Suling Naga -7 | Kho Ping Hoo
Buku 7
Melihat betapa percakapan itu menjadi tidak karuan, malah bertanya umur segala, Sim Houw tak dapat menahan ketawanya. Dia tertawa dan kini nampak bahwa dia sesungguhnya belum tua karena begitu dia tertawa wajahnya nampak masih muda.
“Eh, kenapa kau malah tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku?” Pandang mata Bi Lan penuh kemarahan dan alisnya berkerut. Tiba-tiba saja Sim Houw menghentikan suara ketawanya. Dia seperti melihat bahwa kalau dia tertawa terus, tentu gadis itu akan langsung menyerangnya. Sekarangpun sudah menyerangnya dengan pandang mata yang lebih runcing dari pada mata pedang!
“Aku tidak mentertawakanmu, nona, melainkan ketawa karena kata-katamu yang lucu. Kalau mau tahu usiaku, aku berusia tigapuluh tiga tahun sekarang. Nah, memang sudah tua, bukan?”
“Engkau tidak tua tidak muda, engkau.... yah, cukupan. Belum tua tapi sudah masak, begitulah andaikata engkau ini buah.”
“Siapa bilang belum tua? Sudah seratus tahun kurang....“
“Eh? Jadi kau tadi membohong ketika mengaku berumur tigapuluh tiga....“
“Seratus tahun kurang enampuluh tujuh kan berarti seratus tahun kurang.” Sim Houw yang biisanya pendiam itu mendadak saja pandai berkelakar.
“Huh, kalau begitu akupun seratus tahun kurang! Kaukira aku ini anak kecil, mudah saja dibohongi?”
“Kau bukan anak kecil, akan tetapi dibandingkan dengan aku, engkau ini yah, katakanlah remaja yang sudah matang. Usiamu paling banyak enambelas tahun.” Sengaja Sim Houw mengurangi taksirannya untuk menggoda. Dia sama sekali tidak tahu bahwa wanita paling suka kalau dikatakan masih muda, dan ucapannya tadi bukan merayu, melainkan hanya untuk menggoda.
Akan tetapi Bi Lan girang sekali. “Masih kelihatan begitu muda? Padahal, aku sudah hampir delapanbelas tahun! Eh, paman.... bagaimana ya baiknya kupanggil paman atau kakak?”
“Terserah kepada yang panggil, itu adalah urusan orang yang akan memanggil, boleh kausebut paman, kakak, kakek, asal jangan menyebut bibi saja.”
“Aha, kaupandai berkelakar, ya? Lucu ya? Tidak lucu, ah!”
Kembali Sim Houw tertawa. Bukan main gembira hatinya. Selama hidupnya baru satu kali ini dia benar-benar merasa gembira bercakap-cakap dengan seseorang. Gadis remaja yang satu ini memang bukan main. Lucunya tidak dibuat-buat, memang sikapnya, kata-katanya dan pandang matanya, mulutnya, semua serba lucu dan menarik.
“Eh, ketawa lagi! Aku jadi ragu-ragu apakah benar engkau yang dipanggil Pendekar Suling Naga! Masa ada pendekar kok begini sederhana dan suka berkelakar? Tidak berwibawa seujung rambutpun. Pantasnya kau ini....” Gadis itu memandang seperti orang menimbang-nimbang, menggeleng sana-sini seperti seorang gadis remaja menaksir sepotong baju baru yang akan dipilihnya.
“Pantasnya jadi apa?” tanya Sim Houw yang sudah siap untuk tertawa lagi karena baru sikap gadis itu sudah begitu menyenangkan dan menggelikan. Dia tak mungkin bisa marah dikatakan apa saja oleh gadis seperti ini!
“Hemm.... jadi petani dusun, terlalu tampan dan kulitmu terlalu halus. Jadi seorang kutu buku! Yah, seorang kutu buku, yang kerjanya setiap hari hanya baca buku, melamun, baca buku sambil menangis sendiri, tertawa sendiri....”
“Wah, seperti orang gila? Menangis sendiri tertawa sendiri?”
“Bukan gila. Aku melihat semua kutu buku begitulah. Kalau cerita yang dibacanya menyedihkan dan mengharukan, dia menangis sendiri, kalau ada yang lucu, ketawa-ketawa sendiri, memang seperti orang gila, tapi bukan. Eh, benarkah kau ini bernama Sim Houw dan yang dijuluki Pendekar Suling Naga?”
“Namaku memang Sim Houw dan tentang julukan itu adalah orang-orang lain yang menyebutnya, aku sendiri tidak pernah merasa menjadi pendekar.”
“Tapi kata suciku, Pendekar Suling Naga mempunyai sebuah pusaka, yaitu Liong-siauw-kiam!“
Sim Houw dapat menduga bahwa kedatangan gadis ini tentu ada hubungannya dengan pedang itu, maka diapun mencabut Liong-siauw-kiam dari sarungnya. “Inilah Liong-siauw-kiam, suling yang kutiup tadi.”
Sepasang mata yang indah itu terbelalak. Ia melihat sebatang kayu semacam tongkat berbentuh naga, berlubang-lubang seperti suling, dan tajam juga runcing seperti pedang, akan tetapi benda itu hanya dari kayu, buruk kehitaman pula. “Itu? Yang kautiup tadi? Itukah yang disebut Liong-siauw-kiam dan diperebutkan oleh begitu banyuk orang? Aihhh, apakah mereka semua itu sudah gila?”
Sim Houw menyarungkan lagi pedangnya, “Gila? Mereka siapa yang gila?”
“Tentu saja yang memperebutkannya dengan taruhan nyawa. Bukankah itu pedang yang tadinya berada di tangan kakek Pek-bin Lo-sian dan diperebutkan? Engkau juga termasuk yang mungkin gila, memperebutkan pedang kayu seperti itu dengan taruhan nyawa. Dijual tidak akan laku sepuluh tael perak! Engkau, suciku yang berjuluk Bi-kwi, juga Sam Kwi guru-guruku, mereka itu juga sudah gila. Akupun termasuk yang sudah gila karena aku mau saja mewakili suciku untuk merampas pedang macam itu darimu. Kalau bukan karena mewakili suci, huh, diberi juga aku sendiri tidak sudi! Apa lagi harus merampas segala macam!”
Sim, Honw terkejut, alisnya berkerut dan rasa kecewa yang amat besar menyelinap di dalam hatinya. Gadis ini murid Sam Kwi? Dan datang diutus oleh Bi-kwi, wanita iblis jahat itu untuk merampas pedang pusaka ini? Sungguh sukar untuk dipercaya. Dan pandangannyapun berubah! Dia kini menganggap bahwa semua kelucuan gadis ini tadi dibuat-buat saja, sengaja untuk menjatuhkan hatinya, untuk merayunya! Dan memang gadis ini telah berhasil menarik hatinya, membuat dia merasa suka sekali kepada gadis ini. Akan tetapi begitu dia mendengar bahwa gadis ini murid Sam-Kwi, segera dia usir semua rasa suka itu, walaupun dengan hati penuh penyesalan dan kekecewaan.
Tidaklah aneh sikap Sim Houw ini. Bukankah kita semua juga mendasari rasa suka dan tidak suka melalui penilaian dan semua penilaian ini dipengaruhi perhitungan untung atau rugi? Baik untung rugi batin maupun untung rugi lahir. Kalau menguntungkan kita, maka kita menilai orang itu sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan kita, kita menilai orang itu sebagai orang tidak baik. Kita suka atau tidak suka kepada seseorang berdasarkan penilaian itu! Tidak mengherankan apa bila seseorang itu bisa hari ini baik dan besok tidak baik, hari ini disuka, besok dibenci, karena perbuatan-perbuatannya tentu saja bisa merugikan atau menguntungkan, hari ini menguntungkan, besok merugikan dan sebaliknya dan selanjutnya. Kalau saja kita dapat menghadapi apa dan siapa saja TANPA PENILAIAN INI, tentu kita akan terbebas dari pada rasa suka atau tidak suka kepada sesuatu atau seseorang. Dengan kebebasan seperti ini, barulah sinar cinta kasih dapat menyinari batin.
“Hemm, jadi engkau ini murid Sam Kwi? Dan ke sini mencari aku untuk mewakili sucimu, mencoba untuk merampas Liong-siauw-kiam?” tanya Sim Houw, terheran-heran mengapa Sam Kwi dan Bi-kwi mengutus seorang gadis yang tingkatnya masih seperti kanak-kanak ini.
Bi Lan mengangguk. “Akan tetapi menurut suci, ia pernah kalah olehmu dan menurut ceritanya, engkau lihai bukan main. Agaknya akupun bukan tandinganmu dan aku akan gagal mengalahkan engkau untuk merampas pusaka itu.”
“Kalau begitu, kenapa engkau datang juga, seorang diri tanpa pembantu pula? Apa yang memaksamu untuk nekat mencariku kalau engkau sudah merasa bahwa engkau takkan berhasil merampas Liong-siauw-kiam dari tanganku?” tanya pula Sim Houw, suaranya tidak lagi ramah karena dia menganggap gadis ini nekat atau jahat atau menggunakan siasat pula dengan modal kecantikan, kemanisan dan kepandaiannya bicara.
Yang memaksaku adalah janji dan sumpahku kepada suci. Aku telah bersumpah kepada suci untuk merampaskan pusaka itu dari tanganmu, maka aku memaksa diri untuk datang juga mencarimu. Kalau aku gagal dan tewas di tanganmu, bagaimanapun juga aku sudah memenuhi janji dan sumpahku. Sebaliknya kalau aku tidak berani melakukannya, biarpun aku tetap hidup, aku akan menjadi orang yang mengingkari sumpahnya sendiri, dan berarti hidup tanpa isi. Bagiku, lebih baik mati melaksanakan sesuatu yang gagah dari pada hidup sebagai orang tanpa guna.
Kembali Sim Houw tertegun. Kata-kata itu semua keluar dari hati anak itu sendiri ataukah memang sudah dihafalkan sebelumnya, merupakan siasat untuk menjatuhkan hatinya? Saking terpengaruh benar oleh ucapan Bi Lan, dia bengong terlongong saja.
“Heiiii! Kau mendengar atau tidak? Aku mau merampas Liong-siauw-kiam! Berikan kepadaku atau terpaksa aku menggunakan kekerasan merampasnya darimu!”
Ditegur demikian, barulah Sim Houw sadar. Bagaimanapun juga, anak perempuan ini murid Sam Kwi, agaknya tidak mungkin baik walaupun memiliki daya tarik yang luar biasa dari pribadinya. Dan karena kedatangannya untuk merampas Liong-siauw-kiam, maka harus dihadapi dengan kekerasan, walaupun sifatnya untuk memberi hajaran saja.
“Mau merampas Pedang Suling Naga? Boleh, silahkan kalau kau mampu,” katanya tenang.
Bi Lan sendiri memang masih belum percaya kalau orang yang di depannya ini memiliki ilmu kepandaian yang demikian dipuji-puji sucinya, maka iapun tidak main-main lagi dan ingin mengujinya sendiri. Mula-mula ia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan Sim Houw merasa ngeri juga mendengar, biarpun perlahan, bunyi berkerotokan pada kedua lengan itu. Seorang gadis begini muda dan cantik menarik memiliki ilmu kepandaian yang hanya pantas dimiliki orang sesat!
“Orang she Sim, awas sambut seranganku ini!” bentak Bi Lan dan ia telah menyerang dengan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan Jurus Lutung Hitam) yang hebat. Ilmu ini adalah ilmu andalan Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) dan memang hebat sekali gerakannya. Mula-mula Bi Lan menggunakan jurus Hek-wan Pai-san (Lutung Hitam Mendorong Gunung), dua lengannya itu didorongkan ke arah dada lawan sambil mengerahkan tenana sin-kang. Hebatnya dari ilmu ini, ketika Sim Houw menarik mundur tubuhnya untuk mengelak, kedua lengan gadis itu masih terus mulur dan kedua tangannyadengan jari-jari terbuka masih menuju ke dada lawan! Kiranya lengan gadis muda itu dapat memanjang seperti karet. Dan inipun kehebatan dari ilmu yang didapatnya dari ciptaan Hek-kwi-ong. Biarpun kedua lengan Bi Lan tidak dapat memanjang seperti kalau Hek-kwi-ong sendiri yang melakukannya, namun sempat membuat Sim Houw terkejur.
“Ehhh....!” Serunya ketika, di luar perhitungannya, kedua tangan yang sudah dielakkan itu masih mampu mengejar terus. Terpaksa dia menggunakan kelincahan kakinya untuk melangkah ke kiri dan menarik kembali tubuhnya. Akan tetapi, Bi Lan sudah menyusulkan jurus Hek-wan-hoan-hwa (Lutung Hitam Mercari Bunga) dan kedua tangannya sudah membalik dan kalau tangan kanan mencengkeram ke arah kepala lawan, tangan kiri menghantam ke lambung kanan. Gerakannya cepat dan kedua kakinya berloncatan lincah seperti gerakan seekor lutung. Ilmu silat ini berbeda dengan Ilmu Silat Kauwkun (Silat Monyet) yang mengandalkan kecepatan, melainkan lebih mengandalkan tenaga sin-kang dan juga keanehan kedua lengan yang dapat memanjang.
Namun kini Sim Houw telah mengetahui keistimewaan kedua lengan yang dapat mulur itu maka menghadapi serangan-serangan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang itu, diapun mengandalkan kelincahan tubuhnya dan kalau mengelak, ditambahnya jarak mengelak itu sehingga lebih jauh dari biasa. Dengan demikian, lima kali serangan dari lima jurus yang dipilihnya dari delapan belas jurus Hek-wan Sip-pat-ciang itu gagal mengenai tubuh Pendekar Suling Naga dan Bi Lan cepat sudah mengganti ilmu silatnya. Kini, tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang dengan lebih dahsyat karena kini kedua kakinya yang melakukan penyerangan. Bukan serangan biasa, melainkan tendangan-tendangan yang susul-menyusul dan kedua kakinya itu datang dari segenap penjuru menendang, menyepak, mendorong dari samping dari depan dan langsung ke belakang. Kedua kakinya dengan hidup dan cepatnya melakukan serangan bertubi-tubi. Itulah Ilmu Tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), keahlian dari Im-kan-kwi ( Iblis Akhirat), orang ke dua dari Sam Kwi.
Kembali Sim Houw kagum, akan tetapi merasa sayang. Tendangan-tendangan itu memang dahsyat, akan tetapi kadang-kadang nampak amat kasar tanpa mengindahkan segi keluwesannya, tanpa memperhitungkan segi keindahan seni tarinya yang terdapat dalam semua gerakan ilmu silat. Kadang-kadang nampak lucu seperti seekor monyet menari-nari. Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah karena dia sudah maklum bahwa biarpun masih muda, ternyata gadis ini memang telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi. Dia sudah tidak begitu ingat lagi keadaan Bi-kwi beberapa tahun yang lalu ketika menyerangnya, akan tetapi agaknya gadis ini tidak kalah lihai dari sucinya itu.
Ketika Sim Houw menggunakan lengannya menangkis, sambil mengerahkan sin-kangnya, tubuh Bi Lan terhuyung-huyung dan berputaran. Ia terkejut sekali. Ilmu tendangannya itu, begitu tertangkis, membuat tubuhnya terputar kehilangan keseimbangan. Maka dengan gemas ia mengubah lagi ilmu serangannya, sekali ini mengeluarkan Ilmu Hun-kin-tok-ciang! Dari telapak tangannya keluar lagi bunyi berkerotokan dan nampak ada uap agak kehitaman ketika kedua tangan itu bergerak. Gerakan kaku, seolah-olah kedua lengan gadis itu tidak dapat ditekuk, akan tetapi hebatnya luar biasa karena itulah ilmu silat dari Iblis Mayat Hidup, orang ke tiga dari Sam Kwi. Hun-kin-tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) memang mengandung hawa beracun, dan jari-jari tangan yang nampak kaku itu menotok sana-sini seperti sumpit-sumpit baja yang mampu membikin putus otot tubuh lawan kalau mengenai sasaran.
“Ihhh....!” Sim Houw mencela ilmu yang dianggapnya keji ini dan diapun kini menyambut, bukan hanya mengelak terus, melainkan menangkis dan membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan untuk merobohkan lawan tanpa melukai hebat. Akan tetapi, ternyata Bi Lan cukup lincah dan dapat pula menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu. Dan beberapa jurus kemudian, melihat betapa Ilmu Hun-kin-tok-ciang juga tidak sanggup membuat ia mendesak lawan, ia mempergunakan ilmu simpanannya, yaitu Sam Kwi Cap-sha-kun! Inilah Ilmu Tigabelas Jurus yang diciptakan bersama oleh Sam Kwi setelah mereka bertapa selama satu tahun, ilmu yang sengaja mereka ciptakan untuk menghadapi Pendekar Suling Naga yang menurut penuturan murid mereka amat lihai itu.
Dan kini Sim Houw benar-benar terkejut. Hebat sekali memang ilmu itu. Ketika Bi Lan mulai menyerangnya, dari kedua tangan gadis itu keluar suara bercuitan dan ilmu ini memang mempergunakan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang), hanya gerakan-gerakan silatnya saja yang mereka susun secara teliti. Dan memang ampuh bukan main. Gerakan-gerakannya aneh, kedua tangan itu tiada ubahnya sepasang pedang yang menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Sim Houw hampir saja celaka ketika tangan kiri Bi Lan menyambar ke arah lambung. Untung dia masih sempat miringkan tubuhnya dan bajunya terkait robek oleh tangan yang berubah seperti pedang tajamnya itu!
“Aih, engkau sungguh nekat!” bentaknya marah.
“Serahkan Liong-siauw-kiam atau aku akan menyerangmu terus sampai mati!” bentak Bi Lan.
“Srattt....!” pedang kayu berbentuk naga itu dicabut karena Sim Houw merasa kewalahan menghadapi Sam Kwi Cap-sha-ciang. “Inilah pusaka itu, bukan untuk diserahkan kepada siapapun juga, melainkan untuk melawan siapa saja yang berniat buruk.”
Bi Lan melanjutkan serangannya dengan menggunakan Cap-sha-ciang itu, hatinya agak girang karena ternyata ilmu ciptaan tiga orang gurunya ini memang ampuh sehingga lawannya terdesak dan terpaksa mengeluarkan pedang itu. Kalau pedang kayu begitu saja, mana ia takut? Pedang baja saja ia tidak gentar, dapat menggunakan kekebalan Ilmu Kulit Baja yang sudah dipelajarinya dari Im-kan-kwi Apa lagi sebatang pedang kayu! Huh, mainan kanak-kanak pikirnya.
“Wir-wirrr....!” Nampak sinar berkelebatan, sinar hijau kehitaman dan mula-mula terdengar desir angin, akan tetapi kemudian terdengar suara melengking-lengking dan gadis itu menjadi terkejut bukan main. Jurus-jurus Cap-sha-ciang yang hebat itu seketika seperti kacau gerakannya dan iapun merasa tenaganya lemas karena jantungnya tergetar oleh suara suling itu! Baru ia tahu bahwa pusaka itu memang benar-benar hebat dan ampuh, ketika dimainkan oleh pendekar itu seolah-olah ada bayangan seekor naga yang mengamuk sambil melengking-lengking! Dari pedang itu keluar tenaga yang hebat karena ketika ia dengan nekat mengadu tangannya yang terisi hawa Kiam-ciang (Tangan Pedang) dengan sinar itu, selain merasa tangannya menjadi nyeri, juga tubuhnya terdorong dan hampir saja ia roboh. Dengan marah dan penasaran, gadis itu menyerang lagi dengan tangan kirinya, menebaskan tangan itu ke arah leher lawan.
“Takkk!” Tangan itu tertangkis pedang suling dan menempel pada senjata itu. Ada tenaga sedot yang luar biasa kuatnya dari suling itu yang membuat tangannya melekat dan betapapun ia hendak menarik tangannya, ia tak berhasil.
“Wuuuuttt....!” Kini tangan kanannya yang menyambar. Tubuh lawan menyelinap ke arah belakang melalui kanannya.
Bi Lan mengejar dengan hantaman tangan yang mengandung hawa Kiam-ciang ke belakang, akan tetapi tangan kiri lawan menangkap pergelangan tangan kanannya dan tiba-tiba saja tubuhnya ditelikung dengan kedua lengannya ditarik ke belakang oleh lawan yang sudah berada di belakangnya! Dengan keadaan seperti itu, tentu saja Bi Lan tidak berdaya. Akan tetapi ia adalah murid Sam Kwi yang pernah menerima gemblengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka ia masih belum kehabisan akal biarpun kedua lengannya sudah ditelikung ke belakang. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan kakinya sudah menyepak ke belakang, lebih kuat dari sepakan seekor kuda! Dan tentu saja kaki itu menuju ke arah selangkangan lawan, tempat yang paling lemah dan berbahaya kalau diserang bagi kaum pria!
Kalau sepakan itu hanya sepakan biasa, tentu Sim Houw masih mampu menangkis dengan lututnya atau mengelak dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi sepakan itu adalah sepakan dari Ilmu Tendangan Pat-hong-twi yang hebat. Memang, kalau Sim Houw mau mendahului, dia bisa merobohkan Bi Lan lebih dahulu sehingga sepakannya kandas di tengah jalan, akan tetapi dia tidak ingin mencelakakan gadis ini, hanya ingin mengalahkannya tanpa melukainya untuk memberi hajaran. Melihat sepakan yang berbahaya ini, tidak ada lain jalan baginya kecuali melepaskan kedua lengan itu dan melompat jauh ke belakang.
Bi Lan cepat membalikkan tubuh. Dengan muka merah saking marahnya, ia mulai memasang kuda-kuda yang aneh. Tubuhnya merendah seperti hendak tiarap dan itulah pembukaan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang pernah dia pelajarinya dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!
Mula-mula Sim Houw melihat dengan merasa lucu dan karena kasihan dia menyimpan pedang pusakanya kembali, ingin menghadapi dan mengalahkan gadis itu dengan tangan kosong saja, kecuali kalau dia terdesak lagi. Tiba-tiba dengan suara bentakan panjang dan nyaring, tubuh gadis itu bergerak, bagaikan seekor naga saja, langsung tubuh yang tadinya hampir tiarap itu menerjang ke depan, seperti terbang saja menyerang lawan! Bukan main terkejut rasa hati Sim Houw karena dia seperti pernah mendengar tentang ilmu ini, bahkan pernah melihat dimainkan orang. Dia cepat mengelak dan memutar lengan untuk menangkis, namun demikian hebatnya serangan itu sehingga tubuhnya sendiri terpelanting ke kiri! Hampir saja dia terbanting roboh kalau dia tidak cepat-cepat membuang dirinya dan membuat gerakan jungkir balik! Dia dapat berdiri kembali dan memandang dengan mata terbelalak!
“Rasakan kau sekarang!” seru Bi Lan dengan girang dan kembali ia menerjang maju, kini gerakannya semakin aneh dan dari kedua telapak tangannya keluar angin berdesir. Itulah Ban-tok Ciang-hoat yang pernah dipelajarinya dari nenek Wan Ceng, isteri pendekar Kao Kok Cu yang berlengan satu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu! Kembali Sim Houw terkejut dan cepat-cepat dia melompat lagi ke belakang karena sekarang dia teringat akan gerakan ilmu-ilmu aneh tadi.
“Heiii, berhenti dulu. Kau hebat! Apakah engkau atau Sam Kwi telah mencuri ilmu dari Istana Gurun Pasir?”
Bi Lan bertolak pinggang, matanya hampir bulat karena dibelalakkan marah, kedua pipinya merah sekali karena selain marah ia juga telah bekerja keras tadi sehingga denyut darahnya berjalan cepat, keringatnya membasahi dahi dan leher.
“Kau sendiri pencuri perampok bajak copet maling!” Ia memaki-maki marah. “Selama hidup aku tak pernah mencuri!” Jangan menuduh yang bukan-bukan kau!”
Sim Houw tidak dapat marah dimaki-maki karena cara memaki itu nampak lucu. Dalam keadaan marah sekalipun gadis ini masih nampak lucu dan mulai Sim Houw menduga bahwa memang pembawaan, pribadi gadis ini yang lincah jenaka dan lucu, sama sekaii bukan suatu permainan sandiwara. Andaikata semua tadi hanya rayuan atau sandiwara, tentu setelah berkelahi, sikap pura-pura itu akan hilang. Akan tetapi gadis ini tetap saja lucu!
“Apa anehnya kalau menuduh mencuri kepada Sam Kwi? Bukankah mereka terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat, raja-raja iblis di antara para penjahat?”
“Sam Kwi boleh melakukan apa saja, akan tetapi aku bukan Sam Kwi dan Sam Kwi bukan aku! Aku memang pernah menjadi murid mereka, akan tetapi aku menjadi murid untuk belajar silat, bukan belajar mencuri!”
“Kalau begitu, dari mana engkau bisa memainkan ilmu silat dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Huh! Itu masih belum, sobat!” kata Bi Lan mengejek. “Kalau saja Ban-tok-kiam masih berada di tanganku, pasti akan kubikin buntung pedang pusakamu dari kayu itu!”
“Ban-tok-kiam! Itu milik dari isteri pendekar majikan Istana Gurun Pasir!” teriak Sim Houw semakin heran. “Bagaimana pula bisa menjadi milikmu?”
Kembali Bi Lan tersenyum mengejek, bibirnya yang merah basah dan mungil itu berjebi.
“Kau ingin mendengar penjelasanku mengenai keluarga Istana Gurun Pasir dan aku?”
“Tentu saja.... tentu saja, apa hubunganmu dengan mereka?”
“Kau boleh minta maaf dulu, baru aku mau menceritakan!”
“Minta maaf?” Sim Houw memandang heran. Ada-ada saja permintaan gadis ini yang aneh-aneh dan di luar dugaan. “Untuk apa?”
“Karena kau tadi menuduh aku menecuri.”
Hampir Sim Houw tertawa bergelak, akan tetapi dia menahan rasa gelinya dan diapun tersenyum. “Baiklah, aku minta maaf atas tuduhanku tadi. Akan tetapi, usap dulu keringatmu, lihat, dahi dan lehermu basah semua!” Dia merasa risi dan kasihan melihat betapa peluh mengalir membasahi leher baju dan yang dari dahi juga mulai menetes ke bawah membasahi pipi.
Bi Lan tercengang. Baginya, lawannya ini juga aneh sekali dan iapun lalu menyeka keringatnya dengan saputangan biru yang dikeluarkannya dari saku bajunya. “Dengarlah, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir atau majikan Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, dengan isterinya yang bernama nenek Wan Ceng, adalah guru-guruku!”
“Wah, mana mungkin....!”
“Mungkin saja! Buktinya begitu kok tidak mungkin. Buktinya mereka telah mengajarkan ilmu silat kepadaku selama satu tahun, bahkan subo Wan Ceng meminjamkan Ban-tok-kiam kepadaku, akan tetapi pedang itu dirampas oleh orang lain.”
Sukar untuk tidak percaya kepada omongan seorang gadis seperti ini, akan tetapi agaknya tidak masuk di akal pula kalau murid Sam Kwi bisa menerima pelajaran silat dari pendekar sakti itu dan isterinya.
“Nona, ketahuilah bahwa aku menganggap keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir itu sebagai para locianpwe yang kuhormati dan kukagumi di samping keluarga dari Pulau Es. Mereka adalah keluarga sakti yang gagah perkasa. Kalau engkau menjadi murid suami isteri pendekar Kao itu, maka tentu saja aku tidak berani mengangkat tangan melawanmu dan bagiku engkau bukan seorang musuh. Marilah kita duduk dan ceritakan kepadaku bagaimana di satu pihak engkau dapat menjadi murid Kao locianpwe, hal yang memang patut kulihat pada dirimu, akan tetapi di lain pihak engkaupun menjadi murid Sam Kwi dan bahkan menjadi utusan Bi-kwi untuk merampas Liong-siauw-kiam.”
Sim Houw sudah mengambil tempat duduk lagi di atas batu yang tadi dipakainya bersila ketika dia meniup suling dan mempersilahkan Bi Lan untuk duduk pula di atas batu-batu di depannya.
Akan tetapi Bi Lan menolak. “Nanti dulu! Enak saja engkau mengajak aku mengobrol begitu saja. Aku datang untuk merampas pedang pusaka Suling Naga, bukan untuk kongkouw (ngobrol-ngobrol) denganmu!”
“Kita bukan hanya bicara tentang dirimu, akan tetapi juga tentang pedang pusaka ini. Percayalah, aku tentu akan membantumu agar engkau tidak sampai hidup sebagai orang yang tidak memenuhi janji dan sumpah sendiri.”
“Benar? Tidak bohong?”
Sim Houw menggeleng kepalanya. “Aku tidak pernah berbohong.”
“Kalau perlu kau akan memberikan pusaka itu kepadaku?”
“Kalau perlu, boleh saja.” Sim Houw tersenyum. “Sumpah dulu kau tidak bohong, baru aku mau duduk mengobrol!”
Sim Houw tersenyum lebar. Kini dia mengerti. Gadis ini pada dasarnya adalah seorang gadis yang berjiwa pendekar, yang baik budi, jauh dari watak kejam dan jahat dan mungkin karena melihat sifat-sifat baik inilah maka seorang sakti seperti majikan Istana Gurun Pasir mau mengajarkan ilmu-ilmu kepadanya. Akan tetapi karena menjadi murid Sam Kwi hidup dalam lingkungan para datuk sesat, tentu saja iapun ketularan watak-watak yang aneh dan mau enaknya sendiri saja. Watak-watak yang buruk dari Sam Kwi dan watak-watak pendekar dari suami isteri Istana Gurun Pasir itu agaknya bercampur dan menciptakan watak yang lucu dan aneh pada diri gadis ini.
“Baiklah, kalau perlu aku akan memberikan pusaka Suling Naga kepadamu dan aku akan membantumu, aku bersumpah bahwa aku tidak berbohong.”
Bi Lan tertawa dan Sim Houw merasa luar biasa sekali, seolah-olah sinar matahari di pagi hari itu tiba-tiba saja menjadi semakin cerah, suara burung-burung di dalam pohon menjadi semakin merdu dan bau-bau rumput dan daun pohon dan bunga di sekitar tempat itu menjadi semakin harum! Demikianlah keadaan hati yang tidak dibebani rasa duka! Kalau segala macam rasa duka, kecewa, sesal dan sengsara hati lenyap dari batin kita, maka panca indera kita akan bekerja lebih peka lagi dan kita akan lebih dapat menikmati segala keindahan di dalam kehidupan ini!
Bi Lan yang tersenyum cerah karena hatinya merasa lega itu kini duduk di atas batu hitam, dekat dengan Sim Houw sehingga pria itu mampu menangkap bau badan gadis yang berkeringat itu. Bau yang aneh dan terasa sampai ke jantungnya, yang menggerakkan semua kejantanan dalam dirinya, yang tiba-tiba menimbulkan gairah, mendorong perasaan ingin sekali semakin dekat dengan gadis itu dan kalau mungkin, selamanya tidak akan terpisah darinya dan akan selalu dapat mencium bau yang khas itu!
“Nah, sebelum aku mulai bercerita, sebagai tuan rumah yang baik, engkau harus lebih dulu, menceritakan kepadaku, apakah benar namamu Sim Houw dan bagaimana engkau bisa memperoleh pedang pusaka itu dan sebagainya lagi mengenai dirimu.”
Kembali Sim Houw tersenyum. Dia sudah lupa lagi bahwa selama bertahun-tahun ini dia hampir tak pernah atau jarang sekali tersenyum dan di pagi hari sekali, seolah-olah sinar matahari dan di pagi hari ini, semenjak bertemu dengan gadis itu, entah sudah berapa kali dia tersenyum, bahkan tertawa. Senyum yang langsung keluar dari perasaan hatinya, bukan sekedar senyum pengantar sopan santun seperti yang nampak pada senyum kebanyakan orang.
“Namaku Sim Houw dan tentang pedang ini....“
“Nanti dulu! Namamu Sim Houw dan usiamu tadi kaukatakan tigapuluh tahun? Siapa isterimu?”
Tiba-tiba saja muka pendekar itu menjadi merah sekali, kemudian agak pucat dan dia menundukkan mukanya, memejamkan sebentar kedua matanya lalu setelah dia mengangkat mukanya memandang gadis itu wajahnya sudah pulih kembali dan senyumnya sudah membayang lagi di bibirnya, “Aku tidak punya isteri....“
“Ahh....! Sudah.... sudah matikah ia? Atau.... bercerai?”
Sim Houw menggeleng kepalanya perlahan-lahan. “Aku belum pernah beristeri.”
“Aneh, seusia engkau ini belum beristeri? Tapi.... sucikupun usianya sudah sebaya denganmu dan belum bersuami pula. Cuma.... ia mempunyai banyak sekali pacar! Berganti-ganti, apakah.... apakah engkaupun begitu?”
“Begitu bagaimana maksudmu!” tanya Sim Houw hampir membentak.
“Seperti suciku itu? Berganti-ganti pacar?”
Kalau bukan gadis itu yang berkata demikian, ingin rasanya Sim Houw menampar mulut itu. “Tidak! Dan jangan engkau samakan semua orang seenakmu saja. Bukankah engkau sendiri, yang menjadi sumoinya, tidak sama dengan sucimu itu, berganti-ganti pacar?”
“Aku sih tidak sudi! Aku benci laki-laki mata keranjang!”
“Nah, dengarkan saja, kalau begini terus ceritaku tidak akan ada habisnya! Aku bernama Sim Houw, belum punya isteri, dan kedua ayah ibuku sudah meninggal dunia. Guruku bernama Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas dan tinggal di Istana Khong-sim Kai-pang, di puncak Bukit Nelayan, tak sangat jauh dari sini. Cukup bukan tentang diriku?”
Bi Lan yang tadi dibentak, kini mengangguk-angguk. “Sudah cukup jelas, terutama bahwa selain belum pernah beristeri, engkau tidak pernah berganti-ganti pacar....” Ia tersenyum memandang kepada Sim Houw yang juga tersenyum senang. “Dan bagaimana tentang Liong-siauw-kiam itu?”
“Seorang kakek pertapa di Himalaya yang bernama Pek-bin Lo-sian, aku yakin engkau tentu mengenal nama itu karena dia masih terhitung susiok (paman guru) dari Sam Kwi, telah merasa tua dan ingin mewariskan pedang pusaka Suling Naga kepada seseorang yang dianggapnya pantas untuk memilikinya. Dia tidak suka kepada tiga orang keponakannya, yaitu Sam Kwi dan dia mulai mencari orang yaug akan mampu mengalahkan dirinya, karena dia hanya akan memberikan pusaka ini kepada orang yang dapat mengalahkannya. Entah berapa banyak sudah orang yang roboh di tangannya, luka atau mati, ketika dia mencari calon pemilik baru dari Liong-siauw-kiam ini. Akhirnya dia bertemu denganku dan kebetulan aku dapat mengalahkannya maka dia menyerahkan senjata pusaka ini kepadaku.”
Bi Lan mengangguk-angguk. “Jadi engkau tidak merampasnya atau mencurinya dari kakek itu? Aku percaya ceritamu. Dan tidak aneh kalau engkau menang, karena ilmu kepandaianmu memang hebat. Aku sendiripun bukan lawanmu. Kalau kau mau membunuhku dengan senjata itu tentu mudah saja. Heiii....! Mengapa....?” Tiba-tiba gadis itu meloncat dari tempat duduknya dan gerakannya yang tiba-tiba itu mengejutkan Sim Houw sehingga pemuda inipun terloncat bangun.
“Mengapa....apa....?” tanyanya binguug karena gadis itu kembali sudah memandang kepadanya dengan mata melotot marah.
“Mengapa engkau tidak membunuhku atau setidaknya merobohkan aku? Padahal jelas bahwa kedatanganku ini untuk merampas Liong-siauw-kiam? Ehh, engkau.... engkau.... bukan sebangsa jai-hoa-cat, ya?”
Kembali Sim Houw menjadi gemas dan ingin menampar mulut itu kalau saja yang bicara orang lain. “Kenapa kau bertanya begitu?” balasnya, tentu saja mendongkol karena jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita) adalah kejahatan yang paling dibencinya.
“Karena sudah banyak sekali kulihat orang-orang yang ilmunya tinggi, bersikap baik kepada wanita hanya untuk maksud-maksud tertentu yang rendah dan hina. Tapi.... tapi.... ahh, engkau tentu bukan orang macam mereka itu. Aku percaya padamu, maafkan pertanyaanku tadi, ya?”
Ucapan yang disertai senyum ini sekaligus menghapus bersih kedongkolan hati Sim Houw. “Sekarang ceritakan tentang dirimu dan tentang hubunganmu dengan keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir.”
“Sam Kwi bukan saja guru-guruku, melainkan juga penolongku dan penyelamat nyawaku. Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku dan ayah ibuku meninggalkan kampung halaman kami di selatan untuk lari mengungsi karena adanya perang pemberontakan dan serbuan dari orang-orang Birma. Di tengah perjalanan, kami dihadang pasukan orang Birma. Ayah ibuku tewas dan aku hampir celaka. Kalau tidak ada Sam Kwi yang tiba-tiba muncul, tentu aku mengalami nasib seperti ibuku, diperkosa oleh mereka sampai mati.” Gadis itu memejamkan kedua matanya untuk mengusir pemandangan tentang ibu dan ayahnya itu yang membayang dalam ingatannya. Diam-diam Sim Houw merasa terharu sekali dan juga kasihan. Pantas gadis ini memiliki watak aneh. Begitu kecil sudah mengalami musibah yang demikian hebat.
“Nah, sejak itulah aku menjadi murid Sam Kwi setelah mereka bertiga membunuh semua anggauta pasukan Birma itu. Aku berhutang budi dan mereka baik sekali kepadaku. Akan tetapi suciku Bi-kwi, tidak baik kepadaku. Ia yang mewakili Sam Kwi melatihku, akan tetapi latihan-latihan itu diselewengkan sehingga aku keracunan dan hampir tewas kalau tidak pada suatu hari, di dalam hutan, aku bertemu dengan suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir itu. Merekalah yang mengobatiku sampai sembuh dan mengajarkan ilmu-ilmu silat sampai setahun lamanya.”
Sim Houw mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan semakin kagum. Sejak berusia sepulut tahun gadis ini menjadi murid Sam Kwi, akan tetapi tidak tumbuh dewasa menjadi seperti Bi-kwi, hal itu sungguh mengagumkan, tanda bahwa memang gadis ini memiliki dasar watak yang baik dan kuat.
“Lalu bagaimana engkau sampai bisa hutang budi kepada Bi-kwi, padahal ia yang hampir mencelakaimu dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang sengaja disesatkan itu?”
“Bi-kwi bertempur denganmu dan kalah, lalu Sam Kwi bertapa selama satu tahun untuk menciptakan ilmu silat baru yang hebat untuk kami paksa menghadapimu....“
“Ah, ilmu silat yang hebat tadi? Bukan main, memang Sam Kwi lihai....”
“Itulah Ilmu Sam Kwi cap-sha-ciang. Setelah mereka berhasil menciptakan ilmu baru itu, mereka mengajarkannya kepada aku dan Bi-kwi, lalu kami berdua menerima tugas untuk mencarimu dan merampas Liong-siauw-kiam. Sam Kwi mengadakan pesta makan minum untuk mengucapkan selamat jalan kepada kami dan dalam kesempatan itu, aku dibikin mabok, ditawan oleh Sam Kwi untuk diperkosa...."
“Ahhh....! Betapa kejinya!” Sim Houw hampir meloncat saking marah dan kagetnya.
“Hal seperti itu biasa saja bagi mereka. Bi-kwi juga sudah mereka perlakukan demikian sehingga selalu menjadi murid juga menjadi kekasih mereka. Aku tidak sudi melayani mereka. Mereka bermaksud menundukkan aku seperti Bi-kwi, akan tetapi aku tidak mau. Mereka mengancam akan memperkosa, dan ketika itulah Bi-kwi turun tangan, membebaskan aku dan kami melarikan diri. Akan tetapi aku lalu harus membuat janji dan sumpah bahwa aku akan membantunya mendapatkan kembali Liongsiauw-kiam.”
Sim Houw mengangguk-angguk dan tertarik sekali. Diam-diam dia semakin kagum kepada Bi Lan. Gadis ini sudah pernah hampir tewas oleh Bi-kwi, akan tetapi sekali ditolong, ia bersumpah membalas budi itu dan sekali bersumpah ia akan melaksanakan walau bertaruh nyawa. Sukar mencari seorang gadis berhati baja seperti ini, juga yang bernasib malang sekali terjatuh ke dalam lingkungan kaum sesat. “Kemudian bagaimana?”
Dengan singkat Bi Lan lalu menceritakan perjalanannya dengan Bi-kwi sampai ia hampir pula menjadi korban dan hampir diperkosa oleh Bhok Gun, cucu murid Pek-bin Lo-sian.
“Karena dua kali mengalami peristiwa seperti itu, hampir diperkosa oleh Sam Kwi yang mula-mula baik kepadaku, kemudian oleh Bhok Gun yang bekerja sama dengan suci, maka tadi aku teringat dan terkejut karena jangan-jangan engkau juga seorang seperti mereka itu!“
“Hemmm, tidak semua orang jahat, nona. Akan tetapi, engkau belum menceritakan sesuatu yang paling penting padaku.”
“Apa itu?”
“Namamu!”
Bi Lan tertawa dan ketawanya juga bebas, tanpa menutupi mulut karena kadang-kadang ia lupa akan sedikit pelajaran tentang sopan santun yang pernah ia terima dari nenek Wan Ceng. Ia memang merupakan seekor kuda betina yang tadinya liar atau setangkai bunga mawar hutan yang tak pernah terawat dengan baik, walaupun hal itu tidak mengurangi keindahan dan keharumannya.
“Aku lupa dan engkau tidak menanyakan sih! Namaku Can Bi Lan, mendiang ayah bernama Can Kiong, seorang petani biasa dari Yunan.”
“Dan sekarang, adik Bi Lan, boleh aku menyebut adik kepadamu, bukan?”
“Tentu saja, dan aku akan menyebut twa-ko (kakak besar) kepadamu. Tidak pantas menyebut paman karena usiamu hanya sebaya dengan Bhok Gun yang masih terhitung suheng dariku. Sim-twako, nah, itulah sebutanku untukmu. Kau tadi hendak bicara apa?”
“Begini Lan-moi (adik Lan), bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku berada di Pegunungan Tai-hang-san dan bisa menemukan aku di sini?”
“Aku bertemu dengan seorang pemuda bernama Cu Kun Tek. Dialah yang memberi tahu kepadaku bahwa mungkin aku dapat menemukanmu di Pegunungan Tai-hang-san.”
“Cu Kun Tek?” Sim Houw berseru girang. “Wah, dia itu masih terhitung pamanku!”
“Apa? Bagaimana ini? Dia masih muda, sebaya denganku, mana bisa menjadi pamanmu?”
“Ayahnya yang bernama Cu Kang Bu adalah paman mendiang ibuku. Bukankah dengan demikian Cu Kun Tek itu pamanku? Tentu dia sudah dewasa sekarang. Aku tidak bertemu dengan dia sejak aku mengunjungi lembah keluarga Cu dan di sanalah aku bertemu dengan kakek Pek-bin Lo-sian. Jadi engkau bertemu dengan Kun Tek? Bagaimana dapat berkenalan dengan dia?”
“Dia penolongku, ketika aku memasuki perangkap Bhok Gun. Tiba-tiba ketika aku dalam keadaan luka dikeroyok oleh Bhok Gun dan kawan-kawannya, muncul Kun Tek yang mengamuk sehingga kami berdua berhasil lolos dari kepungan. Kami berkenalan dan dialah yang memberi tahu aku bahwa engkau mungkin berada di sini.”
Tentu saja hati Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Kun Tek yang dulu baru berusia duabelas tahun itu kini telah menjadi seorang pendekar yang boleh dibanggakan! Pantas menjadi keturunan keluarga Cu yang gagah perkasa dan pantas pula menjadi pemilik Koai-liong Po-kiam! Dia merasa gembira bahwa dia telah mengembalikan pedang pusaka itu kepada keluarga Cu. Dengan demikian, terhapuslah sudah semua rasa tidak enak yang pernah ada antara keluarga Cu dan keluarga Kam, yaitu Pendekar Suling Emas yang menjadi gurunya.
Tiba-tiba Bi Lan bangkit berdiri. “Sudah terlalu banyak kita ngobrol dan terlalu lama aku di sini. Sekarang, seperti janji dan sumpahmu tadi, serahkan Liong-siauw-kiam kepadaku untuk kuberikan kepada suci.” Ia menengadahkan tangan kanannya yang diulur untuk menerima pemberian pedang.
“Nanti dulu, Lan-moi. Aku tidak akan menarik kembali janjiku. Akan tetapi engkau tahu betapa berbahayanya kalau pusaka seperti ini menjadi milik seorang jahat seperti Bi-kwi atau Sam Kwi. Tentu seperti harimau buas yang tumbuh sayap.”
“Jadi kau tidak mau memberikan?” Bi Lan mengerutkan alisnya, mulai marah.
“Nanti dulu, jangan tergesa mengambil kesimpulan. Aku akan menyerahkannya kepadamu, akan tetapi akupun akan ikut menyaksikan ketika engkau menyerahkannya kepada sucimu, dan pada saat itu, setelah engkau menyerahkan pedang berarti engkau.... engkau?”
Bi Lan berpikir sejenak lalu mengangguk-angguk. “Aku mengerti. Memang akupun tidak suka kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan suci. Ia amat jahat dan tentu ia akan menjadi semakin jahat kalau mempunyai pusaka yang dapat diandalkan. Baik, mari kita serahkan pusaka itu kepada suci dan kau boleh merampasnya kembali dari tangannya, terserah.”
“Di mana dia sekarang?”
“Menurut rencana mereka, yaitu suci dan Bhok Gun, mereka akan pergi ke kota raja untuk bekerja membantu guru Bhok Gun yang sudah berada di kota raja pula.”
“Di kota raja?”
“Ya, di istana kaisar. Guru Bhok Gun itu sudah mengabdi kepada seorang pembesar bernama Hou Seng, dan mereka akan menggabung ke sana mencari kedudukan. Kebetulan sekali akupun harus pergi ke kota raja untuk mencari orang yang telah merampas Ban-tok-kiam dari tanganku.”
“Ah, kau tadi pernah bercerita tentang Ban-tokkiam. Siapa yang merampasnya?”
Menurut keterangan seorang hwesio bernama Tiong Khi Hwesio, perampas yang amat lihai itu berjuluk Sai-cu Lama dan pendeta Lama itu tentu berada di kota raja, karena kabarnya pendeta Lama itu pun bersekongkol dengan persekutuan di kota raja. Aku harus merampasnya kembali, betapapun lihai Lama itu, karena Ban-tok-kiam hanya dipinjamkan saja kepadaku oleh subo di Istana Gurun Pasir.”
“Aih, begitu banyak masalah yang kauhadapi, Lan-moi. Biarlah aku akan membantumu kelak mendapatkan kembali Ban-tok-kiam. Pedang pusaka itu harus kembali kepada pemiliknya, majikan Istana Gurun Pasir.”
“Terima kasih, toako. Kau baik sekali!” kata Bi Lan dengan hati girang. Hari itu juga mereka turun dari puncak itu setelah Sim Houw mengajak Bi Lan makan lebih dulu di tempat tinggalnya, sebuah gubuk darurat di puncak itu. Dia masih menyimpan bahan makanan dan Bi Lan dengan girang lalu memasak dan mereka berdua makan dulu sebelum meninggalkan puncak. Sedikit ucapan dari Bi Lan pada waktu mereka makan bersama, membuat hati Sim Houw merasa terharu, akan tetapi anehnya, juga mendatangkan rasa duka walaupun hanya tipis saja perasaan duka ini. Kata-kata itu adalah, “Sim-toako, aku merasa seolah-olah engkau ini benar-benar kakakku sendiri! Betapa bahagianya hatiku kalau mempunyai seorang kakak seperti engkau yang selalu akan membimbing dan membantuku!”
Kedukaan tipis yang menyelubungi hati Sim Houw itu timbul karena dia sendiri sudah tahu akan keadaan hati sendiri. Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini! Untuk kedua kalinya dalam hidupnya dia jatuh cinta. Pertama kali kepada Kam Bi Eng dan dia gagal karena cintanya bertepuk tangan sebelah. Kam Bi Eng mencinta Suma Ceng Liong yang kini sudah menjadi suaminya. Dan sekarang dia jatuh cinta kepada Bi Lan. Akan tetapi, usianya sudah tigapuluh tiga tahun sedangkan Bi Lan baru berusia paling banyak delapanbelas tahun. Sekarang saja gadis itu sudah mengatakan bahwa dia dianggap sebagai kakak! Mungkinkah gadis ini kelak dapat membalas cintanya? Ataukah dia harus mengalami nasib seperti cinta pertamanya, mengulang kembali kegagalan cintanya? Dia hanya menarik napas panjang dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan.
***
Ternyata dua orang itu tidak usah mencari terlalu jauh sampai ke kota raja untuk menyerahkan pedang Liong-siauw-kiam kepada Bi-kwi! Ketika mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, berjalan perlahan-lahan menuruni pegunungan itu sambil bercakap-cakap gembira karena kelincahan Bi Lan mendatangkan suasana yang amat gembira dalam hati Sim Houw, dan mereka tiba di kaki puncak, di lereng bawah, tiba-tiba saja Bi-kwi muncul di depan mereka bersama Bhok Gun dan duapuluh orang lebih anggauta Ang-i Mo-pang yang berpakaian serba merah!
Kiranya Bi-kwi dan Bhok Gun, setelah yang terakhir ini gagal menangkap Bi Lan karena pertolongan Cu Kun Tek, dapat mengikuti jejak Bi Lan yang menuju ke Tai-hang-san dan diam-diam mereka mengikuti terus. Ketika dalam penyelidikan mereka kepada para penduduk dusun mereka tahu bahwa Pendekar Suling Naga berada di puncak yang kini didaki oleh Bi Lan, mereka lalu bersembunyi dan hendak menanti kembalinya Bi Lan. Kalau Bi Lan berhasil merampas pedang pusaka itu, mereka tinggal memintanya dan merampas dari tangan Bi Lan kalau gadis ini tidak menyerahkannya. Atau kalau Bi Lan gagal, mereka akan mengajak Bi Lan membantu mereka menyerbu ke puncak. Bi-kwi yakin bahwa bagaimanapun juga, Bi Lan yang keras hati tidak akan mau melanggar janjinya dan tentu akan mau membantunya merampas pedang pusaka itu.
Karena itu, betapa kaget dan heran akan tetapi juga girang rasa hati mereka ketika pada siang hari itu, mereka melihat Bi Lan turun dari puncak bersama sang pendekar yang dicari-cari! Akan tetapi dalam suasana yang demikian akrab, berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap.
Bi-kwi dan Bhok Gun tidak khawatir kalau Bi Lan akan membantu Pendekar Suling Naga, karena Bi Lan terikat oleh sumpahnya untuk membantu merampas kembali pedang itu! Dan dengan bantuan Bi Lan, bahkan tanpa bantuannyapun, mereka berdua yakin bahwa mereka akan mampu mengalahkan Sim Houw, apa lagi di situ ada duapuluh orang lebih aanak buah mereka.
“Suci....!” Bi Lan berseru heran. “Engkau di sini....?” Dan alisnya berkerut ketika ia melihat Bhok Gun dan anak buahnya berada pula di situ.
Bi-kwi tersenyum mengejek. “Aha, sumoiku yang manis. Kaukira aku begitu bodoh, membiarkan engkau sendirian menemui si Pendekar Suling Naga? Kiranya dia malah telah memikat hatimu sehingga engkau lupa akan tugasmu merampas pusaka itu, malah kini menjadi pacarnya. Hemm, kulihat kau mulai pandai berpacaran....”
“Bi-kwi, tutup mulutmu yang kotor!” Sim Houw membentak marah.
“Ha-ha-ha, siapa yang kotor? Sumoi, agaknya adik kecil kita itu belajar asmara dari Pendekar Suling Naga, ha-ha!” Bhok Gun juga tertawa, padahal di dalam hatinya dia merasa panas melihat betapa Bi Lan yang dirindukannya itu nampak demikian akrab dengan Sim Houw.
“Bhok Gun, Sim-toako bukanlah laki-laki hina dina dan rendah kotor macam kamu!” Bi Lan tiba-tiba membentak dan memandang dengan sinar mata berapi-api. “Jangan kalian ini manusia-manusia cabul menuduh orang-orang lain serupa saja dengan kalian yang tak tahu malu!“
“Cukup, Siauw-kwi!” kini Bi-kwi mulai mempergunakan pengaruhnya sebagai pelatih dan suci. “Bagaimana dengan janjimu dahulu ketika aku membebaskanmu dari Sam Kwi? Engkau berjanji akan membantuku sampai berhasil mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam dan membantu aku merebut kedukan jagoan nomor satu di dunia persilatan!”
“Aku hanya berjanji akan merampaskan kembali Liong-siauw-kiam, dan tentang merebut kedudukan jagoan nomor satu itu, kalau kebetulan aku menyaksikan tentu aku membantumu. Aku tidak akan mengingkari janji. Lihat, Liong siauw-kiam sudah berada di tanganku!” Gadis itu menyingkap bajunya dan memang benar, Liong-siauw-kiam dengan sarung pedangnya telah terselip di ikat pinggangnya. Memang pedang ini diserahkan oleh Sim Houw kepadanya ketika mereka hendak berangkat tadi, untuk penjagaan kalau sewaktu-waktu Bi-kwi muncul.
Melihat betapa pedang pusaka itu benar-benar telah berada pada Bi Lan, Bi-kwi dan Bhok Gun saling pandang dan mereka nampak terkejut dan heran akan tetapi Bi-kwi menjadi girang sekali.
“Bagus sekali, sumoi! Kiranya engkau memang telah memenuhi janjimu. Berikan Liong-siauw-kiam itu kepadaku, adikku!” Suaranya menjadi manis sekali, dan ia mengulurkan tangan.
“Nanti dulu, suci. Aku akan menyerahkan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini kepadamu, akan tetapi dengan demikian berarti aku sudah terbebas dari ikatan janjiku kepadamu! Aku tidak akan hutang budi apa-apa lagi darimu dan kalau pedang ini sudah kuberikan kepadamu, berarti tidak ada ikatan apa-apa lagi antara kita. Berarti bahwa janji dan sumpahku telah kupenuhi dan kelak engkau tidak berhak untuk menekan aku lagi berdasarkan janji sumpah yang sudah kupenuhi dengan penyerahan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini. Benarkah begitu?”
“Benar, dan mana pedang itu kesinikan!” kata Bi-kwi tak sabar lagi.
“Katakan dulu bahwa kalau engkau sudah menerima pedang ini dariku, maka aku sudah tidak terikat dengan janji apa-apa lagi!” kata Bi Lan sambil mencabut sarung pedang itu dari ikat pinggangnya, akan tetapi belum mau menyerahkannya. “Baik. kalau pedang itu sudah kuterima, engkau tidak terikat janji apa-apa lagi. Nah, berikan Liong-kiam itu padaku.”
Bi Lan menanti dua detik dan seperti telah direncanakan oleh Sim Houw, tidak ada tanda apa-apa dari Sim Houw. Hal ini berarti bahwa ia sudah boleh menyerahkan pedang itu kepada sucinya. Menurut rencana itu, kalau belum tiba saatnya menyerahkan pedang, Sim Houw tentu akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi Sim Houw kini diam saja, hal ini merupakan isyarat dari Sim Houw bahwa pedang itu sudah boleh diberikan kepada Bi-kwi.
“Nah, terimalah ini sebagai pembayar janji dan sumpahku kepadamu dan aku sudah bebas dari ikatan apapun dengan dirimu,” katanya sambil mengulurkan tangan yang memegang pedang dengan sarungnya itu tanpa melangkah ke depan. Dengan demikian, terpaksa Bi-kwi yang melangkah ke depan dan ia menerima pedang itu dari tangan sumoinya. Sebagai seorang yang cerdik dan ahli silat yang lihai, cara mengambil pedang itu dari tangan sumoinya dilakukan seperti orang merampas. Disambarnya pedang itu dan begitu sudah berada di tangannya, ia melompat ke belakang. Hal ini untuk menghindarkan kalau-kalau sumoinya bertindak curang dan menyerangnya pada saat ia menerima pedang. Akan tetapi ia kalah cepat, atau memang sama sekali tidak mengira bahwa pada saat ia menerima pedang, tubuh Sim Houw sudah meluncur ke depan.
“Sumoi, awas....!” teriak Bhok Gun yang melihat gerakan Sim Houw dan diapun sudah meloncat ke depan.
Bi-kwi terkejut sekali ketika tiba-tiba tubuh Sim Houw, bagaikan seekor garuda terbang menyambar ke bawah, tangan kanan mencengkeram ke atas ubun-ubun kepalanya sedangkan tangan kiri menyambar ke arah pedang! Serangan itu hebat bukan main dan kalau ia terlambat sedikit saja melindungi tubuhnya, tentu kepalanya menjadi sasaran. Jangankan sampai dicengkeram, terkena totokan satu kali pada ubun-ubun kepalanya, ia akan mati konyol! Cepat Bi-kwi membuang diri ke belakang sambil menangkis pukulan itu, kakinya sambil membuang diri menendang ke depan. Akan tetapi, betapapun cepat reaksi gerakannya, tetap saja tiba-tiba ia merasa lengan kanannya lumpuh dan tahu-tahu pedang itu telah terampas oleh Sim Houw.
“Bukkk....!” Pada saat itu, hantaman Bho Gun tiba menimpa punggung Sim Houw. Dalam usaha membantu sumoinya tadi, Bhok Gun sudah mengerahkan tenaga dan memukul punggung Sim Houw. Sim Houw maklum akan serangan ini, akan tetapi dia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada usahanya merampas kembali Liong-siauw-kiam karena kalau sekali serangan itu dia gagal, akan semakin sukarlah untuk mendapatkan kembali pusakanya itu. Maka, sambil melanjutkan usahanya merampas pedang, dia menerima saja hantaman pada punggungnya itu sambil menggunakan sebagian dari sin-kangnya saja untuk melindungi punggung.
Terkena hantaman yang amat kuat itu, tubuh Sim Houw terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi pedang Liong-siauw-kiam sudah berada kembali ke tangannya. Dengan marah sekali Bi-kwi dan Bhok Gun mengejar dan mereka berdua sudah menyerang dengan bertubi-tubi untuk merampas kembali pedang itu. Bhok Gun mempergunakan pedangnya, dan Bi-kwi sudah mengeluarkan Ilmu Silat Sam Kwi cap-sha-ciang yang hebat itu. Baru saja Sim Houw yang terkena hantaman tadi meloncat berdiri dan dari mulutnya mengalir darah segar sebagai bukti bahwa pukulan tadi telah melukainya sebelah dalam tubuh atau setidaknya membuat sebelah dalam tubuhnya terguncang, kini dia sudah diserang lagi dengan dahsyatnya. Dia mengelak dari sambaran pedang Bhok Gun, akan tetapi sebuah tamparan dengan jurus Ilmu silat Cap-sha-ciang yang ampuh itu kembali membuatnya terpaksa melempar diri dan bergulingan. Akan tetapi sambil bergulingan dia mencabut pedang Liong-siauw-kiam dan begitu dia meloncat bangun dan memutar pedangnya, terdengar suara berkerintingan dan beberapa belas buah paku beracun yang disambitkan Bhok Gun berjatuhan tertangkis oleh sinar pedang.
Setelah pedang Liong-siauw-kiam berada di tangannya, kini Sim Houw menghadapi mereka berdua dan terdengarlah bunyi senjatanya itu yang melengking-lengking seperti suling ditiup, akan tetapi mengandung ketajaman pedang pusaka yang sakti, bahkan sinar pedang itu saja bersama suaranya sudah mampu membuat lawan menjadi repot. Terjadilah perkelahian mati-matian.
Tanpa diperinah lagi, duapuluh lebih anak buah Bhok Gun itu sudah mengurung arena perkelahian itu dengan senjata golok atau pedang di tangan. Melihat ini, sejak tadi Bi Lan sudah memperhatikan.
“Siauw-kwi, hayo kaubantu kami!” bentak Bi-kwi dengan suara penuh wibawa kepada adik seperguruannya itu.
Akan tetapi dengan tenang Bi Lan menjawab, “Bi-kwi, ingat bahwa sejak kau terima pedang itu, di antara kita sudah tidak terdapat ikatan apa-apa!” Berkata demikian, gadis ini lalu menerjang maju dan menyerang duapuluh lebih anak buah Bhok Gun itu!
“Kau pengkhianat....!” Bhok Gun berteriak marah melihat betapa dua orang anak buahnya roboh terguling oleh serangan Bi Lan yang segera dikeroyok oleh semua anak buah itu.
“Bukan pengkhianat macam engkau yang curang!” balas Bi Lan dan gadis ini dengan enaknya membagi-bagi pukulan dan tendangan kepada duapuluh lebih pengeroyok yang bukan merupakan tandingan yang berat baginya.
“Celaka! Kita tertipu....!” Tiba-tiba Bi-kwi berseru. ”Mereka sudah merencanakan ini....!”
Menghadapi lawan seperti Sim Houw, walaupun mengeroyok dua, sama sekali tidak boleh membagi perhatian. Begitu Bi-kwi berteriak demikian sambil melirik ke arah sumoinya, sinar pedang Suling Naga menyambar dibarengi lengkingan mengerikan. Ia menangkis dengan lengannya, akan, tetapi ternyata ujung suling pedang itu berkelebat ke atas dan terdengar kain robek disusul jerit tertahan Bi-kwi yang terluka pada pundaknya! Melihat betapa Bi-kwi terluka dan anak buahnya kocar-kacir diamuk Bi Lan, Bhok Gun menjadi gugup dan diapun berseru nyaring ”Mari kita pergi....!”
Betapa dongkol rasa hatinya, terpaksa Bi-kwi menuruti nasihat suhengnya itu dan bersama Bhok Gun, iapun meloncat dan melarikan diri, diikuti terpincang-pincang oleh duapuluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang saling menopang kawan yang terluka. Bi Lan berdiri sambil bertolak pinggang, tertawa terbahak-bahak melihat mereka. Sim Houw juga tersenyum, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan cepat dia duduk bersila, sambil memejamkan kedua matanya.
Melihat kawannya itu diam saja dengan tiba-tiba lalu duduk bersila, Bi Lan teringat bahwa Sim Houw tadi terkena pukulan Bhok Gun pada punggungnya sampai mulutnya mengeluarkan darah. Ia cepat mendekati pemuda itu dan melihat betapa Sim Houw mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni mengobati lukanya sendiri, iapun lalu duduk agak menjauh. Ingin sekali ia membantu pemuda itu dengan penyaluran tenaganya, akan tetapi ia tidak berani melakukannya dan tidak mau mengganggu Sim Houw yang sedangsamadhi. Ia kagum bukan main kepada pemuda itu. Tadi ia melihat cara Sim Houw merampas kembali pedang pusaka dan karena itu iapun melihat bahwa Sim Houw sengaja membiarkan punggungnya terpukul karena dia memaksa diri harus dapat merampas pedang itu dalam satu serangan, dan ternyata usahanya itupun berhasil dengan baik! Ia percaya bahwa pendekar itu sudah membuat perhitungan dengan masak sehingga pukulan yang mengenai punggung itu, biarpun mengguncang hebat dan menimbulkan luka dalam sampai muntahkan sedikit darah, namun tentu tidak berbahaya. Buktinya, dalam keadaan terluka tadi Sim Houw telah mampu mendesak dan melukai pundak Bi-kwi, biarpun sucinya tadi mempergunakan Ilmu Cap-sha-kun dan Bhok Gun yang tingkat kepandaiannya sama dengan Bi-kwi mempergunakan pedangnya. Bahkan membuat kedua orang itu kemudian terpaksa melarikan diri!
Sambil menunggui Sim Houw yang sedang mengobati luka dalam di tubuhnya, Bi Lan kini mulai memperhatikan pria itu. Bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang laki-laki, seorang jantan yang berwatak lemah lembut dan sederhana, tak pernah tinggi hati dan tidak suka berlagak walaupun jelas bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan namanya terkenal sebagai seorang pendekar sakti. Seorang yang pada wajahnya membayangkan bekas kedukaan yang membuatnya menjadi pendiam dan lebih suka menyendiri di tempat-tempat sunyi. Dan tiba-tiba saja hatinya merasa kasihan sekali. Laki-laki yang baik budi ini, agaknya juga tidak mempunyai siapapun di dunia ini, seperti dirinya.
Ah, mengapa ia mendadak saja termenung? Mengapa membiarkan pikiran dikelabukan awan yang hanya akan membuatnya bersedih? Wataknya yang gembira dan jenaka sudah sejak lama terlatih untuk mengatasi segala duka. Bahkan ketika ia menderita sakit keracunan yang membuatnya seperti orang gila, hanya sebentar saja ia menangis, kemudian ia sudah bergembira kembali, dengan alam, dengan sekitarnya. Iapun sudah melenyapkan kesedihan yang tadi terseret oleh rasa kasihan yang timbul terhadap Sim Houw dan kini wajahnya sudah berseri kembali. Tugas pertama sudah dilaksanakannya dengan baik. Ia sudah berhasil menemukan kembali Liong-siauw-kiam dan membebaskan dirinya dari ikatan janjinya terhadap Bi-kwi. Budi kebaikan Sam Kwi telah lunas ketika Sam Kwi hampir saja memperkosa dirinya. Budi kebaikan itu telah ditebus dengan perbuatan mereka yang hina itu. Ia tidak akan mendendam sakit hati atas perbuatan Sam Kwi yang terakhir terhadap dirinya, biarlah perbuatan itu sebagai pembayar semua budi mereka terhadap dirinya sejak ia bertemu dengan mereka. Kemudian, iapun tidak lagi berhutang budi kepada Bi-kwi karena sudah ditebusnya dengan menyerahkan Liong-siauw-kiam tadi. Soal ia tidak mampu mempertahankan pusaka itu ketika dirampas kembali oleh Sim Houw, itu adalah masalah Bi-kwi sendiri dan ia tidak perlu mencampurinya.
Kini tinggal satu tugas lagi. Mencari Ban-tok-kiam! Dan Sim Houw telah berjanji untuk membantunya. Ia percaya kepada priaini. Ia merasa aman, merasa begitu pasti akan berhasil karena ada Sim Houw di sampingnya. Bahkan ia hampir merasa yakin, begitu besar percayanya kepada sahabat baru ini, bahwa ia akan mampu mendapatkan kembali Ban-tok-kiam untuk dikembalikan kepada subonya di Istana Gurun Pasir. Setelah berhasil, ia akan mengunjungi suhu dan subonya itu di sana!
“Lan moi, kau sedang melamun apa?” tiba-tiba Bi Lan menoleh dan ia melihat Sim Houw sedang memandang kepadanya dan wajah Sim Houw sudan nampak segar, tanda bahwa pria itu sudah sehat kembali. “Kau tersenyum-senyum seorang diri.”
“Sim-toako, bagaimana dengan lukamu? Sudah sembuhkah?” Ia cepat menghampiri ketika Sim Houw bangkit berdiri.
Sim Houw meraba-raba dadanya dan mengangguk. “Pukulan orang itu amat kuat, hal yang sama sekali tidak kusangka. Dia amat lihai. Dia itukah yang bernama Bhok Gun itu, cucu murid dari mendiang Pek-bin Lo-sian?”
“Benar, akan tetapi jangan kau memuji-mujinya. Buktinya, dia dan suci yang mengeroyok engkau dalam keadaan sudah terlukapun tidak mampu menang, malah mereka lari seperti dua ekor tikus dipotong ekornya.”
Sim Houw tersenyum. Dia sudah sering mendengar orang mengambil perumpamaan “anjing dipukul”, akan tetapi baru sekarang mendengar orang membuat perumpamaan dua orang lari seperti tikus-tikus dipotong ekornya. “Adik Lan, apakah engkau pernah melihat tikus dipotong ekornya lalu melarikan diri?”
“Belum, akan tetapi bisa kubayangkan. Kalau tidak percaya, coba saja tangkap tikus, potong ekornya lalu dilepaskan. Lihat apakah dia tidak akan lari secepatnya karena ketakutan!”
Setelah keduanya ketawa, Sim Houw lalu bertanya, “Lan-moi, orang she Bhok itu murid siapakah?” Biarpun aku pernah bertemu dan menerima pusaka dari mendiang Pek-bin Lo-sian, akan tetapi aku tidak tahu siapa muridnya. Apakah engkau pernah mendengar dari sucimu siapa gurunya itu?”
Bi Lan menggelengkan kepalanya. “Tidak, Sim-twako, akupun tidak pernah tahu atau mendengar siapa gurunya. Hanya dari percakapan antara mereka aku tahu bahwa Bhok Gun mengajak anak buahnya untuk pergi ke kota raja, bergabung dengan gurunya untuk mengabdi kepada pembesar yang bernama Hou Seng itu.”
Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja, karena seperti yang pernah dijanjikan oleh Sim Houw, mereka akan menyelidiki tentang Sai-cu Lama yang merampas Ban-tok-kiam di kota raja. Setelah terjadi peristiwa pengeroyokan itu di antara kedua orang ini terjadi hubungan yang semakin akrab. Biarpun ketika dikeroyok oleh Bi-kwi dan Bhok Gun, Sim Houw tidak membutuhkan bantuan Bi Lan, akan tetapi maju dan mengamuknya Bi Lan terhadap duapuluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang mengepung tempat itu menimbulkan semacam kepercayaan baru dalam hati Sim Houw terhadap Bi Lan. Ternyata dan terbuktilah dari pertempuran ini bahwa Bi Lan berwatak baik dan bersih, berjiwa pendekar dan menentang kejahatan walaupun ia mengaku murid Sam Kwi.
Sebaliknya, Bi Lan semakin suka dan percaya kepada Sim Houw karena di sepanjang perjalanan, Sim Houw tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar. Selalu sopan, ramah, bahkan memandang kepadanya dengan sinar mata yang begitu lembut. Ia merasa suka bercakap-cakap dengan pria yang dari percakapannya saja sudah diketahui mempunyai pengetahuan luas itu. Dan kalau ada waktu, Sim Houw selalu memberi petunjuk-petunjuk kepadanya tentang cara-cara menghimpun tenaga sin-kang, mengumpulkan hawa murni dengan cara yangbenar. Ia yang hanya mendapat tuntunan selama setahun dari suami isteri Istana Gurun Pasir, kini dapat melihat dengan lebih jelas perbedaan antara latihan yang benar dan latihan-latihan dari kaum sesat sehingga perlahan-lahan ia kini dapat mengusir sisa-sisa tenaga sesat yang didapatnya ketika ia berlatih di bawah ajaran Sam Kwi dan Bi-kwi.
Sudah dua pekan lebih mereka meninggalkan Tai-hang-san dan pada suatu sore, di luar kota Thian-cin, tiba-tiba hujan lebat turun dari atas yang sejak siang tadi telah dipenuhi awan mendung. Terpaksa Sim Houw mengajak Bi Lan untuk berlari dan mencari tempat yang baik untuk berlindung dari serangan air hujan. Sim Houw ingat bahwa tak jauh dari situ, di luar sebuah hutan, terdapat sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Biarpun kuil itu sudah tua dan rusak, namun atapnya masih ada dan dapat dipakai untuk meneduh. Di dalam perantauannya, pernah dia beberapa kali bermalam di kuil tua itu, maka kini dia mengajak Bi Lan lari ke tempat itu.
Mereka akhirnya tiba di kuil itu dan berlarian masuk dengan tubuh basah. Betapapun pandainya kedua orang ini, mereka tetap saja basah kuyup ketika berlari-larian tadi, tak mungkin dapat menghindar dari siraman air hujan. Akan tetapi keduanya merasa gembira, tertawa-tawa ketika memasuki kuil, seperti dua orang anak kecil yang habis bermain di bawah siraman air hujan. Berbahagialah orang-orang yang masih bisa bergembira ria sehabis kehujanan, karena itu merupakan pertanda bahwa tubuh dan batinnya masih sehat. Sebaliknya, orang yang tertimpa air hujan sedikit saja lalu sakit, dia seorang yang lemah dan mereka yang mengeluh dan jengkel karena kehujanan, berarti batin mereka yang lemah. Orang yang dapat merasakan kembali kegembiraan kanak-kanak, dia seorang beruntung.
Sambil tertawa-tawa Bi Lan memeras rambutnya yang panjang, yang basah kuyup. Sim Houw juga melakukan hal yang sama. Memang, hal yang paling mengganggu kalau kehujanan kalau rambut panjang basah kuyup. Air akan terus mengalir dan menetes dari kumpulan air hujan yang diserap oleh rambut. Setelah memeras rambut dan ujung-ujung pakaiannya, Sim Houw lalu mengumpulkan kayu kering yang banyak terdapat di dalam kuil itu, sisa dari mereka yang pernah bermalam di situ dan dibantu oleh Bi Lan, dia membuat api unggun. Buntalan berisi pakaian yang basah lalu diperas dan dipanaskan dekat api unggun agar cepat kering.
Bi Lan sendiri lalu memeriksa tempat itu, selagi Sim Houw sibuk mengeringkan pakaian di dekat api unggun. Kuil itu dahulunya merupakan sebuah kuil yang cukup besar dan agaknya bekas terbakar sehingga sebagian besar bangunan samping dan belakang, tempat dulu merupakan kamar-kamar para pendeta, juga dapur dan lain-lain bagian, sudah runtuh. Kini yang tinggal hanya ruangan sembahyang di luar dan beberapa ruangan sebelah dalam, yang masih tertutup atap walaupun bocor di sana-sini. Lantainya cukup bersih karena di tempat ini sering ada juga orang-orang yang kemalaman di jalan atau mungkin kehujanan seperti yang mereka alami sore hari ini. Ada pula jerami-jerami kering bertumpuk di sudut, tentu untuk alas tidur di lantai karena lantainya tentu dingin sekali kalau malam, apa lagi malam hujan. Setelah memeriksa tempat itu dan ternyata hanya mereka berdua yang sore hari itu meneduh di tempat itu dari serangan hujan, Bi Lan kembali ke depan dan duduk pula dekat api unggun agar pakaian dan rambutnya lekas kering.
Setelah ada pakaian yang dibentangkan dekat api dan sudah kering lebih dulu, Bi Lan lalu membawa satu stel pakaiannya ke bagian belakang dalam kuil itu yang gelap, terhalang dinding dan iapun berganti pakaian. Setelah ia selesai, lalu Sim Houw juga berganti pakaian, kemudian mereka berdua duduk kembali dekat api. Enak setelah berganti pakaian kering dan terkena hawa panas api unggun, membuat tubuh terasa hangat. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lan tertawa.
“Kenapa kau tertawa?”
“Hi-hik, apakah kau tidak mendengar apa yang kudengar?”
“Apa itu?”
“Engkau memang terlalu sopan. Kokok ayam dalam perut kita!”
Sim Houw tersenyum. Gadis ini sungguh polos. Akan tetapi, tidak seharusnyakah kita semua bersikap demikian, pikirnya. Segala peraturan sopan santun yang kita buat sendiri demi “kehormatan” sudah sedemikian berlebih-lebihan sehingga mencetak kita menjadi manusia-manusia palsu, munafik-munafik besar yang selalu berbeda lahir dengan batinnya, kepura-puraan yang hanya menguntungkan perasaan si aku yang menganggap diri agung dan terhormat, akan tetapi kadang-kadang merugikan bagi diri sendiri maupun orang lain. Betapa seringkali kita lebih mengutamakan si aku yang hanya angan-angan belaka ini, demi nama baik dan demi kehormatan si-aku, biarlah badan ini menderita! Aneh memang, bodoh memang, akan tetapi kenyataannya demikianlah.
Sampai di jaman inipun kita semua menjadi hamba dari pada pengagungan si aku ini. Lihat saja di kanan kiri, lihat saja pada diri kita sendiri. Sepasang kaki kita menjerit dan mengeluh oleh sempitnya sepatu yang menekan demi untuk kehormatan! Peluh kita bercucuran oleh gerah dan panasnya pakaian “sopan” demi untuk kehormatan! Perut kita kalau perlu kita tekan dan kelaparan demi untuk kehormatan. Mulut kita dipaksa senyum-senyum walau hati sedang berduka demi untuk kehormatan dan masih banyak lagi contoh-contoh yang membuat kita kadang-kadang menjadi heran sendiri karena kelakuan kita, demi kehormatan itu, seperti tidak normal lagi. Si aku yang gila kehormatan ini membuat kita menjadi manusia-manusia yang gila atau tidak normal lagi! Sopan santun dan tata-susila memang perlu bagi kita manusia yang hidup bermasyarakat, namun tata-susila dan sopan-santun ini kita adakan bersama demi menjaga perasaan orang lain, agar tidak menyinggung dan untuk pelaksanaan dari pengertian kita tentang kesopanan dengan menggunakan akal budi. Akan tetapi kalau sudah menjurus ke arah kecondongan mencari pujian, lalu menjadi berlebih-lebihan bahkan tidak praktis lagi!
“Sayang roti keringku yang tinggal sedikit sudah habis karena terkena air hujan.” kata Sim Houw. “Akan tetapi kalau hujan berhenti, kita dapat pergi ke kota Thian-cin, dan kita membeli makanan di sana.”
Akan tetapi hujan tak juga mau berhenti sampai malam tiba! Sim Houw melihat betapa gadis itu, walaupun tidak bicara lagi tentang lapar dan makanan, namun semakin menderita karena menahan lapar. Hawa yang nyaman karena dingin dilawan kehangatan api unggun memang membuat perut menjadi lapar sekali, lebih lagi karena baru saja mereka tadi mengeluarkan banyak tenaga untuk berkelahi. Perut mereka membutuhkan isi, akan tetapi dari mana bisa didapatkan makanan? Kuil itu berada di ujung hutan dan tempat itu sunyi, jauh dari rumah orang.
Tiba-tiba Sim Houw bangkit dari tempat duduknya dekat api unggun. “Kau di sini sebentar, Lan-moi, aku akan pergi mencari bahan makan untuk kita.”
“Tapi, hujan masih begitu lebat di luar dan gelap pula!” Bi Lan membantah. “Kau akan kehujanan dan basah kuyup lagi. Pula, ke mana mencari bahan makanan malam-malam hujan begini?”
Sim Houw tersenyum. “Kautunggu sajalah. Pakaianku sudah kering semua, nanti dapat berganti lagi. Pula, bukankah sejak jaman nenek moyang kita dahulu, kaum pria yang bertugas mencari bahan makanan untuk kita yang kelaparan? Nah, aku pergi sebentar!” Sim Houw berkelebat dan lenyap dari situ.
Bi Lan tidak mau menganggur. Ia menambahkan kayu pada api unggun, kemudian dengan teliti ia mencari-cari di sekitar kuil yang bocor di sana-sini itu dan menemukan dua buah panci butut, akan tetapi belum bocor. Lumayan, pikirnya dan dengan dua panci itu, ia menadah air hujan yang langsung turun dari langit sehingga dua panci itu dapat menampung air yang jernih. Siapa tahu kalau-kalau Sim-toako benar-benar bisa mendapatkan bahan makanan, pikirnya. Tanpa panci tempat masak, lalu bagaimana? Dan mereka juga membutuhkan air minum, dan air hujan itu cukup bersih.
Tak lama kemudian muncullah Sim Houw dari luar kuil, menggendong seekor kijang muda yang sudah mati! Tubuh dan rambutnya basah kuyup, juga pakaiannya kotor terkena lumpur, akan tetapi dia tersenyum lebar dengan wajah gembira sekali. Dia menurunkan kijang itu dari pundaknya dan memeras rambutnya.
“Wah, bagaimana kau bisa mendapatkan....eh, lekas kau tukar pakaian dulu, toa-ko, kau basah semua dan pakaianmu kotor. Jangan-jangan kau bisa masuk angin!” kata Bi Lan dengan girang akan tetapi juga khawatir, lupa bahwa orang yang memliki kepandaian seperti Sim Houw tentu memiliki pula kesehatan yang baik dan daya tahan yang jauh lebih kuat dari pada orang-orang biasa.
Akan tetapi Sim Houw menurut, menyambar satu stel pakaian kering dan berlari ke belakang. Ketika dia kembali dengan pakaian yang kering dan rambutnya sudah diperas dari air hujan, dia melihatbahwa Bi Lan sudah mulai menguliti kijang itu dengan menggunakan kedua tangannya, menarik dan merobeknya begitu saja!
“Lan-moi, kita pergunakan alat, jangan hanya dengan tangan begitu. Bagaimana kau akan memotong-motong dagingnya?”
“Aku tidak punya pisau....”
“Suling ini dapat dipakai sebagai pedang dan....”
“Hushh, jangan pandang rendah benda pusaka, toako. Sudahlah, kita kuliti binatang ini, kita patahkan saja keempat kakinya dan kita panggang pahanya. Kita tidak mungkin dapat memasaknya karena tidak ada bumbu.”
“Wah, sayang, bumbu-bumbuku juga habis dalam buntalan pakaian oleh air hujan. Tapi tunggu, dahulu aku pernah menyimpan sisa garam di ujung sana. Tanpa garam, akan seperti apa rasanya?” Diapun mencari-cari dan akhirnya dengan girang menemukan garam itu yang berada dalam sebuah poci kecil sehingga masih bersih dan utuh. Sibuklah kedua orang itu kini memanggang empat buah paha kijang yang sudah digarami dan tak lama kemudian, terciumlah bau sedap yang membuat perut mereka terasa semakin lapar!
Habislah daging paha kijang yang empat buah banyaknya itu oleh mereka, ditambah minum air hujan yang sudah dimasak sampai mendidih. Dan perut kenyang mendatangkan kantuk! Mulailah mereka bekerja untuk membuat tempat tidur dengan menumpuk jerami kering di lantai.
“Kautidurlah, Lan-moi, biar aku duduk di sini. Engkau terlalu lelah dan malam ini kita tidak mungkin dapat mencari tempat bermalam lain lagi. Hujan masih terus turun. Kautidurlah.”
“Dan kau, Sim-toako?”
“Aku sudah biasa beristirahat sambil duduk, dan aku perlu mengulang kembali pengobatan dalam tubuhku.”
Kepercayaan Bi Lan terhadap Sim Houw sudah demikian mendalam sehingga biarpun mereka hanya berdua saja malam itu di satu ruangan, di tempat yang gelap dan sunyi, namun tidak ada sedikitpun kekhawatiran di dalam hatinya. Bahkan membayangkan yang bukan-bukan saja sama sekali tidak pernah memasuki benaknya, maka segera ia dapat tidur dengan pulasnya, rebah miring meringkuk karena terasa hawa dingin yang dihembus angin dari luar.
Diam-diam Sim Houw yang duduk dekat api unggun memandang kepadanya. Ada rasa haru yang besar sekali dan mendalam di dasar hatinya melihat gadis itu tidur meringkuk dengan bibir tersenyum, begitu pasrah, begitu lemah dan tak berdaya. Seorang gadis yatim piatu, seperti dia, seorang gadis yang secara aneh muncul dalam kehidupannya. Sama sekali tak pernah dia menyangka bahwa dalam hidupnya, dia akan berduaan dengan seorang gadis seperti pada malam hari ini. Melakukan perjalanan bersama, kehujanan bersama, makan berdua dan kini dia memandangi gadis yang tidur pulas itu. Timbul rasa kasihan di hatinya melihat Bi Lan meringkuk, menekuk kaki dan menjepit tangan di antara pahanya. Dia mempunyai sebuah baju mantel yang lebar dan yang kini sudah kering. Diambilnya mantelnya itu dan diselimutkannya pada tubuh Bi Lan, menutupi tubuh dari leher sampai ke kaki. Dia melakukannya begitu hati-hati dan perlahan-lahan agar tidak membangunkan Bi Lan dari tidurnya yang nyenyak.
Akan tetapi, tubuh yang terlatih sejak kecil itu amat peka terhadap sentuhan dari luar dan urat syaraf tubuh itu selalu dalam keadaan siap terhadap bahaya dari luar sehingga dalam tidur sekalipun, agaknya syaraf-syaraf itu tetap bersiap siaga. Maka begitu merasa tubuhnya tersentuh kain, walaupun tadinya tidak berprasangka yang bukan-bukan, sentuhan ini cukup membuat Bi Lan sadar dari tidurnya. Akan tetapi, ia segera memejamkan matanya kembali dan pura-pura masih pulas ketika ia melihat bahwa yang menyentuh tubuhnya itu adalah hamparan baju mantel yang diselimutkan oleh Sim Houw di atas tubuhnya. Diam-diam gadis ini merasa berterima kasih dan senyumnya bertambah manis ketika ia terseret penuh oleh kepulasan.
Di jaman para kaisar masih berkuasa, para pembesar yang bertugas mencatat sejarah, selalu hanya mencatat yang baik-baik saja tentang kaisar dan keluarganya. Kalau ada catatan sejarah yang memburukkan seorang penguasa, maka catatan itu sudah pasti dilakukan oleh pihak yang membencinya. Oleh karena itu, maka sukarlah dipercaya kebenaran catatan sejarah di dunia ini. Seperti catatan sejarah tentang pembangunan dan tentang kebesaran kerajaan Mancu yang semakin berkembang. Akan tetapi sejarah tidak mencatat betapa banyaknya korban jatuh dari pihak mereka yang menentang kaisar, baik karena urusan pribadi maupun karena kebangkitan mereka yang merasa dijajah dan hendak menumbangkan kekuasaan Mancu. Setiap orang manusia, baik dia kaisar sekalipun, tentu memiliki dua macam sifat yang bertentangan kalau dia sudah dinilai, yaitu baik dan buruk, kelebihan dan kekurangannya, tentu saja bergantung kepada pendapat si penilai berdasarkan rasa suka atau tidak suka dari si penilai sendiri. Demikian pula Kaisar Kian Liong. Pada masa itu, dialah orang yang paling tinggi kedudukannya, yang paling berkuasa sehingga memburukkan namanya merupakan suatu pemberontakan dan dosa besar, dan orang yang berani melakukannya dapat saja dipenggal lehernya sebagai hukumannya. Oleh karena itu, catatan riwayat dan sejarahnya hanya yang baik-baik saja.
Betapapun juga, orang tak mungkin menyimpan rahasia untuk selamanya. Akhirnya membocor keluar juga dari istana segala perilaku kaisar itu yang dianggap tidak patut. Di antaranya adalah hubungan kaisar di masa tuanya itu dengan Hou Seng yang tampan, yang kini semakin tinggi saja kedudukannya dan semakin besar kekuasaannya. Bahkan di luar sudah terdengar bisik-bisik bahwa Hou Seng inilah orangnya yang akan diangkat menjadi Perdana Menteri dalam waktu dekat.
Dan bisik bisik atau desas-desus ini memang tidak merupakan kabar bohong begitu saja. Bukan saja Hou Seng menjadi “kekasih” kaisar. akan tetapi bahkan dia telah dapat mempengaruhi kaisar sehingga semua urusan dalam istana sudah dipercayakan kepadanya. Dialah yang menjadi orang ke dua setelah kaisar di istana itu, bahkan semua pelaksanaan peraturan dan lain-lain berada di tangannya dan kaisar hanya mendengar dan percaya akan laporan kekasih ini saja.
Ambisi merupakan racun yang sekali mencengkeram batin kita, tidak mudah untuk dilepaskan lagi.
Ambisi merupakan kemurkaan, seperti binatang babi, makin diberi makan, semakin kelaparan saja. Makin banyak yang didapat, semakin bertambah keinginan hati yang dicengkeram ambisi. Demikian pula dengan Hou Seng. Dia tadinya hanya seorang tukang pikul tandu kaisar, setelah dia diangkat menjadi kekasih kaisar dan menjadi “penasihat” kaisar, berarti dia sudah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Namun, dia masih jauh dari pada puas karena dia melihat kemungkinan-kemungkinan bahwa dia akan lebih besar lagi. Dan untuk mencapai ambisi atau cita-citanya itu, dia tidak hanya dapat mengandalkan kepercayaan kaisar kepadanya. Terlalu banyak musuhnya yang ingin melihat dia jatuh kembali ke bawah. Banyak menteri-menteri yang tidak suka kepadanya, bahkan ada yang secara halus berani memperingatkan kaisar tentang bahayanya kalau terlalu percaya kepada seseorang dan menyerahkan segala kekuasaan di tangan Hou Seng mengenai urusan dalam istana.
Hou Seng semakin cerdik dan mulai memperkuat diri. Bukan hanya dengan cara makin menempel kaisar, akan tetapi juga diam-diam dia mengumpulkan tenaga-tenaga yang boleh diandalkan, selain untuk mengawal dan melindungi dirinya, juga untuk melaksanakan perintah-perintah dalam menghadapi musuh-musuhnya. Beberapa orang musuhnya sudah dilenyapkan, tewas secara aneh. Tentu saja tidak aneh bagi Hou Seng. Dia telah memelihara orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kekejaman seperti iblis. Tentu saja dengan bayaran yang amat tinggi, memberi kemewahan dan memenuhi permintaan apa saja dari orang-orang sakti itu. juga memberi janji bahwa kalau dia dapat menjadi Perdana Menteri, apa lagi kalau kelak dapat menjadi kaisar, dia tidak akan melupakan para pembantu itu dan tentu akan memberi kedudukan tinggi kepada mereka!
Pada suatu malam, dengan pengawalan ketat, Hou Seng keluar dari istana menuju ke sebuah rumah tak jauh dari kompleks istana. Rumah ini merupakan sebuah gedung yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan nampak terjaga oleh penjaga-penjaga yang berpakaian seragam. Rumah ini adalah milik Hou Seng, merupakan rumah peristirahatan, satu di antara banyak rumah yang dimilikinya. Dia sendiri tinggal di sebuah gedung seperti istana saja mewahnya, bersama isterinya!
Benar, Hou Seng telah bersteri. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong merasa risi juga karena banyaknya menteri yang menyindirkan hubungannya dengan Hou Seng dan untuk menutupi atau sekedar mengurangi santernya desas-desus, dia memerintahkan kepada Hou Seng untuk menikah dengan seorang wanita dayang pilihan dari istana. Tentu saja Huo Seng menerima perintah ini dengan hati senang. Bayangkan saja, selain memperoleh kekayaan dan kehormatan, juga dia memperoleh seorang isteri yang cantik “hadiah” dari kaisar sendiri. Dengan adanya isteri, tentu dia dapat memelihara banyak selir dan kini tak perlu lagi dia bersembunyi-sembunyi kalau dia menginginkan seorang wanita. Pernikahannya itu telah berlangsung tiga tahun yang lalu dan kini dia telah mendapatkan beberapa orang anak dari isterinya dan selir-selirnya.
Kereta yang ditumpangi Hou Seng itu memasuki halaman rumah setelah pintu gerbangnya dibuka oleh para penjaga. Pintu gerbang lalu ditutup kembali dan nampak seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, berwajah tampan dan cerdik, bermuka halus seperti muka perempuan. Itulah Hou Seng, dengan pakaiannya yang gemerlapan. Dia seorang laki-laki pesolek, mukanya dirias dan pakaiannya mewah!
Kiranya di dalam keretanya itu bersembunyi dua orang wanita berusia kurang lebih tigapuluhan tahun, cantik dan bertubuh ramping dan gesit. Mereka ini adalah dua orang pengawal pribadi yang dapat menjadi apanyapun juga. Menjadi selir, juga pelayan atau pengawal yang melindungi keselamatannya. Dua orang wanita ini adalah ahli-ahli silat yang pandai dan sengaja dipilih oleh Hou Seng, bukan hanya karena kecantikan mereka, akan tetapi terutama sekali karena ketangguhan mereka melindungi keselamatannya. Karena itu, dua orang pengawal pribadi ini tidak pernah meninggalkannya, ke manapun dia pergi. Ketika Hou Seng turun dari kereta, dua orang wanita ini turun sebelum dan sesudahnya, menjaga dari depan belakang atau kanan kiri penuh kewaspadaan.
Dari pintu depan yang terbuka dari rumah gedung itu muncullah seorang nenek yang kalau orang melihatnya di tempat yang tidak begitu terang tentu akan mengiranya seorang wanita yang masih belum tua benar. Padahal nenek ini usianya sudah kurang lebih tujuhpuluh tahun! Selain gerak-geriknya masih gesit dan sikapnya yang genit, juga mukanya memakai lapisan bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi, di samping penghitam alisnya yang sudah habis bulunya itu. Pakaiannya juga mewah dan nenek pesolek ini memegang sebatang kebutan yang gagangnya, terbuat dari emas dan bulunya yang putih lemas itu tidak boleh dipandang ringan. Itu bukan kebutan biasa pengusir lalat, melainkan sebuah senjata yang amat ampuh karena bulu-bulu kebutan itu terbuat dari bulu seekor monyet putih yang hanya terdapat di daerah Himalaya bagian barat. Menurut dongeng, monyet putih di daerah itu memiliki bulu yang amat kuat sehingga tahan bacokan, membuat monyet itu kebal! Entah benar tidaknya dongeng itu, akan tetapi yang jelas, kebutan di tangan nenek inipun selain mampu untuk membunuh orang, juga dapat menangkis segala macam senjata tajam yang bagaimana ampuhpun tanpa putus sedikitpun.
Begitu bertemu dengan nenek yang masih nampak ramping tubuhnya dan cantik wajahnya karena dirias itu, Hou Seng memberi hormat berbareng dengan nenek itu yang juga menjura dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil memegangi kebutannya yang bulunya menjuntai ke bawah dengan lemasnya. Nampaknya seorang nenek-nenek yang tidak berdaya saja. Akan tetapi, Hou Seng yangmerupakan orang kedua setelah kaisar di dalam istana, kelihatan begitu menghormatnya, apa lagi dua orang pengawal pribadinya itu jelas memperlihatkan sikap jerih sekali ketika mereka memandang kepada nenek itu dan mengerling ke arah kebutan berbulu putih bergagang emas itu. Dalam hati mereka selalu timbul pertanyaan berapa ribu nyawa sudah yang dipaksa meninggalkan badannya oleh kebutan nenek itu, setiap kali mereka bertemu dengan Kim Hwa Nio-nio, demikian nama nenek itu.
Kim Hwa Nio-nio telah menjadi pembantu utama dari Hou Taijin (Pembesar Hou) dan memperoleh kepercayaan dari kekasih kaisar ini karena Kim Hwa Nio-nio telah berulang kali membuktikan kesetiaannya. Sudah ada enam orang pembesar rendahan dan dua orang pembesar tingkat menteri yang tiba-tiba saja tewas begitu pada kemarin harinya Kim Hwa Nio-nio yang menerima perintah dari Hou Taijin untuk melenyapkannya!. Selain itu, juga Kim Hwa Nio-nio yang mengatur penjagaan atau pengawalpengawal rahasia dari Hou Taijin. Pengawal-pengawal ini adalah orang-orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Nio-nio untuk melakukan penjagaan secara rahasia. Dan kini Kim Hwa Nio-nio menerima tugas yang lebih penting lagi, yalah mengumpulkan dan mengundang tenaga-tenaga yang tangguh dari para tokoh dunia hitam untuk memperkuat kedudukan Hou Taijin.
Siapakah Kim Hwa Nio-nio? Nenek yang sudah tua akan tetapi masih suka mengejar kesenangan melalui kekuasaan di kota raja ini adalah guru dari Bhok Gun! Nenek ini pernah menjadi murid merangkap kekasih dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Akan tetapi setelah ia berhasil menguras-semua ilmu dari Pek-bin Lo-sian, Kim Hwa Nio-nio lalu meninggalkan gurunya yang suka bertapa itu untuk bertualang di kota-kota besar dan mengumbar nafsunya dengan pria-pria yang lebih muda dan tampan, yang dipilih dan disukainya. Dengan kepandaiannya yang hebat, ia dapat memaksa setiap pria yang dipilihnya untuk melayaninya. Setiap penolakan tentu mengakibatkan pria itu tewas oleh menyambarnya bulu-bulu kebutan itu. Bahkan setiap kekecewaan dari pria yang melayaninya juga ditebus dengan nyawanya. Dalam hal kejahatan dan kekejamannya, Kim Hwa Nio-nio tidak kalah oleh tiga orang datuk sesat yang masih bersumber dari satu perguruan dengannya, yaitu Sam Kwi.
Setelah usianya mulai tua, Kim Hwa Nio-nio memilih Bhok Gun untuk menjadi muridnya, dan hanya pemuda inilah yang mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya. Akan tetapi, setelah usianya kurang lebih tujuhpuluh tahun, ia sudah kehilangan kesenangan-kesenangan masa mudanya dan kini satu-satunya kesenangan yang dikejarnya adalah kedudukan dari kekuasaan. Karena itulah ia pergi ke kota raja dan mendengar akan kelihaian Hou Taijin yang berhasil menguasai kaisar, ia lalu melakukan pendekatan dan akhirnya, melihat kehebatan ilmu nenek ini, ia berhasil menjadi pembantu utama Hou Seng atau Hou Taijin.
“Selamat malam, Taijin,” nenek itu berkata dan suaranya terdengar halus, “dan silahkan masuk.”
Pembesar yang mempunyai sepasang mata lincah membayangkan kecerdikannya itu mengangguk dan langsung bertanya, “Benarkah yang datang Lama itu?” Dia mencari-cari dengan pandang matanya. “Begitu mendengar berita yang dikirim oleh locianpwe, aku langsung saja ke sini, ingin bertemu dan berkenalan sendiri.”
Kim Hwa Nio-nio mengangguk. “Bijaksana sekali tindakan Taijin, karena memang akan menimbulkan kecurigaan kalau dia yang belum dikenal ini yang menghadap kepada Taijin. Sekarangpun dia sudah siap menghadap kalau menerima perintah Taijin.”
“Baik, locianpwe, minta kepada lo-suhu itu untuk menemui aku di ruangan tamu.” Hou Taijin lalu diiringkan dua orang pengawalnya menuju ke ruang tamu, sedangkan Kim Hwa Nio-nio lalu mengundurkan diri untuk memberi tahu kepada tamunya. Ketika Kim Hwa Nio-nio bersama tamunya pergi ke ruangan, di situ telah menanti Hou Taijin bersama dua orang pengawal pribadi yang tak pernah berpisah darinya, dua orang wanita cantik itu kini berdiri seperti patung di kanan kirinya, agak di belakang tubuh pembesar itu. Para pengawal, tidak kurang dari duabelas orang, berjaga di dalam ruangan itu pula, berdiri dengan sikap hormat, sedangkan beberapa orang pengawal lagi mondar-mandir di luar ruangan ini, mereka adalah pengawal-pengawal yang tidak mengenakan pakaian seragam dan yang selalu membayangi kemanapun Hou Seng pergi. Pengawal-pengawal inilah anak buah Kim Hwa Nio-nio dan karena mereka semua yang berpakaian preman itu mempunyai kartu pengenal yang dibubuhi cap dari Hou Taijin sendiri, maka para penjaga tempat-tempat yang dikunjungi Hou Taijin selalu membiarkan mereka menyelinap masuk. Pendeknya, pengawalan yang dilakukan untuk menjaga keselamatan Hoa Taijin ini tidak kalah ketatnya dengan pengawalan atas diri kaisar sendiri.
Hou Taijin adalah seorang yang cerdik dan pandai menggunakan orang. Melihat bahwa tamu yang datang bersama Kim Hwa Nio-nio itu seorang kakek yang usianya tentu sudah enampuluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, kepalanya gundul dan jubahnya lebar dengan kotak-kotak berwarna kuning, mukanya begitu menyeramkan seperti muka seekor singa, dengan cambang bauk yang warnanya kekuning-kuningan, matanya terbelalak mengandung sinar mata tajam, dia tahu bahwa tamu ini memang bukan orang sembarangan, seperti yang telah dikatakan oleh Kim Hwa Nio-nio kepadanya. Dia tahu siapa kakek ini, yalah seorang pendeta Lama dari Tibet yang juga mempunyai niat memberontak terhadap penguasa-penguasa lama di Tibet. Cocok sekali kalau orang ini bisa menjadi pembantunya, bersama Kim Hwa Nio-nio, pikirnya. Dan agaknya makin mudah pula memasukkan seorang pendeta ke dalam istana, dengan alasan sebagai penasihat kebatinan, pengusir roh jahat, pengajar agama dan sebagainya, seperti yang dilakukan terhadap Kim Hwa Nio-nio yang juga olehnya diperkenalkan kepada kaisar sebagai seorang pertapa wanita dari Pegunungan Himalaya yang sakti.
Setelah pendeta Lama dan Kim Hwa Nio-nio itu tiba di dekat meja, Hou Taijin bangkit berdiri untuk menyambut dan pendeta yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu segera memberi hormat, merangkapkan kedua tangan depan dada sambil berkata dengan suara seperti berdoa, “Omitohud semoga Hou Taijin mendapat berkah usia panjang dan rejeki yang berlimpah-limpah!”
Hou Seng tersenyum. “Selamat datang, lo-suhu dan silahkan duduk. Silahkan, locianpwe.”
Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio mengambil tempat duduk setelah nenek itu dengan isarat tangannya menyuruh anak buahnya untuk keluar dari ruangan itu. Para pengawal segera pergi dan hanya berjaga di luar ruangan tamu itu dengan ketatnya. Yang berada diruang tamu kini hanyalah Hou Taijin bersama dua orang selir yang mengawalnya, Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama.
“Hou Taijin, pinceng (saya) adalah Sai-cu Lama dari Tibet dan saya memenuhi undangan Kim Hwa Nio-nio yang sudah pinceng kenal baik untuk menghadap taijin. Harap maafkan kelancangan pinceng.”
Siapakah Kim Hwa Nio-nio? Nenek yang sudah tua akan tetapi masih suka mengejar kesenangan melalui kekuasaan di kota raja ini adalah guru dari Bhok Gun! Nenek ini pernah menjadi murid merangkap kekasih dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Akan tetapi setelah ia berhasil menguras-semua ilmu dari Pek-bin Lo-sian, Kim Hwa Nio-nio lalu meninggalkan gurunya yang suka bertapa itu untuk bertualang di kota-kota besar dan mengumbar nafsunya dengan pria-pria yang lebih muda dan tampan, yang dipilih dan disukainya. Dengan kepandaiannya yang hebat, ia dapat memaksa setiap pria yang dipilihnya untuk melayaninya. Setiap penolakan tentu mengakibatkan pria itu tewas oleh menyambarnya bulu-bulu kebutan itu. Bahkan setiap kekecewaan dari pria yang melayaninya juga ditebus dengan nyawanya. Dalam hal kejahatan dan kekejamannya, Kim Hwa Nio-nio tidak kalah oleh tiga orang datuk sesat yang masih bersumber dari satu perguruan dengannya, yaitu Sam Kwi.
Setelah usianya mulai tua, Kim Hwa Nio-nio memilih Bhok Gun untuk menjadi muridnya, dan hanya pemuda inilah yang mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya. Akan tetapi, setelah usianya kurang lebih tujuhpuluh tahun, ia sudah kehilangan kesenangan-kesenangan masa mudanya dan kini satu-satunya kesenangan yang dikejarnya adalah kedudukan dari kekuasaan. Karena itulah ia pergi ke kota raja dan mendengar akan kelihaian Hou Taijin yang berhasil menguasai kaisar, ia lalu melakukan pendekatan dan akhirnya, melihat kehebatan ilmu nenek ini, ia berhasil menjadi pembantu utama Hou Seng atau Hou Taijin.
“Selamat malam, Taijin,” nenek itu berkata dan suaranya terdengar halus, “dan silahkan masuk.”
Pembesar yang mempunyai sepasang mata lincah membayangkan kecerdikannya itu mengangguk dan langsung bertanya, “Benarkah yang datang Lama itu?” Dia mencari-cari dengan pandang matanya. “Begitu mendengar berita yang dikirim oleh locianpwe, aku langsung saja ke sini, ingin bertemu dan berkenalan sendiri.”
Kim Hwa Nio-nio mengangguk. “Bijaksana sekali tindakan Taijin, karena memang akan menimbulkan kecurigaan kalau dia yang belum dikenal ini yang menghadap kepada Taijin. Sekarangpun dia sudah siap menghadap kalau menerima perintah Taijin.”
“Baik, locianpwe, minta kepada lo-suhu itu untuk menemui aku di ruangan tamu.” Hou Taijin lalu diiringkan dua orang pengawalnya menuju ke ruang tamu, sedangkan Kim Hwa Nio-nio lalu mengundurkan diri untuk memberi tahu kepada tamunya. Ketika Kim Hwa Nio-nio bersama tamunya pergi ke ruangan, di situ telah menanti Hou Taijin bersama dua orang pengawal pribadi yang tak pernah berpisah darinya, dua orang wanita cantik itu kini berdiri seperti patung di kanan kirinya, agak di belakang tubuh pembesar itu. Para pengawal, tidak kurang dari duabelas orang, berjaga di dalam ruangan itu pula, berdiri dengan sikap hormat, sedangkan beberapa orang pengawal lagi mondar-mandir di luar ruangan ini, mereka adalah pengawal-pengawal yang tidak mengenakan pakaian seragam dan yang selalu membayangi kemanapun Hou Seng pergi. Pengawal-pengawal inilah anak buah Kim Hwa Nio-nio dan karena mereka semua yang berpakaian preman itu mempunyai kartu pengenal yang dibubuhi cap dari Hou Taijin sendiri, maka para penjaga tempat-tempat yang dikunjungi Hou Taijin selalu membiarkan mereka menyelinap masuk. Pendeknya, pengawalan yang dilakukan untuk menjaga keselamatan Hoa Taijin ini tidak kalah ketatnya dengan pengawalan atas diri kaisar sendiri.
Hou Taijin adalah seorang yang cerdik dan pandai menggunakan orang. Melihat bahwa tamu yang datang bersama Kim Hwa Nio-nio itu seorang kakek yang usianya tentu sudah enampuluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, kepalanya gundul dan jubahnya lebar dengan kotak-kotak berwarna kuning, mukanya begitu menyeramkan seperti muka seekor singa, dengan cambang bauk yang warnanya kekuning-kuningan, matanya terbelalak mengandung sinar mata tajam, dia tahu bahwa tamu ini memang bukan orang sembarangan, seperti yang telah dikatakan oleh Kim Hwa Nio-nio kepadanya. Dia tahu siapa kakek ini, yalah seorang pendeta Lama dari Tibet yang juga mempunyai niat memberontak terhadap penguasa-penguasa lama di Tibet. Cocok sekali kalau orang ini bisa menjadi pembantunya, bersama Kim Hwa Nio-nio, pikirnya. Dan agaknya makin mudah pula memasukkan seorang pendeta ke dalam istana, dengan alasan sebagai penasihat kebatinan, pengusir roh jahat, pengajar agama dan sebagainya, seperti yang dilakukan terhadap Kim Hwa Nio-nio yang juga olehnya diperkenalkan kepada kaisar sebagai seorang pertapa wanita dari Pegunungan Himalaya yang sakti.
Setelah pendeta Lama dan Kim Hwa Nio-nio itu tiba di dekat meja, Hou Taijin bangkit berdiri untuk menyambut dan pendeta yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu segera memberi hormat, merangkapkan kedua tangan depan dada sambil berkata dengan suara seperti berdoa, “Omitohud semoga Hou Taijin mendapat berkah usia panjang dan rejeki yang berlimpah-limpah!”
Hou Seng tersenyum. “Selamat datang, lo-suhu dan silahkan duduk. Silahkan, locianpwe.”
Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio mengambil tempat duduk setelah nenek itu dengan isarat tangannya menyuruh anak buahnya untuk keluar dari ruangan itu. Para pengawal segera pergi dan hanya berjaga di luar ruangan tamu itu dengan ketatnya. Yang berada diruang tamu kini hanyalah Hou Taijin bersama dua orang selir yang mengawalnya, Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama.
“Hou Taijin, pinceng (saya) adalah Sai-cu Lama dari Tibet dan saya memenuhi undangan Kim Hwa Nio-nio yang sudah pinceng kenal baik untuk menghadap taijin. Harap maafkan kelancangan pinceng.”
Hou Seng tertawa bergelak, hatinya senang sekali mendengar seorang kakek yang menurut Kim Hwa Nio-nio amat sakti ini merendahkan diri. “Ah, tidak ada yang perlu dimaafkan karena memang saya yang minta kepada locianpwe Kim hiwa Nio-nio untuk mengundang losuhu. Losuhu telah melakukan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan. Untuk menyambut kedatangan losuhu, saya akan mengadakan perjamuan kecil sebagai ucapan selamat datang.” Hou Taijin mengangguk kepada Kim Hwa Nio-nio untuk memberi tanda bahwa perjamuan itu boleh dimulai. “Kita dapat bercakap-cakap setelah makan minum.”
“Maafkan pinceng, taijin. Sebelum itu, pinceng juga ingin mempersembahkan sesuatu kepada taijin. Seorang gadis remaja berusia duabelas tahun yang cantik jelita sekali, yang kebetulan pinceng temukan di dalam perjalanan pinceng.”
Hou Seng mengerutkan alisnya. Betapapun juga pernyataan pendeta Lama itu agak menyinggung kehormatannya. Pendeta ini berani mengatakan akan mempersembahkan seorang gadis remaja yang ditemukannya begitu saja di tengah perjalanan? Persembahan seperti itu merendahkan martabatnya, betapa cantikpun gadis itu, dan tidak patut untuk di ketengahkan dalam pertemuan dan perkenalan pertama sebagai suatu persembahan kehormatan.
Agaknya Kim Hwa Nio-nio melihat ketidaksenangan hati majikannya. Iapun cepat-cepat berkata, “Hendaknya paduka maklumi bahwa gadis remaja yang dibawa oleh rekan saya Sai-cu Lama itu bukan gadis biasa, melainkan derajatnya jauh lebih tinggi dari pada seluruh wanita yang telah paduka miliki. Ia itu adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es yang terkenal itu!”
“Ahh....!” Wajah pembesar itu berseri bangga dan matanya terbelalak. “Bukan main kalau begitu! Lekas bawa ke sini, saya ingin melihatnya!
Kim Hwa Nio-nio memberi isyarat dengan tepuk tangan lima kali. Tak lama kemudian pintu sebelah kanan ruangan tamu itu terbuka dan masuklah dua orang pengawal bertubuh tinggi besar. Di antara mereka terdapat Suma Lian, yang mereka pegang pada pangkal lengannya dari kanan kiri dan mereka jinjing. Kaki dan tangan gadis cilik itu terbelenggu!
Jelaslah bahwa Suma Lian tak mampu menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi sepasang matanya hidup, bersinar penuh keangkuhan dan kemarahan, berdiri tegak ia ketika dilepas oleh kedua orang yang segera memberi hormat lalu meninggalkan lagi ruangan itu dan menutupkan pintunya dari luar. Pandang mata gadis cilik itu ditujukan kepada Sai-cu Lama dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian.
Seperti kita ketahui, ketika Sai-cu Lama kewalahan juga karena sambil menggendong gadis cilik itu dia menghadapi pengeroyokan nenek Teng Siang In yang masih nekat walaupun sudah terluka dan Hong Beng, pemuda ini berhasil membebaskan totokan dari tubuh Sama Lian dengan sambitan kerikil. Dan setelah terbebas dari totokan, diam-diam Suma Lian mengambil tusuk konde atau hiasan rambutnya yang runcing dan menancapkan benda kecil itu di tengkuk Sai-cu Lama. Kalau saja ia tidak merasa ngeri melihat muncratnya darah dari tengkuk itu sehingga mengakibatkan tangannya lemas, tentu tusukannya itu akan lebih dalam lagi dan andaikata tidak sampai menewaskan kakek itupun tentu akan mengakibatkan luka yang cukup berat.
Sai-cu Lama terkejut, kesakitan dan berhasil menampar gadis itu pingsan, lalu melarikan diri sambil tetap membawa tubuh Suma Lian dan tengkuk yang bercucuran darah! Dia tahu bahwa kalau sampai keluarga Suma mengetahui tentu dia akan dikejar dan beratlah rasanya menghadapi mereka tanpa bantuan. Dia berlari terus dengan cepatnya, akan tetapi dia cerdik. Setelah keluar dari pintu gerbang utama, dia lalu mengitari tembok dusun menuju ke selatan, kemudian-membelok ke timur memasuki hutan lebat.
Jejaknya hilang dan suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng melakukan pengejaran ke utara terus karena ada yang melihat pendeta itu lari keluar dari pintu gerbang utara.
Luka di tengkuknya hanya mengeluarkan darah, namun tidak berbahaya. Ketika dia memeriksa benda yang menancap di tengkuknya, dia terkejut. Benda itu tentu akan dapat menancap lebih dalam lagi, pikirnya. Akan tetapi kenapa tidak? Padahal, seorang gadis biarpun baru berusia duabelas tahun seperti anak ini, tentu mampu menusuk lebih kuat. Mengapa gadis cilik ini tidak menusuknya lebih kuat? Pikiran ini membuat kemarahannya berkurang terhadap Suma Lian.
Dia menurunkan tubuh Suma Lian, lalu demi keamanan, membelenggu kaki tangan gadis itu dengan tali pengikat yang kuat. Baru dia menotoknya beberapa kali dan membuatnya sadar kembali. Begitu sadar, Suma Lian meronta, akan tetapi tak mampu melepaskan ikatan kaki tangannya dan ia hanya memandang dengan mata melotot.
“Kau manusia busuk, manusia jahat!” bentaknya.
Sai-cu Lama tertawa. “Ha-ha-ha, anak baik. Kalau aku manusia busuk dan jahat, kenapa engkau tidak jadi membunuhku? Kenapa tusukanmu kepada tengkukku itu hanya setengah tenaga saja, tidak sungguh-sungguh?” katanya sambil mengeluarkan obat bubuk dan menempelkan obat itu kepada luka kecil di tengkuknya yang segera mengering. “Padahal, benda ini runcing dan keras, dengan sedikit tenaga saja tengkukku dapat ditembus!” katanya dan sekali menggerakkan tangan, perlahan-lahan dia menusukkan tusuk sanggul itu ke dalam sebatang pohon. Benda kecil itu amblas sampai tidak nampak lagi!
“Huh, sayang aku menjadi tidak sampai hati melihat darah muncrat, dan aku merasa malu harus berbuat curang. Kalau tidak, engkau tentu sudah mati dan aku terbebas!” kata Suma Lian, kini baru merasa menyesal mengapa ia tadi tidak menggunakan seluruh tenaganya dan mengeraskan hatinya saja.
“Ha-ha, sudah kuduga! Engkau seorang gadis manis yang baik hati. Ha-ha-ha, dan karena itulah engkau sampai sekarang masih hidup. Kalau engkau menusuk lebih keras, sebelum mati tentu tamparanku akan meremukkan kepalamu tadi. Dan sekarangpun, karena kebaikan hatimu itu, aku tidak akan membunuhmu, tidak, aku malah membuat engkau hidup mulia. Mari....! Dengan tangan kirinya dia menyambar tubuh gadis cilik itu dan dipanggulnya lalu dibawa lari.
“Lepaskan aku! Lepaskan....!” Suma Lian meronta dan menjerit, akan tetapi pendeta Lama itu menggunakan jari tangan menekan tengkuknya dan iapun tidak mampu mengeluarkan suara lagi.
Demikianlah, Sai-cu Lama membawa Suma Lian ke kota raja. Di dalam perjalanan itu, dia menyembunyikan tubuh yang sudah dibelenggu dan ditotoknya itu ke dalam sebuah kantung kain yang diberi lubang-lubang untuk pernapasan gadis itu, dan sekali-sekali, dia harus memaksa gadis itu untuk makan, dengan membuka mulut gadis itu dan menuangkan bubur ke dalam perutnya. Tanpa paksaan, Suma Lian yang keras hati itu tidak mau makan atau minum!
Setelah tiba di gedung tempat tinggal Hou Taijin yang menjadi sarang Kim Hwa Nio-nio yang menghubunginya, Sai-cu Lama disambut dengan girang oleh Kim Hwa Nio-nio, apa lagi ketika temannya itu memberitahukan bahwa gadis cilik yang ditawannya adalah keturunan para pendekar Pulau Es. Para datuk sesat memang selalu memusuhi para pendekar, terutama sekali keturunan keluarga Pulau Es sejak dahulu, sejak nenek moyang mereka, telah menjadi musuh besar yang harus selalu ditentang.
“Bagus, tentu Hou Taijin akan suka sekali!” serunya. “Atau kalau tidak, hemmm.... anak ini bertulang baik, bagaimana kalau ia menjadi muridku saja?”
“Ha-ha-ha, sungguh serupa benar jalan pikiran kita,” kata Sai-cu Lama. “Akupun mempunyai pikiran demikian. Amat bangga kalau kita dapat mempunyai murid keturunan para pendekar Pulau Es, kita didik sedemikian rupa sehingga kelak ia menjadi tokoh dari golongan kita yang memusuhi para pendekar. Ha-ha-ha!”
“Bagus! Akupun ingin terbawa namaku dalam jasa itu. Bagaimana kalau kita didik anak itu bersama-sama?”
“Omitohud, usia tuamu tidak menghilangkan kecerdikanmu, seperti tidak pula melenyapkan kecantikanmu, Kim Hwa Nio-nio!” Sai-cu Lama memuji dan keduanya lalu membuat persiapan untuk memberi laporan kepada Hou Taijin bahwa tamu dari Tibet yang diundang telah tiba. Dan seperti kita ketahui, Hou Taijin demikian girang mendengar ini sehingga dia datang sendiri untuk menemui tamu itu dan mengenalnya sendiri karena oleh Kim Hwa Nio-nio sudah diceritakan bahwa tamu yang berjuluk Sai-cu Lama dari Tibet ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan tidak kalah oleh Kim Hwa Nio-nio sendiri, demikian kata nenek itu.
“Omitohud...., anak baik, engkau menghadap Hou Taijin, harus berlutut memberi hormat!” kata Sai-cu Lama. Akan tetapi Suma Lian tetap berdiri dengan mata melotot, sedikitpun tidak takut dan ketika ia memandang kepada orang berpakaian mewah yang dujuk di depan pendeta Lama itu, matanya memandang penuh selidik. Mata anak ini demikian tajam sehingga hati pembesar itu merasa kecut juga. Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara dua orang selir yang menjadi pengawalnya itu berbisik dekat telinganya.
“Taijin harus bersikap baik kepadanya, dan suruh membebaskan ikatan kaki tanganya, agar mudah ia dijinakkan.”
Hou Taijin mengangguk-angguk, lalu sambil memandang kepada gadis cilik itu, dia berkata, “Losuhu, kasihan sekali puteri kecil ini dibelenggu. Harap lepaskan belenggu kaki tangannya!”
“Taijin, biarpun masih kecil, ia sudah lihai dan berbahaya, juga liar seperti seekor kuda binal!”
“Sai-cu Lama, perintah Taijin harus kita laksanakan tanpa membantah.” Tiba-tiba Kim Hwa Nio-nio memperingatkan temannya yang belum tahu akan watak Hou Taijin yang tidak mau dibantah. Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk dan cepat dia menghampiri Suma Lian yang berdiri tegak. Untuk mendemonstrasikan kelihaiannya, dengan jari-jari tangan ringan sekali gerakannya, dia membikin putus semua tali, seolah-olah tali-tali itu hanya sehelai benang saja!
“Adik yang baik, ke sinilah dan jangan takut. Kami tidak akan menyusahkanmu lagi,” berkata Hou Seng. Memang orang ini pandai sekali bersandiwara dan mendengar suaranya yang lemah lembut, melihat wajahnya yang kini memperlihatkan kesungguhan dan keramahan, Suma Lian mulai percaya bahwa orang itu tentu memiliki niat yang baik terhadap dirinya. Ia memang tidak mendengarkan apa yang dipercakapkan okh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio bahwa dirinya akan diberikan kepada pembesar Hou Seng untuk dijadikan selir! Maka, mengingat bahwa ia berhadapan dengan seorang pembesar di kota raja, seperti yang didengarnya tadi dari para pengawal bahwa ia akan dihadapkan kepada seorang pembesar istana kota raja, ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
Memang selain ilmu silat tinggi, Suma Lian diajar tentang ilmu baca tulis, juga tentang kesopanan sehingga ia mampu bersikap semestinya ketika berhadapan dengan seorang pembesar, apa lagi kalau mengingat baahwa pembesar ini bersikap baik, bahkan telah menolongnya dari belenggu.
“Taijin, harap paduka suka mengirim saya kembali ke rumah orang tua saya, atau membiarkan saya pergi dari sini. Untuk budi ini saya Suma Lian tidak akan melupakanmu.”
Kembali terdengar bisik-bisik dari seorang selir di bdakangnya itu. Hou Seng mengangguk-angguk lagi. “Nona Suma Lian, membiarkan engkau pergi seorang diri sungguh amat berbahaya. bagaimana kalau sampat terjadi apa-apa atas dirimu? Berarti aku ikut bertanggung jawab. Sai-cu Lama telah menyerahkan engkau kepadaku, berarti akulah yang kini melindungimu. Jangan khawatir, sekali waktu pasti aku akan mengantar engkau kembali ke tempat tinggalmu, akan tetapi sementara ini, selagi aku masih sibuk, biarlah engkau tinggal di sini bersama Kim Hwa Nio-nio. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan memberontak atau mencoba untuk melarikan diri.”
Suma Lian adalah seorang anak yang cerdik. Kalau tadi ia memperlihatkan sikap marah, itu adalah karena Sai-cu Lama selalu bersikap keras kepadanya dan ia membenci pendeta yang menculiknya itu. Kini ia melihat bahwa tidak ada pilihan lain baginya kecuali mentaati perintah pembesar ini, kalau ia tidak ingin diperlakukan kasar lagi. Ia mengerti bahwa ia menjadi semacam tahanan, akan tetapi jauh lebih baik tertahan dalam keadaan bebas dari pada dibelenggu terus atau disekap terus dalam kamar tahanan. Dalam keadaan bebas, tentu banyak kesempatan terbuka baginya untuk melarikan diri!
“Baiklah Taijin, saya berjanji takkan memberontak dan terima kasih atas kebaikan Taijin”
“Locianpwe,” kata Hou Taijin dengan suara halus kepada Kim Hwa Nio-nio, “harap locianpwe atur dan serahkan adik ini kepada para pengasuh lebih dulu, sediakan kamar yang baik, pakaian yang cukup dan makan yang enak, setelah itu kami masih menanti locianpwe di sini untuk mengadakan perundingan lebih lanjut.”
“Baik, Taijin.” Kim Hwa Nio-nio lalu menggandeng tangan Suma Lian. “Nah, kalau sejak kemarin engkau tidak memberontak, tentu kami sudah memperlakukan engkau dengan baik. Marilah, anak manis.”
Kalau saja Sai-cu Lama yang menggandengnya, biarpun kini ia tidak memberontak lagi, Suma Lian tentu tidak akan mau. Akan tetapi ia tidak membenci nenek ini walaupun ia juga tidak menyukainya, dan iapun menurut saja ketika digandeng dan hendak diajak keluar dari ruangan itu.
Setelah menyerahkan Suma Lian kepada para pembantunya agar anak itu memperoleh rawatan yang baik dan sekali-kali tidak boleh diperlakukan kasar, akan tetapi diam-diam Kim Hwa Nio-nio memerintahkan anak buahnya untuk mengamati anak itu baik-baik dan menjaganya agar ia tidak sampai melarikan diri dari situ, nenek itu lalu kembali ke ruangan tamu.
“Locianpwe berdua, kami menerima dengan gembira anak keluarga Suma itu, akan tetapi untuk sementara saya titipkan dulu ia di sini. Terutama locianpwe Kim Hwa Nio-nio harap menjaganya baik-baik karena sekali waktu tentu ia akan kubawa ke istana. Jangan sampai ia kekurangan sesuatu dan jangan sampai melarikan diri. Akan tetapi, harap rahasiakan tempat persembunyiannya dari orang luar. Mengertikah, locianpwe?”
Kim Hwa Nio-nio mengangguk-angguk. “Baik Taijin. Saya sendiri yang akan menjaganya.”
Wajah pembesar itu nampak lega dan diapun berkata gembira. “Sekarang, harap keluarkan hidangan dan hiburan untuk menjamu Lo-suhu dari Tibet sebagai sambutan selamat datang dari kami.”
Kim Hwa Nio-nio bertepuk tangan beberapa kali sebagai perintah dan pintupun terbuka. Beberapa orang pelayan, laki-laki dan wanita, kesemuanya muda-muda dan berpakaian bersih, yang pria tampan dan wanita cantik masuk dengan sikap gesit dan terlatih baik. Mereka lalu mengatur masakan-masakan di atas meja dan bagaikan sekumpulan burung dara delapan orang pelayan ini pulang pergi mengambil masakan-masakan dari dapur dan ruangan itupun menjadi sedap baunya oleh uap masakan-masakan yang masih panas itu. Rombongan ini disusul oleh rombongan tari dan nyanyi yang terdiri dari dua orang wanita dan empat orang laki-laki. Mereka mengenakan pakaian seniman yang beraneka warna sambil membawa alat-alat musik mereka. Muka mereka, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, dirias dengan bedak tebal dan gincu sehingga hampir menyerupai kedok-kedok.
“Taijin, rombongan ini sengaja saya undang dari kota raja,” kata Kim Hwa Nio-nio memperkenalkan enam orang itu.
Hou Sen mengangguk-angguk. “Bagus, bagus, kalau permainan kalian malam ini memuaskan, tentu kami akan memberi hadiah yang besar.”
Enam orang itu berlutut menghadap pembesar itu, akan tetapi sebelunm mereka menjawab, dari pintu yang terbuka itu menerobos masuk sepuluh orang pengawal anak buah Kim Hwa Nio-nio dan muka mereka memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang hebat telah terjadi. Melihat mereka masuk begitu saja tanpa dipanggil, berkerut sepasang alis Kim Hwa Nio -nio.
“Kalian ada laporan apa!“ bentaknya marah.
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan menjadi komandan regu itu, melangkah maju dan dengan sikap gugup dia menuding ke arah enam orang seniman yang masih berlutut di situ. “Mereka.... mereka ini.... palsu! Mereka membunuh enam orang rombongan seniman dari kota raja dan mereka menyamar....”
“Apa....?” Hou Taijin membentak dengan wajah berubah pucat memandang kepada enam orang seniman palsu itu. “Siapa kalian dan mau apa datang ke sini?”
“Mau membunuh kau laki-laki cabul!” Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak dan serentak dua orang wanita dan empat orang laki-laki itu sudah mencabut keluar pedang masing-masing yang tadi disembunyikan bersama alat-alat musik dan pakaian! Akan tetapi, belasan orang pengawal sudah mengepung mereka itu sehingga mereka tidak dapat menyerang Hou Seng yang oleh Kim Hwa Nio-nio lalu dibawa ke pinggir dan dilindunginya. Sedangkan Sai-cu Lama hanya memandang dengan sikap tenang saja, malah dia menyambar seguci arak dan mulai minum-minum melihat betapa belasan orang pengawal itu mulai mengeroyok enam orang musuh untuk menangkap mereka, hidup atau mati. Akan tetapi, ternyata enam orang itu lihai sekali ilmu pedang mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja, enam orang pengawal sudah roboh tertusuk atau terbacok pedang! Hal ini membuat Hou Taijin menjadi ketakutan, akan tetapi Kim Hwa Nio-nio menenangkannya.
“Jangan khawatir, Taijin, ada saya di sini,” kemudian ia berkata kepada Sai-cu Lama. “Lama, apakah engkau masih mau enak-enak minum arak saja sekarang? Taijin sudah tak sabar lagi untuk melihat kemampuanmu!”
Sai-cu Lama bangkit dan menghampiri arena perkelahian, lalu dari mulutnya menyemburkan arak yang menderas bagaikan hujan, akan tetapi yang membuat semua orang yang sedang bertempur itu, baik para pengawal maupun para penyerbu, terpaksa mundur karena mereka tidak dapat membuka mata terhadap serangan percikan arak yang begitu kuat dan seperti dapat menusuk kulit muka!
“Para pengawal, mundurlah dan bawa pergi teman-temanmu yang terluka keluar dari sini, agar gerakan pinceng tidak terhalang!” kata kakek gendut itu tenang-tenang saja. Para pengawal lalu menolong enam orang kawan mereka yang terluka, membawa mereka keluar dari ruangan tamu yang amat luas itu. Kini kakek itu menghampiri enam orang seniman yang ternyata adalah orang-orang yang datang untuk membunuh Hou Taijin.
“Kalian sudah bosan hidup dan datang untuk mengantar nyawa. Hayo berlutut agar pinceng dapat membunuh kalian tanpa menyiksa lagi.”
Tentu saja enam orang itu menjadi marah. Dengan semburan arak tadipun mereka sudah tahu bahwa pendeta gendut ini lihai sekali, akan tetapi karena mereka berenam dan mereka juga berada di dalam sarang musuh, mereka menjadi nekat dan serentak mereka maju menyerang Sai-cu Lama yang berdiri menantang. Enam batang pedang dengan gerakan cepat sekali meluncur atau melayang ke arah tubuh gendut itu dari segala jurusan.
Enam orang itu jelas bukan orang sembarangan karena sekali bentrok saja mereka masing-masing telah merobohkan seorang pengeroyok dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka cukup cepat dan kuat. Akan tetapi, yang mereka serang saat itu adaiah Sai-cu Lama, orang yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari mereka. Dari gerakan mereka saja Sai-cu Lama sudah tahu bahwa dia, enam orang itu bukan merupakan lawan yang terlalukuat . Kalau dia menghendaki, dalam beberapa gebrakan saja dia mampu untuk merobohkan enam orang lawannya. Akan tetapi, di situ terdapat Hou Seng, pembesar yang berkuasa di istana itu dan dia ingin memperlihatkan kepandaiannya. Maka, begitu melihat datangnya tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan, dia sengaja memperlihatkan kekebalannya. Dengan kedua lengan tangan telanjang, dia menangkisi semua serangan itu, bahkan tusukan sebatang pedang dari belakang dan bacokan pedang dari kiri yang mengenai punggung dan lehernya, dia sengaja diamkan saja tanpa ditangkis. Terdengar suara bak-bik-buk dan semua senjata itu terpental begitu terkena tangkisan lengannya maupun yang mengenai punggung dan lehernya, tanpa sedikitpun melukai kulitnya, kecuali merobek bajunya di bagian punggung!
Tentu saja Hou Seng kagum bukan main, sebaliknya enam orang penyerang itu terkejut setengah mati. Tak mereka sangka bahwa di situ hadir seorang pendeta Lama yang demikian lihainya. Akan tetapi, untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin karena tempat itu dijaga oleh banyak sekali pengawal. Mereka menjadi nekat dan kini menyerang kembali dengan pedang mereka, hanya kini menujukan serangan mereka ke arah bagian-bagian tubuh yang kiranya tidak dapat dilindungi kekebalan, terutama di bagian mata.
Menghadapi serangan ini, Sai-cu Lama tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kalian ini tikus-tikus kecil berani bermain gila di depan seekor harimau!” Kaki tangannya bergerak dengan aneh dibarengi bentakan-bentakannya yang melumpuhkan dan dalam waktu singkat saja lima dari enam orang penyerbu itu telah roboh tewas dan yang ke enam, yang wanita dan usianya sekitar tigapuluh tahun, berwajah cantik, sudah ditangkapnya! Wanita itu terpaksa melepaskan pedangnya dan kini tertotok roboh tak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya lumpuh.
“Ha-ha-ha, apakah Hou Taijin ingin melihat bagaimana macamnya orang ini di balik pakaiannya?” Dan sekali tangannya bergerak, terdengar kain robek dan pakaian bagian depan dari wanita itu telah dirobek lepas! Nampak tubuhnya yang lumayan mulusnya, dan wanita itu hanya mampu merintih namun tidak mampu bergerak untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bagian depannya itu.
“Nanti dulu, jangan bunuh orang ini. Kita harus tahu siapa yaag menyuruh mereka!” Tiba-tiba Hou Taijin berseru keras. Dalam keadaan seperti itu, mana dia tertarik melihat tubuh wanita telanjang? Pula, wanita itu sudah terlalu tua untuknya. Bagi pembesar istana ini, usia wanita lewat limabelas tahun sudah terlalu tua!
Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk-angguk dan tertawa, maklum apa yang dikehendaki oleh Hou Taijin. “Heh-heh, tikus betina, kau sudah mendengar sendiri ucapan Hou Taijin. Hayo katakan, siapa yang mengutus kalian berusaha membunuh Hou Taijin? Hayo katakan, kalau tidak aku akan mengerat tubuhmu sepotong demi sepotong, tidak sampai kau mati, akan tetapi akan membuat engkau hidup sebagai seorang yang tanpa batang hidung, tanpa daun telinga, tanpa jari tangan dan kaki!”
Wanita itu memang maklum bahwa ia sudah tidak berdaya. Mendengar ancaman itu, ia bergidik. Tak dapat ia membayangkan betapa ngeri dan sengsaranya dibiarkan hidup dalam keadaan cacad seperti itu. Lebih baik dibunuh saja! Dan iapun tahu bahwa seorang sakti dan kejam seperti pendeta Lama ini tentu akan memenuhi gertakannya tadi. Maka, dengan lirih dan suara gemetar iapun membuat pengakuan.
“Yang mengutus kami adalah.... adalah.... Pangeran Cui....“
“Apa? Pangeran Cui yang mana? Yang tua atau yang muda?”
“Pangeran.... Cui muda....”
“Keparat!” bentak Hou Seng sambil memukulkan kepalan tangan kanan ke atas telapak tangan kirinya sendiri. Wajahnya berubah merah dan dia marah sekali. Pangeran Cui muda itu adalah seorang pangeran yang menjadi keponakan kaisar, termasuk seorang di antara mereka yang tidak suka kepadanya. Biarpun di dalam sebuah pesta yang diadakan pernah pangeran muda Cui itu menghinanya dengan sindiran dengan bercerita tentang kehidupannya sebagai selir pria kaisar, namun dia menahan dirinya. Pangeran muda Cui itu bukan merupakan seorang lawan yang membahayakan kedudukannya, oleh karena itu memperbesar permusuhan dengannya tidak ada artinya, tidak menguntungkan. Akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa agaknya pangeran muda itu demikian benci kepadanya sehingga diam-diam mengutus enam orang jagoan untuk membunuhnya!
“Lo-suhu, kalau lo-suhu dapat membawa kepala pangeran Cui muda kepadaku, barulah aku percaya akan kesetiaan lo-suhu kepadaku!” Setelah berkata demikian, dengan tergesa-gesa Hou Seng meninggalkan rumah itu, pulang ke rumah sendiri dengan keretanya, dikawal dengan ketat oleh anak buah Kim Hwa Nio-nio.
“Celaka, di mana anak setan itu?” Tiba-tiba Kim Hwa Nio-nio berteriak. Ia telah kehilangan Suma Lian! Tadi, ketika ia melindungi Hou Taijin, ia lupa kepada anak perempuan itu. Kini, setelah Hou Seng pergi, baru ia teringat akan Suma Lian dan setelah mengatur anak buahnya untuk mengawal Hou Seng dengan ketat, ia lalu mencari dan memaki-maki karena kehilangan anak, perempuan itu.
“Ia, takkan mampu lari jauh, Nio-nio. Sebaiknya engkau membantuku, apa yang harus kulakukan dengan perempuan ini dan bagaimana aku dapat memenuhi permintaan Hou Taijin tadi!” kata Sai-cu Lama sambil memandang kepada wanita yang masih terlentang di atas lantai itu. “Kubunuh saja ia ini?” Dia menuding ke arah tubuh wanita itu.
“Enam orang anak buahku terluka oleh mereka. Lemparkan ia untuk enam orang anak buahku yang terluka. Kemudian kita rundingkan tentang perintah tadi. Biar kubawa sendiri perempuan ini!” Kim Hwa Nio-nio lalu menjambak rambut yang terlepas dari sanggulnya itu, sekali renggut saja tubuh yang lemas itu bangkit berdiri dan Kim Hwa Nio-nio membentak penuh ancaman, “Hayo katakan siapa nama pemimpin rombongan kalian dan yang mana dia?
Perempuan yang sudah ketakutan itu hanya dapat memandang dengan sepasang matanya yang terbelalak ketakutan ke arah seorang di antara mereka yang berjenggot panjang dan bertubuh tinggi kurus dan yang sudah menggeletak dengan nyawa putus. “Dia.... dialah pemimpin dan toako kami, bernama....Ban Leng....”
“Nah, Sai-cu Lama, kauambil kepalanya dan bawa dalam bungkusan. Aku akan mengantar dulu perempuan ini!”
Kim Hwa Nio-nio pergi menyeret perempuan itu dan menengok enam orang anak buahnya yang tadi terluka oleh pedang dan ia melemparkan perempuan itu di antara mereka yang masih rebah. “Nih, untuk obat jerih payah kalian!” Kemudian ia meninggalkan perempuan itu di dalam kamar. Telinganya masih menangkap jerit rintih perempuan itu di antara suara ketawa orang-orangnya dan ia pun tersenyum sadis.
Ketika ia kembali ke ruangan tamu, Sai-cu Lama telah membungkus kepala si jenggot panjang dengan kain, setelah memenggal leher mayat itu dengan pedang rampasan. Kim Hwa Nio-nio memerintahkan orang-orangnya untuk membawa pergi mayat-mayat itu dan membersihkan ruangan tamu, sedangkan ia sendiri mengajak Sai-cu Lama berunding di kamarnya.
Dan malam itu juga, keduanya pergi meninggalkan rumah besar itu. Sai-cu Lama pergi membawa buntalan tebal, sedangkan Kim Hwa Nio-nio pergi mencari Suma Lian bersama lima orang pembantu pilihan. Ia percaya bahwa tak mungkin Suma Lian dapat meninggalkan kota raja pada malam hari itu. Anak itu tentu masih berada di kota raja, bersembunyi di suatu tempat.
Malam sudah menjelang pagi ketika sesosok tubuh yang tinggi besar berperut gendut memasuki halaman sebuah rumah mungil bercat merah. Dua orang penjaga segera keluar dari pintu gerbang dan menghadang pendeta yang berperut gendut dan membawa buntalan besar itu. Rumah itu adalah rumah pelesir, tidak mungkin seorang pendeta datang ke situ untuk mencari perempuan! Apa lagi pada saat seperti itu!
“Heiii, tahan dulu. Siapa kau dan mau mencari siapa? Kami rasa engkau telah keliru masuk rumah orang!”
Pendeta itu menggeleng kepala. “Salah masuk? Bukankah ini rumah pelesir Pintu Merah? Dan bukankah Pangeran Cui Muda berada di sini?”
Dua orang itu adalah pengawal-pengawal pangeran itu yang bertugas jaga di luar, sedangkan kawan-kawan mereka bertugas jaga di dalam. Mereka sedang kesepian, mengantuk dan kedinginan. Kini mereka merasa beruntung ada suatu yang penting dapat mereka sampaikan paling dulu kepada sang pangeran.
“Eh? Bagaimana kau menyangka seorang pangeran berada di tempat ini? Jangan bicara sembarangan, lo-suhu!” kata seorang di antara mereka ketika kini Sai-cu Lama berdiri di bawah sinar lampu sehingga mereka berdua dapat melihat jelas bahwa dia adalah seorang pendeta.
“Dari siapa engkau bisa mengatakan bahwa Pangeran Cui Muda berada di sini?” tanya seorang ke dua. “Jangan mencurigai pinceng, kawan-kawan. Pinceng adalah sahabat baik dari Ban Leng, dan pinceng datang ke sini karena diutus oleh Ban Leng. Dia sendiri bersama kawan-kawannya tak mungkin datang karena harus bersembunyi dan mereka tidak ingin diketahui orang lain datang menghadap sang pangeran, oleh karena itu mengutus pinceng agar tidak menimbulkan kecurigaan. Siapa akan mencurigai seorang pendeta? Ha-ha-ha! Tolong laporkan kepada Pangeran Cui Muda bahwa pinceng Tiong Hwesio utusan Ban Leng, datang mohon menghadap untuk menyampaikan berita tentang enam orang seniman yang menyerbu musuh!”
Tentu saja dua orang pengawal itu mengenal baik siapa Ban Leng itu. Kepala dari enam jagoan yang dipercaya oleh pangeran. Oleh karena itu, seorang di antara mereka lalu cepat melapor ke dalam dan para kepala pengawal yang mengerti akan pentingnya urusan, lalu memberanikian diri menggugah sang pangeran dari tiduinya.
Pangeran Cui Muda, seperti para bangsawan pada waktu itu, juga merupakan seorang bangsawan muda yang suka pelesir. Isteri dan selir-selirnya yang berjumlah lebih dari duabelas orang di rumah itu agaknya mulai membosankannya dan kadang-kadang dia pergi mengunjungi rumah-rumah pelesir untuk menikmati pengalaman-pengalaman baru dengan pelacur-pelacur yang tentu saja lebih pandai dalam hal melayani kaum pria dibandingkan dengan selir-selirnya. Dan malam itu memang dia sengaja memilih Pintu Merah, rumah pelesir kaum bangsawan, untuk menjadi tempat dia menantikan Ban Leng dan kawan-kawannya yang diutusnya untuk membunuh Hou Seng! Begitu para penyelidiknya memberi kabar bahwa malam itu Hou Seng memanggil serombongan seniman untuk menghihur tamu, dia lalu cepat menyuruh Ban Leng dan saudara-saudaranya untuk bertindak. Ban Leng dan lima orang saudara seperguruannya memang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan pembunuh-pembunuh bayaran kelas tinggi yang sudah dipercaya dan diperalat oleh Pangeran Cui Muda. Mereka lalu mencegat rombangan seniman itu, membunuh dan menyamar menggantikan kedudukan mereka sampai mereka berhasil berhadapan dengan Hou Seng! Akan tetapi mereka salah perhitungan, sama sekali tidak tahu bahwa di rumah itu terdapat orang-orang sakti seperti Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama!
Karena sudah berjanji untuk menanti Ban Leng dan kawan-kawannya di tempat itu, ketika dia digugah dan diberi tahu bahwa seorang yang diutus oleh Ban Leng mohon menghadap, sang pangeran menjadi girang dan cepat menyuruh para pengawalnya yang berjumlah tujuh orang itu untuk membawa utusan Ban Leng itu segera menghadap kepadanya.
Ketika peadeta Lama yang tinggi besar berperut gendut itu menghadap Pangeran Cui Muda, mereka saling pandang penuh selidik dan sang pangeran merasa agak heran, sama sekali tidak mengira bahwa utusan Ban Leng itu adalah seorang pendeta hwesio Lama yang belum pernah dilihatnya.
“Siapakah lo-suhu ini? Benarkah engkau disuruh oleh Ban Leng?” tanya pangeran itu dengan alis berkerut dan memandang ke arah buntalan yang berada di atas pundak pendeta itu.
“Pinceng adalah hwesio Tiong yang diutus Ban Leng menyerahkan kepala.... eh, sebelum pinceng melanjutkan, benarkah pinceng berhadapan dengan Pangeran Cui Muda?”
“Akulah Pangeran Cui Muda! Ban Leng mengutusmu menyerahkan sebuah kepala? Apakah mereka telah berhasil?” tanya pangeran itu dengan wajah gembira bercampur tegang. Juga para pengawal yang mendengar percakapan itu merasa tegang dan mereka semua mendekat, mengepung hwesio itu untuk melihat kepala siapa yang akan di haturkan itu.
Sai-cu Lama tertawa. “Mereka selamat.... ha-ha, inilah kiriman dari Ban Leng untuk paduka, Pangeran Cui!” Dan diapun membuka buntalan itu perlahan-lahan di depan sang pangeran dan anak buah pengawal. Perlahan-lahan, sebuah kepala nampak dan ketika buntalan itu sudah terbuka semua, nampak sebuah kepala yang tengadah dan terdengar pangeran itu berteriak kaget karena dia segera mengenal bahwa kepala itu adalah kepala dari Ban Leng sendiri!
Juga para pengawal berteriak kaget. “Pegang orang ini!” Sang pangeran berseru keras dan para pengawal sudah mengepung Sai-cu Lama yang kini tertawa bergelak. Ketika tujuh orang itu dibarengi oleh jerit ketakutan beberapa orang wanita pelacur yang mencoba untuk mengintai dan mereka melihat kepala yang berlumuran darah, menyerang ganas, Sai-cu Lama lalu menggerakkan kaki tangannya dan tujuh orang pengawal itu seperti daun-daun kering tertiup angin saja, berpelantingan ke sana-sini!
“Heh-heh, perlahan dulu, pangeran!” Sai-cu Lama menggerak-gerakkan tangan kirinya ke depan, ke arah pangeran itu seperti orang melambai dan memanggil dan..... tubuh pangeran yang sudah sampai ke pintu itu terjengkang dan bergulingan sampai ke depan kaki Sai-cu Lama! Pada saat itu, seorang pengawal yang dapat bangkit kembali dan melihat majikannya terancam, sudah menggerakkan goloknya menyerang dengan bacokan ke arah leher pendeta Lama itu. Akan tetapi, gerakan golok itu terhenti di tengah udara ketika tiba-tiba kaki Sai-cu Lama meluncur ke depan, mengenai lambungnya. Orang itu memekik, goloknya terlempar ke atas dan ketika meluncur turun, sudah disambut oleh tangan kiri Sai-cu Lama.
“Ampun.... ampunkan aku....” ratap sang Pangeran Cui, akan tetapi ketika nampak sinar golok itu berkelebat, leher pengeran itu sudah putus dan kepalanya sudah terangkat ke atas dengan dijambak rambutnya oleh Sai-cu Lama. Dan pendeta Lama itupun tidak mau bekerja kepalang tanggung. Dia membawa kepala yang masih bertetesan darah itu sambil mengamuk dan tanpa ampun lagi dibunuhnya tujuh orang pengawal itu, suami isteri tua pemilik rumah pelacuran itu dan tidak ketinggalan pula lima orang pelacur yang berada di situ dan dua orang pelayan! Habislah seluruh penghuni Pintu Merah itu, dibantai oleh Sai-cu Lama menggunakan golok rampasannya. Kemudian, sekali berkelebat diapun sudah meninggalkan rumah itu sambil membawa sebuah kepala, kepala yang dibuntalnya pula dengan kain bekas pembungkus kepala Ban Leng tadi!
Dan pada pagi hari itu juga, tanpa diketahui seorangpun, diam-diam Sai-cu Lama mengirim kepala itu ke rumah Hou Taijin! Ketika Hou Taijin terbangun dari tidurnya, tahu-tahu di meja kamarnya telah terdapat buntalan itu yang ketika dibuka ternyata berisi kepala Pangeran Ciu Muda! Tentu saja Hou Seng menjadi girang akan tetapi juga ngeri, cepat dia memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengubur kepala itu secara rahasia. Kini dia baru percaya benar akan kelihaian dan kesetiaan Sai-cu Lama dan hatinya merasa girang bukan main. Di samping Kim Hwa Nio-nio, dia memperoleh tenaga bantuan seorang yang boleh diandalkan, yang tentu saja akan memperkuat kedudukannya dalam persaingan dengan para pembesar yang tidak suka kepadanya.
Sementara itu, Suma Lian yang tadi mengikuti keributan yang terjadi di rumah itu karena penyerbuan enam orang musuh Hou Taijin yang menyamar sebagai seniman-seniman, mempergunakan kesempatan selagi terjadi keributan dan tak seorang pun memperhatikan dirinya, untuk menyelinap keluar dari rumah. Para pengawal dan penjaga yang mengerahkan seluruh perhatiannya terhadap enam orang yang sedang digempur oleh Sai-cu Lama, tentu saja tidak menaruh perhatian terhadap Suma Lian, apa lagi tidak ada perintah apapun dari Kim Hwa Nio-nio.
Suma Lian lari ke dalam kegelapan malam, berlindung dari bagian-bagian gelap, menyelinap di antara rumah-rumah orang dan ia merasa agak lega bahwa tidak terdengar ada orang mengejarnya. Akan tetapi setelah berjalan berputar-putar di kota raja yang besar itu, tidak tahu ke mana harus melarikan diri, tahu-tahu malam mulai berganti pagi dan kegelapan mulai terusir oleh sinar matahari. Hatinyapun mulai gelisah.
Kegelisahannya berubah kekhawatiran dan ketakutan ketika tiba-tiba, dari balik sebuah rumah, ia melihat Kim Hwa Nio-nio dan lima orang pengawal. di depan dan berhenti di simpang empat. Ia cepat menyelinap dan bersembunya di balik rumah itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kalau mereka itu berpencar mencarinya, tentu ia akan terpegang! Ia menoleh ke belakang. Ada sebuah jembatan besar di jalan itu. Kalau saja ia dapat melewati jembatan itu tanpa terlihat, tentu ia akan dapat lari menjauh, dan mencari tempat sembunyi yang aman! Di seberang jembatan nampak banyak pohon-pohon dan semak-semak, ia dapat bersembunyi di balik pohon-pohon atau di balik semak-semak itu!
Dengan nekat Suma Lian lalu lari, agak membongkok-bongkok, melalui bagian gelap dari jembatan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya seperti diangkat ke atas dan tahu-tahu tubuh itu sudah terlempar keluar dari jembatan! Kalau saja bukan Suma Lian, gadis cilik yang memiliki ketabahan luar biasa, tentu sudah menjerit. Akan tetapi Suma Lian menahan rasa ngerinya dan tidak menjerit, bahkan tidak sempat menjerit karena tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan tidak lagi mampu mengeluarkan suara karena ia sudah tertotok!
Suma Lian mengejap-ngejapkan matanya untuk membiasakan mata itu dalam cuaca yang agak gelap itu. Ternyata ia sudah berada di bawah jembatan dan ketika ia dapat melihat lebih jelas, ia telah terduduk dan tak mampu bergerak, sedangkan di dekatnya duduk seorang kakek tua yang berpakaian jembel butut! Wajah kakek itu penuh rambut yang sudah putih semua, rambutnya awut-awutan menutupi muka, bercampur dengan jenggot dan kumisnya yang juga sudah putih semua. Seorang kakek tua renta yang berpakaian jembel, seorang pengemis yang kotor! Dan apa yang selanjutnya dilakukan oleh kakek itu membuat Suma Lian demikian kaget dan takutnya sehingga ia merasa jantungnya hampir copot. Kakek itu merenggut semua pakaiannya, merobek-robek pakaian itu dan melemparnya ke bawah, setelah membuntal sepotong batu dengan pakaian itu. Tentu saja pakaian itu tenggelam ke dalam air sungai! Dan kini, kakek itu tanpa banyak cakap lagi, memercik-mercikkan air kotor berlumpur ke seluruh tubuh Suma Lian. Air berlumpur itu dicampur dengan bungkusan obat yang dikeluarkan dari saku jubahnya yang butut. Seluruh tubuh anak itu berlumur campuran ini yang membuat seluruh kulitnya, dari tumit sampai ke kulit kepala bawah rambut, menjadi kecoklatan. Dan rambut anak itu diawut-awut secara kasar! Kemudian, dia mengeluarkan sehelai kain yang butut dan penuh tambalan, dan memaksa Suma Lian mengenakan pakaian ini dan berubahlah Suma Lian menjadi seorang anak pengemis yang amat buruk, kotor dan berbau busuk pula!
“Hemmm, sudah agak patut, akan tetapi rambutmu terlalu bersih, tidak ada kutunya seekorpun. Ini tidak mungkin bukan?” Entah kepada siapa dia bicara, kepada diri sendiri atau kepada Suma Lian atau kepada seseorang yang tidak nampak. Kemudian, dengan hati-hati, di dalam cuaca yang masih agak gelap di bawah jembatan itu, dia mulai mencari kutu-kutu dari rambutnya yang putih awut-awutan dan setiap kali mendapatkan seekor, lalu kutu rambut itu dia letakkan ke dalam rambut Suma Lian. Tentu saja anak ini merasa jijik, takut dan ngeri sehingga kalau saja ia mampu mengeluarkan suara, tentu ia akan menjerit-jerit! Diam-diam ia memperhatikan kakek itu dan memandang dengan sepasang mata terbelalak penuh kemarahan dan kebencian. Celaka, pikir Suma Lian. Ini namanya dari sumur terjerumus ke dalam lubang! Terlepas dari tangan orang-orang macam Sai-cu Lama, kini terjatuh ke tangan seorang kakek yang selain lebih sadis, lebih jahat, juga masih ditambah kenyataan yang mengerikan, yaitu gila! Sepuluh kali lebih baik menjadi tawanan Sai-cu Lama atau nenek yang bernama Kim Hwa Nio-nio itu dari pada ditawan oleh kakek gilaini. Ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu bersuara karena ditotok, juga tidak tahu nasib apa yang akan dihadapinya. Akan tetapi jelas amat mengerikan karena kakek ini memang orang gila. Baru mencium bau pakaian kakek itu daripakaian yang dipaksakan menutupi tubuhnya saja, ia sudah muak dan hampir muntah.
Tiba-tiba terdengar suara panggilan lembut, suara lembut akan tetapi nyaring menusuk telinga, suara Kim Hwa Nio-nio! “Anak baik, keluarlah dari tempat sembunyimu! Jangan membikin marahku, nanti kujewer telingamu!”
Beberapa kali suara itu terdengar dan Suma Lian mengerahkan tenaga untuk membebaskan totokan yang membuat suaranya tak dapat dikeluarkan. Agaknya kakek tadi menotok sembarangan sehingga dengan pengerahan tenaga sin-kangnya, akhirnya ia mampu mengeluarkan suara,”.... aku....!” Akan tetapi baru mengeluarkan kata itu yang dimaksudkan untuk memberi tahu Kim Hwa Nio-nio bahwa ia berada di bawah jembatan, kakek jembel itu nampak terkejut dan sudah menotoknya lagi!
“Sialan kau anak gila!” bisik kakek itu. Huh, kakek jembel, engkau yang gila, malah memaki aku gila, balas Suma Lian memaki dalam hatinya. “Kalau mereka mendengar dan minta kita keluar, engkau harus keluar dengan kaki terpincang-pincang. Mengerti?”
Suma Lian nenentang pandang mata kakek itu dengan penuh kemarahan dan sengaja menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak mau menurut! “Kau harus terpincang-pincang!” kakek itu berbisik lagi, nada suaranya memaksa. Akan tetapi tetap saja Suma Lian menggeleng kepala dan tersenyum mengejek. Ada rasa girang di hatinya bahwa ia mampu melawan dan membuat kakek itu kecewa, walaupun hanya dengan tidak mentaati perintah gila dan aneh itu!
Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang di atas jembatan! Lalu terdengar bentakan suara Kim Hwa Nio-nio dengan nyaring, “Siapa berada di bawah jembatan? Hayo keluar!”
Kakek itiu tidak menjawab. Tiba-tiba nampak kepala Kim Hwa Nio-nio menjenguk ke bawah jembatan. “Heiii, kalian! Hayo keluar, cepat!” bentaknya.
Kakek itu kini membebaskan totokan pada kaki tangan Suma Lian, akan tetapi tetap tidak membebaskan totokan yang membuatnya tak mampu bersuara, lalu dia menggerakkan jari telunjuknya mengetuk tulang kering kaki kiri Suma Lian.
“Tukk....!” Bukan main nyeri rasa kaki yang diketuk itu. Suma Lian tentu menjerit kesakitan kalau saja ia tidak tertotok dan ia hanya mampu memegangi dan mengurut-urut kaki itu yang rasanya seperti patah-patah tulang keringnya. Akan tetapi kakek itu menariknya keluar dari jembatan itu. Tanpa diperintah lagi, Suma Lian yang ditarik itu terpicang-pincang. Tangannya tak pernah terlepas dari pegangan si kakek, begitu kerasnya pegangan itu, seolah-olah merupakan ancaman bahwa kalau ia memberi tanda-tanda, tentu tangannya itu akan dicengkeram sampai hancur!
Kim Hwa Nio-nio dan lima orang temannya menghampiri kakek jembel itu. “Siapa anak ini bentak?” Kim Hwa Nio-nio.
“Heh-heh, anak sialan ini? Ia cucuku, akan tetapi ia timpang dan gagu. Huh, tidak ada harapan untuk menampung hari tuaku. Eh, kalian mau membelinya? Akan kujual murah, asal kalian mempunyai seguci arak saja dan beberapa keping uang untukku, kuberikan anak ini, heh-heh-heh!”
Bukan main marahnya Suma Lian! Ia dikatakan timpang dan gagu, dan mau dijual, bukan malah hanya ditukar dengan seguci arak! Kakek gila ini benar-benar jahat sekali, lebih jahat dari pada Sai-cu Lama! Akan tetapi karena genggaman pada tangannya itu keras sekali dan ia tidak mau tangannya remuk, apa lagi ia tahu bahwa kakek ini amat lihai dan belum tentu kalah oleh Kim Hwa Nio-nio, iapun diam saja hanya menundukkan mukanya.
Kim Hwa Nio-nio sudah putus harapan melihat anak perempuan jembel itu. Sama sekali bukan Suma Lian, bumi dan langit jauh bedanya. Anak ini hitam, kotor, berbau, timpang dan gagu lagi. Tiba-tiba ia menggunakan kebutannya untuk menyingkap pakaian yang membungkus tubuh anak itu. Nampak kulit tubuhnya yang kotor kecoklatan, maka ditutupnya lagi dengan menarik kembali kebutannya. Nenek ini memang cerdik. Kalau tadi nampak tubuh itu putih mulus, tentu akan timbul kecurigaannya. Akan tetapi anak perempuan itu memang kotor luar dalam!
“Maukah kalian beli? Mau? Murah saja....“
“Huh, mampuslah kau tua bangka pemabuk gila. Mari kita pergi!” Kim Hwa Nio-nio mendengus dan mengajak anak buahnya pergi dari situ. Kakek itu menggerutu panjang pendek.
“Sialan! Terkutuk! Dijual murahpun tidak laku.... hayaaaa....!” Dan diapun menyeret tubuh Suma Lian dan gadis cilik ini terpaksa mengikutinya dengan kaki terpincang-pincang karena rasa nyeri di kakinya belum juga sembuh.
Kakek itu terus menyeret tubuh Suma Lian sampai ke pintu gerbang. Pintu gerbang itu sudah dibuka dan orang-orang mulai keluar masuk. Para penjaga pintu gerbang tentu saja tidak mencurigai kakek jembel itu, walaupun pada pagi hari itu terjadi geger dan penjagaan di situ amat ketat dan pengawasan terhadap orang-orang yang keluar masuk lebih teliti. Berita tentang peristiwa pembunuhan yang hebat di rumah pelesir Pintu Merah itu sudah tersiar dan terdengar oleh mereka pula. Dikabarkan orang betapa Pangeran Cui Muda telah tewas di tempat itu dan kepalanya hilang entah ke mana. Semua pengawal dan penghuni rumah itupun tewas, dan ada pula sebuah kepala yang dikenal sebagai kepala orang yang bernama Ban Leng, seorang jagoan di kota raja. Tentu saja hal ini mengejutkan dan menggegerkan, karena tak seorangpun dapat menduga siapa pembunuh semua orang itu.
Baru setelah tiba di luar kota, jauh dari tembok kota raja, di tempat yang sunyi, kakek tua renta itu mengajak Suma Lian berhenti, lalu sekali saja dia mengurut kaki yang diketuk tadi, rasa nyeripun lenyap. Setelah itu, dia membebaskan totokan yan membuat Suma Lian tadi gagu. Begitu bisa bicara dan dilepaskan pegangan tangannya, Suma Lian memaki-maki.
“Kau kakek gila, kakek jembel busuk yang bau! Hemm, kalau aku ada kemampuan, tentu akan kubunuh kau! Aku benci padamu! Kau telah menghinaku, menyakiti aku, ahhh.... betapa jahat engkau kakek gila!“
Kakek itu memandang kepadanya dan tersenyum, agaknya dia senang menyaksikan keberanian anak perempuan itu. “Ha-ha-ha, engkau memang pemberani dan tabah, akan tetapi kurang panjang akal. Tidak tahukah bahwa semua yang kulakukan itu hanya sandiwara saja? Kau kuajak bermain untuk menipu nenek galak itu dan ternyata aku berhasil. Ha-ha, nenek galak itu berhasil kutipu. Kita menjadi pemain-pemain sandiwara yang baik sekali.”
“Bohong!” Suma Lian berteriak marah, suaranya nyaring dan keras karena sejak tadi ia menahan-nahan kemarahannya dan baru sekarang adakesempatan untuk mengeluarkan semua kemarahan itu. “Engkau sengaja menipuku! Engkau jahat, tentu engkau mempunyai niat buruk dan terkutuk! Engkau gila dan jahat, kakek jembel bau busuk! Kaubuang pakaianku, kau....“
“Sssttt apa kau hendak menghancurkan segala keberhasilan kita dengan teriak-teriak begitu dan mengundang datangnya musuh? Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari pengejaran mereka tadi. Sekarang engkau telah terbebas, engkau boleh pergi ke mana engkau suka.”
Suma Lian tercengang. Kakek ini tidak berbohong! Dan ia telah memaki-makinya, memaki-maki kakek yang sudah menolongnya bebas dari tangan Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio. Ah, benar, ia yang bodoh. Kalau saja ia tidak penuh kecurigaan tadi, sehingga kakek itu tidak terpaksa mengetuk kakinya sampai terpaksa ia terpincang-pincang tentu ia mengikuti permainan sandiwara itu dan kini dapat tertawa-tawa bersama kakek itu!
“Hemm, kiranya benar engkau!” Tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu Kim Hwa Nio-nio telah muncul di situ! “Kau tua bangka telah berhasil menipuku di sana, akan tetapi tetap saja aku dapat menemukanmu dan kau harus menebus dosamu dengan nyawa!“
Suma Lian merasa menyesal bukan main. Kakek itu menolongnya, malah kini terancam nyawanya karena kesalahannya! Kalau ia tidak marah-marah dan memaki-maki, belum tentu Kim Hwa Nio-nio dapat menemukan mereka! Maka, iapun lalu melangkah maju menghadapi Kim Hwa Nio-nio dan berkata lantang.
“Nenek, aku Suma Lian tidak mau menimpakan kesalahan kepada orang lain. Bawalah aku kembali akan tetapi jangan ganggu kakek jembel tua itu. Kalau engkau mengganggunya, aku akan mengadu kepada Hou Taijin dan minta agar dia menghukummu. Hayo bawa aku kembali kepada Hou Taijin!”
Tentu saja Suma Lian tidak tahu betapa ketika ia menyebutkan nama marganya, kakek jembel itu nampak terkejut bukan main. Kakek itu kini malah memegang lengan Suma Lian dan memutar tubuh anak itu menahadapinya sambil bertanya, “Anak baik, apakah benar kau she (nama marga) Suma? Hayo katakan, siapa ayahmu?”
Suma Lian merasa heran, akan tetapi lalu menjawab, “Ayahku bernama Suma Ceng Liong. Jangan khawatir, kek. Aku akan menanggung bahwa kau takkan diganggu oleh nenek itu.”
Akan tetapi kakek itu sudah tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha, engkau bernama Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong? Ha-ha-ha-ha-ha, heiii, Kim Hwa Nio-nio. Berani benar engkau menculik puteri keturunan keluarga para pendekar Pulau Es? Apakah engkau sudah bosan hidup? Hayo, mari kita yang sudah sama tuanya ini mengadu kepandaian, dan jangan ganggu seorang anak kecil!” Berkata demikian, kakek jembel itu lalu melangkah lebar menghadapi Kim Hwa Nio-nio dengan sikap memandang rendah sekali.
Kim Hwa Nio-nio mengerutkan alisnya, bulu-bulu kebutan di tangannya tergetar. Akan tetapi nenek ini tidak mau ceroboh. Ia tahu bahwa biarpun orang ini nampaknya tua renta dan jembel berbau busuk yang seperti orang gila, namun mungkin saja dia menyembunyikan kesaktian di balik kegilaan dan kemiskinannya itu. Hampir semua tokoh dunia persilatan pernah didengarnya walaupun belum semua dijumpainya, maka ia segera bertanya, suaranya berwibawa, “Tua bangka bosan hidup, siapakah namamu?”
“Ha-ha-ha, namaku? Aku seorang pengemis tua tanpa nama. Hayo majulah, kecuali kalau takut atau kasihan melawan aku, pergilah dan jangan ganggu lagi anak perempuan ini!“
“Wirrrrr.... singgg....!” Kebutan itu menyambar dan demikian kuatnya tenaga yang mendorongnya sehingga tidak hanya mengeluarkan angin berdesir keras, akan tetapi juga menimbulkan suara berdesing seperti kalau senjata tajam digerakkan dengan amat kuatnya! Kebutan itu menyambar kedepan, bulu-bulunya saja terpecah menjadi beberapa gumpalan dan masing-masing gumpalan itu seperti ular-ular hidup mematuk ke arah jalan-jalan darah di sekitar pundak dan leher kakek jembel itu.
“Hayaaaa....! Kiranya engkau lihai sekali....!” Kakek itu berseru dan biarpun nampaknya terkejut dan mengagumi kehebatan nenek itu, namun tanpa banyak kesukaran dia sudah dapat menghindarkan diri dari sambaran kebutan dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik tiga kali.
Kembali kebutan sudah menyambar, akan tetapi kedua tangan kakek itu membuat dorongan-dorongan aneh, kemudian setelah dari kedua tangannya itu keluar angin yang menolak bulu-bulu kebutan dan membuyarkan gumpalan-gumpalan bulu itu menjadi mawut seperti rambut kepala wanita tertiup angin, dia membuat coretan-coretan di udara dan tahu-tahu kedua jari telunjuknya telah melakukan totokan-totokan bertubi-tubi sampai sembilan kali ke arah jalan-jalan darah terpenting di tubuh nenek Kim Hwa Nio-nio!
“Ahhh....!” Nenek itu terpaksa mengeluarkan teriakan kaget dan cepat ia memutar kebutannya melindungi diri. Akan tetapi masih saja jari-jari tangan itu sempat menerobos gulungan sinar kebutan sehingga terpaksa nenek itu yang kini melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik untuk menyelamatkan dirinya.
Suma Lian yang tadinya hanya memandang bengong, tiba-tiba berteriak, “Hong-in Bun-hoat!“
“Ha-ha-ha, anak baik, ternyata engkau cukup cerdas!“ kakek jembel itu berseru sambil menoleh dan tersenyum kepada Suma Lian. Akan tetapi nenek Kim Hwa Nio-nio yang merasa penasaran sudah menerjangnya lagi, membuat kakek itu tidak sempat lagi untuk senyum-senyum. Nenek itu terlampau berbahaya untuk tidak dihadapi dengan sungguh-sungguh dan kini terjadilah perkelahian yang hebat yang membuat pandang mata Suma Lian menjadi kabur saking cepatnya gerakan kedua orang tua itu.
Memang perkelahian itu hebat sekali, terjadi antara dua orang tua yang masing-masing memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Kim Hwa Nio-nio diam-diam terkejut bukan main. Ia adalah seorang ahli yang memiliki kesaktian, karena ia adalah murid dari Pek-bin Lo-sian yang sudah mewarisi ilmu dari kakek itu. Pek-bin Lo-sian selain gurunya, juga menjadi kekasihnya dan hanya karena pada akhir-akhir itu ia melakukan penyelewengan, suka bermain gila dengan laki-laki lain yang jauh lebih muda dari gurunya itu, maka di antara mereka terdapat suatu jurang pemisah. Dan itulah sebabnya mengapa Pek bin Lo-sian tidak memberikan Pedang Suling Naga kepadanya! Akan tetapi, ilmu kepandaian Pek-bin Lo-sian telah diwarisinya semua dan kalau dibandingkan dengan Sam Kwi yang menjadi saudara-saudara misan seperguruan, tingkat ilmu kepandaian Kim Hwa Nio-nio ini tidak kalah tinggi, bahkan mungkin lebih matang dan lebih tangguh setelah ia memiliki ilmu memainkan kebutannya yang amat lihai itu. Akan tetapi sekarang, dan baru sekarang, ia menemui tandingan yang demikian tangguhnya dalam diri kakek jembel tua ini! Ia merasa penasaran sekali dan nenek itu segera mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu simpanannya untuk mengalahkan lawan.
Namun, ia selalu kecelik. Semua ilmunya dapat disambut dengan amat baiknya oleh kakek itu dan suatu kali, bahkan tangan kiri Kim Hwa Nio-nio beradu dengan tangan kanan si kakek jembel dengan kuat sekali.
“Dukkk....!” Kim Hwa Nio-nio mengerahkan tenaganya yang sudah diperkuat dengan latihan ilmu hitam ketika ia bertapa di Pegunungan Himalaya, maka ketika kedua tangan bertemu, tenaga yang keluar dari tangan kirinya itu dahsyat bukan main. Akan tetapi, pertemuan tenaga itu hanya membuat kakek itu mundur dua langkah sedangkan ia sendiri terhuyung ke belakang, tanda bahwa ia masih kalah kuat dalam tenaga sin-kang melawan kakek tua renta itu. Akan tetapi hal itu tidaklah begitu mengejutkan hatinya. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia merasa betapa tangan kirinya itu ketika bertemu dengan tangan kanan kakek itu, dijalari oleh hawa panas seperti bara api yang terus menyusup ke seluruh lengannya! Ia terkejut dan cepat ia mengerahkan tenaga dari dalam untuk menolak hawa panas itu, karena kalau dibiarkan terus menyusup ke dalam dadanya dapat membuat ia terluka dalam! Setelah ia berhasil menolak keluar hawa panas itu, Kim Hwa Nio-nio yang menjadi semakin penasaran dan marah itu kembali menubruk dan melancarkan serangan bertubi, suatu kombinasi antara serangan kebutan yang sudah lihai itu dengan tamparan-tamparan tangan kiri yang mengeluarkan bunyi berkerotokan, masih diselingi oleh tendangan-tendangan kedua kakinya.
“Lihat.... ha-ha, selama ini tak pernah bertemu lawan, sekali bertanding menghadapi siluman perempuan yang lihai. Haiiiiitt....!” Tiba-tiba saja kakek tua renta itu nampak gembira sekali dan diapun menyambut semua serangan lawan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya. Biarpun dia hanya bertangan kosong, akan tetapi setiap kali kaki atau tangannya bergerak, maka angin pukulan dahsyat sekali menyambar dan pakaian nenek itu berkibar-kibar keras! Sekali waktu, dengan tiba-tiba nenek itu menyatukan bulu kebutannya yang berubah kaku oleh tenaga sin-kangnya dan seperti sebatang pedang saja, kebutan yang bulunya bersatu dan kaku itu menusuk ke arah tenggorokan kakek itu!
“Wahhhh....!” Kakek itu terbelalak kagum dan kini tangan kirinya dengan jari tangan terbuka lalu menangkis ke arah pedang aneh itu.
“Takkkk....!” Ujung kebutan yang menjadi kaku itu bertemu dengan telapak tangan, seperti pedang bertemu perisai yang kuat, akan tetapi nenek itu terbelalak dan meloncat kaget bukan main. Ketika kebutannya tadi bertemu dengan tangan itu, ada hawa dingin seperti es. menjalar ke dalam lengan kanannya dan hal inilah yang amat mengejutkan hatinya.
“Kiranya engkau seorang dari Pulau Es! Siapa engkau?” bentaknya dengan muka agak pucat karena diam-diam ia merasa bahwa isi dadanya terguncang dan ia menderita luka walaupun tidak parah. Hal ini adalah karena tadi ia bersiap siaga untuk serangan dengan hawa panas. Siapa tahu tiba-tiba saja sin-kang kakek itu berubah dingin seperti es. Dan tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli dari Pulau Es!
“Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini mana ada harganya untuk mengenal orang-orang bersih dari keluarga para pendekar Pulau Es? Hayo, masih hendak kaulanjutkan lagi?” tantang kakek itu.
Kim Hwa Nio-nio tahu diri. Kalau di situ ada Sai-cu Lama, tentu ia akan minta kepada kawannya itu untuk melakukan pengeroyokan. Akan tetapi, ia hanya seorang diri saja dan ia tahu bahwa kakek jembel tua renta itu masih terlampau kuat untuknya.. Maka ia lalu menjura. “Baiklah, sekali ini aku mengalah, akan tetapi lain kali aku tidak akan mengampuni nyawamu, jembel tua bangka!” Setelah berkata demikian, ia lalu meloncat dan lari kembali ke kota raja, diiringi suara ketawa dari kakek jembel itu.
Sejak tadi Suma Lian nonton dengan penuh perhatian akan tetapi juga penuh kekaguman. Ketika ia mendengar ucapan Kim Hwa Nio-nio bahwa kakek itu adalah orang dari Pulau Es, ia terkejut, akan tetapi juga terheran-heran di samping kegirangannya. Ia girang bahwa kalau memang benar kakek ini dari Pulau Es, berarti masih kerabat. Akan tetapi ia terheran-heran karena kalau benar dia seorang keluarga Pulau Es, kenapa begitu jorok dan tingkah lakunya seperti oranq yang miring otaknya?
“Ha-ha-ha!“ kini kakek itu tertawa-tawa memandang kepada Suma Lian. “Iblis betina seperti itu saja berani mengganggu kita, keluarga dari para pendekar Pulau Es, sungguh tak tahu diri, ya?”
Suma Lian ikut tersenyum pula. Biarpun kakek ini tertawa tanpa disertai matanya yang nampak sayu seperti orang menderita duka, namun kata-katanya lucu. “Kek, engkau sungguh hebat sekali!”
“Kelak engkau harus lebih hebat daripada aku, anak yang baik. Namamu Suma Lian dan kau puteri Suma Ceng Liong? Ha, sungguh hebat, engkau memang pantas menjadi keturunan keluarga Suma!”
“Bu-beng Lo-kai, jelaskan padaku....“
“Nanti dulu! Siapa yang kauajak bicara itu? Siapa itu Bu-beng Lo-kai?”
Suma Lian tersenyum. “Siapa lagi kalau bukan engkau. Bukankah tadi nenek Kim Hwa Nio-nio bertanya namamu dan kau menjawab bahwa engkau adalah seorang Pengemis Tua Tanpa Nama (Bu-beng Lo-kai). Nah, engkau adalah Bu-beng Lo-kai.”
Kakek itu nampak girang dengan julukan baru ini. Selama ini dia tidak pernah memperkenalkan nama kepada siapapun juga sehingga dia sendiri seperti sudah lupa kepada nama sendiri, akan tetapi sekarang dia seperti mendapatkan sebuah sebutan nama baru yang cocok dengan keadaan dirinya. Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama)!
“Ha-ha, Bu-beng Lo-kai? Bagus, bagus.... engkau memang anak pandai.”
“Bu-beng Lo-kai, sekarang jelaskan siapa dirimu dan bagaimana engkau pandai memainkan Hong-in Bun-hoat! Dan agaknya engkau mengenal pula nama ayahku.”
“Kenapa tidak? Ayahmu bernama Suma Ceng Liong itu adalah putera tunggal dari Suma Kian Bu dan Teng Siang In, bukan?”
“Benar sekali! Ah, bagaimana engkau dapat mengenal keluarga kami?”
“Karena Suma Kian Bu, kakekmu itu, adalah adik kandung dari mendiang isteriku yang tercinta....”
“Ah....!” Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. “Jadi engkau.... engkau adalah suami nenek Milana? Engkau adalah kakek Gak Bun Beng....?“
Kakek itu merangkul Suma Lian dan anak inipun merasa terharu, akan tetapi ia harus menahan kemuakan karena hidungnya mencium bau apak, tanda bahwa kakek itu agaknya memang benar-benar telah terlantar dan tak pernah mandi, entah sejak berapa lamanya!
“Sudah lama aku mengubur nama sial itu, biarlah mulai sekarang sampai mati, aku adalah Bu-beng Lo-kai saja,” kata kakek itu dan Suma Lian semakin terharu mendengar betapa ada isak tertahan di dalam suara yang seperti keluhan itu. Kakek ini menderita batin dan kelihatan berduka sekali, pikirnya. Iapun merangkul dan memandang wajah yang tertutup rambut, kumis dan jenggot putih lebat itu, memandang sepasang mata yang masih bersinar tajam akan tetapi seperti tertutup awan gelap itu.
Para pembaca yang mengikuti kisah-kisah terdahulu dari seri PENDEKAR SUPER SAKTI ATAU SULING EMAS, tentu tidak asing dengan nama ini. Gak Bun Beng! Di dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS diceritakan dengan jelas dan menarik tentang kehidupan pendekar ini, seorang pendekar besar yang setelah mengalami jatuh bangun akhirnya berjodoh dengan wanita yang dicinta dan mencintanya, yaitu Puteri Milana, puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai. Seperti kita ketahui, mereka hidup menjauhkan diri dari istana di mana Puteri Milana pernah membantu kaisar untuk menghadapi para pemberontak. Mereka mempunyai sepasang anak kembar, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang kemudian menjadi Beng-san Siang eng (Sepasang Garuda dari Beng-san).
Ketika nenek Milana masih hidup, Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, berkali-kali membujuk sepasang anak kembar itu untuk segera menikah karena mereka berdua sudah ingin sekali memondong cucu. Akan tetapi, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong tidak pernah mau menuruti permintaan orang tua mereka ini. Keduanya tak pernah dapat saling berpisah, jadi sukar sekali bagi mereka untuk mendapatkan isteri-isteri yang cocok. Akhirnya, puteri atau nenek Milana marah sekali dan setiap hari memarahi kedua orang putera kembarnya yang usianya sudah semakin banyak itu. Hal ini membuat Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong lalu pergi minggat meninggalkan Beng-san. Mereka merantau dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, mereka mempunyai seorang murid wanita bernama Souw Hui Lan dan ternyata wanita inilah satu-satunya wanita yang mereka cinta berdua, dan ternyata kemudian Souw Hui Lan juga mencinta mereka! Sementara itu, kakek Gak Bun Beng dan nenek Milana, untuk menghibur hati mereka yang merasa kecewa atas sikap kedua orang anak mereka itu, mengasingkan diri di puncak Beng-san dan mereka hanya bertapa.
Kemudian, pada suatu hari, muncullah dua orang putera mereka itu bernama seorang gadis manis dan mereka menyatakan bahwa kini mereka ingin menikah dengan gadis itu, yang juga menjadi murid mereka! Mereka itu, kedua orang anak kembar mereka itu, hendak menikah dengan seorang gadis saja! Milana menentang keras dan hampir saja turun tangan membunuh anak-anaknya sendiri kalau saja tidak dicegah suaminya yang minta kepada kedua orang anak kembarnya itu untuk pergi dan mengurus sendiri saja pernikahan yang dianggapnya memalukan itu.
Sepeninggal tiga orang itu yang terpaksa meninggalkan Beng-san dengan hati tertekan, nenek Milana meninggal karena sakit. Pukulan batin yang hebat ini tak tertahankan oleh kakek Gak Bun Beng. Urusan kedua orang puteranya sudah membuat dia berduka dan kecewa sekali, dan kini dia ditinggal mati isterinya yang tercinta dalam keadaan batinnya masih menderita oleh pukulan pertama.
Dengan hati penuh duka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong mengajak murid dan calon isteri mereka runtuk berkunjung lagi ke Beng-san dan menyembahyangi jenazah ibu mereka. Mereka minta ampun kepada jenazah ibu mereka, dan ketika mereka minta ampun kepada Gak Bun Beng, pendekar ini hanya menggeleng kepala dengan penuh duka.
“Aku tidak mencampuri lagi urusan kalian. Lakukanlah apa yang kalian suka, aku.... aku.... sudah tidak bisa berpikir lagi....tinggalkanlah aku sendiri bersama kuburan isteriku,” demikian katanya setelah jenazah Milana dikubur dan sampai berbulan-bulan Gak Bun Beng hidup di dekat kuburan isterinya, tak pernah mau merawat dirinya.
Bersambung ke buku 8
Label:
Kho Ping Hoo,
Suling Naga