Suling Emas & Naga Siluman -10 | Kho Ping Hoo



Buku 10

Pembunuh itu memandang dengan muka pucat, kemudian dia menuding ke arah Pangecan Yung Lok, yaitu Pangeran ke empat sambil berkata, suaranya menggigil, “Dia.... dialah yang menyuruhku.... Pangeran Ke Empat....”

“Bohong kau! Keparat busuk, berani kau memfitnah?” Pangeran Yung Lok berteriak dengan nada marah sekali.

“Pembunuh busuk!” teriakan ini terdengar dari mulut Yung Ceng dan sebelum ada yang tahu atau dapat mencegah, pangeran ini telah mencabut pedangnya, dan memasukkan pedangnya itu ke dada Si Pembunuh sampai tembus ke punggungnya! Tentu saja dua orang panglima yang meringkusnya itu melepaskan dan tubuh Si Pembunuh itu terpelanting, dan sambil mendekap dada dengan tangan kiri, dia menudingkan tangan kanan ke arah Pangeran Yung Ceng, lalu tangan itu membentuk cengkeraman seolah-olah dia hendak mencengkeram Pangeran itu. Akan tetapi tenaganya habis dan dia pun terkulai lemas karena pedang yang ditusukkan tadi telah menembus jantungnya!

“Seorang pengacau dan pembunuh harus dibasmi!” kata Pangeran Yung Ceng dengan suara lantang, seolah-olah hendak membela diri dengan perbuatannya itu. “Dan pembacaan surat wasiat tidak boleh ditunda lagi!”

Lan-thaikan, sebagai kepala di istana, lalu membuka gulungan kertas wasiat yang tadi telah diselamatkannya ketika kertas itu terlepas dari tangan pembesar Coa, kemudian membacanya dengan suara lantang.


“Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran Ke Empat Belas, dan agar penobatan segera dilakukan sehingga singgasana tidak terlalu lama dibiarkan kosong.

Tertanda:
Kaisar Kang Hsi.

Begitu mendengar isi surat wasiat ini terdengar habis, semua orang, seperti diberi komando oleh suara yang hanya terdengar oleh mereka, menjatuhkan diri berlutut dan semua orang berseru, “Ban-swe, ban-banswe” yang artinya sama dengan “Hidup”, sebagai penghormatan kepada Pangeran yang diangkat menjadi Kaisar baru dan menjadi junjungan mereka yang baru itu.

Demikianlah, Pangeran Yung Ceng dengan resmi diangkat menjadi kaisar dan perintahnya yang pertama kali adalah agar Pangeran Ke Empat yaitu Pgngeran Yung Lok, ditangkap dan dihukum mati! Akan tetapi, para panglima yang terkejut mendengar ini, maju berlutut dan mintakan ampun. Dengan sikap bijakaana untuk menimbulkan kesan, Sang Kaisar baru berkata bahwa mengingat akan kesetiaan para panglima itu, dia mau mengampuni Pangeran Yung Lok dan membuang Pangeran itu ke selatan.

Demikianlah sedikit riwayatnya Kaisar Yung Ceng yang ketika masih muda memang dia seorang yang memiliki kekerasan dan kemauan hati yang amat kuat, akan tetapi sayang sekali, kekerasan ini pula yang masih mendorongnya ketika dia mulai melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam hidup, sama kuatnya dengan ketika dia mengejar-ngejar ilmu di Siauw-lim-si. Setelah Pangeran ini menjadi kaisar, dia semakin haus akan kekuasaan, bahkan sering kali dia bertindak sewenang-wenang hanya untuk memperlihatkan kekuasannya. Lebih parah lagi, dia mulai tergelincir ke dalam lembah nafsu berahi sehingga dia seperti tiada puasnya mendapatkan wanita-wanita yang dikehendakinya. Dia tidak segan-segan untuk mengganggu isteri-isteri para pejabat, para pembesar di istana. Tentu saja di antara para pembesar itu banyak terdapat penjilat-penjilat yang memang sengaja mempergunakan isterinya yang cantik untuk mencari jasa sehingga mereka boleh mengharapkan anugerah dari Kaisar berupa kenaikan pangkat dan sebagainya.

Mula-mula para murid Siauw-lim-pai masih menganggap Kaisar ini sebagai seorang saudara seperguruan mereka sehingga ada pula yang datang berkunjung ke istana. Dan mereka ini selalu diterima oleh Kaisar Yung Ceng dengan ramah, diperlakukan sebagai tamu agung dan sebagai saudara seperguruan sendiri.

Akan tetapi, mulailah para anak murid Siauw-lim-pai geger ketika pada suatu hari, ketika seorang murid wanita Siauw-lim-pai yang terhitung sumoi (adik seperguruan) dari Kaisar sendiri datang berkunjung, Kaisar Yung Ceng yang memandang gadis pendekar itu dengan sinar mata lain, telah memaksa sumoinya itu untuk menuruti kemauannya! Gadis Siauw-lim-pai itu dirayu dan digauli dengan setengah paksa. Gadis itu kemudian membunuh diri dan Kaisar lalu menyuruh oramg-orangnya untuk mengubur jenazahnya dan merahasiakan peristiwa itu. Akan tetapi, tetap saja rahasia itu bocor dan akhirnya secara selentingan terdengar oleh para anak murid Siauw-lim-pai betapa murid wanita Siauw-lim-pai itu digauli oleh Kaisar dan membunuh diri! Karena tidak ada bukti, maka Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat sesuatu, hanya mulai memandang kepada Kaisar dengan curiga.

Akan tetapi, rasa permusuhan dari Siauw-lim-pai terhadap Kaisar ini baru terasa ketika pada suatu hari datang seorang suheng dari Kaisar sendiri bersama isterinya. Suheng ini adalah seorang sahabat baik ketika Sang Kaisar masih tekun belajar di Siauw-lim-si, merupakan sahabat dan saudara terbaik.

Akan tetapi, celakanya adalah bahwa suheng ini datang bersama isterinya dan lebih celaka lagi isterinya itu adalah seorang wanita muda yang cantik manis. Seketika tergiurlah hati Kaisar muda itu dan karena Kaisar tahu bahwa suhengnya itu adalah orang yang suka sekali main catur, maka dia lalu memanggil seorang thaikam yang pandai main catur. Suhengnya segera tenggelam di meja catur semalam suntuk dengan thaikam itu dan kesempatan ini, kesempatan yang memang sengaja diadakannya, dipergunakan oleh Kaisar untuk memasuki kamar suhengnya yang asyik bertanding catur di ruangan tamu itu, dan diganggulah isteri suhengnya! Diperkosanya wanita itu dengan paksa, dan karena wanita itu tidak berani melawan, maka dia hanya menangis saja, menyerah karena tidak berdaya. Pada keesokan paginya, ketika Sang Suheng kembali ke kamarnya, dia mendapatkan isterinya telah mati menggantung diri!

Peristiwa inilah yangg membuat Siauw-lim-pai mengambil keputusan untuk secara resmi mengeluarkan Sang Kaisar dari Siauw-lim-pai, tidak diakuinya lagi sebagai anak murid Siauw-lim-pai! Betapapun juga, Sang Suheng itu dapat menduga apa yang telah terjadi, mengapa isterinya itu secara tiba-tiba tanpa sebab telah membunuh diri.

Tindakan para pemimpin Siauw-lim-pai itu sungguh terlalu benar! Mengeluarkan Kaisar yang sedang berkuasa dari Siauw-lim-pai! Menganggapnya sebagai seorang murid murtad! Tentu saja hal ini amat menyakitkan hati Kaisar Yung Ceng yang mulai saat itu menganggap Siauw-lim-pai sebagai musuh, bukan lagi sebagai perguruan silat atau partai persilatan yang dibanggakannya sebagai tempat di mana dia pernah digembleng. Akan tetapi Kaisar Yung Ceng juga tahu bahwa amatlah tidak menguntungkan kalau dia menuruti perasaan dendam pribadi dan menggempur Siauw-lim-pai dengan pasukan, karena betapapun juga partai persilatan itu amat kuat dan merupakan hal yang merugikanlah kalau pemerintah menghadapinya sebagai musuh. Betapapun juga, orang-orang Siauw-lim-pai masih dapat banyak diandalkan kalau negara menghadapi musuh dari luar. Maka sakit hati itu pun disimpannya di dalam hati dan menimbulkan dendam dan tidak suka saja.

Demikianlah riwayat dan keadaan Kaisar Yung Ceng. Putera Kaisar itu, yaitu Pangeran Kian Liong merasa sangat berduka kalau dia memikirkan semua perbuatan ayahnya. Sampai kini pun ayahnya itu mudah sekali tergila-gila kepada wanita cantik. Dan Pangeran yang bijaksana ini pun tahu bahwa ayahnya yang kini terjatuh ke dalam pelukan dan cengkeraman selir ke tiga yang pandai merayu dan yang bersekutu dengan Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga yang agaknya amat disegani dan dihormati oleh ayahnya. Dia tidak tahu bahwa memang ayahnya yang kini menjadi kaisar amat tunduk kepada Ibu Suri Ke Tiga karena ibu suri ini amat berjasa kepada ayahnya. Dia tidak tahu bahwa memang ada persekutuan antara ayahnya, Sam-thaihouw, dan Lan-thaikam merupakan kepala istana yang menguasai semua pejabat dan pembantu yang bekerja di dalam istana, dan bahwa Kaisar amat percaya kepada orang kebiri tua ini.

Hal yang amat menggelisahkan hati Pangeran Kian Liong adalah peristiwa yang terjadi bulan lalu. Ketika itu Jendecal Kao Cin Liong memimpin pasukan untuk menggempur pergolakan di barat, di perbatasan Himalaya, untuk membantu Tibet yang diserang oleh Nepal. Dan pada waktu itu, di kota raja dikabarkan banyak terdapat mata-mata musuh. Mungkin karena memang ada mata-mata yang menyelundup ke dalam kuil, atau memang hanya dipergunakan sebagai alasan saja oleh Kaisar yang memang sudah membenci Siauw-lim-pai, Kaisar memerintahkan untuk menyerbu kuil Siauw-lim-si yang merupakan cabang dari pusat Siauw-lim-pat, sebuah kuil yang cukup besar di kota raja, di mana para hwesio Siauw-lim-pai lebih banyak mengurus soal pelajaran agama daripada ilmu silat. Serbuan itu merupakan gerakan pertama dari Yung Ceng yang memusuhi Siauw-lim-pai semenjak dia dipecat dari keanggautaannya. Kuil itu dibakar, semua pendetanya diusir, bahkan dalam bentrokan itu ada beberapa orang pendeta yang tewas.

Akan tetapi karena alasan penyerbuan itu adalah mencari dan membasmi mata-mata yang dikabarkan bersembunyi di kuil, maka pihak Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat apa-apa, hanya memesan kepada semua muridnya agar berhati-hati karena jelas bahwa Kaisar membenci Siauw-lim-pai. Hal ini pun membuat Pangeran Kian Liong merasa berduka dan prihatin sekali, karena dia tahu bahwa semenjak dahulu, Siauw-lim-pai merupakan partai besar yang berdasarkan agama, yang tugasnya menyebarkan keagamaan di samping memberi pelajaran ilmu silat tinggi dan rata-rata orang-orang budiman dan pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak pernah memberontak terhadap negara.

Ketika rombongan Pangeran Kian Liong yang disertai oleh Kao Kok Cu dan Wan Ceng, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, pada malam hari itu memasuki kota raja, di istana terjadi kegemparan besar. Untunglah bahwa Pangeran Kian Liong berkeras untuk mengajak dua pasang suami isteri itu langsung pergi ke istana dan menjadi tamu-tamunya.

“Kita telah melakukan perjalanan jauh, sebaiknya kalau kalian berempat langsung saja ke istana dan mengaso. Besok baru kita akan menghadap Ayahanda Kaisar.”

Akan tetapi, ternyata bahwa ketika mereka tiba di istana, di situ terjadi hal yang amat hebat. Kiranya malam hari itu, istana diserbu oleh seorang dara perkasa dan tujuh orang pendeta Siauw-lim-pai yang menyamar sebagai pengawal-pengawal istana!

Ketika itu, Kaisar baru saja memasuki kamarnya dan selir ke tiga telah datang untuk melayaninya ketika tiba-tiba di luar kamar itu terjadi keributan dan tiba-tiba terdengar teriakan nyaring. “Ada penjahat....!”

Kaisar Yung Ceng adalah seorang kaisar yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang cukup tinggi, bukan seorang kaisar yang lemah, maka mendengar seruan ini, dia bukan lari berlindung, sebaliknya malah meloncat keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak merasa takut. Dan begitu dia keluar, dia sudah diserang oleh seorang dara yang berpakaian ringkas berwarna putih dan dibantu seorang hwesio yang menyamar dalam pakaian pengawal istana, akan tetapi yang kini telah membuang penutup kepala sehingga nampak kepalanya yang gundul. Selain dua orang ini yang mengeroyok Kaisar, masih ada enam orang hwesio lain yang semua menyamar dalam pakaian pengawal sedang bertempur dikepung oleh banyak pengawal istana.

“Ai Seng Kiauw manusia keji, bersiaplah engkau untuk mampus!” gadis itu membentak marah dan sudah menyerang dengan dahsyatnya, menggunakan sebatang pedang yang tadi disembunyikan di balik jubahnya. Hwesio tinggi besar yang membantunya juga sudah menyerang Kaisar dengan sebatang golok, namun Kaisar Yung Ceng dengan sigapnya sudah meloncat lagi ke dalam kamar, menyambar sebatang pedang yang tergantung di kamarnya dan melawan dengan gagah. Melihat gerakan dua orang yang menyerangnya itu, tahulah Kaisar Yung Ceng bahwa dia diserang oleh murid-murid Siauw-lim-pai, maka dia pun marah bukan main. Pedangnya diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dan dia membentak, “Pemberontak-pemberontak Siauw-lim-pai!”

Akan tetapi dua orang penyerangnya tidak banyak cakap lagi melainkan memperhebat desakan mereka sehingga Sang Kaisar pun harus mempercepat gerakannya. Selirnya dan para dayangnya menjerit dan menyembunyikan diri di sudut kamar sambil berangkulan dengan, tubuh menggigil ketakutan. Sementara itu, enam orang hwesio yang berada di luar kamar masih mengamuk, dikeroyok banyak pengawal yang berdatangan.

Pada saat itulah Pangeran Kian Liong datang becsama Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng. Tentu saja, tanpa diminta lagi, dua pasang suami isteri perkasa itu segera turun tangan.

“Kalian bantu para pengawal dan aku akan melindungi Kaisar!” kata Kao Kok Cu yang segera menerjang masuk ke dalam kamar Kaisar yang pintunya terbuka dan darimana dia dapat melihat Kaisar sedang dikeroyok oleh dua orang.

“Li Hwa, kau larilah!” Hwesio tinggi besar itu berseru dan biarpun dia sedang menghadapi Kaisar, dia masih mampu menggunakan tangan kirinya untuk mendorong tubuh gadis itu yang terhuyung ke arah jendela. Gadis itu maklum bahwa keadaan amat berbahaya maka dia pun sekali loncat telah lenyap melalui jendela kamar.

Sementara itu Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, dan Wan Ceng menerjang dengan tangan kosong, akan tetapi begitu mereka membantu para pengawal, enam orang hwesio Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Sambaran tangan Tek Hoat mengeluarkan bunyi seperti menyambar pedang pusaka, juga pukulan-pukulan Wan Ceng mendatangkan angin dahsyat sekali, dan gerakan Syanti Dewi seperti seekor burung beterbangan dan tamparan-tamparannya juga seperti kilat menyambar-nyambar. Biarpun enam orang hwesio itu masih berusaha untuk melawan mati-matian, namun dalam waktu belasan jurus saja mereka telah roboh terpelanting oleh pukulan-pukulan tiga orang yang baru datang ini, tak mampu bangkit kembali karena telah menderita luka parah, apalagi yang roboh membawa bekas pukulan tangan Wan Tek Hoat dan Wan Ceng, karena mereka itu tewas tak lama kemudian, dan hanya seorang di antara mereka, yang roboh oleh pukulan dan tamparan Syanti Dewi, yang masih hidup, biarpun dia juga tidak mungkin mampu melawan lagi.

Hwesio tinggi besar yang memimpin penyerbuan itu, yang tadi bersama gadis itu menyerang Kaisar, juga sudah roboh oleh Si Naga Sakti. Tulang pundaknya patah-patah terkena sentuhan jari tangan Kao Kok Cu dan kini dia memaki-maki Kaisar.

“Ai Seng Kiauw murid murtad, engkau membikin kotor nama Siauw-lim-pai! Engkau tidak segan-segan untuk memperkosa murid Siauw-lim-pai dan isteri suhengnya sendiri, dan biarpun engkau kini telah bersembunyi di dalam pakaian kaisar, namun kami murid-murid Siauw-limpai sejati enggan hidup bersama orang durhaka macammu ini di atas bumi!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan pedang dengan tangan kirinya, menggorok leher sendiri!

Kaisar Yung Ceng terluka pundaknya dan sedang diperiksa oleh Kao Kok Cu. Akan tetapi ternyata luka itu tidak parah dan Kaisar marah sekali mendengar ucapan itu. Dia kini mengenal wajah para hwesio itu yang ternyata adalah suheng-suhengnya sendiri ketika dia belajar ilmu silat di Kuil Siauw-lim-si dahulu. Melihat bahwa masih ada seorang hwesio yang belum mati, Kaisar lalu menghampiri dan membentak, “Pemberontak laknat, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian melakukan penyerbuan ini!”

Akan tetapi hwesio yang terluka oleh pukulan Syanti Dewi itu memandangnya dengan mata mendelik dan tidak menjawab. Dia hendak membunuh diri dengan membenturkan kepala di lantai, akan tetapi Kaisar telah mendahuluinya, menotok lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi.

“Hayo mengaku kalau engkau tidak ingin disiksa!” Kaisar membentak lagi, wajahnya berobah merah saking marahnya.

“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba hwesio itu tertawa dengan mata terbelalak, dan tiba-tiba dia menutup mulutnya dan melihat ini, Wan Tek Hoat cepat bergerak maju memegang dagunya dan memaksanya membuka mulut. Namun terlambat! Ketika mulut itu terbuka, mulut itu penuh darah dan lidahnya sudah putus oleh gigitannya sendiri! Sungguh mengerikan sekali melihat mulut terbuka itu penuh darah dan potongan lidahnya jatuh keluar. Syanti Dewi sendiri sampai membuang muka melihat pemandangan yang mengerikan itu.

Kaisar semakin marah. Hwesio ini sudah putus lidahnya, berarti tidak akan mau bicara dan tentu akan mati. “Cari gadis itu! Cari sampai dapat dan tangkap hidup-hidup!” teriaknya kepada para pengawal yang segera lari cerai-berai untuk memenuhi perintah Kaisar itu.

Setelah para pengawal berserabutan lari untuk mengejar dan mencari gadis itu, baru Kaisar mempunyai kesempatan untuk memperhatikan empat orang penolongnya. Tentu saja dia mengenal Kao Kok Cu dan Wan Ceng, ayah dan ibu seorang panglimanya yang paling diandalkan, jaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong.

“Untung sekali kalian datang.” kata Kaisar ketika melihat dua orang suami isteri perkasa ini memberi hormat kepadanya. Kemudian dia mengangkat muka memandang kepada Wan Tek Hoat, kemudian kepada Syanti Dewi dan wajahnya berubah, matanya mengeluarkan sinar berseri ketika dia memandang puteri itu dan agaknya pandang matanya enggan meninggalkan wajah yang luar biasa cantiknya itu.

“Dan siapakah orang gagah ini dan wanita cantik seperti bidadari ini?” tanyanya tanpa mengenal sungkan lagi. Syanti Dewi menunduk dan memberi hormat dengan sikap sederhana, akan tetapi diam-diam alisnya berkerut karena dia melihat pandang mata yang penuh nafsu di mata Kaisar itu yang ditujukan kepadanya. Juga Wan Tek Hoat melihat ini, akan tetapi dia pun menundukkan muka dengan sikap hormat.

Kao Kok Cu dan Wan Ceng tentu saja melihat pula sikap Kaisar, maka cepat-cepat Wan Ceng memberi keterangan, “Sri Baginda, dia ini adalah Kakak angkat hamba, yaitu puteri Bhutan bernama Syanti Dewi, bersama suaminya.”

Kaisar nampak tercengang dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya puteri Bhutan yang pernah membikin geger di istana belasan tahun yang lalu itu? Sungguh amat cantik luar biasa, dan memiliki kepandaian tinggi pula, pantas saja pernah membikin geger.”

Kao Kok Cu yang merasa tidak enak melihat betapa Kaisar yang mata keranjang ini agaknya tertarik sekali kepada Syanti Dewi, dalu maju dan berkata, “Sebaiknya kalau Paduka beristirahat lebih dulu, biarlah hamba semua ikut membantu pengejaran terhadap gadis itu. Siapa tahu mereka itu masih mempunyai teman-teman yang tersebar di dalam istana, sehingga keselamatan Paduka masih terancam.”

Mendengar ucapan ini barulah Kaisar sadar akan keadaannya dan dia merasa betapa sikapnya tadi memang kurang sedap dipandang, apalagi mengingat bahwa wanita cantik ini disertai suaminya, bahkan suami isteri ini telah menyelamatkan dari ancaman bahaya maut. Kaisar lalu menarik napas panjang dan berkata dengan sikap ramah sekali, “Baiklah, akan tetapi kami minta kepada kalian berempat untuk bersama kami makan pagi sehingga terdapat banyak kesempatan bagi kita untuk bercakap-cakap. Nah, sampai jumpa besok pagi.” Kaisar lalu diantar oleh selir dan para dayang, berikut pengawal pribadi untuk menuju ke sebuah kamar lain karena kamar itu telah dikotori oleh banyak darah.Empat orang gagah itu lalu meninggalkan ruangan itu pula untuk membantu para pengawal mencari gadis yang buron tadi, juga mereka itu diam-diam merasa heran akan lenyapnya Pangeran Kian Liong yang tadinya datang bersama mereka akan tetapi yang kini tidak lagi nampak lagi batang hidungnya!

Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Memang tadi dia datang bersama dua pasang suami isteri itu. Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang menyerang Kaisar itu melarikan diri melalul jendela kamar ayahnya, Pangeran ini lalu menyelinap dan melakukan pengejaran. Dia tahu bahwa para penyerang ayahnya itu adalah orang-orang Siauw-lim-pai, maka diam-diam dia merasa menyesal sekali karena dia sudah dapat menduga pula apa yang menyebabkan orang-orang Siauw-lim-pai itu menyerbu istana dan menyerang ayahnya. Dan biarpun Pangeran ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia mengenal semua lorong dan jalan rahasia di dalam istana, maka dia dapat mengejar dan membayangi gadis yang melarikan diri itu.

Gadis itu sendiri merasa bingung. Memang ketika dia dan para susioknya (paman gurunya) menyelundup ke dalam istana, dia dan para susioknya itu menyamar sebagai pasukan pengawal. Akan tetapi dalam keadaan melarikan diri ini, tentu saja tidak mudah baginya untuk keluar dari lingkungan istana. Di mana-mana terdapat penjaga dan bahkan kini di atas genteng pun nampak para penjaga! Maka dia lalu menyelinap dan memasuki lorong-lorong dan makin dalam dia masuk, makin bingunglah dia, tidak tahu mana jalan keluar lagi. Beberapa kali dia terpaksa mengambil jalan lain dan menyelinap sembunyi ketika hampir kepergok para penjaga.

Ketika dia tiba di lorong yang lebar, sepasukan penjaga melihatnya. Mereka berteriak mengejar dan terpaksa gadis itu lari lagi mengambil jalan lain. Selagi dia kebingungan karena dari mana-mana muncul penjaga, tiba-tiba sebuah pintu di sebelah kirinya terbuka dan muncul seorang pemuda yang memberi isyarat kepadanya dengan tangan agar dia masuk ke pintu itu. Dia merasa heran dan curiga.

“Sssttt.... ke sinilah, Nona....” kata pemuda itu berbisik. Gadis itu masih meragu, akan tetapi kini terdengar derap langkah para penjaga dan pengawal yang sedang mencari-carinya, maka dia lalu menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang berwajah tenang dan tersenyum ramah.

“Masuklah dan engkau akan selamat dari pengejaran mereka” pemuda itu berkata.

Karena tidak melihat jalan lain, gadis itu lalu memasuki pintu yang dibuka oleh pemuda itu, pedangnya masih tergenggam erat-erat di tangan kanannya. Untung dia bergerak cepat karena baru saja dia masuk, muncullah pasukan pengawal yang mengejarnya, tiba di depan pintu itu. Si Pemuda masih berdiri di depan pintu dan kini menutupkan pintunya sedikit sehingga gadis itu tidak nampak dari luar. Gadis itu mengintai, pedangnya siap menusuk pemuda itu kalau Si Pemuda ternyata mengkhianatinya dan melapor kepada pasukan. Akan tetapi, dia terheran-heran melihat betapa semua pasukan, dipimpin oleh komandan mereka, memberi hormat kepada pemuda itu dan minta maaf kalau mereka itu mengganggu.

“Kalian ini mengapa ribut-ribut di sini dan sedang mencari apa?” tegur pemuda itu dengan lantang.

Komandan pasukan pengawal itu menjawab dengan suara penuh hormat, “Harap maafkan kalau hamba sekalian mengganggu Paduka Pangeran. Hamba sedang mencari seorang buronan, yaitu seorang gadis yang merupakan satu di antara para penyerbu yang mengacau di istana.”

“Hemm, aku sudah mendengar akan hal itu. Apakah belum tertangkap semua? Seorang gadis katamu? Sejak tadi aku berada di dalam taman dan tidak melihat seorang asing, apalagi seorang gadis. Pergilah kalian cari ke tempat lain.”

Pasukan itu memberi hormat dan pergi dari tempat itu. Derap kaki mereka makin menjauh dan akhirnya lenyap. Gadis itu memandang ke belakangnya. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman yang indah, yang cuacanya cukup terang dengan adanya lampu-lampu gantung beraneka warna menghias pohon-pohon di tempat indah itu. Sunyi sekali di situ. Akan tetapi dia pun merasa terheran-heran ketika mendengar betapa pasukan tadi menyebut pemuda ini pangeran! Kecurigaannya timbul kembali. Seorang pangeran, putera Ai Seng Kiauw, putera Kaisar yang menjadi musuh besarnya! Dia menggenggam pedang itu erat-erat ketika pemuda itu menutupkan daun pintu yang menembus ke taman itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Pangeran Kian Liong tersenyum melihat dara yang masih amat muda itu memandangnya penuh curiga dengan pedang siap menyerang!

“Untuk sementara ini engkau aman, Nona.”

Pegangan pada gagang pedang itu mengendur, akan tetapi suaranya masih gugup ketika bertanya, “Paduka.... Paduka seorang pangeran....?”

Pangeran Kian Liong mengangguk. “Benar, dan namaku adalah Kian Liong.”

“Ah....!” Gadis itu nampak terkejut dan memandang wajah Pangeran, itu dengan bengong.

Pangeran Kian Liong tersenyum. Ada sesuatu pada wajah dan terutama pada pandang mata gadis ini yang luar biasa baginya. “Mari kita bicara di taman yang sunyi itu, Nona dan ceritakan siapakah Nona dan mengapa Nona yang masih begini muda tersangkut dalam urusan percobaan membunuh Sri Baginda, hal yang amat berbahaya sekali.” Sikap dan suara Pangeran Kian Liong yang halus dan penuh ketenangan itu mendatangkan ketenangan pula dalam hati gadis itu dan dia pun menurut saja ketika diajak ke dalam taman, bahkan kini dia telah menyimpan kembali pedangnya di dalam sarung pedang yang disembunyikan di bawah mantelnya.

Mereka duduk berhadapan di atas bangku-bangku teruklir indah di tengah-tengah taman, menghadapi sebuah kolam ikan di mana banyak terdapat ikan-ikan emas beraneka warna dan bentuk yang berenang-renang di sekeliling bunga-bunga teratai merah dan putih.

“Nama hamba Souw Li Hwa, Pangeran dan hamba.... hamba sama sekali tidak memusuhi Sri Baginda Kaisar, hamba bukan seorang pemberontak, melainkan seorang murid yang hendak membalaskan dendam Guru hamba yang hidup sengsara karena perbuatan murid Siauw-lim-pai murtad Ai Seng Kiauw!” Gadis itu mulai menceritakan keadaan dirinya.

Pangeran Kian Liong mengangguk maklum. “Aku pun mengerti dan dapat menduga, Nona, akan tetapi betapapun juga orang yang bernama Ai Seng Kiauw dan dahulu menjadi murid Siauw-lim-pai itu sekarang adalah Kaisar! Nah, ceritakanlah semuanya, apa yang telah terjadi sehingga engkau malam ini dengan nekat bersama beberapa orang hwesio Siauw-lim-pai menyerbu istana dan mencoba membunuh Kaisar.

Souw Li Hwa lalu bercerita. Dia seorang anak yattm piatu yang kedua orang tuanya tewas ketika dusunnya diserbu perampok. Dia masih kecil, baru berusia lima tahun ketika hal itu terjadi dan dia sendiri diselamatkan oleh pendekar Siauw-lim-pai yang kemudian mengangkatnya sebagai murid dan merawatnya seperti anak sendiri. Li Hwa diberi pelajaran ilmu silat dan ketika dia berusia empat belas tahun, penolongnya yang juga merupakan gurunya dan pengganti orang tuanya itu menikah dengan seorang gadis cantik dan dia masih terus ikut gurunya, sebagai murid dan juga sebagai pembantu isteri gurunya yang juga amat sayang kepadanya.

Karena suami isteri itu tidak mempunyai anak biarpun mereka sudah menikah selama tiga tahun, maka mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai anak sendiri. Kemudian terjadilah malapetaka itu! Guru itu dan isterinya yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya dan yang memang memiliki wajah cantik itu, pergi mengunjungi Kaisar di istana. Kaisar adalah murid Siauw-lim-pai dan terhitung sute dari guru Li Hwa, maka kedatangan suami isteri itu diterima dengan amat ramah oleh Kaisar. Akan tetapi, watak mata keranjang Kaisar itu menimbulkan malapetaka hebat menimpa keluarga yang tadinya hidup dengan rukun, dan bahagia itu.

“Ketika Suhu sedang asyik main catur bersama seorang thaikam, dan hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh Ai Seng Kiauw, maka isteri Suhu yang berada di dalam kamar seorang diri itu didatangi oleh Ai Seng Kiauw dan diperkosa. Memang tidak ada saksi atau bukti, akan tetapi apalagi yang menyebabkan isteri Suhu itu tiba-tiba menggantung diri dalam kamar itu? Suhu tidak berani menuduh Kaisar karena tidak ada bukti, akan tetapi peristiwa itu membuat Suhu menjadi sakit-sakitan dan bahkan akhir-akhir ini Suhu menderita tekanan batin yang membuat dia seperti orang yang tidak waras lagi....” Sampai di sini, gadis itu mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.

Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. Cerita ini tidak aneh baginya, karena memang dia pernah mendengar persitlwa yang terjadi kurang lebih setahun yang lalu itu.

Li Hwa lalu melanjutkan ceritanya. Kiranya selagi mudanya dan menjadi murid Siauw-lim-pai, Ai Seng Kiauw bersama delapan orang lainnya yang juga menjadi murid-murid terpandai di Siauw-lim-pai merupakan sekelompok sahabat-sahabat akrab yang terkenal sebagai Sembilan Pendekar Siauw-lim-pai, demikianlah nama julukan yang mereka pilih dan mereka yang sembilan orang ini pernah bersumpah untuk saling setia. Di antara delapan orang ini termasuk pula guru Li Hwa, sedangkan tujuh orang lainnya adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-si, hanya Ai Seng Kiauw dan guru Li Hwa sajalah yang tidak menjadi pendeta.

“Karena menganggap semua perbuatan Ai Seng Kiauw sebagai hal yang keterlaluan, murtad dan mengotori nama baik Siauw-lim-pai, apalagi karena mengingat betapa Ai Seng Kiauw telah berbuat laknat terhadap Guru hamba dan berarti melanggar sumpah setianya sendiri, maka tujuh Susiok itu lalu mendukung niat hamba untuk membalas dendam. Akan tetapi....” Kembali gadis itu mengusap air matanya, “Ternyata kami gagal...., dan entah bagaimana nasib tujuh orang Susiok yang malang itu....”

Pangeran Kian Liong memandang tajam. Biarpun dia masih muda dan tidak merupakan seorang ahli silat yang pandai, namun pergaulan Pangeran ini amat luas dan dia sudah mengenal banyak sekali orang-orang pandai dan sakti. Dia melihat bahwa dara ini sebetulnya bukan merupakan seorang kang-ouw yang keras hati, melainkan seorang nona yang halus perasaannya. Dan entah mengapa, baru pertama kali ini Pangeran Kian Liong merasa tertarik kepada seorang gadis. Terutama sepasang mata dari dara inilah yang membuat dia terpesona, sepasang mata yang membayangkan penderitaan batin yang amat mendalam dan menimbulkan rasa iba dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa dukanya hati nona ini.

“Nona, menyerbu istana merupakan perbuatan bodoh, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi, mengapa engkau meninggalkan tujuh orang Susiokmu yang terkepung itu?”

Ditanya begini, dara itu nampak terkejut dan mukanya berobah pucat, lalu menjadi merah sekali, suaranya terisak ketika dia menjawab. “Itu bukan kehendak hamba! Akan tetapi, Toa-susiok memaksa hamba.... dan.... dan hamba pikir.... kalau kami semua harus tewas, lalu siapa yang kelak akan membalas dendam? Usaha kami ini kali tidak berhasil, mungkin semua Susiok gugur, akan tetapi hamba masih hidup dan hamba akan....” Tiba-tiba dia teringat bahwa dia berhadapan dengan seorang pangeran, putera dari Kaisar yang hendak dibunuhnya dan dia memandang dengan mata terbelalak! Dia menjadi bingung! Pemuda ini adalah putera Kaisar, putera musuh yang akan dibunuhnya, tetapi juga penolongnya, bahkan sampai saat itu keselamatannya mungkin berada di tangan Pangeran ini!

“Nona, mengapa Nona membiarkan diri terperosok ke dalam lembah dendam ini?”

“Betapa tidak? Hamba kehilangan orang tua, guru, sahabat.... hamba kehilangan satu-satunya orang yang selama ini mengasihi hamba.... dan sekarang, hamba seolah-olah ditinggal sendiri.... dan melihat penderitaan Suhu.... ah, apa yang dapat hamba lakukan kecuali berbakti dan membalas dendam kepada musuhnya?”

Pangeran Kian Liong menggeleng kepalanya sambil tersenyum penuh kesabaran. “Ah, engkau masih terlalu muda, engkau tidak tahu dan hanya menurutkan perasaan saja, Nona. Apakah sebabnya engkau mendendam kepada Kaisar?”

“Hamba tidak mendendam kepada Kaisar, melainkan kepada Ai....”

“Ya, katakanlah mendendam kepada Ai Seng Kiauw. Mengapa?”

Gadis itu memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh kemarahan. “Karena dia membuat Suhu menjadi gila! Karena dia membunuh isteri Suhu!”

Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Benarkah itu? Suhumu itu menjadi sakit dan gila, menurut hematku, karena kelemahannya sendiri, Nona.”

“Tidak, Suhu menjadi sakit karena kematian isterinya. Dan isterinya membunuh diri karena diperkosa....”

“Hemm, kalau dipikir secara demikian, memang segala ini ada sebab-sebabnya tentu. Misalnya, mungkin sikap isteri Suhumu terlalu manis, atau dia itu terlalu cantik, dan harus diingat lagi bahwa sebab terjadinya peristiwa itu adalah karena Suhumu datang mengunjungi Ai Seng Kiauw, dan malah membawa isterinya lagi! Coba bayangkan, andaikata dia tidak datang ke istana, dan andaikata dia tidak membawa isterinya, dan andaikata isterinya itu tidak cantik, dan andaikata dia itu tidak tergila-gila main catur.... dan masih banyak andaikata lagi yang menjadi sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, mengapa Nona menyeret diri ke dalam dendam? Ingatlah bahwa Ai Seng Kiauw itu adalah kaisar, dan berusaha membunuh Kaisar, dengan dalih apapun juga, merupakan pemberontakan!”

Gadis itu kelihatan semakin gelisah dan bingung mendengar ucapan pemuda itu.

“Tapi.... tapi.... kalau hamba diam saja.... berarti hamba menjadi seorang murid yang tidak berbakt....!”

Pangeran itu tersenyum lebar. “Ingat, Nona, tentu engkau tahu bukan siapakah aku ini? Aku adalah seorang pangeran, aku putera Kaisar, berarti aku putera seorang yang kaukenal sebagai Ai Seng Kiauw itu. Aku adalah putera musuh besar yang hendak kaubunuh! Dan apa yang kulakukan? Alangkah mudahnya kalau aku mau mencontohmu untuk berbakti! Sekali berteriak engkau akan tewas dikeroyok pengawal. Akan tetapi aku tidak mau berbakti seperti itu, berbakti dengan membunuh orang! Nona, tidak dapatkan engkau berbuat seperti aku, menghapuskan segala macam dendam sehingga tidak akan ada permusuhan di antara kita?”

Gadis itu kelihatan semakin bingung. Belum pernah dia bertemu, bahkan mendengar pun belum, akan adanya seorang putera yang tidak memusuhi orang yang hendak membunuh ayahnya seperti Pangeran ini! Malah Pangeran ini menolongnya, biarpun sudah tahu bahwa dia datang untuk membunuh ayah Pangeran itu!

“Aku.... aku tidak tahu....”

“Apakah Nona menghendaki kalau Nona bermusuhan dengan Ayahku, kemudian aku pun memusuhimu? Tidak akan ada habisnyakah dendam-mendendam ini?”

“Tapi.... tapi Ayahmu.... dia jahat....”

Pangeran itu menarik napas panjang, dan menggeleng kepala, “Ayahku dahulu juga seorang pendekar, seorang gagah. Dan harus diakui bahwa dia seorang kaisar yang amat baik. Hanya dia mempunyai kelemahan, atau katakanlah dia sedang dalam sakit.... dan benarkah kalau kita harus membunuh orang yang sedang sakit? Ataukah tidak lebih tepat kalau kita berusaha mengobatinya?”

Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak orang berlarian, makin lama makin dekat. “Hemm, agaknya pasukan pengawal akan mencarimu ke tempat ini, Nona.”

Dara itu meloncat bangun dan mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong berkata, “Jangan, Nona. Percuma saja engkau melawan mereka.”

“Habis, apakah aku harus menyerahkan diri begitu saja?”

“Aku ada akal. Cepat Nona menyelam di dalam kolam ikan, dan sembunyikan kepala dibawah dan di antara daun-daun teratai. Cepat!”

Karena dia sendiri memang sedang bingung dan panik, Li Hwa tidak melihat akal lain dan dia pun lalu masuk ke dalam kolam ikan! Air kolam itu setinggi dadanya dan dia pun menekuk lututnya sehingga terbenam sampai ke bawah mulut dan dia menyembunyikan sisa kepalanya di antara daun-daun teratai, di bagian yang gelap dari kolam itu.

Ketika pasukan pengawal memasuki taman dan tiba di dekat kolam ikan itu, Pangeran Kian Liong sedang melempar-lemparkan batu-batu kecil ke tengah kolam, membuat air kolam itu tergerak-gerak dan agak berombak.

“Maaf, Pangeran” kata seorang perwira pengawal setelah mereka semua memberi hormat. “Akan tetapi sebaiknya kalau Paduka masuk ke istana karena ada penjahat berkeliaran di sini. Tujuh orang sudah tewas, akan tetapi seorang dari mereka masih belum tertangkap.”

Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. “Tidak perlu kalian mengurus aku! Pergilah dan carilah dia sampai dapat. Dia tidak berada di sini. Hayo pergi dan jangan ganggu, aku lagi!”

Komandan itu dan pasukannya menjadi ketakutan melihat Sang Pangeran bicara dengan sikap marah itu. Dengan hormat mereka lalu mengundurkan diri dan baru setelah tidak terdengar lagi langkah-langkah kaki mereka, Pangeran memberi isyarat kepada Li Hwa untuk keluar dari dalam air.

Gadis itu keluar dan Pangeran Kian Liong memandang dengan terpesona. Karena basah maka pakaian gadis itu melekat pada tubuhnya dan seperti mencetak bentuk tubuh yang padat langsing itu.

“Terima kasih, Paduka telah menyelamatkan hamba, Pangeran.”

Baru Sang Pangeran sadar ketika mendengar ucapan itu dan timbul rasa kasihan melihat seluruh tubuh gadis itu basah kuyup. “Ah, engkau basah kuyup, Nona. Engkau bisa sakit nanti. Mari ikut denganku, engkau harus bertukar pakaian dan baru nanti kuantar engkau keluar dari dalam istana.”

Tanpa banyak cakap lagi Li Hwa lalu diajak pergi dari taman, memasuki kamar Sang Pangeran. Beberapa orang pelayan memandang heran, juga beberapa orang thaikam yang bertugas menjaga malam itu. Akan tetapi Sang Pangeran menaruh telunjuk pada mulutnya dan mereka itu berlutut dan tidak berani mengangkat muka, maklum bahwa Sang Pangeran minta agar mereka menutup mulut. Mereka hanya merasa heran bukan main. Melihat Pangeran itu datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hal seperti itu tidak mendatangkan keheranan sungguhpun Pangeran Kian Liong bukan seorang pengejar wanita cantik. Akan tetapi datang bersama seorang gadis yang seluruh tubuhnya basah kuyup, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali.

Pangeran Kian Liong mengajak Li Hwa memasuki kamarnya dan menutupkan pintu kamar itu. Kemudian dia mengambil stel pakaiannya dan memberikannya kepada Li Hwa. “Nah, kau boleh berganti pakaian kering ini, Nona. Dengan pakaianku ini engkau akan menjadi seorang pemuda dan akan mudah untuk kuantar keluar dari istana tanpa mendatangkan kecurigaan. Pakailah, engkau dapat berganti pakaian di balik tirai itu.” Li Hwa menerima pakaian itu dengan muka berobah merah, lalu dia pergi ke balik tirai hijau yang tergantung di sudut kamar, menanggalkan pakaiannya yang basah, lalu mengenakan pakaian Pangeran itu yang tentu saja agak terlalu besar untuknya. Ketika dia telah selesai dan keluar dari balik tirai sambil membawa pakaiannya yang basah dan sudah digulungnya, Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan kagum.

“Ah, engkau telah berobah menjadi seorang, kongcu yang tampan sekali!”

Li Hwa menunduk dan mukanya menjadi merah. Makin lama, dia merasa makin tertarik kepada Pangeran ini sebagai seorang yang amat bijaksana dan dapat menghargai orang kang-ouw, juga amat adil dan berpemandangan luas. Sekarang dia bertemu dengan Pangeran ini dan menyaksikan sendiri tindak-tanduk Pangeran ini yang memang amat bijaksana.

“Sekarang, bagaimana selanjutnya, Pangeran?” tanya Li Hwa sambil mengangkat muka memandang pangeran itu. Kembali Pangeran Kian Liong terpesona. Sekarang mereka berada di dalam kamarnya yang terang dan dia melihat dengan jelas wajah itu, sepasang mata itu dan dia benar-benar merasa kagum sekali sehingga pertanyaan itu seperti tidak terdengar olehnya. Melihat betapa Pangeran itu memandang bengong kepadanya, Li Hwa kembali menunduk dan barulah Sang Pangeran sadar.

“Ohh.... sekarang.... hemm, biarlah sekarang aku akan mengantarmu sendiri sampai keluar dari istana. Takkan ada yang berani menyentuh selembar rambutmu, Nona. Kemudian, setelah tiba di luar istana, engkau boleh keluar dari kota raja dan kaupakailah cincinku ini. Dengan cincin ini dan sepucuk suratku ini, engkau akan dapat pergi ke manapun juga tanpa ada yang berani mengganggumu.” Pangeran itu meloloskan sebuah cincin bermata merah yang ada ukiran huruf-huruf namanya, berikut sampul surat yang ditulisnya ketika Li Hwa bertukar pakaian tadi.

Li Hwa menerima cincin dan sampul itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran. “Pangeran telah menyelamatkan hamba, hamba telah hutang nyawa kepada Paduka. Hamba tak mungkin dapat membalasnya dan....”

“Li Hwa, bangkitlah.” Sang Pangeran memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri. Mereka berdiri berhadapan dekat sekali dan kedua tangan Pangeran itu masih berada di atas pundak Li Hwa. “Engkau tak perlu membalas, tak perlu berterima kasih. Aku akan merasa
girang sekali kalau engkau mau membuang jauh-jauh dendam dari hatimu itu.” Dara itu menunduk, dan mengangguk, kemudian mengangkat muka memandang. Sepasang matanya bersinar lembut dan bisikannya menggetar. “Demi Paduka, mengingat akan kebijaksanaan Paduka, hamba berjanji akan membuang dendam itu, Pangeran. Kini hamba melihat bahwa memang tiada gunanya semua itu, bahkan Paduka sendiri yang semestinya yang menghukum hamba, bersikap begini mulia.”

“Bagus! Aku girang sekali, Li Hwa. Dan ingatlah, kelak.... kalau aku telah menjadi kaisar....”

“Ya....?” Li Hwa mendesak, melihat pemuda bangsawan itu nampak malu-malu untuk melanjutkan ucapannya.

“.... dan kalau engkau masih bebas.... engkau boleh datang ke sini mengembalikan cincin ini...., dan engkau selamanya boleh tinggal bersamaku di dalam istana.... di sampingku....”

Jantung Li Hwa berguncang keras, jalan darahnya menjadi cepat dan dia menundukkan muka sampai dagunya menempel di dada. Sungguh tak disangka-sangkanya sama sekali ucapan Pangeran ini! Dia sudah merasa berhutang budi, putera Kaisar yang sepatutnya menyerahkannya kepada pengawal, yang sepatutnya menghukumnya sebagai seerang pemberontak yang berusaha membunuh Kaisar, bukan hanya malah menyelamatkannya, menolongnya, bahkan kini secara tidak langsung mengaku cinta kepadanya dan minta dia untuk kelak mendampinginya atau menjadi isterinya! Rasa haru yang amat mendalam membuat Li Hwa memejamkan matanya, hampir tidak percaya akan kata-kata yang didengarnya tadi. Kalau Pangeran ini bersikap kasar atau merayunya, mencoba untuk memperkosanya, hal itu tidak akan mengherankan hatinya, bahkan tadi dia sudah mempunyai dugaan seperti itu dan diam-diam dia sudah mengambil keputusan bahwa kalau Pangeran itu mencoba untuk memperkosanya atau bersikap kurang ajar kepadanya, dia akan membunuh Pangeran itu lalu mengamuk sampai titik darah terakhir. Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Pangeran itu bukan saja menyelamatkannya, bahkan bersikap amat sopan dan baik sekali kepadanya, bahkan kini menyatakan cintanya dengan cara tidak langsung, malah “meminangnya” secara tidak langsung pula! Dia merasa terharu sekali, dan merasa terpukul betapa tadi dia merasa curiga dan mengira bahwa Pangeran itu akan memperkosanya.

Karena sampai lama gadis itu tidak menjawab dan hanya menunduk, Sang Pangeran lalu melepaskan tangan kirinya yang berada di pundak kanan gadis itu, lalu dengan hati-hati menggunakan jari-jari tangan kiri memegang dagu gadis itu dan mengangkat muka itu perlahan-lahan menghadapinya. Muka yang agak pucat, kedua matanya terpejam dan beberapa butir air mata menitik turun dari mata itu ke atas kedua pipinya.

“Li Hwa.... jawablah, maukah engkau....?”

Li Hwa membuka mata dan sejenak mereka saling berpandangan, kemudian gadis itu mengangguk dan menggenggam cincin itu. “Hamba.... akan menyimpan cincin ini.... sampai akhir hayat....”

“Tok-tok-tokk!”

Keduanya terkejut dan otomatis Li Hwa melangkah mundur, membalikkan tubuh memandang ke arah daun pintu itu.

“Siapa....?” Pangeran Kian Liong membentak dengan suara keren.

“Saya, Pangeran. Harap buka pintu!” terdengar suara wanita dari luar pintu. Mendengar suara ini, Sang Pangeran mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa dia menghadapi ancaman! Akan tetapi, dia bersikap tenang dan pura-pura tidak mengenal suara itu, lalu bertanya.

“Saya siapa?”

“Saya Ibumu ke tiga, Pangeran.”

“Ah, harap Ibu tidak mengganggu, saya ingin tidur.”

“Bukalah, Pangeran dan tidak perlu lagi berpura-pura. Ibumu sudah tahu bahwa engkau menyembunyikan wanita pemberontak itu di dalam kamar!”“Singgg....!” Li Hwa mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong memberi isyarat agar wanita itu bersikap tenang, bahkan dia lalu memegang dan menggandeng tangan kiri Li Hwa dan berbisik menyuruh gadis itu menyarungkan pedangnya. Kemudian dia berkata, menghadapi pintu.

“Tunggu, saya hendak keluar dengan teman saya.” Dan Pangeran itu lalu menggandeng tangan Li Hwa, diajaknya menghampiri pintu, membuka daun pintu dan melangkah keluar sambil menggandeng tangan gadis yang kini memakai pakaian pria yang agak kedodoran itu! Diam-diam Li Hwa merasa gelisah sekali, jantungnya berdebar tegang dan dia sudah siap untuk melawan kalau-kalau dia hendak diserang atau ditangkap.

Melihat Pangeran Mahkota itu melangkah dengan amat gagah menggandeng seorang “pemuda” yang pakaiannya kebesaran, Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga itu terbelalak dan tahulah dia bahwa “pemuda” itu tentu wanita pemberontak yang dikejar-kejar. Tadi dia menerima laporan mata-matanya, yaitu seorang di antara para pelayan thaikam yang melihat Pangeran itu masuk kamar bersama wanita yang pakaiannya basah kuyup.

“Pangeran, tunggu! Engkau tidak boleh....”

“Apa?” Pangeran itu berhenti, membalik dan menghadapi wanita tua itu, lalu memandang kepada para pengawal yang datang bersama ibu suri itu, pandang matanya penuh tantangan, “Siapa berani menghalangi aku keluar dari sini? Siapa? Ingin aku melihat orangnya yang berani menghalangiku!” Sikapnya amat gagah dan menantang, sehingga semua pengawal menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata Pangeran itu.

Melihat ini, Pangeran Kian Liong tersenyum dan dia pun lalu menggandeng tangan Li Hwa dan terus diajak berjalan keluar. Sejenak Sam-thaihouw tertegun menyaksikan keberanian Pangeran itu dan kemudian dia pun sadar bahwa bagaimanapun juga, tidak akan ada pengawal yang berani menghalangi Pangeran Mahkota itu. Kalau dia mengerahkan pengawal pribadinya, tentu pengawalnya akan berani, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu amat tidak baik baginya. Betapapun juga, Pangeran itu adalah Pangeran Mahkota, putera terkasih dari Kaisar, maka dia harus bersikap hati-hati. Maka, dengan marah dan mendongkol sekali dia berkata, “Pangeran, tunggu saja nanti apa kata Sri Baginda kalau mendengar bahwa Pangeran telah meloloskan seorang pemberontak dan pembunuh Kaisar!”

Akan tetapi Kian Liong pura-pura tidak mendengarnya, terus mengajak Li Hwa keluar dari istana itu. Setiap pengawal dan penjaga yang masih sibuk mencari-cari “pemberontak” wanita itu, begitu melihat Pangeran itu bergandengan tangan dengan seorang “pemuda” yang mereka tentu saja kenal sebagai gadis pemberontak yang mereka kejar-kejar itu, berdiri tertegun, bengong dan tidak tahu harus berbuat apa, kemudian begitu bertemu dengan pandang mata Pangeran yang menantang, mereka memberi hormat dan menundukkan muka!

Li Hwa merasa betapa tubuhnya panas dingin saking tegangnya ketika dia digandeng oleh Pangeran itu keluar dari istana, melalui lorong-lorong dan ruangan-ruangan luas yang penuh dengan penjaga-penjaga. Diam-diam dia merasa semakin terharu. Pangeran ini ternyata sungguh-sungguh menolongnya dan dia tahu bahwa untuk ini, Pangeran itu mengorbankan diri terancam oleh kemarahan Kaisar! Dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan marahnya Kaisar kalau mendengar bahwa puteranya sendiri yang meloloskan orang yang hendak membunuhnya!

Akan tetapi, tidak ada seorang pun berani menegur, apalagi menghalangi Pangeran yang menggandeng tangan gadis yang menyamar pria itu sampai mereka keluar dari pintu gerbang istana! Pangeran Kian Liong melewati penjaga terakhir di pintu gerbang dan terus mengajak Li Hwa berjalan keluar tembok istana dan berhenti di tempat yang gelap oleh bayangan tembok pagar dan pohon.

“Nah, dari sini engkau dapat melanjutkan perjalanan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan, Li Hwa. Ingat, perlihatkan cincin dan suratku, dan kutanggung takkan ada seorang pun yang berani mengganggumu.”

Li Hwa menjatuhkan diri berlutut. “Pangeran telah menunjukkan budi kebaikan dan cinta kasih yang amat besar untuk itu hamba Souw Li Hwa tidak akan melupakan selama hidup hamba....”

Pangeran Kian Liong membungkuk dan memegang kedua pundak gadis itu, menariknya bangun berdiri dan biarpun cuaca cukup gelap di tempat ini, terlindung bayangan tembok dan pohon, akan tetapi karena mereka berdiri berhadapan dekat sekali, mereka dapat saling melihat garis muka masing-masing.

“Li Hwa, kalau benar engkau tidak akan melupakan, kelak engkau tentu akan memenuhi janji datang kepadaku dan hidup bersamaku.”

Li Hwa merasa demikian terharu dan juga berbahagia sehingga dia agak terisak ketika dia berbisik, “Hamba bersumpah....” akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena bibir pangeran itu telah menutup mulutnya dalam sebuah ciuman yang mesra dan penuh kasih sayang. Dalam dorongan gairah asmara yang bergelora, dibangkitkan oleh rasa terima kasih, gadis itu hanya merintih dan membalas ciuman itu dan merangkulkan kedua lengannya pada leher Sang Pangeran.

“Pemberontak, kalian hendaklari. ke mana?”

Bentakan ini tentu saja membuat mereka terkejut, melepaskan ciuman dan rangkulan masing-masing dan Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Sesosok bayangan orang yang tinggi besar telah berada di situ, berdiri bertolak pinggang dengan sikap mengejek. Pangeran Kian Liong yang mengira bahwa orang itu tentu seorang di antara para penjaga pintu gerbang istana, menjadi marah.

“Hemm, manusia lancang. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?”

Akan tetapi, sikap dan jawaban orang itu sungguh mengejutkan hati Sang Pangeran. Orang itu tertawa bergelak, “Hoa-ha-ha-ha-ha, tentu saja aku tahu. Engkau adalah Pangeran yang mengkhianati Kaisar, membantu pembunuh melarikan diri!”

“Eh, siapa engkau? Dan mau apa kau?” Pangeran membentak, wajahnya berobah agak pucat karena dia maklum bahwa ada terjadi sesuatu yang luar biasa dan yang mengancam keselamatannya, terutama sekali keselamatan Li Hwa.

“Aku? Ha-ha, aku adalah orang yang hendak menangkap kalian, mati atau hidup!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar orang tinggi besar ini bergerak maju.

Melihat ini, Li Hwa yang sudah memegang pedang di tangan kanannya itu cepat menerjang, mendahului orang yang mengancam keselamatan Pangeran Kian Liong. Gerakannya cepat dan ganas sekali karena dara ini sudah menjadi marah dan nekat. Kalau orang ini hendak mencelakai Sang Pangeran, biarlah dia mengadu nyawa! Maka, seluruh kekuatan dan kepandaiannya dikerahkan dalam serangan-serangannya tanpa mempedulikan bagian pertahanan lagi.

Akan tetapi, orang tinggi besar itu hanya tertawa dan dengan lengan dan tangan kosong dia menangkis pedang nona itu. “Trakkk!” Sekali tangkis, pedang di tangan gadis itu patah menjadi dua seperti bertemu dengan benda yang luar biasa kerasnya! Li Hwa terkejut bukan main, akan tetapi dia tidak mundur sama sekali.

“Keparat, jangan kau berani mengganggu Pangeran!” bentaknya dan dengan pedang buntung itu dia menerjang lagi, pedang buntungnya membacok dan tangan kirinya mengirim pukulan ke arah pusar lawan, gerakannya amat ganas.

“Bresss....!” Orang tinggi besar itu memapaki dengan tendangan tanpa mempedulikan serangan gadis itu yang ketika bertemu dengan tubuhnya yang kebal seperti menyerang orang-orangan dari karet yang amat kuat saja sedangkan tendangan itu membuat tubuh Li Hwa terjengkang dan terbanting sampai berguling-gulingan.

“Li Hwa....!” Pangeran Kian Liong lari menghampiri dan berlutut, merangkul dara itu.

“Hamba tidak apa-apa, Pangeran. Paduka menyingkirlah, biar hamba mengadu nyawa dengan keparat ini!” Li Hwa bangkit lagi akan tetapi dia dirangkul oleh Pangeran Kian Liong. Melihat ini, orang tinggi besar itu tertawa.

“Biarlah kami menyerah, engkau boleh menangkap kami dan kami tidak akan melawan” kata Pangeran itu yang merasa khawatir kalau-kalau gadis yang dicintanya itu akan terluka atau tewas di tangan orang yang lihai itu.

“Ha-ha-ha, sungguh lucu! Pangeran Mahkota berpacaran dengan perempuan pemberontak, yang berusaha membunuh Kaisar, ayahnya sendiri. Ha-ha, sayang sekali, Pangeran, perintah yang kuterima adalah menangkap kalian dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Bersiaplah kalian untuk mati bersama, mati yang mesra, ha-ha-ha!”

Orang tinggi besar itu menerjang maju. Pangeran Kian Liong dan Li Hwa yang maklum akan kesaktian orang itu, hanya menanti datangnya pukulan maut tanpa mampu membela diri lagi.

“Desss....!” Tubuh orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak mencoba menembus kegelapan malam dalam pandang matanya ketika dia melihat seorang laki-laki yang berlengan satu sudah berdiri di situ dan laki-laki itulah yang tadi menangkisnya!

“Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir....” Orang tinggi besar itu tergagap.

“Hemm, Sam-ok, keberanianmu melewati batas!” kata orang berlengan satu itu yang bukan lain adalah Kao Kok Cu.

Kiranya orang tinggi besar yang lihai itu adalah Sam-ok Ban Hwa Sengjin maka pantas saja Li Hwa sama sekali tidak berdaya menghadapi datuk kaum sesat yang sakti ini. Karena usahanya digagalkan, biarpun dia tahu akan kesaktian Si Naga Sakti, Sam-ok menjadi nekat dan rasa penasaran membuat dia lupa diri! Tubuhnya sudah membuat gerakan berpusing cepat dan dia sudah mainkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu ilmu Silat Thian-te Hong-i (Badai Mengamuk Langit Bumi), dan sambil berpusing, tubuhnya yang lenyap menjadi bayangan berpusing cepat itu telah meluncur ke arah Si Naga Sakti. Kao Kok Cu adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka melihat gerakan lawan ini dia bersikap tenang-tenang saja dan hanya berloncatan ke kanan kiri untuk menghindar setiap kali dari bayangan berpusing itu mencuat sinar yang merupakan serangan-serangan tangan atau kaki yang amat berbahaya dari Sam-ok.

Sementara itu, melihat munculnya pendekar sakti itu yang menolongnya, hati Pangeran Kian Liong menjadi lega dan dia lalu rnendekap Li Hwa, menciumnya satu kali dan berkata, “Li Hwa, cepat kau pergilah dari sini. Ingat, pergunakan cincin dan surat!”

Li Hwa terisak, “Pangeran.... selamat tinggal....”

“Jangan lupa pesanku, Li Hwa.”

Gadis itu lalu meloncat dan melarikan diri kedalam kegelapan malam, menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah selatan dengan cincin dan surat itu, tentu saja dia akan dengan mudah keluar dari kota raja, karena di dalam surat itu Sang Pangeran memerintahkan agar gadis itu dilindungi dan siapa yang berani membangkang terhadap perintah gadis itu berarti membangkang terhadap perintahnya dan si pembangkan akan dihukum berat!

Sungguh terjadi perobahan besar sekali atas batin Li Hwa. Kalau tadi ketika dia memasuki istana dia merupakan seorang gadis yang penuh semangat permusuhan, penuh kebencian dan dendam terhadap Kaisar, kini dia meninggalkan kota raja dengan hati seperti tertinggal di istana penuh keharuan, kekaguman dan juga cinta kasih terhadap Pangeran Kian Liong, juga kedukaan bahwa dia harus berpisah dari Pangeran yang amat dikaguminya itu. Dia masih merasa putus asa untuk dapat berjumpa kembali dengan Pangeran yang dicintanya itu, sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa kelak dialah yang menjadi selir paling terkasih di antara para selir Pangeran Kian Liong setelah Pangeran itu menjadi Kaisar yang amat berkuasa kelak!

Sementara itu pertandingan antara Kao Kok Cu melawan Sam-ok tidak berjalan lama. Baru belasan jurus saja sudah dua kali tubuh Sam-ok terpental sampai jauh dan biarpun dia tidak mengalami luka parah, namun dadanya terasa sesak setiap kali dia bertemu tangan dengan pendekar sakti itu dan akhirnya Sam-ok lalu melompat dan melarikan diri karena kalau sampai datang pasukan pengawal, tentu dia akan celaka. Kao Kok Cu tidak mengejar, melainkan berkata kepada Pangeran Kian Liong dengan tenang, “Sebaiknya Paduka kembali ke dalam istana.”

“Kembali engkau telah menyelamatkan aku, Paman.” jawab Pangeran Kian Liong yang lalu menambahkan, “Harap Paman menyimpan rahasia tentang apa yang Paman lihat pada malam hari ini.”

Kao Kok Cu mengangguk, mengerti bahwa yang dimaksudkan tentulah rahasia Pangeran itu yang mengenal diri gadis Siauw-lim-pai itu. Dia lalu mengawal Sang Pangeran kembali ke istana, disambut oleh Wan Ceng, Wan Tek Hoat, dan Syanti Dewi. Lima orang ini bercakap-cakap dan Wan Tek Hoat yang pernah mengintai keadaan Im-kan Ngo-ok, menceritakan bahwa Im-kan Ngo-ok adalah tokoh-tokoh yang diperalat oleh Sam-thaihouw, demikian pula murid-murid Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-bi Mo-li. Pangeran Kian Liong yang sudah menduga akan hal ini, diam-diam marah sekali dan mengambil keputusan untuk tidak mendiamkan saja sepak terjang Sam-thaihouw yang amat membahayakan ayahnya itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, setelah menanti sampai lama, dua pasang suami isteri pendekar itu dipersilakan memasuki ruangan makan pagi seperti yang dikehendaki oleh Kaisar, yaitu mereka diundang untuk makan pagi bersama Kaisar untuk beecakap-cakap. Dalam pertemuan ini hadir pula Pangeran Kian Liong yang sekalian membuat laporan kepada Kaisar tentang perjalanan ke Pulau Kim-coa-to.

Akan tetapi, Kaisar agaknya hanya setengah hati mendengarkan laporan puteranya dan pandang matanya lebih banyak ditujukan kepada Syanti Dewi yang lebih sering menundukkan mukanya. Wan Tek Hoat, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, juga Sang Pangeran sendiri, dengan mudah dapat menduga bahwa Kaisar yang terkenal mata keranjang itu mulai tertarik oleh kecantikan Syanti Dewi yang memang luar biasa itu.

“Kami mendengar bahwa Anda memiliki ilmu silat amat lihai,” dalam suatu kesempatan Kaisar berkata, ditujukan kepada Syanti Dewi. “Timbul keinginan hati kami untuk menyaksikan, bagaimana seorang puteri yang demikian halus dan cantik, lemah lembut seperti Anda pandai main silat. Maka, hendaknya Anda suka memperlihatkan ilmu pedang Anda antuk membuka mata kami yang selalu haus untuk mengagumi ilmu silat yang baik.”

Semua orang diam-diam terkejut mendengar ini. Ini namanya sudah keteraaluan. Biarpun dia seorang kaisar, akan tetapi yang diperintahnya adalah tamu, dan seorang wanita yang baru saja menikah pula. Mana mungkin Kaisar memerintah orang yang bukan menjadi pengawal atau anak buahnya begitu saja, apalagi kalau orang itu seorang wanita seperti Syanti Dewi dan perintahnya untuk bermain silat lagi?

Syanti Dewi dengan sikap tenang lalu menjura. “Harap Paduka sudi mengampunkan hamba. Hamba hanya belajar sedikit, mana berani hamba memperlihatkan kejelekan di hadapan Paduka?”

“Aih, Anda terlalu merendahkan diri. Kami sendiri telah mendengar desas-desus, bahwa dewi dari Kim-coa-to selain cantik jelita seperti bidadari juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi, yang sukar dicari bandingannya. Kecantikan seperti bidadari itu telah kami buktikan dan malah melebihi desas-desus itu kenyataannya, hanya ilmu silat itu belum kami saksikan. Harap Anda jangan menolak, demi untuk menggembirakan suasana pagi ini.” Kaisar mendesak sambil tersenyum dengan sikap ceriwis, tanpa sungkan sedikitpun juga sungguhpun di situ hadir suami puteri itu, hadir pula puteranya dan suami isteri pendekar yang selama ini amat dikaguminya.

Syanti Dewi melirik ke arah suaminya, akan tetapi Tek Hoat duduk dengan tenang-tenang saja, jelas bahwa suaminya tidak hendak mencampuri dan menyerahkan Si Isteri untuk mengambil keputusan sendiri bagaimana cara menghadapi permintaan Kaisar itu.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar pemberitahuan dari pengawal yang berseru dengan suara lantang, “Yang Mulia Sam-thaihouw berkenan menghadap Sri Baginda Kaisar!”

Kaisar menoleh dan mengerutkan alisnya karena merasa terganggu, akan tetapi sebelum dia membantah, dan kiranya belum tentu Kaisar berani membantah kalau ibu suri ke tiga itu muncul, Sang Ibu Suri sudah memasuki ruangan itu dari pintu. Seorang nenek yang masih nampak jelas bekas-bekas kecantikannya, dengan muka yang dirias tebal, rambut yang ditambah dengan cemara tebal dan hitam digelung rapi, pakaian yang mewah sekali dan begitu dia muncul tercium bau semerbak wangi yang amat mencolok hidung. Tentu ada setengah botol minyak wangi yang dihamburkan di atas pakaian dan tubuhnya.

Setelah menghampiri meja itu, Sam-thaihouw menjura ke arah Kaisar dan untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang tahu aturan, Kaisar juga bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang yang menjadi Ibu tirinya itu.

“Semoga Thian memberkahi Sri Baginda!” kata Sam-thaihouw.

“Semoga Ibu selalu dalam keadaan sehat.” balas Sri Baginda Kaisar.

Sam-thaihouw lalu memutar tubuhnya dan menghadapi Pangeran Kian Liong yang masih tetap duduk di atas bangkunya, bersikap tidak mengacuhkan ketika wanita ini masuk. Kemudian dengan gerakan lambat seperti gerakan teratur seorang pemain wayang. Sam-thaihouw mengangkat lengan kirinya, mengeluarkan tangannya yang tersembunyi di dalam lengan baju yang panjang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Pangeran itu dan mulutnya mengeluarkan kata-kata lantang, “Sri Baginda telah makan pagi bersama dengan seorang pengkhianat.”

Tentu saja Kaisar merasa terkejut sekali dan dengan alis berkerut dia memandang kepada ibu tirinya itu dan akhirnya bertanya, “Apa yang Ibunda maksudkan?”

“Tentu Sri Baginda sudah memaklumi bahwa seorang di antara gerombolan pemberontak yang semalam menyerang Paduka, yaitu seorang penjahat wanita, telah berhasil lolos. Tahukah Paduka apa yang terjadi semalam? Saya telah melihat sendiri di mana adanya gadis pemberontak itu semalam!” Dia berhenti lagi, untuk menambah ketegangan dan memperbesar keinginan tahu kaisar.

“Di mana?” Kaisar mendesak dan memang Kaisar merasa terkejut, heran dan ingin tahu sekali.

“Di dalam kamar Pangeran Kian Liong!”

“Ahhh....” Kaisar terkejut sekali dan menoleh, memandang kepada puteranya.

“Bukan itu saja, Sri Baginda. Bahkan Pangeran Kian Liong telah membantu pemberontak itu, membawanya sendiri sampai keluar dari dalam istana, menyelamatkan perempuan jahat itu dari tangan para pasukan pengawal. Itulah sebabnya maka saya berani mengatakan bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pengkhianat!”

Wajah Kaisar berobah merah dan sinar matanya jelas membayangkan kemarahan besar ketika kini dia memandang kepada Pangeran Kian Liong. Dua pasang suami-isteri pendekar itu memandang kepada Pangeran dengan hati gelisah, akan tetapi juga mereka kagum bukan main ketika melihat betapa Pangeran itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan ada senyum bersembunyi di balik sinar matanya.

“Pangeran, apa jawabanmu sekarang? Benarkah apa yang dikatakan oleh Sam-thaihauw?” Karena di situ terdapat orang-orang lain sebagai tamu, maka sikap Kaisar terhadap puteranya itu kaku dan penuh aturan.

Pangeran Kian Liong mengangguk! “Harap Paduka dengarkan dengan sabar penjelasan hamba tentang gadis itu. Gadis itu datang bersama orang-orang Siauw-lim-pai yang tentu Paduka kenal, dan gadis itu datang bukan sebagai pemberontak melainkan ada kujungan dengan urusan pribadi, yaitu antara Suhunya dan Paduka. Jadi urusan semalam adalah urusan dalam keluarga perguruan Siauw-lim-pai, tidak ada hubungannya dengan pemberontak dan Kaisar. Memang hamba telah menyuruh Nona itu pergi setelah hamba berhasil menyadarkannya akan kekeliruan tindakan murid-murid Siauw-lim-pai. Hamba juga menyuruh dia menyadarkan para murid Siauw-lim-pai bahwa menganggap Paduka sebagai murid Siauw-lim-pai adalah keliru, dan hamba ingatkan Paduka adalah Kaisar dan siapa pun yang menentang Paduka, dengan dalih apa pun, berarti memberontak. Hamba mengampuni dan menyelamatkannya demi untuk menghentikan rasa permusuhan dari para murid Siauw-lim-pai terhadap Paduka. Kalau Paduka menganggap hamba bersalah, hamba hanya menyerahkannya kepada kebijaksanaan Paduka Ayahanda Kaisar!”

Mendegar jawaban yang terus terang ini, Kaisar mengangguk-angguk. Tentu saja dia mengerti apa yang telah terjadi. Dia pun mengenal tujuh orang suhengsuhengnya dari Siauw-lim-pai yang telah tewas semua itu dan dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu murid dari suhengnya yang datang bersama isterinya yang cantik beberapa bulan, bahkan sudah setahun yang lalu itu. Agaknya puteranya itu pun tahu akan hal itu dan betapa bijaksana puteranya yang tidak membuka rahasia itu. Biarpun dia kurang puas karena seorang di antara calon-calon pembunuhnya itu lolos, bahkan diselamatkan oleh puteranya sendiri, namun betapapun juga puteranya berusaha untuk menghentikan permusuhan dalam hati para murid Siauw-lim-pai terhadap dirinya.

Melihat Kaisar mengangguk-angguk, diam-diam Sam-thaihouw merasa tidak puas sama sekali. Dia melihat kesempatan baik sekali untuk menjatuhkan Sang Pangeran yang dibencinya, untuk menjauhkan Pangeran ini dari ayahnya, untuk membangkitkan kebencian atau setidaknya kemarahan di hati Kaisar terhadap Pangeran Mahkota, akan tetapi melihat Kaisar itu mengangguk-angguk mendengar jawaban Pangeran Kian Liong, dia kecewa sekali.

“Sungguh keterangan yang bohong!” teriaknya. sambil menudingkan telunjuknya kepada Pangeran Muda itu. “Pangeran telah jatuh cinta kepada gadis itu! Kedua mataku belum lamur, aku melihat sendiri betapa gadis itu memakai pakaian Pangeran! Dan betapa Pangeran menggandeng tangan gadis itu amat mesranya! Dan kalau pangeran sudah bersekongkol, bercinta dengan seorang musuh yang baru saja hendak membunuh Paduka, sungguh hal itu merupakan bahaya besar bagi Sri Baginda, seolah-olah mempunyai musuh di dalam selimut! Karena itu, sudah sepantasnya kalau Paduka mengeluarkan perintah menangkap pemberontak ini, pengkhianat ini dan menyelidikinya dengan cermat berapa jauh hubungannya dengan para pemberontak. Siapa tahu dia pula yang memungkinkan para pemberontak malam tadi itu memasuki istana....”

Pangeran Kian Liong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang saja, akan tetapi suaranya lantang ketika dia memotong kata-kata nenek tirinya itu, “Tidakkah akan lebih lengkap lagi bagi Sri Baginda untuk mendengar cerita Sam-thaihouw tentang Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat itu yang kini menjadi kaki tangan Sam-thaihouw, termasuk juga Su-bi Mo-li, empat orang siluman betina itu?”

Sam-thaihouw terkejut mendengar itu, akan tetapi dia cepat menegakkan lehernya dan berkata dengan suara mengandung wibawa yang keluar dari keangkuhannya dan keyakinan akan kekuasaannya, “Apa salahnya aku mempergunakan tokoh-tokoh kang-ouw dari golongan mana pun juga? Dari golongan mana pun, mereka adalah rakyat yang setia kepada kerajaan, dan aku menggunakan mereka demi untuk menyelamatkan negara, bukan sebaliknya untuk mengkhianati negara bahkan Kaisar sendiri!” Sam-thaihouw menyerang dan memang nenek ini pandai berdebat. Mendengar perdebatan mereka, Kaisar menjadi bingung dan dia hanya menoleh kepada dua orang itu berganti-ganti mengikuti perdebatan itu dan nampaknya tertarik.

Pangeran Kian Liong tersenyum. Pangeran ini biarpun masih muda namun sesungguhnya dia amat cerdik dan memang tadi dia hanya memancing saja. Begitu mendengar pembelaan diri Sam-thaihouw, dia tersenyum dan merasa pancingannya berhasil dan merasa yakin akan kemenangannya. Memang jawaban inilah yang ditunggu-tunggunya.

“Sam-thaihouw menuduh saya bersekutu dengan pemberontak, padahal sudah jelas bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu bukan pemberontak dan saya berusaha melenyapkan sikap bermusuhan mereka terhadap Kaisar. Akan tetapi Sam-thaihouw agaknya sengaja hendak menutup mata akan kenyataan siapa adanya Im-kan Ngo-ok! Sam-thaihouw kiranya dapat menceritakan kepada Sri Baginda, siapa adanya orang ke tiga dari Im-kan Ngook? Siapakah adanya Sam-ok Ban Hwa Sengjin itu? Yang sudah berkali-kali hendak menculik saya ketika saya pergi ke Kim-coa-to?”

Wajah Sam-thaihouw menjadi agak pucat dan dia mulai bingung dan gelisah, memandang kepada wajah Kaisar, kemudian kepada wajah Pangeran itu dan mulutnya bergerak-gerak, akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa.

“Kenapa Sam-thaihouw tidak mau berterus-terang saja? Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang kini menjadi orang yang paling dipercaya di antara Im-kan Ngo-ok oleh Sam-thaihouw, bukan lain adalah bekas koksu dari Nepal yang pernah mengatur pemberontakan dan penyerangan terhadap tanah air kita.”

Kaisar terkejut sekali mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali ibu tirinya itu, yang sejak dahulu kelihatan amat setia kepadanya, ternyata diam-diam dia telah mengumpulkan tenaga-tenaga dari pihak musuh! Dia cepat menoleh dan memandang kepada nenek itu dan melihat betapa wajah yang tertutup bedak tebal itu menjadi pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan dan kedua kaki yang tertutup pakaian panjang itu menggigil, membuat tubuhnya bergoyang-goyang!

“Harap Ibunda menjelaskan apa artinya semua ini!” terdengar suara Kaisar yang kini kelihatan marah terhadap nenek itu.

“Saya...., saya.... tidak tahu akan hal itu.”

“Sam-thaihouw tidak tahu? Hemm, berbeda sekali dengan semua yang telah saya alami. Im-kan Ngo-ok berusaha untuk menculik saya ketika saya pergi Kim-coa-to, berusaha untuk merusak nama saya dan semua itu adalah atas perintah Sam-thaihouw. Bahkan nyaris mereka itu berani untuk membunuh saya dan hal itu tentu sudah terlaksana kalau saya tidak dilindungi oleh orang-orang gagah, temasuk orang-orang Siauw-lim-pai! Dan empat orang iblis betina Subi Mo-li itu pun pernah menculik putera kembar Paman Gan Bun Beng dan mereka pun mengaku bahwa perbuatan itu adalah atas perintah Sam-thaihouw! Usaha Sam-thaihouw dengan mempergunakan tenaga-tenaga macam bekas Koksu Nepal semua itu bukankah semata-mata untuk menyingkirkan saya agar kelak yang menggantikan kedudukan kaisar adalah pilihan Sam-thaihouw di mana Sam-thaihouw akan dapat memegang kekuasaan tertinggi?” Serangan ucapan Pangeran Kian Liong memang sudah diperhitungkan baik-baik dan wajah nenek itu nampak semakin ketakutan.

Kaisar sejak tadi mendengarkan ucapan puteranya sambil menatap wajah Sam-thaihouw. Tanpa diketahui oleh nenek itu, Kaisar sesungguhnya amat mencinta dan sayang, juga kagum kepada puteranya itu, maka segala usaha nenek itu untuk memisahkan putera mahkota ini dari ayahnya sungguh merupakan usaha sia-sia bahkan memukul diri sendiri! Baru sekaranglah Sam-thaihouw menyadari akan hal ini dia merasa menyesal sekali atas kebodohannya sendiri. Menyesal, bingung dan juga ketakutan.

“Benarkah semua itu, Ibunda? Kalau tidak benar, harap Ibunda suka menyangkal dengan bukti-bukti!”

Sam-thaihouw sudah terpojok dan tidak mampu bicara lagi, akhirnya menundukkan mukanya.

Kaisar menjadi marah. Akan tetapi mengingat bahwa nenek, itu memiliki kekuasaan yang cukup besar dan mengingat akan jasa-jasanya di masa lampau, maka dia pun tidak memerintah pengawal untuk menangkapnya, melainkan hanya menudingkantelunjuk ke arah pintu sambil berkata, “Pergilah, Sam-thaihouw!”

Nenek itu lalu melangkah ke arah pintu, agak terhuyung dan dia seolah-olah dalam waktu beberapa menit saja telah berobah menjadi seorang nenek yang sudah amat tua dan lemah. Setelah tiba di luar pintu, dia dikawal oleh pasukan pengawal pribadinya meninggalkan tempat itu, akan tetapi sebelum tiba di kamarnya sendiri, dia roboh dan terpaksa digotong oleh para pengawalnya. Akan tetapi, tak lama kemudian, sebelum dia tiba di kamarnya, nenek ini telah menghembuskan napas terakhir. Kiranya dia tewas karena serangan jantungnya yang memang kurang begitu kuat sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Rasa penyesalan, kekagetan dan rasa takut dan bingung membuat jantung yang lemah itu terserang dan mengakibatkan dia tewas seketika!

Kematian Sam-thaihouw ini secara tidak langsung telah menyelamatkan Syanti Dewi! Atau setidaknya menghindarkan wanita cantik ini dari hal-hal yang amat tidak enak baginya. Sudah terasa olehnya, bahkan diketahui pula oleh suaminya dan oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti bahwa Kaisar yang berwatak mata keranjang itu telah tergila-gila kepada Syanti Dewi. Bahkan setelah minum arak agak banyak di pagi hari itu, kata-katanya mulai berani ditujukan kepada Syanti Dewi, membayangkan kehendaknya agar Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi untuk sementara tinggal di istana sebagai tamu agungnya!

Akan tetapi, selagi mereka berenam masih melanjutkan percakapan setelah makan pagi, tiba-tiba datang laporan bahwa Sam-thaihouw telah meninggal dunia secara mendadak. Hal ini tentu saja mengejutkan juga kepada Kaisar dan pertemuan itu segera diakhiri. Peristiwa kematian Sam-thaihouw mendatangkan beberapa kesibukan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Hoat dan Syanti Dewi, dibantu oleh Pangeran Kian Liong, untuk meninggalkan istana dan pulang ke Bhutan tanpa menemui lagi Kaisar, cukup berpamit kepada Pangeran Kian Liong saja. Bahkan mereka tidak mau dikawal pasukan, hanya menerima sebuah kereta kecil dengan dua ekor kuda dan hanya membawa surat dari Pangeran Kian Liong untuk Raja Bhutan, ayah Syanti Dewi.

Demikianlah, bagaikan sepasang burung baru terlepas dari sangkar emas yang mengancam akan mengurung mereka dan menghadapkan mereka kepada hal-hal yang amat tidak enak, bahkan mungkin sekali berbahaya, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi lolos dari kota raja, melakukan perjalanan yang amat jauh namun amat penuh dengan kebahagiaan mereka berdua, bagaikan sepasang pengantin baru melakukan tamasya di tempat-tempat sunyi nan indah, mereka menuju ke Bhutan, naik kereta berdua dan kadang-kadang berhenti untuk mengaso atau untuk bercumbuan! Dunia penuh dengan keindahan terbentang luas di depan mereka, seolah-olah menjadi hadiah dari mereka berdua yang sudah bertahun-tahun lamanya menderita kerinduan dan kesunyian yang mendatangkan kedukaan.

Biarpun Kaisar telah mengetahui rahasia Sam-thaihouw dan diam-diam telah menyuruh tangkap semua kaki tangan nenek itu yang tidak keburu melarikan diri dan melempar mereka ke dalam tahanan, namun demi menjaga nama baik keluar istana, kematian Sam-thaihouw menjadi peristiwa perkabungan resmi. Bahkan Kaisar melakukan upacara sembahyang seperti lajimnya, dan menerima ucapan belasungkawa dari negara-negara tetangga.

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong muncul bersama guru mereka, yaitu sastrawan Pouw Taen, dan dua orang pemuda putera Milana yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga-keluarga Kaisar ini lalu diantar oleh Pangeran Kian Liong untuk pergi menghadap Kaisar. Dua orang pemuda ini lalu mengulang semua pengalamanna, ketika beberapa tahun yang lalu mereka ditangkap oleh Su-bi Mo-li, mengulang semua yang telah diceritakan oleh Sang Pangeran kepada Kaisar. Mendengar penuturan ini, Kaisar menjadi semakin sadar bahwa selama ini dia telah berdekatan dengan orang-orang yang pada hakekatnya ingin menyeretnya ke dalam kekuasaan mereka. Dengan terbongkarnya kebusukan Sam-thaihouw ini, maka terbongkarlah pula kepalsuan Lan-thaikam, orang kebiri yang dahulu pernah membantu Kaisar melakukan kecurangan dalam memperebutkan kekuasaan menggantikan kedudukan Kaisar Kiang Hsi. Setelah diselidiki, ternyata Lan-thaikam ini menyimpan harta kekayaan yang luar biasa banyaknya, yang menyaingi isi gudang kekayaan Kaisar sendiri. Ribuan tail emas berada di dalam gudang rahasianya, belum lagi tanah yang tak terbatas luasnya! Karena maklum bahwa antara Lan-thaikam dan mendiang Sam-thaihouw terdapat hubungan yang amat erat, dan bahwa terbongkarnya rahasia Sam-thaihouw itu akan membuat Lan-thaikam menjadi berhati-hati dan berbahaya, maka dengan rahasia Kaisar lalu membunuh thaikam ini dengan jalan menyuruh orang meracuninya! Maka, tak lama kemudian, hanya beberapa hari setelah Sam-thaihouw meninggal, tewas pulalah thaikam tua itu yang dianggap sebagai kematian wajar karena usia tua sehingga tidak menimbulkan keributan.

Setelah upacara pemakaman Sam-thaihouw selesai, datang pula Kao Cin Liong dari barat. Jenderal Kao Cin Liong yang muda belia dan gagah perkasa ini telah berhasil menumpas pergolakan di barat. Jenderal muda ini disambut dengan upacara kebesaran ketika menghadap Kaisar dan menceritakan atau melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Kaisar yang mendengarkan dengan girang. Kaisar menghujani jenderal muda dengan hadiah dan pujian, akan tetapi di dalam pertemuan yang dihadiri pula oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti dan Pangeran Kian Liong, Kaisar menyatakan rasa penasaran dan tidak puaanya dengan hilangnya pusaka istana Koai-liong Pokiam yang lenyap dicuri orang itu. Pasukan yang dikirim dari istana untuk menyelidiki hilangnya pedang pusaka ini ternyata telah mengalami kegagalan.“Kiranya tidak ada orang lain kecuali Kao-goanswe (Jenderal Kao) yang akan dapat menemukan kembali pedang pusaka itu.” kata Kaisar antara lain, kemudian melanjutkan. “Pedang itu sendiri tidaklah sangat penting dan istana masih mempunyai banyak pedang pusaka yang lebih baik lagi. Akan tetapi, hal ini menyangkut kehormatan istana. Sungguh memalukan sekali kalau sampai pemerintah tidak berdaya menghadapi seorang pencuri saja dan tidak dapat merampas kembali pedang yang dicuri. Lalu bagaimana akan kata dunia kang-ouw terhadap kebesaran istana sehingga para pengawal dan ponggawanya tidak mampu menangkap seorang maling saja?”

Jenderal Muda Kao Cin Liong menyatakan kesanggupannya dan baru setelah mereka semua kembali ke rumah gedung tempat tinggal jenderal muda itu, Pangeran Kian Liong yang ikut pula berkunjung ke situ mengajak mereka semua berunding. Dari Wan Tek Hoat, Pangeran ini telah mendengar tentang pedang Koai-liong-kiam. Didepan Kaisar, Pangeran itu memang tidak mengatakan sesuatu, karena tentu Kaisar akan marah sekali dan mungkin akan mengirim pasukan ke Lembah Suling Emas untuk merampas kembali pedang itu. Maka dia diam saja dan baru sekarang, dia menceritakan tentang pedang yang diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw itu, menceritakan kepada Cin Liong dan ayah bundanya, seperti yang didengarnya dari Tek Hoat.

“Menurut ceritanya itu, jelaslah bahwa pedang Koai-liong-kiam yang telah menjadi pusaka istana itu dahulunya adalah milik keluarga Cu di Lembah Suling Emas.” kata Kao Cin Liong. “Betapapun juga, perintah Kaisar harus ditaati, dan pula, memang sudah belasan tahun pedang itu menjadi pusaka istana, maka kita pun berhak untuk menuntutnya dan untuk itu, tidak perlu mempergunakan pasukan. Pangeran, hamba akan berangkat sendiri tanpa pasukan, karena menghadapi keluarga yang menurut cerita Paman Wan Tek Hoat kepada Paduka itu adalah keluarga sakti yang menyembunyikan diri, sebaiknya diambil jalan menurut kebiasaan kang-ouw, bukan dengan serbuan pasukan tentara.”

Sang Pangeran mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, apakah tidak akan terlalu berbahaya? Perjalanan ke tempat itu, yang berada di Pegunungan Himalaya, amatiah jauhnya dan sukar sekali, pula, menurut Paman Wan Tek Hoat, ilmu kepandaian keluarga Cu itu sungguh amat hebat, bahkan katanya jauh lebih hebat daripada tingkat kepandaian Paman Wan Tek Hoat sendiri.”

“Memang berbahaya, akan tetapi itulah pekerjaan seorang pendekar, Pangeran.” kata Kao Kok Cu dengan tenang. “Dan kami berdua akan menemani Liong ji (Anak Liong) untuk mencari pedang itu dan membawanya kembali ke istana.”

Mendengar ucapan itu, bukan main girangnya hati Pangeran itu. Terasa lapang dadanya, karena kalau pendekar itu bersama isterinya ikut, maka dia yakin bahwa pedang pusaka itu akan dapat didapatkan kembali dan dia tidak usah mengkhawatirkan keselamatsn jenderal muda yang menjadi sahabat baiknya itu. Dia tertawa dan bangkit berdiri. “Kalau begitu, saya tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.” Pangeran itu lalu kembali ke istana di mana telah menanti dua orang muda kembar yang masih ada hubungan keluarga dengan dia, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong.

Sementara itu, setelah Sang Pangeran kembali ke istana dikawal oleh pengawal-pengawalnya, barulah Kao Kok Cu dan isterinya mempunyai kesempatan untuk bicara secara bebas dengan putera mereka. Suami isteri ini merasa bangga sekali melihat betapa putera mereka kembali dari tugas ke barat dan mendapatkan sambutan yang meriah dari Kaisar. Mereka bertiga kini pesta sendiri dengan suasana sentai dan bebas di ruangan gedung jenderal muda itu. Dan dalam kesempatan inilah suami isteri pendekar itu lalu bertanya kepada Cin Liong tentang Bu Siok Lan, gadis keluarga Bu itu.

Tentu saja Kao Cin Liong terkejut den merasa heran bagaimana tiba-tiba orang tuanya bertanya tentang gadis itu. Dan melihat betapa ayah bundanya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, tahulah dia bahwa mereka itu serius dan tentu telah terjadi sesuatu yang ada hubungannya dengan gadis itu, maka dia pun menjawabnya dengan terus terang.

“Ah, Bu Siok Lan? Dia adalah puteri musuh, akan tetapi telah berjasa besar dalam usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung di barat itu. Dan ibunya memang hebat, seorrang Panglima Nepal yang tangguh sekali!” Ayah bundanya mendengarkan dengan mata terbelalak heran ketika Cin Liong menceritakan tentang usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung itu dan betapa dia berhasil menyelundup ke markas musuh dan bahkan memperoleh kepercayaan dari Panglima Nandini, dan menjadi sahabat baik dari Bu Siok Lan, puteri panglima itu, sampai bagaimana akhirnya dia berhasil menyelamatkan pasukan dan mengalahkan musuh, menghancurkan siasat Panglima Nandini yang pandai itu. “Nah, demiklanlah ceritanya.” dia menutup kata-katanya. “Dan bagaimana Ayah dan Ibu dapat mengenal nama Bu Siok Lan? Apakah yang telah terjadi?” Kini dialah yang ingin sekali mendengar dari mereka tentang Siok Lan yang tak pernah dijumpainya semenjak mereka berpisah sebagai musuh.

“Jadi dia itu puteri Panglima Nepal? Sialan!” Wan Ceng mengepal tinjunya dan nampak marah aekali. “Ini penghinaan namanya!”

“Tenanglah, isteriku. Ingat bahwa ayahnya adalah Bu-taihiap, seorang pendekar besar yang pernah menyelamatkan Pangeran....”

“Tidak peduli ayahnya pendekar atau dewa sekalipun, ibunya adalah seorang Panglima Nepal, panglima musuh. Bagaimana mereka itu berani menemui kita dan bicara tentang perjodohan?” Nyonya itu berkata lagi dengan marah.

“Ayah, Ibu, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapakah mereka yang datang menemui Ayah Ibu dan bicara tentang perjodohan?” Cin Liong ingin sekali mendengar keterangan mereka.

Karena melihat isterinya marah-marah, Kao Kok Cu mewakili isterinya, memandang kepada puteranya dan bertanya, suaranya sungguh-sungguh, “Cin Liong, katakanlah, apakah ada hubungan cinta antara engkau dan Nona Bu Siok Lan itu?”

“Apa.... apa maksud Ayah....?” Cin Liong bertanya dengan heran.

“Mendengarkan penuturanmu tadi, jelaslah bahwa antara engkau dan dia terdapat hubungan persahabatan, sungguhpun hubungan di pihakmu itu terjadi sebagai siasatmu untuk menyelamatkan pasukanmu yang terkepung. Akan tetapi di samping itu, apakah engkau jatuh cinta kepada gadis itu?”

Cin Liong mengerutkan alisnya dan membayangkan keadaan yang lalu ketika ia masih menjadi sahabat Siok Lan dan juga Ci Sian. Cintakah dia kepada Siok Lan? Terbayang wajah Ci Sian dah dia lalu menjawab tenang, “Tidak, Ayah! Aku memang suka padanya karena dia seorang gadis yang amat baik, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku cinta padanya.”

“Nah, apa kataku? Mereka itu tidak tahu malu!” Wan Ceng berkata lagi.

“Mengapakah mereka, Ibu?” Cin Liong bertanya.

“Keluarga yang tak tahu malu itu pernah bertemu dengan Pangeran Kian Liong dan hanya karena mereka kebetulan menyelamatkan Sang Pangeran maka mereka itu telah minta kepada Pangeran untuk menjadi perantara bagi mereka untuk memberitahukan kami bahwa mereka itu secara tak tahu malu sekali hendak mengikatkan perjodohan antara anak perempuan mereka itu denganmu!”

“Ahh....!” Cin Liong terkejut juga mendengar berita ini. Tak disangkanya bahwa Panglima Nandini, yang telah dikalahkannya, yang tentu malah mendendam kepadanya, kini malah hendak menjodohkan puterinnya yang tunggal itu dengan dia!

“Kita harus menghadapi urusan ini dengan kepala dingin.” Kao Kok Cu berkata, sambil memandang kepada isterinya yang masih cemberut. “Jadi sudah jelas bahwa antara engkau dan gadis itu tidak ada hubungan cinta, Cin Liong?”

“Tidak, Ayah.”

“Dan bagaimanakah pendapatmu tentang uluran tangan mengadakan ikatan jodoh ini? Ingat, urusan perjodohan adalah urusanmu sendiri, Cin Liong, maka engkaulah yang berhak untuk memutuskan sendiri. Apalagi dalam hal ini, kami sebagai Ayah Bundamu belum pernah melihat gadis itu dan tidak tahu bagaimana watak-wataknya, sebaliknya engkau malah sudah bersahabat dengan dia sehingga engkau tentu mengerti pula bagaimana keadaan dan wataknya. Nah, bagaimana pendapatmu?”

Pemuda yang sudah menjadi, jenderal dan sudah terbiasa dengan hal-hal yang hebat-hebat, bahaya yang besar-besar, namun sekali ini, ditanya tentang perjodohan, dia tidak mampu menyembunyikan rasa malunya dan wajahnya menjadi merah sekali.

“Ayah.... Ibu.... terus terang saja, aku belum mempunyai pikiran tentang perjodohan....”

“Jadi, berarti engkau menolaknya?”“Ya, begitulah. Bukan menolak karena Siok Lan bukan seorang gadis yang baik, melainkan karena aku belum mempunyai pikiran untuk menikah, Ayah.”

“Baiklah, kalau begitu, kami dapat memberi jawaban yang tegas kalau sampai keluarga itu datang menemui kami.”

Urusan itu tidak diusik lagi dan keluarga ini lalu melanjutkan makan siang, kemudian Kao Kok Cu dan isterinya beristirahat, demikian pula Cin Liong yang baru saja pulang dan masih merasa lelah. Mereka mengambil keputusan untuk pergi atau berangkat melakukan tugas baru mencari pedang pusaka itu tiga hari kemudian.

Akan tetapi pada keesokan harinya, lewat pagi menjelang siang, serombongan tamu datang mengunjungi rumah Jenderal Kao Cin Liong. Cin Liong keluar menyambut dan terkejutlah dia ketika melihat Siok Lan yang datang bersama laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, dan tiga orang wanita cantik, seorang di antaranya dikenalnya sebagai Panglima Nandini! Dia sudah diceritakan oleh ibunya yang mendengarnya dari Pangeran Kian Liong bahwa ayah Bu Siok Lan yang terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu memiliki banyak isteri, dan Panglima Nandini, ibu Siok Lan adalah seorang di antara isteri-isterinya, entah isteri yang keberapa! Baru saja Cin Liong keluar, dia sudah disusul oleh ibunya dan ayahnya.

Melihat Puteri Nandini dan Siok Lan yang sudah dikenalnya, Cin Liong segera maju memberi hormat dan bersikap biasa sebagai kenalan, seolah-olah puteri atau panglima itu bukan merupakan bekas panglima musuhnya. “Ah, kiranya Bibi dan Adik Siok Lan yang datang berkunjung. Selamat datang, dan siapakah Paman dan para Bibi yang lain ini?”

Sejak tadi, dengan sepasang mata yang mencorong tajam itu Bu-taihiap sudah memandang kepeda pihak tuan rumah dan dia kagum bukan main melihat pemuda yang gagah peritasa itu, juga dia agak terkejut kemudian kagum memandang pria berlengan satu itu. Tak perlu diperkenalkan iagi, dia dapat menduga siapa adanya pria berlengan satu itu.

“Ah, kalau mataku yang sudah mulai tua ini tidak salah lihat, agaknya kami sekeluarga berhadapan dengan pendekar sakti yang namanya menjulang tinggi di langit, Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, benarkah dugaan saya?” kata Bu-taihiap sambil menjura dengan sikap hormat namun terbuka dan sederhana.

Melihat sikap dan mendengar ucapan ini saja, Kao Kok Cu sudah merasa tertarik sekali. Dia dapat mengenal orang yang sikapnya terbuka dan membayangkan pemandangan yang luas dan tajam.

Dia pun cepet membalas penghormatan orang dan menjawab. “Dan saudara yang perkasa tentulah pendekar yang dikenal dengan Bu-taihiap, bukan?”

“Ha-ha-ha, orang macam saya ini mana pantas disebut pendekar oleh Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

“Silakan, silakan masuk, biarlah kami mewakili putera kami untuk mempersilakan tamu masuk ke ruangan dalam untuk bicara.” kata Kao Kok Cu, merasa tidak enak melihat betapa isterinya menerima kedatangan rombongan tamu itu dengan sikap cemberut dan muram.

“Terima kasih, akan tetapi biarlah saya memperkenalkan dulu keluarga kami. Memang benar bahwa saya adalah Bu Seng Kin, ayah Bu Siok Lan puteri kami yang telah dikenal oleh putera Tai-hiap. Dan dia adalah Puteri Nandini Ibu dari Siok Lan, yang ini adalah Tang Cun Ciu, dan dia itu adalah Gu Cui Bi. Mereka bertiga adalah isteri-isteri saya.” Tanpa sungkan-sungkian atau malu-malu, pendekar she Bu itu memperkenalkan isteri-isterinya yang cantik. Terpaksa Wan Ceng membalas pengbormatan mereka, akan tetapi dia tetap mengerutkan alisnya dan cemberut. Akan, tetapi karena suaminya telah mempersilakan mereka, maka terpaksa Wan Ceng mendahului mereka menuju ke ruang tamu di mana para tamu itu dipersilakan duduk.

Setelah mereka semua duduk di ruangan yang cukup luas itu, Kao Kok Cu yang maklum bahwa pertemuan ini tidak akan membawa kegembiraan bagi kedua pihak, tidak mau membuang banyak waktu lagi dan segera dia membuka kata-kata dengan suara tenang dan halus, “Kami sekeluarga mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada keluarga Bu yang telah datang mengunjungi kami. Mengingat bahwa hubungan antara kedua pihak hanya pernah dilakukan oleh putera kami Kao Cin Liong dengan puteri Cu-wi dan ibunya, maka apakah kunjungan ini hanya karena perkenalan itu ataukah ada keperluan lain?”

Bu Seng Kin tersenyum dan memandang kagum. Begitu bertemu, dia pun merasa suka dan kagum kepada pendekar berlengan satu itu, yang dilihatnya sebagai seorang yang benar-benar gagah, tidak berliku-liku dan bersikap jantan tanpa sungkan-sungkan. Dia menarik napas panjang.

“Kao-taihiap, maafkanlah kedatangan kami kalau kami mengganggu. Akan tetapi sebelum saya mewakili keluarga mengemukakan apa yang menjadi keperluan kunjungan kami, terlebih dahulu saya ingin bertanya apakah Tai-hiap sekalian telah mendengar sesuatu tentang keluarga kami dari Pangeran Mahkota Kian Liong?”

Si Naga Gurun Pasir mengangguk. “Benar, kami telah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan beliau telah menyampaikan keinginan Bu-taihiap sekeluarga untuk mengadakan ikatan jodoh antara anak-anak kita.”

Mendengar ini, Bu Siok Lan mengerling ke arah Cin Liong, akan tetapi pemuda itu menundukkan kepalanya dengan alis berkerut. Dapat dibayangkan betapa tidak enak rasa hati pemuda ini. Dia akan lebih suka dihadapkan dengan musuh-musuh yang ganas daripada sekarang ini, di mana dia menghadapi hal yang tidak amat enak. Dia dapat menduga bahwa Siok Lan jatuh cinta kepadanya, dan agaknya keluarga Siok Lan telah mengambil keputusan untuk mengikatkan perjodohan antara dia dan Siok Lan. Kalau pihak wanita sudah mengemukakan keinginan seperti itu, dan pihak pria menolaknya, dan hal itu terpaksa harus dilakukannya karena dia tidak jatuh cinta kepada Siok Lan, maka tentu akan menimbulkan perasaan ditolak dan hal ini dapat mengakibatkan rasa terhina di pihak si wanita.

“Ah, Kao-taihiap telah bersikap terus terang dan terbuka, sungguh melegakan hati kami. Memang benarlah demikian, Tai-hiap. Saya sendiri baru sekarang berkesempatan melihat putera Tai-hiap yang gagah perkasa, akan tetapi Siok Lan dan Ibunya telah memperoleh kehormatan untuk bertemu dan berkenalan dengan putera Tai-hiap untuk mengikatkan perjodohan antara puteri kami Siok Lan dan putera Tai-hiap. Dan untuk membicarakan keinginan kami itulah maka sekarang kami sekeluarga datang bertemu dengan Tai-hiap sekeluarga.

Bagi Kao Kok Cu, tugas menjadi wakil pembicara keluarganya ini pun tidaklah ringan. Dia juga merasakan, seperti juga puteranya, betapa tidak enaknya suasana saat itu. Akan tetapi sebelumnya dia sudah membicarakan urusan itu dengan isterinya dan puteranya, maka kini tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjawab dengan suara tenang namun tegas, “Harap Bu-taihiap sekeluarga suka memaafkan kami kalau kami terpaksa memberi jawaban yang tidak sesuai dengan harapan Cu-wi (Anda Sekalian). Setelah kami mendengar dari Pangeran Mahkota, kami bertiga telah membicarakan hal itu dan kami telah mengambil keputusan bahwa pada waktu ini, putera kami Kao Cin Liong belum mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri dalam perjodohan dengan siapapun juga.”

Jawaban itu sungguh mengejutkan keluarga Bu dan kini Bu Seng Kin dan dua orang isterinya yang lain semua memandang kepada Nandini dan puterinya, Siok Lan. Bukankah Nandini dan Siok Lan telah mengatakan, bahwa “ada apa-apa” antara jenderal muda itu dan Siok Lan. Bukankah pinangan atau usul perjodohan ini sudah pasti, akan diterima? Maka, penolakan halus ini sungguh di luar dugaan mereka dan amat mengejutkan. Apa1agi Bu-taihiap yang merasa terpukul sekali, wajahnya menjadi pucat ketika dia menoleh kepada isterinya, Nandini.

Siok Lan sendiri mengangkat muka dengan kaget dan memandang kepada Cin Liong, akan tetapi pemuda itu bersikap tenang saja. Puteri Nandini yang merasa terpukul, terhina dan malu, bangkit berdiri dan menegur Cin Liong, “Kao Cin Liong apakah engkau hendak mempermainkan Anakku?”

Mendengar kata-kata keras ini dan melihat sikap Nandini yang bangkit berdiri, Wan Ceng tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia pun bangkit berdiri. “Beginikah sikap seorang tamu yang bai? Ataukah tamu kami ini hanya seorang yang tidak tahu aturan dan liar?”

Dua orang wanita itu saling pandang dengan sinar mata berapi. Nandini lalu berkata lagi, ditujukan kepada Wan Ceng, dan karena memang dia itu seorang yang biasa memimpin pasukan dan tidak biasa bersikap sopan-santun, dia berkata dengan lantang dan sejujurnya, “Puteramu telah saling mencinta dengan puteriku, akan tetapi sekarang dia menolak puteriku dengan dalim belum ingin mengikatkan diri dalam perjodohan, bukankah itu bararti puteramu hendak mempermaikan puteriku?”

“Siapa mencinta puterimu?” Wan Ceng semakin marah. “Kalau anakku bersikap baik kepada kalian, apakah itu berarti dia mencinta puterimu?”

“Siok Lan!” Nandini yang sudah marah itu membentak puterinya. “Apa artinya ini? Kau bilang bahwa kalian sudah saling mencinta!”

Dapat dibayangkan betapa perihnya hati seorang gadis dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi, dengan muka pucat dia memandang kepada Cin Liong dan menjawab. “Aku memang cinta kepadanya, Ibu, dan.... aku yakin dia pun cinta padaku....”

“Cin Liong, aku percaya engkau cukup gagah untuk berkata sejujurnya dan memberi penjeiasan tentang hal ini.” terdengar Kao Kok Cu berkata kepada puteranya, suaranya tegas penuh wibawa.

“Aku tidak pernah mencintanya dan tidak pernah menyatakan cinta kepada Adik Siok Lan!” kata Jenderai Muda itu, suaranya juga tegas dan lantang sambil matanya memandang ke arah gadis itu, sehingga tidak dapat disangsikan lagi kebenarannya.

Dengan suara gemetar Nandini berseru, “Siok Lan....?”

Gadis itu menundukkan mukanya dan beberapa butir air mata menuruni pipinya. Dapat dibayangkan betapa hancur hati seorang dara menghadapi semua itu, di mana seorang pemuda yang dicintanya terang-terangan menyatakan bahwa tidak mencinta dirinya! Padahal tadinya dia sudah begitu yakin!

“Dia memang tidak pernah menyatakan cinta, akan tetapi.... suaranya, pandang matanya, senyumnya..... ah, Ibu, bunuh saja aku....!” Dan dia pun menangis!

Wan Ceng sekarang merasa menang dan dia pun menjadi penasaran sekali. “Hemm, sungguh tidak tahu diri! Mana mungkin puteraku jatuh cinta kepada anak seorang panglima pasukan musuh? Dan bagaimanapun juga, aku tidak sudi menjadi besan seorang Panglima Pasukan Nepal!”

“Jaga mulutmu!” Nandini membentak. “Jangan mencampurkan urusan jodoh dengan kedudukan!”

“Huh, kau mau apa? Kaukira aku takut kepadamu?” Wan Ceng menantang. Dua orang wanita itu sudah saling pandang seperti dua ekor singa betina yang memperebutkan anak mereka, akan tetapi pada saat itu, Kao Kok Cu sudah memegang lengan isterinya dan berbisik, “Tenanglah, mereka adalah tamu-tamu yang harus dihormati.”

Sementara itu, Bu-taihiap juga melerai dan berkata kepada isterinya, “Hushhh, diamlah, kita adalah tamu-tamu dan pula penolakan pinangan adalah hal wajar mengapa ribut-ribut?” Kemudian, pendekar ini dengan muka merah sekali menghadapi Kao Kok Cu, memberi hormat dan berkata, “Harap Kao-taihiap suka memaafkan kami yang tidak tahu diri. Memang tadinya kami sudah berpendapat bahwa tidak mungkin orang seperti Naga Sakti Gurun Pasir mau berbesan dengan kami yang bodoh. Maafkanlah dan kami mohon diri.”

Kao Kok Cu merasa tidak enak sekali. Dia pun balas memberi hormat dan berkata, “Harap Bu-taihiap tidak terlalu merendahkan diri. Taihiap juga tahu bahwa urusan jodoh adalah urusan anak-anak, dan kalau mereka tidak mau, tidak mungkin dipaksakan.”

“Kami mengerti, selamat tinggal.”

“Selamat jalan!”

Bu-taihiap bersama tiga orang isterinya dan Siok Lan yang ditarik oleh ibunya, pergi dari rumah itu dengan muka merah dan diam-diam Kao Kok Cu yang mengantar sampai ke depan itu maklum bahwa tanpa dapat dicegah lagi, tentu timbul semacam dendam antara keluarga Bu dan keluarga Kao, sungguhpun hal itu bukan karena kesalahan pihak keluarga Kao. Betapapun juga, keluarga Bu tentu merasa terhina oleh peristiwa ini.

Dua hari kemudian, Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan putera mereka, Jenderal Kao Cin Liong, berangkat meninggalkan kota raja untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar, yaitu mencari dan merampas kembali Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) yang telah lenyap dicuri orang dari gudang pusaka istana beberapa tahun yang lalu.

***

“Bu-koko, sebaiknya kalau engkau menanti dulu di sini, biarlah aku yang lebih dulu masuk menemui kakek. Setelah aku bicara dengannya, barulah aku akan memanggilmu. Hal ini untuk melancarkan pembicaraan antara kakek dan aku.”

Mendengar kata kata Yu Hwi ini, Cu Kang Bu mengangguk dan dia menyentuh lengan kekasihnya. “Mudah-mudahan segalanya akan berjalan baik, Hwi-moi.” Dia tahu bahwa Yu Hwi menghadapi persoalan yang cukup menegangkan dan tidak enak bagi gadis itu yang terpaksa harus membicarakan tentang keputusan untuk membatalkan ikatan jodoh antara dia dan Kam Hong, yang berarti tentu saja menentang keputusan yang telah diambil oleh kakeknya, yaitu Sai-cu Kai-ong.

Matahari telah naik tinggi dan pemandangan di Puncak Bukit Nelayan itu indah sekali. Akan tetapi, rumah besar yang seperti istana kuno itu nampak sunyi sekali, sesunyi puncak-puncak lain di Pegunungan Tai-hang-san itu. Berdebar rasa jantung Yu Hwi ketika dia membuka pintu gerbang yang tidak terkunci itu. Tempat yang terlalu besar untuk kakeknya yang agaknya kini hanya dapat menyendiri saja di tempat ini, apalagi kalau tempat itu nampak kosong seperti itu, menjadi amat menyeramkan, seperti rumah kediaman para iblis dan siluman.

Tiba-tiba terdengar suara halus yang terdengar dari jauh di dalam gelap itu, akan tetapi terdengar jelas oleh Yu Hwi, “Siapa di luar....? Harap jangan mengganggu aku seorang tua yang sudah tidak ingin berurusan dengan siapapun....!”

Mendengar suara ini, Yu Hwi berseru girang. “Kong-kong...., ini aku, Yu Hwi, yang datang....”

Hening sejenak, seolah-olah suara Yu Hwi itu mengejutkan pendengarannya, sampai lenyap gema suara gadis itu. Yu Hwi berdiri di ruangan depan yang luas, menanti sejenak dan dari dalam nampaklah seorang kakek yang pakaiannya sederhana, tubuh itu masih tinggi tegap dan gagah akan tetapi mukanya kelihatan amat tua dan tidak bersemangat, muka dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek! Mereka berhadapan dan saling pandang, kemudian Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut.

“Kong-kong....!”

“Yu Hwi.... engkaukah....? Benarkah engkau yang datang?”

Kakek itu mengejap-ngejapkan kedua matanya memdndang wajah yang menengadah itu. Selama bertahun-tahun dia mengharap-harap kedatangan cucunya ini, bahkan kemudian pergi merantau bertahun-tahun mencarinya, sampai membawanya ke Pegunungan Himalaya, namun semua usahanya sia-sia belaka dan akhirnya, semua harapan itu memudar dan setelah dia merasa bahwa tubuhnya telah terlalu tua dan sahabatnya, yaitu Sinsiauw Seng-jin yang pada tahun-tahun terakhir bertapa di sebuah puncak berdekatan dengan puncak Nelayan di mana dia berada itu meninggal dunia, kakek ini tidak lagi pergi mencari Yu Hwi, bahkan tidak lagi mengharapkan kedatangannya. Dia mengira bahwa cucunya itu telah tiada lagi di dunia ini, dan harapannya melihat cucunya berjodoh dengan keturunan Suling Emas sudah membuyar.

Akan tetapi, pagi hari ini dia mendengar suara Yu Hwi dan bahkan kini dia berhadapan dengan cucunya itu! Dia masih mengenal wajah cantik itu dan keharuan yang amat sangat membuat kakek ini memejamkan mata dan menahan dua butir air mata yang hendak runtuh. Betapapun juga, dia adalah bekas Raja Pengemis, seorang tokoh besar di dunia kang-ouw yang gagah perkasa, dan semenjak dia muda, menangis merupakan pantangan baginya. Namun, perjumpaan ini seolah-olah perjumpaan dengan seorang yang baru bangkit dari kematian, maka dia terkejut, heran, terharu dan girang sekali.

“Cucuku....!” Dia maju dan menyentuh kepala gadis itu.

“Kong-kong...., ampunkanlah bahwa baru sekarang saya datang menghadap....!” Yu Hwi berkata dengan suara mengandung isak karena gadis ini pun merasa terharu sekali. Sejak kecil dia telah diculik dan dibawa pergi oleh orang yang kemudian menjadi gurunya yang tercinta, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling dan sejak kecil dia terpisah dari kakeknya. Kemudian, setelah mereka saling bertemu kembali, dia melarikan diri ketika mendengar bahwa dia dijodohkan sejak kecil dengan Kam Hong! Dan semenjak itu, kembali dia berpisah dari kakeknya dan baru sekarang mereka saling bertemu kembali.

“Yu Hwi.... Yu Hwi, ke mana sajakah engkau selama ini pergi? Betapa dengan susah payah aku mencari-carimu Yu Hwi....”

“Maaf, Kong-kong, saya hanya mendatangkan banyak pusing dan susah saja kepada Kong-kong selama ini.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Hemm.... dan kedatanganmu ini pun hanya akan menimbulkan kecewa padaku, bukan?”

“Maaf.... agaknya demikianlah.... Kedatangan saya, ini hanya untuk meresmikan putusnya pertalian jodoh yang Kang-kong adakan dehulu antara saya dengan Kam Hong.”

Akan tetapi ucapan itu sudah tidak lagi mendatangkan kekecewaan dalam hati kakek itu yang memang sudah tidak mengharapkan lagi dapat dilanjutkannya ikatan jodoh itu. Dia menarik napas panjang. “Sin-siauw Seng-jin juga sudah meninggal dunia...., dia kiranya dapat memaafkan aku. Akan tetapi, pemutusan ikatan itu tidak mungkin dapat dilakukan sepihak saja, Yu Hwi, maka harus dibicarakan dengan yang bersangkutan, yaitu Kam Hong....”

“Hal itu sudah beres, Kong-kong. Saya telah berjumpa dengan Kam Hong dan kami berdua sudah membicarakan tentang itu. Adalah Kam Hong yang menasihatkan agar saya datang kepadamu dan memberitahukan akan pemutusan ikatan itu agar resmi.”

Kakek itu mengangguk-angguk. Agaknya, kini sudah kehilangan kesungguhan hatinya tentang hal itu. “Sesukamulah.... sesukamulah...., akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, kalau engkau masih, menganggap aku sebagai Kakekmu, apakah sebabnya meka engkau memutuskan ikatan itu? Apakah tidak ada kecocokan antara engkau dengan Kam Hong....”

“Sesungguhnya karena saya.... saya telah menemukan calon suami saya sendiri, Kong-kong.”

“Hemmm....”

“Bahkan dia pun mengantar saya menghadap Kong-kong, akan tetapi saya suruh menanti di luar agar tidak mengejutkan hati Kong-kong. Kalau Kong-kong memperkenankan, saya akan memanggil dia masuk....” Yu Hwi memandang kepada kong-kongnya dengan ragu-ragu, lalu bangkit berdiri. Untuk beberapa lamanya kakek itu memandang, wajah cucunya.

Harus diakui bahwa cucunya itu telah jauh lebih matang sekarang dan dia pun tahu bahwa bagi seorang wanita, cucunya itu telah lewat batas usia kepantasan untuk menikah dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada cucunya ini.

“Cukup, tahukah engkau berapa usiamu sekarang?”

Yu Hwi tecsenyum. “Tentu saja, Kong-kong. Antara dua puluh tujuh dan dua puluh delapan tahun.”

Sai-cu Kai-ong. menarik napas panjang. “Dan baru sekarang engkau menemukan calon suamimu? Berapa usia calon suamimu itu?”

“Dia sudah berusia tiga puluh tahun, Kong-kong....” Jawab Yu Hwi.

Wajah kakek itu agak berseri mendengar ini. Setidaknya, cucunya memperoleh seorang calon suami yang sepadan usianya.

“Tentu saja aku ingin sekali berkenalan dengan calon cucu mantuku. Suruh dia masuk, Yu Hwi.”

Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnya dan mengeluarkan kata-kata seperti sedang bicara dengan orang yang berdiri di depannya saja, perlahan-lahan dan biasa saja, “Bu-koko, Kong-kong telah memperkenankan engkau masuk. Masuklah, Koko!” Biarpun ucapan itu lirih saja, namun Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. Suaranya tadi mengandung getaran yang tinggi dan dengan getaran seperti itu, suara itu akan dapat dikirim sampai jauh. Itulah semacam Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang mengandalkan khi-kang yang amat kuat. Dia sendiri pun belum tentu sekuat itu!

Dan dari luar masuklah sesosok tubuh seorang pria yang membuat kakek itu kagum. Tubuh seorang pria yang tinggi besar seperti tokoh Kwan Kong dalam dongeng Sam Kok dan setelah pria muda itu tiba di depannya dan memberi hormat dengan sikap yang amat gagah, Sai-cu Kai-ong diam-diam merasa girang sekali. Keadaan pria ini sungguh merupakan obat yang mujarab untuk menghapus sama sekali sisa-sisa kekecewaan atas terputusnya tali perjodohan antara cucrrnya dengan Kam Hong. Pria ini sungguh tidak mengecewakan, bahkan mengagumkan. Begitu gagah perkasa dan Jantan! Akan tetapi, di samping rasa puas ini pun dia merasa terkejut karena dia merasa seakan-akan pernah dia bertemu dengan pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini.

“Eh.... rasanya.... aku pernah berjumpa dengan Sicu yang gagah ini....” katanya sambil memandang wajah itu penuh selidik.

Pemuda perkasa itu menujura. “Tidak salah apa yang Locianpwe katakan. Kami sekeluarga di Lembah Suling Emas pernah menerima kehormatan dengan kunjungan Locianpwe beberapa tahun yang lalu.”

“Ah, sekarang aku ingat....! Sicu adalah seorang di antara tiga saudara Cu yang sakti itu!”

Kembali Cu Kang Bu menjura. “Saya adalah Cu Kang Bu, saudara termuda dari Cu.”

Tentu saja Sai-cu Kai-ong menjadi terkejut, terheran dan juga diam-diam merasa girang sekali. Dia pernah menyaksikan kehebatan ilmu silat pemuda tinggi besar ini yang tidak kalah lihainya ketika melawan Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Pemuda seperti ini mungkin tidak kalah dalam ilmu silatnya dibandingkan dengan keturunan Suling Emas, Kam Hong sekalipun! Gagal mempunyai cucu mantu seperti Kam Hong akan tetapi mendapatkan pengganti seperti ini tidaklah terlalu mengecewakan!

“Dan Cu-taihiap yang menjadi calon suami cucuku yang bodoh?”

Kang Bu adalah seorang pemuda yang jujur dan sederhana, maka disebut Taihiap itu dia cepat berkata, “Harap Locianpwe tidak menyebut Taihiap kepada saya karena keluarga kami sejak dahulu tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw. Tidak salah bahwa Hwi-moi dan saya telah bersepakat untuk menjadi suami isteri dan mohon doa restu dan ijin dari Locianpwe.”

Sai-cu Kai-ong tertawa gembira. “Ah, tentu saja! Sejak dahulu, bukankah Yu Hwi telah menentukan pilihannya sendiri? Yu Hwi, anak nakal, bagaimana engkau dapat bertemu dan bersahabat, akhirnya berjodoh dengan Cu Kang Bu?”

“Kong-kong, sesungguhnya Kang Bu Koko ini masih Susiok saya sendiri.!”

“Susiokmu? Engkau menjadi murid siapakah?”

“Cui-beng Sian-li Tan Cun Ciu adalah Subo saya....”

“Apa? Orang yang mengambil pedang pusaka dari istana itu?” Sai-cu Kai-ong menggeleng-gelengkan kepalanya pantas saja cucunya menjadi demikian lihainya, kiranya menjadi murid wanita yang telah menggegerkan dunia kang-ouw ketika mencuri pedang pusaka dari gudang pusaka istana tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. “Sungguh luar biasa sekali nasibmu, Cucuku. Sejak kecil sekali, telah menjadi murid seorang seperti Hek-sin Touw-ong, kemudian menjadi murid Cui-beng Sian-li, dan kini malah menjadi jodoh seorang seperti Cu Kang Bu!”

Yu Hwi lalu menceritakan kepada kong-kongnya segala hal yang telah dialaminya semenjak dia meninggalkan kakeknya itu dan juga tentang pertemuannya dengan Kam Hong. Setelah mendengarkan semua penuturan Yu Hwi, kakek itu mengangguk-angguk dan beberapa kali dia menarik napas panjang walaupun wajahnya masih memperlihatkan tanda bahwa dia merasa girang juga, kalau dia teringat betapa hubungan antara keluarga Kam dan keluarga Yu terjalin semenjak ratusan tahun yang lalu, dan kini, pada keturunan terakhir, dia gagal untuk mengikatkan perjodohan antara dua keluarga itu, hatinya terasa amat berduka.

“Kong-kong, setelah kami berdua datang menghadap Kong-kong, dan Kong-kong dapat menyetujui ikatan jodoh antara kami, kami mohon agar Kong-kong sudi bersama kami ke Lembah Suling Emas di mana kami akan meresmikan pernikahan kami dan agar Kong-kong dapat memberi doa restu kepada kami!”

Kini kakek itu mengerutkan alisnya dan menjawab, “Sayang sekali, hal itu tidak mungkun aku lakukan, Yu Hwi. Tentu ssja aku tidak keberatan kalau engkau berjodoh dengan Cu Kang Bu, akan tetapi aku sendiri tidak mungkin menghadiri pernikahan....”

“Kenapa, Kong-kong?”

“Aku telah bersumpah untuk mengikatkan keluarga Kam dan keluarga kita Yu dalam ikatan perjodohan, namun aku telah gagal. Aku telah mengecewakan leluhur kita, bagaimana mungkin aku dapat menghadiri pernikahanmu dengan keluarga lain? Aku sudah tua dan aku akan tinggal di sini, mengasingkan diri sampai mati. Aku tidak akan keluar meninggalkan tempat ini, apa pun yang akan terjadi di luar. Nah, kalian kembaliiah ke barat dan jadilah suami isteri yang baik, tentu saja doa restuku menyertai kalian berdua.”

Jawaban ini menyedihkan hati Yu Hwi akan tetapi karena semenjak kecil dia tidak bersama kakeknya, maka dia pun dapat menguasai hatinya. Maka untuk terakhir kalinya dia lalu berlutut di depan kakek itu untuk berpamit, diikuti pula oleh Cu Kang Bu karena kakek itu adalah calon kong-kongnya juga. Melihat betapa dua orang itu berlutut di depannya, Sai-cu Kai-ong merasa tarharu juga.“Semoga Thian selalu malindungimu, Cucu-cucuku, Dan kalau kebetulan kalian bertemu dengan Kam Hong, katakanlah kepadanya bahwa sebelum aku mati aku ingin berjumpa dengannya, minta agar dia suka datang ke sini mengunjungiku.”

Demikianlah, seteleh mendapat doa restu kakek itu, Yu Hwi dan Cu Kang Bu lalu meninggalkan Puncak Bukit Nelayan itu dan menuruni Pegunungan Tai-hang-san untuk kembali ke Lembah Suling Emas atau yang kini telah berubah namanya menjadi Lembah Naga Siluman. Mereka, juga Yu Hwi, tidak merasa bersedih, bahkan sebaliknya, mereka merasa gembira sekali karena mereka kini menuju pulang untuk segera melangsungkan pernikahan mereka! Mereka sudah mendapat persetujuan dan doa restu Sai-cu Kai-ong, bahwa bahwa ikatan jodah antara Yu Hwi dengan Kam Hong telah putus secara resmi. Tidak ada lagi yang menjadi penghalang atau ganjalan di antara mereka untuk dapat menikah dengan resmi.

Senang dan susah mirip ombak dalam samudera kehidupan, susul-menyusul dan datang silih berganti. Tangis dan tawa merupakan bumbu-bumbu kehidupan seperti masam dan manis dalam masakan. Selagi terbuai dalam kesenangan, kita tidak tahu bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu untuk mendapat giliran menguasai kita, menggantikan kesenangan yang terbang lalu tanpa meninggalkan bekas lagi.

Yu Hwi dan Kang Bu melakukan perjalanan menuju ke Lembah Naga Siluman dengan hati girang, bermesraan disepanjang perjalanan, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat mereka melakukan perjalanan itu, terjadi sesuatu yang hebat di lembah itu. Apakah yang terjadi? Mari kita menengok keadaan lembah itu dan meninggalkan sepasang calon suami isteri, sepasang kekasih yang penuh kemesraan dan kebahagiaan itu.

Pada pagi yang cerah itu, Cu Pek In, gadis berusia delapan belas tahun yang berpakaian pria, dengan rambut digelung ke atas dan ditutup sebuah topi pelajar itu, sedang berjalan pulang ke lembah dengan wajah riang. Dia baru saja kembali dari guha rahasia di mana Sim Hong Bu masih tekun “bertapa” sambil menyempurnakan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Tidak ada orang yang mengetahui tempat rahasia itu kecuali keluarga Cu, bahkan selama Hong Bu bertapa di situ memperdalam ilmu pedang pusaka itu, tidak ada orang lain yang boleh masuk kecuali Pek In. Gadis inilah yang dalam waktu beberapa hari sekali datang menjenguk sambil membawakan bahan makanan untuk Hong Bu.

Pada pagi hari itu Pek In baru saja kembali dari kunjungannya kepada Hong Bu, pemuda yang dicintanya itu, dan karena sikap Hong Bu kepadanya cukup manis, maka hatinya gembira sekali pada pagi hari itu. Dia berjalan sambil kadang-kadang berloncatan dan bernyanyi-nyanyi gembira, lupa bahwa suara nyanyiannya ini sepenuhnya suara wanita, jauh berbeda dengan pakaiannya. Kalau dia tidak mengeluarkan suara, tentu dia akan disangka seorang pemuda yang amat tampan sekali. Sebagai seorang gadis, kecantikan Pek In biasa saja, tidak terlalu menonjol. Akan tetapi kalau dia dianggap pria karena pakaiannya, maka dia adalah seorang pria yang amat ganteng, dengan muka yang putih dan mata yang jeli dan menarik.

Sebagai puterti tunggal Cu Han Bu orang pertama dari keluarga Cu, tentu saja dara ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun, kini dia tidak tahu bahwa ada tiga pasang mata yang mengikuti gerak-geriknya dari jarak dekat! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian tiga orang yang membayanginya itu jauh lebih tinggi lagi dibandingkan dengan dia. Tiga orang ini baru melihatnya setelah dia, berada di dekat lembah, dan memang sudah sejak kemarin tiga orang ini mengintai di lembah itu. Tiga orang ini bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Mereka sudah tiba di pegunungan ini dan tahu bahwa Lembah Suling Emas yang dimaksudkan sebagai tempat tinggal keluarga Cu itu tentu di sekitar tempat ini. Akan tetapi mereka belum juga menemukan tempat itu, maka mereka lalu menyembunyikan diri dan mengintai karena mereka merasa yakin bahwa pada suatu waktu tentu ada penghuni lembah yang keluar untuk suatu keperluan. Sudah sehari semalam tiga orang sakti ini menanti dan akhirnya usaha mereka berhasil. Mereka melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dengan sikap gembira sekali. Keluarga Naga Sakti Gurun Pasir tentu saja dengan sekali pandang sudah tahu bahwa “pemuda” yang berjalan seorang diri itu adalah seorang gadis. Mereka lalu membayangi dengan hati-hati. Mereka melihat bahwa dara yang berpakaian pria itu menuju ke tepi sebuah jurang yang amat lebar dan amat dalam, jurang yang pernah mereka datangi.

Ketika tiba di tepi jurang, seperti biasa Pek In menoleh ke kanan kiri dan belakang, setelah merasa yakin bahwa di tempat itu tidak terdapat orang lain, dia lalu mengeluarkan suling emasnya dari balik bajunya dan meniup sulingnya. Terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan hati tiga orang pengintai itu. Mereka maklum bahwa tiupan suling itu bukanlah tiupan biasa melainkan tiupan seorang yang memiliki khi-kang yang kuat.

Tiga orang yang melakukan pengintaian itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan juga kekaguman ketika mereka melihat betapaa dari dasar jurang itu kini nampak sehelai tambang yang cukup besar dan kuat, perlahan-lahan naik ke atas dan akhirnya melintang menyeberang jurang. Mengertilah mereka bahwa dara itu tadi menggunakan suara suling untuk memberi tanda kepada orang-orang di seberang jurang yang tidak nampak, dan orang-orang itu telah menarik tambang yang merupakan jembatan dan jembatan tambang itu tadinya menjulur kendur ke bawah, tersembunyi kabut.

Memang benar dugaan mereka, karena kini dengen gerakan ringan sekali, dara berpakaian pria itu meloncat ke atas tambang itu dan berjalan di atas tali dengan gerakan yang lincah.

“Cepat, aku akan mendahuluinya dan kalian di belakangnya. Dia akan membawa kita ke seberang sana!” bisik Si Naga Sakti Gurun Pasir kepada isteri dan puteranya. Wan Ceng dan Cin liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar sakti itu, maka mereka mengangguk dan begitu pendekar itu berkelebat cepat meloncat ke depan, Wan Ceng dan Cin Liong juga meloncat dengan kecepatan kilat menuju ke tepi jurang. Bagaikan seekor burung saja, tubuh pendekar berlengan satu itu telah berada di atas tambang, dan gerakannya sedemikian ringannya sehingga Pek In yang berjalan di depan itu sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada orang yang mengikutinya.

“Nona, perlahan dulu!”

Ucapan itu mengejutkan Pek In dan dia menoleh sambil menunda langkahnya. Akan tetapi pada saat itu, orang yang tiba di belakangnya telah meloncat ke atas, melewati kepalanya dan tahu-tahu seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan berlengan satu telah berdiri di atas tambang di depannya!”

PEK IN memandang dengan mata terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang berani melakukan perbuatan yang amat berbahaya seperti itu, ialah meloncati atas kepalanya dan turun lagi ke atas tambang di depannya. Hanya seekor burung saja yang agaknya akan mampu melakukan hal itu! Akan tetapi, dia tidak sempat terheran-heran terlalu lama, karena tambang itu bergoyang di belakangnya dan ketika dia menengok, ternyata di belakangnya terdapat dua orang lain yang sudah berjalan di atas jembatan tambang itu. Dia telah dikepung dari depan dan belakang!

“Siapa kalian? Mau apa kalian?” bentaknya, maklum bahwa dia tidak berdaya, dan bahwa para penjaga yang bertugas menarik dan mengendurkan tambang itu pun tidak berdaya karena kalau mereka itu mengendurkan tambang, bukan hanya tiga orang asing, itu yang akan terjerumus ke dalam jurang, akan tetapi dia juga karena dia berada di tengah-tengah antara mereka!

“Maaf, Nona. Kami hanya ingin agar Nona membawa kita ke seberang. Kami ingin bertemu dengan para penghuni Lembah Suling Emas!” kata Kao Kok Cu dan dia pun segera melangkah ke depan, mendahului gadis itu menyeberang.

Pek In tidak membantah karena tahu bahwa percuma saja membantah. Dia pun lalu melangkah ke depan, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya, “Tunggu dulu. Biarkan kami jalan lebih dulu!” Dan Pek In menghentikan langkahnya, menoleh. Pada saat itu, nampak dua sosok tubuh melayang lewat dan seperti orang pertama dua orang itu pun melayang seperti burung terbang saja ke depannya melalui atas kepala dan kini mereka bertiga bersicepat mendahuluinya menyeberang! Tentu saja Pek In terkejut bukan main. Lembah itu telah didatangi oleh tiga orang yang amat tinggi kepandaiannya! Maka dia pun cepat menyeberang. Setelah dia menyeberang, dia membitu isyarat dengan tangannya dan para penjaga tambang lalu menurunkan lagi tambang itu sampai tidak nampak tertutup kabut yang bergantung di dalam jurang.

“Siapa kalian dan mau apa kalian memasuki tempat kami dengan paksa?” Pek In membentak setelah dia berhadapan dengan tiga orang itu. Dia memperhatikan mereka dan mendapat kenyataan bahwa selain orang pertama, yang buntung lengannya dan bersikap gagah tadi, juga wanita setengah tua dan pemuda yang berdiri di depannya itu membayangkan kegagahan yang mengagumkan.

“Nona, benarkah di sini yang dinamakan Lembah Suling Emas? Kami tidak sangsi lagi bahwa di sinilah Lembah itu, maka kami minta kepada Nona sukalah membawa kami bertemu dengan para penghuni lembah, yaitu keluarga Cu. Kami mempunyai keperluan yang penting untuk kami bicarakan dengan mereka.”

Sampai beberapa lamanya dara itu memandang kepada mereka dengan penuh selidik, kemudian tiba-tiba dia berkata sambil bertepuk tangan, “Aih, bukankah aku berhadapan dengan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

Kao Kok Cu dan anak isterinya tertegun. Tak mereka sangka bahwa dara berpakaian pria ini memiliki pemandangan yang demikian tajamnya, dan sekali bertemu telah dapat mengenal mereka. Dan memang Pek In dapat menduga siapa adanya mereka karena dara itu melanjutkan. “Dan kalau Paman ini Naga Sakti Gurun Pasir, tentu Bibi ini adalah Istitu Paman dan dia ini tentulah Jenderal Kao Cin Liong, putera Paman!”

“Hemm, siapakah engkau, Nona? Dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?” Wan Ceng bertanya, sinar matanya tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah dara itu.

Cu Pek In tersenyum bangga. Memang dia memiliki pengetahuan yang amat luas tentang orang-orang kang-ouw yang belum pernah dilihatnya. Dia mendengar banyak keterangan dari ayah dan para pamannya, dan juga dari bibinya, Tang Cun Ciu. Dia pernah mendengar tentang Naga Gurun Pasir, dan cacad pada lengan yang buntung sebelah, maka ketika dia menyaksikan kehebatan kepandaian pria berlengan buntung itu, kemudian menyaksikan kelihaian wanita dan pemuda itu, tidak sukarlah baginya untuk menebak siapa adanya mereka. Apalagi dia pun sudah mendengar banyak tentang diri Jenderal Kao Cin Liong yang telah memperoleh kemenangan gemilang atas pasukan Nepal baru-baru ini.

“Namaku Cu Pek In dan kalau kalian hendak menjumpai Ayahku, marilah!” Setelah berkata demikian, gadis yang lincah ini lalu berlari ke depan, meloncat dan menggunakan seluruh kepandaian ginkangnya untuk berlari secepat mungkin. Tentu saja maksudnya untuk menguji kepandaian tiga orang ini. Dia memang memiliki gin-kang yang hebat, maka larinya seperti terbang saja. Setelah lari cepat beberapa lamanya, dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya melihat bahwa tiga orang yang ditinggalkannya itu kini berada tepat di belakangnya, kelihatan berjalan seenaknya saja namun tak pernah tertinggal sedikit pun olehnya! Maka tahulah dia bahwa nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sekeluarganya bukan nama kosong belaka dan diam-diam dia malah merasa khawatir sekali karena dia belum tahu apa maksud kedatangan mereka, maksud bersahabat ataukah maksud bermusuh. Dan pada saat itu, yang berada di dalam lembah hanyalah ayahnya dan Pamannya, Cu Seng Bu, sedangkan pamannya yang lain, Cu Kang Bu sedang pergi bersama Yu Hwi, juga Sim Hong Bu yang boleh diandalkan itu masih berada di dalam guha. Betapapun juga, Pek In menenteramkan hatinya dengan penuh kepercayaan bahwa bagaimana saktinya pihak tamu, kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, dia percaya bahwa ayahnya dan pamannya yang kedua akan mampu menanggulanginya.

Lembah ini memang telah dilengkapi dengan alat-alat rahasia sehingga ketika Pek In membawa tiga orang tamunya itu sampai ke depan rumah besar keluarga Cu, maka dua orang gagah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, telah berada di situ menanti kedatangan mereka! Kiranya para penjaga yang tadi melihatkedatangan tiga orang yang setengah memaksa Pek In, diam-diam telah mengirim bituta melalui alat rahasia sehingga sebelum gadis itu tiba bersama para tamu itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu telah mengetahui dan kini mereka telah menanti kedatangan Pek In di depan rumah.

Pek In mengerti bahwa tentu ayahnya telah mendengar dari para penjaga bahwa ada tamu yang amat lihai datang dengan cara memaksa Pek In, maka kini dia ingin mencoba ayah dan pamannya, dengan ucapan gembira, “Ayah, Paman tahukah Ayah siapa yang datang sekali ini?”

Sejak tadi Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memang telah mencurahkan perhatian mereka kepada Kao Kok Cu dan diam-diam mereka terkejut sekali! Kalau ada pendekar yang amat tinggi kepandaiannya dan dia itu hanya berlengan satu, dengan isterinya yang cantik dan gagah penuh semangat, dan puteranya yang juga gagah perkasa dan memiliki mata seperti ayahnya, mata yang mencorong seperti mata naga, siapa lagi pendekar itu kalau bukan Si Naga Sakti Gurun Pasir yang hanya pernah mereka dengar namanya seperti dalam dongeng itu? Maka Cu Han Bu lalu menjura, diikuti oleh Cu Seng Bu yang juga sudah dapat menduga seperti kakaknya.

“Maaf, kalau dugaan kami keliru. Akan tetapi benarkah bahwa lembah kami yang buruk ini memperoleh kehormatan besar dengan kunjungan pendekar besar Si Naga Sakti Gurun Pasir beserta isteri dan puteranya?”

Kembali keluarga itu terkejut. Orang-orang lembah ini sungguh lihai. Naga Sakti Gurun Pasir boleh jadi amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak pernah keluar sehingga jarang ada yang mengenalnya, akan tetapi keluarga lembah ini sekali lihat telah dapat menebaknya dengan tepat.

Kao Kok Cu lalu balas menghormat dan berkata tenang. “Tidak salah dugaan itu, kami adalah keluarga Kao dan kami datang untuk bicara dengan majikan lembah.”

“Kami adalah keluarga Cu, pemilik lembah ini. Saya bernama Cu Han Bu dan dia adalah adik saya bernama Cu Seng Bu, dan dia itu adalah Cu Pek In, anak tunggal saya. Keluarga kami kebetulan hanya kami bertiga inilah yang saat ini berada di sini, oleh karena itu, Kao-taihiap sekeluarga silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan tamu.”

“Terima kasih.”

“Silakan!” Cu Han Bu mendahului para tamunya masuk, dan setelah tiga orang tamu itu mengikutinya, Cu Seng Bu dan Pek In lalu mengikuti pula dari belakang. Yang disebut ruang tamu itu adalah sebuah ruangan yang amat luas dan di sinilah mereka dipersilakan duduk oleh pihak tuan rumah. Mereka berenam duduk mengelilingi sebuah meja besar.Setelah memandang wajah Naga Sakti Gurun Pasir sejenak, akhirnya Cu Han Bu berkata, suaranya datar dan tegas, namun penuh hormat, “Kao-taihiap, setelah Taihiap sekeluarga berhadapan dengan kami, nah, silakan memberitahu keperluan apakah yang membawa Taihiap bertiga datang mengunjungi kami.

Kao Kok Cu menarik napas panjang. Tugas yang dipikulnya bersama isteri dan puteranya itu sungguh bukan merupakan tugas yang enak di hati. Sudah menjadi peraturan umum yang tak tertulis di dunia kang-ouw bahwa orang yang telah dapat menguasai sebuah benda dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya, maka dia pun berhak menjadi pemilik benda itu. Akan tetapi, betapapun juga, dia dan isterinya hanya membela puteranya yang mengabdi kepada Kaisar.

“Cu-taihiap, tiada lain kedatangan kami ini adalah untuk bicara dengan keluarga Cu tentang pedang Koai-liong-pokiam!”

Pada wajah Cun Han Bu dan Cu Seng Bu tidak nampak perobahan sesuatu, hanya Cu Pek In yang memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati dara ini merasa tidak senang. Cu Han Bu memandang tajam dan berkata, “Apakah Naga Sakti Gurun Pasir termasuk orang-orang yang hendak memperebutkan pedang pusaka itu seperti dilakukan oleh sekelompok orang kang-ouw beberapa tahun yang lalu?” Pertanyaan ini merupakan serangan atau ejekan yang membuat Kao Kok Cu merasa agak bingung. Akan tetapi dia ditolong oleh puteranya.

Dengan suara lantang dan tegas Kao Cin Liong berkata, “Hendaknya Cu-lo-enghiong ketahui bahwa kami datang bukan atas nama pribadi, melainkan atas perintah Sri Baginda Kaisar. Saya adalah seorang panglima yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan kembali pedang KoaiLiong-pokiam yang telah lenyap dicuri orang dari gedung pusaka istana beberapa tahun yang lalu. Dan Ayah Bunda saya hanya menemani saya dalam tugas ini.”

Ucapan itu tegas dan jelas. Dua orang saudara Cu itu saling pandang, dan sejenak mereka tidak dapat menjawab. Menghadapi orang-orang kang-ouw, mereka memang tidak usah merasa malu dan sungkan akan kenyataannya bahwa pedang itu dicuri oleh keluarga mereka, akan tetapi menghadapi utusan Kaisar lain lagi soalnya! Mereka bukan hanya dapat dituduh pencuri hina, akan tetapi bahkan juga sebagai pemberontak! Kalau jenderal muda ini datang bersama pasukan besar, tentu mereka tidak dapat melawan dan terpaksa melarikan diri. Akan tetapi jenderal muda itu datang tanpa pasukan, hanya ditemani ayah bundanya, hal ini berarti bahwa mereka datang sebagai orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian sendiri, walaupun sebagai orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian sendiri, walaupun sebagai utusan Kaisar. Dari kedatangan orang gagah yang hendak merampas kembali pedang pusaka harus dihadapi dengan kegagahan pula, dengan kepandaian! Agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh jenderal muda itu, dan oleh karena itulah dia datang bersama ayah dan ibunya yang sakti.

Cu Han Bu mengangguk-angguk lalu berkata, “Tidak kami sangkal lagi bahwa pencuri pedang dari dalam gudang pusaka adalah seorang di antara keluarga kami. Akan tetapi hal itu hendaknya tidak dianggap sebagai pencurian, melainkan sebagai hak kami untuk mengambil kembali pedang pusaka keluarga kami yang hilang. Pedang itu adalah buatan nenek moyang kami dan kami yang berhak atas pedang itu! Jadi, kami tidak merasa mencuri dari istana”

“Hemm, kami tidak tahu dari mana asal pedang itu. Yang kami ketahui hanyalah bahwa pedang Koai-liong-pokiam itu berada di dalam gudang pusaka istana sebagai satu di antara benda-benda pusaka kerajaan. Tentang asal mulanya, seperti juga asal mula semua benda pusaka di istana, kami tidak tahu. Kenyataannya adalah bahwa pedang itu dicuri dari dalam gudang pusaka, dan untuk itulah kami datang, sebagai utusan Kaisar untuk mengambil kembali pedang itu. Kami harap keluarga Cu sadar akan hal ini dan suka mengembalikan pedang itu kepada kami, agar memudahkan tugas kami sebagai utusan Kaisar.” Jelaslah bahwa Cin Liong selalu mempergunakan nama Kaisar sebagai kesan bahwa dis sama sekali tidak berniat mencampuri urusan pedang pusaka dan hanya bertindak sebagai utusan, bukan mencampuri permusuhan atas nama pribadi. Dan ayahnya setuju dengan sikap puteranya, walaupun ibunya, Wan Ceng, bersungut-sungut dan menganggap puteranya itu terlalu merandahkan diri!

“Pedang itu kini tidak ada pada kami lagi.” kata Cu Han Bu dengan suara tsnang.

Cin Liong memandang tajam penuh selidik dan panghuni lembah itu harus mengakui bahwa sinar mata pemuda itu membuat bulu tengkuknya meremang karena sepasang mata itu amat tajam dan mencorong.

“Cu-lo-enghiong, banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi bahwa keluarga Cu mendapatkan pedang itu dari Yeti dan bahwa pencurinya dari istana adalah Cui-beng Sian-li yang menjadi keluarga di sini. Kalau pedang itu kini tidak ada pada keluarga Cu, lalu berada di mana?”

Cu Han Bu bangkit berdiri, alisnya berkerut. “Orang muda, engkau terlalu mendesak!”

Cin Liong juga bangkit berdiri, sikapnya gagah. “Lo-enghiong, saya adalah utusan Kaisar, harap engkau orang tua tidak menyembunyikan di mana pedang itu kini.”

“Kalau aku tidak mau memberi tahu?”

“Kami akan menganggap bahwa engkau yang menyembunyikan pedang itu!”

“Hemm, pedang itu didapat dengan mengandalkan kepandaian dan karena pedang itu adalah milik keluarga kami, maka bagaimanapun juga harus kami pertahankan. Tapi, kami tidak ingin memberontak terhadap pemerintah. Nah, keluarga Kao, kami hanya mau memberitahukan di mana pedang itu sekarang berada....”

“Ayah....!” Pek In berseru akan tetapi ayahnya memberi isyarat dengan tangan agar puterinya itu duduk kembali yang segera ditaati oleh Pek In, akan tetapi dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Untuk mendapatkan keterangan dari kami, Sam-wi harus dapat mengalahkan dulu keluarga Cu!”

“Bagus! Kenapa tidak dari tadi bicara begitu? Berliku-liku bukan sikap orang gagah!” bentak Wan Ceng yang sudah bangkit berdiri.

Akan tetapi Kao Kok Cu bersikap tenang dan menyentuh lengan isterinya untuk menyabarkannya. Kemudian dia menghadapi Cu Han Bu dan suaranya terdengar tenang, sedikit pun tidak dipengaruhi amarah, namun terdengar penuh wibawa, “Saudara Cu Han Bu telah menyatakan kehendaknya. Kita bukan anak-anak kecil, juga bukan orang-orang yang suka mencari permusuhan. Kami datang untuk menemukan kembali pedang pusaka istana, dan Saudara Cu agaknya hendak mempertahankan pedang itu atau segan memberitahu di mana adanya pedang itu tanpa lebih dulu ditebus dengan adu ilmu. Nah, bagaimana syarat yang diajukan oleh kalian sebagai pihak tuan rumah?”

Cu Han Bu bersikap hati-hati sekali. Ketenangan Naga Sakti Gurun Pasir itu sedikit banyak mendatangkan rasa jerih di dalam hatinya, karena dia maklum bahwa seperti itulah sikap seorang pendekar sejati yang tidak ragu-ragu lagi akan kekuatan diri sendiri dan selalu bersikap tenang dalam menghadapi apa pun juga, tidak lagi dapat dipengaruhi oleh rasa marah, rasa takut atau lain perasaan lagi, kokoh kuat seperti batu karang, di tengah laut.

“Di pihak keluarga kami pada saat ini hanya ada saya dan Adik Cu Seng Bu kami berdua, akan maju mewakili keluarga kami untuk menghadapi pihak utusan Kaisar.” kata Cu Han Bu, sengaja menggunakan sebutan utusan “Kaisar” untuk menekankan bahwa mereka tidak menganggap keluarga Naga Sakti Gur-un Pasir sebagai musuh-musuh pribadi.

“Hemm, dua lawan dua, itu sudah adil.” kata Cin Liong. “Saya dan Ayah akan maju menghadapi kalian. Akan tetapi bagaimana kalau di antara dua orang yang seorang kalah dan seorang lagi menang?”

“Yang menang akan saling berhadapan, sampai ada yang kalah.” sambung Cu Han Bu, tenang.

“Bagaimana kalau kami kalah?” tanya lagi Cin Liong.

Cu Han Bu tersenyum. “Kami tidak terlalu mengharapkan itu. Akan tetapi kalau pihak kami menang, kalian harus pergi dari sini dan bersumpah tidak akan mengganggu kami lagi dalam urusan pedang.”

“Tapi itu berarti mengabaikan perintah Kaisar!” Cin Liong berseru.

“Terserah! Tapi itulah perjanjian dalam adu ilmu ini, tentu saja kalau pihak kalian tidak keberatan.”

Cin Liong mengepal tinju. Kata “keberatan” itu sama dengan “takut”! “Baik.” jawabnya. “Kalau kami kalah, kami akan pergi dan kami bersumpah tidak akan mengganggu kalian dalam urusan pedang, dan aku akan mengundurkan diri dari kedudukanku di istana karena berarti tidak mampu melaksanakan perintah Kaisar!”

“Cin Liong....!” Wan Ceng berseru kaget, akan tetapi suaminya kembali menyentuh lengannya.

“Ucapan Liong-ji cukup tepat sebagai seorang gagah.” katanya tenang.

“Dan bagaimana kalau kalian yang kalah?” Cin Liong kini balas mendesak.

Cu Han Bu tidak tersenyum, melainkan memandang tajam. “Kalau kami yang kalah, kami akan memberitahukan di mana adanya pedang itu dan di samping itu, kami berdua akan menggunduli kepala dan menghabiskan sisa hidup sebagai hwesio dan mengasingkan diri.”

“Ayah....!” Pek In berseru kaget, mukanya pucat.

“Pek In, seorang laki-laki harus mempunyai harga diri. Jenderal Muda Kao telah mempertaruhkan kedudukannya yang tinggi, maka keputusan itu patut dihormati dan diimbangi dengan keputusan kami mempertaruhkan keputusan kami pula. Dan, kalah dalam tangan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir merupakan kekalahan terhormat. Keputusanku tidak dapat dirubah pula.”

“Aku setuju dengan keputusan yang diambil Bu-twako.” sambung Cu Seng Bu yang memang sebelum mereka menghadapi keluarga Naga Sakti Gurun Pasir itu telah berunding dengan kakaknya dan keduanya mengambil keputusan ini.

“Baik sekali. Nah, kita boleh mulai” kata Kao Kok Cu dengan tenang dan dia pun bangkit berdiri, siap untuk bertanding.

Akan tetapi Cin Liong sudah maju ke depan ayahnya. “Tidak, Ayah. Biarkan aku maju lebih dulu.” Melihat ini, Kao Kok Cu tersenyum dan duduk kembali. Dia percaya penuh kepada puteranya yang telah mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya dan dia tahu bahwa biarpun masih muda, namun Cin Liong bukan orang yang sembrono, bahkan sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi lawan yang pandai ketika menjalankan tugas-tugas sebagai seorang panglima perang.

Kao Cin Liong sudah melangkah maju ke tengah ruangan di mana telah menanti Cu Seng Bu yang maju lebih dulu mewakili keluarga Cu. Cu Seng Bu berdiri tegak dan menatap calon lawannya itu dengan penuh perhatian pemuda itu masih muda sekali, paling banyak sembilan belas tahun atau dua puluh tahun usianya, dia berpikir. Biarpun pemuda itu putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dalam usia semuda itu, mana mungkin memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi? Rasanya mustahil kalau dia sampai kalah oleh seorang yang baru saja dewasa. Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah. Sim Hong Bu, muridnya dan murid kakaknya juga sebaya dengan pemuda ini, dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian Sim Hong Bu, akan melampaui dia kalau pemuda itu sudah dapet menguasai Koat-liong Kiam-sut secara sempurna.

Cu Seng Bu berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan). Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia tentu seoteng ahli gin-kang yang hebat, sehingga saking cepatnya dia bergerak, saking ringan tubuhnya, maka dia mendapat julukan itu, karena seolah-olah dia dapat berkelebat tanpa nampak bayangannya saking cepatnya. Oleh karena itu, dia menanti datangnya Cin Liong tanpa mencabut pedangnya, karena dia percaya bahwa dengan kecepatan gerakannya, dia akan mampu mengalahkan pemuda itu.

Kini mereka sudah berdiri, saling berhadapan dengan sinar mata saling pandang, saling menilai dan menyelidik. “Kao-goanswe, kau majulah!” Cu Seng Bu menantang. “Engkau adalah tamu, maka silakan mulai lebih dahulu!”

Cin Liong tersenyum. Dia tahu bahwa dalam ilmu silat yang sudah tinggi tingkatnya, siapa maju menyerang lebih dulu berada di pihak yang lebih lemah. “Cu-lo-enghiong, pihakmulah yang menantang, maka silakan mulai leblh dulu, aku menanti,” katanya.

“Hemm, pemuda ini cukup tenang, sikap yang mengkhawatirkan dan berbahaya.” Dia pun tidak mau membuang waktu lagi, diam-diam dia mengerahkan semua tenaganya dan berseru nyaring, “Jaga seranganku!” Belum juga habis ucapan itu keluar dari mulutnya, tubuhnya telah melesat ke depan dengan kecepatan yang mengejutkan dan tahu-tahu tangan kanannya yang membentuk paruh garuda yang runCing melengkung itu telah mematuk ke arah leher Cin Liong. Kecepatan itu amat mengejutkan, dan tenaga yang terkandung dalam serangan itu pun dahsyat bukan main.

Akan tetapi Cin Liong memiliki ketenangan ayahnya dan ketabahan ibunya. Dia menghadapi serangan dahsyat itu dengan mata tanpa berkedip dan cepat namun tenang sekali dia sudah menggeser kaki ke kiri, mengelak dan mencari lubang pada lawan. Akan tetapi, sungguh hebat lawannya itu karena begitu melihat serangannya gagal, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas serangan, Cu Seng Bu sudah merobah serangannya, kini dari samping dia menubruk lagi, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, sedangkan tangan kanan tetap merupakan paruh garuda menotok ke arah pusar! Gerakannya mirip dengan seekor burung garuda yang mencakar dan mematuk, akan tetapi berbeda dengan ilmu silat garuda yang lajim, terutama sekali gerakan kakinya yang berbeda, sedangkan tubuhnya meliuk seperti tubuh ular atau seperti leher bangau. Dan yang amat berbahaya adalah kecepatannya itulah. Dari serangan gagal tadi dia dapat melanjutkan serangan ke samping, ini menunjukkan bahwa orang itu selain ahli ginkang juga sudah menguasai setiap gerakannya dengan sempurna.

Namun Cin Liong tidak mau didesak. Dia mengelak ke bawah untuk menghindarkan cengkeraman pada ubun-ubun kepala dan dengan tangan kiri dia menangkis totokan pada pusarnya, sedangkan tangan kanannya pade saat itu juga, selagi tubuhnya merendah, sudah menghantam ke arah lutut kaki kiri lawan dengan tangan miring ini tidak kalah dahsyatnya dibandingkan kalau dia menggunakan golok membacok kaki itu, dan kalau mengenai sasaran, tentu sedikitnya sambungan lutut itu akan terlepas kalau tidak tulangnya remuk sama sekali. Akan tetapi, Cu Seng Bu sungguh memiliki gerakan yang cepat bukan main karena tiba-tiba saja tubuhnya sudah melesat ke atas ssperti burung terbang saja. Akan tetapi sungguh tidak diduganya bahwa pemuda itu pun memiliki kecepatan yang hebat karena melihat lawannya mencelat ke atas, Cin Liong juga meloncat mengejar dan mengirim pukulan dengan dahsyat dengan tangan terbuka. Pada saat itu, Cu Seng Bu juga menyambut lawan dengan tendangan tumit kakinya. Tak dapat dihindarkan lagi, tangan dan kaki itu saling bertemu selagi tubuh mereka masih di udara.

“Dess....!” Keduanya terpental dan keduanya dapat turun ke atas lantai dengan baiknya. Dan masing-masing merasakan getaran yang cukup hebat akibat benturan itu.

“Haiiittt....!” Cu seng Bu sudah menyerang lagi, gerakannya indah, tangan kirinya terbuka melingkar ke depan merupakan serangan gertakan, akan tetapi yang sungguh-sungguh menyerang adalah tangan kanannya yang mencuat dari bawah lengan kiri itu dan langsung menghantam ke arah dada lawan dari bawah dengan kecepatan luar biasa dan tenaga dahsyat. Itulah jurus yang disebut Hio-te-hoan-hwa (Mencari Bunga di Bawah Daun). Cin Liong maklum bahwa jurus itu mempunyai banyak sekali perobahan, maka dia pun mengelak dengan menggeser kaki kiri ke belakang. Benar saja dugaannya, lawannya telah merobah gerakan, tubuhnya merendah dan dari bawah kedua tangan itu menyambar bergantian ke atas, menyerang pusar dan perut, kemudian disambung dengan tendangan sambil bangkit berdiri, tendangan yang amat kuat mengarah dagunya! Itulah jurus Hai-ti-lauw-goat (Menyelam Laut Mencari Bulan)!

Cin Liong lalu menangkis sambil berloncatan dan selanjutnya dia pun membalas dengan jurus-jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu silat istimewa dari ayahnya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti seekor naga beterbangan di angkasa, dan kedua tangannya membentuk cakar-cakar naga, serangannya datang dari atas dan bawah secara tidak terduga-duga karena tubuhnya yang naik turun dengan cepat dan lincah sekali.

Melihat betapa pemuda itu menguasai kelincahan seperti dia, Cu Seng Bu menjadi penasaran dan ketika dia melihat pemuda itu memukulnya dengan lengan kanan membuat gerakan melengkung dari samping mengarah pelipisnya, dia pun mengerahkan tangannya dan menangkis sambil membentak keras.

“Dukkk!” Dua lengan bertemu dan keduanya telah mengerahkan sin-kang masing-masing. Kuda-kuda kaki Cin Liong tergeser dan dia mundur dua langkah, akan tetapi tubuh Cu Seng Bu terhuyung-huyung! Dari kenyataan ini saja terbukti bahwa dalam hal tenaga, ternyata Cu Seng Bu masih kalah setingkat!

Akan tetapi, Cu Seng masih penasaran dan berkali-kali mereka saling tangkis, tidak mengelak lagi, menggunakan kekerasan. Terdengar suara “dak-duk” menggetarkan kalau lengan mereka saling bertemu dan berkali-kali tubuh mereka tergetar dan terdorong atau, terhuyung.

Perkelahian itu telah berlangsung sampai seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang, sungguhpun sudah beberapa kali Cu Seng Bu nampak terhuyung dan beberapa kali dia menyeringai seperti menahan sakit. Memang dalam benturan-benturan tenaga sinkang, dia kalah kuat dan dia mengalami guncangan hebat yang ditahan-tahannya.Sayang bahwa keluarga Cu biasanya memandang diri sendiri terlalu tinggi, dan sikap seperti ini menimbulkan sifat tidak mau kalah atau sukar menerima kenyataan bahwa dirinya kalah kuat. Setiap kekalahan mendatangkan rasa penasaran dan Cu Seng Bu menjadi semakin nekat.

Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan dahsyatnya dia menubruk maju, kedua tangannya didorongkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Melihat ini, Cu Han Bu sampai menggerakkan kedua tangan ke depan, seolah-olah hendak mencegah adiknya. Sementara itu, melihat hebatnya serangan yang dia tahu seperti hendak mengadu nyawa ini, Cin Liong maklum bahwa dia harus berani mengambil keputusan. Maka dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya pun tiba-tiba meluncur ke depan dalam kedudukan seperti menelungkup, seperti seekor naga yang sedang terbang! Itulah ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Tanah) dan biarpun ilmu itu untuk seorang yang berlengan aatu, namun Kao Kok Cu mengajarkan juga kepada Cin Liong. Tentu saja gerakannya menjadi kaku dan pemuda ini tidak sepenuhnya dapat menguasai ilmu ini, akan tetapi tenaga yang timbul karena ilmu ini amat dahsyatnya, terpusat kepada lengan yang menjulur ke depan.

“Bress....!” Hebat sekali pertemuan antara dua orang yang berilmu tinggi ini di udara. Seolah-olah ada dua bintang bertubrukan dan tubuh Cu Seng Bu terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya, kemudian terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan keluhan lirih dan merangkak bangun, dari ujung mulutnya menitik darah segar. Dapat juga dia bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya, sebatang pedang lemas. Akan tetapi, melihat keadaan adiknya, dan melihat betapa pemuda perkgsa itu masih berdiri tegak dalam keadaan segar. Cu Han Bu maklum bahwa adiknya telah kalah dan kalau dibiarkan maju lagi dengan berpedang, hal itu amat memalukan karena merupakan suatu kenekatan yang terdorong oleh sikap tidak tahu diri dan tidak mau kalah.

“Cukup, Adik Seng Bu. Engkau sudah kalah dan biarkan aku yang maju sekarang!” kata Cu Han Bu sambil memegang lengan adiknya dan menariknya mundur dengan lembut. Cu Seng Bu tidak membantah, melepaskan lagi gagang pedangnya dan dia menarik napas panjang berkali-kali, kelihatan menyesal sekali.

“Adikmu ini tiada guna, Twako” katanya dan tiba-tiba dia muntahkan darah segar.

“Mengasolah, Adikku.” kata kakaknya. Cu Seng Bu menolak tangan Cu Pek In yang hendak memapahnya, dan dia pun lalu kembali ke tempat duduknya, duduk dengan kedua kaki dinaikkan, bersila dan mengatur pernapasan untuk mengobati luka di sebelah dalam dadanya akibat
benturan hebat dengan lawan yang amat tangguh tadi. Dia diam-diam menyesal mengapa tidak sejak semula dia menghadapi lawan itu dengan pedangnya. Kalau dia menggunakan pedang dan pemuda itu pun bersenjata, belum tentu dia kalah dan andaikata dia kalah pun, lebih banyak kemungkinan dia mati, tidak seperti sekarang ini, menderita luka dan tidak tewas sehingga harus menghadapi kekalahannya dan menderita rasa malu.

Melihat Cu Han Bu maju dan menoleh kepadanya, Cu Pek In lalu berseru, “Saambutlah, Ayah!” Dan begitu tangan kanannya bergerak nampak sinar emas berkelebat menuju ke arah ayahnya itu yang mengangkat tangan kanan menyambutnya. Ternyata yang dilontarkan oleh dara itu adalah sebatang suling emas! Cu Han Bu memegang suling emas, memandangnya sebentar, menarik napas panjang lalu menggeleng kepala.

“Tidak, Pek In!. Aku adalah penghuni Lembah Naga Siluman, bukan lagi Lembah Suling Emas!” Dia tersenyum pahit mengenangkan kekalahannya terhadap Kam Hong yang lebih tepat berjuluk Suling Emas dan semenjak kekalahannya itu, dia tidak ingin lagi mengingat tentang suling emas, apalagi mempergunakan suling emas sebagai senjata karena hal itu hanya mengingatkan akan kekalahannya dan seperti ejekan saja. Dia lalu melontarkan kembali suling itu kepada putrinya yang menyambutnya dengan alis berkerut, penuh kekhawatiran karena dara ini maklum bahwa di antara semua senjata, bahkan dibandingkan dengan sabuk emas yang dipakai ayahnya, suling itu merupakan senjata yang paling ampuh bagi ayahnya.

Cu Han Bu sudah melolos sabuk emasnya dan berdiri tegak memandang kepada Kao Kok Cu, sinar mata yang mempersilakan pendekar itu maju melawannya. Melihat ini, Kao Kok Cu juga sudah bangkit dari tempat duduknya. Akan tetapi Cin Liong yang masih berdiri tegak dan belum kembali ke tempat duduknya, berkata, “Ayah, akulah yang wajib melaksanakan perintah Sri Baginda. Ayah hanya membantu saja kalau aku gagal. Oleh karena itu, sebelum aku kalah, harap Ayah jangan turun tangan lebih dulu. Marilah, to-enghiong, mari kita tentukan hasil adu kepandaian ini. Ayah hanya akan maju kalau aku sudah kalah“

Cun Han Bu memandang kagum. Kalau saja keadaan tidak memaksa mereka itu saling berhadapan sebagai musuh, dia akan merasa bangga dan senang sekali memiliki sahabat seperti keluarga Kao, yang gagah perkasa ini. Maka dia pun menghampiri pemuda itu dengan sabuk emas dipegang gagangnya oleh tangan kanan sedangkan ujungnya yang lain dipegang oleh tangan kiri. Sikapnya keren ketika dia berkata, “Kao- goanswe, engkau sungguh hebat dan Adikku sudah kalah olehmu. Kalau sekarang aku pun kalah olehmu, maka berarti pihak kami mengaku kalah. Nah, silakan engkau mengeluarkan senjatamu!”

Kao Cin Liong telah mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari ayahnya dan dia telah digembleng sehingga kedua tangan dan kakinya seolah-olah telah menjadi pengganti senjata. Seperti ayahnya, dia tidak pernah memegang senjata, kecuali kalau berpakaian dinas sebagai jenderal. Pedang yang tergantung di pinggangnya kalau dia berpakaian hanya merupakan tanda pangkat belaka. Maka pada saat itu pun dia tidak membawa senjata. Melihat ini, Wan Ceng lalu melolos pedangnya dan memandang kepada suaminya untuk minta persetujuan suaminya. Kao Kok Cu mengangguk dan Isterinya lalu melontarkan pedang itu ke atas.

“Cin Liong, terimalah pedang ini!” serunya dan pedang itu meluncur ke atas, kemudian seperti mempunyai mata saja, pedang itu berputaran di udara lalu meluncur turun ke arah Cin Liong yang menerimanya dengan manis. Itulah pedang Ban-tok-kiam dan pedang yang amat berbahaya ini karena mengandung racun-racun yang amat hebat, nampak kehitaman seperti penuh karat, nampak menyeramkan sekali. Jangankan sampai tertusuk bagian tubuh yang penting, baru tergores saja sudah dapat membawa maut!

Biarpun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat tangan kosong yang lihai, namun jangan disangka bahwa Cin Liong asing dengan senjata. Sama sekali tidak, dia pandai mainkan delapan belas macam senjata, terutama ilmu pedang!

Melihat pemuda itu sudah memegang senjata, Cu Han Bu yang tidak mau bersikap sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan sabuk emasnya di atas kepala, diputar-putar makin lama makin cepat, lalu berkata, “Orang muda, lihat seranganku!” Dan tiba-tiba dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar berkeredepan yang menyambar ke arah kepala Cin Liong, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram ke arah dada. Sungguh merupakan serangan yang amat dahsyat, sekaligus menyerang dengan sabuk emas dan tangan kiri. Entah mana di antara keduanya itu yang lebih berbahaya, karena harus diakui bahwa hawa pukulan tangan kiri yang mencengkeram itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan hawa pukulan sabuk emas yang menandakan bahwa tangan itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata itu.

Cin Liong bersikap waspada. Dia maklum bahwa lawannya ini lebih lihai daripada Cu Seng Bu tadi. Sedangkan terhadap Cu Seng Bu dia pun hanya memperoleh kemenangan tipis, maka dia tahu bahwa sekali ini dia menghadapi lawan yang amat tangguh dan dia harus berhati-hati. Melihat serangan itu, dia pun menangkis dengan pedangnya ke atas, dan mendorongkan tangannya ke depan untuk menyambut cengkeraman tangan kiri lawan.

“Tringgg.... Plakkk!” Keduanya terdorong mundur oleh pertemuan senjata dan tangan itu, dan Cin Liong dapat merasakan betapa tenaga orang ini amat kuat, lebih kuat daripada tenaga Cu Seng Bu dan dia merasa betapa tubuhnya tergetar oleh dua adu tenaga tadi. Akan tetapi, Cin Liong tidak sempat berpikir lebih banyak lagi karena kini terdengar suara berdesing-desing dan pandang matanya menjadi silau melihat gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar dengan, amat dahsyatnya. Gulungan itu membungkus diri Cu Han Bu, dan suara berdesing-desing itu makin lama makin nyaring, Sinar-sinar yang mencuat dari gulungan emas yang merupakan tembok benteng itu makin gencar menyerangnya sehingga, pemuda ini terpaksa harus memutar pedangnya, untuk melindungi tubuhnya. Dia merasakan desakan yang amat kuat dari gulungan sinar keemasan itu dan setiap kali pedangnya menangkis, terdengar suara nyaring dan dia merasa telapak tangannya perih sekali!

Memang hebat sekali ilmu kepandaian Cu Han Bu itu. Untuk selama kurang lebih tiga puluh jurus sabuk emasnya merupakan gulungan sinar yang menghujankan serangan kepada Cin Liong, membuat pemuda itu sibuk sekali menangkis dan hampir tidak ada kesempatan untuk membalas serangan lawan. Kemudian secera tiba-tiba gulungan sinar keemasan itu lenyap dan kini Cu Han Bu melakukan serangan satu-satu dengan gerakan lambat. Akan tetapi, setiap kali sabuk emas itu menyambar terdengar suara angin dahsyat menghembus dan begitu Cin Liong menangkisnya, pemuda ini berseru kaget karena tenaga yang terbawa oleh sabuk itu sedemikian kuatnya sehingga kuda-kuda kakinya tergeser dan hampir dia terhuyung, dan selain tenaga yang amat kuat ini, juga dia merasa betapa ada hawa panas menjalar ke seluruh lengannya! Tahulah dia bahwa lawannya kini benar-benar telah mengerahkan seluruh tenaga simpanannya! Dia pun berusaha untuk balas menyerang, bahkan kini dia, berusaha sedapat mungkin untuk menghindarkan pertemuan senjata secara langsung karena dia maklum bahwa tenaga sin-kangnya masih kalah kuat dibandingkan dengan orang ini.

Akan tetapi, gerakan Cu Han Bu yang lambat itu ternyata amat aneh dan di sekitar tubuhnya seolah-olah ada gulungan tenaga yang tidak nampak sehingga setiap kali pedang Ban-tok-kiam di tangan Cin Liong balas menyerang, ujung pedang itu menyeleweng seperti ditangkis oleh hawa yang amat kuat. Sementara itu, sabuk emas setiap kali menyerang, tidak dapat dielakkan lagi karena biarpun gerakan sabuk itu lambat, namun seolah-olah dapat mengikuti ke mana pun Cin Liong mengelak! Oleh karena ini, pemuda itu terpaksa menangkis dan menangkis lagi dan makin lama tangkisannya menjadi semakin lemah karena memang berat rasanya menangkis sabuk itu sehingga lewat beberapa lama kemudian, setiap kali menangkis dia tentu terhuyung ke belakang!

Patut diketahui bahwa ketika dia melawan Cu Seng Bu tadi, keadaannya dengan lawan itu seimbang, sehingga Cin Liong terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya. Oleh karena itu, setelah kini dia berhadapan dengan Cu Han Bu, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dan juga tenaga lebih kuat dibandingkan dengan adiknya, tentu saja Cin Liong menjadi lelah dan semakin lama tenaganya menjadi semakin lemah. Betapapun juga, dengan Ban-tok-kiam di tangannya, pedang yang juga ditakuti oleh Cu Han Bu yang mengenal pedang beracun yang amat berbahaya dia masih mampu bertahan sampai seratus jurus dia belum juga kalah, walaupun sudah berkali-kali dia terhuyung ke belakang.

Tentu saja Wan Ceng memandang dengan penuh khawatir, alisnya berkerut dan beberapa kali dia mengepal tinju tangannya. Hanya Kao Kok Cu yang masih tetap tenang saja karena biarpun dia juga maklum bahwa puteranya itu akan kalah, namun dia percaya bahwa Cin Liong mampu menjaga diri sehingga tidak sampai terancam keselamatannya.

Cu Han Bu memang telah mengeluarkan semua kepandaiannya. Baginya, perkelahian itu adalah soal hidup atau mati, karena kalau dia kalah, biarpun andaikata dia masih hidup, namun dia dan adiknya seperti telah mati saja, akan mengundurkan diri dan menjadi pendeta dengan mencukur gundul kepala mereka. Inilah sebabnya dia menyerang dengan ganas tanpa mempedulikan lagi apakah serangannya akan menewaskan lawannya.

Melihat betapa lawannya makin kuat dan makin ganas, tiba-tiba Cin Liong mengeluarkan pekik melengking nyaring dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, dia sudah mengeluarkan Ilmu Sin-liong Hok-te dengan menggunakan pedang Ban-tok-kiam. Tubuhnya meluncur ke depan, disambung oleh pedangnya, menerjang ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Melihat ini Cu Han Bu terkejut. Dia maklum bahwa ilmu ini luar biasa sekali dan tadi adiknya juga kalah oleh ilmu ini. Maka dia pun meloncat ke depan menyambut, sambil memutar sabuk emasnya.

“Trannggg.... plakkkk....!”

Kini nampak pedang Cin Liong terlempar ke atas dan pemuda itu sendiri terguling! Akan tetapi dia sudah dapat meloncat lagi ke atas dan manyambar pedangnya, siap untuk menyerang lagi. Pada saat itu, Kao Kok Cu mencelat ke depan dari atas kursinya.

“Cukup, Cin Liong. Engkau telah kalah!” katanya dan pemuda itupun tidak membantah karena harus diakuinya bahwa dia telah kehilangan pedang tadi, dan juga pundaknya telah beradu dengan ujung sabuk emas dan biarpun tulang pundaknya tidak patah, namun lengan kirinya itu menjadi setengah lumpuh dan kalau digerakkan menjadi nyeri sekali pada pundaknya. Jelaslah behwa kalau dia maju melawan lagi sama artinya dengan membunuh diri, maka dia pun menjura ke arah Cu Han Bu dan kembali ke tempat duduknya, disambut oleh Ibunya yang segera memeriksa pundaknya. Pundak itu matang biru! Wan Ceng cepat mengeiuarkan koyo hitam, melumerkan koyo itu dengan hawa panas dari telapak tangannya dan menempelkan koyo itu di pundak puteranya, dan menyuruh puteranya menelan dua butir pel hitam. Kemudian keduanya duduk menonton pertandingan antara Kao Kok Cu dan Cu Han Bu dengan penuh perhatian setelah Wan Ceng menyimpan kembali pedang Ban-tok-kiam.

Sementara itu, tadi Kao Kok Cu telah menghadapi Cu Han Bu dan berkata, “Saudara Cu, kini keadaan kita satu-satu. Marilah kita menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.”

“Silakan kau mengeluarkan senjata, Kao-taihiap,” kata Cu Han Bu dengan sikap masih menghormat.

“Aku tidak pernah mempergunakan sanjata. Majulah!” tantang Naga Sakti Gurun Pasir.

Cu Han Bu percaya akan kata-kata ini dan tidak menganggap pendekar itu memandang rendah kepadanya. Maka dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan sudah memutar sabuk emasnya dan menyerang dengan gerakannya yang lambat namun mantap dan amat kuat itu.

Tadi ketika Cu Han Bu bertanding melawan Cin Liong, Kao Kok Cu sudah menyaksikan gerakan-gerakannya dan sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah matang, sekali lihat saja dia sudah tahu akan sifat-sifat ilmu silat lawan ini. Memang harus diakuinya bahwa jarang dia melihat orang memiliki ilmu silat sehebat keluarga Cu ini. Ilmu silat mereka adalah ilmu silat asli, ilmu silat keluarga yang telah dilatih secara sempurna sekali dan pada waktu itu, kiranya jarang menjumpai orang-orang dengan ilmu setinggi yang dimiliki keluarga Cu ini. Karena dia sudah tahu akan sifat ilmu silat lawan, maka kini dia tahu bagaimana harus menghadapinya. Tadi dia memperhatikan gerakan Cu Han Bu. Orang ini ketika menghadapi Cin Liong, kadangkadang mempergunakan kecepatan yang luar biasa selama beberapa puluh jurus, menghujankan serangan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, kemudian dia mengubah gerakannya menjadi lambat-lambat sekali. Akan tetapi Kao Kok Cu maklum bahwa justeru kalau bergerak lambat-lambat inilah maka orang ini amat berbahaya karena di sini letak seluruh kekuatannya! Kalau Cu Han Bu bergerak perlahan-lahan dan lambat-lambat itu maka dia amat kuat dan seolah-olah tubuhnya dikelilingi oleh benteng yang tidak nampak dan kekuatan dalam yang dahsyat. Oleh karena itu, ketika Cu Han Bu mulai menyerang dengan gerakan lambat-lambat itu, Kao Kok Cu tidak mau membalas serangan, bahkan dia hanya mengelak saja selalu menanti lawan menyerang untuk dielakkan dengan amat mudah tentunya, karena memang serangan-serangan Cu Han Bu itu biarpun amat mantap dan kuat, namun lambat-lambat datangnya.

Karena tidak melihat lawan dapat dipancing dengan gerakan lambat, Cu Han Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang menggetarkan jantung karena dia telah mengerahkan khikangnya yang dihimpun ketika dia berlatih suling, dia mulai menyerang dengan cepat!

Diam-diam Kao Kok Cu merasa girang. Akan tetapi dia masih tetap mengelak ke sana-sini dan sekali-kali dia menangkis dengan tangan kanannya dan hanya membalas serangan lawan dengan sembarangan saja, dengan tamparan-tamparan tangan kanan yang mengandung angin bersuitan. Melihat betapa lawannya bersikap tenang dan seperti tidak sungguh-sungguh. Cu Han Bu mulai marah! Dia mulai mengira bahwa Si Naga Sakti Gurun Pasir ini memandang ringan kepadanya! Gerakannya dipercepat sehingga makin lama gulungan sinar keemasan itu menjadi semakin lebar, dan tubuhnya lenyap sama sekali dalam bungkusan gulungan sinar!

Bersambung ke buku 11