Si Tangan Sakti -3 | Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti -3 | Kho Ping Hoo
“Sim Hui Eng ! Apakah engkau berada di dalam?” kembali dia berteriak dengan pengerahan khikang.
Dan sekarang ada tanggapan dari dalam! Ada suara langkah kaki menuju keluar. Daun pintu itu terbuka sedikit dan nampak wajah seorang gadis cantik mengintai dari balik daun pintu itu.
“Nona, aku Ingin bicara denganmu!”
Yo Han berseru. Akan tetapi wajah itu lenyap dari balik pintu dan Yo Han cepat meloncat ke dalam gua dan mengejar. Gadis itu kini berhenti di ruangan tengah dan tidak lari lagi, melainkan memandangrya dengan heran ketika Yo Han masuk ke ruangan itu.
“Kenapa engkau masuk ke sini ?” Kini gadis itu menegur, suaranya mengandung rasa takut. “Jangan masuk, nanti ketiga orang ayahku marah!”
Tiga orang ayah! Yo Han merasa kasihan sekali. Agaknya gadis itu seperti orang bingung, bahkan mengaku mempunyai tiga orang ayah. Mana mungkin seorang gadis mempunyai tiga orang ayah? Sudah jelas, pasti ini yang namanya Sim Hui Eng, puteri bibinya. Hatinya terharu.
“Aku mau bicara denganmu.” kata pula Yo Han sambil mendekat.
“Jangan masuk, nanti ayah marah. Dan aku tentu akan dihukum!”
Yo Han mengerutkan alisnya dan inengepal tinju. Tentu tiga orang penculik itu bersikap kejam terhadap gadis ini, pikirnya. “Kalau begitu, mari kita keluar dan bicara di luar agar ayahmu. tidak marah.” katanya. Gadis itu mengangguk dan ketika Yo Han melangkah keluar, ia mengikuti.
Akan tetapi, kembali gadis itu kembali berhenti, bahkan kini masuk ke sebuah ruangan yang berada di sebelah kiri. Yo Han menengok dan melihat gadis itu berhenti lagi bahkan memasuki sebuah ruangan yang agak lebih terang, dia pun melangkah kembali menghampiri.
“Nona, kenapa engkau berhenti?”
Gadis itu kelihatan gelisah dan mengerutkan alisnya, pandang matanya tidak percaya dan curiga. “Mau bicara apa sih dengan aku? Aku tidak mengenalmu!”
“Akan tetapi aku mengenalmu. Engkau tentu Sim Hui Eng “
Gadis yang manis itu menggeleng kepala. “Namaku bukan Sim Hui Eng dan aku tidak mengenalmu.
“Mungkin engkau sendiri tidak tahu bahwa namamu yang sebenarnya adalah Sim Hui Eng karena engkau diculik orang sejak kecIl. Nona, aku hampir yakin bahwa engkaulah gadis yang kucari, dan aku dapat membuktikan kebenaran hal itu.”
“Hemmm, apakah bukti itu?”
“Kalau engkau mau memperlihatkan pundak kirimu dan tapak kaki kananmu kepadaku, di sana ada tanda-tanda.”
“Ihhh, engkau orang kurang ajar! Bagaimana mungkin aku dapat memperlihatkan pundak dan kakiku kepadamu?” Gadis itu berseru marah dan mukanya berubah kemerahan.
Yo Han berpikir. Memang sulit juga. Akani tetapi, agaknya Tiat-liong Samheng-te, tiga orang yang oleh gadis itu disebut ayah, sedang tidak berada di situ dan ini merupakan peluang yang baik sekali. Dia harus dapat melihat bukti itu dan kalau gadis itu tidak mau memperlihatkannya, dia harus memaksanya. Tidak ada lain jalan. Kalau tiga orang yang diaku ayah gadis itu berada di situ, tentu hal ini akan lebih sulit untuk dilaksanakan. Dia harus memeriksa pundak dan kaki gadis itu agar yakin apakah dugaannya bahwa gadis itu Sim Hui Eng itu benar.
“Nona, aku tidak bermaksud kurang ajar. Akan tetapi aku harus dapat melihat bukti Itu, apakah pundak dan kakimu ada tanpa-tanda ,kelahiran itu ataukah tidak.” katanya dan dia pun cepat memasuki ruangan yang terang itu.
Gadis itu menyambutnya dengan serangan pisau yang tadi disembunyikannya di belakang tubuhnya. Yo Han tidak merasa heran. Tentu gadis ini salah paham dan menganggap dia hendak kurang ajar. Akan tetapi karena dia tahu bahwa tanpa paksaan, sukar untuk dapat melihat kaki dan pundak seorang gadis, dia pun mengelak dan begitu tangan yang memegang pisau itu menyambar lewat, dia sudah menangkap lengan kanan yang memegang pisau dan secepat kilat jari tangan kanannya menotok dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi! la tentu roboh kalau saja Yo Han tidak cepet merangkulnya dan merebahkannya di atas lantai. Pada saat dia merangkul itulah, dia mendengar suara aneh di belakangnya. Dia menoleh dan terkejut melihat betapa jalan masuk ke ruangan itu, tiba-tiba saja tertutup oleh jeruji besi yang meluncur dari atas. Karena dia sedang merangkul tubuh gadis itu, maka dia tidak sempat lagi untuk meloloskan diri, dan dia pun terkurung dalam ruangan itu bersama gadis yang masih tertotok. Celaka, tentu mereka yang disebut Tiat-liong Sam-heng-te itu . yang menjebaknya, karena mengira dia akan kurang ajar terhadap puteri mereka. Akan tetapi dia dapat memberi penjelasan nanti dan begitu kedua tangannya bergerak, baju di pundak kiri gadis itu dan sepatu di kaki kanannya telah terbuka. Bajunya dia robek dan sepatunya dia lepaskan. Akan tetapi, matanya terbelalak ketika melihat kulit pundak dan kulit telapak kaki yang putih mulus tanpa cacat sedikit pun! Wah mungkin dia lupa, pikirnya. Jangan-jangan terbalik, pundak kanan dan kaki kiri yang harus dia periksa! Tanpa banyak ragu lagi, Yo Han kembali merobek baju di pundak kanan dan melepas sepatu yang kiri dan dia tertegun. Kulit pundak kanan dan kaki kiri itu pun putih mulus, tidak terdapat tanda apa pun seperti yang diharapkan dan disangkanya. Dia telah keliru!
Kalau begitu, Siangkoan Kok telah berbohong kepadanya. Dan ini tentu berarti suatu tipuan, suatu jebakan! Cepat dia meloncat berdiri untuk mencoba keluar dari situ dengan menjebol jeruji besi, akan tetapi pada saat itu juga, dari arah pintu, kanan kiri dan atas, menyembur masuk asap yang kekuningan. Yo Han menahan napas dan memaksa diri mendekati jeruji besi untuk menjebolnya. Akan tetapi, di balik asap tebal nampak orang-orang yang mempergunakan tombak yang ditusukkan ke dalam melalui celah-celah jeruji ke dalam sehingga terpaksa dia mundur lagi. Cepat dia memeriksa ke belakang, kanan dan kiri, akan tetapi dinding gua itu merupakan dinding batu alam, entah berapa tebalnya. Tidak ada jalan lari! Dan dia pun tidak mungkin menahan napas terus-terusan. Dia mulai bernapas dan asap sudah memenuhi gua itu, dia terbatuk-batuk lalu mencium bau yang masam, menyesakkan dada dan Yo Han terguling roboh. Pingsan!
***
Yo Han bermimpi. Dalam mimpi itu dia mengejar-ngejar seorang gadis cantik yang dapat berlari kuat sekali, juga kecepatan larinya luar biasa sekali. Akan tetapi akhirnya, di puncak sebuah bukito dia dapat menyusul dan menangkap gadis itu, dirangkulnya dari belakang, lalu dia merobek baju gadis itu! Bukan untuk apa-apa melainkan untuk melihat pundaknya! Dia melihat sepasang pundak putih mulus, lalu gadis itu menendangnya dan dia jatuh terjungkal ke dalam jurang yang dalam sekali!
Dia membuka matanya. Tidak, dia tidak mati, tidak jatuh ke jurang. Lalu dia teringat. Heran, dia tidak berada di lantai batu, tidak berada di ruangan gua lagi, walaupun masih ada pintu jeruji besi di depannya. Dia rebah di atas lantai ubin, di sebuah kamar yang cukup luas, kamar yang tidak berjendela, akan tetapi pintunya berjeru ji amat kuat dan di luar pintu terdapat banyak penjaga dengan senjata tajam dan runcing di tangan. Dia berada dalam tahanan!
Yo Han bangkit duduk dan mendengar gerakan orang di belakangnya, disusul suara tawa orang itu, tawa kecil yang bukan mengejek, bukan pula mentertawakan, melainkan tertawa karena merasa lucu. Dia cepat menengok dan melihat orang yang dikenalnya, yaitu pemuda bernama Cia Ceng Sun yang pernah bersama dia menjadi tamu kehormatan keluarga Siangkoan atau perkumpulan Paobeng-pai!
“Kiranya engkau juga di sini, saudara Cia Ceng Sun. Dan kenapa pula engkau tertawa. Melihat tempat ini, jelas bahwa kita berada dalam kamar tahanan. Kenapa engkau malah tertawa?” Yo Han bangkit berdiri dan menghampiri pemuda itu yang duduk di depan kayu panjang, lalu duduk di sampingnya.
Cia Ceng Sun menahan tawanya dan menepuk pundak Yo Har. “Heh-heh-heh, Yo-toako, lucu akan tetapi menyenangkan melihat engkau dibawa masuk dalam keadaan pingsan ke kamar ini. Berarti aku mempunyai teman yang menyenangkan. Lucunya, kita berdua yang dipilih oleh Pao-beng-pai menjadi tamu kehormatan dan sekutu, dan kita berdua pula yang kini menjadi tawanan. Bukankah itu lucu sekali?” Yo Han kagum melihat betapa pemuda itu dalam tawanan masih mampu berkelakar dan tertawa demikian gembira. Wajah yang tampan itu sedikit pun juga tidak membayangkan perasaan takut, bahkan agaknya pengalaman ini amat menyenangkan hatinya.
“Saudara Cia, kenapa engkau sampai ditawan? Bukankah Siangkoan Kok dan terutama sekali Siangkoan Siocia (Nona Siangkoan) amat suka padamu?”
Cia Ceng Sun menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya masih cerah. “Ini merupakan rahasia besar yang sukar untuk kuceritakan kepadamu. Akan tetapi kenapa engkau sendiri yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali sampai dapat tertawan mereka? Ini baru aneh!”
Yo Han memandang dengan serius. “Saudara Cia, kita ini senasib. Bahkan mungkin sekali kita berdua terancam bahaya maut. Kalau kita tidak bekerja sama, bagaimana mungkin akan mampu lolos. dari ancaman bahaya? Dan untuk dapat bekerja sama, harusl.ah lebih dulu dapat saling percaya, bukan?”
Cia Ceng Sun mengangguk. “Engkau benar sekali, Yo-toako.”
“Nah, aku percaya padamu, apakah engkau tidak percaya padaku sehingga tidak dapat menceritakan keadaanmu kepadaku? Dengan mengetahui keadaan kita masing-masing, barulah kita dapat bekerja sama.”
“Kalau engkau percaya padaku, nah, ceritakanlah mengapa engkau ditawan, Yo-toako.”
Yo Han menghela napas. Pemuda ini selain cerdik, juga agaknya hendak merahasiakan dirinya. Dia harus memperlihatkan kejujuran dulu agar pemuda itu benar-benar dapat percaya padanya.
“Baiklah. Namaku memang Yo Han dan seperti telah kauketahui dalam pertemuan itu, aku adalah seorang tokoh Thian-li-pang, bahkan dianggap sebagai pimpinan. Hanya sikapku memusuhi tiga keluarga besar para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Siluman adalah palsu. Aku sengaja memperlihatkan sikap bermusuhan karena aku sedang menyelidiki hilangnya seorang anak dari ketiga keluarga besar itu yang terjadi dua puluh tahun yang lalu.”
Ceng Sun tertarik sekali. “Wah, sungguh menarik dan aneh. Bagaimana mungkin mencari anak hilang yang sudah lewat dua puluh tahun? Anak siapa yang hilang itu dan bagaimana caranya engkau hendak mencarinya, Yo-toako?”
Yo Han lalu bercerita tentang hilangnya puteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw dan isterinya, yaitu bibi gurunya yang bernama Can Bi Lan, hilang diculik orang dua puluh tahun yang lalu.
“Itulah sebabnya aku sengaja menyatakan permusuhanku terhadap suami isteri itu, karena aku menduga bahwa penculiknya tentulah musuh mereka dan musuh mereka itu siapa lagi kalau bukan tokoh kang-ouw, tokoh sesat yang lihai? Aku sengaja memancing untuk mencari pencullk itu dan ketika kuceritakan hal ini kepada Siangkoan Kok, dengan mengatakan bahwa yang menculik puteri suami isteri pendekar itu adalah Tiat-liong Sam-heng-te, dan memberi tahu di mana tiga orang tokoh sesat itu tinggal. Aku segera ke sana dan bertemu seorang gadis yang tentu saja kukira anak yang hilang itu. Aku ajak dia bicara dan kepadanya aku mengaku terus terang bahwa aku mencari anak yang hilang dua puluh tahun yang lalu. Aku bahkan memaksa membuka bajunya dan sepatunya untuk menemukan tanda kelahiran di pundak dan kaki. Akan tetapi ternyata gadis itu bukan anak yang kucari, dan ternyata ia adalah umpan yang sengaja dipasang oleh Pao-beng-pai untuk menjebak dan menangkap aku.”
Ceng Sun tertawa geli. “Heh-hehheh, orang-orang Pao-beng-pai memang cerdik dan licik bukan rmain. Bagaimana mereka dapat menangkpmu dan membuatmu pingsan, Toako?”
Yo Han lalu menceritakan betapa dia dijebak dan ruangan dalam gua tertutup jeruji besi, kemudian ada asap bius yang menyerangnya sehingga dia akhirnya roboh pingsan. “Agaknya Siangkoan Kok memang sudah mencurigaiku atau mendengar tentang sepak terjangku sebagai Pendekar Tangan Sakti, maka dia memasang jebakan itu. Aku terlalu yakin bahwa gadis itu benar puteri Paman Sim Houw, maka aku ceroboh dan bodoh, menceritakan maksudku sehingga aku diketahui dan di jebak. Sekarang aku telah menceritakan semua dengan terus terang kepadamu, Saudara Cia, engkau mengetahui siapa aku dan mengapa aku berada di sini, mengapa pula aku ditangkap. Tiba giliranmu untuk menceritakan siapa adanya engkau dan mengapa pula engau berada di sini dan akhirnya ditawan juga.”
“Yo-toako, ini merupakan rahasia besar yang gawat dan hanya dapat kuceritakan kepada orang yang benar-benar kupercaya.”
Yo Han mengerutkan alisnya. “Saudara Cia! Apakah engkau tidak percaya kepadaku, padahal aku sudah menceritakan segala rahasiaku kepadarnu yang berarti aku percaya padamu?”
“Bukan begitu, Yo-twako. Akan tetapi karena rahasiaku amat besar dan gawat, aku tidak boleh bercerita kepada orang lain kecuali seorang saudaraku. Nah, kalau engkau mau mengangkat saudara dengan aku, barulah aku mau bercerita.”
Yo Han mengerutkan alisnya. Dia kagum dan suka kepada pemuda ini, akan tetapi sama sekali tidak pernah mimpi akan mengangkat saudara! Akan tetapi, mereka berdua kini menjadi tawanan dan nyawa mereka terancam, kalau tidak ada saling percaya dan saling pengertian, maka akan sukar bekerja sama. Padahal, dengan kerja sama pun belum tentu mereka akan dapat lolos menghadapi Paobeng-pai yang memiliki banyak anggauta dan amat kuat itu, apalagi memiliki pimpinan yang berilmu tinggi.
'Baiklah,” akhirnya dia berkata.
“Bagus, mari kita bersumpah di sini saja, Toako.” kata Ceng Sun dan mereka pun berlutut di atas pembaringan. Yo Han segera mengucapkan sumpahnya.
“Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini, saya menganggap saudara Cia Ceng Sun “
“Namaku yang sebenarnya Cia Sun, Yo-twaka.” Pemuda itu memotong.
Yo Han membuka matanya dan menoleh. Temannya itu juga berlutut di sebelahnya dan nama Cia Sun ini tidak berarti apa-apa baginya. Dia tidak mengenal nama Cia Sun seperti juga dia tidak mengenal nama Cia Ceng Sun. Akan tetapi dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada kedua nama itu, entah apanya. Dia tidak peduli dan mengulang.
“Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini saya menganggap saudara Cia Sun sebagai adik angkat saya, akan saling memberi dan saling mengasihi seperti kakak dan adik kandung.”
Cia Sun mengangguk-angguk, lalu dia pun mengucapkan sumpahnya seperti yang diucapkan Yo Han. Setelah itu, mereka lalu turun dari pembaringan dan saling memberi hormat. Cia Sun berkata lebih dahulu sambil memberi hormat. “Yo-toako, terimalah hormat adikmu Cia Sun.”
“Cia-siauwte, aku merasa berterima kasih sekali. Nah, sekarang, kau ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi dengan dirimu agar kakakmu ini mengetahui segalanya dan kita apat saling bantu.”
“Mari kita duduk kembali di pembaringan itu.” Mereka lalu duduk di tepi pembaringan dan Cia Sun mulai dengan pengakuannya. “Namaku memang benar Cia Sun dan kalau engkau tidak mengenal nama ini adalah karena aku hanyalah putera Pangeran Cia Yan yang tidak begitu terkenal di luar istana.”
“Ah, pantas !!!” Yo Han berkata sambil menepuk pahanya.
“Apanya yang pantas?”
“Ketika mendengar she Cia, aku sudah merasa aneh, seperti ada sesuatu yang kukenal atau yang menarik. Kiranya Paduka adalah cucu Sribaginda Kaisar!”
“Hushhh ! Begitukah sikap seorang kakak terhadap adiknya Yo-toako, aku akan merasa terhina kalau kakakku sendiri menyebutku paduka. Bagimu aku adalah adik Cia Sun, tanpa embel-embel pangeran dan sebagainya!”
Mellhat sikap pangeran itu yang kelihatan tak senang, Yo Han cepet memegang lengannya. “Maafkan aku, siuwte. Aku hanya bergurau. Nah, coba lanjutkan ceritamu, mengapa engkau sampai tersesat ke tempat ini dan mengapa pula engkau ditawan oleh Pao-beng-pai.”
“Aku memang sedang merantau, Toako. Aku bosan di istana dan karena sejak kecil aku suka belajar silat, aku ingin sekali mengenal dunia persilatan, mengenal dunia kang-ouw. Aku lalu mohon kepada orang tuaku untuk merantau meluaskan pengalaman. Demikianlah, aku tiba di sini ketika mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-bengpai.”
“Hemmm, apakah engkau merantau sekalian hendak menyelidiki tentang gerakan anti pemerintah?”
“Tidak sama sekali. Hanya kebetulan saja aku mendengar. Akan tetapi, begitubertemu dengan nona Siangkoan, seketika aku jatuh cinta!”
Yo Han tersenyum, akan tetapi sikapnya bersungguh-sungguh. “Aku tidak merasa heran, Cia-te (adik Cia), karena ia memang seorang gadis luar biasa. Ilmu silatnya tinggi, wajahnya cantik jelita dan anggun, tidak kalah oleh puteri yang manapun.”
“Akan tetapi, engkau tentu mengetahui sendiri betapa cintaku kepadanya itu bahkan menyiksa perasaanku, mengingat bahwa ayahnya adalah ketua Paobeng-pai yang tentu saja memusuhi keluargaku.”
“Hemmm, memang liku-liku cinta kadang membingungkan. Akan tetapi bagaimana dengan perasaan nona itu sendiri kepadamu, Cia-te?”
“Ia pun tfdak menolak cintaku, bahkan setuju ketika aku mengajukan pinangan secara langsung kepada ayahnya.”
Yo Han memandang kaget dan kagum. “Engkau berani langsung meminangnya, Cia-te? Itu membutuhkan keberanian hebat! Meminang puteri orang yang baru saja dikenalnya! Dan bagaimana tanggapan orang tuanya?”
“Eng-moi dan ibunya setuju, dan ayahnya mengajukan syarat, minta tanda ikatan dan juga kelak dalam pesta pernikahan harus dihadiri Kaisar.”
“Gila!!”
“Engkau tahu siapa aku sebenarnya, Twako. Kalau aku menikah, sudah pasti kakekku, Sri baginda Kaisar, akan menghadirinya. Karena itu, aku menerima syarat itu dan sebagai tanda pengikat, aku memberikan seuntai kalung mutiara yang amat mahal harganya.”
“Jadi engkau mengaku sebagai pangeran?”
“Aku tidak sebodoh itu. Tentu saja aku tidak mengaku sebagai pangeran. Dan Eng-moi sudah berjanji padaku bahwa kelak setelah menikah dengan aku, ia tidak akan mencampuri urusan pemberontakan dan permusuhan.”
“Aihhh, siauwte! Kalau engkau tidak mengaku sebagai pangeran akan tetapi menyanggupi untuk mendatangkan Sribaginda Kaisar dalam pesta pernikahanmu, hal itu tentu akan membuat mereka curiga sekali!”
Cia Sun menghela napas pan jang. “Itulah kesalahanku. Aku tidak menduga sedemikian jauhnya. Aku lalu berpamit kepada mereka, berjanji untuk mengirim utusan meminang secara reami. Dalam perjalanan, muncul tanpa kusangka-sangka dua orang perwira pengawal yang diutus ayah untuk memanggil aku pulang karena aku ditunggu oleh tunanganku dan keluarganya “
“Aah, engkau sudah bertunangan dan engkau masih meminang nona Siangkoan Eng?” Yo Han bertanya dengan suara mengandung teguran. Dia mulai memandang pemuda tampan dan halus itu sebagai adiknya sendiri maka dia secara otomatis menegurnya.
“Ah, engkau tidak tahu, Twako. Aku ditunangkan oleh orang tuaku dengan gadis itu, akan tetapi bagaimana aku dapat mencinta seorang gadis yang baru sekali kumelihatnya, itu pun ketika ia masih kecil? Aku tidak berani menentang kehendak orang tuaku, akan tetapi biarpun aku sudah ditunangkan, namun aku masih merasa bahwa hatiku bebas. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepada Eng-moi? Sudah jelas Eng-moi mencintaku dan aku mencintanya, sedangkan Si Bangau Merah itu, belum tentu ia suka kepadaku atau aku suka kepadanya.” Sepasang mata Yo Han terbelalak. “Si Bangau Merah....?”
Pangeran itu tersenyum. “Ya, tunanganku itu adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah, namanya Tan Sian Li. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan ibunya adalah puteri bekas panglima Kao Cin Liong. Ia masih keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Kenalkah engkau kepadanya, Twako?”
Yo Han dapat menenangkan kembali hatinya yang terguncang keras mendengar bahwa tunangan pangeran ini adalah Tan Sian Li, kekasihnya! Dia mendengar keterangan orang tua Sian Li bahwa kekasihnya itu telah ditunangkan dengan seorang pangeran, akan tetapi siapa dapat menduga bahwa pangeran itu adalah pemuda ini, Cia Sun yang kini menjadi adik angkatnya?
“Aku mengenal nama besarnya. Cia-te, pernahkah engkau melihatnya sekarang?” tanyanya, dan diam-diam dia membandingkan antara Sian Li dan Siangkoan Eng. Memang keduanya cantik jelita, keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi dia, tentu saja Sian Li lebih hebat, lebih segala-galanya. Biarpun demikian, dia yakin bahwa kalau pangeran ini sebelumnya telah melihat Sian Li, belum tentu dia akan mudah terpikat oleh gadis lain yang secantik Siangkoan Eng sekalipun.
“Sudah kukatakan tadi, aku baru bertemu satu kali dengannya, itu pun ketika kami masih remaja. Bahkan aku sudah hampir lupa bagaimana wajahnya, dan tidak tahu pula bagaimana wataknya.”
“Cia-te, lanjutkanlah ceritamu. Setelah engkau bertemu dengan kedua orang perwira pengawal itu, lalu bagaimana?”
“Selagi mereka bercakap-cakap dengan aku, tiba-tiba saja muncul Eng-moi bersama empat orang pelayannya. Aku terkejut dan mencoba untuk memberi penjelasan. Akan tetapi ia sudah marah sekali, menganggap aku sebagai pangeran menjadi mata-mata dan tentu akan memusuhi Pao-beng-pai. Ia merobohkan aku dan menawanku, sedangkan dua orang perwira itu diserang oleh empat orang pengawalnya. Mereka tentu tewas. Nah, segala penjelasanku tidak diterima oleh ketua Pao-beng-pai maupun Siangkoan Eng sendiri, aku lalu dimasukkan ke dalam kamar tahanan ini. Eh, belum lama aku berada di sini, engkau digotong masuk dalam keadaan pingsan.”
Setelah saling mendengar pengalaman mereka yang diceritakan dengan sejujurnya, segera kedua orang pemuda yang mengangkat saudara dalam keadaan aneh itu, menjadi akrab sekali. Mereka bercakap-cakap saling menceritakan riwayat mereka, akan tetapi ada satu hal yang masih tetap dirahasiakan oleh Yo Han, yaitu tentang hubungannya dengan Tan Sian Li, Si Bangau Merah yang menjadi tunangan pangeran itu. Dia merahasiakan hal ini karena dia tidak ingin menimbulkan suasana yang tidak enak di antara mereka. Kenyataan bahwa pangeran ini tidak saling mencinta dengan Sian Li, bahkan pangeran itu kini jatuh cinta kepada Siangkoan Eng, menimbulkan perasaan senang dan harapan baru dalam hatinya. Dan timbul pula tekad dalam hatinya untuk membantu pangeran itu agar dapat melangsungkan perjodohannya dengan Siangkoan Eng. Tentu saja, tanpa dia sadari, tanpa dia sengaja, dibalik sikapnya ini terdapat dasar kuat dari hasrat hatinya agar pangeran itu dapat terlepas dari ikatannya dengan Sian Li!
***
Tengah malam telah lewat, akan tetapi Siangkoan Eng masih belum juga tidur. Ia sejak sore tadi mondar-mandir di dalam kamarnya dengan wajah muram. Ia menderita tekanan batin dan kebingungan sejak ia menangkap Cia Ceng Sun dan memasukkannya ke dalam kamar tahanan, kemudian melapor kepada ayahnya bahwa Cia Ceng Sun itu sebenarnya adalah seorang pangeran Mancu. Ayahnya marah bukan main.
“Jahanam, aku sudah curiga! Pantas dia enak saja menerima syaratku bahwa dalam pesta pernikahan harus hadir kaisar! Kiranya kaisar adalah kakeknya sendiri! Dia tentu datang untuk memata-matai kita! Celaka! Kalau begitu, bagus sekali engkau sudah menawannya, anakku. Kita dapat mempergunakannya sebagai sandera penting untuk melindungi diri kalau-kalau ada penyerangan dari pemerintah. Dan kalau dia sudah tidak ada gunanya lagi, kusiksa dia sampai mampus!”
Setelah Siangkoan Eng berada di dalam kamarnya sendiri, ucapan ayahnya yang terakhir itu selalu terngiang di telinganya. Cia Ceng Sun yang ternyata adalah Pangeran Cia Sun itu akan disiksa ayahnya sampai mati! Dan ia tidak dapat menipu diri. Ia tetap mencinta pemuda itu, pangeran atau bukan! Apalagi kalau ia teringat akan percakapannya dengan Cia Sun, mengingat betapa pemuda itu berjanji akan membawanya ke dalam kehidupan yang tenteram penuh kedamaian, tidak mau terlibat dalam pemberontakan dan permusuhan. Ia bahkan hampir yakin bahwa pemuda itu bukan datang untuk memata-matai Pao-beng-pei. Akan tetapi, karena terkejut dan marah mendengar pemuda itu seorang pangeran yang menyamar sebagai pemuda biasa, ia telah menangkapnya. Kini pemuda itu telah menjadi tawanan ayahnya, tawanan penting dan ia tidak mungkin dapat minta kepada ayahnya untuk mengampuni atau membebaskan Cia Sun.
Kini Siangkoan Eng menjatuhkan diri duduk di tepi pembaringan, wajahnya muram dan sedih hampir menangis. Lalu ia bertepuk tangan dua kali dan seorang pelayan menjawab dengan ketukan pada pintu dalam. Ia memerintahkan pelayan memasuki kamar. Pelayan itu kelihatan heran melihat nonanya belum tidur.
“Panggil Sui Lan ke sini!” katanya singkat. Pelayan itu mengangguk dan cepat keluar. Tak lama kemudian, terdengar ketukan daun pintu sebelah luar dan suara pelayan tadi melapor bahwa Nona Sui Lan telah datang.
“Sui Lan, masuklah!” kata Siangkoan Eng. Daun pintu depan terbuka dan masuklah seorang gadis cantik berusia dua puluh satu tahun. Gadis itu kelihatan baru bangun tidur, agaknya tadi sedang tidur ketika pelayan memanggilnya. Gadis bernama Tio Sui Lan ini adalah murid yang pandai dari Siangkoan Kok dan merupakan teman bermain Siangkoan Eng, juga menjadi orang kepercayaannya, bahkan juga sumoinya (adik seperguruan).
“Suci, tengah malam begini memanggilku, ada kepentingan apakah gerangan yang dapat kulakukan untukmu?” Dan karena mereka memang bergaul akrab, ia pun menghampiri lalu duduk di tepi pembaringan, sebelah sucinya itu.
“Duduklah, dan maaf kalau aku mengganggu tidurmu, Sui Lan.”
“Aih, Suci, kenapa sungkan kepadaku? Dan engkau kelihatan belum tidur, dan wajahmu kusut dan muram seperti orang bersedih. Ada apakah, Suci?”
Siangkoan Eng memegang lengan gadis manis itu. “Sumoi, engkaulah orang yang paling kupercaya. Hatiku sedang risau. Engkau tahu sendiri bahwa pemuda yang tadinya kita kenal sebagai Cia Ceng Sun itu telah ditunangkan denganku. Kami saling mencinta. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa dia seorang pangeran dan aku sendiri yang telah menawannya sehingga kini dia dikurung dalam tahanan.”
“Akan tetapi, itu sudah benar, Suci. Bukankah dia dapat menjadi orang berbahaya sekali dan telah merugikan kita? Dia memata-matai kita dan dia bahkan telah menipu Suci. Aku yakin bahwa cintanya pun hanya pura-pura.”
“Diam! Jangan lagi berkata demikian atau aku akan lupa bahwa engkau sumoiku dan akan kuhajar kau!” tiba-tiba Siangkoan Eng membentak dan gadis itu memandang dengan wajah pucat.
“Maafkan aku, Suci....”Siangkoan Eng menghela napas panjang dan kembai ia memegang lengan gadis itu. “Engkaulah yang harus memaafkan aku. Aku begini bingung sehingga mudah tersinggung. Ketahuilah, sampai detik ini aku tidak dapat menghilangkan cintaku kepadanya, apalagi membencinya. Dan aku yakin bahwa dia bukan mata-mata, dan dia benar-benar mencintaiku. Aku menyesal sekali telah terburu nafsu sehingga menangkapnya.”
Diam-diam Siu Lan terkejut akan tetapi ia tidak berani menyatakan pendapatnya, takut salah. Ia terharu karena sucinya atau juga nonanya yang biasanya keras hati itu kini menjadi lemah oleh cinta!
“Akan tetapi, Suci telah terlanjur menangkapnya, lalu apa yang dapat kulakukan untukmu?”
“Engkau merupakan satu-satunya murid ayah yang dipercaya ayah, dan juga semua anggauta Pao-beng-pai tunduk kepadamu. Apalagi baru saja engkau berjasa dalam menjebak dan menangkan Pendekar Tangan Sakti Yo Han, pimpinan Thian-li-pang itu. Nah, karena Cia Sun ditahan dalam satu kamar tahanan dengan Yo Han, maka aku minta engkau suka berkunjung ke sana dan melihat keadaan Cia Sun.”
Sui Lan membelalakkan matanya. “Malam-malam begini? Ini sudah tengah malam, Suci. Lalu apa alasanku tengah malam begini berkunjung ke tempat tahanan?”
“Katakan saja kepada penjaga bahwa engkau mendapat tugas dari ayah untuk mengamati penjagaan agar kedua orang tahanan itu tidak sampai lolos. Perhatikan apakah Cia Sun diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti kuperintahkan kepada mereka, apakah dia mendapatkan makanan sepantasnya, bagaimana keadaannya. Kemudian, engkau harus dapat menyerahkan ini kepada Cia Sun tanpa diketahui penjaga.” Siangkoan Eng menyerahkan sebuah surat yang dilipat-lipat menjadi kecil kepada sumoinya.
“Suci, engkau melibatkan aku dalam pekerjaan yang amat berbahaya, karena kalau suhu tahu tentu aku akan dibunuhnya. Setidaknya, aku berhak mengetahui, apa yang akan kau lakukan agar aku dapat menyesuaikan sikapku. Aku pasti akan membantumu, Suci. Akan tetapi, apakah maksudmu memberiku tugas ini? Apa artinya semua ini dan apa rencanamu?”
Siangkoan Eng merangkul sumoinya. “Sumoi, kalau engkau berkhianat kepadaku dan melaporkan kepada ayah, aku akan celaka. Engkau saja yang dapat kupercaya. Aku memberi surat kepada Cia Sun, minta agar dia bersiap-siap menyambut rencanaku malam ini.”
“Dan apa rencanamu itu, Suci?”
Siangkoan Eng mengusir semua keraguannya. Memang berbahaya sekali. Kalau ia memberitahu kepada sumoinya dan gadis itu melaporkan kepada ayahnya, bukan saja rencananya gagal, akan tetapi bahkan amat membahayakan keselamatan Cia Sun dan ia sendiri. Akan tetapi, ia tidak melihat jalan lain.
“Sumoi, setelah larut malam nanti, aku akan membebaskan Cia Sun.”
Gadis itu terbelalak, kaget dan heran. “Suci! Engkau yang menangkapnya dan melaporkannya kepada suhu, dan engkau pula yang kini akan membebaskannya. Bagaimana pula ini?”
“Sudahlah, Sumoi. Ini demi cinta, dan untuk itu aku siap mempertaruhkan nyawaku. Maukah engkau membantuku? Atau engkau akan melapor kepada ayah?”
Sui Lan merangkul sucinya. “Suci, engkau tahu bahwa aku menganggapmu seperti kakak sendiri. Aku hidup sebatang kara dan di dunia, ini, hanya engkaulah satu-satunya sahabatku, juga saudaraku. Percayalah, aku akan melaksanakan tugasmu dengan baik. Akan tetapi, dia satu kamar dengan orang she Yo itu. Bagaimana?”
“Justeru aku ingin memanfaatkan dia. Kita tahu, ilmu silat Si Tangan Sakti itu hebat. Kalau mereka berdua melarikah diri bersama, aku yakin ayah sendiri tidak akan mampu menangkap mereka dan Cia Sun tentu akan dapat bebas.” Siangkoan Eng lalu turun dari pembaringan. “Nah, lakukanlah tugasmu, Sumoi. Hati-hati, jangan ada yang melihat ketika engkau menyerahkan surat itu karena kalau ketahuan penjaga, semua rencanaku dapat gagal sama sekali!”“Percayalah padaku, Suci.” Sui Lan meninggalkan kamar sucinya dan setelah Sui Lan pergi, Siangkoan Eng duduk termenung.
Sementara itu, Sui Lan dengan langkah biasa pergi ke sebuah bangunan khusus yang berada di perkampungan Pao-beng-pai itu, bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tawanan. Para penjaga tentu saja tidak melarang ia masuk, bahkan memberi hormat, apalagi ketika Sui Lan mengatakan bahwa ia mendapat tugas khusus dari ketua untuk memeriksa keadaan tawanan.
Juga para penjaga sebelah dalam yang berlapis-lapis, semua mengenal baik siapa gadis ini. Murid tersayang dari Siangkoan Kok, juga orang kepercayaan pimpinan Pao-beng-pai. Bahkan semua orang tahu bahwa Pendekar Tangan Sakti Yo Han tokoh Thian-li-pang dapat ditawan berkat pancingan nona ini. Diam-diam Sui Lan menyangsikan kemungkinan berhasilnya rencana sucinya. Bagaimana mungkin tawanan dapat lolos dari tempat ini? Selain penjagaan berlapis-lapis dan ketat, juga jalan keluar melalui rintangan-rintangan berupa jebakan-jebakan rahasia yang sukar ditembus.
Akhirnya tibalah ia di depan kamar tahanan yang berjeruji tebal itu. Dan ia melihat dua orang tawanan itu duduk bersila, saling berhadapan dan mengobrol! Kelihatan mereka demikian tenangnya! Pangeran itu bahkan nampak gembira dan mereka berdua menoleh dan memandang ketika ia berdiri di depan jeruji kamar itu.
Melihat Sui Lan, Yo Han tersenyum masam. “Nah, itulah ia gadis lihai yang telah dipergunakan sebagai umpan sehingga aku terjebak,” kata Yo Han tanpa terdengar suara atau pandang mata membenci gadis itu.
Sesuai dengan perintah sucinya, Sui Lan memperhatikan keadaan kedua orang tawanan itu, terutama Cia Sun. Ia melihat betapa mereka dalam keadaan sehat, bahkan wajah mereka tidak memperlihatkan rasa takut atau murung. Jelas bahwa mereka diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti diperintahkan sucinya.
Sui Lan memberi isyarat kepada para penjaga untuk menjauh. Mereka mentaati, akan tetapi tentu saja memandang dari jauh dan mendengarkan. Sui Lan mengambil sikap seperti orang mengejek.
“Hemmm, kalian sudah tertangkap seperti dua ekor tikus, masih berlagak. Akuilah saja bahwa kalian telah memata-matai Pao-beng-pai. Benar tidak? Kalian menyamar dan berpura-pura, sungguh licik dan pengecut!” Sui Lan sengaja mengejek dan memaki dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh para petugas yang melakukan penjagaan di bagian terdalam tempat itu.
Yo Han tersenyum. Dia seorang yang cerdik dan dia melihat sikap yang tidak wajar dari gadis itu, bahkan dapat merasakan betapa suara gadis itu sengaja ditinggikan agar terdengar semua orang. Apa yang tersembunyi di balik sikap yang disengaja itu? Pasti ada! Karena itu, dia segera menanggapi, disesuaikan dengan sikap gadis itu yang sengaja menghina mereka. Kesengajaan ini dapat dia lihat dari suara dan sikapnya yang tidak sewajarnya.
“Aha, kiranya engkau gadis palsu, gadis licik dan curang! Bukan kami yang curang, melainkan Pao-beng-pai. Kalau tidak licik, pengecut dan curang, coba bebaskan kami dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!”
Sui Lan semakin marah. “Jahanam! Engkau telah merobek bajuku, engkau melepas sepatuku, engkau laki-laki mesum dan kurang ajar! Kalau tidak dihalangi suhu, tentu engkau sudah kubunuh!”
“Ha-ha-ha, engkau mampu membunuhku? Kita lihat saja!” kata Yo Han, dan Cia Sun memandang kakak angkatnya itu dengan mata terbelalak. Dia mengenal Yo Han tidak seperti itu! Begitu kasar kata-katanya terhadap seorang gadis!
“Keparat busuk, rasakan dan makan jarumku ini!” Tangan kiri gadis itu bergerak dan sinar lembut meluncur ke dalam kamar tahanan melalui celah-celah jeruji yang cukup lebar. Dipandang oleh para penjaga dari jauh, jelas bahwa gadis itu menyerang Yo Han dengan jarum rahasia yang ampuh! Akan tetapi, Yo Han menangkap sinar putih yang menyambarnya, dan menyimpannya ke dalam saku bajunya dengan kecepatan yang tidak dapat terlihat oleh para penjaga.Memang jarum yang disambikan Sui Lan, akan tetapi jarum yang membawa lipatan kertas kecil!
Melihat sambitannya tidak mengenai sasaran, Sui Lan memaki-maki lalu pergi meninggalkan tempat itu, memesan kepada para penjaga agar menjaga dengan ketat. “Kecuali Suhu sendiri, suci Siangkoan Eng, dan aku sendiri, siapapun dilarang memasuki tempat ini! Mengerti?” bentaknya kepada para penjaga sebelum ia pergi dari situ.
“Dua jam kemudian, malam telah amat larut dan hawa yang dingin membuat semua orang mengantuk. Demikian pula para penjaga di bangunan tempat tahanan itu. Akan tetapi mereka tidak berani tidur dan melakukan penjagaan ketat secara bergantian.
Ketika Siangkoan Eng muncul dan membentak para penjaga yang agak mengantuk, mereka terkejut dan cepat mengambil sikap tegak dan siap. Sikap Siangkoan Eng galak terhadap para penjaga, dan memarahi setiap orang penjaga yang kelihatan mengantuk atau habis tidur.
“Kalian tidak boleh lengah sedikit pun! Dua orang tawanan ini amat lihai dan amat penting. Aku harus memeriksa segala kemungkinan, jangan sampai mereka lolos!” katanya dengan suara galak. Suaranya terdengar sampai kamar tahanan di mana dua orang pemuda itu duduk bersila. Mendengar suara ini, berubah wajah Cia Sun dan jantung kedua orang tawanan itu berdebar tegang.
Tak lama kemudian, setelah memeriksa di sepanjang jalan, tibalah Siangkoan Eng di lorong terakhir yang menuju ke kamar tahanan. Dua belas orang penjaga lorong itu, menyambut dengan sikap yang tegak dan siap.
“Tidak ada yang tertidur di antara kalian?” bentak Siangkoan Eng.
“Tidak, Nona.”
“Bagus! Siapa yang memegang kunci kamar tahanan? bentaknya pula. “Dia mempunyai tanggung jawab yang amat penting!”
“Saya, Nona!” kata seorang di antara para penjaga yang bertubuh tinggi besar, bermuka bopeng, yaitu kepala regu yang menjaga kamar tahanan dan lorong itu. “Sudah kauperiksa benar bahwa pintu itu terkunci rapat?”
“Sudah, Nona?”
“Berikan kuncinya kepadaku. Hendak kuperiksa sendiri!” kata Siangkoan Eng. “Awas kau kalau menguncinya tidak benar!”
“Silakan, Nona!” kata si bopeng sambil menyerahkan sebuah kunci yang besar.
Karena sikap Siangkoan Eng yang galak dan keras itu, para penjaga nampak takut kepadanya, tidak berani mendekat sehinga ketika gadis itu menghampiri pintu jeruji besi kamar tahanan, para penjaga hanya melihat dari jarak sepuluh meter. Pada saat gadis itu menghampiri pintu jeruji, mereka melihat betapa dua orang tawanan itu tidur di lantai, di tengah kamar, agak mendekat pintu. Mereka tidur mendengkur, dan Siangkoan Eng mencoba kunci pintu, apakah terkunci dengan benar atau tidak.
Pada saat itu, dua orang tawanan itu bergerak bagaikan kilat cepatnya dan Yo Han sudah menotok gadis itu melalui celah jeruji, lalu mencengkeram pundak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengancam lehernya. Cia Sun juga cepat mencabut pedang yang terselip di pinggang Siangkoan Eng, lalu menghardik kepada para penjaga yang berloncatan mendekat.“Semua berhenti dan jangan ada yang bergerak. Kalau ada yang bergerak, kami akan membunuh Siangkoan Eng!” Bentakan itu berpengaruh karena para penjaga yang dua belas orang banyaknya itu tidak berani berkutik, seperti berubah menjadi arca di tempat masing-masing. Tentu saja mereka tidak menghendaki nona mereka dibunuh dan nampaknya, nona mereka memang sama sekali tidak dapat menyelamatkan diri, sudah ditotok, dicengkeram lagi dan mereka semua tahu atau sudah mendengar betapa lihainya dua orang tawanan itu, terutama sekali Yo Han yang mencengkeram nona mereka.
Cia Sun merampas kunci dan melalui celah jeruji, dia membuka kunci pintu, lalu mereka berdua keluar. Yo Han menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang punggung, lalu membebaskan totokannya.
“Hayo antar kami keluar. Bergerak sedikit saja melawan, lehermu akan kupatahkan!” katanya geram.
Siangkoan Eng kelihatan terkejut dan marah, akan tetapi ia pun tahu bahwa ia tidak berdaya. Ketika melihat para penjaga memandangnya dengan bingung, ia pun berkata gemas, Biar mereka lewat. Lain kali masih ada kesempatan bagi kita untuk menangkap mereka kembali dan kalian akan mendapat bagian menyiksa mereka!” Para penjaga terpaksa membiarkan gadis itu digiring keluar oleh kedua tawanan. Demikian pula para penjaga di tengah dan di luar, tidak ada yang berani berkutik melihat nona mereka diancam seperti itu. Dan Siangkoan Eng juga menyuruh mereka mundur dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat sambil mengeluarkan ancaman bahwa kelak mereka semua pasti akan dapat membalas dan menangkap kembali dua orang itu.
Karena menggiring Siangkoan Eng, tentu saja para penjaga tidak berani menggunakan alat rahasia untuk menjebak. Nona mereka terancam dan sekali menggerakkan tangan, kedua orang tawanan itu dapat membunuhnya dengan mudah. Tentu saja mereka tidak berani berkutik, bahkan membunyikan tanda bahaya pun tidak berani, apagi nona mereka memerintahkan mereka tidak melawan dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat.
Dengan amat mudahnya karena tidak ada penjaga yang berani menghalangi, Yo Han dan Cia Sun dapat keluar dari perkampungan Pao-beng-pai itu menggiring Siangkoan Eng. Setelah mereka keluar dari pintu gerbang, barulah para penjaga berani berlari-lari untuk memberi laporan kepada Siangkoan Kok. Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok terbangun dan terkejut, juga marah sekali mendengar betapa kedua orang tawanan itu lolos bahkan menggiring Siangkoan Eng yang dibuat tidak berdaya, kedua orang tawanan itu telah lari jauh.
Setelah tiba di luar pintu gerbang, agak jauh di tempat sepi, Yo Han melepaskan kedua tangannya.
“Eng-moi....” Cia Sun memegang kedua lengan gadis itu. Siangkoan Eng memandangnya dengan muka sedih, lalu berkata dengan suara lirih.
“Engkau pergilah....”
“Eng-moi, kenapa engkau tidak ikut kami saja pergi meninggalkan neraka itu?” bujuk Cia Sun.
“Neraka itu tempat tinggal ayah ibuku, Koko. Bagaimana aku dapat meninggalkan ibuku begitu saja? Tidak, kalian pergilah cepat sebelum ayah dan para anggauta Pao-beng-pai datang.”
“Eng-moi, aku bersumpah, akan kembali dan membawamu sebagai isteriku. Aku cinta padamu, Eng-moi.”
“Aku pun cinta padamu, tidak peduli engkau ini pangeran atau pengemis.... kata Siangkoan Eng terisak, akan tetapi isaknya terhenti ketika Cia Sun, tanpa sungkan dan malu di depan Yo Han, merangkul dan menciumnya.
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari perkampungan itu sehingga mereka berdua saling melepaskan rangkulan.
“Pergilah sebelum terlambat.” kata Siangkoan Eng.
“Benar, Cia-te, kita harus cepat pergi. Nona, maafkan kami, terpaksa aku harus menotokmu.”“Silakan,” kata Siangkoan Eng. Yo Han cepat menotok gadis itu sehinga lemas tak mampu bergerak, bahkan dia pun menotok mulutnya sehingga gadis itu tidak dapat bersuara pula. Cia Sun menyambut tubuh yang lemas itu agar tidak terjatuh, lalu merebahkannya telentang di atas rumput. Setelah menciumnya sekali lagi, Cia Sun terpaksa melompat dan mengejar Yo Han yang sudah lari terlebih dahulu karena kini terdengar langkah kaki orang-orang berlari datang dan nampak pula mereka membawa obor.
Siangkoan Kok dan isterinya yang memimpin orang-orang mereka melakukan pengejaran, menemukan puteri mereka dalam keadaan telentang di atas rumput, tak dapat bersuara maupun bergerak. Dengan marah Siangkoan Kok memerintahkan anak buahnya mencari dan melakukan pengejaran sampai ke bawah bukit, sementara dia dan isterinya membebaskan totokan pada diri Siangkoan Eng.
Dengan muka merah dan mata berkilat menahan kemarahannya, Siangkoan Kok yang tidak mau ribut-ribut memarahi puterinya di tempat terbuka, lalu mengajak isteri dan puterinya kembali ke rumah mereka, dan memerintahkan semua anak buahnya untuk terus mencari.
Kini mereka bertiga berada di dalam rumah, di ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang boleh masuk. Semua pelayan diperintahkan untuk keluar dari ruangan itu, dan mereka menanti di luar dengan wajah pucat karena mereka maklum bahwa ketua mereka marah bukan main.
“Nah, sekarang katakan terus terang, apa yang telah kaulakukan!” Siangkoan Kok membentak puterinya yang telah duduk di samping ibunya.
Siangkoan Eng mengangkat muka menatap wajah ayahnya, sedikit pun tidak merasa takut walaupun ia tahu bahwa ayahnya marah sekali karena kedua orang tawanan itu dapat meloloskan diri. “Apa yang harus kukatakan, Ayah? Tadi, untuk merasa yakin bahwa kedua orang tawanan itu tidak dapat melarikan diri, aku memeriksa tempat tawanan itu. mendadak, ketika aku memeriksa kunci pintu kamar tahanan itu, Pendekar Tangan Sakti yang tadinya kukira tidur pulas, meloncat. dan telah menyergapku melalui celah jeruji besi. Gerakannya tak terduga dan cepat sekali sehingga aku dapat ditotoknya. Mereka membuka piritu dengan kunci setelah membuat aku tidak berdaya, dan mengancam para penjaga untuk membunuhku kalau mereka mencoba menghalangi larinya kedua orang tawanan itu. Nah, setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, mereka lalu menotok dan meninggalkan aku, sampai Ayah menemukanku.”
“Kau bohong! Kau pembohong besar!!” Siangkoan Kok membentak dan matanya melotot lebar. Dalam kemarahannya, pria yang tinggi besar dan gagah ini kelihatan semakin besar dan garang menyeramkan.
Akan tetapi, Siangkoan Eng tenang-tenang saja. “Ayah, kenapa Ayah mengatakan aku bohong? Untuk apa aku berbohong? Mengapa aku harus membohongi Ayah?”
“Mengapa? Karena engkau sudah jatuh cinta kepada pangeran Mancu itu! Karena engkau sudah tergila-gila padanya! Tak tahu malu, merendahkakn diri tergila-gila kepada seorang pangeran Mancu!”
“Hemmm, apa alasan Ayah menuduhku berbohong?”
“Apa alasannya. Bocah murtad, pengkhianat! Selama hidupku, belum pernah aku melihat engkau demikian penakut dan tolol sehingga dapat dikelabui musuh, dapat disergap dan ditundukkan dari dalam kamar tahanan, kemudian demikian penakut sehingga ketika engkau ditawan dan digiring keluar, engkau memerintahkan para anak buah kita untuk membiarkan dua orang itu pergi! Kau boleh mengelabui orang lain, akan tetapi tidak mungkin dapat membohongi aku! Aku sudah mengenal watakmu. Engkau tak mengenal takut, engkau cerdik, tak mungkin dapat ditundukkan dua orang tawanan semudah itu, kecuali kalau engkau memang sengaja hendak membantu mereka lolos!”
“Itu hanya dugaan Ayah belaka. Mana buktinya?” tantang Siangkoan Eng yang memang sejak kecil digembleng ayah ibunya tidak mengenal takut.“Bocah setan. Engkau masih menantangku untuk menunjukkan bukti? Kaukira aku belum melakukan penyelidikan dan belum membongkar rahasiamu yang busuk dan memalukan?” Siangkoan Kok membentak ke arah pintu memanggil pelayan dan ketika seorang pelayan wanita masuk dengan sikap takut-takut, dia membentak, “Panggil ke sini Sui Lan! Cepat!!”
Pelayan itu lari tunggang langgang dan diam-diam Siangkoan Eng terkejut. Apakah Sui Lan telah mengkhianatinya dan melapor kepada ayahnya? Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Ia hampir yakin akan kesetiaan sumoinya itu kepadanya.
Tak lama kemudian Sui Lan masuk dan memberi hormat kepada suhunya, dengan suara biasa ia berkata seperti orang melapor, “Maaf, Suhu. Sudah teecu (murid) dengar dari laporan anak buah bahwa. pencarian itu tidak berhasil....”
Diam!” Siangkoan Kok membentak. “Jangan bicara kalau tidak kutanya, dan setjap jawaban harus kau jawab sejujurnya!”.
“Baik, Suhu.” Gadis itu pun duduk di atas bangku yang ditunjuk oleh gurunya. Berbeda dengan Siangkoan Eng yang masih nampak tenang, Tio Sui Lan kelihatan agak pucat dan matanya mengandung kegelisahan melihat kemarahan gurunya. Setelah melihat muridnya yang sesungguhnya merupakan murid yang paling disayangnya itu duduk, Siangkoan Kok lalu menghadapi puterinya lagi. Dia tetap berdiri, bagaikan gunung karang di depan puterinya yang duduk di samping ibunya. Lauw Cu Sin, wanita berusia empat puluh lima tahun yang masih cantik itu, mengerutkan alisnya dan hanya mendengarkan, pandang matanya juga gelisah.
“Nah, sekarang Sui Lan telah berada di sini. Eng Eng, apakah engkau masih tidak mau mengakui pengkhianatanmu terhadap Pao-beng-pai dan bahwa engkau telah membantu kedua orang itu membebaskan diri?”
“Ayah hanya menuduh tanpa bukti.” kembali Siangkoan Eng atau Eng Eng membantah, sikapnya tetap berani.
“Brakkkkk!!” Meja di samping kirinya dihantam tangan kiri Siangkoan Kok dan papan meja itu hancur berkeping-keping. “Engkau masih berani mengatakan aku menuduhmu tanpa bukti? Anak durhaka, dengar baik-baik. Aku telah menyelidiki dan menanyai para penjaga. Dua jam sebelum engkau muncul, si iblis cilik Sui Lan ini datang ke tempat tahanan, memasuki tempat tahanan dan mengatakan kepada para penjaga bahwa aku sengaja memerintahkan ia untuk menjaga para tawanan. Dan para penjaga melihat Sui Lan cekcok dengan para tahanan, lalu ia menyambitkan jarum ke arah para tahanan. Para penjaga melihat berkelebatnya sinar putih halus! Sui Lan, jawab. Benarkah itu?”
“Benar, Suhu. Teecu marah dan menyerang orang she Yo dengan jarum teecu dan....”
“Bohong! Ingin kau kurobek mulutmu? Mana mungkin jarum rahasiamu bersinar putih? Tentu bukan jarum yang kausambitkan, melainkan surat, gulungan kertas atau alat lain untuk mengirim pesan!”
“Suhu....”
“Diam!” Tangan Siangkoan Kok menyambar ke arah muridnya dan gadis itu terpelanting dari bangkunya dan bajunya robek lebar memperlihatkan sebagian dadanya. Sui Lan bangkit dan berlutut, sambil membetulkan letak bajunya. Untung gurunya tidak berniat membunuhnya sehingga ia tidak terluka.“Eng Eng, engkau masih hendak membantah? Engkau mengirim pesan lewat Sui Lan kepada pangeran Mancu itu. Kemudian, dua jam setelah itu, engkau sendiri yang datang berkunjung, pura-pura melakukan pemeriksaan dan sengaja engkau membiarkan dirimu dibuat tidak berdaya! Engkau bahkan membantu mereka lolos karena engkau sudah tergila-gila kepada seorang pangeran Mancu. Tak tahu malu!”
Kini tahulah Eng Eng bahwa Sui Lan tidak berkhianat. Rahasianya terbongkar semata-mata karena kecerdikan ayahnya yang memang luar biasa. Ia menghela napas panjang.
“Ayah, aku melakukan hal itu demi menjaga baik nama Ayah”
Mata itu melotot, “Apa kau bilang? Menjaga nama baikku?” Karena heran, maka untuk sementara kemarahannya tertunda.
“Ayah adalah ketua Pao-beng-pai yang baru saja memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw, dikenal sebagai pemimpin perkumpulan patriot yang gagah perkasa. Akan tetapi, Ayah telah menawan Pendekar Tangan Sakti secara curang. Bagaimana kalau sampai terdengar dunia persilatan? Pula, aku yakin bahwa Pangeran Cia Sun bukan seorang mata-mata Mancu. Biarpun dia pangeran Mancu, akan tetapi dia bukan mata-mata, melainkan seorang pemuda yang ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman di dunia kang-ouw. Mana mungkin pangeran melakukan pekerjaan mata-mata yang berbabaya? Tentu keluarganya tidak akan menyetujuinya.”
“Cukup! Katakan saja engkau tergila-gila kepada pangeran Mancu itu!”
Dengan sama lantangnya Siangkoan Eng yang yakin bahwa ayahnya amat menyayangnya dan tidak mungkin ia sampai terancam malapetaka oleh tangan ayahnya, menjawab, “Tidak kusangkal, Ayah. Memang aku mencinta Cia Sun dan dia mencintaku. Akan tetapi, bukankah Ayah juga sudah menerima pinangannya, menerima pula tanda pengikat perjodohannya, dan bahkan Ayah mengajukan syarat yang sudah disanggupinya? Apakah Ayah ingin menarik kembali janji dan ucapan Ayah?”
“Jahanam kau! Kau ingin Ayah mempunyai mantu seorang pangeran Mancu?”
“Mengapa tidak, Ayah? Dia pangeran biasa, bukan calon kaisar!”
“Keparat, anak durhaka, engkau memang patut dihajar!” bentak Siangkoan Kok dan dia pun menerjang ke depan, tangannya terayun memukul ke arah kepala Eng Eng. Gadis itu terkejut, sama sekali tidak pernah menduga bahwa ayahnya akan sedemikian marahnya sehingga mau memukulnya, hal yang selama ini belum pernah dilakukan ayahnya. Yang mengejutkan hatinya adalah ketika melihat betapa tangan ayahnya itu memukul ke arah kepalanya. Pukulan maut! Kalau kepalanya terkena pukulan itu, tentu akan pecah dan ia akan tewas seketika! Otomatis, sebagai seorang ahli silat yang gerakannya otomatis, dengan cepat ia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis karena untuk mengelak, ia tidak berani dan hal itu tentu akan membuat ayahnya menjadi semakin marah.
“Desss....!!” Biarpun ia telah menangkis, karena ia tidak berani pula mengerahkan seluruh tenaganya, hantaman ayahnya itu tetap saja hebat bukan main. Tenaga dahsyat menerpa dan menerjang dirinya, membuat kursi yang didudukinya patah-patah dan tubuhnya terjengkang sampai berguling-guling. Sungguh hal ini tidak disangkanya sama sekali. Kepalanya terasa pening, dadanya nyeri karena hawa pukulan itu menerjang masuk lewat lengannya. Dari mulutnya keluar darah dan Eng Eng yang kemudian rebah menelungkup itu, menggerakkan tubuh telentang dan ia bertopang pada siku kanannya, kemudian tangan kirinya diangkat ke arah ayahnya, bibirnya berdarah dan matanya terbelalak.“Ayah....?!!?” terkandung penasaran, keheranan dan kekagetan dalam suara itu.
Melihat keadaan Eng Eng, Siangkoan Kok bukan mereda kemarahannya, melainkan menjadi semakin marah karena tangkisan puterinya tadi dianggapnya sebagai perlawanan.
“Engkau memang patut dibunuh!” bentaknya lagi dan dia sudah mencabut pedangnya, menerjang ke depan dan mengayun pedangnya untuk memenggal leher Eng Eng yang masih bertopang pada sikunya.
“Singgg....! Tranggg....!!” Pedangnya tertangkis pedang lain dan dia cepat meloncat ke belakang, mukanya merah sekali ketika dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah isterinya sendiri, Lauw Cu Si! Wanita cantik itu berdiri dengan pedang di tangan, dan dengan mata mencorong ia menghadapi suaminya.
“Engkau harus melangkahi mayatku dulu kalau hendak membunuhnya!” katanya, suaranya tenang akan tetapi mengandung ancaman yang mengerikan. Kalau saja yang menantang itu orang lain, tanpa banyak cakap lagi tentu Siangkoan Kok akan membunuhnya. Akan tetapi, isterinya adalah keturunan Beng-kauw. Biarpun Beng-kauw telah hancur, namun di dunia persilatan masih terdapat banyak sekali bekas tokoh Beng-kauw yang lihai sekali. Kalau dia membunuh isterinya, apalagi tanpa sebab yang kuat, tentu dia akan berhadapan dengan banyak musuh yang amat berbahaya dan ini berarti akan melemahkan Pao-beng-pai. Melihat keraguan ayahnya, Eng Eng yang masih merasa sesak dadanya dan kini sudah bangkit duduk berkata memelas.
“Ayah, bukankah aku ini anakmu, darah-dagingmu? Seekor binatang buas sekalipun tidak akan membunuh anak sendiri....”
“Dia bukan ayahmu! Engkau bukan anaknya!” Tiba-tiba Lauw Cu Si berkata dan wajah Eng Eng seketika pucat sekali, matanya terbelalak dan hampir ia jatuh pingsan.
“Ibu.... dia....dia bukan ayahku....?” Ia berbisik-bisik berulang-ulang. Ibunya sudah berlutut dan merangkulnya.
“Tenanglah, tidak akan ada manusia di dunia ini dapat membunuhmu tanpa melangkahi mayatku!” kata ibu itu sambil merangkul puterinya dan memandang suaminya dengan sinar mata menantang.
Siangkoan Kok menjadi merah sekali mukanya. “Baik, kalian ibu dan anak memang jahanam! Memang kau bukan anakku! Ibumu menjadi isteriku telah membawa engkau! Seorang gadis telah mempunyai anak tanpa ayah. Huh, perempuan macam apa itu! Dan sekarang, kalian hendak mengkhianati aku!” Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menyarungkan pedangnya lalu hendak melangkah keluar. Akan tetapi dia melihat Sui Lan yang masih berlutut dengan muka pucat dan baju robek.
“Engkau juga mengkhianatiku. Mestinya engkau kubunuh! Akan tetapi, aku tidak membunuhmu, dan mulai sekarang, engkau menggantikan perempuan laknat itu dan melayaniku sebagai isteriku!” Sekali tangannya bergerak dia telah menyambar tubuh Sui Lan dan memondongnya keluar dari kamar itu.“Tidak, Suhu....! Jangan, Suhu....! Tidaaaaakkk....!” Gadis itu menjerit-jerit, akan tetapi Siangkoan Kok tidak peduli dan melangkah lebar menuju ke kamarnya sendiri, menutupkan daun pintu dengan keras dan tangis Sui Lan makin sayup.
“Ibu.... ahhh, Ibu.... aku harus menolong sumoi....” Eng Eng mencoba untuk bangkit berdiri, akan tetapi ia terhuyung dan jatuh ke dalam rangkulan ibunya.
“Hemmm, apa yang dapat kaulakukan, Eng Eng? Mari, kurawat lukamu, kita masuk kamarmu. Aku tidak sudi lagi memasuki kamar yang tadinya menjadi kamar kami itu. Aku pindah ke kamarmu.”
“Tapi, Ibu....! Kasihan Sui Lan. Ibu, tolonglah sumoi. Setidaknya, ayah.... ah, suami Ibu masih memandang muka Ibu. Tolonglah, cegahlah agar sumoi tidak menjadi korban.”
Ibunya menggoyang kedua pundak, sikapnya acuh saja. Ia adalah seorang bekas tokoh besar Beng-kauw, perkumpulan sesat. Ia adalah seorang tokoh sesat sehingga peristiwa seperti itu tidak ada artinya baginya. Ia tidak peduli seujung rambut pun.
“Tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Kalau dia hendak membunuhmu, baru aku bangkit. Akan tetapi Sui Lan? Huh, aku tahu bahwa sudah lama Siangkoan Kok memandang kepadanya penuh berahi. Agaknya sekarang ini kesempatan baginya. Sui Lan bersalah, kalau aku mencegahnya sekalipun, tentu ia akan dibunuh gurunya. Biarlah, jangan ambil peduli!” Ibu itu menarik puterinya ke kamar Eng Eng yang berada agak jauh di samping kiri.
Eng Eng menangis karena merasa tidak berdaya. “Lebih baik ia mati.... lebih baik ia mati....” Ia berulang-ulang berbisik, akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya dan membawanya ke kamar.
Eng Eng mencoba untuk mengusir bayangan sumoinya yang meronta dalam pondongan pria yang selama ini dianggapnya ayahnya, ditaatinya dan disayangnya.
“Ibu, kenapa selama ini Ibu tidak pernah memberi tahu kepadaku bahwa dia itu bukan ayahku?” tanya Eng Eng ketika ibunya memeriksa tubuhnya, lalu menyalurkan tenaga sin-kang untuk menyembuhkan luka di dalam tubuhnya karena terguncang hawa pukulan Siangkoan Kok yang kuat. Kemudian ia pun minum obat yang diberikan ibunya. Setelah puterinya menelan obat, barulah ia menjawab.
“Untuk apa? Selama ini dia menyayangmu seperti anak sendiri. Baru setelah kalian bertentangan dalam urusan gerakan Pao-beng-pai, dia hampir membunuhmu. Engkau masih terlalu kecil ketika aku menjadi isterinya, maka kupikir sebaiknya tidak perlu kau tahu bahwa dia bukan ayahmu, sampai tadi ketika dia hampir membunuhmu.”
“Kalau begitu.... nama keluargaku bukan Siangkoan?”
“Tentu saja bukan!”
“Lalu siapa? Siapakah nama ayah kandungku dan di mana dia, Ibu?”
“Hemmm, dia sudah mati. Kalau engkau tidak suka nama marga Siangkoan boleh kaupakai nama keluargaku, yaitu Lauw. Namaku Lauw Cu Si dan kalau engkau tidak suka nama Siangkoan, boleh kauganti Lauw, jadi namamu Lauw Eng.”
“Tapi, siapa nama ayah kandungku, Ibu? Aku ingin menggunakan nama marganya!”
“Sudahlah aku tidak mau bicara tentang dia. Aku tidak suka mengingatnya!” Suara wanita itu mulai terdengar ketus sehingga Eng Eng merasa heran sekali.
“Akan tetapi, kenapa, Ibu? Kalau ayah kandungku sudah mati, kenapa Ibu tidak mau memberitahukan namanya? Dan di mana kuburannya? Aku ingin bersembahyang di depan kuburannya.”
“Cukup! Aku tidak sudi menyebut namanya. Aku sudah lupa namanya. Aku benci padanya!!” Suara itu semakin galak.
Eng Eng terkejut dan semakin heran. “Tapi, dia sudah mati, Ibu....”
“Dia sudah mati atau masih hidup, aku paling benci padanya, sudah, kalau engkau bicara tentang dia lagi, aku akan marah sekali!”
Eng Eng tidak berani melanjutkan. Dia sudah kehilangan ayahnya, atau orang yang selama ini dianggap ayahnya yang disayangnya dan ditaatinya dan kini dia tidak ingin kehilangan ibunya pula. Pasti terjadi sesuatu yang hebat, sesuatu yang amat menyakitkan hati ibunya yang telah dilakukan ayah kandungnya maka ibunya begitu membencinya setengah mati. Kalau benar demikian, berarti ayah kandungnya telah melakukan sesuatu yang amat jahat. Hatinya terasa perih dan nyeri sekali. Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri akan tetapi ternyata hanya ayah tiri itu seorang jahat, dan ayah kandungnya sendiri pun dahulunya orang jahat. Ketika ia terkenang kepada Pangeran Cia Sun, Eng Eng merasa jantungnya seperti ditusuk. Ia merasa rendah diri.
***
Dua orang pemuda itu berhasil meninggalkan Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Iblis) yang berada di bagian barat Kwi-san (Bukit Iblis), bahkan turun dari bukit itu dan setelah jauh, menjelang tengahari, mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar dalam sebuah hutan kecil yang sunyi.
Melihat betapa wajah Cia Sun agak murung, Yo Han berkata, “Mengapa engkau kelihatan murung, Cia-te? Bukankah sepatutnya kita bersyukur karena telah terhindar dari ancaman maut di sana?”
Pangeran itu memendang kakak angkatnya. “Yo-twako, aku takut. Aku khawatir sekali apa yang akan terjadi dengan Eng-moi. Aku amat mencintanya....”
Yo Han tersenyum. “Engkau aneh sekali, Cia-te. Ketika engkau dan aku berada dalam tahanan dalam keadaan tidak berdaya, setiap saat dapat saja kita dibunuh, engkau sama sekali tidak merasa takut, bahkan selalu nampak gembira. Akan tetapi sekarang, setelah terbebas dari bahaya, engkau malah takut.”
Cia Sun menghela napas panjang. “Biasanya aku tidak pernah takut, Yo-twako. Akan tetapi sekarang, aku gelisah sekali dan aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat menghilangkan perasaan takut atau gelisah ini.”
“Tidak ada cara untuk menghilangkan takut, Cia-te. Takut adalah perasaan kita sendiri, yang ingin menghilangkan itu pun perasaan kita sendiri. Takut timbul karena ulah pikiran, dan keinginan menghilangkan juga ulah pikiran, Cia-te. Kalau kita tidur, pikiran kita bekerja, maka takut pun tidak ada. Pikiran menimbulkan rasa takut, duka, dan sebagainya. Namun, kesadaran akan rasa takut itu sendiri, tanpa adanya usaha melenyapkan, akan mendatangkan perubahan, mendatangkan kesadaran dan dengan sendirinya takut pun tidak nampak bekasnya.”
Apa yang dikatakan Yo Han bukan teori, melainkan pengalaman yang sudah dialami sendiri oleh pemuda itu. Takut bersumber dari pikiran, dan pikiran bergelimang nafsu, membentuk aku. Keakuan inilah yang menjadi sumber segala perasaan. Aku terancam, pikiran membayangkan segala hal buruk yang dapat menimpa diriku, maka timbullah takut. Aku yang mengaku-aku adalah pikiran bergelimang nafsu. Nafsu membuat kita selalu ingin senang, tidak mau susah, maka membayangkan kesusahan yang akan menimpa diri, menimbulkan rasa takut. Takut adalah ulah pikiran yang membayangkan hal yang belum terjadi, membayangkan hal buruk yang mungkin menimpa kita. Yang sehat takut sakit, kalau sudah datang sakit, bukan sakit lagi yang ditakuti, melainkan mati, lalu takut akan keadaan sesudah mati dan selanjutnya. Membayangkan hal-hal yang belum terjadi, itulah sebab rasa takut. Kalau pikiran tidak membayangkan hal-hal yang belum terjadi, takut pun tidak ada.
Iblis menggoda kita manusia melalui nafsu-nafsu kita sendiri. Nafsu sesungguhnya merupakan anugerah Tuhan, disertakan kepada kita sejak kita lahir. Nafsu diikutsertakan untuk menjadi alat kita, menjadi budak kita yang membantu kita dalam kehidupan di dunia lain. Tuhan Maha Murah, Tuhan Maha Asih. Dengan memiliki nafsu, kita dapat menikmati kehidupan di dunia ini melalui panca-indera kita, melalui semua alat tubuh kita lahir batin. Iblis melihat ketergantungan kita kepada nafsu, mempergunakan nafsu untuk menyeret kita sehingga kita bukan lagi memperalat dan memperbudak nafsu, melainkan kita yang diperalat dan diperbudak, dan kalau sudah begitu, kita tidak berdaya, menjadi permainan nafsu yang akan menyeret kita ke dalam kesengsaraan, menjadi seperti kanak-kanak yang diberi makanan enak, tak mengenal batas makan sebanyaknya untuk kemudian menderita sakit yang menyengsarakan. Kalau sudah menderita akibat menuruti nafsu, barulah timbul penyesalan, dan alat lain dalam tubuh memrotes, akal sehat melihat betapa merugikan dan tidak menyenangkan akibat dari menuruti dorongan nafsu tadi. Akan tetapi, usaha menghentikan pengaruh nafsu itu takkan berhasil, atau sukar sekali mendatangkan hasil. Usaha itu datangnya dari hati akal pikiran pula, padahal hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu. Bagaimana mungkin nafsu meniadakan nafsu, atau nafsu mengalahkan dirinya sendiri? Tidak mungkin! Bahkan akal pikiran yang sudah dipengaruhi nafsu daya rendah itu membela pekerjaan nafsu.
Contohnya banyak kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita ini. Adakah manusia yang tidak menyadari akan perbuatannya yang benar? Adakah seorang pun pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu buruk? Adakah seorang koruptor yang tidak tahu bahwa korupsi itu jahat dan buruk? Semua tahu belaka! Seperti contoh terdekat dan teringan, adakah seorang pun perokok atau pemabuk yang tidak tahu bahwa merokok atau bermabukan itu tidak baik? Tentu tidak ada! Setiap orang tahu, akan tetapi apa daya? Pengetahuan ini tidak mampu menghentikan ikatan pengaruh nafsu. Yang berjudi, walau tahu benar bahwa berjudi itu tidak baik, tidak mampu menghentikan kebiasaannya berjudi! Demikian pula dengan perokok, pencuri, koruptor dan sebagainya! Kenapa begitu? Karena pengetahuan itu ada di pikiran, dan pikirannya pun sudah bergelimang nafsu. Bahkan hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu membela perbuatan-perbuatan itu. Seorang pencuri dibela pikirannya sendiri bahwa dia mencuri karena terpaksa, karena tidak ada pekerjaan, karena ingin menghidupi keluarga, dan sebagainya. Seorang koruptor dibela oleh pikirannya sendiri bahwa dia korupsi karena semua orang pun melakukannya, karena gajinya tidak mencukupi karena keluarganya ingin hidup mewah, dan seribu satu macam alasan lagi.Kalau semua usaha gagal, lalu apa yang harus kita lakukan untuk menanggulangi pengaruh nafsu kita sendiri? Dalam pertanyaan ini sudah terkandung jawabannya. Selama kita berusaha melakukan sesuatu, kita tidak akan berhasil, karena yang berusaha menundukkan nafsu adalah nafsu itu sendiri. Kalau kita sudah ingin menundukkan nafsu, hanya waspada mengamati gejolak nafsu kita, tanpa ada keinginan mengubahnya, maka akan terjadi perubahan! Tanpa adanya si-aku yang berusaha, tanpa adanya si-aku yang alias nafsu melalui pikiran yang merajalela, nafsu bagaikan api yang tidak ditambah minyak. Kekuasaan Tuhan akan bekerja! Dalam urusan kehidupan sehari-hari, mencari sandang pangan papan, hidup sebagai manusia yang berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tentu saja kita harus mempergunakan hati akal pikiran. Akan tetapi dalam urusan rohanian, alat-alat jasmani kita tidak berdaya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mutlak berkuasa. Maka, kita hanya menyerah! Kekuasaan Tuhan yang akan mengembalikan nafsu-nafsu kita pada kedudukan asalnya, yaitu menjadi peserta dan alat kita, bukan sebaliknya kita yang diperalat.
“Yo-twako, sebenarnya, apa sih yang kita cari di dunia ini? Mengapa dalam kehidupan ini selalu kita dipermainkan senang dan susah, puas dan kecewa? Bahkan apa yang menyenangkan menjadi membosankan. Kenyataan hidup terlalu sering berlawanan dengan apa yang kita idamkan dan harapkan. Sekelumit kesenangan segera diseling segunung kesusahan. Bukankah kita manusia ini seperti selalu mencari-cari? Apa yang kita cari? Kebahagiaan? Di mana dan apa kebahagiaan itu? Pertanyaan ini selalu menggangguku dan sudah kutanyakan kepada banyak sekali orang-orang pandai, namun tak pernah aku memperoleh jawaban yang meyakinkan dan memuaskan.”
Yo Han tersenyum lebar. “Pertanyaanmu itu agaknya telah menjadi pertanyaan dunia sepanjang masa, pertanyaan seluruh manusia di permukaan bumi ini, Ciate. Kita mencari-cari kebahagiaan, mengejar-ngejar kebahagiaan, namun tak pernah menemukannya. Kalau ada kalanya merasa menemukan, ternyata dalam waktu singkat yang kita tadinya anggap sebagai kebahagiaan itu berubah menjadi kesengsaraan. Kita mengejar dan mencari terus selama kita hidup.”
“Akan tetapi, adakah orang yang benar-benar menemukan kebahagiaan itu, Twako? Dan dimanakah sebenarnya kebahagiaan itu?”
“Cia-te. Mari kita selidiki bersama. Mungkinkah kita mencari sesuatu yapg tidak kita kenal?”
“Tentu saja mustahil!” jawab sang pangeran tanpa ragu.
“Tepat. Karena itu, sebelum kita bertanya di mana adanya kebahagiaan yang kita cari. Apakah kebahagiaan itu, Cia-te?”
“Kebahagiaan! Tentu saja kebahagiaan adalah suatu perasaan, yaitu perasaan bahagia!”
“Kalau begitu pertanyaan yang menyusul. Apakah engkau pernah mengalami perasaan bahagia itu, Cia-te?”
Pangeran Cia Sun tertegun dan mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. “Rasanya pernah dan sering malah. Kalau aku merasa bebas dari kepusingan apa pun, merasa bebas dan lega, seperti ketika aku berada seorang diri di tepi laut yang sunyi, seperti kalau aku berada di puncak gunung yang sunyi pada suatu senja memandang matahari tenggelam, seolah-olah aku melayang di antara sinar senja, ketika aku saling tatap dan bercakap-cakap dengan Eng-moi, yah, seringkali aku merasakan itu mungkin aku selalu mencari-cari saat atau detik-detik seperti itu....”
“Nah, itulah, Cia-te! Sekali saat kita merasa berbahagia seperti yang kau alami itu. Akan tetapi nafsu menguasai hati akal pikiran. Karena nafsu selalu mengejar keenakan dan kesenangan, maka nafsu di hati akal pikiran membuat kita ingin mengabadikan perasaan bahagia di saat itu! Kita ingin memilikinya! Dan kita terseret oleh nafsu, yaitu menjadikan saat indah dan suci itu menjadi semacam kesenangan. Jadi, yang kita cari selama ini, yang dicari-cari oleh setiap orang manusia di dunia ini, hanyalah kesenangan yang mengenakan topeng kebahagiaan. Yang dapat dikejar oleh kesenangan, Cia-te. Mudah saja mengejar kesenangan makanan nafsu itu, melalui mata, hidung, telinga, mulut dan lain anggauta badan luar dan dalam. Kesenangan timbul dari kenangan, dari pengalaman, diulang-ulang, karenanya mati dan selalu disusul kebosanan. Kebahagiaan sudah ada dan selalu ada, hidup bagaikan awan berarak di angkasa, bagaikan gelombang di samudera, tak dapat ditangkap dan dimiliki, tak dapat diulang-ulang, dirasakan saat demi saat tanpa bayangan kenangan masa lalu.”
Pangeran Cia Sun tertawa dan memegangi kepala dengan kedua tangannya. “Aduh, kepalaku yang pening, Twako. Apakah kalau begitu, menurut Twako, amat tidak baik kalau dalam hidup ini kita bersenang-senang?”Yo Han tertawa pula. “Wah, bukan begitu, Cia-te! Menikmati keenakan dan kesenangan dalam hidup merupakan anugerah yang sudah sepatutnya kita nikmati. Kita berhak menikmati keenakan dan kesenangan melalui panca-indra. Akan tetapi, diperhamba nafsu lain lagi akibatnya. Kita lalu menjadi hamba, setiap saat hanya mengejar-ngejar dan mencari-cari kesenangan dengan melupakan segala macam cara. Di sini perlunya kita mempergunakan alat kita yang lain, yaitu akal budi, untuk mempertimbangksn, kesenangan macam apa yang baik dan tidak baik, yang sehat dan tidak sehat. Engkau tentu mengerti apa yang kumaksudkan.”
Pangeran itu mengangguk-angguk.”Sekarang, bagaimana baiknya, Twako? Aku sebenarnya ingin sekali memperisteri Eng-moi, akan tetapi jelas bahwa ayahnya pasti tidak akan menyetujuinya. Dia anti pemerintah, anti Mancu, sedangkan aku seorang pangeran Mancu.”
“Memang keadaan kalian itu sulit sekali, Cia-te. Akan tetapi, aku tetap yakin bahwa lahir, jodoh dan mati ditentukan dan sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan. Maka, bersabarlah dan sebaiknya sekarang engkau kembali dulu karena dipanggil keluargamu. Sebaliknya kalau kauceritakan persoalanmu kepada orang tuamu. Mungkin mereka akan dapat menemukan jalan sehingga akhirnya engkau akan dapat berjodoh dengan kekasihmu itu.”
Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih. “Agaknya mustahil kalau ayah mengijinkan aku menikah dengan Eng-moi, kalau dia mengetahui bahwa Eng-moi adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang menentang pemerintah.”
“Kalau begitu, lebih sulit lagi. Akan tetapi percayalah, Cia-te, betapapun sulit dan mustahilnya suatu urusan bagi kita manusia, kalau Tuhan menghendaki, segala kesulitan itu akan terlampaui dan perkara dapat diatasi dengan segala ikhtiarmu dengan penyerahan kepada kekuasaanNya.”
“Dan sekarang, engkau sendiri hendak ke mana, Twako? Aku akan kembali ke kota raja. Maukah engkau ikut denganku ke sana? Akan kuperkenalkan kepada ayah ibuku.”
Diam-diam Yo Han merasa ngeri. Ikut ke sana dan bertemu dengan Sian Li? Ah, tidak! Dia tidak ingin membuat adik angkatnya ini menjadi terganggu kalau tahu bahwa dia memiliki hubungan dekat sekali dengan gadis tunangannya itu. Juga dia tidak mau membuat Sian Li menjadi rikuh. Di samping itu, dia pun tidak ingin menyiksa diri sendiri dengan menyaksikan pertunangan antara adik angkatnya dengan gadis yang dicintanya.
“Terima kasih, Cia-te. Akan tetapi, aku harus melanjutkan pelaksanaan tugasku, yaitu mencari puteri bibi guruku yang hilang sejak kecil itu.”
“Pekerjaan yang teramat sulit, Twako. Bagaimana mungkin mencari seorang yang belum pernah kaukenal sama sekali? Apalagi ia hilang ketika berusia tiga tahun dan jarak waktunya sudah dua puluh tahun. Ia sendiri mungkin tidak ingat lagi akan keadaan dirinya ketika berusia tiga tahun.”
“Tidak ada perkara yang sulit, kalau saja aku dibimbing kekuasaan Tuhan, Cia-te. Engkau tentu ingat kata-kataku tadi. Aku tidak akan putus asa dan akan terus mencari. Setidaknya, aku mengetahui tanda pada tubuhnya ketika ia lahir, yaitu di pundak kirinya dan di kaki kanannya.”
Pangeran itu tertawa geli. “Ha-ha-ha, sekarang mengertilah aku mengapa gadis yang mengirim surat Eng-moi kepadaku melalui jarum yang disambitkan padamu itu memaki-makimu! Kiranya engkau pernah menyangka gadis itu sebagai gadis yang kaucari dan engkau tentu membuka bajunya untuk melihat pundaknya, juga membuka sepatunya untuk melihat kakinya. Pantas ia marah-marah!” Pangeran itu tertawa geli dan Yo Han juga ikut tertawa dengan muka kemerahan. “Apalagi ketika engkau menjawabnya dengan sikap kasar, aku sempat terheran-heran melihat sikapmu, Twako. Eh, kiranya engkau bersandiwara dan tahu bahwa gadis itu tentu mempunyai maksud tertentu. Nyatanya ia menyambitmu dengan jarum yang ada surat Eng-moi sehingga kita dapat siap melaksanakan sandiwara ketika Eng-moi datang membebaskan kita.”
“Memang itulah gadis yang disuruh Siangkoan Kok untuk menjebakku. Baru kemudian kuketahui bahwa dia adalah murid terbaik dari ketua Pao-beng-pai itu. Nah, sekarang sebaiknya kita saling berpisah di sini, Cia-te. Percayalah, kalau engkau memang berjodoh dengan nona Siangkoan Eng, kelak engkau pasti dapat menjadi suaminya, dan kalau tugasku selesai, kelak pada suatu hari aku pasti akan mengunjungimu di kota raja.”
Dua orang pemuda itu bangkit dan setelah saling memberi hormat dan saling rangkul, mereka mengambil jalan masing-masing. Pangeran Cia Sun kembali ke kota raja sedangkan Yo Han mengambil jalan yang belum dia ketahui menuju ke mana karena dia pun tidak tahu ke mana harus mencari Sim Hui Eng. Dia akan melanjutkan ikhtiarnya itu dengan menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat untuk menyelidiki siapa pelaku penculikan atas diri puteri bibi gurunya itu.
***
Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tubuhnya sedang namun tegap dengan dada yang bidang dan kekar dengan otot-otot menggelembung sehingga nampak jantan dan gagah. Wajahnya juga tampan dan bersih, alisnya tebal, hidungnya mancung dan mulutnya memiliki bentuk yang manis, dengan dagu kokoh dan matanya mencorong seperti bintang. Pakaiannya sederhana bentuknya, namun bersih, dan rambutnya pun tersisir rapi. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Apalagi pada pagi hari itu, dia berlatih silat seorang diri di bawah pohon besar itu dengan gerakan yang perkasa, cepat tangkas dan mengandung tenaga yang amat kuat sehingga daun-daun pohon itu bergoyang-goyang seperti dilanda angin.
Makin lama, gerakan pemuda itu semakin cepat dan tiba-tiba, sambil membalikkan tubuhnya, tangannya bergerak memukul ke arah sebatang pohon sebesar paha orang.
Tangan itu tidak sampai menyentuh batang pohon, ada satu setengah meter jaraknya, namun terdengar suara “kraaakkk!” dan batang pohon itu pun patah dan tumbang! Mulut pemuda itu kini tertarik dan menyeringai aneh, dan pada saat itu, nampak berkelebat seekor burung yang terkejut mendengar robohnya pohon kecil itu. Burung itu terbang dekat pohon besar dan pemuda itu tiba-tiba saja meloncat ke atas dan tangannya bergerak ke arah burung. Burung itu tiba-tiba terjatuh seperti sebuah batu dan disambar oleh tangan pemuda itu yang juga melayang turun.
Sambil membuang bangkai burung itu, dia menengadah, lalu wajah yang tampan itu menyerigai, dan dia pun tertawa bergelak seperti kesetanan! Lalu dia berjongkok, memeriksa bangkai burung yang sudah menjadi hitam seluruh tubuhnya, keracunan. Kembali dia tertawa, akan tetapi tawa ini aneh karena berhenti tiba-tiba seperti tercekik. Dia lalu memandang ke sekeliling, seolah-olah takut kulau ada yang melihat atau mendengarnya, kemudian dia pun meloncat dan menyelinap ke balik semuk belukar dan tahu-tahu tubuhnya lenyap.
Kalau ada orang yang melihat dan mencarinya, menyingkap semak belukar, orang itu tentu akan melihat adanya sebuah sumur yang amat dalam di balik semak belukar itu. Sumur yang tua dan kalau dilihat dari atas, tidak nampak dasarnya, saking dalam dan gelapnya. Dapat dibayangkan betapa besar bahayanya kalau orang berani menuruni sumur itu, dengan tangga atau tali sekalipun, karena dia tidak tahu apa yang berada di dasar sumur. Mungkin gas beracun, atau ular berbisa.
Orang itu tentu akan semakin heran dan kagum kalau melihat betapa pemuda tadi memasuki sumur dengan cara merayap melalui dinding sumur. Gerakannya cepat seperti seekor cicak saja yang merayap menuruni dinding! Dan kini, pemuda itu sudah berada di ruangan bawah tanah yang mendapat sinar matahari dari celah-celah batu retak di atas. Pemuda itu tertawa-tawa seorang diri, menghadapi sebuah dinding yang penuh dengan coret-coretan huruf dan gambar-gambar yang sebagian sudah terhapus.“Ha-ha-ha-ha-ha, susiok-kong (kakek paman guru) Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya itu mencoba untuk melenyapkan Bu-kek-hoat-keng! Ha-ha-ha, arwahnya tentu sekarang akan cemberut kalau melihat betapa usahanya itu tidak sempurna, dan bahwa ilmu Bu-kek-hoat-keng akhirnya dapat dimiliki orang yang paling berhak, yaitu aku, Ouw Seng Bu, ha-ha-ha!” Seperti orang sinting pemuda itu tertawa-tawa dan kini dia menggunakan kedua tangannya menggaruk-garuk ke permukaan dinding batu. Sungguh hebat bukan main. Gerakan jari-jari tangannya itu membuat dinding batu rontok bagaikan tepung saja, seolah-olah dinding batu itu hanya merupakan tanah yang lunak. Sebentar saja, terhapuslah sudah semua huruf dan gambar yang tercoret di dinding itu.
Siapakah pemuda itu. Seperti kata-katanya tadi, dia bernama Ouw Seng Bu dan merupakan seorang tokoh muda dari Thian-li-pang. Belasan tahun yang lalu, ketika dia sendiri masih seorang anak laki-laki kecil berusia delapan atau sembilan tahun, Thian-li-pang, perkumpulan orang-orang gagah anti penjajah Mancu itu dipimpin oleh mendiang Ouw Ban sebagai ketuanya. Ouw Ban mempunyai dua orang putera, yang pertama adalah Ouw Cun Ki yang diselundupkan ke istana untuk membunuh kaisar Mancu, akan tetapi tertawan dan dihukum mati. Yang ke dua adalah Ouw Seng Bu yang ketika peristiwa itu terjadi, masih kecil. Kemudian, terjadi perpecahan di kalangan para pimpinan Thian-li-pang sehingga Ouw Ban tewas di tangan guru-gurunya sendiri, yaitu mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong (baca kisah Si Bangau Merah). Kemudian, muncul Yo Han yang secara kebetulan mewarisi ilmu kepandaian kakek yang buntung kaki tangannya di dalam sumur rahasia, yaitu mendiang kakek Ciu Lam Hok, sute dari Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong yang memiliki ilmu kesaktian hebat. Munculnya Yo Han membersihkan Thian-li-pang dari pengaruh-pengaruh sesat dan jahat partai-partai lain seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan kehadiran Yo Han menyerahkan pimpinan Thian-li-pang, kepada Lauw Kang Hui sebagai ketuanya.
Lauw Kang Hui telah sadar dan membawa kembali Thian-li-pang ke jalan lurus, sebagai perkumpulan orang gagah yang menentang penjajah Mancu. Juga dia merasa iba. kepada Ouw Seng Bu, putera suhengnya dan mengajarkan ilmu silat kepada keponakannya itu.Ouw Seng Bu berlatih dengan rajin. Di depan paman guru yang kini menjadi gurunya dan di depan para tokoh Thian-li-pang, dia memperlihatkan sikap sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan pendiam. Namun, pemuda ini tidak pernah melupakan pesan mendiang ayahnya dahulu ketika dia masih kecil bahwa sekali waktu, dia harus berani menyelidiki dan memasuki sumur di bawah tanah, mencari peninggalan kakek paman gurunya yang sakti. Demikianlah, setelah dia memiliki ilmu kepandaian dan cukup gagah, dalam usia delapan belas tahun, dia nekat mencari dan menemukan sumur di balik semak belukar itu dan nekat memasukinya dengan tali yang panjang. Setelah mencari-cari dan membongkar-bongkar batu besar di dalam gua dan terowongan di bawah tanah, akhirnya dia menemukan dinding penuh coretan dan gambaran itu yang tadinya tertutup batu besar. Agaknya kakek Ciu Lam Hok dahulu pernah membuat coretan dan gambaran di dinding itu, kemudian menghapus sebagian dan menutupi dinding dengan batu besar. Dia pun tahu bahwa itulah ilmu Bu-kek-hoat-keng yang merupakan ilmu rahasia kakek buntung itu, maka dengan penuh ketekunan dia mulai mempelajari ilmu itu secara rahasia. Selama lima tahun dia rajin belajar tanpa mengetahui bahwa karena ilmu yang aneh itu tidak lengkap, maka dia pun menyimpang dari jalur yang semestinya. Tanpa disadarinya, dia telah melakukan latihan yang salah, bahkan kadang-kadang berlawanan. Berkali-kali dia jatuh pingsan karena salah pengerahan tenaga sin-kang, akan tetapi akhirnya, setelah lima tahun belajar dengan tekun dan rahasia, tanpa diketahui siapapun juga, dia berhasil menguasai ilmu yang aneh dan dahsyat bukan main. Tanpa disadari, penyelewengan cara latihan yang salah itu juga mendatangkan perubahan pada dasar wataknya, pusat susunan syarafnya. Dia memang masih nampak pendiam dan lembut, jujur dan baik di depan para pimpinan Thian-li-pang, akan tetapi pada saat-saat tertentu, kalau dia sedang berada seorang diri, terutama sekali sehabis dia berlatih ilmu silat Bu-kekhoat-keng yang tidak lengkap itu, dia menjadi seperti kesetanan, seperti sinting, tertawa-tawa sendiri, kadang-kadang menangis sendiri, dan pandang matanya yang biasanya lembut dan jujur itu mencorong penuh kecerdikan! Juga latihan yang salah itu membuat dia berhasil menguasai pukulan yang mengandung hawa beracun yang dapat membuat yang dipukulnya tewas dengan tubuh menghitam seperti menjadi hangus! Hal ini diketahuinya ketika beberapa kali dia menguji kecepatannya, membunuh burung atau binatang lain yang ditemuinya. Sekali pukul, binatang itu akan tewas dengan tubuh hangus!
Pagi hari itu, dia merasa telah menamatkan ilmunya, maka dia menghapus semua coretan di dinding itu dengan jari-jari tangannya yang memiliki kekuatan demikian dahsyatnya sehingga sekali garuk saja permukaan dinding itu rontok dan semua coretan lenyap.
Setelah merasa puas karena di situ tidak terdapat apa pun juga yang dapat dipelajari orang lain, Ouw Seng Bu lalu merayap keluar dari dalam terowongan gua bawah tanah melalui sumur, menutupkan kembali sumur itu dengan semak belukar, kemudian dia pun berjalan dengan santai kembali ke markas Thian-li-pang yang berada di dekat puncak Bukit Naga. Matahari sudah mulai meninggi dan cuaca cerah sekali. Wajah pemuda itu kini kembali menjadi lembut dan senyumnya ramah gembira, jauh berbeda dengan ketika dia berlatih silat dan di dalam tanah tadi. Dia kini menjadi seorang pemuda yang nampak ramah dan murah senyum, pendiam dan lembut menyenangkan!
Ketua Thian-li-pang yang bernama Lauw Kang Hui ini telah tua sekali, usianya sudah tujuh puluh tiga tahun. Biarpun dia masih nampak tinggi besar dengan muka merah, gagah dan berwibawa, namun bagaimanapun juga, usia tua membuat semangatnya banyak menurun. Diam-diam Lauw Kang Hui sedang melihat-lihat siapa kiranya yang pantas untuk dijadikan penggantinya. Dia sendiri tidak mempunyai keturunan, dan di antara para anggauta Thian-li-pang dan murid-muridnya, hanya ada dua orang muridnya yang agaknya cukup dapat dipercaya. Yang pertama adalah murid wanita yang telah berusia empat puluh tahun, berwajah buruk dan berwatak kasar namun setia kepada Thian-li-pang, bernama Lu Sek. Wanita ini sudah janda dan tidak mempunyai anak. Suaminya tewas dalam pertempuran membela Thian-li-pang. Bahkan, menurut penilaian Lauw Kang Hui, di antara para muridnya, Lu Sek ini yang paling lihai, memiliki tingkat yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan apa yang dicapai Ouw Seng Bu, yaitu murid ke dua yang dipercayanya dan dianggap merupakan calon penggantinya. Dia masih bimbang, apakah harus menunjuk Lu Sek ataukah Ouw Seng Bu untuk menjadi penggantinya, menjadi ketua Thian-li-pang.
Lu Sek, biarpun wanita, berwibawa dan penuh semangat. Juga janda itu memiliki hubungan dekat dengan Lauw Kin, duda yang berusia lima puluh tahun dan tidak mempunyai anak pula. Lauw Kin masih keponakan Lauw Kang Hui sendiri, putera tunggal adiknya yang mati muda. Hati ketua itu lebih condong memilih Lu Sek untuk menjadi calon penggantinya. Ilmu silatnya yang paling tinggi di antara semua murid Thian-li-pang, apalagi kalau dibantu Lauw Kin yang mungkin menjadi suaminya. Selain itu, agak tidak enak hatinya kalau mencalonkan Ouw Seng Bu, karena bagaimanapun juga, Seng Bu adalah putera mendiang suhengnya, Ouw Ban yang pernah menjadi ketua Thian-li-pang, yang telah menyelewengkan Thian-li-pang ke jalan sesat.
Lauw-pangcu (Ketua Lauw) telah sarapan pagi dan duduk di ruangan depan ketika dia melihat Seng Bu melangkah masuk dari luar. Kebetulan sekali, pikirnya. Dia harus lebih dahulu memberitahu muridnya itu agar kalau pada suatu hari dia mengambil keputusan, muridnya ini tidak merasa kecewa. Beberapa kali dalam sikap muridnya itu dia melihat tanda bahwa Seng Bu mengharapkan kelak menjadi ketua Thian-li-pang, bahkan para tokoh Thian-li-pang sebagian besar juga menduga bahwa pemuda yang pandai membawa diri ini pantas menjadi calon penggantinya. Kalau saja di situ terdapat Pendekar Tangan Sakti Yo Han, tentu tidak sukar baginya untuk mengambil keputusan berdasarkan petunjuk pendekar muda yang sakti itu. Akan tetapi, sudah lima tahun lebih Yo Han yang dianggap menjadi pemimpin besar atau penasihat Thian-li-pang tidak pernah terdengar beritanya. Dia harus mengambil keputusan sendiri dan dia harus dapat bersikap bijaksana demi keutuhan para tokoh Thian-li-pang. Dia berteriak memanggil nama muridnya itu.
Seng Bu cepat memasuki ruangan di mana gurunya duduk seorang diri, dan dia lalu memberi hormat dan mengucapkan selamat pagi.
“Duduklah di sini, Seng Bu,” kata ketua yang sudah berusia lanjut itu sambil menunjuk ke arah sebuah kursi di depannya, sebelum muridnya itu berlutut.
“Terima kasih, Suhu,” kata Seng Bu yang merasa heran dan tahu bahwa tentu ada urusan penting maka suhunya mempersilakannya duduk di kursi, tidak membiarkan dia berlutut seperti biasa. Dia duduk dan menundukkan muka dengan sikap siap mendengarkan dan mentaati semua perintah gurunya.
“Seng Bu, apakah engkau sudah sarapan pagi dan dari mana engkau sepagi ini sudah berkeringat?”
“Teecu baru saja berlatih silat, Suhu, nanti setelah mandi teecu akan sarapan di dapur,” jawab Seng Bu dengan sikap hormat.
“Bagus, engkau memang rajin. Kalau engkau mencontoh suci-mu Lu Sek rajinnya dalam berlatih silat, kurasa engkau akan mampu mencapai tingkatnya.”
“Teecu tidak berani, Suhu. Tidak mungkin mengejar Lu-suci yang amat lihai.”
Lauw Kang Hui tersenyum. Muridnya ini selalu bersikap rendah diri dan sopan, selalu menyenangkan hati orang lain. “Seng Bu, apakah dua ilmu simpananku yang terakhir kuajarkan padamu, sudah dapat kaukuasai dengan baik?”
“Suhu maksudkan Tok-jiauw-kang (Cengkeraman Beracun) dan Kiam-eiang (Tangan Pedang)? Setiap hari teecu sudah berlatih diri dengan tekun dan mohon petunjuk Suhu.”
Lauw Kang Hui menghela napas panjang. “Aku sudah terlalu tua untuk dapat berlatih dengan kedua ilmu itu denganmu, Seng Bu. Sebaiknya engkau minta kepada Lu Sek untuk latihan bersama agar engkau dapat memperoleh banyak kemajuan.”
“Baik, Suhu. Teecu (murid) akan mohon bantuan Lu-suci.”
“Aku ingin sekali lagi mengingatkanmu, Seng Bu. Hanya kepada Lu Sek dan engkau dua orang sajalah aku mengajarkan dua ilmu simpananku itu. Oleh karena itu, jangan dilupakan bahwa kedua macam ilmu itu adalah ilmu yang amat berbahaya dan mematikan lawan. Kalau engkau tidak terancam maut dan terpaksa sekali, jangan engkau menggunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerang lawan. Mengerti?”
“Teecu mengerti, Suhu”
Lauw Kang Hui menghela napas panjang. “Sampai sekarang kalau teringat aku masih merasa menyesal bukan main karena dahulu aku pernah mempergunakan kedua ilmu secara sembarangan sehingga menjatuhkan banyak korban yang tidak semestinya kubunuh. Sekarang aku menghendaki agar seluruh murid Thian-li-pang, selain menjadi patriot-patriot yang menentang penjajah Mancu, juga menjadi pendekar-pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, dan tidak mempergunakan ilmu untuk memaksakan kehendak dan berbuat kejahatan.”
“Teecu mengerti.”
“Ingat, kalau sampai terjadi penyelewengan oleh siapapun juga, andaikata aku yang sudah tua tidak mampu lagi menghukum, kelak kalau Sin-ciang Tai-hiap Yo Han datang berkunjung, dia tentu akan turun tangan dan menindak mereka yang melakukan penyelewengan.”
“Teecu mengerti, Suhu.” Seng Bu menunduk menyembunyikan senyum mengejek yang mendesak keluar ke mulutnya. Lalu dia bersikap biasa dan hormat kembali, mengangkat mukanya yang jujur dan bertanya kepada suhunya, “Suhu, apakah Sin-ciang Tai-hiap itu luar biasa lihainya? Apakah Suhu sendiri tidak akan mampu menandinginya?”
Lauw Kang Hui tersenyum.
“Ha-ha-ha, Seng Bu, jangan samakan aku dengan dia! Bahkan kedua orang kakek gurumu sekalipun, yaitu mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, tidak akan mampu menandingi Pendekar Tangan Sakti Yo Han.”
“Luar biasa sekali! Bukankah usianya masih sangat muda, Suhu? Hanya beberapa tahun lebih tua dari teecu? Teecu masih ingat ketika masih kanak-kanak, dia tidak banyak lebih tua dari teecu.”
“Benar, dia hanya beberapa tahun lebih tua darimu. Akan tetapi, dia telah mewarisi ilmu yang mujijat dari kakek paman gurumu, mendiang supek Ciu Lam Hok di sumur bawah tanah.”
“Maaf, Suhu. Teecu mendengar bahwa kakek itu buntung kaki dan tangannya. Dalam keadaan seperti itu, ilmu silat macam bagaimanakah yang dapat beliau ajarkan kepada Sin-ciang Tai-hiap?”
Lauw Kang Hui menghela napas panjang. “Ilmu yang mujijat, ilmu yang luar biasa dan tiada keduanya di dunia ini. Ilmu itu disebut Bu-kek-hoat-keng dan hanya Sin-ciang Tai-hiap seorang saja yang menguasainya. Sukar dicari tandingannya.”
“Suhu maksudkan bahwa kalau memiliki ilmu Bu-kek-hoat-keng itu, orang akan dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan?”
Lauw Kang Hui mengangguk-angguk. “Mungkin saja. Akan tetapi, Yo Han Taihiap bukan orang semacam itu. Tidak, dia tidak mau menonjolkan diri, bahkan menjadi ketua Thian-li-pang saja dia menolaknya. Karena dia maka Thian-li-pang harus menjaga diri menjadi perkumpulan yang gagah dan menegakkan kebenaran dan keadilan.”
“Teecu mengerti, Suhu. Bolehkah teecu mengundurkan diri sekarang untuk pergi mandi?”
“Nanti dulu, ada satu hal lagi ingin kubicarakan denganmu, Seng Bu.”
“Urusan apakah itu, Suhu? Teecu siap mendengarkan.”
“Engkau tentu tahu bahwa mengurus Thian-li-pang tidaklah mudah, selain harus ketat mengawasi sepak terjang anak buah Thian-li-pang, juga harus mampu menghadapi ancaman dari luar. Aku sekarang sudah semakin tua dan lemah, kurang bersemangat. Coba katakan, siapakah di antara para anggauta Thian-li-pang yang waktu ini memiliki ilmu kepandaian silat paling tinggi sesudah aku, Seng Bu?”
Siapa lagi kalau bukan aku, bisik hati pemuda itu. Bahkan suhunya sendiri pun tidak akan mampu menandinginya! Akan tetapi mulutnya menjawab tanpa ragu, “Tentu saja Lu-suci, Suhu.”
“Tepat sekali Seng Bu. Oleh karena itu, kurasa engkau pun akan setuju kalau aku mengangkat suci-mu itu menjadi calon penggantiku, menjadi calon ketua Thian-li-pang, bukan?”
“Teecu setuju, Suhu.” katanya sambil menunduk, karena dia harus menyembunyikan lagi tarikan sinis pada mulutnya.
“Melihat hubungan suci-mu dengan suhengmu Lauw Kin, kurasa mereka akan menjadi pasangan yang akan mampu memimpin Thian-li-pang. Dan engkaulah yang kuharapkan akan dapat membantu mereka. Maukah engkau berjanji untuk membantu mereka sekuat tenagamu, Seng Bu? Karena engkaulah orang ke dua yang kupercaya setelah suci-mu.”
“Teecu berjanji akan membantu Lu-suci, Suhu.”
“Bagus! Legalah hatiku sekarang dan besok kita mengadakan upacara besar, mengumpukan seluruh anggauta untuk mengumumkan pengangkatan Lu Sek menjadi calon ketua Thian-li-pang, Lauw Kin menjadi wakil ketua dan engkau menjadi pembantu utama. Nah, sekarang engkau boleh pergi.”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi seluruh anggauta Thian-li-pang telah berkumpul di ruangan besar yang biasa dipergunakan untuk rapat dan juga berlatih silat.
Dibawah bimbingan Lauw Kang Hui, Thian-li-pang dalam lima tahun lebih ini sejak kematian Ouw Ban, telah kembali ke jalan benar. Akan tetapi, banyak anggauta yang dikeluarkan dan disaring sehingga kini hanya mempunyai sedikit saja. Namun, seluruh anggauta itu merupakan orang-orang gagah yang berwatak pendekar dan juga yang berjiwa patriot.
Para anggauta yang langsung menjadi murid-murid Lauw Kang Hui hanya ada belasan orang. Yang terutama di antara mereka tentu saja adalah Lu Sek, Lauw Kin, dan Seng Bu. Para murid lain memiliki tingkat yang lebih rendah dari tiga orang ini, walaupun tentu saja mereka jauh lebih lihai daripada para anggauta biasa yang hanya mempelajari ilmu silat Thian-li-pang dari para murid ini. Selama ini, Lauw Kin yang mewakili pamannya, juga gurunya dan ketuanya, untuk membimbing para angauta dalam berlatih silat. Lu Sek mewakili ketua untuk urusan luar Thian-li-pang. oleh karena itu, desas-desus tentang akan diangkatnya kedua orang ini menjadi ketua dan wakil ketua, diterima olah para anggauta Thian-li-pang dengan wajar dan gembira karena memang selema ini kedua tokoh itulah yang aktif mewakili sang ketua yang sudah lanjut usia itu mengurusi Thian-li-pang bagian luar dan bagian dalam.
Ketika Lauw Kang Hui keluar dari dalam, seluruh anggauta Thian-li-pang sudah berkumpul dan tiga belas orang murid ketua itu pun sudah berada di situ, paling depan dan mereka semua segera bangkit berdiri ketika Lauw-pang-cu muncul. Setelah menerima penghormatan semua murid dan anggauta Thian-li-pang, Lauw Kang Hui duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. Setelah duduk, dia pun memberi isyarat kepada tiga belas orang muridnya yang mengambil tempat duduk di bangku yang tempatnya lebih rendah, sementara itu para anggauta Thian-li-pang tetap berdiri dengan rapi. Suasana menjadi hening karana semua anggauta tidak berani mengeluarkan suara, siap menanti untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh ketua mereka. Juga para murid duduk dengan sikap tenang dan patuh.
“Para murid dan anggauta Thian-li-pang semua, dengarlah baik-baik apa yang kukatakan dan laksanakan dengan patuh. Seperti kalian ketahui, lebih lima tahun sejak Sin-ciang Tai-hiap Yo Han menyerahkan kepemimpinan Thian-li-pang kepadaku, telah terjadi banyak perubahan.
Biarpun dalam hal perjuangan kita belum dapat berbuat banyak, namun kita telah mampu membelokkan arah kemudi dan kembali ke jalan benar sebagai perkumpulan yang membela kebenaran dan keadilan, sesuai dengan apa yang diinginkan Pendekar Tangan Sakti. Akan tetapi, sekarang aku telah semakin tua, usiaku sudah tujuh puluh empat tahun sudah kekurangan semangat. Sudah lama kita, menanti-nanti datangnya Yo-taihiap, akan tetapi dia tidak kunjung datang. Oleh karena itu, sekarang aku akan menentukan pilihanku, untuk mengangkat calon-calon pimpinan Thian-li-pang sehingga kalau sewaktu-waktu aku mati, tidak akan terjadi kekacauan karena tidak ada pimpinan. Sementara itu, andaikata nanti Yo-taihiap datang dan tidak setuju dengan pilihanku, maka tentu saja calon yang kupilih dapat saja diganti sesuai dengan kehendak Yo-taihiap. Setujukah kalian semua?”
Serentak seratus orang lebih itu menyambut dengan suara penuh semangat, “Setujuuuuu....!!”
Sambil tersenyum gembira atas sambutan meriah itu, Lauw-pang-cu mengangkat tangan minta agar semua orang diam, lalu dia melanjutkan dengan suara gembira. “Bagus! Nah, sekarang hendak kuumumkan siapa yang kupilih menjadi calon pimpinan Thian-li-pang yang akan menggantikan aku sewaktu-waktu kukehendaki atau sewaktu-waktu aku meninggalkan dunia. Pertama, yang akan menjadi ketua adalah muridku Lu Sek. Biarpun ia seorang wanita, namun tingkat kepandaiannya adalah yang paling tinggi di antara kalian semua. Pula, ia sudah berpengalaman dan sudah biasa mewakili aku. Adapun yang menjadi wakilnya kutetapkan murid dan juga keponakanku Lauw Kin. Sedangkan pembantu utama mereka adalah muridku Ouw Seng. Kalau memang kelak dibutuhkan, ketua boleh mengangkat para pembantu lainnya. Setujukah kalian? Kalau ada yang tidak setuju, boleh mengajukan pendapatnya!”
Akan tetapi, tak seorang pun yang menolak dan kembali mereka berseru menyatakan persetujuan mereka. Upacara sembahyang untuk mengesahkan pengangkatan calon pimpinan Thian-li-pang segera dilakukan seperti yang telah menjadi kebiasaan perkumpulan itu.
Setelah upacara sembahyang dilakukan, para anggauta dipersilakan bubaran dan kembali ke tempat masing-masing melakukan tugas sehari-hari. Akan tetapi, tiga orang pimpinan baru itu masih ditahan oleh Lauw Kang Hui untuk diberi pengarahan dan nasihat-nasihat. Dalam kesempatan ini, Lauw Kang-hui minta kepada tiga orang muridnya itu untuk mulai membawa Thian-li-pang pada cita-cita semula, yaitu menggulingkan pemerintah penjajah Mancu.
“Pemerintah penjajah Mancu amat kuat, tentu saja dengan jumlah anggauta kita yang hanya seratus orang lebih, tidak mungkin kita akan mampu melawan bala tentara Mancu. Kita harus dapat menghimpun kekuatan dengan mengajak rakyat jelata untuk menentang penjajah, dan terutama sekali harus bersatu dengan para perkumpulan pejuang lain. Aku ingin sekali mendengar berita dari Thio Cu yang kuutus sebagai wakil Thian-li-pang mengunjungi pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai karena kalau benar Pao-beng-pai merupakan perkumpulan anti penjajah, kita boleh bersekutu dengan mereka. Akan tetapi kalau Pao-beng-pai hanya merupakan perkumpulan penjahat yang berkedok perjuangan seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, kita tidak perlu mendekati mereka.”
Mendengar ucapan gurunya itu, Lu Sek dan Lauw Kin mengangguk-angguk setuju, akan tetapi diam-diam Ouw Seng Bu tidak senang hatinya. Dia berpendapat bahwa itulah kekeliruan Thian-li-pang maka sampai sekarang tidak memperoleh kemajuan, seperti ketika masih dipegang pimpinannya oleh mendiang ayahnya. Dahulu, Thian-li-pang terkenal dengan keberaniannya, bahkan beberapa kali mencoba untuk membunuh kaisar dan para pangeran Mancu sehingga Thian-li-pang ditakuti dan terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih. Akan tetapi sekarang, Thian-li-pang hanya tinggal namanya saja. Yang penting adalah menggulingkan pemerintah Mancu, dan untuk itu, semua kekuatan harus dikerahkan, tidak peduli dari golongan manapun juga. Biar penjahat, maling dan perampok sekalipun, kalau memang mau harus diajak untuk menentang penjajah, harus dianggap kawan seperjuangan. Juga dia mempunyai pendapat bahwa sesungguhnya, dialah yang paling berhak untuk memimpin Thian-li-pang, bukan saja karena dia memiliki kepandaian paling tinggi di antara mereka semua, melainkan terutama sekali karena dialah keturunan ketua yang dulu. Kalau dia yang menjadi ketua, dia akan membuat Thianli-pang menjadi perkumpulan pejuang yang paling hebat. Siapa tahu, di tangan dialah penjajah Mancu dapat digulingkan, dan bukan mustahil pula, kalau dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia, yang paling lihai di antara semua tokoh persilatan, memiliki pengikut yang paling besar, setelah penjajah roboh, dia yang akan diangkat menjadi kaisar baru! Cita-cita ini muncul dalam hati Ouw Seng Bu semenjak dia mempelajari ilmu rahasia di dalam gua bawah tanah.
Selagi empat orang pimpinan Thian-li-pang itu berbincang-bincang, muncullah Thio Cu yang baru saja pulang dari perjalanan mengunjungi Pao-beng-pai bersama beberapa orang saudaranya. Kedatangannya tentu saja disambut oleh para anggauta Thian-li-pang. Thio Cu sendiri setelah mendengar bahwa Lauw Pang-cu berada di ruangan besar bersama tiga orang yang baru saja dipilih menjadi calon pimpinan baru, segera pergi menghadap, sedangkan kawan-kawannya sibuk menceritakan apa yang mereka alami dalam pertemuan yang diadakan Pao-beng-pai.
Lauw Kang Hui gembira sekali ketika melihat Thio Cu datang menghadap. “Aih, baru saja aku membicarakan engkau, Thio Cu,” kata kakek itu kepada Thio Cu yang menjadi seorang di antara murid-muridnya. “Cepat ceritakan bagaimana keadaan Pao-beng-pai, siapa ketuanya dan bagaimana keadaannya. Kuatkah mereka? Apakah mereka itu perkumpulan pejuang aseli seperti kita? Dan apa yang terjadi dalam pertemuan itu?”
“Banyak hal menarik yang terjadi di sana, Suhu, juga hal yang aneh-aneh. Ketua Pao-beng-pai bernama Siangkoan Kok, kabarnya dia keturunan dari keluarga kaisar Kerajaan Beng-tiauw. Isterinya bernama Lauw Cu Si, nama keturunaannya sama dengan Suhu, dan kabarnya ia adalah keturunan dari partai Beng-kauw yang telah hancur. Ilmu kepandaian mereka tinggi sekali, Suhu. Teecu (murid) menyaksikan sendiri betapa ketua Pao-beng-pai itu dalam beberapa jurus saja mengalahkan Thian Ho Sianjin bersama tiga orang tokoh lain yang maju berbareng mengeroyoknya....”
“Wahhh....! Maksudmu Thian Ho Sianjin ketua Pat-kwa-pai?” tanya Lauw Kang Hui terkejut.
“Benar, Suhu!”
Lauw Kang Hui terbelalak. Dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan ke tua Pat-kwa-pai itu, dan sekarang, Thian Ho Sianjin dibantu tiga orang kawannya kalah oleh Siangkoan Kok dalam beberapa jurus saja!
“Bahkan kemudian, Kui Thian-cu, tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal pandai bermain pedang itu, dikalahkan dengan mudah oleh puteri ketua Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Eng. Beberapa orang tokoh yang maju menguji kepandaian pimpinan Pao-beng-pai, semua juga dikalahkan dengan mudah.”
“Bukan main!” seru Lu Sek yang juga tertegun seperti gurunya mendengar kehebatan pimpinan Pao-beng-pai. Diam-diam Ouw Seng Bu juga kagum sekali dan timbul keinginan hatinya untuk mengenal lebih dekat keluarga Siangkoan yang amat lihai itu. Mampukah dia menandingi mereka?
“Bagaimana dengan para wakil perguruan-perguruan silat besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain?” tanya pula Lauw Pangcu semakin tertarik.
“Empat partai besar itu dianggap sebagai tamu kehormatan dan dipersilakan duduk di kursi-kursi kehormatan sejajar dengan ketua Pao-beng-pai. Perkumpulan itu mengajak semua aliran baik dari partai bersih maupun golongan sesat, untuk bersama-sama menggulingkan pemerintah penjajah Mancu....”
“Tepat sekali!” tiba-tiba Ouw Seng Bu berseru nyaring sehingga mengejutkan semua orang yang mengenalnya sebagai seorang pemuda yang biasanya pendiam.
“Apanya yang tepat, Seng Bu? Apa maksudmu?” tanya Lauw Kang Hui dan wajah Seng Bu berubah merah. Dia menyesali diri sendiri kenapa tidak dapat menahan diri. Akan tetapi berkat kecerdikannya yang luar biasa, dia sudah mampu menguasai dirinya dan menyediakan jawaban yang tepat.
“Maksud teecu, perkumpulan yang kuat seperti Pao-beng-pai itu tepat sekali untuk dijadikan sekutu menentang penjajah, bukankah begitu Lu-suci dan Suheng?”
Lu Sek dan Lauw Kin mengangguk, akan tetapi Lauw Kang Hui menarik napas panjang. “Belum tentu. Kita harus mengenal benar keadaan mereka. Lalu apa pula yang terjadi di sana, Thio Cu?”
“Ada peristiwa yang pasti akan mengejutkan hati Suhu. Teecu melihat Sin-ciang Tai-hiap Yo Han berada pula di sana.”
“Ahhh....!!” Seruan ini keluar dari mulut keempat orang itu. Berita ini benar-benar merupakan kejutan besar.
“Apa yang dilakukan Pendekar Tangan Sakti di sana? Ceritakan, Thio Cu, ceritakan!” kata Lauw Kang Hui, tertarik sekali.
“Yo-taihiap termasuk mereka yang ingin menguji kepandaian pimpinan Pao-beng-pai. Kui Thian-cu dari Pek-lian-kauw mengenalnya dan memaki Yo-taihiap sebagai iblis dari Thian-li-pang. Teecu lalu maju membelanya, mengatakan bahwa Yo-taihiap adalah pemimpin Thian-li-pang. Kemudian, Yo-taihiap memperkenalkan diri kepada pimpinan Pao-beng-pai bahwa dia memusuhi pemerintah Mancu, juga dia memusuhi tiga keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Siluman. Juga dia mencela empat partai besar sebagai para pendekar yang tak bersemangat, tidak mau menentang penjajah. Celaannya memarahkan Ciong Tojin dari Kun-lun-pai dan Lo Kian Hwesio dari Siauw-lim-pai, akan tetapi Yo-taihiap menantang mereka.
Dua orang pendeta itu mengeroyoknya, akan tetapi mereka kalah! Kemudian Hoat Cinjin dari Go-pi-pai mengenal Yo-taihiap sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Ketua Pao-beng-pai tertarik dan dia sendiri turun tangan menguji kepandaian Yo-taihiap. Mereka mengadu sin-kang dan agaknya mereka sama-sama kuat, sehingga Siangkoan Kok menerima Yo-taihiap sebagai tamu agung dan sahabat yang akan bekerja sama.”
Semua orang mendengarkan cerita itu dengan hati tertarik. Kalau tadi mereka kagum terhadap keluarga ketua Pao-beng-pai, kini mereka kagum dan bangga pula terhadap Yo Han yang mereka anggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang.
“Kalau begitu, Yo-taihiap hendak membawa Thian-li-pang agar bekerja sama dengan Pao-beng-pai?” tanya Lauw Kang Hui.
“Teecu tidak mengerti, Suhu. Ada yang aneh dalam sikap Yo-taihiap. Ketika teecu pada waktu semua tamu berpamitan, bertanya kepadanya kalau teecu dapat membantunya dia menyuruh teecu cepat-cepat pergi dan mengatakan agar teecu tidak mencampuri urusan pribadinya di sana.”
“Urusan pribadi?” Lauw Kang Hui bertanya heran.
“Suhu, kalau begitu, tentu Yo-taihiap tidak bermaksud untuk bergabung dengan Pao-beng-pai untuk urusan perjuangan. Mungkin dia hendak minta bantuan Pao-beng-pai untuk menghadapi musuh-musuhnya, dan kalau teecu tidak salah dengar, tadi Thio-suheng mengatakan bahwa dia memusuhi para pendekar dari tiga keluarga benar.” kata Seng Bu.
“Hemmm, mungkin pendapatmu itu benar, Seng Bu. Bagaimana pendapatmu, Thio Cu? Engkau melihat semua peristiwa di sana, tentu lebih tahu.”
“Teecu kira pendapat sute Seng Bu tadi benar. Ketika memperkenalkan diri, Yo Taihiap juga menyatakan bahwa dia amat membenci dan memusuhi dua orang, yaitu Pendekar Suling Naga Sim Houw dan isterinya yang bernama Can Bi Lan, masih bibi-guru sendiri dari Yo-taihiap. Dia mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena kedua orang itu dan dia mendendam kepada mereka.”
“Jelas bahwa Yo-taihiap memang hendak mengurus persoalan pribadi maka kita pun tidak boleh tergesa-gesa bekerja sama dengan Pao-beng-pai,” kata Lauw Kang Hui.
“Akan tetapi, Suhu, bukankah kalau kita bekerja sama dengan perkumpulan yang kuat itu, maka perjuangan kita akan menjadi lebih berhasil?” Seng Bu bertanya dengan nada memrotes.
“Sute, engkau tahu apa? Kita harus mentaati Suhu dan juga menunggu isyarat dari Yo-taihiap.” Lu Sek menegur sutenya dengan alis berkerus.
Seng Bu menghela napas. “Baik maafkan aku, Suci. Oya, Suci, kemarin Suhu memberi petunjuk agar aku mengajak Suci untuk menjadi lawan berlatih agar ilmu-ilmu yang sedang kulatih dapat memperoleh kemajuan.” Dia mengalihkan perhatian.
“Aih, Sute. Thio-suheng sedang bercerita tentang pengalamannya, engkau malah membicarakan urusan latihan.”
“Maaf, aku takut lupa....”
Lauw Kang Hui tertawa. “Ha-ha-ha, memang benar, Lu Sek. Aku sudah terlalu tua untuk menjadi pasangannya berlatih. Dan hanya engkau yang dapat melayaninya.”
Lu Sek mengangguk dan mengerti. Ia tahu apa yang dimaksudkan oleh sutenya dan suhunya. Memang, dua macam ilmu silat guru mereka, yaitu Tok-jiuaw-kang dan Kiam-ciang, hanya diajarkan kepada dia dan sutenya saja. Selain guru mereka, hanya mereka berdua yang dapat memainkan ilmu itu, maka tentu saja hanya mereka berdua yang dapat menjadi pasangan berlatih.
“Baik, kita bicarakan soal latihan itu lain hari saja, Sute.” katanya kepada Seng Bu yang mengangguk sambil tersenyum.
Thio Cu melanjutkan ceritanya tentang pengalamannya di pertemuan yang diadakan Pao-beng-pai itu. Akan tetapi tidak ada yang menarik lagi bagi para pendengarnya karena yang menarik bagi mereka hanyalah tentang Yo Han dan tentang keluarga Siangkoan. Tentu saja Thio Cu sama sekali tidak tahu bahwa pemuda bernama Cia Ceng Sun yang dia ceritakan itu sesungguhnya adalah seorang pangeran Mancu! Kalau saja dia tahu dan menceritakan hal itu, sudah pasti peristiwa dan kenyataan ini akan menarik perhatian para pendengarnya.
Demikianlah, mulai hari ini, walaupun mereka belum ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua secara resmi, baru dicalonkan, namun Lu Sek dan Lauw Kin makin berkuasa di Thian-li-pang, sedangkan Lauw Kang Hui hanya menjadi penasihat saja, walaupun dia masih disebut dan dianggap sebagai ketua.
***
Ouw Seng Bu menyelinap ke dalam hutan di kaki Bukit Naga itu, lalu dia duduk di atas batu besar. Belum sepuluh menit dia duduk, terdengar gerakan orang dan dia pun cepat menoleh ke arah suara itu. Muncul seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya penuh brewok.
“Paman Su, engkau sudah datang? Bagaimana kabarnya?” tanya Seng Bu tanpa turun dari batu besar. Laki-laki itu adalah seorang anggauta Thian-li-pang dan dia pun cepat maju menghampiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.
“Ouw Kongcu (Tuan Muda Ouw), aku membawa kabar baik. Pek Sim Siansu sendiri yang mengirim salam untuk Kongcu dan sebagai tanda persahabatan beliau mengirimkan benda ini kepada Kongcu, dengan harapan agar pertengahan bulan depan Kongcu suka memenuhi undangannya. Kunjungan Kongcu akan disambut dengan gembira.”
Tiba-tiba Seng Bu melirik ke arah kanan. Dia mendengar gerakan orang, walaupun gerakan itu hampir tak bersuara. Dia tahu bahwa ada orang mengintai dan mendengarkan percakapannya dengan orang itu. Jantungnya berdebar tegang. Celaka, pikirnya. Su Kian adalah bekas kepercayaan mendiang ayahnya, dan sampai sekarang tetap setia kepada ayahnya, walaupun dia telah menjadi anggauta Thian-li-pang yang ikut bersumpah untuk kembali ke jalan benar dan taat kepada ketua Lauw. Su Kian merupakan satu-satunya orang yang dipercayanya, dan yang siap membantu agar dia dapat menguasai Thian-li-pang dan memimpin perkumpulan ini seperti mendiang ayahnya dahulu, melanjutkan perjuangan ayahnya menentang kerajaan Mancu secara kekerasan. Dan dia telah mengutus Su Kian untuk menghubungi Pek-lian-kauw dan menceritakan kepada pimpinan Pek-lian-kauw akan niatnya untuk bekerja sama setelah dia dapat menguasai Thian-li-pang seluruhnya.
Biarpun dia tahu bahwa ada orang yang memiliki kepandaian tinggi mengintai dan menyaksikan pertemuannya dengan Su Kian, juga mendengar percakapan mereka tadi, namun Seng Bu bersikap tenang dan mendengarkan laporan Su Kian sampai habis, bahkan dia menerima benda pemberian ketua Pek-lian-kauw kepadanya. Ketika buntalan kain kuning itu dibuka isinya adalah sebuah mainan terbuat dari batu giok yang berbentuk seekor naga! Indah sekali dan tentu berharga mahal bukan main.
Tiba-tiba Seng Bu melemparkan benda indah dan mahal itu ke atas tanah dan dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Su Kian sambil memaki dengan suara nyaring dan marah.
“Su Kian, berani engkau membujuk aku untuk menerima uluran tangan Pek-lian-kauw? Engkau pengkhianat, sepantasnya engkau dibunuh!” Tangannya bergerak cepat sekali dan Su Kian yang terbelalak matanya dan ternganga mulutnya itu tidak sempat mengelak, menangkis atau bahkan mengeluarkan suara apa pun. Totokan itu cepat datangnya dan dia pun terpelanting lemas.
Pada saat itu, muncul sesosok bayangan berkelebat. dan Lu Sek sudah berdiri di sana, diikuti Lauw Kin dan di belakang mereka masih nampak bayangan beberapa orang berkelebat. Seng Bu hanya mengerling saja dan melihat bahwa yang muncul adalah belasan orang saudara seperguruannya dipimpin oleh Lu Sek, tangannya kembali bergerak ke depan, mencengkeram ke arah kepala Su Kian dan orang itu pun tewas seketika terkena cengkeraman Tok-jiauw-kang. Mukanya membiru.
“Sute, kenapa engkau membunuhnya?” Lu Sek melompat dekat dan menegur Seng Bu.
Seng Bu mengerutkan alisnya, nampak marah sekali. “Pengkhianat ini layak dibunuh seratus kali!” katanya. “Suci, dia mengkhianati kita, mengadakan hubungan dengan Pek-lian-kauw, bahkan membujuk aku untuk bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Lihat, dia hendak menyampaikan pemberian ketua Pek-lian-kauw kepadaku!” Dia membungkuk dan mengambil mainan berbentuk naga dari batu giok tadi dan sekali mengerahkan tenaga menjempit benda itu di antara kedua tangannya, benda itu pun remuk berkeping-keping dan dilemparkan ke atas tanah dengan pandang mata muak.
Lu Sek masih mengerutkan alisnya dan kini semua murid ketua Thian-lipang sudah berada di situ, menghadapi Seng Bu dengan setengah lingkaran.
“Aku sudah mendengarnya. Akan tetapi, kenapa engkau membunuhnya padahal tadi engkau sudah merobohkannya dengan totokan?” tanya pula Lu Sek dengan sinar mata penuh selidik, sedangkan para tokoh Thian-li-pang lainnya memandang kepada pemuda itu.
Seng Bu memandang ke arah mayat Su Kian dengan alis berkerut. Dia marah dan kecewa sekali harus membunuh pembantunya yang paling dipercayanya itu. Terpaksa dia membunuhnya karena yang menyaksikan pertemuannya dengan Su Kian terlalu banyak. Tak mungkin dia membunuh belasan orang ini untuk menutupi rahasianya. Tadi pun dia sudah sengaja menotoknya untuk melihat siapa yang muncul setelah melakukan pengintaian. Kalau hanya satu dua orang saja yang mengintai, tentu dia akan membunuh mereka dan memulihkan pembantunya. Akan tetapi yang muncul belasan orang sehingga dia terpaksa dengan hati berat, cepat membunuh Su Kian untuk membungkamnya dan menyimpan rahasianya.
“Suci, tadinya aku ingin menangkapnya dan menyeretnya ke depan Suci. Akan tetapi melihat Suci sudah datang, aku tidak dapat menahan kemarahanku dan membunuhnya!”
“Hemmm, memang dia pantas dibunuh, akan tetapi kenapa begitu tergesa-gesa? Semestinya engkau membiarkan dia hidup agar dia dapat membuat pengakuan dan kita dapat membongkar semua rahasianya, sampai berapa jauh dia melakukan pengkhianatan dan hubungan dengan Pek-lian-kauw. Sekarang, dia telah mati, tentu kita tidak mendapatkan keterangan yang berharga.”
Melihat suci-nya menegurnya, Seng Bu menundukkan mukanya. “Maafkan aku, Suci, dalam kemarahanku, aku tidak ingat lagi akan hal yang penting itu. Akan tetapi, sebelum aku membunuhnya, dia tadi sudah menceritakan betapa dia mengadakan hubungan dengan pimpinan Pek-lian-kauw dan betapa Pek-lian-kauw ingin menyambung kembali hubungannya dengan kita seperti dahulu, mengajak kita bekerja sama menghadapi penjajah. Bahkan dia membujukku dengan hadiah naga kemala yang katanya diberikan kepadaku oleh Pek Sim Siansu ketua Pek-lian-kauw.”
“Sudahlah, Sute. Kalau kita bekerja sama dengan Pek-lian-kauw, mereka hanya akan menyeret para anggauta kita ke dalam jalan sesat, melakukan kejahatan demi keuntungan diri sendiri dengan kedok perjuangan. Su Kian telah menjadi pengkhianat, dan dia sudah terhukum mati. Akan tetapi, satu hal yang membuat aku tidak senang, kenapa engkau melupakan pesan Suhu, Ouw-sute? Lupakah kau akan pesan Suhu tentang penggunaan Tok-jiauw-kang? Kenapa engkau mempergunakan ilmu itu untuk membunuhnya? Dengan pukulan biasa pun engkau akan sanggup membunuhnya.”
Sikap dan ketegasan dan suara sucinya membuat Seng Bu diam-diam merasa tersinggung. Hemmm, baru saja diangkat menjadi calon ketua, sudah begini tinggi hati dan angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia menunduk menyembunyikan pandang matanya, mengambil sikap mengalah dan mengaku salah.
“Maaf, Suci. Karena marah aku menjadi mata gelap dan tidak ingat mempergunakan ilmu itu. Karena belum menguasai ilmu itu dengan sempurna maka aku kelepasan tangan.” Tentu saja ucapan ini sama sekali bohong, akan tetapi menyenangkan hati Lu Sek yang merasa bahwa tingkat kepandaian sutenya yang merupakan orang nomor dua di antara para murid suhunya, masih jauh di bawah tingkatnya sendiri. “Harap Suci tidak melapor kepada Suhu agar aku tidak mendapat teguran. Cukup Suci yang menegurku dan aku menyadari kesalahanku.”
“Sudahlah, lupakan hal itu. Sekarang ceritakan, bagaimana engkau dapat berada di sini dan mengadakan pertemuan dengan Su Kian. Tadi kami melihat gerakan Su Kian yang mencurigakan, maka diam-diam kami membayanginya karena memang sudah lama aku memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan.”
“Begini, Suci. Malam tadi dia menemuiku dan mengatakan bahwa pagi hari ini dia ingin membicarakan sesuatu yang teramat penting, yang katanya menyangkut urusan Thian-li-pang. Tadinya aku merasa heran mengapa dia tidak bicara secara terbuka saja, akan tetapi dia mengatakan bahwa hanya aku yang dia percaya, maka dia minta agar aku datang ke sini sekarang dan dia akan menceritakan kepentingannya itu. Dapat Suci bayangkan betapa kaget hatiku mendengar pelaporannya tentang hubungannya dengan Pek-lian-kauw, dan ketika dia membujukku untuk mau bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan memberikan benda itu, aku menjadi marah sekali. Selanjutnya, Suci mungkin telah mendengar dan melihat sendiri.”
Lu Sek mengangguk-angguk. “Pengalaman ini agar dapat menjadi peringatan kepadamu, Sute, bahkan kita sama sekali tidak boleh menyimpang dari jalan yang diambil Thian-li-pang, sesuai dengan pengarahan Yo-taihiap dan bimbingan Suhu selama ini.”
Yo-taihiap lagi, Yo-taihiap lagi, demikian Seng Bu mengomel dalam hati. Macam apakah Yo Han itu sehingga semua orang seolah-olah tunduk dan taat kepadanya? Bertahun-tahun tidak pernah muncul, tidak melakukan sesuatu untuk Thian-li-pang, akan tetapi semua pimpinan Thian-li-pang selalu menyebut-nyebut namanya penuh hormat!
Mereka lalu kembali ke markas Thian-li-pang setelah Lu Sek menyuruh para sutenya menguburkan jenazah Su Kian sebagaimana mestinya, di tempat itu juga. Bagi seorang pengkhianat, tidak ada tempat peristirahatan di makam keluarga Thian-li-pang!
Seng Bu ikut pulang dengan wajah biasa, akan tetapi hatinya mengalami tekanan yang berat. Dia terpaksa harus membunuh Su Kian, satu-satunya orang kepercayaannya di Thian-li-pang. Bahkan hanya Su Kian yang tahu bahwa dia telah mewarisi ilmu Bu-kek-hoat-keng, dan Su Kian pula yang selama ini menjadi perantara baginya untuk berhubungan dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Dia sudah mengambil keputusan untuk mengambil alih kepimpinan Thian-li-pang dan bergabung dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, seperti dulu ketika ayahnya masih menjadi ketua Thian-li-pang. Dan sudah cukup lama, melalui Su Kian, dia mengadakan hubungan rahasia dengan para pimpinan Pek-lian-kauw.
Ketika mereka berjalan pulang, Seng Bu melangkah mendekati Lu Sek yang berjalan berdampingan dengan Lauw Kin yang bukan rahasia lagi menjadi sahabat baik dan bahkan kedua orang itu sudah merencanakan pernikahan dalam waktu dekat. Hubungan antara janda dan duda yang tidak mempunyai anak dan masih bersaudara seperguruan ini direstui oleh Lauw Kang Hui.
“Suci, aku merasa menyesal sekali atas kejadian tadi....” Seng Bu berkata.
Lu Seng mengerutkan alisnya dan menoleh, memandang kepada sutenya itu dengan sinar mata heran dan penuh selidik. “Sute, apa sih yang mendatangkan perubahan kepadamu? Biasanya engkau pendiam, akan tetapi hari ini engkau banyak bicara. Bukankah urusan itu sudah selesai?”
“Aku tetap merasa menyesal sekali telah kelepasan tangan, Suci. Hal itu terjadi karena aku belum menguasai Tok-jiauw-kang sepenuhnya. Aku teringat akan pesan Suhu agar aku mengajak engkau untuk memberi petunjuk dalam latihan. Maukah engkau memberi petunjuk kepadaku, Suci?”
“Hemmm, baiklah. Nanti akan kusediakan waktu untuk itu.”
“Bagaimana kalau besok pagi-pagi sekali, Suci? Aku biasa berlatih di dekat sumur tua yang ditutup itu, di sana sunyi dan kurasa latihan ini tidak baik kalau sampai terlihat murid lain.”
“Baiklah, besok pagi kusediakan waktu.”
“Aku akan menunggumu pada saat matahari mulai menyingsing, Suci.” Tanpa menanti jawaban, Seng Bu kembali menjauhkan diri dan berjalan bersama para murid Thian-li-pang lainnya.
Setelah Seng Bu menjauhkan diri, Lauw Kin berkata kepada Lu Sek, “Kulihat Ouw-sute itu setia kepada Thian-li-pang, tegas dan semangatnya untuk maju besar sekali. Kita beruntung mendapatkan seorang pembantu seperti dia. Kelak dia boleh diharapkan untuk membawa Thian-li-pang maju.”
Lu Sek menghela napas, “Tadinya aku juga mengira Suhu akan mengangkat dia menjadi calon ketua. Dia memang berbakat dan ilmu silatnya maju pesat, hanya di bawah tingkatku saja. Akan tetapi, agaknya Suhu melihat bahwa dia masih terlalu muda dan kadang-kadang wataknya amat aneh. Seperti yang tadi dia lakukan, dia menggunakan Tok-jiauw-kang untuk membunuh Su Kian, padahal ilmu itu merupakan ilmu simpanan yang hanya boleh dipergunakan kalau terpaksa menghadapi lawan berat dan nyawanya terancam saja. Dan dia mempergunakannya untuk membunuh seorang anggauta Thian-li-pang sendiri begitu saja!”
“Akan tetapi, pengkhianat itu memang sudah sepatutnya dibunuh.”
“Itu memang benar, akan tetapi dia tidak perlu mempergunakan Tok-jiauw-kang. Mungkin karena dia memang belum menguasai ilmu itu dengan sempurna. Ilmu itu memang amat sulit, sama sulitnya dengan ilmu Kiam-ciang. Biar besok kuberi petunjuk kepadanya, sesuai dengan perintah Suhu.”
Lauw Kin tidak bicara lagi, akan tetapi hatinya mengandung kekhawatiran. Tadi dia seperti melihat sinar mata yang aneh dari pandang mata Seng Bu terhadap sucinya, seperti kilatan mata yang tajam dan dingin!
***
Lu Sek telah tiba di tempat sunyi itu pagi-pagi sekali. Matahari belum nampak di langit timur, akan tetapi sinarnya telah menerangi langit itu dan cuaca sudah mulai terang. Keruyuk ayam jantan hanya terdengar kadang-kadang, tidak sesering tadi, akan tetapi burung masih ramai berkicau membuat persiapan untuk berangkat kerja mencari makan hari itu.
Pada tengahari saja, tempat ini jarang dikunjungi orang. Apalagi orang luar, bahkan orang-orang Thian-li-pang sendiri kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali, merasa segan datang ke tempat ini. Seolah-olah ada hukum tak tertulis dan terucapkan bahwa daerah ini merupakan daerah pantangan. Itu adalah daerah liar di mana terdapat sumur yang dahulu pernah menggegerkan Thian-li-pang. Sumur itu pernah dijadikan hukuman atau siksaan oleh nenek moyang Thian-li-pang. Bahkan seorang tokoh besar Thian-li-pang telah dibuang hidup-hidup di dasar sumur oleh para suhengnya sendiri, demikian menurut dongeng yang dikenal oleh para murid Thian-li-pang. Tokoh besar itu dibuntungi kaki tangannya dan dibuang ke sumur itu. Namun dia tidak mati-mati, dan seringkali terdengar teriakan dan lolongnya yang mengerikan. Tokoh rahasia ini amat sakti dan akhirnya, tokoh sakti ini menjadi guru dari Yo Han yang pernah tinggal di Thian-li-pang sehingga Yo Han akhirnya menjadi tokoh yang dianggap pemimpin besar Thian-li-pang, yang mengubah jalur Thian-li-pang yang tadinya menyeleweng dan sesat. Dan biarpun telah dikabarkan bahwa kakek sakti yang bernama Cu Lam Hok itu telah mati, namun tempat itu masih dianggap keramat. Sumur yang telah ditutup oleh para tokoh besar Thian-li-pang untuk membunuh kakek buntung itu, kini dianggap sebagai tempat yang dihuni iblis dan hantu. Bahkan ada murid Thian-li-pang yang berani bersumpah bahwa dia pernah mendengar lolong dan pekik mengerikan itu keluar dari dalam sumur yang sudah ditutup itu.
Tempat ini amat sunyi. Karena para murid Thian-li-pang sendiri menganggap tempat itu angker dan keramat, maka tempat itu jarang dijamah tangan dan tidak terpelihara sehingga di situ tumbuh alang-alang dan semak belukar yang membuat tempat itu kelihatan semakin menyeramkan.
Biarpun ia seorang ahli silat tingkat tinggi yang tangguh dan tak pernah mengenal takut, namun diam-diam Lu Sek merasa bulu tengkuknya meremang kalau ia teringat akan dongeng menyeramkan dari tempat itu. Ia mulai menyesal mengapa ia menyanggupi sutenya untuk berlatih. silat di tempat seperti itu? Akan tetapi, ia tidak terlalu menyalahkan sutenya yang biasa berlatih di tempat ini karena untuk melatih kedua ilmu simpanan guru mereka yang hanya diajarkan kepada mereka berdua, guru mereka berpesan agar kalau mereka berlatih ilmu Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang, mereka harus berlatih di tempat tersembunyi agar tidak kelihatan oleh murid-murid lain dan menimbulkan perasaan iri. Ia sendiri selalu berlatih di dalam kamar yang tertutup dan memang tidak begitu menyenangkan berlatih di kamar tertutup, tidak seperti di tempat terbuka seperti ini. Apalagi untuk melatih kedua ilmu itu, ia harus mengerahkan tenaga sinkang yang amat kuat dan ini membuat tubuh menjadi panas dan banyak mengeluarkan keringat, apalagi kalau latihan di kamar tertutup yang pengap.
Ia berhenti, menengok ke sekeliling. Sumur mengerikan itu masih nampak tembok bibirnya, di antara semak-semak dan di sekitar sumur itu masih terdapat banyak batu-batu besar, agaknya kelebihan batu-batu yang dipakai untuk menutup sumur. Mengerikan!
“Ouw-sute....!” Ia memanggil sambil memandang sumur itu, seolah-olah ia mengharapkan sutenya itu akan muncul keluar dari sumur tua itu. Ia tahu bahwa masih ada sumur ke dua yang tertutup semak belukar sama sekali, beberapa ratus meter dari situ, akan tetapi sumur ke dua ini lebih menyeramkan lagi karena belum tertutup dan merupakan lubang gelap hitam tak kelihatan dasarnya dan kabarnya mengandung hawa beracun dan menjadi tempat tinggal ular-ular berbisa.Tiba-tiba ia terbelalak dan merasa bulu tengkuknya dingin meremang. Ia memandang ke arah sesosok bayangan yang benar-benar muncul dari sumur itu! Perlahan-lahan sosok bayangan itu bangkit berdiri tanpa mengeluarkan suara, berdiri tegak seperti iblis yang datang untuk membalas dendam, haus darah!
Lu Sek mentertawakan diri sendiri. Ia seorang pendekar gagah perkasa, tidak takut dan tidak percaya kepada segala macam ketahyulan!
“Sute, engkaukah itu?” serunya dan ia pun melangkah maju agak mendekat.
Bayangan itu meloncat dan ternyata dia benar Ouw Seng Bu. Karena cuaca belum terang benar, dan kemunculannya tepat di belakang sumur itu, maka tentu saja membuat ia berkhayal melihat iblis sendiri keluar dari dalam sumur yang sudah tertutup. Akan tetapi, ketika Seng Bu melangkah maju mendekat dan ia dapat melihat wajahnya, Lu Sek mengerutkan alisnya.
“Ouw-sute, engkaukah itu?” kembali ia bertanya. Memang ia mengenali sutenya, akan tetapi sinar mata sutenya itu, senyum pada mulut sutenya itu. Betapa asing dan aneh baginya. Belum pernah selama ini ia melihat sinar mata dan senyum seperti itu pada wajah Ouw Seng Bu. Sinar mata yang mencorong seperti mata binatang buas, penuh kebengisan dan kekejaman. Dan senyum itu! Mengerikan sekali. Senyum itu demikian dingin penuh ejekan, membuat Lu Sek merasa tengkuknya dingin dan bulu kuduknya meremang.
Akan tetapi, bayangan khayal menyeramkan itu membuyar ketika ia mendengar suara sutenya, “Lu-suci, aku sudah menunggumu sejak tadi.”
“Ouw-sute, kenapa tergesa-gesa? Matahari juga belum muncul, baru nampak sinarnya saja.”
“Suci, latihan kedua ilmu simpanan dari suhu ini merupakan ilmu yang hanya diajarkan kepada kita berdua. Murid lain tidak boleh mempelajarinya, bahkan suheng Lauw Kin juga tidak diajari kedua ilmu itu. Maka, sebaiknya kalau kita latihan secara tersembunyi. Di tempat ini sunyi, juga pagi-pagi seperti ini, belum ada anggauta Thian-li-pang yang keluar. Amat baik kalau kita berlatih sekarang, Suci. Aku ingin agar dapat menguasai Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang sepenuhnya. Agar aku dapat paham benar, sebaiknya kalau kita melatih dua macam ilmu itu sekaligus. Bagaimana, Suci?”
“Baiklah. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Kedua macam ilmu pukulan ini amat berbahaya dan dapat mendatangkan luka beracun atau bahkan kematian. Kita tidak boleh kesalahan tangan. Nah, aku sudah siap, engkau mulailah!” kata Lu Sek sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat.
Ouw Seng Bu tersenyum dan kembali Lu Sek merasa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin. Senyum itu sungguh aneh dan tidak wajar, seperti senyum iblis! “Suci sambutlah seranganku ini!” Tiba-tiba Seng Bu menyerang dengan pukulan tangan miring dan terdengar suara bersiut dibarengi angin dahsyat. Itulah Kiam-ciang (Tangan Pedang). Ilmu ini membuat tangan yang memukul itu seperti sebatang pedang saja, dapat membuntungi anggauta badan lawan, bahkan dapat menyambut senjata tajam lawan seperti sebatang pedang! Melihat betapa pukulan yang menyambar itu amat dahsyat, Lu Sek cepat mengelak. Akan tetapi begitu tangan kiri Seng Bu yang menyambar itu luput, tangan kanannya sudah meluncur ke arah dada sucinya dan ketika terpaksa Lu Sek menangkis serang mencengkeram. Kembali ada angin menyambar dan itulah sebuah jurus Tok- jiauw-kang yang amat ampuh!
“Ihhh....!!” Lu Sek berseru kaget “Sute, gerakanmu sudah hebat,” dan karena serangan sutenya ini benar-benar amat kuat ia berseru kaget, akan teramat berbahaya, juga tidak sopan karena mencengkeram ke arah dadanya tapi kembali ia merasa ngeri melihat. sutenya. Sinar mata sutenya yang demikian aneh, Tidak begitu seharusnya dalam latihan. Tidak sopan namanya. Akan tetapi masih menganggap bahwa sutenya tidak sengaja, maka ia pun cepat mengelak lalu balas menyerang dengan Kiam-ciang yang dikombinasikan dengan cengkeraman Tok-jiauw-kang. Akan tetapi tentu ia menahan dan membatasi tenaganya agar jangan sampai melukai sutenya yang ia tahu belum begitu sempurna menguasai kedua ilmu itu!
Akan tetapi, semua serangannya ternyata dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Seng Bu, dan pemuda itu membalas lagi semakin lama semakin dasyat!
“Duk-duk-plakkk!” tiga kali beruntun kedua tangan mereka saling bertemu ketika terpaksa Lu Sek menangkis serangan sutenya yang amat dasyat, dan karena ia membatasi tenaganya, akibatnya ia terdorong dan terhuyung ke belakang.
“Sute, gerakanmu sudah hebat dan amat kuat!” Ia berseru kaget, akan tetapi kembali ia merasa ngeri melihat sinar mata sutenya yang demikian aneh,mencorong dan senyumnya semakin menakutkan. Bahkan tanpa mengeluarkan kata apa pun, sutenya kini meloncat ke depan dan menerjang lagi dengan dasyat.
Lu Sek semakin kaget. Sutenya nyerangnya dengan Kiam-ciang atau Tok-jiauw-kang, akan tetapi dengan tenaga yang dahsyat dan sama sekali bukan orang yang sedang mengajaknya berlatih. Sutenya menyerangnya seperti orang yang berkelahi, menyerang sungguh-sungguh, dengan pukulan-pukulan maut! Terpaksa ia mengerahkan tenaganya untuk memukul mundur sutenya. Ketika sutenya memukul ke arah dadanya dengan Kiamciang, ia pun mengerahkan seluruh tenaga dan menangkis dengan gerakan Kiam-ciang pula.
“Wuuuttt.... desss....!!” Dua tenaga bertemu melalui pukulan tangan miring dan akibatnya, tubuh Lu Sek terjengkang dan tentu ia terbanting roboh kalau saja tidak cepat membuat gerakan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun, ia merasa napasnya agak sesak dan ia memandang kepada sutenya dengan mata terbelalak.
“Sute, kau....”
“Lu-suci, kita belum selesai latihan. Sambut seranganku ini!” katanya dan tanpa memberi kesempatan lagi kepada Lu Sek, Seng Bu sudah menerjang lagi dengan pukulan kombinasi antara Kiam-ciang dan Tok-jiauw-kang (Cakar Beracun).
“Hemmm....!” Kini Lu Sek menjadi marah. Kiranya sutenya ini benar-benar hendak memamerkan kepandaiannya dan biarpun ia terkejut menyaksikan kemajuan sutenya, namun ia merasa lebih unggul dan ia pun tidak mau kalah. Apalagi, ia adalah menjadi ketua Thian-li-pang. Bagaimana ia sampai dapat dikalahkan seorang pembantunya, juga sutenya yang minta petunjuk dalam ilmu silat darinya? Lu Sek kini mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan kedua ilmu itu sebaik mungkin.
Terjadilah serang-menyerang yang hebat dan seru. Memang harus diakui oleh Seng Bu bahwa dalam hal penggunaan kedua ilmu itu, dia masih kalah mahir dibandingkan sucinya. Kalau dia hanya mempergunakan kedua ilmu itu tanpa menambah tenaga mujijat yang dihimpunnya melalui latihan ilmu rahasia Bu-kek-hoat-keng, jelas dia tidak akan mampu menandingi sucinya. Akan tetapi, setiap kali beradu lengan, diam-diam dia mengerahkan tenaga mujijat itu dan selalu sucinya terpental dan terhuyung ke belakang. Karena kalah tenaga, maka Seng Bu dapat menutupi kekalahannya dalam kemahiran memainkan kedua ilmu itu, bahkan kini dia yang mendesak hebat!
“Desss....!!” Kembali kedua tangan mereka saling bertemu dan kembali Lu Sek terpental dan terjengkang, dengan dada terasa makin sesak. Dan pada saat itu, Seng Bu sudah meloncat ke depan dan mengirim tamparan susulan dengan Kiam-ciang ke arah kepala sucinya yang masih belum sempat bangun.
“Sute, kau....!” Lu Sek mengangkat tangan menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!” Tubuhnya terdorong dan bergulingan, dan dari mulutnya keluar darah, dadanya terasa nyeri.
“Ouw-sute, apa yang kaulakukan ini?” bentak Lauw Kin yang tiba-tiba sudah berada di situ. Melihat tunangannya terdesak bahkan muntah darah, tentu saja Lauw Kin terkejut dan marah sekali. Dia memang sudah merasa curiga kepada Seng Bu kemarin, maka pagi ini dia sengaja datang ke tempat itu untuk melihat keadaan tunangannya. Dan ternyata kekhawatirannya terbukti. Dalam berlatih melawan Seng Bu, agaknya tunangannya terluka, dan latihan itu agaknya menjadi perkelahian yang sungguh-sungguh.
“Dia.... dia menjadi gila....!” kata Lu Sek yang sudah dapat bangkit kembali.
“Ouw-sute, apa yang kaulakukan ini? Kenapa engkau melukai. ketua kita?” kembali Lauw Kin menegur Ouw Seng Bu dengan alis berkerut.
Tiba-tiba Seng Bu tertawa dan kedua orang itu saling pandang, merasa ngeri. Itu bukan tawa manusia waras! Mirip tawa iblis, atau tawa orang sinting.
“Heh-heh-ha-ha-hah....! Engkau boleh maju sekalian, Lauw-suheng. Atau engkau tidak berani? Takut berlatih melawan sutemu seperti Lu-suci? Heh-heh-heh, ketua dan wakil ketua Thian-li-pang begini pengecut! Sungguh tidak pantas!”
Lauw Kin dan Lu Sek terbelalak, terkejut dan heran, akan tetapi juga marah sekali. Gila atau tidak, Ouw Seng Bu ini sungguh merupakan seorang murid yang murtad!
“Ouw-sute, sadarlah! Sudah gilakah engkau?” bentak Lu Sek marah, akan tetapi karena ia tadi melihat kenyataan betapa lihai sutenya ini, ia kini sudah siap waspada dan sudah meraba gagang pedangnya, sedangkan Lauw Kin meraba gagang goloknya.
“Ha-ha-ha, berani atau takut, tetap saja aku akan menyerang kalian! Nah, sambutlah ini!” Dia sudah menyerang lagi dengan tamparan-tamparan Kiam-ciang. Karena maklum betapa serangan itu amat berbahaya, Lu Sek meloncat ke belakang, diikuti Lauw Kin dan mereka kini sudah mencabut pedang dan golok.
“Ouw-sute, sadarlah! Atau terpaksa kami akan menghadapimu dengan senjata. Engkau dapat merupakan bahaya besar bagi Thian-li-pang kalau tidak mau sadar dan berubah gila!”
Ouw Seng Bu tersenyurn dan sekali ini bukan hanya Lu Sek yang merasa ngeri, juga Lauw Kin memandang dengan terbelalak karena dia pun tidak lagi mengenal sutenya dengan senyum seperti itu.
“Kalian mencabut senjata? Bagus, bagus! Kesempatan bagiku untuk menguji kepandaianku sendiri. Nah, sambutlah seranganku dengan senjata kalian, heh-heh-heh!” Sambil tertawa-tawa Ouw Seng Bu sudah menyerang lagi, akan tetapi kedua orang kakak seperguruannya itu terkejut dan terheran bukan main karena kini gerakan sute mereka itu sama sekali berlainan dengan gerakan ilmu silat yang pernah mereka pelajari. Gerakan itu aneh sekali dan nampaknya seperti gerakan yang kacau, gerakan pesilat yang mungkin gila! Karena maklum betapa besar bahayanya kalau sute yang gila ini dibiarkan saja, Lu Sek sudah meloncat ke depan menyambut serangan itu dengan pedangnya, dengan maksud merobohkan sutenya, menangkap atau kalau perlu membunuhnya.
Lu Sek yang memiliki gerakan ringan dan cepat itu, sudah memutar pedang dan meloncat ke depan, menyambut gerakan kedua tangan sute yang seperti hendak mencakar itu dengan sambaran pedangnya!
“Wuuut.... singgg....! Krakkk....!” Pedang itu bertemu dengan jari tangan kanan Seng Bu dan pedang itu patah-patah, kemudian tangan kiri Seng Bu menampar ke depan dengan jari tangan terbuka, bukan gerakan Kiam-ciang, melainkan gerakan aneh. Angin yang panas sekali menyambar ke arah dada Lu Sek dan wanita itu mengeluarkan jerit tertahan, tubuhnya roboh dan tak bergerak lagi. Ketika Lauw Kin memandangnya, dia terbelalak dengan wajah pucat melihat betapa tunangannya itu telah tewas dalam keadaan tubuh menghitam seperti hangus terbakar!
“Kau.... jahanam.... kau membunuhnya....!” Lauw Kin menjadi marah dan sedih sekali. Dengan nekat dia maju menggerakkan goloknya, menerjang maju dan menyerang Seng Bu dengan cepat sekali.
“Bagus, memang engkau harus pergi untuk selamanya agar tidak menjadi penghalang bagiku!” bentak Seng Bu dan dia menyambut golok itu dengan kedua tangannya. Tangan kirinya begitu saja, dengan jari terbuka, menerima golok itu dan mencengkeramnya. Bukan main hebatnya jari-jari tangan itu karena begitu kena dicengkeram, golok itu pun patah-patah dan remuk! Kemudian, tangan kanan Seng Bu sudah memukul ke depan. Dada Lauw Kin terkena tamparan itu dan dia pun terjengkang dan tewas seketika di dekat mayat tunangannya dengan tubuh hangus pula.
Ouw Seng tertawa bergelak seperti seekor binatang buas, akan tetapi hanya sebentar karena kemudian sikapnya itu berubah kembali. Dia tidak tertawa lagi, juga sinar matanya tidak liar dan mulutnya, tidak mengandung senyum iblis. Dia nampak tenang dan termenung berdiri memandang ke arah dua mayat suheng dan sucinya yang telah dibunuhnya. Pikirannya bekerja, penuh kelicikan. Dia sudah berhasil membunuh ketua dan wakil ketua Thian-li-pang. Hanya ada satu lagi pengganjal yang akan menjadi penghalang dia memimpin Thian-li-pang, yaitu gurunya sendiri, Lauw Kang Hui! Kakek itu tentu tidak akan tinggal diam kalau mendengar betapa kedua orang murid tersayang itu tewas, apalagi kalau tahu bahwa dia membunuh mereka, pikirnya. Kalau penghalang yang tinggal seorang ini disingkirkan, siapa lagi yang akan berani dan mampu menghalanginya menjadi ketua Thian-li-pang?
Tak lama kemudian, di pagi hari buta itu, dia sudah mengetuk pintu kamar Lauw Kang Hui. Seperti biasa, kakek ini sejak pagi sekali sudah terbangun dan sudah duduk samadhi. Mendengar ketuken pintu, hatinya merasa tidak senang. Siapa berani demikian lancangnya mengganggu samadhinya di pagi hari seperti itu?
“Siapa?” tanyanya, suaranya halus namun mengandung ketidaksabaran karena merasa terganggu.
“Suhu, teecu ingin melaporkan hal yang amat penting dan gawat!” terdengar suara Seng Bu dari luar, juga lirih akan tetapi dapat didengar jelas oleh orang pertama Thian-li-pang itu.
“Masuklah, pintunya tidak terkunci.” kata Lauw Kang Hui.
Seng Bu masuk dan berlutut di depan gurunya.
“Seng Bu, ada apakah engkau sepagi ini menggangguku dari samadhi?”
“Maaf, Suhu. Telah terjadi sesuatu dengan suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin. Marilah Suhu tengok sendiri dan melihat keadaan mereka.
“Hemmm, ada apa dengan mereka?”
“Mereka.... ahhh, teecu khawatir sekali, Suhu. Marilah, kita ke sana dan Suhu melihat sendiri!” kata Seng Bu sambil bangkit dan keluar dari kamar itu. Tentu saja Lauw Kang Hui menjadi heran dan tertarik, lalu dia bangkit dan mengikuti muridnya. Dia menjadi semakin heran ketika muridnya itu pergi ke tempat sunyi yang dikeramatkan, yaitu di daerah yang terdapat sumur yang dahulu dipakai sebagai tempat menghukum kakek Ciu, yaitu mendiang supeknya (uwa gurunya).
Lauw Kang Hui mengerutkan alisnya. “Seng Bu, kenapa engkau mengajakku ke tempat ini?” Dia merasa tidak enak juga melihat ke arah dua buah sumur itu, yang sebuah tertimbun batu, yang sebuah lagi tersembunyi di balik semak belukar dan tempat ini merupakan tempat yang mengerikan.
“Lihatlah, Suhu.” kata Seng Bu dan dia berhenti tak jauh dari semak yang menyembunyikan sumur ke dua yang masih belum ditimbuni apa-apa.
Lauw Kang Hui menghampiri dan dia terbelalak memandang kepada tubuh dua orang muridnya yang rebah telentang dengan muka, leher dan tangan menghitam seperti arang!
Kakek itu mengeluarkan suara tertahan, berjongkok untuk memeriksa mereka, makin heran dan terkejut ketika mendapat kenyataan. bahwa mereka tewas oleh pukulan beracun yang tidak dikenalnya.
“Apa yang telah terjadi? Siapa yang telah membunuh mereka?” tanyanya sambil berdiri dan memandang Seng Bu dengan muka agak pucat dan mata terbelalak.
Dan tiba-tiba dia melihat perubahan pada wajah yang tampan itu. Sepasang mata pemuda itu mencorong liar, dan senyum aneh berkembang di bibirnya, senyum iblis!
“Mereka mengajak teecu berlatih silat dan mereka roboh terpukul oleh teecu,” katanya dengan nada suara mengejek walaupun kata-katanya masih menghormat.
Sepasang mata kakek itu semakin dilebarkan dan dia mengamati muridnya itu dari kepala sampai ke kaki. “Tidak mungkin! Engkau tidak akan mampu mengalahkan mereka, apalagi memukul mati seperti ini!”
“Hemmm, kalau Suhu tidak percaya, boleh Suhu buktikan sendiri. Apalagi mereka, Suhu pun tidak akan mampu menandingiku dan aku dapat membunuhmu dengan mudah.”
Tentu saja kakek itu menjadi marah bukan main. “Engkau telah gila!” teriaknya marah.
“Dan engkau akan mati bersama mereka!” kata Seng Bu dan dia pun kini sudah menggerakkan kaki tangannya menyerang gurunya sendiri. Lauw Kang Hui kini sudah menjadi marah sekali. Dua orang muridnya tersayang tewas, padahal mereka baru saja dia angkat menjadi ketua dan wakil ketua. Kalau tadinya dia masih tidak percaya bahwa Seng Bu yang membunuh mereka, bukan saja karena dia tahu betapa tingkat kepandaian Seng Bu masih kalah dibandingkan Lu Sek juga tidak ada alasan mengapa pemuda ini harus membunuh suci dan suhengnya, kini tiba-tiba dia teringat. Ketua dan wakil ketua dibunuh! Ini berarti bahwa Seng Bu merasa iri dan ingin merebut kedudukan ketua! Akan tetapi, dia tidak sempat berpikir lagi karena melihat Seng Bu berani menyerangnya, dia cepat mengerahkan tenaga dan menangkis, dengan maksud sekali tangkis dapat merobohkan dan menangkap murid yang agaknya tiba-tiba menjadi gila itu.
“Dukkk....!!”
Lauw Kang Hui mengeluarkan gerengan kaget dan marah ketika benturan lengan itu membuat dia terhuyung ke belakang! Seng Bu sendiri hanya tergetar saja, namun dapat mempertahankan kuda-kudanya. Ini tidak mungkin, pikirnya! Akan tetapi, pemuda itu menyeringai dan kini melakukan gerakan yang aneh, lalu menerjang lagi ke depan, tangan kirinya menyambar. Hawa pukulan yang panas sekali menerjangnya! Kakek itu cepat menyambut dengan kedua tangannya.
“Desss....!!” Dan sekali ini, dia terjengkang! Sambil mengerahkan seluruh tenaganya, Lauw Kang Hui meloncat bangun berdiri dan memandang kepada murid itu dengan mata hampir tidak percaya.
Ilmu.... siluman apakah itu....?” Saking herannya, dia bertanya, keheranan yang melampaui kemarahannya.
“Ha-ha-heh-heh-heh, Suhu, engkau selalu memuji-muji Yo Han dengan ilmu Bu-kek Hoat-keng! Nah, inilah Bu-kek Hoat-keng! Bukan hanya Yo Han yang menguasainya, aku pun telah menguasainya dan kalau dia berani muncul, akan kuhancurkan kepalanya. Sekarang, bersiaplah untuk menemani suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin!”
Lauw Kang Hui marah bukan main dan dia pun mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya, bahkan melakukan gerakan ilmu silat Tokjiauw-kang dan Kiam-ciang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Maklum bahwa kalau dia mengandalkan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari kakek itu, dia tidak mungkin akan menang, maka Seng Bu segera memainkan ilmunya yang didapat dengan rahasia di dalam sumur, yaitu ilmu Bu-kek Hoat-keng yang dipelajarinya secara ngawur dan terbalik-balik. Dan memang hebat bukan main ilmu ini. Ilmu Bu-kek Hoat-keng yang aselinya, seperti yang dikuasai Yo Han, sudah merupakan ilmu ajaib, memiliki daya atau pengaruh yang aneh, yaitu selain gerakannya aneh dan lihai, mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, kalau ada lawan, betapapun lihainya, menyerang dengan kemarahan dan kebencian dalam hati, maka serangan itu akan membalik dan menghantam si penyerang sendiri! Kini, ilmu aneh yang dipelajari secara ngawur dan terbalik oleh Seng Bu itu, memberinya ilmu yang luar biasa kejamnya, walaupun pengaruh ilmu itu membalik kepada dirinya, membuat dia kalau sedang kumat seperti orang gila, atau lebih tepat seperti iblis sendiri.
Lauw Kang Hui adalah seorang datuk yang sudah memiliki tingkat tinggi dalam ilmu silat. Jarang ada tokoh mampu menandinginya. Akan tetapi sekarang, bertanding mati-matian melawan muridnya sendiri, dia mulai terdesak setelah mampu bertahan sampai lima puluh jurus. Kedua lengan sudah terasa panas seperti dibakar setelah beberapa kali bertemu dengan lengan Seng Bu. Dia merasa menyesal, mengapa tadi tidak membawa golok besar, senjata andalangya. Sejak melepaskan kedudukan ketua Thian-li-pang dan bersamadhi, dia sudah menyingkirkan golok itu, maka tadi ketika pergi ke tempat ini, dia pun tidak membawa senjata.
“Heh-he-heh, Lauw Kang Hui, sekarang engkau mati!” kata Seng Bu, sikapnya sama sekali berubah dan tidak lagi menyebut suhu. Lauw Kang Hui menjadi nekat dan dia pun mengerahkan seluruh tenaganya, menerjang ke depan.
“Hyaaaaattt....!!” bentaknya dan suara gerengannya seperti seekor binatang buas yang terluka.
Seng Bu tersenyum mengejek. Ketika kedua tangan gurunya yang mendorong itu meluncur ke arah dadanya, tiba-tiba dia merendahkan diri hampir berjongkok sehingga kedua tangan Lauw Kang Hui menyambar lewat atas kepalanya dan pada detik itu juga, tangan kiri Seng Bu sudah mencuat ke depan, menghantam dengan telapak tangannya ke arah dada Lauw Kang Hui.
“Hukkk.... !!” Mata kakek itu melotot, punggungnya melengkung dan dia pun terbanting ke belakang, terjengkang. “Kau.... Kau....” Suaranya terhenti karena dia muntah darah, tubuhnya berkelojotan sebentar, matanya mendelik memandang Seng Bu dan akhirnya dia tidak bergerak lagi, kulit tubuhnya berubah menghitam seperti dibakar sampai hangus!
Kembali Seng Bu mengeluarkan suara tawa yang mengerikan itu sambil berdiri memandang tiga buah mayat yang hangus. Tiba-tiba sikapnya berubah lagi, termenung dan pendiam, dan segera dia lari ke perkampungan Thian-li-pang, dan dipukulnya kentungan tanda bahaya dengan gencar. Tentu saja para anggauta Thian-li-pang terkejut. Bahkan yang masih tidur, segera terbangun dan mereke berlari-larian menuju ke gardu di mana Seng Bu memukuli kentungan dengan gencar seperti orang kesetanan.
Setelah semua anggauta berkumpul, kurang lebih seratus orang banyaknya, dan mereka bertanya-tanya mengapa pembantu ketua baru itu memukuli kentungan tanda bahaya. Seng Bu menghentikan perbuatannya dan dengan napas terengah dia berkata, “Celaka, terjadi pembunuhan besar-besaran!”
“Apa? Siapa yang dibunuh? Di mana? Apa yang terjadi?” pertanyaan-pertanyaan itu saling susul dengan gencar, ditujukan kepada Seng Bu.
“Mari kalian semua ikut aku dan lihat sendiri!” katanya dan dia pun berlari keluar dari perkampungan, diikuti oleh semua anggauta. Melihat pemuda itu lari menuju ke sumur tua yang merupakan tempat yang ditakuti dan dikeramatkan, para anggauta menjadi semakin heran, akan tetapi mereka mengikuti terus sampai akhirnya Seng Bu berhenti di dekat sumur tua yang tertutup semuk belukar.
“Nah, kalian lihat sendiri!” katanya sambil menunjuk ke arah tiga sosok mayat di atas tanah.
Ketika para angguta melihat tiga buah mayat itu, mula-mula mereka tidak mengenal, akan tetapi setelah mereka mengamati wajah-wajah menghitam itu dan mengenal mereka, tentu saja mereka menjadi gempar. Ketua lama, ketua baru dan wakilnya telah mati dibunuh orang, mati dalam keadaan yang amat menyedihkan, dengan seluruh tubuh menjadi hangus! Segera terdengar jerit tangis dan keadaan menjadi amat gaduh, di samping pertanyaan yang dihujankan kepada Seng Bu.
“Ouw-sute, apa yang telah terjadi?”
“Ouw-suheng, siapa pembunuh mereka?”
Demikian pertanyaan yang datang dari para suhengnya, sutenya atau suci-nya, juga para paman dan bibi gurunya. Seng Bu mengangkat kedua tangan ke atas.
“Harap kalian suka tenang dulu. Dalam keadaan gaduh begini, bagaimana aku dapat bicara? Tenanglah, tenang dan hentikan lolong dan tangis itu!” Suaranya halus namun tegas dan mengandung kekuatan yang membuat semua orang menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara agar dapat mendengarkan dengan jelas. Setiap orang anggauta Thian-li-pang merasa marah, sedih dan ingin sekali tahu apa yang telah terjadi.
“Tadi aku bangun pagi-pagi sekali dan berjalan-jalan, seperti sering kulakukan. Ketika tiba di dekat tempat ini, aku melihat sesosok bayangan berlari cepat menuruni lereng. Aku segera mengejarnya karena curiga, akan tetapi aku hanya dapat mengenalnya dari jauh saja. Pagi masih terlampau gelap dan dia menghilang di dalam hutan di kaki bukit itu. Aku lalu kembali ke sini, untuk melihat mengapa orang itu datang ke sini dan aku menemukan Suhu, Suci dan Suheng telah menggeletak dan tak bernyawa lagi. Aku lalu cepat turun dan memukul kentungan untuk memberitahu kepada kalian.”
“Tapi siapakah orang yang melarikan diri itu? Apakah dia pembunuh jahanam itu?”
“Biarpun tidak melihat dia membunuh Suhu bertiga, akan tetapi aku yakin dia yang membunuh.”
“Siapa dia? Kau tadi mengatakan, mengenalnya dari jauh. Siapakah pembunuh itu?”
“Dia adalah.... Si Tangan Sakti Yo Han!” kata Seng Bu dengan suara tegas.
“Yo-taihiap....!”
“Ah, tidak mungkin!”
“Bagaimana dia yang mengangkat Lauw-pangcu menjadi ketua malah membunuhnya?”
“Aku tidak percaya!”
Riuh rendah suara mereka yang menyanggah dan menentang keterangan Seng Bu. Tak seorang pun di antara para anak buah Thian-li-pang percaya bahwa Yo Han yang melakukan pembunuhan terhadap tiga orang pimpinan Thian-li-pang itu.
Bersambung ke buku 4
Label:
Kho Ping Hoo,
Si Tangan Sakti