Suling Emas & Naga Siluman -6 | Kho Ping Hoo



Buku 6

Mendengar bahwa nama yang dikenalnya itu hanya nama palsu, atau nama aseli yang dibalikkan saja, Siok Lan memandang kepada panglima muda itu dengan heran, akan tetapi ibunya, Puteri Nandini menjadi terkejut bukan main. “She Kao?” Panglima wanita itu berseru. “Apa hubungannya dengan Jenderal Kao Liang?”

Cin Liong mengangguk kepada puteri peranakan Nepal yang gagah itu. “Mendiang Jennderal Kao Liang adalah Kakekku.”

“Hemm.... Puteri Nandini mengangguk-angguk, tidak penasaran lagi bahwa dia telah dikalahkan oleh jenderal muda ini karena nama Jenderal Kao Liang telah sangat terkenal dan tentu saja cucunya ini pun mewarisi kepandaian yang hebat dari jenderal besar itu. “Jadi kalau tidak salah, Ciangkun adalah putera pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?”

Kembali Cin Liong mengangguk tanpa menjawab karena dia memang tidak ingin memamerkan keadaan keluarganya.

“Setelah kami kalah, apa yang hendak kaulakukan dengan kami?” kini Puteri Nandini bertanya, dalam suaranya mengandung tantangan.

“Li-ciangkun, dan.... Nona Siok Lan, tepat seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, kami bukanlah orang-orang yang tidak mengenal budi. Oleh karena itu, sebagai pembalasan budi, silakan kalian pergi dengan aman.

“Apa? Engkau berani membebaskan kami?” Puteri Nandini berteriak kaget dan juga heran. Dia adalah seorang panglima musuh yang telah kalah, dan kini dibebaskan begitu saja oleh panglima ini!

“Li-ciangkun hanya seorang petugas, bukan biang keladi peperangan ini. Silakan!”

“Mari, Anakku!” kata Nandini sambil menarik tangan Siok Lan. Dara ini masih menoleh dan memandang kepada Cin Liong, mukanya pucat dan sepasang matanya basah.

“Selamat jalan, Nona, mudah-mudahan kita dapat saling bertemu kembali dan maafkan semua kesalahanku,” kata Cin Liong sambil menjura ke arah Siok Lan yang terisak dan menutupi mukanya.

“Ci Sian, engkau sahabat baik kami, apakah engkau tidak mau pergi bersama kami?” Puteri Nandini mengajak Ci Sian akan tetapi dara ini menggeleng kepala dengan sikap yang keras. Kembali ada rasa tidak enak di hatinya menyaksikan sikap Cin Liong dan Siok Lan.

“Tidak, Bibi, aku mau pergi sendiri, aku mempunyai urusan pribadi!” katanya dan tanpa banyak cakap lagi, bahkan tanpa menoleh kepada Cin Liong, dia lalu meloncat dan pergi dari tempat itu.

“Adik Sian....!” Terdengar panggilan Siok Lan dengan suara mengandung isak.

Ci Sian berhenti, menoleh dan berkata kepada sahabatnya itu, “Sampai jumpa, Enci Lan!” Dan dia pun melanjutkan larinya tanpa mempedulikan lagi.

“Mari, Siok Lan!” Puteri Nandini menarik tangan puterinya, akan tetapi Siok Lan masih menoleh dan memandang kepada Cin Liong. Akhirnya, dengan menahan isak, dia pun mengikuti ibunya lari pergi dari tempat itu, diikuti dan dikawal oleh pasukan pengawal atas perintah Cin Liong agar ibu dan anak itu tidak diganggu dan dibiarkan lolos dari kota Lhagat di mana masih terjadi pertempuran-pertempuran dengan sisa pasukan Nepal yang masih melakukan perlawanan. Sebagian besar pasukan Nepal sudah roboh atau melarikan diri.

Setelah Panglima Nandini dan puterinya pergi lolos dari Lhagat, pertempuran pun tak lama kemudian berhenti karena pasukan Nepal sudah kehilangan semangat dan keberanian. Sebagian dari mereka melarikan diri atau membuang senjata dan menaluk. Para talukan ini oleh Cin Liong diserahkan kepada para pimpinan pasukan Tibet untuk dijadikan tawanan, kemudian Cin Liong yang menduduki gedung bekas tempat tinggal Puteri Nandini mengumpulkan para pembantunya. Diantara mereka itu terdapat pula Wan Tek Hoat yang berjasa besar ketika membantu pasukan membobolkan kepungan karena pendekar sinting ini yang mengamuk sehingga membuat pasukan kocar-kacir.

“Paman, saya telah menerima perintah untuk melanjutkan gerakan ini ke Nepal, untuk menghajar pemerlntah Nepal yang telah berani menyerang dan memasuki wilayah Tibet. Saya sedang minta bantuan pasukan dari kerajaan untuk memperkuat barisan. Harap Paman sudi membantu kami.”

Akan tetapi Tek Hoat menggeleng kepala. “Aku tidak mau lewat Bhutan, aku tidak mau perang, aku tidak bisa ikut.”

Cin Liong hanya menarik napas panjang. Dia merasa kasihan sekali kepada pamannya yang gagah perkasa ini dan melihat keadaannya seperti jembel sinting ini dia merasa kasihan sekali.

“Kalau begitu sebaiknya Paman mengunjungi orang tua saya, Ibu tentu akan senang sekali bertemu dengan Paman.”

Cin Liong lalu memberl bekal, kuda, pakaian dan uang secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat tertawa bergelak melihat pemberian ini.

“Jenderal muda, kaukira aku masih membutuhkan semua itu? Bukan itu yang kubutuhkan, sama sekali bukan....” Dia masih tertawa ketika dia berlari pergi meninggalkan Cin Liong yang menjadi bengong. Jenderal muda ini lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali. Dia sudah banyak bertemu orang-orang pandai di dunia kang-ouw yang memang wataknya aneh-aneh, dan pamannya itu mempunyai watak yang lebih aneh lagi.

“Siok Lan, diamlah jangan menangis lagi!” Nandini membentak dengan marah. Di sepanjang perjalanan puterinya hanya menangis saja, menangis demikian sedihnya. Semenjak kecil, puterinya itu adalah seorang anak yang tabah dan tidak cengeng, bahkan belum pernah dia melihat Siok Lan menangis seperti sekarang ini, menangis demikian sedihnya! Dikiranya bahwa anaknya itu menangis karena kekalahannya yang dideritanya.

“Di dalam perang, kalah menang adalah hal yang lumrah, seperti juga dalam pertempuran dunia persilatan. Harus kita akui bahwa fihak musuh mempunyai seorang ahli yang amat lihai dan siasatnya itu sama sekali tidak pernah kusangka dan kuperhitungkan. Kita sudah kalah, mengapa harus ditangisi? Biasanya engkau bukanlah seorang anak cengeng!”

Siok Lan tidak menjawab akan tetapi tangisnya semakin sedih.

“Semula memang aku sudah menduga bahwa tidak mungkin bala tentara Nepal akan mampu mengalahkan bala tentara Kerajaan Ceng-tiauw yang amat kuat. Semua adalah kesalahan koksu jahat itu yang membikin Nepal bermusuhan dengan Kerajaan Ceng. Dan kekalahanku ini membuat aku tidak ada muka untuk kembali ke Nepal....! Ah, kita hanya hidup berdua, Anakku, kita tidak mempunyai apa-apa di Nepal, maka jangan kau terlalu menyusahkan kekalahan ini.”

“Bukan.... bukan itu, Ibu,” kata Siok Lan yang berhenti berjalan dan dara ini duduk di tepi jalan, di antara sebuah batu besar dan kembali air matanya jatuh berderai.

Nandini terkejut dan memandang penuh selidik. “Kalau bukan karena kekalahan itu, habis mengapa kau menangis dan begini berduka?”

“Ibu.... dia jenderal musuh.... hu-hu-huuuuhhh....“ dan kini Siok Lan menangis sesenggukan dan menubruk kaki ibunya, berlutut sambil menangis.

Nandini terkejut dan sejenak dia termenung, menunduk dan memandang kepala anaknya yang menangis di depan kakinya. Lalu dia mengangkat bangun anaknya itu setengah paksa, merangkul dan membawanya duduk kembali di atas batu, membiarkan anaknya itu menangis di atas dadanya. Puteri itu memejamkan matanya dan terbayanglah semua pengalamannya di waktu dahulu, di waktu dia masih muda, masih sebaya dengan puterinya ini.

Nandini adalah puteri seorang pendeta bangsa Nepal yang hidup di atas puncak sebuah bukit yang sunyi. Ayahnya adalah seorang pertapa yang sakti dan oleh ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu ketangkasan dan ilmu silat. Pada suatu hari, ketika Nandini sedang memburu binatang dalam sebuah hutan, dia melihat perampok-perampok sedang merampok seorang Pangeran Nepal, Nandini menggunakan kepandaiannya menolong pangeran itu, dan Sang Pangeran amat berterima kasih dan sekaligus jatuh cinta kepadanya, lalu melamar Nandini dari tangan ayahnya. Sang pendeta tentu saja merasa terhormat dan menerima lamaran itu dengan girang. Akan tetapi Nandini sendiri merasa berduka karena dia tidak suka kepada pangeran itu. Biarpun kedudukannya tinggi, sebagai seorang panageran yang tentu saja terhormat, mulia dan kaya raya, namun pangeran itu sudah berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah kasar buruk dan kabarnya telah memiliki selir belasan orang banyaknya! Biar pun dia akan diambil sebagai isteri, bukan selir, namun hatinya tidak senang. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja dia tidak berani menolak kehendak ayahnya dan demikianlah, dia menjadi tunangan pangeran tua itu! Dan pada suatu hari, beberapa bulan sebelum dia menikah, bertemulah dia dengan pendekar itu di dalam hutan! Seorang pendekar bangsa Han yang masih muda, tampan, sakti sekali, dan di samping itu, pandai merayu hatinya sehingga jatuhlah hati Nandini! Apalagi kalau dia membandingkan pendekar muda ini dengan calon suaminya, membuat Nandini kehilangan kesadarannya dan dia menyerahkan dirinya kepada pendekar itu yang memang merayunya. Terjadilah hubungan di antara mereka di dalam hutan, hubungan mesra yang kini terbayang oleh sepasang mata yang dipejamkan itu.

Akan tetapi hubungan antara mereka itu akhirnya ketahuan! Ayahnya menjadi marah dan menyerang pendekar itu, akan tetapi ayahnya sama sekali bukan tandingan pendekar itu dan ayahnya malah tewas dalam penyerangan itu, bukan tewas oleh tangan Si Pendekar, melainkan tewas karena serangan jantung, karena kemarahannya yang meluap-luap.

Kemudian terjadilah hal yang amat menyakitkan hatinya. Pendekar itu lalu meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja, padahal dia sudah mengandung! Hasil dari pada pencurahan kasih dan nafsu berahi antara mereka selama hampir satu bulan di dalam hutan!

Namun, pangeran tua itu ternyata amat mencintainya dan bahkan mau memaafkan semua hubungannya dengan Si Pendekar. Pangeran itu tetap saja mengawininya, dan tidak mau menjamahnya sampai dia melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Siok Lan! Melihat kebaikan pangeran itu, sungguhpun sebagian dari penyebabnya adalah karena pangeran itu ingin menutupi aib yang akan mencemarkan namanya sendiri, akhirnya Nandini menerima nasib dan mau melayani pangeran itu sebagai suaminya. Kemudian, berkat ilmu kepandaiannya, suaminya memberi jalan kepada Nandini sehingga dia dapat bertugas di dalam ketentaraan dengan pangkat lumayan. Dan ketika pangeran itu meninggal dunia karena penyakit, Nandini terus menanjak dalam kedudukannya sampai akhirnya dia mendapat kedudukan tinggi sebagai seorang panglima perang!

Dan akhirnya kedudukannya itu berakhir dengan kekalahan yang amat memalukan! Dia tidak berani kembali lagi ke Nepal. Kemudian, mendengar tangis puterinya, teringatlah dia akan semua pengalamannya itu, terbayanglah wajah tampan pendekar itu!

“Siok Lan, apa yang terjadi antara engkau dan Jenderal muda itu?” Akhirnya dia bertanya, setengah mengkhawatirkan bahwa peristiwa yang dialaminya dahulu itu terulang lagi pada puterinya!

Siok Lan memandang ibunya dan melihat sinar mata ibunya tajam penuh selidik, dia pun membalas dengan pandang mata bersih dan tenang. “Tidak ada terjadi apa-apa kalau itu yang kaumaksudkan, Ibu. Akan tetapi kami.... kami telah saling jatuh cinta.... akan tetapi.... tentu saja kusangka bahwa dia seorang pemburu muda biasa, bukan seorang jenderal besar.... hu-huuuhh, apalagi jenderal musuh....”

Nandini mengelus rambut kepala puterinya. “Aku girang bahwa tidak terjadi apa-apa antara engkau dan dia.... dia memang seorang pemuda yang patut mendapat cintamu, Anakku, akan tetapi.... dia jenderal musuh! Mana mungkin dia mau menikah atau berjodoh dengan seorang seperti engkau....”

“Tapi, kami sudah saling mencinta, Ibu!”

Hemm.... dia seorang ahli siasat perang! Siapa tahu bahwa cintanya kepadamu itupun hanya merupakan siasatnya belaka....“

“Ibu....! Jangan begitu kejam.... ah, tidak mungkin itu! Ibu, aku mau susul dia, akan kutanyakan hal itu. Kalau.... kalau benar cintanya itu hanya siasat, aku.... aku akan....”

“Kau mau apa?”

“Aku akan membunuhnya!”

Nandini tersenyum sedih. Dia pun dahulu ingin membunuh pendekar tampan itu, akan tetapi dia tahu bahwa biarpun dia belajar sampai sepuluh tahun lagi, tak mungkin dia dapat menandingi pendekar itu. Dan puterinya ini, biar belajar puluhan tahun lagi mana mungkin dapat menandingi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu mendiang Jenderal Kao Liang?

“Kau takkan menang Anakku.”

“Tidak peduli! Kalau dia menipuku, hanya bersiasat dalam cintanya, biar dia atau aku yang mati!”

“Hemm, itu tidak bijaksana, Siok Lan. Ingat, engkau adalah puteri panglima musuh, selain perbuatanmu menyusul jenderal musuh itu amat memalukan, juga begitu muncul engkau tentu akan dianggap, musuh dan dikeroyok para anak buah pasukan....“

“Aku tidak takut!” kata Siok Lan yang nampak penasaran mengingat betapa cinta pemuda itu mungkin hanya siasat perang saja! “Lebih baik aku mati dikeroyok daripada tidak ada harapan berjodoh dengan dia!”

Siok Lan sudah nekat. Memang benar bahwa pemuda itu dan dia masing-masing belum pernah menyatakan cinta dengan kata-kata melalui mulut, akan tetapi dia merasa benar ketika mereka saling pandang, saling senyum dan saling bergandeng tangan. Dia dapat merasakan cinta kasih itu melalui sinar mata, melalui seri senyum, melalui getaran dalam sentuhan jari-jari tangan antara mereka.

“Siok Lan, jangan terburu nafsu. Aku sebagai ibumu dapat memaklumi perasaanmu dan aku setuju sepenuhnya andaikata engkau dapat berjodoh dengan Jenderal muda itu. Dia itu adalah cucu Jenderal Kao Liang, ini saja sudah merupakan suatu jaminan. Apalagi diingat bahwa dia putera Naga Sakti Gurun Pasir, itu lebih lagi. Pula, kita sudah melihat betapa lihainya dia mengatur siasat perang, dan aku yakin bahwa ilmu silatnya pun amat tinggi. Maka, mana mungkin engkau, hanya anak seorang Panglima Nepal yang telah kalah....“

“Ibu, bukankah Ibu pernah mengatakan bahwa aku juga seorang anak kandung dari pendekar yang sakti?”

“Ayahmu....?” Wajah wanita yang masih cantik itu berubah merah, kemudian menjadi pucat kembali. Dia memejamkan matanya dan terbayanglah dia ketika dia belum berangkat memimpin pasukan, pernah ada seorang pengembara datang membawa surat dari pendekar bekas kekasihnya itu, ayah kandung Siok Lan. Surat itu seperti juga watak orangnya, penuh rayuan dan ternyata pendekar itu sudah mendengar bahwa dia telah menjadi seorang janda dan pendekar itu merayunya dalam surat, menyatakan rindunya, menyatakan bahwa pendekar itu kini hidup seorang diri, kesepian dan menanggung rindu, dan membujuknya agar suka datang ke tempatnya, menikmati hidup bersama! Surat itu telah dirobek-robeknya dan dia berangkat memimpin pasukan menyerbu ke Tibet. Akan tetapi kini, ketika puterinya merengek, teringatlah dia akan isi surat.

“Hemm, memang hanya ada satu jalan. Dan Ayah kandungmu itu, yang selama hidupnya belum pernah menderita jerih payah merawat dan mendidikmu, sekarang dia harus bertanggung jawab! Ya, dia harus membuktikan bahwa dia seorang ayah yang patut dan yang sudah sepantasnya kalau menjodohkan puterinya! Mari kita pergi kepadanya, Siok Lan, dan kita serahkan urusan jodoh ini kepadanya!”

Siok Lan merasa girang sekali dan kedukaannya segera terhapus dari wajahnya dan pada wajah yang cantik itu terbayang penuh harapan ketika dia pun lari mengikuti ibunya.

***

Puncak Merak Emas merupakan satu di antara puncak-puncak Gunung Kongmaa La yang menjulang tinggi di atas awan-awan. Kongmaa La merupakan gunung yang nomor tiga tingginya dari deretan Pegunungan Himalaya, memiliki banyak puncak yang sedemikian tingginya sehingga hampir selalu tertutup es dan salju. Akan tetapi, puncak Merak Emas hanya pada musim salju saja tertutup es dan pada musim-musim lain, terutama di musim semi dan musim panas, puncak Merak Emas amat indahnya dan subur dengan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon besar. Mungkin karena banyaknya terdapat merak dengan bermacam-macam warna, maka puncak itu dinamakan puncak Merak Emas, sungguhpun jarang sekali ada manusia yang dapat bertemu dengan seekor merak yang bulunya keemasan.

Karena tanahnya yang subur dan keadaannya yang lebih enak ditinggali, tidak seperti puncak-puncak lainnya di Pegunungan Himalaya, maka di kaki dan lereng gunung ini terdapat kelompok-kelompok dusun yang penghuninya bekerja sebagai petani atau pemburu binatang hutan. Akan tetapi di puncaknya sendiri hanya terdapat sebuah pondok kayu yang sederhana namun kokoh kuat dan setiap hari orang dapat mendengar suara seorang pria membaca sajak dengan suara yang lantang dan merdu dari dalam pondok itu. Di belakang pondok itu terdapat kebun yang cukup luas, penuh dengan tanaman sayur-sayuran seperti kobis, sawi, wortel, lobak dan sebagainya lagi, di samping beberapa petak sawah yang ditanami padi gandum.

Semua penghuni dusun di sekitar puncak itu tahu bahwa pondok itu dihuni oleh seorang pria yang hidup menyendiri di situ, di tempat sunyi itu. Seorang pria yang berpakaian seperti petani biasa, usianya sudah empat puluh tahun lebih namun masih nampak gagah dan muda, tampan dan periang. Tubuhnya kokoh kuat biarpun gerak-geriknya halus seperti seorang sastrawan, wajahnya yang gagah dan tampan itu selalu berseri kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan jenggot serta kumisnya terpelihara rapi selalu. Biarpun pakaiannya sederhana, pakaian petani namun selalu nampak bersih dan rapi, sungguh amat berbeda dengan para petani yang biasanya selalu berlepotan lumpur.

Melihat betapa dia hidup dalam keadaan tenang dan tenteram, nampaknya amat berbahagia, orang akan menganggap dia seorang petani biasa yang berbahagia, tidak butuh apa-apa lagi, hidup sehat dan penuh damai. Akan tetapi kalau malam tiba, dan orang melihat dia duduk di senjakala menikmati matahari tenggelam sambil melamun, kadang-kadang minum arak sendirian dan membaca sajak-sajak yang indah dengan suara lantang, maka, melihat wajahnya yang menjadi berduka, mendengar bunyi rangkaian sajak yang bernada sedih, maka orang akan tahu bahwa sebenarnya ada kedukaan besar tersembunyi di balik kehidupan yang nampak bahagia itu. Dan kalau sudah begitu, maka akan jelaslah bahwa dia bukanlah seorang petani biasa, baik dilihat dari caranya membaca sajak, dan gerak-geriknya. Bahkan, di waktu keadaan sunyi sekali dan dia merasa yakin tidak ada mata lain memandang, tubuhnya akan berkelebatan seperti kilat ketika dia berlatih ilmu silat yang amat hebat sehingga gerakan tangan kakinya membuat daun-daun pohon rontok dan tanah di sekeliling tempat dia berlatih itu tergetar seperti ada gempa bumi!

Akan tetapi ada kalanya, agaknya untuk melarikan diri dari kesepian, orang itu nampak bercakap-cakap dengan orang-orang dusun yang tinggal di lereng. Dia sengaja turun dari puncak membawa arak buatannya sendiri, mendatangi para penghuni dusun yang diajaknya minum arak sambil bercakap-cakap, tentang tanaman atau tentang alam atau juga tentang filsafat kehidupan sederhana menurut pandangan para penghuni dusun. Ada kalanya pula dia nampak berada di sebuah kuil yang juga berada menyendiri di sebuah lembah di lereng gunung, sebuah kuil yang dihuni oleh seorang nikouw. Keadaan nikouw ini puri aneh, sama anehnya dengan petani yang suka bersajak itu, karena nikouw ini tinggal seorang diri dalam kesunyian pula. Nikouw ini masih muda, kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya, berwajah bersih dan cantik, namun jarang dia memperlihatkan wajahnya yang selalu disembunyikan di balik kerudung putih. Nikouw ini amat ramah dan manis budi terhadap para penghuni dusun, seringkali berkeliling untuk memberi petunjuk dan pengobatan, dan seringkali menerima orang-orang bersembahyang memohon berkah dari para dewa. Biarpun tidak pernah bertanya dan tidak pernah melihat buktinya, namun semua penduduk dusun dapat merasakan bahwa baik si petani di puncak, maupun nikouw di kuil sunyi itu tentulah bukan orang-orang sembarangan. Nikouw itu mendiami kuil lama yang dibersihkannya dan diperbaikinya sendiri, juga hidup dari bertanam sayur di belakang kuil. Tak seorang pun dapat mengatakan kapan dua orang ini muncul di tempat itu, akan tetapi seingat para kaum tua di dusun-dusun, kemunculan mereka juga dalam waktu yang sama.

Ada kalanya pula petani itu duduk seorang diri di waktu pagi sekali atau di waktu senja menikmati matahari ,timbul atau matahari tenggelam, sambil meniup suling bambunya. Dia pandai bermain suling, suara tiupan sulingnya mengalun halus dan lembut sekali, mendatangkan hikmat ke mana pun suara itu dapat terdengar. Melihat para petani itu membaca sajak dan meniup suling, dapat diduga bahwa dia tentu seorang ahli sastra, di samping ahli silat.

Pada senja hari itu, kembali dia meniup sulingnya sambil duduk menghadap ke barat, menikmati keindahan angkasa yang seperti terbakar oleh warna merah, kuning dan biru dari sinar matahari senja. Ketika suara sulingnya melambat dan melirih kemudian hilang ditelan keheningan, petani itu tersenyum dan biarpun dia menunduk, namun matanya mengerling ke kanan dan dia melihat berkelebatnya bayangan orang di bawah puncak. Dia bersikap tidak peduli, bahkan lalu bangkit berdiri dan melangkah lambat-lambat memasuki pintu pondoknya.

Bayangan yang berkelebatan cepat itu adalah Ci Sian. Dara ini, seperti kita ketahui telah meninggalkan Lhagat, kemudian dia melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kongmaa La, mencari tempat tinggal ayahnya seperti yang diketahuinya dari penuturan mendiang Lauw Sek. Sore tadi, atau lewat tengahari, dia tiba di kuil sunyi dan melihat seorang nikouw muda dan cantik sedang mencangkul di kebun sayur belakang kuil.

Sejenak Ci Sian merasa terheran melihat seorang nikouw yang muda dan cantik sendirian saja di kuil tua yang sunyi, apalagi melihat nikouw itu melakukan pekerjaan berat mencangkul kebun. Akan tetapi nikouw itu tiba-tiba berhenti mencangkul, menoleh dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian terdengar suaranya bertanya, suaranya mengandung teguran halus namun tajam.

“Siapakah engkau dan mengapa melihat orang yang sedang bekerja?”

Ci Sian adalah seorang dara yang berwatak keras dan melihat sikap nikouw itu, terutama mendengar nada suara pertanyaannya, dia sudah merasa tidak senang. Akan tetapi karena dia datang untuk bertanya, maka dia masih bersabar dan dia cepat menghampiri.

“Nikouw yang baik, saya ingin bertanya apakah di tempat ini ada seorang pertapa she Bu?”

Sungguh mengherakan sekali, mendengar pertanyaannya itu, jelas nampak betapa nikouw itu menjadi marah. Mukanya yang putih halus, itu menjadi kemerahan, sepasang mata yang bening itu kini berapi-api.

“Mau apa engkau mencari orang she Bu?”

“Eh, apa hubungannya hal itu denganmu?” Ci Sian bertanya kembali, kini dia mulai marah. “Beri tahu saja di mana aku dapat bertemu dengan pertapa she Bu itu!”

Sepasang mata yang bening dari nikouw itu makin tajam dan penuh selidik. “Hemm, engkau ini perempuan masih begini muda juga sudah tergila-gila kepadanya?”

Mendengar ini, Ci Sian terkejut dan marah bukan main. Mukanya berubah merah seketika dan dia membentak. ”Engkau nikouw yang seharusnya hidup suci dan bersih, kiranya mulutmu begini kotor! Hayo beri tahu di mana adanya orang she Bu itu!”

“Huh, kau tidak mau memberi tahu keperluanmu, aku pun tidak sudi memberi tahu. Kaucari serndiri saja!” Setelah berkata demikian, nikouw itu mengambil kembali cangkulnya dan mulai lagi mencangkul, mengayun cangkulnya kuat-kuat dan mencangkul tanah tanpa mempedulikan lagi kepada Ci Sian.

Ci Sian sudah mengepal tinju untuk memberi hajaran kepada nikouw yang dianggapnya tidak sopan dan menuduhnya yang bukan-bukan itu, akan tetapi dia terbelalak melihat betapa batu-batu yang terkena hantaman cangkul itu terbelah seperti tanah lempung saja! Maklumlah dia bahwa nikouw ini adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia pun tidak berani bertindak lancang dan ceroboh. Dia hendak mencari ayahnya, dan tempat ini merupakan tempat sunyi di mana dia tahu banyak terdapat pertapa-pertapa yang sakti, maka tidak baik kalau dia mencari keributan dengan sembarang orang. Maka setelah memandang sekali lagi, dia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan kebun dan nikouw yang aneh itu.

Setelah meninggalkan nikouw itu, Ci Sian melanjutkan penyelidikannya dan setelah dia bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu, akhirnya dia mendengar tentang seorang petani aneh yang berada di puncak Merak Emas, tinggal seorang diri dalam pondok dan biar tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu she dari petani itu, tidak ada pula yang mengenal seorang pertapa she Bu, namun hatinya tertarik untuk menyelidiki petani itu.

Dan pada senja hari itu dia mendaki ke arah puncak. Dari jauh dia telah mendengar suara suling yang amat merdu itu dan diam-diam dia sudah merasa semakin tertarik dan terheran karena bagaimana mungkin seorang petani dapat memainkan lagu-lagu klasik itu? Dia mengenal beberapa buah lagu kuno yang tentu hanya dikenal oleh pemain-pemain musik yang pandai, bukan oleh seorang petani biasa saja. Maka dia pun mempercepat gerakannya mendaki puncak dan setelah melihat pondok itu, dia mempergunakan suara suling untuk menyembunyikan bunyi gerakannya dan cepat dia meloncat naik ke atas wuwungan rumah, lalu bersembunyi di balik wuwungan sambil menanti datangnya malam untuk mengintai ke dalam.

Petani itu kini duduk di dalam pondok, minum arak seorang diri dan setelah ruangan dalam pondok itu gelap, dia menyalakan lampu minyak sehingga ruangan itu nampak remang-remang namun cukup terang bagi Ci Sian yang mengintai dari atas genteng. Dia melihat dengan jelas kini wajah seorang laki-lakl yang tampan dan gagah, wajah yang terpelihara baik-baik dan tidak pantas dengan pakaiannya yang amat sederhana itu. Perabot rumah itupun amat sederhana pula, dan pondok itupun hanya memiliki sebuah ruangan saja, di mana terdapat sebuah meja bundar dengan enam buah bangku, semua terbuat daripada kayu sederhana, dan di sudut ruangan itu terdapat sebuah dipan dari kayu yang besar. Pria itu duduk di sebuah di antara bangku-bangku itu, menghadap ke arah pintu. Dua buah daun jendela berada di kanan kirinya, sudah tertutup dan kini pria itu agaknya sudah merasa cukup minum arak. Dia meletakkan cawan araknya di atas meja, mengusap bibir dengan saputangan dan jari-jari tangannya membereskan jenggot dan kumisnya yang terpelihara baik-baik itu dan dia lalu mengambil suling yang menggeletak di atas meja.

Tak lama kemudian, terdengarlah lagi alunan suara suling yang amat merdu, terutama sekali terdengar dengan amat jelasnya oleh Ci Sian yang mengintai di atas genteng. Dia tidak berani turun memperlihatkan diri karena dia masih belum yakin apakah benar orang ini yang dicarinya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau membayangkan bahwa ada kemungkinan, inilah orangnya, inilah ayah kandungnya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu karena dia tidak mempunyai sesuatu yang dapat membuktikan bahwa dugaannya tidak keliru. Bagaimana dia bisa yakin bahwa orang ini benar-benar ayahnya?

Selagi dia merasa bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba matanya yang tajam dapat menangkap berkelebatnya bayangan dua orang di dekat pondok itu. Dia terkejut dan terheran, hatinya merasa semakin tegang karena dia menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu, atau kalau sampai orang di bawah itu menerima tamu dan bercakap-cakap, mungkin saja hal itu akan menjadi jawaban keraguannya apakah benar orang ini ayah kandungnya ataukah bukan.

Ketika Ci Sian melihat betapa dua bayangan yang berkelebat dengan gerakan ringan dan cepat itu kini mendekati pondok dengan hati-hati lalu mengintai ke dalam melalui jendela di sebelah utara, hatinya semakin tegang dan dia memperhatikan. Bukan main kaget dan herannya ketika dia merasa mengenal bentuk tubuh dua orang itu. Dua orang wanita! Dan Ci Sian hampir berani memastikan bahwa mereka itu adaaah Siok Lan dan ibunya! Semakin yakin hatinya ketika dia melihat wanita yang sekarang memberi tanda dengan menaruh jari di depan bibir kepada wanita kedua, tanda bahwa mereka tidak boleh membuat suara gaduh. Karena merasa amat tertarik, Ci Sian lalu mengintai lagi ke dalam dan melihat betapa pria itu masih saja enak-enak meniup sulingnya, kini dengan suara semakin merdu dan romantis, juga mengandung suara-suara keluhan duka.

Memang tidak keliru dugaan Ci Sian. Dua sosok bayangan wanita itu adalah Puteri Nandini dan anaknya, Siok Lan. Seperti kita ketahui, ibu dan anak ini telah meninggalkan Lhagat dan Puteri Nandini tidak mau kembali ke Nepal setelah kekalahan pasukannya, melainkan mengajak anaknya untuk pergi mencari ayah kandung Siok Lan untuk diajak berunding tentang niat Siok Lan berjodoh dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Ketika dia mendengar bahwa di puncak itu terdapat seorang petani setengah tua hidup menyendiri, dia tidak merasa ragu-ragu lagi dan mengajak puterinya untuk melakukan penyelidikan.

“Hati-hati, jangan kau sembarangan ikut campur kalau terjadi keributan di rumah itu. Urusan antara aku dan siapa pun di sana, jangan kau mencampurinya.”

Siok Lan mengangguk, sungguhpun dia merasa heran dan tidak mengerti. Betapa pun juga, hatinya tegang sekali membayangkan betapa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selamanya tidak pernah dilihatnya itu.

Dengan jantung berdebar dan tangan terkepal membentuk tinju, perasaahnya tidak karuan, Puteri Nandini mendekati jendela dengan puterinya. Mendengar tiupan suling yang merdu sekali itu, hatinya tergetar dan dia memejamkan kedua matanya, wajahnya menjadi merah dan terbayanglah semua pengalamannya di masa lampau, pengalamanan penuh kemesraan. Dia lalu mengintai melalui jendela itu dan begitu dia melihat petani itu yang duduk meniup suling dengan wajah mengandung duka, diam-diam dia mengeluh dan tubuhnya gemetar, penuh kerinduan yang selama belasan tahun ditahan-tahannya akan tetapi di samping keindahan itu juga terdapat perasaan duka dan penyesalan yang amat pahit. Setelah memejamkan mata sejenak, wanita ini mengintai lagi dan pada saat itu, tiupan suling yang mengalun itu berbunyi panjang dan semakin bernada penuh duka, makin lama makin lambat dan lirih sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Pria itu mengeluh, lalu melepaskan suling itu ke atas meja, lalu memejamkan mata, menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan terdengar keluhannya panjang pendek. Tidak dapat ditangkap jelas apa yang dikeluhkannya, akan tetapi bekas panglima wanita Nepal itu dengan sangat jelas dapat menangkap namanya disebut-sebut. dalam keluhan itu, keluhan yang menyatakan rindu terhadap Nandini!

“Nandini.... kekasihku.... mengapa kau tidak kasihan kepadaku.... aku rindu padamu, kenapa kau tidak mau menemaniku di sini....?” Demikianlah kata-kata di antara keluhan yang dapat tertangkap oleh telinga Nandini. Tentu saja wanita ini menjadi terharu sekali dan tubuhnya terasa panas dingin mendengar suara yang amat dikenalnya dan yang pernah amat dicintanya itu! Suara yang dahulu selalu merayunya dengan kata-kata indah, dan betapapun besar perasaan marah, sakit hati dan penyesalannya mengingat betapa dia ditinggalkan begitu saja oleh pria ini, akan tetapi begitu melihat wajahnya, melihat bentuk tubuhnya, mendengar suara tiupan sulingnya, mendengar suara keluhannya, semua kekerasan hatinya mencair dan kini dia mengintai dengan dua mata basah air mata!

Terbayanglah semua pengalamannya yang mesra bersama pria ini! Suasana romantis penuh kemesraan ketika dia dan pria ini memadu kasih, belasan tahun yang lalu di waktu mereka berdua masih sama-sama muda. Teringat dia betapa ilmu silatnya menjadi selihai sekarang karena dia menerima petunjuk oleh pria ini. Berlatih silat, bermain cinta, di antara pohon-pohon dan bunga-bunga di tempat terbuka. Betapa hidup penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan di waktu itu. Teringat akan semua ini, Nandini ingin sekali membobol daun jendela itu, ingin sekali menghampiri, mendekati, menghibur pria itu. Cintanya yang dahulu timbul kembali karena memang tidak pernah padam sama sekali. Bahkan, penyerahan dirinya sebagai isteri pangeran tua itu menambah rindu dan cintanya kepada pria ini. Akan tetapi dia teringat akan Siok Lan yang berada di situ, maka ditahan-tahannya perasaannya, hanya hatinya yang merintih menyebut nama pria yang pernah menjadi kekasihnya ini.

“Nandini.... ah, Nandini, tidak terasakah hatimu betapa aku menderita rindu. ”Omitohud....! Dasar mata keranjang, hidung belang, jahanam ceriwis keparat!” dari luar jendela yang berlawanan, yaitu di sebelah selatan, terdengar suara nyaring yang menyumpah ini.

Mendengar ini, pria itu menoleh ke arah jendela sebelah selatan, tanpa bangkit berdiri, melainkan tersenyum. Dan begitu dia tersenyum, wajahnya nampak semakin menarik, tampan dan kelihatan jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya. Memang pria ini amat tampan, di waktu mudanya dahulu sudah tentu amat tampan dan banyak menjatuh kan hati kaum wanita, sedangkan sekarang pun masih nampak tampan menarik.

“Aihh, Bi-moi yang manis, mengapa engkau main sembunyi-sembunyi dan mengintai? Kalau memang kau merasa rindu padaku dan ingin bicara dan bercanda, masuklah, sayang!” Sungguh ucapan ini mengandung rayuan maut bagi seorang setengah tua seperti dia dan terdengar amat menggairahkan dan juga amat menarik hati.

“Omitohud, dasar gila wanita!” terdengar suara dari luar jendela itu dan tiba-tiba jendela itu jebol didorong dari luar dan melayanglah sesosok tubuh ke dalam kamar itu. Melihat siapa yang masuk ini, Ci Sian terkejut sekali. Tadi dia sudah bengong terlongong ketika dia mengenal bahwa dua orang wanita itu adalah Siok Lan dan ibunya. Selagi dia kebingungan dan terheran-heran belum tahu benar siapa pria itu dan mengapa Siok Lan dan Ibunya berada di situ mengintai seperti dia, maka ketika mendengar suara wanita dari luar jendela selatan itu dia pun amat kaget. Karena dia sejak tadi mengintai, maka dia tidak melihat munculnya wanita ini di belakang jendela selatan dan tahu-tahu dia mendengar suaranya. Kini, melihat siapa yang muncul di dalam kamar dengan gerakan yang demiklan ringan dan cekatan, Ci Sian hampir berseru kaget. Wanita yang masuk ini bukan lain adalah nikouw muda cantik yang dijumpainya siang tadi! Makin bingung dan heranlah dia, akan tetapi dengan penuh perhatian dia terus mengintai dari atas genteng. Nikouw muda itu kini berhadapan dengan pria itu, wajahnya yang putih halus itu merah sekali, tanda bahwa dia sudah amat marah dan suaranya nyaring ketika dia berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya yang berkuku runcing terpelihara itu ke arah hidung pria itu.

“Dasar kerbau hidung belang kau! Katanya hendak bertapa di sini menjauhkan diri dari semua wanita, siapa tahu diam-diam engkau merindukan wanita lain! Keparat, sungguh tak tahu malu engkau!”

“Eh.... ehhh.... sabarlah, sayang. Engkau sendiri yang mengambil keputusan untuk menjadi nikouw sehingga aku terpaksa kekeringan dan kesepian di sini, membuat aku teringat kepada bekas-bekas kekasih lama yang kurindukan. Mengapa kau marah? Marilah, sayang, mari kau mendekat, aihh, tak tahukah engkau betapa selama ini aku amat rindu kepadamu, dan betapa setelah engkau berpakaian nikouw dan kepalamu gundul engkau menjadi semakin cantik saja?”

“Phuhh, siapa sudi rayuanmu? Dan kepalaku sudah tidak gundul lagi!” Berkata demikian, nikouw itu membuka penutup kepalanya dan memang benar, kepala gundul itu sudah ditumbuhi rambut, walaupun baru setengah jari panjangnya.

“Aduh engkau semakin manis. Ke sinilah, mari minum arak bersamaku, Cui Bi kekasihku yang denok!”

“Brakkkkk!” Tiba-tiba daun jendela sebelah utara pecah berantakan disusul melayangnya tubuh Nandini! Wanita ini sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi melihat betapa pria itu merayu nikouw itu sedemikian rupa. Hatinya penuh dengan cemburu yang membuat dadanya hampir meledak sehingga dia tidak ingat apa-apa lagi lalu menghantam jendela itu dan meloncat masuk.

“Nandini....!” Pria itu berseru, nampaknya kaget akan tetapi mulutnya tersenyum penuh daya pikat. “Engkau baru datang, bidadariku dari Nepal?”

“Laki-laki kejam, mata keranjang dan rendah budi! Jadi untuk nikouw inilah engkau meninggalkan aku?” bentak Nandini sambil menudingkan telunjuknya.

“Bu Seng Kin! Jadi engkau telah mempunyai gendak orang Nepal ini?” bentak nikouw itu dan dua orang wanita itu sejenak saling pandang penuh kebencian dan cemburu, akan tetapi kemarahan mereka itu kini tertumpah kepada pria yang disebut Bu Seng Kin itu dan mereka berdua kini menubruk maju dan menyerang pria dari kanan kiri dengan pukulan-pukulan maut yang amat cepat dan ganas!

“Wah, beginikah kalian memperlihatkan rasa rindu kalian? Heh-heh, mana bisa kalian menyerangku dengan ilmu-ilmu pukulan yang kuajarkan sendiri kepada kalian? Ha-ha, tidak kena! Wah, hampir saja, Nandini! Nah, meleset, Cui Bi!” Biarpun diserang dengan ganas oleh dua orang wanita itu, namun dengan amat mudahnya pria itu menggerakkan langkah-langkah kaki sedemikian rupa sehingga semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka!

“Wah, mana bisa kita bicara baik-baik kalau kalian marah-marah begini? Sabarlah, tenanglah....!” pria itu membujuk, akan tetapi bagaikan dua ekor singa betina yang marah-marah, dua orang wanita itu terus menyerang semakin hebat. Akhirnya, entah bagaimana Siok Lan yang mengintai dari jendela dan Ci Sian, yang mengintai dari genteng itu tidak tahu benar, tiba-tiba saja dua orang wanita yang marah-marah itu telah kena dirangkul pinggang mereka di kanan kiri dan pria itu sambil tersenyum-senyum menarik mereka dan mengajak mereka duduk di atas bangku, di kanan kirinya! Akan tetapi Ci Sian segera dapat menduga bahwa tentu pria yang amat lihai itu telah berhasil menotok jalan darah dua orang wanita itu sehingga menjadi lemas dan tidak dapat melawan lagi. Dugaannya memang benar karena biarpun mereka tidak melawan ketika dirangkul dan didudukkan ke atas bangku, keduanya memaki-maki kalang-kabut!

“Bu-taihiap, kalau engkau sampai mengganggu dan menghinaku, aku bersumpah akan memusuhimu sampai titik darah terakhir!” Nandini berkata akan tetapi tidak mampu melepaskan dirinya yang dipaksa duduk di samping pria itu dan pinggangnya yang masih ramping itu dirangkul!

“Bu Seng Kin, aku bersumpah akan membunuh diri kalau engkau berani mengganggu diriku!” nikouw itu juga berkata tanpa mampu melepaskan dirinya yang juga dirangkul pinggangnya.

“Ha-ha-ha, manisku, sayangku, kalian adalah isteri-isteriku, kalian adalah jantung hatiku, aku sayang dan cinta kepada kalian, mana mungkin aku akan mengganggu dan menghina kalian? Akan tetapi kalian juga jangan mengecewakan hatiku lagi, dan suka temani aku makan.” Sambil tersenyum girang, petani yang bernama Bu Seng Kin itu lalu melepaskan rangkulannya dan mengeluarkan makanan dari sudut belakang ruangan yang merupakan dapur. Tidak banyak macamnya makanan itu, hanya beberapa macam sayur sederhana, nasi dan daging kering. Akan tetapi dengan lagak sedang pesta besar, Bu Seng Kin lalu mengatur semua itu di atas meja. Dua orang wanita itu hanya memandang saja, kadang-kadang saling lirik dan saling menyelidiki keadaan masing-masing.

“Ha-ha, mari kita makan, manis. Nandini sayangku, kau makanlah, sawi putih ini dahulu menjadi kesukaanmu, bukan?” Dan dia lalu mengambil sepotong sayur dari mangkok dengan sumpitnya dan membawa makanan itu ke mulut Nandini. Karena maklum bahwa dia tidak berdaya, juga karena terharu akan sikap yang manis dan menyayang dari pria itu, Nandini tidak dapat menolak, membuka mulut dan makan sayur itu.

“Dan kesukaanmu dahulu adalah daging dendeng asin ini, bukan, Cui Bi?” Dia mengambil sepotong kecil daging dengan sumpitnya dan mendekatkannya ke mulut Cui Bi yang kecil mungil itu.

“Gila! Kau tahu sebagai nikouw aku tidak makan daging!” Cui Bi berkata.

“Ah, engkau menjadi nikouw karena terpaksa dalam kemarahanmu, bukan sewajarnya. Sekarang setelah berkumpul kembali dengan aku, tidak perlu kau berpantang daging lagi. Hayolah, jangan pura-pura, manisku.” Dan nikouw itu terpaksa menerima pula daging itu dan memakannya.

Demikianlah, dengan sikap gembira sekali Bu Seng Kin lalu makan minum, menyuapkan makanan secara bergantian kepada dua orang wanita di kedua sisinya itu, juga memberi mereka minum arak. Karena pandainya dia bicara dan merayu, dua orang wanita itu agaknya perlahan-lahan lenyap kemarahan mereka, bahkan mereka kadang-kadang sudah mau tersenyum oleh cerita lucu, walaupun senyum yang ditahan-tahan.

“Hayo ceritakan pengalamanmu semenjak berpisah dariku, Bu-taihiap, ceritakan semua tanpa ada yang kausembunyikan tentang wanita-wanita yang kauambil sebagai penggantiku, baru aku mau melanjutkan makan minum bersamamu.” tiba-tiba Nandini berkata sambil melirik ke arah nikouw yang berada di samping kiri pendekar itu.

“Benar! Aku pun harus mendengar semua petualanganmu sebelum bertemu dengan aku yang agaknya merupakan seorang di antara banyak wanita yang kaurayu dan menjadi jatuh!” kata pula nikouw itu. “Kalau tidak, aku pun tidak sudi duduk bersamamu lagi.

Bu Seng Kin tersenyum lebar dan berdongak ke atas, mengejutkan hati Ci Sian karena dara ini merasa seolah-olah pendekar itu memandang kepadanya yang sedang mengintai. Akan tetapi pendekar itu menunduk kembali dan dia pun mencurahkan perhatiannya. Biarpun dia merasa muak menyaksikan adegan roman-romanan itu, akan tetapi dia pun ingin mendengar cerita orang yang diduganya adalah pria yang dicarinya, yaitu ayah kandungnya. Hatinya sudah seperti disayat-sayat karena kecewa melihat tingkah pria di bawah itu yang jelas merupakan seorang pria tukang merayu wanita, sedang pria yang hidung belang yang pandai sekali menjatuhkan hati wanita.

“Ha-ha-ha, baiklah, baiklah, akan kuceritakan. Aihh, biarpun sudah lewat belasan tahun, hampir dua puluh tahun, engkau masih nampak cantik jelita saja, Nandini, betapa masih kuingat benar ketika aku terpaksa meninggalkanmu, kasihku.”

“Bohong! Dan jangan sebut aku kekasihmu, kalau engkau benar cinta padaku tidak mungkin engkau meninggalkan aku!” kata Nandini dengan marah karena hatinya masih panas kalau teringat betapa dalam keadaan mengandung dia telah ditinggal pergi oleh kekasihnya ini.

“Aihh, jangan kau berkata begitu. Aku pergi meninggalkanmu dengan hati yang berdarah, luka parah oleh kedukaan. Ah, ya, Cui Bi belum tahu akan riwayat kami, biarlah kuceritakan secara singkat.”

Pendekar itu lalu bercerita, didengarkan oleh Siok Lan dan Ci Sian yang masih mengintai.

“Biarpun terus terang saja, Nandini bukan merupakan wanita pertama yang pernah menjadi kekasihku, akan tetapi baru kuakui bahwa dialah wanita pertama yang benar-benar membuat aku tergila-gila dan dengan Nandinilah untuk pertama kali aku benar-benar menaruh cinta.”

“Huh, siapa percaya?” kata, Nandini, akan tetapi sepasang matanya berseri penuh kegembiraan mendengar ini, dan nikouw di sebelah itu memandang iri!

“Sungguh mati! Akan tetapi, seperti kauketahui, Ayah Nandini marah-marah melihat hubungan antara puterinya dan aku karena Nandini telah ditunangkan kepada seorang pangeran. Ayah Nandini bahkan menyerangku dan berusaha membunuhku, akan tetapi dia sudah tua dan sampai meninggal karena serangan jantungnya sendiri. Aku merasa menyesal sekali, apalagi ketika aku mendengar bahwa kalau Nandini tidak berpisah dariku, maka pangeran itu akan menangkap dan membunuh seluruh keluarganya. Tentu saja aku tidak menghendaki hal itu terjadi, maka aku lalu pergi meninggalkan Nandini, dengan hati hancur berdarah, hanya demi menjaga keselamatan keluargamu, Nandini.”

“Hemm, benarkah itu?” Nandini bertanya, nampaknya terharu.

“Aku berani bersumpah tujuh turunan....“

“Turunanmu jangan dibawa-bawa dalam hukum akibat petualanganmu!” Nandini memotong.

“Teruskan ceritamu.” kata Gu Cui Bi, nikouw itu, dengan hati semakin iri dan cemburu.

“Setelah meninggalkan Nepal, tentu saja aku bertemu dengan banyak wanita cantik, di antaranya adalah puteri kepala suku Biauw yang manis, ada pula pendekar-pendekar wanita petualang kang-ouw, ada pula puteri-puteri datuk kaum sesat, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan-selingan saja dan tidaklah sungguh-sungguh seperti yang terjadi antara aku dan Nandini. Kemudian, kurang lebih setahun semenjak meninggalkan Nepal dan bertualang dengan belasan orang wanita secara selewat saja, aku bertemu dengan seorang pendekar wanita yang bernama Sim Loan Ci dan kami saling mencinta lalu kami menikah.”

Hampir saja Ci Sian mengeluarkan suara saking kagetnya, akan tetapi dia cepat-cepat menutup mulutnya dan mengerahkan tenaga untuk menekan batinnya yang terguncang ketika dia mendengar nama Ibunya disebut-sebut itu! Sim Loan Ci adalah ibunya, ibu kandungnya seperti yang pernah didengarnya dari kakeknya bahwa Ibunya she Sim dan ayahnya seorang pendekar besar yang tentu saja she Bu, sama dengan she kakaknya. Dia lalu mendengarkan lagi dengan penuh perhatian.

“Dialah isteriku pertama yang sah, walaupun wanita seperti Nandini ini juga kuanggap isteriku sendiri, dan juga engkau, Cui Bi.”

“Tak perlu merayu, lanjutkan ceritamu.” desak dua orang wanita itu. “Setelah menikah setahun lamanya, kami mempunyai seorang anak perempuan. Akan tetapi, berbareng dengan kebahagiaan ini, datanglah malapetaka. Kiranya hubunganku dengan puteri-puteri datuk kaum sesat itu, yang kutinggalkan karena memang kuanggap hanya hubungan selewat dan merupakan hiburan belaka, mendatangkan akibat panjang! Aku dicari-cari oleh para datuk kaum sesat, bahkan di antaranya terdapat Im-kan Ngo-ok yang mencari-cariku, karena seorang puteri mereka telah membunuh diri setelah kutinggalkan sehingga kini Im-kan Ngo-ok mencariku untuk membunuhku!”

“Huh, sudah sepatutnya engkau dibunuh!” kata Nandini.

“Dasar mata keranjang!” Nikouw itu menyambung.

“Biar kulanjutkan ceritaku.” kata pendekar itu setelah menarik napas panjang. “Semenjak melahirkan, kesehatan Loan Ci amat buruk. Hal ini menggelisahkan hatiku, karena dalam keadaan seperti itu, mempunyai seorang bayi dan seorang isteri yang tidak sehat, tentu saja amat berbahaya menghadapi ancaman musuh-musuh seperti Im-kan Ngo-ok yang lihai itu. Maka terpaksa aku lalu membawa isteriku dan Anakku kepada Ayahku. Ayahku adalah seorang pendekar yang amat terkenal, yaitu Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun, seorang tokoh besar di dunia selatan. Ketika itu, aku agak takut-takut menghadap Ayah, karena aku pernah diusir oleh Ayah ketika di waktu muda aku bermain-main dengan seorang gadis dusun tempat kami.”

“Dasar hidung belang ceriwis!” Nandini kembali mencela.

“Mata keranjang tak tahu malu, kecil-kecil sudah gila perempuan sehingga diusir Ayah sendiri!” Gu Cui Bi menyambung.

“Wah, kalian ini terus menerus mencelaku.” Bu Seng Kin terkekeh. “Ayahku tidaklah segalak kalian. Dia memaafkan aku dan menerima kedatanganku dengan baik. Kemudian malah Ayah menganjurkan agar meninggalkan anak kami bersama Ayah, kemudian aku bersama isteriku pergi menjauhkan diri agar Im-kan Ngo-ok tidak mencelakai anak kami. Beberapa kali kami tersusul oleh mereka dan aku melakukan perlawanan mati-matian. Kalau saja isteriku tidak dalam keadaan sakit payah, kiranya kami berdua tidak akan takut menghadapi mereka. Akan tetapi karena isteriku sedang sakit, dan aku harus melindunginya, maka terpaksa aku melarikan diri bersama isteriku dan terus dikejar-kejaroleh Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari mereka, bersembunyi di Pegunungan Go-bi-san dan di sanalah isteriku meninggal dunia....”

Pendekar itu diam dan di atas genteng, Ci Sian menangis. Air matanya berlinang-linang dan dia menahan isaknya. Jelaslah kini bahwa pria di bawah itu, pria yang mata keranjang itu, adalah ayah kandungnya, dan ibunya benar-benar telah meninggal dunia.

“Semenjak itu, kembali aku berkeliaran....”

“Dan main perempuan....!” Nandini mencela.

“Habis, mau apa lagi? Agaknya aku tidak boleh berjodoh lama-lama dengan wanita yang kucinta. Aku pindah dari pelukan satu ke lain wanita, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan hidup dan aku tidak pernah bersungguh-sungguh. Paling lama sebulan aku dapat bertahan dalam pelukan seorang wanita dan aku sudah pergi lagi....”

“Mencari yang lain! Phuihh!” Nandini mencela.

“Sampai engkau berjumpa denganku.” tiba-tiba nikouw itu berkata, suaranya mengandung kebanggaan.

Pendekar itu menarik napas panjang. “Ya, sampai aku bertemu denganmu, Cui Bi. Sekarang biar Nandini mendengar cerita tentang kita. Setelah aku mulai bosan merantau, bosan bertualang, pada suatu malam bertemulah aku dengan seorang nikouw di sebuah kuil Kwan-im-bio, di sebelah lereng bukit. Nikouw itu cantik dan muda dan.... aku jatuh cinta.”

“Pada seorang nikouw? Dan engkau merayunya pula?” Nandini bertanya, alisnya berkerut.

“Ha, apa bedanya? Dia pun seorang wanita, bukan? Dia masuk menjadi nikouw karena. patah hati, akan dikawinkan dengan seorang kakek kaya, dia tidak sudi dan melarikan diri setelah dipaksa menjadi isteri kakek itu selama sepekan. Lalu dia masuk menjadi nikouw dan bertemu dengan aku.”

“Engkau mahluk berdosa, Bu Seng Kin! Engkau merayu pinni dan menyeret pinni ke dalam jalan sesat!” Tiba-tiba nikouw itu berkata dan suaranya mengandung isak penyesalan. Bu Seng Kin cepat merangkul pundaknya.

“Aih, Cui Bi, hal itu telah lama berlalu, bukan? Kita sama-sama mencinta, dan kemudian engkau melarikan diri dari kuil bersamaku, memelihara rambut lagi dan menjadi wanita biasa, kita hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan.”

“Ya, sampai aku tahu bahwa engkau adalah Si Petualang besar, bahkan engkaulah Si Perayu yang pernah membuat Bibiku tergila-gila dan diceraikan oleh Paman sehingga akhirnya Bibiku mati karena nelangsa. Kiranya engkaulah petualang yang telah menghancurkan hati banyak sekali kaum wanita itu. Aku menyesal dan aku lalu kembali menjadi nikouw, untuk minta ampun atas dosaku, juga untuk mintakan ampun atas dosanya. Dan engkau sudah berjanji akan bertapa di sini, untuk menebus dosa!”

Bu Seng Kin tersenyum lebar. “Sudah kuusahakan hal itu, Cui Bi. Engkau tahu betapa bertahun-tahun aku menahan diri, aku hidup kesepian penuh kerinduan, terutama rindu sekali kepada orang-orang yang kucinta. Engkau menyiksaku, Cui Bi, maka sekarang, bertepatan dengan kedatangan Nandini, kita berkumpul di sini bertiga. Marilah kita hidup bersama, menikmati kehidupan kita yang tinggal tidak lama lagi ini, menikmati kebahagiaan hidup kita bertiga di hari tua bersama. Aku cinta kalian....!” Dia lalu merangkul keduanya.

“Bu-taihiap, demi Tuhan, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan mengganggu dan menghinaku!” Nandini berseru.

“Orang she Bu, jangan engkau mengotori diriku; telah dua tahun aku menyucikan diri!” Nikouw itu pun berkata.

“Aku bersumpah takkan mengganggu dan menghina kalian berdua, aku cinta pada kalian, tidak mungkin aku mau menyusahkan kalian.” kata pendekar itu dan tiba-tiba dia menarik leher Nandini dan.... mencium mulut wanita itu dengan penuh kemesraan. Nandini terkejut sekali, tak mampu bergerak, bahkan tubuhnya menggigil dan naik sedu sedan dari dadanya, setelah pria itu melepaskan ciumannya, dia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.

“Kau.... kau.... manusia busuk.... kau melanggar sumpahmu....!”

“Ha-ha, siapa melanggar sumpah, Nandini yang manis? Aku bersumpah tidak akan mengganggu dan menghina kalian. Engkau adalah isteriku yang kucinta, kalau seorang suami mencium isterinya, apakah itu mengganggu atau menghina namanya?

“Aku.... aku bukan isterimu, engkau bukan suamiku!”

“Mungkin menurut umum, akan tetapi bukankah kita sudah menjadi suami isteri, bukankah engkau pertama kali menyerahkan diri kepadaku, dan bukankah kita saling mencinta, Nandini? Apa salahnya orang yang saling mencinta berciuman?”

“Laki-laki busuk, mata keranjang, hidung belang.... tak tahu malu!” Cui Bi memaki-maki dengan marah, akan tetapi tiba-tiba dia harus menghentikan maki-makinya karena mulutnya sudah dicium pula oleh pria itu, dengan sama mesranya seperti ketika dia mencium Nandini tadi! Nikouw itu gelagapan tak mampu bersuara, dan hanya memejamkan mata dan tanpa disadarinya, kedua lengannya merangkul leher pendekar itu!

“Kau memang tak tahu malu!” Nandini membentak penuh cemburu dan tangannya bergerak menampar, akan tetapi tamparan yang sama sekali tidak bertenaga.

Bu Seng Kin lalu membujuk rayu keduanya dengan kata-kata manis. “Maafkanlah aku, Nandini dan Cui Bi, aku cinta kalian, tidak kasihankah kalian kepadaku? Aku hanya ingin menikmati kehidupan di dunia ini bersama kalian orang-orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku.” Pendekar itu bahkan berlutut di depan mereka, memohon-mohon dan akhirnya kembali dia merangkul mereka dan sekali ini, ketika dia mencium mereka, dua orang wanita itu hanya dapat memejamkan mata dengan muka berobah merah sekali. Mereka lupa segala! Ternyata pria ini masih hebat kemampuannya untuk merayu dan menundukkan wanita-wanita, dan terutama sekali karena memang dua orang wanita itu tak pernah mampu melupakannya dan masih mencintanya.

Ci Sian yang melihat tontonan ini, disamping merasa heran dan juga malu, terutama sekali dia merasa berduka, teringat akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia, maka dia menghapus air matanya dan mengambil keputusan untuk pergi saja lagi dari situ. Untuk apa menemui seorang ayah kandung seperti itu? Seorang petualang asmara yang memalukan. Seorang laki-laki hidung belang, mata keranjang yang gila perempuan!

“Brukkkk....!” Tiba-tiba saja pintu depan dari pondok itu runtuh ke dalam, tertendang orang dari luar dan muncullah seorang wanita cantik yang kelihatan galak. Seorang wanita yang selain cantik juga berpakaian mewah, dan melihat wanita ini, kembali Ci Sian terkejut bukan main dan dia tidak jadi meninggalkan tempat itu, melainkan mengintai penuh perhatian dengan hati tertarik dan amat tegang karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita tokoh Lembah Suling Emas, musuh dari gurunya See-thian Coa-ong itu! Teringatlah dia akan cerita Tang Cun Ciu. Wanita ini pernah bercerita bahwa dia memiliki wajah seperti isteri Bu-taihiap, dan bahwa berjina dengan Bu-taihiap ketika pendekar itu bersama isterinya berkunjung ke Lembah Suling Emas! Mengertilah dia sekarang! Tentu wanita isteri Bu-taihiap yang datang bersama pendekar itu ke Lembah Suling Emas adalah ibu kandungnya!

Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sudah marah sekali melihat bekas kekasihnya itu berkasih-kasihan dengan dua orang wanita, kini sudah melangkah masuk dan seketika dia menuding ke arah muka pria itu. “Sungguh sampai sekarang engkau masih mata keranjang dan gila perempuan! Dan engkau mudah melupakan yang lama berganti yang baru Laki-laki tak punya jantung!”

“Eh-eh.... lihat siapa yang datang ini! Bidadari dari Lembah Suling Emas! Cun Ciu, kekasihku yang manis. Mari, mari sayang, mari duduk bersama Kakanda....”

“Keparat, engkau sudah main gila dengan wanita asing ini dan dengan seorang nikouw malah, tak tahu malu! Dan engkau masih berani bersikap manis kepadaku! Selayaknya kalau kubunuh engkau, Bu Seng Kin!”

Pada saat itu, sungguh aneh sekali, Nandini dan Gu Cui Bi sudah meloncat dengan sigapnya dari atas bangku mereka dan berdiri di kanan kiri Bu Seng Kin dengan pandang mata dan sikap marah! Diam-diam Ci Sian dan Siok Lan merasa heran sekali. Bukankah dua orang wanita itu seperti tertotok dan kehilangan tenaga, akan tetapi mengapa kinl tiba-tiba saja mampu bergerak selincah itu? Hal ini tidaklah aneh dan merupakan sebab pula mengapa Bu Seng Kin begitu yakin akan dirinya sendiri dalam merayu dua orang wanita itu. Dia hanya menotok dua orang wanita itu untuk membuat mereka kehilangan tenaga sementara saja, sebentar saja. Akan tetapi, melihat dua orang itu tidak pulih-pulih tenaganya, tahulah dia bahwa mereka itu sengaja berpura-pura masih belum bebas dari totokan, tentu hanya dengan maksud agar mereka berdua dapat “mendekatinya” tanpa harus merasa malu, karena berada dalam keadaan “tertotok”. Mengetahui rahasia mereka ini maka tadi Bu Seng Kin berani melanjutkan rayuannya, maklum bahwa dua orang wanita itu ternyata menyambut rayuannya dan ternyata bahkan mengharapkan rayuannya. Kini, melihat betapa ada seorang wanita lain mengancam kekasih mereka, dua orang wanita itu tanpa mereka sadari sudah meloncat dan hendak menghadapi wanita itu.

Cun Ciu adalah seorang wanita yang berwatak keras dan juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia masih marah sekali oleh cemburu ketika tadi melihat bekas kekasihnya itu bermesraan dengan dua orang wanita itu, yang dilihatnya sama sekali bukanlah isteri kekasihnya itu. Maka sambil berseru nyaring dia sudah menerjang maju, mengirim pukulan ke arah Bu Seng Kin.

“Ah, jangan marah dong, sayang!” Bu Seng Kin cepat mengelak dan menangkis karena dia tahu betul bahwa wanita ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, merupakan seorang di antara tokoh-tokoh Lembah Suling Emas yang merupakan keluarga sakti.

“Dukkk!!” Dua buah lengan bertemu dan akibatnya, baik Bu Seng Kin yang tentu saja tidak mengerahkan seluruh tenaga itu, maupun Cun Ciu terdorong mundur ke belakang. Diam-diam Bu Seng Kin kagum dan terkejut karena dari pertemuan lengan itu saja maklumlah dia bahwa wanita ini telah memperoleh kemajuan hebat semenjak berpisah darinya belasan tahun yang lalu!

“Cun Ciu Moi-moi, engkau sungguh lihai!” dia memuji, akan tetapi wanita itu sudah menyerangnya lagi kalang kabut. Dan memang wanita ini memiliki ilmu kepandaian hebat, maka terjadilah pertandingan yang amat hebat dan membingungkan Bu Seng Kin.

“Ah, mengapa kau marah-marah, Ciu-moi? Apakah kau datang menemui aku yang rindu kepadamu ini hanya untuk menyerang dan hendak membunuhku?”

“Tutup mulut dan jaga serangan ini!” bentak Cun Ciu yang menyerang terus. Tingkat kepandaian Bu Seng Kin sudah amat tinggi dan kalau dia bersungguh-sungguh, biar Cun Ciu sendiri pun takkan mampu mengalahkannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau bersungguh-sungguh melawan wanita cantik ini, maka dia kelihatan terdesak hebat. Melihat ini, Nandini membentak, “Darimana datangnya perempuan liar?” Dan dia pun maju membantu kekasihnya.

“Pinni juga tidak mungkin diam saja melihat perempuan ganas hendak membunuh orang!” Dan Gu Cui Bi juga sudah meloncat ke depan dan mengeroyok. Dua orang wanita ini tentu saja bukan wanita sembarangan, melainkan wanita-wanita lihai yang sudah memiliki tingkat tinggi, maka begitu dikeroyok tiga, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi kewalahan dan terdesak juga. Melihat ini, Bu Seng Kin khawatir kalau-kaiau dua orang kekasihnya itu akan melukai Tang Cun Ciu, maka dia lalu membentak keras, “Tahan....!”

Tang Cun Ciu yang memang sudah terdesak itu lalu melompat ke belakang dan memandang dengan mata marah. “Mau apa kau menghentikan pertempuran?” bentaknya. Nandini dan Gu Cui Bi memandang dengan kagum karena mereka berdua tahu bahwa wanita yang baru datang ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mereka sendiri.

“Cun Ciu, mengingat akan hubungan antara kita dahulu, tidak maukah engkau bicara baik-baik daripada menyerang dan marah-marah seperti itu?”

“Siapa tidak marah? Aku jauh-jauh meninggalkan lembah, hanya karena tidak betah lagi di sana dan aku rela meninggalkan keluarga di sana untuk mencarimu dan apa yang kudapatkan? Bukan engkau hidup bersama isterimu, melainkan dengan dua orang wanita asing....“

“Ah, engkau salah paham, manis. Ketahuilah, dia ini bernama Nandini dari Nepal dan dia merupakan isteriku yang pertama! Dan ini adalah Gu Cui Bi, dia ini adalah isteriku yang terakhir.”

“Hemm.... begitukah....?” Tang Cun Ciu memandang ragu. “Dan di mana isterimu yang dahulu bersamamu mengunjungi lembah?”

“Dia sudah meninggal dunia. Mari, kaududuklah, Cun Ciu dan kita bicara baik-baik. Sungguh mati, aku akan sedih sekali kalau engkau memusuhiku, aku.... aku cinta padamu, Cun Ciu, dan engkau tentu tahu akan hal ini.”

Dirayu seperti itu, hati Tang Cun Ciu mulai menjadi dingin, kemarahannya mereda dan dia pun duduk menghadapi meja bersama pendekar itu dan dua orang wanita saingannya.

“Bu Seng Kin, kau bilang hanya ada kami berdua, sekarang muncul seorang lagi!” Gu Cui Bi menegur.

“Dia.... dia ini bernama Tang Cun Ciu, ketika aku datang ke Lembah Suling Emas, aku dan dia.... eh, kami saling jatuh cinta. Dan sampai sekarang.... ah, aku masih cinta kepadanya.... apalagi setelah dia menyusulku ke sini, rela meninggalkan suaminya....”

“Suamiku sudah lama meninggal dunia!” kata Cun Ciu. “Belum ada setahun semenjak engkau pergi, suamiku meninggal dan aku tinggal menjanda sampai sekarang. Kutunggu-tunggu beritamu akan tetapi engkau tak kunjung datang atau memberi kabar, sungguh engkau kejam sekali!”

“Ah, siapa tahu bahwa engkau sudah menjadi janda, kekasihku? Kalau aku tahu.... hemm, mungkinkah aku membiarkan engkau kesepian sendiri?” kata Bu Seng Kin sambil memegang tangan yang halus itu di atas meja. Cun Ciu cepat menarik tangannya karena dia merasa malu, melihat tangannya dipegang-pegang di depan dua orang wanita lain.

“Cun Ciu, kalian bertiga ini adalah wanita-wanita yang kucinta sepenuh hatiku. Engkau tinggallah bersamaku di sini, kita hidup bersama, berempat, sampai akhir hayat....“

“Hemm, dan esok atau lusa bermunculan lagi wanita-wanita lain bekas kekasihmu yang tak dapat dihitung banyaknya!” Nandini menegur ketus.

“Aih, Nandini manis. Aku memang belum menceritakan tentang Cun Ciu karena mengira dia masih menjadi isteri orang. Tak baik menceritakan isteri orang, bukan? Berbeda lagi kalau dia sudah menjanda. Dia memang bekas kekasihku, kami saling mencinta....”

“Kalau ada wanita lain lagi yang muncul, bagaimana?” tanya Cun Ciu.

“Aku bersumpah, hanya tiga orang kalian ini saja, tidak ada yang lain!” kata Bu Seng Kin.

“Laki-laki macam engkau ini mana bisa dipercaya?” kata Gu Cui Bi.

“Sungguh mati....”

“Begini saja,” kata Cun Ciu, “aku memang meninggalkan lembah untuk tinggal bersama dia. Dan mengingat bahwa kalian berdua sudah datang lebih dulu, aku pun mau menerima hidup di sini bersama kalian, asal dia tidak pilih kasih! Dan kalau ada datang wanita lain, kita bertiga maju membunuh wanita itu! Dan kalau perlu, membunuh juga dia ini!”

“Cun Ciu benar, memang dia seorang belum tentu dapat mengalahkan aku, akan tetapi kalau kalian bertiga maju bersama, mana aku bisa menang?” kata Bu Seng Kin sambil tertawa. “Nah, isteri-isteriku yang terkasih, mari kita rayakan pertemuan ini dengan minum arak. Cun Ciu, aku sungguh rindu kepadamu!” Dan tanpa malu-malu dia merangkul wanita ini dan menciuminya, di depan Nandini dan Cui Bi yang memandang sambil tersenyum masam tentunya! Cun Ciu meronta lemah akan tetapi seperti dua orang wanita terdahulu, dia pun tidak mampu melawan rayuan maut dari pria itu dan akhirnya mereka berempat duduk dengan mesra, bercakap-cakap dan sambil makan minum mereka menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing.

Kalau Ci Sian terkejut dan kemudian merasa semakin penasaran dan muak melihat semua yang terjadi itu, adalah Siok Lan yang merasa khawatir ketika melihat ibunya ikut bertempur tadi. Akan tetapi karena dia sudah menerima pesan ibunya agar tidak ikut campur, maka dia hanya menahan diri dan seperti juga Ci Sian, dia merasa kecewa menyaksikan tabiat ayah kandungnya yang demikian mata keranjang dan tukang merayu wanita. Hatinya sendiri penasaran, akan tetapi melihat betapa ibunya sudah mau berbaik dengan pria itu bahkan dengan dua orang madunya, dia pun tidak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi Siok Lan tidak dapat berdiam diri lagi dan meloncatlah dia dari luar jendela, memasuki pondok itu. Semua orang, kecuali Nandini dan Bu Seng Kin, memandang dengan kaget. Kiranya Bu Seng Kin sudah tahu bahwa di balik jendela itu ada orang yang mengintai, bahkan dia sudah tahu sejak tadi bahwa di atas genteng juga ada yang mengintai, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan memandang rendah. Kini, melihat bahwa yang mengintai dari balik jendela adalah seorang dara yang cantik, wajah pendekar ini berseri gembira.

“Ah, seorang dara cantik seperti bidadari! Apakah kedatanganmu juga mencari aku, Anak manis?”

“Laki-laki gila, sudah butakah engkau dan hendak merayu anak sendiri?” Nandini marah.

“Eh, anak sendiri?”

“Dia itu anakmu, anak kita. Lupakah engkau betapa ketika kita hidup bersama selama sebulan itu mengakibatkan aku mengandung? Dan lupakah engkau bahwa ketika aku menyatakan kekhawatiranku itu, engkau meninggalkan dua nama untuk seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yaitu kalau-kalau kekhawatiranku terbukti? Anak ini namanya Bu Siok Lan, nama yang telah kau tinggalkan itu.”

“Ahhh....!” Bu Seng Kin memandang dengan mata terbelalak kepada Siok Lan. “Anakku.... anakku....!”

“Siok Lan, inilah macamnya ayah kandungmu!” kata Nandini kepada puterinya.

Biarpun hatinya kurang senang dan meragu, namun Siok Lan lalu melangkah maju dan berlutut di depan kaki pria itu sambil menyebut, “Ayah....”

“Anakku yang baik.... kau maafkan Ayahmu yang berkelakar tadi.” kata Bu Seng Kin dan mendengar kesungguhan dalam suara pria itu, diam-diam Siok Lan merasa terharu juga. Agaknya sikap ayahnya yang mudah merayu wanita itu seolah-olah terlalu dibuat-buat! Beginikah sesungguhnya watak dasar dari pria ini? Dia masih meragu.

“Bu-taihiap,” kata Nandini yang tidak bisa mengubah sebutan Bu-taihiap itu kepada pria yang menjadi ayah kandung puterinya itu, “sesungguhnya, kedatanganku bersama anakmu Siok Lan ini adalah untuk keperluan anak kita itu.”

“Tentu saja,” jawab Bu Seng Kin. “Dia berhak untuk bertemu dengan Ayahnya. Kau duduklah, Siok Lan.” kata Bu Seng Kin sambil menarik bangun puterinya. Dara itupun lalu duduk di atas sebuah bangku, di dekat ibunya.

“Bukan begitu maksudku. Ketahuilah bahwa seperti yang telah kuceritakan tadi, aku baru saja mengalami kekalahan dalam memimpin pasukanku, kalah melawan pasukan Kerajaan Ceng sehingga terpaksa aku melepaskan Lhagat dan pergi ke sini. Nah, di dalam peristiwa itu, terjadi hal yang menimpa anak kita, yang membuat aku bingung sekali dan terpaksa kami datang untuk minta bantuanmu.”

“Tentu saja aku siap membantu anakku. Urusan apakah itu?”

Nandini lalu dengan singkat mencerita kan betapa ketika dia masih memimpin pasukan menduduki Lhagat, di situ muncul seorang jenderal muda yang menyelinap dan menyamar, dan jenderal muda itu akhirnya telah berhasil mengalahkannya dalam perang. “Ketika Jenderal muda itu menyamar dan menyusup ke Lhagat, dia menjadi seorang pemburu muda dan dengan pandainya dia berhasil menjadi tamu kami karena dia pernah menyelamatkan nyawa Siok Lan. Kemudian.... mereka berdua, Jenderal Muda itu dan Siok Lan, saling jatuh cinta....“

“Bagus sekali! Anakku pantas menjadi isteri Jenderal Muda!” pendekar itu berkata sambil tertawa girang.

“Enak saja kau bicara! Tidak begitu mudah!”

“Apa? Apa kau sendiri tidak setuju? Karena Jenderal itu adalah Jenderal yang pernah menjadi musuhmu?”

“Bukan begitu. Kekalahan itu membuat aku enggan pulang ke Nepal dan memang.... kami hendak mencarimu. Akan tetapi, engkau tidak tahu siapa Jenderal itu.”

“Siapa dia? Seorang jenderal muda, apa sih artinya? Tidak terlalu tinggi untuk puteriku, bahkan andaikata dia Pangeran pun tidak akan terlalu tinggi!”

“Engkau tidak tahu siapa dia. Jenderal Muda Itu bernama Kao Cin Liong, dan dia adalah putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, cucu mendiang Jenderal Kao Liang!”

“Ahhh....!” Yang mengeluarkan suara itu adalah Bu Seng Kin, Gu Cui Bi dan juga Tang Cun Ciu karena mereka terkejut bukan main mendengar nama-nama yang amat terkenal itu. Bahkan pendekar she Bu itu sendiri mengerutkan alisnya yang tebal, termangu-mangu. Kemudian dia memandang kepada puterinya dengan penuh perhatian. Dipandang seperti itu, Siok Lan menundukkan mukanya. Pendekar itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali.

“Naga Sakti Gurun Pasir.... bukan main....!”

“Apakah kau hendak mengatakan bahwa dia tidak terlalu tinggi? Apakah kau masih berani memandang rendah?” Nandini bertanya dan yang ditanya seperti orang kahabisan akal karena terkejutnya.

“Ahhh, siapa kira akan terjadi peristiwa aneh ini? Tidak kelirukah kalian? Benarkah Jenderal Muda itu putera Naga Sakti Gurun Pasir?” '

“Dia telah diperkenalkan pada saat terakhir. Maka, dapat kaubayangkan betapa kaget dan bingungku ketika anak kita memberitahukan hal itu. Aku hanya seorang wanita Nepal, mana mungkin membicarakan hal ini dengan keturunan Jenderal Kao Liang? Akan tetapi, mengingat bahwa orang tua jenderal itu adalah pendekar yang amat kenamaan, maka sebaiknya engkau yang menemuinya, Butaihiap, sebagai sesama pendekar kiranya akan lebih mudah membicarakan urusan jodoh itu.”

Bu Seng Kin mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya masih berkerut. “Akan tetapi aku tidak berani bertindak ceroboh. Siok Lan anakku, benarkah engkau dan putera Naga Sakti Gurun Pasir itu saling mencinta?”

Ditanya seperti itu, tentu saja jantung dara itu berdebar dan mukanya berubah merah sekali. Akan tetapi dia adalah keturunan orang gagah yang sejak kecil mengutamakan kegagahan, maka dia membuang rasa malu itu dan memandang wajah pria yang menjadi ayahnya itu dan menjawab, “Aku tidak tahu bahwa dia adalah seorang jenderal muda, lebih tidak tahu lagi bahwa dia putera seorang pendekar sakti dan cucu seorang jenderal terkemuka. Ketika itu, aku hanya mengenalnya sebagai seorang pemburu muda,.... Ayah.”

“Tidak peduli tentang itu, yang penting, apakah benar bahwa kalian saling mencinta?”

“Aku.... aku cinta padanya.... Ayah.”

“Dan dia? Apakah dia juga cinta padamu?”

“Kukira begitulah.”

“Eh, bagaimana ini? Cinta orang tidak anak baik. Apakah engkau tidak yakin benar bahwa dia cinta padamu?”

“Aku yakin.”

“Lalu mengapa engkau mengira-ira saja? Apakah dia sudah menyatakan cintanya kepadamu dengan jelas, melalui kata-kata?”

Dara itu menggeleng. “Habis bagaimana?”

“Ayah, perlukah kujelaskan hal ini?

Seorang wanita akan dapat mengetahui apakah pria itu mencintanya ataukah tidak, melalui sinar matanya, melalui senyumnya, melalui suaranya, dan.... dan.... pendeknya aku yakin dia pun cinta padaku, Ayah.”

“Hemm.... kita tidak boleh ceroboh, Anakku. Sekali aku, Ayahmu ini, mengajukan perjodohan, haruslah diterima oleh fihak sana, karena kalau tidak, hal itu dapat menimbulkan kesan yang menghina, kecuali kalau fihak sana mengemukakan dua alasan, yaitu pertama, bahwa putera mereka tidak cinta atau jika dia sudah bertunangan dengan orang lain. Oleh karena itu, sebelum aku menemui Naga Sakti Gurun Pasir, hal yang selama hidupku belum pernah kuimpikan, aku harus yakin dulu bahwa fihak sana akan menerima.”

“Jadi engkau mau mengurus perjodohan anak kita?” tanya Nandini dengan girang.

“Tentu saja, itu sudah menjadi kewajibanku. Sejak Siok Lan kecil, aku tidak pernah memperlihatkan kasih sayang sebagai seorang ayah, maka sekarang aku berkesempatan membuktikan sayangku kepada anak.'“

“Lalu apa yang akan kaulakukan?”

“Kita bersama pergi ke kota raja! Ya, kita semua, aku, Siok Lan, dan kalian bertiga. Kalau memang kalian bertiga sudah bertekad untuk hidup bersamaku, suka duka ditanggung berempat, mari kalian ikut bersamaku ke kota raja. Di sana, biar Siok Lan bertemu dengan jenderal muda itu dan memperoleh ketegasan bahwa dia memang mencinta anak kita dan bahwa jenderal muda itu belum terikat jodoh dengan orang lain. Setelah ada ketentuan ini, barulah aku akan pergi menghadap pendekar sakti itu.”

“Baik, Ayah, aku setuju.” kata Siok Lan yang maklum akan maksud ayahnya itu.

“Hemm, belum mau turun jugakah kamu yang berada di atas sejak senja tadi?” tiba-tiba orang she Bu itu berseru sambil memandang ke atas.

Ci Sian mendengar semua urusan yang dibicarakan di bawah itu dan hatinya terasa semakin berduka. Sambil menahan isak dia hendak meloncat turun, maka ketika tiba-tiba dia mendengar suara pria yang sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri itu, dia seperti didorong saja dan cepat dia melayang turun dari atas genteng.

“Ada orang! Dan kau sudah sejak tadi, mengapa dia tidak saja?” Tang Cun Ciu berteriak dan wanita ini sudah berkelebat keluar melalui jendela untuk melakukan pengejaran.

Khawatir kalau kekasihnya yang berhati keras dan berwatak ganas itu akan melakukan sesuatu yang lancang, Bu Seng Kin mengejar dan dua orang wanita lain bersama Siok Lain juga melakukan pengejaran.

Keadaan di luar malam itu ternyata cukup terang karena bulan tersenyum di atas, seolah-olah mentertawakan ulah manusia-manusia di dunia ini. Tidak ada segumpal pun awan menghalangi senyumnya sehingga keadaan cukup terang. Nampaklah bayangan Ci Sian berlari-lari meninggalkan puncak itu, dikejar oleh mereka semua.

Pengejar Ci Sian itu adalah orang-orang yang tinggi ilmunya, maka sebentar saja Ci Sian tersusul, apalagi karena memang dara ini tidak ingin berlumba lari. Dia terpaksa menghentikan larinya dan berdiri tegak menanti orang-orang yang mengejarnya itu. Diam-diam dia lalu mengerahkan tenaga dan ilmunya, terdengar suara melengking tinggi dari mulutnya yang menggetarkan seluruh keadaan sekeliling tempat itu. Mendengar suara ini, Bu Seng Kin mengeluarkan seruan heran, demikian pula Tang Cun Ciu karena mereka berdua mengenal khi-kang yang tinggi dan aneh.

Dan ketika mereka semua tiba di depan dara yang berdiri tegak itu, mereka terbelalak kaget melihat betapa banyak ular berdatangan dari segenap penjuru dan kini mengelilingi tempat di mana dara itu berdiri, seolah-olah merupakan pasukan pengawal yang melindungi dara itu. Sedikitnya ada seratus ekor ular besar kecil berada di situ dan dari jauh masih nampak beberapa ekor ular bergerak datang. Agaknya semua ular yang berada di puncak dan sekitarnya telah memenuhi panggilan dara pawang ular itu!

Tang Cun Ciu merasa seperti mengenal dara itu, akan tetapi begitu melihat Ci Sian, Nandini dan Siok Lan berseru heran.

“Ci Sian....!” Nandini berseru.

“Sian-moi, engkau di sini? Mengapa engkau di sini dan mengapa engkau melakukan pengintaian? Singkirkan ular-ularmu itu, Sian-moi, kita bukanlah musuh!”

Akan tetapi dengan sikap dingin Ci Sian berkata, “Pergilah kalian semua, aku tidak butuh dengan kalian semua. Pergi....!”

“Omitohud, bocah siluman ini berbahaya!” kata Gu Cui Bi yang merasa ngeri melihat begitu banyak ular yang seakan-akan melindungl dara itu.

“Hemm, tidak semudah itu, Nona!” Bu Seng Kin membentak. Dia tidak ingin mengganggu nona muda itu, akan tetapi dia tahu bahwa nona muda inilah orang pertama yang mendatangi pondoknya dan sejak tadi mengintai.

“Dia ini yang siang tadi berkeliaran menanyakan tempat tinggalmu!” Gu Cui Bi berseru dan Bu Seng Kin merasa makin curiga, lalu dia bergerak maju hendak menangkap dara itu. Akan tetapi Ci Sian mengeluarkan suara melengking nyaring dan ular-ularnya bergerak menyerang semua orang itu!

Terdengar jerit-jerit karena jijik, akan tetapi wanita-wanita yang lihai itu tentu saja tidak mudah menjadi korban ular dan mereka pun mengelak dan menendang atau menginjak ular-ular itu. Ci Sian sendiri mengamuk, menyerang orang yang berani mendekatinya dan karena yang berani menyerangnya adalah Tang Cun Ciu dan Bu Seng Kin, maka dia menerjang dua orang ini dengan kemarahan meluap-luap! Dara ini mengeluarkan seluruh Ilmunya yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong. Akan tetapi dia berhadapan dengan Cui-beng Sian-li Tang Cu Ciu dan Bu-taihiap yang memiliki ilmu silat tinggi, maka tentu saja dia terdesak hebat dan ular-ularnya pun banyak yang mati. Bahkan kalau saja Bu Seng Kin menghendaki, tentu dalam waktu singkat dia yang dikeroyok dua itu akan roboh.

Akhirnya, semua ularnya mati dan Ci Sian yang melihat ini merasa begitu marah dan berduka sehingga dia menjerit dan tidak dapat mengelak ketika tangan Cui-beng Sian-li menampar ke arah lehernya. Melihat serangan dahsyat yang mengancam nyawa dara muda itu, Bu Seng Kin cepat menyentuh lengan kekasihnya itu sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak Ci Sian, namun cukup membuat Ci Sian roboh terguling dalam keadaan pingsan karena selain terkena tamparan itu, juga dara ini menderita tekanan batin yang hebat sejak dia tiba di pondok itu.

Tang Cun Ciu memiliki watak yang amat keras. Melihat betapa tamparannya disentuh oleh kekasihnya sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak, hatinya tidak puas sekali. “Budak siluman ini harus dibunuh!” Dan dia pun sudah mengirim pukulan lagi ke arah tubuh yang sudah tidak bergerak itu.

“Cun Ciu, jangan....!” Bu Seng Kin mencegah dan dia pun bergerak maju mengulur tangan untuk mendahului wanita itu, menyelamatkan nyawa dara itu.

“Dukkkk!” Tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat, sebuah lengan menangkis tangan Cun Ciu dan Bu Seng Kin sekaligus. Pendekar sakti dan kekasihnya yang juga berilmu tinggi itu terkejut bukan main karena tangkisan lengan itu membuat mereka terdorong ke belakang sampai terhuyung! Ketika mereka memandang ke depan, sudah tidak ada apa-apa lagi di situ kecuali bangkai seratus lebih ular-ular mati. Tubuh dara muda yang tadi menggeletak pingsan itu pun telah lenyap!

“Eh, ke mana dia....?” Bu Seng Kin berseru kaget.

“Aku hanya melihat bayangan berkelebat.” kata Gu Cui Bi, nikouw itu.

Nandini dan Siok Lan juga melihat berkelebatnya bayangan hitam dan mereka pun tidak melihat ke mana perginya Ci Sian yang tadi terpukul roboh.

“Ahh.... telah muncul seorang yang memiliki kepandaian luar biasa hebatnya!” seru Bu Seng Kin dengan ada suara penuh kagum dan juga khawatir. “Mudahmudahan saja dia tidak salah paham, bukan maksud kita untuk mencelakai dara itu. Sungguh heran, siapakah dara itu, dan mengapa ia datang ke sini?”

“Ayah, dia bernama Ci Sian dan....”

“Ah, aku ingat sekarang! Dia adalah gadis murid See-thian Coa-ong itu! Ya benar, gadis yang.... ah, sekarang aku mengerti mengapa dia datang ke sini. Apakah engkau tidak melihat wajahnya, Kin-koko?” Tokoh wanita Lembah Suling Emas ini menyebut kekasihnya Kin-koko, sebutan yang mesra.

“Tidak, aku tidak begitu memperhatikan wajahnya.”

“Dia serupa benar dengan mendiang Sim Loan Ci, isterimu....!”

“Ahhh....! Benar, dia Anakku sendiri! Bu Ci Sian, aihh, kenapa aku bisa melupakan dia?” Sekali berkelebat, tubuh pendekar ini sudah lenyap. Tiga orang kekasihnya hanya mengangkat pundak, maklum bahwa pendekar itu agaknya hendak melakukan pengejaran terhadap puterinya yang lenyap dibawa orang itu. Mereka lalu kembali ke dalam pondok.

Tak lama kemudian Bu Seng Kin memasuki pondok dengan wajah muram. Dia kelihatan kecewa dan menyesal sekali. “Dia lenyap tak berbekas. Orang yang membawanya sungguh memiliki kepandaian yang amat luar biasa sekali. Mungkinkah gurunya, See-thian Coa-ong yang membawanya pergi?”

“Tidak mungkin. Aku pernah bertanding melawan kakek itu dan biarpun terus terang saja aku tidak mampu mengalahkan dia, akan tetapi sebaliknya dia pun tidak dapat mengalahkan aku. Sedangkan tangkisan tadi, bukan main kuatnya, jauh lebih kuat daripada tenaga Raja Ular itu.” kata Tang Cun Ciu.

Bu Seng Kin menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menarik napas panjang, nampaknya dia menyesal bukan main. “Dan dia sudah sejak tadi mengintai di atas, kudiamkan saja. Ah, dia telah mendengar semuanya, tahu akan kematian ibunya, tentu dia merasa berduka, kecewa dan menyesal sekali. Ah, mengapa tidak dari tadi kusuruh dia turun?”

“Hemm, sesal kemudian tiada gunanya? Semua adalah salahmu sendiri. Karena itu, Bu Seng Kin, kau bertobatlah dan mintalah ampun atas semua dosa-dosamu. Semua yang terjadi adalah karena kesalahanmu sendiri, maka sekarang engkau memetik buah dari pohon yang kautanam sendiri. Omitohud....!” Nikouw Gu Cui Bi berkata dengan nada menegur. Pendekar itu hanya menarik napas panjang. Kemudian Gu Cui Bi, nikouw itu, menggandeng tangan Nandini dan berkata, “Marilah Nandini Cici, engkau dan puterimu sebaiknya ikut bersamaku, bermalam di kuilku yang cukup luas, tidak seperti gubuk ini yang terlalu sempit.”

Nandini mengangguk dan bersama Siok Lan dia lalu bangkit dan berjalan menuju ke pintu bersama nikouw itu. Setibanya di pintu, nikouw itu berhenti dan menengok, memandang ke arah Bu Seng Kin yang nampak bingung dan kepada Tang Cun Ciu yang duduk tenang saja di atas bangku, lalu berkata kepada pendekar itu, “Bu Seng Kin, kalau malam nanti engkau tidak datang ke kuil menengok Cici Nandini, berarti engkau seorang laki-laki yang selain tidak punya budi juga tidak adil sama sekali dan tidak pantas mempunyai tiga orang isteri.” Setelah berkata demikian, dia lalu pergi bersama Nandini dan Siok Lan.

“Hemm, jangan khawatir, aku tentu akan datang menengokmu, Cui Bi.”

“Bukan aku, melainkan Cici Nandini!” teriak nikouw itu dari luar akan tetapi yang terdengar hanya suara tawa pendekar itu disusul padamnya lampu di dalam pondok itu!

“Sialan, laki-laki mata keranjang!” Cui Bi Nikouw Itu mengomel dan melanjutkan perjalanannya bersama Nandini dan puterinya. Dua orang ini segera dapat akur karena mereka berdua maklum bahwa di antara tiga orang kekasih Bu Seng Kin, kepandaian Tang Cun Ciu paling tinggi dan mereka berdua masing-masing bukanlah tandingan wanita tokoh Lembah Suling Emas itu. Oleh karena itu, mereka segera saling mendekati karena kalau mereka maju berdua, kiranya mereka akan mampu menandingi Cun Ciu! Pula, biar bagaimana rindu hati mereka terhadap Bu Seng Kin, kalau harus bermalam bersama-sama di pondok yang kecil itu, tentu saja mereka merasa malu, apalagi di situ terdapat Siok Lan.

Sementara itu, diam-diam Seng Kin menjadi bingung dan mengeluh sendiri karena dia tahu bahwa bagaimanapun juga, malam itu harus mengunjungi kuil di mana dia tidak tahu bagaimana dia harus melayani tiga orang wanita yang seperti tiga ekor harimau betina yang kelaparan itu!

***

Ci Sian merasa terapung-apung di angkasa gelap. Dia melihat seorang pria, ayah kandungnya, bersama seorang wanita yang tidak begitu jelas air mukanya, berjalan bersama seorang wanita, yang tidak begitu jelas air mukanya, berjalan di sebelah depan, seperti melayang-layang, Ibunya, pikirnya. Itulah Ibunya yang berjalan bersama ayahnya. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya melihat ke depan dan berlari meninggalkan Ibunya, mengejar banyak sekali wanita-wanita yang tertawa-tawa genit. Ibunya lalu terhuyung dan terjatuh, melayang turun dari angkasa! Dia terkejut sekali, berusaha hendak lari mengejar sambil menjerit, “Ibu.... Ibu....!” Akan tetapi dia pun tergelincir dan jatuh tergelincir.

“Ibu....!”

Sebuah tangan yang halus menjamah dahinya yang berkeringat dan agak panas.

“Ibu....“ Ci Sian mengeluh lirih dan tangan yang halus itu mengusap rambut di atas dahinya, dia merasa nyaman dan tidak begitu pening lagi, lalu tertidur kembali, sekali ini tanpa mimpi. Tak jauh dari situ nampak api unggun bernyala memberi cahaya yang cukup terang dan ternyata bahwa dara itu rebah di dalam sebuah guha yang besar, bertilamkan rumput kering dan berselimut jubah panjang. Seorang pria duduk bersila di dekatnya dan setelah dara itu tidur pulas, pria itu memejamkan mata sambil terus bersila sampai pagi.

Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari kemerahan telah mulai memasuki guha itu dari samping, Ci Sian mengeluh panjang lalu membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkan matanya karena silau oleh sinar merah yang menerobos masuk dan menimpa lantai dekat kepalanya, lalu dia terbelalak keheranan ketika melihat bahwa dia berada di sebuah guha yang diketahuinya karena melihat langit-langit batu itu. Kemudian dia menoleh dan melihat seorang pria duduk bersila di sebelahnya, seorang pria yang berwajah tampan dan ramah, yang memandang kepadanya sambil tersenyum.

“Ahhh.... ahhh.... aku.... aku masih mimpi....“ Ci Sian mengejap-ngejapkan dan menggosok-gosok kedua matanya.

“Tidak, Ci Sian, engkau tidak mimpi.” kata pria itu dengan halus.

Ci Sian terbelalak, lalu bangkit duduk, memandang kepada pria itu. “Engkau.... engkau Paman Kam Hong....!”

Pria itu mengangguk dan tersenyum, lalu menambahi kayu bakar sehingga api unggun membesar karena hawa pagi itu amat dinginnya walaupun sinar matahari telah memasuki guha. Pria itu tentu saja dikenalnya baik-baik. Wajah itu tak pernah meninggalkan lubuk hatinya dan ternyata pendekar itu tidak berobah sama sekali setelah berpisah hampir lima tahun dengan dia! Masih seperti dulu, tampan pendiam, dan tenang, begitu tenangnya!

“Tapi.... tapi.... mengapa aku di sini? Bukankah aku dikeroyok....”

“Engkau terlalu menuruti nafsu amarah dan engkau pingsan, maka kubawa lari ke tempat ini, Ci Sian.”

Setelah merasa yakin bahwa dia tidak mimpi, tiba-tiba saja Ci Sian menutupi mukanya. Tidak terdengar isaknya, hanya pundaknya terguncang dan di antara celah-celah jari kedua tangannya mengalir air mata. Dia menangis! Akan tetapi dasar hatinya keras, dia menahan tangisnya sehingga tidak mengeluarkan bunyi.

“Kalau engkau merasa berduka, kecewa dan penasaran, menangislah, Ci Sian, menangislah, tidak ada yang mendengarmu di sini.” kata Kam Hong yang memandang dengan penuh iba.

Ci Sian menggeleng kepala dengan kedua tangan masih menutupi mukanya. “Aku tidak mau menangis! Aku tidak mau menangis! Mereka.... mereka telah membunuh semua ular itu....!” Dan kembali dia menunduk dan air matanya menetes-netes.

“Karena itu, lain kali janganlah sembarangan minta bantuan ular-ular untuk menghadapi lawan, Ci Sian. Apa sih kekuatan ular-ular itu kalau menghadapi orang pandai? Hanya bisa menakut-nakuti anak kecil saja dan sayang membuang nyawa ular-ular yang tidak bersalah apa-apa.”

Mendengar suara yang nadanya menegur ini, Ci Sian menurunkan kedua tangannya dan muka yang masih basah air mata itu dihadapkan kepada pendekar itu, sepasang mata yang masih merah basah itu memandang tajam. “Kau salahkan aku....?”

Kam Hong mengangguk. Sejenak Ci Sian memandang dengan penuh penasaran, akan tetapi akhirnya dia menangis, kini mewek dan bersuara! “Kau.... kau marah memarahiku.... hu-huuh, ahh.... Ibuku telah mati.... Ayahku.... Ayahku.... aku benci Ayahku! Aku benci manusia itu, aku benci! Hu-huuh, aku tidak punya siapasiapa lagi di dunia ini....”

“Hemm, masih ada aku, Ci Sian.”

“Kau.... kau malah memarahiku.... hu-huuhh!”

Diam-diam Kam Hong merasa geli akan tetapi juga terharu sekali. Orang-orang yang sedang dikuasai perasaannya, baik itu perasaan terlalu girang, terlalu marah, atau terlalu duka, suka bersikap seperti kanak-kanak. Dara ini sekarang sudah dewasa, akan tetapi pada saat itu dikuasai oleh himpitan batin yang hebat. Perasaan kecewa, penasaran, marah dan duka menindihnya sehingga dia tidak mampu menguasai dirinya lagi dan bersikap seperti kanak-kanak, sungguh patut dikasihani. Maka dia pun lalu mendekati dan mengelus rambut kepala dara itu seperti sikap seorang paman menghibur seorang keponakannya yang masih nakal.

“Sudahlah, tenanglah, aku tidak marah padamu, Ci Sian, sama sekali tidak....”

Mendengar ucapan itu, dan merasa betapa tangan yang mengelus kepalanya itu amat lembut dan penuh perasaan sayang, Ci Sian menjerit lalu menyembunyikan mukanya pada dada pendekar itu, lalu menangislah dia sejadi-jadinya. Kam Hong membiarkan saja karena hal itu amat baik bagi Ci Sian. Kekuatan yang mendorong perasaan marah atau duka amatlah kuatnya dan kalau tidak disalurkan keluar melalui tangis, akan terpendam di dalam dan selain dapat meledak menjadi pelampiasan marah yang berbahaya, juga amat berbahaya bagi kesehatan dara itu sendiri.

Setelah menangis sesenggukan tanpa mengekangnya, akhirnya Ci Sian merasa dadanya lapang sekali. Dia teringat betapa dia menangis di atas dada Kam Hong dan membuat baju pendekar itu menjadi basah, maka cepat-cepat dia menjauhkan dirinya dan memandang kepada baju yang basah itu.

“Maaf, Paman.... aku telah membasahi bajumu.”

Kam Hong melihat bajunya dan tersenyum sabar. “Baju basah bisa dijemur, Ci Sian. Yang penting, engkau tidak menyimpan perasaan dalam batin lagi. Nah, mari kita bicara sekarang.”

Ci Sian mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. Terasa hawa yang disedotnya itu memenuhi paru-paru sampai ke pusar, dan terasa dadanya nyaman sekali. Mengertilah dia kini mengapa pendekar itu membiarkan dia menangis sepuasnya di dadanya tadi, dan dia merasa berterima kasih sekali.

“Aku sedih sekali mengingat nasib Ibuku, Paman. Aku tidak tahu mengapa Ibu dapat menjadi lemah begitu, padahal menurut penuturan Ayah.... ah, orang itu, Ibu adalah seorang pendekar wanita. Aku belum tahu jelas mengapa sampai meninggal dunia begitu mudah, hanya karena sakit-sakitan. Tubuh seorang pendekar wanita mana mungkin sakit-sakitan begitu?”

“Aku tahu, Ci Sian.”

“Eh? Bagaimana kau tahu?”

“Kebetulan saja. Setelah membawamu ke sini, aku berjaga-jaga dan melihat Ayahmu itu....“

“Jangan sebut dia Ayahku lagi! Aku benci mempunyai Ayah macam dia!”

“Membenci bukanlah sikap bijaksana dalam hidup.”

“Lanjutkan ceritamu, Paman, apa yang kaulihat dan dengar?”

“Ayahmu itu agaknya mencari-carimu, namun tanpa hasil dan diam-diam aku lalu membayanginya karena aku ingin memperoleh keyakinan apakah benar kita tidak dikejar orang. Dan aku membayanginya sampai ke pondoknya di mana dia bicara dengan.... eh, wanita-wanita yang menjadi isterinya itu dan dia menceritakan bahwa Ibumu yang bernama Sim Loan Ci itu menjadi lemah dan sakit-sakitan semenjak dia dan Ayahmu bertanding melawan gerombolan siluman di Sin-kiang yang terkenal dengan nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam).”

“Siapakah itu Hek-i-mo?”

“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi sudah kudengar nama mereka. Hek-i-mo adalah perkumpulan, atau lebih tepat dinamakan gerombolan yang merajalela di daerah Sin-kiang, selain berpengaruh dan mempunyai hubungan dekat dengan penguasa, juga gerombolan itu lihai bukan main, dipimpin oleh datuk-datuk kaum sesat dan memiliki pasukan yang kuat.”

“Jadi ibu berpenyakitan setelah bertanding melawan mereka?”

“Begitulah menurut penuturan Ayahmu kepada seorang di antara isterinya, karena dalam pertempuran antara orang tuamu melawan gerombolan itu, mendiang Ibumu menderita pukulan beracun dan pada waktu itu Ibumu sedang mengandung. Hanya itulah yang kudengar dari percakapan mereka dan aku lalu pergi karena merasa tidak enak mendengarkan pembicaraan suami Isteri.”

“Kalau begitu, aku akan mencari Hek-i-mo dan akan membasminya untuk membalaskan kematian Ibu!”

“Hemm, jangan kira hal itu mudah saja, Ci Sian. Sepanjang pendengaranku, Hek-i-mo merupakan gerombolan yang amat berbahaya dan sudah banyak pendekar-pendekar berilmu tinggi yang gagal dan bahkan menemui kematian ketika berhadapan dengan mereka. Bahkan Ayah Ibumu yang demikian lihai pun agaknya gagal.”

“Aku tidak. takut gagal, aku tidak takut mati!”

Kam Hong menahan senyumnya. Dara ini masih seperti dulu, pemberani dan keras hati sehingga amat mengkhawatirkan karena sikap seperti itu banyak mengakibatkan malapetaka kepada diri sendiri.

“Biarpun engkau berusaha, kalau sudah pasti bahwa engkau akan gagal, apa artinya? Engkau harus memperdalam ilmu kepandaianmu, dan untuk itu, aku mau membantumu, Ci Sian. Ingat, aku masih ada hutang padamu.”

“Hutang? Hutang apa?”

“Hutang ilmu. Lupakah kau akan ilmu yang kita bersama temukan pada tubuh jenazah kakek kuno itu? Aku masih harus mengajarkannya kepadamu karena engkau pun berhak mempelajarinya, dan kita berdualah yang menemukannya.”

Ci Sian mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh pendekar ini memang benar. Biarpun tadinya dia merasa bahwa ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong cukup tinggi, namun ternyata bahwa ilmunya itu masih jauh daripada cukup jika dia berhadapan dengan orang-orang pandai, juga ular-ularnya itu tidak ada artinya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Dan dia percaya bahwa pendekar ini memang memiliki ilmu yang tinggi sekali, kalau tidak demikian, mana mungkin dapat melarikan dia dari tangan ayahnya dan isteri-isteri ayahnya yang demikian lihainya?

“Baiklah, Paman, aku akan belajar darimu.”

“Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi denganmu semenjak kita saling berpisah. Ke manakah engkau pergi ketika kita berdua terdampar di lembah tanpa jalan keluar itu? Kuingat ketika bukit itu longsor dan kita terasing di lembah salju?”

“Aku sedang mencari burung dan aku lalu terpeleset jatuh ke dalam jurang.”

“Hemm, sudah kuduga begitu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat hidup setelah terjatuh ke dalam jurang yang sedemikian dalamnya?”

“Aku ditolong oleh seorang kakek yang berama See-thian Coa-ong, Paman” Dara itu lalu menceritakan pengalamannya sampai dia diambil murid oleh kakek Raja Ular itu.

“Bagus sekali, engkau beruntung, selain dapat diselamatkan dari ancaman bahaya maut, masih menemukan seorang guru yang pandai. Pantas saja engkau pandai bermain-main dengan ular.”

“Paman, hal itu belum berapa penting. Yang kuanggap paling menarik dan penting adalah ketika aku diajak oleh guruku itu untuk menemui musuhnya di Lembah Suling Emas, yaitu di luar lembah di mana tinggal musuh Guruku. Di situ aku bertemu degan seseorang yang tentu akan membuat Paman terkejut sekali, dan tak mungkin Paman dapat menduganya siapa.”

Di dalam hatinya, Kam Hong tertarik sekali, akan tetapi dia tetap nampak tenang dan tersenyum, seperti seorang dewasa mendengarkan penuturan seorang anak kecil saja. “Siapakah dia yang kaumaksudkan itu?”

“Musuh Guruku itu adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara.... eh, isteri Ayah, wanita yang paling, galak dan paling lihai yang hampir membunuhku malam tadi. Dia adalah seorang tokoh Lembah Suling Emas dan ilmunya tinggi sekali.”

“Hemm, sungguh aneh sekali ada lembah yang bernama Lembah Suling Emas.”

“Aku pun tadinya merasa heran, Paman. Menurut Guruku, Lembah Suling Emas itu adalah lembah tempat keluarga yang amat sakti, yaitu keluarga Suling Emas.”

“Hemmm....!” Kam Hong mengelus dagunya dan alisnya berkerut. Apa pula ini?

“Aku pun merasa penasaran, Paman. Bukankah Paman satu-satunya Pendekar Suling Emas dan Paman memiliki sebuah suling dari emas, juga Paman malah memiliki ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas, akan tetapi di Pegunungan Himalaya ada lembah yang yang bernama lembah Suling Emas dan menjadi tempat tinggal keluarga Suling Emas! Akan tetapi Guruku tidak dapat bercerita lebih jelas. Akan tetapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu memang lihai sekali sehingga Suhuku sendiri hanya dapat mengimbangi dalam ilmu silat tanpa dapat mengalahkannya. Dan yang luar biasa adalah muridnya, Paman.”

“Murid wanita itu? Bagaimana hebatnya?”

“Dia itu bukan lain adalah Yu Hwi!”

Sekali ini benar-benar Kam Hong terkejut bukan main dan dia menatap wajah dara itu dengan mata terbelalak. Akan tetapi hanya sekejap saja karena dia sudah bersikap biasa kembali, tenang dan agak dingin. “Sungguh-sungguhkah engkau, Ci Sian?”

“Mengapa tidak, Paman? Aku malah sudah menegurnya, mengingatkan dia akan namamu, dan.... ah, sungguh aku tidak mengerti akan sikap isterimu itu, Paman. Mengapa dia begitu.... eh, agaknya begitu membencimu dan tidak peduli kepadamu? Aku sudah menegurnya, mengingatkan dia tentang engkau, akan tetapi dia malah marah-marah. Dan tahukah engkau apa yang terjadi? Gurunya, Si Cui-beng Sian-li itu, mengadakan perjanjian dengan suhuku, See-thian Coa-ong, untuk mengadukan murid-murid mereka, yaitu Yu Hwi itu dan aku, setelah belajar lima tahun lamanya. Coba pikir, bukankah perjanjian itu gila?”

Kam Hong menarik napas panjang. “Yu Hwi adalah calon isteriku, ikatan jodoh antara kami telah disahkan oleh orang-orang tua yang menjadi wali kami. Dia belum menjadi isteriku, akan tetapi menurut keputusan wali-wali kami, kami harus saling berjodoh. Di manakah dia, Ci Sian? Aku harus menemuinya.”

“Hemm, Paman Kam Hong. Kalau dia tidak mau, apakah akan dipaksa menjadi isterimu?”

“Justeru aku harus menemuinya untuk membicarakan urusan kami itu. Selain itu, aku pun ingin sekali berkenalan dengan keluarga yang tinggal di Lembah Suling Emas itu, Ci Sian.”

“Baik, aku akan mengantarmu ke sana, Paman. Akan tetapi dengarkan lanjutan ceritaku.” Ci Sian lalu menceritakan tentang semua pengalamannya, betapa dia setelah belajar empat tahun dari See-thian Coa-ong lalu meninggalkan pertapaan gurunya itu dan hendak mencari Kam Hong atau Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana adanya orang tuanya seperti yang diceritakan oleh kakeknya kepada piauwsu itu. Kemudian betapa dia terlibat dalam perang di Lhagat, tentang Jenderal Kao Cin Liong, tentang Siok Lan, panglima wanita Nandini dan lain-lain sampai kemudian perang berakhir dengan kekalahan di fihak tentara Nepal dan dia mendengar tentang tempat tinggal ayahnya dari Lauw-piauwsu yang tewas karena luka-lukanya.

“Begitulah, aku bertemu dengan Ayahku, akan tetapi dalam keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku dan aku tidak sudi bertemu dengan dia! Sekarang, kauceritakan pengalamanmu semenjak kita berpisah, Paman.”

“Mari kita berangkat, Ci Sian. Di dalam perjalanan nanti akan kuceritakan semua itu kepadamu.”

Mereka melakukan perjalanan lagi, seperti lima tahun yang lalu. Hanya bedanya, kini Ci Sian bukan lagi anak-anak, bukan lagi anak perempuan tiga belas tahun, melainkan seorang dara remaja yang sudah berusia tujuh belas tahun, seorang dara remaja yang amat cantik dengan tubuh yang padat meranum, seperti setangkai bunga yang sedang mulai mekar! Diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa dia kagum sekali kepada dara ini, kagum akan kecantikannya yang sukar dicari keduanya itu, dan diam-diam dia merasa amat bergembira dapat bertemu kembali dengan Ci Sian dan dapat melakukan perjalanan bersama kembali. Lenyaplah segala rasa kesunyian dan nelangsa sebagai akibat perpisahan dengan Yu Hwi semenjak dia bertemu dengan dara ini kurang lebih lima tahun yang lalu. Sebaliknya, setelah kini berjumpa dengan Kam Hong hati Ci Sian merasa begitu ringan dan gembira. Semua kekecewaan dan rasa penasaran, semua rasa duka yang tertimbun sejak kekecewaannya menyaksikan hubungan antara Siok Lan dan Cin Liong sampai kepada kenyataan yang amat pahit dari keadaan ayah kandungnya, kini lenyap tak berbekas dan wajahnya yang jelita itu berseri-seri! Dia lupa sama sekali kepada bayangan Cin Liong yang tadinya amat dikaguminya itu, dan dia merasa amat bergembira, gembira dan puas seolah-olah dia memperoleh kembali sesuatu yang hilang dari lubuk hatinya.

Seperti juga dulu, mereka melakukan perjalanan melalui gunung-gunung yang tinggi, lembah-lembah yang dingin dan puncak-pucak bukit yang tertutup es. Seperti juga dulu, Kam Hong yang bersikap pendiam dan tenang, bahkan agak dingin itu, seperti gunung es menghadapi api karena sikap Ci Sian sebaliknya daripada dia. Dara ini, panas dan penuh semangat, penuh gairah hidup dan selalu jenaka, kocak dan gembira, agak kenakal-nakalan sehingga mulai mencairlah gunung es dalam hati Kam Hong itu!

Sambil melakukan perjalanan seenaknya, berceritalah Kam Hong tentang pengalamannya semenjak dia berpisah dari Ci Sian. Akan tetapi tidak banyak yang dapat diceritakan. Seperti kita ketahui, ketika Ci Sian tergelincir ke dalam jurang yang mengelilingi “pulau salju” terpisah dari tempat-tempat lain itu, Kam Hong merasa amat gelisah, khawatir sekali dan berduka. Dia mengira bahwa tentu dara itu telah tewas tergelincir ke dalam jurang. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu. Biarpun dia sudah berusaha keras untuk mencari jalan turun, namun dia mendapatkan kenyataan yang makin mendukakan hatinya bahwa tidak mungkinlah menuruni tempat itu dan siapa yang tergelincir ke bawah yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu, agaknya tidak mungkin dapat diharapkan akan selamat. Pendekar itu selama beberapa hari termenung di tepi jurang, penuh kedukaan dan hampir dia menangis kalau teringat betapa gadis cilik itu kini telah mati! Batinnya yang sudah tertekan selama bertahun-tahun dengan lenyapnya Yu Hwi, kini bertambah berat dengan dugaan bahwa Ci Sian telah mati tergelincir ke dalam jurang. Sampai hampir sepekan dia merenungi keadaan yang menyedihkan itu, akan tetapi akhirnya dia sadar bahwa membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan merupakan hal yang tidak baik sama sekali, maka dia lalu menyibukkan diri dengan latihan ilmu yang baru saja dia peroleh dan pelajari dari catatan di tubuh jenazah tua. Dan ilmu itu memang hebat bukan main, merupakan ilmu yang amat tinggi, sakti dan penuh rahasia. Ilmu meniup suling berdasarkan sin-kang yang luar biasa tingginya itu dipelajarinya dengan amat susah payah, kemudian dia melatih pula ilmu pedang Kimsiauw-kiamsut yang dilakukan dengan suling.

Selama setahun lebih Kam Hong terasing di tempat itu, tidak memperoleh kesempatan untuk keluar dari tempat itu. Kemudian, setelah pergantian musim, puncak bukit di atas longsor dan jutaan ton es batu tanah dan salju menutup jurang sehingga tempat itu kembali tertutup dan dia dapat keluar dari pengasingan itu! Maka dipilihnyalah tempat yang amat baik untuk melatih ilmu, di lereng sebuah puncak yang subur, tidak seperti di tempat pengasingan itu yang hanya terdiri dari batu es dan salju yang amat dinginnya. Di tempat ini, Kam Hong melanjutkan latihannya setelah beberapa hari dia mencari-cari di sekitar tempat pengasingan itu dan tidak berhasil menemukan Ci Sian, bahkan tulang kerangkanya pun tak dapat ditemukannya. Dia menduga bahwa tentu gadis cilik itu telah tertimbun es dan tidak mungkin ditemukan lagi kerangkanya.

Selama tiga tahun Kam Hong memperdalam ilmunya sampai dia berhasil menguasai ilmu-ilmu itu, walaupun untuk bersuling tanpa suling dia masih belum sanggup melakukannya. Akan tetapi, kini dia dapat menyuling tanpa menutup lubang-lubang sulingnya dan dapat menyanyikan lagu apapun juga melalui sulingnya tanpa memainkan jarinya. Bahkan dia dapat mainkan ilmu pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) sedemikian rupa sehingga sulingnya mengeluarkan suara berlagu merdu!

Kemudian dia meninggalkan tempat pertapaannya untuk melanjutkan usahanya mencari Yu Hwi, dan dalam perjalanan inilah dia mendengar tentang perang yang terjadi di Lhagat, dan tentang pasukan pemerintah yang terkepung di lembah oleh pasukan-pasukan Nepal. Kedatangannya tepat sekali, karena pada waktu itu, pasukan Kerajaan Ceng, dibantu oleh pasukan Tibet dan orang-orang kang-ouw yang lihai, sedang mulai dengan gerakan mereka. Melihat betapa pasukan yang terkurung itu mulai membuka bendungan sehingga air dari puncak membanjir, disusul gerakan pasukan yang terkepung itu untuk membobolkan kepungan, Kam Hong segera turun tangan pula membantu, diam-diam dia mengamuk, dan mengacaukan pasukan Nepal yang mengepung, seperti yang juga telah dilakukan oleh Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Akan tetapi karena mereka berdua itu bergerak di kanan kiri air bah, jadi terpisah, maka mereka tidak saling jumpa. Setelah melihat betapa pasukan pemerintah Ceng berhasil merebut Lhagat, Kam Hong tidak mencampuri perang tadi dan dia menyingkir tanpa memperlihatkan diri.

Akan tetapi dia melihat panglima, wanita Nepal bersama seorang dara melakukan perjalanan tergesa-gesa dan diam-diam dia membayangi mereka dari jauh sampai ke Pegunungan Kongmaa La. “Demikianlah, tanpa tersangka-sangka olehku, aku dapat bertemu denganmu, Ci Sian.” Pendekar itu mengakhiri ceritanya. “Mula-mula aku memang pangling, apalagi ketika melihat seorang dara memanggil ular-ular itu. Aku hanya ingin menolongnya karena dikeroyok oleh orang-orang yang sedemikian lihainya, dan baru aku mengenalmu setelah aku membawamu ke dalam guha itu.”

“Dan aku merasa seperti dalam mimpi begitu membuka mata dan melihatmu, Paman. Akan tetapi sekarang, setelah aku yakin bahwa kita telah berkumpul kembali, aku merasa seolah-olah perpisahanku denganmu selama hampir lima tahun itu hanya mimpi belaka!”

Kam Hong tersenyum karena ucapan itu sama benar rasanya seperti yang berada dalam hatinya. Dia seolah-olah tak pernah berpisah dari Ci Sian, seolah-olah semua yang dialaminya sendiri tanpa Ci Sian selama ini hanya sebuah mimpi saja!

***

Gadis itu bersilat dengan cepatnya. Gerakannya amat gesit, pukulan-pukulannya mendatangkan angin bersuitan dan daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang, bahkan ada yang rontok tertiup angin pukulan kedua tangan dan kakinya yang berloncatan ke sana sini seperti seekor burung yang sedang berlagak di pagi hari itu. Pagi hari itu cerah dan indah sekali dan lapangan rumput itu amat bersih kehijauan segar, hening tidak nampak seorang pun manusia lain di situ.

Gadis itu memang lihai sekali karena dia ini bukan lain adalah Yu Hwi. Usianya sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi dia nampak masih muda, agaknya hanya dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. Pakaiannya yang serba merah muda itu membuat dia nampak lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Dan memang gadis ini lihai bukan main. Apalagi sekarang setelah dia menjadi murid tersayang daari Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sakti, tentu saja kepandaiannya meningkat dengan amat pesatnya. Dahulu pun, dia telah merupakan seorang pendekar wanita yang amat lihai, yang terkenal dengan julukan Ang Siocia karena pakaiannya selalu kemerahan. Dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja Maling, dia telah mewarisi ilmu silat yang tinggi, bahkan ilmunya yang disebut Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) amat hebatnya. Dengan tangan kosong dia mampu memutuskan benda-benda keras seperti disabet dengan pedang atau golok saja! Di samping ilmu Kiam-to Sin-ciang ini, dia pun terkenal pandai melakukan penyamarannya, dan pandai pula dalam ilmu mencuri atau mencopet, kepandaian khas dari Hek-sim Touw-ong! .

Seperti telah kita ketahui dari ceritaJODOH SEPASANG RAJAWALI , hati gadis ini merasa kecewa bukan main. Sebagai seorang dara jelita, dia pernah jatuh cinta. Dia jatuh hati kepada seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu putera dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Akan tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah, pendekar yang dicintanya itu ternyata mencinta dara lain sehingga hati gadis ini menjadi hancur dan patah-patah.

Kemudian, Yu Hwi mendengar tentang rahasia dirinya, bahwa dia adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek dan bahwa semenjak kecil dia diculik oleh gurunya Si Raja Maling. Hal ini tidak menyusahkan hatinya, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia mendengar bahwa dia sejak kecil telah ditunangkan dengan seorang anak laki-laki yang bukan lain adalah Siauw Hong atau Kam Hong, pemuda yang sudah dikenalnya, bahkan pemuda yang tanpa disengaja pernah membuka rahasia penyamarannya sebagai seorang pemuda (baca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI). Maka, karena malu terhadap Kam Hong, juga karena berduka mengingat bahwa hatinya telah jatuh cinta kepada Siluman Kecil, Yu Hwi lalu melarikan diri, meninggalkan kakeknya, dan mengambil keputusan tidak mau kembali lagi. Dia telah gagal cintanya dengan Siluman Kecil, dan dia tidak sudi dikawinkan dengan orang lain, apalagi yang bukan pilihannya sendiri, sungguhpun harus diakuinya bahwa tunangannya itu adalah seorang pemuda yang hebat pula. Dia sudah terlanjur malu dan tidak mau kembali lagi.

Dan di dalam perjalanannya itulah dia bertemu dengan Cui-beng Sian-Ii Tang Cun Ciu dan diambil sebagai murid. Hatinya girang sekali, apalagi ketika dia diperkenalkan dengan keluarga sakti yang menjadi penghuni Lembah Suling Emas. Hatinya kagum bukan main, terutama sekali kepada seorang di antara para tokoh lembah itu, yang masih terhitung susioknya (paman seperguruannya), yaitu yang bernama Cu Kang Bu, pemuda sakti tinggi besar dan gagah itu. Dia merasa kagum bukan main terhadap keluarga yang amat sakti itu, terutama para paman gurunya yang menurut subonya bahkan lebih lihai daripada subonya sendiri yang sudah amat dikaguminya itu!

Selama beberapa hari ini, subonya nampak murung saja, akan tetapi hatinya girang karena subonya mengatakan bahwa pelajarannya telah tamat, dan bahwa waktu yang lima tahun itu sudah hampir tiba dan dia akan harus berhadapan dengan murid See-thian Coa-ong untuk memenuhi janji dua orang yang bermusuhan secara aneh itu, untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Dahulu, dalam pertempuran mati-matian, antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dan See-thian Coa-ong, tidak ada yang kalah atau menang, kepandaian mereka seimbang. Maka kini, murid-murid mereka yang akan menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka.

Yu Hwi merasa girang, bukan hanya karena dia akan bertanding mewakili subonya, melainkan karena dia telah bebas dan setelah melakukan pertandingan itu, dia boleh turun gunung atau pergi dari tempat itu, melanjutkan perjalanan atau perantauannya. Dan dia sudah merasa rindu untuk kembali ke timur, ke dunia ramai. Akan tetapi, harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat dia merasa berat meninggalkan Lembah Suling Emas, dan selama berbulan ini wajah yang gagah dari susioknya sering muncul di alam mimpi, menggerakkan gairah dalam hatinya yang sudah lebih dari dewasa, bahkan yang sudah agak lambat itu, mengingat usianya sudah dua puluh delapan tahun!

Pagi hari itu, dalam cuaca cerah dari hari yang indah itu, Yu Hwi bersilat dengan tangan kosong, berlatih sebaik-baiknya dan dia merasa girang karena dia dapat bergerak dengan lancar sekali dan merasa yakin bahwa dalam mewakili subonya, dia tentu akan dapat mengalahka anak perempuan murid See-thian Coa-ong yang bicara lancang tentang Kam Hong itu!

Setelah dia berhenti bersilat dan menghapus keringat di lehernya, tiba-tiba terdengar tepuk tangan. Yu Hwi terkejut bukan main. Kalau ada orang mampu datang ke tempat itu tanpa diketahuinya, tentu ilmu kepandaian orang itu tinggi bukan main. Akan tetapi ketika dia menoleh dengan kaget dan melihat siapa yang bertepuk tangan itu, wajahnya berseri dan kedua pipinya berobah kemerahan.

“Aihh.... kiranya Sam-susiok (Paman Guru ke Tiga).... ah, gerakanku amat buruk, harap Susiok jangan mentertawakan.” katanya dengan sikap agak genit, tersenyum manis dan mengerling tajam.

Pria yang tinggi besar dan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu, tersenyum dan meloncat turun dari atas sebuah batu besar di mana dia tadi berdiri, menghampiri gadis itu dengan pandang mata penuh kagum.

“Sungguh mati, Yu Hwi, aku tidak mentertawakan. Gerakan-gerakanmu tadi lincah dan hebat, dan amat manis sekali, sungguhpun aku melihat adanya beberapa kelemahan yang agaknya tidak nampak oleh Subomu.”

“Ah, betulkah Sam-susiok? Harap Susiok sudi memberi petunjuk kepadaku. Harap Susiok ingat bahwa beberapa hari lagi aku harus menghadapi murid See-thian Coa-ong mewakili Subo untuk mengadu kepandaian seperti janji mereka lima tahun yang lalu.

Pria itu menarik napas panjang.

“Ahhh Toaso, Subomu itu, selalu menuruti hati panas sehingga suka berjanji untuk mengadu ilmu. Mempelajari Ilmu silat bukan untuk diadu seperti ayam jago atau jangkerik.”

Yu Hwi tersenyum. “Betapa pun, janji tetap janji dan apa jadinya kalau Subo melanggar janjinya? Sam-susiok, berlakulah baik untuk memberi petunjuk agar aku dapat memperbaiki kekurangan atau kesalahan itu. Susiok tidak ingin melihat aku kalah dalam pertandingan itu, bukan?”

“Tentu saja tidak. Nah, dalam jurus ke sebelas dan dua belas, juga jurus ke sembilan belas dan ke dua puluh, engkau terlalu menekankan kepada penyerangan, terlalu bernafsu sehingga engkau melalaikan pertahananmu sehingga pada bagian-bagian itu pertahananmu amat lemah dan mudah sekali dimasuki lawan.”

“Ah, begitukah, Susiok? Akan tetapi menurut Subo, permainanku sudah sempurna.” kata Yu Hwi dengan kaget.

“Mari kita coba. Kauseranglah aku dengan jurus ke sebelas itu.”

Karena maklum betapa lihainya susioknya yang ganteng dan gagah ini, yang menurut subonya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari subonya, dan karena dia akan memperoleh petunjuk, maka Yu Hwi menjadi girang dan tanpa ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang sambil berseru, “Awas Susiok!”

Jurus ke sebelas ini disebut Lam-hong Tong-te (Angin Selatan Getarkan Bumi), dilakukan dengan pukulan tangan kiri yang disambung dengan langkah kaki kanan ke depan kemudian kaki kiri menyambar dari samping dengan jalan memutar. Amat cepat dan tidak tersangka lawan, berbahaya sekali.

“Pinggang kananmu terbuka!” kata Kang Bu dan dengan memutar tubuh, setelah mengelak dan menepuk kaki yang menendang, tahu-tahu tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang kanan Yu Hwi. Tentu, saja tidak dia lanjutkan, hanya jari-jari tangannya menyentuh pinggang itu, menimbulkan rasa geli.

“Seharusnya tangan kananmu merapat ke pinggang, seperti ini!” Dengan jelas Kang Bu lalu memberi contoh dan memegang tangan kanan Yu Hwi, merapatkan di pinggang.

“Mengertikah engkau? Setiap serangan sudah tentu membuka sebagian dari tubuh kita, dan hal itu akan dipergunakan oleh lawan yang tangguh untuk mencari titik kelemahan kita, oleh karena itu di samping penyerangan, kita harus mengenal titik kelemahan sendiri sewaktu menyerang dan sedapat mungkin melindungi kelemahan itu.

Yu Hwi mengerti dan mengulang jurus itu sampai beberapa kali dan Kang Bu mengangguk-angguk puas. “Nah, sekarang coba serang aku dengan jurus ke dua belas.” katanya pula.

“Baik, nah, awas Susiok! Haittt....!” Jurus ke dua belas ini memang seharusnya dilakukan dengan bentakan nyaring. Jurus ini disebut Sia-hong-khai-bun (Angin Bawah Membuka Pintu). Serangan ini lebih hebat daripada tadi karena tiba-tiba dara itu merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya mendorong dari bawah ke atas dengan kekuatan hebat karena didasari tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga angin pukulannya menyambar dahsyat. Namun tiba-tiba tubuh Kang Bu meloncat ke atas, berjungkir balik dan kedua tangannya dari atas melakukan dua pukulan, yang kiri menusuk ke arah mata Yu Hwi sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun!

“Aihhh....!” Yu Hwi terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh ke belakang dan bergulingan, mukanya berobah pucat.

Kang Bu sudah berdiri di depannya sambil tersenyum. “Bagus sekali cara engkau menyelamatkan diri. Akan tetapi hal itu tidak perlu karena apa kaukira aku hendak mencelakakan engkau dengan sungguh-sungguh?”

“Aku.... aku kaget, Susiok....“ kata Yu Hwi dan dia pun tersenyum malu-malu ketika Kang Bu membantunya membersihkan pakaiannya yang terkena tanah ketika dia bergulingan tadi.

“Nah, engkau lihat betapa berbahayanya kalau engkau mencurahkan seluruh tenaga dan perhatianmu untuk jurus ke dua belas itu. Memang jurus ini merupakan jurus berbahaya bagi lawan, akan tetapi kalau lawanmu memiliki gin-kang yang tinggi dan melihat keterbukaan bagian kepalamu, engkau sebaliknya akan terancam bahaya. Oleh karena itu, pada saat memukul, perhatikan gerakan musuh, kalau dia membalikkan keadaan dengan meloncat dan mengancam kepalamu, kau tinggal melanjutkan pukulan itu ke atas, mendahuluinya, dan menghantamnya dari bawah. Mengertikah engkau?”

“Baik, aku mengerti dan terima kasih, Sam-susiok. Memang engkau benar sekali, Susiok.”

“Sekarang jurus ke sembilan belas dan dua puluh. Kedua jurus itu merupakan jurus yan$ bergandengan, yaitu See-hong-coan-in (Angin Barat Menerjang Awan) yang disambung dengan Pak-hong-sang-thian (Angin Utara Naik Langit) merupakan dua jurus terampuh darl Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) itu. Coba kauserang aku dengan dua jurus yang bersambungan itu.”

“Baik, Susiok.”

Yu Hwi lalu menyerang, gerakannya cepat bukan main, kedua tangan bergantian melakukan pukulan sambil meloncat, kemudian dengan kedua kaki ditekuk dua tangannya menyambar ke depan ke arah leher dan pusar lawan.

“Lihat dadamu terbuka!” terdengar susioknya itu berkata dan kedua tangannya telah terpentang oleh tangkisan dan tangan susioknya yag besar dan kuat itu sudah mencengkeram ke arah dadanya, hampir saja menyentuh buah dadanya, akan tetapi Kang Bu sudah cepat menarik kembali tangannya. Kemudian Yu Hwi melanjutkan gerakannya, tubuhnya meloncaat ke atas dan kedua kakinya menyerang dengan totokan dari atas ke arah pundak dan ubun-ubun kepala lawan. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga dalam pertandingan yang sungguh-sungguh, fihak lawan akan terancam bahaya.

“Bagian belakangmu kosong!” teriak pula Kang Bu dan dia sudah menggeser kaki sehingga dua tendangan itu luput dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di sebelah belakang Yu Hwi dan sekali tangannya menyambar, sepatu kiri Yu Hwi telah copot!

“Ihhh....!” Yu Hwi terkejut dan melayang turun dengan muka merah, memandang ke arah kakinya yang hanya tinggal berkaus saja sedangkan sepatu kaki kirinya telah berada di tangan susioknya.

“Maaf, ini hanya untuk membuktikan betapa bahayanya jurus-jurus itu kalau engkau tidak hati-hati. Jadi ingat baik-baik, jurus ke sembilan belas jaga baik-baik dadamu dan jurus ke dua puluh memiliki kelemahan di bagian belakang tubuhmu ketika engkau meloncat.” Yu Hwi tidak dapat berkata-kata, mukanya merah sekali dan jantungnya berdebar-debar, ketika dia melihat betapa paman gurunya itu berjongkok dan memasangkan sepatu kirinya. Lebih berdebar lagi rasa jantungnya ketika dia melihat betapa jari-jari tangan yang kokoh kuat dari pendekar yang lihai itu gemetar tidak karuan ketika membantunya memakai kembali sepatunya!

Mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput hijau, bercakap-cakap dengan mesranya. Seperti biasa, dalam pertemuan dan percakapan ini, Cu Kang Bu memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat kepada Yu Hwi, sikapnya amat ramah dan juga mesra, jelas sekali nampak betapa pria muda itu “ada hati” terhadap murid keponakan yang manis itu! Dan diam-diam Yu Hwi juga harus mengakui bahwa dia amat tertarik kepada pemuda ini, seorang pria yang jantan, matang, pendiam, jujur dan tidak pernah berpura-pura, sikapnya terbuka dan Ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Pria seperti ini dapat dibandingkan dengan Pendekar Siluman Kecil sekalipun!

Tanpa mereka sadari, dari tempat yang agak jauh, sepasang mata yang bening memandang ke arah mereka, dan kemudian sepasang mata itu nampak tidak senang, kemudian lenyap. Tiba-tiba Yu Hwi berkata, suaranya halus dan lembut, agak mengandung kemanjaan seorang wanita yang yakin bahwa dirinya dicinta.

“Sam-Susiok....”

“Eh, mengapa? Mengapa tidak kaulanjutkan bicaramu?” Kang Bu bertanya sambil memandang heran, melihat betapa dara itu memanggilnya kemudian menunduk, dan kelihatannya seperti ragu-ragu dan bimbang.

“Aku hendak bertanya sesuatu, akan tetapi takut Susiok marah.”

Kang Bu tertawa, ketawanya bebas lepas. “Ha-ha-ha-ha, engkau aneh sekali, Yu Hwi. Pernahkah aku marah kepadamu? Dan pula, kenapa aku harus marah?”

Yu Hwi mengingat-ingat dan memang belum pernah susioknya ini marah. Semenjak dia diperkenalkan kepada para penghui Lembah Suling Emas, dia merasa amat takut kepada toa-susioknya, yaitu Cu Han Bu, yang sikapnya pendiam, serius dan kelihatan galak. Juga dia tidak pernah bicara dengan ji-susioknya, yaitu Cu Seng Bu yang juga pendiam. Hanya kepada sam-susiok ini saja dia merasa suka dan cocok, dan susioknya ini selain amat ramah dan baik, juga usianya tidak banyak selisihnya dengan dia. Susioknya ini paling banyak berusia tiga puluh empat tahun. Apalagi semenjak diperkenalkan, dari sinar mata sam-susioknya ini dia tahu bahwa pendekar gagah ini tertarik dan sayang kepadanya. Naluri kewanitaannya amat tajam dan tentu saja dia dapat menangkap hal ini.

“Tapi aku khawatir kalau-kalau engkau marah mendengar pertanyaanku ini, Sam-susiok.”

“Ha-ha, kalau aku marah, biarlah engkau hitung-hitung mengalami satu kali mendapat marah dariku!” Pendekar itu lalu memandang dengan matanya yang lebar dan mencorong. “Yu Hwi, katakanlah, apa yang akan kautanyakan kepadaku?”

“Sam-susiok.... aku ingin sekali tahu lebih banyak tentang keluargamu, keluarga Suling Emas yang amat sakti itu. Kulihat Toa-susiok sudah menduda, padahal dia belum tua benar, dan Pek In semenjak kecil tidak beribu. Kenapa Toa-susiok tidak pernah menikah lagi, Susiok? Dan juga Ji-susiok tidak pernah menikah....”

“Ah, engkau tidak tahu, Yu Hwi. Twako kematian isterinya yang sangat dicintainya dan dia tidak berani menikah lagi, tidak melihat adanya wanita yang dapat menggantikan isterinya, apalagi setelah melihat betapa mendiang Twako Cu San Bu suami Subomu itu menderita karena ulah isterinya. Maka dia tidak percaya lagi kepada wanita dan memilih tidak kawin lagi selamanya. Adapun Ji-ko Cu Seng Bu, dia.... dia itu mempunyai penyakit sejak kecil, penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan kalau dia menikah, maka penyakit itu akan membahayakan nyawanya. Selain itu, dia melihat kehidupan yang sengsara dari mendiang Twako Cu San Bu dan Cu Han Bu sehingga dia merasa ngeri untuk menikah.”

“Akan tetapi, keluarga Cu belum memiliki keturunan seorang laki-laki “

Cu Kang Bu menghela napas panjang. “Memang hal itu kadang-kadang menggelisahkan kami. Akan tetapi semenjak datang Sim Hong Bu, hati kami terhibur.

Anak itu baik sekali, dan memiliki bakat yang amat besar. Dia telah dipilih oleh mendiang Toapek, dan ternyata dia dapat mewarisi ilmu kami dengan baik. Biarlah dia yang menjadi murid dan juga keturunan kami, siapa tahu dia kelak akan dapat menjadi suami Pek In seperti yang telah direncanakan dan diharapkan oleh Twako Han Bu....“

“Ah, apakah di antara Sumoi dan Sute itu ada pertalian cinta....?”

Yang ditanya menggeleng kepada. “Mereka itu masih terlalu muda kiraku untuk itu, akan tetapi hubungan di antara mereka cukup baik. Kau tahu, murid kami Hong Bu itu memang hebat sekali. Dia bahkan sudah berhasil, atau hampir berhasil melatih ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang-toapek, ilmu yang amat sukar dan mujijat itu....“

“Koai-liong Kiam-sut?”

Yang ditanya mengangguk dan sejenak mereka diam.

“Sam-susiok “

“Ya....?”

“Bagaimana dengan kau sendiri?”

“Aku mengapa?”

“Maksudku.... eh, apakah engkau juga seperti Ji-susiok yang merasa ngeri menghadapi pernikahan dan menganggap tidak ada wanita yang patut menjadi.... eh, jodohmu?”

Pertanyaan itu membuat wajah pendekar tinggi besar itu menjadi merah. “Aku.... eh, aku tidak pernah.... aku belum memikirkan soal jodoh....“ jawabnya gagap. Pendekar sakti yang menghadapi ancaman maut apapun juga akan bersikap tenang ini, menghadapi pertanyaan tentang jodoh itu menjadi gugup. Sungguh hebat!

“Ah, Sam-susiok, kenapa?”

“Aku.... eh, kurasa belum waktunya bagiku untuk memikirkan jodoh.

“Belum waktunya? Menurut dugaanku, Sam-susiok tentu sudah berusia tidak kurang dari tiga puluh tiga tahun sekarang....”

“Sudah tiga puluh lima.”

“Nah, kenapa masih belum waktunya? Apakah engkau tidak hendak menikah kalau sudah berusia setengah abad?”

“Ha, bukan begitu, Yu Hwi, akan tetapi.... selama ini memang belum ada seorang gadis yang cocok untukku.... dan sekarang.... setelah ada yang cocok, hemm.... aku mungkin sudah terlalu tua untuknya.”

Yu Hwi adalah seorang dara yang sudah matang, maka tentu saja dia dapat menduga ke mana tujuan percakapan itu dan siapa yang dikatakannya tidak cocok itu. Dengan sikap tidak tahu dan manja dia bertanya. “Siapakah dara itu, Susiok? Mengapa mengatakan terlalu tua! Aihh, coba dengar ini kakek-kakek yang berusia seabad mengeluh....“ Dia menggoda.

Kang Bu tidak pandai bicara, akan tetapi sekali ini dia bercakap-cakap sampai sedemikian banyaknya dengan Yu Hwi, sungguh membuat dia sendiri merasa terheran. Mendengar godaan itu dia tersenyum, akan tetapi segera memandang tajam kepada Yu Hwi dan memegang tangan dara itu.

Sekali ini Yu Hwi terkejut, tidak dibuat-buat karena tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu akan memegang tangannya dan dia merasa betapa jari-jari tangan yang amat kuat itu menggenggam tangannya dan ada terasa getaran olehnya, getaran hangat dan mesra yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.

“Yu Hwi, katakanlah, engkau pun seorang dara yang usianya sudah cukup dewasa, kenapa sampai sekarang engkau belum juga menikah?”

“Aku.... aku sudah ditunangkan dengan orang, Susiok!”

“Ah....!” Tiba-tiba Kang Bu menarik kembali tangannya seolah-olah dia telah memegang bara api, wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu. “Maafkan aku.... ah, mafkan aku....“ katanya gagap. “Sungguh aku lancang.... nah, habislah harapan Cu Kang Bu!”

“Susiok, aku.... aku ditunangkan di luar kehendakku, di waktu aku masih kecil, dan karena itulah aku pergi minggat dari rumah Kakekku, tidak mau kembali lagi ke sana. Aku tidak sudi dipaksa berjodoh dengan orang bukan pilihanku sendiri.

“Aku telah membebaskan diri, yang menyatakan pertunangan itu adalah orang-orang tua, sedangkan aku tidak merasa terikat jodoh dengan siapapun juga!”

Kata-kata yang tegas ini seolah-olah mengembalikan darah ke muka Kang Bu. Dia memandang dengan sinar mata mencorong, kemudian dia memegang lagi tangan Yu Hwi, harapannya pulih kembali. “Benarkah itu, Yu Hwi?”

“Aku bersumpah bahwa apa yang kukatakan itu setulusnya dari hatiku, Susiok.”

“Kalau begitu biarlah aku berterus terang. Aku.... aku telah menemukan wanita yang cocok dengan hatiku itu, Yu Hwi, dan wanita itu adalah engkau. Aku cinta padamu!”

Bukan main bahagia rasa hati Yu Hwi. Dia balas memegang tangan pemuda itu dan memandang dengan wajah berseri, dan senyum malu-malu. Dari pandangan matanya saja, sudah jelas terlukislah bahwa dia menerima cinta kasih pemuda itu dan bahwa pemuda itu tidak bertepuk tangan sebelah.

“Yu Hwiii....!” Tiba-tiba terdengar suara panggilan, subonya. Yu Hwi terkejut dan melepaskan tangannya.

“Sam-susiok, Subo memanggilku. Sampai jumpa nanti.... ah, aku bahagia sekali, Susiok!” Dan dara itu lalu meloncat dan berlari-lari meninggalkan Kang Bu menuju ke pondok subonya, diikuti pandangan Kang Bu yang tersenyum dengan hati penuh kebahagiaan.

Ketika ia duduk berhadapan dengan subonya, Yu Hwi dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu karena sikap subonya tidak seperti biasa. Subonya kelihatan berwajah muram, bahkan seperti orang marah ketika memandang wajahnya.

“Yu Hwi, engkau jangan main-main dengan keluarga Lembah Suling Emas.” begitu dia berhadapan dengan Subonya, dia mendengar kata-kata yang aneh-aneh dan mengejutkan ini.

“Subo, apa maksud Subo dengan kata-kata itu?” tanyanya sambil memandang wajah gurunya dengan heran dan penuh selidik. Sepasang mata subonya yang biasanya jeli dan cemerlang itu kini nampak agak muram dan terbayang kemarahan.

“Engkau saling mencinta dengan Kang Bu, bukan?”

Yu Hwi tidak merasa terkejut karena dia tahu bahwa subonya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka tentu sudah dapat menduga tentang hubungannya yang mesra dengan Kang Bu. Maka dia tidak mau banyak menyangkal, melainkan mengangguk.

“Hemm, apakah engkau akan mengulangi pengalamanku yang pahit? Engkau jatuh cinta, kemudian menjadi isteri Kang Bu, berarti menjadi keluarga Lembah Suling Emas dan hidup terkurung di situ, seperti seekor burung dalam sangkar, tidak boleh keluar, tidak boleh berhubungan dengan dunia luar sampai engkau tua dan mati di situ!”

“Eh, Subo! Apa artinya ini? Teecu tidak mengerti....”

“Tidak ingatkah engkau kepada apa yang kualami di lembah itu? Aku menjadi isteri mendiang Cu San Bu, kakak tertua mereka, dan aku hidup seperti boneka di dalam lembah itu, tidak pernah keluar, dan tidak diperbolehkan berhubungan dengan dunia luar. Siapa kuat? Siapa dapat bertahan? Maka ketika datang tamu yang menarik dan amat ramah, aku mudah tertarik, salah siapa? Dan kau ingat lagi Ibunya Pek In! Mana mungkin dia dapat tahan hidup seperti burung dalam sangkar? Keluarga Cu itu adalah keluarga iblis! Mereka mau hidup enak sendiri, mau merahasiakan tempat mereka dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga mereka. Mereka menganggap keluarga mereka sebagai keluarga langit, tidak boleh dikotori dengan hubungan bersama manusia lain di luar lembah. Dan engkau mau membiarkan dirimu tersesat ke dalam neraka itu?”

“Ahhh....!” Yu Hwi benar-benar terkejut bukan main mendengar ini.

“Aku sebagai Gurumu, aku sayang kepadamu, maka kuperingatkan engkau tentang hal ini, karena aku akan pergi meninggalkan tempat ini.”

“Subo mau pergi....?”

“Benar, sekarang juga. Karena itulah kau kupanggil, bukan hanya untuk memperingatkanmu tentang hal tadi, akan tetapi juga untuk memberi tahu bahwa hari ini kita saling berpisah. Engkau harus tidak mengecewakan aku. Kauwakililah aku, temui See-thian Coa-ong dan kaukalahkan muridnya agar hatiku puas.”

“Baik, Subo. Akan tetapi, Subo sendiri.... hendak pergi ke manakah?”

Wanita itu menoleh dan memandang keluar pondok, ke arah puncak yang jauh. “Entahlah, aku hendak pergi menurutkan kata hatiku. Aku sudah tidak tinggal dalam Lembah Suling Emas, maka aku bebas pergi ke manapun juga. Dan aku mungkin tidak akan kembali lagi ke tempat ini untuk selamanya.”

“Tapi.... tapi ke mana Subo pergi? Agar teecu dapat tahu dan dapat menyusul kelak.”

“Mau apa kau menyusulku? Engkau kembalilah ke tempat asalmu, ke dunia ramai di timur. Aku akan merantau di pegunungan ini, Pegunungan Himalaya yang maha luas....”

“Subo akan pergi mencari Bu-taihiap?”

Tiba-tlba wanita itu bergerak dan tahu-tahu lengan tangan Yu Hwi sudah dicengkeramnya, “Bagaimana kau tahu?”

Yu Hwi tidak kaget dan juga tidak takut, melainkan tersenyum. “Subo demikian dekat dengan teecu, sudah seperti Ibu sendiri atau kakak sendiri. Subo pernah bercerita tentang Bu-taihiap, dan teecu tahu bahwa Subo masih mencintanya. Maka begitu Subo mengatakan hendak merantau ke Pegunungan Himalaya, siapa lagi yang Subo cari kecuali Bu-taihiap?”

Wanita itu mengangguk lesu, “Engkau memang cerdik sekali, muridku. Akan tetapi.... aku berhak menikmati hidupku, berhak meraih cintaku....“

“Demikian pula teecu, Subo.”

“Aku tahu, akan tetapi engkau akan sengsara kalau menjadi keluarga di Lembah Suling Emas.... tapi kau cerdik, engkau lebih cerdik daripada aku, semoga saja kau berhasil mengatasi hal itu. Nah, kau berangkatlah mencari See-thian Coa-ong, muridku, aku pun akan pergi sekarang juga.”

Dua orang wanita itu sejenak saling berpandangan, kemudian mereka saling rangkul untuk beberapa lamanya. “Hati-hatilah engkau, muridku.” kata Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu lirih dan mereka lalu saling melepaskan rangkulan dan berpisahlah mereka.

“Akan tetapi janji itu masih kurang beberapa hari lagi, Subo.” Yu Hwi berkata ketika mereka akan berpisah.

“Memang, kurang sebulan lagi. Nah, aku pergi dulu, selamat tinggal, Yu Hwi.”

“Selamat jalan, Subo, harap Subo jaga baik-baik diri Subo.” kata dara itu dengan hati terharu. Memang, subonya berhak menikmati hidupnya, berhak meraih cintanya. Akan tetapi, pria yang dicinta oleh subonya itu sudah beristeri! Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada wanita yang menjadi gurunya itu.

Setelah tiba waktunya, kurang lebih sebulan kemudian, berangkatlah Yu Hwi mencari See-thian Coa-ong di tempat pertapaan kakek itu. Dia berangkat dengan hati besar karena selain dia percaya kepada diri sendiri dan merasa yakin akan dapat mengalahkan murid Raja Ular itu, juga dia merasa tenang karena dia tahu bahwa diam-diam kekasihnya atau juga paman gurunya, Cu Kang Bu, diam-diam membayanginya dari jauh seperti yang telah dijanjikan oleh pendekar sakti itu. Kang Bu tidak mau datang berterang membantu Yu Hwi karena hal ini amat merendahkan nama keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal, maka dia hendak melindungi kekasihnya secara diam-diam saja.

Akan tetapi betapa kecewa hati Yu Hwi ketika dia tiba di tempat pertapaan kakek itu, seperti yang diberitahukan subonya, dia hanya mendapatkan kakek itu seorang saja! See-thian Coa-ong bangkit berdiri, menyambut kedatangannya dan kakek ini berkata ramah,

“Jadi engkau adalah murid Cui-beng Sian-li, Nona? Memang hari ini adalah hari perjanjian antara Gurumu dan aku untuk saling menguji kepandaian murid masing-masing, untuk menentukan siapa di antara kami yang lebih becus mengajar murid. Akan tetapi sayang, muridku itu telah pergi setahun yang lalu. Ah, dia masih kanak-kanak, tidak dapat bertahan menanti sampai lima tahun, Nona, dan dia telah pergi....” Kakek itu menarik napas panjang. “Oleh karena itu, biarlah aku tua bangka yang tiada gunanya ini sekarang mengaku kalah kepada Subomu, Cui-beng Sian-li karena aku tidak dapat memenuhi janji.”

Yu Hwi mengerutkan alisnya, hatinya kecewa dan dia merasa penasaran sekali.

Dia tahu bahwa gurunya memang suka kepadanya dan suka pula mengajarkan ilmu-ilmu silat kepadanya, akan tetapi di samping itu, gurunya mengajarnya selama lima tahun juga dengan maksud agar dia dapat mengalahkan murid kakek ini. Dan sekarang, harapan dari subonya itu dikesampingkan begitu saja, dengan sedemikian mudahnya seolah-olah janji itu hanya main-main belaka. Bagaimana dia akan menjawab kalau subonya kelak bertemu dengan dia dan bertanya tentang pertandingan itu? Lalu apa buktinya terhadap subonya yang telah dengan susah payah melatihnya selama lima tahun itu?

“See-thian Coa-ong, mana mungkin engkau membatalkan janji selama lima tahun dengan demikian mudahnya? Kalau memang muridmu itu takut menghadapi aku, mengapa engkau membuat janji lima tahun yang lalu? Kalau begitu, biarlah engkau saja mewakili muridmu dan aku mewakili Guruku! Pertandingan lima tahun yang lalu kita lanjutkan sekarang.

“Ah, jangan begitu, Nona. Mana mungkin aku yang tua bangka ini melawan engkau yang masih muda? Lawanmu adalah muridku, dan karena muridku kini tidak ada....“

“Maka engkau yang menjadi wakilnya, See-thian Coa-ong. Majulah!” Yu Hwi menantang.

Kakek itu menggeleng kepala. “Aku sudah tua....”

“Kalau begitu kau berlututlah menghadap ke barat dan mengaku kepada Subo bahwa engkau kalah olehnya!” kata Yu Hwi.

Kakek itu tersenyum. “Eh, mana mungkin ini? Aku mengaku kalah cara mengajar murid, bukan kalah bertanding.”

“Kalau begitu sambutlah ini. Haiittt....!” Yu Hwi mengeluarkan suara melengking sebelum menyerang, kemudian dia menerjang maju mengirim serangan kepada kakek itu!

“Ehh....!” See-thian Coa-ong cepat mengelak sehingga serangan pertama itu luput akan tetapi Yu Hwi sudah menerjangnya lagi kalang-kabut sehingga kakek itu harus cepat mengelak dan menangkis karena serangan-serangan yang dilakukan oleh gadis itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Kepandaian Yu Hwi pada waktu itu telah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga tidak sembarang orang akan mampu bertahan terhadap serangan-serangan yang dilakukan untuk memaksakan kemenangan ini. Akan tetapi See-thian Coa-ong adalah seorang pertapa sakti yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkat Cui-beng Sian-li, maka tentu saja dia mampu melindungi dirinya dari serangkaian serangan yang dilakukan oleh Yu Hwi. Akan tetapi karena kakek ini sama sekali tidak pernah membalas serangan-serangan itu, dan hanya bertahan saja, maka sudah tentu dia segera terdesak hebat dan berloncatan mundur sambil beberapa kali menangkis.

Pada saat itu, nampak sesosok tubuh ramping berlari-lari mendatangi dari jauh menuju ke tempat itu dan setelah dekat, terdengar suara orang yang datang ini berseru keras. “Siapa berani menghina Suhu?”

Yang datang itu bukan lain adalah Ci Sian! Seperti kita ketahui, Ci Sian ditolong oleh Pendekar Suling Emas Kam Hong, kemudian ketika mereka saling menceritakan pengalaman, Ci Sian bercerita kepada pendekar itu tentang diri Yu Hwi, calon isteri yang dicari-cari oleh pendekar itu. Mendengar ini, Kam Hong menjadi girang sekali dan dia minta kepada Ci Sian untuk mengantarkan dia menemui Yu Hwi di kaki Bukit Lembah Suling Emas. Selain ingin bertemu dengan Yu Hwi, juga Kam Hong tertarik sekali mendengar tentang lembah yang bernama Lembah Suling Emas itu dan ingin menyelidikinya.

Di sepanjang perjalanan, mulailah Kam Hong memberi petunjuk-petunjuk kepada Ci Sian dalam ilmu silat, terutama sekali untuk memberi dasar kepada dara ini agar dapat menerima ilmu-ilmu yang mereka dapatkan bersama dari catatan di tubuh kakek kuno! Bahkan Kam Hong mulai melatih Ci Sian cara memainkan suling, dan untuk memudahkan latihan, Kam Hong membuatkan sebuah suling bambu gading untuk dara itu.

Karena tempat pertapaan See-thian Coa-ong berada di antara perjalanan menuju ke Lembah Suling Emas, maka Ci Sian mengajak Kam Hong untuk singgah di tempat pertapaan kakek itu karena dia hendak menjenguknya. Ketika dari jauh dia melihat suhunya sedang diserang oleh seorang wanita, dan suhunya itu hanya mengelak dan menangkis tanpa membalas, Ci Sian terkejut dan marah sekali, maka berlarilah dia secepatnya ke tempat itu meninggalkan Kam Hong sambil berteriak-teriak marah.

Mendengar teriakan itu, Yu Hwi meloncat ke belakang dan See-thian Coaong berseru girang sekali, “Ci Sian....!”

Sementara itu, Ci Sian sudah mengenal Yu Hwi dan dia berkata, “Hemm, kiranya engkau yang menyerang Suhu? Suhu, mengapa dia menyerang Suhu?”

“Ci Sian, lupakah kau? Hari ini adalah hari perjanjian antara Gurumu dan Gurunya. Syukur engkau datang....”

“Ah, kiranya begitu? Bagus, aku sudah datang. Engkau Yu Hwi murid Ciu-beng Sian-li, bukan? Hayo, akulah lawanmu, jangan menghina orang tua!”

Yu Hwi tersenyum mengejek, memandang kepada dara yang cantik itu, cantik dan muda, kelihatan masih hijau maka tentu saja dia tidak gentar. “Bagus, memang engkau yang kucari untuk menentukan guru siapa yang lebih pandai. Aku menyerang Gurumu sebagai penggantimu, gara-gara engkau ketakutan dan melarikan diri setahun yang lalu!”

“Apa? Aku melarikan diri? Aihhh, engkaulah manusia yang paling sombong di dunia ini, yang paling tak tahu diri, kejam dan angkuh!” Ci Sian teringat betapa wanita ini telah meninggalkan Kam Hong dan menyia-nyiakan kesetiaan Kam Hong, membuat pendekar itu selama bertahun-tahun menderita.

Yu Hwi terbelalak, tidak mengerti mengapa dara remaja itu agaknya amat marah dan benci kepadanya! “Hemm, tidak perlu banyak mulut, kalau memang ada kepandaian, kau majulah!” tantangnya.

“Baik, baik! Aku akan melawanmu sampai selaksa jurus!” bentak Ci Sian dan dua orang wanita yang sama-sama cantik manis itu sudah saling terjang, entah siapa yang lebih dulu menyerang karena keduanya sudah sama-sama menyerang! Tentu saja mereka berdua juga terkejut dan kini mereka keduanya mengelak. Terjadilah kini pertempuran yang amat seru dan hebat, jauh bedanya dengan tadi ketika Yu Hwi menyerang See-thian Coa-ong karena kakek itu sama sekali tidak membalas. Kini kedua orang muda itu saling serang dengan dahsyatnya! See-thian Coa-ong sudah duduk bersila dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar. Kakek ini memang mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali nonton orang bertanding silat dan suka pula bertanding sendiri mengadu kepandaian, bukan bertanding didasari marah atau benci, melainkan semata-mata suka bersilat dan bertanding silat, seperti bertanding olah raga, lupa bahwa bertanding silat sama sekali tidak dapat disamakan dengan pertandingan olah raga atau catur umpamanya karena dalam Ilmu silat terdapat ancaman-ancaman maut yang mengerikan. Sedikit pun tidak ada sikap berat sebelah atau ingin membantu muridnya dalam hati Coa-ong, sungguhpun, seperti seorang botoh adu jago, dia ingin melihat muridnya menang. Baginya, kalah menang, luka atau mati sekalipun dalam adu ilmu silat, bukan apa-apa dan bukan hal yang dapat dibuat sesalan!

”Pertandingan silat itu sungguh hebat bukan main. Setelah menerima petunjuk-petunjuk dari kekasihnya, yaitu Cu Kang Bu, Ilmu kepandaian Yu Hwi meningkat hebat. Dia bersilat dengan ilmu silat yang dipelajarinya dari subonya, yang memang sengaja dilatihnya dengan tekun untuk menghadapi murid See-thian Coa-ong, yaitu Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun. Di samping mainkan ilmu silat yang banyak ragamnya, yang kedudukan kakinya mengatur kedudukan Pat-kwa ini, Yu Hwi juga mempergunakan tenaga sin-kang untuk melancarkan pukulan dari Ilmu Kiam-to Sin-Ciang sehingga kedua tangannya itu seolah-olah berubah menjadi pedang dan golok! Hebatnya ilmu ini bukan kepalang!

Akan tetapi lawannya, Ci Sian, biar pun masih muda, akan tetapi memang sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat pula. Tidak percuma See-thian Coa-ong menggemblengnya selama empat tahun dan menurunkan Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang (Ilmu Silat Bumi Langit Ular Sakti) yang hebat. Ilmu ini adalah ciptaan See-thian Coa-ong sendiri, digabung dari Ilmu Silat Thian-te-kun dengan gerakan-gerakan binatang ular yang lincah! Karena dia sendiri merupakan seorang pawang ular yang sudah dijuluki Raja Ular, tentu saja dia mengenal baik gerakan-gerakan ular dan dia mengambil bagian-bagian yang amat lincah dari gerakan-gerakan ular yang bertarung dan menciptakan gerakan-gerakan ini menjadi ilmu silat digabungkan dengan Ilmu Silat Thian-te-kun.

Maka kini setelah Ci Sian mainkan Ilmu Silat Sin-coa Thian-te ciang, gerakan-gerakannya amat aneh, lincah dan tidak menduga-duga sehingga Yu Hwi sendiri sampai menjadi kaget dan kagum. Akan tetapi, andaikata dara remaja ini tidak menerima petunjuk-petunjuk dari Kam Hong, tentu dia akan kalah menghadapi ilmu silat Yu Hwi yang lebih matang. Baiknya, latihan-latihan yang diberikan Kam Hong baru-baru ini telah membangkitkan sin-kang yang luar biasa dalam diri Ci Sian sehingga dia mampu mengimbangi pukulan-pukulan Kiam-to Sin-ciang dari lawan yang amat berbahaya itu. Maka terkejut dan kagumlah Yu Hwi ketika sambaran angin pukulan Kiam-to Sin-ciang darinya dapat terpental kembali oleh hawa yang keluar dari kedua tangan dara remaja itu ketika menangkisnya.

Bukan main serunya pertandingan antara dua orang gadis itu, sehingga Kam Hong sendiri yang nonton dari jauh merasa kagum. Tak disangkanya bahwa Yu Hwi, tunangannya yang bertahun-tahun tak pernah di jumpainya itu, kini telah menjadi seorang wanita yang matang dan semakin cantik bahkan telah memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi dia juga kagum melihat Ci Sian, kagum dan bangga bahwa dara remaja itu ternyata mampu menghadapi Yu Hwi yang demikian lihainya! Dia melihat bakat yang amat baik pada diri Ci Sian dan mengambil keputusan untuk menurunkan Ilmu-ilmu yang mereka dapat dari tubuh jenazah kuno itu, karena Ci Sian juga berjasa dalam menemukan rahasia ilmu-ilmu itu.

Juga See-thian Coa-ong kegirangan bukan main menyaksikan pertandingan seru itu. Dia menggerak-gerakkan kedua tangannya, seperti seorang anak kecil yang nonton adu jago atau adu jangkerik dan tidak dapat menahan emosinya, ikut menjotos jika melihat muridnya menyerang dan ikut mengelak kalau melihat ada pukulan menyambar ke arah muridnya. Sungguh menggelikan dan lucu sekali tingkah kakek yang gila tontonan adu silat ini!

Hanya seorang yang menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan hati gelisah. Orang ini bukan lain adalah Cu Kang Bu! Dia adalah seorang pendekar sakti dan tentu saja dengan mudah dia dapat mengikuti jalannya pertandingan dan maklum bahwa kekasihnya tidak kalah oleh lawannya. Akan tetapi dia melihat pula bahwa tidak mudahlah bagi kekasihnya untuk mengalahkan lawan, karena dara remaja itu memang lihai sekali, terutama memiliki dasar gin-kang dan sin-kang yang aneh dan kuat. Sebagai seorang yang sedang jatuh cinta dan tergila-gila, tentu saja dia merasa amat khawatir kalau-kalau kekasihnya itu terluka. Membayangkan Yu Hwi terluka mendatangkan rasa ngeri dalam hatinya, maka diam-diam dia lalu mengerahkan khi-kangnya dan bibirnya bergerak-gerak sedikit. Biarpun tidak ada suara yang keluar, namun nampaklah perobahan pada pertempuran itu!

Yu Hwi terkejut ketika tiba-tiba dia mendengarkan bisikan-bisikan di dekat telinganya. Dia tidak tahu suara siapa itu, karena hanya terdengar lirih berbisikbisik seperti suara angin bermain pada daun-daun pohon, namun jelas sekali tertangkap olehnya dan ketika dia mendengar bahwa bisikan-bisikan itu merupakan petunjuk-petunjuk untuk gerakan-gerakannya selanjutnya, giranglah hatinya karena dia dapat menduga bahwa siapa lagi kalau bukan Kang Bu yang memberi petunjuk kepadanya? Maka dia lalu bergerak mengikuti petunjuk ini dan dalam beberapa jurus saja dia telah berhasil menampar pundak Ci Sian sehingga dara remaja ini terpelanting. Memang tidak tepat benar kenanya, akan tetapi setidaknya dia telah mampu mengenai tubuh lawan, maka dia mendesak lagi dengan penuh semangat sambil mentaati bisikan-bisikan yang memberi petunjuk itu!

Melihat ini, See-thian Coa-ong terkejut dan mengeluh, akan tetapi tiba-tiba dia merasa girang ketika dalam keadaan terdesak dan terhuyung, tiba-tiba saja kaki Ci Sian bergerak sedemikian rupa dan ujung sepatunya dapat mencium betis lawan, membuat Yu Hwi juga terhuyung! Kiranya dalam keadaan terdesak itu, tiba-tiba Ci Sian mendengar suara bisikan yang amat jelas, memberi petunjuk kepadanya dan dia pun tahu bahwa suara itu tentu suara Kam Hong, karena siapakah yang demikian saktinya untuk memberi petunjuk kepadanya? Suhunya tidak mungkin mau melakukan hal itu karena suhunya itu memang luar biasa “sportipnya”, tidak mau berlaku curang. Dan memang dugaannya itu benar. Kam Hong amat khawatir menyaksikan keadaannya, apalagi ketika pendekar ini melihat seorang pria muda yang berdiri jauh di belakang Yu Hwi dan dia cepat mengheningkan cipta. Dia dapat merasakan getaran-getaran kuat datang dari pria itu, maka dia terkejut bukan main karena maklumlah dia bahwa pria itu amat lihai dan sedang mengirimkan suara dari jauh untuk membantu Yu Hwi! Maka, dia pun cepat mengerahkan khi-kang untuk membantu Ci Sian sehingga tanpa diduga-duga oleh Yu Hwi, Ci Sian yang kena ditampar pundaknya itu mampu membalas dan dapat menendang betis lawan.

Kini terjadi pertandingan yang semakin hebat. Gerakan-gerakan mereka menjadi semakin aneh, akan tetapi setiap serangan amat hebat dan ganas, menyimpang dari gerakan semula, akan tetapi hebatnya, masing-masing lawan dapat saja menghindarkan diri dan membalas pula dengan serangan yang tidak kalah aneh dan dahsyatnya! Kini See-thian Coa-ong berhenti menggerak-gerakkan kedua tangannya dan matanya terbelalak memandang ke arah pertempuran itu. Mulutnya ternganga karena dia melihat hal yang luar biasa sekali, yang hampir tak dapat dipercayanya. Dia seperti melihat betapa dua orang wanita itu berobah menjadi dua orang lain karena kini pertandingan itu berlangsung dengan hebatnya, dengan gerakan-gerakan yang amat aneh. Muridnya itu sama sekali tidak lagi menggerakkan ilmu Sin-coa Thian-te-ciang lagi! Dan gerakan lawan muridnya itu pun amat anehnya!

Yu Hwi dan Ci Sian kini hanya bergerak menurutkan petunjuk bisikan-bisikan itu saja, dan ternyata dengan menurut petunjuk-petunjuk itu, mereka masing-masing dapat selalu menghindarkan diri dari serangan lawan yang amat dahsyat, maka mereka lalu menurut secara membuta, maklum bahwa mereka masing-masing dituntun oleh petunjuk-petunjuk yang dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat jauh lebih tinggi daripada mereka!

Cu Kang Bu merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian dara remaja itu. Akan tetapi dia segera melihat Kam Hong berdiri jauh di belakang Ci Sian dan maklumlah dia bahwa ada orang pandai yang melakukan hal yang sama dengan dia, yaitu membantu dara remaja itu dengan melalui Ilmu Coa-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Dia merasa penasaran dan makin memperhebat petunjuknya, akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat bahwa dara remaja itu selalu dapat menghindarkan diri, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya! Juga Kam Hong menjadi kagum dan maklum bahwa orang yang membantu Yu Hwi itu benar-benar sakti dan luar biasa sekali!

Tiba-tiba terdengar suara teriakan nyaring sekali, menggetarkan seluruh tempat itu dan membuat dua orang wanita yang sedang bertanding itu terkejut dan meloncat mundur. Tiba-tiba saja di situ sudah berdiri Cu Han Bu yang tadi mengeluarkan teriakan nyaring, sikapnya tenang, akan tetapi suaranya mengandung penuh wibawa ketika dia berkata. “Hentikan semua pertandingan bodoh ini!”

Semua orang memandang kepada pendekar ini, seorang pria berusia empat puluh lima tahun, berpakaian sederhana, bertubuh tegap dan sedang, rambutnya sudah banyak putihnya dan rambut itu digelung ke atas, tidak dikuncir seperti pada umumnya di jaman itu. Inilah Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas), tokoh pertama dari Lembah Suling Emas, dan biarpun pakaian dan sikapnya sederhana, namun sungguh dia berwibawa sekali sehingga Kam Hong yang juga sudah menghampiri tempat itu memandang kagum. Dua orang itu, Cu Han Bu dan Cu Kang Bu, benar-benar merupakan dua orang pria yang hebat, dengan sinar mata yang mencorong membayangkan tenaga dalam yang amat hebat.

Sementara itu, See-thian Coa-ong juga terkejut melihat munculnya dua orang laki-laki gagah lain, yaitu Cu Kang Bu dan Kam Hong. Cepat dia bangkit berdiri dan menghampiri Cu Han Bu, memandang penuh perhatian lalu menjura dengan hormat.

“Harap maafkan, kalau mataku yang sudah lamur ini tidak salah lihat, apakah saya berhadapan denga Kim-siauw San-kok-cu (Majikan Lembah Gunung Suling Emas) yang berjuluk dan bernama Kim-kong-sian Cu Han Bu?”

Cu Han Bu memandang kepada kakek itu dengan sikap dingin akan tetapi cukup hormat. Dan membalas penghormatan kakek itu dan berkata, suaranya cukup ramah. “Harap See-thian Coa-ong tidak terlalu sungkan. Saya memang Cu Han Bu dan dia itu adik saya Cu Kang Bu.” Dia menuding ke arah adiknya agaknya yang tinggi besar dan gagah perkasa itu.

“Aihh, Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati)? Sungguh merupakan penghormatan besar bagiku dapat berjumpa dengan tokoh-tokoh besar Lembah Suling Emas!” kata See-thian Coa-ong dan Kang Bu membalas penghormatan orang dengan sikap bersahaja. Mendengar semua ini, Kam Hong menjadi semakin kagum. Dua orang itu memang hebat, pikirnya dan semakin tertariklah dia mendengar bahwa mereka berdua itu adalah majikan-majikan atau tokoh-tokoh Lembah Suling Emas.

“Coa-ong, kami sudah mendengar akan persaingan seperti kanak-kanak antara engkau dan Toaso kami.”

“Wah, wah.... Cui-beng Sian-li memang hebat dan bersemangat sekali, telah membuat perlumbaan yang menggembirakan, sayang dia tidak hadir.... kata kakek itu tersenyum.

“Dia sudah pergi dan tidak berada di daerah lembah lagi, Coa-ong. Oleh karena itu, habislah sudah semua perjanjian dan perlumbaanmu dengan dia. Kami harap agar engkau suka menghentikan persaingan bodoh itu. Engkau dan Toaso telah melakukan permainan berbahaya, sehingga murid-murid diadu, bahkan engkau telah minta bantuan orang pandai. Perbuatanmu itu dapat membuahkan permusuhan-permusuhan!” kata Cu Han Bu dengan suara menegur dan dia menoleh dan memandang ke arah Kam Hong yang sejak tadi memandang kepada mereka dan kepada Yu Hwi yang kini berdiri dekat sekali dengan Kang Bu.

“Minta bantuan orang pandai? Ah, aku tidak minta bantuan siapapun juga....!” See-thian Coa-ong berseru dan kini dia pun memandang kepada Kam Hong yang berdiri dekat Ci Sian dengan heran. Melihat betapa Ci Sian nampaknya akrab dengan pemuda berpakaian sastrawan itu, dia menegur, “Ci Sian, muridku, siapakah, temanmu itu?”

Kini Kam Hong melangkah maju dan dengan penuh hormat dia menjura kepada See-thian Coa-ong dan kepada dua orang pendekar sakti itu. Suaranya halus dan tenang ketika dia berkata. “Harap Sam-wi tidak salah mengerti. Sesungguhya saya tidak hendak mencampuri urusan Locianpwe ini, dan kedatangan saya di sini adalah untuk urusan pribadi. Maafkan saya!” Dia lalu melangkah maju dan berdiri menghadapi Yu Hwi, memandang dengan tajam sampai beberapa lama. Yu Hwi melangkah mudur dan tanpa disengaja tangannya menyentuh tangan Kang Bu yang menggenggam tangan itu.

“Moi-moi, kuharap dengan hormat dan sangat agar engkau suka ikut bersamaku.” Kam Hong berkata dengan singkat saja karena dia tidak ingin banyak bicara dengan Yu Hwi di depan begitu banyak orang asing.

Wajah Yu Hwi sebentar pucat sebentar merah memandang kepada Kam Hong, kemudian dia menoleh kepada Kang Bu, memegang tangan yang besar itu makin kuat dan dia memandang lagi kepada Kam Hong, lalu berkata suaranya lirih namun tegas, “Aku tidak mau pergi bersamamu!”

Kam Hong mengerutkan alisnya. Tidak mungkin dia bicara banyak di depan banyak orang yang semua memandang kepadanya dan kepada Yu Hwi itu, karena yang akan dibicarakan adalah urusan pribadi. Dia merasa heran mengapa Yu Hwi tidak mau mengerti akan hal ini dan mengapa gadis itu masih bersikap begitu keras kepala seperti seorang anak kecil saja.

“Dinda Yu Hwi, bertahun-tahun aku mencarimu dan setelah kita bertemu, mengapa kau bersikap begini? Aku hanya ingin bicara denganmu, dan orang-orang tua di rumah menanti-nanti.”

“Aku tidak mau pulang! Aku tidak mau bicara lagi tentang urusan kita!” Yu Hwi berkata di dalam suaranya terkandung isak.

“Hwi-moi....” Kam Hong hendak membujuk. Betapapun juga, baik perjodohan itu dilanjutkan atau dibatalkan, mereka harus dibicarakan dengan baik-baik di depan para orang tua yang menjodohkan mereka.

Tiba-tiba terdengar suara lantang dan nyaring, besar dan kasar akan tetapi mengandung keterbukaan. “Memaksa seseorang yang tidak mau apalagi kalau yang dipaksa itu seorang wanita, merupakan perbuatan rendah dan pengecut!”

Kam Hong yang tadinya memandang kepada Yu Hwi, perlahan-lahan mengalihkan pandangannya dan kini dia memandang kepada wajah yang gagah perkasa itu. Sejenak dua pasang mata yang mencorong seperti mata naga-naga sakti itu saling pandang, seolah-olah dua orang pendekar sakti ini sudah saling serang melalui sinar mata mereka dan keduanya tidak ada yang mau tunduk, keduanya memiliki kekuatan pandang mata yang luar biasa. Kam Hong tersenyum tenang dan suaranya juga halus ketika dia berkata, “Mencampuri urusan pribadi orang lain merupakan perbuatan yang lebih rendah lagi selain tidak sopan sama sekali.”

Kembali suasana hening menegangkan setelah terdengar kata-kata yang sama menusuknya ini. Kang Bu nampak terkejut dan dia memandang kepada kekasihnya yang berdiri di dekatnya, lalu bertanya lirih, “Yu Hwi, diakah orangnya....?” Pertanyaan Yang hanya dimengerti oleh mereka berdua dan Yu Hwi mengangguk. Melihat kenyataan, wajah Kang Bu menjadl merah sekali dan tahulah dia bahwa dia yang berada di fihak salah. Pria yang tampan dan lembut berpakaian sastrawan ini kiranya adalah tunangan Yu Hwi! Tentu saja, dia, sebagai orang luar, sama sekali tidak berhak mencampuri pembicaraan atau urusan antara dua orang tunangan! Kang Bu adalah seorang gagah, maka kini dia merasa terpukul dan tidak berani bicara lagi, hanya memandang kepada Kam Hong dengan sinar mata tak senang dan mengepal tinjunya yang besar, tidak tahu harus berkata apa atau bertindak apa!

Sejak tadi, Ci Sian memperhatikan kesemuanya itu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Kam Hong dan menyesalkan sikap Yu Hwi yang demikian keras kepala. Apa sih hebatnya perempuan ini sehingga berani bersikap demikian angkuh terhadap Kam Hong? Menurut penilaiannya, Yu Hwi belum pantas menjadi calon isteri Kam Hong, sama sekali belum pantas! Lalu dia melihat sikap Kang Bu, melihat betapa Kang Bu dan Yu Hwi saling berpegang tangan dan mengertilah dara ini. Hatinya terasa panas sekali dan tiba-tiba dia terkekeh.

Suara ketawa yang halus nyaring ini tentu saja seperti halilintar memecah kesunyian yang menegangkan itu sehingga semua orang memandang kepadanya. Ci Sian berjebi, bibirnya yang kecil mungil dan merah itu meruncing dan dia memandang kepada Yu Hwi dan Kang Bu, lalu berkata dengan suara mengejek sekali. “Laki-laki yang merebut calon isteri orang dan perempuan yang sudah bertunangan masih bergandeng tangan dengan laki-laki lain, sungguh merupakan pasangan yang setimpal sekali!”

Bukan main hebatnya ejekan ini yang ditujukan kepada Kang Bu dan Yu Hwi.

Wajah Yu Hwi sampai menjadi pucat dan wajah Kang Bu menjadi merah bukan main dan tangan mereka yang saling bergandengan itu tiba-tiba terlepas.

“Ci Sian....!” Kam Hong menegur karena dia merasa betapa ejekan itu melampaui batas, terlalu kasar dan menusuk perasaan walaupun dia mengerti bahwa dara itu melakukan ejekan karena kasihan kepadanya dan marah kepada Yu Hwi dan pria gagah perkasa itu.

“See-thian Coa-ong....” terdengar suara Kang Bu dalam dan berat, menggetar dan membuat jantung yang mendengarnya ikut tergetar, “Kalau engkau tidak mampu menghajar mulut muridmu, biarlah aku yang akan menghajarnya. Dia menghina orang keterlaluan!” Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak ke depan, dan dia sudah menampar ke arah Ci Sian! Betapa pun Ci Sian memiliki, gerakan cepat, namun dia sama sekali tidak mampu mengelak lagi dan hanya terbelalak. Pada saat itu, See-thian Coa-ong meloncat dan menangkis.

“Desss....!” Tubuh kakek itu terbanting keras ke atas tanah sampai bergulingan!

“Hemm, engkau malah melindungi muridmu yang kurang ajar itu?” kata pula Kang Bu dan kembali dia hendak menyerang Ci Sian, kini bahkan meloncat ke depan.

Akan tetapi tahu-tahu di depannya sudah berdiri Kam Hong. Kang Bu sengaja tidak mempedulikan orang ini dan tangan kirinya menampar ke arah Ci Sian yang lari berlindung ke belakang Kam Hong. Kam Hong berkata, “Sabarlah, Sobat!” Dan dia pun menangkis.

“Dukkk!” Dua lengan beradu dan akibatnya keduanya bergetar, akan tetapi tubuh Kam Hong sama sekali tidak terguncang dan dia memandang dengan sinar mata dingin.

“Hemm, tadi pun engkau sudah mengajakku main-main, apakah artinya ini? Dara remaja itu tidak salah karena apa yang dikatakan itu adalah kenyataan belaka. Apakah benar-benar engkau hendak mencampuri urusan antara dua orang yang sejak kecil sudah dijodohkan untuk menjadi calon suami isteri?” kata Kam Hong sambil memandang tajam.

Kang Bu merasa serba salah. Akan tetapi dia adalah seorang yang jujur, tidak mau berpura-pura karena sopan santun, dan dia suka bertindak atau mengucapkan apa yang terkandung di dalam hatinya. “Engkau tentu yang bernama Kam Hong, tunangan Yu Hwi, bukan? Nah, terus terang saja, aku sudah mendengar tentang engkau dan ketahuilah bahwa Yu Hwi tidak suka menjadi tunanganmu, dan kami berdua saling mencinta. Aku akan melindunginya, kalau perlu mempertaruhkan nyawaku untuk itu!”

“Hemm, caramu kasar sekali, sobat!” Kam Hong mencela.

“Tidak peduli, aku sudah bicara terus terang! Kalau engkau hendak memaksa dia, nah, biarlah kita memperebutkan dia melalui kepalan atau ujung senjata. Kita adalah laki-laki, tidak perlu kiranya banyak bicara!” Setelah berkata demikian, Kang Bu memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi. Tubuh Cu Kang Bu memang tinggi besar dan kokoh kuat, dan kini dia berdiri dengan tubuh tegak, kedua kaki dipentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuhnya, agak ditekuk sikunya dan nampak jari-jari tangannya menggetar, tanda bahwa tenaga sin-kang dari dalam pusarnya telah mengalir ke seluruh tuhuh, siap untuk dipergunakan menghadapi lawan! Wajahnya membayangkan kemarahan dan kejujuran, kasar namun terbuka sesuai dengan wataknya.

Sebaliknya, Kam Hong sejak kecil telah terdidik dengan budi pekerti dan sopan santun, juga dia telah mendalami kitab-kitab Su-si Ngo-keng, juga pelajaran-pelajaran tentang kebatinan dan kesusastraan. Maka sikap Cu Kang Bu itu terasa amat kasar dan tidak sopan. baginya, sungguhpun sebagai seorang yang berjiwa pendekar dia amat menghargai kejujuran orang itu.

Melihat betapa kekasihnya itu telah memasang kuda-kuda dan menantang Kam Hong berkelahi, hati Yu Hwi merasa khawatir juga. Memang dia tidak mau dijodohkan dengan Kam Hong, akan tetapi hal ini bukan karena dia membenci Kam Hong, melainkan karena kekecewaannya. Dahulu dia tergila-gila kepada Siluman Kecil yang dalam hal ilmu kepandaian jauh lebih tinggi daripada tingkat Siauw Hong atau Kam Hong, maka kenyataan bahwa dia dijodohkan dengan pemuda ini sedangkan dia jatuh cinta kepada Siluman Kecil amat mengecewakan hatinya. Andaikata dia dulu tidak jatuh cinta lebih dulu kepada Siluman Kecil yang dikaguminya, belum tentu dia akan menolak perjodohan yang ditentukan oleh orang-orang tua itu. Dan kini, dia telah melakukan pilihan hatinya lagi, yaitu kepada Cu Kang Bu, pria yang dianggapnya amat gagah perkasa. Maka melihat betapa Kang Bu menantang Kam Hong, dia merasa khawatir dan dia tidak menghendaki Kang Bu bertempur melawan Kam Hong, yang bagaimanapun juga tidak mempunyai kesalahan apa-apa kepadanya. Wajarlah kalau Kam Hong yang ditunangkan dengan dia kini datang mencarinya dan mengajaknya pulang.

“Sam-susiok....!” Dia berteriak sambil mendekati Kang Bu dan menyentuh lengannya. “Jangan berkelahi....!”

Mendengar ini, Kam Hong menjadi terheran-heran. “Hemm, Susioknya, ya?” katanya dengan suara dingin karena dianggapnya amat aneh dan janggal kalau kini tunangannya itu jatuh cinta dengan susioknya sendiri. Bagi dia yang telah memiliki dasar pelajaran tata susila, seorang susiok (paman guru) tiada bedanya dengan seorang paman sendiri, maka tidaklah pantas kalau terjadi hubungan cinta antara seorang keponakan dan seorang pamannya sendiri.

Mendengar kata-kata yang nadanya mencela atau mengejek itu, Cu Kang Bu memandang kepada tunangan kekasihnya dengan sinar mata mencorong dan dia pun berkata dengan suara lantang. “Benar, dia adalah murid Toaso-ku! Dia adalah murid keponakanku, akan tetapi kami saling mencinta dan kami hendak menikah. Hayo, kalau engkau memang seorang jantan, hadapi aku sebagai laki-laki sejati!”

Kam Hong tersenyum. “Hemm, lagaknya seperti seorang jagoan tukang pukul di pasar saja, padahal, kalau aku tidak keliru mendengar tadi, engkau adalah seorang tokoh besar dari Lembah Suling Emas yang berjuluk Ban-kin-sian. Tidak tahu apa hubungannya lembah tempat tinggalmu itu dengan Suling Emas! Kalau tokohnya hanya seorang laki-laki yang sekasar engkau, aku menyangsikan apakah suling yang kalian pakai sebagai nama itu benar-benar terbuat daripada emas, ataukah hanya tembaga yang diselaput emas?”

Ucapan Kam Hong ini selaln hendak menyelidiki tentang Lembah Suling Emas, juga sebagai ejekan karena hatinya mulai panas melihat orang menantangnya tanpa ada perkaranya, hanya karena orang ini mengaku cinta kepada Yu Hwi.

“Engkau laki-laki cerewet seperti nenek-nenek! Hayo maju kalau engkau berani?” Cu Kang Bu yang tidak pandai bicara itu semakin marah. Akan tetapi pada saat itu, Cu Han Bu sudah melangkah maju dan menjura ke arah Kam Hong. Gerakan kedua tangannya memberi hormat itu mendatangkan suara bersuit nyaring sehingga diam-diam Kam Hong terkejut sekali dan dia sudah siap menjaga diri dengan mengangkat kedua tangannya pula ke depan dada. Akan tetapi sambaran angin itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan dan hal ini membuat Kam Hong kagum bukan main. Hanya orang yang sudah amat kuat sin-kangnya saja mampu menguasai gerakan angin tenaga yang keluar dari gerakan tangan semacam itu, maka dia mulai memperhatikan orang ini. Seorang pria yang usianya empat puluh lima tahun kurang lebih, berpakaian sederhana sekali seperti seorang petani, bertubuh sedang dan tegap, rambutnya tidak dikuncir seperti kebiasaan orang-orang pada waktu itu melainkan digelung ke atas dan di kanan kiri kepalanya sudah terdapat banyak uban, akan tetapi sepasang matanya yang bersinar lembut itu mengandung wibawa yang dingin dan kadang-kadang mencorong seperti mata harimau.

“Perkenankan saya Cu Han Bu mintakan maaf terhadap sikap adik saya Cu Kang Bu. Maklumlah, orang yang sedang jatuh cinta kadang-kadang berkurang kesadarannya dan mudah marah kalau orang yang dicintanya terancam atau tersinggung. Akan tetapi, Saudara tadi menyinggung-nyinggung tentang Lembah Suling Emas. Ketahuilah bahwa kami keluarga lembah, sejak turun-temurun adalah orang-orang yang menjunjung tinggi keluarga Suling Emas yang menjadi nenek moyang kami, maka Saudara yang telah berani meremehkan keluarga Suling Emas, agaknya memiliki kepandaian yang berarti. Maka, biarlah sekarang adikku Cu Kang Bu mencoba kepandaianmu, bukan untuk membela kekasih, melainkan untuk membela nama Lembah Suling Emas. Tentu saja kalau Saudara berani menyambutnya."

Tadinya Kam Hong sudah hendak minta maaf dan tidak melayani tantangan itu, akan tetapi tak disangkanya sikap sopan dan hormat dari orang itu ditutup dengan ucapan yang kembali mengobarkan kemarahannya. Kalimat “tentu saja kalau Saudara berani menyambutnya” merupakan tantangan yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Maka tersenyumlah dia, sehyum yang pahit.

“Jadi kalian adalah keturunan Suling Emas? Hemm, agaknya keluarga kalian terlalu memandang tinggi kepandaian sendiri, maka mudah saja menantang semua orang. Baiklah, kalau urusannya untuk mempertahankan nama dan menantang pibu, aku menerimanya, asal bukan untuk memperebutkan wanita!” Sambil berkata demikian, dia mengerling ke arah Yu Hwi yang menjadi merah mukanya dan gadis ini pun lalu melangkah mundur, membiarkan kekasihnya menghadapi tunangannya yang sah itu.

Bersambung ke buku 7