Kisah Para Pendekar Pulau Es -9 | Kho Ping Hoo
Buku 9
Akan tetapi, panglima muda puterapendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu memang hebat sekali kepandaiannya. Cin Liong juga sudah marah dan juga dia melihat kenyataan betapa kejam dan jahatnya gerombolan ini, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Kini dia tidak ragu-ragu lagi dan dia mengerahkan sin-kangnya, memainkan Sin-liong-ciang-hoat dan tentu saja anak buah gerombolan itu merupakan makanan yang amat lunak bagi ilmu silatnya yang amat ampuh dan tenaganya yang mujijat itu. Setiap kali dia menyerang, tiga empat orang roboh dan tewas seketika sehingga tanpa memakan waktu lagi, para pengeroyok itu roboh berturut-turut dan akhirnya habislah mereka. Tempat itu penuh denyan mayat yang malang melintang dan tumpang tindih! Hanya tinggal si kumis tebal seorang saja yang belum roboh karena tadi melihat kehebatan lawan, dia menyingkir ke belakang anak buahnya dan memberi komando saja. Melihat betapa semua anak buahnya roboh, si kumis ini menjadi ketakutan dan dia membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri dari tempat itu. Namun, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu musuh besar itu telah berada di depannya, menghadang dengan berdiri tegak dan sepasang mata pemuda itu mencorong seperti mata seekor naga sakti! Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, si kumis tebal menjadi nekat.
“Haittt....!” Dia menyerbu dengan ganas, kedua tangannya membentuk cakar garuda dau tubuhnya meloncat ke atas lalu melayang turun, persis scperti seekor burung garuda yang terbang turun menyambar seekor kelinci. Namun, yang diserangnya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan Cin Liong juga mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman lawan!
“Plakk! Plakk!” Kedua tangan itu bertemu dan secepat kilat Cin Liong mengerahkan sin-kang pada jari-jari tangannya lalu dia membuat gerakan mematahkan.
“Krekk! Krekk!” Si kumis tebal menjerit mengerikan dan tubuhnya terkulai, akan tetapi kedua cakar garuda itu tertinggal dalam genggaman tangan Cin Liong karena kedua pergelangan tangannya patah tulangnya, kemudian putus sama sekali berikut daging, otot dan kulitnya karena Cin Liong membuat gerakan mematahkan dengan kekuatan yang amat dahsyat! Kedua lengan itu buntung sebatas pergelangan tangan dan darah muncrat-muncrat. Si kumis tebal itu masih belum pingsan, melolong-lolong karena nyerinya sambil berlutut dan memandang kepada kedua lengannya yang buntung sambil menangis. Cin Liong membalikkan kedua cakar itu, lalu menghantamkan kedua senjata itu ke arah pemiliknya.
“Crott! Crott!” Si kumis roboh terjengkang dan kedua cakar garuda itu telah menancap dalam-dalam di kerongkongannya dan dadanya. Agaknya ketika menyerang tadi, Cin Liong teringat akan apa yang dilakukan orang ini kepada Liok Bwee. Sejenak Cin Liong memandang tubuh lawan yang sudah tak dapat bergerak, kemudian dia meloncat masuk kembali ke dalam ruangan belakang.
Liok Bwee yang sudah membuka kedua matanya itu, nampak tersenyum ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya. Apalagi ketika Cin Liong mengangkat tubuh atasnya dan memangkunya, sinar matanya berseri gembira.
“Mereka.... mereka tewas semua....?” tanyanya lirih.
Cin Liong mengangguk.
“....aku.... aku akan mati.... ah, bagaimana aku nanti dapat menemui ayah di alam baka....?”
Melihat kesedihan gadis itu, Cin Liong terharu. Bagaimanapun juga, gadis ini telah menyelamatkan nyawanya dan kini gadis ini kehilangan segala-galanya, mula-mula kehilangan ayahnya, lalu kehilangan para suhengnya dan anak buahnya, dan kini akan kehilangan nyawanya pula. Semua gara-gara dia! Dan gadis itu merasa takut untuk bertemu dengan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu karena merasa telah mengkhianati Eng-jiauw-pang.
“Nona, kau.... maafkanlah aku....” katanya lirih.
Alis yang berkerut itu cerah kembali. “Ah, tidak apa. Akan kuhadapi dia, biar di alam baka sekalipun, karena dia yang bersalah, anak buahnya yang jahat. Taihiap.... engkau.... engkau tidak benci kepadaku....?”
Cin Liong terbelalak memandang wajah yang cantik itu. Benci? Ah, bagaimana dia dapat membenci gadis seperti ini?
“Tidak, nona. Aku.... sama sekali tidak benci kepadamu, aku bahkan.... suka sekali kepadamu....” Dia mempererat dekapannya seolah-olah hendak membuktikan kata-katanya karena memang sesungguhnya tumbuh suatu perasaan sayang dan suka sekali dalam hatinya terhadap gadis yang malang nasibnya ini.
Wajah itu berseri dan senasang mata itu berkilat. “Aih, terima kasih, taihiap.... kata-katamu itu akan menjadi sinar terang yang mengantarku ke alam sana.... terima kasih, aku sungguh cinta padamu, Kao-taihiap.... sungguh....”
Cin Liong semakin terharu dan seperti ada dorongan yang amatkuat dia mendekatkan mukanya. “Liok Bwee.... kau.... kau gadis yang malang....!” Dan diapun lalu menempelkan bibirnya pada mulut itu. Seperti tersentak kaget tubuh gadis itu mengejang, mulutnya terbuka dan Cin Liong lalu menciumnya dengan sepenuh hatinya, dengan sepenuh rasa sayangnya.
Ketika dia melepaskan ciumannya dan memandang, wajah itu pucat sekali, akan tetapi berseri dan air mata mengalir di kedua pipinya yang pucat. “....terima kasih, aku cinta padamu.... terima kasih....” Dan kepala itu terkulai, matanya terpejam dan napasnya putus. Gadis itu menghembuskan napas terakhir dengan senyum di mulut!
Cin Liong tahu bahwa gadis yang dipangkunya itu telah meninggal dunia. Hal ini terasa begitu menusuk perasaan hatinya, membuatnya merasa kesepian dan kehilangan. Dia mendekap kepala itu dengan eratnya, memandangi wajahnya, menciuminya dengan air mata berlinang. Terasa sekali olehnya betapa dia membutuhkan Liok Bwee, betapa dia membutuhkan wanita, membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan cinta kasih wanita. Dia merasa seperti setangkai bunga kekeringan, sebatang pohon kehausan.
“Bwee-moi.... ah, Bwee-moi....” keluhnya, akan tetapi ketika dia memejamkan matanya, terbayanglah wajah Suma Hui dan hatinya menjadi semakin berduka.
Tak dapat disangkal lagi bahwa telah menjadi pembawaan manusia betapa pria dan wanita saling membutuhkan dan keduanya diciptakan seolah-olah memang sudah harus saling mengisi. Wanita selalu mendambakan kasih sayang pria dan rasanya tidak lengkap hidupnya tanpa adanya pria yang menyayangnya, melindunginya dan memanjakannya, membutuhkan dan mementingkan dirinya. Di lain fihak, bagi seorang pria, kebutuhan akan adanya seorang wanita dalam hidupnya adalah mutlak. Dia selalu membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan getaran dalam cinta kasih seorang wanita yang nampak dalam pandang matanya, dalam senyumnya, dalam suaranya dan dalam sentuhannya. Tanpa adanya seorang wanita yang menyayanginya seperti itu, seorang pria akan selalu merasa kehausan dan kekeringan, akan selalu merasa betapa hampa hidupnya. Pria dan wanita memang merupakan dua keadaan yang saling mengisi, saling melengkapi dan bersatunya kedua unsur Im dan Yang inilah yang menciptakan kehidupan, keindahan, dan keserasian, seperti matahari dengan bumi. Adanya yang satu tanpa adanya yang ke dua adalah pincang, janggal, dan tidak lengkap. Dan ketimpangan ini, kesepian dan ketidaklengkapan ini mulai terasa mengganggu batin Cin Liong semenjak dia gagal dalam hubungan cinta kasihnya dengan wanita, pertama dengan seorang pendekar wanita bernama Bu Ci Sian, kemudian kedua kalinya dengan Suma Hui dan kegagalan yang kedua kalinya ini lebih parah! Tidak saja Suma Hui memutuskan hubungan itu dengan tiba-tiba, bahkan dia kemudian mendengar bahwa pemutusan hubungan itu ditambah lagi dengan sebuah fitnah yang amat menyakitkan hatinya, yaitu bahwa dia dituduh memperkosa Suma Hui!
Cin Liong mengubur jenazah Liok Bwee dengan kedukaan yang mendalam, kemudian dia melapor kepada kota yang berdekatan, kepada komandan kota itu sebagai seorang panglima muda agar komandan itu suka mcngerahkan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat para anggauta gerombolan Eng-jiauw-pang. Dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Thian-cin untuk mencari Suma Hui!
Biarpun dia seorang pendekar sakti yang sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan bahkan ancaman-ancaman nyawa sehingga batinnya tergembleng dan dia memiliki ketabahan yang jarang dimiliki pendekar lain, namun ketika dia memasuki pekarangan rumah keluarga Suma, jantungnya tetap saja berdebar tegang dan hatinya tidak urung merasa gelisah sekali. Dia telah mendengar dari orang tuanya betapa orang tuanya telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, bahkan hampir saja orang tuanya bentrok dengan keluarga ini. Dan dia mendengar pula betapa dia telah difitnah, dituduh telah memperkosa Suma Hui. Hal inilah yang harus dibereskannya dan dibikin terang. Kalau toh keluarga Suma hendak menolak pinangannya terhadap Suma Hui, hal itu adalah hak mereka. Akan tetapi kalau mereka hendakmenjatuhkan fitnah bahwa dia telah memperkosa Suma Hui, hal ini tidak boleh dibiarkan saja dan dia harus menerangkan persoalan yang amat gawat ini. Di sepanjang perjalanannya menuju ke Thian-cin, tiada hentinya dia merenungkan fitnah yang amat aneh itu. Kiranya, keluarga seperti itu, keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es yang terkenal itu, tidak mungkin menjatuhkan fitnah sembarangan saja, apalagi fitnah berupa kejahatan perkosaan! Akan tetapi, mungkinkah seorang dara seperti Suma Hui itu berani atau sudi membohong? Kalau ia tidak benar-benar menjadi korban perkosaan, apa artinya menuduh dia memperkosa? Benarkah gadis itn menjadi korban perkosaan? Ataukah Suma Hui sengaja berpura-pura dengan pamrih lain di balik itu? Pamrih yang bagaimana? Kalau benar terjadi peristiwa laknat itu, siapa orangnya yang akan dapat memperkosa seorang dara seperti Suma Hui? Akan tetapi dia lalu teringat kepada Jai-hwa Siauw-ok. Datuk sesat itupun pernah hampir dapat memperkosa Suma Hui kalau saja dia tidak muncul di saat yang tepat!
Pendeknya, apapun yang terjadi, dia harus menemui Suma Hui, menemui keluarga Suma untuk menerangkan semua persoalan dan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengganggu pikirannya itu. Ketila pelayan mempersilahkannya duduk di ruangan tamu sementara pelayan itu melaporkan kepada tuan rumah, Cin Liong duduk dengan hati berdebar tegang. Apa yang harus dikatakannya kepada Suma Kian Lee dan isterinya kalau mereka keluar menemuinya? Rasanya tidak patut kalau begitu datang dia langsung bicara tentang hal yang merupakan aib bagi keluarga itu. Lalu, apa yang harus dikatakannya? Bagaimana kalau begitu muncul, suami isteri sakti itu langsung menyerangnya? Haruskah dia melawan? Akan tetapi dia teringat bahwa kini Suma Hui sadah menikah. Ah, itulah yang dapat dijadikannya alasan. Dia datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan itu!
Langkah kaki tegap yang menuju ke ruangan tamu itu terdengar demikian kerasnya oleh Cin Liong, menyaingi degup jantungnya. Dia sudah berdiri ketika daun pintu kamar tamu yang menembus ke ruangan dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki setengah tua gagah perkasa yang bukan lain adalah Suma Kian Lee. Sudah kurang lebih empat tahun dia tidak bertemu dengan pendekar ini dan nampak oleh Cin Liong betapa waktu empat tahun itu menambah usia sang pendekar seperti sepuluh tahun saja! Pendekar itu nampak jauh lebih tua, rambutnya sudah hampir putih semua dan banyak garis-garis prihatin menghias mukanya, menjadi keriput-keriput mendalam. Matanya yang lebar itu masih tenang seperti dulu, juga masih tajam, akan tetapi ada bayangan duka di balik ketenangannya. Pada saat itu, sepasang mata itu terbelalak membayangkan kekagetan sehingga mengherankan hati Cin Liong yang sudah cepat menjura dengan sikap hormat.
“Kao Cin Liong....!” kata pendekar itu dengan suara jelas membayangkanrasa kaget melihat pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak disangkanya akan muncul di kamar tamunya. “Engkau.... datang.... dengan maksud apakah....”
Memang sejak dari pertemuan dengan ayah bundanya, Cin Liong sudah membawa ganjalan hati. Ayah bundanya telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, mungkin juga pcnghinaan itu berlangsung di dalam ruangan tamu ini. Akan tetapi dia datang bukan untukmelampiaskan perasaan marah dan penasaran itu, melainkan untuk menjernihkan segala kekeruhan dan menerangkan semua kegelapan dalam perkara itu. Maka dia masih bersabar walaupun alisnya berkerut dan pandang matanya berkilat.
“Locianpwe, maafkan kalau kedatangan saya mengganggu. Saya datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan bibi Suma Hui. Sayang saya sedang bertugas sehingga tidak dapat menghadiri pesta pernikahan itu. Juga saya menyampaikan ucapan selamat dari ayah dan ibu.” Cin Liong sengaja menyebut locianpwe agar tidak menonjolkan hubungan keluarga di antara mereka, akan tetapi dia tetap menyebut bibi kepada Suma Hui mengingat bahwa gadis itu telah menikah dan tidak enaklah kalau dia tetap menyebut adik seperti biasa.
Akan tetapi, ucapan selamat dari Cin Liong ini terasa seperti pisau beracun menusuk hati pendekar itu. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan sepasang matanya menatap wajah Cin Liong penuh selidik. Diapun lupa untuk mempersilahkan tamunya duduk dan mereka masih berdiri saling berhadapan.
“Terima kasih,” jawab Suma Kian Lee dengan suara lirih menahan perasaan yang bergolak. “Lalu apa lagi keperluanmu mengunjungi kami?”
Kerut-merut di antara alis pemuda itu makin mendalam. Sungguh angkuh dan sombong sekali orang ini, pikirnya. Beginikah sikap putera dari mendiang Pendekar Super Sakti? Tentu saja dia tidak tahu bahwa sikap yang diperlihatkan oleh Suma Kian Lee itu sungguh sama sekali bukan sikap aselinya. Pendekar ini telah mengalami musibah, seteguh-teguhnya batu karang seperti dia telah dilanda badai yang amat hebat sehingga membuat kekokohan batinnya menjadi goyah.
“Memang ada lagi keperluan lain, locianpwe. Saya datang untuk membikin jernih kekeruhan yang terjadi antara keluarga locianpwe dan keluarga kami.”
“Bagus!” Suma Kian Lee berkata tegas dan mulutnya membayangkan senyum pahit. “Seorang gagah harus menghadapi segala keadaan dengan sikap gagah pula. Engkau datang karena merasa bahwa keluarga Kao telah menerima penghinaan dari keluarga kami?”
Kao Cin Liong mengangguk. “Setidaknya menerima perlakuan yang tidak semestinya kami terima.”
“Bagus!” kembali pendekar itu berseru. “Mari kau ikut denganku, Kao Cin Liong!”
Melihat sikap yang tegas dan kaku itu, diam-diam di dalam hati Cin Liong sndah timbul penasaran dan hatinya semakin terbakar. Maka tanpa banyak cakap dia mengangguk dan mengikuti tuan rumah itu yang berjalan melalui lorong di samping rumah, menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dia pernah mengunjungi rumah ini dan sedikit banyak sudah mengenal keadaannya, maka diapun hanya mengikuti saja dengan hati penasaran ketika tuan rumah membawanya ke ruangan itu. Ruangan yang luas itu kosong dan keadaan amat sunyi, membuat hati Cin Liong menduga-duga ke mana perginya anggauta keluarga lainnya.Kini mereka berdiri saling berhadapan di lian-bu-thia dan Suma Kian Lee, aneh sekali, kini berseri-seri memandang wajah pemuda itu. “Seorang gagah akan menyelesaikan urusan dengan cara yang gagah pula. Keluarga Kao telah merasa terhina oleh keluargaku dan engkau datang untuk membuat perhitungan, itu sudah adil sekali. Dan aku sebagai orang yang bertanggung jawab atas keluarga Suma, sudah berdiri di hadapanmu, siap untuk menebus kesalahan dengan cara yang gagah pula. Kao Cin Liong, aku sudah siap, majulah!” Suma Kian Lee memasang kuda-kuda dengan sikap yang gagah.
Cin Liong terkejut dan juga marah. Sungguh sombong, pikirnya. Akan tetapi dia masih ingat bahwa sungguh amat tidak baik menanam permusuhan dengan keluarga Suma, apalagi kalau diingat bahwa ibunya masih terhitang anggauta keluarga Pulau Es pula. Dia datang untuk menjelaskan perkara, untuk mencari kebenaran, bukan untuk menuntut keadilan dengan membalas dendam.
“Akan tetapi, locianpwe, kedatangan saya bukan untuk berkelahi!” bantahnya.
“Kao Cin Liong, siapa yang mau berkelahi? Kita bertanding untuk membuat perhitungan yang ada. Aku tahu bahwa engkau adalah putera Si Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau telah memiliki tingkat kepandaian yang setanding dengan aku, maka akupun tidak malu untuk menandingimu. Mari, aku sudah siap. Kecuali kalau engkau seorang penakut, nah, tak perlu banyak cakap, pergilah.”
“Locianpwe terlalu tinggi hati dan terlalu memaksa!” bentak Cin Liong marah.
“Memang! Majulah, orang muda!” Anehnya, suara pendekar ini semakin gembira.
Melihat betapa lawannya sudah memasang kuda-kuda, Cin Liong yang tidak sudi disebut pengecut itu sudah menerjang sambil mengeluarkan teriakan peringatan. Hantamannya amat kuat dan cepat, namun dengan indahnya serangan pertama itu dapat dihindarkan oleh Suma Kian Lee yang juga memiliki gerakan yang mantap dan kuat. Suma Kian Lee mengelak sambil membalas serangan dengan tidak kalah kuatnya, akan tetapi Cin Liong juga dapat mengelak dengan cepat. Terjadilah serang-menyerang dengan serunya dan diam-diam kedua orang pendekar tua dan muda ini saling agum akan kehebatan dan kegesitan lawan. Ilmu silat mereka berbeda sekali, dari sumber yang berlainan, akan tetapi keduanya sama kuatnya, sama indahnya dan sama mantapnya. Mungkin saja Kian Lee menang latihan dan menang matang, akan tetapi Cin Liong yang menang muda itu tentu saja menang napas dan menang cepat gerakannya.
“Lihat pukulan!” Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru setelah mereka bertanding lebih dari tiga jurus dan hanya mengandalkan kecekatan mereka untuk saling mengelak dan saling membalas. Kini pendekar Pulau Es itu mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang dan menghantam dengan kecepatan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh lawan. Cin Liong terkejut, mengenal pukulan ampuh yang hawanya mengandung dingin luar biasa ini. Dia sudah mendengar bahwa para pendekar Pulau Es memiliki dua macam ilmu andalan, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) dan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), maka merasa betapa dinginnya pukulan ini, dia dapat menduga bahwa ini tentulah pukulan Tenaga Sakti Inti Salju itu. Diapun cepat mengerahkan tenaganya dan karena maklum bahwa kekuatan lawan amat hebat, diapun tidak mau membahayakan dirinya dan langsung saja dia mempergunakan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dengan mempergunakan tenaga inti bumi dalam pengerahan tenaga Sin-liong-hok-te. Tubuhnya tiba-tiba menelungkup dan ketika pukulan datang, diapun meloncat dan menerima pukulan kedua tngan itu dengan kedua telapak tangannya sendiri.
“Desss....!” Dua tenaga raksasa bertemu di tengah udara dan akibatnya, tubuh Cin Liong terpental ke belakang sampai tiga tombak, akan tetapi sebaliknya Suma Kian-Lee terhuyung, mukanya menjadi pucat dan mulutnya mengeluarkan sedikit darah segar!
Cin Liong terkejut bukan main. Dia tidak merasa terluka walaupun tubuhnya terlempar, dan kini dia menghampiri lawannya, bermaksud untuk memeriksa kalau-kalau lawannya terluka parah. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika kini Suma Kian Lee membentak lagi, “Lihat pukulan....!”
Sekali ini, pukulan pendekar Pulau Es itu membawa hawa yang panas dan tahulah Cin Liong bahwa pukulan ini tentulah Hwi-yang Sin-ciang. Maka diapun cepat mengumpulkan tenaganya dan menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangan. Untuk mengelakkan pukulan sakti seperti itu jauh lebih berbahaya lagi.
“Blaarrr....!” Cin Liong terlempar lagi dan terbanting keras, seluruh tubuhnya terasa panas dan dia terkejut bukan main. Akan tetapi hanya kepalanya yang terasa pening dan dia bangkit kembali, menggoyang-goyangkan kepalanya mengusir kepeningan, dan ketika dia memandang, dia melihat lawannya berdiri tegak, namun tubuhnya bergoyang-goyang dan dari mulutnya mengalir darah segar lebih banyak lagi. Dan pendekar tua itu tersenyum!
“Bagus! Tidak memalukan engkau menjadi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau memang pantas mencuci penghinaan atas nama keluargamu. Aku tidak malu roboh di tanganmu. Mari lanjutkan....!” Dan Suma Kian Lee sudah melangkah maju lagi walaupun terhuyung-huyung.
Cin Liong kebingungan. Dia tahu bahwa lawannya terluka parah. Akan tetapi, lawannya masih hendak menyerang lagi, maka terpaksa diapun cepat memasang kuda-kuda dengan waspada karena maklum bahwa para pendekar Pulau Es merupakan gudang-gudang ilmu silat tinggi yang amat hebat.
“Kao Cin Liong, terimalah seranganku!” kata Suma Kian Lee, akan tetapi pada saat dia melangkah maju, siap menerjang, terdengar jeritan nyaring.
“Tahan....!” Dan sesosok bayangan meluncur datang, lalu memeluknya dari belakang. “Suamiku, apa yang kaulakukan ini? Ya Tuhan.... engkau.... engkau terluka....!” Wanita itu adalah Kim Hwee Li yang segera memapah suaminya diajak duduk di atas bangku di sudut ruangan yang luas itu.
Ditangani isterinya, Kian Lee tidak banyak membantah. Diapun segera duduk bersila di atas lantai seperti yang diminta isterinya dan Kim Hwee Li sudah menempelkan kedua tangannya ke dada suaminya.
“Kao Cin Liong, ke sinilah dan bantu aku mengobati suamiku. Cepat!” kata wanita itu.
Cin Liong cepat menghampiri. Biarpun dia bingung sekali, akan tetapi dia tidak ragu-ragu untuk cepat duduk bersila di belakang kakek itu dan menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Kian Lee sambil mengerahkan sin-kang perlahan-lahan. Diapun tahu cara pengobatan dengan sin-kang untuk menyembuhkan luka sebelah dalam tubuh orang. Setelah diobati oleh pengerahan sin-kang kedua orang itu, akhirnya wajah Kian Lee menjadi merah kembali dan pernapasannya menjadi tenang dan pulih. Dia menarik napas berkali-kali lalu berkata, “Sudah, cukuplah....”
Kim Hwee Li melepaskan tangannya dan diturut pula oleh Cin Liong yang cepat bangkit berdiri mundur beberapa largkah, menanti dengan sikap hormat. Kim Hwee Li mengajak suaminya bangkit duduk di atas bangku dan nyonya itu setelah memandang wajah suaminya dan Cin Liong berganti-ganti, lalu membanting kakinya.
“Suamiku ini semakin tua semakin bandel dan keras kepala!” Lalu nyonya itu menangis, mengusap air matanya dengan punggung tangan. Mengharukan sekali melihat nyonya ini menahan tangisnya seperti anak kecil yang sedih sekali.
Suma Kian Lee kembali menghela napas. “Isteriku, kenapa engkau tidak membiarkan aku mati terhormat seperti orang gagah? Apa artinya hidup akan tetapi menanggung malu dan telah melakukan kesalahan memalukan yang besar sekali terhadap keluarga Kao? Aku hanya akan menjadi bahan ejekan orang saja.” Kedua mata pendekar ini menjadi basah dan beberapa kali dia memejamkan mata untuk nenahan runtuhnya air matanya.
Dengan air mata masih menetes di sepanjang pipinya, Kim Hwee Li bangkit berdiri dan menepuk dada, membanting kakinya. “Hendak kulihat siapa orangnya yang berani mengejek suamiku! Ingin kulihat siapa berani! Siapa....?” Ia menantang-nantang seolah-olah di depannya berdiri seluruh manusia di dunia yang berani lancang mengejek suaminya yang dicintanya sepenuh hati. Diam-diam Cin Liong kagum melihat nyonya ini dan dapat merasakan besarnya cinta yang terkandung dalam dada nyonya itu terhadap suaminya.
“Maaf.... ji-wi locianpwe.... sesungguhnya saya menjadi bingung sekali.... saya datang untuk menjernihkan suasana, akan tetapi kiranya malah diterima salah dan kalau kedatangan saya hanya makin mengeruhkan keadaan, harap sudi memberi penjelasan dan saya bersedia untuk minta maaf,” katanya merendah.
Kim Hwee Li menarik napas panjang. “Duduklah Cin Liong. Suamiku ini memang keras kepala dan keras hati pula. Dia sedang dalam keadaan sakit yang cukup parah karena guncangan batin. Dia tahu akan keadaannya itu maka agaknya menantangmu agar dia dapat mati di tanganmu.”“Locianpwe....!” Cin Liong berseru terkejut sekali sambil memandang kepada Suma Kian Lee. Jadi itukah gerangan sebabnya mengapa pendekar itu menantangnya dan membiarkan dirinya terluka dalam pertemuan tenaga sakti? Kiranya sedang menderita sakit sehingga lemah dan mencari kesempatan tewas dalam pertandingan itu! Dia bergidik. Tanpa disadarinya hampir dia menjadi pembunuh orang yang sedang lemah dan sakit! “Apa.... apa artinya semua ini?”
Suma Kian Lee menarik napas panjang dan memandang pemuda itu. Kemuraman dan kedukaan membayang di wajahnya, sungguh berbeda dengan tadi ketika menghadapi maut, wajah pendekar itu berseri gembira. “Kami telah menghina keluarga Kao, bahkan telah menjatuhkan fitnah keji atas dirimu yang ternyata tidak berdosa. Aku merasa malu sekali. Maka ketika engkau datang, mewakili keluargamu, sungguh kebetulan bagiku karena aku dapat menebus dosaku itu. Kekuatan kita seimbang, akan tetapi aku sedang sakit dan kalau aku tewas di tanganmu dalam sebuah pertandingan yang adil, aku.... aku tidak perlu malu bertemu dengan ayah bundamu....”
“Tapi, locianpwe. Kami sekeluarga sama sekali tidak mendendam atas perlakuan ji-wi locianpwe sekeluarga karena ayah juga merasa yakin bahwa ada sesuatu di balik semua itu. Begitu saya kembali ke rumah, ayah dan ibu menegur saya tentang.... eh, tentang.... perkosaan yang katanya saya lakukan. Karena itulah saya penasaran, locianpwe, dan ingin membikin terang duduknya persoalan, bukan karena dendam oleh penghinaan itu. Kalau toh ada penghinaan itu terhadap keluarga kami, tentu terjadi karena kesalahpengertian di pihak locianpwe sekeluarga.”
“Memang sebenarnya demikianlah, Cin Liong. Ada salah pengertian besar di pihak kami yang baru kami ketahui setelah terlambat....” kata Kim Hwee Li dengan suara berat.
“Akan tetapi, locianpwe, sebetulnya.... apakah yang telah terjadi dengan.... Hui-i (bibi Hui)? Ji-wi locianpwe mengetahui perasaan saya terhadap Hui-i, dan maafkan kalau pertanyaan saya itu terlalu mendesak, mengingat bahwa Hui-I kini telah menikah dengan bahagia....”
“Tidak! Dia.... dia.... ahhh....” Suma Kian Lee tidak melanjutkan kata-katanya dan menunduk dengan muka muram.
Cin Liong menatap wajah pendekar itu, lalu menoleh kepada isteri pendekar itu. Akan tetapi keduanya tidak melanjutkan keterangan mereka dan nampaknya berat sekali untuk bicara. Akhirnya Kim Hwee Li berkata, “Cin Liong, kami tidak dapat memberi tahu kepadamu....”
Cin Liong menunduk, merasa terpukul hatinya. Dia seperti diingatkan bahwa dia bukanlah apa....apa, bukan keluarga dan tentu saja tidak berhak bertanya-tanpa tentang diri Suma Hui. Dia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara berat, “Maaf.... saya telah bersikap lancang....”
“Tidak, Cin Liong. Engkau telah kejatuhan fitnah, biarpun kini kami mengaku telah salah paham menjatuhkan fitnah keji, namun engkau berhak mengetahui apa yang telah terjadi maka sampai kami menuduhmu. Akan tetapi.... karena hal ini menyangkut pribadi Hui-ji, maka sebaiknyalah kalau engkau mendengarnya dari mulutnya sendiri, kalau ia mau menceritakan....”
“Tapi.... tapi.... Hui-i sudah....”
“Temui saja ia, Cin Liong,” kata wanita itu. “Ia sedang berlatih di telaga kecil sebelah barat di luar kota ini. Temuilah saja dan lihat saja perkembangannya nanti.”
Cin Liong sudah tahu di mana letaknya telaga kecil itu. Dia lalu memberi hormat kepada kedua orang tua itu, kemudian tanpa bicara lagi dia lalu keluar dan berlari cepat keluar dari kota Thian-cin menuju ke barat, ke arah telaga itu, tanpa memperdulikan orang-orang yang memandang heran melihat seorang pemuda berlari-lari secepat itu.
Seorang gadis dan seorang pemuda sedang berlatih silat di tepi telaga kecil itu. Latihan mereka sungguh akan mentakjubkan orang yang melihatnya. Akan tetapi tempat itu sunyi dan seandainya ada orang yang melihatnya, kiranya kedua orang muda itu tidak akan melakukan latihan di tempat itu. Tadinya mereka berlatih silat tangan kosong, saling serang dengan hebatnya dan dari sambaran kedua tangan mereka, ada hawa pukulan yang amat kuat menyambar-nyambar, menimbulkan angin pukulan yang membuat pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kadang-kadang pukulan mereka itu mengeluarkan bunyi bercicitan, bahkan ada kalanya pukulan mereka mengeluarkan uap yang dingin sekali, kemudian berganti menjadi uap yang luar biasa panasnya! Keduanya sama tangkas, sama cepat dan pukulan-pukulan mereka sungguh menggiriskan hati siapa yang melihatnya. Setelah berlatih silat tanqan kosong, saling serang sampai seratus jurus lebih, mereka beristirahat sebentar, kemudian mereka berlatih di tepi telaga. Bergantian mereka mengirim pukulan-pukulan ke arah air telaga dan bukan main hebatnya pukulan itu. Pukulan yang mengandung hawa dingin aneh sekali sampai air yang terlanda pukulan mereka menjadi beku seperti salju dan es! Kemudian, dengan pukulan yang hawanya panas mereka mencairkan kembali gumpalan-gumpalan salju itu, bahkan nona itu memasukkan lengannya ke air, menggerakkannya dengan pengerahan tenaga, mengirirn getaran-getaran melalui tangannya dan air di sekeliling lengannya menjadi panas!
Mereka itu adalah Suma Hui dan Suma Ciang Bun, dua orang putera dan puteri pendekar Suma Kian Lee. Seperti telah kita ketahui, Suma Kian Lee merasa menyesal bukan main akan aib dan musibah yang menimpa diri puterinya, merasa menyesal bahwa dia telah salah pilih, telah menaruh kepercayaan yang amat besar kepada seorang pemuda seperti Louw Tek Ciang yang kemudian ternyata adalah seorang penjahat cabul murid Jai-hwa Siauw-ok! Dia bukan hanya mempercayai pemuda itu, bahkan telah mengambilnya sebagai murid, sebagai ahli waris ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es dan juga telah memilihnya sebagai mantu! Setelah diketahuinya bahwa pemuda bejat ahlak itu seorang penjahat licik yang telah memperkosa Suma Hui kemudian menggunakan nama Cin Liong untuk menjatuhkan fitnah, Suma Kian Lee baru sadar akan kebodohan dan kekeliruannya. Dia melarang kedua orang anaknya melakukan pencarian. Louw Tek Ciang sudah terlampau lihai bagi mereka, apalagi di sampingnya masih terdapat seorang datuk sesat seperti Jai-hwa Siauw-ok! Maka, dia lalu menggembleng kedua orang anaknya itu siang malam tanpa mengenal lelah. Dua orang muda itupun berlatih dengan amat tekunnya sehingga lewat dua tahun saja, mereka yang memang sudah mempunyai dasar ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, telah menguasai kedua Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang amat hebat itu.
Sejak mengalami peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya, yaitu pemerkosaan terhadap dirinya yang disusul dengan guncangan-guncangan lain, Suma Hui kini nampak matang dan ada garis-garis penderitaan di ujung bibir dan ujung matanya. Usianya baru dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, akan tetapi ia kelihatan lebih matang. Ia telah digembleng pergalaman-pengalaman yang amat mengguncangkan batinnya. Pemerkosaan atas dirinya merupakan aib yang hebat, akan tetapi persangkaan yang sudah yakin bahwa pemerkosanya adalah Kao Cin Liong, pemuda yang dicintanya, benar-benar menghancurkan batinnya dan membuat ia hampir putus asa. Kemudian, semua ini masih d susul lagi oleh peristiwa keributan antara keluarganya dan keluarga Kao, dan yang kemudian sekali, kenyataan bahwa pemerkosanya ternyata sama sekali bukanlah Kao Cin Liong melainkan Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suhengnya dan juga suaminya sendiri, benar-benar merupakan pukulan terakhir baginya. Pukulan terakhir ini melandanya dengan perasaan-perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa girang bahwa pemuda yang dicintanya, Kao Cin Liong, ternyata bukanlah seorang jahat dan sama sekali tidak melakukan perbuatan laknat itu! Rasa girang ini bercampur rasa penyesalan besar sekali karena ia telah menuduh pemuda itu, menuduhnya dan hampir membunuhnya, bahkan menuduhnya di depan orang tuanya yang mendatangkan penghinaan kepada keluarga Kao! Di samping rasa girang dan sesal yang hampir tak tertahankan olehnya ini, ada lagi rasa marah dan dendam yang berkobar-kobar terhadap Louw Tek Ciang! Dendam inilah yang membuat Suma Hui berlatih dengan amat tekunnya, tidak ingat waktu, tidak mengenal lelah, seolah-olah tujuan hidupnya hanya tinggal belajar silat sepandai-pandainya untuk kemudian mencari dan membunuh Louw Tek Ciang si jahanam!Suma Ciang Bun juga berlatih dengan sama giatnya. Bukan saja karena semangat belajar encinya itu menular kepadanya, akan tetapi juga pemuda ini mengalami ketegangan dan guncangan batin karena konflik-konflik yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Melihat kelainan yang melanda batinnya, Ciang Bun menjadi gelisah sekali. Encinya merupakan orang pertama, bahkan satu-satunya orang yang dipercayanya dan yang mengetahui keadaan dirinya. Akan tetapi encinya juga bingung dan tidak mampu menolongnya, bahkan tidak mampu memberi nasihat sehingga Ciang Bun lalu mencari pelarian dalam berlatih mati-matian. Dengan melatih diri mati-matian tanpa mengenal lelah itu, sedikitnya dia dapat melupakan kegelisahannya dan karena dia tidak banyak bergaul, maka kelainan itupun tidak terlalu mengganggunya.
Demikianlah, dengan latar belakang dorongan masing-masing, kedua orang enci dan adik ini berlatih dengan amat giatnya dan pada waktu itu, latihan-latihan mereka sudah mencapai tingkat terakhir dan hanya tinggal mematangkan saja dengan latihan selanjutnya. Ayahnya telah menuangkan semua ilmunya kepada mereka, juga ibu mereka. Saking besarnya semangat belajar mereka, Suma Hui bahkan mempelajari ilmu-ilmu aneh dari ibunya, yaitu ilmu pawang ular, ilmu untuk menaklukkan ular-ular yang dikuasai oleh ibunya, juga memperdalam ilmu pukulan Cui-beng Pat-ciang yang hanya delapan jurus akan tetapi amat hebatnya itu dari ibunya. Bahkan, menurut petunjuk ibunya, gadis ini sudah berhasil memperoleh ular kalung emas, seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga ular yang amat ganas itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang amat ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau dipergunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat, akan tetapi Suma Hui berjanji bahwa ia akan mempergnuakan senjata ular dan ilmunya memanggil ular-ular itu hanya apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum sesat.
Suma Ciang Bun juga tidak mau kalah. Pemuda ini telah memilih ilmu yang diwarisi ayahnya dari mendiang neneknya, yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, pemuda ini mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in Bun-hoat. Kemudian, dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang harum baunya. Melihat betapa puteranya ini berbakat sekali bermain pedang, ayahnya memberi kepadanya sepasang pedang yang amat baik buatannya, dari baja murni dan pedang itu amat indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam (Sepasang Pedang Bunga Teratai). Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang yang tipis ini, yang dimasukkan dalam satu sarung, gagangnya terukir indah dan dihias emas permata, juga gagangnya diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah. Memang pada dasarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah ini amat disukanya. Dari ayahnya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang bernama Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu. Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang amat benar ketika dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun. Suma Hui! Hatinya menjerit-jerit memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah mendalam itu membuat dia hampir tidakdapat menahannya. Ingin dia mendekati gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan membisikkan kata-kata cinta kepadanya. Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat mencinta gadis itu! Betapa dia akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya dan betapa akan sukarnya mencari penggantinya.
“Hui-moi....!” Jeritan hatinya ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri. Suma Hui yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biarpun teriakannya tadi tidak begitu keras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya terdengar oleh kedua orang kakak beradik itu, atau mungkin juga mereka merasakan kehadirannya. Keduanya menoleh dan melihatnya.
Yang pertama kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu merangkulnya.
“Cin Liong, ke mana sajakah engkau selama ini? Ah, engkau kurus benar!”
Cin Liong hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja seperti telah berobah menjadi patung dan dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali.
“Paman Ciang Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ah, ilmu silatmu tentu sudah tinggi sekali sekarang!” kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan Ciang Bun.
“Cin Liong, kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kauberi petunjuk padaku agar aku dapat melihat di mana letak kekurangan dan kesalahanku!” berkata demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.
Melihat kegembiraan pemuda itu, Cin Liong merasa tidak tega menolak, maka sambil tertawa diapun mengelak dan balas menyerang. Segera mereka mulai berlatih dengan saling serang. Akan tetapi ketika Cin Liong menangkis, dia terkejut sekali mendapat kenyataan betapa kuatnya lengan pemuda itu, betapa besar tenaga sin-kang yang menggerakkan lengan itu! Diapun terseret ke dalam kegembiraan dan bersilat dengan sungguh-sungguh karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali. Sementara itu, Suma Ciang Bun iuga merasa amat gembira, bukan hanya bertemu dengan keponakan yang amat dikagumi dan disukainya itu, melainkan karena kini dia memperoleh kesempatan berlatih dengan seorang lawan yang pandai. Biasanya, dia hanya dapat berlatih melawan encinya, ayahnya atau ibunya saja. Ilmu silat mereka sama, maka tentu saja dia menjadi bosan karena dia sudah tahu akan ke mana arah serangan mereka yang sekeluarga itu. Akan tetapi, kini menghadapi Cin Liong, dia seperti menghadapi seorang lawan yang sungguh-sungguh. Dia harus berhati-hati karena dia belum mengenal gerakan lawan dan ini merupakan latihan yang amat baik dan menarik. Serang-menyerang terjadi dan makin lama Cin Liong semakin kagum. Tak disangkanya bahwa selama beberapa tahun ini, Ciang Bun telah memperoleh kemajuan yang demikian pesatnya dan memiliki banyak macam ilmu silat yang mutunya tinggi sekali. Dia harus membalas serangan, karena kalau dia hanya bertahan, bukan tidak mungkin dia akan kalah oleh pemuda ini! Tanpa mereka rasakan, mereka telah bertanding atau berlatih sampai lima puluh jurus!
Suma Hui dapat bernapas lega. Ketika tadi ia melihat munculnya Cin Liong secara mendadak, ia merasa jantungnya terguncang hebat dan hampir saja ia melarikan diri atau roboh lemas. Kiranya ia tidak akan mampu menghadapi Cin Liong pada saat pertemuan itu, maka ketika adiknya mengajak pemuda itu berlatih silat, dia mempunyai banyak kesempatan untuk mengatur pernapasannya dan meredakan jantungnya yang bergelora tadi. Mukanya yang tadinya pucat sekali itu perlahan-lahan berobah merah dan kedua matanya terasa panas. Ia menahan-nahan tangisnya melihat pemuda yang dicintanya itu. Betapa kurusnya muka Cin Liong! Ah, betapa sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu. Baru kini terbuka matanya bahwa ia tidak pernah membenci Cin Liong, tidak pernah dapat membencinya. Kalau dulu ia bertekad untuk mencari dan membunuh Cin Liong, hal itu bukan karena benci melainkan karena kecewa mengapa pemuda yang dicintanya itu menghancurkan segala harapannya. Dan kini? Ternyata pemuda itu sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu telah difitnahnya! Dituduhnya melakukan hal yang demikian kotor dan rendah! Baru kini ia merasa menyesal sekali mengapa ia sampai begitu bodoh. Mana mungkin seorang pendekar gagah perkasa seperti Cin Liong, putera Naga Sakti Gurun Pasir, seorang panglima muda yang dipercaya kaisar, mau melakukan perbuatan serendah itu? Kenapa ia dahulu tidak bicara terang-terangan saja dengan Cin Liong dan menceritakan segalanya tanpa menuduhnya seperti itu?
“Cukup, paman Ciang Bun, cukup.... wah, engkau lihai sekali....!” Cin Liong meloncat ke belakang. Ciang Bun menghentikan serangannya dan keduanya saling pandang sambil tertawa dan mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi.
“Wah, setelah berlatih mati-matian selama beberapa tahun, masih saja aku belum mampu mengimbangimu, Cin Liong, apalagi menandingimu.”
“Engkau terlalu merendah, paman. Kepandaianmu hebat, hampir-hampir aku tidak kuat menahannya,” kata Cin Lion memuji.
Suma Hui kini melangkah maju menghampiri. Sejenak ia berdiri bertukar pandang dengan Cin Liong yang cepat memberi hormat. “Hui-i, maafkan kalau aku datang mengganggu,” katanya dengan suara gemetar.
Suma Hui tak mampu menjawab, hanya memandang dan dua titik air mata yang sejak tadi sudah memenuhi pelupuk matanya, kini menetes turun ke atas pipinya. Ia lalu menoleh kepada adiknya dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, “Bun-te, tinggalkan kami sendirian....”
Ciang Bun mengangguk maklum dan pemuda inipun lalu pergi dan lari dari tempat itu. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi bayangannya, barulah Suma Hui memutar tubuh menghadapi Cin Liong. Kembali mereka saling berpandangan, lalu terdengar suara gadis itu lirih, “Cin Liong, engkau datang.... mau apakah....?”
Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh ayah gadis ini, pikir Cin Liong dengan hati terpukul. Akan tetapi dia harus berani menghadapi semua ini. Dia harus mengetahui segala yang terjadi atas diri wanita yang dicintanya ini. Dia tidak akan mengganggu, tidak berani, karena bukankah wanita ini telah menjadi isteri orang?
“Bibi Hui.... aku datang untuk.... untuk menanyakan kesalahanku, kesalahan kami sekeluarga kepada ayah bundamu. Aku sudah menghadap mereka dan.... dan mereka menyuruhku bertanya kepadamu sendiri.”
Suma Hui mengerutkan alisnya dan memejamkan matanya sebentar untuk mengusir semua kenangan pahit yang telah dideritanya selama ini. Kemudian, ia melolos sepasang pedangnya. Melihat ini, Cin Liong terkejut bukan main.
“Hui-i, kalau sekali ini engkau menyerangku lagi, biarlah aku mati di tanganmu, dan aku tidak akan melawanmu.”
Sepasang mata itu terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan beberapa butir air mata mengalir turun. Sepasang pedang itu dilemparkannya ke dekat kaki Cin Liong dan suaranya berbisik gemetar, “Cin Liong, aku telah bersalah kepadamu, kepada keluargamu, dosaku besar sekali dan aku layak mati. Nah, bunuhlah aku, boleh kaupergunakan pedangku yang pernah kupakai menyerang dan melukaimu dahulu itu.”
“Hui-i....” Cin Liong terkejut bukan main. Cepat dia mengambil sepasang pedang itu dan melangkah maju, mengangsurkan sepasang pedang itu, mengembalikannya kepada pemiliknya. “Mengapa begitu? Simpanlah kembali pedangmu....”
Akan tetapi Suma Hui tidak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan iapun menjatuhkan dirinya, bersimpuh ke atas tanah berumput di tepi telaga itu. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sedih, menahan isaknya dan hanya guncangan kedua pundaknya saja dan air mata yang mengalir melalui celah-celah jari tangannya yang menunjukkan bahwa gadis perkasa ini sedang menangis.
Cin Liong berlutut di dekatnya, meletakkan sepasang pedang itu di sisi pemiliknya. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul, akan tetapi ingatan bahwa wanita ini adalah isteri orang lain menahan gelora hatinya.
“Hui-i.... harap jangan menangis. Di manakah.... eh, suamimu?”
Pertanyaan ini agaknya amat mengejutkan Suma Hui. Ia menurunkan kedua tangannya, mukanya pucat dan matanya merah basah, kini memandang kepada wajah pemuda itu seperti orang, merasa heran dengan pertanyaan itu. “Engkau.... engkau belum mengetahuinya dari ayah dan ibuku?”
“Belum. Ketika aku menghadap mereka, mereka hanya menyuruh aku menemuimu di sini dan minta penjelasan darimu. Hui-i, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Aku merasa bingung dan gelisah sekali. Engkau dahulu ingin membunuhku, kemudian orang tuaku yang datang meminang menerima penghinaan dan aku dituduh melakukan.... perkosaan. Apakah artinya semua itu? Dan di mana adanya suamimu? Bukankah engkau telah menikah dengan.... suhengmu sendiri itu?”
Menerima pertanyaan bertubi-tubi itu, Suma Hui memejamkan matanya, dan hanya air matanya saja yang menyatakan betapa hancur perasaan hatinya. Melihat keadaan wanita ini, Cin Liong merasa terharu sekali. Ingin dia mengulur tangan merangkul, mendekap kepala itu dan menyembunyikan muka itu di dadanya, menghiburnya dan mengusap air matanya. Akan tetapi dia tidak berani selancang itu terhadap wanita yang sudah bersuami. Dan diapun tahu bahwa agaknya baru sekarang Suma Hui dapat melampiaskan perasaannya maka dia membiarkan saja wanita itu menangis sepuasnya. Bagi kebanyakan orang, terutama bagi wanita yang halus perasaannya, kadang-kadang tangis merupakan obat mujarab bagi ganjalan hati.
Akhirnya Suma Hui dapat meuguasai hatinya. Tangisnya mereda dan setelah menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya yang menjadi basah, iapun berkata, “Sudah sepatutnya engkau mendengar semua itu dari mulutku sendiri. Malapetaka telah menimpaku. Semua dimulai pada malam jahanam itu.... malam itu aku menjadi korban asap pembius yang ditiupkan ke dalam kamarku. Kemudian, dalam keadan setengah sadar, aku.... aku menjadi korban perkosaan orang.... dan dia.... dia menirukan suaramu. Karena kamar itu gelap dan suara itu mirip benar dengan suaramu, aku tertipu dan merasa yakin bahwa engkaulah yang melakukan perkosaan terhadap diriku itu.”
Suma Hui tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menahan tangisnya sambil menghapus air matanya yang kembali membanjir keluar.
Cin Liong mengepal tinjunya. “Hemm, jadi benar-benar ada yang melakukan perbuatan hina itu terhadap dirimu! Pantas engkau menyerangku dan hendak membunuhku, kemudian ketika orang tuaku datang meminang, mereka menerima penghinaan dari keluargamu. Aku tidak merasa heran sekarang. Akan tetapi mengapa engkau tidak mau berterus terang saja menegurku waktu itu sehingga aku mengetahui duduknya persoalan, Hui-i?”
Suma Hui menunduk. “Aku begitu yakin bahwa engkaulah orang itu.... maka kuanggap tidak perlu banyak bicara lagi. Aku begitu kecewa.... begitu hancur hatiku.... sehingga aku.... aku bersumpah.... untuk membunuhmu!”
Cin Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak menyalahkanmu, Hui-i. Tapi.... lalu bagaimana engkau tahu bahwa sebetulnya bukan aku pemerkosa biadab itu?”
“Dengarkan ceritaku. Di dalam noda dan aib itu, muncullah Louw Tek Ciang....”
“Suhengmu?”
“Ya, ayah sendiri tertipu oleh sikapnya yang baik sehingga ayah berkenan mengangkatnya sebagai murid, bahkan menurunkan semua ilmu keluarga kami kepadanya. Tek Ciang dengan sikapnya yang halus dan lembut penuh kesopanan itu muncul sebagai bintang penolong untuk menyelamatkan aku dari aib. Biarpun dia sudah diberitahu bahwa aku telah diperkosa orang, tetap saja dia bersedia untuk menjadi suamiku.”
“Ahhh....!”
“Aku tidak suka dan membencinya, dan untuk menolak desakan ayah aku mengatakan bahwa aku hanya ingin menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku. Ayah telah tergelincir oleh kelicikan Tek Ciang, ayah menggemblengnya sehingga dia menjadi lihai sekali. Aku pergi selama dua tahun lebih, mencarimu sampai ke kaki Pegunungan Himalaya, dengan maksud untuk menantangmn dan mengajakmu bertanding sampai aku mati di tanganmu....”
“Hui-i....!” Cin Liong berseru kaget dan memandang penuh iba. Suma Hui mengusap kembali air matanya.
“Karena mendengar bahwa engkau memimpin pasukanmu menyerbu ke Nepal, aku kembali ke timur dan setibanya di sini, Tek Ciang telah menjadi lihai sekali. Kembali ayah mendesak aku tentang pernikahan. Aku tetap mempertahankan bahwa aku hanya mau menikah deugan orang yang dapat mengalahkan aku.”
“Dan dia dapat mengalahkanmu?” tanya Cin Liong ketika gadis itu menghentikan ceritanya.
Suma Hui mengangguk. “Aku tidak dapat mengingkari janjiku. Aku dikalahkan dan aku terpaksa menurut kehendak ayahku. Apalagi aku berpikir bahwa setelah dia lihai, dia dapat kumintai bantuan untuk mencarimu dan membunuhmu....”
“Hemm.... wajar sekali itu. Lalu, bagaimana?” Hati Cin Liong mulai tertarik sekali. “Pernikahan dirayakan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan orang-orang penting....”
“Sayang kami tidak dapat hadir....”
“Tentu saja keluarga Kao tidak diundang.... ah, betapa bodohnya kami, dan semua itu karena kesalahanku....”
“Sudahlah, Hui-i, penyesalan tidak ada gunanya lagi dan sebetulnya bukan karena kesalahanmu, atau andaikata engkau melakukan kesalahan, maka engkau melakukannya tanpa kausadari. Lalu bagaimana?”“Malam pengantin itulah yang membuka rahasia busuk itu! Seperti kukatakan tadi, ketika terjadi peristiwa di malam jahanam itu, aku tidak dapat melihat wajah pemerkosa, hanya mendengar suaranya saja yang sama dengan suaramu,juga cara bicaranya kepadaku persis kalau engkau bicara. Akan tetapi ada satu hal lagi yang menjadi rahasiaku, tidak kuberitahukan kepada siapa juga, yaitu bahwa secara kebetulan dalam keadaan setengah sadar itu aku menyentuh punggung jahanam itu dan aku mendapatkan adanya suatu cacat di punggung, suatu benjolan daging....”
“Ah, makin menarik! Dan untuk membuktikan bahwa orang itu bukan aku, sebaiknya engkau melihat punggungku!” Tanpa menanti jawaban, Cin Liong membuka baju atasnya dan membalikkan tubuh, memperlihatkan punggungnya yang berkulit putih bersih tanpa ada cacat benjolan daging itu kepada Suma Hui yang menjadi merah sekali mukanya.
“Cin Liong, tanpa kauperlihatkan punggungmu, akupun kini sudah percaya, karena aku telah menemukan orangnya.”
“Ahhh....? Benarkah? Siapa si keparat itu?” tanya Cin Liong sambil mengenakan lagi bajunya.
“Siapa lagi kalau bukan si jahanam Louw Tek Ciang!”
“Hehh....?” Cin Liong yang sedang mengancingkan bajunya itu berhenti setengah jalan, matanya terbelalak memandang kepada wajah Suma Hui, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. “Apa.... apa maksudmu? Dia....? Suhengmu...., suamimu itu....? Bagaimana pula ini?”
“Benar, dialah jahanam pemerkosa itu! Kebetulan aku melihat benjolan daging di punggungnya. Tentu saja aku segera menyerangnya dan malam pengantin itu berobah menjadi malam perkelahian mati-matian. Sudah kukatakan dia lihai sekali dan aku bukan lawannya. Akan tetapi, ayah dan ibu muncul mendengar suara ribut-ribut.”
“Tentu dia sudah dapat dibekuk atau dibunuh!” kata Cin Liong penuh semangat.
“Sayang, dia yang sudah tersudut itu diselamatkan orang lain.”
“Siapa yang menyelamatkannya?”
“Kenalan lama kita. Dia adalah Jai-hwa Siauw-ok yang ternyata juga telah menjadi guru Tek Ciang.”
Kembali Cin Liong terperanjat. “Jai-hwa Siauw-ok....?”
“Ya, dan munculnya datuk sesat itu menerangkan segalanya. Engkau tentu tahu bahwa Jai-hwa Siauw-ok termasuk seorang di antara para datuk sesat yang menyerbu Pulau Es, yang memusuhi keluarga Pulau Es. Agaknya dia hendak mencelakakan kami dengan cara lain. Tentu dia yang mengatur semua itu bersama Tek Ciang, dan Jai-hwa Siauw-ok yang melepaskan asap pembius, kemudian Tek Ciang yang melakukan pemerkosaan dan menyamar seperti engkau, tentu dengan maksud untuk mengadu antara keluarga Suma dengan keluarga Kao. Demikianlah, Cin Liong, maka kami memusuhi keluargamu.... aku telah bersikap bodoh sekali....”
“Di mana jahanam itu sekarang?” Cin Liong bangkit dan mengepal tinju, mukanya berobah merah. “Aku akan menghancurkannya bersama Jai-hwa Siauw-ok!”
“Tidak perlu, Cin Liong. Selama ini, ayah yang juga merasa menyesal sekali telah mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk menggembleng kami berdua, dan aku sendiri yang akan mencari jahanam itu!”
“Hui-moi.... sungguh kasihan sekali engkau, Hui-moi....”
Mendengar suara yang menggetar itu dan mendengar sebutan itu, wajah Suma Hui menjadi pucat lalu berobah merah sekali. Air matanya bercucuran lagi ketika ia memandang kepada laki-laki yang selalu menempati hatinya itu.
“Cin Liong.... maafkan.... kaumaafkan aku....” ratapnya.
“Hui-moi....!” Cin Liong melangkuh maju dan menubruknya, merangkuluya dengan hati yang penuh rindu. Seperti tanaman bunga yang sudah kekeringan lalu tiba-tiba menerima siraman hujan, Suma Hui mengembangkan kedua lengannya dan merangkul leher Cin Liong sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda yang dicintanya itu. Sampai lama mereka hanya saling dekap dan saling rangkul, Suma Hui menangis dan Cin Liong mengusap-usap rambutnya, menciumi mukanya dan mengisap air matanya.
Tiba-tiba Suma Hui melepaskan rangkulan Cin Liong dan meronta, menjauhkan dirinya, memandang dengan mata terbelalak. “Tidak....! Tidak....! Jangan....! Aku.... aku sudah tidak berharga untukmu, Cin Liong....!” Dia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan.
“Hui-moi, jangan berkata begitu. Aku tetap mencintamu, apapun yang telah dan akan terjadi!” kata Cin Liong sambil melangkah menghampiri dan hendak merangkul lagi.
Akan tetapi Suma Hui mengelak dan sambil mengusap air matanya ia berkata, “Tidak, engkau jangan mengotorkan tanganmu dengan menjamahku, Cin Liong. Aku sudah kotor dan tidak berharga lagi. Aku bukan perawan lagi....”
“Hushh, anak bodoh! Aku mencinta Suma Hui, aku mencinta dirimu, bukan hanya mencinta keperawanan. Aib yang menimpa dirimu bukan karena kesalahanmu. Aku tetap cinta padamu dan aku akan meminangmu sekali lagi untuk menjadi isteriku. Hui-moi, aku cinta padamu, aku.... aku membutuhkanmu.... aku rindu padamu....”
“Tidak, Cin Liong. Bukan hanya bahwa aku telah ternoda, akan tetapi, di mata dunia, disaksikan oleh para tokoh kang-ouw, aku telah menjadi isteri jahanam Louw Tek Ciang! Aku harus mencarinya, aku harus membunuhnya lebih dulu!”
“Ah, kalau engkau sudah membunuhnya baru berarti engkau bebas ikatan, ikatan pernikahan dan ikatan dendam, dan engkau.... engkau akan mau menerimaku?”
“Jangan berkata demikian, Cin Liong. Aku.... aku selalu mencintamu, tapi aku sekarang tidak berharga.... nanti kalau aku sudah berhasil, kalau engkau masih sudi menerimaku....”
Cin Liong menangkap tangan wanita itu, dikepalnya dengan erat dan jari-jari tangan mereka saling cengkeram. Ada getaran dari hati mereka terasa melalui jari-jari tangan itu. “Hui-moi, aku akan membantumu....”
“Tapi, engkau adalah seorang panglima, terikat oleh tugasmu.”
“Tidak, aku akan meletakkan jabatan. Setelah engkau berhasil membalas dendam, dan aku mengambilmu sebagai isteri, kita akan hidup menjauhkan diri dari segala keributan, agar engkau tidak perlu mendengarkan omongan orang-orang yang suka membicarakan urusan dan keadaan orang lain.”
Suma Hui tersenyum melalui air matanya. “Ah, betapa akan bahagianya kalau begitu, Cin Liong. Akan tetapi.... aih, bagaimana aku mungkin dapat menerimanya? Aku telah ternoda dan aku telah menjatuhkan fitnah keji kepadamu, kemudian keluargaku telah melakukan penghinaan kepada keluargamu, ditambah lagi bahwa aku telah menikah dengan orang lain. Engkau dan keluargamu suka memaafkan kami saja berarti sudah merupakan suatu berkah bagi kami, engkau tidak membenciku saja sudah merupakan suatu kemurahan darimu. Mana mungkin semua ini ditambah lagi dengan.... dengan engkau sudi mengambilku sebagai isterimu. Ah, terlalu langka dan muluk bagiku, aku.... sudah tidak berharga lagi untukmu....” Suma Hui lalu lari meninggalkan Cin Liong, sambil menangis.
“Hui-moi....! Hui-moi....!” Cin Liong mengejar.
Akan tetapi baru beberapa jauhnya dia mengejar, muncul Suma Ciang Bun menghadangnya. “Cin Liong, jangan mendesaknya. Kegirangan hati kadang-kadang sukar dapat diterima dengan tenang. Enci Hui telah mengalami penderitaan batin selama bertahun-tahun, biarlah kebahagiaan mendatanginya dengan perlahan-lahan, kalau secara tiba-tiba dan dipaksakan, bahkan berbahaya bagi batinnya.”
Cin Liong menatap wajah pemuda itu. Hampir tak percaya dia akan ucapan pemuda ini. Dalam beberapa tahun saja pemuda ini sudah menjadi dewasa dan matang, dan diapun melihat adanya bayangan duka di wajah yang tampan itu. Akan tetapi dia tidak tahu entah apa dan mengapa.
“Aku hanya ingin membantunya meucari dan membalas dendam kepada musuh besarnya,” katanya.“Si jahanam Tek Ciang?” Suma Ciang Bun tersenyum pahit. “Sejak semula aku tidak suka kepada orang yang menjilat-jilat itu. Sayang ayah terpedaya. Tapi sudahlah, penyesalan tiada gunanya. Dan dia sekarang sudah amat lihai. Selain mewarisi ilmu-ilmu keluarga kami, juga mendapat pelajaran dari Jai-hwa Siauw-ok. Biarpun demikian, enci Hui dan aku akan sanggup menghadapi dan mengalahkannya. Ini adalah urusan pribadi. Urusan dendam keluarga. Kalau engkau hendak membantu, jangan lakukan itu dengan berterang, Cin Liong. Engkau hanya akan membuat enci Hui merasa lebih rendah lagi. Biarlah ia mengangkat kembali kehormatannya dengan membalas dendam kepada orang yang merenggutnya. Dan akulah satu-satunya orang yang boleh membantunya. Kami sudah siap dan sudah bersepakat akan mulai pergi mencari musuh itu besok pagi.”
Bersama Ciang Bun, Cin Liong lalu pergi ke rumah keluarga itu menghadap Suma Kian Lee dan isterinya. Pemuda ini langsung menghadap dan tanpa sungkan-sungkan lagi lalu berkata, “Ji-wi locianpwe. Saya telah bertemu dan bicara dengan Hui-i, telah mendengar akan semua yang telah terjadi. Dan saya mempergunakan kesempatan ini, mendahului ayah bunda saya, untuk sekali lagi mengajukan pinangan terhadap diri Hui-moi, untuk menjadi isteri saya.”
Sungguh ucapan ini sama sekali tak pernah disangka oleh Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suma Kian Lee menjadi pucat wajahnya dan sejenak dia memejamkan mata sambil menundukkan mukanya. Penyesalan besar menyelinap di hatinya. Pernah ada seorang pemuda yang berbaik hati, mau menerima Suma Hui sebagai isteri walaupun sudah mendengar bahwa gadis itu sudah diperkosa orang. Akan tetapi ternyata pemuda itu, Louw Tek Ciang, adalah seorang penjahat besar yang ternyata menjadi pemerkosanya sendiri. Akan tetapi pemuda ini, Kao Cin Liong, seorang pendekar besar, seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, kini mau menerima Suma Hui sebagai isteri, setelah mendengar Suma Hui diperkosa orang, setelah menerima penghinaan dan fitnah, sungguh hal ini amat sukar diterima dan dimengertinya. Juga hal itu membuka matanya betapa tinggi nilai cinta yang berada di hati pemuda ini terhadap Suma Hui.
“Tapi.... tapi.... kami telah....” katanya gagap dan isterinya menolongnya.
“Cin Liong, kami sebagai orang tua pernah membuat kesalahan dan kami tidak mau lagi mengulang kesalahan yang sama. Urusan pernikahan Suma Hui adalah urusan pribadinya, oleh karena itu, kalau engkau memang benar mencintanya seperti yang kupercaya sepenuhnya, bicarakanlah hal itu dengan Hui-ji sendiri. Kalau ia setuju, kami berduapun akan menyetujuinya dengan penuh kebahagiaau hati.”
“Saya sudah bicara dengan Hui-moi dan ia.... ia menangguhkannya sampai ia berhasil membalas dendam kepada musuh besar itu.”
“Kalau begitu, tidak ada persoalan lagi!” kata Kim Hwee Li dengan wajah berseri.
“Biarlah kami yang akan mendatangi orang tuamu untuk membicarakan soal perjodohan ini dan sekalian minta maaf atas kesalahan kami sekeluarga,” akhirnya Suma Kian Lee berkata dengan hati lega.
Sampai Cin Liong berpamit pergi, dia tidak dapat berjumpa dengan Suma Hui yaug agaknya sengaja menjauhkan diri. Akan tetapi pemuda ini sudah memperoleh kembali kegembiraannya dan dia yakin bahwa gadis itu masih mencintanya. Maka diapun berpamit dari keluarga Suma dan langsung dia pergi ke kota raja dengan maksud hati hendak meletakkan jabatannya, kemudian akan menyusu1 dan membantu Suma Hui menghadapi Louw Tek Ciang yang dibantu oleh datuk sesat.
Pada keesokan harinya, Suma Hui berdua Suma Ciang Bun juga mendapat perkenan orang tua mereka untuk berangkat meninggalkan rumah, untuk mulai dengan usaha mereka mencari jejak Tek Ciang, musuh besar yang amat dibencinya itu.
***
Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia memang berbakat baik sekali dan juga amat suka mempelajari ilmu silat. Otaknya cerdas dan dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana sukarpun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan saja!
Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.
Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka diapun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari Hek-i Mo-ong mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.
Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya. Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga. Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat bekerja di ladang, juga setiap hari mencari ikan untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.
Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mujijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) dau Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan. Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tidak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang. Di samping mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka diapun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil meuguasai kedua ilmu ini.
Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nampak serius sekali.
“Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?”
Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran, ingin tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga, “Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?”
“Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarangpun aku sudah mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian yang hebat.”
Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia sendiripun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.
“Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?” Tanyanya langsung saja.
Hek-i Mo-ong tertawa. “Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Ketika aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.”
“Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?”
“Tidak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku telah dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu.”
Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulunya terlalu mengagulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai daripadanya, dan karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.
“Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.”
“Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!”
Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak perduli. Siapapun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itupun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu! Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.
“Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?”
“Namanya Kam Hong dan dia tinggal di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.”
“Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.”
Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia rantai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak nampak menyolok. Adapun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam. Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik. Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.Siapakah orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yalah kekalahan. Dia tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapapun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.
Para pembaca kisahSuling Emas Dan Naga Siluman tentu masih mengenal siapa pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat. Pendekar ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoinya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri kisahSuling Emas Dan Naga Siluman .
Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-han-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu. Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang. Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.
Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, maupun kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya. Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusnn di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.
Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi biar sederha dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi. Sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas. Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in. Selain ini, dia pernah digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang tcrmasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khi-kang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!
Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini ia memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular. Kemudian, ia masih memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sin-kang Im dan Yang kepadanya. Selain itu, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang amat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak isterinya!
Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil. Dan ia sendiripun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula mempergunakan sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian merdu.
Demikianlah serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tidak pernah mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.
Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.
Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Dan mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?
Seperti telah kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat, menuju ke utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.
Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.
Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita berkata dengan suara memohon. “....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang....”
Ceng Liong makin penasaran, akan tetapi Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata, “Cin Liong, perlu apa mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita.”
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku tidak ingin mencampuri urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya.” Dan pemuda inipun melangkah mendekati kuil.
“Heh-heh, engkau cari perkara saja!” kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar ketika muridnya memasuki kuil tua itu.
Ruangan depan kuil itu kator karena gentengnya sudah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liang terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang menangis itu.
Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada wanita itu. “Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha, jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat kalau aku sudah bosan padamu!”
“Cici....!” Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.
“Siauw-moi, bersabarlah....!” Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita inipun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.
Ceng Liong semakin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainyapun agak bersih. Ketika dia melangkahi pintu tanpa daun itu masuk, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika berobah merah karena malu. Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya. Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.
Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong menjadi malu dau kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentn dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinyapun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk? Biarpun usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.
“Apakah yang sedang terjadi di sini?” Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.
Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya mereka asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak memperdulikan Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum! Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka diapun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itupun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.
“Eh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?”
Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi hanya mengeluarkan pertanyaan itu untuk menutupi rasa malu dan kikuknya. Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknyapun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!
“Aku tadi mendengar suara tangis dan orang minta pulang....” katanya lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.
“Kamu hendak mencampuri urusan kami?” bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong....”
“Ha-ha-ha!” Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak perduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain. Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, lalu menangis dan berkata, ditujukan kepada Ceng Liong.
“Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik....”
Barulah Ceng Liong mengerti dan diapun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka diapun tertawa lagi.
“Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Engkau antarkan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!” Tangannya bergerak ke depan, ke arah Ceng Liong.“Singgg....!” Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.
“Huhhh!” Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang sedemikian tenangnya seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk dan terdengar suara “krekk!” lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkannya ke atas lantai!
Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, kemudian mematah-matahkan pisaunya itu seperti orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka! Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping seperti orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara lantang dia berseru, “Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri urusan pribadi kami?”
Ceng Liong tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya. “Siapa mencampuri urusan pribadi kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi.”
Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!
“Setan cilik! Kau mau apa?”
“Setan besar!” Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli melihat lagak orang di depannya itu. “Aku mau agar kalian membebaskan dua orang nona itu, kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!”
Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi merah saking marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya. “Keparat kau!”
“Jahanam kau!” Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia tahu orang ini marah besar, dan justeru inilah yang menggembirakan hatinya. Wataknya yang suka menggoda orang timbul. “Eh, apakah bisamu hanya membikin susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?”
Louw Tek Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya kehabisan akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong. “Mampuslah!” bentaknya sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.
Ceng Liong cepat mengelak dan kini matanya terbelalak. “Wuuutt!” Pukulan yang mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua yang lebih panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut. Dia mengenal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biarpun belum dikuasainya akan tetapi sudah amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar pula untuk dielakkan, terpaksa diapun mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menangkis pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.
“Desss....!” Dua tenaga sin-kang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya seorang yang usil dan lancang hendak mencampuri urusannya dan hendak mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga memandang penuh perhatian dan diapun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil. Maka Jai-hwa Siauw-ok segera melakukan tindakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu harus dibunuh dulu agar tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya bergerak cepat. Terdengar suara mencicit seperti tikus terjepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah terlempar ke lantai. Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika karena mereka telah menjadi korban serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.
Ketika Ceng Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek Ciang menyambar dan menghantamnya. Kini Tek Ciang mempergunakan pukulan Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Desss....!” Keduanya terpental lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali. Guru dan murid ini yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat bergerak hendak maju berbareng.
“Heh-heh-heh-heh, Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?” Dan muncullah Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i Mo-ong, tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berobah pucat.
“Hek-i Mo-ong....!” serunya dan seruan ini ditujukan kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu. Dan Tek Ciang juga teringat akan cerita itu, maka pemuda inipun cepat melangkah mundur dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
“Ah, kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka terjadi kesalahpahaman,” kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.
Tek Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai daripada Jai-hwa Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiripun tidak kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid kakek itu juga lihai, dia pikir lebih aman kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu segolongan? Maka diapun cepat menjura dengan sikap hormat dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.
“Ah, kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya menjulang tinggi di angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe yang masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya.”Suasana penuh dengan ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah mengenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu Mo-ong dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es dan dia sendiri melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya! Dan kini mereka bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk membuat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu saja dia tidak akan menyerahkan nyawa begitu saja. Muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat daripadanya, dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat menandingi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi di situ terdapat murid Hek-i Mo-ong yang biarpun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini membuatnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tuhuhnya menegang dan dia sudah siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang diduganya.
Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk besar yang berjuluk Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu terlalu besar. Siauw-ok telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, lari menyelamatkan diri sendiri tanpa memperdulikan kawan-kawan. Dan kini, Siauw-ok dan muridnya malah berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan “menghukum” mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada Tek Ciang.
“Siauw-ok, dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!”
Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Diapun merasa girang dan cepat berkata, “Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!”
“Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalahpahaman tadi adalah biasa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih.”
“Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya.”
“Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar dipertandingkan, engkau sendiripun tentu akan kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itupun bukan barang murahan. Siauw-ok, kenapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah kebetulan saja? Ataukah ada hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?”
“Bukit Nelayan....? Eh, Mo-ong, bagaimana.... bagaimana engkau bisa mengetahuinya....?”
“Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk mencari Bu Ci Sian, bukan?”
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk. “Agaknya Mo-ong telah mengetahui segalanya.”
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa “Tentu saja aku tahu. Coba kauingat di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?”
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan, “Dan kini Bu Ci Sian telah menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan maka melihat engkau di sini bersama muridmu yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu? Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha, agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkanjuga kebiasaanmu!” Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis belasan tahun itu.
Jai-hwa Siauw-ok tersenyum. “Ah, hanya kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak membalas dendam kematian guru-guruku.”
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan Jai-hwa Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan tetapi dia menanti keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu sekutunya maupun musuhnya. Dan memang Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang diawali suara ketawa mengejek ini. “Dan engkau bersama muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk mati konyol, ha-ha ha!”
Kini Jai-hwa Siauw-ok menjadi penasaran, bahkan Louw Tek Ciang juga memandang tajam dengan alis berkerut. Bagaimanapun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan gurunya dan biarpun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak berhak memandang rendah orang segolongan seperti itu.
“Harap locianpwe suka menjelaskan!” katanya penasaran, sementara itu, Ceng Liong sejak tadi hanya mendengarkan, akan tetapi matanya sering tertuju kepada dua buah mayat gadis itu.
“Ha-ha-ha, apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu Ci Sian menikah? Dan apa macam suaminya? Ha-ha, suaminya itu adalah Kam Hong si Pendekar Suling Emas!”
Jai-hwa Siauw-ok terbelalak, sedangkan Tek Ciang tidak perduli karena memang pemuda yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam dongeng persilatan, lebih tua daripada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok sudah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, maka dia terbelalak dan bertanya dengan suara terheran.
“Ah, jangan berkelakar, Mo-ong. Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan tahun yang lalu, lebih seratus tahun yang lalu? Mana mungkin Bu Ci Sian menikah dengan dia yang sudah lama mati.”
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa gembira, tawa seorang yang merasa unggul dan lebih tahu. “Bodoh, tentu saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama, melainkan dengan keturunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah mewarisi semua ilmu kepandaian keluarga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke sana, selain berhadapan dengan Bu Ci Sian, juga akan berhadapan dengan suaminya itu yang sepuluh kali lebih lihai daripada Bu Ci Sian.”
Jai-hwa Siauw-ok tertegun dan saling pandang dengan muridnya. Hal ini memang sama sekali tidak pernah disangkanya. Menurut penyelidikannya, Bu Ci Sian hidup di puncak Bukit Nelayan itu bersama suaminya dan seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Sama sekali dia tidak pernah memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih lihai daripada pendekar wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah seorang cerdik. Diapun mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i Mo-ong ke tempat itu sudah pasti tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan saja, tentu ada maksudnya tertentu yang amat penting.
“Mo-ong, apakah engkau dan muridmu juga hendak pergi ke sana? Barangkali kalian hendak mencari.... eh, orang she Kam yang lihai itu?”
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak, nampak giginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga mulutnya. “Ha-ha-ha, engkau cerdik seperti srigala! Memang benar, aku hendak membuat perhitungan pribadi dengan Kam Hong.”
Kini mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan muridnya. Kiranya Raja Iblis inipun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan dan agaknya si Raja Iblis ini masih ragu-ragu apakah akan mampu mengalahkan keturunan Pendekar Suling Emas. Inilah sebabnya maka Hek-i Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan mendekatinya untuk diajak bersekutu lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es, melainkan menyerbu puncak Bukit Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan, yang satu pihak hendak memusuhi isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya. Jadi dapat saling bantu! Maka diapun berani tertawa bergelak dan wajahnya yang tua akan tetapi masih tampan itu nampak jauh lebih muda kalau tertawa.
“Bagus sekali, Mo-ong. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa kita akan menjadi sekutu dan sekawan dalam menghadapi apapun. Engkau dan muridmu menyerbu suaminya, aku dan muridku meringkus isterinya dan anak mereka, dan pekerjaan kita menjadi jauh lebih ringan, bukan?”
Hek-i Mo-ong tertawa. “Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya perempuan saja. Nah, mari kita berangkat, berjalan sambil merencanakan siasat yang baik....”
Kakek ini menghentikan kata-katanya ketika dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang bekerja menggali tanah dengan kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda remaja itu menggunakan kedua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu seperti berubah menjadi cangkul baja saja ketika jari-jari tangannya menghunjam ke dalam tanah dan menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang amat hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah dapat menggali tanah yang cukup lebar dan panjang.
“Eh, apa yang kaulakakan?” Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.
Tanpa menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab, “Mo-ong, aku tidak mau pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita ini.” Dan diapun menggali semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan kemarahannya kepada tanah di depannya. Setelah lubang itu cukup besar, diapun lalu mengangkat dua mayat gadis itu ke dalam lubang, lalu ditimbuninya lubang itu dengan tanah. Sebentar saja dua orang gadis bernasib malang yang telah menjadi mayat itu telah dikuburkan dengan sederhana namun cukup pantas.
“Ha-ha-ha, Mo-ong, muridmu yang gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!” Jai-hwa Siauw-ok tertawa dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.
“Jai-hwa-cat! Kau majulah dan kaucoba kelemahanku!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak, memasang kuda-kuda dan kedua lengannya masih hitam terkena lumpur, sepasang matanya mencorong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.
Dimaki sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) orang itu sama sekali tidak marah, bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya sama dengan pengakuan dan pujian! Bagaimanapun juga, andaikata dia tidak ingat bahwa pemuda itu murid Hek-i Mo-ong dan terutama sekali pada saat itu Hek-i Mo-ong hadir di situ, tentu dia tidak akan tinggal diam ditantang oleh seorang muda.
“Hemm, orang muda, gurumu dan aku adalah sekutu yang sama-sama akan menghadapi lawan tangguh. Tidak baik kalau urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan kedudukan kita sendiri,” katanya.
“Ceng Liong, musuh kita adalah penghuni istana di puncak Bukit Nelayan, bukan Jai-hwa Siauw-ok. Jangan engkau layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut cerewet seperti perempuan!” Mo-ong sengaja balas menghina untuk meredakan kemarahan Ceng Liong yang dikatakan berhati lemah tadi. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang mengerti maksud ucapan Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja, walaupun Tek Ciang memandang marah mendengar gurunya dimaki.
Empat orang itu lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok berbincang-bincang membicarakan musuh-musuh mereka. Memang terdapat permusuhan antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang di puncak Buki Nelayan itu dengan mereka berdua. Kam Hong pernah bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini telah dihajarnya, dan terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu. Hal ini membuat dia merasa penasaran sekali dan hatinya takkan puas sebelum dia dapat membalas kekalahan itu. Adapun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati kepada Bu Ci Sian, pendekar wanita yang kini telah menjadi nyonya Kam Hong. Bu Ci Sian pada belasan tahun yang lalu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa Siauw-ok, tertama sekali kematian Ji-ok karena Ji-ok adalah gurunya dan juga kekasihnya. Dendam kedua orang datuk sesat itu terjadi belasan tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan untuk dapat membalas dendam (baca kisah Suling Emas dan Naga Siluman).
Gedung yang nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno yang di jaman dahulu terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu, perkumpulan itu terkenal sekali dan mempunyai anggauta-anggauta yang berilmu tinggi. Bangunannya kuno dan kokoh, temboknya tebal. Akan tetapi, walaupun dari luar nampak tua dan kuno, namun di sebelah dalamnya bersih dan rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat baik. Di ruangan khusus keluarga terhias gambar-gambar lukisan dari nenek moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi sahabat baik nenek moyang Khong-sim Kai-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah pendekar sakti Kam Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah keturunan Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena selain dia pernah menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari Khong-sim Kai-pang, juga keturunan terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang bernama Yu Hwi, kini telah menikah dengan seorang pendekar she Cu yang tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman. Untuk memperkenalkan keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca yang belum membaca kisahSuling Emas Dan Naga Siluman , marilah kita menjenguk riwayat singkat pendekar sakti ini.
Kam Hong adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas dan sejak kecil dia diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek tokoh terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai anak atau cucu sendiri dan digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan diapun telah ditunangkan dengan cucu Sai-cu Kai-ong yang merupakan keturunan terakhir keluarga Yu pendiri Khong-sim Kai-pang, yang bernama Yu Hwi. Akan tetapi, agaknya Tuhan menghendaki lain. Kam Hong dan Yu Hwi yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman dahulu telah saling bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa, menemukan jalan hidup masing-masing, bahkan menemukan pilihan hati masing-masing. Karena itulah, usaha kedua keluarga untuk menjodohkan mereka gagal. Kam Hong bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan akhirnya mereka menjadi suami isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia itu bertemu dengan Cu Kang Bu, seorang di antara pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta suling emas aseli, saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula. Kini Yu Hwi, yang sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong- sim Kai-pang dan menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut suaminya tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Dan istana tua itu kini dirawat dan ditinggali oleh Kam Hong yang dahulu menjadi tunangannya.
Demikianlah sekelumit riwayat Kam Hong yang berhubungan dengan istana tua itu. Dia hidup rukun dan penuh kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ terdapat enam orang pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar itu, tiga orang pria dan tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Karena bantuan enam orang inilah maka istana tua itu selalu dalam keadaan bersih dan terawat baik.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di waktu pagi sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di puncak bukit, menanti sampai matahari muncul di balik gunung, menikmati udara sejuk dan sinar matahari pagi yang segar. Pada pagi hari itu, seperti biasa mereka berdua bergandeng tangan mendaki puncak sebelah timur untuk menyambut munculnya matahari di pagi yang cerah itu. Kadang-kadang Bi Eng ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki puncak di pagi hari, selain amat baik untuk latihan, menyehatkan badan dan batin, juga keindahan alam yang luar biasa akan dapat dinikmati dan tidak pernah membosankan. Akan tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak ikut bersama ayah bundanya. Ia sedang berlatih silat seorang diri di taman bunga di samping istana dengan asyikya. Taman itu indah, terawat olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu oleh tiga orang pelayan wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi inti ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas). Seperti ayah bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling emas. Suling ini terbuat dari emas tulen, merupakan tiruan dari suling emas aseli di tangan ayahnya, seperti juga yang dijadikan senjata ibunya. Mula-mula Bi Eng memainkan suling di tangannya secara lambat dan perlahan, nampak seperti orang menari saja, tarian yang indah dan aneh. Akan tetapi, lambat-laun suling di tangannya bergerak semakin cepat dan mulailah terdengar suara melengking keluar dari suling itu dan bentuk sulingpun lenyap berobah menjadi gulungan sinar emas yang indah menyilaukan mata. Semakin lama, suara melengking itu semakin nyaring, naik turun seperti melagu. Tubuh yang berkelebatan gesit itu terbungkus galungan sinar emas, amat indahnya. Bi Eng tidak tahu bahwa pada saat itu, empat pasang mata memandang dengan penuh kagum. Empat orang itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang menonton dari luar taman. Pandang mata Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang dara belasan tahun yang berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar itu memainkan suling sedemikian indahnya.
Akhirnya Bi Eng menghentikan gerakan silatnya, lalu duduk bersila di atas tanah mengatur pernapasan. Setelah pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa menyadari bahwa ada empat orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata kagum, lalu menempelkan lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia meniup suling itu, dan keluarlah suara suling yang amat merdu, meninggi dan merendah dengan indahnya.
Akan tetapi, empat orang yang mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah dan merdu suara suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan untuk melagu santai, melainkan meniup untuk melatih khi-kang yang amat kuat dan agaknya menjadi satu di antara keistimewaan ilmu keluarganya. Dan memang sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi Eng itu masih dalam rangka berlatih ilmu dan tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu suara yang mengandung getaran dan dapat menyerang lawan! Empat orang itu cepat mengerahkan sin-kang untuk melawan daya serang suara itu yang semakin lama menjadi semakin kuat menusuk-nusuk telinga.
Tek Ciang sudah tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu berahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu amat menarik hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu. Siapapun adanya gadis itu harus dia dapatkan!
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam orang, tiga orang pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu keluarga Kam dan tadi seorang di antara mereka melihat munculnya empat orang asing di dekat taman. Cepat dia memberitahukan teman-temannya dan kini mereka semua datang dan menegur.
“Siapakah kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?” tegur seorang di antara para pembantu keluarga Kam.
“Kami mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?” tanya Tek Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya kepada Bi Eng yang kini sudah menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan alis berkerut.
“Majikan kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau memang su-wi ada keperluan dengan majikan kami, harap menunggu di kamar tamu sampai mereka kembali dari jalan-jalan.”
“Ha-ha-ha, kiranya hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!” kata Jai-hwa Siauw-ok.
Kini Bi Eng sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia mendengar kata-kata itu.
“Ada keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku? Orang tuaku tidak mempunyai kenalan orang-orang kasar seperti kalian!” katanya dengan suara merdu akan tetapi tajam dan menusuk. Bi Eng memang menuruni watak ibunya yang lincah jenaka, akan tetapi juga dapat bersikap berani, bengal dan galak.
“Ehh, kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong dan Bu Ci Sian? Bagus, mari ikut aku bersenang-senang, nona manis!” kata Tek Ciang dan mendengar kata-kata ini, melihat sikap ini, diam-diam Ceng Liong sudah merasa mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja hanya memandang.
Enam orang pelayan itupun marah mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat menduga bahwa tentu kedatangan empat orang ini tidak mengandung niat baik, maka rasa setia terhadap majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang. Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang, maka guru dan murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka. Sambil tertawa mengejek, Tek Ciang menggerakkan tangannya menampar, demikian pula Jai-hwa Siauw-ok. Dua orang pelayan pria mencoba untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi hawa pukulan itu saja sudah membuat mereka seperti lumpuh dan terdengar suara keras ketika kepala mereka terkena tamparan. Mereka hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas seketika! Empat orang kawan mereka terkejut dan marah. Mereka mencabut pedang dan menerjang maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa kali menggerakkan tangan, Tek Ciang dan Jai-hwa Siauw-ok yang menyambut mereka itu telah berhasil menggulingkan mereka. Mereka roboh dengan kepala retak dan tewas seketika dalam beberapa gebrakan saja!
“Ha-ha-ha-ha!” Mo-ong tertawa bergelak. “Hanya begini sajakah kekuatan pasukan yang dididik Kam Hong? Ha-ha-ha!” Hatinya senang melihat betapa para anak buah musuhnya, dalam waktu singkat telah roboh dan tewas oleh sekutunya. Ceng Liong mengepal tinju, akan tetapi tidak bergerak. Dia merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji membantunya, akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan gurunya. Dia sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang. Dan kini dia melihat sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam. Orang-orang itu mungkin hanya pelayan-pelayan yang tidak berdosa, tanpa bersalah apa-apa mengapa dibunuh sedemikian kejamnya? Akan tetapi karena dia tidak mempunyai sangkut-paut apa-apa, dia hanya memandang saja dengaan tangan terkepal dan alis berkerut tak senang.
Sementara itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas soketika, Bi Eng menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat daripada orang-orang biasa. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja mereka telah roboh dan tewas oleh dua di antara empat orang ini, maka dapat diduga bahwa mereka berempat itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, kemarahannya tidak memungkinkan ia untuk bertanya-tanya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan halus, iapun sudah menerjang ke depan dengan suling emasnya.
“Ha-ha, biar aku yang menjinakkan kuda betina yang muda dan liar ini!” Tek Ciang berkata sambil menyambut terjangannya. Akan tetapi, bukan main kagetnya hati jai-hwa-cat muda ini ketika dia menggerakkan tangan hendak menangkap suling di tangan si nona, tiba-tiba saja suling itu mengelak dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan nyaris mengenai lambungnya kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang! Nona itu dapat menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam segebrakan hampir saja dapat menendang lambungnya. Dan dari angin tendangan itu, tahulah Tek Ciang bahwa kalau dia tadi terkena tendangan, belum tentu dia akan dapat menahannya! Tadinya dia berniat mempermainkan dara ini sebeluan menangkapnya dan mempermainkan sepuas hatinya. Akan tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang bertubi-tubi dengan suling itu membuat semua lamunan untuk mempermainkan gadis itu lenyap seperti asap tipis dihembus angin. Jangankan untuk mempermainkan, bahkan dia sendiri harus mempergunakan seluruh kepandaian dan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung suling yang luar biasa cepat dan kuatnya itu! Dan semua itu masih ditambah lagi dengan lengkingan suara suling yang keluar dari suling yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa bising dan bingung juga. Untung dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, telah digembleng oleh Suma Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung datangnya serangan bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu. Perlahan-lahan dia dapat menguasai keadaan dan dapat membalas dan kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali tidak berani main-main lagi, maklum bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada di bawah tingkatnya, bahkan gadis itu memiliki ilmu silat suling yang benar-benar aneh, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya.
Hampir saja Ccng Liong berseru kaget ketika dia mengenal gerakan ilmu silat keluarganya dimainkan oleh murid Jai-hwa Siauw-ok yang bernanna Tek Ciang itu. Bagaimanakah penjahat muda yang menjijikkan ini mampu memainkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang sedemikian mahirnya? Bahkan setiap kali bergerak, muncullah hawa panas sekali atau dingin sekali dari kedua lengannya, tanda bahwa orang itu telah benar-benar menguasai kedua ilmu keturunan keluarga Pulau Es itu! Juga Hek-i Mo-ong diam-diam terkejut dan kagum. Murid dari sekutunya benar-benar hebat dan tidak boleh dipandang ringan, mungkin lebih hebat daripada gurunya. Sedang Jai-hwa Siauw-ok hanya tersenyum-senyum bangga. Tek Ciang adalah muridnya dan dia tahu bahwa muridnya itu telah menguasai ilmu-ilmu keturunan keluarga Pulau Es!
Akan tetapi, di lain pihak mereka juga kagum sekali melihat dara remaja yang jelita itu. Ilmu silatnya tinggi, sulingnya benar-benar amat lihai sehingga dengan gulungan sinar emas, gadis itu mampu membendung semua serangan balasan lawan. Diam-diam gadis itu sendiripun kaget betapa lawannya amatlah tangguhnya. Maka iapun tidak mau kalah dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Ilmu Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mujijat, akan tetapi ia belum menguasai secara mendalam, hanya menguasai teorinya dan baru berlatih selama beberapa bulan. Kepandaiannya dalam ilmu silat ini belum matang dan menurut ayahnya, kematangan itu membutuhkan ketekunan dan latihan yang lama dan tepat. Maka, iapun mengeluarkan bermacam ilmu yang dipelajarinya dengan penuh semangat dari ayah bundanya. Sulingnya berkelebatan, bergulung-gulung memainkan ilmu-ilmu pedang yang langka di dunia ini. Di antaranya ia memainkan Pat-sian Kiam-hoat, Hong-in Bun-hoat dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut sendiri.
Karena merasa memperoleh kesukaran untuk mengalahkan lawannya dengan mengandalkan ilmu silat dan kecepatan, Tek Ciang merasa penasaran dan dia hendak mengadu tenaga. Dia maklum bahwa lawannya ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat, akan tetapi dia tidak percaya kalau dia kalah kuat. Bagaimanapun juga, lawannya hanyalah searang dara remaja! Maka, ketika untuk kesekian kalinya suling itu berkelebat dan ada gulungan sinar emas menyambar ke arah dadanya, dia tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanan menangkis dengan usaha menangkap itu sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
“Plakkk!” Telapak tangan Tek Ciang bertemu dengan suling. Jangankan menangkap, telapaknya malah terasa seperti dibakar. Cepat dia mengerahkan Hwi-yang Sin-kang untuk melawannya, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan dara itu hanya melangkah mundur dua langkah saja! Dari pertemuan ini, ternyatalah bahwa dara itu lebih kuat dalam tenaga sin-kang daripadanya! Sesungguhnya tidaklah demikian. Kalau saja Tek Ciang bukan seorang jai-hwa-cat yang hampir setiap malam menghamburkan tenaganya dengan mempermainkan wanita yang diculik dan diperkosanya, tentu dia tidak kalah kuat, bahkan mungkin lebih kuat dari Bi Eng. Akan tetapi, dia malas berlatih, malah memboroskan tenaganya dengan perbuatan jahat menculik dan memperkosa wanita seperti yang dilakukan pula oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Benturan tenaga sin-kang yang membuat Tek Ciang terhuyung itu membuat orang ini merasa malu, penasaran dan marah sekali. Bagaimanapun juga, sejak tadi masih belum ada niat di dalam hatinya untuk membunuh atau mencelakai gadis ini. Ingin dia membuat gadis itu tidak berdaya, mengalahkannya tanpa membunuhnya agar dia dapat lebih dulu mempermainkannya sebelum membunuhnya kelak. Akan tetapi, sikapnya yang mengalah ini bahkan hampir mencelakakan dirinya sendiri.
“Ciiiittt.... ciiittt....!” Tek Ciang menyerang ganas dan kini tusukan-tusukan jari tangannya yang mempergunakan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) mengeluarkan bunyi mengerikan. Bi Eng terkejut. Belum pernah ia melihat ilmu yang ganas dan aneh seperti itu. Ketika ia mengelak dan tusukan jari tangan itu melanggar ujung sabuknya, maka ujung sabuknya itu terbabat putus seperti disambar pedang! Cepat ia mengandalkan kelincahannya sambil membalas dengan sulingnya.
Tiba-tiba Tek Ciang tergelincir dan roboh miring. Kalau saja Bi Eng sudah berpengalaman dalam perkelahian, apalagi kalau saja ia sudah sering berhadapan dengan lawan dari golongan sesat, tentu ia akan bersikap waspada karena ia tentu tahu bahwa golongan sesat tidak segan mempergunakan siasat curang untuk memperoleh kemenangan. Ia tidak mengira bahwa Tek Ciang mempergunakan siasat itu. Maka sulingnya menyambar dalam kemarahannya hendak membalaskan kematian enam orang pelayannya. Pada saat ia menubruk itu, tiba-tiba Tek Ciang mengeluarkan suara berkokok dan dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah Bi Eng, sambil mengerahkan ilmu pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Ilmu pukulan ini dahulu merupakan ilmu pukulan yang ampuh dari Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok yang berhasil dicuri oleh Jai-hwa Siauw-ok melalui Ji-ok dan telah dipelajari dengan baik oleh Tek Ciang.
“Desss....!”
Bi Eng yang sama sekali tidak pernah menyangka lawan yang sudah tergelincir itu akan mampu melakukan pukulan sehebat itu, terlanda pukulan Hoa-mo-kang dan tubuhnya terpelanting roboh dalam keadaan pingsan! Memang kehebatan ilmu pukulan Hoa-mo-kang itu adalah cara penggunaannya dari bawah, dari dalam keadaan rebah miring atau berjongkok. Bau amis tercium ketika ilmu pukulan ini dilakukan dan Bi Eng yang roboh pingsan itu mukanya berobah agak kehijauan karena ia telah terkena pukulan beracun amat hebat.
“Tolol kamu....!” Hek-i Mo-ong melangkah maju dan memaki Tek Ciang yang cepat melangkah mundur dengan muka pucat. Biarpun dia telah berhasil, akan tetapi pukulannya tadi bertemu dengan kekuatan sin-kang yang membuatnya merasa tergetar jantungnya dan kini dia dibentak dan dimarahi, maka dia menjadi khawatir.
“Mo-ong, kenapa engkau marah-marah? Bukankah muridku telah berhasil....”
“Berhasil apa? Apa sukarnya mengalahkan anak perempuan itu? Ia merupakan sandera yang paling berharga, kenapa malah dibunuh? Kalau ia ditangkap dalam keadaan hidup dan sehat, kita akan mudah menundukkan ayah ibunya!”
Jai-hwa Siauw-ok baru mengerti dan diapun menyesal. “Bagaimanapun juga, dara itu belum mati, dan menghadapi suami isteri itu, kita berempat tentu akan mampu mengalahkan mereka.”
“Hei, ke mana engkau akan membawanya?” Tiba-tiba Tek Ciang berteriak. Semua orang menengok dan ternyata Ceng Liong sudah memanggul tubuh Bi Eng yang sudah lemas tak berdaya itu.
“Mo-ong, aku akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya,” Ceng Liong berkata, ditujukan kepada Hek-i Mo-ong dan sama sekali tidak memperdulikan teriakan Tek Ciang.
“Tahan dulu....!” Tek Ciang hendak mengejar.
“Diam kau....!” Jai-hwa Siauw-ok membentak muridnya. Tek Ciang menoleh dan melihat betapa kakek iblis Hek-i Mo-ong memandang kepadanya dengan marah. Tahulah dia mengapa gurunya menghardik karena kalau dia mengejar murid iblis itu, siapa tahu Hek-i Mo-ong akan membunuhnya. Watak dan sikap kakek iblis itu memang sukar diselami, maka diapun mengalah, bahkan diam-diam tersenyum mengejek. Biarlah, biarlah dicobanya oleh anak setan itu untuk mengobati bekas tangannya dengan pukulan Hoa-mo-kang tadi, pikirnya. Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobatinya, akan tetapi sebelum dara itu mati, ingin dia mempermainkannya lebih dahulu. Sayang kalau dara yang cantik jelita dan sedang mekar itu dibiarkan mati tanpa diganggu.
“Sudahlah, mari kita mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian,” kata Hek-i Mo-ong, kemarahannya mereda ketika Jai-hwa Siauw-ok memperlihatkan rasa takut kepadanya. “Biar nanti muridku menyusul dan biarkan dia mencoba untuk menyembuhkan sandera kita.”
“Locianpwe, gadis itu tadi akulah yang merobohkannya, maka aku yang berhak untuk menikmatinya, bukan murid locianpwe,” kata Tek Ciang yang masih merasa penasaran, akan tetapi suaranya menghormat karena dia takut kalau-kalau kakek iblis ini akan menjadi marah.
“Cihh! Jangan samakan muridku dengan manusia gila perempuan macam engkau! Muridku adalah laki-laki sejati. Kalau dia bilang mau mencoba mengobati, tentu dia akan mengobati saja dan tidak melakukan hal lain! Mari kita pergi!”
Jai-hwa Siauw-ok berkedip kepada muridnya dan Tek Ciang tidak berani banyak cakap lagi. Bagaimanapun juga, hatinya masih mendongkol karena dia membayangkan betapa Ceng Liong tentu akan mempergunakan kesempatan itu untuk menguasai gadis cantik yang sudah pingsan itu! Memang, orang yang sudah biasa melakukan penyelewengan di dalam kehidupannya, akan selalu menganggap orang lain sama seperti dia sendiri dan dia tidak akan dapat mempercayai orang lain. Demikian pula dengan Louw Tek Ciang ini. Dia dan gurunya adalah dua orang jai-hwa-cat, maka dia menganggap bahwa semua orang laki-laki tentu mempunyai watak seperti dia pula dan timbul cemburu dan tidak percaya ketika Ceng Liong membawa pergi gadis cantik yang pingsan itu.
Hek-i Mo-ong sendiri tentu saja sudah mengenal watak muridnya. Kadang-kadang, kalau dia sedang melamun, dia merasa malu sendiri kepada muridnya. Jelas nampak olehnya bahwa biarpun selama bertahun-tahun Ceng Liong menjadi muridnya, namun anak itu sungguh memegang teguh janjinya, yakni hanya belajar ilmu saja kepadanya dan tidak mau belajar menjadi manusia sesat! Dia kadang-kadang merasa malu mengapa anak itu dapat memiliki watak gagah, seorang pendekar tulen! Kadang-kadang timbul penyesalan di dalam hatinya mengapa dia, yang di waktu mudanya juga mempelajari banyak tentang kebatinan, kemudian dapat menyeleweng dan sekali menceburkan diri ke dalam jurang kesesatan, sukarlah untuk keluar dari situ. Dia sudah merasa terlanjur menjadi tokoh kaum sesat dan dia akan merasa malu kalau keluar dari lingkungan itu. Dia tahu bahwa sekali berkata hendak mengobati gadis yang terkena pukulan murid Jai-hwa Siauw-ok itu, tentu hal ini akan dilaksanakan oleh Ceng Liong dan tak mungkin ada sedikitpun niat buruk lain di dalam hati muridnya. Diam-diam kakek iblis ini malah merasa bangga sekali bahwa muridnya adalah seorang pendekar, bahkan bukan sembarangan pendekar melainkan cucu aseli dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Diapun tahu bahwa korban pukulan macam yang dilakukan oleh Tek Ciang itu sukar sekali ditolong, apalagi muridnya tidak pernah mempelajari cara menyembuhkan korban seperti itu, maka tentu muridnya akan gagal, gadis itu akan tewas dan tak lama kemudian muridnya tentu akan menyusulnya.
Akan tetapi, dia merasa kehilangan muridnya ketika tiba-tiba dia dan dua orang kawannya mendengar bunyi suling ditiup secara aneh. Mereka berhenti serentak, saling pandang dan jelas betapa wajah mereka menjadi tegang. Bahkan Tek Ciang yang biasanya bersikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, agak berubah air mukanya mendengar suara suling itu. Suara suling itu aneh sekali, tidak seperti suara suling biasanya. Melengking-lengking naik turun, dan terdengar dua suara suling yang saling susul, saling belit dan saling mengisi. Kadang-kadang terdengar seperti nyanyian lagu gembira, kadang-kadang seperti berbisik-bisik, seperti sepasang kekasih sedang memadu asmara, dan ada kalanya berabah menadi gegap-gempita seperti ada perang di sana. Dan dalam nada bagaimanapun juga, selalu ada getaran yang amat kuat, yang membuat tiga orang itu harus mengerahkan sin-kang untuk melawannya. Kemudian suara suling itu merendah, sampai rendah sekali dan jantung tiga orang itu terasa seperti dipukuli palu godam yang amat berat, berdentang-dentang dan dada seperti akan pecah rasanya. Hanya dengan pengerahan sin-kang saja mereka dapat bertahan. Tiba-tiba, suara yang amat rendah itu melengking, makin lama makin tinggi dan tiga orang itu hampir tak kuat bertahan, lalu mereka duduk bersila dan mengerahkan sin-kang. Suara itu melengking terus sampai tinggi sekali, sampai lenyap suaranya tak dapat tertangkap lagi oleh pendengaran, akan tetapi getarannya amat kuatnya seperti jarum menusuk-nusuk jantung mereka rasanya.
Akhirnya, suara itu berhenti dan lenyap. Legalah hati mereka dan mereka membuka mata, saling pandang dan muka mereka menjadi agak pucat. Bukan main hebatnya suara tadi dan tanpa bicarapun mereka dapat menduga siapa yang meniup suling seperti itu. Dugaan mereka terbukti dengan munculnya dua orang dari puncak, jalan bergandengan tangan dan suling yang mereka bunyikan tadi, yang menciptakan suara aneh, kini terselip aman di ikat pinggang mereka. Yang seorang laki-laki, berpakaian sasterawan sederhana, dengan jubah luar yang terlalu lebar kedodoran. Usianya antara lima puluh tahun, namun masih nampak tampan dan anggun, halus gerak-geriknya dan mulutnyapnn membayangkan keramahan dan kehalusan budi. Hanya sepasang matanya yang tak dapat dicuri memiliki sinar mencorong seperti naga. Kumis dan jenggotnya tidak begitu panjang dan terawat baik. Seorang sasterawan yang tampan dan halus! Dan di sebelahnya berjalan seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, masih nampak cantik dan manja, kadang-kadang menggandeng lengan pria itu dan kalau bicara melirik dan tersenyum, kadang-kadang memandang wajah pria itu dengan perasaan cinta dan sayang dan manja! Itulah pendekar sakti Kam Hong, keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, bersama isterinya, Bu Ci Sian yang juga menjadi sumoinya dalam mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan khi-kang yang amat tinggi.
Mereka kelihatan begitu rukun dan saling mencinta. Melihat musuh besarnya, Hek-i Mo-ong lupa akan rasa gentarnya dan dia sudah memandang dengan mata mendelik dan napas memburu, didorong oleh hawa amarah yang menyesak dada. Adapun Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya memandang ke arah wanita itu. Seorang wanita cantik yang sudah matang dan agaknya inilah musuh besarnya, pikir Jai-hwa Siauw-ok dengan jantung berdebar. Kalau saja dia mampu membalaskan sakit hati guru-gnrunya! Dengan mengalahkan wanita ini, merobohkannya, memperkosanya sepuas mungkin baru menyiksa dan membunuhnya! Alangkah akan puas rasa hatinya.
Kini sepasang suami isteri yang bukan lain adalah Kam Hong dan Bu Ci Sian itu, melihat adanya tiga orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan dan mereka merasa heran dan kaget. Biasanya, setelah berjalan-jalan dan menikmati matahari terbit, mereka suka iseng-iseng dan berlatih suling. Tadipun mereka berlatih dan mereka tahu bahwa di sekitar tempat itu sunyi tidak ada orang lain. Kini, tahu-tahu ada tiga orang dan melihat betapa tiga orang itu agaknya tidak mengalami sesuatu oleh suara suling mereka, mudah diduga bahwa tiga orang ini tentu “berisi”. Akan tetapi, keheranan hati mereka segera lenyap ketika mereka mengenal kakek berpakaian hitam yang sedang berdiri tegak sambil mengipas-ngipaskan tubuhnya dengan sebuah kipas merah itu. Hek-i Mo-ong! Siapa lagi kalau bukan kakek iblis itu yang kini berdiri dengan kipas merahnya yang amat berbahaya itu? Ketika mengerling kepada dua orang laki-laki di dekat Hek-i Mo-ong, Kam Hong dan isterinya tidak mengenal mereka, akan tetapi dapat menduga bahwa dua orang yang datang bersama seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong, mudah diduga tentu juga bukan orang-orang baik dan juga tentu memiliki kepandaian yang tinggi.
Sikap Kam Hong amat tenang ketika sambil tersenyum dia menjura. “Ah, kiranya Hek-i Mo-ong yang datang berkunjung! Sudah belasan tahun tidak bertemu, apakah engkau dalam keadaan sehat, Mo-ong?”
Sungguh tidak dapat dimengerti oleh Tek Ciang bagaimana seorang yang dianggap musuh menyambut Hek-i Mo-ong dengan keramahan seperti itu, seolah-olah bertemu dengan seorang sahabat lama saja. Dan Hek-i Mo-ong juga menjawab dengan suara wajar, akan tetapi mengandung penuh ancaman.
“Orang she Kam, selama belasan tahun ini aku menjaga diriku baik-baik agar aku dapat bertemu lagi denganmu dan menebus kekalahanku dahulu. Nah, sekarang kita bertemu di sini. Bersiaplah untuk menebus dan membayar hutangmu dahulu!”
Kam Hong menarik napas panjang. “Mo-ong, seorang tua seperti engkau ini, pantaskah untu meracuni batin dengan dendam yang hanya disebabkan oleh kekalahan dalam suatu perkelahian? Sungguh kasihan!”
Saat itu dipergunakan oleh Jai-hwa Siauw-ok untuk menudingkan telunjuknya ke arah muka wanita cantik itu sambil bertanya, “Apakah engkau yang bernama Bu Ci Sian dan dahulu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu?”
Bu Ci Sian memandang laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari suaminya itu, yang berwajah ganteng berpakaian pesolek, mengamatinya akan tetapi ia tidak ingat pernah berkenalan dengan orang ini. Juga, mendengar pertanyaannya, jelas bahwa laki-lakiinipun baru sekarang bertemu dengannya.
“Benar, siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Im-kan Ngo-ok?” tanyanya, suaranya juga tenang karena wanita ini telah menerima gemblengan dari suaminya sendiri dan kini menjadi seorang wanita yang jauh lebih lihai dibandingkan dahulu sebelum ia menjadi isteri Kam Hong. Sikap seorang yang penuh kepercayaan akan diri sendiri.
“Namaku Ouw Teng dan orang mengenalku sebagai Jai-hwa Siauw-ok. Im-kan Ngo-ok adalah guru-guruku. Maka tidak perlu kiranya kujelaskan apa maksud kedatanganku ini.”
Bu Ci Sian tersenyum dan menoleh kepada suaminya, saling pandang, lalu berkata kepada suaminya, sikapnya tak acuh, “Aihh, sudah belasan tahun kita tidak pernah mencampuri urusan dunia, siapa tahu kini bajingan-bajingan ini malah yang datang mengantar nyawa. Sungguh tidak dapat disalahkan peribahasa ular mencari penggebuk!”
Kam Hong mengerti bahwa isterinya sengaja mengejek para datuk sesat itu, maka diapun hanya mengangkat pundak mengembangkan kedua tangan, “Apa boleh buat. Akan tetapi berhati-hatilah, isteriku. Orang yang sudah berani datang mengantar nyawa tentu telah memperhitungkan sebelumnya dan agaknya mereka ini sudah membawa bekal yang cukup memadai.” Setelah berkata demikian, pendekar ini berdiri membelakangi isterinya beradu punggung. Isyarat ini dapat dimengerti oleh Bu Gi Sian. Suaminya bersikap hati-hati dan karena lawan mereka bertiga, sedangkan mereka belum mengenal sampai di mana kepandaian mereka bertiga itu, suaminya minta agar ia berhati-hati dan saling jaga dengan berdiri saling membelakangi. Ia sudah mencabut sulingnya yang tadi terselip di pinggang dan memasang kuda-kuda dengan melintangkan suling di depan mulut, persis seperti orang yang hendak meniup suling! Akan tetapi, suaminya berdiri seenaknya, bahkan belum mencabut sulingnya, seolah-olah hendak menjajaki dulu sampai di mana kelihaian lawan. Akan tetapi karena Kam Hong menduga bahwa di antara tiga orang lawan itu yang terlihai adalah Hek-i Mo-ong maka diapun sengaja berdiri menghadapi kakek iblis itu dan membiarkan isterinya menghadapi dua orang lawan lainnya.
Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sudah bernafsu sekali untuk dapat segera merobohkan wanita musuh besarnya itu, maka dia sudah memberi isyarat kepada muridnya untuk maju bersama mengeroyok wanita itu. Sedangkan Hek-i Mo-ong ketika melihat sikap Kam Hong yang demikian tenangnya, muncul kembali rasa gentar di hatinya. Memang benar bahwa dia sudah menguasai ilmu baru seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi diapun dapat menduga bahwa selama ini tentu Kam Hong juga memperdalam ilmunya! Baru tiupan sulingnya tadi saja sudah membuat dia dapat mengerti akan kelihaian lawan ini. Maka teringatlah dia akan muridnya yang diandalkan dan cepat dia mengerahkan khi-kangnya. Suaranya hanya terdengar lirih, akan tetapi sebenarnya suara itu dibawa oleh tenaga khi-kang sampai jauh sekali.
“Ceng Liong, cepat engkau ke sinilah....!”
Kam Hong tersenyum. “Mo-ong, apakah tiga lawan dua masih belum cukup untukmu? Haruskah engkau mendatangkan teman lagi untuk mengeroyok kami?”
Ucapan yang halus ini lebih menusuk daripada makian. Hek-i Mo-ong menjadi merah mukanya dan diapun mengeluarkan suara gerengan. Akan tetapi sebelum dia menggerakkan tubuhnya, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya sudah lebih dulu maju menyerang Bu Ci Sian. Begitu maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya mengeluarkan ilmnnya yang istimewa, yaitu Kiam-ci yang merupakan ilmu andalan mendiang gurunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Suara mencicit terdengar ketika jari-jari tangannya menyambar ke arah lawan. Ci Sian sudah mengenal ilmu ini dan tahu akan kehebatannya, maka iapun sudah mengebutkan sulingnya menghalau dan balas menotok. Dari samping, Tek Ciang mengirim serangan hebat karena pemuda ini menggunakan Ilmu Thian-te Hong-i (Badai Langit Bumi) yang dahulu pernah menjadi ilmu andalan dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin. Tubuhnya berpusingan dan dari pusingan itu mencuat lengannya yang mengirim serangan amat cepat dan kuatnya! Ci Sian terkejut, tidak mengira bahwa laki-laki muda ini demikian hebat sudah menguasai ilmu andalan dari Sam-ok yang pernah menjadi musuh lamanya, maka iapun cepat menyambut lengan lawan yang menyerang dengan totokan ke arah pergelangan tangan. Melihat kecepatan wanita ini, Tek Ciang terpaksa menarik kembali lengannya. Dia tahu bahwa betapapun cepat serangannya tadi, kalau dilanjutkan, dia kalah cepat dau sebelum tangannya mengenai tubuh lawan, tentu pergelangan tangannya akan tercium ujung suling dan akibatnya tentu hebat.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga sudah menyerang Kam Hong. Karena maklum akan kelihaian pendekar itu, begitu menyerang Hek-i Mo-ong sudah mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya. Dia tidak mau mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya, maklum betapa kuatnya sin-kang dan khi-kang pendekar itu yang tidak akan dapat ditundukkan oleh kekuatan sihirnya. Maka diapun sudah menyerang dengan hebat, menggunakan tombaknya menyerang dan kipas merahnya menyambar ke arah muka, mendahului tombak yang menusuk ke arah perut. Serangan ini amat hebatnya karena Hek-i Mo-ong tidak mau berlaku sungkan dan begitu menyerang telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya!
“Tringg.... trakkk....!” Hebat sekali cara Kam Hong mencabut suling dan mempergunakannya. Sekali bergerak, suling itu menangkis tombak dan kipas berturut-turut dan lawannya terdorong dua langkah ke belakang! Hek-i Mo-ong terkejut, jelaslah bahwa selama ini Kam Hong telah melatih diri dan tenaga sin-kangnya menjadi jauh lebih hebat daripada dahulu. Dia harus mengakui bahwa dia kalah kuat dalam mengadu tenaga sin-kang.
“Hiyeeeeehhhh!” Dia mengeluarkan bentakan aneh dan tangan kiri yang sudah menyimpan kipasnya itu kini menyambar ke depan dengan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Gerakan itu sedemikian hebat dan cepatnya dan mengandung hawa yang menyeramkan, seperti digerakkan oleh tenaga mujijat. Itulah Ilmu Coan-kut-ci yang selama itu dilatih secara tekun oleh kakek ini bersama muridnya! Entah sudah berapa banyak tengkorak yang menjadi bulan-bulan jari-jari tangannya ketika dia berlatih. Dan sebelum serangan dengan ilmu menyeramkan ini dilakukan, tombaknya juga sudah menyambar lebih dahulu ke arah lambung lawan!
Kini Kam Hong terkejut bukan main. Dia tidak mengenal ilmu serangan aneh itu, akan tetapi dengan tenang dia menghantamkan lengan kirinya menyambut tombak, sambil mengerahkan sin-kang sekuatnya. Karena pada saat itu Hek-i Mo-ong lebih mencurahkan tenaganya pada tangan kiri yang mencengkeram dengan Ilmu Coan-kut-ci, maka pegangan pada tombaknya tidak begitu kuat, dan tombaknya itupun tadi hanya menggertak saja, sedangkan serangan dipusatkan pada tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu. Karena itu, begitu kena dihantam oleh lengan kini Kam Hong, tombaknya terlepas dan terlempar jauh. Akan tetapi jari-jari tangan kirinya sudah menyambar ke arah kepala dengan kedahsyatan yang mengerikan. Akan hancurlah kepala itu kalau terkena cengkeraman itu!
Kam Hong mengenal bahaya. Tangan kirinya sudah mencabut kipasnya dan kini sekali bergerak, kipasnya yang berkembang menyambut cengkeraman sedangkan dia sendiri melempar kepala ke belakang.
“Bretttt....!” Kipas itu hancur berkeping-keping terkena cengkeraman Coan-kut-ci dan Kam Hong terpaksa melanjutkan lemparan tubuhnya ke belakang, bergulingan dan meloncat bangun. Kipasnya hancur dan dia melemparkan kipasnya. Keadaan mereka seperti satu lawan satu. Tombak Hek-i Mo-ong terlempar dan kipas Kam Hong juga hancur. Kam Hong tersenyum gembira. Ternyata lawannya ini jauh lebih lihai daripada dahulu dan tentu saja memperoleh lawan yang demikian kuatnya, timbul kegembiraannya.
“Mo-ong, engkau makin tua makin hehat saja!” katanya dengan tenang dan gembira, seolah-olah dia baru saja tidak terancam bahaya dan nyaris pecah kepalanya! Kini Kam Hong menerjang dengan sulingnya. Demikian hebat terjangannya sehingga Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat ke sana-sini sambil terus mengerahkan Ilmu Coan-kut-ci yang hebat itu. Ketika dia terdesak oleh gulungan sinar emas suling, tiba-tiba dia membuka mulutnya dan uap putih yang amat panas menyambar ke arah muka Kam Hong! Kembali pendekar ini terkejut. Dia tidak mengenal Ilmu Tok-hwe-ji itu, tapi dia tahu bahwa uap itu berbahaya sekali. Cepat dia meloncat ke samping dan dari samping dia memutar sulingnya. Untung dia melakukan ini karena serangan Tok-hwe-ji tadi sudah disusul dengan cengkeraman tangan maut itu lagi. Pemutaran suling menahan serangan ini karena Hek-i Mo-ong juga maklum bahwa sekali tubuhnya tertotok suling, tentu dia akan celaka. Mereka bertanding lagi dengan hati-hati karena maklum bahwa lawan masing-masing sungguh tak boleh dihadapi dengan ceroboh.
Sementara itu, Bu Ci Sian juga mendapat kenyataan bahwa dua orang pengeroyoknya itu lihai bukan main, dan terutama sekali yang muda! Tak disangkanya bahwa laki-laki muda itu malah jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan Jai-hwa Siauw-ok! Yang membuat ia terheran-heran adalah ketika mengenal pukulan-pukulan dari ilmu silat keluarga Pulau Es! Ia sendiri pernah menerima pelajaran penggabungan tenaga Im dan Yang dari Suma Kian Bu, dan kini ia melihat betapa laki-laki muda yang mengeroyoknya itu bahkan pandai sekali memainkan ilmu sakti dari Pulau Es yang pernah dilihatnya, yaitu Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang! Ia terheran-heran mengapa ada murid Pulau Es yang membantu penjahat macam murid Im-kan Ngo-ok ini. Akan tetapi karena tidak ada keseanpatan lagi bertanya, iapun mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghalau setiap serangan dengan memutar sulingnya yang memiliki kecepatan dan kekuatan luar biasa itu.
Melihat betapa dia dan gurunya dapat menandingi wanita yang hebat ini, timbul kegembiraan di hati Tek Ciang dan laki-laki yang cerdik ini lalu mempergunakan siasat untuk memancing kemarahan Ci Sian.
“Ha-ha, suhu, perempuan ini lebih montok daripada puterinya. Biarlah ia nanti diserahkan kepadaku saja. Timbul berahiku melihatnya, suhu!” Mendengar ucapan ini, Jai-hwa Siauw-ok maklum akan akal muridnya dan iapun tertawa bergelak untuk memanaskan hati lawan.
Akal muslihat Tok Ciang ini memang baik sekali untuk memanaskan hati lawan dan orang yang sedang bertanding, sungguh merupakan pantangan besar untuk membiarkan hatinya panas dan marah. Kemarahan mengurangi kewaspadan. Akan tetapi tentu saja kalau akal itu ditujukan kepada orang lain baru akan berhasil. Terhadap suami isteri itu, akal Tek Ciang malah mendatangkan malapetaka bagi dia dan kawan-kawannya sendiri. Tadinya, Kam Hong dan Ci Sian hanya mengerahkan ilmu dan tenaga mereka yang biasa saja untuk menghadapi lawan karena memang mereka yang sudah belasan tahun menjauhkan pertikaian itu tidak berniat untuk mencelakai lawan. Cukup asal dapat menahan mereka dan mengusir mereka saja. Akan tetapi, ucapan Tek Ciang yang amat menghina tadi sama sekali tidak dapat memanaskan hati Ci Sian atau Kam Hong, hanya mendatangkan rasa khawatir karena mereka berdua teringat akan puteri mereka yang disebut oleh Tek Ciang tadi. Mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan puteri mereka. Siapa tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat ini! Dan kekhawatiran inilah yang membuat suami isteri itu merobah gerakan mereka. Mereka hendak mengakhiri perkelahian itu secepatnya untuk dapat segera menengok puteri mereka yang berada sendirian saja, hanya ditemani enam orang pelayan di dalam istana tua.
Kini terjadilah keajaiban. Bukan hanya permainan suling mereka yang berobah, akan tetapi terdengarlah bunyi suara melengking-lengking dari suling mereka. Terutama sekali suling di tangan Kam Hong mengeluarkan bunyi melengking demikian kuatnya sehingga Hek-i Mo-ong merasa kedua telinganya seperti ditusuk-tusuk pedang. Dia terkena pengaruh yang paling hebat, sedangkan dua orang kawannya juga menjadi pusing oleh serangan suara suling yang melengking-kngking itu. Permainan silat mereka kacau-balau dan kesempatan ini dipergunakan oleh suami isteri pendekar itu untuk mendesak.
Mula-mula Hek-i Mo-ong yang terkena pukulan suling pada dadanya. Tidak begitu keras, akan tetapi akibatnya, kakek ini muntah darah dan roboh, terus bergulingan sampai jauh. Kam Hong tidak mengejarnya, melainkan membantu isterinya dan dengan cepat mereka juga telahmengalahkan dua orang lawannya. Suling di tangan Ci Sian berhasil menotok lambung Tek Ciang. Pemuda ini berteriak kesakitan dan terjengkang lalu bergulingan, sedangkan pundak Jai-hwa Siauw-ok juga terkena hantaman suling Kam Hong. Tulang pundaknya remuk dan diapun terpelanting jauh.
“Mari pulang!” kata Kam Hong kepada isterinya dan tanpa memperdulikan tiga orang yang sudah terluka parah itu, suami isteri ini mempergunakan ilmu lari cepat seperti terbang menuju ke istana tua tempat tinggal mereka.
Mereka memasuki semua ruangan akan tetapi rumah besar itu kosong. Ketika mereka berlari-larian memasuki taman, mereka berseru kaget melihat tubuh keenam orang pelayan mereka malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Akan tetapi seorang di antara mereka masih merintih. Cepat Kam Hong dan Ci Sian berlutut di dekat orang itu. Sekali pandang saja tahulah mereka bahwa orang inipun tak mungkin tertolong lagi karena kepalanya retak.
“Mana.... mana nona?” tanya Ci Sian.
Orang itu mengumpulkan kekuatan terakhir. “Nona.... nona.... dilarikan.... seorang di antara.... mereka, seorang pemuda....” dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan terkulai, tewas.
Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut bukan main. Mereka tidak tahu ke mana puteri mereka dilarikan orang dan siapa pula yang melarikannya. Bagaimana mereka akan dapat melakukan pengejaran?
“Iblis-iblis itu! Mereka tentu tahu ke mana Bi Eng dilarikan!” tiba-tiba Kam Hong berkata dan diapun meloncat dan lari, diikuti isterinya.
“Kulumatkan kepala orang-orang itu kalau anakku diganggu!” teriak Bu Ci Sian yang teringat bahwa laki-laki pesolek setengah tua itu berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang penjahat pemerkosa wanita!
Dengan kecepatan seperti terbang saja, suami isteri pendekar perkasa itu lalu lari ke tempat di mana mereka merobohkan tiga orang lawan tadi. Akan tetapi, betapa kaget, gelisah dan marah rasa hati mereka ketika mereka tidak menemukan tiga orang bekas lawan yang telah mereka lukai tadi di tempat itu. Mereka mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Tentu saja suami isteri ini menjadi bingung sekali dan mereka lalu mencari di sekitar puncak Bukit Nelayan, bahkan setelah gagal mereka lalu menjelajahi Pegunungan Tai-hang-san untuk mencari puteri mereka yang dilarikan orang. Sebelumnya, mereka minta bantuan penduduk yang tinggal di dusun terdekat untuk mengurus mayat enam orang pelayan mereka, sedangkan mereka sendiri terus mencari-cari tanpa jejak dan tujuan tertentu. Selama belasan tahun hidup dalam keadaan aman dan tenteram, baru sekaranglah suami isteri pendekar itu mengalami bencana yang menggelisahkan hati mereka.
***
Ceng Liong memang tidak pergi jauh. Setelah melihat betapa dara remaja yang lihai itu terpukul roboh oleh Tek Ciang yang mempergunakan siasat curang, hatinya merasa penasaran sekali. Hanya karena sungkan kepada gurunya maka dia tidak mau mencampuri perkelahian itu, akan tetapi hatinya berfihak sepenuhnya kepada gadis yang tidak berdosa itu dan diam-diam dia merasa tidak suka sekali kepada Tek Ciang yang dianggapnya tak tahu malu dan jahat. Maka begitu melihat nona itu terpukul roboh dan pingsan, dia lalu mendekati lalu menyambar tubuh dara itu, dipanggul dan dibawanya pergi. Dia tidak memperdulikan teguran Tek Ciang dan hanya berkata kepada gurunya bahwa dia hendak berusaha mengobati dara itu. Dia sudah memperhitungkan bahwa andaikata Tek Ciang menghalanginya, tentu dia akan menyerang murid Jai-hwa Siauw-ok itu dan menghajarnya. Akan tetapi, berkat kehadiran Hek-i Mo-ong, Tek Ciang dan gurunya tidak berani menghalanginya maka Ceng Liong cepat membawa tubuh yang pingsan itu menuruni lereng.
Setelah tiba di tempat sunyi, dia menurunkan tubuh itu di bawah sebatang pohon. Dengan hati-hati dia merebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas tanah dan memeriksanya sejenak. Dilihatnya wajah yang jelita itu pucat kehijauan, napasnya tinggal satu-satu dan detik jantungnya lemah, juga tubuhnya lunglai dan lemas tak berdaya sama sekali. Ketika dia membuka kelopak mata, ternyata mata itu kehilangan cahayanya.
Baju di pundak kanan nona itu hancur dan kulit pundak kanan nampak matang biru kehijauan. Agaknya pukulan ampuh dari Tek Ciang tadi mengenai pundak kanan ini. Ketika disentuhnya pundak itu, Ceng Liong merasa betapa bagian itu amat dinginnya, seperti ada esnya di bawah kulit. Hemm, kiranya pukulan ampuh itu mengandung hawa dingin, pikirnya. Dia bukan ahli pengobatan, akan tetapi merantau selama bertahun-tahun dengan seorang sakti seperti Hek-I Mo-ong, sedikit banyak membuka matanya dan diapun tahu bahwa dara itu menjadi korban pukulan yang memiliki dasar tenaga sakti Im. Maka diapun lalu meletakkan telapak tangannya pada pundak dan perut dara itu, kemudian perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga panas Hwi-yang Sin-kang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Tangan yang menempel di pundak berusaha untuk mengusir hawa dingin yang meracuni tubuh nona itu, sedangkan yang menempel di perut dimaksudkan untuk mengalirkan sin-kangnya ke dalam pusar nona itu untuk membantu nona itu membangkitkan kombali sin-kangnya.
Dengan hati-hati dan penuh ketekunan Ceng Liong menyalurkan sin-kangnya yang panas, dan tiba-tiba nona itu mengeluarkan suara rintihan. Giranglah hatinya ketika melihat betapa tubuh itu mulai dapat bergerak dan pernapasannya mulai kuat, juga telapak tangannya merasa betapa detak jantung nona itu tidak selemah tadi. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut dan gelisah adalah ketika melihat bahwa warna kehijauau pada wajah dara remaja itu menjadi semakin gelap! Pemuda remaja ini sama sekali tidak tahu bahwa Hwi-yang Sin-kang yang disalurkan pada tubuh dara itu memang benar mampu mengusir hawa dingin dari pukulan Hoa-mo-kang, akan tetapi sama sekali tidak mampu mengeluarkan racun yang terkandung dalam hawa dingin itu. Maka, nona itu hanya terbebas dari rasa nyeri saja, akan tetapi tidak terbebas dari racun yang kini ditinggalkan hawa dingin dan mulai meracuni jalan darahnya!
Betapapun juga, ada rasa girang di hati Ceng Liong ketika melihat nona itu membuka kedua matanya. Sesaat dua pasang mata itu bertemu dan bertaut. Nona itu kelihatan terkejut dan hendak meronta, akan tetapi ketika merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya dari pundak dan perut, puteri suami isteri pendekar sakti inipun mengerti bahwa pemuda yang duduk bersila di dekatnya ini sedang berusaha mengobatinya. Maka iapun diam saja, bahkan ia lalu mcnerima hawa panas yang memasuki perutnya itu dan mencoba untuk membangkitkan hawa sin-kangnya sendiri dari dalam tiantan (pusar). Akan tetapi, begitu ia mencoba mengerahkan sin-kang, ia merasakan kenyerian hebat di perutnya dan iapun mengeluh.
“Aduuuhhh....!”
Mendengar keluhan ini dan mendengar pula perut dara itu mengeluarkan bunyi berkeruyuk, Ceng Liong terkejut dan melepaskan kedua tangannya, lalu bangkit sambil membantu nona itu bangkit duduk.
“Bagaimana? Sakitkah rasanya? Mana yang sakit?” tanyanya dengan wajah khawatir.
Bi Eng adalah seorang dara lincah dan tabah. Ia segera teringat bahwa mengeluh merupakan suatu kecengengan dan tidak pantas bagi seorang gagah, maka sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri yang mengaduk perutnya, ia menggeleng kepala. “Tidak sangat nyeri.... eh, bukankah engkau yang datang bersama iblis-iblis itu?”
Ceng Liong menarik napas panjang dan menundukkan mukanya sebentar, lalu diangkatnya lagi memandang wajah yang masih kehijauan itu. “Benar, aku adalah.... eh, murid Hek-i Mo-ong.”
Wajah yang gelap kehijauan itu nampak kaget. Memang, Bi Eng sering mendengar cerita ayah ibunya tentang dania kang-ouw, juga tentang tokoh-tokoh sesat dan Hek-i Mo-ong pernah disebut oleh ayahnya sebagai seorang di antara para datuk sesat yang paling berbahaya dan lihai. Akan tetapi menurut ibunya, tokoh ini pernah dikalahkan oleh ayahnya dan sekarang pemuda itu menyebut nama Hek-i Mo-ong. Dara inipun teringat akan kakek berjubah hitam yang tua renta tadi. Seperti itulah penggambaran orang tuanya tentang diri Hek-i Mo-ong.
“Jadi kakek berjubah hitam tadi Hek-i Mo-ong dan engkau muridnya? Lalu mengapa engkau.... berusaha mengobati dan menolongku?”
Melihat betapa dara itu memandang kepadanya dengan sinar mata amat tajam penuh selidik, Ceng Liong menunduk lagi. Dara itu memiliki sepasang mata yang amat indah dan tajam, membuat dia merasa tidak enak untuk menentang pandang matanya, apalagi karena dia merasa malu akan sekutunya.
“Mo-ong dan aku sudah berjanji bahwa aku hanya belajar ilmu silat darinya, bukan mempelajari kejahatannya. Aku melihat engkau tidak berdosa dan engkau dirobohkan secara curang oleh murid Jai-hwa Siauw-ok itu, maka aku membawamu ke sini untuk mengobatimu, akan tetapi aku bodoh dan tidak tahu bagaimana caranya....”
Hati Bi Eng merasa tertarik sekali. “Aneh.... engkau menjadi murid iblis itu dan engkau.... berani menentangnya?”
“Mo-ong baik kepadaku, sayang aku tidak dapat merobah wataknya.... tapi.... aku menjadi bingung bagaimana aku harus mengobatimu, nona?”
“Engkau sudah berhasil, aku sudah siuman dan tidak merasa sangat nyeri lagi....”
“Tapi.... wajahmu masih berwarna gelap kehijauan, tanda keracunan. Aku khawatir sekali.”
Bi Eng memaksa senyum. “Bagaimanapun juga, engkau sudah menyelamatkan dan menolongku, mungkin tanpa kau turun tangan, aku sudah mereka bunuh. Tentang pengobatan, biarlah ayah ibuku yang akan mengobatiku. Eh, siapa namamu?”
“Namaku Ceng Liong.... dan.... dan engkau, nona?”
“Aku Kam Bi Eng dan orang tuaku....”
“Aku sudah tahu dan mendengar dari mereka. Ayahmu seorang pendekar keturunan keluarga Pendekar Suling Emas, bernama Kam Hong, dan ibumu bernama Bu Ci Sian.”
“Ah, mereka itu sedang mencari ayah dan ibu! Mari kita kembali ke sana....” Dara remaja itu bangkit berdiri, akan tetapi ia segera memegangi kepalanya dan memejamkan matanya, terhuyung-huyung sehingga terpaksa Ceng Liong menangkap lengannya agar dara itu tidak sampai jatuh.
“Kenapa, nona....?”
“Kepalaku.... ah, kepalaku pening sekali....” Terpaksa Bi Eng duduk kembali dan setelah duduk barulah ia dapat membuka kedua matanya walaupun masih agak pening. Sepasang matanya nampak kemerahan dan Ccng Liong menjadi semakin khawatir.
“Bagaimana rasanya, nona? Apakah engkau tidak dapat berjalan....?”
Bi Eng menggeleng kepala. “Jangankan berjalan, baru berdiri saja rasanya tanah sekelilingku berombak dan kepalaku pening bukan main.”
“Kalau begitu, mari kupondong engkau....”
“Ihh! Tidak sudi! Jangan kurang ajar engkau, Ceng Liong!” Tiba-tiba Bi Eng menghardik. Pemuda remaja itu memandang dengan mata terbelalak. Selama ini sudah beberapa kali dia bertemu anak perempuan dan selalu sikap mereka itu aneh-aneh. Agaknya nona inipun tidak terkecuali, baru bertemu sudah membuat dia bingung karena wataknya yang aneh.
“Apa salahnya? Bukankah ketika membawamu ke sini akupun memanggulmu, nona? Apanya yang kurang ajar?” dia membantah penasaran.
Agaknya Bi Eng menyadari bahwa dengan tergesa-gesa ia telah menuduh orang. Ia teringat betapa Ceng Liong telah berusaha mengobatinya dan sedikitpun tdak memperlihatkan tanda-tanda atau sikap kurang ajar. Iapun tersenyum. “Maafkan, Ceng Liong, dan jangan engkau menyebut nona-nonaan segala kepadaku. Namaku Bi Eng, lupakah engkau?”
Ceng Liong semakin heran. Dara ini sikapnya berubah-ubah seperti angin di musim hujan! Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangguk. “Baiklah, Bi Eng. Bagaimana sekarang baiknya? Engkau harus cepat diobati oleh ahli dan kalau orang tuamu dapat mengobatimu, itu baik sekali. Akan tetapi engkau tidak dapat berjalan sendiri, dan tidak mau kupondong....”
“Siapa bilang tidak mau?”
“Engkau tadi....”
“Bukankah aku sudah minta maaf? Kalau memang perlu kaupondong dan engkau memondongnya dengan sungguh-sungguh, bukan untuk main-main, tentu saja aku mau.”
Ceng Liong menggeleng-gelengkan kepala dan mengangkat pundak, merasa bodoh dan tidak dapat menyelami hati wanita. “Kalau begitu marilah, non.... eh, Bi Eng.” Dia lalu menggunakan kedua lengannya untuk memondong tubuh dara remaja itu, bukan memanggulnya seperti tadi. Kini Bi Eng tidak pingsan, tentu saja tidak baik kalau dipanggulnya seperti tadi. Dan begitu dipondong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Eng juga merangkulkan lengan kanannya pada pundak dan leher Ceng Liong.
“Tidakkah terlalu berat, Ceng Liong?” tanya Bi Eng, tidak enak hati karena ia merasa mengganggu pemuda itu.
“Engkau? Berat? Tidak, engkau ringan sekali, Bi Eng. Sepuluh kali beratmupun aku masih mampu mengangkatnya.”
“Hemm, jangan sombong. Kalau saja aku tidak keracunan dan dapat mengerahkan sin-kang, hendak kulihat apakah engkau akan mampu memondongku....”
Bersambung ke buku 10