Tanah Warisan -buku 4 | SH Mintardja

Buku 4

kelak, kau akan membawa Panembahan Sekar Jagat untuk membunuhku. Tetapi itu adalah akibat yang wajar. Dan aku masih tetap ingin menunjukkan sesuatu kepada Panembahan Sekar Jagat.”
“Aku ingin tahu, apakah yang akan kau tunjukkan?”

Ki Tambi berpikir sejenak. Kemudian diambilnya lencana yang selalu disimpannya di dalam kantong ikat pinggang kulitnya.

Orang yang terbaring ditanah itu terbelalak melihat lencana yang diperlihatkan oleh Ki Tambi. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kau termasuk salah seorang dari Panggiring itu?”

“He,” Ki Tambi pun terkejut. “Kau sudah mengetahui arti lencana semacam ini?”

“Aku pernah melihatnya. Seseorang telah menyerahkan lencana itu kepada Panembahan Sekar Jagat,” orang itu berhenti sejenak. Tiba-tiba sakit di punggungnya menggigitnya lagi. Sejenak ia menyeringai sambil mengeluh, “Aduh punggungku.”

Tambi mengerutkan keningnya. Katanya, “Marilah naik ke kuda itu. Aku bawa kau ke Candi Sari.”
“Aku tidak dapat bangkit, apalagi naik kuda.”

Tambi berpikir sejenak, kemudian katanya, “Marilah naik bersama aku. Kau ceriterakan seterusnya tentang lencana yang sudah kau ketahui itu.”

Orang itu tidak menjawab. Namun ketika Ki Tambi mencoba menolongnya ia mengeluh pendek, “Sakit sekali.”

“Tetapi itu lebih dari pada kau mati di pinggir jalan ini seperti kawanmu itu,” sahut Ki Tambi. “Aku terpaksa minta maaf kepadamu, bahwa aku tidak dapat mengurus mayat kawanmu. Aku tidak mempunyai waktu. Kalau kau sudah sampai ke Kademangan, mungkin aku akan kembali kemari bersama satu dua orang untuk menguburnya.”

Orang itu tidak menyahut. Ditahannya perasaan yang biasa ketika Tambi mengangkatnya, dan meletakkannya di atas punggung kudanya, sehingga kemudian kuda itu dinaikinya bersama.
“Untunglah, kudaku adalah kuda yang luar biasa. Tetapi kasihan juga. Agaknya kita berdua terlampau berat baginya.”

Meskipun demikian kuda itu berlari juga menunju Kademangan Candi Sari.

Namun setiap kali orang yang terluka itu selalu menyeringai menahan sakit. Setiap goncangan karena langkah kudanya, orang itu mengeluh pendek. Tetapi di tahannya, untuk tidak berteriak lebih keras.

“Aku masih tetap ingin mendengar keteranganmu, tentang lencana itu,” Ki Tambi bertanya, “Apakah kau mengetahui artinya?”

Orang itu berdesis. Terputus-putus ia menjawab. “Ya. Seseorang telah datang kepada Panembahan Sekar Jagat dengan membawa lencana itu.”

“Apa maksudnya?”

“Untuk memperkenalkan lencana itu kepada Panembahan Sekar Jagat, bahwa lencana itu adalah pertanda dari segerombolan orang-orang yang berada di bawah pengaruh atau perlindungan seseorang yang bernama Panggiring.”

“Kau tahu siapa Panggiring itu?”

Orang itu menggeleng. “Aku tidak tahu. Tetapi menurut pendengaranku, Panggiring adalah seorang yang berasal dari Candi Sari.”

“Apakah maksud orang itu hanya sekadar memperkenalkan diri? Dan apakah orang yang datang itu sendiri yang bernama Panggiring?”

“Bukan, bukan Panggiring. Dan orang itu membawa pesan, bahwa sebaiknya Panembahan Sekar Jagat melepaskan kebiasaannya untuk memeras orang-orang Candi Sari.”

Dada Ki Tambi menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga, ternyata Panggiring masih tetap dipengaruhi oleh kecintaannya kepada kampung halaman. Namun sesaat Ki Tambi termenung. Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya. Panggiring sendirilah yang akan memeras Kademangan ini sampai kering.

Tiba-tiba Ki Tambi teringat kepada orang yang menyingkir pada saat ia datang ke tempat orang-orang Sekar Jagat itu terbaring. Orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar, utusan Resi Panji Sekar dari Pliridan untuk mengambil alih daerah Candi Sari dari tangan Panembahan Sekar Jagat.

“Apakah ada hubungan antara Putut Sabuk Tampar dengan pesan Panggiring untuk Sekar Jagat,” pertanyaan itu tumbuh di dalam dadanya. “Hubungan yang terjalin antara kakak dan adik untuk tujuan itu, meskipun mereka tampaknya berbeda bentuk?"

Tetapi Ki Tambi itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak berani mengambil kesimpulan. Semuanya seperti tersaput kabut yang hitam baginya. Gelap. Apalagi kesan yang didapatnya tentang adik Panggiring yang agaknya tidak begitu suka kepada kakaknya itu.

Dan tanpa sesadarnya Ki Tambi itu bertanya, “Bagaimanakah tanggapan Panembahan Sekar Jagat atas pesan Panggiring itu?”

“Panembahan Sekar Jagat menjadi sangat marah. Utusan Panggiring itu diusirnya. Pesan yang harus disampaikan kepada Panggiring adalah, bahwa Panembahan Sekar Jagat tidak akan meninggalkan daerah kuasanya, seperti Panembahan Sekar Jagat marah ketika ia mendengar Wanda Geni tentang seorang yang menyebut dirinya Putut Sambuk Tampar yang mengaku dirinya utusan Resi Panji Sekar.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara kuda mereka berlari terus meskipun tidak begitu cepat, menunju ke Kademangan Candi Sari.

“Kapan hal itu terjadi?” bertanya Ki Tambi kemudian.

“Kira-kira lebih dari dua bulan yang lampau. Ternyata Panggiring juga tidak berbuat apa-apa untuk seterusnya. Bahkan tidak berani memenuhi tantangan Panembahan Panji Sekar untuk saling bertemu.

Ki Tambi mengerutkan keningnya, “Mustahil,” ia berkata di dalam hatinya. “Mustahil kalau Panggiring tidak berani memenuhi tantangan Panembahan Sekar Jagat.” Tetapi Ki Tambi tidak bertanya lagi. Selanjutnya yang terdengar selain derap kaki kuda adalah desah orang yang terluka di punggung kuda Ki Tambi itu.

Ketika mereka telah semakin dekat dengan Kademangan, Ki Tambi terkejut, karena mereka berpapasan dengan seekor kuda tanpa penunggang. Apalagi ketika dengan serta merta orang yang terluka itu berkata, “Itu kudaku, kudaku yang direbut oleh Putut Sabuk Tampar.”

Ki Tambi menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak memberikan kesan getar di dalam dadanya. Bahkan ia bertanya, “Kenapa kuda itu dapat sampai ditempat ini?”

“Entahlah. Mungkin Putut Sabuk Tampar melepaskannya.”

Tambi tidak menjawab lagi. Tetapi ia ingin melihat, apakah dugaannya tentang Putut Sabuk Tampar itu benar. Sepintas ia telah melihat orangnya. Dan orang itu dari kejauhan memberikan kesan, bahwa ia memang pernah melihatnya.

Demikianlah ketika kuda itu lewat disebelah rumah Bramanti, Ki Tambi menarik kekangnya sehingga kuda itu berhenti.

“Jangan mencoba lari kalau kau tidak ingin mati di jalan,” desis Ki Tambi. “Kudaku adalah kuda yang baik. Ia akan tetap diam ditempatnya kalau kau tidak mengejutkannya.”

Ki Tambi pun kemudian meloncat turun. Tergesa-gesa ia masuk ke halaman rumah Bramanti. Tetapi alangkah terkejutnya orang itu ketika ia melihat Bramanti duduk dengan asyiknya sambil menganyam keranjang dibawah pohon sawo.

Bramanti segera berdiri ketika ia melihat Ki Tambi datang. Dan dengan tergesa-gesa menyongsongnya sambil bertanya, “Darimana paman? Agaknya paman baru saja menempuh perjalanan berkuda.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera menjawab pertanyaan Bramanti, namun ia justru bertanya, “Darimana kau Bramanti?”

“Aku tidak pergi kemana pun paman. Aku sedang menganyam keranjang.”

“Sejak Wanda Geni masuk ke Kademangan ini.”

“O, ketika itu aku bersembunyi dibalik perigi dibelakang rumah.”

“Hanya di belakang rumah?”

“Tidak paman. Aku kemudian merasa tidak aman. Aku pun kemudian pergi ke sungai.”

“Sendiri?”

“Ya, sendiri. Sebenarnya aku akan pergi bersama Panjang, tetapi aku terlalu tergesa-gesa, sehingga aku meninggalkan Panjang justru di dalam halaman ini. Setelah orang-orang Wanda Geni pergi, Panjang yang kemudian pergi ke bendungan singgah pula kemari. Tetapi sayang, aku tidak bertemu, karena aku masih ada di sungai. Kini ia pergi ke Kademangan. Ia tidak mempunyai waktu untuk menunggu aku di rumah ini.”

Ki Tambi memandang Bramanti dengan tatapan mata yang aneh. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Ibumu dimana?”

“Di dalam paman. Ibu sedang ada di dapur.”

Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak.

“Kenapa paman memandang aku demikian?” bertanya Bramanti kemudian, “Apakah ada sesuatu yang aneh?”

Tiba-tiba dada Ki Tambi berdesir. Seperti hendak menerkam lawannya ia meloncat menyambar tangan Bramanti. Tetapi Bramanti sama sekali tidak berbuat apapun juga. Dibiarkannya tangannya dicengkam oleh Ki Tambi dan diangkatnya tinggi.

“Kenapa dengan tanganku paman?”

Ki Tambi itu pun kemudian tersenyum. Seolah-olah ia telah menemukan apa yang selama ini dicarinya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku Bramanti. Ternyata kau kurang teliti membersihkan dirimu. Lihat, noda ini masih melekat dibadanmu. Tetapi itu tidak seberapa jelas. Meskipun kau telah berganti baju, tetapi ikat pinggangmu masih juga dinodai percikan darah. Bukankah kau baru saja berkelahi.”

“Berkelahi,” wajab Bramanti menjadi berkerut-kerut.

“Aku bukan anak-anak lagi. Katakan, noda apakah yang mengotori ikat pinggangmu ini?”

“Pagi tadi aku menyembelih ayam paman. Ayam kami cukup banyak. Sekali-kali ibu ingin juga lauk yang agak lain dari biasanya. Daun so, keluwih, jamur barat dan telur ayam.”

Tetapi Ki Tambi seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu. Di angguk-anggukannya kepalanya sambil berkata, “Aku memang sudah menduga Bramanti. Anak Pruwita tidak akan menjadi seorang anak yang cengeng. Anak seekor garuda akan menjadi garuda pula.”

“Aku tidak mengerti paman. Kalau paman tidak percaya bertanyalah kepada ibu.”

“Aku percaya Bramanti. Tetapi aku juga percaya bahwa kau telah tumbuh menjadi seekor garuda yang lurus. Dan bukankah kau telah bertekad untuk mencuci nama keluargamu dengan perbuatan baik? Dan agaknya kau telah mulai melakukannya.”

“Aku tidak mengerti paman.”

“Baiklah, kalau kau tidak mengerti, marilah. Aku mempunyai oleh-oleh buatmu.”

Sorot mata Bramanti dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan. Tetapi ia mengikut Ki Tambi melangkah keluar regol.

Namun tiba-tiba langkah Bramanti terhenti. Ia berdiri tegak sesaat ketika ia melihat seseorang di atas punggung kuda. Seorang yang sudah menjadi sedemikian lemahnya.

Ketika melihat Bramanti orang itu terkejut sejenak. Diangkatnya tangannya, menunjuk ke arah anak muda itu. Namun kemudian tangan itu terkulai, dan bibirnya terkatup sebelum ia sempat mengatakan sesuatu. Pingsan.

Hampir saja orang itu terjatuh dari punggung kuda seandainya Ki Tambi tidak cepat meloncat dan menahannya.

“Ia pingsan. Ia telah menderita kesakitan yang luar biasa pada punggungnya yang barangkali patah, ketika ia terpelanting dari atas kudanya. Kuda yang kemudian dipakai oleh orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Anehnya kuda itu aku temui disebelah padukuhan ini.
Bramanti tidak menyahut. Tetapi ia berdiri tegak di tempatnya.

“Sebelum pingsan orang itu telah menunjukkan kepadaku, siapakah lawannya yang telah menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar”

Bramanti masih tetap berdiam diri.

“Aku minta diri Bramanti. Aku akan membawa orang ini ke Kademangan. Biarlah ia mendapat perawatan. Sebaiknya orang ini tetap hidup. Aku ingin banyak mendengar tentang Panembahan Sekar Jagat.”

“Tetapi ia akan dilepaskan juga seperti yang pernah terjadi,” jawab Bramanti dengan nada yang berat.

“Aku akan berusaha mencegahnya,” Ki Tambi pun kemudian meloncat ke punggung kuda. Katanya pula sebelum kudanya meninggalkan regol, Sebentar lagi aku akan datang ke mari. Aku akan mengajakmu mengubur mayat yang masih terbaring di tempat perkelahian itu terjadi.?”
Ki Tambi tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum saja. Sambil mendorong kudanya maju dan melambaikan tangannya.

Sejenak kemudian kuda itu telah berlari meninggalkan Bramanti yang masih berdiri termangu-mangu di depan regol halamannya. Sesaat ia merenungi debu yang tipis yang terlontar dari bawah kaki kuda Ki tambi. Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesah, namun tidak sepatah kata pun yang diucapkannya. Namun demikian, betapa jantungnya serasa berdentangan. Ia merasa bahwa permainannya sudah benar-benar hampir berakhir.

“Apa boleh buat,” desisnya kemudian sambil melangkah masuk ke dalam halaman rumahnya.
Bramanti berpaling ketika ia mendengar ibunya memanggilnya dan bertanya, “Siapakah yang baru saja singgah kemari Bramanti?”

“Paman Tambi, bu,” jawab Bramanti.

“Kenapa tidak kau persilakan naik?”

“Paman Tambi hanya singgah saja sebentar. Aku sudah mempersilakan, tetapi paman Tambi tidak bersedia.”

Ibunya tidak bertanya lagi. Perempuan tua itu pun kemudian hilang di balik pintu.
Dengan langkah satu-satu Bramanti pergi ke pekerjaannya kembali. Perlahan-lahan diletakkan dirinya duduk di bawah pohon sawo. Dipaksanya tangannya untuk meraih anyaman keranjangnya yang masih belum selesai. Tetapi ternyata Bramanti tidak dapat memusatkan perhatiannya kepada pekerjaannya. Beberapa kali ia terpaksa melepas anyaman itu kembali karena ia sudah menyusupkan rautan bambu, sehingga menjadi ganda.

Sementara itu Ki Tambi langsung menunju ke Kademangan sambil membawa orang yang sedang pingsan itu. Agaknya kedatangannya telah mengejutkan beberapa orang yang sedang berada di halaman Kademangan. Beberapa orang tua-tua dan beberapa lagi para anggota pengawal dari golongan anak-anak muda.

“Siapakah orang itu?” bertanya Temunggul ketika Ki Tambi menyusup regol Kademangan.
“Salah seorang dari utusan Panembahan Sekar Jagat.”

“Kenapa?” hampir berbarengan setiap orang yang mendengar jawaban Ki Tambi itu bertanya.
Tetapi Tambi tidak segera menjawab. Dibawanya orang itu ke pendapa. Dan diangkatnya ia naik.
Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu Kademangan yang lain segera mengerumuninya. Juga para anggota pengawal dari segala golongan.

“Orang ini pingsan. Mungkin punggungnya patah.”

“Ia perlu mendapat pengobatan,” desis Ki Demang dengan serta merta.

“Ya. Aku mengharap ia tetap hidup.”

“Bawa ia masuk,” perintah Ki Demang. “Panggil dukun tua agar ia sempat menolongnya.”

Tubuh yang diam itu pun kemudian diangkat masuk ke pringgitan, sementara orang lain memanggil seseorang yang harus mengobatinya.

Ki Tambi pun kemudian duduk di antara orang-orang Candi Sari yang gelisah, termasuk Ki Demang, Ki Jagabaya, Temunggul dan yang lain-lainnya.

“Kenapa dengan orang itu?” bertanya Ki Demang, “Apakah kau telah melakukannya?”

Ki Tambi menggelengkan kepalanya, “Tidak Ki Demang. Bukan aku, meskipun aku ingin melakukannya. Tetapi agaknya aku tidak akan mampu melawan Wanda Geni bersama tiga orang kawan-kawannya itu.”

“Tetapi peristiwa ini dapat menjadi ancaman bagi ketentraman Kademangan kita. Aku sudah berjanji, bahwa tidak akan ada perlawanan apapun di Kademangan ini, seperti juga mereka berjanji tidak akan mengganggu gadis-gadis kita lagi.”

“Tetapi orang itu akan dapat berbicara dan mengatakan apa yang telah terjadi atasnya,” jawab Tambi.

Ki Demang mengerutkan keningnya. Dipandanginya Tambi sejenak. Kemudian ia bertanya pula. “Apa yang telah terjadi atasnya?”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Putut Sabuk Tampar.”

“He?” wajah Ki Demang menjadi tegang. “Orang itu telah muncul lagi. Ia akan dapat mengeruhkan hubungan antara Kademangan Candi Sari dan Panembahan Sekar Jagat. Selama ini tingkah laku Panembahan Sekar Jagat masih dapat dibatasi. Tetapi kalau kemudian karena kemarahannya, perbuatannya tidak dapat dikendalikan lagi, maka Kademangan ini akan menjadi abu.”

“Tetapi.....” Ki Tambi menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Ki Jagabaya. Dilihatnya wajah itu menjadi tegang pula.

“Ki Demang,” berkata Ki Tambi kemudian, “Apakah kita untuk seterusnya akan tetap dalam keadaan seperti ini? Apakah pada suatu ketika Kademangan ini akan kita biarkan menjadi kering sama sekali diperas oleh Panembahan Sekar Jagat.”

“Tentu tidak Ki Tambi,” jawab Ki Demang. Tetapi apa yang dapat kita lakukan?”

“Kita belum pernah berbuat apa-apa,” tiba-tiba Ki Jagabaya menyahut. “Memang barangkali lebih baik sekali-kali kita mencoba.”

“Itu terlampau bodoh,” berkata Ki Demang kemudian. “Kita jangan mencoba-coba terhadap Panembahan Sekar Jagat. Taruhannya pasti akan terlampau mahal. Mungkin kita dapat mengikhlaskan semua harta benda yang ada di Kademangan ini. Tetapi tentu tidak dengan gadis-gadis kita, seperti yang baru saja terjadi. Untunglah bahwa persoalan itu telah dapat kita selesaikan dengan persetujuan itu. Karena itu, kita jangan mencoba mendahului melanggar pembicaraan yang telah saling kita setujui.”

“Bukan kita yang melakukannya Ki Demang. Juga yang membebaskan Ratri saat itu bukan salah seorang dari antara kita. Tetapi yang melakukannya adalah orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Itu kali ini juga.”

“Apa yang telah dilakukannya?”

“Berkelahi,” jawab Tambi. Kemudian diceriterakannya apa yang dilihatnya. Perkelahian yang sudah hampir selesai dan yang ditemuinya tinggallah sebuah mayat dan orang yang terluka itu.
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Apakah kau sempat bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.”

“Tidak,” Ki Tambi menggeleng, dan sejenak kemudian dengan ragu-ragu berkata, “Tetapi, bagaimana kalau orang yang menamakan diri Putut Sabuk Tampar, utusan Resi Panji Sekar itu bersedia bekerja sama dengan kita?”

“Apakah yang akan dilakukannya?” wajah Ki Demang tiba-tiba menjadi tegang.

“Seandainya,” jawab Tambi. “Seandainya, Putut Sabuk Tampar bersedia bekerja bersama kita dan para pengawal Kademangan ini untuk melawan Panembahan Sekar Jagat.”

“O, itu terlalu bodoh lagi,” sahut Ki Demang. “Kita berusaha melepaskan diri dari mulut buaya, tetapi kita akan jatuh ke dalam mulut harimau. Dan siapakah yang dapat menjamin bahwa Putut Sabuk Tampar itu akan berlaku jujur.”

Ki Tambi tidak menyahut. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Namun kemudian ia berpaling kepada Temunggul dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu?”

Temunggul mengerutkan dahinya. Sejenak ia berpikir dan sejenak kemudian ia menjawab, “Bagiku sendiri Ki Tambi, mati bukannya sesuatu yang harus ditakuti. Seandainya kita harus berkelahi mati-matian melawan Panembahan Sekar Jagat sekalipun aku tidak akan gentar. Tetapi bagaimana nasib Kademangan ini setelah kita semua mati? Bagaimanakah nasib gadis-gadis kita?”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia sadar, bahwa Kademangan ini memang belum masak untuk bangkit melawan Panembahan Sekar Jagat saat ini. Apabila demikian, memang satu-satunya yang paling baik adalah diam. Diam lebih dahulu daripada berbuat tanpa pertimbangan yang cukup masak. Dengan demikian, maka Kademangan ini akan benar-benar menjadi binasa karenanya.

Karena itu maka Ki Tambi pun kemudian terdiam. Ia duduk saja sambil merenungi dedaunan yang digoyang-goyangkan angin ke arah manapun tanpa dapat memberikan pilihan.

PANJANG yang ada juga di pendapa itu mendengarkan semua pembicaraan dengan dada berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia telah menghubungkan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu dengan kepergian Bramanti.

“Sikap Bramanti selalu menggangguku. Kenapa tiba-tiba saja ia pergi meninggalkan aku di rumahnya?” pertanyaan itu telah menyentuh hati Panjang. Tetapi ia menyimpannya saja di dalam hatinya. Pada suatu ketika ia ingin dapat membuktikan hubungan antara orang yang menamakan dirinya Putut Sabuk Tampar itu dengan Bramanti.

Pendapa itu pun sesaat disambar oleh kesenyapan. Masing-masing membiarkan angan-angannya membubung setinggi awan yang berarak dilangit yang biru.

Ki Tambilah yang mula-mula sekali bergeser sambil berkata, “Baiklah aku akan pulang dahulu. Terserahlah orang yang terluka itu. Sebenarnya aku ingin memanfaatkannya untuk menemukan tempat orang yang menamakan dirinya Panembahan Sekar Jagat. Tetapi apabila Kademangan ini masih saja lelap di dalam mimpinya, maka aku kira usaha itu tidak akan banyak manfaatnya. Maka aku kira, memang lebih baik biarkan keadaan seperti ini untuk sementara.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Sehingga Ki Tambi pun kemudian berdiri perlahan-lahan sambil berkata pula, “Aku akan pulang. Tetapi aku masih harus menyelesaikan satu pekerjaan lagi. Mengubur mayat yang aku temui bersama orang yang luka itu.”

Sejenak Ki Demang termenung. Kemudian katanya, “Baiklah kau membawa beberapa orang teman Ki Tambi.”

Ki Tambi menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu Ki Demang. Aku akan pergi sendiri.”
Sebelum Ki Demang menjawab, Ki Tambi talah melangkah meninggalkan pertemuan itu. Tetapi ia tertegun ketika seseorang berdiri pula dari antara para pengawal dan berkata, “Aku ikut paman.”
Ki Tambi termenung sejenak. Ditatapnya wajah anak muda itu. Dilihatnya sorot matanya memancarkan berbagai macam persoalan di dalam dirinya, sehingga Tambi pun kemudian mengaanggukkan kepalanya, sambil berkata, “Baiklah Panjang. Tetapi tidak lebih dari kau seorang diri.

Panjang tersenyum. Katanya, “Terima kasih paman.” Lalu kepada Temunggul ia minta ijin untuk pergi, “Setelah semuanya selesai, aku akan kembali kemari Temunggul. Sekarang aku minta ijin untuk mengikuti paman Tambi.”

Temunggul tidak segera menyahut. Dan karena ia masih tetap diam, maka Ki Tambilah yang berkata, “Aku pinjam anak buahmu yang seorang ini Temunggul.”

Temunggul terpaksa menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Silakan paman.”

Panjang pun kemudian mengikuti Ki Tambi melintasi halaman. Tetapi kemudian Ki Tambi bertanya, “Apakah kau mempunyai seekor kuda?”

“Ada paman. Tetapi di rumah.”

“Marilah kita ambil bersama-sama.”

“Tetapi aku berjalan kaki sampai ke rumah.”

Ki Tambi tidak menjawab. Dituntunnya kudanya sampai ke luar regol halaman. Kemudian katanya, “Kita naiki berdua sampai ke rumahmu.”

Panjang ragu-ragu sejenak. Dipandanginya kuda Ki Tambi yang tidak terlampau besar itu.
Ki Tambi yang melihat Panjang menjadi ragu-ragu berkata, “Naiklah. Kudaku adalah kuda yang luar biasa, meskipun bentuknya agak kecil.”

Panjang pun kemudian meloncat naik betapa ia tetap ragu-ragu disusul oleh Tambi sendiri. Keduanya kemudian berkuda bersama-sama ke rumah Panjang.

Sejenak kemudian Panjang menyiapkan kudanya. Ketika kuda itu telah siap, Ki tambi berbisik, “Aku memerlukan seekor kuda lagi Panjang.”

“Untuk apa paman?” bertanya Panjang.

“Aku ingin membawa seseorang bersama dengan kita pergi ke batas Kademangan itu.”

“Siapa?”

Ki Tambi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun bukankah Panjang akhirnya akan mengetahuinya juga? Karena itu, maka akhirnya Ki Tambi pun berkata, berterus terang, “Bramanti. Aku akan mengajaknya.”

Mendengar jawaban itu dada Panjang berdesir. Dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa Bramanti?”

“Tidak apa-apa. Kebetulan orang yang pertama aku menemui ketika aku membawa orang yang terluka itu adalah Bramanti. Karena itu maka aku telah mengajaknya untuk pergi, menguburkan mayat itu.”

Panjang tidak menyahut. Tetapi ia mencoba mencari dan menghubung-hubungkan semua persoalan yang ditemuinya.

Sejenak kemudian ia menjawab, “Akan aku coba, meminjam kuda tetangga sebelah paman. Kuda itu pun cukup baik.”

“Cobalah, asal tidak menyusahkannya.”

Panjang pun kemudian pergi ke rumah tetangganya. Sejenak kemudian ia pun telah kembali sambil menuntun seekor kuda.

“Bagus, kau mendapat seekor kuda yang baik.”

Keduanya kemudian pergi bersama-sama ke rumah Bramanti sambil menuntun seekor kuda.
“Bagaimana kalau Bramanti tidak dapat naik atau setidak-tidaknya belum pernah naik seekor kuda?” bertanya Panjang.

Ki Tambi tersenyum, “Marilah kita coba.”

Panjang pun tersenyum pula. Namun sejenak kemudian dahinya pun menjadi berkerut-kerut. Sebenarnya yang mendorong untuk ikut serta Ki Tambi adalah keinginannya untuk menanyakan, apakah Ki Tambi sempat bertemu muka dengan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar atau setidak-tidaknya mengenal wajahnya. Tetapi ia masih belum dapat menyatakannya.

“Panjang,” berkata Ki Tambi. “Apakah kau berada di halaman rumah Bramanti ketika Wanda Geni memasuki Kademangan ini?”

“Ya paman,” dan tiba-tiba saja Panjang mencoba untuk menemukan jalan. “Darimana paman tahu?”

“Dari Bramanti sendiri.”

“Tetapi dimanakah Bramanti selama itu, apakah paman mengetahuinya?”

“Tidak. Aku hanya mendengar pengakuannya saja, bahwa ia telah pergi ke sungai.”

“Apakah benar Bramanti pergi ke sungai.”

“Aku tidak mengerti.”

Panjang menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan-pertanyaan mengenai Bramanti dan Putut Sabuk Tampar telah tertimbun di dalam dadanya sehingga akhirnya terloncat juga pertanyaan itu, “Paman, apakah paman dapat mengenal Putut Sabuk Tampar?”

Pertanyaan itu telah mengejutkan Tambi, sehingga ia pun bertanya. “Kenapa?”

“Aku hanya ingin membayangkan, kira-kira bentuk dan tubuh Putut Sabuk Tampar.”

Tambi terdiam sejenak. Ditatapnya saja wajah Panjang yang menjadi dalam.
Karena Ki Tambi tidak segera menjawab, maka Panjang pun meneruskannya. “Pertanyaan itulah agaknya yang telah membawa aku mengikuti paman.”

“Kenapa kau bertanya tentang Putut Sabuk Tampar itu Panjang? Apakah kau mengenalnya”

“Tidak.Tidak paman. Aku hanya sekadar ingin tahu saja.”

Tetapi Ki Tambi menggelengkan kepalanya, “Sayang. Aku tidak dapat mengenalinya.”

“Mengira-irakannya?” desak Panjang.

“Juga tidak. Aku sama sekali tidak dapat melihat wajahnya. Jarak kami masih terlampau jauh saat itu.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Sedang Ki Tambi pun untuk sesaat berdiam diri. Namun berbagai pertanyaan telah bergelut di dalam dadanya.
“Pertanyaan Panjang sangat menarik perhatian,” gumam Ki Tambi di dalam hatinya.”Apakah Panjang berusaha untuk menghubungkan seseorang dengan Putut Sabuk Tampar?” Ki Tambi mengangguk-angguk kecil diluar sadarnya. “Aku bersedia membawa Panjang karena Bramanti menyebut-nyebut namanya ketika Wanda Geni berada di Kademangan ini. Tetapi dimanakah Bramanti saat itu? Agaknya ia telah meninggalkan Panjang dengan diam-diam.”
Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia telah menemukan hubungan antara Putut Sabuk Tampar dan pertanyaan Panjang. Panjang yang ditinggalkan oleh Bramanti di halaman rumahnya, agaknya sedang mencoba mencari hubungan itu.

Sejenak kemudian mereka pun telah sampai di muka regol rumah Bramanti. Ternyata Bramanti masih duduk di bawah pohon sawo, meskipun kini ia sudah tidak menganyam keranjang. Tetapi ia duduk bersandar sambil memandangi awan yang lewat selembar-selembar di atas kepalanya.
Bramanti terkejut ketika ada beberapa ekor kuda berhenti di depan regol halaman. Segera ia meloncat berdiri dan menyongsongnya.

“Ah,” desisnya. “Kalian membuat aku terkejut dan ketakutan.”

Tetapi Bramanti menjadi heran, melihat Ki Tambi tersenyum aneh kepadanya, “Kenapa kau tidak bersembunyi lagi Bramanti?” bertanya Ki Tambi.

“Aku menunggumu sampai tulang punggungku hampir patah,” berkata Panjang.

“Maaf. Aku terlampau tergesa-gesa. Aku menyangka bahwa Wanda Geni tiba-tiba saja datang memasuki halaman rumah ini, sehingga aku segera lari dan bersembunyi di sungai.”

“Sungai mana?” desak Panjang.

“Ada beberapa jalur sungai di Kademangan kita ini?”

Panjang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Dibiarkannya Ki Tambi menyampaikan maksud kedatangan mereka, “Aku memerlukan kawan, Bramanti.”

Bramanti memandang Ki Tambi dengan sorot mata keheranan. Terbata-bata ia bertanya, “Apakah maksud paman?”

“Aku memerlukan kau untuk mengawani aku Bramanti.”

“Tetapi, apa yang akan paman lakukan?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengubur mayat yang ditinggalkan oleh Putut Sabuk Tampar ditengah jalan. Aku memerlukan kau untuk membantu menguburkannya.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. “Oh,” desahnya. “Aku sangka paman akan melakukan sesuatu yang mengerikan.”

“Nah, berkemaslah.”

“Dimanakah mayat itu sekarang paman?”

“Di ujung Kademangan.”

“Oh, di ujung bulak itu maksud paman.”

“Ya.”

“Aku takut paman, kalau tiba-tiba saja orang-orang Wanda Geni datang lagi untuk mengambil orangnya yang terbunuh dan bahkan dengan yang terluka itu sama sekali.”

“Ah, tentu tidak. Panembahan Sekar Jagat tidak akan punya waktu untuk mengurusinya. Karena itu, biarlah kita saja yang melakukannya.”

“Tetapi kenapa mesti dengan aku? Bukankah masih banyak kawan-kawan Panjang yang lain, yang lebih berkepentingan daripada aku.”

“Berkemaslah. Jangan terlampau banyak bertanya.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian melangkah surut. “Baiklah kalau paman menghendaki. Tetapi apakah paman tidak singgah lebih dahulu.”

“Terima kasih. Aku ingin segera melakukannya.”

Bramanti pun kemudian melangkah surut sambil berkata, “Maaf paman. Aku akan berpakaian.”

Bramanti pun kemudian berlari melintasi halamannya untuk mengambil pakaiannya yang masih agak lebih baik untuk pergi bersama-sama dengan Ki Tambi dan Panjang.

Sambil mengenakan pakaiannya Bramanti selalu diganggu oleh berbagai macam masalah tentang dirinya sendiri. Kenapa tiba-tiba saja Panjang dan Ki Tambi bersama-sama mengajaknya pergi untuk mengubur orang Panembahan Sekar Jagat yang terbunuh itu? Keduanya adalah orang-orang yang agaknya menaruh kecurigaan atasnya.

Tetapi akhirnya Bramanti tidak dapat berbuat lain daripada pergi mengikuti kedua orang itu. “Apa boleh buat,” desisnya.

Sebelum ia turun ke halaman, maka ia pun minta diri lebih dahulu kepada ibunya, bahwa ia akan pergi bersama Ki Tambi dan Panjang.

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya ibunya.

“Sekadar melihat-lihat ibu. Mungkin paman Tambi ingin mengenali tanah yang telah terlampau lama ditinggalkan. Karena aku pun baru kembali pula ke tanah ini, maka aku dibawanya serta. Panjanglah yang akan memperkenalkan kami dengan hal-hal yang baru, yang belum pernah kami lihat sebelumnya, atau yang barang kali telah kita lupakan.

Ibunya sama sekali tidak berprasangka apapun juga. Karena itu maka dibiarkannya anaknya pergi bersama Ki Tambi dan Panjang.

“Nah, naiklah,” desis Tambi sambil menyerahkan kendali seekor kuda.”

“Apakah aku juga harus berkuda?”

“Apakah kau dapat berlari secepat kuda-kuda ini.”

Bramanti tersenyum. Ia tidak dapat memilih. Karena itu, maka diterimanya kendali kuda itu sambil berkata, “Tetapi aku belum terlampau biasa berkuda paman. Mungkin aku tidak akan dapat setangkas paman dan Panjang.”

Tetapi Ki Tambi dan Panjang tidak menjawab. Mereka pun segera meloncat ke punggung kuda masing-masing sambil saling berpandangan sejenak. Dan Panjang pun kemudian berkata, “Belajarlah naik kuda Bramanti. Apabila pada suatu saat kau nanti menjadi pengawal Kademangan, dan kau harus menjalani pendadaran dengan cara seperti yang pernah dilakukan oleh Temunggul, yaitu mempersilakan calon pengawal itu menundukkan seekor kuda yang masih liar.”
Bramanti tersenyum sambil membelai kepala kudanya. “Tetapi bukankah kuda itu tidak nakal?”
“Sepengetahuanku tidak,” jawab Panjang.

“Agaknya masih lebih beruntung bagi mereka yang hanya sekadar menundukkan kuda yang liar, daripada harus bermain-main dengan seekor dan bahkan sepasang harimau.”

Panjang pun tersenyum pula. Katanya kemudian, “Ayo, cepatlah sedikit.”

Bramanti memandangi mata kudanya sejenak. Kemudian ia pun segera meloncat pula ke punggungnya.

“Kau tidak dapat mengelabuhi aku Bramanti,” desak Ki Tambi. “Orang yang tidak biasa berkuda, tidak akan meloncat setangkas kau.”

Kini Bramanti tertawa. Katanya, “Aku adalah seorang pesuruh selama aku merantau. Pesuruh seorang pedagang sapi di Wanakrama. Selama itulah aku belajar naik kuda, untuk kepentingan pekerjaan itu.”

“Apakah kau belajar menjinakkan harimau pula?” bertanya Panjang tiba-tiba.

Bramanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng. “Tentu tidak. Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Marilah.”

“Kita jangan terlambat,” berkata Ki Tambi. “Supaya kita tidak bertemu dengan orang-orang dari Kademangan lain yang mungkin akan melihat orang-orang yang terbunuh itu pula.
Mereka bertiga pun segera meninggalkan regol halaman rumah Bramanti. Semakin lama derap kuda mereka pun menjadi semakin cepat. Ki Tambilah yang berada di paling depan, kemudian Panjang dan yang paling belakang dari mereka adalah Bramanti.

Namun demikian, setiap kali, baik Ki Tambi maupun Panjang selalu berpaling. Mereka melihat betapa Bramanti tidak kalah tangkasnya dari mereka berdua. Ketika Ki Tambi mempercepat laju kudanya diikuti oleh Panjang, maka kuda Bramanti pun berpacu semakin cepat.

“Anak itu cukup tangkas di punggung kuda,” desis Ki Tambi di dalam hatinya. “Tetapi masih saja ia menemukan jalan untuk mengelak dengan mengaku dirinya sebagai seorang pesuruh."
Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Sedang laju kuda mereka pun semakin lama semakin cepat. Debu mengepul di belakang kaki-kaki kuda yang berderap menyusur jalan di tengah-tengah sawah, menuju keperbatasan Kademangan Candi Sari.

Dalam pada itu, orang-orang yang masih ada di Kademangan, duduk sambil merenungi apa yang telah terjadi. Di dalam rumah Ki Demang itu masih terbaring seorang, pengikut Panembahan Sekar Jagat yang sedang mendapat pengobatan.

Ki Jagabaya yang masih ada di Kademangan itu juga, sekali-kali mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi heran, kenapa sampai saat ini, orang-orang Kademangan Candi Sari masih juga berdiam diri menghadapi segala macam tindakan dari orang-orang Panembahan Sekar Jagat. Bahkan semakin lama semakin menjalar desas-desus bahwa orang-orang Panembahan Sekar Jagat adalah orang-orang yang ajaib. Ceritera terakhir mengatakan bahwa Panembahan Sekar Jagat adalah seorang yang mampu melenyapkan diri, mempunyai ilmu siluman sehingga tiba-tiba saja ia dapat lenyap dari pandangan mata. Dengan demikian ia dapat berada di segala tempat dan disegala waktu tanpa diketahui oleh orang lain.

Tetapi baik Ki Jagabaya, maupun para pengawal Kademangan itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa empat orang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat, yang langsung dipimpin oleh Wanda Geni sendiri, dapat dikalahkan oleh hanya seorang yang mengaku dirinya utusan Resi Panji Sekar.

Namun pembicaraan antara Ki Tambi dan Ki Demang ternyata telah menumbuhkan persoalan di hati anak-anak muda Kademangan Candi Sari. Meskipun dengan ragu-ragu, namun satu dua di antara mereka sudah mulai bertanya-tanya satu dengan yang lain. “Apakah kita akan membiarkan keadaan serupa ini untuk seterusnya?”

Dan setiap kali mereka selalu mendengar Ki Demang berkata kepada orang-orang Kademangan Candi Sari, bahwa untuk kepentingan Kademangan ini sendiri mereka sebaiknya tidak berbuat apa-apa terhadap setiap utusan Panembahan Sekar Jagat.

“Pada suatu saat mereka akan berhenti dengan sendirinya,” berkata Ki Demang setiap kali.

“Tetapi kapan?” pertanyaan itu menyentuh setiap hati.

“Kita harus menunggu sampai kita siap melakukan sesuatu,” berkata Ki Demang itu pula setiap kali. “Atau, kalau kita memang tidak mampu, maka apabila perselisihan antara Pajang dan Mataram telah selesai, maka kita akan dapat meminta perlindungan lagi dari para prajurit. Dan Panembahan Sekar Jagat pun pasti akan segera mereka selesaikan.”

Namun setiap kali terngiang pertanyaan di setiap hati, “Tetapi kapan?” Tetapi kapan?”

“Kita harus mulai,” hati para pengawal itu pun telah tergerak, “Kita harus mempertahankan apa yang ada sekarang, sebelum semuanya habis terperas.”

Namun para pengawal, beberapa orang laki-laki dan bahkan Ki Jagabaya sendiri masih saja menyimpan persoalan itu di dalam hati mereka. Hanya Ki Tambilah yang berani mengatakan berterus terang. Bahkan di hadapan banyak orang.

Setiap kali seorang ingin mengutarakan isi hatinya, maka setiap kali mereka selalu dibayangi oleh kecemasan, kalau-kalau yang diajaknya berbicara itu justru salah seorang dari pengikut Panembahan Sekar Jagat yang secara rahasia memang dibiarkan berada di tengah-tengah lingkungannya.

Temunggul, pemimpin para pengawal Kademangan itu pun sama sekali masih belum mengatakan sesuatu, meskipun sebenarnya hatinya sendiri bergolak. Tetapi sampai saat itu ia masih mempunyai perhitungan sendiri. Ia masih mencemaskan nasib Ratri. Apabila orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu marah, maka nasib Ratri akan menjadi tidak terlampau baik.

“Tetapi apabila kita biarkan saja mereka berbuat sewenang-wenang, maka Kademangan ini benar-benar akan kering. Dan apakah dapat dijamin bahwa setelah mereka memeras habis kekayaan di Kademangan ini, tidak akan mengganggu gadis-gadis? Apabila mereka sudah tidak memerlukan Kademangan ini lagi, maka apapun dapat mereka lakukan. Memusnahkan Kademangan ini dan merampas gadis-gadis.” Apabila angan-angan Temunggul telah sampai sedemikian jauh, maka tiba-tiba ia menggeretakkan giginya, sambil menggeram di dalam hati. “Kita harus bangkit melawan. Kita harus menyelamatkan seluruh isi kademangan ini, terutama Ratri.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang sekali lagi perkelahiannya melawan orang-orang Panembahan Sekar Jagat. Desisnya di dalam hatinya, “Mereka ternyata adalah orang-orang biasa. Mereka dapat juga dilawan. Sentuhan tanganku dapat juga mengenai tubuhnya. Mereka sama sekali bukan iblis.”

Tetapi Temunggul pun belum pernah menyatakan perasaannya itu. Ia masih menyimpannya seperti kawan-kawannya yang lain. Hanya sekali-sekali terloncat juga satu dua patah kata. Namun di dalam lingkungan yang sangat terbatas. Meskipun demikian, yang satu dua kata itu agaknya telah merambat pada setiap hati para pengawal. Seperti percikan api yang terbalut didalam sekam. Setiap saat, apabila datang suatu kesempatan, maka setiap dada itu pasti akan meledak. Mereka hanya menunggu. Tetapi mereka tidak tahu, apakah yang sebenarnya mereka tunggu, karena pimpinan tertinggi dari Kademangan mereka sama sekali tidak memberikan arah apapun juga untuk mengatasi persoalan itu.

Meskipun demikian ketika para pengawal, terutama anak-anak mudanya, meninggalkan Kademangan, mereka telah membawa persoalan di dalam hati mereka. Persoalan Kademangan mereka yang semakin lama menjadi semakin miskin. Hari depan Kademangan mereka yang suram dan hari depan mereka sendiri.

Sejak peristiwa di ujung batas Kademangan Candi Sari dan sejak salah seorang dari pengikut Panembahan Sekar Jagat berada di Kademangan, Candi Sari seakan-akan disaput oleh nafas yang lain dari kebiasaannya. Para pengawal tampak menjadi semakin tegang, meskipun di dalam hati. Diam-diam mereka selalu mengasah senjata-senjata mereka dan menyimpannya baik-baik. Mereka merasa suatu ketika senjata-senjata itu akan mereka pergunakan. Apabila mereka keluar rumah, kesawah, dan apalagi mereka yang sedang meronda, maka senjata-senjata itu tidak pernah terlepas dari lambung mereka.

Agaknya Ki Tambi tidak henti-hentinya, berbisik kepada setiap telinga, bahwa waktunya sudah hampir tiba untuk bangkit dan melawan kekuatan Panembahan Sekar Jagat.

“Mereka adalah manusia-manusia biasa,” Ki Tambi selalu membesarkan hati anak-anak muda itu.
“Tetapi bagaimana dengan Panembahan Sekar Jagat sendiri?”

“Ia pun manusia biasa. Bukankah orang-orangnya sama sekali tidak mampu melawan Putut Sabuk Tampar? Seandainya Panembahan Sekar Jagat sendiri akan turun ke Kademangan ini, itu akan berarti, Resi Panji Sekar pun akan muncul pula.”

“Siapa mereka?”

“Mereka pun orang-orang biasa. Kalau kita tidak dapat melawan seorang lawan seorang, maka kita akan melawan bersama-sama.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka, “Ya, kami menunggu saat yang demikian.”

Sementara itu Bramanti sama sekali tidak pernah keluar dari halaman rumahnya. Sehari-hari kerjanya hanya duduk di bawah pohon sawo menganyam keranjang, wuwu dan kadang-kadang macam-macam barang yang lain. Adalah kesenangannya sejak kecil, bermain-main dengan rautan bambu. Sejak umur delapan tahun, ia sudah dapat membuat kipas api dan serok dapur.
Tetapi kadang-kadang Panjanglah yang tiba-tiba saja telah berada di regol halaman. Setiap kali ia selalu singgah ke rumah itu. Kadang-kadang pada saat ia berangkat ke Kademangan, kadang-kadang setelah ia pulang. Bahkan kadang-kadang Panjang sengaja datang ke rumahnya meskipun ia tidak pergi ke Kademangan.

Kecuali Panjang, Ki Tambilah yang sering singgah ke rumah itu pula. Ki Tambi senang sekali melihat hasil anyaman tangan Bramanti. Sehingga kadang-kadang ia membawa sepotong dua potong barang anyaman dari Bramanti.

“Kau dapat membuatnya lagi. Ceting ini aku bawa pulang.”

Bramanti hanya tersenyum saja.

“Tetapi, akhir-akhir ini aku lihat kau tidak pernah keluar, Bramanti?” bertanya Ki Tambi kemudian.

“Aku tidak mempunyai kepentingan apapun di luar rumah ini paman.”

“Apakah kau sekali-kali tidak ingin pergi ke Kademangan, berkumpul dengan anak-anak muda yang lain?”

“Itu hanya akan menimbulkan persoalan saja paman. Aku tidak begitu disukai.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Aneh Bramanti. Orang yang terluka itu, yang kini masih berada di Kademangan, pernah berkata bahwa ia melihat Putut Sabuk Tampar di Kademangan ini.”

Dahi Bramanti tiba-tiba berkerut, “Betulkah begitu?”

“Ya. Kau ingat orang yang aku bawa lewat halaman rumahmu ini beberapa hari yang lalu?”

“Ya paman”

“Ia menunjuk kau ketika kemudian ia jatuh pingsan.”

“Ah.”

Ki Tambi tertawa. “Mungkin ia salah lihat. Tetapi begitulah katanya. Ia melihat Putut Sabuk Tampar di Kademangan ini. Apakah kau tidak percaya?”

“Bukan tidak percaya paman. Tetapi aku sama sekali tidak tahu menahu. Selama ini aku selalu di rumah saja.”

“Karena itu, marilah kita pergi ke Kademangan. Nanti kau akan mendengar sendiri, bahwa ia pernah melihatnya.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Kepada siapa saja orang itu berceritera tentang orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar?”

“Kepada semua orang. Kepada Ki Demang, kepada Ki Jagabaya dan kepada para pengawal.”

“Bagaimanakah tanggapan mereka?”

“Pada umumnya mereka berpendapat bahwa orang itu telah salah lihat.”

“Tentu, tentu ia salah lihat,” Bramanti berhenti sejenak, lalu. “Bagaimana tanggapan Panjang?”

Ki Tambi tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Bramanti. Dan ia melihat sesuatu bergetar pada sorot matanya.

“Bertanyalah kepada Panjang,” jawab Ki Tambi.

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ia akan singgah kemari. Hampir setiap kali ia lewat ia singgah kerumah ini.”

“Bagaimana dengan hari ini?”

Bramanti menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku belum melihat ia berangkat ke Kademangan.”
“Ia sudah pergi. Aku bertemu dengan anak itu.”

“O, kalau begitu, nanti dari Kademangan biasanya ia singgah.”

“Aku akan menunggunya disini.”

Bramanti terkejut. Dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa paman akan menunggunya disini?”
Sekali lagi Ki Tambi memandang pusat mata Bramanti. Dan sekali lagi ia melihat getar itu lagi. Maka jawabnya kemudian, “Apakah salahnya?”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dan ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

“Aku akan mendapatkan ibumu. Sudah agak lama aku tidak menemuinya. Setiap kali aku hanya memerlukanmu.”

Bramanti mengangguk kaku. Ia tahu bahwa itu adalah sekadar alasan Ki Tambi untuk tetap tinggal di rumahnya. Namun ia pun menjawab. “Silakan paman.”

Ki Tambi pun kemudian naik ke rumah Bramanti. Ditemuinya perempuan tua, ibu Bramanti sedang duduk-duduk di dapur sambil menunggu api. Perempuan itu sedang memanasi santan kelapa untuk dibuatnya menjadi minyak.

“Ha,” desis Ki Tambi. “Aku akan menunggu sampai santan itu menjadi minyak Nyai. Aku senang sekali apabila aku dijamu dengan blondo minyak itu.”

Nyai Pruwita tersenyum. Hanya sebentar. Katanya, “Silakan Ki Tambi. Tetapi sebaiknya Ki Tambi duduk saja di dalam, tidak di dapur yang kotor.”

“O, tidak mengapa Nyai. Aku lebih senang duduk di sini. Aku menunggu minyak itu.”

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terserahlah. Tetapi pakaianmu akan menjadi kotor oleh abu dan asap.”

Ki Tambi tertawa. Tetapi ia tidak beranjak pergi.

Sementara itu Bramanti telah kembali duduk di bawah pohon sawo. Tangannya masih juga menggenggam rautan bambu. Tetapi matanya tidak menatap kepekerjaannya. Di pandanginya bayang-bayang dedaunan yang disiram oleh sinar matahari di atas tanah yang kering. Bergerak-gerak oleh angin yang lemah.

Tiba-tiba Bramanti itu terkejut ketika kemudian langkah tergesa-gesa memasuki regol halamannya. Kemudian dilihatnya Panjang datang kepadanya dengan nafas terengah-engah.
“Kenapa kau Panjang?”

Panjang duduk disamping Bramanti. Dicobanya untuk mengatur nafasnya sambil mengibas-ibaskan lengan bajunya.

“Kenapa kau Panjang? Apakah kau dikejar hantu?”

Panjang menggeleng. “Aku di kejar anjing”

“Ah.”

Panjang bergeser setapak, lalu seakan-akan berbisik ia berkata, “Orang itu telah dilepaskan lagi.”

“Siapa maksudmu?”

“Pengikut Panembahan Sekar Jagat.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia bertanya Ki Tambi telah muncul dari balik pintu. “Ha, kau Panjang.”

“Ya paman.”

“Apakah ada berita baru mengenai Ki Demang, atau Ki Jagabaya atau mengenai kau sendiri?” bertanya Ki Tambi sambil mendekat.

Panjang tidak segera menyahut. Namun Bramantilah yang menjawab, “Ada paman. Tentang orang yang sedang sakit itu.”

“Kenapa dengan orang itu?”

Bramanti berpaling ke arah Panjang. Desisnya, “Benarkah begitu? Orang itu dilepaskan?”
“Dilepaskan?” Ki Tambi mengulang.

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya paman. Orang itu telah dilepaskan.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Desisnya, “Aku sudah menyangka. Tetapi apakah alasan Ki Demang kali ini?”

“Sama seperti lagunya yang lama. Untuk kepentingan Kademangan ini.”

“Dan apa kata Ki Jagabaya dan bebahu Kademangan yang lain?”

“Sama saja seperti yang pernah terjadi. Mereka diam saja sambil memberengut.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. “Apa katamu Bramanti?”

Bramanti termenung sejenak. Dan hati-hati ia menyahut, “Apakah orang itu sama sekali sudah tidak berguna paman?”

“Sebenarnya orang itu diperlukan disini. Mungkin dapat kita jadikan tanggungan, meskipun kemungkinan itu kecil sekali. Karena bagi orang-orang seperti Panembahan Sekar Jagat, mereka yang sudah tidak berguna, pasti akan dibiarkannya saja. Bahkan mati sekalipun. Tetapi kepentingan kita yang lain, kita akan dapat gambaran tentang kekuatan Panembahan Sekar Jagat daripadanya.”

“Orang itu tentu tidak akan mengatakannya.”

“Kita dapat memaksanya.”

“Itulah yang Ki Demang sama sekali tidak berani melakukannya.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian desahnya, “Aku tahu akibat dari tindakan Ki Demang itu. Akulah orang yang pertama-tama akan menjadi sasaran. Aku pasti dianggapnya orang yang akan dapat mengganggu kekuasaannya di Kademangan ini.”

“Kenapa paman Tambi yang dituduhnya?”

“Aku sendiri pernah mengatakan kepada orang itu, bahwa kita tidak akan tetap tinggal diam untuk selama-lamanya. Aku mengatakannya juga di Kademangan, di depan orang itu, bahwa kita memang harus bangkit.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia mendengar Ki Tambi berkata pula, “Tetapi itu adalah akibat yang wajar. Aku memang sudah memperhitungkannya. Dan aku harus berani menghadapi mereka, apalagi seorang diri. Tetapi apa boleh buat.”

“Tetapi paman tidak seorang diri.”

“Siapa yang dalam keadaan ini bersedia memihakku?”

Panjang terdiam sejenak. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Namun ia hanya dapat menelannya kembali. Meskipun demikian Ki Tambi dapat menangkap sorot mata itu, sehingga ia berkata, “Mungkin ada juga orang lain yang tidak rela melihat hal serupa itu terjadi. Tetapi apa artinya apabila mereka tetap tinggal diam.”

Panjang menggigit bibirnya. Dan dengan sendat ia akhirnya berkata, “Aku akan berusaha paman, agar paman tidak harus menghadapi mereka seorang diri.”

“Siapakah yang akan kau seret ke dalam kesulitan itu?”

“Bukan maksudku, tetapi adalah menjadi kuwajiban kita bersama. Aku sendiri sudah tentu menyediakan diri. Mungkin Temunggul juga dapat dibawa serta karena ia takut kehilangan Ratri. Mungkin juga Ki Jagabaya seandainya ia dapat sedikit melepaskan diri dari pengaruh Ki Demang. Dan mungkin masih banyak lagi. Bagaimanapun juga aku akan tetap berusaha.”

“Terima kasih Panjang,” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu dipandanginya wajah Bramanti dalam-dalam. “Dan kau Bramanti?”

Pertanyaan itu sama sekali tidak diduganya. Karena itu, maka ia pun tidak segera dapat menjawab.

“Aku wajib memperingatkan kau Bramanti,” berkata Ki Tambi itu kemudian. “Orang yang dilepaskan itu menganggap bahwa orang yang bernama Putut Sabuk Tampar itu berada di Kademangan ini. Nah, apakah kau tahu artinya?”

Bramanti menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya paman. Orang itu pasti akan datang kembali mencari orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar di Kademangan ini.”

“Nah, kau sadari bahaya itu?” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Tetapi yang lebih berbahaya lagi bagimu Bramanti, orang itu sebelum pingsan seolah-olah ingin mengatakan, bahwa kaulah agaknya orang yang telah melukainya dan menamakan diri Putut Sabuk Tampar.”

“Kenapa aku? wajah Bramanti menjadi tegang.

“Aku tidak tahu. Bertanyalah kepadanya kelak, apabila ia datang ke rumah ini. Dan ia pasti akan datang bersama orang-orang lain yang lebih kuat.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih berkata, “Aku akan mengungsi paman. Kalau aku mendengar derap kuda-kuda itu, aku akan lari ke sungai.”

“Tetapi bukankah kau pernah berkata, bahwa kau sanggup berbuat apa saja sesuai dengan kemampuanmu, apabila kau tidak berbuat sendiri? Nah, sekarang kau telah mempunyai beberapa orang kawan. Apa katamu?”

Bramanti merasa semakin tersudut. Namun ia masih menjawab, “Paman, jangan perhitungkan aku. Betapa aku ingin membantu, tetapi tenagaku sama sekali tidak akan berarti apa-apa bagi paman dan bagi orang-orang yang lain. Aku harap bahwa Temunggul akan bangun dari tidurnya. Meskipun seandainya ia khusus berbuat untuk Ratri.”

“Mudah-mudahan,” terdengar Panjang berdesis.

“Baiklah,” gumam Ki Tambi kemudian, “Aku harus bersiap sejak sekarang. Aku berterima kasih kepadamu Panjang, apabila kau tidak membiarkan aku berdiri seorang diri.”

“Aku akan berusaha untuk menemukan orang-orang lain. Aku pun mengharap pada saatnya orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu pun tidak akan berdiam diri. Aku masih mengharap orang lain lagi untuk ikut serta membebaskan Kademangan ini,” berkata Panjang.

“Siapakah orang itu?” bertanya Ki Tambi.

“Ia sudah menyangkutkan diri pada saat aku melakukan pendadaran. Orang yang membebaskan aku dari kuku-kuku dan taring harimau itu. Namun aku masih tetap menyangka, bahwa orang itu sama orangnya dengan Putut Sabuk Tampar.”

Panjang mencoba mencari kesan pada wajah Bramanti. Tetapi wajah itu seakan-akan tidak memberikan tanggapan apapun.

“Mudah-mudahan,” desis Ki Tambi. “Aku akan mempersiapkan diri sejak sekarang. Mungkin orang itu akan segera kembali. Mungkin malam nanti dan mungkin besok. Aku akan memasang kentongan di rumahku. Aku akan memukulnya apabila orang-orang itu datang ke rumahku. Nah, apakah kau sependapat dengan isyarat ini Panjang?”

“Ya. Aku akan memberitahukan kepada kawan-kawan yang bersedia ikut membantu paman. Kami pun akan memasang kentongan itu pula, supaya berita itu segera tersebar di seluruh Kademangan. Orang-orang yang sanggup berbuat sesuatu untuk Kademangannya akan bangkit setiap saat. Disetujui atau tidak disetuju oleh Ki Demang.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian desisnya, “Ah, aku sudah terlampau lama berada di rumahmu Bramanti. Aku akan minta diri kepada ibumu.”

Sebelum Bramanti menjawab, Ki Tambi itu berjalan tergesa-gesa untuk minta diri kepada ibu Bramanti, dan seterusnya bersama Panjang meninggalkan halaman rumah itu.

Tinggallah kemudian Bramanti berdiri termangu-mangu. Sejenak ia merenungkan kata-kata Ki Tambi tentang orang yang baru saja dilepaskan oleh Ki demang itu.

Tanpa sesadarnya Bramanti mengayunkan kakinya. Namun ia tidak kembali ke bawah pohon sawo, tetapi ia langsung pergi ke kandangnya yang masih saja kosong. Kandang yang sudah diperbaiki dan diberinya berdinding. Perlahan-lahan ia membaringkan dirinya. Pikirannya melambung jauh ke dunia angan-angannya.

Tiba-tiba Bramanti itu bangkit. Ditutupnya pintu kandangnya dan dipalangnya dari dalam. Kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke sudut kandang itu dengan sebuah cangkul di tangan.

Dengan tergesa-gesa pula ia menggali sebuah lubang di sudut kandang itu. Semakin lama semakin dalam. Sehingga akhirnya terasa cangkulnya menyentuh sesuatu.

Cangkul itu pun kemudian diletakkannya. Dengan tangannya ia menggali beberapa jari lagi. Kemudian dengan dada yang berdebar-debar diungkitnya sesuatu. Pedang pendek, di dalam lapisan beberapa helai kulit.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Pedang pendek dengan sebuah tangkai ukiran seperti keris. Tetapi kepala seekor ular naga.

Dibelainya pedang pendek itu seperti membelai lengan seorang sahabat yang telah lama tidak bertemu.

Meskipun kulit pembalut pedang pendek itu sebagian telah rusak, namun pedang pendek beserta wrangkanya, masih tetap bersih. Sehingga pedang itu seolah-olah seperti pada saat Bramanti menanamnya kira-kira sepuluh tahun yang lampau.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sekilas kenangannya terbang di dalam kepalanya. Pada saat ia bertekad meninggalkan kampung halamannya. Diam-diam ia menanam pedang pendek pusaka ayahnya tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Dan ternyata pedang itu kini telah di dalam genggamannya kembali

“Tetapi aku tidak akan dapat membawanya setiap saat,” Bramanti berdesis.


Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Di edarkannya pandangan matanya ke sekeliling kandangnya. Sambil mengerutkan keningnya ia mencari tempat yang paling baik untuk menyimpan pusaka itu.

Sejenak kemudian Bramanti melangkah ke sudut. Hati-hati ia memanjat tiang, dan kemudian diletakkannya pedang pendek itu di atas blandar.

“Tempat itu tidak akan mudah diketahui orang,” desisnya.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Bramanti melangkah menjauh sambil mencoba menatap blandar itu. Tetapi pedang itu sama sekali tidak tampak.

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika kakinya menyentuh tanah yang teronggok di samping lubang yang digalinya, maka dengan tergesa-gesa ditimbunnya lubang itu kemudian ditaburkannya beberapa jemput jerami kering di atasnya, untuk menghilangkan jejak yang mungkin akan menumbuhkan berbagai pertanyaan kepada mereka yang kebetulan melihatnya. Apakah, ibunya, apakah Panjang atau orang lain lagi.

“Aku mungkin akan memerlukan pedang itu,” katanya di dalam hati. “Apabila benar kata paman Tambi bahwa orang-orang itu akan datang ke rumah ini.”

Bramanti kemudian meletakkan dirinya duduk di atas onggokan jerami kering di sudut kandangnya. Setiap kali selalu terngiang kata-kata Ki Tambi tentang kemungkinan itu. Dan itulah agaknya yang telah mendorongnya untuk menggali senjatanya yang telah sekian lamanya tertanam.

“Ada dua kemungkinan,” berkata Bramanti di dalam hatinya. “Mungkin orang-orang Panembahan Sekar Jagat akan datang untuk mencari orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar seperti yang dikatakan oleh paman Tambi. Dan kemungkinan lain, Panembahan Sekar Jagat akan mencari Panggiring di rumah ini, apabila pada suatu ketika Panembahan Sekar Jagat mengetahui, bahwa Panggiring adalah anak Candi Sari dan berasal dari halaman ini. Agaknya nama Panggiring akan semakin meluas dan menumbuhkan persoalan di antara mereka.”

Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dihentakkannya tangannya sambil menggeram, “Aku akan menghadapi segala kemungkinan. Panembahan Sekar Jagat yang akan mencari Putut Sabuk Tampar atau mencari Panggiring. Atau kemungkinan yang lain, apabila Panggiring sendiri datang untuk menguasai Kademangan ini pula dengan cara yang kasar. Apalagi ternyata bahwa ayahnya adalah seorang Demang pula semasa hidupnya. Maka akan datang suatu saat itu datang untuk menuntut haknya dan sekaligus memeras Kademangan ini melampai Panembahan Sekar Jagat sendiri.”

BRAMANTI itu tersadar dari dunia angan-angannya ketika ia mendengar ibunya memanggilnya. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan melangkah ke pintu kandang yang masih tertutup. Sekali lagi ia berpaling ke arah blandar tempat ia menyembunyikan senjatanya. Sambil menarik nafas ia berdesah. “Tidak tampak sama sekali.”

Demikianlah, meskipun Bramanti masih saja sering duduk di bawah pohon sawo sambil menganyam keranjang, namun ia benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang. Bahkan kini ia menjadi semakin sering mengurung diri di dalam kandangnya, sambil membawa rautan bambu. Dikerjakannya pekerjaan anyamannya tepat di tengah-tengah pintu kandang.

Meskipun demikian, sekali-kali Bramanti masih juga sempat pergi ke sungai. Kadang-kadang ia mencuci pakaian, mandi dan berjemur sambil menunggu pakaiannya kering. Bahkan kadang-kadang ia juga mencari ikan dan membuat rumbon.

Namun Bramanti masih belum berhasil menempatkan dirinya seperti kawan-kawannya yang lain. Masih terasa ada jarak antar dirinya dan kawan-kawan sepermainan di masa kanak-kanak. Apalagi mereka yang merasa, bahwa orang-orang tua mereka ikut terlibat dalam kematian ayah Bramanti, meskipun Bramanti sendiri sudah sekian kali mengatakan, bahwa ia tidak mendendam mereka. Bahkan ia telah menunjukkan bahwa sebenarnya ia tidak akan mampu melakukannya, meskipun seandainya ia berhasrat demikian. Bramanti telah menunjukkan bahwa senjata adalah alat yang asing baginya. Perkelahian adalah sesuatu yang tidak dikenalnya. Apalagi melepaskan dendam.

Tetapi jarak itu masih belum menjadi lebih sempit, meskipun satu dua orang dari antara mereka sudah mulai tidak menghindarinya apabila mereka berpapasan.

Hanya Panjang dan Tambi sajalah yang masih sering datang kepadanya. Sekali-kali mereka berbicara panjang lebar tentang beberapa macam anyaman. Tetapi tiba-tiba baik Panjang maupun Tambi sering mendorong pembicaraan mereka ke arah yang mereka kehendaki. Namun setiap kali Bramanti terdiam dan memandangi mereka dengan penuh pertanyaan.

Sekali Tambi berceritera tentang orang-orang Panembahan Sekar Jagat dan lencana Panggiring yang ditunjukkannya dan di kesempatan lain ia berceritera tentang usahanya untuk mempengaruhi Panembahan Sekar Jagat dengan alat lencana Panggiring disertai dengan beberapa penjelasan.

“Itu akan sangat berbahaya paman,” berkata Panjang. “Bukankah orangnya yang tertawan itu telah berkata bahwa Panembahan Sekar Jagat menjadi marah sekali.”

“Mungkin Sekar Jagat belum menyakini tentang kekuatan Panggiring.”

“Dan ia menganggap bahwa Panggiring tidak berani mendatangi tantangannya. Bukankah begitu?” bertanya Panjang.

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Pembicaraan yang demikian telah membuat Bramanti setiap kali merenung. Kenapa Ki Tambi bersusah payah meminjam pengaruh nama Panggiring? Panggiring. Panggiring.

Nama itu selalu melingkar di telinganya.

“Apakah sekarang kakang Panggiring benar-benar menjadi orang yang tidak terkalahkan?” pertanyaan itu pun sering mengganggu hatinya.

Namun Bramanti masih tetap seperti Bramanti sehari-hari, yang seolah-olah terpisah dari pergaulan di Kademangan Candi Sari.

Itulah sebabnya maka ia sering berada di pinggir sungai sambil menunggui kain panjangnya yang dijemurnya seorang diri sambil mereka-reka masa yang akan dihadapinya.

“Sampai saat ini Panembahan Sekar Jagat masih belum berbuat sesuatu,” desisnya. “Apakah ada yang di tunggunya? Apakah ia menunggu suatu saat untuk menerkam korbannya yang dianggapnya sudah menjadi lengah?”

Tetapi Bramanti tidak dapat menemukan jawabannya. Seandainya hal itu benar-benar akan terjadi, maka ia hanya dapat menunggunya. Menunggu Panembahan Sekar Jagat atau orang-orangnya memasuki halaman rumahnya, apabila yang dikatakan Ki Tambi itu benar, karena mereka menyangka, bahwa Putut Sabuk Tampar ada di dalam halaman rumah itu.

Bramanti menari nafas.

Namun tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar suara halus memanggilnya. Perlahan-lahan dari jarak yang agak jauh sehingga suara itu seolah-olah di antara terdengar dan tiada.

“Bramanti.”

Bramanti berpaling. Dilihatnya dibalik tanggu, seorang gadis menjengukkan kepalanya. Dan sekali lagi ia terkejut. Gadis itu adalah Ratri.

Dengan serta merta Bramanti meloncat berdiri sambil bertanya, “He, kau dari mana Ratri.”

Ratri tidak segera menjawab. Tetapi justru kepalanya yang tersembul itu menghilang di balik tanggul.

Bramanti tertegun sejenak. Namun kemudian ia meloncat naik tebing. Tetapi langkahnya segera terhenti. Ia hanya memakai celananya saja. Karena itu mmaka dengan tergesa-gesa ia kembali menyambar kain panjangnya yang masih belum kering benar. Dengan tangkasnya ia meloncat dari batu ke batu, kemudian menariki tebing seperti seekor tupai pada dahan pepohonan.

Bramanti terhenti ketika ia melihat Ratri yang ternyata duduk di balik tanggul sambil memegangi bakul cuciannya.

“Apakah kau dari bendungan?” bertanya Bramanti.

Ratri berpaling. Kemudian sambil mengangguk ia menjawab pendek. “Ya.”

“Kau sudah tidak takut lagi keluar dari padukuhan?”

Ratri tidak segera menjawab. Dipandainginya sinar matahari yang hinggap di atas dedaunan.

“Apakah kau percaya bahwa orang-orang itu tidak akan mengganggumu lagi?”

Perlahan-lahan Ratri mengangguk. Jawabnya, “Kalau mereka ingin melakukannya, maka pasti sudah mereka lakukan.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Aku kira mereka benar-benar tidak akan mengganggumu lagi,” Bramanti berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah kau pergi ke bendungan seorang diri?”

Ratri menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku pergi bersama beberapa orang kawan.”

“Kenapa kau sekarang sendiri?”

“Kawan-kawanku telah lebih dahulu pulang.”

“Dan kau?”

“Cucianku jatuh beberapa lembar. Aku ingin singgah sebentar untuk membersihkannya. Tetapi tiba-tiba saja aku melihatmu berjemur di pinggir sungai ini.”

Bramanti tidak segera menyahut. Dicobanya menyelusuri jalan di sebelah tanggul itu dengan pandangan matanya. Tetapi ia sudah tidak melihat sesuatu di jalan itu sampai jalan itu masuk ke dalam rimbunnya dedaunan di tikungan di ujung desa.

“Mereka sudah lama mendahului aku. Aku pun sudah cukup lama berada di atas tanggul ini. Tetapi kau sama sekali tidak berpaling.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata olehnya kini, betapa asyiknya ia berangan-angan.

“Kalau begitu,” berkata Bramanti kemudian. “Bukankah kau akan membersihkan cuciamu yang terjatuh itu?”

“Ya”

“Silakan.”

“Apakah kau akan pergi?”

Bramanti ragu-ragu sejenak. Sekilas terbayang wajah Temunggul yang merah apabila ia melihatnya berada di tempat itu bersama Ratri, meskipun hanya sekadar suatu kebetulan.

Namun dadanya menjadi berdebar-debar ketika Ratri berkata, “Apakah kau tidak berkeberatan untuk mengawani aku?”

Bramanti menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada menganggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Cepatlah sedikit.”

“Apa kau tergesa-gesa?”

Bramanti terpaksa menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak tergesa-gesa.”

“Terima kasih,” sahut Ratri. “Kawani aku di bawah.”

Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Ketika Ratri kemudian menuruni tebing, ia pun terpaksa turun pula, betapapun bayangan-bayangan yang tidak menyenangkan hilir mudik di kepalanya. Yang paling mencemaskannya adalah apabila Temunggul melihatnya, setidak-tidaknya kawan-kawannya yang akan menyampaikannya kepadanya.

Tetapi Bramanti terpaksa melakukan permintaan Ratri itu. Dengan gelisahnya ia berjalan hilir mudik ditepian, sedang Ratri turun ke dalam air untuk membersihkan diri beberapa cuciannya yang terjatuh.

“Bagaimana pun juga, aku masih takut untuk tinggal disini seorang diri,” berkata Ratri kemudian. “Kalau terjadi sesuatu, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

Bramanti mengerutkan keningnya. Katanya, “Kalau aku yang mengetahuinya, aku kira tidak akan banyak bedanya dengan apabila kau seorang diri.”

“Tetapi kau masih akan lebih baik dari pada kawan-kawan gadisku apabila terjadi sesuatu, apalagi yang berbahaya bagi keselamatanku.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kakinya masih saja melangkah di atas pasir tepian, hilir mudik sambil menundukkan kepalanya.

“Bramanti,” terdengar suara Ratri lembut, sehingga Bramanti justru terkejut, dan langkahnya pun terhenti.

“Apakah kau sudah mendengar berita terakhir dari Panggiring,” gadis itu bertanya.

Terasa sesuatu berdesir di dada Bramanti mendengar pertanyaan itu. Ia tidak menyangka bahwa perhatian Ratri terhadap Panggiring sedemikian besarnya, sehingga beberapa kali ia menanyakannya. Karena itu maka sejenak ia berdiri seolah-olah membeku di tempatnya.

Ratri berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Bramanti yang tegang dengan sinar matanya yang lembut, sehingga Bramanti pun kemudian menundukkan kepalanya.

“Tidak Ratri. Aku tidak mendengar ceritera apapun tentang anak itu.”

“Apakah Ki Tambi tidak mengatakan sesuatu kepadamu tentang lencana itu?”

“Darimana kau tahu?” dahi Bramanti menjadi berkerut-merut.

“Ayah mengatakannya. Ia mendengar dari Ki Tambi, bahwa Panggiring mempunyai ciri lencana itu.”

“Begitulah menurut Ki Tambi. Tetapi itu sama sekali bukan berita baru tentang Panggiring.”

“Tetapi apakah Panggiring tidak berniat untuk pulang?”

Dada Bramanti menjadi semakin sesak. Namun ia harus menjawab pertanyaan itu. “Aku tidak tahu Ratri.”

“Aku kira ia akan pulang seperti kau Bramanti. Panggiring adalah anak Candi Sari. Sejauh-jauh ia pergi, suatu saat ia pasti merindukan tanah kelahiran. Dan kau akan mendapat kegairahan baru di dalam rumahmu, karena kau tidak tinggal seorang diri. Apalagi agaknya kau masih belum dapat menyesuaikan diri dengan anak-anak muda di Kademangan ini.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan perasaannya yang meluap. Dengan suara yang serak ia menjawab. “Bukan karena aku tidak berusaha untuk menyesuaikan diri Ratri. Tetapi anak-anak muda di Kademangan ini sudah dibebani oleh suatu prasangka, bahwa aku akan membalas dendam atas kematian ayahku.”

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi bukankah kau sudah menjelaskan, bahwa kau sama sekali tidak berniat untuk berbuat demikian?”

“Berulang kali. Berulang kali.”

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya, “Lambat laun mereka akan melihat kenyataan, bahwa kau memang tidak akan melepaskan dendam,” gadis itu berhenti sejenak, lalu “Agaknya Panggiring pun kelak akan memerlukan waktu untuk menyesuaikan dirinya dengan pergaulan anak-anak muda di Kademangan ini. Aku dengar ia sudah agak jauh tersesat. Tetapi aku percaya bahwa suatu ketika ia akan sembuh. Ia adalah orang yang baik. Sejak kanak-kanak ia adalah seorang yang baik,” sekali lagi kata-kata Ratri terhenti. Bahkan kemudian tangannya yang sedang bekerja pun terhenti pula. Di angkatnya dadanya seolah-olah mengedepankan debar jantungnya. Namun pandangan matanya mengambang kekejauhan. Terdengar ia berdesis, “Berbeda dengan anak-anak yang lain, Panggiring yang sudah agak lebih besar dari kau Bramanti tidak pernah nakal terhadap anak-anak perempuan yang lebih kecil daripadanya. Ia sudah hampir remaja ketika ia meninggalkan Kademangan ini. Bukankah begitu?”

Tiba-tiba sesuatu menyentak di dada Bramanti. Dan tanpa sesadarnya ia memotong, “Tetapi kini ia adalah seorang penjahat.”

Ratri terdiam sejenak. Di wajahnya membayang keheranannya mendengar kata-kata Bramanti. Bahkan kemudian ia seolah-olah mencari-cari di wajah anak muda itu, perasaan apakah yang telah mendorongnya mengatakan demikian.

Bramanti sadar atas keterlanjurannya. Karena itu maka nada suaranya menurun. “Aku sangat kecewa terhadap kakang Panggiring, kenapa ia telah tersesat jalan.”

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, semua orang memang menyesalkannya. Kau menyesal apalagi ibumu. Dan kawan-kawan yang lain pun menyesal pula.”

Bramanti menarik nafas. Tetapi ia tidak menyahut.

“Tetapi aku masih mengharap ia akan menyadari kesalahannya itu dan memilih jalan kembali. Ia akan menemukan dirinya dan menjadi seorang yang baik.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tersendat-sendat ia menyahut, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan.”

Namun tanpa disadarinya tumbuhlah pergolakan di dalam dirinya. Bramanti tidak dapat mengerti, kenapa ia tidak senang mendengar Ratri memuji kakaknya di masa kanak-kanaknya.

Tetapi Bramanti berusaha sekuat tenaganya untuk menyembunyikan perasaan itu. Kepalanya yang terangguk-angguk masih juga terangguk-angguk meskipun ia sama sekali tidak ingin menyatakan perasaan apapun dengan anggukan kepalanya itu.

Ketika Ratri kemudian meneruskan kerjanya, mencelup cuciannya yang kotor itu lagi, maka Bramanti pun mulai berjalan hilir mudik di pesisir tepian. Namun sejenak kemudian maka diletakkannya dirinya duduk di atas sebuah batu yang besar di pinggir sungai. Kakinya yang kotor oleh pasir, tercelup di dalam air yang bening.

Satu dua ikan wader berenang di bawah batu yang didudukinya. Kemudian hilang dibalik gumpalan padas yang kehijau-hijauan ditumbuhi ganggang.

Terbayang dirinya yang bergetar di permukaan air yang bergerak. Sama sekali tidak dapat dikenalinya bentuk dan garis-garis wajahnya, seperti ketika ia bercermin di belumbang pada air yang tenang.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

Ia mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara Ratri lembut, “Bramanti.”

Bramanti berpaling. Suara itu telah beberapa kali di kenalnya. Dan panggilan itu pun telah sering, amat sering menyentuh telinganya.

“Aku sudah selesai,” berkata Ratri. Bakul cuciannya telah dijinjing di lambungnya. “Marilah, kita pulang.”

Bramanti pun kemudian berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Ratri. Jawabnya, “Marilah. Apakah kau dapat naik sambil membawa bakul cucian itu.”

Ratri termenung sejenak. Sambil menggeleng ia berkata, “Mungkin tidak Bramanti. Apakah kau akan membawakan bakul ini sampai ke tanggul di atas?”

“Baiklah,” sahut Bramanti.

“Terima kasih.”

Maka keduanya pun kemudian menaiki tebing sungai yang tidak terlampau tinggi. Ratri berada di depan, merangkak perlahan-lahan berpegangan pada rerumputan dan batu-batu padas di tebing. Sedang Bramanti berjalan perlahan-lahan mengikutinya sambil menjinjing sebuah bakul cucian.

Namun tiba-tiba seperti dipatuk oleh seekor ular Bramanti terkejut bukan kepalang. Ketika ia mendengar desir di atas tanggul, dan kemudian ditengadahkan wajahnya, ia melihat seseorang bertolak pinggang. Wajahnya merah membara seperti warna senja di langit.

Langkah Bramanti pun tertegun karenanya. Sejenak ia memandang wajah itu, namun sejenak kemudian dilemparkannya tatapan matanya jauh-jauh.

Ratri pun terkejut pula ketika ia melihat anak muda itu. Tetapi sejenak kemudian ia menjadi acuh tak acuh. Ia merangkak terus naik ke tanggul di atas tebing.

Tetapi ia tertegun ketika ia melihat Bramanti terhenti. Tanpa menghiraukan anak muda yang berada di atas tanggul ia berkata kepada Bramanti, “Apakah kau lelah? Kenapa kau berhenti?”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ratri sama sekali tidak menyadari keadaannya. Karena itulah maka ia menjadi bingung dan ragu-ragu.

“Ayolah Bramanti,” ajak Ratri.

Bramanti pun belum beranjak dari tempatnya. Namun sejenak kemudian dipaksanya kakinya melangkah, dan ia pun naik semakin tinggi pada tebing yang tidak begitu dalam.

“Bramanti,” terdengar suara anak muda itu menggeram.

Langkah Bramanti terhenti. Tetapi ia tidak berusaha menatap wajah yang sedang membara itu.

“Bramanti,” sekali lagi terdengar suara yang berat itu.

Bramanti masih tetap berdiri di tempatnya.

“Kau sudah melanggar janjimu sendiri,” berkata anak muda itu dengan geramnya.

Bramanti tidak menyahut. Namun Ratri ang mendengarnya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Janji yang manakah yang telah dilanggarnya Temunggul?”

Anak muda itu mengerutkan dahinya. Di pandanginya wajah Ratri yang menjadi tegang pula.

“Pulanglah Ratri.”

“Kenapa kau suruh aku pulang?”

“Serahkan bakul itu, dan biarkan Ratri pulang dahulu. Kau tinggal disini bersama aku,” berkata Temunggul kepada Bramanti.

“Kenapa?” bertanya Ratri.

“Itu adalah persoalanku dengan Bramanti Ratri.”

Ratri menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia masih tetap berada di tempat itu.

“Pulanglah Ratri.”

“Aku tidak berani pulang sendiri. Selesaikan persoalanmu, aku akan menunggu. Biarlah Bramanti nanti mengantarkanku sampai ke padukuhan.”

“Tidak. Aku tidak mengijinkannya.”

Ratri terkejut mendengar jawaban itu. Dengan serta merta, tanpa disadarinya ia bertanya, “Apakah hakmu melarang Bramanti mengantar aku?”

“Aku adalah pimpinan pengawal Kademangan,” jawab Temunggul.

“Tetapi Bramanti bukan anggota pengawal. Dan apakah salahnya kalau ia berbaik hati mengantar aku, karena aku sudah ditinggalkan oleh kawan-kawanku.”

“Kenapa kau tidak pulang bersama mereka?”

“Aku masih mempunyai beberapa pekerjaan. Cucianku terjatuh, dan aku harus mencelupkannya lagi.”

“Kenapa harus bersama Bramanti.”

“Itu hanyalah suatu kebetulan Temunggul. Aku datang kemari, dan Bramanti telah ada di tempat ini sebelum aku datang. Ia pun agaknya sedang mencuci pakaiannya.”

Temunggul terdiam sejenak. Namun kemudian terdengar ia berdesis, “Bohong. Kau bohong Ratri.”

“Kenapa aku harus berbohong?”

“Kalian berdua sengaja datang ke tempat ini.”

“Seandainya demikian, apakah salahnya?”

Wajah Temunggul yang telah membara itu menjadi kian merah. Sejenak ia terpaku diam. Namun terdengar giginya gemeretak.

Bramanti masih berdiri sama seperti patung. Namun kecemasan yang sangat telah menjalari jantungnya. Apa yang ditakutkannya ternyata benar-benar terjadi. Bahkan Temunggul sendirilah yang telah melihatnya berada di tempat itu berdua saja bersama Ratri.

Sejenak kemudian terdengar suara Temunggul bergetar, “Kau tidak perlu mengetahui terlampau banyak Ratri. Pulanglah.”

“Aku akan menunggu Bramanti disini,” jawab Ratri. Dan jawaban itulah yang telah membuat hati Temunggul menjadi semakin panas.

Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Pergi kau Bramanti, pergi. Bawa bakulmu. Dan kau Bramanti, kau tetap tinggal disini.”

Ratri adalah seorang gadis yang tidak terlampau banyak tingkah. Ia adalah seorang gadis yang patuh di rumah. Penurut dan jarang sekali menentang pendapat orang tuanya. Tetapi, sikap kasar Temunggul itu justru telah menyinggung perasaannya, sehingga dengan demikian maka ia pun berusaha untuk mempertahankan harga dirinya. Karena itu maka jawabnya, “Tidak. Aku akan tetap disini, Temunggul. Tidak seorang pun yang berhak memerintahkan aku selain kedua orang tuaku. Kau juga tidak.”

Dada Temunggul serasa telah mendidih sampai ke kepalanya. Tetapi ia masih sadar, bahwa yang dihadapinya kali ini adalah Ratri. Ratri. Dan karena itulah maka ia menjadi gemetar menahan luapan perasannya.

Tetapi ia tidak segera menjawab ketika Ratri yang sedang tersinggung itu mendesaknya. “Coba katakan, apakah sebabnya maka aku harus pergi dan Bramanti harus tinggal? Kenapa?”

Temunggul yang berdiri gemetar itu tidak menyahut.

“Kenapa Temunggul?” desak Ratri.

Bramanti yang berdiri termangu-mangu sambil menjinjing bakul itu pun menjadi berdebar-debar pula. Dan tiba-tiba saja, sama sekali di luar dugaan Temunggul, Bramanti menjawab, “Temunggul telah pernah minta janjiku Ratri, bahwa aku tidak akan lagi terlampau dekat dengan kau.”

“He,” kini wajah Ratri pun menjadi merah padam. Namun justru mulutnyalah yang terkunci.

Bramanti terkejut sendiri mendengar kata-katanya. Bahkan sejenak ia terpaku kebingungan di tempatnya. Sekilas teringat olehnya pernyataan-pernyataan Ratri tentang Panggiring. Dan ia merasa tidak senang mendengarnya.

Dan kini ia sadar, Temunggul akan merasakan ketidaksenangan yang demikian jauh lebih parah lagi daripadanya, justru karena Temunggul merasa anak muda yang paling terkemuka di Kademangannya.

Ternyata pula kemudian, akibat dari kata-katanya itu, wajah Temunggul menjadi seakan-akan terbakar. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Bramanti akan mengatakannya justru di hadapan Ratri sendiri.

Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi Temunggul. Dipandanginya wajah Bramanti dengan tajamnya, kemudian ditatapnya pula wajah Ratri yang tegang.

Terdengar anak muda itu kemudian menggeram, “Bramanti berkata sebenarnya Ratri. Aku memang pernah berkata demikian kepadanya. Kenapa orang yang tidak aku kenal tabiat dan kebiasaannya. Kalau ia tidak lebih baik dari ayahnya, maka ia adalah seorang laki-laki yang berbahaya bagi gadis-gadis. Itulah sebabnya aku pernah mengatakan, supaya ia tidak menerkam gadis-gadis yang lengah seperti kau saat ini.”

“Temunggul,” terdengar suara Bramanti tertahan, selama ini ia telah menahan dirinya, dan berusaha untuk menghindari setiap persoalan yang dapat timbul dengan anak-anak muda Candi Sari. Tetapi ketika Temunggul menyinggung nama ayahnya, maka terasa dadanya bergetar. Meskipun demikian ia masih berusaha menahan dirinya. Katanya selanjutnya, “Mungkin ayahku bukan seorang yang baik. Tetapi itu sudah terlampau. Dan ayahku tidak lebih dari seorang penjudi. Bukan seorang yang berhenti serigala seperti yang kau katakan. Mungkin ayahku sering menipu dan berbuat curang dilingkaran judi, apalagi ketika kami telah jatuh miskin. Tetapi hanya itu. Dan aku sudah mengatakan, bahwa aku akan berbuat lain justru untuk membersihkan nama keluargaku.”

“Bohong,” bentak Temunggul. “Seperti yang kau lakukan sekarang? Aku telah mengatakan supaya kau tidak membuat onar di Kademangan ini. Kau pun telah berjanji untuk tidak mengganggu gadis-gadis termasuk Ratri. Tetapi kau justru mencari kesempatan dan mencoba membujuknya.”

Ratri yang mendengarkan percakapan itu seolah-olah membeku di tempatnya. Tetapi sebagai seorang gadis, ia dapat merasakan perasaan Temunggul terhadapnya. Karena itu maka ia segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa Temunggul menjadi cemburu.

Tetapi apaboleh buat. Hatinya sama sekali tidak mau disangkutkannya kepada anak-anak muda itu. Betapa Temunggul dikagumi setiap anak-anak muda dan terutama gadis-gadis. Ia memang menganggap bahwa Temunggul adalah seorang yang luar biasa. Hanya itu. Tetapi bukan seorang yang berhasil mencengkam hatinya.

Apalagi kalau dikenangnya, bahwa Temunggul memang pernah menyatakan kata hatinya itu kepadanya. Sehingga dengan demikian Ratri hampir pasti bahwa agaknya Temunggul tidak mau melihat ia bergaul dengan siapapun selain dengan dirinya sendiri.

Betapa terasa sakit hati Ratri.

Sebagai seorang gadis maka saluran yang paling dekat untuk menyatakan perasaannya adalah titik-titik air mata.

Demikian pepat hati Ratri menghadapi masalahnya, sehingga ia tidak dapat menahan lagi air matanya yang mengalir. Meleleh di pipinya, dan satu-satu jatuh di atas pasir dibawah kakinya.

Melihat Ratri menangis, Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang rendah ia berkata, “Sudahlah Ratri. Pulanglah. Jangan hiraukan kami. Aku akan berbicara dengan Bramanti.”

“Kau menghina aku Temunggul,” desis Ratri.

“Maafkan aku Ratri. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu. Karena itu, pulanglah. Persoalan ini adalah persoalanku dengan Bramanti.”

“Tetapi aku adalah orang yang sedang kalian persoalkan,” potong Ratri, yang kemudian disambungnya. “Temunggul. Kalau di dengar orang lain, bahwa kalian berselisih karena aku, maka alangkah malunya. Aku akan kehilangan harga diriku. Semua orang akan mencemohkan aku, seolah-olah aku telah merendahkan diriku, dan membuat kalian berebut seperti buah durian yang runtuh.”

Kedua anak-anak muda itu terdiam. Mereka merasakan sentuhan kata-kata Ratri. Sebagai seorang gadis, maka ia tidak akan dapat melepaskan dan melupakan persoalan itu dengan mudah. Setiap tatapan mata orang-orang yang berjalan berpapasan akan terasa seolah-olah mata itu memandangnya dengan tajam. Seolah-olah ingin melihat manakah gadis yang telah menjadi sumber persoalan antara anak-anak muda di Kademangan Candi Sari.

Sedang apabila seseorang tidak melihatnya apabila mereka berpapasan di tempat ramai, maka ia merasa bahwa orang itu telah memalingkan wajahnya sambil mencibirkan bibirnya.

Bramanti yang masih memegang bakul cucian Ratri kemudian melangkah mendekatinya sambil berkata perlahan-lahan, “Ratri. Inilah bakul cucianmu. Memang sebaiknya kau pulang. Aku pun akan pergi tanpa mempersoalkan apa-apa lagi. Perjumpaan yang kebetulan ini agaknya tidak menyenangkan hatimu.”

Ratri yang masih menangis menerima bakul itu. Kemudian ia berkata terputus-putus, “Terserahlah kepada kalian, apakah kalian akan menista namaku atau tidak.”

Bramanti tidak menjawab. Tetapi ia pun segera melangkah pergi meninggalkan Ratri yang masih sibuk membersihkan air matanya. Sedang Temunggul berdiri mematung di tempatnya. Namun ketika ia melihat Ratri menerima bakulnya dari Bramanti terasa dadanya bergetar.

Tetapi Bramanti sama sekali sudah tidak berpaling lagi. Dilangkahinya parit yang membujur di sebelah tanggul, kemudian dengan tergesa-gesa ia berjalan menyelusur pematang kembali ke desanya.

Temunggul yang ditinggalkan oleh Bramanti menjadi berdebar-debar. Beberapa langkah ia maju mendekati Ratri sambil berkata, “Maafkan aku Ratri. Sekarang, marilah kita pulang. Aku menyangka bahwa kau telah bergaul terlampau rapat dengan Bramanti. Aku memang tidak senang melihat hal itu, karena aku pernah mendengar cerita tentang ayah Bramanti. Sifat-sifat itulah yang agaknya memberinya peringatan. Percayalah, bahwa aku bermaksud baik.”

Ratri menganggukkan kepalanya, “Ya, aku berterima kasih bahwa kau memperhatikan hal itu. Biarlah aku sekarang pulang sendiri.”

“Kita bersama-sama Ratri.”

“Aku akan pulang sendiri.”

“Apakah kau tidak takut?”

“Aku tinggal berjalan beberapa langkah. Seandainya terjadi sesuatu, maka suara teriakanku akan didengar oleh orang-orang di desa, dan mungkin digubug-gubug di sawah itu.”

“Marilah kita pulang bersama-sama. Apakah keberatanmu?”

“Terima kasih Temunggul. Sebaiknya aku pulang sendiri.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya telah mulai dirayapi oleh kecurigaannya atas sikap Ratri itu. Sehingga tiba-tiba saja ia merasa mendapat kesempatan untuk bertanya kepadanya, apakah Ratri dapat mengerti perasaannya itu.

Betapa beratnya, namun Temunggul itu berkata, “Ratri, aku minta ijinmu, sebaiknya kita pulang bersama-sama. Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu Ratri, supaya selanjutnya hatiku menjadi tentram. Supaya apabila aku melihat hal-hal serupa ini, dadaku tidak segera terbakar.”

Ratri segera mengerti maksud Temunggul. Karena itu maka ia menjawab, “Jangan kau tanyakan lagi hal itu Temunggul. Apabila dalam keadaan seperti ini. Sudahlah, aku akan pulang sendiri.”

“Ratri,” berkata Temunggul. “Sudah terlampau lama aku menahan hati. Kau harus tahu Ratri, bahwa aku tidak pernah dapat tidur nyenyak. Karena itu, aku minta kau rela memberikan jawabanmu atas perasaanku terhadapmu.”

“Aku akan pulang Temunggul,” potong Ratri sambil melangkah pergi.

“Ratri,” panggil Temunggul yang mengikutinya. “Jawablah.”

Ratri tidak segera menjawab. Tetapi ia berjalan semakin cepat.

Temunggul yang berjalan dibelakangnya mendesaknya. “Jawablah, Ratri. Satu patah kata telah cukup bagiku.”

Tetapi Ratri tidak menyahut. Ia berjalan semakin cepat menyusur tanggul sungai.

Temunggul yang berjalan dibelakangnya pun menjadi semakin cepat pula. Nafsunya untuk mendengar jawaban Ratri pun menjadi semakin melonjak di dalam dadanya. Karena itu maka ia selalu mendesaknya. “Ratri, jawablah Ratri. Kalau kau sudah menjawab, maka tidak akan timbul persoalan lagi padaku. Meskipun seandainya aku melihat kau bersama siapapun, hatiku tidak akan lagi cemas, karena aku telah mempunyai pegangan. Itu akan berarti bahwa aku tidak bermaksud melarang kau bergaul dengan siapapun. Namun aku memerlukan jawaban itu.”

Pertanyaan-pertanyaan Temunggul itu serasa memburu perasaannya, sehingga Ratri pun semakin mempercepat langkahnya. Bahkan kemudian ia berlari-lari kecil disepanjang tanggul.

Di kejauhan seseorang yang sedang berada di sawah melihat keduanya seakan-akan sedang berkejaran. Tetapi orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian. Hampir setiap orang mengenal Temunggul, dan hampir setiap orang, apalagi anak-anak mudanya menganggap pergaulan Temunggul dan Ratri telah menjadi semakin erat. Apalagi ayah Ratri sendiri sering mempercakapkan Temunggul dan memujinya sebagai seorang pahlawan yang tidak ada duanya di Kademangan Candi Sari.

Karena itu, orang itu pun tidak mengacuhkannya lagi. Diteruskannya kerjanya, mencangkul sawahnya.

Ratri yang merasa selalu dikejar oleh pertanyaan yang tidak dapat segera dijawabnya berlari semakin kencang, dan Temunggul pun berlari semakin kencang pula.Namun sudah tentu Ratri tidak akan dapat menjauhi anak muda itu, karena ia tidak dapat berlari sekencang Temunggul. Dengan demikian maka ketakutan dan kecemasan semakin membayanginya. Sehingga ia masih berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk berlari semakin cepat.

Tetapi sayang, ia adalah seorang gadis. Kain panjangnya yang agak basah ternyata sangat mengganggunya. Maka ketika ia meloncati sebuah lekuk yang menembus tanggul itu, ia tergelincir.

Terdengar sebuah jerit yang nyaring memecah udara yang jernih. Suara itu bergema memenuhi jalur sungai dibawahnya. Namun suara itu pun kemudian lenyap ketika Ratri terguling di tebing yang meskipun tidak begitu dalam, tetapi terjal dan keras.

Temunggul terkejut bukan kepalang. Sejenak ia berdiri mematung. Namun sejenak kemudian dengan tangkasnya ia meloncat turun mengejar Ratri yang terguling itu.

Beberapa orang yang sedang berada di sawah ternyata mendengar jerit itu pula. Sejenak mereka mencoba menyakinkan pendengarannya. Namun sejenak kemudian mereka segera berloncatan berlari menuju ke sumber bunyi itu.

Mereka yang segera sampai ke tanggul sungai itu melihat Temunggul sedang menolong Ratri yang lemas. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya menjadi pucat seperti kapas. Beberapa bagian dari tubuhnya menjadi luka-luka sehingga darahnya pun memerahi pakaiannya.

“Kenapa anak ini Temunggul?” bertanya salah seorang dari antara mereka.

“Ia tergelincir dan terguling,” jawab Temunggul terbata-bata. Namun hatinya menjadi berdebar-debar apabila Ratri menyanggahnya.

Namun ia menarik nafas ketika ia mendengar suara Ratri lemah, “Aku tergelincir paman.”

Orang-orang yang ada di sekitarnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang yang melihatnya berlari-lari di tanggul mengerutkan keningnya sambil berdesis diri sendiri, “Anak-anak muda tidak pernah berhati-hati. Itulah salahnya, berkejaran di atas tanggul.”

Beberapa orang pun kemudian membantu mengangkat Ratri. Tetapi Ratri menolaknya. Katanya, “Aku akan berjalan sendiri.”

“Kau sakit Ratri. Biarlah kami dukung kau pulang.”

“Tidak paman. Orang-orang di desa akan terkejut melihatnya. Aku tidak apa-apa.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak.

“Kalau begitu beristirahatlah dahulu.”

Ratri pun kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya. Dicobanya untuk mengatur nafasnya yang terengah-engah. Diusapnya darah yang masih merentul dari lubang-lubangnya.

“Cucianku,” Ratri berdesis.

“Kenapa dengan cucianmu?”

Ratri tidak menjawab. Tetapi dipandanginya seonggok cucian yang kini justru penuh dengan pasir dan lumpur.

“O,” desis seorang yang kemudian memungut cucian itu.

“Biarlah aku celup lagi cucianmu.”

“Jangan paman, jangan,” Ratri mencegahnya.

“Kenapa?”

“Jangan.”

“Ya. Kenapa?”

“Cucian itu. Jangan. Biarlah aku saja yang mencucinya kembali. Biarlah cucian itu berada disitu. Cucian itu adalah cucianku. Tidak pantas paman mencucinya.”

Orang itu menarik nafas. Tetapi ia tidak memaksanya. Dibiarkannya saja cucian itu teronggok ditempatnya.

Setelah beristirahat sejenak, serta memampatkan darah dari luka-lukanya, Ratri mencoba untuk berdiri. Selangkah ia maju dibantu oleh dua orang yang berada sebelah menyebelah.

“Terima kasih. Aku akan berjalan sendiri. Aku akan mencucinya di rumah saja.”

“Baiklah. Sekarang marilah aku antar kalian pulang.

Ratri mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya Temunggul yang menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Karena itu, maka Ratri pun tidak mengatakan sepatah kata pun tentang Temunggul.

Sejenak kemudian, maka Ratri pun di antar pulang oleh beberapa orang bersama Temunggul yang membawa bakul cucian Ratri.

Kedatangan Ratri telah mengejutkan beberapa orang yang melihatnya, apalagi orang tuanya. Namun mereka pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil mengangkat bahunya, setelah beberapa orang mengatakan apa yang telah terjadi sepengetahuan mereka.

Setelah peristiwa itu, kebencian Temunggul kepada Bramanti semakin menjadi-jadi. Ia tidak sekadar benci karena Bramanti adalah anak seorang penjudi besar yang terbunuh dalam suatu lingkaran perjudian karena telah mencoba berbuat curang dan menipu lawan-lawannya, sehingga perselisihan tidak dapat dihindarkan lagi. Tetapi kebenciannya itu sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan cemburunya.

“Aku akan mencari alasan untuk menangkapnya,” katanya di dalam hati. “Ia harus diberi sedikit pelajaran agar ia benar-benar menjadi jera.”

Dalam pada itu, Bramanti sendiri sangat dipengaruhi oleh peristiwa itu. Apalagi apabila terngiang di telinganya, pertanyaan-pertanyaan Ratri tentang kakaknya Panggiring.

“Gadis itu mengaguminya,” katanya di dalam hati.

Sambil menghentakkan tangannya ia bergumam, “Ia melihat aku sebagai seorang pengecut. Seorang yang tidak dapat disebut jantan. Itulah sebabnya ia menganggapku sebagai kawannya bermain.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia dihadapkan pada suatu keadaan yang membuat hatinya terlampau sakit. Perhatiannya kepada Ratri yang tumbuh perlahan-lahan justru karena berita tentang Panggiring yang telah sampai ke Kademangan itu.

Apalagi Temunggul telah terlanjur menuduhnya, dan bahkan diancam dengan segala macam cara, agar ia menjauhi Ratri.

Bramanti menggigit bibirnya. Ia berdiri dalam kebimbangan.

“Tidak,” tiba-tiba ia menggeram. “Aku tidak boleh menjadi korban yang sama sekali tidak berarti. Kalau Temunggul pada suatu saat kehilangan akal, maka aku tidak akan dapat bersikap seperti kerbau yang paling bodoh. Apalagi aku tidak mempunyai harapan apapun bagi diriku sendiri.”

Tetapi tiba-tiba wajah Bramanti itu tertunduk. Terngiang pesan gurunya, bahwa ia harus berlaku baik. “Kalau kau ingin berbakti kepada orang tuamu, Bramanti,” berkata gurunya, “Maka cucilah nama ayahmu. Kau harus menjadi orang yang berguna bagi Kademanganmu. Mungkin sementara waktu kau akan terlampau banyak berkorban. Terutama perasaan dan harga diri. Tetapi pada suatu ketika kau akan menjadi orang yang terpandang di Kademanganmu. Hindarkanlah setiap persoalan,” kemudian suara ibunya yang parau, “Kenapa kau pelajari ilmu semacam itu?” Ayahmu juga mempelajari ilmu semacam itu dahulu.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terbelenggu oleh pesan gurunya dan pendirian ibunya. Ibunya lebih senang melihat Bramanti sebagai seorang yang jinak dan selalu berada di halaman rumahnya. Setiap kali ia menjadi ngeri, apabila teringat olehnya akan kematian suaminya, ayah Bramanti. Justru karena ayah Bramanti memiliki ilmu kanuragan, sehingga ia tidak pernah menghindari pertengkaran.

Sebagai seorang anak yang patuh kepada gurunya dan kepada orang tuanya, maka Bramanti masih mencoba menahan hati. Supaya ia tidak kehilangan pengamatan diri, maka ia lebih baik selalu berada di rumahnya. Di bawah pohon sawo, menganyam wuwu atau berbaring di kandang apabila ia tidak mempunyai pekerjaan yang lain.

Namun akhirnya ia menjadi jemu juga untuk selalu berada di dalam lingkungan halaman. Kawannya yang sering datang mengunjunginya adalah Panjang dan kadang-kadang Ki Tambi. Namun apabila keduanya kemudian pergi, maka Bramanti kembali merasa tercencang oleh kesepian.

Satu-satunya kawannya adalah pedang pendek yang disembunyikannya di dalam kandang. Namun pedang itu kemudian harus disimpannya kembali apabila ia berada di kebun atau di halaman. Yang selalu ada di tangannya adalah sebilah parang pemotong kayu, atau cangkul atau bahkan sapu lidi.

Namun sampai juga saatnya, Bramanti tidak dapat bertahan lagi. Ia tidak dapat mencegah lagi keinginannya untuk keluar barang sekejap dari halaman rumahnya. Karena itu, maka ia minta ijin kepada ibunya untuk pergi ke sungai, mencuci pakaiannya yang kotor.

“Kenapa tidak kau cuci di rumah saja Bramanti? Bukankah sumur kita tidak kering?”

“Aku ingin melihat-lihat ibu. Sudah agak lama aku tidak keluar rumah. Aku ingin mandi sambil berjemur seperti ketika aku masih kanak-kanak.”

“Tetapi jangan terlampau lama Bramanti. Dan sebaiknya kau tidak usah pergi ke bendungan. Di sana selalu banyak orang yang akan dapat membuat persoalan.”

“Aku tidak pernah pergi ke bendungan. Lebih baik aku mencuci dan mandi disebelah pedesaan ini.”
“Baik. Dan hati-hatilah. Jangan membuat persoalan apapun dengan siapapun. Kau masih belum dapat diterima dengan baik oleh orang Kademangan ini.”

“Ya bu.”

Namun peringatan ibu nya itu memang membuat Bramanti menjadi ragu-ragu. Apakah tidak lebih baik ia tinggal di rumah, berbaring di kandang atau menganyam keranjang?”

“Sebentar saja,” desisnya.

Bramanti pun kemudian meninggalkan halaman rumahnya membawa sehelai kain panjang selain yang dipakainya untuk dicuci. Perlahan-lahan ia melangkah, menyusur jalan sempit yang akan sampai ke sudut desa. Kemudian dilangkahinya parit kecil yang membujur sepanjang jalan. Lalu langkahnya terayun di atas pematang yang akan sampai ke tanggul sungai.

Sekali-kali Bramanti menarik nafas. Sinar matahari pagi yang menjamah punggungnya yang telanjang terasa semakin hangat. Burung bangau yang berdiri dengan sebelah kakinya di sepanjang pematang, menghambur berterbangan. Namun kemudian satu persatu mereka hinggap lagi di atas pematang menunggu mangsanya yang meloncat dari rerumputan.

Bramanti menebarkan pandangan matanya, menyapu batang-batang padi yang sedang menghijau. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah. “Hasil panen ini, setiap kali selalu diambil oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat. Apabila beberapa orang petani berhasil menabung dan membeli barang-barang berharga, maka mereka akan menjadi sasaran yang menyenangkan.”
Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya, “Apakah hal ini akan berlangsung terus, dan anak-anak muda di Kademangan ini masih tetap tidur? Aku harap Ki Tambi akan berhasil.”
Bramanti tertegun ketika ia mendengar derap seekor kuda. Ketika ia berpaling dilihatnya Panjang berada di atas punggung kudanya berlari menyusur jalan yang baru saja ditinggalkannya, melintas parit.

Bramanti melihat Panjang melambaikan tangannya, dan Bramanti pun mengangkat tangannya pula. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apakah ada sesuatu yang penting telah terjadi? Panjang tidak terlampau biasa naik kuda di Kademangan sendiri. Karena itu, maka tiba-tiba ia ingin bertemu dengan anak muda itu.

Tetapi Panjang tidak berhenti. Ia berjalan terus meskipun ia masih juga melambai-lambaikan tangannya.

Ketika Panjang menjadi semakin jauh, Bramanti pun meneruskan langkahnya, menyusur pematang pergi kesungai untuk mencuci pakaiannya.

Ketika ia menuruni tebing yang tidak terlampau tinggi, kemudian menginjakkan langkahnya, menyusur pematang pergi ke sungai untuk mencuci pakaiannya.

Ketika ia menuruni tebing yang tidak terlampau tinggi, kemudian menginjakkan kakinya di atas pasir yang hangat, terasa seolah-olah ia menjadi kanak-kanak kembali. Di gusur-gusurnya onggokan pasir tepian dengan kakinya, kemudian dengan sebuah terikan nafas yang dalam ia menjatuhkan dirinya duduk menjelujur di atas pasir itu.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan ke air yang jernih yang mengalir di antara batu-batuan yang berserakan.

Bramanti pun kemudian membuka kainnya, sehingga ia tinggal memakai celana dalamnya yang panjang sampai ke lutut. Kemudian kain yang baru saja dipakainya itu pun dicelupkannya ke dalam air, dan kemudian dicucinya dengan lerak. Sedang kainnya yang lain diletakkannya di atas pasir yang kering.

Sejenak Bramanti berendam di dalam air beserta sisa pakaiannya. Sambil mencuci kain panjangnya ia mandi. Alangkah segarnya. Seolah-olah semua perasaan lelah dan letih hilang hanyut bersama arus sungai yang bening itu.

Namun tiba-tiba saja Bramanti itu terperanjat. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya dua orang berdiri di atas tanggul sambil bertolak pinggang. Salah seorang dari mereka adalah Temunggul.

Sejenak Bramanti menahan nafasnya. Ia tidak menyangka bahwa Temunggul akan mendapatkannya.

Sekilas terbayang apa yang telah terjadi ditepi sungai ini untuk beberapa hari yang lampau. Ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Ratri, dan kemudian dengan Temunggul.

Selain Temunggul dan Ratri, ia adalah orang yang ketiga yang mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika ia mendengar orang-orang mempercakapkan Ratri dan Temunggul yang seakan-akan sedang bergurau dan bekerjaan di atas tanggul sungai sehingga Ratri tergelincir, ia dapat menebak dengan tepat, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

Dan kini tiba-tiba Temunggul itu telah berada di atas tanggul pula. Tetapi Bramanti kemudian, pura-pura tidak memperhatikannya. Seakan-akan ia tidak mempunyai persoalan sama sekali dengan Temunggul dan kawannya yang seorang itu. Dengan demikian, maka Bramanti pun melanjutkan kerjanya membersihkan dirinya sambil mencuci kain panjangnya. Temunggul melihat sikap Bramanti dengan wajah yang tegang. Dan tiba-tiba sja ia berkata lantang, “Apa kerjamu disini Bramanti?”

Bramanti berpaling. Jawabnya kemudian, “Aku sedang mandi dan mencuci pakaian seperti apa yang sedang kau lihat Temunggul.”

Temunggul memandangnya dengan penuh kebencian. Kemudian bibirnya bergerak membuat sebuah senyuman yang kecut.

“Aku tahu apa yang sebenarnya kau lakukan,” desisnya.

Bramanti mengerutkan keningnya. Seperti di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah yang aku lakukan selain mencuci pakaian?”

“Jangan berpura-pura,” sahut Temunggul.

“Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan.”

Sekali lagi Temunggul tersenyum. Senyum yang kecut. “Jadi begitulah yang sering kau lakukan?”

Dalam kebingungan Bramanti mengangguk, “Ya. Beginilah.”

“Setiap kali tanpa aku ketahui?”

“Apakah untuk melakukannya aku harus memberitahukannya kepadamu?”

“Diam,” tiba-tiba Temunggul membentak. “Kau berpura-pura tidak mengerti maksudku. Tetapi jangan mencoba ingkar. Kau akan terjerat oleh janjimu sendiri. Jangan menyesal.”

Bramanti menjadi bingung. “Apalagi salahku sekarang?” pertanyaan itu telah melonjak di dalam dadanya. “Seakan-akan hampir setiap langkahku dianggap bersalah.” Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Temunggul itu.

Karena Bramanti tidak segera menjawab, maka Temunggul mendesaknya, “He, kenapa kau diam saja. Ayo katakan, bahwa kau telah melanggar janjimu. Dan pelanggaran itu akan berakibat jauh bagimu.”

Bramanti yang benar-benar tidak mengerti maksud Temunggul masih bertanya-tanya di dalam hati, dan bahkan akhirnya dilontarkannya pertanyaan itu, “Apakah salahku Temunggul? Apa salahku?”

“Kau masih berpura-pura saja Bramanti. Jangan menunggu aku kehilangan kesabaran,” Temunggul menggeram. “Cepat naik kemari.”

“Aku belum selesai.”

“Cepat naik kemari,” Temunggul membentak semakin keras.

“Maaf. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku ini dahulu. Aku masih harus menjemur cucianku dan celanaku.”

“Jangan membantah lagi. Naik.”

Terasa dada Bramanti bergetar. Sudah terlampau lama ia mengorbankan harga dirinya. Sebagai seorang laki-laki, ia tidak akan dapat menerima perintah itu begitu saja. Tetapi setiap kali ia selalu dibayangi oleh wajah ibunya dan pesan-pesan gurunya.

Sejenak Bramanti dicengkam oleh kebingungan. Namun akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan pakaian yang basah ia berjalan perlahan-lahan di atas pasir tepian.

“Ayo cepat, naik.”

Bramanti tidak membantah lagi. Meskipun ia tidak dapat melenyapkan singgungan-singgungan di dalam dadanya, tetapi ia melakukan perintah itu.

Dengan hati-hati ia naik. Dirambatinya tebing yang curam, meskipun tidak begitu tinggi. Kemudian dengan tubuh dan pakaiannya yang basah ia berdiri dihadapan Temunggul yang masih bertolak pinggang.

“Bramanti,” geram Temunggul. “Apakah kau masih ingin berpura-pura terus.”

“Aku tidak berpura-pura Temunggul. Tetapi aku benar-benar tidak mengerti, apakah yang sebenarnya kau maksudkan.”

Temunggul menjadi semakin marah. Sekali lagi ia membentak, “Jangan bermain gila terhadapku Bramanti. Aku dapat berlaku sopan, tetapi aku juga dapat berlaku kasar.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dahinya berkerut ketika ia melihat dua orang lagi kawan Temunggul berjalan mendekatinya.

“Apakah anak itu bertingkah?” bertanya salah seorang daripadanya.

“Ia masih berpura-pura,” jawab Temunggul. “Ia sama sekali tidak merasa bersalaha,” kemudian kepada Bramanti ia bertanya, “Betulkah begitu? Kau tidak merasa bersalah?”

“Bukan aku tidak merasa bersalah, Temunggul. Tetapi aku belum mengetahui, apakah kesalahanku. Kalau kau menunjukkannya, aku kira aku akan segera mengerti.”

Sekali lagi Temunggul menggeram. Namun ia berkata juga, “Kau berpura-pura mandi dan mencuci pakaianmu Bramanti, tetapi agaknya kau sedang menunggu gadis-gadis lewat. Agaknya sudah menjadi kebiasaanmu untuk mengganggu gadis-gadis.”

Tuduhan itu serasa bara api yang menyengat telinga Bramanti. Kini ia menyadari keadaan yang dihadapinya. Kini ia mengerti, apakah sebenarnya yang dimaksud Temunggul. Agaknya meskipun tidak disebutkan, Temunggul sangat berkeberatan atas pertemuannya dengan Ratri di tempat ini beberapa waktu yang berlalu.

“Nah, apakah katamu sekarang?” desis Temunggul.

Bramanti tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Temunggul yang telah menjadi merah, wajah kawan-kawannya yang tegang, dan ketika diedarkannya pandangan matanya ke sekitarnya, dilihatnya satu dua orang sedang bekerja di sawah.

“Tidak ada kesempatan lagi bagimu Bramanti,” geram Temunggul. “Kau harus menerima akibat. Selama ini kita berusaha melindungi gadis-gadis kita dari tangan-tangan orang Panembahan Sekar Jagat, ternyata kau sendiri akan melakukannya.”

“Temunggul,” jawab Bramanti, “Apakah kau pernah melihat aku melakukannya seperti apa yang kau katakan?”

Pertanyaan itu agak membingungkan Temunggul. Namun kemudian ia menjawab kasar, “Jangan banyak bicara. Kau harus ikut kami. Jangan mencoba melakukan kebodohan.”

“Pakaianku masih basah,” Bramanti mencoba mencari dalih.

“Aku tidak peduli,” jawab Temunggul. “Kau harus ikut aku.”

“Kemana?”

“Jangan bertanya.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Apakah ia harus menuruti kemauan Temunggul, mengikutinya kemana ia pergi? Meskipun tidak pasti, namun Bramanti dapat membayangkan apa yang akan terjadi atas dirinya.

“Cepat,” Temunggul hampir berteriak.

“Tetapi kainku?”

“Cepat ambil. Kemudian ikuti aku.”

Bramanti yang masih mencoba untuk tidak membuat keonaran tidak berusaha membantah lagi. Ia pun kemudian turun ke tepian mengambil kainnya yang basah dan melingkarkan kainnya yang kering di atas celananya yang basah. Kemudian ia merangkak kembali naik ke tanggul.

“Ayo, ikuti kami.”

Bramanti tidak menjawab. Ia mengikuti saja langkah Temunggul, sedang kawan-kawannya berjalan dibelakangnya.

Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika Bramanti mengetahui kemana mereka berjalan. Namun demikian ia masih bertanya, “Kemana kita, Temunggul?”

“Kau tahu, jalan ini akan sampai kemana? Kita menyusur parit itu, kemudian berbelok ke kiri di atas jalan pematang.”

“Ke gerojokan di bawah bendungan?”

“Kau menebak tepat.”

Dada Bramanti berdesir tajam. Ia menyadari apa yang akan terjadi. Gerojokan di bawah bendungan itu jarang sekali didatangi orang. Karena itu, maka segera terbayang, Temunggul akan melepaskan kemarahannya itu tanpa diganggu orang.

“Gila,” desis Bramanti. “Kalau aku menjadi gila pula, maka aku akan mengalami kesulitan.”

Tetapi Bramanti tidak mendapat kesempatan untuk menolak. Ia harus mengikuti langkah kaki Temunggul. Pergi ke bawah bendungan ke gerojogan.

Sejenak kemudian mereka pun telah meniti pematang yang akan sampai ke tanggul sungai di sebelah gerojogan itu. Disisi tebing sungai itu agak tinggi dan terjal, sehingga jarang sekali orang yang memerlukan turun, apabila tidak mempunyai kepentingan apapun.

Semakin dekat dengan gerojogan, dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Namun ia masih sempat mengendapkan perasaannya. Dan bahkan ia selalu berkata di dalam hatinya, “Aku harus mengendalikan diri sebaik-baiknya.”

Tetapi ketika mereka telah sampai di atas tanggul, Bramanti menjadi ragu-ragu atas dirinya sendiri. Kalau ia tidak berhasil mengendalikan perasaannya, maka akibatnya akan menghapuskan semua usaha yang pernah dirintisnya. Karena itu, maka ketika ia telah berdiri di atas tanggul, ia berhenti.

“Cepat kau turun Bramanti. Aku pun akan segera turun.”

Bramanti masih tetap berdiri diam.

“Cepat,” teriak Temunggul.

“Apa yang akan kalian lakukan atasku?” bertanya Bramanti.

“Itu bukan persoalanmu. Terserah kepada kami. Kau sudah melanggar janjimu. Aku hanya akan sekadar memberi peringatan kepadamu. Berterima kasihlah kau, bahwa aku masih berbaik hati, memberimu sekadar peringatan. Ayo cepat.”

Bramanti masih tetap berdiri tegak.

“Jangan membuat aku semakin marah Bramanti. Cepat turun.”

Tiba-tiba Bramanti menggelengkan kepalanya. Gumamnya seakan-akan kepada diri sendiri. “Aku tidak ingin turun.”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Ketegangan yang tumbuh dari dalam dadanya.

“Satu, dua, tiga.....” setiap bilangan telah membuat dada Bramanti semakin tegang. Dan bilangan itu pun semakin naik juga, “empat,..... lima.”

Bramanti masih tetap berdiri saja ditempatnya. Sehingga karena itu, maka Temunggul pun telah kehilangan kesabarannya. Tebing itu memang cukup dalam, tetapi Temunggul telah memperhitungkannya, apabila Bramanti terjerumus, ia tidak akan mati karenanya. Karena itu, maka dikejapkannya matanya kepada salah seorang kawannya.

Kawannya mengerti maksud Temunggul. Dengan serta merta ia meloncat sambil menjulurkan tangannya ke arah Bramanti yang berdiri tepat di atas tanggul.

Bramanti memang sudah menduga, bahwa Temunggul akan melakukannya, meskipun ia meminjam tangan orang lain. Tetapi Bramanti sama sekali tidak ingin jatuh terguling dan terbanting di tepian meskipun di alasi dengan pasir. Tubuhnya pasti akan terluka oleh goresan batu-batu padas pada lereng yang terjal.

Karena itu, hampir di luar sadarnya Bramanti berusaha untuk menghindari hal itu.

Kawan Temunggul yang berusaha mendorong Bramanti, sama sekali tidak melihat Bramanti bergerak. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia maju beberapa langkah lagi dan dengan sekuat tenaganya ia berusaha melempar Bramanti.

Tetapi orang itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa Bramanti telah membuat suatu perhitungan yang tepat. Kalau ia jatuh terdorong oleh kekuatan orang lain, dan kemudian berguling ditebing itu, ia pasti akan terluka. Karena itu, maka ketika tangan kawan Temunggul itu menyentuh tubuhnya, Bramanti justru melemparkan dirinya sendiri meloncat ketepian di bawah. Dengan demikian ia dapat mengatur dirinya dan sama sekali tidak menyentuh batu-batu padas tebing sungai yang agak tinggi itu.

Namun hal itu sama sekali tidak diduga oleh kawan Temunggul yang berusaha untuk mendorongnya, bahkan oleh Temunggul sendiri dan kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian, maka tenaganya sama sekali tidak menemukan tahanan apapun. Maka, tanpa dapat menahan dirinya sendiri, orang itupun terjerumus pula masuk ke dalam sungai. Karena ia sama sekali tidak bersiap untuk mengalami hal serupa itu, maka tubuhnya itu pun terguling di atas batu-batu padas tebing, untuk kemudian terbanting di atas pasir.

Melihat hal itu Temunggul dan kawan-kawannya yang lain terkejut bukan kepalang. Namun justru sejenak mereka seakan-akan membeku ditempatnya. Mereka melihat dengan mulut ternganga, Bramanti meloncat turun. Ketika ia jatuh diatas kedua kakinya ia berhasil berdiri tegak tanpa mengalami cidera apapun. Kemudian disusul oleh tubuh kawan Temunggul, yang jatuh seperti seonggok tanah liat.

Sebelum Temunggul dapat berbuat sesuatu, ia masih melihat Bramanti berlari-lari mendapatkan kawannya yang terjatuh itu. Kemudian menolongnya, menyandarkan pada sebuah batu padas di tebing. Dengan kainnya ia membersihkan wajah orang itu yang penuh dengan pasir dan tanah berlumpur.

“Gila kau Bramanti,” tiba-tiba Temunggul berteriak. Suara teriakan itu telah mengejutkan Bramanti, sehingga orang yang sedang ditolongnya itu dilepaskannya. Beberapa langkah ia menjauhi sambil memandang ke atas tanggul.

Namun kemudian disadarinya, bahwa sebentar lagi Temunggul dan kawan-kawannya yang lain pasti akan turun pula. Karena itu, maka daripada terjadi keributan, lebih baik baginya untuk meninggalkan tempat itu.

Dengan demikian, maka Bramanti pun kemudian berlari meninggalkan orang yang masih duduk dengan lemahnya bersandar sebongkah batu padas yang berwarna kehijau-hijauan.

Dada Temunggul berdesir melihat Bramanti masih sempat melarikan dirinya. Karena itu, dengan serta merta ia berteriak, “He, tangkap anak itu. Jangan biarkan ia lari.”

Tetapi kawan Temunggul yang bersandar batu padas dibawah, sama sekali sudah tidak berdaya. Apalagi menangkap Bramanti, sedang untuk bernafaspun terasa betapa sukarnya.

Dengan demikian, maka tidak seorang pun yang dapat menahan Bramanti. Ia berlari menyusur sungai. Meloncat dari batu yang satu ke batu yang lain, dan kemudian menyeberangi arus yang tidak terlampau deras. Semakin lama semakin jauh. Ketika Bramanti kemudian memanjat tebing diseberang dan naik ke bendungan, maka Temunggul pun baru menyadari seluruh keadaan.

“Anak setan,” ia menggeram. “Marilah kita tolong anak itu.”

Temunggul dan kawan-kawannya kemudian menuruni tebing yang agak curam. Dengan dada yang berdebar-debar mereka mendekati kawannya yang hampir menjadi pingsan. Beberapa bagian tubuhnya terluka oleh goresan batu-batu padas yang menjorok di tebing.

“Bagaimana hal ini dapat terjadi?” bertanya Temunggul.

Kawannya yang terluka itu menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.

“Kau kurang hati-hati,” sahut yang lain.

“Tidak,” potong Temunggul. “Memang Bramanti adalah seorang yang sangat licik. Kali ini ia berhasil melepaskan diri dari tanganku. Tetapi tidak lain kali.”

“Aku telah dilukainya,” desis orang yang terluka itu. “Aku harus membalasnya. Aku tidak akan dapat menunggu terlampau lama. Apabila aku sudah baik, aku akan segera mencarinya. Kemana saja. Kalau perlu aku akan datang ke rumahnya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Dan seorang kawannya yang lain berkata pula. “Aku sependapat. Kalau perlu kita datangi rumahnya. Anak itu kita ambil saja dan kita bawa kemana kita inginkan. Tetapi hati-hati. Ternyata ia memang sangat licik.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja Temunggul berkata, “Kita pergi ke Kademangan. Mereka akan melihat kau terluka. Kita dapat mengatakan apa saja. Misalnya kita dapat mengatakan, bahwa Bramanti telah mulai dengan usaha pembalasan dendamnya, dengan mendorong kau ke dalam jurang ini. Dengan demikian maka pembalasan kita kepadanya akan sepengetahuan Ki Demang dan Ki Jagabaya. Sebab apabila kita bertindak sendiri, mungkin oleh Ki Jagabaya kita dianggap bersalah.”

Kawan-kawannya berpikir sejenak. Salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi Bramanti bukan seorang anak yang bisu. Ia dapat mengatakan yang lain. Ia dapat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tidak mengapa. Aku yakin bahwa mereka akan lebih mempercayai kita daripada Bramanti.” sahut Temunggul. “Nah, bagaimana? Kita tidak perlu membalasnya dengan bersembunyi-sembunyi. Akulah yang akan melakukannya dihadapan Ki Demang, Ki Jagabaya dan dihadapan orang-orang Kademangan Candi Sari. Biarlah mereka melihat, bahwa kita memang tidak menganiayanya. Nah, aku kira Bramanti akan benar-benar menjadi jera dan tidak akan berani berbuat lagi.”

“Kalau saja Ki Demang dan Ki Jagabaya mempercayai kita,” gumam salah seorang kawannya.

“Aku yakin,” sahut Temunggul, kemudian kepada kawannya yang terluka ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu?”

“Baik. Aku sependapat.” anak muda itu berhenti sejenak lalu. “Tetapi bagaimana dengan aku sekarang? Luka-lukaku terasa terlampau pedih. Mungkin tangan kiriku terkilir pula. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Bramanti mempunyai akal yang begitu licik dan licin.”

“Oh,” Temunggul berjongkok di samping kawannya itu, “Marilah aku bersihkan luka-lukamu dengan air sungai. Kemudian kita pulang bersama-sama untuk mencari obat.”

Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi ketika Temunggul dan kawan-kawannya mencoba mengangkatnya, ia menyeringai menahan sakit.

“Tahankan,” desis Temunggul. “Sebentar lagi kau akan mendapat kesempatan untuk membalas.”

“Aku akan membuatnya cacad seumur hidupnya.”

Temunggul pun kemudian memapah orang itu pergi ke air yang mengalir gemericik di sela-sela batu. Kemudian meletakkannya duduk di atas sebuah batu. Seperti memandikan anak-anak. Temunggul membersihkan anak muda itu. Menghilangkan pasir dan lumpur dari tubuhnya, mencuci luka-lukanya yang berdarah dan memijit-mijit punggungnya yang serasa patah perlahan-lahan.

Mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu anak itu mampu berdiri dan berjalan sambil bersandar kepada kawannya. Dengan susah payah mereka berjalan menyusur sungai, naik ke bendungan yang tidak setinggi tebing, kemudian dari bendungan mereka merayap perlahan-lahan ke atas tanggul.

Temunggul menarik nafas ketika mereka berdiri di atas tanggul sungai itu. Kemudian dengan lantang ia berkata, “Sekarang kita langsung ke Kademangan,”

“Kenapa?”

“Biarlah setiap orang Kademangan melihat sendiri luka-luka ditubuhmu. Biarlah mereka melihat darah itu. Dengan demikian maka hati mereka akan segera terbakar daripada mereka melihat kau kelak, apabila kau sudah sembuh.”

“Tetapi punggungku sakit sekali.”

“Justru karena itu.”

Anak muda yang terluka itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Baik. Baiklah. Aku sependapat.”

Maka mereka itu pun kemudian berjalan perlahan-lahan menuju ke Kademangan. Disepanjang jalan mereka telah bersepakat untuk membuat ceritera palsu tentang Bramanti. Apapun yang mereka lakukan namun mereka ingin mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam mereka kepada Bramanti.

Ternyata usaha mereka sebagian terbesar dapat berhasil. Orang-orang yang kebetulan melihat Temunggul memapah seorang kawannya segera bertanya, apakah sebabnya kawannya itu terluka.

“Kami akan mengatakannya di Kademangan,” jawab Temunggul.

“Kenapa mesti di Kademangan?” bertanya orang itu.

Temunggul menggelengkan kepalanya, “Ada sesuatu yang kami anggap penting.”

Orang itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia bergumam di dalam hatinya. “Seandainya aku tidak mempunyai keperluan lain, aku akan memerlukan pergi ke Kademangan.”

Namun demikian, ada juga satu dua orang yang memerlukan pergi untuk sekadar mendengar sebab dari luka-luka itu.

Di Kademangan, Ki Demang segera memanggil orang-orang terdekat. Termasuk Ki Jagabaya atas permintaan Temunggul. Beberapa orang pengawal dan anak-anak muda yang lain.

“Katakan Temunggul,” berkata Ki Demang kemudian. “Kami ingin segera mengetahui, apakah yang telah terjadi. Kalau hal ini tidak kau anggap penting, aku kira anak ini tidak akan kau bawa kemari selagi ia masih menyeringai kesakitan.”

“Ya Ki Demang, justru ia masih dalam keadaannya, ia aku bawa kemari, supaya Ki Demang, Ki Jagabaya dan orang-orang yang lain melihat apa yang telah terjadi.”

“Ya, katakanlah.”

“Ki Demang, Ki Jagabaya dan kawan-kawan,” berkata Temunggul, yang meskipun agak gemetar, namun kemudian ia dapat berbicara dengan lancar juga. “Ternyata Bramanti telah mulai.”

“Apa maksudmu?”

“Seperti yang kita duga semula. Ia telah mulai melakukan balas dendam. Yang pertama-tama menjadi sasaran adalah anak ini. Bramanti menyangka bahwa ayahnya ikut serta melakukan pembunuhan kira-kira sepuluh tahun yang lalu.”

Dada Ki Demang berdesir. Apalagi Ki Jagabaya. Wajahnya segera menjadi merah padam. “Kenapa anak itu?” bertanya Ki Jagabaya.

“Ia terperosok ke dalam pereng sungai di gerojokan,” jawab Temunggul.

“Ya, kenapa?”

“Itulah yang akan kami katakan. Bramantilah yang mendorongnya. Selagi anak itu berdiri di tanggul, tanpa diketahuinya Bramanti mendekatinya. Tiba-tiba ia didorong masuk. Untunglah, bahwa ia masih menyadari keadaannya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya. Meskipun demikian, inilah keadaannya.”

“Setan alas,” Ki Jagabaya menggeram. “Bukankah ia sudah berjanji, bahwa ia tidak akan melepaskan dendamnya itu?”

“Tetapi sekarang Ki Jagabaya melihatnya sendiri.”

Wajah Ki Jagabaya menjadi seakan-akan terbakar. Hampir saja ia langsung meloncat ke rumah Bramanti, seandainya Temunggul tidak berkata, “Nah, marilah kita bicarakan, apakah yang sebaiknya kita lakukan.”

“Kenapa ia memilih anak itu?” bertanya Ki Demang.

“Agaknya Bramanti tidak memilih. Adalah suatu kebetulan ia melihatnya berdiri di atas tanggul. Diam-diam ia mendekatinya dan mendorongnya jatuh. Kalau anak itu mati, maka rahasia itu tidak akan diketahui oleh orang lain.”

“Bodoh,” potong Ki Jagabaya. “Kelincipun tidak akan mati. Paling parah, adalah karena goresan-goresan batu-batu padas itu.”

“Bramanti memang anak licik yang bodoh. Ia menginginkan anak itu mati seketika. Orang akan menganggapnya sebagai suatu kecelakaan saja. Demikian ia akan mencari kesempatan berturut-turut.”

“Aku akan menangkapnya,” geram Ki Jagabaya.

“Tidak perlu Ki Jagabaya. Aku akan dapat melakukannya. Aku adalah pemimpin pengawal Kademangan ini. Aku akan mengajarinya agar ia tidak melakukan untuk lain kali.”

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeram, “Akulah yang bertanggung jawab.”

“Tetapi masalah anak-anak serahkanlah kepada anak-anak. Aku akan menyelesaikannya,” Temunggul berhenti sejenak. “Sebenarnya aku akan segera menyelesaikannya. Tetapi aku memerlukan datang kemari untuk meminta dukungan atas tindakanku. Sekadar untuk diketahui dan dibenarkan.”

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berpaling kepada Ki Demang.

“Biarlah anak-anak menyelesaikannya,” desis Ki Demang. “Tetapi jangan kita biarkan mereka pergi sendiri. Kadang-kadang aku bercuriga, apakah Bramanti itu bukan sekadar seseorang yang dipergunakan oleh orang lain di Kademangan ini.”

“Ya. Aku pun mencurigainya,” sahut Ki Jagabaya. “Bahkan mungkin ia adalah seseorang yang sengaja ditanam oleh Panembahan Sekar Jagat, karena kebetulan ia orang Kademangan ini.”

Ki Demang menggeleng. Tetapi ia tidak berkata apapun juga tentang itu. Bahkan kemudian ia berkata, “Marilah, aku, Ki Jagabaya dan beberapa orang akan melihatnya.”

“Terima kasih Ki Demang. Aku akan minta ijin dan kesempatan untuk memberinya peringatan dengan caraku.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Tetapi kami yang tua-tua tidak akan melepaskan kalian.”

“Aku akan mengambilnya di rumahnya.”

“Terserah.”

Sebelum mereka berangkat, seorang naik ke pendapa Kademangan, lalu duduk di antara para pengawal. Sejenak ia berdiam diri, namun kemudian sambil berbisik ia bertanya kepada seseorang yang terdekat. “Apakah yang telah terjadi?”

Maka diceriterakannya apa yang dikatakan oleh Temunggul, sehingga anak muda itu, Panjang, terperanjat.

“Aku melihatnya ketika ia pergi ke sungai,” Panjang menjadi ragu-ragu. “Tetapi apakah betul Bramanti melakukannya?”

Dalam keragu-raguan itu ia pun kemudian berdiri karena beberapa orang yang lainpun berdiri juga.

“Kemana kita akan pergi?” bertanya Panjang kepada orang disebelahnya.

“Mengambil Bramanti,” jawab orang itu.

Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian diam saja. Meskipun demikian, ia tidak begitu yakin, bahwa sebenarnya demikianlah yang telah terjadi. Tetapi ia tidak akan dapat mengatakannya.

“Begitu besar perhatian orang-orang Kademangan ini sehingga Ki Demang dan Ki Jagabaya memerlukan pergi,” Panjang bergumam di dalam hatinya. “Kenapa Ki demang tidak memerintahkan saja salah seorang pergi untuk mengambil Bramanti?”

Namun sebelum ia menyatakan keheranannya itu, orang disebelahnya telah mendahului. “Ki Demang dan Ki Jagabaya bercuriga. Apakah tidak ada kekuatan lain dibelakang Bramanti.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertanyaan itulah agaknya yang telah menarik perhatian para pemimpin dan bebahu Kademangan ini.

Maka sejenak kemudian sebuah iring-iringan kecil telah keluar dari halaman Kademangan, berjalan dengan tergesa-gesa ke rumah Bramanti. Anak muda yang terluka itu pun ikut serta, meskipun ia masih harus dipapah oleh orang lain.

“Beberapa hari yang lalu, Ratri juga tergelincir di pereng sungai itu,” tiba-tiba saja Panjang berdesis.
“Tetapi itu adalah salahnya sendiri. Ia berlari-lari dan bekejaran di sepanjang tanggul. Kemudian ia tergelincir. Untung bahwa tebing itu tidak sedalam tebing digerojogan."

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kepalanya yang terangguk-angguk itu telah dipenuhi oleh bermacam-macam persoalan dan pertimbangan. Apalagi apabila ia menghubungkan Bramanti dengan dugaannya selama ini, maka apa yang terjadi itu sama sekali tidak masuk di akalnya.

Meskipun demikian Panjang berjalan saja di dalam iring-iringan kecil itu menuju ke rumah Bramanti.

Sementara itu Bramanti dengan nafas terengah-engah masuk ke dalam kandangnya. Segera ia menghempaskan dirinya sambil memijit-mijit kakinya. Meloncat sedemikian tingginya, terasa juga kakinya agak menjadi sakit.

“Hem,” ia kemudian berdesah. “Aku kira pasti masih akan ada akibat dari permainan ini,” desisnya.

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya diluar sadarnya. Namun ia menjadi bimbang. Apakah yang sebaiknya dilakukan, apabila sesuatu akan terjadi?

Tanpa dikehendakinya, Bramanti menengadahkan wajahnya. Meskipun ia tidak melihat sesuatu, namun ia tahu benar, bahwa di atas belandar itu ia menyimpan sebuah pedang pendek.

Bramanti terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang mendekati kandangnya. Kemudian sebuah kepala tersembul dari balik pintu.

“Oh,” Bramanti pun berdiri sambil mempersilakan. “Apa paman akan masuk ke dalam kandang ini?”

Ki Tambi tersenyum. Jawabnya, “Apa salahnya, bukankah aku sudah sering masuk dan duduk di dalam kandang ini.”

Bramanti pun mencoba tersenyum pula, meskipun senyumnya terasa hambar.

“Apakah paman akan bertemu ibu?”

“Tidak, kali ini tidak. Aku hanya sekadar mampir,” Ki Tambi berhenti sejenak. Tatapan matanya tiba-tiba hinggap pada pakaian Bramanti yang agak tidak wajar. Meskipun ia mamakai kain, tetapi kain itu telah menjadi basah.

“Paman melihat pakaianku yang basah?”

“Ya. Apakah kau terperosok ke dalam parit?”

Bramanti menggeleng, “Tidak paman. Tidak hanya sekadar parit. Tetapi aku telah terjerumus ke dalam suatu kesulitan.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. “Apakah yang telah terjadi?”

Bramanti menarik nafas. Kemudian diceriterakannya apa yang telah terjadi atasnya, dan apa yang telah dilakukannya.

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Hampir saja ia berteriak kegirangan. Dengan demikian ia mendapat bukti bahwa Bramanti memang bukan orang kebanyakan meskipun caranya berceritera terlampau sederhana.

“Tetapi perhitungannya yang tepat, dan kemampuannya meloncat dari tebing tanpa mengalami gangguan apapun adalah suatu pertanda bahwa ia memang luar biasa,” desis Ki Tambi di dalam hatinya.

“Paman, aku kira Temunggul dan kawan-kawannya tidak akan berhenti sampai disini. Aku kira mereka akan mendendam. Setiap saat dendam itu akan dapat meledak.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, memang mungkin. Lalu apakah yang akan kau lakukan seandainya mereka akan berbuat sesuatu atasmu?”

“Itulah yang akan aku tanyakan kepada paman. Apakah yang sebaiknya aku lakukan?”

“Melawan mereka,” sahut Ki Tambi.

“Mana mungkin paman?” suara Bramanti melonjak, lalu nadanya merendah. “Aku akan mengungsi saja paman. Aku tidak mau mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya, “Kemana kira-kira kau akan mengungsi?”

“Aku tidak tahu.”

“Apakah kau akan minta perlindungan Resi Panji Sekar?”

Terasa dada Bramanti berdesir. Sepercik keheranan melonjak ke wajahnya, namun kemudian wajah itu menjadi tenang kembali. “Aku belum mengenal Resi Panji Sekar paman.”

Namun Ki Tambi justru tertawa, meskipun ia tidak segera menjawab.

“Kenapa paman tertawa?”

“Tidak apa-apa. Tetapi terserahlah kepadamu. Kalau jalan yang kau anggap paling baik adalah mengungsi, maka pergilah mengungsi. Aku bersedia mengantarmu.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka berdua saling diam diri sehingga kandang itu menjadi sepi.

Sementara itu iring-iringan yang mendatangi rumah Bramanti menjadi semakin dekat. Temunggul yang berjalan paling depan tersenyum di dalam hatinya.

Ia akan mendapat kesempatan melepaskan sakit hatinya kepada Bramanti tanpa dicurigai dan dipersalahkan oleh siapapun. Bahwa sekarang hubungannya dengan Ratri seakan-akan menjadi semakin jauh adalah karena Bramanti itu pula.

“Aku harus membuatnya benar-benar jera,” katanya di dalam hati.

Bramanti yang masih berada di kandangnya sama sekali tidak menyangka, bahwa ekor dari peristiwa itu, dan yang selama ini dicemaskannya, akan begitu cepat terjadi, sehingga ia masih saja duduk dikandangnya.

“Aku akan menghindar saja paman,” terdengar kemudian ia mengeluh. “Aku tidak mau menjadi kambing hitam di Kademangan ini.”

“Lalu kau tinggalkan lagi rumah dan ibumu?”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

“Aku menjadi bingung, apakah yang sebaiknya aku lakukan?”

“Jangan bingung Bramanti. Lakukanlah menurut kehendakmu. Mana yang baik itulah yang kau lakukan. Mana yang baik menurut pendapatmu tentu.”

“Aku bingung paman.”

“Kau buat sendiri menjadi bingung. Apakah kau akan berusaha mengungsi pula ketika aku mengatakan kepadamu, bahwa pada suatu ketika orang-orang Panembahan Sekar Jagat mungkin sekali akan datang ke rumah ini?”

“Aku memang sudah memikirkannya paman.”

“Dan sekarang ekor dari persoalan ini akan mempercepat langkahmu meninggalkan rumah dan ibumu yang sudah tua?”

Bramanti terdiam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Namun sekali lagi diluar sadarnya ia menengadahkan kepalanya, memandang ke atas blandar. Tetapi ia tidak melihat sesuatu.

Ketika Bramanti kemudian merenung, maka Temunggul beserta iring-iringannya menjadi semakin dekat. Mereka telah berada di ujung desa tempat tinggal Bramanti. Mereka hanya tinggal melangkah beberapa puluh langkah lagi, kemudian mereka akan segera mengetuk pintu rumah itu apabila pintu itu tertutup.

Seperti pada saat-saat Bramanti baru datang, maka kini mereka tidak hanya akan sekadar memberinya peringatan dan ancaman, tetapi mereka pasti akan berbuat sesuatu.

Sekali-sekali Temunggul tersenyum sendiri. “Ratri harus melihat bahwa aku adalah seorang laki-laki. Aku tidak mau diremehkan dan direndahkan. Ia akan mendengar, suatu saat aku telah berkelahi melawan Bramanti.

Ya, aku akan minta kepada Ki Demang untuk berkelahi seorang melawan seorang kali ini. Aku akan mendapat kepuasan menghajarnya. Kemudian biarlah anak yang terluka itu melepaskan sakit hatinya pula.”

Dalam pada itu, dikandang, dihalaman rumah Bramanti. Ki Tambi berkata, “Sampai kapan kau akan menjadikan dirimu sendiri itu menjadi orang yang paling hina? Kau adalah seorang laki-laki. Berbuatlah seperti seorang laki-laki.”

Bramanti tidak segera menjawab. Sebenarnya di dalam dadanya sendiri telah bergolak maksud untuk lebih dahsyat lagi daripada sekadar sebuah pertanyaan serupa itu. Namun setiap kali ia selalu mencoba mengekang diri.

Yang paling pahit bagi Bramanti adalah setiap tuduhan, bahwa ia akan melakukan balas dendam atas kematian ayahnya. Sebab dengan demikian, maka maksudnya untuk menyatu kembali di dalam masyarakat Kademangannya pasti tidak akan dapat berhasil dengan baik. Sehingga dengan demikian maka jarak antara dirinya dengan orang-orang Kademangan Candi Sari akan menjadi semakin jauh. Lalu, apakah dengan jarak yang semakin jauh itu ia akan dapat berbuat sesuatu untuk Kademangan ini? Apalagi untuk mencuci nama ayah dan keluarganya?

Karena pergolakan di dalam hatinya itulah Bramanti tidak segera menjawab.

“Bramanti,” berkata Ki Tambi. “Adalah baik sekali bahwa seseorang itu rendah hati, menahan diri, berbaik dengan semua orang, tidak sombong, tidak angkuh dan segala macam kelakuan lain menurut orang tua-tua. Tetapi apakah dengan demikian kita akan membiarkan orang lain itu berbuat sekehendak hati atas kita? Temunggul dapat berbuat sesuka hatinya, tetapi tidak melampaui batas. Aku tidak suka dengan perbuatan-perbuatan semacam itu.”

“Ia mempunyai kekuasaan di Kademangan ini paman.”

“O, apakah ia menyangka, bahwa kekuasaannya itu dapat dibuat apa saja sesuka hatinya? Bahkan menyalahgunakan kekuasaan itu?”

Bramanti tidak menjawab. Kepalanya masih saja menunduk.

“Bramanti,” desis Ki Tambi. “Sebenarnya aku menaruh curiga padamu.”

“He,” Bramanti terperanjat. “Apakah yang paman curigai atasku.”

“Tidak dalam arti yang jelek Bramanti. Tetapi sebaliknya.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Ditatapnya saja wajah Ki Tambi yang menjadi bersungguh-sungguh.”

“Bramanti,” berkata Ki Tambi kemudian. “Sebenarnya aku menganggap bahwa kau bukanlah seorang seperti yang kau perkenalkan selama ini. Orang yang hanya mampu mengungsi apabila menghadapi masalah yang penting. Yang hanya dapat melarikan diri dan bersembunyi.”

“Aku tidak mengerti paman.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. “Aku menangkap sesuatu padamu. Aku menjadi semakin yakin ketika aku melihat orang Panembahan Sekar Jagat yang terluka itu memandangmu seperti memandang hantu.”

“Ah,” desis Bramanti. “Paman selalu mengada-ada saja.”

“Tidak Bramanti, aku tidak mengada-ada. Aku hanya ingin memperingatkan kau, bahwa keadaan Kademangan ini semakin lama akan menjadi semakin parah. Selain kelakuan anak-anak mudanya sendiri, Panembahan Sekar Jagat pun agaknya akan mengambil sikap yang lebih keras akibat kelakuan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu. Nah, apakah kau masih juga akan selalu berbaring saja di dalam kandangmu dan hanya keluar apabila kau ingini sekadar bermain-main.”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam.

Ki Tambi pun kemudian berdiam diri, seolah-olah memberi waktu kepada Bramanti untuk mencernakan kata-katanya di dalam hatinya. Sekali-kali dilihatnya wajah Bramanti yang menjadi semakin berkerut-kerut.

Kandang itu pun kemudian menjadi hening. Keduanya saling berdiam diri, sehingga yang terdengar hanyalah desah nafas mereka, dan sekali gemerisik tangan Ki Tambi menyentuh jerami kering.

Bramanti mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara ibunya yang terbatuk-batuk di dapur, karena asap kayu yang masih belum kering benar. Ibunya yang menjadi semakin tua, dan seolah-olah menjadi jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya.

Ibunyalah selain gurunya, yang telah banyak mengekang dirnya. Dan ia tidak mau membuat hati ibunya semakin risau.

Namun tiba-tiba keheningan itu telah dipecahkan oleh suara hiruk pikuk di halaman. Beberapa orang telah memasuki regol dan bahkan sambil berteriak-teriak. “Jangan sampai anak itu lari.”