Si Tangan Sakti -6 | Kho Ping Hoo



Si Tangan Sakti -6 | Kho Ping Hoo
Dia menghampiri mayat-mayat itu. Sudah tidak dapat dikenal lagi, apalagi diselidiki sebab kematian mereka. Juga tempat itu hanya remang-remang, terlalu gelap untuk dapat memeriksa dengan teliti. Dia harus memeriksa ke dalam sana. Mungkin si pembunuh masih berada di dasar sumur yang ternyata dasarnya merupakan terowongan berbatu-batu. Dia pun melepaskan tali yang tadi masih dipegangnya, lalu berindap-indap memasuki lorong penuh batu-batu besar itu. Kalau benar ada orangnya, mungkin bersembunyi di balik batu besar. Dia sudah siap kalau-kalau ada serangan gelap dari dalam.

Tidak ada penyerangan, tidak ada gerakan apa pun dari dalam. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara bersiutan dari atas. Yo Han terkejut melihat tali yang dipakai turun tadi kini menyambar turun seperti seekor ular yang panjang sekali! Tali itu dilepas dari atas! Sejenak dia tertegun karena heran dan kaget, akan tetapi cepat dia menarik tali itu karena dalam sekejap mata dia yakin bahwa tali itu akan ada gunanya baginya. Dia masih belum dapat menduga mengapa Ouw Seng Bu melepaskan tali itu. Tiba-tiba terdengar suara tawa dari atas yang bergema ke bawah dan dia terkejut. Itulah suara Ouw Seng Bu dan dia tahu bahwa orang yang dapat melepas suara tawa mengandung khikang amat kuat seperti itu tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Suara tawa itu disusul sorak-sorai dan tiba-tiba saja terjadi hujan batu dari atas sumur!

Yo Han melompat lebih dalam, lagi dan cepat dia mendorong sebuah batu besar sekali ke depan terowongan sehingga hujan batu itu tidak menggelundung ke dalam terowongan melainkan tertahan oleh batu besar dan terus bertumpuk menutupi lubang sumur! Kini mengertilah dia. Ouw Seng Bu dan para anggauta Thian-li-pang telah berkhianat dan dia telah tertipu. Ouw Seng Bu berhasil memancingnya memasuki sumur dan sumur itu lalu ditimbuni batu.

Yo Han yang pada dasarnya seorang yang memiliki iman yang kokoh kuat kepada Tuhan, tidak menjadi gugup. Mati hidupnya sudah dia serahkan kepada kekuasaan Tuhan. Dia akan berusaha sekuatnya mempertahankan hidupnya, akan tetapi berhasil atau gagalnya dia serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia tahu bahwa tidak mungkin keluar melalui sumur yang sudah tertutup banyak batu itu. Dia tidak mati tertimpa batu karena batu besar tadi merupakan pengganjal dan penghalang batu-batu kecil memasuki terowongan. Dia tidak akan mati tertimbun batu. Juga agaknya dia tidak akan mati kehabisan napas karena ada saluran udara segar di situ, mungkin masuk melalui celah-celah batu, seperti juga sinar matahari yang dapat masuk ke situ. Dia tidak akan mati kehausan, karena dinding itu basah dan tidak sukar menampung air dengan membuat lekukan pada dinding,basah untuk menampung air. Dia akan mati kelaparan? Mungkin, kalau dia tidak dapat keluar dan kalau di tempat itu tidak terdapat benda yang bisa dimakan.

Yo Han menggulung tali dan duduk di atas gulungan tali agar tidak basah. Dia duduk bersila dan membiarkan hati dan pikirannya tenang. Dia membutuhkan ketenangan. Dalam menghadapi bahaya, dia harus dapat tenang agar akal pikirannya dapat dipergunakan sebaik-baiknya, dan di dalam ketenangan itu kepasrahannya kepada kekuasaan Tuhan dapat lebih mendalam.

Sementara itu, di atas sumur, Ouw Seng Bu tertawa gembira ketika bersama para anak buah yang sudah dipersiapkan sebelumnya, menimbun sumur tua itu dengan batu.

“Ha-ha-ha, Yo Han. Rasakan sekarang engkau, mampus di dalam sumur tua, menjadi setan penasaran! Sin-ciang Taihiap, engkau tidak lagi menjadi penghalang bagiku.”

Akan tetapi, Ouw Beng Bu segera menghentikan tawanya ketika dia melihat Cu Kim Giok datang berlari-larian. Gadis itu mendengar sorak-sorai anak buah Thian-li-pang, merasa tertarik dan segera datang ke tempat itu. Ia masih melihat anak buah Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sebuah sumur tua dan ia merasa heran sekali.

“Ouw-pangcu, apakah yang telah terjadi?” tanya gadis itu heran sambil mendekati Seng Bu.

Seng Bu segera memasang wajah yang serius. “Aih, hampir saja aku pun celaka menjadi korban kelihaian Yo Han, Nona. Mari kita bicara di dalam dan akan kuceritakan semua.” Kepada anak buahnya dia memesan agar sumur itu ditutup sampai tidak nampak lagi lubangnya. Kemudian dia mengajak Kim Giok kembali ke bangunan induk pusat perkampungan Thian-li-pang.

Setelah mereka duduk berdua di dalam kamar belakang, Kim Giok dengan hati tegang bertanya, “Ceritakan, Pangcu. Apakah yang telah terjadi dan di mana adanya Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?”

Seng Bu menghela napas dan tiba-tiba dia mengeluh, wajahnya berubah pusat dan napasnya terengah. “Aduhhh....” Dia memejamkan matanya dan tangan kirinya menekan ke arah dada kanannya.

Tentu saja Kim Giok terkejut bukan main, cepat bangkit dan menghampiri pemuda itu. “Ouw-pangcu, ada apakah? Engkau.... terluka....?”

Sambil menekan dada kanan dengan telapak tangannya, wajahnya menyeringai kesakitan, napasnya sesak, dia menjawab terengah-engah, “Dia memang.... lihai.... sekali, dan.... jahat kejam. Dia.... dia tadi tiba-tiba memukulku, di dekat sumur.... aku nyaris terjungkal, akan tetapi.... aku mampu bertahan, aku melawan....dibantu oleh saudara-saudaraku.... akhirnya kami berhasil.... dia terjatuh ke dalam sumur akan tetapi aku.... aku terkena pukulannya....”

“Ahhh!” Kim Giok terbelalak. “Dan kalian.... tadi menimbun sumur itu dengan batu? Dia terkubur hidup-hidup.... ?” Gadis itu memandang ngeri.

“Aih, Nona, kau tidak tahu.... dia amat kejam dan lihai.... kalau berhasil lolos....kami semua tentu akan dibunuhnya. Lihat, lihat bekas tangannya ini....” Seng Bu merobek baju di dadanya dan mata yang indah itu semakin terbelalak kaget. Dada Seng Bu, di bagian kanan, terdapat bekas telapak tangan dengan lima jarinya, menghitam!

“Ohhhhh....!” Dia menahan teriakannya.

“Ini.... pukulan.... mautnya.... untung aku sudah berjaga diri...., tapi nyeri bukan main.... auhhh....!” Seng Bu terkulai dan dia tentu akan terjatuh dari kursinya kalau saja Kim Giok tidak cepat-cepat merangkulnya. Melihat Seng Bu pingsan, Kim Giok memondongnya dan merebahkannya di atas lantai. Ia mengurut kedua pundak dan tengkuk, dan pemuda itu membuka mata kembali.

“Aduhhh....!”

“Bagai mana rasanya, Pangcu?”

“Nona, pukulan itu beracun, harus cepat dibersihkan hawa beracun itu dengan pengerehan sin-kang. Maukah.... maukah engkau membantuku, Nona? Aku lemah sekali....!”

“Tentu saja, Pangcu. Bagaimana aku dapat membantumu?”

“Tempelkan kedua telapak tanganmu di punggungku dan kerahkan sin-kang, agar kekuatan kita dapat bersatu mendorong keluar hawa beracun itu.”

“Baik, Pangcu.” Melihat dengan susah payah Seng Bu bangkit duduk, tanpa ragu Kim Giok membantunya duduk bersila. Ia membantu pula Seng Bu membuka bajunya sehingga punggungnya nampak dan ia pun bersila di belakang pemuda itu, menempelkan kedua telapak tangan di punggung itu dan memejamkan mata, mengerahkan sin-kang membantu pemuda itu “mengusir” hawa beracun. Diam-diam Seng Bu menggunakan tangan kiri mengusap dan menekan dada yang ada tanda, telapak tangan menghitam. Perlahan-lahan, tanda menghitam itu pun lenyap, Kim Giok yang kurang pengalaman sama sekali tidak menyangka bahwa noda hitam itu dibuat oleh Seng Bu sendiri ketika dia menekan dada kanannya tadi. Dengan kepandaiannya yang aneh, dia mampu membuat kulit dadanya kehitaman seperti terkena pukulan beracun.

“Perlahan-lahan, pernapasan Seng Bu menjadi normal kembali dan dia pun memutar tubuhnya, memegang kedua tangan gadis itu dan menatapnya dengan pandang mata penuh kasih sayang. Kim Giok juga menatapnya dan gadis itu menunduk malu.

“Giok-moi (adik Giok), terima kasih....engkau telah menyelamatkan nyawaku....”

Dengan tersipu Kim Giok menarik kedua tangannya, lalu bangkit berdiri dan memutar tubuh membelakangi pemuda itu agar tidak kelihatan bahwa ia merasa malu sekali.

“Ihhhhh, Pangcu....”

“Kim Giok, setelah apa yang kaulakukan kepadaku tadi masihkah kita harus bersungkan-sungkan? Jangan menyebut pangcu kepadaku, sebutan itu terlampau kaku, Giok-moi, aku merasa engkau bukan seperti seorang sahabat baru, melainkan seperti sudah bertahun-tahun kukenal. Jangan sebut aku pangcu, aku akan merasa, bahagia kalau engkau menyebut aku koko (kanda).”

“Bu-koko, engkau terlalu berkelebihan. Apa yang kulakukan tadi hanya sekedar membantumu mengusir hawa beracun. Apakah sekarang engkau sudah sembuh, sudah sehat kembali?”“Lihatlah, Giok-moi. Tidak ada bekasnya lagi. Lihatlah!”

Kim Giok membalikkan tubuhnya dan sekilas memandang ke arah dada yang telanjang itu, dada yang bersih kulitnya, tidak lagi nampak tanda telapak tangan menghitam seperti tadi. Ia merasa lega dan girang, akan tetapi juga malu dan ia tersipu, menundukkan muka tidak mau memandang lagi.

“Bu-ko, pakailah pakaianmu. Engkau membuat aku merasa malu.”

Seng Bu tertawa. “Ha-ha-ha, setelah kita menjadi sahabat baik seperti ini, perlukah kita merasa sungkan dan malu, Moi-moi? Entah mengapa, aku sudah tidak merasa malu sama sekali terhadap dirimu, seolah-olah kita telah akrab selama bertahun-tahun.” Seng Bu membetulkan bajunya yang robek di bagian dada dan dia nampak senang sekali. Memang hatinya gembira, Yo Han, orang yang paling ditakutinya, telah tiada, dan kini dia melihat tanda-tanda bahwa Cu Kim Giok gadis yang dicintanya, jelas memperlihatkan tanda-tanda suka kepadanya. Setidaknya, gadis ini tadi amat mengkhawatirkan keadaannya dan tanpa malu-malu suka membantu mengobati dirinya.

Kini mereka duduk berhadapan, hanya terhalang meja kecil. Beberapa kali pandang mata mereka bertemu dan dalam pandangan mata itu saja sudah terpancar perasaan hati masing-masing, biarpun terkandang Kim Giok menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

“Giok-moi, kenapa engkau menunduk dan kelihatan malu-malu?”

“Habis, engkau memandangku seperti itu!”

“Seperti apa?” Seng Bu menggoda.

“Pandang matamu membuat aku merasa canggung dan malu, Bu-ko.”

Tiba-tiba Seng Bu memegang kedua tangan gadis itu yang berada di atas meja dan menggenggam tangan itu! “Giok-moi, perlukah aku jelaskan lagi apa artinya pandang mataku itu? Aku memandangmu penuh kasih sayang. Aku cinta padamu, Giok-moi.”

Kim Giok menundukkan mukanya yang kini menjadi merah sekali. “Bagaimana, Giok-moi? Marahkah engkau akan kelancanganku ini?”

Kim Giok menggeleng kepala, tetap menunduk.

“Lalu, kenapa engkau diam saja? Apakah engkau tidak sudi menerima perasaan cintaku?”

Kini gadis itu mengangkat mukanya yang kemerahan. “Bu-ko, aku pun kagum dan suka padamu. Akan tetapi, kita tidak perlu tergesa-gesa membicarakan perasaan kita itu. Kita baru saja berkenalan dan kalau kita sudah menjadi sahabat baik, itu sudah menyenangkan sekali, bukan?”

Seng Bu seorang yang cerdik. Ia memang benar-benar mencinta Kim Giok sepenuh hatinya. Dia tidak ingin membuat gadis itu tidak senang atau menjadi rikuh. Dia bahkan rela melakukan apa saja untuk gadis yang dicintanya itu.

“Baiklah, Giok-moi. Maafkan aku. Kita memang telah menjadi sahabat baik ,dan biarlah urusan antara kita itu kita bicarakan kelak seperti yang kaukehendaki. Aku hanya ingin agar engkau tahu betul bahwa engkaulah satu-satunya wanita yang tinggal di dalam hatiku.”

Lega rasa hati Kim Giok dan ia menjadi semakin suka kepada pemuda yang penuh pengertian itu. “Terima kasih, Bu-ko atas pengertianmu. Sekarang mari kita bicara tentang apa yang terjadi tadi. Aku masih merasa heran sekali kenapa Sin-ciang Tai-hiap hendak membunuhmu setelah dia membunuhi banyak tokoh Thian-li-pang. Aku pernah mendengar namanya yang dipuji-puji oleh para pendekar dari dua keluarga besar pendekar Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir. Mereka menyatakan bahwa Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar yang budiman dan bijaksana. Akan tetapi kenapa di sini dia menjadi begitu kejam dan jahat?”

Ouw Seng Bu menghela napas panjang. “Aku tidak heran dan sebaiknya engkau juga tidak perlu mengherankan hal itu, Giok-moi. Kedudukan dan kekuasaan seringkali membuat orang lupa diri!.

Dia hendak menguasai Thian-li-pang hendak menonjolkan diri dan menguasai dunia lewat Thian-li-pang.”

“Akan tetapi, aku mendengar bahwa dia telah diangkat menjadi pemimpin Thian-li-pang, hanya kedudukan ketua dia serahkan kepada mendiang Lauw Pangcu. Kenapa dia malah membunuh Lauw Pangcu dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang, dan sekarang hendak membunuhmu pula? Sungguh aku tidak mengerti.”

“Giok-moi, agaknya engkau hanya mengerti ekornya tidak mengerti kepalanya. Memang benar dia menjadi pemimpin besar Thian-li-pang seperti dikehendaki oleh para tokoh tua Thian-li-pang. Akan tetapi, sikapnya tidak sejalan dengan sikap para pimpinan Thian-li-pang. Dia tidak suka Thian-li-pang mempergunakan kekerasan menentang pemerintah penjajah, bahkan dia tidak setuju bersama-sama berjuang mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Bahkan mungkin sekali dia hendak membawa Thian-li-pang agar menjadi antek penjajah. Itulah sebabnya dia membunuhi para pimpinan Thian-li-pang yang pendiriannya tegas tegas menentang penjajah. Melihat aku yang diangkat menjadi ketua menghimpun tenaga, bekerja sama dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, juga dengan kelompok pejuang lainnya, dia menjadi marah dan dengan berpura-pura hendak menyelidiki kematian para pimpinan Thian-li-pang di dekat sumur tua itu, tiba-tiba dia menyerangku dan hendak membunuhku dan melemparku ke sumur tua seperti yang dia lakukan kepada para pimpinan lain. Untung para dewa masih melindungiku dan sebaliknya dia yang terlempar ke dalam sumur tua itu.”

“Aihhh,” Cu Kim Giok menghela napas panjang. “Ayah dan ibu pernah mengatakan bahwa kedudukan memang suka membuat orang menjadi kejam. Kuharap saja engkau tidak ikut-ikutan mabuk kekuasaan, Ha-ko.”

“Tidak mungkin, Giok-moi. Apalagi kalau engkau suka membantuku dan berada di sampingku. Sejak Thian-li-pang berdiri, nenek moyangku adalah pejuang-pejuang yang gigih, yang rela mengorbankan nyawa demi membela nusa bangsa. Aku melanjutkan cita-cita mereka, dan aku akan berjuang semata-mata demi membebaskan rakyat dan tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu, bukan untuk mencari kedudukan atau harta benda. Tentu engkau percaya kepadaku, bukan?”

“Tentu saja aku percaya padamu, Bu-ko. Kalau tidak percaya, tentu aku tidak akan suka membantumu. Dan selanjutnya, langkah apa yang akan kauambil?”

“Aku akan mengadakan perundingan dengan para pimpinan puncak Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, juga kelompok pejuang lainnya. Seperti juga pendirian orang-orang sombong, macam Yo Han, masih banyak tokoh dunia kang-ouw yang mengambil jalan sendiri, membeda-bedakan kelompok dan tidak mau bekerja sama untuk menghancurkan penjajah. Cara kerja sendiri-sendiri ini, apalagi kalau disertai persaingan, menimbulkan pertentangan antara para pejuang sendiri dan hal ini melemahkan perjuangan dan memperkuat kedudukan pemerintah penjajah. Oleh karena itu, kita haruslah beruaaha untuk lebih dulu menundukkan para kelompok dan tokoh dunia persilatan. Kalau selurub dunia kang-ouw sudah dapat bekerja sama, kukira menggulingkan pemerintah penjajah Mancu bukan merupakan hal yang sukar lagi.”

Kim Giok yang sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu, tertarik oleh gaya bicara dan sikapnya, mengangguk-angguk dan merasa kagum karena ia manganggap bahwa pendapat pemuda itu tepat. Sedikit banyak, ayah ibunya juga sudah menanamkan perasaan cinta tanah air dan bangsa kepadanya, juga sudah menceritakan tentang kekuasaan bangsa Mancu yang menjajah bangsanya.

“Pendapatmu itu tepat sekali dan aku akan membantumu, Bu-koko!” katanya penuh semangat. Tentu saja Seng Bu menjadi girang bukan main.

“Terima kasih, Giok-moi. Dengan adanya engkau di sampingku, bintang dan bulan di langit pun akan dapat kuraih!”

Mereka saling pandang dengan senyum mesra dan ketika mereka mendengar suara gaduh kembalinya anak buah Thian-li-pang, mereka pun keluar dari ruangan itu.


***

Dengan bantuan yang besungguh-sungguh dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu memperoleh kemajuan pesat dalam menyatuan kekuatan. Siangkoan Kok yang kini dia angkat menjadi wakil ketua Thian-li-pang, mendatangi banyak perkumpulan silat dan perguruan-perguruan silat yang terkenal, mula-mula membujuk mereka untuk bekerja sama dengan Thian-li-pang berjuang menentang pemerintah Mancu. Kalau ada yang menolak, Siangkoan Kok mengalahkan dan menundukkan para pimpinannya sehingga akhirnya perkumpulan itu menaluk juga karena takut dibasmi. Tentu saja dengan mudah Siangkoan Kok mengajak mereka yang dahulunya memang sudah bersekutu dengan Pao-beng-pai agar kini bekerja sama dengan Thian-li-pang karena Pao-beng-pai telah dihancurkan pasukan pemerintah.

Hanya ada satu dua perkumpulan saja yang memiliki pimpinan yang terlampau kuat bagi Siangkoan Kok. Untuk menalukkan pimpinan perkumpulan yang lihai ini, Ouw Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang turun tangan sendiri dan selama ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmunya yang aneh akan tetapi juga dahsyat bukan main.

Thian-li-pang menjadi semakin besar dan berpengaruh. Melihat kemajuan yang dicapai kekasihnya, tentu saja Kim Giok merasa gembira dan kagum. Beberapa kali ia menawarkan diri untuk membujuk orang tuanya agar mau membentu perjuangan Thian-li-pang karena kalau ayah ibunya suka membantu, tentu mereka itu akan dapat menarik perhatian para pendekar lainnya. Akan tetapi Ouw Seng Bu selalu menolak dengan halus.

“Belum tiba saatnya, Giok-moi. Ayah ibumu tentu akan merasa heran dan terkejut melihat hubungan kita yang akrab dan hal itu saja sudah membutuhkan pendekatan yang lembut. Apalagi kalau ditambah dengan bujukan agar mereka membantu perjuangan. Biarlah, nanti kalau Thian-li-pang sudah kuat benar, aku sendiri akan menghadap mereka, untuk melamarmu dan kalau kita sudah menjadi suami isteri, orang tuamu menjadi mertuaku, tentu dengan sendirinya mereka akan membantu perjuangan kita.”

Kim Giok tidak membantah lagi. Sikap Seng Bu terhadap dirinya selalu lembut dan sopan, dan pemuda itu memegang janji, tidak pernah lagi bicara tentang cinta mereka seperti yang pernah dijanjikannya. Hal ini membuat ia menjadi semakin kagum dan suka, dan diam-diam ia pun sudah mengambil keputusan untuk memilih pemuda ini sebagai calon suaminya.

Ouw Seng Bu memang cerdik luar biasa. Setiap kali dia berlatih silat Bu-kek Hoat-keng yang ditemukannya di dalam sumur dan dia tahu bahwa latihan itu membuat dia berubah dan merasa aneh, dia selalu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, apalagi setelah kini Kim Giok berada di Thian-li-pang. Juga, dia melarang keras anak buahnya agar bertindak seperti pejuang-pejuang yang gagah dan menjauhkan diri dari perbuatan yang akan menjadi celaan orang. Hal ini untuk menjaga nama baik Thian-li-pang dan untuk menarik hati para pendekar agar mau bergabung dengan mereka.

Untuk biaya perkumpulannya, diam-diam, tanpa kekerasaan yang menyolok, mereka masih menguasai semua tempat pelesir dan tempat judi, juga dengan halus namun mengandung ancaman maut, mereka dapat memeras para pedagang untuk setiap bulan menyerahkan uang sumbangan kepada Thian-li-pang! Ada pula anggauta yang tugasnya melakukan pencurian di rumah para hartawan dan bangsawan, namun mereka yang bertugas mencuri adalah anggauta yang ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan setiap kali melakukan pencurian, mereka selalu menutupi muka dengan kain hitam. Juga, mereka dipesan agar sampai mati pun tidak mengaku bahwa mereka orang Thian-li-pang, yaitu kalau mereka sampai tertangkap ketika melakukan pencurian. Pesan ini harus ditaati, karena Seng Bu mengancam akan menyiksa dan membunuh seluruh keluarga anggauta Thian-li-pang yang melanggar pesan itu. Demikianlah, dengan hasil yang cukup berlimpah, Seng Bu dapat memperkuat Thian-li-pang menjadi perkumpulan yang cukup mewah, walaupun kini tidak ada lagi anggauta yang melakukan kejahatan secara berterang.

Sebenarnya, sejak kecil Ouw Seng Bu memang digembleng untuk menjadi seorang pendekar dan patriot. Sebelum dia secara kebetulan menemukan ilmu di dalam sumur tua dan mempelajarinya, dia adalah seorang murid Thian-li-pang yang baik dan gagah perkasa. Bahkan mendiang Lauw Kang Hui menaruh harapan besar kepada muridnya ini. Akan tetapi, sejak dia melatih diri dengan ilmu Bu-kek Hoat-keng secara keliru, terjadi kelainan pada batinnya, seolah-olah dia mendapat gangguan jiwa. Dia menjadi aneh, ganas, kejam, licik dan haus akan kekuasaan dan kemenangan! Watak aneh ini memang tidak begitu kelihatan, tidak menonjol apabila dia tidak sedang berlatih ilmu itu, akan tetapi telah menjadi watak kedua yang telah tenggelam di dasar hatinya dan sewaktu-waktu dapat muncul secara tidak terduga, walaupun pada lahirnya dia nampak tetap sebagai seorang pendekar yang gagah dan baik.

Pada suatu hari, Thian-li-pang menerima banyak tamu yang memang diundang, yaitu para pimpinan perkumpulan yang sudah menaluk kepada Thian-li-pang dan ada pula orang pimpinan perkumpulan yang belum bekerja sama dan yang sengaja diundang dalam kesempatan itu untuk dibujuk dan diajak bekerja sama. Tidak kurang dari lima puluh orang tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir, sebagian besar dari mereka yang telah mau bekerja sama dengan Thian-li-pang adalah mereka yang terdiri dari golongan hitam. Dalam pertemuan yang diadakan seperti dalam pesta ini, Cu Kim Giok dipersilakan hadir dan tentu saja ia dianggap sebagai seorang tamu kehormatan dan kursinya berada di sebelah kanan kursi ketua Thian-li-pang.Ouw Seng Bu nampak tampan dan gagah pada hari itu, dengan pakaian yang baru dan wajahnya berseri menyaksikan betapa semua undangan datang hadir. Ini membuktikan bahwa Thian-li-pang mulai dikenal dan ditaati. Siangkoan Kok yang juga nampak gagah berwibawa, duduk di sebelah kirinya, dan kehadiran tokoh besar ketua Pao-beng-pai ini saja sebagai pembantunya, sebagai wakil ketua, sudah menambah kewibawaan Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang. Kabar tentang kelihaian pemuda ini terdengar luar di dunia Kang-ouw.

Setelah semua tamu hadir dan disuguhi arak. Siangkoan Kok mewakili ketuanya, bangkit berdiri dan mengucapkan selamat datang dengan mengangkat secawan arak, mengajak semua yang hadir minum. Kemudian dia melanjutkan dengan suara lantang.

“Cu-wi (Anda sekalian) tentu sudah mengenal saya. Tentu Cu-wi merasa heran mengapa saya sebagai bekas ketua Pao-beng-pai yang telah gagal dan hancur oleh sebuah pasukan pemerintah, sekarang menjadi wakil Thian-li-pang. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan yang sehaluan dengan Pao-beng-pai, yaitu perkumpulan para pejuang yang hendak merobohkan pemerintah penjajah dan membebaskan rakyat dan tanah air dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Oleh karena itu, bagi Cu-wi yang belum mengadakan perjanjian kerja sama dengan kami, untuk membantu perjuangan kami, diharapkan sekarang juga menyatakan kesediaan untuk kerja sama itu, demi tanah air dan bangsa.”

Sambutlah tepuk sorak menyatakan setuju dengan ucapan Siangkoan Kok. Dan para pemimpin kelompok yang datang sebagai tamu undangan dan belum bersekutu dengan Thian-li-pang, segera menyatakan kesediaan mereka. Akan tetapi pada saat itu, para penjaga, yaitu murid-murid Thian-li-pang yang berada di luar ruangan pertemuan, melaporkan dengan suara lantang.

“Rombongan pemimpin Bu-tong-pai datang berkunjung!”

Semua orang terkejut dan merasa heran, termasuk Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok. Bu-tong-pai termasuk satu di antara partai-partai persilatan yang tidak dapat diharapkan untuk bekerja sama, yaitu partai-partai seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai yang menganggap diri mereka sebagai partai “bersih” dan yang tidak mau bergaul dengan kelompok lain yang mereka anggap kotor, hitam atau sesat! Bahkan dahulu Pao-beng-pai juga tidak berhasil menarik golongan itu sebagai teman seperjuangan. Dan sekarang, rombongan pemimpin Bu-tong-pai datang berkunjung?

Dengan tenang Seng Bu dari Siangkoan Kok bangkit menyambut ketika lima orang tosu itu memasuki ruangan dengan sikap mereka yang tenang dan gagah. Mereka terdiri dari lima orang tosu yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun, dipimpin oleh Thian Tocu yang berusia enam puluh tahun, berjenggot panjang dan memegang sebatang tongkat. Tosu ini adalah seorang ketua kuil yang menjadi cabang perguruan Bu-tong-pai di kota Hun-kiang, kurang lebih lima puluh li dari Bukit Naga. Empat orang tosu lainnya adalah adik-adik seperguruannya dan lima orang tosu ini rata-rata memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau Thian To-cu membawa sebatang tongkat, empat orang sutenya membawa pedang di punggung mereka. Mereka berpakaian sederhana, dengan jubah tosu yang lebar berwarna biru menyelimuti pakaian yang berwarna kuning muda, dan rambut mereka digelung ke atas. Sikap mereka tenang dan lembut.

Siangkoan Kok mengenal Thian To-cu karena tokoh Bu-tong-pai ini pernah berkunjung ketika Pao-beng-pai mengadakan pesta ulang tahun, maka cepat dia mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Ah, kiranya To-tiang Thian Tocu dan para To-tiang tokoh Bu-tong-pai yang datang berkunjung.” Dia menoleh kepada Seng Bu, dan berkata, “Pangcu, mereka adalah Thian To-cu Totiang dan para tokoh Bu-tong-pai lainnya. Dan Cu-wi Totiang (Para Bapak Pendeta Sekalian), ini adalah Ouw Pangcu, ketua Thian-li-pang kami.”

Ouw Seng Bu yang pandai membawa diri segera memberi hormat dan berkata, “Maaf, karena Cu-wi Totiang tidak memberitahui lebih dahulu akan kunjungan ini, kami terlambat menyambut. Silakan Cu-wi mengambil tempat duduk.”

Lima orang tosu itu tidak mempedulikan Siangkoan Kok, dan sejak tadi mereka semua mengamati Ouw Seng Bu dengan penuh perhatian. Mereka telah mendengar banyak berita tentang ketua baru Thian-li-pang yang sepak terjangnya mengejutkan. Kabarnya, ketua itu masih muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan menarik bekas ketua Pao-beng-pai yang terkenal sebagai seorang datuk itu menjadi wakilnya, dan juga bahwa kini Thian-li-pang telah menalukkan hampir semua kelompok dan kekuatan di dunia kang-ouw. Melihat bahwa ketua itu memang masih muda, bersikap lembut dan sopan, mereka lalu mengangkat kedua tangan depan dada.

“Siancai....” kata Thian To-cu dan memandang kagum. “Kiranya Ouw-pangcu, ketua Thian-li-pang masih amat muda, akan tetapi telah membuat nama besar. Terima kasih, kami datang hanya untuk melihat bukti dan mengajukan beberapa pertanyaan, bukan untuk bertamu. Kami bahkan tidak tahu bahwa pagi ini Thian-li-pang mengadakan pertemuan dengan banyak tokoh kang-ouw.” Tosu itu memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa yang hadir adalah orang-orang kang-ouw dari daerah itu, dan sebagian besar di antara mereka adalah golongan hitam. Bahkan ada pendeta Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-pai hadir pula di situ.

Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah dan ramah kembali. “Kalau begitu kehendak Totiang, silakan.”

“Begini Ouw Pangcu. Sejak Sin-ciang, Tai-hiap, yaitu Yo Taihiap menjadi pemimpin Thian-li-pang dan kemudian kedudukan ketua diserahkan kepada pangcu Lauw Kang Hui, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gagah berani dan bijaksana, bahkan berhubungan dekat dengan para pendekar di dunia persilatan. Akan tetapi, tiba-tiba saja kami mendengar bahwa Thian-li-pang mengalami perubahan. Kabarnya, para pemimpinnya terbunuh dan kedudukan ketua dipegang oleh Ouw Pangcu. Yang lebih mengherankan lagi, menurut desas-desus itu, para pimpinan Thian-li-pang yang lama itu dibunuh oleh Yo Tai-hiap! Kami semua merasa heran dan sama sekali tidak percaya, hanya karena urusan itu merupakan urusan dalam Thian-li-pang, kami terpaksa berdiam diri. Akan tetapi, melihat sepak terjang Thian-li-pang akhir-akhir ini, terpaksa pinto dan adik-adik seperguruan memberanikan diri lancang berkunjung untuk mengajukan pertanyaan kepada Pangcu.”

“To-yu, kalau hendak bertanya, tanya saja. Kenapa berbelit-belit seperti itu?” Tiba-tiba Siangkoan Kok berseru dengan suara lantang karena dia sudah tidak sabar lagi mendengar ucapan tosu Bu-tong-pai itu.

“Benar, Totiang, tanyalah, kami tidak menyembunyikan sesuatu.” kata Seng Bu.

“Ouw Pangcu, kami melihat betapa Thian-li-pang telah mengubah seluruh sikapnya. Thian-li-pang menalukkan hampir semua perkumpulan dan kelompok pejuang, mengadakan hubungan dengan semua pihak tanpa pilih bulu, dan Thian-li-pang juga menguasai semua tempat hiburan, tempat maksiat, dan Thian-li-pang melakukan pemerasan kepada para hartawan. Padahal, semua ini tidak dilakukan ketika Lauw Pangcu masih menjadi ketua. Kenapa setelah para pimpinan Thian-li-pang tewas secara rahasia, tiba-tiba Ouw Pangcu yang menjadi ketua tanpa pengumuman kepada para kenalan, dan Ouw Pangcu mengadakan perubahan yang berlawanan dengan sikap Thian-li-pang dahulu? Kami melihat Thian-li-pang telah menyimpang dari jalan benar, maka kami terus terang saja merasa curiga dengan perubahan ini. Yang lebih mengejutkan kami, ada desas-desus disebarkan oleh orang-orang Thian-li-pang bahwa beberapa hari yang lalu, Ouw Pangcu telah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han di sini! Nah, itulah penasaran yang mendorong kami datang pada pagi ini, untuk minta penjelasan dari para pimpinan Thian-li-pang!”

Siangkoan Kok bangkit berdiri dengan muka berubah merah dan mata melotot. “Tosu Bu-tong-pai, kalian berani mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang!”

Ouw Seng Bu juga bangkit berdiri dan menyabarkannya. “Sudahlah, Paman. Biarkan aku menghadapi mereka.”

“Tapi, Pangcu. Mereka ini sungguh tidak tahu aturan!”

“Paman Siangkoan Kok, duduklah dan biarkan aku menangani urusan ini!” kata pula Seng Bu dan nada suaranya mengandung sesuatu yang membuat Siangkoan Kok duduk kembali dengan muka cemberut dan mata masih merah ketika dia memandang ke arah lima orang tosu Bu-tong-pai itu, dan untuk mendinginkan hatinya, dia pun menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya.

Kini Ouw Seng Bu menghampiri lima orang tosu itu dan berhadapan dengan mereka. Sikapnya masih tenang saja dan Cu Kim Giok yang sejak tadi hanya menjadi penonton yang berhati tegang, merasa kagum akan sikap kekasihnya itu. Betapa tenang dan lembutnya pemuda yang menjadi ketua Thian-li-pang itu!

“Ngo-wi To-tiang (Bapak Pendeta berlima), kami akan menjawab semua pertanyaan To-tiang tadi. Tadi To-tiang Thian To-cu menyinggung tentang terbunuhnya suhu Lauw Kang Hui dan beberapa orang pimpinan kami. Memang hal itu benar, dan pembunuhnya adalah Sin-ciang Tai-hiap Yo Han. Hal ini dapat kami ketahui dari luka yang terdapat pada mayat korban karena pukulan itu hanya dapat dilakukan oleh Yo Han saja. Mengapa dia melakukan semua pembunuhan itu? Mungkin untuk membalaskan sakit hati gurunya, kakek yang menjadi orang hukuman di sini karena menentang pimpinan. Mungkin juga dia hendak menguasai Thian-li-pang dan memusuhi kami yang berlawanan pendapat dan sikap dengan dia. Tentang perubahan yang terjadi di Thian-li-pang semenjak saya dipilih menjadi ketua, memang benar. Kami menganggap bahwa perjuangan bukan monopoli golongan pendekar saja, melainkan menjadi tugas setiap orang warga negara untuk menyelamatkan bangsa dari penjajah Mancu. Dan kami berkeyakinan bahwa tanpa adanya persatuan dari semua pihak, perjuangan akan gagal. Oleh karena itu, kami sengaja mengadakan hubungan dengan semua pihak yang menentang pemerintah, dan kami akan menundukkan dan memaksa golongan yang menjadi antek penjajah untuk membantu perjuangan kami. Adapun penguasaan atas semua tempat pelesiran dan meminta sumbangan dari kaum hartawan, memang hal itu kami lakukan karena dari mana kami akan memperoleh biaya? Kalau tempat-tempat maksiat itu dibiarkan tanpa pengontrolan kami, tentu akan menjadi sarang golongan penjahat. Juga, apa salahnya mengajak para hartawan membantu perjuangan dengan menyumbangkan sedikit harta mereka?

Kalau kebijaksanaan kami mengenai perjuangan bangsa ini tidak cocok dengan keinginan Bu-tong-pai, maaf, hal itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Kami sendiri pun belum pernah mencampuri urusan dapur dan kamar Bu-tong-pai.”

“Siancai.... keterangan Ouw Pangcu masuk diakal sungguhpun belum meyakinkan kami tentang Sin-ciang Tai-hiap. Lalu bagaimana dengan berita tentang tewasnya Sin-ciang Tai-hiap Yo Han di tangan Pangcu? Benarkah itu, ataukah hanya berita isapan jempol belaka?”

Cu Kim Giok mengerutkan alisya. Sikap tosu itu terlalu sombong, pikirnya, dan terbelalak memandang rendah ke ada. Ouw Seng Bu. Akan tetapi sikap ketua Thian-li-pang itu tetap tenang Menghadapi ucapan yang nadanya tidak percaya dan meremehkan itu.

“To-tiang, Yo Han memang muncul di sini dan dia berusaha untuk membunuhku. Dia datang dan pura-pura hendak menyelidiki kematian suhu dan yang lain-lain, akan tetapi ketika berada di bagian belakang perkampungan kami, dia menyerangku dan nyaris membunuhku. Untung aku dapat mempertahankan diri dan dengan bantuan para anggauta Thian-li-pang, kami berhasil membuat dia jatuh terjungkal ke dalam sumur tua dan tewas, walaupun aku sendiri menerima pukulan darinya.”

“Siancai....! Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar budiman, dan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin dapat dikalahkan demikian mudahnya? Cerita Pangcu itu sukar untuk diterima begitu saja....”

Sepasang mata Seng Bu mencorong dan suaranya terdengar dingin sekali. “To-tiang tidak percaya kepada keteranganku?”

“Bagaimana kami dapat percaya?” kata Thian To-cu. “Kalau kami melihat buktinya, barulah kami dapat percaya.”

“To-tiang adalah seorang tokoh besar dan pemimpin Bu-tong-pai, bagaimana dapat bersikap seperti anak kecil begini?” tiba-tiba terdengar suara merdu dan lantang. “Akulah yang menjadi saksi akan kebenaran keterangan Ouw Pangcu. Aku yang membantunya mengobati lukanya di dada yang terkena pukulan tangan Sin-ciang Tai-hiap Yo Han!”

Semua orang memandang dan lima orang tosu Bu-tong-pai kini memperhatikan Kim Giok dengan pandang mata penuh selidik. “Siancai, kalau boleh kami mengetahui, siapakah Nona dan apa hubungan Nona dengan Ouw Pangcu?”

“To-tiang, Nona ini adalah Nona Cu Kim Giok, puteri dari majikan Lembah Naga Siluman, pendekar Cu Kun Tek. Ia keturunan keluarga Cu, penghuni Lembah Naga Siluman. Apakah Totiang juga meragukan ucapannya dan tidak percaya?” kata Ouw Seng Bu.

Lima orang tosu itu nampak kaget, akan tetapi Thian To-cu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada gadis itu nampak ragu. Seorang gadis cantik manis bermata indah yang usianya paling banyak baru delapan belas tahun! Kalau benar gadis itu puteri keluarga yang amat terkenal itu, bagaimana dapat berada di Thian-li-pang?

“Maafkan kami, Nona. Kami belum pernah melihat Nona, walaupun kami sudah mendengar akan nama besar keluarga Lembah Naga Siluman. Bagaimana kami dapat yakin bahwa Nona adalah puteri majikan Lembah Naga Siluman?”

“Singgg....!!” Nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan Kim Giok sudah mencabut pedangnya. “Pendeta yang sombong, lihat baik-baik, apakah engkau masih meragukan pedangku ini?” bentak Kim Giok. Pedang Koai-liong Po-kiam nampak berkilat menyilaukan mata dan ketika dicabut tadi, suara berdesingnya mengandung suara seperti harimau mengaum.

Melihat pedang itu, Thian To-cu terkejut dan cepat dia memberi hormat. “Koai-liong Po-kiam! Ah, maafkan kami, nona Cu. Setelah Nona maju sebagai saksi, kami tidak meragukan kebenarannya. Akan tetapi, yang membuat kami sukar percaya adalah bagaimana mungkin Sin-ciang Tai-hiap dapat dikalahkah oleh Ouw Pangcu yang murid mendiang Lauw Pangcu? Padahal, Lauw Pangcu sendiri, gurunya, tidak akan mampu menandingi Sin-ciang Tai-hiap! Bukankah hal ini amat aneh dan sukar dipercaya?”

“Ngo-wi To-tiang,” kata Ouw Seng Bu, suaranya terdengar dingin dan pandang matanya mencorong, “haruskah seorang murid lebih lemah dibandingkan gurunya? Ingat, To-tiang, orang muda mempunyai kesempatan jauh lebih banyak untuk memperoleh kemajuan daripada gurunya yang sudah tua. Kalau Ngo-wi masih belum percaya akan kemampuanku sehingga aku terpilih menjadi ketua Thian-li-pang dan mampu menandingi Yo Han, silakan To-tiang berlima maju dan menguji kemampuanku!”

Mendengar tantangan ini, lima orang tosu Bu-tong-pai saling pandang. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, dan kini mereka berlima ditantang untuk menghadapi seorang pemuda!

“Ha-ha-ha-ha-ha, aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa lima orang kakek Bu-tong-pai yang sombong ini tidak akan mampu bertahan sampai tiga puluh jurus melawan Ouw Pangcu. Ha-ha-ha!” Siangkoan Kok berkata sambil tertawa mengejek dan minum araknya. Itulah ejekan yang amat merendahkan lima orang tosu itu! Mempertaruhkan kepalanya! Akan tetapi ini bukan sekedar bualan kosong belaka. Siangkoan Kok sudah mengenal lima orang tosu itu dan tahu akan tingkat kepandaian mereka berlima. Dia sendiri pun akan mampu menandingi pengeroyokan lima orang tosu itu. Walaupun dia belum dapat memastikan bahwa dia akan berada di pihak pemenang. Kalau tidak lima orang itu disatukan hanya sebanding dengan tingkatnya, maka tidak mungkin mereka berlima mampu bertahan sampai tiga puluh jurus menghadapi pemuda ketua Thian-li-pang yang memiliki ilmu kepandaian aneh namun dahsyat itu.“Siancai! Thian-li-pang sungguh memandang rendah Bu-tong-pai, dan kami ingin sekali membuktikan apakah ketua baru Thian-li-pang memang seorang sakti yang mampu menewaskan Sin-ciang Taihiap. Ouw Pangcu, kami berlima mohon petunjuk!” berkata demikian, Thian To-cu melintangkan tongkatnya di depan dada, sedangkan empat orang sutenya juga sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka membuat suatu barisan ngo-heng-tin (barisan lima unsur).

Ouw Seng Bu maklum bahwa dia harus memperlihatkan kepandaiannya, bukan saja untuk menundukkan dan sekedar memberi hajaran kepada lima orang tosu yang memandang rendah kepadanya itu, melainkan juga untuk mendatangkan kesan kepada mereka yang belum mau bekerja sama atau tunduk kepada Thian-li-pang. Dia tahu bahwa peristiwa ini tentu akan disebarluaskan oleh mereka yang hadir dan sebentar saja dunia kang-ouw akan mendengar betapa ketua Thian-li-pang telah mengalahkan lima orang tosu tokoh Bu-tong-pai. Dia lalu maju dan menghadapi lima orang tosu yang sudah memasang barisan di tengah ruangan itu, di tempat yang cukup luas dan semua tamu menonton dengan hati penuh ketegangan.

Melihat Ouw Seng Bu menghadapi lima orang tosu itu dengan tangan kosong, padahal lima orang itu memegang senjata dan mereka membentuk suatu barisan, hati Kim Giok menjadi resah.

“Ouw Pangcu, pergunakan pedangku ini!” katanya dan dia pun sudah meloncat ke depan, mencabut pedang Koailiong Po-kiam dan menyerahkan pedang itu kepada Seng Bu.

Ouw Seng Bu merasa girang bukan main. Dengan ilmunya yang ajaib, yaitu Bu-kek Hoat-kehg, dia tidak gentar menghadapi pengeroyokan lima orang tosu itu walaupun dia tidak memegang senjata. Akan tetapi, sikap gadis itu yang menyerahkan pedangnya kepadanya, membuktikan bahwa Kim Giok benar sayang kepadanya dan mengkhawatirkan keselamatannya. Dia pun menerima pedang itu.

“Terima kasih, sebetulnya tanpa pedang pun aku tidak gentar menghadapi lima orang tosu yang tinggi hati ini.”

“Ouw Pangcu, sambutlah serangan kami!” kata Thian To-cu sambil menggerakkan tongkatnya menyerang. Seng Bu menyambut dengan pedang Koai-liong Po-kiam dan terdengar suara mengaung menyeramkan karena dia menggerakkan pedang itu dengan mengerahkan sin-kangnya. Thian To-cu yang mengenal pedang ampuh, menarik kembali tongkatnya dan meloncat ke samping. Dua orang tosu lain sudah menyerang dari kanan kiri, diikuti dua orang lain lagi yang sudah siap untuk melakukan serangan sambung menyambung, dan Thian To-cu sendiri yang sudah menyelinap ke arah belakang lawan juga siap dengan tongkatnya.

Seng Bu maklum bahwa lima orang tosu itu menjadi berbahaya karena mereka bergerak mengikuti kedudukan bintang Ngo-heng yang perubahannya otomatis dan kadang amat ganas itu. Seng Bu mengerahkan tenaga Bu-kek Hoat-keng dan memutar pedangnya. Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata dan suara mengaung-ngaung itu sungguh menggetakkan hati para pengeroyok. Karena cara Seng Bu bergerak amatlah aneh, seperti kacau balau akan tetapi semua serangan senjata lawan dapat digagalkan, lima orang tosu itu terseret oleh kekacauan gerakannya sehingga kerapian gerakan barisan Ngo heng-tin itu juga menjadi retak. Tiba-tiba Seng Bu mengeluarkan teriakan melengking yang begitu nyaring mengerikan, sehingga bukan saja membuat lima orang lawannya terkejut, juga semua orang yang berada di situ tergetar dan merasa ngeri. Teriakan itu bukan seperti suara manusia, mengandung gaung yang aneh dan seketika membuat lima orang tosu itu seperti kehilangan kesadaran. Kemudian terdengar suara keras lima kali berturut-turut dan empat batang pedang beserta sebatang tongkat telah tersambar dan patah-patah oleh sinar pedang Koai-liong Po-kiam!

Lima orang tosu itu berlompatan mundur dengan kaget bukan main. Dalam waktu belasan jurus saja, senjata mereka telah patah-patah dan ini berarti bahwa mereka telah kalah. Ucapan Siangkoan Kok tadi terbukti!

“Ha-ha-ha, sekawanan tosu sombong sekarang baru menyaksikan tingginya langit!” Siangkoan Kok tertawa bergelak, diikuti oleh mereka yang memang sudah tunduk kepada Thian-li-pang.

Seng Bu yang tadinya seperti kesetanan, kini sudah tenang kembali dan dia pun menghampiri Kim Giok dan mengembalikan pedang gadis itu. Gadis itu masih duduk tercengang. Tadi ia melihat betapa pemuda pujaan itu seperti telah berubah. Gerakannya demikian aneh, seperti bukan orang bersilat, seperti orang gila atau binatang buas mengamuk, dan suaranya tadi! Juga matanya mencorong aneh dan mengerikan. Akan tetapi sekarang dia telah kembali menjadi seorang pemuda yang tampan dan lembut seperti biasanya, yang mengembalikan pedangnya dengan senyum manis. Ia pun menerima pedang itu dan menyarungkannya kembali, tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pemuda itu.

“Terima kasih, Giok-moi,” kata Seng Bu dan dia pun kembali menghadapi lima orang tosu yang masih berdiri tertegun.

“Apakah Totiang berlima masih penasaran? Masih tidak percaya bahwa aku telah mengalahkan Yo Han yang hendak membunuhku dan kini dia telah tewas di dalam sumur tua?” tanyanya, tersenyum, akan tetapi senyumnya dingin dan pandang matanya mengejek dan merendahkan. Lima orang tosu itu merasa penasaran sekali. Sukar bagi mereka untuk menerima kekalahan dari seorang pemuda, padahal mereka tadi maju bersama.

“Ouw Pangcu, senjata kami rusak karena keampuhan pedang Koai-liong Pokiam, akan tetapi kami belum merasa kalah.” kata Thian To-cu.

“Lalu To-tiang mau apa?” Seng Bu menantang.

“Kita lanjutkan pertandingan dengan tangan kosong agar kalah menang ditentukan oleh kepandaian, bukan oleh keampuhan senjata.”

“Baik, kalau Totiang masih penasaran, silakan!” Seng Bu menantang.

“Ha-ha-ha, dasar tosu-tosu tolol, tak tahu diri!” Siangkoan Kok mencela dari tempat duduknya. “Semua orang tahu bahwa orang-orang Bu-tong-pai mengandalkan ilmu pedangnya. Kalau menggunakan pedang saja kalah, apalagi bertangan kosong. Mencari penyakit, ha-ha-ha, para tosu tolol yang mencari penyakit!” Bekas ketua Pao-beng-pai ini tertawa-tawa.

Mendengar ejekan ini, lima orang tosu Bu-tong-pai menjadi marah. Mereka sudah memasang kuda-kuda dan Thian To-cu berseru, “Ouw Pangcu, sambut serangan kami!”

Orang-orang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Cu Kim Giok, Siangkoan Kok dan beberapa orang di antara tamu, terkejut melihat cara lima orang tosu itu membuka penyerangan mereka. Thian To-cu berada di depan, empat orang sutenya menempelkan telapak tangan di punggungnya. Jelas bahwa mereka berlima itu menyatukan tenaga sakti mereka untuk mengalahkan Seng Bu. Kim Giok terkejut sekali, maklum betapa kuatnya tenaga lima orang tosu yang dipersatukan itu. Bahkan Siangkoan Kok sendiri mengerutkan kening dan memandang khawatir. Akan tetapi, Kim Giok menahan teriakannya untuk mencegah kekasihnya menyambut serangan itu karena memang sudah terlambat. Seng Bu sama sekali tidak mengelak, bahkan dia juga mendorongkan kedua telapak tangan ke depan untuk menyambut serangan gabungan itu.

“Desss....!!” Dua pasang telapak tangan bertemu dengan dahsyatnya dan lima orang tosu itu terjengkang roboh!

Ilmu yang dikuasai Seng Bu memang hebat dan aneh. Biarpun dipelajarinya secara ngawur dan tidak menurut aturan, namun tidak kehilangan keampuhannya, bahkan lebih aneh lagi dan mengandung racun yang hebat. Ilmu Bu-kek Hoat-keng aselinya, biarpun dahsyat, namun dapat dikendalikan, dan memang memiliki daya penolak atau mengembalikan kekuatan lawan yang menyerangnya. Akan tetapi, yang dikuasai Seng Bu sudah berubah, tenaga dahsyat itu tidak dapat dikendalikannya dan mengandung racun hebat. Akan tetapi daya tolaknya masih ampuh sehingga ketika lima orang tosu itu menyerangnya dengan tenaga gabungan yang dahsyat, tenaga itu membalik dan memukul diri mereka Sendiri!

Peristiwa robohnya lima orang tosu ini mengejutkan semua orang, dan amat mengagumkan dan melegakan hati Kim Giok. Bahkan Siangkoan Kok terkejut dan kagum bukan main, membuat dia semakin yakin akan kelihaian ketua Thian-li-pang yang masih muda itu.

Lima orang tosu itu bangkit dengan muka pucat. Yang paling parah adalah Thian To-cu yang muntah darah. Seng Bu memberi hormat dan berkata, “Totiang berlima melihat sendiri bukti ketanguhan kami. Sebaiknya kalau Totiang membawa Bu-tong-pai bekerja sama dengan kami untuk berjuang dan kalau Bu-tong-pai menolak, kami harap tidak lagi mengganggu kami.”

“Maafkan kami yang tak tahu diri, kami mengaku kalah.” kata Thian To-cu dan dibantu empat orang sutenya, dia pun meninggalkan tempat itu diikuti suara tawa Siangkoan Kok.


***

Thian To-cu dengan susah payah menuruni Bukit Naga, dibantu oleh empat orang sutenya yang juga menderita luka guncangan dalam dada. Mereka terpukul oleh tenaga mereka sendiri yang membalik, akan tetapi yang paling parah adalah Thian To-cu karena dia bukan saja terguncang hebat oleh pukulannya yang membalik, juga dia dilanda hawa beracun yang membuat dadanya sesak dan warna kulit dadanya menghitam! Setelah tiba di kaki bukit, Thian To-cu tidak tahan lagi dan roboh pingsan!

Pada saat empat orang to-su dengan bingung merubung suheng mereka dan berusaha menyadarkannya, mereka mendengar, suara seorang wanita yang bertanya, “To-tiang sekalian, apakah yang terjadi dan kenapa To-tiang itu? Eh, bukankah kalian tosu-tosu dari Bu-tongpai?”

Empat orang tosu itu menengok. Seorang gadis telah berdiri di situ. Gadis yang masih amat muda, belum dua puluh tahun usianya. Cantik jelita dan gagah sekali sikapnya. Pakaiannya berwarna merah.

“Aih, bukankah dia Thian To-cu Totiang dari Bu-tong-pai?” kata lagi gadis itu dengan nada suara heran. “Kenapa dia?”

Kini dua di antara empat orang tosu itu teringat bahwa gadis ini pernah satu kali singgah di kuil mereka. “Kiranya Ang-ho Li-hiap (Pendekar Wanita Bangau Merah)!” seru seorang di antara mereka. “Kami berlima baru turun dari bukit, berkunjung ke Thian-li-pang dan kami dilukai oleh ketuanya.”

“Ahhhhh?” Gadis itu adalah Tan Sian Li, Si Bangau Merah. Tentu saja ia mehasa heran bukan main mendengar ketua Thian-li-pang melukai lima orang tosu Bu-tong-pai. Bukankah Thian-li-pang merupakan perkumpulan para patriot gagah perkasa? Bahkan Yo Han menjadi pemimpin besar mereka. Kenapa kini ketuanya memukul orang-orang Bu-tong-pai? Kalau ia tidak salah ingat, Yo Han pernah bercerita tentang Thian-li-pang dan ketuanya adalah Lauw Kang Hui, seorang kakek yang gagah perkasa. Akan tetapi, yang lebih penting adalah menolong tosu yang terluka itu. Bu-tong-pai adalah perkumpulan orang gagah, para muridnya banyak yang menjadi pendekar. Bahkan ayahnya menghormati Bu-tong-pai, maka sudah sepantasnya kalau ia mencoba menolong para tosu itu.

“Biarkan aku memeriksanya, siapa tahu, akan dapat mengobati dan menyembuhkannya,” katanya. Melihat sikap gadis muda itu yang tenang dan tegas, empat orang tosu itu mundur dan membiarkan Sian Li melakukan pemeriksaan. Sian Li berjongkok dekat tubuh Thian To-cu yang masih pingsan, lalu memegang pergelangan tangannya, merasakan denyut nadinya. Ia mengerutkan alisnya. Dari denyut nadi itu ia maklum bahwa keadaan tosu itu cukup gawat dan dia menderita luka dalam yang mengandung hawa beracun!

“Coba ceritakan, apa yang terjadi bagaimana dia sampai terluka dalam seperti ini.” katanya. Empat orang tosu itu menceritakan tentang perkelahian mereka melawan ketua Thian-li-pang, tentang adu tenaga yang mengakibatkan mereka semua terluka.

Sian Li mengerutkan alisnya. “Hemmm, sungguh aneh. Aku harus memeriksa keadaan tubuhnya. Tolong bukakan bajunya, aku ingin memeriksa dadanya.”

Seorang tosu membuka baju yang menutupi dada Thian To-cu dan mereka terkejut melihat dada itu kehitaman. Sian Li meraba dada itu dan mengangguk-angguk. “Dia telah terkena hawa beracun yang aneh sekali. Bagaimana mungkin ketua Thian-li-pang dapat melakukan pukulan sekeji ini?”

“Pemuda itu memang keji, aneh, seperti iblis!”

“Pemuda? Bukankah ketua Thian-lipang sudah tua?”

“Dia masih muda sekali, Lihiap, paling tua dua puluh empat tahun.”

“Ahhh? Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui dan sudah tua?”

“Bukan. Lauw Kang Hui sudah mati, dan dialah ketua baru yang penuh rahasia.”

Sian Li merasa heran. “Biarlah kucoba mengobati suheng kalian ini lebih dahulu.” katanya dan gadis murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini lalu mengeluarkan dua batang jarum emas. Ia mengobati Thian To-cu dengan cara menusuk jarum. Tidak sampai setengah jam ia mengobati tosu tua itu, warna hitam di dada pendeta itu lenyap dan tosu Bu-tong-pai itu siuman, dan biarpun masih agak lemah, telah mampu bangkit.

“Siancai....,kiranya Si Bangau Merah yang telah mengobatiku. Terima kasih atas pertolonganmu, Tan-lihiap.” kata Thian To-cu.

“Totiang, apa sih yang telah terjadi di Thian-li-pang? Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui, dan bagaimana sekarang tiba-tiba muncul ketua baru yang masih muda dan memiliki ilmu pukulan keji itu? Aku sendiri hendak naik ke sana dan mencari kalau-kalau Han-koko berada di sana.”

“Siapakah Han-koko itu, Lihiap?” tanya Thian To-cu.

“Yang kumaksudkan adalah koko Yo Han, Sin-ciang Tai-hiap. Bukankah dia merupakan pemimpin besar Thian-li-pang?”

Mendengar ini, Thian To-cu menghela napas panjang dan wajahnya berubah muram. “Siancai....,suatu keanehan terjadi di atas sana, Lihiap.” Dia memandang ke atas bukit. “Karena terjadinya perubahan aneh di Thian-li-pang, maka kami berlima datang terkunjung untuk melakukan penyelidikan dan meminta keterangan. Akan tetapi, kami dihadapkan kepada kenyataan pahit, bahkan kami sampai terluka.”

Tentu saja, Sian Li tertarik sekali. “Ceritakan, Totiang. Apa sih yang terjadi dengan Thian-li-pang?”

“Mula-mula kami mendengar berita yang meresahkan hati, bahwa para pimpinan Thian-li-pang, yaitu Lauw Kang Hui dan beberapa orang pembantunya, telah tewas. Kemudian terdengar berita bahwa Thian-li-pang mempunyai seorang ketua baru dan sejak itu sepak terjang Thian-li-pang menjadi aneh. Mereka menundukkan hampir semua perkumpulan silat dan tokoh kang-ouw di daerah ini, membujuk atau memaksa mereka untuk bekerja sama. Bahkan golongan sesat, bersekutu pula dengan golongan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, sebetulnya, kami dari Bu-tong-pai tidak ingin mencampuri urusan dalam, sampai ada sebuah berita yang membuat kami merasa penasaran sekali dan memaksa kami untuk datang berkunjung. Berita itu adalah bahwa para pemimpin Thian-li-pang itu dibunuh oleh Sin-ciang Tai-hiap Yo Han.”

“Ahhhhh.... tidak mungkin....!!” Sian Li berseru, kaget bukan main.

“Kami juga tidak percaya akan berita itu, Lihiap. Kami mengenal siapa Sin-ciang Tai-hiap. Apalagi membunuh para pimpinan Thian-li-pang padahal dia pemimpin besar di sana, bahkan para penjahat pun tidak ada yang dibunuhnya. Dia menundukkan penjahat dan menasihatinya, membujuknya sehingga banyak penjahat kembali ke jalan benar. Akan tetapi, ada berita lain yang terlalu aneh. Yang mendorong kami melakukan penyelidikan, yaitu bahwa baru beberapa hari ini, Sin-ciang Tai-hiap dibunuh oleh ketua baru Thian-li-pang!”

“Ahhhhh....!!” Kini Sian Li meloncat berdiri dan mukanya berubah pucat sekali, matanya terbelalak. “Aku.... aku tidak percaya!!”

“Kami juga tidak percaya akan keterangan yang diberikan ketua baru Thian-li-pang itu sehingga terjadi bentrokan antara kami dan dia. Akan tetapi, dia ternyata amat lihai dan memiliki ilmu pukulan yang amat keji. Kami kalah dan pergi dalam keadaan.luka.”

“Kalau begitu, aku harus menyelidiki ke sana. Selamat berpisah, Totiang!” Setelah berkata demikian, nampak berkelebat bayangan merah dan Sian Li sudah lenyap dari depan para tosu itu.

Thian To-cu menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya.

“Sungguh berbahaya sekali, akan tetapi mudah-mudahan Tan-lihiap akan mampu menandingi iblis itu,” katanya. Mereka berlima merasa prihatin sekali, akan tetapi juga tidak berdaya.

Dengan hati diliputi kegelisahan mendengar Yo Han dibunuh ketua baru Thian-li-pang yang kabarnya masih muda itu, Sian Li berloncatan dan mempergunakan ilmu berlari cepat mendaki Bukit Naga.

“Berhenti!!” Tiba-tiba terdengar seruan dan dari balik pohon dan semak belukar, berloncatanlah sepuluh orang anggauta Thian-li-pang dan mereka mengepung Sian Li. Ketika melihat bahwa yang datang tanpa diundang dan mereka kepung itu hanya seorang gadis cantik berpakaian serba merah, sepuluh orang anggauta Thian-li-pang itu tertegun lalu mereka tertawa-tawa dan mereka menyarungkan kembali golok mereka karena mereka tentu saja memandang rendah seorang gadis, cantik seperti Sian Li. Akan tetapi, biarpun mereka kagum akan kecantikan Sian Li, mereka tidak berani bersikap kurang ajar. Ketua mereka mempunyai hubungan luas dengan dunia kang-ouw dan kalau ternyata gadis ini seorang sahabat ketua mereka, maka kekurang-ajaran mereka cukup untuk menjadi alasan mereka dihukum berat oleh ketua mereka.

“Nona, siapakah Nona dan ada keperluan apakah mendaki Bukit Naga? Apakah Nona seorang tamu dari Thian-li-pang?”

Karena merasa amat khawatir akan keselamatan Yo Han yang kabarnya dibunuh ketua Thian-li-pang, Sian Li langsung saja bertanya, “Apakah kalian ini anak buah Thian-li-pang?”

“Benar, Nona. Siapakah Nona dan ada keperluan apa Nona datang berkunjung?”

“Siapakah nama ketua Thian-li-pang sekarang?” tanya Sian Li.

Orang-orang itu saling pandang, masih ragu-ragu karena belum tahu apakah gadis ini teman ataukah lawan, Ouw pangcu kami bernama Ouw Seng Bu,” kata pemimpin mereka, seorang yang bertubuh kurus kering dan mukanya kuning.

“Katakan kepada Ouw-pangcu bahwa aku ingin bertemu. Namaku Tan Sian Li.”

Mendengar bahwa gadis cantik ini hendak bertemu dengan ketua mereka, orang-orang Thian-li-pang itu tidak berani bersikap lancang. Si kurus kering berkata, “Mari silakan mengikuti kami, Nona. Kami akan melaporkan kepada ketua kami.”

Sian Li mengikuti mereka memasuki perkampungan Thian-li-pang dan berhenti di depan gedung induk yang menjadi tempat tinggal ketua Thian-li-pang. Si kurus kering segera masuk untuk melaporkan kepada Ouw Seng Bu.

Pada saat itu, Ouw Seng Bu sedang bercakap-oakap dengan Cu Kim Giok dan Siangkoan Kok. Siangkoan Kok sedang melaporkan tentang hasilnya menalukkan partai-partai persilatan dan perkumpulan besar di dunia kang-ouw untuk bekerja sama dengan mereka mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Cu Kim Giok hanya sebagai pendengar saja. Gadis ini semakin kagum kepada Ouw Seng Bu dan tidak lagi memandang rendah kepada Siangkoan Kok atau para tokoh perkumpulan sesat yang telah bergabung dengan Thian-li-pang. Ia menganggap bahwa di dalam perjuangan menentang penjajah, memang semua kekuatan harus dipersatukan, seperti yang dikatakan pemuda yang dicintanya itu. Ia menyadari sepenuhnya bahwa kadang-kadang kekasihnya itu bertindak kejam, namun ia menghibur hatinya yang merasa tidak cocok itu bahwa memang demikianlah perjuangan. Ia menganggap kekasihnya seorang pejuang sejati, seorang pahlawan dan pendekar. Dan sikap Ouw Seng Bu terhadap dirinya demikian baik, sopan, ramah dan penuh perhatian, penuh kasih sayang!

Daun pintu ruangan itu diketuk orang. Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya. “Masuk!” katanya lantang.

Si kurus kering membuka daun pintu dan masuk, disambut bentakan Ouw Seng Bu. “Ada urusan apa sampai engkau berani mengganggu kami?”

“Maaf, Pangcu. Kami mengadakan penjagaan di lereng dan bertemu dengan seorang gadis berpakaian merah yang menanyakan Pangcu dan minta bertemu dengan Pangcu. Karena itu, kami mengajaknya datang dan sekarang ia menanti di ruangan depan.”

“Siapakah namanya dan apa keperluannya?”
“Ia tidak mengatakan keperluannya, hanya ingin bicara dengan Pangcu dan namanya Tan Sian Li....”

“Ah, ia Sian Li....!!” seru Cu Kim Giok kaget, heran dan juga girang.
“Si Bangau Merah....!!” Seru pula Siangkoan Kok.
“Kalian sudah mengenalnya?” tanya Ouw Seng Bu heran. “Siapakah gadis itu, Giok-moi?”

“Bu-koko, Tan Sian Li adalah puteri paman Tan Sin Hong.” jawab Kim Giok. “Kami pernah saling bertemu dalam pesta ulang tahun Paman Suma Ceng Liong.”

“Ia adalah Si Bangau Merah, puteri Pendekar Bangau Putih dan ibunya adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir.” kata pula Siangkoan Kok.

“Ahhh....!” Ouw Seng Bu terkejut sekali. “Ada keperluan apa ia datang ke sini? Aku tidak mengenalnya.” Lalu kepada si kurus kering dia berkata, “Persilakan Nona Tan Sian Li untuk menunggu di kamar tamu. Aku segera menemuinya di sana.”

Setelah si kurus kering pergi, dia menoleh kepada Kim Giok. “Giok-moi, engkau mengenalnya dengan baik. Apa yang harus kulakukan?”

“Aku agak khawatir, Koko, karena aku pernah mendengar bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han. Jangan-jangan ia datang untuk....”

Wajah Ouw Seng Bu berubah. “Ah, kalau begitu kita harus membuat persiapan untuk mengatasinya. Ia merupakan ancaman bagi kita.”

“Koko, harap engkau jangan mengganggu Sian Li. Kita harus mencari jalan agar ia tidak memusuhi kita, bahkan membujuknya agar membantu perjuangan kita.” kata Kim Giok.

“Engkau benar, Giok-moi. Akan tetapi bagaimana kalau ia tidak mau dan hendak membalas dendam karena kematian Yo Han?”

“Kalau begitu, kita habisi gadis itu karena membahayakan kita!” kata Siangkoan Kok.
“Aku tidak setuju!” kata Cu Kim Giok tegas, “Aku tidak rela kalau ia dibunuh! Ia masih kerabat dekat orang tuaku. Tidak mungkin aku membiarkan orang membunuhnya!”

“Giok-moi, apakah engkau membiarkan ia membalas dendam atas kematian Yo Han dan menghancurkan Thian-li-pang kita? Apakah engkau rela kalau ia membunuhku? Kalau kita biarkan ia pergi, dan ia mengajak ayahnya dan semua keluarga menyerang, kita akan celaka.

Keluarga Suling Emas dan Gurun Pasir merupakan kerabat dekat dan bagaimana kita dapat menanggulangi mereka yang memiliki banyak orang sakti?”

“Tidak, aku tidak ingin ia membunuhmu, akan tetapi juga tidak ingin engkau membunuhnya. Kita mencari jalan terbaik. Aku akan membujuknya agar Ia mau melihat kenyataan bahwa Yo Han tewas karena ulah sendiri dan agar ia tidak memusuhi kita.”

“Andaikata usahamu itu gagal?”
“Kalau begitu, terserah, akan tetapi aku tetap melarang ia dibunuh.”

“Baiklah, Giok-moi, kalau ia berkeras kita tangkap dan tawan saja ia sebagai tamu, agar ia melihat sepak terjang kita dalam perjuangan.”

Terdengar ketukan pada daun pintu dan suara si kurus kering tadi, “Lapor, Pangcu. Nona Tan sudah menanti di ruangan tamu.”

“Baik, kami segera datang. Mari, Giok-moi!” Siangkoan Kok tidak ikut karena kalau dia muncul di depan Si Bangau Merah, tentu akan mengejutkan gadis itu dan mendatangkan kesan buruk karena mereka pernah bermusuhan dan bertanding.

Sian Li sudah menjadi tidak sabar menanti terlalu lama, maka ketika mendengar langkah orang dari dalam, ia sudah bangkit berdiri. Dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah seorang pemuda tampan bersama seorang gadis yang dikenalnya sebagai Cu Kim Giok! Akan tetapi, ia takut kalau salah lihat dan mungkin gadis itu orang lain yang hanya mirip Cu Kim Giok, maka dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian.

“Sian Li....!” Cu Kim Giok yang berseru sambil menghampiri Si Bangau Merah. “Kiranya engkau!”

“Jadi benar engkau Cu Kim Giok? Kim Giok, bagaimana engkau dapat berada di sini?”
“Panjang ceritanya, Sian Li. Perkenalkan, ini adalah Ouw Seng Bu, pangcu dari Thian-li-pang. Silakan duduk!”

Sian Li masih keheranan, akan tetapi ia pun duduk berhadapan dengan mereka setelah membalas penghormatan Ouw Seng Bu kepadanya. Pangcu yang masih muda itu bersikap sopan dan hormat sekali.

“Sungguh merupakan kehormatan besar menerima kunjunganmu, Nona. Bukankah Nona yang berjuluk Si Bangau Merah? Sudah lama kami mengenal nama besar Nona di dunia kang-ouw.” kata Ouw Seng Bu.

“Ouw-pangcu, aku datang ke sini untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Kuharap engkau suka menjawab sejujurnya!”

“Sian Li, Ouw-pangcu adalah seorang pendekar, seorang pahlawan bangsa yang sedang berjuang untuk menentang penjajah Mancu. Tentu saja dia akan menjawab semua dengan sejujurnya.” kata Cu Kim Giok.

“Kim Giok, aku berurusan dengan Ouw-pangcu, harap engkau tidak mencampuri.” kata Sian Li, masih ragu dan heran melihat keakraban antara gadis itu dan ketua Thian-li-pang. Memang ia merasa ingin tahu sekali bagaimana Kim Giok dapat berada di situ, akan tetapi ia mengesampingkan keinginan tahu ini karena ia lebih mementingkan jawaban tentang Thian-li-pang dan terutama tentang Yo Han seperti yang didengarnya dari para tosu Bu-tong-pai.

“Tanyalah, Nona. Saya akan menjawab sejujurnya.” kata Ouw Seng Bu. Sian Li berpikir, biarpun ia ingin sekali segera mendengar tentang Yo Han, akan tetapi ia ingin mengajukan pertanyaan secara teratur.

“Ouw-pangcu, aku mendengar bahwa Thian-li-pang menalukkan banyak partai persilatan dan memaksa para tokoh kang-ouw untuk bekerja sama dengan Thian-li-pang, bahkan Thian-li-pang bersekutu dengan perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pal. Benarkah itu dan mengapa demikian! Setahuku, Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang yang gagah perkasa yang menentang partai-partai sesat. “

Ouw Seng Bu tersenyum. Sebelum pendekar wanita itu mengajukan pertanyaan, dia telah dapat mengira apa yang akan dipertanyakan, maka, dia pun tentu saja sudah siap dengan jawabannya.

“Itulah pertanyaanmu, Nona? Memang kami akui bahwa Thian-li-pang telah mengubah siasat. Kami yakin benar bahwa tanpa adanya persatuan, pengerahan seluruh tenaga yang ada di tanah air, mustahil akan dapat mengenyahkan penjajah Mancu dari tanah air kita. Karena itulah, maka kami memang membujuk, bahkan kalau perlu memaksa, menyadarkan semua pihak untuk bekerja sama dalam satu perjuangan menentang penjajah dan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan. Karena itu, kami tidak berpantang untuk barsekutu dengan pihak manapun, termasuk Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang kami anggap sebagai rekan-rekan seperjuangan.”

“Aku setuju sekali dengan tindakan itu, Sian Li,” kata Kim Giok.

“Begitukah? Sekarang pertanyaan ke dua. Aku mendengar bahwa para pimpinan Thian-li-pang, termasuk pangcu Lauw Kang Hui, telah tewas dibunuh orang. Benarkah itu, dan kalau benar, apa yang terjadi dan siap pelakunya?” Dengan jantung berdebar namun wajah tetap tenang, sepasang matanya mencorong mengamati wajah ketua Thian-li-pang itu, Sian Li menanti jawaban.

Ouw Seng Bu menghela napas panjang sebelum menjawab, “Pertanyaan ini amat menyedihkan hati saya, akan tetapi selalu saja orang menanyakannya. Memang benar, Nona. Suhu Lauw Kang Hui, juga suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin, susiok Su Kian dan su-siok Thio Cu, mereka semua telah terbunuh. Bagaimana terjadinya, kami semua tidak mengetahui jelas. Yang kami tahu adalah bahwa mereka itu tewas dan dari tanda pukulan pada tubuh mereka, jelaslah bahwa pembunuhnya adalah Sin-ciang Tai-hiap Yo Han.”

“Tidak mungkin!” Sian Li berteriak. “Sin-ciang Tai-hiap Yo Han adalah seorang pendekar besar, bahkan dia juga tokoh pimpinan dan kehormatan Thian-li-pang. Bagaimana mungkin dia membunuh para tokoh Thian-li-pang sendiri?”

“Kami sendiri memang merasa heran dan berduka, Nona. Sin-ciang Tai-hiap Yo Han dahulunya adalah pujaan kami semua, menjadi tokoh kami. Akan tetapi banyak sekali anggauta Thian-li-pang yang menyaksikan kematian para tokoh kami itu dan jelas bahwa mereka melihat bekas pukulan pada tubuh mereka, pembunuhnya adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han.”

“Hemmm, begitukah? Sekarang pertanyaan terakhir. Aku mendengar bahwa engkau, Ouw Seng Bu, telah membunuh Sin-ciang Tai-hiap Yo Han. Benarkah itu?” berkata demikian, Sian Li bangkit berdiri, matanya mencorong dan suaranya terdengar lantang.

Ouw Seng Bu nampak tegang dan gelisah lehernya basah oleh peluh. “Nona Tan Sian Li, sungguh hal ini amat menyedihkan. Entah apa yang terjadi pada diri Sin-ciang Tai-hiap karena dia telah berubah sama sekali. Dia datang dan menyerang saya ketika saya berada didekat sumur keramat di belakang bukit. Saya terkena pukulannya yang ampuh sehingga hampir saya tewas. Akan tetapi, para saudara di Thian-li-pang membela saya dan akhirnya Yo-taihiap tergelincir ke dalam sumur tua itu. Karena kami semua takut kepadanya yang seolah-olah telah berubah menjadi seorang yang kejam dan hendak membunuhi kami, terpaksa kami pergunakan batu-batu untuk menutup sumur itu.”

“Tidak....! Bohong....! Aku tidak percaya! Kaukira aku tidak mengenal siapa Yo Han? Dia adalah kakak angkatku, suhengku, dan orang yang paling kucinta di dunia ini. Aku mengenalnya dan tidak mungkin dia melakukan semua itu. Bohong!”

“Maaf, Sian Li,” kata Cu Kim Giok, “terpaksa sekali ini aku mencampuri. Aku yang menanggung bahwa keterangan Ouw pangcu tadi benar, karena aku sendiri yang menjadi saksi. Aku yang mengobati luka yang diderita oleh Ouw-pangcu akibat pukulan Yo Han! Dia terluka parah dan hampir tewas, bagaimana engkau mengatakan dia berbohong?”

“Aku tidak mengerti kenapa orang seperti engkau dapat berada di sini dan membela ketua Thian-li-pang yang baru ini, Kim Giok, akan tetapi aku tidak peduli. Siapapun yang mengatakan bahwa Yo Han melakukan itu semua, aku tetap tidak percaya kalau tidak melihat buktinya. Ouw Seng Bu, bawa aku ke tempat sumur itu, di mana kaukatakan tadi Yo Han tergelincir masuk!”

Ouw Seng Bu menghela napas panjang. “Sungguh, ini merupakan masalah yang membuat kami semua berduka, Nona. Akan tetapi kalau itu yang kaukehendaki, marilah!”

Tanpa banyak cakap lagi, Sian Li mengikuti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok keluar dari ruangan tamu dan menuju ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang, melalui sebuah bukit kecil. Ia tidak peduli ketika melihat puluhan orang anggauta Thian-li-pang mengikuti mereka dari jarak jauh.

Setelah tiba di sumur yang dimaksudkan, Ouw Seng Bu berhenti dan menunjuk ke arah sumur itu. “Di situlah dia tergelincir masuk, Nona.”

Mendengar bahwa kekasihnya tergelincir ke dalam sumur tua itu dan ditimbuni batu-batu, Sian Li merasa jantungnya seperti diremas dan kedua kakinya menjadi limbung ketika dengan terhuyung ia menghampiri sumur itu. Ketika ia tiba di tepi sumur dan melongok ke dalam, ingin rasanya ia menjerit melihat betapa sumur itu telah tertutup batu, memang tidak penuh sekali, akan tetapi dasarnya tidak nampak karena tertutup batu-batuan.

Wajahnya menjadi pucat dan matanya mencorong akan tetapi basah ketika ia membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa Seng Bu berdiri tegak dan di belakangnya nampak puluhan orang anak buah Thian-li-pang. Kim Giok berdiri di samping Ouw Seng Bu dan kelihatan bingung dan gelisah.

“Ouw Seng Bu, cepat perintahkan anak buahmu untuk menggali sumur ini, mengangkat semua batu yang telah ditimbunkan ke dalamnya!”

“Aih, Nona, bagaimana mungkin sumur ini merupakan sumur keramat bagi kami Thian-li-pang....”

Tidak peduli! Batu-batu itu dilemparkan ke dalam sumur oleh orang-orang Thian-li-pang, maka mereka pula yang harus mengangkatnya dari dalam sumur. Aku ingin melihat bukti keteranganmu tadi. Aku ingin melihat....mayat.... Han-koko. Kalau engkau tidak mau menuruti permintaanku, berarti engkau membohongi aku, dan aku akan membunuhmu!”

“Sian Li, kuharap engkau jangan bersikap seperti ini. Percayalah, kami tidak membohongimu. Lebih baik kita sekarang mengerahkan tenaga kita untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah, itu lebih mulia daripada kita saling bentrok sendiri. Tidak ada yang membohongimu, Sian Li. Agaknya telah terjadi sesuatu sehingga Yo Han menjadi berubah....”

“Tutup mulutmu, Kim Giok! Han-koko selamanya tidak berubah. Dia seorang pendekar dan orang gagah sejati. Sedangkan Ouw Seng Bu ini orang macam apa? Kita tidak mengenal dengan baik, siapa tahu semua ini hanya akal busuknya saja. Buktinya, dia telah bersekongkol dengan golongan sesat!”

Pada saat itu terdengar seruan keras dan para anggauta Thian-li-pang otomatis membuat gerakan mengepung sumur tua itu sehingga dengan sendirinya Sian Li juga ikut terkepung! Dan dari rombongan itu muncullah Siangkoan Kok bersama dua orang berjubah pendeta yang bukan lain adalah Im Yang Ji tokoh Pat-kwa-pai dan Kui Thian-cu tokoh Pek-lian-kauw.

Ouw Seng Bu kini melangkah maju dengan sikapnya yang gagah. Dengan suara yang dibuat menyesal dia berkata, “Nona, semua ini adalah kesalahanmu sendiri. Engkau tidak percaya kepada kami dan hendak membongkar sumur keramat ini, berarti engkau telah menghina Thian-li-pang. Karena kami sedang menghimpun tenaga untuk perjuangan, maka sikapmu yang bermusuhan ini tentu saja akan membahayakan kami, misalnya engkau melapor kepada pemerintah penjajah. Karena itu, menyerahlah, terpaksa kami akan menawanmu.”

“Singgg....!” nampak sinar emas mencorong dan di tangan gadis berpakaian merah itu telah terdapat sebatang suling berselaput emas yang panjangnya seperti pedang.

“Hem, sikapmu ini saja sudah menunjukkan dengan jelas bahwa engkau telah berbohong! Aku yakin bahwa engkau memutar-balikkan kenyataan. Han-koko belum tewas, atau andaikata dia tewas pun tentu engkau sengaja menjebaknya! Aku yakin akan hal itu. Engkau hendak menawanku dan menyuruh aku menyerah? Jangan mimpi! Si Bangau Merah tidak mengenal kata menyerah. Kalian hendak mengandalkan pengeroyokan? Boleh, boleh! Kulihat bekas ketua Pao-beng-pai, Siangkoan Kok, telah berada pula di sini dan dua orang tosu yang tentu merupakan orang-orang sesat!”“Tangkap gadis sombong ini!” Ouw Seng Bu membentak dan Siangkoan Kok, dua orang tosu Pat-kwa-pai dan Peklian-kauw, segera menggerakkan senjata mereka. Ouw Seng Bu sendiri juga menerjang maju dengan tangan kosong. Para anggauta Thian-li-pang mengepung ketat. Menghadapi para pengeroyok yang mulai menyerangnya, Sian Li memutar sulingnya dan nampaklah gulungan sinar emas menyambar-nyambar di antara berkelebatnya bayangan merah. Gerakan gadis ini cepat bukan main, juga amat indah dan gulungan sinar emas itu mengandung tenaga kuat sehingga dalam beberapa gebrakan saja, beberapa batang senjata anak buah Thian-li-pang terlepas dari pegangan, bahkan dua orang anggauta perkumpulan itu roboh terkena sambaran sinar suling emas.

“Semua mundur, biarkan kami saja yang menghadapinya!” bentak Ouw Seng Bu yang maklum akan kelihaian Si Bangau Merah itu. Para anggauta Thian-li-pang yang memang sudah merasa jerih segera mengendurkan pengepungan dan kini yang menghadapi Sian Li hanya tinggal empat orang, yaitu Siangkoan Kok, Im Yang-ji, Kui Thian-cu dan Ouw Seng Bu sendiri. Akan tetapi Cu Kim Giok masih belum bergerak, dan hanya menonton tiga orang sekutunya yang kini mulai menggerakkan senjata menyerang gadis berpakaian merah yang memegang suling emas itu. Agaknya, Ouw Seng Bu masih tidak percaya kalau tiga orang sekutunya yang merupakan tokoh-tokoh kang-ouw yang amat tangguh itu tidak akan mampu menundukkan Sian Li.

“Bu-koko, engkau tidak boleh membunuhnya. Aku akan marah sekali kepadamu kalau engkau membunuhnya.”

“Giok-moi, ia berbahaya sekali. Kalau sampai lolos, ia tentu akan melapor kepada pemerintah dan kalau pasukan besar pemerintah datang menyerbu, kita belum siap menghadapi mereka.”

“Tangkap saja, tawan saja akan tetapi jangan bunuh. Aku tidak rela kalau ia dibunuh. Kita adalah pejuang-pejuang, tidak akan membunuhi kaum pendekar, Koko!”

Ouw Seng Bu mengangguk. Dia pun maklum bahwa membunuh Si Bangau Merah akan mendatangkan akibat yang amat berbahaya, karena kalau sampai Pendekar Sakti Bangau Putih mendengar bahwa puterinya terbunuh oleh Thian-li-pang, dan pendekar sakti itu mengerahkan kekuatan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, bagaimana mungkin Thian-li-pang akan kuat bertahan?

“Paman Siangkoan Kok dan kedua Totiang, tangkap saja Si Bangau Merah, jangan bunuh dan jangan lukai. Kami ingin menawannya.” serunya kepada tiga orang sekutunya.

Mendengar seruan ketua Thian-li-pang itu, tiga orang tokoh yang mengeroyok Sian Li mengubah gerakan mereka. Siangkoan Kok menggunakan pedangnya hanya untuk menangkis suling di tangan gadis itu, sedangkan yang melakukan serangan adalah tangan kirinya, dengan cengkeraman, tamparan atau totokan. Demikian pula dengan dua orang tosu pengeroyok. Im Yang-ji tokoh Pat-kwa-pai memutar pedang hanya untuk mengurung gadis itu dengan sinar pedangnya dan yang menyerang adalah tangan kirinya dengan ilmu totokan yang ampuh dari Pat-kwa-pai dengan gerakan ilmu silat Pat-kwa-kun. Juga Kui Thian-ou, tokoh Pek-lian-kauw menyerang dengan ujung lengan bajunya yang kiri, menotok untuk merobohkan Sian Li, sedangkan pedangnya juga hanya untuk membendung gerakan suling emas yang dahsyat itu.

Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Sian Li masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian tokoh Pat-kwa-pai atau tokoh Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi, bagaimanapun gadis yang usianya belum genap dua puluh tahun itu masih ketinggalan kalau dibandingkan dengan kepandaian Siangkoan Kok, datuk sesat yang banyak pengalaman itu. Menghadapi pengeroyokan tiga orang tokoh itu, tentu saja Sian Li merasa berat sekali dan dalam beberapa gebrakan saja ia sudah merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Ia pasti tidak akan mampu bertahan terlalu lama kalau tiga orang pengeroyoknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi ketika Ouw Seng Bu mencegah mereka agar tidak membunuhnya, maka hal itu membuat Sian Li dapat bertahan lebih baik. Bahkan beberapa kali sambaran sinar sulingnya hampir saja mengenai tubuh lawan.

Melihat betapa tiga orang sekutunya yang biasanya dapat diandalkan untuk menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw. yang tidak mau bekerja sama itu sampai sekian lamanya belum juga mampu menundukkan Si Bangau Merah. Ouw Seng Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia melompat ke dalam medan perkelahian itu.

“Bu-koko, jangan bunuh atau lukai Sian Li!” Cu Kim Giok berteriak.

Ouw Seng Bu juga tidak bodoh untuk membunuh seorang tokoh seperti Si Bangau Merah, apalagi kalau Cu Kim Giok yang dicintanya itu melarangnya. Dia sudah meloncat dan mengeluarkan ilmunya yang aneh, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan. Akan tetapi dia menjaga agar tangannya yang mengandung racun ampuh itu tidak sampai membunuh gadis yang diserangnya.

Ketika ada angin pukulan yang amat dingin datang menerpanya, Sian Li yang memang sudah terdesak, terkejut bukan main. Ia mengenal pukulan ampuh, dan untuk meloncat menghindar, tidak ada jalan lagi. Senjata tiga orang pengeroyoknya yang terdahulu sudah menutup semua jalan keluar dengan sinar pedang mereka. Terpaksa ia mengerahkan sinkang dan menyambut pukulan itu.

“Desss....!!” Sian Li terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan Siangkoan Kok untuk melancarkan totokan jari tangannya dan tubuh Sian Li yang terhuyung itu nyaris terkena totokan. Gadis yang memiliki ginkang luar biasa ini, cepat memutar sulingnya dan tubuh itu mencelat ke samping. Dalam keadaan yang amat gawat itu ia masih mampu menghindarkan diri dari totokan! Akan tetapi, kini empat orang lihai itu sudah mengepungnya.

Pada saat yang amat gawat bagi Sian Li itu muncullah dua orang yang tanpa banyak cakap lagi segera terjun ke dalam perkelahian itu. Mereka itu seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Pangeran Cia Sun dan Sim Hui Eng, atau tadinya bernama Siangkoan Eng!

Seperti kita ketahui, Pangeran Cia Sun ditawan oleh Sim Hui Eng yang mengira pangeran itu yang menyebabkan kematian ibunya dan kehancuran Pao-beng-pai. Kemudian pangeran itu membuka rahasia Hui Eng sehingga gadis itu mengetahui bahwa ia bukanlah puteri Siangkoan Kok, bukan pula puteri mendiang Lauw Cu Si yang selama ini dianggap ibu kandungnya. Bahkan dalam pertemuan itu, mereka saling menemukan cinta mereka dan akhirnya Cia Sun mengajak kekasihnya untuk menemui orang tua kandungnya yang aseli, yaitu pendekar sakti Sim Houw dan Can Bi Lan.

Dalam perjalanan, mereka mendengar tentang sepak terjang Thian-li-pang yang menundukkan banyak tokoh dan perkumpulan kang-ouw. Hal ini menimbulkan kecurigaan di hati Cia Sun. Dia sudah menjadi saudara angkat Yo Han dan dia tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan pejuang, perkumpulan para pendekar gagah perkasa yang memperjuangkan kemerdekaan bagi tanah air dan bangsanya. Bahkan saudara angkatnya itu, Si Tangan Sakti Yo Han, menjadi ketua kehormatan perkumpulan itu. Akan tetapi sekarang apa yang didengarnya? Perkumpulan itu memaksa para tokoh kang-ouw untuk tunduk, bahkan juga terdengar bahwa para anggauta perkumpulan itu tidak segan melakukan kejahatan.

“Aku harus datang ke sana, aku harus menegur kakakku Yo Han!” kata pangeran itu. Sim Hui Eng siap membantu kekasihnya untuk menegur Yo Han agar menghentikan sepak terjang Thian-li-pang yang tidak baik itu. Demikianlah, mereka membelokkan perjalanan dan menuju ke Bukit Naga, pusat perkumpulan Thian-li-pang.

Ketika tiba di tempat itu dan melihat Sian Li dikeroyok empat orang, Sim Hui Eng berkata kepada pangeran Cia Sun, “Koko, itu Si Bangau Merah Tan Sian Li yang dikeroyok!”

Cia Sun memandang dan merasa kagum. Gadis berpakaian serba merah itu memang lihai bukan main. Begitu gagah ia memainkan suling emasnya, dan gadis itulah yang dijodohkan dia! Kalau saja tidak ada Sim Hui Eng yang dicinta dan mencintanya, tentu akan berubah sikapnya terhadap pilihan orang tuanya itu. Akan tetapi dia mencinta Sim Hui Eng, dan tidak ada seorang bidadari pun yang akan mampu memisahkan dia dan Hui Eng.

“Kalau begitu, kita harus membantunya.”

“Benar, kita harus membantunya. Lihat, para pengepungnya itu lihai, bahkan bekas ayahku yang jahat itu pun ikut mengeroyoknya.” Dengan kemarahan meluap teringat akan perbuatan Siangkoan Kok yang amat jahat, terbayang kembali betapa ia dihajar dan hampir dibunuh bekas ketua Pao-beng-pai, apa yang dilakukan orang yang bertahun-tahun ia anggap ayah kandungnya itu terhadap Tio Sui Lan, muridnya sendiri, membuat ia marah dan ketika ia melompat dan menerjang ke arah Siangkoan Kok, serangannya dahsyat bukan main. Pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kirinya menyambar dahsyat dengan jarum-jarum maut!

“Ehhh.... kau....!??” Siangkoan Kok terkejut bukan main ketika mengenal penyerangnya. Akan tetapi, Hui Eng tidak memberi dia banyak kesempatan dan gadis itu sudah menyerang terus, membuat Siangkoan Kok terpaksa melayaninya dengan sungguh-sungguh karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian bekas puterinya ini sudah mencapai tingkat tinggi dan tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Adapun Cia Sun sudah memutar pedangnya pula membantu Sian Li sehingga Si Bangau Merah itu kini mendapat keringanan, tidak lagi terdesak seperti tadi.

Sian Li sendiri terkejut dan heran melihat Sim Hui Eng. Ia masih mengenal gadis itu sebagai gadis Pao-beng-pai yang pernah datang mengacau dalam pesta keluarga di rumah pendekar Suma Ceng Liong. Dan kini gadis itu membantunya, bahkan bertanding seru melawan bekas ketua Pao-beng-pai sendiri! Juga ia tidak mengenal siapa pemuda bertubuh tegap bermuka bundar putih dan tampan itu, yang datang membantunya pula. Akan tetapi Si Bangau Merah segera melihat kenyataan bahwa biarpun bantuan mereka berdua itu telah menolongnya dari himpitan para pengeroyok akan tetapi tingkat kepandaian mereka belum cukup tinggi untuk mampu merebut kemenangan dari para pimpinan Thian-li-pang.

“Bu-koko, jangan bunuh mereka! jangan!!” kembali Cu Kini Giok berseru.

Melihat kesempatan setelah ia tidak lagi begitu terhimpit berkat pertolongan kedua orang itu, Sian Li segera memutar sulingnya dan berkata, “Sobat, mari kita pergi!” Ia memutar sulingnya dengan ilmu silat Kim-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan tangan kirinya masih meluncurkan pukulan jarak jauh sehingga dua orang tosu dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw terpaksa harus mundur.

Cia Sun maklum bahwa kalau Si Bangau Merah berteriak mengajak mereka pergi, hal itu tentu berarti bahwa pihak musuh terlampau kuat. Maka dia pun berseru, “Eng-moi, kita pergi!”

Tiga orang muda itu berloncatan dengan cepat untuk melarikan diri. Ketika Ouw Seng Bu hendak mengejar, Kim Giok berseru, “Koko, jangan kejar mereka!”

Ouw Seng Bu meragu dan hal ini menguntungkan Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng. Kecuali Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok, tidak ada yang akan mampu menahan mereka pergi. Dan, agaknya karena Ouw Seng Bu ragu-ragu untuk melakukan pengejaran oleh pencegahan Cu Kim Giok, maka Siangkoan Kok juga jerih untuk melakukan pengejaran sendiri. Semua keraguan ini membuat Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng dapat berlari cepat meninggalkan sarang Thian-li-pang.

Setelah mereka lari sampai ke kaki bukit dan tidak ada yang kelihatan melakukan pengejaran Sian Li menghentikan langkahnya dan dengan sendirinya Cia Sun dan Hui Eng juga berhenti berlari.

Dengan leher basah oleh keringat, mereka saling pandang dan akhirnya Sian Li yang lebih dulu bicara, suaranya agak ketus dan ucapannya ditujukan kepada Hui Eng. “Sekarang boleh kaukatakan kepadaku, apa artinya ini semua? Engkau yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga kami, kenapa sekarang mendadak membantuku? Bukankah engkau tokoh Pao-beng-pai dan Siangkoan Kok tadi ketua Pao-beng-pai?”

Sebelum Hui Eng menjawab, dan hal ini terasa sukar baginya, Cia Sun yang mendahuluinya memberi keterangan, “Nona Tan Sian Li, memang telah terjadi perubahan besar sekali atas diri Eng-moi ini. Jangankan engkau atau orang lain, ia sendiri pun terheran ketika mendengar tentang keadaan dirinya.”

Sian Li mengerutkan alisnya dan kini mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik. Sikapnya masih dingin, “Hemmm, sebelum engkau bercerita, katakan dulu siapa engkau ini dan bagaimana engkau dapat mengenal namaku!”

Wajah pangeran itu berubah menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. “Ehhh.... sebetulnya.... yang mengenalimu tadi bukanlah, aku, melainkan Eng-moi ini, Nona. Aku bernama Cia Sun....”

“Cia....??” Kini Sian Li terbelalak memandang pemuda itu dan perlahan-lahan kedua pipinya berubah kemerahan. “Cia Sun....? Kau.... maksudkan pangeran....?”

“Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Cia Sun yang oleh orang tua kita....” Dia tidak melanjutkan kata-katanya.

“Sudahlah, Pangeran. Harap engkau suka menceritakan tentang semua ini, tentang Enci ini, tentang perubahan yang kaukatakan tadi.” Sian Li memotong untuk mengalihkan pembicaraan karena ia menjadi rikuh sekali kalau harus bicara tentang hubungan antara mereka. Siapa yang tidak menjadi rikuh dan gugup kalau secara tiba-tiba dihadapkan kepada seorang pemuda yang oleh ayah ibunya dicalonkan menjadi suaminya.

“Nona, ketika Eng-moi ini memusuhi keluargamu dan para pendekar, adalah seorang gadis yang bernama Siangkoan Eng, puteri dari ketua Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Adapun sekarang, Eng-moi bukanlah puteri ketua Pao-beng-pai, bahkan musuhnya, karena Eng-moi ini sebenarnya adalah puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan, yang hilang ketika masih kecil.”

Sian Li terbelalak. “Aihhh....! Jadi engkau.... engkau inikah puteri Paman Sim Houw yang hilang itu? Engkau yang dicari-cari semua pendekar, dicari oleh Han-koko dan aku pun ikut membantu mereka mencarimu? Dan engkau bahkan pernah datang menemui kami sebagai seorang musuh yang sengaja menantang kami?”

“Benar sekali, adik Sian Li. Ketika itu, aku sama sekali tidak pernah mimpi bahwa aku bahkan anggauta keluarga dekat dengan keluarga yang kutantangi sama sekali tidak tahu bahwa aku bukanlah anak kandung Siangkoan Kok dan isterinya. Wanita yang sejak aku kecil mengaku sebagai ibu kandungku adalah Lauw Cu Si, seorang keturunan Beng-kauw yang memusuhi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir.” Kemudian, secara singkat namun jelas, diceritakanlah semua tentang dirinya, tentang Siangkoan Kok dan Lauw Cu Si kepada Sian Li yang mendengarkan dengan bengong. Cerita itu sungguh seperti dongeng dan tentu saja ia tidak dapat menyalahkan Hui Eng atas sikapnya ketika memusuhi keluarganya dahulu. Bahkan ia lalu memegang kedua tangan Hui Eng.

“Aihhh, enci Hui Eng. Sungguh malang nasibmu, sejak kecil dipisahkan dari ayah ibu kandung dan dipelihara oleh orang-orang sesat. Akan tetapi dasar engkau keturunan suimi isteri pendekar, maka biarpun engkau mendapat didikan para tokoh sesat, tetap saja engkau setelah dewasa berjiwa pendekar dan menentang kejahatan. Lalu, bagamana ceritanya, engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan.... Pangeran Cia Sun ini dan kalian dapat datang tepat pada waktunya selagi aku terancam oleh pengeroyokan mereka tadi?”

“Kami saling berkenalan ketika aku dan kakak angkatku Yo Han....”

“Kakak angkatmu, Pangeran?” Sian Li. terbelalak.“Benar, Nona. Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan aku telah saling mengangkat saudara. Kami bertemu di Pao-beng-pai, kemudian kami mengangkat saudara setelah kami menjadi tawanan di Pao-beng-pai. Untung ada adik Eng ini yang membebaskan kami. Kemudian, Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah dan bu isteri Siangkoan Kok, yang dianggap ibu kandung oleh Eng-moi, tewas. Aku yang mengkhawatirkan nasib Eng-moi, ikut pasukan untuk mencarinya. Akan tetapi ia tidak ada dan aku sempat bertemu dengan isteri Siangkoan Kok yang tewas oleh suaminya sendiri. Sebelum meninggal dunia, wanita itulah yang membuka rahasia Eng-moi kepadaku.” Pangeran itu menghentikan kisahnya dan kini Hui Eng yang melanjutkan.

“Aku mengira bahwa Pangeran Cia Sun yang membawa pasukan menghancurkan Pao-beng-pai. Aku tidak peduli Pao-beng-pai yang jahat itu hancur akan tetapi aku mendendam karena wanita yang tadinya kuanggap ibu kandungku itu tewas. Maka, aku menyusul dia dan menawannya, dengan maksud membunuhnya di depan makam ibuku. Akan tetapi, aku mendengar ceritanya dan aku mengetahui keadaan diriku. Kami.... kami berbaik kembali apalagi setelah aku mendengar bahwa wanita yang kuanggap ibu kandungku itu tewas di tangan Siangkoan Kok.”

“Tapi, kenapa kalian dapat datang ke Thian-li-pang?” tanya Sian Li yang masih terkesan oleh kisah yang terjadi antara kedua orang itu.

Pangeran Cia Sun yang mengambil keputusan untuk berterus terang lalu menyambung cerita kekasihnya. “Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa orang tua kita telah menjodohkan kita, akan tetapi sebaiknya aku berterus terang kepadamu, nona Tan Sian Li. Biarpun setelah bertemu denganmu aku merasa bahwa orang tuaku telah melakukan pilihan yang tepat dan bahkan terlalu baik untukku, akan tetapi aku telah saling jatuh cinta dengan Eng-moi dan kami telah bersumpah untuk menjadi suami isteri. Maafkan aku kalau menyinggung...”

Sian Li tersenyum! Senyum yang cerah dan sedikit pun tidak mengandung penyesalan sehingga melegakan hati Cia Sun dan Hui Eng. “Aku bahkan merasa lega dan gembira dengan pernyataanmu ini, Pangeran. Terus terang saja, aku sendiri pun sama sekali tidak setuju dengan tindakan ayah dan ibuku yang memilihkan seorang calon suami untukku, seorang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak kuketahui bagaimana orangnya. Nah, sekarang ceritakan bagaimana kalian dapat datang ke sini.

“Aku hendak mengantar Eng-moi menghadap ayah ibu kandungnya yang tinggal di Lok-yang. Akan tetapi dalam perjalanan itu kami mendengar akan sepak terjang orang-orang Thian-li-pang. Aku merasa penasaran sekali bagaimana Thian-li-pang berubah menjadi perkumpulan yang menyeleweng, padahal, kakak angkatku Yo Han menjadi ketua kehormatannya. Aku lalu mengajak Eng-moi untuk berkunjung, dan kalau ada Yo-toako, aku ingin menegurnya.”

Sian Li kembali terheran-heran. “Pangeran, apakah engkau tidak tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah!? Dan engkau sendiri seorang pangeran kerajaan Ceng....”

“Benar, Nona. Aku seorang Pangeran Mancu, pemerintah penjajah. Akan tetapi aku sendiri tidak menyetujui penjajahan dan menganggap bahwa perjuangan para orang gagah itu memang sudah benar dan menjadi hak mereka. Aku tidak ingin mencampuri urusan itu, aku bercita-cita menjadi orang biasa yang tidak mencampuri urusan pemerintahan. Bahkan kami sekeluarga pun tidak mau mempunyai ambisi untuk memegang kedudukan. Karena itu, selama perkumpulan pejuang benar-benar merupakan pahlawan dan patriot sejati, aku menghormati mereka. Akan tetapi kalau mereka itu melakukan penyelewengan dan menjadikan perjuangan sebagai kedok untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan, aku pasti akan menentang mereka.”

Sian Li menganggak-angguk kagum dan ia memandang kepada Hui Eng.

“Aih, enci Eng, engkau telah mendapatkan seorang calon suami yang gagah perkasa. Sekarang tahulah aku mengapa ayah dan ibu berkeras hendak menjodohkan aku dengan Pangeran Cia Sun! Harap kaulanjutkan ceritamu, Pangeran.” Mendengar ucapan San Li yang begitu jujur dan terbuka, memuji pangeran itu begitu saja tanpa disembunyikan, sepasang kekasih itu tersipu akan tetapi juga merasa suka dan kagum kepada Si Bangau Merah.

“Kami segera mendaki Bukit Naga ini dan melihat engkau dikeroyok tadinya aku merasa ragu karena tidak tahu urusannya. Akan tetapi begitu Eng-moi mengenalmu dan menyebutkan namamu, kami berdua segera terjun dan membantumu.”

Sian Li menghela napas panjang. “Pertolongan Tuhan datang melalui apa saja, bahkan yang tidak pernah terduga sekalipun. Siapa pernah menduga bahwa ia akan diselamatkan oleh orang yang ditunangkannya akan tetapi tak pernah dikenalnya dan ditolaknya, dan oleh orang yang tadinya jelas memusuhi keluarganya? Kalian datang tepat sekali pada saatnya, karena tadi aku sudah hampir tidak tahan menghadapi mereka, terutama sekali Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang yang amat lihai itu.”

“Sekarang tiba giliranmu, Nona. Kami ingin sekali mengetahui bagaimana engkau dapat berada di sana tadi dan di kenoyok banyak orang lihai?” tanya Cia Sun.

Ditanya begitu, Sian Li teringat akan Yo Han dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram. Kalau saja ia bukan seorang gadis yang tabah dan berhati baja, tentu ia sudah menangis karena teringat bahwa mungkin sekali pria yang dikasihinya itu telah tewas.

Cia Sun dan Hui Eng melihat perubahan muka Sian Li itu dan mereka saling pandang. Ketika beberapa kali Sian Li hanya menghela napas panjang dan menunduk, alisnya berkerut, Cia Sun menjadi tidak sabar lagi.

“Nona, apakah yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang membuat engkau enggan menceritakan kepada kami? Kalau begitu, engkau tidak usah menceritakannya....”

“Tidak, Pangeran, bukan begitu, akan tetapi, ah, hatiku risau dan gelisah. Maafkan kelemahanku dan biar kuceritakan dari semula. Sebelum kuceritakan semuanya, sebaiknya kalau aku pun membuat pengakuan kepadamu, pengakuan yang hanya dapat kulakukan setelah engkau berterus terang tentang hubunganmu dengan enci Hui Eng. Pangeran, aku dan kakak Yo Han.... kami berdua.... ehhh...”

Melihat keraguan Sian Li dan perubahan mukanya yang menjadi merah sekali dan bibirnya yang mengulum senyum malu-malu, Cia Sun tersenyum, “Kalian saling mencinta?”
Sian Li mengerling kepadanya dan mengangguk.

“Ha, sudah kuduga, Nona. Engkau memang pantas sekali menjadi calon isteri Yo-toako. Nah, teruskan ceritamu.”

“Ketika tiga orang keluarga besar berkumpul di rumah Paman Suma Ceng Liong, aku tidak melihat Yo Han koko di
sana. Aku tahu bahwa dia sedang membantu Paman Sim Houw untuk mencarikan puterinya yang hilang. Karena itu, aku lalu mengambil keputusan untuk membantunya mencarikan enci Hui Eng.”

Mendengar ini, Hui Eng berkata. “Aih, kalian, semua begitu baik, bersusah payah mencari aku, akan tetapi aku sendiri telah bertindak jahat, mengacau di sana....” Suaranya penuh penyesalan.

“Ah, enci Eng. Seperti yang dikatakan Pangeran tadi, ketika itu engkau bukanlah enci Sim Hui Eng yang sekarang, melainkan Siangkoan Eng puteri ketua Pao-beng-pai. Yang sudah lewat anggap saja mimpi buruk, Enci.”

“Engkau benar adik Sian Li. Teruskan ceritamu.”
Sian Li lalu menceritakan bahwa dalam perjalanannya, ia pun mendengar tentang kejahatan orang-orang Thian-li-pang, maka ia pun merasa penasaran dan inginmenyelidiki. Ia bertemu dengan para tokoh Bu-tong-pai di lereng Bukit Naga dan mendengar penurutan mereka yang membuat ia terkejut setengah mati, yaitu bahwa kabarnya, Yo Han tewas di tangan ketua Thian-li-pang yang baru.

“Apa....?? Tidak mungkin itu!” Cia Sun berseru kaget setengah mati.
“Aku sendiri juga tidak percaya, Pangeran. Lebih tidak percaya lagi ketika OuW Seng Bu, ketua baru itu, menceritakan bahwa Han-koko telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, dan bahwa Han-koko datang untuk membunuh dia. Dia melawan di dekat sumur tua dan dia terluka oleh pukulan Han-koko, akan tetapi para anak buah mengeroyok Han-koko yang katanya tergelincir masuk ke dalam sumur tua itu. Dan....dan.... mereka menimbuni sumur tua itu dengan batu.” Suara Sian Li terdengar lirih dan penuh kegelisahan.“Tapi, aku tetap tidak percaya! Memang ketua baru Thian-li-pang itu lihai, akan tetapi tidak mungkin dia mampu membuat Yo-toako terjatuh ke dalam sumur. Tidak mungkin Yo-toako tewas, aku tidak percaya!” kata Cia Sun keras sambil mengepal tinju, akan tetapi suaranya mengandung isak tertahan, tanda bahwa dia juga merasa gelisah sekali.

“Pangeran, biarlah adik Sian Li melanjutkan ceritanya. Lalu apa yang terjadi kemudian, Li-moi?”

“Aku menuntut kepada Ouw-pangcu agar anak buah Thian-li-pang menggali sumur itu dan menyingkirkan timbunan batu-batu. Akan tetapi dia melarang dengan alasan sumur itu keramat bagi Thian-li-pang dan tidak boleh diganggu. Kami bercekcok lalu berkelahi dan aku dikeroyok oleh mereka.”

“Aku tetap tidak percaya! Nona, apakah engkau percaya akan keterangan itu? Bohong, ketua Thian-li-pang itu tentulah orang jahat yang berhasil menguasai Thian-li-pang dengan ilmunya. Mungkin dia yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang dan menjatuhkan fitnah kepada Yo-toako. Kita harus menyelidiki hal ini!”

“Aku pun tidak percaya, Pangeran. Akan tetapi, satu hal yang mencemaskan hatiku adalah kesaksian yang diberikan oleh Cu Kim Giok.”

“Cu Kim Giok? Siapakah itu?” tanda Sim Hui Eng dan Cia Sun hampir berbareng.

“Cu Kim Giok adalah puteri Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pauw Li Sian dari Lembah Naga Siluman. Ia keturunan terakhir keluarga Lembah Naga Siluman dan masih terhitung kerabat yang ada hubungan pertalian kekeluargaan denganku. Aku merasa heran bukan main melihat ia berada di sana, bahkan nampak akrab sekali dengan Ouw-pangcu itu. Kim Giok yang memberi kesaksian bahwa Ouw-pangcu memang terluka parah oleh pukulan Han-koko. Kehadiran Kim Giok di sana bukan sembarangan saja, pasti tersembunyi rahasia di balik itu semua.”

“Aih, jangan-jangan gadis itu dipengaruhi oleh Ouw Seng Bu itu.”

“Aku pun menduga begitu, Pangeran. Akan tetapi, jelas bahwa Kim Giok tidak menjadi jahat karenanya. Buktinya, ia yang berkali-kali memperingatkan Ouw-pengcu agar jangan membunuhku atau melukaiku. Agaknya ia pun percaya bahwa Ouw-pangcu berada di pihak yang benar, bahwa ketua baru itu seorang pejuang, seorang pendekar dan pahlawan, dan agaknya ia pun membenarkan Ouw-pangcu dalam urusannya dengan Han-koko. Pasti ada apa-apanya di balik semua ini.”

“Pangeran, adik Sian Li, kita semua sudah salingmenceritakan apa yang kita alami. Sekarang tidak ada gunanya untuk menduga-duga dan berheran-heran. Yang terpenting, kita harus menyelidiki sumur tua itu dan kita harus dapat melihat kenyataan apakah benar Yo-taihiap tewas seperti dikatakan Ouw-pangcu itu. Dengan demikian, kita tidak ragu lagi dan setelah itu baru kita putuskan, tindakan apa yang akan kita ambil.”

“Tepat sekali apa yang dikatakan oleh dinda Hui Eng, Nona. Kami semua harus berusaha sekuat tenaga untuk mencari bukti tentang keadaan Yo-toako. Karena bukan tidak ada sebabnya kalau orang-orang Thian-li-pang menimbuni sumur yang mereka anggap keramat itu dengan batu. Walaupun kita tidak percaya akan berita tewasnya Yo-toako, namun kita harus mendapat kepastian.”

Sian Li mengangguk. “Memang kalian benar, dan aku pun sudah mengambil keputusan, tidak akan pergi dari sini sebelum mendapat kenyataan yang jelas tentang diri Han-koko.”

Mereka bertiga lalu turun lagi untuk mencari pedusunan di mana mereka bisa membeli makanan. Setelah membawa bekal makanan kering dan minuman, mereka bertiga lalu berangkat lagi mendaki, Bukit Naga dan mencari jalan agar dapat memasuki daerah perkampungan Thian-li-pang dari belakang, langsung menuju ke sumur tua yang berada di bagian belakang terpisah sebuah bukit kecil dari perkampungan perkumpulan itu.

***

“Adik Gan Bi Kim, kau tunggu dulu....!!”

Gan Bi Kim menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. Ia melihat pemurda itu berlari cepat menghampirinya. Wajah Bi Kim berseri gembira ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Gak Ciang Hun pemuda yang selalu terbayang di pelupuk matanya semenjak mereka bertemu lalu berpisah. Dalam keadaan berduka karena kasihnya yang gagal terhadap Yo Han, ia bertemu pemuda itu yang juga mengalami derita patah hati karena kasihnya terhadap Si Bangau Merah tidak terbalas. Mereka seolah-olah saling menemukan, saling menghibur dan saling mengisi kekosongan hati masing-masing. Akan tetapi, pertemuan singkat itu segera diakhiri perpisahan, membuat Gan Bi Kim merasa kehilangan. Mereka bertiga, ia, Gak Ciang Hun, dan Tan Sian Li, saling berpisah di jalan perempatan. Sian Li melakukanperjalanan ke utara, Ciang Hun ke selatan, dan Bi Kim ke timur. Mereka bertiga bertujuan sama, yaitu membantu pencarian terhadap puteri Sim Houw yang hilang sejak kecil, yaitu Sim Hui Eng.

“Gak-toako....!” Bi Kim berseru dan kini ia pun lari menghampiri, menyambut pemuda itu dengan hati terbuka dan kedua tangan di julurkan ke depan. Semenjak berpisah, ia merasa kehilangan dan kesepian, kehilangan gairah dan semangat.

“Kim-moi (adik Kim)....!”
Kedua orang itu, saling menjulurkan kedua tangan, saling tatap tanpa kata. Dua pasang mata itu bersinar-sinar, kemudian mata Ciang Hun berkaca-kaca sedangkan Bi Kim yang berusaha keras menahan keras guncangan hatinya, tidak urung meneteskan beberapa butir air mata saking merasa lega dan bahagia dapat bertemu kembali dengan orang yang amat dikenangnya.

Ketika terdapat beberapa orang pejalan kaki mendatangi, Ciang Hun menggandeng tangan Bi Kim ke tepi jalan dan mengajaknya duduk di atas batu besar. “Mari kita bicara di sini, Kim-moi,” katanya.

Setelah duduk saling berhadapan di atas batu, Bi Kim berkata, “Toako, aku tadi merasa seperti dalam mimpi ketika mendengar panggilanmu kemudian melihat bahwa benar-benar engkau yang datang. Kiranya bukan mimpi dan betapa bahagianya rasa hatiku melihatmu, Toako.”

Ciang Hun menggenggam tangan yang masih digandengnya. Dari tangan merekayang saling genggam itu saja sudah terasa getaran hati mereka yang berbahagia.

“Kim-moi, aku girang sekali bahwa engkau merasa berbahagia melihat aku mengejarmu. Tadinya aku khawatir kalau-kalau engkau akan marah.”

“Marah? Aih, Toako, ketika kita saling berpisah, aku merasa kehilangan pegangan, seolah hidupku hampa. Akan tetapi, apakah yang menyebabkan engkau kembali kepadaku? Apakah ada sesuatu yang penting?”

Ciang Hun tersenyum dan menggeleng kepala, nampak agak tersipu, akan tetapi dengan sejujurnya dia berkata, “Kim-moi, setelah kita saling berpisah, entah mengapa, hatiku selalu terasa berat. Lalu kupikir betapa besar bahaya yang mengancammu dalam perjalanan seorang diri. Apalagi mengingat bahwa kita sama-sama hendak membantu dan mencari Sim Hui Eng, maka apa salahnya kalau kita mencari bersama? Dengan berdua, atau bertiga dengan Sian Li, kita akan lebih kuat menghadapi bahaya, bukan? Nah, aku lalu berbalik mengejarmu.”

Bi Kim tersenyum, “Kalau begitu pikiran kita sama. Aku pun senang sekali engkau akan menemaniku, Toako. Marilah kita segera menyusul Sian Li ke utara.”

“Aku pernah mendengar bahwa Yo Han menjadi pemimpin Thian-li-pang di Bukit Naga. Sian Li mungkin sekali mencari Yo Han yang dicintanya itu untuk membantunya karena Yo Han sedang mencari Hui Eng. Mari kita cari Sian Li ke sana, siapa tahu ia pergi ke Thian-li-pang di Bukit Naga.”

Setelah Ciang Hun berada di sampingnya, tentu saja Bi Kim mengikuti saja ke mana pemuda itu pergi. Mereka berdua melakukan perjalanan cepat ke utara dan kini mereka merasakan betapa perjalanan mereka amat menyenangkan, tidak lagi kesepian dan kehilangan.

Kita tinggalkan dulu kedua orang ini dan kita tengok keadaan Sian Li, Hui Eng, dan Cia Sun. Tiga orang ini sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki sumur tua di belakang Thian-li-pang untuk mencari bukti kebenaran berita bahwa Yo Han berada di dalam sumur dan ditimbuni batu-batu. Setelah membuat persiapan secukupnya, tiga orang pendekar ini mendaki Bukit Naga dari arah belakang Thian-li-pang. Mereka adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka biarpun perjalanan pendakian itu amat sulit bagi orang biasa, mereka dapat juga tiba di belakang bukit yang memisahkan sumur itu dari pusat Thian-li-pang. Tempat ini memang merupakan tempat yang seolah terasing. Juga dianggap keramat oleh para murid Thian-li-pang sehingga tanpa ijin ketua, tak seorang pun anggauta berani memasuki daerah yang menyeramkan itu.

Hari masih pagi sekali ketika mereka mulai mendaki bukit dan kini matahari sudah mulai menyengatkan cahayanya setelah mereka tiba di dekat sumur yang ditimbuni batu-batu. Tempat itu nampak sunyi, tidak nampak ada seorang pun anak buah Thian-li-pang. Hal ini melegakan hati tiga orang pendekar, membuat mereka lebih leluasa untuk melakukan pemeriksaan. Andaikata di situ terdapat anak buah Thian-li-pang, mereka tentu akan merobohkan dulu sebelum dapat melakukan pemeriksaan.

Sian Li mengerutkan alisnya ketika menjenguk ke dalam sumur tua itu. Sumur itu tertutup banyak batu-batu dan rasanya tidak mungkin batu-batu itu dapat digali dan disingkirkan hanya oleh mereka bertiga. Tentu akan memakan waktu berhari-hari!

“Ahhh, benarkah Yo-toako ditimbuni batu-batu itu di dalam sumur ini?” Aku sama sekali tidak dapat percaya!”

Sim Hui Eng juga memandang ngeri ke dalam sumur itu, “Aihhh, adik Sian Li, bagaimana kita akan dapat menyingkirkan batu-batu itu? Tidak tahu sampai berapa dalamnya sumur ini dan berapa banyaknya batu yang menimbuninya.”

“Bagaimanapun juga, kita harus membongkar batu-batu itu dan mengangkatnya keluar dari sumur. Kalau tidak begitu, bagaimana kita akan dapat membuktikan bualan ketua baru Thian-li-pang itu?”

Sian Li berkata, “Nanti dulu, Pangeran. Coba engkau dan enci Eng menyerang dan mengeroyokku di dekat sumur ini, aku ingin melihat kemungkinan Han-koko tergelincir ke dalam sumur. Mungkin atau tidak hal itu terjadi kalau kita sedang dikeroyok. Harap kalian mengeroyok dengan sungguh-sungguh, karena kalau benar Han-koko berkelahi melawan ketua Thian-li-pang itu, dan dikeroyok oleh para sekutunya, berarti Han-koko menghadapi banyak lawan tangguh. Nah, mulailah.”

Mengerti apa yang dimaksudkan Si Bangau Merah, Cia Sun dan Hui Eng mengangguk, kemudian keduanya sudah menyerang gadis itu dari kanan kiri. Sian Li mengelak dan menangkis, dan membiarkan dirinya terdesak sampai ke tepi sumur. Dengan cara tidak membalas, ia terdesak mundur sampai ke tepi sumur. Tiba-tiba, nampak bayangan merah berkelebat ke atas dan gadis itu sudah meloncati kedua orang lawannya, bagaikan seekor burung bangau melayang, melampaui kepala mereka.

“Cukup!” katanya. “Nah, kalian lihat sendiri, aku saja kiranya dalam keadaan gawat menghadapi pengeroyokan, dapat meloloskan, diri dengan mengandalkan gin-kang. Apalagi Han-koko yang memiliki tingkat gin-kang jauh lebih tinggi dariku. Jadi, mustahil kalau sampai mereka itu dapat membuat Han-koko tergelincir ke dalam sumur, bukan?”

“Tepat, Nona. Aku pun sama sekali tidak percaya bahwa Yo-toako demikian bodoh untuk dapat dibuat tergelincir ke dalam sumur yang bibirnya cukup tinggi ini.” kata Pangeran Cia Sun sambil menyentuh bibir sumur yang tingginya ada 1 satu meter itu. “Dia pasti berbohong!”

“Adik Sian Li, lalu apa yang akan kita lakukan sekarang. Apakah tidak lebih baik kita serbu saja Thian-li-pang, menangkap ketuanya dan memaksanya untuk mengaku, atau memaksa dia mengerahkan anak buahnya untuk membongkar batu-batu dalam sumur ini?” kata Hui Eng.

“Atau kalau kekuatan mereka terlampau besar bagi kita, biar aku mencari bantuan ke benteng pasukan yang terdekat.”

“Nanti dulu, Pangeran. Aku memang mengkhawatirkan keselamatan Han-koko, akan tetapi kurasa andaikata benar dia tewas, tentu bukan karena perkelahian melawan orang-orang jahat itu. Dia mungkin saja tewas atau tertawan karena terjebak, dan mungkin saja tidak berada di dalam sumur ini, melainkan ditawan di suatu tempat rahasia di Thian-li-pang.”

“Ahhh, itu mungkin sekali!” kata Cia Sun.

“Bagaimana kalau kita bertiga mencari secara terpencar? Dengan terpencar, selain lebih mudah menyusup, juga pencarian dapat dilakukan lebih luas,” kata Hui Eng.

Wajah Sian Li nampak berseri. “Demikianlah sebaiknya, enci Eng! Akan tetapi.... ah, aku merasa tidak enak sekali karena selain merepotkan kalian, juga menyeret kalian ke dalam bahaya besar mengingat betapa lihainya mereka.”

“Ihhh, nona Tan, mengapa engkau mengatakan demikian? Kakak Yo Han adalah kakak angkatku, sudah sepatutnya kalau aku rela mengorbankan nyawa sekalipun untuk membelanya!” kata Cia` Sun.

“Ucapan itu tepat sekali,” sambung Hui Eng. “Adik Sian Li, bukankah keluarga orang tua kita sejak dahulu merupakan keluarga besar para pendekar? Aku telah terseret ke dalam dunia sesat, akan tetapi sekarang tibalah saatnya aku menebus semua kekuranganku itu dan memperlihatkan kepada dunia bahwa aku masih tetap keturunan keluarga pendekar!”

Sian Li memandang dengan haru. “Kalau begitu, semoga Tuhan melindungi kita semua. Aku akan mengambil jalan dari sini ke kiri, dan engkau ke kanan, enci Eng. Pangeran sendiri melakukan penyelidikan di sini dan terus ke bagian belakang Thian-li-pang.”

“Dan kapan kita bertemu lagi? Di mana?”
“Di sini saja. Setelah kita melakukan penyelidikan, kita kembali ke sini dan siang atau sore ini kita harus sudah kembali ke sini mengumpulkan hasil penyelidikan kita.” kata Sian Li.

Setelah bersepakat, Sian Li berkelebat ke kiri dan Hui Eng meloncat ke kanan. Dalam sekejap mata saja kedua orang gadis perkasa itu telah lenyap, meninggalkan Cia Sun seorang diri. Pangeran ini termenung, hatinya diliputi penuh kekhawatiran. Pertama-tama tentu saja dia mengkhawatirkan. Hui Eng, gadis yang dicintanya, kemudian dia mengkhawatirkan Yo Han dan Sian Li. Pihak musuh terlampau kuat, dan jumlah mereka terlalu banyak. Dia memang tidak ingin mencampuri urusan pemerintah tidak mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan. Akan tetapi sekali ini dia harus mencari bantuan pasukan pemerintah, bukan untuk membasmi pemberontak, melainkan untuk melindungi dua orang gadis itu dan mencari keterangan tentang Yo Han. Biarpun dia tahu bahwa Hui Eng memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan belum tentu di bawah tingkat kepandaian Si Bangau Merah, akan tetapi menghadapi Thian-li-pang yang memiliki anak buah ratusan orang banyaknya, belum lagi sekutu-sekutunya yang banyak dan lihai, apa yang dapat diperbuat oleh dua orang gadis itu dibantu olehnya sendiri?

Setelah berpikir keras, Cia Sun meninggalkan tempat itu, bukan untuk menyelidiki ke Thian-li-pang, melainkan kembali menuruni bukit itu untuk memasuki dusun di mana tadi mereka membeli bekal makanan. Dia tahu bahwa kurang lebih seratus li dari dusun itu terdapat benteng Siang-heng-koan di mana terdapat pasukan pemerintah. Dia sendiri tidak mungkin pergi ke sana karena dia harus membantu dua orang gadis itu.

Melihat seorang laki-laki sedang menggarap sawah di luar dusun itu, Cia Sun cepat memanggilnya dari tepi sawah. Laki-laki itu bertubuh kuat berkat pekerjaan berat di sawah dan setiap hari mandi cahaya matahari, usianya sekitar empat puluh tahun.

“Toako, kesinilah sebentar aku mempunyai urusan penting untuk dibicarakan!” kata Cia Sun.

Melihat seorang pemuda di tepi sawah memanggilnya dan pemuda itu bukan seperti seorang pemuda dusun, petani itu segera menghampiri dan tubuh atas telanjang itu nampak kekar, celananya yang hitam penuh lumpur.

“Ada urusan apakah Kongcu memanggil aku?” tanya heran.

“Sobat, maukah engkau mendapatkan penghasilan yang lebih besar jumlahnya daripada penghasilan sawahmu, selama beberapa tahun?”

“Ehhh? Apa maksudmu Kongcu? Aku tidak mengerti....”
Cia Sun mengeluarkan tiga potong besar emas dari sakunya dan memperlihatkannya kepada petani itu. “Emas ini akan kuberikan kepadamu kalau engkau suka melakukan sesuatu untukku.”

Sepasang mata itu terbelalak. Biarpun selama hidupnya belum pernah dia melihat emas sebanyak itu, apalagi memilikinya, akan tetapi dia cukup dewasa untuk mengetahui bahwa tiga potong besar emas itu bukan saja amat mahal harganya dan merupakan jumlah yang lebih besar daripada hasilnya sepuluh tahun bekerja di sawah, bahkan dengan emas itu dia akan mampu membeli sawah yang luas dan rumah tinggal yang cukup baik!

“Apa yang harus kulakukan untuk Kongcu? Biarpun aku orang miskin, aku tidak mau kalau disuruh mencuri atau membunuh orang, biar dibayar berapa banyaknya pun!”

“Aih, siapa suruh engkau melakukan kejahatan? Tugasmu hanya mudah saja, yaitu mengantarkan surat ke benteng Siang-heng-koan.”

“Benteng pasukan....? Ah, mana aku berani, Kongcu? Aku akan ditangkap!”

“Suratku akan membuka pintu benteng dan engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai utusanku. Katakan dulu, sanggupkah engkau?”

Karena hanya disuruh mengantar surat, dengan penuh semangat petani itu berkata, “Aku.... eh, saya sanggup, Kongcu!”

“Kalau begitu, mari kita ke rumahmu, akan kubuatkan surat itu.”

Petani itu bergegas mencuci kaki tangannya, lalu mengenakan baju dan capingnya, memanggul cangkulnya dan bersama Cia Sun dia pulang. Rumahnya diujung dusun, sebuah rumah yang amat sederhana dan miskin. Mereka disambut isteri petani itu bersama empat orang anak mereka yang merasa terheran-heran melihat petani itu pulang bersama seorang pemuda tampan bukan petani.

Petani itu menyuruh anak isterinya ke belakang dan dia duduk di tengah rumah bersama tamunya. Atas permintaan Cia Sun, petani itu keluar sebentar untuk membeli alat tulis dan menyewa seekor kuda yang kuat. Kemudian, Cia Sun menulis surat kepada komandan benteng Siang-heng-koan dan surat itu dibubuhi tanda tangan dan cap yang selalu dibawanya.

“Nah, sekarang juga engkau cepat pergi menunggang kuda ke benteng itu dan emas ini boleh kaumiliki. Dengan emas ini, engkau akan dapat mengubah keadaan hidup keluargamu. Akan tetapi awas, kalau sampai surat ini tidak kausampaikan, pasukan benteng itu akan kukerahkan pasukan untuk menangkapmu dan engkau dengan seluruh keluargamu akan dihukum berat. Katakan siapa namamu!” kata Cia Sun sambil menyerahkan surat itu.

“Nama hamba Ki Siok....”kata petani itu, kini nampak takut dan hormat. “Kalau boleh hamba mengetahui nama Kongcu....”

“Katakan saja kepada komandan benteng itu bahwa engkau diutus oleh seorang yang bernama Sun dan serahkan suratku itu. Akan tetapi ingat, tidak boleh orang lain mengetahui tentang urusan kita ini dan siapapun juga tidak boleh melihat surat ini. Juga isteri dan anak-anakmu tidak boleh mengetahui.”

“Baik, baik, hamba mengerti....” kata petani itu ketakutan karena sebodoh-bodohnya, dia pun dapat menduga bahwa pengirim surat ini tentulah bukan orang sembarangan, buktinya memiliki emas sebanyak itu, bersikap royal, dan berani mengirim surat kepada komandan benteng.

Setelah melihat sendiri Ki Siok meninggalkan dusun menuju ke benteng Siang-heng-koan cepat Cia Sun kembali mendaki Bukit Naga dan ke tempat yang tadi. Matahari telah naik tinggi, tengahari hampir lewat, namun dekat sumur tua itu nampak sepi, belum kelihatan kedua orang gadis itu kembali. Dia pun menunggu dengan hati berdebar tegang penuh kekhawatiran.


***

Kekuasaan Tuhan mencakup dan menyelimuti seluruh yang ada, seluruh yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata manusia. Keadaan di seluruh alam semesta ini terjadi karena Kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan berada di dalam yang paling dalam, di luar yang paling luar, mencakup yang paling kecil sampai paling besar, yang terendah sampai yang tertinggi. Kekuasaan Tuhan jugalah yang mencipta, memelihara, dan mengadakan sampai yang meniadakan.

Segala sesuatu terjadi karena Kehendak Tuhan. Segala macam suka, duka, indah buruk, hanya merupakan ulah pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.

Sebab akibat merupakan mata rantai kait mengait yang dibentuk oleh hati akal pikiran kita sendiri. Tidak ada yang lebih kuat daripada Kekuasaan Tuhan, yang juga bekerja di dalam tubuh kita, dari ujung rambut sampai ke kuku jari kaki. Kekuasaan Tuhan bekerja sepenuhnya kalau kita menyerah. Penyerahan total yang meniadakan ulah hati akal pikiran sehingga kekuasaan Tuhan mutlak bekerja. Kalau sudah begitu, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya Tuhanlah Maha Sempurna, Maha Kuasa. Segala kehendakNya jadilah!

Ketika dia terjebak di dalam sumur tua, dan sumur itu ditimbuni batu-batu dari atas, Yo Han mengerahkan segala daya hati akal pikirannya yang memang tugasnya untuk mempertahankan manusia agar hidup dalam dunia ini. Dia berhasil menutup terowongan dalam sumur itu dengan batu besar sehingga batu-batu yang dilemparkan dari atas sumur itu tertahan oleh batu besar.

Yo Han duduk bersila di atasgulungan tali, memusatkan semua rasa diri, seolah-olah tenggelam dan membiarkan dirinya tenggelam ke dalam lautan penyerahan. Sampai malam lewat, dia tidak menyadari dan dia merasa seperti hidup di dalam lautan, atau di dalam udara tanpa datar. Tubuhnya ringan, tidak ada secuil pun pikiran mengganggu batin, bahkan tidak ada lagi rasa enak atau tidak enak. Seperti orang tidur atau orang mati, begitu kiranya keadaan. Yo Han. Hanya bedanya, dia sadar. Dia menyadari bahwa dia berada di dasar sumur tua dan tidak ada jalan keluar. Namun pada saat dia duduk bersila seperti itu, dia tidak merasa khawatir, tidak merasa apa-apa seolah-olah tidak peduli dan tiada bedanya baginya.

Malam lewat dan setelah ada sinar matahari menyorot masuk melalui celah-celah di antara batu-batu di atas, dia seperti terbangun. Dan teringatlah dia akan semua yang terjadi kemarin. Kemarin? Hanya samar-samar dia teringat bahwa malam telah lewat, berarti dia telah semalam berada di terowongan sumur itu. Lima orang pimpinan Thian-li-pang telah tewas dan mayat mereka dilempar ke dalam sumur yang kini ditimbuni batu-batu. Kini semuanya jelas baginya. Ouw Seng Bu membunuhi para pimpinan Thian-li-pang karena ingin menguasai perkumpulan itu. Gila! Bukankah Ouw Seng Bu murid Lauw Kang Hui bahkan merupakan murid tersayang? Kalau hanya murid mendiang Lauw Kang Hui, bagaimana mungkin dia mampu membunuh lima orang tokoh pimpinan Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi itu. Dan bagaimana pula para murid Thian-li-pang mau menerima dia sebagai ketua baru? Dan yang membuat dia lebih heran lagi, bagaimana gadis yang diperkenalkan kepadanya sebagai puteri Cu Kun Tek, pendekar sakti dari Lembah Naga Siluman, dapat berada di Thian-li-pang, bahkan bersahabat baik dengan Ouw Seng Bu?

“Aku harus dapat keluar dari sini. Harus! Aku harus dapat membongkar semua rahasia Ouw Seng Bu, kalau tidak Thian-li-pang akan diselewengkan, dunia kang-ouw akan kacau balau dan kejahatan akan menjadi-jadi. Semoga Tuhan memberi bimbingan kepadaku.” katanya dalam hati.

Perutnya mulai terasa lapar, akan tetapi dia menampung rembesan air yang menetes-netes turun dari atas dengan kedua tangan dan setelah minum air beberapa teguk, laparnya hilang. Mulailah dia memeriksa semua dinding terowongan itu. Dinding itu terjal ke atas, licin dan keras, tidak mungkin dipanjat, apalagi di atasnya tidak nampak lubang yang cukup besar seperti mulut sumur, melainkan tertutup dan sinar yang masuk pun melalui celah-celah dari samping atas yang tidak nampak dari situ.

Tiba-tiba terdengar suara mencicit dan Yo Han melihat seekor tikus yang cukup besar, sebesar anak kucing, berlari keluar dari sebuah lubang dan menggigit sebuah benda hitam kehijauan. Dia merasa heran bagaimana binatang itu dapat membawa sesuatu dengan gigitan, dan mengeluarkan bunyi mencicit pula. Tikus itu lenyap menyelinap ke dalam lubang kecil dan tak lama kemudian terdengar suara mencicit-cicit anak tikus. Yo Han tersenyum. Betapa besar kekuasaan Tuhan, pikirnya. Bahkan di tempat seperti ini pun terdapat mahluk hidup. Belum yang tidak nampak olehnya, seperti cacing dan kutu-kutu lainnya, mungkin dalam tetesan-tetesan air itu pun terdapat mahluk hidupnya! Hatinya semakin tenang karena dia yakin bahwa kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, sehingga kalau memang Tuhan menghendaki dia tidak mati, tentu ada jalan keluar dari situ!

Tikus itu! Dia membawa benda hitam kehijauan dan kembali ke sarang, memberi makan kepada anak-anaknya. Benda tadi tentulah makanan. Teringatlah dia akan jamur-jamur atau tanaman dalam air yang terdapat di terowongan gua di mana dia pernah mempelajari ilmu dari Kakek Ciu Lam Hok!

Kini Yo Han memandang ke arah lubang dari mana tikus tadi keluar. Bukan lubang sesempit kepalan tangan ke mana tikus tadi menghilang, melainkan lubang yang cukup besar, agaknya dia akan dapat memasuki lubang itu dengan merangkak rendah. Siapa tahu, itu merupakan jalan keluar, setidaknya jalan menuju ke tempat makanan! Andaikata bukan jalan keluar sekalipun, kalau dari sana dia bisa mendapatkan makanan sebagai penyambung hidup, itu sudah lumayan namanya.

Akan tetapi, baru dua meter lebih dia merangkak melalui lubang sempit itu, lubang mengecil dan tubuhnya tidak dapat maju lagi. Terpaksa Yo Han mempergunakan tenaganya untuk membongkar batu-batu di depannya, memperbesar terowongan itu sehingga dia dapat maju lagi. Tentu saja pekerjaan ini memakan waktu dan setelah sehari penuh bekerja, dia baru dapat maju sejauh empat meter dan terpaksa menghentikan pekerjaannya karena lelah dan gelap. Dia merangkak mundur dan minum air dengan menadah air rembesan dari atas dengan kedua tangannya sampai kenyang.

Malam itu, Yo Han mengatur tali sehingga merupakan tempat tidur darurat, lumayan untuk membiarkan tubuhnya beristirahat dengan rebah terlentang.

Sudah menjadi lajim bagi kita bahwa dalam keadaan menderita sengsara, kalau semua daya kita sudah tidak mampu menolong keadaan kita, maka kita baru teringat kepada Tuhan! Kita lalu merengek-rengek dan memohon kepada Tuhan agar kita dibebaskan daripada penderitaan. Tentu saja setiap orang dari kita tidak mau kalau dikatakan bahwa kita hanya teringat kepada pencipta kita kalau kita membutuhkan saja. Di waktu kita dalam keadaan senang, sewaktu kita berhasil, maka kita tidak ingat lagi kepada Tuhan dan merasa bahwa semua hasil itu adalah karena kepintaran kita! Keberhasilan mendatangkan kesombongan, kita menjadi tinggi hati dan merasa diri hebat. Sebaliknya, dalam keadaan gagal dan menderita, baru kita merasa betapa kita lemah tak berdaya, dan kita baru berdoa dan, meminta-minta kepada Tuhan. Segela macam permintaan kita ajukan, kita mohon diberi rejeki, mohon diberi kenaikan pangkat, mohon diluluskan ujian, mohon disembuhkan dari penyakit, dan segala macam permohonan lagi. Kita lupa bahwa segala sarana yang lengkap telah diberikan Tuhan kepada kita untuk mencapai itu semua. Untuk mendapat rejeki, kita sudah diberi anggauta tubuh lengkap, berikut hati akal pikiran untuk kerja dan mencari rejeki, untuk naik pangkat kita harus bekerja dengan jujur, setia dan baik, untuk lulus ujian kita harus belajar dengan rajin, untuk sembuh dari penyakit kita harus berobat dan untuk mencegah datangnya penyakit kita harus hidup bersih dan sehat, dan sebagainya. Akan tetapi, kesenangan merupakan semua penggunaan sarana tidak sehat. Karena penggunaan akal pikiran secara tidak sehat sehingga melahirkan perbuatan yang tidak sehat pula, maka timbullah semua akibat buruk. Kalau sudah begitu, kita minta-minta kepada Tuhan agar kita dibebaskan daripada akibat perbuatan kita sendiri itu.

Berbahagialah manusia yang lahir batinnya menyerah dengan tawakal dan ikhlas kepada Tuhan, mendasari semua ikhtiar sehat di atas penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bagi seorang yang sudah dapat menyerah lahir batin, maka segala apa pun yang datang menimpa diri, merupakan kehendak Tuhan yang penuh rahasia, Tuhan mengetahui apa yang paling tepat untuk kita, baik itu merupakan hukuman atau ujian. Hukuman memang tepat untuk mengingatkan kita akan dosa kita dan ujian memperkuat batin dan iman kita. Orang yang menyerah kepada Tuhan hanya mengenal ucapan syukur dan berterima kasih kepada Tuhan, dan hanya mengenal satu permohonan, yaitu permohonan ampun atas segala dosa yang diperbuatnya di masa lalu dan bimbingan di masa depan. Tidak banyak mengeluh kalau sedang ditimpa duka, dan tidak mabuk kalau sedang di jenguk suka.

Pada keesokan harinya, begitu ada sinar memasuki terowongan itu, Yo Han sudah bekerja lagi dengan rajin. Dia tidak tergesa-gesa, tidak terlalu memeras tenaganya agar tidak sampai kehabisan tenaga dan kelelahan karena perutnya yang kosong mengurangi banyak tenaganya. Setelah tiga hari lamanya membongkar batu-batu dan hanya minum air, setelah tenaganya hampir habis, lubang itu membesar lagi sehingga dia dapat melanjutkan merangkak ke depan dan ditemukannya jamur atau tumbuhan di antara dinding batu yang basah seperti yang dibawa oleh induk tikus untuk memberi makan kepada anak-anaknya. Yo Han pernah makan jamur ini atas petunjuk mendiang kakek Ciu Lam Hok, maka tanpa ragu lagi dia pun makan beberapa potong jamur. Dan terhindarlah dia dari bahaya kelaparan! Kini dia dapat melanjutkan usahanya mencari jalan keluar dengan menjelajahi lubang-lubang yang banyak terdapat di bawah permukaan bukit itu, merupakan lubang dan terowongan bawah tanah dari batu karang yang kuat.

Sambil mengerahkan seluruh anggauta badannya, seluruh panca inderanya, didasari penyerahan kepada Tuhan, yakin bahwa kekuatan Tuhan akan membimbingnya, Yo Han terus bekerja dengan tekun, tak pernah putus asa walaupun beberapa kali lubang yang diikutinya tiba di dinding buntu dan terpaksa dia harus mencari lubang lain.

***

Kalau Yo Han dengan penuh semangat mencari jalan keluar, maka di atasnya, di permukaan bukit itu, terjadi hal-hal yang hebat, yang tentu akan menggelisahkan hati Yo Han kalau dia mengetahuinya. Bayangan tubuh Sim Hui Eng yang ramping padat itu berkelebat cepat, menyelinap di antara pohon-pohon. Ia sedang melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang, untuk mengetahui lebih banyak tentang perkumpulan itu dan kalau mungkin menyelidiki apakah benar Yo Han telah tewas, ataukah ditahan dalani rumah perkumpulan itu.

Gadis yang anggun dan cantik ini, tidak lagi bersikap dingin angkuh seperti dahulu ketika ia masih menjadi puteri ketua Pao-beng-pai, menggunakan ginkangnya dan gerakannya sedemikian cepat sehingga tidak akan kelihatan oleh orang-orang Thian-li-pang. Akan tetapi, hal ini hanya dugaanya saja karena ia mengira bahwa musuh tidak tahu akan kedatangannya. Padahal, sejak ia bersama Sian Li dan Cia Sun berada di dekat, sumur tua, para murid Thian-li-pang telah melakukan penjagaan dan Ouw Seng Bu sendiri telah mengamati gerak-gerik ketiga orang itu. Tentu saja kini gerakan Hui Eng juga sudah selalu diamati. Setelah gadis itu kini berpisah jauh dari Sian Li dan Cia Sun, dan ia melihat bagian kanan perkampungan itu nampak tidak terjaga ketat, dengan berani ia melompati pagar dan memasuki bagian belakang sebuah bangunan besar yang hendak diselidikinya. Mungkin ia dapat mendengar percakapan murid Thian-li-pang atau syukur kalau menemukan sesuatu yang akan dapat menunjukkan tentang Yo Han.

Akan tetapi baru saja ia tiba di ruangan terbuka yang tadinya sepi itu, terdengar gerakan orang dan ketika ia cepat memutar tubuhnya, ia melihat dirinya sudah terkepung oleh puluhan orang, anak buah Thian-li-pang yang kesemuanya menyeringai dengan gaya mengejek!

“Hemmm....!” Hui Eng tidak menjadi gentar dan ia sudah mempesaiapkan pedang dan kebutannya. Dua orang pria yang agaknya menjadi pimpinan tiga puluh orang lebih anak buah Thian-li-pang itu melangkah maju dan berkata dengan suara yang mengandung ejekan.

Bersambung ke buku 7