Jodoh Rajawali -17 | Kho Ping Hoo



Buku 17

Pangeran Liong Bian Cu bangkit dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di tepi dipan.

“Jangan dekati aku, jangan sentuh aku.... hu-hu-hu.... aku akan membunuh diri kalau kaujamah tubuhku....”

Pangeran itu nampak berduka sekali, “Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk peraaaanku dan menyedihkan hatiku? Aku tidak akan mengganggumu, aku aungguh cinta padamu, dan aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku ingin engkau membalas cintaku, Hwee Li. Lupakah engkau bahwa engkau adalah puteri seorang sekutu mendiang ayahku? Ayahku dan ayahmu adalah sekutu yang baik, kenapa kita tidak dapat malanjutkan persahabatan antara mereka secara lebih erat lagl?”

“Tidak.... hu-hu-hu.... tidak, aku tidak cinta padamu....“

“Hemmm, aku adalah seorang pangeran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau harus menjadi isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!” Suara pangeran itu terdengar keras dan tegas.

“Kau.... kau pengecut sungguh! Mengapa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak mencintamu?” Hwee Li berkata sambil terisak.

“Hemmm, seorang pria berhak memilih jodohnya, Hwee Li. Dan aku akan mempertahankan dirimu dengan taruhan nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga daripada segalanya, daripada nyawaku. Tanpa adanya engkau, hidupku akan hampa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk memperebutkan dirimu dengan siapapun juga di dunia ini!”

“Bagus, Liong Bian Cu! Aku datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang engkau bukan pengecut, mari kaulawan aku!”

Liong Bian Cu terkejut dan cepat mengangkat mukanya. Kiranya di ambang pintu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana, dan pemuda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee! Hwee Li yang masih rebah tertotok, menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya pemuda pujaan hatinya itu. Akan tetapi segera dia teringat kepada Siang In dan mulutnya cemberut, mukanya berubah merah, sinar matanya berapi-api.

Sementara itu, Liong Bian Cu sudah bangkit dan menghampiri Kian Lee yang juga sudah melangkah memasuki ruangan.

“Mau apa engkau ke sini? Hemmm, apakah janji para pendekar sekarang tidak dapat dipercaya lagi? Perang telah selesai, dan kami telah menerima janji untuk diperbolehkan pergi dengan aman....“

“Aku datang menyusulmu bukan karena urusan negara, Pangeran, melainkan karena urusan pribadi. Engkau melarikan dan menculik Hwee Li, oleh karena itu aku menentangmu. Kembalikan dia kepadaku, bebaskan dia, baru aku akan membiarkan engkau pergi dengan aman.”

Pangeran Liong Bian Cu memandang keluar penuh perhatian dan setelah dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memang datang sendirian saja, hatinya merasa lega. Dia masih mampu mengandalkan kepandaiannya dan dia tidak takut melawan pemuda ini.

“Kim Hwee Li adalah tunanganku, calon isteriku, calon isteri Pangeran Nepal. Engkau sungguh tidak tahu malu mencampuri urusan kekeluargaan orang lain! Ayahnya telah menyerahkan dia kepadaku untuk menjadi isteriku. Engkau ini mempunyai hak apakah untuk mencampuri?” bentaknya.

“Hak seorang gagah yang tidak ingin melihat seorang wanita dipaksa dan diperkosa! Aku sudah pasti tidak akan berani mencampuri kalau dia suka menjadi isterimu dengan hati rela. Akan tetapi engkau telah menculik dan melarikannya.”

“Kurang ajar! Ayahnya sendiri sudah meresmikan pertunangan kami, engkau ini orang luar berani mencampuri?”

Kian Lee tersenyum. “Mana mungkin ada orang menotok tunangannya sendiri sehingga tidak berdaya? Biar dia sendiri yang menjawab bahwa dia dengan suka rela ikut bersamamu, baru aku mau pergi dan tidak mengganggu lagi.”

“Habis kau mau apa?”

“Pangeran Liong Bian Cu, kita berdua adalah sama-sama jantan dan suka menjunjung kegagahan. Oleh karena itu, aku tantang engkau untuk memperebutkan nona itu. Kalau aku kalah, baru engkau boleh memaksa dan membawa lari dia. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menghentikan niat busukmu itu dan membebaskan dia.“

“Keparat....!” Liong Bian Cu sudah menjadi marah sekali dan dia telah menggerak-gerakkan kedua tangannya, digosok-gosoknya kedua telapak tangannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga Im-yang Sin-ciang, ilmunya yang amat di andalkan dan memang ampuh sekali itu.

Melihat ini dari tempat dia rebah, Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia mengenal Im-yang Sin-ciang dari pangeran itu, dan tahu betapa dahsyatnya pukulan dengan ilmu itu. Dia amat khawatir akan keselamatan Kian Lee yang agaknya masih belum sadar akan bahaya maut yang mengancam. Akan tetapi karena dia masih teringat dan membayangkan Siang In, perasaan cemburu memenuhi hatinya dan kemarahannya terhadap Kian Lee membuat dia diam saja, hanya menonton dengan, mata terbelalak. Hampir dia berteriak ngeri ketika tiba-tiba Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan nyaring dan menyerang ke arah Kian Lee dengan hantaman tangan kirinya yang sudah diisi penuh tenaga Im-yang Sin-ciang!

“Mampuslah.... haaaiiiittttt!”

Kaki kirinya melangkah ke depan, dengan tubuh miring pangeran itu audah menghantam dengan tangan kirinya yang dibuka, dari telapak tangan kiri itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah dada Suma Kian Lee. Namun, pemuda sakti dari pulau Es ini tentu saja sama sekali tidak merasa gentar menghadapi serangan dahsyat itu. Dia mengenal pukulan sakti yang ampuh, akan tetapi dia sarma sekali tidak mengelak atau mundur, bahkan dia bergerak maju ke depan dan menggerakkan tangan kanan untuk menangkis dari samping ke arah lengan kiri lawan yang menyambar ke arah dadanya, tentu saja sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin.

“Dukkk!” Pertemuan dua tenagga itu membuktikan betapa pangeran itu masih tidak mampu menandingi kekuatan pemuda Pulau Es dan serangannya tadi bukan hanya dapat digagalkan, bahkan tubuhnya menjadi condong ke depan ketika lengannya tertangkis. Namun, Pangeran Nepal yang marah itu sudah menyusulkan serangan bertubi-tubi dengan Ilmu Pukulan Im-yang Sin-ciang kepada lawannya.

Tingkat kepandaian Kian Lee memang lebih tinggi dairipada lawannya, dan tenaga sinkangnya selain lebih murni juga lebih besar, maka tentu saja tidak sukar bagi Kian Lee untuk menghadapi serangan bertubi-tubi itu yang kesemuanya dapat dielakkannya atau ditangkisnya. Akan tetapi, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal, maka tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk dapat dikalahkan dalam waktu singkat oleh Kian Lee. Dia terus menyerang dan mendesak karena dia sudah bertekad untuk menangkan perebutan ini. Dia maklum bahwa menghadapi pemuda ini, tak mungkin baginya untuk melarikan diri sambil membawa Hwee Li. Dia harus lebih dulu merobohkan pemuda ini kalau dia ingin berhasil membawa Hwee Li kembali ke Nepal.

Akan tetapi gerakan Kian Lee tenang dan kuat sekali, setiap serangan lawan yang ditangkisnya tentu membuat lawen terhuyung. Melihat betapa semua serangannya gagal, Liong Bian Cu menjadi makin marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang dan mengucapkan beberapa kata-kata mantera dalam bahasa Nepal, disertai dorongan kedua tangannya. Dua telapak tangannya itu berubah menjadi merah dan putih. Yang kanan merah mengepulkan asap panas dan yang kiri menjadi pucat putih kebiruan mengeluarkan hawa dingin sekali. Inilah puncak dari llmu Im-yang Sin-ciang yang dilakukan untuk menyerang, dibarengi dengan kekuatan ilmu hitam yang dipelajarinya dari ahli-ahli sihir di Nepal seperti Gitananda.

Kian Lee terkejut bukan main karena lengking yang disertai mantera aneh itu membuat jantungnya tergetar dan pandang matanya gelap seolah-olah kepalanya disambar kilat dan dia terhuyung. Padahal pada saat itu lawannya telah melakukan pukulan jurus paling bahaya dari ilmu Im-yang Sin-ciang!

Akan tetapi, Suma Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang sejak kecil sudah menerima gemblengan sempurna dari ayah bundanya dan selama bertahun-tahun ini dia telah mengalami banyak pertempuran yang mematangkan dirinya. Oleh karena itu, menghadapi bahaya ini dia sebagai putera Pendekar Super Sakti segera maklum bahwa lawan mempergunakan kekuasaan mujijat, maka dia cepat mengerahkan tenaga murni dari pusarnya, menahan napas dan membentak dengan suara dahsyat. Seketika lenyaplah pengaruh aneh yang membuatnya pening itu dan pada saat itu dia cepat mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan lawan.

“Desssss....!” Pertemuan dua pasang tangan itu hebat bukan main. Seolah-olah udara di sekitar tempat itu dipenuhi dengan getaran amat kuat karena Suma Kian Lee telah menyambut hantaman Im-yang Sin-ciang itu dengan gabungan kedua tenaga itu pula, yaitu tangan kirinya yang menyambut tangan kanan yang merah dari lawan itu diisi dengan Swat-im Sin-kang yang dingin, sedangkan tangan kiri lawan yang dingin putih kebiruan itu disambutnya dengan Hwi-yang Sin-kang di tangan kirinya yang mengandung hawa panas. Maka sekali ini mereka menggunakan keras lawan keras dan akibatnya tubuh pangeran itu terlempar kebelakang seperti setangkai daun kering tertiup angin dan terbanting roboh tak sadarkan diri lagi!

Kian Lee juga merasa betapa tubuhnya terguncang hebat, namun dia tidak mengalami luka karena tenaganya memang lebih besar. Karena dia ingin melihat akibat dari adu tenaga sakti itu, sekali melompat dia sudah becada di dekat tubuh Liong Bian Cu yang rebah miring.

“Jangan bunuh dia....!”

Kian Lee yang sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan Liong Bian Cu itu terkejut sekali mendengar seruan ini dan dia cepat menghampiri Hwee Li, kemudian menotok dara itu untuk membebaskannya. Begitu terbebas dari totokan, Hwee Li memulihkan jalan darahnya dan segera berlari menghampiri tubuh Liong Bian Cu yang masih menggeletak miring tak bergerak. Dara itu berlutut di dekat tubuh itu dan mengguncang pundaknya sambil berseru memanggil, “Pangeran....! Pangeran....!” Suaranya mengandung isak tertahan, lalu dia menoleh ke arah Kian Lee sambil berkata penuh penyesalan, “Engkau.... engkau telah membunuhnya!”

Kian Lee mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap aneh dara itu. Bukankah Hwee Li diculik dan dilarikan oleh Liong Bian Cu, dan dara itu amat membenci pangeran itu? Bukankah dia telah menyelamatkan Hwee Li dari ancaman pangeran dari Nepal itu?

“Dia orang kuat, dia tidak akan mati, dia hanya terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik,” katanya sederhana sambil berdiri termangu-mangu. Dara itu demikian cantiknya, dan timbul rasa aneh di dalam hatinya yang membuat Kian Lee bengong dan bingung. Mengapa ada rasa tidak enak dan tidak senang, mengapa dia seperti merasa iri hati melihat dara itu mengkhawatirkan keselamatan Liong Bian Cu, berlutut dan seperti hendak menangis? Inikah yang dinamakan cemburu atau iri hati?

“Pangeran....!”

Tubuh itu bergerak dan mencoba untuk bangkit, kemudian, dibantu oleh Hwee Li, Liong Bian Cu dapat duduk dan sejenak dia memandang kepada Suma Kian Lee. “Engkau hebat...., hemmm...., mengapa engkau tidak membunuhku tadi?”

“Aku tidak bermusuhan denganmu.”

Liong Bian Cu kini memandang kepada Hwee Li. “Engkau ternyata seorang gadis yang baik sekali. Biarpun engkau selalu menolakku, bahkan beberapa kali hampir membunuhku, sekarang melihat aku terancam maut, engkau memperlihatkan kebaikanmu. Ah, Hwee Li.... Hwee Li, benar-benarkah engkau tidak dapat membalas cintaku? Baru saja engkau memperlihatkan sayang....“

Tiba-tiba Hwee Li bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia memandang kepada Pangeran Nepal itu, lalu menggeleng kepata. “Tidak, aku tidak cinta padamu, Pangeran. Aku tadi teringat akan segala kebaikanmu, kepadaku....“

Liong Bian Cu menarik napas panjang. “Mudah-mudahan kelak akan tiba saatnya engkau ada sedikit rasa cinta padaku, dan aku akan selalu menantimu di Nepal, Hwee Li. Tidak peduli engkau masih perawan ataukah sudah janda, aku akan selalu membuka tangan untuk menerimamu sebagai isteriku.... nah, selamat tinggal, Hwee Li, hati-hatilah engkau dalam memilih jodoh....” Dia meholeh kepada Kian Lee, mengangguk kepada pemuda itu, lalu memaksa dirinya untuk melangkah keluar dari dalam rumah itu, bergegas pergi memasuki kegelapan malam yang mulai tiba.

Mereka kini berdiri dan saling berhadapan, saling berpandangan. Kemudian kerut di antara kedua alis dara itu mendalam, dan suaranya kaku ketika terdengar dia berkata, “Engkau.... engkau hampir saja membunuhnya!”

Suara yang kaku dan mengandung penyesalan dan teguran itu dirasakan seperti ujung pedang menusuk jantung oleh Kian Lee. Dia pun mengerutkan alisnya, merasa betapa dara itu keterlaluan. Jelas bahwa dia susah payah mengejar Liong Bian Cu untuk menolongnya dan setelah menyelamatkannya, apa yang diperlihatkan oleh dara Ini? Tidak saja Hwee Li telah memperlihatkan sikap khawatir dan menyayang kepada Liong Bian Cu, sebaliknya malah menegurnya dengan suara kaku dan pandang mata penuh penyesalan! Panaslah rasa hati Kian Lee saat itu. Panas dan sakit!

“Ah, kalau aku tahu, tentu aku akan membiarkan dia memukul roboh dan membunuhku, kalau kau.... lebih senang demikian, Nona.”

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya terbuka dan beberapa kali mulut itu bergerak akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Kemudian terdengar sedu-sedan dan Hwee Li meloncat dan lari keluar dari dalam rumah itu sambil menangis.

“Hemmm....?” Kian Lee berdiri bengong dan memandang keluar sampai bayangan dara itu lenyap di antara pohon-pohon hutan yang mulai menghitam oleh kegelapan malam yang mulai tiba.

Kian Lee lalu teringat akan bahaya yang mungkin saja mengancam diri dara itu lagi. Siapa tahu kalau-kalau pangeran dari Nepal itu masih berada di sekitar tempat itu, dan kalau saja pangeran itu dilindungii oleh kelima orang Ngo-ok, akan sukarlah bagi dia untuk menyelamatkannya kembali. Karena itu, Kian Lee lalu meloncat keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi karena hutan itu gelap, dia terpaksa berjalan perlahanlahan dan mencari-cari namun sampai semalam suntuk dia berkeliaran keluar masuk hutan, dia tidak berhasil menemukan Hwee Li. Makin gelisah rasa hati Kian Lee dan sambil berjalan mencari-cari tanpa arah tertentu, dia mengenangkan semua yang terjadi dan menjadi bingung memikirkan rasa hatinya sendiri! Apakah yang telah terjadi dengan dia? Mengapa dia makin dalam mengenangkan Hwee Li, bahkan sukar melupakan dara yang masih seperti kanak-kanak itu? Bahkan rasa nyeri di hatinya akibat asmara gagal dengan Ceng Ceng rasanya telah sembuh sama sekali. Mula-mula dia makin tertarik kepada Hwee Li setelah dara itu untuk kedua kalinya menolongnya, atau membantu Kian Bu mencarikan obat untuknya. Pertolongan pertama kali oleh dara itu adalah ketika dara itu baru berusia dua belas atau tiga belas tahun, dan hal itu tidak terlalu mengesankan. Baru sekarang peristiwa itu teringat olehnya. Kini dara itu telah merupakan seorang dara remaja dan sudah dewasa, walau usianya baru tujuh belas atau delapan belas tahun, dan bukan main cantik jelitanya. Dia mulai tertarik ketika Hwee Li mengunjunginya di Bukit Nelayan, di istana kuno tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Akan tetapi, rasa tertarik ini putus sama sekali ketika dia melihat hubungan antara Hwee Li dan Kian Bu yang demikian erat dan mesra, dan dia melihat kecocokan antara kedua orang itu, sama lincah gembira dan jenaka, dan dia merasa betapa akan tepatnya kalau keduanya dijodohkan. Semenjak itu, dia mengusir perasaan di hatinya terhadap Hwee Li!

Dan sekarang? Dia tidak dapat menahan dorongan hatinya ketika melihat Hwee Li dilarikan Liong Bian Cu, maka dengan nekat dia lalu melakukan pengejaran, tidak peduli bahwa pangeran dari Nepal itu mungkin sekali dikawal oleh banyak orang pandai yang akan sukar ditundukkannya. Dan dia berhasil menolong Hwee Li. Akan tetapi, apa jadinya? Dara itu marah-marah karena dia merobohkan Liong Bian Cu dan kini meninggalkannya sambil menangis, dan dia seperti orang gila mencari terus semalam suntuk tanpa hasil.

Menjelang pagi, cuaca demikian gelapnya karena bintang-bintang di langit tertutup awan tebal, dan hawa udara amat dinginnya menembus pakaian dan menyusup ke tulang-tulang. Akan tetapi, Kian Lee tidak merasakan itu semua. Dia terpaksa menghentikan pencariannya, karena dalam cuaca sedemikian gelapnya, andaikata Hwee Li berada hanya beberapa puluh kaki jauhnya di depannya sekalipun, dia tidak akan dapat melihatnya. Dia duduk di bawah pohon dan melamun dengan hati kesal dan bingung. Makin dikenang, makin khawatirlah dia akan keselamatan Hwee Li, dan perasaan cintanya terhadap dara yang setengah liar itu, yang selanma ini ditekan-tekan dan coba diusirnya setelah dia menduga bahwa dara itu mencinta Kian Bu, muncul dan amat menggodanya! Kian Lee memejamkan matanya dan hatinya terasa perih. Haruskah dia patah hati dalam asmara untuk kedua kalinya? Perasaan cintanya terhadap Ceng Ceng terpaksa harus diusirnya oleh kenyataan bahwa Ceng Ceng adalah keponakannya sendiri. Apakah kini dia harus mengusir rasa cintanya terhadap Hwee Li karena dara itu ternyata mencinta adiknya?

Kian Lee duduk bertopang dagu dan merenung bingung. Mengapa cinta selalu mendatangkan penderitaan batin? Banyak sudah dia mendengar betapa manusia menderita oleh cinta. Ayahnya sendiri, menurut penuturan ibunya, belasan tahun menderita karena harus berpisah dari orang-orang yang dicintanya. Kemudian dia mendengar pula tentang cinta yang membuat sengsara kakaknya, yaitu Puteri Milana yang terpaksa harus berpisah pula dari orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Lalu adiknya, Suma Kian Bu, yang gagal pula dalam cintanya terhadap Puteri Syanti Dewi sehingga adiknya itu pun menderita pula. Dan dia sendiri yang merana akibat gagalnya cinta kasihnya terhadap Ceng Ceng. Sekarang, kembali dia harus menderita karena cintanya terhadap Hwee Li! Haruskah semua manusia yang jatuh cinta menderita?

Betapa banyaknya, bahkan sebagian besar di antara manusia, masih belum mau membuka mata batinnya dan berpegang pada pendapat seperti Kian Lee itu bahwa cinta kasih mendatangkan penderitaan! Atau lebih lengkap lagi, menurut pendapat umum berdasarkan pengalaman, cinta kasih mendatangkan kebahagiaan kalau berhasil dan mendatangkan kesengsaraan kalau gagal!

Adakah itu cinta kasih kalau mengandung keberhasilan dan kegagalan? Di mana terdapat perhitungan hasil atau gagal, untung atau rugi, di situ sudah jelas terdapat si aku yang selalu mengejar kesenangan dan keuntungan, si aku yang selalu menentang kesusahan dan kerugian, si aku yang bersenang dan tertawa kalau untung, si aku yang berduka dan menangis kalau rugi. Jelaslah bahwa yang dapat menyenangkan atau menyusahkan, yang dapat menguntungkan atau merugikan kalau berhasil atau gagal, bukanlah cinta kasih, melainkan pengejaran kesenangan belaka.

Cinta seperti yang dimaksudkan oleh Kian Lee dan oleh kita pada umumnya itu jelas akan mendatangkan suka duka, banyak dukanya daripada sukanya, akan mendatangkan kebosanan dan kekecewaan, mendatangkan konflik dalam kehidupan. Karena itu, maka sesungguhnya bukan cinta kasih, perasaan itu, melainkan pengejaran kesenangan melalui nafsu berahi, melalui pengikatan diri, melalui kebanggaan, melalui penguasaan dan menopoli, perasaan bahwa yang cantik atau tampan itu adalah miliknya sendiri, adalah sumber daripada semua kesenangannya.

Itulah sebabnya mengapa Kian Lee selalu terperosok ke dalam penderitaan batin, ke dalam kesengsaraan setiap kali dia merasa bahwa cintanya gagal! Padahal, kalau memang benar hati ini mencinta seseorang, sungguh-sungguh mencinta, sudah pasti bahwa kita selalu ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia, bukan? Kita tentu selalu ingin melihat si dia berbahagia, baik dia itu menjadi jodoh kita atau pun bukan! Cinta kasih meniadakan si aku yang ingin senang sendiri! Kalau sudah tidak ada lagi aku ingin senang atau aku kecewa menderita, baru mungkin bicara tentang cinta kasih kepada orang lain. Kalau kita membuka mata melihat diri sendiri, dan di dalam diri sendiri jelas sudah tidak ada dendam, kebencian, sakit hati, kemarahan, iri hati, cemburu dan pementingan diri sendiri, barulah mungkin hati ini mencinta. Kalau sudah begitu, maka asmara dan berahi mengalami perubahan besar sekali, bukan merupakan pendorong utama yang mutlak, melainkan merupakan bagian dari kesatuan maha besar yang dinamakan cinta kasih.

Fajar mulai menyingsing dan bumi diselimuti kabut tebal. Mulai nampak kabut memutih bergerak seperti asap di permukaan bumi, makin lama makin meninggi seolah-olah terusir atau terdesak oleh hawa dari bumi bersama dengan datangnya cuaca terang. Pagi bersemi dengan suburnya, dan bumi bermandikan cahaya keemasan. Cahaya matahari pagi mulai berseri di antara daun-daun pohon dan dunia pun bangunlah, kehidupan baru mulai, diawali dengan kokok ayam dan kicau burung yang menyambut kehadiran matahari.

Setelah cuaca cukup terang, Kian Lee lalu memanjat pohon besar dan dari puncak pohon dia memandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya dengan girang dia melihat sesosok tubuh wanita berjalan perlahan ke arah utara dan dia mengenal pakaian hitam yang dipakai Hwee Li. Cepat dia meloncat turun dan berlari mengejar.

“Hwee Li....!” Kian Lee berseru memanggil setelah dia dapat menyusul.

Mendengar suara ini, Hwee Li terkejut, menoleh, lalu lari secepatnya seperti seekor kijang dikejar harimau! Kian Lee tertegun sebentar, kemudian dia pun mengejar dengan cepat.

“Hwee Li....! Tunggu dulu....!” teriaknya sambil mempercepat larinya karena dara itu dapat berlari cepat bukan main. Karena memang ilmu kepandaian Kian Lee jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Hwee Li, maka sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya, melampauinya dan menghadang di tengah jalan. Terpaksa Hwee Li berhenti dan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar penuh kemarahan dia memandang dan bertolak pinggang, lalu membentak kaku, “Mau apa engkau menghadang di depanku?”

Dibentak seperti itu, Kian Lee terkejut dan gugup. “Aku ingin tahu, mengapa kau marah-marah kepadaku, Hwee Li?”

“Pergilah kau kepada perempuan tukang tenung itu, mengapa mengejar-ngejar aku? Pergi! Pergi kau....!” Suara Hwee Li sudah mengandung isak lagi dan terasa olehnya betapa jantungnya seperti mau meledak rasanya, betapa hawa panas memenuhi dadanya.

Kian Lee masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Hwee Li. Dia menyangka bahwa dara itu marah karena dia memukul roboh pangeran dari Nepal itu, dan sangkaan ini mendatangkan perasaan tidak enak di dalam hatinya.

“Hwee Li.... Nona.... harap jangan marah dulu dan jelaskanlah, mengapa engkau melarangku membunuh Pangeran Nepal? Mengapa engkau marah melihat aku hampir membunuhnya dan merobohkannya? Apa sebabnya?”

Sepasang mata yang lebar itu tiba-tiba menunduk dan terdengar bercampur isak, “Dia.... betapapun jahatnya dia.... dia sungguh-sungguh mencintaku.... ahhh....!” Tiba-tiba Hwee Li menjatuhkan diri di bawah pohon itu dan menangis terisak-isak.

Kian Lee menjadi makin bingung melihat dara itu sesunggukan. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul karena dia merasa kasihan sekali. Dia pun lalu duduk di atas batu di sebelah kiri dara itu, akan tetapi Hwee Li lalu membuang muka dan membalikkan tubuh sehingga pemuda itu duduk di belakangnya. Air mata mengalir dari celah-celah jari kedua tangannya dan pundaknya berguncang.

“Dan kau.... kau mencinta dia....?” Dengan lirih Kian Lee bertanya, memancing, hatinya was-was.

Sambil menangis Hwee Li menggoyang-goyang kepala dan pundaknya keras-keras, dan suara di antara isaknya terdengar penuh kemarahan, “Engkau bodoh! Engkau buta....! Dia.... dialah satu-satunya orang di dunia ini yang sungguh sungguh cinta kepadaku.... biarpun dia jahat dan aku tidak suka kepadanya.... hu-hu-huuhhh, akan tetapi.... selain dia.... tidak ada orang lain lagi yang cinta padaku.... hu-hu-huuuhhh....!” Tangisnya makin menjadi-jadi dan Kian Lee menjadi bingung, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan dia terkejut mendengar gadis itu memakinya bodoh dan buta. Akan tetapi dia tidak setuju mendengar pengakuan gadis yang katanya di dunia ini hanya Liong Bian Cu seorang yang mencintanya dan selain pangeran itu tidak ada orang lain yang cinta kepadanya.

“Engkau keliru, Hwee Li...., bukan hanya pangeran itu yang mencintamu, bukan, bahkan cintanya masih harus diragukan. Akan tetapi aku....“

“Kau mencinta perempuan iblis tukang tenung itu! Kau pergilah kepadanya....!”

“Eh? Perempuan iblis? Tukang tenung? Apa sih maksudmu?” Kian Lee benar-benar tidak mengerti dan bertanya dengan alis berkerut.

Hwee Li menurunkan kedua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menyusut air mata yang menetes dari kedua mata dan dari hidungnya. Hidung kecil mancung itu menjadi merah sekali, akan tetapi bagi Kian Lee, hal itu menambah kemanisan Hwee Li.

“Jangan kau pura-pura tidak mengerti! Perempuan iblis tukang tenung yang selalu berdua bersamamu.... ah, kalau jumpa, akan kubunuh dia....!”

Kian Lee teringat akan sikap Hwee Li terhadap Siang In, betapa Hwee Li tanpa sebab memusuhi dan menyerang Siang In. Selama ini dia sudah merasa heran dan bertanya-tanya di dalam hati mengapa Hwee Li begitu membenci Siang In, padahal kenal pun tidak. Kini mengertilah dia dan setelah dia mengerti, dia menjadi semakin heran!

“Ahhh....! Jadi kiranya.... itukah sebabnya mengapa engkau marah-marah dan membenci Siang In? Hwee Li, Teng Siang In bukanlah seorang perempuan iblis tukang tenung....“

“Tentu saja! Bagimu yang sudah tergila-gila, yang sudah berlutut di bawah pengaruh sihirnya, dia adalah bidadari dari kahyangan, ya? Engkau yang sudah jatuh cinta....“ Kembali Hwee Li terisak.

Kian Lee melongo. Cemburu! Itukah gerangan yang menyebabkan Hwee Li marah-marah kepadanya dan kepada Siang In?

“Hwee Li, harap jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku sama sekali tidak jatuh cinta kepada Siang In, dan juga Siang In tidak cinta kepadaku dia bukanlah seorang dara yang jahat....“

Dengan mata masih basah Hwee Li memandang kepada Kian Lee, menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia berkata dengan suara meragu, “.... tidak.... tidak saling mencinta....? Tapi.... tapi kalian nampak begitu rukun dan mesra, melakukan perjalanan berdua....“

“Tentu saja, karena kami saling mengenal dengan baik dan dia adalah seorang gadis yang bijaksana. Kami tidak saling mencinta! Akan tetapi, nanti dulu, Hwee Li.... aku merasa heran sekali mengapa engkau begitu marah dan begitu membenci Siang In hanya karena engkau mengira dia dan aku saling mencinta? Mengapa?” Suara Kian Lee tergetar dan sepasang matanya kini menatap wajah dara itu dengan tajam, penuh selidik.

Sejenak mereka saling berpandangan dan Hwee Li yang biasanya amat berani dan lincah, kini merasa betapa sepasang mata itu menembus jantungnya, seperti hendak menguak dan menjenguk isi hatinya, mengetahui semua rahasia hatinya, maka dia tidak tahan lagi dan menunduk. Air mata mengalir dari sepasang matanya, perlahan-lahan seperti butiran-butiran mutiara terlepas dari untaiannya, menggelinding turun satu-satu melalui sepasang pipinya yang kemerahan.

“Karena.... karena.... aku tidak ingin melihat engkau saling mencinta dengan wanita lain.... tidak semenjak subo.... kau tidak boleh mencinta wanita lain....“

“Hemmm....“

“Kecuali.... kecuali aku....“

“Hwee Li....!”

Dara itu mengangkat mukanya dan mereka saling pandang, mata Hwee Li masih basah dan wajah itu kelihatan demikian cantik jelita bagi Kian Lee sehingga pemuda ini merasa terharu sekali. Dia mendekat dan memegang kedua pundak dara itu, menariknya sehingga mereka berdua berdiri, saling berpandangan.

“Hwee Li...., apakah maksudmu? Apa yang akan kaukatakan? Mengapa engkau berpendirian demikian....?” Karena ingin sekali mendapatkan keyakinan maka Kian Lee mendesak dengan pertanyaan ini.

Sepasang mata yang basah itu bersinar lembut, lenyap sinar lincah kekanak-kanakan seperti biasanya itu, terganti dengan sinar lembut mesra seorang wanita dewasa yang jatuh cinta.

“Kian Lee koko, apakah benar engkau belum mengerti atau belum dapat menduga isi hatiku? Semenjak beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih kecil dan menolong merawat luka di kakimu, semenjak itu aku tidak lagi dapat lupa kepadamu, Koko. Aku merindukanmu, mengharapkan untuk dapat bertemu denganmu akan tetapi engkau lenyap, kembali ke Pulau Es dan aku tidak berani dan tidak dapat menyusulmu ke sana. Akhirnya aku berhasil menjumpaimu di Bukit Nelayan dan membantu untuk mencari obat guna menyembuhkanmu dan yang terakhir aku melihat engkau berdua bersama dara itu! Betapa hancur hatiku, betapa panas perasaanku, dan sekarang engkau masih bertanya apa yang kumaksudkan?”

Kian Lee merasa terharu sekali, terharu dan juga girang, akan tetapi masih ada keraguan di dalam hatinya. “Akan tetapi.... kukira tadinya, melihat engkau bersama adikku, kukira engkau saling mencinta dengan Kian Bu, maka aku sengaja mundur dan....“

“Sungguh bodoh engkau, Lee-koko.... ah, kalau begitu engkau sama bodohnya dengan aku! Kita berdua telah salah menduga, aku mengira bahwa engkau dan Siang In saling mencinta, sebaliknya engkau menduga aku dan Kian Bu saling mencinta pula. Padahal.... padahal Kian Bu tahu betul betapa aku.... aku cinta kepadamu seorang, Koko sampai dia kuharuskan menyebutku enci....“

“Hwee Li....!” Kian Lee merasa demikian girang dan terharu mendengar pengakuan dara ini sehingga dia tak kuasa menahan getaran hatinya, langsung dia meraih dan merangkul dara itu. Hwee Li menarik napas panjang, terisak dan dia menyandarkan kepalanya di dada yang tegap itu, memejamkan kedua matanya.

Dengan jari-jari tangan gemetar Kian Lee mendekap kepala itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam lebat dan panjang itu dengan penuh kasih sayang yang meluap-luap dari perasaan hatinya.

“Hwee Li.... Moi-moi.... sungguh tak kusangka...., sungguh tidak kukira bahwa engkaulah orangnya yang akan dapat mendatangkan sinar terang dalam hidupku yang gelap.... tak kusangka seorang dara seperti engkau sudi melimpahkan cinta kepada diriku. Aku.... aku juga cinta padamu, Moi-moi, bukan semenjak engkau menolongku yang pertama kali dahulu, kuanggap ketika itu bahwa engkau masih seorang dara remaja setengah anak-anak. Akan tetapi ketika aku mendengar dari Kian Bu bahwa engkau yang mencarikan obat untukku, kemudian.... dalam pertemuan kita ketika aku sakit, melihat engkau sudah dewasa dan.... dan demikian cantik jelita, aku.... sudah jatuh hati. Akan tetapi, aku hampir tidak berani mengakui hal itu kepada diri sendiri, aku sudah hampir jera.... hampir kapok untuk jatuh cinta.”

Hwee Li membuka matanya, menengadah dan dari bawah dia menatap wajah pemuda yang sejak dahulu menjadi pujaan hatinya itu. “Lee-ko, aku tahu dan karena engkau pernah gagal dalam asmara, engkau pernah kecewa dalam cintamu terhadap subo.... karena itulah aku makin kasihan kepadamu, ingin menghiburmu, ingin aku menggantikan tempat subo di dalam hatimu. Karena itulah aku tidak ingin wanita lain menguasaimu, kecuali aku sendiri, sebagai pengganti subo....“

“Hwee Li....“ Kian Lee menghela napas panjang. “Engkau tahu akan urusanku dengan.... dengan Ceng Ceng?”

Hwee Li tersenyum dan menggerakkan kepala dengan manja dalam pelukan pemuda itu. “Aku sudah menjadi muridnya, bukan? Dan subo amat cinta kepadaku, tentu saja aku sudah dapat menduganya dan akhirnya subo menceritakan kepadaku....“

“Ahhh.... akan tetapi urusan itu telah lewat, Hwee Li. Dia adalah keponakanku sendiri, dan.... sekarang aku sudah mendapatkan gantinya, yang lebih hebat dan lebih segala-galanya daripada semua wanita di dunia ini, yaitu engkau....“ Kian Lee menunduk dan hendak mencium bibir yang berjebi ketika mendengar pujiannya itu. Akan tetapi Hwee Li mengelak dan melepaskan diri dari rangkulan Kian Lee.

Sambil membereskan rambutnya yang agak kusut, Hwee Li tersenyum, memandang kepada Kian Lee. Sejenak mereka berpandangan, lalu dara itu menundukkan muka, kemalu-maluan! Aneh sekali rasanya melihat seorang dara seperti Hwee Li dapat menunduk malu-malu seperti itu! Kian Lee menguluarkan kedua tangan dan otomatis Hwee Li melangkah maju dan kembali dia sudah dipeluk oleh Kian Lee. Akan tetapi ketika Kian Lee mendekapnya erat dan mendekatkan muka hendak menciumnyra, kembali dia meronta dan melepaskan diri!

“Kenapa, Li-moi? Kenapa.... kau menolak? Bukankah kita saling mencinta....?”

Dara itu menarik napas panjang, lalu dia memegang tangan Kian Lee, digandengnya pemuda itu dan diajaknya duduk di atas batu di bawah pohon. Sambil duduk, dia tetap memegang tangan Kian Lee sehingga jari-jari tangan mereka saling genggam, saling mengeluarkan getaran hangat yang timbul dari jantung mereka yang berdebar penuh gairah kemesraan.

“Lee-koko, harap kaumaafkan aku. Percayalah tidak ada kebahagiaan lebih besar bagiku selain dekat denganmu dan betapa selama ini aku merindukan kasih sayangmu dan.... pelukanmu. Akan tetapi.... semenjak apa yang kualami.... semenjak saat itu.... aku telah bersumpah di dalam hatiku sendiri, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membiarkan diri dicium oleh pria manapun juga kecuali oleh suamiku! Engkau.... ah, betapa aku cinta padamu, Koko, akan tetapi.... karena sumpahku itu, maka aku pun dengan berat hati terpaksa tidak berani melanggarnya sebelum engkau.... menjadi suamiku.... kaumaafkanlah aku, Lee-ko....“

Kian Lee mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia merasa bangga dan girang akan pendirian dara yang dicintanya itu, akan tetapi mendengar bahwa sumpah itu dilakukan semenjak suatu saat tertentu, semenjak apa yang dialami oleh dara itu, dia menjadi ingin tahu.

“Moi-moi, mengapa engkau mengucapkan sumpah itu? Dan semenjak apakah? Apakah yang telah kaualami sehingga engkau mengucapkan sumpah itu?”

“Dahulu, aku selalu merindukanmu, dalam mimpi aku mendambakan pelukanmu yang mesra, merindukan ciumanmu, akan tetapi.... semenjak saat jahanam itu.... pangeran dari Nepal itu.... menciumku, semenjak saat itulah aku bersumpah....“

“Ahhh....!” Wajah Kian Lee sebentar menjadi pucat lalu berubah merah sekali, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Hwee Li terkejut melihat wajah dan sinar mata itu. “Kenapa, Koko....?”

“Dan kau senang?”

“Senang apa maksudmu?”

“Kau senang di.... ciumnya?”

Hwee Li cepat memegang tangan pemuda itu. “Eh, kau ini kenapa sih, Koko? Bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa aku senang diciumnya? Aku benci bukan main, aku muak dan jijik, akan tetapi aku tidak berdaya, aku tertawan dan tidak mampu bergerak.”

“Hemmm, dan selain diciumnya, kau diapakannya lagi?” Pandang mata pemuda itu penuh selidik, matanya membayangkan kemarahan besar yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu.

“Diapakan? Aihhhhh.... kaumaksudkan apakah dia memperkosaku? Tidak, Koko. Dia itu sungguh cinta kepadaku, maka dia tidak mau memperkosa, dia menghendaki aku menyerahkan diri secara suka rela. Akan tetapi aku benci sekali karena ciumannya dan karena itu aku bersumpah tidak akan mau dicium siapapun selain suamiku.”

“Kalau begitu, aku akan mencarinya dan membunuhnya, karena dia telah menghinamu!” Kian Lee mengepal tinjunya, makin panas hatinya membayangkan betapa bibir pangeran itu mengecup bibir kekasihnya ini.

“Baik sekali, dan aku pun akan membagi beberapa kali pukulan sebelum kau membunuhnya!” Hwee Li berkata penuh semangat.

Kian Lee tercengang dan kini dia memandang dengan penuh keheranan. “Eh, bagaimana pula ini? Bukankah kemarin engkau mencegah atau melarangku ketika kau mengira aku hendak membunuhnya? Dan sekarang engkau malah hendak membantuku membunuhnya!”

Hwee Li menggenggam jari-jari tangan Kian Lee dan tersenyum. “Tentu saja, kemarin aku masih mengira bahwa engkau tidak mencintaku, melainkan mencinta gadis lain.”

“Kalau begitu?”

“Aku marah kepadamu, dan karena kusangka dia satu-satunya pria yang mencintaku dengan sepenuh hatinya, maka aku tidak suka melihat engkau membunuhnya.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang, engkau mencintaku, Lee-koko, dan persetan dengan segala pangeran dari Nepal, dan kalau perbuatannya terhadap diriku memarahkan hatimu, dia harus mampus. Dan memang dulu pun sudah beberapa kali dia hampir mati di tanganku.” Dara itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama dia ditahan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu, betapa dia telah mempergunakan berbagai akal untuk membunuh pangeran itu dan nyaris dia berhasil.

Kian Lee mendengarkan dengan penuh perhatian, penuh kagum dan kini dia pun dapat mengerti betapa besar rasa cinta kasih di dalam hati pangeran itu terhadap Hwee Li. Timbullah rasa kasihan di dalam hatinya terhadap pria itu karena dia sudah merasakan betapa sengsaranya derita batin ditanggung seorang pria yang tidak dibalas cintanya.

“Hwee Li, setelah kita sekarang bertemu di sini, engkau hendak pergi ke manakah?”

“Dan engkau sendiri hendak ke mana, Koko?” Hwee Li balas bertanya.

Kian Lee memejamkan matanya sebentar, pikirannya bekerja keras. Terdapat hal-hal yang meruwetkan pikirannya sehubungan dengan kenyataan bahwa dia dan Hwee Li saling mencinta. Dia harus mengakui bahwa dia memang benar mencinta dara ini, akan tetapi dia pun melihat pula kenyataan betapa di dalam cinta mereka berdua itu terdapat banyak hal yang menghalang. Pertama, dia melihat kenyataan betapa watak dara ini liar, dan ganas sekali di samping kelincahan dan kejenakaannya. Hal ini merupakan kewajibannya kelak untuk membimbingnya agar dara itu dapat menghentikan sifat liar yang dia tahu tentu timbul karena dara ini adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo. Dan dia pun melihat mengapa dia tertarik sekali kepada Hwee Li. Tidak lain karena dara ini memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengan watak Ceng Ceng di waktu masih gadis dahulu. Ceng Ceng juga memiliki watak yang liar dan ganas semenjak menjadi murid Ban-tok Mo-li. Akan tetapi, persoalan pertama ini tidak begitu memusingkannya karena dia yakin bahwa dengan cinta kasihnya, dia akan mampu mengubah watak ganas itu. Hal yang ke dua adalah perbedaan yang amat menyolok antara orang tuanya dan orang tua dara ini. Dia merasa sangsi sekali apakah ayahnya dan ayah Hwee Li akan menyetujui kalau mereka berdua saling berjodoh! Dia tahu akan kekerasan hati ayahnya terhadap kejahatan, dan ayah dara yang dicintanya ini adalah seorang pentolan atau datuk dari kaum sesat!

“Bagaimana, Lee-koko? Engkau belum menjawab pertanyaanku!” Tiba-tiba Hwee Li merangkul pundaknya dengan sikap manja dan ini menyentakkan Kian Lee kembali kepada kenyataan. Dia memandang wajah itu, merasa betapa lembut, halus dan hangat tangan dara itu merangkulnya, merasa getaran yang tersalur melalui jari-jari tangan itu dan melalui sinar mata bening itu dan dia sudah mengambil keputusan pada saat itu juga untuk menghadapi segala macam kesukaran apa pun untuk membela cinta kasih antara mereka. Sekali ini dia tidak mau gagal lagi! Apa pun yang terjadi, yang merupakan penghalang tali perjodohan antara dia dan Hwee Li, akan ditantangnya. Dia sudah merasakan betapa pahit dan nyerinya gagal dalam ikatan cinta, maka sekali ini dia tidak mau gagal lagi.

“Hwee Li, aku akan pergi ke bekas benteng pemberontak untuk menemui Kian Bu, kemudian aku akan mengajaknya pulang ke Pulau Es.”

“Aku ikut denganmu, Koko!”

Melihat sikap dara itu yang penuh semangat, Kian Lee merasa girang sekali. Hidup di samping dara ini tentu akan penuh kegembiraan penuh semangat dan seolah-olah Hwee Li merupakan cahaya yang setiap saat menyinari kehidupannya. Dia merangkul pinggang yang ramping itu, menarik tubuh Hwee Li sehingga merapat ke tubuhnya dan dengan mesra dia mencium dahi Hwee Li. Tadinya dara itu terkejut, akan tetapi melihat betapa kekasihnya hanya mencium dahinya, dia terengah dan memeluk dengan erat.

“Baik, Moi-moi, memang aku ingin memperkenalkan engkau kepada.... ibuku.” Dia tidak berani menyebut ayahnya karena diam-diam dia merasa ngeri membayangkan ayahnya menerima kedatangannya dengan calon isterinya yang ternyata adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo!

Hwee Li tersenyum manis. “Aku girang sekali, Koko. Aku memang ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan ibumu. Aku sudah mendengar dari adik Kian Bu bahwa ibumu di waktu masih muda menjadi ketua Pulau Neraka.”

“Benar, Li-moi.”

“Ah, betapa hebat ibumu! Dan aku pun sudah banyak mendengar tentang ayahmu yang sakti itu. Aku akan merasa bangga dan gembira sekali dapat menghadap ayah bundamu, Koko. Mari kita cepat berangkat mencari adik Kian Bu!”

Mereka pun pergi meninggalkan hutan di pegunungan itu dan diam-diam Kian Lee merasa geli juga melihat kenyataan dan liku-liku kehidupan yang serba aneh. Dara yang dicintanya ini mengangkat diri menjadi kakak dan menyebut adik kepada Kian Bu, padahal sudah tentu saja Kian Bu jauh lebih tua daripada Hwee Li. Dan yang lebih ruwet lagi, kekasihnya ini adalah murid dari Ceng Ceng, wanita yang pernah dicintainya, bahkan cinta pertamanya, dan lebih dari itu, keponakannya! Yang lebih hebat lagi, dia adalah putera majikan Pulau Es, sedangkan Hwee Li adalah puteri ketua Pulau Neraka, padahal, menurut sejarahnya, terdapat permusuhan antara kedua pulau itu. Akan tetapi, ada hal yang membesarkan hatinya, yaitu keadaan ibunya. Ibunya juga pernah menjadi ketua Pulau Neraka, oleh karena itu, sudah pantaslah kalau dia berjodoh dengan gadis Pulau Neraka ini!

Sambil bergandeng tangan dan mendengarkan Hwee Li bercerita dengan sifatnya yang gembira, Kian Lee tersenyum penuh harapan, penuh kebahagiaan. Kelincahan dara ini hampir sama dengan Siang In, akan tetapi ada sesuatu pada diri Hwee Li yang amat menarik hatinya, yang sukar dikatakan apa daya tarik keistimewaan yang tidak ada pada wanita lain dan hal seperti ini selalu dirasakan oleh orang-orang yang sedang jatuh cinta!

Cinta asmara, betapa penuh rahasia betapa kuat penuh kuasa, mencengkeram seluruh raga dan jiwa menerbangkan manusia ke sorga menghempaskan manusia ke neraka!

Cinta asmara, terkadang suci dan mulia penuh kelembutan indah dan mesra mendatangkan suka cita terkadang kotor bernoda penuh cemburu benci dan hina mendatangkan duka nestapa!

Penggambaran tentang cinta seperti itu semenjak ribuan tahun yang lalu telah menjadi sasaran penulisan sajak para seniman. Cinta dipuja-puja kalau sedang mendatangkan nikmat hidup karena berhasil, sebaliknya cinta dikutuk kalau sedang mendatangkan derita hidup karena gagal. Cinta dianggap mendatangkan kebahagiaan dan juga dianggap mendatangkan kesengsaraan.

Penggambaran seperti itu jelas didasari oleh penilaian untung rugi, enak atau tidak enak, pendeknya didasari oleh pendapat demi kesenangan diri sendiri, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin yang sesungguhnya tak dapat dipisahkan. Kalau jasmani dan rohani kita merasa nikmat oleh cinta, maka kita memuja-muja cinta sebagai jembatan yang membawa kita ke sorga. Sebaliknya kalau jasmani dan terutama rohani kita merasa menderita karena kecewa oleh kegagalan cinta, maka kita mengutuknya sebagai jalan yang membawa kita ke neraka.

Akan tetapi, kalau mendatangkan penderitaan batin, adakah itu cinta kasih? Yang mendatangkan penderitaan batin bukanlah cinta kasih, melainkan pikiran yang selalu berpusat kepada kepentingan diri sendiri. Pikiran yang berupa si aku yang mengejar kesenangan diri sendiri inilah yang menciptakan segala suka dan duka, di dalam apa yang dinamakan cinta sekalipun! Baik cinta, maupun hal-hal seperti hujan, panasnya matahari, dan sebagainya, bisa saja dianggap sebagai berkah atau pun malapetaka oleh si aku yang selalu mengejar dan mencari kesenangan.

Kita, sebagai akibat dari si aku masing-masing yang mengejar kesenangan, telah merumuskan cinta kasih, sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari si aku dan membagi-bagi cinta kasih sesuai dengan “tempatnya” yang semua sarat dengan kepentingan kita masing-masing. Maka muncullah istilah cinta terhadap Tuhan, cinta terhadap negara, cinta terhadap orang tua, cinta terhadap isteri, cinta terhadap pacar, cinta terhadap anak, dan sebagainya lagi, termasuk cinta terhadap sahabat. Cinta kasih dipecah-pecah dan dibagi-bagi. Akan tetapi, selama cinta kasih itu menjadi milikKu atau milikMu atau milikNya, maka yang dinamakan cinta kasih itu bukan lain hanyalah nafsu mencapai kesenangan belaka. Cinta seperti itu tidak dapat dihindarkan lagi pasti dikuasai oleh untung rugi bagi si aku dan dalam keadaan seperti itu, cinta sama artinya dengan yang menyenangkan aku. Itulah sebabnya mengapa orang tua yang tadinya mengaku cinta kepada anaknya berubah membenci anak itu karena dikecewakan hatinya oleh si anak yang tidak menurut kepadanya dan sebagainya, pokoknya si anak tidak menyenangkan lagi hatinya! Demikian pula cinta seperti itu terhadap isteri, terhadap sahabat, terhadap partai, terhadap apa saja. Selama masih mendatangkan kesenangan atau yang dianggap menyenangkan lahir maupun batin, maka cinta semacam itu masih subur. Namun, begitu yang dicinta itu tidak lagi mendatangkan kesenangan, bahkan sebaliknya mendatangkan kekecewaan, lenyaplah perasaan cinta itu dan mungkin saja terganti oleh perasaan benci. Ini pula yang menjadi sebab mengapa manusia selalu ingat kepada Tuhan sewaktu berada dalam duka nestapa, sewaktu berada dalam ketakutan, dalam kesengsaraan. Harapan untuk memperoleh hiburan, memperoleh pertolongan, yang merupakan jalan ke arah kesenangan, inilah yang membuat kita berpaling kepada Tuhan. Dan kita akan melupakan Tuhan apabila kebutuhan akan hiburan, akan pertolongan, akan janji-janji kesenangan itu tidak ada. Dalam keadaan senang, kita tidak ingat kepada Tuhan, sebaliknya dalam keadaan susah di waktu kita membutuhkan hiburan, kita teringat kepada Tuhan dan kita menganggap bahwa kita mencinta Tuhan.

Akan tetapi, benarkah yang demikian itu, kesemuanya itu, dapat dinamakan CINTA KASIH? Bukankah semua itu hanya merupakan jembatan dan sarana untuk memperoleh kesenangan belaka? Sehingga dengan demikian, semua itu adalah palsu belaka?

Tentu saja kita sebagai manusia hidup sudah sewajarnya kalau menikmati kesenangan dan kita memang berhak menikmati kesenangan dalam kehidupan. Akan tetapi, mengejar-ngejar kesenangan jelas menuntun kita kepada kemunafikan dan kepalsuan. Uang merupakan satu di antara alat untuk menikmati kesenangan lahiriah dalam kehidupan, hal itu tak dapat disangkal oleh siapa pun juga. Akan tetapi kita dapat melihat jelas pula betapa PENGEJARAN terhadap uang itulah yang menimbulkan adanya pencurian, perampokan, penipuan, penggelapan, korupsi, dan segala tindakan lain yang merugikan orang lain. Demikian pula dengan segala macam bentuk kesenangan. Penulis tidak menganjurkan agar kita menolak atau menjauhi kesenangan, hidup sebagai pertapa di tengah hutan, sama sekali tidak. Melainkan mengajak kepada kita semua untuk membuka mata dan melihat yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran kita sendiri. Melihat kenyataan yang terjadi di dalam diri kita sendiri, di dalam dunia. Setelah melihat kenyataan tentang cinta kasih yang dibagi-bagi dan yang sesungguhnya bukanlah cinta kasih itu, timbul pertanyaan Apakah adanya cinta kasih?

Betapa mungkin menguraikan cinta kasih! Betapa mungkin menggambarkan Tuhan! Betapa mungkin menerangkan kebenaran! Sudah jelas bahwa di mana ada pikiran atau si aku yang berkuasa, yang mencengkeram cinta kasih sebagai miliknya, maka tidak akan ada cinta kasih. Oleh karena itu, selama masih ada si aku yang mengejar kesenangan, si aku yang ingin menjadi orang baik, si aku yang ingin benar, si aku yang ingin memperoleh yang baik-baik dan yang enak-enak saja, maka tidak mungkin bicara tentang cinta kasih!

Betapa kecewa hati Kian Lee dan Hwee Li ketika mereka tiba di bekas benteng pangeran dari Nepal yang kini telah hancur dan bekas terbakar itu. Mereka melihat benteng hancur yang sunyi, dijaga oleh puluhan orang perajurit yang ditinggalkan oleh Puteri Milana untuk menjaga tempat itu. Dua orang muda ini lalu mencari keterangan dari para perajurit tentang Kian Bu yang mereka cari-cari. Para perajurit hanya mengatakan bahwa semua pendekar telah pergi semua dan mereka tidak tahu ke mana perginya Pendekar Siluman Kecil, tidak tahu pula apakah pendekar berambut putih itu ikut bersama Panglima Puteri Milana kembali ke kota raja ataukah tidak.

Akan tetapi ada seorang perajurit yang melihat bahwa pendekar itu pergi ke arah timur. Mendengar ini, giranglah hati Kian Lee dan Hwee Li. Mereka lalu cepat pergi ke timur meninggalkan benteng rusak itu untuk mencari Kian Bu. sampai berhari-hari mereka mengejar dan mencari, akan tetapi belum juga menemukan jejak Kian Bu. Tidak ada seorang pun di sepanjang jalan yang mereka lalui tahu tentang pendekar berambut putih itu sehingga hati kedua orang muda ini menjadi makin bingung.

Kurang lebih sepekan kemudian, mereka mendengar dari seorang petani bahwa dia melihat orang-orang yang lari seperti terbang memasuki hutan. Mendengar keterangan yang tidak jelas ini, Kian Lee dan Hwee Li cepat mengejar ke dalam hutan. Akan tetapi sampai malam tiba, mereka tidak bertemu dengan siapapun dan akhirnya mereka terpaksa bermalam di dalam kuil tua karena cuaca sudah terlalu gelap untuk berkeliaran di dalam hutan itu. Karena mereka berdua belum tahu siapa adanya orang-orang yang oleh si petani dikabarkan seperti orang-orang yang terbang memasuki hutan, kawan ataukah lawan, maka Kian Lee dan Hwee Li yang bersikap hati-hati tidak membuat penerangan di dalam kuil. Hwee Li membersihkan lantai dan mereka berdua duduk di dalam ruangan kuil tua melepaskan lelah sambil bercakap-cakap. Sebelum gelap tadi, mereka sudah berhenti di dekat sumber air di hutan itu untuk makan dan minum, maka kini mereka tinggal beristirahat saja.

Malam itu tidak terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li sudah terbangun oleh suara ayam hutan berkokok dan berkeruyuk. Dia menoleh ke kiri dan tidak melihat Kian Lee. Tentu pemuda itu telah bangun lebih dulu dan pergi ke sumber air yang berada agak jauh di belakang kuil, pikirnya. Dia masih merasa malas untuk bangun, hari masih terlampau pagi dan hawa udara demikian sejuknya sehingga kembali Hwee Li melingkar dan berselimut jubah Kian Lee yang oleh pemuda itu semalam diselimutkan kepadanya tanpa dia ketahui.

Tiba-tiba dara ini meloncat dan seketika dia menjadi sadar betul seperti biasanya seorang ahli silat kalau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Seluruh urat syarafnya menegang dan cepat dia menyelinap di balik dinding, mengintai ke luar dari mana dia mendengar suara orang memasuki kuil itu, suara langkah kaki yang ragu-ragu dan hati-hati. Dan dia melihat seorang wanita memasuki kuil itu, seorang wanita muda yang memegang sebatang pedang. Wanita itu cantik dan pakaiannya berwarna hijau. Kim Cui Yan, wanita baju hijau sumoi dari Liong Tek Hwi saudara misan Pangeran Nepal! Tentu saja Hwee Li segera mengenal wanita ini, wanita cantik yang masih terhitung kakak tirinya itu! Akan tetapi karena enci tirinya ini pernah membantu Pangeran Nepal, atau setidaknya termasuk kelompok lawan, maka Hwee Li diam saja dan mengintai penuh perhatian. Dia melihat betapa Kim Cui Yan berdiri sambil mundur-mundur dan memandang ke arah pintu kuil. Di luar kuil masih gelap dan amat sunyi. Cui Yan nampak gelisah sekali, wajahnya tidak begitu nampak jelas di keremangan cuaca, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia sedang dilanda ketakutan dan pedang telanjang di tangannya itu dilintangkan depan dada, siap untuk digerakkan menyerang lawan.

Makin teranglah keadaan di dalam kuil rusak itu ketika sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan. Hwee Li melihat enci tirinya itu masih berdiri setelah mundur-mundur sampai punggungnya menempel dinding retak-retak. Kini dia dapat melihat wajah yang agak pucat itu, wajah yang jelas memperlihatkan rasa takut dan juga lelah. Agaknya semalam itu encinya tidak tidur, dan berada dalam ketakutan, mungkin dikejar-kejar musuh. Hati Hwee Li menjadi panas. Betapapun juga, wanita ini adalah enci tirinya, seayah dengan dia, maka sudah sepatutnya kalau dia bela. Dia akan menanti dan melihat sampai musuh yang agaknya ditakuti encinya itu muncul, dan kalau perlu, dia akan membantu enci tirinya. Hwee Li bersiap-siap dan menduga-duga siapa adanya musuh yang begitu ditakuti encinya, padahal dia tahu bahwa Kim Cui Yan yang berjuluk Si Walet Hijau ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan mudah dikalahkan orang begitu saja.

Tak lama kemudian, suasana yang penuh ketegangan yang mencekam hati itu dipecahkan oleh suara wanita yang nyaring, “Perempuan kejam, hendak lari ke manakah engkau?”

Hwee Li terkejut bukan main mendengar suara yang amat dikenalnya itu dan begitu wanita itu muncul di ambang pintu, Hwee Li memandang terbelalak dari tempat persembunyiannya. Wanita itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Ceng Ceng atau isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Wajah nyonya muda ini kelihatan bengis dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memasuki ruangan kuil itu dengan tenang, namun di setiap langkahnya terkandung ancaman maut yang membuat Hwee Li menggigil. Dia melihat betapa Cui Yan juga terkejut dan muka enci tirinya itu menjadi makin pucat, akan tetapi tangan yang memegang pedang itu tidak gemetar.

“Kau.... kau terlalu mendesakku!” kata Cui Yan dan kini dia melangkah maju dengan pedang siap di tangan.

“Perempuan keparat, ketika engkau menculik dan melarikan puteraku, apakah perbuatanmu itu tidak terlalu kejam? Engkau membuat duniaku hampir kiamat rasanya, dan sekarang engkau bilang aku mendesakmu?” Nyonya muda itu berkata, suaranya mengandung penuh kebencian.

Karena sudah tersudut, agaknya Kim Cu Yan menjadi berani dan nekat. Dia menjawab dan suaranya terdengar penuh penyesalan, “Hemmm, seluruh keluarga ayahku tewas karena ayah mertuamu, kalau aku melarikan puteramu dan di sepanjang jalan aku merawatnya, menjaganya dan sama sekali tidak pernah menyiksanya, bukankah aku masih jauh lebih baik daripada ayah mertuamu?”

Sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar berkilat. “Ayahmu adalah pemberontak, sudah selayaknya dihukum!”

“Ayahku boleh jadi pemberontak, akan tetapi apakah ibuku, keluarga ayah, juga berdosa?” Cui Yan balas menghardik.

Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berhati keras seperti baja. Biarpun dia dapat mengerti akan rasa penasaran di hati dara itu karena seluruh keluarganya tewas, akan tetapi tentu saja dia membela fihaknya sendiri. “Tidak perlu banyak cerewet, engkau memegang pedang. Nah, kita sudah berhadapan, mari membuat perhitungan. Engkau boleh melepaskan dendam kematian keluarga ayahmu, dan aku akan membalasmu dan menghukummu karena engkau pernah menculik puteraku. Atau barangkali engkau takut, pengecut seperti mendiang ayahmu?”

“Perempuan sombong!” Kim Cui Yan menjerit dan pedangnya menyambar. Ceng Ceng cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung tenaga sakti yang luar biasa itu. Hwee Li menonton dari balik pintu tembusan itu dengan mata terbelalak dan bingung. Tadi dia sudah mengambil keputusan untuk membela dan membantu enci tirinya berhadapan dengan musuh, akan tetapi setelah melihat bahwa musuh encinya itu bukan lain adalah gurunya sendiri, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Maka dia hanya bengong dan melihat ke arah pertandingan yang berjalan amat seru itu dengan bingung, mengepal tinju dengan hati amat gelisah dan khawatir.

Kim Cui Yan adalah murid terkasih dari nenek Kim-mou Nio-nio, datuk barat di luar tembok besar yang amat sakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Apalagi dia kini memegang sebatang pedang dan mainkan Ilmu Pedang Swat-lian Kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang berhawa dingin, maka dia merupakan seorang lawan yang lihai dan berbahaya. Akan tetapi, kini dia berhadapan dengan Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nyonya muda ini semenjak minum sari darah anak naga (baca Kisah Sepasang Rajawali) telah memiliki tenaga sinkang yang luar biasa dahsyatnya, ditambah lagi memperoleh bimbingan suaminya dalam ilmu silat tiinggi, maka dia merupakan seorang tokoh wanita yang jarang dapat ditemukan tandingannya di waktu itu.

Pertandingan itu berjalan cepat dan juga seru, karena Kim Cui Yan yang maklum akan kehebatan lawan itu berkelahi mati-matian. Namun, akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawannya ketika dengan tenaganya yang dahsyat, Ceng Ceng berhasil memukul pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dan terampas oleh lawan. Di lain saat, Ceng Ceng sudah menodongkan ujung pedang rampasan itu ke leher lawan sampai menempel di kulit tenggorokan Cui Yan yang tak berani bergerak lagi karena bergerak berarti lehernya tertembus ujung pedangnya sendiri! Cui Yan hanya melangkah mundur, namun ujung pedang itu tidak pernah meninggalkan kulit tenggorokannya sedikit pun, terus menempel ketika Ceng Ceng melangkah maju pula mengikutinya sampai akhirnya Cui Yan tak mampu mundur lagi karena punggungnya telah menumbuk bekas perapian di ruangan kuil tua itu.

“Bunuhlah, siapa takut mati?” teriak Cui Yan sambil memandang dengan mata terbelalak.

“Perempuan keji, memang aku akan membunuhmu....“

“Tunggu! Jangan bunuh dia, Subo....!” Hwee Li menjerit dan meloncat keluar dari tempat persembunyiannya.

Ceng Ceng menahan pedangnya dan memandang kepada muridnya itu dengan kaget dan heran. Tanpa menurunkan pedangnya yang menodong leher Cui Yan, dia membentak, “Apa maksudmu, Hwee Li? Mengapa engkau mencegah aku membunuh penculik puteraku ini?”

“Subo, jangan bunuh dia.... dia adalah enciku sendiri....“

Ceng Ceng merasa terkejut bukan main mendengar ini sehingga otomatis pedang itu diturunkannya dari leher Cui Yan yang juga merasa heran mendengar itu dan memandang kepada Hwee Li dengan mata penuh keheranan.

“Encimu? Jadi dia ini juga puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?” tanya Ceng Ceng dengan alis berkerut.

“Bukan, Subo. Akan tetapi dia adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin....”

“Dan engkau puteri Hek-tiauw Lo-mo, bagaimana kau bisa bilang dia encimu?”

“Tidak, teecu hanya anak angkat saja dari Hek-tiauw Lo-mo, sebetulnya teecu adalah puteri Kim Bouw Sin juga, dari seorang selir yang dilarikan oleh Hektiauw Lo-mo. Teecu Kim Hwee Li adalah adik tirinya seayah dengan Enci Cui Yan. Oleh karena itu, harap Subo memandang muka teecu dan suka mengampuni Enci Cui Yan.”

Keterangan ini membuat Ceng Ceng melangkah mundur tiga langkah dan dia demikian tercengang sehingga tangan kirinya naik dan mengusap pipinya sendiri. Kenyataan ini merupakan pukulan baginya.

“Ah, kau.... jadi engkau ini anak pemberontak? Aihhh, sungguh celaka sekali. Jadi selama ini aku mengambil anak pemberontak keji dan hina sebagaimurid ?”

Saking menyesalnya, Ceng Ceng lalu menggunakan kedua tangan menekuk pedang di tangannya itu.

“Krekkk!” Pedang Cui Yan itu patah menjadi dua dan Ceng Ceng melemparkannya ke atas tanah, matanya menatap wajah muridnya dengan penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Kemudian dia mengeluh dan sekali berkelebat, dia sudah meloncat keluar dari kuil itu.

“Ahhh....“ Hwee Li rnemejamkan kedua matanya dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia merasa lega bahwa nyawa enci tirinya terlepas dari ancaman maut, akan tetapi juga berduka sekali karena maklum bahwa gurunya itu merasa kecewa dan menyesal dan dia merasa bahwa semenjak saat tadi, tali perhubungan antara dia dan gurunya telah diputuskan oleh gurunya, seperti gurunya mematahkan pedang tadi.

Tiba-tiba terdengar suara yang membuat Hwee Li cepat membuka mata, membalikkan tubuh dan memandang ke arah jendela. Di luar jendela itu telah berdiri Kian Lee, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan kerut-merut duka terbayang di wajah itu. “Ya Tuhan.... jadi engkau ini anak Kim Bouw Sin pemberontak hina itu....?” Setelah berkata demikian, Kian Lee berkelebat pergi.

“Lee-koko....!” Hwee Li menjerit dan meloncat ke dekat jendela, akan tetapi ketika dia memandang, bayangan Kian Lee telah lenyap dari situ dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengejar pemuda itu yang dapat lari jauh lebih cepat daripada dia, bahkan lebih cepat dari gurunya tadi. Maka tak tertahankan lagi Hwee Li menangis terisak-isak sambil bersandar di ambang jendela yang retak-retak. Memang tadinya dia sudah merasa berduka sekali oleh sikap gurunya yang tercinta, yang kelihatan kecewa dan meninggalkanya dengan marah dan menyesal. Sikap gurunya sudah membuat dia hampir menangis maka sikap Kian Lee yang mengeluarkan kata-kata yang sama dengan ucapan gurunya menjebol bendungan hatinya yang seperti disayat rasanya.

Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Hwee Li menoleh dan melihat Cui Yan berdiri di dekatnya. Mereka saling pandang dan Hwee Li melihat betapa kedua mata gadis itu penuh air mata, betapa mata itu memandangnya penuh perasaan iba. Tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang menarik mereka, keduanya saling rangkul dan menangislah dua orang dara itu tersedu-sedu. Kakak beradik yang saling jumpa dalam keadaan yang menyedihkan.

Setelah tangis mereka mereda, biarpun Hwee Li masih sesenggukan, akan tetapi Cui Yan telah dapat menguasai hatinya. Sambil merangkul adiknya, dia berkata, “Aku sudah menduga-duga dengan penuh keheranan mengapa engkau serupa sekali dengan ibu ke tiga, yaitu selir ayah yang cantik. Aku berusia kurang lebih enam tahun ketika ibumu itu lenyap. Kiranya engkaulah puterinya yang ketika itu baru berusia tiga bulan. Mengapa engkau tidak bilang kepadaku bahwa engkau adikku ketika kita berada di benteng?”

Hwee Li menghapus air matanya dan keduanya lalu duduk di atas lantai ruangan itu. “Aku.... aku tidak ingin diketahui oleh.... mereka bahwa aku adalah puteri pemberontak, maka aku diam saja walaupun aku sudah mendengar bahwa engkau adalah kakak tiriku, Enci Cui Yan.”

Gadis baju hijau itu menarik napas panjang. “Aku mengerti. Mereka itu semua membenci ayah kita. Sungguh menggemaskan sekali! Apa hubungannya ayah kita dengan kita? Mengapa kita diikutkan memikul kesalahan yang diperbuat oleh ayah kita?” Kemudian Cui Yan merangkul lagi leher adiknya. “Engkau.... engkau telah berkorban untuk keselamatanku, Adikku! Engkau telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi untuk itu engkau kehilangan guru.... dan pemuda itu....”

Diingatkan begini Hwee Li menangis lagi. Dia merebahkan diri di atas dada encinya dan kembali keduanya bertangisan.

Memang demikianlah satu di antara “kebiasaan umum” yang sudah membudaya dalam kehidupan kita. Manusia dinilai bukan dari keadaan manusia itu sendiri pada saat itu, melainkan dinilai dari segala yang melekat pada dirinya. Ada penilaian terhadap manusia didasarkan atas kebangsaannya, sukunya, masyarakatnya, agamanya, orang tuanya, keluarganya, pendidikannya, kedudukannya, hartanya dan sebagainya lagi. Sungguh merupakan suatu kebiasaan yang amat buruk dan palsu. Sudah menjadi kebiasaan dalam peradaban kita ini untuk menilai dan menentukan keadaan seseorang dan apa yang nampak oleh kita. Padahal, tidak ada orang yang dapat menilai orang lain, kecuali dirinya sendiri. Kalau kita membenci bangsanya atau sukunya, setiap orang yang menjadi anggauta bangsa atau suku itu pun kita benci. Kalau kita membenci ayahnya, setiap keluarga dari si ayah itu pun kita benci. Pandangan seperti ini tentu saja amat sesat. Pandangan seperti ini menimbulkan konflik antara suku, antara bangsa, antara agama, antara keluarga dan antara perorangan. Dapatkah kita hidup di dunia ini sedemikian bebasnya dari pandangan ketergantungan dan penilaian ini sehingga kita menghadapi siapapun juga tanpa mengingat kebangsaannya, kesukuannya, agamanya, kaya miskinnya, pintar bodohnya, keluarganya, melainkan sebagai manusia dengan manusia lain pada saat itu juga, tanpa diembel-embeli latar belakang atau latar depannya, asal-usulnya atau segala perbuatannya yang telah lampau? Kalau tidak dapat, maka konflik antara manusia pun takkan pernah dapat dihentikan!

Kakak beradik itu lalu saling menceritakan pengalaman dan riwayat mereka masing-masing. Dengan segala kejujuran mereka membuka rahasia hati masing-masing sehingga mengertilah Hwee Li bahwa encinya ini saling mencinta dengan Liong Tek Hwi dan merencanakan pernikahan mereka. Sebaliknya, Kim Cui Yan mendengar bahwa adik tirinya ini sesungguhnya saling mencinta dengan Suma Kian Lee, pemuda yang tadi mgninggalkan adiknya karena kecewa mendengar bahwa adiknya itu puteri pemberontak.

“Sudahlah, jangan engkau terlalu berduka, Adikku. Setelah kita saling jumpa, aku tidak akan membiarkan engkau terhina oleh siapa pun juga. Biar kita dianggap anak-anak pemberontak yang hina, kita pun tidak butuh dengan mereka. Marilah engkau ikut bersamaku, hidup di samping encimu ini yang akan menghibur dan melindungimu, Hwee Li.”

Akan tetapi Hwee Li bangkit berdiri dan sambil menghapus air mata yang masih terus mengalir di atas kedua pipinya, dia berkata keras, “Tidak....! Aku harus mencarinya, aku harus menyusulnya.... aku.... aku tidak dapat hidup tanpa dia, Enci!” Dan Hwee Li lalu berlari meninggalkan Cui Yan yang bangkit dan berdiri termangu-mangu memandang dari jendela ke arah adiknya yang berlari cepat sambil menangis.

Setelah bayangan Hwee Li lenyap, gadis baju hijau ini menghela napas panjang dan menggeleng kepala. “Kasihan Hwee Li.... ah, semua ini gara-gara Hek-tiauw Lo-mo dan pangeran dari Nepal yang konyol itu! Kalau bertemu dengan mereka, akan kuhajar mereka! Dan aku pun harus mengajak suheng untuk mencari pemuda itu dan menjodohkan Hwee Li dengan dia....“

Dengan pikiran penuh rasa iba kepada adiknya, Cui Yan lalu meninggalkan kuil untuk pergi menemui suhengnya, yaitu Liong Tek Hwi. Dia bersama suhengnya itu setelah meninggalkan benteng yang terbakar, lalu untuk sementara tinggal di rumah dusun yang dibeli suhengnya. Mereka menanti datangnya Kim-mouw Nio-nio, guru mereka yang akan mengunjungi mereka dan akan mempersiapkan hari pernikahan mereka. Dia sedang keluar dari rumah ketika di tengah jalan dia bertemu dengan Ceng Ceng yang segera menyerangnya. Karena merasa kewalahan menghadapi nyonya muda yang amat lihai itu, Cui Yan melarikan diri dan terus dikejar oleh musuhnya. Cui Yan dapat melarikan diri ke dalam hutan dan malam itu musuhnya terus mengejar dan mencari-carinya di dalam hutan sampai pada keesokan paginya Cui Yan bersembunyi ke dalam kuil itu dan akhirnya ditemukan juga oleh Ceng Ceng.

Tentu suheng sedang mencari-cari aku dengan bingung, pikirnya. Dia pergi sejak kemarin dan kepada suhengnya hanya berpamit untuk berbelanja ke kota. Maka dengan cepat dia berlari menuju ke dusun tempat tinggal suhengnya yang cukup jauh karena ketika melarikan diri dia mempergunakan ilmu lari cepat, dan terus dikejar oleh musuh sampai ke hutan itu.

Kim Cui Yan mengambil keputusan untuk mengajak suhengnya mencari Hwee Li dan Kian Lee. Untuk keperluan itu, dia rela untuk mengundur hari pernikahannya dengan suhengnya yang juga menjadi kekasihnya itu. Kini urusan pribadi telah beres. Keluarganya yang terbasmi habis karena Jenderal Kao telah himpas dendamnya karena jenderal itu sendiri pun telah tewas. Dan kini terbuka mata batinnya bahwa Jenderal Kao Liang adalah seorang gagah perkasa yang selain setia kepada negara juga rela berkorban apa saja demi keselamatan keluarganya. Jenderal itu gagah perkasa, para pendekar yang mendukungnya terdiri dari orang-orang yang berjiwa satria yang gagah perkasa pula. Maka dia telah menghapus dendam pribadi itu dari hatinya, dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tidak memperdalam dendam itu dengan mencelakai cucu Jenderal Kao Liang atau putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, walaupun baru saja dia hampir tewas di tangan ibu dari anak yang diculiknya itu yang masih marah kepadanya. Diam-diam dia bergidik kalau teringat akan pengalamannya bertanding melawan isteri Si Naga Sakti Gurun Pasir. Baru isterinya saja sudah demikian saktinya sehingga biarpun dia mempergunakan pedang, sama sekali dia tidak berdaya mendesak wanita itu. Agaknya bahkan gurunya sendiri pun belum tentu dapat menangkan wanita itu dengan mudah. Apalagi Si Naga Sakti sendiri! Koksu Nepal yang demikian saktinya, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok juga tidak mampu menandingi Si Naga Sakti. Dia bergidik.

Biarlah dia mencari adiknya, mengurus perjodohan adiknya itu, baru dia akan ikut bersama suhengnya, atau kekasihnya, atau calon suaminya, ke utara, jauh sekali ke utara, ke tempat asal ibu dari suhengnya yang juga menjadi tempat asal guru mereka, nenek Kim-mouw Nio-nio.

Matahari telah naik tinggi ketika gadis baju hijau itu memasuki sebuah hutan. Dia harus berjalan cepat agar dapat tiba di dusun yang menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu, di mana suhengnya tentu sedang menanti kedatangannya dengan gelisah.

Tiba-tiba di sebelah depan berkelebat bayangan orang dan dari balik pohon-pohon muncullah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap yang kepalanya memakai sorban dan di bagian depan sorban itu terthias bulu burung yang amat indah. Segera Cui Yan mengenal orang itu. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu! Melihat pangeran ini, hati Cui Yan yang masih dipenuhi rasa iba dan duka karena adiknya, seketika menjadi panas karena dia teringat bahwa pangeran inilah yang menjadi gara-gara sehingga adiknya itu kini mengalami hal-hal yang menyengsarakan hati. Huh, laki-laki macam ini mau memaksa Hwee Li menjadi isterinya! Liong Bian Cu juga segera mengenal Cui Yan, sumoi dan kekasih dari saudara misannya itu, maka dengan tersenyum lebar dia cepat menghampiri dan begitu berhadapan dia berkata, “Ah, kiranya Nona Kim berada di sini. Sungguh menggembirakan hati dapat bertemu dengan calon iparku yang begini cantik manis! Eh, di mana adanya saudaraku Liong Tek Hwi?”

Sikap yang ceriwis itu makin memanaskan hati Cui Yan. Dia berdiri tegak memandang wajah pangeran itu dengan sepasang mata terbelalak, mukanya merah dan mulutnya cemberut, hidungnya yang mancung itu bergetar dan cuping hidungnya kembang-kempis karena kemarahan membuat napasnya agak memburu. Kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring dan kaku, “Pangeran, engkau adalah seorang laki-laki yang tidak tahu malu!”

Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan sepasang mata yang agak dalam dan mempunyai pandangan tajam itu menatap wajah Cui Yan yang cantik. Memang cantik manis sekali calon iparku ini, pikir sang pangeran. Terutama sekali hidungnya yang mancung itu, manis sekali. Akan tetapi mengapa dia marah-marah dan berani memakinya? Hati pangeran ini memang sedang tertekan oleh kekecewaan dan kedukaan. Gerakannya telah gagal total, bentengnya telah hancur dan dia tentu akan mendapat kemarahan besar dari pamannya yang kini menjadi raja di Nepal. Selain itu, juga baru saja dia kehilangan Hwee Li, gadis yang dicintanya. Dalam keadaan murung seperti itu, kini bertemu dengan wanita ini yang datang-datang memakinya sebagai laki-laki yang tidak tahu malu, tentu saja diam-diam dia merasa penasaran dan marah sekali. Dia, Pangeran Nepal, yang biasanya disembah-sembah orang, yang biasanya dihujani kerling dan senyum manis oleh setiap orang wanita, tua atau pun muda, yang selama hidupnya belum pernah dihina wanita kecuali Hwee Li yang dicintanya, sekarang merasa dihina oleh wanita ini! Namun, dia dapat menyembunyikan kemarahannya dan masih tersenyum memandang wanita yang marah-marah sampai kedua pipinya kemerahan dan amat menarik itu.

“Calon iparku yang manis, mengapa begitu bertemu engkau marah-marah dan memaki aku? Biarpun kalau marah engkau kelihatan bertambah cantik, akan tetapi iparmu ini ingin mengetahui mengapa engkau marah kepadaku.”

Sikap dan kata-kata Liong Bian Cu merupakan minyak pembakar yang disiramkan pada api yang menyala di dalam Cui Yan. Mukanya bertambah merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Cih, laki-laki tak sopan! Engkau tahu bahwa adikku Hwee Li tidak suka kepadamu, kenapa engkau hendak memaksanya menjadi isterimu? Engkaulah yang membuat dia merana!”

Pangeran Nepal itu memandang dengan sepasang mata mulai berseri. Teringatlah kini dia bahwa wanita yang berdiri di depannya dan sedang marah-marah ini adalah kakak tiri Hwee Li, puteri dari mendiang Kim Bouw Sin, hanya berlainan ibu dengan Hwee Li. Memang ada kemiripan antara keduanya, terutama sikap galaknya dan bibir yang membayangkan kelembutan di balik kekerasan itu. Maka timbullah dua macam perasaan di dalam hatinya, perasaan yang terdorong oleh kecewa dan penasaran karena kegagalannya. Perasaan itu adalah perasaan marah karena dia dihina wanita, bercampur dengan perasaan kagum karena memang keberanian wanita ini mengingatkan dia akan keberanian Hwee Li dan itulah yang membangkitkan berahinya! Biar aku luput mendapatkan adiknya, biar kudapatkan kakaknya, demikian bisikan hatinya yang mulai panas. Kalau aku bisa mendapatkannya dan membawanya ke Nepal sebagai seorang di antara selir-selirku, sewaktu-waktu aku rindu kepada Hwee Li, wanita ini bisa nnenjadi penggantinya dan kuanggap saja dia Hwee Li!

“Ah, Kim Cui Yan, nona yang cantik manis. Kalau kauanggap aku demikian, lalu bagaimana? Engkau mau menghukumku? Nah, silakan, aku menyerah kepada seorang wanita denok manis seperti engkau.”

Sepasang nrata wanita itu berapi-api saking marahnya. “Pangeran ceriwis! Engkau harus menyatakan bersalah, minta ampun di depanku dan berjanji bahwa selanjutnya engkau tidak akan mengganggu adikku Hwee Li lagi!”

Tentu saja diam-diam Pangeran Bharuhendra menjadi marah sekali, akan tetapi dia masih tersenyum sungguhpun pandang matanya mulai berapi. “Kalau aku tidak mau minta ampun bagaimana?”

“Aku akan menghajarmu!” bentak Cui Yan sambil mengepalkan kedua tinjunya dan berdiri tegak.

“Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya engkau mengajak aku untuk bertanding mengadu kepandaian? Baik, akan tetapi pertandingan ini harus ada taruhannya. Kalau aku kalah, biarlah aku akan minta ampun kepadamu seperti yang kauminta, akan tetapi sebaliknya, kalau engkau kalah....“ Pangeran itu mengelus dagunya yang dicukur licin, “Engkau cantik manis seperti adikmu, kalau engkau kalah, engkau harus menemani aku sehari semalam, menghibur hatiku yang sedang gundah-gulana....“

“Keparat!” Cui Yan membentak dan dara ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Saking marahnya, begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat diandalkan, yaitu Swat-lian Sin-ciang. Pukulan ini adalah pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang amat kuat dan berbahaya, tenaga Im-kang yang mengandung hawa dingin sekali.

Ketika merasa betapa ada hawa dingin menyambar ke arah dadanya, pangeran itu berseru, “Bagus sekali!” dan cepat dia mengelak ke belakang, lalu siap menghadapi terjangan lawan. Cui Yan yang sudah marah terus mendesak dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kini pangeran itu pun mempergunakan ilmu pukulan sakti untuk menyambutnya, yaitu ilmu pukulan Im-yang Sin-ciang yang juga sama kuatnya.

Ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang yang dimiliki Cui Yan bukanlah ilmu pukulan sembarangan. Ilmu pukulan ini mengandung tenaga Im-kang tingkat tinggi yang diciptakan oleh gurunya, yaitu Kim-mouw Nio-nio di daerah utara dekat kutub di mana setahun penuh segala sesuatu diselimuti es dari salju, hawanya dingin bukan main. Biarpun tingkat Cui Yan belum sehebat gurunya, namun pukulan-pukulannya sudah sedemikian kuatnya sehingga kalau lawannya kurang kuat, maka darah dan segala cairan dalam tubuh lawan dapat membeku terlanda hawa pukulannya, atau setidaknya, hawa dingin akan membuat lawan menggigil dan tidak mampu bertahan lagi.

Namun, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Ban Hwa Sengjin atau pendeta dari Nepal yang bernama Lakshapadma, yang selain menjadi seorang koksu dari Nepal juga merupakan orang ke tiga dari Ngo-ok yang pada waktu itu termasuk datuk-datuk kaum sesat yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Maka, dengan menggunakan I1mu Im-yang Sin-ciang, pangeran itu dengan tepat sekali dapat menahan semua serangan Cui Yan biarpun setiap kali lengan mereka bertemu, dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang lengannya, sebaliknya, karena memang kalah kuat, Cui Yan selalu terdorong dan terhuyung ke belakang.

Mulailah Cui Yan terdesak dan dara ini merasa menyesal mengapa pedangnya telah dipatahkan oleh Ceng Ceng sehingga dalam pertempuran melawan Pangeran Nepal ini dia tidak dapat mengandalkan permainan pedangnya. Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, kini Liong Bian Cu mulai melancarkan serangan-serangan hebat yang membuat dara itu menjadi kewalahan. Memang, kalau dibandingkan, tingkat kepandaian Pangeran Nepal itu masih lebih tinggi, maka begitu dia menekan, dara itu menjadi sibuk sekali dan pada saat kedua lengan mereka kembali beradu, Liong Bian Cu mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram pergelangan tangan kanan dara itu. Dia tertawa bergelak dan sebelum Cui Yan mampu melepaskan lengannya, dia sudah tertotok dan menjadi lemas!

Kalau dia dihantam atau dibunuh, Cui Yan tentu akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi kini pangeran itu merangkul dan memeluknya dan dara itu terbelalak dan merasa ngeri setengah mati ketika pangeran itu mendekatkan muka lalu menciumnya penuh nafsu! Cui Yan memejamkan mata dan berusaha meronta, namun dia telah tertotok sehingga tenaganya habis. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan Swat-im Sin-kang untuk membuat tubuhnya dingin. Terpaksa dia menyerah saja diciumi dan dibelai oleh pangeran itu yang tertawa-tawa.

“Engkau cantik, manis, engkau seperti Hwee Li.... ha-ha-ha, Cui Yan yang cantik, engkau telah kalah, engkau harus membayar taruhan.” Lalu dipondongnya tubuh dara itu.

“Lepaskan aku ! Atau.... kaubunuh saja aku....“ Cui Yan meratap, kini merasa takut bukan main. Baru sekarang ini dia merasa amat ketakutan, amat ngeri menghadapi apa yang akan menimpa dirinya.

“Lepaskan? Nanti dulu, Sayang, kau harus membayar taruhan dulu. Membunuhmu? Sayang sekali, engkau terlalu cantik.... ha-ha-ha....!”

Cui Yan tak mampu berdaya apa-apa lagi dan dia dilarikan oleh pangeran itu ke sebuah dusun di mana terdapat sebuah gedung yang dibangunnya semenjak dia bertualang di daerah ini. Ketika dia memondong tubuh Cui Yan memasuki rumah itu, Cui Yan melihat Koksu Nepal berada di situ pula! Melihat muridnya memondong gadis yang dikenalnya sebagai nona yang pernah datang ke lembah atau ke dalam benteng, kakek botak itu hanya tersenyum saja, sama sekali tidak bertanya apalagi menegur. Dia hanya memandang ketika muridnya itu membawa tubuh yang dipondongnya memasuki kamarnya dan menutupkan kamar itu dengan kakinya.

Pada jaman itu, baik di Tiongkok maupun di bagian dunia lain di Asia, terutama di Nepal, memang kaum wanita dipandang sebagai benda mainan atau sebagai sumber kesenangan bagi pria belaka. Wanita dianggap tidak berhak untuk menentukan nasibnya, tergantung sepenuhnya dari orang tua atau dari pria yang menguasainya, seperti benda-benda hiasan atau binatang-binatang peliharaan, dijadikan alat pemuas nafsu, dijadikan milik kebanggaan. Maka, bukan hal yang aneh melihat wanita dipaksa oleh pria yang memiliki kedudukan seperti Pangeran Nepal, seolah-olah setiap orang wanita yang berada di dalam kekuasaannya harus tunduk kepadanya, bahkan dipilih oleh seorang pangeran dianggap sebagai kehormatan besar bagi si wanita, tidak peduli wanita itu dipilih dengan paksa atau dengan suka rela. Oleh karena itulah, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum saja melihat muridnya memondong seorang wanita cantik, seolah-olah melihat suatu hal yang lucu. Apalagi karena memang Ban Hwa Sengjin adalah seorang yang amat keji hatinya. Sam-ok dari Ngo-ok yang terkenal sebagai Lima Datuk yang paling kejam di seluruh dunia ini.

Kim Cui Yan hanya dapat merintih dan menangis dengan hati hancur lebur. Dia tidak mampu menolak, tidak mampu meronta, tidak mampu mengelak ketika Liong Bian Cu memperkosanya disertai bujuk rayu yang tentu akan ditolaknya dan ditentangnya dengan taruhan nyawa kalau saja dia mampu bergerak. Akan tetapi, Pangeran Nepal itu cerdik, dia ditotok sehingga kaki tangannya menjadi lemas tak berdaya, hanya mampu bergerak lemah tanpa mampu mengerahkan tenaga sinkangnya. Dia hanya mampu membuang muka dan air matanya bercucuran ketika dia dipermainkan oleh pangeran itu yang agaknya tidak ada puas-puasnya menuruti nafsu kejinya.

Sudah bulat tekad di dalam hati Cui Yan untuk membunuh diri begitu dia memperoleh kesempatan. Untuk melaksanakan kebenciannya dan membunuh pangeran itu, tentu saja dia tidak mampu, apalagi mengingat bahwa di tempat itu terdapat koksu yang sakti pula. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh diri untuk mencuci dirinya dari aib dan penghinaan. Akan tetapi, kalau hanya membunuh diri begitu saja akan sia-sia.

Dia harus lebih dulu dapat bertemu dengan suhengnya, dengan kekasihnya, calon suaminya, untuk menceritakan semua malapetaka yang menimpa dirinya ini.

Akan tetapi, Liong Bian Cu yang sudah berpengalaman dalam hal memperkosa wanita, dapat melihat dan menduga bahwa Cui Yan tentu akan membunuh diri kalau diberi kesempatan, oleh karena itu dia selalu menjaga dan menotok jalan darah wanita itu. Baru setelah ada tanda-tanda bahwa Cui Yan membalas belaiannya dan seolah-olah menjawab pernyataan cintanya, dia mulai memberi kelonggaran karena dia mengira bahwa dia telah berhasil “menundukkan” wanita ini, seperti menundukkan seekor kuda betina liar yang mulai menjadi “jinak”, seperti yang sudah sering kali dia alami. Di antara para selirnya, banyak yang tadinya juga melawan dan tidak rela menyerahkan diri, akan tetapi kemudian malah menjadi selir yang amat mendambakan cintanya, bahkan saling berebutan untuk melayaninya! Dan dia mengira bahwa Cui Yan juga termasuk wanita seperti itu. Kini Cui Yan mulai suka tersenyum kepadanya!

Karena merasa bahwa setelah sepekan lamanya dia memaksa Cui Yan melayaninya dan jarang meninggalkan wanita ini, dia mulai memberi kelonggaran. Akan tetapi, pada malam ke lima itu, malam pertama dia meninggalkan Cui Yan sebentar untuk berbincang-bincang dengan koksu, ketika dia kembali ke kamarnya, burung itu telah terbang menghilang! Dia cepat mengejar dan mencari, namun sia-sia belaka. Cui Yan telah lenyap!

Ke manakah perginya Cui Yan? Wanita, yang ditimpa malapetaka hebat ini. melarikan diri dengan secepatnya meninggalkan dusun tempat tinggal Liong Bian Cu, sambil menangis dia terus lari sekuatnya semalam suntuk itu, menuju ke dusun tempat tinggal suhengnya. Hampir putus napasnya ketika pada keesokan harinya dia tiba di depan rumah suhengnya, karena semalam suntuk dia terus berlari cepat, sedikit pun tidak pernah mengurangi kecepatannya dan mengerahkan segenap tenaganya.

Bukan main kaget hati Liong Tek Hwi ketika dia melihat sumoinya datang berlari-lari, lalu menubruk padanya, merangkul dan menangis tersedu-sedu.

“Sumoi, apa yang telah terjadi? Ke mana saja selama ini engkau pergi? Aku dan subo mencari-carimu sampai ke mana-mana, hatiku risau dan bingung sekali....“ Pemuda berkulit putih bermata kebiruan itu merangkul dan mengelus rambut kekasihnya.

“Cui Yan, apa yang telah terjadi?” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan ketika mendengar ini, Cui Yan kaget dan menengok, kemudian dia menjerit dan melepaskan rangkulan leher suhengnya, menubruk kaki nenek itu sambil menangis sesenggukan. Nenek itu bukan lain adalah gurunya, Kim-mouw Nio-nio. Nenek ini sudah tua sekali, sudah sembilan puluhan tahun usianya, dan keadaannya amat mengerikan. Rambutnya pirang keemasan sudah penuh uban, matanya agak kebiruan dan di kedua lengannya nampak dua buah gelang, yang kanan terbuat dari emas dan yang kiri dari perak. Sepasang gelang emas dan perak itu selain menjadi perhiasan, juga merupakan senjatanya yang ampuh sekali.

Melihat muridnya itu menangis tersedu-sedu sambil merangkul kakinya, nenek itu menyeringai dan sekali menggerakkan kakinya, tubuh muridnya itu terjengkang. “Wuhhh, memalukan sekali!

Apakah selama ini aku mengajar engkau menjadi wanita lemah dan cengeng? Hayo katakan apa yang telah terjadi!”

Dengan air mata bercucuran Cui Yan bangkit berdiri dan ketika dia bertemu pandang dengan kekasihnya, kembali dia tersedu-sedu. Liong Tek Hwi melangkah maju dan memegang tangan sumoinya, memandang dengan penuh kekhawatiran dan bertanya halus, “Sumoi, ada apakah? Engkau benar-benar membuat aku gelisah sekali. Ceritakanlah.”

“Suheng.... demi Thian.... engkau harus membunuh si jahanam Liong Bian Cu....!”

Tentu saja ucapan itu membuat Liong Tek Hwi terkejut bukan main. Liong Bian Cu adalah saudara misannya dan sekarang sumoinya atau kekasihnya ini minta kepadanya untuk membunuh saudara misannya itu! “Sumoi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau mengajukan permintaan yang luar biasa ini?”

“Sepekan yang lalu.... aku bertemu dengan dia, kami bertempur karena aku menyalahkan dia yang ingin memaksa adikku Kim Hwee Li menjadi isterinya dan karena dia kurang ajar kepadaku, aku kalah dan tertawan. Aku dibawa ke dusun sebelah barat hutan di mana jahanam itu tinggal bersama gurunya, Koksu Nepal dan.... dan....“ Cui Yan kembali menjerit dan menangis terisak-isak.

Sepasang alis Tek Hwi berkerut dan pandang mata yang ditujukan kepada sumoinya itu penuh kekhawatiran. “Lalu bagaimana, Sumoi?”

“Dia.... selama sepekan ini.... dia.... memaksaku, dia memperkosa aku.... dan aku tidak berdaya.... ditotoknya dan.... diperkosanya.... hu-hu-huuu!”

“Ahhh....!” Liong Tek Hwi mengeluarkan suara bentakan nyaring dan wajahnya seketika menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tinjunya dikepal kuat-kuat.

“Suheng....!” Cui Yan menjerit dan menubruk suhengnya. Tek Hwi menerima dan merangkul kekasihnya, dari kedua matanya juga keluar air mata saking marah dan menyesalnya. Dia ingin menghibur kekasihnya, akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.

“Tek Hwi, awas....! Cegah dia....!”

Tiba-tiba Kim-mouw Nio-nio berseru dan sekali meloncat dia telah menerkam Cui Yan dan menangkap kedua tangan dara itu, akan tetapi terlambat sudah. Liong Tek Hwi memandang dengan mata terbelalak, melihat dada kekasihnya yang merah semua karena darahnya mengucur keluar dari ulu hati yang tertusuk hiasan rambut atau tusuk konde yang terbuat dari perak dan panjangnya lebih dari sejengkal. Tusuk konde itu terbenam di dada Cui Yan, menembus jantungnya sehingga darah muncrat-muncrat dan tanpa banyak bergerak lagi dara itu menjadi lemas dan lunglai.

“Sumoi....!” Tek Hwi, menjerit dan menubruk, merangkul kekasihnya.

Cui Yan membuka mata dan bibirnya bergerak lemah, “Balaskan Suheng....“ Kemudian tubuhnya lunglai dan matanya terpejam.

“Sumoi....! Cui Yan.... ah, Cui Yan kekasihku....!” Liong Tek Hwi menangis dan berteriak-teriak seperti orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya, namun nyawa Cui Yan telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya.

“Bian Cu, jahanam kau! Aku harus mengadu nyawa denganmu!” Liong Tek Hwi menurunkan jenazah kekasihnya dan dia meloncat bangun, kemudian lari dari rumah itu, diikuti oleh subonya.

“Tek Hwi, nanti dulu....!” subonya berseru, akan tetapi Liong Tek Hwi yang sudah hampir gila saking duka dan marahnya, tidak mempedulikan subonya sehingga terpaksa Kim-mouw Nio-nio mengikutinya terus menuju ke barat dengan cepat sekali.

Ketika tiba di dusun itu, dengan mudah Liong Tek Hwi dapat mencari rumah saudara misannya itu dan kebetulan sesekali pada waktu itu, Pangeran Liong Bian Cu dan Ban Hwa Sengjin sedang berada di ruangan depan. Mereka sudah tahu bahwa Cui Yan semalam telah berhasil melarikan diri, dan mereka pun menduga bahwa mungkin saja kekasih nona itu, yaitu Liong Tek Hwi atau saudara misan sang pangeran, akan muncul. Akan tetapi mereka bersikap tenang-tenang saja dan tidak takut, bahkan mereka lalu melupakan urusan nona itu dan bicara tentang kegagalan gerakan mereka dan mengatur rencana selanjutnya. Perhatian mereka kini ditujukan kepada pemberontakan di Bhutan yang dilakukan oleh Mohinta.

Ketika mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari depan, “Bian Cu, jahanam hina-dina! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus mampus untuk menemani arwah sumoiku!”

Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri, sedangkan Koksu Nepal hanya menoleh saja. Akan tetapi terkejutlah guru dan murid ini ketika melihat bahwa di belakang Liong Tek Hwi terdapat seorang nenek berambut keemasan yang bukan lain adalah Kim-mouw Nio-nio, datuk luar tembok besar dari utara itu!

Biarpun terkejut melihat kehadiran nenek itu yang sudah sering kali didengarnya dari suhunya, akan tetapi karena di situ hadir pula gurunya, Pangeran Nepal tidak merasa gentar dan dengan gagah dia menyambut kemarahan saudara misannya itu dengan tersenyum.

“Saudaraku Tek Hwi, mengapa engkau datang dengan kemarahan seperti itu?”

“Keparat, engkau manusia berhati binatang! Engkau menghina dan memperkosa calon isteriku sampai dia membunuh diri.... ah, aku tidak ingin hidup bersamamu di dunia ini. Seorang di antara kita harus mati!” bentak Liong Tek Hwi dan dengan kemarahan memuncak, pemuda peranakan bule ini sudah menerjang dengan pukulan yang amat keras.

Liong Bian Cu cepat mengelak dengan loncatan ke belakang sambil berkata, “Sabar dulu, saudaraku. Apakah kita antara saudara harus saling bunuh hanya karena urusan wanita? Aku dapat mengganti seribu orang wanita yang lebih cantik daripada sumoimu itu!”

“Manusia iblis! Harus kauganti dengan nyawamu!” Tek Hwi, menerjang lagi, kini menggunakan ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang setelah menggosok-gosok kedua tangannya lalu diputar-putar di depan dada dan menyerang dengan gerakan mendorong lawan. Pangeran Nepal itu terkejut bukan main. Hawa dingin yang menyerangnya amat hebat, lebih hebat daripada serangan Kim Cui Yan, tanda bahwa tingkat kepandaian saudara misannya ini masih lebih tinggi daripada nona yang pernah ditawannya itu. Maka dia tidak mau banyak bicara lagi karena kalau dia tidak waspada, bisa-bisa dia celaka oleh lawan ini. Apalagi dia melihat betapa gurunya tidak turun tangan membantu, melainkan berdiri bertolak pinggang dan tak jauh dari situ nampak si nenek rambut kuning emas itu juga berdiri dengan sikap siap menghadapi Sam-ok atau Koksu Nepal!

Pangeran Liong Bian Cu mengelak dan balas menyerang, dan karena dia maklum akan kelihaian lawan, dia pun kini mempergunakan ilmu pukulan Im-yang Sinciang, Dia tidak mau mengalah dan biarpun merasa sayang bahwa dia harus bermusuhan dengan saudara misannya, namun pangeran ini maklum bahwa dia tidak akan dapat membujuknya maka terpaksa harus membunuhnya.

Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian antara dua orang saudara misan ini. Ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka memang berimbang sehingga berbeda dengan ketika melawan Cui Yan, sekali ini Pangeran Liong Bian Cu harus mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan ini. Sementara itu, Sam-ok dan Kim-mouw Nio-nio tetap berdiri menonton sambil bersiap-siap turun tangan kalau fihak lawan dibantu oleh guru masing-masing. Akan tetapi, kakek botak itu hanya tersenyum saja melihat betapa muridnya agak kewalahan menghadapi lawannya, sedangkan Kim-mouw Nio-nio secara terang-terangan selalu memandang kakek itu untuk mengamati gerak-geriknya!

Seratus jurus telah lewat dan kedua lengan mereka telah bengkak-bengkak, akan tetapi pertandingan itu masih berlangsung terus dengan serunya. Pangeran Liong Bian Cu makin terkejut dan mulai merasa khawatir. Tak disangkanya bahwa saudara misannya ini ternyata tangguh sekali.

“Liong Tek Hwi, kita berdua dapat membangun kembali kejayaan ayah-ayah kita. Mengapa engkau tidak menghabiskan saja urusan perempuan ini?” dia berseru sambil menangkis sebuah pukulan keras yang membuat mereka berdua terpental ke belakang. Akan tetapi Liong Tek Hwi menerjang lagi dengan nekat.

“Liong Bian Cu, aku baru menganggap habis urusan ini kalau kau sudah menggeletak tanpa nyawa di depan kakiku!”

“Keparat!” Liong Bian Cu membentak marah dan perkelahian dilanjutkan makin nekat dan makin-seru. Akan tetapi karena pada waktu itu hati Liong Tek Hwi diliputi penuh kedukaan dan kemarahan, penuh dendam sakit hati yang meluap-luap, maka serangannya lebih bersemangat dan nekat. Dia tidak takut mati dan tenaganya seperti bertambah hebat oleh semangat dan kenekatan ini, berbeda dengan Liong Bian Cu yang masih bersikap hati-hati. Oleh karena inilah maka kini pangeran itu kelihatan mulai terdesak! Serangan-serangan Liong Tek Hwi seperti seekor singa terluka yang sudah nekat. Hanya ada dua pilihan bagi pemuda yang sakit hati ini, yaitu membunuh atau terbunuh! Liong Bian Cu mulai khawatir dan tak terasa lagi dia mengharapkan bantuan gurunya.

“Suhu, harap bantu....!”

Akan tetapi sungguh aneh. Kakek botak yang biasanya sebagai seorang koksu amat taat kepada pangeran ini, sekarang hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak membantu, juga tidak berkata apa-apa! Memang, hati kakek ini luar biasa kejinya maka dia menjadi orang ke tiga dari Sam-ok, Lima Jahat yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai datuk-datuk kejahatan yang paling hebat. Di dalam hati kakek botak ini, yang terpenting adalah keuntungan atau kesenangan bagi dirinya sendiri. Memang benar bahwa Liong Bian Cu adalah muridnya, akan tetapi Ban Hwa Sengjin ini mau mengambilnya sebagai murid hanya karena pemuda ini adalah Pangeran Nepal sehingga melalui muridnya dia dapat memperoleh kedudukan sampai menjadi koksu! Tentu saja tidak ada perasaan cinta sebagai guru terhadap pangeran ini. Apalagi sekarang dia melihat bahwa yang terbaik bagi dirinya adalah matinya pangeran ini! Gerakan pangeran ini yang ditunjangnya telah gagal, dan hal ini tentu akan mendatangkan kemarahan pada Raja Nepal, dan kalau pangeran ini masih hidup dan mereka berdua bersama-sama kembali ke Nepal, tentu dialah yang akan dipersalahkan oleh Raja Nepal karena kegagalan itu. Akan tetapi kalau Pangeran Liong Bian Cu sudah tidak ada, tentu dia dapat menimpakan kesalahan kepada pangeran ini. Dia sendiri masih akan dapat menghibur hati raja dengan membuat jasa baru, yaitu menaklukkan Bhutan dengan bantuan Mohinta seperti yang telah di aturnya itu.

Demikianlah, setiap perbuatan yang disebut jahat, kejam, keras dan licik selalu tentu terdorong oleh keinginan untuk keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Keinginan untuk senang, atau pengejaran terhadap kesenangan inilah yang menyeret manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang amat jahat. Bagi dia yang melakukannya, perbuatan itu tidak dianggap jahat karena dianggap sebagai suatu kecerdikan atau langkahlangkah demi mencapai apa yang dicita-citakan atau yang dikejar-kejar. Dapat kita saksikan sehari-hari dalam kehidupan kita betapa pengejaran terhadap kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, permusuhan dan bunuh-membunuh, pengejaran terhadap harta menimbulkan sogokmenyogok, korupsi, penipuan, pencurian dan sebagainya; pengejaran terhadap kehormatan, kebersihan nama dan apa yang dinamakan kebaikan menimbulkan penjilatan dan kemunafikan. Perbuatan apa pun, betapa mulia pun, akan kehilangan kemurniannya apabila didorong oleh suatu pamrih, karena perbuatan itu menjadi tidak wajar, menjadi palsu, dan hanya merupakan alat untuk mencapai apa yang dipamrihkan itu. Dan pamrih tetap pamrih, tetap memalsukan inti perbuatan, biar pamrih itu bisa saja kita beri pakaian dan menyebutnya sebagai “pamrih baik”, “pamrih mulia” dan sebagainya lagi. Pada hakekatnya, betapapun baik dan mulianya kita namakan dia, pamrih itu bukan lain adalah keinginan tercapainya sesuatu yang menguntungkan atau menyenangkan diri kita, lahir maupun batin! Hanya tindakan yang seketika, tanpa pamrih, wajar dan tanpa kita sadari baik buruknya, tanpa didasari kebencian, kemarahan, iri hati, rasa takut, maka tindakan seperti itu barulah merupakan tindakan yang benar, karena tindakan tanpa pamrih dan tanpa dinodai oleh segala macam nafsu pementingan diri pribadi itulah tindakan yang mengandung cinta kasih!

Ketika Pangeran Liong Bian Cu mendapat kenyataan betapa gurunya diam saja, jangankan membantunya, bahkan menjawab permintaanya pun tidak, hatinya menjadi kecut sekali dan dia menjadi makin panik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Tek Hwi untuk menubruk ke depan dan terdengarlah pekik menyayat hati ketika tangan kanan Tek Hwi yang ditusukkan itu mengenai dada Pangeran Lion Bian Cu dan amblas memasuki dada seperti sebuah kapak.

“Crotttt....!” Tangan yang terbuka jari-jarinya dan mengandung tenga sinkang amat kuat itu memasuki rongga dada sampai sepergelangan tangan dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga, dengan mata melotot dan mulut masih mengeluarkan pekik Pangeran Liong Bian Cu menghantamkan kepalan kanannya ke arah kepala yang amat dekat dengannya itu.

“Prakkk!” Pukulan itu keras bukan main karena dalam keadaan sekarat itu Liong Bian Cu masih ingat untuk mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam pukulannya yang mengenai kepala dengan tepat sehingga kepala Liong Tek Hwi pecah terkena hantaman itu!

Robohlah dua orang kakak beradik misan itu, tergelimpang dan tak bergerak lagi karena keduanya telah tewas, mati sampyuh dalam perkelahian yang seru dan nekat itu. Berbeda dengan Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang tidak mencinta muridnya, Kim-mouw Nio-nio amat mencinta murid-muridnya, terutama sekali Liong Tek Hwi karena pemuda ini memiliki kulit, warna mata dan rambut yang sama dengan dia. Tadi dia menjaga agar Sam-ok tidak membantu pangeran itu, dan dia sudah girang melihat kemenangan muridnya, akan tetapi sungguh tidak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu, Pangeran Nepal masih sanggup melakukan pukulan maut terakhir yang menewaskan muridnya. Dia menjadi marah sekali. Dengan lengking mengerikan nenek ini menangis dan langsung saja dia menyerang Sam-ok Ban Hwa Sengjin!

Ban Hwa Sengjin tertawa dan menggerakkan lengan bajunya menangkis. Hatinya girang bahwa muridnya tewas bersama lawannya. Hal ini amat menguntungkan dia. Pertama, dalam pertandingan tadi tak dapat dikatakan bahwa muridnya kalah karena lawannya juga tewas sehingga namanya tidak akan ternoda oleh kekalahan muridnya, ke dua, pangeran itu tewas sebagaimana yang diharapkannya. Maka kini menghadapi kemarahan Kim-mouw Nio-nio, dia tertawa. Nenek tua ini pun sebaiknya dibungkam mulutnya untuk selamanya karena nenek ini merupakan seorang saksi pula. Baiknya, tidak ada penduduk dusun yang berani datang mendekat menyaksikan pertempuran itu sehingga yang menjadi saksi hanyalah nenek tua ini. Dan untuk membungkam mulutnya, tentu saja nenek ini harus dibunuh.

Tangkisan Ban Hwa Sengjin membuat nenek itu terpelanting dan terhuyung, hampir saja roboh. Kim-mouw Nio-nio terkejut bukan main. Lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, dan juga dia sendiri sudah terlampau tua, usianya sudah kurang lebih seratus tahun. Maklumlah nenek tua ini bahwa kalau mengandalkan tenaga sinkang dan ilmu pukulan, dia tidak akan menang melawan Sam-ok ini. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja nampak dua gulung sinar emas dan sinar perak melayang-layang dan menyerang ke arah Ban Hwa Sengjin dari atas, menyambar turun di kedua tangan nenek itu yang sudah terlepas dari tangannya dan seperti benda-benda hidup menyambar ke arah lawan sambil berputar cepat sekali sehingga mengeluarkan suara mendesing.

Ban Hwa Sengjin terkejut melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini. Akan tetapi sebagai seorang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat dia mengulur kedua tangan untuk menangkap dua buah gelang yang menyambar itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mencoba menangkap, tangannya terasa nyeri seperti akan terkupas kulitnya oleh benda yang berpusing itu, maka cepat-cepat dia menarik kembali kedua tangannya dan dua benda itu seperti hidup menyambar ke arah kepala dan dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping dan menghindarkan diri dari serangan maut itu dan ketika dia menghadapi lagi nenek itu, ternyata gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si nenek yang lihai.

“Hemmm, kiranya itukah senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin sekali merasakan sampai di mana kelihaiannya!” kata Sam-ok sambil tertawa. Memang dia pernah mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendengus dan sudah menyerang lagi, kini bersilat secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara nyaring berdesing. Ban Hwa Sengjin yang maklum akan kelihaian lawan, cepat memutar tubuhnya dan kini tubuhnya sudah berpusing, lenyap bentuknya merupakan pusingan yang bergerak maju mundur, dari dalam pusingan itu terdengar suara ketawanya dan kadang-kadang sebuah kaki bersepatu dengan lapis baja mencuat untuk menendang atau sebuah dengan mencuat untuk menghantam atau menotok. Itulah ilmu silat yang amat diandalkan oleh kakek ini, yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) dan yang amat sukar dilawan.

Kini nenek Kim-mouw Nio-nio menjadi kaget dan bingung. Sepasang senjatanya kehilangan keampuhannya karena tubuh lawan yang berpusing itu sukar sekali diikuti oleh pandang matanya sehingga sukar pula di jadikan sasaran serangannya. Beberapa kali dia menyerang secara ngawur saja dan begitu bertemu dengan bayangan tubuh berpusing itu, senjatanya membalik diikuti oleh pukulan tangan atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat dari pusingan itu, membuat dia terkejut sekali dan beberapa kali nyaris dia menjadi korban tendangan.

Sambil berpusing dalam Ilmu Thian-te Hong-i, diam-diam Ban Hwa Sengjin yang lihai itu memperhatikan gerakan kedua senjata lawan dan akhirnya dia mengenal sifat keras dari kedua senjata itu. Maka pada saat yang telah diperhitungkannya masak-masak, ketika lawan menggerakkan kedua gelang itu dari arah yang berlawanan yang memang menjadi sifat permainan kedua gelang itu, tiba-tiba nenek Kim-mouw Nio-nio menjadi kabur pandangan matanya karena dia melihat warna merah yang lebar sekali dan tahu-tahu kedua tangannya berikut gelang emas dan perak yang dipegangnya itu telah tergulung dalam selimut mantel merah! Dan sebelum dia mampu bergerak, kaki kanan Ban Hwa Sengjin menendang. Tendangan itu sedemikian kuatnya dan tepat mengenai pusar Kim-mouw Nio-nio. Nenek tua itu menjerit dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya, terbanting jatuh dan dari mulut dan hidungnya mengalir darah, tubuhnya lunglai dan dia sudah tewas karena isi perutnya hancur oleh tendangan yang amat dahsyat tadi!

Ban Hwa Sengjin tertawa puas melihat ke arah tiga mayat itu. Kemudian, dengan kasar dia menyeret mayat tiga orang itu dan melempar-lemparkannya ke dalam rumah, kemudian dia menyiramkan minyak dan membakar rumah itu! Setelah rumah itu berkobar besar dan para penduduk dusun mulai geger, diam-diam Ban Hwa Sengjin menyelinap pergi dari situ tanpa dilihat seorang pun di antara penduduk dusun.Kini dengan hati lapang Sam-ok Ban Hwa Sengjin melakukan perjalanan pulang ke Nepal. Dia telah menyusun laporan-laporan palsu kepada Raja Nepal yang akan diajukannya nanti setibanya di Nepal, tentang kegagalan gerakan di Tiongkok yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan Pangeran Bharuhendra yang telah tewas pula dalam pertempuran. Andaikata kegagalan itu membuat dia tidak disukai lagi di Kerajaan Nepal, dia pun masih dapat bergabung dengan keempat orang saudaranya dalam kedudukan mereka sebagai Ngo-ok.

“Cui Lan, pinni (aku) tahu bahwa engkau mencinta Siluman Kecil, bukan?”

Gadis cantik itu menundukkan mukanya dan biarpun dia berusaha untuk menahannya, namun tetap saja dua titik air mata bergantung di pelupuk matanya.

Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan untuk sejenak lamanya dia termenung, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri ketika dia masih muda, ketika dia belum menjadi nikouw. Puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih merupakan seorang dara cantik dan muda seperti Phang Cui Lan ini, ketika namanya masih Kim Cu dan dia merupakan seorang dara perkasa murid dari Ma-bin Lo-mo, dia pernah juga jatuh cinta mati-matian kepada Suma Han atau Pendekar Super Sakti. Akan tetapi cintanya adalah cinta sepihak dan betapa dia merana dan mengalami penderitaan batin yang amat hebat. Dia tahu belaka betapa sengsaranya cinta yang tidak terbalas, akan tetapi sekarang dia melihat betapa semua itu adalah kesalahannya sendiri, betapa cinta kasih yang mengharapkan balasan adalah cinta kasih yang berdasar ingin menyenangkan diri sendiri dan karenanya tentu saja dapat berubah menjadi kesengsaraan karena pada hakekatnya, kesenangan yang dikejar-kejar adalah muka ke dua dari kesusahan. Dalam cerita Pendekar Super Sakti diceritakan dengan jelas semua pengalaman dan penderitaan yang diderita oleh nikouw tua ini akibat cintanya yang tidak mendapatkan balasan dari Suma Han yang dicintanya itu.

“Cui Lan hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik segala ucapan pinni. Di waktu pinni masih muda, pinni pernah mengalami kepahitan hidup akibat cinta seperti yang kaurasakan sekarang ini, bahkan karena kegagalan cinta itulah yang mendorong pinni menjadi seorang nikouw. Ketahuilah bahwa cinta pinni terhadap orang yang pinni cinta itu, seperti cintamu terhadap Siluman Kecil ini, adalah cinta yang palsu, Cui Lan.”

Dara itu mengangkat wajahnya yang cantik.

Sepasang matanya yang indah terbelalak karena penasaran dan dua titik air mata itu kini meloncat turun ke atas kedua pipinya. “Subo.... bagaimana Subo dapat mengatakan demikian? Teecu (murid).... mencintanya dengan sepenuh jiwa raga teecu....“ dia berhenti sebentar, menunduk lalu mengangkat lagi mukanya memandang wajah nikouw tua itu. “Subo, bagaimanakah Subo dapat mengatakan bahwa cinta Subo dan cinta teecu itu adalah cinta palsu?”

“Anak yang baik,” kata pendeta wanita itu dengan sikap halus dan penuh iba hati, “Kalau kita benar-benar mencinta seseorang, tentu kita mementingkan kebahagiaan orang itu, bukan? Kalau benar kita mencinta seseorang, tentu kita akan ikut merasa bahagia melihat orang yang kita cinta itu berbahagia hidupnya. Akan tetapi tidak demikian, kita tidak mementingkan keadaan orang itu, melainkan mementingkan keadaan diri kita sendiri sehingga kalau tidak terpenuhi hasrat hati kita, yaitu hidup bersama dengan orang yang kita cinta, kita merasa sengsara dan menderita! Apakah ini disebut cinta, ataukah hanya keinginan kita untuk senang sendiri dengan berdekatan dengan dia yang kita cinta, sehingga kita mempergunakan dia sebagai sarana untuk menyenangkan diri belaka?”

“Subo....!” Dara itu terisak. “Teecu memujanya, menghormatnya, mengaguminya dan teecu mencintanya. Teecu ingin melihat dia berbahagia, akan tetapi juga ingin berdekatan selama hidup teecu di sampingnya...., salahkah ini?

Nikouw itu tersenyum haru. “Tidak ada yang menyalahkan atau membenarkan, Cui Lan. Pinni hanya minta agar engkau suka membuka mata melihat kenyataan. Cinta yang mengharapkan balasan pada hakekatnya adalah nafsu berahi. Tentu saja hal ini bukan berarti pinni menyalahkan, karena hal itu sudah wajar, timbul dari daya tarik antara pria dan wanita. Akan tetapi, cinta seperti itu sudah pasti menimbulkan duka pula di samping mendatangkan kesenangan, anakku. Kalau kita mencinta seseorang dan orang itu tidak membalas cinta kita, lalu bagaimana?”

“Teecu akan tetap mencintanya....“

“Dengan hati hancur dan menderita?”

Gadis itu mengangguk dan terisak. “Teecu mencintanya dan teecu tahu bahwa teecu tidak cukup berharga untuk menjadi jodohnya, akan tetapi biarpun dia tidak membalas cinta teecu, teecu tetap mencintanya sampai akhir hidup teecu....“

Kim Sim Nikouw merangkul dara itu dan mendekapkan kepala dara itu di dadanya. Betapa sama penderitaan dara ini dengan apa yang dialaminya dahulu. Bahkan dia sendiri meragu apakah sampai detik ini juga dia dapat melupakan perasaan hatinya terhadap Pendekar Super Sakti!

“Anakku yang baik, mengapa engkau tidak mau membuka mata melihat kenyataan dan menyadari bahwa engkau menyiksa diri sendiri secara sia-sia? Apakah manfaatnya kedukaan dan kepatahan hatimu itu untuk dirimu sendiri, apa gunanya pula untuk orang yang kau cinta? Apa pula gunanya untuk orang lain?”

Mendengar ini, perih rasa hati Cui Lan, dia memejamkan mata dan menggigit bibir yang gemetar menahan tangis. Air mata jatuh berderai dari kedua matanya. Setelah dapat menenangkan hatinya, dia lalu berkata, “Subo, apakah yang harus teecu lakukan sekarang? Teecu mohon petunjuk Subo....“

Kim Sim Nikouw mengelus rambut yang panjang halus itu, lalu mendorong tubuh muridnya dengan lembut. “Duduklah yang baik, mari kita bicara.” Setelah Phang Cui Lan duduk dan menghapus air matanya, wajahnya agak pucat dengan rambut yang kusut namun tidak mengurangi kecantikannya, nikouw tua itu lalu berkata.

“Cui Lan, engkau telah menceritakan semua riwayat dan pengalamanmu. Menurut pandangan pinni, sebaiknya kalau engkau pergi menghadap ayah angkatmu, yaitu Gubernur Hok Thian Ki yang bijaksana itu. Di sana engkau akan terhibur, berada dalam lingkungan keluarga baik-baik dan terhormat, dan pinni yakin bahwa ayah angkatmu yang bijaksana itu akan dapat mengatur hidupmu selanjutnya, mencarikan jodoh yang layak untukmu....“

“Akan tetapi, teecu merasa tenteram berada di dekat Subo. Biarlah teecu melayani Subo saja, teecu tidak ingin menjadi seorang puteri bangsawan terhormat....“

Pendeta itu tersenyum memandang wajah dara yang jelita itu. “Alangkah baiknya watakmu, Cui Lan. Pinni tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang rendah hati, akan tetapi setelah pinni mengajarkan ginkang kepadamu, pinni yakin bahwa engkau tidak berbakat untuk menjadi seorang wanita yang mengandalkan kekerasan, sungguhpun pinni melihat jiwa pendekar yang gagah berani dalam dirimu. Dan pinni bukan menganjurkan engkau hidup kaya raya dan mulia di rumah Gubernur Ho-pei, melainkan karena gubernur itu amat baik dan sudah mengangkatmu sebagai puterinya, maka sudah sepatutnya kalau engkau ikut dengan beliau sebagai puterinya yang berbakti. Pinni akan mengantarmu ke sana, Cui Lan.”

Cui Lan teringat kepada orang tua yang gagah dan bijaksana itu, dan akhirnya dia menurut karena memang dia sayang dan kagum kepada Gubernur Hok Thian Ki yang pernah mengalami bahaya bersamanya dan yang telah mengangkatnya sebagai anak itu. Memang, dia sudah tidak berayah ibu lagi, gubernur itu telah menjadi pengganti orang tuanya, sudah selayaknya kalau dia pergi menghadap ayah angkat itu.

Demikianlah beberapa hari kemudian Cui Lan diantar oleh Kim Sim Nikouw meninggalkan Kuil Kwan-im-bio di lereng Bukit Thai-hang-san itu, untuk pergi ke Ho-pei, di mana Hok Thian Ki menjadi gubernurnya. Selama beberapa bulan ini Phang Cui Lan telah diajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dan terutama sekali dilatih ilmu ginkang sehingga gadis yang lemah lembut itu kini dapat bergerak dengan cepat, bahkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan tubuhnya tidak mudah lelah seperti sebelum dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Biarpun kepandaiannya belum boleh diandalkan untuk menyerang orang lain, akan tetapi kegesitannya sudah cukup untuk menghindarkan diri dari serangan orang.

Pada suatu hari, nikouw tua dan dara cantik ini memasuki sebuah hutan di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Dari tempat tinggal nikouw itu, yaitu di Kuil Kwan-im-bio yang letaknya di lereng Bukit Thai-hang-san, menuju ke daerah Ho-pei tidaklah begitu jauh, akan tetapi harus melalui banyak hutan liar dan makan waktu perjalanan kurang lebih tiga empat hari.

Pada hari ke tiga itu, mereka memasuki hutan besar dan di dalam hatinya, Kim Sim Nikouw sudah merasa khawatir sungguhpun dia tidak mengatakan sesuatu kepada Cui Lan. Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, Kim Sim Nikouw dapat menduga bahwa sebuah hutan besar dan liar seperti itu, biasanya disuka sekali oleh orang-orang jahat yang hendak menyembunyikan diri dari pengejaran yang berwajib atau juga dari pengejaran para pendekar.

Kekhawatiran Kim Sim Nikouw itu memang benar. Pada waktu itu, di dalam hutan ini memang bersembunyi ketua Liong-sim-pang dan anak buahnya! Seperti kita ketahui, ketua Liong-sim-pang, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun telah terseret pula dalam petualangan Pangeran Nepal sehingga dia bersama anak buah dan para pembantunya ikut pula bersekutu dengan pemberontak itu. Setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan dan Hwai-kongcu Tang Hun bersama sisa anak buahnya berhasil melarikan diri, tentu saja dia tidak berani kembali ke sarangnya semula, yaitu Puncak Naga Api yang terletak di Pegunungan Lu-liang-san, melainkan bersembunyi di dalam hutan besar di kaki Pegunungan Thai-hang-san itu. Dia khawatir kalau-kalau namanya dan perkumpulannya telah masuk cacatan pemerintah dan sarangnya itu akan di serbu pasukan pemerintah. Apalagi karena dalam pertempuran di benteng itu, dia telah ditinggalkan oleh tiga orang tangan kanannya yang dipercaya, yaitu tosu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-pang Ciok Gu To. Tiga orang pandai ini juga melarikan diri dari benteng dalam keadaan terpencar dan melihat kegagalan Hwa-i-kongcu dalam persekutuan itu, mereka bertiga lalu terus pergi tanpa pamit lagi. Hwa-i-kongcu hanya berhasil mengumpulkan dua puluh orang lebih sisa anggauta Liong-sim-pang dan bersama mereka dia cepat kembali ke Puncak Naga Api untuk mengambil semua hartanya yang ditinggalkan di situ, kemudian membawa hartanya pergi dan bersembunyilah dia dan anak buahnya di dalam hutan ini, menanti saat baik untuk membangun kembali perkumpulannya yang menjadi lemah dan rusak akibat gagalnya persekutuan membantu Pangeran Nepal itu.

Ketika nikouw tua dan dara muda itu sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa dalam hutan yang sunyi itu, tiba-tiba Kim Sim Nikouw memegang lengan muridnya dan berhenti melangkah. Biarpun dia sudah tua sekali, namun berkat latihan ketat di waktu mudanya, maka panca inderanya masih peka dan tajam, pendengarannya masih dapat menangkap suara yang tidak sewajarnya.

“Ada apakah, Subo?” bisik Phang Cui Lan khawatir ketika melihat wajah subonya yang serius.

“Sssttt....“ Kim Sim Nikouw berbisik pula.

Cui Lan makin khawatir, mengira bahwa tentu subonya melihat atau mendengar suara seekor binatang buas, maka dara ini merasa ngeri juga. Tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari balik pohon-pohon besar itu muncullah seorang laki-laki bertubuh jangkung diikuti oleh lima orang lain. Melihat munculnya enam orang laki-laki ini, Cui Lan menarik napas lega. Kiranya hanya manusia-manusia saja dan dara ini menjadi tenang kembali.

“Ah, kalian enam orang gagah sungguh membuat kami berdua terkejut bukan main!” kata Cui Lan dengan wajah berseri dan senyum ramah. “Kusangka kami akan bertemu dengan harimau atau ular!” Laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung dan bermuka keras itu, tertawa mendengar ini dan lima orang temannya tertawa semua. “Ha-ha-ha, Nona Manis, kalau dibandingkan dengan harimau, kami adalah singa-singa perkasa, dan kalau dibandingkan dengan ular-ular sesungguhnya kami adalah naga-naga sakti! Setelah berjumpa dengan kami, kalian berdua harus menyerah untuk menjadi tawanan kami.”

“Menjadi tawanan?” Cui Lan bertanya dengan penasaran. Dara ini memang memiliki ketabahan besar, maka kini dia pun tidak menyembunyikan kemarahannya dan sedikit pun tidak kelihatan takut karena dia merasa berada di fihak yang benar. “Apakah kesalahan kami berdua. Dan untuk apa kami hendak ditawan?”

Kembali enam orang itu tertawa dan si jangkung membusungkan dada. “Kalian telah memasuki wilayah kami dan kalian harus kami tawan untuk kami hadapkan kepada pimpinan kami!”

Kim Sim Nikouw sudah maklum bahwa dia dan muridnya berhadapan dengan gerombolan perampok atau orang-orang jahat, maka dia sudah mengerutkan alisnya dan kini dia segera berkata halus, “Omitohud.... kami berdua hanyalah seorang nikouw tua dan seorang gadis muda yang lemah dan miskin, tidak mempunyai apa-apa, maka, demi Dewi Kwan Im yang pengasih dan penyayang, harap Cu-wi (Anda sekalian) yang gagah perkasa tidak mengganggu kami.”

Si jangkung itu membelalakkan matanya. “Eh, nikouw tua, jangan ngoceh engkau! Kaukira kami ini perampokperampok? Phuh! Kami adalah orang-orang gagah perkasa dari Liong-sim-pang, tahu?”

Sudah puluhan tahun lamanya Kim Sim Nikouw tidak lagi berkecimpung di dalam dunia kang-ouw, tentu saja dia belum pernah mendengar akan nama perkumpulan Liong-sim-pang itu. Akan tetapi melihat sikap sombong dari si jangkung ini saja sudah dapat dinilai olehnya macam apa adanya Perkumpulan Hati Naga itu. Dia cepat menjura dan berkata, “Ah, kiranya Cu-wi adalah orang-orang gagah dari perkumpulan besar. Makin baik kalau begitu, karena pinni percaya bahwa Cu-wi tidak akan mengganggu kami. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa pinni sedang mengantarkan nona ini untuk menghadap Gubernur Ho-pei. Nona ini adalah puteri angkat beliau, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan.”

“Puteri angkat Gubernur Ho-pei? Ahhh....!” Enam orang itu terbelalak dan kelihatan terkejut dan girang sekali. Kim Sim Nikouw sengaja menggunakan nama gubernur untuk mengusir mereka karena biarpun dia tidak merasa takut, akan tetapi nenek ini sudah tidak mempunyai minat lagi untuk mengunakan kekerasan bertempur melawan orang lain. Usianya sudah hampir enam puluh tahun dan sudah puluhan tahun dia tidak pernah berkelahi, bahkan jarang sekali berlatih sungguhpun selama puluhan tahun itu dia telah menemukan rahasia ilmu ginkang yang luar biasa sekali.

Biarpun Cui Lan sendiri merasa tidak setuju mendengar gurunya membawa bawa nama ayah angkatnya menghadapi orang-orang kasar ini karena dia sendiri sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi melihat wajah girang mereka, dara ini mengira bahwa mereka sudah mengenal ayah angkatnya dan menghormatnya, maka dia pun tersenyum dan berkata, “Setelah Cu-wi mengenal ayah angkatku, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan. Setelah bertemu dengan beliau, tentu aku akan melaporkan tentang kebaikan kalian. Sekarang ini, seperti dikatakan Subo, kami adalah orang-orang miskin dan aku tidak mempunyai apa-apa....“

Cui Lan menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba si jangkung itu tertawa bergelak diikuti oleh teman-temannya. “Ha-ha-ha, engkau bilang tidak mempunyai apa-apa, Nona? Ha-ha-ha, engkau memiliki sesuatu yang amat berharga sekali, yaitu kecantikan dan kemudaanmu. Kongcu tentu akan tertarik sekali kepadamu, karena itu, marilah engkau ikut bersama kami menghadap kongcu dan nenek tua ini tidak ada gunanya, biar dia melanjutkan perjalanannya seorang diri saja.”

“Jiu-twako, mengapa tidak bunuh saja nenek ini biar menjadi makanan binatang hutan dan agar dia tidak dapat banyak bicara tentang kita di sini?” berkata seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok dan kata-katanya ini agaknya didukung oleh teman-temannya.

“Bunuh juga lebih baik!” kata si jangkung dan tentu saja Cui Lan menjadi terkejut bukan main dan bangkitlah kemarahannya. Dengan mata terbuka lebar dan dada dibusungkan, dia menghadang di depan subonya dan menentang enam orang laki-laki kasar itu.

“Hemmm, apa yang kalian hendak perbuat? Apakah seperti itu sikap orang-orang gagah yang menamakan dirinya anggauta-anggauta perkumpulan Liong-sim-pang yang gagah perkasa? Mundurlah, kalau tidak, tentu kejahatan kalian kelak akan menerima hukuman dari pemerintah dan dari Tuhan!”

Enam orang itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini. “Ha-ha-ha, kawan-kawan, lihat, nona ini selain cantik jelita, juga memiliki keberanian! Kongcu tentu akan girang melihatnya. Kurasa, dibandingkan dengan Puteri Bhutan itu, dia ini masih tidak kalah!”

Kim Sim Nikouw melihat gelagat tidak baik, maka dia menarik tangan muridnya dan berkata, “Cui Lan, mundurlah.” Kemudian dia menghadapi enam orang itu dan berkata lagi dengan halus, “Harap Cu-wi suka mempertimbangkan lagi apa keuntungan Cu-wi mengganggu kami, seorang wanita tua dan seorang gadis lemah. Apakah Cu-wi tidak khawatir nama baik Cu-wi akan ternoda?”

Si jangkung membentak, “Nikouw tua jangan cerewet! Dengar, aku adalah Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang terkenal jagoan dan tentu saja aku tidak sudi mengganggu nenek-nenek tua dan seorang dara yang lemah. Akan tetapi kami tidak ingin mengganggu kalian. Aku hanya ingin mengajak nona ini menghadap kongcu yang sedang kesepian, sedangkan engkau, kalau engkau menjadi bujang dan melayani kongcu akan kami ajak sekalian. Kalau tidak, nona ini akan kami bawa dan engkau akan kami berikan kepada binatang-binatang buas di hutan ini untuk dimakan!”

Kim Sim Nikouw memejamkan mata sejenak untuk merasakan api kemarahan yang terasa di dada dan kepalanya, kemudian dia membuka kembali matanya, memandang kepada Jiu Koan jagoan Liong-sim-pang itu dengan sinar mata tetap lembut dan dia menarik napas panjang berkali-kali sehingga api kemarahan itu padam kembali.

“Omitohud.... kalian menggunakan kekerasaan untuk melakukan perbuatan jahat, tidak tahukah kalian bahwa hal itu akan menimpa kalian sendiri?”

“Jiu-twako, mengapa melayani nenek-nenek cerewet? Biar kusembelih saja dia!” bentak si brewok sambil mencabut sebuah golok dari punggungnya, ditertawakan oleh teman-temannya. Jiu Koan mengangguk, kemudian tiba-tiba dia sendiri bergerak menubruk ke arah Cui Lan untuk menangkap dara itu, sementara itu, si brewok sudah memutar goloknya lalu dibabatkan golok itu ke arah leher Kim Sim Nikouw!

“Ihhhhh....!” Cui Lan menjerit ngeri akan tetapi dengan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat ke samping sehingga Jiu Koan hanya menubruk tempat kosong belaka! Inilah hasil beberapa bulan digembleng oleh Kim Sim Nikouw dalam hal ginkang! Melihat betapa mudahnya dia mengelak, Cui Lan menjadi besar hati dan dia bersikap waspada memandang kepada si jangkung yang kelihatan terheran itu. Akan tetapi si jangkung Jiu Koan tidak berusaha menubruknya kembali karena tertarik untuk menonton si brewok yang sudah mulai menyerang nikouw tua itu.

Enam orang itu terkejut sekali seperti juga si brewok karena biarpun si brewok menyerang sedemikian cepatnya, ketika golok itu menyambar, tubuh nenek itu tiba-tiba saja lenyap! Jiu Koan sendiri melihat betapa cepatnya gerakan nenek itu, seperti kapas ringannya, melayang ke kanan ketika golok menyambar. Dia menjadi penasaran dan mulai menduga bahwa nikouw itu tentu memiliki kepandaian, maka dia mengambil kesimpulan bahwa kalau nikouw ini tidak dibunuh lebih dulu, tentu akan sukar baginya untuk dapat menawan dara cantik jelita yang tentu akan menyenangkan hati kongcunya itu. Maka setelah mencabut goloknya, golok yang amat diandalkannya, dia lalu berseru nyaring kepada kawan-kawannya, “Hayo kalian bantu, bunuh nikouw tua itu!”

Empat orang kawannya cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan beramai-ramai mereka berlima lalu mengeroyok Kim Sim Nikouw. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh nikouw itu, menyilaukan mata sinar golok dan pedang yang berkilat-kilat. Namun sungguh mengejutkan mereka karena biarpun mereka kadang-kadang dapat melihat dengan jelas tubuh atau bayangan nenek itu, tidak ada satu pun di antara serangan-serangan mereka mengenai sasaran! Nenek tua itu seperti pandai menghilang saja dan tahu-tahu, begitu diserang, bayangan itu lenyap dan telah berada di tempat lain, di belakang atau di kanan kiri mereka! Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran mereka dan lima orang itu menyerang lebih ganas lagi.

Penyerangan orang-orang kasar itu tentu saja sama sekali tidak ada artinya bagi Kim Sim Nikouw, merupakan serangan sekumpulan anak-anak yang canggung dan kaku belaka dan dengan ginkangnya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini. Jangankan baru lima orang kasar itu, biar ditambah lagi dengan lima puluh orang macam mereka, kiranya belum tentu akan mampu melukai nenek ini dengan senjata mereka! Kalau nikouw tua itu menghendaki, dengan sedikit gerakan berdasarkan ilmu ganas Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), atau Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), maka dengan mudah dia akan dapat merobohkan mereka. Hanya saja hati nikouw ini merasa tidak tega. Setelah puluhan tahun lamanya menghayati ajaran-ajaran Dewi Kwan Im yang penuh welas asih, ia merasa tidak tega untuk membalas kekerasan orang dengan kekerasan pula. Dia melihat perbuatan keras dan kasar itu bukan sebagai suatu kejahatan, melainkan sebagai suatu kebodohan dan orang-orang itu tidak menimbulkan kebencian di dalam hatinya, malah baginya patut dikasihani! Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Kim Sim Nikouw hanya mengelak saja tanpa mau membalas.

Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang sombong itu, tentu saja terkejut bukan main melihat betapa nenek itu dapat berkelebat seperti seekor burung di antara kilatan golok dan pedang anak buahnya, sedikit pun tidak pernah tersentuh. Dia menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras dia pun menerjang ke depan, menusukkan goloknya ke arah punggung nenek itu. Kim Sim Nikouw mengelak dengan tubuh dimiringkan, akan tetapi golok yang luput menusuk itu telah membalik dan membabat ke arah lehernya! Tahulah Kim Sim Nikouw bahwa Jiu Koan ini memiliki kepandaian yang tidak boleh disamakan dengan kekasaran lima orang anak buahnya, maka dengan cepat nikouw tua ini mengenjot kakinya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang, membuat babatan golok di tangan Jiu Koan itu mengenai angin kosong saja.

Enam orang Liong-sim-pang itu makin penasaran dan kini mereka terus menyerang bertubi-tubi, sama sekali tidak ingat akan kegagahan mereka yang sepatutnya tersinggung dan membuat mereka malu karena mereka adalah enam orang laki-laki yang selalu menganggap diri sendiri gagah perkasa, akan tetapi kini mengeroyok seorang nikouw tua yang sama sekali tidak pernah mau balas menyerang!

Kim Sim Nikouw akhirnya maklum bahwa kalau dia tidak mengalahkan mereka, enam orang yang tidak tahu diri ini tentu akan terus menyerang, dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Cui Lan, maka tiba-tiba nenek tua itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan di lain saat, terdengar pekik kaget berturut-turut golok dan pedang mereka terlepas dari tangan dan telah dirampas semua oleh Kim Sim Nikouw.

“Omitohud, kalian terlalu mendesak....!” Kim Sim Nikouw berseru dan satu demi satu dia mematahkan pedang dan golok itu dengan jari-jari tangannya yang kurus dan kecil. Mendengar suara “pletak-pletak” dan melihat betapa golok dan pedang mereka itu dipatahkan seperti orang mematahkan lidi saja, enam orang itu terbelalak dengan muka pucat! Tahulah mereka sekarang bahwa nikouw tua itu ternyata adalah seorang yang sakti, memiliki kepandaian yang amat tinggi dan luar biasa. Selagi mereka terbelalak dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara orang di belakang mereka.

“Apakah yang sedang terjadi di sini?” Legalah hati Jiu Koan dan anak buahnya mendengar suara ini. Jiu Koan cepat membalik dan menghadap seorang laki-laki muda yang usianya tiga puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak muda sekali, nampaknya baru berusia dua puluhan tahun lebih, pakaiannya serba baru dengan baju berkembang-kembang, sepatunya mengkilap, seorang yang tampan dan pesolek, yang kini berdiri dan biarpun dia bertanya kepada anak buahnya, namun sepasang matanya dengan jalang melahap kecantikan Cui Lan yang berdiri tidak jauh dari tempat itu. Dengan tangan kiri memegang kipas yang dikembangkan, maka Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang ini pantas menjadi seorang sastrawan yang sopan dan halus budi! Mukanya putih seperti dibedaki, dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang yang terukir indah dan dihias ronce merah!

“Kongcu, nenek ini lihai bukan main dan kami tak berdaya terhadapnya. Senjata kami dirampasnya, harap Kongcu suka menghajarnya!”

Hwa-i-kongcu Tang Hun mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya mengerling tajam ke arah Cui Lan yang tentu saja merasa tidak enak dan juga agak tak senang melihat kekurangajaran dalam mata pemuda asing itu.

“Jiu Koan, ceritakan yang jelas mengapa kalian ribut-ribut dengan Lo-suthai ini,” kata Hwa-i-kongcu, suaranya halus sikapnya menarik dan sopan.

“Kongcu, kami melihat nenek dan nona ini lewat di sini, melanggar wilayah kita, maka kami bermaksud untuk menghadapkan nona itu kepada Kongcu. Akan tetapi nikouw tua ini melarang dan kami lalu menyerangnya....“

“Seorang gagah perkasa harus malu untuk berbohong!” tiba-tiba Cui Lan berkata lantang. “Hendaknya Kongcu tidak sembarangan percaya pelaporan orang-orang yang pengecut ini! Kami guru dan murid lewat di sini dalam perjalanan kami ke daerah Ho-pei, mana kami tahu bahwa hutan ini menjadi wilayah kekuasaan mereka? Si jangkung ini lalu hendak menangkap aku dan hendak membunuh Subo, dan Subo hanya membela diri saja ketika hendak dibunuh. Harap Kongcu membiarkan kami berdua guru dan murid melanjutkan perjalanan kami.”

“Kongcu, nona itu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki di Ho-pei!” tiba-tiba si jangkung berkata dan berubahlah wajah Tang Hun. Dia tersenyum dan matanya menatap wajah cantik Cui Lan.

“Ah, kiranya Siocia adalah puteri angkat Gubernur Ho-pei? Selamat datang di wilayah kami dan kupersilakan Nona untuk sudi singgah di gubukku sebagai seorang tamu terhormat.”

Cui Lan mengerutkan alisnya. Biarpun pemuda itu tampan dan lemah lembut, juga sopan santun, namun dia melihat betapa di balik sinar mata dan senyum pemuda itu terdapat sesuatu yang menyeramkan dan mengerikan hatinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi Kim Sim Nikouw yang juga segera mengenal orang, segera menjura.

“Ah, kiranya Kongcu adalah pimpinan Liong-sim-pang? Harap maafkan pinni dan murid pinni yang tanpa disengaja melanggar wilayah Kongcu. Kami sedang tergesa-gesa, maka harap maafkan bahwa pinni dan murid pinni tidak ada kesempatan untuk berkunjung.”

“Siapakah Lo-suthai?” Tiba-tiba suara pemuda itu berubah, tidak semanis tadi, bahkan kelihatan marah. Memang sesungguhnya hati Tang Hun sudah terasa panas melihat betapa enam orang anak buahnya dibuat tidak berdaya oleh nenek tua ini.

“Pinni adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio yang berada di lereng Thai-hang-san, Kongcu. Dan murid pinni ini adalah Phang Cui Lan, puteri angkat dari Gubernur Ho-pei. Kami sedang menuju ke sana untuk menghadap gubernur.” Nikouw itu menjelaskan sejujurnya.

“Hemmm, Suthai adalah seorang pemuja Dewi Welas Asih, akan tetapi Suthai sendiri tidak memiliki welas asih dalam hati Suthai”

“Maksud Kongcu?” Kim Sim Nikouw bertanya heran.

“Kalau Suthai niemiliki hati penuh welas asih, tentu Suthai akan meninggalkan nona ini di sini dan Suthai boleh pergi.”

“Kongcu, apa maksudmu?”

“Suthai tentu maklum betapa tersiksanya seorang pria yang sedang kesepian seperti saya ini. Dan melihat nona ini, anak buahku ingin menghibur hatiku dengan persembahan berupa nona ini. Kalau Suthai kasihan kepada saya, tentu Suthai juga tidak berkeberatan untuk menyerahkan nona ini kepadaku, untuk menghibur hatiku yang sedang kesepian....“

“Eh, Kongcu yang rendah budi!” Cui Lan berseru marah. “Aturan mana itu? Melihat gerak-gerik dan pakaianmu, tentu engkau seorang yang tahu akan peraturan dan kebudayaan, mengapa dapat mengeluarkan kata-kata yang rendah itu?”

Tang Hun tersenyum. “Nona Phang Cui Lan, begitu melihatmu aku sudah jatuh cinta kepadamu. Engkau begini cantik jelita, halus budi dan penuh keberanian. Sungguh pantas kalau menjadi teman hidupku! Jiu Koan, ajak teman-teman tangkap nona itu, akan tetapi jangan lukai dia dan jangan bersikap kasar, dia adalah milikku yang harus kalian hormati.”

“Tapi.... tapi dia....“ Jiu Koan memandang ke arah Kim Sim Nikouw dengan sikap jerih.

“Serahkan nikouw tua ini kepadaku!”

Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba sekali Hwa-i-kongcu Tang Hun sudah menerjang maju, tangan kanannya menampar ke arah pelipis dan tangan kirinya menghadang lalu mencengkeram lambung. Serangan ini ganas bukan main!

“Omitohud....!” Kim Sim Nikouw berseru kaget sekali, akan tetapi kegesitan gerakannya masih mengatasi kecepatan serangan lawan dan sebelum kedua tangan lawan itu menyentuh ujung baju, dia sudah mengelak sehingga serangan pertama itu luput!

Akan tetapi, Hwa-i-kongcu terus menyerangnya dengan bertubi-tubi. Sedemikian hebat serangan pemuda pesolek itu sehingga biarpun Kim Sim Nikouw memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa dan semua serangan Hwa-i-kongcu dapat dielakkannya dengan mudah, namun nenek ini maklum pula bahwa menghadapi seorang yang memiliki tingkat kepandaian seperti pemuda pesolek ini, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat mengandalkan kecepatan untuk terus-menerus mengelak saja. Pukulan-pukulan yang dilakukan oleh lawannya itu bukanlah pukulan kasar yang dapat dielakkannya dengan mudah, melainkan pukulan yang mengandung tenaga sinkang sehingga amatlah berbahaya baginya kalau dia hanya mengelak terus-menerus. Oleh karena itu, mulailah nikouw tua ini bersilat dan terpaksa dia lalu mengeluarkan ilmu pukulan yang selama ini disimpannya sebagai rahasia dirinya, yaitu Toat-beng Sin-ciang dan kadang-kadang Swat-im Sin-ciang. Penggabungan pukulan seperti yang dilatih oleh Siluman Kecil atas petunjuk dan bantuannya, sama sekali tidak pernah dipelajarinya sendiri karena dianggap terlalu kejam, bertentangan dengan hati dan sifatnya yang menentang kekerasan.

Melihat gerakan tangan nikouw itu, bukan main kagetnya Hwa-i-kongcu. Yang dihadapi adalah seorang nikouw pemuja Kwan Im Pouwsat yang demikian lemah lembut dan suci, akan tetapi mengapa gerakan tangannya demikian kejinya, membayangkan ilmu yang luar biasa ganasnya dan ampuhnya? Dia tidak tahu bahwa Kim Sim Nikouw dahulunya di waktu muda adalah murid datuk-datuk ilmu persilatan yang termasuk datuk kaum sesat

Akan tetapi, karena memang kurang latihan, akhirnya Kim Sim Nikouw harus mengakui keunggulan murid dari nenek iblis Durganini itu. Apalagi ketika dalam penasaran dan marahnya Hwa-i-kongcu Tang Hun mencabut pedangnya yang tipis, terpaksa Kim Sim Nikouw kembali mengandalkan ginkangnya untuk mengelak ke sana-sini. Sebetulnya yang membuat dia terdesak adalah karena nikouw tua ini sama sekali tidak ada maksud untuk membunuh lawan, berbeda dengan lawannya yang bernafsu untuk membunuhnya. Hal ini tentu saja amat mempengaruhi jalannya pertempuran. Kalau dia selalu berhati-hati dan hanya melakukan serangan balasan yang sifatnya menjaga diri saja, sebaliknya lawan menghujankan serangan maut untuk membunuh.

Sementara itu, biarpun dia telah mengerahkan ginkangnya untuk mengelak dan lari ke sana ke mari, akhirnya Cui Lan tertangkap juga dan begitu lengannya kena ditangkap, dara itu tak mampu lari lagi dan segera diringkus oleh Jiu Koan yang tertawa-tawa. Akan tetapi karena sudah dipesan oleh Hwa-i-kongcu, maka dia dan kawan-kawannya tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar terhadap dara itu, hanya mengikat kedua tangan dara itu ke belakang tubuhnya dengan saputangan. Tertawannya dara itu membuat Kim Sim Nikouw makin bingung dan nyaris pundaknya dimakan pedang kalau saja dia tidak cepat melempar diri ke belakang dan terus berjungkir-balik dan melarikan diri dari tempat itu!

“Subo....!” Phang Cui Lan berseru memanggil akan tetapi nikouw itu telah berkelebat lenyap dari situ.

“Kejar dia! Nenek itu harus dibunuh karena dia sudah tahu tempat kita!” Hwa-i-kongcu berseru kepada Jiu Koan dan teman-temannya yang segera lari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan nikouw itu, sedangkan Hwa-i-kongcu lalu memondong tubuh Phang Cui Lan, dibawa lari memasuki hutan lebat. Dara itu meronta dan memaki, akan tetapi tentu saja tak mampu berkutik dalam pondongan Hwa-i-kongcu yang hanya tertawa gembira.

Kenapa Kim Sim Nikouw melarikan diri dan meninggalkan Cui Lan begitu saja terancam bahaya di tangan pemuda cabul itu? Apakah nikouw tua yang di waktu mudanya adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa itu kini menjadi penakut dan pengecut yang membiarkan muridnya terancam bahaya? Tentu saja tidak demikian, Kim Sim Nikouw maklum bahwa kalau dia mengandalkan kekuatannya sendiri saja dia tidak akan mampu menyelamatkan Cui Lan, bahkan dia sendiri yang akan celaka karena Hwai-kongcu Tang Hun ternyata amat lihai dan agaknya memiliki banyak anak buah. Oleh karena itulah maka dia sengaja melarikan diri untuk mencari bantuan! Karena daerah itu sudah termasuk wilayah Propinsi Ho-pei, maka dia akan cepat mencari pembesar setempat untuk minta bantuan pasukan keamanan untuk menolong puteri angkat gubernur yang tertawan orang jahat. Kalau pembesar setempat mendengar bahwa yang tertawan Hwa-i-kongcu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki, sudah pasti pembesar itu mau membantu.

Ketika nikouw tua itu sudah mulai berpeluh dan terengah-engah karena sejak tadi melakukan perjalanan dengan berlari cepat, tiba-tiba dia mendengar seruan dari samping, “Ibu....! Mengapa tergesa-gesa? Hendak pergi ke manakah?”

“Kian Bu....!” Kim Sim Nikouw girang bukan main ketika dia menahan kakinya dan menengok, melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang pemuda berambut putih yang bukan lain adalah Suma Kian Bu, pemuda yang menjadi muridnya, juga menjadi anak angkatnya itu, pemuda putera Suma Han atau Pendekar Super Sakti, satu-satunya pria yang pernah dan masih dicintanya! Saking girangnya, Kim Sim Nikouw menubruk dan merangkul Kian Bu dengan air mata berlinang.

“Eh, Ibu menangis?” Kian Bu terkejut bukan main. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini mengejar dan mencari Kian Lee, kakaknya yang lari melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang membawa pergi Hwee Li. Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana kakaknya itu lari, dia salah jalan dan tidak berhasil menyusul Kian Lee. Ketika dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, dia teringat kepada Kim Sim Nikouw, gurunya dan juga ibu angkatnya itu, maka dia lalu membelok dan bermaksud mengunjungi Kwan-im-bio di lereng Thai-hang-san dan tak disangkanya, dia melihat nikouw itu berkelebat cepat maka segera dipanggilnya. Kini melihat nikouw tua itu berlinang air mata, dia terkejut sekali.

“Kian Bu, anakku, engkau harus cepat menolong dia! Hayo kau ikut denganku!” Setelah berkata demikian, nikouw itu menarik tangan Kian Bu dan cepat berlari ke arah yang berlawanan dengan tadi.

Terpaksa Kian Bu juga mempergunakan ilmunya berlari cepat sehingga nenek dan pemuda ini berlari cepat sekali menuju ke sebuah hutan besar yang nampak dari situ.

“Dia siapakah, Ibu?” Kian Bu bertanya karena dia merasa heran dan ingin tahu sekali mengapa ibu angkatnya kelihatan begitu gugup dan bingung, suatu sikap yang amat berlawanan dengan sikap nikouw ini yang biasanya tenang dan lemah lembut.

“Dia.... Phang Cui Lan,” jawab nikouw itu sambil terus berlari, bahkan mempercepat larinya, padahal napasnya sudah terengah-engah.

“Phang Cui Lan....? Siapa dia....?” Kian Bu bertanya lagi. “Dan apa yang telah terjadi dengan dia?”

Tiba-tiba Kim Sim Nikouw menghentikan langkahnya, terengah-engah dan menghapus keringat dari muka dan lehernya, matanya memandang kepada Klan Bu dengan marah dan dia berkata penuh teguran, “Kian Bu, engkau laki-laki tak berjantung!”

Kian Bu memandang kepada nikouw itu dengan mata terbelalak. “Apa.... apa maksud Ibu berkata demikian?”

“Dara itu memujamu seperti dewa, mencintamu melebihi jiwa raganya sendiri, dan engkau.... namanya pun kau lupakan! Betapa kejam engkau....!”

“Ahhh....?” Kian Bu terkejut dan mengingat-ingat nama itu, namun tetap saja tak dapat diingat dan dikenalnya.

“Lupakah kau kepada puteri mendiang lurah dusun Cian-Ii-cung di dekat Lokyang?”

“Ahhh....! Kiranya dia....!” Tentu saja kini teringat oleh Kian Bu dara cantik yang dia tahu tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya itu. Dara yang ditolongnya ketika dusunnya diserbu perampok, keluarga ayahnya terbunuh semua, kemudian dia menitipkan dara itu sebagai dayang di gedung Gubernur Ho-nan. Dan dara itu muncul kembali ketika dia bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin. Dalam pertemuan itu dia sengaja bersikap kasar kepada dara itu untuk meyakinkan hati dara itu bahwa dia tidak mencintanya karena sikap ini dianggapnya sebagai satu-satunya obat untuk menyembuhkan dara itu. Siapa kira, kini dara itu agaknya dikenal oleh Kim Sim Nikouw dan terjadi sesuatu yang membuat nikouw itu demikian gelisah.

“Apa yang terjadi dengan dia, Ibu?”

“Dia ditawan oleh ketua Liong-simpang dan aku tidak berhasil menyelamatkannya, hayo kau cepat tolong dia!” Nikouw itu sudah berlari-lari dan Kian Bu cepat menyusulnya.

“Mari kau kugendong saja agar cepat, Ibu, kau sudah lelah sekali!” kata pemuda itu dan tanpa menanti jawaban, dia sudah menyambar dan memondong tubuh nikouw tua itu dan dibawanya lari secepat angin. “Harap kautunjukkan jalannya.”

Kim Sim Nikouw memandang pemuda itu dengan hati penuh kagum. Dia yang mengajarkan ilmu ginkang kepada pemuda ini, akan tetapi dibandingkan dengan pemuda ini, dia sekarang kalah jauh! Dan berada dalam pondongan pemuda ini, ada rasa keharuan menyengat hatinya karena dia membayangkan bahwa yang memondongnya bukan Suma Kian Bu melainkan ayahnya, Suma Han! Akan tetapi dengan muka berubah merah Kim Sim Nikouw cepat mengusir bayangan itu dan mengalihkan perhatiannya untuk menunjukkan jalan kepada Kian Bu memasuki hutan di mana tadi dia meninggalkan Cui Lan yang tertawan oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang.

Sementara itu, dengan hati girang dan gembira sekali Tang Hun memondong tubuh Cui Lan dan dibawa masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang kokoh kuat, pondok yang dibuat oleh anak buahnya di tengah hutan sebagai tempat tinggal dan tempat sembunyi sementara itu. Hatinya gembira bukan main karena dara yang ditawannya ini benar-benar amat cantik jelita! Hatinya sedang kesal dan berduka oleh semua kegagalannya, maka dara ini akan dapat menghiburnya di tengah hutan itu dan karena dara ini amat cantik dan lemah lembut, apalagi dikabarkan sebagai puteri angkat gubernur, maka dia tidak mau memperkosanya secara kasar. Tang Hun adalah seorang laki-laki hidung belang dan cabul, akan tetapi dia pun amat cerdik dan memiliki ambisi besar. Baru saja, dalam membantu Pangeran Nepal, dia mengalami kegagalan yang amat merugikan sehingga terpaksa dia menyembunyikan diri ke dalam hutan karena takut kalau diburu sebagai pemberontak, akan tetapi kini terbukalah kesempatan baginya untuk menebus kegagalannya itu!

Dia mempunyai dua kesempatan yang amat baik dengan tertawannya puteri angkat Gubernur Ho-pei itu. Kalau dia pandai membujuk rayu sampai dara cantik jelita itu menyerah dengan suka rela, dan dia yakin akan berhasil dalam hal ini, maka selain dia akan memperisteri seorang wanita yang amat jelita, juga dia akan menjadi mantu gubernur! Bukan main kenyataan ini, karena seketika dia akan terangkat tinggi sekali dalam kedudukan yang amat terhormat dan tentu gubernur itu akan melindungi mantunya! Andaikata keadaannya berbalik dan dara cantik manis itu tidak mau menyerah dengan suka rela, dia masih dapat memanfaatkannya, yaitu menjadikannya sandera untuk melindungi dirinya jika dia diserbu dan diburu oleh pasukan pemerintah, dan tentu saja dia tetap akan dapat bersenang-senang dan menjadikan dara itu kekasihnya, baik secara halus atau secara kasar!

Berbareng dengan kata terakhir itu, secara tiba-tiba dan cepat sekali Tang Hun sudah menubruk ke depan. Dia mengambil keputusan untuk secara paksa mencemarkan gadis ini dan menundukkannya dengan kekerasan. Dia percaya bahwa gadis ini setelah ditundukkan dengan paksaan, setelah diperkosanya akan kehilangan pula keangkuhannya dan akan patuh dan menurut, seperti yang sudah banyak dia alami dengan gadis-gadis yang pernah diperolehnya dengan cara apa pun juga. Biasanya, seorang dara yang angkuh seperti ini, sekali kehilangan kehormatannya akan menjadi jinak dan patah semangat.

“Eh....?” Tang Hun terkejut bukan main ketika tubrukannya itu mengenai tempat kosong karena dengan kecepatan luar biasa dara itu telah dapat mengelak dari tubrukan itu! Tak disangkanya dara itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya. Akan tetapi dianggapnya bahwa tentu gerakan mengelak itu hanya kebetulan saja, maka kembali dia menubruk, sekali ini lebih cepat dan ganas, kedua tangannya membentuk cakar karena dia ingin mencengkeram pakaian dara itu untuk direnggut dan dicabik-cabiknya, kebiasaan yang amat disukainya kalau dia memperkosa wanita. Akan tetapi, kembali tubrukannya luput! Dengan ringan Cui Lan yang melihat bahaya mengancam itu sudah meloncat, mengerahkan seluruh ginkangnya yang telah dipelajari selama ini dari Kim Sim Nikouw. Wajah dara ini menjadi pucat, dia merasa ngeri dan maklum bahwa dia terancam bahaya yang lebih hebat daripada maut, akan tetapi sampai mati pun dia tidak akan menyerah dan kalau dia sudah tidak melihat jalan lain, dia mengambil keputusan untuk membunuh dirinya sendiri dan pria ini hanya akan memperoleh mayatnya saja. Untuk itu dia telah bersiap-siap, kalau sudah tidak ada jalan keluar, dia akan membenturkan kepalanya pada dinding kamar itu!

“Hemmm.... kiranya engkau memiliki ginkang yang boleh juga....!” Tang Hun berkata memuji dan pandang mata yang marah itu bercampur kagum dan timbullah rasa sayang di dalam hatinya. “Nona, engkau adalah seoranvg dara yang cantik jelita, memiliki kepandaian lumayan dan engkau puteri gubernur, mengapa engkau tidak mau mempergunakan pikiran sehat? Ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda yang belum beristeri dan aku jatuh cinta padamu. Kalau kita menjadi suami isteri, bukankah sudah sepadan sekali dan engkau akan hidup serba kecukupan.”

“Tidak sudi....! Tidak sudi....!” Cui Lan berseru dengan marah pula.

“Nona, pikirlah baik-baik. Kalau engkau menerima dengan suka rela, aku akan memperlakukan engkau dengan hormat sebagai calon isteriku yang baik. Aku akan merasa menyesal kalau harus memaksamu dengan perkosaan. Jangan kau mengira bahwa sedikit ilmu ginkang itu akan dapat membuat engkau terbebas dariku, Sayang. Nikouw tua itu sendiri tidak mampu melawanku. Marilah mendekat, dan katakan bahwa engkau menerima pinanganku, Nona....”

“Tidak sudi, keparat keji! Lebih baik seratus kali mati daripada tunduk kepada niat jahatmu!” Cui Lan mernbentak dan pada saat itu Tang Hun sudah menerjang dengan kecepatan kilat. Cui Lan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja ujung lengan bajunya kena dicengkeram.

“Brettttt....!” Lengan baju itu robek sampai ke pundak sehingga nampak lengan dan pundak yang berkulit putih mulus itu. Melihat ini, makin berkobar nafsu Tang Hun dan dia sudah menyeringai, matanya jalang dan Cui Lan sudah mundur-mundur sampai membentur dinding. Maklumlah dara itu bahwa dia tidak dapat meloloskan diri, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membenturkan kepalanya pada dinding itu kalau Tang Hun menubruknya lagi.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara dari luar jendela, “Hemmm, bajingan kecil seperti ini berani kurang ajar terhadap Nona Phang Cui Lan?”

Mendengar suara ini, sepasang mata Cui Lan terbelalak lebar, wajahnya berseri penuh kegembiraan dan dia segera mengenal suara itu, maka teriaknya, “Taihiap....!” Dia mengenal suara itu, sampai di manapun, bercampur dengan suara apa pun, dia akan selalu mengenal suara yang amat dirindukannya itu, suara dari Pendekar Siluman Kecil!

Hwa-i-kongcu Tang Hun terkejut mendengar suara itu. Anak buahnya banyak menjaga di luar, akan tetapi bagaimana orang ini tahu-tahu sudah berada di luar jendela kamarnya? Hal ini saja menunjukkan bahwa orang itu tentu lihai, sungguhpun dia tidak merasa jerih karena dia belum melihat siapa orangnya dan di dunia ini tidak banyak orang yang akan mampu mengalahkannya. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah jendela itu. Daun jendela pecah tertembus oleh senjata rahasia berbentuk uang logam yang dilontarkan oleh Tang Hun tadi. Kalau yang berada di luar jendela itu hanya orang yang memiliki kepandaian silat biasa saja, tentu akan roboh oleh penyerangan uang logam yang ampuh ini, yang setelah menembus daun jendela masih meluncur cepat dan tentu akan melukai orang yang berdiri di luar jendela.

Cui Lan memandang dengan mata terbelalak ke arah jendela. Biarpun ilmu silat yang dipelajarinya dari Kim Sim Nikouw belum tinggi benar, namun dia sudah mengerti atau sedikitnya sudah dapat menduga bahwa sinar hitam yang menyambar jendela dan memecahkan daun jendela itu adalah senjata ampuh yang menyerang ke arah orang yang bicara di luar jendela tadi. Dia sudah tahu akan kelihaian Pendekar Siluman Kecil akan tetapi melihat senjata rahasia itu hatinya berdebar tegang dan penuh kekhawatiran pula, apalagi ketika tidak terdengar apa-apa dari luar, seolah-olah senjata-senjata kecil yang beterbangan itu menembus daun jendela dan mengenai sasaran!

Tang Hun sendiri memandang ke arah jendela dengan mata terbelalak. Dia merasa yakin benar bahwa senjata-senjatanya itu menembus daun jendela dan meluncur ke arah siapa saja yang berdiri di luar jendela, akan tetapi kalau mengenai sasaran, mengapa tidak terdengar teriakan orang kesakitan? Dan andaikata tidak mengenai sasaran, tentu terdengar pula uang-uang logam itu jatuh ke atas lantai atau mengenai dinding di luar jendela.

Akan tetapi, sunyi saja tidak terdengar apa-apa, seolah-olah senjata-senjata rahasianya itu lenyap di luar jendela tanpa bekas dan tanpa suara. Mulailah dia merasa bergidik. Akan tetapi tangannya sudah menggenggam beberapa buah mata uang lagi, siap untuk menyerang siapa saja yang memasuki kamar.

Baik Cui Lan dan Tang Hun kini memandang ke arah daun jendela yang sudah penuh lubang ditembusi senjatasenjata rahasia tadi dengan hati penuh ketegangan. Dan perlahan-lahan daun jendela itu mengeluarkan bunyi dan bergerak, terbuka perlahan-lahan seperti hanya didorong oleh hembusan angin lembut! Seluruh urat syaraf di tangan Tang Hun sudah menegang dan dia sudah siap dengan senjata rahasia uang logamnya, dan sepasang mata Cui Lan kini terbelalak menatap ke arah jendela yang terbuka perlahan-lahan itu. Kemudian nampaklah sebuah kepala dan Cui Lan hampir saja menjerit kegirangan karena itulah kepala yang amat dicintanya, kepala yang dihias rambut putih panjang, kepala Pendekar Siluman Kecil!

Memang orang yang muncul dari balik jendela itu adalah Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Seperti kita ketahui, Kian Bu bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang kemudian dipondongnya untuk secepat mungkin mencari Cui Lan dan akhirnya mereka tiba di rumah besar dari kayu dalam hutan itu. Kian Bu cepat mempergunakan kepandaiannya menyelinap dan tanpa diketahui siapapun dia berhasil mengintai dari luar jendela kamar Tang Hun, diikuti oleh Kim Sim Nikouw dan mereka berdua mendengar semua yang telah terjadi di dalam kamar itu, mendengar penolakan yang gagah berani dari Cui Lan. Ketika Kian Bu mengeluarkan kata-kata tadi, dia sudah siap, maka begitu ada senjata-senjata rahasia berhamburan keluar, dengan mudah saja pendekar muda ini menangkapi semua uang logam dengan kedua tangannya sehingga tidak ada sebuah pun yang jatuh menimbulkan suara berisik.

Kini pendekar itu meloncat dan memasuki kamar melalui jendela, tidak peduli akan sikap Tang Hun yang kini memandang terbelalak dengan muka berubah pucat sekali. Tentu saja ketua Liong-sim-pang ini mengenal Kian Bu karena pendekar ini pernah menggegerkan benteng ketika Tang Hun masih berada di dalam benteng Pangeran Nepal. Tanpa disadarinya lagi, tangan yang menggenggam uang-uang logam itu gemetar, akan tetapi dengan nekat dia menggerakkan tangan melontarkan uang-uang logam itu ke arah tubuh Suma Kian Bu. Pendekar muda ini secara tidak pedulian menggerakkan kedua tangannya dan sinar-sinar hitam menyambar dari kedua tangan itu ketika uang-uang logam rampasan tadi menyambut datangnya uang-uang logam yang dilontarkan Tang Hun. Terdengar suara nyaring dan semua uang logam runtuh dan menggelinding ke arah kaki Tang Hun!

Hwa-i-kongcu Tang Hun adalah seorang yang amat cerdik, maka dalam keadaan itu dia sudah mempunyai akal yang cerdik. Secepat kilat dia melompat dan menerjang, bukan kepada Kian Bu melainkan kepada Cui Lan yang hendak ditangkapnya dan dipergunakannya sebagai sandera karena dia merasa jerih melawan Kian Bu atau Siluman Kecil itu.

“Pengecut hina yang curang!” Kian Bu berkata dan tahu-tahu tubuhnya sudah mendahului Tang Hun, berkelebat dan menghadang di depan Cui Lan!

“Taihiap....!” Cui Lan berseru lirih akan tetapi suaranya mengandung getaran penuh keharuan, penuh kebahagiaan, penuh cinta kasih. Diam-diam Kian Bu merasa terharu dan kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja ibu angkatnya memarahinya dan memakinya laki-laki kejam. Gadis ini benar-benar amat mencintanya, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menyambut cinta itu kalau dia sendiri tidak ada hasrat untuk berjodoh dengan Cui Lan, betapapun sukanya kepada gadis ini?

Melihat betapa Siluman Kecil tahu-tahu sudah menghadang di depannya, Tang Hun berlaku nekat. Dia berteriak memanggil anak buahnya, kemudian mencabut pedang tipisnya dan menyerang Siluman Kecil dengan ganasnya, diikuti oleh tangan kirinya yang melakukan pukulan dengan pengerahan tenaga sinkang. Namun, dengan tenang Siluman Kecil menyambut serangannya itu dengan elakan-elakan cepat. Pada saat itu, Kim Sim Nikouw muncul dari jendela, langsung meloncat ke dekat Cui Lan.

“Subo....!” Cui Lan menubruk gurunya.

“Mari kita keluar dulu!” Kim Sim Nikouw menyambar tubuh muridnya dan membawanya meloncat keluar melalui jendela. Dua orang anak buah Tang Hun yang muncul dari jendela berusaha menyerang nikouw ini, akan tetapi dua kali nikouw itu menggerakkan kakinya, dua orang itu terjungkal dan Kim Sim Nikouw terus membawa Cui Lan menjauh dari situ, membiarkan Kian Bu membuat perhitungan dengan gerombolan penjahat itu.

Kini belasan orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan mereka maju mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang. Tidak banyak bergerak, hanya berdiri di tengah-tengah, sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang menghadapi pertempuran. Akan tetapi setiap serangan Tang Hun tadi dapat dihindarkannya dengan mudah.

Kini setelah belasan orang anak buah Tang Hun ikut maju, Kian Bu menjadi marah. Dia masih berdiri diam di tengah-tengah, hanya biji matanya saja yang bergerak sedikit ke kanan kiri dan dia seluruhnya mengandalkan perasaan dan pendengarannya untuk menghadapi serangan yang tak dapat dilihat oleh matanya. Dan setiap kali ada anggauta Liong-simpang berani bergerak menyerang tubuh, memutarnya dan menggerakkan tangannya, maka penyerang itu tentu akan terpental dan roboh terbanting! Dalam waktu singkat saja, sudah ada enam orang penyerang gelap yang roboh tak mampu bangkit kembali.

Melihat ini, Tang Hun menjadi makin marah. “Serbu! Keroyok bersama-sama dan secara berbareng! Kurung!” teriaknya dan anak buahnya, walaupun kini merasa jerih sekali terhadap Siluman Kecil, mulai mengurung dan atas bentakan majikan mereka yang merupakan perintah, didahului oleh Tang Hun sendiri yang menubruk ke depan sambil menusukkan pedang tipisnya ke arah dada Kian Bu, mereka itu pun menyerang dalam saat yang hampir berbareng. Tiba-tiba nampak tubuh Kian Bu berkelebat lenyap. Tang Hun dan anak buahnya terheran-heran, akan tetapi keheranan mereka itu hanya sebentar saja karena tiba-tiba seperti kilat menyambar-nyambar, bayangan Kian Bu nampak lagi dan pertama-tama tamparan yang keras sekali mengenai pelipis kiri Tang Hun. Hwa-i-kongcu mengeluarkan pekik mengerikan dan dia terbanting roboh, tak bergerak lagi karena kepalanya retak oleh tamparan itu, kemudian secara berturut-turut, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu pun roboh semua. Tidak semua dari mereka tewas, akan tetapi sedikitnya tentu patah tulang lengan atau kaki, dan ketika mereka mampu membuka mata memandang, Siluman Kecil telah tidak berada lagi di dalam ruangan itu!

Memang Siluman Kecil telah keluar dari dalam pondok itu dan di luar dia melihat Kim Sim Nikouw dan Phang Cui Lan telah menantinya.

“Suma-taihiap....!” Cui Lan berseru lirih dan menahan kedua lengannya yang ingin diulurkan ke arah pemuda itu.

Kian Bu menarik napas panjang, memandang kepada Cui Lan dan berkata dengan halus namun agak dingin, “Nona, engkau baik-baik saja, bukan? Ibu, ke manakah Ibu hendak pergi bersama Nona Phang....“

“Kian Bu, dia adalah muridku, oleh karena itu dia ini terhitung sumoimu sendiri! Cui Lan, engkau harus menyebut suheng kepada Kian Bu,” kata nikouw tua itu dan sekilas pandang saja maklumlah dia bahwa telah terulang kembali riwayat lama antara dia dan Pendekar Super Sakti yang kini diperankan oleh Phang Cui Lan dan Pendekar Siluman Kecil. Seperti juga dia, Cui Lan jatuh cinta setengah mati kepada Kian Bu, akan tetapi seperti Pendekar Super Sakti pula, jelas nampak olehnya bahwa pemuda ini tidak membalas cinta Cui Lan. Maka dia merasa kasihan sekali kepada Cui Lan.

Mendengar ucapan nikouw itu, dengan senyum manis dan wajah berseri Cui Lan menjura kepada Kian Bu sambil berkata, “Suma-suheng, maafkan aku....“

“Sumoi, aku girang sekali engkau menjadi murid Ibu.... eh, kalian berdua hendak ke manakah dan bagaimana sampai terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu itu?”

Dengan tenang Kim Sim Nikouw lalu menceritakan bahwa Phang Cui Lan telah diangkat anak oleh Gubernur Hok Thian Ki, dan dia sedang mengantar muridnya itu untuk pergi menghadap Gubernur Hok Thian Ki, akan tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan anak buah Liongsim-pang sampai akhirnya Cui Lan tertawan.

“Karena pinni tidak dapat mengalahkan Hwa-i-kongcu, maka pinni tadinya hendak minta bantuan petugas keamanan yang tentu mau menolong kalau menidengar bahwa puteri angkat gubernur tertawan gerombolan penjahat, tak terduga bertemu denganmu, Kian Bu.”

“Berkali-kali sudah saya berhutang budi dan nyawa kepada Taihiap eh, Suheng, entah bagaimana saya akan dapat membalasnya,” terdengar Cui Lan berkata dan suaranya terdengar penuh keharuan. Ingin dia meneriakkan bahwa dia mencinta pemuda itu dan ingin menghambakan diri, menjadi apa pun dia rela asalkan dia dapat mendampingi pemuda ini selama hidupnya. Baik Kim Sim Nikouw maupun Kian Bu sendiri maklum akan isi hati dara ini, maka nikouw itu hanya menundukkan muka, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri. Akhirnya Kian Bu berkata setelah dia berpikir masak-masak.

“Phang-sumoi, memang engkau sudah sepatutnya menjadi puteri gubernur, sudah selayaknya menjadl seorang gadis bangsawan yang terhormat. Maka aku mengucapkan selamat dan sebaiknya kalau Sumoi melanjutkan perjalanan bersama Ibu, dan aku akan mengawal sampai engkau tiba di rumah kediaman Gubernur Hok Thian Ki yang saya tahu adalah seorang pembesar budiman dan bijaksana.”

“Akan tetapi aku.... aku tidak suka menjadi gadis bangsawan terhormat....”

“Kau akan tinggal di rumah seperti istana dan menjadi puteri....“

“Akan tetapi aku tidak suka tinggal di istana...., aku.... aku....“ Gadis itu memejamkan mata dan air matanya berlinang-linang.

Kembali Kian Bu menarik napas panjang. Menghadapi dara yang sudah demikian parah tenggelam ke dalam jurang cinta, harus menggunakan tindakan yang berani dan terus terang. “Phang-sumoi, memang dalam kehidupan banyak terjadi hal-hal yang jauh daripada yang kita harapkan. Segala telah diatur oleh Thian dan kita tidak mungkin dapat memaksakan kehendak kita, betapapun kita menjadi berduka dan menderita batin karenanya. Maafkan aku, Sumoi, sungguh.... percayalah, bukan maksudku untuk menyakitkan hatimu, akan tetapi.... ah, bagaimana aku dapat memaksa hati sendiri? Terimalah kenyataannya, Sumoi, dan sekali lagi, kaumaafkanlah Suhengmu yang mengecewakan hatimu dan tidak memenui harapan hidupmu ini. Ibu, maafkan, aku pergi dulu!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari situ, meninggalkan Cui Lan yang menutupi muka dengan kedua tangan dan air matanya bercucuran melalui celah-celah jari tangannya, sedangkan Kim Sim Nikouw hanya menggeleng kepala berulang-ulang sambil menarik napas panjang.

Nikouw tua itu merangkulnya dan berkata lembut, “Cui Lan, apa yang dikatakan suhengmu itu memang benar. Dia adalah seorang laki-laki yang jujur. Apakah engkau menghendaki dia itu berpura-pura membalas cintamu padahal sebenarnya tidak ada rasa cinta di hatinya kepadamu? Dan, lupakah engkau bahwa cinta kasih yang murni itu mendorong kita untuk melihat orang yang kita cinta berbahagia? Apakah engkau tidak ingin melihat dia berbahagia, Cui Lan? Dan dia akan berbahagia melihat engkau memenuhi permintaannya, yaitu agar engkau tinggal bersama ayah angkatmu, Gubernur Hok Thian Ki. Mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

Dara itu hanya mengangguk, kemudian mengikuti gurunya melanjutkan perjalanan, menahan tangisnya dan hanya kadang-kadang kedua pundaknya bergoyang, tanda bahwa dia masih menahan isaknya.

Adakah yang lebih panas daripada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih perih daripada melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan perih terasa di dalam hati Tek Hoat ketika dia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Bhutan. Batinnya tertekan dan menderita hebat sejak dia menyaksikan betapa Syanti Dewi, puteri cantik jelita, Puteri Bhutan yang pernah menjadi tunangannya itu, ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila dengan Mohinta! Kalau hanya melihat Syanti Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apalagi kepada Mohinta, pemuda tampan gagah dan sebangsa dengan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat menerimanya, walaupun dengan hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan tetapi, apa yang disaksikannya adalah hal yang amat menjijikkan. Syanti Dewi agaknya telah menyerahkan diri secara amat murah kepada Mohinta, bermain cinta dalam perjalanan secara tidak senonoh. Hal ini, amat menjijikkan hatinya, apalagi ketika mendengar pembicaraan dua orang insan yang keji itu, yang merencanakan pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Raja Bhutan, ayah dari Syanti Dewi sendiri! Sungguh menjijikkan! Tek Hoat hampir tidak percaya bahwa Syanti Dewi telah tersesat sedemikian jauhnya. Di samping perasaan panas, perih dan juga jijik, ada pula perasaan duka yang amat besar, yang membuat jantungnya seperti diremas-remas rasanya.

Dia mengambil keputusan untuk mencegah persekutuan busuk itu dan membela Bhutan, kerajaan kecil yang pernah menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan tetapi, tentu saja yang mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya rasa hutang budi kepada Bhutan karena sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia nekat kembali ke Bhutan. Pertama adalah rasa cintanya kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia tidak ingin melihat puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan ke dua adalah karena bencinya yang mendalam kepada Mohinta. Mahinta bukan hanya telah membawa Syanti Dewi ke jalan sesat yang amat menjijikkan, akan tetapi lebih dari itu malah Mohinta telah membunuh ibu kandungnya! Dia ingin memperlihatkan kepada Raja Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai seorang anak haram tanpa ayah, seorang hina dina, ternyata jauh lebih berharga daripada Sang Puteri Bhutan sendiri, puteri dari raja itu sendiri yang mengkhianati ayah dan kerajaannya! Juga lebih berharga dari Mohinta, putera panglima tua atau panglima pertama dari Bhutan!

Akan tetapi ketika dia tiba di Bhutan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia meyakinkan hati raja akan kebenaran laporannya? Tentu laporan itu akan menimbulkan kegegeran besar dan banyak kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya. Juga Raja Bhutan tentu sukar untuk percaya ceritanya bahwa puterinya bersekutu dengan Mohinta dan Kerajaan Nepal untuk menggulingkan kedudukannya! Tak masuk di akal! Dia sendiri, andaikata tidak mendengarkan percakapan dalam suasana penuh kecabulan itu antara Mohinta dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan kata-kata orang lain saja tentang pengkhianatan Syanti Dewi, tentu tidak akan percaya, bahkan akan marah kepada orang yang menceritakan hal itu!

Tek Hoat adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biarpun dia sedang dimabuk kemarahan dan dendam, namun dia tidak bertindak secara sembrono.

Setelah memutar otak mencari akal, akhirnya dia menyelinap memasuki Kerajaan Bhutan di waktu malam dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mengandalkan ginkangnya untuk berkelebat dan memasuki kerajaan tanpa diketahui seorang pun penjaga, tentu saja setelah dia berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari sebuah rumah dan berganti dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah sebuah sorban kuning, dia berubah menjadi seorang pemuda Bhutan biasa yang tidak akan menarik terlalu banyak perhatian.

Malam hari itu, Panglima Jayin sedang duduk termenung dalam kamar kerjanya. Panglima yang usianya sudah hampir lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tetapi semenjak beberapa tahun akhir-akhir ini di dahinya banyak timbul guratan-guratan karena banyak terjadi hal di Bhutan yang mendatangkan penyesalan besar di dalam hatinya, hati seorang panglima yang amat setia kepada tanah air dan kerajaannya. Panglima Jayin merupakan panglima tua yang ke dua di Bhutan, di bawah kedudukan panglima pertama, yaitu panglima tua Sangita yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu. Panglima Jayin prihatin sekali semenjak Puteri Syanti Dewi lenyap pada beberapa tahun yang lalu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Kemudian dia sudah ikut merasa berbahagia sekali ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han termasuk Ang Tek Hoat, dia dapat menemukan sang puteri dan mengantarnya kembali ke Bhutan, bahkan dia ikut bergembira ketika sang puteri ditunangkan dengan Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, sungguhpun dia sendiri akan merasa lebih senang kalau sang puteri itu berjodoh dengan bangsa sendiri atau setidaknya dengan seorang pendekar seperti putera-putera Majikan Pulau Es yang gagah perkasa itu daripada Ang Tek Hoat yang pernah ternoda namanya karena membantu pemberontak. Ketika hatinya sudah mulai tenteram, timbul pula bencana ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul lenyapnya sang puteri lagi!

Mengenangkan keadaan rajanya, Panglima Jayin merasa prihatin sekali. Apalagi dia maklum bahwa di dalam negeri Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi pertentangan antara fihak yang setia kepada raja dan agaknya, biarpun tidak kentara, terdapat pula fihak yang menentang raja secara diam-diam. Dan yang amat menyedihkan hatinya adalah karena sikap Sangita, panglima tua yang agaknya kini menampakkan sikap tidak puas terhadap raja. Apakah hal itu disebabkan terutama sekali karena gagalnya putera panglima besar itu, yaitu Mohinta, yang hendak memperisteri Puteri Syanti Dewi? Dia tidak yakin benar.

“Selamat malam, Panglima!”

Sebagai seorang yang sering kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara otomatis tubuh panglima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan siap menghadapi segala kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja dalam ruangan kerjanya di malam itu, tanpa melalui pelaporan penjaga, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Akan tetapi begitu dia melihat siapa adanya pemuda yang muncul di luar jendela ruangannya, dia terkejut dan sejenak dia hanya terbelalak memandang penuh keheranan.

“Apakah engkau juga seperti semua orang di Bhutan, tidak lagi sudi mengenalku sebagai seorang sahabat, Panglima?” tanya Tek Hoat, di dalam suaranya terkandung penyesalan dan kepahitan.

“Eh.... ohhh.... tidak sama sekali, Ang-taihiap! Aku hanya.... hanya terkejut dan heran. Masuklah, dari mana Taihiap datang....?” tanya panglima itu dengan gugup karena dia masih terheran-heran.

Dengan ringan sekali tubuh pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela kemudian dia duduk di atas kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas panjang sambil menghapus keringatnya. “Aihhh, betapa sukarnya tugasku ini,” keluhnya.

Panglima Jayin cepat menutupkan daun jendela, lalu bergegas membuka pintu ruangan, meyakinkan hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia menutupkan kembali daun pintu ruangan itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menuangkan air teh dalam cangkir.

“Minumlah, Taihiap, kemudian ceritakan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan terutama datang ke tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan penting sekali maka Taihiap teringat untuk mencari Jayin.”

Tek Hoat minum air teh itu, kemudian dia memandang wajah panglima itu yang duduk berhadapan dengannya dan yang sedang mengamati wajahnya penuh selidik. “Panglima, benar wawasanmu. Kedatanganku membawa berita yang luar biasa pentingnya, yang menyangkut diri Puteri Syanti Dewi, Raja Bhutan, dan keselamatan Kerajaan Bhutan sendiri.

“Ahhh....!” Wajah panglima itu menjadi pucat. “Mengapa Taihiap tidak langsung saja menghadap sri baginda? Mari kuantarkan menghadap sekarang juga.”

“Nanti dulu, Panglima.” Tek Hoat menggeleng kepala. “Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat kupercaya selain engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan laporanku ini, pasti beliau tidak akan percaya bahkan aku akan ditangkap. Maka lebih baik kuceritakan dulu kepadamu, baru kaupertimbangkan apakah perlu aku pergi menghadapi sri baginda raja.”

“Baik, baik, lekas kauceritakan, Taihiap!”

“Dengar, Panglima. Kerajaan Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja terancam. Mohinta sedang menuju pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. Dia mengatur rencana, membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja turun tahta dengan sang puteri di jadikan sandera untuk mengancam raja, dan selain itu, dia pun sudah siap dengan bala tentara untuk memberontak, dibantu oleh pasukan Nepal yang akan datang dari perbatasan.” Tek Hoat sengaja tidak menceritakan ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu, karena cintanya terhadap puteri itu melarang dia mengabarkan tentang pengkhianatan sang puteri. Biarlah, hal itu akan kuhadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya kalau aku sempat bertemu lagi dengan dia, pikirnya.

Sepasang mata Panglima Jayin mengeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat, memandang penuh selidik dan wajah panglima itu jelas membayangkan ketidakpercayaan, akan tetapi keheranan menguasai hatinya sehingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata!

“Hemmm, kulihat engkau pun agakrrya tidak percaya kepadaku, Panglima!” Tek Hoat berkata dengan alis berkerut.

“Siapakah yang dapat mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Taihiap, akan tetapi penuturanmu itu sungguh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima Sangita, hal ini tentu engkau sudah tahu, dan dia malah direncanakan menjadi suami Puteri Syanti Dewi. Mana mungkin dia akan mengadakan pemberontakan seperti itu? Akan tetapi nanti dulu.... jangan kau putus asa, Taihiap karena agaknya, di negeri ini hanya ada satu orang saja yang percaya kepada ceritamu, dan orang itu adalah aku.”

“Ah, terima kasih, Panglima. Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!” seru Tek Hoat dengan girang. “Harap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya untuk menggagalkan pengkhianatan ini, dan aku akan membantumu.”

Wajah Panglima Jayin berseri. Biarpun dia bukan seorang pembesar ambisius yang mendambakan kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat kesempatan besar terbuka baginya untuk membuat jasa besar sekali terhadap negara dan kerajaan, dan hal ini mendatangkan rasa girang yang amat besar dalam hatinya. Apalagi di situ terdapat pemuda perkasa, ini yang membantunya, maka dia merasa tenang dan sama sekali tidak khawatir.

“Pertama-tama, kita harus cepat memberi laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini amat gawat, dan agar tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan sehingga hal ini akan bocor dan diketahui fihak pemberontak, sebaiknya kita harus malam ini juga melapor kepada sri baginda. Mari, Taihiap, mari ikut bersamaku ke istana, kita menghadap sri baginda melalui jalan rahasia.”

Pergilah kedua orang itu menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar taman bunga istana, Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki taman melalui jalan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga raja dan para pembesar terpercaya. Setelah melalui jalan berliku-liku dan rumit, akhirnya mereka berdua memasuki terowongan bawah tanah dan ketika keluar dari terowongan, mereka telah berada di dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur istana yang pada saat itu sunyi. Jayin menggunakan sebuah kunci yang telah dibawanya dari rumah untuk membuka pintu kamar itu dan tibalah mereka di lorong dalam istana.

Mereka bertemu dengan seorang pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika pengawal itu datang berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah Panglima Jayin sedangkan yang ke dua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya karena Tek Hoat menyamar sebagai seorang Bhutan pula, dia tidak menaruh curiga dan cepat memberi hormat kepada Panglima Jayin.

“Ada urusan mendesak yang memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda,” kata panglima itu, “di mana beliau?”

“Beliau sudah memasuki kamar, baru saja.”

“Laporkan kepada pengawal kamar, kami harus menghadap sekarang.”

“Mari Panglima, keputusannya terserah kepada pengawal kamar.” Mereka bertiga lalu berjalan dan beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-pengawal istana yang memandang dengan heran juga melihat betapa panglima itu malam-malam begini memasuki istana.

“Maaf, panglima. Kami tidak berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada perkenan dari sri baginda sendiri,” kata seorang di antara para pengawal yang menjaga di depan kamar dengan senjata di tangan.

“Kalau begitu sampaikan kepada sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap sekarang juga untuk menyampaikan berita amat penting tentang sang puteri.”

“Sang Puteri Syanti Dewi....?” Hampir semua mulut pengawal berseru mengulang nama ini dan tahulah mereka betapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka seorang di antara mereka yang bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera membuka daun pintu perlahan-lahan dan melangkah masuk kamar dengan hati-hati setelah menutupkan kembali daun pintu.

Tak lama kemudian, daun pintu bergerak, terbuka dan pengawal itu muncul, mengangguk kepada Panglima Jayin dan berkata, “Paduka diperkenankan masuk dan menghadap sri baginda.”

Panglima Jayin lalu memasuki kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sambil menundukkan mukanya. Kamar itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat melirik, dia melihat sri baginda sudah duduk di atas pembaringan dan beberapa orang dayang cantik berlutut di sudut kamar. Sri baginda tersenyum menerima kedatangan Jayin, akan tetapi alisnya berkerut heran ketika dia melihat Tek Hoat yang belum dikenalnya.

Panglima Jayin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang Tek Hoat.

“Jayin, benarkah engkau datang membawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Di mana dia sekarang?” Karena tegang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini tidak begitu memperhatikan Tek Hoat.

Panglima Jayin melirik ke arah para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan penuh hormat, “Harap Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan menghaturkan berita yang hanya layak didengar oleh Paduka sendiri saja.”

Sri baginda mengerti maksud Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia segera mengusir para dayang itu. Enam orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan diri melalui pintu belakang dan daun pintu itu segera ditutup kembali rapat-rapat.

“Nah, ceritakan, Jayin.” Sri baginda cepat berkata.

“Maaf, hamba harus memeriksa pintu lebih dulu.” Panglima Jayin memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup, menguncinya, juga memeriksa jendela-jendela dan pintu depan yang besar. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarkan, dia kembali berlutut di depan raja itu.

Perbuatannya ini membuat hati sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya, “Jayin, mengapa engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan Puteri Syanti?”

“Bukan hanya keselamatan puteri Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka sendiri dan kerajaan terancam pengkhianat dan pemberontakan keji.”

Bersambung ke buku 18