Jodoh Rajawali -14 | Kho Ping Hoo
Buku 14
“Orang menyebutku Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan), akan tetapi namaku adalah Ouw Yan Hui. Aku juga bukan orang sembarangan, Syanti Dewi. Kalau engkau seorang Puteri Bhutan, maka aku adalah seorang ratu, ratu dari pulauku sendiri!” Ouw Yan Hui tersenyum dan kalau dia tersenyum, memang dia cantik sekali, sedikit pun tidak membayangkan bahwa dia adalah seorang wanita iblis yang amat lihai.
Syanti Dewi menjadi heran. “Dan apa yang hendak kaulakukan kepadaku?”
“Apa yang kauharapkan?”
“Agar engkau membebaskan aku, membiarkan aku pergi setelah kau berhasil meloloskan aku dari benteng itu. Dan aku, Syanti Dewi, selamanya tidak akan melupakan budi kebaikan Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui.”
“Dan ke mana kau hendak pergi?”
“Ke mana saja kakiku membawaku. Aku...., aku mencari dua orang.”
“Siapa mereka?”
“Yang pertama adalah Teng Siang In, gadis sahabatku yang membawaku pergi dari Bhutan, dan ke dua adalah.... Ang Tek Hoat, dia.... dia tunanganku!”
“Hemmm!” Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya. Dia merasa sayang bahwa seorang dara secantik Puteri Bhutan ini mau saja menyerahkan hatinya kepada seorang pria! Pria di dunia ini tidak ada yang baik, tidak ada yang bisa dipercaya! “Dengan kepandaian silatmu yang biasa saja ini, dan dengan adanya demikian banyaknya orang pandai di dunia, apalagi mereka yang berada di dalam benteng tentu akan mengejar dan mencarimu, mana mungkin kau melakukan perjalanan seorang diri saja? Baru satu dua hari saja engkau tentu akan terjatuh ke tangan orang jahat lagi.
“Aku tidak takut.”
“Akan tetapi aku tidak mau melepasmu ke dalam bahaya.”
“Lalu apa yang akan kaulakukan terhadap diriku, Bu-eng-kwi?”
Ouw Yan Hui memandang penuh perhatian dan Syanti Dewi menambah kayu dalam api unggun sehingga apinya berkobar lagi. Dia tidak takut kepada wanita cantik ini karena dia dapat menduga bahwa wanita ini hanya lihai dan aneh, akan tetapi agaknya tidak jahat dan pasti tidak akan mengganggunya.
“Apa yang akan kulakukan? Hemmm, tergantung keadaanmu, Syanti Dewi. Aku akan mengambil keputusan kalau kau sudah mendengar riwayatmu mengapa engkau seorang puteri dari Bhutan sampai bisa berada di sini dan menjadi tawanan di dalam benteng itu.”
Syanti Dewi menarik napas panjang. Wanita ini aneh, lihai sekali, dan betapapun juga wanita ini telah menolongnya melepaskan dia dari dalam benteng yang amat kokoh kuat itu. Maka sebaiknya dia mengaku terus terang agar jangan membikin marah hati wanita aneh ini. Dengan singkat Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak dia lolos dari istana ayahnya di Bhutan, dibantu oleh Teng Siang In, untuk menyusul dan mencari tunangannya, yaitu Ang Tek Hoat. Betapa dia jatuh ke tangan Hwai-kongcu Tang Hun ketua dari Liongsiam-pang dan akan dipaksa menjadi isterinya, kemudian betapa dia diperebutkan dan akhirnya dia terjatuh ke tangan Gitananda, kakek pembantu dari Koksu Nepal itu dan akhirnya terjatuh ke tangan Pangeran Nepal dan ditawan di dalam benteng itu. Betapa kemudian Hwee Li, yang tadinya juga menjadi tawanan di benteng itu dan dijadikan tunangan oleh Pangeran Nepal secara paksa, mencoba untuk menolongnya, dibantu oleh Suma Kian Bu dan dua orang lain yang menyamar sebagai dua orang kakek iblis.
“Suma Kian Bu? Siapa dia?” Ouw Yan bertanya.
Kini Syanti Dewi yang memandang heran. “Bukankah kau tadi sudah menyebutnya, dengan sebutan aneh, kalau tidak salah, Siluman Kecil?”
“Ah, jadi Siluman Kecil itu bernama Suma Kian Bu? Suma....? Seperti pernah kudengar nama keturunan ini....“
“Tentu saja. Suma Kian Bu adalah putera dari Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman dari....“
“Pulau Es....?” Sepasang mata yang masih indah itu terbelalak dan wajah Ouw Yan Hui agak berubah saking kagetnya mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera dari Pulau Es!
Kini Syanti Dewi mengangguk bangga. “Benar, dia adalah putera dari pendekar sakti Suma Han, majikan dari Pulau Es. Sungguh kasihan sekali Suma-taihiap....“ Tiba-tiba Syanti Dewi menghentikan kata-katanya, terkejut bahwa begitu menyebut nama ini, tanpa disadarinya dia teringat lagi akan hubungannya dengan pemuda itu dan begitu saja menyatakan perasaan hatinya yang selalu merasa iba kepada putera Pulau Es itu. Apalagi begitu dia teringat betapa hebat perubahan terjadi atas diri pemuda itu. Semua rambutnya telah menjadi putih! Dia merasa bahwa dialah yang berdosa, dialah yang menjadi biang keladi dan bertanggung jawab atas kedukaan yang diderita pemuda itu sampai rambutnya putih semua!
Ucapan dan sikap Syanti Dewi ini membangkitkan keinginan tahu dari Ouw Yan Hui. “Apa maksudmu? Mengapa kasihan?” dia mendesak, maklum bahwa ada sesuatu dirahasiakan oleh Puteri Bhutan itu.
Ada dua macam kebanggaan yang menyelinap di lubuk hati hampir setiap orang wanita normal. Pertama adalah pernyataan bahwa dia muda dan cantik, dan ke dua adalah bahwa dia dicinta oleh pria! Apalagi kalau pria yang mencintanya itu adalah seorang pria pilihan, bukan pria sembarangan! Makin banyak pria tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya, akan makin bangga dan besarlah hatinya. Betapapun pandainya seorang wanita, betapapun majunya, betapapun dia hendak menutupinya dan merahasiakannya, namun di lubuk hatinya tentu akan terasa suatu kebanggaan besar kalau dia mengetahui bahwa dirinya dicinta oleh pria, dikagumi oleh pria. Andaikata dia tidak membalas cinta kasih pria itu, dan dengan sikapnya menyatakan ketidaksenangan hatinya, namun di sebelah dalam hatinya ada perasaan bangga itu, bahkan penonjolan sikap penolakannya itu adalah usaha yang tidak disadarinya untuk lebih meninggikan harga dirinya lagi, bahwa dia masih terlalu “tinggi” untuk pria yang tidak dibalas cintanya itu.
Syanti Dewi, biarpun dia seorang puteri, tidak terlepas dari sifat yang menjadi naluri kewanitaan ini. Kebanggaanlah yang mendorongnya untuk mengaku kepada Ouw Yan Hui. Melihat betapa wanita cantik yang lihai itu terkejut mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pulau Es, kebanggaan hati karena kenyataannya bahwa pemuda luar biasa itu jatuh cinta kepadanya membuat dia lupa dan seperti dengan sendirinya dia menjawab, “Aku kasihan kepadanya karena dia mencintaku tanpa aku dapat membalasnya....“ Kembali Syanti Dewi terkejut dan menghentikan kata-katanya yang sudah terlambat. Dia merasa menyesal juga telah membuka rahasia itu, akan tetapi di samping penyesalannya ini, dia mengerling untuk melihat sikap wanita itu sewaktu mendengar pengakuannya ini.
Dan memang wanita cantik itu tertarik sekali, pandang matanya penuh kagum dan heran, juga alisnya bergerak-gerak, bibirnya komat-kamit tanpa bersuara. Akhirnya, Ouw Yan Hui berkata “Dan kau menolak cinta putera Pulau Es itu karena engkau telah jatuh cinta kepada.... siapa pula nama tunanganmu tadi?”
“Ang Tek Hoat. Benar, aku telah saling jatuh cinta dengan Ang Tek Hoat!” jawab Syanti Dewi dengan tegas dan memang suara ini adalah suara hatinya.
“Akan tetapi Ang Tek Hoat itu meninggalkanmu dan kau, perempuan bodoh ini, mengejar dan mencari-carinya dari Bhutan sampai ke sini?” Pandang mata Ouw Yan Hui berkilat karena dia merasa marah dan penasaran sekali! Dan sebelum Syanti Dewi menjawab, dia melanjutkan dengan suara yang kedengaran marah, “Dan kau percaya saja kepada laki-laki itu? Laki-laki yang sudah meninggalkanmu begitu saja? Kau, seorang puteri yang begini muda, begini cantik jelita, yang akan disembah oleh laksaan Laki-laki, kau begini merendahkan diri, begini menjual murah, merantau dan bersengsara hanya oleh seorang laki-laki yang tak dapat dipercaya mulutnya?”
Syanti Dewi terkejut melihat kemarahan ini. Dia menggeleng kepala. “Tidak, dia..... dia amat gagah dan baik.... dia terpaksa meninggalkan Bhutan, karena ayah marah kepadanya....“
“Huh! Laki-laki di dunia ini, di manapun sama saja. Mahluk yang palsu, tak dapat dipercaya sama sekali. Apa kaukira Ang Tek Hoat itu pun Laki-laki yang dapat dipercaya? Semua Laki-laki di dunia ini adalah jahat dan palsu!”
“Tetapi.... tapi dia baik sekali....”
“Itulah kalau wanita sudah jatuh cinta! Dan kau akan kecelik kelak, akan kecewa dan merana seperti aku....“
Syanti Dewi terkejut sekali, melihat kepada wanita yang tiba-tiba kelihatan berduka itu. “Apakah yang telah terjadi denganmu.... Enci Ouw Yan Hui?” Pertanyaan dari Puteri Bhutan ini terdengar begitu wajar, begitu halus karena memang merupakan suara dari hatinya yang mengandung penuh rasa iba sehingga Ouw Yan Hui merasa tersentuh perasaannya. Dia menunduk, lalu berkatalah dia dengan suara gemetar.
“Aku mencinta dia, suamiku itu.... apalagi aku dalam keadaan mengandung untuk yang pertama kalinya.... akan tetapi.... malam itu.... aku melihat suamiku bermain cinta, berjina di dalam kamar seorang wanita tetangga....“
“Ahhh....!” Syanti Dewi mengeluh penuh rasa iba dan penasaran.
“Kubunuh dia! Kubunuh mereka! Aku menjadi buronan! Hemmm, anak yang kukandung terlahir mati, kebetulan malah. Huh, sekarang, jangan harap ada pria akan mampu mempermainkan aku, kalau perlu akulah yang mempermainkan mereka! Syanti Dewi, jangan kau menjual dirimu demikian murah. Kau harus yakin dulu akan hati orang bernama Ang Tek Hoat itu! Uji dia sampai habis-habisan, dan engkau dapat melakukan hal itu jika engkau memiliki kepandaian.”
“Akan tetapi dia lihai sekali....“
“Apa artinya kelihaiannya kalau engkau dapat bergerak seperti aku? Pria mana yang akan mampu menangkapku? Aku bebas, aku tidak dapat ditundukkan siapapun, dan aku dapat memperlakukan pria sesuka hatiku! Syanti Dewi, kalau kulepaskan engkau sekarang, akhirnya engkau hanya akan menjadi permainan pria. Lupakah engkau betapa sudah berkali-kali engkau terjatuh ke tangan pria-pria jahat? Kalau engkau berkepandaian, tak mungkin mereka itu dapat memandang rendah kepadamu.”
“Maksudmu....?”
“Kau ikutlah bersamaku. Aku akan mengajarkan ginkang yang akan membuat engkau dapat bergerak seperti aku, sehingga tidak akan ada seorang pun pria di dunia ini yang dapat berbuat sesuka hatinya kepadamu, tanpa kaukehendaki. Engkau akan menjadi bagaikan seekor burung di angkasa yang dapat dipandang, dikagumi, akan tetapi tidak dapat ditangkap tangan!”
Syanti Dewi termenung. Dia masih belum tahu di mana adanya Tek Hoat. Dan kalau dia mengingat bahwa orang-orang di dalam lembah itu, Pangeran Nepal, Mohinta, dan semua anak buah Pangeran Nepal yang amat banyak dan amat lihai, tentu akan mengejar dan mencarinya, dia menjadi ngeri juga. Apalagi janji yang diberikan Ouw Yan Hui ini amat menarik hatinya. Kalau dia pandai “terbang” seperti itu, tentu selain tidak akan mudah ditangkap orang jahat, juga akan lebih mudah baginya untuk mencari Tek Hoat. Untuk sementara ini lebih banyak selamatnya daripada ruginya kalau dia ikut bersama dengan wanita cantik itu, Maka dia mengangguk. “Baiklah, aku mau ikut bersamamu, Enci.”
***
“Sialan! Pangeran Nepal bedebah! Kalau dapat dia oleh tanganku, hemmm, akah kupatahkan batang hidungnya yang panjang bengkok itu!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa mengomel panjang pendek sambil melempar-lemparkan penyamarannya sebagai Hek-tiauw Lo-mo “Sudah payah-payah aku setengah mati menyamar seperti setan dan hampir berhasil, eh, tahu-tahu si hidung kakatua itu membikin gagal saja.” Tiba-tiba dia menoleh kepada Hwee Li seperti orang teringat akan sesuatu dan cepat berkata, “Ah, maafkan aku, Adik Hwee Li, bukan maksudku menyinggung engkau.”
Hwee Li tadinya tersenyum mendengar omelan Swi Hwa, akan tetapi mendengar ucapan ini dia mengerutkan alisnya dan bertanya, “Mengapa kau minta maaf kepadaku, Enci Hwa?”
“Aku telah memaki dan mengancam mematahkan batang hidung.... eh, tunanganmu.”
Sepasang mata Hwee Li memancarkan sinar marah. “Hemmm, sekali lagi kau menyebut dia tunanganku, hidungmu sendiri yang akan kupatahkan!” katanya.
Ang-siocia tertawa. Dia kecewa dan penasaran oleh kegagalan itu, akan tetapi tadi dia melihat Hwee Li masih dapat tersenyum-senyum, maka dia sengaja menggoda dara itu yang kini juga menjadi marah, maka legalah hatinya.
“Tidak ada yang harus dipersalahkan,” terdengar Hek-sin Touw-ong berkata sambil menggeleng kepala. Dia pun sudah melemparkan semua penyamarannya. “Benteng itu kokoh kuat bukan main. Masih untung kita dapat menyelamatkan diri keluar dari sana. Hemmm, hebat sekali benteng itu dan penjagaannya amat kuat. Kalau saja Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan orang seperti Koksu Nepal itu berada di lembah, mana mungkin kita dapat menyelamatkan diri?”
“Ucapan Touw-ong memang tepat. Benteng itu tidak mungkin dapat ditembus tanpa bantuan pasukan yang kuat. Dan tanpa penyerbuan oleh pasukan, tidak mungkin menyelamatkan keluarga Jenderal Kao dan Puteri Syanti Dewi.” Dia diam sejenak, teringat akan puteri itu, hatinya menjadi gelisah sekali. “Sekarang juga aku akan pergi ke kota raja untuk minta bantuan dan melaporkan keadaan di dalam benteng yang siap untuk memberontak itu.”
“Aku ikut!” Hwee Li sudah memotong cepat.
“Sayang kami tidak dapat membantu,” kata Hek-sin Touw-ong. “Kami mempunyai urusan kami sendiri. Taihiap, kami ingin mohon pertolonganmu sedikit, yaitu, dapatkah Taihiap memberi tahu kepada kami, di mana adanya orang muda yang bernama Siauw Hong itu?”
“Siauw Hong?” Kian Bu memandang kepada guru dan murid itu, dan melihat betapa Ang-siocia menundukkan mukanya. Dia tidak tahu akan peristiwa yang terjadi antara Siauw Hong dan Ang-siocia. “Maksudmu pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu? Tentu saja dia berada di Bukit Nelayan di lereng Pegungungan Tai-hang-san itu.” Kian Bu tidak mau banyak bercerita tentang Siauw Hong, pemuda yang ternyata adalah keturunan dari keluarga Suling Emas yang hebat itu. Karena hal itu amat dirahasiakan tadinya oleh kedua fihak yang bersangkutan, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Seng-jin, maka dia pun tidak mau membuka rahasia itu dan hanya mengatakan bahwa Siauw Hong yang telah diketahuinya bernama Kam Hong, keturunan langsung dari keluarga Suling Emas, kini berada bersama gurunya, Sai-cu Kai-ong di Tai-hang-san.
“Terima kasih, Suma-taihiap. Kami akan pergi ke Tai-hang-san,” kata Hek-sin Touw-ong dengan singkat pula.
Mereka lalu mengucapkan selamat berpisah. Hwee Li memegang tangan Swi Hwa. “Enci Hwa, jangan kau lupa padaku, ya? Aku kagum sekali akan ilmu penyamaranmu dan kalau ada waktu kelak aku ingin belajar menyamar seperti engkau.”
“Mana mungkin aku dapat melupakan orang seperti engkau, Adik Hwee Li? Engkau mempunyai seorang ayah yang jelek sekali....“
“Hanya ayah paksaan!”
“Dan engkau mempunyai tunangan yang lebih jahat lagi....“
“Juga tunangan paksaan!”
“Akan tetapi engkau sendiri amat cantik jelita, lihai dan manis, adikku. Sebetulnya, kalau tidak bersama Suhu.... aku, aku akan suka sekali melakukan perjalanan bersamamu!” Sambil berkata demikian, mata dara ini mengerling kepada Suma Kian Bu, karena sesungguhnya yang membuat hatinya merasa berat adalah berpisah dari Siluman Kecil yang amat dikaguminya itu.
Maka berpisahlah empat orang itu. Ang-siocia yang merasa berat berpisahan dengan Hwee Li dan terutama Kian Bu, terpaksa ikut bersama suhunya untuk mencari Siauw Hong! Sedangkan Hwee Li pergi bersama Suma Kian Bu menuju ke kota raja karena Kian Bu melihat bahaya besar mengancam keamanan kerajaan dengan adanya bencana di lembah Huang-ho itu.
Sementara itu, kebakaran di dalam benteng itu akhirnya dapat dipadamkan juga. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu marah bukan main karena mendengar berita bahwa Puteri Syanti Dewi hilang diculik orang dan terutama sekali bahwa Hwee Li, dara yang dicintanya itu pun telah melarikan diri. Mendengar betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi secara aneh telah berkhianat, membantu Siluman Kecil dan bahkan telah menculik Puteri Syanti Dewi, dan juga membakar benteng, kemarahannya memuncak akan tetapi karena kedua orang kakek iblis yang dianggapnya berkhianat itu telah tidak ada lagi, maka kemarahannya dia timpakan kepada Jenderal Kao Liang!
“Ternyata engkau seorang yang tidak dapat memegang janji!” bentaknya ketika jenderal tua ini dihadapkan kepadanya. “Engkau telah menipu kami! Engkau tidak sungguh-sungguh dalam pembuatan benteng ini sehingga mudah saja dikacau orang! Padahal yang mengacau hanya empat orang, yaitu Hek-tiauw Lo-mo si keparat dan anaknya, Hek-hwa Lo-kwi si pengkhianat, dan Siluman Kecil. Benteng macam apa yang kaubuat ini?”
Jenderal Kao Liang memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan sikap tenang. “Pangeran, sama sekali bukan salahku! Coba ada datang pasukan besar menyerbu, sudah pasti aku akan dapat menahan mereka dengan bentengku dan dengan pasukan penjaga benteng. Jangan harap pasukan musuh akan dapat dengan mudah membobolkan bentengku ini! Akan tetapi, yang menimbulkan kekacauan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang sakti dari dunia kang-ouw. Benteng ini bukan dibuat untuk menghadapi orang kang-ouw, melainkan untuk menghadapi pasukan musuh. Tentu saja pasukan yang terdiri dari orang-orang biasa tidak mampu menghadapi ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Adalah kesalahan Pangeran sendiri yang memusuhi orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Mengapa menyalahkan aku?”
Melihat sikap Jenderal Kao Liang itu, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dengan geram dia lalu memberi aba-aba dan beberapa orang pengawal pribadinya cepat maju dan menangkap Jenderal Kao! Jenderal itu hanya memandang dengan tersenyum pahit, sikapnya tenang sekali dan memandang rendah. Sudah lama dia kehilangan perhatiannya terhadap keselamatan dirinya sendiri sehingga baginya tidak ada lagi rasa takut. Melihat sikap ini, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dia lalu memerintahkan para pengawalnya untuk menyeret jenderal itu ke pintu gerbang dan mencambukinya sebagai hukuman atas kelalaiannya sehingga benteng itu sampai dapat diserbu dan dimasuki oleh musuh!
Dengan penerangan obor dan lampu karena malam mulai tiba, Jenderal Kao, yang dibelenggu kedua tangannya itu diseret menuju ke lapangan terbuka di dekat pintu gerbang. Para pengawal Nepal itu telah mengikatnya pada balok kayu yang berbentuk salib, mengikat kaki dan tangannya pada balok itu. Seorang pengawal lain telah membuka baju atasnya dan pengawal algojo sudah mempersiapkan cambuknya, menanti tanda dari Pangeran Nepal itu yang juga mengikuti sampai di tempat itu.
Tanda itu diberikan dengan mengangkat tangan kiri dan menganggukkan kepala ke arah algojo itu. Dan menyeringai puas algojo itu menghampiri Jenderal Kao. Tidak ada kesenangan yang lebih memuaskan bagi algojo ini daripada kalau dia melaksanakan tugasnya menghajar atau membunuh seorang hukuman. Di dalam pelaksanaan hukuman ini, tanpa mempedulikan siapa korbannya, dia menemukan kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa yang mendatangkan perasaan puas dan lega, penyaluran dari rasa dendamnya terhadap manusia lain! Setelah menerima tanda dari sang pangeran, algojo ini tidak segera mau menjatuhkan pukulan cambuk pertama, melainkan mengayun-ayunkan cambuknya di udara, di atas kepalanya dan matanya berkilat memilih bagian punggung yang paling lunak untuk dijadikan sasaran lecutan pertama. Biasanya dia paling senang menikmati lecutan pertama ini, melihat betapa korbannya menegang dan menjerit, melihat darah pertama nampak memanjang di kulit punggung korbannya. Seperti seorang yang ingin menikmati makanan lezat, sebelum memakannya dia hendak memuaskan hatinya dulu dengan memandanginya, menghemat gerakannya agar kenikmatan itu dapat dikunyahnya lebih lama lagi.
“Wirrr.... siuuuuuttttt....!” Akhirnya cambuk itu yang berputar makin cepat, kini turun meluncur dan menyambar ke arah punggung Jenderal Kao yang sudah siap untuk menghadapi segala macam siksaan, bahkan kematian sekalipun, dengan tenang dan dia tidak akan menyenangkan hati para musuh dan penyiksanya dengan keluhan sedikit pun juga.
Akan tetapi, algojo yang sudah meringis seperti seekor harimau yang sedang menubruk mangsanya itu, tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget dan heran. Cambuknya tertahan di udara! Dia mengerahkan tenaga, akan tetapi tetap saja cambuknya tidak dapat meluncur terus, dan ketika dia menengok, bukan main kagetnya melihat betapa ujung cambuknya itu telah ditangkap oleh tangan seorang kakek botak yang bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin atau juga yang dikenalnya sebagai Pendeta Lakshapadma, koksu dari Nepal!
“Mundur kau!” Koksu ituu berkata dan sang algojo tentu saja tidak berani membantah. Walaupun dia akan melakukan tugas menurut perintah Pangeran Bharuhendra, akan tetapi kakek botak ini adalah guru negara, dan juga merupakan guru dari sang pangeran itu. Dia membungkuk dengan hormat, menggulung cambuknya dan setelah melepaskan kerling kecewa ke arah Jenderal Kao, dia lalu mengundurkan diri.
Pangeran Liong Bian Cu memandang kepada Ban Hwa Sengjin yang datang bersama dengan Hek-hwa Lo-kwi, Hektiauw Lo-mo, kakek seperti gorilla, nenek bermuka tengkorak, hwesio gundul katai, dan kakek yang tingginya luar biasa itu. Pangeran ini belum pernah bertemu dengan empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama mereka. Dalam keadaan lain tentu dia akan merasa girang dan menyambut mereka dengan keramahan, akan tetapi pada saat itu, Pangeran Liong Bian Cu sedang marah bukan main. Dia marah melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia tidak mempedulikan lagi betapa perintahnya menghajar Jenderal Kao tadi dihentikan oleh koksu, dan kini dia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya secara bergantian kepada dua orang kakek raksasa itu.
“Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua orang pengkhianat besar! Kalian masih berani muncul di hadapanku? Koksu, kenapa dua orang manusia pengkhianat ini tidak ditangkap dan diberi hukuman yang berat?” Pangeran itu menoleh kepada gurunya dengan pandang mata penuh penasaran.
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi saling pandang dengan penuh keheranan, dan koksu itu lalu berkata, “Harap Paduka tenang, Pangeran. Mengapa Paduka marah-marah, hendak menghukum cambuk kepada Jenderal Kao, dan mengapa pula Paduka marah kepada mereka berdua ini? Dan kami melihat tadi di dalam benteng terjaai kebakaran-kebakaran. Apakah yang telah terjadi?”
“Musuh telah memasuki benteng dengan bantuan dua orang pengkhianat ini! Dan selain melakukan pembakaran-pembakaran, juga musuh yang dibantu dua orang pengkhianat ini telah melarikan Puteri Syanti Dewi!” Pangeran Liong Bian Cu berkata marah.
“Ini dia orangnya!” teriak seorang pengawal yang tadi kena dirobohkan oleh Hek-tiauw Lo-mo palsu sehingga sampai sekarang pun dia masih terpincang-pincang, kini jari tangannya menuding ke arah kakek raksasa dari Pulau Neraka itu dengan penuh kebencian.
“Mereka inilah yang tadi membantu melarikan Puteri Syanti Dewi!” Tiba-tiba terdengar Mohinta berseru. “Dengan bantuan para pengawal saya telah dapat menyingkirkan Sang Puteri dan dua orang pengkhianat ini bersama pemuda berambut putih itu dan.... puteri Hek-tiauw Lo-mo mengamuk, dikeroyok oleh para pengawal. Akan tetapi tiba-tiba saya diserang secara menggelap, tentu oleh seorang di antara mereka ini dan Sang Puteri dilarikan!”
“Koksu, cepat tangkap mereka!” bentak Liong Bian Cu dengan marah. Dia sudah kehilangan kekasihnya, dan kehilangan Puteri Bhutan yang amat penting baginya, ditambah lagi kenyataan betapa dua orang pembantunya ini melakukan pengkhianatan!
Akan tetapi, Ban Hwa Sengjin bersikap tenang saja. “Pangeran, tidak baik membiarkan diri terseret oleh kemarahan. Marilah kita bicarakan hal ini dengan tenang, karena di sini terjadi keanehan dan kesalahfahaman besar. Kerugian kita yang paling besar adalah kalau musuh sampai berhasil membuat kita semua saling mencurigai dan terjadi perpecahan sehingga melemahkan kedudukan kita sendiri.” Koksu lalu melepaskan belenggu kaki tangan Jenderal Kao dan mengajaknya untuk melakukan perundingan pula di sebelah dalam. Liong Bian Cu terheran-heran mendengar ucapan gurunya itu, akan tetapi dia dapat melihat kebenaran kata-kata gurunya bahwa perpecahan antara dia dan para pembantunya sungguh amat merugikan dan melemahkan kedudukannya sendiri. Maka dengan menahan kemarahan dan penasaran, dia pun lalu tidak bicara apa-apa lagi melainkan melangkah menuju ke dalam gedungnya, langsung menuju ke ruangan tamu yang luas, diikuti oleh Ban Hwa Sengjin, empat orang dari Im-kan Ngo-ok, Jenderal Kao Liang, Mohinta, Hwa-i-kongcu dan beberapa orang pembantu utama lagi.
Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan karena Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya sedang berada dalam keadaan tegang, maka Ban Hwa Sengjin juga tidak memakai banyak peraturan dan dia tidak memperkenalkan empat orang rekannya itu, melainkan segera minta penjelasan dari Liong Bian Cu tentang peristiwa yang terjadi di dalam benteng.
Liong Bian Cu lalu menceritakan semua yang telah disaksikannya sendiri dan yang dilengkapi oleh pelaporan semua pembantunya, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ban Hwa Sengjin dan dengan penuh keheranan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Dua orang kakek raksasa lni marah bukan main dan mereka dapat menduga siapa adanya kedua orang yang telah menyamar sebagai mereka itu! Maka, setelah Pangeran Liong Bian Cu selesai menceritakan semua peristiwa yang terjadi dalam benteng, Hek-tiauw Lo-mo berseru, “Si keparat itu! Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong dan muridnya!”
“Benar, guru dan murid itulah yang telah menyamar sebagai kita dan membikin kacau di dalam benteng!” Hek-hwa Lo-kwi juga berseru marah.
Liong Bian Cu terkejut sekali dan memandang kepada mereka bergantian dengan alis berkerut, karena masih belum hilang rasa penasaran dan marahnya kepada dua orang tokoh yang tadinya dianggap sebagai pengkhianat-pengkhianat ini. “Apa maksud kalian?”
“Pangeran, mereka berdua ini sama sekali tidak pernah kembali ke dalam benteng, karena mereka telah dirobohkan musuh dan baru kembali ke sini bersama kami tadi. Yang memasuki benteng bukanlah mereka, melainkan dua orang yang telah menyamar sebagai mereka. Dan menurut cerita Paduka, dua orang palsu yang pandai itu bukan hanya dapat mengelabuhi para penjaga dan para pengawal, bahkan mereka telah berani menghadap Paduka dalam penyamaran mereka dan Paduka sendiri sampai tidak dapat melihat bahwa mereka adalah dua orang musuh yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Dan mengapa Paduka tadi hendak menjatuhkan hukuman kepada Jenderal Kao?”
Liong Bian Cu masih terheran-heram mendengar bahwa dua orang kakek yang menghadapnya sambil membawa tawanan Siluman Kecil dan membawa kembali tunangannya itu bukanlah Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, menjadi bingung dan ketika dia ditanya tentang hukuman terhadap Jenderal Kao, dia menjawab, “Koksu, kuanggap bahwa dialah yang bertanggung jawab sehingga benteng ini dengan mudah dapat diserbu musuh yang mengacau dan mendatangkan kebakaran di banyak rumah dalam benteng ini. Akan tetapi dia tidak mau mengakui kesalahannya bahkan mengatakan bahwa benteng ini dibangun untuk menghadapi serbuan pasukan besar, bukan penyelundupan beberapa orang sakti, dan dia menyalahkan kami yang dianggap memusuhi orang-orang kang-ouw.”
Koksu Nepal itu mengangguk-angguk dan dia memandang kepada Jenderal Kao yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil menundukkan muka saja. Kemudian kakek botak ini berkata, “Pangeran, alasan Jenderal Kao memang benar. Untuk menghadapi penerobosan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, haruslah dipergunakan kesaktian untuk melawannya pula. Dan dengan girang saya beritahukan kepada Pangeran bahwa sekarang sahabatsahabat saya ini telah datang untuk membantu kita. Andaikata tadi sewaktu musuh menyelundup ke sini ada seorang di antara kami berlima, sudah pasti mereka itu tidak akan dapat bergerak seenaknya. Pangeran, dan juga para rekan dan sahabat, perkenalkanlah empat orang sahabat saya ini.” Dengan bangga Ban Hwa Sengjin memperkenalkan empat orang itu dan para tokoh yang baru pertama kali ini bertemu dengan mereka, memandang dengan hati terkejut dan penuh kekaguman, juga kengerian karena sesungguhnya mereka sudah pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok! Melihat mereka, para tokoh ini seolah-olah melihat iblis-iblis yang keluar dari dalam neraka, iblis-iblis yang tadinya hanya mereka dengar seperti dalam cerita dongeng saja!
“Pangeran, seperti saya katakan tadi, kalau musuh mempergunakan pasukan, maka saya percaya bahwa Jenderal Kao dengan bentengnya akan mampu menghalau setiap pasukan musuh yang bagaimana besar pun juga. Akan tetapi karena musuh yang datang adalah orang-orang yang menggunakan ilmu kepandaian, maka biarlah saya minta bantuan Su-ok dan Ngo-ok untuk melakukan pengejaran.” Pangeran Liong Bian Cu hanya mengangguk.
“Su-te dan Ngo-te, harap kalian suka sedikit melelahkan diri dan melakukan pengejaran terhadap para pengacau yang telah membikin pusing kepala Sang Pangeran. Kalian sudah mendengar bahwa dua orang yang menyamar itu adalah Hek-sin Touw-ong dan muridnya, dan tentu kalian tahu di mana adanya mereka itu.”
Kakek cebol dan kakek tinggi itu bangkit berdiri, dan mengangguk kepada Liong Bian Cu. Kalau kakek tinggi itu hanya cemberut saja, adalah kakek gundul pendek yang tertawa dan berkata kepada Ban Hwa Sengjin, “Ahhh, Koksu, kalau saja tidak mengingat betapa Pangeran telah dibikin pusing oleh penjahat-penjahat itu, tentu kami malas untuk pergi karena kami baru saja datang belum disambut dengan makanan lezat dan arak wangi!”
Pangeran Liong Bian Cu merasa tidak enak sekali dan dia sudah hendak menyuruh pengawal memerintahkan pelayan mengeluarkan hidangan, akan tetapi Ban Hwa Sengjin sambil tertawa menjawab, “Su-te, jangan khawatir. Mengejar orang-orang macam raja maling itu saja bersama muridnya, apa sih sukarnya bagi kalian? Sebelum masakan-masakan itu dingin, tentu kalian sudah datang kembali membawa mereka sebagai tawanan dan masih belum terlambat bagi kalian untuk makan minum sepuasnya nanti!”
Si pendek dan si tinggi itu lalu menggerakkan tubuh dan dalam sekelebatan saja mereka telah lenyap dari tempat itu! Semua orang merasa kagum sekali, bahkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi diam-diam harus mengakui bahwa kini mereka mendapatkan saingan yang amat berat! Pangeran Liong Bian Cu menjadi girang dan terhibur melihat datangnya orang-orang pandai yang membantunya, maka dia cepat memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan untuk menyambut Twa-ok Su Lo Ti dan Ji-ok Kui-bin Nio-nio.
“Harap Pangeran mengijinkan saya untuk kembali ke kamar saya,” kata Jenderal Kao Liang. Pangeran Liong Bian Cu mengangguk dengan sikap tidak begitu mempedulikan. Jenderal tua ini lalu meninggalkan ruangan di mana pangeran itu mulai berpesta dengan gembira bersama para pembantunya.
Dengan hati berat Jenderal Kao Liang kembali ke dalam kamarnya lalu dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringannya. Kedua matanya yang sejak tadi terbelalak memandang ke langit-langit dalam kamarnya tak pernah berkedip itu, perlahan-lahan menjadi basah! Setelah berkumpul, akhirnya dua butir air mata bergerak keluar dari sepasang matanya dan jatuh menimpa bantal. Hanya dua butir air mata akan tetapi hal ini sudah merupakan suatu hal yang amat luar biasa. Jenderal Kao adalah seorang laki-laki sejati yang pantang menitikkan air mata, lebih baik mengucurkan peluh dan darah daripada air mata bagi jenderal yang gagah perkasa ini. Akan tetapi, pada saat ini hatinya tersiksa bukan main rasanya. Pangeran Nepal itu mendatangkan kelima Im-kan Ngo-ok! Negara berada dalam bahaya. Dan dia malah menjadi kaki tangan pangeran pemberontak itu! Ah, kalau saja keluarganya dapat lolos dari tempat itu, berada dalam keadaan selamat, tentu dia tidak akan merasa begini tersiksa. Dia tentu akan dapat melaksanakan segala rencananya yang telah dipersiapkannya semenjak dia membangun benteng itu secara terpaksa sekali untuk menyelamatkan nyawa semua keluarganya! Akan tetapi, agaknya tidak ada jalan bagi keluarganya untuk dapat lolos dari tempat itu. Bahkan Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti itu sendiri tidak berdaya!
“Suhu, aku tidak mau!”
Seperti seorang anak kecil yang ngambek, Kang Swi Hwa berhenti di tepi jalan dan duduk di atas batu besar, sepasang alisnya bertemu, mulutnya cemberut dan matanya hampir menangis.
Hek-sin Touw-ong memandang kepada muridnya itu dan tersenyum melihat murid yang dicintanya itu mogok berjalan! Biarpun mukanya berwarna hitam, namun muka raja maling ini membayangkan kelembutan apalagi kalau dia berhadapan dengan muridnya itu.
“Hayaaa....“ Dia menarik napas panjang dan duduk pula di atas batu tak jauh dari tempat duduk muridnya. “Swi Hwa, berkali-kali kau mengatakan tidak mau. Eh, muridku yang baik, tahukah engkau apa yang paling berharga bagi seorang wanita?”
“Aku tahu, aku tahu, berapa kali Suhu menanyakan itu? Yang paling berharga adalah kehormatan.”
“Nah, engkau sudah tahu! Dan engkau tahu apa yang telah terjadi antara engkau dan pemuda bernama Siauw Hong itu.”
“Akan tetapi, tidak terjadi apa-apa antara dia dengan aku, hanya dia melihat bahwa aku seorang wanita.”
“Hemmm, muridku yang baik. Tidak ada wanita yang membiarkan tubuhnya dilihat, apalagi disentuh oleh seorang pria yang bukan suaminya. Dan Siauw Hong itu telah menyentuhmu. Hal itu dilakukannya tanpa sengaja, bahkan dia bermaksud menyelamatkanmu dari bahaya maut. Mengingat bahwa dia murid Sai-cu Kai-ong, maka kuanggap bahwa hal itu memang telah diatur oleh Thian, dan agaknya Tuhan sendiri yang menjodohkan engkau dengan dia, muridku. Bagi seorang wanita terhormat, tubuhnya hanya boleh disentuh oleh suaminya, dan kalau ada pria lain yang melakukan hal itu, pria itu harus dibunuhnya!”
“Kalau begitu, aku akan membunuhnya!” Kang Swi Hwa masih mengambek.
“Dan engkau menjadi seorang yang paling tidak kenal budi, bahkan seorang yang membalas kebaikan dengan kejahatan? Dia telah menolongmu, menyelamatkannu, dan kau hendak membunuhnya?”
“Habis, bagaimana? Hanya ada dua pilihan kata Suhu, kawin dengan dia atau membunuhnya. Aku tidak mau kawin dengan dia, maka aku akan membunuhnya.”
“Swi Hwa, muridku yang baik. Mengapa engkau berkeras tidak mau menikah dengan dia? Apakah dia seorang pemuda yang berwajah buruk? Ataukah tubuhnya cacat?”
“Tidak, tidak sama sekali, Suhu. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah....“
“Nah, kalau begitu, mengapa menolak?”
“Dia hanya seorang pengemis, Suhu! Aku tidak mungkin menikah dengan seorang pengemis!”
Kakek itu tertawa bergelak. Melihat ini, Ang-siocia yang tadinya menundukkan mukanya, kini dia mengangkat muka memandang gurunya, mukanya merah dan sinar matanya marah. “Suhu, hatiku sedang mengkal, Suhu malah tertawa-tawa, mentertawakan aku! Apanya yang lucu?”
“Ha-ha-ha, Swi Hwa, memang aku mentertawakan engkau. Engkau sungguh tidak mau bercermin!”
“Bercermin?” Tangan kiri Swi Hwa dengan jari-jarinya yang lentik halus itu otomatis meraba-raba rambut kepala dan mukanya. Setiap hari aku bercermin. Apakah mukaku coreng-moreng, rambutku awut-awutan?”
Kakek itu makin geli tertawa, lalu dia memandang kepada muridnya yang dianggapnya seperti anaknya sendiri itu. “Swi Hwa, maksudku bukan bercermin untuk melihat wajahmu, melainkan bercermin untuk mengenal dirimu sendiri. Engkau memandang rendah pengemis, agaknya lupa siapakah kita ini! Engkau hanyalah murid seorang maling, apakah maling lebih tinggi derajatnya daripada seorang pengemis?”
Makin merah wajah Swi Hwa, merah karena penasaran dan marah. “Akan tetapi kita adalah maling bukan sembarang maling! Suhu adalah Raja Maling! Mana bisa disamakan dengan pengemis....?”
“Hemmm, Swi Hwa, apakah kau lupa bahwa pemuda itu juga bukan sembarang pengemis, melainkan murid dari Raja Pengemis Sai-cu Kai-ong? Dan tahukah engkau? Sai-cu Kai-ong itu adalah seorang.... sahabat baikku, setidaknya adalah seorang bekas sahabat baikku. Maka, muridnya tentu saja bukan merupakan seorang yang asing sama sekali.”
Swi Hwa masih cemberut. Dia membayangkan wajah Siauw Hong. Seorang pemuda yang tampan memang. Akan tetapi, ketika dia mengenal Siauw Hong dan Siluman Kecil, bahkan lalu melakukan perjalanan bersama, dia menganggap Siaw Hong sebagai seorang pemuda remaja yang belum dewasa benar, bahkan sering kali dia menyuruh Siauw Hong, sebagai pelayan! Betapa jauhnya kalau dibandingkan dengan Siluman Kecil, pendekar yang sakti itu, pria yang sudah matang dan amat mengagumkan hatinya. “Tidak, Suhu, aku tidak mau! Aku tidak suka!”
“Agaknya engkau masih kukuh bahwa engkau jatuh cinta kepada pendekar Siluman Kecil. Benarkah itu, Swi Hwa?”
Wajah itu menjadi makin merah dan dia menunduk.
“Swi Hwa, aku adalah seorang tua yang sudah dapat melihat tanda-tanda orang yang jatuh cinta. Dan dalam pertemuan kita dengan Siluman Kecil, aku tidak yakin bahwa engkau mencinta dia. Engkau hanya kagum saja kepadanya dan memang sudah sepatutnya orang kagum kepada pendekar yang berkepandaian tinggi itu. Akan tetapi, dia bukan jodohmu, muridku.”
“Tapi, Suhu, bagaimana mungkin perjodohan dilangsungkan tanpa cinta kasih?”
“Mengapa tidak mungkin? Perjodohan antara dua orang muda yang tidak saling mencinta bisa saja kelak mendatangkan rasa cinta kasih yang amat mendalam, dan sebaliknya mungkin saja apa yang dinamakan cinta kasih antara dua orang muda sebelum perjodohan akan menjadi luntur setelah mereka memasuki pintu gerbang pernikahan. Pula, aku tidak melihat tanda-tanda, baik dari sikapnya, kata-katanya maupun pandang matanya bahwa pendekar itu mencintamu, Swi Hwa. Dan bagaimana mungkin engkau mengikat perjodohan dengan seorang pendekar besar dan aneh seperti dia? Apalagi mengingat dia adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ah, tempat dia berpijak lebih tinggi daripada bintang di langit, muridku, agaknya lebih sukar berjodoh dengan dia daripada dengan seorang pangeran sekalipun untukmu.”
Mendengar ini, Swi Hwa makin menunduk dan wajahnya membayangkan kecewa dan duka sekali. Kini teringatlah dia akan hubungan antara Siluman Kecil dengan Hwee Li. Ah, gurunya benar! Agaknya Siluman Kecil terlalu tinggi untuknya. Dia, hanya seorang maling, pantasnya hanya berjodoh dengan seorang pengemis! Tak terasa lagi air matanya bercucuran didorong oleh rasa iba diri.
Kakek itu menyentuh tangan muridnya. “Hidup memang penuh dengan kepahitan-kepahitan yang ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan, muridku. Kekecewaan timbul karena harapan-harapan kita tidak tercapai, dan harapan-harapan selalu memang lebih indah daripada kenyataan....”
Tiba-tiba ucapan Hek-sin Touw-ong itu terhenti karena guru dan murid ini mendengar suara aneh, suara ketawa yang terdengar amat kerasnya seolah-olah orang yang tertawa itu berada di dekat mereka, padahal mereka tidak melihat seorang pun manusia di situ. Pagi hari itu sunyi saja. Mereka berdua telah melarikan diri semalam, dan baru pagi ini mereka berhenti di tempat itu setelah semalam suntuk mereka tidak melihat ada orang mengejar mereka.
“Ha-ha-ha, sekali ini aku mengaku kalah kepadamu, Ngo-te! Matamu memang awas sekali dan benar saja, mereka berada di sini!”
Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa meloncat berdiri dan siap menghadapi bahaya. Swi Hwa sudah mencabut pedangnya, dan gurunya yang tidak pernah berpedang lagi, berdiri dengan penuh kewaspadaan. Maklumlah kakek pandai ini bahwa ada orang bicara mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh, orangnya masih jauh akan tetapi suaranya sudah tiba di situ, tanda bahwa ada orang pandai agaknya mengejar mereka.
Tak lama kemudian, nampaklah dua orang yang bentuk tubuhnya amat aneh datang dengan kecepatan yang mengejutkan hati guru dan murid itu.
Gurunya menggeleng kepala. “Mereka sudah mengetahui kita di sini, dan percuma saja melarikan diri. Kau berhati-hatilah, Swi Hwa,” bisik gurunya sambil memandang dengan penuh perhatian ke depan. Bayangan dua orang itu cepat sekali gerakannya dan sebentar saja mereka sudah tiba di depan guru dan murid itu.
Setelah dua orang kakek yang bentuk tubuhnya amat luar biasa dan berlawanan itu tiba di depan mereka, Swi Hwa memandang penuh perhatian. Biarpun masih muda, dara ini sudah banyak pengetahuannya di dunia kang-ouw dan sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar, akan tetapi betapapun dia mengingat-ingat, belum pernah dia bertemu dengan dua orang kakek aneh ini, yang seorang tingginya hanya sampai di pundaknya, akan tetapi kakek ke dua tingginya bukan main sehingga dia harus menengadah kalau hendak memandang wajahnya. Kakek yang pendek gundul itu tersenyum-senyum lebar, akan tetapi yang membuat Swi Hwa merasa ngeri adalah kakek tinggi itu, karena biarpun kakek tinggi itu hanya cemberut saja, namun matanya yang sipit itu seolah-olah hendak menelanjanginya dengan pandang matanya!
“Su-ko, yang tua untukmu, aku perlu dengan yang muda!” tiba-tiba si tinggi kurus bermata sipit itu berkata, dan sebelum suaranya yang menyeramkan itu habis, tangannya yang berlengan panjang sekali itu tahu-tahu sudah menjangkau ke arah pundak Swi Hwa! Gerakannya itu mengerikan sekali karena jarak antara dia dan Swi Hwa cukup jauh, terlalu jauh bagi orang yang berlengan bagaimana panjang pun untuk dapat menjangkaunya. Akan tetapi kakek tinggi itu tidak melangkahkan kakinya, dan lengannya seperti dapat diulur lebih panjang daripada semestinya. Gerakan yang mengerikan sekali!
“Ihhh....!” Swi Hwa berseru kaget dan juga jijik melihat lengan itu seperti seekor ular panjang hidup meluncur ke arah pundaknya. Dia cepat menarik kaki melangkah mundur, akan tetapi hebatnya, tangan itu terus mengejarnya, sebuah tangan yang lebar dengan jari-jari yang panjang dan besar, kotor dan kukunya panjang hitam! Swi Hwa kaget setengah mati dan agaknya sukar baginya untuk dapat mengelak. Pada saat itu, Hek-sin Touw-ong yang mengenal ilmu luar biasa dari si jangkung itu, yaitu ilmu mengulur lengan yang tidak mudah dipelajari, kecuali oleh mereka yang telah menguasai ilmu melepas tulang, maklum bahwa muridnya terancam bahaya. Dia cepat menggerakkan tangan kirinya.
“Cusssss....!” Tangan kiri dari Hek-sin Touw-ong yang digerakkan ini bukan sembarang tangan, melainkan tangan yang mengandung Ilmu Kiam-to Sin-ciang sehingga tangan itu seperti berubah tajam bagaikan pedang atau golok, bahkan hawa pukulannya saja dapat membabat putus benda keras!
“Wusss.... aha....!” Si jangkung terkejut sekali dan biarpun lengannya tidak terluka karena dia sudah menarik kembali lengannya sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi lengan itu, namun tetap saja Lengan bajunya terobek oleh hawa yang menyambar dari Kiam-to Sin-ciang tadi.
Si pendek gundul tertawa. “Ha-haha, engkau mendapat malu, Ngo-te! Jangan terlalu memandang rendah kepada Hek-sin Touw-ong yang kabarnya memiliki Kiam-to Sin-ciang. Dan engkau sama sekali tidak boleh main hakim sendiri, ingat bahwa tugas kita hanya untuk menawan mereka ini!”
Si jangkung hanya cemberut, akan tetapi matanya terus mengincar Swi Hwa dan gadis ini diam-diam bergidik. Dia tadi melihat betapa gurunya menggunakan ilmu ini. Lengan si jangkung tadi jelas terkena sambaran hawa sakti itu, akan tetapi Lengan itu sama sekali tidak terluka dan hanya Lengan bajunya saja yang terobek! Tahulah dia bahwa si jangkung yang luar biasa itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Biarpun wajahnya tidak menunjukkan perasaan, namun di dalam hatinya, Si Raja Maling juga menjadi terkejut bukan main. Tadi dia sudah menduga-duga, akan tetapi kini melihat kelihaian si jangkung, melihat bentuk tubuh mereka dan cara kedua orang itu saling memanggil, yaitu Ngo-te dan Su-ko (adik ke lima dan kakak ke empat), dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu kedua orang inilah tokoh-tokoh dari Im-kan Ngo-ok yang telah puluhan tahun lamanya tidak pernah terdengar lagi turun ke dunia ramai. Hampir dia tidak percaya karena memang selama dia menjelajahi dunia kang-ouw, Raja Maling ini tidak pernah berjumpa dengan mereka dan menganggap bahwa nama mereka itu hanya merupakan dongeng di antara orang-orang kang-ouw saja. Kini, melihat keadaan dua orang ini yang ternyata bukan hanya mengenalnya, bahkan mengenal pula Ilmu Kiam-to Sin-ciang, dia yakin bahwa tentu mereka ini adalah orang ke empat dan ke lima dari Im-kan Ngo-ok. Maka cepat dia menjura dengan hormat kepada datuk-datuk kaum sesat itu sambil berkata dengan suara halus merendah.
“Siauwte yang bodoh pernah mendengar nama besar dari Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tidak tahu apakah dua nama besar itu adalah nama Ji-wi?”
Tosu jangkung bermata sipit itu hanya cemberut, akan tetapi hwesio cebol gendut itu tertawa. ”Ha-ha-ha, kiranya Si Raja Maling juga dapat mengenal kami, itu menunjukkan bahwa engkau memang bukan orang sembarangan!”
Kembali Hek-sin Touw-ong menjura. “Maaf kalau siauwte yang bodoh kurang menghormat, karena sungguh mati kami berdua tidak pernah mimpi akan dapat jumpa dengan tokoh-tokoh besar seperti Ji-wi (Anda berdua). Setelah kami mendapat kehormatan bertemu dengan Ji-wi, siauwte mohon bertanya ada keperluan apakah gerangan maka Ji-wi memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?”
“Su-ko, mulutnya terlalu manis!” Tiba-tiba tosu tinggi kurus itu mencela. Akan tetapi hwesio cebol itu hanya tersenyum lebar. Girang sekali hatinya. Memang sudah menjadi watak Si Jahat Ke Empat dari Im-kan Ngo-ok ini untuk beramah-tamah dengan orang untuk kemudian mencelakai orang yang diajaknya beramah-tamah itu!
“Hek-sin Touw-ong, sudah lama kami mendengar nama besarmu dan ternyata engkau memang seorang yang lihai sekali. Kiam-to Sin-ciang tadi amat hebat, dan engkau mempunyai seorang murid yang cantik jelita dan pandai. Sungguh beruntung sekali hidupmu. Aku Su-ok Siauw-siang-cu ikut merasa girang melihat keberuntunganmu dan sayang di sini tidak ada arak untuk menghaturkan selamat kepadamu. Ha-ha-ha!”
Si Raja Maling. mengerutkan alisnya. Dia hanya pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok akan tetapi tidak mengenal watak mereka seorang demi seorang, maka dia pun tidak tahu akan watak Su-ok ini. Dia sendiri adalah seorang tokoh besar di dalam dunia kang-ouw, maka teritu saja dia tidak mudah tertipu oleh sikap ramah-tamah yang luar biasa itu. Maka dia hanya menjura sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan Su-ok Siauw-siang-cu Lo-enghiong.”
“Akan tetapi, Ngo-ok Toat-beng Sian-cu tidak sabar menyaksikan sikap ramah-tamah dari kawannya itu, maka dia berkata singkat, “Hek-sin Touw-ong, hayo lekas menyerah untuk kami tangkap dan bawa kembali ke benteng lembah, di mana engkau dan muridmu mengacau malam tadi!”
Hek-sin Touw-ong tidak terkejut mendengar ini, karena memang dia sudah menduga bahwa dua orang sakti dari kaum sesat ini tentu muncul sehubungan dengan perbuatan mereka di benteng lembah semalam. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa Koksu Nepal adalah orang ke tiga dari, Im-kan Ngo-ok!
“Kami tidak akan menyerah kepada siapapun juga!” Tiba-tiba Kang Swi Hwa berkata dengan nada suara keras dan dia sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Tidak seperti gurunya, dara ini belum pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok, maka dia pun tidak merasa gentar sama sekali sungguhpun dia tahu bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan orang-orang lihai dan lawanlawan tangguh.
“Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong dan muridnya memang amat hebat!” kembali hwesio cebol itu tertawa dan memuji. “Siapa dapat mengira bahwa kalian berdua dapat menyamar sebagai dua orang iblis Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi! Ha-ha-ha! Melihat Hek-sin Touw-ong menyamar sebagai seorang di antara mereka masih tidak mengherankan, akan tetapi bagaimana engkau bisa menyamar sebagai seorang iblis seperti mereka itu, Nona? Mengagumkan, sukar untuk dapat dipercaya! Eh, Nona Cilik, aku berani bertaruh bahwa engkau tidak akan mampu menyamar sebagai aku atau sebagai Ngo-te ini!”
Di dalam hatinya, Kang Swi Hwa mengejek. Kalau ada alat-alatnya, tentu saja dia akan mampu menyamar sebagai mereka, sungguhpun untuk menyamar sebagai Su-ok dia harus menekuk lututnya dan untuk menyamar sebagai Ngo-ok dia harus menggunakan jangkungan, yaitu dua potong kayu untuk menyambung kakinya agar dia dapat menjadi jangkung seperti tosu itu. Akan tetapi dia tidak mau melayani kelakar ini dan hanya memandang dengan sinar mata marah.
“Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong, kepandaian kalian amat hebat dan mengagumkan hati Pangeran Nepal. Oleh karena itu, beliau mengutus kami berdua untuk mengundang kalian sebagai tamu terhormat ke dalam benteng, mungkin akan memberi hadiah atas permainan sandiwara kalian yang amat berhasil itu. Marilah, Touw-ong, mari kami iringkan ke benteng di lembah sana.” Sikap hwesio cebol itu masih manis sekali, terlalu manis malah.
Akan tetapi Hek-sin Touw-ong kini sudah maklum bahwa keramahan hwesio cebol ini adalah wataknya dan cirinya yang khas, sama sekali bukan keramahan yang timbul dari hati yang beriktikad baik. Maka dia pun tidak mau melayani, melainkan memandang dengan tajam.
“Ji-wi tidak perlu pura-pura. Memang sesungguhnya kami berdua yang semalam mengunjungi benteng. Kami telah gagal, nah, sekarang Ji-wi datang menyusul kami dan betapapun juga kami tidak akan mau kembali ke sana, baik itu merupakan undangan maupun paksaan.”
Ucapan ini halus akan tetapi juga merupakan tantangan.
“Su-ko, kenapa cerewet? Tangkap mereka!” bentak Ngo-ok Toat-beng Sian-su sambil menubruk ke arah Swi Hwa.
“Ngo-te, awas, jangan lukai dia, kita harus menangkap mereka hidup-hidup. Jangan sampai membuat Sam-ko dan pangeran menjadi marah!” Si cebol berseru, kemudian secepat kilat dia pun sudah menerjang kepada Hek-sin Touw-ong!
Swi Hwa menggerakkan pedangnya, memutar pedang itu untuk membabat kedua tangan panjang yang mengancamnya dari kanan kiri itu. Sinar pedangnya bergulung-gulung dan membentuk lingkaran yang berhawa tajam sekali karena dara ini memainkan pedang dengan pengerahan Ilmu Kiam-to Sin-siang yang dipelajarinya dari gurunya. Biarpun dia lihai bukan main, Ngo-ok tidak mau sembarangan mempertaruhkan kedua lengannya, atau sedikitnya tentu lengan bajunya akan hancur kalau terkena sambaran sinar pedang itu, maka dia menggunakan kegesitannya untuk menarik kembali tangan yang hendak terbacok, kemudian membalas dengan kedua tangan itu meluncur dari sana-sini seperti dua ekor ular terbang yang berusaha menangkap atau menotok dara itu. Bulu tengkuk dara itu meremang saking ngerinya ketika beberapa kali tangan telanjang si jangkung itu menyampok pedangnya dan terdengar bunyi berdencing nyaring ketika pedangnya bertemu dengan jari tangan itu, seolah-olah tangan itu terbuat daripada baja yang amat kuat!
Sementara itu, Hek-sin Touw-ong sudah bertanding dengan hebat melawan Su-ok Siauw-siang-cu. Hek-sin Touw-ong yang maklum bahwa dia menghadapi lawan pandai dan bahwa dia dan muridnya terancam bahaya maut, telah mengeluarkan ilmunya yang amat hebat, yaitu Kiam-to Sin-ciang dan mengerahkan ginkangnya untuk berkelebatan dengan cepatnya. Dia harus dapat merobohkan lawannya yang gemuk pendek ini sebelum dia dapat membantu muridnya. Dia tahu bahwa muridnya bukanlah tandingan si jangkung itu, dan maklum bahwa kalau dia dan muridnya sampai tertangkap dan dibawa kembali ke lembah, tentu mereka berdua akan celaka dan menerima hukuman berat atas perbuatan mereka semalam yang mengacau dan membakar benteng di lembah Huang-ho itu.
Bunyi angin bersuitan dan mendesis-desis ketika kedua tangan Raja Maling ini bergerak melancarkan serangan Kiam-to Sin-ciang. Demikian hebatnya ilmu itu sehingga orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok sendiri tidak berani secara lancang menerima pukulan itu dengan tubuhnya. Su-ok bergulingan menghindarkan diri, kemudian dia meloncat dan tubuhnya yang pendek itu menjadi makin pendek ketika dia berjongkok dan perutnya yang gendut itu makin menggembung terisi penuh hawa mujijat! Kemudian, dari tenggorokan dan perutnya berbunyi suara “kok-kok-kok!” dan itulah ilmunya yang amat luar biasa, ilmu pukulan Katak Buduk! Ketika Hek-sin Touw-ong kembali menggerakkan kedua tangan dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mengandung angin tajam sekali, Su-ok lalu mendorong dengan kedua tangannya yang pendek ke depan. Angin pukulan dahsyat menyambar dari kedua tangannya dan begitu angin pukulan ini bertemu dengan hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang, tubuh Hek-sin Touw-ong terjengkang dan dia tentu sudah roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat meloncat ke kiri dan terhindar dari dorongan hawa dahsyat yang mendorong pukulannya tadi membalik itu! Bukan main kagetnya hati Si Raja Maling! Dan kini kakek pendek itu tertawa-tawa, kemudian bergulingan dan mengejarnya seperti seekor binatang trenggiling dan melakukan serangan dari atas tanah secara tidak terduga-duga! Dan setiap kali Touwong menggunakan Kiam-to Sin-ciang, selalu kakek pendek itu menggunakan pukulan sakti Katak Buduk membuat Kiamto Sin-ciang kehilangan kehebatannya dan selalu terdorong kembali!
Perkelahian antara Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dan kakek tosu jangkung Ngo-ok tidak berlangsung terlalu lama. Agaknya Ngo-ok juga merasa jengkel menyaksikan kenekatan dara itu, maka dia lalu mengerahkan tenaganya dan begitu pedang di tangan nona itu menusuknya, dia menggunakan jari-jari tangannya menangkis dan terus mencengkeram dan pedang itu sudah kena dicengkeramnya!
“Krek-krekkk!” Pedang itu dicengkeram patah-patah dan dilemparkan ke samping, kemudian sebelum Swi Hwa sempat mengelak, tengkuknya sudah dicengkeram dan tubuhnya diangkat ke atas!
Swi Hwa hampir pingsan ketika merasa betapa jari-jari tangan yang panjang dan besar sudah mencengkeram baju di dadanya dan hendak mencabik dan merenggutnya. Tak terasa lagi dia menjerit.
Jeritan itu menolongnya karena Su-ok sudah menggelinding dekat dan menendang lutut Ngo-ok. Hampir saja Ngo-ok tertendang roboh kalau dia tidak cepat meloncat tinggi sekali sambil membawa tubuh Swi Hwa yang seperti hampir pingsan rasanya dibawa melambung tinggi itu.
“Ngo-te, kuperingatkan kau, jangan ganggu dia!” bentak Su-ok.
“Eh, kau mengiri? Apa pedulimu?” bantah Ngo-ok.
“Tolol kau, Ngo-te. Kalau kau mengganggunya dan Sam-ko marah, juga Pangeran, tentu Twa-ko dan Ji-ci juga marah dan kalau mereka semua marah, apa kaukira hanya engkau saja yang akan dihajar? Aku pun ikut bertanggung jawab, mengerti? Jangan ganggu dia sebelum kita menyerahkan kedua orang guru dan murid ini kepada Pangeran. Kalau kau nekat, aku akan menggempurmu sendiri!”
“Huh, menyebalkan!” Ngo-ok berseru marah dan kecewa, jari tangannya menotok dan seketika tubuh Swi Hwa menjadi lumpuh dan ketika dia dilemparkan ke atas tanah, dara itu tak dapat bergerak lagi.
Hek-sin Touw-ong tadi sudah merasa khawatir menyaksikan betapa muridnya tertawan, akan tetapi legalah hatinya ketika dia melihat Su-ok menyelamatkannya dari ancaman malapetaka yang amat mengerikan. Melihat muridnya sudah terbebas dari malapetaka, Raja Maling itu lalu menyerang lagi, kini tidak menyerang kepada Su-ok, melainkan kepada Ngo-ok saking marahnya melihat betapa si jangkung itu tadi hampir saja meng hina muridnya.
“Cusss-cusssss.... wuuut-wuuuttt.... brettt....!” Ujung baju Ngo-ok terobek oleh hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang dan tubuh si jangkung sampai terhuyung ke belakang. Hal ini adalah karena dia sama sekali tidak menyangka akan kehebatan serangan dari Si Raja Maling itu, maka dia tadi terdesak dan lupa untuk mengelak, melainkan menangkis sehingga biarpun dia tidak terluka, namun bajunya robek dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Si jangkung mengeluarkan suara aneh dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas lalu secara aneh sekali tubuh yang membalik ini sudah menyerang kalang-kabut kepada Hek-sin Touw-ong! Raja Maling ini sudah banyak menghadapi lawan lihai dan aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia diserang orang yang berjungkir balik seperti ini. Dia agak bingung karena kedua tangan yang panjang itu menyerangnya dari bawah dan begitu dia menggunakan kedua tangan untuk menangkis, tiba-tiba dari angkasa meluncur turun dua batang kaki yang menyerangnya secara hebat, mengancam ubun-ubun kepala dan tengkuknya!
“Jangan bunuh dia, Ngo-ok, manusia bandel!” bentak Su-ok dan bentakan ini menyelamatkan nyawa Hek-sin Touw-ong karena Ngo-ok teringat bahwa dia sama sekali tidak boleh membunuh kalau dia ingin selamat kembali ke benteng, maka kakinya yang menotok ke arah ubun-ubun itu mengubah gerakan menotok ke leher dan ketika Hek-sin Touw-ong mengangkat tangan menangkis, kaki kirinya sudah menotok tengkuk.
“Dukkk! Tubuh Hek-sin Touw-ong roboh dalam keadaan pingsan oleh totokan ujung kaki yang amat tepat dan amat kuat itu.
“Bagus! Engkau telah maju pesat, Ngo-te. Engkau telah dapat merobohkan guru dan murid itu tanpa membunuh mereka. Hebat, aku kagum sekali!” kata Su-ok sambil tertawa.
Tosu jangkung itu memandang kepada Su-ok, lalu menyeringai dan meludah ke samping kiri. “Cuhhh!” dan dia hanya memandang kepada tubuh Swi Hwa yang terlentang di atas tanah dengan sinar mata penuh gairah dan kekecewaan karena kembali dia terhalang untuk melampiaskan gelora nafsunya, terutama sekali untuk memenuhi koleksi kuku-kuku ibu jari wanita yang sudah berjumlah empat ratus kurang satu itu!
“Mari kita cepat kembali, Ngo-te. Jangan sampai masakan-masakan untuk kita itu menjadi dingin. Nah, kaupanggul si tua itu, biar aku yang membawa nona ini!” kata Su-ok yang tahu bahwa dia tidak boleh mempercayakan tubuh wanita muda itu kepada Ngo-ok, maka cepat dia menyambar tubuh Swi Hwa dan mengempitnya sambil berkelebat cepat pergi dari tempat itu. Ngo-ok meludah kembali dengan hati mengkal, kemudian menggunakan ujung kakinya untuk mencokel tubuh Hek-sin Touw-ong ke atas, menyambarnya dengan tangan kiri, memanggulnya dan dia pun berlari cepat menyusul Su-ok menuju ke benteng di lembah Huang-ho.
Pangeran Liong Bian Cu merasa girang dan kagum bukan main ketika melihat Su-ok dan Ngo-ok telah kembali membawa Hek-sin Touw-ong dan Kang Swi Hwa. Akan tetapi tentu saja hati pangeran ini masih kecewa, marah dan juga berduka karena Hwee Li, dara yang dicintanya itu, dan Puteri Syanti Dewi, tawanan yang amat penting baginya, belum ditemukan kembali.
Sejenak dia memandang kepada tubuh Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa yang dilemparkan ke atas lantai, lalu sang pangeran itu menarik napas panjang dan berkata, “Aih, sayang sekali bahwa yang ditemukan hanya dua orang pengacau ini. Apa gunanya kecuali hanya menghukum mereka? Kami akan lebih gembira kalau yang dapat dibawa kembali adalah Hwee Li dan Puteri Bhutan.....“
Ban Hwa Sengjin maklum bahwa diam-diam sang pangeran kecewa sekali atas hasil pengejaran Su-ok dan Ngo-ok. Dia pun maklum betapa pentingnya Syanti Dewi bagi Nepal, dan betapa pangeran itu amat mencinta Hwee Li. Maka dia lalu berkata, “Harap Paduka tenangkan hati. Sudah saya katakan tadi bahwa menghadapi orang pandai harus pula mempergunakan kesaktian dan setelah kini saudara-saudaraku berada di sini, kita tidak perlu khawatir. Kiranya bukan merupakan tugas yang terlalu berat untuk menemukan dan membawa kembali dua orang dara itu, Pangeran. Twa-ko dan Ji-ci, sekarang aku mengharap bantuan kalian untuk mencari dua orang dara itu. Yang seorang bernama Hwee Li, seorang dara berusia delapan belas tahun, berpakaian serba hitam, suka bermain dengan ular-ular beracun, anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka, wajahnya cantik jelita dan wataknya periang, jenaka dan agak.... agak liar. Dan dara yang ke dua adalah seorang Puteri Bhutan, usianya dua puluh satu tahun, cantik sekali, lemah lembut dan halus, bernama Syanti Dewi. Kalau tidak keliru, dua orang dara itu tentu bersama dengan seorang pemuda yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil, bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.”
“Ahhh....!” Hampir berbareng kakek gorilla dan nenek tengkorak itu berseru kaget mendengar ucapan terakhir itu.
“Ya, benar, Twa-ko dan Ji-ci. Pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, maka kalian kini memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian. Harap kalian dapat mencari dan membawa kembali dua orang puteri itu ke sini dan untuk jasa itu, Pangeran Nepal pasti tidak akan melupakannya.”
“Tentu saja!” Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri dan menjura. “Pertolongan Ji-wi Locianpwe amat berharga dan saya pasti tidak akan melupakan budi Ji-wi itu.”
Kakek gorilla itu saling pandang dengan nenek bertopeng tengkorak, lalu terdengar kakek itu berkata dengan suaranya yang tenang dan lembut, “Ji-moi, mari kita pergi!” Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan orangnya sudah lenyap!
Nenek muka tengkorak memandang kepada koksu dan berkata, “Sam-te, tugas kami berat namun menegangkan dan menggembirakan. Mungkin saja kami gagal, akan tetapi kami percaya bahwa kau, Su-te dan Ngo-te tidak akan membiarkan kami penasaran.”
“Jangan khawatir, Ji-ci!” kata Koksu Nepal dan percakapan sekali ini terjadi seperti dua orang saudara dan memang koksu itu bicara sebagai Sam-ok, bukan sebagai koksu. Akan tetapi jawabannya belum selesai ketika tubuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah lenyap pula dari tempat itu!
Hek-sin Touw-ong yang tadinya pingsan, sudah sejak tadi siuman, akan tetapi kakek ini pura-pura masih pingsan, dan diam-diam dia memperhatikan keadaan di situ dan mendengarkan semua percakapan. Dia terkejut bukan main melihat betapa Im-kan Ngo-ok telah berkumpul semua di dalam benteng itu! Dan mendengarkan mereka bicara, tahulah kakek ini bahwa Koksu Nepal yang lihai itu bukan lain adalah Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok! Tahulah dia bahwa dia dan muridnya tak mungkin dapat lolos dari tempat yang dihuni demikian banyaknya orang-orang pandai itu! Hanya dengan akal saja dia akan dapat menyelamatkan muridnya. Dia sendiri adalah seorang yang sudah tua, hidup bukan lagi merupakan suatu hal yang terlalu berharga baginya, dan kematian bukan merupakan suatu hal yang menakutkan. Akan tetapi Swi Hwa! Dia tidak boleh mati dalam usia semuda itu! Dan terbayanglah di depan mata kakek ini semua yang telah terjadi atas diri anak itu dan dia merasa berdosa sekali! Dia telah menculik anak itu, memisahkan anak itu dari semua keluarganya! Semua itu dilakukan hanya untuk melampiaskan dendam dan kemarahannya, dan setelah dipeliharanya, maka dia mencinta anak itu seperti anaknya sendiri. Dan sekarang, anak itu akan mati! Semua adalah gara-gara dia, dan anak itu tidak boleh mati karena menjadi muridnya!
“Ahhh....!” Dia mengeluh dan pura-pura baru siuman dari pingsannya, bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri. “Ahhh.... Ji-wi Lo-enghiong Su-ok dan Ngo-ok sungguh tak boleh dibuat permainan, dan sekarang aku yang dijadikan permainan! Mengapa orang segolongan sendiri menyusahkan kami guru dan murid?”
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong pura-pura kaget melihat sang pangeran dan Koksu Nepal. “Celaka! Kenapa kami dibawa ke sini?”
Ban Hwa Sengjin memandang dengan muka keren. “Hek-sin Touw-ong, apa yang telah kaulakukan bersama muridmu ketika menyamar sebagai Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, mengacau di dalam benteng?” bentaknya.
Pada saat itu, Swi Hwa sudah bergerak pula dan dara ini meloncat berdiri, akan tetapi gurunya cepat menarik tangannya, diajak berlutut, “Lekas berlutut, kita berada di depan Pangeran dan Koksu Nepal yang mulia!”
Swi Hwa heran menyaksikan sikap gurunya, akan tetapi ketika dia melihat bahwa dia telah berada di dalam benteng, terkurung oleh orang-orang pandai yang sekian banyaknya, dia tidak membantah dan cepat dia berlutut sambil menundukkan mukanya.
“Koksu yang mulia, Locianpwe Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang sakti tentu sudah maklum mengapa orang-orang seperti kita melakukan suatu tindakan. Sesuai dengan kebijaksanaan golongan kita kaum hitam, tentu saja kami berdua guru dan murid juga melakukan hal itu demi kepentingan kami sendiri, yaitu menerima hadiah dan juga atas tekanan dari Pendekar Siluman Kecil. Tadinya kami kira bahwa benteng ini hanya menjadi tempat orang-orang yang dimusuhi oleh Pendekar Siluman Kecil yang minta bantuan kami, sama sekali kami tidak tahu bahwa banyak tokoh dan datuk dari golongan kita sendiri berkumpul di sini. Kami berdua tidak mati pun sudah sangat untung, hanya mengalami kegagalan saja. Harap Locianpwe memaklumi keadaan kami.”
Dengan ucapan itu Hek-sin Touw-ong hendak menyatakan bahwa dia dan muridnya sama sekali tidak berniat memusuhi Im-kan Ngo-ok yang dianggap orang-orang dari satu golongan, yaitu golongan hitam atau kaum sesat, dan bahwa penyerbuannya semalam di dalam benteng adalah karena penekanan Siluman Kecil dan juga hadiah yang diberikannya, jadi dasarnya hanya “pekerjaan” saja, bukan permusuhan pribadi.
Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kakek muka hitam ini sebagai raja maling, tentu saja merupakan tokoh hitam pula di dunia kang-ouw, maka dia pun tidak merasa benci. Hanya karena kedudukannya sebagai koksu dan karena guru dan murid ini telah mengacau benteng maka dia harus bertindak.
“Tak perlu banyak cakap. Kalian telah mengacaukan tempat ini, baik sebagai musuh atau bukan tidak ada bedanya. Sekarang katakan, di mana adanya Siluman Kecil dan Nona Hwee Li? Di mana pula adanya Puteri Syanti Dewi?”
Pertanyaan terakhir itu mengejutkan hati guru dan murid itu. Jelas bahwa mereka berempat gagal untuk melarikan Syanti Dewi, juga gagal untuk melarikan seorang pun dari keluarga Jenderal Kao, bagaimana sekarang Koksu Nepal ini menanyakan tentang Puteri Bhutan itu? Apakah puteri itu berhasil melarikan diri di waktu ribut-ribut semalam? Karena maklum bahwa mereka berdua tidak berdaya dan bahwa agaknya gurunya yang biasanya tidak banyak cakap itu kini hendak menggunakan ”kepandaiannya” bicara, maka Swi Hwa diam saja dan menyerahkan semua jawaban kepada suhunya.
“Kami telah gagal melarikan Syanti Dewi seperti yang dikehendaki oleh Siluman Kecil, jawab Touw-ong dengan tenang. “Setelah kegagalan itu, maka kami berpencar, saya melarikan diri bersama murid saya, hal yang agak mudah karena kami berdua menyamar sebagai...” dia menoleh ke arah Hek-tiauw Lo-mo, dan Hek-hwa Lo-kwi, “.... kedua orang gagah itu, sedangkan Siluman Kecil melarikan diri bersama Nona Hwee Li. Setelah itu, kami berdua tidak lagi bertemu dengan mereka. Tentang Puteri Bhutan, sungguh kami tidak tahu karena telah gagal membawanya, bahkan kalau tidak salah, ketika itu sang puteri sudah dibawa masuk kembali oleh seorang Panglima Bhutan....“
Penuturan ini memang cocok dengan laporan para pengawal yang melakukan pengeroyokan, maka Ban Hwa Sengjin berpendapat bahwa tentu Siluman Kecil yang telah berhasil melarikan sang puteri. Hanya Siluman Kecil yang memiliki kepandaian tinggi sekali, bahkan dia sendiri karena kurang hati-hati, pernah roboh pingsan oleh Siluman Kecil itu. Sedangkan Touw-ong bersama muridnya ini tentu hanya memiliki kepandaian biasa saja, buktinya mudah tertawan oleh Su-ok dan Ngo-ok.
“Pangeran, saya kira Raja Maling ini tidak membohong dan memang mereka ini tidak tahu di mana adanya Sang Puteri dan juga Nona Hwee Li. Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?”
Pangeran itu mengerutkan alisnya. “Dia telah mengacau benteng, melakukan pembakaran, dan bersama muridnya telah menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?” Ucapan pangeran itu seperti bertanya kepada semua orang yang ada di ruangan itu. Hatinya memang mengkal sekali kalau mengingat bahwa perbuatan kedua orang ini telah menyebabkan hilangnya Syanti Dewi, sungguhpun Hwee Li memang sudah lolos sebelum mereka berdua ini datang mengacau dengan penyamaran mereka.
“Serahkan saja mereka kepada kami berdua!” tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan marah.
“Bunuh saja mereka!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi.
“Siksa mereka agar mengaku di mana adanya Sang Puteri Syanti Dewi!” kata Mohinta. “Saya yakin bahwa dia yang menyerang saya dan melarikan sang puteri, tentu seorang kawan dari mereka ini!”
“Koksu, harap serahkan gadis ini kepadaku sebagai pengganti yang tempo hari!” tiba-tiba Ngo-ok berkata dan menoleh kepada Swi Hwa.
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong tertawa. “Sungguh mengherankan. Di dalam rimba sekalipun, tidak ada harimau makan harimau dan srigala makan srigala! Kalau golongan hitam tidak saling membantu, mana mungkin menghadapi golongan putih yang kuat? Kami guru dan murid memang telah melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya karena kami tidak tahu bahwa di sini terdapat banyak orang-orang segolongan, dan kami tertipu dan tertekan oleh Siluman Kecil! Kalau kami dianggap sebagai golongan putih hendak dihukum, silakan. Siapa takut mati? Akan tetapi, sungguh menggelikan sekali kalau terdengar di dunia kang-ouw betapa ada kawan makan kawan sendiri! Pangeran, kami guru dan murid adalah orang-orang yang mencari rejeki menggunakan kemampuan kami. Kalau Paduka memaafkan kami dan memberi kami pekerjaan, kiranya kami dapat mempergunakan kepandaian kami untuk keuntungan Paduka!”
Pangeran Liong Bian Cu yang sedang marah itu memang tertarik oleh kepandaian guru dan murid ini. Masih belum dapat dia melenyapkan keheranannya betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang menghadapnya kemarin sore itu adalah penyamaran dari guru dan murid ini! Kini, mendengar omongan kakek bermuka hitam itu, dia berkata, “Orang berdosa, apalagi yang hendak kausampaikan kepada kami? Pekerjaan apa yang dapat kami berikan kepada kalian yang telah melakukan dosa besar itu?”
“Pangeran, harap jangan percaya kepada omongannya!” Lo-mo berkata marah.
“Lo-mo, jangan ganggu pembicaraan Pangeran dengan pesakitan!” Ban Hwa Sengin menegur dan Hek-tiauw Lo-mo melotot marah, akan tetapi tidak berani berkata apa-apa lagi.
“Pangeran, saya masih heran mendengar akan lenyapnya sang puteri. Sedangkan saya bersama murid saya, juga pendekar Siluman Kecil yang demikian sakti bersama Nona Hwee Li, tidak mampu melarikan sang puteri, bagaimana dalam keadaan ribut-ribut kebakaran itu ada orang yang mampu melarikannya? Hal itu hanya berarti bahwa ada orang lain yang melarikan sang puteri, dan menurut pendapat saya, orang itu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kepandaian Siluman Kecil.”
Semua orang tertegun dan bengong mendengar ini. Juga Ban Hwa Sengjin menjadi terkejut dan diam-diam dia memperhatikan karena dugaan yang diajukan oleh Raja Maling itu memang masuk di akal. Akan tetapi, siapakah orang yang lebih tinggi dari Siluman Kecil? Padahal Siluman Kecil itu sudah demikian lihainya!
“Jangan ngawur!” bentaknya. “Siapakah orangnya yang dapat lebih lihai dari Siluman Kecil dan mengapa pula dia melarikan sang puteri?”
Hek-sin Touw-ong memang cerdik dan dia tidak kekurangan akal untuk mengemukakan dugaan-dugaan yang dapat diterima, semua itu dilakukannya untuk menyelamatkan muridnya dari ancaman hukuman mati. “Ketika kami dimintai bantuan oleh Siluman Kecil, rencana kami adalah melarikan Puteri Bhutan dan juga keluarga Jenderal Kao Liang. Akan tetapi melihat keluarga jenderal itu demikian banyaknya, Siluman Kecil lalu hendak melarikan sang puteri saja. Akan tetapi hal itu pun gagal dilakukan karena kami ketahuan. Da1am keributan itu, ternyata sang puteri benar-benar lenyap. Hal ini tentu dilakukan oleh seorang yang amat lihai dan mengingat bahwa keluarga Jenderal Kao berada di sini sebagai tahanan, maka siapa lagi orang yang lebih lihai daripada Siluman Kecil itu selain putera sulung Jenderal Kao yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Ahhh....! Benar juga dugaannya!” tiba-tiba terdengar suara wanita berseru dan wanita yang bangkit dari tempat duduknya itu bukan lain adalah Cheng-yan-cu Kim Cui Yan!
Liok Tek Hwi juga berkata kepada Pangeran Liong Bian Cu, “Kiranya dugaannya itu tidak salah. Tadi pun aku sudah menduga bahwa tentu dia yang datang melarikan sang puteri.”
Ban Hwa Sengjin berubah wajahnya dan alisnya berkerut. “Si Naga Sakti Gurun Pasir?” Dia sudah mendengar nama ini, nama yang amat terkenal bukan karena pendekar itu sendiri melainkan karena tempat tinggalnya, yaitu Istana Gurun Pasir yang menjadi tempat tinggal Si Dewa Bongkok, guru dari Naga Sakti itu! Benarkah pendekar yang sama tenarnya dengan nama pendekar Pulau Es itu telah datang?
“Ah, kalau benar dia yang datang, kenapa dia tidak melarikan puteranya, melainkan puteri itu?” Terdengar Kim Cui Yan membantah.
“Benar juga pendapatmu itu, Sumoi.”
“Kita harus menyelidiki hal ini,” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Kita harus dapat menyelidiki tentang putera sulung Jenderal Kao itu, mencari keterangan dari keluarganya.”
“Akan tetapi mereka semua itu keras hati dan tidak takut mati, mana mereka mau membocorkan rahasia Si Naga Sakti?” Ban Hwa Sengjin meragu.
“Kalau Paduka suka memaafkan kami berdua guru dan murid, maka saya dapat menyelidikinya dengan menyamar sebagai Jenderal Kao dan bicara dengan mereka!” tiba-tiba Hek-sin Tow-ong yang melihat kesempatan baik terbuka itu segera berkata. “Tentu mereka akan membuka semua rahasia tentang putera sulung dari jenderal itu. Akan tetapi tentu saja lebih dulu saya harus mengenal mereka, satu-satu, dan apa hubungan mereka dengan jenderal itu.”
Pangeran dan koksu saling pandang dan diam-diam koksu memberi persetujuan dengan anggukan kepalanya. Memang tidak ada untungnya kalau hanya membunuh kedua orang guru dan murid ini, dan kalau dapat mempergunakan mereka sebagai pembantu, memanfaatkan kepandaian mereka menyamar, agaknya akan banyak berguna dan menguntungkan. Pula, mereka itu bukanlah musuh-musuh golongan, bahkan orang-orang segolongan dan perbuatan mereka semalam di benteng itu hanya terdorong oleh pekerjaan mereka sebagai maling yang menghendaki keuntungan dalam setiap perbuatan mereka!
Demikianlah, setelah mempelajari gerak-gerik Jenderal Kao dan mengenal semua keluarga jenderal itu, Si Raja Maling lalu menyuruh muridnya yang melakukan penyamaran. Dia sudah percaya benar akan kepandaian Swi Hwa dalam hal menyamar, bahkan kelincahan dara itu membuat Swi Hwa tidak kalah pandai daripada sang guru dalam meniru gerak-gerik orang lain. Selain ini, juga Raja Maling ini hendak menonjolkan jasa muridnya karena sesungguhnya semua ini dilakukannya untuk menyelamatkan sang murid dari hukuman berat. Dan usaha yang dilakukan oleh Swi Hwa memang berhasil baik sekali! Semua keluarga jenderal itu tidak ada yang tahu bahwa yang bercakap-cakap dengan mereka di luar pintu jeruji besi itu bukanlah Jenderal Kao Liang! Bahkan isteri sang jenderal sendiri tidak mengenal kepalsuan ini. Mereka saling bercakap tentang lolosnya Puteri Bhutan, dan Swi Hwa sebagai Jenderal Kao menyatakan dugaannya kepada keluarganya bahwa mungkin yang melarikan sang puteri adalah Kao Kok Cu, putera sulungnya atau Si Naga Sakti itu.
Akan tetapi keluarganya membantah. Tidak mungkin, kata mereka, karena kalau benar Naga Sakti yang datang, tentu puteranya, Kao Cin Liong, yang akan diselamatkannya lebih dulu, atau juga ayah ibunya, bukan puteri dari Bhutan itu! Dari percakapan ini, Swi Hwa mendengar tentang semua riwayat Jenderal Kao Liang, dan juga betapa jenderal itu telah menyuruh puteranya yang ke tiga, yaitu Kao Kok Han, untuk mencari Naga Sakti dan memberi tahu tentang segala malapetaka yang menimpa keluarga Kao. Semua yang diketahuinya dari hasil percakapan ini, oleh Swi Hwa dan gurunya dilaporkan kepada Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya, melihat betapa dara itu dalam melakukan penyamaran sungguh amat mengagumkan, pangeran ini dan koksu menerima mereka berdua sebagai pembantu-pembantu mereka karena Pangeran Liong Bian Cu memang ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang pandai, terutama dari golongan hitam untuk membantunya. Dan sesungguhnya Hek-sin Touw-ong juga termasuk seorang di antara tokoh-tokoh yang memang sudah diincarnya untuk membantunya, bahkan ketika terjadi pertemuan di lembah ini antara para tokoh hitam, Hek-sin Touw-ong juga diwakili oleh Ang-siocia, muridnya itu. Mengingat akan semua inilah, maka pangeran dan koksu memaafkan pengacauan mereka berdua di dalam benteng semalam, dan menarik mereka sebagai pembantu dan sekutu!
***
“Bagaimana kita menyeberang lautan yang lebar tanpa tepi itu, Enci?” Syanti Dewi bertanya ketika dia bersama Ouw Yan Hui berdiri di pantai yang sunyi pada siang hari itu, melihat air laut yang bergelombang, luas dan sampai ke kaki langit tidak nampak ada tepi atau pulau itu.
“Dengan kapal tentu saja. Kapalku sudah menantiku di sini,” jawab wanita cantik itu sambil tersenyum. Kemudian Ouw Yan Hui mengeluarkan sebatang anak panah kecil dari dalam buntalan pakaiannya, memukulkan ujung anak panah itu ke atas batu dan anak panah itu pun terbakarlah, mengeluarkan asap berwarna biru! Kemudian, tanpa gendewa, hanya menggunakan jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu saja, dia melontarkan anak panah itu ke udara. Nampak sinar biru meluncur ke atas, dan asap biru nampak nyata. Itulah tanda rahasia, pikir Syanti Dewi kagum. Dan sesaat kemudian, nampak sinar asap biru meluncur di sebelah barat.
“Nah, itulah mereka!” kata Ouw Yan Hui dengan wajah girang sambil memandang ke barat. Syanti Dewi juga ikut memandang dan tidak lama kemudian, muncullah sebuah kapal yang amat indah. Kapal layar itu besar sekali dan indah, dan nampak beberapa orang anak buah menurunkan sebuah perahu kecil yang didayung oleh empat orang dengan cepat menuju ke pantai. Setelah perahu itu tiba di pantai, barulah nampak oleh Syanti Dewi bahwa empat orang anak buah kapal yang mendayung perahu itu adalah wanita-wanita cantik dan muda yang memakai pakaian ringkas sehingga dari jauh tidak kelihatan bahwa mereka itu wanita.
“Tocu telah pulang!” Mereka berseru dengan girang dan mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Ouw Yan Hui yang mereka sebut tocu (majikan pulau). Ouw Yan Hui hanya tersenyum, kemudian menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajak naik ke dalam perahu kecil yang segera didayung dengan cepat oleh empat orang wanita itu menuju ke kapal besar.
Setelah tiba di kapal dan naik, Syanti Dewi melihat bahwa semua anak buah kapal itu adalah wanita, muda-muda dan rata-rata memiliki wajah yang cantik, atau setidaknya bersih. Dan begitu sang tocu naik ke atas kapal, mereka semua menjatuhkan diri berlutut dengan wajah gembira dan penuh hormat kepada Ouw Yan Hui! Mereka bersikap seolah-olah Ouw Yan Hui adalah ratu mereka! Dan kapal itu ternyata amat mewah.
“Hei, kalian semua lihatlah baik-baik. Nona ini adalah adikku, juga muridku dan kalian harus bersikap hormat dan ramah kepadanya, dan menyebutnya siocia.”
Semua orang yang masih berlutut itu memberi hormat kepada Syanti Dewi dan menyebut “Siocia!” dengan suara nyaring sehingga Syanti Dewi merasa canggung sekali. Dia memang sudah biasa dihormati orang, sebagai puteri istana Bhutan, akan tetapi di tempat ini dia merasa amat canggung menerima penghormatan seperti itu. Dan secara otomatis, keagungannya sebagai seorang puteri seketika timbul dan dia mengangkat sedikit tangannya sambil menganggukkan kepala sebagai tanda menerima penghormatan itu.
Terdengar suara bisik-bisik memuji kecantikan puteri ini ketika Ouw Yan Hui memberi isyarat agar kapal segera dilayarkan. Sibuklah semua anak buah kapal itu dan Syanti Dewi mengagumi ruangan-ruangan yang mewah dari kapal itu ketika Ouw Yan Hui mengajaknya masuk ke dalam bilik kapal yang cukup luas. Di situpun mereka disambut oleh para pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka sibuk melayani sang tocu, menyediakan air hangat untuk mandi, pakaian yang indah dan bersih, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan hidangan.
Ouw Yan Hui mandi dan bertukar pakaian, pakaian yang bahkan lebih indah daripada yang dipakainya tadi, dan sehabis mandi, wanita itu nampak makin cantik saja. Syanti Dewi dipersilakan mandi pula dan puteri ini kembali mengagumi kamar mandi tocu itu di dalam kapal yang indah dan lengkap. Air hangat dalam kolam air yang berbau harum membuat tubuhnya terasa segar dan dua orang pelayan melayaninya dengan pakaian yang serba baru! Pakaian itu adalah, pakaian Ouw Yan Hui yang memerintah pelayan untuk memberikan kepada Syanti Dewi, dan karena bentuk tubuh kedua orang wanita cantik ini memang tidak berbeda jauh, maka pakaian Ouw Yan Hui dapat pula dipakai oleh Syanti Dewi dengan pantas.
Kemudian Sang Puteri Bhutan dipersilakan makan bersama nyonya rumah yang juga menjadi gurunya itu. Hidangannya juga serba mewah, tidak kalah oleh masakan di restoran-restoran besar. Tahulah Syanti Dewi bahwa Ouw Yan Hui selain gagah perkasa dan lihai sekali, jua amat kaya raya!
Syanti Dewi tidak tahu arah mana yang ditempuh oleh kapal itu. Akan tetapi, cuaca telah berubah gelap dan para awak kapal menyalakan lampu-lampu kapal, dan kapal itu masih terus berlayar. Ouw Yan Hui mempersilakan Syanti Dewi untuk tidur. Mereka tidur sekamar, di mana terdapat dua buah tempat tidur. Syanti Dewi merasa demikian aman dan senang setelah untuk beberapa pekan lamanya hidup dengan penuh ketegangan dan kekhawatiran sehingga dia dapat tidur dengan nyenyak sekali, tanpa mimpi dan tanpa bangun sampai suara musik dan nyanyian membangunkannya. Cepat dia menengok dan ternyata bahwa Ouw Yan Hui telah pergi, karena tempat tidurnya kosong dan dari jendela bilik kapal yang ditutup tirai biru tipis itu menyorot cahaya matahari pagi! Hari telah pagi! Betapa nyenyaknya dia tidur!
Seperti telah mengikuti semua gerak geriknya begitu dia duduk, datanglah seorang pelayan yang berkata dengan sikap hormat dan suara halus, “Siocia, air untuk mandi telah siap. Siocia menghendaki air hangat atau air dingin?”
“Dingin saja,” jawab Syanti Dewi dan pelayan itu lalu membungkuk.
“Sudah siap di kamar mandi, Siocia.”
“Ke manakah perginya.... Tocu?”
“Tocu sudah menanti di geladak kapal, sedang menonton tari-tarian yang menyambut kedatangan beliau.”
Ah, jadi suara musik dan nyanyian itu adalah tari-tarian yang khusus diadakan untuk menyambut kedatangan Ouw Yan Hui? Bukan main! Syanti Dewi tergesa-gesa pergi ke kamar mandi, diikuti oleh pelayan yang menanti di luar kamar mandi dengan pakaian baru yang sudah dipersiapkan.
Setelah selesai mandi dan melihat betapa pakaian yang diperuntukkan dia amat bagusnya, dia berseru, “Ah, untuk apa pakaian begini indah dan mewah?”
“Atas perintah Tocu, Siocia. Untuk menghadiri penyambutan ini!” jawab pelayan dengan tegas dan singkat, agaknya memang sudah dipersiapkan jawaban ini.
Syanti Dewi cepat mengenakan pakaian indah itu, dibantu oleh pelayan. Setelah selesai, seorang pelayan lain datang menghadap dan memberl hormat. “Tocu minta kepada Siocia untuk makan pagi di geladak sambil menikmati pesta sambutan.”
Hampir Syanti Dewi tertawa. Bukan main penolongnya ini! Agaknya mempunyai kehidupan yang amat mulia dan mewah dan menyenangkan, tiada ubahnya seorang puteri atau seorang ratu saja! Dia pun lalu berjalan keluar dari kamar, didahului oleh pelayan tadi dan ketika dia tiba di geladak kapal itu, Syanti Dewi kembali merasa kagum bukan main. Kiranya kapal itu telah berlabuh di pantai sebuah pulau yang subur sekali, penuh dengan pohon-pohon dan bunga-bunga yang agaknya teratur rapi, seperti sebuah taman yang amat besar, luas dan indah. Sejauh mata memandang, tidak nampak rumah melainkan pohon-pohon dan bunga-bunga belaka! Seperti pulau sorga dalam dongeng saja! Dan di pantai nampak belasan orang wanita cantik sedang menari-nari amat indahnya, lemah gemulai, dengan melambaikan selendang-selendang yang beraneka warna, dengan gerakan berirama sehingga selendang-selendang yang beraneka warna itu seperti bunga-bunga yang berkembang dan mekar. Mereka menari sambil menyanyi, diiringi musik yang dimainkan oleh wanita-wanita pula. Tidak ada seorang pun pria di situ, semua wanita belaka, dari yang berpakaian pelayan, berpakaian penjaga atau perajurit, sampai para penari dan pemain musik, semua perempuan dan jumlah mereka amat banyak, tak terhitung oleh Syanti Dewi yang berdiri bengong.
“Ah, engkau sudah bangun, Syanti? Mari, duduklah di sini, enak makan di sini mandi cahaya matahari pagi sebelum panas sambil menikmati tarian dan nyanyian!”
Syanti Dewi menengok dan dia melihat Ouw Yan Hui duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan yang sudah lengkap dan masih mengepul panas. Beberapa orang pelayan berdiri di dekat situ dengan sikap hormat dan seorang di antara mereka menarik bangku yang memang sudah dipersiapkan untuk Syanti Dewi.
“Terima kasih, Enci” kata Syanti Dewi yang lalu duduk dan pelayan sibuk mengambilkan hidangan dan minuman untuk puteri itu. Mereka berdua lalu makan pagi sambil menikmati tontonan yang sengaja diadakan untuk menyambut pulangnya Ouw Yan Hui.
“Enci, apakah setiap kali kau bepergian, pulangnya disambut seperti ini?” Syanti Dewi bertanya.
Wanita cantik itu tersenyum. “Ah, engkau tidak tahu, Syanti. Dalam beberapa tahun ini aku tidak pernah meninggalkan pulau ini. Karena itulah maka anak buahku merasa girang melihat aku pulang, agaknya mereka itu khawatir karena sudah beberapa pekan lamanya aku tidak pulang. Mereka itu menganggap aku sebagai ratu mereka, Syanti.”
“Enci, engkau memang pantas menjadi ratu! Pulau ini milikmu?”
Wanita itu mengangguk. “Begitulah. Pulau ini kosong, tidak ada orangnya, dan punghuninya hanyalah ular-ular beracun, bahkan di sini terdapat ular beracun paling hebat yang kulitnya seperti emas, dan dinamakan Kim-coa. Tidak ada nelayan berani mendarat di sini, maka aku lalu tinggal di sini, membersihkan pulau ini yang kuberi nama Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Ternyata tanah di pulau ini subur sekali, maka setelah lewat belasan tahun, kaulihat pulau ini telah berubah menjadi tempat yang menyenangkan sekali, dan aku hidup bersama lima puluh orang anak buahku di tempat ini dengan bahagia.”
“Belasan tahun? Engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun? Tentu engkau datang ke tempat ini ketika masih amat kecil, Enci. Bagaimana dalam usia kanak-kanak engkau dapat menaklukkan ular-ular beracun dan dapat berlayar sampai di tempat terpencil ini? Dan.... menurut ceritamu, kau pernah bersuami.... eh, apakah kalian dahulu juga tinggal di sini? Kalau begitu kurasa di sini tidak ada tetangga.... ataukah kaumaksudkan wanita pengganggu itu seorang di antara pelayan-pelayanmu ini?”
Ouw Yan Hui tersenyum geli. “Ah, dugaanmu meleset jauh sekali, Syanti. Tentu saja dahulu aku tidak tinggal di sini. Justeru karena peristiwa terkutuk itu, setelah membunuh mereka, aku menjadi buronan dan aku melarikan diri dengan perahu, sampai akhirnya tiba di sini!”
“Tapi.... tapi kau tadi bilang bahwa engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun....”
Ouw Yan Hui mengangguk. “Sudah tujuh belas tahun.”
Syanti Dewi terbelalak. “Mana mungkin? Tentu ketika itu engkau baru berusia paling banyak delapan tahun, Enci....”
“Ketika pertama kali aku mendarat di, pulau ini, usiaku sudah sebaya denganmu, Syanti, sekitar dua puluh dua tahun.”
“Ahhh....! Tapi.... tapi....“ Syanti Dewi benar-benar terkejut dan heran, menatap wajah wanita itu penuh selidik, wajah yang membayangkan usia yang tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun.
“Kaukira berapakah usiaku, Syanti? Sudah empat puluh tahun.”
”Tidak mungkin!” Puteri Bhutan itu berseru.
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tersenyum lebar, hampir tertawa. “Baru melihat aku saja engkau sudah terheran-heran, apalagi kalau engkau bertemu dengan Bibi Maya.”
“Siapakah Bibi Maya?”
“Dia adalah guruku, guru dalam ilmu awet muda. Kelak engkau akan dapat bertemu dengan dia kalau kebetulan dia berkunjung ke sini. Sekarang, marilah kita mendarat. Kasihan para pelayan di istanaku yang sudah lama menanti-nanti.”
Keheranan demi keheranan, kekaguman demi kekaguman memenuhi hati Syanti Dewi semenjak dia dilarikan oleh Ouw Yan Hui dari dalam benteng di mana dia menjadi tawanan sampai dia mendarat di Kim-coa-to. Pulau itu tidak berapa besar, akan tetapi tentu saja sudah cukup besar untuk ditinggali oleh Ouw Yan Hui bersama lima puluh orang anak buahnya itu.
Merupakan sebuah perkampungan berikut ladang yang ditanami tumbuh-tumbuhan obat, sayur dan pohon-pohon buah. Terdapat belasan pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anak buah majikan Pulau Ular Emas itu. Di tengah-tengah pulau, dari pantai tidak nampak karena tertutup oleh pohon-pohon besar, berdiri sebuah bangunan yang tidak terlatu besar, akan tetapi amat megah dan mewah. Pantas saja kalau Ouw Yan Hui menyebut rumahnya itu istana karena memang indah seperti istana raja saja! Dan di belakang istana itu terdapat sebuah taman yang indah sekali, merupakan inti dari pulau yang sudah merupakan taman besar itu.
Benar saja seperti yang telah diduganya ketika dia makan pagi bersama Ouw Yan Hui di atas geladak kapal dan tidak melihat adanya seorang pun pria, ternyata di atas pulau itu memang sama sekali tidak ada prianya. Semua adalah wanita-wanita, dan tidak ada wanita yang sudah tua, paling tua berusia tiga puluh tahun dan rata-rata memiliki wajah bersih dan tubuh yang ramping dan padat? Seperti dunia wanita saja! Akan tetapi, setelah segala pengalamannya yang mengerikan terjatuh ke tangan orang-orang jahat, kini berada di antara wanita-wanita itu saja Syanti Dewi merasa aman.
Hanya satu hal yang membuat Syanti Dewi tidak pernah berhenti terheran-heran, yaitu melihat kecantikan wajah Ouw Yan Hui dan kepadatan tubuh wanita itu. Usia sudah empat puluh tahun. Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Di negerinya, di Bhutan, memang terdapat ilmu untuk membuat wanita awet muda, akan tetapi tidak seperti ini, sudah berusia empat puluh tahun namun wajahnya tidak lebih tua dari dua puluh lima tahun dan tubuhnya malah seperti seorang dara remaja saja! Padahal wanita berusia empat puluh tahun ini sudah pernah bersuami, pernah pula mengandung dan melahirkan!
Setelah tinggal di Pulau Kim-coa-to, mulailah Ouw Yan Hui melatih ginkang kepada Syanti Dewi. Mula-mula Syanti Dewi disuruh mengejar-ngejar kupu-kupu dalam taman! Seperti permainan kanak-kanak saja. Mula-mula hanya disuruh mengejar seekor kupu-kupu terbang dan menangkapnya, akan tetapi dari seekor kupu-kupu dia lalu disuruh menangkap dua ekor kupu-kupu sekaligus, lalu tiga ekor dan seterusnya. Dia dilatih untuk bersamadhi, mengatur pernapasan, dan bagaimana dia harus mengerahkan sinkang di waktu berloncatan mengejar kupu-kupu. Jangan dikira mudah mengejar kupu-kupu, terutama kupu-kupu yang bersayap kuning, yang amat lincah dan pandai mengelak. Pertama kali mengejarnya, seekor kupu-kupu saja baru dapat ditangkapnya setelah Syanti Dewi bermandi keringat dan mengejar-ngejarnya sampai berjam-jam lamanya. Akan tetapi, setelah Syanti Dewi memperoleh kemajuan dan mulai memiliki gerakan yang lincah dan gesit sekali, dia dapat menangkapnya dengan sekali lompat, dan setelah lewat dua bulan, dia dapat menangkap lima ekor kupu-kupu hanya dengan beberapa kali loncatan saja!
Setelah itu, Ouw Yan Hui lalu mengajarnya untuk menangkap burung terbang!
“Aih, Enci Hui, mana mungkin aku dapat menangkap burung terbang? Aku tidak bersayap seperti burung!” Syanti Dewi berkata penuh keraguan.
“Kaulihatlah aku!” kata wanita itu sambil memandang ke atas, ke arah pohon-pohon di mana terdapat beberapa ekor burung berwarna coklat dengan dada putih. “Akan kutangkap burung-burung itu!” Tiba-tiba tubuhnya lenyap, berkelebat ke atas dan dengan mata terbelalak Syanti Dewi melihat, bayangan wanita itu berkelebatan di antara cabang-cabang pohon lalu disusul suara burung-burung mencicit ketakutan. Sesosok bayangan berkelebat turun dan tahu-tahu wanita luar biasa itu telah melompat turun, di masing-masing tangannya terdapat dua ekor burung yang tadi beterbangan di antara daun-daun pohon itu!
“Hebat, Enci! Kau hebat bukan main!” Syanti Dewi berseru.
“Kalau kau tekun berlatih, engkau pun akan dapat menangkap burung-burung seperti itu. Mari kita latihan di lian-bu-thia dengan burung-burung ini!”
Syanti Dewi diajak ke ruangan latihan silat yang tertutup rapat dan di situ Ouw Yan Hui melepaskan empat ekor burung kecil tadi. Burung itu beterbangan di dalam ruangan itu, akan tetapi tidak dapat keluar karena jendela dan pintunya sudah ditutup rapat. Atas petunjuk Ouw Yan Hui, mulailah Syanti Dewi mengejar-ngejar empat ekor burung itu. Dia menggunakan kegesitannya dan kelincahannya yang diperoleh selama berlatih menangkap kupu-kupu, akan tetapi sampai sehari itu, belum juga dia berhasil menangkap seekor pun di antara burung-burung itu! Ternyata jauh sekali bedanya antara gerakan kupu-kupu dengan gerakan burung yang jauh lebih gesit dan cepat itu!
Kembali Syanti Dewi harus dengan tekun melatih samadhi dan pernapasan, dan tiada bosan-bosannya dia berlatih mengejar dan menangkap burung-burung. Ouw Yan Hui selalu menggantikan burung-burung itu dengan burung-burung baru yang segar dan lebih gesit, akan tetapi dengan ketekunannya yang luar biasa, bahkan kadang-kadang di waktu malam Syanti Dewi berlatih seorang diri di dalam lian-bu-thia, akhirnya Puteri Bhutan itu berhasil juga menangkap burung terbang, mula-mula hanya seekor, akan tetapi beberapa bulan kemudian dia dapat menangkap empat lima ekor burung yang dilepas oleh Ouw Yan Hui di dalam ruangan silat itu!
“Bagus, engkau memang berbakat dan untungnya engkau pernah mempelajari dasir-dasar ilmu silat tinggi dari pendekar pendekar sakti, sehingga engkau dapat dengan mudah menguasai dasar-dasar ginkang. Setelah engkau menguasai kecepatan gerak, kita boleh mulai berlatih di luar untuk memperoleh keringanan tubuh sehingga engkau dapat mulai belajar Ilmu Jouw-sang-hui-teng yang akan membuat engkau dapat berlari seperti terbang cepatnya dan belajar meloncat tinggi seperti melayang. Akan tetapi ilmu ini tidak mudah, Syanti, engkau harus belajar dengan tekun sekali.”
Mulailah Syanti Dewi berlatih di bawah petunjuk Ouw Yan Hui. Latihan ini dilakukan di tempat-tempat sunyi, tidak boleh dilihat oleh para anak buah. Dan kadang-kadang Ouw Yan Hui mengajak Syanti Dewi untuk naik perahu kecil berdua saja di tengah lautan, kemudian mengajak Puteri Bhutan itu untuk mandi di laut, bertelanjang bulat karena memang di tengah laut itu sunyi sekali, seperti dua orang peri laut kedua orang wanita cantik jelita itu berkecimpung di antara ombak-ombak dan di sini Ouw Yan Hui mengajarkan ginkang yang amat tinggi tingkatnya kepada Syanti Dewi!
Tanpa disadarinya sendiri, Syanti Dewi telah mempelajari ilmu yang amat hebat, ilmu yang mengubah dirinya sama sekali, dari seorang puteri yang biarpun mengenal ilmu silat namun tergolong lemah di antara tokoh-tokoh kang-ouw, menjadi seorang wanita yang memiliki gerakan seperti kilat, memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi bukan hanya perubahan ini saja yang terjadi pada dirinya, akan tetapi tanpa disadarinya pula, karena setiap hari bergaul dengan Ouw Yan Hui dan selalu meniru contoh-contoh yang diberikan wanita itu dalam berlatih ilmu, maka secara otomatis watak aneh dari Ouw Yan Hui juga menular kepada Syanti Dewi! Puteri Bhutan itu kini makin cantik, atau makin pesolek, makin angkuh dan tinggi hati, juga keramahan pada wajahnya lenyap, berubah menjadi dingin! Akan tetapi karena dinginnya ini bukan terpengaruh batinnya, melainkan pengaruh dari luar, maka gadis yang sudah dewasa ini, yang rindu akan belaian kasih sayang pria pujaannya, sebetulnya menyimpan gairah yang berapi-api, sehingga karena dibungkus oleh sifat dingin yang ditularkan Ouw Yan Hui maka Syanti Dewi kini seperti gunung berapi yang tertutup salju!
Di sebelah timur daratan Tiongkok terdapat banyak sekali pulau-pulau besar dan kecil. Terutama agak ke utara, terdapat pulau-pulau kecil yang tak terhitung banyaknya, pulau-pulau yang masih terasing dan masih banyak yang kosong. Di ujung utara, di ternpat terpencil dan jauh sekali dari kehidupan ramai, terdapat sebuah pulau di antara pulaa-pulau lain, yaitu pulau yang terkenal di dalam dongeng para tokoh kang-ouw, yang dinamakan Pulau Es!
Jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah melihat pulau ini, karena selain sukar sekali didatangi, juga kebanyakan orang kang-ouw takut untuk mendekati pulau ini, takut kepada penghuninya yang lebih terkenal daripada pulau itu sendiri. Penghuni Pulau Es atau majikan dari Pulau Es terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman. Baru menyebut namanya saja, semua orang dari golongan hitam atau kaum sesat sudah menggigil ketakutan.
Para pembaca cerita Pendekar Super Sakti dan cerita-cerita lanjutannya tentu sudah mengenal siapa adanya Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini. Namanya adalah Suma Han, dan kini Suma Han atau Pendekar Super Sakti telah berusia lanjut, sudah lebih dari enam puluh tahun. Pendekar sakti ini tinggal dengan tenang dan tenteramnya di Pulau Es, bersama dua orang isterinya yang tercinta, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang wanita yang amat mencinta suami mereka, amat setia dan juga merasa amat berbahagia hidup bertiga di atas pulau itu bersama suanni dan madu mereka.
Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa ketenteraman, ketenangan atau kedamaian hidup sama sekali bukan tergantung daripada tempat atau keadaan di luar diri kita, melainkan sepenuhnya tergantung dari keadaan batin kita sendiri! Betapapun sunyi tempat di mana kita tinggal, namun kalau batin kita tidak hening, kalau batin kita sibuk dan bising, maka kesunyian tempat itu tidak ada artinya! Oleh karena itu, bukan hanya teori belaka kalau dikatakan bahwa seorang yang bertapa di puncak gunung yang sunyi akan menderita karena kebisingan batinnya, sebaliknya orang yang berada di tengah kebisingan akan dapat menikmati keheningan batinnya. Sungguhpun tak dapat disangkal bahwa keadaan di luar itu ada pengaruhnya juga terhadap batin, akan tetapi segala sesuatu berpusat pada batin kita sendiri. Masalah timbul dari dalam batin, timbul dari penanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi. Segala macam hal yang terjadi dalam hidup ini merupakan suatu fakta, dan apakah kejadian itu menjadi masalah ataukah tidak, sepenuhnya tergantung dari pikiran yang menanggapinya. Kalau pikiran menanggapi, tentu saja timbul masalah karena pikiran selalu memperhitungkan rugi untung, dan setelah masalah timbul, tentu saja terdapat penderitaan dan kekhawatiran.
Demikian pula halnya dengan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Bukan hanya Pendekar Super Sakti saja yang merupakan seorang manusia sakti, dengan ilmunya yang tinggi sukar dicari bandingnya, bahkan kedua orang isterinya juga merupakan wanita-wanita yang amat lihai. Kedua orang wanita itu, baik Puteri Nirahai maupun Lulu, pernah menggegerkan dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi, kesaktian mereka dan kehidupan mereka di Pulau Es amat sunyi itu, tetap saja bukan merupakan jaminan akan kedamaian hidup mereka di waktu usia mereka sudah mulai tua itu.
Selama beberapa bulan ini terasa sekali oleh Pendekar Super Sakti betapa hatinya tertindih oleh kegelisahan dan kemarahan. Dia marah kepada dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali kepada Suma Kian Bu, putera dari Nirahai, yang sudah meninggalkan Pulau Es selama enam tahun dan belum pernah pulang! Puteranya yang lain, yaitu Suma Kian Lee, putera Lulu, enam tahun yang lalu juga pergi meningalkan Pulau Es bersama adiknya itu (baca cerita Sepasang Rajawali), akan tetapi Kian Lee sudah pulang, bahkan memperdalam ilmunya di Pulau Es selama beberapa tahun. Kini, Kian Lee telah diutusnya untuk pergi mencari adiknya, dan sudah hampir setahun lamanya Kian Lee belum pulang sehingga tidak ada berita tentang kedua orang puteranya itu. Tentu saja hal ini membuat hati pendekar sakti itu menjadi gelisah dan marah.
Apalagi kegelisahannya itu bertambah dengan adanya sikap dari dua orang isterinya. Mereka berdua itu selalu kelihatan berwajah muram, kadang-kadang marah-marah dan berduka karena mereka merasa rindu dan khawatir sekali. Terutama Puteri Nirahai yang sudah enam tahun tidak melihat puteranya. Sebagai wanita-wanita gagah, mereka pantang untuk memperlihatkan kedukaan mereka, akan tetapi mereka menjadi marah-marah karena melihat suami mereka seperti tidak mempedulikan kepergian dua orang anak mereka itu. Mereka memperlihatkan rasa tidak suka hati mereka kepada suami mereka dengan wajah muram.
Ketika pada suatu malam, kedua isterinya yang melayani makan itu hanya duduk diam saja menghadapi dia makan, dan tidak ikut makan, Pendekar Super Sakti menghela napas panjang dan mendorong mangkok nasinya ke samping.
“Nah, katakanlah, apa yang kalian kehendaki? Tidak baik menyimpan dendam di dalam hati,” katanya dengan halus dan penuh kasih sayang karena memang sesungguhnya pendekar ini masih menaruh hati cinta yang mendalam terhadap kedua orang isterinya itu.
Setelah melihat sikap halus dari suami mereka itu, dua orang isteri yang juga amat kagum dan mencinta suami mereka, berbalik merasa kasihan.
“Kami besok hendak pergi meninggalkan pulau,” tiba-tiba Lulu, yang kini telah menjadi seorang nenek berusia hampir enam puluh tahun itu, namun masih memiliki raut wajah yang cantik, berkata penuh semangat. Memang wanita ini tidak pernah kehilangan semangatnya sejak dahulu sampai sekarang.
“Kami harus pergi menyusul dan mencari anak-anak kita,” Puteri Nirahai menerangkan dengan tenang. “Kau harus ingat, suamiku, mereka berdua itu telah cukup umur, telah berusia dua puluh satu dan dua puluh tahun. Kami ingin melihat mereka itu menjadi suami dari isteri yang baik. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk mempunyai mantu.”
“Hemmm...., bagaimana mungkin wanita-wanita yang sudah mulai lanjut usianya seperti kalian berdua ini hendak melakukan perjalanan yang demikian jauh dan berbahaya?” Pendekar Super Sakti berkata halus, penuh kekhawatiran.
“Habis, kalau engkau yang menjadi ayahnya diam saja, terpaksa kami yang menjadi ibu mereka turun tangan. Mendiamkannya saja mereka pergi tanpa berita lebih lama lagi, kami bisa mati karena gelisah!” Lulu berkata.
Suma Han menghela napas panjang, lalu meraih kembali mangkok nasinya. “Baiklah, nanti kita bicarakan hal itu, kalian tidak perlu mogok makan untuk itu, membahayakan kesehatan sendiri.”
Dua orang isterinya itu saling pandang, timbul harapan mereka bahwa sekali ini suami mereka akan menaruh perhatian, maka mereka pun lalu mengisi mangkok dengan nasi dan makan bersama suaminya. Mereka makan tanpa berkata-kata, seperti biasa kalau mereka makan, dengan mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada apa yang mereka lakukan saat itu.
Setelah selesai makan dan dua orang isterinya menyingkirkan mangkok piring, Pendekar Super Sakti duduk termenung. Sudah lama dia tinggal bertiga saja bersama dua orang isterinya sejak dua orang puteranya pergi, enam tahun yang lalu. Semua anak buah atau pelayan dan pembantu di Pulau Es, telah dia suruh pulang ke tempat asal masing-masing meninggalkan Pulau Es, sehingga dia tinggal bertiga saja dengan dua orang isterinya. Dia telah membagi-bagikan sebagian harta kepada para anak buah itu yang dengan hati berat meninggalkan Pulau Es karena mereka maklum bahwa pendekar sakti itu dalam usia tuanya ingin hidup mengasingkan diri di tempat sunyi itu, tidak ingin mencampuri urusan dunia ramai lagi, maka tidak membutuhkan bantuan para anak buah itu lagi. Akan tetapi kini, timbul urusan kedua orang puteranya sehingga mau tidak mau dia harus pula memikirkan.
Beberapa kali pendekar itu menarik napas panjang. Betapa hidup ini selalu menjadi permainan keinginan. Sejak kecil sampai sudah setua dia masih juga belum dapat bebas dari keinginan-keinginan. Kalau pun sekarang, dalam usia tua dia sudah tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri yang sudah tua, keinginan itu bukannya mati, melainkan meluas menjadi keinginan untuk melihat anak-anaknya berbahagia! Dan untuk memperjuangkan kebahagiaan anak-anaknya, maka dia maupun kedua orang isterinya mau melakukan apa saja! Hidup penuh dengan ikatan, sehingga tidak mungkin dapat bebas selama dirinya masih terikat, terikat kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kedudukan, kepada nama! Ah, dia tidak boleh membiarkan kedua orang isterinya itu pergi ke daratan besar. Kalau mereka pergi, tentu mereka akan menimbulkan onar, terutama sekali Lulu, dan tentu akan terjadi geger di dunia kang-ouw, dan belum tentu mereka berdua akan kembali ke Pulau Es! Tidak, dia tidak harus membiarkan mereka pergi, dia yang harus pergi sendiri!
Betapa kebanyakan dari kita masih belum melihat betapa cinta kasih kita terhadap anak-anak kita adalah palsu belaka! Betapa sesungguhnya kita, secara halus dan tentu saja tidak akan ada yang mau mengakuinya, hanya ingin mempergunakan anak-anak kita sebagai jembatan atau perabot untuk memperoleh kesenangan bagi diri kita sendiri, yaitu melihat anak-anak kita taat, berbakti kepada kita, kemudian kelak menjadi seorang yang terpandang di masyarakat, pendeknya menjadi seorang anak kita yang mengangkat tinggi nama kita! Menjadi seorang anak kita yang dapat kita banggakan, dapat kita sandari, dan dapat kita andalkan! Mulut kita mengatakan bahwa kita ingin membahagiakan anak, akan tetapi mata kita tidak ada yang melihat dengan waspada betapa kita telah membentuk anak-anak kita menjadi boneka sesuai dengan selera kita, membentuk kebahagiaan-kebahagiaan mereka yang sesuai dengan perumusan kita tentang kebahagiaan. Karena itu, karena kebodohan kita, karena ketamakan kita, maka kita sama sekali bukan membahagiakan mereka, melainkan sebaliknya kita melempar anak-anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan konflik dan kesengsaraan tiada hentinya. Karena perumusan kita tentang bahagia adalah kaya raya, mulia, terhormat, terpandang, padahal semua ini tiada lain hanya mendatangkan iri hati dan konflik antara sesama manusia, dan konflik ini tak dapat tiada mendatangkan penderitaan batin. Kita hendak mengikat anak-anak kita dengan apa yang kita namakan cinta, padahal sesungguhnya hanyalah pamrih untuk memuaskan hati sendiri belaka.
Kalau kita benar mencinta anak-anak kita, kiranya kita tidak akan membiarkan anak-anak kita bersaingan, bermusuhan, berebutan, dan terutama sekali tidak akan membiarkan anak-anak kita berperang!
Saling bersaing, dalam sekolah, saling berebutan dalam mencari nafkah, saling bermusuhan dalam mencari kedudukan dan kemuliaan, kemudian saling membunuh dalam perang. Kita mengajarkan semua itu dan toh kita mengaku cinta kepada anak-anak kita!
Kita lupa bahwa kalau kita mencinta anak-anak kita, selayaknya kalau kita memberi kebebasan kepada mereka, dengan pengamatan yang penuh perhatian, menunjukkan bahaya-bahaya agar mereka mengerti, menunjukkan kesesatan-kesesatan agar mereka tidak sampai memasukinya, dan menuntun mereka, bukan memaksa mereka melalui jalan tertentu, dengan penuh kasih sayang, bukan dengan cinta yang berpamrih memuaskan diri sendiri melalui anak-anak!
Semalam suntuk Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya bercakap-cakap tentang kedua orang anak mereka.
“Kian Lee dan Kian Bu bukan kanak-kanak lagi, mereka sudah dewasa, kata Pendekar Super Sakti antara lain kepada dua orang isterinya. “Dan mereka pun telah memiliki kepandaian cukup sehingga mereka tentu mampu menjaga diri sendiri. Tentang jodoh, kalian tentu mengerti bahwa mereka berhak untuk memilih calon jodoh mereka masing-masing sendiri, dan tidak baik kalau kita yang mencarikan jodoh untuk mereka.”
“Akan tetapi, lupakah kau bahwa Kian Bu sudah meninggalkan pulau ini selama enam tahun? Kalau tidak ada apa-apa dengan dia, tidak mungkin dia seolah-olah lupa kepada orang tuanya! Dan menurut penuturan Kian Lee ketika pulang, agaknya Kian Bu juga menderita kekecewaan dalam percintaannya. Ah, aku khawatir kalau-kalau terjadi apa-apa dengan dia.”
“Aku pun tidak akan memaksa dia berjodoh dengan orang yang tidak dicintanya,” Lulu juga membantah. “Akan tetapi, dia dan Kian Bu harus pulang dulu ke sini, baru kita bicara tentang perjodohan mereka. Kian Lee berjanji akan mencari dan mengajak pulang Kian Bu, akan tetapi mengapa sampai sekarang tidak ada kabar beritanya? Dan menurut penuturannya, di dunia ramai banyak bermuncullan tokoh-tokoh kaum sesat. Biarpun kedua orang anak kita itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka itu belum banyak pengalaman, tentu berbahaya kalau berhadapan dengan datuk-datuk sesat.”
“Baiklah, kalian jangan khawatir. Aku sendiri memang sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul mereka. Karena kita sekarang sudah tidak mempunyai pembantu lagi, maka aku akan pergi sendiri sambil melihat-lihat keadaan di dunia ramai. Aku akan membawa Tiauw-ko (Rajawali) yang sudah tua itu. Mudah-mudahan saja dia masih kuat menyeberangkan aku ke daratan besar.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi sekali Pendekar Super Sakti telah memanggil burung rajawali yang sudah tua pula. Burung ini hanya satu-satunya burung rajawali yang masih berada di pulau itu, dan ketika burung tua itu meluncur turun dan hinggap di depan pendekar itu bersama kedua orang isterinya, Suma Han memandang kepada burung itu dengan terharu.
“Tiauw-ko, maafkan aku. Sudah setua ini engkau masih harus membantuku menyeberang lautan. Membikin lelah engkau saja, Tiuaw-ko!” katanya sambil menepuknepuk punggung burung itu yang mengeluarkan suara menguk-nguk seperti seekor anjing setia.
“Hati-hati dalam perjalanan!” kata Nirahai.
“Dan jangan lama-lama, cepat ajak pulang Kian Lee dan Kian Bu,” kata pula Lulu.
Suma Han tersenyum, memandang kepada dua orang isterinya dengan penuh kasih sayang, diam-diam merasa kasihan meninggalkan dua orang isterinya itu berdua saja di atas pulau yang sunyi itu. Dia membiarkan dua orang isterinya memegang kedua tangannya, kemudian setelah meremas tangan mereka dengan jari-jari tangan yang masih menggetarkan kasih yang mendalam, Suma Han lalu melepaskan pegangan tangannya dan sekali dia menggerakkan kaki tunggalnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas punggung burung rajawali.
“Selamat tinggal, aku pergi takkan lama!” katanya. “Tiauw-ko, mari kita berangkat.”
Burung itu lalu menggerakkan sepasang sayapnya dan terbanglah dia ke atas. Suma Han membalas lambaian tangan kedua orang isterinya itu dengan gerakan tongkatnya, dan sebentar saja dia sudah tidak lagi dapat melihat isterinya, hanya melihat pulau itu yang nampak kecil dari atas, keputih-putihan. Dari bawah, Lulu dan Nirahai hanya melihat titik hitam dari rajawali itu untuk kemudian lenyap ditelan awan.
Setelah dibawa terbang di antara awan-awan di udara, Pendekar Super Sakti merasakan kegembiraan yang luar biasa dan bangkitlah semangatnya seperti pada puluhan tahun yang lalu! Teringatlah dia akan semua pengalamannya yang lalu dan terbayanglah di depon matanya wajah-wajah para tokoh dunia persilatan. Apakah mereka itu masih hidup? Dan apakah mereka itu pun seperti dia, mengasingkan diri dari dunia ramai? Ah, kalau para tokoh kaum sesat bermunculan, tentu kepergiannya sekali ini tidaklah begitu mudah untuk menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan. Dia sudah tidak bergairah untuk mempergunakan kepandaian melawan seorang dalam perkelahian, dia sudah bosan harus bertanding melawan orang lain. Akan tetapi, apakah dia mungkin dapat membiarkan kejahatan merajalela dan membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya? Biarlah, dia tidak akan bergerak kalau tidak terpaksa. Biarkan pendekar-pendekar muda menggantikan tempatnya untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, pendekar-pendekar muda seperti dua orang puteranya itu.
Pendekar Super Sakti tidak memaksa rajawalinya untuk terbang terus. Dia tahu bahwa rajawalinya itu telah tua, setua dia dan sudah banyak berkurang tenaganya. Di sendiri tidak tahu apakah tenaganya juga banyak berkurang karena selama ini dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengukur tenaganya. Melihat rajawali itu terengah-engah, dia lalu menyuruh burung itu menukik turun dan beberapa kali dia dan burungnya beristirahat di sebuah pulau kosong. Akhirnya, sampai juga dia di pantai daratan besar. Setelah beristirahat lagi dan melewatkan malam itu di pantai yang sunyi, pada keesokan harinya Pendekar Super Sakti melanjutkan perjalanannya menunggang rajawali yang terbang tinggi menuju ke selatan.
Pada suatu hari, ketika burung itu terbang rendah di atas sebuah hutan di luar pedusunan, Pendekar Super Sakti merasa tertarik sekali ketika dia melihat serombongan orang berbondong-bondong memasuki hutan itu. Melihat pakaian orang-orang itu, dia mengenal mereka sebagai penghuni dusun, petani-petani miskin. Akan tetapi para petani itu kelihatan marah-marah, membawa benda-benda tajam dan pisau, kapak, cangkul dan sebagainya, seperti sepasukan orang yang tak teratur sedang melakukan penyerbuan. Dia menepuk punggung rajawali yang menukik ke bawah, lalu dia meloncat jauh ke depan sehingga dia menghadang rombongan penduduk dusun itu.
Ketika orang-orang dusun yang jumlahnya belasan orang itu melihat seorang kakek berkaki buntung memegang tongkat berdiri tegak dengan sikap tenang, mereka tertegun dan berhenti, akan tetapi mereka semua bersikap siap dengan senjata dipegang erat-erat.
“Sahabat-sahabat sekalian hendak ke manakah? Apa yang terjadi maka kalian kelihatan begitu marah?” tanya Suma Han dengan suara halus dan agak gemetar karena terharu. Baru sekarang semenjak bertahun-tahun lamanya dia bertemu dengan manusia lain kecuali dua orang isterinya, dan melihat betapa begitu bertemu dia sudah melihat manusia yang hendak bertempur agaknya, maka dia merasa kasihan dan terharu sekali. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kekerasan, penuh permusuhan.
“Siapakah engkau? Apakah engkau sahabat dari nenek siluman itu?” tanya seorang di antara mereka, seorang laki-laki yang memegang tombak dan agaknya memimpin rombongan orang itu.
“Nenek siluman yang mana? Aku tidak melihatnya dan tidak mengenalnya,” kata Suma Han dengan heran.
“Kalau begitu, Paman, jangan ikut-ikut. Kami akan mengeroyok dan membunuh nenek siluman bermuka tengkorak itu!” kata pula si pemegang tombak. “Kami adalah penduduk dusun di sana, dan aku adalah kepala dusun. Kami hendak membunuh nenek siluman!”
“Nanti dulu, sabarlah. Mana ada siluman di dunia ini, dan andaikata ada setan, masa dia keluar di siang hari? Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?” tanya Suma Han yang merasa bahwa tentu terjadi kesalahpahaman di sini sehingga dia khawatir kalau orang-orang dusun ini akan kesalahan membunuh orang.
Melihat keadaan Pendekar Super Sakti yang aneh itu, kepala dusun dan orang-orangnya agaknya jerih juga. Kakek berkaki sebelah ini tidak mereka kenal, rambutnya putih panjang dan halus, wajahnya begitu berwibawa dan dari mana kakek ini datang? Karena jerih, kepala dusun lalu bercerita, “Seorang anak dusun kami sedang menggembala delapan ekor lembu di dalam hutan, lalu muncul nenek iblis itu yang menggunakan tangannya memukul pecah kepala seekor lembu. Penggembala itu marah-marah, akan tetapi apa yang dilakukan oleh nenek itu? Dia malah memukuli semua lembu sampai delapan ekor lembu itu tewas semua! Anak itu lalu lari ketakutan dan melapor kepada kami, maka kini kami hendak menyerbu ke dalam hutan dan menangkap atau membunuh nenek siluman itu.”
Diam-diam Pendekar Super Sakti terkejut. Seorang nenek dapat memukul pecah kepala lembu begitu saja? Mukanya seperti tengkorak? Tentu bukan orang sembarangan, dan kalau memang benar nenek itu demikian jahatnya, maka amatlah berbahaya bagi orang-orang dusun ini untuk menyerbunya.
“Di manakah nenek itu?” tanyanya.
“Di tengah hutan ini!” kepala dusun menuding ke depan.
“Kalau begitu, harap kalian jangan tergesa-gesa, biarkan aku menemuinya lebih dulu. Kalau kalian tergesa-gesa, jangan-jangan kalian juga akan dibunuhnya seperti lembu-lembu itu!” Ucapan Suma Han ini membuat wajah mereka menjadi pucat, karena sebenarnya mereka memang sudah merasa ngeri dan jerih mendengar penuturan anak penggembala itu akan wajah si nenek yang amat mengerikan. Mereka tadi hanya berani karena semangat mereka dibakar oleh kepala dusun yang merasa marah. karena kehilangan lembu-lembunya. Dialah pemilik lembu-lembu itu.
Kini melihat kakek berkaki sebelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan bantuan tongkatnya, mereka mengikuti dari belakang, akan tetapi agak jauh karena mereka juga curiga kepada kakek aneh ini di samping rasa takutnya terhadap nenek itu. Dan tak lama kemudian, Suma Han melihat seorang wanita yang duduk di atas sebuah batu sambil makan benda putih lunak yang masih berdarah. Tiba-tiba saja dia menjadi muak, karena dia dapat menduga bahwa yang dimakan oleh nenek itu tentulah otak lembu yang mentah! Otak yang mentah dan masih berdarah, diambil dari kepala seekor lembu. Dan muka nenek itu sungguh mengerikan! Bukan muka, melainkan kedok, kedok tengkorak aseli! Dan nenek itu kelihatan tenang-tenang saja, padahal nenek itu tentu tahu akan kedatangan banyak orang itu yang kini berhenti di tempat agak jauh, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.
Dengan sikap tenang, Suma Han melangkah dan menghampir tempat itu dan dari jauh dia sudah melihat bangkai delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk dan yang malang melintang di tempat itu, satu di antaranya telah hancur kepalanya sehingga tidak kelihatan lagi, agaknya itulah yang diambil otaknya oleh nenek itu, sedangkan tujuh ekor yang lain juga mati dengan kepala pecah, sungguhpun belum hancur seperti yang seekor itu.
Masih baik nenek ini tidak membunuh orang, pikir Suma Han. Tentu ada yang menyebabkan nenek ini marah-marah dan membunuh semua lembu itu, padahal andaikata dia membutuhkan otak lembu, tentu hanya seekor saja yang dibunuh, tidak semua. Kini Suma Han telah berdiri di depan nenek yang masih makan otak berdarah itu, hanya dalam jarak lima meter. Sudah tentu nenek itu dapat melihatnya, akan tetapi agaknya nenek itu tidak mempedulikannya dan sengaja pura-pura tidak melihat, masih enak-enak makan otak itu dengan mulut tengkoraknya yang amat lebar, di balik mana terdapat mulutnya sendiri yang kecil. Gigi-gigi di depan tengkorak itu kelihatan berlepotan darah dan otak, dan kembali Suma Han menjadi muak. Sudah terlalu lama dia tidak melihat kebuasan dan kejahatan manusia, hidup dengan tenang dan tenteram di Pulau Es, kini menyaksikan tingkah seorang aneh di dunia kang-ouw yang begini mengerikan dia menjadi muak.
Suma Han menanti sampai nenek itu menghabiskan sisa otak yang dimakannya. Dia berdiri tanpa bergerak, bersandar kepada tongkatnya dan memandang dengan sinar lembut, diam-diam dia merasa kasihan mengapa ada seorang wanita yang mau hidup seperti itu, mukanya ditutup tengkorak aseli, seolah-olah hendak bersembunyi dari dunia, ataukah hendak memperingatkan dunia bahwa di balik wajah setiap orang manusia, apa pun kedudukannya, tiada lain hanyalah sebuah tengkorak yang mengerikan seperti itu? Apakah nenek ini hendak menyindirkan bahwa di akhir semua kehidupan yang beraneka ragam, yang mendatangkan segala macam peristiwa itu, tiada lain hanyalah ada maut yang menanti? Suma Han tidak dapat menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dengan mengenakan kedok tengkorak aseli di depan mukanya. Dan tentang otak mentah yang dimakannya, dia tahu bahwa memang di dalam otak berdarah itu terkandung obat penguat bagi nenek tua ini.
Kini wanita tua itu sudah selesai makan dan agaknya dia pun mulai memperhatikan Suma Han, buktinya mata di balik tengkorak itu berkilauan dan bergerak dari atas ke bawah, terutama sekali memperhatikan kaki yang buntung sebelah itu. Akan tetapi karena nenek itu tidak bicara atau bergerak, Suma Han lalu bertanya dengan suara halus, “Sobat, maafkan kalau aku mengganggumu. Akan tetapi mengapakah engkau membunuh delapan ekor lembu yang tidak bersalah apa-apa ini?”
Terdengar suara mendengus di balik kedok itu, dan mata di balik kedok itu berputar liar seperti mata setan, kemudian terdengar suaranya nyaring melengking dengan mulut tengkorak bergerak-gerak aneh, “Kubunuh mereka agar anak itu melapor ke dusun, agar semua orang dusun datang ke sini!”
Suma Han mengerutkan alisnya yang putih. Jawaban yang aneh!
“Kalau mereka sudah datang ke sini?” dia mendesak dengan suara masih halus.
“Sialan! Mereka tidak datang ke sini, yang datang malah engkau ini kakek buntung menyebalkan! Kalau mereka datang, tentu dengan enak aku akan membunuh mereka semua, akan tetapi yang datang hanya engkau kakek buntung, dibunuh pun tidak ada harganya!”
Diam-diam Suma Han terkejut juga. Kiranya nenek ini adalah seorang yang amat jahat! Demikian jahatnya sehingga bukan hanya membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi tidak membunuh si penggembala hanyalah dengan maksud untuk memancing datangnya semua orang dusun untuk dibunuhnya!
“Sobat yang baik, apakah kesalahan semua orang dusun itu maka engkau hendak membunuh mereka?”
“Huh, semua orang kalau bisa akan kubunuh! Peduli apa mereka bersalah atau tidak? Kau pun seharusnya dibunuh, akan tetapi terlalu enak bagimu kalau kau dibunuh. Engkau sudah tua bangka, kakimu buntung pula, dan wajahmu membayangkan penderitaan. Heh-heh, engkau tentu menderita sekali dan sisa hidupmu yang tinggal tidak berapa lama itu, biarlah kaulewatkan dalam siksaan dan penderitaan. Kalau dibunuh sekarang, sungguh terlalu enak bagimu!”
Suma Han tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan orang sejahat ini! Dia teringat bahwa di dunianya kaum sesat terdapat Im-kan Ngo-ok, Si Lima Jahat dari Akhirat yang kabarnya mempunyai watak yang luar biasa jahatnya.
“Hemmm, sobat baik, apa gunanya engkau sengaja melakukan kejahatan seperti itu? Apakah manfaatnya bagimu kalau kau membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?”
“Gunanya? Manfaatnya? Ha, tentu saja untuk mengisi kenyataan pada sebutan Ji-ok Kui-bin Nio-nio, ha-ha-ha!”
Suma Han mengangguk-angguk. Kiranya nenek ini adalah orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ah, hebat juga kalau Im-kan Ngo-ok yang kabarnya sudah tidak pernah meninggalkan dunia mereka sendiri itu kini turun ke dunia ramai!
“Hai, kau siapakah?” Tiba-tiba nenek itu berseru, seolah-olah baru terkejut melihat betapa kakek buntung itu sedikit pun tidak kelihatan jerih kepadanya.
“Aku? Aku hanya seorang tua bangka buntung seperti katamu tadi, tidak ada apa-apanya yang patut diperhatikan!” jawab Suma Han yang tidak ingin memperkenalkan diri, juga tidak ingin mencari perkara karena maksudnya pun bukan hendak memusuhi nenek ini melainkan hendak melindungi agar orang-orang dusun itu tidak sampai celaka. Kalau tadi dia tidak curiga dan para penghuni dusun itu sudah mendahuluinya tiba di sini, tentu mereka itu sudah menggeletak mati seperti bangkai-bangkai lembu itu!
“Kalau buntung keduanya mungkin akan patut diperhatikan orang!” Tiba-tiba nenek itu berkata dan telunjuk kanannya menuding ke depan, ke arah kaki kanan Suma Han yang tidak buntung.
Suma Han terkejut. Wanita ini benar-benar amat jahat sekali, begitu kejam dan ganas melebihi semua tokoh hitam yang pernah ditemuinya di waktu dia masih berkecimpung di dunia kang-ouw dahulu.
“Cusss....!” Hawa yang dingin sekali menyambar ke arah kakinya dan tahulah pendekar ini bahwa wanita berkedok tengkorak itu telah menguasai ilmu pukulan luar biasa yang digerakkan dengan Im-kang, yang amat berbahaya karena hawa yang menyambar dari gerakan telunjuk itu bukan main dahsyatnya, seperti tusukan pedang saja. Dan memang Ji-ok telah mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang) untuk membikin buntung kaki yang tinggal satu itu!
Tentu saja setelah dia sendiri diserang, Suma Han tidak dapat lagi menyembunyikan kepandaiannya, karena dia harus membela diri. Tangan kirinya yang memegang tongkatnya itu bergerak cepat dan dia telah menudingkan tongkatnya ke depan, ke arah telunjuk Ji-ok yang menuding ke arah kakinya itu.
“Wirrrrr....!” Ji-ok mengeluarkan jerit tertahan ketika sambaran hawa dari telunjuknya itu kembali dan membuat tangannya terasa tergetar hebat. Cepat dia menyimpan tenaganya, mengerahkan telunjuknya lagi dan kini menunjuk ke arah dada kakek buntung kakinya itu! Kembali Suma Han memapakinya dengan tongkat yang ditudingkan dan untuk kedua kalinya Ji-ok tergetar hebat, bahkan kini sampai mundur selangkah. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar berapi. Baru dia percaya bahwa kakek buntung itu benar-benar telah mampu menangkis serangan Kiam-ci sampai dua kali, bahkan yang kedua kalinya membuat dia terdorong ke belakang!
“Siapakah engkau?” bentaknya.
Suma Han menarik napas panjang. “Seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung,” jawabnya tenang.
“Kau.... rambutmu putih, kaki kirimu buntung kau.... kau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....?” Ji-ok berseru kaget bukan main.
“Ha-ha-ha, Ji-moi, apakah kau tidak mengenalnya? Lihat rajawali di atas itu! Siapa lagi kalau bukan Pendekar Siluman yang datang bersama rajawalinya?”
Suma Han kagum mendengar suara yang datang dibawa angin ini. Seorang yang amat lihai, pikirnya, akan tetapi dia tidak menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara, melainkan tetap memandang nenek berkedok itu karena dia tahu betapa bahayanya orang-orang seperti nenek ini yang suka bertindak curang. Dia tetap tenang dan waspada, tidak ingin mencari permusuhan, akan tetapi tentu saja dia pun harus menjaga diri. terhadap datuk-datuk jahat seperti Im-kan Ngo-ok. Nama lima orang manusia iblis itu sudah amat terkenal dan agaknya kalau ada yang satu, tentu ada pula yang lain. Buktinya, suara tadi tentulah suara Twa-ok, yaitu Si Jahat Pertama, dapat dikenal dari cara dia memanggil nenek itu dengan Ji-moi (adik ke Dua). Siapa lagi yang menyebut nenek itu adik ke dua kalau bukan Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok? Tegang juga rasa hati Suma Han. Orang ke dua saja sudah memiliki pukulan sakti yang dahsyat dari jari telunjuknya tadi, apalagi orang yang pertama!
Dugaannya memang benar, dan ketika ada angin berkesiur, muncullah kakek yang seperti gorilla atau monyet besar itu, dengan langkahnya yang kaku dan kedua lengannya tergantung di bawah lutut! Suma Han memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi juga penuh kewaspadaan.
“Ji-moi, sudah lama aku ingin sekali melihat rajawali dari Pulau Es. Biar kupanggil dia ke sini!” kata kakek bermuka orang utan itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan suaranya yang halus. Kemudian dia mengangkat kedua tangannya ke atas, ke arah rajawali yang terbang berputaran di atas, pohon-pohon sambil mengeluarkan suara yang menggetar tinggi. Burung rajawali itu seperti kaget dan tiba-tiba terbangnya menjadi kacau. Melihat ini, Suma Han merasa khawatir akan keselamatan burungnya yang sudah tua itu, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking halus, suara yang menjadi tanda bagi rajawalinya untuk terbang tinggi menjauhi tempat itu, kemudian dengan suara yang tenang dia berkata, “Sobat, apakah engkau hendak bermain-main dengan rajawali? Nah, dia sudah datang menyambarmu!”
Twa-ok Su Lo Ti adalah seorang Jahat Nomor Satu, biarpun dia bersikap lembut dan bersuara halus, namun di dalam hatinya selalu terkandung keinginan untuk mencelakakan orang lain secara halus namun keji! Tadi begitu melihat Ji-ok berhadapan dengan Majikan Pulau Es, dia tidak langsung menghadapi pendekar yang amat terkenal itu, melainkan lebih dulu hendak meruntuhkan tunggangannya, yaitu burung rajawali. Biarpun dia tidak langsung memusuhi Pendekar Siluman, melainkan secara halus hendak mencelakai burungnya, namun jelas bahwa perbuatannya ini selain amat kejam, juga menunjukkan bahwa dia lebih dulu ingin mengganggu dan menyusahkan lawan sebelum berhadapan secara langsung!
Ketika dia mendengar pendekar itu mengeluarkan suara melengking halus, dia merasa betapa jantungnya berdebar dan suaranya yang menggetar dan yang ditujukan ke arah burung rajawali di atas itu membuyar. Maka dia terkejut dan cepat menengok, memandang ke arah pendekar itu ketika mendengar pendekar itu bicara kepadanya. Dan pada saat itu, sehabis ucapan pendekar dari Pulau Es itu, dia mendengar suara sayap burung dan ketika dia memandang kembali ke depan, dia melihat seekor rajawali sudah terbang meluncur hendak menyambarnya!
“Ha-ha-ha, burung yang baik, hendak terbang ke manakah engkau?” katanya dan dia cepat menggerakkan kedua tangannya, di goyang-goyang di depan mukanya, dengan tubuh agak membongkok. Burung rajawali yang sedang terbang itu, tertahan terbangnya dan biarpun dia menggerak-gerakkan kedua sayapnya, mencakar-cakar dan memekik-mekik, namun burung itu tetap saja tidak mampu terbang pergi, seolah-olah kakinya terikat oleh tali yang tidak nampak!
“Ha-ha-ha, burung yang baik, aku butuh beberapa lembar bulumu untuk kujadikan sapu. Hayo lepaskan beberapa ekor bulumu, burung rajawali yang baik!” Kakek bermuka gorilla itu menggerak-gerakkannya jari tangannya ke arah burung yang tidak mampu terbang pergi dan benar saja, beberapa lembar bulu panjang dari ekor dan sayapnya jatuh berguguran ke bawah.
Pada saat itu, kepala dusun dan para penghuni dusun itu sudah maju dekat. Mereka tertarik sekali melihat betapa kakek tua yang buntung itu berhadapan dengan nenek iblis dan betapa kini muncul pula seorang kakek seperti gorilla. Saking tertariknya, mereka tidak ingat lagi bahwa nenek itu telah melakukan hal yang keji, dan mereka lupa akan takutnya.
Tiba-tiba Ji-ok berseru, “Eh, Twako, apa yang kaulakukan itu? Lihat baik-baik, itu bukan rajawali! Engkau telah dipermainkan orang!”
Mendengar ucapan Ji-ok ini, Twa-ok cepat menahan napas, mengerahkan sinkangnya dan mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Dia adalah seorang yang telah mempelajari ilmu sihir dan kebatinan, maka begitu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kini matanya dapat melihat jelas dan ternyata burung rajawali yang dipermainkannya tadi bukan lain hanyalah sepotong ranting pohon dengan daun-daunnya, dan yang berguguran tadi adalah daun-daun dari ranting itu! Kiranya tadi Suma Han telah melemparkan sepotong ranting, dan menyulapnya menjadi rajawalinya yang kini telah terbang tinggi menurut perintah majikannya!
“Hemmm....!” Kakek yang menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mendengus dan begitu dia menghentikan kedua tangannya, ranting itu pun meluncur jatuh ke atas tanah. Tadi ranting itu ditahan oleh tenaga kedua tangannya yang mempermainkannya, dan andaikata burung rajawali yang tadi dipermainkan dengan hawa sakti kedua tangannya, tentu rajawali itu sudah tewas!
Pada saat Twa-ok dan Ji-ok menoleh ke arah kakek buntung itu, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu lenyap dari depan mereka Keduanya terkejut bukan main. Bagaimana mungkin seorang berkaki buntung sebelah dapat bergerak secepat itu? Seperti kilat menyambar saja! Dan memang hal ini tidak mengherankan kalau mereka mengetahui bahwa Pendekar Super Sakti memang telah mempergunakan kesaktiannya untuk menghadapi mereka.
Ketika mereka berdua menoleh, ternyata kakek buntung itu telah berdiri di depan rombongan penghuni dusun, membelakangi orang-orang itu seperti hendak melindungi mereka. Melihat ini, Twa-ok cepat menjura dengan hormat ke arah Suma Han. Pendekar Super Sakti sudah siap dan waspada, karena dia harus melindungi semua orang ini. Akan tetapi ternyata kakek bermuka gorilla itu tidak melakukan penyerangan, dan hanya menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada secara wajar.
“Aih, sudah puluhan tahun kami mendengar nama besar Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es, dan ternyata nama besar itu bukanlah kosong belaka. Akan tetapi, setelah puluhan tahun tidak muncul di dunia kang-ouw, sekarang begitu muncul telah memamerkan permainan sulapnya yang sungguh mengagumkan, apakah kiranya tidak dipertunjukkan ke tempat yang keliru?” Dengan kata-kata yang halus ini, Twa-ok hendak mengejek permainan sihir tadi, sungguhpun dia telah terpedaya.
Suma Han hanya memandang dengan sikap tenang dan sungguh-sungguh. “Aku pun telah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok dan sungguh beruntung sekali sekarang dapat berjumpa dengan Twa-ok dan Ji-ok, dua orang tertua dari Im-kan Ngo-ok yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi, sungguh mengherankan mengapa Twa-ok dan Ji-ok yang tersohor itu hanya seperti anak-anak kecil yang mempermainkan binatang-binatang yang tidak bersalah, membunuhi delapan ekor lembu dan hendak mencelakai burung rajawali?”
“Wah, bukankah orang-orang tua itu hanyalah anak-anak kecil yang besar badannya?” Twa-ok menjura lagi. Akan tetapi sekali ini, tiba-tiba ketika dia mengangkat kedua tangannya, ada hawa pukulan yang dahsyat bukan main menyambar ke arah Suma Han! Sejak tadi memang Suma Han sudah bersiap sedia dan waspada selalu, maka kini dia telah mendahului, menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan, menyambut pukulan jarak jauh dari Twa-ok itu dengan iimu pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Pada saat itu, Ji-ok yang curang juga sudah cepat menudingkan telunjuknya, menggerakkan Ilmu Kiam-ci untuk menyerang ke arah kakek buntung itu. Tongkat di tangan kiri Suma Han diangkat dan menyambut serangan Ji-ok ini dan sekaligus Suma Han telah menyambut serangan kedua orang itu, telapak tangan kanannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang mendatangkan hawa panas sedangkan tongkat di tangan kirinya menyambar hawa Swat-im Sin-ciang yang amat dingin!
Perlu diketahui bahwa dalam usia enam puluh tahun lebih itu, Suma Han telah memiliki tenaga sinkang yang sukar diukur lagi dalamnya, maka kedua ilmunya itu sudah mencapai tingkat yang hampir sempurna dan luar biasa kuatnya. Maka, sekaligus dia dapat membagi dirinya, menyambut serangan Twa-ok dengan hawa sakti panas dan serangan Ji-ok dengan hawa sakti dingin.
Orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu terkejut bukan main ketika mereka merasa betapa ada hawa yang panas sekali dan dingin sekali menyambut mereka. Dan ketika mereka berdua mengerahkan tenaga dan mendesak, secara tiba-tiba saja terdengar Suma Han mengeluarkan suara menggetar dari dalam dada dan mendadak Twa-ok agak menggigil dan Ji-ok berseru kaget. Kiranya, begitu mengeluarkan suara menggetar tadi, Pendekar Super Sakti telah mengubah hawa saktinya, kalau tadi yang kanan panas dan yang kiri dingin, kini berubah sama sekali, yang menghadapi Twa-ok berubah dingin dan yang melawan Ji-ok berubah panas. Kedua orang datuk kaum sesat itu terkejut dan cepat-cepat mereka melangkah mundur sambil menghentikan serangan mereka! Suma Han juga tidak mendesak dan menghentikan pula tenaga saktinya. Kemudian, Suma Han mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Batu yang terkena ketukan itu mengeluarkan bunyi keras dan nampak api berpijar saking kerasnya ujung tongkatnya menumbuk batu.
“Twa-ok dan Ji-ok, dengarlah baik-baik. Aku sengaja meninggalkan pulau bukan sekali-kali untuk bermusuhan dengan siapapun juga, melainkan untuk mencari putera-puteraku dan mengajak mereka pulang. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku akan membiarkan orang-orang menghinaku atau mengganggu orang lain di depan mataku!”
Ucapan itu halus, akan tetapi mengandung wibawa yang hebat dan gagah, dan dua orang tokoh Im-kan Ngo-ok itu terbelalak memandang ketika melihat betapa tubuh Suma Han perlahan-lahan berubah menjadi besar seperti raksasa! Akan tetapi mereka segera sadar bahwa Pendekar Siluman itu mempergunakan kekuatan batinnya, maka cepat mereka menunduk, berkemak-kemik dan menguatkan batin, sehingga ketika mereka memandang lagi, tubuh pendekar itu sudah biasa lagi, hanya kelihatan berwibawa dan menimbulkan rasa jerih di dalam hati mereka. Twa-ok bukan seorang bodoh. Dia tadi bersama Ji-ok telah mengadu tenaga dan kalau terjadi pertandingan, belum tentu dia dan Ji-ok akan mampu menandingi Pendekar Super Sakti yang benar-benar amat lihai ini. Kalau saja tiga orang saudaranya yang lain berada di situ, tentu dia akan nekat menggunakan kekuatan untuk menyerang dan mengeroyok. Akan tetapi, tugasnya masih banyak dan dia menganggap belum tiba saatnya untuk mempertaruhkan keselamatannya mengadu nyawa dengan seorang tokoh besar seperti Majikan Pulau Es ini. Maka dia lalu tersenyum dan menjura lagi, pemberian hormat yang wajar.
“Maaf, maaf, kalau belum mengadu tenaga belum saling mengenal kata orang!” Dia mengangguk-angguk. “Pendekar Super Sakti memang lihai sekali, kami berdua amat kagum. Akan tetapi kalau Taihiap bermaksud mencari puteramu Siluman Kecil, kurasa belum tentu dia akan mau pulang ke Pulau Es.”
Mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, Suma Han tertarik. “Siluman Kecil? Siapa yang kaumaksudkan?”
“Ha-ha-ha, apakah Taihiap juga hendak merahasiakan keadaan puteramu yang penuh rahasia itu? Bukankah puteramu itu bernama Suma Kian Bu, biarpun usianya masih muda namun rambutnya sudah putih semua, di dunia kang-ouw dijuluki Siluman Kecil?”
Suma Han hanya mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa di dunia kang-ouw Suma Kian Bu dijuluki orang Siluman Kecil, dan tidak tahu pula bahwa rambut puteranya itu telah menjadi putih semua!
“Dia tidak mungkin mau pulang setelah dia hidup penuh kesenangan bersama seorang dara cantik jelita....” Twa-ok sengaja menghentikan kata-katanya yang merupakan pancingan dan dia memperhatikan wajah pendekar itu. Akan tetapi dia belum mengenal baik siapa adanya Suma Han, seorang pendekar yang amat hebat kekuatan batinnya sehingga kalau dia hendak “membaca” keadaan hati pendekar itu, dia kecelik. Tidak ada tanda apa-apa pada wajah yang berwibawa itu, kecuali sepasang matanya saja yang menyambar dan membuat seorang manusia iblis seperti Twa-ok Su Lo Ti sendiri sampai bergidik. Bukan mata manusia, pikirnya.
“Kalau kau hendak memberi tahu, lanjutkanlah. Kalau tidak, aku pun tidak akan memaksakan keterangan apa pun darimu, Twa-ok.”
Wajah kakek bermuka gorilla itu menjadi merah karena malu. “Dia ke manapun berdua dengan Nona Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Agaknya mereka itu saling mencinta.... ha-ha-ha, begitulah orang muda.”
Mendengar ini, sesungguhnya hati Suma Han terkejut bukan main, terkejut, penasaran dan tidak senang, akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu sehingga Twa-ok tidak tahu apakah bidikannya itu mengenai sasaran ataukah tidak.
“Twa-ok, mari kita coba lagi, aku masih penasaran. Tidak mungkin kita berdua kalah oleh kakek buntung!” Ji-ok berkata, akan tetapi Twa-ok menggeleng kepalanya.
“Ji-moi, engkau seperti seorang gadis bodoh saja. Kalau kau mau main-main dengan dia, nah, lakukanlah, akan tetapi aku tidak ikut campur. Dan engkau sudah membunuh delapan ekor lembu milik orang dusun. Sungguh lancang, Ji-moi, sungguh kasihan sekali orang-orang dusun itu.” Kakek bermuka gorilla itu lalu menoleh kepada orang-orang kampung yang dikepalai oleh kepala dusun itu, lalu menjura sambil berkata, “Kami mohon maaf atas kelancangan kami dan bukan maksud kami hendak merugikan kalian yang sudah hidup serba kekurangan. “Oleh karena itu, biarlah kami mengganti harga delapan ekor lembu ini....“ Kakek itu merogoh saku jubahnya yang lebar, lalu mengeluarkan beberapa potongan uang perak, dikepalnya uang itu lalu diletakkannya di atas batu dekat bangkai-bangkai lembu. “Dan daging-daging tembu ini kami berikan kepada kalian untuk dipakai berpesta.” Dia lalu menghampiri bangkai-bangkai lembu itu dan menepuk-nepuk perut-perut lembu yang gemuk. “Lembu gemuk, daging lezat....“ katanya berkali-kali sampai semua lembu ditepuk-tepuknya. Kemudian dia berkata kepada Ji-ok, “Ji-moi, hayo kita pergi!”
Tanpa pamit lagi kedua orang datuk kaum sesat itu berkelebat dan lenyap dari situ. Suma Han sejak tadi mengikuti gerak-gerik kakek muka gorilla itu, dan hatinya lega ketika dia tidak melihat kakek itu menyerang orang-orang dusun seperti yang telah dikhawatirkannya. Dia tadi sudah siap sedia untuk turun tangan melindungi orang-orang dusun itu apabila kakek muka gorilla dan nenek muka tengkorak itu menyerang mereka.
Melihat kesudahan dari peristiwa itu, kepala dusun menjadi girang bukan main. Bukan saja lembu-lembunya diganti dengan uang perak yang dari jauh saja sudah nampak cukup banyak untuk pengganti harga lembu-lembunya, akan tetapi juga kakek dan nenek aneh yang semula disangka siluman jahat itu malah mengembalikan bangkai-bangkai lembu agar dagingnya dapat mereka makan! Dan daging delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk itu merupakan bahan makanan yang amat lezat dan banyak bagi orang-orang dusun yang mungkin hanya setahun sekali pernah menikmati daging lembu! Maka dia lalu berseru, “Saudara-saudara, kita telah kejatuhan rejeki, tak usah sungkan-sungkan, mari kita bagi-bagi daging lembu-lembu itu!”
Para penduduk dusun itu bersorak girang dan kepala dusun itu pun sudah lari ke arah batu di mana Twa-ok tadi menaruh beberapa potong uang perak.
“Jangan sentuh perak itu dan jangan dekati lembu-lembu itu!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang terkejut ketika melihat bahwa kakek berkaki buntung sebelah tadi kini sudah berdiri menghadang antara mereka denngan bangkai-bangkai lembu dan uang di atas batu itu. Tentu saja kepala dusun dan anak buahnya menjadi terkejut dan marah. Kiranya kakek buntung ini malah yang jahat! Nenek bermuka tengkorak yang mereka sangka siluman itu bersama temannya yang bermuka monyet, ternyata malah orang-orang yang amat baik, karena biarpun telah membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi selain lembu-lembu itu dibayarnya dengan cukup, juga daging lembu-lembu itu diberikan kepada orang dusun. Sebaliknya kakek berkaki buntung sebelah ini malah agaknya yang akan merampas atau merampok uang dan daging lembu itu!
“Orang tua, apa maksudmu? Apakah kau hendak merampok semua itu?” Kepala dusun bertanya dan dia sudah memegang tombaknya erat-erat, sedangkan para penduduk dusun itu pun sudah mempersiapkan senjata mereka. Kalau tadi saja menghadapi siluman yang berwajah mengerikan mereka tidak takut, apalagi menghadapi kakek berkaki buntung sebelah ini! Tentu saja semua pertandingan adu tenaga sakti antara kakek buntung ini dan kedua orang kakek dan nenek yang menyeramkan tadi tidak ada seorang pun yang mengetahui, dan mereka hanya mengira bahwa kakek tua ini adalah seorang biasa saja.
Ditegur seperti itu, Suma Han menarik napas panjang. “Ah, kalian tidak tahu akan bahaya yang mengancam nyawa kalian. Ketahuilah bahwa pada permukaan uang perak itu telah dilumuri racun dan sekali saja kalian menyentuhnya, kalian akan tewas. Dan bangkaibangkai lembu itu pun telah mengandung racun.”
Semua orang terkejut akan tetapi tidak percaya. “Bohong.... bohong....! Dia ingin memiliki sendiri semua itu!” terdengar mereka berteriak-teriak.
Suma Han melihat ada beberapa ekor burung gagak terbang datang dan hinggap di atas cabang pohon yang berdekatan. Dia tahu bahwa burung-burung itu tertarik oleh bangkai-bangkai lembu, maka dia lalu berkata, “Kalian lihatlah sendiri!” Dia menggunakan tongkatnya mencokel daging di punggung seekor lembu, lalu melontarkan gumpalan daging itu ke arah gagak-gagak yang bertengger di cabang pohon. Tiga ekor burung gagak cepat menyambut daging itu dan memperebutkannya. Akan tetapi, begitu mereka menelan sedikit potongan daging, tiga ekor burung itu tiba-tiba berkaok nyaring lalu tubuh mereka terbanting ke atas tanah, berkelojotan dan mati!
Semua orang terkejut bukan main! Ternyata tiga ekor burung gagak itu telah mati keracunan! Tubuh mereka kini menggigil ketakutan dan mereka memandang kepada Suma Han dengan muka pucat.
“Daging lembu-lembu ini sudah tidak dapat dibersihkan lagi. Maka harap kalian cepat mengubur mereka di sini juga agar racun itu tidak menjalar ke mana-mana. Tentang uang perak itu, jangan khawatir, aku setua ini tidak lagi membutuhkan perak dan emas, dan aku akan mencoba untuk membersihkan racun yang berada di situ.”
Kini kepala dusun percaya penuh dan dia lalu mengerahkan orang-orangnya untuk menggali lubang besar, kemudian mereka menyeret kaki mayat lembu-lembu itu dan menguburnya di dalam lubang besar dan menutupnya dengan tanah. Sementara itu, Suma Han mengerahkan sinkang ke telapak kedua tangannya, lalu mengambil uang perak itu dan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang. Kepala dusun itu melihat dengan mata terbelalak betapa dari uang perak itu mengepul uap hijau! Setelah “membakar” racun yang melumuri perak itu sampai habis, barulah Suma Han meletakkan uang perak itu ke atas batu sambil berkata, “Sekarang kau boleh mengambil perak ini tanpa bahaya. Dan kuperingatkan kalian, kalau kalian melihat dua orang itu atau seorang di antara mereka, lebih baik kalian menyingkir dan sama sekali jangan mendekati mereka. Nah, aku pergi!”
Melihat kakek itu melangkah pergi dibantu tongkatnya, kepala dusun dan anak buahnya segera berlutut dan kepala dusun itu berseru, “Harap Locianpwe sudi meninggalkan nama besar Locianpwe untuk kami ingat.”
Suma Han menoleh, menarik napas panjang ketika melihat mereka berlutut, dan berkata, “Aku hanya seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung.” Setelah berkata demikian, dia melangkah terus, diikuti pandang mata para penduduk dusun itu dengan terbelalak sampai akhirnya kakek yang berjalan dengan agak terpincang itu lenyap dari pandang mata mereka.
Seperti kita ketahui, Twa-ok dan Ji-ok itu sedang menjalankan tugas dan diperintahkan oleh Pangeran Nepal melalui koksu, yaitu untuk mencari Siluman Kecil dan Hwee Li, juga Puteri Syanti Dewi dari Bhutan. Mereka itu mencari-cari jejak tiga orang itu tanpa hasil sampai akhirnya tiba di dusun itu. Saking jengkelnya karena tidak juga berhasil menemukan tiga orang buronan itu, Ji-ok yang berwatak aneh dan keji itu mencari perkara dan hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya dengan membunuhi semua orang dusun di tempat itu! Dan andaikata tidak secara kebetulan Suma Han lewat di situ, sudah tentu seluruh penghuni dusun itu akan menjadi korban kekejaman wanita yang merupakan Si Jahat Nomor Dua dari Im-kan Ngo-ok itu.
Suma Han telah memanggil burung rajawalinya dan kini dia melanjutkan penerbangannya untuk mencari putera-puteranya. Dia sudah tidak ingat lagi kepada dua orang jahat itu, akan tetapi ucapan Twa-ok tentang Pendekar Siluman Kecil benar-benar menggores di hatinya. Siluman Kecil! Kian Bu kini berjuluk Siluman Kecil? Hampir dia tertawa. Mengapa puteranya itu memakai julukan seperti itu? Dia sendiri, di luar kehendaknya, dijuluki orang-orang dari dunia sesat sebagai Pendekar Siluman, julukan yang sesungguhnya amat tidak disukainya. Akan tetapi kini puteranya malah berjuluk Siluman Kecil! Dan rambutnya sudah putih semua? Benarkah itu? Diam-diam hati pendekar sakti ini merasa tegang. Apa yapg telah menimpa diri puteranya yang nakal itu sehingga rambutnya menjadi putih semua dan berjuluk Siluman Kecil? Benar-benar pendekar yang sakti luar biasa ini merasa amat heran dan dia tertawa seorang diri mengingat kemungkinan akan kebenaran berita itu. Kalau benar, mengapa Kian Bu menuruni rambutnya yang putih? Dan lebih aneh pula, dia sendiri dijuluki orang Pendekar Siluman, kenapa justeru puteranya itu pun mempunyai julukan Siluman Kecil? Benar-benar luar biasa dan sama sekali tidak diduga-duganya. Akan tetapi ketika dia teringat berita yang mengatakan bahwa puteranya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, alisnya yang sudah putih itu berkerut. Puteranya bermain gila dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka yang dia tahu bukan merupakan manusia baik itu? Hal ini sungguh tidak menyenangkan dan harus dicegah!
Ketika Pendekar Super Sakti ini teringat akan berita tentang puteranya, maka dia pun membayangkan pula dua orang tokoh golongan sesat yang baru saja dijumpainya itu. Biarpun Suma Han adalah seorang pendekar yang sudah berpuluh-puluh tahun dan entah sudah berapa ribu kali berkecimpung di dunia kang-ouw dan bertemu dengan para datuk kaum sesat, namun teringat akan kekejaman Twa-ok dan Ji-ok, dia bergidik juga. Ji-ok si nenek iblis itu jelas adalah amat jahat dan kejam, akan tetapi Twa-ok yang licik itu ternyata lebih berbahaya dan lebih kejam pula. Biarpun jahat dan keji, Ji-ok tidak menyembunyikan kekejamannya, sebaliknya Twa-ok bersikap baik, lemah lembut dan ramah, akan tetapi diam-diam dia merencanakan untuk membunuh semua orang dusun itu secara amat mengerikan. Pada lahirnya, dia bersikap baik, memberikan daging semua lembu, bahkan memberi uang pengganti, akan tetapi ternyata semua itu dijadikan jebakan untuk membunuh para penduduk dusun.
Akan tetapi segera dia melupakan lagi wajah kedua orang datuk sesat itu dan kembali dia memikirkan putera-puteranya. Ke mana dia harus mencari Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee? Mencari mereka ke kota raja pun percuma, pikirnya. Kalau dulu, sudah pasti dua orang puteranya itu pergi ke kota raja atau kalau tidak berada di kota raja, agaknya dia akan dapat mencarinya dengan bertanya kepada puterinya, yaitu Puteri Milana yang dulu berada di kota raja. Akan tetapi, sekarang Milana tidak lagi berada di kota raja, dan sudah pergi meninggalkan kota raja bersama suaminya yang baru, Gak Bun Beng, dan dia sendiri tidak pernah tahu di mana adanya mereka itu. Tidak, dia tidak akan mencari ke kota raja. Dan sekarang dia sudah mempunyai pegangan, yaitu hendak mencari Pendekar Siluman Kecil yang tentu akan lebih mudah dicari daripada mencari Suma Kian Bu, karena tentu orang-orang kang-ouw lebih mengenal julukan itu daripada nama aselinya.
***
Andaikata Pendekar Super Sakti tidak berpendapat demikian dan langsung pergi ke kota raja, tentu dia akan dapat berjumpa dengan puteranya itu karena ketika itu Milana telah memenuhi undangan dari Pangeran Mahkota Yung Cheng. Akan tetapi tentu saja pendekar itu tidak mengetahuinya.
Kita tinggalkan dulu Pendekar Super Sakti yang melayang-layang di atas punggung burung rajawali itu, pertanda bahwa dunia persilatan tentu akan mengalami geger dengan munculnya kakek yang sakti ini dan kita tengok apa yang terjadi di kota raja pada waktu itu.
Seorang pemuda tampan dan gagah memasuki kota raja dengan tergesa-gesa. Pakaian pemuda ini kelihatan kusut dan agak kotor berdebu, wajahnya juga muram dan penuh kekhawatiran, agak pucat dan dia nampak lelah sekali seperti orang yang melakukan perjalanan jauh dengan tergesa-gesa dan jarang berhenti mengaso.
Ketika dia memasuki kota raja, dia kelihatan lega, akan tetapi kekhawatiran tidak pernah menghilang dari pandang matanya ketika dia memasuki sebuah rumah makan karena semenjak kemarin dia belum makan. Memang selama beberapa hari ini dia seperti lupa makan dan minum dan lupa tidur saking tegang dan khawatir hatinya.
Masuknya pemuda ini ke rumah makan, tidak menarik perhatian banyak orang. Di kota raja memang banyak terdapat seorang muda seperti dia ini, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, gagah dan tampan, kelihatan terpelajar dengan gerak-gerik yang halus, namun pakaiannya yang kusut dan kotor itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang di antara pemuda-pemuda terpelajar kota yang miskin.
Akan tetapi, orang akan keliru kalau menyangka demikian. Tidak, pemuda ini sama sekali bukanlah pemuda miskin, bahkan dia seorang pemuda yang tadinya menjadi putera seorang yang berkedudukan tinggi sekali. Dan kenyataan ini agaknya tidak lepas dari pandang mata seorang tua berusia lima puluh tahun yang duduk di sudut rumah makan itu dan makan mi goreng dengan lahapnya. Ketika kakek ini melihat munculnya pemuda tampan itu, tiba-tiba saja dia menghentikan sepasang sumpitnya yang tadi dengan cekatan mengantar bakmi ke mulutnya, bahkan dia hampir tersedak dan cepat mendorong makanan yang menyesak di tenggorokannya itu dengan minuman. Semua ini dikerjakan dengan mata yang tidak pernah berkedip memandang kepada pemuda itu yang duduk menghadapi meja kosong dengan muka pucat dan memesan makanan kepada pelayan. Kemudian, kakek ini cepat membayar makanannya dan pergi meninggalkan rumah makan dengan tergesa-gesa.
Pemuda itu sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi, dan setelah makanan yang dipesannya dihidangkan, dia makan dengan tenang dan lambat-lambat, cara makan seorang yang terpelajar dan yang selalu mengendalikan perasaannya. Akan tetapi, rasa lapar membuat dia makan dengan lahapnya, dan pada saat itu, yang menjadi perhatiannya hanyalah makanan di depannya, dan untuk sejenak itulah dia melupakan segala hal yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya. Dia sama sekali tidak tahu betapa ketika dia sudah selesai makan, di luar rumah makan itu terdapat enam orang, yaitu kakek yang tadi makan bakmi bersama lima orang lain, berdiri di luar rumah makan dengan sikap mencurigakan dan jelas bahwa mereka itu sedang memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Agaknya enam orang itu memang menanti sampai pemuda itu selesai membayar harga makanan dan minuman, kemudian menarik napas lega karena perutnya tidak lapar lagi dan tenaganya agak pulih, pemuda itu lalu melangkah keluar rumah makan.
Pada saat dia berada di luar rumah makan itulah dia terkejut ketika tiba-tiba enam orang yang tidak dikenalnya menghampirinya, membuat gerakan mengurung dan seorang di antara mereka, seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkata lirih dengan nada suara mengancam, “Kao Kok Han, menyerahlah engkau dan ikut bersama kami!”
Pemuda itu bukan lain adalah Kao Kok Han, putera bungsu dari Jenderal Kao Liang. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini bersama ayahnya dan kakaknya, Kao Kok Tiong, pergi menyelidiki ke sepanjang lembah Sungai Huang-ho untuk mencari jejak keluarga mereka yang diculik orang. Ketika Jenderal Kao Liang dihadang oleh utusan-utusan dari Pangeran Liong Bian Cu, yang dikepalai oleh Hoa-gu-ji tokoh Kui-Tiong-pang, untuk memaksa Jenderal Kao menyerahkan diri dengan memperlihatkan cincin Nyonya Kao Liang dan tusuk konde Nyonya Kao Kok Tiong, Jenderal Kao menyuruh putera bungsunya ini untuk cepat pergi ke kota raja dan mencari putera sulungnya, yaitu Si Naga Sakti Kao Kok Cu dan menyampaikan berita penangkapan atas dirinya itu. Jenderal Kao Liang bersama Kao Kok Tiong lalu dibawa pergi dan Kok Han sendiri dengan cepat lalu melarikan diri dan melakukan perjalanan jauh itu dengan hati risau.
Saking khawatirnya karena melihat betapa, keluarganya yang terculik secara aneh masih belum diketahuinya nasibnya dan kini bahkan ayahnya dan kakaknya juga ditawan orang sedangkan dia belum dapat bertemu dengan kakak sulungnya, pemuda ini sama sekali tidak teringat bahwa kembalinya ke kota raja sama artinya dengan kembali ke gua singa. Dia sekeluarga telah diusir dengan halus dari kota raja di mana diam-diam banyak terdapat musuh-musuh ayahnya, maka kini dia kembali ke kota raja, tentu saja banyak orang akan mengenalnya. Baru setelah enam orang itu menghadang dan hendak menangkapnya, Kok Han terkejut dan insyaf bahwa dia berada di tempat yang berbahaya! Teringatlah dia akan musuh-musuh ayahnya, maka dia dapat menduga bahwa enam orang ini tentulah utusan seorang di antara musuh-musuh ayahnya itu. Kok Han mewarisi ketabahan ayahnya, maka biarpun dia sudah dikepung, dia tidak menjadi gentar dan dengan sinar mata tajam dan suara tenang dia menghampiri mereka dan berkata, “Siapakah kalian? Apa sebabnya kalian hendak menangkapku?”
“Tidak perlu banyak cakap, lebih baik engkau ikut bersama kami dengan tenang dan kau boleh bicara, dengan majikan kami,” kata seorang di antara mereka yang mukanya hitam dan sikapnya bengis sekali.
Kok Han mengerutkan alisnya, sikapnya masih tenang. “Siapakah majikan kalian? Dan bagaimana kalau aku tidak sudi menyerah?”
“Bocah sombong, kami akan menggunakan kekerasan dan engkau akan menyesal!” bentak si muka hitam sambil meraba gagang goloknya, sikapnya keren sekali.
Kini Kok Han menjadi marah. Hatinya sedang tertekan kekhawatiran teringat akan keadaan keluarganya, dan juga sedang bingung karena dia tidak tahu ke mana harus mencari kakak sulungnya di dalam kota raja yang besar itu, dan kini dia diganggu orang. Apalagi karena dia tahu bahwa orang-orang ini adalah kaki tangan musuh-musuh ayahnya yang mungkin juga menjadi biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya, maka pemuda ini menjadi marah bukan main. Mukanya yang pucat itu berubah merah dan dia menatap wajah enam orang itu dengan mata terbelalak.
“Penjahat-penjahat hina! Kami keluarga dari bekas Panglima Kao Liang tidak mengenal takut, apalagi terhadap kaki tangan segala macam pembesar durna yang memusuhi kami!” Dia berseru dengan keras dan nyaring sehingga terdengar sampai jauh dan dengan gerakan cepat Kok Han sudah menerjang ke depan. Enam orang itu terkejut, lebih terkejut mendengar bentakan itu daripada menghadapi serangan pemuda itu, sehingga dua orang di antara mereka kena dipukul oleh Kok Han dan mereka terpelanting ke atas tanah. Empat orang yang lain sudah menubruk dan menyerang Kok Han yang melawan dengan nekat. Terjadilah perkelahian di depan rumah makan itu, mengejutkan semua orang dan biasa seperti setiap kali ada perkelahian, orang-orang hanya menjauhkan diri atau menonton saja. Tempat itu segera terkurung oleh banyak orang yang menonton.
Biarpun dua orang yang dipukulnya tadi kini sudah bangkit kembali dan dia dikeroyok oleh enam orang, namun Kok Han adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya dan memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan baik. Maka kini dia mengamuk dan enam orang itulah yang sering menerima pukulan dan tendangan oleh pemuda ini sehingga jatuh bangun. Enam orang itu menerima perintah untuk menangkap Kok Han, maka mereka tadi tidak mempergunakan senjata. Akan tetapi ketika mereka mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda itu, kini mereka mulai mencabut senjata masing-masing dan para penonton menjadi gempar dan cepat menjauhkan diri. Namun Kao Kok Han tidak menjadi gentar. Dia berdiri tegak di tengah-tengah, memandang kepada enam orang yang telah mengelilinginya dengan senjata pedang dan golok di tangan itu. Kok Han diam-diam meraba gagang pedangnya dan mengambil keputusan untuk membela diri sekuatnya.
“Tahan....!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan enam orang itu berhenti bergerak, lalu menjura ke arah kakek berusia enam puluh tahun yang muncul di antara para penonton itu. Ketika Kok Han menoleh, wajahnya berubah pucat. Kakek itu adalah seorang panglima yang berpakaian preman dan dia mengenal benar Panglima Chang ini, seorang panglima tua yang menjadi musuh besar ayahnya karena ayahnya pernah membongkar praktek kecurangan dan korupsi dari Panglima Chang ini sehingga panglima ini pernah mengalami hukuman turun pangkat sampai beberapa tingkat! Dia maklum bahwa pencampurtanganan panglima yang tentu diam-diam amat membenci ayahnya itu merupakan hal yang tidak menguntungkan baginya. Dugaannya memang benar karena panglima itu lalu melangkah maju dan tertawa mengejek.
“Hemmm, kiranya bocah anak dari bekas jenderal pengkhianat! Eh, bocah she Kao, di mana adanya ayahmu yang khianat itu? Apakah engkau diutus untuk memata-matai kerajaan?”
Tentu saja Kok Han tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Saking marahnya dia sampai melupakan sopan santun lagi dan terhadap panglima tua ini dia mendamprat, “Kakek tua bermulut busuk! Ayahku adalah seorang gagah sejati, bukan pengkhianat macammu!”
Memang inilah yang dikehendaki oleh Panglima Chang ini. Agar semua orang mendengar bahwa dia dimaki dan dihina oleh pemuda ini sehingga dia dapat turun tangan dengan ada alasannya. Maka dia lalu berkata keras, “Ah, bocah sombong! Engkau berani menghina dan memaki aku, Panglima Chang? Biarpun aku berpakaian preman, akan tetapi aku masih mampu untuk menangkapmu. Ayahmu adalah seorang pengkhianat, kalau tidak mana mungkin dia sampai dihentikan dan diusir? Dan kau hendak memberontak pula dengan menghina seorang panglima?”
“Manusia she Chang yang hina! Siapa tidak mengenal kepalsuanmu?” Kok Han kembali membentak, makin marah.
“Cu-wi sekalian mendengar betapa bocah ini menghinaku. Terpaksa aku harus menghajarmu!” Setelah berkata demikian, kakek ini lalu bergerak maju, tangannya menyambar dan ujung lengan bajunya yang lebar itu telah menyerang ke depan dan menotok ke arah pundak Kok Han!
Kao Kok Han maklum bahwa kakek ini tidak boleh disamakan dengan enam orang pengeroyoknya tadi. Kalau enam orang tadi hanya kaki tangan pembesar yang hanya mengandalkan kekasaran dan kekerasan belaka seperti tukang-tukang pukul bayaran, kakek ini adalah seorang panglima yang memiliki kepandaian tinggi. Maka begitu melihat tangan kakek itu bergerak dan ujung lengan bajunya menyerang ke arah pundaknya, dia cepat melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, lengan baju yang luput sambarannya itu disusul oleh cengkeraman jari-jari tangan ke arah leher pemuda itu.
“Ehhh!” Kok Han berseru kaget dan cepat dia membuang tubuh ke atas ke belakang dan pada saat itu, sambil tertawa kakek itu sudah menendang. Kok Han yang sedang membuang tubuh atas ke belakang itu tentu saja menjadi makin kaget, dia terpaksa menjatuhkan diri, akan tetapi gerakannya kurang cepat sehingga betisnya masih tersentuh ujung sepatu. Dia bergulingan dan meloncat bangun, betis kakinya terasa nyeri, akan tetapi Kok Han tidak peduli dan dia sudah mencabut pedangnya.
Kakek itu memandang sambil tersenyum lebar. “Bagus, kau malah membawa senjata untuk membunuh orang? Nah, majulah!”
Hati yang diliputi kedukaan dan kekhawatiran mudah menjadi marah dan nekat. Melihat kakek yang menjadi musuh besar ayahnya, yang mengeluarkan kata-kata menghina ayahnya, dan kini menantangnya, biarpun dia maklum bahwa kakek ini lihai sekali, membuat Kok Han lupa diri dan dia menjadi marah bukan main. Orang yang marah lupa segala, lupa akan kesadaran dan yang ada hanyalah kebencian di dalam hatinya yang perlu dilampiaskan dengan ucapan atau tindakan kasar dan keras untuk menyakiti orang yang dibencinya. Sambil berseru keras, Kok Han menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi, Chang-ciangkun sudah siap dengan sebatang cambuk kulit berwarna hitam yang tadi dipakainya sebagai ikat pinggang.
“Tar-tar-tarrr....!” Tiga kali ikat pinggang cambuk itu meledak dan pedang itu bukan saja sudah ditangkisnya, malah dua kali cambuk itu sudah mematuk dan Kok Han meloncat ke belakang sambil mengusap pangkal lengan kanannya yang berdarah dan juga pundaknya yang berdarah. Bajunya di dua bagian itu telah robek berikut kulitnya! Bukan main lihainya permainan cambuk kakek itu!
Panglima Chang tertawa bergelak. Girang bukan main hatinya. Sudah belasan tahun lamanya semenjak rahasianya dibongkar oleh Jenderal Kao sehingga dia tidak hanya mengalami penurunan pangkat, akan tetapi juga merasa dibikin malu dan terhina, telah menahan-nahan hatinya yang penuh dendam terhadap Jenderal Kao. Akan tetapi karena jenderal itu amat lihai dan juga amat kuat kedudukannya, dia tidak dapat berbuat apa pun juga. Kini, dia memperoleh kesempatan, berhadapan dengan putera jenderal musuh besarnya itu, dan dia boleh menghajar anak ini sebagai pengganti Jenderal Kao seenaknya karena bukankah banyak saksinya betapa pemuda itu menghinanya? Mereka kini berhadapan sebagai dua orang yang bertanding karena mempertahankan kehormatan masing-masing! Dan dia tidak akan cepat-cepat membunuh putera Jenderal Kao ini, hendak dihajarnya sampai habis-habis kulitnya dengan cambuknya, barulah dia akan menangkapnya sebagai tuduhan mata-mata yang hendak memberontak! Kalau sudah begitu, puaslah dia dapat membalas dendam sakit hatinya terhadap Jenderal Kao Liang!
“Ha-ha-ha, bocah pelarian sombong! Bocah macam engkau ini berani melawan Chang-ciangkun? Ha-ha-ha, hayo kau berlutut minta-minta ampun dan bersumpah tujuh turunan tidak akan berani melawanku lagi, baru aku akan mengampunimu! Tar-tar-tarrr!” Kok Han cepat memutar pedangnya, akan tetapi cambukan ke tiga mengenai lengan kanannya yang memegang pedang sehingga lengan itu berdarah. Akan tetapi dia tidak melepaskan pedangnya, apalagi harus berlutut minta ampun!
“Manusia hina, lebih baik seribu kali mampus daripada menyerah kepada seorang pembesar durna macam engkau!” Dia memutar pedangnya dengan cepat dan menerjang lagi seperti seekor harimau terluka dan yang tidak mengenal bahaya lagi.
“Tar-tar-tar-suuuuuttttt....!”
Karena jari-jari tangannya yang memegang pedang kena dihajar cambuk, maka ketika ujung cambuk itu membelit pedang dan ditarik, Kok Han tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi yang sudah terampas oleh kakek Chang. Kakek itu tertawa bergerak dan mengambil pedang itu, sekali dia menggerakkan kedua tangan terdengar bunyi nyaring dan pedang itu telah dapat dipatahkannya lalu dilempar ke atas tanah!
Kok Han terkejut bukan main akan tetapi dia menjadi bertambah marah. Dengan nekat dia, menerjang maju lagi dengan tangan kosong, hanya untuk disambut oleh ujung cambuk yang melibat kedua kakinya dan ketika cambuk ditarik, pemuda itu tentu saja terguling ke atas tanah!
“Tar-tar-tarrr!” Cambuk itu kini meledak-ledak di atas kepala Kok Han, mematuk-matuk dan menyengat-nyengat. Kok Han hanya dapat menutupi dan melindungi kepala dan mukanya, akan tetapi tentu saja tidak lagi mampu mengelak dari sambaran cambuk yang bertubi-tubi itu sehingga pakaiannya menjadi robek-robek berikut kulit tubuhnya sehingga pakaiannya mulai berlepotan darah. Akan tetapi pemuda itu meloncat bangun lagi dan hendak menyerbu ke depan.
Melihat kenekatan pemuda ini, diam-diam Panglima Chang terkejut juga. Akan tetapi hatinya sudah puas, sudah dapat mencambuki putera musuh besarnya itu di tengah jalan. Kini dia memutar cambuknya dan bermaksud untuk merobohkan pemuda itu dengan totokan ujung cambuknya, untuk diserahkan kepada enam orang tadi yang dia tahu adalah anak buah seorang jaksa yang juga menjadi musuh besar Jenderal Kao, dan tentu saja jaksa itu akan menuntut pemuda ini sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak. Akan tetapi, begitu dia meluncurkan ujung cambuknya ke arah jalan darah di leher pemuda itu untuk menotoknya, tiba-tiba cambuk itu terhenti di tengah udara. Dia membetot-betot, akan tetapi sia-sia belaka dan ketika dia melihat, ternyata ujung cambuknya itu telah dipegang oleh seorang wanita cantik yang tahu-tahu telah berdiri di sebelah belakangnya. Wanita itu paling banyak berusia dua puluh empat tahun, cantik jelita dengan sepasang mata yang amat tajam, akan tetapi rambutnya kusut dan wajahnya membayangkan kemuraman seolah-olah wanita muda secantik itu telah menderita tekanan batin yang hebat dan pada saat itu wanita ini kelihatan marah sekali sehingga sinar matanya seperti mengeluarkan api.
“Siapa kau? Perempuan lancang, hayo lepaskan cambukku, berani kau mencampuri urusan Panglima Chang?” bentaknya dan sekali lagi dia mencoba membetot cambuknya.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu bergerak ke depan, ke arah mukanya dan dua jari tangan yang kecil mungil menusuk ke arah kedua mata panglima itu dengan gerakan yang amat cepat dan sedemikian kuatnya sehingga sebelum jari tangan datang, lebih dulu ada angin menyambar ke muka panglima itu! Chang-ciangkun terkejut bukan main melihat serangan yang amat hebat ini karena kalau dia kurang cepat, tentu sepasang matanya akan menjadi buta! Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya untuk menangkis dan sekalian menangkap lengan tangan wanita itu.
“Plakkk!”
“Ahhh!” Chang-ciangkun berseru kaget ketika tiba-tiba tangan yang menusuk matanya itu mengubah gerakan dan menampar ke arah tangan kanannya dan yang memegang gagang cambuk. Tangannya menjadi lumpuh rasanya dan ketika ujung cambuk ditarik oleh wanita itu, dia tidak mampu mempertahankan lagi. Cambuk itu telah dirampas!
“Jahanam busuk, berani kau mencambuki adik iparku? Mestinya engkau kubunuh untuk itu, akan tetapi biarlah kuambil dulu kedua telingamu!”
“Tar-tar-tarrr!” Cambuk itu meledak-ledak di udara ketika diputar oleh wanita itu. Chang-ciangkun marah bukan main.
“Bangsat perempuan, engkau harus dihajar!” bentaknya dan dia sudah mencabut pedangnya.
Akan tetapi, wanita cantik itu menggerakkan tangannya dan cambuk itu menyambar ke bawah seperti kilat cepatnya. Chang-ciangkun terkejut dan mencoba untuk menangkis dengan pedangnya, akan tetapi tangkisannya itu luput dan ujung dari cambuk itu masih terus meluncur ke bawah, ke arah telinga kirinya.
“Prattt! Aduhhhhh....!” Chang-ciangkun menjerit dan menggunakan tangan kiri untuk mendekap telinganya. Daun telinganya yang kiri telah putus dan terlempar ke atas tanah, seperti dikerat dengan pisau tajam saja ketika disambar oleh ujung cambuk tadi!
“Dan sekarang telinga kananmu!” Wanita itu membentak dan kembali cambuknya menyambar.
Chang-ciangkun sudah terkejut dan ketakutan setengah mati. Tahulah dia bahwa wanita ini lihai bukan main, dan kini dia pun memutar pedangnya melindungi tubuhnya. Namun, seperti sinar kilat saja, ujung cambuk itu sudah mendesing-desing dan menyambar-nyambar, kemudian mencari jalan masuk melalui sinar pedang, menyambar ke arah telinga kanan.
“Prattt! Aughhhhh....!” Chang-ciangkun menjerit dan melempar pedangnya untuk menggunakan tangan kanan mendekap pinggir kepala kanan yang sudah tidak berdaun telinga lagi itu. Darah bercucuran dari kedua tempat bekas sepasang daun telinga yang telah putus.
Cambuk itu masih meledak-ledak di udara. “Sekarang engkau mampus! Ataukah lebih dulu kusayat hidungmu?” Wanita cantik itu mengancam dengan suara bengis. Mendengar ini Chang-ciangkun terisak dan kedua kakinya menggigil, lalu dia jatuh berlutut dan dengan suara setengah menangis dia minta-minta ampun! Takutnya bukan main karena dia maklum bahwa nyawanya berada di tangan wanita itu.
“Sudah, isteriku, jangan bunuh dia!” tiba-tiba terdengar suara halus dan Ceng Ceng, wanita itu, lalu menoleh. Ketika dia melihat Kao Kok Cu si Naga Sakti sudah berada di sebelahnya, dia menarik napas panjang dan membuang cambuknya.
“Twako....! Twaso....!” Kok Han berseru dengan girang bukan main. Tadi ketika dia melihat twasonya (kakak ipar terbesar) datang menolongnya dan menghajar Chang-ciangkun, dia sudah merasa girang bukan main. Kini melihat munculnya kakaknya, tentu saja dia amat girang, melupakan penderitaannya dan dia lalu menghampiri sambil berseru girang memanggil mereka.
“Mari kita pergi dari tempat ini,” kata Kao Kok Cu dengan tenang dan tanpa mempedulikan lagi kepada Panglima Chang yang masih bcelutut sambil menangis, dan para penonton yang memandang kepada mereka dengan mata terbelalak, tiga orang itu lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah penginapan di mana Kao Kok Cu dan isterinya bermalam.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Si Naga Sakti Gurun Pasir ini bersama isterinya telah berhasil melapor kepada Pangeran Yung Hwa sehingga pangeran itu memanggil kakaknya, yaitu Pangeran Mahkota Yung Cheng yang berada di Kuil Siauw-lim-si. Akhirnya pangeran mahkota pulang ke kota raja dan berhasil mengundang datang Puteri Milana yang segera tiba di kota raja. Mendengar perkembangan ini, Kao Kok Cu dan isterinya merasa lega karena mereka merasa yakin bahwa dengan pimpinan Puteri Milana, tentu usaha kaum pemberontak akan dapat dihancurkan. Mereka mulai melakukan penyelidikan sendiri untuk mencari jejak hilangnya keluarga ayah mereka. Akan tetapi mereka belum juga berhasil dan pada hari itu, secara kebetulan sekali Ceng Ceng melihat Kok Han sedang dihajar oleh Panglima Chang. Tentu saja Nyonya muda ini menjadi marah sekali dan hampir saja dibunuhnya panglima itu kalau saja suaminya tidak cepat datang mencegahnya. Akan tetapi hatinya sudah puas karena dia telah memberi hajaran keras, membuntungi kedua daun telinga pembesar yang sewenang-wenang itu.
Setelah mereka tiba di rumah penginapan, Kok Cu lalu memeriksa luka-luka adiknya dan merasa lega bahwa luka-luka itu tidak berbahaya, hanya merupakan pecah-pecah pada kulit belaka dan dia cepat memberi obat kepada adiknya dan Kok Han lalu berganti pakaian. Semua ini dikerjakan sambil bercakap-cakap dan Kok Han menceritakan semua yang telah terjadi, betapa ayahnya dan kakaknya, Kok Tiong, ditawan oleh tokoh Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, juga bahwa keluarga Kao tentu juga ditawan di lembah.
“Hoa-gu-ji, tokoh Kui-liong-pang itu memperlihatkan cincin ibu dan hiasan rambut ji-soso (kakak ipar ke dua), maka ayah dan ji-ko tidak berani melawan dan bukti itu jelas menyatakan bahwa semua keluarga tentu ditawan di lembah.”
Kao Kok Cu mengepal tinjunya. “Mari kita serbu ke sana!” teriak Ceng Ceng tidak sabar lagi. Anak mereka diculik orang belum juga berhasil mereka temukan, sekarang keluarga suaminya semua ditawan orang! Nyonya muda ini benar-benar merasa berduka dan marah bukan main. Memang di waktu belum menikah dahulu, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang berhati baja, keras dan ganas, apalagi dia pernah menjadi murid dari Ban-tok Mo-li (baca Kisah Sepasang Rajawali), maka begitu kini dilanda duka yang bertubi-tubi, kekerasan hatinya pun muncul kembali sehingga dia memberi hajaran yang ganas sekali kepada Chang-ciangkun tadi.
Akan tetapi Kao Kok Cu yang biasa bersikap tenang dalam segala macam keadaan itu, biarpun hatinya juga terasa panas mendengar betapa ayahnya juga ditawan musuh, lalu berkata dengan nada suara halus dan tegas, “Kita pergi menghadap Puteri Milana lebih dulu untuk melaporkan keadaan lembah yang mencurigakan itu. Aku mempunyai perasaan bahwa ditangkapnya ayah dan semua keluarga ini tentu ada hubungannya dengan usaha para pemberontak itu, entah apa kehendak mereka.”
Maka pada hari itu juga, Kao Kok Cu, Kao Kok Han, dan Ceng Ceng pergi menghadap Panglima Puteri Milana yang ketika itu sedang membuat persiapan dengan bala tentaranya yang hendak dipimpinnya untuk menghancurkan usaha para pemberontak. Girang sekali hati Puteri Milana ketika dia melihat siapa orangnya yang minta menghadap dia itu. Segera dia mengenal Ceng Ceng.
“Kau.... Ceng Ceng....?” seru puteri itu sambil melangkah maju dan memegang tangan wanita itu. “Akan tetapi kenapa kau nampak muram seperti ini? Apa yang telah terjadi?”
Berjumpa dengan wanita agung yang masih menjadi bibi tirinya itu, dan melihat sikap yang ramah, hampir saja Ceng Ceng menitikkan air matanya. Akan tetapi dia segera teringat dengan siapa dia berhadapan. Puteri Milana adalah seorang wanita perkasa, puteri Pendekar Super Sakti, yang selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sekali, juga memiliki kepandaian ilmu perang yang hebat. Maka tidak patutlah kalau sampai dia menangis di depan wanita perkasa itu.
“Ah, dan engkau adalah Kao-taihiap yang dulu berjuluk Si Topeng Setan itu, bukan? Hebat, aku sudah lama mendengar julukanmu yang baru, yaitu Naga Sakti Gurun Pasir, Taihiap!” kata pula Milana sambil memandang wajah pria yang menimbulkan rasa kagum di hatinya itu.
“Paduka terlalu memuji,” kata Kao Kok Cu. “Dia ini adalah adik saya, Kao Kok Han, dan dia datang membawa berita tentang keadaan lembah Huang-ho yang mencurigakan, maka kami mengambil keputusan untuk menghadap Paduka Puteri Milana untuk....“
“Ahhh, Kao Kok Cu! Bukankah engkau ini suami Ceng Ceng? Isterimu adalah keponakanku, maka engkau harus menyebut bibi kepadaku, jangan begitu merendah, membikin aku merasa tidak enak saja. Pula, aku sekarang bukan lagi puteri istana, melainkan tenaga bantuan dari luar yang diminta oleh Pangeran Mahkota Yung Ceng.”
Melihat sikap yang terbuka dan ramah ini, diam-diam Kok Cu merasa kagum sekali dan dia bersama isterinya lalu bercerita tentang keadaan keluarga Jenderal Kao yang hilang diculik orang, juga tentang putera mereka yang juga lenyap diculik orang.
Bersambung ke buku 15
Label:
Jodoh Rajawali,
Kho Ping Hoo