Kisah Para Pendekar Pulau Es -14 | Kho Ping Hoo



Buku 14

Pertandingan pedang antara Sim Houw dan Pouw Kui Lok masih berjalan seru. Akan tetapi sesungguhnya Kui Lok sudah terkejut bukan main karena setiap jurus serangannya dipatahkan oleh lawan dengan amat mudahnya, seolah-olah lawan sudah mengenal semua jurus serangannya. Dan memang kenyataannya juga demikian. Semua jurus ilmu pedangnya yang didapatkannya di Lembah Naga Siluman tidak asing bagi Sim Houw, bahkan pemuda ini adalah ahlinya dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut! Apalagi setelah dia mempelajari Kim-sauw Kiam-sut, maka ilmu pedang keluarga Cu yang berasal dari satu sumber, amat dikenal olehnya dan dengan demikian, selama Kui Lok mempergunakan ilmu pedang dari Lembah Naga Siluman, dia seperti menghadapi seorang guru atau setidaknya onang yang jauh lebih ahli ketimbang dia! Barulah kalau dia bersilat pedang dengan ilmu pedang dari Kun-lun-pai, pihak lawan tidak mengenal dan bersikap hati-hati dan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut, baru dia dapat sedikit mengimbangi ilmu pedang lawan. Betapapun juga, ilmu pedang lawan itu sungguh amat aneh gerakannya dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi melengking-lengking seperti suling ditiup dengan gerakan serangan yang luar biasa sekali. Hal ini membingungkan hatinya dan mulalah dia terdesak hebat. Dia kini hanya dapat memutar pedangnya melindungi dirinya saja, tanpa dapat membalas sedikitpun, hanya main mundur.

Tiba-tiba, ketika Sim Houw menyerang lagi dengan tusukan kilat, tubuh Kui Lok mencelat ke atas dengan gaya yang amat indah. Sim Houw terkejut dan dia mengenal ilmu gin-kang dari keluarga Cu, atau dari tokoh ke dua, yaitu Cu Seng Bu yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) yang juga merupakan paman kakeknya. Dia maklum akan kehebatan gin-kang ini yang dia sendiri belum mempelajarinya karena tidak diberi kesempatan, dan dia dapat menduga bahwa dari atas, tentu lawan akan menyerangnya dengan Ilmu Pedang Naga Siluman Mencakar Bumi, serangan yang paling tepat dilakukan dalam keadaan melompat dan menukik seperti itu. Dan serangan ini amat berbahaya. Benar saja, dari atas, tubuh Kui Lok menukik ke bawah dan kini dia menyerang bukan dengan jurus Kun-lun-pai, melainkan dengan jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu. Pedangnya menusuk ke arah ubun-ubun dengan gerakan diputar-putar untuk membingungkan lawan. Akan tetapi Sim Houw sudah mengenal jurus ini, menangkis dengan pedangnya lalu menjatuhkan diri dan bergulingan sehingga serangan dahsyat itu dapat dihindarkan.

Melihat sutenya kewalahan, Tek Ciang tiba-tiba meloncat ke depan, tangan kirinya meluncur dan mulutnya beseru, “Mundurlah, sute....!” Mulutnya berkata demikian dan tangannya sudah meluncur ke depan. Terdengar suara bercicit dan terdapat sinar menyambar ke arah tubuh Sim Houw yang sedang bergulingan itu. Tek Ciang memang curang sekali. Mulutnya menyuruh sutenya mundur seolah-olah dia bersikap jujur tidak main keroyok, akan tetapi karena pada saat itu pihak lawan sedang bergulingan menghindarkan serangan Kui Lok tadi maka sama saja dengan dikeroyok!

Melihat serangan tangan kosong yang aneh ini, Sim Houw meloncat dan mengelak. Akan tetapi dia kurang cepat. Terdengar suara “brettt....!” dan baju di pundaknya robek oleh serangan aneh itu yang dilakukan oleh jari tangan Tek Ciang dari jarak jauh.

“Ihhhh.... itu.... itu.... Kiam-ci (Jari Pedang), ilmu iblis dari mendiang Ji-ok!” tiba-tiba Bu Ci Sian berseru kaget. “Iblis itu tentu ada hubungannya dengan Ngo-ok!” Berkata demikian, Bu Ci Sian hendak menerjang, akan tetapi kembali suaminya mencegah dan memberi isyarat dengan mencabut suling emasnya. Melihat suaminya mencabut suling emas, Bu Ci Sian tidak melanjutkan serangannya.

Sementara itu, hanya sebentar saja Sim Houw terkejut dan kini dia sudah menerjang maju melawan Tek Ciang yang juga sudah mencabut pedangnya. Tek Ciang lebih cerdik daripada Kui Lok. Tadi dia maklum bahwa tentu pemuda kekar ini sudah mengenal ilmu dari Lembah Naga Siluman sehingga semua serangan dari Kui Lok dapat dipatahkannya dengan mudah. Maka, diapun tidak mau mempergunaikan ilmu pedang yang baru dipelajarinya itu dan dia menghadapi lawan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan sebatang pedang sedangkan untuk mengimbanginya, tangan kirinya juga menyerang dengan Kiam-ci! Hebat bukan main permainan pedang yang diimbangi dengan Jari Pedang tangan kiri ini. Akan tetapi sekali ini dia menemukan lawan yang amat tangguh. Maklum akan kehebatan lawan, Sim Houw lalu mainkan ilmu pedang gabungan yang baru saja dipelajari dan sedang dimatangkan, dan ilmu pedang ini memang hebat sekali, mampu menandingi serangan lawan, babkan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya.

“Sute, lekas bantu aku!” berkali-kali Tek Ciang berseru. Kui Lok merasa serba salah. Kalau dia membantu berarti dia dan Tek Ciang mengeroyok seorang pemuda yang jauh lebih muda usianya, akan tetapi kalau mendiamkan saja Tek Ciang terancam bahaya sedangkan dia hanya berdiri menonton, sungguh amat tidak enak. Dia sudah menggerakkan pedangnya, akan tetapi masih ragu-ragu dan pada saat itu terdengarlah suara suling ditiup secara istimewa! Alunan suara suling yang halus merdu itu naik turun dengan halus akan tetapi di dalam kelembutan itu terkandung getaran suara yang menusuk telinga! Dan tak lama kemudian, suara itupun disusul oleh lengkingan suling lain yang lebih tinggi akan tetapi yang mengikuti lagu suling pertama.

Dua orang muda penyerbu itu terkejut karena merasa betapa suara suling itu seperti menembus kulit daging dan menusuk jantung. Ketika mereka memandang, ternyata Pendekar Suling Emas Kam Hong dan isterinya sudah duduk bersila sambil meniup suling emas mereka. Tiba-tiba Sim Houw juga meloncat mundur ke dekat suhu dan subonya, duduk bersila dan pemuda inipun mengeluarkan suara bersenandung dengan mulutnya yang mengikuti pula nada dan irama kedua suling itu!

Tek Ciang yang memang berwatak licik dan amat curang, melihat tiga orang itu asyik berlagu sambil duduk bersila, merasa memperoleh kesempatan baik sekali untuk melaksanakan niat busuknya. Dengan pedang di tangan dia meloncat dan menerjang, maksudnya hendak membunuh Kam Hong, dengan sekali tusukan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terjengkang dan jantungnya berdebar, seolah-olah suara suling yang halus itu mempunyai tenaga mujijat yang menolaknya dan kini dia sudah meloncat bangun lagi. Tanpa memperdulikan suara suling yang seperti menusuk telinga dan menembus jantungnya, dia berusaha untuk menyerang lagi. Akan tetapi begitu dia meloncat, diapun terbanting jatuh lagi.

“Suheng, jangan....!” Kui Lok berseru kaget dan wajahnya sudah pucat sekali. Pemuda ini menderita hebat oleh suara suling yang halus itu, makin halus suara itu, makin sakit rasa telinga dan jantungnya.

Akan tetapi Tek Ciang memang bandel. Dia bangkit lagi dan hendak menyerang lagi, akan tetapi sekali ini, begitu meloncat, tubuhnya seperti menubruk benteng baja dan dilontarkan ke belakang. Dia terbanting dan muntah darah, pedangnya terlepas dan pingsan! Kui Lok yang sejak tadi mengerahkan sin-kang untuk melawan suara itu, memungut pedang suhengnya, menyambar tubuh itu dan memanggulnya.“Locianpwe, maafkan kami....!” katanya terengah-engah dan diapun melarikan diri sambil memanggul tubuh Tek Ciang. Mukanya pucat sekali, keringatnya bercucuran dan kedua kakinya menggigil. Hampir dia tidak kuat menahan, dan dia memaksakan diri lari meninggalkan tempat itu, diiringkan dua suara suling dan suara senandung itu. Untung baginya suara itu menghilang, tidak mengejarnya lagi dan ketika tiba di sebuah lapangan rumput di kaki bukit, Kui Lok tidak kuat lagi, roboh bersama Tek Ciang yang dipanggulnya dan dia pingsan!

Sementara itu, keluarga Kam dan murid mereka itu bangkit berdiri. Wajah Bu Ci Sian berwarna merah dan sepasang matanya berkilat. “Aku ingat sekarang! Pemuda pendek itu, bukankah dia yang dahulu datang menyerbu bersama Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok? Benar, dialah orangnya!”

Kam Hong seperti diingatkan. Tadi dia sudah merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing baginya. “Ah, benar. Dia murid Jai-hwa Siauw-ok dan agaknya dia merupakan cucu murid Ngo-ok yang mewarisi ilmu-ilmu Lima Jahat itu. Akan tetapi, bagaimanakah cucu murid Ngo-ok dapat menguasai pula ilmu-ilmu dari Pulau Es semahir itu? Dan diapun jelas menguasai ilmu silat dari Lembah Naga Siluman! Bahkan kini datang mewakili keluarga Cu untuk menandingi kita.”

Bu Ci Sian mengerutkan alisnya. “Jelaslah bahwa keluarga Cu telah mencari dua jago muda itu, yang seorang malah murid Kun-lun-pai, dua orang itu agaknya mereka didik untuk kemudian menjadi utusan mereka, mewakili mereka untuk menyerbu ke sini. Kita harus tangkap mereka!” Nyonya ini hendak melakukan pengejaran, akan tetapi suaminya mencegah.

“Tidak perlu dikejar. Mereka itu hanya utusan yang diperintah untuk menandingi kita, untuk mengalahkan aku. Kini mereka kalah dan melarikan diri, tidak ada alasannya untuk dikejar lagi.”

“Akan tetapi, mereka itu datang dari Lembah Naga Siluman dan aku khawatir sekali akan keadaan anak kita di sana. Bukankah Bi Eng berada di sana. Lalu apa yang terjadi dengan anak kita itu kalau keluarga Cu masih memusuhi kita?”

Kam Hong menarik napas panjang. “Melihat bahwa tiga tahun yang lalu, dua orang locianpwe she Cu itu datang ke sini untuk mengajak pulang Houw-ji, kurasa Bi Eng tidak tinggal di sana. Tentu terjadi pertentangan antara saudara Sim Hong Bu dan keluarga Cu. Dan aku yakin bahwa saudara Sim tentu bertanggung jawab atas keselamatan anak kita. Bahkan sekarang waktu tiga tahun yang kita janjikan dengan dia sudah lewat, kurasa tidak lama lagi tentu dia akan datang memberi kabar.”

Seperti biasa, Bu Ci Sian tunduk kepada keputusan suaminya dan walaupun hatinya mendongkol, namun ia bersabar dan mereka bertiga menanti berita dari Sim Hong Bu. Tentu saja mereka mempertajam kewaspadaan semenjak terjadi peristiwa itu agar pihak lawan yang berniat buruk tidak dapat mempergunakan kecurangan untuk mengganggu mereka.

Tek Ciang dan Kui Lok tidak lama jatuh pingsan di lapangan rumput itu. Ketika sadar kembali, Tek Ciang yang menderita luka dalam cepat duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni, mengobati dalam dadanya sendiri. Kui Lok bersila di sampingnya, memulihkan tenaganya. Setelah rasa nyeri dalam dadanya mereda, Tek Ciang menarik napas panjang dan menyeka darah yang mulai mengering di sudut bibirnya.

“Keluarga iblis Kam yarg keparat!” dia memaki gemas.

Kui Lok memandang kepada suhengnya dengan alis berkerut. “Suheng, tahanlah rasa penasaran dan kemarahanmu itu. Aku sendiri merasa malu sekali kepada keluarga Kam. Jelaslah betapa kita kelihatan jahat dan rendah dibandingkan dengan mereka. Kalau mereka menghendaki, betapa mudah bagi mereka untuk membunuh kita. Tadi, baru dengan suara suling saja mereka mampu mengusir kita dan membuat kita tidak berdaya sama sekali.”

Tek Ciang mengepal tinju. Tentu saja hatinya semakin penasaran dan dendamnya menebal. Dulu, ketika dia menyerbu bersama Jai-hwa Siauw-ok, dia sudah kalah dan terluka oleh keluarga Kam. Sekarang, setelah tiga tahun dan digembleng ilmu oleh keluarga Cu, masih saja dia kalah dan kembali terluka. Sungguh memalukan dan menggemaskan.

“Aku masih belum mau menerima kalah! Sute, kita telah menerima budi besar keluarga Cu selama tiga tahun. Kalau untuk membalas budi itu mereka hanya minta kita mengalahkan Kam Hong, kini sebelum hal itu terlaksana, mana kita ada muka untuk berjumpa dengan kedua orang suhu kita? Aku masih penasaran. Kalau kita mengeluarkan semua ilmu kita, belum tentu kita kalah. Kita tadi hanya kalah oleh suara suling mujijat itu.”

“Jangan terlampau membesarkan kepandaian sendiri dan meremehkan kemampuan orang lain, suheng. Aku tahu bahwa kepandaian yang kaudapat dari pendekar keluarga Pulau Es amatlah hebat. Akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Kam itupun memiliki ilmu silat tinggi yang sukar dikalahkan. Aku tadi heran, suheng. Ilmu silatmu banyak dan aneh-aneh, ini sudah kuketahui. Akan tetapi apa maksudnya ucapan isteri pendekar Kam itu? Ilmu pukulanmu dengan jari yang hebat itu.... benarkah seperti katanya tadi disebut Kiam-ci dan merupakan ilmu dari.... Ngo-ok? Benarkah engkau ada hubungan dengan tokoh-tokoh hitam yang terkenal seperti iblis itu?”

Tek Ciang tersenyum. “Tidak kusangkal, sute. Memang ilmu itu namanya Kiam-ci dan kudapat dari keturunan Ngo-ok. Akan tetapi tidak berarti bahwa aku mempunyai hubungan dengan Ngo-ok yang sudah tiada. Memang aku suka sekali mempelajari segala macam ilmu silat, sute. Apa salahnya memperluas pengetahuan dengan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, dari manapun datangnya? Sekali waktu akan berguna bagi kita. Kalau tadi mereka tidak menggunakan suara suling mujijat itu, belum tentu aku kalah.”

Kui Lok menyangsikan kebenaran kalimat terakhir itu, akan tetapi dia enggan berbantah dengan suhengnya, apalagi setelah mereka berdua menderita kekalahan. Dia tidak mau menyinggung perasaan suhengnya.

“Kurasa ilmu itulah yang oleh suhu Cu Han Bu disebut sebagai ilmu meniup suling Kim-kong Sim-in yang harus kita hadapi dengan waspada. Tak kusangka suara tiupan suling akan sehebat itu. Kita sudah digembleng oleh suhu untuk menghadapi suara itu. Kalau hanya menghadapi suara suling yang menyerang kita itu, cukup bagi kita mengerahkan sin-kang untuk bertahan. Akan tetapi apa artinya kalau kita hanya bertahan? Begitu kita menyerang, tenaga kita membalik dan memukul diri sendiri, seperti yang kaualami tadi, suheng.”

Tek Ciang mengangguk-angguk, wajahnya muram, hatinya kesal. “Ah, kalau kita tidak dapat memperoleh ilmu untuk menandingi suara suling itu, habislah harapan kita untuk mengalahkan mereka, dan bagaimana kita mempunyai muka untuk menghadap suhu di Lembah Naga Siluman?”Kui Lok merasa kasihan melihat kemuraman wajah Tek Ciang. Dia tahu akan rahasia hati suhengnya ini. Dia tahu bahwa antara suhengnya ini dan su-ci (kakak perempuan seperguruan) mereka, yaitu Cu Pek In, puteri guru mereka Cu Han Bu, yang kabarnya sudah menjadi janda karena ditinggal pergi suaminya, terdapat suatu hubungan yang amat erat dan akrab, bahkan mesra sekali. Biarpun usia suci itu sudah hampir empat puluh tahun, akan tetapi suci mereka itu tetap cantik dan terutama sekali memiliki kepandaian yang cukup hebat. Diam-diam dia menduga bahwa telah terjalin hubungan asmara antara keduanya itu secara gelap. Walaupun dia merasa tidak cocok, namun karena bukan urusannya, dia pura-pura tidak tahu saja. Hanya dia merasa heran bagaimana suhengnya yang masih muda dan cukup tampan dan gagah itu dapat jatuh cinta kepada seorang wanita yang sepuluh tahun lebih tua. Kini dia tahu betapa resahnya hati suhengnya itu karena tugas yang hanya satu-satunya itu gagal. Suhengnya tidak hanya merasa malu terhadap suhu-suhu mereka, melainkan terutama sekali malu terhadap kekasihnya atas kegagalannya.

“Suheng, aku sekarang teringat. Ketika masih belajar di Kun-lun-pai, suhu pernah bercerita tentang suatu ilmu yang mirip dengan suara suling dari keluarga Kam itu. Ilmu itu disebut Sin-liong Ho-kang (Ilmu Gerengan Naga Sakti). Akan tetapi ilmu itu dianggap sebagai ilmu yang berbahaya oleh para tokoh pimpinan Kun-lun-pai, dianggap sebagai ilmu yang kejam dan sesat sehingga tidak ada murid Kun-lun-pai yang diperbolehkan mempelajarinya.”

“Ah, sungguh sayang sekali. Kalau begitu berarti ilmu itu telah lenyap dari perguruan Kun-lun-pai!” kata Tek Ciang menyesal.

“Tidak, suheng. Sebetulnya tidaklah lenyap sama sekali. Ilmu itu masih disimpan baik-baik dalam ujud kitab, akan tetapi kitab itu selalu disimpan di dalam kamar pusaka dan tidak ada seorangpun murid yang boleh membuka atau membacanya. Dan biasanya, murid-murid Kun-lun-pai amat patuh karena sudah terikat oleh sumpah kami.”

“Ah, begitukah, sute? Jadi memang ada pelajaran itu, masih berupa kitab? Sute, maukah engkau bermurah hati kepadaku?”

“Maksudmu bagaimana, suheng?”

“Maukah engkau membawaku ke Kun-lun-pai dan minta ijin kepada ketua Kun-lun-pai agar mengijinkan aku mempelajari ilmu itu?”

“Hemm, rasanya sukar, suheng....”

“Sute, larangan itu hanya terbatas pada murid-murid Kun-lun-pai, bukan? Dan aku bukanlah murid Kun-lun-pai. Akan tetapi karena engkau seorang murid Kun-lun-pai tersayang dan kita sudah terikat persaudaraan, kalau kita menceritakan tentang kegagalan kita, dan mengingat pula hubungan baik antara gurumu dan para tokoh keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, kurasa banyak harapan aku akan diperkenankan mempelajarinya. Bahkan untuk maksud keji, melainkan hanya untuk melawan suara suling keluarga Kam itu atau setidaknya mencari cara untuk mengatasinya.”

Kui Lok mengerutkan alisnya lalu mengangguk-angguk. “Baiklah, akan kucoba. Kitab-kitab Kun-lun-pai aselinya memang berada di pusat Kun-lun-pai di pegunungan Kun-lun-san, amat jauh dari sini. Akan tetapi semua cabangnya mempunyai salinan-salinannya dan ada kulihat suhu memiliki juga salinan kitab ilmu Sin-Liong Ho-kang itu. Mari kita menghadap suhu dan mudah-mudahan saja permintaan kita akan dikabulkan.”

Tek Ciang merangkul sutenya. “Ah, aku tahu bahwa memang engkau seorang saudara yang amat baik sekali, sute!”

Berangkatlah mereka menuju ke kuil Kun-lun-pai yang letaknya tidak berapa jauh dari situ, hanya perjalanan dua hari saja.

***
Seperti dapat dibuktikan dalam catatan sejarah, pemerintah Kaisar Kian Liong merupakan bagian yang paling gemilang dari masa Kerajaan Ceng, yaitu kerajaan penjajah Mancu atas seluruh Tiongkok. Harus diakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang sejak mudanya pandai dan bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan. Bahkan dia berhasil menarik simpati para pemuka rakyat dengan cara melebur diri menjadi seperti orang Han, bukan seperti orang asing yang menjajah. Dia memerintahkan semua pejabat untuk mempelajari kebudayaan rakyat, bersikap baik terhadap rakyat, akan tetapi di samping itu, juga menyiapkan pasukan yang kuat untuk menjaga kewibawaan pemerintahannya. Dia mempergunakan tangan besi bersarung sutera.

Akan tetapi, para pendekar bukanlah orang-orang yang bodoh semua. Di antara para pendekar ada yang tahu benar rahasia apa yang terjadi di balik semua kebaikan yang diperlihatkan kaisar itu. Pergolakan yang berkecamuk dalam hati para pendekar bukan hanya karena jiwa patriot yang memberontak melihat nusa bangsa dijajah oleh bangsa asing, melainkan juga disebabkan pula oleh ulah Kaisar Kian Liong sendiri. Memang harus diakui bahwa Kaisar Kian Liong, sejak mudanya, sejak masih pangeran, suka bergaul dengan rakyat jelata sehingga dia amat populer di kalangan rakyat. Bahkan sejak dia masih pangeran, para pendekar selalu melindungi dan menjaga keselamatan pangeran yang dianggap sebagai calon kaisar yang baik dan menguntungkan rakyat jelata ini.

Akan tetapi di balik semua kebaikan yang memang harus diakui ada pada diri Kian Liong, dia memiliki suatu kelemahan, yaitu suka pelesir dan berhubungan dengan wanita-wanita cantik. Akan tetapi karena memang perangainya baik dan terdidik sebagai seorang sasterawan, dia tidak pernah mau mengganggu wanita baik-baik dengan kekerasan, tidak mau mempergunakan kedudukannya atau kekayaannya untuk memaksa wanita baik-baik menjadi kekasihnya. Dia lebih suka mengunjungi rumah-rumah pelacuran. Tentu saja banyak pula gadis-gadis dan wanita baik-baik yang tertarik kepada pangeran itu, baik karena kedudukannya maupun ketampanannya, yang menyerahkan diri tanpa paksaan. Maka tersiarlah berita bahwa Kaisar Kian Liong mempunyai banyak anak yang lahir dari wanita-wanita yang berhubungan dengan dia di waktu dia masih pangeran yang sempat berkelana dan bertualang itu.

Sejak masih pangeran, Kian Liong mempunyai seorang kepercayaan yang memungkinkan dia sering pergi meninggalkan istana dan menyamar sebagai pemuda biasa dan kepercayaannya ini pula yang memungkinkan dia mengunjungi rumah-rumah pelacuran dan berhubungan dengan pelacur-pelacur paliing terkenal di kota raja dan kota-kota besar lainnya. Orang kepercayaannya ini adalah seorang thaikam (pelayan kebiri) yang amat cerdik, bernama Siauw Hok Cu.

Ketika Kian Liong masih menjadi pangeran, di dalam istana sendiri terjadi suatu peristiwa yang kalau ketahuan orang luar atau kalangan istana sendiri tentu akan mendatangkan aib dan kehebohan. Akan tetapi, thaikam Siauw Hok Cu demikian pandai menjaga rahasia majikannya dan memang Pangeran Kian Liong sendiri amat cerdik sehingga peristiwa itu merupakan rahasia yang tidak pernah diketahui orang lain.

Peristiwa itu dimulai dengan pertemuan antara Pangeran Kian Liong yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun dengan nyonya Fu Heng, kakak iparnya sendiri karena nyonya ini adalah isteri seorang pangeran yang menjadi kakak tiri Kiang Liong terlahir dari selir. Bertemu dengan nyonya yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini, Pangeran Kian Liong seketika jatuh cinta dan bahkan tergila-gila. Akan tetapi, karena nyonya itu adalah isteri kakak tirinya, tentu saja dia tidak berani bersikap kurang ajar dan hanya menyimpan kerinduan hatinya itu di dalam dada saja. Nyonya Fu Heng memang cantik jelita, kulitnya putih halus tanpa cacad, mukanya putih itu agak kemerahan tanpa alat kecantikan, mukanya bulat telur, sepasang matanya sipit akan tetapi lebar dan seperti sepasang bintang berkilauan, hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak naik seperti menantang, dan terutama sekali mulutnya amat mungil, dengan bibir yang selalu kemerahan dan selalu basah dan segar. Dalam usianya yang tiga puluh tahun dan belum mempunyai anak, tubuh wanita ini penuh dan matang, dengan gerak gerik lembut penuh daya pikat yang amat kuat.

Hanya thaikam Siauw Hok Cu yang tahu akan penyakit rindu berahi yang menyerang majikannya, ketika Pangeran Kian Liong seringkali nampak termenung di dalam kamarnya atau di kebun bunga.

“Pangeran, harap paduka jangan banyak termenung berduka. Seekor kumbang tidak akan kehabisan akal untuk dapat menghisap madu kembang yang disukai dan dipilihnya.” Thaikam gendut itu menghibur sambil mendekati majikannya yang sedang duduk termenung pada suatu malam dalam taman bunga.

Pangeran Kian Liong mengangkat muka, memandang orang kepercayaannya itu dengan heran dan bertanya, “Hok Cu, apa maksudmu? Jangan kau main-main!” Karena hatinya sedang kesal, kata-kata yang belum dimengerti maksudnya itu dianggap mengganggu hatinya.Akan tetapi thaikam gendut itu tersenyum. Mukanya yang seperti muka anak-anak yang gendut dan sehat itu berseri, sepasang matanya menjadi semakin sipit sampai hampir terpejam. “Pangeran, hendaknya paduka ketahui bahwa nyonya Fu Heng adalah sahabat baik sekali dari Sang Puteri Kim.”

Mendengar ini, Pangeran Kian Liong memandang dengan penuh perhatian. Dia kagum akan kecerdikan orangnya ini, yang agaknya sudah dapat menerka apa yang disusahkan. Puteri Kim adalah puteri istana yang juga menjadi saudara iparnya. Akan tetapi disebutnya nama nyonya Fu Heng jelas membuktikan bahwa orang kepercayaannya ini tahu akan isi hatinya.

“Kau tahu....?”

Thaikam itu mengangguk. “Jangan khawatir, hanya hamba seoranglah yang dapat mengetahuinya.”

“Lalu, apa maksudmu mengatakan bahwa ia sahabat baik Puteri Kim?”

“Pangeran, sudah beberapa kali nyonya Fu menjadi tamu Puteri Kim, bahkan sampai bermalam selama satu dua hari. Biasanya, nyonya itu berkunjung atas undangan sang puteri dan keduanya bersantai di Taman Musim Semi!”

“Lalu, kalau begitu mengapa?” tanya sang pangeran yang masih belum mengerti apa yang dimaksudkan pelayan yang mukanya penuh senyum gembira itu. “Apa artinya Cang-cun-yuan (Taman Bahagia Musim Semi) itu bagiku?”

“Pangeran tentu ingin sekali bertemu berdua saja dengan nyonya Fu Heng, bukan?”

Wajah sang pangeran menjadi kemerahan. Bagaimanapun juga, memalukan sekali diketahui rahasia hatinya bahwa dia jatuh cinta kepada kakak iparnya sendiri! Akan tetapi orang ini adalah satu-satunya orang yang dipercayanya, maka diapun mengangguk.

“Nah, kalau begitu hamba yang tanggung bahwa pada besok malam, paduka akan dapat menjumpainya seorang diri saja di taman itu.”

“Di Cang-cun-yuan? Bagaimana caranya?”
“Mudah saja, pangeran. Hamba akan membuat surat undangan atas nama Sang Puteri Kim, mengundang nyonya itu untuk berkunjung ke Taman Musim Semi. Nah, hamba akan menyogok para dayang di taman itu agar dapat diatur sebaiknya, mempersiapkan pertemuan antara paduka dan nyonya cantik jelita itu.”

Wajah sang pangeran berseri gembira. “Ah, engkau cerdik sekali. Kau lakukanlah itu, Hok Cu, kau lakukan itu, akan tetapi hati-hati, jangan sampai bocor dan awas, jangan gagal, karena ini menyangkut nama baik keluarga istana, kau tahu?”

“Tanggung beres, pangeran. Hamba jamin dengan nyawa hamba yang tidak berharga!”
Demikianlah, thaikam Siauw Hok Cu yang cerdik itu lalu menjalankan siasatnya, membuat surat undangan atas nama Puteri Kim kepada Nyonya Fu Heng agar pada besok sore sudi datang berkunjung ke Cang-cun-yuan seperti biasanya dan mengirimkan undangan itu kepada nyona cantik itu. Menerima surat undangan ini, Nyonya Fu Heng tidak menaruh hati curiga sedikitpun, juga suaminya tidak menaruh curiga karena suami ini mengetahui betapa akrabnya hubungan antara isterinya dan adik tirinya. Bahkan isterinya boleh bermalam ditaman itu bersama adik tirinya selama beberapa malam tanpa harus minta ijin lagi darinya.

Pada sore yang ditetapkan, berangkatlah Nyonya Fu Heng, seperti biasa melakukan perjalanan yang cukup melelahkan itu dari kota raja ke istana sebelah barat, di ujung barat kota. Perjalahan itu ditempuh dengan naik joli yang dipikul oleh empat orang yang dikawal beberapa orang pengawal saja. Kunjungannya ke taman itu disambut oleh beberapa orang dayang yang sudah dipersiapkan oleh thaikam Siauw Hok Cu! Para pemikul joli dan pengawal diperkenankan pulang dengan pesan agar besok sore dijemput karena nyonya itu akan bermalam di situ. Kemudian para dayang yang sudah dipengaruhi thaikam Siauw Hok Cu, mengantar nyonya cantik itu ke dalam pondok mewah dan dipersilahkan untuk mandi karena Puteri Kim akan datang, dalam waktu satu dua jam lagi.

Nyonya Fu Heng baru saja melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, maka ditawari mandi, ia menerimanya dengan gembira. Bangunan kecil di antara pohon-pohon bambu indah itu amat romantis dan mendatangkan rasa gembira di dalam hatinya. Nyonya itu lalu dibawa oleh para dayang ke dalam kamar mandi dan mandilah Nyonya Fu Heng, dibantu oleh para dayang. Setelah selesai mandi, para dayang memberikan sebuah kimono yang halus terbuat dari sutera yang tembus pandang dan meninggalkan nyonya itu di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah. Nyonya Fu sudah mengenal baik kamar ini. Biasanya ia memang bermalam di dalam kamar ini bersama adik suaminya, yaitu Puteri Kim kalau ia berkunjung ke sini. Kini, sambil menanti datangnya adik itu, ia duduk menghadapi cermin besar, mengurai rambutnya yang hitam panjang itu dan mulai menyisiri rambutnya yang harum lembut.

Sunyi sekali keadaan di bangunan itu dan cuaca mulai remang-remang. Tiba-tiba daun pintu yang menembus ke ruangan belakang, terbuka dari luar. Nyonya Fu mengira bahwa yang masuk itu tentulah Puteri Kim atau seorang di antara para dayang. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa yang masuk itu adalah Pangeran Kian Liong, adik suaminya, pangeran yang amat terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan baik budi, juga tampan dan halus penuh kesopanan. Munculnya sang pangeran ini di dalam kamar membuat Nyonya Fu demikian terkejut, terheran dan membuatnya tak mampu berkata-kata, hanya terbelalak memandang pangeran itu melalui cermin di depannya. Pangeran Kian Liong menghampirinya sambil tersenyum dan di tangan pangeran itu terdapat setangkai bunga mawar merah.

“Alangkah indahnya rambutmu....!” kata Pangeran Kian Liong halus dan dipasangnya setangkai bunga itu di atas rambut nyonya cantik itu. Nyonya Fu Heng hanya memandang dengan mata merah dan berusaha menutupi dadanya dengan kedua tangan karena kimono tipis tembus pandang itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya dengan baik.

“Alangkah halusnya kulitmu....!” Pangeran Kian Liong membungkuk dan menyentuh leher itu dengan bibirnya.

Nyonya Fu tersentak bangkit berdiri dan hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut sambil mencabut pedangnya.

“Kalau engkau menolak cintaku, lebih baik sekarang juga aku membunuh diri di depan kakimu daripada hidup menanggung rindu dan malu!”

Tentu saja nyonya cantik itu terkejut sekali. Pangeran yang berlutut di depan kakinya ini adalah pangeran mahkota, yang akan menggantikan kaisar yang kini sedang menderita sakit hebat. Pangeran ini adalah calon kaisar, maka kalau sampai membunuh diri di depannya, tentu hal itu merupakan malapetaka dan bencana hebat bagi dirinya dan keluarganya.“Tidak....! Aduh, pangeran, jangan bodoh.... harap simpan kembali pedang paduka itu....!”

Pangeran Kian Liong tersenyum gembira. Pencegahan itu tentu saja boleh diartikan bahwa nyonya cantik ini menerima cintanya. Dia melepaskan pedangnya, lalu bangkit berdiri sambil memondong tubuh nyonya itu. Nyonya Fu Heng menahan jeritannya, dan terkulai lemas tak berdaya lagi setelah berada dalam pondongan pangeran muda itu. Pangeran Kian Liong membawa kekasihnya ke pembaringan dan dia menumpahkan rasa cintanya dan rindunya dengan penuh kemesraan. Nyonya Fu hanya dapat memejamkan mata, tidak berani berteriak atau menolak. Akan tetapi, nyonya ini merasakan pengalaman baru yang tidak pernah didapatkannya selama ini. Dia merasakan kemesraan yang luar biasa, yang membuatnya menerima pangeran itu dengan hati terbuka.

Semenjak malam itu, Nyonya Fu Heng tidak mau lagi digauli suaminya dan seringkali ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Kian Liong. Hal ini terjadi sampai sang pangeran menjadi kaisar. Bahkan ketika kaisar tua meninggal, Pangeran Kian Liong menerima berita kematian itu di dalam kamar ketika dia sedang mengadakan pertemuan asyik masyuk dengan Nyonya Fu Heng!

Akan tetapi hubungan itupun seperti putus ketika dia naik tahta dan Nyonya Fu melahirkan seorang putera keturunan Kian Liong! Hanya kadang-kadang saja Kaisar Kian Liong mengadakan pertemuan dengan kekasihuya yang masih menjadi kakak iparnya itu.

Setelah menjadi kaisar, kesukaan Kian Liong akan wanita-wanita cantik bahkan semakin menjadi. Tak dapat disangkal bahwa dia melakukan tugasnya sebagai kaisar dengan amat baik, memerintah dengan bijaksana dan adil. Namun, kesukaannya akan wanita menimbulkan banyak persoalan, bahkan kebencian kepada sebagian orang, terutama para pendekar yang memang sudah tidak suka melihat bangsanya dijajah oleh Bangsa Mancu.

Orang pertama yang memperoleh bagian kemuliaan ketika Pangeran Kian Liong menjadi kaisar adalah Thaikan Siauw Hok Cu. Begitu pangeran itu naik tahta menjadi kaisar, thaikam ini lalu diangkat menjadi Kepala Thaikam dan diberi nama Hok Sen. Thaikam Hok Sen ini terkenal di dalam sejarah sebagai seorang thaikam yang berhasil menumpuk kekayaan yang luar biasa banyaknya dan menikmati kedudukan tinggi dan mulia selama Kian Liong menjadi kaisar sampai puluhan tahun!

Peristiwa yang belum lama ini terjadi, kembali membuat hati para pendekar menjadi marah. Agaknya, setelah berusia tiga puluh tahun lebih dan hidupnya sudah dikelilingi banyak sekali wanita cantik yang seolah-olah berlumba memperebutkan perhatian dan cintanya, Kaisar Kian Liong belum juga merasa puas. Memang demikianlah kalau manusia sudah menjadi hamba nafsunya sendiri. Nafsu itu dapat tumbuh menjadi keinginan apa saja, dalam makanan, tontonan, pemuasan sex, penumpukan harta, pengejaran kedudukan dan sebagainya. Sekali manusia dicengkeram dan menjadi hamba nafsu, maka dia tidak akan mengenal puas. Memang segala macam nafsu itu menjurus ke arah kepuasan, akan tetapi, kepuasan seperti itu tidaklah dapat bertahan lama, segera disusul oleh kekecewaan dan kekurangan, ingin yang lebih hebat, lebih enak, lebih besar, lebih banyak dan selanjutnya. Justeru pengejaran kepuasan inilah yang meniadakan kepuasan yang sesungguhnya, karena harapan selalu lebih besar daripada kenyataan. Kaisar Kian Liong yang sudah dikelilingi banyak wanita cantik itu masih kurang puas, masih menghendaki sesuatu yang lebih daripada semua yang telah ada itu!

Sudah menjadi hal yang wajar bahwa di dalam suatu pemerintahan terdapat banyak sekali orang-orang berambisi yang ingin mencari kedudukan bagi dirinya sendiri. Pengejaran kedudukan ini menimbulkan pelbagai cara yang curang dan kotor, di antaranya sifat menjilat. Dalam sebuah pemeritahan, selalu ada dan banyak saja orang-orang yang suka menjilat ini, menjilat sebagai jalan untuk memperoleh imbalan. Menjilat untuk menyenangkan atasan agar atasan membalas jasanya dengan kenaikan pangkat, dengan hadiah dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan Kaisar Kian Liong. Setelah kelemahannya diketahui orang, maka banyaklah para pembesar korup yang mendekatinya dan menjilat-jilat dengan cara menyuguhkan gadis-gadis cantik yang mereka dapatkan dengan berbagai cara, kadang-kadang dengan cara yang kotor pula. Gadis-gadis itu mereka haturkan kepada kaisar dengan harapan kaisar akan merasa senang dan tentu akan memberi imbalan jasa yang lumayan. Apalagi kalau sampai gadis pemberian mereka itu kelak memperoleh kedudukan penting tentu sang gadis tidak akan melupakan orang yang mula-mula membawanya kepada kaisar!

Pada suatu hari, seorang di antara para penjilat kaisar yang melihat kebosanan kaisar terhadap para wanita cantik yang ada, memberitahukan kepada kaisar bahwa di Sin-kiang terdapat seorang wanita yang luar biasa cantiknya! Wanita itu di seluruh Sin-kiang terkenal dengan sebutan Puteri Harum!

“Apakah ia masih gadis?” Kaisar Kian Liong segera saja memperlihatkan sikap tertarik sekali.

“Sayang bahwa ia telah menikah dengan seorang kepala suku di Sin-kiang, sri baginda, dan dia adalah puteri kepala suku Ho-co. Akan tetapi, hamba sendiri pernah melihatnya dan hamba berani bersumpah bahwa selama hidup hamba, belum pernah hamba melihat seorang wanita secantik itu! Tidak ada cacat-celanya sedikitpun juga dan tubuhnya mengeluarkan bau harum, bukan keharuman yang dibuat dengan minyak. Kabarnya sejak kecil ia diberi minum semacam obat rahasia yang membuat keringat dan tubuhnya berbau harum. Dan ia masih amat muda, sri baginda, baru dua puluh lima tahun dan belum mempunyai anak.”

Selanjutnya si penjilat ini menggambarkan kecantikan Puteri Harum dengan kata-kata bermadu, membuat Kaisar Kian Liong tergila-gila dan sampai beberapa hari dia tidak dapat tidur nyenyak atau makan enak. Yang terbayang hanyalah Sang Puteri Harum dari Sin-kiang itu!

Akhirnya Kaisar Kian Liong tidak dapat menahan lagi kerinduan hatinya. Dia tergila-gila mendengar adanya seorang wanita yang memiliki kecantikan sedemikian luar biasa seperti yang belum pernah didengarnya sebelumnya, apalagi dilihatnya. Maka, dengan nekat dia lalu memanggil Jenderal Cao Hui, seorang jenderal kepercayaannya untuk membawa pasukan besar dan menyerbu ke Sin-kiang. Dia tidak mau mengutus Jenderal Kao Cin Liong karena terhadap jenderal muda ini dia merasa malu. Perasaannya meyakinkan hatinya bahwa jendeeral Kao Cin Liong tentu akan menentang dan tidak akan menyetujui rencana gila itu, menyerbu ke barat dan mengadakan perang hanya untuk merampas seorang wanita!

Pasukan yang dipimpin Jenderal Cao Hui itu berhasil menyerbu Sin-kiang, membunuh banyak perajurit suku bangsa Ho-co, dan menawan Sang Puteri Harum, dibawa ke timur dan pada suatu hari, tercapailah idam-idaman hati Kaisar Kian Liong berhadapan dengan sang puteri! Tentu saja peristiwa ini mendatangkan rasa penasaran dan kemarahan besar di antara para pendekar. Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang beranimenentang karena bukankah yang diserbu itu hanyalah suku bangsa terpencil di barat yang tidak termasuk bangsa pribumi Han?

Kaisar Kian Liong terpesona menatap kecantikan asing dari sang puteri yang menangis ketika dihadapkan kepadanya sebagai tawanan. Tubuh yang ramping padat itu, kulit yang putih halus kemerahan, bibir yang merah basah, mata yang lebar dan indah bening kebiruan, hidung yang mancung, bulu mata yang panjang-panjang melengkung. Sungguh kecantikan yang berbeda sama sekali dengan kecantikan yang biasa dia lihat. Apalagi bau harum yang jelas tercium oleh hidungnya walaupun sang puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai. Seluruh ruangan itu seolah-olah baru saja disiram sebotol minyak harum atau seolah-olah ruangan itu berubah menjadi taman bunga-bunga mawar yang baru mekar!

“Thian Yang Agung....” kaisar itu berbisik dekat Hok Sen, sang kepala thaikam sambil menatap tanpa berkedip. “Ia tentu seorang bidadari yang turun dari sorga....”

“Hamba yakin memang demikian, sri baginda, dan hanya paduka sajalah yang patut mendampinginya....” bisik thaikam yang pandai menyenangkan hati itu.

Pada saat itu juga, Kaisar Kian Liong menganugerahkan pangkat Selir Harum kepada sang puteri tawanan, menghadiahkan banyak pakaian dan perhiasan, juga ditempatkan di dalam kamar terindah di dalam istana, menjadi selir baru yang paling dicinta.

Akan tetapi, Puteri Harum tidak mau menyerahkan diri dan hanya menangis. Ia berduka sekali mengingat akan kematian ayahnya dan suaminya. Berbagai macam cara para dayang menghiburnya, namun ia tetap menangis dan tidak mau bersolek, tidak mau melayani Kaisar Kian Liong. Hal ini tentu saja membuat sang kaisar menjadi kecewa sekali. Akan tetapi, kembali kepala thaikam Ho Sen yang muncul sebagai penasihatnya. Atas nasihat sang thaikam yang pandai itu, kaisar Kian Liong memerintahkan orang-orangnya membangun sebuah bangunan istana kecil mungil yang baru, yang diberi nama Istana Bulan Indah. Bukan hanya merupakan sebuah istana yang indah, akan tetapi juga modelnya dibuat seperti bangunan di Sin-kiang, dan untuk menghibur hati selirnya, kaisar memerintahkan orang-orangnya membangun sebuah kota tiruan di dekat istana, sebuah kota yang lengkap dengan mesjid dan para penghuninya yang beragama dan berpakaian orang-orang Sin-kiang yang beragama Islam.

Di loteng Istana Bulan Indah, Puteri Harum dapat melihat semua ini dan agak terhiburlah kedukaan hatinya. Ia merasa seolah-olah ia masih berada di kampunghalamannya. Ia berterima kasih dan hatinya tergerak oleh kebaikan hati kaisar kepada dirinya. Akhirnya iapun menyerahkan dirinya kepada Kaisar Kian Liong dengan suka rela dan semenjak itu, Puteri Harum menjadi selir terkasih dari kaisar itu.

Demikianlah, semua ulah kaisar ini menambahkan rasa tidak suka di hati para pendekar yang ingin memberontak, walaupun tentu saja masih teramat banyak mereka yang setia kepada Kaisar Kian Liong.

***

“Pouw-sute, engkau tentu tidak lupa akan pesan mendiang suhu dan juga peraturan Kun-lun-pai yang telah dipegang teguh selama ratusan tahun. Engkau tahu bahwa tidak ada seorangpun murid Kun-lun-pai, tiada terkecualinya, yang boleh membuka dan membaca kitab ilmu pusaka Sin-liong Ho-kang. Bagaimana mungkin engkau mengharapkan pinto untuk melanggar peraturan itu?” Ucapan ini keluar dari mulut Hong Tan Tosu, ketua Kun- lun-pai di Tung-keng. Tosu tinggi kurus yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini adalah suheng dari Pouw Kui Lok dan dia mengetuai kuil yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai itu, di mana dahulu Kui Lok diambil murid oleh suhu mereka. Seperti kita ketahui, Pouw Kui Lok menuruti permintaan suhengnya yang baru, yaitu Louw Tek Ciang, untuk berusaha mempelajari ilmu larangan dari Kun-lun-pai itu dalam tekadnya untuk menandingi ilmu meniup suling yang ampuh dari keluarga Kam. Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang disambut dengan ramah oleh ketua kuil itu yang merasa gembira melihai sutenya dan sahabatnya itu telah kembali setelah mengikuti keluarga Cu yang sakti ke Lembah Naga Siluman di barat. Akan tetapi, ketika Kui Lok menyatakan keinginan hatinya untuk meminjam sebentar kitab Sin-liong Ho-kang untuk dipelajari isinya, tosu tua itu terkejut dan mencela sutenya.

Mendengar ucapan ini, Kui Lok tidak mampu menjawap dan Tek Ciang cepat maju memberi hormat kepada tosu tua itu. “Harap totiang sudi memaafkan Pouw-sute. Sesungguhnya, bukan sute yang menginginkan kitab itu untuk dipelajari, karena sute adalah seorang yang menjunjung tinggi peraturan perguruan Kun-lun-pai. Yang amat membutuhkan bantuan Kun-lun-pai untuk dapat sekedar mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang itu adalah saya sendiri, totiang. Pouw-sute hanya membantu saya saja untuk memintakan ijin dari totiang.”

“Siancai, siancai....!” Tosu itu mengangguk- angguk. “Louw-sicu, hendaknya suka memaafkan pinto. Ketahuilah bahwa ilmu itu oleh perguruan kami dianggap sebagai ilmu yang keji dan sesat, kalau dipergunakan hanya akan mengancam keselamatan nyawa manusia lain saja. Yang mau mempergunakan ilmu seperti itu hanyalah iblis-iblis yang berwatak curang. Oleh karena itu, semua murid Kun-lun-pai dilarang keras mempelajari ilmu itu. Kalau murid sendiri saja tidak boleh mempelajarinya, apalagi orang luar. Harap sicu suka memaafkan dan tidak menjadi kecil hati.”

Kembali Tek Ciang memberi hormat. “Maaf, totiang. Sayapun cukup mengerti dan dapat menerima alasan yang totiang kemukakan itu. Akan tetapi tentu totiang sependapat dengan saya bahwa keji tidaknya suatu ilmu, sesat tidaknya, tergantung sepenuhnya kepada penggunaannya, bukan? Betapapun keji kelihatannya suatu ilmu, kalau dipergunakan untuk kebaikan, tentu menjadi ilmu yang baik pula.”

“Siancai, ada benarnya memang pendapat Louw-sicu itu. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa adanya suatu ilmu amat mempengaruhi pemiliknya. Bagaimana orang dapat melakukan suatu perbuatan keji kalau tidak memiliki ilmu keji itu sendiri? Sebaliknya, biarpun hati seseorang tadinya tidak mempunyai niat keji, kalau sudah memiliki ilmu yang keji itu, mudah saja terbujuk untuk melakukan perbuatan keji menggunakan ilmu itu. Tiada bedanya dengan kekuatan. Orang tidak akan melakukan pemukulan kalau tidak memiliki kekuatan, sebaliknya, setelah memiliki kekuatan, akan timbul dorongan untuk mempergunakan kekuatan itu memukul atau menindas orang lain. Nah, karena itulah, sicu, maka murid-murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajari ilmu itu.”

Tek Ciang mengerutkan alisnya. Sukar memang membujuk tosu yang agaknya kukuh ini. Akan tetapi Tek Ciang adalah seorang yang cerdik dan licik sekali. Dia tidak memperlihatkan kekecewaan ataupun kemendongkolan hatinya, melainkan tersenyum ramah. Lalu dengan suara halus dia bertanya.“Hong Tan totiang, saya tahu bahwa totiang adalah sahabat baik sekali dari para suhu kami di Lembah Naga Siluman, yaitu para tokoh keluarga Cu. Tentu persahabatan itu berdasarkan rasa kagum akan kegagahan masing-masing.”

Tosu tinggi kurus itu memandang dengan alis berkerut, tidak mengerti ke mana arah tujuan kata-kata pemuda ini. Akan tetapi dia mengangguk. “Tentu saja, mereka adalah keluarga yang sakti dan gagah perkasa, pinto ikut merasa gembira sekali bahwa Pouw-sute dapat menerima gemblengan keluarga Cu.”

“Totiang, di antara sahabat, baru dapat dikatakan akrab dan benar kalau di situ terdapat kesetiaan dan pembelaan, bukan?”

“Tentu, tentu....” Tosu itu mengangguk-angguk.
“Jadi, andaikata ada suatu malapetaka menimpa keluarga para suhu kami di Lembah Naga Siluman, tentu totiang akan sudi membela dan membantu mereka?”

“Tentu saja, selama tenaga pinto yang sudah tua dan lemah ini mengijinkan. Akan tetapi ada apakah yang telah terjadi dengan mereka, sicu?” Dan tosu inipun menoleh dan memandang kepada Kui Lok yang hanya menundukkan mukanya, maklum akan siasat yang dijalankan oleh Tek Ciang.

“Nah, baru sahabat saja sudah akan membela dan membantu, totiang. Apalagi murid-murid seperti kami ini. Ketahuilah bawa kami, saya dan Pouw-sute, sedang memikul tugas yang dibebankan oleh kedua suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, akan tetapi kami berdua telah gagal dan harapan satu-satunya kami hanyalah bantuan totiang melalui ilmu Sin-liong Ho-kang itu.”

“Apa yang telah terjadi? Pouw-sute, apakah yang telah terjadi dengan keluarga Cu di Lembah Naga Siluman? Coba ceritakan kepada pinto.” Tosu itu kini menoleh kepada sutenya untuk minta penjelasan untuk meyakinkan hatinya. Biarpun dia sudah mengenal Louw Tek Ciang yang menjadi sahabat sutenya dan kini bahkan menjadi suheng dari sutenya itu karena mereka berdua berguru kepada keluarga Cu, namun dia belum mengenal benar keadaan Tek Ciang sehingga keterangan pemuda itu tidak mungkin dapat diterimanya begitu saja.

“Suheng, memang apa yang dikatakan oleh suheng Louw Tek Ciang itu benar. Setelah tiga tahun menerima pelajaran ilmu di Lembah Naga Siluman, kedua orang suhu di sana mengutus kami berdua untuk mencari dan menebus kekalahan kedua suhu dari seorang musuh mereka. Suhu tidak mengikatkan kami dengan urusan pribadi di antara mereka, hanya suhu minta agar kami berdua sebagai murid-muridnya menebus kekalahan yang pernah mereka derita dari orang itu. Kami berdua sudah memenuhi perintah suhu, bertemu dengan lawan itu, akan tetapi kami berdua gagal karena lawan memiliki ilmu semacam Sin-liong Ho-kang. Karena itulah maka suheng mengajakku untuk menghadap ke sini dan mohon diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, hanya untuk dipakai melawan ilmu dari lawan itu.”

Kakek itu mengerutkan alisnya dan nampak bimbang. “Siapakah lawan yang dapat mengalahkan orang-orang gagah dari keluarga Cu itu?” Dia memang merasa heran sekali mendengar ada lawan yang mampu mengungguli pendekar-pendekar seperti Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.

“Dia orang she Kam dan tentu totiang belum mengenalnya. Dia sombong sekali! Sebaiknya kalau totiang tidak mengenal agar tidak terlibat dalam urusan pribadi antara keluarga Cu dan keluarganya. Kamipun hanya melaksanakan tugas dan kalau kami belum dapat mengalahkannya, bagaimana saya dan Pouw-sute ada muka untuk menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman? Oleh karena itu, sekali lagi, mohon kerelaan hati totiang untuk menolong kami, atau lebih tepat lagi, menolong keluarga Cu dari rasa malu kalau sampai dua orang murid dan wakil mereka kembali dikalahkan oleh musuh lama itu.”

Tosu tua itu merasa terdesak dan tersudut. Tentu saja dia merasa tidak enak sekali kalau menolak pemintaan bantuan yang pada hakekatnya adalah membantu para sahabatnya, keluarga Cu itu. Padahal dahulu, di waktu mudanya, pernah Cu Han Bu menolongnya dari kekalahan, bahkan mungkin sekali kematian di tangan seorang musuh yang tangguh. Andaikata Louw Tek Ciang datang seorang diri, tentu dia mempunyai alasan untuk menolak, dan hatinya tidak akan bimbang ragu. Akan tetapi kini Tek Ciang datang menghadap bersama Pouw Kui Lok yang tentu saja sudah amat dipercayanya.

“Louw-sicu, biar bagaimanapun juga, murid Kun-lun- pai tidak boleh mempelajari ilmu itu....”

“Totiang, saya bukan murid Kun-lun-pai!”

“Maksud pinto adalah Pouw-sute, dia tidak boleh sama sekali mempelajari ilmu itu, tepat dan sesuai dengan sumpahnya sebagai murid Kun-lun-pai yang taat. Dan biarpun tidak ada peraturan melarang orang luar mempelajari ilmu itu, akan tetapi kalau pinto berikan kepadamu, berarti pinto yang bertanggung jawab kalau sampai kelak ilmu itu dipergunakan untuk membunuh orang....”

“Totiang, apakah totiang tidak percaya kepada saya dan tidak percaya kepada Pouw-sute? Sudah kami ceritakan bahwa kami membutuhkan ilmu itu hanya untuk menandingi ilmu yang serupa dari musuh keluarga Cu.”

“Baiklah, Louw-sicu. Pinto mengingat akan kebaikan-kebaikan keluarga Cu, memberi kesempatan kepadamu untuk mempelajari ilmu itu. Akan tetapi ada syarat-syaratnya.”

“Apakah syaratnya, totiang?”

“Pertama, sicu harus bersumpah bahwa ilmu itu hanya khusus dipelajari untuk menghadapi ilmu musuh keluarga Cu itu. Dan ke dua, ilmu itu hanya khusus dipelajari di dalam ruangan perpustakaan di mana kitab itu disimpan, sama sekali kitab itu tidak boleh dibawa keluar dari ruangan perpustakaan. Dan ke tiga, sicu hanya pinto beri waktu satu bulan saja untuk mempelajarinya. Setelah lewat sebulan, sicu sudah harus meninggalkan ruangan perpustakaan itu dan.... maaf, meninggalkan pula kuil ini agar tidak mengingatkan pinto bahwa pinto telah melakukan pelanggaran.”

“Baiklah, totiang dan terima kasih atas kebaikan hati totiang. Saya akan bersumpah sekarang juga.” Louw Tek Ciang lalu diajak ke depan meja sembahyang dan di depan meja sembahyang ini Tek Ciang mengucapkan sumpahnya dengan suara lantang. “Teecu Louw Tek Ciang bersumpah, bahwa teecu yang diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, akan mempergunakan ilmu itu untuk menghadapi ilmu suara suling dari keluarga Kam, tidak untuk keperluan lain. Kalau teecu melanggar sumpah ini, semoga teecu dijatuhi hukuman tewas di tangan musuh-musuh teecu!”

“Cukup, sicu,” kata tosu tua itu dengan hati lega. Dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Tek Ciang mentertawakan sumpah itu. Orang seperti Tek Ciang ini mana bisa mengucapkan sumpah dengan bersungguh hati? Dia hanya bersumpah sebagai siasat saja. Bahkan Pouw Kui Lok sendiripun tidak menduga akan hal ini, demikian pandainya Tek Ciang membawa diri dan bersandiwara.

“Pouw-sute, engkaulah yang mengawasi agar Louw-sicu memenuhi janjinya dan tidak membawa kitab itu keluar dari ruangan perpustakaan, bergilir dengan murid keponakanmu.” Tosu itu mengambil sebuah genta dan membunyikan genta itu. Terdengar suara nyaring berkeloneng dan tak lama kemudian dari pintu belakang muncullah seorang gadis yang berpakaian ringkas dan membawa pedang di punggungnya. Gadis ini memakai pakaian ringkas sederhana, wajahnya tidak dirias, tanpa bedak dan gincu, bahkan rambutnyapun hanya digelung secara sederhana sekali. Akan tetapi harus diakui bahwa gadis ini manis bukan main, dan tubuhnya padat dan ramping. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang manis dan juga kelihatan gagah dengan gerak gerik yang tangkas. Gadis itu maju dan berlutut di depan Hong Tan Tosu dan terdengar suara halus merdu dari bibirnya yang merah.“Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, suhu?”

Tosu tua itu tersenyum, agaknya bangga kepada muridnya yang selain manis juga amat berbakti ini. “Kui Eng, engkau belum pernah bertemu dengan susiokmu (paman gurumu) Pouw Kui Lok karena ketika tiga tahun yang lalu dia datang, engkau sedang memperdalam ilmu di Kun-lun- san. Nah, ini dia, berilah hormat kepada paman gurumu.” Tosu itu menuding kepada Pouw Kui Lok yang memandang kagum kepada murid keponakannya yang baru sekali ini dilihatnya.

Gadis bernama Can Kui Eng itu bangkit dan menoleh kepada Pouw Kui Lok. Biarpun ia seorang gadis dewasa dan paman gurunya itu ternyata masih muda, namun ia tidak kelihatan canggung atau malu-malu. Sambil tersenyum sopan ia memberi hormat kepada Pouw Kui Lok.

“Pouw-susiok, terimalah hormatnya Can Kui-Eng, murid keponakanmu.”

Kui Lok cepat membalas penghormatan itu. “Ah, kiranya suheng mempunyai seorang murid perempuan yang begini gagah. Dan sudah pernah digembleng di Kun-lun- san pula? Nona....”

“Susiok, seorang paman guru tidak menyebut nona kepada murid keponakannya.” Gadis itu memotong dan wajah Kui Lok menjadi merah. Biarpun usianya sudah dua puluh tiga tahun kurang lebih, akan tetapi pengalamannya terhadap wanita masih nol.

“Baiklah, Kui Eng. Dan perkenalkan ini adalah suhengku sendiri, akan tetapi bukan saudara seperguruan di Kun-lun-pai, melainkan dari guru lain, namanya Louw Tek Ciang.”

Kui Eng memberi hormat pula dan sepasang matanya yang bening itu memandang penuh selidik, lalu alisnya agak berkerut. Ada sesuatu pada pandang mata pria ini yang membuat ia merasa tidak enak dan gelisah. Tek Ciang menyambut penghormatan itu dengan senyum memikat.

“Kui Eng, engkau kupanggil dan kuberi tugas. Engkau bersama susiokmu bertugas untuk menjaga dan mengamati agar Louw-sicu dapat mempelajari kitab Sin- liong Ho-kang dengan tenang di dalam kamar perpustakaan selama satu bulan. Dan kitab itu sama sekali tidak boleh dibawa keluar dari dalam kamar perpustakaan....”

“Sin-liong Ho-kang....?” Gadis itu terbelalak dan menatap wajah suhunya dengan penuh kekagetan dan penasaran. “Dia.... sicu ini hendak mempelajari ilmu larangan itu....? Tapi, tapi, suhu....”

“Kui Eng, sudahlah. Ini adalah urusan dan tanggung jawah pinto sendiri. Engkau tentu yakin bahwa semua keputusan yang pinto ambil sudah melalui pertimbangan yang matang. Sekarang engkau tinggal melaksanakan tugas jaga bergiliran dengan susiokmu, menjaga agar Louw- sicu ini memenuhi janjinya, mempelajari kitab itu hanya selama satu bulan dan tidak boleh membawa kitab itu keluar dari dalam ruangan perpustakaan.”

“Baik, suhu! Akan teecu jaga agar dia tidak melanggar janjinya!” Ucapan yang bernada keras ini saja sudah membuktikan bahwa di dalam hatinya, gadis itu merasa tidak senang kepada Louw Tek Ciang dan juga merasa tidak senang melihat betapa suhunya mengijinkan orang luar mempelajari ilmu larangan itu, padahal setiap orang murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajarinya. Akan tetapi Louw Tek Ciang menghadapi sikap gadis ini dengan senyum ramah saja.

Demikianlah, terhitung mulai hari itu, Tek Ciang mulai memasuki ruangan perpustakaan dan membuka-buka kitab kuno yang sudah kekuningan itu, mempelajari ilmu yang dinamakan Sin-liong Ho-kang. Ilmu ini berdasarkan kekuatan khi-kang yang keluar dari pusar, mengerahkan tenaga khi-kang ini melalui suara gerengan yang mengandung getaran amat kuatnya. Ilmu ini serupa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang dan sebagainya, kekuatan yang terkandung dalam gerengan dan auman binatang-binatang buas yang melumpuhkan korban hanya dengan suara gerengan dahsyat itu, akan tetapi Sin-liong Ho-kang ini lebih hebat lagi. Bukan hanya getaran hebat yang terkandung dalum gerengan dahsyat menggelegar, akan tetapi juga siapa yang sudah menguasainya dengan baik, akan dapat mengeluarkan suara dari jauh, mengirim suara dari jauh untuk dapat didengar oleh orang yang ditujunya saja tanpa didengar orang lain. Bahkan yang menguasai ilmu itu dapat mengeluarkan suara yang tinggi melengking sampai hampir tidak terdengar, akan tetapi semakin halus suara itu, makin hebatlah getarannya dan amat berbahaya bagi lawan! Akan tetapi, Tek Ciang mendapatkan kenyataan bahwa untuk dapat menguasai ilmu ini secara sempurna, dibutuhkan waktu yang lama, sedikitnya setengah tahun! Maka diapun segera mempelajari teori-teorinya saja untuk dilatih kelak. Memang dia licik dan cerdik. Tahulah dia bahwa tosu tua itu menggunakan akal. Pada lahirnya saja memberi ijin kepadanya untuk mempelajari ilmu itu, akan tetapi pada hakekatnya tosu itu berkeberatan. Buktinya dia hanya diberi waktu satu bulan, waktu yang hanya cukup untuk menghafal teori atau isi kitab. Juga larangan berlatih di luar kamar perpustakaan merupakan bukti bahwa tosu itu memang berkeberatan dia menguasai ilmu larangan itu karena untuk dapat berlatih, orang membutuhkan udara terbuka, bukan dalam kamar.

“Tua bangka sialan!” gerutunya, akan tetapi tentu saja Tek Ciang tidak menyatakan sesuatu kepada Kui Lok, apalagi kepada Kui Eng, gadis yang bertugas menjaga dan mengamatinya itu.

Penjagaan itu dilakukan secara bergilir oleh Kui Lok dan murid keponakannya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa Kui Eng memang seorang murid Kun-lun-pai yang lincah dan cekatan, memiliki gin-kang yang mengagumkan dan ilmu pedangnya juga lihai. Kalau Kui Lok hanya melakukan penjagaan untuk patut-patut saja karena dia sudah tentu saja amat percaya kepada Tek Ciang dan tidak berjaga dengan sesungguhnya, tidak demikian dengan gadis itu. Kui Eng berjaga dengan amat waspada dan sungguh-sungguh, seolah-olah ia menganggap bahwa Tek Ciang seorang yang tidak dapat dipercaya dan amat perlu diawasi! Melihat sikap gadis ini, diam-diam Tek Ciang mendongkol sekali dan diapun bersikap hati-hati, tidak berani melanggar janjinya terhadap ketua cabang Kun-lun-pai itu.Kurang lebih sepuluh hari sudah Tek Ciang dengan tekun mempelajari ilmu dari kitab kuno itu, hanya meninggalkan ruangan perpustakaan tanpa kitab itu kalau ada keperluan makan atau mandi dan ke belakang saja. Bahkan tidurpun dia lakukan di dalam ruangan itu! Pada suatu malam pelajaran dalam kitab itu sudah sampai pada bagian cara berlatih menghimpun tenaga khi-kang yang harus dilakukan di udara terbuka, di bawah sinar bulan purnama! Dan malam itu kebetulan bulan sedang purnama, jadi sesungguhnya amat tepat untuk memulai latihan di luar kuil! Akan tetapi, hatinya merasa penasaran dan mendongkol sekali karena dia sudah terikat oleh janji dan pada malam itu, yang melakukan perjagaan adalah gadis yang amat tekun mengamatinya itu!

“Sialan....!” gerutunya dalam hati. Kalau bukan gadis itu yang berjaga, tentu dia akan dapat menyelinap keluar barang satu dua jam untuk mempraktekkan ajaran dalam kitab, yaitu cara menghimpun tenaga khi-kang di bawah sinar bulan purnama.

“Mengapa tidak?” Demikian hatinya berbisik. “Gadis itu, bagaimanapun juga hanyalah murid keponakan Pouw Kui Lok, masih amat muda dan kepandaiannyapun tidak berapa tinggi.”

Pikiran ini membuat Tek Ciang mulai gelisah. Kalau dia dapat menggunakan ilmunya untuk menyelinap tanpa diketahui, atau membuat gadis tidak berdaya untuk beberapa lama, misalnya dengan menotoknya pingsan, bukankah dia memperoleh banyak kesempatan untuk mencoba degan latihan menghimpun khi-kang.

Tek Ciang memperhatikan sekeliling. Biasanya, gadis itu berjaga di luar perpustakaan, berkeliaran di sekitar kamar perpustakaan, terutama sekali di depan pintu, dan di depan jendela. Akan tetapi keadaan sekeliling kamar itu kini sepi saja. Dengan menahan napas, Tek Ciang dapat mengikuti setiap gerakan di luar kamar itu dengan pendengarannya yang terlatih. Sunyi. Tidak ada orang di luar kamar itu! Ke mana perginya gadis itu, pikirnya dan diapun mulai bangkit dan berindap-indap ke jendela, mengintai ke luar. Sepi sekali dan cuaca amat indahnya, karena sinar bulan purnama membuat malam itu terang dan sejuk.

Setelah memyimpan kitab itu, Tek Ciang keluar dari dalam kamar perpustakaan. Dia tidak berani membawa kitab itu keluar sebelum dia yakin benar bahwa tidak ada orang melihatnya. Akan tetapi benar-benar sunyi, tidak nampak bayangan Kui Eng. Malam itu sudah menjelang tengah malam dan tentu penghuni lainnya sudah tidur. Ke mana perginya gadis itu? Benarkah sekali ini Kui Eng meninggalkannya dan tidak mengawasinya?

Akan tetapi ketika dia keluar dari kuil, dia melihat dua bayangan berkelebat ke samping kuil di mana terdapat sebuah kebun dan ladang yang penuh dengan pohon-pohon buah dan tanaman sayuran. Tek Ciang merasa curiga karena gerakan dua orang yang amat cepat itu mengandung rahasia. Kalau orang Kun-lun-pai, kenapa harus menyelinap ke tempat gelap? Diapun menggunakan kepandaiannya, menyelinap dan memasuki kebun itu sambil mencurahkan perhatian. Akhirnya dia melihat dua orang berdiri berhadapan di bawah pohon dan dia cepat menyelinap mendekati dan mengintai.

Kiranya seorang di antara mereka adalah Kui Eng! Dan gadis itu berada dalam pelukan seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan gagah. Tek Ciang tersenyum sinis. Hemm, pikirnya, kiranya gadis itu meninggalkannya untuk berpacaran di kebun ini! Akan tetapi, ketika dia mendengarkan percakapan mereka yang bisik-bisik itu, dia tertarik dan lupa akan pertemuan mesra itu.

“Eng-moi, urusan ini tidak bisa ditunda lagi. Pertemuan rahasia itu akan diadakan dua minggu lagi di hutan cemara sebelah selatan kota raja. Dan engkau harus menghadiri bersamaku. Penting sekali, Eng-moi.”

“Aih, Koan-koko, betapa inginku pergi bersamamu menghadiri pertemuan para pendekar patriot itu di sana. Memang inilah saatnya para pendekar harus membebaskan tanah air dari penjajah Bangsa Mancu! Akan tetapi, ahh.... orang she Louw yang menjemukan itu....!”

“Siapa? Mengapa? Apa yang terjadi sehingga engkau begini lama bertahan di kuil suhumu ini?”

“Tanpa kusangka-sangka, datang susiokku bersama seorang temannya di kuil ini dan dia oleh suhu diperbolehkan untuk mempelajari Sin-liong Ho-kang selama satu bulan. Dan aku diberi tugas mengawasinya agar dia tidak melatih ilmu itu di luar ruangan perpustakaan. Aku tidak dapat meninggalkan tugas ini dan baru berjalan dua belas hari, masih delapan belas hari lagi....”

“Kalau begitu akan terlambat!”

“Harus bagaimana, koko, aku tidak mungkin dapat meninggalkan tugas ini. Dan berterus terang kepada suhu juga berbahaya. Sudah kukatakan kepadamu bahwa Kun-lun- pai masih bersikap ragu-ragu, belum mau menyambut rencana pemberontakan para patriot yang hendak mengenyahkan para penjajah itu.”

Mendengar suara gadis itu yang demikian kecewa dan berduka, si pemuda lalu mendekapnya dan mencium pipinya dengan mesra, dengan sikap menghibur. “Sudahlah, Eng-moi, tak perlu engkau berduka. Biarlah aku yang akan menghadiri pertemuan itu dan kelak kusampaikan semua hasilnya kepadamu. Masih ada tugas untukmu dari kawan- kawan. Biarpun engkau tidak akan dapat menghadiri pertemuan itu, akan tetapi biarlah kuserahkan tugas yang lebih penting lagi kepadamu, setelah engkau bebas dari tugasmu di sini.”

“Tugas apakah itu, koko?” Si gadis nampak bersemangat.

“Begini....” Suara itu kini bisik-bisik perlahan, akan tetapi masih dapat tertangkap oleh pendengaran Tek Ciang yang amat tajam. “....ini ada surat untuk Gan- ciangkun, seorang panglima yang mendukung para patriot. Surat ini membujuk Gan-ciangkun untuk mencari akal guna menarik jenderal Muda Kao Cin Liong menjadi sekutu kita, atau kalau dia menolak, agar dicarikan akal supaya jenderal itu dapat dienyahkan. Karena, selama dia masih mendukung kaisar, gerakan kawan-kawan kita akan terhalang. Nah, surat ini penting sekali, bukan? Dengan begitu, biarpun engkau tidak dapat hadir dalam pertemuan itu, tugasmu ini bahkan lebih penting lagi.”

“Aih, Koan-ko.... tapi.... tapi aku.... tugas ini demikian besar dan aku.... ih, gemetar tanganku dan berdebar jantungku, kau pikir aku.... cukup berharga untuk tugas sepenting itu?”

Kembali pemuda itu menciumnya, lalu melepaskan pelukannya, mengambil sesampul surat dan menyerahkan sampul panjang itu kepada Kui Eng. “Sudahlah, Eng-moi. Engkaulah orang yang paling tepat untuk menyampaikan surat itu. Tidak akan ada orang lain mencurigaimu, dan sekarang kita harus berpisah....”

“Koan-ko, baru saja kita bertemu.... aku masih rindu....”“Ssttt, sayang, bersabarlah. Kita sudah berjanji akan menikah kalau perjuangan ini selesai bukan? Nah, selamat tinggal dan simpan baik-baik surat itu.” Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu berkelebat dan lenyap di balik bayangan pohon-pohon. Kui Eng menoleh ke kanan kiri, lalu menyimpan surat di balik bajunya dan pergi dari situ. Ketika dara ini tiba di luar ruangan perpustakaan dan menjenguk dari jendela, ia melihat Tek Ciang masih sibuk membaca kitab!

Ketika ia hendak meninggalkan jendela itu, Tek Ciang menoleh dan sambil tersenyum berkata, “Nona masuklah sebentar.”

Kui Eng mengerutkan alisnya. Ia menaruh curiga kepada orang yang sinar matanya berkilat dan kalau memandang kepadanya jelas membayangkan nafsu dan kurang ajar itu. Beraninya orang ini menyuruh ia masuk!

“Ada urusan apakah?” tanyanya dari luar jendela sambil memandang tajam.
“Masuklah, nona, aku mengetahui sesuatu yang amat penting tentang Koan-kokomu itu!”

Wajah yang manis itu seketika menjadi pucat, lalu merah dan tanpa banyak bicara lagi sekali loncat ia sudah melayang masuk ke ruangan itu melalui jendela yang terbuka, berdiri di depan Tek Ciang dengan kedua tangan bertolak pinggang. “Apa kau bilang? Koan-koko siapa yang kau maksudkan itu?”

Tek Ciang bangkit berdiri menghadapi nona itu sambil tersenyum lebar. “Nona manis, tak perlu berpura- pura lagi. Lebih baik kauserahkan saja surat untuk Gan- ciangkun itu kepadaku!”

Seketika wajah gadis itu menjadi pucat dan di lain saat dara itu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Akan tetapi, baru saja pedang tercabut, tubuhnya sudah terkulai lemas karena secepat kilat Tek Ciang sudah mendahuluinya, menotok jalan darahnya membuat Kui Eng roboh lemas tak mampu berkutik lagi. Tek Ciang menyambut pedangnya sebelum senjata itu jatuh ke atas lantai dan diapun menotok jalan darah di leher gadis itu untuk mencegah gadis itu mengeluarkan suara. Lalu direbahkannya tubuh gadis itu ke atas lantai. Kui Eng tidak pingsan, hanya tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara. Gadis itu hanya memandang saja ketika jari- jari tangan yang nakal itu membukai kancing bajunya dan nampaklah sampul surat panjang itu di atas buah dadanya yang tidak tertutup lagi. Tek Ciang mengambil sampul surat itu sambil tersenyum lebar dan cepat memasukkan sampul surat itu ke dalam saku jubahnya.

“Hemm, nona manis, engkau dapat bicara apa lagi sekarang? Engkau pemberontak hina, ya?” Dan secara kurang ajar sekali, bukan karena tertarik melainkan karena ingin menggoda dan menghina gadis itu, tangannya menggerayangi tubuh orang.

Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Kui Lok telah berdiri di situ dengan mata terbelalak melihat Tek Ciang jongkok di dekat tubuh Kui Eng yang bajunya sudah terbuka sehingga nampak dadanya.

“Louw-suheng, apa.... apa artinya ini....?” Dia begitu kaget dan heran sehingga sukar mengeluarkan kata-kata.

“Sute, nanti saja kuceritakan. Ia terluka, yang penting sekarang kita harus mengobatinya lebih dulu. Penjahat datang melukainya dan aku hanya berhasil mengusir penjahat itu. Lekas kauperiksa nona Kui Eng, sute....”

Pouw Kui Lok terkejut mendengar itu dan kecurigaannya terhadap suhengnya itu lenyap. Dengan penuh khawatir dia berjongkok dan memeriksa tubuh keponakan muridnya dengan teliti. Akan tetapi hatinya lega mendapat kenyataan bahwa Kui Eng tidak terluka, hanya merasa heran bukan main karena ternyata gadis itu lumpuh dan gagu karena tertotok. Kui Lok mengerahkan tenaganya dan hendak menotok dan mengurut leher dan punggung gadis itu agar totokannya terbebas. Akan tetapi pada saat itu ada angin menyambar dahsyat dari belakang kepalanya.

“Wuuuttt.... crettt....!” Jari tangan yang amat kuat itu memyambar dan menusuk ke arah tengkuk Kui Lok.

Kui Lok terkejut sekali dan berusaha mengelak, akan tetapi karena pada saat itu dia sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada murid keponakannya yang sedang dia coba untuk membebasan totokannya, dan karena serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dari jarak sangat dekat, biarpun ia sudah mengelak, tetap saja jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan mengenai bawah tengkuknya. Kui Lok terpelanting dan hanya dapat mengeluarkan suara “Oughhh....?” dan iapun tak sadarkan diri. Demikian hebatnya ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang di pergunakan Tek Ciang untuk memukul sutenya sendiri. Biarpun pukulan itu tidak mengenai sasaran dengan tepat, namun pukulan pada pangkal tengkuk itu mengguncangkan isi kepala dan pendekar Kun-lun-pai itupun roboh pingsan.

Tek Ciang terpaksa memukul sutenya karen dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi dari kenyataan tentang surat yang dirampasnya. Kini ia menghadapi keadaan yang amat gawat. Dia harus bertindak cerdik, pikirnya dan sepasang matanya bergerak liar ketika otaknya diperas untuk mencari akal agar dia dapat mengatasi kegawatan ini dengan selamat. Lalu nampak dia menyeringai kejam, kemudian diapun mengayunkan lagi jari tangannya, dengan ilmu pukulan keji Kiam-ci dia menotok ke arah pelipis kepala Pouw Kui Lok. Kelihatannya hanya perlahan saja totokannya itu, akan tetapi tubuh Kui Lok terkulai karena pada saat itu juga dia telah tewas! Sungguh menyedihkan sekali bahwa seorang pendekar demikian gagahnya seperti Kui Lok terpaksa harus mati konyol, mati secara mengecewakan sekali di bawah tangan suhengnya sendiri yang keji dan curang. Setelah mendapat kenyataan bahwa sutenya telah tewas, Tek Ciang menyeringai, kini membalik kepada Kui Eng yang biarpun dalam keadaan tidak berdaya, tidak mampu bergerak maupun bersuara, dapat menyaksikan semua peristiwa itu dengan muka pucat sekali. Kini manusia yan sudah seperti kemasukan iblis jahat itu menubruk.

Hati Kui Eng menjerit, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya dan biarpun ia ingin meronta dan melawan, namun kaki tangannya lemas dan hanya mampu bergerak-gerak sedikit saja.

Terjadilah perbuatan yang amat terkutuk, perbuatan yang bagi Tek Ciang biasa saja karena diapun sudah amat terlatih untuk melakukan perkosaan terhadan wanita- wanita semenjak dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok!

Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati Can Kui Eng yang dalam keadaan sadar namun tidak mampu bergerak ini menghadapi malapetaka yang menimpa dirinya. Ia diperkosa tanpa dapat bergerak maupun berteriak. Malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut. Gadis itu tidak kuat menahan kehancuran hatinya dan iapun pingsan dan hal ini baik baginya karena ia tidak tahu atau merasakan lagi apa yang diperbuat manusia iblis itu terhadap dirinya.

Setelah selesai dengan perbuatannya yang amat terkutuk itu, Tek Ciang melanjutkannya dengan kekejaman yang lebih hebat lagi. Dia mencabut pedang gadis itu, menaruh gagang pedang dalam kepalan tangan kanan Kui Eng, kemudian dia memaksa tangan yang mengepal gagang pedang itu untuk menusukkan pedang ke dada sendiri. Sungguh amat kasihan nasib gadis itu. Baru saja ia mengalami perkosaan yang menghancurkan hati dan kini ia dipaksa untuk membunuh diri! Pedangnya sendiri, didorong oleh Tek Ciang, menusuk dan menembus dada sendiri. Darah bercucuran dan tubuh itu berkelojot sedikit lalu rebah dan tewas. Baiknya gadis itu mengalami semua itu dalam keadaan pingsan sehingga mengurangi penderitaannya.

Tek Ciang menyeringai puas. Dia lalu membuka-buka pakaian yang menempel di tubuh jenazah Kui Lok, mengawut-awut rambut mayat itu sehingga keadaan pemuda itu seperti orang yang baru saja melakukan perkosaan. Tek Ciang sendiri sudah merapikan pakaian dan rambutnya, dan setelah memeriksa lagi dengan teliti keadaan dua mayat itu, dia lalu berteriak-teriak sambil meloncat keluar ruangan perpustakaan.

“Tolong....! Pembunuhan....! Tolonggg....!” Dia melakukan ini setelah menyambar kitab pelajaran Sin- liong Ho-kang dan bersama surat dalam sampul untuk Panglima Gan di kota raja dia menyembunyikan di tempat aman, yaitu di balik baju dalamnya.

Teriakan-teriakannya itu mengejutkan semua penghuni kuil dan berserabutanlah para tosu berlari keluar dari kamar masing-masing. Juga Hong Tan Tosu sendiri nampak berlari-lari datang ke tempat itu. Dengan muka pucat Tek Ciang menutupi muka sendiri dan membiarkan para tosu itu melihat sendiri dua tubuh yang sudah menjadi mayat menggeletak di lantai kamar penpustakaan.

Tentu saja kematian Pouw Kui Lok dan Can Kui Eng amat mengejutkan mereka semua, terutama sekali Hong Tan Tosu. Kakek ini memandang dengan muka pucat sekali. Sutenya telah tewas dan nampaknya tidak mengalami luka, sedangkan muridnya yang terkasih menggeletak mandi darah, dadanya tertembus pedang sendiri dan tangan kanannya masih memegang gagang pedang itu. Dilihat sepintas lalu saja jelaslah bahwa gadis itu telah membunuh diri dengan pedang sendiri. Dan melihat keadaan pakaian Kui Eng yang hampir telanjang bulat, dan pakaian Kui Lok yang setengah telanjang, tidak sukar diduga apa yang terjadi antara kedua orang itu. Inilah yang membuat Hong Tan Tosu pucat dan penasaran. Sutenya berjina dengan muridnya? Ah, dia tidak percaya akan hal itu. Sutenya adalah seorang pendekar sejati, dan muridnya juga seorang murid yang patuh. Akan tetapi, agaknya kenyataan menunjukkan demikian.

“Louw-sicu, apakah yang telah terjadi? Apakah yang terjadi dalam kamar ini?” Akhirnya dia menghampiri Tek Ciang dan mengguncang pundak pemuda yang masih menangis itu.

Dengan mata merah karena tangis, atau lebih tepat karena dia gosok-gosok dengan punggung tangan, Tek Ciang memandang tosu itu dengan muka sedih sekali. “Ah, totiang, bagaimana aku harus bercerita? Aihhh.... mengapa hal ini menimpa diri kami? Aku.... aku telah membunuh Pouw-sute yang kusayang.... ah, totiang, kalau aku berdosa, silahkan totiang menjatuhkan hukuman kepadaku....” Diapun terisak menangis.

Tosu tua itu mengerutkan alisnya. “Siancai.... segala hal telah terjadi. Sebelum tahu apa yang terjadi dan apa sebabnya, pinto tidak dapat menghakimi. Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di sini dan mengapa pula engkau membunuh Pouw-sute?”

“Totiang, sungguh aku masih merasa bingung dan tidak tahu mengapa sute tiba-tiba saja dapat melakukan semua itu seperti orang kemasukan setan! Karena aku merasa telah setelah membaca kitab sejak pagi, aku pergi keluar untuk mencari hawa sejuk. Kitab kutinggalkan di atas meja dan akupun berjalan-jalan di luar kuil, bahkan sampai ke luar dusun, sampai tubuh terasa segar kembali. Kurang lebih satu setengah jam aku pergi meninggalkan kuil. Ketika aku kembali, aku terkejut sekali melihat sute.... sute....” Dia berhenti dan menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Siancai....! Lanjutkanlah, sicu dan kuatkan hatimu,” kata tosu tua itu hampir tidak sabar.

“Dia.... dia telah memperkosa nona Kui Eng! Begitu saja, di atas lantai kamar perpustakaan ini. Entah sebelum itu apa yang terjadi aku tidak tahu. Setahuku hanya bahwa mereka melakukan penjagaan seperti yang totiang perintahkan. Ah, masih ngeri dan bingung aku mengenang semua itu....”

“Lanjutkan, sicu. Lanjutkan....!” Hong Tan Tosu mendesak sedangkan para tosu lain yang menjadi pengurus kuil juga ikut mendengarkan dengan muka pucat. Mereka tidak pernah menyangka bahwa peristiwa memalukan seperti ini akan dapat terjadi di kuil mereka. Suatu aib yang amat mencemarkan.

“Ketika aku datang, Pouw-sute sudah mengakhiri perbuatannya yang biadab itu. Tentu saja aku langsung menegurnya, akan tetapi dia malah marah dan menyerangku seperti orang gila. Totiang maklum betapa lihainya sute, maka akupun terpaksa melayaninya dan pada saat itu, aku melihat nona Kui Eng mengeluarkan pedang dan membunuh diri. Melihat ini, aku menjadi marah sekali kepada sute yang masih menyerangku, maka akupun lalu membalas serangannya dan akhirnya aku berhasil memukulnya roboh. Bukan niatku membunuhnya, akan tetapi.... ah, dia terlalu kuat untuk dapat dirobohkan begitu saja....”

Hong Tan Tosu menunduk dan memandang kepada dua mayat yang masih menggeletak di situ. Di dalam hatinya dia meragukan kebenaran cerita Tek Ciang. Ingin dia berteriak untuk menyangkal, tidak percaya akan apa yang diceritakan mengenai perbuatan Kui Lok. Akan tetapi, apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, keadaan dua mayat itu, jelas merupakan kenyataan akan kebenaran cerita Tek Ciang. Melihat keadaan pakaian mereka, dan melihat pedang yang menusuk dada Kui Eng sendiri sedangkan tangan gadis itu menggenggam gagangnya, merupakan bukti yang sukar untuk disangkal.

“Dan yang lebih mengejutkan hatiku, totiang, kitab Sin-liong Ho-kang yang tadinya kutinggalkan di atas meja telah lenyap....” “Apa....?” Kini tosu tua itu benar-benar terkejut dan pandang matanya kepada Tek Ciang penuh keraguan dan kecurigaan. “Sicu, harap jangan main-main. Engkaulah yang selama ini membaca kitab itu! Mengenai muridku dan suteku, katakanlah ada buktinya sehingga ceritamu dapat pinto percaya. Akan tetapi hilangnya kitab Sin-liong Ho-kang, bagaimana cara membuktikannya bahwa benar-benar kitab itu hilang? Dan siapa yang akan dapat mengambilnya?”

Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia bangkit berdiri. “Totiang, aku bukanlah orang yang tidak mau bertanggung jawab. Aku yakin bahwa kitab itu tentu ada yang mengambilnya, tentu sebelum aku kembali ke dalam kamar ini. Bahkan aku mempunyai dugaan yang amat menyakitkan hati.”

“Hemm, dugaan apakah?”

“Mau tidak mau aku harus menduga bahwa memang Pouw-sute telah kemasukan iblis, telah berobah sama sekali. Agaknya dia sendiri yang menyembunyikan kitab itu, kemudian dia melakukan perbuatan terkutuk terhadap nona Kui Eng di kamar ini. Agaknya memang dia sengaja melakukan semua itu dengan maksud untuk menjatuhkan fitnah atas diriku kemudian, dengan menuduh aku menyembunyikan kitab dan memperkosa nona Kui Eng. Untung aku datang lebih dulu sehingga memergoki perbuatannya yang laknat itu....”

“Louw-sicu! Jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap sute yang sudah tidak ada! Apa buktinya bahwa dia yang menyembunyikan kitab?”

“Memang tidak ada buktinya, totiang. Akan tetapi aku akan mencarinya, dan aku bersumpah bahwa aku akan menemukan kitab itu dan mengembalikannya kepadamu. Nah, selamat tinggal!” Tek Ciang lalu meloncat ke luar dan dalam sekejap mata saja diapun lenyap dari situ. Hong Tan Tosu ingin mencegah, akan tetapi dia maklum bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu menyusul pemuda itu, apalagi menandinginya. Pula, apa alasannya untuk menahan Tek Ciang yang sudah bersumpah untuk mencari dan mengembalikan kitab? Diapun hanya dapat menyesal dan berduka, lalu menyuruh anak buahnya untuk mengurus kedua jenazah.



***



Apa yang disampaikan pemuda tinggi besar yang menjadi pacar Kui Eng kepada gadis itu memang benar dan sudah menjadi rahasia para patriot yang hendak mengadakan pertemuan untuk mulai mengatur pergerakan mereka dan mengangkat seorang bengcu (pemimpin rakyat) agar perjuangan mereka dapat teratur dan tidak simpang siur. Pemuda tinggi besar itu adalah seorang pendekar muda she Kwee dari perguruan Kong-thong-pai yang bertemu dan berkenalan dengan Kui Eng dalam perantauan, di mana keduanya secara kebetulan menghadapi dan menentang gerombolan perampok yang mengganas di sebuah dusun. Perkenalan itu disusul dengan rasa cinta kedua pihak. Sebagai seorang pendekar muda yang penuh semangat mendukung gerakan para patriot yang hendak menumbangkan kekuasaan penjajah, sebentar saja Kwee Cin Koan, demikian nama murid Kong-thong-pai itu, memperoleh kepercayaan di antara para tokoh patriot dan karena itu, tidak mengherankan kalau dia menerima tugas menghubungi Gan-ciangkun melalui sepucuk surat. Dan tidak aneh pula kalau Cin Koan mengoperkan tugas itu kepada Kui Eng, kekasihnya yang agaknya tidak mempunyai kesempatan hadir dalam pertemuan para pendekar dan patriot. Tentu saja sama sekali pendekar ini tidak pernah membayangkan bahwa kekasihnya akan tertimpa malapetaka demikian hebatnya sampai menewaskannya.

Di sebelah selatan kota raja terdapat hutan-hutan yang cukup lebat, yang berkelompok-kelompok di sepanjang kaki Pegunungan Tai-hang-san, berbaris seperti benteng sebelah barat. Dan di antara hutan- hutan ini terdapatlah sebuah hutan yang berada di atas bukit, penuh dengan pohon cemara dan karena itu maka hutan ini dinamakan Hutan Cemara. Hutan Cemara tidak begitu disuka oleh binatang-binatang hutan, karena selain kurang rimbun, juga cemara tidak menghasilkan sesuatu yang dapat dimakan, buahnya tidak, daun maupun batangnyapun tidak. Karena itu hutan ini sunyi dari binatang, bahkan jarang terdapat burung-burung di situ, kecuali burung yang terbang lewat. Hutan-hutan lain yang mempunyai tumbuh-tumbuhan liar dan lebat, dengan semak-semak belukar dan rimbun, penuh dengan binatang- binatang dan para pemburu juga lebih suka berkeliaran di dalam hutan-hutan liar ini untuk berburu binatang. Pencari-pencari kayupun jarang memasuki hutan pohon cemara yang dibiarkan sunyi dan kering, jarang sekali nampak ada orang memasuki hutan ini.

Akan tetapi justeru kesunyian hutan inilah yang membuat para patriot yang hendak mengadakan pertemuan memilih tempat ini. Tempat itu selain sunyi, juga jauh dari kota maupun dusun. Dan di sekitar pegunungan itu terdapat banyak hutan liar di mana para pemburu suka berkeliaran sehingga kedatangan para pendekar di tempat seperti itu tidak akan menimbulkan perhatian.

Pada hari itu, tempat yang amat sunyi itu nampak ramai dengan hilir mudiknya orang-orang yang datang dari segala jurusan. Dan mereka ini adalah pendekar- pendekar dan orang-orang gagah, dapat dikenal dari pakaian dan sikap mereka. Ada pula yang berpakaian aneh-aneh dan nyentrik, berpakaian pertapa, sasterawan, bahkan ada yang berpakaian pengemis! Biarpun di antara mereka belum terbentuk suatu perkumpulan dan belum teratur, akan tetapi mereka semua sudah maklum sendiri dan mereka datang ke tempat itu tidak secara berkelompok sehingga tidak menyolok mata dan tidak menarik perhatian. Dan rata-rata mereka berwajah gembira karena selain menghadiri suatu pertemuan antara patriot yang sehaluan, juga mereka itu mendapatkan kesempatan untuk saling berkenalan dan bertemu dengan tokoh-tokoh yang namanya sudah lama mereka kagumi.Di antara banyak pendekar tua muda laki perempuan yang berdatangan ke tempat itu, kelihatan seorang pemuda berusia paling banyak dua puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa. Wajahnya selalu tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan dia kelihatan periang dan lincah jenaka. Tidak ada seorangpun di antara para pendekar yang mengenal pemuda ini dan memang tidak aneh karena pemuda ini adalah seorang tokoh baru yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw dan namanya masih belum dikenal orang banyak. Akan tetapi kalau orang mengetahui siapa dia, tentu dia akan menjadi pusat perhatian karena pemuda ini adalah seorang keturunan Para Pendekar Pulau Es. Dia adalah Suma Ceng Liong, yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, bahkan telah pula digembleng oleh raja iblis Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun!

Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia bangkit berdiri. “Totiang, aku bukanlah orang yang tidak mau bertanggung jawab. Aku yakin bahwa kitab itu tentu ada yang mengambilnya, tentu sebelum aku kembali ke dalam kamar ini. Bahkan aku mempunyai dugaan yang amat menyakitkan hati.”

“Hemm, dugaan apakah?”

“Mau tidak mau aku harus menduga bahwa memang Pouw-sute telah kemasukan iblis, telah berobah sama sekali. Agaknya dia sendiri yang menyembunyikan kitab itu, kemudian dia melakukan perbuatan terkutuk terhadap nona Kui Eng di kamar ini. Agaknya memang dia sengaja melakukan semua itu dengan maksud untuk menjatuhkan fitnah atas diriku kemudian, dengan menuduh aku menyembunyikan kitab dan memperkosa nona Kui Eng. Untung aku datang lebih dulu sehingga memergoki perbuatannya yang laknat itu....”

“Louw-sicu! Jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap sute yang sudah tidak ada! Apa buktinya bahwa dia yang menyembunyikan kitab?”

“Memang tidak ada buktinya, totiang. Akan tetapi aku akan mencarinya, dan aku bersumpah bahwa aku akan menemukan kitab itu dan mengembalikannya kepadamu. Nah, selamat tinggal!” Tek Ciang lalu meloncat ke luar dan dalam sekejap mata saja diapun lenyap dari situ. Hong Tan Tosu ingin mencegah, akan tetapi dia maklum bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu menyusul pemuda itu, apalagi menandinginya. Pula, apa alasannya untuk menahan Tek Ciang yang sudah bersumpah untuk mencari dan mengembalikan kitab? Diapun hanya dapat menyesal dan berduka, lalu menyuruh anak buahnya untuk mengurus kedua jenazah.

***

Apa yang disampaikan pemuda tinggi besar yang menjadi pacar Kui Eng kepada gadis itu memang benar dan sudah menjadi rahasia para patriot yang hendak mengadakan pertemuan untuk mulai mengatur pergerakan mereka dan mengangkat seorang bengcu (pemimpin rakyat) agar perjuangan mereka dapat teratur dan tidak simpang siur. Pemuda tinggi besar itu adalah seorang pendekar muda she Kwee dari perguruan Kong-thong-pai yang bertemu dan berkenalan dengan Kui Eng dalam perantauan, di mana keduanya secara kebetulan menghadapi dan menentang gerombolan perampok yang mengganas di sebuah dusun. Perkenalan itu disusul dengan rasa cinta kedua pihak. Sebagai seorang pendekar muda yang penuh semangat mendukung gerakan para patriot yang hendak menumbangkan kekuasaan penjajah, sebentar saja Kwee Cin Koan, demikian nama murid Kong-thong-pai itu, memperoleh kepercayaan di antara para tokoh patriot dan karena itu, tidak mengherankan kalau dia menerima tugas menghubungi Gan-ciangkun melalui sepucuk surat. Dan tidak aneh pula kalau Cin Koan mengoperkan tugas itu kepada Kui Eng, kekasihnya yang agaknya tidak mempunyai kesempatan hadir dalam pertemuan para pendekar dan patriot. Tentu saja sama sekali pendekar ini tidak pernah membayangkan bahwa kekasihnya akan tertimpa malapetaka demikian hebatnya sampai menewaskannya.

Di sebelah selatan kota raja terdapat hutan-hutan yang cukup lebat, yang berkelompok-kelompok di sepanjang kaki Pegunungan Tai-hang-san, berbaris seperti benteng sebelah barat. Dan di antara hutan- hutan ini terdapatlah sebuah hutan yang berada di atas bukit, penuh dengan pohon cemara dan karena itu maka hutan ini dinamakan Hutan Cemara. Hutan Cemara tidak begitu disuka oleh binatang-binatang hutan, karena selain kurang rimbun, juga cemara tidak menghasilkan sesuatu yang dapat dimakan, buahnya tidak, daun maupun batangnyapun tidak. Karena itu hutan ini sunyi dari binatang, bahkan jarang terdapat burung-burung di situ, kecuali burung yang terbang lewat. Hutan-hutan lain yang mempunyai tumbuh-tumbuhan liar dan lebat, dengan semak-semak belukar dan rimbun, penuh dengan binatang- binatang dan para pemburu juga lebih suka berkeliaran di dalam hutan-hutan liar ini untuk berburu binatang. Pencari-pencari kayupun jarang memasuki hutan pohon cemara yang dibiarkan sunyi dan kering, jarang sekali nampak ada orang memasuki hutan ini.

Akan tetapi justeru kesunyian hutan inilah yang membuat para patriot yang hendak mengadakan pertemuan memilih tempat ini. Tempat itu selain sunyi, juga jauh dari kota maupun dusun. Dan di sekitar pegunungan itu terdapat banyak hutan liar di mana para pemburu suka berkeliaran sehingga kedatangan para pendekar di tempat seperti itu tidak akan menimbulkan perhatian.

Pada hari itu, tempat yang amat sunyi itu nampak ramai dengan hilir mudiknya orang-orang yang datang dari segala jurusan. Dan mereka ini adalah pendekar- pendekar dan orang-orang gagah, dapat dikenal dari pakaian dan sikap mereka. Ada pula yang berpakaian aneh-aneh dan nyentrik, berpakaian pertapa, sasterawan, bahkan ada yang berpakaian pengemis! Biarpun di antara mereka belum terbentuk suatu perkumpulan dan belum teratur, akan tetapi mereka semua sudah maklum sendiri dan mereka datang ke tempat itu tidak secara berkelompok sehingga tidak menyolok mata dan tidak menarik perhatian. Dan rata-rata mereka berwajah gembira karena selain menghadiri suatu pertemuan antara patriot yang sehaluan, juga mereka itu mendapatkan kesempatan untuk saling berkenalan dan bertemu dengan tokoh-tokoh yang namanya sudah lama mereka kagumi.Di antara banyak pendekar tua muda laki perempuan yang berdatangan ke tempat itu, kelihatan seorang pemuda berusia paling banyak dua puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa. Wajahnya selalu tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan dia kelihatan periang dan lincah jenaka. Tidak ada seorangpun di antara para pendekar yang mengenal pemuda ini dan memang tidak aneh karena pemuda ini adalah seorang tokoh baru yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw dan namanya masih belum dikenal orang banyak. Akan tetapi kalau orang mengetahui siapa dia, tentu dia akan menjadi pusat perhatian karena pemuda ini adalah seorang keturunan Para Pendekar Pulau Es. Dia adalah Suma Ceng Liong, yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, bahkan telah pula digembleng oleh raja iblis Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun!

Para pendekar yang berdatangan ke hutan itu, ada yang bertemu dengan Ceng Liong dalam perjalanan, akan tetapi mereka tidak saling mengenal dan mereka hanya memandang kepada pemuda itu dengan kagum, menduga-duga siapa adanya pemuda yang wajahnya cerah akan tetapi memiliki pandang mata yang mencorong seperti mata naga itu. Dan Ceng Liong yang selalu rendah hati, tidak mau mendekati mereka, segan kalau harus memperkenalkan diri karena dia tahu bahwa setiap orang pendekar setelah mendengar bahwa dia she Suma, tentu lalu mengaitkannya dengan keluarga Pulau Es. Apalagi kalau mereka tahu bahwa dia benar-benar cucu aseli dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es, tentu pandang mata mereka berobah, penuh kagum, juga mengandung iri!

Semuda itu, karena memiliki kesadaran yang tinggi dan selalu waspada membuka matanya, Ceng Liong sudah dapat melihat kepalsuan-kepalsuan yang menguasai hati dan tindakan manusia tanpa disadari lagi oleh manusia. Manusia telah semenjak dahulu mempunyai kebiasaan turun-temurun untuk membentuk gambar-gambar dari diri sendiri atau dari diri orang-orang lain. Penilaian-penilaian muncul dalam hati setiap orang terhadap orang lain, dan penilaian ini biasanya amat kuat dipengaruhi oleh keadaan orang yang dinilainya itu, kedudukannya, kekayaannya, kepintarannya, nama keluarganya atau namanya sendiri. Bahkan ada pula yang menilai seseorang dari tindakannya pada suatu saat, tindakan yang langsung dirasakan akibatnya oleh yang menilai! Tentu saja hal ini menimbulkan penilaian-penilaian palsu, menimbulkan sikap menjilat-jilat kepada yang dinilainya tinggi dan ada sikap memandang sebelah mata atau menghina kepada yang dinilainya rendah. Juga terdapat penilaian palsu terhadap seseorang yang melakukann satu perbuatan saja yang akibatnya langsung dirasakan si penilai. Kalau akibat perbuatan orang itu menguntungkan si penilai, maka orang itu dicap sebagai orang baik, dan kalau sebaliknya merugikan, dicap sebagai orang jahat. Dan penilaian ini biasanya membentuk gambar orang itu, gambar orang baik atau gambar orang jahat.

Tentu saja penilaian seperti ini palsu adanya. Baik buruknya seseorang tidak mungkin dinilai dari satu perbuatannya saja. Bahkan tidak mungkin dapat dinilai melihat perbuatannya itu saja tanpa melihat latar belakang dan sebab perbuatan itu sendiri. Sudah lajim bahwa pengaruh Im-yang menguasai hampir seluruh manusia di dunia ini, pengaruh ganda yang disebut baik dan buruk. Perbuatan yang dianggap baik dan buruk itu silih berganti dilakukan manusia, mungkin hari ini baik, mungkin besok buruk, mungkin hari ini pemarah dan besok menjadi ramah. Mungkin hari ini penuh kecurangan dan besok amat jujur atau sebaliknya. Karena kita sudah biasa menilai berdasarkan untung rugi kita, berdasarkan rasa senang tidak senang kita, maka akibatnya tidak ada sesuatupun benda di dunia ini, yang mati atau yang hidup, yang hanya mempunyai satu sifat saja. Kesemuanya itu mempunyai sifat ganda, baik dan buruk, berguna dan tidak berguna.

Mengapa kita tidak berhenti saja menilai dan menghadapi segala sesuatu seperti apa adanya? Kalau batin kita bersih dari pada penilaian, maka kita baru dapat menghadapi siapapun dengan hati dan pikiran bebas, kita tidak akan membeda-bedakan antara orang kaya atau miskin, pintar atau bodoh, berkedudukan tinggi atau rendah, menguntungkan atau merugikan lagi. Dan tidak ada pula sikap menjilat-jilat dan menghormat di samping sikap meremehkan dan memandang rendah. Kalau kita sudah bebas dari pada penilaian, maka kita berhadapan dengan MANUSIA saja, tanpa embel-embel yang mengotori diri manusia itu dengan sebutan kedudukan, kekayaan, kehormatan, bangsa, agama dan sebagainya. Dan tanpa penilaian kita tidak akan menciptakan gambaran- gambaran tentang diri sendiri maupun manusia lain. Lenyaplah gambaran AKU yang selalu benar atau dia dan kamu yang selalu salah. Mengapa kita tidak berhenti saja menilai orang lain dan menujukan seluruh kewaspadaan ke arah diri sendiri, mengamati diri sendiri setiap saat sehingga nampak jelas oleh kita betapa pikiran menciptakan AKU yang selalu ingin senang, ingin menang, ingin benar. Dan melihat betapa pikiran yang penuh keinginan inilah yang menjerumuskan kita sendiri, yang meniadakan dan merusak ketenangan hidup, yang meniadakan kebahagiaan, yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antara manusia, menciptakan iri hati, cemburu, dengki dan dendam?

Karena hari pertemuan seperti yang ditentukan masih kurang dua hari lagi, Ceng Liong berjalan-jalan di sekitar tempat itu dan melihat-lihat keadaan. Selama ini timbul keraguan dalam hatinya. Walaupun dia sudah mendengar penjelasan ayahnya, juga penjelasan orang gagah Sim Hong Bu tentang perjuangan para patriot, tentang penjajahan negara dan bangsa oleh Bangsa Mancu, namun dia masih ragu-ragu apakah itu merupakan jalan yang benar kalau melakukan pemberontakan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia teringat betapa tadinya para pendekar mendukung Kian Liong sebelum menjadi kaisar. Dan kini, sikap dan keinginan hendak memberontak terhadap kaisar ini sungguh masih agak sukar untuk diterima begitu saja. Katakanlah memang benar bahwa kaisar itu suka berenang dalam kesenangan dengan wanita-wanita cantik. Katakanlah bahwa dia memiliki isteri dan selir yang banyak jumlahnya. Akan tetapi apa hubungannya kelemahan pribadi ini dengan roda pemerintahan? Bagaimanapun juga, dia dapat mengerti bahwa pemberontakan yang benar adalah satu perjuangan yang mencakup seluruh nasib bangsa, menentang pemerintahannya, bukan karena kebencian pribadi. Jadi, bukan kelemahan pribadi kaisar itulah yang mendorong pemberontakan, melainkan karena pemerintahannya, yaitu pemerintah penjajah! Betapapun baiknya Kaisar Kian Liong, tetap saja dia seorang penjajah, seorang asing, seorang berbangsa Mancu yang menjajah Bangsa Han. Dan nampak olehnya kini betapa semua pejabat tinggi adalah orang-orang Mancu belaka. Memang ada pula orang-orang Han yang menduduki pangkat, namun kekuasaannya terbatas. Bahkan ada peraturan-peraturan dari pemerintah Mancu yang dianggap menghina bangsa pribumi, seperti keharusan mengenakan kuncir dan sebagainya. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk ikut menghadiri pertemuan itu, walaupun tetap saja hatinya diliputi keraguan.Karena masih ada waktu dua hari, malam itu Ceng Liong berjalan seorang diri menjauhi Hutan Cemara yang dijadikan tempat pertemuan, menuju ke sebuah bukit kecil tak jauh dari situ. Malam itu terang bulan dan tempat yang sunyi dan indah itu menarik perhatiannya. Bagaimanapun juga keraguan hatinya, ingatan bahwa keluarga Pulau Es masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar Mancu, membuat hatinya terasa agak nelangsa dan dia ingin menyendiri. Untung bahwa neneknya sudah meninggal, pikir Ceng Liong sambil berjalan menuju ke bukit kecil yang nampak dari jauh seperti diliputi cahaya emas dari sinar bulan purnama. Nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, pikirnya. Andaikata neneknya itu masih hidup dan melihat dia, cucunya, kini ikut menghadiri pertemuan orang-orang yang hendak memberontak terhadap kerajaan, apa akan dikata oleh neneknya itu? Ada perasaan malu terhadap neneknya itu ketika Ceng Liong teringat akan hal ini. Mengapa manusia terpecah-pecah dan terpisah-pisah menjadi bangsa ini dan bangsa itu, beragama ini dan beragama itu, kelompok ini dan kelompok itu? Perpecahan dan pemisahan-pemisahan ini selalu menimbulkan pertentangan.

Setelah tiba di dekat puncak bukit itu, berjalan perlahan mendaki sambil menikmati pemandangan yang mentakjubkan di bawah bukit, tiba-tiba Ceng Liong mendengar sayup-sayup suara orang laki-laki bernyanyi. Dia mencurahkan perhatiannya kepada suara yang datang melayang dari puncak bukit itu dan dapat menangkap kata-kata nyanyian itu dengan jelas. Suara itu cukup merdu, akan tetapi di dalam suara nyanyian terkandung getaran orang yang sedang dirundung kedukaan atau kegetiran hati.

“Masa bodoh bulan tak bersinar
Masa bodoh bintang tak berpijar
Asal kau cinta padaku!

Tak perduli burung tak menembang
Tak perduli bunga tak berkembang
Asal kau cinta padaku!

Masa bodoh bumi tak berputar
Tak perduli dunia akan kiamat
Masa bodoh matahari tak bercahaya
Tak perduli langit tiada awan
Asal kau cinta padaku, sayang
Asal kau cinta padaku!”

Ceng Liong tertegun dan hatinya tersentuh keharuan. Ada sesuatu dalam nyanyian itu yang membuat hatinya terharu. Dia seperti dapat ikut merasakan betapa mendalam perasaan cinta menguasai hati penyanyi itu. Dan betapa suara itu mengandung getaran-getaran duka atau kekecewaan.

Hati Ceng Liong merasa terharu dan tertarik, maka diapun menggerakkan kakinya, dengan hati-hati dia mendaki bukit kecil itu mencari penyanyi itu. Akhirnya dia melihatnya. Seorang laki-laki yang duduk sendirian di puncak bukit, laki-laki yang sedang menatap bulan purnama seolah-olah kepada bulanlah dia tadi bernyanyi.

“Kak Ciang Bun....!” Ceng Liong berseru memanggil dengan gembira sekali ketika dia menghampiri orang yang sedang bersunyi sendiri itu dan mengenalnya. Biarpun laki-laki itu kini bukan pemuda remaja lagi, tidak seperti keadaannya sembilan tahun yang lalu, akan tetapi Ceng Liong masih ingat akan bentuk wajahnya yang tampan.

Laki-laki itu menoleh dengan kaget, akan tetapi ketika dia melihat Ceng Liong, sejenak dia terbelalak, lalu meloncat berdiri, membalikkan tubuh menatap wajah Ceng Liong dengan ragu-ragu. Memang orang itu adalah Ciang Bun dan kini dia memandang kepada Ceng Liong dengan hati bimbang. Dia mengenal wajah Ceng Liong, akan tetapi perobahan yang terjadi atas diri Ceng Liong memang amat besar. Ketika dia bertemu dengan adik misannya ini untuk yang terakhir kalinya, yaitu semenjak mereka berdua meninggalkan Pulau Es, Ceng Liong adalah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Dan sekarang, Ceng Liong telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa, bertubuh tinggi tegap, berusia hampir dua puluh tahun!

“Kau.... kau....” Dia berkata ragu.
Ceng Liong melangkah lebar menghampiri sampai berada di depan Ciang Bun, tersenyum lebar dan memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri. “Bun- ko, apakah engkau lupa kepadaku, adikmu Ceng Liong?”

“Ceng Liong....? Ah, Ceng Liong ....!” Ciang Bun maju dan merangkul. Keduanya berangkulan dengan hati gembira bukan main dan Ciang Bun menjadi demikian terharu sampai kedua matanya menjadi basah. Melihat ini, diam-diam Ceng Liong merasa heran. Kakak misannya ini sampai sekarang masih saja memperlihatkan kehalusan perasaannya.

Ciang Bun meraba pundak dan dada Ceng Liong, memandang kepada adiknya itu penuh kagum.

“Liong-te.... aihh, siapa bisa mengenalnya kalau engkau sekarang sudah begini besar? Lihat, engkau tidak hanya lebih besar daripada aku, bahkan lebih tinggi. Engkau begini gagah perkasa, ahhh, adikku, aku bangga sekali melihatmu!”

“Bun-toako, sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah saling jumpa. Tak kusangka akan bertemu dengranmu ketika tadi aku mendaki bukit ini, mencari penyanyi yang suaranya begitu menarik hatiku. Kiranya engkau yang bernyanyi tadi. Toako, kenapa hatimu begitu berduka?”

Ciang Bun menarik napas panjang. Pertanyaan itu tentu saja membuat dia teringat akan keadaan dirinya, teringat akan Gangga. Dan begitu teringat kepada gadis yang meninggalkannya itu, diapun teringat bahwa Gangga pernah menyebut nama Ceng Liong dan diapun memandang dengan penuh perhatian dau alisnya berkerut.

“Liong-te, sebelum kita bicara lebih banyak, jawablah dulu pertanyaanku ini. Benarkah bahwa engkau telah menjadi murid iblis tua Hek-i Mo-ong....?”

Tentu saja Ceng Liong terkejut mendengar ini, akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bun- toako, itu merupakan cerita yang panjang sekali. Tanpa mendengar seluruh keadaan pada waktu itu, hanya mendengar bahwa aku menjadi muridnya, tentu akan menimbulkan rasa penasaran....”

“Jadi benarkah berita itu? Liong-te, benarkah itu? Tentu saja aku merasa penasaran setengah mati! Liong-te, engkau sendiri juga mengetahui bahwa kakek iblis itu bersama kawan-kawannya telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan tewasnya kakek dan kedua orang nenek kita, bahkan telah mengakibatkan tenggelamnya Pulau Es dan kau.... kau.... bahkan lalu menjadi muridnya?”

“Sabar dan tenanglah, toako dan mari dengarkan dulu keteranganku tentang itu. Dengarlah ceritaku semenjak kita saling berpisah di tengah lautan itu. Aku melihat enci Hui dilarikan penjahat, dan melihat engkau dan juga Cin Liong terlempar ke dalam lautan dan aku sendiri lalu dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai seorang tawanan.” Kemudian Ceng Liong menceritakan semua pengalamannya dan sebab-sebabnya mengapa dia sampai mejadi murid Hek-i Mo-ong, musuh besar yang mencelakakan kakek dan kedua neneknya di Pulau Es. Dia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai pada saat Hek-i Mo-ong tewas di tangan kakek itu sendiri yang seolah-olah membunuh diri karena dalam keadaan terluka parah kakek itu nekat menyerang pendekar Kam Hong. Diceritakannya betapa kakek iblis itu telah melimpahkan budi kepadanya sehingga sukarlah baginya untuk menganggap kakek itu sebagai musuh.

Setelah mendengar semua cerita adik misannya, Ciang Bun yang sejak tadi mendengarkan dengan hati amat tertarik itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang. Memang, dia sendiripun tidak tahu apa yang harus dilakukan kalau dia dilimpahi budi pertolongan dan kasih sayang oleh kakek iblis itu.

“Bun-toako, dari manakah engkau mendengar bahwa aku telah diambil murid Hek-i Mo-ong?” kini Ceng Liong bertanya.

Ciang Bun baru sadar dari lamunannya. Kini dia teringat bahwa Ceng Liong belum bercerita kepadanya tentang pertemuan adiknya itu dengan Gangga Dewi seperti yang pernah dikatakan gadis Bhutan itu kepadanya walaupun tadi Ceng Liong juga menceritakan bahwa adiknya itu diajak merantau oleh Hek-i Mo-ong sampai jauh ke barat, ke Pegunungan Himalaya bahkan sampai ke negara Bhutan.“Liong-te, aku mendengarnya dari seorang gadis bernama Gangga Dewi....” katanya memandang tajam. Wajah adik misannya ini di bawah sinar bulan purnama sungguh nampak gagah sekali.

“Gangga Dewi....?” Ceng Liong berseru kaget dan girang. “Ahh, Gangga Dewi gadis Bhutan itu....”

“Liong-te, engkau kenal padanya?”

“Kenal! Tentu saja!” Ceng Liong tertawa ketika dia teringat kepada anak perempuan bernama Gangga Dewi yang galak itu. “Ha-ha, tentu saja aku kenal, toako. Bukankah ia bernama juga Wan Hong Bwee, puteri Bhutan itu? Bukankah ia masih ada hubungan keluarga pula dengan kita?”

Kini Ciang Bun benar-benar terkejut bukan main. “Puteri Bhutan? Wan Hong Bwee dan masih ada hubungan keluarga dengan kita? Bagaimana ini, Liong-te, aku tidak tahu sama sekali. Ceritakanlah kepadaku siapa sesungguhnya gadis itu.”

“Ha-ha, ia tidak pernah bercerita kepadamu? Wah, memang bengal anak itu! Ketahuilah, toako, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee itu adalah puteri tunggal dari Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.”

“Ahh.... ahhh.... maksudmu Wan Tek Hoat cucu mendiang nenek Lulu, jadi.... masih kakak tiriku sendiri?” Ciang Bun benar-benar terkejut karena tidak pernah menyangka sama sekali. Kenapa gadis Bhutan itu tidak pernah menceritakan tentang keadaan dirinya? Ayah gadis itu, Wan Tek Hoat, sudah amat dikenal namanya oleh para cucu Pulau Es, dan diapun sudah mendengar bahwa pendekar yang masih terhitung kakak tirinya itu menikah dengan Puteri Syanti Dewi, puteri istana Bhutan dan kini tinggal di Bhutan. Jadi kalau begitu, Gangga adalah keponakannya sendiri, walaupun keponakan yang jauh. Dan tentu saja Gangga sudah tahu akan semua ini. Bukankah Gangga mengatakan bahwa ia sudah mengenal Ceng Liong dan tahu pula bahwa dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Akan tetapi gadis itu tak pernah menyinggung keadaan dirinya, dan kini gadis itu telah pergi!

“Dan bagaimana dengan engkau sendiri, toako? Apa yang telah kaualami sejak engkau terlempar ke dalam lautan dari perahu kita yang diserang penjahat itu? Dan mengapa pula engkau tidak hadir dalam pesta pernikahan enci Hui?”

Kembali Ciang Bun menarik napas panjang dan termenung, kelihatan berduka sekali sehingga Ceng Liong memandang khawatir, tidak berani mendesak melainkan menunggu saja kakak misannya itu bicara. Akhirnya Ciang Bun berkata dengan nada suara yang lesu, “Tidak ada apa-apa yang menarik dalam hidupku, Liong-te, kecuali kemuraman dan kekecewaan. Seperti kaulihat aku masih hidup sekarang karena ketika aku terlempar ke lautan dari perahu kita yang diserbu penjahat sepuluh tahun yang lalu itu, aku berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut. Dan selanjutnya, aku hanya terombang- ambing antara kedukaan dan malapetaka yang menimpa keluargaku....” Pemuda itu menarik napas panjang.

Ceng Liong mengangguk-angguk. “Bun-toako, aku juga menghadiri perayaan pernikahan enci Hui dan aku mendengar bahwa engkau belum lama pergi meninggalkan kota raja, dan aku sudah mendengar dari keluargamu tentang segala yang telah terjadi, yang menimpa diri enci Hui. Akan tetapi untunglah bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Cin Liong yang gagah perkasa dan baik hati.”

“Engkau benar, Liong-te. Aku menyesal sekali bahwa aku tidak dapat hadir di waktu pernikahan enci Hui dirayakan, karena aku.... pada waktu itu aku sedang gila mengejar bayangan kosong.... dan sampai sekarang aku belum pulang, biarlah, adikku, biarlah nasib membawa diriku seperti sebuah layang-layang putus talinya dan tertiup angin badai ke angkasa raya tanpa tujuan....”

Melihat betapa pemuda itu kembali tenggelam ke dalam kedukaan, Ceng Liong merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakak misannya ini menderita tekanan batin yang hebat dan seperti orang kebingungan. Maka diapun berusaha menggembirakan hati kakaknya itu. Suaranya meninggi gembira ketika dia bertanya, “Toako, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Hong Bwee?”

“Hong Bwee....?”

“Ya, atau yang bernama Gangga Dewi itu! Ia tinggal di Bhutan, apakah engkau pernah merantau sampai ke Bhutan pula?”

Ciang Bun menggeleng kepala dan menjawab lesu. “Tidak di Bhutan, aku bertemu dengannya ketika ia merantau sampai ke kota raja....”

“Aihhh....! Anak itu memang luar biasa! Pemberani dan juga tentu saja lihai,” kata Ceng Liong, masih belum puas melihat kakak misannya demikian murung dan berusaha untuk menggembirakan hatinya. “Waah, toako, tak kusangka engkau sekarang gemar bernyanyi dan suaramu hebat pula! Dan nyanyianmu tadi, wah, romantis sekali, toako. Ehmm, siapa sih gadis yang begitu kaucinta sehingga untuk memperoleh cintanya, engkau tidak perduli segala hal lain yang terjadi?”

Akan tetapi, mendengar ucapan yang nadanya bergurau itu, Ciang Bun malah menarik napas panjang. Pertanyaan itu seperti menyeretnya kembali ke alam kenangan yang penuh dengan bayangan Gangga yang meninggalkannya. Dan bertemu dengan Ceng Liong dia merasa bertemu dengar saudara sendiri, dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, bahkan orang yang dapat dijadikan tempat penumpahan segala rasa dukanya.

“Liong-te, semua keadaan diriku ini, yang seperti orang gila ini.... bukan lain adalah karena dia pula.... orang Bhutan itu....”

“Hong Bwee....?” Kata Ceng Liong terbelalak memandang wajah kakaknya.

“Gangga.... dialah yang membuatku merana.... ah, tidak, Liong-te, bukan dia sebabnya, melainkan diriku sendiri, keadaanku sendiri. Dia tidak bisa disalahkan, dan sudah sepatutnya kalau dia meninggalkan aku, penuh kemuakan dan kebencian....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangannya karena teringat sepenuhnya akan semua itu membuat dia berduka sekali. Dan Ceng Liong memandang dengan penuh keheranan, apalagi melihat betapa diam-diam kakak misannya itu telah menangis di balik kedua tangan yang menutupi muka! Kakak misannya ini bukan anak kecil lagi, sudah dewasa, gagah perkasa dan dia tahu bahwa kakaknya ini memiliki kepandaian tinggi akan tetapi kini menangis, karena seorang gadis! Menangis seperti anak kecil, atau seperti seorang wanita. Dia tidak tahu harus berbuat apa, harus berkata apa untuk menghibur hati Ciang Bun karena dia sendiri terlalu kaget dan heran mendengar pengakuan kakak misannya yang tak disangka-sangkanya itu. Agaknya kakaknya ini telah jatuh cinta kepada Hong Bwee atau Gangga Dewi, dan agaknya gadis Bhutan itu menolaknya dan meninggalkannya.“Bun-toako, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Gangga Dewi? Maukah engkau menceritakannya kepadaku?”

Sampai lama Ciang Bun menundukan mukanya, lalu dia melangkah menjauh dan duduk di atas akar pohon, tetap menunduk dan seperti orang melamun jauh. Rahasia dirinya hanya pernah dia buka kepada kakaknya saja, yaitu Suma Hui. Akan tetapi Suma Hui adalah seorang wanita, belum tentu dapat ikut merasakan penderitaan batinnya secara tepat. Dan Ceng Liong adalah saudara misan yang tiada bedanya dengan saudara sendiri karena dia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Apa salahnya kalau dia berterus terang kepada Ceng Liong? Siapa tahu, adik misan yang sejak kecil banyak akalnya ini akan mampu membantuannya mencari jalan yang terbaik untuknya.

“Liong-te, ke sinilah, duduk di sini dan marilah kaudengarkan ceritaku, mudah-mudahan engkau akan dapat membantuku memikirkan bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini,” akhirnya dia berkata.

Mendengar kata-kata itu, Ceng Liong terkejut bukan main. Suara kakak misannya demikian serius. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat kepada diri kakaknya ini dan dia merasa gelisah juga dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di atas batu berhadapan dengan Ciang Bun yang duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah. Untuk beberapa lamanya mereka saling pandang dan keadaan amatlah sunyinya. Langit bersih tiada awan sehingga sinar bulan purnama menerangi tempat itu seperti pagi yang cerah. Hawa udara sejuk dan bahkan dingin, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu tidak menderita karena hawa dingin. Ketika mereka berdiam diri, yang terdengar hanyalah suana jengkerik dan belalang mengurung diri mereka dari segenap penjuru.

Kemudian terdengar suara Suma Ciang Bun, berbisik- bisik menceritakan keadaan dirinya, kelainan yang terdapat dalam batinnya. Betapa dia amat suka, bahkan tergila-gila dan mudah sekali bangkit gairahnya terhadap pria lain, sedangkan terhadap wanita dia tidak mempunyai perasaan suka itu, kecuali rasa suka seperti seorang sahabat, sama sekali tidak ada gairah terhadap wanita.

Biarpun Ceng Liong adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah terguncang perasaannya, mendengar penuturan kakak misannya ini dia terkejut dan juga prihatin sekali, disamping perasaan heran yang tidak terbayang pada wajahnya.

Ciang Bun lalu melanjutkan ceritanya tentang diri sendiri, betapa dia berjumpa dengan seorang pemuda bernama Ganggananda yang membuatnya jatuh cinta, bahkan tergila-gila. “Ah, betapapun aku menyadari bahwa perasaanku terhadap Ganggananda itu adalah tidak wajar, adikku. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku adalah seorang pria, dan aku jatuh hati, benar-benar aku tergila-gila kepada seorang pemuda lain, seorang pria lain. Namun aku tidak mampu melawan gejolak hatiku, kesadaranku seolah-olah membutakan diri, tidak mau perduli lagi karena gairah dan hasrat hatiku terhadap Ganggananda tak mungkin dapat dibendung lagi.” Pemuda itu diam dan berulang kali menarik napas panjang, beberapa kali membuka mulut seperti hendak melanjutkan namun tidak ada suara keluar dari mulutnya, seolah-olah dia tidak kuasa untuk melanjutkan.

Suma Ceng Liong merasa kasihan sekali melihat keadaan kakak misannya itu dan diapun menyentuh tangan Ciang Bun sambil berkata. “Sudahlah, Bun-toako, kalau engkau merasa berat untuk melanjutkan, tidak perlu kau bicara lagi. Aku sudah mengerti, atau setidaknya aku akan berusaha untuk mengerti.”

“Tidak, aku harus menceritakan seluruhnya. Aku sudah kuat, Liong-te, dengarlah baik-baik.” Suma Ciang Bun lalu melanjutkan, betapa dia bertahan diri untuk tidak membuka cintanya terhadap Ganggananda karena khawatir kalau-kalau pemuda Bhutan itu akan merasa muak dan jijik kepadanya, lalu membencinya karena keadaannya yang tidak wajar itu. Akan tetapi betapa akhirnya dia tidak kuat bertahan dan mengakui cintanya, siap menerima segala akibatnya andaikata Ganggananda menjadi jijik dan membencinya. Akan tetapi, sebaliknya dialah yang terpukul.

“Betapa kaget dan hancurnya perasaanku, Liong-te. Betapa bingung dan malu rasa hatiku ketika Ganggananda membuka rahasia bahwa dia adalah seorang wanita bernama Gangga Dewi dan sama sekali bukan pemuda seperti yang selama itu kuduga! Dan aku sudah terlanjur mengatakan kepadanya bahwa akn tidak suka wanita! Ah, ia menjadi marah-marah, tentu ia amat benci kepadaku dan ia lalu meninggalkan aku, Liong-te....! Dan aku.... aku merasa malu, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, dan aku merana, aku bahkan tidak mau pulang walaupun aku tahu bahwa enci Hui merayakan pernikahannya. Aku adalah seorang manusia sampah.... membikin malu saja....”

“Bun-toako!” Terdengar suara Ceng Liong seperti membentak, menggeledek sehingga mengejutkan Ciang Bun. “Begitukah sikap seorang pendekar yang gagah perkasa? Begitu cengeng penuh dengan iba diri, merasa seolah- olah diri sendiri menjadi orang yang paling sengsara di permukaan bumi ini?”

Ciang Bun terkejut sekali. Baru sekarang dia mendengar orang bicara seperti itu kepadanya dan sepasang mata adik misannya itu mencorong menakutkan! Dan sikap Ceng Liong itu seketika menggugah semangatnya, seperti mengguncangnya dari tidur pulas dan mimpi buruk. Dia melihat Ceng Liong bangkit berdiri dan memandang kepadanya dengan sepasang mata bersinar.

“Bun-toako, bagaimanapnn juga, apapun juga yang terjadi atas dirimu, engkau harus berani menghadapi kenyataan! Katakanlah bahwa engkau mengalami atau menderita kelainan, yang berbeda dengan pria pada umumnya, namun bagaimanapun juga keadaanmu itu adalah suatu kenyataan dan segala kenyataan adalah benar dan tidak dapat diubah hanya dengan tangisan dan keluhan belaka!”

Kata-kata itu seperti tusukan-tusukan pedang yang terasa benar di hatinya, membuat Ciang Bun perlahan- lahan bangkit berdiri. Hiburan-hiburan baginya tidak ada artinya lagi, akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulut Ceng Liong ini sama sekali bukan hiburan, melainkan pisau-pisau yang melakukan operasi membuka segalanya sehingga nampak olehnya, nampak olehnya kenyataan yang ada pada dirinya.

“Ceng Liong.... adikku.... engkau benar. Lalu.... lalu apa yang harus kulakukan, adikku?”

“Toako, aku bukan guru dan engkau bukan muridku. Kalau engkau hanya mengekor saja pendapat orang lain, termasuk pendapatku, engkau akan terlibat pula dalam pertentangan batin, akan diputar-putar antara rasa benar dan salah. Keadaan itu adalah keadaanmu sendiri, badanmu sendiri, dan hanya engkaulah sendiri yang dapat merasakan, maka engkau sendiri pula yang dapat menentukan baik buruknya, engkau sendiri yang dapat mengambil ketentuan, akan melanjutkan atau menghentikan. Mengertikah, toako?”

Ciang Bun mengangguk-angguk dan mulai memandang adik misannya itu dengan penuh kagum. Baru sekarang dia merasa semangatnya tergugah, tidak tenggelam di dalam kemurungan dan kekecewaan, tenggelam dalam perasaan yang nelangsa dan putus asa. Kini matanya seperti dibuka dan dia dipaksa berhadapan dengan kenyataan yang sesungguhnya tidaklah begitu mengerikan atau menakutkan seperti kalau dibayangkan. Keadaan dirinya bukanlah suatu keadaan yang sudah rusak sama sekali. Tidak! Benar Ceng Liong. Badan ini adalah badannya, berikut baik buruknya, cacat celanya dan dialah yang berkuasa atas badan ini. Tidak sepatutnya kalau batinnya terseret dan tenggelam oleh keadaan badannya!

“Terima kasih, Liong-te, terima kasih. Kata-katamu merupakan minuman pahit akan tetapi sungguh bermanfaat sekali bagiku, seperti cambuk akan tetapi dapat menggugahku dari tidur nyenyak! Aku bersikap terlalu lemah selama ini dan baru nampak olehku sekarang!”

“Toako, keadaanmu itu sebenarnya tidaklah perlu diributkan benar. Kelainan pada dirimu itu tidak lebih dari kelainan dalam nafsu berahi atau nafsu kelamin belaka. Dan nafsu itu bukanlah satu-satunya urusan dalam hidup ini bukan? Lebih baik kita melupakan hal yang sudah lalu dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan setiap saat. Hanya kenangan lama saja yang menimbulkan gelisah dan duka. Mari kita bergembira, toako!”

Ciang Bun merangkul adik misannya itu dan memandang wajahnya dari dekat, memandang penuh kagum. “Ah, tak kusangka adikku yang dahulunya seorang anak yang bengal itu kini menjadi seorang pemuda yang batinnya jauh lebih dewasa daripada aku, dan baru sekarang aku melihat betapa diriku selama ini tersiksa oleh batinku sendiri. Batinku selalu tenggelam dalam keluhan dan kesengsaraan yang kubuat sendiri. Engkau memang benar. Hidup ini bukan hanya urusan nafsu berahi semata dan cintaku yang sudah-sudah itu hanyalah nafsu berahi belaka karena akupun menyadari bahwa cinta kasih yang murni tidak membeda-bedakan dan tidak memilih- milih. Tapi terus terang saja, adikku. Setelah aku mengetahui bahwa Gangga seorang gadis, dan aku mengamati perasaanku, aku hampir merasa yakin bahwa aku memang cinta padanya, tak perduli ia itu pria atau wanita. Akan tetapi.... ah, sudahlah. Ia tentu sudah benci kepadaku dengan perasaan muak dan jijik, pula, kalau kupikir-pikir lagi, seorang gadis sehebat ia itu memang tidak layak kalau menjadi sisihan seorang laki- laki sinting macam aku yang tidak lumrah pemuda biasa ini.”

Ceng Liong tersenyum. Ucapan itu nadanya bukan keluhan lagi dan wajah Ciang Bun tidaklah muram seperti tadi lagi.

“Toako, kalau ia membencimu, kalau ia merasa jijik dan muak, itu tandanya ia tidak cinta padamu. Dan dalam urusan jodoh, cinta haruslah ada di kedua pahak, bukan? Kalau hanya kita yang mencinta setengah mati akan tetapi sang gadis tidak, untuk apa dilanjutkan? Berarti hanya penyiksaan batin sendiri, bukan?”

“Cocok! Dan aku tidak begitu tolol membiarkan diriku tersiksa sendirian. Ha-ha, engkau seperti dewa penolong yang menyingkirkan batu yang tadinya menindih hatiku, Liong-te.” Ciang Bun tertawa dan mungkin baru sekali inilah dia dapat tertawa dengan sepenuh hatinya semenjak dia ditinggalkan Gangga Dewi.

“Yang menyingkirkan adalah engkau sendiri. Orang lain atau aku tidak mungkin dapat menyingkirkannya, paling banyak hanya membantu menunjukkannya saja. Nah, sekarang ceritakanlah, toako. Bagaimana engkau dapat berada di sini? Apakah engkau juga ingin menghadiri pertemuan antara para pendekar di tempat ini?”

Ciang Bun mengangguk-angguk dan kini dia bercerita dengan suara yang wajar dan bebas.

“Aku merantau tidak ada tujuan dan aku membatalkan niatku menyusul ke Bhutan. Dalam perantauan itu aku mendengar berita angin bahwa para pendekar akan mengadakan pertemuan di Hutan Cemara ini, maka akupun segera pergi ke sini.”

“Tahukah engkau, toako, apa yang akan dilakukan atau dibicarakan para pendekar dalam pertemuan di Hutan Cemara ini?”

Ciang Bun menggeleng kepada dan memandang wajah adiknya dengan alis berkerut. “Aku tidak tahu, hanya mendengar bahwa para pendekar akan mengadakan pemilihan seorang bengcu (pemimpin rakyat).”

“Para pendekar mengadakan pertemuan di sini untuk membicarakan urusan tanah air yang dijajah Bangsa Mancu, toako. Membicarakan tentang rencana perjuangan memberontak dan membebaskan negara dan bangsa dari penjajah Mancu dan untuk itu agaknya memang akan diadakan pemilihan seorang bengcu yang akan memimpin gerakan itu.”

Sepasang mata Ciang Bun terbelalak. “Pemberontakan....? Para pendekar hendak melakukan pemberontakan....?”

“Kenapa kau terkejut, toako?” tanya Ceng Liong, teringat akan kekagetan hatinya sendiri ketika untuk pertama kalinya dia mendengar dari pendekar Sim Hong Bu. Dia ingin tahu akan isi hati dan perasaan kakak misannya tentang pemberontakan menentang pemerintah Mancu ini.

“Kenapa tidak terkejut?” Ciang Bun balas bertanya. “Kita sama sekali tidak boleh mencampurinya kalau seperti itu maksud pertemuan para pendekar itu!”

“Kenapa, toako?”
“Engkau masih bertanya lagi kenapa, Liong-te? Jelas bahwa kita tidak mungkin dapat mencampuri urusan pemberontakan, apalagi ikut-ikut memberontak! Ingat saja kepada mendiang nenek Nirahai! Ingat saja kepada bibi Milana dan sekarang lebih lagi kalau aku mengingat bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong!”

Suma Ceng Liong menghela napas. Persis benar perasaan kakak misannya ini dengan perasaan hatinya sendiri ketika untuk pertama kali dia membantah ayahnya dan pendekar Sim Hong Bu.

“Mula-mula akupun berpendapat begitu, toako. Akan tetapi ayahku sendiri menyetujui rencana para pendekar itu dan setelah bercakap-cakap, akupun dapat melihat kebenaran pendapat mereka yang hendak menentang pemerintah Mancu.” Ceng Liong lalu menerangkan kepada kakak misannya tentang para patriot yang hendak membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu dan dalam perjuangan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan tidak dikenal kepentingan pribadi.

“Boleh jadi kaisar sekarang, biarpun seorang Bangsa Mancu, merupakan seorang kaisar yang baik, akan tetapi bagaimanapun juga baiknya, dia termasuk ke dalam alat dari bangsa asing yang menjajah bangsa kita. Dalam perjuangan ini kita tidak memusuhi pribadi-pribadi, dan juga kita bukan berjuang untuk kepentingan pribadi, melainkan perjuangan rakyat terhadap penjajah.”

“Hemm, kalau begitu, engkau datang untuk ikut dalam pertemuan itu, ikut merencanakan.... pemberontakan?” Ciang Bun bertanya, wajahnya menjadi agak pucat mendengar urusan yang amat gawat itu.

Ceng Liong tersenyum. “Toako, seperti juga engkau, dan kuharapkan juga seperti semua orang muda, akupun tidak mudah puas menerima suatu pendapat begitu saja. Aku datang untuk melakukan penyelidikan, meneliti keadaan dan mengenal orang-orang yang hendak memimpin perjuangan itu, apakah benar-benar mereka itu adalah pendekar-pendekar dan patriot-patriot sejati yang hendak menyumbangkan jiwa raga demi kepentingan bangsa, ataukah hanya segerombolan orang yang suka bertualang mencari keuntungan diri pribadi belaka.”

Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya perlahan. “Aku bingung, Liong-te. Aku tidak tahu apakah aku dapat mencampuri urusan pemberontakan. Semua terjadi demikian tiba-tiba. Sebelum mendengar keteranganmu ini, aku sama sekali tidak pernah membayangkan akan adanya rencana pemberontakan. Akan tetapi, engkau benar. Sebelum mengambil keputusan, sebaiknya kalau akupun melihat dan mendengar lebih dulu, menyelidiki dahulu dengan teliti.”

“Bagus, begitulah seyogianya, toako. Dan mengingat bahwa kita berdua adalah anggauta keluarga Pulau Es, dan karena kita berdua masih ragu-ragu dan bermaksud menyelidik, lebih baik kalau kita berpencar. Sebaiknya kalau kita menyembunyikan nama keluarga kita agar tidak mudah dikenal orang. Bagaimanapun juga, semua pendekar tahu belaka bahwa keluarga para pendekar Pulau Es masih mempunyai hubungan, bahkan mempunyai darah keluarga kaisar Mancu! Hal ini, tentu akan menimbulkan kecurigaan dan mendatangkan hal-hal yang mungkin tidak baik.”

Ciang Bun mengangguk, “Baik, adikku. Dan tempat ini kita jadikan tempat pertemuan kita. Kita berpencar dan melakukan penyelidikan sendiri-sendiri secara terpisah, kemudian pada malam harinya kita bertemu di sini dan membanding-bandingkan hasil penyelidikan kita.”

Dua orang kakak beradik misan ini lalu saling berpisah meninggalkan bukit itu, mengambil jalan yang bertentangan.

***

“Huh, tikus-tikus macam kalian ini tidak patut menyebut diri pendekar-pendekar!”

Bentakan itu dikeluarkan oleh seorang gadis yang berdiri sambil bertolak pinggang, menghadapi tiga orang laki-laki yang menyeringai gembira. Pagi itu masih agak gelap, matahari masih terlampau rendah untuk dapat mengusir kegelapan yang ditimbulkan oleh pohon-pohon yang lebat dalam hutan itu.

Seorang gadis yang usianya antara delapan belas atau sembilan belas tahun. Tubuhnya padat ramping dan tingginya sedang. Pakaiannya sederhana, bukan hanya potongannya melainkan juga terbuat dari kain kasar, akan tetapi justeru pakaian sederhana ini bahkan menonjolkan kecantikannya dan keindahan bentuk tubuhnya. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua dan digelung ke atas, tanpa perhiasan, hanya ditusuk dengan dua potong bambu sebesar sumpit. Sepatunya dari kulit, menutupi seluruh kaki sampai ke betis. Melihat sikap dan dandanannya, mudah diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan jauh, biasa menempuh dan menghadapi bahaya, seorang gadis kang-ouw. Akan tetapi, tidak nampak sebuahpun senjata menempel di tubuhnya. Sepasang matanya tajam bersinar- sinar, apalagi pada saat ia sedang marah seperti itu. Hidungnya yang kecil mancung itu dapat bergerak-gerak sedikit cupingnya, dan mulutnya yang cemberut itu berbibir merah basah, tanda bahwa ia sehat dan segar. Kedua pipinya, pada tonjolan pipi di tepi bawah mata nampak merah sekali seperti diberi pemerah muka, padahal pipi itu merah aseli seperti juga bibirnya.

Tiga orang laki-laki itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan biarpun dimaki oleh gadis itu, mereka tetap bergembira dan tersenyum-senyum genit. Dari pandang mata mereka, sikap dan bau mulut mereka, mudah diketahui bahwa mereka sedang mabok atau kebanyakan minum arak di pagi itu. Sepagi itu sudah mabok, ini merupakan tanda orang-orang yang sudah menjadi hamba minuman keras dan dalam keadaan mabok seperti itu, biasanya orang tidak lagi sadar akan apa yang mereka lakukan, meniadakan sopan santun dan watak- watak aseli mereka akan nampak keluar tanpa hambatan.

“Heh-heh, nona manis. Apa salahnya kalau kami mengajak engkau bersenang-senang di pagi hari yang sunyi dan sedingin ini? Ha-ha!” seorang di antara mereka yang matanya sipit sekali berkata.

“Bercumbu sedikit tiada salahnya, nona. Kami para pendekarpun suka bermain cinta, hi-hik!” kata orang ke dua yang hidungnya bengkok seperti hidung burung kakatua.

“Ha-ha-ha, benar, benar! Pendekarpun laki-laki biasa yang suka bercanda dengan gadis cantik seperti engkau, nona. Dan tahulah engkau? Kedua pipimu begitu merah dan apa artinya kalau seorang gadis manis merah pipinya?” Orang ke tiga yang jenggotnya lebat berkata.

“Artinya?” sambung yang pertama. “Artinya gadis itu minta dicium pipinya, ha-ha!”
Mereka bertiga tertawa bergelak, terbahak-bahak sambil memegangi perut.

“Ha-ha, akan tetapi jangan engkau yang mencium. Mukamu penuh brewok, kasihan ia akan mati kegelian,” kata pula yang sipit dan kembali mereka tertawa-tawa.

Gadis itu membanting-banting kakinya. “Keparat! Kalian bertiga ini pantasnya anggauta gerombolan penjahat, sama sekali tidak pantas berada di tempat ini, di antara para pendekar yang mengadakan pertemuan. Kalau tidak ingat bahwa mungkin sekali kalian ini pendekar-pendekar yang tersesat dan bahwa sekarang akan diadakan pertemuan antara para orang gagah, tentu sudah kuhancurkan mulut kalian yang busuk itu!” Sambil berkata demikian, gadis yang menahan kemarahannya itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.

Akan tetapi, tiga orang itu menggerakkan tubuh mereka dan tahu-tahu mereka sudah berlompatan menghadang di depan gadis itu. Dari cara mereka bergerak melompat, dapat diketahui bahwa tiga orang pria ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang lumayan.

“Wah, wah, nanti dulu, nona!” kata yang bermata sipit, yang paling tua dan agaknya menjadi pimpinan di antara mereka.
“Kalian mau apa!” bentak gadis itu dengan kemarahan yang hampir tak dapat dipertahankannya lagi.

“Nona manis, engkau sungguh tidak adil. Kami bertiga bertemu denganmu, menjamahpun tidak, mengganggupun tidak, hanya memuji-muji kecantikanmu. Untuk pujian itu, sudah sepatutnya kalau kami menerima hadiah. Sebaliknya, engkau memaki-maki dan menghina kami. Karena itu, tidak boleh engkau pergi sebelum kami menerima ganti rugi atas perlakuanmu yang tidak adil kepada kami.”

“Hemm, apa yang kalian kehendaki?”

“Tidak banyak, hanya masing-masing dari kami menerima satu ciuman saja darimu.” Si mata sipit menyeringai dan dua orang temannya mengangguk-angguk dengan jakun turun naik karena mereka sudah membayangkan betapa akan sedapnya menerima sebuah ciuman dari dara yang manis dan jelita ini.

Kini kemarahan dara itu tidak dapat ditahannya lagi. Mukanya menjadi merah dan matanya mencorong seolah-olah mengeluarkan api. “Keparat jahanam bermulut busuk! Sekali lagi, pergilah sebelum aku terpaksa menghajar kalian!”

“He-he-he, ia mau menghajar kita!” si mata sipit tertawa.

Dua orang kawannya tertawa pula. “Biarlah, dihajar oleh tangan yang halus itu aku siap! Sudah lama aku tidak diusap tangan halus.”

“Dan akupun ingin dipijiti jari-jari mungil itu, heh-heh!”“Pergilah....!” Gadis itu menggerakkan tubuhnya dan kaki tangannya bergerak cepat sekali. Terdengar suara plak-plak beberapa kali dan tubuh tiga orang itu terpelanting, dibarengi keluhan mereka. Mereka terbelalak, masing-masing meraba pipi mereka yang menjadi bengkak oleh tamparan nona tadi. Yang membuat mereka terkejut adalah cepatnya tangan itu bergerak, sehingga berturut-turut mereka kena ditampar tanpa mereka dapat mengelak atau menangkis sama sekali. Dan karena tamparan itu memang membuat pipi bengkak dan muka panas, nyeri rasanya, ditambah lagi rasa malu karena sudah ditampar oleh seorang gadis muda, tiga orarg itupun menjadi marah.

“Berani kau memukul kami?” Mereka bangkit berdiri dan mengepung gadis itu. Kemudian, sambil berteriak marah mereka mulai maju dan dari serangan mereka, dapat dilihat bahwa mereka masih mempunyai niat kotor karena serangan mereka itu bukan pukulan melainkan cengkeraman-cengkeraman. Agaknya mereka itu ingin membalas tamparan si nona dengan cengkeraman untuk menangkap tubuh yang denok itu atau merobek pakaiannya! Akan tetapi, mereka kecelik kalau mengira bahwa mereka berhadapan dengan seekor domba betina muda. Nona itu ternyata memiliki gerakan yang amat gesit dan dengan lincahnya tubuh yang ramping itu berloncatan ke sana- sini dan semua terkaman itu hanya mengenai angin belaka. Kemudian, kaki yang kecil itu bergerak tiga kali berturut-turut dan untuk ke dua kalinya, tiga orang setengah mabok itu terpelanting dan mengaduh- aduh! Si dara itu sama sekali bukan seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, melainkan seekor macan betina yang galak dan kuat.

Baru sekarang tiga orang itu sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang dara yang lihai. Akan tetapi, dasar mereka memang memiliki watak yang buruk, mereka tidak menyadari kesalahan mereka, sebaliknya dengan penuh kemarahan tiga orang itu bangkit lagi dan mereka mencabut senjata mereka yaitu sebatang golok tipis dan dengan senjata di tangan mereka kini mengurung si dara dengan wajah bengis.

Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak nampak gentar menghadapi ancaman tiga orang laki-laki yang memegang golok itu. Bahkan ia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang dan memandang dengan senyum simpul mengejek, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Agaknya ia sama sekali tidak khawatir karena dalam dua gebrakan tadi saja gadis ini sudah yakin benar bahwa tiga orang lawannya hanya galak aksinya saja akan tetapi sesungguhnya merupakan gentong-gentong kosong yang nyaring suaranya.

“Hemm, kalian memang perlu dihajar lebih keras lagi agar bertobat!” katanya dengan senyum tak pernah meninggalkan wajah yang manis.

Tiga orang itu kini sudah kehilangan selera mereka untuk menggoda dan berbuat kurang ajar. Kini yang ada dalam benak mereka hanyalah membalas dan kalau perlu membunuh gadis yang telah membikin malu mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat mereka terpelanting roboh tadi.

“Haiiiittt....!” Si mata sipit sudah menerjang dengan gerakan goloknya yang membentuk gulungan sinar terang. Dua orang temannya agaknya tidak mau ketinggalan dan dari kanan kiri merekapun menyerang dengan golok mereka. Sungguh tiga orang ini tak tahu malu, menyerang seorang gadis bertangan kosong dengan golok mereka secara keroyokan seperti itu. Namun, gadis itu sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok. Tiga orang itu menjadi semakin bernafsu ketika golok mereka membabat udara hampa saja dalam penyerangan pertama mereka, maka mereka menyusulkan serangan-serangan berikutnya yang datang dengan bertubi-tubi. Gadis itu tetap mengelak ke sana-sini mencari kesempatan untuk membalas dan kurang lebih sepuluh jurus kemudian, tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring sekali. Tiga orang pengeroyoknya terkejut, sejenak seperti menjadi lumpuh oleh suara yang menusuk telinga dan menyayat perasaan hati mereka itu. Dan pada saat itulah si gadis lihai menurunkan tangan membalas. Tiga kali ia memukul dan tiga orang itu roboh berpelantingan sambil mengaduh-aduh dan golok mereka terlepas dari tangan kanan karena lengan kanan itu seketika lumpuh dan pundak mereka nyeri. Kiranya gadis itu tadi memukul ke arah pundak kanan dan membuat tulang pundak mereka remuk dan lengan itu tentu saja menjadi lumpuh seketika.

“Hemm, aku masih mengampuni nyawa kalian, dan mudah-mudahan pelajaran ini membuat kalian bertobat!” kata si gadis dengan kata-kata yang tegas.

Akan tetapi, pada saat itu bermunculan belasan orang dikepalai oleh dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan yang memegang sebatang tongkat baja. Melihat tiga orang yang mengaduh-aduh itu, belasan orang ini lalu mengurung si gadis yang memandang dengan sikap tenang namun waspada. Dua orang kakek itu menghampiri tiga orang yang terluka, lalu menggunakan jari tangan mereka menotok beberapa jalan darah dekat pundak untuk mengurangi rasa nyeri. Kemudian mereka bangkit lagi dan menghadapi si gadis yang berdiri dengan sikap tenang itu.

“Nona, siapakah engkau yang begitu berani melukai tiga orang murid kami?” seorang di antara mereka bertanya, sikapnya tenang dan angkuh seolah-olah sikap seorang locianpwe kepada seorang yang tingkatanya lebih muda dan rendah.

Melihat jubah putih dari dua orang tosu itu dan gambar bunga teratai putih di atas dasar biru bundar di dada, gadis itu mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara halus akan tetapi mengandung nada mengejek. “Siapa adanya aku tidak perlu dibicarakan, akan tetapi kalau tidak salah, ji-wi adalah orang- orang Pek-lian-pai yang sangat terkenal, bukan? Dan tiga orang yang menjadi murid ji-wi itu adalah anggauta-anggauta Pek-lian-pai. Akan tetapi mengapa mereka bersikap seperti penjahat-penjahat rendah yang suka mengganggu wanita? Apakah memang para murid Pek- lian-pai diajar untuk kurang ajar terhadap wanita?”

Wajah dua orang kakek itu berobah merah dan tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek menghentakkan tongkatnya di atas tanah. “Siancai, nona muda yang bermulut lancang! Mana mungkin murid-murid kami melakukan hal yang rendah? Akan kutanya mereka!” Dia lalu menoleh kepada tiga orang yang masih menyeringai itu. “Coba katakan, apakah benar kalian mengganggu wanita? Hayo jawab sebenarnya!”

Si mata sipit yang mewakili dua orang kawannya cepat menjawab. “Sama sekali tidak, susiok! Kami mana berani mengganggu wanita? Kami bertemu dengan nona ini dan karena merasa bahwa di antara kami dan nona ini terdapat persamaan paham, kami menganggapnya sebagai seorang sahahat dan kami menyapanya. Akan tetapi ia marah-marah dan memaki-maki kami, bahkan lalu menyerang dan melukai kami.”

Tosu pendek gendut itu kembali memandang gadis itu dengan alis berkerut. Akan tetapi gadis itu telah mendahuluinya dan berkata sambil tersenyum mengejek. “Aku mendengar bahwa Pek-lian-pai mempunyai dasar Agama Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) yang menjadi cabang dari Agama To-kauw. Mengambil gambar teratai putih untuk menunjukkan bahwa Pek-lian-pai putih bersih. Akan tetapi siapa kira, murid-muridnya selain pemabok- pemabok dan pengganggu wanita, juga pembohong-pembohong besar dan pengecut, tidak berani mengakui kesalahan dan tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatan mereka!”Si tosu gendut marah. Matanya terbelalak dan tongkatnya digerakkan, melintang di depan dadanya. “Hemm, engkau ini bocah perempuan lancang mulut dan sombong, agaknya mengandalkan sedikit kepandaian untuk menghina Pek-lian-pai! Majulah, hendak pinto melihat sampai di mana kelihaianmu.” Setelah berkata demikian, kakek gendut itu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan dia menerjang maju, mengirim tamparan ke arah pundak gadis itu. Bagaimanapun juga, sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, dia merasa malu kalau harus menghadapi seorang gadis remaja dengan senjatanya, dan ketika menyerangpun dia hanya menampar pundak karena tidak bermaksud mencelakai, melainkan hanya memberi hajaran saja kepada gadis muda yang dianggapnya sombong dan keterlaluan telah berani melukai tiga orang murid Pek-lian-pai itu. Agaknya kakek ini merasa yakin bahwa tamparannya itu tentu akan berhasil, karena bukan tamparan biasa, melainkan jurus ilmu silat Pek-lian- pai yang lihai, tamparan yang dilanjutkan dengan cengkeraman dan dilakukan dengan amat cepat, juga mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat.

Akan tetapi kakek gendut itu kecelik. Dengan gerakan indah namun cepat sekali, juga dilakukan seenaknya, dengan merendahkan tubuh dan miring lalu menggeser kaki ke belakang, gadis itu sudah mampu menghindarkan serangannya itu dengan amat baiknya. Hal ini membuat si tosu penasaran. Kakinya melangkah ke depan dan dia mengirim serangan ke dua, kaki menendang ke arah lutut dilanjutkan cengkeraman ke arah pundak dengan tangan kiri dan totokan jari tangan kanan ke arah leher. Sungguh merupakan serangkaian serangan yang amat berbahaya!

Kembali kakek itu kecelik. Dengan gerakan tubuh yang amat lincah, gadis itu dapat menghindarkan diri pula dengan amat baiknya dan tiga serangan beruntun itupun semua hanya mengenai tempat kosong belaka. Setelah lewat belasan jurus serangan yang semua dapat dihindarkan gadis itu dengan elakan yang lincah, tiba-tiba ketika kakek itu menghantamkan tangan kanannya dari atas ke arah gadis itu karena diapun sudah mulai penasaran dan kini menyerang sungguh-sungguh, gadis itu mengangkat tangan kirinya menangkis. Melihat ini, kakek Pek-lian-pai menjadi girang. Inilah yang diharapkan sejak tadi. Gadis itu terlalu lincah gerakannya sehingga sukarlah mengenai tubuhnya, seperti menyerang seekor kupu-kupu yang lincah saja. Akan tetapi kalau gadis itu menangkis, dia akan dapat menghajar gadis itu dengan beradunya kedua lengan. Biarlah gadis itu akan menerima hukuman dan tulang lengannya akan patah. Maka, melihat gadis itu mengangkat tangan menangkis, diapun segera mengerahkan tenaga sin-kang ke dalam lengan kanan yang ditangkis.

“Dukkk....!” Dua lengan bertemu dan kakek itu terkejut bukan main karena pertemuan lengan yang diharapkan akan dapat mematahkan tulang lengan lawan atau setidaknya menbuat gadis itu roboh, sebaliknya malah membuat dia terhuyung ke belakang dengan lengan terasa nyeri sekali. Ada semacam tenaga aneh yang amat kuat menangkis tenaganya dan tenaga itu bahkan mendorongnya sehingga tanpa dapat dipertahankannya dia terhuyung ke belakang.

“Totiang, apakah engkau masih hendak melanjutkan kesesatanmu?” Gadis itu membentak, kelihatan marah. Dalam pertemuan tenaga yang membuat kakek itu terhuyung tadi, ia sama sekali tidak bergoyah, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal sin-kangpun gadis itu lebih lihai. Namun tosu gendut itu memang tidak tahu diri atau memang sudah nekat karena merasa malu untuk mengaku kalah. Dia meloncat ke belakang, mencari tongkat yang tadi menancap di tanah dan dengan tongkat melintang dia menerjang maju lagi. Tongkat itu membentuk gulungan sinar dan mengeluarkan suara angin mendesir ketika bergerak memyambar ke arah kepala gadis itu!

“Wuuuuttt....!” Tongkat menyambar luput dan kini kakek ke dua yang tinggi kurus sudah ikut pula menyerang dengan tongkatnya, menusuk ke arah belakang lutut gadis itu dengan maksud merobohkannya. Gadis itu terkejut. Nyaris belakang lututnya tertotok, maka iapun meloncat jauh ke belakang dan tangan kanannya bergerak ke arah pinggangnya. Nampak sinar keemasan menyilaukan mata dan gadis itu ternyata telah memegang sebatang suling terbuat dari emas yang indah sekali!

“Hemm, kalian tidak bisa diberi hati, harus dihajar. Majulah!” Gadis itu kini menantang. Dua orang kakek itupun merasa penasaran sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-pai, masa menghadapi seorang gadis remaja saja tidak mampu menang? Keduanya tidak tahu malu lagi karena terdorong rasa penasaran untuk dapat mengalahkan gadis itu.

Akan tetapi sebelum bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda remaja berusia dua puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, berwajah ramah penuh senyum cerah. Pemuda ini segera menyelinap di antara mereka dan menghadapi dua orang kakek itu sambil mengangkat kedua tangan ke atas, lalu menjura dengan hormat.

“Ji-wi totiang harap sabar dulu. Harap ji-wi pikirkan baik-baik, apakah sudah cukup pantas kalau ji- wi melanjutkan perkelahian ini?” pemuda itu bertanya dengan suara lantang.

Melihat sikap pemuda ini yang mudah diduga tentu seorang pendekar, dua orang tosu itu merasa ragu-ragu dan si tinggi kurus bertanya. “Orang muda, mengapa engkan mencampuri urusan kami dan apa yang kaumaksudkan dengan kata-katamu tadi?”

“Ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai dan kedatangan ji-wi di tempat ini bersama anak buah ji-wi tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot yang akan diadakan di tempat ini, bukan?”

“Benar, lalu apa hubungannya dengan urusan kami menghadapi gadis jahat itu?”

“Totiang, harap jangan keliru menilai orang. Nona ini sama sekali bukan orang jahat, melainkan puteri pendekar sakti Suling Emas, Kam-locianpwe. Iaadalah seorang pendekar wanita yang lihai, dan tentu kehadirannya juga ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar patriot. Totiang, kalau pertemuan para pendekar dan patriot diawali dengan perkelahian antara kita sendiri, mana mungkin kita bersatu menghadapi pemerintah penjajah?”

Dua orang tosu itu kelihatan terkejut. Biarpun mereka belum pernah berkenalan atau berjumpa namun nama besar pendekar sakti Suling Emas sudah pernah mereka dengar. Pantas saja gadis itu lihai bukan main.

“Tapi, nona ini telah melukai tiga orang murid kami,” bantah si gendut untuk menempatkan pihak sendiri di sudut yang menguntungkan.

“Tentu saja aku melukai dan menghajar tiga orang itu yang berani bersikap kurang ajar menggangguku!” bantah gadis itu. “Kalau bukan tiga orang mabok itu menggangguku, perlu apa aku mengotorkan tangan terhadap mereka?”

Pemuda itu mengangkat kedua tangan menyabarkan kedua pihak. “Ji-wi totiang, harap sudahi saja perkara kecil ini. Bagaimanapun juga, nona ini adalah seorang pendekar dan tidak mungkin tanpa sebab ia berkelahi dengan murid-murid ji-wi, dan ternyata bahwa murid- murid ji-wi dalam keadaan mabok. Kita sama-sama tahu bagaimana sikap laki-laki yang sedang mabok kalau melihat wanita muda dan cantik. Kalau sampai terdengar oleh para pendekar dan patriot lain, tentu nama Pek- lian-pai akan menjadi merosot saja kalau perkelahian dengan puteri Kam-locian-pwe ini dilanjutkan.”

Memang dua orang tosu Pek-lian-pai itu sudah dapat menduga bahwa murid-murid mereka tentu yang lebih dulu menggoda nona yang cantik ini. Mereka tadi turun tangan hanya karena merasa marah melihat murid-murid mereka dipatahkan tulangnya, dan juga karena malu sebelum dapat membalas nona itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa nona itu adalah puteri pendekar sakti Suling Emas, mereka sudah dapat melihat bahwa kalau dilanjutkan pertikaian itu, tentu nama mereka akan rusak nama karena membela tiga orang murid mabok!

“Baik, kami akan sudahi saja urusan ini. Akan tetapi siapakah engkau, orang muda?” Tosu tinggi kurus bertanya.

“Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!” Tiba-tiba gadis itu berkata, seperti hendak membalas ketika pemuda itu tadi memperkenalkannya sebagai puteri pendekar Suling Emas.

Tentu saja dua orang kakek Pek-lian-pai itu
semakin terkejut. Cucu Pendekar Pulau Es? Mereka tidak berani lagi banyak lagak dan sambil menjura mereka lalu mengundurkan diri dari membentak tiga orang murid mereka yang menjadi gara-gara pertikaian itu. Setelah mereka pergi, pemuda itu membalikkan tubuh, menghadapi gadis itu.

Mereka berdiri saling berpandangan, sampai lama tidak dapat mengeluarkan suara, dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan seolah-olah mereka menjadi gagu seketika. Bayangan dan kenangan lama muncul di dalam pikiran mereka dan tiba-tiba keduanya mengeluarkan seruan hampir berbareng.

“Bi Eng....!”

“Ceng Liong....!”

Keduanya melangkah maju mengulur tangan, akan tetapi tiba-tiba Bi Eng berhenti dan ia berdiri memandang dengan muka berobah merah sekali. Teringat ia bahwa yang berada di depannya bukan anak-anak lagi, bukan remaja yang pernah dikenalnya beberapa tahun yang lalu, melainkan seorang pemuda dewasa yang gagah perkasa! Dan ia sendiri sudah menjadi seorang gadis dewasa, bahkan menjadi seorang calon isteri, tunangan pemuda yang kini menjadi murid ayahnya, yaitu Sim Houw!

Melihat keraguan di wajah gadis itu, Ceng Liong juga menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter saja dan Ceng Liong mengamati wajah itu dengan hati penuh kagum. Dia terpesona oleh sepasang mata itu, oleh hidung dan mulut itu. Bi Eng telah menjadi seorang gadis yang menurut penglihatannya teramat cantik. Belum pernah ada seorang gadis yang begini menarik hatinya. Jantungnya berdebar tegang, penuh kegembiraan dan juga harapan ketika dia teringat akan janjinya kepada mendiang Hek-i Mo-ong bahtwa kelak dia akan menjadi suami Bi Eng! Dan dia maklum pada saat dia memandang wajah itu bahwa dia akan berbahagia sekali apabila harapan gurunya itu terlaksana. Dia jatuh cinta kepada gadis ini sekarang! Dan Ceng Liong merasa terkejut sendiri mengikuti jalan pikirannya.

“Bi Eng.... ah, tak kusangka akan bertemu dengan engkau di sini! Hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, engkau.... sudah begini besar....!”

Bi Eng memandang kepadanya dan gadis itu tersenyum. Tersirap darah diri jantung Ceng Liong melihat lesung pipit di sebelah kiri mulut itu. Betapa manisnya!

“Ceng Liong, engkau bilang tidak dapat mengenalku akan tetapi engkau bisa memberi tahu kepada kakek- kakek Pek-lian-pai itu bahwa aku puteri pendekar Kam!”

Memang tadinya aku tidak mengenalmu, dan baru aku teringat ketika engkau mengeluarkan suling emas itu.”

Bi Eng mengangguk-angguk. “Dan engkaupun bukan anak-anak lagi, sudah menjadi seorang pemuda dewasa.”

“Akan tetapi engkau langsung menganalku.”
“Yang berobah hanya tubuh dan mukamu, akan tetapi mata dan senyumanmu yang nakal itu masih sama.”

“Bi Eng, kalau tidak salah dugaanku, engkaudatang ke sini tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot di Hutan Cemara, bukan?”

Gadis itu mengangguk. “Benar, dan tentu engkaupun datang untuk keperluan itu, bukan? Apakah engkau datang bersama orang tuamu? Apakah para pendekar keluarga Pulau Es ikut datang menghadiri pertemuan itu?”

“Tidak, aku datang seorang diri saja. Orang tuaku mewakilkan kepadaku. Dan engkau? Apakah Kam-locianpwe dan isterinya juga hadir?”

Bi Eng menggeleng kepalanya. “Tidak, Ceng Liong. Aku datang bersama.... guruku.” Tiba-tiba wajah gadis itu berobah merah. Hampir saja dia tadi menyebut “mertuaku”, bukan “guruku”.

Jawaban ini mengherankan hati pemuda itu. “Bi Eng! Engkau adalah puteri tunggal Kam-locianpwe yang memiliki kepandaian setinggi langit dan kurasa mewarisi ilmu-ilmu ayah bundamu saja sudah membuat engkau menjadi orang yang sukar dicari tandingannya. Dan engkau masih mempunyai seorang guru lain daripada ayah bundamu?”

Bi Eng bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan senyum mengejek. “Ceng Liong, engkau sejak dahulu banyak lagak dan tidak mau bercermin melihat diri sendiri. Apa anehnya kalau aku mempunyai seorang guru lain? Tengok dirimu sendiri. Engkau cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kurang bagaimanakah keluarga para pendekar Pulau Es? Namun ternyata engkau masih berguru kepada mendiang Hek-i Mo-ong!”

Ceng Liong tersenyum. Gadis ini masih galak dan tidak mau kalah kalau bicara. Akan tetapi dia seperti diingatkan kepada mendiang Hek-i Mo-ong dan diapun menarik napas panjang.

“Hek-i Mo-ong memang seorang datuk sesat, akan tetapi nasibnya buruk sekali. Aku merasa kasihan kepadanya.”

“Akan tetapi dia berwatak baik, dia pernah menyelamatkan aku. Sayang dia menjadi datuk sesat....”

“Dan dia mati ketika berhadapan dengan keluangamu.”
“Akan tetapi, bukan ayah yang membunuhnya! Hek-i Mo-ong sendiri yang menyerang ayah padahal dia dalam keadaan luka parah sehingga gerakan serangannya itu menewaskannya sendiri!” Bi Eng membantah.

Ceng Liong menganggguk-angguk. “Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh, kadang-kadang dia jahat bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik sekali. Bagaimanapun juga, andaikata dia tewas di tangan seorang pendekar sakti seperti ayahmupun sudah sepatutnya. Dialah yang menyebabkan kakek dan nenek- nenekku di Pulau Es tewas, dia penyebab malapetaka yang melenyapkan Pulau Es....”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. “Apa? Dan engkau masih mau menjadi muridnya?” tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.

Ceng Liong menghela napas panjang. “Dia berkali- kali menyelamatkan nyawaku, membelaku dan amat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan setulus hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih sayangnya dengan kebencian?”

“Tapi.... tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku....”

“Itulah satu di antara keanehan dan kejahatannya. Dia tidak pernah mau menerima kekalahan. Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah oleh ayahmu, dia selalu ingin membalas kekalahannya itu. Akan tetapi sudahlah, Bi Eng. Dia sudah meninggal dunia, tewas oleh ulahnya sendiri. Baigaimanapun juga, aku tidak dapat melupakan semua kebaikannya. Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?”

Bi Eng mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.
“Dan engkau ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu.” Ceng Liong tertawa.

Teringat akan hal itu, Bi Eng tertawa juga. “Gurumu itu jahat dan nakal, suka menggoda orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut berada di depan mata ketika dia berbohong mengatakan bahwa obatnya itu adalah racun.”

“Dan dia memaksa kita bersumpah agar menjadi.... suami isteri....”

Tiba-tiba wajah Bi Eng berobah merah sekali dan bersungut-sungut. “Engkau yang berjanji, bukan aku!” Kemudian gadis itu menyambung secara tiba-tiba. “Ceng Liong, kenapa engkau berjanji seperti itu kepada Hek-i Mo-ong?”

Ceng Liong memandang kepadanya dan melihat betapa gadis itu kelihatan malu. Dia merasa tidak enak hati. “Bi Eng, aku terpaksa menerima janji suhu karena aku ingin menolongmu. Aku sendiri tidak akan mau berjanji seperti itu kalau tidak terpaksa karena melihat engkau terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau menolak keras ketika disuruh berjanji? Apakah.... apakah engkau benci kepadaku?”

Bi Eng menggeleng kepala. “Bukan karena benci, akan tetapi mana mungkin aku berjanji seperti itu? Bagiku, urusan pernikahan adalah bagaimana keputusan orang tuaku saja....”

“Ah, sungguh sebaliknya dengan aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua orang yang bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walapun orang lain itu orang tua sendiri atau guru. Dulu itu, kalau tidak terpaksa untuk menolongmu, aku tidak akan mau berjanji. Aku tidak mau kalau jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau orang tuaku sekalipun.”

Gadis itu mengangguk-angguk, alisnya berkerut dan ia melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, didampingi Ceng Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan tanpa tujuan, tanpa disengaja, hanya untuk berjalan- jalan di dalam hutan itu sambil bercakap-cakap.

“Kalau begitu.... janjimu itu tidak mengikat? Jadi.... engkau menganggap janji kepada mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong belaka....?”

“Begitulah! Aku tidak mau dipaksa oleh siapapun juga untuk menerima jodoh yang dipilihnya atau dipaksakannya, apalagi kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.”“Hemm, kalau begitu.... jodoh yang bagaimana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu selamanya?”

Bertanya demikian, gadis itu menghentikan langkahnya, memutar tubuh menghadapi Ceng Liong dan kedua tangannya bertolak pinggang, matanya memandang tajam dan mulutnya tersenyum mengejek seperti orang menantang! Diam-diam Ceng Liong terkejut dan merasa heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi. Akan tetapi dia menenangkan dirinya, dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh.

“Ia harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya.”
Hening sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti oleh Ceng Liong. Gadis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba saja ia berhenti lagi dan menghadapi Ceng Liong, membuat pemuda itu agak terkejut dan dia pun ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang dan keadaan menjadi amat kaku bagi Ceng Liong.

“Ceng Liong, apakah sudah ada gadis yang kaucinta itu?”

Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka oleh Ceng Liong, membuat pemuda itu manjadi gugup. “Eh.... itu.... eh, selama ini memang belum ada.... eh, memang ada, ya, ada memang....”

Gadis itu mengerutkan alisnya. “Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya kepadaku dan tidak suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan pura-pura. Ada atau tidakkah gadis yang kaucinta itu? Yang tegaslah, jangan plintat-plintut!”

“Ada.... ada.... Ya benar, ada memang!” Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya dengan sikap tegas.

“Hemm.... dan.... dan iapun cinta padamu?”

Ceng Liong menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum tahu....” Karena pertanyaan- pertanyaan itu makin mendekati sasaran, yaitu hal-hal yang mengguncangkan batinnya di saat itu, Ceng Liong yang gagah perkasa itu merasa betapa kedua kakinya agak gemetar dan tubuhnya lemas. Maka diapun lalu duduk di atas batu yang besar di dekat situ. Anehnya, Bi Eng juga duduk di atas batu berhadapan dengannya dan gadis itu kelihatan tertarik sekali.

“Engkau belum tahu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau belum tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?”

“Aku.... aku takut, Bi Eng.”

“Kau? Kau takut?” Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Engkau cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan engkau mengenal takut?”

“Bi Eng, aku takut kalau-kalau cintaku ditolak, kalau-kalau ia tidak cinta padaku, aku takut dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah engkau memberi nasihat, apa yang harus kulakukan menghadapi keadaan begini?”

Bi Eng tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang jauh. “Engkau....? Minta nasihat dariku? Ah, bagaimana sih keadaanmu itu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau tidak tahu apakah ia juga mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu atau takut bertanya, karena takut ditolak? Begitukah?”

Ceng Liong mengangguk.
“Dan gadis itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?”
Ceng Liong menggeleng.

“Wah, bagaimana ini? Jadi selama ini cintamu hanya kausimpan di hati saja? Lama-lama bisa menjadi racun kalau begitu!”

Ceng Liong memandang kagum. “Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-mencinta!”
“Tentu saja!” Bi Eng menghardik.
“Kalau begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda....”
“Kalau itu sih belum pernah!”

Ceng Liong terbelalak dan nampak girang. “Eh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu tentang hal ihwal cinta?

“Aku kan wanita dan yang kaucinta itupun wanita, bukan?”

Ceng Liong mengangguk-angguk bingung. “Sudahlah, sebaiknya bagaimana menurut nasihatmu, Bi Eng? Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak tahu apakah ia mencintaku, dan aku takut menyatakan cintaku, takut kalau-kalau ia akan marah dan menolakku....”

“Ceng Liong, tidak ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta kepadanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang jelas akan ada perasaan bangga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali, tentu saja, kalau pernyataan cinta itu dinyatakan secara kasar atau kurang ajar. Kalau kau tidak menyatakan cintamu, mana ia tahu? Dan kalau engkau tidak tanya kepadanya, mana kau tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Maka, kalau engkau minta nasihatku, datangi gadis itu dan akuilah terus terang tentang cintamu dan minta jawabannya secara jujur.”

“Begitukah nasihatmu, Bi Eng? Gadis itu benar- benar takkan marah?”
“Mengapa marah? Sepatutnya ia bangga menerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!”

“Nah, kalau begitu biarlah kupergunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku itu. Bi Eng, aku cintapadamu ....”

Seketika gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi Ceng Liong, mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar menyambar-nyambar ke arah wajah pemuda itu.

“Apa....? Apa yang kaukatakan itu....?”
“Bi Eng, aku cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat membalas cinta kasihku kepadamu....”

“Ceng Liong, engkau berani main-main denganku?” Bi Eng mengepal tinju dan mukanya berobah merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.

Melihat ini, Ceng Liong menjura. “Bi Eng, maafkan aku. Ingat bahwa engkau sendiri yang menasihatiku untuk berterus terang, engkau sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu takkan marah....”

“Tapi.... tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka? Bahwa janjimu itu tidak mengikat apa-apa?”

“Memang benar, janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu memaksa kita untuk berjodoh begitu saja.”

“Tapi.... kita baru saja berjumpa dan kau menyatakan cinta....?”“Bi Eng, sejak pertemuan kita dahulu, aku sudah merasa kasihan dan suka sekali kepadamu. Tentu saja aku belum tahu pada waktu itu tentang perasaan cinta. Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu ketika engkau terpukul oleh si jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sendiri, aku bahkan melawan dan menyerang mendiang guruku sendiri karena mengira engkau diracunnya. Akan tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah aku tahu dan merasa yakin bahwa aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi Eng, bukan karena janjiku terhadap mendiang Hek-i Mo-ong. Aku cinta padamu dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkaupun membalas perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau kenapa....?”

Gadis itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi Eng menangis, seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya dan air mata nampak menetes-netes dari celah jari-jari tangannya. Tentu saja Ceng Liong terkejut bukan main dan diapun cepat menghampiri dan berlut pula di depan gadis itu. Ingin dia menghibur, ingin dia menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya.

“Bi Eng.... ah, Bi Eng, kaumaafkanlah aku kalau semua kata-kataku menyingung perasaanmu. Bi Eng, kalau engkau merasa terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah, aku mengaku salah, dan boleh engkau menghukumku. Pukullah aku, sumpahi matipun aku tidak akan membalas.”

Bi Eng menurunkan kedua tangannya dan dengan mata basah dan hidung merah ia memandang pemuda itu. Mereka saling pandang dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi, menutupi lagi mukanya dengan kedua tangan.

Ceng Liong menjadi semakin bingung dan khawatir. Dia adalah seorang pemuda gagah perkasa, penuh keberanian dan ketenangan. Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang dicintanya menangis tidak karuan mendengar pengakuan cintanya, dia menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

“Bi Eng, sekali lagi maafkanlah aku.... mengapa engkau kelihatan begini berduka? Kalau engkau marah kepadaku, hal itu masih dapat kumengerti, akan tetapi kenapa engkau berduka? Kenapa menangis? Engkau yang segagah ini?”

Bi Eng semakin mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis. Agaknya gadis itu harus menghabiskan dulu air matanya, baru dapat diajak bicara, pikirnya. Dan biarpun pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan tetapi buktinya memang demikian. Setelah puas menangis, tangis gadis itu mereda, bahkan ia lalu dapat bicara.

“Ceng Liong, aku.... aku tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua isi batinku dan membuatku berduka. Ketahuilah, aku.... aku telah bertunangan dengan orang lain....”

Ceng Liong menatap wajah gadis itu, sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berobah pucat dan dia merasa betapa jantungnya seperti ditikam pedang. Dia menggigit bibirnya dan termenung sejenak.

“Tapi, bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan seorang pria?”

Gadis itu terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju. “Itulah sebabnya aku menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya menurut kehendak ayah ibuku saja....”

“Ah, dan dia? Dia tentu mencintamu, bukan?”

Gadis itu menggeleng kepala. “Diapun seperti aku, hanya menurut kehendak orang tua, dan kami tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang tua kami saling setuju menjodohkan kami, kemudian aku ikut calon ayah mertuaku untuk dididik ilmu silat, sebaliknya dia ikut ayahku untuk menerima pendidikan ilmu pula.”

Ceng Liong menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak orang-orang muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru melihat isteri atau suaminya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi mempelai seperti beli undian saja, untung-untungan!

“Sungguh aku merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja dijoodohkan tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sendiri?”

“Aku tidak berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah ibuku yang hanya mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong.”

Hening sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong. “Jadi engkau tidak cinta kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?”

“Aku tidak mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa.”
“Siapakah dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eug?”
“Dia bernama Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu....”

“Ahh....?” Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng juga terkejut dan mengangkat muka memandang. “Putera orang tua yang gagah perkasa itu? Ah, pantas Kalau begitu orang tuamu menerimanya. Kalau begitu.... aku tidak tahu diri, sungguh aku tidak tahu diri berani menyatakan cinta kepada calon mantu Sim- locianpwe. Maafkan kelancanganku, nona.... dan selamat tinggal....” Dengan hati terasa perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu menggalkan gadis itu, setelah membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.

“Ceng Liong.....!” Terdengar seruan lemah dan Ceng Liong seperti tertahan kakinya. Benarkah apa yang didengarnya tadi? Suara Bi Eng memanggilnya, disusul isak tangis gadis itu! Dia membalikkan tubuh dan memandang. Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan kedua tangan diulur ke depan, kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas sepasang pipinya.

“Ceng Liong.... jangan.... jangan pergi, jangan tinggalkan aku....!” gadis itu berkata terisak-isak.

“Bi Eng.... apa artinya ini....?” Ceng Liong lari menghampiri dan mereka saling tubruk, saling rangkul, entah siapa yang bergerak merangkul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu dan iapun menangis terisak-isak. Ceng Liong menjadi bengong sejenak, kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala itu ke dadanya dan perlahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu menembus bajunya dan membasahi dadanya. Terasa segar bagaikan siraman embun ke atas bunga yang tadi melayu di dalam hatinyamembuat bunga itu berkembang kembali dengan segarnya. Dia hampir tidak dapat percaya akan keadaan ini. Seujung rambutpun tadi dia tidak pernah menyangka bahwa Bi Eng akan bersikap begini, bahkan sekarangpun, setelah dia merangkul gadis itu, merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di kulit dadanya, dia masih ragu-ragu dan belum percaya.

“Bi Eng.... ah, Bi Eng apa artinya ini? Kenapa engkau menangis....?” Kedua lengannya memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut kepala yang bersandar di dadanya itu penuh kasih sayang.

Tanpa mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu, “Ceng Liong...., apakah engkau belum dapat mengerti? Aku.... aku tidak hanya menerima cinta kasihmu, aku.... aku bahkan juga.... mencintamu....”

Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong menyentuh dagu yang meruncing itu dan mendorongnya ke belakang sehingga wajah gadis itu tengadah. Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan dan masih ada butir-butir air mata seperti mutiara di kedua pipi itu.

“Bi Eng.... mimpikah aku....?” Ceng Liong bertanya seperti seperti orang bingung, suaranya lirih mengandung getaran kuat.Wajah yang basah itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga bermandikan embun kini merekah segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berkilau dan sepasang mata yang masih mengandung air mata itu memandang mesra. Biarpun dia belum berpengalaman, dan biarpun getaran jantungnya membuat tubuhnya menggigil, ada sesuatu yang mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua kali mencium pipi kanan kiri yang kemerahan, mencucupi butiran air mata dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis saling memeluk lebih ketat seolah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam pelukan itu.

Setelah gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang sejak tadi masih dilanda keraguan dan sulit menerima dan mempercaya kebahagiaan yang tiba-tiba melanda dirinya itu, sekali lagi menyentuh dagu gadis itu dan mengangkat mukanya. Sejenak mereka bertatapan pandang penuh kemesraan, kemudian terdengar Ceng Liong berkata lirih. “Bi Eng.... tapi.... tapi kau telah bertunangan....”

Bagaikan dipagut ular berbisa, Bi Eng melepaskan diri dari pelukan Ceng Liong, meloncat ke belakang dan memandang wajah Ceng Liong dengan muka berobah pucat sekali. Lalu gadis itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya mengeluarkan sinar dan ia nampak penasaran sekali.

“Engkau benar! Aku telah bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa berjodoh. Aku bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima begitu saja. Aku harus menentangnya!”

“Tapi, Bi Eng, kalau engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku yang menjadi biang keladi, padahal mereka itu tidak suka kepadaku. Dahulupun, mereka menolak keras ketika mendengar usul mendiang Hek-i Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Pula, aku amat menghormati Sim-locianpwe, bagaimana aku ada muka untuk berhadapan dengannya kalau kini aku menjadi pengrusak pertalian jodoh antara engkau dan puteranya?”

“Ceng Liong, benarkah engkau cinta padaku?”
“Tentu saja!”
“Sebesar aku mencintamu?”
“Ya, lebih lagi, ini aku yakin!”
“Kalau begitu, kenapa engkau kelihatan takut-takut menghadapi segala resiko dan akibatnya?”

“Bukan takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan mengagumi orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan nasibmu kalau menentang orang tuamu....”

“Jadi, kalau begitu engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku? Menerima saja dijodohkan dengan orang lain? Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu terhadap diriku?”

“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin agar.... dengan halus engkau dapat memberi alasan kepada orang tuamu agar mereka tidak memaksamu, dan kita.... dengan terus terang menghadap orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita.”

“Nah, begitu baru benar!” Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya kedua tangan pemuda itu. “Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau aku bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga. Aku berani bersamamu menghadap guruku dan orang tuaku untuk berterus terang, minta dibatalkan pertalian jodoh paksaan itu dan menceritakan tentang cinta kasih kita.”

Ceng Liong merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan. “Akupun tidak takut, Eng-moi....”

Bi Eng tersenyum. “Ihh, lucunya kau menyebut Eng- moi kepadaku!”
“Habis, bagaimana? Sudah sepatutnya demikian, bukan?”
“Dan aku harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?”
“Bagaimanapun juga, selain lebih tua darimu, akupun calon suamimu, kan? Pantasnya engkau menyebut koko.”

“Liong-koko.... ih, lucu juga!”
Melihat kekasihnya itu dengan mata masih basah bekas air mata kini tersenyum-senyum manis dan gembira, Ceng Liong tak dapat menahan hatinya dan diciumnya gadis itu, kini diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih canggung karena selama hidupnya baru pertama kali itu mencium, itupun dilakukannya hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja. Bi Eng terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya menjadi lemas dan iapun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah dengan sepenuh hati dan merekapun berciuman, canggung namun mesra.

“Eng-moi, aku cinta padamu dan aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu.”

“Tak perlu sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan juga ayah bundaku adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat menyadari kekeliruan mereka. Kita menentang mereka karena memang sekali ini mereka terlalu sembrono dan keliru dalam menjodohkan anak-anak mereka tanpa perhitungkan lebih dulu,tanpa memperdulikan isi hati antara yang bersangkutan.”

Bersambung ke buku 15