Si Tangan Sakti -2 | Kho Ping Hoo



Si Tangan Sakti -2 | Kho Ping Hoo
“Aku juga!” kata si muka hitam. Mereka berdua tadi bertanya apakah semua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik seperti nona ini, dan kalau begitu banyaknya gadis cantik di sana, tentu mereka merasa tidak enak kalau bertemu mereka dalam keadaan sekotor itu.

Gadis itu tersenyum dan nampak deretan giginya berkilauan. “Jangan khawatir. Sebelum tiba di sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih dan Ji-wi (Anda Berdua) dapat membersihkan diri di sana.”

Berangkatlah tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata mengambil jalan membelok ke kiri memasuki hutan! Dan gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan cepat, diikuti oleh tiga orang itu yang tidak berani mengambil jalan menyimpang, melainkan mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu. Dengan hati ngeri mereka melihat betapa gadis itu melewati kubangan lumpur seperti tadi yang lebih luas, dan begitu saja gadis itu melangkah masuk ke dalam kubangan lumpur, akan tetapi setelah mereka perhatikan, ternyata kaki gadis itu menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat bagian yang keras karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di permukaan. Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.

Setelah melewati hutan itu, tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil yang airnya jernih dan di dekat situ terdapat pula air terjun kecil yang bersih pula airnya. Seperti berebut, si muka hitam dan si gendut segera mandi di bawah air terjun, membersihkan badan dan pakaian dari lumpur. Untung bahwa buntalan pakaian bekal mereka dibungkus kain tebal yang tidak tembus air, maka pakaian mereka dalam buntalan itu tidak kotor, hanya pembungkusnya saja yang kotor dan kini, mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus yang kotor itu.

Sementara menanti kedua orang adiknya mandi dan mencuci pakaian, si tinggu kurus yang berkumis tipis duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih. Tidak banyak keterangan yang bisa dia dapatkan dari gadis itu. Gadis itu hanya menceritakan bahwa pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebutkan siapa namanya, mengundang orang-orang gagah di dunia persilatan untuk berkenalan dan diajak bekerja sama dalam perjuangan menentang penjajah.

“Aku tidak boleh banyak bicara, dan nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan diberi kesempatan berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih jelas.” demikian katanya mengakhiri keterangannya.

“Akan tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dahulu dipimpin oleh orang-orang yang menamakan diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw. Kemudian, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai sudah hancur dan mati. Bagaimana sekarang tiba-tiba ada pimpinan Pao-beng-pai yang mengundang orang-orang kang-ouw? Jangan-jangan kami datang hanya untuk dicaci-maki dan dimusuhi, dihina seperti yang telah kami derita tadi.” Dia menunjuk ke arah dua orang adiknya yang sedang membersihkan diri di bawah pancuran air terjun.

Gadis itu kembali tersenyum. “Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberitahu bagaimana kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang? Memang, daerah kami merupakan daerah berbahaya dan kalau orang memasukinya tanpa persetujuan kami, akan menghadapi bahaya. Tadi kami masih belum mengenal Sam-wi, baru setelah Sam-wi memperkenalkan diri, maka aku sengaja datang menjemput Sam-wi. Maafkan kalau Sam-wi menghadapi kesukaran tadi.”

Si tinggi kurus menghela napas panjang. “Sudahlah, bagaimanapun juga kami yang bersalah karena tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan. Apakah para undangan yang lain sudah tiba dan sudah mendapat jemputan?”

“Sudah banyak yang datang, dan masih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini.”

Dua orang yang membersihkan diri kini sudah selesai dan sudah siap. Gadis itu menahan senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini mengenakan pakaian yang bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi dan nampak lebih berkilau karena mereka mempergunakan minyak. Mereka kini berlagak dengan lirikan dan senyum yang dibuat-buat, seperti biasa lagak pria kalau berhadapan dengan wanita cantik. Si tinggi kurus yang tidak berwatak mata keranjang seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan cemberut.

Mereka melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya merupakan sambungan dari jurang yang tadi. Akan tetapi seberang sana tidak sejauh tadi, walaupun masih tidak mungkin diloncati orang walau memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Jurang itu lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter dan dalamnya tidak dapat diukur.

“Wah, kita terhalang jurang lagi,” kata si gendut.

“Tentu ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?” tanya si kulit hitam.

Gadis itu menggeleng kepala dan memandang ke seberang sana. “Tidak ada jalan lain. Inilah jalan satu-satunya.”

“Maksudmu, Nona?” Si tinggi kurus bertanya heran.

“Menyeberangi jurang ini.” kata gadis itu dengan sikap tenang.

Tiga orang yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang dan terbelalak. “Akan tetapi, siapa yang akan mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?” tanya si gendut tanpa malu-malu lagi.

“Tidak meloncati, melainkan menyeberang.”

“Tapi, bagaimana mungkin? Tidak ada jembatannya....” kata pula si muka hitam.“Tunggu dan lihat sajalah,” kata gadis itu yang agaknya tidak sabar menghadapi dua orang laki-laki yang banyak bertanya dan gelisah itu.

Gadis berpakaian putih itu mengeluarkan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari tangannya, lalu meniup benda itu. Terdengar bunyi melengking nyaring dengan irama tertentu, lalu ia menghentikan tiupannya dan menyimpan kembali sempritannya. Tak lama kemudian, dari seberang terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban. Kemudian, dari balik sebatang pohon besar yang tumbuh di seberang sana, muncul seorang gadis cantik yang berpakaian serba kuning. Gadis itu memegang sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu membidik.

“Singgg.... wirrrrr....!” Anak panah itu meluncur ke seberang sini dan ternyata pada ekor anak panah diikatkan sebatang tali sebesar ibu jari kaki. Ketika anak panah meluncur ke arah dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap tenang sekali hanya miringkan tubuhnya dan tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor ular mematuk. Tiat-liong Sam-heng-te memandang kagum dan baru mereka percaya bahwa gadis berpakaian putih ini bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang cukup lihai. Gadis itu mengikatkan tali pada batang pohon besar dan dari seberang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat. Mereka melihat betapa tali itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan kuat namun mengait kendur sehingga dari seberang sana dengan mengendurkan tali dan melambungkannya, maka kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat ditarik ke seberang sana.

“Nah, kita menyeberang melalui jembatan tali ini,” kata gadis pakaian putih.

“Wah-wah-wah, jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!” kata si gendut. Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi namun belum pernah dia mencoba untuk berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri dari sehelai tali sebesar ibu jari kaki, di atas jurang yang dalamnya tak dapat diukur! Sekali saja kaki meleset atau tali itu putus, maka sudah dapat dipastikan nyawa akan melayang ketika badan akan terbanting hancur di dasar jurang!

Gadis itu tersenyum mengejek. “Siapa bilang main-main dengan nyawa? Kami sudah ratusan, bahkan ribuan kali menyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada yang kehilangan nyawanya. Justeru tempat ini merupakan ujian bagi para pengunjung. Yang tidak mampu menyeberang dengan tali ini, berarti tidak pantas untuk menjadi tamu Pao-beng-pai.” Setelah berkata demikian, ia lalu melompat dan seperti seekor burung saja, kedua kakinya hinggap di atas tali. Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia sempat membalik dan berkata. “Marilah, Sam-wi, silakan menyeberang.” Setelah berkata demikian, ia pun lalu melangkah ke depan dan berjalan dengan enaknya seperti berjalan di atas jembatan besi yang lebar saja.

“Jangan membikin malu saja.” kata si tinggi kurus dan dia pun meloncat ke atas tali dengan gerakan ringan. Si muka hitam juga melangkah dan diikuti oleh si gendut. Mereka bertiga adalah orang-orang kang-ouw yang sudah menguasai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan, maka sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar bagi mereka. Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apalagi tali itu direntang di atas jurang yang teramat dalam, tentu saja mereka merasa tegang sekali.

Setelah mereka semua tiba di seberang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu kini berubah menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut, jelas masih nampak gemetar kedua kakinya. Walaupun wajahnya tersenyum dan diperlihatkan ketenangan dan kegagahan, namun jelas kedua kaki itu menggigil! Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang walaupun tadi dia sempat berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah jurang, membayangkan kalau-kalau sampai terjatuh.

Setelah tiba di seberang, sekali ayun tali itu terlepas dari kaitannya di seberang sana dan gadis berpakaian kuning itu menggulung kembali talinya. Tiga orang itu melihat bahwa gadis berpakaian serba kuning ini pun masih muda dan cantik sehingga si muka hitam dan si gendut menjadi semakin gembira. Kalau Pao-beng-pai memiliki perajurit seperti ini semua, tanpa ditanya lagi mereka siap untuk menjadi sahabat!

“Nona, kalau tidak ada orang yang mengaitkan tali di seberang sana, lalu bagaimana kalian dapat menyeberang?” tanya si tinggi kurus.

Kini si pakaian kuning tersenyum dan nampak sekilas giginya yang putih dan rapi. “Tentu saja kami mempunyai suatu cara, akan tetapi hal itu merupakan rahasia kami.” Ia saling pandang dengan yang pakaian putih, lalu keduanya tersenyum geli.

“Marilah, Tiat-liong Sam-heng-te, silakan mengikuti kami menghadap pimpinan kami.” kata si baju putih.

Mereka melanjutkan perjalanan, si baju putih berjalan di depan, diikuti tiga orang tamu itu, dan si baju kuning berjalan di belakang. Tak lama kemudian, nampaklah gedung besar yang tadi kelihatan oleh si tinggi kurus dari puncak pohon.

Tiga orang itu tercengang. Dari atas pohon tadi, mereka sudah melihat bahwa sarang Pao-beng-pai merupakan gedung besar yang megah. Akan tetapi setelah dekat, baru mereka melihat dengan jelas. Pekarangan depan yang luas, dan di luar pagar nampak hamparan rumput yang luas dan terawat baik. Taman bunga yang indah, pohon-pohon yang terawat dan gedung yang bersih dan seperti istana!

Kalau tadi, dari atas pohon, mereka tidak melihat seorang pun di situ, begitu mereka muncul, bagaikan semut saja, nampak pasukan-pasukan kecil yang berbaris rapi. Ada yang terdiri dari pria yang bertubuh kokoh, berpakaian seragam abu-abu, ada pula yang seragamnya hitam, ada yang biru. Namun, para perajurit itu bertubuh kokoh kuat dan dari langkah mereka, jelas nampak bahwa mereka itu berdisiplin.

Ketika Tiat-liong Sam-hengte memasuki pekarangan, bermunculan penjaga-penjaga yang berpakaian abu-abu, berkelompok di pintu gerbang, di pekarangan dan di pendapa bagian luar gedung itu. Mereka berdiri dengan sikap tegak seperti arca, dan ketika tiga orang tamu itu lewat, mereka memberi hormat kepada gadis berpakaian putih seperti perajurit memberi hormat kepada seorang yang lebih tinggi pangkatnya. Tiga orang itu pun dapat menduga bahwa gadis baju putih yang menjemput mereka itu bukan seorang perajurit rendahan, melainkan seorang perwira pula.

Setelah tiba di pendapa, gadis baju putih berkata, “Pertemuan belum dimulai dan para tamu yang sudah datang dipersilakan untuk berada di ruangan tamu yang berada di bangunan darurat sebelah kiri. Mari, kita persilakan Sam-wi menunggu pula di sana seperti para tamu lain.”

Tiat-liong Sam-hengte hanya mengangguk. Begitu memasuki gedung seperti istana itu, mereka telah kehilangan wibawa. Gedung itu memang megah, dengan perabot-perabot yang pantasnya berada di istana kaisar atau pangeran. Juga adanya pasukan penjaga yang demikian tertib dan penuh wibawa, membuat mereka diam-diam merasa jerih dan maklum bahwa mereka memasuki sarang sebuah perkumpulan yang besar dan kuat.

Kiranya di sebuah ruangan yang amat luas, yang agaknya sengaja dibangun untuk keperluan itu, telah berkumpul banyak sekali tamu. Dengan girang Tiat-liong Sam-hengte mengenal beberapa orang segolongan, yaitu orang-orang kang-ouw yang terhitung golongan hitam atau golongan sesat. Mereka melihat ada orang Pek-lian-kauw, orang-orang Pat-kwa-pai, dan tokoh-tokoh sesat yang terkenal. Tentu saja mereka merasa seperti ikan yang dilepas di air, merasa cocok dan senang, apalagi di ruangan itu, para tamu yang dipersilakan menunggu tibanya saat pertemuan, mendapat hidangan arak dan kue serba melimpah. Setelah gadis baju putih mempersilakan mereka masuk, tiga orang Naga Besi ini segera bertemu dan bercakap-cakap dengan akrab bersama orang-orang yang telah mereka kenal. Dan di ruangan ini, mereka baru mendapatkan keterangan dari para tamu siapa orang-orang yang berdiri di belakang Pao-beng-pai ini.

Pao-beng-pai yang kini berdiri lagi dengan kokoh kuatnya ini merupakan perkumpulan yang tadinya telah mati karena dihancurkan pasukan pemerintah, seperti banyak perkumpulan lain yang memberontak terhadap Kerajaan Ceng (Mancu). Muncul seorang yang gagah perkasa dan dialah yang mengumpulkan kembali bekas anak buah Pao-beng-pai, mempergunakan uang untuk menghimpun tenaga-tenaga baru sehingga Pao-bengpai bangkit kembali dan kini bahkan menjadi perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat daripada dulu.

Tokoh itu bernama Siangkoan Kok, seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah seperti tokoh Kwan In Tiang dalam dongeng Sam Kok. Dia mengaku sebagai keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng yang telah jatuh oleh orang-orang Mancu. Tentu saja tidak ada bukti-bukti bahwa dia keturunan kerajaan yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu, akan tetapi karena dia kaya raya, dan berilmu tinggi, maka orang-orang yang ditarik menjadi anggauta Pao-beng-pai percaya saja.Di samping harta kekayaan yang amat banyak, yang tidak seorang pun mengetahui dari mana datangnya dan menurut Siangkoan Kok harta benda itu adalah peninggalan keluarga Kaisar Beng, tokoh ini pun memiliki kepandaian silat yang hebat. Banyak sudah jagoan yang tadinya menentangnya, banyak tidak percaya akan kepemimpinannya, jatuh di tangannya dan banyak yang menaluk lalu menjadi pembantunya dengan imbalan yang cukup besar sehingga kedudukannya semakin kuat dan Pao-beng-pai semakin terpandang karena di situ berkumpul banyak tokoh yang berilmu tinggi.

Siangkoan Kok mempunyai seorang isteri yang selain cantik, Juga lihai bukan main. Isterinya itu bernama Lauw Cu Si berusia empat puluh lima tahun. Ia pun terkenal karena mengaku sebagai keturunan keluarga pimpinan Beng-kauw, sebuah perkumpulan tokoh-tokoh sesat yang pernah menjagoi dunia kang-ouw. Kalau Siangkoan Kok disebut “pangcu” (ketua), maka isterinya, Lauw Cu Si ini memerintahkan semua anak buahnya agar menyebutnya “toanio” (nyonya besar).

Masih ada lagi seorang tokoh dalam keluarga pimpinan Pao-beng-pai, yaitu seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita namun tidak kalah lihainya dibandingkan ayah ibunya, yaitu ketua Pao-beng-pai dan isterinya itu. Namanya adalah Siangkoan Eng, ayah ibunya menyebutnya Eng Eng. Akan tetapi semua anak buah Pao-beng-pai diharuskan menyebutnya Sio-cia (Nona) saja tanpa sebutan lain. Gadis yang cantik, anggun dan dingin inilah yang pernah dengan berani mendatangi pesta tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong dan menantang untuk mengadu ilmu silat.

Keluarga ini menguasai atau lebih tepat lagi membangun kembali Pao-beng-pai lima tahun yang lalu. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, ayah, ibu dan anak yang ketika itu baru berusia delapan belas tahun, berhasil membangkitkan Pao-beng-pai menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Anak buah mereka tidak kurang dari seratus orang, akan tetapi rata-rata anak buah ini memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh karena selain para anggauta itu dipilih, juga mereka dilatih ilmu silat selama lima tahun ini. Lebih dari separuh jumlah itu adalah anggauta pria, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok seragam abu-abu dan kelompok berseragam hitam-hitam yang tingkatnya lebih tinggi daripada yang abu-abu. Adapun sisanya, empat puluh orang, terdiri dari gadis-gadis yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, rata-rata cantik dan mereka ini digembleng secara khusus sehingga merupakan pasukan yang lihai, lebih lihai dibandingkan para anggauta pria. Para anggauta wanita ini memiliki dua tingkat pula, yang pertama adalah mereka yang berpakaian putih-putih, hanya terdapat empat orang diantara mereka sebagai pimpinan, selebihnya dibagi menjadi pasukan yang berseragam hitam, kuning, dan biru.

Para anggauta yang seratus orang lebih jumlahnya itu masih muda-muda dan tidak ada yang lebih dari tiga puluh tahun usianya. Dan mereka itu tertib dan berdisiplin sekali, karena Pao-beng-pai mempunyai peraturan yang amat keras. Mereka itu mendapat upah yang besar, hidup serba kecukupan, akan tetapi mereka harus taat akan semua peraturan dengan ancaman hukuman berat kalau mereka melanggar. Di antara peraturan itu terdapat suatu ketentuan bahwa selama mereka masih menjadi anggauta Pao-beng-pai, mereka tidak diperbolehkan menikah! Juga bagi para anggauta wanitanya, selain tidak boleh menikah, tidak boleh pula melahirkan anak.

Dapat dibayangkan apa akibatnya dengan adanya peraturan ini. Para anggauta itu adalah orang-orang yang sudah dewasa, maka peraturan ini tentu saja amat menyiksa dan karena mereka merasa sayang kehilangan kemewahan yang mereka nikmati sebagai anggauta Pao-beng-pai, juga karena mereka takut akan ancaman hukuman, mereka pun tidak ada yang berani melanggarnya. Akan tetapi, larangan itu hanyalah larangan menikah bagi semua anggauta, dan larangan melahirkan bagi anggauta wanita. Akibatnya, untuk menyalurkan kebutuhan berahi mereka, terjadilah hubungan gelap yang tidak wajar, bahkan kadang jahat. Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi bagi orang awam, maka banyak di antara para anggauta pria mempunyai kekasih di luar, bahkan ada pula yang melakukan perkosaan terhadap para wanita di dusun-dusun yang berada di luar daerah Ban-kwi-kok, yaitu yang berada di lereng dan kaki Gunung Setan. Juga para anggauta wanita yang tidak lagi dapat menahan gejolak nafsu mereka, diam-diam menjalin hubungan gelap dengan sesama anggauta yang pria, atau mempunyai kekasih gelap yang mereka pilih dari para penduduk dusun. Tentu saja para wanita ini berusaha agar jangan sampai hamil sebagai hubungan gelap itu.

Mereka adalah orang-orang dari golongan sesat, maka perbuatan semacam itu mereka anggap wajar saja. Maka, tersohorlah nama Pao-beng-pai sebagai perkumpulan yang amat ditakuti oleh penduduk di pegunungan itu.

Siangkoan Kok dan anak isterinya tentu saja tahu akan perbuatan anak buah mereka, namun mereka ini bersikap tidak peduli. Selama para anggauta tidak melanggar peraturan dan larangan, cukuplah. Selain itu, Siangkoan Kok yang biarpun kaya raya namun harus mengeluarkan biaya besar untuk perkumpulannya, segera mengambil tindakan untuk mendatangkan dana. Caranya adalah menundukkan dan menalukkan semua gerombolan penjahat di kota-kota dan dusundusun sekitar Kui-san, memaksa mereka mengakui kekuasaan Pao-beng-pai. Yang membangkang dihancurkan, dan yang taluk diharuskan membayar semacam “upeti” setiap bulan. Bahkan Pao-bengpai menguasai banyak tempat perjudian dan pelacuran di berbagai kota, dan dari penghasilan semua itulah keuangan Pao-beng-pai menjadi kuat. Semua sepak terjang Pao-beng-pai selalu digembar-gemborkan sebagai suatu usaha untuk perjuangan, yaitu menghancurkan pemerintah penjajah Mancu dan membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu!

Mingkin orang lain akan menganggap bahwa, cita-cita Siangkoan Kok terlalu tinggi, bahkan mimpinya terlalu muluk. Namun, Siangkoan Kok berusaha sungguh-sungguh dan kini dia mulai hendak mendekati semua golongan untuk diajak bekerja sama. Kalau dia berhasil, maka usahanya itu akan menjadi bahaya yang cukup besar bagi pemerintah Mancu. Dia mengirim undangan ke seluruh penjuru, mengundang semua pihak yang merasa tidak rela tanah air dan bangsa dijajah orang Mancu, untuk berkunjung ke Ban-kwi-kok di Gunung Setan dan mengadakan pertemuan besar.

Pada hari itu, banyak sekali tamu berdatangan, mengunjungi sarang Pao-beng-pai. Seperti juga halnya Tiat-liong Sam-hengte, para pengunjung itu tercengang dan kagum. Mereka itu setelah tiba di perbatasan wilayah Pao-beng-pai, disambut oleh seorang murid Paobeng-pai dan diantar sampai ke gedung yang megah seperti istana itu. Di sepanjang perjalanan ini saja mereka melihat kenyataan betapa tempat itu merupakan sebuah tempat pertahanan yang sukar diserang musuh, berbahaya dan penuh jebakan alam.

Tidak kurang dari seratus orang wakil dari pelbagai golongan datang sebagai tamu pada hari itu. Bukan hanya dari perkumpulan-perkumpulan yang terkenal sebagai anti pemerintah Mancu seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, akan tetapi juga dari gerombolan orang-orang sesat, bahkan ada pula golongan pendekar yang datang berkunjung. Mereka ini pada umumnya merasa tertarik dan ingin mengenal Pao-beng-pai lebih dekat karena mereka merasa heran mendengar bahwa perkumpulan yang sudah mati itu kini bangkit kembali. Kalau golongan para pendekar ini datang untuk mencari tahu, sebaliknya mereka yang datang dari golongan sesat tentu saja datang untuk melihat apakah di situ terdapat harapan bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan besar. Tanpa keuntungan bagi mereka, golongan sesat ini tentu saja tidak sudi melelahkan diri.

Karena undangan itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, melainkan undangan untuk umum, yaitu para tokoh dunia persilatan, maka bermacam orang yang datang berkunjung. Asalkan dia merasa bahwa dirinya termasuk golongan dunia persilatan, ikut pula datang, walaupun tingkat ilmu silat mereka itu masih jauh daripada pantas untuk menghadiri pertemuan seperti itu.

Siangkoan Kok memang pandai mengambil hati orang. Sebelum pertemuani dimulai, sebelum dia keluar menemui para tamu, mereka itu telah disuguhi arak dan anggur yang baik, makanan yang lezat. Setelah menjelang tengah hari, dihidangkanlah makan siang yang amat royal. Berpestalah para tamu itu, melebihi pesta pernikahan atau pesta lain. Daging segala macam binatang berlimpah ruah, guci arak tak pernah kosong, dan masakan-masakan termahal dihidangkan. Banyak di antara para tamu yang tercengang dan terheran melihat masakan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Setelah selesai makan siang, barulah Siangkoan Kok bersama isterinya dan puterinya muncul! Memang aneh, akan tetapi cara seperti ini amat menyenangkan para tamu. Tadi mereka dijamu hidangan yang royal tanpa merasa sungkan karena pihak tuan rumah hanya mewakilkan kepada para gadis cantik yang menjadi anggauta Pao-beng-pai. Para gadis cantik itu melayani para tamu sambil tersenyum manis dan bersikap ramah, bahkan mereka tidak menjadi marah kalau di antara para tamu ada yang mencoba menggoda mereka dengan ucapan yang kadang membikin merah wajah para pendekar yang juga hadir di situ. Hal ini saja menunjukkan betapa taatnya para anggauta Pao-beng-pai. Biasanya, para anggauta wanita itu merupakan orang-orang yang galak. Bukan mustahil mereka ini membunuh seorang pria yang berani menggoda mereka, kalau mereka tidak menyukai pria itu. Akan tetapi, dalam melayani para tamu itu, mereka tidak pernah marah, bahkan tidak berani marah karena mereka sudah dipesan oleh ketua mereka agar melayani para tamu baik-baik dan manis, dan dilarang untuk bersikap keras terhadap mereka.

Dalam suasana gembira dan puas makan minum sampai kenyang, para tamu menyambut munculnya Siangkoan Kok dengan tepuk tangan. Ketua Pao-beng-pai itu muncul sambil tersenyum, namun sikapnya yang gagah berwibawa membuat semua orang memandang kagum dan segan. Orang tinggi besar dan gagah ini memang tidak terkenal di dunia persilatan, namun namanya secara tiba-tiba menjulang tinggi ketika dia membangun kembali Pao-beng-pai dan kabar angin menyiarkan betapa ketua ini dan anak isterinya memiliki ilmu kepandaian yang hebat!

Siangkoan Kok memang gagah. Tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kuat seperti batu karang, wajahnya yang tampan gagah itu berwibawa dan keningratan, langkahnya mantap dan gagah seperti seekor singa, sebatang pedang tergantung di pinggang dan pakaiannya rapi dan terbuat dari sutera mahal walaupun tidak berkesan mentereng. Rambutnya tidak dikuncir, melainkan digelung dan diikat ke atas. Ini saja merupakan tanda bahwa dia tidak mentaati peraturan pemerintah Mancu bahwa semua pria diharuskan menguncir rambutnya! Usianya sekitar lima puluh lima tahun.

Di samping kirinya melangkah seorang wanita yang usianya empat puluh lima tahun, namun masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dengan pinggang ramping. Sepasang mata wanita ini jeli dan bersinar tajam, mulutnya selalu dihias senyum yang membayangkan kebanggaan, seperti senyum seorang puteri kerajaan yang menyadari akan kekuasaannya, kemuliaannya dan kecantikannya. Ia adalah Lauw Cu Si, isteri ketua Paobeng-pai yang oleh para anggautanya selalu disebut Toanio. Semua mata memandang kagum karena wanita ini memang pantas untuk menjadi seorang wanita bangsawan tinggi.

Akan tetapi yang paling menarik perhatian semua tamu adalah gadis yang melangkah perlahan di belakang suami isteri itu. Gadis ini memang merupakan tontonan yang amat menarik hati. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun, pakaiannya lebih mewah daripada pakaian ibunya. Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil penuh permata berkilauan. Wajah itu cantik jelita, anggun, akan tetapi amat dingin. Pandang matanya lebih banyak menunduk, akan tetapi kalau ia mengangkat muka dan sinar matanya menyambar, banyak orang merasa ngeri karena sinar mata itu mencorong seperti mata seekor naga. Di punggung gadis ini nampak sebatang pedang beronce merah, dan tangan kirinya memegang sebuah hud-tim berbulu merah. Kebutan pendeta ini sungguh membuat orang merasa heran. Bagaimana seorang gadis cantik membawa sebuah kebutan yang biasanya dibawa oleh seorang pendeta? Gadis ini adalah Siangkoan Eng, gadis yang pernah menggemparkan pesta pertemuan tiga keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng Liong.

Di belakang ayah ibu dan anak ini berjalan dengan sikap hormat empat orang gadis yang berpakaian serba putih, yaitu empat orang gadis yang merupakan pimpinan dari semua anggauta wanita dari Pao-beng-pai. Mereka ini dapat juga dianggap sebagai murid-murid yang paling pandai dari Siangkoan Kok dan isterinya, dan tingkat kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kepandaian Siangkoan Eng yang oleh para anggautanya disebut Siocia atau Nona.

Setelah para tamu bertepuk tangan menyambut munculnya keluarga tuan rumah, Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya mengambil tempat duduk yang sudah disediakan, yaitu di sudut yang agak lebih tinggi dari lantai ruangan luas itu sehingga semua tamu dapat melihat mereka. Dengan isyarat tangannya, Siangkoan Kok mempersilakan para tamu untuk duduk, dan seorang di antara empat wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang keluarga itu, kini berseru dengan suaranya yang merdu dan lantang sekali karena diteriakkan dengan pengerahan khi-kang.

“Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat. Pangcu kami mempersilakan Cuwi untuk duduk dan diharap agar masingmasing memperkenalkan diri, sebutkan nama, dari perkumpulan atau aliran mana, dan bertempat tinggal di mana.”

Semua tamu saling pandang dan ada di antara mereka yang merasa kurang senang. Betapa angkuhnya sikap tuan rumah ini. Seperti seorang raja saja! Akan tetapi sebagian besar di antara mereka segera memperkenalkan diri. Satu demi satu, kepala rombongan para tamu memperkenalkan nama, nama perkumpulan yang diwakilinya, dan tempat tinggal mereka. Dengan cara demikian, bukan saja tuan rumah mengenal siapa tamu-tamunya, dan seorang gadis berpakaian putih sibuk menuliskan nama-nama dari para tamu yang memperkenalkan diri. Lebih dari delapan puluh orang sudah memperkenalkan diri, mewakili tiga puluh perkumpulan atau rombongan. Mereka adalah orang-orang dunia kang-ouw yang sebagian besar dari golongan sesat. Tinggal dua puluh orang lebih yang masih belum memperkenalkan diri karena mereka ini termasuk mereka yang menganggap sikap tuan rumah itu sombong dan angkuh. Melihat kenyataan ini, gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya, kembali bangkit berdiri dan berteriak dengan suaranya yang lantang.

“Harap para tamu lain yang belum memperkenalkan diri, suka memperkenalkan diri secepatnya agar perkenalan ini dapat segera selesai!”

Di antara tiga puluh orang lebih itu, terdapat wakil-wakil dari partai persilatan yang besar. Dua orang murid Siauw-lim-pai, dua orang murid Go-bi-pai, dua orang murid Bu-tong-pai dan dua orang murid Kun-lun-pai. Empat perkumpulan besar ini telah memiliki nama besar di dunia persilatan dan mereka memiliki murid-murid yang pandai dan yang terkenal sebagai golongan pendekar. Untuk menjaga kebesaran nama partai masing-masing, delapan orang yang sudah saling pandang dan dari pandang mata mereka saja mereka maklum bahwa mereka berpendapat sama, maka mereka pun diam saja di tempat duduk mereka, tidak memperkenalkan diri dan akan melihat perkembangan selanjutnya. Sisa dari mereka yang belum memperkenalkan diri nampaknya ragu-ragu karena mereka pun bersandar kepada sikap para wakil empat partai besar itu. Untuk berdiam diri seperti mereka delapan orang itu, mereka merasa tidak enak juga. Mereka adalah tamu-tamu yang diundang dan pihak tuan rumah telah menjamu mereka secara royal sekali. Kalau sekarang tuan rumah bersikap angkuh dan minta mereka memperkenalkan diri, tentu saja mereka merasa sungkan untuk tidak melakukan itu. Akan tetapi kalau melakukannya juga, berarti mereka telah merendahkan diri kepada pimpinan Pao-beng-pai yang belum mereka kenal orang-orang macam apa adanya mereka itu.

Tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bulat, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawannya. Mereka agaknya mewakili pula satu rombongan, dan si muka bulat itu lalu berkata, suaranya tidak kalah lantang dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya.

“Kami bertiga mewakili sebuah perguruan silat, dan sebelum memperkenalkan diri, kami ingin memrotes cara perkenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang, bukan orang-orang yang diperintah untuk datang menghadap. Karena itu, kami menolak cara perkenalan seperti ini, dan menuntut agar pihak tuan rumah lebih dahulu memperkenalkan diri, baru kami akan memperkenalkan diri kami!” Agaknya ucapan yang gagah ini disetujui oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri, bahkan para wakil empat partai besar mengangguk-angguk dan tersenyum. Hati mereka tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana sikap tuan rumah. Semua orang memandang ke arah tempat duduk tuan rumah. Akan tetapi ketua Pao-beng-pai itu, isterinya, dan puterinya bersikap tenang dan acuh, seolah-olah tidak terjadi sesuatu dan mereka menyerahkan saja kepada gadis berpakaian putih yang mewakili Siangkoan Kok bicara.

Gadis berpakaian putih itu dengan sinar matanya yang tajam memandang kepada si muka bulat, juga ia melihat sikap mereka yang belum memperkenalkan diri.

“Kami melihat betapa para tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya setuju dengan usul saudara yang baru berbicara. Baiklah kalau begitu, kami akan memberi penjelasan. Ketua kami telah menyambut Cu-wi (Anda Sekalian) dengan penuh kehormatan dan keramahan. Cu-wi dijemput, diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik mungkin....”

“Kami tidak pernah minta makanan, kalian sendiri yang menghidangkan!” bantah si muka bulat dan banyak di antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan itu.

“Begitukah?” Gadis berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah. “Kalau begitu dengarlah baik-baik. Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya kalau beliau yang lebih tinggi tingkatnya menerima perkenalan diri kalian. Beliau hanya mau berkenalan secara langsung dengan mereka yang sederajat!”

“Wahhh!” Si muka bulat kini terbelalak dan mukanya yang putih itu berubah merah karena darah sudah naik ke kepalanya. “Sombong amat! Kalau begitu, begini saja. Biar kami semua yang belum memperkenalkan diri, menguji kepandaian para pimpinan Pao-beng-pai yang tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat dan tingkat mereka lebih tinggi daripada kami!” Kembali banyak orang mengangguk menyetujui usul ini. Melihat betapa banyak di antara para tamu menyetujuinya, si muka bulat memberi isyarat kepada dua orang adik seperguruannya, dan mereka bertiga tiba-tiba meloncat dengan gerakan ringan ke sudut ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan tempat yang cukup luas untuk dipakai bertanding silat. Suasana menjadi tegang akan tetapi karena mereka semua adalah orang-orang kang-ouw yang tentu saja suka melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka terbayang kegembiraan karena mereka mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat yang menarik antara orang-orang pandai. Juga para tamu ingin sekali melihat bagaimana sikap dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap tantangan si muka bulat dan dua orang kawannya itu.

Gadis berpakaian putih yang mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan murid ketua dan pelayan terdekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua. Akan tetapi ketua itu hanya tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap muridnya itu. Melihat ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata, “Kami menerima usul itu, dan menyambut tantangan siapa saja yang hendak menguji kepandaian!”

Si muka bulat yang kini menjadi perhatian semua tamu, merasa bangga dan dengan membusungkan dadanya dia berkata, “Kami bertiga pengurus Pek-eng-bukoan (Perguruan Silat Garuda Putih) mohon petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!”

Akan tetapi, tantangan terhadap ketua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi. Ia memberi isyarat kepada tiga orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian putih itu telah berhadapan dengan tiga orang penantang yang tadi bicara tidak ikut maju, dan ia yang bicara menjawab.

“Untuk mengadu ilmu dengan ketua kami tidaklah mudah, harus dapat mengalahkan wakilnya, yaitu Toanio, dan untuk menandingi Toanio harus lebih dahulu mengalahkan Siocia. Akan tetapi sebelum dapat pi-bu dengan Sio-cia harus lebih dahulu dapat mengalahkan kami dan beberapa orang murid lain!” Gadis itu tersenyum mengejek. “Sam-wi, sudah maju, dan tiga orang rekan kami sudah maju menyambut tantangan, nah persilakan kalau Sam-wi hendak bertanding.

Tentu saja tiga orang tokoh Perguruan Silat Garuda Putih itu marah sekali. Mereka merasa diremehkan. Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membual atau meremehkan karena dari gerakan tiga orang pria ketika meloncat tadi, ia sudah tahu bahwa tiga orang rekannya akan mampu menandingi mereka.

“Bagus, kalian orang-orang Pao-beng-pai sungguh memandang rendah orang lain. Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian!” bentak si muka bulat.

Seorang di antara tiga wanita berpakaian putih yang berdiri di depan mereka itu berkata tenang, “Kami bertiga sudah siap.”

“Sambut serangan kami!” bentak si muka bulat dan bersama dua orang rekannya dia sudah menyerang gadis yang bicara itu. Dua orang rekannya juga menyerang dengan pukulan yang mendatangkan angin kuat. Namun, tiga orang gadis pakaian putih itu dengan mudah sekali mengelak dan gerakan mereka ringan sekali, juga amat cepat ketika mereka membalas. Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga. Agaknya tiga orang gadis berpakaian putih itu maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar, mereka kalah kuat. Maka, mereka mempergunakan kecepatan dan keringanan gerakan mereka dan dalam hal ini mereka memang lebih unggul. Tubuh mereka berkelebatan menjadi bayangan putih yang sukar sekali diserang oleh tiga orang pria itu, bagaikan tiga orang anak-anak yang mencoba untuk menangkap tiga ekor dara putih yang gesit sekali.

Para ahli silat yang menjadi tamu di situ, diam-diam mengikuti jalannya pertandingan dan mereka mencurahkan perhatian mereka untuk mengamati gerakan tiga orang gadis itu. Mereka ingin mengenal ilmu silat mereka agar mereka dapat menentukan dari aliran mana ilmu itu dan dengan sendirinya dapat mengenal ilmu silat para pimpinan Pao-beng-pai. Akan tetapi, mereka menjadi bingung dan heran karena mereka sama sekali tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh tiga orang gadis berpakaian putih. Kadang nampak dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai, namun dengan gerakan tangan yang mirip dengan aliran silat Bu-tong-pai, lalu berubah dan bercampur dengan aliran lain.

Agaknya ilmu silat yang mereka mainkan itu merupakan gabungan dari semua aliran! Dipilih gerakan yang baik dan menguntungkan. Kalau benar demikian, tentu yang merangkai ilmu silat itu seorang ahli yang mahir semua ilmu silat!

Pertandingan sudah berlangsung dua puluh jurus lebih dan semua orang melihat betapa tiga orang tokoh Pek-eng Bu-koan itu mulai terdesak. Karena kalah cepat gerakannya, maka tiga orang jagoan dari Garuda Putih itu terdesak dan mereka lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang. Mereka tidak diberi kesempatan untuk membalas, dan serangan tiga orang gadis berpakaian putih itu datang bertubi-tubi. Tiba-tiba tiga orang gadis itu melompat ke belakang dan tiga orang Pek-eng Bu-koan menghentikan gerakan mereka dan muka mereka nampak merah. Kiranya di tangan gadis pertama terdapat kain kepala yang dapat direnggutnya lepas dari kepala lawan, di tangan gadis ke dua terdapat sobekan baju di bagian dada lawannya, dan biarpun gadis ke tiga tidak merampas sesuatu, namun lawannya sibuk membereskan rambutnya yang riap-riapan karena pengikut kuncirnya terlepas. Jelaslah bahwa kalau tiga orang gadis berpakaian putih itu menghendaki, tentu tangan mereka akan bergerak lebih jauh dan dapat merobohkan tiga orang lawan dengan pukulan.

“Maafkan kami,” kata seorang di antara tiga gadis itu mewakili teman-temannya.

Si muka bulat menghela napas panjang. Dia tahu diri dan mengangkat kedua tangan depan dada menghadap pihak tuan rumah sambil berkata. “Kami bertiga adalah pimpinan Pek-eng Bu-koan dan saya sebagai ketuanya bernama Liu Pin. Kami mengaku kalah.” Dia dan dua orang sutenya lalu mengundurkan diri dan duduk di tempat semula, tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata. Melawan tiga orang gadis yang menjadi anak buah Pao-beng-pai saja mereka kalah. Apalagi melawan pimpinannya!Mereka yang mengenal kelihaian Pek-eng Bu-koan dan melihat kekalahan mereka di tangan tiga orang gadis anak buah Pao-beng-pai kini tidak merasa ragu lagi dan mereka segera memperkenalkan diri seperti yang telah dilakukan para tamu lain. Hanya tinggal masing-masing dua orang wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai yang belum memperkenalkan diri, di samping para wakil Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, juga ada lagi tiga orang pria muda yang nampaknya belum mau memperkenalkan diri.

Melihat masih ada belasan orang yang belum memperkenalkan diri, gadis pakaian putih itu kembali berseru, “Apakah masih ada di antara Cu-wi (Anda Sekalian) yang sebelum memperkenalkan diri ingin menantang pi-bu?”

Tiba-tiba ketua Pao-beng-pai yang sejak tadi duduk diam saja dengan tegak, berbisik kepada si gadis pakaian putih. Gadis itu menghampiri dan berlutut di depan ketuanya, menerima pesan dalam bisikan. Gadis itu mengangguk, lalu bangkit lagi dan memandang ke arah kelompok yang belum memperkenalkan diri, lalu berkata dengan suara lantang.

“Pangcu (Ketua) kami memandang partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai sebagai setingkat dan sederajat. Oleh karena itu, wakil dari masing-masing partai itu dimohon suka maju untuk berkenalan langsung dengan keluarga Pangcu yang menjadi pimpinan Pao-beng-pai!”

Kebetulan dua orang wakil dari masing-masing partai besar itu adalah orang-orang muda. Tadinya mereka tidak mau memperkenalkan diri seperti para tamu lain karena hal itu dianggap terlalu merendahkan diri, seperti orang-orang bawahan menghadap orang atasan saja. Akan tetapi kini, mendengar ucapan gadis pakaian putih, mereka merasa tidak enak kalau tidak mau berkenalan. Mereka adalah tamu yang diundang, sudah makan hidangan tuan rumah, dan memang mereka diutus hadir di situ untuk mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai.

Berturut-turut, didahului wakil dari Siauw-lim-pai, mereka datang menghampiri tempat duduk keluarga ketua Pao-beng-pai dan berkenalan, saling menyebutkan nama. Para wakil itu kini tahu bahwa ketua Pao-beng-pai atau pendiri baru ini bernama Siangkoan Kok, bersama isterinya dan puterinya yang diperkenalkan sebagai Siangkoan Eng, mereka bertiga merupakan pimpinan Pao-beng-pai dan undangan itu dilakukan untuk saling berkenalan dan menghimpun persahabatan di antara tokoh-tokoh persilatan masa itu. Setelah para wakil empat partai besar itu duduk kembali ke tempat mereka tanpa merasa direndahkan, kini gadis pakaian putih bangkit dan beru seru lagi, ditujukan kepada para wakil Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

“Pangcu kami menganggap Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sebagai rekan-rekan seperjuangan. Oleh karena itu, Pangcu mengharap agar para wakil mereka suka maju untuk saling berkenalan dengan Pangcu sekeluarga.”

“Siancai, siancai....!!” Terdengar suara pujian dan sesosok bayangan berkelebat ke sudut ruangan di mana tadi diadakan pertandingan silat. Kiranya dia seorang di antara para wakil Pat-kwa-pai. Tanda Pat-kwa-pai dapat terlihat di bajunya, di dada kiri disulam benang emas sebuah pat-kwa (segi delapan). Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, bertubuh gendut dengan jubah lebar, di punggungnya tergantung pedang dan nampak kokoh kuat. Matanya lebar, hidungnya besar dan mulutnya berbibir tebal. Segalanya pada orang ini nampak kokoh dan besar.

“Kami Pat-kwa-pai juga mempunyai peraturan, yaitu sebelum berkawan, haruslah mengenal isi perutnya lebih dahulu. Oleh karena itu, kami sebagai wakil Pat-kwa-pai ingin sekali mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai melalui pertandingan silat.” Dia menjura ke arah tempat duduk tuan rumah.

Semua orang kini memandang ke arah keluarga tuan rumah dan melihat betapa gadis cantik jelita tuan rumah hendak bangkit, akan tetapi dilarang ayahnya. Kemudian, dengan hati gembira semua tamu melihat betapa Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai sendiri yang bangkit dan dengan langkah tenang berjalan menghampiri wakil Pat-kwa-pai yang sudah berdiri menanti. Kini semua orang melihat betapa ketua itu memiliki gerak-gerik yang anggun dan berwibawa, namun wajahnya cerah dan dia tersenyum ketika berdiri berhadapan dengan tokoh Pat-kwa-pai.

“Saudara wakil dari Pat-kwa-pai, kalau kami boleh bertanya, apakah hubunganmu dengan Thian Ho Sianjin?” Suara Siangkoan Kok halus dan ramah, juga sopan seperti cara bicara seorang yang terpelajar tinggi.

Diam-diam utusan Pat-kwa-pai itu terkejut. Sikap ketua Pao-beng-pai ini seolah-olah telah mengenal baik ketuanya, yaitu Thian Ho Sianjin! Ketua Pat-kwa-pai itu adalah gurunya, dan dia merupakan murid pertama. Dia mewakili gurunya datang bersama tiga orang sutenya dan mereka berempat merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-pai yang kuat.

“Kami yang menjadi utusan adalah murid-murid suhu yang menjadi ketua Pat-kwa-pai,” katanya.

“Ah, kiranya murid-murid Thian Ho Sianjin. “Sobat, kalian kami undang ke sini untuk persahabatan dan kerja sama, bukan untuk saling bertanding.” ucapan itu seperti teguran.

“Akan tetapi, Pangcu, kami harus mendapat bahan untuk laporan kepada ketua kami tentang Pao-beng-pai.” bantah tokoh Pat-kwa-pai itu.

Siangkoan Kok tersenyum. “Baiklah, kalau begitu mari kita latihan sebentar. Berapa orang dari Pat-kwa-pai yang datang?”

“Kami datang berempat.”

“Silakan yang tiga orang lagi ke sini ikut latihan.”

Mendengar ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menggapai ke arah tiga orang sutenya. Lebih kuat keadaan mereka lebih baik, pikirnya. Tiga orang murid Pat-kwa-pai itu bangkit dan nampak tubuh mereka melayang ke sudut itu. Gerakan mereka ringan, dan ketika sudah berdiri di situ, nampak betapa tiga orang ini pun bertubuh tegap dan nampak kokoh kuat.

“Bagus, Thian Ho Sianjin memiliki murid-murid yang gagah. Nah, sekarang kalian berempat boleh menyerangku sekuat kalian. Aku tidak akan mengelak, tidak akan membalas pula, hanya menangkis saja. Kalau dalam dua puluh jurus kalian dapat memukulku, berarti aku kalah.”

Empat orang itu tercengang, juga semua tamu terbelalak. Orang itu terlalu sombong! Semua orang mengetahui betapa lihainya orang-orang Pat-kwa-pai, apalagi empat orang itu adalah murid-murid ketua Pat-kwa-pai. Kepandaian mereka tentu sudah tinggi. Tidak akan mengherankan kalau ketua Pao-beng-pai ini lebih lihai dari mereka, akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka selama dua puluh jurus tanpa mengelak dan tanpa membalas, hanya menangkis saja? Ketua Pao-beng-pai itu tentu akan celaka oleh kesombongannya sendiri.

“Baik, kami setuju!” kata si gendut dengan penuh semangat. Guru mereka sendiri belum tentu akan dapat bertahan, apalagi orang sombong ini, pikirnya.

“Nah, mulailah, aku sudah siap.” Kata Siangkoan Kok dengan sikap tenang sekali.

Empat orang murid Pat-kwa-pai itu sudah memasang kuda-kuda dan menghimpun tenaga sakti, akan tetapi Siangkoan Kok masih tenang saja, berdiri seenaknya, bahkan melirik pun tidak ketika seorang di antara empat orang lawan itu melangkah ke belakangnya. Kini, dia dikepung empat orang yang mengambil kedudukan di depan, belakang, kanan dan kirinya.

“Pangcu, jaga serangan kami!” seru si gendut yang berada di depan dan dia mulai menyerang dengan pukulan yang kuat sekali dari depan, ke arah dada lawan. Bertubi-tubi tiga orang pengeroyok lain juga mengirim pukulan dan rata-rata pukulan mereka itu kuat sekali, mendatangkan angin pukulan yang membuat baju Siangkoan Kok berkibar. Ketua Pao-beng-pai ini, sesuai dengan janjinya, tidak mengelak, akan tetapi kedua tangannya bergerak cepat menangkisi pukulan-pukulan itu sambil memutar tubuhnya.

“Duk-duk-duk-plakkk!”

Empat orang itu terpental ke belakang! Mereka terkejut dan maklum bahwa ketua Pao-beng-pai ini memiliki tenaga sin-kang yang hebat. Pantas saja berani menghadapi mereka tanpa mengelak hanya mengandalkan tangkisan. Akan tetapi karena mereka tidak khawatir kalau dibalas seperti telah dijanjikan, mereka pun memperhebat serangan mereka, menghantam atau menendang bertubi-tubi sambil mengerahkan seluruh tenaga mereka. Bahkan mereka mengerahkan tenaga yang mengandung hawa beracun! Namun, Siangkoan Kok dapat menangkis semua pukulan itu dan agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang terkandung dalam tangan mereka dan setiap kali tertangkis, tentu si pemukul sendiri yang terpental dan lengan mereka terasa nyeri bukan main.

Sepuluh jurus telah lewat dan mereka belum juga dapat menyentuh tubuh Siangkoan Kok, apalagi memukul. Padahal, ketua Pao-beng-pai itu tidak pernah mengelak! Si gendut memberi isyarat kepada tiga orang sutenya untuk mempercepat serangan. Dia hanya mempunyai dua buah tangan, kalau diserang secara cepat oleh empat orang, tidak akan dapat menangkis lagi dan terpaksa harus mengelak. Sekali saja mengelak berarti dia melanggar janji dan dapat dianggap kalah!

Akan tetapi, sebelum isyarat ini dilaksanakan, tiba-tiba Siangkoan Kok mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berputar seperti gasing! Sukar bagi empat orang itu untuk mengetahui kedudukan badan lawan, karena tubuh itu berputar cepat dan kedua tangannya menjadi banyak sekali. Mereka masih mencoba untuk memukul tubuh yang berputar itu, akan tetapi setiap kali pukulan mereka bertemu dengan tangkisan lawan yang membuat mereka terpelanting. Kini kedua lengan mereka sudah bengkak-bengkak karena berkali-kali bertemu dengan lengan Siangkoan Kok dan si gendut memberi isyarat kepada tiga orang sutenya untuk memasang kuda-ruda dan berdiam diri tidak menyerang lagi. Melihat ini, Siangkoan Kok menghentikan putaran tubuhnya dan begitu dia berhenti, empat orang itu menyerang pada detik yang sama! Inilah siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk mengalahkan lawan. Tak mungkin dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari depan dan belakang dengan berbareng pada saat yang sama!

Tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke atas, dan di udara tubuhnya merentang, kedua tangan menangkis ke depan dan kedua kaki menangkis ke belakang. Dan sekali ini, tenaganya sedemikian besar dan kuatnya sehingga empat murid Pat-kwa-pai itu terjengkang dan roboh!

Tentu saja semua tamu kagum bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji, memancing yang lain untuk bertepuk tangan pula. Empat orang tokoh Pat-kwa-pai itu bangkit, mengebut-ngebutkan pakaian yang terkena debu sambil mengerang kesakitan karena kedua lengan mereka biru-biru dan bengkak-bengkak, lalu dipimpin oleh si gendut, mereka memberi hormat.

“Kami mengakui kelihaian Pangcu dan kami mempunyai bahan untuk menceritakan kepada para pimpinan Pat-kwa-pai,” kata si gendut.

“Sampaikan salamku kepada Thian Ho Sianjin.” kata ketua Pao-beng-pai itu dan dengan tenang dia duduk kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat pada wajah dan lehernya.

“Siancai...., tenaga sin-kang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat sekali. Kami semua merasa kagum!” Tiba-tiba suara itu diikuti berkelebatnya sesosok bayangan orang ke sudut ruangan di mana pertandingan tadi berlangsung. Semua orang memandang dan dia adalah seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang. Usianya sudah enam puluh empat tahun, tubuhnya pendek kurus namun masih nampak segar seperti tubuh kanakkanak, akan tetapi mukanya keriputan dan kelihatan sudah tua sekali. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang kelihatan terlalu panjang karena tubuhnya yang pendek kecil.

Melihat pria itu, gadis berpakaian putih segera berkata, “To-tiang (Pak Pendeta) tentu wakil dari Pek-lian-pai. Apa kehendak To-tiang?”

“Siancai....! Seperti juga saudara dari Pat-kwa-pai, kami dari Pek-lian-pai ingin pula membuktikan sendiri kelihaian pimpinan Pao-beng-pai. Akan tetapi pinto (aku) tidak mau melakukan pengeroyokan, pinto hanya ingin membuktikan kelihaian kalian bermain pedang. Nah, siapa di antara para pimpinan Pao-beng-pai yang berani melayani pinto bermain pedang?” Sekali tangan kanannya bergerak, pendeta Pek-lian-kauw itu telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Cara dia mencabut pedang saja menunjukkan kemahirannya. Tentu saja dia lihai karena tosu ini adalah Kui Thian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw. yang lihai dan dipercaya oleh para pimpinan perkumpulan pemberontak itu. Kini dia datang sebagai wakil Pek-lian-pai bersama dua orang sutenya. Dia tadi sudah melihat betapa hebat tenaga sinkang dari ketua Pao-beng-pai, oleh karena itu, dia menantang untuk bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya.

Kembali keluarga ketua Pao-beng-pai nampak saling berbisik dan agaknya Siangkoan Eng minta kepada ayahnya untuk mewakili ayahnya menyambut tantangan tosu Pek-lian-kauw itu. Siangkoan Kok mengangguk memberi ijin dan dari tempat duduknya, ketua Pao-beng-pai itu berkata kepada Kui Thian-cu.

“Sobat, kenapa Pek Sim Siansu tidak datang sendiri?”

Mendengar pertanyaan itu, Kui Thian-cu mengerutkan alisnya. Pek Sim Siansu adalah ketua Pek-lian-kauw, masih terhitung paman gurunya. Kiranya ketua Pao-beng-pai ini mengenal ketua Pek-lian-kauw pula!

“Pangcu, ketua kami mengutus kami untuk datang sebagai wakil Pek-lian-pai, untuk melihat apakah Pao-beng-pai pantas untuk menjadi rekan seperjuangan. Ketua kami adalah paman guru kami.”

“Andaikata Pek Sim Siansu sendiri yang datang, tentu akan kusambut ajakannya untuk berlatih pedang. Akan tetapi sekarang hanya murid keponekannya yang datang. Aku akan mewakilkan saja kepada puteriku untuk bertanding ilmu pedang!”

Siangkoan Eng lalu bangkit dan melangkah dengan tenang menghampiri tosu Pek-lian-kauw itu. Semua orang memandang kagum dan juga tegang. Gadis itu nampak demikian lembut dan anggun, cantik jelita, begaimana akan mampu menandingi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah terkenal akan kelihaiannya? Kui Thian-cu sendiri mengerutkan alisnya dan memandang rendah. Dia sudah pandai bermain pedang sebelum gadis yang usianya baru dua puluh tahun lebih ini lahir! Dia sudah menguasai ilmu pedang selama puluhan tahun, sedangkan gadis ini paling banyak hanya belajar silat selama belasan. tahun saja. Apalagi dalam hal pengalaman bertanding. Sudah ratusan kali dia bertanding melawan orang-orang yang lihai, sedangkan gadis ini? Mungkin belum pernah bertemu tanding yang sungguh-sungguh.

Kui Thian-cu tersenyum pahit karena merasa direndahkan sekali dengan munculnya seorang bocah untuk menandinginya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya. Setiap orang tosu Pek-lian-kauw yang sudah tinggi kedudukannya tentu pandai menggunakan sihir. Dia mengerahkan kekuatan sihirnya terhadap gadis di depannya, sepasang matanya seperti menembus mata gadis itu, mulutnya berkemak-kemik membaca mantram kemudian terdengar suaranya yang menggetar mengandung penuh wibawa.

“Nona yang begini muda bagaimana hendak bermain-main dengan pedang yang tajam? Tergores sedikit saja kulitmu yang halus akan berdarah dan engkau akan menangis karena ngeri. Nah, sekarang pun engkau sudah ingin menangis. Menangislah, Nona, menangislah karena engkau memang pantas dikasihani! Menangislah....!!”

Kui Thian-cu yang merasa diremehkan, kini hendak membalas dan membikin malu, keluarga ketua Pao-beng-pai, dengan sihirnya. Akan tetapi, gadis itu tidak menangis, malah memandang kepadanya, dengan matanya yang mencorong, lalu bertanya dengan suara yang sungguh-sungguh, “Totiang, bagaimana sih caranya menangis itu? Aku tidak pernah menangis, harap Totiang memberi contoh.”

Tentu saja Kui Thian-cu merasa heran. Seorang gadis muda tidak pernah menangis? Sungguh aneh. “Bagaimana caranya menangis? Engkau sungguh tidak tahu? Begini, Nona, beginilah caranya orang menangis....” Dan tosu itu lalu mengeluarkan suara tangis sambil menutupi muka dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya tetap memegang pedang.

“Huauuu-uuuuu.... huuuuu-uuuhhh....”

Terdengar suara orang-orang tertawa geli karena pertunjukan itu memang lucu sekali. Kakek yang tubuhnya pendek kurus dan mukanya keriputan sehingga nampak tua sekali itu, yang mengenakan jubah pendeta, tokoh Pek-lian-kauw, kini seperti anak kecil menangis di depan Siangkoan Eng yang cantik dan kini tersenyum-senyum mengejek. Mendengar suara tawa orang-orang di situ, barulah Kui Thian-cu menyadari keadaannya dan diam-diam dia terkejut. Sihirnya yang dikerahkan untuk memaksa gadis itu menangis bahkan seperti senjata makan tuan. Gadis itu ternyata tidak terpengaruh sihirnya, bahkan menggunakan kekuatan sihir itu, ditambah kekuatannya sendiri, membuat pengaruh itu membalik sehingga dialah yang menangis tanpa disadarinya sendiri bahwa dia telah melakukan perbuatan yang lucu memalukan.

Tentu saja dia marah sekali, akan tetapi Kui Thian-cu bukan seorang bodoh atau ceroboh. Dia seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah berpengalaman, maka biarpun dia mendapat malu di depan banyak orang namun dia dapat melihat kenyataan dan tidak menuruti hawa nafsu amarah. Dia menyadari bahwa dia terlalu bersalah, keliru menafsirkan orang dan terlalu memandang rendah gadis puteri tuan rumah itu. Dia pun sudah mendengar bahwa Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan keturunan keluarga Kerajaan Beng yang selain tinggi ilmu silatnya, juga menguasai ilmu sihir. Maka tidak begitu mengherankan kalau puterinya juga pandai ilmu sihir.

“Hemmm, Nona masih muda sudah lihai dan juga cerdik sekali sehingga aku terjebak. Nah, sekarang aku ingin melihat kehebatan ilmu pedangmu, Nona.” Dia menggerakkan tangan dan memutar-mutar pedang di atas kepala, sedemikian kuat dan cepatnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan terdengar bunyi desing yang menyeramkan.

Siangkoan Eng masih tersenyum mengejek, tangan kanannya bergerak dan ia sudah mencabut pedangnya yang beronce merah, sedangkan tangan kirinya tetap memegang hud-tim (kebutan) yang bergagang emas dan bulunya merah mengkilap itu. Dengan sikap tenang gadis itu menyilangkan pedang dan kebutan di depan dada lalu berkata, “Totiang, aku sudah siap, silakan mulai memperlihatkan ilmu pedangmu yang hebat!” Dalam ucapan yang dingin ini terkandung tantangan dan juga ejekan yang terasa sekali oleh Kui Thian-cu, membuatnya marah sekali, akan tetapi hanya ditahannya di dalam hati. Ini memang merupakan siasat yang cerdik dari Siangkoan Eng. Kemarahan melemahkan seorang, membuat orang menjadi kurang waspada, maka bagi seorang ahli silat, marah ketika bertanding merupakan pantangan besar karena hanya merugikap diri sendiri.

Kui Thian-cu yang sudah marah itu tidak lagi bersikap sungkan. Sebenarnya, sebagai seorang yang jauh lebih tua dan berkedudukan tinggi sebagai wakil sebuah perkumpulan besar seperti Pek-lian-pai, seharusnya dia merasa malu kalau harus menyerang lebih dulu dalam sebuah pi-bu melawan seorang gadis muda. Akan tetapi karena sudah marah, dia tidak lagi peduli dan putaran pedangnya di atas kepala semakin kuat dan cepat.

“Nona, jaga baik-baik seranganku ini!” bentaknya dan pedang itu makin cepat berdesing membentuk sinar yang membentuk gulungan lingkaran, lalu dari lingkaran itu mencuat sinar menyambar ke arah Siangkoan Eng secara bertubi-tubi.

Gadis itu pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis sambil kakinya membuat langkah-langkah melingkar sehingga semua serangan itu gagal, luput atau tertangkis. Kemudian sambil menangkis, ia pun membalas dengan serangan hud-tim di tangan kirinya. Begitu digerakkan, bulu hud-tim yang lemas itu berubah kaku seperti kawat baja, dapat dipergunakan untuk menusuk, akan tetapi juga dapat lemas seperti rambut yang dapat membelit lawan.

Pertandingan itu berlangsung dengan seru. Karena merasa dirinya sebagai wakil perkumpulan besar, tentu saja Kui Thian-cu tidak mau kalah melawan seorang gadis. Dia pun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya, namun agaknya sedikit banyak gadis itu mengenal jurus-jurus ilmu pedang Pek-lian-pai. Buktinya, gadis itu dapat menghindarkan diri dengan mudah dan tepat. Bahkan serangan balasan dengan kebutannya, setelah lewat dua puluh jurus, membuat tokoh Pek-lian-kauw itu mulai terdesak dan sibuk menghindarkan diri. Diam-diam kakek ini terkejut dan khawatir. Sungguh di luar dugaannya bahwa gadis ini benar-benar amat lihai! Dia makin memperhebat serangannya, bahkan mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Namun tetap saja dia menghadapi benteng pertahanan yang tak dapat ditembus gulungan sinar pedangnyra, sebaliknya, sambaran bulu-bulu kebutan itu membuat dia semakin repot dengan loncatan ke kanan kiri dan memutar pedang untuk melindungi tubuhnya.

Ketika dengan pengerahan tenaga kembali dia membacokkan pedangnya, bulu kebutan itu menyambut dan melibat pedangnya dengan lilitan bagaikan ular dan pada saat yang sama, pedang di tangan gadis itu menyambar, membacok ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang! Serangan ini hebat sekali dan tidak ada lain jalan bagi Kui Thian-cu kecuali melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin tangannya terbabat buntung di pergelangannya! Dengan muka berubah kemerahan dia meloncat ke belakang dan melepaskan pedangnya yang kini masih terbelit hud-tim.

Siangkoan Eng juga tidak mengejar. Sambil tersenyum dingin gadis ini memandang kepada lawannya, lalu berkata, “Totiang, terimalah kembali pedangmu!” Ia menggerakkan hud-tim di tangan kiri dan pedang rampasan itu meluncur ke arah pemiliknya! Wajah tokoh Pek-lianpai itu berubah pucat akan tetapi dia menyambut pedangnya dan dia pun maklum bahwa dia tidak akan menang melawan gadis itu. Kalau tadi dia merasa penasaran, kini dia kagum bukan main. Kalau puterinya saja sehebat itu, apalagi ayahnya. Dan dia pun mendengar bahwa ibu gadis ini, Lauw Cu Si, adalah seorang keturunan para pimpinan Beng-kauw, perkumpulan yang dahulu amat terkenal sebagai perkumpulan besar kaum sesat yang telah hancur. Dan kabarnya, isteri Siangkoan Kok itu pun memiliki ilmu yang lihai, di samping ilmu sihir.

“Nona memang hebat, pinto mengaku kalah.” lalu dia menghadap ke arah tuan rumah dan memberi hormat, “Pangcu, sekarang pinto yakin bahwa Pao-beng-pai merupakan kawan seperjuangan yang layak dihargai dan pinto dapat memberi kabar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw.”

Tentu saja Siangkoan Kok merasa girang. “Terima kasih, Totiang dan silakan duduk.”

Setelah tokoh Pek-lian-kauw duduk kembali, bangkitlah seorang di antara tiga orang pemuda yang belum mau memperkenalkan diri. Dia seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan kulitnya kuning dengan mata yang sipit. Gerakannya tangkas ketika dia melompat ke atas ruangan tempat mengadu ilmu itu dan dia pun menjura kepada pihak tuan rumah.

“Melihat kepandaian Nona Siangkoan, hati saya penuh rasa kagum dan sebelum saya memperkenalkan diri sebagai murid Kong-thong-pai, saya ingin berkenalan lebih dahulu dengan ilmu silat puteri tuan rumah! Nona, silakan maju dan melayaniku beberapa belas jurus!” Sikapnya kaku dan tekebur, seperti bukan sikap seorang ahli silat di dunia kang-ouw yang berpengalaman.

Siangkoan Eng tentu saja tidak mau melayani seorang tamu seperti itu. Kalau tadi ia mewakil ayahnya menandingi Kui Thian-cu adalah karena mengingat bahwa Pek-lian-pai sebuah perkumpulan pejuang yang besar dan ia tahu bahwa para tosu Pek-lian-kauw amat lihai. Akan tetapi, laki-laki muda itu biarpun murid perkumpulan silat Kong-thong-pai, sikapnya demikian hijau dandungu. Ia memberi isyarat kepada seorang di antara pelayannya, yaitu yang berpakaian serba kuning, pelayannya yang paling lihai, lalu berkata lantang.

“Sobat dari Kong-thong-pai, untuk menyambut tantanganmu, aku mewakilkan kepada seorang pelayanku. Kalau engkau dapat mengalahkannya, barulah engkau pantas menantangku!” Sesosok bayangan kuning berkelebat dan wanita muda berpakaian serba kuning yang juga cantik itu telah berdiri di depan si pemuda Kong-thong-pai yang tidak mau memperkenalkan diri sebelum menguji kepandaian.

“Kongcu (Tuan Muda), saya mewakili Siocia untuk menandingi Kongcu. Silakan!”

Diam-diam murid Kong-thong-pai ini mendongkol bukan main. Dia adalah seorang murid unggulan dari Kong-thong-pai, dan dia dipercaya para pimpinan perkumpulannya untuk mewakili Kong-thong-pai, dan di sini dia dipandang rendah, tingkatnya hanya disejajarnya dengan seorang pelayan dari puteri tuan rumah! Keterlaluan sekali! Maka, dia pun melawan aksi meremehkan dari pihak tuan rumah itu dengan sikap angkuh, “Baik, sebagai tamu saya tentu saja menerima semua peraturan tuan rumah. Akan tetapi, saya tidak mau mencari kemenangan dari seorang pelayan! Kalau wakil Nona Siangkoan ini mampu bertahan melawanku selama dua puluh jurus maka aku mengaku kalah!”

Melihat lagak yang meremehkan dirinya itu, si baju kuning hanya tersenyum saja. Dengan sikap tetap menghormat sebagai seorang pelayan terhadap tamu majikannya, ia tersenyum dan memberi hormat, “Kongcu, saya sudah siap. Silakan Kongcu mengalahkan saya sebelum dua puluh jurus itu.”

Melihat sikap si pelayan yang menantang, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Mukanya yang kuning kini berubah merah dan dia pun membentak, “Lihat seranganku!” Dan dia pun sudah menerjang dengan ganas. Ilmu silat yang dia mainkan adalah ilmu silat Kong-thong-pai yang banyak menggunakan gerakan kedua lengan dikembangkan seperti sepasang sayap burung rajawali dan kedua tangan dapat menyambar dari kanan kiri secara cepat. Serangan pertama itu dilakukan dengan gerakan seperti seekor harimau menerkam kambing, kedua lengan yang dikembangkan itu membuat gerakan ke depan, dan kedua tangannya menerkam dari kanan kiri dengan tubuh melompat.

Namun, nona baju kuning itu adalah pelayan Siangkoan Eng yang nomor satu, merupakan pelayan kepercayaan yang telah menguasai ilmu silat paling tinggi di antara rekan-rekannya. Menghadapi terkaman yang dahsyat itu, ia pun bersikap lincah dan meloncat ke belakang lalu memutar tubuh sehingga serangan lawan luput dan ia pun sudah menggerakkan kaki ketika memutar tubuh tadi, membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kaki yang mencuat ke arah dada lawan!

Melihat kelincahan lawan, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia memutar lengannya dan berusaha menangkap kaki yang menendangnya. Akan tetapi gadis pelayan itu maklum akan niat lawan, maka ia pun menarik kembali kakinya, meloncat dengan gerakan cepat sekali ke kiri, kemudian dari kiri ia mengirim tamparan ke arah kepala lawan! Sekali ini, pemuda itu tidak berani bersikap lengah. Untuk menangkis tidak ada waktu lagi, maka terpaksa dia melempar tubuh ke belakang agar terhindar dari tamparan yang cukup berbahaya itu karena dia dapat merasakan sambaran angin pukulan yang cukup kuat. Tahulah dia bahwa gadis berpakaian kuning itu, walaupun hanya seorang pelayan, ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan lawan berat, maka dia pun tidak berani lagi memandang rendah. Dia mulai menyerang dengan gencar dan tanpa sungkan lagi. Setelah lewat sepuluh jurus dan dia sama sekali belum mampu mengalahkan lawan, mendesak pun tidak mampu, pemuda murid Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia mengeluarkan semua jurus pilihan yang paling dia andalkan, namun gadis itu mampu menandinginya, bahkan mampu membalas dengan tidak kalah kuatnya. Dua puluh jurus lewat dan pemuda Kong-thong-pai itu melompat mundur. Mukanya berubah merah sekali.

“Dua puluh jurus telah lewat, aku mengaku kalah!

Siangkoan Eng tersenyum, kini senyumnya tidak mengejek lagi karena bagaimanapun juga, ia senang dengan sikap jantan pemuda itu yang tidak malu mengakui kekalahannya sesuai dengan janjinya, walaupun sebenarnya dia belum kalah.

“Lanjutkanlah sampai ada yang kalah karena engkau belum kalah, sobat dari Kong-thong-pai!” katanya lembut.

“Hemmm, aku Koan Tek adalah seorang laki-laki sejati yang menjunjung tinggi nama dan kebesaran nama Kong-thong-pai. Aku sudah berjanji, dan setelah lewat dua puluh jurus aku belum dapat mengalahkannya, berarti aku kalah. Pang-cu, terimalah hormatku!” katanya sambil memberi hormat kepada Siangkoan Kok.

Ketua Pao-beng-pai yang tinggi besar ini mengangguk dan membalas penghormatannya. “Silakan duduk, saudara Koan Tek!”

Kini tinggal dua orang tamu yang masih belum mau memperkenalkan diri dan mereka adalah dua orang pemuda yang kebetulan tidak saling berjauhan duduknya. Kini, perhatian semua tamu tertuju kepada kedua orang pemuda itu, bertanya-tanya siapa kiranya mereka berdua. Di antara mereka yang hadir, tidak ada yang mengenal mereka, maka tentu saja semua orang merasa heran bagaimana ada dua orang pemuda yang tidak terkenal berani bersikap angkuh, tidak mau memperkenalkan diri lebih dahulu kepada pihak tuan rumah!

Dua orang pemuda itu yang merasa menjadi pusat perhatian, kini juga saling pandang. Mereka tidak saling mengenal namun mereka berdua seperti merasakan suatu ikatan dari sepenanggungan karena keduanya menjadi pusat perhatian karena mereka berdua sajalah yang kini belurn memperkenalkan diri dan diharapkan mereka berdua akan menguji pihak tuan rumah seperti dilakukan oleh wakil-wakil Pek-eng Bu-koan, Pat-kwa-pai, Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai tadi.

Pemuda pertama berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, berperawakan sedang dan tegap, wajahnya bulat berkulit putih bersih. Sepasang matanya tajam, hidungnya agak besar dan mancung, mulutnya selalu terhias senyum manis dan alisnya tebal. Dia seorang pemuda yang tampan, dan sikapnya juga anggun, tidak malu-malu dan berwibawa. Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran Cia Sun yang melakukan penyamaran! Dia meninggalkan istana untuk mencari pengalaman, menyamar sebagai pemuda biasa dan karena dia seorang yang sejak kecil suka mempelajari silat, kini dia ingin meluaskan pengetahuan dan menjelajahi dunia kang-ouw. Maka, mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai, apalagi mendengar bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan yang anti pemerintahan kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong, dia tertarik dan sengaja datang berkunjung. Tentu saja dia tidak akan mengaku bahwa dia seorang pangeran, karena hal itu sama saja dengan mencari kematian. Kalau perkumpulan Pao-beng-pai itu anti pemerintah Kerajaan Ceng, tentu mereka akan menbunuhnya kalau mengetahui bahwa dia seorang pangeran Mancu! Di sepanjang perjalanannya pun dia mengaku bernama Cia Ceng Sun. Namanya sendiri dia pakai, hanya menambahkan huruf Ceng di tengah, yaitu yang berarti kerajaan atau Dinasti Kerajaan Mancu. Dan karena sejak kecil dia hidup dalam pendidikan seperti orang Han, maka tak seorang pun yang tahu bahwa dia seorang pangeran Mancu, dalam segala hal dia adalah seorang pemuda Han biasa. Dia pandai silat dan pandai pula dalam hal kesusastraan bangsa Han.

Pemuda yang ke dua juga tampan berusia lebih tua, kurang lebih dua puluh enam tahun dan sikapnya lebih matang dan pendiam. Dia pun tampan, walaupun ketampanannya berbeda dengan ketampanan Pangeran Cia Sun yang kini kita kenal sebagai pemuda Cia Ceng Sun. Pemuda ke dua ini bermuka lonjong dengan mata yang tajam, hidung mancung dan mulutnya ramah tersenyum. Dagunya runcing berlekuk, rambutnya panjang dan hitam, alisnya tebal dengan dahi lebar. Perawakannya juga hampir sama dengan perawakan Cia Ceng Sun, sedang dan tegap dan gerak-geriknya amat tenang, sikapnya seperti acuh tak acuh walaupun wajahnya ramah. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han, pemuda perkasa yang dijuluki Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti). Namun, karena ketika dia dijuluki Tangan Sakti itu tidak pernah ada orang yang melihat wajahnya, maka tidak ada seorang pun yang mengenalnya sebagai pendekar itu di dalam pertemuan orang-orang dunia persilatan di situ.

Berbeda dengan Cia Ceng Sun yang meninggalkan istana untuk memperdalam pengetahuan dan meluaskan pengalaman, Yo Han datang ke tempat itu dalam rangka menunaikan tugasnya yang teramat sulit, yaitu mencari puteri bibinya Can Bi Lan dan suami bibinya si Pendekar Suling Naga Sim Houw.

Para pembaca kisah Si Bangau Merah tentu mengenal baik siapa Yo Han. Dia seorang yatim piatu. Mendiang ayahnya adalah Yo Jin, seorang petani biasa yang jujur namun berjiwa gagah, sedangkan mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang telah bertaubat, berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), su-ci dari Can Bi Lan atau Nyonya Sim Houw. Sejak kecil, Yo Han dididik oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li sehingga Yo Han sejak kecil telah akrab dengan Tan Sian Li Si Bangau Merah sebagai kakak seperguruan. Namun, ketika kecilnya, Yo Han sama sekali tidak suka belajar atau berlatih ilmu silat. Biarpun suami isteri Tan Sin Hong Si Bangau Putih dan Kao Hong Li merupakan suami isteri yang sakti dan mengajarkan silat kepadanya, Yo Han hanya mempelajari teorinya saja dan tidak pernah mau berlatih. Dia menganggap bahwa ilmu silat adalah ilmu kekerasan yang hanya dipelajari orangorang yang suka berkelahi untuk saling bunuh dengan orang lain. Karena ulahnya ini, maka suami isteri pendekar itu merasa khawatir kalau-kalau puteri mereka yang amat akrab dengan Yo Han kelak akan ketularan sikap itu, sehingga mereka ingin memisahkan kedua orang anak itu dengan memitipkan Yo Han pada sebuah perguruan silat yang baik. Yo Han mendengar ini dan dia pun lebih dahulu meninggalkan keluarga itu dengan nekat mengikuti seorang iblis betina setelah berhasil membujuk iblis betina itu melepaskan Sian Li kecil yang diculiknya dan dia menyerahkan diri sebagai penukarnya. Demikianlah, setelah ikut dengan iblis betina itu dia mengalami banyak penderitaan yang aneh-aneh sampai akhirnya dia bertemu dengan mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, namun yang memiliki ilmu luar biasa. Akhirnya Yo Han menjadi pewaris tunggal ilmu Bu-kek Hoat-keng dari kakek itu, yang membuat dia menjadi seorang pendekar sakti.

Ketika Yo Han merantau ke barat dan terkenal dengan julukan Sin-ciang Tai-hiap yang tak pernah dikenal mukanya oleh orang lain, secara kebetulan dia bertemu kembali dengan Sian Li yang telah menjadi seorang gadis cantik. Mereka saling mengenal dan kasih sayang yang sejak kecil telah tumbuh dalam hati mereka, kinl berubah menjadi cinta kasih dewasa antara pria dan wanitai Namun, kembali ayah dan ibu Sian Li tidak menyetujui hubungan mereka karena suami isteri pendekar itu khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak mendiang ibunya yang pernah menjadi seorang wanita golongan sesat yang jahat. Maka, terang-terangan mereka memberi tahu kepada Yo Han bahwa Sian Li telah dijodohkan dengan seorang pangeran di kota raja! Yo Han menjadi terpukul dan diingatkan akan lenyapnya puteri bibinya, dia pun bertekad untuk mencari puteri bibinya itu sampai dapat dia temukan dan dia kembalikan kepada bibinya.

Demikianlah riwayat singkat Yo Han Si Pendekar Tangan Sakti, dan pada hari itu, sebetulnya dia mendengar tentang pertemuan para orang gagah yang diadakan oleh Pao-beng-pai, make dia pun sengaja berkunjung dengan maksud mencari jejak adik misannya yang dicuri penjahat di waktu kecil.

Yo Han maklum sepenuhnya betapa sulitnya tugas yang dipikulnya, mencari seorang, anak perempuan yang hilang dua puluh tahun yang lalu, ketika hilang diculik orang berusia tiga tahun! Dia tidak tahu siapa penculiknya, tidak pernah melihat anak perempuan itu. Yang diketahuinya hanya bahwa anak perempuan itu adalah puteri Sim Houw dan Can Bi Lan, nama anak itu Sim Hui Eng dan mempunyai tanda pengenal yang mustahil untuk dapat dilihat orang, yaitu noda merah di tapak kaki kanan dan tahi lalat hitam di pundak kiri. Bagaimana mungkin melihat kedua tanda itu di tubuh seorang gadis tanpa membuka sepatu dan bajunya? Dan sudah pasti anak berusia tiga tahun itu sudah lupa sama sekali akan ayah dan ibu kandungnya, tidak tahu lagi bahwa ia adalah anak yang diculik. Itu pun kalau anak itu masih hidup! Sungguh merupakan usaha yang teramat sulit, bahkan agaknya mustahil untuk bisa menemukan anak yang hilang pada dua puluh tahun yang lalu itu. Akan tetapi, Yo Han mempunyai akal. Kalau dia tidak dapat menemukan kembali anak itu, setidaknya dia berusaha menyelidiki siapa pelaku penculikan itu. Den hal ini tentu hanya dapat dia lakukan dengan menyelidiki dunia kang-ouw, bahkan di antara golongan sesat. Maka, untuk tugas itulah kini dia sengaja datang menghadiri pertemuan itu dan sengaja dia tidak mau memperkenalkan diri sesuai dengan rencana siasatnya.

Ketika dua orang pemuda itu saling pandang, Yo Han tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat, mempersilakan pemuda tampan murah senyum itu untuk bertindak lebih dahulu. Melihat isyarat gerakan tangan itu, Cia Ceng Sun tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian dia pun melangkah dan dengan langkah ringan dan santai dia menuju ke ruangan, tempat bertanding silat. Dia berdiri di tengah ruangan dan menjura kepada pihak tuan rumah dan terdengar suaranya yang halus dan sopan, juga dengan gaya bahasa yang menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang kang-ouw kasar biasa, melainkan seorang yang terpelajar.

“Harap Pangcu dari Pao-beng-pai sekeluarga suka memaafkan saya. Bukan karena ketinggian hati saya belum memperkenalkan nama, melainkan karena tertarik akan kehebatan ilmu silat keluarga Siangkoan yang tadi telah diperlihatkan. Oleh karena saya memang bermaksud meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, maka saya ingin mempergunakan kesempatan ini untuk menambah pengetahuan dengan jalan bertanding silat secara persahabatan, sebelum saya memperkenalkan nama saya yang tidak berarti.”

Sikap yang lembut dan kata-kata yang sopan seperti biasa dilakukan.orang-orang terpelajar dan kaum bangsawan, tidak disuka oleh kebanyakan orang dunia kang-ouw, maka di sana-sini terdengar ejekan terhadap pemuda tampan itu. Juga ada yang menganggap bahwa pemuda ini tentu tidak memiliki kemampuan yang berarti dalam ilmu silat, hanya pandai berlagak saja. Akan tetapi tidak demikianlah kesan yang didatangkan Cia Ceng Sun kepada keluarga tuan rumah. Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan pula, bahkan masih keturunan keluarga Kaisar Beng. Sejak kecil dia terbiasa dengan tata-cara dan sopan-santun yang berlaku di antara para bangsawan, di antaranya sikap yang halus dan kata-kata yang indah. Oleh karena itu, sikap pemuda tampan itu sungguh menarik perhatiannya dan dia merasa senang. Demikian pula dengan Siangkoan Eng, yang biarpun tidak mengalami kehidupan bangsawan istana, namun karena di dalam keluarganya, ayahnya masih memakai peraturan seperti keluarga bangsawan, ia pun tertarik melihat pemuda yang berbeda dari pemuda biasa itu. Pemuda itu berwajah tampan, anggun dan berwibawa, sikapnya demikian lemah lembut, namun telah berani maju untuk menguji ilmu silat. Seketika hatinya tertarik kepada pemuda itu, maka ia berbisik-bisik kepada pelayannya, si baju kuning yang lihai, dengan pesan agar pelayannya itu kembaili mewakilinya menguji si pemuda, akan tetapi jangan sekali-kali dilukai atau dibikin malu. Si baju kuning mengerti dan mengangguk, lalu ia maju menghadapi Cia Ceng Sun sambil memberi hormat.

“Kongcu, saya melaksanakan perintah Siocia (Nona) untuk mewakili keluarga Siangkoan dan melayanimu beberapa jurus.”

Cia Ceng Sun tersenyum, tidak merasa dipandang rendah dan dia pun membalas penghormatan pelayan yang lihai itu. “Aku tadi sudah melihat kelihaianmu, Nona pelayan. Tentu nona majikanmu jauh lebih lihai, maka untunglah engkau yang maju sehingga bagaimanapun juga, lawanku lebih ringan. Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi kelihaianmu.”

Si nona baju kuning juga senang melihat sikap pemuda tampan ini yang demikian rendah hati, bahkan sikapnya menghormat terhadap dirinya, padahal ia hanya seorang pelayan.“Kongcu, silakan mulai, saya sudah siap!” katanya lembut dan memperlihatkan senyum ramah.

“Baik, lihat seranganku!” dan Cia Ceng Sun sudah menggerakkan tangan melakukan serangan. Karena dia maklum bahwa pelayan baju kuning ini cukup lihai, tentu saja dia tidak berani memandang rendah dan begitu bergerak, dia sudah menyerang dengan sungguh-sungguh, memainkan jurus yang ampuh dari ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Kepalan tangan kiri yang memukul lurus ke depan itu medatangkan angin pukulan yang kuat. Nona baju kuning itu mengeluarkan seruan kagum dan cepat ia mengelak dengan lincah ke kiri sambil membalas dengan sebuah tendangan. Namun, Cia Ceng Sun yang sudah menguasai banyak macam Ilmu silat itu dapat menghindar dengan baik, bahkan mengirim serangan balasan dengan cepat sekali, mencengkeram pundak gadis pelayan itu dari samping. Gerakan ini mengejutkan lawan yang kembali terpaksa harus meloncat ke belakang karena serangan pemuda itu sungguh tidak boleh dipandang ringan dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan murid Kong-thong-pai tadi. Maka, si nona baju kuning kini mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi, walaupun ia tetap ingat akan pesan nonanya agar tidak melukai atau membikin malu pemuda itu. Diam-diam ia mengeluh. Bagaimana mungkin? Untuk menang pun tidak mudah, pikirnya. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tampan dan sopan ini sedemikian lihainya dan ia merasa heran. Selama ini, Pao-beng-pai telah menyebar banyak penyelidik untuk menyelidiki para tokoh dunia persilatan, bahkan mencatat dan mempelajari ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, pemuda ini agaknya luput dari pengawasan sehingga tidak dikenal oleh keluarga majikannya. Padahal, kepandaian pemuda ini cukup hebat dan ia sendiri sampai kewalahan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus. Mulailah ia terdesak hebat!

Para tamu yang menonton pertandingan itu pun menjadi kagum. Apalagi para tokoh dari aliran parsilatan besar seperti wakil Siauw-lim-pai, mereka tertegun melihat betapa pemuda tampan itu memainkan beberapa jurus dari ilmu silat aliran mereka! Ilmu silat pemuda itu campur aduk, akan tetapi setiap jurus yang dimainkannya sudah mendekati kesempurnaan! Dan mereka semua tidak pernah mengenal pemuda tampan itu! Hal ini memang tidak aneh. Sebagai seorang pangeran, Cia Ceng Sun atau Cia Sun tentu saja tidak menjadi murid biasa dalam sebuah perguruan. Dengan kekuasaannya dan kedudukan ayahnya, mudah saja dia mendatangkan guru-guru silat dari berbagai aliran yang melatihnya secara rahasia. Apalagi, di antara para jagoan istana bangsa Mancu terdapat banyak tokoh persilatan pandai yang telah berhasil mencari dan menguasai ilmu-ilmu silat dari berbagai aliran itu sehingga mereka dapat mengajarkannya kepada Pangeran Cia Sun tanpa diketahui orang lain. Keadaan pangeran ini tentu saja berbeda dengan kakeknya, yaitu yang kini menjadi kaisar ketika masih muda. Kaisar Kian Liong pun ketika masih muda juga bertualang dan mempelajari ilmu silat, akan tetapi dia mempelajarinya dari para tokoh persilatan secara berterang sehingga namanya dikenal oleh semua tokoh kang-ouw.

Siangkoan Eng memandang kagum dan hatinya semakin tertarik. Bukan main pemuda itu pikirnya, sambil termenung. Ilmu silatnya tinggi, bahkan pandai memainkan jurus berbagai aliran persilatan, wajahnya tampan, sikapnya agung seperti bangsawan, gerak-geriknya lembut dan bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini! Pemuda itu mampu mengimbangi pelayannya yang utama sampai empat puluh jurus, bahkan kini pelayannya sudah terdesak hebat.

“Haiiiiittttt!” Tiba-tiba Cia Ceng Sun berseru nyaring dan serangannya mendatangkan angin pukulan yang amat kuat, membuat nona baju kuning itu terpaksa menggunakan kedua tangan menangkis.

“Dukkk!” Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, nona baju kuning itu terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir saja roboh kalau Siangkoan Eng tidak cepat melompat ke depan dan menyambar lengannya.

“Kau mundurlah!” kata Siangkoan Eng. Pelayan itu pun mundur dan kini nona cantik jelita itu berhadapan dengan Cia Ceng Sun yang cepat memberi hormat.

“Maaf kalau aku kesalahan tangan. Aku sudah puas dapat menguji ilmu silat dan biarlah sekarang aku mengaku dan memperkenalkan namaku. Aku bernama Cia Ceng Sun, seorang pemuda perantau yang hidup di antara langit dan bumi tanpa tempat tinggal tertentu. Aku pun tidak mewakili golongan mana pun, hanya ingin meluaskan pengalaman.” Dia memberi hormat ke arah ketua Pao-beng-pai dan hendak kembali ke tempat duduknya.

“Cia-kongcu (tuan muda Cia), nanti dulu!” terdengar seruan halus dan Cia Ceng Sun menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya, memandang kepada gadis jelita yang berhadapan dengannya.

“Nona, aku sudah memperkenalkan diri sebagai tamu, ada urusan apa lagikah yang dapat kulakukan untuk keluarga tuan rumah?”

Siangkoan Eng tersenyum dan nampak giginya yang rata dan putih itu berkilauan sejenak. “Harap jangan salah mengerti, Kongcu. Engkau telah memperkenalkan diri, tidak sepantasnya kalau aku sebagai nona rumah juga tidak memperkenalkan diri. Aku bernama Siangkoan Eng dan aku mewakili orang tuaku dan mewakili Pao-beng-pai untuk berkenalan dengan ilmu silatmu yang tinggi. Ingin sekali aku mengajak engkau berlatih sejenak untuk mengenal ilmu masing-masing. Sudikah engkau memenuhi keinginanku ini, Kongcu?”

Cia Ceng Sun terbelalak. Bukan main gadis ini! Begitu pandai membawa diri dan kalau tadi nampak begitu dingin, kini begitu ramah dan wajahnya cerah seperti matahari baru terbit dari balik gunung.

Dan manisnya bukan main, cantik jelita seperti seorang puteri istana! Lebih lagi karena kalau puteri istana dikekang oleh adat istiadat yang kaku, gadis ini demikian bebas seperti bunga mawar hutan yang semerbak harum dan indah. Dia teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak jatuh hati kepada gadis lain, karena dia sudah ditunangkan dengan seorang gadis lain yang juga seorang gadis perkasa dengan julukan Si Bangau Merah. Akan tetapi, dia belum pernah berhadapan dengan Si Bangau Merah. Apakah ia secantik gadis di depannya ini?

“Nona Siangkoan terlalu memujiku. Kepandaian silatku memang hanya sejajar dengan tingkat kepandaian pelayanmu, Nona. Kalau melawanmu, mana mungkin aku dapat mengimbangimu?”

“Cia-kongcu, harap jangan terlalu merendahkan diri. Kita hanya berlatih sebentar untuk menambah pengetahuan masing-masing dan harap jangan sungkan. Marilah, Kongcu.” Sikap Siangkoan Eng demikian membujuk dan manis sehingga Cia Ceng Sun yang tadinya tidak ingin bertanding lagi, menjadi tertarik.

“Baik, harap jangan terlalu kejam kepadaku, Nona. Nah, aku sudah siap, silakan Nona mulai.” Pemuda itu yang maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat tangguh, sudah memasang kuda-kuda Lo-han-hun dari aliran Siauw-lim-pai, kuda-kuda yang amat kokoh kuat dan tangguh seperti benteng baja. Melihat kuda-kuda ini, Siangkoan Eng tersenyum.

“Cia-kongcu, awas terhadap seranganku! Hiaaaaattttt....!” Dan ia pun menyerang dengan jurus ilmu silat Siauw-lim-pai pula! Tentu saja Cia Ceng Sun terkejut dan kagum, maka dia pun menyambut serangan itu dengan tangkisan dan membalas serangan lawan dengan jurus ilmu silat Siauw-lim-pai. Belasan jurus mereka saling serang dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, kemudian tiba-tiba gadis itu mengubah ilmu silatnya, kini ia menyerang dengan ilmu silat dari Bu-tong-pai. Dan Cia Ceng Sun juga mengimbangi dengan ilmu silat yang sama! Demikianlah, pertandingan itu berlangsung seru bukan main, keduanya menukar-nukar ilmu silat dan selalu diimbangi lawan dengan ilmu yang sama. Gerakan mereka tangkas dan gesit, juga dalam hal tenaga sinkang, mereka seimbang.

Sesungguhnya, kalau Siangkoan Eng menghendaki, tingkatnya masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Cia Ceng Sun dan biarpun pemuda itu merupakan lawan yang tangguh baginya, namun kalau ia bersungguh-sungguh akhirnya pemuda itu akan kalah. Apalagi kalau gadis itu mau mempergunakan kekuatan sihir atau ilmu pukulan sesat beracun yang amat berbahaya dari didikan ibunya, tentu pemuda itu akan celaka. Hanya saja, gadis itu memang tidak ingin mencelakai Cia Ceng Sun. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Siangkoan Eng merasa tertarik dan sayang kepada seorang pemuda dan ia sengaja mengalah.

Enam puluh jurus telah lewat dan pertandingan itu masih ramai dan seru, seolah tidak ada yang menang atau kalah, dan nampaknya seimbang dan setingkat. Kecepatan gerakan mereka, keindahan gerakan mereka, membuat semua orang merasa kagum. Lauw Cu Si, ibu dari Siangkoan Eng, berbisik kepada suaminya, “Anakmu agaknya sudah menjatuhkan pilihan hatinya.”

Siangkoan Kok mengelus jenggotnya yang panjang dan rapi, “Kalau memang benar, apa salahnya? Pemuda itu cukup tampan dan gagah, dan pembawaannya seperti seorang bangsawan. Kita hanya perlu mengetahui siapa orang tuanya.” Suaminya berbisik pula.

Pada saat itu, Cia Ceng Sun merasa penasaran juga. Belum pernah dia dikalahkan oleh seorang wanita dalam pertandingan silat, dan kini dia sama sekali tidak mampu mengalahkan gadis ini, bahkan mendesak pun tidak mampu. Dia merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia melompat ke depan lalu menyerang dengan kedua lengan diluruskan dan kedua tangan terbuka mendorong ke depan dengan jurus Pat-bua-twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung), kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk, kedua tangan lurus mendorong ke arah lawan sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Ini merupakan serangan yang mengandalkan tenaga sakti dan hawa dorongannya saja mampu membuat lawan terlempar.

Akan tetapi melihat serangan ini, Siangkoan Eng tidak mengelak atau menangkis, melainkan meloncat pula ke depan, membuat gerakan yang sama dan menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangan pula, dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk lututnya. Kedudukan mereka persis sama, dan kini dua pasang tangan yang terbuka itu saling bertemu.

“Plakkk!” Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat! Keduanya seperti tergetar dan terguncang karena pertemuan tenaga sin-kang itu, akan tetapi keduanya dapat bertahan!

Mereka saling pandang dalam jarak dekat, hanya terpisah juluran lengan. Mereka dapat saling merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh masing-masing, dan keduanya tersenyum. Mereka seperti sedang bercanda atau bercumbu dengan cara yang aneh. Keduanya saling dorong, akan tetapi Siangkoan Eng sengaja membatasi tenaganya sehingga mereka seimbang dan dua pasang telapak tangan itu seperti melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi.

Banyak di antara para tamu yang memandang dengan hati berdebar tegang. Adu tenaga seperti itu amatlah berbahaya bagi yang kalah! Salah-salah dapat merenggut nyawa seorang di antara mereka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa hal ini tidak mungkin terjadi karena sebenarnya tenaga sin-kang Siangkoan Eng lebih kuat sehingga gadis ini dapat mengatur dan mengendalikan adu tenaga itu. Kalau tenaga mereka seimbang, memang dapat, berbahaya. Dan agaknya Cia Ceng Sun juga menyadari, bahwa sebetulnya dia kalah kuat. Buktinya, gadis itu nampak santai saja dan tidak nampak khawatir seperti dia, maka dia pun kini tersenyum dan maklum bahwa keadaan mereka tidak berbahaya karena gadis itu menguasai tenaga mereka. Jantung pangeran ini berdebar ketika melalui telapak tangan itu dia merasakan suatu kehangatan dan kelembutan yang membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.

Pada saat itu nampak Yo Han cepat naik ke tempat pertandingan itu dan tanpa ragu-ragu lagi dia menengahi, menggunakan kedua tangannya mendorong di tengah-tengah, ke arah dua pasang tangan yang saling tempel.“Cukup, harap kalian mundur?” katanya dan dari dorongannya muncul tenaga yang amat dahsyat, yang membuat Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun terdorong mundur sampai tiga langkah dan dengan sendirinya tempelan dua pasang tangan utu terlepas, namun tidak mendatangkan bahaya kepada keduanya. Mereka hanya merasa kedua lengan mereka tergetar dan mereka terdorong hawa pukulan yang dahsyat. Diam-diam Cia Ceng Sun terkejut dan memandang kepada Yo Han dengan sinar mata penuh kagum.

“Siangkoan Siocia, terima kasih atas pelajaran yang kauberikan kepadaku,” katanya sambil memberi hormat kepada gadis itu. Siangkoan Eng membalas dan tersenyum.

“Cia-kongcu, engkaulah yang telah memberi pelajaran kepadaku. Terima kasih.”

Kini Cia Ceng Sun menghadapi Yo Han dan setelah mereka saling pandang penuh perhatian, pangeran itu berkata, “Sobat, engkau hebat. Terima kasih.” Lalu dia kembali ke tempat duduknya, meninggalkan Yo Han yang kini berdiri di situ, berhadapan dengan Siangkoan Eng. Gadis ini mengerutkan alisnya dan nampak marah, akan tetapi pada saat itu, ayahnya berkata dengan suara yang dalam.

“Eng Eng, engkau mundurlah, biar aku sendiri menghadapi sobat muda itu.” Kiranya ketua Pao-beng-pai ini sudah waspada dan tadi melihat gerakan Yo Han. Dia tahu bahwa puterinya memiliki tenaga sin-kang yang sudah kuat, dan tahu pula bahwa puterinya tadi mengalah terhadap pemuda she Cia itu sehingga biarpun mereka nampaknya mengadu tenaga sin-kang, namun puterinya dapat mengendalikan tenaga mereka dan keadaan keduanya sama sekali tldak berbahaya. Lalu muncul pemuda yang lain itu, yang dengan sekali dorong saja mampu membuat kedua orang itu terdorong mundur ini berarti bahwa pemuda yang baru muncul ini memiliki kekuatan sin-kang yang amat hebat, yang dapat sekaligus melawan kekuatan Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun yang bergabung menjadi satu! Maklum akan hal ini, Siangkoan Kok dapat menduga bahwa pemuda yang baru muncul ini lihai sekali dan mungkin puterinya tidak akan mampu menandinginya, maka dia sendiri akan maju. setelah puterinya mundur, dia pun bangkit dan melangkah maju menghadapi Yo Han.

Dua orang laki-laki itu berdiri berhadapan dalam jarak empat meter. Yo Han bersikap angkuh dan dingin dan sikap ini merupakan pelaksanaan dari siasat yang sudah direncanakannya. Untuk dapat mencari jejak penculik puteri bibinya, dia harus berkecimpung di dalam dunia kang-ouw, bergaul dengan golongan sesat dan bersikap seperti seorang pemuda sesat pula, atau setidaknya seorang pemuda yang memusuhi keluarga besar para pendekar terutama sekali memusuhi ayah dan ibu anak yang diculik itu. Itulah sebabnya dia bersikap seperti seorang pemuda yang tinggi hati, dingin dan kejam, sikap seorang pemuda golongan sesat!

Setelah saling pandang beberapa lamanya, melihat pemuda itu sama sekali tidak mau menghormatinya, Siangkoan Kok mengerutkan alisnya dan dengan suaranya yang mengguntur dia berkata, “Sobat muda! Engkau datang ke sini, berarti engkau adalah tamu kami. Nah, perkenalkan namamu dan katakan mengapa engkau usil tangan mencampuri adu ilmu yang dilakukan puteri kami tadi?”

Yo Han mengangguk dan dengan sikap congkak dia pun berkata, “Pangcu, aku sudah mendengar bahwa engkau adalah pangcu dari Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Pertemuan ini memang kupergunakan sebagai kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang sehaluan dan juga segolongan. Dan aku belum memperkenalkan nama, karena memang aku menunggu kesempatan terakhir ini untuk bicara kepada seluruh saudara segolongan yang kini berkumpul di sini!”

Sikap, yang congkak ini. membuat Siangkoan Kok semakin senang, akan tetapi juga membuat dia ingin sekali tahu siapa pemuda ini dan apa maunya.

“Hemmm, baiklah, kau perkenalkan diri dan katakan apa kehendakmu datang ke sini. Kalau memang beralasan kami mau menerimanya, akan tetapi kalau engkau hanya ingin mengacau, jangan salahkan kami kalau terpaksa kami akan membunuhmu!” Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok kembali duduk di kursinya. Semua orang memandang dengan hati tegang kepada Yo Han yang kini berdiri seorang diri di atas panggung yang tadi dipergunakan untuk mengadu ilmu silat.

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, “Dia bocah iblis dari Thian-li-pang itu!” Semua orang menengok dan yang berteriak itu adalah tosu Pek-lian-kauw, Kui Thian-cu yang tadi dikalahkan Siangkoan Eng dalam pertandingan. Dia sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya dan menuding-nuding ke arah Yo Han. kiranya tosu Pek-lian-kauw ini masih ingat kepada Yo Han yang kurang lebih tiga tahun yang lalu pernah dia jumpai di perkumpulan Thian-li-pang, yaitu ketika dia berkunjung ke sana bersama rekannya, Kwan Thian-cu.

Belum juga gema suara Kui Thiancu hilang, terdengar seruan nyaring yang lain, Tosu dari Pek-lian-kauw harap jangan menghina pemimpin kami! Saudara sekalian, perkenalkanlah, pemuda perkasa ini adalah pemimpin dari kami Thian-li-pang yang telah menyerahkan kedudukan ketua kepada ketua kami yang sekarang!”

Semua orang menengok dan melihat bahwa yang bicara adalah seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun. Dan laki-laki itu tidak peduli kepada semua orang, melainkan kini dari tempat duduknya menghadap ke arah Yo Han dan memberi hormat sambil berkata, “Yo-taihiap, maafkan kelancangan saya. Saya Thio Cu dari Thian-li-pang diutus ketua Lauw untuk mewakili Thian-li-pang hadir di sini.”

Yo Han tidak mengenal orang itu, akan tetapi kini dia tahu bahwa Thio Cu itu tentu seorang tokoh Thian-li-pang, maka dia pun mengangguk dengan sikap yang angkuh.

Siangkoan Kok memandang kepadanya. “Orang muda, harap cepat perkenalkan diri dan nyatakan apa kehendakmu di sini.” katanya.

Yo Han memandang ke empat penjuru, lalu menghadap pihak tuan rumah dan berkata sambil membusungkan dada. “Cuwi (Anda Sekalian), dengarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Yo Han dan seperti dikatakan Paman Thio Cu dari Thian-li-pang tadi, aku adalah seorang pimpinan Thian-li-pang akan tetapi aku tidak mau memegang kedudukan ketua dan kuserahkan kepada Paman Lauw Kang Hui. Aku lebih senang merantau untuk melaksanakan tugasku yang teramat penting. Kalau tosu Pek-lian-kauw itu merasa tidak suka kepadaku, hal itu tidak aneh karena aku pernah melarang Thian-li-pang untuk bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Kurasa, Thian-li-pang sama dengan Pao-beng-pai, yaitu sekelompok patriot yang menentang penjajah Mancu, bukan kelompok penjahat yang menggunakan kedok perjuangan untuk berbuat jahat. Aku sendiri pun bukan orang bersih, tapi aku pantang mengganggu rakyat jelata. Hendaknya Cuwi ketahui bahwa aku tidak mewakili siapapun, ayah ibuku sudah tiada. Ayahku bernama Yo Jin dan ibuku tentu Cuwi sudahmengenalnya. Ia bernama Ciong Siu Kwi, berjuluk Bi Kwi.”

Terdengar seruan di sana-sini karena nama Bi Kwi pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan. Bi Kwi (Setan Cantik) terkenal sebagai seorang tokoh yang aneh dan kejam.

“Hemmm, Yo Han, kami ingat bahwa Bi Kwi dahulunya memang tokoh kang-ouw yang terkenal, murid Sam Kwi (Tiga Setan), akan tetapi kemudian ia membalik. dan bergabung dengan mereka yang menamakan diri pendekar-pendekar, memihak orang Mancu!” teriak Siangkoan Kok dan terdengar banyak suara membenarkan.

“Itu hanya kabar bohong, Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan)! Aku sebagai anaknya yang lebih tahu. Ayahku tewas, ibuku juga tewas membunuh diri, semua itu gara-gara mereka yang menamakan diri pendekar-pendekar keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga Lembah Naga. Aku mendendam kepada mereka, terutama aku membenci sekali kepada bekas bibi guruku, adik seperguruan mendiang ibu yang bernama Can Si Lan berjuluk Siauw Kwi! Can Bi Lan itulah yeng telah membujuk sucinya, yaitu ibuku, untuk bergabung dengan mereka, dan Can Bi Lan sendiri menjadi isteri pendekar Suling Naga Sim Houw! Aku ingin mengajak mereka yang menentang pemerintah Mancu untuk tidak saja menentang pemerintah itu, juga untuk membasmi para antek Mancu, terutama sekali Can Bi Lan dan suaminya, Sim Houw!”Yo Han bicara dengan semangat berapi-api, matanya mencorong seolah dia marah besar dan amat membenci nama-nama yang baru saja dia sebutkan. Inilah siasatnya. Dia ingin melacak jejak penculik puteri bibinya itu dengan cara mendekati orang-orang kang-ouw dan bersikap seolah dia memusuhi suami isteri yang kehilangan anaknya itu.

Kembali suasana menjadi gaduh setelah dia berhenti bicara. Para tamu saling bicara sendiri dan karena sebagian besar di antara mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang memang tidak suka kepada para pendekar dari tiga keluarga itu, maka kebanyakan di antara mereka setuju dengan pendapat Yo Han. Akan tetapi, ada pula yang terkejut mendengar hal itu dan di antara mereka adalah para wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Juga Pangeran Cia Sun diam-diam terkejut sekali. Pemuda itu merupakan bahaya bagi kerajaan keluarga kakeknya! Justeru kerajaan di bawah pimpinan kakeknya selalu ingin mendekati para pendekar dan para tokoh kang-ouw untuk memanfaatkan kekuataan.mereka, pemuda ini malah menghasut. Dia sendiri pun tadinya selain ingin menambah pengetahuan, ingin pula menyelidiki sampai berapa jauhnya gerakan Pao-beng-pai yang kabarnya merupakan perkumpulan yang hendak menentang pemerintah Mancu.

“Amitohud....!!” Tiba-tiba terdengar suara halus dan seorang pendeta berkepala gundul yang usianya sudah enam puluh tahun maju menghadapi Yo Han. Dia adalah seorang di antara utusan Siauw-lim-pai yang merasa penasaran sekali ketika mendengar bahwa Yo Han hendak membasmi keluarga Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga. “Orang muda, engkau masih begini muda, akan tetapi sungguh tinggi hati dan sombong. Bagaimana mungkin engkau akan menghadapi para pendekar sakti dari ketiga keluarga itu? Pula, mereka adalah pendekar-pendekar sakti yang bertindak demi membela mereka yang tertindas dan menentang kejahatan, sama sekali bukan antek pemerintah. Pinceng (aku) peringatkan agar engkau berhati-hati kalau bicara. Kami adalah sahabat baik dari para pendekar itu.”

“Siancai....! Apa yang dikatakan Lo Kiat Hwesio dari Siauw-lim-pai memang benar sekali. Pemuda ini terlalu sombong dan lancang mulut. Kami dari Kun-lun-pai juga merupakan sahabat para pendekar itu dan pinto (aku) tidak suka mendengar ada orang menghina mereka. Mereka bukan antek pemerintah!” Semua orang menengok dan yang bicara itu adalah seorang tosu (pendeta To) berusia lima puluh tahun lebih yang tinggi kurus dan barjenggot panjang, “Kalau orang muda she Yo tidak manghentikan bualannya, pinto Ciang Tojin dari Kun-lun-pai pasti tidak akah tinggal diam saja!”

Yo Han menoleh pula kepada tosu itu, kemudian dia tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, kiraanya Lo Kian Hwesio dari Siauw-lim-pai dan Ciang Tojin dari Kun-lun-pai mambela para pandakar itu. Mereka itu jelas antek Mancu, bahkan Pendekar Super Sakti sendiri masih memunyai hubungan keluarga dengan Kerajaan Mancu. Dia pun menikah dengan puteri Mancu! Pantas kalau Ji-wi (Kalian Berdua) membela, karena bukankah selama ini kuil-kuil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai menjadi makmur berkat bantuan pemerintah Mancu? Sayang sekali, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang besar itu pun kini menjadi kecil karena diperbudak orang-orang Mancu.”

“Keparat, betapa sombongnya engkau!” Bayangan berkelebat dan tosu Kun-lun-pai itu sudah berada di depan Yo Han, berjajar dengan Lo Kian Hwesio. Kalau hwesio Siauw-lim-pai itu memegang seuntai tasbih hitam yang matanya besar-besar, tosu itu memegang sebatang tongkat berbentuk ular yang tingginya sepundak dan besarnya sepergelangan tangan.Melihat mereka berdua, Yo Han sengaja tertawa lagi. “Ha-ha-ha, kalian mau apa? Jangan dikira aku takut menghadapi kalian berdua. Kalian boleh maju berdua mengeroyok aku, kalau aku kalah, aku tidak akan banyak mulut lagi dan akan pergi dari sini. Kalau kalian kalah, jangan kalian ribut mencampuri urusanku lagi!”

Dua orang pendeta itu terpancing kemarahan mereka karena Yo Han sengaja menghina Siauw-lim-pai den Kun-lun-pai sehingga mereka lupa bahwa tidaklah pantas bagi mereka dua orang tua yang berkedudukan tinggi mengeroyok seorang pemuda! Namun, kemarahan memang membutakan kesadaran dan mendengar tantangan itu, hwesio dan tosu itu semakin marah.

“Omitohud, bocah sombong ini agaknya perlu disadarkan dengan kekerasan, To-yu!” kata hwesio itu dan dia pun mendahului tosu Kun-lun-pai, menggerakkan tasbih di tangannya menyerang Yo Han. Tosu itu pun menggerakkan tongkatnya dan memukulkannya ke arah tubuh Yo Han, seperti seorang ayah yang marah-marah dan hendak menghajar anaknya yang bandel.

Yo Han memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya untuk menarik perhatian, terutama sekali perhatian penculik puteri bibinya atau setidaknya, yang tahu akan peristiwa itu, dan agar dia dipercaya dan ditarik sebagai sekutu mereka. Maka, begitu menghadapi serangan kedua orang ahli silat kelas tinggi sebagai tokoh-tokoh partai persilatan besar, dia pun meloncat ke belakang, kemudian ketika kedua orang lawannya maju mengejar, dia pun mengerahkan tenaga yang didapat dari Bu-kek Hoat-keng dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut mereka.

Bukan main kagetnya kedua orang tua itu ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari kedua tangan pemuda itu bagaikan badai. Mereka berusaha menyambut dengan dorongan tangan kiri yang disertai pengerahan tenaga sin-kang. Pertemuan antara dua hawa pukulan yang amat dahryat terjadi dan akibatnya, kedua orang tua itu terdorong dan terjengkang roboh!

Tentu saja hal ini membuat semua orang terkejut. Bahkan Siangkoan Kok sendiri terbelalak. Dia tahu betapa lihainya tokoh Siauw-lim-pai dan tokoh Kun-lun-pai itu, akan tetapi dalam segebrakan saja mereka roboh oleh pukulan jarak jauh yang dahsyat!

Tiba-tiba terdengar suara lantang, “Ah, tidak salah lagi. Dia adalah Sin-ciang Tai-hiap yang pernah menggemparkan perbatasan barat!”

Semua orang menengok dan ternyata yang bicara itu adalah seorang laki-laki tua yang berjubah pendeta dan dia bukan lain adalah Hoat Cin-jin, tokoh Go-bi-pai! “Pinto pernah mendengar bahwa nama Pendekar Tangan Sakti yang tak pernah memperlihatkan mukanya itu adalah Yo Han yang pernah membantu para pendeta Lama di Tibet meredakan pemberontakan!”

Kini semua orang memandang lagi kepada Yo Han dan mereka tertegun. Mereka sudah mendengar kebesaran nama Sin-Ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) yang menggemparkan di barat itu, seorang pendekar yang tidak pernah mau memperlihatkan mukanya sehingga hanya dikenal namanya saja. Juga Siangkoan Kok sudah pernah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap, maka kini dia memandang kepada Yo Han dengan penuh selidik. Sedangkan tokoh Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi terpaksa mengakui kekalahan mereka dan mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Siangkoan Kok kini maju menghampiri Yo Han.

“Saudara Yo Han, benarkah engkau yang berjuluk Sin-ciang Tat-hiap!” tanya ketua Pao-beng-pai itu.

Yo Han menghadapi pria tinggi besar yang gagah perkasa itu. “Memang benar, Pangcu. Akan tetapi orang terlalu membesarkannya. Aku bukan seorang pendekar seperti tiga keluarga besar itu! Aku hanya ingin menyadarkan orang-orang kang-ouw yang tersesat mengganggu rakyat, agar mereka itu tidak memusuhi rakyat melainkan memusuhi pemerintah Mancu dan antek-anteknya. Pernahkah Pangcu mendengar aku membunuh seorang kang-ouw? Seperti yang dilakukan para angauta tiga keluarga besar itu?. Tidak, yang kumusuhi bukanlah orangorang kang-ouw melainkan pemerintah Mancu dan antek-anteknya. Karena itulah maka aku sengaja datang ini untuk bekerja sama dengan orang-orang seperjuangan dan sehaluan.”

Banyak di antara para tamu, orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Sun-ciang Tai-hiap, senyambut ucapan itu dengan gembira. Hanya mereka yang merasa dekat dengan keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga saja yang memandang dengan wajah muram. Pemuda itu sungguh merupakan bahaya bagi para pendekar, terutama mereka yang tidak menentang pemerintah Mancu.

Sedangkan Siangkoan Kok merasa gembira bukan main. Inilah orang yang akan menjadi sekutu yang amat berguna baginya. “Yo-sicu (orang gagah Yo), sudah lama kami mencari seorang sekutu yang baik dan agaknya engkaulah orangnya. Hayo ,aku masih merasa penasaran kalau tidak mengukur sendiri kekuatanmu, walaupun tadi engkau telah memperlihatkan tenagamu yang dahsyat. Kami akan suka sekali menjadi kawan seperjuanganmu, Sicu, akan tetapi lebih dahulu aku ingin menguji kekuatanmu. Bersediakah engkau?”

“Hemmm, aku mendapatkan kehormatan besar sekali kalau Pangcu dari Pao-beng-pai suka memberi petunjuk kepada aku yang muda dan bodoh,” kata Yo Han. “Nah, Pangcu, aku sudah siap.”

“Bagus, aku pun hanya ingin mengukur tenagamu saja, Sicu. Sambutlah doronganku ini!” Berkata demikian, ketua Pao-beng-pai itu menekuk kedua lututnya dengan kaki terpentang, lalu kedua lengannya melakukan dorongan lurus ke dapan yang dimulai dari bawah pangkal lengan, kedua tangan terbuka, jari-jari tangan agak ditekuk dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan dahsyat yang mengeluarkan bunyi berciut dan mengandung hawa dingin!

Maklum bahwa dia menghadapi serangan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dan berbahaya, Yo Han Juga cepat menekuk kedua lutut dan seperti tadi ketika menyerang dua orang pendeta, dia pun mengerahkan tenaga dari Bukek Hoat-keng dan dari kedua telapak tangannya menyambar hawa pukulan yang tidak kalah hebatnya.

Dua tenaga yang tidak nampak bertemu di antara mereka dan nampak tubuh mereka tergetar hebat. Yo Han sengaja tidak menyerang, hanya mempertahankan ketika tenaga lawan mendorongnya, dan ketua Pao-beng-pai itu merasa betapa dorongannya bertemu dengan perisai yang kokoh kuat seperti batu karang! Dia kagum bukan main, lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong dan dari mulutnya terdengar suara menggereng. Yo Han tetap mempertahankan. Biarpun tenaga lawan itu kuat sekali, kalau dia menggunakan Bu-kek Hoat-keng dan balas menyerang, dia merasa yakin akan mampu mengatasi lawan. Namun bukan itu yang dikehendakinya. Maka, dia pun hanya mempertahankan dan biarpun kedua kakinya tetap memasang kuda-kuda, namun tubuhnya terdorong dan kedua kaki itu tergeser ke belakang sampai tiga kaki!

Melihat ini, ketua Pao-beng-pai semakin kagum. Jarang ada tokoh persilatan mampu menahan dorongannya itu, dan melihat betapa pemuda itu tidak sampai mengangkat kaki, tidak terjengkang melainkan hanya kedua kakinya tergeser ke belakang dalam keadaan kuda-kuda yang sama, hal ini saja membuktikan betapa kuatnya pemuda itu. Dia pun segera berseru, “Cukup!” dan keduanya menarik tenaga masing-masing. Siangkoan Kok agak terengah karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaga. Yo Han cepat membuat pernapasannya memburu agar jangan diketahui orang bahwa dia lebih kuat.“Hebat, engkau masih muda sudah memiliki tenaga yang hebat, Sicu! Cukuplah, biar lain kali saja kita berlatih silat. Engkau cukup berharga untuk menjadi sekutu kami. Mari Yo-sicu, silakan duduk di atas bersama kami. Dan engkau juga, Cia-sicu. Engkau pun sudah mampu menandingi puteri kami, bararti engkau juga cukup berharga dan layak untuk duduk di tampat kehormatan dan semeja dangan kaluarga kami!” Ketua itu gambira bukan main bahwa di antara para tamunya tardapat dua orang pemuda sepertu Cia Ceng Sun. dan Yo Han. Tinggal pilih saja untuk menjadi calon mantu. Keduanya sama tampannya dan sama gagahnya. Yo Han tentu saja lebih kuat, akan tetapi Cia Ceng Sun lebih berwibawa dan terpelajar.

Pesta pertemuan itu pun dimulai dengan meriah. Yang duduk di atas sebagai tamu-tamu kehormatan adalah tokoh besar dunia kang-ouw termasuk para tokoh Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Bu-tong-pai. Akan tetapi mereka itu duduk di meja lain, sedangkan Yo Han dan Cia Ceng Sun duduk semeja dengan Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya. Kalau sikap Cia Ceng Sun sopan santun dan sungkan seperti seorang pemuda yang diharuskan duduk semeja dengan nyonya dan nona rumah, Yo Han menyesuaikan diri dengan perannya sebagai seorang berandalan kang-ouw. Dia acuh saja, bahkan bersikap agak dingin! Sikap seorang pemuda kang-ouw yang tinggi hati.

Mula-mula Siangkoan Eng juga kagum bukan main melihat kelihaian Yo Han, apalagi nama besarnya sebagai Pendekar Tangan Sakti, akan tetapi karena sikapnya itu, maka perhatian gadis itu lebih banyak tertuju kepada Cia Ceng Sun yang bersikap ramah, manis dan pandai membawa diri. Bahkan ibunya pun lebih suka kepada Cia Ceng Sun daripada kepada Yo Han.

Karena mereka duduk semeja, mau tidak mau Yo Han terpaksa berkenalan pula dengan Cia Ceng Sun. Ketua Pao-beng-pai sambil makan minum dan mendengarkan musik dan nyanyian, mencoba untuk mengorek keterangan tentang riwayat kedua orang pemuda yang menarik hati itu.

Cia Ceng Sun menceritakan bahwa dia seorang yatim piatu yang menerima harta warisan yang banyak dari mendiang orang tuanya yang hartawan di utara, dan sejak kecil dia suka mempelajari ilmu silat dari siapa saja sehingga tidak mempunyai guru tertentu. “Guru saya banyak sekali, akan tetapi bukan guru tetap. ilmu silat apa saja saya pelajari, dan untuk itu saya telah menghamburkan hampir semua harta peninggalan ayah.” Tentu saja dia berbohong. Yang tidak bohong adalah bahwa dia memang mempelajari ilmu-ilmu silatnya dari banyak guru, tanpa ada guru tetap. “Sampai sekarang pun, saya merantau untuk menambah pengetahuan dan meluaskan pengalaman.” tambahnya.

Ketika Yo Han ditanya, dia mengaku bahwa dia juga yatim piatu seperti telah diceritakannya tadi. Tentang ilmu silat, dia katakan bahwa dia mewarisi ilmu-ilmu ibunya, dan juga dia mempelajari ilmu silat dari para tokoh Thian-li-pang di Bukit Naga. “Tadinya, aku dipilih untuk menjadi ketua, akan tetapi karena aku tidak suka terikat, aku lalu menyerahkan kedudukan itu kepada suhengku Lauw Kang Hui.” Dia mengakhiri ceritanya.

Siangkoan Kok memandang kagum. “Jadi Lauw Kang Hui adalah suhengmu? Pantas saja engkau lihai. Kami pernah mendapat kehormatan bertemu dengan dua orang tokoh Thian-li-pang yang sakti, yaitu Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong “

Yo Han mengangguk. “Mereka adalah guru-guruku dan kini. mereka sudah meninggal dunia.”

Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan tidak mengherankan kalau sebentar saja, nampak keakraban antara Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng. Kebetulan Cia Ceng Sun duduk di sebelah gadis itu, dan Siangkoan Eng juga bukan seorang gadis pemalu, sehingga mereka pun becakap-cakap membicarakan ilmu silat. Dari sikap dan pandang mata gadis itu, Yo Han saja dapat mengerti bahwa gadis itu tertarik kepada Cia Ceng Sun yang tampan dan gagah. Apalagi orang tua gadis itu, mereka tentu saja mengetahui.

Dalam pesta perjamuan itu, selain memperkenalkan diri, Pao-beng-pai juga menawarkan kerja sama dengan semua pihak yang menentang penjajah Mancu, tidak peduli mereka itu dari golongan hitam atau putih, dari kelompok mana pun.

“Untuk mengusir penjajah dari tanah air, satu-satunya cara adalah bersatu padu di antara seluruh golongan. Kalau kita bersatu padu, kita akan menjadi kuat dan pemerintah penjajah pasti dapat kita tumbangkan!” demikian antara lain ketua Pao-beng-pai berkata kepada para tamunya. Pertemuan itu dibubarkan dengan kesan yang baik bagi para tamu. Pao-beng-pai mereka akui, bahkan semua orang tahu bahwa Pao-beng-pai dipimpin oleh keluarga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Semua tamu meninggalkan rumah besar di perkampungan Pao-beng-pai di Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) itu. Kecuali Yo Han dan Cia Ceng Sun! Dua orang pemuda ini menerima undangan khusus dari pihak pimpinan Pao-beng-pai untuk tinggal selama beberapa hari di situ dengan alasan agar perkenalan semakin menjadi akrab. Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati Yo Han karena dia memang ingin sekali memperoleh keterangan tentang penculik puteri bibinya yang dia harapkan dapat mendengar dari perkumpulan itu. Juga Cia Ceng Sun merasa girang. Dia melihat bahwa Pao-beng-pai merupakan bahaya besar bagi pemerintahan kakeknya, maka sebagai seorang pangeran, dia berkewajiban untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam agar dia memperoleh bahan untuk membuat pelaporan sehingga pemerintah dapat diselamatkan dan para pemberontak ini dapat dibasmi. Hanya ada sebuah hal yang membuat hati pangeran ini gelisah. Yaitu Siangkoan Eng! Dia merasa menyesal sekali mengapa seorang gadis seperti itu menjadi puteri kepala pemberontak! Dua orang pemuda itu masing-masing memperoleh sebuah kamar di bagian belakang, kamar yang cukup mewah. Dan biarpun mereka mendapatkan kamar sendiri, namun kedua pemuda itu maklum bahwa diam-diam pihak keluarga tuan rumah selalu mengikuti gerak-gerik mereka. Beberapa orang selalu memasang mata kalau mereka berada di dalam kamar. Hal ini membuat keduanya berhati-hati dan tidak berani sembarangan bertindak, juga mereka maklum bahwa betapapun ramahnya sikap keluarga tuan rumah, namun agaknya mereka masih belum percaya benar.


***


Mereka duduk berdua saja, di ruangan depan pada senja hari itu. Yo Han dan Siangkoan Kok. Sudah dua hari Yo Han tinggal di rumah keluarga Siangkoan Kok dan dia mulai mengenal ketua itu sebagai seorang yang mempunyai cita-cita besar, yaitu menumbangkan pemerintah Mancu. Juga ketua itu mulai mengaku bahwa dia adalah keturunan keluarga Kerajaan Beng yang telah dijatuhkan pasukan Mancu seratus tahun lebih yang lalu. Ketua Pao-beng-pai ini bercita-cita untuk membangun kembali Kerajaan Beng! Yo Han melihat kenyataan bahwa yang dinamakan “perjuangan” oleh Siangkoan Kok ini pada hakekatnya tiada lain hanyalah suatu usaha balas dendam dan ambisi pribadi. Betapa banyaknya orang yang menggunakan kedok perjuangan, demi rakyat, demi bangsa dan sebagainya, yang pada hakekatnya menyembunyikan kepentingan pribadi. Siangkoan Kok bukan berjuang melihat penderitaan rakyat, melainkan bercita-cita untuk merampas kembali kerajaan dan tentu dia bercitacita menjadi raja kalau dia berhasil membangun kembali Kerajaan Beng. Perjuangan itu baru aseli kalau dilakukan oleh seluruh rakyat sebagai akibat penderitaan atau penindasan. Perjuangan yang mengutamakan rakyat tanpa mengikutsertakan rakyat sendiri, masih diragukan kemurniannya. Siangkoan Kok tidak mengajak rakyat, melainkan mempunyai anak buah sendiri, dan merangkul orang-orang dari dunia persilatan, baik golongan hitam maupun putih. Akan tetapi bagaimana dengan rakyat jelata? Benarkah mereka itu kini dalam keadaan tertindas. Yang dia tahu, biarpun Kaisar Kian Liong seorang Mancu, namun dia dikenal sebagai seorang kaisar yang bijaksana, membangun dan berusaha memakmurkan rakyat, bukan dengan jalan penindasan. Karena itu, nama kaisar itu harum di kalangan rakyat, bukan sebagai kaisar penindas.

Yo Han setuju kalau pemerintah dipegang oleh bangsa sendiri, bukan oleh bangsa Mancu. Akan tetapi, dia tidak setuju kalau untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah itu diadakan pemberontakan-pemberontakan kecil di sana sini yang bukan lain berambisi pribadi dari pemimpin-pemimpon kelompok yang tidak puas dan yang mencari kekuasaan bagi diri sendiri. Pemberontakan kecil macam itu hanya akan menyengsarakan rakyat belaka. Seperti yang sudah-sudah, gerombolan pemberontak itu selalu mengganggu rakyat pula. Seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, bahkan Thian-li-pang juga pernah menyeleweng. Kalau perkumpulan yang bertujuan menumbangkan penjajah itu dimasuki orang-orang, dari golongan sesat, sudah pasti akan terseret ke dalam kejahatan dan mengganggu rakyat dengan dalih perjuangan! Dan dia tidak setuju sama sekali! Kalau ada pemimpin sejati yang dapat membangkitkan rakyat untuk menentang penjajah, maka dia siap untuk berdiri di barisan terdepan! Akan tetapi karena kehadirannya di Pao-beng-pai bukan untuk urusan pemberontakan, melainkan dalam usahanya mencari jejak penculik puteri bibinya, dia pun tidak banyak membantah ketika mendengarkan ketua itu bicara penuh semangat tentang gerakannya.

“Nah, bagaimana pendapatmu, Yo-sicu? Setelah engkau mendengarkan semua cita-cita dan rencanaku, bersediakah engkau bekerja sama dengan kami, baik engkau pribadi maupun engkau sebagai pimpinan Thian-Li-pang? Kita berjuang bahu-membahu, menumbangkan penjajah dan kelak kita bersama pula yang akan memetik buahnya, kita yang akan menikmati hasilnya.”

Nah, tersembul sedikit setan itu, pikir Yo Han. Kita yang akan memetik buahnya, menikmati hasilnya! Jadi, apa yang dinamakan perjuangan itu hanya merupakan suatu cara untuk dapat mendatangkanatau menghasilkan buah yang dapat dinikmati! Dia menahan diri untuk tidak mengucapkan suara hatinya yang ingin membantah dan mencela.

“Pangcu (Ketua)....”

Aih, setelah kita bergaul begini akrab sebagi kawan seperjuangan, tidak perlu lagi engkau menggunakan sebutan, yang asing itu. Sebut saja paman kepadaku, Yo Han!”

Hemmm, orang ini memang pandai mempergunakan orang lain, pandai memanfaatkan tenaga orang lain dengan sikap yang amat menyenangkan.

“Terima kasih, Paman Siangkoan Kok. Pengangkatan ketua di Thian-li-pang sendiri kutolak, bukan karena aku tidak suka kedudukan, melainkan karena aku ingin bebas agar aku dapat melakukan balas dendam atas kematian ayah ibuku. Mereka tewas karena dijerumuskan oleh Setan Cilik (Siauw Kwi) Can Bi Lan! Dan sebaiknya aku dalam keadaan bebas dan tidak terikat dalam usahaku membalas dendam ini. Setelah aku berhasil membunuh Can Bi Lan dan suaminya, mungkin barulah aku akan memimpin Thian-li-pang dan aku akan bekerja sama denganmu.”

Siangkoan Kok mengangguk-angguk, lalu kedua matanya menatap tajam wajah pemuda itu. “Yo Han, demikian besarkah kebencianmu terhadap Can Bi Lan dan Sim Houw?”Yo Han balas memandang, memperlihatkan heran dan alisnya berkerut. “Paman, kenapa Paman masih bertanya lagi? Kalau tidak karena ulah Can Bi Lan dan suaminya, dan seluruh anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga, tentu sampai kini ibuku masih menjadi seorang tokoh kang-ouw yang disegani! Hemmm, kalau saja aku bisa mendapatkan seorang teman yang dapat dipercaya dan yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan, ingin sekali aku mengajaknya untuk mendatangi suami isteri itu dan membunuh mereka!”

Ketua Pao-beng-pai itu tersenyum. “Heh-heh-heh, Yo Han, begitu mudahnya engkau bicara! Mungkin kalau hanya Can Bi Lan atau Siauw Kwi, aku atau engkau akan mampu menandingi bahkan mengalahkannya. Akan tetapi Sim Houw? Dia adalah Pendekar Suling Naga, dengan suling pedangnya yang terkenal di seluruh dunia dan sukar dicari bandingnya! Sungguh berbahaya sekali menghadapinya!”

“Aku tidak takut, Paman. Pernah aku berusaha menyerbu mereka, akan tetapi aku seorang diri tidak mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau saja aku dapat bertemu dengan seseorang yang kucari-cari dan sampai sekarang sayang sekali belum kutemukan, bersama dia rasanya sanggup aku membasmi keluarga Sim itu!” kata Yo Han penuh semangat.

“Hemmm, siapakah orang itu, Yo Han?”

“Namanya aku tidak tahu, Paman, bahkan aku tidak tahu apakah dia pria ataukah wanita. Yang kuketahui adalah bahwa dia pada dua puluh tahun yang lalu telah menculik puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan! Apakah Paman mengetahui siapa penculik itu?”

“Hemmm, apakah engkau datang ke sini sengaja hendak mencari penculik itu?”

“Memang sudah lama aku mencarinya, Paman. Aku mengunjungi pertemuan yang Paman adakan untuk mencari tahu tentang penculik itu, dan juga untuk mencari teman sehaluan.”

“Kenapa engkau mencari penculik itu!”

“Karena, kalau dia sudah berani menculik puteri suami isteri itu, berarti dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan juga amat membenci mereka. Nah, dengan orang seperti itu, kiranya aku akan dapat mengajaknya untuk membalas dendam. Apakah Paman mengetahui siapa orangnya dan di mana aku dapat bertemu dan bicara dengannya?” Yo Han sengaja menahan diri dan tidak bertanya tentang anak yang diculik, seolah dia tidak peduli dan tidak tertarik tentang anak itu, yang diperlukan adalah si penculik untuk diajak kerja sama!

Ketua Pao-beng-pai mehggeleng kepalanya. “Tentang penculikan itu pun baru sekarang aku mendengar darimu, Yo Han. Bahkan aku pribadi tidak pernah mempunyai urusan langsung dengan Sim Houw dan Can Hi Lan.”

Yo Han mengerutkan alisnya, kecewa. “Kalau Paman tidak tahu, aku akan segera pergi dari sini untuk bertanya kepada tokoh-tokoh kang-ouw lainnya....”

“Nanti dulu, Yo Han. Engkau bilang bahwa kalau engkau sudah berhasil menemukan penculik itu dan kau ajak menyerang musuh-musuhmu, engkau akan memimpin Thian-li-pang dan bekerja sama dengan kami? Kalau benar demikian, mungkin saja aku dapat membantumu. Anak buahku banyak, dan kami mempunyai hubungan baik dengan dunia kang-ouw. Kalau kusebar mereka untuk melakukan penyelidikan, kiraku dalam waktu beberapa hari saja aku bisa menemukan siapa penculik itu.”

“Terima kasih, Paman! Sebetulnya aku pun sudah mempunyai pikiran seperti itu, akan tetapi mana berani aku membikin repot Paman? Kalau Paman suka membantuku, sungguh aku merasa berterima kasih sekali dan aku pasti akan membalas budi itu dengan kerja sama!”

“Baiklah, aku akan membantumu dan sekarang juga akan kuperintahkan anak buah Pao-beng-pai untuk mencari tahu dan menyelidiki siapa adanya orang yang telah menculik anak dari Pendekar Suling Naga. Engkau tunggu saja dan tinggal di sini selama beberapa hari lagi sampai kita mendapatkan hasilnya. Nah, mari kita minum, Yo Han!” Mereka lalu minum arak dan tak lama kemudian Siangkoan Kok memanggil para pembantunya dan memerintahkan mereka menyebar anak buah untuk mecari berita tentang penculik anak Pendekar Suling Naga.

Sementara itu, pada senja hari itu, di dalam taman yang luas dari perkampungan Pao-beng-pai, nampak Siangkoan Eng berjalan-jalan bersama Cia Ceng Sun. Tidak ada seorang pun anggauta Pao-beng-pai berani mengganggu atau mendekati dua orang muda yang nampak berjalan-jalan di taman sambil bercakap-cakap nampak akrab sekali itu. Memang kedua orang muda ini saling, tertarik dan saling mengagumi. Siangkoan Eng adalah seorang gadis yang hidup di tengah keluarga kang-ouw. Biarpun ayahnya seorang bekas bangsawan dan berusaha sekuatnya untuk hidup seperti seorang bangsawan, namun karena lingkungannya adalah orang-orang kang-ouw yang menjadi anak buah ayahnya, maka ia sudah biasa hidup bebas tanpa ikatan segala macam peraturan. Maka, kini ia dapat bergaul dengan Cia Ceng Sun dengan bebas tanpa rikuh dan sungkan, bahkan ayah ibunya juga membiarkannya saja karena kedua orang tua ini tidak keberatan kalau puteri mereka bergaul dengan seorang pemuda yang demikian baik seperti Cia Ceng Sun. Setelah tiba di dekat kolam ikan yang indah, mereka duduk di atas bangku panjang. Tempat itu memang indah dan romantis. Bunga-bunga beraneka warna mekar semerbak. Di sana-sini sudah dinyalakan lampu-lampu gantung beraneka warna pula dan di pohon dekat kolam itu tergantung dua buah lampu berwarna kemerahan sehingga dalam keremangan senja, kedua orang muda itu nampak seperti diselimuti cahaya kemerahan.

“Kongcu, setelah engkau berada di sini, selama dua hari dua malam ini, bagaimana pendapatmu tentang keluarga kami, perkumpulan kami dan tempat ini?” Siangkoan Eng yang oleh ayah ibunya disebut Eng Eng dan oleh semua anak buahnya disebut Siocia (Nona) itu bertanya sambil menatap wajah pemuda yang tampan itu.

“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bagaimana kalau engkau tidak menyebut aku kongcu (tuan muda) lagi? Terdengarnya begitu asing dan tidak sepantasnya kalau seorang gadis seperti engkau menyebut aku kongcu.”

Eng Eng tersenyum. “Hemmm, engkau sendiri menyebut aku siocia (nona), tentu saja aku menyebutmu kongcu. Habis, kalau tidak menyebut kongcu, harus menyebut bagaimana?”

“Sebut saja kakak, dan aku akan menyebutmu adik. Bagaimana pendapatmu?”

“Tidakkah itu terbalik? Kurasa aku lebih tua darimu!”

“Tidak mungkin. Usiaku sudah dua puluh tiga tahun!”

“Kalau begitu sama, aku pun dua puluh tiga tahun. Baiklah, mulai sekarang, aku akan menyebutmu toa-ko (kakak), Sun-toako.”

“Dan aku akan menyebutmu Eng-moi (adik Eng).”

“Sun-toako....”

“Eng-moi....” Keduanya saling pandang dan tertawa gembira.

“Nah, sekarang kita merasa seperti adik kakak, bukan? Eng-moi, kini aku tidak merasa sungkan lagi untuk menanyakan hal-hal yang lebih bersifat pribadi, dan harap kau tidak marah kepadaku.”

“Tanyalah, Toako”“Engkau seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan gagah perkasa, puteri seorang ketua pula, dan usiamu sudah dua puluh tiga tahun. Akan tetapi kulihat engkau masih sendiri, belum berkeluarga sendiri. Kenapa, Eng-moi?”

Karena pandainya Cia Ceng Sun mengatur pertanyaan itu dengan sikap bersaudara dan kata-kata yang halus, Eng Eng tidak merasa tersinggung, walaupun kedua pipinya berubah kemerahan juga. “Aih, itukah? Bagaimana aku dapat membangun rumah tangga sendiri kalau aku belum bertemu dengan orang yang cocok, Toako? Banyak memang pinangan berdatangan terhadap diriku, akan tetapi selama ini aku belum bertemu dengan seorang yang berkenan di hatiku. Kalau sudah bertemu yang cocok, mengapa tidak? Dan engkau sendiri, bagaimana, Toako? Tentu engkau sudah berkeluarga dan mempunyai satu dua orang anak.”

“Ha-ha-ha, dugaanmu keliru, Eng-moi. Seperti juga engkau, aku masih hidup sebatang kara, belum mendapatkan jodoh. Mungkin karena selama ini juga belum ada yang cocok bagiku seperti keadaanmu.”

Hening sejenak, seolah keduanya tenggelam dalam lamunan masing-masing sementara senja mulai ditelan keremangan menjelang malam tiba. Kemudian terdengar Eng Eng bicara lirih seperti kepada dirinya sendiri, “Betapa serupa keadaan kita....” kemudian ia menghela napas panjang dan melanjutkan sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah sinar matanya hendak menembus cuaca yang semakin remang. “Toako, wanita seperti apakah yang kiranya dapat kauanggap cocok untuk menjadi jodohmu?”

Mendengar pertanyaan ini dan melihat sikap gadis itu, berdebar rasa jantung Cia Ceng Sun. Dia merasa seperti ditodong dan rasanya sukar untuk mengelak atau menangkis, sukar untuk tidak mengaku terus terang. Sejak dia melihat gadis ini, dia sudah terpesona, apalagi setelah melihat sepak terjang gadis itu, kemudian sampai mereka mengadu ilmu, dia telah tergila-gila, dia telah jatuh cinta! Dengan kuat sekali perasaan ini menekannya dan terasa benar olehnya. Biarpun dia tidak melupakan pesan ayahnya agar dia jangan jatuh cinta kepada wanita lain karena dia sudah ditunangkan dengan Si Bangau Merah, namun tetap saja dia tidak mampu menolak gelora hatinya, tidak dapat menipu diri sendiri. Dia jatuh, cinta kepada Siangkoan Eng. Padahal, gadis ini adalah puteri seorang pemimpin pemberontak, keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng!

“Eng-moi, aku mau berterus terang saja, harap engkau tidak marah.”

“Eh? Kenapa aku harus marah kalau engkau bicara terus terang tentang seorang wanita yang menurut pendapatmu cocok untuk menjadi jodohmu?”

“Eng-moi, setelah aku tiba di sini, bertemu denganmu, maka tahulah aku bahwa gadis yang kucari-cari untuk menjadi jodohku itu adalah.... yang seperti engkau inilah....”

“Seperti aku? Apa maksudmu, Sun-ko?”

“Maksudku.... eh, mana ada gadis yang sama denganmu. Maksudku, bahwa yang kucari-cari itu adalah engkau! Engkaulah gadis yang kuidam-idamkan menjadi jodohku. Eng-moi, tentu saja kalau engkau sudi menerimaku.”

“Hemmm, engkau hendak meminangku?” Kenapa? Karena aku seperti gadis dalam mimpimu?”

“Bukan begitu maksudku, eh.... ah, terus terang saja, semenjak aku bertemu denganmu, aku terpesona dan aku jatuh cinta padamu, Eng-moi. Nah, aku sudah berterus terang, terserah kepadamu.”

Hening pula, sekali ini agak lama dan keduanya menundukkan muka. Seolah lenyap semua kegagahan dan keberanian mereka. Untuk mengangkat muka dan saling pandang pun merupakan hal yang bagi mereka membutuhkan keberanian besar sekali pada saat seperti itu. Akhirnya, setelah beberapa kali meragu karena mendengar gadis itu berulang kali menghela napas panjang, Cia Ceng Sun memberanikan diri berkata, “Eng-moi, harap kau suka memaafkan aku kalau aku menyinggung perasaanmu.” Memang sungguh aneh sekali pengaruh cinta terhadap diri seseorang. Cia Ceng Sun adalah Pangeran Cia Sun, cucu kaisar! Padahal, dalam kedudukannya sebagai pangeran, dengan kegagahan dan ketampanannya, biasanya seorang pangeran seperti dia tinggal menunjuk saja gadis mana yang disukainya dan gadis itu akan datang kepadanya, baik dengan suka rela maupun atas kehendak orang tua si gadis. Dan sekarang, dia bersikap seperti seorang pemuda yang malu-malu dan gelisah ketika menyatakan cintanya kepada seorang gadis biasa, bukan puteri bangsawan, bukan puteri istana! Dan sikapnya ini bukan sekali-kali disesuaikan dengan penyamarannya sebagai pemuda biasa, memang sesungguhnya dia merasa lemah tak, berdaya menghadapi Siangkoan Eng!

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Toako Sesungguhnya, aku sendiri merasa bahwa sekarang setelah bertemu denganmu, aku pun telah menemukan pria yang selama ini kuharapkan....” Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan mukanya yang berubah merah. Biarpun Eng Eng seorang gadis yang gagah perkasa dan wataknya dingin dan aneh, namun sekali ini ia merasa sedemikian malu dan salah tingkah sehingga jantungnya berdebar keras dan seluruh tubuhnya seperti panas dingin kedua kakinya gemetar!

“Eng-moi....!” Bukan main girangnya rasa hati Cia Ceng Sun mendengar pengakuan itu. Dia bukanlah seorang pemuda yang sama sekali belum pernah bergaul dengan wanita, walaupun dia bukan tergolong pemuda yang mata keranjang dan suka pelesir seperti para pangeran lainnya. Mendengar pengakuan Siangkoan Eng yang sama sekali tidak pernah disangkanya, dia lalu menggeser duduknya dan memegang kedua tangan gadis itu. Mereka saling berpegang tangan, dan gadis itu mengangkat mukanya dan pandang matanya sayu, bahkan seperti hendak menangis. Empat buah tangan yang saling berpegangan itu menggigil dan menggetar.

“Eng-moi, terima kasih, Eng-moi! Aihhh, engkau membuat aku berbahagia sekali. Aku cinta padamu, Eng-moi.”

Biarpun Eng Eng amat mengharapkan kata-kata itu namun setelah diucapkan, ia merasa lucu dan ia tersenyum. “Sun-ko, kita baru dua hari berkenalan dan sudah saling mengaku cinta.”

“Apa salahnya? Kita saling mencinta, baru bertemu sedetik pun apa bedanya? Aku akan mengirim wali untuk meminangmu kepada orang tuamu, Eng-moi.”

“Aku hanya akan menunggu, Sun-ko....”

Hening kembali sejenak dan mereka masih saling berpegang tangan. Akan tetapi tiba-tiba Cia Ceng Sun melepaskan tangannya dan menunduk, seperti orang melamun dengan alis berkerut.

“Kenapa, Koko?” Eng Eng bertanya, khawatir.

“Ada satu hal yang mengganjal hatiku, Eng-moi. Yaitu cita-cita ayahmu. Biarpun sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat, akan tetapi aku tidak pernah dan tidak suka bermusuhan. Aku tidak ingin terlibat pemberontakan terhadap pemerintah, juga tidak ingin bermusuhan dengan siapapun, maka tidak mungkin aku dapat membantu keluargamu. Aku lebih suka berterus terang, Eng-moi, daripada berpura-pura dan palsu.”

Gadis itu tersenyum dan kembali dia menangkap kedua tangan pemuda itu yang tadi melepaskan diri. “Koko, aku justeru bangga sekali karena sikapmu yang berterus terang ini. Aku sendiri pun hanya melaksanakan kewajiban. sebagai puteri ayah. Aku tidak peduli tentang perjuangan dan hanya membantu ayah sebagaimana patutnya seorang anak berbakti kepada orang tuanya. Adapun tentang permusuhan antara keluarga kami dengan tiga keluarga besar itu, aku sendiri sudah sering memberitahu kepada ayah betapa tidak wajarnya memusuhi seluruh anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga. Tidak wajar dan juga amat berbahaya karena tiga keluarga besar itu mempunyai orang-orang yang sakti dan amat sukar untuk dikalahkan.”

“Hemmm, mengapa ayahmu memusuhi mereka?”

“Menurut ayah, sejak orang-orang Mancu menyerbu dan menumbangkan Kerajaan Beng, semua anggauta keluarga-keluarga itu tidak pernah menentang, bahkan membantu orang Mancu.”

“Eng-moi, aku adalah orang yang menghargai kejujuran. Aku sudah berterus terang kepadamu mengatakan bahwa aku tidak mungkin dapat membantu ayahmu. Nah, bagaimana tanggapanmu, Eng-moi? Kalau kita sudah berjodoh maukah engkau meninggalkan ini semua dan tidak lagi mencampuri urusan pemberontakan dan permusuhan, melainkan hidup dalam suasana tenteram dan damai di sampingku?”

“Koko, betapa sudah lama sekali aku merindukan ketenteraman dan kedamaian itu. Aku akan berbahagia sekali kalau hidup dengan tenteram dan damai di sampingmu, akan tetapi.... tentu ayah dan ibu tidak akan mau membiarkan....”

“Percayalah kepadaku, Eng-moi. Aku yang akan melindungimu,” kata Cia Ceng Sun dengan sikap gagah dan baru sekali itu selama hidupnya Eng Eng merasa lemah dan amat membutuhkan perlindungan orang lain kecuali ayah ibunya. Ketika Cia Ceng Sun menariknya, ia pun merebahkan diri di atas dada pemuda itu, menyembunyikan mukanya di bawah dagu. Mereka tenggelam dalam kemesraan.


***

Sebagai hasil percakapan dengan Siangkoan Kok, pada keesokan harinya Yo Han mendapat keterangan dari ketua Pao-beng-pai itu bahwa penyelidikan anak buahnya berhasil!

“Penculik anak Pendekar Suling Naga Sim Houw itu adalah Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi). Mereka adalah orang-orang yang sejak dahulu bermusuhan dengan Pendekar Suling Naga, dan mereka membalas dendam dengan menculik puteri pendekar itu.”

Dapat dibayangkan betapa besar kegirangan hati Yo Han mendengar keterangan itu. Tak disangkanya akan semudah itu dia mendapatkan jejak penculik puteri bibinya!

“Di mana mereka bertiga, Paman? Ingin sekali aku menemui mereka untuk kuajak bekerja sama! Dan apakah anak itu masih ada pada mereka? Kalau masih ada, dapat kita pergunakan untuk memeras dan memaksa orang tuanya! Hemm, sekali ini aku akan berhasil membalas dendam orang tuaku!”

Melihat kegembiraan Yo Han, Siangkoan Kok tertawa, “Kebetulan sekali mereka tinggal tidak terlalu jauh dari sini, dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di tempat tinggal mereka. Menurut keterangan anak buah yang melakukan penyelidikan, anak perempuan dahulu mereka culik masih hidup dan tinggal bersama mereka.”

Hampir Yo Han bersorak saking gembiranya dan dia hanya cukup menekan dan mengurangi saja luapan kegembiraan karena dalam perannya sebagai musuh bibinya, dia pun sepatutnya bergembira karena memperoleh sekutu yang dapat dipercaya dan menemukan anak perempuan yang akan dapat dipergunakan sebagai sandera yang amat berharga.

Siangkoan Kok lalu memberi keterangan tentang tempat tinggal Tiat-liong Sam-heng-te, yaitu di sebuah lereng di bukit yang tak jauh dari situ, di mana terdapat sebuah gua terowongan yang mereka bangun menjadi tempat tinggal tiga bersaudara itu.

Dengan tulus hati Yo Han mengucapkan terima kasih kepada Siangkoan Kok, kemudian berpamit untuk melanjutkhn perjalanan meneari tempat itu. Siangkoan Kok mengucapkan selamat jalan sambil berpesan agar pemuda itu tidak melupakan hubungan baik antara mereka dan kelak dapat membantunya dengan bekerja sama antara Pao-beng-pai dan Thianli-pang. Yo Han menyanggupi, lalu berangkat.

Di pekarangan depan, dia berjumpa dengan Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng yang nampak berjalan berdampingan dalam suasana yang akrab sekali. Yo Han dapat melihat bahwa ada apa-apa di antara keduanya, maka dia pun tersenyum. Memang mereka merupakan pasangan yang pantas sekali, pikirnya. Namun diam-diam dia menyayangkan bahwa seorang pemuda yang hebat seperti Cia Ceng Sun itu kini terlibat dalam keluarga pimpinan pemberontak, bahkan yang memusuhi tiga keluarga besar. Ah, itu bukan urusannya, pikirnya sambil menggerakkan pundak. Karena mereka berdua sudah sama-sama tinggal di situ sebagai tamu Pao-bengpai, tentu saja dua orang pemuda ini sudah saling berkenalan walaupun hubungan mereka tidak akrab sekali. Yo Han lebih sering bercakap-cakap dengan Siangkoan Kok, sebaliknya Cia Ceng Sun lebih sering berduaan dengan Siangkoan Eng.

“Ehhh, engkau hendak pergi, saudara Yo?” tanya Cia Ceng Sun melihat pemuda itu hendak meninggalkan pekarangan sambil menggendong buntalan pakaian di punggungnya. Eng Eng hanya mengangguk saja ketika bertemu pandang dengan •Yo Han. Biarpun dia merasa kagum kepada Yo Han, namun ia selalu merasa curiga, karena bagaimanapun juga, ia tahu bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang yang amat tangguh dan menurut ayahnya, tenaga sinkang pemuda itu seimbang dengan ayahnya! Apalagi pemuda ini pernah membuat nama besar dengan julukan Pendekar Tangan Sakti. Menghadapi orang yang lebih lihai, tentu saja ia merasa khawatir dan juga curiga.

'Benar, saudara Cia. Aku sudah berpamit dari Paman Siangkoan Kok dan harus melan jutkan perjalananku hari ini juga. Nah, selamat tinggal dan semoga engkau berhasil dalam segala cita-citamu. Selamat tinggal, Nona Siangkoan, dan terima kasih atas kebaikan keluarga Nona selama aku tinggal di sini.” Dengan sikap tidak terlalu hormat dan ugal-ugalan seperti tokoh yang perannya dia mainkan, Yo Han tersenyum lalu membalikkan tubuh meninggalkan mereka, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.

“Hemmm, dia seorang pendekar yang hebat! Masih begitu muda sudah memilikikesaktian yang dahsyat,” Cia Ceng Sun memuji.

“Tapi aku tidak terlalu percaya kepadanya, bahkan aku mencurigainya, Koko.” kata Eng Eng.

“Ehhh? Kenapa? Bukankah dia tokoh Thian-li-pang dan kini bersahabat baik dengan ayahmu? Bahkan dia menyebut paman kepada ayahmu. Hemmm, aku jadi berpikir jangan-jangan ayahmu lebih condong memilih dia sebagai calon mantu daripada aku!”

Eng Eng mencubit tangan kekasihnya dengan gemas. “Ihhh! Aku akan minggat kalau ayah memaksa aku menikah dengan pria lain kecuali engkau. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku, Koko?”

“Maaf, aku hanya bergurau. Sekarang juga aku akan menghadap ayah ibumu dan menyatakan keinginan kita, menceritakan hati kita, dan kalau ayah ibumu mengijinkan, aku segera akan pergi dan mencari seorang wakil untuk kukirim ke sini melakukan pinangan.”

“Nah, begitu lebih baik daripada membicarakan orang lain. Sebaiknya nanti saja. setelah mereka sarapan,. engkau mengatakan isi hatimu kepada mereka. Akan kuusahakan agar engkau diundang sarapan sehingga kita berempat dapat berkumpul dan bercakap-cakap.”

Demikianlah, tak lama kemudian mereka telah makan pagi bersama, Cia Ceng Sun, Siangkoan Eng, Siangkoan Kok dan isterinya, Lauw Cu Si. Setelah makan pagi yang agaknya dilakukan Siangkoan Kok dengan sikap tergesa-gesa karena dia hendak bepergian, Cia Ceng Sun mempergunakan kesempatan itu untuk bicara.

“Lo-eian-pwe (Orang Tua Gagah), saya mohon sedikit waktu untuk bicara dengan Lo-cian-pwe berdua, bersama Engmoi juga.” katanya dengan sikap sopan dan sikap tenang. Bagaimanapun juga, dia seorang pangeran dan tentu saja memiliki wibawa yang besar sehingga menghadapi ketua Pao-beng-pai itu pun dia dapat bersikap tenang.

“Hemmm, soal apakah yang hendak kaubicarakan, Cia sicu?”“Soal saya dan adik Eng Eng. Harap Lo-eian-pwe berdua mengetahui bahwa kami berdua telafi bersepakat untuk saat ini mengaku terus terang kepada Ji-wi (Anda Sekalian) bahwa kami saling mencinta dan sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Saya segera akan pergi dan mengirim seorang wali untuk melakukan pinangan kepada Ji-wi, secara resmi.”

Mendengar pinangan yang diajukan begitu tiba-tiba dengan pengakuan bahwa pemuda itu sudah saling mencinta dengan puteri mereka dalam waktu tidak lebih dari tiga hari, suami isterinya itu saling pandang. Siangkoan Kok menoleh kepada puterinya yang juga sedang memandang kepadanya dengan sikap yang tenang pula.

“Eng Eng, benarkah apa yang dikatakan Cia Ceng Sun tadi? Bahwa kalian saling mencinta dan engkau setuju untuk menjadi isterinya?”

Dengan sikap gagah dan penuh tanggung jawab, Eng Eng mengangguk dan berkata, “Benar, Ayah. Kurasa usiaku sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga sekarang, dan dialah pilihan hatiku. “

Siangkoan Kok tertawa bergelak dan sukar menduga apakah suara tawa itu karena gembira atau karena geli atau untuk mengejek. “Ha-ha-ha-ha-ha! Orang muda she Cia! Engkau tahu bahwa Eng Eng adalah puteri tunggal kami yang sangat kami sayang. Ia puteri ketua Paobeng-pai, cantik dan tinggi ilmunya, lebih tinggi daripada ilmu yang kaukuasai. Kalau ia menghendaki jodoh seorang pangeran sekalipun, hal itu bukan mustahil akan terlaksana. Eng Eng kaya raya, berilmu tinggi dan cantik! Dan engkau ini siapakah berani hendak berjodoh dengannya?. Dari keturunan apa? Engkau cukup tampan, dan biarpun tidak selihai puteriku, kepandaianmu lumayan dan tidak memalukan. Akan tetapi selain itu, apalagi yang dapat kauberikan kepada puteri kami?”

Panas juga rasanya perut Cia Ceng Sun mendengar ucapan laki-laki yang akan menjadi ayah mertuanya itu. Betapa dia diremehkan dan dipandang rendah!

“Apa yang Lo-cian-pwe minta? Kalau Lo-cian-pwe mengajukan syarat, tentu akan saya coba untuk memenuhinya.” katanya sederhana, namun sikapnya tegas.

Mendengar ucapan yang nadanya menantang itu, Eng Eng mengerutkan alisnya dan merasa khawatir, bahkan ia mengerling ke arah kekasihnya dan mengedipkan mata mencegah, namun sia-sia karena pemuda itu sudah mengeluarkan kata-katanya.

“Ha-ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! Seorang gadis seperti Eng Eng memang tidak sepatutnya didapatkan dengan mudah seperti orang memetik buah apel dari pohon saja! Nah, permintaanku tidak banyak. Pertama engkau harus dapat memberi tanda mata yang patut bagi seorang calon isteri macam Eng Eng, dan ke dua, dalam pesta pernikahan kalian nanti, aku minta agar keluarga Kaisar menjadi tamunya!”

“Ayah !! Permintaan itu keterlaluan!” teriak Eng Eng, dan Ibunya juga berseru kaget.

“Aih, mana ada permintaan seperti itu? Yang pertama mungkin dapat dilaksanakan, akan tetapi yang ke dua mustahil! Kita ini apa dan siapa, minta keluarga kaisar menjadi tamu dalam pesta pernikahan anak kita?” kata Lauw Cu Si.

“Sudahlah, kalian jangan ribut-ribut. Semua ini kulakukan demi menaikkan derajat anak kita, berarti naiknya derajat kita pula! Bagaimana, Cia-sicu, sanggupkah engkau memenuhi kedua permintaan itu?”

“Saya sanggup!!” kata Cia Ceng Sun dengan suara lantang dan tegas sehingga mengejutkan tiga orang itu yang kini memandang kepaada pemuda itu dengan mata terbelalak.

“Sun-koko! Bagaimana engkau berani menyanggupi syiarat yang mustahil itu?” teriak Eng Eng.

“Tenanglah, Eng-moi. Demi cintaku kepadamu, aku akan berani menyeberangi lautan api sekalipun. Akan kuusahakan sedapat mungkin untuk kelak mengundang keluarga kaisar. Aku mempunyai banyak kenalan di antara para pembesar dan juga penghuni istana!”

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Setidaknya, kesanggupanmu sudah membuktikan adanya cinta kasihmu yang besar terhadap anak kami Cia-sicu. Sekarang, tanda mata apa yang pantas kauberikan kepada Eng Eng sebelum engkau pergi mengirirri wakil untuk melakukan pinangan resmi?”

“Harap Lo-cian-pwe sekalian me-nunggu sebentar, akan saya ambil dari kamar saya.” Pemuda itu lalu bangkit dan meninggalkan ruangan makan. Ketika Eng Eng hendak mengejar, baru saja ia bangkit ayahnya melarang.

“Eng Eng, engkau harus pandai menghargai diri sendiri.. Tunggu saja di sini, kita .lihat bersama apa yang dapat dia, berikan kepadamu. Engkau tidak ingin kelak kecewa dengan pilihanmu, bukan? Biarkan Ayah yang mengujinya!”Eng Eng tidak jadi bangkit. Ia pun tahu bahwa sikap ayahnya yang begitu keras bukan karena ayahnya tidak suka mempunyai mantu Cia Ceng Sun, melainkan karena ayahnya ingin mendapatkan mantu yang benar-benar mencintainya, seorang mantu yang berani dan pandai.

Agak lama pemuda itu pergi dan ketika dia masuk kembali ke dalam ruangan itu, ternyata dia telah berganti pakaian dan telah membawa buntalan pakaiannya.

“Sun-koko! Engkau... hendak pergi...?” Eng Eng terkejut sekali karena sebelumnya kekasihnya tidak mengatakan hendak pergi sekarang juga.

“Benar, Eng-moi. Aku harus cepat berusaha untuk memenuhi permintaan ayahmu, yaitu mengirim wali untuk meminang, dan mempersiapkan agar kelak keluarga istana dapat menghadiri pesta pernikahan kita.” Dia lalu menghadapi Siangkoan Kok dan mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku bajunya. “Lo-cianpwe, untuk sementara ini, saya tidak mampu memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada ini. Harap Lo-cianpwe sekalian tidak merasa kecewa dengan pemberian tanda mata yang tidak berharga ini.”

Ketika Siangkoan Kok menerima benda itu, dia dan isterinya yang duduk di dekatnya terbelalak kagum. “Tidak berharga?“ seru Lauw Cu Si. “Wah ! Belum pernah selama hidupku melihat kalung mutiara seindah ini!”

Siangkoan Kok, seorang keturunan bangsawan, juga terbelalak kagum. Dia mengenal barang yang amat berharga dan langka sehingga terlontar pertanyaannya penuh keheranan. “Dari mana engkau memperoleh benda mustika seperti ini?”

“Lo-cian-pwe, sudah saya katakan bahwa saya mewarisi harta kekayaan orang tua saya, dan itu merupakan satu di antara benda peninggalan itu.”

“Nah, Ayah jangan memandang rendah kepada Sun-koko!” Eng Eng juga berseru, bangga sekali walaupun diam-diam ia juga merasa heran bahwa kekasihnya memiliki simpanan benda yang demikian langka dan berharga, yang dikatakannya tadi “tidak berharga.” Kalau kalung seperti itu tidak berharga, lalu yang berharga itu yang bagaimana?

Siangkoan Kok setelah memeriksa benda berharga itu, lalu menyerahkannya kepada isterinya yang kini mendapat giliran mengaguminya bersama Eng Eng, lalu berkata kepada pemuda itu. 'Baik, tanda mata itu kami terima dan kami anggap cukup pantas. Sekarang pergilah untuk mengirim utusan dan wali untuk melakukan pinangan resmi, kemudian atur agar dalam pesta pernikahannya, keluarga kaisar dapat hadir. Kalau engkau membohongi kami, awas, aku tidak akan mengampunimu.”

“Baik, Lo-cian-pwe. Nah, saya minta diri. Eng-moi, aku pergi dulu dan doakan saja agar usahaku berhasil.”

“Selamat jalan, Koko, dan jangan terlalu lama membiarkan aku menunggumu di sini.” kata gadis itu.

Setelah memberi hormat, Cia Ceng Sun lalu pergi meninggalkan rumah itu. Tiba-tiba Siangkoan Kok lalu berkata kepada puterinya, “Eng Eng, aku mempunyai urusan penting, karena itu engkau harus dapat mewakill aku. Kau bawa beberapa anak buah yang boleh diandalkan, dan kau bayangi pemuda itu.”

“Ayah! Apa artinya ini? Kami sudah saling mencinta!”

“Anak bodoh! Justeru karena engkau mencintanya, engkau harus mengenal betul siapa dia! Bayangi dia dan buktikan sendiri bagaimana dia berusaha untuk dapat kelak menghadirkan keluarga istana di dalam pesta pernikahanmu.. Jangan sampai kita dibohongi dan ditipu. Mengerti? Jangan percaya dulu sebelum melihat buktinya, betapapun cintamu kepadanya. Engkau tidak ingin kelak hidup sengsara, bukan? Dan ingat, engkau bayangi dia, jangan bantu dan jangan perlihatkan diri, jangan khianati ayahmu karena semua ini demi kebaikan masa depanmu sendiri.”'

Eng Eng mengerti dan ia mengangguk. Bahkan diam-diam ia merasa gembira karena dengan membayangi Cia Ceng Sun, berarti dia selalu dekat dengan kekasihnya itu, walaupun ia tidak boleh memperlihatkan diri. Dan memang perlu untuk diketahui siapa sebenarnya kekasihnya itu yang menyanggupi ayahnya untuk menghadirkan keluarga kaisar dalam pesta pernikahannya! Dia pun cepat berkemas, lalu mengajak empat orang pelayannya yang ia percaya, yaitu empat orang gadis yang berpakaian kuning, merah, biru dan putih. Mereka berlima lalu cepat meninggalkan perkampungan Pao-beng-pai dan dengan mudah mereka dapat menyusul Cia Ceng Sun dan membayangi pemuda itu dari jauh.

Cia Ceng Sun sudah keluar dari Bankwi-kok (Lembah Selaksa Setan) melalui jalan keluar yang sudah diberi tandatanda sehingga dia tidak akan tersesat ke dalam daerah yang berbahaya penuh rahasia, dan dia kini tiba di lereng paling rendah dari Kwi-san (Bukit Setan). Sunyi saja di situ. Matahari sudah naik tinggi dan sinarnya mulai terasa hangat di badan.

Tiba-tiba Cia Ceng Sun yang penglihatan dan pendengarannya tajam dan peka, melihat berkelebatnya bayangan di balik semak-semak di sebelah kirinya. Dia berhenti, menoleh ke kiri dan membentak. “Siapa mengintai di sana? Keluarlah dan jangan bersembunyi seperti binatang liar!”

Sesosok bayangan melompat keluar dari kiri, disusul bayangan lain melayang dari kanan dan dia telah berhadapan dengan dua orang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Dua orang itu segera memberi hormat kepadanya dengan berlutut sebelah kaki.

“Mohon maaf kalau hamba berdua mengejutkan hati Pangeran,” kata seorang di antara mereka yang kumisnya tebal.

“Hamba berdua diutus ayah Paduka, Pangeran Cia Yan, untuk menjemput Paduka dan mengawal Paduka pulang sekarang juga karena ada urusan penting.” kata orang ke dua yang kepalanya botak.

“Ssttt !” Pangeran Cia Sun atau Cia Ceng Sun menaruh telunjuk ke depan bibir untuk memberi isyarat agar kedua orang itu menahan kata-kata mereka, lalu menoleh ke sekeliling.

“Harap Paduka jangan khawatir, Pangeran. Kami berdua telah melakukan pemeriksaan dan tempat ini sunyi.” kata si kumis tebal.

“Andaikata ada yang melihatnya juga, siapa yang akan beranl mengganggu Paduka?” sambung si botak. Tentu saja kedua orang pengawal istana ini merasa heran melihat sikap sang pangeran. Kenapa mesti bersikap begitu hati-hati dan takut? Dia seorang pangeran. Siapa akan berani mengganggunya tentu akan berhadapan dengan pasukan pemerintah!

Pangeran Cia Sun mengerutkan alisnya. “Ada urusan penting apakah sampai kalian diutus mencari aku? Aku bisa pulang sendiri!” katanya tak senang. “Pula, bagaimana kalian dapat tahu bahwa aku berada di sini?”

Si kumis tebal tersenyum bangga. “Pangeran, tidak percuma kami berdua menjadi jagoan istana, pengawal-pengawal yang dipercaya. Ketika Paduka pergi ayah Paduka Pangeran Cia Yan memerintahkan kami berdua untuk membayangi Paduka dari jauh dan menjaga keselamatan Paduka. Tugas ini amat mudah karena Paduka :memiliki ilmu kepandaian tinggi dan cukup kuat untuk membela diri sendiri. Maka kami hanya menyebar anak buah untuk membayangi dari jauh. Kami mengetahui bahwa Paduka hadir pula di, dalam pertemuan Pao-beng-pai walaupun kami tidak mungkin dapat masuk ke tempat berbahaya itu.”

“Untung kalian tidak masuk, kalau hal itu terjadi, selain kalian celaka, tentu penyamaranku akan gagal pula. Lalu bagaimana?” tanya sang pangeran.

Kini si Botak yang melanjutkan. “Kami merasa khawatir karena setelah semua tamu keluar dari Ban-kwi-tok, Paduka tidak keluar-keluar. Kami merasa bahwa tentu ada sesuatu yang terjadi maka cepat kami mengirim laporan kepada ayah Paduka. Dan kami menerima perintah agar menjemput Paduka dan mengajak Paduka pulang secepatnya. Ayah Paduka tidak berkenan mendengar Paduka bergaul dengan orang-orang kangouw yang mencurigakan itu, juga Paduka ditunggu karena ada tamu penting.”

“Siapa tamu penting itu?”

Dua orang pengawal itu saling pandang dan tersenyum penuh arti. “Paduka tentu akan senang sekali kalau tiba di rumah. Tunangan Paduka telah menanti bersama orang tuanya.”

“Tunanganku ? Jangan bicara sembarangan!”

“Hamba tidak berbohong. Pendekar wanita Si Bangau Merah.

'Ahhh! Sudahlah, kalian ini sungguh menjengkelkan. Bukankah kalian juga tahu bahwa aku pandai menjaga diri sendiri? Seperti anak kecil saja, di jemput dan dikawal!”

Tiba-tiba sang pangeran terkejut dan membalikkan tubuh dengan cepat, juga dua orang pengawalnya memutar tubuh ke kanan dan terbelalak. Di situ, di hadapan mereka, telah berdiri lima orang gadis yang cantik-cantik, yang empat orang berpakaian empat maeam warna, dan yang di depan luar biasa cantiknya, pakaiannya berkembang, rambutnya digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil, tangan kirinya memegang sebatang hudtim atau kebutan berbulu merah dengan gagang emas, sepasang matanya mencorong memandang kepada Pangeran Cia Sun seperti mengeluarkan api!

“Pangeran Cia Sun!” terdengar suaranya dingin sekali. “Menyerahlah untuk menjadi tawanan kami!”

“Eng-moi !” Pangeran Cia Sun berseru sambil melangkah maju untuk mendekati gadis kekasihnya itu.

“Diam! Engkau tak berhak menyebutku seperti itu!” bentak Siangkoan Enj marah.

Si kumis tebal dan si botak menjadi marah. Mereka meloncat ke depan Pangeran Cia Sun seperti melindunginya dan menghadapi lima orang gadis cantik.

“Apakah kalian telah menjadi gila Beliau ini adalah Pangeran Cia Sun, cucu Sribaginda Kaisar! Beranikah kalian bersikap kurang hormat kepada beliau? Apakah kalian sudah bosan hidup?” Kedua orang pengawal itu sudah mencabut pedang mereka untuk melindungi sang pangeran.

“Bereskan mereka!” kata Siangkoan Eng dan empat orang pelayannya sudah berloncatan menghadapi dua orang pengawal itu sambil meneabut pedang mereka. “Kalian yang sudah bosan hidup!” bentak nona baju kuning dan ia memimpin penyerangan kepada dua orang jagoan istana itu. Terjadilah pertanding seru dan hebat. Dua orang jagoan istana itu terkejut setengah mati karena mendapat kenyataan bahwa empat orang gadis cantik itu lihai bukan main menggerakkan pedang mereka dan sebentar saja mereka berdua terdesak dan terkepung, harus memutar pedang secepatnya untuk melindungi diri.

Sementara itu, Siangkoan Eng maju menghampiri Par geran Cia Sun dan membentak lagi. “Menyerahtah atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”

“Eng-moi, ingatlah aku…aku..”

“Tidak perlu banyak cakap lagi!” bentak Siangkoan Eng dan ia sudah menyerang dengan kebutannya, menotok ke arah leher Cia Sun. Pangeran ini mengelak, akan tetapi Eng Eng menyerang terus, bahkan semakin hebat.

“Eng-moi ah, 'engkau keterlaluan, tidak merriberi kesempatan kepadaku “ kata sang pangeran yang terus mengelak sampai beberapa kali.

“Engkau mata-mata busuk, pengkhianat, manusia berhati palsu, tidak perlu bicara lagi!” Kini penyerangan semakin hebat sehingga terpaksa Pangeran Cia Sun menangkis cengkeraman tangan kanan gadis itu. Begitu kedua lengan bertemu, dia hampir terjengkang! Cia Sun terkejut dan baru dia yakin benar bahwa dalam pertandingan tempo hari, gadis itu selalu mengalah. Kini buktinya, pertemuan tenaga mereka membuktikan bahwa gadis itu jauh lebih kuat dari padanya.

Kini Cia Sun yang melawan setengah hati, tidak mau membalas serangan, hanya mengelak dan menangkis sa ja. “Engkau keliru, Eng-moi. Aku memang pangeran yang menyamar menjadi orang biasa untuk dapat leluasa memperdalam pengetahuan dan pengalaman aku tidak berniat buruk, aku bertemu denganmu dan jatuh cinta “ Karena bicara, maka pertahanan pangeran itu kurang kuat dan sebuah totokan jari tangan kanan Eng Eng membuat dia terkulai dan roboh lemas tak mampu bergerak lagi! Dan pada saat itu pun, dua orang pengawal itu roboh mandi darah dan tewas di ujung pedang empat orang gadis pelayan Eng Eng.

“Belenggu kedua tangannya dan bawa pulang, masukkan ke dalam kamar tahanan dan jangan ganggu dia sampai ayah pulang.” katanya kepada empat orang gadis pelayan yang segera meringkus Cia Sun yang sudah tidak mampu bergerak, membelenggu kedua tangan ke belakang lalu menggotongnya seperti seekor kijang yang baru saja ditangkap oleh sekawanan pemburu. Mayat kedua orang pengawal itu ditinggalkan begitu saja oleh mereka.

Sepuluh menit kemudian, barulah beberapa orang muncul dan membawa pergi dua jenazah jagoan istana itu. Mereka adalah anak buah yang tadi tidak berani muncul. Sang pangeran yang perkasa dan dua orang jagoan istana itu saja tidak mampu menandingi lawan, apalagi mereka yang hanya anak buah biasa.

***

Dari jauh, gua itu nampak hitam gelap. Akan tetapi, waktu itu, matahari telah tinggi dan bersinar seterang-terangnya. Tengahari itu, Yo Han tiba di depan gua di lereng bukit yang menjadi tempat tinggal Tiat-liong Sam-heng-te seperti yang diceritakan oleh Siangkoan Kok kepadanya. Dengan sinar matahari yang amat terang, maka setelah tiba di depan gua, ternyata tidaklah begitu gelap seperti nampaknya, dari jauh. Salah satu gua yang besar dan merupakan sebuah ruangan depan karena di situ terdapat prabot-prabot seperti bangku dan kursi. Gua itu seperti sebuah rumah besar saja, di sebelah dalam terdapat sebuah pintu kayu yang memisahkan ruangan depan dengan ruangan dalam.

Beberapa kali Yo Han memanggil-manggil ke arah dalam gua, namun tidak terdapat jawaban. Dia tidak berani lancang memasuki tempat tinggal orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Mungkin gua ini merupakan terowongan yang dalam dan penghuninya berada di bagian belakang sehingga tidak mendengar panggilannya, pikirnya. Dia lalu mengerahkan khikang dan berseru dengan suara yang seperti menembus ke seluruh ruangan di dalam gua terowongan itu.

“Tiat-liong Sam-heng-te! Harap suka keluar untuk bicara dengan aku, Yo Han.”

Suara itu bergema dan gemanya terdengar dari luar. Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Tentu saja sedang keluar, pikir Yo Han. Dia teringat bahwa anak yang diculik itu kabarnya masih hidup dan berada di sini pula. Kebetulan! Kalau Tiat-liong Sam heng-te keluar, tentu anak itu berada seorang diri saja! Kesempatan yang amat baik untuk mengajaknya pergi dari sini, kembali kepada orang tuanya.

Bersambung ke buku 3