Kisah Para Pendekar Pulau Es -10 | Kho Ping Hoo



Buku 10

Tiba-tiba Ceng Liong menghentikan langkahnya ketika melihat tiga orang sekutunya berlari turun dari puncak dan wajah mereka namnak pucat. Tadi ketika dia sedang mengobati Bi Eng, dia mendengar suara suhunya memanggil, akan tetapi dia sengaja diam saja tidak menjawab karena hatinya masih mendongkol melihat kecurangan Tek Ciang dan juga dia sedang mengobati Bi Eng sehingga tidak ada waktu untuk memenuhi panggilan gurunya. Kini dia melihat mereka turun dan melihat gelagatnya, mereka bertiga itu sedang menderita luka.

Memang demikianlah. Tiga orang itu, Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang melarikan diri dari puncak dalam keadaan menderita luka oleh pukulan-pukulan suling suami isteri yang sakti itu.

Begitu melihat nona yang dirobohkannya itu dipondong dengan amat mesranya oleh Ceng Liong, Tek Ciang menjadi marah sekali. Dia yang merobohkan, pemuda ingusan itu yang menikmati hasilnya sedangkan dia dan garunya terluka oleh orang tua gadis itu!

“Ceng Liong, ia milikku, berikan kepadaku!” kata Tek Ciang sambil menyerang ke depan, menubruk dan hendak merampas tubuh Bi Eng dari pondongan Ceng Liong. Namun dengan sigapnya Ceng Liong meloncat dan menghindarkan tubrukan Tek Ciang.

“Berikan sandera ini kepadaku!” Jai-hwa Siauw-ok juga berteriak dan kakek cabul ini menubruk pula ke depan. Ceng Liong terkejut dan kembali dia melompat ke kiri untuk mengelak. Kini guru dan murid itu menghadapinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam. Ceng Liong menjadi bingung. Melawan mereka dia tidak takut. Akan tetapi kalau kedua lengannya memondong tubuh Bi Eng, bagaimana dia akan mampu melawan mereka yang lihai itu? Dan menurunkan dulu tubuh Bi Eng lalu menghadapi mereka, dia khawatir kalau-kalau seorang di antara mereka akan merampas dan mencelakai dara itu. Dia sudah mengenal watak mereka yang cabul dan jahat.

“Perlahan dulu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong melangkah maju menghadapi guru dan murid itu. Ceng Liong melihat betapa gerakan gurunya ini lemah bahkan wajah gurunya amat pucat, napasnya juga memburu tanda bahwa gurunya itupun terluka, mungkin lebih parah daripada luka yang diderita oleh guru dan murid cabul itu. Dan memang sesungguhnya begitulah. Luka dalam yang diderita oleh Hek-i Mo-ong paling parah. Akan tetapi, melihat muridnya diancam oleh kedua orang itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan membelanya.

Melihat Hek-i Mo-ong maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya menjadi marah. Mereka kini tidak merasa takut lagi karena mereka berdua maklum bahwa iblis tua itu telah menderita luka yang lebih parah daripada mereka.

“Mo-ong, sandera ini harus kutawan untuk memaksa ibunya tunduk kepadaku!” katanya.

“Aku yang tadi merobohkannya, maka akulah yang berhak memilikinya!” kata pula Tek Ciang.

Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Siauw-ok, kalau muridku tidak membolehkannya, berarti akupun tidak membolehkan kalian merampas gadis ini. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi!”

Akan tetapi, sekali ini Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya tidak mau mentaati perintah kakek iblis itu. Mereka melawan bukan hanya karena ingin memiliki gadis itu, melainkan terutama sekali mengingat akan keselamatan mereka sendiri. Setelah mereka dihajar oleh suami isteri dari Istana Khong-sim Kai-pang, mereka menjadi gentar sekali. Kalau suami isteri itu mengetahui bahwa puteri mereka terculik, apalagi terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok, tentu mereka berdua akan melakukan pengejaran dan celakalah kalau sampai suami isteri itu dapat mengejar atau menyusul. Maka, gadis itu harus mereka kuasai untuk dijadikan sandera kalau-kalau orang tua gadis itu dapat menyusul mereka. Inilah sebabnya mengapa mereka berkeras hendak merampas Bi Eng dari tangan Ceng Liong.

“Mo-ong, kami sama sekali tidak ingin mengganggumu, akan tetapi muridmulah yaug merusak rencana kita. Kalau tadi dia datang membantu, tentu keadaan kita lebih kuat dan belum tentu kita kalah. Dan sekarang gadis itu dirobohkan oleh muridku, maka kami berdualah yang berhak memilikinya. Serahkan gadis itu kepada kami dan kami akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi,” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil memandang dengan mata disipitkan.

“Setan, berani engkau menentangku, manusia rendah?” Hek-i Mo-ong marah sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, tangannya membentuk cakar menyambar ke arah ubun-ubun kepala Jai-hwa Siauw-ok. Hebat sekali serangan dengan Ilmu Coan-kut-ci ini, akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok yang sudah tahu akan kelihaian lawan, cepat meloncat ke belakang, kemudian bersama muridnya dia maju membalas dan mengeroyok Hek-i Mo-ong!

Hek-i Mo-ong sudah terluka parah oleh pukulan suling dari Kam Hong tadi. Dadanya terasa sesak dan napasnya memburu, akan tetapi dia adalah seorang datuk sesat yang lihai sekali. Biarpun sudah terluka parah, dia menghadapi dua orang pengeroyoknya dengan gagah. Apalagi keadaan Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya juga sudah terluka, walaupun tidak separah luka yang diderita Hek-i Mo-ong namun setidaknya mengurangi kekuatan mereka.

Karena dikeroyok dua, Hek-i Mo-ong terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok yang menggunakan Ilmu Kiam-ci. Jari tangan yang tajam seperti pedang itu menyerempet lambungnya, merobek baju dan kulit lambung sehingga mengeluarkan darah dan pada saat itu juga, hantaman tangan Tek Ciang yang disertai tenaga Hwi-yang Sin-ciang mengenai punggung kakek iblis itu.

“Dukkk....!” Hek-i Mo-ong terpelanting roboh. Melihat ini, giranglah hati Jai-hwa Siauw-ok. Kakek iblis ini harus ditewaskan dulu, baru dengan mudah akan dapat mereka hadapi muridnya dan merampas gadis itu. Diapun menubruk ke bawah, hendak menghabisi nyawa Hek-i Mo-ong dengan Kiam-ci. Akan tetapi, pada saat itu, tiba-tiba saja Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan nyaring sekali.

“Diam kau....!” Dibentak dengan kekuatan sihir ini, seketika Jai-hwa Siauw-ok terdiam dan tubuhnya seperti menjadi kaku. Pengaruh bentakan itu hebat sekali dan biarpun hanya beberapa detik dia berhenti, sudah cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk melontarkan serangannya. Jari tangan kirinya mencengkeram, terdengar suara berbeletok ketika jari-jari tangan itu terhunjam ke dalam kepala Jai-hwa Siauw-ok dan penjahat cabul ini menjerit mengerikan, tubuhnya terjengkang roboh dan dari kepala yang berlubang-lubang itu mengalir keluar darah bercampur otak!

Melihat ini, wajah Tek Ciang menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tanpa menoleh lagi ke arah mayat gurunya, pemuda pengecut inipun sudah meloncat jauh dan melarikan diri tunggang-langgang! Hek-i Mo-ong bangkit berdiri, terhuyung-huyung dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar! Kiranya tenaga yang diperas dalam perkelahian itu, apalagi pukulan-pukulan lawan, membuat luka yang dideritanya semakin parah. Diapun cepat menjatuhkan dirinya duduk bersila dan mengatur pernapasan.

Ceng Liong menurunkan tubuh Bi Eng. Setelah Jai-hwa Siauw-ok tewas dan kini tinggal Tek Ciang yang juga sudah melarikan diri, dia tidak khawatir lagi menurunkan dara itu. Andaikata Tek Ciang datang lagi, dia dapat menghadapinya tanpa mengkhawatirkan keadaan Bi Eng. Kemudian Ceng Liong menghampiri gurunya yang duduk mengatur pernapasan. Tadi dia tidak membantu Hek-i Mo-ong karena melihat bahwa gurunya belum perlu dibantu. Ketika gurtnya terjatuh, diapun sudah tahu bahwa jatuhnya kakek itu setengah disengaja untuk memancing lawan dan ternyata akalnya itu berhasil. Akan tetapi diapun tahu bahwa luka di dalam tubuh gurunya semakin hebat.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Ceng Liong bersila di depan gurunya, menempelkan kedua tangannya di dada dan pundak, lalu diapun mengerahkan sin-kangnya untuk membantu gurunya. Ketika Hek-i Mo-ong merasa ada saluran hawa panas memasuki tubuhnya, dia membuka matanya dan melihat betapa muridnya yang membantunya, diapun tersenyum lebar dengan wajah berseri gembira.

“Heh-heh, manusia macam Ouw Teng itu berani melawan aku? Hah, dia bosan hidup!” katanya terengah-engah.

“Mo-ong, tenanglah dan beristirahatlah. Biarkan aku membantumu meringankan penderitaanmu,” kata Ceng Liong dengan halus. Kakek itu terdiam dan beberapa lamanya mereka duduk bersila, berhadapan dan Ceng Liong membantu gurunya dengan penuh ketekunan. Bi Eng melihat semua itu dengan sinar mata penuh keheranan. Jelas bahwa Ceng Liong bukan orang jahat, akan tetapi bagaimana seorang pemuda seperti ini bisa menjadi murid datuk sesat yang demikian mengerikan seperti Hek-i Mo-ong?

Akhirnya Hek-i Mo-ong berkata, “Cukup untuk sementara ini. Ceng Liong, lekas bawa aku pergi dari sini....!” Di dalam ucapan itu terkandung rasa gentar.

“Akan tetapi.... aku ingin membawa nona Kam kepada orang tuanya agar dapat memperoleh pengobatan,” Ceng Liong membantah.

“Apa engkau ingin melihat aku dibunuh mereka? Aku sudah terluka dan tidak mungkin melakukan perlawanan.”

“Tapi, luka nona Kam Bi Eng juga parah....”

“Bawa ia bersama kita, aku dapat mengobati luka akibat pukulan Hoa-mo-kang,” kata kakek itu.

Melihat keraguan Ceng Liong, Bi Eng berkata, “Turutilah permintaannya, Ceng Liong, karena kalau ayah dan ibu melihatnya tentu mereka akan turun tangan membunuhnya, membikin aku merasa tidak enak kepadamu. Mari kita pergi.”

Ceng Liong memandang heran. Sungguh makin tidak mengerti saja dia terhadap watak gadis ini. Akan tetapi diapun menjadi girang dan tanpa banyak cakap dia memondong tubuh Bi Eng dan bersama gurunya diapun lari meninggalkan tempat itu. Gurunya yang mencari jalan dan ternyata Hek-i Mo-ong yang banyak pengalamannya itu amat cerdik. Dia menuruni kaki gunung dan meninggalkan Pegunungan Tai-hang-san karena dia dapat menduga bahwa Kam Hong dan isterinya yang tidak tahu harus mengejar ke mana itu tentu akan mencari-cari di sekitar Pegunungan Tai-hang-san dan untuk mencari daerah yang luas itu membutuhkan waktu sedikitnya tiga hari! Maka dia meninggalkan daerah Tai-hang-san. Kalau tidak cerdik, tentu dia memilih yang dekat, dan dianggap aman, yaitu di dalam hutan-hutan yang lebat dari daerah itu dan kalau dia berbuat demikian, tak mungkin dia dapat menghindarkan diri dari suami isteri yang luar biasa lihainya itu.

Pada keesokan harinya, di dalam sebuah hutan di luar Tai-hang-san, di tepi pantai Sungai Huang-ho, mereka beristirahat. Seperti yang telah dijanjikannya, Hek-i Mo-ong mencarikan obat untuk Bi Eng. Obatnya aneh karena dia menyuruh Ceng Liong mencari anak-anak katak yang banyak terdapat di tepi sungai. Puluhan ekor katak kecil itu diremas-remas oleh Hek-i Mo-ong, air perasan ditampung dan dicampur dengnn obat pulung yang dibawanya. Hampir tidak dapat Bi Eng menelannya karena baunya yang amis, akan tetapi Ceng Liong membujuknya dengan halus.

“Minumlah, Bi Eng. Ini obat dan aku yakin bahwa obat dari Hek-i Mo-ong tentu manjur. Minumlah.”

Bi Eng teringat akan puluhan ekor anak katak yang diperas dan ia bergidik. Akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada Ceng Liong dan sambil memejamkan kedua matanya iapun menuang obat cair itu ke dalam perut dan terus ditelannya. Dengan menutup hidungnya, obat itu tidak terasa apa-apa, bahkan baunya yang amispun tidak terasa. Baru setelah obat itu memasuki perutnya dan ia melepaskan jari tangan yang menutup hidung, tercium bau amis yang hampir membuat ia muntah. Akan tetapi, dara remaja yang sejak kecil menerima gemblengan orang tuanya itu cepat mengerahkan tenaga mencegah muntah.

Akan tetapi, dorongan dari dalam hampir tak dapat dikuasainya lagi dan pada saat wajahnya menjadi pucat sekali menahan rasa hendak muntah, terdengar suara Hek-i Mo-ong, “Ha-ha, nona kecil, kalau engkau muntah, engkau akan langsung mati, dan kalau engkau menahan muntah itu, engkau akan mati dalam waktu tiga hari lagi, ha-ha-ha!”

Dapat dibayangkan betana kagetnya hati Bi Eng mendengar ucapan itu dan seketika rasa hendak muntah itu hilang. Tentu saja ia tidak mau muntah langsung mati! Biarpun demikian, wajahnya menjadi semakin pucat karena nyawanya hanya tinggal tiga hari saja.

Kekagetan hati Bi Eng kiranya tidak sehebat Ceng Liong ketika dia mendengar ucapan gurunya. Dia meloncat ke depan kakek itu, matanya mencorong menakutkan. “Mo-ong, apa artinya kata-katamu itu?” tanyanya dengan suara membentak.

“Heh-heh, Ceng Liong. Kata-kataku sudah jelas bukan? Gadis ini akan mati seketika kalau muntah, dan akan mati tiga hari kemudian kalau tidak muntah.”

“Mo-ong, engkau sengaja meracuni Bi Eng?” Ceng Liong berkata lagi dan dia mengepal kedua tangannya.

Kakek itu mengangguk dan tertawa. “Ha-ha, aku melakukan demi engkau, muridku yaug baik.”

Keheranan yang amat besar melanda hati Ceng Liong, membuat dia melupakan rasa marahnya. “Apa.... apa maksudmu....?”

“Heh-heh, kau tunggulah saja.” Kakek itu lalu memandang Bi Eug yang masih duduk dengan muka pucat dan memegangi perutnya yang mual. “Nona, nyawamu tergantung kepada keputusanmu sendiri. Yang kaumakan tadi menambah hebatnya pengaruh pukulan Hoa-mo-kang dan engkau tentu akan mati dalam waktu tiga hari. Tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkanmu kecuali obat dari pemilik ilmu Hoa-mo-kang atau.... obat dariku. Sekarang, aku mau menukar nyawamu itu dengan sebuah janjimu.”

Bi Eng merasa marah sekali, akan tetapi karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan kakek itu, ia menjawab dengan ketus, “Kakek iblis berhati keji! Janji apakah yang kau kehendaki dariku maka engkau tidak segan melakukan kekejian yang kotor ini?”

“Berjanjilah bahwa engkau kelak akan menjadi isteri Ceng Liong, dan aku akan mengembalikan nyawamu!”

“Ahhhh....!” Teriakan ini keluar dari mulut Ceng Liong yang sudah menerjang gurunya dengan pukulan keras.

“Dukkk!” Hek-i Mo-ong menangkis dan terjengkang, dari mulutnya keluar darah segar lagi karena untuk menangkis pukulan hebat tadi dia harus mengeluarkan tenaga sin-kang sekuatnya, padahal luka di dalam tubuhnya belum sembuh benar.

“Ahhh....” kembali Ceng Liong berseru, kini bukan karena marah melainkan karena kaget melihat suhunya terjengkang lalu bangkit berdiri sambil terhuyung. Cepat dia menubruk dan merangkul suhunya, dipapahnya duduk di atas rumput.“Heh-heh-heh....!” Hek-i Mo-ong terkekeh melihat betapa muridnya yang tadinya memukulnya itu kini malah memapahnya. “Engkau murid yang baik, heh-heh.... selama menjadi muridku, baru sekarang berani memyerangku, kusangka tadinya engkau lemah, kiranya berani memukulku. Hebat....”

Ceng Liong sudah lama hidup di dekat kakek iblis itu dan sudah mengenal wataknya yang amat aneh, tidak lumrah manusia. Diapun tahu bahwa kakek itu dalam pandangan umum tentu merupakan iblis yang kejam dan ganas, akan tetapi dia sendiri mengenalnya sebagai seorang kakek yang wataknya aneh dan kekejaman-kekejamannya itupun termasuk satu di antara keanehan-keanehannya yang tidak normal. Kadang-kadang dia berpikir bahwa gurunya ini sebenarnya menderita suatu penyakit dalam otaknya atau jiwanya, sudah gila sehingga segala yang dilakukannya itu sama sekali bukan karena kekejaman, melainkan karena pandangannya yang berbeda, bahkan kadang-kadang terbalik dari pandangan umum. Kinipun gurunya telah melakukan hal yang amat luar biasa. Guru ini dapat tertawa bergelak kesenangan melihat muridnya berani melawan dan memukulnya. Mana ada guru macam ini di seluruh dunia ini? Dan dia sendiri merasa amat menyesal. Dia dapat merasakan cinta yang mendalam di hati gurunya terhadap dirinya, dan kini dia berani memukul gurunya yang sedang terluka parah itu! Diapun merasa tidak perlu minta maaf walaupun hatinya menyesal. Bagi orang seperti Hek-i Mo-ong, tidak ada kata maaf!

“Mo-ong, mengapa kaulakukan itu? Terlalu sekali engkau!”

“Apanya yang terlalu? Sudahlah, kau diam saja dan biarkan aku menyelesaikan urusanku denggan gadis itu!” Kakek itu masih bersila, akan tetapi kini sambil mengatur pernapasan, dia memandang kepada Bi Eng yang berdiri bengong terlongong, sebentar memandang kepada Ceng Liong dan sebentar pula kepada kakek iblis itu, mukanya yang tadi pucat tiba-tiba berobah merah, lalu pucat kembali. “Bagaimana, nona cilik? Jawablah sebelum terlambat. Kalau racun itu keburu bekerja, engkau takkan bisa menjawab lagi.”

“Kakek iblis! Kaukira aku ini orang macam apa? Kaukira aku takut mampus? Lebih baik mati daripada menuruti kehendakmu yang hina!”

“Eh-eh-eh, bocah sombong! Kaubilang hina kalau aku minta engkau menjadi calon isteri Ceng Liong? Ha-ha-ha, bercerminlah. Sepuluh kali engkaupun belum tentu pantas menjadi isteri muridku, tahu?”

“Mo-ong....!” Ceng Liong memprotes.

“Diamlah dan jangan mencampuri urusanku!” kakek itu membentak muridnya dan Ceng Liong terdiam sambil cemberut. Sungguh keterlahuan gurunya ini. Membicarakan urusan perjodohannya dan mengatakan bahwa dia tidak boleh mencampuri urusannya. Diam-diam dia merasa geli. Biarkan saja kakek gila ini melanjutkan kehendaknya. Masih ada batu penghalang besar bagi keinginannya yang gila itu. Kalau gurunya itu nanti hendak melanjutkan niatnya, masih ada dia yang tentu saja boleh dan berhak menolak! Kalau gadis itu tidak mampu menolak karena tertekan dan terancam nyawanya, masih ada dia yang dapat menolak dan dia tidak terancam apapun!

“Iblis tua, kenapa engkau mempunyai pikiran yang gila ini, tanpa sebab menyuruh aku berjanji.... seperti itu?” Bi Eng yang menjadi tertarik dan ingin tahu, mengajukan pertanyaan sebelum mengambil keputusan, walaupun dara ini tadi sudah menunjukkan ketidaksetujuannya tanpa memperdulikan ancaman nyawa.

“Heh-heh, kenapa aku ingin menjodohkan muridku denganmu, begitukah maksud pertanyaanmu? Karena.... karena dia mencintamu, anak bodoh!”

“Ahhhh....!” Kembali Ceng Liong yang berteriak mendengar ini dan matanya melotot, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang gemas kepada gurunya, namun teringat bahwa dia harus membiarkan gurunya itu menyelesaikan “urusannya” dengan gadis itu.

Bi Eng memandang kepada Ceng Liong dan berjebi, tersenyum mengejek. Perbuatan kakek itu otomatis membuat dia juga membenci pemuda yang menjadi murid kakek iblis ini. Bahkan kini timbul dugaannya bahwa Ceng Liong menolongnya dengan niat buruk, mungkin sudah diatur terlebih dahulu dengan gurunya! Siapa tahu sikap pemuda itupun hanya pura-pura, hanya sandiwara saja!

“Kakek iblis, kaukira aku sudi menjadi isteri murid seorang iblis macam engkau? Lebih baik seribu kali mati dari pada.... aukhhh....!” Dara remaja itu hampir muntah. Ia menekuk tubuhnya dan menekan perutnya yang terasa mual. Sekali meloncat, Ceng Liong sudah berada di dekatnya dan menyentuh pundak dara itu.

“Bi Eng, jangan muntah....” katanya khawatir sekali. Sekali muntah, dara ini akan tewas! Betapa mengerikan bayangan ini.

“Ha-ha-ha, bocah sombong kau! Kau belum tahu siapa muridku ini, hah? Dia adalah Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan kau bilang seribu kali lebih baik mati daripada menjadi isterinya?”

“Mo-ong....!” Ceng Liong meloncat dan kembali dia memukul ke arah gurunya karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Gurunya ini sungguh amat menghina Bi Eng dan seolah-olah memaksa gadis itu agar mau berjanji menjadi isterinya!

“Desss....!” Dalam keadaan bersila itu, Hek-i Mo-ong menangkis hantaman muridnya yang tertuju ke arah kepalanya dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia bangkit duduk, dia tertawa-tawa sambil muntahkan darah segar lagi.

“Ahhh!” Ceng Liong terkejut dan cepat menghampiri, berlutut dan membantu pernapasan gurunya dengan saluran sin-kang dari telapak tangannya.

“Heh-heh-heh,” Hek-i Mo-ong merangkulnya penuh kasih sayang. “Tahukah engkau bahwa baru ini engkau memukulku? Semua terjadi karena engkau mencinta gadis itu, tahukah engkau?”

Ceng Liong terkejut bukan main. Memang aneh. Dia merasa berhutang budi kepada kakek ini, bahkan tanpa disadarinya, dia merasa sayang kepadanya. Dan memang benarlah, dia menyerang gurunya sampai dua kali karena kemarahan melihat gurunya menghina Bi Eng!

“Tapi, Mo-ong, kenapa kau lakukan ini? Kenapa....?”

“Uakhhhh....!” Mendengar suara muntah ini, Ceng Liong menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Bi Eng tak dapat menahan lagi muntahnya, dan sudah mulai hendak muntah. Melihat ini, sekali meloncat tubuh Ceng Liong mencelat ke dekat Bi Eng dan tangannya bergerak menotok. Bi Eng yang sedang dilanda rasa muak hehat itu tidak sempat mengelak dan roboh terkulai. Ceng Liong cepat memondongnya dan merebahkannya di atas rumput. Dalam keadaan tertotok pingsan, dara itu tidak jadi muntah.

Kini Ceng Liong kembali meloncat ke dekat gurunya. “Mo-ong, cepat, sembuhkan Bi Eng! Cepat sebelum ia muntah!” teriaknya kepada gurunya sambil memegang pundak gurunya.

“Heh-heh-heh....!” Kakek itu hanya tertawa.

“Cepat, Mo-ong!” Ceng Liong mengguncang-guncang pundak itu sehingga tubuh Hek-i Mo-ong bergoyang-goyang keras.

“Heh-heh, kalau aku tidak mau mengobatinya?”

Tangan yang mengguncang pundak itu mencengkeram makin kuat. “Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!” bentak Ceng Liong.

“Ha-ha-ha, muridku yang pandai. Dengan cara bagaimana....?”

Ceng Liong kehabisan akal dan tidak mampu menjawab. Bagaimana mungkin dia akan dapat memaksa kakek iblis ini? Gertakan-gertakannya tentu hanya akan disambut dengan ketawa geli saja. Menghadapi kakek iblis ini dia merasa kalah segala-galanya.

“Ha-ha-ha, engkau paling-paling hanya dapat membunuhku! Dan kalau engkau membunuhku, gadis itupun akan mati dan engkau ditinggalkan dua orang yang mencintamu, atau setidaknya ditinggalkan aku yang mencintamu dan gadis itu yang kaucinta. Ha-ha, apa enaknya hidup begitu? Masih lehih enak aku yang mati!”

Melihat bahaya mengancam nyawa Bi Eng dan mendengar ucapan gurunya yang menutup semua harapan dan jalan keluar, tiba-tiba Ceng Liong menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya! “Suhu, kau tolonglah Bi Eng....!”

Tiba-tiba sepasang mata Hek-i Mo-ong terbelalak dan dia meloncat berdiri, mukanya yang tadinya pucat itu berobah merah. Memang seorang manusia yang luar biasa kakek ini! Menerima penghormatan seperti itu dia malah merasa tersinggung dan marah, sedangkan kalau muridnya bersikap tak acuh dan tidak menghormat, menyebutnya Mo-ong saja dia malah merasa girang!

“Enak saja! Aku baru mau mengobatinya kalau kau mau berjanji. Kalau tidak, biar kau membunuhku, aku tidak akan sudi mengobatinya!”

“Baiklah, suhu, aku akan memenuhi semua permintaanmu.”

“Nah, berjanjilah bahwa kelak engkau akan menjadi suami gadis ini!”

Ceng Liong terbelalak. Bi Eng sendiri yang rebah tak berdaya juga terkejut mendengar permintaan aneh itu.

“Hayo cepat berjanji sebelum aku berobah pikiran dan menolak pengobatan atas diri gadis ini!” Hek-i Mo-ong mengancam.

Tidak ada lain jalan bagi Ceng Liong. “Baiklah, aku berjanji kelak akan menjadi suami gadis ini....”

“Sebutkan namamu dan nama nona itu!”

“Aku Suma Ceng Liong berjanji kelak akan menjadi suami nona Kam Bi Eng....” katanya dengan suara terpaksa sekali. Sementara itu, wajah Bi Eng berobah merah, akan tetapi nona ini tidak mampu berkutik. Kalau ia bisa berkutik, tentu ia akan mengamuk dan menyerang guru dan murid itu kalang kabut. Akan tetapi ada keheranan besar di dalam hatinya, keheranan yang muncul ketika ia mendengar bahwa Ceng Liong she Suma dan cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Benarkah itu? Menurut penuturan ayahnya, Pendekar Super Sakti adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya, seorang pendekar terkenal yang memiliki keluarga hebat terdiri dari pendekar-pendekar budiman. Mengapa kini cucu pendekar itu malah menjadi murid seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong? Benar-benar ia tidak mengerti sama sekali.

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Ingat, seorang gagah harus memegang teguh janjinya sampai mati!” kata kakek itu dengan girang bukan main.

“Suhu....”

“Heh? Apakah engkau sudah lupa bahwa aku ini Hek-i Mo-ong dan tidak menyebutku Mo-ong lagi?”

“Tidak, engkau adalah guruku dan sudah sepatutnya kusebut suhu. Nah, suhu, sekarang cepatlah obati Bi Eng agar sembuh dan tidak terancam nyawanya.”

“Ha-ha-ha, siapa yang mengancam nyawanya? Ia sudah sembuh kalau engkau tidak usil tadi. Bebaskan totokan itn dan biarkan ia muntah-muntah, tentu sembuh!”

Ceng Liong melongo. “Ehh....? Jadi....”

“Jadi apa? Yang kuminumkan tadi memang obatnya, dan memang wajar kalau ia mau muntah karena racun itu sudah terkumpul dan tersedot oleh obat, kini tinggal muntahkan saja dan sembuh!”

Ceng Liong tertegun. Kiranya kakek ini tidaklah sekejam yang disangkanya. Sama sekali kakek ini bukan hendak mencelakai Bi Eng! Dia percaya sepenuhnya dan cepat dia menotok tubuh Bi Eng sehingga gadis itu dapat bergerak kembali. Begitu bangkit duduk, Bi Eng muntah-muntah! Dan yang dimnntahkan adalah gumpalan-gumpalan darah hitam! Ceng Liong mendekatinya, berlutut dan menekan-nekan tengkuk dan mengelus punggung gadis itu untuk membantunya mengeluarkan semua racun dari dalam tubuhnya. Mula-mula Bi Eng yang dirangsang muntah itu membiarkan saja, akan tetapi setelah ia berhenti muntah-muntah, ia menepiskan tangan Ceng Liong, meloncat bangun berdiri dengan sinar mata galak. Ia merasa kepalanya agak pening dan tubuhnya gemetar, wajah dan lehernya penuh keringat, akan tetapi dalam tubuhnya terasa ringan danenak. Ia benar-benar telah sembuh. Dengan pikiran tidak karuan, bercampur aduk antara rasa girang dan marah, terima kasih dan dendam, ia memandang kepada guru dan murid itu, kehabisan akal harus bicara apa dan bertindak bagaimana. Mereka telah menghinanya, menipunya, akan tetapi juga telah menyelamatkan nyawanya! Apa yang harus dilakukannya untuk mengimbangi semua perbuatan mereka? Mendadak ia memejamkan matanya karena rasa pusing membuat pandangan matanya berputar melihat segala di sekelilingnya.

“Calon mantuku, engkau baru saja terbebas dari serangan racun yang amat berbahaya. Duduklah dan bersilalah menghimpun hawa murni.” kata Hek-i Mo-ong dan seperti mimpi Bi Eng duduk bersila dan ia memejamkan mata, menaati perintah itu karena sebagai puteri seorang pendekar sakti iapun tahu bahwa nasihat itu amat tepat baginya. Begitu bersila dan mengatur pernapasan, tubuhnya terasa amat enak dan nyaman. Akan tetapi pikirannya tidak mau diam, melayang-layang tidak karuan. Penyebab kacaunya pikiran itu adalah ingatan tentang keadaan Ceng Liong seperti yang dikatakan oleh kakek iblis itu tadi. Cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Hal inilah yang mengganggu pikirannya.

Pada saat itu terdengar bentakan orang. “Hek-i Mo-ong, akhirnya aku dapat juga menemukanmu setelah mencari bertahun-tahun lamanya!”

Hek-i Mo-ong saat itu sudah duduk bersila dan mengatur pernapasannya. Dia telah menderita luka yang cukup berat. Pukulan yang diterimanya dari mendiang Jai-hwa Siauw-ok membuat luka dalam yang dideritanya ketika dia melawan Pendekar Suling Emas Kam Hong makin menghebat dan dalam keadaan luka parah sekali itu dia masih mengadu tenaga dengan muridnya sendiri. Kalau bukan Hek-i Mo-ong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, tentu dia sudah roboh dan tewas oleh pukulan sakti yang melandanya bertubi-tubi itu. Maka ketika terdengar bentakan itu, walaupun telinganya dapat menangkapnya, dia masih saja duduk bersila dengan mata terpejam dan dia sibuk mengatur pernapasan. Juga Bi Eng masih duduk bersila dan mengatur pernapasan mengusir kepeningan kepalanya. Tinggal Ceng Liong seorang yang begitu mendengar bentakan ini lalu membalikkan tubuh menghadapi orang yang baru datang itu.

Ternyata yang muncul itu seorang pemuda yang usianya antara sembilan belas atau dua puluh tahun. Seorang pemuda bertubuh jangkung, dengan punggung agak bongkok, pakaiannya sederhana dan sikapnya juga sederhana seperti orang biasa. Akan tetapi sepasang mata yang mencorong itu, dan wajah yang mengandung bayangan dendam penuh kebencian, membuat Ceng Liong cukup waspada karena dia dapat menduga bahwa orang ini datang bukan dengan niat hati yang baik. Dengan penuh perhatian dia mengamati wajah pemuda itu karena dia merasa seperti pernah mengenal wajah ini, akan tetapi telah lupa lagi kapan dan di mana.

Pemuda itu agaknya tidak memperhatikan Ceng Liong karena pandang matanya ditujukan terus kepada Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila. Kemudian, dengan sikap perlahan dan tenang namun penuh ketegasan, dia melolos pedang dari balik jubahnya dan terkejutlah Ceng Liong ketika dia mengenal sebatang pedang pusaka yang ampuh. Pedang itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dicabut dan tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang sembarangan, melainkan sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang amat baik dan ampuh.

“Hek-i Mo-ong, jangan berpura-pura tidak tahu. Bangkitlah dan lunasi hutangmu!” pemuda itu membentak dan dengan langkah perlahan dia menghampiri Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila tanpa membuka kedua matanya.

“Perlahan dulu, sobat!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru dan sekali menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya sudah mencelat ke depan pemuda berpedang itu dan dia bertolak pinggang menghadang. “Mau apa engkau datang menghampiri guruku dengan menghunus pedang?”

Pemuda itu tertegun, mengamati wajah Ceng Liong dan akhirnya dia berkata setelah menarik napas panjang. “Aih, jadi engkau ini murid Hek-i Mo-ong, bocah setan itu? Bagus, membasmi pohon beracun harus dengan akar-akarnya agar tidak tumbuh lagi!”

Ceng Liong mengerutkan alisnya dan kini dia melihat sesuatu yang menggugah ingatannya. Tahi lalat di ujung bawah telinga kiri itu! Terbayanglah dia ketika anak laki-laki berusia tiga belas tahunan itu memondong jenazah Yang I Cin-jin yang tewas di tangan Hek-i Mo-ong, pandang mata anak laki-laki itu yang penuh dendam kebencian kepada Hek-i Mo-ong!

“Ah, kiranya engkau murid mendiang Yang I Cin-jin....!”

Pemuda itu tersenyum. “Dan engkau murid Hek-i Mo-ong yang memiliki ingatan baik sekali. Memang, aku Pouw Kui Lok, murid suhu yang dahulu membawa pergi jenazah suhu ketika suhu terbunuh oleh gurumu. Dan sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk!”

Ceng Liong melihat betapa sikap pemuda ini gagah dan tidak kelihatan jahat. Diapun teringat kepada mendiang Yang I Cin-jin yang juga lebih pantas menjadi seorang pendekar daripada seorang sesat, walaupun pada waktu itu Yang I Cin-jin agaknya ikut pula bersekutu dengan para pemberontak. Diapun menarik napas panjang.

“Pouw Kui Lok, urusan antara guruku dan gurumu dahulu itu adalah urusan pribadi. Tentu engkau pada waktu itu mengetahui juga bahwa yang menyerang lebih dahulu adalah gurumu dan mereka lalu berkelahi secara adil. Kalau seorang di antara mereka kalah dan tewas, bukankah hal itu wajar saja? Urusan di antara mereka, kenapa engkau harus mencampurinya?”

Diam-diam Pouw Kui Lok tertegun mendengar ucapan ini. Sama sekali tidak disangkanya bahwa murid seorang iblis seperti Hek-i Mo-ong itu mempunyai pandangan seperti itu! Maka, kemarahannya terhadap Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong mereda dan suaranyapun terdengar lembut.

“Orang muda, urusan antara aku dan gurumu juga urusan pribadi. Engkau tidak tahu berapa banyak hutang gurumu kepadaku. Dia pernah membunuh mendiang kakek guruku yang bernama Thian Teng Losu, kemudian membunuh paman guruku Yang Heng Cin-jin dan memperkosa isterinya. Kemudian, ketika guruku mencoba untuk membalas dendam, guruku malah tewas di tangannya. Sebagai muridnya, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Selama ini aku menggembleng diri tak kenal lelah, semua kulakukau hanya untuk hari ini, untuk membalas semua itu kepada gurumu. Sebaiknya engkau jangan mencampuri, dan aku tidak akan mengganggumu. Biarlah permusuhan habis di sini saja setelah gurumu atau aku tewas dalam suatu perkelahian yang adil!” Sikap Pouw Kui Lok gagah sekali dan diam-diam Ceng Liong merasa menyesal mengapa dia harus berdiri di situ sebagai murid Hek-i Mo-ong, sehingga dia terpaksa terlibat dalam urusan permusuhan pribadi yang tidak menyenangkan itu, karena bagaimanapun juga dia dapat merasakan bahwa permusuhan itu diawali oleh perbuatan gurunya yang tidak benar.

“Pouw Kui Lok, adalah hakmu untuk menuntut balas kematian gurumu. Aku tidak akan mencampuri urusan permusuhan pribadi, akan tetapi pada saat ini Hek-i Mo-ong sedang dalam keadaan sakit, maka aku akan melarangmu kalau engkau hendak menyerangnya. Aku terpaksa mencampuri karena melihat ketidakadilan....”

“Ho-ho-ho, siapa bilang aku sakit? Ha-ha, kalau hanya murid Yang I Cin-jin, jangankan hanya seorang, biar ada sepuluh orang aku masih sanggup untuk membunuhnya satu demi satu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan tertawa-tawa dengan sikap mengejek.

“Suhu....!” Ceng Liong berseru kaget dan juga marah karena dia tahu bahwa suhunya hanya berpura-pura saja karena sebenarnya suhunya terluka parah dan tidak mungkin dapat menghadapi lawan tanggah.

“Heh-heh, Ceng Liong. Sejak kapan gurumu ini gentar menghadapi ancaman musuh? Jangan kau turut campur, biar kuhabiskau riwayat bocah scmbong itu!”

Mendengar ini, Pouw Kui Lok menjadi marah. Kalau tadinya dia merasa agak ragu-ragu mendengar bahwa musuh besarnya berada dalam keadaan sakit, kini mendengar ucapan dan tantangan Hek-i Mo-ong, tentu saja dia merasa lega. Dengan pedang di tangan, dia lalu mengeluarkan suara geraman nyaring menyerang ke arah Hek-i Mo-ong. Akan tetapi, bayangan Ceng Liong berkelebat dan pemuda remaja ini sudah menghadangnya dan memandangnya dengan tajam.

“Guruku sedang sakit, engkau tidak boleh mengganggunya sekarang!”

“Bocah tolol, minggirlah dan jangan mencampuri urusanku!”

Akan tetapi Ceng Liong tidak mau minggir sehingga terpaksa Pouw Kui Lok menusukkan pedangnya. Ceng Liong mengelak dan membalas dengan tendangan kilat, membuat Pouw Kui Lok terkejut dan meloncat ke samping. Pada saat itu, muncullah dua orang tosu berpakaian kuning dan mereka segera menghadapi Ceng Liong dari kanan kiri sambil berkata, “Pouw-taihiap, biar pinto berdua menghadapi iblis muda ini!” Dan merekapun langsung menyerang Ceng Liong dengan tangan kosong.

Ceng Liong melihat betapa gerakan kedua orang tosu ini cukup lihai. Mereka bertangan kosong akan tetapi ketika mereka menyerang, ujung kedua lengan baju mereka menyambar dahsyat dengan kekuatan yang cukup ampuh. Tahulah dia bahwa dua orang tosu ini bukan lawan yang lunak, maka diapun cepat mengelak dan menangkis pukulan tosu ke dua untuk mengukur tenaganya.

“Dukk!” Tosu itu hampir terjengkang dan melangkah sampai lima langkah ke belakang dengan muka berobah.

“Siancai....! Iblis muda ini berbahaya....!” katanya dan mereka berdua bersikap hati-hati sekali menahan Ceng Liong agar pemuda ini tidak dapat membantu gurunya yang sudah diserang oleh Pouw Kui Lok.

Hek-i Mo-ong memang seorang aneh. Dia sengaja tadi mengejek dan menantang musuhnya, hanya untuk melihat sampai di mana kesetiaan muridnya kepadanya! Padahal, sikapnya ini amat membahayakan dirinya. Gerakan Pouw Kui Lok amat cepat dan kuat, pedangnya lenyap bentuknya berobah menjadi sinar terang yang menyambar laksana kilat. Memang sesungguhnya pemuda ini telah menggembleng diri dan telah berhasil mewarisi ilmu pedang mendiang Yang I Cin-jin, bahkan telah memperdalam ilmu pedangnya di Kun-lun-pai sehingga dia menjadi seorang ahli pedang yang lihai. Yang I Cin-jin adalah seorang tosu, dan biarpun bukan menjadi pendekar budiman yangg terkenal, setidaknya bukan penjahat dan sudah kenal baik dengan para tosu Kun-lun-pai. Inilah sebabnya ketika Pouw Kui Lok menceritakan tentang kematian gurunya di tangan datuk sesat Hek-i Mo-ong, mereka mau membantunya, menggemblengnya, bahkan ketika pemuda ini mencari musuh besarnya, dua orang tosu Kun-lun-pai yang menjadi para suhengnya menemaninya. Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, dua orang tosu itu tidak berniat mengeroyok Hek-i Mo-ong karena urusan antara Hek-i Mo-ong dan Pouw Kui Lok adalah urusan pribadi. Akan tetapi mereka menemani pemuda itu karena ingin membantunya kalau-kalau sute mereka yang ilmu pedangnya amat lihai itu dikeroyok oleh kawan-kawan atau anak buah Hek-i Mo-ong. Inilah sebabnya ketika Ceng Liong maju, mereka berdua langsung turun tangan mencegah Ceng Liong membantu gurunya dan memberi kesempatan kepada Pouw Kui Lok untuk bertanding secara adil melawan musuh besarnya.

Biarpun kini tingkat kepandaian Pouw Kui Lok sudah lebih tinggi dari mendiang gurunya, akan tetapi andaikata keadaan Hek-i Mo-ong seperti biasa, sehat dan tidak sedang menderita luka yang amat parah, jangan harap pemuda itu akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi saat itu Hek-i Mo-ong memang sudah payah sekali. Dipakai bernapas saja dadanya terasa nyeri, apalagi kalau dia mengerahkan sin-kang, rasanya seperti ditusuk-tusuk jantungnya. Dan penyerangnya yang muda itu benar-benar amat lihai. Pedangnya membuat sinar bergulung-gulung dan repotlah Hek-i Mo-ong mengelak ke sana sini. Dia tidak berani mempergunakan kekebalannya untuk menghadapi pedang lawan. Pertama karena pedang lawan amat ampuh dan kuat, kedua kalinya karena dia tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga sin-kang.

Hal ini bisa membuat lukanya menjadi semakin parah. Maka tidaklah mengherankan apabila dia terdesak hebat dan main mundur terus, mengelak ke kanan kiri dan terhuyung-huyung.

Hek-i Mo-ong bukanlah seorang tolol yang ingin membiarkan dirinya mati konyol. Kalau dia tahu bahwa pemuda musuh besarnya itu dibantu oleh dua orang tosu Kun-lun-pai yang demikian lihai, tentu dia tidak mengeluarkan ejekan dan tantangan tadi. Kini, dia terkejut melihat betapa muridnya dihadang dua orang tosu itu sehingga tentu saja Ceng Liong tidak dapat membantunya. Dia harus menghadapi sendiri amukan Pouw Kui Lok dan ternyata pemuda ini lihai bukan main ilmu pedangnya. Lewat beberapa puluh jurus saja, sudah dua kali tubuhnya terserempet ujung pedang sehingga bajunya robek dan kulitnya juga robek. Darah bercucuran!

Sejak tadi Bi Eng menonton perkelahian itu dengan mata terbelalak dan bingung. Dara ini tidak mengenal siapa adanya pemuda dan dua orang tosu yang memusuhi Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Akan tetapi, iapun cukup mengerti bahwa biasanya, tosu adalah pendeta yang mengutamakan kebaikan. Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Pendekar Suling Emas dan ayahnya sudah seringkali memperingatkan kepadanya bahwa ia tidak boleh menilai orang dari keadaan lahirnya. Manusia tidak dapat dinilai dari pakaiannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya dan sebagainya. Semua itu hanya pakaian. Yang penting adalah manusianya itu sendiri, lepas dari pada semua pakaiannya yang kadang-kadang hanya dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan kekotoran dan keburukannya.

Ternyata dua orang tosu itu lihai sekali, walaupun mereka behum juga dapat mendesak Ceng Liong. Melihat betapa pemuda itu mampu menahan dua orang tosu yang demikian lihainya, diam-diam Bi Eng menjadi semakin kagum saja kepadanya. Dan ketika dara remaja ini menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong, ia mengerutkan alisnya. Kakek itu sedang terluka parah dan kini didesak amat hebatnya oleh pemuda berpedang. Sudah terluka di sana-sini dan tubuhnya berlumuran darah. Akan tetapi, Bi Eng mempunyai harga diri. Ia tidak mungkin danat turun tangan membantu Hek-i Mo-ong. Hal itu akan berarti pengeroyokan dan ia sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan urnsan pribadi dua orang itu. Bagaimanapun juga, kakek iblis itu telah menyelamatkan nyawanya, kalau kini ia mendiamkan saja kakek itu terancam bahaya, kalau sampai kakek itu dibunuh orang di depan matanya tanpa ia berusaha menyelamatkannya, sungguh ia akan menjadi orang yang tidak mengenal budi sama sekali! Secara otomatis, matanya mulai mencari-cari senjata karena suling emasnya telah hilang ketika ia berkelahi melawan Louw Tek Ciang.

Melihat keadaan Hek-i Mo-ong makin lemah, Pouw Kui Lok memperhehat desakannya. Pedangnya membentuk sinar bergulung-gulung yang seperti tali-temali melibat-libat tubuh Hek-i Mo-ong.

“Cetttt....!” Kembali ujung pedang itu merobek pundak kiri Hek-i Mo-ong. Kakek itu terhuyung dan terjengkang. Melihat ini, Pouw Kui Lok menubruk ke depan dengan serangan kilatnya. Demikian hebat serangannya itu sehirgga tahu-tahu pedangnya telah amblas ke dalam dada Hek-i Mo-ong.

“Cratttt....!” Kakek itu meregang, akan tetapi tangan kirinya dengan membentuk cakar menyambar ke arah kepala Pouw Kui Lok. Pemuda ini terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa kakek yang sudah ditembusi pedang dadanya itu masih mampu melakukan serangan sedemikian hebatnya! Itulah ilmu mujijat Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari Hek-i Mo-ong! Kalau tadi kakek itu tidak mengeluarkan ilmu ini adalah karena ilmu ini membutuhkan pengerahan sin-kang yang amat kuat dan untuk mengerahkan ini, sama saja dengan membunuh diri karena luka di dalam tubuhnya tentu akan makin menghebat. Maka baru sekarang, setelah pedang lawan menembus dadanya, dia mengeluarkan ilmu ini.

“Crokkk....!” Betapapun lihainya Pouw Kni Lok dan biarpun dia sudah berusaha untuk mengelak, dia hanya berhasil menyelamatkan kepalanya saja dan jari-jari tangan kakek itu tetap saja mencengkeram pundaknya sehingga kulit dan daging pundak itu menjadi hancur, dan ujung tulang pundak juga patah! Pouw Kui Lok mengeluh kesakitan dan meloncat ke belakang. Pundak kirinya terluka parah dan lengan kirinya lumpuh sama sekali. Akan tetapi melihat kakek itu masih belum tewas, dia menjadi nekat dan maju lagi untuk memberi tusukan-tusukan lagi. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan sebatang ranting digerakkan secara istimewa menyerangnya dari samping!

Pouw Kui Lok terkejut dan menangkis dengan pedangnya. “Trakkk!” Ranting itu tertangkis, akan tetapi melesat dengan gerakan menyerong dan tahu-tahu ujung runting hampir menusuk matanya! Pouw Kui Lok berseru kaget dan melempar tubuhnya ke belakang, terus bergulingan. Dia selamat, akan tetapi keringat dingin membasahi lehernya karena nyaris matanya buta oleh tusukan ranting tadi. Ketika dia meloncat dan menyeringai kesakitan karena pundak yang terluka tadi terasa nyeri sekali ketika dipakai bergulingan, dia melihat dengan heran bahwa yang menyerangnya dengan ranting hanyalah seorang gadis remaja yang wajahnya masih pucat, agaknya baru sembuh dari sakit.

“Suheng, pergi....!” Pouw Kui Lok berseru. Dia sudah terluka parah, dan dia sudah berhasil menusuk tembus dada musuhnya sehingga dia merasa yakin bahwa musuh besarnya pasti akan mati, dan di situ selain ada murid Hek-i Mo-ong yang amat lihai, terdapat pula gadis remaja yang memiliki ilmu silat istimewa pula. Dua orang tosu yang memang kewalahan menghadapi Ceng Liong, nmeloncat jauh ke belakang dan mereka bertiga melarikan diri.

“Suhu....!” Ccng Liong berseru ketika melihat kakek itu berdiri dengan mendekapkan tangan kiri ke dadanya, wajahnya berseri akan tetapi pucat sekali dan berdirinya terhuyung-huyung. Ketika Ceng Liong merangkul gurunya, kakek itu tertawa.

“Ha-ha-ha, dalam saat terakhir, muridku membelaku dan calon isterinya juga membantuku. Aku puas sudah.... ha-ha-ha, Hek-i Mo-ong.... hari akhirmu diantar oleh hati orang-orang muda yang sayang kepadamu.... ha-ha!” Dan kakek itu tentu terguling kalau tidak cepat dipondong oleh Ceng Liong. Gurunya setengah pingsan dan ketika Ceng Liong memondongnya dan merebahkannya di atas rumput, terasa oleh Ceng Liong betapa kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu kini amatlah kurusnya dan amat ringannya. Hatinya merasa terharu, apalagi ketika melihat bahwa gurunya telah menderita luka parah sekali. Dada dan punggungnya berlubang dan mengucurkan darah, napasnya tinggal satu-satu. Bi Eng juga berlutut di dekat tubuh kakek itu yang dengan lemah memandangi mereka berdua.

Pada saat itu ada angin menyambar dan berkelebat dua bayangan orang. Tahu-tahu di situ telah berdiri Kam Hong dan isterinya! Akhirnya, suami isteri ini dapat juga menyusul dan betapa kaget, heran dan juga girang rasa hati mereka melihat Bi Eng berada di tempat itu dalam keadaan selamat, akan tetapi gadis itu berlutut di dekat tubuh Hek-i Mo-ong yang terluka parah, bersama seorang pemuda yang tampaknya sedang berusaha menotok beberapa jalan darah di tubuh kakek itu untuk menghentikan darah yang bcrcucuran dan menghilangkan rasa nyeri.

Akan tetapi begitu melihat siapa yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya dengan halus dan diapun seperti memperoleh kekuatan baru, bangkit duduk lalu berdiri menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya! “Heh-heh-heh, orang she Kam! Engkau datang untuk melanjutkan perkelahian denganku? Baik, hayolah, aku sudah siap!” katanya menantang.

Tentu saja Kam Hong menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia kehilangan nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri merekapun terculik dan nyaris celaka.

“Hek-i Mo-ong, orang seperti engkau ini adalah iblis jahat yang sudah sepatutnya dienyahkan dari muka bumi!” bentak Kam Hong, siap untuk menyerang.

“Ha-ha-ha, biar jahat seperti aku atau baik seperti engkau, kita semuapun pada akhirnya akan lenyap dari muka bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak akan merasa penasaran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam, karena engkaulah yang berhasil mengalahkan aku!” Keadaan kakek itu sebetulnya sudah payah sekali, bicarapun sudah terengah-engah, sudah lebih mendekati mati daripada hidup. Akan tetapi dia kelihatan gembira menghadapi kematiannya dan dengan kedua tangannya membentuk cakar penuh pengerahan hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi musuh besarnya.

Akan tetapi, Kam Hong adalah seorang pendekar besar yang pantang melakukan hal-hal yang rendah atau licik. Dia sudah melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biarpun dia marah sekali mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebabkan tewasnya para pelayannya yang dianggap sebagai murid-murid pula, namun dia nampak ragu-ragu untuk menyerang orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja telah berdiri menghadang antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang bertubuh tinggi tegap, wajahnya cerah dan gagah, sinar matanya mencorong aneh, akan tetapi belum dewasa benar sehingga nampak lucu bahwa seorang pemuda remaja yang masih hijau itu berani berdiri menghadapi dan menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!

“Suhuku sudah terluka dan tidak dapat melawan, biarlah aku yang menggantikannya menghadapimu kalau engkau hendak menyerangnya.” kata Ceng Liong dengan sikap tenang sekali, menandakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak takut menghadapi lawan yang berpakaian sasterawan sederhana ini. Diapun tahu dari ucapan gurunya tadi bahwa sasterawan inilah musuh besar gurunya yang dapat diduganya tentu lihai bukan main.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku murid Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng. “Hemm, tidak patut aku menyerang seorang bocah, akau tetapi mengingat engkau murid iblis tua ini, sudah semestinya kalau aku mengenyahkan engkau pula yang tentu akan menjadi lebih jahat daripada gurunya kelak!”

Akan tetapi anak muda itu hanya berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang. “Majulah,” kata Kam Hong. “Engkau boleh mewakili gurumu menghadapiku!”

Akan tetapi Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak ingin memusuhi siapapun juga, akan tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan siapapun juga!”

Kerut di antara alis pendekar itu mendalam dan dia mengeluarkan dengus mengejek dari hidungnya. “Hemm, seorang murid yang berbakti, ya? Murid iblis tua tentu menjadi calon iblis pula!”

“Heh-heh-heh, muridktu yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu bertahun-tahun dan mewariskan semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi murid iblis akan tetapi berbakti daripada menjadi murid pendekar akan tetapi murtad, heh-heh!” Hek-i Mo-ong terkekeh, akan tetapi terpaksa dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena kata-katanya dan tawanya tadi membuat darah mengucur keluar dari luka di dadanya.

“Hahh!” Kam Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher Ceng Liong. Tamparan yang selain amat cepat, juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat sehingga terdengar suara angin mendesis.“Dukk! Dukk! Dukkk!” Tiga kali Kam Hong melakukan tamparan bertubi yang amat hebat, akan tetapi semua serangan itu dapat ditangkis dengan baiknya oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong terbelalak ketika dia merasa betapa tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan tepat, juga mengandung tenaga yang hebat, yang mampu menahan tenaganya sendiri! Tahulah dia bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah bualan belaka. Anak ini, biarpun masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakek iblis itu! Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andaikata diadukan antara Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, agaknya kakek itupun belum tentu akan mampu mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga sakti. Seperti kita ketahui, Suma Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti dari kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti Suma Han. Selain itu, juga semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong telah diwarisinya.

Setelah merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak mau membuang waktu lagi dan diapun mencabut suling emasnya. Sinar emas berkilat menyilaukan mata ketika suling tercabut dan melihat ini, tiba-tiba saja Bi Eng melompat ke depan. Gadis ini sejak tadi dirangkul oleh ibunya yang merasa lega dan girang sekali melihat bahwa puterinya dalam keadaan sehat dan selamat. Tadinya, Bi Eng juga diam saja tidak mau mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya karena iapun tahu bahwa Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi dan menyerbu keluarga ayahnya sehingga mengakibatkan tewasnya para pelayan. Akan tetapi ketika ia melihat ayahnya menyerang Ceng Liong, kemudian ayahnya mencabnt suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan kehebatan suling emas di tangan ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng Liong yang telah begitu baik terhadap dirinya.

“Ayah....! Jangan....!” teriaknya sambil melompat.

Kam Hong terkejut, juga heran sekali melihat puterinya mencegahnya menyerang murid musuh besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakannya, berdiri dan memandang puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak senang.

“Bi Eng! Kau kenapakah?” bentak ayah ini. Tentu saja dia marah. Bukankah para pelayannya telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi Eng sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah melarangnya membunuh musuh yang jahat ini!

Bi Eng maklum apa yang dipikirkan ayahnya, maka ia dengan cepat maju dan berdiri di dekat Ceng Liong dengan sikap seperti hendak melindungi pemuda itu dari kemarahan ayahnya.

“Ayah, jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa....!”

“Hemm, bukankah dia murid iblis tua itu?” tanya Kam Hong meragu.

“Benar, akan tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh penjahat cabul dan tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan diobati oleh Ceng Liong ini. Ayah, dia telah menyelamatkan puterimu, apakah sekarang, sebagai imbalannya ayah hendak membunuhnya?”

Kam Hong menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai ini adalah murid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau murid musuh besarnya itu menolong puterinya.

“Tapi.... tapi mereka membunuh para pelayan kita....!”

“Bukan Ceng Liong yang membunuh, melainkan penjahat cabul itu dan gurunya!” Bi Eng membela.

Kam Hong mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya dengan penjahat cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok itu. Kalau memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan pembunuhan, dan sudah menyelamatkan Bi Eng, memang tidak layak kalau dia membunuhnya.

“Baik,” katanya, “akan tetapi suruh dia minggir agar aku dapat membunuh raja iblis jahat Hek-i Mo-ong itu.” Diapun melangkah maju dengan suling di tangannya.

“Siapapun hanya dapat menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!” kata Ceng Liong, sikapnya tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas. Sikap pemuda ini kembali membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapa orangnya tidak akan marah kalau menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut di tempat tinggalnya?

“Ayah, Hek-i Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa untuk membelaku....”

“Apa....?” Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh tak disangkanya.

“Aku dirobohkan oleh penjahat cabul lalu ditolong oleh Ceng Liong. Akan tetapi aku terluka parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika penjahat-penjahat guru dan murid itu hendak merampasku, kakek ini mempertahankan dan dia membunuh guru penjahat itu akan tetapi dia sendiri terluka. Dan luka beracun di tubuhku juga diobati oleh Hek-i Mo-ong.”

Kembali Kam Hong menjadi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu benar bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk kaum sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan ganas. Entah berapa banyak orang yang celaka atau tewas di tangannya. Akan tetapi, kakek itu telah menyelamatkan puterinya. Kalau kini dia menyerang dan membunuhnya, apakah dia tidak akan merasa menyesal selama hidupnya? Akan tetapi, kalau dia tidak turun tangan, berarti pula bahwa dia membiarkan saja penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan watak seorang pendekar.

Hek-i Mo-ong yang duduk bersila itu kini membuka matanya memandang, mulutnya menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa karena luka di dalam tubuhnya amat parah. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir yang masih bersisa, dia berkata, “Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat dan sesat seperti aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang seorang puterimu sendiri malah. Hati siapa takkan bangga dan senang? Jangan khawatir, tanpa kau turun tanganpun aku takkan hidup lama lagi. Akan tetapi sebelum mati aku ingin memberitahu kepadamu bahwa puterimu ini akan menjadi isteri muridku....”

“Apa? Tidak mungkin! Hek-i Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah menolong puteriku, akan tetapi jangan harap lebih daripada itu. Sampai mati kami tidak sudi berbesan denganmu!”

“Tapi.... tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!”

Kam Hong dan isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya menonton saja, tiba-tiba menjadi marah. “Bi Eng! Apa artinya ini? Benarkah engkau berjanji seperti itu?”

“Tidak, ibu. Aku tidak pernah berjanji!” jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja ia dapat merobah kekerasannya di bawah pimpinan suaminya, masih belum puas dengan jawaban itu. Hati ibu ini sungguh merasa khawatir membayangkan puterinya akan menjadi isteri murid seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walaupun ia harus mengakui bahwa pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu tinggi seperti yang dilihatnya tadi ketika pemuda itu mampu menahan serangan suaminya.

“Bi Eng, katakanlah, apakah engkau mau menjadi mantu seorang penjahat terkutuk seperti Hek-i Mo-ong itu? Apakah engkau mau menjadi calon isteri murid orang sesat ini?”

Didesak oleh ibunya seperti itu, Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak pernah mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia berjanji mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak keras, bukan karena ia membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak sudi ditekan dan ia tidak mau tunduk. Akan tetapi, mengenai perjodohannya, sama sekali ia tidak pernah memikirkan. Biarpun demikian, ketika didesak ibunya, dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia merasa tidak enak dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng hanyalah dengan menolak.

“Tidak, ibu, aku tidak mau.”

Hening sejenak setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam Ceng Liong merasa sesuatu yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia sendiri sama sekali belum pernah memikirkan tentang perjodohan dan perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan suka biasa saja. Kalau dia bersikeras menolong dara itu adalah karena terdorong rasa iba dan karena pada dasarnya dia memang tidak senang melihat kejahatan dilakukan orang di depan matanya. Biarpun demikian, melihat dan mendengar betapa dara itu dan ayah bundanya jelas memperlihatkan sikap tidak suka kepadanya merupakan suatu hal yang amat tidak enak. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang kepada suhunya dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk kelak menjadi suami dara ini, bukan karena memang dia sudah mengambil keputusan itu, melainkan hanya untuk menyenangkan hati gurunya dan agar kakek itu mau mengobati Bi Eng.

“Hemm, kakek iblis! Engkau mendengar sendiri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri muridmu!” kata nyonya itu dengan hati lega.

Hati Ceng Liong diliputi rasa iba melihat betapa gurunya yang sudah tua itu kini memandang dengan mata sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak begitu kecewa sehingga mewek-mewek seperti anak kecil yang mau menangis. Sepasang mata kakek itu yang sudah kehilangan sinarnya memandang kepada Ceng Liong, kemudian kepada Bi Eng dengan penuh duka, kemudian kepada suami isteri pendekar itu.

“Tapi.... tapi.... muridku sudah berjanji akan menjadi suaminya.... dan aku.... ah, aku tidak akan dapat mati dengan tenang kalan mereka belum terikat jodoh....” Seluruh sikap dan kata-kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi kekecewaan dan penyesalan yang antat menyedihkan. Akan tetapi, tentu saja hal ini hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian, sikap itu tentu saja malah menjengkelkan. Puteri tunggal mereka hendak dijodohkan dengan murid datuk sesat itu? Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan kini berada dalam keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci Sian sudah menyerangnya.

“Hek-i Mo-ong,” kata Kam Hong dengan sikap tenang, mendahului isterinya yang dikhawatirkannya akan mengeluarkan kata-kata keras. “Engkau tentu tahu bahwa kami sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari kita pulang!” kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya untuk meninggalkan tempat itu.

“Kam Hong, kau.... kau....!” Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan, maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.

“Suhu....!” Ceng Liong dengan sigap merangkulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas dalam pelukannya, tak bernapas lagi! Kakek itu tewas dengan muka membayangkan kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka melotot penuh rasa penasaran! Setelah merasa yakin bahwa kakek itu sudah tidak bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di atas tanah dengan sikap tenang.

Kam Hong bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang kepada Ceng Liong. Kemudian Kam Hong melangkah maju. “Orang muda, ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i Mo-ong dan kami dimulai oleh kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di akhir hidupnya dia masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan para pelayan yang juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah menyelamatkan puteri kami, maka aku sudah membuang rasa permusuhan itu. Kini dia sudah mati, engkaulah murid yang mewarisi kepandaiannya. Nah, kalau memang engkau mempunyai dendam terhadap kami dan ingin melanjutkan sikap bermusuh mendiang gurumu, silahkan agar urusan itu dapat diselesaikan sekarang juga.” Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong merupakan tantangan. Sebenarnya bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia dapat melihat betapa pemuda remaja itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang, akan merupakan lawan yang amat berbahaya sekali. Selain itu, juga sikap pemuda itu sama sekali tidak mirip penjahat, maka kini dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan antara dia dan pihak Hek-i Mo-ong sampai di situ saja. Dia mengharapkan pemuda itu agar mau menyadari keadaan, bahwa setelah raja iblis itu tewas maka tidak ada lagi persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan tetapi kalau pemuda itu masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan perhitungan agar beres.

Bagaimanapun juga, Ceng Liong adalah seorang pemuda yang darahnya masih panas. Bertahun-tahun lamanya dia ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul kasih sayang gurunya terhadap dirinya. Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya kepadanya dan gurunya telah menunjukkan cintanya dengan berbagai cara, membelanya mati-matian. Biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah seorang tokoh bahkan datuk kaum sesat, namun dia tidak pernah melihatnya melakukan kejahatan, dan terhadap dirinya amat baik. Memang dia melihat dan mengalami sendiri betapa gurunya dengan bersekongkol dengan datuk-datuk lain telah menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya kakek dan para neneknya di pulau itu. Akan tetapi hal itu terjadi karena ada dendam permusuhan antara mereka. Dia sendiri tidak menyetujui cara hidup gurunya, dan andaikata suhunya tidak menolong dan menyelamatkan nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i Mo-ong sebagai musuh besar keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia dan Bi Eng sampai berkorban nyawa, hatinya terharu dan berduka juga. Dan mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas. Pendekar ini telah memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong. Dia sendiri tidak menyesal kalau tidak diperbolehkan berjodoh dengan Bi Eng karena hal itu adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri, akan tetapi cara penolakan keluarga Kam itu terhadap gurunya sungguh menghina. Dan kini dia ditantang!

“Kam-locianpwe,” katanya dengan sikap dan nada suara menghormat. “Aku tidak pernah mencampuri urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami. Kalau aku membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatutnya mengingat dia guruku. Kini dia telah tewas, dan aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi, pernyataanku ini bukan sekali-kali berarti bahwa aku takut. Kalau ada yang masih hendak memperlihatkan rasa bencinya kepada suhu, dan setelah suhu meninggal kini hendak memperlihatkannya melalui aku sebagai muridnya, akupun tidak akan mengelak. Kalau locianpwe hendak memusuhi aku sebagai murid suhu, akupun tidak akan melarikan diri.”

Ucapan pemuda ini terdorong oleh rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi, walaupun dia bersikap hormat. Ucapannya mengandung penyambutan tantangan!

Kam Hong tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia didahului isterinya yang berkata, “Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong, mana mungkin muridnya orang baik-baik? Aku khawatir anak ini kelak akan lebih jahat dari pada gurunya!” Bu Ci Sian memang sejak gadis memiliki watak keras dan hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja dia tidak begitu binal lagi. Akan tetapi ia sudah biasa mengeluarkan semua isi hatinya melalui kata-kata tanpa sungkan-sungkan lagi.

“Hemm, orang muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi akupun kematian enam orang muridku. Biarpun para muridku itu bukan tewas di tangan gurumu, akan tetapi sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya sehingga mereka tewas. Agaknya biarpun di antara kita pribadi tidak ada dendam, namun kita telah berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Daripada berlarut-larut, marilah kita selesaikan urusan itu sekarang saja. Nah, kau majulah, orang muda!”

Ini merupakan tantangan terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu telah mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap tempur. Wajah Ceng Liong berobah merah dan dia menahan kemarahannya. Gurunya seringkali mengatakan bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat, sebaliknya kaum pendekar amat angkuh dan tinggi hati, selalu memandang rendah kepada golongan lain yang dianggap sesat dan jahat. Dia sendiri memang tidak membenarkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan seperti mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu, akan tetapi sikap para pendekar yang tinggi hati seolah-olah menyudutkan golongan lain itu sehingga mereka tidak akan dapat merobah jalan kehidupan mereka, bahkan sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi semakin menjauh dan ganas.

“Locianpwe, sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri. Maka, kalau locianpwe menantangku, maka tantangan itu langsung kuterima pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena locianpwe menantang, akupun tidak akan mundur selangkahpun. Siapa yang menantang dia yang harus menyerang dulu. Nah, silahkan!” Diapun sudah siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak pernah memegang senjata, maka diapun menghadapi pendekar itu dengan tangan kosong saja! Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wajah Kam Hong juga menjadi merah.

“Bagus, orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!”

Aku hanya memiliki sepasang lengan dan sepasang kaki, itulah senjataku!”

Tentu saja Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan muda dengan suling emasnya, maka diapun menyelipkan snlingnya di ikat pinggangnya, kemudian dengan kedua tangan di pinggang, dia maju menghampiri Ceng Liong.

“Orang muda, lihat seranganku!” katanya dan diapun menerjang dengan amat cepatnya. Pada waktu itu, tingkat kepandaian Kam Hong sudah amat tinggi dan serangannya itu membawa hawa pukulan yang dahsyat sehingga angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng Liong, menyambar dan mengeluarkan suara bersiutan. Hebatnya, bukan hanya tangan kiri itu saja yang menyambar sebagai alat penyerang ampuh, juga ujung lengan baju yang panjang itu mendahului tangan menyambar, membuat totokan ke arah leher Ceng Liong, sedangkan jari-jari tangan itu menampar ke dada.

Melihat dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong yang memang sudah tahu betapa lihainya lawan, cepat mengelak dengan geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau balas menyerang, karena dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan lawan yang lihai ini. Akan tetapi, ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam itu tidak melanjutkan pukulannya. Tangan kiri ditarik mundur dan kini tangan kanan yang menyambar, mengikuti arah elakan Ceng Liong. Dan kini tangan kanan yang memukul itu melayang tanpa suara, tidak membawa angin seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikitpun. Heranlah hati pemuda itu. Mengapa pendekar selihai ini menggunakan pukulan yang sama sekali tidak mengandung sin-kang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan lebih lembut dan lunak? Apakah pendekar itu memandang rendah kepadanya sehingga sengaja melakukan serangan seperti itu ringannya? Dia merasa penasaran kalau dipandang rendah, maka diapun kini menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat lengan lawan yang lemah itu terpental.

“Dukk!” Dan tubuh Ceng Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong terpaksa melangkah dua tindak. Keduanya terkejut. Kam Hong tidak mengira bahwa pemuda itu akan mampu membuatnya terdorong mundur dua langkah. Sebaliknya, Ceng Liong terkejut dan merasa heran. Jelas bahwa pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sin-kang akan tetapi begitu ditangkisnya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya membalik dan membuat dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi. Akan tetapi dengan ringan dia mampu berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia makin waspada. Memang tadi Kam Hong mempergunakan Ilmu Khong-sim Sin-ciang, ilmu pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang. Keistimewaan ilmu ini adalah seperti Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang mengutamakan kekosongan dan kelembutan untuk melawan kekerasan. Maka Ceng Liong yang mempergunakan sin-kang tadi terpukul oleh kekuatannya sendiri yang membalik.

Ceng Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, diapun maklum akan sifat ilmu yang dipergunakan lawan. Kini dia membalas serangannya yang dahsyat. Karena maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong ini dia tidak boleh memandang ringan sama sekali, begitu menyerang diapun mempergunakan ilmunya yang paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!

Melihat serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian cepatnya, sambil mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut. “Ilmu keji....!” Serunya dan diapun tidak berani sembarangan menangkis melainkan mengelak. Akan tetapi, ilmu ini memang hebat, bukan hanya ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga mujijat dan mengandung hawa mengerikan karena ketika melatih, yang dipergunakan sebagai sasaran adalah tulang-tulang dan tengkorak manusia. Jari-jari tangan ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang dan seperti ada daya tarik sembrani. Maka, biarpun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-jari tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan lawan dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup sendiri-sendiri seperti ular-ular yang ganas.

“Plak-plak-plakk!” Terpaksa Kam Hong menangkis beberapa kali untuk memunahkan daya serang lawan. Agaknya, mengelak saja dari serangan Coan-kut-ci ini amat berbabaya dan setelah berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan sin-kang, barulah daya serang jari-jari tangan itu dapat ditolak. Kembali kedua pihak merasa lengan mereka tergetar hebat oleh beradunya kedua tangan itu.

“Ayah, jangan serang dia! Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia adalah Suma Ceng Liong, keluarga para pendekar Pulau Es!” Tiba-tiba Bi Eng berteriak karena dara ini merasa khawatir melihat perkelahian antara ayahnya dan Ceng Liong.

Mendengar ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget, bahkan Kam Hong sudah meloncat ke belakang seperti diserang ular. Matanya terbelalak memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu dan alisnya berkerut.

“Apa katamu....?” Dia berseru kepada puterinya, akan tetapi matanya tetap menatap wajah Ceng Liong. “Dia.... dia she Suma....?”

“Ayah, Ceng Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang memberitahu padaku,” kata Bi Eng.

Kam Hong masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap tempur. Bahkan dia kini bertanya halus. “Orang muda, benarkah engkau cucu Suma Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalau benar demikian, bagaimana engkau dapat menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong? Sungguh sukar dipercaya....”

Ceng Liong mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas, “Kam-locianpwe, orang tidak dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan aku menjadi murid Hek-i Mo-ong adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Kam-locianpwe, selamat tinggal!” Dia lalu menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan memondongnya, kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau menoleh lagi.

“Ceng Liong....!” Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak menoleh dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Dara remaja itu merasa kecewa dan menyesal. Ia sudah merasakan benar kebaikan-kebaikan pemuda yang menjadi sahabat barunya itu dan merasa berhutang budi. Maka, tentu saja ia merasa menyesal sekali melihat penolongnya itu berkelahi melawan ayahnya dan pergi dalam keadaan tidak bersahabat.

“Bi Eng, sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Dan mana mungkin seorang cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?” kini Bu Ci Sian bertanya.

Bi Eng lalu menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan oleh Louw Tek Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma Ceng Liong dan Hek-i Mo-ong. “Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku, biarpun ia berwatak aneh, akan tetapi Hek-i Mo-ong tidak jahat kepadaku. Dan Ceng Liong amat baik.”

Kam Hong mengangguk-angguk dan mengelus dagunya. “Hemmm, sungguh aneh sekali, sukar dipercaya bahwa cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku, Pendekar Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Pertama adalah Puteri Milanayang menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang puteranya adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di antara kedua pendekar itu yang menjadi ayah Suma Ceng Liong. Dan bagaimana sampai bisa menjadi murid datuk sesat yang julukannya saja Raja Iblis itu? Sungguh sukar dimengerti....”

“Dan bagaimana tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?” Bu Ci Sian bertanya, nada suaranya masih penasaran walaupun kini nadanya agak lunak karena pemuda yang menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti! Kita dapat memaafkan sikap Ci Sian ini karena kalau kita membuka mata memandang kehidupan masyarakat kita ini, di mana termasuk juga diri kita, bukankah kita semua telah mempunyai penyakit yang sama? Kedudukan dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga kita tidak lagi memandang orangnya, manusianya, melainkan kedudukannya, hartanya, kepandaiannya, namanya, agamanya, dan sebagainya lagi. Ketika mendengar puterinya akan dijodohkan dengan murid Hek-i Mo-ong yang dikenalnya sebagai seorang datuk sesat, hati nyonya ini menjadi marah karena merasa direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia menentang. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti, terdapatlah suatu perasaan lain! Kalau keturunan Para Pendekar Pulau Es yang hendak berbesan dengannya, hal itu menjadi lain sama sekali!

“Ibu, mengenai perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia berpura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak akan menjadi isteri Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak sudi berjanji seperti itu. Dan ternyata dia mengobatiku juga sampai sembuh, hanya dia memaksa Ceng Liong yang berjanji agar kelak mau menjadi suamiku. Ceng Liong berjanji karena ingin agar gurunya menyembuhkanku.”

Suami isteri itu saling pandang, tidak tahu harus bicara apa. “Sudahlah, memang orang-orang sesat memiliki watak yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja tidak ada ikatan apa-apa antara Bi Eng dari pemuda itu. Mari kita pulang untuk mengurus jenazah para pelayan.”

***

Biarpun mereka itu hanya pelayan, akan tetapi mereka menerima pelajaran ilmu silat dari Kam Hong sehingga merekapun dapat disebut murid-muridnya. Maka, ketika menyembahyangi enam buah peti mati yang berjajar di halaman depan rumahnya, Kam Hong, Ci Sian dan Bi Eng merasa berduka sekali. Bahkan Ci Sian dan Bi Eng tak kuasa menahan air mata mereka. Enam orang itu tewas karena membela keluarga mereka. Akan tetapi, siapakah yang akan dikutuk? Hek-i Mo-ong yang agaknya menjadi biang keladi penyerbuan itu telah tewas, juga Jai-hwa Siauw-ok sudah tewas. Hanya tinggal murid-murid mereka.

Banyak juga tamu berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah enam orang itu. Mereka sebagian besar adalah penduduk dusun di sekitar pegunungan itu. Ada pula beberapa orang tokoh ilmu silat yang kebetulan mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga pendekar Kam lalu datang pula berkunjung untuk menyatakan belasungkawa.

Malam itu tidak ada tamu lain. Hanya tiga orang anggauta keluarga itu saja yang masih duduk di ruangan depan, menjaga enam buah peti jenazah. Bulan bersinar terang sehingga pekarangan depan pondok itu, yang merupakan istana tua, nampak jelas. Maka, ayah, ibu dan anak itupun dapat melihat dengan jelas ketika ada dua bayangan orang berkelebat di pekarangan mereka. Kam Hong memberi isyarat dengan tangan kepada isteri dan puterinya agar waspada. Akan tetapi dua orang wanita itu juga sudah melihat berkelebatnya bayangan dua orang dan merekapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah peristiwa penyerbuan Hek-i Mo-ong dengan kawan-kawannya, keluarga Kam menjadi waspada dan selalu dalam keadaan tegang dan curiga.

Kini dengan gerakan gesit, dua bayangan itu telah tiba di tengah pekarangan, berdiri di situ dengan tegak. Di bawah sinar bulan, nampak jelas bahwa mereka adalah dua orang pria. Yang seorang berusia hampir empat puluh tahun, kira-kira tiga puluh enam tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah, dengan pakaian sederhana dan ringkas membayangkan tubuh yang masih kekar, wajahnya cerah dan mulutnya membayangkan senyum ramah. Adapun pria yang ke dua, berusia kurang lebih enam belas tahun, wajahnya putih bundar dan alisnya tebal, nampak tampan dan gagah. Kalau pria setengah tua itu membawa sebatang pedang di punggung, pemuda itu membawa sebatang pedang di pinggang dan kedua orang itu jelas merupakan orang-orang yang datang bukan dengan maksud baik. Maka, terdorong oleh rasa duka dan marah kehilangan enam orang pelayan yang tewas, dara ini tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking, tubuhnya sudah melayang ke depan, agak tinggi dan membuat gerakan jungkir balik tiga kali baru tubuhnya itu hinggap dengan ringannya di depan dua orang pria itu yang memandang dengan kagum.

“Gin-kang yang bagus!” Pria setengah tua itu berseru memuji.

Sementara itu, Bu Ci Sian sudah bangkit berdiri dan wanita inilah yang lebih dulu mengenal pria itu. “Hong Bu....! Dia Hong Bu, Sim Hong Bu....!” Dan sekali meloncat, tubuh nyonya inipun melayang sampai ke depan dua orang pria itu, di sisi puterinya yang memandang ragu mendengar seruan ibunya. Kam Hong juga melangkah keluar menyambut dengan wajah berseri. Kini diapun mengenal pria yang gagah itu, dan diapun terkenang akan masa lalu, belasan tahun yang lalu. Pria itu bernama Sim Hong Bu, seorang ahli pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang amat lihai dan boleh dibilang masih seketurunan dalam ilmu silat dengannya, karena Ilmu Pedang Naga Sihunan berasal dari sumber yang sama dengan Ilmu Pedang Suling Emas (baca kisah Suling Emas dan Naga Siluman). Bukan itu saja. Sim Hong Bu dahulu, di masa mudanya, pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian. Ketika masih gadis, Bu Ci Sian menjatuhkan hati banyak sekali pemuda-pemuda pilihan, di antaranya Jenderal Muda Kao Cin Liong dan pendekar pedang Sim Hong Bu ini. Akan tetapi akhirnya Bu Ci Sian memilih yang dekat, memilih dia yang menjadi suhengnya sendiri walaupun usianya belasan tahun lebih tua. Selain pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian, juga Hong Bu inilah yang merupakan lawan paling tangguh di antara semua jagoan yang pernah dilawannya. Sian Hong Bu inilah yang paling gigih melawan Ilmu Pedang Suling Emas, merupakan lawan yang seimbang, dan sungguh tidak mudah mengalahkan Hong Bu pada belasan tahun yang lalu itu. Mereka pernah saling gempur, bertanding mati-matian, kemudian berpisah sebagai sahabat. Dan kini, setelah belasan tahun berpisah dan tidak saling memberi kabar, tahu-tahu pendekar itu muncul pada saat merekaberkabung atas kematian enam orang pelayan atau murid itu.

Pendekar bernama Sim Hong Bu itu menjura kepada Bu Ci Sian. “Nona Bu Ci Sian.... eh, maaf, nyonya Kam Hong, selamat bertemu! Aku berani bertaruh bahwa nona ini tentulah puterimu!” Sikap Sim Hong Bu nampak gembira sekali.

Kam Hong yang sudah tiba pula di situ tersenyum. “Saudara Sim Hong Bu, apa kabar? Dan akupun berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah puteramu!”

Sim Hong Bu tertawa bergelak, kemudian menepuk pundak pemuda di sebelahnya. “Houw-ji (anak Houw), lihatlah baik-baik. Inilah keluarga yang sering kuceritakan kepadamu. Inilah Kam-taihiap yang perkasa, Pendekar Suling Emas yang tanpa tanding, dan isterinya yang lihai pula!”

Pemuda itu adalah putera tunggal Sim Hong Bu. Pendekar ini kemudian menikah dengan Cu Pek In, puteri dari gurunya sendiri yang bernama Cu Han Bu. Dia bersama isteri dan anak mereka itu tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Himalaya, di mana tinggal keluarga Cu yang merupakan keluarga sakti itu. Dan di sini pula Sim Hong Bu menggembleng putera tunggalnya yang kini diajaknya melawat ke timur mengunjungi bekas lawan, juga bekas sahabat yang menikah dengan wanita yang menjadi cinta pertamanya itu. Ketika dia diperkenalkan kepada keluarga Kam yang memang sudah seringkali diceritakan oleh ayahnya, Sim Houw memberi hormat.

“Saya Sim Honw memberi hormat kepada Kam-locianpwe dan....”

“Wah, anak baik. Kalau engkau putera saudara Sim Hong Bu, jangan menyebut locianpwe kepadaku. Sebut saja paman!” kata Kam Hong gembira.

Pemuda itu kembali menjura. “Terima kasih, paman Kam Hong dan bibi!”

Bu Ci Sian memandang kepada pemuda itu sambil tersenyum. Ia merasa suka kepada pemuda yaug gagah ini, yang mengingatkan ia akan keadaan Sim Hong Bu di waktu mudanya. Sejak kecil Sim Hong Bu adalah seorang pemburu binatang buas di hutan sehingga sikapnya gagah dan jantan. Demikian pula sikap pemuda yang menjadi puteranya ini.

“Sim Houw, apakah seperti ayahmu, engkau juga suka berburu binatang?” tanya nyonya ini sambil tersenyum.

“Karena daerah tempat tinggal kami penuh dengan hutan-hutan, maka saya memang kadang-kadang suka pergi berburu, bibi,” jawab Sim Houw sederhana.

“Kam-taihiap,” kata Hong Bu yang memang sejak dahulu menyebut taihiap kepada Kam Hong. “Maafkan kami yang datang mengganggu di waktu malam. Akan tetapi kami tadi menjadi ragu-ragu melihat adanya perkabungan di sini. Enam buah peti jenazah! Apakah yang telah terjadi dan siapakah yang meninggal dunia?”

“Mereka adalah enam orang muridku yang tewas di tangan penjahat-penjahat yang datang menyerbu tempat tinggal kami. Engkau tentu masih ingat kepada Hek-i Mo-ong?”

“Apa? Iblis tua itu yang datang menyerbu?” Sim Hong Bu bertanya kaget.

“Dia dan Jai-hwa Siauw-ok murid Im-kan Ngo-ok, bersama dua orang murid mereka.”

“Ahhh....!” Sim Hong Bu berseru kaget dan marah. “Dan di mana mereka? Tentu taihiap telah dapat memukul mundur mereka.”

Kam Hong menarik napas panjang. “Dua orang datuk sesat itu tewas dan murid-murid mereka melarikan diri. Mari, mari kita bicara di dalam, saudara Hong Bu,” ajak Kam Hong.

Sim Hong Bu dan Sim Houw lalu mengikuti Kam Hong sekeluarga setelah Bu Ci Sian memperkenalkan Kam Bi Eng yang segera memberi hormat kepada “paman Sim Hong Bu”. Ayah dan anak yang datang sebagai tamu itu lalu memasang hio di depan enam buah peti jenazah. Kemudian mereka duduk di ruangan depan sambil bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman-pengalaman mereka semenjak berpisah belasan tahun yang lalu.

“Tempat tinggal kalian terlalu jauh, di Himalaya, maka kami tidak pernah mendapat kesempatan untuk berkunjung ke tempat sejauh itu,” kata Bu Ci Sian kepada tamunya. “Baik sekali kalian datang berkunjung, kami merasa gembira dan berterima kasih.

Sim Hong Bu menarik napas panjang. “Bertahun-tahun kami seperti hidup terasing di Lembah Gunung Naga Siluman dan baru sekarang saya mendapat kesempatan mengajak anak kami memperluas pengetahuan dan menjelajah ke timur. Di dalam perjalanan menuju ke sini, saya mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa Kam-taihiap telah mempunyai seorang puteri. Maka ketika puteri kalian tadi muncul, saya dapat mengenalnya, apalagi karena wajahnya mirip benar dengan ibunya.

“Dan puteramu mirip sekali dengan ayahnya,” kata Bu Ci Sian.

“Kam-taihiap dan lihiap, begitu melihat puteri kalian, saya merasa terharu dan timbul suatu niat dalam hati, bahkan maksud hati ini pernah saya bicarakan dengan isteri saya sebelum saya berangkat.”

“Kenapa isterimu tidak ikut datang berkunjung?” Bu Ci Sian bertanya seperti baru teringat.

“Ibunya Houw-ji pasti akan datang berkunjung kalau maksud hati kami ini mendapatkan sambutan baik dari Kam-taihiap berdua.”

“Saudara Sim Hong Bu, katakanlah terus terang, apakah maksud baik kalian itu?” Kam Hong sudah dapat menduga, akan tetapi dia menginginkan kepastian maka dia mengajukan pertanyaan itu.

“Baiklah, saya akan berterus terang saja. Dan kehadiran anak-anak kita di sinipun saya kira tidak menjadi halangan, karena bukankah kita senantiasa menghargai keterbukaan dan kejujuran? Kam-taihiap, kita menikah dalam waktu yang tidak begitu jauh selisihnya, bahkan mungkin saya lebih dahulu beberapa bulan. Mengingat bahwa setahun kemudian terlahir Houw-ji, maka saya yakin Houw-ji lebih tua dari puteri taihiap berdua. Nah, maksud hati kami adalah untuk mengharapkan persetujuan Kam-taihiap berdua, kalau berkenan di hati, kami ingin sekali melihat anak kami yang bodoh dapat berjodoh dengan puteri taihiap yang mulia.”

Hening sejenak, keheningan yang terasa seperti mencekik leher Bi Eng. Sebagai seorang dara remaja, biarpun sejak kecil ia digembleng menjadi orang gagah yang berpikiran terbuka, namun kalau orang-orang membicarakan tentang perjodohannya, tentu saja ia merasa risi, rikuh dan malu. Akhirnya, keheningan yang menyambung akhir ucapan Sim Hong Bu yang jujur itu, begitu mencekam hatinya dan iapun tanpa bicara bangkit berdiri perlahan-lahan, dengan kepala tunduk lalu pergi meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam kamarnya! Adapun Sim Houw, pemuda remaja itu, juga tidak berani bergerak dari tempat duduknya, menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ayah dan ibunya tidak pernah mengajaknya bicara tentang perjodahan, apalagi tentang maksud hati ayahnya yang berkunjung ke rumah keluarga Kam yang ternyata adalah untuk membicarakan perjodohannya atau melamar gadis orang!

Kemudian terdengar Kam Hong menarik napas panjang, disusul suara ketawanya yang lembut.

“Aih, saudara Sim, sungguh pernyataanmu tadi seperti serangan mendadak yang membuat kami terkejut dan bungkam. Betapapun juga, kami merasa amat berterima kasih, bangga dan girang bahwa engkau mempunyai niat yang demikian mulia terhadap diri puteri kami yang bodoh. Karena pinanganmu ini datangnya terlalu tiba-tiba, dan untuk mengambil keputusan kami perlu mengadakan perundingan dalam keluarga lebih dahulu, maka harap engkau suka bersabar menanti. Tunggulah sampai kami selesai mengurus penguburan jenazah-jenazah ini, baru kami akan memberi jawaban dan keputusan.”

Sim Hong Bu cepat bangkit dan menjura dengan hormat. “Maaf.... harap ji-wi maafkan karena memang aku telah tergesa-gesa dan lancang sekali. Baik, tentu saja aku harus tahu diri, lupa bahwa sekarang bukan saatnya yang baik. Saya akan menanti dengan sabar, Kam-taihiap.”

“Akan tetapi, kalian tinggal saja di sini,” kata Bu Ci Sian.

“Benar, tinggallah di sini selama beberapa hari,” sambung suaminya.

Hong Bu tidak menolak dan ayah bersama puteranya ini tinggal di rumah gedung tua itu, bahkan membantu pihak tuan rumah ketika mengurus penguburan enam buah peti jenazah. Pekerjaan ini dibantu pula oleh para penduduk yang berdekatan. Selama itu, biarpun seringkali jumpa, Bi Eng dan Sim Houw tidak pernah bicara. Bi Eng biasanya lincah jenaka dan gembira, pandai bicara, akan tetapi karena para orang tua membicarakan perjodohannya dengan pemuda ini, ia menjadi malu dan tidak berani mendahului meregur pemuda itu. Sebaliknya, Sim Houw memang seorang pemuda yang pendiam dan canggung kalau berhadapan dengan wanita, maka mereka hanya saling bertukar pandang saja sekilas tanpa saling menegur kecuali mengangguk tanda hormat.

Kam Hong selalu membicarakan perkara perjodohan itu dengan isterinya. Mereka sebetulnya merasa suka melihat putera Hong Bu itu. Mereka mengenal ayah pemuda itu sebagai seorang pendekar perkasa, juga ibunya adalah keturunan keluarga Cu yang sakti. Sim Houw adalah keturunan orang-orang gagah dan pemuda itupun cukup tampan dan bersikap baik, pantas kalau menjadi suami Bi Eng. Akan tetapi, mereka harus berhati-hati agar jangan sampai salah memilih calon suami puteri tunggal mereka. Oleh karena itu, setelah upacara penguburan para jenazah itu selesai, suami isteri ini mengadakan perundingan dan memanggil puteri mereka.

Keluarga ini selalu bersikap bebas dan dalam hal inipun mereka akan bersikap terbuka kepada puteri mereka. “Eng-ji,” kata ibunya yang bertugas menyampaikan urusan itu kepada puteri mereka, “seperti telah kaudengar sendiri, keluarga Sim datang meminangmu. Engkau telah melihat sendiri pemuda itu dan kami dapat menerangkan bahwa keluarga Sim adalah keluarga gagah perkasa dan ayah pemuda itn sejak dahulu telah menjadi sahabat baik kami. Betapapun juga, ayah ibumu ingin mengetahui isi hatimu karena engkaulah yang akan menjalani dan urusan pernikahan adalah urusan yang menyangkut diri selamanya. Bagaimana pendapatmu, Eng-ji, setujukah engkau kalau menjadi calon isteri Sim Houw?”

Biarpun pada waktu itu, belum dikenal orang tentang kebebasan memilih jodoh sendiri, dan hampir setiap perjodohan yang terjadi selalu terjadi atas pilihan orang tua masing-masing bahkan jarang ada pemuda atau pemudi yang dapat mengenal lebih dahulu siapa calon jodohnya dan tahu-tahu saling berjumpa di waktu upacara pernikahan, namun keluarga Kam memang menganut sikap bebas dalam kehidupan keluarga mereka. Bagaimanapun juga, tentu saja pengaruh tradisi yang sudah mengakar dan menjadi kebiasaan dan kesopanan umum itu tidak dapat terlepas begitu saja, maka Kam Hong dan Ci Sian juga terpengaruh dan mereka lehih condong untuk menilai dan memilih calon jodoh puteri mereka, walaupun mereka kini menyerahkannya kepada penilaian Bi Eng sendiri. Di lain pihak, juga Bi Eng sebagai seorang dara muda yang hidup di jaman itu, tidak terlepas dari rasa kikuk dan malu untuk membicarakan urusan perjodohannya. Pada jaman itu, hubungan antara pria dan wanita merupakan suatu hal yang dianggap rahasia dan amat memalukan kalau dilihat atau didengar orang lain, sedangkan urusan pernikahan adalah urusan hubungan antara pria dan wanita, maka setiap orang, terutama gadisnya, tentu akan merasa malu sekali kalau diajak berunding tentang pernikahannya. Bi Eng yang baru berusia lima belas tahun itu sebetulnya belum pernah berpikir tentar perjodohan, maka ketika tempo hari mendengar pinangan yang diajukan tamunya, ia tidak kuat mendengar terus saking malunya, dan ia melarikan diri bersembunyi ke dalam kamarnya. Kini, mendengar pertanyaan ibunya, iapun menunduk dan mukanya berobah merah sekali. Ia menjadi bingung karena sama sekali belum pernah membayangkan bahwa ia akan dilamar orang, akan menjadi isteri orang. Harus diakuinya bahwa pemuda yang akan dijodohkan dengannya itu cukup ganteng dan gagah, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia akan suka menjadi isteri pemuda itu. Kini, ia merasa bingung harus berkata apa. Untuk menolak begitu saja tentu dia tidak sampai hati kepada orang tuanya, karena bukankah urusan jodoh adalah urusan orang tua dan anak yang berbakti tinggal mentaatinya saja? Demikianlah anggapan umum para muda pada jaman itu. Menyimpang dari anggapan ini akan dianggap hal yang amat tidak patut sekali! Maka, seperti sikap seorang gadis sopan yang diharapkan semua orang pada jaman itu, iapun menunduk ketika menjawab lirih.

“Aku.... aku tidak tahu, ibu.... hal ini.... terserah kepada ayah dan ibu saja!” setelah berkata demikian, Bi Eng lalu pergi meninggalkan orang tuanya, keluar dari rumah melalui pintu belakang dan memasuki kebun belakang yang luas. Hatinya bingung dan perasaannya masih terguncang oleh pertanyaan ibunya tadi. Selama ini belum pernah ia berpikir tentang perjodohan, maka datangnya pertanyaan itu sungguh merupakan hal yang mengejutkan dan membingungkan hatinya.

“Ah, ia masih terlalu muda untuk dapat mengambil keputusan tentang perjodohannya sendiri.” kata Ci Sian kepada suaminya.

Suaminya mengangguk. “Akan tetapi kita sudah menanyakan pendapatnya sehingga kelak ia tidak akan dapat menuduh kita melakukan pemaksaan dalam hal perjodohannya. Dan sebagai seorang anak yang amat baik ia telah menyerahkan urusan itu kepada kita untuk mengambil keputusan.”

“Apakah ini berarti bahwa engkau akan menerima begitu saja pinangan Sim Hong Bu?” isterinya bertanya.

Suaminya menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Memang, dilihat begitu saja tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak menerima pinangan Hong Bu. Dia seorang gagah perkasa yang sudah kita kenal benar wataknya, dan isterinyapun keturunan keluarga Cu yang perkasa. Pemuda itu sendiri kelihatan tidak ada cacatnya dan cukup gagah. Betapapun juga, kita harus berhati-hati sekali memilihkan jodoh anak kita. Akupun tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, maka aku mengajakmu berunding dan kitapun tadi sudah menanyakan pendapat Eng-ji sendiri.”

Suami isteri itu termenung, masih diliputi kebimbangan walaupun mereka berdua memang sudah condong sebelumnya untuk menerima pinangan itu dengan girang karena merasa bahwa puteri mereka telah mendapatkan jodoh yang cocok.

Pada jaman itu memang belum ada apa yang dinamakan pergaulan bebas antara para gadis dan pemuda seperti sekarang. Gadis yang sudah mulai dewasa dikurung oleh orang tuanya, dijadikan semacam benda berharga yang menanti penawaran yang tentu saja diharapkan mendapat penawaran tertinggi! Pingitan para gadis itu oleh orang tua mereka dianggap sebagai hal yang amat baik, bahkan akan mengangkat derajat dan harga diri gadis mereka dalam pandangan para calon besan. Keadaan yang sudah menjadi tradisi ini, yang pada jamannya masing-masing berlaku puda di seluruh bagian dunia agaknya, tidak memungkinkan adanya perjodohan atas pilihan hati sendiri. Pernikahan terjadi atas pilihan dan kehendak orang tua yang tentu saja dengan cara masing-masing, dengan perhitungan dan pertimbangan masing-masing, bertindak dengan tujuan membahagiakan anak sendiri.

Pada jaman dan mungkin masih ada pula terjadi di jaman sekarang, orang-orang tua menilai keadaan si calon mantu dari keadaan keluarganya, keturunannya, kedudukannya, kekayaannya dan sebagainya. Ini penilaian orang tua si gadis. Adapun orang tua si pemuda akan menilai seorang gadis calon mantu dari keadaan keluarganya, keturunannya, kecantikannya, dan kepandaiannya atau juga sikapnya. Mereka itu, orang-orang tua yang memang tidak mengerti itu, tidak tahu bahwa perjodohan adalah urusan hati, urusan cinta. Bersatunya dua orang manusia pria dan wanita untuk hidup bersama, membentuk rumah tangga dan keluarga, hanya dapat berhasil apabila terdapat cinta di dalam hati masing-masing. Tanpa adanya cinta kasih, segala macam sarana lahiriah seperti kedudukan, harta benda, kepandaian dan sebagainya itu tidak mungkin dapat mengokohkan hubungan antara dua orang manusia yang berjumpa setelah keduanya dewasa dan hidup bersama selamanya! Bukan kebahagiaan yang diperoleh, bahkan sebaliknya, mereka akan tersiksa selamanya. Berknmpul terus menyiksa hati, bercerai tidak mungkin seperti keadaan di jaman itu. Sebaliknya, kasih sayang akan mengalahkan segala rintangan.

Harus diakui bahwa memang ada pertumbuhan cinta kasih setelah keduanya bertemu dalam upacara pernikahan. Namun, kebanyakan tidaklah demikian. Kebanyakan hanya memaksa dirinya sendiri sesuai dengan tradisi yang sudah menjadi peraturan, kesusilaan dan kesopanan di jaman itu. Mereka, terutama yang wanita, hanya mampu menangis dan menerima nasib, lalu memaksa diri melayani suaminya sebaik mungkin agar disebut sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga yang baik! Pada jaman itu “nama baik” merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Untuk mengejar “nama baik” ini, orang rela mengorbankan apa saja, kalau perlu berkorban nyawa sekalipun! Betapa banyaknya wanita di jaman itu, bahkan mungkin juga masih ada di jaman sekarang, yang hidup tersiksa batinnya dan menderita sengsara, sebagai seorang isteri yang sebenarnya tidak mencinta suaminya, namun memaksa diri mempertahankan nasibnya itu sampai selama hidupnya, hanya karena ingin menjaga nama baiknya. Lebih baik hidup menderita selamanya akan tetapi mendapat nama baik sebagai seorang isteri yang setia, yang baik dan sebagainya daripada bebas penderitaan batin namun menjadi bahan cemoohan dan celaan umum, demikianlah pegangan batin mereka.

Perjodohan adalah urusan hati dan dasarnya hanya satu, ialah cinta kasih. Hanya cinta kasih sajalah yang kekal. Cinta bukanlah nafsu. Nafsu hanya sementara saja dan mudah luntur. Boleh saja untuk menentukan jodoh orang memperhitungkan keadaan lahiriah, misalnya keadaan pekerjaan dan keuangan sebagai sarana hidup berumah tangga, namun sesungguhnya bukan itu yang menentukan. Uang, kedudukan, dan segala keadaan lahiriah itu dapat berobah sewaktu-waktu. Pangkat dapat dicopot, uang dapat habis. Akan tetapi cinta kasih akan dapat mengatasi segala macam gelombang hidup dan akan dapat bertahan dalam keadaan bagaimanapun juga. Akan tetapi, mengapa kita masih saja tidak mau membuka mata melihat kenyataan ini? Mengapa kita sampai sekarang masih meributkan urusan perjodohan dan menilai orang dari keadaan lahiriah seperti keturunan, kekayaan, kedudukan, agama, suku, bangsa dan sebagainya?

Setelah suami isteri itu termenung beberapa lamanya, akhirnya Ci Sian memperoleh suatu hasil pemikiran yang dianggapnya baik sekali. “Memang kita harus berhati-hati, dan kurasa ada jalan yang amat baik. Kita berdua memang sudah merasa cocok, kalau anak kita menjadi mantu Sim Hong Bu. Bagaimana kalau kita menerima pinangan mereka akan tetapi menangguhkan pernikahannya sampai satu dua tahun lagi? Pertama, mengingat Bi Eng sekarang baru berusia lima belas tahun dan ke dua, penangguhan ini dapat kita pergunakan sebagai waktu untuk melakukan penyelidikan. Kita amati bagaimana tingkah laku calon mantu itu agar hati kita menjadi lega dan puas.”

Kam Hong menjawab hati-hati, “Usulmu itu memang baik sekali, akan tetapi kurasa tidak mudah untuk dilaksanakan. Engkau tahu, keluarga itu tinggal jauh sekali di Pegunungan Himalaya. Dalam jarak sejauh itu, bagaimana mungkin kita akan dapat mengamati kelakuan calon mantu kita? Tidak, kita harus mencari jalan lain yang lebih baik.”

“Jalan lain bagaimana?”

“Aku mempunyai pikiran yang kukira baik sekali. Ingat, ilmu yang kita warisi, yaitu Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, merupakan lawan paling seimbang dan juga pasangan yang amat baik dari ilmu pedang warisan mereka, yaitu Koai-liong Kiam-sut. Kurasa Sim Houw telah memarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut, sedangkan anak kitapun sudah mewarisi Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut kita, walaupun belum sempurna benar dan tinggal memperdalam dengan latihan saja. Untuk dapat menilai keadaan Sim Houw, satu-satunya jalan adalah kalau dia tinggal bersama kita di sini.”

“Ehh? Bagaimana mungkin? Tidak pantas kalau dia tinggal dulu di sini sebelum menjadi suami Bi Eng....”

“Bukan begitu maksudku. Biarlah perjodohan itu kita ikat, akan tetapi masa pertunangan itu kita manfaatkan, baik juga sebagai syarat pernikahan. Biar Eng-ji mereka didik dan diajari Koai-liong Kiam-sut, sedangkan Sim Houw kita didik dan kita ajari Kim-siauw Kiam-sut. Dengan demikian, kita memperoleh dua keuntungan. Pertama, dengan menjadi murid kita beberapa tahun lamanya, tentu saja kita akan dapat mengenal wataknya yang sebenarnya dan kita dapat menilai apakah dia memang pantas menjadi jodoh anak kita. Dan ke dua, dengan penukaran ilmu itu, tentu anak kita akan menguasai dua ilmu itu dan menggabungnya sehingga ia akan menjadi seorang yang amat tangguh, lebih tangguh daripada kita. Bagaimana?”

Bu Ci Sian termenung. Usul suaminya itu sungguh baik sekali, akan tetapi kalau ia membayangkan harus berpisah dari puterinya selama beberapa tahun, hatinya merasa sedih. Agaknya Kam Hong dapat mengetahui isi hati isterinya. Dia memegang lengan isterinya dengan mesra lalu berkata, suaranya halus dan penuh kasih sayang.

“Isteriku, engkau tahu bahwa demi cinta kita kadang-kadang harus berani berkorban. Aku sendiripun tentu saja merasa berat harus berpisah dari puteri kita yang kita cinta. Akan tetapi, ingatlah bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Sekali waktu, pasti kita akan berpisah dari orang-orang yang kita cinta, termasuk Bi Eng. Akan tetapi, biarpun kita merasa tidak senang kalau harus berpisah dari anak kita, kita harus ingat bahwa perpisahan sementara ini adalah demi kebaikan anak yang kita cinta. Maka, demi anak kita, perasaan kita sendiri haruslah dikesampingkan. Setujukah engkau?”

Bu Ci Sian menghela napas panjang. Tentu saja, demi kebaikan Bi Eng sendiri, mau tidak mau ia harus menyetujui usul suaminya ini. Bagaimanapun juga, amat baik kalau Bi Eng memperdalam ilmunya dengan menguasai Koai-liong Kiam-sut. Ilmu yang amat tinggi dan penting untuk kehidupan puterinya. Bukankah ia dan suaminya sendiri, walaupun sudah memiliki kepandaian tinggi, tidak luput daripada bencana ketika Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya muncul? Dan Bi Eng pernah hendak dijodohkan oleh iblis itu dengan muridnya! Biarpun kemudian ternyata bahwa murid iblis itu adalah cucu Pendekar Super Sakti, namun sebagai murid iblis itu tentu saja ia tidak setuju kalau menjadi suami Bi Eng. Putera Sim Hong Bu jauh lebih baik dibandingkan dengan murid iblis itu. Maka iapun mengangguk setuju.

Tiba-tiba suami isteri ini terkejut mendengar suara angin dan lengkingan-lengkingan nyaring diseling suara mengaum dan berdesing. Lengkingan itu adalah suara senjata suling anak mereka, dan hal itu berarti bahwa Bi Eng sedang berkelahi mempergunakan sulingnya! Seperti disengat binatang berbisa karena teringat akan malapetaka yang baru saja menimpa keluarga mereka dengan kemunculan datuk-datuk sesat, suami isteri perkasa ini sudah meloncat dan seperti berlumba saja mereka lari menuju ke arah datangnya suara itu, yalah dari kebun belakang. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Bu Ci Sian melihat bahwa puterinya itu sedang bertanding mati-matian melawan Sim Houw, pemuda yang direncanakan akan menjadi mantunya itu! Tentu saja ia marah dan hendak meloncat dan membentak, akan tetapi lengannya dipegang Kam Hong dan ketika isteri itu menoleh kepada suaminya, ia melihat suaminya memberi tanda agar ia diam saja.

“Agaknya mereka sedang berlatih.” bisik Kam Hong. Ci Sian memandang dengan mata terbelalak khawatir. Ia sama sekali tidak melihat mereka sedang berlatih, akan tetapi karena perkelahian yang nampak sungguh-sungguh itu agaknya dikuasai oleh Bi Eng yang lebih banyak menyerang dan mendesak dengan sulingnya dibandinakan dengan Sim Houw yang lebih banyak mengelak atau menangkis dengan pedangnya, maka iapun diam saja.

Apakah yang telah terjadi antara Sim Houw dan Bi Eng? Seperti kita ketahui, ketika ia diajak bicara tentang perjodohan oleh ayah ibunya, Bi Eng menyerahkan urusan itu kepada orang tuanya dan karena merasa risi, canggung dan malu, iapun meninggalkan orang tuanya dan memasuki kebun belakang rumahnya. Kebun ini luas, terdapat banyak pohon buah, sayur dan bunga-bunga yang dirawatnya sendiri dibantu oleh para pelayan yang kini telah tewas semua. Melihat kebunnya, Bi Eng teringat kepada para pembantu yang juga merupakan murid-murid ayahnya dan hatinya bersedih. Apalagi teringat akan pembicaraan ayah ibunya tadi, hatinya menjadi semakin sedih. Ia belum mengenal Sim Houw dan ia tidak tahu apakah ia suka atau tidak menjadi isteri pemuda itu. Ia lebih suka kepada Ceng Liong, walaupun bukan suka sebagai isterinya. Masih terlalu jauh memikirkan hal itu. Ia suka kepada Ceng Liong yang dianggapnya amat baik kepadanya, juga seorang pemuda gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, cucu Pendekar Super Sakti pula! Tentang Sim Houw, ia tidak tahu sama sekali. Pernah ayah ibunya bercerita tentang Sim Hong Bu, yang menurut ccrita ayahnya merupakan seorang pendekar gagah perkasa yang kepandaiannya setingkat dengan ayahnya. Bahkan menurut ibunya, pernah terjadi pertandingan antara ayahnya dan Sim Hong Bu dan ayahnya hanya menang tipis saja. Menurut orang tuanya, keluarga Sim mempunyai ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang masih sesumber dengan Kim-siauw Kiam-sut. Hal ini membuat hatinya penasaran. Kalau begitu, keluarga Sim adalah musuh, atau setidaknya juga saingan! Mengapa sekarang ia akan dijodohkan dengan puteranya? Pikiran ini membuat hati dara remaja itu menjadi bimbang dan penasaran. Keputusan orang tuanya untuk menjodohkannya dengan putera keluarga Sim apakah tidak akan diartikan orang bahwa keluarga Kam merasa takut terhadap keluarga Sim sehingga ingin mengakhiri persaingan itu dengan perjodohan?

Api penasaran dan kemarahan yang mulai bernyala ini menjadi berkobar ketika tiba-tiba ia melihat seorang pemuda berjalan-jalan di dalam tamannya itu. Pemuda itu adalah Sim Houw. Karena ia sedang merasa penasaran dan marah, timbul tidak senangnya melihat pemuda itu dan di dalam pandangan mata yang dipengaruhi perasaan tidak seoang itu. Sim Houw kelihatan angkuh dan congkak! Hatinya menjadi semakin panas. Pemuda yang membawa pedang di pinggang itu kelihatan seperti memamerkan pedangnya!

Ketika Sim Houw melihat Bi Eng, mukanya berobah merah, akan tetapi dia melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat. “Selamat pagi, nona Kam. Maafkan, karena mengganggu, aku telah berjalan-jalan di dalam kebunmu yang indah ini tanpa ijin.”

Hemm, ternyata pemuda pendiam ini pandai juga bicara, pikir Bi Eng, akan tetapi perasaan marah dan penasaran membuat ia beranggapan bahwa sikap pendiamnya tempo hari itu tentu hanya palsu saja untuk menarik perhatian!

“Pedang di pinggangmu itu tentulah Koai-liong Po-kiam, bukan?” tanyanya, tanpa memperdulikan salam dan ucapan orang.

Sim Houw menunduk dan memandang ke arah pedangnya, merabanya sambil menahan senyum dan menggelengkan kepala. “Bukan, nona. Koai-liong Po-kiam adalah senjata pusaka milik ayahku, pedangku ini biasa saja.”

“Akan tetapi engkau tentu telah mewarisi semua kepandaian ayahmu dan pandai memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut!”

“Memang aku pernah mempelajari ilmu silat ayah dan ibu, akan tetapi tidak berani aku mengatakan pandai,” jawab Sim Houw sederhana. Akan tetapi karena Bi Eng sedang marah, kesederhanaan jawaban itu dianggap sebagai kepura-puraan yang menyembunyikan kesombongan.

“Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya di dunia ini, bukan?”

“Aku tidak beranggapan begitu, nona.”

“Tak perlu berpura-pura. Keluarga Sim sangat membanggakan ilmu pedang itu dan aku ingin sekali merasakan seudiri sampai bagaimana kehebatannya!” Berkata demikian Bi Eng mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang suling emas kecil, panjangnya tidak sampai dua kaki, besarnya hanya seibu jari dan berlubang-lubang seperti sebatang suling biasa.

Sim Houw membelalakkan matanya. “Ah, nona Kam, mana aku berani?” katanya bingung.

“Tak usah berpura-pura! Orang tua kita pernah saling bertanding, kini apa salahnya kalau kita melanjutkan dan menguji kehebatan ilmu masing-masing? Ingin kulihat apakah Koai-liong Kiam-sut sehebat Kim-siauw Kiam-sut kami. Cabutlah pedangmu!”

“Aku.... aku tidak berani, nona. Ayah akan marah....”

“Pengecut! Kau bukan anak kecil dan mau atau tidak, aku tetap akan menyerangmu!”

“Wuuuuttt.... singggg....!” Suling itu meluncur dan mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar di atas kepala Sim Houw yang cepat mengelak tadi. Pemuda yang pada dasarnya pendiam inipun memiliki keberanian besar dan hatinya keras. Dimaki pengecut, mukanya berobah pucat dan dia tidak mau bicara lagi. Ketika suling yang ternyata amat hebat itu berkelebat mendesaknya, pemuda inipun terpaksa mencabut pedangnya menangkis. Bi Eng semakin penasaran karena jurus-jurus serangannya dapat dielakkan atau ditangkis lawan, maka ia melanjutkan serangannya semakin dahsyat. Sim Houw terus melindungi diri dan hanya membalas dengan serangan kalau dia betul-betul terdesak. Serangan balasan itu hanya untuk menahan hujan serangan lawan. Maka kini terdengarlah suara suling yang melengking-lengking dan suara pedang di tangan Sim Houw yang mengeluarkan suara mengaum seperti suara singa marah.

Kam Hong dan Ci Sian melihat pertandingan yang amat menarik itu dan diam-diam Kam Hong melihat kenyataan bahwa sesungguhnya tingkat kepandaian pemuda itu masih menang dibandingkan Bi Eng. Bukan karena ilmu silatnya lebih tinggi, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu menang matang dalam latihan, juga memiliki tenaga yang lebih kuat. Hati pendekar ini merasa puas, juga girang melihat kenyataan betapa pemuda itu bertanding dengan hati-hati dan selalu mengalah. Hal ini menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki kelembutan hati, juga kegagahan yang membuat dia berpantang mengalahkan seorang dara remaja dalam suatu perkelahian latihan. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya sama sekali bukan berlatih, melainkan dengan sungguh hati menyerang pemuda itu untuk mengalahkannya!

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dekat dua orang yang bertanding itu muncul Sim Hong Bu. “Tahan....! Houw-ji.... apakah engkau suaah gila? Berani engkau kurang ajar terhadap nona rumah?” bentak Sim Hong Bu dengan marah, mukanya merah dan matanya melotot memandang puteranya.

Sim Houw cepat meloncat mundur dan dengan gerakan kilat, tahu-tahu pedangnya sudah berada kembali di dalam sarung pedang dan diapun menunduk. “Aku tidak berani, ayah....” katanya lirih. Jawaban ini cukup melegakan hati ayahnya dan Hong Bu kini menoleh kepada dara itu. Tadi dia melihat betapa puteranya mengalah dan betapa dara itu menyerang dengan sungguh hati, maka timbul kekhawatirannya dan mengira bahwa tentu puteranya melakukan suatu kesalahan maka dara itu menjadi marah.

Kam Hong dan isterinya juga sudah meloncat keluar dari tempat mereka menonton. Ci Sian segera mendekati puterinya dan menegur, “Bi Eng, apa yang terjadi? Kenapa kau menyerang Sim Houw?”

Wajah dara itu menjadi merah. Dasar ia masih remaja dan berdarah panas, ia tidak merasa betapa pemuda itu tadi banyak mengalah dan ia mengira bahwa sulingnya dapat mengungguli pedang lawan sehingga biarpun ia belum dapat mengalahkan Sim Houw, setidaknya ia dapat mendesaknya dan ini berarti bahwa Kim-siauw Kiam-sut lebih lihai daripada Koai-liong Kiam-sut! Akan tetapi kini ia ditegur ibunya. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia sengaja menantang pemuda itu, bahkan memaksa pemuda itu mengadu ilmu pedang. Dan ia merasa takut kepada ayahnya yang tentu akan marah kalau tahu akan tantangannya. Maka kini ia menjawab.

“Ibu, kami hanya berlatih. Dia.... dia mengajakku berlatih maka kulayani!”

“Houw-ji, benarkah kalian tadi sedang berlatih?” Sim Hong Bu tak danat menahan hatinya untuk bertanya dengan penuh harapan karena dia akan merasa lega kalau dua orang muda itu tadi hanya berlatih, bukan berkelahi sungguh-sungguh yang tentu akan membuat keadaan menjadi tidak enak sekali. Dia datang untuk melamar gadis itu sebagai calon isteri Sim Houw, maka akan repotlah hatinya kalau mereka berdua itu tadi berkelahi sungguh-sungguh.

Sim Houw melirik ke arah Bi Eng yang memandang kepadanya dengan senyum mengejek. Dia mengangguk. “Benar, ayah, kami hanya berlatih, dan nona Kam telah memberi banyak pelajaran kepadaku.”

Mendengar ucapan ini, Bi Eng merasa bangga dan girang sehingga kedua pipinya merah berseri, matanya bersinar dan hidungnya kembang kempis. Ayahnya melihat hal ini dan diapun tertawa. Pendekar Kam Hong tertawa bergelak menghampiri puterinya. “Anak bodoh! Kaukira engkau unggul dalam latihan tadi, ya? Hayo lekas mengucapkan terima kasih kepada kakakmu Sim Houw karena dia telah banyak mengalah dan memberi pelajaran kepadamu!”

Lenyaplah seri wajah dara itu, alisnya berkerut. Kegembiraannya lenyap dan berbalik ia menjadi marah. Benarkah pemuda itu tadi mengalah? Kalau begitu, dia mempermainkan aku dan diam-diam mentertawakan aku, pikirnya jengkel dan ketika ia melirik, sinar matanya panas mengejutkan Sim Houw.

“Locianpwe, nona Kam tadi benar-benar hebat ilmu sulingnya, saya merasa kewalahan....”

Kam Hong saling pandang dengan Sim Hong Bu dan keduanya tertawa, sama-sama maklum bahwa Sim Houw sengaja melindungi muka Bi Eng agar jangan sampai menjadi malu. “Sudahlah, mari kita semua masuk ke dalam. Saudara Sim, kami ingin bicara denganmu sebagai jawaban atas maksud kedatanganmu.”

Mereka lalu masuk ke dalam dan duduk di dalam ruangan dalam. Dua orang pelayan baru yang diambil dari dusun terdekat, lalu menghidangkan arak dan makanan. Kemudian mereka disuruh mundur dan Kam Hong lalu berkata kepada Sim Hong Bu yang mendengarkan dengan hati penuh harapan.

“Saudara Hong Bu, kami sekeluarga mengulang pernyataan terima kasih kami kepada saudara yang telah mengajak kami untuk mengikat tali kekeluargaan. Pinangan saudara sangat kami hargakan dan dapat kami terima dengan baik, akan tetapi....”

Wajah Sim Hong Bu yang tadinya berseri itu kini berobah dan timbul kerut-merut di antara kedua alisnya karena ucapan tuan rumah itu seperti akan mengusir harapan yang sudah membesar tadi.

“Akan tetapi....?” Dia mengulang ketika Kam Hong menghentikan kata-katanya.

Kam Hong tersenyum. “Jangan salah mengerti, saudara Sim. Kami mempunyai usul atau permintaan, akan tetapi usul kami ini adalah untuk kebaikan kedua pihak.”

Sim Hong Bu menggeser kursinya, bangkit dan memberi hormat. “Saya percaya akan kebijaksanaan Kam-taihiap, katakanlah apa yang taihiap kehendaki dan saya tentu akan mempertimbangkannya dengan seksama.”

“Kami berdua sudah sepakat menerima pinanganmu dan kami akan merasa gembira kalau puteri kami kelak menjadi jodoh puteramu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa puteri kami baru berusia lima belas tahun, dan kamipun melihat betapa puteramu juga belum berusia dewasa benar, kami minta agar pernikahan antara mereka ditangguhkan.”

“Bagus! Memang itupun menjadi keinginan kami berdua ayah dan ibu Sim Houw. Kami sekeluarga sudah merasa terhormat dan berbahagia andaikata pinangan kami diterima, sedangkan mengenai upacara pernikahan, kami serahkan kepada taihiap berdua, kapan sekiranya waktu yang paling tepat. Kamipun tidak tergesa-gesa dan memang benar bahwa putera kamipun baru berusia enam belas tahun, jadi belum matang benar.”

“Syukurlah kalau begitu, dalam hal ini kita sudah ada kecocokan. Sekarang kami hendak menyampaikan keinginan kami. Sebelum tiba saatnya, biarlah urusan jodoh ini dirahasiakan dahulu, belum terdapat pengikatan apapun, dan kami minta agar saudara Sim suka mendidik puteri kami, mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepadanya....”

“Ahh....!” Sim Hong Bu terkejut setengah mati mendengar ini. Mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain merupakan pantangan besar dan tentu takkan diperkenankan oleh para gurunya. Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pusaka keluarga Cu yang dikuasai olehnya seorang, bahkan guru-gurunya, keluarga Cu tidak ada yang mampu menguasai ilmu itu. Juga pedang Koai-liong Po-kiam menjadi miliknya. Ilmu itu hanya boleh diwariskan kepada keturunannya dan Sim Houw sudah pula mempelajarinya dengan baik. Kini, mendengar permintaan Kam Hong agar dia menurunkan ilmu itu kepada Bi Eng calon mantunya, dia menjadi ragu-ragu dan terkejut juga. Ada apakah di balik permintaan aneh ini? “Kalau boleh saya bertanya, mengapa Kam-taihiap mengajukan syarat seperti itu?”

“Saudara Sim, engkau melihat sendiri betapa kami sekeluarga baru saja ditimpa bencana yang mengakibatkan tewasnya enam orang pembantu kami. Melihat ini, timbul gagasanku untuk memberi ilmu yang setinggi-tingginya kepada anak kami. Kami tahu bahwa kedua ilmu kita merupakan ilmu dari satu sumber yang kalau digabungkan akan menjadi semacam ilmu yang amat hebat. Jangan engkau khawatir, saudara Sim. Engkau mendidik dan melatih anak kami selama beberapa tahun sampai ia menguasai Koai-liong Kiam-sut, sedangkan puteramupun sebagai gantinya akan kami didik di sini untuk mempelajari Kim-siauw Kiam-sut sampai berhasil.”

“Ahhh....!” kembali Sim Hong Bu mengeluarkan seruan, akan tetapi sekali ini bukan seruan kaget dan bimbang melainkan seruan lega dan girang, walaupun masih ada keraguan di dalam hatinya bagaimana mungkin dia menurunkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain. Dia bangkit berdiri lagi dan menjura. “Saya tahu bahwa Kam-taihiap amat bijaksana dan usul itu memang baik sekali. Akan tetapi tetap saja saya masih belum dapat menangkap maksud yang sebenarnya dari usul taihiap ini. Karena, kalau mereka kdak menjadi suami isteri, bukankah mereka dapat saling mengajarkan ilmu mereka?”

Kam Hong dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum, lalu Bu Ci Sian berkata dengan jujur, “Sudah kukatakan bahwa Hong Bu memang cerdik sekali. Lebih baik kita berterus terang. Beginilah maksud kami. Kalau mereka itu belajar dari kita, kita yang lebih berpengalaman dan sudah mendalam penguasaan kita akan ilmu masing-masing, akan dapat membantu mereka untuk menggabungkan kedua ilmu kita itu sehingga lahir suatu ilmu gabungan yaug amat kuat. Selain itu, sambil mengajar, bukankah kita memperoleh kesempatan banyak sekali untuk lebih mengenal watak dan keadaan calon mantu kita masing-masing?”

Mendengar ucapan ini, Sim Hong Bu tertawa pula dan mengangguk-angguk. “Sungguh bijaksana sekali. Memang tepat. Orang tua tentu akan memilihkan orang yang paling cocok untuk anaknya. Baiklah, aku terima usul itu. Houw-ji, lekas memberi hormat kepada calon mertuamu, juga gurumu!”

Dengan muka merah Sim Houw mentaati perintah ayahnya dan diapun berlutut di depan kaki Kam Hong, menyebut “suhu” lalu memberi hormat di depan kaki Bu Ci Sian sambil menyebut “subo”.

Kam Hong dan isterinya tersenyum gembira menerima penghormatan itu. “Bi Eng, lekas kau beri hormat kepada suhumu dan calon mertuamu!” kata Kam Hong.

Akan tetapi dara itu memandang ragu. Sejak tadi ia sudah mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut dan muka agak pucat. Walaupun mulutnya tidak mengeluarkan bantahan, namun hatinya sangat tidak setuju. Dara yang berhati keras ini lalu berkata, “Ayah, aku tidak ingin mempelajari Koai-liong Kiam-sut! Dengan ilmu-ilmu kita sendiri, aku merasa sudah cukup untuk melindungi diri sendiri!”

Ucapan dara ini mengejutkan tiga orang pendekar itu. Kam Hong dan isterinya merasa tidak enak sekali dan wajah Kam Hong menjadi merah. Akan tetapi dia tidak marah. Memang sejak kecil dia mendidik puterinya untuk hidup bebas dan memberi kebebasan kepadanya mengeluarkan pendapat dan isi hati. Kini, dara itu bicara terus terang seperti itu, sesungguhnya tidak dapat dipersalahkan. Maka, diapun mendebat, bukan memarahi.

“Bi Eng, jangan engkau tekebur! Lupakah engkau betapa baru beberapa hari yang lalu engkau dirobohkan penjahat? Hal itu tidak akan terjadi kalau ilmu kepandaianmu tinggi, tidak akan terjadi kalau engkau sudah menguasai gabungan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut. Mengapa engkau kini memandang rendah Koai-liong Kiam-sut?”

“Ayah, aku dikalahkan penjahat karena dia menggunakan kecurangan. Pula, kalau aku sampai kalah, tentu karena akn kurang matang berlatih ilmu-ilmu kita sendiri. Aku tadi sudah merasakan Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi tidaklah seberapa hebat. Apa artinya kalau aku membuang waktu bertahun-tahun-mempelajarinya? Lebih baik aku memperdalam ilmu-ilmu yang kudapat dari ayah.”

Hati Kam Hong semakin tidak enak terhadap Sim Hong Bu. “Saudara Sim, harap kau sudi memaafkan kelancangan mulut anak kami.”

Akan tetapi Sim Hong Bu tertawa girang dan wajar, tidak dibuat-buat. “Ha-ha-ha, Kam-taihiap, aku kagum sekali kepada puterimu. Ia memiliki kewajaran, dan kejujuran yang amat mengagumkan!” Ucapan ini bukan basa basi belaka. Pendekar ini di waktu kecilnya adalah seorang pemburu dan hidup di antara keluarga pemburu. Keluarganya, para pemburu, memang sudah biasa dengan sikap wajar dan watak yang jujur berterus terang, maka kini dia merasa kagum sekali melihat dan mendengar betapa dara calon mantunya ini berani mengemukakan pendapatnya sebebas itu tanpa pura-pura!

Tentu saja hati suami isteri itu merasa lega mendengar tanggapan Sim Hong Bu terhadap sikap yang diperlihatkan Bi Eng. Akan tetapi diam-diam Kam Hong merasa malu karena biarpun Bi Eng memperlihatkan kebebasannya bersikap dan berpendapat, namun pendapatnya tentang ilmu silat tadi hanya menunjukkan betapa dara itu masih mentah.

“Bi Eng, engkau bodoh dan tekebur sekali. Memang, biarpun engkau masih kalah matang dalam ilmu silatmu dibandingkan dengan Sim Houw, akan tetapi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut sebanding dengan Ilmu Koai-liong Kiam-sut. Memang kedua ilmu pedang itu dari sumber yang sama, walaupun mempunyai perbedaan besar karena Kimsiauw Kiam-sut memang khusus diciptakan untuk dimainkan dengan suling sedangkan Koai-liong Kiam-sut khusus diciptakan untuk dimainkan dengan pedang. Akan tetapi, kalau kedua ilmu itu digabung, kehebatannya menjadi berlipat ganda dan satu di antara kedua ilmu itu kalau dihadapi dengan gabungan kedua ilmu, akan mati kutu.”

“Tapi, bagaimana hal itu dapat dibuktikan sehingga dapat meyakinkan hatiku, ayah?” tanya Bi Eng yang masih merasa penasaran. Ia merasa yakin bahwa ilmu keluarganya masih menang atas ilmu keluarga Sim, maka iapun segan kalau harus mempelajari ilmu itu. Bukankah dahulu ayahnya juga menang ketika bertanding melawan Sim Hong Bu?

Kembali Sim Hong Bu tertawa. “Ha-ha-ha, jujur, tabah dan juga cerdik, tidak mudah dibujuk. Sungguh watak yang amat baik untuk mempelajari Koai-liong Kiam-sut!” Dia memuji sejujurnya, bukan sembarang memuji untuk menyenangkan hati calon mantu itu.

“Bi Eng, engkau tahu bahwa tingkat kepandaianmu dalam ilmu Kim-siauw Kiam-sut sudah setaraf dengan tingkat ibumu dan aku sendiri belum tentu dapat menundukkanmu kurang dari tiga puluh jurus. Nah, sekarang engkau cobalah hadapi penggabungan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan oleh ibumu dan saudara Sim Hong Bu. Padahal, kalau dia seorang diri saja, aku berani tanggung bahwa dalam tiga puluh jurus belum tentu diapun dapat menundukkanmu. Lihat kehebatan penggabungan kedua ilmu itu.”

Bn Ci Sian mengerti akan maksud hati suaminya. Ia sendiri dahulu, di waktu gadisnya, pernah menghadapi lawan berat dengan cara bergabung dengan Sim Hong Bu dan hasilnya memang hebat. Ilmu mereka menjadi kuat sekali karena kedua ilmu itu mengandung unsur saling membantu. Maka dengan gembira iapun mencabut sulingnya dan berkata kepada tamunya.

“Hong Bu, mari kita perlihatkan kepada calon muridmu yang bandel ini!”

Tentu saja Hong Bu merasa tidak enak hati. Akan tetapi diapun maklum bahwa seorang anak keras hati seperti Bi Eng ini perlu diyakinkan, maka diapun mencabut pedangnya sambil tertawa. “Baik, akupun ingin melihat bekal yang dibawa muridku.”

Bukan main kagetnya hati Bi Eng ketika melihat pedang itu dicabut. Terdengar suara mengaum dan nampak sinar yang demikian berkilau menyeramkan sehingga iapun harus memicingkan matanya. Sungguh sebatang pedang yang luar biasa hebatnya! Kedua orang tua itu kini sudah memasang kuda-kuda dengan gaya masing-masing menghadapi Bi Eng, bukan mengurung dari kanan kiri atau depan belakang, melainkan maju bersama dari depan. Melihat ini, Bi Eng merasa agak lega. Iapun tahu bahwa ibunya memiliki gerakan yang amat cepat, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah itu tentu lihai sekali mengingat dia pernah bertanding dengan ayahnya dan kata ayahnya tingkat mereka seimbang. Kalau mereka itu maju mengepung, ia akan repot juga. Akan tetapi kini mereka maju bersama, biarpun ia tidak mungkin dapat mengharapkan menang, namun setidaknya ia akan dapat membela diri dan akan diperlihatkan kepada mereka bahwa penggabungan kedua ilmu itupun tidak banyak artinya. Ia akan berusaha mempertahankan diri selama tiga puluh jurus agar ayahnya dan keluarga Sim ayah dan anak itu akan menjadi kecelik dan iapun tidak usah belajar ilmu kepada ayah Sim Houw!

Dengan tenang iapun menggerakkan sulingnya, melintang di depan dada, memasang kuda-kuda untuk bertahan sebaik mungkin. Melihat ini, ibunya lalu berseru, “Bi Eng, kami berdua akan menundukkanmu secepat mungkin. Engkau harus siap menjaga diri dan pergunakan segala daya tahan Kim-siauw Kiam-sut dengan sulingmu!”

Hemm, ibunya terlalu memandang rendah kepadanya, pikir Bi Eng. Masih diberi peringatan dan nasihat pula, seolah-olah ia tidak akan mampu bertahan. Ia telah mengenal semua jurus serangan yang akan dilakukan ibunya dan tahu pula bagaimana harus menghindarkan diri dari jurus itu, dan biarpun ia belum mengenal jurus serangan Koai-liong Kiam-sut, namun dengan mengandalkan kehebatan gerakan sulingnya, mustahil ia akan dapat dikalahkan dalam waktu singkat!

“Baik, ibu. Aku sudah siap! Majulah dan keroyok aku!”

Ci Sian menoleh kepada Hong Bu sambil berkata, “Aku menjadi inti dan engkau pelengkap.” Hong Bu tersenyum mengangguk dan membiarkau wanita yang pernah menjatuhkan hatinya itu bergerak lebih dulu.

“Singgg....!” Suling emas di tangan nyonya itu menyambar ke arah kaki puterinya dengan totokan-totokan. Tentu saja Bi Eng mengenal jurus ini dan tahu bahwa cara menghindarkannya adalah meloncat ke atas dan ke belakang. Akan tetapi, pada saat itu, nampak sinar berkelebat dibarengi suara mengaum dan tahu-tahu pedang Koai-liong Po-kiam telah menyambar dari atas dan terus ke arah belakangnya, menutup jalan keluarnya! Bi Eng terkejut dan cepat memutar sulingnya menangkis pedang itu.

“Cringg....! Tukk....!” Dan iapun roboh terguling. Ketika ia menangkis pedang, ternyata perhatiannya ke bawah menjadi lengah dau dengan mudah ibunya telah menotok betisnya sehingga betis itu menjadi kesemutan dan tanpa dapat ditahan lagi iapun terguling.

Dengan muka merah Bi Eng meloncat bangun lagi. “Aku masih belum puas!” teriaknya.

“Sekarang engkau penyerang inti dan aku pelengkap!” kata Ci Sian kepada Hong Bu sambil tersenyum. Hong Bu mengangguk.

“Nona, awas serangan!” Pedangnya berkelebat dan nampaklah gulungan sinar pedang menyambar dengan lengkungan indah, menyambar ke arah leher dan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut. Bi Eng mengelak dan menggerakkan sulingnya menangkis. Pada saat itu, suling di tangan ibunya berkelebat ke arah pinggangnya. Iapun tahu bagaimana harus menghindarkan serangan ini, akan tetapi karena pedang tadi mengancam perutnya, ia tidak dapat menangkis pedang dan suling sekaligus dan terpaksa hanya menangkis pedang sambil meloncat ke belakang menghindarkan suling ibunya. Akan tetapi pedang itu meluncur terus dari atas, membuat ia terpaksa memutar suling ke atas dan saat itu, kaki Hong Bu menyambar, ujung sepatunya menyentuh lutut dan kembali Bi Eug terguling roboh!

Kini Bi Eng yakin akan kehebatan penggabungan dua ilmu itu. Rasanya tidak mungkin ia dapat dirobohkan sedemikian cepatnya oleh seorang di antara mereka. Gerakan dua orang itu begitu tepat pada waktunya, dan kedua senjata itu saling bantu secara tepat pula, menutup jalan keluar dan menyambung serangan dengan serangan lain yang tak terduga-duga. Sebagai seorang yang keras hati namun jujur dan memegang teguh janjinya, Bi Eng lalu menyelipkan suling di pinggang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sim Hong Bu seperti yang dilakukan Sim Houw tadi sambil berkata, “Suhu....!”

Sim Hong Bu tertawa girang. “Ha-ha, anak baik.... anak baik....”

Akan tetapi muridnya yang dipuji sebagai anak baik itu seorang anak yang bandel dan kritis. “Suhu, teecu memang telah dijatuhkan dua kali secara mudah. Akan tetapi, yang maju adalah ibu dan suhu berdua, berarti teecu dikeroyok dua. Kalau yang maju seorang saja, biarpun sudah memiliki kedua ilmu itu, mana mungkin? Seorang dan dua orang tentu berbeda sekali!”

“Anak baik, kalau engkau sudah menguasai kedua ilmu itu dan menggabungnya, gerakanmu akan jauh lebih lihai daripada penggabungan yang dimainkan dua orang. Gerakanmu menjadi otomatis. Karena sejak kecil engkau telah menguasai Kim-siauw Kiam-sut, biarlah ilmu itu akan menjadi penyerang inti, sedangkan Koai-liong Kiam-sut menjadi pelengkapnya, dan untuk itu tangan kirimu akan memegang sebatang pedang pendek atau pisau belati.”

“Bi Eng, kata-kata suhumu itu tepat sekali. Tadipun mereka berdua maju dengan jurus-jurus yang saling melengkapi, bukan merupakan jurus terpisah. Dan kelak engkau akan mainkan Kim-siauw Kiam-sut yang dilengkapi oleh Koai-liong Kiam-sut, sebaliknya Sim Houw akan memainkan Koai-liong Kiam-sut dengan pedang di tangan kanan, dilengkapi oleh Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling di tangan kiri.”

“Bagus sekali! Dan kita sama lihat saja kelak siapa di antara keduanya yang lebih lihai!” kata Sim Hong Bu dengan suara setengah bersorak. “Kurasa tiga tahunpun sudah cukup karena sumber kedua ilmu itu sama sehingga tidak sukar mempelajari gerakan dasar pada kaki.”

“Benar!” kata pula Kam Hong gembira. “Tiga tahun lagi dan kita boleh coba murid kita masing-masing, gabungan siapa yang lebih jitu!”

Diam-diam Bu Ci Sian tersenyum geli. Dua orang pendekar itu begitu gembira dengan murid baru mereka sehingga seperti bersaing, agaknya sudah lupa bahwa murid saingan masing-masing adalah anak sendiri dan juga agaknya sudah lupa akan urusan perjodohan!

Tiga hari kemudian, Bi Eng menggendong buntalan bekalnya meninggalkan rumah orang tuanya untuk mengikuti Sim Hong Bu yang menjadi guru dan calon ayah mertuanya, untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun. Sedangkan Sim Houw tinggal di rumah keluarga Kam. Keberangkatan Bi Eng diantar oleh ayah bundanya dan Bu Ci Sian, biarpun ia sendiri seorang wanita yang tabah dan keras hati, hanya mampu menahan tangis selama Bi Eng masih nampak saja. Setelah bayangan dara itu lenyap, ia tidak dapat membendung tangisnya karena kesedihannya ditinggalkan puteri tunggalnya. Suaminya mendiamkannya saja, lalu merangkul dan menghiburnya.

“Bi Eng hanya pergi sementara dan mempelajari ilmu, sedangkan kita memperoleh penggantinya, murid yang cerdik dan juga calon mantu. Apa yang perlu disedihkan?”

“Bagaimana hati ini tidak akan merasa sedih?” bantah isterinya. “Semenjak lahir sampai sekarang, Eng-ji tidak pernah berpisah dari sampingku, dan sekarang akn harus berpisah darinya untuk selama bertahun-tahun....”

“Jangan terlalu dipikirkan, bukankah semua itu memang sudah kita sengaja? Pula, kita yakin bahwa ia berada di tangan yang baik dan dapat dipercaya sepenuhnya. Kita telah mengenal benar keadaan dan watak Sim Hong Bu, bukan?”

Ci Sian mengangguk dan akhirnya hatinya terhibur juga, apalagi ketika ternyata bahwa Sim Houw adalah seorang murid yang amat baik. Bukan saja pemuda ini memiliki bakat yang tidak kalah dibandingkan dengan Bi Eng, akan tetapi pemuda ini berwatak pendiam, tidak banyak cakap akan tetapi amat rajin bekerja di ladang. Kam Hong dan isterinya merasa suka sekali kepada calon mantu ini dan Kam Hong mengajarkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dengan sepenuh hatinya, memberi sebatang suling emas kepada murid atau calon mantunya ini.

***

Kepercayaan penuh keyakinan yang terkandung dalam hati Kam Hong dan Ci Sian terhadap Sim Hong Bu yang membawa pergi puteri mereka tidaklah sia-sia belaka. Sim Hong Bu adalah seorang pendekar besar yang berhati bersih. Sejak semula diamemandang Bi Eng sebagai calon mantu, jadi seperti anaknya sendiri. Apalagi sekarang dara itu telah mengakuinya sebagai guru, maka sikapnya terhadap dara itupun penuh rasa sayang. Lebih lagi karena bagaimanapun juga, dia merasa kehilangan puteranya yang ditinggalkan di rumah keluarga Kam. Dara itu kini menjadi pengganti anaknya.

Biarpun hati Sim Hong Bu penuh dengan kegembiraan karena pinangannya diterima, bahkan kini mereka saling menukar anak untuk dididik selama tiga tahun, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang amat menggembirakan hatinya, namun diam-diam ada rasa khawatir dalam hatinya. Dia teringat akan isterinya. Cu Pek In, yang pada mulanya merasa agak tidak setuju mendengar suaminya mengajak putera mereka pergi ke timur untuk berkunjung kepada keluarga Kam. Apalagi kalau mendengar bahwa putera mereka telah dijodohkan dengan puteri keluarga Kam, bahkan kini dia pulang membawa calon mantu itu. Hong Bu tahu bahwa di lubuk hati isterinya masih ada perasaan dendam dan tidak suka kepada Kam Hong bersama isterinya yang oleh keluarga Cu dianggap sebagai pencuri ilmu keluarga Cu! Biarpun demikian, Hong Bu yakin akan dapat melunakkan hati isterinya dan memperoleh persetujuan isterinya, karena isterinya amat mencintanya dan taat selalu kepadanya. Yang membuat dia ragu-ragu adalah kedua orang gurunya, yaitu Kim-kong-sian Cu Han Bu ayah Pek In dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu.

Keluarga Cu terdiri dari tiga saudara, yang pertama adalah Kim-kong-sian Cu Han Bu yang kini sudah berusia lima puluh delapan tahun. Ke dua adalah Bu-eng-sian Cu Seng Bu berusia lima puluh tiga tahun dan selamanya tidak menikah. Dua orang kakak beradik ini sejak kalah bertanding melawan Kam Hong lalu pergi bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia lagi (baca kisah Suling Emas dan Naga Siluman). Adapun orang ke tiga dari keluarga Cu itu adalah Ban-kin-sian Cu Kang Bu yang menikah dengan Yu Hwi bekas tunangan Kam Hong. Suami isteri itu kini tinggal pula di Lembah Naga Siluman, tempat tinggal keluarga Cu yang dahulunya disebut Lembah Suling Emas dan dirobah namanya setelah keluarga itu kalah oleh Kam Hong. Demikian sekelumit riwayat keluarga Cu. Riwayat yang lengkap dapat dibaca dalam kisah Suling Emas dan Naga Siluman .

Sim Hong Bu merupakan pewaris tunggal dari ilmu simpanan keluarga Cu, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia pula yang dahulu memanggul tugas untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan ilmu pedangnya itu dan dia sudah pula menantang Kam Hong bertanding. Kedua ilmu yang sebetulnya dari satu sumber itu pernah dipertandingkan dan Hong Bu yang ketika itu memenuhi tugas sebagai murid dan pewaris keluarga Cu, hanya kalah sedikit saja. Akan tetapi, di dalam hati Hong Bu sama sekali tidak memusuhi Kam Hong, apalagi Bu Ci Sian yang merupakan dara pertama yang pernah menjatuhkan hatinya. Dia malah merasa suka dan kagum sekali kepada Kam Hong. Ini pula yang membuat dia ingin mengikat tali perjodohan antara anak mereka, agar suasana persaingan itu dapat dilenyapkan. Maka diapun merasa berbahagia sekali menerima usul Kam Hong untuk menyatukan kedua ilmu yang oleh keluarga Cu dipertentangkan itu dalam diri anak-anak mereka sehingga persaingan atau pertentangan itu lenyap dan menjadi persatuan yang kokoh kuat.

Kekhawatiran hati Sim Hong Bu bahwa usahanya membuat ikatan kekeluargaan antara keluarganya dan keluarga Kam akan mendapat tentangan dari keluarga isterinya, bukan tanpa alasan. Keluarga Cu adalah sebuah keluarga kuno yang tinggi hati, menganggap keluarga mereka tinggi dan mulia. Maka, kekalahan mereka terhadap Kam Hong merupakan pukulan batin hebat bagi mereka. Apalagi kalau diingat bahwa suling emas dan ilmunya di tangan Kam Hong itu berasal dari nenek moyang mereka (baca Kisah Suling Emas dan Naga Siluman). Biarpun Kam Hong menemukan ilmu itu secara kebetulan, bukan mencuri, dan senjata suling emas itupun merupakan warisan nenek moyangnya, akan tetapi karena pusaka dan ilmunya itu memang berasal dari nenek moyang keluarga Cu, maka keluarga Cu tetap menganggap Kam Hong sebagai pencuri! Dan mereka telah berusaha keras untuk menyaingi dan mengalahkan Kam Hong, dengan mengangkat Sim Hong Bu sebagai pewaris tunggal ilmu Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi inipun gagal. Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menderita pukulan batin dan mereka tekun bertapa di guha rahasia di lembah mereka.

Pagi hari itu, tiga orang penghuni Lembah Naga Siluman duduk di serambi depan sambil menikmati udara pagi dan minum teh panas. Mereka adalah Cu Pek In isteri Sim Hong Bu, dan pamannya yang ke tiga, yaitu Cu Kang Bu dan isterinya yang bernama Yu Hwi. Seperti diceritakan dalamKisah Suling Emas dan Naga Siluman , Yu Hwi adalah bekas tunangan Kang Hong, maka tentu saja dalam pertentangan itu, Yu Hwi sepenuhnya berpihak kepada keluarga suaminya!

Cu Pek In sudah berusia tiga puluh empat tahun, wajahnya yang cantik membayangkan kekerasan hatinya, terutama pada mulut yang kecil dan dikatupkan rapat-rapat itu. Pamannya yang termuda, Cu Kang Bu, adalah seorang pria berusia empat puluh enam tahun yang perawakannya kokoh kuat dan tinggi besar, nampak gagah sekali. Cu Kang Bu berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Seribu Kati) dan dari julukannya saja dapat diduga bahwa dia memiliki tenaga yang amat kuat. Di autara tiga saudara Cu, yang termuda ini memiliki hati yang paling terbuka, jujur dan gagah perkasa. Maka, diapun mengagumi Kam Hong dengan sejujurnya dan tidak mendendam atas kekalahannya seperti halnya kedua orang kakaknya yang sampai kini masih bertapa dengan tekunnya. Dia hidup saling mencinta dengan Yu Hwi, isterinya yang usianya sekarang sudah empat puluh tahun. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai keturunan dan karena sejak Sim Houw terlahirselalu tinggal bersama mereka dalam Lembah Naga Siluman itu, maka suami isteri yang tidak mempunyai anak ini juga amat menyayang Sim Houw, cucu keponakan itu. Kini, tiga orang itu merasa kehilangan sekali semenjak Sim Houw pergi merantau bcrsama ayahnya.

“Aahhh....” terdengar Yu Hwi menarik napas panjang. “Betapa sepinya tempat ini semenjak Houw-ji pergi....”

Mendengar ucapan isterinya, Cu Kang Bu melirik keponakannya, akan tetapi yang dilirik hanya menundukkan muka tanpa menanggapi. “Ah, engkau ini!” katanya mencela isterinya sambil tersenyum. “Sebelum Sim Houw lahir, engkau tidak pernah merasa sepi!”

“Tentu saja!” Yu Hwi membantah. “Akan tetapi semenjak lahir, anak itu telah menjadi sebagian daripada hidup kita semua, kalau sekarang ditinggal pergi, tentu akan merasa kehilangan dan kesepian. Pek In, kapan sih suami dan puteramu akan pulang?”

“Dia tidak pernah mengatakan kapan, bibi. Akan tetapi mengingat akan jauhnya tempat yang akan dikunjunginya, kurasa akan memakan waktu berbulan-bulan.”

Yu Hwi menghela napas. “Aku tidak mengerti mengapa suamimu jauh-jauh pergi ke Bukit Nelayan mengunjungi keluarga Kam yang sepantasnya malah harus dijauhinya. Bukankah keluarga Kam itu musuh keluarga kita?”

Cu Pek In diam saja, akan tetapi Cu Kang Bu mengerutkan alisnya mendengar ucapan isterinya yang membakar ini. Akan tetapi, pendekar tinggi besar ini terlalu mencinta isterinya untuk menegur dengan keras, maka diapun tertawa. “Ha-ha, agaknya engkau lupa bahwa istana tua di puncak Bukit Nelayan itu adalah peninggalan nenek moyangmu sendiri yang sudah kauserahkan kepada Kam-taihiap untuk dijadikan tempat tinggal! Dan mengapa Hong Bu tidak mengunjunginya? Kam-taihiap adalah seorang sahabat baik.”

Yu Hwi adalah seorang wanita yang galak, genit dan tentu saja sejak menikah ia sudah menguasai suaminya. Kini ia cemberut memandang suaminya, lalu berkata dengan suara mengandung kejengkelan. “Aihh, sungguh aku tidak mengerti jalan pikiranmu! Ke manakah harga dirimu sebagai angganta penting keluarga Cu? Hemm, kalau sampai kedua kakak kita mendengar kata-katamu tadi, tentu mereka takkan merasa senang.”

Cu Kang Bu tidak marah. Dia tahu bahwa di balik segala kecerewetannya, isterinya amat mencintanya dan selalu akan membela pendiriannya. Dia hanya menarik napas panjang dan berkata. “Sejak dahulu, aku tidak suka menyimpan dendam. Apalagi urusan antara keluarga kita dengan keluarga Kam sebetulnya tidak perlu diributkan lagi. Menurut keadaannya bahkan di antara kita masih ada sangkutan perguruan, jadi, kalau kini Sim Hong Bu mendekatinya, itu malah baik sekali!”

Cu Pek In yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba berkata dan suaranya mengandung penyesalan besar yang ditahan-tahan. “Paman, bukan hanya mendekati, bahkan dia pernah mengatakan bahwa kalau Kam Hong mempunyai seorang anak perempuan, dia ingin menjodohkan Houw-ji dengan keturunan keluarga Kam!”

“Ahhh.... gila itu!” Yu Hwi berseru kaget dan marah.

Akan tetapi Cu Kang Bu teitawa gembira. “Bagus! Itu adalah niat yang bagus sekali! Dengan ikatan perjodohan, antara keluarga Cu dan keluarga Kam tidak ada lagi dendam dan menjadi keluarga. Bagus!”

“Tidaaak, aku tidak mau....!” Tiba-tiba Cu Pek In menjerit, menangis lalu bangkit dari tempat duduknya dan lari memasuki kamarnya. Cu Kang Bu dan isterinya terkejut dan saling pandang. Tak mereka sangka Cu Pek In akan bersikap seperti itu. Memang nyonya muda ini sudah menahan-nahan kemarahan dan penasaran dalam hatinya, akan tetapi ia tidak tega untuk menentang suaminya. Kini, selagi suaminya tidak ada, tekanan batin itu meledak dan iapun menjerit dan menangis.

“Ah, lihat, engkau membuat Pek In marah dan berduka,” Yu Hwi mengomel. “Sudah jelas ia tidak menyetujui suaminya, akan tetapi engkau malah mendukung Hong Bu sehingga menjengkelkan hati Pek In.”

“Akan tetapi, aku memang melihat kebaikan bagi keluarga Cu dengan adanya niat Hong Bu itu....”

“Hemm, engkau sudah pikun agaknya. Siapa bilang ini urusan keluarga Cu? Yang hendak dijodohkan adalah keturunan keluarga Sim dan Kam, apa sangkut pautnya dengan keluarga Cu? Dalam hal ini, kiranya kita tidak perlu mencampurinya.”

Cu Kang Bu termangu-mangu dan baru dia teringat bahwa putera Pek In adalah keturunan Sim, bukan Cu! Diapun menarik napas panjang dan tidak mau membantah lagi, sedangkan Yu Hwi lalu menyusul Pek In untuk menghiburnya.

Dalam keadaan seperti itu, dapat dibayangkan betapa kemunculan Sim Hong Bu yang pulang ke Lembah Naga Siluman membawa Kam Bi Eng mendatangkan bermacam perasaan pada keluarga itu. Cu Kang Bu sendiri menyambutnya dengan ramah dan diam-diam pendekar raksasa ini setuju dengan tindakan yang diambil mantu keponakannya. Yu Hwi menerima tanpa bicara akan tetapi nyonya ini jelas tidak senang hatinya. Yang paling menderita batinnya adalah Pek In. Bernacam perasaan mengaduk hatinya ketika suaminya bercerita di depan keluarga Cu. Ada rasa marah, penasaran, kecewa dan juga berduka. Terutama sekali mendengar bahwa puteranya kini berada di rumah keluarga Kam, menjadi murid!

Kam Bi Eng sendiri bersikap tenang. Di sepanjang perjalanan, gurunya bersikap baik sekali dan ia sudah mulai merasa hormat dan sayang kepada gurunya, juga calon ayah mertuanya. Di sepanjang perjalanan ia sudah mulai menerima petunjuk mengenai teori ilmu Koai-long Kiam-sut dan ternyata petunjuk pendekar itu amat berharga dan pengetahuan pendekar itu amat luas mengenai ilmu silat. Maka, ketika ia bersama gurunya tiba di depan jurang yang lebar dan curam, yang memisahkan Lembah Naga Siluman dengan dunia luar, ia memandang dengan penuh kagum. Sudah beberapa kali Bi Eng diajak pergi ayah ibunya, akan tetapi belum pernah ia pergi merantau sejauh ini. Perjalanan yang memakan waktu berpekan-pekan dan melalui daerah-daerah yang sama sekali asing baginya. Apalagi setelah tiba di daerah Pegunungan Himalaya, ia merasa kagum menyaksikan kebesaran alam yang demikian luas dan hebatnya. Dia berdiri di tepi jurang lebar, lalu melihat gurunya memberi tanda ke seberang dengan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon dan pegunungan, melihat betapa ada tali perlahan-lahan naik dari dalam jurang yang tertutup kabut, ia semakin kagum.

“Mari kita masuk lembah,” kata gurunya yang meloncat ke atas tambang itu, setelah tambang terentang lurus. Hati Bi Eng merasa ngeri. Berjalan di atas tambang sebesar itu bukan merupakan pekerjaan sukar baginya. Akan tetapi, kalau tambang itu melintang di atas jurang yang demikian lebarnya, demikian dalamnya sehingga dasarnya yang tertutup kabut itu tidak nampak, merupakan hal lain lagi. Melintasi jembatan tambang seperti itu membutuhkan ketahahan yang luar biasa. Akan tetapi ia bukan seorang dara penakut dan iapun meloncat di belakang gurunya. Hong Bu tersenyum girang dan merekapun berjalan, setengah berlari, menyeberangi jurang itu di atas tambang yang hanya bergoyang sedikit saja karena keduanya mempergunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sebentar saja mereka telah tiba di seberang, disambut oleh tiga orang penjaga jembatan yang cepat memberi hormat kepada Hong Bu dan Bi Eng.

“Suhu, apakah jalan ke lembah hanya melalui jembatan tambang ini?” tanya Bi Eng. Ia menyebut suhu kepada calon mertuanya, karena untuk menyebut ayah mertua ia merasa malu. Pula, bukankah ia memang sudah menjadi murid sehingga layak menyebut suhu, sedangkan ia masih belum resmi menjadi mantu?

“Benar, tidak ada jalan lain kecuali melalui jembatan tambang karena Lembah Naga Siluman dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam, tak mungkin dilalui manusia.” Sim Hong Bu menerangkan ketika mereka berjalan melalui lorong penuh pohon-pohon besar.

“Sebuah tempat yang hebat, tak mungkin didatangi orang jahat dari luar,” gadis itu memuji.

“Keluarga Cu amat terkenal, Bi Eng. Para datuk sesat tidak ada yang berani main-main di sini, karena selain tempatnya sukar diserbu, juga keluarga Cu termasuk keluarga sakti. Pula, keluarga Cu tidak pernah mencampuri urusan orang luar, maka dapat dikata tidak mempunyai musuh pribadi.”

Kecuali ayah, pikir Bi Eng dan hatinya kecut mengenangkan cerita ibunya betapa ayahnya pernah dimusuhi oleh keluarga Cu yang lihai. Dan kini ia datang sebagai murid. Akan tetapi gurunya hanya mantu keluarga Cu, dan gurunya she Sim, bukan she Cu. Hal ini agak menenangkan hatinya yang mulai merasa tidak enak, seolah-olah di dalam dada gadis ini timbul perasaan bahwa tempat yang angker ini tidak suka didatangi olehnya.

Dan perasaan hatinya itu ternyata tidak menipunya. Ia merasakan penyambutan yang dingin sekali ketika akhirnya ia berhadapan dengan tiga orang penghuni rumah besar di lemhah itu. Ban-kin-sian Cu Kang Bu menyambut Hong Bu dengan gembira, hanya nampak heran dan terkejut ketika Hong Bu memperkenalkan Bi Eng sebagai muridnya. Akan tetapi Yu Hwi dan Cu Pek In tidak dapat menyembunyikan perasaan tak senangnya ketika mendengar bahwa dara remaja itu adalah puteri Kam Hong!

“Apa.... apa artinya ini?” Cu Pek In bertanya kepada suaminya dengan muka pucat. “Di mana anakku....?”

“Mari kita bicara di dalam. Aku membawa kabar yang baik dan menggembirakan sekali,” kata Hong Bu sambil tersenyum, menyembunyikan rasa gelisahnya karena dia tahu bahwa berita yang dibawanya itu belum tentu menggembirakan hati isterinya.

Demikianlah, akhirnya mereka semua berada di ruangan dalam, duduk mengitari meja dan Hong Bu lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan keluarga Kam. Dia menceritakan dengan singkat namun jelas dan mengakhiri dengan kata-kata yang mengandung nada gembira.

“Begitulah. Kami bersepakat untuk saling mendidik anak masing-masing selama tiga tahun dan aku akan memimpin Bi Eng untuk menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut dan sebaliknya, Houw-ji akan digembleng oleh Kam-taihiap. Setelah lewat waktu itu, baru kami akan mematangkan pembicaraan tentang perjodohan antara kedua anak itu.”

Tiba-tiba Cu Pek In bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan muka pucat memandang kepada Hong Bu, lalu terdengar suaranya yang bernada marah, “Suamiku, mengapa engkau bertindak begini lancang?”

Hong Bu mengerutkan alisnya, lalu tersenyum, senyum yang agak masam. “Isteriku, mengapa kau berkata dcmikian? Urusan Houw-ji adalah urusan pribadi kita berdua, karena dia adalah anak kita, dan sebelum barangkat aku sudah memperoleh persetujuanmu untuk mengikat tali kekeluargaau dengan keluarga Kam!”

“Bukan itu maksudku!” bantah isterinya. “Akan tetapi tentang ilmu pusaka keluarga Cu itu! Bagaimana engkau berani lancang hendak mengajarkannya kepada orang lain tanpa lebih dulu mendapat perkenan dari ayah?”Hong Bu yang diserang dengan kata-ksta keras itu, menjadi terkejut. Dia menoleh kepada Cu Kang Bu yang sedikit banyak berhak pula bersuara dalam hal ini, akan tetapi pendekar raksasa itu hanya menunduk. Bibinya bahkan memandang kepadanya dengan sikap marah, jelas sekali betapa wanita itu mendukung pendirian Cu Pek In.

“Ini adalah urusan dan tanggung jawabku, biarlah aku akan menghadap ayah mertua untuk mohon perkenan beliau.” Akhirnya dia berkata dan pertemuan itu dibubarkan dalam keadaan yang amat tidak menyenangkan semua pihak. Akan tetapi, biarpun hatinya sendiri diliputi ketegangan melihat betapa suhunya menghadapi sikap menentang keluarganya, sikap Bi Eng sendiri tetap tenang. Hanya ada perasaan tidak suka kepada ibu dari Sim Houw itu yang memiliki pandang mata demikian dingin kepadanya, bahkan seperti orang membenci.

Menghadap atau menemui Kim-kong-sian Cu Han Bu bukanlah merupakan hal yang mudah. Semenjak dikalahkan oleh Kam Hong lalu mengasingkan diri bertapa, Kim-kong-sian Cu Han Bu dan adiknya, Bu-eng-sian Cu Seng Bu, jarang mau diganggu dan kalau tidak ada hal yang amat penting sekali, mereka tidak mau keluar dari tempat mereka bertapa atau membolehkan orang luar datang menghadap. Dua kakak beradik ini bertapa, bukan hanya untuk memenuhi janjinya terhadap Kam Hong karena kckalahan mereka, akan tetapi juga diam-diam keduanya tekun mempelajari ilmu-ilmu mereka dan memperdalamnya dengan cara menciptakan ilmu-ilmu secara bersama sehingga selama belasan tahun mengasingkan diri itu mereka telah menjadi semakin lihai saja!

Dua hari kemudian barulah Hong Bu diperkenankan untuk menghadap guru atau ayah mertuanya. Karena dia berwatak terbuka dan ingin agar urusan segera beres, dia mengajak Bi Eng menghadap bersama. Dara itupun pergi bersama gurunya dengan sikap tenang dan di dalam hatinya, ingin sekali ia melihat wajah orang-orang yang pernah menjadi musuh ayahnya, dan ingin ia mengetahui bagaimana sikap keluarga Cu itu.

Tempat pertapaan itu sunyi sekali, berada di lereng bukit, di dalam sebuah guha besar ciptaan alam yang disempurnakan oleh tenaga keluarga Cu. Guha itu menerima sinar matahari yang cukup banyak, dibersihkan dan dibagi menjadi tiga ruangan. Dua buah tempat untuk bersamadhi yang terpisah, semacam kamar tidur kecil dan di tengah terdapat sebuah ruangan lebar yang lantainya rata dan tempat ini selain menjadi semacam ruangan duduk, juga menjadi tempat kakak beradik pertapa ini berlatih silat dan menciptakan ilmu baru bersama. Di ruangan inilah Sim Hong Bu diterima oleh ayah mertua dan pamannya.

Dua orang pendekar Cu itu sudah duduk menanti di ruangan tengah yang luas itu. Matahari pagi menyorotkan sinarnya melalui lubang di atas sebelah kiri sehingga ruangan itu terang dan bersih. Cu Han Bu sudah berusia lima puluh enam tahun akan tetapi wajahnya masih nampak segar. Hanya rambutnya yang putih semua itu yang menunjukkan bahwa dia sudah berusia agak lanjut. Pakaiannya bersih sederhana dan longgar seperti pakaian pertapa akan tetapi pinggangnya memakai sabuk emas yang bukan hanya merupakan sabuk biasa, melainkan menjadi senjata andalannya yang ampuh. Dia duduk bersila di atas dipan panjang bertilam kasur bulu, bersanding dengan Cu Seng Bu. Kakek ke dua yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) ini usianya baru lima puluh satu tahun, akan tetapi kelihatan tidak lebih muda dari kakaknya. Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan. Di punggungnya tergantung sebatang pedang tipis. Mereka berdua duduk bersila seperti orang sedang samadhi ketika Sim Hong Bu melangkah memasuki guha itu bersama Bi Eng.

“Suhu, susiok, teecu datang menghadap,” kata Hong Bu sambil berlutut di depan dipan panjang bersama Bi Eng yang diam saja, hanya melirik ke arah dua orang itu.

Hening sejenak. Kedua orang tua itu membuka mata dan beberapa lamanya mereka memandang kepada Bi Eng dengan pandang mata penuh selidik. Melihat betapa dua pasang mata itu mengeluarkan sinar mencorong, Bi Eng merasa tegang dan ia menundukkan mukanya.

“Hong Bu, ada keperluan penting apakah maka engkau berani mengganggu ketenangan kami?” ayah mertua atau gurunya bertanya. Sampai kini, sesuai dengan kehendak para tokoh keluarga Cu, dia menyebut suhu dan susiok kepada mereka. Hal ini menunjukkan kekerasan hati keluarga itu mengenai perguruan mereka. Hong Bu merupakan pewaris ilmu pusaka keluarga mereka, oleh karena itu dipentingkan kenyataan bahwa pendekar itu adalah murid mereka yang berhak mewarisi ilmu keluarga, bukan sekedar mantu!

“Suhu, seperti telah teecu laporkan ketika teecu berpamit kepada suhu, teecu telah mengajak Houw-ji merantau ke timur dan sekarang teecu hendak melaporkan segala peristiwa yang kami alami dalam perjalanan itu.”

“Hong Bu, siapakah anak perempuan yang kauajak masuk ini?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya datar saja akan tetapi pandang matanya mengeras.

“Anak ini bernama Kam Bi Eng....”

“She Kam....?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya mengeras.

“Benar, susiok. Bi Eng adalah puteri Kam Hong-taihiap.”

“Ehh? Tindakan apa yang kauambil ini, Hong Bu?” Cu Seng Bu berseru, matanya terbelalak.

“Biarkan dia menceritakan semua. Bicaralah, Hong Bu, kami siap mendengarkan,” kata Cu Han Bu dengan suara tenang, akan tetapi jelas bahwa diapun menekan perasaan marahnya.

Hong Bu memang sudah siap. Dia tahu bahwa tindakannya itu tentu akan menghadapi tentangan, maka dengan sikap tenang tapi hormat diapun bercerita.

“Teecu bersama Houw-ji pergi ke Puncak Bukit Nelayan dan berkunjung ke tempat kediaman Kam-taihiap. Di sana teecu melihat bahwa Kam-taihiap mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Kam Bi Eng ini dan timbullah niat di dalam hati teecu, yang sebelumnya memang sudah teecu rundingkan dengan isteri teecu, untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam, menjodohkan Houw-ji dengan Bi Eng.” Sim Hong Bu berhenti sebentar untuk melihat reaksi dua orang tua itu. Akan tetapi Cu Seng Bu diam saja sedangkan Cu Han Bu hanya mengeluarkan suara tidak jelas, dan disusul kata-kata tak acuh.

“Hemm, niat yang ganjil. Teruskan ceritamu.”

“Pinangan teecu diterima, kemudian kami bersepakat untuk menukar anak masing-masing, untuk saling dididik ilmusehingga kedua anak itu kelak akan dapat menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, maka Houw-ji teecu tinggalkan di sana sedangkan Bi Eng teecu bawa pulang....”

“Sim Hong Bu....! Apa yang kaulakukan ini? Apakah engkau sudah gila?” Cu Han Bu membentak, kini tidak lagi menahan-nahan kemarahannya yang memang sudah didendamnya sejak kemarin ketika dia mendengar pelaporan Pek In yang datang bercerita sambil menangis.

“Suhu, teecu kira tidak ada sesuatu yang ganjil dalam tindakan teecu itu,” Sim Hong Bu berkata dengan sikap masih tetap tenang.

“Tidak ganjil? Engkau hendak berbesan dengan keluarga Kam dan kaukatakan tidak ganjil? Sejak dahulu keluarga Kam adalah saingan dan musuh keluarga Cu dan engkau malah hendak mengikat tali perjodohan anakmu, mengikat tali kekeluargaan dengan pihak musuh?”

“Suhu, harap Suhu maafkan. Urusan perjodohan putera teecu adalah urusan teecu sendiri dan Houw-ji adalah she Sim, jadi tidak dapat disangkutkan dengan adanya permusuhan keluarga. Pula, sejak dahulu teecu tidak melihat suatu kesalahan pada Kam-taihiap maka teecu tidak dapat menganggapnya sebagai musuh. Harap suhu maafkan.” Cu Han Bu mengepal tinju dan mengerutkan alis. “Baiklah, Sim Houw hanyalah cucu luarku, bukan she Cu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu itu. Akan tetapi, engkau adalah muridku dan engkau pewaris ilmu pusaka keluarga kami. Bagaimana kini engkau berani hendak menurunkan ilmu keluarga kami kepada seorang murid,dan murid itu orang luar, bahkan anak musuh kami?”

“Suhu, kiranya dalam hal menerima murid, tidak dapat dibatasi dengan keluarga saja. Buktinya, suhu menurunkan ilmu pusaka keluarga kepada teecu yang she Sim. Dan andaikata harus diturunkan kepada keluarga sendiri, Bi Eng ini adalah calon anak mantu teecu, berarti iapun anggauta keluarga sendiri. Maka teecu berani mengangkatnya menjadi murid.”

“Brakkk!” Ujung dipan di depan Cu Han Bu pecah berantakan oleh tangan pendekar ini ketika dia menamparnya untak menyatakan kemarahannya. “Sim Hong Bu! Bagaimanapun juga, aku tidak rela kalau ilmu keluarga kami diberikan kepada anak si pencuri Kam Hong!”

Sejak tadi Bi Eng mendengarkan dengan hati merasa tidak senang. Kini, mendengar ayahnya dimaki pencuri, ia bangkit berdiri. “Suhu, bawa aku pergi dari sini! Mereka begini sombong, siapa sih yang kepingin belajar ilmu keluarga Cu? Dibandingkan dengan ilmu keluarga Kam, ilmu keluarga Cu tidak ada artinya!”

Bi Eng mengeluarkan kata-kata itu dengan bernapsu dan dia berdiri sambil bertolak pinggang. Tentu saja Sim Hong Bu terkejut bukan main sampai mukanya menjadi pucat, sedangkan ucapan dan sikap yang merendahkan dan menantang itu membuat Cu Seng Bu tak dapat merahan kemarahannya lagi. Diapun meloncat turun dari atas dipan.

“Lihat kesombongan setan cilik ini! Dan anak seperti ini akan mewarisi ilmu kita? Bocah she Kam, ingin kulihat sampai di mana kehehatan ilmu keluarga Kam!” Berkata demikian Cu Seng Bu meloncat ke depan dan menggunakan tangan kirinya menampar ke arah leher Bi Eng! Orang ini berjuluk Bu-eng-sian atau Dewa Tanpa Bayangan, maka tentu saja dapat diduga bahwa dia adalah seorang ahli gin-kang yang sudah tinggi tingkatnya. Gerakannya demikian cepat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan Bi Eng dan tangannya menyambar seperti kilat cepatnya.

Akan tetapi tidak percuma Bi Eng sejak kecil digembleng ayahnya sendiri sebagai anak tunggal Pendekar Suling Emas itu. Ia memiliki kewaspadaan dan gerakan yang amat lincah. Begitu melihat tangan menyambar, ia sudah mengelak ke samping dan siap untuk membalas. Akan tetapi, belum sempat ia membalas, Cu Seng Bu sudah menyusulkan totokan-totokan ke arah pelipis, pundak dan pinggang secara bertubi dan cepat sekali. Melihat ini, Bi Eng terpaksa melempar tubuhnya ke belakang dan membuat jungkir balik sebanyak tiga kali ke belakang. Gerakannya indah dan gesit seperti burung walet saja.

Cu Seng Bu merasa penasaran bukan main. Empat kali dia menyerang dan empat kali dara remaja itu dapat menghindarkannya dengan mudah! Kalau dara ini tidak dihajar dan berkenalan dengan kelihaian keluarga Cu, tentu kelak akan mentertawakan keluarga Cu, apalagi diingat bahwa dara ini adalah anak Kam Hong! Maka kini iapun menerjang lagi ke depan dengan niat untuk menurunkan tangan yang lebih keras!

Bersambung ke buku 11