Kisah Si Bangau Putih -9 | Kho Ping Hoo



Buku 9

Pada saat itu, muncullah dua orang tosu. Yang seorang adalah Thian Kong Cinjin, kakek tua renta yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, bertubuh tinggi kurus, dan sebuah tongkat setinggi badan berada di tangan kanannya. Thian Kong Cinjin adalah wakil ketua Yat-kwa-pai, memiliki ilmu kepandaian tinggi. Orang ke dua juga seorang kakek yang usianya sebaya dengan Thian Kong Cinjin mendekati delapan puluh tahun. Dia adalah Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-pai, kakek kurus kering dengan muka merah darah. Dia pun membawa sebatang tongkat naga hitam, dan kakek yang pandai sihir ini memiliki sepasang mata mencorong seperti mata kucing!

Dengan sudut matanya Sin Hong melihat munculnya dua orang kakek ini.

Tentu saja dia mengenal mereka dengan baik karena kedua orang kakek itu adalan dua diantara tiga orang yang berhasil keluar dengan selamat dari penyerbuan di Istana Gurun Pasir, yaitu bersama Sin-kiam Mo-li, sedangkan belasan orang lain tewas ketika mereka itu mengeroyok tiga orang gurunya. Karena itu, Sin Hong maklum bahwa di pihak musuh datang dua orang lawan tangguh, maka dia pun cepat meloncat, meninggalkan Hok Yang Cu dan langsung menerjang dan orang kakek yang baru datang itu tanpa banyak cakap lagi!

Melihat seorang pemuda tahu-tahu berada di depan mereka dan menyerang dengan totokan jari tangan yang amat dansyat ke arah leher mereka secara bertubi-tubi, kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan dan cepat berloncatan ke belakang. Mereka telah lupa kepada Sin Hong dan biarpun tadi mereka melihat betapa berbahayanya serangan pemuda itu, mereka masih memandang rendah kepada Sin Hong. Thian Kek Seng-jin yang melihat betapa Hek-sim Kui-bo didesak seorang gadis yang amat cantik, segera meloncat ke sana dan menghadapi Hong Li. Begitu Thian Kek Sengjin memutar tongkat naga hitam menyerang, Hong Li cepat berloncatan ke belakang untuk mengelak. Akan tetapi tongkat itu mendesak terus, dan terdengar suara ketawa kakek itu.

"Heh-heh-heh, nona cantik, lebih baik kau menyerah dan menjadi muridku, tanggung engkau akan mengalami kesenangan, heh-heh-heh!"

Hong Li mendengus marah, lalu menerjang maju dengan nekat. Karena ia tahu bahwa kakek itu lihai, maka ia pun memainkan Sin-liong Ciang-hoat yang dahsyat dari Gurun Pasir. Begitu gadis itu mendesak, kakek itu terbelalak heran karena dia mengenal ilmu silat yang aneh dengan tubuh kadang-kadang direndahkan dan jurus seperti mau bertiarap ini adalah ciri khas ilmu silat dari Istana Gurun Pasir. Nyaris dia celaka ketika tiba-tiba tubuh gadis itu meluncur dari bawah, tangan kiri menangkis tongkat dan tangan kanannya menusuk ke arah ulu hatinya. Untung bahwa dia masih sempat melempar tubuh ke belakang, lalu berjungkir balik dibantu tongkatnya, cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kalau tidak, tentu gadis itu akan terus mendesak dan melukainya dengan serangan-serangan dahsyat itu. Kini dia tidak berani main-main lagi, dengan sekuat tenaga dia memainkan tongkatnya sehingga gadis itu pun tidak dapat mendesaknya lagi. Sebaliknya, perlahan-lahan Thian Kek Sengjin mulai membuat Hong Li terpaksa harus main mundur, karena tongkat hitam yang berbentuk naga itu sungguh berbahaya.

Di lain pihak, Sin Hong yang tadi mulai mendesak Hok Yang Cu, kini mendapatkan lawan tangguh, yaitu Thian Kong Cinjin. Wakil ketua Pat-kwa-pai ini memang lihai, lebih lihai daripada Thian Kek Sengjin, dan jauh lebih lihai dari Hok Yang Cu. Dan sekarang, kakek lihai dengan tongkatnya yang ampuh ini masih dibantu oleh Hok Yang Cu! Namun, Sin Hong tidak gentar. Dengan ilmu silatnya yang hebat, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih), dan dengan landasan tenaga saktinya yang amat kuat, dia mampu menandingi pengeroyokan kedua orang ini, bahkan membalas setiap serangan mereka dengan tamparan atau tendangan, juga totokan-totokan yang tak kalah dahsyatnya, membuat kedua orang pengeroyoknya sama sekali tidak mampu mendesaknya.

Akan tetapi, dengan munculnya dua orang kakek itu, keadaan pertempuran berubah. Kini nenek Hek-sim Kui-bo berani meninggalkan Hong Li untuk dilayani oleh Thian Kek Sengjin sendiri, dan ia pun membantu para anggauta pasukan Mongol untuk mengeroyok para pendekar yang sudah kewalahan. Kini, pihak para pendekar yang terdesak dan kembali ada dua orang roboh.

Pada saat yang amat berbahaya bagi para pendekar itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Hong Li, jangan takut, aku membantumu!"

Terdengar bunyi melengking nyaring seperti suling ditiup ketika sinar kuning emas itu menyambar dan menyambut tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Sengjin yang mendesak Hong Li.

"Takkkkk!" Thian Kek Sengjin mengeluarkan seruan kaget karena kedua tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat ketika bertemu dengan suling emas di tangan wanita cantik dan gagah itu. Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong segera turun tangan membantu Hong Li dan Sin Hong. Tentu saja Hong Li girang bukan main melihat betapa bibinyamembantunya. Ia dan bibinya lalu mendesak Thian Kek Sengjin yang menjadi sibuk setengah mati.

"Pergilah kaubantu mereka menghadapi orang-orang Mongol," kata Kam Bi Eng dan Hong Li menjawab gembira.,

"Baiklah, Bibi. Hajar kakek siluman ini, Bibi!" Dan Hong Li lalu meloncat meninggalkan Thian Kek Sengjin, langsung ia menerjang Hek-sim Kui-bo lagi yang sedang mengamuk di antara para pendekar dengan tongkat hitamnya.

Sementara itu melihat betapa Sin Hong dikeroyok oleh dua orang tosu yang berilmu tinggi, diam-diam Suma Ceng Liong kagum sekali. Pemuda berpakaian putih itu sungguh lihai bukan main! Biarpun dikeroyok oleh dua orang kakek yang demikian hebat permainan tongkatnya, namun pemuda yang bertangan kosong itu sama sekali tidak terdesak. Gaya permainannya pun amat menarik, dengan gerak dan sikap seperti seekor burung bangau namun tidak seperti ilmu silat bangau pada umumnya, gerakan itu aneh dan kadang-kadang lucu dan sukar sekali, namun jelas bahwa pada setiap gerakan mengandung tenaga dahsyat sehingga pemuda itu berani menangkis tongkat-tongkat lawan dengan lengan tangannya!

"Paman Ceng Liong, dialah susiok Tan Sin Hong, harap suka bantu dia!" tiba-tiba Hong Li berteriak kepadanya. Ceng Liong semakin kagum. Kiranya inilah pemuda yang bemama Tan Sin Hong itu, murid dari istana Gurun Pasir! Pantas demikian lihainya. Akan tetapi bukankah pemuda bernama Tan Sin Hong itu yang datang bersama puterinya dan menyerahkan Yo Han kepada Suma Ciang Bun? Menurut penuturan Suma Ciang Bun, puterinya dan pemuda itu melakukan penyelidikan ke sarang pemberontakan, akan tetapi kenapa sekarang pemuda itu berada di sini dan ke mana perginya Suma Lian? Karena tidak mungkin menanyakan itu semua sekarang, Ceng Liong segera terjun ke dalam pertempuran dan langsung saja dia menyerang kakek Thian Kong Cinjin yang dia lihat lebih lihai daripada yang ke dua, yaitu Hok Yang Cu.

Begitu dia menerjang maju, dia sudah memainkan ilmu silat Coan-kut-ci, yaitu ilmu totokan penebus tulang yang dahulu dipelajarinya dari Hek I Mo-ong. Tusukan jari tangannya mengeluarkan suara mencicit dan terkejutlah Thian Kong Cinjin karena ketika dia menangkis, tongkatnya tertusuk jari telunjuk pendekar itu dan berlubang! Sin Hong girang mendapatkan bantuan ini dan, dia pun mendesak Hok Yang Cu yang kembali menjadi sibuk bukan main.

Kini keadaannya kembali membalik dengan cepatnya. Pihak pemberontak menjadi terdesak, dan para tokoh sesat yang kini memperoleh tanding menjadi bingung. Thian Kong Cinjin menemukan tanding yang amat kuat, yaitu Suma Ceng Liong. Thian Kek Sengjin juga sibuk menghadapi gulungan sinar emas dari suling di tangan Kam Bi Eng. Hek-sim Kui-bo terdesak oleh Hong Li, sedangkan Hok Yang Cu hampir tidak dapat menahan serangan Sin Hong. Dan pasukan Mongol itu pun repot menghadapi amukan para pendekar dan sudah banyak di antara mereka yang roboh dan terluka.

Melihat keadaan tidak menguntungkan ini, tiba-tiba terdengar Thian Kek Sengjin mengeluarkan seruan keras, "Lariii....!" Dan dia pun melontarkan sebuah benda hitam yang mengeluarkan ledakan keras dan nampaklah asap hitam bergumpal-gumpal, menggelapkan tempat yang menjadi medan perkelahian itu. Sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, tentu saja kakek ini mempunyai bahan peledak yang suka dipergunakan orang-orang Peklian-pai dalam pertempuran, juga merupakan alat untuk mengelabui rakyat.

Suma Ceng Liong sudah mengenal senjata-senjata gelap orang-orang Pek-lian-pai. Ada bahan peledak yang mengandung asap beracun, maka dia pun cepat berseru agar semua orang mundur menjauhi asap. Maka, semua orang segera berloncatan mundur. Setelah asap hitam itu menipis, ternyata tokoh-tokoh sesat itu telah lenyap, agaknya sudah melarikan diri. Juga orang-orang Mongol yang masih belum terluka, sudah lari. Hanya tinggal orang-orang Mongol yang terluka, kini nampak dengan susah-payah menyeret tubuh mereka untuk pergi dari tempat itu.

"Biarkan mereka pergi!" kata Sin Hong ketika melihat ada di antara pendekar yang hendak mengejar. "Lawan yang sudah terluka jangan didesak!"

Kembali Ceng Liong kagum sekali melihat sikap Sin Hong ini. Mereka lalu berkumpul dan Hong Li memperkenalkan Sin Hong kepada paman dan bibinya. "Susiok, ini adalah paman Suma Ceng Liong dan bibi Kam Bi Eng. Paman dan Bibi, pemuda ini adalah susiok. Tan Sin Hong, murid dari mendiang kakek dan nenek di Gurun Pasir."

Sin Hong cepat memberi hormat kepada suami isteri sakti itu. "Sudah lama saya mendengar nama besar Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), maka hari ini saya merasa bangga dapat bertemu dengan Ji-wi, bahkan mendapat bantuan Ji-wi."

Hati Ceng Liong semakin suka kepada pemuda ini, "Orang muda, harap jangan terlalu merendahkan diri. Kami pun sudah mendengar namamu dan ternyata engkau pantas menjadi murid orang-orang sakti penghuni Istana Gurun Pasir. Akan tetapi, kami mendengar dari toako Suma Ciang Bun bahwa puteri kami, Suma Lian, melakukan perjalanan bersamamu. Di mana ia sekarang? Mengapa kami tidak melihat ia di sini?"

Sin Hong lalu menceritakan tentang pengalamannya bersama Suma Lian masuk ke dalam sarang Tiat-liong-pang dan menolong Ci Hwa yang akhirnya tewas pula. Kemudian dia bercerita tentang perjumpaan mereka dengan Gu Hong Beng yang terpaksa menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menghubungi Panglima Coa yang bersekutu dengan pemberontak karena ada dua orang kawan yang dijadikan sandera.

"Karena saya ingin mencoba menyelamatkan dua orang sandera itu, maka saya minta kepada Lian-moi untuk membantu saudara Gu Hong Beng, sedangkan saya sendiri lalu berusaha menyelundup ke Tiat-liong-pang, akan tetapi bertemu dengan para pendekar di sini, dan tadi bertemu pula dengan nona Kao Hong Li."

Mendengar bahwa puteri mereka membantu Gu Hong Beng, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merasa lega dan girang. Selagi mereka bercakap-cakap, seorang pendekar yang baru saja datang berlari menghampiri Sin Hong. Melihat di situ terdapat orang-orang baru yang tidak dikenalnya, pendekar ini ragu-ragu.

"Yang berada di sini adalah kawan sendiri." kata Tan Sin Hong, maklum akan keraguan orang itu, "Kedua Locianpwe ini adalah Locianpwe Suma Ceng Liong dan isterinya."

Mendengar disebutnya nama keluarga Suma, pendekar itu memberi hormat, lalu dia menyampaikan berita yang amat penting. "Malam tadi dalam pengamatanku, aku melihat ribuan orang pasukan pemerintah meninggalkan benteng menuju ke Tiat-liong-pang dan kini mereka agaknya mengepung Tiat-liong-pang dari empat penjuru!"

Mendengar ini, semua orang terkejut dan Sin Hong menarik napas panjang, "Wah, jangan-jangan saudara Gu Hong Beng terpaksa menyampaikan surat rahasia itu dan kini pasukan yang berkhianat mulai bergabung dengan pemberontak. Tentu tak lama lagi mereka akan melakukan gerakan."

"Sebaiknya kita menyelundup ke dalam, kita bebaskan mereka yang tertawan dan kita kacaukan sarang mereka. Kita serbu para tokoh sesat itu. Kalau benar pasukan pemerintah itu adalah yang berkhianat dan bergabung dengan para pemberontak, belum terlambat bagi kita untuk menyelamatkan diri. Sebaiknya yang menyelundup ke dalam hanya yang memiliki ilmu kepandaian cukup saja," kata Suma Ceng Liong merasa khawatir kalau-kalau puterinya yang menemani Gu Hong Beng itu berada di dalam sarang Tiat-liong-pang pula dan terancam bahaya. Sin Hong menyetujui saran ini, karena kalau tidak mereka beramai dengan bekerja sama menyelundup ke dalam, akan sukarlah Gu Hong Beng dan teman-temannya itu dapat diselamatkan. Kalau sudah berhasil menyelamatkan mereka yang tertawan, barulah mereka kelak akan membantu pasukan pemerintah yang akan membasmi gerombolan pemberontak.

Lalu dipilih di antara para pendekar yang berkumpul di situ dan hanya ada empat orang yang dianggap cukup kuat untuk melakukan penyusupan, dan tentu saja selain mereka juga Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Kao Hong Li, Tan Sin Hong, empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini ikut pula menyelundup.

***

Gu Hong Beng diterima oleh para penjaga pintu gerbang Tiat-liong-pang. Dia muncul seorang diri di waktu pagi sekali itu dan para penjaga yang sudah mengenalnya lalu membiarkan dia masuk. Gu Hong Beng segera diterima oleh Ouwyang Sianseng, Siangkoan Lohan, dan beberapa orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan mereka yang diandalkan, di antara mereka tentu saja nampak Siangkoan Liong.

Dengan matanya yang cerdik dan tajam, Hong Beng melihat bahwa tidak ada sinar kecurigaan dalam pandang mata mereka itu, maka hatinya menjadi lega. Untung bahwa dia dan Suma Lian telah berhasil membunuh belasan musuh yang menghadangnya itu, karena kalau ada seorang saja yang lolos, tentu dia tidak akan berani kembali ke sarang ini dan tentu akan celaka nasib Li Sian dan Kun Tek.

"Gu-taihiap, engkau sudah kembali?" Siangkoan Lohan menyambut dengan sikap ramah. "Dan berhasilkah tugasmu?"

Hong Beng mengangguk dan tersenyum.

"Berhasil dengan baik, Pangcu."

"Apakah ada balasan surat dari Coa Tai-ciangkun?" tanya Ouwyang Sianseng. Hong Beng maklum bahwa mereka ini masih bersikap pura-pura, karena mata-mata mereka tentu sudah menyelidiki dan mereka tentu sudah tahu bahwa dia datang bersama pasukan pemerintah! Dia bersikap seperti yang sudah direncanakan bersama Liu-ciangkun, kakek Kam Hong dan isterinya.

"Coa Tai-ciangkun mengirim salam dan karena beliau masih harus menyelesaikan urusan dalam benteng, maka mengirim Pouw-ciangkun dengan pasukan besar untuk bergabung dengan pasukan Pangcu, siap melakukan gerakan menurut petunjuk Pangcu."

"Pouw-ciangkun? Yang mana....?" Siangkoan Lohan bertanya, memandang heran karena sepanjang pengetahuannya, di antara anak buah Coa Tai-ciangkun, yaitu para perwira yang ikut dalam persekutuan itu, tidak terdapat seorang Pouw-ciangkun.

"Bukankah Pouw-ciangkun termasuk seorang di antara para perwira yang setia kepada kerajaan?" Tiba-tiba Siangkoan Liong berkata. Pemuda ini juga hafal akan para perwira di benteng, mana yang berpihak kepada pemberontak dan mana yang setia kepada kerajaan.

Diam-diam Gu Hong Beng terkejut mendengar ini, namun wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu. Dengan tenang dia berkata, "Menurut keterangan yang kuperoleh dari Coa Tai-ciangkun, Pouw-ciangkun adalah seorang bawahannya yang baik dan dapat dipercaya. Mungkin saja terjadi perubahan dan akhir-akhir ini Pouw-ciangkun telah menjadi orang kepercayaannya."

"Suruh Pouw-ciangkun masuk!" tiba-tiba Ouwyang Sianseng berseru kepada pengawal. Beberapa orang pengawal memberi hormat dan berlari keluar. Hong Beng menanti dengan jantung berdebar. Inilah saatnya yang amat kritis dan dia sudah memperhatikan hal ini dengan teman-temannya ketika mereka berunding di dalam benteng. Tak disangkanya bahwa Ouwyang Sianseng demikian cerdiknya, jauh lebih cerdik daripada para pemimpin pemberontak yang lain. Dan dia tahu bahwa Pendekar Suling Emas, kakek Kam Hong dan isterinya, tentu sudah siap siaga pula karena mereka berdua yang bertugas menjadi pengawal Pouw-ciangkun. Demikian pula Suma Lian. Mereka bertiga kini tentu sudah menyelundup masuk ke dalam sarang itu karena kesempatan untuk itu besar sekali dengan adanya pasukan pemerintah yang amat banyak berada di sekitar sarang pemberontak.

Tak lama kemudian dua orang penjaga yang tadi disuruh memanggil Pouw-ciangkun, kembali bersama Pouw-ciangkun yang diiringkan oleh dua belas orang pengawal. Para pengawal ini adalah pendekar-pendekar yang menyamar.

Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong dan para pembantunya siap untuk menyambut sekutu yang amat diandalkan ini, akan tetapi tiba-tiba Ouwyang Sianseng meloncat ke depan dan menudingkan telunjuknya kepada Pouw-ciangkun sambil membentak nyaring, "Tangkap dia!"

Tentu saja hal ini amat mengejutkan Hong Beng, juga Pouw-ciangkun sendiri. Tak disangkanya sama sekali bahwa Ouwyang Sianseng akan dapat melihat sandiwara mereka! Padahal, sebetulnya Ouwyang Sianseng juga belum yakin bahwa Hong Beng telah membohonginya, tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan besar di dalam benteng. Kalau dia tiba-tiba menyuruh tangkap Pouw-ciangkun, hal ini adalah karena kecerdikannya yang luar biasa. Perintah ini sebetulnya hanyalah gertakan dan pancingan saja. Di dalam hatinya, dia merasa heran mengapa yang disuruh memimpin pasukan kerajaan olen Coa Tai-ciangkun adalah Pouw-ciangkun. Maka, dia pun menggertak untuk melihat reaksi dari pihak Pouw-ciangkun.

Gertakan atau pancingannya ini memang berhasil baik. Pouw-ciangkun yang sudah menerima perintah Liu Tai-ciangkun, sudah memperhitungkan kemungkinan kecil bahwa mereka akan dicurigai dan ditangkap, maka begitu Ouwyang Sianseng memerintahkan penangkapan, Pouwciangkun lalu meloncat ke belakang, berlindung di balik dua belas orang pengawalnya yang semua telah mencabut pedang. Juga Hong Beng yang mengira bahwa perintah Ouwyang Sianseng tadi merupakan bukti banwa rahasianya sudah diketahui lawan, cepat meloncat ke dalam untuk menyelamatkan Li Sian dan Kun Tek. Akan tetapi Thian Kek Sianjin, tokoh besar Pek-lian-kauw yang kebetulan berada di tempat paling dekat dengan Hong Beng, sudah memalangkan tongkat naga hitamya lalu menyambut pemuda itu dengan hantaman tongkat!

Melihat reaksi ini, Ouwyang Sianseng terbelalak dan mukanya berubah. Tahulah dia banwa benar seperti yang dikhawatirkannya, telah terjadi pengkhianatan!

"Bunuh mereka semua! Semua pasukan siap untuk melawan musuh di luar....!" Akan tetapi, Pouw-ciangkun, tepat seperti yang sudah diatur sebelumnya, sudah lari keluar dan memberi isyarat kepada para perwira di luar untuk memulai penyerbuan!

Dua belas orang pendekar yang menyamar sebagai pengawal melindunginya dan menyerang kaki tangan pemberontak yang hendak mengejar Pouw-ciangkun. Akan tetapi tentu saja mereka ini bukanlan lawan orang-orang seperti Siangkoan Liong, Siangkoan Lohan dan para pembantunya. Dalam waktu sebentar Saja, dua belas orang pengawal itu robon seorang demi seorang!

"Bunuh pengkhianat ini, aku akan membunuh dua orang kawannya!" teriak Ouwyang Sianseng. Akan tetapi pada saat itu, terdengar sorak-sorai gemuruh dibarengi suara terompet dan tambur, tanda bahwa pasukan pemerintah mulai menyerbu dari luar, dari empat penjuru! Dan sebelum Ouwyang Sianseng sempat melompat ke dalam, dari dalam muncul beberapa orang yang membuat wajah Ouwyang Sianseng dan para pimpinan pemberontak berubah pucat!

Dari dalam, dengan sikap gagah dan tenang, nampak kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian, Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Tan Sin Hong, Kao Hong Li, Suma Lian, dan dua orang muda yang tadinya menjadi tawanan, yaitu Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian! Kiranya, dua rombongan pendekar itu telah berhasil menyelundup ke dalam sarang pemberontak. Pertama adalah rombongan Tan Sin Hong, Kao Hong Li, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, adapun rombongan ke dua adalah rombongan kakek Kam Hong, Bu Ci Sian dan Suma Lian. Mereka bertemu di dalam sarang pemberotak dan tentu saja pertemuan itu amat menggembirakan hati mereka walaupun dilakukan secara bersembunyi, Tan Sin Hong lalu bernasil membebaskan Kun Tek dan Li Sian. Kedua orang muda yang tadinya menjadi tawanan itu bergabung dengan mereka dan begitu mendengar ribut-ribut di luar, tanda bahwa pasukan mulai bergerak, mereka pun menerjang keluar dan berhadapan dengan seluruh pimpinan pemberontak dan para pembantu mereka!

Melihat betapa Hong Beng berkelahi melawan Thian Kek Sengjin yang amat lihai dengan tongkat naga hitamnya, Suma Lian segera meloncat dan membantunya. Suling emas kecil di tangannya berubah menjadi gulungan sinar kuning emas yang menyambar-nyambar ke arah Thian Kek Sengjin. Kakek Pek-lian-pai ini menjadi terkejut dan juga repot karena Hong Beng yang girang melihat betapa "tunangannya" membantunya, juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk mendesak lawan.

Kakek Kam Hong berhadapan dengan Ouwyang Sianseng. "Saudara Ouwyang Sianseng, petualanganmu agaknya hanya akan beraknir sampai di sini saja. Sarang pemberontak ini sudah terkepung oleh pasukan besar!"

Wajah Ouwyang Sianseng pucat, akan tetapi sikapnya masih tenang, bahkan dia masih dapat tersenyum sambil memandang kakek sastrawan sederhana di depannya itu dengan pandang mata penuh kagum. Tentu Pendekar Suling Emas ini yang telah menggagalkan semua rencananya, pikirnya.

"Sungguh membuat orang penasaran," katanya lirih, namun karena suaranya mengandung khi-kang yang amat kuat, maka terdengar jelas oleh semua orang.

"Seorang pendekar besar seperti Pendekar Suling Emas yang kabarnya pembela rakyat, penegak kebenaran dan keadilan, kiranya tidak lain hanyalah seorang budak penjajah Mancu yang tidak segan-segan mengkhianati bangsa sendiri!"

Ejekan yang amat menghina ini diterima oleh kakek Kam Hong dengan senyum. Tangan kiri kakek ini bergerak, cepat sekali dan hanya lengan kirinya yang bergerak karena seluruh tubuhnya diam, dan nampaklah bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu, seperti orang bermain sulap saja, kakek itu telah memegang sebuah kipas dengan tangan kiri, mengebutkan kipas yang terpentang itu perlahan-lahan mengipasi lehernya seolah-olah dia merasa kegerahan. Ouwyang Sianseng melihat kipas yang terpentang lebar ini dan dapat membaca tulisan indah dan gagah pada permukaan kipas yang digerakkan perlahan-lahan.

Hanya yang kosong
dapat menerima tanpa meluap
hanya yang lembut
mampu menerobos antara yang kasar
yang merasa cukup
adalah yang sesungguhnya kaya raya!


Tulisan itu sebenarnya adalah motto dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Guru kakek Kam Hong, satu di antaranya, adalah Sai-cu Kai-ong, keturunan pendiri Khong-sim Kai-pang maka sajak ini disukai oleh Kam Hong dan dijadikan hiasan kipasnya yang merupakan senjatanya yang ampuh pula, di samping senjata suling emas. Agaknya, dengan membeberkan kipas dan memperlihatkan sajak itu, kakek Kam Hong sudah menjawab ucapan Ouwyang Sianseng tadi, menyindirnya sebagai orang yang sombong dan kasar dan tidak mengenal puas sehingga mengadakan persekutuan pemberontakan. Akan tetapi, benarlah ujar-ujar kuno yang mengatakan bahwa mengenal kelemahan dan keburukan diri sendiri merupakan perbuatan yang teramat sukar. Bahkan orang sesakti Ouwyang Sianseng rupanya masih sukar untuk dapat melakukan pemawasan diri ini. Dia, seperti kebanyakan dari kita, selalu menganggap diri sendiri paling baik, paling pintar, paling benar dan tanpa cacat.

"Tidak perlu mengejek, orang she Kam!" katanya dan sinar matanya mengeluarkan kilatan marah. "Aku memang memimpin perjuangan melawan penjajah ini, lalu apa salahnya?"

Kini terpaksa Kam Hong berkata, "Ouwyang Sianseng, lupakah engkau ketika engkau memimpin pasukan Birma melawan pasukan dari tanah air sendiri walaupun pasukan itu adalah pasukan Mancu? Lupakah engkau betapa engkau melarikan diri dengan membawa banyak harta benda, kembali ke tanah air dan kini mengadakan pemberontakan? Siapa percaya akan kemurnian gerakan pemberontakan ini kalau engkau mengumpulkan tokoh-tokoh sesat untuk membantumu? Boleh engkau mengelabui orang lain, akan tetapi kami para pendekar sudah dapat melihat kebusukan yang tersembunyi di balik pemberontakan ini!"

"Hemmm, bagus! Ada saja alasanmu untuk membantu pemerintan penjajah Mancu. Nah, bersiaplah untuk menandingi aku!" kata Ouwyang Sianseng yang juga mengeluarkan sebuah kipas dengan tangan kirinya untuk mengipasi badan, sedangkan tangan kanannya menghunus sebatang pedang!

Ouwyang Sianseng tidak tahu bahwa sejak tadi Kam Hong sudah siap siaga, karena sikapnya berdiri, tegak dengan kipas terpentang mengipasi leher ini adalah gerak pembukaan dari ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Bagaimanapun juga, hati Ouwyang Sianseng sudan merasa gentar, apalagi melihat betapa pertempuran telah terjadi di luar antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak. Maka dia pun tidak mau membuang waktu lagi. Biarpun mulutnya menantang agar lawan bersiap namun pedangnya sudah menyambar, diikuti serangan kipasnya yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan gerakan pedangnya.

Namun Kam Hong dengan gerakan tenang mengebutkan kipasnya. Angin yang aneh berputaran meniup ke arah lawan, dan disusul gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara melengking-lengking seperti suling ditiup dan dimainkan seorang ahli. Dari gulungan sinar keemasan itu mencuat sinar yang menyambar ke arah Ouwyang Sianseng, sedangkan puteran kipas tadi merupakan perisai putih yang telah menangkis kedua serangan bekas pembesar di Birma itu. Terjadilah perkelahian yang amat hebat antara dua orang tua itu. Hebat dan aneh, dan biarpun mereka bergerak kadang-kadang amat lambat, namun angin pukulan yang keluar dari kedua buah kipas, sebatang pedang dan sebatang suling itu amatlah kuatnya sehingga orang-orang lain tidak berani mendekati dua orang jago tua itu.

Melihat betapa Thian Kek Sianjin amat repot menghadapi pengeroyokan Gu Hong Beng dan Suma Lian, maka Thian Kok Cinjin segera bergerak maju, dengan tongkatnya. Suma Lian menyambut kakek ini membiarkan Gu Hong Beng menghadapi Thian Kek Sengjin dan terjadilah perkelahian seru antara gadis perkasa itu dan ketua Pat-kwa-pai, tidak jauh dari perkelahin antara Hong Beng dan tokoh Pek-lian-pai, yaitu Thian Kek Sengjin.

Sementara itu, melihat Sin-kiam Mo-li, Kao Hong Li sudah tidak sabar lagi. Itulah iblis betina yang melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir dan bersama kawan-kawannya menyebabkan kematian kakek dan neneknya.

"Sin-kiam Mo-li, lihat baik-baik, siapa aku! Akulah yang akan mencabut nyawamu agar engkau dapat bertemu dengan roh kakek dan nenekku di sana!" bentaknya sambil melompat ke depan wanita itu. Sin-kiam Mo-li memandang dan ia mengenal Hong Li sebagai gadis yang pernah dikeroyoknya bersama Toat-beng Kiam-ong dan kawan-kawannya,akan tetapi kemudian mereka terpaksa melarikan diri ketika muncul Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Akan tetapi, mendengar bentakan Hong Li, ia memandang lebih teliti.

“Aku Kao Hong Li, lupakah engkau kepadaku, iblis busuk?" Hong Li kembali membentak.

"Ahhh....!" Sin-kiam Mo-li terkejut dan baru ia mengenal gadis itu. Ketika Hong Li berusia tiga belas tahun, pernah ia menculik gadis ini, dan mengambilnya sebagai murid, bahkan ia mulai merasa suka dan sayang kepada gadis itu. Sekarang, gadis itu telah dewasa dan berhadapan dengannya sebagai seorang musuh. Ia tidak sempat banyak bicara karena Hong Li telah menyerangnya dengan sepasang pedang. Untuk penyerbuan itu dan menghadapi musuh-musuh yang tangguh, Hong Li telah mempersiapkan diri dan kini membawa sepasang pedang, langsung menyerang lawan tangguh itu dengan permainan ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang dipelajari dari ibunya.

Sin-kiam Mo-li sudah maklum akan kelihaian gadis ini, maka ia pun cepat mencabut pedang dan kebutannya, menangkis serangan Hong Li dan membalas dengan ganasnya. Segera terjadi perkelahian sengit antara kedua orang wanita ini. Siangkoan Lohan yang juga bingung seperti halnya Ouwyang Sianseng melihat penyerbuan pasukan pemerintah secara tiba-tiba dan berhadapan dengan banyak pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dihadapi Suma Ceng Liong. Pendekar ini maklum bahwa di antara para pimpinan pemberontak itu, yang paling lihai adalah Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Karena Ouwyang Sianseng telah dilawan oleh ayah mertuanya, maka dia pun cepat maju menghadapi Siangkoan Lohan yang segera menyerang dengan hun-cwe emasnya.

Sin Hong juga tidak tinggal diam. Melihat betapa kedua orang pimpinan pemberontak yang paling lihai itu sudah dihadapi dua orang locianpwe yang dia tahu amat sakti, dia pun lalu menerjang Siangkoan Liong, orang ke tiga yang paling lihai di antara pihak musuh. Siangkoan Liong menyambut serangan Sin Hong dengan pedangnya, dan putera ketua Tiat-liong-pang yang juga murid Ouwyang Sianseng ini berusaha keras untuk merobohkan lawan dengan pedangnya, namun Sin Hong biarpun bertangan kosong, ternyata merupakan lawan yang amat tangguh sehingga perkelahian antara mereka tak kalah serunya dengan perkelahian lain yang terjadi di tempat itu.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mendapatkan lawan yang teramat berat baginya, yaitu nenek Bu Ci Sian yang mempergunakan sebatang suling emas, presis seperti yang dimainkan oleh suaminya, Kam Hong, hanya ukurannya yang lebih kecil sedikit.

Hok Yang Cu, tokoh Pat-kwa-pai yang pendek botak dan mempergunakan senjata sabuk yang ujungnya dipasangi pisau beracun, senjata yang baru dibuatnya karena yang lama telah putus ketika dia mengeroyok Sin Hong dan Hong Li, kini dihadapi oleh seorang lawan yang juga amat berat baginya, yaitu Kam Bi Eng yang juga seperti ayah dan ibunya, mempergunakan senjata sebatang suling emas!

Nenek Hek-sim Kui-bo, seorang di antara kaki tangan pemberontak yang lihai, dihadapi oleh Pouw Li Sian. Gadis ini baru saja dibebaskan oleh Sin Hong dan merampas sebatang pedang dari para penjaga yang mereka robohkan, dan kini gadis itu dengan sengit menyerang nenek bongkok kurus hitam itu, yang segera menangkis dengan tongkatnya dan membalas pula takkalah serunya.

Adapun Cu Kun Tek, yang ketika dibebaskan mendengar dari Sin Hong bahwa Ci Hwa tewas karena luka-lukanya yang diperoleh ketika gadis itu bertempur melawan Ciu Hok Kwi yang berjuluk Tiat-liong Kiam-eng, juga pernah menjadi piauwsu, murid utama dari Siangkoan Lohan, kini Kun Tek sudah menerjang dengan sengitnya, menyerang Ciu Hok Kwi. Pendekar ini juga merampas pedang dari seorang penjaga karena pedangnya sendiri yaitu Koai-liong Po-kiam, telah dirampas oleh Ouwyang Sianseng.

Masih banyak sekali tokoh-tokoh sesat yang menjadi kaki tangan pemberontak yang dihadapi oleh para pendeker. Bahkan kini para pendekar yang tadinya menanti kesempatan di beberapa tempat persembunyian di daerah itu, setelah mendengar ribut-ribut penyerbuan pasukan ke sarang Tiat-liong-pang sudah berdatangan membantu pasukan menggempur para pemberontak. Di antara mereka terdapat pula Ciok Heng, putera Ciok Kim Bouw dengan banyak anggauta Cin-sa-pang yang dipimpinnya.

Pertempuran antara para tokoh sesat melawan para pendekar ini seru bukan main, mati-matian dan satu lawan satu, tidak seperti pertempuran yang terjadi di luar sarang. Pertempuran di luar itu adalah perang antara pasukan pemerintah melawan pasukan pemberontak yang terdiri dari pasukan Mongol dipimpin Agakai sebanyak lima ratus orang lebih, anak buah Tiat-liong-pang sendiri tidak kurang dari tiga ratus orang, anak buah Ang I Mo-pang antara lima puluh orang dan anak buah para tokoh sesat juga membantu pemberontak. Akan tetapi, jumlah mereka tidak lebih dari seribu orang, sedangkan Liu Tai-ciangkun mengerahkan pasukan yang jumlahnya tidak kurang dari tiga ribu orang! Tentu saja gelombang besar pasukan penyerbu yang melakukan serangan tiba-tiba dan sama sekali tidak pernah diduga oleh pasukan pemberontak, membuat para pemberontak kewalahan dan mereka terus didesak mundur dan terhimpit karena sarang pemberontak itu sudah dikepung dari empat penjuru oleh pasukan pemerintah. Apalagi karena para pimpinan pemberontak sendiri sibuk di sebelah dalam sarang menghadapi penyerbuan para pendekar yang berilmu tinggi sehingga mereka tidak sempat lagi untuk memimpin pasukan mereka. Hal ini tentu saja membuat pasukan pemberontak menjadi semakin panik kehilangan komando.

Pertempuran antara para pendekar melawan para tokoh sesat juga jelas memperlihatkan bahwa pihak para pendekar rata-rata dapat mendesak musuhnya. Hanya Kao Hong Li yang belum mampu mendesak Sin-kiam Mo-li. Memang wanita iblis itu lihai bukan main dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kirinya. Masih untung bagi Kao Hong Li bahwa ia telah merampas sepasang pedang dari penjaga sehingga kini ia dapat menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan permainan Siang-mo Kiam-sut. Namun, sepasang pedangnya adalah pedang biasa, maka gadis ini yang dapat menduga bahwa pedang di tangan Sin-kiam Mo-li tentu pedang pusaka, ia tidak berani mengadu pedang dengan langsung, khawatir kalau pedangnya akan rusak atau patah. Dan kebutan di tangan kiri wanita iblis itu berbahaya sekali, menyambar-nyambar ganas dan setiap bulu kebutan mengandung racun yang jahat. Maka, Hong Li sama sekali tidak mampu mendesak Sin-kiam Mo-li dan untuk melindungi tubuhnya, gadis itu memainkan Siang-mo Kiam-sut sebaik mungkin, mengerahkan pada bagian pertahanan dengan memutar kedua pedangnya bersilang yang merupakan benteng kuat atau perisai yang melindungi tubuhnya dengan ketat. Tidak mudah bagi pedang dan kebutan Sin-kiam Mo-li membobol gulungan sinar kedua pedang yang menjadi perisai itu.

Siangkoan Liong repot sekali menghadapi Sin Hong. Biarpun dia mempergunakan sebatang pedang dan lawannya itu bertangan kosong, namun tingkat kepandaian Sin Hong masih jauh berada di atasnya seningga biar hanya bertangan kosong, Sin Hong selalu mendesaknya. Serangan pedang Siangkoan Liong selalu dapat dielakkan oleh Sin Hong dengan baiknya, bahkan beberapa kali hampir saja pedang itu dapat dirampas. Dengan ilmu silatnya yang bermacam-macam dan kesemuanya adalah ilmu silat tingkat tinggi, Sin Hong terus mendesak Siangkoan Liong. Kedua tangan kosong Sin Hong tiada bedanya dengan dua buah senjata yang ampuh. Dengan tamparan-tamparannya yang mendatangkan angin pukulan dahsyat, Sin Hong terus membuat Siangkoan Liong hanya dapat mengelak sambil berlompatan mundur, dan mengelebatkan pedang untuk mencoba membacok lengan Sin Hong. Akhirnya sebuah tendangan yang ditujukan ke arah perutnya dan dielakkan oleh Siangkoan Liong, masih saja mengenai pinggir pinggangnya, membuat tubuh Siangkoan Liong terpelanting keras!

Sin Hong yang teringat akan sikap Ci Hwa sebelum gadis itu meninggal, betapa gadis itu memaki Siangkoan Liong yang telah menodainya, kini menerjang ke depan. Orang seperti pemuda itu berbahaya sekali, pikirnya, amat jahat, maka sudah sepatutnya kalau diakhiri saja hidupnya. Melihat lawannya terpelanting, Sin Hong berniat untuk mengirim pukulan susulan yang mematikan. Akan tetapi tiba-tiba nampak sinar terang dan terdengar bunyi seperti auman binatang buas. Sinar itu menyambar ke arah Sin Hong bagaikan seekor naga yang menubruk. Sin Hong terkejut sekali dan berjungkir balik ke belakang untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang yang luar biasa ampuhnya itu. Dia tidak tahu bahwa itulah pedang Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) milik Cu Kun Tek yang dirampas oleh Ouwyang Sianseng dan diberikan kepada muridnya. Dalam saat yang amat gawat bagi keselamatan dirinya, setelah terpelanting, Siangkoan Liong lalu mencabut pedang pusaka rampasan itu dan menusuk dari bawah. Berkat keampunan Koai-liong Po-m kiam terhindarlah dia dari bahaya maut karena Sin Hong yang terkejut mengurungkan serangannya dan berjungkir balik ke belakang.

Akan tetapi, pada saat itu, terjadi perubahan menarik pada pertempuran antara Ouwyang Sianseng dan Kam Hong. Mereka berdua lebih mengandalkan tenaga sakti mereka. Maklum, keduanya adalah tokoh-tokoh tua. Usia Ouwyang Sianseng sudah mendekati tujuh puluh tahun, demikian pula dengan Kam Hong. Betapapun lihai dan kuatnya seseorang, tubuhnya hanya terbuat dari darah dan daging diperkuat oleh tulang belaka. Tulang-tulang tua dapat rapuh, daging pun mengendur, dan tubuh tak terhindarkan dari kelemahan dimakan usia dari dalam. Maka, kalau orang-orang seusia mereka mengandalkan tenaga, tentu mereka takkan mampu bertahan lama. Mereka bertanding dengan gerakan yang lambat, namun setiap gerakan itu mengandung tenaga dalam, tidak mempergunakan tenaga luar yang dibutuhkan untuk bergerak cepat. Dan dalam hal tenaga dalam ini, ternyata tingkat mereka seimbang! Kalau keduanya masih muda, tentu kakek Kam Hong akan dapat mengalahkan lawannya tanpa banyak kesukaran, mengandalkan ilmunya yang sukar dicari bandingannya di dunia ini. Mungkin hanya ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Gurun Pasir sajalah yang mampu menandingi tingkat ilmu suling dan kipas dari Pendekar Suling Emas itu. Betapapun juga, karena memang kalah tinggi ilmunya, ketika kedua kipas bertemu di udara terdengar suara keras dan kipas di tangan Ouwyang Sianseng robek! Kam Hong mempergunakan kesempatan ini untuk mendesak. Sulingnya menyambar, menotok ke arah pelipis, dan kipasnya juga menyambar, gagangnya menotok ke lambung. Ouwyang Sianseng yang masih terkejut karena robeknya senjata kipas di tangannya, cepat mundur sambil mengelebatkan pedangnya untuk membalas, ditusukkan ke arah kipas lawan untuk membuat kipas itu robek. Akan tetapi, pada saat itu, sinar kuning emas menyambar dari atas, menghantam pedangnya.

"Tranggggg....!" Keras sekali hantaman suling emas itu, membuat tangan Ouwyang Sianseng tergetar dan pedangnya patah ujungnya! Kakek itu terkejut sekali, lalu mencabut sebatang pedang dari balik jubahnya. Begitu dicabut pedang itu, Kam Hong terbelalak, lalu bergidik. Dia mengenal sebatang pedang yang ampuhnya menggiriskan hati. Baru hawanya saja sudah membuat orang menggigil, dan begitu pedang dicabut, dan digerakkan, tercium bau yang dapat membuat orang muntah. Pedang itu pun mengeluarkan sinar abu-abu kehitaman, sinar maut! Itulah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)!

Seperti diketahui, ketika menyerbu ke Istana Gurun Pasir, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya berhasil menewaskan tiga orang tua sakti di sana, walaupun mereka sendiri hampir habis terbasmi. Hanya Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin, dan Thian Kek Sianjin saja yang masih hidup walaupun menderita luka-luka, dan Sin-kiam Mo-li yang cerdik, dapat menyita dua batang pedang pusaka dari Istana Gurun Pasir, yaitu Cui-beng-kiam dan Ban-tok-kiam. Ketika ia dan kawan-kawannya bergabung dengan para pemberontak, melihat kesaktian Ouwyang Sianseng, Sin-kiam Mo-li lalu menyerahkan sebatang di antara dua batang pedang rampasan itu, ialah Ban-tok-kiam. Adapun pedang ke dua, Cui-beng-kiam, disimpannya sendiri.

Ouwyang Sianseng adalah seorang yang cerdik sekali, juga memiliki ambisi besar. Begitu melihat betapa dia dan kawan-kawannya tertipu, dan pasukan yang datang bukanlah pasukan pemerintahan yang bersekutu melainkan pasukan yang menyerang dalam jumlah amat besar, dan melihat pula munculnya para pendekar yang sebagian memiliki kesaktian hebat, dia pun maklum bahwa permainannya kalah. Kini, yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya sendiri. Karena itu, melihat betapa kakek Kam Hong yang membuatnya jerih itu nampak gentar melihat dia mengeluarkan Ban-tok-kiam, Ouwyang Sianseng lalu memutar pedang itu dan meloncat ke belakang, menyelinap di antara anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang membantu para tokoh sesat menghadapi para pendekar. Kam Hong tidak mengejarnya, dan hanya menarik napas panjang, masih tertegun melihat pedang tadi. Pendekar ini pun teringat akan pedang yang disebut Ban-tok-kiam, sebuah di antara pusaka Istana Gurun Pasiir dan dia kagum bukan main, juga ngeri membayangkan kehebatan pedang itu.

Pada saat Ouwyang Sianseng melompat ke belakang dan melarikan diri menyelinap di antara para arnggauta Pek-lian-pai itulah yang menarik perhatian Siangkoan Liong. Pada saat itu, Sin Hong berjungkir balik ke belakang karena terkejut menghadapi serangan pedang Koai-liong Po-kiam. Siangkoan Liong tidak mendesak Sin Hong karena bagaimanapun juga, dia sudah merasa jerih menghadapi pemuda berpakaian putih itu. Kini melihat gurunya melarikan diri, tanpa berpikir dua kali, Siangkoan Liong juga melompat ke belakang dan menyelinap di antara para anggauta Pat-kwa-pai dan menghilang. Sin Hong juga tidak mengejar karena di situ terdapat banyak lawan. Dia menoleh ke arah Kao Hong Li yang bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan terkejutlah pemuda ini. Tadinya dia tidak khawatir akan keselamatan Hong Li melihat gadis ini cukup lihai untuk mengimbangi permainan Sin-kiam Mo-li. Akan tetapi kini, Hong Li terdesak hebat sekali, bahkan sepasang pedangnya rusakrusak, sedangkan Sin-kiam Mo-li dengan senyum menyeringai mendesak dengan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar yang menyeramkan. Itulah pedang pusaka Cui-beng-kiam! Pedang ini, seperti juga Ban-tok-kiam merupakan pusaka Istana Gurun Pasir dan sudah puluhan tahun tidak pernah dipergunakan orang. Kini, di tangan Sin-kiam Mo-li, pedang itu menjadi senjata iblis yang haus darah! Gulungan sinarnya mengandung hawa yang mujijat, dan jelas nampak betapa Hong Li merasa ngeri dan jerih menghadapi desakan pedang yang telah merusak sepasang pedangnya itu. Gadis ini terus main mundur sambil memutar kedua pedangnya sekuat tenaga untuk melindungi tubuhnya dari ancaman Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) yang menggiriskan itu.

"Kembalikan pedang itu!" Tiba-tiba Sin Hong membentak dan tubuhnya sudah melesat ke depan, langsung saja dia menyerang Sin-kiam Mo-li dengan jurus ampuh dari Pek-ho Sin-kun. Tenaga yang terkandung dalam sambaran tangan Sin Hong itu hebat bukan main, membuat Sin-kiam Mo-li menjadi gugup dan wanita ini menangkis dengan kebutannya.

"Plak! Pyarrr....!" Kebutan itu rontok bulunya, berhamburan dan tubuh Sin-kiam Mo-li terjengkang. Akan tetapi, ia bergulingan dan memutar pedang Cui-beng-kiam. Pedang ini mengeluarkan sinar kilat bergulung-gulung sehingga Sin Hong tidak berani mendesak. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin-kiam Mo-li untuk meloncat dan menyelinap di antara kawan-kawannya yang sedang berkelahi melawan para pendekar. Sin Hong mencoba untuk mengejar, akan tetapi wanita itu sudah lenyap dan dia yang mengkhawatirkan keselamatan Hong Li segera mendekati gadis itu.

"Bagaimana denganmu? Engkau tidak terluka, bukan?"

Hong Li menggeleng kepala dan tersenyum. Bukan main gadis ini, pikir Sin Hong, baru saja terlepas dari ancaman maut, bahkan wajahnya masih basah dengan keringat, akan tetapi sudah mampu tersenyum demikian manisnya!

"Tidak, berkat pertolonganmu, Susiok."

Mereka tidak sempat bicara banyak, karena perkelahian masih berlangsung, lalu mereka segera terjun ke dalam kancah pertempuran, membantu para pendekar.

Kini keadaan menjadi semakin berat sebelah setelah tiga orang penting di antara para pimpinan pemberontak melarikan diri. Pertama-tama Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang mendapatkan lawan berat sekali, yaitu nenek Bu Ci Sian. Tingkat kepandaian si raja pedang ini jauh berada di bawah tingkat kepandaian nenek itu. Sejak semula, dengan suling emasnya, nenek itu sudah menekan dan mengurung, membuat si raja pedang tidak mampu mengembangkan permainan pedangnya. Akhirnya, kaki kiri nenek itu sempat menyentuh lututnya, membuat Toat-beng Kiam-ong setengah berlutut dan sebelum dia mampu bangkit kembali, ujung suling mengetuk ubun-ubun kepalanya dan dia pun roboh tewas seketika karena isi kepalanya tergetar dan batok kepalanya retak! Sungguh sayang sekali, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek sebenarnya bukanlah seorang penjahat. Tadinya dia pun terkenal sebagai seorang pendekar yang lihai, pernah menjadi murid Bu-tong-pai yang patuh. Akan tetapi, dia mempunyai satu kelemahan, yaitu terhadap wanita cantik. Inilah yang menjerumuskannya ke lembah hitam. Karena dia tergila-gila kepada wanita cantik dan selalu mengejar kesenangan ini, maka dia pun terjerumus, tidak pantang lagi melakukan kejahatan dan kekejaman demi terpenuhinya keinginan hatinya. Makin lama dia pun makin dalam terjerumus dan pergaulannya dengan para tokoh sesat makin menyelewengkannya dan akhirnya dia harus tewas secara menyedihkan.

Melihat betapa Suma Lian yang memutar suling emasnya itu belum juga mampu menandingi kelihaian Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai yang memang lihai bukan main itu, Hong Li tidak membuang banyak waktu. Segera ia terjun dan sepasang pedangnya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, merupakan sinar maut yang menyambar ke arah Thian Kong Cinjin. Bukan main kagetnya kakek ini. Tadinya dia merasa lega bahwa dia hanya dilawan seorang gadis muda yang biarpun lihai dengan suling emasnya, namun dalam hal pengalaman jauh kalah olehnya. Ketua Pat-kwa-pai ini sudah berusia tua sekali, hampir delapan puluh tahun. Akan tetapi sebagai seorang wakil ketua Pat-kwa-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, Suma Lian lebih lihai daripada kakek ini, apalagi mengingat bahwa kakek yang menjadi lawannya itu sudah tua sekali. Sepandai-pandainya orang, dan sekuat-kuatnya orang, takkan mungkin dapat melawan usianya sendiri. Usia tua akan menggerogotinya dari dalam, menghabiskan semua tenaga dan kesaktiannya. Demikian pula keadaan Thian Kong Cinjin, sesungguhnya berat sekali lawan yang muda itu baginya. Akan tetapi, berkat pengalamannya yang banyak, dia masih mampu bertahan, bahkan tidak membiarkan gadis itu mendesaknya dengan permainan tongkatnya yang luar biasa.

Begitu Kao Hong Li terjun membantu Suma Lian dengan permainan sepasang pedangnya yang hebat, tentu saja kakek Thian Kong Cinjin menjadi repot bukan main. Mengalahkan seorang Suma Lian saja dia belum juga mampu, kini ditambah lawan yang juga merupakan seorang gadis yang amat lihai, yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Gurun Pasir! Permainan tongkatnya menjadi kacau dan dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika suling di tangan Suma Lian menyambar dan menotok dadanya. Dia berteriak keras dan tubuhnya terpelanting roboh, namun dia masih cukup kuat biarpun dadanya terasa nyeri dan napasnya terengah-engah. Ketika dia bergerak hendak meloncat bangun dengan muka pucat dan dada sesak, sinar pedang di tangan Hong Li menyambar dan tusukan pedangnya tepat menembus leher kakek wakil ketua Pat-kwa-pai itu. Mata Thian Kong Cinjin melotot dan tongkatnya menyambar ke arah Hong Li dari bawah, dan ketika gadis itu dengan cekatan melompat ke belakang untuk mengelak, tongkat itu terus menyambar ke arah kepala kakek itu sendiri. Terdengar suara keras dan kakek itu pun roboh dan tak berkutik lagi, kepalanya pecah karena dipukulnya sendiri. Agaknya dia memilih mati di tangan sendiri daripada di tangan lawan, setelah menderita luka parah karena totokan suling di dadanya dan tusukan pedang yang menembus lehernya. Melihat lawannya tewas, Suma Lian dan Kao Hong Li mengamuk terus, membantu kawan-kawan lain menghadapi para tokoh sesat yang membantu pemberontakan. Terutama sekali mereka berdua menghadapi para anggauta Pek-lian-pai karena mereka itulah yang merupakan lawanlawan lihai dari para pendekar.

Sementara itu, Sin Hong juga sudah membantu Gu Hong Beng yang nampak terdesak pula oleh Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-pai yang amat lihai itu. Memang Hong Beng belum kalah, akan tetapi pemuda itu kerepotan juga menghadapi tongkat naga hitam dari tokoh Pek-lian-pai itu. Begitu Sin Hong berkelebat masuk ke dalam gelanggang pertempuran membantu Hong Beng, kakek itu cepat menyambutnya dengan pukulan tongkat naga hitam, mengarah kepala Sin Hong. Dia maklum akan kehebatan pemuda ini, maka begitu menyerang, dia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Tongkat yang berbentuk naga hitam itu berkelebat dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam panjang yang mengeluarkan bunyi desir angin. Namun, Sin Hong tidak mengelak, bahkan mengangkat lengan kanannya ke atas untuk menangkis tongkat hitam, sedangkan tangan kirinya membentuk moncong bangau, menotok ke depan sambil melangkahkan kaki ke depan mendekati lawan. Moncong bangau itu menotok ke arah ulu hati lawan.

"Takkk!" Lengan pemuda itu bertemu tongkat, dan Thian Kek Sengjin merasa betapa lengannya tergetar hebat. Pemuda itu telah menangkis tongkat dengan lengan begitu saja, dan membuat tongkatnya terpental dan lengannya tergetar dan telapak tangannya terasa panas. Pada saat itu, Hong Beng sudah menyerang dari samping dengan sepasang pedangnya. Pedang kiri membacok kepala, pedang kanan menyusul cepat menusuk dari bawah menuju lambung! Thian Kek Sengjin yang masih merasa kaget dan getaran akibat benturan lengan Sin Hong tadi masih belum lenyap, menggerakkan tongkatnya menangkis sinar pedang yang membacok kepalanya, akan tetapi dia terlambat menghindarkan diri dari tusukan pedang dari bawah. Pedang di tangan Hong Beng itu menembus lambungnya. Darah muncrat dan kakek itu pun roboh dan tewas. Seperti juga Suma Lian dan Kao Hong Li, setelah melihat betapa tokoh Pat-kwa-pai itu roboh, Sin Hong dan Hong Beng lalu melanjutkan amukan mereka dengan membantu para pendekar menghadapi para tokoh sesat lainnya.

Perkelahian antara para pendekar dan para tokoh sesat kini berlangsung lama. Hek Yang Cu yang pendek botak itu mendapatkan lawan yang terlalu berat baginya yaitu pendekar wanita Kam Bi Eng yang amat lihai ilmu silatnya dengan suling emasnya. Nyonya Suma Ceng Liong ini tanpa mengalami banyak kesukaran akhirnya merobohkan dan menewaskan Hok Yang Cu dengan totokan ujung suling emasnya pada beberapa jalan darah yang mematikan. Juga nenek iblis Hek-sim Kui-bo tidak kuat melawan Pouw Li Sian. Gadis yang perkasa ini mempergunakan senjata pedang rampasannya, mendesak terus dan akhirnya sebuah tusukan pada dada nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo roboh dan tewas.

Perkelahian antara Cu Kun Tek dan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi berjalan dengan seru dan seimbang. Tidak percuma Ciu Hok Kwi menjadi murid pertama Siangkoan Lohan dan berjuluk Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), karena ilmu pedangnya memang hebat dan tenaganya juga kuat sekali. Akan tetapi, walaupun dia tidak dapat dirobohkan oleh Cu Kun Tek, dia sendiri pun mengalami kesukaran untuk mengalahkan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa, pendekar muda dari Lembah Naga Siluman ini. Cu Kun Tek memang telah kehilangan pedang pusakanya, yaitu Koai-long Po-kiam yang dirampas oleh Siangkoan Liong, akan tetapi dia tidak kehilangan ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, dan biarpun dia hanya mempergunakan sebatang pedang rampasan, namun permainan pedangnya masih hebat dan membuat Ciu Hok Kwi terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengimbangi permainan pedang lawan.

Selagi kedua orang ini saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba nampak berkelebatnya bayangan putih dan tahu-tahu Sin Hong telah berdiri di antara mereka, "Suadara Cu Kun Tek, harap berikan orang ini kepadaku, dia adalah musuh besarku!" kata Sin Hong, Mendengar ini, Cu Kun Tek yang tadi bersama Pouw Li Sian dibebaskan oleh Sin Hong, mengangguk dan dia pun menggunakan pedangnya untuk membantu para pendekar lain, mengamuk di antara para tokoh sesat. Adapun Sin Hong kini berhadapan dengan Ciu Hok Kwi. Keduanya saling pandang dan sinar mata Sin Hong mengeluarkan sinar berkilat. Dia memang marah sekali, bukan hanya karena orang ini yang telah membunuh ayah kandungnya, melainkan terutama sekali karena dia telah membunuh pula Kwee Ci Hwa. Dia tahu bahwa orang ini hanyalah kaki tangan Tiat-liong-pang, akan tetapi orang seperti Ciu Hok Kwi ini jahat dan berbahaya sekali karena pandai bersandiwara sehingga mendiang ayahnya sendiri kena dikelabuhi, bahkan dia sendiri pun kena ditipu dan telah menaruh kepercayaan kepada bekas "pembantu" ayah kandungnya ini.

"Ciu Hok Kwi, sekarang engkau hendak berkata apa lagi? Kiranya semua pembunuhan itu engkau yang melakukannya, terhadap ayah kandungku, terhadap orang she Lay, dan juga Kwee Ci Hwa."

Mendengar ini, Ciu Hok Kwi yang sudah tahu bahwa dia pun tidak akan dapat melarikan diri dan terpaksa harus melawan sampai mati, tersenyum mengejek dan berkata, "Engkau baru tahu? Bodoh! Memang aku yang telah mengatur semua itu, demi perjuangan Tiat-liongpang, membunuh ayahmu, anak buahnya, orang she Lay yang berkhianat, akulah yang.... ha-ha-ha, mempermainkan Kwee Ci Hwa sepuas hatiku lalu membunuhnya! Habis, engkau mau apa?"

Keterangan tambahan dari Ciu Hok Kwi bahwa dia telah mempermainkan Ci Hwa, menambah api yang berkobar di kepala Sin Hong. Kiranya sebelum membunuhnya, orang ini telah mempermainkan Ci Hwa! Kini baru dia mengerti. Ci Hwa telah mengorbankan diri, dalam usahanya menyelamatkan Gu Hong Beng, Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian. Gadis itu telah berhasil merayu Ciu Hok Kwi ini, menyerahkan diri, agaknya demikian melihat pengakuan Ciu Hok Kwi tadi, dan berhasil mencuri kunci dan membebaskan tiga orang tawanan itu sebelum ia kembali ke kamar dan berusaha membunuh Ciu Hok Kwi akan tetapi malah terluka parah dan biarpun akhirnya dapat dibebaskan, tetap saja tewas karena luka-luka itu.

"Jahanam, engkau memang jahat sekali!" kata Sin Hong dan dia pun menerjang ke depan dengan kedua tangan digerakkan seperti leher dan moncong burung bangau. Dalam kemarahannya, begitu menyerang dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu silat tangan kosong Pek-ho Sin-kun! Dari kedua tangannya itu menyambar angin pukulan dahsyat bukan main. Melihat ini, Ciu Hok Kwi cepat mengelebatkan pedangnya membacok ke arah lengan yang meluncur ke depan itu dan Sin Hong sama sekali tidak menarik tangannya, bahkan sengaja menerima bacokan pedang itu dengan lengannya.

"Takkk!" bukan lengan itu yang putus, melainkan pedang itu yang terpental bahkan terlepas dari pegangan tangan Ciu Hok Kwi saking kerasnya pertemuan antara pedang dan lengan yang mengandung tenaga sin-kang yang amat hebat itu! Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga sin-kang dari pemuda berpakaian putih ini kalau diingat betapa mendiang kakek Kao Kok Cu, nenek Wan Ceng, dan kakek Tiong Khi Hwesio, telah mengoperkan tenaga mereka kepadanya dan dia telah memiliki tenaga gabungan dari tiga orang sakti yang kesemuanya terkandung di dalam gerakan silat sakti Bangau Putih!

Ciu Hok Kwi terkejut bukan main, akan tetapi sebelum dia sempat mengelak, sebuah tendangan dari kaki Sin Hong mengenai pahanya. Tubuhnya terpelanting sampai empat lima meter jauhnya dan kebetulan sekali jatuh di dekat kaki Gu Hong Beng. Melihat orang yang dibencinya ini terbanting keras dan merangkak hendak bangun Hong Beng mengelebatkan pedangnya dan leher Ciu Hok Kwi yang sedang merangkak seperti anjing itu terbabat pedang! Leher itu putus seketika dan kepalanya terpental, menggelinding sampai jauh.

Kini banyak di antara para pendekar yang melihat betapa para tokoh sesat yang terlihai sudah roboh, berdiri menonton perkelahian yang berlangsung dengan amat hebatnya dan amat menarik, yaitu perkelahian antara Suma Ceng Liong dan Siangkoan Lohan! Memang hebat sekali perkelahian antara dua orang gagah perkasa ini! Siangkoan Lohan atau yang bernama Siangkoan Tek, ketua Tiat-long-pang memang seorang yang amat gagah perkasa. Tubuhnya tinggi kurus namun mukanya merah dengan jenggot panjang ke dada dan matanya mencorong seperti mata naga. Dia memiliki tenaga raksasa, bukan saja tenaga luar dengan otot-ototnya, melainkan juga memiliki sin-kang yang amat kuat. Banyak ilmu silat aneh dan lihai dikuasainya, bahkan dia menguasai pula ilmu gulat dari utara. Tendangan mautnya Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) amat berbahaya, dan dia juga memiliki ilmu silat Tiat-wi Liong-kun (Silat Naga Ekor Besi) dengan mempergunakan tenaga dalam Liong-jiauw-kang (Tangan Cakar Naga) yang dahsyat. Semua ini masih ditambah lagi dengan Kim-hun-cwe (Pipa Tembakau Emas) sebagai senjata, maka lengkaplan Siangkoan Lohan sebagai seorang lawan yang tangguh. Dia pun memiliki pengalaman berkelahi yang sudah puluhun tahun.

Namun, lawannya bukan pula orang sembarangan. Sungguh sial sekali bagi ketua Tiat-liong-pang itu bahwa sekali ini dia mendapatkan lawan seorang pendekar besar, yaitu Suma Ceng Liong! Pendekar ini adalah seorang cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, cucu yang paling pandai di antara semua cucu pendekar sakti itu. Sejak kecilnya, Suma Ceng Liong berbakat sekali dan selain ilmu-ilmu yang tinggi dari keluarga Pulau Es, juga dia menguasai dengan amat baiknya beberapa macam ilmu aneh, di antaranya Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) semacam ilmu totokan yang amat dahsyat dari mendiang Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang pernah menjadi gurunya. Juga dia mahir ilmu sihir yang dipelajarinya dari ibunya. Karena dia telah memiliki ilmu-ilmu yang demikian tingginya, juga karena seluruh tubuhnya telah dilindungi tenaga sin-kang yang membuatnya kebal, Suma Ceng Liong melawan Siangkoan Lohan hanya dengan kedua tangan kosong saja!

Perkelahian antara kedua orang ini, merupakan pertandingan yang paling hebat dan menarik. Semua pendekar yang tidak merasa perlu lagi membantu kawan-kawan yang sedang membabat sisa orang-orang sesat, kini menonton dan tidak seorang pun di antara mereka berani membantu Suma Ceng Liong. Scbagai seorang pendekar besar, tentu Suma Ceng Liong akan merasa tersinggung kalau perkelahiannya melawan ketua Tiat-liong-pang ini dibantu orang lain. Sin Hong sendiri yang sudah merasa gatal tangan untuk menghajar dan menundukkan ketua Tiat-liong-pang yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini, bahkan yang menjadi biang keladi kenancuran keluarga ayahnya, juga hanya menonton saja seperti yang lain. Apalagi dia, bahkan Kam Hong dan Bu Ci Sian sendiri, sepasang suami isteri sakti yang menjadi mertua dari Suma Ceng Liong, juga hanya menonton, demikian pula isterinya, Kam Bi Eng.

Ketika melihat betapa tempat itu dikelilingi para pendekar yang menonton, diam-diam hal ini menecilkan hati Siangkoan Lohan. Kalau para pendekar sudan duduk enak-enakan menonton, hal itu hanya berarti bahwa semua pembantunya telah gagal dan telah roboh. Dia tadi sudah merasa marah dan penasaran, juga menyesal dan kecewa melihat betapa Ouwyang Sianseng melarikan diri, demikian pula Sin-kiam Mo-li dan puteranya sendiri. Diam-diam dia memaki mereka sebagai pengecut-pengecut yang curang, yang ingin mendapatkan enaknya saja, dan tidak bertanggung jawab kalau ada malapetaka menimpa, tidak setia kawan. Perasan ini, ditambah perasaan gentar menghadapi para pendekar yang sudah mengurung tempat itu, setidaknya mempengaruhi permainan kaki tangan ketua Tiat-liong-pang ini.

“Haiiiiittttt....!” Siangkoan Lohan yang sudah hampir putus asa melihat betapa semua pembantu utamanya telah roboh, kini mengirim hantaman dengan hun-cwe mautnya. Dia menggunakan seluruh tenaganya karena dia ingin mengakhiri perkelahian itu secepatnya, kalah atau menang, maka dia hendak mengadu tenaganya. Hun-cwe menyambar menjadi sinar keemasan ke arah kepala Suma Ceng Liong.

Suma Ceng Liong juga percaya akan kekuatan sendiri, akan tetapi dia belum nekat seperti lawannya. Kalau dia mengadu tenaga secara langsung, belum tentu dia kalah kuat, akan tetapi karena dia pun tahu bahwa lawannya bertenaga besar, maka kalah menang akan membawa akibat yang merugikan dirinya, setidaknya dia akan terguncang hebat. Dia tidak sebodoh itu, dan dia pun menangkis sambaran hun-cwe itu bukan secara langsung dari depan, melainkan dari samping sehingga mereka tidak mengadu tenaga dengan langsung. Pada saat itu, tangan kiri ketua Tiat-liong-pang itu memukul dengan telapak tangan terbuka. Melihat ini terpaksa Suma Ceng Liong menyambut dengan telapak tangan kanannya sambil mendorong.

“Dukkk! Plakkk!” Pertemuan telapak tangan itu membuat keduanya terpental ke belakang dan mereka berdiri berhadapan dalam jarak yang cukup jauh. Tiba-tiba Siangkoan Lohan kembali mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya lalu meloncat tinggi ke depan, dan dari atas dia menyerang dengan huncwe dan tangan kirinya. Inilah jurus terakhir dari kakek itu setelah tadi berkali-kali dia mempergunakan tendangan Ban-kin-twi tanpa hasil apa pun karena lawannya selalu dapat mengelak, bahkan kalau menangkis dari samping, kakinya terasa nyeri dan tergetar hebat. Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan sambil meloncat setengah terbang ini.

Suma Ceng Liong menyambutnya dengan loncatan yang sama, dan pendekar ini tanpa ragu-ragu lagi mempergunakan ilmu Coan-kut-ci dari mendiang Hek I Mo-ong, ilmu yang amat dahsyat dan mengerikan. Begitu dia meloncat dan menggerakkan kedua tangan dengan jari-jari terpentang lurus ke depan, terdengar suara bercuitan. Orang-orang hanya melihat betapa dua tubuh yang meloncat itu seperti saling terkam, dan melihat betapa kedua orang gagah perkasa itu dapat meloncat turun pula ke atas tanah, saling membelakangi. Kalau Suma Ceng Liong dengan cepat membalikkan tubuh menghadapi lawan, adalah tubuh Siangkoan Lohan yang diam saja, tetap membelakangi lawan, Kam Bi Eng melihat betapa baju di dada suaminya terobek dan nampak ada tanda menghitam pada dada itu, maka cepat dia menghampiri suaminya. Suma Ceng Liong tersenyum menggeleng kepala tanda bahwa luka di dadanya tidak berbahaya sehingga Kam Bi Eng menjadi lega, lalu mereka menoleh dan memandang kepada Siangkoan Lohan. Semua mata kini ditujukan kepada ketua Tiat-liong-pang itu. Tubuhnya masih berdiri tegak, dan kini perlahan-lahan tubuh itu membalik kaku dan semua orang melihat betapa kakek itu masih memegang senjata hun-cwe emasnya, tubuhnya tidak nampak terluka, akan tetapi dari bawah kain penutup rambut itu menetes darah yang berjatuhan ke atas dahi, pipi dan dagunya! Dia memandang kepada Suma Ceng Liong, lalu terdengar dia berkata.

“Mereka, pengecut-pengecut itu berada di rumah Ouwyang Sianseng di lereng balik bukit ini.” Setelah berkata demikian,tubuhnya lalu jatuh kaku seperti sebatang balok dan ketika diperiksa, ternyata dia telah tewas karena luka-luka di kepalanya, di balik kain penutup kepala! Kiranya, ilmu Coan-kut-ci (Jari. Penembus Tulang) dari Suma Ceng Liong tadi telah membuat jari-jari tangan pendekar itu menembus kepala!

Mendengar ucapan ketua Tiat-liong-pang sebelum tewas, Sin Hong maklum siapa yang dia maksudkan. “Ban-tok-kiam, bahkan Koai-liong Po-kiam mereka bawa, aku harus mengejar mereka!” katanya kepada Kao Hong Li dan dia pun cepat melompat dan lari.

“Susiok, tunggu, aku membantumu!” teriak Hong Li yang melompat mengejar pula, maklum pula bahwa susioknya itu akan mengejar Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li, tiga orang yang lolos dari situ dan yang melarikan pusaka-pusaka dari Istana Gurun Pasir, juga pusaka dari Lembah Naga Siluman yang mereka rampas dari tangan Cu Kun Tek.

“Ah, berbahaya sekali membiarkan mereka berdua menghadapi Ouwyang Sianseng yang amat lihai,” kata Kam Hong dan dia pun mengejar ke arah batik puncak bukit itu. Ketika mereka tiba di luar sarang Tiat-liong-pang, ternyata pertempuran juga sudah tinggal sedikit. Semua pasukan pemberontak dapat dirobohkan, tewas atau terluka, dan sisanya hanya melawan untuk mempertahankan diri saja. Jumlah pasukan pemerintah jauh lebih banyak sehingga perlawanan pasukan yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang, pasukan Mongol, anggauta Ang I Mo-pang dan anak buah beberapa orang tokoh sesat itu tidak ada artinya sama sekali.

Rumah itu merupakan sebuah gedung yang tidak berapa besar akan tetapi kokoh kuat dan nampak menyeramkan, dilindungi oleh pohon-pohon dan hampir tidak nampak dari luar. Sin Hong dan para pendekar lainnya berdiri di depan rumah itu, di pekarangan depan, memandang ke arah pintu dan jendela yang tertutup. Cuaca senja itu muram, seolah-olah sang matahari lebih siang menyembunyikan diri di balik awan tebal karena merasa ngeri menyaksikan ulah manusia yang saling bunuh di bukit itu. Beberapa kali Sin Hong berteriak sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya bergema sampai jauh, memanggil, nama-nama Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li yang ditantangnya keluar. Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam rumah itu.

“Biar aku menerjang masuk!” kata Sin Hong, akan tetapi sebelum dia bergerak, Kam Hong mencegahnya.

“Berbahaya sekali memasuki sarang seorang seperti Ouwyang Sianseng. Rumah itu pasti penuh dengan alat rahasia dan jebakan. Dia licik dan curang, sebaiknya memaksa mereka keluar dengan api.”

Sin Hong mengangguk kagum. “Pendapat Locianpwe benar sekali, terima kasih!” Dia melinat betapa di bagian belakang ruman itu terdapat bagian kecil, mungkin dapur atau gudang, yang atapnya terbuat dari daun kering. Dia lalu membuat api, menyalakan sebatang ranting kayu kering dan dengan pengerahan tenaga dia melemparkan kayu yang menyala itu ke atas atap daun kering di bagian belakang rumah itu. Api itu cepat sekali menyambar daun kering dan sebentar saja atap itu pun terbakar. Api menyala dengan cepatnya, menjadi besar dan mulai membakar rumah induk. Para pendekar sudah siap dan mereka pun tanpa berunding dulu sudah mengepung rumah itu agar mereka yang berada di dalam rumah itu tidak mampu melarikan diri, atau setidaknya akan ketahuan ke arah mana larinya.

Akan tetapi, ternyata mereka yang berada di dalam rumah itu, dapat melihat pula bahwa melarikan diri agaknya tidak mungkin lagi, maka tiba-tiba pintu depan terbuka dari dalam. Belum nampak ada orang muncul keluar, akan tetapi dengan jelas terdengar suara Ouwyang Sianseng, tenang dan dingin,

“Heiii, anjing-anjing Mancu! Kami akan keluar, hendak kami lihat apakah kalian cukup berani untuk menghadapi kami satu lawan satu, tidak keroyokan macam segerombolan anjing peliharaan orang Mancu!”

Mendengar ucapan ini, semua orang memandang marah dan muka mereka berubah merah. Sungguh keji ucapan itu, juga amat memanaskan hati, terutama sekali Cu Kun Tek yang memang berdarah panas. “Keparat!” bentaknya nyaring. “Kalian yang pengecut seperti anjing-anjing takut digebuk, berani membalikkan kenyataan dan memaki kami!” Pendekar ini marah sekali mengingat betapa pedang pusakanya dirampas dan dilarikan mereka yang berada di rumah itu.

Kam Hong yang tahu bagaimana untuk menghadapi seorang tokoh jahat, lihai dan cerdik macam Ouwyang Sianseng, berkedip kepada Kun Tek agar pemuda ini bersabar dan menahan diri tidak bicara lagi. Melihat sikap Li Sian, Kun Tek cepat mengangguk patuh!

“Ouwyang Sianseng,” terdengar kini suara Kam Hong, juga tenang dan perlahan saja, namun suaranya terdengar jelas sekali dari dalam rumah itu. “Keluarlah kalian dan kami siap untuk menghadapi kalian satu lawan satu seperti lajimnya pertandingan antara orang-orang gagah!”

Mendengar jawaban Kam Hong ini, muncullah tiga orang dari pintu depan itu. Mereka itu bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li! Ouwyang Sianseng nampak tenang-tenang saja, bahkan mulutnya terhias senyuman, seakan-akan dia merasa bangga dan gagah, akan tetapi Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li jelas nampak gugup dan gelisah melihat demikian banyaknya pendekar menanti di pekarangan.

Karena ia pun tahu bahwa tidak ada jalan keluar lagi kecuali melawan mati-matian, Sin-kiam Mo-li sudah mendahului Ouwyang Sianseng, melompat ke depan menghadapi para pendekar lalu berteriak dengan suara dibikin gagah dan penuh keberanian untuk menutupi keadaan hatinya yang terguncang takut. “Tan Sin Hong, aku tantang padamu untuk maju mengadu ilmu dan nyawa dengan aku! Engkaulah biang keladi semua kegagalan kami!” Memang di dalam hatinya, wanita iblis ini merasa marah sekali kepada Sin Hong. Beberapa kali sudah pemuda itu menjadi penghalang baginya, dan ia masih tetap merasa menyesal mengapa ketika ia dan kawan-kawannya dahulu menyerbu Istana Gurun Pasir, dibiarkannya pemuda itu terlepas dan selamat dari cengkeramannya. Padahal, ketika itu, Sin Hong sama sekali tidak berdaya dan tidak memiliki ilmu kepandaian sehebat sekarang ini.

Setelah berteriak seperti itu, Sin-kiam Mo-li sudah mengeluarkan sepasang senjata yang menyeramkan, yaitu pedang pusaka Cui-beng-kiam dan kebutan merah yang diperolehnya dari dalam rumah Ouwyang Sianseng. Pedang Cui-beng-kiam (Pengejar Arwah) itulah yang mendatangkan pengaruh amat menyeramkan. Sin Hong mengenal pedang pusaka Istana Gurun Pasir ini dan dia pun maklum bahwa sekali kena gurat saja oleh pedang Cui-beng-kiam atau Ban-tok-kiam, sudah cukup untuk membuat seorang yang betapapun kuat tubunnya, roboh dan mungkin tewas seketika atau menderita luka beracun yang sukar dicarikan obat penawarnya. Untung bahwa kakek dan nenek sakti penghuni Istana Gurun Pasir sudah memberitahu dengan jelas tentang asal-usul kedua pedang pusaka itu, bahkan juga memberitahu rahasia penawar racun-racun yang terkandung dalam pedang-pedang pusaka itu. Oleh karena itu, tadi ketika melakukan pengejaran, dia sudah bersiap-sedia, sudah menelan tiga butir pil putih yang menjadi obat penawar racun pedang Cui-beng-kiam. Kini, dia menghadapi Sin-kiam Mo-li yang mempergunakan Cui-beng-kiam, tentu saja tidak merasa gentar. Pedang itu dahulu adalah milik seorang di antara tiga orang gurunya, yaitu Tiong Khi Hwesio, dan obat pil putih itu juga pemberian Tiong Kni Hwesio kepadanya, bahkan dia sudah mempelajari cara pembuatannya.

“Sin-kiam Mo-li, agaknya takaran kejahatan yang kaulakukan sudah melampaui batas sehingga sekarang ini saatnya engkau harus menebus semua kejahatanmu itu. Majulah!” tantangnya dan dengan tangan kosong saja Sin Hong melangkah maju.

“Susiok, kaupakailah pedang ini!” tiba-tiba Hong Li berseru sambil menyodorkan sepasang pedangnya, pedang rampasan yang cukup baik, bahkan tadi ia pergunakan untuk melawan iblis betina itu. Sin Hong menoleh dan tersenyum kepadanya sambil menggeleng kepala.

Pada saat itu, Hong Li menahan jeritnya dan semua orang pun menahan napas ketika melihat betapa selagi Sin Hong menoleh kepada Hong Li, Sin-kiam Mo-li telah dengan amat cepatnya menyerang dengan tusukan pedang Cui-beng-kiam! Hebat sekali pedang ini memang. Ketika ditusukkan, bukan saja mengeluarkan suara mengaung yang aneh, akan tetapi juga mendatangkan hawa dingin yang membuat orang bergidik karena seram. Tusukan Cui-beng-kiam itu masih disusul dengan totokan maut yang dilakukan dengan kebutan merah yang beracun itu!

Namun, Sin Hong bukan seorang pemuda yang ceroboh atau lengah. Biarpun tadi dia menanggapi usul Hong Li dan menolak pemberian pedang sambil menoleh ke arah Hong Li, namun seluruh perhatiannya masih tertuju kepada calon lawannya sehingga tentu saja serangan dahsyat itu dapat diketahuinya dan cepat sekali tubuhnya sudah bergerak dengan amat lincahnya, membuat langkah-langkah yang gesit dan aneh tubuhnya meliuk ke sana sini dan dia pun sudah dapat mengelak dari semua serangan pedang dan cambuk itu.

Sin Hong bukan saja mampu menghindarkan semua serangan lawan, bahkan dia mampu membalas dengan dahsyat. Perlu diketahui bahwa pada saat itu, Sin Hong menguasai banyak sekali ilmu silat yang tinggi, dan tingkatnya tidak kalah oleh para pendekar lainnya. Bahkan mungkin orang seperti Ouwyang Sianseng takkan mampu mengalahkannya dengan mudah. Ilmu-ilmunya bahkan lebih tinggi daripada Ouwyang Sianseng, hanya tentu saja masih belum matang dibandingkan orang tua ini. Dari tiga orang gurunya yang sakti, Sin Hong sudah mempelajari ilmu-ilmu yang hebat. Mendiang Tiong Kni Hwesio atau ketika mudanya terkenal dengan nama Wan Tek Hoat berjuluk Si Jari Maut, dia telah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa), Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa), juga melatih diri untuk menghimpun sin-kang dengan ilmu Tenaga Inti Bumi. Dari Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, dia menerima ilmu hebat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Pukulan Naga Sakti), dan dari nenek Wan Ceng dia mempelajari Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dan ilmu pedang Ban-tok-kiamsut. Bahkan lebih dari itu, tiga orang tua sakti itu lalu menggabungkan ilmu-ilmu mereka dan mengambil inti sarinya untuk dimasukkan ke dalam sebuah ilmu silat tangan kosong yang mereka ciptakan bersama yang mereka beri nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih).

Dan ilmu inilah yang sekarang dipergunakan oleh Sin Hong untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li yang amat lihai dengan senjata cambuk beracun dan pedang pusaka Cui-beng-kiam!

Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Demikian lihainya sehingga dengan bantuan belasan orang datuk dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ia berhasil menyerbu ke Istana Gurun Pasir dan berhasil menewaskan kakek dan nenek sakti penghuni istana tua itu dan juga Tiong Khi Hwesio yang tinggal bersama mereka, walaupun untuk itu ia harus kehilangan belasan orang kawan, bahkan yang hidup hanya ia sendiri, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin yang juga masih menderita luka-luka yang cukup berat. Kebutannya amat terkenal kehebatannya, dengan gagangnya yang terbuat dari emas, dan bulu kebutan yang mengandung racun jahat. Juga ilmu pedangnya cukup tinggi, ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang beracun kalau ia sudah mainkan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam).

Namun, sekali ini kembali Sin-kiam Mo-li harus mengakui keunggulan lawannya yang biarpun masih muda, namun telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa itu. Biarpun bertangan kosong, namun kedua lengan tangan Sin Hong merupakan dua benda yang tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata manapun juga, bahkan lebih hidup dan mempunyai banyak perubahan, baik pada tekukan sikunya, pergelangan tangannya, maupun jari-jarinya, tidak seperti senjata tajam yang kaku dan mati. Kedua lengan itu bergerak-gerak seperti hidup, kadang-kadang membentuk leher dan kepala bangau, kadang-kadang bergerak seperti menjadi sepasang sayap dan jari-jari tangan itu dapat membentuk moncong bangau yang panjang runcing. Selain itu, dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang amat kuat! Kedua lengan pemuda itu tidak hanya menjadi hidup dengan perubahan aneh-aneh, akan tetapi bahkan kadang-kadang dapat dipergunakan untuk menangkis kebutan dan lengan itu berubah keras kaku seperti baja! Hanya terhadap Cui-beng-kiam pemuda itu tidak berani menangkis langsung dengan tangannya karena dia cukup mengenal pedang pusaka ampuh itu, dan kalau pedang itu menyambar, dia hanya mengelak atau menangkis dari samping dengan jalan menyampok sehingga lengannya atau tangannya tidak beradu langsung dengan mata pedang.

Perkelahian itu berlangsung dengan seru dan mati-matian, Sin-kiam Mo-li yang sudah maklum bahwa ia tidak akan mampu lolos dari situ kecuali mengadu nyawa, menjadi nekat dan karena kenekatannya ini, maka gerakannya menjadi liar dan buas, amat berbahaya karena ia mencurahkan seluruh daya dan tenaganya untuk menyerang dan merobohkan lawan! Sebaliknya, tentu saja Sin Hong tidak ingin mengadu nyawa dan tidak nekat seperti lawannya. Dia memakai perhitungan dan membagi perhatiannya antara menyerang dan membela diri. Biarpun demikian, karena Sin Hong menang segala-galanya, perlahan-lahan dia mulai mendesak iblis betina itu dan suatu saat yang baik, sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Sin Hong menyambut sambaran kebutan dengan pukulan tangan dilanjutkan dengan cengkeraman! Hebat sekali sambutannya ini terhadap kebutan karena seketika nampak bulu kebutan berhamburan dan ternyata bulu-bulu kebutan itu telah rontok semua! Tinggal gagangnya saja yang masih berada di tangan Sin-kiam Mo-li dan wanita ini terkejut bukan main, apalagi ketika Sin Hong mendesaknya dengan totokan-totokan tangan kanan sedangkan tangan kiri pemuda itu melakukan gerakan mencengkeram ke arah pergelangan tangan Sin-kiam Mo-li untuk merampas pedang Cui-beng-kiam! Sin-kiam Mo-li yang sudah menjadi semakin gentar karena kebutannya rontok, memutar pedangnya untuk melindungi diri, akan tetapi ia terhuyung dan terus mundur.

Pada saat yang amat berbahaya bagi Sin-kiam Mo-li itu, tiba-tiba nampak sinar amat menyeramkan meluncur dan pedang Ban-tok-kiam yang sinarnya kehitaman itu sudah menusuk ke arah dada Sin Hong!

“Curang, keparat!” teriak Kao Hong Li dan semua orang memandang kaget melihat betapa Sin Hong yang diserang secara tiba-tiba oleh Ouwyang Sianseng dengan menggunakan Ban-tok-kiam untuk menolong Sin-kiam Mo-li, berusaha untuk mengelak dengan membuang diri kesamping. Namun, Ouwyang Sianseng memang lihai bukan main. Biarpun lawannya sudah mengelak cepat, dia masih sempat membalikkan pedang yang luput sasaran itu dan pundak kiri Sin Hong terserempet pedang Ban-tok-kiam! Pemuda itu mengaduh dan tubuhnya roboh terguling!

“Siancai....! Sungguh tak tahu malu engkau, Ouwyang Sianseng!” Kam Hong membentak dan kakek ini sudah mencabut suling emas dan kipasnya, lalu menyerang Ouwyang Sianseng yang bersenjata kipas pula di tangan kiri dan pedang Ban-tok-kiam di tangan kanan!

“Jangan sentuh aku....!” Sin Hong berseru mencegah ketika Hong Li, hendak menubruk dan menolongnya. Hong Li terkejut dan menghentikan gerakannya.

Sebagai cucu kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir, tentu saja ia sudah pernah mendengar dari ayahnya tentang kehebatan Ban-tok-kiam. Sekali terkena goresan pedang pusaka itu, jangan harap akan dapat bertahan untuk hidup terus! Racunnya amat jahat, sesuai dengan namanya. Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) memang berbahaya sekali, bahkan seorang nenek sakti seperti Teng Siang In, ibu kandung Suma Ceng Liong, mantu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es, begitu terluka oleh Ban-tok-kiam yang pada waktu itu terjatuh ke tangan Sai-cu Lama yang jahat, tidak dapat tertolong nyawanya dan tewas! Dan kini Sin Hong terkena pedang itu, bukan sekedar tergores, melainkan terluka pundaknya! Tentu saja Hong Li memandang dengan hati khawatir sekali.

Akan tetapi dengan sikap tenang sekali, Sin Hong mencengkeram tanah, membongkar permukaan tanah sampai dia memperoleh tanah bersih yang lembut, mencengkeram tanah itu dengan tangan kanannya, merobek baju bagian pundak kiri lalu menggosok-gosok luka di pundak itu dengan tanah! Beberapa kali dia menggosok dengan keras sampai luka itu mulai mengucurkan darah merah yang sehat, barulah dia berhenti, lalu sekali melompat. dia sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li lagi sambil tersenyum.

“Sin-kiam Mo-li, mari kita lanjutkan perkelahian kita!” katanya dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menyerang lagi dengan hebatnya. Sin-kiam Mo-li terpaksa memutar Cui-beng-kiam untuk melindungi tubuhnya. Melihat betapa Sin Hong seolah-olah tidak merasakan lukanya, hati Hong Li merasa tenang kembali walaupun ia masih amat khawatir. Tentu saja ia tidak tahu bahwa memang satu-satunya obat penawar racun Ban-tok-kiam hanya tanah itulah! Hal ini tentu saja tadinya menjadi rahasia penghuni Istana Gurun Pasir dan hanya diberitahukan kepada Sin Hong sebagai murid terakhir mereka. Bahkan Kao Cin Liong sendiri tidak tahu akan hal ini!

Sementara itu, melihat betapa ayah mertuanya sudah menghadapi Ouwyang Sianseng dan Sin Hong sudah pula menyerang Sin-kiam Mo-li, Suma Ceng Liong lalu melompat ke depan menghadapi Siangkoan Liong. Dia tahu bahwa pemuda ini amat lihai pula, dan kini memegang pedang Koai-liong-kiam, maka daripada membiarkan seorang di antara para pendekar terancam bahaya kalau menghadapinya, dia pun sudah maju menantangnya. “Siangkoan Liong, majulah dan mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita, daripada engkau nanti bertindak curang seperti Ouwyang Sianseng, melakukan pengeroyokan dan serangan gelap! Atau, kalau engkau takut menghadapi aku, berlututlah agar kami menangkapmu sebagai pimpinan pemberontak dan menyerahkanmu kepada pemerintah!”

Tentu saja Siangkoan Liong yang berhati angkuh itu tidak sudi untuk menyerah. Tanpa banyak cakap lagi dia pun sudah menerjang maju, menyerang Suma Ceng Liong dengan sengit. Pedang Koai-liong-kiam di tangannya diputar dengan cepat dan terdengarlah suara mengaung yang mengerikan, seolah-olah dari pedang itu keluar auman binatang buas dan pedang itu mengeluarkan sinar berkilauan. Cu Kun Tek yang juga ikut nonton di situ merasa tidak enak sekali. Pedang yang berada di tangan pemuda itu adalah pedang pusaka keluarganya. Sepatutnya dialah yang harus maju melawan Siangkoan Liong untuk merampas pedangnya kembali. Akan tetapi dia pun maklum betapa lihainya Siangkoan Liong dah bahwa kalau dia yang maju, kecil sekali harapannya pedang pusaka Koai-liong-kiam itu akan dapat dirampasnya kembali, bahkan bukan tidak mungkin dia sendiri akan roboh menjadi korban pedang pusaka milik keluarganya itu! Maka, melihat Suma Ceng Liong yang maju, dia pun diam saja, karena dia sudah tahu siapa adanya pendekar itu, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Seperti juga Sin Hong yang menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong, Suma Ceng Liong juga menghadapi Siangkoan Liong dengan tangan kosong pula!

Kini terjadilah pertempuran yang amat seru. Ouwyang Sianseng, seperti juga dua orang anak buahnya itu, maklum bahwa dia sudah terkurung dan terhimpit, maka satu-satunya jalan hanyalah melawan dengan nekat, kalau perlu mengadu nyawa dengan lawannya. Apalagi yang dilawannya adalah Pendekar Suling Emas yang dia tahu amat tinggi ilmu kepandaiannya. Sekali ini dia sama sekali tidak dapat mengandalkan ilmu silatnya, karena dia seolah-olah bertemu dengan gurunya! Dia kalah dalam segala hal, baik keaslian ilmu silat, kecepatan gerak maupun kekuatan tenaga sakti. Satu-satunya yang diandalkan hanya kenekatannya dan dia pun menyerang dengan membabi buta, mengandalkan kenekatan dan kehebatan pedang Ban-tok-kiam.

Kakek Kam Hong maklum pula akan kelihaian lawan. Diam-diam dia merasa menyesal dan sayang sekali mengapa seorang laki-laki yang demikian pandai seperti Ouwyang Sianseng sampai terperosok ke dalam kehidupan sesat. Orang she Ouwyang ini selain tinggi ilmu silatnya, juga ahli pedang dan ahli dalam kesusastraan, memiliki kecerdikan. Akan tetapi ternyata nafsu dan ambisinya jauh lebih besar dari semua itu sehingga menyeretnya untuk melakukan perbuatan sesat demi tercapainya keinginan hatinya untuk mengejar kesenangan. Dan dia tahu bahwa orang seperti ini memang berbahaya sekali kalau dibiarkan berkeliaran. Tentu dia akan berusaha untuk melakukan kegiatan pemberontakan pula, atau akan menghimpun orang-orang sesat untuk mencapai ambisinya, yaitu kekuasaan dan kesenangan. Biarpun sudah puluhan tahun lamanya pendekar sakti ini lebih banyak mengasingkan diri dan hidup tenteram, tidak pernah lagi membunuh orang, sekali ini terpaksa dia mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ouwyang Sianseng, demi keamanan kehidupan banyak manusia yang tidak berdosa. Kalau orang she Ouwyang ini dapat bebas dan membuat keonaran, banyak menjadi korban adalah rakyat jelata yang tidak berdosa sama sekali. Berpikir demikian Kam Hong lalu mempercepat gerakannya dan mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk mendesak lawan.

Ouwyang Sianseng yang sejak tadi memang sudah mengeluarkan semua ilmunya namun selalu tak mampu mengimbangi permainan lawan, begitu didesak, menjadi repot sekali. Sinar emas yang bergulung-gulung, yang diikuti suara melengking tinggi rendah seperti suling ditiup itu, amat mengacaukan pikirannya. Suara itu mengandung tenaga mujijat yang membuat permainan pedangnya kacau dan suatu saat, kipasnya bertemu dengan kipas lawan.

“Desss....! Prakkk....!” Kipas di tangan kiri Ouwyang Sianseng hancur berkeping-keping. Dia marah sekali dan pedang Ban-tok-kiam di tangannya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mendirikan bulu roma karena mengandung hawa yang kuat, dingin dan menyeramkan. Namun, kakek Kam Hong yang sudah melindungi diri lahir batin dengan sin-kang, tidak terpengaruh, dan dia bahkan menggerakkan suling emasnya lebih cepat lagi. Kini gulungan sinar kuning emas itu berpusing sedemikian cepatnya, juga sinarnya panjang dan lebar, perlahan-lahan sinar kuning emas itu menggulung sinar hitam sehingga pedang di tangan Ouwyang Sianseng itu kini hanya mampu bergerak di dalam lingkungan gulungan sinar kuning emas! Makin lama, makin sempit ruang gerak pedang Ban-tok-kiam dan selagi Ouwyang Sianseng repot setengah mati, gagang kipas di tangan kakek Kam Hong meluncur dan menotok pangkal tengkuknya.

“Tukkk....!” Tubuh Ouwyang Sianseng terhuyung lalu dia terpelanting jatuh. Separuh badannya sebelah kiri lumpuh tak mampu digerakkan. Melihat keadaan dirinya, pedang Ban-tok-kiam di tangan kanannya bergerak ke arah leher sendiri dan sebelum dapat dicegah, pedang itu telah membacok batang lehernya! Anehnya, biarpun leher itu hampir setengahnya terbacok, hanya sedikit darah mengalir dan seketika, wajah mayat Ouwyang Sianseng menjadi menghitam dan warna hitam menjalar di seluruh tubuhnya. Itulah kehebatan racun Ban-tok-kiam!

Kakek Kam Hong mengambil pedang yang terlepas dari tangan Ouwyang Sianseng itu, mengamati pedang itu dan menggeleng-geleng kepala penuh kagum dan ngeri melihat kehebatan Ban-tok-kiam yang menjadi pusaka dari Istana Gurun Pasir itu.

Setelah melihat betapa Ouwyang Sianseng roboh dan tewas, Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong merasa terkejut bukan main, wajah mereka pucat dan tentu saja nyali mereka menjadi kecil, semangat mereka terbang sebagian dan permainan pedang mereka menjadi kacau! Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong untuk mendesak lawannya dan akhirnya dia berhasil “mematuk” pergelangan tangan kanan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kirinya yang membentuk moncong atau patuk burung bangau. Terkena patukan ini, seketika tangan kanan itu lumpuh dan di lain detik, Cui-beng-kiam sudah berpindah ke tangan kanan Sin Hong! Nenek itu sungguh tidak tahu diri atau memang sudah mata gelap dan nekat. Biarpun kini ia bertangan kosong, ia masih nekat menubruk maju untuk menyerang Sin Hong dengan Hek-tok-ciang, yaitu pukulan yang lebih mirip cengkeraman, mengandalkan kuku-kuku jari tangan yang mengandung racun!

“Cappp!” Sin Hong menyambut dengan tusukan Cui-beng-kiam. Segera dicabutnya pedang itu dan hanya kurang lebih satu dim saja memasuki dada Sin-kiam Mo-li lalu dicabutnya, namun cukup membuat nenek itu terjengkang dan tewas seketika karena keampuhan pedang Cui-beng-kiam! Ia tewas tanpa sempat mengeluh lagi dan setelah tewas, wajahnya nampak jauh lebih tua daripada ketika masih hidup. Hal ini adalah karena kecantikannya ketika masih hidup tidak wajar, mengandalkan polesan bedak dan gincu.

Siangkoan Liong makin panik melihat robonnya Sin-kiam Mo-li, dan agaknya timbul perasaan ragu dalam hati Suma Ceng Liong untuk merobohkan pemuda itu. Dia merasa tidak pantas baginya yang tingkat dan kedudukan maupun usianya lebih tinggi daripada lawan untuk menekan dan merobohkan lawannya. Bagaimanapun juga, dia membayangkan kemudaan dan ketampanan Siangkoan Liong, yang telah memiliki kepandaian cukup tinggi itu. Melihat sikap ini, Sin Hong dapat menyelami isi hati Suma Ceng Liong, maka dengan Lui-beng-kiam di tangan, dia melompat maju dan berkata dengan nyaring.

“Locianpwe Suma Ceng Liong, harap suka memberikan Siangkoan Liong ini kepada saya!”

Lega hati Suma Ceng Liong melihat ada orang yang menggantikannya, apalagi orang itu adalah Sin Hong yang dia ketahui kelihaiannya dan masih sama mudanya dengan Siangkoan Liong pula. Dia pun meloncat ke belakang, membiarkan Sin Hong yang menghadapi Siangkoan Liong. Kedua orang muda itu berdiri tegak, berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tajam.

“Siangkoan Liong, selagi masih sempat kenanglah semua perbuatanmu yang penuh dosa!” kata Sin Hong dan dia membayangkan wajah Kwee Ci Hwa.

Siangkoan Liong tersenyum mengejek, “Tidak ada perbuatanku yang pantas kusesalkan, Tan Sin Hong. Aku berjuang untuk membebaskan negara dan bangsa dari cengkeraman penjajah, sebaliknya engkau menjadi anjing penjajah Mancu!”

Sin Hong memandang dengan mata mencorong. “Ingat apa yang telah kaulakukan terhadap mendiang Kwee Ci Hwa dan para wanita lain yang menjadi korban kebuasanmu?”

Ditegur seperti itu, wajah Siangkoan Liong berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia melirik ke arah Li Sian yang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan kedua tangan terkepal dan tahulah dia bahwa tidak ada jalan keluar baginya.

“Sin Hong, tutup mulutmu dan mari kita bertanding seperti laki-laki sejati!”

“Hemmm, orang macam engkau masih hendak bicara tentang laki-laki sejati?”

Sin Hong terpaksa menghentikan kata-katanya karena nampak sinar pedang berkilauan meluncur dibarengi suara mengaum. Itulah Koai-liong-kiam yang sudah digerakkan oleh Siangkoan Liong untuk menyerangnya. Namun dengan tenang saja Sin Hong juga menggerakkan Cui-beng-kiam untuk menangkis dan dia pun membalas serangan lawan dengan tidak kalah dahsyatnya. Terjadilah perkelahian tunggal yang seru dan mati-matian dan disaksikan oleh semua orang yang hadir di situ. Menghadapi Sin Hong, Siangkoan Liong juga tidak berdaya, karena seperti ketika menghadapi Suma Ceng Liong tadi, dia kalah segala-galanya. Kalau tadi Suma Ceng Liong seperti mempermainkannya saja, dengan tangan kosong melawan dia yang bersenjata pedang pusaka, kini Sin Hong sama sekali tidak main-main, tidak mengalah, bahkan di tangan Sin Hong terdapat pedang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan Koai-liong-kiam! Maka, setelah lewat dua puluh jurus saja, Siangkoan Liong mulai terdesak hebat dan dia selalu main mundur, hanya mampu mengelak atau menangkis saja tanpa sempat membalas serangan sama sekali.

Sin Hong mendesak terus dan menggunakan Cui-beng-kiam untuk memainkan ilmu pedang Ban-tok-kiamsut. Biarpun ilmu pedang ini biasa dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, namun dengan Cui-beng-kiam sekalipun Sin Hong dapat memainkan ilmu pedang itu dengan baik. Siangkoan Liong berusaha untuk membela diri sebaik mungkin, namun dalam suatu perkelahian, tidak mungkin orang hanya menangkis dan mengelak terus tanpa dapat membalas serangan. Akhirnya, tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pedang Cui-beng-kiam melukai paha kanannya. Seketika kaki kanan itu menjadi lumpuh dan seluruh tubuh terasa dingin sekali. Kaki itu pun membengkak dan Siangkoan Liong yang cepat melompat ke belakang melihat bahwa keadaan dirinya takkan mampu tertolong lagi. Dia pun menggerakkan Koai-long-kiam dan di lain saat, lehernya sudah terbabat putus oleh pedang Koai-liong-kiam!

Cu Kun Tek cepat menyambar pedang Koai-liong-kiam dari tangan Siangkoan Liong dan membawanya menjauh, sedangkan Sin Hong menarik napas panjang lalu mengambil sarung pedang Cui-beng-kiam dari pinggang Sin-kiam Mo-li. Ketika Kam Hong menyerahkan Ban-tok-kiam kepadanya, dia pun lalu mengambil sarung pedang di punggung mayat Ouwyang Sianseng.

Setelah tiga orang tokoh pimpinan pemberontakan ini tewas, selesailah sudah pertempuran itu. Para pendekar tidak kembali ke sarang Tiat-liong-pang di mana masih dilanjutkan pertempuran berat sebelah antara pasukan pemerintan melawan sisa kaum pemberontak. Tiada seorang pun di antara para pendekar yang sesungguhnya ingin membantu pemerintah. Kalau mereka menentang pemberontakan Tiat-liong-pang adalah karena Tiat-liong-pang bukan memberontak demi kepentingan bangsa, melainkan dengan pamrih untuk berkuasa dan Tiat-liong pang tidak segan-segan untuk bersekutu dengan para tokoh sesat.

Setelah kemenangan itu, para pendekar lalu berkumpul dan saling memperkenalkan diri, lalu saling berpisah. Cu Kun Tek dapat membujuk Pouw Li Sian untuk ikut bersama dia pulang ke Lembah Naga Siluman di barat, di mana dia akan memperkenalkan Pouw Li Sian sebagai calon isterinya kepada orang tuanya. Pouw Li Sian yang sudah membalas cinta kasih yang tulus dari Kun Tek, yang tetap mencintanya walaupun ia sudah berterus terang bahwa dirinya telah ternoda oleh Siangkoan Liong, kini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu. Setelah kakak kandungnya yang merupakan sisa keluarganya terakhir tewas, gadis ini tidak mempunyai seorang pun anggauta keluarga, hidup sebatangkara di dunia ini.

Suma Lian, Gu Hong Beng, Sin Hong dan Kao Hong Li melakukan perjalanan bersama ke Tapa-san untuk pergi ke tempat pertapaan Suma Ciang Bun di mana Sin Hong menitipkan Yo Han. Gu Hong Beng dan Suma Lian menghadap pendekar itu untuk melaporkan semua hasil pembasmian gerombolan sesat itu dan juga Hong Beng hendak minta dukungan gurunya untuk membicarakan urusan perjodohannya dengan Suma Lian, karena gadis itu kini agaknya tidak akan keberatan lagi terhadap ikatan perjodohan yang dahulu dipesankan mendiang nenek Teng Siang In.

Suma Ciang Bun gembira bukan main menyambut empat orang muda itu, mendengar akan hasil yang baik dari usaha para pendekar menumpas gerombolan pemberontak, terutama sekali mendengar permintaan Hong Beng agar dia suka membicarakan urusan perjodohan antara Hong Beng dan Suma Lian dengan orang tua gadis itu. Pada hari itu juga, Suma Ciang Bun pergi mengunjungi rumah adik sepupunya, yaitu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an.

Yo Han yang kini dijemput oleh Sin Hong, juga merasa gembira walaupun dia juga menyesal harus berpisah dari Suma Ciang Bun yang bersikap amat baik kepadanya, bahkan telah mengajarkan dasar-dasar teori persilatan tinggi kepadanya. Sin Hong lalu mengajak Yo Han bersama dengan Kao Hong Li pergi berkunjung ke rumah gadis itu, yaitu rumah Kao Cin Liong ayah gadis itu di Pao-teng di sebelah selatan kota raja.

***

Kao Cin Liong dan isterinya juga menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira, apalagi mendengar betapa para pendekar telah berhasil menumpas para tokoh sesat yang bersekutu dengan gerombolan pemberontak. Kao Cin Liong berterima kasih sekali kepada Sin Hong yang telah berhasil mendapatkan kembali kedua buah senjata pusaka itu, terutama Ban-tok-kiam yang memang menjadi pusaka ibunya. Ketika Sin Hong menyerahkan kedua buah pedang pusaka itu, Kao Cin Liong hanya menerima Ban-tok-kiam saja.

“Biarlah kami menyimpan Ban-tok-kiam sebagai peninggalan ibuku,” katanya kepada Sin Hong, “Engkau boleh menyimpan Cui-beng-kiam itu, Sute, karena pusaka itu adalah milik mendiang locianpwe Tiong Khi Hwesio yang menjadi suhumu pula.”

Sin Hong menghaturkan terima kasihnya kepada Kao Cin Liong. Kemudian dia pun berpamit dari keluarga itu. Kao Cin Liong dan Suma Hui, isterinya, tidak dapat menahannya dan Sin Hong menggandeng tangan Yo Han, mengajaknya keluar dari rumah pendekar Kao Cin Liong yang masih terhitung suhengnya itu. Ketika tiba di luar, di pekarangan rumah itu, dia mendengar langkah kaki ringan dan dia menoleh.

Kao Hong Li berdiri di depannya dan dia melihat betapa kedua mata gadis itu basah oleh air mata dan agak kemerahan, tanda bahwa gadis itu menahan-nahan tangisnya. Dia pun menatap tajam, diam-diam dia menyelidiki isi hati gadis itu dan Sin Hong dapat merasakan getaran yang sama mendebarkan jantungnya ketika pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut.

“Kau.... kau hendak pergiSu.... siok?” Suara Hong Li lirih dan gemetar.

Sin Hong menarik napas panjang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu dia mengangguk. “Benar, Hong Li. Aku harus pergi bersama Yo Han karena akulah yang bertanggung jawab dan harus mendidiknya.”

“Tapi.... engkau akan pergi ke manakah?” Gadis ini tahu benar bahwa keadaan Sin Hong tiada bedanya dengan Yo Han, yaitu sebatang kara, tiada seorang pun keluarga, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap!

Ditanya demikian, Sin Hong tersenyum, senyum bebas, seperti bebasnya hatinya karena dia sama sekali tidak memikirkan hal itu, sama sekali tidak merasa khawatir.

“Ke mana sajakah, Hong Li. Bukankah dunia ini cukup luas dan amat indahnya? Kami berdua akan menyongsong matahari pagi yang muncul dari timur, mengikuti tenggelamnya matahari senja di barat, atau menempuh semilirnya angin dari utara atau selatan.”

“Tapi.... tapi engkau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Bagaimana kalau engkau.... dan Yo Han, tinggal saja di sini? Akan kuminta kepada ayah dan ibuku untuk dapat menerima kalian....”

Diam-diam Sin Hong merasa terharu dia pun merasa betapa amat menggirangkan hatinya dan betapa ingin dia menyambut penawaran itu dengan baik, betapa ingin dia dapat tinggal terus berdekatan dengan gadis yang gagah perkasa ini. Akan tetapi tidak mungkin! Betapa dia akan merasa rendah diri! Menumpang tinggal di situ, makan dan segala keperluannya bersandar kepada keluarga Kao! Dan dia masih membawa seorang murid lagi.

“Terima kasih, Hong Li. Engkau.... sungguh baik sekali, dan percayalah aku akan merasa berbahagia sekali kalau tinggal di sini. Akan tetapi, bagaimana mungkin? Aku seorang laki-laki, dan aku bahkan mempunyai seorang murid, aku akan merasa rendah diri. Biarlah aku merantau dulu, mencari pengalaman hidup, mencari kedudukan yang pantas agar aku dapat mempunyai tempat tinggal yang tetap....“

“Tapi.... tapi.... kapankah kita dapat saling bertemu kembali, Susiok? Dan ke mana aku harus mencarimu kalau aku.... kalau aku ingin mengunjungimu?” Dalam suara ini terkandung tangis yang ditahan-tahan sehingga Yo Han sendiri yang baru berusia tujuh tahun itu sudah dapat merasakannya.

***

“Kita merantau kemanapun kaki kita membawa kita, Yo Han. Aku tidak mempunyai tempat tinggal tetap, aku miskin tidak ada rumah tiada harta, tidak ada pekerjaan. Engkau berani ikut dengan aku dalam keadaan tidak punya apa-apa begini, menempuh kehidupan yang melarat dan sukar?”

“Kenapa tidak berani, Suhu? Kalau Suhu berani, aku pun berani!” jawabnya dengan gagah dan Sin Hong tersenyum. Mereka melanjutkan perjalanan, kini keluar dari dusun itu menuju ke selatan, sampai lama tidak berkata-kata.

“Suhu, kenapa Suhu menolak ajakan enci Hong Li tadi? Ia baik sekali dan ia amat sayang kepada Suhu.”

Sin Hong terkejut dan menghentikan langkahnya, menunduk dan menatap wajah anak itu. Wajah yang tampan dan sinar mata itu demikian gagah, juga terbuka.

“Yo Han, bagaimana engkau tahu bahwa ia sayang kepadaku?”

“Jelas sekali, Suhu. Ia menangis ketika berpisah, itu tandanya cinta, tandanya berat untuk berpisah. Kenapa Suhu tidak mau menerima ajakannya dan tinggal di sana sehingga Suhu selalu dapat dekat dengan enci Hong Li?

Si Hong mengerutkan alisnya. “Hemm, apakah engkau ingin tinggal di sana?”
Yo Han menggeleng kepala. “Aku bicara untuk Suhu. Aku sendiri, aku akan tinggal di manapun menurut perintah Suhu, dan sebaiknya kalau aku tinggal bersama Suhu.”

“Tidur di dalam hutan? Di bawah pohon? Di alam terbuka?”

“Biar di bawah jembatan pun aku suka, asal bersama Suhu.”
Sin Hong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, anak baik. Kalau begitu mari kita songsong kehidupan baru! Tinggalkan semua kehidupan lama, lupakan semua masa lalu! Hatiku menjadi semakin besar dan tabah karena ada engkau di sampingku! Hayo kita hadapi segala tantangan dan rintangan dalam hidup ini, muridku!”

“Baik, Suhu, teecu (murid) siap!” kata Yo Han dan keduanya melanjutkan perjalanan, melangkah dengan tegap dan dengan wajah cerah memandang jauh ke depan!

Setelah tiba di tempat sunyi, Sin Hong menyuruh muridnya berhenti. “Kita berhenti sebentar di sini. Duduklah, Yo Han, ada sesuatu yang akan kukatakan kepadamu.”

Melihat sikap suhunya yang serius, Yo Han lalu duduk di atas rumput di bawah pohon. Sedangkan Sin Hong duduk di atas akar pohon itu. Sejenak dia memandang wajah muridnya dan hatinya dipenuhi rasa iba. Dan sudah mengambil keputusan untuk menceritakan semuanya kepada anak ini, agar dia tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Dia percaya seorang anak seperti Yo Han ini akan mampu menerima keadaan yang bagaimana pahit pun.

“Yo Han, engkau tahu, untuk apakah engkau menjadi muridku dan hendak mempelajari ilmu silat?”

“Untuk menjadi seorang gagah, seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, Suhu,”

“Hemmm, tahukah engkau bahwa seorang gagah harus pertama-tama mengalahkan kelemahan hati sendiri? Bahwa seorang gagah berani menghadapi segala hal sulit, dan tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam duka dan putus asa?”

Anak itu mengangguk, matanya yang jeli dan tajam memandang wajah gurunya penuh selidik. “Aku tahu, Suhu. Agaknya Suhu akan bicara mengenai ayah dan ibuku! Apakah mereka telah tewas?”

Bukan main anak ini, pikir Sin Hong. Cerdik bukan main! Dia pun mengangguk. “Mereka tewas sebagai pendekar-pendekar perkasa, muridku!” Dan dengan singkat dia menceritakan betapa ayah dan ibu anak itu tewas di tangan para pimpinan pemberontak dan betapa pura pembunuh itu pun kini telah terbasmi habis. Setelah dia selesai bercerita, dia melihat betapa wajah anak itu merah sekali dan kedua matanya mencorong.

“Muridku, seorang pendekar tidak seharusnya hanyut dalam kedukaan, akan tetapi melepaskan perasaan duka melalui tangis tidak dilarang!”

Baru saja Sin Hong berkata demikian, Yo Han menubruk kaki gurunya dan menangis tersedu-sedu, Sin Hong membiarkannya saja, mengelus kepala muridnya sambil tersenyum. Tak lama kemudian, dia membimbing tangan muridnya dan mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata.

Pada suatu hari, Sin Hong dan Yo Han memasuki sebuah kota di Propinsi An-hui. Kota ini adalah kota Lu-jiang. Sebuah telaga kecil berada di dekat kota ini, dan sebuah sungai mengalir menuju ke selatan di mana sungai itu akan menumpahkan airnya dalam Sungai Yang-ce yang besar. Sin Hong amat tertarik melihat keindahan pemandangan di luar kota ini, di daerah perbukitan yang merupakan bagian terbelakang dari perbukitan lembah Sungai Yang-ce. Apalagi ketika melihat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil yang berdiri di atas bukit kecil di luar kota Lujiang, dengan sebuah menara kecil tinggi, dia merasa tertarik dan mengambil keputusan untuk berhenti di tempat itu untuk beberapa lamanya. Kadang-kadang dia membutuhkan tempat yang baik untuk memberi pendidikan dan pelajaran ilmu silat kepada muridnya. Dan selama perantauannya bersama Yo Han, hari, pekan dan bulan lewat dengan cepat sekali dan tahu-tahu kini Yo Han telah berusia kurang lebih sembilan tahun. Sudah hampir dua tahun mereka merantau dan belum juga dia memperoleh sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal dan belum juga dia dapat memutuskan pekerjaan apakah yang akan dilakukan. Karena dia bukan orang yang memiliki banyak uang, maka mereka harus berhemat, ada kalanya mereka bekerja membantu di kuil-kuil hanya sekedar mendapatkan makan, dan pakaian mereka pun sudah mulai ditambal-tambal! Sin Hong membiarkan keadaan mereka seperti itu karena hal ini merupakan gemblengan batin bagi muridnya, dan ternyata Yo Han sama sekali tidak pernah mengeluh, biarpun pakaiannya sudah bertambal-tambal dan kadang-kadang Sin Hong sengaja mengajak muridnya itu makan sehari sekali saja, bahkan pernah mereka berpuasa sampai dua hari dua malam! Melihat sikap Yo Han yang tabah, tak pernah mengeluh, hati Sin Hong merasa semakin suka kepada anak itu.

Mereka memasuki kuil tua dan memilih tempat yang tidak bocor dan tidak begitu kotor, diruangan samping kiri. Yo Han lalu tanpa diperintah membersihkan tempat itu, menyapu dengan daun-daun kering dan mengumpulkan jerami untuk menjadi tilam agar lantai itu tidak terlalu lembab untuk diduduki atau pun ditiduri. Sin Hong mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan menyerahkannya kepada muridnya.

“Yo Han, pergilah ke kota dan beli makanan dan sedikit arak.”

“Baik, Suhu, akan tetapi teecu (murid) hendak membuat api unggun dan memasak air lebih dulu untuk dibuat air teh. Bukankah Suhu sudah merasa haus?”

Sin Hong tersenyum. Tidak rugi mempunyai seorang murid seperti Yo Han. Anak itu selalu memperhatikan keperluannya dan amat berbakti kepadanya. Tidak pernah dia merasa bahwa kehadiran Yo Han dalam kehidupannya menjadi beban. Bahkan sebaliknya, dalam diri anak itu dia menemukan seorang murid, seorang kawan, seorang pembantu, bahkan seorang penghibur karena anak itu pandai sekali memancing kegembiraannya.

Yo Han lincah dan kadang-kadang jenaka dan nakal, akan tetapi tidak pernah membikin marah dan selalu siap melayani gurunya.

“Biarlah aku sendiri yang akan membuat air teh, Yo Han. Sejak kemarin engkau belum makan, tentu sudah lapar. Belilah roti kering dan dendeng, seguci kecil arak dan kalau engkau ingin membeli buah-buahan segar untukmu, belilah. Boleh kauhabiskan uang itu membeli makanan.”

Yo Han mengangguk dan mengantungi beberapa keping uang itu, lalu berpamit dan pergilah dia dengan cepat, setengah berlari, menuju ke kota yang temboknya sudah nampak dari situ. Kuil itu berada di atas bukit kecil dan dari situ dapat nampak kota Lu-jiang. Sin Hong mengikuti muridnya dengan pandang matanya sambil tersenyum.

Yo Han tentu saja merasa lapar. Sejak kemarin siang dia belum makan, hanya minum air sumber saja karena suhunya mengajak dia berjalan terus. Dia bukan anak bodoh. Dia tahu bahwa suhunya amat sayang kepadanya dan bahwa suhunya adalah seorang pendekar yang budiman. Kalau suhunya membiarkan dia kurang makan, bahkan kadang-kadang berpuasa, hal itu bukan karena gurunya itu hendak menganiayanya. Suhunya sendiri pun sama-sama tidak makan, dan dia tahu bahwa suhunya menahan lapar hanya untuk kepentingannya! Untuk menggemblengnya! Maka dia merasa semakin berterima kasih kepada gurunya itu, satu-satunya orang di dunia ini yang baik kepadanya, pengganti ayah ibunya, pengganti keluarganya!

Mengingat kebaikan gurunya ini, hatinya menjadi gembira dan dia berloncatan menuju ke kota, membayangkan apa yang akan dibelinya. Dia sama sekali tidak mengingat akan kesukaan dirinya sendiri. Tidak! Dia akan membeli roti kering dan dendeng serta arak, kemudian sisa uang itu akan dibelikan buah jeruk yang manis, kesukaan gurunya! Ketika berloncatan dan berlarian, dia melihat tiga orang anak yang usianya sebaya atau hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, bermain-main di tepi jalan. Dia tidak memperhatikan karena dia sedang melamun tentang apa yang akan dibelinya untuk menyenangkan hati gurunya dan baru dia terkejut bukan main ketika terdengar suara anjing menyalak dan seekor anjing berbulu putih telah menggigit kakinya! Yo Han sudah mulai dilatih oleh gurunya, berlatih kuda-kuda, pengerahan tenaga, dan langkah-langkah kaki yang menjadi dasar ilmu silat. Kini ketika dia merasa betapa kakinya menjadi sasaran moncong anjing yang terbuka, dia cepat menarik kaki kiri yang hendak digigit, lalu kaki kanannya menendang ke arah perut anjing yang tidak berapa besar itu.

“Hukkk! Kaing.... kaing....!” Anjing itu terlempar bergulingan dan menguik-nguik kesakitan. Barulah Yo Han tahu bahwa yang ditendangnya itu hanyalah seekor anak anjing yang bulunya putih dan bagus sekali!

“Keparat kejam! Kau kurang ajar sekali, berani menendang anjing kesayangan kami yang tidak bersalah!”

Yo Han menengok dan ternyata tiga orang anak laki-laki yang tadi bermain-main di tepi jalan, kini sudah berdiri menghadapinya dengan sikap marah sekali. Kiranya anjing itu milik mereka, pikirnya dengan hati menyesal.

“Tapi.... tapi.... ia tadi akan menggigit kakiku....“ Dia membela diri.

“Menggigit? Huh, anak anjing kecil itu hanya mengajakmu main-main. Ia tidak pernah menggigit, kalau menggigit pun hanya main-main, tidak sakit. Akan tetapi dengan kejam engkau telah menendangnya!” kata seorang di antara mereka yang terkecil, yang kini sudah memondong anjing yang kelihatan ketakutan itu sambil mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Yo Han merasa semakin menyesal.

“Maaf.... aku.... aku tadi terkejut sekali, melihat ada anjing hendak menggigit kakiku sambil menyalak, aku tidak melihat bahwa anjing itu hanya anak anjing. Karena kaget aku lalu menendangnya. Maafkanlah aku.” Dia teringat akan nasihat gurunya bahwa kalau dia melakukan suatu kesalahan, biar terhadap seorang anak kecil sekalipun, dia harus berani menyatakan penyesalannya dan minta maaf.

“Enak saja minta maaf! Apakah kalau sudah minta maaf, anjing kami itu lalu sudah tidak merasa nyeri lagi oleh tendanganmu tadi? Huh, engkau tentu anak jembel yang datang dari luar kota maka tidak mengenal kami dan berani berbuat kurang ajar!” bentak seorang di antara mereka yang paling besar, usianya kurang lebih dua belas tahun sambil bertolak pinggang. Kini, Yo Han melihat bahwa tiga orang anak itu bersikap gagah dan pakaian mereka ringkas seperti pakaian yang biasa dipergunakan untuk berlatih silat.

Kembali Yo Han meminta maaf, sekali ini dia merangkap kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat. “Saya merasa bersalah dan saya menyesal sekali telah lengah dan terburu nafsu, menendang anjing kecil yang tidak bersalah itu. Harap kalian suka memaafkan saya.” Dia mengatur kata-katanya dengan sopan dan merendahkan diri.

“Orang yang melakukan kesalahan harus dihukum!” bentak orang ke dua yang usianya sebaya dengan Yo Han. “Kau layak dipukul!”

Yo Han menarik napas panjang. Nasib, pikirnya. Akan tetapi, semua nasihat gurunya masih bergema di telinganya, maka dia pun mengangguk dan pasrah. “Kalau kalian masih merasa penasaran dan sakit hati, nah, tamparlah mukaku sebagai nukuman atas kesalahanku menendang anjing kalian tadi. Silakan!” Dia memanjangkan leher, memberikan mukanya untuk ditampar.

“Bagus kalau kau tahu diri! Memang kami ingin memukulmu!” kata anak terbesar. “Mari, Sute, kita hajar anak jembel ini sampai dia bertobat!” Yo Han yang sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan mukanya untuk ditampar sebagai penebusan kesalahannya, memejamkan kedua mata dan siap menerima tamparan yang bagaimana keras pun pada mukanya.

“Plakkk! Dukkk! Desss....!” Tubuh Yo Han terpelanting ke atas tanah dan dia membuka mata, menggoyang-goyang kepalanya yang terasa pening, mengelus dada dan perut. Dia tidak hanya mendapatkan satu kali tamparan, akan tetapi juga dadanya dipukul dan perutnya ditendang! Yo Han merasa penasaran sekali. Mereka itu keterlaluan, pikirnya. Sekali maju tiga orang menyerangnya dan memukul dengan keras, sungguh tidak sepadan dengan kesalahannya tadi. Akan tetapi karena dia teringat akan kesalahannya, dia pun menahan kemarahannya dan mengusap bibirnya yang berdarah karena ujung bibir itu pecah terkena tamparan yang amat keras, lalu dia bangkit berdiri.

“Aku sudah menerima hukuman. Kesalahanku sudah terbayar lunas sekarang.” Katanya dan dia hendak melanjutkan perjalanannya ke kota untuk membeli makanan dan minuman seperti yang dipesan gurunya. Akan tetapi tiba-tiba anak terbesar menarik bajunya, di sentakkan ke belakang sehingga Yo Han hampir jatuh.

“Hemmm, kau hendak lari ke mana? Tidak boleh pergi sebelum kami selesai denganmu!”

Sepasang alis Yo Han yang hitam dan tebal itu berkerut dan sepasang mata itu mencorong penuh selidik ketika Yo Han menatap wajah anak laki-laki yang tubuhnya gempal itu. “Bukankah kalian sudah memukul aku sebagai hukuman atas kesalahanku? Kalian mau apalagi dan mengapa menahan aku?”

“Kesalahanmu ada dua macam. Pertama, engkau menendang anjing kami dan untuk itu memang kami tadi sudah menghukum kamu dengan pukulan. Akan tetapi kesalahan kedua, belum lunas, dan harus dibayar sekarang.”

“Kesalahan yang mana lagi?” Yo Han bertanya penasaran.
“Engkau tidak menghargai kami, tidak menghormati kami. Ketahuilah bahwa kami adalah murid-murid Ngo-heng Bukoan, dan kau bersikap kurang ajar kepada kami. Inilah kesalahanmu ke dua dan untuk ini, engkau harus berlutut dan menyebut kami tuan-tuan muda dan minta maaf atas sikapmu yang kurang ajar itu.

Wajah Yo Han berubah merah. Suhunya selalu menekankan bahwa dia haruslah rendah hati dan mengalah, akan tetapi tidak boleh rendah diri dan pengecut. Tiga orang anak ini jelas hendak menghinanya dan kalau dia mentaati perintah mereka, berlutut minta maaf, berarti dia rendah diri dan penakut. Mereka itu sewenang-wenang dan sombong, maka tidak perlu dihormati, bahkan layak kalau ditentang.

“Aku tidak mengenal siapa kalian, dan andaikata sudah mengenal sekalipun, aku tidak biasa menjilat orang yang kedudukannya lebih tinggi. Aku tidak merasa bersalah dengan sikapku, maka sudahlah, aku masih banyak urusan dan harus pergi tidak dapat melayani kalian lebih lama lagi!” Berkata demikian Yo Han membalikkan tubuh dan hendak pergi.

“Jembel sombong! Engkau memang harus dipukul sampai setengah mati baru tahu rasa!” bentak anak terbesar. Yo Han maklum bahwa dirinya diserang. Dia membalik dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi pukulan anak itu cepat dan tepat. Elakannya kurang cepat dan pundaknya kena tonjokan yang membuat tubuhnya terjengkang! Akan tetapi sekali ini, Yo Han sudah marah sekali. Dia meloncat bangun dan melihat seorang di antara mereka sudah menerjangnya lagi, dia pun menyambut dengan tendangan.“Uukkk!” Anak itu kena ditendang pahanya dan terpelanting. Dua orang kawannya segera maju mengeroyok dan anak yang tertendang itu pun sudah bangkit lagi dan ikut mengeroyok, Yo Han dikeroyok tiga! Kasihan anak ini. Tiga orang lawannya telah pandai bermain silat, sedangkan dia baru mempelajari langkah-langkah dasar saja. Melawan mereka satu lawan satu saja belum tentu dia menang, apalagi dikeroyok tiga. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan mereka. Akan tetapi, Yo Han memiliki keberanian luar biasa dan tahan uji benar-benar. Biarpun sudah puluhan kali dia jatuh bangun, tubuhnya memar dan babak belur, pakaiannya robek-robek, dia tidak pernah nrengeluarkan keluhan dan setiap kali jatuh, dia bangun kembali, meloncat dan melawan lagi mati-matian! Hal ini membuat tiga orang lawannya menjadi bingung dan agak gentar. Mereka mengira bahwa dengan beberapa kali dirobohkan saja, anak jembel itu akan berlutut minta ampun. Akan tetapi siapa kira, sudah puluhan kali jatuh, anak itu tetap melawan. Apalagi minta ampun, mengeluh pun tiduk pernah! Karena gentar, mereka agak lengah dan begitu Yo Han berhasil mencengkeram dan menjambak rambut seorang di antara mereka, dia membanting anak itu, menggumulnya dengan kedua tangan menjambak rambut dan dia membentur-benturkan kepala anak itu di atas tanah! Dia tidak peduli akan pukulan bertubi-tubi yang dilakukan dua orang anak lain pada tubunnya. Dia tetap menunggangi anak yang dijambaknya, dan dibentur-benturkannya kepala itu

Tiba-tiba anak terbesar menolong sutenya dengan merangkul leher Yo Han dengan lengannya dan menjepitnya. Karena lehernya terjepit dan dia tidak dapat bernapas, Yo Han gelagapan dan terpaksa melepaskan anak yang dijambaknya tadi. Anak itu sudah mulai menangis dan daun telinganya robek dan berdarah. Yo Han meronta-ronta, lalu berhasil membalikkan kepalanya, lalu dia membuka mulut dan menggigit pergelangan tangan anak yang memitingnya! Digigitnya sekuat tenaga. Mulutnya merasakan darah yang asin, gigitannya semakin kuat dan anak terbesar itu berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Baru setelah anak ketiga menghantam pelipis Yo Han yang membuatnya pening, gigitannya terlepas dan anak yang digigit pergelangan tangannya tadi, meloncat bangun dan menangis, memegang lengan yang tadi digigit. Tangisnya bukan hanya karena rasa nyeri, melainkan karena khawatir melihat betapa dari pergelangan tangan yang tergigit itu bercucuran darah yang banyak sekali! Dua orang sutenya juga bingung dan takut, lalu mereka bertiga melarikan diri ke kota, diikuti anjing bulu putih.

Yo Han membereskan pakaiannya. Akan tetapi tidak dapat dibereskan lagi karena pakaian yang tua itu sudah compang-camping, maka dia hanya mengebut-ngebutkan bagian yang kotor oleh tanah dan debu saja. Akan tetapi, tiba-tiba wajahnya berubah agak khawatir ketika tangannya merogoh saku baju dan tidak menemukan beberapa keping uang kecil pemberian gurunya! Kantung itu telah robek dan uangnya entah jatuh ke mana. Dia mulai mencari-cari di sekitar tempat itu namun sia-sia. Karena tidak dapat menemukan uang itu, akhirnya terpaksa dia kembali ke bukit di mana suhunya menanti di kuil tua.

Sin Hong sedang membuat minuman teh ketika melihat munculnya Yo Han. Dia merasa heran karena cepatnya anak itu sudah kembali, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kekagetan melihat anak itu tidak membawa apa-apa, pakaiannya robek-robek dan mukanya penuh benjolan biru, tubuhnya babak-belur. Akan tetapi Sin Hong bersikap tenang-tenang saja ketika bertanya.

“Yo Han, apakah yang telah terjadi denganmu?”

Yo Han duduk di atas lantai, di depan gurunya. Maaf, Suhu, uang pemberian Suhu hilang sehingga teecu tidak dapat membeli apa-apa.

“Hemmm, dan pakaianmu robek-robek, tubuhmu babak-belur....“

“Teecu.... telah berkelahi, Suhu.”

Sin Hong memandang muridnya dengan alis berkerut. Dia merasa yakin bahwa kalau sampai muridnya itu terpaksa berkelahi, sudah pasti muridnya itu tidak berada di pihak yang salah. Akan tetapi, dia sudah berulang kali memberi nasihat agar muridnya menjauhkan diri dari perkelahian dan permusuhan, maka kini dia bersikap keren.

“Ceritakan semua!”

“Sebelum tiba di pintu gerbang kota, teecu melihat tiga orang anak sebaya teecu bermain-main di tepi jalan. Tiba-tiba ada anjing menyalak dan akan menggigit kaki teecu. Karena terkejut dan takut digigit, teecu menendang perut anjing itu. Baru ternyata kemudian bahwa anjing itu hanyalah seekor anak anjing dan tiga orang anak itu pemiliknya. Mereka adalah murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka marah. Teecu sudah minta maaf dan teecu mempersilakan mereka menghukum teecu. Mereka bertiga memukul teecu satu kali sampai teecu roboh. Teecu menerima hukuman yang keterlaluan itu dan hendak pergi, akan tetapi mereka melarang. Mereka mengatakan bahwa teecu mempunyai kesalahan lagi, yaitu tidak menghormati mereka sebagai murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka mengharuskan teecu berlutut minta ampun. Teecu tidak sudi dan hendak pergi, lalu mereka menyerang dan memukuli teecu. Terpaksa teecu melawan.”

“Dan kau kalah?”

“Mereka bertiga itu pandai silat, Suhu, sedangkan teecu belum bisa. Teecu dihujani pukulan dan tendangan, sampai roboh puluhan kali, akan tetapi karena teecu tidak merasa bersalah, teecu melawan terus. Akhirnya teecu dapat menghajar mereka, dan mereka melarikan diri sambil menangis.”

Sin Hong terbelalak, memandang tidak percaya. “Mereka lari sambil menangis? Bagaimana engkau menghajar mereka?”

“Teecu dapat menjambak rambut seorang di antara mereka dan membentur-benturkan di atas tanah, ketika seorang lagi memiting leher teecu, teecu dapat menggigit pergelangan tangannya. Darahnya keluar banyak sekali dan mereka melarikan diri, yang dua orang itu menangis. Akan tetapi, uang itu hilang dan harap Suhu maafkan teecu.”

Sin Hong menahan ketawannya. Dia teringat akan sikap mendiang ayah Yo Han. Ayah Yo Han yang bernama Yo Jin itu sungguh merupakan seorang pria yang amat mengagumkan. Seorang petani dusun sederhana, sedikit pun tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki ketabahan melebihi seorang pendekar yang pandai silat! Kalau membela kebenaran, Yo Jin ini tidak berkedip sedikit pun juga biarpun diancam maut! Dan agaknya kenekatan dan ketabahan itu kini menurun kepada Yo Han.

“Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan bahwa engkau tidak boleh berkelahi?”

Dibentak demikian, Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Harap Suhu maafkan teecu. Teecu bersalah dan bersedia menerima hukuman!”

Sin Hong tersenyum dalam batinnya. Anak ini memang hebat, pikirnya. “Sudahlah, Yo Han. Engkau memang hanya membela diri, akan tetapi bela diri seperti itu adalah konyol. Untung engkau tidak dipukuli sampai mati. Kalau tadi engkau melarikan diri kembali ke sini, aku tidak akan menganggap engkau penakut. Orang berani harus memakai perhitungan, kalau hanya berani dan nekat tanpa perhitungan, orang itu akan mati konyol. Kalau orang melarikan diri dari bahaya yang tidak dapat ditentang dengan kepandaiannya, bukan berarti dia pengecut, melainkan dia mempergunakan kecerdikannya. Berani membuta bukanlah gagah namanya, melainkan bodoh dan konyol.”

“Maaf, Suhu. Teecu memang bersalah dan teecu tadi pun bingung dan ragu karena teecu tidak pernah melupakan nasihat Suhu. Akan tetapi, bayangkan saja Suhu, andaikata teecu tidak melawan dan melarikan diri, bukankah teecu akan dianggap takut? Padahal, teecu adalah murid Suhu yang memiliki kesaktian, bukankah kalau teecu lari, berarti teecu membikin malu kepada Suhu?”

Sin Hong tersenyum. “Membanggakan kepandaian guru atau kepandaian sendiri merupakan kesombongan, Yo Han. Sudahlah, jangan kaukira aku pelit dan tidak suka mengajarkan silat kepadamu. Selama ini, aku menggembleng tubuhmu agar memiliki kekuatan. Kalau engkau tidak memiliki kekuatan, bagaimana mungkin engkau dapat bertahan dipukuli oleh tiga orang yang lebih pandai darimu, sampai puluhan kali jatuh bangun akan tetapi tetap dapat melawan? Apa artinya memiliki kepandaian silat tinggi kalau tubuhnya lemah? Nah, sekarang engkau mengerti mengapa sampai kini aku belum mengajarkan ilmu silat, hanya penggemblengan kekuatan tubuh dan daya tahan, juga dasar langkah-langkah ilmu silat. Mulai hari ini, aku akan mulai mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan.”

Bukan main girang hati Yo Han. Dia memberi hormat sampai delapan kali untuk menyatakan terima kasihnya.

Pada saat itu, terdengar suara orang di luar kuil.' “Kau yakin bahwa dia masuk ke dalam kuil ini?” demikian terdengar suara seorang wanita.

“Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Sudah kutanya-tanyakan, dia berada di dalam kuil tua ini,” terdengar jawaban seorang anak-anak. “Heiii, jembel busuk, keluarlah engkau!” Suara anak-anak itu berteriak.

“Wah, itu suara anak yang teecu gigit pergelangan tangannya, Suhu,” kata Yo Han kepada gurunya, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut.

“Hemmm, mau apa dia datang? Dan dengan siapa?” Sin Hong mengangkat cawannya dan minum air teh yang masih panas. Mereka, guru dan murid itu, selalu membawa perabot masak dalam buntalan pakaian mereka, juga mangkok, cawan dan sumpit.

“Entahlah, Suhu. Mungkin minta digigit sebelah lengannya yang lain!” kata Yo Han gemas. Gurunya mengerutkan alisnya, dan Yo Han lalu bangkit berdiri “Suhu, biarlah teecu menghadapi mereka.” “Tunggu, Yo Han. Jangan engkau membuat urusan menjadi semakin parah. Mari kita keluar bersama, kita lihat apa yang mereka kehendaki.” Sin Hong bangkit dan bersama muridnya dia keluar dari ruangan samping itu, menuju ke depan di mana dia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun bersama seorang gadis yang bertubuh ramping padat. Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas seperti pakaian seorang ahli silat, rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dihias bunga emas. Pakaian berwarna hijau muda yang berpotongan ringkas itu membuat tubuhnya nampak menggairahkan. Akan tetapi melihat sepintas saja mudah diduga bahwa ia seorang gadis yang gagah. Wajahnya manis dengan dagu runcing, mulut kecil dan sepasang mata yang jeli dan tajam. Seorang gadis yang gagah dan cantik.

Dengan hati yang merasa agak tidak enak karena dia harus menghadapi seorang gadis cantik yang agaknya sedang marah, Sin Hong menghampiri mereka. Begitu melihat Yo Han, anak itu yang kini lengannya dibalut, berseru, “Itulah dia, Suci! Itulah jembel busuk itu!”

Gadis itu hanya sebentar saja memandang kepada Yo Han. Diam-diam ia mendongkol sekali mengingat betapa tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan dikalahkan oleh seorang anak laki-laki yang pakaiannya tambal-tambalan dan compangcamping, yang usianya dua tiga tahun lebih muda dari sutenya ini! Memalukan sekali, pikirnya. Dan ia lalu memandang kepada Sin Hong, memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh empat tahun, berpakaian serba putih, bersih, namun juga ada tambalannya. Wajah pemuda itu biasa saja, tidak terlalu menarik, juga tidak buruk, akan tetapi sinar matanya lembut dan mulutnya tersenyum ramah membayangkan kehalusan watak.

Sin Hong mendahului gadis itu, mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat. Perbuatannya ini diturut oleh muridnya sehingga gadis itu kembali terheran melihat betapa kedua orang jembel itu bersikap demikian sopan.

“Maafkan kami, Nona. Apakah Ji-wi (Kalian berdua) datang untuk mencari kami?” Sin Hong bertanya dengan sikap yang halus dan sopan. Gadis itu memandang bingung. Kalau yang menggigit dan menjambak para murid kecil perguruan ayahnya hanya seorang bocah berusia kurang lebih sembilan tahun, tentu saja ia tidak dapat turun tangan menghajarnya! Bagaimana mungkin ia harus menyerang seorang bocah? Ia adalah Bhe Siang Cun, puteri dari ketua atau kauwsu (guru silat) perguruan silat Ngo-heng Bu-koan! Bahkan ialah yang membimbing dan mengajar para murid perguruan silat itu mewakili ayahnya. Memalukan sekali kalau ia harus berkelahi melawan seorang anak kecil berusia sembilan tahun!

Ia lalu mengalihkan pandang matanya, memperhatikan Sin Hong tanpa membalas penghormatan pemuda itu. “Aku mencari bocah bengal ini. Apamukah dia?” Ia melirik kepada Yo Han yang menahan dirinya untuk diam saja karena dia takut kepada gurunya. Akan tetapi dia membalas pandang mata gadis itu dengan berani dan sikapnya tenang sekali. Dia merasa tidak bersalah, maka sedikit pun tidak merasa takut.

“Dia ini adalah muridku, Nona. Kalau dia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu, harap Nona suka memaafkan anak yang masih kecil ini.”

Mendengar bahwa pemuda itu guru dari anak nakal itu, lega rasa hati Siang Cun. Setidaknya, ia akan berurusan dengan gurunya, bukan dengan bocah itu.

“Bagus!” katanya. “Engkau adalah gurunya maka harus engkau yang bertanggung jawab atas kejahatannya! Biarpun dia masih kecil, akan tetapi dia jahat sekali. Lihat apa yang telah dilakukannya terhadap suteku ini. Dia ini suteku, akan tetapi aku yang membimbing mereka, maka aku dapat juga disebut guru mereka. Tiga orang suteku telah luka-luka karena perbuatan muridmu yang jahat ini. Lihat pergelangan tangan suteku yang ini digigit sampai terluka parah dan banyak darah terbuang.”

Sin Hong menahan senyumnya. Gadis itu lincah dan galak, menunjukkan sikap yang mengandung kegagahan walaupun ada keangkuhan membayanginya. “Sekali lagi maaf. Muridku telah bercerita kepadaku tentang perkelahian antara dia dan tiga orang anak-anak yang usianya lebih tua darinya. Menurut dia, dia telah dihina dan dikeroyok oleh tiga orang anak itu, maka dia membela diri....”

“Dia telah menendang anjing peliharaan dan. kesayangan kami!” Gadis itu memotong. “Sudah sepatutnya kalau dia dihajar atas perbuatannya itu! Dan kalau dia melawan secara gagah dan benar, kami pun tidak akan ribut lagi. Kalau tiga orang suteku kalah oleh ilmu silatnya, aku hanya akan menegur murid-murid itu. Akan tetapi muridmu ini jahat, menggunakan kecurangan, menggigit dan mencakar!”

Sin Hong kini tersenyum. “Muridku sudah mengakui kesalahannya menendang anak anjing itu karena kaget ketika diserbu anjing itu, akan tetapi tiga orang anak itu mengeroyoknya. Muridku ini tidak pandai silat, mana mungkin menggunakan ilmu silat untuk membela diri? Dia hanya dapat menggigit, mencakar, hanya untuk membela dirinya yang dipukuli tiga orang anak. Harap Nona suka memaafkan kami dan menyudahi saja urusan antara anak-anak kecil ini. Lihat, muridku juga sudah babak belur. Tentu dia lebih banyak menerima pukulan daripada para sutemu, dan dia lebih banyak menderita kesakitan.” Diam-diam Sin Hong. merasa bangga melihat kenyataan betapa muridnya itu, biarpun lebih banyak menerima hantaman, tetap tenang dan tabah, tidak seperti anak yang lengannya dibalut itu, kelihatan cengeng.

“Tidak bisa!” Siang Cun membantah. “Kalau tidak ada gurunya, aku hanya akan menegur bocah bengal ini. Akan tetapi setelah ada gurunya yang bertanggung jawab, maka engkau sebagai gurunya harus berani menghadapi akibat perbuatan muridmu dan bertanggung jawab sepenuhnya!”

Sin Hong mengerutkan alisnya. Gadis ini terlalu mendesak dan mau menang sendiri saja, pikirnya. Akan tetapi dia masih tersenyum. “Lalu apa yang harus kulakukan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan muridku, Nona? Tentu saja aku suka bertanggung jawab.”

“Para suteku atau juga murid-muridku berkelahi dengan muridmu yang mempergunakan kecurangan. Sekarang, kita sama-sama guru atau pelatih masing-masing harus menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul! Aku tantang kamu untuk mengadu ilmu silat dengan adil dan jujur, tidak mempergunakan kecurangan.” Setelah berkata demikian, Siang Cun sudah mengambil sikap, memasang kuda-kuda ilmu silat perguruan ayahnya. Ayahnya adalah seorang ahli ilmu silat Ngo-heng-kun, dan ilmu silat tangan kosong ini memiliki banyak sekali perkembangan sehingga dapat dipergunakan untuk memainkan senjata apa pun juga. Sesuai dengan namanya, Ngo-heng-kun (Silat Lima Unsur) memiliki lima macam sifat yang paling berlawanan dan juga saling membantu. Ayah Siang Cun yang bernama Bhe Gun Ek adalah seorang pendekar yang mahir ilmu-ilmu silat Siauwlim-pai dan Bu-tong-pai. Penggabungan kedua aliran inilah yang menciptakan Ngo-heng-kun seperti yang dimilikinya sekarang, yang berbeda dengan Ngo-heng-kun dari Siauw-lim-pai maupun Bu-tong-pai, akan tetapi yang mengandung bagian-bagian terindah dan terlihai dari keduanya. Ketika memasang kuda-kuda ilmu silat Ngo-heng-kun, Siang Cun berdiri dengan kedua kaki terpentang, yang kiri di depan, yang kanan di belakang, ditekuk menyerong, tubuhnya tegak, kedua lengannya melingkar di depan dada, membentuk tanda Im-yang karena Im-yang merupakan inti dari Ngo-heng. Sikapnya gagah dan kuda-kuda itu indah, membuat Sin Hong kagum dan tertarik. Tentu saja sama sekali dia tidak berniat untuk berkelahi apalagi bermusuhan dengan gadis itu atau siapa saja hanya karena perkelahian anak-anak maka dia pun tidak mau melayani gadis itu.

“Nona, maafkanlah kami. Aku tidak ingin berkelahi dan biarlah sebelum berkelahi aku mengaku kalah padamu!”

Mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap gurunya orang yang amat gagah perkasa, sakti dan tak mengenal takut. Akan tetapi mengapa gurunya menerima saja sikap gadis ini yang demikian angkuh dan memandang rendah? Dia tidak berani menegur gurunya, akan tetapi anak yang banyak akalnya ini mengambil keputusan untuk menambah minyak pada api yang membakar dada gadis itu agar gadis itu benar-benar dapat bertanding melawan gurunya!

“Bibi yang baik....“ Dia berkata sambil melangkah maju mendekati Siang Cun.

“Aku bukan bibimu!” bentak gadis itu, semakin marah karena ia merasa tidak pantas seorang anak berusia sembilan atau sepuluh tahun menyebut ia bibi, padahal ia baru berusia sembilan belas tahun.

Yo Han yang memang sengaja, segera melanjutkan. “Ah, Enci yang baik, harap jangan melanjutkan sikap Enci menantang Suhuku. Tidak tahukah Enci bahwa Suhu bersikap mengalah kepadamu? Kalau Suhu menanggapi dan menyambut tantanganmu, dalam beberapa jurus saja Enci tentu akan kalah....“

“Yo Han....!” Sin Hong berseru, alisnya berkerut dan dia terkejut mendengar ucapan muridnya itu yang demikian menyombongkan diri. Yo Han membungkam dan melangkah mundur akan tetapi sudah cukup baginya. Akalnya itu berhasil, karena wajah Siang Cun menjadi merah padam dan gadis itu sudah menjadi marah sekali.

“Bagus, kalian adalah orang-orang sombong! Nah, sambutlah seranganku, hendak kulihat apakah benar dalam beberapa jurus engkau mampu mengalahkan aku!” Berkata demikian, tanpa memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah lagi, Siang Cun sudah menyerang dengan cepatnya. Serangannya itu cepat bertubi-tubi datangnya, dan setiap tamparan, tonjokan atau tendangan mendatangkan angin yang kuat, tanda bahwa gadis ini memiliki kekuatan sin-kang yang sudah lumayan hebatnya.

“Plak-plak! Wuuuuuttt.... plak-wuuut-wuuuttt!” Lima kali berturut-turut Siang Cun mengirim serangan yang cukup dahsyat. Sin Hong yang didesak itu hanya main mundur, menangkis atau mengelak. Ketika menangkis, dia menyimpan tenaganya karena tidak ingin mencelakai gadis itu, akan tetapi dia kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kekhawatirannya itu tidak beralasan karena gadis itu ternyata memiliki sin-kang yang kuat! Dan setiap serangan yang dilakukan gadis itu pun dahsyat, cepat dan kuat sehingga dalam gebrakan pertama saja tahulah Sin Hong bahwa gadis ini bukan seorang ahli silat sembarangan saja, melainkan seorang yang telah mewarisi ilmu silat tingkat tinggi.

Di lain pihak, Siang Cun juga terkejut bukan main. Tadinya dipandangnya rendah pemuda berpakaian putih itu. Muridnya hanya pandai mencakar dan menggigit, tentu gurunya juga hanya mempunyai ilmu silat pasaran saja. Akan tetapi, sungguh mengherankan sekali betapa serangkaian serangannya yang termasuk jurus cukup ampuh dapat dihindarkan pemuda itu dengan tangkisan dan elakan yang cukup lincah! Dan biarpun ia tidak merasakan adanya tenaga yang kuat ketika pemuda itu menangkis, namun pemuda itu pun tidak nampak terhuyungatau terdorong mundur. Ia menjadi penasaran dan kini Bhe Siang Cun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanan dari Ngo-heng-kun untuk merobohkan atau mengalahkan lawannya!

Sin Hong semakin kagum. Kiranya gadis ini memang lihai sekali. Ilmu silatnya itu hebat, selain cepat dan kuat, juga memiliki gaya yang indah dan daya serang yang berbahaya. Terpaksa dia mulai mempergunakan sin-kangnya kalau dia tidak ingin celaka atau benar-benar roboh di tangan gadis ini! Sin Hong mulai memainkan ilmu silat gabungan antara Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) yang dipelajarinya dari seorang di antara tiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir, yaitu Tiong Khi Hwesio. Dia tidak memainkan Pek-ho Sin-kun, karena ilmu ini terlalu hebat untuk dipakai main-main, dan hanya dia pergunakan kalau terpaksa sekali menghadapi lawan yang amat tangguh. Begitu dia mainkan kedua gabungan ilmu silat sakti ini dan mengerahkan sin-kangnya, beberapa kali Siang Cun mengeluarkan seruan kaget. Baru ia tahu bahwa pemuda berpakaian putih ini benar-benar lihai sekali dan ia pun kini merasa betapa pemuda itu sejak tadi banyak mengalah dan jarang membalas serangannya, bahkan main mundur saja. Padahal, setiap kali beradu lengan, ia merasa lengannya kesemutan dan seperti hampir lumpuh karena getaran hebat yang terkandung dalam lengan pemuda itu. Mulailah ia merasa kagum, heran dan menduga-duga siapa adanya pemuda yang amat lihai ini.

Sementara itu, melihat betapa gurunya selalu menangkis dan mengelak selalu main mundur, diam-diam Yo Han merasa khawatir juga. Dia percaya penuh kepada suhunya yakin akan kelihaian suhunya. Akan tetapi agaknya suhunya tidak mau sungguh-sungguh melawan gadis ini dan hal inilah yang membuatnya khawatir. Adapun anak laki-laki yang dibalut lengannya, yang tadi digigitnya, kelihatan gembira sekali. Anak itu lalu mendekati Yo Han dan berkata dengan nada suara sombong.

“Gurumu itu sebentar lagi tentu akan dipukul roboh oleh Su-ci!”

Yo Han mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada bekas lawan itu. “Belum tentu! Suhuku bukan orang yang mudah dikalahkan!”

“Hemmm, kita lihat saja! Suci-ku adalah puteri dari suhu, ketua dari Ngo-heng Bu-koan yang sudah terkenal di seluruh dunia. Suci-ku gagah perkasa dan tak pernah terkalahkan seperti seekor Naga Betina!”

Diam-diam Yo Han mendongkol. Mana ada manusia dibandingkan naga? Bohong dan membual saja, akan tetapi karena marah dia pun tidak mau kalah. “Apa anehnya Naga Betina? Suhuku sama dengan Naga Emas!”

Mendengar Yo Han menyebut Kim-liang (Naga Emas), tiba-tiba anak itu terbelalak dan wajahnya berubah kaget dan agak pucat. “Dia.... dia.... dari Kim-liong?”

Tentu saja Yo Han tidak mengerti apa yang dimaksudkan anak itu, akan tetapi karena sudah terlanjur membual, dia pun mengangguk. “Tentu saja dia Kim-liong. Kaukira siapa?”

Sungguh mengherankan sekali. Mendengar ini, anak itu lalu lari menghampiri suci-nya yang sedang bertanding dan dia pun berteriak, “Suci, awas! Dia itu dari Kim-liong-pang!”

Mendengar ini, Siang Cun juga nampak terkejut dan ia pun cepat mencabut sepasang pedang yang sejak tadi tergantung di punggungnya. Dara ini memang tadi ingin mengadu ilmu dengan Sin Hong, akan tetapi hal itu terdorong oleh rasa penasaran saja. Ia tidak ingin bermusuhan pula, maka tidak pernah menggunakan senjata. Akan tetapi kini, begitu mendengar disebutnya Kim-liong-pang, ia menjadi marah dan kaget, lalu seketika mencabut sepasang pedangnya dan membentak. “Keparat, kiranya engkau jahanam dari Kim-liong-pang!” Dan tanpa memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah, Siang Cun kini sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan hebat! Gadis ini memang memiliki keahlian memainkan sepasang pedang. Ilmu pedangnya masih merupakan perkembangan dari Ngo-heng-kun. Dibantu oleh ayahnya yang ahli, gadis ini telah berhasil menciptakan ilmu pedangnya sendiri yang dinamakan Ngo-heng-kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Unsur) yang hebat.

Sin Hong terkejut sekali. Dia hendak menyangkal bahwa dia dari Kim-liong-pang, karena memang dia sama sekali tidak tahu menahu tentang Kim-liong-pang. Akan tetapi melihat permainan sepasang pedang yang indah dan ampuh itu, dia pun tertarik. Seperti para pendekar pada umumnya, ilmu silat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Sin Hong. Ilmu silat merupakan kesukaannya, olah raganya, keseniannya, bahkan pelindung dirinya. Maka, setiap kali mendapat kesempatan bertemu tanding, hal ini merupakan suatu kegembiraan tersendiri. Apalagi kalau melihat ilmu silat lawan yang indah dan ampuh, tentu timbul keinginan hatinya untuk menguji ilmu itu, atau juga menguji kepandaian sendiri apakah akan mampu melawan orang yang memiliki ilmu yang indah dan ampuh itu. Oleh karena itu, begitu melihat gadis itu memainkan sepasang pedangnya, timbul keinginan hati Sin Hong untuk menguji ilmu itu dan dia pun segera memainkan Pek-ho Sin-kun!

Terjadilah perkelahian yang amat indah ditonton, akan tetapi juga menegangkan karena nampaknya amat berbahaya bagi Sin Hong. Dua gulungan sinar pedang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, dibarengi suara berdesing dan tubuh Sin Hong lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan sinar pedang. Sin Hong memainkan Pek-ho Sin-kun dengan cekatan sekali. Kedua lengan ditelusuri tenaga sin-kang yang amat hebat, yaitu sin-kang gabungan yang diterimanya dari ketiga orang gurunya, manusia-manusia sakti di Istana Gurun Pasir. Dengan tangan dan lengan telanjang, pemuda ini sekarang berani menangkis pedang atau senjata apa pun tanpa takut kalau kulit lengannya lecet! Kedua tangan itu kadang-kadang membentuk moncong atau paruh burung bangau putih, lengan menjadi leher yang panjang dan paruh itu dapat mematuk-matuk berupa totokan-totokan pada jalan darah di tubuh lawan, bahkan lengan yang menjadi leher itu dapat menangkis dan membelit senjata, mencoba merampasnya. Kadang-kadang kedua lengan itu menjadi seperti sayap burung dan gerakan tubuh pemuda itu indah bukan main. Kadang-kadang, kedua kakinya membuat langkah yang lebar, kadang-kadang pula geseran kakinya halus dan pendek-pendek, dan ada kalanya tubuhnya itu meloncat tinggi seperti bangau terbang, dan dalam keadaan tubuh melayang ini keempat buah kaki dan tangannya dapat melakukan serangan yang amat dahsyat dari atas!

Akan tetapi, seperti juga tadi, Sin Hong yang hanya ingin menguji ilmu pedang gadis itu, tidak bertindak sungguh-sungguh dalam serangannya, lebih banyak membela diri saja. Kalau dia menghendaki, mengingat bahwa tingkat ilmu kepandaiannya masih jauh di atas Siang Cun, tentu dalam waktu yang tidak terlalu lama dia akan dapat merobohkan gadis itu, atau setidaknya merampas sepasang pedangnya. Namun, dia tidak mau melakukan hal itu, karena kalau dia berbuat demikian, tentu akan semakin besar kemarahan dan dendam gadis itu kepadanya dan permusuhan antara mereka tentu akan menjadi-jadi. Dia kini dapat menduga bahwa selain marah karena para sutenya tadi dijambak dan digigit Yo Han, juga dalam urusan antara dia dan gadis ini timbul suatu kesalahpahaman mengenai Kim-liong-pang yang belum dikenalnya.

Sementara itu, Bhe Siang Cun kini benar-benar terkejut. Bukan hanya karena seruan sutenya yang mengatakan bahwa pemuda berpakaian putih ini dari Kimliong-pang, akan tetapi kenyataan betapa dengan kedua tangan kosong, pemuda itu mampu menghindarkan semua serangannya! Dan hebatnya, pemuda itu berani menangkis kedua pedangnya dengan tangan dan lengan begitu saja tanpa terluka atau lecet sedikit pun! Tak disangkanya bahwa lawan ini demikian lihainya dan ia pun mulai merasa khawatir. Kalau lawannya ini dari Kim-liong-pang, maka ia tak mungkin dapat keluar dari perkelahian itu dalam keadaan hidup! Tinggal dua pilihan, yaitu membunuh atau terbunuh! Maka ia pun semakin nekat memutar pedangnya dengan cepat dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.

Melihat kenekatan gadis itu, Sin Hong juga merasa khawatir. Perkelahian ini harus dihentikan secepatnya, pikirnya. Maka, ketika pedang kanan dari gadis itu menyambar dari atas ke bawah, dia menggeser kaki mundur dan ketika pedang itu lewat, tangan kanannya menyambar seperti paruh bangau putih, dan tahu-tahu dua buah jari tangannya ditekuk, yaitu telunjuk dan jari tengah, telah menjepit pedang itu!

Bhe Siang Cun sekuat tenaga menarik pedangnya, namun sia-sia. Pedang itu seperti terjepit catut baja yang amat kuat!

“Sudahlah, Nona. Hentikan pertandingan ini dan mari kita bicara!”

“Tutup mulut! Aku tidak takut mati dan aku tidak sudi berunding dengan orang Kim-liong-pang!” Gadis itu menarik-narik lagi tanpa hasil.

“Nona, aku bukan orang Kim-liong-pang!”

“Tak perlu berbohong!” Siang Cun yang merasa gemas sekali karena pedangnya dijepit dua jari dan ia tidak mampu menarik kembali, merasa terhina dan dipermainkan. Hampir tak masuk diakal kalau pedangnya dapat dijepit dua buah jari lawan tanpa ia mampu melepaskannya kembali! Ia dianggap anak kecil yang tidak berdaya saja! Sambil membentak, kini pedang di tangan kirinya membuat gerakan memutar dan membacok ke arah kepala Sin Hong.

“Tranggg....!” Gadis itu terkejut karena pedang kirinya tertangkis oleh pedang kanannya sendiri, yang terbawa oleh dua buah jari tangan yang membetotnya! Beberapa kali pedang kirinya membacok, selalu ditangkis oleh pedangnya sendiri. Ia demikian jengkel dan malu sehingga mukanya meran dan matanya panas. Hampir ia menangis!

Tiba-tiba terdengar anak yang dibalut lengannya itu berseru, “Suhu, dia orang Kim-liong-pang!”

Dan pria yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bhe Gun Ek, melihat betapa puterinya dipermainkan seorang pemuda yang amat lihai. Melihat betapa dengan sepasang pedang di tangan Siang Cun masih dapat dipermainkan, tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi.

“Orang Kim-liong-pang banyak lagak!” serunya dan dia pun meloncat ke dekat dua orang yang sedang tarik menarik pedang itu, dan dengan kedua tangan didorongkan, Bhe-kauwsu (guru silat Bhe) menyerang Sin Hong.

Sin Hong mendengar suara angin pukulan itu dan terkejut. Itulah pukulan yang mengandung tenaga sakti amat kuat dan amat berbahaya. Terpaksa dia lalu mendorong sehingga tubuh Siang Cun terhuyung ke belakang, dan dia pun cepat menyambut dorongan kedua tangan lawan baru itu dengan kedua tangannya sendiri. Namun karena dia tidak bermaksud untuk mencari musuh, maka dia tidak mau menyambut dengan perlawanan keras, melainkan menyambut dan mengatur tenaganya untuk menyedot dan melumpuhkan tenaga dorongan lawan.

“Wuuuuuttt.... plak! Ahhh....!” Bhe Gun Ek terkejut bukan main sehingga mengeluarkan seruan sambil melompat jauh ke samping ketika dia merasa betapa kedua telapak tangannya bertemu dengan dua telapak tangan lawan yang lembut, dan merasa betapa tenaga sin-kangnya seperti amblas masuk atau bertemu dengan benda yang lembut. Dia merasa khawatir kalau sekali pukul dia mencelakai lawan yang belum dikenalnya siapa walaupun tadi anak itu mengatakan dia dari Kim-liong-pang, dan untuk menarik kembali pukulannya sudah tidak mungkin, maka jalan satu-satunya adalah melompat jauh ke samping sehingga hal ini akan mengurangi daya pukulannya.

Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya ketika dia melihat pemuda itu tidak apa-apa, bergeming sedikit pun tidak, masih berdiri tegak bahkan tersenyum kepadanya. Dia pun tahu bahwa pemuda itu memang lihai, maka dia lalu menghampiri.

“Orang muda dari Kim-liong-pang, katakan dulu siapa namamu sebelum kita bertanding mati-matian di tempat ini!” tantangnya.

Sin Hong memandang penuh perhatian. Seorang laki-laki yang gagah, berusia sekitar empat puluh lima tahun. tubuhnya sedang namun kokoh kuat membayangkan adanya tenaga besar. Pakaiannya sederhana saja, seperti-pakaian seorang guru silat yang ringkas. Di pinggangnya nampak sebuah sabuk rantai dari baja dan Sin Hong dapat menduga bahwa tentu orang ini ahli pula memainkan rantai baja yang dipakai sebagai sabuk itu sebagai sebuah senjata yang ampuh. Dia lalu menjura dengan hormat.

“Harap Paman suka memaafkan saya. Sesungguhnya, saya sama sekali bukan orang Kim-liong-pang, bahkan nama perkumpulan itu pun baru sekali ini saya dengar. Saya adalah seorang perantau yang kebetulan saja hari ini tiba di sini dan memilih kuil tua ini sebagai tempat tinggal sementara.

Melihat sikap sopan pemuda itu dan mendengar kata-katanya, Bhe Gun Ek menjadi heran dan dia pun menoleh kepada puterinya. “Benarkah dia seorang dari Kim-liong-pang?” tanyanya.

“Ayah, aku pun hanya mendengar dari Ceng Ki!” jawab gadis itu sambil menoleh kepada sutenya yang lengannya dibalut. Kini Bhe Gun Ek memandang muridnya itu dengan sikap keren.

“Ceng Ki, bagaimana engkau berani mengatakan bahwa dia ini orang Kim-liong-pang?”

Anak itu nampak ketakutan berhadapan dengan Bhe Kauw-su yang memang terkenal galak terhadap para muridnya dan mengharuskan para muridnya memegang peraturan dan tidak melanggar. Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan menjawab pertanyaan gurunya.

“Teecu.... teecu hanya mendengar keterangan muridnya itu....“

Kini Sin Hong yang terkejut. “Yo Han, keterangan apakah yang telah kauberikan?” tanyanya keren.

“Teecu tidak memberi keterangan bahwa Suhu adalah orang Kim-liong-pang.” Yo Han membantah sambil memandang kepada Ceng Ki dengan mata melotot marah, “tadi dia mengatakan bahwa suci-nya adalah Naga Betina, karena tidak mau kalah teecu mengatakan bahwa Suhu tidak akan kalah karena Suhu adalah Kim Liong (Naga Emas). Teecu tidak tahu mengapa mereka lalu menganggap Suhu orang dari Kim-liongpang!”

Mendengar ini, Sin Hong dan Bhe Gun Ek saling pandang, dan guru silat itu mengangguk-angguk, menarik napas panjang dan bertanya kepada puterinya. “Nah, engkau mendengar sendiri, semua ini hanya kesalahpahaman saja karena mulut anak-anak. Lalu kenapa engkau menyerangnya mati-matian?”

“Begini, Ayah. Mula-mula, aku melihat Ceng Ki dan dua orang sutenya pulang dalam keadaan luka-luka. Ada yang kepalanya benjol-benjol karena dibentur-benturkan tanah, dan Ceng Ki sendiri pergelangan tangannya luka karena digigit sehingga harus diobati dan dibalut untuk menghentikan darah yang keluar banyak. Menurut cerita mereka, mereka berkelahi dengan seorang anak jahat yang menjambak dan menggigit. Aku segera bersama Ceng Ki mencari anak itu dan ternyata dia berada di sini dan anak itu adalah murid orang ini. Kami berdebat, berselisih dan berkelahi.”

Bhe Gun Ek mengerutkan alisnya. “Hemmm, hanya karena perkelahian anak-anak engkau lalu membela sampai berkelahi dengan orang? Siang Cun, bukanlah itu keterlaluan namanya?”

“Aku menjadi marah melihat para sute itu, apalagi Ceng Ki yang luka tergigit. Kalau mereka berkelahi biasa saja dan kalah pandai, aku pun tidak ambil peduli. Akan tetapi digigit!”

Sin Hong melangkah maju dan memberi hormat. “Maaf, Paman, sesungguhnya urusan ini kecil saja dan harap dihabiskan saja. Murid saya ini sudah minta maaf dan menyadari kesalahannya, juga saya minta maaf untuk dia. Kami hanya dua orang perantau yang tidak ingin bermusuhan dengan siapapun, karena itu, sekali lagi, harap urusan kecil ini dihabiskan sampai di sini.”

Bhe Gun Ek tadi sudah melihat betapa pemuda berpakaian putih ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Dengan tangan kosong mampu menghadapi sepasang pedang puterinya, bahkan dia melihat betapa kedua pedang itu tidak berdaya sama sekali, yang sebatang dijepit dua buah jari dan dipakai menangkisi pedang yang lain! Bukan itu saja, dia sendiri tadi menyerang dengan pukulan tenaga sakti, akan tetapi dapat disambut oleh pemuda itu secara aneh dan mengejutkan karena tenaga pukulannya seperti mengenai benda lunak yang membuat pukulan itu kehilangan kekuatannya. Mendengar semua keterangan itu, dia pun cepat membalas penghormatan Sin Hong.

“Orang muda yang gagah, harap jangan terlalu merendahkan diri. Sepatutnya, kami dari Ngo-heng Bu-koan yang harus meminta maaf. Sikap murid-murid kecil kami, juga puteri kami tadi terhadap engkau dan muridmu sungguh tidak patut. Maafkanlah, orang muda dan tentu saja dengan senang hati kami menghabiskan urusan kecil itu sampai di sini saja. Bahkan, perkenankan kami mengundang Ji-wi untuk berkunjung ke rumah kami agar perkenalan ini dapat dipererat. Saya Bhe Gun Ek, juga puteri kami ini, Bhe Siang Cun, dan semua murid Ngo-heng Bu-koan mengundang Ji-wi untuk makan bersama di tempat kami.”

Sin Hong merasa rikuh sekali. Dia memang menghargai sikap guru silat itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk hadir sebagai tamu, untuk dijamu makan, mengingat bahwa dia dan muridnya tidak mempunyai pakaian yang pantas untuk bertamu. Akan tetapi sebelum dia menolak dengan halus, tiba-tiba Yo Han berkata, “Wah, Suhu. Bhe-kauwsu yang terhormat ini sungguh gagah perkasa dan baik hati sekali, cocok seperti yang Suhu nasihatkan kepada teecu bahwa seorang gagah lebih dulu akan mencari kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain! Dan bersikap ramah terhadap siapapun juga tanpa memandang kedudukan atau harta benda. Suhu, teecu senang sekali berkenalan dengan orang-orang gagah dari Ngo-heng Bu-koan!”

Mendengar ucapan yang lantang dan keluar dari mulut seorang bocah berusia sembilan tahun, Bhe Gun Ek memandang kagum dan tahulah dia mengapa bocah yang kabarnya tadi hanya mampu menampar dan menggigit menjadi murid seorang pemuda yang berilmu setinggi ini. Kiranya bocah ini baru menerima gemblengan batin lebih dulu sehingga sekecil itu telah memiliki jiwa yang amat gagah perkasa! Sedangkan Sin Hong diam-diam mendongkol akan tetapi juga geli hatinya terhadap muridnya. Dia tahu bahwa Yo Han kegirangan diundang makan, karena dia masih menyesal menghilangkan uang dari gurunya tadi dan kini gurunya diundang makan, maka dia pun girang sekali. Gurunya sejak kemarin belum makan dan dia pun demikian pula, dan perutnya sudah lapar sekali!

Bhe Gun Ek tersenyum girang. “Wah, sungguh kami merasa berbahagia sekali, ternyata Ji-wi guru dan murid merupakan orang-orang gagah yang mengagumkan.” Lalu kepada puterinya dan Ceng Ki dia berkata, “Hayo Siang Cun, engkau minta maaf kepada Tai-hiap (Pendekar Besar) ini, dan kau Ceng Ki, minta maaf kepada saudara kecil yang gagah ini!”

Bersambung ke buku 10