Kisah Para Pendekar Pulau Es -2 | Kho Ping Hoo



Buku 2

Setelah mengamuk bagaikan naga-naga besar kecil yang menyerbu turun dari angkasa, dan merobohkan separuh dari jumlah para penyerbu, akhirnya Hek-i Mo-ong dan tiga orang rekannya berhasil mengepung dan mendesak mereka mundur. Bahkan lima orang pelayan yang tadi melawan mati-matian itupun sudah roboh satu demi satu dan tewas dengan tangan masih memegang senjata, seperti perajurit-perajurit yang gagah perkasa.

Nenek Nirahai lalu menyambar tubuh Ceng Liong yang terancam bahaya dan membawanya melompat memasuki halaman samping. Cin Liong juga memutar pedangnya melindungi Ciang Bun yang didesak oleh Eng-jiauw Siauw-ong, sedangkan Jai-hwa Siauw-ok yang sejak tadi kagum akan kecantikan Suma Hui telah menerjang dara itu, akan tetapi tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya hidup-hidup. Keluarga Pulau Es itu mundur semua sampai di halaman samping dan di sini mereka semua mengamuk mati-matian.

Nenek Nirahai maklum bahwa di antara semua datuk, yang paling lihai adalah Hek-i Mo-ong, maka iapun sudah menerjang iblis ini dengan dahsyat. Pedang payungnya menyambar bagaikan halilintar, menyambar ke arah leher lawan. Melihat berkelebatnya sinar senjata yang demikian menyilaukan mata, Hek-i Mo -ong terkejut dan maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat sakti. Tentu saja dia sudah mendengar tentang isteri Pendekar Super Sakti yang bernama Puteri Nirahai ini, maka dia tidak berani memandang ringan dan tombak Long-ge-pang di tangannya diputar untuk menangkis.

“Cringg.... siuuuuttt.... singgg....!” Pedang payung itu tertangkis, akan tetapi tangkisan itu bagaikan menambah dorongan tenaga yang membuat gerakan menyerong dan tahu-tahu telah menusuk ke arah ulu hati lawan dan begitu lawan mengelak dan melintangkan tombaknya, pedang payung itu kembali telah menusuk mata dua kali lalu ditutup dengan serangan tusukan pada pusar dengan ganas sekali!

“Hemmm....!” Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat mundur ke belakang. Biarpun tubuhnya kebal, namun dia sungguh tidak berani kalau harus mencoba-coba untuk menerima tusukan pedang payung yang digerakkan oleh isteri Pendekar Super Sakti. Terlalu berbahaya itu! Diapun memutar tombaknya dan balas menyerang. Ilmu tombak dari Raja Iblis ini hebat sekali dan memang tingkat kepandaiannya pada masa itu sukar dicari tandingannya. Ujung tombak berbentuk gigi serigala itu berputaran dan menjadi belasan batang banyaknya saking hebatnya getaran yang disebabkan oleh tenaga sin-kangnya dan kini ujung tombak itu meluncur ke depan, ke arah tubuh nenek Nirahai tanpa dapat diduga bagian tubuh mana yang akan menjadi sasaran!

Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong berhadapan dengan nenek Nirahai, isteri dari Pendekar Super Sakti. Sejak muda, nenek ini telah menjadi seorang pendekar, bahkan panglima yang tangguh. Bahkan ia pernah secara rahasia mencoba ilmu seluruh jagoan untuk memperdalam ilmu silatnya dan ialah yang menjadi ahli waris dari kitab-kitab ilmu silat peninggalan pendekar wanita Mutiara Hitam. Juga ia mewarisi kitab-kitab dari Pendekar Suling Emas, walaupun hanya sebagian saja. Di antara puluhan macam ilmu silat tinggi yang dikuasainya, yang paling hebat adalah ilmu silat tangan kosong Sin-coa-kun, ilmu senjata rahasia Siang-tok-ciam, dan ilmu pedang gabungan antara Pat-mo Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat. Gabungan dari dua ilmu pedang yang bertentangan sifatnya ini antara Pat-mo (Delapan Iblis) dan Pat-sian (Delapan Dewa), telah tercipta ilmu pedang yang luar biasa sekali. Kadang-kadang nampak ganas seperti iblis mengamuk, dan kadang-kadang nampak halus lembut seperti gerak-gerik dewa, namun di balik semua itu terkandung kekuatan yang dahsyat.

Terjadilah perkelahian yang sengit dan ramai sekali antara dua tokoh besar itu dan Hek-i Mo-ong makin lama merasa makin penasaran. Dia belum terdesak dan tidak merasa kalah, akan tetapi dia ingin cepat-cepat menjatuhkan lawan ini, seorang nenek yang sudah tua renta. Maka dicabutnyalah kipas merahnya, dikelebatkan kipas yang terkembang itu di depan muka nenek Nirahai dan diapun membentak, “Lihat kipas ini. Merah, bukan? Merah sekali, dan engkau menjadi silau, engkau menurut segala kehendakku!”

Akan tetapi betapapun kuatnya ilmu sihir yang dikuasai oleh Hek-i Mo-ong, sekali ini tidak menemui sasarannya. Dia lupa agaknya bahwa yang coba disihirnya ini adalah nenek Nirahai, isteri dari Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang mahir dalam ilmu sihir dan tentu saja telah membuka rahasia tentang sihir, memberi tahu kepada isterinya itu bagaimana caranya menghalau kekuatan sihir dari lawan agar dirinya tidak sampai terpengaruh. Maka, usaha Hek-i Mo-ong itu tentu saja sia-sia.

“Nenek, lihat siapa aku ini!” Kembali Hek-i Mo-ong mengibaskan kipasnya ke arah muka nenek Nirahai. Akan tetapi, karena dia terlalu yakin dengan hasil kekuatan sihirnya, hampir saja datuk yang memiliki kepandaian tinggi ini celaka. Bentakannya yang berisi sihir itu, yang disertai gerakan tangan dan juga bibir kemak-kemik membaca mantera untuk merobah dirinya dalam pandangan nenek itu. Kalau nenek itu terpengaruh oleh sihirnya, tentu dia akan nampak sebagai orang berkepala naga dan tentu nenek itu akan menjadi ketakutan atau setidaknya terkejut sekali sehingga mudah baginya untuk merobohkannya.

Akan tetapi, ternyata akibatnya malah lain sekali dan sama sekali tak pernah diduga-duganya, dan hampir mencelakainya. Nenek itu kelihatan diam sedetik, akan tetapi bukan untuk menjadi kaget dan lengah, sebaliknya, tiba-tiba saja pedang payungnya berkelebat dan menusuk ke arah ulu hati Hek-i Mo-ong!

“Singgg....!” Pedang itu berdesing dan sekiranya Hek-i Mo-ong tidak cepat menggerakkan lengan kiri menangkis, tentu dadanya akan tembus oleh pedang payung itu, betapapun kebalnya.

“Brettt....!” Lengan jubahnya robek dan kulit lengannya lecet sedikit. Dia meloncat mundur, akan tetapi nenek Nirahai menerjangnya lagi dengan dahsyat. Gabungan Pat-mo Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat itu hebat bukau main sehingga untuk beberapa jurus lamanya Raja Iblis itu terdesak hebat.

Melihat ini, Si Ulat Seribu cepat maju membantunya. Si U1at Seribu ini telah berhasil merobohkan para pelayan Pulau Es dan melihat betapa Hek-i Mo-ong belum mampu mengalahkan nenek tua renta itu, ia menjadi penasaran dan maju mengeroyoknya. Dan Hek-i Mo-ong yang sudah kehilangan kecongkakannya itu tidak mencegahnya sehingga nenek itu kini dikeroyok oleh dua orang yang berilmu tiuggi.

Cin Liong juga sudah terlibat dalam perkelahian seru melawan Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui. Ketua Eng-jiauw-pang itu memiliki ilmu silat yang lihai dan ganas. Kedua tangan yang ditutup sarung tangan setinggi siku, amat berbahaya karena sarung tangan itu dapat dipergunakan untuk menangkis pedang. Jari-jarinya kini berobah menjadi jari-jari yang berkuku garuda, terbuat daripada baja yang kuat. Alat yang sudah amat kuat ini digerakkan oleh tenaga sin-kang yang dahsyat, maka tentu saja menjadi sepasang senjata yang ampuh sekali. Betapapun juga, yang dihadapinya adalah Kao Cin Liong, jenderal muda yang sudah banyak pengalaman, putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir yang amat lihai itu. Maka biarpun dia dibantu oleh tiga orang anak buahnya yang merupakan tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang dan yang menggunakan senjata yang sama dengan ketua mereka, namun Cin Liong dapat menggerakkan pedangnya dengan hebat dan sama sekali tidak terdesak. Malah pemuda perkasa ini membalas serangan dengan serangan yang tidak kalah berbahayanya. Perkelahian antara Cin Liong dan empat orang tokoh Eng-jiauw-pang ini juga berlangsung dengan seru, akan tetapi dibandingkan dengan nenek Nirahai, pemuda ini nampak lebih kuat menghadapi para pengeroyoknya. Betapapun juga, di luar kalangan pertempuran itu masih terdapat belasan, bahkan puluhan orang dari pihak musuh yang sudah siap-siap menyerbu dan mengeroyok.

“Ha-ha, nona manis, lebih baik engkau meyerah dalam pelukanku, dan engkau menjadi murid dan pengikutku, hidup senang bersamaku!” Berkali-kali Jai-hwa Siauw-ok menggoda Suma Hui ketika dia tadi menghadapi nona ini dengan tangan kosong. Biarpun ilmu pedang Suma Hui sudah mencapai tingkat yang tinggi, namun menghadapi datuk ini dia kalah pengalaman dan juga kalah matang gerakannya, apalagi dara ini selama mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi belum pernah mempergunakannya dalam perkelahian mati-matian. Kalau saja ia sudah berpengalaman, dengan modal tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang saja, tanpa pedang sekalipun kiranya tidak akan mudah bagi penjahat cabul itu untuk bersikap sembarangan dan memandang rendah kepadanya. Lebih lagi yang membuat Suma Hui agak bingung adalah sikap jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang menggodanya dengan kata-kata tidak senonoh itu. Kedua tangan penjahat itupun secara kurang ajar hendak meraba dadanya, mengusap pipinya, mencengkeram pinggulnya dan sebagainya, dan semua ini mendatangkan rasa malu dan marah luar biasa yang akibatnya mengacaukan gerakan sepasang pedang di tangan Suma Hui.

Ciang Bun yang sejak tadi melindungi Ceng Liong dan menghadapi pengeroyakan para anggauta gerombolan, melihat hal ini dan diapun menjadi marah. Usianya sudah lima belas tahun dan dia sudah tahu bahwa datuk yang melawan encinya itu selain lihai sekali, juga tidak sopan. Maka dia lalu menarik tangan Ceng Liong mendekati encinya dan membantu encinya menghadapi Jai-hwa Siauw-ok. Setelah Ciang Bun maju membantu, barulah Jai-hwa Siauw-ok mulai kehilangan kegembiraannya karena bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa enci adik ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan!

Nenek Nirahai akhirnya harus mengakui bahwa dua orang lawannya itu, Hek-i Mo-ong dan Si Ulat Seribu, merupakan lawan yang terlampau berat baginya. Andaikata dahulu, mungkin ia masih akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi mereka, akau tetapi sekarang, tenaganya jauh berkurang dan terutama sekali daya tahannya. Napasnya mulai memburu dan lehernya penuh dengan keringat. Beberapa kali ia terhuyung dan hanya berkat gin-kangnya yang hebat sajalah ia berhasil meloloskan diri dari ancaman maut.

Kao Cin Liong melihat keadaan nenek itu. Dia menjadi khawatir sekali dan tahulah dia bahwa mereka semua terancam bahaya maut. Dia teringat kepada Pendekar Super Sakti Suma Han yang berada di dalam. Hatinya menjadi penasaran sekali.

Mengapa kong-couwnya yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti itu diam saja dan membiarkan isteri dan cucu-cucunya terancam bahaya maut? Hawa panas naik dari pusarnya ketika hatinya dilanda penasaran dan kemarahan, dan diapun lalu mengerahkan tenaga saktinya dan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-liong-hok-te. Tubuhnya merendah seperti hendak bertiarap dan diapun menancapkan pedangnya ke dalam tanah!

Lawannya, Eng-jiauw Siauw-ong si ketua Eng-jiauw-pang adalah seorang datuk kaum sesat yang sudah banyak pengalamannya dan tinggi ilmunya. Tadipun dia sudah merasakan betapa lihainya pemuda ini sehingga dia dan beberapa orang pembantunya yang merupakan tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang, tidak mampu mendesaknya, apalagi merobohkannya. Kini, melihat pemuda itu bersikap seperti itu, dia menjadi bingung. Selamanya belum pernah dia melihat atau mendengar tentang Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam Di Tanah) ini dan dia melihat kesempatan baik untuk menyerang pemuda yang sedang merendahkan diri hampir tiarap dalam posisi yang kaku dan tidak menguntungkan itu. Juga tiga orang pembantunya merasa girang melihat kedudukan lawan yang disangkanya kelelahan itu. Mereka berempat menubruk maju dengan kedua tangan yang memakai sarung tangan kuku garuda itu diangkat lalu menyerang.

“Hyaaaaattt....!” Lengkingan yang menggetarkan jantung terdengar dan tubuh Cin Liong mencelat ke depan, seperti seekor naga sakti yang menerjang awan. Ada kekuatan dahsyat keluar dari kedua tangan dan tubuhnya, yang menyapu empat orang itu bagaikan angin taufan. Tidak ada kekuatan yang dapat menahan kedahsyatan ini, apalagi hanya kekuatan empat orang itu. Eng-jiauw Siauw-ong dan tiga orang pembantunya merasa seperti disambar halilintar, dan tubuh mereka terlempar ke belakang, terbanting dan tak dapat bangkit kembali! Eng-jiauw Siauw-ong tewas seketika dengan dada pecah dan tiga orang pembantunya juga terluka parah dan andaikata di antara mereka ada yang tidak tewas, setidaknya tentu akan terluka parah dan cacat selama hidupnya.

Melihat robohnya seorang rekannya lagi itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan penasaran. Pulau Es hanya dipertahankan oleh sekelompok kecil orang, dan ternyata dia telah kehilangan dua orang rekan dan sedikitnya dua puluh orang anak buah!

“Serbuuu....!” teriaknya sambil memberi komando kepada para anak buahnya yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja karena mereka itu tidak berani memasuki pertempuran tingkat tinggi itu. “Serbu ke dalam istana!”

Mendapat perintah dari Hek-i Mo-ong ini, sisa para anak buah yang masih kurang lebih tiga puluh orang itu lalu serentak menyerbu, sebagian membantu para datuk dan sebagian pula menyerbu ke pintu gerbang istana.

“Cin Liong, bawa mereka!” Tiba-tiba nenek Nirahai berseru kepada jenderal muda itu. Cin Liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh nenek Nirahai. Memang dia melihat bahwa keadaan amat gawat. Biarpun dia sudah berhasil merobohkan empat orang lawannya, akan tetapi dia sendiri tadi menerima perlawanan tenaga dahsyat yang menggetarkan isi dadanya, membuat dia sendiri harus berhati-hati dan tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga karena hal ini dapat membuat dia terluka di sebelah dalam tubuhnya. Dan pula, pihak lawan masih amat kuat, terutama dengan majunya semua anak buah musuh itu.

Dia menyambar pedangnya sambil menjawab, “Baik!” lalu memutar pedang itu menerjang Jai-hwa Siauw-ok membantu Suma Hui dan Ciang Bun yang mengeroyok penjahat cabul itu. Kalau tadinya kakak beradik ini sudah mampu mendesak datuk cabul itu, kini karena si datuk cabul dibantu oleh empat orang Korea dan Jepang, keadaan kakak beradik itu berbalik terdesak. Ceng Liong sendiri dengan tombak di tangan hanya melindungi tuhuhnya dari ancaman musuh. Ada dua orang anggauta musuh yang mengepungnya dan mencari kesempatan untuk membunuh anak yang nekat dan berani ini.

Majunya Cin Liong membuyarkan kepungan terhadap Suma Hui dan Ciang Bun, bahkan Suma Hui dengan sepasang pedangnya mampu merohohkan seorang pengeroyok dan juga Ciang Bun berhasil menendang roboh seorang pengeroyok lainnya. Jai-hwa Siauw-ok terkejut dan meloncat mundur untuk menyusun kekuatan lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cin Liong untuk berteriak kepada tiga orang muda itu. “Lari kalian ikuti aku!”

Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak mengerti apa yang dikehendaki Cin Liong. Akan tetapi karena mereka telah menyaksikan kehebatan pemuda itu dan melihat bahwa keadaan sudah terlalu mendesak, merekapun secara membuta menuruti permintaan Cin Liong. Melihat Cin Liong melompat masuk melalui pintu samping, mereka bertigapun berlarian dan melompat masuk. Akan tetapi setelah tiba di dalam dan melihat Cin Liong menutupkan pintu samping itu, Suma Hui berseru kaget, “Kau mau apa? Aku tidak sudi melarikan diri!”

Cin Liong sudah lebih dulu menduga akan terjadinya hal ini. Biarpun baru sebentar mengenal gadis ini, namun dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini memiliki kekerasan hati dan kegagahan luar biasa. Cucu ini tentu tidak akan jauh wataknya dari neneknya. Kalau nenek Nirahai yang sudah tua renta itu saja marah mendengar usulnya untuk menyelamatkan dan meloloskan diri, apalagi dara yang masih muda dan penuh semangat ini. Tentu akan menentang kalau mendengar bahwa ia diajak melarikan diri meninggalkan musuh yang sedang menyerbu Pulau Es, apalagi harus meninggalkan nenek dan kakeknya berdua saja menghadapi ancaman musuh! Dia sudah memperhitungkan sejak tadi apa yang harus dilakukan. Dia sudah berjanji kepada nenek buyutnya dan janji seorang gagah lebih berharga daripada nyawa.

“Bibi Hui, kaulihatlah baik-baik betapa gagahnya nenek buyut Nirahai menghadapi pengeroyokan musuh-musuhnya!” Berkata demikian, Cin Liong mendekati dara itu dan menudingkan telunjuknya keluar pintu samping setelah membuka sedikit daun pintu itu. Suma Hui tentu saja menoleh dan memandang keluar penuh perhatian. Memang ia melihat betapa neneknya itu mengamuk bagaikan seekor naga betina. Para pengeroyoknya yang tidak begitu tinggi ilmunya, jatuh berpelantingan kena disambar pedang payungnya. Hanya Hek-i Mo-ong dan Si Ulat Seribu yang masih bertahan, walaupun Si Ulat Seribu juga hanya berani mengeroyok dari jarak jauh saja.

“Tukkk....!” Tiba-tiba tangan Cin Liong bergerak dan tubuh Suma Hui telah menjadi lemas tertotok pada saat ia lengah itu.

“Heiii! Apa yang kaulakukan?” bentak Ciang Bun dan Ceng Liong yang sudah tak dapat menahan kemarahannya telah menusukkan tombaknya ke arah dada Cin Liong. Cin Liong juga sudah menduga akan hal ini, maka cepat dia mengelak dan menangkap tombak Ceng Liong, lalu berkata dengan suara berwibawa, “Kedua paman kecil, tenanglah. Ini adalah perintah nenek buyut Nirahai!” Berkata demikian, Cin Liong sudah memanggul tubuh Suma Hui yang pingsan. Kedua orang muda itu saling pandang dengan bimbang, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Nirahai.

“Kalian ikutilah Cin Liong dan jangan membantah!”

Mendengar suara nenek mereka itu, barulah Ciang Bun dan Ceng Liong percaya. Mereka mengangguk kepada Cin Liong dan pemuda ini merasa lega sekali. Cepat dia menutupkan daun pintu.

“Mari ikut, cepat!”

Sementara itu, di luar nenek Nirahai mengamuk makin sengit. Ia sengaja menjaga pintu samping itu dan merobohkan siapa saja yang hendak melakukan pengejaran terhadap Cin Liong dan tiga orang cucunya itu. Setelah melihat cucu-cucunya diselamatkan, wajah nenek ini berobah berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum, sepak terjangnya lebih hebat lagi seolah-olah kini ia dapat berpesta-pora dalam pertempuran itu setelah tidak ada ganjalan hati khawatir akan keselamatan cucu-cucunya.

Ia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang lihai adalah Si Ulat Seribu dan Hek-i Mo-ong. Akan tetapi karena ia maklum bahwa merobohkan Hek-i Mo-ong bukanlah merupakan hal mudah baginya, maka ia mengambil keputusan untuk merobohkan Si Ulat Seribu lebih dulu. Pada saat Hek-i Mo-ong untuk kesekian kalinya membentak keras dan tombak Long-ge-pang itu menyambar-nyambar dari atas, nenek Nirahai menggunakan gin-kangnya, menyelinap di antara sinar tombak lawan tanpa menangkisnya. Hek-i Mo-ong terkejut, tidak mengira bahwa nenek itu dapat lolos dari gulungan sinar tombaknya begitu saja. Akan tetapi, nenek Nirahai bukan sembarangan meloncat dan meloloskan diri dari kepungan gulungan sinar tombak, melainkan ia menyerbu ke arah Si Ulat Seribu yang mengeroyoknya dari jarak aman.

Melihat sinar pedang payung meluncur ke arahnya, Si Ulat Seribu terkejut. Sejak tadi ia sudah merasa agak jerih karena setiap kali ujung sabuk merahnya bertemu pedang payung, selalu tangannya terasa tergetar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang dingin bukan main. Bahkan sudah dua kali kaitan emasnya patah ujungnya. Karena maklum bahwa ia tidak mampu menandingi nenek Pulau Es ini, maka ia membiarkan Hek-i Mo-ong yang menandinginya secara langsung sedangkan ia hanya membantu dari jarak aman saja, kadang-kadang melakukan serangan dengan sabuk emasnya untuk mengacaukan pertahanan lawan. Maka, kini melihat nenek itu tiba-tiba dapat meloloskan diri dari kepungan sinar senjata Hek-i Mo-ong dan tahu-tahu sudah menyerangnya dengan ganas, terpaksa ia memutar sabuk merahnya dan menangkis serangan itu sambil mengerahkan sin-kangnya dan menggoyang tubuhnya.

“Cringgg.... prakk....!” Tubuh Si Ulat Seribu terpelanting dan tak bergerak lagi. Ia tewas dengan kepala retak karena pelipisnya kena dihantam pedang payung! Akan tetapi, ketika ia menangkis dan sabuknya terbabat putus tadi, ia menggoyang tubuh dan dari kedua lengannya beterbangan sinar bermacam warna menuju ke arah nenek Nirahai. Nenek ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja seekor ulat berbulu merah hinggap di pipinya! Ia merasa gatal dan panas. Ketika tangan kirinya menepuk ulat itu dan ia melihat bahwa yang hinggap itu ulat, nenek Nirahai bergidik ngeri! Ia adalah seorang panglima, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, namun ia tetap seorang wanita! Dan setiap orang wanita mempunyai kelemahan masing-masing terhadap binatang melata atau binatang-binatang kecil lainnya. Ada yang ngeri melihat ular, ada yang takut melihat tikus, atau kacoa, cacing dan sebagainya.

Dan kebetulan sekali nenek Nirahai ini paling jijik dan ngeri kalau melihat ulat! Ketika ia masih kecil, pernah ia bermain-main di kebun dan tubuhnya terkena bulu ulat sehingga seluruh tubuh itu gatal-gatal. Agaknya hal ini yangmendatangkan kesan mendalam di hatinya sehingga ia selalu merasa jijik dan takut kalau melihat ulat. Apalagi sekarang ada ulat besar berbulu merah yang hinggap di pipinya, dan kini hancur karena tepukan dan pipinya terasa gatal dan panas. Ia menjerit kecil dan untuk beberapa detik lamanya ia kehilangan keseimbangan dan menjadi lengah.

Kesempatan yang hanya beberapa detik ini tentu saja tidak dilewatkan oleh Hek-i Mo-ong. Secepat kilat tombak Long-ge-pang itu meluncur, cepat dan amat kuat, dan dilakukan dari belakang nenek Nirahai.

“Cappp....!” Tombak itu menembus punggung sampai dalam, lalu dicabut lagi oleh Hek-i Mo-ong yang sudah hendak menyusulkan lagi tusukannya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu membalik dan dengan pekik melengking, nenek itu menggerakkan pedang payungnya.

“Trangggg....!” Nampak bunga api berpijar dan tubuh Hek-i Mo-ong yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Raja Iblis ini merasa betapa tubuhnya panas dingin dan ia menggigil ngeri. Dia dapat menduga bahwa ini tentulah penggabungan tenaga sin-kang Yang-kang dan Im-kang yang amat terkenal dari Pulau Es! Ia menjadi agak jerih juga, akan tetapi dia melihat nenek itu lari menuju ke pintu gerbang depan istana dan dari punggungnya bercucuran darah yang membasahi lantai. Nenek itu telah terluka parah.

“Kejar....!” serunya tanpa memperdulikan lagi Si Ulat Seribu yang sudah tewas. Kini hanya Jai-hwa Siauw-ok saja satu-satunya rekan yang masih hidup dan yang segera mengikutinya mengejar, bersama dua belas orang anak buahnya. Hanya tinggal dua belas orang saja dari lima puluh orang lebih yang datang menyerbu! Amukan nenek Nirahai dibantu Cin Liong, tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tadi ternyata telah merobohkan kurang lebih empat puluh orang dan di pihak Pulau Es, lima orang pelayan tewas dan nenek Lulu juga tewas, sekarang nenek Nirahai terluka parah.

Nenek Nirahai sebetulnya bukan bermaksud melarikan diri. Ia tahu bahwa ia telah terluka hebat, tombak Hek-i Mo-ong telah menembus sebuah paru-parunya dan nyawanya tak mungkin dapat diselamatkan lagi. Kalau ia kini melarikan diri ke pintu gerbang, ada dua hal yang mendorongnya dan bukan karena ia takut melawan lagi. Pertama adalah untuk memancing sisa musuh itu agar mengejarnya dan tidak mengejar Cin Liong yang melarikan tiga orang cucunya, dan ke dua ia ingin bertemu sekali lagi dengan suaminya sebelum ia mati!

Dengan tangan kanan memegang pedang payungnya dan tangan kiri dengan susah payah mencoba untuk menutup luka di punggungnya, Nirahai mendorong daun pintu gerbang dengan pundaknya dan sepasang daun pintu itu terbuka lebar. Ia melihat suaminya masih duduk bersila di dekat peti jenazah Lulu dan asap dupa mengepul tebal.

Suaminya masih bersila dengan kaki tunggalnya, dan kini suaminya mengangkat muka memandang kepadanya dengan sinar mata lembut penuh kasih sayang.

“Isteriku, engkau terluka parah....” katanya halus dan tiba-tiba Nirahai merasa betapa kerongkongannya seperti tersumbat. Suara itu mengandung getaran cinta kasih yang sedemikian besarnya, mengingatkan ia akan masa muda mereka yang penuh kemesraan dan kasih sayang. Kemudian ia melihat betapa suaminya menggunakan kedua tangan untuk menekan lantai dan tubuh suaminya itu, tetap dalam keadaan duduk bersila, berloncatan maju menyambutnya! Hal ini dirasakan oleh Nirahai seperti tusukan pedang ke dua pada jantungnya. Kini tahulah ia mengapa suaminya sejak beberapa hari yang lalu bersamadhi tak pernah bangkit berdiri lagi! Juga ketika Lulu meninggal dunia, suaminya hanya duduk bersila. Kiranya.... ah, ia tahu. Suaminya terserang penyakit lamanya. Lumpuh! Penyakit ini telah dilawannya selama puluhan tahun, bahkan penyakit ini pula yang tadinya mengeram di kaki kiri suaminya yang kemudian buntung, mengira bahwa penyakit itu lenyap bersama kaki. Hanya karena kehebatan i1mu kepandaian suaminya karena kuatnya sin-kangnya, maka penyakit itu dapat ditekan sedemikian rupa. Kini, dalam usia tuanya, penyakit itu timbul dan membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah!

“Suamiku....!” Nirahai menubruk, melempar pedangnya dan Suma Han menyambutnya dengan kedua lengan terbuka. Nirahai terkulai di atas pangkuan suaminya, darah mengucur dari punggungnya membasahi pakaian mereka berdua dan sungguh aneh, Nirahai merasa seolah-olah ia menjadi pengantin baru dengan suaminya! Terbayang semua keindahan dan kemesraan antara mereka, dan pandang matanya semakin kabur, akan tetapi bibirnya tersenyum penuh bahagia.

“Suamiku.... engkau.... beratkah penyakitmu....?” Ia masih sempat berbisik sambil memandang wajah suaminya dengan kepala terletak di pangkuan.

Pendekar Super Sakti tersenyum, mengangguk dan mengusap dagu isterinya. “Kau tunggulah di sana.... aku takkan lama lagi menyusulmu....” bisiknya lirih dan ramah. Akan tetapi nenek Nirahai hanya mendengar setengahnya saja karena ia telah terkulai dan nyawanya telah meninggalkan badannya, akan tetapi kata-kata di bibirnya sempat terloncat keluar dalam bisikan, “Aku.... gembira.... seperti adik Lulu....”

Nirahai telah mati. Lulu telah mati. Suma Han memandang wajah isteri di pangkuannya itu, menutupkan mata dan mulutnya dengan jari tangan, dengan sentuhan mesra, kemudian menoleh ke arah peti jenazah Lulu, dan diapun menghela napas panjang. Kedua isterinya sungguh merupakan dua orang wanita pendekar yang gagah perkasa sampai saat terakhir, sampai menjadi nenek-nenek tua renta! Bagaimanapun juga, dia melihat kebanggaan menyelinap di dalam hatinya, berikut juga penyesalan mengapa mereka berdua itu sampai akhir hidupnya bergelimang dalam kekerasan. Biarpun dia tidak keluar dari ruangan itu, dia dapat mendengar dan membayangkan apa yang telah terjadi di luar. Kini dia mendengar langkah-langkah kaki banyak orang menuju ke depan pintu gerbang yang menembus ke ruangan itu. Sambil menarik napas, Suma Han memondong dan memanggul tubuh isterinya dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menekan lantai dan sekali mengerahkan tenaga, tubuhnya sudah melayang kembali ke tempat semula, di dekat peti jenazah Lulu, dan dengan hati-hati dia merebahkan jenazah Nirahai di samping peti jenazah Lulu. Kemudian diapun duduk menanti, menghadap ke arah pintu. Dupa harum masih mengepul tebal di samping kirinya.

Hek-i Mo-ong merupakan orang pertama yang meloncat masuk melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu, kemudian disusul oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dua belas orang anggauta mereka yang masih hidup dan belum terluka. Empat belas orang itu berdiri memandang dengan bengong. Biarpun Pendekar Super Sakti nampak duduk bersila di dekat peti jenazah dan juga jenazah nenek Nirahai yang rebah terlentang di dekat peti itu nampak tenang dan sama sekali tidak membayangkan ancaman dan tidak menyeramkan, namun mereka semua merasakan sesuatu yang membuat mereka bengong. Ada sesuatu dalam sikap kakek itu yang membuat mereka jerih. Seorang kakek tua renta, rambutnya yang putih itu riap-riapan, kumis dan jenggotnya seperti benang-benang perak halus, sepasang mata pada wajahnya yang masih tampan itumemandang lembut ke arah mereka, pada wajah itu sedikitpun tidak terbayang perasaan marah atau takut. Mereka seperti menghadapi hamparan samudera luas yang tenang, atau langit biru tanpa awan bergerak. Di balik ketenangan dan keheningan ini terdapat sesuatu yang menghanyutkan, sesuatu yang luas dan dalam, yang menimbulkan rasa hormat dan kagum.Kemudian terdengar suara kakek tua renta itu, suaranya halus dan datar tanpa didorong perasaan, “Kalian pergilah dan tinggalkan pulau ini, bawa teman-temanmu yang tewas dan terluka.”

Suara halus ini agaknya menyadarkan semua orang dari pesona, dan Hek-i Mo-ong menggerakkan tombaknya yang masih berlepotan darah nenek Nirahai itu sambil bertanya, “Apakah engkau tidak hendak melawan kami? Bukankah engkau ini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, tocu dari Pulau Es?”

“Namaku Suma Han....”

Tiba-tiba Jai-hwa Siauw-ok berteriak, “Kakek ini sudah tua renta dan lemah. Dan hanya dia seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari empat orang muda itu!” Berkata demikian, Jai-hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu ilmu pukulan Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari tangan terbuka, tangan kirinya yang miring itu menyambar ke arah kepala Suma Han dengan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.

Pendekar Super Sakti mengangkat tangan kirinya ke atas, bukan seperti orang menangkis melainkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung kekuatan Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang digerakkan perlahan ke atas itu.

“Desss....!” Akibatnya, tubuh Jai-hca Siauw-ok terpental ke belakang dan terbanting roboh. Mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah merah saking penasaran, marah dan malunya. Mengandalkan banyak kawan yang membesarkan hatinya, diapun kini bergerak maju, merendahkan dirinya sepcrti hampir merangkak dan tiba-tiba diapun melancarkan pukulan Katak Buduk setelah perutnya memperdengarkan suara berkaok. Pukulan itu langsung datang dari depan mengarah dada Pendekar Super Sakti. Pendekar ini tenang-tenang saja, kembali menggunakan tangan kirinya untuk didorongkan ke depan menyambut pukulan maut itu.

“Wuuuuttt.... plakk....!” Dua telapak tangan bertemu dan sekali ini tubuh Jai-hwa Siauw-ok seperti daun kering terbawa angin keras, terlempar lalu terbanting dan masih terguling-guling sampai tubuhnya menabrak dinding. Akan tetapi, ternyata dia tidak terluka dan hal ini membuktikan bahwa Pendekar Super Sakti tidak melawan kerassama keras, melainkan menggunakan kelembutan. Jai-hwa Siauw-ok itu terlempar dan terbanting oleh tenaganya sendiri yang membalik. Tentu saja bantingan itu membuat kepalanya menjadi pening dan hatinyapun sudah menjadi gentar sekali. Dia bangkit duduk dan memandang ke arah sosok tubuh yang bersila itu dengan sinar mata ketakutan.

Melihat peristiwa ini, Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Dia cukup mengenal kelihaian rekannya itu dan melihat rekannya dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti secara demikian mudahnya, dia menjadi penasaran bukan main.

“Pendekar Siluman, aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu!” bentaknya dan kakek raksasa ini lalu memutar-mutar tombak Long-ge-pang di atas kepalanya. Makin lama, putaran itu menjadi semakin cepat sehingga akhirnya tombak itu lenyap bentuknya, yang nampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang mendatangkan hawa dan angin menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing. Kemudian, dengan memegang tombak menggunakan kedua tangannya, dia meloncat ke depan, mengayun tombak Long-ge-pang itu dan menghantamkannya ke arah kepala Suma Han.

“Hyaaaaaattt....!”

Tombak itu menyambar ke bawah dengan kekuatan yang amat hebatnya. Tenaga Hek-i Mo-ong adalah tenaga sakti yang amat kuat dan jangankan kepala orang, biar batu karangpun akan hancur lebur tertimpa hantaman Leng-ge-pang yang dipukulkan dengan tenaga sedahsyat itu. Suma Han menarik napas panjang, mengenal pukulan maut yang amat hebat. Dengan tenang dia lalu menggunakan tangan mengambil tongkat di depan kakinya dan memalangkan tongkat bututnya itu di atas kepala.

“Desss....!” Seluruh ruangan itu rasanya seperti tergetar dan semua orang yang hadir merasakan getaran yang ditimbulkan oleh pertemuan dua tenaga melalui tongkat dan tombak. Atau lebih tepat, pertemuan tenaga keras dari tombak itu yang membalik ketika bertemu dengan tenaga lunak pada tongkat butut. Dan akibatnya memang hebat sekali. Tubuh Hek-i Mo-ong terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi, dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan agaknya bentakan ini memulihkan tenaganya kembali. Dia lalu meloncat lagi ke depan, kini tombak Long-ge-pang itu bukan dihantamkan, melainkan ditusukkan ke arah dada Pendekar Super Sakti yang masih duduk bersila dengan tenang.

Kembali Suma Han menggerakkan tongkatnya, kini menangkis dari samping ke arah ujung tombak yang menusuk itu. Gerakannya masih lunak saja.

“Trakkkk....!” Untuk kedua kalinya tongkat bertemu tombak dan kini tubuh Hek-i Mo-ong bukan hanya terhuyung melainkan terpelanting dan terbanting. Kakek raksasa itu bangkit duduk dan mengguncang-guncang kepalanya seperti mengusir kepeningan. Kemudian dia meloncat berdiri dan kedua matanya menjadi merah, napasnya memburu dan dadanya terengah-engah. Dia merasa penasaran sekali. Kalau Pendekar Super Sakti menghadapi serangannya dengan perlawanan tenaga dan dia kalah kuat, hal itu dapat diterimanya karena sebagai seorang yang berilmu tinggi dia tentu saja maklum bahwa sepandai-pandainya orang, tentu ada yang melebihinya. Akan tetapi, Majikan Pulau Es ini sama sekali tidak melawannya keras sama keras, melainkan menggunakan tenaga lunak seperti meluluhkan tenaganya, atau membuat tenaganya itu membalik dan menghantam dirinya sendiri. Inilah yang membuat dia penasaran. Sedemikian jauhkah dia kalah oleh kakek tua renta ini? Demikian rendahkah tingkatnya sehingga kakek tua renta itu mampu menghadahinya seperti itu? Dia tidak percaya! Selama ini, banyak sudah dia bertemu lawan pandai, dan harus diakuinya bahwa di antara pendekar-pendekar muda terdapat orang-orang pandai seperti keturunan Suling Emas itu, namun setidaknya dia mampu menandingi mereka atau kalahpun hanya sedikit saja selisihnya. Tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkannya dengan mudah! Akan tetapi, kakek tua renta ini hanya menghadapinya dengan penggiman tenaga lemas saja. Siapa yang takkan merasa penasaran? Setelah bangkit berdiri, Hek-i Mo-ong mengumpulkan seluruh tenaganya dan meloncat ke depan, menggunakan tenaga dan ditambah kekuatan loncatan itu dia menghantamkan tombaknya ke arah ubun-ubun kepala lawan.

“Siuuuutttt.... darrrr....!” Tombak Long-ge-pang itu patah menjadi dua dan tubuh Hek-i Mo-ong terjengkang dan terbanting. Ketika kakek ini bangun kembali, mukanya pucat sekali, matanya terbelalak dan dari mulutnya mengucur darah segar!

Pendekar Super Sakti nampak tubuhnya bergoyang-goyang. Dia menunduk dan terdengar suaranya lirih, “Cukup, Hek-i Mo-ong, pergilah....”

Akan tetapi, agaknya Hek-i Mo-ong masih penasaran. Dia telah melakukan usaha yang mati-matian, sudah kehilangan banyak sekali teman dan anak buah, masa dia harus mengaku kalah dan pergi begitu saja? Mungkin dia sudah kalah dalam ilmu silat, kalah dalam tenaga sin-kang, akan tetapi dia masih mempunyai andalannya, yaitu ilmu sihir! Maka dia sudah mengeluarkan kipas merahnya, memegangnya dengan tangan kanan, diacungkan ke atas, mulutnya berkemak-kemik, kipasnya mengebut-ngebut.

Tiba-tiba ruangan itu menjadi remang-remang seolah-olah ada awan gelap menyelimuti, dan terdengar bermacam-macam suara aneh, seperti suara orang-orang menangis dan tertawa bergelak. Semua anak buah Hek-i Mo-ong sendiri merasa serem akan tetapi karena mereka tahu bahwa ini adalah pengaruh ilmu hitam yang sedang dikerahkan oleh pucuk pimpinan mereka, mereka merasa tenang.

“Suma Han, aku adalah raja dari dunia hitam! Semua kekuatan hitam bangkit dari neraka dan membantuku untuk membasmi keluargamu. Lihat mereka muncul!” Dan kipasnya mengebut-ngebut makin keras lagi. Kini suara yang aneh-aneh itu semakin keras lalu nampaklah bayangan-bayangan hitam bermunculan, bayangan hitam ini membentuk sosok-sosok tubuh yang mengerikan, tubuh setengah binatang setengah manusia, seperti iblis-iblis dari neraka bermunculan atas perintah rahasia dari Hek-i Mo-ong.

“Kegelapan hanya dapat mempengaruhi mereka yang sesat batinnya, Hek-i Mo-ong. Siapa yang melakukan kejahatan berarti hanya mencelakai dirinya sendiri!” terdengar Suma Han menjawab halus dan semua orang melihat betapa asap dupa yang sejak tadi mengepul itu, kini nampak semakin tebal, nampak semakin jelas ketika cuaca dalam ruangan itu menjadi gelap. Dan asap putih ini bergerak-gerak membentuk bayangan yang makin lama makin jelas, kemudian nampaklah bayangan Pendekar Super Sakti, makin lama makin besar, berdiri dengan tongkat di tangan, gagah perkasa walaupun kakinya hanya sebelah, sepasang matanya mencorong seperti bintang.

Melihat ini, Hek-i Mo-ong makin kuat mengebutkan kipas merahnya dan dari mulutnya keluar suara-suara aneh seperti orang membaca mantram dalam bahasa asing. Dan bayangan-bayangan hitam itu menggereng-gereng dan menerjang ke depan, ke arah bayangan putih dari Pendekar Super Sakti raksasa yang dibentuk oleh asap dupa itu. Bayangan putih yang berbentuk Pendekar Super Sakti itu mengangkat tangan kiri ke atas, lalu membuat gerakan-gerakan dengan tongkatnya seperti orang mencorat-coret menulis huruf-huruf di udara atau seperti orang bersilat tongkat secara aneh sekali.

Terjadilah pertentangan yang luar biasa di udara, ditonton oleh semua anak buah Hek-i Mo-ong dengan mata terbelalak dan jantung berdebar tegang. Setelah bayangan putih yang berbentuk Suma Han itu “bersilat” atau menulis huruf-huruf di udara, bayangan-bayangan hitam itu lalu merengkutkan tubuhnya, menutupi muka dengan lengan-lengan berbulu, seperti anak-anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan dan mereka itu mundur-mundur.

Hek-i Mo-ong memperkeras bacaan mantramnya, kipasnya dikebut-kebutkan ke arah Suma Han yang tetap duduk bersila. Namun, bayangan-bayangan hitam itu makin mengecil dan akhirnya seperti melarikan diri, membalikkan tubuh dan berloncatan ke belakang!

“Krekkk....!” Kipas merah di tangan Hek-i Mo-ong patah-patah dan kakek itu sendiri terpelanting seperti ditabrak setan-setan itu. Dia merintih akan tetapi masih dapat bangkit lagi sambil mengeluh perlahan, mukanya berlepotan darah yang tersembur keluar dari mulutnya sehingga mukanya nampak menyeramkan, pantas kalau dia menjadi Raja Iblis.

“Hek-i Mo-ong, pergilah dan tinggalkan pulau ini bersama semua kawanmu, bawa semua kawanmu yang tewas maupun terluka,” terdengar Suma Han berkata lagi dengan suara halus.

Dengan dibantu oleh Jai-hwa Siauw-ok yang memapahnya, Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan dasar orang yang berwatak angkuh, begitu dapat berdiri dia mengibaskan tangan Siauw-ok sehingga kawannya ini mundur dan membiarkan dia berdiri sendiri. Sejenak Hek-i Mo-ong memandang kepada Suma Han, kemudian dia membalikkan tubuhnya dengan sikap angkuh dan menghardik, “Mari kita pergi!”

Jai-hwa Siauw-ok yang memandang semua itu dengan muka pucat dan hati gentar sekali, cepat-cepat mengikutinya bersama dua belas orang sisa anak buah mereka. Dengan susah payah, dua belas orang anak buah itu lalu mengangkuti mayat-mayat para teman mereka dan akhirnya, mereka pergi meninggalkan Pulau Es dengan menderita kekalahan besar.

Setelah para penyerbu itu pergi, Suma Han menghela napas panjang dan menggunakan sehelai saputangan putih yang diambilnya dari saku jubahnya untuk mengusap ke arah tepi mulutnya. Dan saputangan itu penuh dengan darah segar! Hebat nemang tenaga Hek-i Mo-ong tadi, dan dia sendiri sedang dalam keadaan lemah! Dia memandang ke arah wajah Nirahai yang nampak tersenyum, kemudian mengerling ke arah peti jenazah Lulu, dan berbisik, “Tak kusangka, makin cepat kita akan dapat saling bertemu....” Dan diapun kembali bersila seperti semula di dekat jenazah Nirahai dan peti jenazah Lulu. Asap dupa masih mengepul terus ke atas, tanda bahwa tidak ada angin memasuki ruangan itu. Suasana amat hening....



***



Suma Hui membuka kedua matanya. Ia baru siuman dari pingsannya karena totokan yang dilakukan Cin Liong tadi. Begitu simnan, ia mengeluh lirih dan mengejap-ngejapkan mata. Mula-mula ia merasa heran melihat dirinya rebah di atas lantai dalam ruangan yang remang-remang diterangi cahaya lilin. Kemudian ia menoleh ke kanan kiri dan melihat Ciang Bun dan Ceng Liong duduk bersila di sebelah kirinya, dan melihat Cin Liong bersila di sebelah kanannya. Segera ia teringat akan semua yang telah dialaminya dan sekali bergerak, dara ini telah bangkit berdiri.

“Apa yang telah terjadi....? Ah.... engkau .... engkau telah menotokku dengan curang!” Suma Hui teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat ia meloncat ke depan. Cin Liong bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.

“Plak! Plak! Plak! Plak!” Empat kali kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat kulit pipinya menjadi merah. Dia sengaja tidak mau menangkis atau mengelak, maklum betapa marahnya dara itu dan bahwa dara itu telah salah kira.

“Enci, jangan....!” Ciang Bun memegang lengan kanan encinya.

“Enci Hui, jangan pukul dia!” Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.

“Biar! Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani menipuku dan menotokku....!”

“Sabarlah, enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai,” kata Ciang Bun.

“Dia hanya mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau dan kita semua, enci Hui!” Ceng Liong juga membujuk dara yang masih marah itu. Kedua tangan Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi memandang wajah Cin Liong dan andaikata ia tidak dipegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut. Cin Liong hanya menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak biru karena ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Dan tamparan tangan seorang dara seperti Suma Hui amatlah hebatnya! Masih untung pendekar ini bahwa Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, melainkan hanya sebagai peluapan amarahnya saja. Kalau dara itu tadi menampar dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu bisa retak-retak tulang rahangnya! Dan betapapun marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak maupun menangkis tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pendekar Super Sakti mau mempergunakan sin-kang.

Mendengar bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya, kemarahan Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menelan kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya, pandang matanya tidak ganas seperti tadi dan melihat keadaan enci mereka, Ceng Liong dan Ciang Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.

“Baiklah....” akhirnya Suma Hui berkata, “aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebabnya? Bukankah Pulau Es diserbu musuh? Mengapa kita harus melarikan diri?” Pertanyaan itu ditujukan kepada Cin Liong dan sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah kebiruan itu.

“Karena itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga,” jawab Cin Liong. “Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta aku berjanji untuk melaksanakan perintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat aku harus membawa kalian ke sini untuk bersembunyi, kalau perlu dengan kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan tadi. Harap maafkan kelancanganku, siauw-i (bibi kecil).”

“Tapi.... bagaianana dengan nenek Nirahai? Dan kakek? Kita disuruh bersembunyi, lalu bagaimana dengan mereka....? Mari kita keluar untuk membantu mereka!”

“Tapi, bibi....” Cin Liong hendak mencegah. Memang sudah ada satu hari lebih mereka berada di situ semenjak mereka masuk sampai dara itu siuman, akan tetapi dia belum mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga berbahayalah kalau tiga orang muda itu keluar. Bagaimana kalau musuh masih berkeliaran di luar? Bukankah tiga orang muda ini akan terancam keselamatan mereka dan akan sia-sialah usahanya memenuhi perintah nenek Nirahai untuk menyingkirkan mereka dari bahaya?

Suma Hui menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat ketika ia menggerakkan sepasang pedang itu melintang di depan dadanya dan pandang matanya penuh tantangan terhadap Cin Liong.

“Engkau hendak melarangku? Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang akan berani mencegah aku keluar!”

Sejenak kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi, akan tetapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.

“Baiklah, mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggungjawabkan janjiku kepada nenek buyut Nirahai.” Cin Liong tahu bahwa dara di depannya ini memiliki kekerasan hati yang tak mungkin dilawannya, karena kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dara itu akan melawan dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus menghadapi kebencian dara ini.

“Tapi, nenek Nirahai akan marah kepadamu!” Suma Ciang Bun mencela. “Dan janji seorang gagah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!”

“Enci Hui, kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkaulah yang memaksanya melanggar janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!” Suma Ceng Liong juga mencela.Cin Liong kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu, keraguan yang bercampur dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi betapa duka dan khawatir adanya perasaan dara itu. Dia sendiripun tadinya kurang setuju terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan nenek itu sendirian saja menghadapi banyak lawan tangguh sedangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang muda itu. Kalau dia terpaksa menerima perintah itu adalah karena diapun dapat melihat bahwa memang keselamatan tiga orang muda itu amat terancam dan perlu diselamatkan, dan dia sudah berjanji, maka bagaimanapun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi sekarang, melihat kedukaan dan kekhawatiran yang membayang di wajah gadis itu, dia sendiri merasa menyesal mengapa dia telah mentaati perintah nenek Nirahai.

“Biarlah, kalau nenek buyut Nirahai marah, biarlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari kita keluar dan melihat keadaan di sana,” kata Cin Liong dan tiga orang muda yang memang ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek mereka, tidak membantah lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu yang akan bertanggung jawab.

Dengan hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang mada itu keluar dari pintu rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka memperhatikan keadaan dengan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar amat hening. Tidak terdengar suara sedikitpun, juga tidak nampak sesuatu, tidak nampak seorangpun. Begitu sunyi keadaannya, sunyi menegangkan hati dan dapat menimbulkan dugaan-dugaan yang mengerikan.

Apalagi setelah mereka berada di luar. Sungguh jauh sekali daripada yang mereka kira semula. Tidak nampak bayangan seorangpun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat mereka, padahal mereka berempat itu maklum betapa banyaknya pihak musuh yang roboh dan tewas.

“Mari kita cari di dalam!” Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia merasa gelisah sekali. Setelah kini berada di luar, ialah yang menjadi pemimpin. Bagaimanapun juga, Cin Liong hanyalah seorang tamu dan seorang keponakan. Mereka lalu berjalan cepat, bahkan berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka sudah dikejutkan oleh kenyataan mengerikan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita. Mereka telah tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.

Suma Hui mengeluarkan seruan tertahan melihat ini dan iapun cepat lari masuk ke dalam, diikuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhirnya mereka tiba di ruangan di mana peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun melihat kakek Suma Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di sebelahnya nampak rebah terlentang tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak bernyawa lagi. Keadaan dalam ruangan itu begitu sunyi, kakek yang duduk bersila itu seperti arca, tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bersuara. Satu-satunya yang bergerak hanyalah asap dupa yang mengepul lurus ke atas karena tidak terganggu semilirnya angin.

“Nenek Nirahai....!” Tiba-tiba Suma Hui menjerit dan dara ini lari menghampiri, lalu berlutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis. Melihat encinya menangis sesenggukan seperti itu, Ciang Bun juga tidak dapat menahan tangisnya. Hanya Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat jenazah nenek itu dan memandang dengan matanya yang lebar. Kalau dia berduka, maka kedukaan itu hanya nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia merasa marah, kemarahan itu hanya nampak pada kedua tangannya yang dikepal keras. Cin Liong hanya menundukkan mukanya, diam-diam diapun merasa terharu dan menyesal mengapa keluarga Pulau Es yang demikian terkenal sebagai keluarga para pendekar sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat sehingga kedua orang nenek itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul dalam waktu sehari semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat banyak dan kuat.

Suma Hui agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya itu.

“Kong-kong....! Kenapa kong-kong membiarkan semua ini terjadi? Kenapa kong-kong membiarkan orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai? Di mana kesaktian kong-kong? Kenapa kong-kong tidak menghadapi musuh, menghajar mereka dan mencegah mereka membunuh kedua orang nenekku? Di mana kegagahan kong-kong....?”

Cin Liong terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu diam saja, bergerakpun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan melanda hati kakek itu yang sekaligus kematian kedua orang isterinya yang terkasih. Ciang Bun merangkul encinya dan membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.

“Enci.... jangan menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu....” keluhnya.

Suma Ceng Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata, “Enci Hui, ucapan apa itu? Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk semua itu dia tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci berani mencela dan menegur kong-kong!”

Suma Hui mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong. “Kita semua telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmulah, Cin Liong, maka aku menjadi pengecut! Kita melarikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai dikeroyok dan dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi pengecut gara-gara engkau!” Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.

“Enci....!” Ciang Bun menegur.

“Enci Hui....!” Ceng Liong juga menegur.

Akan tetapi Cin Liong yang tadinya mengangkat muka memandang gadis itu, kini menunduk kembali dan menarik napas panjang. Dia merasa amat kasihan kepada gadis itu. Biarpun gadis itu kelihatan marah-marah, menyesal dan membencinya, namun dia tahu bahwa semua itu timbul karena gadis itu merasa berduka sekali melihat kematian kedua orang neneknya.

“Bibi Hui, sesungguhnya, aku sendiripun merasa menyesal harus meninggalkan medan perkelahian, akan tetapi bagaimana aku dapat membantah perintah nenek buyut Nirahai?” katanya perlahan.

“Nenek memerintahkan karena sayang kepada kami, akan tetapi perintah itu membuat kita semua menjadi pengecut-pengecut tak tahu malu, kenapa engkau mentaatinya secara membuta saja?” Suma Hui membentak.

“Bibi, hendaknya dapat melihat dari sudut lain. Perintah nenek buyut sama sekali bukan untuk membuat kita menjadi pengecut, sama sekali bukan. Melainkan perintah yang mengandung kebenaran dan kecerdasan.”

“Melarikan diri dari musuh kauanggap benar dan cerdas? Cin Liong, katanya engkau ini seorang jenderal perang, kenapa berpendapat demikian? Pendapat macam apakah itu?”

“Bibi Hui, ketahuilah bahwa nenek buyut Nirahai adalah seorang panglima besar dan aku sendiri sedikit banyak pernah mempelajari ilmu perang. Mengundurkan diri, melarikan diri dalam suatu saat merupakan sebuah taktik dalam perang, dan sama sekali bukan tanda watak pengecut. Demikian pula, nenek buyut Nirahai minta kepadaku untuk membawa kalian bertiga bersembunyi kalau keadaan menjadi gawat, sama sekali bukan karena hendak membuat kita menjadi pengecut, melainkan berdasarkan perhitungan yang masak, benar dan cerdas. Karena, andaikata kita tidak melarikan diri, apakah kita akan dapat menyelamatkan nenek buyut? Ingatlah, keadaan pihak lawan jauh terlalu banyak dan terlalu kuat, sehingga kalau toh kita melawan, maka kitapun semua akan tewas bersama nenek buyut.”

“Lebih baik mati bersama nenek Nirahai daripada meninggalkannya lari, membiarkan ia sendirian saja menghadapi musuh dan tewas! Seorang gagah akan menghadapi lawan sampai titik darah penghabisan!” Suma Hui tetap ngotot.

“Enci Hui, lupakah engkau akan pelajaran yang pernah kita terima dari ayah maupun dari kakek? Melawan musuh secara membuta sampai mati hanyalah tindakan orang nekat yang bodoh. Melarikan diri karena takut barulah pengecut, akan tetapi melarikan diri karena tahu akan kekuatan lawan adalah sikap yang cerdas.” Ciang Bun memperingatkan encinya.

“Dan kita lari bukan karena takut, enci. Melainkan karena perintah nenek Nirahai yang memerintahkan dengan dasar perhitungan yang matang. Beliau ingin menyelamatkan kita, dan enci tidak berterima kasih malah kini marah-marah? Bukankah kalau demikian berarti enci marah-marah kepada nenek Nirahai yang telah tiada?” Ceng Liong juga menegur.

Mendengar kata-kata kedua orang adiknya itu, air matanya bercucuran dari kedua mata Suma Hui dan melihat ini, Cin Liong merasa kasihan sekali. Gadis ini memiliki kegagahan luar biasa, kekerasan hati akan tetapi juga kelembutan. Ingin dia merangkul dan menghiburnya, menyusut air mata itu!

“Kukira.... kukira sebaiknya kalau kita mengurus jenazah nenek buyut.... di mana kita dapat mencari peti jenazah....?” Akhirnya Cin Liong berkata.

“Nenek Nirahai sudah memiliki peti jenazah sendiri, di kamarnya. Biar kita mengambilnya,” kata Ciang Bun. Mereka berempat lalu bangkit dan mengambil peti jenazah itu dan bersama-sama mereka lalu membersihkan jenazah, mengenakan pakaian yang terbaik pada jenazah itu dan memasukkannya ke dalam peti. Semua ini terjadi dan kakek Suma Han tetap duduk bersila tanpa pernah bergerak. Dan empat orang muda itupun tidak ada yang berani mengganggunya.

Kembali Suma Hui menangis ketika ia bersembahyang di depan peti jenazah ini. Ceng Liong menghiburnya dengan kata-kata penuh semangat, “Enci Hui, kenapa menangis? Kalau kupikir, masih untung bahwa Cin Liong mentaati perintah memdiang nenek. Kalau tidak demikian, tentu kita semua telah mati juga. Dan sekarang, kita masih hidup sehingga kita akan mampu untuk membalaskan kematiannya, bukan?”

“Liong-te, ingat. Bukankah kakek selalu memperingatkan kita agar tidak membiarkan hati kita diracuni dendam?” Ciang Bun menegur adiknya.

Tiba-tiba terdengar suara halus, “Kematian adalah suatu kewajaran. Tak perlu disusahkan, tak perlu diributkan. Setelah matahari tenggelam, bawa mayat kami semua ke ruangan sembahyang dan bakarlah. Begitu mayat terbakar, kalian harus cepat meninggalkan pulau ini dalam perahu, dan kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Perintahku terakhir ini sedikitpun tidak boleh kalian langgar!”

Semua orang terkejut sekali mendengar ini. Tadinya mereka bingung karena suara itu seperti datang dari empat penjuru, atau kadang-kadang seperti datang dari atas. Setelah tiga orang cucu itu mengenal suara kakek mereka, barulah mereka menoleh dan memandang. Akan tetapi selagi suara itu masih terdengar bicara, bibir kakek mereka tidak bergerak sama sekali. Akan tetapi jelas bahwa kakek Suma Han, Pendekar Super Sakti itulah yang bicara karena suaranya tentu saja amat dikenal oleh Ceng Liong, Ciang Bun, dan Suma Hui! Dan kalimat terakhir itu menunjukkan bahwa kakek itu telah meninggal dunia! Cin Liong yang lebih dulu sadar akan hal ini dan diapun cepat maju menghampiri kakek yang duduk bersila itu, lalu meraba pergelangan tangannya.

“Beliau telah wafat....” katanya lirih, penuh takjub dan hormat. Kakeknya ini, melihat tubuh yang sudah dingin kaku itu, tentu telah meninggal dunia sejak tadi, akan tetapi mengapa suaranya masih terdengar? Diam-diam jenderal muda ini bergidik dan dia teringat akan cerita ayahnya tentang pendekar tua yang luar biasa saktinya ini.

Mendengar ini, Suma Hui menubruk kakeknya dan kembali dara ini menangis terisak-isak. Seperti tadi, kembali Suma Hui menangis dan Ciang Bun juga mengucurkan air mata, akan tetapi Ceng Liong yang nampaknya tidak menangis, hanya mukanya kini menjadi agak pucat, matanya mengeluarkan sinar berkilat. Cin Liong membiarkan dara itu menangis sejenak, kemudian terdengar dia berkata lirih.

“Harap kalian suka ingat akan pesan kakek buyut tadi bahwa kematian adalah suatu kewajaran yang tidak perlu disusahkan atau diributkan.”

Mendengar peringatan ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan sambil memegangi tangan kakeknya yang sudah dingin kaku itu, ia berkata, “Kong-kong, ampunkanlah Hui yang tadi telah menegur dan mencelamu.... Hui tidak tahu bahwa kong-kong telah tiada.... kong-kong, kami akan mentaati semua pesanmu tadi....”

Melihat betapa gadis itu bicara kepada mayat yang tetap duduk bersila itu seolah-olah bicara kepada orang yang masih hidup, Cin Liong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk dan diapun mengejap-ngejapkan mata menahan air mata. Mulai detik itu tahulah dia bahwa dia telah jatuh cinta. Namun, pada saat itu pula diapun melihat kejanggalan besar dalam cintanya ini. Betapa mungkin seorang keponakan mencinta bibinya sendiri! Mencinta memang mungkin saja, karena cinta adalah urusan hati. Akan tetapi mana mungkin cinta itu diwujudkan menjadi suatu perjodohan? Seorang bibi berjodoh dengan keponakannya? Walaupun usia mereka memang pantas, yaitu dia lebih tua daripada “bibinya” itu, bahkan jauh lebih tua. Betapapun juga, batinnya menyangkal adanya semua peraturan ini. Batinnya tidak membohong. Dia jatuh cinta kepada Suma Hui, dan Cin Liong siap sedia menghadapi kegagalannya yang ke dua dalam bercinta. Dan hatinyapun terasa perih sekali.

Mereka berempat lalu sibuk bekerja. Lima mayat pelayan juga mereka angkut sekalian ke ruangan sembahyang yang cukup luas. Jenazah nenek Nirahai mereka masukkan peti, diletakkan di kanan kiri jenazah kakek Suma Han yang masih duduk bersila, mereka dudukkan di atas meja rendah bertilam bantal. Memang aneh sekali melihat jenazah yang tetap duduk bersila itu. Kemudian jenazah lima orang pelayan dibaringkan di atas tumpukan kayu bakar di belakang deretan tiga jenazah keluarga Pulau Es.

Suma Hui tahu apa yang harus dikerjakan. Ia bahkan tahu pula apa yang dikehendaki oleh kakeknya dalam pesan terakhir itu. Dengan air mata mengalir turun akan tetapi ia sudah dapat menahan diri tidak terisak lagi, ia berkata kepada dua orang adiknya, juga kepada Cin Liong.

“Kong-kong menghendaki agar Istana Pulau Es lenyap bersama dia dan nenek berdua.”

“Apa maksudmu, enci Hui?” tanya Ciang Bun heran.

“Kong-kong memerintahkan untuk membakar jenazah di ruangan sembahyang yang terkurung tempat penyimpanan minyak. Ruangan itu akan terbakar dan istana akan terbakar habis pula,” kata Suma Hui dengan sedih.

“Akan tetapi hal itu sama sekali tidak boleh terjadi!” Ceng Liong berseru kaget. “Istana Pulau Es adalah tempat keramat bagi kita, tempat pusaka, mana bisa dibakar habis terbasmi begitu saja?”

Tiga orang keturunan Pendekar Super Sakti ini menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan sehubungan dengan pesan terakhir dari kakek sakti itu, pesan yang sesungguhnya berlawanan dengan suara hati mereka. Tentu saja mereka merasa berat kalau harus membakar musnah Istana Pulau Es.

“Bagaimana dengan pendapatmu, Cin Liong? Biarpun engkau hanya keponakan kami, akan tetapi usiamu jauh lebih tua dan pemikiranmu lebih matang.” Akhirnya Suma Hui berpaling kepada keponakannya itu dan bertanya.

Cin Liong memandang kepada mereka. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum melihat tiga orang muda itu. Masih begitu muda akan tetapi sudah jelas membayangkan watak pendekar-pendekar yang hebat.

“Kong-couw Suma Han adalah seorang pendekar sakti yang tentu telah memikirkan secara mendalam sebelum mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, pesannya yang terakhir tadi, walaupun nampak janggal dan aneh, juga malah merugikan, aku yakin tentu juga mempunyai alasan-alasan yang amat kuat. Dalam pesannya tadi ditekankan bahwa kita harus mentaatinya dan bahkan ditekankan bahwa perintah terakhir itu sedikitpun tidak boleh kita langgar. Di balik perintah ini tentu ada suatu sebab yang amat kuat dan kurasa, kita sama sekali tidak boleh melanggarnya, sebagai kebaktian dan penghormatan kita yang teraknir kepada beliau.”

Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu dapat menerima pendapat ini dan merekapun lalu sibuk membuat persiapan, menanti sampai datangnya senja, tiada hentinya mereka melakukan sembanyang untuk memberi penghormatan teraknir kepada jenazah-jenazah kakek aan dua orang nenek mereka itu. Diperhatikan oleh Cin Liong bahwa di antara mereka, hanya Ceng Liong yang memiliki keganjilan. Suma Hui seringkali menangis sedih dan Ciang Bun juga kadang-kadang tak dapat menahan air matanya. Akan tetapi Ceng Liong, anak itu sama sekali tidak pernah menitikkan air mata! Padahal, dari sinar matanya, dia tahu bahwa anak inipun menderita kedukaan dan penyesalan besar berhubung dengan kematian tiga orang tua yang dicintanya itu. Anak ini sungguh luar biasa, pikirnya, mempunyai kekuatan batin yang hebat.

Akhirnya, saat yang dinanti-nanti dengan hati tegang bercampur haru dan duka itupun tibalah. Matahari telah condong ke barat, kemudian tenggelam. Senja telah tiba. Empat orang muda itu, kini dipimpin oleh Suma Hui, sudah menuangkan minyak bakar kepada semua jenazah, baik yang di peti maupun yang tidak, juga kayu-kayu bakar yang ditumpuk di bawah dan sekeliling para jenazah, semua telah disirami minyak bakar yang banyak disimpan di dalam gudang. Kemudian, untuk yang terakhir kalinya, tiga orang cucu dan seorang buyut keluarga Pendekar Super Sakti ituberlutut dan bersujut. Suma Hui tidak dapat menahan tangisnya sehingga Ciang Bun juga ikut menangis. Bahkan Cin Liong tak kuasa menahan air matanya. Hanya Ceng Liong yang tetap melotot dan kedua matanya tinggal kering, walaupun cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.

“Kong-kong, kakekku yang tercinta.... dan kedua orang nenekku yang berbudi.... ampunkanlah kami yang tidak berbakti, yang membiarkan kakek dan nenek tewas di tangan penjahat-penjahat. Dan ampunkanlah kami yang terpaksa melakukan upacara perabuan jenazah kakek dan nenek secara sederhana.... bahkan kami harus meninggalkan Pulau Es.... semua hanya karena ingin memenuhi perintah terakhir kakek....”

Dengan hati diliputi penuh keharuan, tiga orang cucu itu, dibantu pula oleh Cin Liong, lalu menggunakan obor untuk menyalakan api. Karena ruangan itu telah penuh dengan siraman minyak bakar, maka dalam sekejap mata saja api telah berkobar dan menelan segala yang berada di dalam ruangan. Empat orang muda itu dengan muka pucat masih sempat melihat dari luar ruangan betapa jenazah kakek yang duduk bersila itu diselimuti api berkobar, demikian pula dua buah peti jenazah dan jenazah lima orang pelayan. Hawa menjadi terlalu panas, cahaya api terlihat menyilaukan dan merekapun teringat akan perintah terakhir dari Pendekar Super Sakti, maka mereka bertiga dibujuk oleh Cin Liong, cepat-cepat meninggalkan istana itu dan menggunakan sebuah perahu untuk menjauhi Pulau Es. Belum lama mereka mendayung perahu, mereka dikejutkan oleh suara keras dari pulau itu dan nampaklah api yang amat besar menelan istana! Istana Pulau Es itu berkobar sedemikian hebatnya sehingga api menjulang tinggi ke angkasa, sinarnya menerangi permukaan laut!

Empat orang muda itu memandang dengan mata terbelalak lebar. Biarpun mereka juga sudah dapat menduga adanya kemungkinan istana itu ikut terbakar setelah ruangan sembahyang itu dijadikan tempat pembakaran mayat, namun mereka sama sekali tidak menyangka bahwa api akan dapat mengamuk secepat itu. Andaikata mereka tidak cepat-cepat pergi meninggalkan istana itu, mungkin saja mereka akan terancam bahaya api! Kiranya dalam pesannya terakhir itu, kakek Suma Han memang sudah tahu akan bahaya ini dan karenanya minta kepada mereka semua untuk cepat-cepat menyingkir meninggalkan pulau, bukan hanya meninggalkan istana. Dan sebab dari perintah inipun segera mereka ketahui ketika api itu makin lama semakin hebat saja nyalanya, bukan hanya terbatas pada istana itu yang berada di tengah pulau, melainkan menjalar ke seluruh permukaan pulau! Pulau Es itu terbakar seluruhnya! Dan bukan terbakar biasa saja. Api menyembur-nyembur ke atas seolah-olah api itu menyambar sumber minyak yang meluncur ke atas.Pemandangan yang mentakjubkan itu membuat empat orang muda yang berada di atas perahu melongo. Saking besarnya cahaya api, nampak oleh mereka istana itu amat indahnya. Istana Pulau Es seolah-olah berubah menjadi emas, demikian megah dan agung dan ajaib dalam lautan api! Akan tetapi, hawa panas membuat mereka harus cepat-cepat mendayung perahu mereka menjauh. Dari jarak yang amat jauh, mereka masih dapat menyaksikan pemandangan yang mentakjubkan itu, api yang menggunung. Sampai semalam suntuk api itu bernyala, akan tetapi setelah lewat tengah malam, cahaya api mulai mengecil dan istana itu mulai runtuh. Sampai kemudian, menjelang matahari terbit, api itu padam sama sekali dan setelah matahari naik tinggi, empat orang itu terheran-heran karena tidak melihat lagi adanya Pulau Es! Tenggelamkah pulau itu? Ataukah permukaannya runtuh dan sisanya terendam air lautan? Apapun juga yang terjadi, ternyata Pulau Es telah lenyap dari permukaan air!

“Pulau Es telah lenyap!” teriak Ceng Liong sambil mengepal tinju.

“Sungguh lenyap sama sekali....! Tenggelamkah pulau kita itu?” Ciang Bun juga berteriak.

Suma Hui menangis dan terguling roboh, pingsan dalam pelukan Cin Liong yang dengan sigap menerima tubuh gadis itu ketika terguling. Dia lalu merebahkan dara itu di dalam bilik perahu, menenangkan hati Ciang Bun dan Ceng Liong.

“Tidak apa, bibi Hui hanya terlalu banyak membiarkan hatinya dihimpit duka.... kalau nanti siuman dan menangis, kalian biarkanlah saja.”

Dengan beberapa kali mengurut jalan darahnya, akhkirnya Cin Liong berhasil membuat dara itu siuman kembali. Dan benar saja, seperti yang diduganya tadi, begitu sadar Suma Hui lalu menangis, tersedu-sedu. Dua orang adiknya hanya dapat memandang dengan muka pucat. Mereka sendiripun dapat merasakan betapa musibah telah menimpa keluarga Pulau Es secara bertubi-tubi dan berturut-turut. Bagaikan dalam mimpi saja semua itu! Dalam waktu dua hari saja, kakek dan dua orang nenek mereka, yang mereka pandang sebagai orang-orang yang paling sakti di dunia ini, telah tewas dan bahkan istana di Pulau Es yang mereka pandang sebagai tempat keramat, pusaka keluarga nenek moyang mereka, terbakar habis dan pulau itupun lenyap bersama-sama! Hanya dalam waktu dua hari! Hampir sukar untuk mereka percaya. Baru dua hari yang lalu mereka masih berlatih silat di pulau itu!

Setelah pulau yang terbakar itu padam, suasana menjadi begitu sunyi, yang terdengar hanya tangis Suma Hui yang lenyap ditelan kesunyian malam. Air lautpun begitu tenang sehingga perahu mereka itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah lautanpun berkabung atas kematian Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya yang sakti, dan atas musnahnya Pulau Es berikut istananya. Malam yang amat sunyi, sesunyi hati empat orang di dalam perahu itu.

Cin Liong mengeluh di dalam hatinya. Dia merasa amat berduka melihat kebinasaan pulau berikut keluarga Pulau Es yang amat dihormati dan dikaguminya itu. Akan tetapi, pemuda yang sudah cukup dewasa ini tidak mau memperlihatkan kedukaannya bahkan dia selalu menghibur tiga orang yang jauh lebih muda darinya itu. Dalam peristiwa ini, Cin Liong kembali mendapatkan kenyataan bahwa tiada yang kekal di dalam kehidupan ini! Pada suatu saat, setiap orang manusia akan kehilangan segala-galanya, pasti akan tewas. Semua kepandaian, kegagahan, nama besar, kemuliaan, harta benda, kedudukan, semua yang disayangnya, semua itu akan lenyap bersama dengan lenyapnya nyawa dari badan! Karena itu, semua bentuk pengikatan batin merupakan sumber segala duka dan rasa takut. Pengikatan batin membuat kita takut kalau-kalau kehilangan, membuat kita takut menghadapi kenyataan karena hal itu berarti akan membuat kita terpisah dari semua yang mengikat batin kita, dan mendatangkan duka kalau kita kehilangan mereka itu selagi kita masih hidup.

Cin Liong menghela napas panjang ketika kelihatan jelas olehnya bctapa diapun akan kehilangan semua yang dikasihinya. Ayah bundanya, orang-orang yang dikasihinya, bahkan dirinya sendiri, semua itu pada saatnya akan tiada! Akan tetapi, kenyataan yang dilihatnya ini membuat hatinya terasa lapang. Kenapa mesti berduka selagi hidup kalau akhirnya semua inipun akan lenyap? Kenapa mesti menyusahkan sesuatu setelah mengetahui benar bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal adanya? Kesenangan dan kesusahan itu hanya seperti angin lalu saja, datang silih berganti dan menjadi permainan daripada pikiran kita sendiri. Pikiran sendiri yang menciptakan “aku”, sumber daripada segala konflik penyebab kesengsaraan, aku yang selalu mengejar senang sehingga dalam pengejaran ini banyak melakukan hal-hal yang jahat terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain. Dan kesemuanya itupun akan ditelan waktu yang diikuti oleh maut!



***



Kedukaan mempengaruhi mata sehingga orang tidak lagi dapat menikmati keindahan. Akan tetapi, setelah dia membuka mata dan melihat kenyataan tentang kematian sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan dari hidup, diapun sudah dapat terbebas daripada kedukaan berhubung dengan kematian kakek dan nenek-nenek buyutnya dan lenyapnya Pulau Es. Maka, dialah seorang di antara mereka berempat yang dapat menikmati keindahan di pagi hari itu.

Matahari tersembul dari permukaan laut di timur, menciptakan jalur keemasan di atas air yang tenang dan berwarna biru gelap. Kadang-kadang nampak badan ikan tersembul, putih berkilauan, hanya sekelebatan saja karena binatang itu segera menyelam kembali dan membuat lingkaran yang makin melebar di permukaan air. Kadang-kadang ada ikan meloncat keluar dari permukaan air, menimbulkan suara air memecah ketika ikan itu terjun lagi dan berenang secepatnya menghindarkan diri dari pengejaran ikan yang lebih besar. Langit amat cerah. Hanya ada beberapa gumpal awan putih tipis terbang lalu, bersimpang jalan dengan terbangnya burung-burung camar. Kadang-kadang kesunyian dipecahkan oleh pekik burung camar memanggil kawannya. Sungguh merupakan pagi yang indah, tenang dan tenteram. Seolah-olah tidak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk, seolah-olah keindahan itu takkan berubah lagi.

Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Segala ketenangan itu sewaktu-waktu akan berubah. Matahari dapat saja kehilangan cahayanya karena tertutup awan gelap. Matahari akhirnya akan lenyap di balik barat dan terangnya siang akan terganti gelapnya malam. Air laut yang tenang penuh damai itu dapat saja sewaktu-waktu menjadi air laut yang ganas, mengamuk dan menelan apa saja yang dapat ditelannya, mendatangkan maut yang mengerikan di mana-mana. Segala sesuatu tidak kekal di dunia ini. Yang kekal hanyalah KENYATAAN. Dan kenyataan ialah apa adanya, tanpa sifat baik buruk. Hanya hidup di dalam kenyataan apa adanya ini saja yang tak terjangkau oleh baik atau buruk, suka atau duka, untung atau rugi. Baik atau buruk hanyalah penilaian, dan penilaian hanya merupakan kecerewetan si aku yang menilai-nilai berdasarkan untung rugi bagi si aku sendiri .

“Marilah kita segera tinggalkan tempat ini,” akhirnya ucapan Cin Liong memecah kesunyian dan seperti menyeret tiga orang muda itu kembali ke alam nyata setelah semalam mereka bertiga membiarkan diri terbuai dalam alam kenangan yang mendatangkan duka. “Tidak ada gunanya lagi bagi kita untuk berlama-lama berada di sini. Semua peristiwa ini harus dilaporkan kepada orang-orang tua kalian.”

Suma Hui memandang kepada pemuda itu dan mengangguk. “Mari kita berangkat.”

Mereka berempat lalu mendayung perahu dan layarpun mereka pasang. Angin pagi mulai berhembus dan melajulah perahu mereka, menuju ke barat daya.

Empat orang itu merasa lelah sekali karena semalam tidak tidur sehabis mereka pada siang harinya bertempur mati-matian. Melihat keadaan ini, Cin Liong yang lebih teliti itu tahu bahwa hal ini tidak boleh dibiarkan saja karena mereka masih harus menempuh perjalanan yang tidak mudah untuk mencapai daratan besar.

“Kita semua lelah dan perjalanan masih jauh. Sebaiknya kalau kita bergilir, yang dua orang mengaso dan yang dua lagi mengemudikan perahu. Dengan cara bergilir, kita dapat memulihkan kekuatan dan dapat menempuh pelayaran ini dalam keadaan sehat. Biarlah aku yang berjaga dan mengemudikan perahu lebih dulu.”

“Aku juga!” kata Suma Hui dengan suara tegas sehingga kedua orang adiknya tidak berani membantah.

“Kalau begitu sebaiknya kalau kedua paman pergi tidur dan istirahat. Nanti setelah pulih kekuatan, menggantikan kami berdua,” kata Cin Liong dan dua orang pemuda itupun mengangguk lalu mamasuki bilik perahu di mana mereka merebahkan diri dan sebentar saja mereka tertidur pulas. Kedukaan mempengaruhi badan yang menjadi lelah dan lemas dan tidur merupakan obat paling mujarab bagi kedukaan dan kelelahan lahir batin.Cin Liong mengemudikan perahu, dibantu oleh Suma Hui. Perahu meluncur laju dan angin menghembus layar sampai penuh. Karena permukaan lautan masih tenang, mereka dapat mengemudikan perahu dengan seenaknya sambil duduk. Beberapa kali Suma Hui mengangkat muka memandang kepada wajah Cin Liong. Hal ini terasa dan diketahui oleh pemuda itu, namun dia tidak berani balas memandang. Entah bagaimana, walaupun bibinya jauh lebih muda daripadanya, namun dia selalu merasa canggung dan malu terhadap bibinya ini.

Melihat betapa bekas tamparannya yang kemarin masih nampak pada kedua pipi Cin Liong, dan mengingat betapa pemuda ini telah melakukan segala-galanya untuknya dan untuk kedua orang adiknya, bahkan telah membela keluarga Pulau Es ketika menghadapi musuh-musuh berbahaya, hati Suma Hui terasa amat tidak enak. Ia tahu bahwa pemuda yang jauh lebih tua daripadanya, hanya karena “abu” saja menjadi keponakannya ini adalah seorang jenderal yang ternama dan juga seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dalam pertempuran menghadapi musuh-musuh tangguh di Pulau Es itupun ia dapat melihat betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai ketimbang ia atau dua orang adiknya. Bahkan harus diakuinya bahwa andaikata tidak ada Cin Liong, tentu lain jadinya akibat penyerbuan orang-orang jahat itu. Bukan tidak mungkin bahwa ia dan dua orang adiknya sudah menjadi korban pula. Kenangan ini membuat hatinya merasa semakin menyesal atas perbuatannya sendiri ketika ia melihat bekas tamparan tangannya pada kedua pipi pemuda itu. Seorang pemuda yang amat gagah. Wajah yang bundar dengan sepasang mata yang lebar berseri itu, kulit muka yang putih itu kini ternoda oleh bekas tamparan tangannya. Suma Hui memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengusir kenangan ketika ia menampari muka pemuda itu yang sama sekali tidak mau menangkis atau mengelak. Bahkan ia tidak menemukan perlawanan sin-kang pada wajah yang ditamparnya! Pemuda itu seolah-olah rela menerima tamparan-tamparannya. Ketika Suma Hui membuka kembali matanya, ia melihat betapa pemuda itu sedang memandang kepadanya.

“Hui-i (bibi Hui).... apakah engkau mengantuk? Kalau begitu, istirahatlah, biar aku sendiri yang berjaga dan mengemudikan perahu ini. Mengasolah....”

Suma Hui tersenyum untuk menutupi rasa tidak enak hatinya, akan tetapi ia tidak dapat mencegah kedua pipinya yang menjadi kemerahan. “Aku tidak mengantuk....”

Cin Liong tidak membantah lagi, akan tetapi dia tadi terpesona melihat betapa wajah yang manis itu menjadi kemerahan. Sinar matahari pagi menimpa bagian kiri wajah itu agak belakang, membuat kepala itu seperti dilindungi sinar keemasan. Betapa cantik jelitanya! Akan tetapi dia tidak berani memandang terlalu lama dan segera menundukkan mukanya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Sungguh mati, aku jatuh cinta padanya, batinnya mengeluh, keluhan yang muncul karena dia melihat kenyataan betapa tidak mungkinnya hal ini. Seorang keponakan jatuh cinta kepada bibinya sendiri!

Suma Hui juga merasacanggung. Ia sudah mencoba untuk memandang pemuda itu dari sudut pandangan seorang bibi kepada seorang keponakan. Namun tidak berhasil! Mana mungkin memandang seperti itu kalau sang keponakan itu sudah merupakan seorang pemuda dewasa yang lebih tua daripada usianya sendiri? Namanya saja ia seorang bibi dan Cin Liong seorang keponakan, akan tetapi ia kalah segala-galanya. Kalah dalam ilmu silat, kalah dalam usia dan pengalaman, dalam segala hal ia boleh berguru kepada jenderal muda ini!

“Cin Liong....”

Pemuda itu terkejut dari lamunannya dan cepat menoleh. Dia dapat menangkap pandang mata penuh penyesalan dari gadis itu.

“Ada apakah, Hui-i?”

“Kau.... kaumaafkanlah perbuatanku kemarin....”

Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar aneh, akan tetapi dia juga merasa canggung dan bingung. “Maafkan....? Tidak ada apapun yang harus dimaafkan, Hui-i, apakah maksudmu....?”

“Aku telah menamparmu kemarin!”

“Oohh, itu....?” Tanpa disengaja, tangan Cin Liong yang kiri mengelus pipi kirinya dan diapun tersenyum. “Ah, aku malah merasa masih untung besar hanya ditampar saja, Hui-i. Kalau masih penasaran, engkau boleh menamparku beberapa kali lagi.”

Alis itu berkerut dan wajah itu menjadi semakin merah. “Cin Liong, jangan mengejekku!”

Cin Liong mengangkat alisnya. “Aku tidak mengejek, Hui-i. Sungguh mati, tamparanmu itu memang sudah sepatutnya. Aku telah menotokmu.... ah, aku memang telah salah besar kepadamu.... aku kurang ajar....”

“Tapi engkau hanya mentaati perintah mendiang nenek Nirahai.”

“Ya, akan tetapi sepatutnya kalau aku memberitahu kepadamu secara terus terang saja, bukan diam-diam lalu menotokmu....”

“Tapi, kalau kauberitahupun aku tidak akan mau menurut.”

“Seharusnya aku membujukmu, tidak menggunakan kekerasan....”

“Tapi kau terpaksa melakukannya, untuk mentaati nenek dan untuk menyelamatkan aku....”

“Tapi aku menyinggung perasaanmu....”

“Dan untuk pertolonganmu aku telah menampari mukamu!”

“Sudah sepatutnya karena memang aku kurang ajar!”

Keduanya berhenti bicara dan saling pandang. Keduanya mengerti betapa lucunya keadaan mereka tadi. Lucu dan aneh karena Cin Liong telah berusaha mati-matian untuk menyalahkan diri sendiri sedangkan Suma Hni sebaliknya berusaha mati-matian untuk membela Cin Liong!

“Heii, Cin Liong, kenapa engkau berkeras hendak menyalahkan dirimu sendiri?”

“Dan engkaupun berkeras hendak membelaku, Hui-i?”

Keduanya lalu tertawa dan Suma Hui tertawa sampai kedua matanya menjadi basah. Betapa dekatnya tangis dan tawa, hampir tidak ada jarak pemisahnya.

“Kaulah yang seharusnya memaafkan aku, bibi.”

“Hemm, aku baru mau memaafkan engkau kalau lebih dulu engkau memaafkan aku.”

“Baiklah, Hui-i, aku memaafkan semua perbuatanmu terhadap diriku.”

“Dan akupun memaafkan semua perbuatanmu, Cin Liong.”

Keduanya diam dan hanya saling pandang, kini sambil tersenyum dan entah bagaimana, Cin Liong merasa betapa kegembiraan yaug amat besar menyelinap di dalam hatinya, seolah-olah senyum dan pandang mata gadis itu mengandung getaran dan sinar yang menyusup dalam ruang dadanya, menyentuh mesra di sanubarinya. Dia tidak tahu betapa gadis itupun merasa berbahagia sekali saat itu, seolah-olah dalam sekejap mata telah melupakan kedukaannya berhubung dengan peristiwa yang menimpa kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es.

Untung bahwa perahu itu, satu-satunya benda yang masih mereka miliki dari semua benda yang berada di Pulau Es, dilengkapi dengan air tawar yang cukup banyak, tersimpan dalam guci-guci besar. Mereka tidak takut kehausan, dan untuk mengisi perut yang lapar, Suma Hui lalu mengail ikan. Mudah saja mengail ikan di lautan, karena di kanan kiri perahu nampak ikan-ikan berseliweran dan apapun yang nampak di permukaan air mereka lahap dan sambar saja. Ada mata kail di perahu itu dan untuk umpannya, mula-mula Suma Hui menggunakan sepotong kain, dan setelah berhasil menangkap seekor ikan, dia menggunakan potongan-potongan ikan itu untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar. Sebentar saja, Ciang Bun dan Ceng Liong sudah terbangun dari tidur karena mencium bau ikan dibakar.

“Bau panggang ikan....! Sedaaappp....!” kata Ceng Liong sambil menggeliat.

“Wah, gurih baunya, perutku jadi lapar!” kata Ciang Bun dan keduanya keluar dari dalam bilik.

Suma Hui tertawa. “Kalau begitu, lekas ke sini, kita makan daging ikan dan kemudian kalian menggantikan kami mengemudikan perahu. Lihat, Cin Liong sudah lelah sekali dan kalian berdua enak-enak saja tidur sejak pagi tadi!”

“Hui-i lebih capai lagi, kurang tidur, masih mengail dan memanggang ikan,” kata Cin Liong.

Mereka berempat lalu makan daging ikan bakar. Biarpun tanpa bumbu, hanya dengan rasa asin air laut, akan tetapi karena perut mereka lapar, maka makanan amat sederhana itu terasa lezat dan cukup mengenyangkan perut empat orang yang sejak kecil memang telah tergembleng oleh keadaan yang kadang-kadang keras dan berat itu.

“Lihat matahari yang telah condong ke kanan itu. Arah itu adalah barat dan perahu kita harus menyerong ke kiri, jadi matahari berada di depan kanan kita. Itulah barat daya, takkan salah lagi.” Cin Liong memberi tahu kepada kedua orang pamannya ke arah mana perahu harus dikemudikan.Malam itu mereka berhenti di antara pulau-pulau kecil yang pernah dilewati Cin Liong, bahkan di atas sebuah di antara pulau-pulau itulah dia diketahui oleh gerombolan penjahat dan diserang sampai dia terjatuh ke laut. Pada keesokan harinya, begitu matahari terbit, mereka melanjutkan pelayaran mereka. Akan tetapi langit tidak cerah seperti pagi yang lalu. Awan gelap memennhi angkasa dan berarak mendekat seperti ancaman sesuatu yang menyeramkan. Cin Liong memandang ke arah awan-awan hitam itu.

“Mudah-mudahan bukan tanda akan datangnya badai,” katanya.

Akan tetapi, ternyata bukan hanya badai yang datang, melainkan lebih hebat daripada itu. Belum ada dua jam mereka berlayar, muncullah empat buah perahu besar dan sebentar saja mereka tersusul karena layar mereka itu hanya kecil saja. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang muda ini ketika melihat bahwa di atas empat buah perahu yang telah mengurung perahu kecil mereka itu nampak adanya orang-orang yang pernah menyerbu Pulau Es! Mereka melihat pula Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok, dua di antara lima orang datuk yang menyerbu Pulau Es. Dan dua orang tokoh jahat ini ditemani oleh sedikitnya empat puluh orang yang kelihatan kasar-kasar dan bengis-bengis!

Tentu saja Cin Liong merasa khawatir sekali. Akan tetapi, semangatnya bangkit dan hatinya penuh kagum ketika dia melihat sikap tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu.

“Aku akan mengadu nyawa dengan iblis-iblis itu!” Ceng Liong mengeluarkan teriakan sambil mengepal dua buah tinjunya yang kecil, sepasang matanya mencorong dan berapi-api, seperti seekor naga kecil yang siap untuk mengamuk, kelihatan gagah sekali ketika dia menyingsingkan kedua lengan bajunya!

“Kita lawan sampai titik darah terakhir!” Ciang Bun juga membentak marah dan sekali tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut pedang yang dibawanya dari Pulau Es ketika mereka meninggalkan tempat itu.

“Bagus! Ada kesempatan sekarang untuk menebus kematian kakek dan kedua orang nenek kita yang tercinta!” Suma Hui juga berkata dan nampak dua sinar berkilat ketika ia mencabut siang-kiamnya. Wajah tiga orang muda ini sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, walaupun Cin Liong maklum bahwa keadaan mereka sungguh berbahaya dan sulitlah untuk dapat menghindarkan diri dari malapetaka yang mengancam. Maka diapun tersenyum dan mendekati Suma Hui.

“Hui-i, aku akan membelamu sampai mati. Bagiku, mati bersamamu merupakan suatu kebahagiaan besar!” Kalimat terakhir ini lirih dan hanya terdengar oleh Suma Hui saja. Gadis itu menoleh dan memandang wajah Cin Liong dengan mata terbelalak seperti heran. Sejenak dua pasang mata bertemu, saling selidik, kemudian bertaut dalam suatu pengertian yang tidak membutuhkan penjelasan dengan kata-kata lagi. Suma Hui tersenyum mengangguk. “Bagiku juga, Cin Liong,” bisiknya.

Pada saat itu, terdengar suara menggelegar di angkasa dan ternyata awan tebal telah berkumpul di atas kepala mereka. Sinar matahari terhalang dan tiba-tiba saja angin bertiup kencang dan air mulai bergelombang. Suara angin sungguh mengerikan, apalagi diseling oleh kilatan petir yang menyambar-nyambar. Sungguh perobahan yang amat tiba-tiba sehingga empat buah perahu besar itupun terlanda badai dan nampak betapa anak buah merekapun kebingungan dan sibuk menurunkan layar.

“Ah, badai datang....!” Cin Liong memperingatkan tiga orang muda itu dan diam-diam dia mengharapkan bahwa munculnya badai ini akan mengurungkan niat jahat para penjahat di atas empat buah perahu itu.

Akan tetapi, kiranya tidaklah demikian. Perahu mereka berguncang keras dan ternyata ada enam orang penjahat dari perahu terdekat telah berlompatan ke atas perahu mereka.

Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu segera bergerak. Ceng Liong menyambut seorang penjahat dengan pukulan dua tangannya, membuat penjahat itu terjengkang dan terlempar keluar dari perahu. Ciang Bun juga merobohkan seorang lawan dengan sambaran pedangnya, sedangkan sepasang pedang Suma Hui merobohkan dua orang lain. Sisanya, dua orang lagi, disambut tendangan dan pukulan Cin Liong, terlempar keluar perahu!

Akan tetapi, kini Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok sendiri berlompatan dari perahu terjatuh ke atas perahu yang terdekat. Terdengar Hek-i Mo-ong mengeluarkan aba-aba di antara deru suara angin dan air laut dan nampak banyak anak buahnya berloncatan ke air.

Cin Liong dan tiga orang muda itu siap-siap menyambut lawan. Akan tetapi, tiba-tiba perahu mereka terguncang hebat dan miring, hampir terbalik. Barulah Cin Liong mengerti bahwa penjahat-penjahat itu tadi berloncatan ke air untuk menggulingkan perahu kecil!

“Cepat, loncat ke perahu lawan!” teriaknya dan tiga orang muda itupun mengerti. Cin Liong sendiri sudah menyambar tubuh Ceng Liong dan dibawanya meloncat ke atas perahu terdekat. Ada angin dahsyat menyambar dan dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong sendiri telah menyambutnya dengan pukulan dahsyat yang amat berbahaya. Karena tubuhnya masih melayang di udara dan dia masih mengempit tubuh Ceng Liong, maka cepat dia melemparkan Ceng Liong ke atas geladak perahu dan barulah dia menangkis dengan lengan kanannya. Tangkisannya agak terlambat karena dia melemparkan tubuh paman cilik itu, maka biarpun dia masih dapat menangkis, namun pukulan itu meleset dan mengenai pangkal lengan kanannya.

“Desss....!” Hebat sekali benturan tenaga itu dan andaikata Ceng Liong masih berada dalam pondongan Cin Liong, besar kemungkinan anak itu akan terluka oleh getaran hawa pukulan dahsyat itu. Biarpun Cin Liong sendiri dapat menahan hantaman itu dengan agak terlambat, namun karena tubuhnya masih berada di udara di mana dia tidak mempunyai tempat berpijak dan bertahan, maka benturan tenaga dahsyat itu membuat tubuhnya terlempar jauh keluar dari perahu.

“Byuurrr....!” Tubuh Cin Liong segera disambut oleh gelombang lautan yang sudah makin mengganas itu. Bahkan para bajak laut yang ahli berenang dan yang tadi atas perintah Hek-i Mo-ong menggulingkan perahu kecil, kini tergesa-gesa naik lagi ke perahu melalui tali karena memang berbahaya sekali berada di air dalam keadaan badai mengamuk itu.

Apalagi Cin Liong yang kemampuannya di air terbatas sekali. Dia berusaha berenang mencapai tali dan kembali ke perahu besar untuk membantu tiga orang muda yang telah dikeroyok para anak buah penjahat itu. Akan tetapi gelombang air membuat dia terseret menjauh. Tiba-tiba tangannya meraih sesuatu dan ternyata yang terpegang olehnya itu adalah ujung perahunya sendiri yang tadi terbalik. Cepat Cin Liong menggunakan kekuatan tangannya, menarik dirinya dan naik ke atas perahu yang telah membalik itu. Akan tetapi perahu besar itu mendekat dan tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dibarengi bentakan nyaring. Cin Liong merasakan hawa pukulan yang dahsyat, maklum bahwa kembali dia diserang dari atas dengan hebatnya oleh seorang yang amat kuat, menggunakan sebatang dayung besi. Cepat dia melempar tubuhnya ke kiri.

“Byuurrr....!” Untuk kedua kalinya tubuhnya ditelan oleh mulut gelombang yang menganga lebar.

“Darrrr....!” Perahu itu tertimpa dayung dan pecah menjadi beberapa potong! Kiranya, penyerangnya adalah Hek-i Mo-ong sendiri yang kini tertawa bergelak. Suara ketawa ini takkan terlupa selamanya oleh Cin Liong yang sudah secara mati-matian berjuang kembali melawan ombak yang menyeretnya. Namun, sekali ini dia tidak kuasa mempertahankan diri dan terpaksa membiarkan ombak menyeretnya semakin jauh dari perahu-perahu besar di maka tiga orang keturunan Pulau Es itu sedang dikeroyok ketat. Ketika melihat bayangan hitam terapung lalu dia meraih dan ternyata itu adalah sepotong kayu, pecahan dari perahunya. Dia hampir kehabisan tenaga dan napas, lalu menarik tubuhnya ke atas papan itu dan tergolek tak sadarkan diri di atas papan yang membawanya terapung-apung semakin jauh.

Ceng Liong mengamuk dengan mati-matian. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, namun anak ini memang hebat bukan main. Tidak mengecewakan kalau dia menjadi cucu dalam Pendekar Super Sakti dan putera tunggal Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu, bahkan ibunyapun seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, selain ahli ilmu silat juga ahli sihir! Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh ayah bundanya, kemudian diasuh dan dibimbing oleh kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es, maka biarpun dia baru berusia sepuluh tahun, namun sukarlah dicari seorang dewasa yang akan mampu mengalahkannya.

Para penjahat itu tadinya tentu saja memandang ringan kepada Ceng Liong. Akan tetapi sikap memandang ringan ini harus ditebus dengan mahal ketika beberapa orang anggauta penjahat terkena hantaman anak itu dan terjungkal ke lautan untuk tidak muncul kembali! Dan empat orang penjahat yang menubruknya, juga dapat dibikin terpental jatuh bangun. Barulah para penjahat itu sadar bahwa anak kecil ini bukanlah makanan lunak dan merekapun tidak segan-segan dan tidak malu-malu lagi untuk mencabut senjata dan mengeroyok Ceng Liong dengan senjata golok atau pedang! Namun, dengan ilmunya Sin-coa-kun, tubuh anak itu seperti telah berobah menjadi ular atau belut saking licinnya, melesat ke sana-sini di antara sambaran golok dan pedang, kemudian dengan tendangan-tendangan Soan-hong-kwi yang membuat kedua kakinya seperti baling-baling, dia berhasil membuat para pengeroyoknya kocar-kacir!

Betapapun juga, dia hanyalah seorang anak berusia sepuluh tahun yang tenaganya masih lemah dan para pengeroyoknya adalah penjahat-penjahat yang kejam, maka setelah dikepung oleh banyak orang, mulailah ada senjata yang menyerempet tubuhnya dan pakaiannya mulai koyak-koyak berdarah oleh luka-luka pada tubuhnya. Biarpun demikian, anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh, juga semangatnya makin bernyala, amukannya semakin hebat. Ceng Liong dapat melihat dengan ujung matanya bahwa kedua orang kakaknya, yaitu Suma Hui dan juga Ciang Bun, telah terpisah darinya karena pengeroyokan banyak orang membuat mereka itu berloncatan ke atas perahu-perahu lain untuk mencari tempat yang luas dan untuk memecah-belah kekuatan para pengeroyok. Sedangkan Cin Liong sudah tidak nampak lagi bayangannya sejak tadi. Kenyataan ini membuat Ceng Liong menjadi semakin nekat. Tadi dia melihat betapa Cin Liong terlempar keluar perahu dan kalau sampai sekarang pemuda itu tidak muncul, itu hanya berarti bahwa Cin Liong tentu telah tenggelam ke laut! Dan kedua orang kakaknya tidak mungkin membantunya karena keadaan mereka tentu tiada bedanya dengan dirinya sendiri, dikeroyok banyak lawan. Maka tahulah anak ini bahwa dia harus melawan mati-matian sampai titik darah terakhir!

“Majulah! Majulah kalian semua....!” Dia mambentak sambil berloncatan ke sana ke mari dan membagi-bagi pukulan dan tendangan. “Keroyoklah aku! Inilah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Majulah kalian, bedebah-bedebah busuk!”

Diam-diam semua pengeroyok merasa kagum hukan main. Anak ini memang luar biasa sekali. Pakaiannya sudah penuh darah, tubuhnya sudah luka-luka akan tetapi gerakannya masih demikian lincah, gesit dan tangkas, semangatnya masih bernyala-nyala dan sedikitpun tidak nampak dia gentar.

Karena badai mengamuk semakin ganas, maka para pengeroyok itupun tidak dapat memusatkan pengeroyokan mereka, bahkan mereka yang berkelahi inipun nampak lucu, kadang-kadang terguling roboh sendiri karena perahunya oleng. Juga Ceng Liong beberapa kali terguling roboh karena olengnya perahu. Empat buah perahu itu sudah terpisah-pisah tidak karuan sehingga Ceng Liong tidak tahu di mana adanya kedua orang kakaknya. Tahunya hanyalah bahwa dia berada sendirian saja di antara pengeroyokan penjahat-penjahat di atas perahu itu.

Anehnya, secara tiba-tiba saja lautan menjadi tenang kembali dan cuaca tidak begitu gelap lagi, hujanpun hanya rintik-rintik saja. Kini Ceng Liong dikepung ketat lagi dan ketika anak ini meloncat ke kiri untuk mengelak dari sambaran golok, kakinya menginjak papan yang licin. Dia terpeleset dan kakinya terlibat tali layar. Tiba-tiba ada yang menarik tali itu dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh anak itu tergantung ke atas, dengan kedua kaki terbelit tali dan kepalanya di bawah. Dia meronta-ronta dan memaki-maki, ditertawakan oleh para anak buah penjahat.

“Anak bedebah ini telah membunuh banyak kawan kita. Bunuh saja dia!”

“Kita siksa dia! Enak benar dibunuh begitu saja!”

“Pakai dia sebagai umpan memancing ikan besar!”

“Cambuki dia sampai hancur daging-dagingnya!”

Ceng Liong tak dapat meronta-ronta lagi. Akan tetapi, dengan mata mendelik dia memandang kepada wajah-wajah kejam dan bengis yang merubungnya itu. Wajah-wajah yang menyeringai seperti setan-setan. Akan tetapi sedikitpun dia tidak takut. Bahkan dia masih mencoba menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram wajah-wajah itu sehingga para penjahat itu melangkah mundur.

“Siksalah! Cincanglah! Bunuhlah! Siapa takut mampus? Aku cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es tidak takut mati, tidak macam kalian ini iblis-iblis pengecut tak tahu malu!” Ceng Liong membentak dan memaki-maki. Memang anak ini luar biasa sekali. Agaknya di dalam dirinya tidak terdapat rasa takut atau kelemahan sedikitpun juga. Ketika kakeknya dan kedua orang neneknya meninggal, dalam keadaan berduka dia sama sekali tidak memperlihatkan kedukaannya, sama sekali tidak menangis. Dan kini, dalam cengkeraman maut yang mengerikan, ancaman siksaan yang menyeramkan, sedikitpun dia tidak kelihatan takut!

“Wah, dia malah memaki-maki kita! Perlu apa dibiarkan hidup lagi?” bentak seorang yang tadi pernah merasakan lezatnya tendangan kaki anak ini, yang membuat perutnya mulas dan sampai sekarang masih terasa nyerinya. Dia sudah menerjang dan membacokkan goloknya ke arah leher Ceng Liong. Anak ini tak dapat mengelak, akan tetapi dia tidak berkedip, memandang datangnya golok yang akan memenggal lehernya, sedikitpun tidak kelihatan takut.

“Plakkk!” Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.

“Lancang! Siapa suruh membunuhnya?” Hek-i Mo-ong membentak marah dan sekali lagi dia menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menendang dan orang yang tadinya hendak membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika tubuhnya terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam karena tendangan tadi sudah membunuhnya! Memang demikianlah kehidupan di antara kaum sesat itu. Keras dan kejam, setiap kesalahan betapapun kecilnya tentu akan dihukum secara keji. Hal ini membuat semua anak buah takut dan taat kepada pimpinannya.

Akan tetapi, sikap Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua anak buahnya terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah terhadap musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa sekarang orang yang hendak membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong? Mereka semua memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran. Hal ini diketahui oleh Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong, memaksa muka anak itu menghadapinya dan dia menyeringai.

“Huh, siapapun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang akan menyiksanya sampai mampus!”

Mendengar ucapan ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan merekapun tersenyum menyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman mereka tadi dibunuh, kiranya teman itu hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon korbannya.

Ceng Liong sendiri tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris melayang di bawah bacokan golok tadi kini telah diselamatkan oleh Hek-i Mo-ong, musuh besarnya! Sejenak dia menjadi bingung. Dia menganggap kakek raksasa ini sebagai musuh nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang yang paling sakti dalam rombongan musuh yang menyerbu Pulau Es, juga kakek ini jelas merupakan pemimpin mereka yang paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor satu ini telah menyelamatkan nyawanya. Semenjak kecil, orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan dalam batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin kini dia akan memusuhi, apa lagi mendendam, kepada seorang yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut? Dia telah herhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong! Kenyataan ini membuat anak itu tidak banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itupun terkulai pingsan.Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapatkan dirinya berada di sebuah bilik kecil dan kosong, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan tetapi, ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat yang berwarna merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka itupun mengering. Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan ketika dia dikeroyok tadi. Tadi? Atau kemarin? Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.



Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, diapun tahu bahwa dia masih berada di dalam perahu dan diapun teringat bahwa dia telah menjadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia melihat hidangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Seketika dia merasa betapa tubuhnya lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang penting adalah menjaga kesehatannya, pikirnya. Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan melihat perkembangan untuk menentukan tindakan. Ceng Liong lalu menyambar tempat air dan minum. Segar sekali rasanya, walaupun hanya air tawar dingin saja. Lalu diapun mulai makan, tidak lahap dan tidak terlalu banyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang kosong. Setelah selesai makan, diapun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat kuat, terhitup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat tawanan! Dan diapun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.

“Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, sekarang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong.” terdengar seorang di antara mereka mengomel.

“Hushh, perlu apa mengomel? Kita malah untung besar. Lihat saja teman-teman banyak yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan Jai-hwa Siauw-ok setelah berhasil menangkap gadis itu lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!”

“Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik manis, heh-heh!”

“Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin kita itu!”

“Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!”

“Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja, lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?”

“Kenapa ribut-ribut? Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong lebih enak. Dia lebih berpengaruh, lebih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok.”

Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita yang amat buruk. Agaknya encinya Suina Hui telah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Biarpun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu encinya itu terancam bahaya yang mengerikan pula. Akan tetapi, dia tidak begitu mengkhawatirkan Suma Hui karena bagaimanapun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang membuat dia khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong. Mereka berdua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mampu menyelamatkan diri dari ancaman gelombang air laut dalam badai itu? Betapapun lihainya kakaknya, Ciang Bun atau keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu takkan mampu berbuat banyak terhadap amukan air laut dalam badai.

“Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini? Bukankah dia bilang hendak menyiksanya sampai mati? Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi makan lagi! Apa sih maksudnya?”

“Hushh, perlu apa mencampuri? Tugas kita hanya mentaati perintah!”

“Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?” sambung suara lain. “Biasa, kalau hendak memotong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?”

“Ha-ha-ha, engkau benar!”

“Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti keberhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es, dan di depan para datuk itulah baru dia akan dibunuh.”

“Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembahyangan roh para kawan yang telah tewas di tangan keluarga Pulau Es selama ini.”

Ceng Liong sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring, “Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan berisik! Aku mau tidur, tahu?”

Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.

“Bocah keparat!”

“Kurobek mulutnya!”

“Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi sepotong!”

Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdulikan mereka lagi dan diapun mengusir segala kekhawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi.

Beberapa hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu karena yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan diri, mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Kuning ini berada di Propinsi Kiang-su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan terdapat pula rombongan orang yang membawa banyak kuda. Hek-i Mo-ong lalu membawa Ceng Liong yang digandeng tangannya memasuki kereta yang segera dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda besar. Para anak buah, sebagian ditinggalkan di perahu perahu itu dan sebagian pula menunggang kuda mengiringkan kereta. Kereta dan rombongan itu membalap ke arah barat.

Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan antara Propinsi Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat inilah yang terpilih untuk pertemuan para datuk itu.



***



Siapakah adanya Hek-i Mo-ong? Para pembaca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman tentu telah mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seorang kakek raksasa yang bernama Phang Kui. Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar. Rambutnya putih semua sejak muda dan matanya agak kebiruan. Dahulu pernah dia mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai perkumpulan sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang amat kejam dan jahat, merupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang. Belasan tahun yang lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal dengan sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) Hek-i Mo-ong memimpin gerombolannya, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua pejabat setempat menjadi sekutunya.

Akan tetapi akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini menjadi isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi tangan kanannya itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri dan meninggalkan lereng Ci-lian-san.Usahanya untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata gagal, bahkan Im-kan Nga-ok tewas semua oleh para pendekar muda (baca Suling Emas dan Naga Siluman). Hancurlah semua impian Hek-i Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi. Selama beberapa tahun dia menyembunyikan diri, tidak berani keluar dan bertapa sambil memperdalam ilmu-ilmunya. Biarpun dia sudah menjadi semakin tua, namun dia tidak pernah mampu menghilangkan dendamnya dan juga cita-citanya untuk menguasai dunia kang-ouw.

Kehancuran perkumpulan dan namanya membuat dia sakit hati dan dia mengambil keputusan untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, kemudian menghimpun beberapa orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan suatu hal yang akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus mengangkat namanya setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es! Karena para datuk kaum sesat memang menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh bebuyutan nomor satu, setelah melihat kesaktian Hek-i Mo-ong, ada empat orang datuk yang bersedia untuk membantunya. Mereka itu adalah Ngo-bwe Sai-kong yang akhirnya tewas di tangan nenek Lulu, kemudian Ulat Seribu yang tewas di tangan nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui ketua Eng-jiauw-pang yang tewas di tangan Cin Liong, dan Jai-hwa Siauw-ok yang merupakan satu-satunya pembantu yang dapat lolos dari Pulau Es dalam keadaan hidup.

Akan tetapi, biarpun dia dan sekutunya berhasil menewaskan dua orang nenek, isteri dari Pendekar Super Sakti, dia sendiri hampir saja tewas ketika berusaha membunuh Pendekar Super Sakti Suma Han dan terpaksa melarikan diri bersama Jai-hwa Siauw-ok dan sisa anak buahnya. Dia dan sekutunya tidak lari jauh dan masih mengintai, maka dapat dibayangkan betapa girang rasa hatinya melihat Pulau Es terbakar habis, dan melihat betapa empat orang muda itu melarikan diri dari Pulau Es. Hek-i Mo-ong cepat mengajak orang-orangnya untuk menghadang dan akhirnya dia berhasil menawan cucu Pendekar Super Sakti sedangkan Si Penjahat Cabul Jai-hwa Siauw-ok agaknya melarikan cucu perempuan majikan Pulau Es itu, sedangkan dua orang muda lain, seorang cucu laki-laki pendekar itu dan seorang putera Naga Sakti Gurun Pasir, telah tewas ditelan ombak!

“Betapa membanggakan hasil hasil besar itu,” pikirnya girang. Keluarga Pulau Es telah dapat dibinasakannya dan sebagai bukti, dia membawa seorang cucu majikan Pulau Es sebagai tawanan! Dan Pulau Es itu sendiri telah hancur dan lenyap! Hasil ini akan mengangkat namanya, dan akan memudahkan dia untuk menjagoi dunia kang-ouw! Dan dia tahu betapa semua datuk kaum sesat yang tidak berani ikut atau merasa ragu-ragu membantunya, kini menanti di bukit kecil itu seperti yang telah mereka janjikan, menanti untuk melihat apakah usaha besarnya yang menggemparkan dunia penjahat itu berhasil!

Biarpun dia kehilangan tiga orang rekan dan puluhan orang anak buah yang tewas dalam penyerbuan Pulau Es itu, namun dia berhasil menghancurkan keluarga Pulau Es dan menawan seorang cucunya. Dia mendongkol karena Jai-hwa Siauw-ok memisahkan diri melarikan cucu perempuan keluarga Suma, akan tetapi dia membiarkan saja karena perbuatan itupun merupakan pukulan hebat terhadap nama keluarga Pulau Es dan merupakan bahan cerita yang baik baginya. Dia akan menceritakan kepada para tokoh kaum sesat bahwa seorang cucu perempuan keluarga yang tadinya amat ditakuti dunia hitam itu kini menjadi permainan Jai-hwa Siauw-ok yang sudah terkenal buas terhadap wanita yang telah dirampasnya!

Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan hatinya, yaitu kalau dia teringat akan pengalamannya ketika menyerang Pendekar Super Sakti Suma Han. Ternyata bahwa menghadapi pendekar itu, dia sama sekali tidak berdaya! Segala ilmu kepandaiannya seperti punah dan tiada gunanya! Padahal, selama beberapa tahun ini dia telah tekun bertapa untuk memperdalam ilmu silatnya dan memperkuat ilmu sihirnya. Ternyata kini bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya ketika dia menyerang kakek tua renta itu. Mulailah dia kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri yang tadinya dia anggap sudah tidak ada tandingannya lagi. Dan musuh-musuhnya masih begitu bauyak. Dan musuh-musuhnya bukanlah orang-orang lemah, walaupun kiranya tidak mungkin sehebat Pendekar Super Sakti. Karena itu, dia harus mengumpulkan rekan-rekannya untuk memperkuat kedudukannya.

Yang menyambut kedatangan Hek-i Mo-ong cukup banyak. Ada dua puluh orang lebih tokoh-tokoh dunia hitam bersama anak buah mereka sudah berkumpul di dalam hutan itu, tinggal di pondok-pondok dan kemah-kemah darurat. Kepala-kepala gerombolan ganas, ketua-ketua perkumpulan sesat, tokoh-tokoh perorangan dari bermacam kalangan, semua telah berkumpul untuk mendengar bagaimana hasil usaha Hek-i Mo-ong yang bersama rekan-rekannya kabarnya pergi menyerbu Pulau Es.

Begitu kereta berhenti, Hek-i Mo-ong sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki yang mukanya agak pucat akan tetapi sepasang matanya memandang berani, muncul dari pintu kereta. Raja Iblis ini menggandeng tangan Ceng Liong dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diangkat ke atas menerima sambutan orang-orang dari golongan sesat itu sambil berkata dengan suara nyaring dan bernada gembira, “Kawan-kawan sekalian, ketahuilah bahwa keluarga Pulau Es telah kami binasakan, bahkan pulau itu sendiri telah habis dimakan api dan tenggelam! Dan semua penghuninya telah dapat kami binasakan dan kami tawan.”

Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penjahat dari dunia hitam itu. Mereka itu adalah penjahat-penjahat yang sudah mengenal baik nama keluarga Pu1au Es, bahkan sebagian besar di antara mereka pernah merasakan ampuhnya tangan keluarga itu. Memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga pendekar yang berilmu tinggi dan sejak puluhan tahun telah menentang dunia kejahatan sehingga banyaklah kaum penjahat yang menaruh dendam sakit hati terhadap keluarga pendekar itu.

Siapakah yang tidak mengenal keluarga Pulau Es? Pendekar Super Sakti Suma Han sendiri pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, bahkan di samping ilmu silatnya, diapun terkenal sekali dengan ilmu sihirnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman! Juga dua orang isteri pendekar sakti itu amat ditakuti dunia penjahat. Terutama sekali Puteri Nirahai yang dahulu sering memimpin pasukan pemerintah sebagai seorang panglima wanita yang sudah banyak menghancurkan pemberontak-pemberontak dan gerombolan-gerombolan penjahat. Nama Lulu isteri ke dua dari pendekar itupun pernah dikenal orang.

Selain sang pendekar sakti bersama dua orang isterinya itu, juga keluarga mereka terkenal sebagai pendekar-pendekar yang ditakuti dan dibenci oleh golongan hitam. Puteri mereka, yaitu Puteri Milana, puteri tunggal Suma Han dan Nirahai, juga merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, di samping suaminya yang lebih lihai lagi yaitu Gak Bun Beng. Kedua orang putera dari Pendekar Super Sakti juga amat terkenal, yaitu Suma Kian Le dan Suma Kian Bu. Terutama sekali Suma Kian Bu yang demikian lihai dan terkenalnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman Kecil oleh dunia penjahat karena persamaannya dengan Pendekar Siluman, ayahnya. Kalau mantu pria keluarga itu, yaitu Gak Bun Beng, amat gagah perkasa, maka dua orang mantu wanita mereka tak kalah terkenalnya. Isteri Suma Kian Lee bernama Kiin Hwee Li, seorang wanita perkasa yang bahkan pernah malang melintang sebagai seorang gadis dari dunia hitam yang murtad dan memalingkan mukanya menentang dunia kejahatan itu sendiri, maka tentu saja iapun dianggap musuh oleh dunia penjahat. Mantu wanita ke dua bernama Teng Siang In, juga seorang pendekar wanita, bahkan mantu ini memiliki ilmu sihir seperti ayah mertuanya, dan biarpun ilmu sihirnya tidak sehehat Pendekar Super Sakti, namun kalau ia pergunakan, cukup membuat repot lawannya.Demikianlah keadaan keluarga Suma itu yang dimusuhi oleh dunia hitam, maka tentu saja pengumuman Hek-i Mo-ong bahwa Pulau Es telah tenggelam dan keluarganya telah terbasmi disambut dengan sorak-sorai gembira.

Akan tetapi, yang menyambut dengan sorak-sorai itu hanyalah para penjahat dari tingkatan rendah saja. Para tokoh hitam yang hadir di situ, tidak dapat menerima begitu mudah saja keterangan Hek-i Mo-ong. Bagi mereka ini, mereka tahu benar betapa hebatnya keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bahkan mereka tidak berani maju ketika Hek-i Mo-ong mengajak mereka bersekutu untuk menyerbu pulau keramat itu.

“Mo-ong, bagaimana kami bisa yakin bahwa keluarga Pulau Es sudah dibinasakan? Engkau berangkat berlima dan pulang hanya sendirian saja. Mana buktinya bahwa usaha penyerbuan ke Pulau Es itu berhasil baik?” terdengar seorang di antara para tokoh itu bertanya.

Pertanyaan ini didukung oleh banyak tokoh yang lain. “Ya, mana buktinya?” Suara mereka susul-menyusul sehingga suasana menjadi riuh.

“Kalian tidak percaya kepadaku?” Suara Hek-i Mo-ong terdengar lantang penuh kemarahan sehingga semua orang terkejut dan gentar, suara berisik tadipun padam dan semua orang memandang kepada tokoh yang baru keluar dari kereta itu.

Melihat ini, dengan hati gembira Hek-i Mo-ong lalu tertawa. Seperti juga bentakannya tadi, suara ketawanya mengandung khi-kang yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ.

“Ha-ha-ha-ha! Kalian ingin bukti? Lihat baik-baik! Bocah ini adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti Suma Han.” Berkata demikian, Hek-i Mo-ong lalu dengan gerakan tiba-tiba melontarkan tubuh Ceng Liong ke atas. Tubuh itu terlempar ke udara. Ceng Liong merasa terkejut sekali, akan tetapi dia diam saja, bahkan lalu menarik kaki tangannya yang lelah dan lemah. Ketika tubuhnya meluncur turun, Hek-i Mo-ong menyambutnya dan melemparkannya kepada para pembantunya yang berada di belakangnya.

“Gantung kaikinya di pohon itu agar semua orang dapat melihatnya!”

Dengan girang anak buahnya melakukan perintah ini, akan tetapi mereka sudah kapok untuk berlancang tangan sehingga tidak ada yang mengganggu Ceng Liong kecuali menggantungnya di pohon dengan kepala di bawah, dengan mengikat kedua pergelangan kakinya seperti yang diperintahkan kepada mereka. Tidak ada tangan yang berani mengganggu, menamparpun tidak.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong sudah menuju ke tempat terbuka di mana terdapat batu-batu dan bangku-bangku kasar di mana para tokoh itu berkumpul. Maka berceritalah Hek-i Mo-ong tentang penyerbuannya ke Pulau Es.

Ceng Liong yang digantung pada kedua kakinya itu, mendengarkan saja dan dia mengambil keputusan untuk menghadapi kematian seperti cucu sejati dari Pendekar Super Sakti! Dia tidak pernah mengeluh dan diam-diam dia malah melakukan samadhi sambil tergantung seperti itu. Dia merasa betapa detik jantungnya menjadi aneh, apalagi ketika dia mengikuti jalan darahnya dan menghimpun hawa sakti di pusar. Tiba-tiba saja, hawa sakti yang diterimanya dari kakeknya dua minggu yang lalu, kini berputar-putar dan mendatangkan kehangatan, akan tetapi kepalanya yang tadinya seperti berputar itu menjadi semakin ringan dan yang lebih aneh, panca inderanya menjadi amat tajam sehingga dengan mata terpejam, telinganya dapat mendengarkan suara dari jauh! Cerita Hek-i Mo-ong terdengar semua olehnya, demikian jelasnya, bahkan dia dapat menangkap tarikan napas dan detik jantung orang-orang yang duduk tidak lebih dari lima meter dari tempat dia tergantung!

Dua minggu yang lalu, pada suatu malam ketika dia tertidur, seperti mimpi saja dia merasa dibangunkan oleh kakeknya, kemudian digandeng oleh kakeknya dan diajak ke luar kamar. Malam itu tiada bulan akan tetapi langit amat cerah, membentang biru penuh dengan bintang-bintang yang gemerlapan amat indahnya. Kakeknya mengajaknya ke tepi pantai yang landai dan di situ kakeknya menyuruh dia duduk bersila berhadapan dengan kakeknya.

“Ceng Liong, aku akan memindahkan hawa sakti ke dalam pusarmu dan dapat kaujadikan pusat pengerahan sin-kang kelak kalau engkau sudah pandai mengendalikannya. Sudah kulihat dan engkaulah yang tepat untuk mewarisinya. Akan tetapi ingat, kekuatan ini dapat menjadi dahsyat sekali dan kalau disalahgunakan, kelak hanya akan memukul dirimu sendiri. Nah, ulurkan kedua lenganmu dan buka semua jalan darah, hentikan semua kesibukan dalam diri dan batinmu.”

Seperti dalam mimpi saja dia lalu menempelkan kedua tangannya kepada telapak tangan kakeknya dan di malam yang teramat dingin itu, yang dapat membuat semua air membeku, dia merasakan kehangatan luar biasa memasuki tubuhnya melalui kedua tangannya, makin lama semakin panas sampai dia hampir tidak tahan lagi, lalu perlahan-lahan menjadi dingin dan semakin dingin sampai dia merasakan seluruh darahnya membeku, kemudian berbalik menjadi panas lagi. Dihantam serangan hawa panas dan dingin berganti-ganti ini, akhirnya dia tak ingat apa-apa lagi dan setelah sadar, tahu-tahu dia telah berada di dalam air membeku, duduk bersila seperti semula, akan tetapi bukan di tempat semula melainkan telah terendam air beku sampai ke pinggangnya. Kakeknya juga duduk bersila di depannya.

“Kerahkan hawa panas dari pusar ke bawah untuk melawan dingin,” kakeknya berkata lirih namun suaranya mengandung daya pembangkit yang demikian kuatnya sehingga seolah-olah suara atau perintah itulah yang menggerakkan hawa di pusarnya. Tiba-tiba dia merasa betapa hawa dingin yang menembus tulang-tulang di bagian bawah tubuhnya itu melenyap, terganti dengan hawa hangat yang amat menyenangkan! Akan tetapi, tubuhnya bagian atas berkeringat dan terasa panas sekali!

“Kerahkan sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Gunakan pernapasan untuk mengatur pembagian hawa....” kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya menyentuh dan menekan kedua pundaknya. Mula-mula dia merasa betapa sukarnya membagi hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua, bagian bawah melawan dingin dan bagian atas melawan panas. Akan tetapi begitu kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur keseimbangan itu, seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang membimbingnya menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.

Semalam suntuk dia dilatih dan tanpa disadarinya, dia telah mewarisi sumber pembangkit tenaga sin-kang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu ketika hawa sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan mendatangkan hal-hal aneh, mempertajam panca inderanya!

Setelah Hek-i Mo-ong selesai bercerita, menyombongkan hasil usahanya yang telah membakar Istana Pulau Es dan membinasakan keluarga Pulau Es, dia tertawa dan menutup ceritanya.

“Hua-ha-ha, hancurlah sudah musuh nomor satu kita semua! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya itu telah tewas. Seorang cucunya, gadis cantik itu, tentu akan hancur pula karena terjatuh ke tangan Jai-hwa Siauw-ok! Siapa tidak tahu keganasan Siauw-ok terhadap wanita? Dan seorang cucu pria terjatuh ke laut, bersama jenderal muda musuh kita pula, putera Naga Sakti Gurun Pasir itu. Mereka berdua tak mungkin dapat hidup ditelan ombak badai itu. Tinggal yang seorang ini, cucu keluarga Pulau Es yang tidak kubunuh karena hendak kuperlihatkan kalian semua. Ha-ha-ha!”

“Maaf, Mo-ong, kukira keadaannya belum begitu membesarkan hati sehingga kita boleh tergesa-gesa bergembira dengan hasil itu.”

Semua orang menoleh dan memandang kepada orang yang bicara. Begitu beraninya orang ini bicara yang sedikit banyak merupakan celaan terhadap Mo-ong, atau mengecilkan arti pembinasaan Pulau Es itu.

Hek-i Mo-ong sendiri dengan perlahan menoleh dan membalikkan tubuh menghadapi orang yang bicara itu. Semua orang menghentikau suara mereka dan keadaan menjadi hening karena mereka semua ingin mendengar apa yang akan dibicarakan antara dua orang ini. Apalagi setelah semua orang melihat bahwa yang bicara itu adalah orang yang amat aneh, dan yang tadi tidak mereka lihat berada di situ. Agaknya orang ini, seperti setan saja, tahu-tahu muncul di situ dan berani mencela Hek-i Mo-ong. Sebaliknya, Begitu Hek-i Mo-ong melihat orang itu, alisnya yang berkerut itu membuyar dan wajahnya berseri, mulutnya tertawa ramah.

“Ha-ha-ha, tadinya kusangka siapa yang berani lancang mencelaku. Kiranya See-thian Coa-ong! Ha-ha-ha, di antara sahabat sendiri, memang sebaiknya kalau kita bicara blak-blakan saja. Nah, jelaskan, kawan, mengapa kita tidak boleh bergembira dengan hasil baik ini?”Banyak di antara mereka terkejut mendengar disebutnya nama See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) itu. Nama itu adalah nama seorang tokoh besar dunia persilatan yang termasuk orang aneh, tak dapat dibilang berpihak kaum pendekar ataupun pendukung golongan sesat. Dia seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang berdiri bebas dalam keanehan mereka sendiri, tidak perduli akan golongan-golongan dan tidak mau mencampnri dalam arti kata tidak mau terlibat. Setelah kini mereka memandang penuh perhatian, diam-diam mereka mengakui akan keanehan orang ini, keanehan yang mengerikan.

See-thian Coa-ong ini bukanlah seorang Han. Hal itu jelas nampak dari wajahnya dan kulitnya. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan tubuhnya hampir telanjang bulat. Hanya ada kain cawat penutup tubuhnya. Kulitnya kehitaman dan karena sangat kurus, maka nampak tinggi sekali. Kepalanya botak kelimis. Kedua telinganya yang terlalu lebar itu dihias anting-anting perak. Kedua pergelangan tangannya yang hanya kulit membungkus tulang itu terhias gelang-gelang perak. Dan di lehernya terdapat kalung, bukan kalung perak atau emas, melainkan kalung hidup, yaitu seekor ular kobra belang yang amat berbisa. Ular seperti ini kalau menggigit, kabarnya tidak ada obatnya lagi dan si korban langsung mati! Melihat ular ini saja, mereka yang mengenal kehebatan racunnya, sudah merasa ngeri dan mereka yang berdiri dekat sudah menggeser tempatnya menjauh. Ada bau harum amis datang dari kakek ini.

Para pembaca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman tentu masih ingat kepada kakek aneh ini. Kurang lebih sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, See-thian Coa-ong pernah muncul dan pernah membimbing pendekar wanita Bu Ci Sian dalam ilmu menaklukkan ular-ular dan memperdalam ilmu silat pendekar itu. Kemudian kakek ini menghilang karena memang dia seorang perantau yang biasa berkelana ke gunung-gunung, terutama di Pegunungan Himalaya.

See-thian Coa-ong adalah seorang Nepal yang bernama Nilagangga. Akan tetapi, sejak mudanya dia sudah seringkali datang ke daerah Tiongkok sehingga dia menguasai pula Bahasa Han, dan juga dia mengenal banyak tokoh-tokoh dunia kang-ouw. Banyak pula dia mendapatkan ilmu-ilmu silat dari daerah Sin-kiang dan di daerah Sin-kiang inilah dia dahulu berkenalan dengan Hek-i Mo-ong. Ketika itu Hek-i Mo-ong masih memimpin perkumpulan Hek-i-mo di Sin-kiang. Itulah sebabnya mengapa peranakan Kozak ini bersikap ramah kepada Raja Ular itu.

“Hek-i Mo-ong, menurut ceritamu tadi, biarpnn engkau telah berhasil membinasakan Pulau Es dan para penghuninya, akan tetapi engkaupun kehilangan banyak sekali kawan-kawanmu. Bahkan orang-orang yang lihai sekali seperti Ngo-bwe Sai-kong, Si Ulat Seribu, dan Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas dalam penyerbuan itu, belum lagi dihitung banyaknya anak buahmu. Dan untuk semua pengorbanan itu, engkau hanya dapat menewaskan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya, tiga orang yang sudah tua renta dan yang tanpa diserbu sekalipun akan mati sendiri tidak lama lagi. Apakah hal itu boleh dibuat gembira?”

Wajah Hek-i Mo-ong menjadi agak merah akan tetapi dia masih tersenyum lebar. “Aha, Coa-ong! Agaknya engkau lupa bahwa pengorbanan seperti itu jauh terlalu ringan dan murah dibandingkan dengan hasilnya. Bayangkan saja! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya! Dan Pulau Es juga terbakar habis. Belum lagi tiga orang cucu mereka tentu akan tewas, ditambah lagi Jenderal Muda Kao Cin Liong yang sudah banyak menimbulkan sudah kepada kawan-kawan kita, terutama di barat.”

Kakek See-thian Coa-ong menghela napas panjang. “Baiklah, baiklah.... katakanlah bahwa hasilnya cukup besar. Akan tetapi apakah kita dapat mengatakan bahwa kematian mereka itu akan membebaskan kalian dari lawan kalian ? Mo-ong, apakah artinya hasil itu kalau engkau ingat bahwa di sana masih hidup keturunan Pulau Es yang amat lihai? Lupakah engkau kepada Puteri Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan suaminya orang she Gak yang amat lihai itu? Dan lupakah engkau kepada putera-putera Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee dan terutama sekali Suma Kian Bu Si Pendekar Siluman Kecil? Dan juga, kalau benar Jenderal Muda Kao Cin Liong tewas, engkau harus berani menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir! Dan.... ah, masih banyak lagi para pendekar sakti yang akan merupakan lawan berat bagimu, Hek-i Mo-ong. Lupakah engkau kepada keluarga Bu-taihiap yang kini tinggal di kota raja? Bu-taihiap dan isteri-isterinya saja sudah amat lihai, apalagi mantunya! Tentu engkau tidak akan melupakan Kam Hong yang dijuluki Pendekar Suling Emas itu, bukan? Juga keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Hemm, aku sendiri sebagai orang luar merasa khawatir akan masa depanmu, Hek-i Mo-ong!”

Wajah Hek-i Mo-ong yang tadinya merah itu kini menjadi agak pucat. Diingatkan kepada para pendekar sakti itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya kecut. Rasa gentar menyelinap di sanubarinya karena apa yang diucapkan oleh Raja Ular itu sama sekali tidak keliru. Mereka semua itu adalah orang-orang hebat dan harus diakuinya bahwa ketika menghadapi Pendekar Suling Emas Kam Hong dia terdesak hebat, dan nyaris tewas kalau tidak mempergunakan sihirnya untuk melarikan diri.

“Wah, bukan main....! Belum tentu dalam seratus tahun sekali ditemukan seorang anak seperti ini! Bahan yang luar biasa hehatnya, sungguh seorang anak ajaib, seorang dengan tubuh dewasa! Cukup pantas uutuk menjadi tempat tinggal titisan Dalai Lama!”

Teriakan penuh kagum ini menarik perhatian semua orang, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri, yang tertegun mendengar ucapan See-thian Coa-ong tadi, menoleh dan dia melihat seorang kakek pengemis sedang memeriksa tubuh Ceng Liong yang tergantung jungkir balik. Kakek itu memutar-mutar tubuh itu, menyentuh sana-sini dan berulang-ulang mengeluarkan pujiannya.

“Aih, tengkoraknya menandakan bahwa otaknya melebihi otak anak biasa, menjendol di sini, rata di sini.... ah, dan telinga ini! Hemmm.... tulang yang kuat dan bersih, bukan main!”

Kakek itu tentu usianya tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan dilihat dari pakaiannya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pengemis. Pakaian yang tambal-tambalan kusut dan rambut awut-awutan, tubuhnya tinggi kurus seperti orang yang selalu kekurangan makan. Matanya lebar kadang-kadang terbelalak. Ketiak kirinya mengempit sebatang tongkat bambu, dan di pinggangnya tergantuug sebuah kantung butut yang berisi sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan dan sebuah mangkok retak. Biarpun kakek ini nampaknya demikian miskin sederhana, namun Hek-i Mo-ong mengenalnya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang juga berdiri bebas seperti See-thian Coa-ong Nilagangga. Tokoh pengemis ini termasuk seorang tokoh ugal-ugalan yang aneh, tidak pernah berpihak sana-sini. Akan tetapi dia merupakan seorang tokoh yang amat terkenal di daerah selatan. Dialah Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Sun, seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan menganggap dunia inilah tempat tinggalnya, tanah menjadi lantainya, langit menjadi atapnya. Maka, biarpun dia ini merupakan seorang tokoh di daerah selatan, tidak aneh melihat dia kini tiba-tiba muncul di tempat yang jauh di utara.

Melihat kakek ini meraba-raba dan memuji-muji Ceng Liong, semua orang tertarik dan mereka mulai mendekati anak itu dan merubungnya.

“Darahnya murni dan ada hawa sin-kang yang amat luar biasa di dalam tubuhnya, berpusat di pusar dan mengalir di seluruh tubuh! Demi iblis, belum pernah aku melihat yang seperti ini!”

See-thian Coa-ong Nilagangga menjadi tertarik sekali dan diapun mendekat. Kepala ular cobra yang melingkari lehernya itu terjulur dan hampir menyentuh muka Ceng Liong, akan tetapi anak ini sedikitpun tidak kelihatan takut, bahkan dengan sepasang matanya yang tajam dia memandang kepala ular itu dan sungguh aneh, ular itu nampak gelisah dan berusaha menjauhkan kepadanya ketika See-thian Coa-ong mendekati Ceng Liong, seolah-olah ada sesuatu pada diri anak itu yang membuat binatang itu gelisah. Segera terdengar seruan-seruan kagum dari See-thian Coa-ong dalam bahasa asing. Hek-i Mo-ong mengerti apa yang diucapkan oleh See-thian Coa-ong itu.

“Aihh, Raja Cobra sampai takut terhadap anak ini! Bukan main....!” Dia meraba-raba kepala dan leher serta pundak Ceng Liong, lalu melanjutkan, “....memang hebat! Anak ini tubuhnya sekuat naga!”

Seperti dua orang kakek yang hendak membeli seekor ayam jago aduan, Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba dan memeriksa Ceng Liong, menekan perutnya, memijat dada dan pundak, membelai kaki tangan, melihat mata, hidung, mulut dan telinga, meraba tulang-tulangnya.

“Ha-ha-ha, Raja Ular, ternyata matamu tajam juga dapat mengenal seorang sin-tong (anak ajaib) yang bertulang dewa!” Kakek Pengemis itu tertawa.

“Siapa yang tidak mengenal senjata pusaka adalah seorang tolol dan buta! Dan anak ini lebih berharga daripada sebuah senjata pusaka! Kalau kuberi kepandaianku kepadanya, dia bisa menjadi sepuluh kali lebih pandai daripada aku. Dia akan menjadi murid yang terbaik di dunia ini!”

“Eeiitt, eeitt, Coa-ong, enak saja kau bicara! Akulah orang pertama yang menemukan bakat anak ini dan akulah yang patut menjadi gurunya!” Koai-tung Sin-kai Bhak Sun berkata dengan nada suara tidak senang, juga tangannya mendorong ke arah See-thian Coa-ong. Biarpun tangan kanannya hanya mendorong biasa saja, namun keluarlah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah Raja Ular.

“Hemm, belum tentu dia suka menjadi muridmu, jembel tua!” jawab See-thian Coa-ong dan kakek inipun menggerakkan lengan menangkis.

“Dukkk....!” Orang-orang yang berada agak dekat dengan tempat itu merasakan betapa hebatnya getaran yang ditimbulkan oleh adu tenaga melalui lengan itu dan kedua orang kakek yang saling mengadu lengan itupun tergetar mundur dua langkah, masing-masing terkejut melihat kekuatan lawan.

“Bocah itu cucu keluarga Pulau Es, harus dibunuh!” Teriakan seorang di antara para tokoh kaum sesat yang mendendam kepada keluarga Pulau Es ini merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan dan dendam di antara kaum sesat sehingga merekapun berteriak-teriak, mencabut senjata dan menyerbu untuk membunuh Ceng Liong yang masih bergantung dengan jungkir balik.

Sejak tadi Ceng Liong membuka mata dan telinga, mendengar dan melihat dengan jelas segala yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak merasa terkejut maupun bangga ketika Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba tubuhnya dan memuji-mujinya, karena kakek dan dua orang neneknya sendiri pernah mengatakan bahwa dia memiliki bakat yang baik sekali untuk ilmu silat. Justeru karena itulah maka mendiang kakeknya telah mewariskan hawa murni sumber tenaga sakti kepada dirinya. Kini dia melihat gerakan kaum sesat itu dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Akan tetapi dia tidak merasa takut, hanya membayangkan kakek dan kedua neneknya seolah-olah dia sudah menikmati bayangan akan bertemu dan berkumpul lagi dengan mereka! Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikitpun kini Ceng Liong menjadi penonton dari keributan itu.

“Tidak boleh! Benda pusaka tidak boleh dirusak!” See-thian Coa-ong membentak dan kakek ini menghadang penyerbuan para tokoh sesat itu.

“Siapa berani mengganggu calon muridku?” Koai-tung Sin-kai juga membentak dan berdiri menghadang, melindungi Ceng Liong.

“Dia musuh besar! Bunuh!”

“Semua keluarga Pulau Es harus dibasmi! Serbu....!”

Dan dua puluh orang lebih tokoh-tokoh sesat sudah menyerbu! See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai menyambut mereka dengan tendangan sehingga terjadilah pertempuran yang seru. Dua orang kakek itu memang amat lihai sehingga dalam beberapa gebrakan saja, sudah ada empat orang tokoh sesat yang terjungkal roboh, terkena hantaman tangan Coa-ong dan kemplangan tongkat bambu Sin-kai. Akan tetapi, para pengeroyok itupun rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dua orang kakek itu mulai terdesak hebat.

Ceng Liong menonton semua ini dan diapun melirik ke arah Hek-i Mo-ong. Sungguh mengherankan sekali sikap kakek ini. Dia hanya berdiri dengan sikap tenang, bahkan tersenyum mengejek melihat perkelahian antara teman sendiri itu. Sebenarnya, kakek ini masih terpengaruh oleh pujian-pujian yang dikeluarkan oleh mulut Sin-kai dan Coa-ong tadi dan diam-diam diapun berpikir. Semua ucapan Coa-ong tadi tidak kcliru. Musuh-musuhnya masih amat banyak dan mereka itu sakti-sakti. Apalagi Pendekar Suling Emas Kam Hong yang pcrnah mengalahkannya. Juga Naga Sakti Gurun Pasir, dan keluarga Bu-taihiap. Mungkinkah dia dapat mengalahkan mereka itu? Dan dia sudah semakin tua, dan murid-muridnya yang terpercaya sudah habis, tinggal murid-murid yang tidak ada artinya. Juga dia tidak mempunyai keturunan yang dapat membantunya, atau yang akan membalaskan kalau sampai dia kalah oleh musuh-musuhnya itu. Anak itu merupakan seorang sin-tong, seorang anak ajaib. Diapun sudah menduga akan hal itu dan kini dugaannya diperkuat oleh dua orang kakek itu. Kalau ilmunya diturunkan kepada seorang anak ajaib, tentu anak itu akan menjadi beberapa kali lipat lebih pandai daripadanya. Anak seperti itulah yang akan dapat membelanya dan membantunya kelak! Dan alangkah senang hatinya kalau dia dapat mendidik anak ini untuk kelak dipergunakan melawan keluarga Pulau Es. Dan dia tentu dapat menguasai anak ini melalui kekuatan sihirnya!

Hek-i Mo-ong menonton sambil tersenyum mengejek melihat betapa See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai kini repot sekali menghadapi pengeroyokan belasan orang tokoh sesat itu. Namun, mereka berdua mempertahankan diri dan para pengeroyok juga tidak berani terlalu dekat karena dua orang itu memang memiliki kepandaian yang lihai sekali.

“Pengkhianat-pengkhianat busuk!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan itu dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan, tombak Long-ge-pang di tangannya menyambar ke arah Koai-tung Sin-kai dan kipas merahnya menotok ke arah See-thian Coa-ong. Biarpun tombaknya ini bukan tombak pusaka aseli seperti yang biasa dipergunakan karena tombak aseli itu telah patah-patah ketika dia menyerang Pendekar Super Sakti, namun tombak biasa inipun menjadi amat ampuh dan berbahaya karena digerakkan oleh tangannya yang amat kuat.

“Tranggg....!” Tongkat bambu itu menangkis dan suara nyaring itu adalah suara tombak yang tertangkis. Ini saja membuktikan betapa hebatnya tenaga kakek pengemis yang membuat tongkat bambu itu menjadi keras dan kuat menangkis tombak baja, akan tetapi akibatnya, tubuh kakek pengemis itu terpelanting dan nyaris kepalanya kena bacokan golok seorang tokoh sesat kalau dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya dan mengangkat tongkatnya menangkis lalu meloncat bangun lagi.

“Brettt....!” Totokan gagang kipas merah yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong tadi dapat dielakkan oleh See-thian Coa-ong, akan tetapi tetap saja ujung cawatnya terobek sehingga cawat yang merupakan satu-satunya kain penutup tubuhnya itu hampir terlepas. Tentu saja See-thian Coa-ong terkejut dan cepat meloncat, menjauhi Hek-i Mo-ong sambil membereskan lagi cawatnya.

See-thian Coa-ong maklum bahwa dia tidak akan menang melawan Hek-i Mo-ong, maka diapun sudah meloncat jauh dan sambil lari meninggalkan tempat itu dia berkata, “Raja Iblis, silahkan kalau engkau mau membunuh anak itu. Akan tetapi hal itu hanya membuktikan kebodohanmu!”

Koai-tung Sin-kai juga sudah menjauhkan diri. “Engkau akan menyesal kalau membunuh sin-tong itu, Mo-ong! Betapa tololnya merusak benda pusaka!” Dan diapun melarikan diri menyeret tongkat bambunya karena maklum bahwa melanjutkan usahanya melindungi anak yang amat dikaguminya itu, melawan Hek-i Mo-ong dan para tokoh sesat itu sama artinya dengan bunuh diri.

“Bunuh bocah setan itu!” Kini para tokoh sesat maju menyerbu karena mereka marah melihat betapa teman-teman mereka ada yang roboh terluka parah oleh dua orang kakek tadi yang melindungi Ceng Liong.

“Bunuh keturunan Pulau Es!”

Enam orang tokoh sesat menerjang dengan senjata mereka, agaknya saking marah dan sakit hati, mereka itu tidak lagi mengenal malu dan melakukan pengeroyokan terhadap seorang anak kecil yang sudah tergantung tak berdaya. Agaknya sebelum mencincang tubuh anak itu mereka takkan merasa puas.

Seperti juga tadi, menghadapi serangan enam orang ini, melihat berkelebatnya sinar senjata dari semua jurusan, Ceng Liong membelalakkan matanya dengan penuh keberanian. Dia memang ingin menyambut kematian dengan mata terbuka, seperti yang sering dianjurkan oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai bahwa seorang pendekar harus selalu tenang dan tabah, bahkan menghadapi kematian sekalipun harus berani menyambut kematian dengan mata terbuka! Maka sekarang diapun membelalakkan matanya, ingin mati dalam keadaan melek!

Akan tetapi dia melihat sinar terang berkelebatan di sekeliling dirinya dan melihat enam orang itu terpelanting ke kanan kiri, senjata mereka terlempar setelah mengeluarkan bunyi nyaring dan merekapun mengaduh-aduh karena tangkisan-tangkisan itu membuat mereka roboh dan terluka. Kiranya, dalam keadaan yang amat gawat bagi keselamatan Ceng Liong itu, Hek-i Mo-ong telah turun tangan menangkis dan langsung balas menyerang kepada enam orang itu sehingga mereka roboh terluka. Semua tokoh sesat tentu saja terkejut sekali dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan mata melotot.

“Dia ini tawananku, dia ini milikku! Siapapun tidak boleh mengganggunya dan yang boleh menentukan mati hidupmya hanya aku seorang!” Hek-i Mo-ong membentak sambil melintangkan tombak Long-ge-pang yang amat hebat itu.

“Tapi, Mo-ong, engkau harus segera membunuh bocah keturunan Pulau Es ini agar kelak dia tidak akan menyusahkan kita!” terdengar beberapa orang tokoh memprotes.“Dengarlah kalian, semua kawan-kawan!” Hek-i Mo-ong berteriak nyaring. “Akulah orangnya yang telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es dan berhasil. Tawanan ini adalah milikku dan akulah yang berhak menentukan apa yang akan kulakukan dengan dirinya!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar dia lalu menghampiri tubuh Ceng Liong yang masih tergantung jungkir balik itu.

Ceng Liong telah menyaksikan semua itu dan dia tahu bahwa sudah dua kali nyawanya tertolong oleh Hek-i Mo-ong. Dia teringat akan nasihat mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti Suma Han bahwa seorang manusia harus mengingat budi orang dan melupakan dendam. Maka ketika kakek iblis itu mendekat, pandang matanya terhadap kakek itupun ramah. Hal ini terasa benar oleh Hek-i Mo-ong, maka kakek ini bertanya kasar, “Mau apa engkau memandangku dengan senyum-senyum?”

“Hek-i Mo-ong, aku berhutang nyawa dua kali padamu,” jawab Ceng Liong.

Orang seperti iblis ini mana memperdulikan tentang budi? Dia hanya mendengus dan tiba-tiba dia menggerakkan kipasnya dan gagang kipas itn menotok jalan darah di pundak kanan anak itu. Dia menotok bukan untuk membunuh melainkan untuk menyiksa. Totokan pada jalan darah itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan dia memang ingin memaksa anak ini melolong-lolong kesakitan. Sikap anak ini yang begitu keras dan berani dianggapnya sebagai tantangan dan dia ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia seoranglah yang akan mampu menundukkan anak ini.

“Tukk....!” Raja Iblis itu terkejut dan hampir saja dia berteriak kalau dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak orang. Dia menelan kekagetannya agar semua orang tidak tahu apa yang telah terjadi. Bagaimana dia tidak menjadi kaget sekali kalau jari tangannya ketika menotok pundak itu bertemu dengan hawa sin-kang yang amat kuat, yang menolak tenaga totokannya, membuat pundak itu seperti dilindungi oleh kulit yang amat kuat dan kebal? Akan tetapi Ceng Liong nampaknya tidak tahu akan hal ini! Memang sesungguhnyalah. Sumber tenaga sakti yang berada di tubuhnya telah bekerja sedemikian kuatnya ketika dia tergantung jungkir balik itu, yang membuat panca inderanya menjadi amat tajam dan peka, akan tetapi juga membuat tenaga sin-kang di tubuhnya itu secara otomatis bergerak sendiri ketika tubuhnya diserang dan dapat melindunginya. Dan semua ini terjadi di luar kesadaran Ceng Liong. Anak ini bahkan tidak tahu bahwa dirinya baru saja ditotok dan kakek iblis itu bermaksud untuk menyiksanya. Dia hanya merasa betapa pundaknya disentuh dan sentuhan ini dianggapnya sebagai sikap bersahabat dari kakek itu kepadanya.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong diam-diam berpikir. Semenjak dia tadi mendengar dan melihat See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai memuji-muji Ceng Liong, hatinya tergerak. Diapun melihat kenyataan betapa banyaknya musuh yang amat lihai dan harus diakuinya bahwa seorang diri saja kiranya tidak mungkin bagi dia untuk meuaudingi semua musuh-musuhnya itu. Kalau saja dia bisa dibantu oleh seorang yang memiliki bakat seperti anak ini! Kalau saja anak ini dapat menjadi muridnya dan kelak membelanya! Juga, dengan adanya anak ini di tangannya, anak ini dapat menjadi semacam sandera, semacam perisai baginya apabila sewaktu-waktu dia didesak oleh keluarga Pulau Es. Dia harus dapat menguasai anak ini dengan sihirnya!

Maka diapun segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan memandang wajah anak itu, berusaha menguasai pandang matanya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga memerintahkan anak itu untuk tidur. Akan tetapi, kembali dia mengalami hal yang amat aneh. Ada tenaga penolakan yang amat kuat sekali pada pandang mata anak itu dan dia merasa jantungnya tergetar hebat! Sedemikian hebatnya getaran itu sehingga cepat-cepat dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, karena kalau dilanjutkan, entah siapa yang akan celaka, dia ataukah anak itu! Dia teringat bahwa anak ini adalah cucu dari Pendekar Siluman yang memiliki kekuatan sihir luar biasa, maka diam-diam dia merasa ngeri sendiri. Benar kata dua orang kakek tadi. Anak ini adalah seorang anak luar biasa dan kalau dapat menjadi muridnya, dia seperti mendapatkan sebuah senjata pusaka yang amat ampuh dan yang akan mampu melindunginya!

Ceng Liong sendiri tidak sadar bahwa kembali dia telah diserang dengan kekuatan sihir. Dia hanya merasa betapa tajamnya pandang mata kakek iblis itu. Akan tetapi hal ini dianggapnya sebagai hal yang patut dikagumi. Dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat lihai dan sakti, penuh wibawa, tidak seperti tokoh-tokoh sesat lainnya. Biarpun dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang tokoh sesat, akan tetapi seorang tokoh yang tinggi tingkatnya, bukan manusia sembarangan saja.

“Mo-ong, sekali waktu aku pasti akan membalas budimu yang dua kali itu,” kata Ceng Liong lagi.

Sementara itu, semua tokoh sesat dan anak buahnya sudah mengepung tempat itu dan pada wajah mereka terbayang rasa penasaran. Mereka tadi ikut gembira mendengar akan terbasminya Pulau Es dan para penghuninya dan mereka sudah mengharapkan akan melihat cucu dalam Pendekar Super Sakti itu disiksa di depan mata mereka sampai mati. Apalagi mengingat betapa anak ini telah menjadi sebab keributan dan perkelahian di antara mereka sendiri yang menjatuhkan banyak korban pula. Yang lebih penasaran dan sakit hati adalah para tokoh dan anak buah Eng-jiauw-pang yang telah kehilangan ketua mereka yang tewas di tangan Kao Cin Liong ketika ketua mereka ikut menyerbu ke Pulau Es. Juga para tokoh dan anak buah Im-yang-pai karena ketua mereka, Ngo-bwe Sai-kong yang tewas oleh nenek Lulu di Pulau Es, merasa sakit hati dan mereka ingin melihat cucu Pendekar Super Sakti itu mati di depan mata mereka.

“Harap Mo-ong cepat menyiksa dan membunuhnya, terserah bagaimanapun caranya!”

Ucapan ini mendapat dukungan banyak orang dan keadaan menjadi bising kembali. Wajah orang-orang itu menjadi beringas dan sikap mereka mengancam ketika mereka semua memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.

Hek-i Mo-ong memandang kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang lantang, “Sobat-sobat semua! Aku mengundang kalian berkumpul di sini hanya untuk memberitahukan kabar akan berhasilnya kami menyerbu Pulan Es. Sepatutnya kalian bergembira tentang itu dan berterima kasih kepadaku. Sekarang aku hendak pergi, membawa bocah ini dan mengenai dia, serahkan saja kepadaku karena akulah yang berhak atas dirinya. Nah, sakarang aku akan pergi dan jangan kalian menggangguku lagi!” Setelah berkata demikian, sekali renggut Hek-i Mo-ong telah mematahkan tali yang menggantung kaki anak itu dan memondong tubuh Ceng Liong, dibawanya berloncatan seperti terbang cepatnya. Para tokoh sesat itu tentu saja merasa penasaran dan tidak puas. Akan tetapi, siapakah yang berani menentang kehendak Hek-i Mo-ong, apalagi setelah iblis itu berhasil menghancurkan Pulau Es? Mereka bersungut-sungut lalu bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.

Sementara itu, seperti terbang cepatnya, Hek-I Mo-ong berlari sambil memondong tubuh Ceng Liong. Anak ini tidak takut, akan tetapi diam-diam merasa heran melihat sikap Hek-i Mo-ong yang berubah-ubah itu. Dia tidak tahu bagaimana ja1an pikiran kakek iblis ini, akan tetapi dia ingat benar bahwa bagaimanapun juga, iblis ini telah menyelamatkan nyawanya sampai dua kali berturut-turut. Dia tahu bahwa tanpa campur tangan iblis ini, tentu dia telah tewas di tangan para penjahat yang haus darah.

Tiba-tiba, ketika kakek itu tiba di padang rumput yang amat sunyi, dia berhenti dan melemparkan tubuh Ceng Liong ke atas tanah. Anak itu cepat bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu.

“Hek-i Mo-ong, engkau hendak membawaku ke manakah?” tanyanya berani.

“Bocah yang berhati naga, siapakah namamu?”

“Namaku Suma Ceng Liong.”

Kakek itu mengangguk-angguk. Namanya berarti Naga Hijau dan memang anak ini seperti seekor naga.

“Ceng Liong, apa maksudmu mengatakan bahwa engkau berhutang budi dan hendak membalas budi itu?”

“Engkau telah menolongku dua kali dan sekali waktu tentu aku akan membalas budimu itu.”

“Benarkah itu? Apakah engkau tidak menganggapku sebagai musuh?”

Ceng Liong mengerutkan alisnya. Dia teringat bahwa kakek ini bersama kawan-kawannya telah menyerbu Pulau Es, akan tetapi diapun teringat akan wejangan mendiang kakeknya bahwa dia tidak boleh mendendam, maka diapun menggeleng kepalanya.

“Ceng Liong, tahukah engkau bahwa aku membawamu sebagai tawanan untuk kubunuh?”

Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak percaya! Kalau engkau ingin melihat aku mati tentu engkau tidak akan menolongku dari tangan mereka yang ingin membunuhku!”

“Hemm, aku mencegah mereka karena aku tidak mau didahului. Sudahlah! Sekarang, engkau boleh memilih. Engkau menjadi muridku atau engkau mati sekarang juga. Hayo pilih!”

Ceng Liong tertawa, akan tetapi suara ketawanya itu hanya tiba-tiba saja dan mendadak pula ketawanya terhenti. Diam-diam Hek-i Mo-ong bergidik. Bocah ini memiliki sifat aneh, dingin dan keras bukan main.“Hek-i Mo-ong, pertanyaanmu itu sungguh terdengar lucu. Betapa mudahnya memilih satu di antara dua itu. Yang satu adalah kematian yang tak mungkin dapat kuelakkan lagi kalau memang engkau hendak membunuhku, dan yang ke dua adalah hidup dan menjadi murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau. Tentu saja aku memilih menjadi muridmu.”

Hek-i Mo-ong mendengus untuk menutupi rasa gembiranya. “Bagus, kalau begitu mulai saat ini engkau menjadi muridku, murid tunggal karena aku sudah tidak mempunyai murid lagi.”

“Agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain, Hek-i Mo-ong aku mau menjadi muridmu dan mempelajari ilmu-ilmu darimu, akan tetapi terus terang saja, aku tidak sudi mempelajari kejahatan-kejahatan dan kesesatan-kesesatan. Aku seorang keturunan pendekar dan aku tidak sudi menjadi orang jahat. Menurut wejangan mendiang kakekku, lebih baik mati sebagai manusia baik daripada hidup sebagai manusia jahat.”

“Ha-ha-ha, engkau tahu apa tentang kebaikan dan kejahatan? Kebaikan atau kejahatan mana bisa dipelajari? Sudahlah, aku hanya mengajarkan ilmu-ilmuku agar tidak kubawa mati. Asal engkau belajar dengan tekun dan berhasil mewarisi ilmu-ilmuku dan engkau bersikap sebagai seorang murid yang berbakti, sudah cukup bagiku.”

“Akan tetapi, biarpun aku menerima pelajaran-pelajaran darimu dan aku menjadi muridmu, akan tetapi aku tidak mau menyebut suhu kepadamu.”

“Ehhh? Mengapa?” kakek itu membentak, penasaran.

“Aku adalah keturunan keluarga Pulau Es yang memiliki ilmu keturunan. Boleh aku mempelajari ilmu-ilmu lain untuk meluaskan pengetahuan, akan tetapi aku tidak boleh berguru kepada aliran lain,” jawab anak itu dengan suara mantap karena memang yang diucapkannya itu adalah ajaran ayah bundanya.

“Hemm, lalu engkau akan memanggil apa padaku?” tanya Hek-i Mo-ong makin penasaran.

“Panggilan apa lagi? Tentu seperti orang-orang lain menyebutmu, Mo-ong.”

Biasanya, Hek-i Mo-ong sudah merasa bangga kalau disebut Mo-ong (Raja Iblis) karena bagi seorang tokoh sesat, makin serem panggilannya, makin banggalah hatinya. Akan tetapi kini hatinya terasa kecewa dan kecut juga mendengar betapa muridnya sendiri akan menyebutnya Mo-ong, bukan suhu.

“Dan engkau tidak akan berbakti sebagai murid, melainkan menganggapku sebagai musuh? Begitukah?” Dia sudah marah sekali dan andaikata anak itu mengangguk atau menyatakan benar demikian, mungkin saja dia sudah turun tangan terus membunuh cucu Pendekar Super Sakti itu.

Akan tetapi dengan tenang Ceng Liong mengeleng kepalanya. “Sudah kukatakan bahwa aku hutang nyawa dua kali kepadamu, Mo-ong, dan kalau engkau mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku, berarti budimu bertambah besar. Dan aku bukanlah keturunan orang-orang yang suka melupakan budi atau yang membalas budi kebaikan dengan kejahatan. Tidak, aku tidak akan membiarkan budi-budimu tanpa terbalas.”

Hek-i Mo-ong termenung. Anak ini memang bukan bocah biasa. Ada dua keuntungan besar baginya kalau dia mengambil anak ini sebagai murid. Pertama, dia memiliki sandera yang amat berharga. Ke dua, dia memperoleh seorang murid yang tiada keduanya dan bukan tidak mungkin kalau murid inilah yang kelak menjunjung tinggi namanya dan bahkan melindunginya dari ancaman musuh-musuhnya. Teringat akan hal ini, dia lalu tertawa bergelak, menyambar tubuh anak itu dan dibawanya berlari cepat.

“Ha-ha-ha, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan mari kau ikut bersamaku ke barat!”

Demikianlah, semenjak terjadinya penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan terbakar dan lenyapnya Pulau Es, terjadi perobahan besar sekali dalam kehidupan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Sebagai seorang keturunan keluarga yang terkenal sebagai keluarga pendekar-pendekar yang kenamaan, secara tiba-tiba saja dia menjadi murid seorang datuk kaum sesat nomor satu yang juga amat terkenal dalam kesesatannya. Sungguh anak ini telah pindah ke dalam keadaan yang sama sekali bertentangan dengan keadaannya semula, sejak dia lahir sampai dia berusia sepuluh tahun itu.



***



Ke manakah perginya Suma Hui, cucu perempuan Pendekar Super Sakti itu? Seperti kita ketahui, ketika perahu empat orang muda itu dikepung kemudian diserbu oleh para penjahat, mereka berempat melakukan perlawanan dan karena banyaknya penjahat yang mengepung, kemudian perahu mereka digulingkan, empat orang muda itu membela diri dengan terpaksa berpencar. Suma Hui meloncat ke atas sebuah perahu lain di mana dara ini dihadapi oleh seorang tokoh jahat yang amat dibencinya yaitu Jai-hwa Siauw-ok, tokoh sesat yang pernah bersikap kotor terhadap dirinya ketika para penjahat itu menyerbu Pulau Es.

“Heh-heh-heh, selamat bertemu, nona manis!” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh nafsu berahi. “Akhirnya engkau datang juga kepadaku, heh-heh-heh!”

“Iblis jahanam!” Suma Hui membentak dan dengan kemarahan meluap ia sudah menerjang dengan sepasang pedangnya, mempergunakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hebat itu. Akan tetapi, enam orang anak buah penjahat mengepungnya. Tanpa diperintah lagi, enam orang penjahat yang melihat munculnya seorang dara jelita ini sudah berebut maju hendak menangkapnya. Mereka terlalu memandang rendah karena mereka adalah anggauta-anggauta penjahat yang ketika terjadi pertempuran di Pulau Es belum merasakan kelihaian nona ini. Dengan lancang mereka menyambut dan berusaha menangkap Suma Hui.

Akan tetapi mereka kecelik dan kelancangan mereka harus ditebus mahal ketika sepasang pedang di tangan dara itu berkelebatan dan empat orang di antara mereka roboh mandi darah, sedangkan yang dua orang hanya dapat terhindar dari bencana karena mereka cepat membuang diri ke belakang saja!

Akan tetapi, pada saat Suma Hui menggerakkan pedang mengamuk, Jai-hwa Siauw-ok sudah menubruknya dari belakang. Dua kali orang ini menggerakkan jari tangan menotok. Ilmu yang dipergunakannya bukanlah ilmu sembarangan karena dia telah mempergunakan Kiam-ci (Jari Pedang), yaitu ilmu yang amat hebat dari mendiang gurunya. Suma Hui hanya merasa betapa kedua pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum sehingga sambil menahan teriakannya, terpaksa dara ini membuka tangannya dan melepaskan sepasang pedangnya. Di lain saat, tubuhnya telah menjadi lemas tertotok dari belakang dan ia sudah dipondong oleh Jai-hwa Siauw-ok.

Perahu terguncang hebat oleh badai dan Jai-hwa Siauw-ok yang telah berhasil menawan dara itu menjadi girang bukan main. Akan tetapi diapun merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat menikmati hasilnya karena di situ terdapat Hek-i Mo-ong, maka diam-diam dia lalu meluncurkan sebuah perahu sekoci dan membawa tubuh Suma Hui melompat ke dalam perahu kecil yang terus didayungnya menjauh dari amukan badai itu.

Suma Hui rebah di atas perahu kecil dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan. Ia tidak berani membuka kedua matanya karena ia merasa pening bukan main, bukan saja karena totokan, akan tetapi juga karena perahu kecil itu dipermainkan gelombang dahsyat, membuat tubuhnya terayun-ayun, terguncang dan iapun mabok.

Setelah badai lewat dan perahu kecil itu jauh meninggalkan perahu-perahu besar lainnya, Jai-hwa Siauw-ok memasang layar perahu kecil dan dia memandang ke arah tubuh dara yang terlentang tak berdaya itu sambil tersenyum-senyum. Seorang dara yang amat cantik jelita dan bertubuh padat. Keturunan Pendekar Super Sakti, keturunan keluarga Pulau Es! Bukan main bangga dan girang hatinya. Dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) dan menawan seorang gadis merupakan hal yang biasa baginya. Akan tetapi, sekali ini dia merasa luar biasa bangga dan girangnya karena yang ditawannya adalah seorang cucu perempuan dari keluarga Pulau Es! Inilah yang membuat peristiwa itu amat penting dan besar. Dan diapun tidak ingin memperkosa dara itu begitu saja seperti yang biasa dia lakukan terhadap tawanan-tawanan wanita yang disukainya. Tidak, dia akan memperlakukan dara ini secara lain! Dia ingin dara ini menyerahkan diri dengan suka rela agar dara ini dapat menjadi kekasihnya untuk kelak dibanggakan kepada orang-orang sedunia kang-ouw! Betapa akan bangga hatinya kalau dia dapat memamerkan kekasihnya sebagai seorang cucu perempuan keluarga Pulau Es! Selain itu, diapun tidak pernah mau memperkosa wanita yang berada dalam keadaan tertotok atau pingsan. Dia berwatak seperti seekor binatang buas yang merasa nikmat kalau melihat korbannya meronta-ronta dan meraung-raung dalam permainan dan penyiksaannya.

Bersambung ke buku 3