergi begitu saja....?” Ciang Bun mengeluh dengan muka berobah pucat, nampaknya dia terpukul sekali. Diam-diam Suma Hui merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ini merupakan siasatnya bersama Gangga Dewi untuk menolong Ciang Bun.
“Adikku, Gangga adalah seorang perantau yang hidup menyendiri. Kemudian dia menemukan engkau sebagai seorang sahabat yang amat baik. Ketika dia kita ajak ke sini dan melihat pertemuan antara kita dengan keluarga Kao, baru dia merasa bahwa dia adalah orang luar, maka dia merasa tidak enak dan tidak betah tinggal lebih lama di sini, merasa tidak berhak. Karena itulah maka sepagi ini dia pergi tanpa dapat kucegah.”
“Ahh.... kasihan Gangga. Kenapa begitu? Setidaknya dia dapat menunggu aku dan bicara denganku. Ke mana dia pergi, enci? Ke mana aku akan dapat mencarinya?”
“Ke mana lagi kalau tidak pulang ke negerinya?”
Seketika wajah pemuda itu berobah pucat. “Ke Bhutan? Ya Tuhan.... Gangga, engkau pergi begitu saja meninggalkan aku untuk selamanya? Enci, aku pergi, aku harus mengejarnya....”
Pemuda itu meloncat dan sebentar saja dia sudah berada di luar gedung itu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan encinya telah berdiri di depannya dengan pandang mata serius, “Adikku, engkau mau apa?”“Enci Hui, tidak tahukah engkau bahwa aku.... aku amat mencintanya? Aku akan mati kalau berpisah darinya, enci, sungguh.... aku.... aku....” Ciang Bun tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan kedua matanya sudah basah oleh air mata! Melihat adiknya menangis, Suma Hui merasa terharu sekali. Dipegangnya kedua tangan adiknya itu.
Pemuda yang sedang berlatih silat seorang diri dalam taman di samping rumah itu sungguh amat tampan dan gagah. Pagi itu matahari belum nampak walaupun sinarnya telah lama mengusir kabut dan menciptakan embun menjadi mutiara-mutiara yang bergantungan di ujung daun-daun dan kelopak-kelopak bunga. Rumah itu agak terpencil di sebuah dusun yang sunyi di Lembah Sungai Kuning. Pagi yang sunyi, segar dan sejuk.
Pemuda itu berusia antara delapan belas atau sembilan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya yang tampan itu berbentuk lonjong dengan dagu meruncing, mulutnya dan matanya membayangkan watak yang gemibira. Pada waktu itu, walaupun hawa udara cukup dingin, dia membuka baju dan hanya memakai celana sederhana saja. Akan tetapi yang amat menarik adalah gerakan-gerakannya dalam berlatih silat. Kedua kaki itu seolah-olah dua batang tiang baja yang kokoh kuat, tak tergoyahkan apapun ketika dia memasang kuda-kuda dan menggeser ke sana-sini. Akan tetapi tubuh atasnya demikian lincah dan ringan. Dan orang yang tidak mengerti akan menduga bahwa pemuda itu hanya sedang berlatih dalam taraf permulaan saja dari pelajaran ilmu silat karena ketika dia melakukan gerakan memukul atau menendang, gerakan itu nampak tanpa tenaga. Akan tetapi, tidak demikian anggapan orang yang sejak tadi menonton sambil bersembunyi. Ketika tadi dia memasuki dusun Hong-cun dan tiba di depan rumah itu, dia memasuki pekarangan. Akan tetapi karena masih nampak sunyi, dia mencari-cari dengan pandang matanya dan cepat dia menyelinap diantara pohon-pohon ketika melihat seorang pemuda sedang berlatih silat seorang diri lalu mengintai. Dari sinar matanya, jelas bahwa orang ini merasa kagum bukan main.
Pengintai itu menarik napas panjang dan mengumam seorang diri, “Hebat.... seorang pemuda yang hebat tak ubahnya Pendekar Siluman Kecil di waktu muda....” Kakinya bergerak sedikit dan tanpa disegaja kakinya menginjak daun-daun kering dan mematahkan sepotong ranting. Bunyi itu sebenarnya tidak berapa keras, akan tetapi cukup bagi Suma Ceng Liong untuk menghentikan latihan silatnya dan dia menghadap ke arah pohon itu.
“Saudara yang berada di belakang pohon, kalau ada keperluan keluar dan bicaralah, sebaliknya kalau tidak ada keperluan, harap suka pergi. Tidak ada gunanya bersembunyi dan mengintai.”
Ceng Liong mengira bahwa yang mengintai tentu seorang penghuni dusun Hong-cun. Sudah tiga tahun dia berada di dusun itu, di rumah orang tuanya dan menerima penggemblengan dengan keras dari kedua orang tuanya. Kini dia bukanlah Ceng Liong tiga tahun yang lalu, yang masih kekanak-kanakan. Kini dia seorang pemuda dewasa yang semakin mantap dan matang ilmunya.
Akan tetapi ketika orang yang mengintai itu muncul dari balik pohon, Ceng Liong terkejut dan kagum. Orang itu dengan langkah lebar menghampirinya dan kini mereka saling berhadapan, saling pandang dengan kagum. Ceng Liong memandang penuh selidik. Belum pernah dia melihat orang ini. Seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah bukan main. Pakaiannya dari kain kasar seperti yang biasa dipakai para pemburu. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Pria ini, dari kepala sampai ke kaki, sikap dan gerak-geriknya, semua membayangkan kegagahan yang amat mengagumkan hati Ceng Liong.
Ceng Liong dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang gagah yang tidak dikenalnya, maka diapun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan dan berkata, “Bolehkah saya bertanya? Siapa nama saudara yang gagah dan ada keperluan apakah mendatangi pondok kami?”
Pria itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih terpelihara rapi. “Aku melihat engkau berlatih dan merasa kagum sekali. Ingin aku berlatih bersamamu. Orang muda, layanilah aku barang sepuluh dua puluh jurus!” Berkata demikian, pria itu sudah menyerang maju dan mengirim pukulan ke arah dada Ceng Liong! Tentu saja pemuda ini cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi, pukulan yang tidak mengenai sasaran itu sudah disusul oleh serangkaian pukulan lagi yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.
“Plakk! Plakk!” Terpaksa Ceng Liong yang terdesak dan selalu mengelak ke belakang itu kini menggunakan lengannya untuk menangkis. Tangkisan yang dilakukan dengan mengerahan tenaga dan akibatnya keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan yang beradu dengan lengan lawan itu tergetar hebat! Ceng Liong kini membalas serangan dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru, saling serang dengan jurus-jurus pukulan yang aneh dan dahsyat. Keduanya menjadi semakin gembira ketika mendapat kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh. Karena dari cara orang itu menyerang Ceng Liong maklum bahwa orang itu memang hanya ingin mengujinya, maka diapun melayani orang itu dengan gembira dan diam-diam diapun mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk memenangkan pertandingan itu.
Ketika pertandingan yang seru itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh jurus, nampak bayangan dua orang berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Sian In sudah berdiri di tempat itu dan mereka menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan terheran-heran. Mereka tidak mengenal siapa adanya pria gagah perkasa berpakaian pemburu yang bertanding dengan putera mereka itu. Akan tetapi, melihat gerakan kedua orang itu, suami isteri sakti inipun maklum bahwa mereka itu tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, melainkan lebih tepat kalau dikatakan berlatih atau saling menguji ilmu masing-masing.
Tiba-tiba, pria gagah perkasa yang mukanya dihias kumis dan jenggot pendek itu meloncat ke belakang, lalu menghadapi suami isteri itu sambil menjura dengan sikap hormat dan muka tersenyum ramah.
“Aku berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah putera Pendekar Siluman Kecil!”
Suma Kian Bu dan isterinya cepat membalas penghormatan tamu itu. “Siapakah saudara yang gagah perkasa ini?” tanyanya, ditujukan kepada tamunya dan juga kepada puteranya. Ceng Liong tidak menjawab karena memang dia sendiri tidak mengenal orang itu. Akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha begitu banyakkah aku berubah? Suma-taihiap tidak mengenal aku, si pemburu miskin ini?”Suma Kian Bu memandang lebih teliti kepada pria berusia empat puluh tahunan itu, kemudian wajahnya nampak berseri, sepasang matanya mencorong dan diapun lalu berseru, “Aihhh.... kiranya saudara Sim Hong Bu! Ceng Liong, beri hormat kepada paman Sim Hong Bu ini! Dia adalah jagoan yang lihai sekali dari Lembah Gunung Naga Siluman, ha-ha-ha!” Kian Bu girang bukan main dan Ceng Liong lalu memberi hormat kepada orang yang tadi telah mengujinya.
Sim Hong Bu juga tertawa. “Suma-taihiap bersama isteri semakin gagah saja, dan telah memiliki seorang putera yang sedemikian hebatnya, sungguh Thian Maha Murah, menurunkan berkah melimpah kepada keluarga pendekar budiman!”
“Sudahlah, saudara Sim, buang semua pujian-pujianmu itu dan mari kita bicara di dalam, kami rasa kedatanganmu ini bukan sekedar kunjungan biasa.” kata Suma Kian Bu.
“Sesungguhnyalah, saya datang dengan sengaja karena hendak membicarakan hal yang amat penting.”
Dengan sikap gembira mereka berempat lalu memasuki pondok keluarga itu dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam, menghadapi hidangan dan minunan yang dikeluarkan oleh Teng Siang In. Setelah makan hidangan sekedarnya dan saling menceritakan keadaan masing-masing, Suma Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi lalu bertanya, “Nah, saudara Sim, sekarang keluarkanlah isi hatimu. Apa sebenarnya maksud yang terkandung di hatimu dan yang mendorongmu jauh-jauh datang mengunjungi kami?”
“Tidak begitu jauh, Suma-taihiap, karena sudah sejak kurang lebih tiga tahun aku meninggalkan Lembah Gunung Naga Siluman. Taihiap, apakah taihiap sekeluaga selama ini tidak mendengarkan sesuatu yang sedang bergejolak di dunia para pendekar?”
Suma Kian Bu saling pandang dengan isterinya dan puteranya, lalu menggeleng kepala. “Selama tiga tahun ini, kami bertiga tidak pernah meninggalkan rumah. Kami tidak tahu dan tidak mendengar apapun tentang dunia kang-ouw. Ada terjadi apakah, saudara Sim?”
“Taihiap, kami para patriot menganggap bahwa kini sudah terlalu lama kita membiarkan diri ditindas kaum penjajah, bahwa kini tiba masanya bagi kita untuk melakukan usaha meronta dan membebaskan diri daripada belenggu penjajahan!”
Suma Kian Bu dan Teng Siang In mendengarkan dengan alis berkerut. Itu berarti pemberontakan! “Tapi.... tapi....” keduanya menggagap.
Sim Hong Bu bersikap serius. “Harap ji-wi jangan terkejut. Apa anehnya kalau kini para patriot bangkit? Hendaknya ji-wi tidak lupa bahwa negara dan bangsa kita telah dikuasai penjajah asing selama kurang lebih seratus tahun lamanya! Masih kurang lamakah itu? Kekayaan tanah air dikeruk bangsa lain. Semua kedudukan tinggi di pegang oleh tangan asing. Lihat ini....!” Sim Hong Bu menggerakkan kepalanya dan kuncirnya yang tebal itu terlepas dari gelungnya. “Kita harus berkuncir seperti ekor anjing! Kita dihina, ditindas, diperas. Bangsa Han yang besar kini telah menjadi bangsa penjajahan yang diperbudak oleh segelintir orang-orang Mancu. Kalau kita tidak bersatu, tidak serempak bergerak melawan penjajahan, apakah kita akan membiarkan anak cucu kita selamanya menjadi bangsa budak?”
Pria yang gagah perkasa itu bicara dengan sikap gagah, dengan sepasang mata mencorong seperti berapi- api. Agaknya semangat kepatriotannya itu membakar pula dada Suma Kian Bu dan Teng Siang In. Kedua orang suami isteri ini beberapa kali saling pandang dan wajah mereka berubah merah, mata mereka bersinar-sinar dan bersemangat. Teng Siang In mulai mengangguk-angguk mendengarkan ucapan tamunya yang penuh semangat itu.
“Memang, sesungguhnya kamipun tidak buta terhadap itu semua, saudara Sim. Sejak kecil aku sudah melihat akan semua itu, sejak aku mengerti bahwa Bangsa Han dijajah oleh orang-orang Mancu. Akan tetapi.... karena kita tidak berdaya....”
“Tentu saja tidak berdaya kalau kitadiam saja!” Sim Hong Bu memotong ucapan pendekar yang selalu dikaguminya itu. “Di tangan kita sendirilah terletak nasib bangsa kita. Kita diamkan saja berarti anak cucu kita akan terus menjadi budak-budak hina. Dan apa artinya kita menyebut diri sebagai orang-orang gagah kalau kita membiarkan malapetaka ini terjadi? Apakah kita tidak akan malu terhadap leluhur kita? Terhadap tanah air kita?”
“Engkau betul!” Teng Siang In berseru, tak tahan lagi. “Kita memang harus bergerak!”
Suma Kian Bu mengangguk-angguk. “Biarpun nampaknya mustahil, akan tetapi, kalau kita mau bersatu, mengumpulkan dan menyusun kekuatan, agaknya bukan tidak mungkin pada suatu hari kita melihat negara dipimpin oleh bangsa sendiri. Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan. “Dan kedatanganmu ini, selain bicara tentang itu, mengandung tugas apa lagi, saudara Sim?”
“Harap taihiap ketahui bahwa selama beberapa bulan ini, secara rahasia para pendekar yang berjiwa patriot telah mulai mengadakan hubungan, di mana-mana diadakan pertemuan rahasia dan akhirnya dicapai kesepakatan untuk bekerja sendiri-sendiri lebih dahulu, menyebarluaskan niat rahasia untuk mengusir penjajah. Mengumpulkan teman-teman sehaluan, menyusun kekuatan dau kelak akan diadakan pertemuan besar di antara para tokoh besar dunia kang-ouw. Dalam pertemuan itulah akan dibahas lebih terperinci lagi apa yang harus kita lakukan. Nah, dalam tugas menyebarluaskan dan mencari teman sehaluan inilah aku teringat kepada taihiap dan datang ke sini.”
“Bagus! Kami setuju sekali dan kami siap untuk membantu!” kata Suma Kian Bu dengan nada suara gembira dan penuh semangat. Wajah pendekar ini berseri-seri dan sepasang matanya semakin mencorong dan bersinar.
“Ah, sudah kuduga bahwa Pendekar Siluman Kecil sekeluarganya yang gagah perkasa tentu akan mendukung. Perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah ini membutuhkan persatuan tenaga semua pendekar, terutama sekali tenaga-tenaga muda seperti putera Suma-taihiap ini.” Sim Hong Bu memandang kepada Ceng Liong yang sejak tadi nampak diam dan menundukkan mukanya saja itu. Sepasang alis pemuda itu kini berkerut dan dia tidak nampak segembira ayah ibunya.
“Tentu saja Ceng Liong akan menjadi seorang patriot dan membantu perjuangan para pendekar. Bukankah begitu, anakku?” kata Teng Siang In dengan bangga.
Bersambung ke buku 13