Kisah Si Bangau Putih -6 | Kho Ping Hoo



Buku 6

Wajah Sin Hong berubah merah. Panas juga perutnya ketika mendengar ucapan terakhir itu. Dia dianggap sombong dan pengecut! Sungguh keterlaluan sekali nona ini, pikirnya. Dari ucapannya itu saja jelas menunjukkan bahwa yang sombong adalah nona ini! Timbul pula keinginan hatinya untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu gadis keturunan para pendekar Pulau Es ini. Sudah banyak dia mendengar dari ketiga orang gurunya akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga para pendekar Pulau Es, dan kini kebetulan sekali dia ditantang dan dipaksa untuk bertanding melawan seorang di antara mereka. Kesempatan yang amat baik! Dan pertandingan itu dipaksakan oleh gadis itu, bukan atas kehendaknya.

“Baiklah, nona Suma. Kalau memang engkau menghendaki kita mengadu ilmu, terpaksa aku melayanimu untuk membuktikan bahwa aku tidak takut dan bukanlah pengecut, juga bukan orang sombong seperti yang kausangka tadi.” Berkata demikian, Sin Hong lalu melangkah maju menghadapi nona itu. Yo Han berdiri dengan mata terbelalak lebar dan jantung berdebar tegang. Enci Suma Lian ini tidak tahu bahwa tadi ia diselamatkan oleh gurunya, ketika gurunya itu mencegah batu besar menggelinding masuk ke dalam sumur. Kalau enci Suma Lian mengetahui, tentu ia tidak akan bersikap seperti ini, pikirnya. Mulutnya sudah bergerak hendak memberitahu, akan tetapi ditahannya karena dia pun ingin sekali melihat pertandingan adu ilmu antara dua orang yang menurut ibunya memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada ibunya itu. Tentu saja diam-diam dia berpihak kepada suhunya!

Sementara itu, melihat betapa Sin Hong telah menghadapinya, Suma Lian memandang dengan penuh perhatian. Ia memang sengaja mengeluarkan kata-kata sombong dan pengecut, untuk memaksa pemuda itu mau melayaninya bertanding. Kini ia mengamati pemuda itu. Seorang pemuda yang wajahnya biasa saja, seperti seorang pemuda petani biasa yang sederhana. Pakaiannya serba putih, dari kain kasar pula. Akan tetapi, pada wajah yang biasa itu terdapat sepasang mata yang sinarnya lembut sekali, dan mulut yang mengandung keramahan, dengan senyum lembut pula. Mata dan mulut itulah yang mengandung daya tarik yang amat kuat.

Di lain pihak, Sin Hong juga mengamati gadis yang dikaguminya itu. Gadis keturunan keluarga Suma dari Pulau Es! Tadi ketika tersenyum mengejek, dia melihat betapa di tepi kedua ujung mulut gadis itu tiba-tiba muncul dua lesung pipit yang membuat wajah itu menjadi semakin manis. Sepasang mata yang tajam dan jeli, juga lincah. Sikap yang gagah dan berani, agak ugal-ugalan. Seorang gadis yang jelas menunjukkan bahwa ia biasa hidup di dunia persilatan, berani menghadapi kehidupan yang keras dan penuh tantangan. Kedua orang muda itu saling pandang seperti dua ayam jago yang saling menilai sebelum bertarung.

Biarpun ia tahu bahwa pemuda ini lihai, Suma Lian tidak mengeluarkan sulingnya karena pemuda itu pun bertangan kosong. Ia ingin menguji kepandaian pemuda itu dalam ilmu silat tangan kosong. Melihat pemuda itu sudah berdiri dengan sikap tenang di depannya, ia pun mulai memasang kuda-kuda dan membentak nyaring, “Orang she Tan, lihat seranganku!” Teriakan ini disusul serangan yang amat cepat dan kuat, karena ia sudah mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang dalam jurus serangan Ilmu Silat Lothian Sin-kun. Hebat bukan main serangannya, karena memang Ilmu Silat Lothian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) yang dipelajarinya dari mendiang Bu Beng Lokai itu merupakan ilmu silat tingkat tinggi yang ampuh. Juga tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) merupakan ilmu keturunan keluarga Pulau Es yang hebat.

Sin Hong kagum melihat gerakan serangan yang amat cepat dan dahsyat itu, dan dia sudah merasakan sambaran hawa dingin ke arah dadanya sebelum tangan gadis itu sendiri tiba, dan tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung hawa pukulan sin-kang dari keluarga Pulau Es. Karena dia memang tidak mempunyai maksud untuk bermusuhan dengan gadis itu, maka dia pun tidak mau melawan keras dengan keras. Dia menggerakkan kedua kakinya dan menggeser kaki depan ke belakang menghindarkan diri dari serangan pertama itu dengan elakan. Melihat betapa serangannya dapat dielakkan dengan mudahnya. Suma Lian mendesak lagi dengan serangan berikutnya yang lebih hebat. Kini, tangan kirinya menampar dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-kang, sedangkan pada detik berikutnya, tangan kanannya sudah menjotos ke arah dada dengan tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api)! Gadis ini menerima gemblengan penggunaan kedua sin-kang yang berlawanan dari keluarga Pulau Es, digembleng oleh ayahnya sendiri setelah ia pulang dari berguru kepada mendiang Bu Beng Lokai. Karena ia sudah memperoleh dasar yang amat kuat, maka tidak sukar baginya menerima penggabungan kedua inti tenaga sakti itu yang merupakan kebanggaan dari keluarga Pulau Es.

Ketika ada dua macam tenaga yang berlawanan, dingin sekali kemudian disusul panas sekali, Sin Hong terkejut bukan main. Kedua hawa sakti yang menyambar itu seperti mengepungnya dan agaknya sukar baginya untuk hanya mengandalkan kelincahan tubuh untuk mengelak. Gadis itu ternyata mampu bergerak dengan amat cepat, dan gerakan kaki gadis itu pun aneh, mengepung dan memotong jalan keluarnya, maka, kini terpaksa dia harus membela diri dengan tangkisan. Hal ini memang disengaja oleh Suma Lian yang hendak memaksa pemuda itu mengadu tenaga sakti, karena gadis ini merasa yakin bahwa penggabungan kedua sin-kang yang berlawanan itu tentu takkan dapat ditahan oleh lawan. Sin Hong tidak berani mempergunakan tenaga sin-kang gabungan dari tiga orang gurunya dalam Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun, melainkan menangkis dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang pernah dipelajarinya dari Tiong Khi Hwesio, seorang di antara tiga orang gurunya itu. Ketika kedua tangan gadis itu menyambar hampir berbareng dengan kedua sin-kang yang berlawanan, dia pun menangkisnya dengan pengerahan tenaga Inti Bumi.

Tak dapat dicegah lagi, dua pasang lengan itu saling bertemu di udara.

“Plakkk! Plakkkkk!”

Melihat betapa pemuda itu merendahkan badan seperti mendekam, kemudian meloncat dan menangkis serangannya, dan hawa pukulan yang amat kuat menahan kedua pukulannya, membuat tubuhnya terdorong ke belakang seperti dilanda angin badai, Suma Lian mengeluarkan seruan kaget dan cepat ia berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga yang mendorongnya. Dengan gerakan indah, ia sudah dapat meluncur turun kembali setelah membuat salto tiga kali sehingga ia dapat melihat betapa pemuda itu juga terdorong mundur dan nampak sedikit menggigil. Suma Lian tersenyum. Tadinya ia terkejut dan juga takut kalau-kalau ia kalah kuat, akan tetapi kini ternyata bahwa lawannya juga terdorong ke belakang, bahkan bekas kehebatan Swat-im Sin-kang masih nampak mempengaruhinya, membuatnya agak menggigil. Akan tetapi yang membuat ia tadi kaget setengah mati adalah ketika mengenal gerakan Sin Hong. Tidak salah lagi, pemuda itu tadi mengeluarkan tenaga sakti Inti Bumi, melihat dari caranya mendekam lalu meloncat ketika menangkis.

Sin Hong juga terkejut bukan main. Dia kagum sekali. Sekarang barulah dia tahu mengapa tiga orang gurunya memuji-muji ilmu dari keluarga Pulau Es. Ketika tadi dia menangkis, memang dia tidak berani mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi akibatnya, dia terdorong mundur sampai terhuyung-huyung, dan tubuhnya diserang hawa panas sekali, kemudian dingin sekali sampai membuat dia menggigil. Memang dia dapat segera mengatasi hawa dingin ini dengan tenaga sin-kangnya, akan tetapi hal itu membuatnya terkejut sekali. Juga dia kagum melihat betapa gadis itu dengan indahnya dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik sampai tiga kali dengan gaya dan gerakan indah.

Akan tetapi, sebelum hilang kaget dan kagumnya, kini dia menjadi semakin kaget melihat betapa gadis itu merendahkan tubuhnya dan tiba-tiba saja gadis itu menyerangnya lagi. Dari jarak yang agak jauh, karena gadis itu tadi berjungkir balik ke belakang sejauh tiga meter lebih, tiba-tiba gadis itu meluncur, bagaikan seekor naga menyerangnya dengan serangan dahsyat dan aneh sekali, dengan kedua tangan dibentangkan dan jari telunjuk ditudingkan, kemudian secara bertubi-tubi kedua jari telunjuk itu melakukan totokan-totokan dengan tenaga yang amat dikenalnya, karena cara gadis itu tadi mengumpulkan tenaga, jelas bahwa gadis itu menggunakan tenaga Inti Bumi! Dan serangan totokan bertubi itu mengeluarkan suara mencicit-cicit seperti benda tajam yang menyambar-nyambar! Dia tidak tahu bahwa gadis itu kini mengguhakan Ilmu Totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari ayahnya, sebuah ilmu totokan yang amat ganas dan berbahaya, juga amat aneh dan sukar dihindarkan lawan.

Sin Hong merasa betapa dirinya diserang oleh banyak jari tangan yang lebih berbahaya daripada dua batang tombak, yang seolah-olah bermata dan menyerang bertubi-tubi ke arah bagian tubuhnya yang berbahaya. Dia sudah menangkis dengan kedua lengannya juga mengelak ke sana-sini, namun akhirnya dia menjadi sibuk karena sukar sekali mematahkan serangkaian serangan yang mengandung tenaga Inti Bumi itu. Dia tidak mengenal ilmu totokan yang aneh sekali gerakannya itu, yang biarpun dilakukan dengan sebuah saja jari tangan, namun amat berbahaya karena jari telunjuk itu menjadi keras bagaikan baja. Dia pernah mempelajari ilmu Toat-bengci (Jari Maut), sebuah ilmu totokan yang istimewa dari seorang di antara tiga gurunya. Gurunya itu, Tiong Khi Hwesio, dahulunya ketika masih bernama Wan Tek Hoat pernah mendapat julukan Si Jari Maut karena ilmu totoknya itu. Dibandingkan dengan Toat-beng-ci, kedua jari tangan gadis itu tidak kalah ampuhnya. Akan tetapi, teringat akan Toat-beng-ci, dia pun lalu cepat mengubah gerakannya dan kini dia pun menghadapi totokan-totokan itu dengan totokan pula!

“Tuk! Tuk!” Ketika kedua telunjuk tangan Suma Lian bertemu dengan ujung telunjuk kedua tangan Sin Hong, gadis itu berseru kaget. Pemuda itu menghadapi totokannya dengan tangkisan berupa totokan pula, dan dapat dengan tepat menotok ujung telunjuknya dengan tenaga Inti Bumi yang sama pula! Ia menjadi semakin penasaran dan marah, lalu kedua tangannya dibuka, dihantamkan ke arah lawan dengan mengerahkan tenaga sin-kang sekuatnya!

Sambaran hawa pukulan ini makin mengejutkan hati Sin Hong karena dia tahu akan kehebatannya. Tidak ada lain jalan baginya kecuali menerima hantaman itu dengan kedua tangan terbuka pula.

“Plakkk!” Kedua pasang tangan itu kini saling melekat dan keduanya terkejut sekali! Dua tenaga raksasa dari tubuh masing-masing telah bertemu dan mereka berdua berada dalam keadaan terjepit. Siapa yang lebih dulu menarik tenaganya akan celaka! Tidak ada lain jalan kecuali melanjutkan pengerahan tenaga sin-kang yang kini seolah-olah macet dalam pertemuan kedua pasang telapak tangan itu, saling dorong dalam kekuatan yang sama. Kalau Sin Hong menghendaki dia dapat menggunakan tenaga gabungan dalam dirinya, dengan Ilmu Pek-ho Sin-kun, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau gadis itu tidak akan kuat menerimanya dan akan tewas atau setidaknya terluka parah. Karena hal itu tidak dikehendakinya, maka dia tidak mau mempergunakannya. Akan tetapi, dia pun tidak mungkin dapat menarik kembali tenaganya karena kalau hal itu terjadi, dia akan celaka. Di dalam kedua telapak tangan gadis itu terkandung tenaga sakti Inti Bumi, Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Kalau dia menarik tenaganya, satu di antara tiga tenaga sakti itu akan terus meluncur melalui telapak tangan dan menghantamnya. Dia dapat tewas atau terluka parah! Darahnya dapat menjadi beku oleh Swat-im Sin-kang, atau hangus oleh Hui-yang Sin-kang, atau semua ototnya, setidaknya jantungnya, akan remuk oleh tenaga sakti Inti Bumi!

Di lain fihak, Suma Lian juga terkejut bukan main. Ia pun mengerti bahwa keadaannya amat berbahaya. Ia tidak mungkin dapat menarik kembali tenaganya, karena kalau ia lakukan ini, ia akan dihantam tenaga dahsyat dari pemuda itu. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah menambah tenaganya dan mengerahkan semua tenaga yang ada. Namun, betapa ia mengerahkan tenaga, di fihak pemuda itu pun agaknya selalu menambah tenaga untuk mengimbanginya sehingga mereka berdua seperti dalam keadaan terapung, tenggelam tidak terapung pun tidak. Kalau pertandingan adu tenaga sinkang itu dilanjutkan, akhirnya mereka berdua akan kehabisan tenaga dan siapa yang lebih dahulu habis tenaganya, ialah yang akan celaka! Sebaliknya, kalau mereka menarik kembali tenaga mereka, siapa yang lebih dulu menarik kembali tenaganya, Ia akan binasa! Sungguh suatu keadaan yang amat mengerikan.

Mereka berdua saling pandang dan melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat, pandang matanya mulai panik, Sin Hong merasa kasihan. Dari kepala mereka sudah mengepul uap putih, tanda bahwa keduanya telah mengerahkan tenaga yang amat hebat dan di dalam tubuh mereka bergolak mendidih oleh kekuatan yang berputaran itu.

Tiba-tiba saja, Suma Lian mendengar suara berbisik dan melihat betapa bibir pemuda itu bergerak perlahan. Terdengar olehnya, sayup sampai dan lirih sekali suara pemuda itu. “Dorong dan tarik berbareng, lempar tubuh ke belakang.”

Sejenak Suma Lian memandang bingung lalu ia mengerti. Memang, kalau mereka dapat melakukan hal itu dalam detik yang sama yaitu keduanya saling dorong kemudian keduanya dalam saat yang sama saling menarik tenaga kemudian melempar tubuh ke belakang, kemungkinan besar mereka akan dapat saling melepaskan diri. Memang harus tepat sekali, karena kalau tidak tepat dan dalam detik yang sama yang berbareng, seorang di antara mereka dapat celaka. Selagi gadis itu meragu walaupun ia sudah mengangguk sebagai jawaban, terdengar, lagi bisikan pemuda itu menghitung, “Satu.... dua.... tiga....!”

Seperti menurutkan naluri saja, tepat pada hitungan ketiga. Suma Lian mengerahkan tenaga sin-kangnya mendorong, lalu menarik. Hal yang sama dilakukan pula oleh Sin Hong, tepat pada waktunya sehingga tiba-tiba saja kedua pasang tangan yang tadinya saling menempel itu terlepas dan seperti didorong oleh tenaga raksasa, tubuh mereka terpental ke belakang seperti dua helai layang-layang putus talinya. Ini saja sudah berbahaya sekali karena mereka itu tadi dalam keadaan “kosong” setelah masing-masing menarik tenaga, kini terpental karena ledakan tenaga masing-masing yang tadi saling mendorong. Namun berkat ketinggian ilmu kepandaian mereka, keduanya dapat menguasai dirinya sehingga ketika tubuh mereka terpental itu, mereka dapat membuat pok-sai (salto) sampai beberapa kali dan dapat turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri, tidak sampai terbanting keras. Wajah Suma Lian nampak pucat, akan tetapi perutnya masih panas sekali. Ia masih merasa panasaran karena merasa belum dikalahkan. Di lain saat, tubuhnya sudah meluncur ke arah Sin Hong, didahului sinar kuning emas dari sulingnya. Gadis ini telah mencabut suling emasnya dan dengan gerakan cepat sudah menyerang dengan memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Naga Siluman) yang dimainkan dengan suling emas. Sulingnya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar keemasan yang bergulung-gulung dan mengeluarkan suara mengaung-ngaung tinggi rendah, dahsyat sekali!

“Aih, Nona, harap hentikan seranganmu!” Sin Hong berseru terkejut sekali. Baru saja mereka berdua terlepas dari bahaya maut, dan nona ini masih melanjutkan pertandingan itu dengan serangan yang begini hebat! Karena dia terkejut dan tidak menyangka biarpun dia sudah mengelak, tetap saja sinar suling itu masih merobek baju di pundak kirinya. Namun dia dapat menghindarkan diri dengan bergulingan dan menjauh.

“Tidak, seorang di antara kita belum kalah!” bentak Suma Lian galak dan gadis ini sudah menyerang lagi.

Terpaksa Sin Hong melawan karena dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini yang memang amat lihai dan memiliki banyak macam ilmu silat tinggi, setelah menggunakan suling emas ternyata semakin berbahaya pula. Dan begitu tubuhnya meloncat bangun dari bergulingan tadi, dia sudah mainkan Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun! Hanya ilmu simpanannya, inilah yang akan dapat menyelamatkan dirinya pikirnya karena kalau dia mengandalkan ilmu silatnya yang lain kiranya akan sukar menghindarkan diri dari ancaman suling emas yang amat dahsyat itu. Tubuhnya bergerak dengan lambat namun cepat, lemah namun kuat! Inilah inti dari ilmu silatnya itu, nampak kosong namun berisi. Gerakannya seperti seekor burung bangau, demikian tenang dan lambat, indah dan setiap gerak mengandung kekuatan tersembunyi yang amat hebat, kekuatan yang dapat menerbangkan tubuh seekor burung bangau itu jauh tinggi di angkasa, kelemasan yang dapat membuat seekor burung bangau mampu melawan dan mengalahkan seekor ular, kecepatan tersembunyi yang dapat membuat seekor burung bangau mampu menangkap seekor katak yang meloncat dengan cepatnya.

Tubuh Sin Hong bergerak seperti menari di antara gulungan sinar kuning emas itu, kedua lengannya kadang-kadang terpentang seperti sayap seekor burung bangau putih, lengan tangan itu demikian lemasnya, kadang-kadang lengan itu seperti leher bangau, tangannya membentuk kepala bangau yang menyampok suling dan menotok ke arah jalan darah di sekitar tubuh Suma Lian. Gadis ini kagum bukan main. Belum pernah ia menyaksikan ilmu silat seindah itu. Pernah ia mempelajari Ilmu Silat Panca Hewan, yaitu gerakan lima binatang, harimau, kijang, biruang, kera dan burung. Akan tetapi, Ilmu Silat Burung yang dipelajarinya itu berbeda dengan ilmu silat yang kini dimainkan lawannya. Dan kedua lengan lawannya itu demikian lemas dan kuat, ketika menangkis sulingnya membuat tangannya yang memegang suling tergetar. Namun, ia hanya kagum dan tidak gentar.

“Hyaaaaa....!” Ia menyerang lagi setelah memutar sulingnya yang berubah menjadi lingkaran lebar. Sinar terang mencuat ke depan ketika sulingnya menusuk ke arah ulu hati lawan. Sin Hong menyambutnya dengan tangkisan tangan kanan dari samping sambil miringkan tubuhnya. Lengan kanannya itu seperti leher burung Bangau Putih menangkis terus melibat dan tangannya yang sudah membentuk kepala bangau itu, langsung menotok ke depan, ke arah pergelangan tangan yang memegang suling, dan tangan kirinya, juga membentuk kepala burung bangau menotok ke arah pundak kiri dari arah belakang tubuh gadis itu. Kedua serangan balasan ini masih dibantu kaki kirinya yang seperti kaki bangau yang mencakar menendang ke arah bagian sisi luar dari lutut kanan Suma Lian.

Gadis itu terkejut bukan main. Gerakan lawan demikian otomatis dan cepat walaupun nampak lambat dan tenang sekali. Ia tidak tahu bahwa itulah jurus Bangau Mencuci Sayap dari Ilmu Pek-ho Sin-kun yang amat sakti dari lawannya. Ia cepat menarik kembali sulingnya, diputar menangkis totokan pada pundaknya dan untuk menghindarkan diri dari tendangan itu ia terpaksa meloncat jauh ke belakang dalam keadaan terhuyung! Tenaga yang dipergunakan Sin Hong adalah tenaga gabungan dari tiga orang gurunya, maka tentu saja pertemuan tenaga itu, walaupun bukan merupakan benturan langsung, membuat Suma Lian terhuyung.

Tiba-tiba terdengar teriakan Yo Han, “Enci Suma Lian, tadi Suhu telah menyelamatkan nyawa Enci, kenapa sekarang Enci menyerangnya mati-matian? Begitukah cara Enci membalas budi kebaikan orang?”

Anak ini sejak tadi memang diam saja untuk menyaksikan pertandingan antara gurunya dan gadis yang oleh ibunya dikatakan amat lihai itu. Akan tetapi dia menjadi pening ketika menonton pertandingan itu, tidak tahu siapa kalah siapa menang atau siapa yang lebih unggul di antara mereka. Gerakan mereka berdua itu terlalu cepat bagi matanya yang tidak terlatih. Hanya ketika dia melihat Suma Lian mempergunakan senjata suling emas yang mengeluarkan sinar menyilaukan itu, sedangkan gurunya tidak mempergunakan senjata, hatinya merasa khawatir kalau-kalau gurunya sampai celaka. Maka kini dia mengeluarkan seruan itu.

Tentu saja Suma Lian yang sudah siap untuk menyerang lagi, menjadi heran mendengar ucapan dari anakitu. Ia menahan dirinya, dan menoleh kepada Yo Han. Napasnya agak memburu dan baru terasa olehnya betapa lelah tubuhnya dan pakaiannya telah basah oleh keringat.

“Yo Han, apa artinya ucapanmu itu?” tanyanya dengan alis berkerut karena ia tidak pernah merasa diselamatkan nyawanya oleh Tan Sin Hong.

“Enci, ketika Enci tadi terjatuh ke dalam sumur, iblis betina itu menggelindingkan sebuah batu besar ke dalam sumur untuk membunuhmu. Ibu tidak berdaya mencegah dan ibu sudah pucat sekali, akan tetapi pada saat batu hendak menggelinding ke dalam sumur, tiba-tiba muncul suhu Tan Sin Hong yang memukul dan mendorong batu sehingga tidak sampai jatuh ke dalam sumur dan menimpa Enci yang masih berada di dalam sumur itu.”

Tentu saja Suma Lian terkejut bukan main mendengar keterangan Yo Han itu dan ia cepat menoleh, memandang kepada Sin Hong dengan sepasang mata tajam menyelidik, juga mengandung rasa heran. “Benarkah itu? Kenapa engkau diam saja dan tidak menceritakan hal itu ketika aku menyerangmu?”

Sin Hong tersenyum dan menggeleng kepalanya perlahan. “Nona, hal yang sekecil itu tidak perlu disebut lagi. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita masing-masing untuk mencegah terjadinya kejahatan, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”

“Wah, sungguh aku harus malu sekali! Engkau telah menolongku menghindarkan aku dari kematian mengerikan dalam sumur itu, dan aku masih bersikap buruk, menantangmu, dan engkau masih juga menyebut aku nona! Aih, Toako (Kakak Tua), jangan membuat aku menjadi semakin malu dan berdosa. Maafkan aku, Toako!” katanya tersenyum dan ia pun menjura dengan membungkukkan tubuhnya sampai dalam sekali.

Sin Hong memandang dengan wajah berseri dan dia pun tersenyum geli. Nona ini sungguh gagah perkasa, lincah polos dan juga ugal-ugalan. Melihat sikap Suma Lian, lenyaplah sudah semua rasa penasaran karena gadis ini tadi menyerangnya mati-matian. Memang gadis ini berwatak aneh, akan tetapi harus diakuinya bahwa ia memiliki kegagahan yang luar biasa, juga demikian ringannya mulut yang manis itu mengakui kesalahannya dan minta maaf. Sikap mau mengakui kesalahan dan maaf inilah yang amat mengagumkan hati Sin Hong karena pemuda ini maklum bahwa sikap demikian hanya dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa pendekar gagah perkasa dan bijaksana, dan merupakan sifat yang amat sukar dilakukan oleh kebanyakan orang. Dia pun cepat membalas penghormatan itu dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya.”

“Sudahlah, Nona. Semua kesalahpahaman itu mungkin saja terjadi karena Nona belum mengenalku.”

“Ah, Toako. Engkau masih saja menyebutku nona-nona! Padahal, engkau yang memiliki tenaga sakti Inti Bumi, jelas masih mempunyai hubungan dengan aku, kenapa masih mempergunakan tata cara sungkan-sungkan! Kalau engkau tidak mau menyebut adik kepadaku itu berarti bahwa engkau tidak mau berkenalan denganku dan kuhabisi saja pertemuan kita sampai di sini saja!”

Tentu saja Sin Hong terkejut. Gadis ini sungguh aneh sekali, hatinya keras dan agaknya ia tidak mau mengalah dalam hal apa pun juga! Maka sambil tersenyum dia pun cepat berkata, “Baiklah, Non.... eh, adik Suma Lian yang baik. Maafkan aku karena sesungguhnya aku merasa kurang pantas kalau aku berkakak adik dengan seorang seperti engkau, keturunan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa.”

Wajah yang cemberut itu kini sudah tersenyum kembali, matanya bersinar-sinar dan lesung pipit yang manis muncul kembali di kanan kiri mulutnya. “Uh, Hong-ko (kakak Hong) engkau hendak mengejekku, ya? Siapa tidak tahu bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Baru sekarang aku bertemu tanding yang demikian lihai, dan aku sungguh mengaku kalah!”

“Ah, jangan merendahkan diri, Lian-moi (adik Lian)! Kepandaianmulah yang hebat bukan main. Aku sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dan baru hari ini aku beruntung sekali merasakan semua kehebatan itu. Akan tetapi yang membuat aku bingung, bagaimana engkau mahir pula menggunakan tenaga sakti Inti Bumi?”

“Marilah kita duduk dan bicara, Hong-ko. Hei, Yo Han, mari duduk di sini engkau. Kenapa berdiri bengong saja di situ?” teriak Suma Lian sambil menggapai kepada anak itu yang sejak tadi berdiri di pinggir. Mendengar panggilan ini, Yo Han lari menghampiri.

“Enci, bagaimana pendapatmu dengan ilmu kesaktian suhuku? Siapakah yang lebih unggul antara Enci dan Suhu tadi?” tanyanya sambil duduk di atas rumput, dekat Suma Lian.

“Tentu saja gurumu yang lebih lihai,” kata Suma Lian tersenyum.

“Yo Han, duduk saja di situ dan tutup mulut, jangan bicara kalau tidak ditanya!” Sin Hong berkata dengan tegas.

“Baik, Suhu” jawab Yo Han, tegas pula walaupun sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Agaknya Yo Han sudah mengenal betul watak gurunya yang lemah lembut dan tahu bahwa kegalakan tadi dibuat-buat saja.

Mereka duduk berhadapan, dan Yo Han duduk agak mundur. Setelah beberapa lamanya saling pandang, Suma Lian berkata, “Hong-ko, agaknya engkau sudah tahu bahwa aku adalah keturunan keluarga Pulau Es tentu engkau mendengar dari percakapan ketika aku menghadapi orang-orang sesat tadi. Akan tetapi aku sendiri belum tahu siapakah engkau sebenarnya.”

“Namaku Tan Sin Hong.”

“Itu aku sudah tahu. Akan tetapi, siapakah gurumu, Hong-ko? Aku yakin bahwa ada hubungan antara perguruan kita karena kita berdua sama-sama menguasai tenaga Sakti Inti Bumi, walaupun ilmu-ilmu silatmu aneh dan banyak yang tidak kukenal.”

Sin Hong mengerutkan alisnya. Selama ini, belum pernah dia menceritakan kepada orang lain tentang guru-gurunya tentu saja kecuali kepada keluarga suhengnya, Kao Cin Liong sebagai putera tunggal suami Isteri penghuni Istana Gurun Pasir. Akan tetapi, dia pun sering mendengar dari para gurunya bahwa keluarga Pulau Es tidak boleh dianggap sebagai “orang luar” karena ada hubungan erat sekali antara keluarga Istana Gurun Pasir dan Pulau Es. Dia tahu bahwa gadis yang wataknya aneh ini akan tersinggung dan marah kembali kalau dia tidak mau mengaku siapa guru-gurunya. Kiranya tidak ada salahnya kalau dia mengaku kepada seorang gadis she Suma, keturunan aseli dari Pulau Es.

“Terus terang saja, Lian-moi, tidak pernah aku memperkenalkan nama guru-guruku kepada orang lain. Akan tetapi karena para guruku mengenal baik keluarga Pulau Es, bahkan mempunyai hubungan dekat, dan mengingat pula bahwa antara kita sudah terjadi tali persahabatan yang akrab, maka biarlah aku mengaku kepadamu. Aku mempunyai tiga orang guru, mereka adalah mendiang suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir....“

“Ahhh! Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?” Suma Lian berseru, hampir berteriak.

“Benar, dan yang seorang adalah suhu Tiong Khi Hwesio. Mereka bertiga berada di Gurun Pasir dan aku menjadi murid para guruku itu selama tujuh tahun di sana.”

“Aihhhhh....! Pantas saja engkau demikian lihai! Tapi.... tapi.... engkau tadi berkata mendiang? Apakah.... apakah mereka itu sudah....”

“Mereka sudah meninggal dunia, Lian-moi, tewas ketika belasan orang tokoh sesat menyerbu ke Istana Gurun Pasir. Dan ketahuilah bahwa para penyerbu itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li tadi bersama kawan-kawannya yang lihai.”

“Iblis betina tadi?” Suma Lian berseru kaget dan matanya terbelalak. “Tapi.... bagaimana mungkin iblis betina itu dan kawan-kawannya mampu menewaskan mereka yang sakti? Padahal di sana ada engkau pula, Hong-ko?” Suma Lian bertanya dengan nada suara mengandungpenasaran. Ia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li lihai, akan tetapi ia sendiri mampu menandingi iblis betina itu bahkan Sin Hong sendiri jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Bagaimana mungkin iblis betina itu bersama kawan-kawannya mampu menewaskan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, juga Tiong Khi Hwesio yang pernah didengarnya pula dari ayah ibunya sebagai seorang yang amat lihai?

Sin Hong menarik napas panjang, “Agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa tiga orang guruku itu harus gugur dan tewas sebagai orang-orang yang gagah perkasa. Kurang lebih dua tahun yang lalu terjadinya. Tiga orang guruku adalah orang-orang sakti, akan tetapi usia mereka pun sudah amat lanjut rata-rata delapan puluh tahun, bahkan suhu Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sudah berusia delapan puluh lima tahun. Adapun yang datang menyerbu, bukan orang-orang sembarangan, banyak yang lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw semua berjumlah tujuh belas orang. Tiga orang guruku tewas akan tetapi dari tujuh belas orang penyerbu itu empat belas orang tewas pula, sedangkan yang masih hidup namun terluka parah adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-kauw, Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw.”

“Akan tetapi engkau sendiri bukankah engkau berada di sana, Hong-ko dan bagaimana gurumu tewas?” Suma Lian memandang dengan alis berkerut agaknya merasa heran dan menyesal mengapa pemuda ini tidak dapat membela gurugurunya.

Sin Hong menarik napas panjang, jantungnya terasa nyeri seperti ditusuk setiap kali dia teringat akan peristiwa itu. “Sudah kukatakan tadi Lian-moi, agaknya Tuhan sudah menghendaki demikian dan menakdirkan tiga orang guruku itu sudah tiba saatnya meninggal dunia. Pada waktu itu, aku tidak berdaya. Tiga orang guruku itu mengajarkan sebuah ilmu gabungan ciptaan mereka bertiga dan mengoperkan gabungan tenaga sakti kepada diriku. Ilmu itu harus kupelajari selama satu tahun, dengan syarat bahwa selama setahun itu aku sama sekali tidak boleh melakukan gerakan silat apalagi mengerahkan sinkang karena kalau hal ini kulakukan.... aku akan tewas dengan sendirinya, terpukul sendiri oleh tenaga yang kukerahkan itu. Nah bayangkan saja, Lian-moi. Aku tidak dapat bergerak, terpaksa melihat tiga orang guruku tewas di tangan mereka, dan aku sendiri tertawan tiga orang yang masih tersisa itu. Mereka mengira aku seorang kacung yang tidak memiliki ilmu silat, mereka memaksaku untuk menunjukkan di mana adanya pusaka-pusaka istana tua itu. Karena memang tidak ada pusaka, mereka menyiksaku. Aku membakar istana tua itu berikut jenazah tiga orang guruku, dan aku disuruh menguburkan jenazah empat belas orang penyerbu yang tewas. Untung bagiku pada malam harinya, aku berhasil melarikan diri dan sembunyi di dalam hutan selama satu tahun untuk menyelesaikan latihanku.”

Suma Lian mendengarkan dan kini senyumnya timbul kembali. Kiranya pemuda ini bukan seorang pengecut, melainkan karena terpaksa maka tidak mampu membela guru-gurunya.

“Tapi kenapa Sin-kiam Mo-li tadi tidak heran melihat engkau muncul sebagai seorang yang berilmu tinggi, Hongko?”

“Semenjak aku keluar dari dalam hutan sudah pernah aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, yaitu ketika ia hendak membunuh ketua Cin-sa-pang. Aku menyelamatkan ketua itu dan sejak itu Sin-kiam Mo-li sudah tahu bahwa aku mewarisi ilmu dari para guruku.”

“Akan tetapi, Hong-ko, sungguh aku tidak mengerti. Engkau telah bertemu dengan seorang di antara para pembunuh guru-gurumu, yaitu Sin-kiam Mo-li. Kenapa engkau tidak membalas dendam dan membunuh iblis betina itu?”

Sin Hong tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Ketahuilah Lian-moi, guru-guruku pernah memesan dengan amat sangat kepadaku agar jangan membiarkan dendam meracuni hatiku. Kalau aku menentang Sin-kiam Mo-li, yang kutentang adalah perbuatannya yang jahat, bukan karena dendamku kepada pribadinya, karena kematian guru-guruku.”

Suma Lian mengerutkan alisnya. Pernah ia mendengar ayahnya juga berpendapat demikian, namun ia sendiri tidak pernah dapat menerima dan menyetujui pendapat itu. “Sudahlah, sekarang ceritakan, siapa keluargamu, Hong-ko, dan bagaimana engkau sampai dapat menjadi murid para penghuni Istana Gurun Pasir.”

Terpaksa Sin Hong menceritakan riwayatnya, betapa keluarga ayahnya menjadi hancur karena perbuatan jahat musuh yang sampai kini belum diketahuinya benar siapa orangnya. Betapa ayahnya dibunuh orang, ibunya tewas di gurun pasir, dan dia sendiri tertolong oleh para penghuni Istana Gurun Pasir sehingga menjadi murid mereka. Betapa kemudian dia menyelidiki pembunuh ayahnya sampai sekarang, belum juga berhasil.

“Hemmm, kalau begitu engkau menaruh dendam dan hendak membalas kematian ayahmu?” Suma Lian memancing.

Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak, Lian-moi. Aku hanya mencari pemecahan rahasia itu, ingin aku mengetahui siapa pembunuh ayahku dan mengapa pula ayah dibunuh sehingga ibu pun tewas dalam keadaan sengsara. Kalau pembunuh itu memang jahat, tentu saja akan kutentang seperti aku menentang para penjahat lainnya, siapa dan di mana pun juga. Menurut hasil penyelidikanku, rahasianya agaknya terletak pada perkumpulan Tiat-liong-pang dan aku sedang hendak pergi ke sana.”

Suma Lian mengangguk-angguk. “Dan ilmu sin-kang Inti Bumi itu, kau pelajari dari siapa?”

“Dari suhu Tiong Khi Hwesio.”

“Ahhh! Menurut cerita ayahku, Tiong Khi Hwesio dahulunya bernama Wan Tek Hoat, berjuluk Si Jari Maut, seorang pendekar yang lihai sekali.”

“Benar, dan menurut mendiang Tiong Khi Hwesio guruku itu, sinkang Inti Bumi berasal dari para penghuni Pulau Neraka. Bagaimana engkau sendiri yang menjadi keturunan keluarga Pulau Es, dapat menguasai sinkang itu, Lian-moi?”

“Aku biarpun aku cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan ayahku merupakan keturunan langsung, namun aku pernah menjadi murid paman kakekku sendiri yang berjuluk Bu Beng Lokai dan sekarang telah meninggal dunia. Dari dialah aku mempelajari sin-kang itu, kemudian tentu saja aku memperdalam ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, dari ayah dan juga ilmu mempergunakan suling emas ini dari ibuku.”

Sin Hong memandang kagum. “Ah, tidak heran kalau engkau begitu lihai, Lian-moi. Kiranya engkau telah mempelajari banyak ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es.”

“Sudahlah, Toako, tak perlu memuji lagi. Sudah jelas bahwa dalam hal ilmu silat, bagaimanapun juga aku masih kalah olehmu. Sekarang, engkau hendak pergi ke mana? Aku sendiri akan pergi ke lereng Gunung Tapa-san, menemui seorang paman tua menyampaikan pesan ayahku. Dan engkau?”

“Seperti kuceritakan tadi penyelidikanku membawaku ke sini dan aku akan pergi mengunjungi Tiat-liong-pang, melanjutkan penyelidikanku karena sebelum mati, orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang, dan menurut penyelidikanku, perkumpulan itu bersarang di luar kota Sang-cia-kou, di lereng sebuah bukit.”

“Sang-cia-kou di selatan? Kalau begitu dapat lewat Tapa-san. Bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama saja, Hong-ko?”

Sin Hong tersenyum gembira. Gadis ini demikian lincah dan ternyata ramah dan manis sekali kalau tidak marah, dan tentu perjalanan akan menjadi menyenangkan dan tidak sepi kalau dilakukan bersama Suma Lian. “Baiklah, Lian-moi. Hanya ada satu hal yang membuat aku agak bingung, yaitu anak ini. Aku masih memiliki banyak tugas yang harus kuselesaikan, banyak menempuh perjalanan jauh dan sukar, bnhkan mungkin bertemu lawan yang jahat dan tangguh. Bagaimana aku akan dapat leluasa bergerak kalau harus menjaga dia?”

“Akan tetapi dia muridmu dan ibunya sudah menyerahkan kepadamu, Hong-ko. Engkau pun sudah menerimanya!” kata Suma Lian dan ia pun tersenyum lebar karena ia merasa gembira bahwa bukan ia yang menerima beban berat itu! Kalau ia yang menerima Yo Han dari ibunya, tentu ia akan menjadi lebih bingung dibandingkan Sin Hong.

“Benar, dan terus terang saja, biarpun aku belum mempunyai niat mengambil murid, merasa masih terlalu muda, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal tetap, aku suka melihatnya. Akan tetapi, kalau sekarang dia terus mengikuti aku, bagaimana aku akan dapat berhasil melaksanakan tugasku?”

“Suhu, harap Suhu tidak khawatir!” Tiba-tiba Yo Han berkata dengan penuh semangat, “Suhu tidak perlu mempedulikan teecu, tidak perlu menjaga teecu, karena teecu dapat menjaga diri sendiri.”

Mendengar ucapan itu, Sin Hong dan Suma Lian saling pandang dan keduanya tersenyum, ada rasa kagum membayang pada wajah mereka. Anak itu memang luar biasa. Sedikit pun tidak pernah belajar silat akan tetapi memiliki keberanian dan semangat yang hebat, bahkan sedikit pun tidak gentar menghadapi ancaman maut di tangan Sin-kiam Mo-li. Sungguh sukar dicari keduanya anak dengan nyali seperti ini, nyali seorang calon pendekar sejati.

“Ah, aku mempunyai jalan keluar yang amat baik!” tiba-tiba Suma Lian berkata. Sin Hong memandang kepadanya dengan penuh harapan.

“Ketahuilah, Hong-ko. Paman tua yang akan kukunjungi itu adalah saudara sepupu ayahku, dia bernama Suma Ciang Bun, keturunan langsung pula dari keluarga Pulau Es. Pek-hu (Uwa) Suma Ciang Bun itu hidup seorang diri, hanya berdua dengan muridnya yang sering kali pergi merantau. Dan dia pun tidak berkeluarga, bahkan kini ayah menyuruh aku pergi mengunjunginya dan menyampaikan ajakan ayahku agar pek-hu suka tinggal bersama ayah dan ibu, agar hidupnya di hari tua tidak kesepian. Nah, bagaimana kalau engkau titipkan Yo Han kepadanya lebih dulu selama engkau melaksanakan tugasmu? Aku yang akan bicara dan setelah melihat Yo Han aku yakin pek-hu akan suka pula menerimanya.”

Wajah Sin Hong berseri. “Ah, itu merupakan jalan keluar yang baik sekali!” Tiba-tiba wajahnya berubah. “Akan tetapi, bagaimana aku berani mengganggu locianpwe itu?” Dia lalu menoleh kepada Yo Han dan berkata, “Dan bukankah itu berarti aku melepaskan pula tanggung jawabku setelah menerima anak ini dari ibunya?”

“Urusan pek-hu akulah yang akan bicara, Hong-ko. Dan kalau pek-hu mau menerimanya, kurasa bukan berarti engkau melepas tanggung jawab, karena bukankah maksud bibi Bi-kwi hanya agar engkau membawa pergi Yo Han dan anak ini dihindarkan dari gangguan Sin-kiam Mo-li?”

Akan tetapi Sin Hong masih meragu, memandang kepada Yo Han dengan bingung. Melihat ini, Yo Han segera berkata, “Suhu, teecu mengerti bahwa kalau teecu ikut dengan Suhu sekarang, teecu akan menjadi beban dan Suhu akan merasa terhalang dan terganggu. Karena itu, teecu akan mentaati semua perintah Suhu, disuruh tinggal di manapun teecu menurut, asal Suhu tidak melupakan teecu dan kelak pada waktunya Suhu datang menjemput teecu.”

Mendengar ini, Suma Lian bertepuk tangan memuji. “Murid yang bagus sekali, ah engkau beruntung mempunyai seorang murid seperti dia, Hong-ko!”

Mau tidak mau Sin Hong tersenyum. Bagaimanapun juga, dia memang suka dan kagum kepada Yo Han. “Kalau begitu, baiklah dan sebelumnya kuhaturkan terima kasih atas bantuanmu, Lian-moi.”

Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Tapa-san dan di sepanjang perjalanan Sin Hong merasa gembira selalu karena Suma Lian memang merupakan seorang gadis yang lincah jenaka, sedangkan Yo Han juga merupakan seorang anak yang menyenangkan dan murid yang taat dan cekatan. Setiap kali mereka berhenti di hutan dan terpaksa bermalam di tempat terbuka, tanpa diperintah lagi anak itu mencari kayu bakar, atau air dan sebagainya. Juga Yo Han pandai membawa diri, pendiam tak pernah bicara kalau tidak ditanya, wajahnya selalu cerah walaupun kadang-kadang, terutama sekali di waktu malam kalau dia sedang duduk menghadapi api unggun, anak itu seringkali termenung. Sin Hong dan Suma Lian dapat menduga bahwa tentu anak itu teringat dan rindu kepada ayah bundanya. Namun, tak pernah anak itu mau mengatakan hal ini dan dengan keras hati menyembunyikan kesedihannya itu di balik dagu yang mengeras dan mata yang bersinar-sinar.

***

Kita tinggalkan dulu perjalanan Sin Hong, Suma Lian dan Yo Han yang menuju ke Pegunungan Tapa-san itu, dan mari kita mengikuti keadaan Pouw Li Sian yang telah berada di sarang Tiat-liong-pang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis ini berkunjung ke Tiat-liong-pang karena ketuanya yaitu Siangkoan Lohan (Kakek Gagah Siangkoan) atau bernama Siangkoan Tek, dahulu adalah sahabat dari mendiang ayahnya, Menteri Pouw Tong Ki. Bahkan pernah satu dua kali ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang sehingga ia sudah mengenal Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong. Ia berkunjung untuk bertanya tentang seorang kakaknya, satu-satunya anggauta keluarganya yang kabarnya masih hidup, yaitu Pouw Ciang Hin, yang menurut hasil penyelidikannya, kini menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang bertugas jaga di perbatasan utara dekat Tembok Besar.

Munculnya gadis itu di Tiat-liong-pang, sempat menggemparkan karena ketika Sin-kiam Mo-li yang mencurigainya menyuruh anak buahnya untuk menangkap, Pouw Li Sian menunjukkan bahwa ia adalah seorang gadis yang amat lihai, Sin-kiam Mo-li sendiri tidak mampu mengalahkannya! Siangkoan Lohan segera menerimanya dengan ramah dan baik ketika mendengar pengakuan Li Sian bahwa gadis yang cantik dan lihai ini bukan lain adalah puteri sahabatnya, Pouw Tai-jin. Gadis ini diterima dan disambut dengan gembira, dan ketika bertemu dengan Siangkoan Liong yang pernah dikenalnya ketika mereka masih kecil, di antara mereka berdua segera terjalin suatu keakraban.

Pouw Li Sian adalah seorang gadis yang biarpun telah mempegoleh pendidikan ilmu silat tinggi sehingga membuatnya menjadi seorang gadis yang amat lihai, namun ia masih hijau dalam pengalaman. Ia baru saja meninggalkan perguruan dan pengetahuan umumnya masih dangkal, walaupun ia bukan seorang gadis bodoh. Oleh karena itu, ketika ia tinggal di sarang Tiat-liong-pang, ia tidak menaruh curiga sedikit pun. Akan tetapi, bagaimanapun juga, ia merasa heran ketika diperkenalkan dengan para tokoh sesat yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang, karena banyak di antara mereka yang sikapnya kasar, bahkan menjemukan hatinya karena mereka itu jelas-jelas memperlihatkan pandang mata yang kurang ajar dan tidak sopan.

Perasaan penasaran yang terkandung di dalam hatinya melihat orang-orang kang-ouw yang kasar itu berada di situ dan agaknya menjadi pembantu atau tamu dari Tiat-liong-pang, mendorong Li Sian untuk membicarakannya dengan Siangkoan Liong yang telah dipercayainya. Setelah beberapa hari tinggal di situ dan melihat betapa Tiat-liong-pang melatih para anggautanya untuk bermain perang-perangan, seolah-olah perkumpulan itu mempersiapkan diri untuk berperang, ia pun pada suatu senja bercakap-cakap tentang semua itu dengan Siangkoan Liong dalam sebuah taman. Mereka duduk berhadapan di atas bangku kayu sederhana di dekat kolam ikan buatan yang membuat tempat itu terasa nyaman dan sejuk segar. Baik gadis itu maupun Siangkoan Liong, baru saja mandi dan berganti pakaian bersih sehingga keduanya merasa segar pula.

Biarpun Li Sian baru tinggal belasan hari di tempat itu, namun pergaulannya dengan Siangkoan Liong telah cukup akrab karena pemuda itu memang pandai membawa diri, selalu sopan dan ramah. Siangkoan Liong adalah seorang yang amat cerdik, bagaikan seekor harimau yang mengenakan bulu domba, sedikit pun tidak nampak wataknya yang mata keranjang dan siap menerkam ketika melihat Li Sian yang cantik. Bahkan Li Sian merasa amat tertarik kepada pemuda yang memang tampan dan gagah ini.

Setelah mereka duduk saling berhadapan keduanya saling pandang. Seperti biasa Siangkoan Liong duduk dengan tenang dan sikapnya pendiam, halus dan lembut. Wajahnya yang tampan itu terpelihara dengan cermat, rambutnya hitam licin disisir rapi, dan tercium keharuman dari pakaian dan rambutnya. Pakaiannya pun selalu rapi dan setiap hari berganti pakaian baru. Dilihat sepintas lalu saja, Siangkoan Liong tidak menunjukkan bahwa dia seorang pemuda yang amat lihai ilmu silatnya, lebih pantas dia menjadi seorang kongcu (tuan muda) bangsawan yang hartawan dan terpelajar tinggi.

Pemuda itu pun memandang Li Sian dengan sinar mata penuh kagum. Gadis ini nampak manis sekali, terutama tahi lalat di dagunya, menjadi penambah dalam kecantikannya. Biarpun bukan pesolek, namun Li Sian pandai berdandan, pakaiannya yang sederhana nampak rapi, juga rambutnya digelung dengan indahnya, ada sedikit anak rambut terjuntai di dahinya, lembut sekali. Sikapnya halus dan lembut namun anggun, seperti puteri bangsawan sejati, gerak-geriknya halus namun di balik kehalusan itu nampak jelas oleh mata Siangkoan Liong yang terlatih bahwa di situ tersembunyi kekuatan dahsyat.

Dia semakin kagum. Tak disangkanya bahwa dalam diri seorang gadis yang begini cantik dan halus, terdapat kepandaian silat yang tinggi, lebih tinggi tingkatnya daripada Sin-kiam Mo-li! Dia kagum dan makin bulat tekadnya untuk menundukkan gadis ini, untuk memilikinya agar dapat dibanggakannya. Bukan sekedar dijadikan permainannya, sebagai sumber kesenangan jasmani saja. Tidak, dia ingin mempersunting Li Sian menjadi isterinya karena agaknya hanya gadis yang berdarah bangsawan ini sajalah yang patut untuk mendampinginya kalau kelak dia menjadi seorang kaisar!

Setelah sekian lamanya saling pandang, baru terasalah oleh Li Sian ketidakwajaran itu, betapa sepasang mata pemuda itu memandangnya tidak seperti biasa, akan tetapi penuh dengan kekaguman dan daya tarik. Tiba-tiba ia merasa mukanya panas dan gadis itu pun menundukkan mukanya. “Eh, Twako, kenapa sejak tadi memandang saja padaku tanpa bicara?” tegurnya.

Siangkoan Liong tersenyum dan nampak seperti baru sadar dari mimpi. Dia cepat bangkit berdiri dan memberi hormat dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya sampai dalam. “Ah, maafkan aku, Sian-moi. Tanpa kusadari aku telah terpesona.... maaf, bukan maksudku untuk merayu, akan tetapi sore hari ini engkau sungguh nampak begini cantik jelita seperti bidadari, membuat aku terpesona tadi....”

Menghadapi ucapan dengan sikap yang demikian sopan, bagaimana Li Sian dapat merasa tidak senang oleh pujian itu? Pujian yang terdengarnya demikian sopan, disertai maaf, bukan sekedar rayuan kasar. Ia pun tersenyum dan mukanya menjadi semakin merah, sampai ke lehernya. Ia melempar kerling malu-malu dan berkata, “Aih, Toako, harap jangan bicara seperti itu, membuat aku merasa malu saja. Kalau kaulanjutkan pujian-pujianmu itu, aku akan segera pergi ke dalam kamarku dan tidak mau bicara padamu sore ini.”

“Maaf, maaf....! Aku tidak bermaksud membuat hatimu tersinggung, Sian-moi. Maafkan aku dan aku berjanji tidak akan mengulangi lagi.”

Li Sian tersenyum. “Sudahlah, Toako, engkau tidak bersalah apa-apa, tidak perlu minta maaf. Aku sengaja ingin bicara denganmu sore hari ini, karena ada beberapa hal yang selama ini menjadi pertanyaan dalam hatiku dan menimbulkan rasa penasaran.”

Siangkoan Liong memperlihatkan sikap serius ketika dia memandang wajah gadis itu penuh perhatian. “Persoalan apakah yang membuatmu penasaran, Sian-moi? Tanyakanlah, tidak ada rahasia bagimu di sini.”

“Begini, Toako. Pertama, begitu tiba di sini, aku bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang melihat sikap mereka agaknya bukanlah manusia baik-baik, melainkan lebih pantas kalau menjadi tokoh-tokoh kaum sesat dari dunia hitam! Seperti Sin-kiam Mo-li itu, selain julukannya saja sudah jelas menunjukkan bahwa ia seorang iblis betina, juga sikapnya demikian menyeramkan,seperti menyembunyikan sesuatu dan pandang matanya kadang-kadang begitu kejam dan buas. Dan Toat-beng Kiam-ong itu, hih, pandang matanya padaku membuat aku bergidik dan hampir saja aku ingin menyerangnya ketika pada suatu kali dia memandang dan tersenyum kepadaku. Juga para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, agaknya mereka pun bukan orang baik-baik. Toako, benarkah dugaanku bahwa mereka adalah tokoh-tokoh sesat dan kalau benar demikian, kenapa Tiat-long-pang menerima orang-orang seperti itu di sini?” Pertanyaan ini diajukan Li Sian dengan pandang mata tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah pemuda itu.

Siangkoan Liong tetap tersenyum tenang, bahkan lalu berkata, “Selain itu, adakah lagi hal lain yang mendatangkan perasaan heran dan penasaran di dalam hatimu, Sian-moi? Kalau ada, ajukanlah pertanyaan itu agar sekalian kujawab, karena memang terdapat banyak hal yang belum kauketahui dan agaknya perlu kujelaskan kesemuanya itu kepadamu.”

“Ada satu lagi, Toako. Aku melihat betapa para anggauta Tiat-liong-pang dilatih perang-perangan seolah-olah mereka itu menghadapi suatu pertempuran atau perang. Apakah artinya semua itu? Apakah ada bahaya yang mengancam Tiat-liong-pang?”

Pemuda itu tertawa, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Sian-moi, sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, menjelaskan hal-hal yang terjadi di sini dan menimbulkan keheranan dalam hatimu, ingin aku bertanya, ingatkah engkau akan peristiwa yang menimpa keluarga orang tuamu, beberapa tahun yang lalu ketika engkau masih kecil, peristiwa yang mengakibatkan hancurnya keluarga orang tuamu?”

Li Sian mengerutkan alisnya dan mengangguk. “Karena sebagai seorang menteri ayah berani menentang Thaikam Hou Seng yang berkuasa. Menurut penjelasan mendiang guruku, kaki tangan Hou Seng itulah yang membunuh ayah ibu dan kemudian ayah difitnah sehingga sisa keluargaku ditangkap sebagai pemberontak. Semua kakakku tewas kecuali kakak Pouw Ciang Hin yang kabarnya kini menjadi perwira....“

Pemuda itu mengangguk-angguk, “Jelaslah bahwa keluargamu hancur karena kelaliman kaisar! Kaisar yang menjadi permainan para thaikam dan para menteri yang jahat dan korup. Ingat, Sian-moi, biarpun menjadi menteri, akan tetapi ayahmu bukanlah seorang Mancu aseli, melainkan peranakan dan darahmu lebih banyak darah Han daripada darah Mancu.”

Gadis itu terbelalak. “Maksudmu bagaimanakah Toako, dengan menyinggung soal keturunan dan darah?”

“Maaf, Sian-moi. Kita adalah orang-orang Han, dan engkau tentu tahu bahwa pemerintah sekarang ini adalah pemerintah penjajah bangsa Mancu yang menjajah tanah air kita, memperbudak bangsa kita!” Ucapan ini penuh semangat dan gadis itu memandang dengan penuh perhatian.

“Lalu, bagaimana?” tanyanya, ingin tahu karena ia belum dapat menduga ke arah mana percakapan itu.

“Nah, karena itulah Tiat-liong-pang, menganggap sudah tiba saatnya untuk menentang pemerintahan penjajah, menumbangkan kekuasaan bangsa Mancu!”

“Kau maksudkan memberontak?” Li Sian membelalakkan matanya, tidak menyangka sama sekali bahwa Tiat-liong-pang bermaksud memberontak.

Pemuda itu mengangguk. “Memberontak terhadap kekuasaan penjajah Mancu, Sian-moi, berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah. Itulah sebabnya mengapa kami menghimpun kekuatan, melatih anak buah kami dan tentang para tokoh itu engkau tidak keliru, memang di antara mereka terdapat orang-orang kang-ouw, dari dunia hitam. Kami membutuhkan tenaga mereka, bantuan mereka karena mereka itu memiliki kepandaian tinggi, juga memiliki banyak anak buah. Kami harus menghimpun kekuatan dari manapun juga untuk memperkuat kedudukan kami agar perjuangan kami menentang penjajah dapat berhasil. Nah, engkau mengerti sekarang keadaan di sini, Sian-moi?”

Sesungguhnya, hati Li Sian. diliputi kekhawatiran dan kebingungan. Ia belum mengerti benar, akan tetapi ia mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga pada dasarnya ia dapat mengerti, Tiat-liong-pang hendak memberontak, menentang pemerintah karena kerajaan yang sekarang adalah Kerajaan Mancu, bangsa asing yang menjajah tanah air dan bangsa! Dan ia pun merasa bangga dan kagum. Kiranya Tiat-liong-pang sedang mengadakan gerakan perjuangan yang demikian mulia, akan tetapi juga amat berbahaya. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya berubah pucat.

“Liong-ko, kalau begitu Tiat-liong-pang akan memusuhi pasukan pemerintah?”

Pemuda itu mengangguk, “Tentu saja, pasukan pemerintah adalah pasukan kerajaan penjajah dan.... “

“Tapi.... tapi kakakku, Pouw Ciang Hin kabarnya menjadi perwira pasukan pemerintah! Kabarnya dia ditugaskan di perbatasan utara ini dan apakah sampai sekarang anak buahmu belum dapat menemukannya?”

Siangkoan Liong tersenyum tenang. “Jangan khawatir, Sian-moi. Ketahuilah bahwa komandan pasukan yang bertugas di utara ini telah mengadakan hubungan dengan kami dan dia mendukung gerakan kami. Jadi, kalau kakakmu itu menjadi perwira bawahannya, tentu hal itu berarti bahwa kakakmu juga akan bekerja sama dengan kita. Engkau tentu suka membantu, bukan?”

Gembira rasa hati Li Sian mendengar tentang kakaknya itu. “Ah, kalau begitu bagus sekali. Tentu saja aku suka membantu, Liong-ko.”

Akan tetapi Siangkoan Liong masih belum merasa puas dengan kesanggupan ini. Selama belasan hari ini, diam-diam dia mengamati gerak-gerik Li Sian dan bahkan menyuruh Sin-kiam Mo-li diam-diam melakukan pengamatan dari jauh. Satu hal yang membuat dia merasa gelisah dan belum percaya benar adalah karena menurut keterangan Sin-kiam Moli, Pouw Li San adalah murid dari mantu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Padahal, dia sudah mendengar bahwa di antara keluarga Pulau Es dan keluarga kaisar Mancu, masih terdapat hubungan kekeluargaan yang dekat. Isteri Pendekar Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan isterinya dan puterinya pernah menjadi panglima-panglima Mancu yang gagah perkasa dan sudah menumpas banyak gerakan pemberontakan.

“Sian-moi, engkau pernah menceritakan kepada ayah bahwa gurumu adalah seorang sakti, keluarga Pulau Es, bahkan mantu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Bagaimana pendapat mendiang gurumu itu tentang pemerintah penjajah dan gerakan para patriot?” Dia memancing.

Li Sian mengingat-ingat, lalu menggeleng kepalanya. “Seingatku, suhu belum pernah bicara tentang pemerintahan dan kalau sekali waktu aku bertanya dia tidak mau memberi penjelasan. Hanya pernah dia mengeluh tentang kelemahan kaisar yang membiarkan dirinya dipermainkan para pembesar durjana.”

“Nah, tidak salah lagi. Diam-diam suhumu itu pun tentu tidak setuju dengan adanya pemerintah penjajah yang lalim!” Siangkoan Liong berseru girang. Tadinya dia khawatir bahwa guru gadis ini condong memihak kerajaan.

Pada saat itu, nampak serombongan orang datang. Dari jauh saja Siangkoan Liong dan Li Sian dapat mengenal rombongan yang dipimpin oleh Sin-kiam Moli, kini mengiringkan seorang laki-laki dan seorang wanita yang berjalan sambil bergandeng tangan. Laki-laki itu nampak bersikap gagah walaupun langkahnya tidak menunjukkan dia pandai ilmu silat, sedangkan wanita itu cantik manis, berusia sebaya dengan laki-laki itu, mendekati empat puluh tahun, akan tetapi wanita yang nampak tenang sederhana itu memiliki langkah kaki yang mengejutkan Siangkoan Liong dan Li Sian karena mereka berdua dapat menduga bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan.

Laki-laki dan wanita itu adalah Yo Jin dan Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi yang baru datang bersama rombongan Sin-kiam Mo-li. Setelah tiba di luar daerah kekuasaan Tiat-liong-pang, rombongan ini disambut oleh Toat-beng Kiam-ong dan para tokoh yang membantu pergerakan Tiat-liong-pang, diantaranya ada beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Melihat mereka diam-diam Bikwi terkejut. Tadinya ia mulai percaya akan pengakuan Sin-kiam Mo-li bahwa iblis betina itu sedang membantu perjuangan orang-orang gagah yang dipimpin oleh ketua Tiat-liong-pang, akan menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika melihat orang-orang yang dikenalnya sebagai tokoh sesat, ia pun mulai meragu lagi. Akan tetapi, dengan cerdik Bi-kwi diam saja, bahkan purapura tidak mengenal mereka.

Melihat betapa Sin-kiam Mo-li pulang membawa laki-laki dan wanita yang tidak dikenalnya itu, Siangkoan Liong segera bangkit dan menghadang, diikuti oleh Li Sian yang juga ingin tahu.

“Mo-li, siapakah dua orang saudara yang baru datang ini?” tanya Siangkoan Liong sambil memandang kepada Bi-kwi karena kecantikan dari wanita ini pun menarik hatinya.

Sin-kiam Mo-li tersenyum dengan bangga karena ia merasa betapa usahanya telah berhasil baik. “Siangkoan-kongcu, inilah Bi-kwi yang pernah saya bicarakan dengan Kongcu dan dengan bengcu (pemimpin). Saya telah berhasil mengajaknya ke sini dan bergabung dengan kami. Dan laki-laki ini adalah suaminya. Bi-kwi adalah murid utama dari mendiang Sam Kwi, ia lihai bukan main, Kongcu.” Kemudian ia memperkenalkan pemuda itu kepada Bi-kwi dan Yo Jin. “Kongcu ini adalah putera pimpinan kami bernama Siangkoan Liong.”

Bi-kwi memandang pemuda itu. Sekali pandang saja tahulah Bi-kwi bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah lembut ini memiliki kepandaian tinggi, juga di balik kelembutan sikapnya itu, di balik sinar matanya yang lembut, ia dapat melihat gairah nafsu yang besar, maka diam-diam ia berhati-hati. Juga ia memandang kepada gadis yang berada di dekat Siangkoan Liong, dan ia pun dapat menduga bahwa gadis itu pun bukan gadis sembarangan. Hemmm, banyak terdapat orang pandai di sini, pikir Bi-kwi khawatir. Tadi pun ia mengenal Toat beng Kiam-ong, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-kauw, juga beberapa orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi berada di tempat itu.

Siangkoan Liong mengerutkan alisnya dan agaknya dia memandang rendah kepada Bi-kwi dan suaminya. Betapapun lihainya, agaknya suami isteri itu berada di bawah pengaruh Sin-kiam Mo-li, dan orang yang kelihaiannya tidak melebihi Sin-kiam Mo-li, kurang menarik hatinya walaupun sempat hatinya terguncang dan gairahnya bangkit oleh kecantikan Bi-kwi yang sudah matang itu!

“Bawalah mereka menghadap ayah,” katanya dan dia pun mengajak Li Sian untuk kembali duduk bercakap-cakap di dalam taman. Rombongan itu lalu masuk ke dalam untuk menghadap Siangkoan Lohan.

Setelah mereka berdua duduk lagi di dalam taman. Li Sian bertanya, “Apakah suami isteri itu pun hendak membantu gerakan yang dipimpin oleh ayahmu, Liong-toako?”

“Agaknya begitulah. Perjuangan ini didukung oleh orang gagah, dan aku yakin bahwa usaha ayah akan berhasil baik,” kata Siangkoan Liong gembira.

“Wanita itu kelihatan memiliki kepandaian tinggi,” kata pula Li Sian.

“Kautunggu saja, Sian-moi. Kalau ada kesempatan akan kuperkenalkan engkau kepada suhuku.”

“Gurumu?” Gadis itu memandang wajah pemuda di depannya dalam keremangan cuaca senja. “Bukankah gurumu itu adalah paman Siangkoan Tek sendiri? Bukankah ayahmu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi?”

Pemuda itu tersenyum bangga. “Memang benar, Sian-moi. Akan tetapi guruku ini lebih lihai lagi. Ayah sendiri pernah menguji kepandaiannya maka ayah memperbolehkan aku berguru kepadanya. Ilmu kepandaian guruku itu sukar diukur sampai bagaimana tingginya!”

Li Sian tersenyum dalam hatinya. Baru sekarang ia mendengar ucapan yang mengandung nada bangga dan bahkan sombong dari pemuda ini. Ia tidak merasa heran karena mungkin saja apa yang dikatakan pemuda ini benar. Menurut keterangan gurunya, di dunia ini memang banyak terdapat orang-orang sakti.

“Siapakah gurumu, Liong-toako? Dan kenapa tidak sejak kemarin aku kauperkenalkan padanya?”

“Guruku sedang bertapa dan dia tidak suka diganggu. Kalau dia kebetulan datang berkunjung ke sini, barulah akan kuperkenalkan engkau padanya. Beliau bernama keturunan Ouwyang, biasa disebut Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang) dan tak pernah ada yang tahu siapa namanya. Nama julukannya adalah Nam-san Sian-jin (Manusia Dewa Pegunungan Selatan). Dia bukan orang sembarangan, Sian-moi, karena dahulu dia pernah menjadi seorang yang amat penting, bahkan menjadi penasihat raja di Kerajaan Birma.”

Li Sian tertarik sekali. Ia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, namun belum pernah ia menyaksikannya. Selama belasan hari ini, mereka bergaul cukup rapat sehingga ia seolah-olah diberi kesempatan untuk mengenal pemuda ini, bukan hanya wajahnya, bentuk tubuhnya, suaranya akan tetapi juga watak dan keadaannya. Akan tetapi ia belum melihat sampai di mana tingkat kepandaiannya dan berkenalan tanpa mengetahui atau melihat kepandaiannya tidaklah lengkap. Ingin ia menguji kepandaian pemuda itu. Apakah jauh di atas tingkatnya sendiri?

“Liong-ko, setelah menerima gemblengan dari ayahmu sendiri, kemudian dilatih pula oleh seorang sakti seperti gurumu, tentu engkau kini telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi. Kita sudah saling mengenal sejak kecil, bahkan kini ayahmu menerimaku dengan ramah dan baik, bahkan menganggap aku sebagai keponakan sendiri sehingga antara kita terdapat pertalian persaudaraan. Oleh karena itu, ingin sekali aku melihat sampai di mana tingkat kepandaianmu itu, Toako, agar aku dapat menambah pengetahuanku darimu.”

Siangkoan Liong tersenyum, apalagi melihat gadis itu sudah bangkit berdiri menuju ke petak rumput yang cukup luas dan enak untuk dipakai berlatih silat, di dalam taman itu dekat kolam ikan, dan gadis itu berdiri tegak menantinya. Tentu saja dia tahu bahwa gadis itu agaknya ingin sekali menguji kepandaiannya, dengan maksud baik tentu, karena jelas nampak olehnya betapa Li Sian mulai tertarik kepadanya. Dia pun bangkit berdiri dan menghampiri gadis itu.

“Sian-moi, aku sudah melihat bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga ketika engkau pertama kali muncul di sini, engkau mampu menandingi kelihaian Sin-kiam Mo-li. Aku menjadi gentar melawanmu, Sian-moi. Bagaimana kalau sampai aku tewas atau terluka parah karena pukulanmu?”

“Aih, Liong-toako, harap jangan berkata demikian. Kepandaian Sin-kiam Mo-li amat lihai dan kalau tidak muncul ayahmu datang melerai, tentu aku akan celaka di tangannya. Dan aku hanya ingin melihat sendiri kelihaianmu dalam suatu permainan bersama. Bagaimana mungkin kita akan saling melukai? Sudahlah, Toako, jangan pelit, mari kita main-main sebentar untuk membuka mataku.”

“Baik, Sian-moi. Nah, aku sudah siap, kau mulailah keluarkan seranganmu!”, kata pemuda itu sambil memandang dengan senyum memikat dan dia pun membuka pasangan kuda-kuda yang gagah dan indah.

Li Sian yang memang ingin sekali melihat sampai di mana lihainya pemuda yang merlarik hatinya ini, segera mengeluarkan seruan sebagai isarat bahwa dara ini mulai menyerang. Serangannya merupakan tamparan ke arah pundak Siangkoan Liong, seperti main-main, saja, akan tetapi gadis ini mengerahkan tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) kedalam telapak tangannya sehingga hawa panas menyambar ke arah pundak Siangkoan Liong. Pemuda ini kagum sekali ketika merasakan betapa tangan kanan gadis itu menyambar lambat namun membawa hawa yang amat panas. Dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya menangkis untuk melindungi pundaknya, dan karena dia maklum bahwa gadis manis itu mempergunakan sin-kang untuk menguji tenaganya, maka dia pun mengerahkan tenaga sin-kang dalam lengan yang menangkis itu.

“Duk!” Kedua lengan bertemu dan hampir Siangkoan Liong berseru karena dia merasa betapa hawa panas menyusup ke dalam lengannya. Cepat dia menarik kembali lengannya dan meloncat ke belakang, mengerahkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk mendorong keluar lagi hawa panas itu. Li Sian tadi tidak mempergunakan seluruh tenaganya, sepertijuga yang dilakukan pemuda itu, karena memang dara ini hanya ingin menguji saja. Ketika melihat bahwa pemuda itu mampu menangkis tamparan yang mengandung Hui-yang Sin-kang, ia merasa kagum dan menyerang lagi, kini dengan tangan kiri yang mendorong dengan tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju). Kembali pemuda itu menangkis, agak menambah tenaga sin-kangnya karena dia tahu bahwa gadis cantik ini memang lihai dan kuat. Kembali kedua lengan bertemu dan Siangkoan Liong kini meloncat mundur sambil tidak lagi menahan seruannya.

“Bukankah itu tadi dua tenaga sakti dari Pulau Es yang terkenal itu? Yang panas adalah Hui-yang Sin-kang dan yang dingin ini tadi Swat-im Sin-kang?” tanyanya setelah berhasil mendorong keluar pengaruh hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya.

Li Sian menjadi semakin kagum. Pemuda itu ternyata mampu mengenali dua macam tenaga sin-kang yang dipelajarinya dari gurunya, Bu Beng Lokai. “Benar sekali, Toako. Sekarang terimalah seranganku ini!” katanya gembira dan kini tubuhnya bergerak cepat karena ia sudah memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Mengacau Langit) yang merupakan ilmu silatnya yang paling hebat di samping ilmu pedangnya yang sama dasarnya, yaitu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit).

Menghadapi gerakan ilmu silat yang amat dahsyat itu, cepat dan mengandung tenaga besar, Siangkoan Liong berseru, “Bagus sekali!” dan dia pun menghadapi terjangan Li Sian dengan hati-hati, juga dengan cepat sekali. Dia maklum akan kelihaian gadis ini, tahu pula bahwa kalau dia hanya mengandalkan kelincahan dan tenaga untuk bertahan saja, akhirnya dia akan kalah. Maka, pemuda ini, yang tidak mau dikalahkan karena hal itu akan merendahkan dirinya dalam pandangan gadis yang amat menarik hatinya itu, segera bergerak membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Dia telah mainkan ilmu silatnya yang aneh, yang banyak mempergunakan loncatan-loncatan dan tendangan sambil meloncat, yaitu Kong-ciak Sin-kun (Silat Sakti Burung Merak) yang dipelajarinya dari Ouwyang Sianseng dan kini menjadi ilmu andalannya.

Memang hebat ilmu silat ini karena mampu menandingi Lo-thian Sin-kun yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu silat tinggi. Makin kagum rasa hati Li Sian melihat betapa ilmu silat aneh dari pemuda itu amat lincah dan berbahaya, sehingga ketika ia memainkan Lo-thian Sin-kun, Siangkoan Liong sama sekali tidak terdesak, bahkan mampu membalas setiap jurus serangannya dengan sama hebatnya. Mereka saling serang sampai tiga puluh jurus lebih dan melihat ini, Li Sian makin lama makin menambah tenaganya. Sampai akhirnya ia mengerahkan semua tenaga dan kepandaian, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak Siangkoan Liong, sebaliknya, pemuda ini juga semakin kagum pula karena baru setelah dia mengerahkan hampir semua tenaganya, gadis itu tidak menjadi semakin hebat. Hal ini menunjukkan bahwa biarpun tidak banyak selisihnya, namun tingkatnya masih lebih tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak ingin mengalahkan nona itu dengan keras, tidak mau melukainya, maka otaknya yang cerdik itu mencari-cari akal bagaimana dia akan dapat memenangkan pibu (adu silat) itu tanpa melukai lawan. Dia pun teringat akan sebuah ilmu silat dari keluarganya, yaitu Tiat-wi Liongkun (Silat Naga Ekor Besi) yang juga menggunakan tenaga sin-kang yang istimewa dan sejak tadi dipergunakannya untuk menandingi sin-kang dari Li Sian, yaitu Liong-jiauw-kang (Tenaga Sakti Cakar Naga). Sin-kang yang dimilikinya telah diperkuat dengan gemblengan Ouwyang Sianseng, maka kini dalam hal sin-kang, dia malah lebih kuat daripada ayahnya sendiri. Ilmu Silat Naga Ekor Besi ini mempunyai beberapa jurus yang dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol, yaitu ilmu menangkap dan membanting, juga ada cara menangkap dan mengempit lawan sampai tidak mampu lolos atau pun bergerak lagi. Inilah yang akan dipergunakannya karena hanya ilmu ini yang akan mampu memberinya kemenangan tanpa melukai atau merobohkan lawan.

Akan tetapi, Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang selain cerdik, juga sudah mempelajari kebudayaan sejak kecil, dan dia tahu bahwa kalau dia melakukan penangkapan dan himpitan seperti terhadap Li Sian tentu akan membuat Li Sian menyangka dia sengaja mempermainkan dan hendak kurang ajar, mempergunakan “kesempatan” untuk memeluk dan menangkap gadis itu. Maka, sebelum mempergunakan ilmu itu, dia terlebih dahulu akan memberi peringatan agar gadis itu tidak menyangka yang bukan-bukan, walaupun tentu saja satu di antara sebab yang mendorongnya menaklukkan Li Sian dengan cara itu adalah untuk dapat merangkul dan mendekap tubuh yang membuatnya tergila-gila itu!

Tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan berseru, “Awas, Sian-moi, aku akan menyerang dengan tendangan Ban-kin-twi!” Dan kini Siangkoan Liong sudah menggunakan kedua kakinya yang secara bertubi-tubi melakukan tendangan yang amat cepat dan kuat. Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) adalah ilmu tendangan dari ayahnya, dan selain cepat dan sukar diduga dari mana datangnya tendangan, juga amat kuat, sesuai dengan namanya. Melihat tendangan kedua kaki menyambar-nyambar dari segala jurusan ini, Li Sian cepat memainkan San-po Cin-keng dan kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh yang teratur dan sungguh aneh, semua sambaran kaki Siangkoan Liong hanya mengenai angin saja karena setiap kaki meluncur, tubuh gadis itu telah bergeser dengan langkahnya yang ringan aneh dan cepat. Akan tetapi, dengan begini, Li Sian tidak mampu lagi balas menyerang sehingga ia nampak terdesak.

“Sekarang aku akan menyerang dengan Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun, Sian-moi. Awas!” Dan pemuda itu sudah menghentikan rangkaian tendangannya, kini menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman yang dicampur dengan totokan dan tendangan. Li Sian menghadapi seranganserangan ini dengan kembali memainkan Lo-thian Sin-kun agar ia dapat membalas serangan dan keduanya sudah bertanding lagi dengan amat serunya.

Ketika Siangkoan Liong melihat kesempatan baik, melihat tangan kanan Li Sian menyambar ke arah lambungnya dengan pukulan jari tangan terbuka, serti pedang, secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan itu dengan tangan kanannya dan cepat sekali, tanpa dapat diduga oleh Li Sian, dia sudah menyusup ke belakang tubuh gadis itu sambil memuntir lengan kanan Li Sian sehingga lengan kanan gadis itu terpuntir ke belakang tubuhnya. Kini tubuh Siangkoan Liong berada di sebelah kiri agak ke depan, dengan lengan kanan gadis itu masih dipuntir dan dicengkeram pergelangannya. Li Sian cepat menggunakan siku lengan kirinya untuk menyerang agar pemuda itu melepaskan lengan kanannya, akan tetapi serangan ini sudah diduga lebih dahulu oleh Siangkoan Liong yang cepat menggunakan tangan kirinya mencengkeram pula ke arah siku lengan kiri Li Sian. Siku itu dapat dicengkeram dan ketika gadis itu merasa tenaga pada lengan kirinya lenyap dan lumpuh. Ia terkejut dan cepat memutar tubuh kekiri dan kakinya bergerak hendak mengirim tendangan. Akan tetapi kembali gerakan ini sudah dapat diduga oleh Siangkoan Liong dan cepat sekali kaki pemuda itu telah mendahului, dimajukan ke depan di antara kedua kaki Li Sian. Dengan demikian, tentu saja gadis itu tidak berani melakukan tendangan karena bagian tubuhnya yang paling rahasia menempel pada paha di atas lutut Siangkoan Liong. Gadis itu mencoba untuk meronta, namun hasilnya hanya membuat dadanya bergeser dengan lengan kiri pemuda itu yang mencengkeram siku kirinya dan lengan itu ditekuk sehingga siku kiri pemuda itu mengancam dadanya! Wajah Li Sian berubah merah sekali merasa betapa bagian tubuh depan telah bersentuhan dan didekap oleh siku dan lutut pemuda itu!

“Sian-moi, inilah ilmu gulat yang terdapat dalam Tiat-wi Liong-kun kami. Maafkan aku!” katanya dan ketika bicara ini, wajahnya dekat sekali dengan wajah Li Sian. Dia pun melepaskan kedua tangannya dan melangkah mundur sambil berkata lagi, “Wah, ilmu kepandaianmu hebat sekali, Sian-moi. Kalau aku tidak mempergunakan akal dengan ilmu gulat yang tidak kaukenal, belum tentu aku akan mampu menyelamatkan diri dari serangan-serangan dan desakanmu.”

Sampai beberapa lamanya Li Sian tidak mampu bicara, jantungnya masih berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Ia merasa malu sekali. Bukan karena kekalahannya, sama sekali bukan, melainkan mengingat betapa tadi ia dirangkul, didekap dan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh pemuda itu! Ia tidak dapat marah, karena ia tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak bermaksud menghinanya, bukan bermaksud melakukan perbuatan cabul dan tidak sopan. Bukankah Siangkoan Liong sudah memperingatkannya setiap kali hendak mengeluarkan suatu ilmunya? Dan pemuda itu tadi mempergunakan ilmu gulat untuk mengalahkannya, dan tentu saja ilmu gulat itu dimainkan dengan cara menangkap, memuntir dan menekan atau menghimpit. Akan tetapi, mengingat betapa payudaranya tadi tertekan lengan Siangkoan Liong, dan antara kedua pahanya tertekan lutut pemuda itu, sungguh membuat ia merasa tubuhnya panas dingin.

“Kenapa, Sian-moi? Maafkan aku, kalau aku telah mengalahkanmu dengan ilmu gulat sehingga mengecewakan hatimu,” Siangkoan Liong berkata sambil memandang khawatir.

Li Sian tersenyum malu-malu dan menggeleng kepala. “Ah, tidak, Liong-toako. Aku memang sudah menduga bahwa aku takkan menang melawanmu dan ternyata engkau memang hebat, tingkat kepandaianmu lebih tinggi daripada aku, Toako.”

“Sudahlah, Sian-moi. Terus terang saja, kalau aku tidak menguasai ilmu silat bercampur ilmu gulat, agaknya aku tidak akan mampu mengalahkanmu. Malam telah tiba marilah kita mencari anak buahku yang berjanji bahwa malam ini dia akan mengajak kakakmu itu datang untuk bertemu denganmu.”

Bukan main girangnya hati Li Sian. Ia bangkit lagi dari tempat duduknya dan berseru, “Ah, terima kasih, Toako. Sungguh aku berterima kasih sekali kalau hal itu benar dan aku dapat bertemu dengan kakak sulungku Pouw Ciang Hin!” Mereka lalu meninggalkan taman itu dan sungguh aneh, seperti sudah sewajarnya saja tangan pemuda itu menggandeng tangan Li Sian dan lebih aneh pula, gadis ini pun tidak menarik tangannya, hanya tangan itu agak dingin dan sedikit gemetar ketika Siangkoan Liong menggenggamnya, akan tetapi dalam genggaman tangan pemuda itu yang mesra dan lembut, tangan Li Sian menjadi makin hangat dan tidak gemetar lagi.

***

Mereka berdua duduk menanti di dalam ruangan itu, ruangan bagian belakang rumah induk yang luas. Ruangan ini biasanya dipergunakan oleh pangcu Siangkoan Lohan untuk mengadakan rapat dan perundingan dengan para pembantunya.

Siangkoan Liong mempersilakan Li Sian duduk setelah dia bicara dengan beberapa orang anak buahnya.

“Kita tunggu di sini sebentar, Sianmoi. Tak, lama lagi utusanku itu akan datang dan mudah-mudahan dia tidak gagal membawa kakakmu ke sini untuk berjumpa denganmu.”

Gadis itu menatap wajah Siangkoan Liong dengan sinar penuh rasa syukur dan terima kasih, jantungnya berdebar penuh ketegangan karena akan berjumpa dengan kakaknya sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara untuk menjawab, melainkan hanya mengangguk. Akan tetapi setelah beberapa menit lamanya, gadis ini dapat menenteramkan gejolak perasaan hatinya dan ia pun mengangkat muka memandang wajah pemuda itu. Kebetulan sekali Siangkoan Liong juga sedang memandang sehingga dua pasang sinar mata itu saling tatap dan sejenak melekat, sampai akhirnya Li Sian menundukkan pandang matanya dan bertanya dengan suara lirih.

“Toako, di manakah engkau menemukan kakakku? Benarkah dia bekerja menjadi perwira dalam pasukan pemerintah yang berjaga di perbatasan utara ini?”

Siangkoan Liong tersenyum dan mengibaskan ujung bajunya dengan jari tangannya. Ujung baju itu agak kotor karena pi-bu yang mereka adakan di taman tadi.

“Menurut laporan para penyelidik, memang begitulah, Sian-moi. Akan tetapi sebaiknya engkau bertanya sendiri kepada kakakmu nanti kalau benar dia dapat diajak datang oleh utusanku. Jangan khawatir, utusanku itu adalah suhengku sendiri. Dia adalah murid ayahku yang paling lihai dan paling dipercaya, oleh karena itu maka aku sengaja mengutus dia untuk menjemput kakakmu.”

Percakapan mereka terputus ketika nampak dua orang memasuki ruangan itu dari pintu samping. Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat dan matanya tajam. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Akan tetapi Li Sian tidak memperhatikan orang itu, melainkan memperhatikan orang ke dua yang usianya sebaya dengan orang pertama, kurang lebih tiga puluh lima tahun yang mengenakan pakaian perwira pasukan kerajaan. Biarpun kini nampak jauh lebih tua, namun ia tidak pangling, melihat wajah orang ini. Kakaknya! Wajah yang tampan ini nampak jauh lebih tua daripada usianya, penuh garis-garis penderitaan hidup, bahkan pandang matanya pun sayu. Sementara itu laki-laki berpakaian perwira itu pun memandang kepada Li Sian, dengan mata agak terbelalak.

“Li Sian engkau Li Sian....“ kata laki-laki itu yang bukan lain adalah Pouw Ciang Hin, kakak sulung Pouw Li Sian. Hanya dialah seorang di antara keluarga Pouw-taijin yang selamat dan diampuni, bahkan kemudian masuk menjadi tentara dan mengingat bahwa dia putera seorang pejabat tinggi, juga karena kecakapannya, dia pun kini menjadi seorang perwira yang ditugaskan dalam pasukan yang berjaga di perbatasan.

“Kakak Pouw Ciang Hin....“ Li Sian juga berkata lirih. Keduanya merasa agak kikuk karena selain di situ terdapat orang lain, juga karena sudah lama sekali mereka saling berpisah, bahkan menyangka bahwa masing-masing telah meninggal dunia. Akan tetapi sekali berjumpa, mereka saling mengenal, biarpun ketika mereka berpisah, Li Sian baru berusia dua belas atau tiga belas tahun.

Melihat sikap kakak beradik itu, Siangkoan Liong tersenyum dan berkata kepada pria yang tadi menemani Pouw Ciang Hin memasuki ruangan itu, “Ciu-suheng, mari kita keluar dan biarlah kakak beradik yang berbahagia ini bercakap-cakap dengan Sian-moi, biarlah kami pergi dulu. Pouw-ciangkun, selamat bertemu dengan adikmu.” Setelah berkata demikian, dengan sikap hormat Siangkoan Liong menjura dengan hormat kepada mereka berdua, lalu dia keluar meninggalkan ruangan itu bersama suhengnya yang sejak tadi diam saja. Suhengnya itu adalah tangan kanan Siangkoan Lohan, murid utara yang terkenal dengan julukannya Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Tiat-liong-pang) dan memang dialah yang berbakat memainkan pedang sehingga bukan hanya mampu menguasai dengan baik ilmu pedang dari gurunya, bahkan dapat melampaui gurunya dalam hal ilmu pedang. Karena kelihaiannya dalam berolah pedang, maka di Tiat-liong-pang dia terkenal sebagai Kiam-eng (Pendekar Pedang)!

Setelah dua orang itu pergi, kakak beradik itu kembali saling pandang dan kini, semua perasaan yang tadi ditahan-tahan, seperti air bah menjebol bendungan.

“Koko....!” Li Sian berseru dan berlari maju, disambut oleh kakaknya yang mengembangkan kedua lengannya.

“Siauwmoi....!”

Kedua orang kakak beradik itu saling peluk dan bertangisan sampai beberapa lamanya, tidak mampu mengeluarkan kata-kata karena keduanya merasa terharu sekali. Teringatlah semua kenangan lama, tentang kehancuran keluarga mereka, dan bahwa hanya mereka berdualah yang bersisa hidup. Akhirnya Li Sian yang sudah lama digembleng oleh mendiang Bu Beng Lokai dapat lebih dulu menguasai dirinya. Dengan lembut ia melepaskan diri dari pelukan kakaknya, lalu berkata halus.

“Koko, mari kita duduk dan bicara dengan tenang,” dan ia pun duduk sambil menyediakan sebuah kursi lain untuk kakaknya, diletakkan di depannya, terhalang sebuah meja.

Pouw Ciang Hin dapat pula menenangkan dirinya setelah melihat sikap adiknya sudah pulih dan tenang kembali. Dia menggunakan punggung tangan untuk menghapus sisa air matanya, lalu keduanya duduk sambil berpandangan.

“Adikku, engkau sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa! Ah, sungguh tak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini! Ke manakah saja engkau selama ini, adikku? Dan bagaimana dapat lolos dari serbuan pasukan yang membasmi keluarga kita itu?”

Li Sian lalu menceritakan pengalamannya, betapa ia diselamatkan oleh mendiang Bu Beng Lokai dan dijadikan muridnya, dan betapa selama ini ia ikut bersama gurunya ke puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Kemudian, setelah turun gunung ia melakukan penyelidikan ke kota raja tentang keluarganya dan mendengar bahwa semua anggauta keluarganya telah habis kecuali kakak sulungnya yang menjadi perwira dan bertugas di perbatasan utara.

“Aku lalu ingin mencarimu, Koko, dan aku teringat bahwa Tiat-liong-pang yang diketuai oleh paman Siangkoan Tek adalah sahabat mendiang ayah, maka aku lalu mengunjungi Tiat-liong-pang dan berkat bantuan Liong-toako dan anak buahnya, akhirnya malam ini kita dapat saling berjumpa. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Koko?”

“Tidak banyak hal lain di luar yang telah kudengar, adikku. Tadinya aku pun ditangkap dan dipenjara karena fitnah setelah keluarga kita dibasmi, akan tetapi berkat pertolongan para menteri yang setia, yang memintakan ampun, akhirnya Sribaginda mengampuniku, bahkan aku dianjurkan untuk membuktikan darmabaktiku kepada kerajaan dengan masuk menjadi tentara. Nah, aku masuk dan kini menjadi perwira. Akan tetapi, semua itu tidaklah penting. Yang penting adalah....” Perwira itu menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan, dia pun melanjutkan, suaranya direndahkan sehingga terdengar lirih, “.... adalah kehadiranmu di sini, adikku.”

“Kehadiranku di sini? Kenapa, Koko?” tanya gadis itu heran.

“Ah, mustahil engkau belum melihat sendiri kenyataan yang jelas ini. Engkau berada di antara para pemberontak! Jangan sampai engkau terbujuk dan bersekutu dengan para pemberontak, adikku.”

Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang wajah kakaknya dengan sinar mata mencela, lalu terdengar suaranya penuh kesungguhan. “Koko, engkau keliru! Bagaimana engkau dapat mengatakan
Tiat-liong-pang pemberontak? Keluarga Siangkoan sejak dahulu adalah keluarga gagah perkasa sehingga menjadi sahabat baik ayah kita. Dan kalau Tiat-liong-pang kini menentang pemerintah, hal itu bukan berarti hendak memberontak, melainkan berjuang untuk menentang kelaliman!”

“Siauwmoi....!”

“Nanti dulu, Koko. Apakah engkau sudah lupa bagaimana keluarga kita terbasmi habis? Ayah ibu dan saudara-saudara kita terbunuh, semua itu terjadi karena kelaliman kaisar! Karena itu, aku sudah mengambil keputusan membantu perjuangan Tiat-liong-pang untuk menentang kaisar yang lalim, untuk membalas atas kematian keluarga kita....”

“Moi-moi! Nanti dulu, engkau salah paham. Agaknya karena engkau masih kecil dan dibawa pergi oleh gurumu maka engkau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu....“

Pada saat itu terdengar langkah kaki memasuki ruangan dan melihat bahwa yang masuk adalah Siangkoan Liong, maka Pouw Ciang Hin segera menghentikan kata-katanya.

Siangkoan Liong tersenyum gembira dan ramah. “Ah, sungguh aku merasa menyesal sekali harus menganggu kakak beradik yang sedang bercakap-cakap melepas rindu. Akan tetapi, masih terdapat banyak waktu bagi Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bercakap-cakap lagi kelak. Pouw-ciangkun, terpaksa aku mengganggu karena aku menerima perintah dari ayah agar mohon bantuan Ciangkun sekarang juga.”

Pouw Ciang Hin memandang tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya juga ramah dan lembut. “Keperluan apakah itu, Kongcu?”

Siangkoan Liong mengeluarkan segulung surat dalam tempat surat tertutup rapat dan menyerahkan itu kepada Pouw Ciang Hin. “Ayah mohon bantuanmu agar surat yang amat penting ini disampaikan kepada komandanmu, yaitu Coa Tai-ciangkun. Harap dapat disampaikan sekarang juga karena amat penting.”

Pouw Ciang Hin merasa kecewa karena belum sempat menjelaskan kepada adiknya tentang peristiwa yang menimpa keluarga mereka, akan tetapi karena maklum bahwa keraguan akan mendatangkan bencana, dia pun mengangguk.

“Baiklah, akan kusampaikan sekarang juga. Siauw-moi, terpaksa kita berpisah dulu. Tunggulah selama satu minggu, aku akan minta cuti dua hari agar dapat datang ke sini dan bermalam satu malam di sini sehingga kita mendapatkan banyak waktu untuk bercakap-cakap.”

“Baiklah, Koko,” kata Li Sian dan ia mengikuti bayangan kakak kandungnya itu yang pergi meninggalkan ruangan itu. Kemudian, ia pun minta diri dari Siangkoan Liong untuk pergi ke kamarnya. Di dalam kamarnya, gadis itu termenung, mengenang kembali percakapannya dengan kakaknya. Benarkah apa yang dikatakan kakaknya? Akan tetapi, tidak ada alasan untuk meragukan perjuangan Tiat-liong-pang yang diketuai seorang sahabat ayahnya. Pula, sudah jelas bahwa keluarganya dibasmi oleh kerajaan. Buktinya, empat orang kakaknya juga ditangkap dan dipenjara, bahkan tiga orang tewas di dalam penjara. Bukankah itu sudah jelas bahwa yang membasmi keluarganya adalah kekuasaan kaisar yang lalim? Katakanlah keluarga ayahnya difitnah orang, tetap saja kesalahan kaisarlah kalau sampai menjatuhkan hukuman kepada keluarga ayahnya, padahal ayahnya tidak bersalah. Ayahnya seorang menteri yang baik, jujur dan bijaksana! Betapapun juga, ia akan menanti kakaknya datang berkunjung dan melanjutkan keterangannya tentang peristiwa pembasmian keluarga mereka itu.

Memang Pouw Li Sian tidak tahu apa yang telah terjadi. Gurunya juga tidak pernah bercerita tentang hal itu, bahkan gurunya juga tidak tahu dengan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar peristiwa itu. Di dalam kisah Suling Naga, diceritakan betapa Pouw Tong Ki yang menjabat sebagai Menteri Pendapatan, adalah seorang menteri yang jujur. Ketika ia melihat betapa Hou Seng, seorang thaikam yang amat dicinta oleh kaisar dan memiliki kekuasaan besar di istana, makin lama semakin mempengaruhi kaisar dan kekuasaannya dipergunakan untuk kepentingan pribadi, dengan jujur dan berani dia mencela perbuatan Hou Seng di depan kaisar. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan Hou Seng dan thaikam yang berkuasa ini lalu memerintahkan seorang datuk sesat untuk membunuh Pouw Tong Ki dan isterinya. Untung ketika itu, Bu Beng Lokai menjadi tamunya, dan Bu Beng Lokai yang menyelamatkan Li Sian, bahkan melawan datuk sesat yang kemudian melarikan diri. Akan tetapi, Hou Seng lalu mengerahkan pasukan untuk menyerbu gedung keluarga itu dengan fitnah bahwa Bu Beng Lokai yang membunuh Pouw Tong Ki, dan empat orang putera Pouw Tong Ki ditangkap dengan tuduhan memberontak, dan rumah keluarga Pouw disita! Demikianlah keadaan yang tadinya hendak diceritakan oleh Pouw Ciang Hin kepada adiknya, akan tetapi belum sempat karena kedatangan Siangkoan Liong.

Dan Li Sian menanti kunjungan kakak kandungnya dengan sia-sia. Bahkan pada hari terakhir, pagi-pagi sekali Siangkoan Liong menemuinya dan dengan muka serius pemuda itu berkata, “Sian-moi, telah terjadi sesuatu dengan kakak kandungmu. Sungguh celaka!”

Tentu saja Li Sian terkejut bukan main. “Apa yang telah terjadi dengan kakakku?”

“Dia dibunuh orang....“

“Ahhhhh!” Betapapun tabah dan terlatih, Pouw Li Sian terbelalak dan mukanya berubah pucat. “Siapa yang membunuhnya dan mengapa?” tanyanya dengan suara membentak, hatinya penuh duka dan kemarahan.

“Tenanglah, Sian-moi, dan mari ikut bersamaku agar engkau dapat melihatnya sendiri. Aku sudah memesan anak buahku agar keadaannya jangan diubah sebelum engkau datang bersamaku.”

Mendengar ini, tanpa membereskan rambutnya yang kusut, Li Sian lalu berlari mengikuti Siangkoan Liong yang menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah utara perkampungan Tiat-liong-pang. Sambil berlari, Siangkoan Liong berkata, “Agaknya kakakmu baru meninggalkan markasnya untuk datang berkunjung, memenuhi janjinya denganmu, dan agaknya dia memang dihadang di hutan itu, terjadi perkelahian dan dia tewas bersama seorang perwira lain yang agaknya menjadi pembunuhnya.”

Setelah mereka memasuki hutan, Li Sian melihat beberapa orang anak buah Tiat-liong-pang berjaga, dan di tengah hutan, ia melihat belasan orang anggauta perkumpulan itu berdiri melingkari dua sosok orang yang menggeletak di atas rumput. Seorang di antara mereka adalah kakaknya, Pouw Ciang Hin, dan orang yang ke dua adalah seorang laki-laki berpakaian perwira kerajaan, usianya setengah tua. Ketika dekat, ia melihat bahwa di antara anggauta, Tiat-liong-pang terdapat pula Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, dan Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai, tiga orang yang sudah dikenalnya sebagai tokoh-tokoh sakti yang membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang. Juga ia melihat wanita cantik yang disebut Bi-kwi, sekali ini tanpa suaminya, berada di situ.

Akan tetapi, Li Sian hanya memandang mereka dengan sekelebatan saja karena ia sudah lari dan berlutut di dekat jenazah kakaknya. Kakaknya telah tewas, tak dapat diragukan lagi. Mandi darahnya sendiri. Dan orang ke dua yang berpakaian perwira itu pun tewas, juga mandi darah.

“Siapakah dia ini?” Li Sian bertanya kepada Siangkoan Liong sambil menudingkan telunjuk kepada perwira asing itu yang tangannya masih memegang sebatang golok besar, sedangkan di dekat tangan kakaknya nampak pula sebatang pedang yang berlepotan darah.

“Kami tidak tahu,” kata Siangkoan Liong. “Dia tidak berada di dalam pasukan Coa Tai-ciangkun yang semua telah kami kenal. Jelas bahwa dia seorang perwira pasukan kerajaan yang lain, dan agaknya dia memaksa kakakmu untuk mengkhianati komandan pasukannya, mungkin memaksanya untuk menjadi mata-mata kerajaan. Dan tentu kakakmu menolak, lalu terjadi perkelahian dan keduanya tewas.”

Mendengar penjelasan atau dugaan ini, Li Sian termenung. Teringat ia akan semua ucapan kakaknya yang membujuknya agar tidak mencampuri urusan pemberontakan. Apakah kakaknya sudah mulai tergerak hatinya oleh bujukan pihak pasukan kerajaan? Kemudian, setelah bertemu dengannya, kakaknya mungkin sadar dan hal ini membuat dia dimusuhi tentara kerajaan dan dibunuh? Ia mengepal tinju dan di dalam hatinya ia mengutuk. Kembali keluarganya menjadi korban keganasan tentara kerajaan kaisar lalim! Satu-satunya anggauta keluarganya yang tersisa dari pembasmian tentara kerajaan, kini dibunuh pula.

“Aku bersumpah untuk menumpas tentara kerajaan kaisar lalim!” katanya sambil bangkit berdiri, mengusap beberapa butir air matanya.

Mereka kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang dan jenazah Pouw-ciangkun dipanggul. Jenazah perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu dikubur di tengah hutan itu juga. Pada keesokan harinya, jenazah Pouw Ciang Hin dikubur dengan dihadiri semua tokoh yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang, dengan upacara kehormatan, bahkan beberapa orang perwira dari, pasukan Coa Tai-ciangkun ikut pula hadir dan memberi penghormatan.

Li Sian merasa berduka sekali, tubuhnya terasa lemas dan hatinya nyeri. Ia mencari kakak sulungnya, satu-satunya keluarga yang masih ada di dunia ini, dan berhasil bertemu dengan kakaknya. Akan tetapi, hanya untuk diakhiri dengan kedukaan. Pertemuan singkat, bahkan mereka belum sempat bercakap-cakap secara panjang lebar. Lebih dari itu malah, agaknya terjadi ketidaksesuaian paham antara mereka mengenai Tiat-liong-pang. Dan ia tidak sempat lagi bicara karena kakaknya dibunuh orang.

Semenjak kakaknya mati, Li Sian selalu duduk di dekat peti mati, membalas penghormatan semua orang. Ia merasa lelah sekali, lelah lahir batin dan setelah jenazah itu dimakamkan, ia duduk terkulai di depan makam. Semua orang telah pergi meninggalkan kuburan kecuali ia sendiri dan Siangkoan Liong yang dengan penuh perhatian selalu menemaninya dan mencoba untuk menghiburnya.

Melihat gadis itu masih bersimpuh di dekat kuburan baru itu, Siangkoan Liong lalu berlutut di samping Li Sian. Dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu dan suaranya halus menggetar penuh perasaan iba, “Sian-moi.... sudahlah. Tidak ada gunanya ditangisi lagi, kakakmu telah tiada dan hal itu sudah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi engkau masih hidup dan karena itu engkau harus menjaga kesehatanmu. Sejak kemarin engkau tidak makan, tidak minum, dan hanya menangis saja.”

Li Sian menoleh, memandang kepada Siangkoan Liong dengan sepasang mata merah karena kebanyakan menangis. “Akan tetapi, Liong-ko, dia.... dia adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki.... satu-satunya keluargaku....“

“Aih, harap jangan berpendapat demikian, Sian-moi. Bukankah keluarga Siangkoan telah menerimamu dengan tangan terbuka seperti keluarga sendiri? Dan lihatlah aku ini, Sian-moi. Aku masih ada di sampingmu, dan aku akan melindungimu, menemanimu, menjadi pengganti seluruh keluargamu, karena aku cinta padamu, Sian-moi. Tak tahukah engkau? Sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah jatuh cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku....“

Dalam keadaan hatinya sedang duka dan lemah, mendengar ucapan yang penuh kasih mesra dan iba itu, luluh rasa hati Li Sian oleh perasaan haru. Matanya sayu menatap wajah pemuda itu dan mulutnya berbisik lirih, “Liong-ko....“ dan ketika pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda itu sambil menangis. Hatinya merasa terhibur dan di saat itu bagi Li Sian, tidak ada seorang pun manusia yang lebih baik daripada Siangkoan Liong. Karena hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik kepada pemuda itu, maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap air mata dari pipinya, bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup bibirnya, ia pun hanya mengeluh panjang dan ia menemukan perasaan bahagia yang mendalam di antara kedukaannya.

“Sian-moi, aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi isteriku, Sianmoi?” tanya Siangkoan Liong halus dan lirih sekali sambil menempelkan mulutnya di dekat telinga gadis itu. Li Sian kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab dan memang sukar baginya di saat itu untuk bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih bersandar pada dada pemuda itu.

Mereka duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw Ciang Hin. Cumbu rayu dan belaian kasih sayang Siangkoan Liong perlahan-lahan dapat mengusir kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannyanya. Dengan lembut ia lalu menarik diri terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.

“Ah, Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Bersenang-senang di depan makam kakakku....!” katanya agak menyesal.

“Sian-moi, kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya mendapatkan jodoh yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan. Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit.”

Mereka bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu menjura sebagai penghormatan terakhir dan berkata, “Koko, tenangkanlah hatimu. Adikmu ini akan membalaskan kermatianmu dengan menentang pasukan kerajaan, menentang kaisar yang lalim....!”

“Bagus.... bagus....!” Terdengar suara yang dalam dan lantang. Li Sian dan Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang tiba-tiba muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.

“Paman Siangkoan....!” Li Sian memberi hormat.

“Bagus, Li Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah lalim itu! Pemerintah kaisar lalim itu telah membasmi keluargamu, sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan bijaksana serta baik, bahkan kini membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan adanya bantuanmu, aku yakin gerakan kita akan berhasil baik.”

“Ayah, ada sebuah berita baik sekali bagi Ayah dan kami berdua mengharapkan persetujuan dan keputusan Ayah.”

“Hemmm, berita apakah itu, Liongji (anak Liong)?”

“Ayah, baru saja kami berdua telah menyatakan saling mencinta, dan Sian-moi sudah menyatakan setuju untuk menjadi isteriku. Oleh karena itu, kami mohon persetujuan dan keputusan Ayah mengenai hal ini.”

Siangkoan Lohan tertawa, suara ketawanya bergema di seluruh tanah kuburan itu. “Ha-ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali! Sungguh merupakan berita yang amat membahagiakan hatiku. Tentu saja aku merasa setuju sekali dan biarlah nanti kalau sudah habis perkabungan sebulan, akan kurayakan pertunangan kalian dan kuumumkan!”

Siangkoan Liong cepat berkata, “Terima kasih, Ayah.” Lalu dia menggandeng tangan Li Sian. “Mari, kita pulang dan makan.” Mereka berdua lalu pergi meninggalkan kuburan, diikuti pandang mata Siangkoan Lohan yang tersenyum lebar.

Ketika mereka berdua tiba di ruangan makan, di situ telah duduk Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Bi-kwi, Tiat-liong Kiam-eng suheng dari Siangkoan Liong tadi, juga Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, juga beberapa orang tokoh lain yang menjadi pembantu atau sekutu ketua Tiat-liong-pang. Mereka semua duduk menghadapi meja makan dan agaknya mereka sedeng makan minum, atau baru saja selesai. Ketika melihat Siangkoan Liong datang memasuki ruangan makan sambil menggandeng tangan Pouw Li Sian mereka semua bangkit berdiri untuk menghormati Siangkoan Liong, dan mereka memandang kepada gadis yang baru saja kematian kakak kandungnya itu.

“Para locianpwe dan saudara sekalian, kami membawa berita baik, yaitu bahwa nona Pouw Li Sian dan saya akan bertunangan, peresmiannya sebulan,” kata Siangkoan Liong dengan wajah berseri gembira. Mendengar ini, semua yang hadir menyambut dengan gembira, ada yang bersorak, ada yang tertawa, kecuali tentu saja Bi-kwi yang hanya tersenyum saja dan sedetik wanita ini melempar pandang mata tajam ke arah wajah Pouw Li Sian.

“Ah, kalau begitu, kita harus memberi ucapan selamat kepada sepasang calon mempelai ini dengan suguhan secawan arak!” kata Sin-kiam Mo-li. Wanita ini lalu menuangkan arak yang kemerahan dari sebuah cawan, bau arak semerbak harum ketika arak itu mengalir ke dalam dua buah cawan bersih. Setelah kedua cawan ini penuh arak merah yang harum, Sin-kiam Mo-li lalu membawanya menghampiri Siangkoan Liong dan Pouw Li Sian yang masih berdiri, dan dengan sikap dan suara merdu menarik wanita ini menyuguhkan dua cawan arak sambil berkata dengan gembira.

“Perkenankanlah saya menghaturkan selamat atas nama semua kawan yang hadir di sini kepada Ji-wi yang berbahagia,” katanya. Semua orang sudah mengisi cawan arak mereka masing-masing dan mereka pun mengangkat cawan arak mereka sambil membujuk dan berkata, “Selamat kepada Siangkoan-kongcu dan Pouw-siocia!”

Pouw Li Sian sejak kedatangannya pertama sudah merasa tidak senang kepada wanita cantik yang genit itu, dan tadi ia merasa ragu untuk menerima suguhan arak ucapan selamat itu. Akan tetapi melihat betapa semua orang sudah mengangkat cawan arak mereka, dan melihat pula betapa Siangkoan Liong juga sudah menerimanya, terpaksa ia menerimanya pula, dan mereka semua minum arak masing-masing sampai habis secawan penuh. Semua orang lalu bertepuk dan bersorak.

“Cu-wi (saudara sekalian), karena kita sudah makan kenyang, dan agaknya kedua calon pengantin belum makan, maka sebaiknya kalau kita tidak ganggu mereka dan biarlah mereka makan berdua dengan asyik.” Semua orang tertawa dan setelah memberi hormat, mereka keluar dari ruangan makan itu sambil tertawa-tawa.

Siangkoan Liong memanggil pelayan. Empat orang datang dan dia menyuruh mereka membersihkan meja, dan menghidangkan masakan-masakan baru untuk mereka berdua.

Mereka lalu makan minum dan perlahan-lahan, Li Sian sudah melupakan kedukaannya. Ia merasa semakin gembira dan berbahagia, kedua pipinya merah, sinar matanya tajam dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Bahkan ia pun hanya tersenyum kalau Siangkoan Liong bersikap dan bicara terlalu mesra, dan ia pun tidak menolak ketika pemuda itu menyuapinya dengan sumpitnya, memilihkan daging yang paling lunak. Mereka pun makan minum sambil berkasih-kasihan.

Li Sian sama sekali tidak tahu bahwa arak yang disuguhkan oleh Sin-kiam Mo-li tadi, untuk menghormatinya, diam-diam telah dimasuki bubuk merah oleh wanita itu. Arak itu telah menjadi arak obat perangsang! Hal ini diketahui pula oleh Siangkoan Liong yang memang sudah mengaturnya bersama wanita itu dan para pembantunya yang lain. Mereka semua maklum bahwa gadis yang menjadi murid keluarga Pulau Es ini, kalau dapat ditundukkan akan menjadi kawan yang amat berguna, sebaliknya kalau menjadi lawan, ia amat berbahaya. Dan cara satu-satunya untuk menundukkan adalah kalau ia dapat menjadi kekasih atau isteri Siangkoan Liong.

Bahkan ketika Siangkoan Liong, setelah mereka selesai makan, menggandengnya dan mengajaknya masuk ke kamar pemuda itu, Li Sian tidak sadar lagi dan menurut saja seperti seekor domba dituntun ke dalam rumah jagal. Gadis ini pun sama sekali tidak tahu bahwa di luar jendela kamar itu, nampak dua orang ypng berdiri sambil bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik. Mereka adalah Sin-kiam Mo-li dan Thian Kek Sengjin tokoh besar perkumpulan Pek-lian-kauw itu. Mereka berdua adalah ahli-ahli sihir, dan seperti yang telah mereka rundingkan bersama Siangkoan Liong, mereka berdua kini membantu pemuda itu, mengerahkan ilmu sihir mereka untuk mempengaruhi Li Sian.

Gadis itu tak berdaya lagi. Memang di dalam hatinya sudah terdapat rasa suka, kagum dan tertarik kepada Siangkoan Liong. Hal ini ditambah lagi bahwa ia berada dalam keadaan duka sehingga batinnya menjadi lemah, kemudian ia pun sudah terlena oleh bujuk rayu Siangkoan Liong dan keputusan Siangkoan Lohan bahwa ia telah ditunangkan dengan Siangkoan Liong. Dalam makan minum lagi, sebelumnya ia pun sudah menerima arak obat perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan kini, di bawah pengaruh kekuatan sihir dua orang itu, dan bujuk rayu Siangkoan Liong, tentu saja habislah semua daya tahannya. Ia sama sekali tidak melakukan perlawanan dan terulang kembalilah peristiwa dalam kamar itu seperti yang pernah dialami oleh Kwee Ci Hwa.

Baru pada keesokan harinya, Li Sian diam-diam merasa menyesal bukan main dan mencela diri sendiri yang demikian lemahnya. Namun, semuanya telah terjadi dan karena Siangkoan Liong pandai menghiburnya, apalagi karena pemuda itu adalah calon suaminya, maka Li Sian akhirnya takluk dan tunduk, tidak lagi menyesali perbuatannya. Sama sekali ia tidak sadar bahwa ia telah menjadi korban dari siasat yang amat lihai, yang diatur oleh Siangkoan Liong bersama sekutunya untuk menjatuhkannya, untuk menariknya menjadi pembantu mereka yang setia.

Masih untung bagi Li Sian bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga nasibnya tidak seperti Kwee Ci Hwa yang dicampakkan begitu saja, seperti sampah tebu setelah manisnya dihisap habis. Dan ia pun mencinta calon suaminya dengan sepenuh hatinya, bahkan ia kini percaya benar akan sucinya perjuangan yang sedang direncanakan oleh calon ayah mertuanya.

***

Pria yang duduk bersila seorang diri di dalam gubuk itu usianya sudah mendekati lima puluh tahun. Belum tua benar, namun wajahnya sudah mulai nampak tua karena penuh guratan derita hidup yang membayang pada wajahnya yang masih nampak tampan. Muka yang berbentuk bulat dengan kulit agak gelap, tubuhnya tegap dan pakaiannya sederhana walaupun rapi dan bersih.

Gubuk itu berada di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air yang kemudian mengalir menjadi awal Sungai Han Sui. Pemandangan alam di situ indah sekali, dan sunyi karena dusun-dusun terletak jauh di sebelah bawah, di mana terdapat tanah pertanian di sepanjang kedua tepi sungai yang subur. Pertapa di dalam gubuk itu adalah Suma Ciang Bun, seorang di antara cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.

Semenjak muridnya, Gu Hong Beng, pergi dua tahun yang lalu meninggalkannya untuk melakukan perjalanan merantau dan menentang gerakan para tokoh sesat, Suma Ciang Bun berdiam seorang diri di dalam gubuknya di lereng Pegunungan Tapa-san yang sunyi itu. Dia hidup menyendiri bercocok tanam sedikit, hanya cukup untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan waktu selebihnya hanya diisi dengan samadhi. Dia sudah tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia ramai dan di dalam tempat yang sunyi itu, pendekar ini telah memperoleh kedamaian batin. Dia tidak ingin mengganggu ketenteraman batinnya itu dengan urusan dunia yang selalu hanya menimbulkan pertentangan dan keruwetan belaka.

Tak dapat disangkal bahwa kedamaian terdapat di dalam batin, dan tergantung dari keadaan batin bukan dari keadaan di luar. Segala keinginan timbul dari batin sendiri, bukan dari keadaan di luar. Hal ini tentu saja memang benar. Namun tidak boleh diremehkan daya tarik keadaan di luar batin sendiri. Tempat yang sunyi tenteram mempunyai banyak pengaruh terhadap ketenteraman batin, seperti juga benda-benda memiliki daya tarik bagi keinginan batin. Jauh dari benda-benda itu tentu sedikit sekali membangkitkan keinginan, tidak seperti kalau benda-benda itu berada di depan mata. Biarpun demikian, tentu saja yang menentukan semuanya adalah keadaan batin itu sendiri. Batin yang kosong dan damai akan tetap tenang biar orangnya berada di tempat ramai, sebaliknya batin yang penuh persoalan dan tegang akan tetap merana biarpun orangnya berada di tempat yang sunyi.

Karena Suma Ciang Bun memang tidak mempunyai keinginan apa pun, tidak mempunyai pamrih atau cita-cita apa pun, maka dia sama sekali bukan melakukan pertapaan menyiksa diri seperti banyak dilakukan orang yang ingin mencapai sesuatu. Banyak terdapat orang-orang yang melakukan tapabrata untuk berprihatin, dengan pamrih agar sesuatu yang diinginkannya akan tercapai, dan tapa seperti ini seringkali disertai penyiksaan diri, seperti menahan lapar, menahan haus, menahan kantuk, dan sebagainya sampai berhari-hari, bahkan berminggu atau berbulan. Akan tetapi Suma Ciang Bun tidak melakukan penyiksaan diri. Ini bukan berarti bahwa dia menuruti semua nafsu badannya, bukan ingin menyenangkan tubuhnya, karena kalau demikian halnya, tidak ada bedanya dengan para pertapa yang ingin mencari sesuatu yang diinginkan.

Ketika perutnya berkuruyuk, Suma Ciang Bun sadar dari samadhinya dan dia pun teringat bahwa sudah tiba saatnya perutnya diisi karena sejak kemarin sore, dia belum lagi mengisi perut, dan hari ini matahari sudah naik tinggi. Dengan tenang dia pun turun dari tempat samadhi, menuju ke luar gubuk melalui pintu gubuk yang sejak pagi tadi telah dibukanya lebar-lebar sehingga hawa pegunungan memenuhi gubuknya. Dia pergi ke bagian belakang gubuk, di sebelah luar dan nampaklah asap mengepul ketika Suma Ciang Bun membuat api dan menanak nasi, memasak air dan sayuran, dengan bumbu sederhana.

Selagi dia masak itulah terdengar langkah kaki orang dan dia pun menengok. Kiranya ada tiga orang yang berjalan, menghampirinya, dari depan gubuk. Seorang gadis yang cantik dan lincah berusia sekitar dua puluh satu tahun, seorang pemuda yang wajah dan pakaiannya sederhana, pakaian yang serba putih, berusia sekitar dua puluh dua tahun, dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun yang tampan dan matanya bersinar tajam. Suma Ciang Bun tidak mengenal siapa mereka itu dan dia memandang heran sambil mengingat-ingat. Hanya gadis itulah dia merasa seperti pernah mengenalnya. Gadis itu pun segera lari menghampirinya dan memegang lengannya.

“Paman Suma Ciang Bun! Lupakah Paman kepadaku?” kata Suma Lian sambil tertawa gembira. “Aku adalah Suma Lian!”

Suma Ciang Bun terbelalak memandang gadis itu. “Aih, engkau, Lian-ji? Wah, sudah begini dewasa engkau! Angin apakah yang meniupmu sampai di sini? Dan siapakah mereka itu?” Dia memandang kepada pemuda dan anak laki-laki itu dengan alis berkerut. Gadis ini adalah keponakannya, keponakan dalam, akan tetapi juga sebetulnya tunangan dari muridnya. Sejak Suma Lian berusia dua belas tahun, gadis ini sudah dijanjikan oleh mendiang neneknya untuk menjadi isteri Gu Hong Beng, muridnya (baca kisah SULING NAGA) .

Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu Suma Lian tersenyum. “Dia adalah saudara Tan Sin Hong, Paman. Kami berjumpa dalam perjalanan dan berkenalan. Ternyata masih ada hubungan dekat dengan keluarga kita, Paman. Tahukah Paman, siapa guru-gurunya? Kakek Kao Kok Cu dan isterinya, penghuni Istana Gurun Pasir, juga kakek Wan Tek Hoat. Tiga orang sakti itu mengemblengnya di Istana Gurun Pasir.”

Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut bukan main mendengar keterangan itu dan dia pun membalas penghormatan Sin Hong kepadanya sambil memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. “Ah, kiranya murid para locianpwe yang sakti itu. Sungguh beruntung dapat berjumpa dengan seorang pemuda yang gagah perkasa. Dan siapakah anak ini?” Dia memandang kepada Yo Han, seorang anak laki-laki yang memiliki sikap gagah dan sepasang mata yang mencorong. Suma Ciang Bun merasa suka sekali, dan dia agak tercengang ketika anak itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. Dia mengelus rambut kepala anak itu.

“Aih, anak yang baik, tidak perlu melakukan penghormatan seperti itu. Bangkitlah.” katanya lembut.

“Paman, dia bernama Yo Han. Ayahnya adalah paman Yo Jin dan kurasa Paman sudah mendengar nama ibunya yang gagah perkasa, yaitu bibi Ciong Siu Kwi....“

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Ciong Siu Kwi....“ katanya perlahan. Dia sudah banyak mendengar akan nama ini dari muridnya. Bukankah wanita iblis yang amat jahat, akan tetapi kemudian telah mengubah jalan hidupnya setelah menikah dengan seorang pemuda petani, bahkan kemudian menjadi orang yang mengasingkan diri dari dunia persilatan?

“Apakah ia yang berjuluk Bi-kwi....?” Suma Lian mengangguk. “Benar sekali, Paman.”

Suma Ciang Bun memandang kepada anak itu dengan kagum. Dan anak ini putera bekas iblis betina itu? “Akan tetapi, mengapa dia ikut denganmu? Apa yang telah terjadi....?”

“Panjang ceritanya, Paman....”

“Ah, benar juga. Sampai lupa aku. Marilah kalian masuk, kita bicara di dalam.” Ajaknya sambil mendahului tiga orang tamu itu memasuki gubuknya yang sederhana namun bersih. Tidak ada kursi atau bangku di dalam gubuk itu. Lantainya ditilami jerami kering dan mereka duduk di atas tikar anyaman sendiri yang bersih dan lunak karena di bawah tikar itu terdapat jerami kering yang tebal.

Setelah mereka semua duduk di atas tikar itu, Suma Lian lalu menceritakan maksud kunjungannya. “Paman Suma Ciang Bun, sebetulnya kunjunganku ke sini adalah diutus oleh ayah dan ibu. Mereka rindu kepada Paman dan mengutusku untuk menengok dan menanyakan keselamatan Paman. Selain itu, apabila Paman tidak merasa keberatan, ayah dan ibu ingin sekali agar Paman suka pindah saja ke rumah kami dan tinggal bersama kami di sana, daripada Paman hidup menyendiri di tempat sunyi ini. Kata ayah, dia dan Paman sudah mulai tua dan ayah ingin dekat dengan Paman.”

Mendengar ucapan keponakannya itu, Suma Ciang Bun merasa terharu, akan tetapi dia tersenyum. “Ah, sejak dulu ayahmu memang amat baik! Aku sudah merasa cukup berbahagia di sini, akan tetapi undangan ayah ibumu itu bukan tidak menarik. Berilah waktu, akan kupikirkan masak-masak dan kalau kelak aku ingin hidup santai dan tenang, aku akan datang ke rumah kalian.”

Selanjutnya, Suma Ciang Bun bertanya tentang Sin Hong dan Yo Han. Maka berceritalah Suma Lian tentang pengalaman perjalanannya, betapa ia melihat Yo Han dilarikan penculik, kemudian ia berusaha menyelamatkannya dan nyaris tewas kalau tidak ditolong oleh Sin Hong. Juga ia menceritakan betapa orang-orang golongan sesat itu telah menawan ayah dan ibu Yo Han. Mereka terpaksa menyerahkan diri demi menyelamatkan Yo Han yang dijadikan sandera oleh para penjahat.

“Saudara Tan Sin Hong ini dan aku bermaksud untuk melakukan penyelidikan terhadap para tokoh sesat yang kabarnya membuat gerakan untuk memberontak, Paman. Kami ingin melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang di utara. Karena kami tidak ingin membawa Yo Han ke dalam bahaya sewaktu melakukan tugas itu, maka aku teringat untuk menitipkan anak ini di sini, Paman. Tentu saja kalau Paman tidak berkeberatan dan hanya untuk sementara. Kelak, kalau tugas kami selesai, saudara Tan Sin Hong ini tentu akan menjemputnya, karena Yo Han telah menjadi muridnya.”

Mendengar ini, wajah Suma Ciang Bun berseri dan dia memandang kepada anak laki-laki di depannya itu. Sejak melihatnya pertama kali, memang hatinya telah tertarik sekali dan dia merasa kagum dan suka kepada Yo Han. Oleh karena itu, mendengar ucapan Suma Lian, dia mengangguk-angguk.

“Baiklah, biar dia berada di sini selama kalian melaksanakan tugas penting itu. Ketahuilah bahwa muridku, Gu Hong Beng, juga sudah pergi merantau dua tahun yang lalu dan aku merasa yakin bahwa dia tentu tidak akan tinggal diam kalau mendengar akan pergerakan kaum sesat itu. Engkau tentu belum lupa kepada muridku Gu Hong Beng itu, bukan?” tanyanya sambil menatap tajam wajah manis keponakannya.

Suma Lian tersenyum, membuat wajahnya nampak semakin cerah dan jelita. “Aih, Paman. Bagaimana aku dapat melupakan suheng Gu Hong Beng? Takkan pernah dapat kulupakan betapa dulu, ketika aku berusia dua belas tahun dan diculik oleh Sai-cu Lama, suheng Gu Hong Beng membelaku mati-matian.” Gadis ini teringat akan pengalamannya ketika masih kecil itu, ketika ia diculik seorang datuk sesat, Sai-cu Lama, dan mengakibatkan kematian neneknya (baca kisah SULING NAGA) .

Mendengar jawaban itu Suma Ciang Bun merasa gembira sekali dan dia mendapat pikiran yang amat baik. Pemuda yang datang bersama Suma Lian ini adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah diduga kalau mengingat betapa pemuda ini pernah menyelamatkan Suma Lian, apalagi karena ketiga orang gurunya adalah tokoh-tokoh besar yang sakti. Melihat pergaulan yang nampak akrab antara pemuda itu dan keponakannya, timbul kekhawatiran di dalam hatinya walaupun dia tidak merasa heran melihat pergaulan yang akrab antara muda mudi itu. Memang kehidupan di dunia persilatan lebih bebas. Bagi seorang gadis ahli silat yang suka merantau, bergaul dengan seorang pemuda merupakan hal biasa karena gadis itu mampu menjaga diri dengan kepandaiannya. Akan tetapi dia khawatir kedahuluan, maka dia mempunyai pikiran untuk menyampaikan saja pesan rahasia mendiang nenek Teng Siang In kepada keponakannya, di depan pemuda itu.

“Lian-ji, keponakanku yang baik. Dalam kesempatan ini, aku ingin menyampaikan suatu berita yang mungkin selama ini masih menjadi rahasia bagimu. Mengingat bahwa pemuda perkasa ini adalah murid Istana Gurun Pasir, maka berarti dia bukan orang luar dan tidak ada jeleknya kalau dia mendengarkan pula.”

Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan wajah serius itu, Suma Lian terkejut dan menatap wajah pamannya dengan penuh keinginan tahu. “Paman, rahasia apakah itu?”

“Rahasia peninggalan pesan terakhir nenekmu. Atau barangkali engkau sudah mendengar dari orang tuamu?”

“Pesan terakhir nenek Teng Siang In? Belum, Paman, aku belum mendengar tentang itu. Apakah pesan terakhir itu ditujukan kepadaku?”

“Bukan kepadamu, akan tetapi justeru pesan itu mengenai dirimu, mengenai perjodohanmu.”

Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak, kemudian kedua pipinya berubah kemerahan, “Apa.... apa maksudmu, Paman?” tanyanya agak tergagap karena hatinya terguncang mendengar bahwa mendiang neneknya meninggalkan pesan mengenai perjodohannya.

Suma Ciang Bun menarik napas panjang. “Hal ini sudah kuceritakan kepada ayah ibumu, akan tetapi agaknya mereka belum menceritakannya kepadamu. Baiklah akan kuceritakan saja agar aku tidak akan selalu merasa berhutang janji kepada nenekmu itu, melalui muridku. Hal itu terjadi ketika engkau diculik oleh Sai-cu Lama. Engkau tentu masih ingat betapa telah terjadi perkelahian antara mendiang nenekmu dan Sai-cu Lama. Nenekmu kemudian dibantu oleh suhengmu, Gu Hong Beng, akan tetapi Sai-cu Lama amat lihai dan akhirnya nenekmu roboh dan terluka parah oleh Sai-cu Lama yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam....“

“Ban-tok-kiam....?” Tiba-tiba Sin Hong berseru kaget, di luar kesadarannya.

Suma Ciang Bun memandang kepadanya dan mengangguk. “Benar, Tan-sicu (orang gagah Tan), datuk sesat itu mempergunakan Ban-tok-kam, karena pedang dari Istana Gurun Pasir itu pernah terjatuh ke dalam tangannya.”

Sin Hong sadar bahwa dia telah lancang bicara dan kini diam saja, membayangkan betapa Ban-tok-kiam dan Cuibeng-kiam kini terjatuh ke dalam tangan Sin-kiam Mo-li. Hal ini mengingatkan dia bahwa amatlah berbahaya kalau pedang-pedang yang amat ampuh dan ganas itu terjatuh ke tangan orang jahat. Bagaimanapun juga, dia harus mencari Sin-kiam Mo-li, bukan untuk sekedar membalas dendam atas kematian tiga orang gurunya, akan tetapi terutama sekali untuk merampas kembali Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam agar dua batang pedang pusaka yang amat ganas itu tidak disalahgunakan oleh Sin-kiam Mo-li atau tokoh jahat lainnya untuk melakukan kejahatan.

“Lalu bagaimana, Paman?” tanya Suma Lian tidak sabar karena cerita pamannya yang akan membuka rahasia pesan terakhir neneknya itu tadi diselingi urusan Ban-tok-kiam.

“Nenekmu terluka parah dan dibawa pulang oleh Hong Beng sedangkan engkau dilarikan Sai-cu Lama. Ketika ayah ibumu mendengar pelaporan Hong Beng, mereka segera melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama sedangkan Hong Beng menjaga dan merawat nenekmu. Namun, nenekmu tak tertolong lagi dan sebelum menghembuskan napas terakhir, nenekmu meninggalkan pesan kepada Hong Beng.” Kembali Suma Ciang Bun menghentikan ceritanya, agaknya dia sendiri juga merasa canggung untuk membuka rahasia itu.

“Pesan mengenai diriku, Paman? Bagaimanakah pesan itu?”

Suma Ciang Bun menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Sebetulnya bukan pesan kepadamu, melainkan kepada Hong Beng. Nenekmu itu sebelum meninggal dunia, minta kepada Hong Beng untuk berjanji. Betapapun berat rasanya janji itu oleh Hong Beng, namun mengingat bahwa pesan itu adalah pesan dari seorang yang menghadapi kematian, Hong Beng tidak tega untuk menolak dan dia pun berjanji seperti yang diminta oleh mendiang nenekmu itu.” Kembali dia berhenti.

“Apakah janji itu, Paman? Katakanlah, mengapa Paman nampak ragu-ragu?”

Suma Lian mendesak.”Hong Beng. diminta berjanji agar kelak dia suka menjadi suamimu....“

Sepasang mata itu kembali terbelalak dan kini kedua pipi yang halus itu berubah merah sekali. “Ahhh....“ Suma Lian menahan seruannya.

Suma Ciang Bun merasa hatinya lapang setelah dia menceritakan pesan yang selama bertahun-tahun dirahasiakan itu. “Demikianlah pesan nenekmu, Suma Lian. Hong Beng tidak berani menolak dan dia pun sudah berjanji di depan nenekmu yang sedang menghadapi kematian. Tentu saja janji itu amat mengganggu hati Hong Beng dan dia tidak berani menceritakannya kepada siapapun, apalagi kepada orang tuamu. Setelah engkau dewasa, akhirnya dia menceritakannya kepadaku. Mendengar itu, aku segera menemui orang tuamu dan sudah kuceritakan kepada mereka tentang pesan terakhir nenekmu itu.”

Tanpa disengaja, Suma Lian menoleh kepada Sin Hong, akan tetapi pemuda itu hanya duduk bersila dengan muka ditundukkan sehingga ia tidak tahu bagaimana wajah pemuda itu yang tentu saja ikut mendengarkan semua percakapan tadi. Hati Suma Lian menjadi agak lega karena tadinya ia merasa rikuh sekali bahwa Sin Hong ikut mendengarkan percakapan tentang perjodohannya.

“Dan mereka.... ayah ibuku...., bagaimana pendapat mereka, Paman?” Ia teringat akan peringatan ayah ibunya kepadanya bahwa ia telah lebih dari dewasa untuk segera menentukan jodohnya! Akan tetapi ayah ibunya sama sekali tidak menyebut nama Gu Hong Beng. Teringat akan ini, ia pun membayangkan wajah Gu Hong Beng. Akan tetapi, ia tidak dapat mengingatnya dengan baik. Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun! Delapan atau sembilan tahun telah lewat ketika ia melihat Gu Hong Beng. Namun, karena pemuda itu dahulu pernah membelanya dari ancaman penculikan Sai-cu Lama, tentu saja ia mengenang pemuda itu dengan hati kagum dan berhutang budi. Samar-samar ia masih ingat bahwa Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana, sikapnya lemah lembut, pendiam, halus, dan berwajah cerah dan tampan.

“Ayah dan ibumu, hemmm.... mereka tidak dapat mengambil keputusan dan mengatakan bahwa untuk urusan perjodohanmu, mereka menyerahkan sepenuhnya kepadamu. Lalu bagaimana dengan pendapatmu mengenai pesan terakhir nenekmu itu, Lian-ji (anak Lian)?”

Suma Lian tersenyum. Hatinya merasa lega dan bersyukur. Ayah ibunya memang bijaksana dan amat mencintanya. Ia tahu bahwa ayah ibunya amat menginginkan ia segera menikah, akan tetapi mereka itu menyerahkan pemilihan jodoh kepadanya sendiri. Kembali tanpa disengaja, ia melirik ke arah Sin Hong. Pemuda itu tetap menundukkan muka dan nampaknya rikuh sekali. Seorang pemuda yang sopan dan baik, pikir Suma Lian. Sikapnya yang diam menunduk itu banyak menolongnya dari kerikuhan.

“Aku tidak tahu, Paman....“ Suma Lian memandang pamannya dengan senyum lebar. “Ayah dan ibu sungguh bijaksana. Terus terang saja, aku berterima kasih atas sikap mereka yang menyerahkan keputusan urusan perjodohanku kepadaku sendiri.”

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah kembali. “Maksudku, bagaimana pendapatmu dengan muridku Gu Hong Beng? Setujukah engkau kalau dia menjadi calon suamimu seperti yang dipesankan mendiang nenekmu? Kalau engkau setuju, aku akan merasa berbahagia sekali dan akan kubicarakan urusan ikatan jodoh itu dengan orang tuamu.”

“Aih, Paman mengapa demikian tergesa-gesa? Kurasa, urusan perjodohan bukanlah urusan sederhana dua orang untuk selamanya di kemudian hari! Mana mungkin aku dapat menentukan sekarang? Sedangkan suheng Gu Hong Beng itu seperti apa pun aku tidak tahu....“

“Ah, bukankah engkau sudah pernah bertemu dengan dia?”

“Itu sembilan tahun yang lalu, Paman, dan aku sudah lupa lagi bagaimana rupanya. Kurasa, suheng Gu Hong Beng sendiri juga sudah lupa kepadaku....“

“Tidak, Lian-ji. Dia tidak pernah lupa, dan kurasa dia selalu menunggu keputusanmu tentang perjodohan itu.”

Diam-diam Suma Lian terkejut juga mendengar ini dan ia merasa yakin bahwa pamannya ini tidak berbohong. Mungkinkah murid pamannya itu sejak ia berusia dua belas tahun telah jatuh hati kepadanya? Menggelikan!

“Biarlah aku akan memberi jawaban kalau kami sudah saling jumpa, Paman.”

Mendengar ketegasan dalam suara keponakannya, Suma Ciang Bun tidak mendesak lebih jauh lalu mengalihkan percakapan ke arah gerakan para tokoh sesat yang hendak memberontak itu sehingga Sin Hong mendapat kesempatan untuk ikut bicara tanpa merasa kikuk. Atas pertanyaan Suma Ciang Bun, Sin Hong lalu bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya yang menjadi korban pembunuhan dan betapa dia melakukan penyelidikan yang jejaknya membawanya kepada Tiat-liong-pang pula. Ketika Suma Ciang Bun mendengar cerita Sin Hong betapa tiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir diserbu oleh banyak datuk sesat sehingga tiga orang gurunya itu tewas, pendekar ini terkejut bukan main. Sepasang matanya terbelalak seolah-olah dia tidak percaya mendengar berita mengejutkan itu.

“Apa?” teriaknya. “Tiga orang locianpwe yang sakti itu tewas di tangan para tokoh sesat? Bagaimana hal itu mungkin terjadi? Siapakah mereka? Ceritakanlah!”

“Mereka adelah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, yang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sintouw,” kata Sin Hong yang selanjutnya menceritakan betapa di antara tujuh belas orang tokoh sesat yang menyerbu Istana Gurun Paisir itu, hanya tiga orang yang tidak tewas, yaitu Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cin jin wakil ketua Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-Lian-kauw, sedangkan empat belas orang tokoh lainnya tewas. Akan tetapi tiga orang gurunya juga tewas dalam perkelahian keroyokan itu.

“Akan tetapi, bagaimana engkau sendiri dapat lolos dari kematian, sedangkan tiga orang gurumu tewas?” Suma Ciang Bun bertanya, hatinya diliputi rasa penasaran mendengar bahwa tiga orang yang dianggapnya memiliki tingkat ilmu kependaian yang sukar dibayangkan tingginya, bahkan mendekati kebesaran nama kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat tewas di tangan pengeroyokan orang-orang sesat.

Tan Sin Hong menghela napas panjang. Pertanyaan seperti itu selalu membuat dia merasa menyesal dan memancing datangnya rasa duka. Dengan singkat dia lalu menceritakan mengapa dia masih hidup dan mengapa dia tidak berdaya membela tiga orang gurunya ketika Istana Gurun Pasir diserbu para penjahat itu. Dan diceritakannya pula, tanpa menyinggung tentang usaha Sin-kiam Mo-li untuk merayunya tanpa hasil, betapa akhirnya dia dapat lolos dan menyelamatkan dirinya, setelah membakar istana itu dengan jenazah tiga orang gurunya berada di dalam dan ikut terbakar. Betapa selama setahun dia bersembunyi di dalam hutan untuk menyelesaikan latihannya, menguasai ilmu silat baru ciptaan tiga orang gurunya yang membuat dia tak berdaya ketika istana diserbu karena pada waktu itu dia belum menguasai Ilmu Pek-ho Sin-kun dan setiap kali mengerahkan tenaga dia akan roboh sendiri.

Setelah mendengar penjelasan Sin Hong, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia pun menarik napas panjang. Agaknya memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa keluarga sakti penghuni Istana Gurun Pasir harus mengalami kematian seperti itu. Buktinya, kebetulan sekali ketika marabahaya tiba, murid mereka yang mereka andalkan sedang dalam keadaan tidak berdaya. Andaikata pemuda ini sudah menamatkan ilmunya yang baru itu, tentu akan mampu membela mereka dan belum tentu mereka bertiga itu akan tewas.

“Paman, keadaan tiga orang locianpwe di Istana Gurun Pasir itu sama benar dengan nasib keluarga kakek buyutku di Istana Pulau Es. Mereka semua adalah keluarga yang sakti, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi mengapa mereka semua tewas dalam tangan orang-orang jahat? Tewas dalam perkelahian?” kata Suma Lian dengan penasaran. Bukankah mereka itu adalah orang orang gagah perkasa yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”

Mendengar pertanyaan ini, Suma Ciang Bun mengembangkan kedua lengannya lalu mengangkatnya ke atas, kemudian merapatkan kedua tangan di depan dada dan berkata dengan suara lirih, “Kekuasaan Tuhan menuntun segala sesuatu dan kehendak Tuhan pun terjadilah! Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubah, mempercepat atau memperlambat setiap peristiwa yang sudah ditentukan Tuhan. Hukum Karma takkan terelakkan oleh siapapun juga. Siapa menanam dia memetik buahnya, pohon apel berbuah apel, pohon mawar berbunga mawar, pohon racun berbunga racun. Siapa bermain air akan basah, bermain api akan terbakar, bermain lumpur akan kotor. Siapa hidup di dalam kekerasan, takkan terelakkan lagi tentu akan menjadi korban kekerasan pula. Betapapun gagahnya seseorang, akan tiba saatnya dia menemukan tanding yang lebih gagah, atau sebaliknya, akan tiba saatnya di mana usianya akan menggerogoti kegagahanmu dia akan menjadi lemah. Keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir memang terkenal sebagai keluarga yang sakti dan gagah perkasa. Justeru karena itulah maka mereka gugur di dalam kekerasan, di dalam perkelahian. Hal itu sama sekali tidak aneh, bukan, kalau kita mengingat akan Hukum Karma?”

“Akan tetapi, Locianpwe,” kata Sin Hong. “Harap maafkan kalau saya lancang mencampuri bicara dan mengemukakan pendapat saya. Biarpun para guru saya itu merupakan ahli-ahli silat sehingga mereka itu tentu saja selalu mempergunakan kekerasan karena harus menentang para penjahat, namun bukankah mereka itu pembela kebenaran dan keadilan? Bukankah perbuatan mereka itu mulia dan sesuai dengan kebajikan? Akan tetapi mengapa mereka harus menerima nasib tewas di tangan kaum sesat yang jahat? Apakah hal itu dapat dikatakan sebagai hukum yang adil?”

Suma Ciang Bun tersenyum karena dari nada bicara pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukan tidak tahu, melainkan hendak mengajak dia berbincang tentang hukum yang nampaknya tidak adil itu.

“Orang muda yang gagah. Pendapatmu itu mewakili pendapat umum, akan tetapi hendaknya dimengerti benar bahwa pendapat umum bukan merupakan ukuran akan kebenaran dan keadilan kekuasaan Tuhan. Terdapat banyak rahasia tersimpan di balik semua peristiwa yang terjadi. Apapun yang terjadi di dalam kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kewajaran, tidak terlepas dari Hukum Karma yang mencerminkan keadilan kekuasaan Tuhan. Mungkin saja nampaknya tidak adil, bahkan ada kalanya suatu peristiwa dianggap janggal dan tidak adil sama sekali oleh kita, namun hal itu hanya membuktikan betapa lemah dan bodohnya kita. Akal kita, batin kita, pikiran kita, sama sekali tidak mampu menjangkau rahasia itu. Ada seorang bayi begitu terlahir sudah harus menderita, entah karena kemiskinan keluarganya, atau karena cacad badan, atau karena tertimpa bencana alam dan sebagainya. Menurut pendapat akal kita, tentu saja hal itu sama sekali tidak adil! Ada orang yang hidupnya penuh dengan kecurangan dan kejahatan, nampaknya hidup serba mewah, mulia dan senang. Sebaliknya, orang yang kita anggap berbudi mulia, baik dan dermawan, hidupnya serba kekurangan atau menderita karena penyakit yang berat dan lama. Nah, semua itu hanya sekedar bukti bahwa akal pikiran kita tidak akan mampu menguak rahasia kekuasaan Tuhan!”

“Paman, kalau begitu, apa gunanya kita membela kebenaran dan menentang kejahatan kalau hasilnya belum tentu menguntungkan kita?” Suma Lian membantah dengan hati penasaran.Mendengar bantahan keponakannya itu, Suma Ciang Bun tertawa. “Ha-haha, Suma Lian, pertanyaanmu itu mengejutkan dan mengherankan, seolah-olah engkau bukan keturunan keluarga Pulau Es saja, seolah-olah engkau bukan murid terkasih dari paman Gak Bun Beng! Kalau kita membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, dengan pamrih hasil yang menguntungkan apakah hal itu dapat disebut perbuatan gagah seorang pendekar? Ketahuilah, lahir dan matinya seorang manusia seutuhnya berada dalam kekuasaan Tuhan yang menentukan. Bagaimana mengisi kehidupan, antara kelahiran dan kematian itulah tugas hidup seorang manusia. Dan aku merasa yakin, demi keadilan Tuhan, bahwa kekuasaan yang menentukan itu tentu disesuaikan dengan mutu dan nilai kehidupan yang diisi oleh manusia sendiri. Jadi, tugas kita hanyalah selalu harus menjauhkan segala macam kebencian iri hati, pementingan diri sendiri, dan sebagainya. Sesudah itu, selesailah, karena yang lain-lain berada di tangan Tuhan dan kita harus menyerahkannya dengan penuh keimanan akan kekuasaan Tuhan.”

Sin Hong menundukkan mukanya. Dia dapat merasakan kebenaran ucapan pendekar itu. Bagaimanapun juga, manusia adalah mahluk yang lemah sekali. Biarpun kebanyakan manusia merasa dirinya besar dan berkuasa, namun sesungguhnya itu hanyalah kesombongan kosong belaka. Jangankan menguasai hidup matinya, bahkan menguasai sehelai rambut pun tidak! Rambut itu tumbuh sendiri di luar kekuasaan manusia yang mengaku memilikinya. Penyerahan diri ke dalam kekuasaan Tuhanlah satu-satunya jalan tempat manusia berlindung, di samping, tentu saja, segala ikhtiar sekuatnya.

“Aku sudah mendengar akan semua itu, Paman.” Suma Lian mendesak, “akan tetapi, aku tetap merasa penasaran mengapa kakek buyut dan kedua nenek buyutku di Pulau Es, juga para locianpwe di Istana Gurun Pasir, enam orang yang terkenal memiliki kesaktian dan nama mereka pernah menggemparkan dunia persilatan itu, di dalam usia tua sekali meninggal dunia secara menyedihkan, yaitu tewas di tangan orang-orang sesat. Kembali Suma Ciang Bun tersenyum. “Orang muda memang selalu ingin tahu dan penasaran. Akan tetapi sikap demikian itu baik sekali. Jangan mudah puas dan selidikilah segala sesuatu dengan seksama sampai engkau mengerti benar. Agaknya aku dapat menjawab pertanyaanmu itu, Lian-ji, karena aku dapat menyelami watak orang-orang tua yang gagah perkasa itu dan aku dapat menduga mengapa mereka itu tewas dalam perkelahian melawan kaum sesat. Kematian memang hanya satu macam saja, yaitu nyawa meninggalkan badan, akan tetapi ada berbagai macam cara kematian. Tidak ada kematian yang lebih membanggakan daripada kematian yang terjadi ketika sedang melaksanakan tugas. Tugas seorang pendekar adalah menentang kejahatan, berarti menentang golongan sesat. Agaknya itulah yang membuat para orang tua gagah itu lebih suka memilih kematian ketika mereka sedang menentang golongan sesat. Hal itu pada umumnya oleh para pendekar dianggap mati sebagai harimau, tidak mati sebagai seekor babi. Dan ini ada hubungannya dengan perputaran hukum karma tadi.

Perajurit mati dalam perang, pendekar mati dalam pertempuran melawan golongan sesat. Ini sudah tepat namanya.

“Semua keterangan Locianpwe itu sungguh membuka mata batin dan menambah pengertian saya. Terima kasih, Locianpwe,” kata Sin Hong dengan pandang mata kagum. “Akan tetapi, dalam kesempatan ini saya mohon agar Locianpwe suka menerangkan kepada saya yang bodoh ini, apa sesungguhnya hakekat hidup dan mati. Mengapa kita dilahirkan, hanya untuk dimatikan pada akhirnya? Apa artinya semua ini Locianpwe?”

Suma Ciang Bun tersenyum. Persis seperti yang sering kali direnungkan ketika mulai menyendiri dalam pertapaan! “Orang muda yang gagah. Siapakah kita ini yang akan mampu membicarakan rahasia yang hanya diketahui Tuhan? Segala bentuk kelahiran di dunia pasti akan diakhiri dengan kematian. Hal ini sudah terbukti di atas bumi ini. Kalau ada kelahiran tanpa kematian, maka kelahiran seperti itu tentu terjadi bukan di dunia ini. Keadaan yang menyebutnya Sorga atau Nirwana atau sudah bersatu dengan Tuhan. Lebih tepat kalau kita bicara tentang kehidupan di atas dunia ini, kehidupan kita bersama yang sama kita rasakan. Kita hanya dapat bicara tentang pengalaman, hal-hal yang kita ketahui dari pengalaman orang lain. Sebelum kita terlahir, kita ini tidak ada. Kita lalu ada setelah terlahir dan hidup. Kemudian, setelah mati, kembali keadaan kita lenyap dan kembali menjadi tidak ada! Nah, keadaan tidak ada itu, sebelum terlahir dan sesudah mati, bukanlah urusan kita, melainkan urusan yang ditangani oleh kekuasaan Tuhan. Bukan hak maupun kewajiban kita untuk menyelidikinya, pula, bagaimana kita dapat menyelidiki sesuatu yang berada di luar jangkauan kemampuan akal budi dan pikiran kita? Lebih baik kita bicarakan tentang keadaan yang ada saja, yaitu keadaan hidup kita ini. Hak kita adalah menghayati kehidupan ini sepenuhnya, kewajiban kita adalah mengisi kehidupan ini sebagaimana mestinya, memupuk kebaikan dan menjauhi kejahatan, tanpa pamrih mendapatkan upah. Adapun semua penilaian tentang prilaku kita semasa hidup, kita serahkan saja kepada Tuhan!”

Kalau Sin Hong mendengarkan dengan penuh hormat. Suma Lian sebaliknya menjadi kagum. Dulu, telah beberapa kali ia mendengar pamannya ini bicara, akan tetapi alangkah bedanya cara pamannya bicara. Kini pamannya demikian pasrah, demikian dekat dengan Tuhannya. Agaknya itulah hasil pertapaannya, hasil perenungan di dalam samadhinya, dan Suma Lian menjadi kagum, juga terharu. Dari ayah ibunya ia sudah banyak mendengar tentang Suma Ciang Bun, tentang keadaannya yang luar biasa, kecondongannya untuk menyukai sesama jenisnya, yaitu laki-laki. Karena itu sampai setua itu dia tidak pernah menikah dan lebih suka hidup menyendiri di lereng Tapa-san yang sunyi itu.

Setelah bercakap-cakap dan menyerahkan Yo Han untuk dititipkan sementara waktu di tempat tinggal Suma Ciang Bun, Sin Hong dan Suma Lian lalu berpamit untuk memulai dengan perjalanan mereka melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang yang kabarnya menghimpun para tokoh hitam untuk memberontak itu. Mereka pun ingin berusaha membebaskan ayah ibu Yo Han yang menjadi tawanan para tokoh hitam itu, di samping kepentingan Sin Hong yang hendak menyelidiki rahasia pembunuhan ayahnya, juga untuk menentang Sin-kiam Mo-li yang dia tahu amat jahat. Yo Han suka tinggal untuk sementara waktu dengan kakek yang amat ramah dan halus budi itu, apalagi karena Sin Hong berjanji bahwa setelah selesai tugasnya, dia pasti akan datang menjemput muridnya.

***

Sementara itu, Tiat-liong-pang kini mulai memperkuat diri, menerima banyak anggauta baru. Bahkan sedikit demi sedikit, orang-orang suku Mongol anak buah Agakai, mulai menyusup masuk lewat perbatasan bergabung dengan Tiat-liong-pang. Semua anak buah itu mulai dilatih perang-perangan, dan para tokoh sesat yang menjadi pembantu Siangkoan Lohan, sibuk disebar ke selatan untuk menghimpun kekuatan dan membujuk perkumpulan-perkumpulan untuk mendukung rencana pemberontakan mereka.

Bi-kwi belum dipercaya untuk bertugas keluar. Ia ditugaskan untuk ikut melatih pasukan-pasukan kecil yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang yang kini telah menjadi semacam benteng. Tentu saja Bi-kwi tidak berdaya selama suaminya masih berada di situ dan selalu diawasi. Ia akan dapat mencoba untuk membebaskan diri, mengandalkan kepandaiannya walaupun di situ masih terdapat banyak orang pandai, akan tetapi sukar baginya untuk menjamin keselamatan suaminya. Masih baik bahwa mereka berdua mendapatkan sebuah kamar yang cukup luas, walaupun setiap malam kamar itu tidak pernah sunyi dari penjaga yang mengepungnya.

Ketika Bi-kwi pada malam hari memberitahukan kepada suaminya, Yo Jin, akan peristiwa kematian Pouw Ciang Hin, kakak Pouw Li Sian, mengemukakan dugaannya bahwa kakak gadis itu tewas secara aneh dan kemungkinan besar dibunuh oleh Siangkoan Liong dan kaki tangannya. Yo Jin yang berwatak gagah dan jujur itu lalu menjadi marah.

“Huh, orang-orang macam apa yang kaubantu ini? Kita tidak boleh tinggal diam saja! Engkau harus memberitahukan hal itu kepada nona Pouw Li Sian. Kalau tidak kaulakukan hal itu, sama saja dengan membantu mereka melakukan pembunuhan keji terhadap kakak gadis itu!”

Bi-kwi dapat menyetujui keinginan suaminya itu. Ia pun merasa muak melihat sepak terjang Siangkoan Liong dan ia yang bermata tajam dan berpengalaman luas itu segera dapat melihat apa yang sama sekali tidak dapat diduga oleh Pouw Li Sian yaitu bahwa dalam peristiwa kematian kakak gadis itu, terdapat hal-hal yang tidak wajar. Maka ketika mendapat kesempatan bertemu berdua saja dengan Li Sian, Bi-kwi lalu berbisik, “Nona Pouw, mari ke sini, aku ingin membicarakan sesuatu yang penting mengenai kematian kakakmu.”

Li Sian mengenal Bi-kwi dari cerita Siangkoan Liong. Pemuda itu memberitahu kepadanya bahwa Bi-kwi adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat dan licik, maka ia harus berhati-hati terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi, ketika Bi-kwi menyebut tentang kematian kakaknya, ia pun segera mengangguk dan mengikuti wanita itu ke sebuah sudut bangunan di mana mereka tersembunyi dan mudah melihat kalau ada orang lain datang menghampiri tempat itu.

“Apakah yang hendak kaubicarakan dengan aku, Enci?” tanya Li Sian dan setelah kini mereka berdiri berhadapan dekat dan ia memperhatikan wajah wanita itu, ia melihat betapa wajah yang cantik itu membayangkan kekhawatiran dan juga sinar matanya nampak lembut, bukan seperti mata seorang yang berwatak jahat.

“Nona Pouw, aku merasa kasihan sekali kepadamu dan tidak ingin melihat engkau akan tertipu semakin jauh. Ketika kita semua menyaksikan kematian kakakmu, perwira Pouw Ciang Hin, di dalam hutan itu, aku pun ikut menyaksikan dan aku melihat suatu hal yang amat penting yang menunjukkan dengan jelas kepadaku bahwa kakakmu itu sama sekali tidak tewas karena berkelahi melawan perwira kerajaan.”

Pouw Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah wanita cantik itu. Ia teringat akan pesan Siangkoan Liong bahwa ia harus berhati-hati terhadap wanita yang amat jahat dan licik. Siapa tahu, wanita ini hendak mempergunakan suatu tipu muslihat yang licik terhadap dirinya.

“Apa maksudmu yang sebenarnya, Enci? Sudah jelas bahwa mendiang kakakku itu tewas dalam perkelahian dan lawannya juga tewas. Apa buktinya dugaanmu itu bahwa dia tidak tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan itu?”

“Memang tadinya aku pun percaya akan keterangan mereka bahwa kakakmu mati bersama lawannya berkelahi. Akan tetapi ketika aku memperhatikan lukanya, dan melihat betapa perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu mati sambil memegang senjatanya, yaitu sebatang golok, aku pun menjadi curiga. Aku mendekat dan melihat keadaan luka pada kakakmu yang membawa kematian itu dan aku pun yakin setelah melihat dari depan dan belakang, bahwa kakakmu itu tewas bukan oleh perwira yang menjadi lawannya itu.”

“Apa buktinya? Coba terangkan yang jelas,” kata Li Sian, jantungnya berdebar tegang walaupun ia belum percaya benar dan masih mencurigai wanita ini.

“Pada jenazah kakakmu itu terdapat beberapa luka sabetan golok, pada paha, pangkal lengan kiri, dan pundak kanan. Akan tetapi tiga luka yang jelas disebabkan oleh bacokan golok itu bukan luka yang mematikan. Luka yang menyebabkan kematian kakakmu adalah luka tusukan pada dada yang menembus ke punggung dan hal ini kulihat benar dari arah depan dan belakang. Jadi, kakakmu bukan tewas oleh golok di tangan perwira itu, melainkan oleh tusukan pedang dari depan, yang dilakukan dengan kuat sekali. Luka itu kecil, hanya dapat diakibatkan tusukan pedang, bukan bacokan atau tusukan golok.”

Sepasang mata Li Sian terbelalak, kecurigaannya lenyap dan ia nampak ragu-ragu, mulai percaya karena ia pun teringat akan luka-luka di tubuh kakaknya, akan tetapi sebelum ini ia tidak memikirkan sejauh itu.

“Lalu.... kalau menurut pendapatmu bagaimana, Enci?” tanyanya, suaranya gemetar karena ia mendapat perasaan yang amat tidak enak.

“Aku pernah melihat perwira yang menjadi lawan kakakmu itu, nona Pouw. Kalau tidak keliru, dia seorang kepercayaan Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan perbatasan yang agaknya bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Dan melihat tanda pangkat yang dipakainyanya, dia memiliki pangkat yang lebih tinggi dari kakakmu. Dan itu dibuktikan dengan adanya tiga luka bacokan golok pada tubuh kakakmu, sedangkan pada tubuh perwira itu, hanya ada satu luka tusukan pedang, dari punggung yang menembus ke dada. Jadi menurut perhitunganku, kakakmu memang berkelahi melawan perwira itu, akan tetapi kakakmu terdesak dan menderita tiga luka itu. Kemudian, kalau tidak keliru dugaanku, muncul seorang lain yang membunuh perwira itu dari belakang dengan tusukan pedang. Orang itu tentu lihai sekali sehingga sekali tusuk dia mampu merobohkan perwira itu. Kemudian, dengan mudah dia membunuh pula kakakmu yang sudah luka-luka itu dengan tusukan pedang dari depan “

“Akan tetapi, pedang kakakku yang berada di situ juga berlumuran darah!”

Bi-kwi tersenyum. “Apa sukarnya itu, pembunuh itu dapat saja mengambil pedang kakakmu dan melumurinya dengan darah perwira itu yang masih bercucuran.”

“Akan tetapi....................... siapakah orang yang sekeji itu membunuh kakakku, dan mengapa pula dia mengatur muslihat agar kelihatannya kakakku tewas dalam perkelahian melawan perwira itu? Apa alasannya?” Li Sian bertanya, penasaran walaupun ia melihat bahwa pendapat wanita ini memang sangat mungkin terjadi.

“Sukar untuk menduga siapa pelaku pembunuhan itu. Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa dia tentulah seorang pembantu Siangkoan Lohan, di antara tokoh-tokoh yang lihai itu. Dan siasat itu sengaja dilakukan orang untuk mengelabuhimu, nona Pouw.”

“Apa? Untuk mengelabuhi aku? Mengapa?”

“Ini hanya dugaanku belaka. Engkau seorang gadis muda yang menurut pendengaranku memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan ilmu-ilmu dari Pulau Es pun kaukuasai, tentu Siangkoan Lohan ingin mengikatmu. Dan agaknya, kakakmu itu adalah seorang perwira yang setia kepada kerajaan sehingga dia mungkin akan membuka rahasia pemberontakan Tiat-liong-pang ini kepadamu. Nah, karena itu, mereka harus membunuh kakakmu dan yang menerima tugas adalah rekannya yang lebih lihai, yaitu perwira yang tewas pula tu. Dan agaknya perwira itu memang dikorbankaan, dibunuh agar nampaknya kakakmu tewas dalam perkelahian melawan rekannya sendiri. Tentu hal ini selain untuk mengelabuhimu agar engkau tidak menyangka buruk terhadap Tiat-liong-pang, juga untuk menanamkan kebencian dalam hatimu terhadap pasukan kerajaan.”

“Ahhh....!” Sepasang mata Li Sian terbelalak, karena ia teringat akan sikap dan kata-kata kakak kandungnya sebelum mereka dipisahkan oleh kemunculan Siangkoan Liong. Dan kakanya berjanji akan mengunjunginya dan bicara panjang lebar seminggu kemudian, akan tetapi tahutahu dia tewas. “Memang kakakku pernah memperingatkan aku dalam pertemuan pertama itu, memperingatkan aku tentang Tiat-llong-pang....”

“Ah, kalau begitu sudah pasti tepat dugaanku tadi, Nona. Kakakmu itu telah mengetahui akan rahasia busuk dari Tiat-liong-pang dan hendak memperingatkanmu, maka mereka telah mendahuluinya, membunuhnya dengan siasat agar engkau tidak menduga buruk terhadap mereka.”

“Akan tetapi Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah! Sejak kecil dahulu mendiang ayahku telah bersahabat dengan Siangkoan Lohan, dan kalau sekarang mereka hendak melakukan pemberontakan, hal itu adalah wajar, bukan? Setiap orang gagah tentu tidak rela melihat tanah airnya dijajah oleh bangsa Mancu dan sedapat mungkin hendak membebaskan rakyat dari penjajahan!” Li Sian membela. “Menurut, perkiraanku, kakakku itu mulai menyadari akan kebaikan gerakan perjuangan Tiat-liong-pang, maka dia hendak membalik dan hendak membantu Tiat-liong-pang. Hal ini agaknya diketahui oleh pihak tentara kerajaan maka kakakku dibunuh.”

“Itulah cerita yang sengaja mereka buat untuk mengelabuhimu, nona Pouw. Akan tetapi kalau benar demikian halnya, lalu dari mana datangnya luka tusukan pedang yang menewaskan kakakmu? Harap jangan lengah dan bodoh, nona Pouw, dan waspadalah terhadap bujuk-rayu Siangkoan Liong itu. Dia seorang pemuda yang bukan hanya lihai sekali ilmu silatnya, akan tetapi juga amat cerdik dan pandai membawa diri, sehingga gadis-gadis yang berhati polos dan jujur sepertimu ini akan mudah sekali terjatuh dan....”

“Diam! Itu bukan urusanmu!” Li Sian membentak dengan muka berubah merah, lalu ia pergi meninggalkan Bi-kwi. Wanita ini hanya menghela napas panjang, dan ia mengambil keputusan bahwa kalau tidak dapat menggandeng Li Sian sebagai kawan untuk menentang persekutuan itu, ia akan maju sendiri. Bagaimanapun juga, ia sudah bersumpah di dalam hatinya untuk meninggalkan jalan kejahatan, bahkan akan menentang kejahatan. Pemberontakan yang akan dilakukan Tiat-liong-pang ini sama sekali bukanlah menentang penjajah, melainkan pemberontakan yang jahat, persekutuan dengan kaum sesat dan ia pun sudah mendengar betapa Siangkoan Liong dicalonkan menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil! Ia pun cepat menuju ke kamarnya untuk menemui suaminya dan membicarakan urusan itu.

Sementara itu, dengan muka masih merah dan jantungnya berdebar, dada terasa panas, Li Sian lari meninggalkan Bi-kwi dan segera pergi mencari Siangkoan Liong.

Pada saat itu, Siangkoan Liong sedang bercakap-cakap dengan ayahnya, yaitu Siangkoan Lohan, di ruangan sebelah dalam. Karena hatinya terguncang dan ia menjadi amat penasaran dan tidak sabaran Li Sian tidak peduli dan langsung saja memasuki rumah induk untuk mencari Siangkoan Liong. Hatinya seperti ditusuk-tusuk. Kalau benar semua dugaan Bi-kwi itu, lalu bagaimana? Bagaimana kalau memang benar Siangkoan Liong menjalankan siasat busuk itu dan bahkan pemuda itu telah berhasil membujuk rayu sehingga, ia terjatuh! Seperti yang dikhawatirkan Bi-kwi tadi, ia telah jatuh! Ia telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Siangkoan Liong, karena memang ia tertarik dan katakanlah tergila-gila kepada pemuda itu, merasa bahwa ia memang mencinta pemuda itu! Bagaimana kalau benar Siangkoan Liong membunuh atau menyuruh bunuh kakaknya dan menguasai tubuhnya hanya sebagai siasat busuk belaka untuk menguasainya, bukan karena cinta kasih? Hampir Li Sian menjerit membayangkan semua kemungkinan itu! Ia akan dapat menjadi gila kalau semua itu ternyata benar demikian!

Ketika dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah induk yang luas itu, ia mendengar suara Siangkoan Liong di sebuah ruangan samping yang daun pintunya tertutup. Ia cepat mengerahkan tenaganya agar tidak sampai ada suara pada langkah kakinya dan ia pun mendekati daun pintu itu. Dengan cukup jelas ia mendengar percakapan antara Siangkoan Liong dan suara wanita yang dikenalnya adalah suara Sin-kiam Mo-li!

"Sudahlah, Mo-li. Jangan kauganggu aku sekarang ini! Aku sedang sibuk dan aku tidak ada nafsu untuk...." suara Siangkoan Liong ini seperti orang yang jengkel dan terganggu.

"Kongcu, engkau sungguh tidak adil!" Terdengar suara Sin-kiam Mo-li memotong, suaranya direndahkan agar lirih sehingga terdengar mendesis. "Engkau tahu betapa aku mengagumimu, tergila-gila kepadamu dan mendambakan kasih sayangmu. Aku sudah pantas menerima kasih sayangmu sebagai balas jasa atas semua bantuanku, bukan? Tidak setiap hari, hanya kadang-kadang kalau aku sudah amat rindu, Kongcu. Marilah, kasihanilah aku, karena aku seperti seorang yang kehausan membutuhkan air cintamu...."

"Mo-li, jangan ganggu aku. Nanti saja, besok atau lusa kalau aku sudah tidak sibuk lagi...."

"Sibuk apa? Bukankah sudah banyak pembantu yang melatih pasukan? Ingatlah, bukankah aku pula yang telah membantu sehingga gadis mulus itu terjatuh ke dalam pelukanmu? Betapa dengan susah payah aku menggunakan akal membiarkan ia minum anggur rahasiaku yang mengandung rangsangan-rangsangan kuat, dan ditambah pula dengan kekuatan sihirku pada malam itu, bahkan dibantu pula oleh Thian Kek Sengjin yang dapat kubujuk. Dan engkau sudah melupakan semua jasaku itu?"

"Ssttt.... jangan lancang mulut, Mo-li. Dinding pun mungkin mempunyai telinga. Sudahlah biar kuberjanji, malam nanti aku akan menantimu dalam kamarku!"

Bersambung ke buku 7