Kisah Para Pendekar Pulau Es -13 | Kho Ping Hoo



Buku 13

Pemuda itu mengangkat muka memandang ibunya, lalu ayahnya dan tamu itu, kemudian dia menarik napas panjang. “Nanti dulu, ibu. Aku tidak bisa mengambil keputusan seketika saja. Peristiwa ini datangnya secara tiba-tiba sekali, membuat aku bingung dan banyak sekali hal-hal yang tidak aku mengerti.”

“Hal-hal apakah yang belum kaumengerti?” Ayahnya bertanya.

“Maaf, ayah. Aku sungguh merasa bingung melihat betapa ayah dan ibu secara tiba-tiba saja merobah pendirian menjadi berlawanan dari yang sudah-sudah seperti ini. Bukankah ayah dan ibu selalu menentang pemberontakan? Bukankah ayah selalu memihak kepada kaisar kalau terjadi pemberontakan? Bahkan ayah pernah bercerita kepadaku betapa ayah dan ibu menyelamatkan kaisar dari serangan kaum pemberontak. Dan sekarang? Aku mendengar ayah dan ibu menyetujui paman Sim ini dan berjanji akan membantu para pemberontak! Bagaimanakah ini?”

“Liong-ji! Tidak pantas kau menegur ayahmu di depan tamu!” Ibunya berseru menegur. Akan tetapi Sim Hong Bu dan Suma Kian Bu nampak kagum dan wajah mereka berseri.

“Biarlah, dia berhak mengeluarkan ganjalan hatinya dan aku suka akan kejujurannya.” kata Suma Kian Bu.

“Hemm, pertanyaan-pertanyaan Suma Siauw-sicu tadi memang bagus, menandakan bahwa dia mempergunakan akal budi dan tidak hanya main ikut-ikutan saja seperti kebanyakan orang lain.” kata pula Sim Hong Bu sambil mengangguk-angguk.

“Ceng Liong, kalau tidak diberi penjelasan, memang kebimbangan dan keraguan akan selalu menghantui batinmu. Engkau harus tahu membedakan antara pendekar dan patriot. Keduanya itu sama sekali berbeda. Tidak semua pendekar berjiwa patriot walaupun sebenarnya pendekar yang tidak mencinta dan membela tanah air dan bangsa bukanlah pendekar lengkap. Sebaliknya, tidak semua patriot berjiwa pendekar walaupun hal ini patut disayangkan.”

“Adakah perbedaan antara pendekar dan patriot?” Ceng Liong bertanya.

“Seorang pendekar adalah seorang pembela kebenaran dan keadilan dipandang dari sudut perikemanusiaan. Seorang pendekar selalu membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat, tanpa memandang bulu, tidak melihat kedudukan atau derajat. Biar kaisar maupun pengemis, apabila terancam dan membutuhkan pertolongan, tentu akan ditolongnya. Itulah sebabnya dahulu ayah ibumu menolong kaisar, ketika itu kami bertindak seperti pendekar. Akan tetapi seorang patriot adalah seorang pembela tanah air dan bangsa, baik untuk menentang pihak yang hendak mencelakakan bangsa maupun untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi nusa bangsa. Kini, sebagai seorang patriot, aku harus membantu pejuangan yang hendak membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu.”

“Akan tetapi, bukankah ayah sendiri mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana?” bantah Ceng Liong.

Mendengar pertanyaan ini, Suma Kian Bu dan isterinya saling pandang dengan Sim Hong Bu yang tersenyum sabar dan mengangguk-angguk. Tiga orang sakti ini tentu saja maklum sepenuhnya akan pertanyaan itu. Mereka harus mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar bijaksana yang bahkan disayang oleh para pendekar.

“Ceng Liong, urusan patriot adalah urusan negara dan bangsa, bukan urusan pribadi atau perorangan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana. Akan tetapi jangan lupa, dia itu kaisar penjajah! Pemerintahannya menindas dan memeras bangsa kita. Bukan pribadi Kaisar Kian Liong yang kita musuhi, melainkan pemerintah penjajah! Mengertikah engkau?”

Pemuda itu menggeleng kepala. “Aku masih bingung, ayah. Menurut kitab-kitab sejarah yang pernah kubaca, ketika bangsa kita diperintah oleh pemerintahan bangsa sendiri, rakyat banyak pula mengalami penderitaan. Bahkan di jaman Beng-tiauw sebelum Bangsa Mancu datang, banyak tercipta kaisar lalim dan pemerintahanya menindas dan menghisap rakyat. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong ini mencinta rakyat. Bukankah itu berarti bahwa pemerintah penjajah di dalam tangan Kaisar Kian Liong jauh lebih baik daripada pemerintah bangsa sendiri di dalam tangan kaisar-kaisar lalim?”

Tiga orang sakti itu menggeleng kepala. “Tidak, tidak demikian, anakku. Hal ini menyangkut martabat bangsa! Betapapun jeleknya pemerintahannya, kalau berada di tangan bangsa sendiri, kekayaan tanah air tidak akan mengalir keluar. Pula, rakyat jelata akan dapat sewaktu-waktu mengganti kaisar seperti yang seringkali terjadi. Sebaliknya, kalau pemerintahan penjajah, kita menjadi bangsa taklukan, menjadi budak dan mengalami penghinaan. Seperti keharusan memakai kuncir seperti ekor binatang, larangan membawa senjata, pajak-pajak yang berat, kerja paksa dan lain-lain.” Suma Kian Bu menjelaskan.“Akan tetapi, kalau begitu kenapa tidak dari dulu- dulu ayah ibu bangkit menentang pemerintah penjajah? Kenapa ayah ibu pernah membantu pemerintah menentang pemberontakan?”

“Itu lain lagi, anakku.” kata ibunya. “Kalau saatnya belum tiba, patriot menyimpan saja cita-cita dalam hatinya dan kita bertindak sebagai pendekar. Bagi patriot, yang penting adalah membantu dan membela rakyat. Pada garis besarnya, memang tugas para patriot adalah mengusir penjajah. Akan tetapi sementara itu kalau saatnya belum tiba lebih dulu kita membantu penguasa yang baik, menentang penguasa lalim.”

“Tapi, bukankah beberapa kali terjadi pemberontakan? Gubernur di barat pernah memberontak ketika aku merantau ke sana, dan mengapa ayah ibu tidak membantu pemberontakan seperti itu?”

“Bolehkah aku menjelaskan?” kata Hong Bu dan melihat tuan dan nyonya rumah mengangguk, dia melanjutkan. “Ada bermacam-macam pemberontak, orang muda yang gagah. Pemberontakan yang dilakukan oleh golongan atau bangsa yang tadinya sudah menakluk, seperti Tibet atau Nepal. Tentu saja kita harus menentang pemberontakan seperti itu karena kalau perberontakan itu menang, berarti negara jatuh ke dalam cengkeraman penjajah asing lainnya. Ada pemberontakan golongan penguasa yang berusaha merebut kekuasaan demi ambisi pribadi, dan pemberontakan macam inipun tidak akan didukung para patriot karena golongan itu tidak mewakili rakyat. Para patriot sudah menanti sampai seratus tahun, menanti kesempatan baik. Dan kini masanya tiba para patriot ingin menyumbangkan tenaga, berjuang membebaskan rakyat, mengusir penjajah!”

“Kita usir penjajah!” teriak Suma Kian Bu dan isterinya. Melihat ini, Ceng Liong mengerutkan alisnya.

“Ayah, satu pertanyaan lagi.”

“Tanyalah.”

“Tapi harap ayah dan ibu tidak marah.”

“Mengapa marah? Pertanyaan jujur memang terdengar kasar dan menyakitkan, akan tetapi baik sekali.”

“Nah, ayah dan ibu kini bersikap menentang pemerintahan penjajah Mancu. Akan tetapi, ayah, ada suatu kenyataan dalam keluarga kita yang tak dapat dibantah oleh siapapun juga, yaitu bahwa keluarga Pulau Es tak dapat dipisahkan dengan keluarga Kerajaan Ceng. Ayah, bukankah dalam tubuh kita masih mengalir darah Mancu? Apakah kita harus melupakan kenyataan bahwa nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, bahkan pernah menjadi panglima? Danbibi Puteri Milana juga pernah menjadi panglima? Bukankah mendiang kakek Suma Han tidak pernah menentang kerajaan?”

Mendengar pertanyaan ini, Teng Siang In terbelalak lalu menundukkan mukanya. Juga Sim Hong Bu terkejut dan menundukkan muka. Mereka ini tahu betapa gawatnya pertanyaan itu dan hendak menyerahkan jawabannya sepenuhnya kepada Pendekar Siluman Kecil itu. Suma Kian Bu sendiri terdiam dan agaknya pertanyaan anaknya ini merupakan serangan yang membuatnya lumpuh sejenak. Akan tetapi, diapun lalu tersenyum dan menatap wajah puteranya dengan tenang.

“Liong-ji, dengarkan baik-baik. Aku tidak pernah menyangkal bahwa ibuku, yaitu nenekmu Puteri Nirahai, adalah seorang puteri Mancu! Akan tetapi lihatlah kenyataannya. Beliau sampai tua pergi ikut suaminya, hidup di Pulau Es. Kakekmu, mendiang ayahku itupun tidak pernah membantu pemerintah Mancu. Mereka memang tidak memperlihatkan permusuhan, tidak bersikap menentang Kerajaan Mancu, akan tetapi karena selama itu belum pernah para patriot berkesempatan untuk bangkit. Lihat saja. Bukankah bibimu, Puteri Milana juga sekali waktu saja menjabat panglima, hanya untuk memadamkan pemberontakan golongan lain, sama sekali bukan pemberontakan para patriot? Hendaknya engkau mengetahui betul. Puteri Milana juga pergi mengikuti suaminya, pamanmu yang gagah perkasa Gak Bun Beng, menyepi di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Seng-san. Memang banyak pula pendekar-pendekar besar yang membantu pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong sekarang ini, dan hal itu tak dapat terlalu disalahkan. Seperti kau dengar tadi, tugas seorang patriot terbagi dua. Kalau para patriot belum sempat bangkit mengusir penjajah, mereka itu bertugas melindungi rakyat dan mengarahkan pemerintahan penjajah itu pada jalan yang benar, dan hal itu baru dapat dilaksanakan kalau mereka duduk di dalam roda pemerintahan itu sendiri. Mengertikah engkau?”

Mendengar kuliah-kuliah yang diberikan oleh ayahnya, ibunya dan kadang-kadang Sim Hong Bu juga memberi penjelasan, akhirnya Suma Ceng Liong mengerti dan diapun menyambut cita-cita perjuangan para patriot itu dengan semangat menyala-nyala.

Sampai malam empat orang itu bercakap-cakap, hanya diselingi makan minum, dan Sim Hong Bu menceritakan dengan panjang lebar tentang usaha yang dilakukan oleh para patriot sampai sekarang. Menghubungi para pendekar sehaluan, menyelidiki keadaan dan kekuatan pemerintah.

“Ada satu hal yang amat penting dan yang menjadi bahan perundingan kawan-kawan seperjuangan,” antara lain Sim Hong Bu bercerita. “Yaitu mengenai diri Jenderal Muda Kao Cin Liong.”

Tentu saja nama ini membuat keluarga Suma itu tertarik sekali, terutama sekali Ceng Liong yang mengenal baik jenderal yang dimaksudkan itu, yang membuat dia teringat akan semua pengalamannya di Pulau Es menjelang hancurnya dan lenyapnya pulau itu.

“Paman Sim, ada apakah dengan kanda Cin Liong?” tanyanya.

Mendengar sebutan ini, Sim Hong Bu mengangguk- angguk. “Aku sudah mendengar bahwa antara keluarga Kao dan keluarga Suma terdapat hubungan yang cukup dekat. Dan karena itu pula aku datang.”

“Apakah yang terjadi?” Suma Kian Bu khawatir. “Kami baru saja menerima kabar baik dari kota raja, yaitu undangan pernikahan Jenderal Kao Cin Liong dengan keponakanku, Suma Hui.”

“Bagus! Kamipun sudah mendengar akan berita pernikahan itu. Saat yang tepat bagi kita semua untuk berkumpul di kota raja. Kami semua merasa khawatir melihat betapa Jenderal Kao Cin Liong menjadi seorang panglima yang amat disayang dan dekat sekali dengan kaisar. Dia dan keluarganya akan merupakan kawan seperjuangan yang amat kuat dan menguntungkan, sebaliknya akan menjadi lawan yang berbahanya.”

“Dan maksudmu dengan kami?” tanya Kian Bu.

“Demi perjuangan, semua kawan mengharapkan taihiap dapat melakukan penjajagan, menyelidiki kemungkinan- kemungkinannya menarik jenderal itu ke pihak kita. Dia menguasai pasukan besar dan amat berpengaruh. Kalau kita berhasil menariknya, berarti bahwa setengah dari perjuangan kita sudah menang!”

Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Memang siasat itu bagus sekali. Akan tetapi engkau juga tahu, saudara Sim, bahwa ayah jenderal itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Kita tak boleh sembarangan bertindak. Agaknya untuk menarik jenderal itu, harus lebih dulu meyakinkan ayahnya. Sayang aku tidak terlalu dekat dengan keluarga Kao....”

“Serahkan saja padaku, ayah! Aku sudah kenal baik dengan Jenderal Kao Cin Liong! Aku dapat mengunjunginya dan perlahan-lahan menjajagi hatinya, melihat bagaimana nada bicaranya,” kata Ceng Liong.

Ayahnya mengangguk setuju. “Tepat sekali! Dan engkau boleh pula mewakili kami mengadakan kontak dengan para patriot lain, Ceng Liong. Kami berdua sudah tua. Kami hanya akan turun tangan membantu kalau saat perjuangan itu tiba.”

Setelah mengadakan perundingan matang, pada keesokan harinya, Sim Hong Bu berpamit. Tiga hari kemudian, Ceng Liong juga meninggalkan orang tuanya untuk mulai dengan perantauannya, sekali ini kepergiannya berbeda dengan ketika dia hilang diculik Hek-i Mo-ong. Kini dia melakukan perjalanan sebagai pendekar muda yang lihai sekali, yang mewakili orang tuanya untuk mengadakan kontak dengan para patriot, membantu persiapan perjuangan dan berusaha menarik Jenderal Kao Cin Liong ke pihak para pejuang.Dia kini sudah berusia hampir sembilan belas tahun dan dalam hal ilmu silat, dia sudah setingkat dengan ayahnya! Hanya mungkin dia masih kalah dalam hal gin-kang, akan tetapi sudah pasti dia lebih kuat dalam hal sin-kang. Dia kini dapat mempergunakan sumber tenaga sin-kang yang diterima langsung dari kakeknya, mendiang Suma Han atau Pendekar Super Sakti atau majikan Pulau Es! Bahkan kini dia telah menguasai pula ilmu sihir yang diajarkan oleh ibunya kepadanya.

Rumah perkumpulan Pek-eng-pang di kota Nam-san di sebelah selatan Tai-goan pada pagi hari itu nampak ramai dikunjungi banyak tamu. Pek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Putih) adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang terkenal. Ketuanya, Song-pangcu yang usianya sudah lima puluh tahun lebih adalah seorang murid Siauw-lim-pai. Tentu saja lihai ilmu silatnya dan karena dia mempunyai keistimewaan dalam Ilmu Silat Garuda dan mengembangkannya, maka dia menamakan perguruannya Pek-eng-pang. Dia dan para muridnya selalu memakai baju putih, sesuai pula dengan nama perkumpulan.

Song-pangcu terkenal sebagai orang gagah yang rendah hati dan semua muridnya menerima gemblengan keras sehingga para murid itu selain pandai bersilat, juga pandai membawa diri dalam masyarakat. Hal ini membuat Pek-eng-pang terpandang dan dihormati golongan kang-ouw.

Tidak mengherankan apabila pada pagi hari itu rumah perkumpulan Pek-eng-pang dibanjiri tamu yang rata-rata adalah ahli silat dan orang-orang gagah, karena pada hari itu Pek-eng-pang merayakan hari ulang tahun ke sepuluh dari perkumpulan itu. Mereka terdiri dari wakil-wakil perguruan silat, piauwsu, orang-orang gagah dan bahkan ada pula golongan perorangan yang tidak diketahui benar kedudukannya, mungkin dari golongan hitam. Akan tetapi mereka semua disambut dengan hormat oleh Song-pangcu sendiri yang ditemani empat orang murid pertama yang bersikap gagah.

Para tamu kehormatan dipersilahkan duduk di panggung kehormatan bersama pihak tuan rumah. Tamu- tamu yang tidak dikenalpun dipersilahkan duduk di panggung samping kiri. Pihak Pek-eng-pang sudah bersikap hati-hati dalam hal ini. Mereka tidak mengenal para tamu itu. Siapa di antara mereka terdapat orang- orang pandai. Maka agar cukup menghormat, mereka dipersilahkan duduk di panggung kiri. Panggung kanan ditempati wakil-wakil perkumpulan lain yang memiliki kedudukan sebagai murid saja, sedangkan orang-orang muda diberi tempat paling belakang.

Ketika tidak nampak ada tamu baru, hidangan mulai dikeluarkan, disambut gembira oleh para pemuda yang duduk di bagian belakang. Seperti biasanya, di manapun juga, dalam setiap pesta para pemuda yang berkumpul tentu bergembira ria dan suasana menjadi meriah.

Akan tetapi tiba-tiba muncul serombongan baru. Rombongan ini menarik perhatian karena sikap dan pakaian mereka. Rata-rata belasan orang itu berwajah menyeramkan, bersikap kasar dan congkak. Pakaian mereka serba hitam dan di tubuh mereka terdapat senjata-senjata tajam. Rombongan tamu baru ini jelas merupakan sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi kurus yang mengiringkan seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berperut gendut. Hanya mereka berdua ini yang bersikap tenang dan halus tidak seperti belasan anak buah mereka, walaupun pada pandangan mereka dan gerak bibir seperti yang lain, penuh kecongkakan dan ketinggian hati.

Melihat munculnya belasan orang yang jelas merupakan satu golongan tertentu, Song-pangcu dan keempat muridnya cepat mengadakan sambutan. Dengan sikap hormat ketua Pek-eng-nang ini memberi hormat, diturut oleh para muridnya, kepada belasan orang tamu yang masih berdiri dengan sikap angkuh itu.

Akan tetapi, hanya kakek gendut dan si tinggi kurus yang membalas penghormatan Song-pangcu, sedangkan tiga belas orang anak buah mereka sama sekali tidak memperdulikan penghormatan itu. Si tinggi kurus yang melangkah maju dan bicara mewakili kakek gendut.

“Sudah lama kami dari Hek-i Mo-pang mendengar tentang Song-pangcu dan Pek-eng-pang. Karena kebetulan lewat dan mendengar bahwa Pek-eng-pang merayakan ulang tahun, kami semua dipimpin oleh suhu Boan It sengaja singgah dan mengucapkan selamat!” Ucapan itu terdengar nyaring, terdengar oleh semua yang hadir dan hanyak di antara mereka terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Hek-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Hitam). Nama ini tak pernah menjadi kenyataan di dunia kang-ouw, akan tetapi siapakah yang belum mendengar nama Hek-i Mo-ong pendiri Hek-i Mo-pang?

Song-pangcu juga terkejut sekali, akan tetapi diam-diam kurang percaya dan menduga bahwa rombongan ini tentu hanya gerombolan liar saja yang mempergunakan nama itu untuk menakuti orang. Betapapun juga karena mereka datang sebagai tamu, diapun menghaturkan terima kasih atas ucapan selamat itu dan mempersilahkan mereka duduk. Dia mengisyaratkan para muridnya untuk mengantar rombongan baju hitam itu ke panggung kiri di mana berkumpul tamu yang tak begitu dikenal. Panggung inilah yang masih agak kosong.

Akan tetapi ketika rombongan baju hitam tiba di panggung itu, si tinggi kurus menjadi marah. Teriakannva lantang terdengar oleh semua tamu yang tentu saja memandang ke arah rombongan yang masih berdiri berkelompok di depan panggung kiri itu, tak seorangpun di antara mereka mau duduk.

“Ini penghinaan besar namanya! Dan kami dari Hek-i Mo-pang tidak bisa menerima penghinaan orang begitu saja!” Si kurus berseru keras sedangkan kakek gendut hanya berdiri dan menumbuk-numbukkan tongkat hitamnya di atas lantai dengan alis berkerut marah.

Tentu saja empat orang murid kepala Pek-eng-pang merasa tak senang. Sejak tadipun mereka merasa tak senang melihat sikap kasar orang-orang berpakaian hitam itu. Kalau bukan suhu mereka yang mempersilahkan gerombolan hitam itu duduk, agaknya mereka akan lebih suka mengusir tamu-tamu tak diundang itu. Kini mendengar teriakan si kurus yang sejak tadi menjadi pembicara, murid kepala yang tertua yang berkumis panjang segera menjura kepada si tinggi kurus.

“Maafkan kami yang tidak mengerti akan maksud ucapan saudara tadi! Siapa yang menghina kalian?”

“Siapa lagi kalau bukan Pek-eng-pang? Huh!”

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap si tinggi kurus, murid kepala termuda dari Pek-eng-pang, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun bertubuh tegap yang memang berdarah panas, segera menegur, “Eh, saudara ini tamu tanpa diundang, sudah kami terima dengan ramah, kenapa menuduh kami menghina? Kalau bicara urusan menghina, sikap kalian yang congkak itu baru menghina!”

Si tinggi kurus mendelik ketika dia menoleh kepada murid Pek-eng-pang itu, lalu bertanya lambat-lambat dengan nada suara memandang rendah, “Kamu ini murid Pek-eng-pang yang kelas berapa?”

Lelaki tegap itu membusungkan dada. “Aku murid termuda di antara murid-murid kepala Pek-eng-pang!”

“Begitukah? Anak kecil mencampuri urusan orang tua. Pergilah!” Berkata demikian, si tinggi kurus itu menggerakkan tangan kiri mendorong dada murid Pek-eng- pang. Tentu saja yang didorong tidak tinggal diam dan cepat mengerahkan tenaga menangkis.

“Plak.... desss....!” Kiranya dorongan tangan kiri si kurus itu begitu tertangkis mencuat ke atas dan menampar muka murid Pek-eng-pang dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka. Akibatnya muka yang kena tampar dengan kerasnya sehingga tubuh yang tegap itu terpelanting jauh dan roboh tak mampu bergerak lagi. Kiranya tamparan itu telah membuat murid Pek-eng-pang itu pingsan dengan rahang patah! Beberapa orang muda baju putih segera menolong dan menggotong masuk kawan mereka yang pingsan itu.

Si tinggi kurus tersenyum sinis. “Ha-ha, kiranya hanya sebegitu saja kemampuan murid kepala Pek-eng- pang? Dan kelemahan seperti itu berani menghina Hek-i Mo-pang? Hm, aku Ciong Ek Sim tak akan mau mengampuni!” Suaranya lantang, sikapnya sombong, petentang-petenteng bertolak pinggang seperti seekor jago menantang tanding. Sikapnya itu membuat para tamu muak dan marah, akan tetapi nama Hek-i Mo-ong masih membuat mereka merasa ngeri, apalagi tadi mereka melihat sendiri betapa lihainya orang she Ciong yang tinggi kurus dan yang segebrakan saja telah merobohkan seorang murid utama Pek-eng-pang itu.

Tiga orang murid Pek-eng-pang yang lain menjadi penasaran, juga murid yang lain sudah mengurung maju, siap menyerang tamu-tamu yang tak diundang yang agaknya mau membikin kacau itu. Akan tetapi Ciu Hok Tek memberi isyarat kepada para anak buah untuk mundur. Dia sendiri bersama dua orang sutenya maju menghadapi Ciong Ek Sim.

“Maafkanlah kelancangan sute kami. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti, mengapa Hek-i Mo-pang menuduh kami dari Pek-eng-pang melakukan penghinaan?”

Si tinggi kurus mengerutkan alis. Dia maklum betapa semua orang yang berada di situ kini menaruh perhatian dan semua orang memandang kepadanya. Maka dia berlagak, bertolak pinggang dan mendelik kepada Ciu Hok Tek, murid pertama Pek-eng-pang itu.

“Sudah bersalah, masih pura-pura bertanya lagi? Sudah jelas kami semua mengiringi suhu hadir di sini, akan tetapi kami orang Hek-i Mo-pang hanya disuruh duduk di panggung samping! Kami mau disejajarkan dengan orang-orang biasa? Bukankah itu penghinaan namanya. Apakah mereka yang duduk di panggung kehormatan itu lebih tinggi ilmunya dari kami?”

“Sobat, sikapmu ini sungguh terlalu!” Murid pertama Pek-eng-pang itu berkata, suaranya dingin dan tegas. “Tuan rumah adalah raja di rumah sendiri. Semua peraturannya harus ditaati tamu. Kalau tamu tidak suka dengan peraturan itu, silahkan pergi, kamipun tidak pernah mengundang Hek-i Mo-pang!”

Ucapan ini mendapat sambutan para tamu yang rata- rata mengangguk dan membenarkan. Agaknya tidak ada tamu yang memihak Hek-i Mo-pang. Akan tetapi Ciong Ek Sim si tinggi kurus baju hitam itu tersenyum mengejek.

“Ha-ha, kau mau bersikap gagah-gagahan ya? Bagaimanapun juga, Pek-eng-pang telah menghina kami dan aku tidak terima!”

“Habis, kau mau apa?” Ciu Hok Tek membentak.

“Ketua Pek-eng-pang harus minta maaf kepada suhu kami, baru kami mau mengampuni, dan memberi tempat di panggung kehormatan untuk kami!” kata Ciong Em Sim dengan galak.

Mendengar ucapan ini, para tamu menjadi semakin penasaran. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara Song-pangcu yang tenang menyuruh tiga orang muridnya mundur. Kemudian dia sendiri turun dari panggung kehormatan, menghampiri kakek gendut baju hitam yang bernama Boan It, menjura dan berkata, “Saudara pemimpin Hek-i Mo-pang harap maafkan kelancangan murid-murid kami.”

Sikap merendah tuan rumah ini memanaskan hati para tamu. Mereka melihat sendiri bahwa gerombolan baju hitam itulah yang membikin kacau, bahkan berani melukai murid tuan rumah, akan tetapi malah pihak tuan rumah yang meminta maaf. Ini sudah keterlaluan sekali.

Boan It, kakek gendut tokoh Hek-i Mo-pang yang sejak tadi hanya diam saja, kini menumbuk lantai dengan tongkatnya dan membentak, “Berlutut!”

Suasana menjadi bising. Para tamu berbisik-bisik marah. Betapa kurang ajarnya kakek gendut itu. Betapa sombongnya. Song-pangcu sendiri menjadi merah mukanya. Dia sudah banyak mengalah untuk menghindarkan keributan dalam pestanya. Akan tetapi gerombolan hitam itu sungguh tak tahu diri!

“Sobat-sobat dari Hek-i Mo-pang! Sebetulnya, kalian datang mau apakah? Kami merasa tidak ada urusan dengan kalian!” Akhirnya diapun berkata, hilang kesabarannya.“Ha-ha-ha! Pangcu dari Pek-eng-pang! Kamu sudah terlanjur menghina kami, sekarang kami menantang. Hayo perlihatkan bahwa Pek-eng-pang memang berkulit baja dan bertangan besi! Kalau kami dapat dikalahkan, baru kami mau pergi!” kata si tinggi kurus mewakili gurunya. Setelah berkata demikian, dengan tangan kirinya dia membuat gerakan mendorong ke samping. Angin pukulan menyambar ke arah seorang tamu muda yang sedang enak- enak duduk nonton percekcokan itu. Pemuda itu berseru kaget ketika tubuhnya tiba-tiba terdorong dan terpental jatuh dari kursinya. Ketika Ciong Ek Sim menarik tangannya, kursi kosong bekas pemuda itu melayang ke arahnya. Kursi ditangkapnya dan dia berkata kepada si kakek gendut, “Harap suhu duduk saja, biar aku yang menghajar tikus-tikus yang berani menentang Hek-i Mo- pang!”

Kakek gendut itu tersenyum, menerima kursi lalu duduk di atasnya. Muridnya berkata, “Tidakkah suhu sebaiknya menanti di panggung kehormatan?”

Kakek itu mengangguk. Tiba-tiba ia menggunakan tongkatnya menekan lantai dan.... tubuhnya berikut kursi yang diduduki itu terbang melayang ke atas panggung kehormatan dan berada di deretan terdepan!

Tentu saja demonstrasi yang diperlihatkan Ciong Ek Sim dan Boan It itu membuat semua orang melongo! Itulah bukti kepandaian yang hebat! Bahkan Song-pangcu sendiri terkejut, maklum bahwa yang diperlihatkan kakek gendut Boan It itu adalah kehebatan gin-kang dan sin-kang sekaligus! Akan tetapi, para murid Pek-eng-pang selalu digembleng kegagahan oleh guru mereka. Biarpun mereka juga tahu akan kelihaian si kurus Ciong Ek Sim, akan tetapi mereka tidak menjadi gentar. Seorang di antara tiga murid utama sudah meloncat ke depan Ciong Ek Sim, membentak dengan marah.

“Ciong Ek Sim! Seorang gagah tak takut mati dalam menentang kejahatan, dan kalian orang-orang Hek-i Mo- pang adalah penjahat-penjahat besar!” Setelah berkata demikian, dia menyerang dengan pukulan tangan kanan yang terbuka dan membentuk cakar garuda ke arah kepala si tinggi kurus. Itulah jurus serangan Pek-eng-kun (Silat Garuda Putih) ciptaan Song-pangcu sebagai perkembangan dari ilmu silat garuda Siauw-lim-pai.

“Plak!” Tanpa merobah kedudukan tubuhnya, seenaknya saja Ciong Ek Sim menangkis dengan tangan kiri, akan tetapi agaknya dia telah mengerahkan tenaganya sehingga tubuh murid Pek-eng-pang terhuyung ke belakang.

“Ha-ha, tikus macam kamu ini tidak ada harganya, tak pantas melawanku! Suruh saja gurumu yang maju, atau kalian bertiga maju berbareng!” Ciong Ek Sim tertawa dengan congkaknya.

Tiga orang murid Pek-eng-pang menjadi semakin marah. Ciu Hok Tek sendiri, si murid kepala, berseru keras dan menerjang ke depan, melakukan serangan dahsyat. Ciu Hok Tek ini adalah murid pertama, tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada para sutenya. Ketika dia menyerang, kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan yang menyambar keras dengan bunyi bersiutan. Akan tetapi, tetap saja Ciong Ek Sim merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya. Semua pukulan atau cengkeramannya dapat dielakkan atau ditangkis. Dan diapun hanya dapat bertahan selama sepuluh jurus saja karena begitu Ciong Ek Sim membalas dengan tendangan kaki yang menyambar dari samping, lambungnya terkena tendangan yang membuat tubuhnya terbanting cukup keras! Dua orang sutenya maju menyerang, namun merekapun bukan lawan yang seimbang, segera disambut tamparan dan tendangan yang membuat mereka jatuh bangun!

Ciong Ek Sim menghajar tiga orang murid pertama Pek-eng-pang sambil tertawa-tawa. Jelas dia mempermainkan karena kalau dia menghendaki, agaknya dengan mudah dia akan mampu membunuh tiga orang lawan itu. Kini semua tamu menjadi terkejut. Mereka semua kini tahu bahwa orang Hek-i Mo-pang itu lihai bukan main. Tiga belas orang anak buah Hek-i Mo-pang dengan mudah memperoleh kursi yang ditinggalkan para tamu yang menjauhkan diri, nonton sambil bersorak dan tertawa- tawa, kadang-kadang bertepuk tangan setiap kali tangan Ciong Ek Sim merobohkan seorang lawan. Suasana menjadi tegang. Para tamu memandang marah, tegang dan khawatir. Hanya orang-orang Hek-i Mo-pang itu saja yang gembira sambil menyambar guci-guci arak dan meminumnya.

“Haaaitt....!” Seorang murid Pek-eng-pang menyerang dengan tubuh meloncat dan menerkam. Inilah jurus Garuda Putih Menyambar Ayam yang dilakukan sambil meloncat, merupakan jurus serangan nekat dan berbahaya, baik yang diserang maupun yang menyerang. Akan tetapi, sambil tersenyum mengejek, Ciong Ek Sim menyambutnya dengan tendangan keras yang mengenai perut lawan.

“Ngekk!” Tubuh murid Pek-eng-pang itu terpental dan terbanting dalam keadaan pingsan. Anak buah Hek-i Mo-pang bersorak gembira.

“Hyaaatt!” Murid kepala Pek-eng-pang yang ke dua juga menerjang marah, bahkan sekali ini dia menggunakan sebatang pedang. Namun Ciong Ek Sim dapat mengelak dengan mudah, ketika pedang itu lewat, tendangan kakinya pada tangan lawan membuat pedang terlempar ke atas lantai kemudian sekali sambar, tangan kirinya menjambak rambut kepala lawan dan tangannya menampari kedua pipi lawan. Terdengar suara plak-plok berkali-kali dan ketika dia melepaskan jambakan dan mendorong, tubuh lawan itu terpelanting tak mampu bangun lagi, dengan kedua pipi bengkak-bengkak matang biru!

Melihat ini, Ciu Hok Tek menjadi nekat. Di antara empat orang murid kepala Pek-eng-pang, tiga orang sudah roboh pingsan dan digotong pergi kawan-kawannya, tinggal dia seorang sebagai murid pertama. Tadipun kalau dia tidak hati-hati dan pertahanannya lebih kuat daripada sutenya, tentu diapun sudah roboh.

“Biar aku mengadu nyawa denganmu!” teriaknya marah dan diapun menerjang sengit, mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan bertubi-tubi dan dahsyat karena dia telah mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya. Tingkat kepandaian Ciu Hok Tek tak boleh disamakan dengan tingkat para sutenya, dan walaupun dia masih bukan tandingan murid kepala Hek-i Mo-pang, namun desakan yang dilakukan dengan nekat itu sempat membuat lawan terhuyung dan sebuah tendangan kilat sempat mencium pinggul Ciong Ek Sim. Melihat ini, terdengar sorakan gembira yang segera disusul tepuk tangan pujian para tamu. Jelaslah, para tamu ini ingin sekali melihat si tinggi kurus yang congkak itu kalah. Dan si tinggi kurus menjadi marah, melirik ke arah orang yang pertama kali menyorakinya tadi. Kiranya orang itu adalah pemuda yang tadi dirampas kursinya untuk diberikan kepada gurunya. Pemuda itu memang kelihatan gembira sekali dengan desakan murid Pek-eng-pang tadi dan kinipun masih bertepuk-tepuk tangan walaupun tamu-tamu lain sudah berhenti bersorak karena dia telah mampu mematahkan serbuan Ciu Hok Tek.

“Hem, hanya sekiankah kepandaianmu? Keluarkan semua, atau kamu berlutut minta ampun dengan mencium kakiku, baru kuampuni kamu!” kata Ciong Ek Sim dengan lagak sombong.

Pemuda bersorak tadi kini berteriak, “Ciu-eng-hiong, hajar monyet hitam itu! Pukul dan tendang lagi!” Teriakannya inipun diikuti teriakan banyak orang untuk menambah semangat pria baju putih yang mewakili Pek-eng-pang itu. Akan tetapi diam-diam Ciu Hok Tek terkejut sekali. Dia tadi sudah mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun hanya mampu membuat lawan keserempet tendangan dan terhuyung. Maklum bahwa dia takkan menang, dia menjadi nekat. Disambarnya sebatang pedang dari tangan seorang sutenya dan sambil mengeluarkan teriakan nyaring diapun menerjang maju.

Sekali ini Ciong Ek Sim sudah siap. Kalau tadi dia sampai terkena tendangan adalah karena dia terlalu memandang rendah sehingga agak lengah. Kini, melihat lawan menyerang dengan pedang, dia menghadapi dengan tangan kosong saja. Si baju hitam itu mendengus penuh ejekan dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayangan bergerak-gerak lincah di antara sambaran sinar pedang.

“Plak!” Tiba-tiba dengan tangan terbuka Ciong Ek Sim menangkis pedang membuat pedang terpental dan hampir terlepas! Ciu Hok Tek kaget bukan main, demikian pula para tamu. Si tinggi kurus itu sedemikian lihainya sehingga berani menangkis pedang dengan tangan terbuka! Bukan hanya menangkis karena di lain saat dua buah tangan yang jarinya kecil-kecil panjang telah berhasil menangkap pergelangan tangan Ciu Hok Tek sedemikian kuatnya membuat murid Pek-eng-pang itu tidak mampu berkutik! Akan tetapi Hok Tek sudah nekat. Karena kedua tangannya seperti terjepit baja yang amat kuat, dia lalu menggerakkan kaki untuk menendang ke arah selangkangan lawan!

“Heh-heh!” Ciong Ek Sim terkekeh mengejek dan menekan tangan lawan yang memegang pedang ke bawah! Hok Tek terkejut akan tetapi sudah terlambat untuk menghindar! Paha kaki yang menendang disambut ujung pedang sendiri dan celana berikut kulit dan daging pahanya terobek. Darah muncrat dan terpaksa dia melepaskan pedangnya. Pada saat itu Ciong Ek Sim sudah memuntir tangannya yang kiri ke belakang. Demikian kuatnya puntiran itu. Tak terlawan olehnya sehingga tubuhnya terputar membelakangi lawan. Ketika itu si tinggi kurus berbaju hitam mendorong lengan kirinya ke atas punggung, dia terbungkuk dan tak mampu bergerak lagi. Rasa nyeri pada pangkal lengan yang ditekuk itu membakar seluruh tubuhnya.

“Ha-ha, tikus cilik! Kamu murid pertama Pek-eng- pang, bukan? Nah, berlututlah dan minta ampun pada tuanmu baru aku akan mengampunimu!” kata si tinggi kurus dengan muka penuh ejekan.

Para tamu melihat dengan muka tegang dan pucat. Keadaan Ciu Hok Tek memang sudah tak mampu bergerak lagi, nyawanya berada dalam tangan tokoh Hek-i Mo-pang itu. Tentu saja mereka tegang sekali, ingin sekali melihat apakah murid Pek-eng-pang itu mau minta ampun secara terhina itu dan apakah si baju hitam itu benar- benar akan membunuh lawannya yang sudah tak berdaya itu.

“Ciong Ek Sim iblis busuk! Aku sudah kalah, mau bunuh silahkan, seorang gagah tak takut mati!” Ciu Hok Tek berteriak marah!

Ciong Ek Sim meludah. “Cuh! Manusia sombong dan tolol. Apa sukarnya membunuhmu!”

Pada saat itu Song-pang-cu berseru, nada suaranya nyaring dan mengandung penuh perasaan marah. “Orang she Ciong! Kalau engkau membunuhnya, kami seluruh anggauta Pek-eng-pang akan mengadu nyawa dengan gerombolan Hek- i Mo-pang, dan kami minta bantuan semua enghiong yang hadir!”

Mendengar ini, Ciong Ek Sim memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa mata para tamu mengandung permusuhan ditujukan kepadanya, dan dia tahu kalau tuan rumah minta bantuan, mereka semua tentu akan mengeroyok dia dan rombongannya. Apalagi pemuda baju hijau yang tadi dirampas kursinya tadi bersorak dan memihak tuan rumah. Pemuda itu mengepal kedua tinjunya dan berbisik-bisik ke kanan kiri membakar semangat para tamu lain dan agaknya sudah siap untuk maju mengeroyok!

“Ha-ha!” Ciong Ek Sim terkekeh. “Pek-eng-pang mengandalkan keroyokan? Pula siapa yang mau membunuh? Kami hanya mau menghajar orang yang berani menghina Hek-i Mo-pang!” Setelah berkata demikian, dia mendorong lengan kiri Ciu Hok Tek ke atas dengan tenaga disentakkan.

“Krekk....!” Ciu Hok Tek terbelalak pucat, keringat sebesar kedele-kedele membutir di muka dan di leher. Tapi dia menahan nyeri yang membakar itu dengan menggigit bibir sendiri sampai pecah berdarah dan ketika lawan mendorongnya, dia terpelanting dan pingsan. Sambungan pangkal lengan dan sikunya putus terlepas!

Suasana menjadi riuh dan bising. Semua orang menjadi marah dan penasaran sekali melihat kesadisan orang Hek-i Mo-pang itu. Murid-murid Pek-eng-pang menolong Ciu Hok Tek yang pingsan dan Song-pangcu segera berusaha mengembalikan letak sambungan tulang tulang lengan kiri muridnya dan memberi obat.

Pemuda baju hijau yang menjadi tamu dan sahabat baik Hok Tek ikut sibuk. Ketika dia mengambilkan arak untuk diminumkan sahabatnya yang pingsan itu, dia lewat dekat Ciong Ek Sim. Si tinggi kurus itu sudah membusungkan dada dan berkata, “Siapa saja yang berani menentang kami boleh maju satu per satu!” Pada saat itu baju hijau lewat membawa guci arak. Tiba-tiba tangan Ciong Ek Sim menyambar dan tahu-tahu leher baju pemuda itu telah dicengkeramnya!

Pemuda itu terkejut bukan main, tapi karena bencinya dia mendelik dan membentak, “Eh, mau apa kau pegang-pegang aku?”

Ciong Ek Sim tersenyum sinis. “Sejak tadi kamu memperlihatkan sikap anti kepada kami! Nah, sekarang kalau ada kepandaian, mari perlihatkan kepada tuanmu!”

“Eh wah, apa-apaan kau ini? Hayo lepaskan aku! Siapa yang mau berkelahi? Kalau memang gagah dan mau cari lawan, carilah yang sepadan di antara para orang gagah, jangan ganggu setiap orang!”

“Huh, kamu punya jago? Suruh dia maju!” Ciong Ek Sim mendorong dan pemuda baju hijau terpelanting, guci araknnya terlempar dan isinya tumpah.

“Wah, galak dan jahat sekali!” si baju hijau merangkak dan mengambil gucinya lalu menjauhkan diri.

Song-pangcu sudah tidak dapat menahan lagi kesabarannya. Orang-orang Hek-i Mo-pang ini sungguh keterlaluan. Bukan hanya datang mengacau pesta, akan tetapi membikin malu pada Pek-eng-pang dan sudah merobohkan dan melukai empat orang murid kepala! Jelas bahwa tidak ada lagi jago di Pek-eng-pang kecuali dia sendiri!

“Keparat!” Dia membentak dan menyambar sebatang toya besi yang menjadi senjata andalannya dan sekali loncat dia sudah berada di depan Ciong Ek Sim! “Ciong Ek Sim! Kami Pek-eng-pang selamanya tidak pernah mencari permusuhan. Akan tetapi bukan berarti kami penakut. Kau dan gerombolanmu datang memusuhi kami, biar aku membela Pek-eng-pang dengan nyawaku!”

Ciong Ek Sim memandang ketua itu dan tersenyum menyeringai penuh ejekan, sikapnya memandang rendah sekali. “Bagus Pangcu, kau maju sendiri dan bersenjata pula! Apakah kau ingin membunuhku? Dan tadi kau melarang aku membunuh muridmu, ha-ha!”

“Orang she Ciong! Tewas dalam perkelahian adalah wajar dan tak perlu dibuat penasaran. Akan tetapi kau tadi hendak membunuh lawan yang sudah tak berdaya melawan lagi. Itu namanya pengecut! Nah, lihat seranganku!”

Ketua Pek-eng-pang itu menggerakkan toyanya dan terdengar suara bersuitan saking cepatnya toya bergerak dan saking kuatnya tenaga yang terkandung di dalamnya.

Song-pangcu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sudah berani membuka perguruan silat. Ini berarti bahwa tingkat kepandaiannya sudah tinggi, maka serangan toyanya pun hebat sekali.

Akan tetapi ternyata lawannya tak kalah hebatnya. Walaupun hanya bertangan kosong, Ciong Ek Sim tidak kewalahan menghadapi serangan lawan. Dengan cekatan dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang berani menangkis toya besi dengan tangan dan kakinya, bahkan membalas serangan lawan setiap ada kesempatan! Terjadilah pertandingan yang seru dan mati-matian. Para tamu yang menonton perkelahian ini, kebanyakan berpihak kepada tuan rumah. Mereka semua merasa benci kepada Ciong Ek Sim, walaupun sebagian dari mereka, terutama dari golongan hitam, merasa kagum. Terutama pemuda baju hijau yang memang sudah membenci sekali orang Hek-i Mo- pang yang tadi menghinanya. Dia terang-terangan berpihak kepada Song-pangcu dan selalu bersorak gembira setiap kali Ciong Ek Sim nampak terdesak atau kadang- kadang terhuyung.

Ilmu toya dari Siauw-lim-pai sudah terkenal di dunia persilatan sebagai ilmu silat yang amat tangguh dan sukar dikalahkan. Biarpun si tinggi kurus itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, dan memiliki tenaga besar dan kekebalan sehingga berani menggunakan kaki tangan untuk menangkis toya, namun desakan- desakan Song-pangcu kadang-kadang membuat dia kerepotan sekali. Tentu saja hal ini melegakan hati para tamu yang mengharapkan agar si sombong itu dapat diberi hajaran keras dan agaknya Song-pangcu akan mampu melakukan itu. Terutama si pemuda baju hijau tiada hentinya bersorak dan bertepuk tangan menjagoi Song- pangcu.

Akan tetapi tiba-tiba terjadi perobahan dalam perkelahian itu. Gerakan Song-pangcu berobah menjadi kacau dan beberapa kali dia nampak ragu-ragu dan bingung. Bahkan, dalam keadaan mendesak, dia berbalik terdesak dan sebuah tendangan menyerempet pinggangnya, membuat dia terhuyung! Tentu saja para tamu menjadi terkejut dan setelah mendengar seruan-seruan tertahan, suasana menjadi sunyi dan tegang. Song-pangcu memang terkejut dan bingung. Ketika dia sudah mulai berhasil mendesak lawan tadi, tiba-tiba saja ada suara di dekat telinganya, “Song-pangcu, engkau sudah dikepung dari empat penjuru! Engkau takkan menang!”

Suara ini berulang-ulang berbisik di telinganya dan memaksanya untuk percaya. Suara itu demikian penuh dengan daya pengaruh, membuat dia merasa benar-benar dikeroyok dari empat penjuru! Tentu saja dia menggerakkan toyanya untuk melindungi dirinya dari serangan-serangan yang datang dari empat penjuru! Karena terbagi, daya tahannya berkurang sehingga dia kini terdesak oleh Ciong Ek Sim yang mulai terkekeh- kekeh lagi.



Para tamu tidak memperhatikan kakek gendut Boan It. Padahal, kakek inilah yang telah membuat keadaan perkelahian menjadi berubah itu. Kakek gendut itu duduk seperti tadi, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan ke arah muka Song-pangcu, tidak pernah berkedip!

Seorang pemuda yang terselip di antara para tamu muda di panggung yang paling belakang, sejak tadi sudah mengikuti semua peristiwa itu dengan penuh perhatian. Beberapa kali pemuda ini mengerutkan kening, akan tetapi wajahnya yang gagah itu selalu tersenyum. Pemuda ini berpakaian sederhana dan dari pakaian, sikap dan gerak-geriknya sama sekali tidak terbayang bahwa dia pandai ilmu silat. Sikapnya sederhana sekali walaupun wajahnya amat gagah. Padahal, dia bukan sembarang orang, melainkan seorang pendekar muda yang amat lihai, memiliki kesaktian. Pemuda ini adalah Suma Ceng Liong!

Sejak munculnya gerombolan baju hitam, Ceng Liong sudah mengenal mereka. Dia mengenal pula kakek gendut Boan It dan tahu bahwa mereka adalah bekas anak buah gurunya, mendiang Hek-i Mo-ong! Dan Boan It memang seorang di antara para murid Hek-i Mo-ong. Baru satu dua kali dia bertemu dengan Boan It yang masih terhitung suhengnya, walaupun tadinya dia tidak mengaku guru terhadap Hek-i Mo-ong dan menjelang akhir hidup Raja Iblis itu dia mengakuinya.

Tadinya Ceng Liong yang melakukan perantauan mewakili ayahnya, tidak ingin mencampuri perkelahian itu selama perkelahian dilakukan dengan adil. Akan tetapi, kini dia tahu akan kecurangan Boan It yang menggunakan kekuatan sihir atau ilmu hitam untuk membantu Ciong Ek Sim dan mengacau batin Song-pangcu. Hal ini membuat Ceng Liong penasaran sekali. Dipungutnya sebutir kacang dari tempat hidangan di atas meja dan tanpa diketahui para tamu yang menonton perkelahian dengan tegang melihat Song-pangcu terdesak, Ceng Liong menjentikkan jarinya membuat sebutir kacang itu meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah Boan It.

“Tung....!” Kacang itu menyambar hidung yang besar pesek itu dan biarpun hanya sebutir kacang, tetapi karena diluncurkan melalui sentilan jari tangan yang bertenaga sin-kang amat kuatnya, tiada ubahnya sebutir peluru baja saja!

“Aduh....!” Si gendut mengeluh dan cepat meraba batang bidungnya yang ternyata sudah bengkak! Dia terkejut dan heran, mengira tentu ada lebah yang tadi menyengatnya. Akan tetapi tentu saja gangguan ini cukup membuyarkan pengaruh ilmu hitamnya terhadap Song- pangcu. “Sialan....!” gerutunya. Masih untung baginya bahwa peristiwa yang menimpa dirinya itu tidak diketahui orang lain. Apalagi kini muridnya tak perlu dibantunya lagi karena Ciong Ek Sim telah berhasil merampas toya lawan!

Memang benar. Kini keadaan Song-pangcu makin payah. Lawannya berhasil memukul pundaknya dan merampas toya. Dan sambil tertawa berlagak, Ciong Ek Sim yang ternyata pandai main toya itu memainkan toyanya dan menyerang Song-pangcu kalang kabut. Tentu saja beberapa kali gebukan mengenai tubuh ketua Pek-eng-pang itu akan tetapi orang gagah ini pantang menyerah dan melawan terus dengan mati-matian. Semua tamu memandang gelisah. Bahkan pemuda baju hijau beberapa kali menutupi muka dengan tangan ketika toya menyambar ke arah kepala Song-pangcu, takut melihat kepala itu pecah berhamburan.

Tiba-tiba sebuah tendangan keras mengenai paha Song-pangcu yang sudah terdesak, membuat ketua ini terpelanting dan ketika toya menyambar ke arah kepalanya, agaknya apa yang dikhawatirkan pemuda baju hijau itu akan terjadi kalau saja Song-pangcu tidak cepat menggulingkan tubuh menjauh.

“Darrr....!” Bunga api bepijar ketika ujung toya menghajar lantai. Sebelum Ciong Ek Sim sempat menyerang lagi, para murid Pek-eng-pai sudah menolong guru mereka dan memapahnya ke pinggir. Ciong Ek Sim bertolak pinggang bertongkat toya, memandang marah kepada seorang pemuda sederhana bertubuh tinggi besar yang sudur berdiri menghadangnya.

“Hem, siapakah kamu? Apakah kamu murid Pek-eng-pang yang sudah bosan hidup?” tanyanya dengan senyum mengejek.

Ceng Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Bukan, aku bukan murid Pek-eng-pang. Karena aku menjadi tamu Pek-eng-pai, tentu saja aku tak mungkin membiarkan Hek-kaw mengacau di sini.”

Wajah Ciong Ek Sim menjadi merah dan matanya mendelik. “Julukanku adalah Hek-houw (Macan Hitam), bukan Hek-kaw (Anjing Hitam)!” bentaknya.

“Ah, begitukah? Tapi seekor harimau biasanya gagah perkasa, lebih banyak berbuat daripada bersuara, sedangkan engkau menggonggong saja dan menggigit seperti anjing!”

Tentu saja sikap dan kata-kata yang dikeluarkan Ceng Liong menyenangkan hati para tamu, akan tetapi mereka merasa heran dan khawatir. Apakah pemuda ini sudah gila atau bosan hidup?

Si tinggi kurus yang berjuluk Hek-houw ini jelas lihai bukan main sehingga Song-pangcu sendiripun kalah olehnya. Bagaimana seorang pemuda tak dikenal/ternama berani bersikap seperti itu? Padahal pemuda itu hanya seorang tamu dari panggung tamu biasa atau panggung paling belakang. Dan pemuda itu walaupun tubuhnya tinggi besar, sikapnya seperti seorang pemuda dusun yang bodoh!

Dapat dibayangkan betapa marahnya Ciong Ek Sim mendengar ucapan itu. Saking marahnya dia hanya mendelik saja, tidak mampu mengeluarkan kata-kata! Ceng Liong amat benci kepada kekejaman orang ini maka dia sengaja hendak mempermainkan dan memberi hajaran agar orang ini menjadi kapok.

“Engkau seperti anjing pencuri tulang, buktinya toya orang lain kau pertahankan saja!”

Semakin marahlah Ciong Ek Sim. Dia membanting toya besi itu sampai toya itu menancap setengahnya ke dalam lantai! Ceng Liong memeletkan lidah seperti orang heran. “Wah, kau main sulap ya? Tentu pakai akal bulus!” Dia lalu menghampiri toya itu dan meraba-raba sambil geleng-geleng kepala. Sikap yang ketolol-tololan itu membuat para tamu tak puas. Mereka mengharapkan jagoan tangguh yang akan maju melawan si tinggi kurus itu. Baru Ciong Ek Sim itu saja begitu lihai. Apalagi kalau gurunya, kakek gendut itu. Semua orang bergidik. Agaknya jerih terhadap kakek inilah yang membuat orang orang gagal di situ tidak ada yang maju. Dan kini yang maju seorang pemuda mentah!

Ciong Ek Sim sendiri heran dan ragu melihat sikap Ceng Liong. Kalau pemuda ini gila, tentu tak patut dilawannya. Maka dia memberi isyarat kepada seorang anak buahnya. “Hajar tikus ini sampai terkencing-kencing minta ampun!” katanya dan sekali tubuhnya melayang, dia sudah melompat ke dekat suhunya duduk, menyambar sebuah kursi kosong dan duduk tanpa memperdulikan para tamu kehormatan lain. Dia malah menggulung kedua lengan bajunya dan para tamu melihat betapa kedua lengan si kurus ini berwarna hitam membiru seperti besi saja!

Anak buah Hek-i Mo-pang itu bertubuh tinggi besar, satu kepala lebih tinggi daripada Ceng Liong. Matanya besar beringas, kumis, jenggot dan cambangnya lebat sekali dan kelihatan kuat menyeramkam. Menerima perintah pemimpinnya, dia melangkah maju menghadapi Ceng Liong sambil menyeringai. “Heh-heh-heh, aku akan menghajarmu sampai kau terkencing-kencing minta ampun, heh-heh!” Dia nampak gembira sekali dengan tugasnya seperti seekor kucing disuruh menerkam tikus. Karena memandang rendah lawan, dia tidak meraba golok besar yang terselip di punggungnya.Ceng Liong hanya tersenyum dan berdiri seenaknya saja, tanpa memasang kuda-kuda seperti lajimnya orang yang menghadapi perkelahian. Si cambang bauk terbahak, lalu menggereng sambil mengembangkan kedua lengannya dan menubruk.

“Heeeiiitt!” Semua tamu melihat betapa raksasa itu menerkam luput karena Ceng Liong lari ke samping dan.... si cambang bauk itu terjerumus dan jatuh menelungkup! Mukanya mencium lantai dan kontan saja hidungnya yang besar menjadi penyok berdarah.

Meledaklah sorak-sorai dan suara ketawa. Semua orang menganggap betapa tololnya orang Hek-i Mo-pang itu. Hanya lagaknya saja yang keren tapi menubruk luput saja jatuh sendiri! Hanya Ciong Ek Sim dan gurunya yang merasa heran. Si cambang bauk itu mereka tahu bukan orang tolol, sama sekali tidak lemah karena ilmu silatnya tinggi, jauh menang dibandingkan dengan murid-murid kepala Pek-eng-pang tadi. Tapi, mengapa menyerang luput saja bisa terbanting dan terjerembab?

“Eh, brewok, kau mencari katak? Atau memang kesukaanmu menciumi lantai? Jangan keras-keras, tuh hidungmu penyok!” Ceng Liong mengejek dan semua orang, terutama pemuda baju hijau, tertawa gembira sekali.

Tentu saja raksasa brewok itupun terkejut dan marah. Terkamannya tadi luput, hal ini tidak aneh karena pemuda yang ketakutan itu lari mengelak, akan tetapi kenapa dia jatuh tertelungkup? Tentu kakinya tersandung, pikirnya sambil bangkit dan menyeka darah dari hidungnya. Sialan, perih dan nyeri juga pikirnya. Akan tetapi dia harus menjaga gengsi, malu kalau harus menghadapi pemuda ingusan ini dengan senjatanya.

“Keparat, kakiku tersandung dan tergelincir!” gerutunya. “Bocah tolol, rasakan ini!” Dan kakinya yang panjang itupun menyambar dengan tendangan yang kalau mengenai tubuh Ceng Liong tentu akan membuat tubuh itu terlempar jauh seperti bola ditendang. Akan tetapi Ceng Liong meloncat dengan sikap orang ketakutan.

“Wah.... menendang! Wah.... luput....”

Tendangan itu luput dan.... agaknya, demikian anggapan semua orang, tendangan itu terlalu keras sehingga ketika luput tubuh raksasa brewok itu melambung ke atas lalu jatuh tunggang-langgang!

“Ha-ha-he-he.... heh! Lucu! Lucu!” pemuda baju hijau kini tertawa-tawa dan semua orangpun tertawa. Memang ulah si raksasa seperti badut saja! Raksasa brewok semakin marah. Di bangkit dan memegangi pantatnya yang tadi terbanting keras. Biarpun dia sendiri tidak mengerti mengapa dia bisa terbanting hanya karena luput menendang saja, akan tetapi kemarahan membuat dia tidak peduli. Dicabutnya golok besarnya yang berkilauan itu!

“Wah, curang! Pakai senjata segala! Curang! Licik!” Pemuda baju hijau berteriak-teriak khawatir dan para tamupun memandang gelisah. Akan tetapi pemuda sederhana itu nampak tenang-tenang saja.

“Wah, monyet hutan, mau apa kau bawa golok? Mau menyembelih babi? Hati-hati, bisa kena tubuhmu sendiri!” Ceng Liong mengejek.

“Bangsat!” Raksasa brewok itu mengayun goloknya dan dengan sikap yang lucu Ceng Liong pura-pura ketakutan, mengelak ke kanan kiri, lari ke sana-sini akan tetapi terus dikejar oleh lawannya. Ketika dia berlari dekat pemuda baju hijau, pemuda itu mengacungkan sebatang pedang yang entah diperoleh dari mana.

“Saudara yang baik, pergunakanlah pedang ini!”

“Aku.... aku tak bisa menggunakan pedang....” kata Ceng Liong sambil menyambar sebuah bangku. Ketika si brewok membacokkan goloknya, dia menangkis dengan kaku, menggunakan bangku.

“Crakk....!” empat batang kaki bangku itu terbabat putus akan tetapi si raksasa brewok berteriak mengaduh dan goloknya terlempar ke lantai. Dia sendiri bergulingan di atas lantai sambil merintih-rintih. Kiranya empat potong kaki bangku yang putus itu secara aneh meluncur dan semua menancap di tubuh raksasa itu. Dua di kedua pundak, satu menembus paha dan satu lagi menancap betis. Dapat dibayangkan nyerinya dan ketika para anak buah Hek-i Mo-pang menggotongnya, nampak jelas raksasa itu terkencing-kencing saking nyerinya.

Terdengar ledakan sorak-sorai menyambut kemenangan pemuda sederhana itu. Walaupun mereka masih mengira bahwa kemenangan Ceng Liong hanya dapat terjadi karena nasib baik saja. Pemuda itu sedemikian pandainya berpura-pura sehingga tidak ada yang tahu bahwa dia memang ilmunya jauh lebih tinggi!

Dapat dimengerti betapa marahnya hati Ciong Ek Sim melihat anak buahnya yang diharapkan akan menghajar pemuda itu sampai terkencing-kencing malah sebaliknya dipukul roboh sampai terkencing-kencing. Dia mengeluarkan suara lengkingan panjang dan tubuhnya sudah meluncur ke depan. Kini dia berhadapan dengan Ceng Liong yang masih berdiri tegak sambil tersenyum-senyum.

“Ha, rupanya si Hek-kaw datang menggonggong lagi!” ejeknya dan para tamu tertawa gembira melihat ada orang berani mempermainkan Ciong Ek Sim yang lihai itu, walaupun hati mereka masih khawatir memikirkan keselamatan pemuda yang berani itu. Yang menggelisahkan adalah karena gerakan-gerakan pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kepandaian silat, melainkan memperoleh kemenangan secara kebetulan saja. Yang paling khawatir adalah pemuda baju hijau yang segera mendekati Ceng Liong.

“Saudara yang baik, berhati-hatilah menghadapi iblis ini. Dia lihai sekali, sebaiknya dikeroyok saja!”

Ciong Ek Sim membanting kaki sehingga lantai tergetar dan si baju hijau terkejut, cepat meloncat ke belakang karena takut dipukul.

“Ihhh.... galak benar....!” katanya sambil mundur kembali dan diapun lalu mengejek dengan meniru suara anjing menyalak-nyalak.

“Huk.... huk-huk....!” Semua tamu tertawa dan biarpun hatinya marah sekali Ciong Ek Sim maklum betapa semua tamu berpihak tuan rumah, maka dia tidak berani sembarangan mengejar pemuda itu dan mengamuk di antara para tamu.

“Sudahlah orang she Ciong, tak perlu mengumbar kemarahan. Akulah lawanmu dan mari perlihatkan apakah kepandaianmu selihai mulutmu yang sombong!” kata Ceng Liong.

“Bocah setan! Kalau aku tidak dapat merobek-robek kulit dagingmu, mematah-matahkan tulang-tulangmu dan menghancurkan kepalamu, jangan aku disebut Hek-houw (Macam Hitam) lagi!”

“Memang engkau Anjing Hitam, bukan Macan Hitam! Huk-huk-huk!” Pemuda baju hijau mengejek di tengah- tengah para tamu, di tempat yang aman, sambil duduk di atas bangku dan seperti semua tamu lain, dia nonton dengan hati penuh ketegangan.

Ciong Ek Sim tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Tubuhnya menerjang maju, kaki tangannya bergerak aneh dan dia sudah mengirim pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Setiap pukulan atau tendangan amat kuat dan mendatangkan angin bersiutan dan terkena sekali tendangan atau pukulan itu tentu amat berbahaya. Akan tetapi Ceng Liong mengenal gerakan jurus-jurus itu sebagai ilmu silat khas dari Hek-i Mo-pang tingkat pertengahan. Tentu saja tidak ada artinya bagi Ceng Liong dan biarpun tanpa melakukan gerakan silat, dengan langkah langkah kaki yang memiliki dasar sama, dengan mudah dia dapat mengelak dari semua serangan itu.

Kini baru para tamu mulai mengerti atau setidaknya mulai menduga bahwa pemuda sederhana itu seorang yang lihai sekali. Walaupun tidak kelihatan bersilat, hanya melangkah ke sana-sini dan meliuk-liukkan tubuh, pemuda itu sudah mampu mengelak dari semua pukulan dan tendangan yang sedemikian dahsyatnya! Si baju hijau girang dan kagum, berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan melihat betapa semua serangan si tinggi kurus gagal. Dan Ciong Ek Sim kinipun tahu bahwa lawannya tadi hanya berpura-pura saja. Lawannya ini ternyata lihai karena agaknya sudah tahu akan perkembangan jurus-jurus serangannya sehingga dapat menghindar dengan cepat, membuat semua pukulan dan tendangannya mengenai tempat kosong.

“Mampuslah! Wuuuttt....!” Dia berteriak, kini menggerakkan dan mengerahkan tenaga sin-kang pada tangan kirinya dan mencengkeram. Cengkeramannya ini tak mungkin dielakkan karena setiap elakan akan dikejar terus oleh tangan kirinya.Ceng Liong yang merasa sudah cukup mempermainkan lawan, mengenal jurus yang diberi nama Hek-mo-siok-mau (Iblis Hitam Menyisir Rambut) ini. Diapun tahu bahwa mengelak takkan ada gunanya, maka dia mulai menghajar iblis kejam itu dengan tangkisannya pada tangan kiri lawan sambil mengerahkan tenaga dengan gaya memotong dan memuntir.

“Krekk....! Aduuhh....!”

Tubuh Ciong Ek Sim terbawa memutar dan mukanya pucat sekali menahan rasa nyeri ketika dia memegangi lengan kirinya dengan lengan kanan. Kiranya tulang kirinya, di bawah siku, telah patah! Akan tetapi dasar jahat dan bandel, dia menyelipkan tangan kiri yang sudah lumpuh itu di ikat pinggangnya, matanya beringas dan merah memandang kepada Ceng Liong.

“Hyaaattt!” Tiba-tiba dia menerjang dengan tangan kanan, sekali ini tangannya menghantam dengan jari-jari terbuka ke arah perut Ceng Liong untuk dilanjutkan dengan cengkeraman ke arah kemaluan! Sebuah serangan yang amat keji dan berbahaya sekali.

Betapa kaget hati para tamu yang pandai main silat melihat betapa Ceng Liong menghadapi serangan ini dengan tenang saja, tanpa mengelak dan tanpa menangkis. Tentu akan pecah perut pemuda itu disambar tangan terbuka yang tak kalah kuatnya dari golok itu.

“Ceppp....!” Tangan itu amblas seperti menancap ke dalam perut sampai sebatas pergelangan! Semua tamu terbelalak. Pemuda baju hijau bangkit berdiri dan menahan jeritannya.

Akan tetapi wajah Ceng Liong tetap tersenyum. Sebaliknya, wajah Ciong Ek Sim menyeringai kesakitan. Dia merasa betapa tangannya seperti masuk ke dalam tungku api! Rasanya panas seperti terbakar. Tentu saja dia berkuketan, meronta untuk menarik kembali tangan kanannya, akan tetapi tangannya tak mampu dilepaskan, seperti terjepit catut yang membara.

“Adudududuhh....!” Tak terasa lagi dia menjerit-jerit dan tiba-tiba tangan kiri Ceng Liong menabas ke bawah.

“Krekkk!” Tangan Ceng Liong yang mengandung tenaga sakti dari Pulau Es itu memukul lengan kanan itu dan patah pulalah tulang kanan Ciong Ek Sim! Ketika perut Ceng Liong melepaskan tangan itu, lengan kanan si tinggi kurus itu tergantung lumpuh.

Semua orang bersorak ramai. Pemuda baju hijau yang tadinya khawatir sekali, sekarang demikian lega hatinya. Dia menjatuhkan dirinya di atas bangku dan tertawa-tawa. “Ha-ha-ha-heh-heh! Anjing hitam kena gebuk, patah kedua kaki depannya! Apakah masih bisa menggonggong? Huk-huk-huk-heh-heh-heh....” Dia tertawa terpingkal-pingkal sampai terjungkal dari atas bangku!

Kini setelah kedua lengannya patah tulangnya dan tak dapat dipergunakan untuk menyerang lagi, baru Ciong Ek Sim sadar. Matanya seperti baru terbuka bahwa yang dilawannya adalah seorang sakti yang luar biasa sekali lihainya! Akan tetapi semua tamu menyaksikannya dan dia ditertawakan semua orang. Lebih baik mati daripada mundur dengan nama hancur. Dia berteriak seperti gerengan binatang buas dan dengan nekat dia menyerang, menggunakan kaki kanan untuk menendang, disusul kaki kiri, karena dia menggunakan ilmu tendangan meloncat ini harus disertai gerakan kedua lengan untuk mengatur keseimbangan. Akan tetapi kedua lengannya sudah lumpuh dan dia menendang dengan nekat.

Ceng Liong memang ingin memberi hajaran yang setimpal atas kekejaman orang ini terhadap empat murid kepala dan ketua Pek-eng-pang tadi, maka kini dia menggerakkan tangan dengan cepat, mengetuk ke arah kedua kaki yang saling susul itu dari samping setelah dia melangkah dengan elakannya.

“Krak! Krak!” Dua batang tulang kaki itupun tidak kuat menahan ketukan tangan Ceng Liong dan patah seketika. Tubuh yang kini sudah lumpuh kaki tangannya itu terbanting jatuh. Ceng Liong menendang dan tubuh itu terlempar jauh sekali sampai keluar rumah dan terbanting ke atas tanah di pinggir jalan.

Para tamu bersorak girang dan mereka semua baru merasa kagum dan terkejut, menduga siapa gerangan pemuda perkasa ini. Song-pangcu sendiri bersama muridnya juga merasa gembira dan terheran-heran karena merekapun tidak mengenal tamu itu.

Tiba-tiba suara bentakan hebat menggetarkan seluruh ruangan dan para tamu terkejut dan berhenti bergembira. Semua mata memandang kepada kakek gendut yang nampak sudah bangkit berdiri dan mengangkat tongkat hitamnya di atas kepala. Kakek yang disebut dengan nama Boan It suhu itulah yang tadi mengeluarkan bentakan atau teriakan yang menggetarkan ruangan itu. Kini semua tamu melihat betapa kakek ini melangkah turun dari panggung kehormatan, menghampiri Ceng Liong dengan langkah tegap dan muka keruh. Sikapnya penuh ancaman dan menyeramkan. Akan tetapi sekarang para tamu mulai percaya akan kemampuan pemuda itu dan mengharapkan pemuda itu akan dapat mengalahkan pula pemimpin Hek-i Mo-pang ini.

Setelah berhadapan dengan Ceng Liong, kakek gendut itu mengangkat tongkat hitamnya ke atas, memutar-mutar tongkat itu sehingga ujungnya membentuk suatu lingkaran hitam dan terdengarlah suaranya yang menggelegar dan menggeledek penuh getaran yang mengandung wibawa yang amat kuat.

“Orang muda, kuperintahkan kamu! Berlututlah dan jilatilah sepatuku sampai bersih! Haaaiiiitt!” Bukan main dahsyatnya suara bentakan ini sehingga di antara para tamu bahkan ada yang tiba-tiba berlutut tanpa dapat mereka pertahankan lagi!

Semua orang menonton dengan tegang dan terpesona. Akan tetapi Ceng Liong nampak tenang saja, masih berdiri tegak menatap wajah kakek itu. Dua pasang mata saling pandang dan saling serang! Sepasang mata Ceng Liong semakin mencorong dan nampak betapa dalam adu mata ini akhirnya Boan It berkedip beberapa kali, tak dapat menahan matanya yang terasa perih dan panas. Kemudian, Ceng Liong mengangkat tangan kiri membuat gerakan seperti menggapai ke arah Boan It sambil berkata, suaranya halus dan ramah sekali.

“Boan It, engkau ingin sekali berlutut dan menjilati sepatuku sampai bersih? Aku akan senang sekali, silahkan Boan It, penuhi keinginan itu. Berlututlah dan jilati sepatuku!”

Semua orang nampak heran sekali, dan Boan It nampak betapa tubuhnya menegang, beberapa kali kepalanya digeleng keras-keras akan tetapi sepasang matanya mulai pudar kehilangan cahaya dan akhirnya diapun berlutut, merangkak maju lalu mulai.... menjilati sepatu Ceng Liong seperti seekor anjing besar menjilati kaki majikannya!

Tentu saja peristiwa aneh ini membuat semua orang melongo keheranan. Mereka belum mengerti bahwa antara kakek gendut dan pemuda itu telah terjadi suatu pertandingan sihir! Boan It telah menjadi korban sihirnya sendiri yang telah dikembalikan oleh Ceng Liong. Seperti diketahui, pemuda ini ketika digembleng oleh orang tuanya sendiri selama tiga tahun terakhir ini, telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri. Maka, menghadapi ilmu sihir Boan It yang mempelajari dari mendiang Hek-i Mo-ong, tentu saja dia mengenal baik sihir itu dan dapat mengalahkannya dengan mudah.

Hanya sebentar saja para tamu terbelalak melihat Boan It menjilati sepatu Ceng Liong. Segera terdengar sorak-sorai dan ketawa meledak-ledak dan hal ini mengguncang Boan It ke dalam kesadarannya kembali. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia segera menggereng langsung menyerang Ceng Liong dari posisi berlutut itu dengan tongkatnya! Akan tetapi Ceng Liong sudah bersiap-siap dan dapat mengelak dengan loncatan ke belakang.

Boan It meloncat bangun. Sejenak dia memandang, mukanya sebentar pucat sebentar merah kemudian dia mulai memainkan toyanya, diputar-putar cepat sekali di sekeliling tubuh sebelum menyerang. Terdengar suara berdesing-desing dan tongkat itu lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar hitam lebar yang menyelimuti tubuh kakek gendut itu dan angin menyambar-nyambar ke depan.Namun, Ceng Liong kini tidak mau main-main lagi. Diapun mulai menggerakkan kaki tangannya, memasang kuda-kuda yang kokoh dan nampak betapa indah dan gagahnya dia mengatur sikap untuk menghadapi lawan yang bersenjata tongkat itu. Sikapnya ini tentu saja mengundang pujian dan kini baru semua tamu tahu betapa indah dan gagahnya gaya permainan silat pemuda itu.

“Haaaiiiit!” Boan It membentak dan mulailah dia menyerang.

“Hem....!” Ceng Liong mengelak dan ketika gulungan sinar hitam itu menyelimutinya, tubuh pemuda inipun lenyap berobah menjadi bayangan putih yang berkelebat cepat sekali menyelinap di antara sinar hitam, menyambar-nyambar ke sana-sini. Para tamu mengikuti pertandingan yang seru ini dengan hati tegang, maklum bahwa yang berkelahi adalah dua orang yang tinggi ilmu silatnya.

Jurus demi jurus berlangsung dengan cepatnya dan makin lama Boan It semakin terkejut dan heran, juga hatinya mulai merasa gentar ketika pemuda ini seolah- olah mengenal semua gerakannya dan bahkan berani menangkis tongkatnya dengan lengan tangan.

“Plak! Duk!” Tangkisan itu membuat tubuh Boan It terhuyung dan terpelanting, nyaris roboh kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan bergulingan.

“Tahan dulu!” Bentaknya ketika meloncat berdiri, melintangkan tongkatnya, napasnya terengah-engah. Belum pernah dia bertanding dengan lawan setangguh ini dan selain gentar, diapun ingin tahu siapa sebenarnya pemuda ini. “Sebelum engkau mati di ujung tongkatku, katakanlah dulu siapa engkau agar tidak mati tanpa nama.”

Para tamu juga menantikan jawaban pemuda itu dengan tak sabar karena merekapun ingin sekali mengetahui siapa gerangan pemuda yang amat perkasa itu. Kini Ceng Liong menghentikan sikapnya yang main-main dan pandang matanya mencorong penuh wibawa.

“Boan It, engkau seorang murid yang murtad! Hek-i Mo-pang telah bubar atau dibubarkan oleh gurumu dan melarang kalian bergerak dengan nama perkumpulan itu. Akan tetapi engkau berani memimpin anak buah, bertindak liar dan sewenang-wenang menggunakan nama Hek-i Mo- pang!”

Mendengar ini Boan It terkejut sekali. Dia memandang tajam penuh perhatian, dan diapun teringat pemuda cilik yang dulu menjadi tawanan dari Pulau Es kemudian menjadi murid Hek-i Mo-ong itu.

“Kamu....! Kamu.... bocah dari Pulau Es itu? Kamu Suma Ceng Liong?”

“Bagus kalau masih ingat padaku!”

“Hah! Sejak dulu aku ingin membunuhmu dan sekaranglah baru terbuka kesempatan itu!” Boan It menggereng seperti binatang buas, tidak menggunakan sihir lagi karena tadipun dia mendapat malu ketika menggunakan sihirnya. Kini dia mengerahkan segala ilmu dan tenaganya, menyerang dengan dahsyat.

Ceng Liong tidak mau memberi hati lagi. Dia mengelak, menangkis dan membalas dengan lebih cepat lagi. Para tamu menjadi berisik, mereka saling berbisik membicarakan pemuda itu. Mendegar bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda Pulau Es yang she Suma, semua orang menjadi kaget dan kagum. Tahulah mereka bahwa pemuda ini adalah keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang namanya di dunia persilatan seperti dewa saja.

Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaian Ceng Liong jauh lebih tinggi daripada Boan It. Bahkan kini setelah dia menerima gemblengan dari ayah bundanya selama tiga tahun terakhir ini, Hek-i Mo-ong sendiri andaikata masih hidup belum tentu dapat menadinginya. Bahkan Suma Kian Bu sendiri harus mengakui bahwa setelah mengusai ilmu-ilmu Pulau Es dan Ilmu-ilmu dari Hek-i Mo-ong puteranya itu jauh lebih lihai darinya sendiri.

Betapapun juga Ceng Liong tidak dapat melupakan mendiang Hek-i Mo-ong, bekas gurunya yang amat menyayanginya. Dia tahu betapa Boan It pernah menjadi kepercayaan Hek-i Mo-ong. Maka mengingat mendiang gurunya itu, dia merasa tidak tega untuk membunuh Boan It.

Pada saat tongkat itu meluncur ke arah tenggorokannya, Ceng Liong meloncat ke samping dan tiba-tiba ujung tongkat itu mengeluarkan uap hitam yang menyambar ke arah muka Ceng Liong. Pemuda ini tidak terkejut karena dia sudah mengenal uap beracun yang keluar dari ujung tongkat. Diapun membuka mulut dan uap hitam itu buyar, bahkan kini membalik terdorong oleh uap panas yang menyambar dari mulut Ceng Liong.

“Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun)....!” Boan It berseru kaget ketika hawa panas menyengat mukanya. Pada saat itu sebuah totokan jari tangan Ceng Liong melumpuhkan tangannya dan tongkat hitam itupun pindah tangan. Sebelum Boan It mampu mengelak, tongkatnya sendiri telah mengalungi lehernya. Tongkat itu telah ditekuk oleh tangan Ceng Liong dan kini mengalungi lehernya dengan kuat. Dua kali totokan lagi membuat kaki tangan Boan It menjadi lumpuh dan diapun roboh terguling!

“Pergilah, dan mulai hari ini bubarkan perkumpulanmu dan jangan lagi mengacau dunia dengan nama Hek-i Mo-pang!” kata Ceng Liong mengulang larangan mendiang Hek-i Mo-ong. Dia memberi isyarat kepada para anak buah baju hitam yang segera menggotong tubuh Boan It dan Ciong Ek Sim meninggalkan tempat itu tanpa banyak cakap lagi.

Tentu saja kemenangan ini disambut dengan gembira dan kagum oleh para tamu. Mereka mengelu-elukan pemuda itu, apalagi ketika Ceng Liong memperkenalkan diri sebagai putera Suma Kian Bu, pendekar sakti yang setengah mengasingkan diri di dusun Hong-cun di tepi Sungai Huang-ho itu. Dalam kesempatan ini, dengan cerdik Ceng Liong memilih-milih beberapa orang tokoh kang-ouw yang gagah dan bersemangat untuk diajak bicara tentang negara dan bangsa yang dijajah, tentang kepahlawanan dan akhirnya dia berhasil membakar dan membangkitkan semangat beberapa orang pendekar yang menyatakan kebulatan tekadnya untuk membantu perjuangan mengusir penjajah apabila saatnya tiba. Juga mereka berjanji untuk menarik kawan-kawan sehaluan agar memperkuat barisan para patriot dan mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu membantu bilamana saatnya tiba.

Dengan hati gembira dan puas Ceng Liong meninggalkan Nam-san untuk mengunjungi kota raja dalam tugasnya mendekati dan menjajagi hati Jenderal Kao Cin Liong.

***

Suma Kian Lee dan isterinya tentu saja menerima berita keluarga Kao dengan gembira dan terharu. Pendekar ini sudah merasa bersalah besar terhadap keluarga Kao dan terhadap puterinya sendiri. Maka kini dia menyetujui saja ketika menerima berita bahwa pernikahan antara Suma Hui dan Kao Cin Liong akan segera diresmikan di rumah keluarga Kao atau di rumah jenderal muda itu. Mereka telah merasa salah langkah. Puteri mereka sudah merayakan pernikahannya dengan Louw Tek Ciang, di Thian-cin. Tak mungkin mereka dapat merayakan lagi di Thian-cin, apalagi menikah dengan pria lain sedangkan perjodohan puteri mereka dengan Louw Tek Ciang belum diceraikan secara resmi. Tentu umum mengira Suma Hui adalah isteri yang sah dari Louw Tek Ciang!

Karena keadaan ini pula perayaan pernikahan antara Suma Hui dan Kao Cin Liong diadakan dengan amat bersahaja, amat sederhana. Keluarga Kao tidak mengundang banyak tamu, hanya keluarga dekat dan rekan- rekan Jenderal Kao saja yang hadir. Dari pihak keluarga Suma, yang hadir hanya Kian Bu, isterinya dan putera mereka saja. Suma Ceng Liong masih belum berhasil bicara mengenai negara dengan Cin Liong. Dia harus hati-hati karena jenderal muda itu nampak amat disayang kaisar, juga jenderal itu kelihatan amat setia. Biarpun ada ikatan keluarga melalui Suma Hui, akan tetapi kalau sampai dia bersalah bicara dan jenderal itu lebih berat terhadap kaisar, tentu perjuangan akan menghadapi jalan buntu atau setidaknya menghadapi penghalang besar. Inilah sebabnya, mengapa sampai dia hadir sebagai tamu perayaan pernikahan itu, Ceng Liong belum pernah bicara tentang negara dan perjuangan.

Yang menyedihkan hati Suma Hui adalah tidak hadirnya Suma Ciang Bun! Kepada ayah bundanya, juga kepada suaminya, terpaksa dia berterus terang tentang keadaan Ciang Bun yang mempunyai kelainan itu. Mendengar ini Kim Hwee Li membanting-banting kaki kanan dan menjambak rambut sendiri!

“Dosaku....! Semua akibat dosaku. Thian telah mengutuk aku sehingga anak-anakku yang mengalami hukuman! Ah.... dulu aku adalah seorang wanita sesat, seorang gadis iblis yang liar....! Aih, suamiku, kenapa engkau memilih seorang perempuan macam aku sehingga kini engkau dan anak-anakmu ikut menderita....!” wanita ini menangis.

Suma kian Lee cepat merangkulnya. ”Hushh.... jangan berkata begitu, isteriku. Semua ini sudah terjadi. Daripada mengeluh dan menyesali hal-hal yang lalu, lebih baik kita berusaha memberikan jalan keluar untuk putera kita itu setela selesai urusan pernikahan Hui-ji....!”

Suma Hui dan Cin Liong, dua orang lain kecuali Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li yang tahu keadaan Ciang Bun, merasa terharu. Suma Hui cepat menceritakan kepada orang tuanya perihal Ganggananda.

“Harap ayah dan ibu tenang saja. Kurasa usahaku bersama Gangga akan berhasil baik.”

“Siapa itu Gangga?” tanya ibunya.

“Pemuda tampan dari Bhutan itu?” tanya Cin Liong.

Suma Hui menoleh kepada calon suaminya sambil tersenyum. “Dia bukan pemuda, melainkan pemudi. Dan dia adalah puteri tunggal dari Puteri Syanti Dewi dari Bhutan....”

“Ah, puteri Ang Tek Hoat?” Suma Kian Lee memotong.

Suma Hui mengangguk lalu berceritalah ia. Betapa Ciang Bun bertemu dengan gadis Bhutan yang menyamar pria bernama Ganggananda dan menjadi sahabat baik.

“Bun-te telah jatuh cinta kepada Gangga yang dianggapnya pria! Dan dia gelisah sekali, namun tak mampu berpisah dari Gangga. Dan aku telah menceritakan perihal diri Bun-te kepada Gangga. Dan gadis itu agaknya juga mencinta Ciang Bun, dan berjanji mau membantu. Aku minta agar ia meninggalkan Bun-te, kelak menemuinya lagi dan setelah Bun-te benar-benar jatuh cinta, akhirnya mengaku bahwa ia seorang wanita.” Dengan panjang lebar Suma Hui bercerita dan sepasang suami isteri itu diam-diam memuji kecerdikan Suma Hui.

“Mudah-mudahan usahamu berhasil baik.” Suma Kian Lee berkata.

Pada keesokan harinya, upacara dilangsungkan secara sederhana numun meriah. Di antara para tamu undangan yang menjadi rekan jenderal Kao Cin Liong, terdapat seorang pembesar tinggi yang menjabat sebagai seorang menteri. Menteri Siong ini sudah berusia lima puluh tahun dan dia hadir sebagai undangan, juga sebagai utusan dan wakil kaisar, maka semua orang berlutut ketika dia tiba dan membacakan amanat kaisar. Seorang utusan dan wakil kaisar memang dihormati sebagai kaisar sendiri ketika menyampaikan amanat. Kemudian Menteri Siong dipersilahkan duduk di tempat kehormatan sebagai tamu yang dihormati.

Menteri Siong Ci Kok ini diam-diam menaruh hati dendam dan tidak senang atas pernikahan Cin Liong dan Suma Hui. Menteri itu mempunyai seorang anak gadis dan tadinya Menteri Siong ingin sekali menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong. Sudah berkali-kali dia memancing, namun jenderal muda yang dikaguminya itu tak pernah menanggapi. Jenderal muda itu amat disayang kaisar, kalau dapat menjadi mantunya tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Bahkan kaisar sendiri tertarik kepada gadisnya, dan ketika dia yang khawatir kaisar akan tertarik kepada gadisnya dan menjadikan selir, maka dia menyindir bahwa ingin menjodohkan puterinya dengan Cin Liong, kaisar segera menyatakan kegembiraannya dan persetujuannya. Akan tetapi ketika akhirnya dia secara terus terang menyatakan keinginannya kepada Cin Liong, jenderal muda itu menolak dengan halus dan menyatakan bahwa dia sudah punya calon isteri! Tentu saja dia merasa kecewa dan menyesal sekali. Maka kehadirannya sebagai utusan kaisar itu hendak melampiaskan rasa kecewa dan penasaran hatinya. Dan dia sudah memiliki sarananya untuk itu, sebuah surat wasiat yang kini sudah berada di saku bajunya.Setelah hidangan dikeluarkan dan para tamu akan menyaksikan upacara bertemunya sepasang pengantin, saat itu dianggap amat penting bagi Menteri Siong Ci Kok untuk mengadakan penyerangan. Apalagi semua yang bersangkutan sudah berada di satu. Kao Cin Liong sang pengantin yang siap menyambut mempelai wanita yang sebentar lagi akan muncul, Kao Kok Cu dan isterinya, juga Suma Kian Lee dengan isterinya yang oleh Cin Liong diperkenalkan kepada utusan dan wakil kaisar itu.

“Sungguh menggembirakan sekali kami dapat hadir dalam saat yang bahagia ini,” demikian katanya dengan lantang kepada kedua keluurga itu. “Kami adalah sahabat baik Kao-goanswe dan sudah lama kami mengharapkan datangnya hari bahagia ini. Dan mendengar bahwa calon isteri Kao-goanswe adalah keturunan keluarga Suma dari Pulau Es, sungguh hati kami semakin gembira rasanya.”

“Siong-taijin,” kata Kao Kok Cu dengan sikap hormat, “Paduka telah berkenan menghadiri perayaan pernikahan anak kami yang sederhana ini, bahkan sebagai wakil sri baginda kaisar, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi kami seluruh keluarga mempelai. Semoga kehadiran paduka dapat menambah doa restu bagi kedua mempelai.”

“Ah, kami dengan keluarga Kao-goanswe sudah seperti keluarga sendiri, harap Kao-tahiap tidak sungkan-sungkan lagi. Kao-goanswe adalah putera tunggal bukan? Dan isterinya, Suma-siocia, tentu puteri Suma- taihiap yang ke dua.” katanya dengan nada suara sambil lalu dan menoleh kepada Suma Kian Bu dan isterinya.

Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan sejenak saling pandang dengan isterinya, kemudian tanpa menduga sesuatu, diapun menjawab. “Bukan yang ke dua, taijin, melainkan yang pertama dan kami hanya mempunyai seorang anak perempuan tunggal.”

Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hati mereka semua yang hadir di situ ketika pembesar itu terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Mana mungkin? Bagaimanakah ini? Harap Suma- taihiap tidak main-main.”

Kini Suma Kian Lee saling pandang sekilas dengan Kao Kok Cu dan hatinya merasa tidak enak. “Apakah yang taijin maksudkan? Saya sama sekali tidak berani main- main.”

Pembesar itu menepuk paha dengan tangan kanan dan hal ini sengaja dia lakukan untuk menarik perhatian dan memang usahanya berhasil baik. Para tamu lain yang duduk tidak jauh dari situ mulai mencurahkan perhatian dan ikut mendengarkan percakapan itu.

“Sungguh amat mengherankan! Beranikah orang-orang membohong kepadaku ketika mengabarkan bahwa Suma-taihiap pernah menikahkan seorang puteri taihiap? Tiga tahun yang lalu, di Thian-cin, kabarnya puteri taihiap yang bernama Suma Hui telah menikah dengan seorang she Louw, kabarnya murid taihiap sendiri! Lalu yang akan menikah dengan Kao-goanswe ini siapakah, kalau taihiap hanya mempunyai seorang puteri tunggal?”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka semua mendengar ucapan itu. Juga para tamu kehormatan kini tertarik sekali. Untuk sejenak kedua keluarga pengantin tak mampu menjawab.

“Benar, taijin. Puteri kami hanya seorang saja, bernama Suma Hui. Dan semua yang taijin katakan tadi memang benar pernah terjadi!”

Pembesar itu pura-pura membelalakkan matanya. “Ah...., jadi.... benarkah begitu? Kalau begitu lalu.... lalu.... bagaimana sekarang Kao-goanswe....” dia tak melanjutkan dan memandang wajah jenderal muda itu.

Kedua pasang besan itu saling pandang dan dalam pertukaran pandang mata itu, watak gagah merekapun bangkit.

“Kami dapat menerangkan hal itu!” kata Suma Kian Lee dengan suara tenang.

“Dan memang sebaiknya kami menjelaskan kepada semua para tamu yang hadir!” sambung Kao Kok Cu dengan suara tegas.

“Siong-taijin, maafkan saya,” kata Cin Liong sambil mengerutkan alisnya. “Bolehkah saya mengetahui dari siapa taijin mendengar semua itu?”

Mendengar nada suara jenderal muda itu yang agak keras dan menuntut, pembesar itupun tak mau main-main lagi. Dia sudah melaksanakan niatnya, melampiaskan dendam hatinya yang kecewa, membongkar rahasia keluarga itu. Dikeluarkannya sebuah sampul surat dari dalam saku jubahnya dan dia berkata, “Maaf, Kao-goanswe. Bukan maksudku untuk membuka rahasia. Akan tetapi kami menerima surat ini beberapa hari yang lalu, surat dari orang yang bernama Louw Tek Ciang. Kami tidak mengenalnya akan tetapi dia yang menceritakan bahwa Suma-siocia telah menikah tiga tahun yang lalu. Tadinya kami tidak percaya dan tak tahu apa maksudnya mengirim surat seperti ini. Karena hati kami penasaran, maka tadi kami tanyakan langsung kepada Suma-taihiap.”

Mendengar keterangan itu tahulah kedua pasang besan itu dan juga Cin Liong bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, ternyata telah mulai beraksi dan tidak tinggal diam saja, ingin merusak perayaan itu dan nama baik mereka melalui Menteri Siong. Wajah Suma Kian Lee berobah merah sekali, demikian pula wajah Kao Kok Cu. Akan tetapi mereka tidak menyalahkan pembesar itu yang agaknya tanpa disadarinya telah diperalat Louw Tek Ciang. Hanya Cin Liong yang diam-diam dapat menduga bahwa agaknya surat itu membuka kesempatan bagi Menteri Siong untuk melampiaskan dendam kecewanya.

Dengan suara lantang Suma Kian Lee berkata. “Taijin, kami tidak akan merahasiakan hal itu walaupun itu sesungguhnya merupakan urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Memang, puteri kami Suma Hui tiga tahun yang lalu pernah menikah dengan Louw Tek Ciang. Akan tetapi, pada hari pernikahan itu pula kami baru mengetahui bahwa dia soerang penjahat besar, murid iblis Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menipu kami sehingga telah kami ambil murid dan mantu. Sejak hari pernikahan itu, hubungan kami sekeluarga dan dia menjadi putus, bahkan dia menjadi musuh besar kami. Puteri kami bukan isterinya lagi.”

“Dan kami sekeluargapun sudah tahu akan semua itu!” sambung Kao Kok Cu lantang. “Dan seperti dikatakan oleh saudara Suma Kian Lee tadi, urusan ini adalah urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain!”

Menteri Siong dan para tamu yang lain mendengar ucapan dua orang pendekar sakti itu, yang dikeluarkan dengan suara penuh wibawa, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani memberikan komentar lagi karena kedua orang pendekar itu sudah menekankan bahwa urusan itu adalah urusan bersifat pribadi yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Mereka hanya membatin betapa anehnya watak tokoh-tokoh perkasa itu. Kalau orang biasa, sungguh tak mungkin seorang pemuda, apalagi dengan kedudukan setinggi Jenderal Muda Kao Cin Liong, mengawini seorang janda! Sementara itu, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya juga terkejut mendengar ucapan dua besan itu dan diam-diam Ceng Liong mencatat nama Louw Tek Ciang yang telah berhasil menipu pamannya sehingga diambil murid bahkan mantu olehnya. Padahal, Tek Ciang adalah murid Jai-hwa Siauw-ok dan dia pernah bertemu dengan mereka ketika bersama dengan mereka, mendiang Hek-i Mo-ong menyerbu ke rumah keluarga Kam di Bukit Nelayan.

Biarpun ada gangguan batin karena ulah Menteri Siong tadi, upacara pernikahan dilangsungkan dengan lancar. Wajah sepasang mempelai berseri penuh kebahagiaan ketika mereka melakukan upacara penghormatan kepada para orang tua dan keluarganya. Pesta sederhana lalu dirayakan dengan gembira.

Pada keesokan harinya, Suma Ceng Liong dan ayah ibunya sempat mendengar penuturan Suma Hui sendiri yang ditemani suaminya tentang malapetaka dan aib yang menimpa keluarga ayahnya karena kejahatan Louw Tek Ciang. Ia tidak menyembunyikan apa-apa lagi karena bicara di antara keluarga.

“Dulu, bersama suamiku ini, aku perintah singgah dan bertemu paman Kian Bu berdua ketika kami kembali dari Pulau Es dan paman Kian Bu telah memperingatkan kami akan banyak halangan dan rintangan bagi perjodohan kami. Dan ternyata memang benar.” Suma Hui menutup ceritanya.

Kian Bu mengangguk. “Bagaimanapun juga, semua telah lewat dan anggap saja semua itu sebagai mimpi buruk. Aku sungguh kagum kepada kalian. Cinta kasih antara kalian demikian besar dan murni dan dengan cinta kasih seperti itu kalian tentu akan hidup berbahagia.”Kian Lee menarik napas panjang. “Semua adalah karena kesalahanku. Aku terlalu kukuh dan aku lengah sehingga mudah tertipu oleh iblis itu.” Dia mengepal tinju dengan gemas.

“Manusia boleh berusaha bagaimanapun, akan tetapi Thian yang berkuasa menentukan.” kata Kao Kok Cu.

“Aku telah bersumpah untuk mencari dan membunuh jahanam Louw Tek Ciang dan gurunya, Jai-hwa Siauw-ok!” kata Suma Hui sambil mengepal tinju.

“Harap paman dapat menenangkan hati, juga enci Hui. Ketahuilah bahwa Jai-hwa Siauw-ok telah tewas tiga tahun yang lalu.” kata Ceng Liong.

Mereka semua, kecuali ayah ibu Ceng Liong yang sudah tahu, terkejut mendengar berita ini. “Bagaimana terjadinya? Siapa yang membunuh jahanam itu?” tanya Suma Kian Lee.

“Dia berkelahi dengan Hek-i Mo-ong dan dia terpukul roboh dan tewas.”

“Hek-i Mo-ong? Pemimpin gerombolan yang menyerbu Pulau Es?” Suma Hui dan Cin Liong terkejut.

Ceng Liong mengangguk. “Benar. Dan bukan hanya Jai-hwa Siauw-ok yang tewas, juga Hek-i Mo-ong telah meninggal dunia karena luka-lukanya, setelah bertanding dengan musuh-musuhnya.” Dia tidak menceritakan keadaan dirinya sebagai bekas murid raja iblis itu karena ini akan mendatangkan suasana yang tidak enak saja.

Suma Hui mengerutkan alisnya, lalu menghitung. “Mereka semua ada lima orang yang memimpin penyerbuan itu. Ngo-bwe Sai-kong telah tewas oleh nenek Lulu, Si Ulat Seribu telah tewas oleh nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas oleh Cin Liong-koko, kalau sekarang Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok telah tewas, berarti semua datuk iblis yang menyerbu Pulau Es telah tewas!”

Pada hari itu juga, Suma Kian Bu, isteri dan puteranya berpamit. Mereka meninggalkan kota raja tanpa berani menyinggung soal perjuangan melawan penjajah karena jenderal muda itu kelihatan masih amat bersemangat membela kerajaan. Mereka harus bersikap hati-hati sebelum merasa yakin bahwa ada kemungkinan besar jenderal itu akan mendukung. Ceng Liong sendiri belum berani menyinggung soal gawat itu.



***



Kita tinggalkan dulu pengantin baru yang berbahagia itu dan kita menengok keadaan kota Lok-yang di mana selama beberapa hari ini terjadi hal-hal yang menggemparkan.

Sejak kira-kira sebulan lamanya terjadi beberapa pembunuhan dan pengrusakan terhadap sarang-sarang penjahat. Juga rumah dua orang pembesar korup tidak terlewat dan menjadi korban serbuan seorang pendekar aneh. Dua orang pembesar itu adalah orang-orang yang suka melindungi kejahatan dengan menerima uang sogokan. Akan tetapi kalau kepala penjahat itu dibunuh dua orang pembesar itu hanya dibuntungi kedua telinga mereka sebagai peringatan keras. Dan dari mereka inilah, juga dari anak buah penjahat yang sempat melihatnya, tersiar berita bahwa pelakunya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, bersikap halus namun ilmunya tinggi sekali. Dan melihat betapa dia membunuh para kepala penjahat, membasmi sarang penjahat dan menghajar dua orang pembesar korup, jelas bahwa dia tentulah seorang pendekar muda! Dan memang dunia kang-ouw di sekitar Lok-yang sudah mulai mendengar kemunculan pendekar ini, sejak dari sebelah barat kata raja sampai ke Lok-yang. Di sepanjang perjalanan, seorang pendekar muda menyebar maut antara para penjahat dan mengulurkan tangan kepada setiap orang yang menderita dan yang tertindas.

Peristiwa ini menggelisahkan Koo-taijin, kepala daerah kata Lok-yang. Sudah dua orang pembesar pembantunya yang didatangi pendekar itu! Dan dia sendiri yang merasa korup, bahkan suka menggunakan tenaga para penjahat untuk memperkuat kedudukannya, menerima sogokan-sogokan dari para penjahat pemilik rumah-rumah judi, rumah pelacuran dan kepala para maling, rampok dan copet, tentu saja merasa ketakutan. Dia seolah-olah dapat merasakan betapa pendekar ini menanti-nanti kesempatan untuk mendatanginya! Beberapa malam yang lalu sudah ada bayangan yang berkelebatan di atas genteng gedungnya. Akan tetapi karena diketahui penjaga, bayangan itu tidak sempat melakukan sesuatu dan melarikan diri. Sejak malam itu dia memerintahkan orang-orangnya agar melakukan penjagaan ketat. Namun dia masih merasa ketakutan dan akhirnya dia mengumpulkan tiga orang kepala penjahat di Lok-yang, tiga orang jagoan yang terkenal sebagai Lok-yang Sam-liong (Tiga Naga Lok-yang)! Kini tiga orang jagoan itu siang malam tinggal di gedung Koo-taijin. Barulah hati kepala daerah Lok-yang itu merasa tenang.

Akan tetapi pembesar itu lupa bahwa memasukkan tiga orang pentolan penjahat ke dalam rumahnya untuk menjaga keselamatan rumah sama dengan mempergunakan tiga ekor srigala atau harimau untuk menjaga rumah! Dia mampu menyenangkan hati tiga orang jagoan ini dengan makanan dan minuman secukupnya dan hadiah uang secukupnya. Akan tetapi dia lupa akan sesuatu hal. Bahwa mereka itu, atau seorang di antara mereka, adalah seorang mata keranjang yang haus akan perempuan! Dan di dalam gedung pembesar itu, terdapat banyak wanita cantik! Selir-selirnya saja masih muda-muda dan cantik- cantik, jumlahnya sampai tujuh orang. Belum lagi para pelayan wanita muda-muda dan manis-manis yang kadang-kadang bertugas juga sebagai selir tak resmi pembesar itu! Belum lagi puteri-puteri pembesar itu sendiri.

Seorang di antara tiga jagoan ini berjuluk Tiat-liong (Naga Besi). Dia she Coa dan tubuhnya tinggi besar kokoh kuat, sesuai dengan julukannya. Usianya kurang dari empat puluh tahun dan bajunya selalu terbuka di bagian dada. Dia agaknya suka berlagak memamerkan dadanya yang berhulu hitam lebat! Naga Besi ini memang nampak gagah dan jantan. Dia gila perempuan dan entah sudah berapa banyaknya wanita dia taklukkan, baik melalui kegagahannya termasuk bulu dada itu, atau rayuan mautnya, maupun dia taklukkan dengan kekerasan mengandalkan keberanian dan kelihaiannya yang membuat dia ditakuti. Di lengan kanannya ada gambar cacahan berbentuk naga.

Dua orang temannya berusia lima puluh lebih. Yang seorang she Can dan berjuluk Ang-liong (Naga Merah). Dia memakai julukan itu karena mukanya berwarna merah. Orang ke tiga bertubuh pendek gendut, she Lui berjuluk Hek-liong (Naga Hitam) dan untuk mengabadikan julukannya di lengan kanannya juga ada seekor naga hitam. Mereka merupakan tiga serangkai yang bekerja sama menguasai dunia hitam di Lok-yang.

Ketika mereka menerima tugas berjaga dan melindungi Koo-taijin, tiga orang ini girang sekali. Mereka sudah mendengar akan munculnya pendekar tampan itu dan tentu saja mereka menganggapnya musuh. Mereka masing-masing merasa terancam keselamatannya. Maka, dengan tinggal di gedung Koo-taijin, mereka mendapat banyak keuntungan. Pertama, mereka akan dapat saling membantu dan bersama-sama menghadapi musuh. Ke dua, mereka akan mendapat bantuan pula dari pasukan pengawal dan penjaga gedung pembesar itu. Ke tiga, mereka tentu hidup serba enak dan menyenangkan di gedung pembesar itu dan akan menerima hadiah besar tanpa bekerja keras!

Dan bagi Tiat-liong, ada lagi kenyataan yang membuat dia ngilar. Ketika dia melihat wanita-wanita muda dan cantik itu! Wanita-wanita yang dia tahu kehausan dan melayangkan pandang mata ke arah dadanya yang berbulu dengan mata yang bersinar-sinar! Dua orang kawannya sudah mengenal baik watak si Naga Besi ini, memperingatkan agar dia jangan mengganggu wanita- wanita itu. Akan tetapi, mana mungkin melarang seekor anjing melahap tulang-tulang muda yang berserakan di depan hidungnya? Baru pada malam ke dua, kawan- kawannya tidak melihatnya tidur di kamarnya lagi. Si Naga besi itu sudah terlena dan tenggelam ke dalam pelukan seorang di antara selir-selir Koo-taijin yang kehausan! Pembesar itu sudah berusia enam puluh lebih. Mana mungkin dia mampu memuaskan belasan orang wanita, yaitu isteri, para selir dan para pelayannya? Tentu saja para selir yang menjadi hamba nafsunya begitu bertemu dan dapat berhubungan dengan pria seperti Si Naga Besi, merupakan suatu kelegaan yang membuat mereka tergila-gila. Dan bukan seorang selir saja yang tergila-gila kepadanya. Si Naga Besi diantri dan laki- laki hidung belang ini tentu saja merasa keenakan dan senang sekali. Dua orang kawannya menggeleng-geleng melihat kegilaan Si Naga Besi.

Beberapa hari kemudian. Malam itu gelap sekali. Gelap, dingin dan sunyi karena tadi turun hujan lebat sekali. Kini hujan sudah berhenti, akan tetapi langit masih gelap. Bintang-bintang tak nampak, terhalang awan hitam. Keadaan seperti itu membuat orang mudah ngantuk. Dan untuk melawan ngantuk, para penjaga keamanan di rumah Koo-taijin minum arak penghangat tubuh dan main kartu. Naga Merah dan Naga Hitam melakukan perondaan. Melihat semua aman, merekapun segera memasuki kamar masing-masing. Si Naga Besi seperti biasa, sejak tadi sudah mendekam dalam kamar seorang selir Koo-taijin. Sekali ini dia berani mati sekali, berhasil merayu selir ke tiga pembesar itu, selir yang paling disayang oleh Koo-taijin.

Karena malam gelap dan dingin, para penjaga segan berjaga di udara terbuka. Mereka agak lengah. Ah, siapa orangnya yang mencari penyakit berkeliaran di luar dalam cuaca seperti itu? Mereka tidak mengira bahwa sedikit kelengahan mereka itu telah dimanfaatkan sesosok tubuh bayangan hitam yang berkelebat di atas genteng rumah Koo-taijin ketika tidak melihat adanya penjaga di luar rumah seperti biasa. Dengan gerakan yang amat lincah dan ringan, bayangan itu sudah berloncatan di wuwungan gedung, lalu melayang turun dan menyelinap di dalam bayang-bayang gelap. Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela sebuah kamar. Hanya sebentar dia mengintai lalu membuang muka. Sudah cukup baginya. Seorang laki-laki tinggi besar yang diketahuinya melalui penyelidikan beberapa hari ini sebagai Naga Besi, sedang bermesraan dengan seorang wanita cantik dalam kamar itu. Wajah bayangan itu tersenyum mengejek lalu meninggalkan kamar itu, menyelidiki kamar lain.

Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya. Kamar Koo-taijin! Pembesar yang kurus kering itu, ternyata sudah tidur pulas, mendengkur dalam pelukan seorang pelayan perempuan muda yang malam itu bernasib bagus dipilih majikannya untuk melayaninya. Tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak terdengar oleh enam orang penjaga yang bermain kartu di dalam ruangan yang menembus ke kamar itu, bayangan tadi membuka jendela dan sekali meloncat dia telah berada di dalam kamar Koo-taijin. Sinar lampu kemerahan di kamar itu menimpa mukanya.

Dia masih muda. Antara dua puluh tiga tahun usianya. Wajahnya bulat dan kulit mukanya agak gelap, akan tetapi muka dan rambutnya terawat rapi sehingga nampak tampan sekali. Pakaiannya juga rapi dan indah, bersih dan terawat. Di pungungnya tergantung sepasang pedang yang berada dalam sarung pedang yang terukir indah. Gagang pedangnya bagus pula, dengan ronce-ronce biru. Sejenak dia berdiri dalam kamar dan menyingkap kelambu. Apa yang sudah dilihatnya samar-samar dari luar kelambu tadi kini nampak jelas. Tubuh seorang wanita muda yang telanjang bulat memeluk tubuh kerempeng seorang kakek setengah telanjang. Bibir itu bergerak seperti membayangkan perasaan jijik, lalu tangan kirinya bergerak. Dua batang jarum halus yang harum baunya menyamhar tengkuk wanita itu. Wanita itu menggerakkan tubuh berkelojotan, lalu mengeluh dan terlentang diam, pingsan karena dua jalan darah tertusuk dua batang jarum halus.

Dengan tenang pemuda itu menggulung tubuh Koo- taijin dengan selimut, lalu mengempitnya dan membawanya keluar kamar. Tubuh itu tidak mampu bergerak atau berteriak karena sudah ditotoknya terlebih dahulu. Dia membawa tubuh pembesar itu melalui jendela dan tak lama kemudian dia sudah tiba di luar kamar di mana selir ke tiga pembesar itu masih berdekapan dengan Si Naga Besi. Daun jendela dibukanya dari luar dan setelah dia membebaskan totokannya pada tubuh Koo-taijin, dia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam kamar, ke atas pembaringan di mana dua orang manusia itu sedang berjina. Begitu terbebas dari totokan, Koo-taijin yang sejak tadi ketakutan setengah mati langsung bergerak.

“Tolooonggg....!” Dan tubuhnya terbanting ke atas pembaringan, di antara dua tubuh telanjang yang tumpang tindih.

“Brukkk.... aduh, aduhh....!” Koo-taijin berteriak-teriak, juga selirnya menjerit karena tubuh suaminya itu jatuh menimpa dada dan kepalanya. Akan tetapi Si Naga Besi yang merasa terkejut sudah meloncat turun dari atas pembaringan, menyambar pakaiannya dan bergegas memakainya.

Ketika Koo-taijin melihat selirnya yang tersayang tidur bertelanjang bulat bersama Si Naga Besi, dia lupa akan rasa kaget dan takutnya. Seketika dia maklum apa yang terjadi antara selirnya dan jagoan itu. Dia sudah mendengar desas-desus di antara para pengawalnya bahwa satu di antara tiga jagoan yang menjaga keselamatannya itu kabarnya main gila dengan beberapa orang selirnya. Akan tetapi karena dia tidak melihatnya sendiri, diapun tidak percaya dan pura-pura tidak tahu. Apalagi pada waktu itu dia amat membutuhkan perlindungan dan bantuan tiga orang jagoan itu. Akan tetapi kini, melihatnya sendiri betapa selirnya ke tiga yang paling disayangnya berada dalam satu pembaringan bertelanjang bulat dengan Si Naga Besi, kemarahannya memuncak.

“Perempuan hina, apa yang kaulakukan ini?” Dan dia tidak dapat menahan kemarahannya, ditinjunya muka selirnya dengan keras.

“Bukk....!” Perempuan itu sedang mengeluh kesakitan karena tadi kepala dan dadanya tertimpa tubuh suaminya, kini menjerit dan menangis sejadi-jadinya, tubuhnya terjengkang di atas kasur.

Koo-taijin semakin marah, turun dari pembaringan dan menyerang Si Naga Besi sambil memaki-maki, “Bajingan kamu! Berani meniduri isteriku?” Dan dia mencoba untuk memukul jagoan yang sedang sibuk mengenakan pakaiannya itu. Akan tetapi, Si Naga Besi dengan tak sabar menangkis dan mendorong pembesar itu sehingga jatuh terjengkang.

“Tenanglah, taijin. Siapa yang melempar taijin?”

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar kamar. Para penjaga tadi mendengar teriakan si pembesar itu dan mereka berlari ke sana-sini berebutan mencari majikan mereka yang tadi berteriak minta tolong. Mendengar pertanyaan Si Naga Besi, baru Koo-taijin teringat akan peristiwa tadi. Mukanya pucat dan sekali lompat dia sudah bersembunyi lagi ke dalam kelambu dan merangkul selir ke tiga yang tadi dipukulnya, tubuhnya menggigil ketakutan.

“Tolong.... penjahat.... pembunuh....!”

Dari luar terdengar pintu digedor-gedor oleh para pengawal. “Taijin! Taijin! Apakah paduka berada di dalam?”

Ketika Si Naga Besi hendak membuka pintu, setelah membereskan pakaiannya, tiba-tiba dari atas menyambar sesosok bayangan yang gerakannya cepat bagaikan seekor burung garuda menyambar. Kiranya bayangan itu adalah pemuda yang tadi melemparkan tubuh Koo-taijin, yang ternyata tadi bersembunyi di atas tihang melintang di atas kamar itu.

Melihat pemuda tampan ini, Si Naga Besi segera dapat menduga bahwa tentu inilah musuh yang dinanti- nanti, maka tanpa banyak cakap dia sudah menerjang ke depan dan menyerang dengan dahsyatnya. Pemuda itu tidak mengelak, melainkan menangkis dan begitu lengannya beradu dengan lengan Si Naga Besi, penjahat itu terpelanting dan meringis kesakitan. Lengannya yang tertangkis tadi rasanya seperti bertemu dengan baja membara saja, keras dan panas! Dia maklum akan kelihaian lawan dan sekali meloncat dia telah menyambar golok besarnya yang tadi dia letakkan di atas meja.

“Bocah setan bosan hidup!” bentaknya dan dia memutar-mutar goloknya yang besar di atas kepalanya lalu menerjang maju, menyerang secara membabi buta. Pemuda itu mengelak dengan loncatan ke kanan kiri, kemudian menggerakkan tangan kiri. Nampak betapa golok menyambar lewat kepalanya dan tangan kirinya itu menonjok ke depan, disusul tendangan kaki kanannya.

“Tuk....! Bruukk!” Golok terlepas ketika sodokan tangan kiri pemuda itu mengenai dada di bawah ketiak kanan lawan, dan pada saat tendangan mengenai perut membuat tubuh Si Naga Besi terlempar menimpa tembok, nyawanya telah melayang. Ternyata pukulan tangan kiri tadi sedemikian hebatnya sehingga mengguncang dan memecahkan jantungnya!

Pada saat itu daun pintu kamar pecah dan masuklah dua orang kakek yang bukan lain adalah Naga Merah dan Naga Hitam, masing-masing memegang pedang dan tombak gagang panjang. Di belakangnya nampak belasan orang pengawal yang memegang senjata, siap mengeroyok!

Pemuda itu tidak memperdulikan mereka. Dia memungut golok Si Naga Besi dan sekali menggerakkan kaki dia telah meloncat ke pembaringan, dengan tangan kiri menjambak Koo-taijin. Pembesar itu sedemikian ketakutan dan mendekap selirnya lebih kuat lagi sehingga ketika tubuhnya terseret turun dari pembaringan, selirnya ikut tertarik dan terbanting.

“Ampun....ampunkan saya....!” Pembesar itu meratap dan kini dia sudah melepaskan tubuh selirnya dan berlutut, merangkak dengan kedua tangan di depan dada.

“Orang she Koo! Engkau ini seorang pembesar kepala daerah yang jahat! Engkau bersekongkol dengan para penjahat, korup dan makan sogokan. Engkau bukan pemimpin rakyat yang baik. Orang macam engkau ini sudah selayaknya mampus!”

“Ampun.... ampun, taihiap....!” Pembesar itu meratap. Sementara itu, Naga Merah dan Naga Hitam sejenak tertegun melihat Naga Besi menggeletak tak bernyawa lagi. Kemudian melihat pemuda itu membelakangi mereka dan mencurahkan perhatiannya kepada pembesar yang berlutut di depannya, Naga Merah menggerakkan pedangnya dan Naga hitam menggerakkan tombaknya, menyerang dari belakang.

“Wuuutt....! Singg....!” Pedang menyambar kepala dan tombak meluncur ke arah lambung pemuda itu. Pemuda itu masih tetap menjambak rambut si pembesar dengan tangan kirinya. Dia tidak mengelak, juga tidak menengok menghadapi serangan-serangan itu. Akan tetapi ketika pedang dan tombak itu sudah menyambar dekat, tangan kanannya bergerak dan golok tadi dia gerakkan ke belakang tubuhnya.

“Trang....! Cringg....!” Pedang dan tombak itu tertangkis golok dan terpental, hampir terlepas dari tangan pemegangnya yang meloncat ke belakang dengan kaget. Kulit telapak tangan yang memegang pedang terasa panas dan perih.

“Pembesar Koo, sekali ini kuampuni nyawamu. Lekas kau robah cara hidupmu dan menjadi pembesar pelindung rakyat. Kalau tidak, lain kali aku dapat mengambil kepalamu!” Golok berkelebat dan pembesar itu menjerit. Rambutnya terbabat habis dan hidungnya putus. Dia mendekap mukanya dan darah mengalir dari celah-celah jari tangannya, mulutnya mengeluarkan suara sengau. “Aduh.... aduh.... aduh....!”

Sementara itu, dua orang jagoan sudah memberi aba-aba kepada para pengawal untuk mengeroyok. Akan tetapi para pengawal itu hanya mengacung-acungkan senjata dan tak berani maju. Betapapun juga, dengan adanya belasan orang pengawal itu, hati kedua jagoan menjadi besar dan mereka berdua sudah menerjang maju lagi. Si Naga Merah yang memegang pedang memutar pedang di atas kepala sedangkan Si Naga Hitam menggerak-gerakkan ujung tombak untuk menggertak, mencari saat yang tepat untuk menusuk.

“Penjahat-penjahat keji macam kalian hanya mengotorkan dunia saja!” Nampak dua sinar berkelebat.

“Trang.... trang....!” Dua jagoan itu terbelalak kaget melihat senjata mereka yang patah-patah disambar dua sinar tadi. Akan tetapi sebelum mereka sempat menghindar, dua sinar pedang yang berada di kedua tangan pemuda itu kembali berkelebat dan robohlah Naga Merah dan Naga Hitam. Mereka berkelojotan dan nampaknya tidak luka, akan tetapi dari celah jari tangan mereka yang menutup dada nampak darah bercucuran. Kiranya dua batang pedang di tangan pemuda itu telah menusuk dada menembus jantung!

Para pengawal terkejut dan berebutan menyerbu. Pemuda itu sudah siap memutar sepasang pedangnya, akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan sengau dari Koo- taijin, “Tahan....! Jangan serang dia! Taihiap, harap ampunkan kami. Mulai sekarang kami hendak merobah semua kesalahan!”

Pemuda itu menoleh kepada pembesar yang masih mendekap hidungnya yang berdarah, bukit hidung itu sudah lenyap terbabat pupus oleh golok tadi. Nyeri bukan main dan berdarah terus. Pemuda itu mengangguk, lalu melemparkan sebuah bungkusan kepada pembesar itu.

“Bagus, taijin. Biar cacad badan, kelak paduka akan menjadi pemimpin rakyat yang baik. Pakailah obat ini, dilumurkan pada lukamu, tentu segera sembuh. Selamat tinggal!” Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tubuh pemuda itu berkelebat ke arah langit- langit kamar. Terdengar suara keras ketika atap itu jebol berlubang dan tubuhnya lenyap menerobos atap!

Ternyata di kemudian hari bahwa Koo-taijin benar- benar bertobat, berobah menjadi seorang pembesar yang baik, memperhatikan kepentingan rakyatnya dan mengerahkan pasukan keamanan untuk mengadakan pembersihan, membasmi sarang-sarang penjahat, bahkan tidak segan-segan menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan.

Pemuda perkasa yang telah membunuh Lok-yang Sam- liong dan menghukum Koo-taijin itu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain dengan kecepatan seperti terbang saja. Dia terus keluar kota dan memasuki kuil tua yang tak dipergunakan orang lagi. Tak lama kemudian dia sudah membuat api unggun di ruangan belakang, duduk bersamadhi di dekat api unggun. Buntalan pakaiannya terletak di dekatnya. Biarpun dia telah berhasil baik sekali dalam tugasnya sebagai pendekar pada malam itu, namun ketika cahaya api unggun menerangi wajahnya, dia sama sekali tidak kelihatan puas dan gembira.

Sebaliknya malah, wajahnya nampak suram muram. Wajah yang tampan itu digelapkan awan kedukaan dan sekali-kali dia menarik napas panang, lalu terdengar keluhannya dengan suara menggetar, “Gangga.... ah, Gangga....!” Pemuda itu adalah Suma Ciang Bun. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika mendengar bahwa Gangga pergi tanpa pamit dan menurut encinya pemuda Bhutan itu pergi ke Bhutan, Ciang Bun menjadi kaget dan berduka. Diapun segera melakukan pengejaran ke barat. Akan tetapi, dia tidak menemukan jejak pemuda Bhutan itu! Hatinya makin rindu dan makin berduka, takut kalau selamanya dia takkan dapat bertemu lagi dengan orang yang amat dicintainya itu. Dia tak berani melakukan perjalanan terlalu cepat, takut membuatnya semakin jauh dari Gangga. Dia melakukan perjalanan perlahan-lahan, berhenti di setiap kota untuk melakukan penyelidikan, lalu melanjutkan terus ke barat. Yang membuat dia berduka adalah karena dia tidak pernah berhasil mendapat keterangan tentang pemuda itu. Dan untuk mengurangi kedukaannya, untuk menghibur kekesalannya, Ciang Bun mulai bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang semua penjahat yang diketahuinya. Juga dia memberi hajaran kepada para pejabat yang korup, seperti yang telah dilakukannya di Lok-yang tadi. Mulai dia dikenal sebagai seorang pendekar muda yang berilmu tinggi dan yang bertangan maut terhadap para penjahat. Memang dia tak mau mengampuni penjahat. Hal ini mungkin menjadi akibat dari semua pengalamannya. Di Pulau Es dahulu dia menyaksikan betapa kakek dan kedua orang neneknya tewas dan Pulau Es lenyap karena perbuatan penjahat. Kemudian, betapa keluarga ayahnya tertimpa aib karena perbuatan penjahat pula. Semua ini memupuk semacam dendam kebencian di dalam hatinya terhadap para penjahat sehingga dia tak mau memberi ampun kepada setiap penjahat yang ditemuinya.

Suma Ciang Bun terbenam dalam kedukaan. Dia teringat akan rencana pernikahan encinya. Dia takkan dapat hadir dalam perayaan pernikahan itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali sebelum dia dapat bertemu kembali dengan Ganggananda.

“Aih.... Gangga, di manakah engkau berada....?” keluhnya penuh rindu sebelum dia tenggelam ke dalam samadhinya.Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Bun sudah meninggalkan kuil itu dan melanjutkan perjalanannya ke barat. Dia tidak lagi memasuki kota Lok-yang karena selama beberapa hari dia sudah melakukan penyelidikan dan agaknya tidak ada seorangpun melihat pemuda Bhutan seperti Ganggananda di kota itu. Ciang Bun mulai menduga bahwa mungkin sekali pemuda itu mengambil jalan lain, tidak melalui Lok-yang. Akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda itu terus menuju ke barat dan dia akan mencari terus sampai ke negeri Bhutan!

Ciang Bun mengambil jalan ke barat menyusuri sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Pada waktu musim hujan membuat Sungai Huang-ho pasang dan airnya berlimpah-limpah. Dalam keadaan seperti itu, sungai ini menjadi liar, arusnya kuat sekali sehingga amat berbahaya untuk naik perahu menentang arus. Maka Ciang Bun hanya berjalan kaki saja, kadang-kadang mempergunakan ilmu lari cepat kalau melalui jalan sunyi. Dia akan pergi ke kota Sian yang jauhnya masih antara tiga ratus kilometer dari situ. Kalau dia melakukan perjalanan cepat, dalam waktu empat hari saja dia sudah sampai di sana. Tentu saja kalau di tengah jalan tak ada sesuatu yang akan menyita waktunya.

Dua hari kemudian tibalah dia di sebuah puncak bukit. Dari puncak itu dia dapat melihat pemandangan yang amat indah. Sungai Huang-ho yang lebar nampak berkilauan dari atas. Sejauh mata memandang, tidak nampak adanya dusun di sebelah barat, melainkan penuh hutan memanjang di sepanjang tepi sungai. Maka diapun mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat indah ini.

Ciang Bun lalu melepaskan buntalan dan siang-kiamnya dari punggung, menjatuhkan diri duduk di atas rumput hijau tebal lunak. Indah bukan main pemandangan menjelang senja itu. Indah dan sunyi. Sunyi sekali. Dia mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci air jernih dari buntalan. Akan tetapi ketika dia menoleh ke kanan kiri, merasa betapa sunyinya keadaan, betapa sepi dan kosong perasaan hatinya, roti kering itu tak jadi digigitnya. Dia menyimpan kembali roti dan guci air. Tidak jadi makan atau minum walaupun perutnya lapar dan tenggorokannya haus. Dia tidak dapat makan karena pada saat itu hatinya dicekam keresahan dan kedukaan. Dia merasa betapa sepi hidupnya, betapa rindu kepada Ganggananda dan justeru kerinduan inilah yang mendukakan hatinya. Terngiang di telinganya pertanyaan encinya ketika dia akan pergi mengejar Gangga.

“Yakinkah engkau bahwa cintamu terhadap Gangga itu murni? Ataukah hanya nafsu yang timbul karena dia seorang pemuda tampan?” Demikian encinya bertanya.

Ciang Bun menundukkan mukanya. Gangga adalah seorang pria! Dan bagaimana kalau Gangga mendengar pengakuan cintanya, mengerti bahwa dia adalah seorang dengan kelainan? Apakah Gangga akan memandangnya dengan jijik, akan menjadi marah, membencinya dan takkan sudi berdekatan lagi dengannya?

Ciang Bun mengangkat mukanya dan ternyata kedua pipinya yang menjadi pucat itu sudah basah semua. Dia menangis dan tak mampu menahan perasaannya lagi. Ditutupnya mukanya dengan kedua tangan dan dia menangis tersedu-sedu, seperti anak kecil, seperti perempuan!

“Ciang Bun....!” Suara halus terdengar oleh Ciang Bun seperti nyanyian sorga. Seketika dia menurunkan kedua tangan dari mukanya.

“Gangga....? Gangga....?” bisiknya penuh keraguan, penuh harapan, penuh kegelisahan kalau-kalau pendengarannya telah menipunya dan harapannya akan hampa. Akan tetapi ketika dia menoleh, di dalam cuaca remang-remang itu dia melihat pemuda itu dengan jelas! Bukan mimpi, bukan khayal!

“Gangga....!” Dia meloncat berdiri dan berlari menghampiri dengan lengan terbuka. Di situ Ganggananda berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh haru, dengan bibir tersenyum.

“Ciang Bun....!” Katanya dengan air mata berlinang. Ciang Bun mengembangkan kedua lengannya dan merangkul. Gangga diam saja dan membiarkan pemuda itu memeluknya dan mendekapnya dengan kuat sekali. Ganggananda diam-diam harus melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam dari pelukan Ciang Bun, kalau tidak bisa patah-patah tulang iganya didekap sekuat itu!

“Gangga.... ah, Gangga.... betapa girang hatiku, betapa.... rinduku kepadamu....!” Ciang Bun berbisik berkali-kali, mendekap tubuh itu seolah-olah hendak memasukkan Gangga ke dalam dadanya agar tidak sampai dapat berpisah lagi. Kemudian, saking girangnya dapat bertemu dengan Gangga kembali, dan saking rindunya, dia lalu mencium pemuda itu, ciuman sayang dan mesra pada pipi kanannya. Dia merasa betapa tubuh Gangga gemetar keras dan tiba-tiba Ciang Bun teringat akan keadaan dirinya.

“Ahhh....!” Dia melepaskan pelukannya seperti melepas ular, lalu membalikkan tubuhnya dan menjambak- jambak rambutnya sambil menangis!

“Ciang Bun....!” Ganggananda terkejut, menghampiri dan menyentuh pundaknya. “Ada apakah....?”

Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergoyang-goyang dan air mata menetes dari celah-celah jari tangannya. Melihat ini, Gangga Dewi menjadi terharu sekali. Betapa sikap pemuda ini seperti seorang wanita saja, padahal sepak terjangnya selama ini begitu gagah perkasa sebagai seorang pendekar sejati. Sungguh sulit membayangkan betapa seorang pemuda selihai ini, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat menangis sesenggukan seperti seorang wanita cengeng!

“Ciang Bun, ada apakah? Apakah yang menyusahkan hatimu?” tanyanya.

Ciang Bun mengusap air matanya dan dia lalu duduk di atas rumput tebal. Gangga Dewi juga duduk dan untuk menghilangkan suasana yang tidak enak itu, ia berkata. “Tahukah engkau betapa selama beberapa hari ini, dari sebelum engkau tiba di Lok-yang sampai sekarang, aku selalu membayangimu?”

Ucapan ini berhasil menolong. Ciang Bun yang sudah dapat menguasai hatinya, memandang heran. “Begitukah?” katanya. “Pantas aku tidak pernah dapat menyusulmu, kiranya engkau berada di belakangku.” Gangga Dewi tersenyum dan suasana yang amat tidak enak bagi Ciang Bun tadi agak berobah, hatinya menjadi tenang kembali.

“Gangga, sebetulnya engkau hendak ke manakah? Apakah benar seperti keterangan enci Hui bahwa engkau hendak pulang ke Bhutan?”

“Dan kau sendiri hendak ke mana?” Gangga balas bertanya.

“Aku.... aku hendak menyusulmu. Karena engkau pergi tanpa pamit padaku....”

“Aku memang tidak pamit karena masih pagi sekali dan aku memang ingin pulang ke Bhutan. Kenapa engkau mengejarku?”

“Aku....? Aku.... merasa kehilangan sekali ketika engkau pergi, Gangga. Aku.... aku rindu sekali kepadamu.”

“Kau memang sahabatku yang amat baik, Ciang Bun. Akan tetapi di antara sahabat, ada waktu berkumpul dan ada waktu berpisah.”

“Akan tetapi aku tidak mau berpisah darimu, Gangga. Selamanya jangan sampai kita berpisah!”

“Eh, mengapa begitu? Mana mungkin begitu?”

“Gangga, aku.... aku cinta padamu, Gangga!”

Gangga Dewi sengaja mengatur sikap untuk menguji batin Ciang Bun sesuai dengan rencananya menolong pemuda itu sembuh, walaupun jantungnya terasa berdebar dan kedua pipinya terasa panas. Ia pura-pura terbelalak heran.

“Tentu saja, akupun suka sekali kepadamu, Ciang Bun. Kita memang sahabat yang saling mencinta, sahabat karib, bukan?”

“Tidak, tidak! Bukan begitu, aku.... aku.... ahhh....!” Dan pemuda itu menunduk untuk menyembunyikan mukanya.

Gangga Dewi memegang pundak Ciang Bun. “Ciang Bun, ada apakah? Sikapmu begini aneh. Tadi juga kau.... menangis. Ada apakah?”

Inilah saatnya! Saat yang selama ini amat menggelisahkan hatinya. Akan tetapi, bagaimanapun, apapun yang akan menjadi akibatnya, dia harus mengaku terus terang kepada Ganggananda. Mungkin Gangga akan menjadi jijik kepadanya, mungkin menjadi marah, membencinya sehingga mungkin juga akan meninggalkannya, untuk selamanya. Akan tetapi dia harus berani menanggung akibatnya. Lebih baik menghadapi kenyataan dan memperoleh kepastian, betapapun pahitnya, daripada tersiksa dalam keraguan dan ketidaktentuan, tenggelam dalam kerinduan dan kebimbangan. Dia harus berani bersikap gagah sebagaimana layaknya seorang pendekar! Maka, dia cepat menghapus air matanya. Untung baginya bahwa cuaca sudah mulai gelap sehingga Gangga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Hal ini menolongnya dan mengurangi rasa sungkan dan malunya.

“Gangga, sahabatku yang baik, kalau aku berterus tenang dan kata-kataku menyinggung dan tidak menyenangkan hatimu, maukah engkau.... memaafkan aku?”

Diam-diam Gangga Dewi merasa terharu sekali. Ia merasa kasihan kepada pemuda itu dan ia tahu betapa sukarnya bagi Ciang Bun untuk menjawab pertanyaannya tadi.

“Tentu saja, Ciang Bun. Orang yang berterus terang, berarti mempunyai maksud baik dan sudah sepatutnya kalau dimaafkan.”

“Tapi.... tapi aku....” Ciang Bun menghentikan lagi kata-katanya, nampak berat sekali untuk memhiiat pengakuan dan menceritakan keadaan dirinya.

“Engkau kenapa? Katakanlah!”

Ciang Bun mengepal tinju dan menguatkan hatinya. Dia seorang pendekar, tdak boleh bersikap lemah. “Gangga, aku akan bicara terus terang dan mungkin sekali akan tidak menyenangkan hatimu, tidak enak kaudengar.”

Melihat sikap tegas ini, Gangga tersenyum. “Nah, begitu lebih patut bagimu, pendekar Suma Ciang Bun. Bicaralah!”

“Gangga, tadi aku mengatakan bahwa aku cinta padamu, akan tetapi bukan seperti yang kaumaksudkan, tidak seperti yang kausangka. Bukan cinta sebagai seorang sahabat!”

Gangga sudah tahu akan keadaan pemuda ini dari Suma Hui, akan tetapi ia pura-pura heran, memandang dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, Ciang Bun.”

“Tidak terasakah olehmu ketika aku.... memelukmu tadi? Aku.... ketika aku.... menciummu tadi? Nah, cintaku seperti itulah!”

“Tapi aku.... aku seorang pria juga!” Gangga memancing.

“Itulah, Gangga, justeru itulah! Aku.... aku bukan seorang yang waras.... aku seorang yang sakit dan menderita kelainan. Karena itulah aku merana dan aku.... takut kalau kau menjadi benci kepadaku, menjadi jijik lalu meninggalkan aku untuk selamanya....” Pemuda itu menundukkan mukanya, tidak menangis lagi namun terbenam dalam kedukaan besar. Gangga Dewi memandang dan hatinyaterharu. Ia sendiri belum merasa yakin benar apakah ia mencinta pemuda ini setelah mengetahui rahasianya dari Suma Hui. Yang jelas ia tidak membenci, tidak jijik melainkan heran, terkejut dan kasihan sekali.

“Ciang Bun,” katanya halus. “Sebetulnya apakah yang kauderita itu? Kelainan dan penyakit bagaimanakah yang kaumaksudkan?”

Ciang Bun menghela napas panjang. Betapapun sukar dan beratnya, dia harus berterus terang, harus menceritakan semua tentang dirinya kepada orang yang dicintanya ini.

“Gangga, mungkin engkau akan kaget, heran dan jijik setelah mendengar penyakit apa yang mengganggu diriku. Baiklah aku mengaku terus terang saja, Gangga. Aku adalah seorang laki-laki yang berselera wanita. Aku tidak tertarik kepada wanita sebagai teman hidup, aku tertarik kepada sesama pria. Aku hanya bergairah terhadap seorang pemuda, aku hanya dapat jatuh cinta kepada seorang pria! Dan aku aku cinta padamu. Bukan hanya sebagai sahabat, melainkan lebih mendalam lagi, seperti.... seperti cinta suami isteri.... aku ingin hidup bersamamu, selamanya di sampingmu dalam suka maupun duka, tidak akan terpisah lagi. Nah, aku sudah menceritakan semua dan.... dan engkau tentu muak dan membenciku!”

Hening sejenak. Gangga Dewi teringat akan siasat yang diatur Suma Hui. Memang, ia berjanji untuk membantu penyembuhan pemuda ini. Akan tetapi hanya untuk mengguncang batinnya, menyadarkanya dengan harapan mudah-mudahan pemuda itu akan dapat sembuh, melalui cinta pemuda itu terhadap dirinya. Akan tetapi, ia sendiri tidak yakin apakah ia juga mencinta pemuda ini. Ia merasa suka dan kagum, akan tetapi cinta? Ia sendiri belum tahu benar, apalagi setelah melihat kelainan yang ada pada batin Ciang Bun.

“Ciang Bun, jadi kau.... kau mencinta diriku?”

“Aku cinta padamu, Gangga, walaupun aku maklum bahwa mungkin sekali engkau akan merasa muak dan membenciku.”

“Engkau mencinta diriku karena.... aku seorang pria, seorang pemuda yang menarik hatimu?” Sepasang mata yang bening tajam itu bersinar menyaingi bintang- bintang yang mulai bertebaran di langit, berusaha menembus kegelapan untuk dapat menjenguk isi dada pemuda itu dan mengetahui isi hatinya.

Ciang Bun mengangguk, teringat bahwa cuaca gelap dan Gangga tidak akan dapat melihatnya, maka dia berkata gagap, “Ya.... ya, begitulah....!”

Tiba-tiba Gangga bangkit berdiri. “Hemm, jadi yang kaucinta hanyalah diriku sebagai seorang pemuda yang menarik? Ciang Bun, kalau engkau hanya membutuhkan pemuda tampan menarik, mudah saja bagimu untuk memperolehnya setiap saat dan di manapun! Aku.... aku tidak sudi menjadi korban nafsu-nafsumu!” Setelah berkata demikian Gangga meloncat jauh dan lari.

Sejenak Ciang Bun termangu. Dia sudah menduga bahwa tentu hebat akibat pengakuannya itu, akan tetapi begitu dia teringat bahwa Gangga telah pergi meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, diapun meloncat dan mengejar turun dari puncak bukit.

“Gangga....! Tunggu dulu, aku mau bicara denganmu!”

Gangga berhenti, membalik dan menanti sambil bertolak pinggang. “Mau bicara apa lagi?” tanyanya angkuh.

“Gangga, maafkan kalau aku telah menyinggung perasaanmu dengan kata-kataku tadi yang bodoh dan canggung. Gangga, aku cinta padamu, sungguh bukan hanya karena engkau seorang pemuda tampan yang menarik. Tidak! Aku cinta padamu karena dirimu, karena pribadimu, biar ditukar seribu orang pemuda tampan sekalipun aku tidak mau!”

“Ciang Bun, engkau tadi mengatakan bahwa engkau tidak suka kepada wanita, bukankah begitu?”

“Benar, Gangga, dan itulah penyakitku, itulah kelainan diriku....”

“Nah, sekarang lihat baik-baik, Ciang Bun, lihat baik-baik!” Gangga menggunakan tangan melepas kain pengikat dan penutup rambutnya, menanggalkan pula alis palsunya. Rambutnya yang halus panjang terurai lepas. Biarpun cuaca remang-remang namun cukup terang bagi Ciang Bun untuk melihat perobahan itu dan diapun terbelalak.

“Gangga....! Kau.... kau....”

“Namaku Gangga Dewi, aku seorang wanita yang menyamar pria agar aman dalam perjalanan. Nah, aku seorang wanita dan engkau tidak bisa jatuh cinta kepada wanita, bukan? Selamat tinggal!”Gangga Dewi meloncat dan lari secepatnya, meninggalkan Ciang Bun yang berdiri bengong dengan wajah pucat. Gangga seorang wanita! Kenyataan ini merupakan pukulan hebat baginya. Baru dia mengerti akan pertanyaan encinya apakah dia mencinta pribadi Gangga ataukah hanya karena Gangga dianggapnya pria saja. Kalau Gangga tadi bertanya seperti encinya, agaknya masih mudah baginya untuk menjawab bahwa dia mencinta Gangga, mencinta pribadinya, bukan karena Gangga seorang pria. Akan tetapi, Gangga tidak hanya bertanya, melainkan dengan mendadak saja merobah dirinya, membuka rahasianya. Hal ini membuat Ciang Bun terkejut dan batinnya terguncang hehat, membuat dia tidak mampu mengambil keputusan, tidak tahu harus berbuat apa. Gangga seorang wanita! Kenyataan ini amatlah hebatnya, terlalu hebat mengguncang perasaannya sehingga dia hanya berdiri terbelalak seperti patung. Dia tidak mengejar lagi sekarang. Terlalu bingung dan pada saat itu, dia sendiripun tidak tahu bagaimana perasaan hatinya terhadap Gangga. Masih tetap mencintakah? Dia tidak tahu. Yang terasa pada saat itu hanyalah kekecewaan, keheranan dan penyesalan. Rasa kecewa jauh lebih besar dan dia dicekam kekecewaan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas. Dia merasa seolah-olah piala harapan yang dirawatnya baik-baik dan dipuja- pujanya itu mendadak hancur berkeping-keping.

“Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?” ratapnya sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Kedua kakinya gemetar dan diapun jatuh terduduk di atas tanah.

Cinta asmara didorong oleh nafsu berahi yang timbul karena kecocokan selera dan daya tarik alamiah yang memang ada dalam diri setiap mahluk antara jantan dan betina. Daya tarik alamiah ini memang amat diperlukan guna perkembangbiakan segala mahluk hidup. Dengan adanya daya tarak ini, jantan dan betina didorong untuk saling mendekati, berhubungan dan berkembang biak. Karena itu di dalamnya terkandung kenikmatan dan kepuasan, seperti hanya makan atau minum yang megandnng keenakan dan kepuasan sebagai daya tarik penyambung hidup, pengisian kebutuhan badan.

Kenikmatan dan kepuasan ini, yang menjadi pendorong pengisian kebutuhan badan, sebaliknya dapat menjadi racun bagi batin. Batinlah yang dicengkeram oleh kenimatan sehingga mencandu dan batin yang mendorong kita untuk mengejar-ngejar dan mengulangi segala kenikmatan dan kepuasan itu, batin yang mendorong kita untuk mengejar kesenangan itu. Padahal, kesenangan itu terpisahkan dari kesusahan dan kepuasan tak terpisahkan dari kekecewaan, apabila kita kejar-kejar. Dalam pengejaran terkandung harapan atau keinginan memperoleh, dan harapan inilah yang melahirkan kekecewaan apabila gagal diperoleh. Karena ulah batin sendiri, maka cinta asmara yang sedianya menjadi pendorong sesuatu yang dapat kita nikmati, seperti kelezatan makan selagi lapar dan kepuasan minum selagi haus, sebaliknya menjadi ajang pertentangan antara senang dan susah, antara puas dan kecewa.

Ciang Bun tenggelam ke dalam duka dan kebimbangan. Ada perasaan yang saling bertentangan bergelut di dalam batinnya. Di satu pihak dia ingin selalu berdampingan dengan pemuda Ganggananda, di lain pihak dia tidak mungkin dapat mendekati dan bermesraan dengan gadis Gannga Dewi. Padahal, Ganggananda dan Gangga Dewi adalah satu orang juga! Ketika dia teringat bahwa Gangga telah meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, hatinya merana.

“Gangga....!” Dia berseru dan meloncat berdiri, hendak mengejar. Akan tetapi dia segera teringat bahwa Gangga adalah seorang wanita dan tiba-tiba saja kedua kakinya mogok dan berhenti berlari.

“Gangga.... ah, Gangga....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan seolah-olah terasa ngeri menyaksikan keadaan dirinya sendiri dan dia membiarkan dirinya hanyut dalam ketidaktentuan yang menimbulkan duka.



***



Kam Hong, pendekar sakti yang halus budi bahasanya dan sederhana hidupnya itu masih tinggal menghuni istana kuno di puncak Bukit Nelayan, di Pegunungan Tai- hang-san. Usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi karena dia hidup di pegunungan yang sunyi dan berhawa sejuk bersih, apalagi karena dia tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga kehidupannya tenang dan penuh damai, maka dia nampak masih amat muda, belasan tahun lebih muda daripada usianya yang sebenarnya. Seperti biasa, dia selalu memakai pakaian sasterawan yang sederhana dan kebesaran. Melihat sepintas lalu saja, orang akan memandang rendah kepadanya. Seoang sasterawan setengah tua yang nampaknya malas-malasan, hanya bermain suling saja yang menjadi kesukaanya. Sedikitpun, dalam gerak gerik maupun sikapnya, dia tidak nampak seperti seorang pendekar. Akan tetapi, kalau orang menyaksikan kelihaiannya, dia akan bergidik dan takjub. Pendekar ini telah menguasai banyak sekali ilmu silat gemblengan yang ampuh-ampuh. Dialah pewaris ilmu-ilmu silat yang amat tinggi dari Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya. Dari Sai-cu Kai-ong dia mewarisi ilmu-ilmu silat, antara lain yang hebat adalah Khong-sim Sin-ciang (Tangan Sakti Hati Kosong) dan Sai-cu Ho-kang (Auman Singa). Dari Sin-siauw Seng-jin dia mewarisi ilmu-ilmu peninggalan Suling Emas, antara lain yang hebat adalah Hong-in Bun-hwat (Silat Sastera Angin Hujan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa), dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Biasanya pedangnya diganti dengan suling dan dimainkan bersama kipas, sungguh sukar dicari tandingnya. Semua warisan ilmu itu diperhebat secara berlipat ganda ketika dia secara kebetulan sekali mewarisi ilmu mujijat dari jenazah kuno, yaitu ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sim-in yaitu ilmu meniup suling yang mengandung getaran khi-kang amat kuatnya sehingga suara tiupan itu saja dapat merobohkan lawan tanpa menyentuhnya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini hidup tenteram di tempat sunyi itu bersama isterinya dan anak tunggalnya, yaitu Kam Bi Eng. Ketentraman itu tergangu hebat dengan menimpanya malapetaka yang menewaskan enam orang pelayan atau murid mereka dan hampir saja puteri mereka juga tertimpa bencana kalau saja tidak diselamatkan oleh Suma Ceng Liong. Malapetaka itu disebabkan oleh penyerbuan Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok bersama seorang muridnya yang lihai, yang bukan lain adalah Louw Tek Ciang.

Kini Kam Bi Eng ikut bersama calon mertuanya, Sim Hong Bu, untuk memperdalam ilmu silat sedangkan putera Sim Hong Bu yang bernama Sim Houw, yang telahdipertunangkan dengan gadis itu, berada di istana tua Khong-sim Kai-pang untuk memperdalam ilmunya pula kepada pendekar Kam Hong. Memang sudah disetujui bersama oleh Kam Hong dan Sim Hong Bu untuk menggabung kedua ilmu mereka yang sebenarnya berasal dari satu sumber akan tetapi yang diciptakan untuk saling menentang itu.

Pagi hari suasana di sekitar istana kuno Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan sunyi dan tenteram. Matahari pagi bersinar cerah seperti biasa, memandikan seluruh permukaan puncak dengan sinar perak lembut yang menghidupkan. Sejak fajar tadi, Sim Houw telah berlatih silat seorang diri di kebun belakang. Pemuda ini memang tekun sekali dan dalam waktu tiga tahun saja, di bawah bimbingan Kam Hong, dia telah menguasai inti dari Ilmu Pedang Suling Emas dan dibantu oleh Kam Hong menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dengan Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajarinya dari ayahnya. Biarpun Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari Kam Hong itu tentu saja tidak sehebat yang dikuasai calon mertuanya dan ilmu Koai-liong Kiam-sut juga tidak sehebat yang dikuasai ayahnya, namun penggabungan kedua ilmu ini benar-benar amat hebat sehingga dalam usianya yang baru sembilan belas tahun itu ilmu pedangnya tidak kalah kuat dibandingkan dengan ayahnya maupun calon ayah mertuanya.

Pendekar Kam Hong sejak pagi juga sudah bangun dan setelah berjalan-jalan ke atas puncak selama beberapa jam, kini dia duduk menikmati suasana pagi yang cerah itu di depan istana kuno seorang diri. Isterinya, Bu Ci Sian, sedang sibuk menyiapkan sarapan mereka di dapur.Gerakan dua bayangan orang itu sejak tadi sudah ditangkap oleh pandang mata pendekar Kam Hong dan diam-diam sambil duduk tenang menikmati burung-burung yang menyambut datangnya pagi dengan gembira, dia memperhatikan. Dia tidak tahu siapa adanya kedua orang itu, akan tetari melihat betapa mereka itu menyelinap dari pohon ke pohon, dan melihat pula gerakan mereka yang ringan dan cepat, Kam Hong sudah dapat menduga bahwa mereka berdua itu memiliki kepandaian tinggi dan tentu datang bukan dengan niat baik karena datangnya menyelinap seperti orang bersembunyi. Namun, dia tidak mau mengambil kesimpulan atau berprasangka, melainkan menanti dengan sikap tenang. Sejak kematian para pelayan tiga tahun yang lalu, dia tidak menggunakan tenaga pelayan lagi. Kini dia hidup bertiga saja bersama isterinya dan muridnya atau calon mantunya, cukup lihai untuk dapat melindungi dirinya sendiri. Dia tidak mau lagi membahayakan keselamatan orang lain dengan mempergunakan bantuan tenaga pelayan, karena dia tahu bahwa di sana banyak terdapat orang-orang dari golongan hitam yang memusuhinya dan memusuhi isterinya. Siapa tahu masih ada orang-orang yang mendendam kepada keluarganya dan kalau musuh datang selagi dia dan keluarganya tidak ada atau sedang lengah, tentu para pembantu atau pelayan yang akan tertimpa malapetaka. Dia tidak mau peristiwa menyedihkan itu terulang kembali. Oleh karena itulah maka melihat dua bayangan orang yang mencurigakan itu, dia bersikap tenang saja, diam-diam dia memperhatikan dan menduga-duga siapa gerangan mereka itu dan apa yang terkandung dalam hati mereka.

Dua orang itu agaknya kini dapat melihat pula pendekar yang duduk seorang diri di depan istana kuno itu dan mereka muncul dari balik pohon-pohon dan langsung kini melangkah lebar menghampiri Kam Hong. Pendekar ini sekarang dapat melihat mereka, dua arang pria muda yang bersikap gagah. Kam Hong memandangpenuh perhatian, merasa pernah melihat mereka, atau setidaknya seorang di antara mereka yang bertubuh pendek tegap dan bermuka putih tampan. Dia memperhatikan wajah mereka. Yang bertubuh pendek tegap itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya pesolek atau setidaknya rapi sekali, wajahnya cerah dan terhias senyum, sepasang matanya membayangkan kecerdikan, langkahnya tegap dan membayangkan tenaga sin-kang yang kuat. Orang ke dua lebih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, pakaiannya sederhana berwarna hijau, sikapnya pendiam dan alisnya berkerut, wajahnya diliputi keraguan dan kebimbangan, tidak seperti kawannya yang nampak tabah.

Kam Hong adalah seorang pendekar yang sudah mencapai tingkat tinggi. Biasanya, para datuk atau pendekar yang sudah tinggi tingkatnya, bersikap dingin dan memandang rendah kepada orang-orang muda. Akan tetapi Kam Hong adalah seorang sasterawan pula yang menjunjung tinggi kesusilaan dan sopan santun, maka begitu dua orang menghampirinya, dia bangkit berdiri dan menyambut mereka dengan sikap hormat.

“Dua orang sobat yang muda dan gagah perkasa, siapakah, dari mana dan kabar baik apakah yang ji-wi bawa?”

Melihat kegagahan dan keramahan orang yang berpakaian sasterawan ini si baju hijau cepat membalas dengan penghormatannya. Sikap Kam Hong ini saja sudah membuat hatinya terpukul dan dia menjadi kagum. Si baju hijau ini adalah Pouw Kui Lok, sedangkan si pendek tegap adalah Louw Tek Ciang. Seperti telah kita ketahui, kedua orang ini ditemukan oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu di kuil Kun-lun-pai yang mengangkat keduanya menjadi murid-murid dan dibawa ke Lembah Naga Siluman. Selama tiga tahun mereka digembleng oleh dua orang tokoh barat itu dan kini mereka datang ke puncak Bukit Nelayan sebagai utusan para tokoh keluarga Cu untuk menebus kekalahan mereka terhadap Kam Hong!

Begitu bertemu dengan Pendekar Suling Emas Kam Hond dan melihat sikapnya, Pouw Kui Lok segera merasa tunduk dan kagum, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar sakti yang rendah hati dan budiman. Biarpun dia maklum bahwa adalah menjadi tugas kewajibannya untuk menghadapi pendekar sakti ini sebagai lawan untuk berbakti kepada guru-gurunya, yaitu keluarga Cu sebagai balas budi mereka, namun dia sebagai seorang pendekar merasa ragu-ragu dan bimbang. Andaikata yang menjadi musuh guru-gurunya itu seorang penjahat, atau setidaknya seorang yang berwatak sombong, tentu tugasnya akan terasa ringan dan hatinya tidak diliputi keraguan lagi.

Berbeda lagi dengan apa yang terasa di hati Louw Tek Ciang. Orang ini sama sekali tidak memiliki jiwa pendekar walaupun pada lahirnya dia pandai sekali membawa diri dan berlagak seperti seorang pendekar sejati. Di dalam hatinya, begitu melihat pendekar yang pernah merobohkan dia dan gurunya ini, timbul suatu kebencian dan dendam yang besar. Ingin sekali dia dapat membalas dan kalau mungkin membunuh pendekar itu, bukan demi membalas hudi keluarga Cu yang sudah menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya, melainkan demi membalas dendamnya sendiri. Akan tetapi dia amat cerdik. Oleh Pouw Kui Lok yang kini menjadi sutenya karena mereka berdua sama-sama menjadi murid keluarga Cu, dia dikenal sebagai seorang yatim piatu yang berjiwa pendekar. Kui Lok tidak pernah dia ceritakan tentang keadaan dirinya, kecuali hanya bahwa dia adalah murid keturunan pendekar Pulau Es! Sama sekali dia tidak pernah bercerita bahwa dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok dan bersekutu dengan Hek-i Mo-ong menyerbu ke Bukit Nelayan. Maka kini, melihat betapa Kam Hong tidak mengenalnya, diapun diam saja dan pura-pura belum pernah bertemu dengan Kam Hong. Bahkan dia membiarkan Kui Lok untuk menjawab pertanyaan tuan rumah itu.

Karena suhengnya diam saja tidak menjawab, Pouw Kui Lok cepat membalas penghormatan tuan rumah dan dialah yang menjawab dengan suara lantang akan tetapi dengan sikap menghormat. “Apakah locianpwe yang bernama Kam Hong?”

“Benar orang muda, aku yang bernama Kam Hong.”

“Locianpwe, kami berdua adalah murid-murid dari Lembah Naga Siluman yang ditugaskan oleh para suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu untuk menebus kekalahan mereka dan menandingi locianpwe!” Berkata demikian, Pouw Kui Lok mencabut pedangnya diikuti pula oleh Louw Tek Ciang yang merasa girang bahwa Kui Lok tidak memperkenalkan nama. Memang pemuda baju hijau ini tidak memperkenalkan nama karena mereka datang bukan karena urusan pribadi melainkan hanya mewakili guru-guru mereka. Dan pula, Pouw Kui Lok yang merasa lebih kuat kalau menggunakan pedang, telah mendahului mencabut pedang. Dia mendengar bahwa lawannya ini adalah Pendekar Suling Emas yang biasa mempergunakan suling sebagai senjata, maka dia mendahului mencabut pedangnya untuk memaksa lawan bertanding dengan senjata. Pemuda inipun cerdik karena kalau mereka bertanding dengan tangan kosong, dia dapat membayangkan bahwa dalam hal tenaga sin-kang dan ilmu silat tangan kosong, agaknya dia bukan tandingan pendekar sakti yann tentu sudah lebih banyak pengalamannya itu. Tek Ciang yang biasanya mengandalkan tangan kaki dan ilmu-ilmu silatnya yang banyak macamnya, kinipun mempergunakan senjata pedang karena di Lembah Naga Siluman dia mempereleh latihan yang mendalam dalam ilmu pedang. Diapun sudah mengenal baik kehebatan pendekar itu, maka dia juga bersikap hati-hati sekali.

Kam Hong menarik napas panjang. Hatinya menyesal sekali mendengar bahwa dua orang muda yang gagah perkasa dan bersikap seperti pendekar-pendekar gagah ini ternyata datang sebagai musuh dan lawan. Apalagi mendengar bahwa mereka itu mewakili keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, dia semakin menyesal. Bagaimanapun juga, antara keluarga Pendekar Suling Emas, nenek moyangnya, dengan keluarga Cu sebetulnya terdapat hubungan yang amat dekat, mengingat bahwa mereka berasal dari satu sumber. Dan diapun tahu bahwa permusuhan keluarga Cu terhadap Suling Emas yang diciptakan oleh nenek moyang keluarga Cu ternyata jatuh ke tangan keturunan keluarga Kam. Dia merasa menyesal mengapa keluarga Cu demikian picik pandangan, demikian lemah batinnya sehingga mudah dikuasai iri dan dendam hanya karena dikalahkannya. Padahal, selain iri, tidak ada urusan lain yang membuat mereka harus barhadapan sebagai musuh.

“Aih, sobat-sobat muda yang baik. Sungguh merupakan kehormatan menerima kunjungan kalian dari tempat yang jauh, dan kehormatan itu akan disertai kegembiraan besar kalau sekiranya ji-wi datang sebagai sahabat-sahabat. Akan tetapi sayang, ji-wi datang dengan maksud mengajak bertanding. Mengapa keluarga Cu belum juga mau menghabiskan urusan kecil yang tidak ada artinya itu? Bagaimana kalau ji-wi pulang saja dan melaporkan kepada kedua orang locianpwe itu bahwa aku mengaku kalah dan menyampaikan permintaan maafku kepada mereka?”

Mendengar ucapan ini, seketika hati Pouw Kui Lok jatuh dan andaikata dia seorang diri yang mewakili keluarga Cu, tentu dia akan mundur teratur dan dengan senang hati menyampaikan pesan yang amat bijaksana itu. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pendekar yang begini rendah hati, padahal pendekar ini telah mengalahkan kedua orang gurunya, tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman. Bukan main! Akan tetapi, selagi dia meragu dan bimbang, tidak tahu harus bersikap bagaimana, Tek Ciang sudah menjawab dengan suara lantang.

“Tidak mungkin! Kami adalah utusan suhu dan sebagai murid-murid yang berbakti kami harus membalas budi kebaikan suhu dengan melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Hanya ada dua pilihan bagi kami, pertama, kalau kami kalah biarlah kami berdua tewas dalam melaksanakan tugas kami atau kalau locianpwe tidak mau melawan kami, locianpwe harus ikut dengan kami sebagai tawanan dan kami hadapkan kepada suhu kami untuk diambil keputusan.”

Kam Hong mengangguk-angguk. Jawaban yang singkat dan gagah. “Sobat-sobat muda, ketahuilah bahwa sesungguhnya antara Lembah Naga Siluman dan keluargaku tidak ada permusuhan apa-apa, hanya kekerasan hati guru-gurumu yang tidak mau menerima kekalahan dalam pertandingan yang sudah wajar. Karena itu, tidak mungkin kalau aku harus menghadap ke sana sebagai tawanan. Dan pertentangan antara guru-gurumu dengan akupun bukan merupakan permusuhan yang haus darah dan nyawa. Maka, biarlah aku yang sudah mulai tua dan malas ini membuka mata melihat kemajuan para muda masa kini. Akan tetapi, harap ji-wi suka memberitahukan nama ji-wi agar perkenalan ini menjadi lebih akrab.”

“Kami datang bukan untuk berkenalan, juga tidak membawa urusan pribadi, melainkan sebagai murid-murid Lembah Naga Siluman yang hendak menebus kekalahan. Karena itu, locianpwe tidak perlu mengetahui nama pribadi kami, cukup kalau mengetahui bahwa kami berdua adalah murid-murid dari suhu Cu Han Bu dan suhu Cu Seng Bu,” jawab Tek Ciang lagi mendahului sutenya. “Locianpwe, cabutlah suling emasmu itu dan ingin kami melihat sampai di mana kehebatan suling emas yang tersohor itu!” Sengaja Tek Ciang menambahkan untuk memanaskan hati pendekar itu dengan nada suara mengejek.

Sepasang alis Kam Hong berkerut, akan tetapi dia masih tenang saja. “Kalau ji-wi memaksa, apa boleh buat. Akan tetapi biarlah sulingku kupakai untuk meniup lagu-lagu merdu saja, tidak perlu kupakai untuk bertanding.”

Pada saat itu nampak berkelebat bayangan yang amat cepat dari dalam rumah dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang nyonya yang usianya sudah tiga puluh enam atau tujuh tahun, akan tetapi masih nampak jauh lebih muda daripada usianya. Nyonya ini sudah memegang sebatang suling emas kecil mungil dan mukanya nampak merah, matanya berkilat ketika ia memandang kepada dua orang laki-laki muda yang memandang kaget dan kagum akan kecepatan gerak wanita ini.

“Dua orang bocah banyak lagak! Murid-murid Lembah Naga Siluman mana ada yang tidak sombong? Guru-gurunyapun orang-orang yang kukuh, keras kepala dan sombong. Apakah kalian mengira akan mampu mengalahkan kami?”

“Nio-cu....!” Suaminya mencegah.

Akan tetapi Bu Ci Sian, nyonya itu, yang tadi sudah mendengar percakapan antara suaminya dan dua orang pendatang itu, sudah marah. “Kalian minta agar suamiku menjadi tawanan dan kalian bawa menghadap ke Lembah Naga Siluman? Huh, hal itu baru bisa terjadi kalau melalui mayatku. Majulah kalian!” Nyonya itu menggerakkan suling emasnya di tangan kanan dan terdengarlah suara suling itu melengking-lengking seperti ditiup dengan mulut! Nyonya itu nampak gagah sekali dan bagaimanapun juga, dua orang muda itu memandang dengan bengong dan jerih! Apalagi Tek Ciang sudah mengenal kelihaian wanita itu.

“Tidak....!” Tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dan menghalangi isterinya. “Nio-cu, ingatlah, mereka ini hanyalah orang-orang muda yang menjadi utusan saja. Dan yang ditantang oleh keluarga Cu adalah aku seorang, maka kalau memang mereka ini hendak mengadu kepandaian, biarlah dengan aku, bukan engkau. Mundurlah dan mari kita lihat apakah dua sobat muda ini dapat menandingi aku.” Setelah berkata demikian, Kam Hong meloncat ke depan menghadapi Kui Lok dan Tek Ciang. “Ji-wi, silahkan maju dan mari kita main-main sebentar.” Akan tetapi melihat betapa tuan rumah tidak mengeluarkan suling emasnya yang amat ditakuti, diam-diam Tek Ciang merasa lega. Kalau dia dapat memancing agar pendekar itu tidak mempergunakan suling, sungguh menguntungkan apabila mereka maju berdua menandinginya. Yang amat ditakuti adalah sulingnya itu.

“Sute, locianpwe ini tidak bersenjata, sebaiknya kalau kitapun tidak mempergunakan pedang kita,” kata Tek Ciang dan cepat diu menyarungkab pedangnya kembali. Bagi dia, bertangan kosong lebih lihai daripada berpedang, karena selama berada di lembah keluarga Cu, selain ilmu pedang, juga dia mempelajari ilmu-ilmu silat tangan kosong keluarga itu sehingga ilmu-ilmunya menjadi semakin banyak dan lengkap.

“Baik, suheng, memang demikianlah seharusnya agar adil,” kata Pouw Kui Lok. “Bahkan tidak enaklah kalau kita maju bersama melakukan pengeroyokan.”

Kam Hong kagum mendengar ucapan-ucapan mereka berdua yang menunjukkan kegagahan ini dan dia merasa semakin menyesal harus menghadapi dua orang gagah ini sebagai lawan. “Tidak apa, aku jauh lebih tua dan aku malu kalau harus menghadapi ji-wi satu demi satu. Majulah ji-wi bersama agar kita bertiga dapat main-main lebih gembira lagi.”

“Locianpwe, awas serangan!” Tek Ciang sudah menerjang dengan cepat, tidak mau memberi kesempatan kepada sutenya untuk bersungkan-sungkan lagi. Melihat suhengnya sudah menerjang maju, dan maklum pula betapa lihainya tuan rumah, Kui Lok juga bergerak menerjang sambil membentak nyaring. Kam Hong sudah menantang mereka agar maju bersama, maka diapun tidak ragu-ragu lagi membantu suhengnya.

Melihat gerakan dua orang muda itu yang cukup dahsyat, Kam Hong merasa kagum dan cepat dia mengelak dua kali untuk menghindarkan diri dari serangan mereka. Maklum bahwa kalau dua orang muda itu maju bersama maka kekuatan mereka akan dapat mengimbanginya, maka diapun tidak merasa sungkan lagi dan cepat membalas dengan tamparan kedua tangannya ke arah lawan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar, dan dua orang muda itu terkejut, akan tetapi dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang. Terjadilah serang-menyerang dan mula-mula Kui Lok dan Tek Ciang bertahan dengan ilmu silat yang mereka pelajari di Lembah Naga Siluman. Dari Bu-eng-sian Cu Seng Bu mereka memperoleh latihan gin-kang yang membuat tubuh mereka dapat bergerak cepat dan ringan, sedangkan dari Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas) mereka memperoleh ilmu-ilmu silat dan sin-kang. Akan tetapi, ternyata dengan ilmu slat yang mereka pelajari selama tiga tahun itu mereka sama sekali tidak mampu mendesak lawan, bahkan ketika Kam Hong membalas dengan ilmu silat Khong-sim Sin-ciang, mereka menjadi bingung dan kewalahan. Karena terdesak dan beberapa kali hampir terlanggar pukulan, tanpa disadarinya lagi, secara otomatis dua orang muda itu menggunakan gerakan-gerakan yang sudah mendarah daging pada diri mereka. Kui Lok segera mainkan jurus-jurus Kun-lun-pai yang sudah lebih lama dilatihnya sehingga lebih dikuasainya dibandingkan dengan ilmu silat baru yang dipelajarinya dari keluarga Cu.

“Wuuuuttt.... plakk!” Kam Hong terpaksa menangkis karena terkejut melihat jurus lihai dari Kun-lun-pai dan dia meloncat mundur.

“Eh, engkau murid Kun-lun-pai....?” tegurnya heran.

“Dahulu sebelum menjadi murid keluarga Cu, saya adalah murid Kun-lun....” jawab Kui Lok sejujurnya. Akan tetapi Tek Ciang sudah menerjang lagi, tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk bercakap-cakap. Dan tentu saja Kui Lok juga melanjutkan serangannya. Kam Hong mengelak dan menangkis.

“Akan tetapi.... aku tidak mempunyai permusuhan dengan Kun-lun-pai, bahkan bersahabat....”

“Tugas saya hanya menghadapi dan menandingi locianpwe tanpa membawa-bawa Kun-lun-pai, maka tentu saja saya menggunakan semua yang saya bisa untuk mencoba mengalahkan locianpwe,” kata Kui Lok sambil melanjutkan terjangannya.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Dia tidak senang kalau harus menghadapi ilmu Kun-lun-pai karena hal ini berbahaya, dapat menyeret Kun-lun-pai menjadi lawan pula. Dia sama sekali tidak tahu bahwa masuknya pemuda murid Kun-lun-pai ini menjadi murid keluarga Cu adalah atas persetujuan ketua Kun-lun-pai pula. Tiba-tiba Kam Hong mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang karena terjangan Kam Hong yang menggunakan jurus dari Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) dibarengi dengan gerengan Sai-cu Ho-kang membuat tubuh kedua orang muda itu tergetar dan terhuyung. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kam Hong untuk menubruk maju dan mengirim dorongan telapak tangan untuk menggulingkan kedua orang muda itu dan mengakhiri perkelahian. Akan tetapi tiba-tiba Louw Tek Ciang juga mendorongkan kedua tangannya menyambut, sedangkan Pouw Kui Lok menggunakan loncatan dari ilmu meringankan tubuh Kun-lun-pai, tubuhnya mencelat ke udara dan di situ dia berjungkir balik sampai lima kali, terhindar dari terjangan hebat tangan Kam Hong tadi.

“Dess....!” Tangan Tek Ciang menahan dorongan Kam Hong dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan Kam Hong merasa betapa hawa dingin yang dahsyat menerjangnya dari kedua telapak tangan Tek Ciang.“Ihhh....! Ini.... ini.... ilmu dari Pulau Es....?” katanya dengan mata terbelalak.

Tek Ciang tersenyum mengejek dan cepat dia menerjang ke depan, tubuhnya berjongkok rendah dan kedua tangannya mendorong ke depan. Tenaga dahsyat menyambar ke depan dan tercium bau amis dan dariperut pemuda itu keluar bunyi berkokok. Kam Hong terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti yang tangguh, maka menghadapi pukulan Hoa-mo-kang yang ampuh ini dia masih dapat menangkis sambil menghindar ke samping. Dia melanjutkan lompatannya ke belakang agak jauh dan mukanya berobah agak pucat.

“Tahan dulu! Apa artinya semua ini? Kalian bukan lagi menggunakan ilmu-ilmu Lembah Naga Siluman, melainkan menggunakan ilmu Kun-lun-pai dan Pulau Es! Dan pukulan tadi.... pukulan keji.... bukankah itu pukulan dari golongan sesat?”

“Harap locianpwe tidak banyak berbantah lagi. Kalau locianpwe takut, lebih baik menjadi tawanan dan kami bawa menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman. Kalau berani, ilmu apapun yang kami pergunakan, adalah hak kami untuk dapat menandingi locianpwe,” kata Tek Ciang.

“Memang tidak perlu berbantah, kalian ini bocah-bocah sombong harus dibasmi!” Bu Ci San meloncat ke depan dan memutar sulingnya. Akan tetapi kembali suaminya mencegahnya dan memegang tangannya.

“Jangan mencampuri. Aku tadi hanya merasa heran mengenal pukulan-pukulan Kun-lun-pai dan Pulau Es. Sungguh aku tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai, apalagi para pendekar Pulau Es. Sungguh mengherankan sekali bagaimana keluarga Cu dapat memperalat murid Kun-lun-pai dan murid keluarga Pulau Es. Aku menyesal sekali kalau harus bersalah paham dengan mereka. Dan mereka berdua ini masih muda, tidak enaklah bagi seorang tua seperti aku harus melawan yang muda....”

“Suhu, mohon perkenan suhu. Biarlah teecu yang mewakili suhu!” Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bertubuh kekar dan berpakaian sederhana, berusia sembilan belas tahun akan tetapi karena tubuhnya yang kekar dan tinggi besar, nampak lebih tua. Dia adalah Sim Houw, putera tunggal Sim Hong Bu, yang telah dipertunangkan dengan Kam Bi Eng dan kini berada di Istana Khong-sim Kai-pang untuk belajar ilmu dari calon mertuanya. Dia masih menyebut suhu dan subo kepada calon ayah dan ibu mertuanya dan selama ini dia telah dapat menguasai Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut dengan baik, bahkan mulai dapat menggabung Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut.

Gurunya memandang murid atau calon mantu ini dengan alis berkerut. “Houw-ji, kenapa engkau hendak mencampuri urusan ini?” tanyanya, dalam keadaan seperti itu dia ingin menguji dan mengenal isi hati calon mantunya itu.

“Suhu tadi mengatakan bahwa suhu merasa sungkan harus melawan orang muda yang tingkatnya adalah murid suhu. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kalau suhu mewakilkan kepada teecu sebagai murid suhu untuk menghadapi mereka, mewakili suhu. Bukankan mereka itupun datang hanya sebagai wakil, murid-murid yang mewakili suhu mereka? Jadi sudah sepatutnya kalau di sini suhu juga mewakilkan kepada teecu untuk menghadapi mereka.”

“Tidak, Houw-ji. Engkau tidak tahu. Mereka ini, yang seorang murid Kun-lun-pai dan seorang lagi murid keluarga para pendekar Pulau Es! Bagaimana mungkin aku akan menentang Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es?”

Sim Houw biasanya berwatak pendiam, pemberani dan jujur. Akan tetapi sekali ini agaknya dia tidak mau diam lagi karena tidak setuju dengan pendapat suhunya dalam menghadapi orang-orang yang memusuhi suhunya. “Maafkan teecu, suhu. Sekali ini terpaksa teecu menyatakan tidak dapat menyetujui pendapat suhu. Bukankah seorang pendekar tidak melihat asal-usul seseorang, melainkan melihat perbuatan dan sepak terjangnya? Biarpun murid Kun-lun-pai atau keluarga Pulau Es, kalau tindakannya tidak patut, sudah semestinya kita jadikan lawan, sebaliknya biar keturunan orang jahat, kalau tindakannya benar seyogianya kita jadikan kawan. Yang kita musuhi bukanlah perguruannya, melainkan perbuatan orang itu. Sebatang pohon belum tentu menghasilkan buah yang semuanya baik, tentu ada beberapa butir buah yang busuk. Baik buruknya seseorang mana bisa diukur dari perguruan atau keturunannya, suhu?”

Diam-diam Kam Hong merasa girang akan pendirian calon mantunya ini. Tentu saja diapun seorang pendekar sejati dan dia membenarkan pendapat ini. Memang tepat. Kalau keluarga Cu yang iri hati kepadanya dan memusuhinya kini mengirimkan murid, sepatutnyalah kalau diapun mengajukan muridnya untuk menghadapi murid Lembah Naga Siluman itu. Dan muridnya ini, dia tahu cukup boleh diandalkan. Biarlah hitung-hitung menguji kepandaian murid atau calon mantunya ini, dan kebetulan yang datang adalah lawan yang tangguh. Hanya dia merasacuriga kepada lawan yang pendek tegap ini karena lawan ini tadi menggunakan ilmu pukulan sesat yang amat berbahaya.

“Baiklah, kalau begitu coba kauhadapi murid Kun-lun-pai itu!” katanya dengan gembira karena dia ingin menguji kepandaian muridnya setelah tiga tahun memperdalam ilmu silatnya di situ.

Pouw Kui Lok yang tidak ingin menderita kekalahan, apalagi dari murid pendekar itu sudah mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan dia merasa lebih aman, karena selain dia memiliki ilmu pedang dari mendiang gurunya yang pertama yaitu Yang I Cin-jin, juga dia telah mempelajari ilmu pedang Kun-lun-pai yang hebat, dan di Lembah Naga Siluman diapun digembleng oleh keluarga Cu dengan ilmu pedang yang khas dari keluarga itu. Melihat lawannya mencabut pedang, Sim Houw tersenyum girang. Memang itulah yang dikehendakinya. Dia ingin mencoba ilmu pedangnya yang kini sudah merupakan ilmu pedang gabungan antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Maka diapun melolos pedangnya. Pedangnya itu tentu saja tidak sehebat Koai-liong Po-kiam milik ayahnya, atau tidak sehebat Suling Emas milik suhunya, akan tetapi juga bukan pedang sembarangan dan karena dia telah mahir menggabung kedua ilmu itu, maka pedangnya itu merupakan senjata yang amat ampuh.

“Silahkan!” tantangnya kepada Kui Lok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.“Sambutlah seranganku!” teriak Kui Lok dan dia mengelebatkan pedangnya, selanjutnya pedang itu diputar dan berobahlah pedang di tangannya itu menjadi segulung sinar yang tebal dan panjang. Sim Houw menggerakkan pedangnya menangkis dan terdengar suara nyaring ketika sepasang pedang bertenu, diikuti muncratnya bunga api. Mereka menarik pedang masing-masing dan merasa lega ketika memeriksa dan melihat bahwa pedang masing-masing tidak rusak. Mulailah mereka saling serang dengan pedang masing-masing dan semakim lama gerakan mereka semakin cepat, yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang yang membungkus bayangan kedua orang muda itu. Akan tetapi, di samping suara berdesingnya pedang, terdengar pula suara seperti tiupan suling dan ternyata pedang di tangan Sim Houw itulah yang mengeluarkan suara seperti itu!

Louw Tek Ciang hanya berdiri menonton. Dia merasa serba salah. Tak disangkanya bahwa pihak lawan mempunyai seorang murid yang demikian tangguhnya. Seingatnya, tiga tahun lebih yang lalu, keluarga Kam hanya mempunyai seorang anak gadis yang cantik dan dia merasa yakin akan mampu mengalahkan gadis itu tanpa banyak kesukaran. Kini, murid pendekar Kam itu demikian tangguh dan kalau sampai Kui Lok tidak mampu mengalahkannya, bagaimana dia akan dapat menang menghadapi Kam Hong sendirian saja? Belum lagi diperhitungkan isteri pendekar itu yang juga memiliki kepandaian lihai sekali! Mulailah dia merasa khawatir dan menyesal mengapa dia begitu bodoh menerima tugas barat ini berdua dengan Pouw Kui Lok saja. Mereka berdua boleh jadi kini sudah memiliki tingkat kepandaian yang sukar dicari tandingannya, akan tetapi kalau dihadapkan dengan keluarga Kam, masih terlampau berat lawan itu.

Bersambung ke buku 14