Kisah Si Bangau Merah -8 | Kho Ping Hoo



Kisah Si Bangau Merah Buku 8 | Kho Ping Hoo

“Cepat bebaskan sumoimu dan kalian lari dari sini!”

Sian Lun keluar dari kamar tahanan karena daun pintunya ternyata telah dibuka dan juga kamar tahanan Sian Li telah terbuka dan juga kamar tahanan telah terbuka daun pintunya. Dia meloncat masuk ke dalam kamar tahanan sumoinya, dengan menggunakan pedang, dia membebaskan dara itu dari belenggu. Dapat dibayangkan betapa girang dan juga heran hati kedua orang muda ini ketika mendapat kenyataan bahwa dua batang pedang yang diserahkan oleh orang itu adalah pedang mereka sendiri yang tadi dirampas oleh para anggauta Hek I Lama!

Mereka berloncatan keluar dari kamar tahanan, memegang pedang masing-masing dan mereka mencari-cari dengan mata mereka. Penolong tadi telah lenyap tanpa meninggalkan bekas Mereka hanya melihat empat orang penjaga di luar kamar tahanan dan empat orang ini berada dalam keadaan aneh. Ada yang sedang duduk, ada yang berjongkok, ada yang berdiri, bahkan ada yang sedang mencabut golok dan sikapnya seperti orang hendak meloncat. Akan ,tetapi mereka semua tidak bergerak dan seperti telah berubah menjadi patung! Tahulah Sian Li dan Sian Lun bahwa mereka telah menjadi korban totokan yang amat ampuh! Mereka tidak mempedulikan empat orang penjaga itu dan berlari keluar dari situ, menuju ke lorong dari mana mereka dapat keluar melalui taman di samping rumah untuk kemudian meloncat pagar tembok.

Akan tetapi ketika mereka sudah keluar dari rumah dan tiba di dalam taman tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring. “Tawanan lolos! Tawanan lolos!”

“Itu mereka di taman....!”

“Kepung....!”

Sian Li dan Sian Lun melihat belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok sendiri melakukan pengejaran! Mereka sudah siap untuk malawan mati-matian. Tiba-tiba di belakang mereka ada suara orang. “Cepat kalian lari meloncat tembok, biar aku yang menahan mereka!”

Orang bercaping itu lagi! Karena keadaan mendesak, dua orang muda itu tidak sempat bicara lagi. Mereka mentaati petunjuk penolong itu dan dengan cepat mereka berlari ke pagar tembok dan meloncat ke atasnya. Ketika tiba di atas pagar tembok, Sian Li sempat menengok dan ia memandang kagum. Penolong mereka yang bercaping itu, seorang diri dan tanpa senjata, telah berhasil menghadang belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok yang amat lihai itu! Tubuh Si Caping itu berkelebatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar dan menghalangi setiap orang yang hendak melakukan pengejaran! Dan setiap orang, bahkan Cu Ki Bok sendiri, terpental ke belakang begitu dihadang dan dihalangi orang bercaping itu!

“Mari cepat, Sumoi!” kata suhengnya dan Sian Li terpaksa cepat meloncat keluar dan bersama suhengnya ia pun melarikan diri meninggalkan tempat itu. Namun, penglihatan tadi tak pernah dapat dilupakan. Betapa lihainya kepandaian orang bercaping itu!

Setelah malam berganti pagi, baru kedua kakak beradik seperguruan itu menghentikan lari mereka. Keduanya merasa amat lelah den mereka berhenti di luar sebuah dusun, melepas lelah. Dusun itu mulai hidup. Penghuninya mulai meninggalkan dusun, membawa alat pertanian untuk mulai bekerja di sawah ladang.

“Suheng, kita telah ditolong oleh orang bercaping itu....” kata Sian Li, terharu karena tidak mengira bahwa mereka akan dapat lolos sedemikian mudahnya.

“Kita berhutang budi, bahkan mungkin hutang nyawa kepada orang itu, Sumoi,” kata pula Sian Lun, masih tertegun.

“Siapakah dia, Suheng? Apakah engkau dapat melihat mukanya?”

Sian Lun menggeleng kepala. “Ketika dia menolong kita, kedua buah lampu itu padam dan cuaca terlalu gelap untuk dapat mengenal mukanya. Apalagi caping lebar itu menyembunyikan mukanya. Bahkan aku tidak tahu apakah dia itu muda atau tua, laki-laki atau wanita....”

“Dia jelas laki-laki, Suheng. Suaranya berat dan tubuhnya juga tegap seperti tubuh laki-laki. Sungguh sayang keadaan tidak mengijinkan kita untuk berkenalan dengan dia, Suheng. Sungguh tidak enak rasanya diselamatkan orang tanpa mengenal dia siapa, bahkan tidak melihat wajahnya sehingga selain kita tidak tahu siapa dia, juga kalau berjumpa kita tidak akan mengenalnya.”

“Sudahlah, Sumoi. Bukankah Suhu dan Subo seringkali mengatakan bahwa di dunia ini banyak terdapat orang aneh dan lihai, dan bahwa para pendekar tidak pernah mau mengikat diri dengan dendam dan budi? Dia tentu seorang pendekar aneh yang tidak mau menanam budi, maka menolong secara sembunyi dan tidak memperkenalkan diri. Kita patut bersyukur bahwa kita telah terbebas dari bahaya maut, bahkan menerima kembali pedang kita, dalam keadaan sehat. Luka di pundakku juga sudah sembuh.”

“Akan tetapi buntalan pakaian kita lenyap, dan juga bekal emas permata yang amat berharga dari Nenek Gangga Dewi, dirampas penjahat-penjahat itu! Padahal, kita perlu membeli pakalan pengganti dan untuk bekal dalam perjalanan.”

Sian Lun meraba-raba bajunya dan mengeluarkan beberapa potong perak, dari saku bajunya. “Ini masih ada beberapa potong perak dalam saku bajuku. Kita masih dapat membeli makanan untuk beberapa hari lamanya. Mengenal pakaian.... wah, terpaksa sementara ini tidak bisa ganti....”

Mereka melanjutkan perjalanan. Peta perjalanan itu pun lenyap dan mereka memasuki dusun, untuk membeli makanan dan menanyakan jalan.

Sambil membeli makanan sederhana di sebuah kedai kecil, mereka mendapat keterangan dan ternyata mereka telah meninggalkan pantai Sungai Yalu-cangpo sejauh tiga puluh mil lebih! Dan perjalanan melalui darat ke timur amat sukar karena melalui bukit-bukit, hutan-hutan dan daerah liar, di mana terdapat banyak bahaya. Jalan raya yang biasa dipergunakan rombongan pedagang, masih belasan li jauhnya dari situ. Menurut keterangan penduduk dusun itu, kalau hendak melakukan perjalanan ke timur, paling aman dan paling cepat adalah melalui Sungai Yalu-cangpo, maka mereka terpaksa harus kembali ke utara sampai ke tepi sungai, mempergunakan perahu.

“Aih, kita harus kembali lagi ke tepi sungai, Suheng. Akan tetapi, setelah tiba di sana, bagaimana kita dapat menyewa perahu kalau kita tidak mempunyai bekal uang lagi?”

“Bagaimana nanti sajalah, Sumoi.”

Percakapan mereka terhenti ketika seorang anak laki-laki berusia lebih empat belas tahun menghampiri mereka. Dengan suara lirih dan logat Tibet yang asing dia berkata, “Saya disuruh seseorang untuk menyerahkan buntalan ini kepada Jiwi (Anda Berdua).” Anak itu menyerahkan sebuah buntalan dan melihat buntalan itu, Sian Lun meloncat kaget dan girang. Itu adalah buntalan pakaiannya yang dirampas oleh orang-orang. Hek I Lama!

“Siapa yang menyuruhmu? Di mana dia sekarang?”

Anak itu menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia siapa. Seorang yang memakai caping, mukanya tidak kelihatan jelas. Dia memberi aku sekeping perak dan menyuruh aku menyerahkan buntalan ini kepada seorang nona berbangsa Han yang berpakaian merah, dan yang berada di kedai ini. Setelah menyerahkan buntalan, dia pergi.”

Sian Li membuka buntalan dan memeriksa. Masih lengkap! Bahkan buntalan terisi emas permata pemberian Gangga Dewi juga masih lengkap berada di situ! Hampir ia bersorak saking gembiranya. Ia mengikat lagi buntalannya di punggung lalu berkata, “Aku akan mencari dia!”

“Tidak perlu, Sumoi. Tidak akan bisa kautemukan. Jelas bahwa dia sengaja tidak mau memperkenalkan diri dan tentu telah pergi jauh.”

Sian Li memaklumi kebenaran ucapan suhengnya. Orang itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan kalau dia tidak menghendaki, tidak mungkin ia dapat mengejarnya.

“Sayang sekali. Aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengannya, Suheng, dan mengapa pula dia menolong kita secara sembunyi dan tidak mau bertemu dengan kita.”

“Tentu ada sebabnya yang dia sendiri saja mengetahuinya, Sumoi. Kelak kalau dia menghendaki, tentu kita akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, sebaiknya kalau kita mencari dan membeli kuda agar perjalanan ke pantai dapat dilakukan lebih cepat. Juga engkau perlu membelikan pakaian pengganti untukku. Penolong kita itu agaknya hanya memperhatikanmu dan mengambilkan buntalan pakaianmu sedangkan pakaianku tidak dia ambilkan.” Sian Lun tertawa, sama sekali tidak merasa iri kepada sumoinya. Sian Li juga tertawa, akan tetapi entah mengapa, jantungnya berdebar mendengar bahwa penolong mereka itu agaknya amat memperhatikannya!

Dengan emas yang ada pada Sian Li, mudah saja mereka membeli dua ekor kuda yang baik dengan harga mahal, kemudian mereka pun sudah meninggalkan dusun itu, menunggang kuda menuju ke tepi Sungai Yalu-cangpo. Peta perjalanan itu pun berada di dalam buntalan Sian Li sehingga kini mereka mendapatkan petunjuk lagi.

Perjalanan mereka ke tepi sungai itu tidak mendapat gangguan dan dari seorang nelayan mereka bahkan mendapat petunjuk baru bahwa daripada naik perahu, lebih cepat kalau mereka menunggang kuda saja, melalui jalan setapak menyusuri tepi sungai. Mereka menurut petunjuk ini memang benar, jalan setapak itu cukup baik untuk dilalui kuda mereka dan perjalanan dapat di lakukan lebih cepat. Ketika mereka melewati dusun yang cukup ramai, Sian Li membelikan pakaian pengganti untuk suhengnya. Kini mereka melakukan perjalanan berkuda dengan perbekalan yang lengkap pula.

Untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka beristirahat. Sian Li dan Sian Lun berhenti mengaso di tepi sungai yang ditumbuhi banyak rumput gemuk. Mereka membiarkan kuda mereka makan rumput dan beristirahat, dan mereka pun membuka buntalan perbekalan makanan dan air bersih. Sambil makan, mereka bercakap-cakap, membicarakan pengalaman mereka.

"Suheng, ingatkah Sugeng ketika Badhu dan Sagha bersama tiga orang Lama Jubah Hitam itu menyerang kita di rumah penginapan itu?"

"Ya, kenapa?"

"Ketika mereka mengeroyok kita, tiba-tiba mereka melepaskan senjata dan mereka melarikan diri secara aneh karena kita tidak melukai mereka."

"Hemm, dan engkau mengatakan bahwa mungkin ada dewa yang menolong kita?"

"Sekarang aku tahu siapa dewa yang menolong kita itu!"

"Eh, benarkah? Siapa dia?"

"Tentu orang bercaping itu juga!"

Sian Lun menatap wajah sumoinya, lulu mengangguk-angguk. "Mungkin sekali dugaanmu itu benar, Sumoi, akan tetapi tidak ada artinya karena kita pun belum tahu siapa orang bercaping itu."

Sian Li menghela napas panjang. "Suheng, kalau sampai aku tidak dapat mengetahui siapa adanya orang itu, tentu akan selalu ada penyesalan dan ganjalan dalam hatiku."

Setelah kuda mereka makan kenyang dan nampak segar kembali, mereka melanjutkan perjalanan karena menurut petunjuk dalam peta yang dibuat oleh ahli di Bhutan, tidak jauh di sebelah depan terdapat sebuah dusun besar, tepat di belokan Sungai Yalu-cangpo yang menikung ke selatan. Dari situ, mereka akan menyeberang dan meninggalkan lembah sungai itu, melanjutkan perjalanan ke timur.

***

Dua orang kakak beradik seperguruan itu memasuki dusun Cam-kong di tepi Sungai Yalu-cangpo yang berbelok ke selatan. Sebuah dusun yang ramai karena dari sinilah para pedagang yang hendak membawa barang dagangan ke selatan berkumpul dan mengirim barang mereka dengan perahu. Sedangkan para pedagang yang membawa dagangan ke timur, dan datang dari barat, membongkar barang yang mereka bawa dengan perahu di dusun ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan rombongan mereka ke timur melalui daratan. Karena menjadi pusat persaingan para pedagang, maka dusun itu menjadi makmur dan ramai. Dengan mudah Sian Li dan Sian Lun mendapatkan dua buah kamar di rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di samping rumah penginapan. Hiruk pikuk suara orang yang tiada hentinya memuat dan membongkar barang di dusun pelabuhan itu.

Ketika mereka memasuki rumah penginapan, mengikuti seorang pelayan yang menunjukkan dua buah kamar untuk mereka, kakak beradik itu melewati sebuah ruangan duduk di mana berkumpul tujuh orang yang melihat pakaiannya tentulah pedagang-pedagang berbangsa Han. Mereka bercakap-cakap dengan santai dan mendengar logat bicara mereka, Sian Lun dan Sian Li segera tertarik sekali karena logat Shantung, seperti logat orang-orang di tempat tinggal Kakek Suma Ceng Liong yang sudah biasa mereka dengar. Kiranya mereka adalah pedagang-pedagang dari bagian timur sekali, dan mereka merasa seperti bertemu dengan saudara-saudara dari kampung halaman sendiri! Memang demikianlah perasaan hati hampir setiap orang yang berada di rantau. Kalau kita berada di rantau orang, jauh dari kampung halaman, apalagi kalau sedang merindukan kampung halaman, mendengar logat bicara orang sekampung rasanya seperti bertemu dengan saudara sendiri dan segera timbul keakraban dalam hati. Dahulu kalau berada di kampung halaman sendiri, logat itu sama sekali tidak mendatangkan kesan apu pun.

Kebetulan mereka mendapatkan dua buah kamar yang tidak berjauhan dari ruangan duduk itu, maka setelah memasuki kamar masing-masing, mereka dengan pendengaran mereka yang tajam terlatih, masih dapat menangkap percakapan tujuh orang Shantung itu. Mereka segera menaruh perhatian karena mereka membicarakan soal keamanan daerah itu dan perjalanan dari tempat itu ke timur, perjalanan yang akan mereka tempuh.

Mereka menceritakan pengalaman masing-masing dan menyebut-nyebut tentang adanya seorang pendekar yang mereka namakan Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).

"Kalau tidak ada pendekar itu, mungkin hari ini aku tidak dapat bertemu dengan kalian di sini," terdengar seorang di antara mereka bercerita. Terjadinya kurang lebih sebulan yang lalu. Perampok-perampok itu sungguh tidak mengenal peraturan umum. Rombongan kami sudah bersedia untuk memberi sumbangan yang cukup memadai. Akan tetapi mereka menginginkan yang bukan-bukan, bahkan hendak menculik puteri pedagang dari selatan itu. Tentu saja kami keberatan, apalagi ketika mereka hendak mengambil semua, gulungan sutera paling halus dan paling mahal. Bisa bangkrut kami kalau menuruti kehendak mereka. Dan mereka menjadi marah, lalu mengatakan mereka akan merampas semua barang, menculik gadis itu, dan membunuh kami semua!"

"Hemm, memang sekarang mulai tidak aman. Banyak gerombolan pengacau dari berbagai aliran, ada perampok, ada bajak sungai, bahkan ada pula gerombolan pemberontak dan ada katanya pasukan keamanan sendiri malah merampok dan mengganggu kami," kata orang ke dua.

"Acun, lanjutkan ceritamu tadi. Setelah rombongan diancam, lalu bagaimana?" kata yang lain.

Orang pertama yang bernama Acun melanjutkan. "Tentu saja kami tidak menyerah begitu saja. Tidak percuma aku pernah belajar ilmu silat di kampung, dan di antara para anggauta rombongan kami terdapat beberapa orang yang cukup jagoan. Akan tetapi, ternyata kepala perampok itu lihai sekali. Aku sendiri belum terluka, akan tetapi kawan-kawanku sudah roboh. Pada saat kepala perampok merobohkan aku dengan tendangan dan goloknya menyambar ke arah leherku muncullah Pendekar Besar Tangan Sakti itu! Hem, dia bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit!"

"Acun, ceritakan, bagaimana sepak terjangnya?" Yang lain-lain juga mendesak Acun untuk melanjutkan ceritanya. Bahkan Sian Li dan Sian Lun di kamar masing-masing ikut mendengaran penuh perhatian.

"Kemunculannya mentakjubkan. Sudah lama aku mendengar tentang sepak terjangnya, akan tetapi baru sekali itu aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bagaikan halilintar menyambar, dia nampak sebagai bayangan yang menyambar turun dan golok di tangan kepala perampok yang lihai itu terlempar dan tubuh kepala perampok itu terlempar sampai terguling-guling. Kemudian, bagaikan kilat, bayangan itu meluncur ke sana-sini dan semua senjata para perampok yang jumlahnya belasan orang itu terlempar dan mereka pun satu demi satu terjengkang dan terbanting roboh."

"Mampus perampok-perampok itu!" seru seorang pendengar.

"Mampus apa? Tidaklah engkau pernah mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap itu tidak pernah melukai orang, apalagi membunuh? Perampok itu tidak ada yang terluka, hanya terkejut dan ketakutan saja. Memang sayang, kalau aku yang menjadi pendekar memiliki kesaktian seperti itu, sudah kusikat habis para penjahat itu, kubasmi dan kutumpas mereka!" kata Acun.

"Kenapa sih memotong-motong cerita itu, Acun, lanjutkan. Apa yang dilakukan pendekar sakti yang aneh itu?" tanya seorang.

"Dan bagaimana macamnya? Sudah tua ataukah masih muda?" tanya orang ke dua.

"Seperti biasa yang kita pernah dengar, dia menghilang begitu saja dan hanya suaranya terdengar dari dalam pohon yang lebat. Dia memberi peringatan dan nasehat kepada para perampok, menyadarkan mereka dengan kata-kata lembut. Dan tidak seorang pun di antara kami dapat melihat wajahnya. Gerakannya demikian cepat dan wajahnya terlindung caping lebar itu."

Mendengar ini, Sian Li dan Sian Lun tidak dapat menahan diri lagi. Mereka tertarik karena maklum bahwa yang dimaksudkan Acun itu tentulah pendekar yang menjadi penolong mereka. Keduanya keluar dari dalam kamar, saling pandang lalu menghampiri tujuh orang pedagang itu.

Para pedagang itu tentu saja memandang mereka dengan heran, juga kagum melihat pemuda tampan dan gadis cantik yang menghampiri mereka itu. Sian Li cepat mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata, "Harap Cuwi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami. Kami mendengar cerita Cuwi dan kami tertarik sekali karena kami pun mendapat pertolongan dari seorang pendekar bercaping yang tidak memperkenalkan dirinya kepada kami."

Mendengar logat bicara Sian Li, tujuh orang itu cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan Sian Li dan Sian Lun. "Aih, agaknya Kongcu dan Siocia datang dari daerah Shantung seperti kami?"

Karena datang dari satu propinsi, walaupun tempat tinggal mereka terpisah jauh, mereka segera menjadi akrab. "Paman tadi bercerita bahwa pendekar itu bercaping?" tanya Sian Li.

Acun yang merasa girang mendapat pendengar seorang dara demikian cantiknya, dengan bersemangat menjawab. "Ketika menolong kami, kami hanya melihat bayangannya berkelebatan dan dia mengenakan sebuah caping lebar yang menyembunyikan mukanya."

"Bagaimana bentuk badannya, Paman Acun?" tanya pula Sian Li dan orang itu semakin gembira disebut paman Acun secara demikian akrabnya.

"Tubuhnya sedang dan tegap, gerakannya halus namun cepat bukan main, dan dia tidak bersenjata, akan tetapi belasan batang golok itu runtuh dengan sendirinya. Dia seperti bukan manusia!" kata Acun.

"Pengalamanku dengan pendekar itu pun tidak kalah hebatnya!" terdengar seorang yang gendut berkata.

"Aku pun mempunyai pengalaman dengan pendekar Sin-ciang Tai-hiap itu!" kata pula orang ke tiga.

Wanita memang sejak jaman dahulu sampai sekarang, mempunyai wibawa yang luar biasa terhadap para pria. Sekumpulan pria, baik mereka itu sudah tua maupun masih remaja, selalu akan berubah sikap mereka apa bila kedatangan seorang wanita, apalagi yang muda dan cantik jelita seperti Sian Li. Amat menarik kalau memperhatikan sekelompok pria yang tadinya bercakap-cakap, lalu muncul wanita di antara mereka. Mereka itu berubah sama sekali. Gerak geriknya, wajahnya, lirikan matanya, senyumnya, bahkan suaranya! Mungkin yang bersangkutan sendiri tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita memperhatikan, kita akan dapat melihat perubahan itu dengan jelas sekali. Mengingatkan kita kepada ayam-ayam jantan kalau bertemu ayam betina. Ada saja ulahnya untuk menarik perhatian dan berlagak! Lucu, menarik dan mengharukan mengenal diri kita sebagai pria ini, betapa pria menjadi lemah kalau sudah berhadapan dengan wanita. Perbedaan dalam tingkah laku mungkin hanya tergantung dari watak masing-masing saja, ada yang nampak sekali, ada yang muncul lagak yang kurang ajar, ada yang pendiam. Namun perubahan itu pasti ada, bahkan yang nampak acuh pun dibuat-buat dan tidak wajar.

Bermacam-macam pengalaman mereka akan tetapi pada dasarnya, mengenai Sin-ciang Tai-hiap, mereka mempunyai pengalaman yang sama. Pendekar itu sama sekali tidak pernah dapat dikenal wajahnya, kalau turun tangan menolong orang dan menghadapi penjahat, dia bertindak cepat sekali tanpa memperlihatkan wajah, apalagi memperkenalkan nama. Wajahnya kadang ditutup caping lebar, kadang juga tidak. Dan yang aneh sekali, tidak pernah dia membunuh penjahat, bahkan melukai parah pun tidak pernah. Semua penjahat diampuninya, diberi nasihat.

"Bagaimana mungkin dia akan berhasil," kata Sian Lun. "Penjahat harus dihadapi dengan kekerasan! Kalau hanya diampuni dan diberi nasihat, bagaimana mereka akan dapat sadar dan menjadi baik?"

"Belum tentu, Kongcu!" kata seorang di antara mereka, seorang pria tinggi kurus yang berusia enam puluh tahun. "Biar dihadapi dengan kekerasan sekalipun, dihukum berat, belum tentu juga penjahat akan menjadi baik! Dan buktinya, menurut kabar dan ada pula kusaksikan sendiri, banyak penjahat menjadi baik dan sembuh dari penyakitnya yang membuat dia jahat setelah dia bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap dan mendapat nasihat dari pendekar aneh itu."

"Paman Liok, ceritakan pengalamanmu itu!" seorang di antara mereka berseru.

"Benar, Paman. Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Sian Li. Tanpa diminta oleh gadis itu pun, dengan penuh gairah Kakek Liok memang ingin sekali bercerita agar dia menjadi pusat perhatian.

"Di perbatasan Secuan ada seorang penjahat besar yang biasa melakukan kejahatan apa pun tanpa mengenal takut. Dia mempunyai belasan orang anak buah. Aku sudah mendengar tentang kejahatan penjahat berjuluk Pek-mau-kwi (Iblis Rambut Putih) itu, yang usianya baru empat puluh tahun akan tetapi rambutnya sudah putih semua, maka ketika aku melakukan perjalanan lewat daerah itu, aku memperkuat rombonganku dengan sepasukan piauw-su (pengawal) bangsa Miao yang terkenal gagah, berjumlah dua puluh orang. Akan tetapi, tetap saja di tengah jalan kami dihadang oleh gerombolan perampok yang dipimpin Pek-mau-kwi itu! Seperti biasa kalau bertemu dengan gerombolan perampok, kami juga sudah menawarkan sumbangan atau yang biasa disebut pajak jalan. Akan tetapi, berapa pun yang kami tawarkan, Pek-mau-kwi tidak mau menerimanya dan menghendaki kami menyerahkan setengah dari semua barang bawaan kami. Terjadilah pertempuran dan biarpun jumlah kami lebih banyak, tetap saja kami kewalahan. Agaknya kami tentu akan menjadi korban dan terbunuh semua kalau tidak muncul Sin-ciang Tai-hiap!"

"Dia juga bercaping, Paman?" tanya Sian Li, membayangkan orang bercaping yang pernah menolong ia dan suhengnya.

"Pendekar itu tidak bercaping, akan tetapi karena gerakannya cepat sekali dan rambutnya panjang riap-riapan menutupi mukanya, kami pun tidak mungkin dapat mengenali mukanya. Dia berkelebatan merobohkan semua perampok, bahkan ketika dia meloncat pergi, dia mengempit tubuh Pek-mau-kwi dan membawanya lenyap! Semua anak buah perampok lari ketakutan dan kami pun selamat."

"Lalu bagaimana dengan Pek-mau-kwi itu dan bagaimana Paman tahu bahwa nasihat dari pendekar itu berhasil?" tanya Sian Lun, tertarik sekali.

"Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Pek-mau-kwi. Akan tetapi ketika beberapa bulan kemudian aku lewat di daerah itu, aku mendengar bahwa Pek-mau-kwi sudah cuci tangan, tidak lagi menjadi perampok, melainkan sekarang membuka perguruan silat dan hidup dari hasil pembayaran para muridnya. Aku mendengar bahwa dia menjadi orang baik dan tidak pernah lagi melakukan kejahatan. Bukankah itu hasil nasihat dari pendekar sakti itu?"

"Dan bagaimana pengalamannya dengan pendekar itu?" tanya Sian Li.

"Kabarnya, dia tidak pernah mau menceritakan kepada siapapun juga. Entah apa yang terjadi ketika dia ditangkap dan dilarikan Sin-ciang Tai-hiap."

Sian Li dan Sian Lun merasa semakin tertarik, apalagi karena mereka sendiri berhutang budi, bahkan nyawa kepada pendekar itu. "Apakah di antara Cuwi (Anda Sekalian) ada yang mengetahui siapakah nama Sin-ciang Tai-hiap itu?"

Semua orang yang berada di situ menggeleng kepala. Tidak pernah ada yang mendengar siapa nama pendekar aneh itu. Jangankan namanya, wajahnya pun belum pernah dikenal orang karena sepak terjangnya cepat dan penuh rahasia. Menurut cerita para pedagang yang sudah bertahun-tahun menjelajahi daerah itu untuk berdagang, nama Sin-ciang Tai-hiap baru muncul sekitar tiga empat tahun yang lalu. Sebelum itu, tidak pernah ada orang mengenal nama julukan ini yang timbulnya juga di daerah itu, nama julukan yang diberikan oleh para pedagang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Sebelum empat tahun yang lalu, baik di daerah barat ini maupun di timur, orang tidak pernah mendengar namanya.

Setelah mendengarkan semua cerita yang kadang seperti dongeng saja dari para pedagang itu tentang Sin-ciang Tai-hiap, yang ia tahu tentu dibumbui dan dilebih-lebihkan. Sian Li ingin mendengar dari mereka tentang orang-orang yang selama ini pernah ditentangnya.

"Apakah Cuwi (Anda Sekalian) dapat menceritakan tentang perkumpulan Hek I Lama?"

Tujuh orang pedagang itu serentak berdiam diri seperti jangkerik terpijak. Mereka bukan hanya berdiam diri tak mengeluarkan suara, akan tetapi juga wajah mereka berubah dan mereka menengok ke kanan kiri, seolah ketakutan.

"Kenapa, Paman?" Terbawa oleh sikap mereka, Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan berbisik pula. Yang ditanya menggeleng kepala, lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis, dan menulis dengan cepat di atas kertas itu, kemudian menyodorkannya kepada Sian Li. Gadis itu dan suhengnya segera membaca tulisan itu.

"Jangan bicara tentang itu, mata-matanya tersebar di mana-mana. Berbahaya sekali," demikian bunyi tulisan dan Sian Li saling pandang dengan suhengnya.

Sian Li mendekati laki-laki yang menulis itu sambil menyerahkan kembali kertas tadi yang segera dirobek-robek oleh penulisnya. Gadis itu berbisik, "Kenapa, Paman? Apakah mereka jahat dan suka mengganggu?"

Orang itu menggeleng kepala, lalu menjawab dengan suara bisik-bisik pula. "Mereka tidak pernah mengganggu kita, sebaliknya kita pun tidak boleh mencampuri urusan mereka. Penjahat Yang paling besar pun di daerah ini tidak ada yang berani mencampuri urusan mereka, berbahaya sekali. Di mana-mana mereka mempunyai kaki tangan. Sebaiknya kita bicara tentang hal lain saja."

Agaknya tujuh orang pedagang itu sudah merasa ketakutan, maka mereka pun bubaran memasuki kamar masing-masing. Sian Li dan Sian Lun terpaksa juga kembali ke kamar masing-masing dan tidur. Malam itu Sian Li bermimpi bertemu dengan pendekar bercaping karena sebelum pulas tiada hentinya ia mengenang pendekar yang amat mengagumkn hatinya itu. Kini ia membenarkan akan cerita orang tuanya, juga Kakek Suma Ceng Liong bahwa di empat penjuru dunia penuh dengan orang-orang pandai, oleh karena itu, mereka berpesan agar ia tidak mengagungkan dan menyombongkan diri dan kepandaian sendiri. Kini ternyatalah bahwa di daerah barat yang dianggapnya masih liar bahkan belum beradab itu terdapat pula orang sakti yang aneh, yang membuatnya kagum bukan main.


***


Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, ketika Sian Li dan Sian Lun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan, seorang laki-laki menghampiri mereka dan dengan sikap hormat dia menyerahkan sesampul surat kepada mereka. Setelah sampul surat itu diterima Sian Li, pembawa surat itu memberi hormat dan pergi.

Sian Li cepat membuka sampul dan bersama Sian Lun mereka membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf yang gagah dan indah itu.

"Harap Liem Tahiap dan Tan Lihiap suka memaafkan sikap anak buah kami. Karena belum saling mengenal dengan baik maka terjadi kesalahpahaman. Kalau Jiwi ingin mengetahui lebih baik siapa kami, kami mengundang Jiwi untuk menghadiri pesta pertemuan antara pejuang yang kami adakan sore nanti. Kami akan menjemput Jiwi dengan kereta. Kami bukan golongan jahat, melainkan pejuang-pejuang. Keselamatan Jiwi kami jamin."

Pimpinan Hek I Lama

"Hemm, jangan pedulikan surat dari mereka, Sumoi. Jelas bahwa mereka itu orang-orang jahat dan berbahaya. Kita pun baru saja kemarin lolos dari tawanan mereka dan hari ini mereka mengundang kita sebagai tamu? Hemm, ini pasti jebakan belaka. Lebih baik kita berangkat pergi saja meninggalkan tempat ini, Sumoi."

"Suheng, lupakah Suheng akan nasihat dan pesan guru-guru kita? Kita memang harus berhati-hati dan waspada, akan tetapi yang terlebih penting adalah bahwa kita tidak boleh bersikap penakut! Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa besar pun bahayanya, bukan saja menghadapi, akan tetapi juga menanggulangi dan mengatasi. Mereka mengirim surat undangan resmi, tidak mungkin merupakan jebakan. Mereka adalah perkumpulan yang besar, kiranya tidak akan menggunakan cara serendah itu. Kita memang tidak perlu bersekutu dengan mereka, akan tetapi juga tidak perlu mencampuri urusan mereka dan memusuhi, kecuali kalau mereka mengganggu kita."

"Jadi bagaimana sikapmu menghadapi undangan ini?"

"Aku akan menerimanya dan menghadiri undangan itu."

"Sumoi! Ingat, hal itu berbahaya sekali. Engkau seperti mengundang datangnya bahaya!"

"Aku tidak takut, Suheng. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sebagai datuk ilmu silat yang lihai, sudah pasti para pimpinan Hek I Lama tidak akan begitu merendahkan diri dan mencemarkan nama besar sendiri sengan perbuatan yang hina seperti menjebak orang-orang muda seperti kita. Pula, bukankah kita ini pergi meninggalkan rumah untuk meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan? Juga, kini kita mendapat kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang Hek I Lama, kesempatan yang baik sekali karena kita diundang sebagai tamu! Kalau engkau merasa jerih, biarlah aku sendiri saja yang datang ke sana, Suheng." Sian Li tidak mau mengeluarkan isi hati yang paling dalam, yaitu bahwa kalau terjadi apa-apa dengan dirinya di tempat Hek I Lama, ia mengharapkan munculnya lagi Sin-ciang Tai-hiap untuk menolongnya. Ia harus bertemu lagi dengan pendekar itu, harus membuka rahasianya yang aneh, herus mengenal wajahnya dan namanya. Kalau tidak, selama hidupnya ia akan tenggelam dalam penasaran.

Wajah Sian Lun menjadi merah ketika sumoinya mengatakan dia jerih.

"Sumoi, aku tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri. Kalau engkau berkeras hendak pergi, tentu saja aku akan menemanimu."

Sian Li tersenyum menatap wajah suhengnya. "Terima kasih, Suheng. Dan maafkanlah, bukan maksudku mengatakan engkau takut. Akan tetapi aku ingin sekali menghadiri undangan itu dan melihat siapa saja sebetulnya orang-orang itu dan apa maksud undangan mereka kepada kita."

Demikianlah, akhirnya Sian Lun terpaksa harus memenuhi kehendak Sian Li dan mereka menanti datangnya kereta yang akan menjemput mereka dengan hati berdebar penuh ketegangan. Sian Li memang berjiwa petualang dan suasana yang mendebarkan hatinya itu melupakan suatu kenikmatan tertentu bagi seorang petualang. Apalagi kalau ia membayangkan kemunginan munculnya Sin-ciang Tai-hiap! Bahkan diam-diam ia mengharapkan terjadi sesuatu dengan dirinya agar pendekar aneh itu akan muncul kembali!

Di luar dugaan mereka, kereta itu muncul setelah lewat tengah hari, belum sore. Sebagai seorang wanita, tentu saja Sian Li tidak mau pergi dalam keadaan belum mandi dan pakaian belum diganti, maka ia minta kepada kusir kereta yang datang menjemput agar menanti sebentar karena ia ingin mandi dan berganti pakaian lebih dahulu. Sebaliknya, Sian Lun yang merasa tegang dan selalu diliputi kegelisahan, tidak sempat bertukar pakaian dan mandi. Orang pergi menentang bahaya, untuk apa harus mandi dan berganti pakaian segala, pikirnya. Dia malah menanti sumoinya di dekat kereta dan mencoba untuk memancing keterangan kepada kusir kereta. Akan tetapi, kusir itu hanya menjawab "tidak tahu" atas segala pertanyaannya, dan hanya mengatakan bahwa dia bertugas menjemput mereka. Akan tetapi, dari gerak gerik dan sinar matanya yang tajam membayangkan kecerdikan. Sian Lun dapat menduga bahwa kusir ini hanya berpura-pura tolol dan lemah saja. Tentu dia seorang anggauta yang sudah dipercaya, dan yang memiliki ilmu kepandaian tangguh.

Akhirnya muncullah Sian Li dengan wajah dan tubuh segar, dengan pakaian bersih dan rambutnya tersanggul rapi. Ia nampak segar dan cantik sekali, membuat hati Sian Lun menjadi semakin gelisah. Kenapa sumoinya demikian mempercantik diri? Mereka akan menjadi tamu orang-orang jahat! Baru Cu Ki Bok, murid Lulung Ma itu saja jelas amat lihai dan pemuda itu mempunyai niat tidak senonoh terhadap diri Sian Li. Juga dari percakapan yang didengarnya ketika mereka ditawan, dia mendengar betapa Sian Li akan dihadiahkan kepada orang yang disebut sebagai Pangeran Gulam Sing! Dengan kecantikan seperti itu, sumoinya akan membuat orang-orang jahat itu menjadi semakin hijau! Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa dan mereka pun naik ke dalam kereta yang segera dijalankan oleh kusirnya dengan cepat meninggalkan kota itu.

Kereta itu meluncur keluar kota melalui pintu gerbang sebelah timur, kemudian mendaki sebuah bukit. Berkali-kali Sian Lun bertanya kepada kusirnya, ke mana mereka akan dibawa pergi. Akan tetapi kusir itu tidak pernah mau menjawab! Ketika kereta memasuki sebuah hutan di lereng bukit itu, Sian Lun kehabisan sabarnya.

"Kusir keparat! Kalau tidak kau jawab, aku akan menghajarmu! Hayo katakan ke mana engkau akan membawa kami!" bentaknya dan dia sudah bergerak untuk menyerang kusir yang duduk di depan.

Akan tetapi lengannya ditangkap Sian Li. "Suheng, kenapa tidak sabar?" katanya sambil mengerutkan alisnya. "Dia hanya petugas yang melaksanakan perintah. Tentu saja dia membawa kita kepada yang mengutusnya, yaitu Hek I Lama yang mengundang kita."

"Nona berkata benar dan kita sudah hampir tiba di tempat yang dituju," kata kusir itu dan Sian Lun terpaksa menelan kemarahannya. Dia merasa terlalu tegang sehingga mudah tersinggung dan marah.

Ternyata di tengah rimba itu terdapat tempat terbuka di mana berdiri sebuah rumah besar. Dan suasananya di sana memang dalam keedaan pesta. Banyak orang sedang membereskan ruangan depan rumah itu yang disambung dengan panggung di depan rumah, merupakan ruangan yang luas dan setengah terbuka. Kursi-kursi yang diatur di situ rapi dan semua menghadap ke dalam, ke arah rumah di mana terdapat meja besar dan kursi-kursi yang mudah diduga menjadi tempat tuan rumah. Dan pada saat itu, telah banyak orang berkumpul, bahkan di pihak tuan rumah telah duduk banyak pendeta yang berjubah hitam dan berkepala gundul. Anak buah dari perkumpulan yang dipimpln para pendeta Lama berjubah hitam ini kesemuanya juga berpakaian serba hitam, dengan kain kepala warna hitam pula sehingga mereka nampak menyeramkan. Sian Li dan Sian Lun menduga bahwa mereka yang hadir di sana dan tidak berpakaian hitam tentulah tamu-tamu seperti juga mereka. Mereka melihat pula banyak orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan menutup kepala dengan sorban putih atau kuning. Mereka melihat pula banyak orang mengenakan pakaian Han seperti mereka. Ada pula yang memakai pakaian suku Miao, Hui, Kasak, dan Mongol.

Ketika kakak beradik seperguruan itu tiba di situ, mereka disambut dengan hormat dan hal ini dapat diketahui karena yang menyambut mereka adalah Lulung Lama sendiri bersama muridnya, Cu Ki Bok! Dan setelah mereka dipersilakan duduk di rombongan orang-orang Han yang kemudian ternyata adalah orang-orang yang dianggap sebagai tokoh kang-ouw dan para pendekar, barulah Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa Lulung Ma bukanlah pemimpin nomor satu dari perkumpulan Lama Jubah Hitam! Selain dia, masih ada pula seorang suhengnya yang duduk di kursi terbesar. Pendeta Lama ini juga berpakaian serba hitam dan dia sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh lima tahun usianya dan kelihatan seperti seorang pemalas, hanya duduk saja bersandar dikursinya. Agaknya yang aktip dalam pertemuan itu adalah Lulung Lama dan muridnya, yaitu Cu Ki Bok, peranakan Han Tibet itu.

Biarpun hatinya merasa panas dan marah melihat Cu Ki Bok yang menyambutnya bersama Lulung Lama, namun Sian Lun menahan diri dan tidak memperlihatkan kemarahannya. Adapun Sian Li bersikap tenang bahkan tersenyum-senyum sehingga diam-diam Cu Ki Bok merasa kagum bukan main. Gadis itu selain cantik dan lincah, ternyata memiliki ketabahan yang mengagumkan hatinya. Sian Li merasa semakin yakin bahwa pihak tuan rumah tidak akan mungkin berani melakukan kekerasan terhadap ia dan suhengnya, melihat bahwa pertemuan itu dihadiri demikian banyaknya orang dari berbagai golongan. Tentu orang macam Lulung Lama tidak akan merendahkan diri yang hanya akan mencemarkan nama besarnya sendiri selagi di situ berkumpul banyak orang, dengan perbuatan yang curang dan pengecut. Hal ini terbukti pula dengan sikap Cu Ki Bok yang sopan dan hormat, padahal baru kemarin pemuda murid tokoh Hek I Lama itu bersikap kasar dan tidak sopan.

Akan tetapi, Sian Li dan Sian Lun menjadi pusat perhatian para tamu ketika Lulung Ma dengan suara lantang memperkenalkan tamu baru ini kepada semua orang sebagai dua orang pendekar dari timur yang masih mempunyai hubungan erat dengan Puteri Gangga Dewi dari Kerajaan Bhutan.

Agaknya kini semua tamu sudah berkumpul dan senja mulai datang, lampu-lampu penerangan dinyalakan dan pesta pun dimulai. Setelah Lulung Lama sebagai wakil pimpinan Hek I Lama menyuguhkan anggur sampai tiga keliling kepada para tamu dan mempersilakan para tamu makan kueh manis yang dihidangkan sebagai pembuka pesta. Lulung Lama lalu bangkit berdiri dan dengan kedua tangan diangkat dia minta agar para tamu tidak berisik dan memberi perhatian kepadanya. Agaknya bicaranya memang ditujukan kepada orang-orang Han yang menjadi tamu di situ, maka dia mempergunakan bahasa Han. Para kelompok suku bangsa lain yang tidak paham bahasa Han, mendengarkan terjemahannya dari kawan-kawan mereka yang paham.

"Saudara sekalian, Cuwi (Anda Sekalian) yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw di timur, kami dari Hek I Lama mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cuwi yang memenuhi undangan kami. Seperti Cuwi dapat melihatnya, di sini kami berkumpul, dihadiri pula oleh para sahabat dari Nepal terutama sebagai kawan seperjuangan kami, dan para sahabat dari suku Miao, Hui, Kasak dan Mongol yang tidak sudi melihat orang-orang Mancu merajalela dan hendak menguasai seluruh daratan. Cuwi kami undang mengadakan perundingan dan kami ajak untuk bekerja sama menentang pemerintah Kerajaan Ceng dari bangsa Mancu. Kalau kita semua bersatu, tentu bangsa Mancu akan depat kita kalahkan dan kita usir kembali ke asal mereka. Kami mengharapkan sambutan dari Cuwi yang kami hormati sebagai orang-orang gagah di dunia kang-ouw."

Lulung Ma memberi hormat lalu duduk kembali. Sebelum dari golongan orang Han ada yang menjawab, Pangeran Gulam Sing sudah bangkit dari tempat duduknya di jajaran tuan rumah, di samping Lulung Lama dan dia pun bicara dengan suaranya yang lantang, dalam bahasa Nepal yang langsung diterjemahkan kalimat demi kalimat oleh seorang Han yang duduk di belakangnya.

"Saudara sekalian, kita ini terdiri dari berbagai suku dan bangsa, akan tetapi saat ini kita berkumpul sebagai saudara-saudara senasib sependeritaan dan seperjuangan! Kita sama-sama sengsara oleh kelaliman bangsa Mancu! Bangsa Mancu tidak saja menjajah seluruh daratan Cina, akan tetapi juga menindas daerah barat, menjajah Tibet, bahkan merupakan ancaman bagi negara tetangga di barat. Kami, Pangeran Gulam Sing, memimpin orang-orang gagah dari Nepal, siap untuk berjuang bersama dengan saudara sekalian untuk menentang pemerintah Mancu!" Setelah berkata demikian, dibawah sambutan tepuk tangan, pangeran Nepal ini duduk kembali. Dia seorang pangeran Nepal yang berkulit coklat kehitaman, bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan tampan gagah jantan, matanya lebar dan sinarnya tajam, mulutnya selalu dibayangi senyum memikat. Pangeran berusia kurang lebih empat puluh tahun ini memang seorang pria yang jantan dan ganteng sekali.

Di deretan depan dari para tamu golongan Han, nampak seorang wanita bangkit berdiri. Sian Li dan Sian Lun sejak tadi sudah melihat bahwa di antara para tokoh kang-ouw terdapat beberapa orang wanita, dan yang menarik perhatian adalah adanya tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, ketiganya cantik menarik, berpakaian serba mencolok berwarna warni akan tetapi selalu dihias kembang teratai putih. Kini, seorang di antara tiga wanita itu, yang tertua, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit dan tentu saja ia menjadi pusat perhatian ketika ia bicara.

"Para pimpinan Hek I Lama, apakah aku boleh bicara sekarang?" tanyanya suaranya lantang akan tetapi merdu dan gayanya memikat, matanya bersinar-sinar tajam genit dan mulutnya tersenyum-senyum, pandang matanya menyambar-nyambar ke arah Pangeran Gulam Sing.

Lulung Lama segera bangkit dan memberi hormat. "Omitohud! Pinceng sebagai wakil pimpinan Hek I Lama, berterima kasih sekali kalau Toa-nio yang datang sebagai utusan dan wakil Pek-lian-kauw memberi petunjuk kepada kami."

Tentu saja perhatian Sian Li dan Sian Lun menjadi semakin besar ketika mendengar ucapan Lulung Lama itu. Kiranya tiga orang wanita cantik itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw! Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yaitu segolongan orang dengan agama yang aneh dan yang memiliki banyak tokoh lihai, dan mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang gigih. Namun sayang, biarpun mereka memberontak terhadap pemerintah penjajah, namun nama Pek-lian-kauw bukan nama yang bersih dan disuka rakyat, karena banyak di antara tokoh mereka suka melakukan segala macam kejahatan berkedok perjuangan juga agama mereka merupakan agama yang eneh, yang menyimpang dari induknya, yaitu Agama Buddha, dan banyak melakukan perbuatan sesat. Inilah sebabnya mengapa Pek-lian-kauw selalu bergerak sendiri, tidak memperoleh dukungan para pendekar patriot, lebih dekat dengan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw.

"Kami Pek-lian Sam-li (Tiga Wanita Teratai Putih) telah menyerahkan surat kuasa sebagai wakil Pek-lian-kauw kepada pimpinan Hek I Lama. Kami diberi wewenang untuk menghadiri pertemuan ini, menyelidiki dan memutuskan apakah Pek-lian-kauw menganggap patut untuk bekerja sama dengan kalian, Pek-lian-kauw sejak dahulu menentang pemerintah penjajah dan kami adalah pejuang-pejuang yang pantang mundur. Maka, kami ingin mengetahui lebih dulu apakah kalian ini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu, sebelum kami menyatakan suka bekerja sama." Kembali Ji Kui, wanita itu yang merupakan saudara paling tua dari mereka bertiga, mengerling ke arah Gulam Sing yang juga memandang kepada tiga orang wanita itu sambil tersenyum-senyum. Gulam Sing ini terkenal sebagai seorang laki-laki yang selalu haus wanita, maka tentu saja kehadiran tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu sejak tadi sudah amat menarik perhatiannya.

"Ucapan Pek-lian Sam-li wakil Pek-lian-kauw itu benar!" tiba-tiba terdengar suara lantang dan ternyata yang bicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya penuh tambalan. Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis, bertubuh tinggi kurus dan bongkok, dan ketika dia bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam. "Kami harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu. Sebelum tiba di sini, kami banyak mendengar dan kami merasa heran ketika ada berita bahwa pemerintah Tibet tidak menentang Kerajaan Ceng, bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri mengakui pemerintahan penjajah Mancu. Juga kami mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak menentang penjajah Mancu. Maka, apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek I Lama dan Pangeran Gulam Sing? Sebelum kami menyatakan diri bergabung, kami harus mengetahui dulu dengan jelas seperti yang diucapkan wakil Pek-lian-kauw tadi."

Sehabis bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena orang-orang Han yang berkumpul di situ, banyak di antara mereka yang menyetujui pendapat kakek pengemis itu.

Sian Li memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Ia mengenal kakek itu! Nampaknya masih sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu. Tentu saja ia tidak dapat melupakan kakek pengemis itu yang pernah merampasnya dari tangan Hek-bin-houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-bin-houw. Kakek itu adalah Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) dan setelah membebaskan ia dari tangan Hek-bin-houw, kakek pengemis itu hendak mengajaknya pergi untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, muncul Nenek Bu Ci Sian yang merampasnya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-kai, bahkan melukai paha pengemisitu. Ia ingat benar semua peristiwa itu dan kini ia memandang ke arah pengemis itu penuh perhatian.

Mendengar ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek I Lama yang sejak tadi duduk melenggut saja, kini menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian terdengar suaranya dan dia bicara tanpa bangkit berdiri, "Siapa yang bicara itu tadi?"

"Kami adalah Hek-pang Sin-kai,, Ketua Perkumpuian Pengemis Tongkat Hitam di selatan!" kata kakek itu dengan berani, akan tetapi begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu mengangkat muka memandang kepadanya, begitu dua pasang pandang mata bertemu, kakek pengemis itu terkejut bukan main karena pandang matanya bertemu dengan dua sinar mencorong yang seperti menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak tahan memandang lebih lama dan cepat menundukkan mukanya.

"Omitohud, Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami? Ketahuilah Sin-kai, biarpun Dalai Lama sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek I Lama tidak! Biar pemerintah Tibet tidak bergerak, akan tetapi kami akan bergerak dan kami yakin bahwa rakyat Tibet akan mendukung kami!"

Terdengar suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti kalimat demi kalimat oleh penterjemahnya. "Ha-ha-ha-ha, agaknya Hek-pang Sin-kai ingin mengetahui keadaan orang lain dan menaruh kecurigaan. Terus terang saja, kami memang tidak sejalan dengan pemerintah kami yang berkuasa sekarang di Nepal. Raja terlalu lemah dan tidak berani menentang orang Mancu. Karena itu, kami bergerak sendiri tanpa persetujuan raja. Apa hubungannya urusan pribadi kami ini dengan perjuanganmu membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"

"Maaf, Pangeran. Tidak ada hubungannya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa negara Bhutan yang demikian kecil, tidak bergerak seperti Nepal, untuk menentang Mancu," kata pengemis tua itu pula.

"Omitohud.... agaknya engkau tidak mengetahui keadaan Bhutan, Sin-kai!" terdengat Lulung Lama berkata. "Tentu saja Bhutan tidak menentang Mancu, karena keluarga Kerajaan Bhutan masih ada hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang menjadi sesepuh sekarang di sana, Puteri Gangga Dewi, sekarang menikah dengan seorang keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang masih berdarah Mancu pula."

"Keluarga Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu mengganggu kita!" terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang hadir di situ.

"Tentu saja," kata Lulung Ma pula. "Keturunan Pendekar Super Sakti semua beribu Mancu, bahkan keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Kedua keluarga itu adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa, antek-antek bangsa Mancu yang harus kita basmi!"

Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal, akan tetapi Sian Li segera menyentuh lengannya dan menarik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isarat dengan gelengankepala. Ia sendiri tentu saja juga marah mendengar betapa keluarga Pendekar Pulau Es dan Pendekar Gurun Pasir dijelek-jelekkan oleh mereka yanghadir. Ia sendiri memiliki darah kedua keluarga itu! Dari ibunya ia mewarisi darah kedua keluarga Kao keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan neneknya adalah keluarga Suma, keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri hanya marah karena keluarga gurunya, Suma Ceng Liong, dimusuhi mereka.

Dengan menahan kemarahan Sian Lun terpakaa berdiam diri menenuhi permintaan sumoinya. Dia duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya ke arah pihak tuan rumah bersinar penuh kemarahan.

"Sekarang kami tidak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki kesungguhan hati, jangan sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi dengan Thian-li-pang," kata Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li.

Semua orang memandang kepada wanita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan apakah Thian-li-pang itu. Di samping Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan perkumpulan yang terkenal gigih menentang pemerintah Kerajaan Mancu, sejak pemerintah itu menguasai daratan Cina. Bahkan kedua perkumpulan itu diketahui telah bekerja sama dengan baik sekali sehingga sering kali terjadi kekacauan di kota raja bahkan di istana, ditimbulkan oleh mereka berdua. Kenapa sekarang tokoh Pek-lian-kauw itu menjelekkan Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Peklian-kauw?

"Nanti dulu, Toanio," kata Lulung Lama. "Kami tidak mengerti apa yang kaumaksudkan. Bukankah Thian-li-pang selalu berjuang menentang Mancu? Bukankah selama bertahun-tahun ini Thian-li-pang dikenal sebagai kawan seperjuangan Pek-lian-kauw?"

"Itu memang benar, dahulu. Akan tetapi sekarang, keadaan sudah lain sama sekali. Selama beberapa tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah menyeleweng!"

"Benarkah itu, Nona?" tanya Hek-pang Sin-kai heran. "Aku masih mendengar bahwa Thian-li-pang tetap berjuang melawan pemerintah penjajah Mancu, bahkan akhir-akhir ini gerakan mereka bertambah kuat."

"Huh, mereka itu orang-orang yang tidak mengenal budi, orang-orang yang tidak mempunyai perasaan setia kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka, kami bekerja sama dengan baik. Akan tetapi sekarang, setelah Lauw Kang Hui yang menjadi ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka memisahkan diri dan tidak mau mengakui lagi Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka berlagak pendekar dan suka menghina orang. Tidakkah itu amat mengecewakan? Kami tidak mau lagi kalau sampai kerja sama dengan kalian ini akhirnya kelak hanya akan merugikan dan mengecewakan kami seperti Thian-li-pang."

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona!" kata Pangeran Gulam Sing, dalam bahasa Han bercampur Nepal karena baru beberapa tahun dia mempelajari bahasa Han, sehingga ia selalu dikawal seorang penterjemah. "Kami berjanji akan membantu Nona kelak memberi hajaran kepada Thian-li-pang yang sombong dan tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha!" Pangeran Nepal yang ganteng itu mengelus kumisnya yang melintang gagah dan matanya bersinar-sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw itu.

Tiga orang wanita muda itu tersenyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulitnya putih mulus dan wajahnya cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika bicara dengan suara mendesah. "Pangeran, harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Disana banyak terdapat tokoh yang amat lihai!"

"Benar sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran," kata Ji Kim, wanita ke tiga yang selain jelita, juga lincah jenaka dan cerdik sekali. "Ketuanya yang bernama Lauw Kang Hui itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sungguh tidak boleh dipandang ringan!"

Pangeran Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat. "Ha-ha-ha, kami tidak memandang rendah Nona-nona yang baik. Kami hanya menyatakan ingin membantu kalian menghadapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita tidak perlu takut karena kita pun bukan orang-orang lemah. Aku sendiri pun, biar bodoh, mempunyai juga sedikit tenaga untuk disumbangkan membantu kalian dalam segala hal, ha ha!"

Setelah berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu, menghampiri sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan itu. Singa besi itu jelas amat berat dan sedikitnya membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk mengangkatnya! Akan tetapi, Pangeran Gulam Sing membungkuk, memegang benda itu dengan kedua tangannya dan sekali dia mengeluarkan suara bentakan nyaring, benda itu diangkatnya di atas kepala! Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan kekaguman. Setelah pangeran itu menurunkan singa batu di tempatnya kembali dan hanya mukanya menjadi kemerahan dan napasnya agak memburu, semua orang bertepuk tangan memuji. Memang jarang ada orang memiliki tenaga gajah seperti pangeran itu, Sian Li dan Sian Lun diam-diam terkejut juga tahulah mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.

Tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka tersenyum-senyum gembira. "Aihh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat daripada kuda!" Ji Kui memuji.

Pangeran itu tertawa. "Ha-ha-ha, untuk Nona bertiga, setiap saat kami siap untuk menggunakan tenaga kuda kami!"

Kini Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isarat agar semua orang tenang, kemudian dia berkata, "Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara sekalian agaknya sudah siap untuk bekerja sama dengan kami. Masih adakah di antara para tamu yang ingin mengemukakan pendapatnya? Silakan!" Lulung Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.

Akan tetapi kembali Sian Li menyentuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk bicara itu. Pada saat itu, seorang laki-laki Han berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, bangkit dan bicara dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.

"Bersatu untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang mudah dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah berbahaya dan sukar. Kaisar Kian Liong yang sekarang menjadi Kaisar telah berusaha mendekati dan menggandeng para tokoh pendekar di dunia persilatan sehingga mereka itu tidak mau menentang Kaisar, apalagi membantu usaha perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan Mancu. Masih banyak sekarang ini para pendekar yang berubah menjadi penjilat penjajah Mancu. Dan selama para pendekar penjilat itu tidak dibasmi terlebih dahulu, tentu mereka akan menjadi penghalang perjuangan kita."

"Pendapat itu tepat dan benar sekali!" tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan penuh semangat. "Kalau tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama keturunan pendekar Pulau Es dan pendekar Gurun Pasir, tentu telah lama keluarga Kaisar dapat kami basmi! Beberapa tahun yang lalu. ketika Thian-li-pang masih bekerja sama dengan kami, kami telah berhasil mendekati Siang Hong-houw, bahkan putera Ketua Thian-li-pang dan Ang I Moli, seorang tokoh murid Pek-lian-kauw telah berhasil diselundupkan ke istana dan nyaris berhasil membunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh Gangga Dewi dan suaminya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Jelaslah bahwa orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan penghalang besar bagi perjuangan kita!"

Lulung Lama tertawa dan dia bersama muridnya, Cu Ki Bok kini memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li. "Ha-ha, belum tentu, Toanio," katanya. "Belum tentu kalau semua keturunan kedua pendekar itu sudi menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini hadir pula dua orang muda gagah perkasa yang berhubungan dekat dengan Gangga Dewi. Kami tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek penjilat orang Mancu. Liem-sicu dan Tan-lihiap, bagaimana pendapat kalian?"

Tentu saja semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang diperkenalkan sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hubungan dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu. Sian Lun yang sejak tadi sudah hampir tidak kuat menahan kemarahannya mendengar keluarga gurunya dimaki-maki, dan hanya menahan kemarahannya karena dilarang sumoinya, kini mendapat kesempatan dan dia pun meloncat berdiri dan mengepal tinju.

"Kami bukan penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid keluarga Pulau Es, siap untuk menandingi siapa saja yang berani menghina keluarga Pulau Es!" Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan sumoinya, dia sudah melompat ke tengah ruangan itu, di depan meja tuan rumah. Melihat kenekatan suhengnya, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis ini maklum sepenuhnya bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai sekali. Maka, ia pun harus melindungi dan membela suhengnya dan ia pun sudah melompat ke dekat Sian Lun.

"Suheng berkata benar!" katanya. "Kalian telah terlalu banyak memandang rendah dan menghina keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku keturunan kedua keluarga itu, siap untuk membela kehormatan dan nama kedua keluargaku itu, menandingi siapa saja yang berani menghina!"

Melihat munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebegai keluarga Pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang sebagian besar mendendam kepada dua keluarga besar itu, segera menjadi gaduh.

"Bunuh pengkhianat!"

"Basmi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"

"Tangkap mereka, tentu telah memata-matai kita!"

Teriakan-teriakan terdengar dan agaknya mereka semua sudah siap untuk mengeroyok Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing. "Lulung Lama, bagaimana kalau aku saja yang menghadapi nona cantik dan gagah ini? Bukankah ia yang pernah kauceritakan kepadaku tempo hari?"

Lulung Lama menoleh kepada pangeran itu dan mengangguk. "Baiklah, Pangeran. Memang sebaiknya seorang di antara kita yang maju. Memalukan kalau harus maju keroyokan," katanya.

"Dan pemuda itu serahkan kepada kami untuk menangkapnya!" kata Pek-lian Sam-li dan ketiga orang wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun dengan kerling yang memikat dan senyum yang manis. Melihat ini, Gulam Sing tertawa.

"Ha-ha-ha, tiga orang nona yang jelita! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat membaginya? Bukankah sudah ada aku? Ha-ha!" Pangeran yang mata keranjang ini tanpa malu-malu di depan banyak orang mengeluarkan ucapan yang mengandung arti tak senonoh itu.

"Pangeran, mari kita berlumba, siapa di antara kita yang dapat lebih dulu menangkap lawan, kami bertiga atau engkau, tanpa melukai!" tantang Ji Kui. "Taruhannya, siapa kalah cepat harus menurut kehendak yang menang. Setuju?"

Melihat pendang mata penuh tantangan dan senyuman penuh ajakan itu, Pangeran Gulam Sing mengangguk, "Setuju!"

Sian Li dan Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh apalagi mereka berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat menghadapi pengeroyokan, sudah mencabut pedang mereka.

"Pangeran sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!"

Sian Li membentak. Pangeran itu tertawa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit. Melihat lawan sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian Li sudah meloncat ke depan dan melakukan serangan yang dahsyat sakali.

"Tranggg....!" Pangeran itu menangkis dengan babatan goloknya, dan biarpun Sian Li sudah maklum akan kuatnya tenaga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedang itu hampir terlepas dari pegangan tangannya. Pedang itu terpental dan telapak tangannya yang berhasil menahan gagang pedang terasa panas. Melihat ini, terdengar suara tawa di sana sini dan pangeran itu pun tertawa bergelak.

Sian Lun yang dihadapi Pek-lian Sam-li, biarpun mendongkol sekali karena lawan bersikap curang dan belum apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tidak mau banyak cakap lagi. Tidak ada gunanya mencela dan memprotes orang-orang macam itu, apalagi tiga orang wanita ini adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Sambil membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat menjadi gulungan sinar yang menyambar ke arah tiga orang wanita itu. Pek-lian Sam-li juga telah mencabut pedang mereka dan mereka pun mengepung dengan bentuk barisan Segi Tiga, den ternyata gerakan mereka lincah sekali dan bagaikan tiga ekor kupu-kupu mengepung setangkai bunga, mereka berloncaten ke sana sini, membuat Sian Lun sukar sekali untuk dapat mengarahkan serangannya.

Sian Li juga segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja membuat pangeran itu menang angin dan dia pun mendesak sambil tertawa-tawa karena dia ingin lebih dulu menangkap lawannya untuk mendahului Pek-lian Sam-li. Dengan demikian, dia tidak hanya akan menguasai gadis cantik berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan membuat tiga orang wanita genit itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya! Betapa akan senangnya dilayani empat orang wanita itu, pikirnya.

Akan tetapi, sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pedang yang mengepungnya. Tingkat kepandaian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan setiap orang dari Pek-lian Sam-li, maka kini dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi kewalahan dan repot sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga gulungan sinar pedang lawan.

Pada saat yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat tertangkap, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali saja bayangan itu menyambar-nyambar, mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing yang sedang bertanding. Baik Gulam Sing maupun Sian Li mengeluarkan seruan kaget ketika bayangan itu menggerakkan tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Bayangan itu berkelebat ke arah Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di sana bayangan itu berputaran dan juga Sian Lun dan tiga orang wanita pengeroyoknya terdorong ke belakang seperti diterjang angin badai. Otomatis, mereka semua menghentikan serangan dan memandang kepada orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Sian Li hampir berteriak saking girangnya melihat seorang lakilaki yang tubuhnya sedang saja namun tegap, rambutnya panjang dibiarkan riap-riapan ke belakang dan sebagian menutupi muka, membantu tirai hitam yang bergantungan dari atas topi capingnya yang lebar. Sukar melihat wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik tirai dan rambut. Pakaiannya sederhana saja seperti pakaian petani namun ringkas, dan dia tidak membawa senjata apa pun.

"Sin-ciang Tai-hiap....!" terdengar teriakan beberapa orang dan demikian pula teriakan hati Sian Li yang memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman begitu orang ini berada di situ. Lenyap semua kekhawatirannya akan dikeroyok dan ditangkap oleh para pemberontak ini.

Lulung Lama mewakili suhengnya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya menonton saja. Dengan langkah lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan mukanya itu dan dia mencoba untuk menembus tirai hitam dan rambut itu untuk mengamati wajahnya, lalu dia mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat.

"Omitohud....! Kiranya engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap yang selama beberapa tahun ini membuat nama besar di daerah perbatasan Tibet ini? Selamat datang, Taihiap! Apakah engkau datang hendak menghadiri rapat pertemuan yang kami adakan ini?"

Pendekar bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu terdengar suaranya, lembut dan singkat. "Lulung Lama, terserah dengan nama apa orang akan menyebutku. Aku datang bukan untuk menjadi tamu dalam pertemuan ini."

Lulung Lama mengerutkan alisnya. "Sin-ciang Tai-hiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai sama-sama tokoh dunia persilatan yang tahu akan peraturan dunia kang-ouw, engkau tentu maklum bahwa jalan kita bersimpang. Aku tidak pernah mencampuri urusanmu, dan demikian pula kami harap engkau tidak akan mencampuri dan mengacaukan urusan kami. Kalau engkau tidak datang untuk menghadiri pertemuan, lalu mengapa engkau menghentikan pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang berkunjung tanpa diundang ini?" Lulung Lama bicara dengan nada tinggi hati, hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar Hek I Lama tentu saja tidak takut kepada pendekar rahasia ini walaupun sudah banyak dia mendengar tentang kelihaian Sin-ciang Tai-hiap, dan ke dua karena pada saat itu, dia berada di tempat sendiri, mempunyai banyak anak buah, ada pula suhengnya yang sakti dan banyak tamu yang dapat diandalkan.

Semua orang menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu dan suasana menjadi sunyi senyap karena semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama akhir-akhir ini amat terkenal namanya. Pendekar aneh itu menggerakkan tubuhnya, memandang ke sekeliling, kemudian dia pun menjawab, suaranya masih lembut seperti tadi.

"Lulung Lama, aku tidak mencampuri urusan siapa pun. Kalau tadi aku melerai pertandingan adalah karena aku selain tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan melalui senjata, saling melukai dan saling membunuh. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan saudara Thong Nam, kepada suku Miao yang aku tahu berada di sini sebagai tamu. Biarkan aku bicara dengan dia, setelah selesai urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."

Lulung Lama mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, Thong Nam adalah kepala suku Miao, seorang di antara sekutunya dan saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan rumah dia harus dapat melindungi tamunya. Akan tetapi, sebelum dia dapat berkata atau berbuat sesuatu, seorang di antara para tamu sudah bangkit berdiri dan berkata lantang dengan suara keras dan logatnya asing.

"Akulah Thong Nam kepala suku Miao. Biarpun telah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap, namun kami belum pernah berurusan dengannya. Sekarang engkau datang mencariku di sini, katakan apa perlunya engkau mencari aku, Sin-ciang Tai-hiap!"

Pendekar bercaping itu memutar tubuh ke kanan untuk memandang ke arah Si Pembicara. Ternyata orang bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, akan tetapi tubuhnya nampak kokoh kuat dan wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian hati. Tidak mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lantang memperkenalkan diri, karena dia pun terkenal sebagai seorang jagoan di antara suku bangsanya. Dia terkenal memiliki tenaga kuat ilmu gulat yang tak pernah terkalahkan, juga dia memiliki ilmu tendangan maut. Selain itu, dia pun tahu bahwa di tempat itu, dia memiliki banyak kawan tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia terancam bahaya.

Sejenak pendekar bercaping itu mengamati Si Pendek Gendut dan karena dia diam saja, semua orang menjadi semakin tegang. "Thong Nam," akhirnya terdengar dia berkata, "aku mencarimu untuk meminta kembali sebutir mutiara hitam darimu. Engkau tidak berhak memilikinya dan benda itu harus dikembalikan kepada pemiliknya."

Semua orang tidak mengerti tentang mutiara hitam, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut itu berubah merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia marah mendengar itu. Otomatis tangan kirinya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang, "Sin-ciang, Tai-hiap! Mutiara Hitam itu adalah milikku, kuterima dari mendiang ayahku. Aku tidak mengambilnya dari orang lain!"

"Kalau begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang telah mengambilnya. Mutiara Hitam itu milik orang lain, harap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya kepadaku agar dapat kupenuhi pesan pemiliknya."

"Sin-ciang Tai-hiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu dari orang lain haruslah lebih dahulu mengalahkannya." Kepala suku Miao itu lalu mengambil sesuatu dari balik bajunya, lalu menyerahkan sebuah mutiara hitam yang tadi dia pakai sebagai kalung kepada Lulung Lama. "Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku akan menandingi pendekar yang sombong ini!" Setelah menyerahkan benda itu kepada Lulung Lama, Thong Nam lalu melompat ke depan pendekar bercaping lebar dengan sikap menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak tertarik dan segera dia mendekati suhengnya. Dobhin Lama menerima benda itu dan mereka berdua mengamati benda itu sambil berbisik-bisik, pandang mata mereka bersinar-sinar.

Sementara itu, Thong Nam yang merasa diremehkan di depan banyak orang, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas, seperti seekor biruang menubruk mangsanya. Agaknya dia hendak mengandalkan ilmu gulatnya untuk menangkap lawan, karena dia berkeyakinan bahwa sekali dia dapat menangkap lengan lawan, dia akan dapat membuatnya tidak berdaya dengan ringkusan atau bantingan.Sin-ciang Tai-hiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam, maka dia seperti acuh saja dan bahkan menangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan membiarkan lengannya itu tertangkap lawan! Tentu saja girang hati Thong Nam. Begitu dia berhasil menangkap lengan kanan lawan, dia mempergunakan kedua tangannya, menangkap dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba disentakkan dan dia hendak menekuk lengan itu ke belakang. Sekali dia berhasil menekuk lengan itu ke belakang tubuh, dia akan dapat membuat lawan tidak berdaya dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke atas! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia sama sekali tidak mampu menekuk lengan lawan itu, jangankan memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja tidak mampu. Lengan itu terasa olehnya seperti sebatang baja yang amat kuat. Padahal, sebatang tongkat atau tombak baja pun akan dapat ditekuknya dengan mudah! Tiba-tiba pendekar bercaping itu menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak ditekuk ke belakang dan.... Thong Nam tak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua tangannya terlepas dan dia pun terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.

Thong Nam tidak terluka, hanya terkejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi semakin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi dia menerjang lawannya, sekali ini tidak ingin menangkap melainkan mengandalkan ilmu tendangannya yang memang hebat dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga setiap tendangan mengandung tenaga yang amat kuat, apalagi kedua kaki itu memakai sepatu yang dilapis baja, bagian bawahnya memiliki tepi yang tajam dan ujungnya juga runcing.

Dengan gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Tai-hiap dapat menghindarkan sambaran dua buah kaki yang melakukan serangkaian tendangan bertubi-tubi. Tubuhnya hanya bergerak sedikit saja, namun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di dekat tubuhnya.

"Hemm, sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam," kata pendekar itu lembut dan tiba-tiba saja, tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan tetapi sekali ini kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu tertinggal di kedua tangan pendekar bercaping itu!

Pendekar itu memeriksa sepasang sepatu yang istimewa itu, kemudian jari-jari tangannya bergerak dan.... lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua dan yang tinggal hanya sepasang sepatu kulit biasa. Dia melemparkan sepasang sepatu itu kepada Thong Nam. Kini wajah Thong Nam berubah pucat. Dia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu dan lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama sekali bukan lawannya dan kalau pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang telah tewas, atau setidaknya terluka berat.

Sementara itu, Sian Lun yang tadi dihentikan pertandingannya, menjadi penasaran. Juga diam-diam, seperti juga Sian Li, hatinya menjadi besar setelah muncul Sin-ciang Tai-hiap. Dilihatnya betapa tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi pun masih berdiri dengan pedang di tangan, maka dia segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan pihak tuan rumah.

"Kalian semua mengaku sebagai pejuang-pejuang patriot, aken tetapi sesungguhnya hanyalah penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir memang selalu menentang dan membasmi penjahat-penjahat seperti kalian!"

Melihat suhengnya sudah nekat seperti itu, Sian Li juga meloncat di dekatnya untuk membantu. Melihat ini, Lulung Lama manjadi marah dan dia memberi perintah kepada anak buahnya. "Tangkap dua orang muda kurang ajar ini!"

"Tahan!" Sin-ciang Tai-hiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bangkit dan siap menyerbu. "Lulung Lama, urusanku dengan Thong Nam belum selesai. Mutiara Hitam belum diserahkan kembali kepadaku, dan tentang kedua orang muda ini, seyogianya kalau kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah pendekar-pendekar gagah yang tidak ada hubungannya dengan segala macam pemberontakan."

Kini Dobhin Lama yang masih memegang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya nampak semakin kurus dan tinggi ketika dia berdiri dan dan memandang kepada Sin-ciang Tai-hiap.

"Hemm, Sin-ciang Tai-hiap. Biarpun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau adalah seorang yang masih muda. Mengagumkan sekali seorang yeng demikian muda telah memiliki ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah sayangnya kalau kepandaian seperti itu tidak kaupergunakan untuk mencapai kemuliaan selagi engkau masih muda. Sin-ciang Tai-hiap, sebagai seorang Han, apakah engkau tidak prihatin melihat bangsa Mancu menjajah negara dan bangsamu? Marilah engkau bergabung dengan kami. Kami akan memberi kedudukan tinggi padamu, bahkan mungkin sekali kami akan mengangkatmu sebagai panglima besar."

Dengan sikap yang sopan, pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama kemudian suaranya terdengar lembut namun lantang dan tegas. "Terima kasih atas uluran tanganmu, Dobhin Lama. Tentu saja aku merasa prihatin dengan adanya penjajahan bangsa Mancu, dan aku mengagumi usaha para patriot yang berjuang demi membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Akan tetapi, Losuhu, perjuangan bukan perjuangan murni lagi kalau didasari pamrih untuk kepentingan pribadi, pamrih untuk mendapat imbalan jasa bagi diri sendiri. Perjuangan yang benar adalah suatu kebaktian terhadap tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk pribadi. Kalau ada pamrih, meka perjuangan itu hanya menjadi suatu alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi seperti kedudukan, kemuliaan, harta dan segala kesenangan lain sebagai hasil dari kemenangan. Saudara sekalian yang berada di sini tentu dapat meneliti diri sendiri apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi suatu cara saja untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri atau golongan sendiri?"

"Sin-ciang Tai-hiap, perlukah bicara dengan mereka ini?" Tiba-tiba Sian Li berseru. "Lihat saja siapa adanya mereka ini dan kita akan tahu macam, apa perjuangan mereka itu! Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah pemberontak terhadap pemerintah yang sah dari Tibet. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan mereka ini adalah orang-orang Nepal yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri sehingga mereka itu menjadi buronan dan buruan dari kedua kerajaan itu! Dan lihat pula siapa lagi sekutu mereka! Pek-lian-kauw! Tak perlu berpanjang cerita lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang aseli, perjuangan itu hanya menjadi kedok untuk menutupi kejahatan mereka!"

"Tangkap mereka!" Lulung Lama berteriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Tai-hiap. "Sin-ciang Tai-hiap, harap jangan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa kami akan menentangmu!"

Pek-lian Sam-li berloncatan mengepung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan rumah, "Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!" Dan mereka pun sudah mengepung dan menyerang Sian Lun dengan pedang mereka.

"Gadis ini untukku, ha-ha-ha!" Pangeran Gulam Sing juga membentak dan dia sudah menghadapi Sian Li dengan goloknya yang melengkung. Kembali mereka bertempur, melanjutkan pertandingan tadi yang tertunda oleh kemunculan Sin-ciang Tai-hiap.

Sebelum Sin-ciang Tai-hiap dapat mencegah terjadinya pengeroyokan itu, dia sendiri sudah diserang oleh dua orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung Lama! Begitu pemuda peranakan Han Tibet itu meyerang dengan sabuk baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau, tahulah pendekar bercaping lebar itu bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Apalagi ketika Lulung Lama juga menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang gelang roda besar yang warnanya keemasan dan tepinya bersirip tajam. Dan pendekar itu pun memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet saja, beterbangan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya!

Akan tetapi, tepat seperti yang dikabarkan orang. Sin-ciang Tai-hiap agaknya tidak mau melukai lawan, apalagi membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya untuk menundukkan dua orang pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu tidak akan lama pertandingan itu, karena dia tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok maupun Lulung Lama!

Keadaan Sian Lun maupun Sian Li payah walaupun kedua orang muda ini melawan dengan gigih. Sian Lun menghadapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru sekarang mereka berhadapan dengan seorang lawan muda yang mampu menahan pengeroyokan mereka bertiga! Memang Sian Lun bukan merupakan, lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh kedua orang gurunya, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Biarpun tidak seluruh ilmu kesaktian dari keluarga para pendekar Pulau Es dikuasainya, namun dia telah menguasai Hwi-yang Sin-kang den Soat-Im Sin-kang, kedua ilmu menggunakan tenaga sakti yang panas dan dingin, dan tentang ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang diajarkan oleh Kam Bi Eng. Pemuda ini memang belum mempunyai banyak pengalaman bertanding, akan tetapi karena dia menguasai ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki gabungan tenaga sin-kang yang amat kuat, maka tiga orang wanita Pek-liankauw yang bermaksud menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya itu mengalami kesulitan.

Sian Li juga menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis remaja ini telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan ia masih lebih tangguh dibandingkan suhengnya itu karena gadis ini menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dari ayahnya. Andaikata ia sudah memiliki banyak pengalaman bertanding, tentu ia akan mampu mengalahkan pangeran Nepal itu. Akan tetapi karena ia kurang pengalaman menghadapi ilmu golok melengkung dari pangeran asing itu yang gerakan-gerakannya aneh sekali, ia menjadi agak bingung. Biarpun demikian, karena pangeran Nepal itu pun tidak ingin melukainya dan ingin menangkapnya hidup-hidup, maka pangeran itu tidak mudah dapat menundukkan gadis itu.

Sian Lun yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang amat kuat, membuat tiga orang tokah Pek-lian-kauw kagum dan juga penasaran. Maareka saling memberi isarat dan masing-masing mengaluaran sehelai saputangan merah. Tanpa diduga-duga oleh Sian Lun, mereka mengebutkan saputangan merah ke arah pemuda itu. Sian Lun memang kurang pengalaman, melihat uap tipis kemerahan itu dia tidak menyangka buruk. Baru setelah dia mencium bau harum yang aneh dan matanya berkunang, kepalanya pening, setelah terlambat, dia tahu bahwa tiga orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.

"Iblis-iblis betina yang curang....!” Dia berteriak dan memaksa diri untuk menyerang dengan nekat, akan tetapi kepalanya semakin pening dan dia pun terhuyung-huyung. Ji Kui mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sekali menggerakkan tangan menotok, Sian Lun terkulai dalam rangkulannya dan pamuda itu lemas tak mampu bergerak lagi.

Sian Li mendengar teriakan suhengnya dan cepat menengok. Melihat suhengnya tertawan, ia menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat, bagaikan seekor burung bangau ia telah mengirim tujuh kali tusukan beruntun dengan pedangnya kepada Pangeran Gulam Sing. Pangeran ini terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok dan melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li untuk meloncat ke arah Sian Lun. Melihat ini, tiga orang wanita Pek-lian-kauw terkejut dan marah, tangan kiri mereka bergerak ke arah Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke arah tubuh gadis yang sedang melayang ke arah mereka itu! Sukar bagi Sian Li untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia sedang meloncat ke arah Sian Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga mengejar dengan lompatan seperti seekor harimau yang menubruk, bukan sekedar melompat, melainkan juga menggerakkan kaki menendang! Kedaan Sian Li sunggh berbahaya sekali.

Pada saat itu, Sin-ciang Tai-hiap yang melihat keadaan itu, secepat kilat mengirim tendangan beruntun kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan angin yang bersiutan sehingga Lulung Lama dan Cu Ki Bok terpaksa berloncatan ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat mendahului Sian Li untuk melindungi gadis itu dari sambaran Jarum-Jarum halus! Sian Li yang mendengar gerakan kaki Pangeran Gulam Sing dari belakang, biarpun tubuhnya sedang di udara, dapat berjungkir balik dan pedangnya menyambar ke belakang. Kalau kaki pangeran itu dilanjutkan menendang, tentu akan bertemu dengan pedangnya!

Akan tetapi pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin-ciang Tai-hiap dengan ujung lengan bajunya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga runtuh dan dia pun sudah menyambar lengan kiri Sian Li dan berseru,

"Mari kita pergi!"

"Tidak, Suhengku....!" Sian Li hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya dibawa meloncat jauh oleh Sin-ciang Tai-hiap dan terpaksa ia pun ikut menggerakkan kaki berlari karena ia tidak mau terseret. Cepat bukan main gerakan Sin-ciang Tai-hiap sehingga biarpun ia ingin meronta, tetap saja ia kalah kuat dan tidak berhasil melepaskan lengan kirinya yang terpegang. Sian Li merasa penasaran sekali, akan tetapi karena ia tahu bahwa pendekar aneh ini sudah berulang kali menolongnya, ia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya, hanya terpaksa ikut berlari dengan alis berkerut dan bersungut-sungut. Kenapa pendekar ini mengajaknya berlari? Suhengnya telah tertawan, dan sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia bukan seorang pengecut seperti itu!

Agaknya, orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan itu merasa jerih juga kepada Sin-ciang Tai-hiap dan mereka tidak berani melakukan pengejaran. Apalagi, mereka telah berhasil menawan seorang dan tawanan ini dapat menjamin mereka agar Sin-ciang Tai-hiap dan Tan Sian Li tidak akan berani mengganggu mereka lagi.

"Harap Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu," kata Lulung Lama. "Dia masih berguna bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat membujuk sandera ini sehingga dia taluk dan dapat membantu, hal itu amat menguntungkan."

Ji Kui yang merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan tersenyum sambil saling pandang dengan dua orang adiknya. "Jangan khawatir, Losuhu. Kami pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan kami akan membantu agar dia tunduk dan taluk kepada kita."

Ji Hwa, orang ke dua dari mereka, memandang kepada Pangeran Gulam Sing dan sambil tersenyum manis ia berkata, "Pangeran, engkau telah kalah oleh kami. Mengakulah!"

Gulam Sing juga tersenyum. "Ah, kalian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu. Sungguh aku kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang kalian kehendaki, aku tentu akan mentaati untuk membayar kekalahanku."

"Hi-hik, nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!" kata Ji Kim, wanita Pek-lian-kauw termuda. Mereka bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak. Sudah diduganya. Kalah atau menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.

"Pangeran, kenapa tadi tidak mempergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?" Lulung Lama berkata kepada pangeran itu.

"Hemm, apa kaukira aku begitu bodoh?" Pangeran itu balas bertanya. "Sudah kucoba, akan tetapi gagal, tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau pun tidak menggunakan sihir untuk menundukkan Sin-ciang Tai-hiap tadi?"

"Omitohud, kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali," kata Lulung Lama.

"Sungguh mengherankan. Kami pun sudah mencoba dengan sihir tadi sebelum menggunakan bubuk racun merah, akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam air saja!" kata pula Ji Kui.

Kalau semua orang merasa heran, Dobhin Lama tertawa, "Ha-ha-ha, kalian seperti anak-anak saja. Sudah jelas bahwa pengaruh sihir manjadi punah karena adanya Sin-ciang Tai-hiap di sini. Orang itu berbahaya sekali, maka kita harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia melindungi gadis itu, ada jarum Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah terluka jarum Pek-lian-tok-ciam!"

"Ah, benarkah itu, Losuhu?" Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang. "Kalau begitu, dia tentu tidak akan dapat lolos! Jarum kami mengandung racun yang sukar dilawan."

Jangan gembira dulu, Sam-li," kata Dobhin Lama. "Pinceng sudah mengenal baik jarum baracun Pek-tian-tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu akan lumpuh seketika? Dan melihat betapa Sin-ciang Tai-hiap masih dapat melarikan diri, hal itu menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum tentu jarummu akan dapat membuat dia tak berdaya. Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati dan suruh anak buah melakukan penjagaan ketat."

Mereka melanjutkan pertemuan itu untuk membicarakan gerakan mereka dan mengatur rencana dan membagi tugas kerja. Sian Lun yang sudah tak berdaya itu diserahkan kepada Pek-lian Sam-Li untuk menjaga dan menundukkannya. Tiga orang wanita itu dengan wajah berseri lalu mengajak Pangeran Gulam Sing dan memondong tubuh Sian Lun, pergi mengundurkan diri.



***

"Cukup, berhenti!" Sian Li merenggutkan tangannya dan sekali ini ia berhasil. Mereka berada di kaki bukit yang sunyi, dikelilingi hutan-hutan kecil dan rawa-rawa. Orang yang bercaping lebar itu sekali ini tidak mempertahankan pegangannya dan melepaskan lengan kiri Sian Li.

Sian Li menghentikan langkahnya. Matahari sudah condong ke barat, senja menjelang tiba. Ia menghadapi laki-laki itu dengan alis berkerut.

"Kenapa engkau memaksaku berlari-lari, melarikan diri seperti pengecut-pengecut yang ketakutan?" dua kali Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan muka merah. "Kenapa?"

Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, kemudian terdengar suaranya yang lembut, "Karena aku tidak ingin melihat engkau tewas di sana."

"Akan tetapi, aku tidak takut mati!" Sian Li berkata dan membanting kakinya dengan marah. Pendekar itu tidak menjawab, lalu melangkah pergi meninggalkan Sian Li. Gadis itu hendak marah-marah, akan tetapi ia melihat betapa pendekar itu langkahnya gontai dan agak terhuyung. Tentu saja ia menjadi heran dan mengikuti dari belakang. Orang bercaping lebar itu menuju ke sebuah guha besar yang tertutup rumpum semak-semak berduri, dan agaknya sudah biasa dia berada di situ. Ketika dia memasuki guha, Sian Li mengikuti dan ternyata guha itu terpelihara dan bersih, merupakan ruangan yang terlindung. Begitu memasuki guha, pendekar aneh itu lalu duduk bersila, seolah tidak mempedulikan lagi kepada Sian Li.

Gadis ini tentu saja menjadi semakin marah. Orang ini biarpun pernah beberapa kali menolongnya, akan tetapi sekali ini telah bertindak keterlaluan. Sudah memaksa ia melarikan diri, sekarang malah mengacuhkannya sama sekali.

"Heiiii! Engkau ini ternyata hanyalah seorang pendekar yang mempunyai pikiran tidak senonoh!" bentaknya semakin marah.

Pendekar itu menggerakkan kepalanya yang tadi bertunduk, akan tetapi tidak langsung menghadapkan mukanya yang tertutup rambut dan tirai.

"Kenapa engkau menuduh demikian?" tanyanya, masih lembut dan penuh kesabaran.

"Buktinya, engkau hanya melarikan aku. Kalau memang hendak menolong, kenapa hanya aku yang kautolong, dan meninggalkan Suheng di sana?"

"Dia sudah tertawan, kalau kubiarkan engkau akan tertawan pula.”

“Aku tidak takut! Suheng telah ditawan, aku pun harus menolongnya, tidak peduli aku akan tertawan pula atau mati sekalipun!"

Sejenak orang itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar suaranya lirih, "Engkau tentu.... amat sayang kepada suhengmu itu."

"Tentu saja! Dia Suhengku, kalau bukan aku yang menolongnya, lalu siapa lagi?"

"Kalau engkau tadi tewas atau tertawan, lalu bagaimana engkau akan dapat menolong suhengmu?"

Ucapan itu menyadarkan Sian Li dan ia pun termangu. Sin-ciang Tai-hiap berkata lagi, "Mereka terlalu banyak dan juga banyak orang lihai. Karena terpaksa aku mengajakmu melarikan diri dari sana agar kita dapat mengatur siasat untuk dapat menolong suhengmu...." Ucapan itu tidak dilanjutkan, berhenti tiba-tiba dan pendekar itu menundukkan mukanya.

Sian Li masih curiga, apalagi melihat orang itu menghentikan ucapannya dengan tiba-tiba dan sikapnya seperti orang yang menyembunyikansesuatu. Ia tidak mengenal siapa orang ini, tidak tahu pula bagaimana wataknya. Siapa tahu semua itu hanya siasat saja dan orang yang selalu menyembunyikan mukanya itu memang mempunyai niat yang tidak baik.

"Sudahlah, aku harus kembali ke sana sekarang juga untuk membebaskan Suheng!" katanya dan ia pun hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, pendekar bercaping itu sudah mendahuluinya bergerak dan menghadang di depannya.

"Jangan! Sekarang belum boleh...."

Benar saja dugaannya. Orang ini mempunyai niat yang tidak baik, pikir Sian Li kecewa. Sebelum ini, ia selalu mengenang Sin-ciang Tai-hiap yang pernah menolong ia dan suhengnya, membuat ia kagum dan ingin sekali bertemu. Setelah jumpa, kekagumannya menghilang karena ulah pendekar itu yang amat mencurigakan, dan kini ia malah menjadi marah sekali.

“Siapa pun tidak boleh melarang aku menolong Suhengku!" bentaknya dan ia pun maju terus dan mendorong pendekar yang menghadang itu dengan tangan kirinya. Tangan kirinya mengenai dada orang itu dan.... pendekar itu terdorong ke belakang, terhuyung lalu roboh!

Tentu saja Sian Li merasa heran dan terkejut bukan main. Mengapa orang itu menjadi demikian lemah? Ia cepat menghampiri dan keheranannya bertambah ketika melihat bahwa orang itu telah pingsan! Wajahnya masih tertutup rambut dan tirai, akan tetapi napasnya terengah ketika ia menyentuh lengannya, terasa amat panas! Sian Li menjadi khawatir sekali. Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang sudah mempelajari ilmu pengobatan dari Dewa Obat itu, sekali pegang nadi orang itu tahulah ia bahwa tubuh orang itu telah keracunan secara hebat! Racun yang berhawa panas, pikirnya dengan lega. Kalau racun yang mengandung hawa panas, masih lebih mudah untuk diobati, dibandingkan racun berhawa dingin. Jelas bahwa pendekar ini keracunan dan teringatlah ia ketika Sin-ciang Tai-hiap tadimembantunya. Ia diserang jarum-jarum oleh Pek-lian Sam-li dan pendekar ini yang melompat dan meruntuhkan jarum-jarum itu dengan lengan bajunya, gerakan yang membuat ia kagum bukan main. Jangan-jangan ada jarum yang mengenai tubuh pendekar ini. Tangannya merab-raba dan akhirnya ia tahu bahwa memang benar racun itu berpusat di pundak kirinya. Tanpa ragu lagi Sian Li merobek baju di pundak kiri dan benar saja. Ada bintik kehijauan di situ, kecil sekali dan ia pun tahu bahwa tentu jarum itu memasuki bagian tubuh itu dan meracuni darah.

Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang pandai, Sian Li tahu apa yang harus dilakukannya. Lebih dahulu ia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun, kemudian dengan ujung pedangnya yang tajam ia menoreh bintik hijau itu sehingga kulit dan dagingnya terbuka dan ia mencokel keluar sebatang jarum hitam kehijauan. Kemudian, ia menyedot luka itu dengan mulutnya, menghisap keluar darah yang keracunan, lalu menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Setelah itu, ia mengeluarkan jarum emas dan perak yang ia dapatkan dari Yok-sian Lo-kai dan melakukan pengobatan dengan tusuk jarum di beberapa bagian tubuh untuk memunahkan sisa hawa beracun yang mengeram di tubuh Sin-ciang Tai-hiap.

Kurang lebih setengah jam ia memberi pengobatan sampai ia merasa yakin benar bahwa pendekar itu telah terbebas dariracun. Ia memulihkan jalan darah pendekar itu. Pernapasannya mulai normal kembali dan tubuhnya tidak panas seperti tadi. Melihat pendekar itu masih rebah telentang dalam keadaan tak sadar timbul keinginan hati Sian Li untuk melihat wajahnya. Dia masih pingsan, apa salahnya kalau ia melihat wajahnya sebentar saja? Orang ini selalu menyembunyikan muka. Kenapa? Cacadkah dia? Atau ada rahasia lain? Sekarang ia tahu bahwa tadi kecurigaannya tidak beralasan sama sekali. Pendekar ini jauh daripada apa yang ia curigakan. Sama sekali tidak mempunyai niat buruk, apalagi tak senonoh. Pendekar tadi menderita luka beracun yang parah ketika tadi menolongnya.

Karena itulah maka pendekar itu memaksanya melarikan diri, karena kalau tidak, tentu mereka berdua sudah tertawan pula, atau terbunuh. Dan memang benar. Kelau pendekar itu tidak memaksanya melarikan diri, tentu mereka bertiga sudah tertawan dan tidak ada kesempatan sama sekali untuk menolong suhengnya. Pendekar ini benar. Ia yang terburu nafsu dan mencurigainya. Apa salahnya memandang sebentar saja wajahnya yang penuh rahasia, mengambil kesempatan selagi dia belum siuman?

Dengan jari-jari tangan gemetar karena tegang dan juga diam-diam merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia telah mencuri dan membuka rahasia orang Sian Li menyingkap tirai di depan muka itu, lalu menyingkap rambut yang terurai awut-awutan menutupi muka. Ia melihat sebuah wajah yang tampan. Muka itu berbentuk lonjong dengan dagu runcing dan ujung dagu berlekuk, alis yang tebal hitam dengan mata terpejam, dahinya lebar, hidung mancung dan bentuk muka yang amat dikenalnya. Ia terbelalak, tak bergerak seperti patung, lalu bibirnya berbisik berulang-ulang, seolah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.

"Yo Han....? Suheng.... Kakak Yo Han....?" Akan tetapi, ia membantah sendiri. Tidak mungkin ini suhengnya yang selama bertahun-tahun dirindukannya itu. Suhengnya itu selamanya tidak pernah suka berlatih silat. Suhengnya itu amat baik kepadanya, seperti kakak kandungnya sendiri, akan tetapi sama sekali tidak pandai silat walaupun ayah ibunya berusaha untuk menggemblengnya. Dan pendekar ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi.

Akan tetapi wajah ini....! Bagaimana mungkin ia bisa salah? Wajah ini hampir tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Biarpun kini telah menjadi seorang laki-laki dewasa, namun bentuk muka itu tidak berubah. Dahi itu, hidung mulut dan dagu itu! Ah, ia teringat akan sesuatu. Pernah ketika suhengnya ini mandi di sungai kecil dan bertelanjang tubuh bagian atas, ia melihat sebuah tahi lalat sebesar kedele di dada suhengnya itu, tepat di tengah ulu hatinya. Semenjak itu, sering kali ia menggoda dan memperolok suhengnya dengan tahi lalat itu. Dengan jari tangan menggigil Sian Li membuka kancing baju pendekar itu untuk melihat dadanya. Ia membuka baju itu dan.... di sanalah, tepat di tengah ulu hati, bertengger tahi lalat itu.

"Kakak Yo Han....!" Kini ia tidak ragu lagi dan ia merangkul, menangis!

Pendekar itu membuka mata dan melihat Sian Li menangis di atas dadanya, ia mendorongnya dengan halus dan bangkit duduk. "Nona.... kau...." Akan tetapi dia tidak melanjutkan ucapannya karena Sian Li sudah memandangnya dengan mata yang berlinangan air mata, akan tetapi mulut gadis itu tersenyum, sinar matanya penuh kebahagiaan.

"Han-suheng (Kakak Seperguruan Han), Han-koko (Kakanda Han), kenapa engkau bersikap begini terhadap aku? Benarkah engkau tidak mengenal aku lagi? Aku Sian Li, Tan Sian Li....!"

Akan tetapi Yo Han, yang selama beberapa tahun ini berkeliaran di perbatasan Tibet dan dijuluki Sin-ciang Tai-hiap oleh mereka yang pernah ditolongnya, tidak merasa heran. Tentu saja dia sudah tahu atau dapat menduga siapa adanya gadis remaja berpakaian serba merah itu.

"Sian Li.... Sumoi...." katanya dan sinar matanya mengandung kasih sayang sedemikian mendalam sehingga Sian Li teringat akan masa lalu, ketika ia merasakan benar kasih sayang suhengnya ini kepadanya.

"Suheng....!" Dan lupa akan segala, lupa bahwa ia bukan lagi kanak-kanak, ia menubruk dan merangkul Yo Han, menangis di dalam rangkulan pendekar itu! Yo Han membiarkan saja dan mengelus rambut yang halus itu, maklum bahwa di saat seperti itu, semua peraturan telah terlupakan, yang ada hanya peluapan perasaan. Pada saat itu, dia tahu bahwa perasaan gembira, terharu dan bahagia meluap di hati Sian Li. Dia sendiri pun merasa terharu dan tak terasa kedua matanya menjadi basah. Betapa sering dia membayangkan dan mengenang Sian Li, dengan hati penuh kerinduan. Hampir dia tidak dapat percaya akan tiba saat seperti sekarang ini, di mana dia merangkul Sian Li yang menangis di dadanya.

Setelah gejolak perasaan itu mereda, Yo Han mendorong kedua pundak gadis itu dengan lembut, bahkan memegang kedua pundak itu dan mengamati wajahnya sambil tersenyum. Sepasang matanya mencorong sehingga diam-diam Sian Li terkejut dan kagum. Kalau ada perubahan pada diri suhengnya ini, barangkali hanya pada sinar matanyaitulah. Ia pun membalas, mengamati wajah Yo Han.

"Aihh, adikku yang dulu begitu bengal tabah, keras hati dan pemberani, kenapa sekarang telah berubah menjadi seorang gadis yang cantik dan cengeng?"

Seketika sinar mata itu bernyala. "Aku tidak cengeng! Aku menangis karena haru dan bahagia! Aih, Han-ko, selama ini engkau ke mana sajakah? Dan kenapa pula engkau tega meninggalkan aku sampai bertahun-tahun? Bagaimana pula engkau tahu-tahu telah menjadi seorang pendekar sakti dan berjuluk Sin-ciang Tai-hiap? Kenapa pula engkau selalu menyembunyikan muka dan tidak ingin dikenal orang? Apa pula yang menyebabkan engkau menjadi seorang petualang di daerah ini dan kenapa tidak kembali kepada kami?"

Diberondong pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Yo Han tersenyum dan memandang wajah Sian Li penuh kasih sayang. Sian Li masih cerewet, masih lucu seperti dulu!

"Panjang ceritanya, Li-moi. Akan tetapi.... apakah engkau sudah melupakan suhengmu yang ditawan oleh gerombolan Lama Jubah Hitam?"

Sian Li seperti baru teringat kepada Sian Lun. "Ah, engkau benar juga, Han-ko. Kita harus cepat menolong dan membebaskannya, sekarang juga!"

Yo Han mengangguk dan diam-diam hatinya merasa girang. Adik seperguruan yang sejak kecil sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan yang amat disayangnya ini ternyata merupakan seorang gadis gagah perkasa yang bertanggung jawab dan juga setia.

"Tidak akan ada gunanya kalau kita menyerbu ke sana sekarang. Malam hampir tiba dan selain di sana banyak terdapat orang lihai, juga penjagaan amat kuat dan dipasangi banyak jebakan berbahaya. Kita memang harus membebaskannya, akan tetapi tidak sekarang. Besok pagi aku akan berkunjung ke sana dan minta kepada Dobhin Lama, Ketua Lama Jubah Hitam, agar suhengmu dibebaskan.

"Tapi.... kenapa harus menanti sampai besok? Bagaimana kalau kita telambat dan terjadi apa-apa dengan Suheng? Mungkin saja dia dibunuh!"

"Jangan khawatir, Li-moi. Aku sudah tahu akan sepak terjang gerombolan Lama Jubah Hitam. Mereka tidak memusuhi para pendekar, bahkan ingin merangkul dan mengajak para pendekar bersekutu. Mereka membutuhkan kerja sama dan bantuan orang-orang pandai dalam usaha mereka merebut tahta kekuasaan di Tibet. Perjuangan melawan pemerintah Mancu hanya sebagai sarana untuk memperoleh dukungan pare pendekar saja. Pada hakekatnya, yang terpenting bagi mereka adalah menguasai Tibet seperti juga orang-orang Nepal itu bercita-cita untuk merampas kekuasaan di Nepal dan mereka mencari sekutu agar kelak dapat membantu mereka. Jangan khawatir, suhengmu tidak akan dibunuh, mungkin bahkan dibujuk untuk bakerja sama dengan mereka."

Legalah rasa hati Sian Li. Ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han, bukan hanya percaya karena Yo Han adalah suhengnya yang sejak dahulu paling disayangnya dan dipercayainya, akan tetapi juga karena ia ingat bahwa sudah lama Yo Han bertualang di daerah ini dan tentu mengenal benar keadaannya sehingga keterangannya tadi pasti benar.

"Baiklah kalau begitu, aku menyerahkan kepadamu agar Suheng dapat bebas dari tangan mereka. Sekarang, herap kauceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah, Han-ko."

Yo Han merasa girang bahwa Sian Li menyebut dia koko (kakak), bukan suheng (kakak seperguruan) karena bagaimanapun juga dia tidak pernah dengan sungguh-sunggguh belajar silat dari ayah ibu Sian Li.

"Memang sebaiknya malam ini kita lewatkan dengan saling menceritakan pengalaman, Li-moi. Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, bagaimana engkau dapat mengobati luka beracun di pundakku. Kurasakan racun itu cukup berbahaya dan kalau harus menggunakan kekuatan sendiri untuk mengusirnya dan menyembuhkan luka beracun itu, tentu akan menggunakan waktu sedikitnya sepuluh hari. Akan tetapi sekarang aku telah sembuh sama sekali! Bagaimana engkau dapat memiliki kepandaian pengobatan yang begini hebat?"

Biasanya, Sian Li tidak haus pujian, bahkan ia akan menganggap seorang pria merayu kalau memujinya. Akan tetapi entah bagaimana sekali ini menerima pujian dari Yo Han, ia merasa amat girang dan bangga.

"Aku mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai," katanya sederhana untuk menyembunyikan rasa bangga dan senangnya.

"Ah, begitukah? Pantas saja kalau begitu. Aku sudah mendengar nama besar Dewa Obat itu. Dan kulihat ilmu silatmu juga hebat, agaknya engkau telah menguasai benar Pek-ho Sin-kun dari Suhu, akan tetapi aku melihat gerakan lain yang bukan dari ayah ibumu."

Sian Li mengangkat telunjuk kanan dan mengamangkannya kepada Yo Han. "Nah, nah kau mau mengakali aku, ya? Engkau belum menceritakan sedikit juga tentang pengalamanmu dan engkau sudah memancing-mancing agar aku menceritakan segala tentang diriku."

Yo Han tertawa. Sudah lama dia tidak pernah merasakan kegembiraan hati seperti saat itu. Dan dia bersyukur kepada Tuhan bahwa dia dipertemukan dengan Sian Li di tempat yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini dan melihat Sian Li telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, manis budi dan gagah perkasa.

Yo Han menceritakan pengalamannya dengan singkat saja. "Setelah aku meninggalkan tempat tinggal orang tuamu di Ta-tung...."

"Nanti dulu, ceritakan dulu kenapa engkau meninggalkan aku, meninggalkan kami dan sampai selama ini tidak pernah kembali, Han-ko!"

Yo Han menatap wajah gadis itu dan menarik napas panjang. Sekali lagi dia harus menghadapi suatu kenyataan dalam hidup ini, bahwa biarpun membohong adalah perbuatan tidak baik, namun ada waktunya perlu sekali orang membohong! Membohong bukan dalam arti menipu demi keuntungan pribadi, melainkan membohong agar jangan sampai menyinggung atau menyakiti perasaan orang yang dibohonginya! Kalau sekarang dia berterus terang bahwa dia meninggalkan keluarga gadis itu karena mendengar ayah ibu gadis itu menyatakan keinginan hati agar Sian Li jauh darinya, tentu cerita ini akan mengguncang perasaan Sian Li dan bukan hanya menyinggung, namun menyakitkan dan membingungkan. Maka, dia harus berbohong!

"Lupakah engkau, Li-moi? Aku menggantikanmu menjadi tawanan Ang I Moli. Aku sudah berjanji kepadanya bahwa kalau ia mengembalikan engkau kepada orang tuamu, aku akan menggantikanmu menjadi muridnya." Lega rasa hati Yo Han setelah dia mulai memberi keterangan. Bagaimanapun juga, dia tidaklah berbohong, hanya tidak berterus terang menceritakan keadaan selengkapnya.

Tentu saja Sian Li masih ingat akan semua itu. Bahkan dahulu ketika Yo Han pergi, hampir setiap hari ia menangis dan menanyakannya, dan ia pun teringat akan pembelaan Yo Han kepadanya terhadap Ang I Moli.

"Han-ko, jadi engkau telah menjadi murid iblis betina itu?"

"Tidak, Li-moi. Ia jahat bukan main, jahat dan kejam. Aku tidak suka menjadi muridnya. Aku berhasil lolos darinya dan aku mendapatkan seorang guru di tempat rahasia. Guruku itu kini telah tiada, dan aku merantau ke sini adalah untuk memenuhi pesan terakhir guruku."

"Mencari mutiara hitam itu?"

"Benar, Li-moi. Benda mustika itu dahulu milik guruku yang hilang dicuri orang. Aku hanya ingin merampasnya kembali untuk memenuhi pesan mendiang Suhu."

"Dan engkau malang melintang di daerah barat ini sebagai Sin-ciang Tai-hiap?”

Yo-Han menarik napas panjang. Selama bertahun-tahun dia berhasil menyimpan rahasia dirinya, akan tetapi, sekali ini rahasianya terbuka, bukan oleh orang lain, bahkan oleh Sian Li!

"Ternyata tidak mudah mencari mutiara hitam seperti yang menjadi pesan terakhir Suhu," dia bercerita. "Suhu hanya mengatakan bahwa benda pusaka itu berada di daerah barat ini. Sampai hampir lima tahun aku berkeliaran di sini, bahkan sudah menjelajah sampai ke daerah Tibet, namun belum berhasil. Dalam penjelajahan itulah aku bertemu dengan hal-hal yang menggerakkan hatiku untuk turun tangan menentang kejahatan. Aku tidak ingin dikenal orang, maka aku selalu menyembunyikan mukaku dan tidak memperkenalkan diri. Orang-orang memberi julukan Sin-ciang Tai-hiap. Aku membiarkan saja dan tidak ada seorang pun tahu bahwa akulah Sin-ciang Tai-hiap. Baru hari ini ada yang tahu, yaitu engkau Li-moi."

Sian Li tertawa dan suasana menjadl akrab sekali ketika dara itu tertawa. Yo Han teringat akan masa lalu. Suatu tawa Sian Li seperti bunyi musik merdu yang mendatangkan perasaan bahagia dalam hatinya. Seperti tetesan air hujan pada hatinya yang selama ini seperti tenah kering. Terasa demikian sejuk den segar dan dia pun tak dapat menahan timbulnya senyum lebar penuh kebahagiaan yang membuat wajahnya berseri.

"Hi-hi-hik, heh-heh, engkau ini sungguh aneh dan lucu, Han-koi. Engkau ingin menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang, ataukah engkau bahkan ingin memopulerkan julukanmu atau penyamaranmu itu? Dengan penyamaranmu itu, maka semakin terkenallah Sin-ciang Tai-hiap sebagai seorang pendekar yang rambutnya riap-riapan, bercaping yang ditutupi tirai! Sebaliknya, kalau engkau tidak menyamar lagi, tidak menyembunyikan diri, siapa yang akan tahu bahwa engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap? Kenapa mesti menyamar lagi, Han-ko?"

Yo Han mengangguk-angguk. "Engkau benar, Li-moi. Aku sudah begitu khawatir untuk dikenal orang maka aku bahkan membuat Sin-ciang Tai-hiap semakin terkenal karena dipenuhi rahasia. Mulai sekarang aku akan menanggalkan penyamaran sebagai Sin-ciang Tai-hiap, dan aku akan menjadi Yo Han biasa saja....” Setelah berkata demikian, Yo Han yang sudah menanggalkan capingnya itu lalu menggelung rambutnya, tidak lagi dibiarkan riap-riapan. Dia menggelung rambut, tidak dikuncirnya karena dia tidak senang harus mentaati peraturan pemerintah Mancu agar semua orang Han menguncir rambutnya. Peraturan itu dianggapnya menghina.

"Tapi jangan dibuang caping itu, Han-ko. Pertama, benda itu memang berguna untuk melindungi kepalamu dari panas dan hujan, dan ke dua, siapa tahu kadang-kadang kauperlukan juga tokoh Sin-ciang Tai-hiap itu."

"Li-moi, sudah cukup aku menceritakan pengalamanku, sekarang kaulah yang harus menceritakan padaku keadaanmu. Semenjak kita saling berpisah. Engkau kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, lincah dan juga lihai ilmu silatnya. Tentu sekarang usiamu sudah dewasa, Li-moi."

"Ketika engkau pergi, usiaku empat tahun, Han-ko. Kita saling berpisah selama tiga belas tahun lebih, Jadi usiaku sekarang hampir delapan belas tahun. Aku belajar ilmu silat dari Ayah dan Ibu, kemudian aku menerima gemblengan dari Paman Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya di dusun Hong-cun dekat kota Cin-an. Di sana aku bertemu dengan Suheng Liem Sian Lun, murid mereka. Selain itu, juga aku belajar ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai."

"Wah, engkau beruntung sekali, Limoi, mendapat ilmu-ilmu dari banyak orang sakti. Akan tetapi bagaimana engkau dan suhengmu itu dapat berada di sini, amat jauh dari tempat tinggal orang tuamu?"

"Aku dan Suheng Sian Lun sedang dalam perjalanan pulang. Kami baru saja berkunjung ke Bhutan, Han-ko."

"Bhutan? Kenapa pergi ke tempat yang demikian jauh?"

Sian Li lalu bercerita tentang Gangga Dewi dan paman kakeknya Suma Ciang Bun, tentang perjalanan mereka yang jauh, juga tentang pengalamannya ketika bertemu dan bertentangan dengan Lulung Lama dan sekutunya.

Dua orang muda yang merasa amat berbahagia dalam pertemuan yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka itu, bercakap-cakap sampai larut tengah malam. Mereka makan malam secara amat sederhana sekali, dari persediaan makanan yang disimpan Yo Han di dalam guha. Mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing, menjawab semua pertanyaan. Setelah lewat tengah malam, barulah mereka istirahat dan tidur saling mengetahui hampir semua keadaan diri masing-masing. Hanya ada sebuah hal yang masih membuat Yo Han sangsi dan ragu, yaitu tentang hubungan batin aratara Sian Li dan suhengnya. Mereka adalah kakak beradik seperguruan, akan tetapi apakah tidak lebih daripada itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis tidak ada hubungan darah, dan keduanya tampan dan cantik, melakukan perjalanan berdua saja. Tidak aneh kalau mereka itu saling mencinta, bahkan agaknya tidak wajar kalau tidak ada perasaan cinta di antara mereka. Yo Han tidak berani bertanya akan hal itu, akan tetapi dia menduga bahwa Sian Li agaknya amat mencinta suhengnya itu. Dan dia pun tidak akan merasa heran, suheng Sian Li itu memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, sudah sepatutnya kalau menjadi jodoh Sian Li. Hanya, dia merasa heran dan tidak enak mengapa hatinya menjadi pedih membayangkan kakak beradik seperguruan itu saling mencinta dan menjadi jodoh.

Bahkan bayangan ini menghantuinya, membuat dia gelisah dan tidak dapat pulas. Baru setelah jauh lewat tengah malam, dia dapat mengusir gangguan itu dan tidur pulas.



***

Pada keesokan harinya, Yo Han menunjukkan kepada Sian Li anak sungai berair jernih yang mengalir tak jauh dari guha itu, di mana dara itu dapat membersihkan diri. Mereka mandi bergantian dan dengan badan segar mereka sarapan pagi seadanya, hanya roti kering dan daging kering yang dihangatkan di atas api ungun, kemudian mereka meninggalkan guha.

"Kita harus menolong suheng, Hanko," kata Sian Li ketika mereka keluar dari hutan.

"Tentu saja, Li-moi." Dia menepuk buntalan pakaiannya. "Aku sudah mempersiapkan capingku. Kalau aku menghadapi para Lama, aku harus berperan sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Aku akan minta dengan hormat kepada mereka untuk membebaskan suhengmu."

"Akan tetapi bagaimana mungkin, Han-ko? Bagaimana kalau mereka tidak menuruti permintaanmu?"

"Aku tidak pernah bermusuhan dengan para Lama itu, dan mereka adalah orang-orang yang menghargai kegagahan. Kalau perlu, aku akan menantang mereka dengan taruhan bahwa kalau aku menang, mereka harus memenuhi permintaanku."

"Kalau kau kalah?"

"Hemm, kita harus bertanggung jawab dan tidak lari dari kenyataan, Li-moi. Kalau aku kalah, mereka boleh melakukan apa saja terhadap diriku."

"Tapi.... itu berbahaya sekali, Han-koi"

Yo Han tersenyum. "Aku tahu, Limoi, sejak aku mempelajari ilmu silat, tahulah aku bahwa aku telah terjun ke dalam dunia kekerasan di mana terdapat penuh bahaya. Akan tetapi, hidup seperti apakah yang tidak berbahaya? Hidup itu sendiri Sudah merupakan suatu bahaya, Li-moi. Hidup adalah perjuangan, suatu perjuangan orang tiada hentinya melawan bahaya yang datang dari segala jurusan.

Hidup merupakan suatu tantangan yang harus kita perjuangkan, kita hadapi, dan perjuangan itu adalah untuk mengatasi semua tantangan itu, semua bahaya itu!"

Sian Li mengerutkan alisnya dan saking tertarik, ia menghentikan langkahnya, memandang kepada pemuda itu. "Eh? Apa maksudmu, Han-ko? Kehidupan seorang dari dunia persilatan seperti kita memang menghadapi banyak tantangan, banyak bahaya, akan tetapi kehidupan seorang biasa, apakah bahaya dan tantangannya?"

Yo Han tersenyum, "Tiada bedanya, Li-moi. Apakah kehidupan seorang petani miskin itu tidak penuh tantangan yang harus mereka hadapi dan atasi tantangan itu dapat datang dari kemiskinannya, dari kesehatan yang terganggu, dari kesejahteraan keluarganya, dari kerukunan keluarganya. Orang dapat ditentang oleh kekurangan makan pakaian dan tempat tinggal, oleh gangguan kesehatan oleh percekcokan rumah tangga, dan seribu satu tantangan lagi. Semua itu mau tidak mau, harus dihadapi dan diatasi, kita tidak mungkin dapat lari darinya, karena itulah isi kehidupan ini, urusan jasmani, urusan duniawi."

"Hemm, kalau orang kaya dan orang berpangkat tentu tidak menghadapi semua tantangan dan kesulitan...."

"Siapa bilang? Mereka pun dapat sakit, dapat cekcok dengan keluarga. Bahkan ditambah lagi. Orang kaya harus mempertahankan kekayaannya, menjaganya agar tidak berkurang atau lenyap, selalu khawatir akan kehilangan. Demikian pula orang berkedudukan selalu ingin mempertahankan kedudukannya, takut kehilangan. Pendeknya, selagi hidup sebagai manusia, kita tidak akan dapat bebas dari tantangan dan bahaya. Justeru itulah isi kehidupan, itulah romantikanya kehidupan. Dan menghadapi semua itu, berusaha mengatasinya. Perjuangannya melawan semua tantangan, itulah seninya, seni kehidupan! Betapa akan membosankan kalau hidup ini tidak ada tantangan yang harus ditanggulangi, dihadapi dan diatasi. Senang baru akan terasa senang kalau kita pernah merasakan susah. Kepuasan yang sebenarnya hanyalah terasa kalau kita pernah merasa kecewa. Bukankah begitu, Li-moi?"

Sian Li terbelalak, kemudian tertawa. "Wah-wah-wah, bicaramu seperti seorang guru besar kebatinan saja, Han-ko. Menurut Ayah dan Ibuku, dahulu engkau tidak suka akan kekerasan, tidak suka belajar silat, akan tetapi sekarang malah menjadi seorang pendekar sakti dan bicaramu seperti seorang pendeta!"

"Li-moi, mengenai kehidupan, apakah hanya para pendeta saja yang harus mengetahuinya? Kehidupan adalah kita sendiri, Li-moi. Sudah sewajarnya, bahkan sepatutnya kalau setiap orang tahu dan mengerti akan kenyataan dalam hidup ini. Sampai sekerang pun aku tidak suka akan kekerasan, Li-moi, karena aku tahu dan yakin benar bahwa kekerasan bukanlah cara terbaik untuk hidup. Namun, menghadapi tantangan dalam kehidupan, sekali waktu kita membutuhkan juga kekuatan untuk menanggulanginya, dan seperti juga semua ilmu, ilmu silat pun amat berguna kalau saja dipergunakan melalui garis yang benar, bukan sebagai alat mengumbar nafsu. Nah, kurasa engkau pun tentu sudah mengerti akan semua itu, karena aku tahu bahwa orang tuamu adalah sepasang suaml isteri yang bijaksana. Apalagi engkau telah digembleng oleh paman kakekmu dan isterinya, juga oleh seorang tokoh besar seperti Yok-sian Lo-kai."

Sian Li mengangguk-angguk kagum. "Cara mereka bicara tidak jauh bedanya dengan apa yang kaukatakan semua tadi, Han-ko...."

"Hemmm, ada orang-orang datang ke sini, Li-moi. Jangan katakan bahwa aku adalah Sin-ciang Tai-hiap...."

Sian Li mengangkat muka memandang ke depan dan benar saja. Ada enam orang datang dengan langkah lebar. Dari jauh saja, sudah nampak bahwa lima orang di antara mereka adalah para pendeta Lama Jubah Hitam, dapat dilihat dari kepala mereka yang gundul dan jubah hitam mereka yang lebar. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda. Setelah mereka datang lebih dekat dan Sian Li mengenal siapa pemuda itu, wajahnya berubah merah dan ia menjadi marah. Pemuda itu bukan lain adalah Cu Ki Bok murid Lulung Lama yang kurang ajar itu. Dan lima orang gundul itu adalah lima orang anggauta Hek I Lama.

"Jahanam busuk! Akan kubunuh kalian!" Sian Li sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi Yo Han menyentuh lengannya,

"Sabarlah, Li-moi, biarkan mereka mengatakan dulu apa maksud mereka mencari kita."

Kini Cu Ki Bok sudah tiba di depan mereka. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan gagah itu tersenyum, dan lima orang pendeta Lama yang berdiri di belakangnya, diam tak bergerak seperti patung. “Selamat pagi, Nona Tan Sian Li. Senang sekali bertemu denganmu, karena Nona tentu akan dapat memberi tahu kepada kami di mana kami dapat bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap."

Sian Li tersenyum mengejek. "Hemm, keparat busuk, andaikata aku tahu sekalipun tak akan sudi aku memberitahukan kepadamu!"

"Hemm, Nona jangan berlagak. Kalau tidak ada Sin-ciang Tai-hiap, apa kaukira akan mampu lepas dari tangan kami? Sekarang kami menginginkan Sin-ciang Tai-hiap, untuk menyampaikan pesan dari ketua kami. Katakan di mana aku dapat bertemu dengan dia, dan aku tidak akan mengganggumu lagi, melihat muka pendekar itu."

"Sobat, katakan saja kepada kami apa yang akan kausampaikan kepada Sin-ciang Tai-hiap, dan kamilah yang akan menyampaikan kepadanya," kata Yo Han dengan suara tenang dan lembut.

Cu Ki Bok memandang kepada Yo Han dengan alis berkerut, jelas bahwa dia memandang rendah kepada pemuda itu, tidak mengenalnya, akan tetapi merasa tidak senang karena pemuda ini berdua dengan gadis yang dirindukannya.

"Siapa kamu? Dan mengapa aku harus menyampaikan pesanku untuk Sin-ciang Tai-hiap kepada kamu?"

Sian Li marah sekali melihat sikap dan mendengar ucapan yang nadanya menghina dan memandang rendah itu. Akan tetapi Yo Han tersenyum, girang bahwa kini dia dapat menghadapi orang tanpa menyembunyikan wajah aselinya dan orang itu tidak mengenalnya. Benar juga pendapat Sian Li semalam. Sin-ciang Tai-hiap yang harus dirahasiakan, bukan Yo Han!

"Namaku Yo Han, dan aku orang biasa saja, akan tetapi aku telah dipesan oleh Taihiap bahwa jika ada orang yang mencarinya, boleh menyampaikan kepada kami berdua. Kalau engkau percaya kepada kami, nah, katakan apa yang kau ingin sampaikan kepadanya. Kalau tidak percaya, sudahlah, kau cari saja sendiri."

Sian Li mengeluarkan suara tawa mengejek. "Huh, mana pengecut ini berani mencari Sin-ciang Tai-hiap? Baru melihatnya saja, dia akan lari terbirit-birit!" Lalu dilanjutkannya dengan nada suara marah, "Kawanan srigala ini licik dan pengecut, beraninya hanya main keroyokan. Buktinya, Suheng ditawan karena keroyokan. Jahanam Cu Ki Bok, kalau kalian mengganggu Suhengku, aku akan membasmi kalian semua, tak seorang pun kubiarkan hidup!"

Mendengar ucapan yang keras itu, Cu Ki Bok tidak menjadi marah, bahkan dia tertawa geli. "Ha-ha-ha, kau kira suhengmu itu kami ganggu, Nona? Nona masih saja salah sangka. Kami bukanlah penjahat. Kami adalah pejuang-pejuang yang bercita-cita mengusir penjajah Mancu. Kami membutuhkan kerja sama dengan para pendekar. Bukankah ketua kami tadinya juga menawarkan kerja sama dengan Nona dan suheng Nona itu? Dan sekarang suhengmu dengan suka rela membantu kami, dan dia hidup bersenang-senang. Hemm, suhengmu memang pandai mempergunakan kesempatan, aku sendiri sampai iri melihat dia bersenang-senang seperti itu...."

"Kau bohong!" Sian Li membentak, akan tetapi diam-diam ia ingin sekali tahu kesenangan apa yang dimaksudkan oleh orang itu.

"Sudahlah, aku pun datang bukan untuk membicarakan urusan Liem Sian Lun. Aku diutus oleh ketua kami untuk bicara dengan Sin-ciang Tai-hiap. Kuharap saja dia akan muncul menemui kami."

"Orang macam engkau tidak berharga untuk bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap," kata Sian Li. "Sampaikan saja kepadaku atau kau boleh minggat dari sini."

Wajah Cu Ki Bok berubah merah. Dia merasa direndahkan dan dihina oleh gadis itu, akan tetapi harus diakuinya bahwa dia memang merasa jerih untuk berhadapan dengan pendekar sakti itu. "Baiklah, akan kusampaikan kepadamu, Nona Tan Sian Li, akan tetapi tidak kepada cacing tanah itu." Cu Ki Bok menggerakkan kepala ke arah Yo Han dengan sikap amat merendahkan sehingga wajah Sian Li berubah, merah karena marahnya.

"Cu Ki Bok, kalau engkau menghina kami berdua, berarti engkau menghina Sin-ciang Tai-hiap karena Taihiap telah memberi kuasa kepada kami berdua untuk mewakilinya bicara dengan siapa saja! Nah, katakan kepada kami berdua apa keperluanmu tanpa menghina orang, atau aku akan mewakilinya membunuhmu di sini juga!"

Cu Ki Bok tidak gentar terhadap Sian Li, akan tetapi dia takut kalau Sin-ciang Tai-hiap muncul membantu nona itu. "Baik, dengarlah pesan kami. Ketua kami, Dobhin Lama mengundang Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadakan pertandingan adu ilmu...."

"Huh, dan kalian tentu akan menjebaknya dan mengeroyoknya dengan mengandalkan banyak orang, bukan?" Sian Li mengejek. Ia sengaja memanaskan hati pihak lawan.

"Sama sekali tidak!" bantah Cu Ki Bok penasaran. "Nona, engkau belum mengenal siapa adanya Supek (Uwa Guru) Dobhin Lama! Beliau adalah seorang tokoh besar di Tibet yang memiliki kedudukan tinggi. Tidak mungkin Supek menggunakan siasat. Supek telah lama mendengar akan nama besar Sin-ciang Tai-hiap dan kini ingin mengadu ilmu dengan Sin-ciang Tai-hiap. Kalau Sin-ciang Tai-hiap mampu menandingi Supek Dobhin Lama, maka mutiara hitam akan dikembalikan kepadanya."

"Hemm, tidak cukup dengan itu! Kalau dia dapat mengalahkan Dobhin Lama, selain mutiara hitam diserahkan kepadanya, juga Suheng Liem Sian Lun harus dibebaskan!" kata Sian Li. "Kalau syarat ini tidak dijanjikan, aku tidak sudi menyampaikan kepadanya."

"Ha-ha-ha, sekarang juga dia sudah bebas, akan tetapi mana mungkin dia mau meninggalkan segala kesenangan itu? Akan tetapi baiklah, aku yang tanggung bahwa syarat ke dua itu dapat diterima dan disetujui oleh Supek. Kalau Supek kalah, Liem Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam akan diserahkan kepada Sin-ciang Tai-hiap. Akan tetapi sebaliknya, kalau Supek yang menang, Sin-ciang Tai-hiap harus membantu perjuangan untuk menentang penjajah Mancu."

Tentu saja Sian Li tidak berani lancang menerima syarat itu, maka ia menoleh kepada Yo Han dan berkata, "Han-ko, bagaimana pendapatmu? Biarpun Taihiap sudah menyerahkan keputusannya kepadaku, akan tetapi aku ingin tanya pendapatmu sebelum menerima syarat itu."

Yo Han mengangguk-angguk."Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Bangsa Mancu menjajah, hal itu jelas tidak adil dan tidak benar, maka tentu saja dia tidak akan berkeberatan untuk menentang penjajah Mancu."

Sian Li mengangguk-angguk. "Tepat sekali, aku pun berpikir demikian, Hanko. Nah, Cu Ki Bok, akan kusampaikan pesan itu kepada Sin-ciang Tai-hiap. Kuulangi taruhannya. Kalau dia menang, mutiara hitam harus diserahkan kepadanya dan Suhengku harus dibebaskan. Kalau Dobhin Lama yang menang, Sin-ciang Tai-hiap harus membantu perjuangan menentang penjajah Mancu. Kalau dia menerima tantangan itu, lalu kapan pertandingun itu diadakan dan di mana?"

Cu Ki Bok tersenyum. "Dalam hal ini, Supek ingin memperlihatkan iktikad baiknya dan kejujurannya ketika mengajak Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadu ilmu. Supek menyerahkan kepada Sin-ciang Tai-hiap untuk menentukan waktu dan tempat."

"Kalau begitu sekarang juga!"SianLi berkata dengan cepat. Dara yang cer dik ini segera mengambil keputusan yang dianggapnya menguntungkan pihaknya. "Dan tempatnya, di puncak bukit sebelah sana itu!" Ia menunjuk ke arah bukit di sebelah kiri. Ia tahu bahwa tempat yang menjadi sarang Hek I Lama berada di sebelah kanan, maka bukit itu tentu merupakan tempat bebas dari pengaruh kekuasaan Hek I Lama sehingga kalau diadakan pertandingan di sana, maka pihak musuh tidak akan sempat mengatur siasat untuk menjebak atau mengeroyok.

Cu Ki Bok memandang ke arah bukit itu dan mengangguk-angguk. "Baiklah. Kami akan melapor kepada ketua kami. Sebentar lagi, menjelang tengah hari, tentu Supek telah berada di puncak bukit itu. Harap saja janji kalian bukan merupakan bual kosong belaka. Selamat tinggal!" Cu Ki Bok lalu pergi dari situ diikuti lima orang pendeta Lama.

"Kenapa engkau memilih tempat pertandingan di puncak bukit itu, Li-moi?"

"Aku sengaja memilih tempat yang jauh dari mereka agar kita dapat mendahului mereka ke tempat itu sehingga mereka tidak sempat membuat jebakan. Sebaiknya kalau kita sekarang juga pergi ke sana, Han-ko, untuk mengenal medan dan mempersiapkan diri."

Yo Han kagum. Kiranya Sian Li, Si Bangau Merah yang dahulu sering digendongnya dan diajak bermain-main itu, kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, lihai, pemberani dan juga cerdik sekali. Cara gadis itu tadi menghadapi Cu Ki Bok saja sudah menunjukkan kecerdikannya. Diam-diam dia merasa bangga.

Mereka lalu berangkat mendaki bukit yang tadi ditunjuk oleh Sian Li. Bukit itu ternyata merupakan sebuah bukit yang sunyi, penuh dengan hutan belukar dan tidak nampak ada dusun di atas bukit. Dusun-dusun hanya terdapat di kaki bukit, begitu mereka mendaki ke atas, ternyata tidak terdapat dusun di lereng-lereng bukit itu yang penuh hutan liar belukar dan rawa-rawa. Bahkan mendaki ke puncak pun tidak mudah walaupun bukit itu tidak terlalu besar. Karena kini dia sudah berada di tempat di mana ditentukan adu kepandaian itu, untuk menjaga kalau-kalau ada pihak musuh yang melihatnya. Yo Han sudah mengenakan caping berikut tirai sutera hitamnya, dan membiarkan rambutnya juga terlepas riap-riapan.

Akan tetapi, betapa heran mereka ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok berdiri di situ! Sebuah pondok kayu yang nampaknya masih baru, mungkin hanya beberapa bulan saja umurnya. Kecil namun kokoh kuat. Dan di belakang dan kanan kiri pondok itu nampak ditanami sayur-sayuran, di depan pondok, sebuah taman yang penuh bunga indah amat menyedapkan pandang mata. Tentu saja Sian Li dan Yo Han tertegun sejenak dan saling pandang. Sungguh di luar dugaan mereka bahwa di tempat sunyi itu terdapat pondok tempat tinggal orang! Siapa orangnya yang tinggal di tempat sunyi seperti ini? Tentu hanya pertapa atau pendeta yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai.

Ketika dengan ragu-ragu mereka memasuki pelataran rumah itu yang merupakan sebuah taman dikelilingi pagar bambu, tiba-tiba terdengar bentakan halus suara wanita, "Berhenti! Siapa kalian berani lancang memasuki pekarangan rumah orang tanpa diundang!"

Yo Han dan Sian Li berhenti, lalu memandang ke arah suara yang keluar dari pinggir pondok. Ketika pemilik suara muncul, mereka memandang heran. Wanita itu berusia lima puluh tahun lebih, namun masih nampak cantik manis. Pakaiannya sederhana namun bersih dan ringkas, tubuhnya masih padat dan tegak, sikapnya gagah dan sebatang pedang yang tergantung di pinggang menunjukkan bahwa wanita ini seorang ahli silat yang tidak lemah. Rambut panjang yang sudah dihias uban itu digelung ke atas, dengan hiasan tusuk sanggul dari perak berbentuk bunga seruni. Wanita itu dengan alis berkerut dan sinar mata tajam menyelidik, mengamati Yo Han dan Sian Li. Juga ia merasa heran melihat bahwa tamu-tamu yang tidak diundangnya itu seorang pemuda tampan bermata tajam mencorong, dan seorang gadis yang jelita.

Sian Li yang lincah jenaka itu sudah dapat menguasai keheranannya dan ia pun tersenyum manis. "Aih, Bibi ini manusia ataukah peri? Bibi kelihatan seper ti seorang wanita setengah tua yang cantik dan gagah, agaknya memang seorang manusia dari darah daging. Akan tetapi kalau manusia, kenapa hidup di puncak bukit yang amat sepi ini seorang diri?" Wanita itu terbelalak dan matanya bersinar marah. "Kau bocah lancang mulut!" Wanita itu menggerakkan lengan bajunya dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat dan melayang ke depan Sian Li. Gerakannya demikian ringannya seperti terbang saja. Begitu tiba di depan Sian Li, ia menggerakkan tangan menampar ke arah pundak gadis itu. Tamparannya nampak lembut dan tidak mengandung tenaga, akan tetapi ada angin yang dingin menyambarke arah pundak Sian Li. Gadis ini terkejut, mengenal pukulan yang mengandung sin-kang (tenaga sakti) dingin. Cepat ia pun mengelak dan sambaran tangan wanita itu luput. Kini tangan kanan wanita itu menyambar dan kembali tangan itu menampar ke arah pundak kiri Sian Li. Kalau tadi tangan kiri wanita itu mendatangkan angin yang dingin sekali, sekarang tangan kanannya yang menyambar itu membawa angin pukulan yang amat panas sehingga telapak tangan itu beruap! Kembali Sian Li terkejut dan cepat ia menggeser kaki, menarik diri ke belakang sehingga pukulan kedua itupun luput.

"Ehh....?"Wanita itu nampak terkejut dan heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja yang lancang mulut itu mampu menghindarkan diri dari dua tamparannya yang hebat! Ia merasa penasaran dan siap untuk menyerang sungguh-sungguh akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencegahnya.

"Ibu, harap jangan pukul orang....!"

Wanita setengah tua itu terkejut dan membalikkan tubuh, dan ketika ia melihat seorang pemuda keluar dari pintu pondok, ia mengangkat kedua tangannya ke atas dan memandang penuh kekhawatiran. "Ciang Hun, kenapa engkau bangun. Seharusnya engkau melanjutkan pengobatan dengan menghimpun hawa murni agar engkau sembuh benar!"

Pemuda itu tersenyum, "Ibu, aku sudah sembuh." Mendengar ini, wanita itu berlari menghampiri dan merangkul pundak pemuda itu dengan pandang mata yang membuat Sian Li terharu. Pandang mata wanita itu terhadap puteranya sungguh penuh kasih sayang mendalam! Wanita itu seorang ibu yang teramat besar kasih sayangnya kepada puteranya. Ia pun seperti Yo Han, kini memperhatikan pemuda yang baru muncul dari dalam pondok itu.

Pemuda itu bertubuh tinggi besar dan tegap sehingga nampak gagah perkasa, namun wajahnya membayangkan kelembutan dan ketenangan. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun. Pada saat itu,wajahnya agak pucat, wajah yang tampan dengan alis tebal dan hidung mancung besar. Matanya seperti mata ibunya, jeli dan bersinar tajam.

Pemuda itu kini menghampiri Sian Li dan Yo Han. Pandang matanya menyelidik, akan tetapi mulutnya tersenyum ramah dan dengan rendah hati dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan. Tentu saja Yo Han segera membalasnya, dan Sian Li yang masih mendongkol karena tadi diserang secara membabi-buta, mengikuti Yo Han dengan setengah hati.

"Harap Jiwi (AndaBerdua) memaafkan ibuku yang menyambut Jiwi dengan sikap kasar. Hendaknya Jiwi ketahui bahwa di sini banyak berkeliaran orang jahat, maka ibuku menjadi pemarah dan mencurigai semua orang. Kalau boleh kami mengetahui, siapakah. Jiwi dan apa pula maksud kunjungan Jiwi ke sini?"

Selain suaranya lembut, wajahnya cerah dan dihias senyum, juga kata-katanya teratur, tanda bahwa pemuda tinggi besar itu seorang yang terpelajar. Yo Han segera merasa tertarik dan dia pun merasa sungkan sekali, ingat betapa dia dan Sian Li telah lancang memasuki pekarangan orang tanpa ijin. Wanita setengah tua itu tidak bersalah, apalagi agaknya ucapan jenaka dari Sian Li tadi agaknya membuat wanita yang sedang risau dan pemarah itu salah sangka atau salah tampa.

"Kamilah yang seharusnya minta maaf sobat," kata Yo Han dengan sikap sopan. "Kami telah lancang memasuki pekarangan ini, bukan dengan niat buruk di hati, melainkan karena keinginan tahu siapa penghuni rumah di tempat yang suny iini. Saya bernama Yo Han dan adik ini bernama Tan Sian Li."

Pemuda tinggi besar itu menerima perkenalan dengan ramah. "Namaku Gak Ciang Hun, dan ini adalah ibuku. Baru beberapa bulan kami memilih tempat ini sebagai tempat tinggal yang baru. Kami kira tempat ini tenteram dan penuh kedamaian, siapa kira, baru sebulan yang lalu di kaki bukit kami bertemu dengan orang-orang jahat yang mengeroyok sehingga biarpun kami berhasil mengusir mereka, aku menderita luka dan ibu menjadi pemarah, selalu mencurigai setiap orang asing."

"Apakah orang-orang jahat itu para Lama berjubah hitam, ataukah orang Ne pal, atau pengemis-pengemis bertongkat hitam?" tanya Sian Li.

Gak Ciang Hun memandang kepada Sian Li dengan mata terbelalak lebar. Baru sekarang dia memandang gadis itu sepenuhnya dan diam-diam dia merasa kagum dan terpesona. Gadis ini bukan saja lincah jenaka, akan tetapi mampu menyambut dua kali pukulan ibunya, dan ternyata amat cantik jelita dan juga nampaknya cerdik bukan main.

"Nona, bagaimana Nona bisa mengetahuinya dengan tepat? Memang di antara para pengeroyok, terdapat tiga macam orang itu!"

"Tentu saja aku tahu!" kata Sian Li sambil tersenyum dan membusungkan dada yang sudah menonjol itu. "Bahkan aku tahu lebih banyak lagi! Setidaknya, aku tahu bahwa Bibi Gak ini tentu pernah mempelajari ilmu Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari keluarga pendekar Pulau Es."

Wanita itu mengeluarkan seruan kaget dan dengan gerakan cepat sekali ia telah meloncat mendekati Sian Li, sepasang matanya seperti berapi ketika ia memandang kepada gadis itu.

"Hemm, bagaimana kau tahu tentang ilmu-ilmu dari Pulau Es? Hayo cepat katakan!"

Sian Li sendiri adalah seorang gadis yang galak dan pemberani. Ia tersenyum mengejek. "Bibi, engkau terlalu galak! Aku bukan apa-apamu, kenapa main bentak saja? Kalau seperti ini sikapmu dalam bertanya, aku pun tidak jadi menjawab. Nah, kau mau apa?"

Sebelum ibunya marah-marah, pemuda tinggi besar itu cepat menengahi dan berkata, "Harap Nona suka memaafkan Ibuku. Seperti kukatakan tadi, Ibu menjadi pemarah karena gangguan orang-orang jahat itu. Akan tetapi, sungguh kami berdua merasa terkejut dan heran sekali mendengar Nona mengenal ilmu-ilmu dari Pulau Es. Bagaimanakah Nona dapat mengetahui bahwa Ibuku mempelajari ilmu-ilmu Pulau Es?"

Sian Li tersenyum. "Apa sukarnya? Ibumu tadi menamparku dengan Swat-imSin-kang, kemudian tamparan kedua menggunakan tenaga Hui-yang Sin-kang. Setahuku, para murid pendekar Pulau Es tidaklah jahat dan galak, main bentak dan main pukul saja."

Mendengar ini, Gak Ciang Hun cepat memberi hormat. "Kalau begitu, Nona adalah murid keluarga pendekar Pulau Es?"

"Katakan dulu, dari siapakah ibumu mempelajari ilmu Pulau Es? Baru aku akan menerangkan tentang diriku," kata Sian Li dengan sikap "jual mahal" untuk melepaskan kedongkolan hatinya karena tadi diserang dan dibentak-bentak oleh ibu pemuda itu.

"Nona Tan Sian Li, ketahuilah bahwa kami mempelajari ilmu keluarga Pulau Es dari mendiang kakek kami," jawab Ciang Hun.

"Siapa nama mendiang kakekmu itu?"

"Mendiang kakek adalah Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama)."

Kini Sian Li terbelalak. "Aihh....? Bukankah Locianpwe itu yang bernama Gak Bun Beng?" Ia teringat akan cerita paman kakeknya, yaitu Suma Ceng Liong yang memperkenalkan nama para pende kar yang mempunyai hubungan dengan keluarga Pulau Es dan yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.

"Benar, Nona. Kedua orang Ayahku, Beng-san Sian-eng, juga telah meninggal dunia pula kurang lebih setahun yang lalu. Setelah Ayah meninggal, Ibu tidak betah lagi tinggal di Beng-san, maka kami pergi meninggalkan Beng-san dan merantau sampai ke sini, lalu memilih tempat sunyi ini sebagai tempat tinggal sementara."

Kini Sian Li tidak berani main-main dan tidak berani bersikap galak lagi. Ia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada wanita setengah tua yang masih cantik namun galak itu. "Kalau begitu, maafkanlah aku, bibi yang baik. Kiranya bibi bukan orang lain dan di antara kita masih ada hubungan yang cukup dekat...."

"Hemm, cukuplah bermaaf-maafan ini," kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lan. "Engkau sudah mengetahui siapa kami, akan tetapi kami belum tahu siapa engkau dan apa hubunganmu dengan keluarga Pulau Es."

"Bibi, aku dapat dikatakan murid Pulau Es, akan tetapi juga keluarga Pulau Es. Nenekku bernama Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan aku pun diambil murid oleh Paman Kakekku sendiri, yaitu Kakek Suma Ceng Liong."

Wanita itu membelalakkan matanya dan wajah yang tadinya masam itu kini menjadi cerah berseri. "Ahhh.... kiranya engkau cucu Enci Suma Hui dan bahkan murid pendekar besar Suma Ceng Liong? Kalau begitu, sama sekali tidak aneh kalau engkau mengenal dua tamparanku tadi! Engkau benar, kita masih ada ikatan yang dekat. Maafkan sikapku tadi, Sian Li. Kakakmu Ciang Hun benar, aku menjadi pemurung dan pemarah, bukan hanya karena sikap orang-orang jahat di kaki bukit, melainkan sejak kedua pa manmu meninggal dunia...."

Sian Li sudah mendengar dari paman kakeknya bahwa wanita ini bernama Souw Hui Lian dan menikah dengan dua orang suami, yaitu pendekar kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera Gak Bun Beng.

"Sudahlah Bibi. Yang sudah meninggal tidak perlu disedihkan. Kita semua pun akan mengalaminya, dan kata Paman Kakek Suma Ceng Liong, kematian hanya merupakan perjalanan pulang yang abadi, setelah orang merantau di dunia yang penuh sengketa ini. Kalau Bibi terlalu bersusah hati, akibatnya hanya akan mengganggu kesehatan sendiri."

"Bukan main!" Ciang Hun yang biasanya tenang dan lembut itu kini berseru dengan mata bersinar-sinar. "Masih begini muda namun telah memiliki pengertian demikian mendalam tentang kematian. Dan siapakah saudara Yo Han ini? Apakah juga murid atau anggauta keluarga Pulau Es?"

"Ciang Hun, sekarang engkau yang kurang sopan. Kenapa dua orang tamu terhormat diajak bicara di pekarangan saja? Anak-anak yang baik, marilah kita bicara di dalam pondok. Silakan masuk!" kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lian. Sian Li tertawa dan mereka pun memasuki pondok.

Siapakah ibu dan anak itu? Nyonya itu dahulu bernama Souw Hui Lian, murid dari sepasang pendekar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Kemudian, murid itu jatuh cinta kepada kedua orang gurunya, dan demikian sebaliknya, maka ia menjadi isteri kedua orang pendekar itu. Dari perjodohan yang agak ganjil ini, yaitu seorang isteri dengan dua suami, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Gak Ciang Hun. Sepasang Pendekar Gak yang kemudian berjuluk Beng-san Sian-eng (Sepasang Pendekar dari Beng-san) itu adalah putera tinggal Gak Bun Beng, seorang pendekar yang pernah digembleng oleh Pendekar Super Sakti sehingga mewarisi ilmu tenaga sakti dari Pulau Es, dan yang setelah tua berjuluk Bu Beng Lokai. Pada akhir hayatnya, Bu Beng Lokai ini masih sempat mengoper kan tenaga sakti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang kepada cucunya, yaitu Gak Ciang Hun yang kini telah menjadi seorang pemuda perkasa berusia dua puluh delapan tahun dan belum menikah. Keluarga ini tinggal di Pegunungan Beng-san. Setelah dua orang pendekar kembar itu meninggal dunia karena usia tua, Souw Hui Lian menjadi sedih sekali, tidak betah lagi tinggal di Beng-san dan mengajak puteranya merantau sampai kebarat, dan memilih bukit itu sebagai tempat tinggal.

Mereka kini duduk di dalam pondok, dimana terdapat bangku-bangku batu buatan Ciang Hun sendiri. Sederhana namun kokoh.

"Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, Saudara Yo Han. Engkau she (bermarga) Yo, tentu bukan keluarga PulauEs. Apakah murid Pulau Es pula?"

Yo Han menggeleng dan saling pandang dengan Sian Li. Gadis ini maklum akan perasaan hati Yo Han. "Han-ko, Bibi Gak dan Kakak Ciang Hun ini bukan orang lain. Kurasa sebaiknya kalau engkau berterus terang saja, bahkan kita dapat saling bantu dengan mereka menghadapi gerombolan jahat itu."

Mendengar ucapan Sian Li Itu, Yo Han mengangguk-angguk. Dia dikenal sebagai pendekar bertopeng atau yang selalu menyembunyikan muka dan disebut Sin-ciang Tai-hiap, bukan karena sengaja. Dia merantau dan berkeliaran di daerah perbatasan Tibet ini karena menunaikan tugas, mentaati pesan mendiang gurunya, Kakek Ciu Lam Hok, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam. Karena bertahun-tahun dia tidak dapat menemukan pusaka itu, maka sepak terjangnya menentang kejahatan membuat nama Sin-ciangTai-hiap terkenal. Kalau mustika itu sudah dapat dirampasnya, tentu dia akan meninggalkan daerah itu dan Sin-ciang Tai-hiap pun akan lenyap bersama dia. Terhadap orang-orang segolongan sendiri, memang tidak perlu menyembunyikan rahasianya itu, apalagi saat ini dia sedang menghadapi ancaman musuh yang selain lihai, juga banyak jumlahnya dan mungkin mereka akan melakukan kecurangan. Dia tidak khawatir akan diri sendiri, melainkan khawatir karena Sian Li terlibat. Kalau ada dua orang Ibu dan anak ini yang juga berkepandaian tinggi dapat saling bantu dengan mereka, tentu keselamatan Sian Li lebih terjamin.

Bersambung ke buku 9