Suling Naga -4 | Kho Ping Hoo



Buku 4

Demikianlah, mulai hari itu, sebulan yang lalu, pemuda yang bernama Bhok Gun itu menjadi ketua Ang-i Mo-pang! Tee Kok menjadi pembantunya, bersama lima orang yang datang bersama Bhok Gun. Dan pada pagi hari itu, seorang di antara lima pembantu Bhok Gun melakukan pemerasan di restoran itu dan orang yang bernasib sial ini bertemu dengan Bi-kwi yang menyebabkan buntungnya sebelah lengannya. Melakukan pemerasan merupakan hal biasa saja bagi Ang-i Mo-pang, maka mendengar betapa orang yang telah menjadi rekannya itu dibuntungi orang lengannya di restoran ketika dia sedang “bekerja”, Tee Kok cepat mengajak lima orang anak buah untuk menyerbu ke restoran. Tak disangkanya bahwa yang dikerjakan oleh rekan barunya itu adalah Ciong Siocia yang amat ditakutinya.

Dapat dibayangkan betapa gemparnya para angauta Ang-i Mo-pang ketika mereka melihat Tee Kok pulang bersama dua orang wanita dan seorang di antara mereka adalah Ciong Siocia! Kini di sarang mereka terdapat dua orang pandai yang tentu akan saling memperebutkan kedudukan dan tentu akan terjadi pertentangan yang seru! Karena mereka semua tahu akan kelihaian Ciong Siocia, juga akan kelihaian ketua baru Bhok Gun, mereka tidak akan berpihak, dan hanya menanti siapa di antara keduanya itu yang akan keluar sebagai pemenang.

Memasuki sarang di mana perkumpulan berpuluh orang berpakaian seragam merah, Bi Lan merasa agak khawatir juga, karena ia merasa seolah-olah memasuki sebuah hutan penuh dengan srigala buas yang berkeliaran. Tidak demikian dengan Bi-kwi. Wanita ini sudah pernah menaklukkan Ang-i Mo-pang dan ia merasa yakin bahwa Tee Kok dan seluruh anggauta perkumpulan itu tidak akan berani mengeroyoknya dan ia hanya akan menghadapi pendatang baru itu saja. Maka ia melangkah memasuki perkampungan Ang-i Mo-pang yang berada di luar kota Kun-ming dengan tenang, bahkan mendahului Tee Kok ketika mereka memasuki gedung utama yang tentu didiami oleh ketua baru itu.

Seorang di antara anak buahnya sendiri sudah cepat memberi kabar kepada Bhok Gun tentang datangnya Tee Kok bersama dua orang wanita, bahkan anak buah yang buntung lengannya dan yang berada di situ pula setelah mengalami pengobatan, juga cepat mengintai dan cepat pula lari kembali ke dalam ruangan besar di mana ketuanya sedang duduk menanti.

“Pangcu, benar siluman perempuan itu yang datang!” katanya dengan tubuh gemetar.

Pria muda itu tersenyum dan tetap duduk di atas kursi yang diberi warna merah pula. Dia sendiri mengenakan pakaian mewah, bukan pakaian merah seperti para anggautanya. Pakaian seorang sasterawan muda yang kaya raya. Dan semenjak Bhok Gun menjadi ketua, ruangan yang luas inipun penuh dengan tulisan-tulisan dan lukisan-lukisan indah, bergantungan di dinding. Ruangan itupun bersih dan rapi, sama sekali tidak dapat disamakan dengan dahulu sebelum dia datang, ruangan itu kotor dan hanya penuh dengan senjata-senjata dan alat-alat penyiksa.

Begitu memasuki ruangan itu, Bi-kwi melihat perobahan besar ini, perobahan yang mencengangkan hatinya. Ia sendiri suka akan kebersihan dan keindahan, karena itu iapun selalu pesolek dan pakaiannya selalu bersih dan indah. Dan pada saat itu ia mendengar suara halus seorang laki-laki, “Kalian semua mundurlah, aku akan menyambut kedatangan nona Ciong yang terhormat!”

Tentu saja tadi ketua baru ini sudah mendengar bahwa yang muncul itu adalah Ciong Siocia yang sebelumnya sudah didengarnya sebagai seorang wanita sakti yang telah menaklukkan Ang-i Mo-pang sebelum dia muncul di situ. Dan mendengar pula bahwa ternyata yang diganggu anak buahnya justeru Nona Ciong itulah!

Ketika Bi-kwi dan Bi Lan memasuki ruangan itu, Tee Kok mengikuti dari belakang dengan jantung berdebar tegang. Diapun maklum bahwa di antara dua kekuasaan ini tentu akan terjadi persaingan dan kalau disuruh memilih, tentu saja dia memilih Bi-kwi. Nona ini benar menganggap dia anak buahnya sebagai pembantu dan taklukan, akan tetapi tidak menuntut kedudukan ketua, bahkan jarang pula datang ke Kun-ming, hanya kalau ada kepentingan saja baru minta bantuan Ang-I Mo-pang. Sebaliknya, orang she Bhok itu ingin mutlak menguasai Ang-i Mo-pang dan menjadi ketua, bahkan tinggal di situ walaupun dia tidak mengenakan pakaian merah.

Sementara itu, mendengar suara laki-laki itu, Bikwi lalu mengangkat muka memandang dengan penuh selidik. Seorang pria yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun, seorang pemuda yang sudah masak, dengan sinar mata tajam dan penuh pengertian, namun sinar mata itupun liar mengandung kecerdikan, bergerak-gerak terus ke sana-sini. Wajahnya pesolek dan tampan, dengan mulut yang selalu tersenyum manis. Kulit muka itu tentu dibedaki tipis, rambutnya yang panjang hitam itu mengkilat karena minyak, dan pakaiannya baru dan indah, pakaian sasterawan dari sutera putih yang dihias warna biru dan merah di sana-sini. Sepatunya yang tinggipun baru mengkilap. Seorang pria yang sungguh tampan dan pesolek, yang akan mudah menjatuhkan hati wanita.

Di lain pihak, Bhok Gun juga mengamati dua orang wanita yang memasuki ruangan dengan sikap tenang itu. Diapun terpesona melihat kecantikan Bi-kwi. Seorang wanita yang sudah matang, usianya tentu sekitar tigapuluh tahun, wajahnya cantik manis, pakaiannya mewah. Tentu ini yang disebut Ciong Siocia oleh Tee Kok dan para anggauta Ang-i Mo-pang. Akan tetapi, matanya yang sudah berpengalaman itu melirik pula ke arah Bi Lan dan diam-diam diapun terpesona oleh dara yang biarpun pakaiannya sederhana, namun dia tahu merupakan dara yang menggairahkan, bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar dan belum disentuh lebah atau kupu-kupu yang nakal.

Setelah dua orang wanita itu tiba di depannya, Bhok Gun lalu bangkit berdiri dan menyambut mereka dengan sikap hormat. Dia menjura kepada mereka dan berkata dengan suara halus dan senyum ramah gembira, “Selamat datang di perkumpulan kami Ang-i Mo-pang, ji-wi siocia (dua orang nona)!”

Bi Lan adalah seorang gadis yang pada hakekatnya berwatak gembira dan ramah, maka menghadapi sikap tuan rumah yang tersenyum-senyum ramah dan hormat, ia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak membalas penghormatan itu dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. Akan tetapi, Bi-kwi hanya mengerutkan alisnya. Biarpun hatinya tertarik oleh gaya laki-laki yang ganteng ini, namun karena ia sedang marah mencari orang yang berani mengambil alih kedudukan di perkumpulan itu, diam saja dan hanya memandang tajam penuh selidik.

Tee Kok yang merasa tidak enak segera berkata! sambil berdiri berlindung di belakang Bi-kwi, “Bhok Pangcu, ini adalah Ciong Siocia.... eh, pelindung kami.... dan Siocia ingin menemui pangcu dan ingin bicara....“

Bhok Gun memperlebar senyumnya dan kembali menjura kepada Bi-kwi. “Sudah kuduga dari tadi bahwa nona tentulah Ciong Siocia. Silahkan duduk dan mari kita bicara dengan baik.” Pemuda tampan itu mempersilahkan dengan tangannya, akan tetapi Bi-kwi tetap berdiri tegak, bahkan kini berkata dengan suara lantang dan ketus, walaupun suara itu dibikin bernada merdu.

“Selamanya aku hanya mengenal Tee Kok sebagai Pangcu (Ketua) Ang-i Mo-pang! Siapakah engkau yang datang menyambut aku dan sumoi?”

Diam-diam Bhok Gun tertegun. Kiranya gadis muda yang sederhana itu adalah sumoi dari Ciong Siocia. Kalau begitu berarti dia akan menghadapi dua orang wanita yang lihai dan dia harus berhati-hati. Akan tetapi wajahnya tetap tersenyum ramah dan dia mengangguk dengan tubuh membungkuk ketika menjawab.

“Aku bernama Bhok Gun dan melihat Ang-i Mo-pang kurang kuat, aku bermaksud untuk memperkembangkannya menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat di dunia. Untuk dapat menjadi perkumpulan yang hebat, tentu saja Ang-i Mo-pang harus dipimpin orang yang mampu, yang pandai, tidak sekedar memiliki beberapa ilmu pukulan seperti Tee Kok. Maka aku datang dan mengambil alih kepemimpinan.”

“Hemm, kau sungguh lancang! Apakah tidak tahu bahwa Ang-i Mo-pang mempunyai seorang pelindung? Tanpa persetujuanku, bagaimana engkau dapat menjadi pangcu baru?”

Bhok Gun tersenyum dan kembali menjura. “Maaf, Siocia. Kalau begitu setelah kini kita saling berhadapan, biarlah aku minta persetujuanmu!” Bi-kwi tersenyum mengejek. Bagaimanapun juga, sikap ketua baru yang ramah dan selalu hormat itu menyenangkan hatinya. Kalau benar orang ini memiliki kepandaian yang tinggi dan dapat menjadi pembantunya, hemm, tentu jauh lebih menyenangkan dari pada mempunyai pembantu seperti Tee Kok yang sudah tua dan buruk rupa itu, apa lagi memang ilmu silat Tee Kok tak dapat terlalu diandalkan.

“Tidak begitu mudah! Menjadi ketua Ang-i Mo-pang berarti menjadi pembantuku, dan aku harus membuktikan dulu apakah kau pantas menjadi pembantuku.”

Semua orang memandang dengan hati tegang. Tibalah saatnya yang menegangkan kini. Gadis sakti itu, yang ditakuti semua anggauta Ang-i Mo-pang, telah mengeluarkan tantangannya. Akan tetapi, Bhok Gun sama sekali tidak kelihatan jerih dan masih tersenyum-senyum ketika melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu, lalu berdiri tegak dan menjawab, suaranya halus namun ramah dan tegas.

“Silahkan, Siocia. Engkau akan mendapat kenyataan bahwa bagaimanapun juga, aku tidak dapat disamakan dengan Tee Kok. Harap saja engkau suka menaruh kasihan kepadaku dan tidak menurunkan tangan kejam.”

“Kita lihat saja nanti!” kata Bi-kwi sambil melangkah menghampiri pemuda itu.

“Suci, hati-hati....” bisik Bi Lan karena gadis ini melihat betapa sikap pemuda itu amat tenangnya, dan sikap ini saja membayangkan bahwa pemuda itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga demikian yakin akan kekuatannya sendiri.

Bi-kwi hanya tersenyum mendengar peringatan sumoinya. Iapun bukan orang bodoh dan melihat sikap pemuda tampan mewah ini iapun melihat betapa pemuda ini memiliki sikap yang amat tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, seperti yang juga dimiliki pemuda di restoran tadi dan ia dapat menduga bahwa orang inipun tentu amat lihai. Maka begitu berhadapan, ia mengeluarkan seruan melengking dan menyerang dengan dahsyatnya memainkan jurus dari Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang dari Raja Iblis Hitam.

“Haiiittt....!” Lengan Bi-kwi meluncur ke depan dengan cengkeraman ke arah dada lawan. Bhok Gun dengan sikap tenang melangkah mundur untuk menghindarkan diri, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget ketika lengan gadis itu mulur memanjang dan masih melanjutkan cengkeramannya dengan hebat. Lengan Bi-kwi mulur dan bertambah panjang tidak kurang dari setengah meter!

Terpaksa Bhok Gun menangkis dengan cepat karena hampir saja dadanya kena dicengkeram.

“Dukk....!” Keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar dan Bi-kwi sudah melanjutkan serangan-serangannya dengan mempergunakan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang yang lihai itu. Namun, ketua Ang-i Mo-pang yang baru itu selalu dapat menghindarkan diri sambil berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan heran. Agaknya dia mengenal jurus-jurus ini karena dia dapat menghindarkan diri dengan gerakan yang amat tepat.

Bi-kwi merasa penasaran dan iapun cepat menyelingi serangan dengan jurus-jurus Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapanbelas Jurus Lutung Hitam) dengan tendangan-tendangan istimewa Pot-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) dari Iblis Akhirat. Kembali Bhok Gun mengeluarkan seruan heran akan tetapi yang merasa semakin penasaran adalah Bi-kwi karena pemuda itu kembali dapat menghindarkan diri dengan baik sekali dari serangan-serangannya, baik yang dilakukan dengan jurus Hek-wan Sip-pat-ciang maupun tendangan-tendangan Pat-hong-twi. Pemuda itu seperti telah mengenal semua gerakannya sehingga dapat menghindarkan diri dengan tepat sekali. Dengan gemas ia lalu mengeluarkan Ilmu Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) dari Iblis Mayat Hidup. Kedua tangannya mengeluarkan suara berdesing karena iapun sudah mengerahkan tenaga Kiam-ciang yang amat dahsyat itu.

“Ehhh....!” Bhok Gun berseru kaget sekali dan dia meloncat mundur. Sudah belasan jurus dia diserang dan dia hanya mengelak dan menangkis terus.

“Nona, kausambutlah ini!” bentaknya dan kini dia balas menyerang. Kini giliran Bi-kwi yang merasa heran dan kaget karena serangan-serangan pemuda itu mengandung dasar ilmu silat yang dimilikinya, bahkan terkandung unsur-unsur semua ilmu silat yang dipelajarinya dari tiga orang gurunya. Ia mengelak sambil berloncatan dan balas menyerang. Sampai kurang lebih limapuluh jurus mereka saling serang dan akhirnya Bhok Gun meloncat ke belakang.

“Nona, tahan! Aku mengenal ilmu silatmu. Apakah engkau murid Sam Kwi?”

Bi-kwi berhenti bergerak, dan kini ia menghunus pedangnya. Dengan marah ia memandang pemuda itu, lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka lawan. “Orang she Bhok, sebelum mampus di ujung pedangku, katakanlah, siapa sebenarnya engkau dan dari mana engkau mengenal ilmu-ilmuku tadi?”

Akan tetapi, pemuda itu memandang dengan senyum lebar dan tiba-tiba dia berkata dengan ramah sekali. “Sumoi, harap kau suka simpan kembali pedangmu.”

Tentu saja Bi-kwi dan Siauw-kwi terkejut bukan main mendengar ucapan ini. Mereka memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak. “Kau bohong!” Bi-kwi membentak. “Ketiga orang suhu kami tidak pernah mempunyai murid laki-laki, bahkan tidak mempunyai murid lain kecuali kami berdua!”

“Engkau benar, karena memang aku bukanlah murid ketiga susiok Sam Kwi. Akan tetapi, marilah kita bicara di dalam dan kalian akan mendengar siapa sebenarnya aku dan mengapa aku menyebut kalian sumoi. Marilah.” Bhok Gun lalu memberi isyarat kepada Tee Kok dan para anggauta Ang-i Mo-pang untuk bubaran. Semua anggauta itu tentu saja merasa kecewa. Mereka tadinya mengharapkan untuk nonton perkelahian yang seru dan mati-matian. Akan tetapi ternyata perkelahian tadi tidak berakhir dengan kalah menangnya seorang di antara mereka, bahkan agaknya mereka itu masih ada hubungan keluarga seperguruan! Akan tetapi, tentu saja mereka tidak berani membantah dan Tee Kok lalu menyuruh mereka semua mengundurkan diri.

Bhok Gun mengajak dua orang gadis itu duduk di ruangan dalam, di bagian belakang dan di ruangan inipun keadaannya amat mewah dan menyenangkan. Jendela-jendela dibuka sehingga hawanya sejuk dan dipasangi tirai sutera sehingga keadaan dalam kamar tidak nampak dari luar.

Setelah dua orang tamunya duduk, Bhok Gun lalu bercerita dan dua orang gadis itu mendengarkan dengan penuh perhatian, juga dengan hati mengandung perasaan heran. Dengan suara yang halus dan sikap yang menarik, pria yang ternyata memiliki banyak sekali pengalaman itu bercerita.

Kiranya dia adalah cucu murid dari mendiang Pek-bin Lo-sian, kakek yang menjadi keturunan terakhir dari perguruan mereka yang menguasai pusaka Pedang Suling Naga. Selama hidupnya, Pek-bin Lo-sian tidak pernah menikah dan dia memiliki seorang murid tunggal yang setelah tamat belajar, diusirnya karena watak murid ini amat curang dan keji terhadap gurunya sendiri. Hampir saja murid ini membunuh Pek-bin Lo-sian ketika dia hendak merampas pusaka Liong-siauw-kiam. Untung bahwa Pek-bin Lo-sian masih memiliki kelebihan dari pada muridnya sehingga murid itu dapat dikalahkan dan murid itu melarikan diri dengan menderita luka-luka.

“Nah, murid dari su-kong Pek-bin Lo-sian itu lalu pergi merantau, memperdalam ilmunya dan akulah murid tunggalnya. Setelah merasa kuat, guruku pergi mencari su-kong untuk merampas Liong-siauw-kiam, akan tetapi ternyata su-kong telah tewas dan pusaka itu telah diserahkan kepada orang lain.”

“Seorang pendekar....“ kata Bi-kwi pahit.

“Benar, seorang pendekar! Inilah yang menjengkelkan hati guruku. Su-kong sendiri adalah seorang datuk golongan hitam, sejak dahulu kita semua, perguruan kita, memusuhi golongan pendekar yang sombong. Eh, pusaka itu oleh su-kong malah diwariskan kepada seorang pendekar yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perguruan kita. Guruku lalu menyuruh aku untuk turun gunung dan pergi mencari pendekar yang menguasai pusaka Liong-siauw-kiam itu, membunuh dan merampas pusaka.”

Ini merupakan cerita baru yang amat mengejutkan hati Bi-kwi. Kiranya kakek Pek-bin Lo-sian ini masih mempunyai cucu murid yang begini lihai!

Dengan begini, ia mendapatkan seorang saingan tangguh dalam memperebutkan pusaka Liong-siauw-kiam! Akan tetapi, ia masih ragu-ragu dan belum percaya sepenuhnya akan keterangan Bhok Gun, maka ia mengambil keputusan untuk menyelidiki terus dan baru mengambil tindakan kalau sudah jelas siapa sesungguhnya orang ini.

“Kalau kau ditugaskan untuk mencari Liong-siauw-kiam, kenapa engkau mengambil alih kekuasaan Ang-i Mo-pang?”

“Aih, masa begitu saja engkau tidak dapat menduganya, sumoi?”

“Jangan sebut sumoi, aku masih ragu-ragu apakah engkau benar saudara seperguruanku!” kata Bi-kwi ketus.

Bhok Gun tersenyum. “Baiklah, nona. Kita bicara sampai engkau yakin benar. Aku turun gunung dan tidak tahu siapa adanya pendekar yang diwarisi Suling Naga. Ketika aku mendengar tentang Ang-i Mo-pang di kota ini, aku mempunyai akal untuk dapat mengumpulkan pengaruh dan pembantu, yang memang sudah kulakukan dengan menaklukkan, lima orang perampok yang kujumpai di tengah jalan. Dengan mengepalai sebuah perkumpulan besar seperti Ang-i Mo-pang, tentu aku akan dapat dengan mudah melakukan penyelidikan dan siapa tahu, aku mebutuhkan bantuan mereka dalam menghadapi musuh-musuhku. Dan ternyata dugaanku, karena Tee Kok tahu siapa pendekar yang mewarisi pusaka itu. Katanya seorang pendekar yang lihai bukan main....“

“Si mulut panjang Tee Kok!” Bi-kwi mengomel.

“Ha-ha, bajingan kecil macam dia mana bisa menyimpan rahasia? Tentang dirimu, dia hanya mengatakan bahwa Ciong Siocia adalah seorang lihai yang melindungi Ang-i Mo-pang, sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa engkau adalah murid Sam Kwi susiok.”

“Dia mana tahu?”

“Akan tetapi dia juga menceritakan bahwa engkau berusaha merampas pedang pusaka suling naga itu, bahkan dia juga membantumu akan tetapi kalian gagal dan dikalahkan pendekar pemegang suling naga. Sama sekali tidak pernah kusangka bahwa di antara kita masih ada hubungan saudara seperguruan, baru kuketahui ketika engkau menyerangku dengan jurus-jurus yang tidak asing bagiku tadi.”

Biarpun kini ia hampir yakin bahwa memang pemuda ini benar cucu murid Pek-bin Lo-sian, akan tetapi ia masih merasa tidak senang kalau dalam usahanya mendapatkan saingan. Untuk memancing sikap pemuda itu, tiba-tiba ia berkata, “Su-kongmu itu akulah yang membunuhnya!“ Setelah berkata Bhok Gun memang kaget bukan main sampai meloncat bangun dari tempat duduknya, akan tetapi bukan karena marah. Ia malah tersenyum kagum. “Aih, untung tadi tidak dilanjutkan pertandingan itu, kalau dilanjutkan tentu aku akan kalah. Kalau engkau sudah mampu membunuh su-kong, jelas bahwa ilmu kepandaianmu amat tinggi, lebih tinggi dari tingkatku!”

Tentu saja kata-kata ini hanya pujian saja karena sebelum mati, Pek-bin Lo-sian sudah menderita luka parah ketika bertanding melawan Sim Houw, juga usianya sudah amat tua sehingga tenaganya sudah lemah. Selain itu, guru Bhok Gun tidak dapat dinilai sebagai murid Pek-bin Lo-sian yang tingkat kepandaiannya kalah oleh kakek itu sendiri. Guru Bhok Gun sudah memperdalam ilmunya selama puluhan tahun.

Akan tetapi Bi-kwi tersenyum mengejek. “Kalau ilmu simpananku tadi kukeluarkan, mungkin kita tidak lagi dapat bercakap-cakap seperti ini.” Yang dimaksudkannya adalah ilmunya yang baru-baru ini ia pelajari dari ketiga orang suhunya, yaitu Ilmu Silat Sam Kwi Cap-sha-kun!

“Sudah lama aku mendengar dari guruku tentang ke tiga susiok Sam Kwi. Dan ingin aku mencari dan memperkenalkan diri, akan tetapi guruku melarang dan mengatakan bahwa sudah sejak muda susiok Sam Kwi tidak mempunyai hubungan dengan kami. Kini aku bertemu dengan kalian yang menjadi murid-murid susiok Sam Kwi, bukankah ini menggirangkan hati sekali? Kita masih saudara seperguruan, dan engkau juga mencari pusaka itu.”

“Dan engkau juga mencarinya. Berarti kita adalah saingan!” kata Bi-kwi.

Bhok Gun tertawa. “Ah, mana aku begitu bodoh untuk memperebutkan benda begitu saja dengan kalian yang menjadi sumoi-sumoiku sendiri? Tidak, kami, yaitu aku dan guruku, mempunyai urusan yang lebih penting lagi dan kita dapat bekerja sama dalam hal ini. Dengan saling membantu, kuyakin cita-cita kita akan dapat terpenuhi semua dan tentang pusaka Liong-siauw-kiam, kalau memang engkau menghendaki, biarlah kelak untukmu. Aku akan membantumu sampai pusaka itu dapat kita rampas, akan tetapi engkaupun mau membantu kami dalam urusan kami.

“Urusan apakah itu?” Bi-kwi mulai tertarik karena kalau pemuda ini mempunyai urusan yang dianggap lebih penting dari pada pusaka Liong-siauw-kiam, tentu urusan itu amat besar. “Terus terang saja, cita-citaku adalah menguasai Liong-siauw-kiam dan menjadi beng-cu dari dunia hitam.” Ia mendahului agar pemuda itu mengetahui di mana ia berdiri.

Bhok Gun mengangguk-angguk. “Cita-cita yang baik dan mengagumkan, dan aku yakin, dengan kepandaian kalian, maka kalian akan berhasil.”

“Aku hanya membantu suci!” tiba-tiba Bi Lan berkata.

Bhok Gun memandang kaget. Karena sejak tadi diam saja dan hanya menjadi pendengar, kehadiran gadis ini seperti bayangan saja, oleh karena itu begitu mengeluarkan suara, mengejutkan hati Bhok Gun. Pemuda ini memandang wajah yang manis itu dan tersenyum lebar.

“Tentu saja, cita-cita sucimu adalah cita-citamu juga.”

“Aku tidak bercita-cita, aku hanya membantu suci mencapai kedua cita-citanya itu untuk memenuhi janjiku kepadanya,” kata Bi Lan dan iapun menentang pandang mata sucinya dan pemuda itu dengan berani, agaknya untuk menekankan bahwa ia tidak mau terlibat dalam urusan mereka berdua.

Diam-diam Bhok,,Gun merasa heran sekali. Sumoi muda ini agaknya sama sekali tidak takut terhadap sucinya, bahkan ada sikap menentang! Kenapa sang suci diam saja? Bukankah dengan kepandaiannya yang tinggi, suci ini dapat menekan sumoinya?

“Orang she Bhok, lanjutkan ceritamu tentang urusanmu itu,” tiba-tiba Bi-kwi berkata seolah-olah tak suka mendengar sumoinya bicara.

“Sumoi, terus terang saja, urusan ini adalah rahasia besar yang tidak boleh kubicarakan dengan siapapun juga. Kalau kalian mengaku aku sebagai suheng, tentu saja persoalannya lain lagi. Sebagai adik-adik seperguruan, tentu saja kalian boleh mendengar urusan itu.”

Watak Bi-kwi memang keras. Tadi, melihat sikap lunak dan ramah dari Bhok Gun, ia mau bicara, akan tetapi begitu Bhok Gun memperlihatkan sikap menantang, iapun bangkit berdiri.

“Orang she Bhok, jangan kira engkau akan dapat memaksaku! Engkau tidak menceritakan urusanmu itupun tidak mengapa, dan akupun tidak membutuhkan bantuanmu. Akan tetapi yang jelas, engkau harus meninggalkan Ang-i Mo-pang atau kita akan berkelahi sampai mati!”

Bi-kwi berdiri tegak, sikapnya menantang, sepasang matanya memancarkan sinar berapi. Hidungnya yang kecil mancung itu kembang-kempis seolah-olah mengeluarkan napas yang panas. Sejenak Bhok Gun memandang terpesona. Bukan main wanita ini, pikirnya. Betapa panasnya! Kalau menjadi seorang kekasih, tentu hebat!

“Tenanglah, nona.” Bhok Gun berkata sambil tersenyum lagi, maklum akan kekeliruannya telah bersikap keras tadi dan dia mulai mengenal watak wanita cantik ini. “Coba bayangkan baik-baik. Dibantu oleh seorang seperti Tee Kok, apa artinya? Sebaliknya kalau aku membantumu, agaknya tidak akan ada urusan yang tidak beres. Kita berdua, apa lagi bertiga, tentu akan mudah membunuh pendekar yang menguasai Liong-siauw-kiam itu. Maka, marilah kita bicara lagi dengan baik. Duduklah dan dengarkan ceritaku.”

Melihat pemuda itu bersikap lembut, dan nampak tampan sekali dengan senyumnya yang memikat, hati Bi-kwi sabar dan tenang kembali. Akan tetapi ia masih cemberut ketika ia duduk kembali.

“Dengarlah baik-baik dan jangan sekali-kali membiarkan urusan ini sampai terdengar orang lain. Kami, guruku dan aku, telah menjadi pembantu-pembantu utama di luar pengetahuan orang lain, sebagai pembantu-pembantu rahasia, dari Hou-taijin di kota raja.”

Bi-kwi menjebikan bibirhya. Urusan begitu saja dirahasiakan, pikirnya. Apa sih hebatnya menjadi antek pembesar? Bahkan dianggapnya sebagai pekerjaan hina dan rendah! Masa orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi, yang mempunyai kedudukan tinggi pula di dunia hitam, sudi menjadi antek segala macam pembesar?

“Siapa sih Hou-taijin itu?” tanyanya dengan suara jelas mengandung ejekan.

Kini Bhok Gun yang memandang dengan sinar mata penuh keheranan. “Sumoi eh, nona! Benarkah engkau belum pernah mendengar tentang Hou-taijin di kota raja?”

Bi-kwi menggeleng. “Aku tak ada urusan dengan segala pembesar brengsek!“

“Ah, kalau begitu nona ketinggalan jaman! Semua orang membicarakan tentang Hou-taijin! Bayangkan saja, kalau ada orang yang tadinya bekerja sebagai kuli, sebagai pemanggul joli kini dapat mencapai pangkat sehingga dicalonkan sebagai perdana menteri kerajaan, apakah orang itu tidak hebat sekali?”

Bi-kwi tercengang juga. Tak dapat disangkal lagi. Orang itu tentu hebat. Ia mengerti bahwa pangkat perdana menteri hanya satu tingkat di bawah kaisar! Bahkan pernah ia mendengar bahwa urusan kerajaan bahkan dikendalikan oleh tangan perdana menteri, sedangkan kaisar hanya mengangguk setuju atau menggeleng tak setuju saja. Kalau menjadi pembantu-pembantu seorang calon perdana menteri, ini lain lagi urusannya dan iapun mulai tertarik.

Melihat sikap Bi-kwi yang mulai tertarik, Bhok Gun melanjutkan ceritanya. “Sekarangpun guruku sudah berada di kota raja. Kami menjadi pembantu-pembantu rahasia dari Hou-taijin. Tugas kami selain melaksanakan perintah-perintah rahasia, juga kami ditugaskan untuk mempengaruhi seluruh tokoh dunia hitam agar dapat menjadi pendukungnya. Untuk itu, selain hadiah berupa harta benda yang amat besar, juga mereka yang berjasa akan diberi hadiah kedudukan.”

“Hemm, apa artinya harta benda?” kata pula Bi-kwi.

“Tentu saja guruku dan aku tidak butuh harta benda. Apa sukarnya kalau kita membutuhkan harta benda? Tinggal ambil saja dari rumah-rumah para hartawan. Akan tetapi bukan itu yang menjadi cita-cita kami, akan tetapi pangkat tinggi! Kalau sampai aku kelak menerima anugerah pangkat tinggi, misalnya panglima atau setidaknya kepala suatu daerah, bukankah itu jauh lebih berarti dari pada sekedar harta benda? Ingat, tanpa hubungan baik dengan seorang pembesar tinggi yang berpengaruh, hanya mengandalkan kepandaian silat saja, tidak mungkin kita dapat menjadi seorang pembesar yang menduduki pangkat tinggi. Seorang datuk di dunia hitam, walaupun disembah-sembah, akan tetapi hanya oleh golongan hitam saja. Sebaliknya, seorang pembesar tinggi akan dihormat dan disembah oleh semua golongan, dengan kekuasaan yang tak terbatas.”

“Hemm, dan bagaimana engkau akan dapat mempengaruhi para tokoh dunia hitam untuk mendukung pembesar she Hou itu?”

“Tentu saja dengan meraih kedudukan pimpinan dunia hitam!”

“Akan tetapi itulah cita-citaku, merampas pusaka Liong-siauw-kiam dan mengangkat diri menjadi bengcu!” kata pula Bi-kwi dengan alis berkerut.

“Bagus! Aku akan membantumu, sumoi. Aku membantumu merampas pusaka dan membantumu menjadi bengcu, kemudian engkau dengan pengaruhmu membantu aku. Bukankah ini menjadi suatu kerja sama yang amat baik dan saling menguntungkan?”

Bi-kwi benar-benar merasa tertarik sekarang.

Tentu saja ia memandang dari segi yang menguntungkan dirinya. Kalau dibantu oleh seorang yang lihai seperti laki-laki ini, tentu saja harapannya lebih besar untuk dapat merampas pusaka dari tangan Pendekar Suling Naga yang sakti itu. Juga dalam mengangkat diri menjadi bengcu, tentu ia akan menghadapi banyak saingan, maka tenaga bantuan seorang seperti Bhok Gun, apa lagi kalau orang ini masih terhitung saudara seperguruannya, tentu saja amat berharga.

“Hemm, aku masih belum yakin apakah dapat bekerja sama denganmu ataukah tidak,” katanya dan sepasang mata yang tajam itu menyambar-nyambar seperti kilat menjelajahi seluruh muka dan tubuh Bhok Gun penuh selidik. Bhok Gun merasa seluruh tubuhnya seperti diraba-raba yang membuatnya panas dingin. Hebat wanita ini, sinar matanya saja mampu membuatnya terangsang.

“Memang harus dibuktikan dulu apakah kita akan dapat bekerja sama,” katanya sambil bangkit berdiri dan memandang dengan sinar mata penuh gairah dan ajakan. “Mau sama-sama kita buktikan sekarang juga?” Ajaknya dengan ulungan tangan.

Bi-kwi tersenyum. Ia suka kepada pria ini, seorang pria yang berpengalaman dan penuh pengertian, dan agaknya, melihat ketampanan wajahnya dan ketegapan tubuhnya, menjanjikan sesuatu yang akan amat menyenangkan dirinya. Maka iapun bangkit dan menghampiri pria itu, menoleh kepada Bi Lan sambil berkata, “Sumoi, kita tinggal di sini selama beberapa hari, baru melanjutkan pejalanan.”

Bhok Gun tersenyum. “Jangan khawatir, sumoimu akan memperoleh pelayanan yang istimewa.” Dia bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan wanita yang muda dan cantik-cantik.

“Berikan kamar tamu yang terbaik, di sebelah kiri kamarku itu, kepada nona ini dan layani ia sebaik mungkin sebagai seorang tamu agung. Malam ini sediakan hidangan termewah untuk menghormati dua orang tamu agung,” kata Bhok Gun dan dua orang wanita itu membungkuk dengan hormat sambil tersenyum manis.

“Marilah, sumoi.... eh, Ciong Siocia!” kata Bhok Gun sambil menggandeng tangan Bi-kwi yang hanya tersenyum dan merekapun pergi masuk ke dalam. Bi Lan mengerutkan alisnya. Ia sudah mengenal watak cabul dari sucinya dan tahu bahwa sucinya telah menarik tuan rumah itu sebagai seorang kekasih baru. Ia tidak perduli akan hal ini, hanya merasa tak enak dan canggung harus berada seorang diri di tempat asing itu. Akan tetapi iapun tidak membantah ketika dua orang wanita pelayan itu dengan hormat mempersilahkan ia ke kamarnya yang ternyata merupakan sebuah kamar yang indah dan mewah pula.

Siapakah sebetulnya pembesar bernama Hou Seng yang disebut-sebut oleh Bhok Gun itu? Bukankah kita sudah tahu bahwa pemuda Gu Hong Beng juga membawa tugas dari gurunya, pendekar sakti Suma Ciang Bun, untuk menyelidiki pembesar Hou Seng di kota raja! Siapakah Hou Seng ini dan mengapa dia begitu penting?

Di dalam kehidupan kaisar Kian Liong, seperti juga kehidupan para kaisar-kaisar lainnya, terdapat banyak rahasia yang tidak dicatat dalam sejarah. Pada waktu itu, kekuasaan kaisar tak terbatas dan tentu saja yang dicatat dalam sejarah hanya kebaikan-kebaikan seorang kaisar saja. Keburukan-keburukannya selalu disembunyikan dan siapa berani membicarakan apalagi mencatatnya, tentu akan dihukum mati, mungkin sekeluarganya agar rahasia busuk itu tidak sampai bocor keluar. Karena itu, di dalam sejarah, Kaisar Kian Liong hanya dikenal sebagai seorang kaisar yang amat bijaksana dan baik, dan memang banyak sudah jasanya untuk kemajuan pemerintah Ceng-tiauw atau pemerintah Mancu. Akan tetapi di balik semua itu, sebagai seorang manusia biasa, tentu saja ia memiliki kelemahan-kelemahannya dan satu diantara kelemahannya adalah bahwa kaisar seorang yang tidak membatasi dirinya dalam kesenangan memuaskan nafsu berahinya. Banyak sudah dia terlibat dalam hubungan jina dengan wanita-wanita yang bukan isteri atau selirnya. Dan wanita-wanita itu biarpun isteri pembesar dalam istana atau siapa saja, agaknya dengan senang hati akan melayani kaisar yang merupakan orang yang paling berkuasa itu, disamping bahwa memang Kaisar Kian Liong seorang pria yang menarik.

Akan tetapi, setelah kini kaisar itu berusia kurang lebih setengah abad, terjadi suatu keanehan pada dirinya. Keanehan ini memang pada waktu itu banyak hinggap pada para pembesar-pembesar tinggi, yaitu mengalihkan kegemaran akan wanita-wanita muda yang cantik jelita kepada kegemaran mempunyai pelayan-pelayan pria muda yang tampan. Kegemaran tidur dikawani seorang wanita muda berobah menjadi kegemaran tidur ditemani seorang pemuda tampan!

Ketika pada suatu hari Kaisar Kian Liong naik joli untuk pergi ke bagian lain dari istananya yang amat luas itu, untuk mengunjungi sebuah taman bunga mawar yang sedang berkembang dengan indahnya, tanpa disengaja pandang matanya bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan ketika pandang mata kaisar melihat wajah pemuda ini dari samping, hampir saja kaisar ini berseru kaget. Wajah itu mirip sekali dengan wanita yang pernah membuatnya tergila-gila! Terkenanglah Kaisar Kian Liong akan peristiwa itu, peristiwa yang terjadi ketika dia masih menjadi pangeran, menjadi putera mahkota yang disanjung dan dimanja. Ketika itu dia masih muda, baru delapan belas tahun usianya dan semuda itu dia sudah mempunyai banyak pengalaman dengan wanita. Dan seperti biasa, kalau orang menuruti nafsu, maka nafsu akan memperhambanya. Makin dituruti nafsu, makin hauslah dia!

Pada waktu itu, ayahnya, kaisar tua, baru saja memperoleh seorang selir dari daerah barat, seorang gadis yang amat cantik. Melihat selir ayahnya ini, hati Pangeran Kian Liong tergila-gila dan diapun menggunakan segala usaha untuk dapat memetik bunga harum yang telah disimpan ayahnya itu. Akan tetapi, sungguh tak pernah disangkanya bahwa selir muda itu ternyata amat setia kepada kaisar yang tua, dan biarpun pada waktu itu Pangeran Mahkota Kian Liong terkenal sebagai seorang pemuda yang penuh gairah dan tampan, segala bujuk rayu pangeran itu ditolaknya mentah-mentah! Hal ini membuat hati Kian Liong penasaran bukan main. Pada suatu malam, dia berhasil memasuki kamar selir ini selagi ayahnya menggilir selir lain dan kembali dia membujuk, merayu dan bahkan hendak mempergunakan kekerasan terhadap diri selir itu. Akan tetapi sang selir tetap menolak dan ketika hendak diperkosa, ia menjerit-jerit! Tentu saja hal ini menimbulkan aib. Pada saat itu, ibunda permaisuri lalu mengambil tindakan. Urusan dibalikkan dan selir itu yang dituduh hendak menggoda sang pangeran mahkota, maka iapun dipaksa harus membunuh diri dengan menggantung diri!

Demikianlah kekuasaan keluarga kaisar di waktu itu. Bagi keluarga kaisar, tidak ada kesalahan! Kesalahan tidak terdapat dalam kamus keluarga kerajaan. Segala yang dilakukan adalah benar, maka yang bersalah tentu saja si selir, yang hanya merupakan keluarga sampingan atau pendatang dari luar!

Akan tetapi, wajah selir itu tak pernah dapat dilupakan Kian Liong. Dia merasa menyesal sekali tidak dapat memiliki wanita itu. Makin dibayangkan, semakin penasaran hatinya. Belum pernah dia ditolak oleh seorang wanita sebelum itu, dan satu-satunya wanita yang menolaknya itu tentu saja mendatangkan kesan yang amat mendalam di hatinya.

Demikianlah, ketika dia berusia hampir setengah abad, melihat wajah seorang pemikul joli itu demikian mirip dengan wanita yang pernah digilainya, hatinya tergerak. Apa lagi ketika dia mendengar keterangan bahwa Hou Seng, demikian nama pemikul tandu berusia hampir tigapuluh tahun itu, dilahirkan pada hari yang sama dengan kematian wanita yang dipaksa menggantung diri, yakinlah hati Kaisar Kian Liong bahwa Hou Seng adalah penjelmaan kembali dari selir ayahnya yang digilainya itu!

Mungkin terdorong oleh kepercayaan ini, atau memang dia sudah bosan dengan wanita-wanita muda, mulai hari itu, Hou Seng menjadi pelayan dalam yang tidak dikebiri! Menjadi pelayan pribadi kaisar dan menemani kaisar itu dalam kamar tidurnya! Dan mulailah bintang Hou Seng naik dengan gemilang. Apa lagi dia memang orang yang cerdik sekali. Begitu dia memperoleh perhatian kaisar, setiap ada waktu senggang dia pergunakan untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu baca tulis, tentang sastera, tentang ketatanegaraan sehingga dia terus menanjak menjadi pejabat tinggi dalam istana. Bahkan akhir-akhir ini ramai diperbincangkan orang di kalangan istana bahwa pembesar Hou Seng ini dicalonkan untuk menjadi perdana menteri, menggantikan perdana menteri tua yang akan mengundurkan diri.

Setiap hasil yang baik seseorang biasanya memancing datangnya rasa iri hati dari orang lain, terutama kalau orang lain itu berkecimpung di dalam satu bidang pekerjaan. Apa lagi kalau hasil baik itu didapatkan dengan cara yang dianggap tidak wajar. Demikian pula dengan Hou Seng. Banyak rekanya para pembesar, para pamong praja dan para mentri, bahkan panglima, merasa iri hati dan banyak yang membencinya. Seperti biasa pada jaman itu pria yang dijadikan selir rahasia atau teman tidur seorang pria lain, dinamakan Kelenci, julukan untuk seorang seperti Hou Seng. Diapun diam-diam dimaki orang dengan julukan Kelenci Istana!

Hou Seng bukan tidak maklum bahwa dirinya dibenci banyak orang. Bahkan ada pula yang mengancam untuk membunuhnya kalau ada kesempatan. Oleh karena ini, Hou Seng semakin merapatkan diri dengan kaisar untuk memperoleh perlindungan, dan selain itu, diapun mulai menyusun kekuatannya sendiri agar selain dapat melindungi dirinya, juga dapat membalas, bahkan kalau mungkin menghancurkan dan membasmi musuh-musuhnya!

Sebagai seorang pembesar sipil, tentu saja dia tidak bisa memperoleh perlindungan pasukan bala tentara, kecuali sepasukan kecil pengawal saja. Oleh karena itulah maka dia mulai mengadakan hubungan ke luar istana. Tentu saja yang dapat dikaitnya adalah tukang-tukang pukul, penjahat-penjahat dan ahli-ahli silat yang ingin memperoleh uang banyak dari keahliannya itu. Akhirnya dia berkenalan dengan Bhok Gun dan gurunya yang melihat kesempatan baik untuk mengangkat diri mereka dengan harapan kelak akan memperoleh kedudukan tinggi melalui kekuasaan Hou Seng. Dan karena guru dan murid ini memang memiliki kepandaian tinggi, segera mereka memperoleh kepercayaan Hou Seng. Apa lagi ketika Bhok Gun dan gurunya telah membuat jasa besar dengan melakukan pembunuhan secara rahasia terhadap beberapa orang pembesar tinggi yang menjadi musuh-musuh utama dari Hou Seng. Tidak kurang dari tujuh orang pembesar musuhnya, kedapatan mati di dalam kamar masing-masing tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya. Tentu saja Hou Seng tahu karena dialah yang mengutus Bhok Gun dan gurunya untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Semenjak ini, guru dan murid ini diangkat menjadi pembantu pribadi yang utama dan mereka diserahi tugas untuk mengumpulkan dan mempengaruhi para tokoh di dunia hitam agar mereka suka mendukung Hou Seng dan kalau sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan agar siap siaga!

Demikianlah keadaan yang sebenarnya dari kehidupan Kaisar Kian Liong yang dirahasiakan dan tidak terdapat dalam sejarah. Di dalam sejarah hanya disebut nama Hou Seng sebagai seorang pembesar atau menteri korup yang kelak setelah Kaisar Kian Liong meninggal dunia dan Kaisar Chai Ceng menjadi kaisar, atas tuntutan lebih dari enampuluh orang pejabat tinggi, Hou Seng ditangkap dan diadili, dijatuhi hukuman mati dengan jalan diperbolehkan menggantung diri, tidak dipenggal kepalanya mengingat betapa orang ini pernah melayani mendiang Kaisar Kian Liong. Hebatnya, kemudian diketahui bahwa harta kekayaan yang disimpan oleh Hou Seng bahkan melampaui jumlah harta kekayaan istana sendiri!



***



Sore hari itu, setelah mandi dan berganti pakaian, Bi Lan diberitahu oleh pelayan bahwa hidangan telah disediakan dan bahwa ia diharapkan oleh tuan rumah untuk makan malam di ruangan makan.

Bi Lan mengikuti pelayan wanita itu dan memasuki sebuah ruangan yang bersih dan indah, di mana telah dipersiapkan hidangan di atas meja bundar yang cukup besar. Bau masakan yang masih panas menyambut hidungnya dan tiba-tiba saja Bi Lan merasa betapa perutnya amat lapar. Oleh pelayan wanita ia dipersilahkan duduk. Tak lama Bi Lan menanti karena segera terdengar langkah-langkah orang dan ketika ia menengok, mukanya menjadi merah sekali melihat betapa sucinya datang bersama tuan rumah dalam suasana yang amat akrab dan mesra! Sucinya tersenyum-senyum, bergandengan tangan dengan Bhok Gun dan menggerakkan kepala menengadah, memandang pria itu dengan sinar mata penuh kasih. Ia bergantung kepada lengan Bhok Gun dengan sikap manja dan mesra, seperti pengantin baru saja! juga pakaian sucinya itu baru dan berbau harum ketika sudah tiba dekat. Tanpa diberitahupun maklumlah Bi Lan bahwa telah terdapat persetujuan dan kecocokan antara sucinya dan ketua baru Ang-i Mo-pang itu!

Mereka berdua duduk bersanding, berhadapan dengan Bi Lan dan Bi-kwi yang lebih dulu membuka suara berkata kepada sumoinya, “Siauw-kwi, kami telah bersepakat untuk saling bantu, dan memang antara kami masih ada ikatan keluarga seperguruan. Sute Bhok Gun dan aku mau bekerja sama dan engkau menjadi pembantu kami.”

“Benar, sumoi Can Bi Lan, mulai sekarang aku adalah suhengmu. Kita berdua harus mentaati semua perintah suci Ciong Siu Kwi,” kata pula Bhok Gun dengan senyum manis kepada Bi Lan.

Diam-diam hati Bi Lan menjadi geli mendengar namanya dan nama sucinya disebut dengan lengkap. Sambil tersenyum geli ia menoleh kepada sucinya. Agaknya Bi-kwi maklum akan isi hati sumoinya, maka iapun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh, “Sumoi, kita tidak lagi tinggal bersama tiga orang suhu kita dan sute tidak suka mendengar sebutan Bi-kwi dan Siauw-kwi. Bagaimanapun juga, kalau kelak kita menjadi orang-orang berkedudukan tinggi, segala sebutan jelek itu harus ditinggalkan dan mulai sekarang kita harus belajar menjadi orang sopan.”

Hati Bi Lan menjadi semakin geli. “Suci, apakah ini berarti bahwa mulai sekarang engkau juga tidak akan melakukan hal-hal yang jahat lagi?”

Bi-kwi dan Bhok Gun saling bertukar pandang, lalu Bhok Gun yang menjawab, “Sumoi, apa sih yang dimaksudkan dengan perbuatan jahat itu? Dia tidak pernah melakukan perbuatan jahat, yang kita lakukan adalah perbuatan yang menguntungkan diri sendiri. Bukankah ini sudah benar dan tepat? Kita berbuat untuk memperebutkan sesuatu yang baik dan menguntungkan untuk diri kita, untuk kehidupan kita. Kalau perlu kita singkirkan siapa saja yang manjadi penghalang kita.”

Bi Lan sudah hafal akan pendapat seperti itu, pendapat yang selalu ditanamkan oleh Sam Kwi, bahkan semua orang di dunia hitam atau golongan sesat.

“Maksudku bukan itu, suci,” katanya, tetap kepada Bi-kwi karena ia masih enggan harus bicara kepada laki-laki yang mengaku suhengnya dan yang matanya memiliki sinar seperti hendak menelanjanginya itu. “Biasanya suci tidak perduli akan segala sopan santun, akan tetapi sekarang mendadak hendak merobah cara hidup. Sungguh lucu nampaknya,” katanya sambil tersenyum.

“Sudahlah, engkau masih terlalu muda untuk tahu akan urusan penting,” kata Bi-kwi. “Mari kita makan, perutku sudah lapar sekali!”

Mereka lalu makan minum dan dua orang yang sedang berkasih-kasihan itu menyelingi makan minum itu dengan tingkah dan ucapan-ucapan mesra, kadang-kadang saling suap dengan sumpit mereka. Tentu saja hal ini membuat Bi Lan merasa canggung sekali dan ia menundukkan muka saja sambil makan dengan amat hati-hati. Pengalamannyaa ketika ia diloloh arak oleh tiga orang suhunya, kemudian ditawan oleh Sam Kwi membuat ia berhati-hati dan sedikitpun tidak mau menyentuh arak. Ia tidak khawatir akan racun yang dicampurkan makanan atau minuman karena ia pernah mempelajari tentang racun dari Iblis Mayat Hidup yang ahli racun sehingga ia dapat menolak kalau sampai makanan atau minuman itu dicampuri racun. Maka ia hanya makan makanan yang telah dimakan oleh tuan rumah, dan ia sama sekali tidak mau minum arak setetespun. Ia tidak melihat, karena selalu menundukkan muka, betapa Bi-kwi dan Bhok Gun kadang-kadang mengamatinya dengan pandang mata penuh selidik dan sikapnya yang hati-hati itu agaknya diketahui pula oleh mereka.

Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa tadi, di dalam kamar Bhok Gun, ketika beristirahat dari kegiatan mereka untuk “saling mengenal” atau melihat apakah mereka dapat “bekerja sama”, dua orang itu telah menyinggung namanya, bahkan membicarakan tentang dirinya dengan serius.

“Agaknya sumoimu itu tidak suka padamu, atau tidak begitu cocok, bahkan nampaknya bercuriga terhadap kita,” kata Bhok Gun.

“Memang antara aku dan ia tidak ada kecocokan. Aku juga heran mengapa Sam Kwi mau mengambil anak macam itu sebagai murid mereka yang ke dua. Hemm, anak itu kelak hanya akan mendatangkan pusing saja bagiku.”

“Hemm, suci yang baik, kalau memang begitu, kenapa tidak dari dulu-dulu kaubunuh saja sumoi yang tiada guna itu?”

Bi-kwi menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. “Ah, kaukira aku begitu bodoh? Memang ada keinginan itu di hatiku, akan tetapi aku selalu tidak memperoleh kesempatan yang baik. Ketika ia masih kecil, aku yang disuruh melatihnya. Aku tidak dapat membunuhnya karena Sam Kwi kelihatan sayang kepadanya. Aku akan mendapat marah besar kalau ketika itu kubunuh. Aku lalu melatihnya, akan tetapi sengaja kuselewengkan sehingga ia tidak dapat mempelajari ilmu silat yang benar, melainkan kacau balau, bahkan latihan sin-kang yang kuselewengkan membuat ia hampir gila.”

“Bagus sekali! Ha-ha, engkau sungguh cerdik mengagumkan sekali!” Bhok Gun demikian kagum dan girang sehingga dia menghadiahkan beberapa ciuman mesra kepada Bi-kwi yang membalasnya dengan takkalah bersemangatnya. Sejenak mereka lupa akan percakapan tadi, akan tetapi ketika teringat kembali, Bhok Gun bertanya,

“Lalu mengapa ia kini tidak kelihatan seperti gila lagi?”

Kembali Bi-kwi menarik napas panjang. Biasanya, wanita ini tidak pernah memperlihatkan perasaan hatinya. Akan tetapi kini ia berada dalam keadaan santai dan suasana mesra, maka iapun seperti wanita biasa yang diombang-ambingkan antara suka dan duka, puas dan kecewa tanpa pengendalian diri sama sekali.

“Entah ia terlalu beruntung ataukah aku yang terlalu sial. Ketika Sam Kwi sedang bertapa untuk menciptakan ilmu baru, aku memperoleh kesempatan sepenuhnya terhadap diri Siauw-kwi. Ia sudah hampir gila karena latihan yang salah. Akan tetapi tiba-tiba saja ia menjadi sembuh dan setelah kuselidiki, ternyata ia bertemu dengan suami isteri yang telah mengobatinya!” Bi-kwi mengepal tangan kanannya dengan gemas. “Dan aku tidak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka!”

“Eh?” Bhok Gun mengangkat alisnya, memandang heran. Kalau kekasihnya ini sampai tidak mampu melakukan sesuatu, tentu suami isteri itu bukan orang sembarangan. “Siapakah mereka?”

“Si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya.”

“Ohhh....!” Sepasang mata Bhok Gun terbelalak dan tentu saja dia pernah mendengar nama pendekar yang sudah seperti nama dalam dongeng itu karena dunia kang-ouw hanya mengenal namanya tanpa pernah melihat orangnya.

“Akan tetapi, apakah setelah itu engkau tidak dapat membunuhnya? Kulihat ia melakukan perjalanan bersamamu, berarti engkau mempunyai banyak kesempatan.”

Bi-kwi menggeleng kepala. “Kami berdua mempelajari ilmu baru dari Sam Kwi. Kulihat ia telah menguasai ilmu-ilmu kami, dan ia dapat merupakan seorang pembantu yang cukup lihai. Mengingat akan cita-citaku, aku merasa bahwa dari pada membunuhnya, lebih baik menjadikan ia sebagai pembantuku untuk merampas Liong-siauw-kiam dan kedudukan bengcu. Dan ia sudah berjanji untuk membantuku.”

“Akan tetapi, bukankah sekarang ada aku!”

Bi-kwi mengangguk dan meraba dagu laki-laki itu. “Memang, sekarang ada engkau. Sebaliknya kita bunuh saja anak itu, karena kurasa kelak ia hanya akan menjadi penghalang bagi kita. Wataknya berbeda sekali dengan kita, dan ia tidak pantas menjadi murid Sam Kwi. Bahkan ada kecondongan hatinya untuk memihak musuh-musuh kita, para pendekar. Ia berlagak menjadi pendekar agaknya. Hatinya lemah.”

Bhok Gun mengangguk-angguk, kemudian berkata dengan hati-hati, “Bagaimanapun juga, apakah tenaga yang demikian baiknya harus dimusnahkan begitu saja? Ingat, sekarang ini, untuk mencapai cita-cita kita, kita membutuhkan banyak tenaga yang kuat dan lihai. Dan kurasa sumoimu itu merupakan tenaga yang amat berharga.”

Bi-kwi mengangguk-angguk. “Itulah sebabnya aku belum membunuhnya sampai sekarang. Ia telah menguasai semua ilmu Sam Kwi, dan agaknya hanya sedikit selisih tingkatnya dengan tingkatku. Akan tetapi kalau tidak dibunuh dan kemudian ia berdiri di pihak yang menentang kita, bukankah hal itu akan merugikan?”

“Orang-orang pandai jaman dahulu berkata bahwa api adalah musuh yang amat berbahaya akan tetapi dapat menjadi pembantu yang amat menguntungkan. Kurasa demikian pula dengan sumoimu Can Bi Lan itu. Kalau kita pandai mempergunakan, bukan membunuhnya melainkan menundukkannya dan ia dapat membantu kita, bukankah hal itu menguntungkan sekali?”

Sepasang mata wanita itu memandang dengan tajam penuh selidik, lalu bibirnya berjebi. “Huh, laki-laki di manapun sama saja! Aku tahu apa yang terbayang dalam pikiranmu yang kotor itu!”

Bhok Gun tersenyum lebar dan merangkul Bi-kwi, menciumnya dengan mesra sehingga wanita itu dapat tersenyum kembali. “Aihh, benarkah seorang seperti engkau ini masih dapat cemburu?”

“Siapa yang cemburu!” Bi-kwi membentak. Memang, ia tidak pernah merasa cemburu. Baginya, mempunyai kekasih bukan berarti mengikatkan diri ia boleh bebas memilih pria, sebaliknya iapun tidak akan melarang kekasihnya mendekati wanita lain. Kalau memang masih sama suka, tentu tidak akan menoleh kepada orang lain. “Akan tetapi, Sam Kwi juga tadinya berusaha untuk menggagahi sumoi agar dapat menundukkan hatinya yang keras. Akan tetapi aku mencegah dan melarikan sumoi, karena dengan demikian ia akan berhutang budi dan untuk membalasnya, ia sudah berjanji untuk membantuku.”

“Akan tetapi sekarang engkau ragu-ragu karena sikapnya yang seperti hendak menentang kita. Habis, bagaimana baiknya? Dibunuh kau tidak setuju. Kutaklukkan ia kaupun tidak setuju.”

“Bukan tidak setuju, hanya aku sangsi akan hasilnya. Andaikata engkau mampu menundukkannya dan menggagahinya, aku tidak yakin ia akan mau tunduk. Bahkan mungkin ia akan merasa sakit hati, mendendam dan memusuhi kita. Orang macam ia amat mementingkan kehormatan seperti para pendekar. Kecuali kalau ia mau menyerahkan diri dengan tulus dan suka rela kepadamu....”

“Hal itu bisa diusahakan! Aku memiliki modal cukup untuk itu, bukan? Kalau ia kurayu, kuperlakukan dengan baik, aku tidak percaya akhirnya ia tidak akan bertekuk lutut dan menyerahkan diri.” Dalam hal ini, Bhok Gun tidak membual karena memang sudah tak terhitung banyaknya wanita yang jatuh oleh rayuannya ditambah ketampanan dan kelihaiannya.

“Hemm, jangan sombong kau! Sumoiku adalah seorang perawan yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan pria dan agaknya belum siap untuk menyerahkan diri kepada seorang pria.”

“Ha-ha-ha, justeru yang masih hijau itulah yang paling mudah. Kaulihatlah saja, dalam waktu satu dua hari saja ia tentu akan jatuh ke dalam pelukanku dan selanjutnya menjadi boneka yang akan mentaati segala perintahku.”

“Kita sama lihat saja.”

Demikianlah rencana yang diatur oleh Bi-kwi dan Bhok Gun. Usia mereka sebenarnya sebaya, dan mungkin Bi-kwi lebih tua satu dua tahun. Bukan karena usia maka Bi-kwi minta disebut suci oleh ketua Ang-i Mo-pang itu, melainkan sebutan itu membuat ia merasa bahwa ia lebih unggul dan lebih menang dalam tingkat dan kedudukan.

“Sumoi, pertemuan antara kita sungguh merupakan peristiwa yang amat menggembirakan, bukan? Siapa mengira bahwa aku akan bertemu dengan suci dan sumoi, dua orang saudara seperguruan. Kalau tidak melihat gerakan-gerakan silat kalian, tentu aku tidak akan pernah menduga. Bahkan dengan ketiga orang guru kalianpun yang masih terhitung paman-paman guruku, belum pernah aku bertemu.”

Bi Lan mengangguk, lalu berkata sambil melirik ke arah sucinya. “Bagi suci tentu amat menggembirakan karena kalian dapat bekerja sama untuk merampas kembali pedang pusaka Suling Naga, dan dapat bersama-sama merebut kedudukan bengcu. Akan tetapi aku yang tidak mempunyai keinginan apa-apa, tidak ada artinya.”

“Eh, kenapa begitu, sumoi?” Bhok Gun berseru sambil tersenyum, memasang senyumnya yang paling menarik. “Bagiku, kegembiraan ini besar sekali, bukan karena kalian yang menjadi saudara-saudara seperguruanku amat lihai, akan tetapi juga kalian merupakan dua orang gadis yang amat cantik jelita seperti bidadari!”

“Hi-hik, sute Bhok Gun ini ganteng dan pandai merayu, bukan, sumoi? Senang sekali punya saudara seperguruan seperti dia ini!”

Bi Lan hanya tersenyum simpul saja mendengar ucapan sucirya itu, tanpa menjawab, akan tetapi diam-diam mukanya berubah agak merah karena percakapan itu, puji memuji ketampanan dan kecantikan, asing baginya.

“Suci dan sumoi, perkenankanlah aku memberi ucapan selamat datang kepada kalian dan terimalah hormatku dengan secawan arak!” Bhok Gun lalu menuangkan arak dari sebuah guci merah ke dalam dua buah cawan dan dia menyerahkan dua cawan itu kepada Bi Lan dan Siu Kwi. Setan Cantik itu cepat menyambar cawan arak suguhan Bhok Gun, akan tetapi Bi Lan menolak.

“Aku tidak biasa minum arak, biarlah aku minum teh ini saja,” katanya sambil mengangkat cangkir teh.

“Aih, sumoi yang manis. Pemberian secawan arak ini merupakan penghormatan dariku, biarpun engkau tidak biasa minum arak, apa salahnya sekarang minum satu dua cawan untuk merayakan pertemuan yang menggembirakan ini? Terimalah, sumoi."

Bi Lan tetap menolak. “Tidak, suheng. Aku tidak biasa dan minum sedikit saja tentu akan mabok. Aku sudah mendapatkan pengalaman yang pahit sekali dengan minum arak dan mabok, dan aku tidak mau mengulangnya lagi.

Bhok Gun melirik ke arah Siu Kwi dan tertawa, suara ketawanya lantang dan sepasang matanya bersinar sinar. “Ha-ha-ha, sumoi yang jelita. Maksudmu tentulah pengalaman minum arak, mabok dan hendak diperkosa oleh tiga orang gurumu? Ha-ha, akan tetapi aku bukan Sam Kwi, sumoi. Aku takkan melakukan hal yang keji itu. Bagiku, cinta harus dilakukan dengan suka rela, bukan paksaan.”

“Suka rela atau paksaan, aku tidak sudi!” Bi Lan berkata ketus dan iapun bangkit berdiri dan melangkah hendak meninggalkan ruangan makan itu, kembali ke kamarnya.

Akan tetapi dengan beberapa loncatan saja Bhok Gun sudah menghadang di depannya dan laki-laki ini lalu memberi hormat dengan menjura dalam-dalam, merangkap kedua tangan di depan dada. “Maaf, ah, apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, sumoi Aku memang suka berkelakar dan kalau tadi aku mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan hatimu yang halus, maafkanlah aku. Maafkanlah aku sebagai tuan rumah, juga sebagai suheng yang menyayang sumoinya dan menghormati tamunya. Aku tidak akan mengulang lagi tentang minum arak.”

Melihat pria itu bersikap dengan sopan dan demikian menghormat, Bi Lan merasa tidak enak kalau melanjutkan kemarahannya. Apa lagi mendengar sucinya tertawa terkekeh dan berkata, “Aiihh, sumoi, apakah mendadak saja engkau menjadi seorang yang suci dan tidak dapat menghadapi kelakar dan godaan? Hi-hik, kami berdua agaknya malah kedahuluan olehmu. Kami belum biasa hidup sopan santun seperti yang diminta sute, engkau malah agaknya sudah menjadi orang sopan yang tidak sudi mendengar kelakar nakal, hi-hik.”

Bi Lan terpaksa kembali ke tempat duduknya dan dengan sikap serius ia berkata, ditujukan kepada sucinya, tidak langsung kepada Bhok Gun walaupun kepada pria itulah sebenarnya ucapannya ditujukan, “Aku tidak perduli akan kelakar atau apa saja, akan tetapi asal tidak menyangkut diriku. Kalau menyangkut diriku, aku tidak sudi orang bersikap kurang ajar kepadaku, siapapun juga orang itu.”

“Maaf, sumoi, aku sama sekali tidak berani kurang ajar kepadamu, Dan kalau ada seorang laki-laki berani kurang ajar kepadamu, akulah yang akan menghajarnya. Engkau adalah sumoiku yang cantik jelita, manis dan sopan, aku harus menjagamu baik-baik.”

“Hi-hik, masih perawan lagi, selamanya belum pernah bersentuhan dengan pria, bukankah begitu, sumoi?” kata Bi-kwi mengejek.

“Ah, kalau begitu sumoi Can Bi Lan adalah seorang dara yang bagaikan setangkai bunga masih bersih dan suci, tak pernah terjamah tangan, tak pernah tersentuh kumbang, harus makin dijaga baik-baik,” kata Bhok Gun yang sengaja bersikap baik untuk mencari muka. Akan tetapi dasar dia seorang gila perempuan, ucapan-ucapannya itu malah membuat Bi Lan merasa tidak enak walaupun itu merupakan pujian. Ia tidak mau mencampuri ucapan-ucapan mereka itu dan melanjutkan makan minum yang tadi belum selesai.

“Hemm, aku sih tidak ingin menjadi kembang yang belum tersentuh kumbang, tidak ingin menjadi dara atau perawan murni yang belum pernah berdekatan dengan pria, aku tidak mau tidur sendiri kedinginan. Aku ingin kehangatan setiap saat....” kata pula Bi-kwi dan iapun bangkit dari tempat duduknya, merangkul Bhok Gun dan mencium bibir pria itu dengan penuh napsu. Bhok Gun tersenyum dan maklum akan maksud kekasih barunya ini, yaitu untuk membangkitkan rangsangan dan berahi dalam hati Bi Lan. Maka diapun membalas ciuman itu dan keduanya lalu bercumbu, berangkulan dan berciuman begitu saja di depan Bi Lan, tanpa malu-malu lagi bahkan mereka sengaja melakukan cumbuan-cumbuan yang tidak sepantasnya diperlihatkan orang lain. Bhok Gun menggunakan sumpitnya menggigit sepotong daging dan secara pamer sekali dia menyuapkan daging itu dari mulutnya ke mulut Bi-kwi yang menerimanya sambil terkekeh genit.

Dapat dibayangkan betapa besar rasa malu menekan batin Bi Lan. Selamanya belum pernah ia melihat adegan-adegan seperti itu, dalam mimpipun belum. Biarpun ia tahu bahwa sucinya adalah juga kekasih tiga orang gurunya dan mereka melakukan hubungan suami isteri. Namun tiga orang gurunya tidak pernah mencumbu sucinya itu di depannya. Dan iapun tahu bahwa sucinya seringkali menculik dan memaksa pemuda-pemuda tampan untuk menggaulinya, namun hal inipun terjadi di luar tahunya. Baru sekarang ia melihat sucinya bercumbu sebebas itu dengan seorang pria di depannya. Tadinya ia hanya menundukkan muka sambil makan dan tidak sudi memandang, akan tetapi suara-suara cumbuan itu masih saja menusuk telinganya dan akhirnya iapun bangkit berdiri. Tak dapat ia bertahan lebih lama lagi. Bukan karena suara-suara dan pandangan-pandangan itu dianggapnya tidak sopan dan cabul, karena semenjak kecil ia digembleng oleh tiga orang guru yang berjuluk Tiga Iblis, yang tidak mengenal sama sekali tentang sopan santun, dan hanya karena memang nalurinya yang halus saja Bi Lan tidak terseret, akan tetapi yang membuat ia tidak dapat bertahan adalah karena adegan itu mendatangkan suatu perasaan yang membuatnya takut sendiri. Perasaan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Yang membuatnya berdebar-debar dan menimbulkan perang di dalam batinnya. Di satu pihak, ada suara hatinya membisikkan bahwa perbuatan yang dilakukan dua orang di depannya itu sama sekali tidak patut dilihat atau didengar, akan tetapi perasaan lain membuat ia ingin sekali melihat dan mendengarkan dengan diam-diam. Hal inilah yang menakutkan hatinya dan membuat ia tidak dapat bertahan lagi, lalu ia bangkit berdiri.

“Aku.... aku mau beristirahat dulu di kamarku,” tanpa menanti jawaban dua orang yang masih saling rangkul dan saling berciuman itu iapun meninggalkan mereka dan memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu keras-keras. Ia tidak tahu betapa dua orang itupun menghentikan permainan mereka.

“Hemm, kurasa usaha kita hampir berhasil,” kata Bhok Gun lirih.

“Hi-hik, ia mulai panas dingin. Kau memang hebat, sute. Akan tetapi awas, kalau sampai engkau berhasil kemudian lebih mementingkan sumoi dan mengesampingkan aku, kau akan kubunuh!”

Bhok Gun tersenyum dan merangkulnya. “Heh heh, cemburu lagi?”

“Tidak cemburu, akan tetapi ia masih dara, masih perawan murni. Laki-laki tentu lebih suka dan setelah mendapatkan yang muda, lalu melupakan yang tua.”

“Hemm, aku bukan pria seperti itu. Aku lebih menyukai buah yang sudah matang dari pada yang masih hijau dan mentah. Kalau aku menaklukkannya, bukan karena ingin mendapatkan yang hijau dan mentah, melainkan demi kelancaran usaha kita, bukan? “

“Nah, mari teruskan menggodanya sampai ia jatuh,” kata Bi-kwi dan sambil bergandeng tangan mereka lalu menuju ke kamar mereka yang berada di samping kamar yang ditinggali Bi Lan, hanya terpisah dinding kayu di mana terdapat sebuah pintu tembusan yang tertutup.

Dengan jantung masih berdebar dan kedua pipi kemerahan, mukanya terasa panas Bi Lan memasuki kamarnya. Apa yang dilihatnya dan didengarnya di depannya tadi, di ruangan makan, benar-benar membuat hatinya tidak karuan rasanya. Rasa kedewasaannya tersentuh dan ada dorongan amat kuat dan aneh yang membuat ia ingin mengetahui lebih banyak tentang hubungan antara pria dan wanita. Gairahnya timbul, keinginan untuk mengetahui, mengalami. Akan tetapi kesadarannya bahwa Bhok Gun adalah seorang laki-laki yang tidak baik, yang tidak mendatangkan rasa suka di hatinya, membuat ia menolak keras dan hatinya sudah mengambil keputusan bahwa kalau kelak tiba saatnya harus melayani pria, mencurahkan hasrat yang bernyala-nyala di dalam hatinya dan di seluruh syaraf tubuhnya itu dengan seorang pria, maka pria itu bukan Bhok Gun dan tidak seperti Bhok Gun! Rasa tidak suka kepada Bhok Gun ini menolong dan meredakan gelora batinnya yang dibakar oleh gairah berahi yang wajar dari seorang dara yang mulai bangkit dewasa.

Karena tadi tubuhnya tidak karuan rasanya, Bi Lan melempar tubuhnya ke atas pembaringan tanpa berganti pakaian, tanpa membuka sepatu. Ia menelungkup dan perlahan-lahan mulai menenteramkan hatinya yang bergelora.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang di kamar sebelah. Langkah dua orang disusul ketawa cekikikan dari sucinya! Bi Lan
mengangkat kepalanya dengan hati-hati agar, jangan sampai mengeluarkan bunyi. Sucinya dan Bhok Gun memasuki kamar itu, kamar sebelah yang hanya terpisah dinding kayu. Baru langkah kaki mereka saja dapat terdengar oleh pendengarannya yang terlatih dan amat tajam. Apa lagi suara-suara lain. Tanpa melihat saja Bi Lan dapat mendengar betapa mereka berkecupan, betapa mereka berdua menjatuhkan diri di atas pembaringan, berbisik-bisik, terkekeh dan terutama sekali suara erangan kemanjaan dari mulut sucinya terdengar jelas. Kembali jantung Bi Lan berdebar keras, lebih hebat dari pada tadi. Api yang tadinya sudah hampir dapat dipadamkannya itu kini berkobar lagi, mendatangkan gairah rangsangan yang membuatnya gelisah. Ia bangkit duduk, otaknya dijejali gambaran-gambaran yang terbentuk oleh pendengarannya. Agaknya dua orang di sebelah itu mengumbar napsu mereka tanpa dikendalikan lagi.

“Ssttt, suci.... jangan keras-keras, nanti terdengar sumoi di sebelah,” terdengar suara Bhok Gun berbisik, akan tetapi dapat didengar oleh Bi Lan dengan jelas sekali.

“Kalau dengar mengapa? Iapun seorang wanita, ia berhak untuk menikmati. Kalau ia mau, sebaiknya kalau engkau yang memberi pelajaran kepadanya tentang hubungan pria dan wanita, sute. Dari pada ia belajar dari laki-laki lain yang tak dapat dipercaya!

“Ah, mana ia mau?” terdengar laki-laki itu berkata lagi, sementara jantung di dalam dada Bi Lan berdebar semakin keras.

“Bodoh kalau ia tidak mau. Kenapa malu-malu? Aku membolehkan kalian bermain cinta, bukankah kalian masih saudara seperguruanku sendiri? Suatu waktu ia tentu akan menyerahkan tubuhnya kepada seorang pria, untuk yang pertama kali, untuk menjadi gurunya yang pandai dan berpengalaman, mengapa tidak engkau, sute?”

Api yang berkobar di dalam dada Bi Lan semakin besar dan gadis ini cepat bersila dan bersamadhi mengumpulkan kekuatan batin seperti yang pernah ia pelajari dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya. Ia masih mendengar percakapan dua orang itu yang makin memberi bujukan tak langsung kepadanya dan mendengar mereka bercumbu, akan tetapi kini batinnya menjadi tenang karena cara bersamadhi itu dan ia dapat menguasai napsunya sendiri yang membakar.

Ia menjadi marah. Agaknya sucinya dan Bhok Gun sengaja, pikirnya. Mereka berada itu tentu maklum bahwa ia yang berada di kamar sebelah akan mampu mendengar semua percakapan dan perbuatan mereka. Akan tetapi mereka itu agaknya sengaja hendak menjatuhkannya dengan rayuan dan pembangkitan gairah napsunya.

Bi Lan lalu menyambar buntalan pakaiannya, kemudian berkata dengan suara lantang, “Suci dan suheng, aku akan pergi meninggalkan tempat ini sekarang juga!”

Suara dua orang di kamar sebelah itu tiba-tiba terhenti dan pintu tembusan itupun terbuka. Kiranya dua orang itu masih berpakaian lengkap dan semakin yakin hati Bi Lan bahwa mereka tadi hanya bermain sandiwara dengan tujuan tertentu, yaitu membangkitkan napsu berahinya agar mudah dilalap oleh Bhok Gun tanpa memperkosanya, melainkan memaksanya melalui pembakaran nafsu berahi agar ia dapat menyerahkan diri dengan suka rela kepada Bhok Gun. Semua nampak jelas olehnya dan Bi Lan menjadi semakin marah.

“Sumoi, apa yang kaukatakan tadi? Kau mau pergi? Ke mana?” teriak Bi-kwi, mengerutkan alisnya karena mulai marah melihat betapa sumoinya itu sama sekali tidak dapat dibujuk.

“Suci, aku mau pergi sekarang juga.”

“Kenapa?”

“Bukan urusanmu.”

“Bukan urusanku? Eh, bocah sombong, apa engkau sudah lupa akan janjimu kepadaku? Apakah engkau sudah lupa bahwa tanpa bantuanku, sekarang engkau sudah bukan perawan lagi, sudah dilalap oleh Sam Kwi dan mungkin sudah mampus?”

“Suci! Aku sudah berjanji untuk mencari pusaka Liong-siauw-kiam. Dan aku akan menepati janji itu. Aku akan pergi mencari pusaka itu dan kalau sudah dapat, akan kuserahkan kepadamu.”

“Dan perebutan bengcu?”

“Kelak kalau sudah tiba saatnya engkau memperebutkan kedudukan bengcu, aku akan membantumu seperti pernah kujanjikan. Aku tidak akan melanggar janji.”

“Tapi ke mana kau hendak mencari pusaka itu?”

“Ke mana saja, akan tetapi tidak bersamamu!”

Bi-kwi marah bukan main. Akan tetapi Bhok Gun sudah melangkah maju dan dengan senyum menarik dia berkata, “Sumoi, kalau engkau merasa sungkan bicara di depan suci, mari kita bicara empat mata di tempat terpisah. Maukah engkau? Mari, sumoi....” Laki-laki ini sudah merasa yakin bahwa siasatnya menggairahkan dan membangkitkan berahi dara itu tentu berhasil dan kini agaknya dara itu sudah tidak kuat lagi bertahan, maka dengan dalih hendak pergi sebetulnya hendak menjauhkan diri dan kalau mungkin bicara berdua saja dengannya karena tentu saja merasa malu terhadap sucinya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa justeru dara itu telah tahu akan siasatnya dan karenanya marah dan benci bukan main padanya.

“Aku bukan sumoimu dan kau tidak perlu merayuku. Suci mungkin mudah kaubujuk akan tetapi jangan harap aku akan suka melihat mukamu!” Berkata demikian, Bi Lan sudah meloncat keluar dari kamar itu dan terus melarikan diri keluar dari rumah.

“Siauw-kwi, tunggu....!” Bi-kwi mengejar, disusul pula oleh Bhok Gun. Ketika tiba di pintu gerbang rumah perkumpulan itu, ada belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menghadang di situ dengan senjata di tangan. Mereka ini diam-diam sudah menerima perintah Bhok Gun bahwa kalau dara itu hendak pergi dari situ tanpa perkenan agar dihalangi.

Melihat belasan orang berseragam marah itu menghadang di jalan, dan obor-obor dipasang di kanan kiri pintu gerbang yang menunjukkan bahwa orang-oranQ ini agaknya memang telah siap siaga, Bi Lan membentak, “Minggir kalian!”

Akan tetapi, tigabelas orang itu tidak mau minggir, bahkan melintangkan senjata mereka dengan sikap mengancam. Mereka semua takut terhadap Bi-kwi, akan tetapi nona ini, biarpun katanya sumoi dari Bi-kwi, tidak mereka takuti, apa lagi mereka menerima perintah dari Bhok Gun dan Bi-kwi sendiri untuk merintangi nona itu pergi dari situ.

“Keparat, minggir!” Bi Lan membentak marah, sekali ini sambil membentak ia menerjang maju. Empat orang terdepan menggerakkan senjata untuk menyerang karena mereka sudah menerima perintah bahwa kalau nona itu nekat menyerbu, mereka boleh menyerangnya.

Akan tetapi, gerakan Bi Lan cepat bukan main, juga kaki tangannya bergerak dengan tenaga dahsyat sehingga sebelum ada di antara empat senjata itu yang mengenai tubuh Bi Lan, lebih dahulu empat orang itu sudah terpelanting ke kanan kiri sambil mengaduh-aduh dan senjata mereka beterbangan terlepas dari tangan. Hebat bukan main bekas kaki tangan Bi Lan karena empat orang itu tidak mampu bangkit kembali, ada yang patah tulang kaki, tangan atau iganya, bahkan seorang di antara mereka yang kena ditempiling kepalanya roboh untuk tidak bangkit kembali karena kepalanya retak-retak!

Para anggauta Ang-i Mo-pang terkejut dan marah, dan mereka segera mengeroyok. Akan tetapi, tentu saja mereka itu bukan apa-apa bagi Bi Lan dan begitu gadis itu bergerak dengan cepat, tubuh-tubuh terpelanting dan roboh. Biarpun kini banyak anggauta Ang-i Mo-pang yang datang berlarian dan mengeroyok, namun mereka itu seperti sekumpulan. nyamuk menyerbu api lilin saja. Sebentar saja belasan orang sudah roboh berserakan dan Bi Lan meloncat dan menerobos keluar dari pintu gerbang. Akan tetapi, ternyata Bhok Gun sudah berada di depannya di luar pintu gerbang itu. Wajahnya yang tampan itu tersenyum menyeringai, akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh ancaman, bengis dan kejam.

“Adikku yang lihai dan manis, memang kepandaianmu hebat. Akan tetapi, bukankah dengan kita bertiga, maka semua pekerjaan akan dapat dilakukan lebih mudah lagi? Sumoi, sebelum terlambat, kembalilah dan mari kita bekerja sama.”

“Aku tidak sudi bekerja sama denganmu!” bentak Bi Lan.

“Siauw-kwi, engkau tidak boleh pergi. Aku melarangmu!” Tiba-tiba Bi-kwi sudah muncul dan berdiri di samping Bhok Gun.

“Kalau aku nekat pergi?” Bi Lan menantang dengan suara dingin dan pandang mata marah.

“Aku akan membunuhmu!” bentak Bi-kwi.

Bi Lan tersenyum, bukan senyum buatan, melainkan senyum pahit karena marah. Kini setelah ia hidup di luar lingkungan pengaruh tiga orang gurunya, ia tahu bahwa ia harus dapat berdiri di atas kaki sendiri, harus berani menempuh segala bahaya seorang diri dan tidak mengandalkan siapapun juga. “Hemm, ucapan itu sama sekali tidak mengejutkan aku, suci, karena kalau kau akan membunuhku, bukan merupakan hal baru bagiku. Sejak dulupun, sejak aku masih kecil, kalau ada kesempatan, tentu engkau sudah membunuhku. Jangan menakut-nakuti aku dengan ancaman itu. Kalau memang kau mampu, buktikan omongan itu, karena aku tidak takut padamu!”

Ciong Siu Kwi atau Bi-kwi memang tidak pernah suka kepada sumoinya itu. Sejak pertama kali bertemu dan mendengar bahwa Bi Lan diambil murid oleh Sam Kwi, ia sudah membenci dan hendak membunuh sumoi yang dianggap saingannya itu. Apalagi setelah Bi Lan makin besar dan nampak cantik manis, ia menjadi semakin benci dan kalau saja ada kesempatan memang sudah sejak dahulu ia membunuh Bi Lan. Dan sekaranglah saat itu tiba. Sam Kwi tidak berada di situ dan di sampingnya ia telah memperoleh seorang pembantu yang amat baik, lebih baik dan lebih menyenangkan dari pada Bi Lan, yaitu Bhok Gun. Tidak ada lagi gunanya membiarkan Bi Lan hidup lebih lama lagi. Maka, mendengar ucapan Bi Lan yang menantangnya, ia menjadi marah bukan main.

“Hiaaaatttt....!” Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah bergerak cepat ke depan, tangan kirinya menyambar dengan pukulan Ilmu Kiam-ciang yang membuat tangannya berubah kuat dan dapat membabat benda keras setajam pedang, juga lengannya dapat mulur panjang. Kiam-ciang adalah ilmu andalan dari Sam Kwi, dan Iblis Mayat Hidup merupakan ahli yang paling lihai di antara Sam Kwi dalam penggunaan Kiam-ciang. Sedangkan lengan mulur itu adalah ilmu yang didapat dari Hek Kwi Ong atau Raja Iblis Hitam. Hebatnya bukan main serangan tangan pedang dengan lengan yang dapat mulur itu.

“Hemmm....!” Tentu saja Bi Lan mengenal baik serangan ini dan iapun melangkah mundur dua tindak sambil mengerahkan tenaga dan tangan kanannya bergerak menangkis dengan ilmu yang sama, dan dengan pengerahan tenaga sin-kangnya yang lebih kuat karena ia sudah digembleng oleh pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.

Dua lengan bertemu dan terdengar suara nyaring seperti bertemuna dua senjata dari baja saja, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terdorong mundur dua langkah. Akan tetapi Bi-kwi yang sudah maklum akan kekuatan sumoinya itu, tidak menjadi kaget melainkan sudah cepat menyerang lagi, kini mengeluarkan jurus dari Sam Kwi Cap-sha-kun, yaitu tigabelas jurus ilmu silat baru ciptaan terakhir dari tiga orang datuk Sam Kwi itu. Angin pukulan yang amat dahsyat menyambar-nyambar, sampai terasa oleh para anggauta Ang-i Mo-pang yang berdiri agak jauh sehingga mereka ini terkejut dan ketakutan lalu mundur menjauh. Memang hebat bukan main ciptaan terakhir Sam Kwi itu, ciptaan gabungan mereka bertiga yang sudah diolah matang ketika mereka mengasingkan diri. Bhok Gun sendiri memandang kagum karena dia sendiri tentu akan kewalahan kalau menghadapi serangan ilmu yang dahsyat itu.

Akan tetapi tentu saja Bi Lan tidak menjadi gentar menghadapi serangan ilmu ini karena ia sendiri pun sudah melatih diri dengan ilmu ini selama setengah tahun, bersama sucinya itu. Dan dalam hal melatih ilmu ini, ia tidak kalah oleh sucinya, bahkan ia dapat menguasai ilmu itu lebih sempurna setelah ia menjadi murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir selama setengah tahun. Karena itu, menghadapi serangan Bi-kwi, iapun hapal benar akan semua gerakan dan perubahan Ilmu Sam Kwi Cap-sha-kun itu maka ke manapun Bi-kwi menyerang, pukulan-pukulannya selalu dapat tertangkis membalik seperti menyerang dinding baja saja.

Bahkan ketika Bi Lan membalas dengan jurus terampuh dari ilmu itu, Bi-kwi hampir tidak dapat menahannya karena ternyata ia kalah kuat dalam tenaga sin-kangnya. Ia terhuyung dan kalau Bi Lan menghendaki, selagi ia terhuyung itu tentu saja Bi Lan akan dapat mengirim serangan susulan. Akan tetapi Bi Lan tidak melakukan hal itu, melainkan meloncat hendak meninggalkan sucinya. Akan tetapi pada saat itu, Bhok Gun sudah menerjangnya dengan pukulan yang mendatangkan bunyi berdesing.

Bi Lan terkejut dan maklum bahwa pukulan ini adalah pukulan sakti semacam Kiam-ciang yang amat berbahaya, maka iapun segera menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke kiri dan sambil mengelak, kakinya melakukan tendangan Pat-hong-twi. Ilmu Tendangan Pat-hong-twi (Delapan Penjuru Angin) ini merupakan ilmu andalan Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat dan kini berbalik Bhok Gun yang terkejut karena kalau tadi dia menyerang, kini tendangan yang datangnya bertubi-tubi itu membuat keadaan menjadi terbalik karena dialah yang kini didesak!

Akan tetapi, Bi-kwi sudah menerjang lagi membantu Bhok Gun sehingga Bi Lan dikeroyok dua. Begitu dikeroyok dua, Bi Lan segera terdesak. Bi-kwi selalu mengimbanginya dengan ilmu silat yang sama sehingga semua serangan Bi Lan menemui jalan buntu, sedangkan Bhok Gun menyerangnya selagi kedudukannya tidak menguntungkan, maka tentu saja ia mulai terdesak dan terus mundur mendekati pintu gerbang lagi. Agaknya dua orang itu hendak memaksanya kembali memasuki pintu gerbang. Bi Lan maklum bahwa kalau ia mempergunakan ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Sam Kwi, ia tidak akan mampu menang. Semua ilmunya tentu akan dipunahkan oleh Bi-kwi, sedangkan Bhok Gun menyerangnya dengan ilmu lain yang belum dikenalnya.

Dalam keadaan terdesak itu, Bi Lan teringat akan ilmu silat yang dipelajarinya secara rahasia dari suami isteri dari Istana Gurun Pasir. Tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika tubuhnya meluncur ke depan, dua orang pengeroyoknya terkejut sekali. Mereka seolah-olah diserang oleh seekor naga yang meluncur turun dari angkasa. Mereka adalah orang-orang yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi, maka mereka cepat mengelak sambil mengibaskan tangan untuk menangkis.

Namun, tetap saja hawa pukulan dari Sin-liong Ciang-hwat yang ampuh itu membuat mereka terdorong dan terhuyung ke belakang! Bukan main hebatnya Sin-liong Ciang-hwat yang diajarkan oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu kepada gadis itu.

“Haiiittt....!” Tiba-tiba Bhok Gun juga berteriak dan nampak sinar merah ketika dia mengebutkan sehelai saputangan merah. Saputangan ini mengandung debu pembius yang berwarna kemerahan dan dapat membuat orang menjadi pingsan kalau menyedotnya. Begitu saputangan itu dikebutkan, ada debu merah menyambar ke arah muka Bi Lan Akan tetapi gadis ini bukan seorang yang bodoh. Ia sudah banyak mengenal kelicikan dan kecurangan yang biasa dipergunakan di dunia kaum sesat, maka begitu melihat sinar merah saputangan itu, ia sudah menahan napas, bahkan lalu meniup dengan pengerahan sin-kang ke arah debu merah. Debu merah itu membuyar dan bahkan membalik menyambar ke arah Bhok Gun dan Bi-kwi. Tentu saja dua orang itu cepat-cepat menghindarkan dengan loncatan-loncatan jauh ke belakang. Keduanya marah sekali dan begitu tangan mereka bergerak, jarum-jarum beracun menyambar dari tangan Bi-kwi, sedangkan dari tangan Bhok Gun meluncur paku-paku beracun. Mereka tidak malu-malu untuk menyerang Bi Lan dengan senjata-senjata rahasia beracun dari jarak cukup dekat.

Akan tetapi, tiba-tiba dua orang itu kaget bukan main ketika mereka melihat sinar yang hijau kehitaman berkelebat dan mereka merasa betapa tengkuk mereka meremang. Pedang di tangan Bi Lan itu mengandung hawa yang demikian mengerikan. Itulah Ban-tok-kiam! Seperti kita ketahui, agar dara itu dapat melindungi dirinya dengan baik, nenek Wan Ceng, isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, yang amat menyayang Bi Lan, telah meminjamkan pedang mujijat itu kepadanya. Dan kini, melihat bahaya mengancam dirinya, Bi Lan sudah mencabut pedang itu dan dengan memutar senjata itu, semua jarum dan paku menempel pada pedang seperti jarum-jarum halus menempel pada besi sembrani. Memang pedang Ban-tok-kiam, sesuai dengan namanya, yaitu Pedang Selaksa Racun, dapat menarik senjata-senjata rahasia beracun seperti besi sembrani menarik besi biasa. Setelah semua senjata rahasia itu melekat pada pedangnya, Bi Lan menggerakkan pedangnya sehingga pedang itu tergetar dan mengeluarkan bunyi “wirrrr....!” dan semua, senjata rahasia itu meluncur kembali ke arah pemiliknya.

“Heii....!”

“Aihh....!” Dua orang itu berseru kaget dan cepat mengelak, akan tetapi dua orang anggauta Ang-i Mo-yang yang berdiri di belakang mereka, terkena senjata paku dan jarum beracun. Mereka berteriak-teriak kesakitan dan roboh berkelojotan.

Melihat ini, Bhok Gun marah sekali. Dia mencabut pedangnya, dan Bi-kwi juga mencabut pedang.

“Kerahkan pasukan, kepung dan serbu. Bunuh perempuan ini!”

Lebih kurang tigapuluh orang anggauta Ang-i Mo-pang mengurung tempat itu dan membantu Bhok Gun dan Bi-kwi yang sudah memutar pedang menyerang Bi Lan. Bi Lan cepat memutar pedang Ban-tok-kiam dan mengamuk. Akan tetapi, dara ini biarpun sudah mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi dan sakti, ia masih kurang pengalaman berkelahi. Kini ia dikeroyok oleh Bi-kwi dan Bhok Gun saja sebenarnya sudah kewalahan dan baru bisa menandingi mereka karena ia pernah dilatih oleh suami isteri Istana Gurun Pasir dan memiliki pedang Ban-tok-kiam. Apa lagi sekarang dikepung dan dikeroyok demikian banyak lawan. Tentu saja ia menjadi repot sekali. Biarpun ia berhasil merobohkan sedikitnya enam orang lagi anggauta Ang-i Mo-pang, namun dalam hujan senjata itu, pedang di tangan Bhok Gun melukai pahanya dan sebatang jarum beracun yang dilepas Bi-kwi menancap di pundak kirinya, membuat lengan kirinya seketika terasa kaku. Untung baginya bahwa ia banyak mempelajari ilmu mengenal racun dari Iblis Mayat Hidup dan tubuhnya sudah cukup kuat untuk melawan racun, kalau tidak tentu ia sudah roboh oleh pengaruh racun dalam jarum itu. Biarpun demikian, gerakannya menjadi lemah dan ia semakin terdesak.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Bi Lan itu, tiba-tiba sesosok bayangan orang menerjang masuk ke dalam kepungan. Begitu dia menggerakkan kaki tangannya, kepungan menjadi kacau balau. Bagaikan orang mencabuti rumput-rumput kering saja dan mencampakkannya, dia menangkap setiap anggauta Ang-i Mo-pang dan melempar-lemparkan mereka ke kanan kiri. Juga setelah kedua kakinya bergerak, setiap tendangan tentu merobohkan seorang lawan.

Ketika Bi-kwi yang sedang mendesak sumoinya itu dan siap melakukan pukulan maut dengan tangannya atau tusukan maut dengan pedangnya tiba-tiba mendengar suara anak buah Ang-i Mo-pang berteriak-teriak dan kepungan menjadi bobol, ia cepat menengok dan terkejutlah ia melihat masuknya seorang pemuda yang merobohkan banyak orang. Apa lagi ketika ia mengenal wajah pemuda ini di bawah sinar obor. Pemuda itu bukan lain adalah pemuda yang pagi tadi dijumpainya di dalam rumah makan! Marahlah Bi-kwi. Walaupun pagi tadi ia merasa tertarik kepada pemuda ini yang selain berwajah tampan juga memiliki kepandaian tinggi seperti diperlihatkannya ketika menghadapi sepasang golok di tangan Tee Kok dengan sumpit dan dengan amat mudahnya mengalahkan Tee Kok, kini Bi-kwi marah sekali. Pemuda usilan ini sekarang datang untuk merugikan dirinya, karena jelas pemuda ini memihak Bi Lan.

“Bocah sial! Kau datang mengantar nyawa!” bentaknya dan iapun membalik, meninggalkan Bi Lan dan menyerang pemuda itu dengan pedangnya.

Gu Hong Beng, pemuda itu tersenyum dan cepat mengelak dengan loncatan ke kiri sambil menampar roboh seorang anggauta Ang-i Mo-pang. “Bukan mengantar nyawa, melainkan menolong nyawa seorang gadis yang secara curang dikeroyok oleh begini banyak orang!”

Bi-kwi tidak bicara lagi, akan tetapi menyerang kalang kabut, menggunakan pedangnya menusuk lambung sedangkan tangan kirinya menampar ke arah kepala pemuda itu. Hong Beng tidak bersikap sembrono. Dia cukup maklum betapa lihainya wanita ini, maka sambil mengelak dari tusukan pedang, diapun mengangkat tangan kanan memapaki tamparan yang dilakukan lawan, sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

“Plakkk....!” Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, hampir Bi-kwi roboh karena hawa dingin yang luar biasa menyusup ke dalam tubuhnya melalui telapak tangan, membuat ia menggigil! Cepat ia melompat mundur sambil menahan napas dan mengerahkan sin-kang. Itulah tenaga Soat-im Sin-kang atau tenaga Inti Salju yang merupakan satu di antata ilmu tangguh dari keluarga Pulau Es! Ketika Bi-kwi melompat ke belakang, kesempatan itu dipergunakan oleh Hong Beng untuk menubruk ke kanan dan merobohkan dua orang pengeroyok Bi Lan.

Setelah ditinggalkan sucinya, Bi Lan yang sudah luka itu merasa agak ringan, tidak begitu terhimpit lagi walaupun Bhok Gun yang dibantu oleh anak buahnya itu, masih mengepungnya dan merupakan lawan berat bagi dara yang sudah menderita luka itu. Dengan Ban-tok-kiam di tangan Bi Lan mengamuk. Ia juga melihat munculnya pemuda yang membantunya dan ia merasa heran karena iapun mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang pagi tadi ia lihat di rumah makan. Mengapa pemuda ini bisa berada di sini dan mengapa pula membantunya padahal mereka sama sekali tidak saling mengenal? Akan tetapi diam-diam ia bersyukur karena dengan munculnya bantuan ini, ia mempunyai harapan untuk meloloskan diri.

“Nona, mari kita pergi dari sini!” teriak Hong Beng setelah merobohkan dua orang anggauta Ang-i Mo-pang.

“Boleh pergi asalkan kau meninggalkan nyawamu!” bentak Bi-kwi yang sudah menyerang lagi. Hong Beng sudah memperhitungkan ini karena biarpun dia bicara kepada Bi Lan yang diajaknya melarikan diri, diam-diam dia memperhatikan Bi-kwi dan sudah membuat perhitungan untuk membuat gerakan yang mengejutkan. Ketika Bi-kwi menyerang dengan pedangnya, tiba-tiba saja Bi-kwi terkejut karena ada tubuh seorang anggauta Ang-i Mo-pang melayang dari depan menyambut bacokan pedangnya! Itulah perbuatan Hong Beng yang tadi dengan cepat telah menangkap seorang pengeroyok dan melemparkan tubuh orang itu ke arah Bi-kwi. Akan tetapi, dasar hati Bi-kwi amat kejam dan tidak mengenal kasihan kepada orang lain, walaupun yang melayang itu adalah tubuh seorang anak buah Ang-i Mo-pang akan tetapi karena orang itu merupakan penghalang, tanpa memperdulikan apa-apa lagi ia melanjutkan bacokannya.

“Crakkk!” Tubuh orang itu putus menjadi dua dan Bi-kwi menyusulkan tendangan yang membuat tubuh itu terlempar ke samping dan pada saat itu Bi-kwi menjerit kaget dan marah. Sebatang jarum telah menancap di pergelangan tangan kanannya, membuat tangan itu lumpuh dan pedangnya terlepas. Kiranya Hong Beng yang juga memiliki kepandaian mempergunakan jarum halus yang berbau harum, tidak beracun akan tetapi dapat menyerang jalan darah, telah mempergunakan kesempatan tadi, tertutup oleh tubuh orang yang dilontarkan, menyusulkan serangan dengan sebatang jarum halus ke arah pergelangan tangan Bi-kwi.

Wanita ini marah bukan main, biarpun tangan kanannya lumpuh, ia masih menubruk ke depan menggunakan tangan kanannya, dihantamkan ke arah dada pemuda itu. Hong Beng menyambutnya dengan telapak tangannya.

“Tarrr....!” terdengar suara keras dan tubuh Bi-kwi terdorong ke belakang, mukanya pucat dan tubuhnya tergetar. Ia tadi sudah siap menghadapi serangan hawa dingin dari pemuda itu, dengan pengerahan sin-kang yang membuat telapak tangannya panas. Akan tetapi siapa sangka, ketika telapak tangannya bertemu dengan tangan Hong Beng, ada hawa panas yang luar biasa menyerangnya, seolah-olah membakar telapak tangannya dan menyusup sampai kejantung. Ia tidak tahu bahwa penwda itu sekali ini menggunakan ilmu sakti Hui-yang Sin-kang atau tenaga Inti Api yang hebat.

Akan tetapi pada saat itu, Bi Lan sudah hampir tak dapat mempertahankan dirinyalagi. Ia sudah terlampau lelah dan juga luka di pundak oleh jarum beracun dan luka pedang di pahanya membuat gerakannya semakin lemah. Ketika tiga pasang golok anak buah Ang-i Mo-pang menerjang dari tiga jurusan, ia mengerahkan tenaga terakhir dan memutar Ban-tok-kiam. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan tiga orang itu roboh bergelimpangan, akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Bhok Gun dengan kecepatan kilat menusuk ke arah leher Bi Lan tanpa dapat dielakkan atau ditangkis lagi oleh Bi Lan karena pada saat itu, gadis ini sedanq menghadapi tiga orang pengeroyok tadi.

“Trangggg....!” Sebatang golok melayang dan menghantam pedang di tangan Bhok Gun sehingga tusukan ke arah leher Bi Lan itu menyeleweng dan tusukannya luput karena pedangnya ditangkis oleh golok yang dilontarkan Hong Beng. Di lain saat, tubuh Bi Lan yang terhuyung itu sudah dipondong oleh Hong Beng.

“Nona, kita harus pergi dari sini,” katannya. Bhok Gun marah dan pedangnya menyambar ganas.

“Cringgg....!” Pedang yang menghantam ke arah kepala Hong Beng itu dapat ditangkis oleh Ban-tok-kiam di tangan Bi Lan. Biarpun Bi Lan sudah berada dalam pondongan Hong Beng, namun melihat bahaya mengancam ia dan penolongnya, gadis perkasa ini sudah mengangkat pedangnya menangkis. Hong Beng meloncat dan merobohkan dua orang penghalang dengan dorongan tangan kanannya, sedangkan lengan kirinya merangkul tubuh Bi Lan yang dipondongnya. Dia juga berhasil merampas sebatang tombak dan dengan senjata ini dia lalu memukul jatuh obor-obor yang menerangi tempat itu sehingga cuaca menjadi hampir gelap karena hanya obor-obor yang agak jauh dari situ yang masih bernyala. Kesempatan ini dipergunakan Hong Beng untuk meloncat jauh dan melarikan diri di dalam gelap. Dia berlari cepat sekali keluar dari kota Kun-ming, melalui pintu gerbang sebelah timur. Para penjaga pintu gerbang terkejut melihat seorang pemuda lari keluar memondong seorang gadis yang membawa pedang. Sejenak mereka tertegun, akan tetapi karena pada waktu itu terdapat larangan membawa senjata tajam sedangkan gadis tadi membawa pedang dan juga sikap mereka amat mencurigakan, para penjaga itu lalu melakukan pengejaran. Tak lama kemudian, serombongan orang yang di antaranya banyak yang memakai pakaian serba merah nampak berlari-lari keluar pintu gerbang pula. Para penjaga semakin kaget dan mereka semua ikut mengejar. Akan tetapi, yang dikejar sudah tak nampak lagi bayangannya karena ditelan kegelapan malam.



***

Hong Beng terus membawa lari Bi Lan sampai jauh naik ke lereng sebuah bukit. Bulan sudah naik tinggi dan hal ini amat menolongnya karena malam menjadi terang, memudahkan dia memilih jalan melarikan diri. Semenjak memasuki hutan ke dua tadi, dia sudah berhasil meninggalkan para pengejar dan kini tidak nampak seorangpun pengejar di belakang.

Tiba-tiba Hong Beng merasa ada benda dingin sekali menempel tengkuknya, dan ujung sebatang pedang yang tajam runcing menempel tepat di jalan darahnya. Sedikit saja pedang itu ditusukkan, akan tamatlah riwayatnya! Ketika teringat bahwa pedang itu adalah pedang hijau kehitaman yang mengeluarkan hawa mengerikan, yang dipegang oleh gadis yang ditolongnya, seketika Hong Beng merasa betapa semua bulu di tubuhnya bangkit satu-satu karena ia merasa seram.

“Berhenti dan lepaskan aku! Kalau tidak, pedangku akan menembus tengkukmu!” bentak Bi Lan dengan suara ketus. Biarpun ia merasa bahwa orang ini telah menolongnya, mungkin juga menyelamatkannya dari ancaman maut, akan tetapi hatinya panas dan ia marah sekali karena pemuda ini telah berani menyentuh tubuhnya. Bukan hanya menyentuh, malah memondong dan ia merasa betapa lengan itu melingkar di pinggul dan pinggangnya! Kurang ajar sekali orang ini!

Mendengar ucapan yang ketus itu dan merasa betapa todongan ujung pedang itu tidak main-main, Hong Beng terpaksa melepaskan pondongannya.

“Bukk....!” Tubuh Bi Lan terbanting, biarpun tidak keras akan tetapi pinggulnya terasa pegal juga karena tubuhnya memang lemah. Karena ia sudah kehabisan tenaga, maka ketika pondongan itu dilepaskan, ia terbanting.

“Hemm, kau berani membanting aku, ya? Awas kau, kalau sudah sembuh, akan kuhajar kau!” Bi Lan semakin marah dan dengan pedang masih di tangan kanan, ia menggunakan tangan kirinya mengusap-usap pinggul yang tadi menimpa tanah berbatu yang keras.

“Ah, maaf.... bukankah kau yang minta agar aku melepaskanmu, nona?”

Karena memang demikian keadaannya dan pihaknya memang keliru, Bi Lan hanya mengomel, “Kau memang laki-laki kurang ajar sekali!”

Hong Beng memandang wajah yang cemberut itu dengan bingung. Bukan main cantik dan manisnya wajah cemberut itu tertimpa sinar bulan yang redup terang kehijauan. “Nona, aku datang dan melihat engkau dikeroyok, maka aku segera turun tangan membantumu, dan karena mereka tadi mengejar, engkau kularikan sampai di sini dan sekarang kau sudah aman. Akan tetapi, kenapa engkau malah menodongku dan marah-marah kepadaku?”

“Siapa menyuruh engkau memondongku seperti itu!” bentak Bi Lan, hatinya masih panas karena malu mengenangkan betapa tadi ia dipondong seperti anak kecil dan dilarikan.

“Tapi.... tapi.... bagaimana aku akan dapat menyelamatkanmu kalau tidak memondongmu?” Hong Beng membantah sambil mengerutkan alisnya karena dia mulai merasa marah juga. Sungguh seorang gadis yang tidak mengenal budi, sudah ditolong malah marah-marah dan menyalahkannya!

“Sedikitnya engkau bisa minta ijin dulu apakah aku suka atau tidak kaupondong. Enak saja memondong orang semaunya. Huh, dasar laki-laki tak mengenal sopan santun!” Bi Lan menggigit bibir menahan rasa nyeri di pundaknya, lalu mengomel lagi, “Sudah begitu masih membanting aku lagi, sudah tahu bahwa aku terluka. Laki-laki kejam dan tidak berperikemanusiaan!” Bi Lan mendengar tentang sopan santun, tentang perikemanusiaan dan sebagainya itu selama ia menjadi murid Pendekar Naga Sakti.

Hong Beng merasa betapa mukanya menjadi panas. Dia merasa terpukul, malu dan juga penasaran. Dia malu karena bagaimanapun juga, dia teringat bahwa memang tidak pantas seorang laki-laki seperti dia memondong tubuh seorang gadis tanpa perkenan si pemilik tubuh, akan tetapi dia juga merasa penasaran karena selama hidupnya baru satu kali ini dia bertemu dengan orang yang begini tidak mengenal budi.

“Maafkan, nona, maafkan semua kelancanganku,” katanya dan tanpa pamit lagi dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan Bi Lan, gadis yang dianggapnya tidak mengenal budi itu, tidak perduli bahwa gadis itu sejak tadi masih saja duduk di atas tanah, belum mampu bangkit berdiri, sungguh tidak sesuai dengan kegalakannya.

Dan memang Bi Lan tidak mampu bangkit berdiri lagi. Tubuhnya terlalu lemas, bahkan kepalanya terasa pening, matanya berkunang, dan ketika Hong Beng pergi, ia yang sejak tadi menahan diri agar tidak pingsan kini terkulai lemas.

Hong Beng tidak pergi jauh. Di dalam hatinya, sebenarnya dia tidak tega meninggalkan Bi Lan begitu saja. Dia tahu bahwa gadis itu terluka, hanya dia tidak tahu betapa sejak tadi gadis itu mempergunakan kekuatan tubuh dan hatinya untuk bersikap keras dan pura-pura tidak apa-apa. Biarpun dia perlu memberi “pelajaran” kepada Bi Lan atas kekerasan sikapnya yang galak, namun dia tidak tega pergi jauh-jauh dan diam-diam dia menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak untuk kembali ke tempat itu dan mengintai untuk melihat bagaimana keadaan gadis itu dan apa yang akan dilakukannya.

Tentu saja dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa di tempat yang ditinggalkannya tadi, Bi Lan sudah menggeletak dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis itu telah jatuh pingsan di tempatnya, masih di tempat yang tadi, hanya kalau tadi dia masih duduk, kini ia sudah rebah miring, mukanya yang tertimpa sinar bulan itu nampak pucat, akan tetapi pedang yang mengerikan itu masih dipegangnya erat-erat!

“Hayaa....” Hong Beng berseru perlahan dan cepat menghampiri dengan amat hati-hati. Dia mempergunakan telunjuk kanannya untuk perlahan-lahan menyentuh tangan Bi Lan yang memegang pedang, seperti orang hendak melihat apakah harimau itu sudah mati ataukah belum, takut kalau tiba-tiba dicakarnya. Setelah yakin bahwa gadis itu tidak bergerak lagi dan dalam keadaan pingsan, barulah dia berani mengambil pedang itu dari genggamannya. Dia harus lebih dulu menyingkirkan pedang, karena dengan pedang itu di tangan, siapa tahu tiba-tiba gadis itu akan menyerangnya dan hal itu amat berbahaya karena dia dapat merasakan bahwa pedang itu adalah sebuah pusaka yang luar biasa ampuhnya.

Kini dia yakin bahwa gadis itu memang pingsan, dan dia menarik napas panjang setelah menaruh pedang di bawah sebatang pohon, lima meter jauhnya dari situ. “Aih, seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu....“ katanya sambil mulai memeriksa pergelangan tangan gadis itu.



Dia kini tidak perduli lagi apakah gadis itu nanti akan marah atau akan mengamuknya, akan tetapi dalam pemeriksaannya dia tahu bahwa gadis itu menderita luka karena hawa beracun yang hanya dapat ditimbulkan oleh senjata rahasia. Dia harus mencari di mana bagian tubuh yang terkena senjata itu. Memeriksa tubuh gadis galak itu, di dalam cuaca remang-remang lagi! Betapa sukarnya dan betapa berbahayanya karena kalau gadis itu keburu sadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya diraba-raba olehnya, huh, betapa akan mengerikan akibatnya. Akin tetapi, karena menurut denyut nadi itu si gadis berada dalam keadaan cukup berbahaya kalau hawa beracun itu tidak cepat-cepat dienyahkan, Hong Beng nekat. Biarlah kalau sampai berakibat si gadis itu marah sekali dan menyerangnya nanti, yang terpenting adalah kenyataan bahwa dia tidak berbuat hal-hal yang tidak patut atau tidak sopan. Dia hanya ingin menolong dan menyelamatkan gadis itu sekali lagi dari ancaman maut yang kini datangnya dari hawa beracun yang amat berbahaya.

Mulailah Hong Beng melakukan pemeriksaan. Mula-mula dia hanya meraba-raba kedua lengan dan kaki, kemudian leher. Ketika meraba-raba kaki inilah dia menemukan kenyataan bahwa paha kiri gadis itu terluka, cukup parah dan mengeluarkan banyak darah. Inilah menjadi satu di antara sebab-sebab mengapa gadis itu sampai pingsan, yaitu karena terlalu banyak mengeluarkan darah pula. Ketika jari tangannya meraba ke pundak, dia terkejut, merasakan betapa kulit pundak kiri gadis itu panas sekali. Tanpa ragu-ragu lagi Hong Beng lalu merobek bajubagian pundak kiri gadis itu dan jari-jari tangannya meraba-raba. Dia mengangguk-angguk. Sebuah jarum beracun kiranya yang menancap sampai masuk ke dalam daging pundak, dan terselip di bawah tulang pundak!

Ketika menjadi murid pendekar sakti Suma Ciang Bun, Hong Beng juga mempelajari ilmu pengobatan, terutama mengenai luka-luka yang diakibatkan oleh senjata beracun atau luka-luka karena pukulan dan pukulan beracun. Maka setelah dia tahu bahwa gadis itu terkena jarum beracun yang kini berada di dalam pundaknya, diapun tahu apa yang harus dilakukannya. Dia sendiri adalah seorang ahli mempergunakan senjata rahasia jarum, walaupun jarum-jarumnya tidak diberi racun. Pertama-tama jarum itu harus dapat dikeluarkan, dan juga darah di sekitar jarum itu dikeluarkan. Dia tidak mempunyai waktu untuk mempergunakan alat-alat, apa lagi cuaca remang-remang saja dan juga gadis itu harus cepat-cepat ditolong agar racun itu tidak menjalar semakin luas. Satu-satunya jalan hanyalah mempergunakan kekuatan sin-kangnya untuk menghisap keluar racun dan jarum itu.

Hong Beng adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu akan keanehan watak Bi Lan. Kalau dia sedang melakukan pengobatan lalu gadis itu siuman dan menyerangnya, dia tentu akan celaka. Pukulan seorang gadis selihai ini tidak boleh dibuat main-main. Maka sebelum melakukan pengobatan, lebih dahulu dia menotok beberapa jalan darah yang akan membuat gadis itu tidak mampu menggerakkan kaki tangannya kalau siuman nanti. Setelah itu, dia merobek baju di bagian pundak itu lebih lebar lagi, lalu dia menempelkan mulutnya pada luka di bawah depan tulang pundak. Kulit yang putih halus dan hangat bahkan mendekati panas itu tidak mempengaruhinya karena pada saat itu Hong Beng mencurahkan seluruh perhatiannya hanya pada satu hal, yaitu untuk mengobati Bi Lan!

Dengan pengerahan tenaga khi-kang, pemuda itu menyedot. Darah yang agak menghitam tersedot dan diludahkan. Sampai beberapa kali dia menyedot. Akan tetapi, tiba-tiba bulan tertutup awan tebal dan keadaan menjadi gelap pekat. Terpaksa Hong Beng menghentikan pengobatan itu dan mengumpulkan kayu kering lalu membuat api unggun. Tak mungkin melakukan pengobatan dalam cuaca gelap gulita. Api unggun itu perlu sekali untuk mendatangkan cahaya penerangan, untuk melihat warna darah yang dihisapnya dan agar dia dapat melihat bagian tubuh yang terluka itu. Setelah api unggun bernyala besar dan mengusir kegelapan di sekitarnya, kembali Hong Deng menempelkan bibirnya pada pundak itu.

Apa yang dikhawatirkannya tadi terjadilah. Tiba-tiba gadis itu bergerak, akan tetapi ia tidak dapat menggerakkan kaki tangannya! Dan gadis itu lalu menjerit penuh kengerian, lalu jatuh pingsan lagi!

Tentu saja Hong Beng menjadi terkejut dan heran. Menurut perhitungannya, setelah kini hampir semua racun tersedot keluar, sepatutnya gadis itu menjadi hampir sembuh. Akan tetapi kenapa begitu siuman ia menjerit lalu pingsan lagi? Ia cepat memeriksa denyut nadi, dan ternyata denyutnya lebih kuat dan cepat dari pada biasanya. Hal ini menunjukkan bahwa gadis itu mengalami guncangan dan kekagetan. Dia merasa semakin heran. Apa yang begitu mengejutkan gadis perkasa ini dan mengguncang batinnya sampai jatuh pingsan? Dengan gelisah dia menoleh ke kanan kiri, mencari-cari. Tidak ada apa-apa.

Hong Beng lalu melanjutkan usahanya mengobati Bi Lan. Sekali lagi dia menyedot dan setelah yang keluar darah merah, dia menghentikan sedotannya, menaruh obat bubuk putih yang dikeluarkan dari saku bajunya. Obat luka ini manjur sekali, selain dapat menghentikan keluarnya darah, juga dapat menahan segala macam kotoran masuk ke dalam luka, dan membuat luka cepat mengering. Setelah itu, dia menempelkan telapak tangannya ke atas pundak yang terluka itu, mengerahkan sin-kang untuk menyalurkan tenaga dalamnya membantu gadis itu memulihkan jalan darahnya dan mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam tubuhnya.

Hong Beng sama sekali terlupa bahwa gadis yang diobatinya itu seorang yang amat berbahaya sehingga tadi dia terpaksa menotoknya lebih dulu. Dia lupa bahwa kini, karena dia menyalurkan sin-kang ke dalam tubuh gadis itu melalui pundaknya, maka tenaga ini dengan sendirinya melancarkan jalan darah dan membebaskan totokannya sendiri! Maka, begitu Bi Lan siuman dan gadis itu melihat betapa ia masih rebah terlentang dan pemuda itu masih berlutut di dekatnya dan sekarang secara kurang ajar sekali menempelkan tangannya ke pundaknya yang telanjang karena bajunya sudah dirobek, dengan kemarahan meluap-luap Bi Lan lalu menggerakkan tangannya memukul dada pemuda itu. Kini kaki tangannya dapat bergerak lagi dan saking marahnya, Bi Lan memukul dengan pengerahan tenaga dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat yang pernah dipelajarinya dari kakek Kao Kok Cu pendekar Istana Gurnn Pasir.

“Wuuuuttt.... bukkk....!” Pukulan itu dahsyat sekali, datang dari jarak dekat dan sama sekali tidak disangka-sangka oleh Hong Beng yang sedang mengerahkan tenaga untuk menyalurkan sin-kang ke dalam tubuh Bi Lan itu. Akan tetapi dia masih sempat menarik kembali tenaganya karena kalau sampai dia terpukul dengan tangan masih menempel di pundak, maka tenaga pukulan gadis itu akan terus menyusup melalui tangannya ke dalam dada gadis itu sendiri dan mungkin gadis itu akan celaka. Dia menarik kembali tenaganya dan karena itu sama sekali tidak sempat berjaga diri. Untung dia masih ingat untuk mengumpulkan tenaga yang ditariknya itu ke arah dadanya sehingga dada itu masih dapat terlindung terhadap pukulan yang dahsyat itu. Begitu terkena pukulan itu, tubuh Hong Eeng terjengkang dan bergulingan, lalu berhenti menelungkup dan tidak bergerak lagi!

Bi Lan meloncat berdiri akan tetapi ia mengeluh dan hampir roboh kembali. Ia berdiri dengan kaki gemetar dan ternyata pahanya yang, terluka itu terasa nyeri, perih danpanas. Ia menggerak-gerakkan kedua tangannya, terutama lengan kirinya. Lengan kirinya sudah tidak lumpuh lagi dan ia sudah mendapatkan kembali tenaganya. Tenaganya sudah pulih kembali, akan tetapi kakinya tidak mampu bergerak dengan tangkas karena luka di pahanya! Dan pemuda yang dipukulnya itu belum tentu sudah tewas. Kalau bangkit kembali tentu ia tidak akan mampu menandinginya dengan kaki seperti itu. Dengan terpincang-pincang ia menghampiri tubuh Hong Beng yang masih menggeletak menelengkup tak bergerakgerak itu. Pemuda itu pingsan oleh guncangan pukulan yang dahsyat tadi. Setelah tiba dekat, Bi Lan mengangkat tangan meraba pinggang dan ia terkejut. Pedangnya hilang! Tidak ada di pinggangnya, tinggal sarungnya saja. Lalu teringatlah ia bahwa tadi pedang itu masih dipegangnya. Ke mana perginya Ban-tok-kiam? Tentu orang ini yang mengambilnya. Celaka, pedang itu dipinjamkan oleh nenek Wan Ceng kepadanya, kalau sampai lenyap bagaimana ia akan mempertanggungjawabkannya? Niat hati untuk membunuh pemuda itu segera mereda. Tidak, ia tidak akan membunuhnya sebelum pemuda itu mengembalikan Ban-tok-kiam yang tentu disembunyikannya. Akan tetapi kalau tidak dibunuh orang ini amat berbahaya.

Bi Lan mendapatkan akal. Orang ini harus dibuat tidak berdaya dulu. Nanti kalau sudah sadar, akan diancam dan dipaksanya mengembalikan Ban-tok-kiam, baru akan dibunuhnya karena kekurangajarannya yang luar biasa tadi.

Karena tenaga di kedua tangannya sudah pulih, mudah saja bagi Bi Lan untuk melakukan totokan pada kedua pundak dan kedua pinggang pemuda itu untuk melumpuhkan kaki tangannya. Akan tetapi, pemuda itu terlalu berbahaya dan lihai, maka Bi Lan masih menambahkan dengan mengikat kedua kaki tangan Hong Beng dengan robekan baju pemuda itu sendiri. Dengan gemas ia merobek baju pemuda itu, teringat akan baju di pundaknya yang robek, dan mempergunakan kain yang kuat itu, setelah dipintalnya, untuk mengikat kedua pergelangan kaki dan tangan. Barulah ia membalikkan tubuh pemuda itu terlentang. Pemuda itu masih pingsan. Agaknya hebat sekali pukulannya tadi. Wajah pemuda itu pucat dan dari ujung bibirnya mengalir sedikit darah. Bi Lan meraba dadanya dan ternyata pemuda itu masih bernapas, jantungnya masih berdenyut dan hatinyapun lega. Pemuda ini tidak boleh mati sebelum pedang pusakanya dikembalikan!

Penerangan api unggun makin menyuram karena api unggun itu kehabisan bahan bakar. Bi Lan terpincang-pincang mencari tambahan kayu kering dan tak lama kemudian api unggun itu membesar lagi. Ia duduk dekat tubuh Hong Beng yang masih terlentang tak bergerak, seperti tidur, seperti mati. Dan Bi Lan termenung. Yang terus teringat olehnya hanyalah bagaimana pemuda ini dengan kurang ajar sekali tadi telah merobek bajunya, menciumi pundak mungkin juga dekat payudaranya, Teringat ini, mukanya menjadi panas sekali. Dan teringat pula ia betapa ia siuman dan melihat pemuda itu seperti hendak memperkosanya, menciumi pundaknya yang telanjang, ia tidak mampu menggerakkan kedua kaki tangan saking takutnya ia menjerit dan tak ingat apa-apa lagi. Ketika ia siuman kembali, bagaimanapun juga ia merasa lega karena pakaiannya, terutama pakaian dalamnya, masih melekat di badannya. Akan tetapi pemuda itu masih membelai dan mengelus pundaknya, maka pemuda itu lalu dihantamnya. Pemuda biadab! Ia membayangkan hal yang bukan-bukan dan bulu tengkuknya meremang. Hampir saja, pikirnya dan ia semakin marah.

Di bawah penerangan api unggun, ia melihat seekor nyamuk besar terbang dan hinggap di pipi Hong Beng. Dengan pandang matanya yang tajam ia melihat betapa nyamuk itu menghisap darah dari pipi itu, perutnya yang tadinya kempis putih itu perlahan-lahan berubah menghitam dan mengembung.

Perasaan tidak tega membuat ia mengangkat tangan ke atas, siap untuk memukul mati nyamuk itu. Akan tetapi perasaan lain mengatakan bahwa tidak sepantasnya ia mengasihani pemuda ini dan perasaan ini memaksanya mengingat betapa pemuda itu telah menciumi pundaknya dengan bibir dan pipi itu! Tangannya melayang turun.

“Plakk!” Nyamuk itu mati gepeng dan perutnya pecah, darah merah bergelimang di sekitar bangkai nyamuk itu. Bi Lan menarik napas panjang untuk menekan perasaannya yang terpecah menjadi dua pihak yang bertentangan. Sepihak merasa puas bahwa ia telah membunuh nyamuk yang sedang menghisap darah pemuda yang sedang pingsan tak berdaya itu, akan tetapi lain pihak menyangkal dan mengatakan bahwa yang ia lakukan tadi adalah untuk melampiaskan panas hatinya, untuk menghukum karena pemuda itu tadi berani kurang ajar kepadanya. Biarpun sudah dibantahnya demikian, tetap saja ada dua macam kepuasan terasa di dalam hatinya, kepuasan karena membebaskan pemuda itu dari gangguan nyamuk dan kepuasan sudah menampar pemuda itu.

Kenyataan ini mengganggu hatinya dan Bi Lan mengalihkan perhatian kepada pahanya yang terluka.

Celananya yang kanan melekat pada pahanya. Bagian paha itu terbuka dan nampak luka merah menganga, sudah tidak mengeluarkan darah lagi akan tetapi terasa amat nyeri, pedih dan panas. Untuk memeriksa luka ini, harus celana itu dibuka. Hal ini tidak mungkin karena di situ ada orang lain, seorang lelaki pula! Merobek celana itu di bagian paha juga tidak mungkin karena pahanya akan terbuka dan telanjang dan hal ini amat memalukan. Bagaimana kalau pemuda kurang ajar itu nanti siuman dan melihat pahanya yang tidak tertutup? Dengan hati-hati ia menguak celana yang terobek pedang itu untuk memeriksa lukanya. Perlu dicuci, pikirnya, dan harus cepat diberi obat luka. Kalau tidak, bisaberbahaya. Ia meraba-raba bajunya akan tetapi tidak dapat menemukan obat. Teringatlah ia bahwa obat-obatnya berada di dalam buntalan dan buntalan itu tentu saja sudah tercecer ketika ia berkelahi tadi. Semua pakaian bekalnya juga hilang.

Api unggun mulai mengecil dan akhirnya padam, hanya meninggalkan asap putih yang makin mengecil juga. Akan tetapi Bi Lan tidak menyalakannya kembali karena malam telah berganti pagi dan biarpun mataharinya sendiri belum nampak, namun sinarnya telah membakar ufuk timur dan mengusir kegelapan malam. Pagi itu dingin sekali, akan tetapi Bi Lan yang sibuk memeriksa luka di pahanya tidak memperhatikannya. Mulutnya mendesis-desis menahan rasa nyeri yang seperti menyusup ke dalam tulang-tulang, terutama di sekitar pahanya.

“Luka itu harus dicuci bersih dan aku mempunyai obat luka yang manjur.”

Bi Lan yang sedang tenggelam dalam perhatian memeriksa luka di pahanya, terkejut dan cepat menutupkan kembali kain celana robek itu pada pahanya. Mukanya merah dan seperti seekor kelenci ketakutan, ia sudah meloncat ke dekat Hong Beng akan tetapi ia mengeluh karena pahanya terasa semakin perih ketika ia meloncat dan luka di paha itu tergeser dan tergores kain.

Dengan jari-jari tangan mengancam kepala Hong Beng, Bi Lan menghardik, “Hayo kembalikan pedangku, kalau tidak, akan kucengkeram ubun-ubunmu sampai hancur!”

Ketika tadi siuman kembali, Hong Beng merasa betapa kaki tangannya lumpuh, bahkan terikat tali yang terbuat dari bajunya sendiri yang sudah robek-robek. Lalu dia teringat, dan hatinya merasa mendongkol bukan main. Celaka, pikirnya. Ini bukan hanya air susu dibalas tuba, bahkan lebih menjengkelkan lagi. Gadis itu bukan hanya tidak mengenal budi, bahkan jahat dan kejamnya seperti iblis! Dia harus berhati-hati karena nyawanya terancam di tangan gadis yang jahat seperti iblis ini. Maka, biarpun sudah siuman, dia diam saja dan segera dia mengerahkan tenaga sin-kangnya. Tenaga sin-kang yang dimiliki keluarga para pendekar Pulau Es memang hebat bukan main, berbeda dari pada sin-kang dari aliran persilatan yang lain. Keluarga Pulau Es itu sudah mampu menguasai latihan untuk menghimpun tenaga sin-kang, bahkan untuk mengendalikannya sedemikian rupa sehingga para pendekar Pulau Es dapat membuat tenaga sin-kang itu menjadi panas seperti api dan dingin seperti es, juga dapat sekaligus menggunakan dua hawa tenaga yang berlawanan itu dengan kedua tangan.

Dengan penggunaan kedua hawa tenaga itu, akhirnya dalam waktu sebentar saja Hong Beng mampu membebaskan pengaruh totokan Bi Lan. Akan tetapi dia diam saja karena ikatan tali kain itu tidak ada artinya baginya. Dia hanya bersiap siaga, ingin melihat apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh gadis yang jahat dan kejam seperti iblis betina itu. Akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa Bi Lan memeriksa luka di pahanya sambil mendesis-desis dan mengeluh dengan suara seperti akan menangis, seperti sikap seorang anak kecil yang cengeng, kemarahannya mencair dan diapun merasa kasihan. Maka dia lalu memberi nasihat tadi agar luka itu dicuci dan bahwa dia mempunyai obat luka yang manjur.

Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu memang benar-benar jahat. Kini gadis itu mengancam ubun-ubun kepalanya, siap membunuhnya dan menanyakan pedang pusaka yang juga mengerikan itu. Kini tahulah dia mengapa gadis itu memiliki sebatang pedang yang demikian menyeramkan. Kiranya ia sendiripun mempunyai watak yang mengerikan.

“Hemm, kaukira aku mencuri pedangmu yang ganas itu? Aku hanya menyimpannya. Pedang itu berada di bawah pohon di sana itu.” Hong Beng menunjukkan tempat pedang itu dengan pandang matanya. Bi Lan menengok dan terpincang-pincang ia menghampiri pohon itu. Benar saja. Ban-tok-kiam menggeletak di situ. Cepat pedang itu diambilnya. Pedangnya sudah ditemukan dan sekarang pemuda itu harus dibunuhnya, untuk menghukumnya atas kekurangajarannya. Iapun terpincang-pincang menghampiri lagi Hong Beng yang diam-diam sudah siap siaga membela diri. Akan tetapi dia masih tetap rebah terlentang.

“Dan sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!” bentak Bi Lan sambil mengangkat pedangnya.

Hong Beng tersenyum mengejek. “Hemm, benar saja. Aku telah keliru menolong anak setan yang amat jahat.”

Bi Lan menahan pedangnya. “Siapa yang jahat?”

“Huh, siapa lagi kalau bukan engkau? Aku telah menyelamatkanmu, menolongmu, akan tetapi engkau hendak membalasnya dengan membunuhku. Apa namanya itu kalau tidak jahat seperti iblis?”

“Engkau yang jahat seperti iblis! Memang kau telah menolongku, akan tetapi pertolonganmu itu berpamrih keji. Kebaikanmu itu belum cukup untuk menghapus kekejian dan kekurangajaranmu terhadap aku. Dibunuh sepuluh kalipun masih belum dapat menghapus dosamu!”.

Hong Beng membelalakkan kedua matanya. “Ehh.... ehhh.... engkau tidak hanya jahat dan kejam, akan tetapi bahkan licik dan pandai membalik-balikan kenyataan. Sungguh tak kusangka. Kau bilang aku jahat dan keji dan kurang ajar? Coba, di bagian mana aku jahat dan keji dan kurang ajar?” Hong Beng benar-benar merasa penasaran sekali. Ingin dia merenggut lepas tali-tali itu dan menghajar gadis yang keterlaluan ini, akan tetapi dia masih ingin mendengarkan terus karena diam-diam dia merasa terheran-heran bagaimana ada gadis yang begini berani mati dan tanpa malu-malu memutar balikkan kenyataan.

Akan tetapi, sikap Hong Beng itu bahkan membuat Bi Lan menjadi semakin marah. “Heh, kau laki-laki yang sombong dan engkaulah yang pura-pura suci. Apa yang kaulakukan tadi sewaktu aku pingsan? Engkau telah menciumku....“

“Ehhh....? Bohong seribu kali bohong! Aku tidak pernah menciummu!” bantahnya dan ada suara berbisik menyambung dalam hatinya,

“....walaupun aku ingin sekali kalau mungkin....!”

Heran sekali dia, mengapa ada mulut dapat nampak begitu manis biarpun mulut itu sedang cemberut dalam kemarahan! Dan lebih heran lagi dia, mengapa ada wajah yang begitu jelita memiliki mata yang demikian jahat dan kejam!

Sepasang mata itu mencorong seperti mengeluarkan sinar berapi. “Apa! Kau yang bohong, pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya sendiri. Ketika aku sadar dari pingsan, engkau menempelkan mulut dan hidungmu di pundakku. Apa lagi itu namanya kalau bukan mencium? Apa kau mau bilang bahwa kau hendak menggigit dan memakan daging pundakku? Dan ketika aku siuman untuk ke dua kalinya, engkau.... engkau membelai dan meraba-raba pundakku. Keparat!”

Tiba-tiba Hong Beng tertawa sehingga Bi Lan yang sedang marah itu tertegun heran. Gilakah orang ini? Diancam mau dibunuh malah ketawa-tawa.

“Ha-ha-ha, jadi itukah sebabnya mengapa engkau jatuh pingsan lagi, dan kemudian kau menyerangku secara semena-mena?” Hatinya lega bukan main. Kalau begitu, gadis ini sama sekali tidak jahat! Gadis ini bersikap kejam karena marah dan merasa dihina, mengira dia seorang pria kurang ajar yang mempergunakan kesempatan selagi gadis itu pingsan, telah berani mencium pundaknya lalu meraba-raba pundak dan mungkin lain tempat lagi! Itulah sebabnya gadis itu menjadi marah dan kejam! Bukan karena memang wataknya jahat. “Ha-ha, nona, engkau salah kira. Aku tidak mencium pundakmu, juga tidak ingin makan daging pundakmu biarpun perutku memang lapar sekali.”

“Jangan coba menyangkal atau berkelakar. Aku tidak ketawa dan tidak merasa lucu! Kalau tidak mencium, lalu mau apa kau....?”

“Nona, aku memang menempelkan mulutku di pundakmu, akan tetapi bukan mencium, melainkan menyedot darah yang sudah tercampur racun dari luka di pundakmu.”

Bi Lan terkejut dan baru ia teringat bahwa ketika berkelahi, pundaknya terkena jarum beracun sucinya dan menjadi lumpuh lengan kiri itu. “Luka....?” Di pundak....?” ia tergagap.

“Terkena jarum beracun. Aku terpaksa menyedot darah yang keracunan itu, sekalian mengeluarkan jarumnya, kemudian kupergunakan sin-kang untuk membantumu memulihkan jalan darahmu, dan menempelkan tanganku di pundak yang terluka itu....”

“Ahh....!” Bi Lan kini menggunakan tangan kirinya meraba-raba pundak dan memang masih ada lukanya di situ, luka kecil karena jarum, akan tetapi menjadi agak besar karena disedot dan kini sudah kering dan sudah tidak terasa nyeri sama sekali.

“Ahhh....!” kembali ia berseru bingung. Pedang yang dipegang oleh tangan kanan itu kini menurun. “Ahhh....!” Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Menyesal, malu, dan ditambah perasaan nyeri di pahanya.

Melihat betapa gadis itu hanya dapat berah-ah-uh-uh dengan canggung, Hong Beng merasa kasihan. “Luka di pahamu itu perlu dirawat, nona. Perlu dicuci bersih dan aku membawa obat luka yang manjur, yang tadipun sudah kukenakan pada luka di pundakmu. Aku belum berani merawat luka di pahamu karena khawatir kau....”

Bi Lan menarik napas panjang. Pengalamannya dengan Sam Kwi, kemudian dengan Bhok Gun, membuat ia bercuriga kepada setiap pria dan ia tadinya menduga bahwa pemuda inipun tiada bedanya dengan yang lain. Akan tetapi ternyata ia salah duga, salah sekali.

“Aih, aku telah keliru.... kukira engkau.... kiranya tidak demikian....“

Hong Beng tersenyum. “Tidak aneh, nona. Memang di dunia ini lebih banyak orang jahat dari pada yang benar. Akan tetapi, tentu engkau sekarang sudah percaya kepadaku, bukan?”

Melihat betapa pemuda itu memandang ke arah pedang Ban-tok-kiam yang masih dipegangnya dengan tangan kanan, Bi Lan cepat menyimpan pedangnya itu dengan muka merah.

“Tentu saja, aku telah salah sangka. Biar kulepaskan ikatan dan totokanmu....”

Akan tetapi gadis itu terkejut bukan main ketika ia hendak membuka totokan dan ikatan kaki tangan, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan kaki tangannya dan semua ikatan itupun putus dan pemuda itu bangkit duduk sambil tersenyum.

“Ah, kau.... kau....” Bi Lan tak melanjutkan kata-katanya dan memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi semakin merah. “Tadi.... kau kutotok dan kuikat....“

“Baik sekali itu, nona, demi keamanan karena kalau seorang yang dicurigai dibiarkan terlepas, tentu berbahaya.”

“Dan tadi.... kuhantam dadamu, keras sekali. Kau tidak apa-apa....?”

“Aku roboh pingsan. Memang hebat sekali pukulanmu tadi.”

“Maksudku, kau tidak terluka parah....?” Ucapan Bi Lan kini terdengar penuh dengan nada penyesalan dan makin gembiralah hati Hong Beng karena dia kini merasa yakin bahwa dia tidak salah mengira ketika pertama kali bertemu dengan gadis ini di restoran. Gadis ini lain dengan sucinya itu. Gadis ini polos dan murni, hanya agak liar dan penuh curiga.

Dia menggeleng kepala, tidak tega menggoda dan menambah penyesalan dalam hati gadis itu. “Pukulanmu tadi cepat sekali datangnya, dan untung aku masih sempat melindungi dadaku. Kalau tidak, tentu sudah berantakan isi dadaku tadi.”

“Ah, aku menyesal sekali. Sungguh aku jahat sekali, engkau sudah membantuku, menyelamatkan aku, akan tetapi aku sejak pertama mencurigaimu. Kuanggap engkau kurang ajar ketika memondongku dan melarikan aku, kemudian engkau untuk kedua kalinya menyelamatkan aku dengan mengobati lukaku, akan tetapi aku malah makin curiga dan menyangka buruk. Ah, betapa jahatnya aku....“

“Sudahlah, nona. Salah sangka merupakan kelemahan semua orang. Dan mungkin karena engkau kurang pengalaman, dan kita belum saling mengenal, maka terjadi kesalahpahaman itu. Lebih baik kau rawat dulu luka di pahamu, ini obat luka yang manjur. Pakailah. Ketika lari ke sini, di bawah itu terdapat sumber air. Mari kuantar....“

Bi Lan bangkit dan ketika Hong Beng mengulurkan tangan, tanpa ragu-ragu ia lalu memegang lengan pemuda itu dan sambil terpincang-pincang, dibantu oleh Hong Beng, mereka menuruni lereng itu dan benar saja, tak jauh dari situ terdapat mata air yang mengeluarkan air jernih dari celah-celah batu dan menjadi anak sungai.

“Cucilah lukamu, aku menanti di sana.” Hong Beng lalu pergi meninggalkan gadis itu lalu duduk di atas sebuah batu, di tempat yang agak tinggi sehingga nampak oleh Bi Lan betapa pemuda itu duduk bersila di atas batu datar, membelakanginya. Kembali wajahnya terasa panas karena malu. Pemuda itu demikian sopan, akan tetapi tadi hampir dibunuhnya karena dianggapnya kurang ajar! Lain kali ia harus berhati-hati menilai orang dan tidak bertindak secara sembrono.

Dengan hati-hati ia lalu merobek celananya lebih lebar sehingga luka di pahanya nampak nyata. Luka itu sebetulnya tidak berapa lebar, hanya terluka oleh tusukan pedang, akan tetapi agak membengkak dan merah sekali. Biarpun terasa amat perih ketika disentuh air, ia menggigit bibir dan tidak mau mengaduh, khawatir terdengar oleh pemuda itu. Dicucinya luka itu sampai bersih, kemudian ia menaruh obat bubuk putih itu di atas luka itu sampai penuh dan tertutup, kemudian dibalutnya pahanya dengan kain putih dari ikat pinggangnya. Terasa dingin dan nyaman sekarang. Akan tetapi dengan sedih ia melihat celananya yang kini robek dan tidak dapat menutupi lagi seluruh kakinya, juga bajunya di bagian pundak kiri sudah robek sehingga nampak kulit leher dan sebagian pundaknya.

Ia melihat bahwa pemuda itu masih duduk bersila di atas batu, menghadap matahari pagi yang sudah mulai muncul dengan sinarnya yang kuning keemasan, cerah sekali. Sedapat mungkin Bi Lan menutupi paha dan pundak yang nampak ketika ia menghampiri pemuda itu.

“Sudah kuobati luka di kakiku,” katanya sambil mengembalikan bungkusan obat luka.

Hong Beng memandang dan melihat betapa gadis itu dengan canggungnya mencoba untuk menutupi robekan celana dan baju, ia segera mengambil bungkusannya dan mengeluarkan satu stel pakaiannya.

“Nona, pakaianmu robek-robek, kaupakailah pakaian ini untuk sementara sebelum engkau mendapatkan pengganti yang pantas.”

Bi Lan menggeleng kepala. “Pakaianmu tentu terlalu besar untukku, juga, aku tidak suka memakai pakaian pria.” Ia melihat pakaiannya dan menarik napas panjang. “Kalau saja aku dapat menambal dan menjahit bagian yang robek, untuk sementara dapat dipakai sebelum mendapatkan yang baru....“

“Aku punya jarum dan benang! Dan untuk menambal, kaupergunakan ini.” Tanpa ragu-ragu lagi Hong Beng merobek kain ikat pinggang yang panjang, berwarna putih, dan menyerahkan robekan kain itu bersama jarum dan benangnya kepada Bi Lan. “Akan tetapi, untuk menjahit pakaianmu, sementara engkau harus berganti dulu, nona. Kaupakailah dulu pakaian ini sebelum pakaianmu dijahit. Maukah kau kubantu? Aku pandai menjahit, dan aku akan menjahit pakaianmu yang robek....“

“Tidak!” kata Bi Lan cepat-cepat. “Aku akan menjahitnya sendiri!”

Hong Beng tersenyum. “Baiklah, kau berganti pakaian dan jahit pakaianmu yang robek. Aku mau mencari bahan makanan untuk kita.” Setelah berkata demikian, Hong Beng meloncat dan lari memasuki sebuah hutan lebat yang berada di dekat puncak, tak jauh dari lereng itu.

Bi Lan cepat membawa satu stel pakaian Hong Beng dan masuk ke belakang semak-semak belukar. Ia menanggalkan pakaiannya sendiri dan memakai pakaian Hong Beng yang tentu saja terlalu besar untuknya itu sehingga ia harus menggulung kelebihan kaki celana dan lengan baju. Ia nampak lucu setelah keluar dari balik semak-semak, membawa pakaiannya sendiri kembali ke batu besar tadi dan mulai menjahit dan menambal baju dan celananya sendiri yang robek-robek. Ia sudah biasa menggunakan jarum benang, maka sebentar saja baju dan celananya yang robek-robek itu telah dijahitnya dengan rapi dan rapat. Setelah Hong Beng kembali ia sudah berganti dalam pakaiannya sendiri dan pakaian Hong Beng yang tadi dipakainya telah dilipatnya lagi dengan rapi dan dikembalikan ke dalam buntalan pemuda itu.

Hong Beng dengan wajah berseri memperlihatkan dua ekor ayam hutan yang gemuk, yang dirobohkannya dengan sambitan jarum-jarumnya. “Lihat, ini bahan makanan untuk kita. Aku sudah lapar sekali.”

“Mari kubantu membersihkan bulu-bulu dan isi perutnya. Berikan padaku, akan kucuci di sumber air itu.”

“Dan aku mempersiapkan api dan menanak nasi, juga mempersiapkan bumbu-bumbunya.” “Nasi? Bumbu?”

Hong Beng tertawa dan mengeluarkan beras, panci, garam dan bumbu-bumbu sederhana dari dalam buntalannya, seperti bermain sulap saja. Bi Lan tersenyum dan ia sudah pulih kembali kesehatannya sehingga kegembiraannya juga timbul karena pada hakekatnya gadis itu berwatak periang dan jenaka.

“Bagus, akan makan enak kita hari ini! Perutku sudah lapar bukan main!” Dan iapun lalu berlari-lari kecil menuju ke sumber air. Ketika rasa nyeri pahanya membuatnya menjerit kecil, barulah ia ingat akan kakinya yang sakit dan iapun melanjutkan lari terpincang-pincang.

Hong Beng memandang sampai gadis itu lenyap di balik pohon-pohon. Lucu dan menarik, menyenangkan sekali gadis itu, pikirnya. Seorang gadis yang amat baik, yang mungkin selama ini memperoleh pergaulan dengan orang-orang yang tidak patut. Baru dia teringat bahwa dia belum tahu siapa gadis itu, dari perguruan mana dan bagaimana riwayatnya, mereka belum saling berkenalan, padahal sebentar lagi mereka sudah akan makan bersama. Akan tetapi dia tidak berani bertanya-tanya tentang diri gadis itu. Wataknya demikian aneh, jangan-jangan kalau ditanya nama lalu timbul lagi kecurigaannya.

Matahari telah naik tinggi ketika keduanya duduk menghadapi nasi dan panggang daging ayam yang gemuk sambil berteduh di bawah pohon besar. Dengan lahap mereka lalu makan nasi dan daging ayam. Ketika Hong Beng mengeluarkan seguci arak, Bi Lan mengerutkan alisnya dan ia menggeleng kepala dengan keras ketika pemuda itu menawarkan arak padanya.

“Tidak, tidak....! Sampai matipun aku tidak akan minum lagi minuman setan itu!” katanya dan ia lalu minum sedikit air jernih yang sejak tadi sudah ia siapkan di dalam panci.

“Nona, arak amat berguna seperti api. Kalau dipergunakan menurut aturan, dia akan baik sekali bagi kesehatan. Akan tetapi kalau dibiarkan menguasai kita dan kita minum tanpa aturan, tentu akan mencelakakan dan merusak kesehatan. Arak ini bukan arak yang keras, sudah dicampur dengan air, kalau diminum setelah perut terisi makanan, akan menjadi penghangat tubuh.” Pemuda itu lalu menuangkan sedikit arak ke dalam cangkir dan meminumnya sedikit demi sedikit dan kelihatan memang enak sekali. Apa lagi bau arak itu sedap. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan.

“Coba beri aku sedikit saja,” katanya dan jantungnya berdebar khawatir. Kenapa ia begitu percaya kepada pemuda ini? Bagaimana kalau pemuda ini seperti Sam Kwi atau seperti Bhok Gun dan melolohnya dengan arak sampai mabok? Akan tetapi, ketika Hong Beng mengulurkan tangan memberikan cangkir yang sudah diisi sedikit arak, ia menerima tanpa ragu, kemudian meminumnya sedikit demi sedikit, dikecupnya sedikit saja. Dan memang enak! Selain rasanya mengandung sedikit manis dan berbau sedap, juga kalau diminum sedikit tidak mencekik leher dan juga ada hawa panas yang enak memasuki perutnya.

Enak bukan main makan seperti itu. Hanya nasi dengan daging ayam dipanggang sederhana, dengan bumbu sederhana sekali, garam dan bawang dan kecap, dimakan panas-panas sambil duduk di atas rumput di tempat teduh, tanpa sumpit atau sendok atau pisau, hanya dengan lima jari tangan saja. Enak! Perut sudah lapar, tubuh lelah dan baru saja terlepas dari ancaman maut dan mengalami hal-hal yang menegangkan, itulah yang membuat hidangan sederhana menjadi lezat bukan main.

Berbahagialah orang yang sehat tubuh dan hatinya, sehat badan dan batinnya, di manapun juga dia berada. Bagi orang yang sehat badannya, segalanya terasa nikmat. Panca indera yang sehat dapat menikmati segala yang dilihat, didengar, dicium, dimakan dan dirasakan. Tinggal menikmatinya saja! Segala sudah berlimpahan di sekelilingnya. Akan tetapi, badan sehat harus pula dilengkapi dengan batin sehat. Kalau tidak, maka badan sehat itupun tidak akan dapat menikmati segala yang ada, karena batinnya mencari dan mengharapkan keadaan yang lain dari pada yang dihadapinya, keadaan lain yang diharapkan dan dibayangkan lebih hebat, lebih baik, lebih menyenangkan dari pada yang telah ada. Pencarian ini, harapan ini otomatis melenyapkan keindahan dari keadaan yang diharapkannya itu. Dan timbullah kekecewaan, tidak puas, penyesalan dan kedukaan. Keadaan Hong Beng dan Bi Lan itu dapat dijadikan contoh suatu keadaan. Karena tubuh mereka sehat, lelah dan lapar, maka sudah sepatutnya kalau mereka dapat menikmati hidangan sederhana itu. Dan keadaan batin merekapun pada saat itu sehat. Andaikata tidak demikian dan mereka itu membandingkan dengan keadaan lain yang mereka harapkan, makan dengan hidangan yang lebih lengkap, duduk di kursi dan menggunakan sumpit, dilayani dan segala macam keenakan lain yang tidak ada pada saat itu, dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan dapat makan selahap dan selezat itu!

Jelaslah bahwa segala macam keindahan dan keenakan bukan terletak pada benda di luar diri kita, melainkan tergantung sepenuhnya kepada batin dan badan kita sendiri. Sarana untuk dapat menikmati hidup ini bukanlah kekayaan, kedudukan, kepandaian, ataupun kekuasaan. Sarana yang mutlak hanyalah kesehatan badan dan batin. Tawa bukan hanya milik orang kaya dan tangis bukan hanya bagian orang miskin. Tawa sebagai cermin suka dan tangis sebagai cermin duka akan selalu silih berganti mengombang-ambingkan manusia yang belum sehat badan dan batinnya. Orang yang memiliki segala-galanya dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, yang mampu menikmati setiap tarikan napas, mampu menikmati setiap teguk air, mampu melihat dan mendengar keindahan segala sesuatu yang nampak dan terdengar, adalah orang bijaksana. Orang bijaksana tidak tersentuh dalam arti kata terseret suka duka. Orang bijaksana adalah orang yang sehat badan dan batinnya.

“Tidak tambah lagi? Ini nasinya masih, dagingnya juga masih.” Hong Beng menawarkan.

Bi Lan menggeleng kepala dan minum air jernih. “Cukup, aku sudah kenyang sekali.”

“Araknya lagi? Sedikit lagipun tidak apa-apa.”

Kembali Bi Lan menggeleng kepala. “Teruskanlah makanmu sampai kenyang. Aku sudah cukup, lebih dari cukup.” Ia lalu menggunakan air untuk mencuci kedua tangannya yang masih berlepotan minyak gajih ayam yang gemuk tadi. Hong Beng melanjutkan makannya, nampak enak sekali dan Bi Lan menatap dan mengamati wajah pemuda itu. Seorang pemuda yang mukanya bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Akan tetapi, seorang pemuda yang sederhana. Sederhana lahir batinnya. Bukan hanya pakaian yang berwarna biru dengan sabuk putih itu yang sederhana, juga sepatunya yang sudah hampir butut, melainkan juga muka yang bersih itu tidak pesolek. Rambut yang hitam gemuk itu tidak berbekas minyak seperti rambut Bhok Gun yang mengkilap dan berbau wangi. Tidak, pemuda ini tidak pesolek walaupun dalam ketampanan tidak kalah oleh Bhok Gun. Sikapnya membayangkan batin yang sederhana. Selalu nampak rendah hati, padahal, dengan ilmu kepandaian seperti itu, biasanya orang akan menjadi sombong dan besar kepala, tinggi hati. Seorang pemuda yang terlalu sederhana, akan tetapi justeru di situlah letak daya tariknya.

“Sekarang aku yakin benar bahwa engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap diriku....”

“Terima kasih, legalah hatiku kalau tidak dicurigai lagi,” kata Hong Beng memotong.

“Tapi....” Sepasang mata yang jeli itu menatap tajam, seolah-olah sinarnya ingin menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. “.... lalu kenapa engkau bersusah payah menolongku ketika aku dikepung, dan mengobatiku ketika aku terluka jarum beracun? Kalau tidak ada pamrihmu, untuk apa engkau menolongku? Kita bukan sahabat, bahkan bukan kenalan, kenapa engkau membantu aku dan menentang mereka?”

Hong Beng menyuapkan segenggam nasi ke mulutnya dan mengunyahnya perlahan-lahan sambil mengamati wajah yang manis itu. Seorang dara cantik sekali, cantik manis walaupun kulit muka yang putih mulus itu tidak berbau bedak dan gincu. Manis, terutama sekali mulut yang kecil mungil itu, dengan lesung pipit di kanan kirinya, nampak membayang kalau bicara, nampak mengintai kalau cemberut, dan nampak cerah dan jelas kalau tersenyum. Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh gairah dan semangat hidup, penuh kegembiraan. Seorang gadis yang manis.

“Kenapa? Kenapa kaulakukan semua itu? Jawablah agar aku tidak merasa penasaran.”

Hong Beng menelan makanan dalam mulutnya. Sebelum menjawab, dia menghabiskan sisa arak dalam cangkirnya. “Nona, sejenak aku tak mampu menjawab. Pertanyaanmu itu amat aneh terdengar olehku. Kenapa seseorang menolong orang lain? Kenapa seseorang melakukan gangguan kepada orang lain? Kenapa orang selalu melakukan kebaikan atau keburukan kepada orang lain? Nona, kalau menurut pendapatmu, anehkah kalau orang menolong orang lain tanpa pamrih?”

“Tentu saja aneh, bahkan tak masuk akal! Segala perbuatan kita tentu terdorong oleh sesuatu pamrih, untuk mencapai sesuatu, atau memiliki tujuan tertentu. Kalau tadi aku memukulmu, hendak membunuhmu, tentu ada sebabnya, bukan? Sebabnya, karena engkau kuanggap jahat. Dan kalau sekarang aku mau makan minum bersamamu, duduk bercakap-cakap, tentu ada sebabnya pula, karena kini aku percaya padamu sebagai seorang yang baik. Nah, tentu ketika kau menolongku tadi, ada pamrihnya.”Hong Beng bengong. Alasan-alasan itu sungguh mengandung kebenaran bagi manusia pada umumnya. Akan tetapi sekaligus membuka mata betapa kotornya kalau setiap perbuatan itu mengandung pamrih. Katakanlah pertolongannya terhadap Bi Lan berpamrih, maka pamrihnya itu tentu kotor. Apa yang kiranya dapat diharapkannya dari gadis ini? Satu-satunya tentu karena gadis ini manis, dan pamrihnya tentu dikuasai nafsu berahi. Tidak! Sama sekali tidak demikian yang mendorongnya menolong gadis itu.

“Nona, bagiku, apa yang kulakukan terhadap dirimu tadi bukanlah perbuatan yang didorong oleh pamrih, melainkan didorong oleh perasaan iba terhadap yang tertindas, dan perasaan menentang terhadap segala macam kejahatan. Perbuatan tadi kuanggap sebagai suatu keharusan, suatu kewajiban. Andaikata bukan engkau yang tadi terancam maut, andaikata seorang laki-laki pun, atau seorang nenek tua buruk sekalipun, tetap saja aku akan turun tangan dan berusaha menyelamatkannya.”

Bi Lan mengerutkan alisnya dan nampak kepalanya sedikit bergoyang. Agaknya sukar baginya menerima alasan ini. Di dalam dunia Sam Kwi yang dikenalnya sejak ia masih kecil, segala perbuatan tentu ada pamrihnya, pamrih untuk kepentingan diri sendiri, untuk keuntungan dan kesenangan diri sendiri. Akan tetapi ia teringat bahwa suhu dan subonya dari Istana Gurun Pasir pernah mengatakan bahwa seorang yang berjiwa pendekar harus selalu siap mengulurkan tangan untuk menolong orang-orang yang lemah tertindas, dan menggelung lengan baju menentang arang-orang yang kuat dan jahat.

“Engkau seorang pendekar?” tiba-tiba ia bertanya sambil menatap wajah itu. Hong Beng sudah selesai makan dan sedang mencuci kedua tangannya seperti yang dilakukan Bi Lan tadi.

Hong Beng menggeleng kepala. “Pendekar bukanlah suatu kedudukan atau pangkat, nona. Penilaiannya terserah kepada si penilai, tergantung dari sepak terjangnya dalam kehidupannya. Aku seorang manusia biasa saja yang kebetulan bertemu denganmu di rumah makan itu, dan merasa curiga terhadap orang-orang berpakaian merah itu karena aku sudah mendengar tentang adanya Ang-i Mo-pang yang kabarnya merajalela di Kun-ming. Karena itulah aku diam-diam membayangimu. Ketua Ang-i Mo-pang itu lihai sekali dan juga jahat. Melihat kau dikepung dan terancam bahaya, dengan melupakan kebodohan sendiri akupun lalu terjun ke dalam perkelahian dan untung dapat melarikanmu.”

Bi Lan mengangguk-angguk. “Kalau begitu engkau seorang pendekar! Siapakah namamu?”

Girang hati Hong Beng. Sejak tadi dia ingin sekali berkenalan dengan nona ini, akan tetapi tidak berani bertanya nama. Sekarang gadis itu menanyakan namanya, berarti mereka menjadi kenalan dan dia tentu akan mendengar tentang keadaan nona yang menarik hatinya ini.

“Namaku Gu Hong Beng, nona. Dan siapa kau, nona?”

Aku Can Bi Lan, tapi guru-guruku dan suciku menyebut aku Siauw-kwi.”

Hong Beng tertawa. “Aihh, guru-gurumu dan sucimu tentu hanya berkelakar. Masa orang seperti nona ini disebut Iblis Cilik?”

“Benar, aku disebut Siauw-kwi. Kami semua memakai sebutan Iblis. Aku Iblis Cilik, suciku disebut Iblis Cantik, dan tiga orang guru kami dikenal sebagai Tiga Iblis....“

“Kaumaksudkan.... Sam Kwi....?”

“Benar. Aku dan suci adalah murid-murid Sam Kwi yang terdiri dari Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, dan Iblis Mayat Hidup....“

“Ahh....! Ohhh.... Hong Beng terbelalak.

“Kenapa kau berah-oh seperti gagu?”

“Aku pernah mendengar bahwa Sam Kwi adalah tiga datuk kaum sesat yang namanya pernah menggegerkan dunia persilatan di barat dan selatan.”

“Benar, habis mengapa?”

“Nona....”

“Nanti dulu! Jemu aku mendengar engkau menyebutku nona-nona segala macam. Namaku Bi Lan dan engkau boleh menyebutku Bi Lan atau Siauw-kwi, terserah, akan tetapi jangan nona-nonaan!”

Hong Beng mengangguk-angguk. Kini sikap Bi Lan itu tidak dianggapnya lucu lagi. Pantas sikapnya demikian liar, kiranya gadis ini murid Sam Kwi. “Bi Lan, kalau sucimu itu murid Sam Kwi, memang tepat. Akan tetapi siapa mau percaya bahwa engkau murid Sam Kwi? Engkau begini.... begini.... polos, jujur dan baik. Sukar dipercaya bahwa kau murid Tiga Iblis itu.”

“Percaya atau tidak terserah. Dan bagaimanapun juga, Sam Kwi adalah tiga orang tua yang menyelamatkan aku, menjadi pengganti orang tuaku, guru-guruku, dan amat sayang kepadaku.”

Hong Beng menggeleng kepala perlahan. Sungguh luar biasa. “Menurut pendengaranku, Sam Kwi adalah tiga orang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat. Dan engkau, yang menjadi muridnya, begini baik dan menganggap mereka sebagai orang-orang yang demikian baiknya. Luar biasa. Apakah kau sejak kecil menjadi murid mereka, Bi Lan?”

Gadis itu mengangguk. Wataknya memang polos dan kasar, walaupun kekasaran yang tadinya liar itu sudah menjadi jinak dan tahu aturan semenjak ia digembleng oleh suami isteri sakti Kao Kok Cu dan Wan Ceng.

“Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku bersama ayah dan ibu melarikan diri dari selatan karena di sana ada perang pemberontakan yang dibantu pasukan-pasukan Birma. Di tengah perjalanan kami dihadang pasukan Birma yang jahat dan ayah ibu tewas oleh mereka. Aku diselamatkan oleh Sam Kwi dan sejak itu aku diambil murid mereka yang ke dua.” Menceritakan ini, Bi Lan teringat akan kematian orang tuanya dan wajahnya diselimuti awan kedukaan.

“Ah, nasibmu sungguh buruk, Bi Lan. Engkau kehilangan orang tuamu sejak kecil dan terjatuh ke dalam tangan tiga orang datuk sesat yang jahat.”

“Nona, bagiku, apa yang kulakukan terhadap dirimu tadi bukanlah perbuatan yang didorong oleh pamrih, melainkan didorong oleh perasaan iba terhadap yang tertindas, dan perasaan menentang terhadap segala macam kejahatan. Perbuatan tadi kuanggap sebagai suatu keharusan, suatu kewajiban. Andaikata bukan engkau yang tadi terancam maut, andaikata seorang laki-laki pun, atau seorang nenek tua buruk sekalipun, tetap saja aku akan turun tangan dan berusaha menyelamatkannya.”

Bi Lan mengerutkan alisnya dan nampak kepalanya sedikit bergoyang. Agaknya sukar baginya menerima alasan ini. Di dalam dunia Sam Kwi yang dikenalnya sejak ia masih kecil, segala perbuatan tentu ada pamrihnya, pamrih untuk kepentingan diri sendiri, untuk keuntungan dan kesenangan diri sendiri. Akan tetapi ia teringat bahwa suhu dan subonya dari Istana Gurun Pasir pernah mengatakan bahwa seorang yang berjiwa pendekar harus selalu siap mengulurkan tangan untuk menolong orang-orang yang lemah tertindas, dan menggelung lengan baju menentang arang-orang yang kuat dan jahat.

“Engkau seorang pendekar?” tiba-tiba ia bertanya sambil menatap wajah itu. Hong Beng sudah selesai makan dan sedang mencuci kedua tangannya seperti yang dilakukan Bi Lan tadi.

Hong Beng menggeleng kepala. “Pendekar bukanlah suatu kedudukan atau pangkat, nona. Penilaiannya terserah kepada si penilai, tergantung dari sepak terjangnya dalam kehidupannya. Aku seorang manusia biasa saja yang kebetulan bertemu denganmu di rumah makan itu, dan merasa curiga terhadap orang-orang berpakaian merah itu karena aku sudah mendengar tentang adanya Ang-i Mo-pang yang kabarnya merajalela di Kun-ming. Karena itulah aku diam-diam membayangimu. Ketua Ang-i Mo-pang itu lihai sekali dan juga jahat. Melihat kau dikepung dan terancam bahaya, dengan melupakan kebodohan sendiri akupun lalu terjun ke dalam perkelahian dan untung dapat melarikanmu.”

Bi Lan mengangguk-angguk. “Kalau begitu engkau seorang pendekar! Siapakah namamu?”

Girang hati Hong Beng. Sejak tadi dia ingin sekali berkenalan dengan nona ini, akan tetapi tidak berani bertanya nama. Sekarang gadis itu menanyakan namanya, berarti mereka menjadi kenalan dan dia tentu akan mendengar tentang keadaan nona yang menarik hatinya ini.

“Namaku Gu Hong Beng, nona. Dan siapa kau, nona?”

Aku Can Bi Lan, tapi guru-guruku dan suciku menyebut aku Siauw-kwi.”

Hong Beng tertawa. “Aihh, guru-gurumu dan sucimu tentu hanya berkelakar. Masa orang seperti nona ini disebut Iblis Cilik?”

“Benar, aku disebut Siauw-kwi. Kami semua memakai sebutan Iblis. Aku Iblis Cilik, suciku disebut Iblis Cantik, dan tiga orang guru kami dikenal sebagai Tiga Iblis....“

“Kaumaksudkan.... Sam Kwi....?”

“Benar. Aku dan suci adalah murid-murid Sam Kwi yang terdiri dari Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, dan Iblis Mayat Hidup....“

“Ahh....! Ohhh.... Hong Beng terbelalak.

“Kenapa kau berah-oh seperti gagu?”

“Aku pernah mendengar bahwa Sam Kwi adalah tiga datuk kaum sesat yang namanya pernah menggegerkan dunia persilatan di barat dan selatan.”

“Benar, habis mengapa?”

“Nona....”

“Nanti dulu! Jemu aku mendengar engkau menyebutku nona-nona segala macam. Namaku Bi Lan dan engkau boleh menyebutku Bi Lan atau Siauw-kwi, terserah, akan tetapi jangan nona-nonaan!”

Hong Beng mengangguk-angguk. Kini sikap Bi Lan itu tidak dianggapnya lucu lagi. Pantas sikapnya demikian liar, kiranya gadis ini murid Sam Kwi. “Bi Lan, kalau sucimu itu murid Sam Kwi, memang tepat. Akan tetapi siapa mau percaya bahwa engkau murid Sam Kwi? Engkau begini.... begini.... polos, jujur dan baik. Sukar dipercaya bahwa kau murid Tiga Iblis itu.”

“Percaya atau tidak terserah. Dan bagaimanapun juga, Sam Kwi adalah tiga orang tua yang menyelamatkan aku, menjadi pengganti orang tuaku, guru-guruku, dan amat sayang kepadaku.”

Hong Beng menggeleng kepala perlahan. Sungguh luar biasa. “Menurut pendengaranku, Sam Kwi adalah tiga orang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat. Dan engkau, yang menjadi muridnya, begini baik dan menganggap mereka sebagai orang-orang yang demikian baiknya. Luar biasa. Apakah kau sejak kecil menjadi murid mereka, Bi Lan?”

Gadis itu mengangguk. Wataknya memang polos dan kasar, walaupun kekasaran yang tadinya liar itu sudah menjadi jinak dan tahu aturan semenjak ia digembleng oleh suami isteri sakti Kao Kok Cu dan Wan Ceng.

“Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku bersama ayah dan ibu melarikan diri dari selatan karena di sana ada perang pemberontakan yang dibantu pasukan-pasukan Birma. Di tengah perjalanan kami dihadang pasukan Birma yang jahat dan ayah ibu tewas oleh mereka. Aku diselamatkan oleh Sam Kwi dan sejak itu aku diambil murid mereka yang ke dua.” Menceritakan ini, Bi Lan teringat akan kematian orang tuanya dan wajahnya diselimuti awan kedukaan.

“Ah, nasibmu sungguh buruk, Bi Lan. Engkau kehilangan orang tuamu sejak kecil dan terjatuh ke dalam tangan tiga orang datuk sesat yang jahat.”

Betapapun jahatnya Sam Kwi, Bi Lan tidak menganggap mereka jahat, apa lagi karena ia tahu betapa besar rasa sayang mereka kepadanya dan betapa ia telah diselamatkan oleh mereka. Karena itu, mendengar celaan ini, ia merasa tidak senang dan seketika kedukaannya hilang. Bagi murid Sam Kwi memang tidak boleh tenggelam ke dalam kedukaan, demikian ajaran mereka.

“Ketiga suhuku tidak jahat!” bantahnya. “Sudahlah, Hong Beng. Engkau minta aku bicara tentang diriku saja, sedangkan engkau belum bercerita tentang dirimu. Engkau tentu seorang pendekar, bukan?”

Hong Beng menggeleng kepala dan alisnya berkerut. “Tidak banyak perbedaan antara nasibmu dan nasibku, Bi Lan. Ketika aku berusia sebelas tahun, terjadi malapetaka menimpa ayah ibuku. Mereka tewas di tangan pembesar di Siang-nam. Aku sendiri hampir mereka bunuh, akan tetapi muncul seorang pendekar sakti yang menyelamatkan aku dan kemudian aku diambil sebagai murid. Guruku itu bernama Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es

“Ihhh....!” Bi Lan meloncat bangkit ke belakang dan memandang tajam. Melihat sikap gadis itu, Hong Beng terkejut dan diapun bangkit berdiri.

“Kenapa, Bi Lan?” Hong Beng bertanya heran dan khawatir.

“Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dia adalah musuh besar tiga orang guruku! Bahkan dahulu suci diutus oleh mereka untuk mencari pendekar itu dan untuk membalaskan sakit hati mereka karena mereka pernah dikalahkan oleh pendekar itu. Akan tetapi sayang, pendekar itu telah meninggal dunia. Jadi engkau termasuk murid Pulau Es?”

“Suhuku adalah cucu dari Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Han, akan tetapi menurut suhu, Pulau Es sudah lenyap bersama kakek itu. Aku belum pernah melihat Pulau Es. Bi Lan, kuharap engkau sebagai murid Sam Kwi tidak akan memusuhi anak murid Pulau Es yang tidak tahu menahu tentang permusuhan antara tiga orang suhumu dengan mendiang Pendekar Super Sakti.”

Bi Lan menggeleng kepala. “Aku tidak pernah berjanji kepada mereka untuk memusuhi keturunan Pulau Es. Akan tetapi suci yang pernah berkata bahwa ia akan membasmi semua keturunan Pulau Es untuk membalaskan kekalahan Sam Kwi. Hemm, kiranya engkau masih murid dari cucu pendekar itu, pantas engkau lihai dan engkaupun berwatak pendekar. Hong Beng, aku tidak memusuhimu, hanya terkejut mendengar engkau murid keluarga Pulau Es. Belum kauceritakan, engkau dari mana dan hendak pergi ke mana.”

“Aku diutus oleh suhu untuk suatu tugas penting di kota raja, akan tetapi aku lebih dulu pergi ke selatan untuk mengunjungi makam ayah ibuku. Malam tadi aku bermalam di makam itu dan pagi tadi kebetulan bertemu dengan engkau dengan sucimu. Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?”

“Aku dan suci juga menerima tugas dari Sam Kwi untuk mencari dan merampas kembali sebuah pusaka. Sebetulnya, suci yang melaksanakan tugas-tugas itu, dan aku sudah berjanji untuk membantu suci.”

“Satu lagi pertanyaanku, Bi Lan. Pedangmu itu....! Sungguh mati aku merasa ngeri melihat pedang itu. Sebuah pedang pusaka yang luar biasa, mengandung hawa yang menyeramkan. Apakah pedang itu pemberian Sam Kwi kepadamu?”

Bi Lan meraba gagang pedang di balik bajunya dan tersenyum. Manisnya kalau ia tersenyum! “Bukan, Hong Beng. Ini pemberian atau lebih tepat lagi, dipinjamkan oleh subo kepadaku.”

“Subomu? Ah, maksudmu tentu isteri seorang di antara Sam Kwi.”

“Bukan! Belum kuceritakan tadi kepadamu bahwa selain Sam Kwi, aku masih mempunyai seorang suhu dan subo lain yang sama sekali tak boleh disamakan dengan Sam Kwi. Mereka adalah penolong-penolongku dan juga guru-guruku yang sangat kuhormati. Ketahuilah, ketika aku menjadi murid Sam Kwi, yang melatih aku dalam ilmu silat bukan Sam Kwi sendiri melainkan suciku, Bi-kwi. Dan suci telah sengaja melatih aku secara keliru, menyelewengkan latihan-latihan itu sehingga aku hampir menjadi gila karena keliru latihan. Untung aku bertemu dengan suhu dan subo itu yang mengobatiku, dan melatihku selama setengah tahun. Dan ketika kami saling berpisah, subo memberi pinjam pedangnya ini dan kelak aku akan mengembalikannya kepada mereka di Istana Gurun Pasir.”

Kini Hong Beng melonjak kaget, matanya terbelalak memandang wajah gadis itu.

“Apa kaubilang tadi? Istana Gurun Pasir? Gurumu itu....?”

“Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya.”

“Ahhh....! Aku telah bersikap kurang hormat....!”Hong Beng lalu menjura kepada Bi Lan.

Gadis itu tertawa. ”Hi-hik, apa-apaan kau ini Hong Beng? Apakah penghormatan itu dilakukan karena sebuah nama?”

“Tentu saja. Nama besar dan nama baik mendatangkan perasaan menghormat. Kiranya engkau menjadi murid pula dari locianpwe Kao Kok Cu yang sakti! Luar biasa sekali! Suhuku pernah bercerita kepadaku tentang pendekar sakti itu yang membuat hatiku kagum bukan main. Bahkan suhu memesan kepadaku agar aku pergi mencari puteranya yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi bagaimana pedang milik isteri pendekar sakti itu begitu.... begitu.... mengerikan?”

“Subo juga mengatakan bahwa pedang ini bukan pedang sembarangan dan memiliki hawa yang mengerikan, namanya Ban-tok-kiam dan subo melarang aku menggunakan pedang ini sembarangan saja, hanya boleh dipergunakan untuk membela diri. Memang hebat dan kurasa umurnya sudah amat tua. Lihat, bukankah pedang ini hebat bukan main?” Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam itu dari sarungnya dan Hong Beng merasa bulu tengkuknya meremang melihat sinar pedang yang hijau kehitaman dan mengandung hawa menyeramkan itu. Dengan ngeri dia membayangkan entah sudah berapa banyak darah manusia diminum pedang ini, dan entah berapa banyak nyawa diantar ke alam baka.

“Omitohud....! Pedang yang hebat!” Tiba-tiba saja terdengar suara orang dan tahu-tahu di depan Bi Lan sudah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar gendut, berkepala gundul dan mengenakan jubah yang biasa dipakai oleh pendeta Lama dari Tibet, yaitu jubah yang berkotak-kotak kuning dan merah. Sukar menaksir berapa usia kakek ini. Selain tubuhnya yang tinggi besar dengan perut gendut itu amat menarik perhatian, juga wajahnya seperti seekor singa, penuh cambang bauk dan brewok, amat berlawanan dengan kepalanya yang dicukur kelimis. Muka itu benar-benar mirip muka singa, dan yang lebih mengerikan lagi, bulu atau rambut di mukanya itu, yang sebenarnya adalah cambang, kumis dan jenggot, berwarna agak kuning dan mengkilap seperti benang sutera emas. Sepasang matanya mencorong dan mulutnya lebar tersenyum penuh ejekan.

Hong Beng merasa terkejut bukan main. Kakek yang melihat pakaiannya tentu seorang pendeta Lama dari Tibet ini dapat muncul begitu saja tanpa diketahuinya, bahkan Bi Lan agaknya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja kakek itu muncul di dekat mereka. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali.

“Omitohud.... pusaka yang bagus sekali....” kembali kakek itu berkata dan kakinya melangkah ke arah Bi Lan.

“Bi Lan, hati-hati....! ”Hong Beng berseru dan menerjang ke depan ketika dia melihat pendeta itu membuat gerakan aneh. Namun terlambat. Nampak bayangan merah dan tahu-tahu jubah lebar kakek itu sudah meluncur dan seperti sebuah jala, jubah itu menerkam ke arah Bi Lan. Gadis ini gelagapan karena tidak dapat melihat apa-apa dan tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang amat kuat, dengan jari-jari besar panjang, telah mencengkeram tangan kanannya yang memegang gagang pedang. Seperti akan patah-patah semua jari tangannya ketika dicengkeram tangan itu.

Pada saat itu, Hong Beng yang sudah menaruh curiga namun karena gerakan kakek itu amat cepat sehingga dia kalah dulu, sudah menyerang dengan tamparan yang kuat ke arah leher kakek itu. Kakek itu menggunakan tangan kiri mencengkeram tangan Bi Lan, sedangkan lengan kanannya digerakkan untuk menangkis tamparan Hong Beng.

“Dukk....!” Tubuh Hong Beng terpelanting dan dia hampir roboh. Pemuda itu terkejut bukan main dan meloncat ke samping. Sementara itu, Bi Lan tak mampu mempertahankan pedangnya yang sudah berpindah tangan. Ketika kakek itu menarik kembali jubahnya sedangkan pedang sudah berpindah ke tangan kirinya, Bi Lan menyerang dengan marah, menggunakan pukulan Sin-liong Ciang-hwat. Kakek itu, sambil mengamati pedang dengan melut menyeringai, hanya mengangkat lengan kanan menangkis.

“Dukk....!”Akibatnya, tubuh Bi Lan terdorong ke belakang, akan tetapi juga kakek itu terhuyung.

“Omitohud....! Kalian ini orang-orang muda yang hebat. Dan pedang ini hebat pula. Apa namanya tadi? Ban-tok-kiam? Pedang yang bagus!” Dia mengamati pedang itu dengan wajah gembira sekali. Hong Beng dan Bi Lan sudah memasang kuda-kuda, menghadang kakek itu dari kanan dan kiri.

“Orang tua, kembalikan pedangku!” Bi Lan membentak dan memandang marah.

“Locianpwe, harap suka mengembalikan pusaka itu kepada pemiliknya.” Hong Beng juga membujuk, bicara dengan sopan karena dia dapat menduga bahwa pendeta ini tentu seorang sakti yang agaknya kagum dan tertarik melihat Ban-tok-kiam.

“Ha-ha-ha.....!”Kakek itu tertawa dan dua orang muda itu terkejut dan cepat mengerahkan sin-kangnya. Suara ketawa kakek itu mengandung getaran hebat seperti auman seekor singa marah!” Bantok-kiam ini hanya pantas berada di tangan Sai-cu Lama, ha-ha-ha....!” Suara ketawanya yang terakhir semakin hebat dan kuat getarannya sehingga dua orang muda itu sampai menahan napas memperkuat pengerahan sin-kang mereka.

“Wuutt.... singg-singg....!” Nampak sinar hitam berkelebatan ketika kakek itu menggerakkan Ban-tok-kiam ke kanan kiri. Hong Beng dan Bi Lan terpaksa meloncat mundur karena Ban-tok-kiam memang hebat sekali, apa lagi digerakkan dengan tenaga yang demikian besarnya. Mereka siap siaga untuk merampas kembali pedang itu, namun mereka berhati-hati karena maklum bahwa kakek itu lihai bukan main. Dan kakek itu sambil tertawa-tawa agaknya memandang rendah mereka dan mengobat-abitkan pedang itu ke kanan kiri seperti orang yang menakut-nakuti anak kecil.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melenking panjang, datangnya dari jauh sekali, akan tetapi suara lengkingan itu terdengar begitu jelas dan mendadak saja wajah pendeta Lama yang mengaku bernama atau berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama Singa) itu nampak terkejut dan pandang matanya liar diarahkan ke bawah lereng bukit dari mana suara itu datang.

“Demi iblis neraka! Dia sudah datang lagi!” katanya lirih dan tiba-tiba saja dia melompat ke belakang.

“Hei, kembalikan pedangku!” Bi Lan mengejar, akan tetapi tiba-tiba kakek itu menyambutnya dengan serangan Ban-tok-kiam yang ditusukkan ke arah perut gadis itu. Bi Lan cepat mengelak, akan tetapi kakek itu sudah melompat dan berlari cepat sekali, menghilang ke dalam hutan di sebelah barat lereng itu. Bi Lan bersama Hong Beng melakukan pengejaran, akan tetapi biarpun mereka sudah mencari-cari sampai lama, kakek yang merampas Ban-tok-kiam itu tak nampak lagi bayangannya.

“Celaka....!”Bi Lan hampir menangis, marah sekali dan membanting-banting kaki kanannya sampai tanah di depannya itu melesak ke bawah. “Pusaka pinjaman dari subo itu telah dirampas iblis tua bangka tadi. Celaka....!”

“Tenanglah, Bi Lan. Setidaknya kita sudah mengenal nama julukannya. Sai-cu Lama, nama yang asing bagiku. Dan dia adalah seorang pendeta, agaknya dia tidak bermaksud buruk, hanya meminjam pusaka itu karena tertarik, dan tidak akan merampasnya begitu saja. Aku percaya bahwa sebagai seorang pendeta, dia akan mengembalikan pusaka itu. Tadi dia pergi karena terkejut mendengar suara melengking itu, entah siapa yang membuatnya begitu kaget dan ketakutan.”

“Kalau aku tidak percaya! Aku tidak percaya kepada segala macam pendeta. Biasanya, jubah pendeta itu hanya untuk kedok agar kejahatannya tidak nampak.” Gadis itu cemberut. ”Buktinya, begitu jumpa dia sudah merampas pedangku. Kalau dia tidak ingin merampas, mengapa tadi dia menyerang, kita? Bahkan tusukannya yang terakhir tadi amat berbahaya dan kalau aku tidak cepat mengelak, tentu aku sudah mati. Tidak, dia bukan manusia baikbaik.”

Bersambung ke buku 5