Suling Naga -3 | Kho Ping Hoo



Buku 3

Kakek dan nenek itu saling berpandangan dengan heran. Kalau sucinya yang mengajarkan, berarti suci itu lebih gila lagi dari pada nona ini. Ataukah suci itu sengaja menyelewengkan pelajaran-pelajaran itu untuk mencelakai gadis ini? Munkinkah seorang suci berbuat demikian? Akan tetapi mengingat akan nama julukannya, yaitu Bi-kwi (Setan Cantik), jelas bahwa suci itu tentu seorang tokoh golongan sesat, dan tidaklah aneh kalau seorang tokoh sesat melakukan perbuatan sejahat itu.

“Ke mana guru kalian? Kenapa sucimu yann mengajarmu, bukan gurumu?” Kao Kok Cu yang merasa tertarik sekali melanjutkan pertanyaannya. Kini Bi Lan sama sekali tidak merasa curiga lagi kepada kakek dan nenek yang bersikap manis itu, dan iapun menjawab sejujurnya.

“Tiga orang guruku sedang bertapa, yang mewakili mereka mengajarku adalah suci Bi-kwi.”

“Tiga orang ? Siapakah guru-gurumu itu?” Kao Kok Cu bertanya lagi, makin heran mendengar bahwa gadis ini mempunyai tiga orang guru. Pantas ilmu silatnya tadi bermacam-macam dan aneh-aneh, jelas membayangkan sifat ilmu silat kaum sesat.

“Guru-guruku adalah orang-orang hebat!” kata Bi Lan bangga. Memang gadis ini, biarpun dalam keadaan terganggu pikirannya karena salah latihan, tak pernah dapat melupakan budi kebaikan tiga orang gurunya ketika menolongnya, ketika membalaskan dendam ayah bundanya dengan membunuh semua orang jahat yang mengakibatkan tewasnya orang tuanya itu, dan membantunya mengubur jenazah mereka, juga mengambilnya sebagai murid “Mereka terkenal dengan julukan Sam Kwi.”

“Hemm, Tiga Iblis?” Nenek Wan Ceng bertanya, heran karena ia dan suaminya belum pernah mendengar nama ini. Memang sesungguhnyalah, dua orang kakek dan nenek ini sejak muda jarang berkecimpung di dalam dunia persilatan, hidup terpencil di gurun pasir di utara, maka mereka tidak banyak tahu tentang tokoh-tokoh kaum sesat. Apa lagi karena Sam Kwi juga menyembunyikan diri dan bertapa selama sekian tahun setelah mereka dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti dan baru sekarang mereka muncul ketika mereka ingin menguasai Liong-siauw-kiam, Pedang Suling Naga yang tadinya berada di tangan susiok mereka.

“Ya, ya, Tiga Iblis!” kata Bi Lan dengan nada suara gembira walaupun pandang matanya agak kecewa melihat betapa nenek itu tidak mengenal nama guru-gurunya. “Tiga orang guruku itu adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, dan Iblis Mayat Hidup. Kepandaian mereka hebat sekali!”

Suami isteri tua itu saling pandang dan Kao Kok Cu memancing dengan ucapan halus, “Nona, kami melihat bahwa nona adalah seorang yang baik, akan tetapi mengapa menjadi murid tiga orang yang menurut julukannya adalah tokoh-tokoh golongan sesat?”

Bi Lan mengerutkan alisnya. “Aku tidak mengerti pertanyaanmu, aku tidak tahu apa itu yang kaunamakan golongan sesat, akan tetapi tiga orang guruku amat baik kepadaku, menolongku dari tangan gerombolan orang jahat yang telah membunuh ayah ibuku, bahkan membunuh semua gerombolan itu dan membantuku mengubur jenazah ayah ibuku.”

Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu dan isterinya kini dapat mengerti bahwa gadis ini adalah seorang diantara sekian banyaknya korban perang pemberontakan di selatan, dan dapat menduga bahwa gadis ini diselamatkan oleh tiga orang tokoh sesat itu dan kemudian menjadi murid mereka. Akan tetapi gadis ini menerima pelajaran ilmu yang sesat sehingga keracunan dan membuat pikirannya terguncang dan tidak waras. Mungkin hal ini bukan kesalahan tiga orang yang berjuluk Sam Kwi itu, melainkan kesalahan suci gadis ini yang berjuluk Bi-Kwi. Sukar dibayangkan apa yang dilakukan oleh datuk-datuk atau tokoh-tokoh kaum sesat yang aneh-aneh, maka mereka pun sukar menduga apa yang telah terjadi di antara keluarga perguruan sesat yang semua memakai julukan setan atau iblis itu.

Tetapi gadis ini menerima pelajaran ilmu yang sesat sehingga keracunan dan membuat pikirannya terguncang dan tidak waras. Mungkin hal ini bukan kesalahan tiga orang yang berjuluk Sam Kwi itu, melainkan kesalahan suci gadis ini yang berjuluk Bi-kwi. Sukar dibayangkan apa yang dilakukan oleh datuk-datuk atau tokoh-tokoh kaum sesat yang aneh-aneh maka merekapun sukar menduga apa yang telah terjadi di antara keluarga perguruan sesar yang semua memakai julukan setan atau iblis itu.

“Siapakah namamu, anak yang baik?” tanya Wan Ceng dengan suara yang mengandung iba. Ia melihat gadis ini seperti setangkai bunga indah bersih yang karena keadaan terpaksa hidup di tengah-tengah lumpur kotor.

Bi Lan tersenyum memandang wajah nenek itu. “Tiga orang Suhuku bersama suci menyebutku Siauw-kwi. Hi-hik sebetulnya sekarang aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan? Namaku sendiri adalah Can Bi Lan.”

“Bi Lan, dengarlah baik-baik, apakah engkau percaya kepada kami? Engkau lihat, kami sama sekali tidak berniat buruk dan tidak melakukan apa-apa yang buruk terhadap dirimu.”

Bi Lan tersenyum dan memandangi dua orang tua itu, lalu mengangguk-angguk. “Aku percaya kepada kalian. Aku belum pernah bicara panjang lebar seperti ini dengan orang lain, dan kalian baik sekali.”

Wan Ceng menjadi gembira dan makin bersemangat mendengar ucapan gadisitu. Ia memandang suaminya dan suami yang sudah bergaul selama limapuluh tahunan dengan isterinya ini, sudah maklum apa yang terkandung dalam hati isterinya tanpa si isteri mengatakannya itu mengangguk sebagai tanda setuju. “Bi Lan, kami melihat bahwa engkau menderita luka dalam, menderita keracunan yang amat membahayakan kesehatanmu karena engkau telah keliru dalam latihan ilmu silat, terutama sekali dalam latihan sin-kang dan pernapasan. Kami bermaksud untuk mengobatimu sampai sembuh. Maukah engkau?”

Bi Lan memandang ragu dan bingung. “Aku tidak sakit apa-apa,” katanya, “dan andaikata sakit tentu suhu-suhuku dan suci akan mampu menyembuhkanku. Pula, bagaimana aku bisa keliru berlatih kalau suci sendiri yang mengajarku?”

Nenek itu adalah seorang wanita yang amat cerdik. Tadi ketika bicara dekat dengan gadis itu, ia melihat bekas-bekas pukulan yang masih meninggalkan tanda-tanda membiru pada leher dan pipi gadis itu, mungkin pada bagian tubuh lain yang tertutup pakaian. Karena ia dapat menduga bahwa tentu ini perbuatan sang suci yang katanya jahat dan kejam itu, ia lalu tiba-tiba bertanya, “Bi Lan, siapa yang memukulimu sampai engkau menderita babak-belur dan ada bekas-bekas di leher dan mukamu?”

Ditanya secara mendadak itu, Bi Lan yang memang pada dasarnya berwatak jujur dan polos, masih belum ternoda oleh pengaruh lingkungan masyarakat, bahkan pada hakekatnya belum ketularan watak jahat para gurunya dan sucinya, menjawab terang-terangan sambil tersenyum, “Ah, suci yang melakukan ini. Katanya ini perlu dalam latihan, ia memukuli dan menendangku dalam latihan-latihan silat.”

Kini Kao Kok Cu yang berkata, “Nona telah tertipu oleh sucimu itu. Ia telah memukulimu, mungkin karena benci hanya tidak berani membunuhmu, maka ia melatihmu secara terbalik dan tersesat. Dengan latihan-latihan ini, kalau kauteruskan, engkau mungkin akan mati dalam satu dua tahun ini.”

“Mati adalah suatu hal yang menyenangkan.” Bi Lan menjawab sambil menahan ketawanya, dan sikap ini jelas membayangkan sikap orang yang pikirannya tidak waras.

“Eh, mengapa begitu ?” tanya Wan Ceng mendengar ucapan yang biasanya hanya diucapkan oleh para pendeta yang berlagak sudah tahu akan keadaan sesudah mati.

“Hi-hik, aku sendiri tidak tahu, nek, yang berkata demikian adalah suci.”

“Sucimu lagi!” kata Wan Ceng, diam-diam merasa marah terhadap orang yang menjadi suci gadis ini. “Coba, kau bernapas yang dalam, lalu tahan sebentar.”

Bi Lan masih tersenyum-senyum, akan tetapi menuruti permintaan nenek itu. Setelah menarik napas panjang dan dalam, ia menahan hawa itu di dalam dadanya.

“Cukup, apa yang kaurasakan? Bukankah ada kelainan dan rasa nyeri di punggungmu?” Nenek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah banyak pengalamannya tentang keracunan dan luka di sebelah dalam tubuh. Ia sendiri pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), maka dapat dikata ia adalah seorang ahli tentang keracunan.

Bi Lan memandang heran dan mengangguk. “Benar, ada rasa seperti ditusuk di punggungku. Nenek apakah engkau bermain sihir sehingga tahu apa yang kurasakan?”

“Tidak, Bi Lan. Itu tandanya bahwa engkau benar-benar menderita luka dalam yang kalau tidak cepat disembuhkan akan membahayakan nyawamu. Dan kami yakin bahwa hal itu timbul karena kesalahan dalam latihan dan agaknya sengaja sucimu itu mengusahakan agar engkau tewas, karena latihan-latihanmu. Maukah engkau kami obati sampai sembuh?”

Gadis itu mengamati wajah kedua orang tua itu dengan sikap ragu-ragu. Akhirnya ia berkata, “Tiga orang suhuku adalah orang-orang yang paling sakti di dunia ini, kemudian disusul oleh suci Bi-kwi. Apa yang kalian dapat lakukan, tentu dapat dilakukan pula oleh mereka. Coba perlihatkan dulu kepandaian kalian, baru aku akan percaya bahwa kalian adalah orang-orang yang lebih pandai dari mereka, dan aku mau kalian obati.”

Kao Kok Cu dau isterinya mengerti bahwa pengaruh Sam Kwi dan Bi-kwi sudah demikian dalam terutama di dalam hati gadis ini sehingga gadis ini percaya sepenuhnya kepada mereka. Maka, perlu untuk diyakinkan hati gadis ini dengan demonstrasi kepandaian agar dapat percaya dan mau ditolong. Mereka saling pandang dan kakek itu mengangguk.

“Bi Lan, bukankah tadi kami sudah memperlihatkan bahwa kami jauh lebih pandai dari padamu?”

“Kalau hanya mengalahkan aku, sucipun dapat seribu kali mengalahkan aku.”

“Baiklah. Kaulihat pohon di depan itu? Apakah kaukira guru-gurumu atau sucimu akan dapat merobohkan pohon itu tanpa memukul keras, tanpa menggugurkan setangkaipun daunnya?”

Bi Lan memandang. Pohon itu besarnya seperti tubuh manusia. Ia tahu bahwa tiga orang gurunya, juga sucinya, amat lihai dan tentu akan mampu merobohkan pohon itu. Akan tetapi tanpa memukul keras? Tanpa menggugurkan daunnya? Mana mungkin? Iapun lalu menggeleng kepala.

“Nah, kaulihat!” kata Wan Ceng dan nenek ini lalu menghampiri pohon yang dimaksudkan itu. Sebentar ia mengerahkan tenaga, mengumpulkan tenaga sinkang di kedua tangannya, kemudian menempelkan kedua telapak tangannya pada batang pohon itu. Tidak kelihatan ia memukul dan pohon itupun tidak terguncang sama sekali. Akan tetapi, diam-diam nenek ini sudah mengerahkan hawa pukulan Selaksa Racun, pukulan kaum sesat yang amat hebat dan yang selama ini tidak pernah ia pergunakan walaupun nenek ini selama puluhan tahun telah menghimpun tenaga sin-kang yang amat kuat. Hanya nampak tubuhnya sendiri yang tergetar keras dan kemudian nenek itu meloncat mundur dengan muka agak pucat dan peluh membasahi dahi dan leher.

Melihat ini, Bi Lan terkekeh. “Hi-hik, apakah yang telah kaulakukan tadi, nek ? Aku sama sekali tidak melihat pohon itu roboh.”

“Bi Lan, coba kaudorong pohon itu,” kata Wan Ceng sambil tersenyum. Bi Lan maju dengan tangan kirinya mendorong batang pohon dan tiba-tiba pohon itupun tumbang dan ternyata batang di mana nenek tadi menempelkan tangannya telah remuk dan kehitaman seperti terbakar!

Bi Lan terkejut dan melompat ke belakang, matanya terbelalak. Akan tetapi ia lalu mengerutkan alisnya. “Nek, mungkin kau bermain sihir, akan tetapi kepandaianmu itu tidak kelihatan hebat.”

Nenek itu nampak tak senang dan penasaran, akan tetapi suaminya memberi isyarat dengan pandang mata, lalu pendekar tua itu berkata, “Nona, tadi hanya main-main. Kau ingin menyaksikan kehebatan kami berdua? Nah, lihat, dengan kaki dan tangan kami, kami akan membersihkan sekitar tempat ini.” Berkata demikian, kakek itu dengan sebelah lengannya lalu menerjang sebatang pohon besar. Terdengar suara “kraaakkk!” dan pohon itupun tumbang. Wan Ceng mengerti akan maksud suaminya. Seorang gadis yang masih belum berpengalaman seperti Bi Lan ini tentu akan lebih tertarik melihat kekuatan yang kasar dan kelihatan dahsyat. Maka iapun menerjang sebongkah batu besar, ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar jauh. Suami isteri ini lalu mengamuk, menumbangkan pohon-pohon di situ, melempar-lemparkan batu besar, bahkan Wan Ceng mencabut sebatang pohon berikut akar-akarnya dan melemparkan sampai jauh. Sebentar saja, terbukalah tempat yang cukup luas, telah ditumbangkan tujuh batang pohon besar dan belasan bongkah batu.

Melihat ini, Bi Lan terbelalak lalu bertepuk tangan, tak habisnya memuji kedahsyatan sepasang suami isteri tua itu. “Hebat, kalian hebat! Mungkin tidak kalah oleh guru-guruku dan suci!” katanya.

“Nah, engkau sudah percaya ? Sekarang kami akan berusaha mengobatimu. Duduklah bersila di sini, Bi Lan,” kata Wan Ceng. “Tempat terbuka ini akan kami jadikan tempat tinggal kami untuk sementara agar dalam waktu beberapa lama ini kami dapat mengobatimu.”

Bi Lan tidak membantah lagi dan iapun duduk bersila di atas rumput. Kakek dan nenek itu juga duduk di depan dan belakangnya, bersila seperti ia sendiri. “Kendurkan semua urat syarafmu, dan sama sekali jangan melawan. Ingat saja bahwa kami bermaksud baik, bahwa kami kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu,” kata Wan Ceng yang duduk di depannya. Tiba-tiba Bi Lan merasa betapa tengkuknya ditepuk dari belakang oleh kakek itu dan iapun tidak ingat apa-apa lagi.

Kakek dan nenek yang sakti itu lalu bekerja keras. Mereka menotok jalan-jalan darah di kepala gadis itu, membuka jalan-jalan darah yang tersumbat karena akibat salah latihan, dan menempelkan telapak tangan mereka pada dada dan punggung gadis itu, menyalurkan tenaga sin-kang untuk memulihkan kesehatan di dalam dada Bi Lan. Sementara itu, dengan pengetahuannya tentang keracunan, Wan Ceng mengusir hawa beracun yang berada di dalam tubuh gadis itu. Mereka berdua tidak berani tergesa-gesa, tidak berani sekaligus mengobati gadis itu karena hal ini akan berbahaya sekali bagi Bi Lan. Tubuh gadis itu sudah terbiasa dengan keadaan tercekam hawa beracun yang dihimpunnya sendiri melalui latihan-latihannya yang tersesat, dan kalau sekaligus dibersihkan, perobahan ini akan menimbulkan guncangan yang membahayakan. Oleh karena itu, mereka mengambil keputusan untuk mengobati gadis itu secara bertahap. Mereka lalu menghentikan pengobatan itu dan dengan urutan tangan, Kao Kok Cu memulihkan jalan darah dan gadis itupun siuman dari pingsannya.

Begitu siuman, Bi Lan mengeluh, lalu memegangi kepala dengan kedua tangan. Ia membuka mata memadang kepada kakek dan nenek yang kini sudah duduk di depannya, dan teringatlah ia bahwa mereka adalah dua orang yang kasihan kepadanya, yang mengobatinya karena menganggap ia menderita luka dalam.

“Aduhh.... kepalaku berdenyut-denyut, nyeri rasanya!” Ia mengeluh.

Nenek Wan Ceng menaruh tangannya di pundak gadis itu, suaranya menghibur, “Bi Lan, jangan khawatir, hal itu bahkan membuktikan bahwa kini jalan darahmu ke arah kepalamu mulai membaik. Tadinya, banyak jalan darah ke kepalamu tidak lancar jalannya, terhambat oleh hawa beracun yang timbul karena kesalahan latihanmu. Kami berani memastikan bahwa setelah pengobatan beberapa kali, jalan darah itu akan lancar kembali.”

Bi Lan percaya dan iapun tersenyum. “Kalau benar omonganmu, aku beruntung sekali bertemu dengan kalian.” Dan dengan girang iapun meloncat ke atas. Akan tetapi ia segera mengeluarkan seruan kaget. Dan dipandangnya kakek dan nenek itu dengan sinar mata penuh keraguan.

“Aihh....! Tubuhku terasa berat dan kedua kakiku kehilangan tenaga, juga tubuhku tidak dapat bergerak ringan seperti biasa!” Ia lalu mencoba untuk meloncat ke atas, akan tetapi belum juga tinggi tubuhnya sudah meluncur turun kembali.

“Ah, bagaimana ini? Aku tidak mampu meloncat tinggi lagi!”

Kini Kao Kok Cu yang bangkit dan berkata dengan suara tenang, halus dan berwibawa, mengundang kepercayaan bagi pendengarnya. “Nona, jangan khawatir. Memang, untuk menghalau hawa beracun dari tubuhmu, otomatis tenaga khi-kang yang berada di tubuhmu ikut pula berkurang. Tenaga sin-kangmu sudah keracunan, dan kalau kami membersihkan hawa beracun itu, berarti tenaga sin-kangmu juga akan ikut terusir. Akan tetapi jangan kau khawatir, kami akan menggantikannya dengan tenaga sinkang yang murni. Dengan dasar tenaga sin-kang murni, engkau akan mampu memainkan ilmu-ilmu silatmu tadi secara tepat dan baik, juga tangguh dan tidak akan merusak kesehatanmu sendiri. Percayalah, kami berdua berniat baik dan mungkin engkau akan terkejut dengan perobahan-perobahan pada dirimu dan engkau tidak akan mengerti. Percaya sajalah dan engkau tidak akan menderita kerugian bahkan selain mendapatkan kesembuhan, juga akan memperoleh ilmu yang benar.”

Lambat laun keraguan lenyap dari dalam batin Bi Lan walaupun tadinya masih bingung. Apa lagi ketika nenek itu merangkulnya dan berbisik, “Bi Lan, engkau pantas menjadi anakku, bahkan cucuku. Bagaimana kami dapat timbul niat mencelakaimu? Kami suka sekali kepadamu.”

“Akan tetapi, apakah aku harus terus-menerus berobat ke sini? Bagaimana kalau suci sampai tahu? Tentu ia marah-marah dan aku akan dipukuli lagi!” Bi Lan nampak jerih.

“Tentu saja engkau harus setiap hari datang ke sini,” kata nenek Wan Ceng. “Dan lebih baik sebelum kau sembuh benar, jangan bicara apa-apa tentang kami kepada sucimu itu. Kalau sudah tiba saatnya, kami yang akan menghadapinya. Akan tetapi, dapatkah kau setiap hari datang ke sini?”

“Kami akan tinggal di sini untuk sementara waktu, membangun sebuah pondok di sini untuk mengobatimu setiap hari,” kata Kao Kok Cu.

“Akan tetapi, aku mendapat tugas dari suci untuk mencari kayu setiap hari, untuk memenuhi gudang kayu kami. Tentu saja aku dapat datang ke sini setiap hari, akan tetapi bagaimana dengan kayu yang harus kukumpulkan ?”

Wan Ceng tersenyum dan menuding ke arah pohon-pohon yang tadi roboh dan tumbang. “Di sini terdapat banyak kayu. Tak perlu kaupusingkan, setiap hari engkau datang ke sini, berobat dan pulangnya membawa kayu. Syukur kalau di waktu malam kau dapat pula datang ke sini, lebih sering lebih cepat pula engkau sembuh dan pulih. Percayalah, Bi Lan, engkau akan tertolong lahir batin yang akan merobah seluruh jalan hidupmu kalau engkau menurut semua kata-kata kami.”

Bi Lan nampaknya masih bimbang, akan tetapi ia mengangguk. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa selama ini ia memang sering mendapat gangguan dalam tubuhnya, bahkan pernah sehabis latihan ia muntah darah. Dan sikap sucinya terhadap dirinya juga amat galak. Maka, melihat sikap baik kedua orang kakek nenek ini, ia segera percaya sepenuhnya walaupun ia sendiri belum menyadari betapa pentingnya pengobatan itu bagi dirinya.

Demikianlah, mulai hari itu, setiap hari Bi Lan pergi meninggalkan puncak memasuki hutan itu dan membiarkan dirinya diobati oleh kakek dan nenek itu. Wan Ceng memesan kepada Bi Lan agar sikapnya terhadap sucinya biasa saja.

“Ingatlah, Bi Lan. Keracunan di tubuhmu dan tidak lancarnya jalan darah ke kepalamu membuat sikapmu menjadi aneh seperti orang yang miring otaknya. Engkau suka tertawa-tawa sendiri, bicara seorang diri. Kebiasaan ini, andaikata engkau sadar pun, di depan sucimu harus kaulanjutkan. Jangan sucimu melihat perohahan sebelum engkau sembuh benar.

Kemudian Kao Kok Cu memesan agar gadis itu menghentikan semua latihan sin-kang dan pernapasan seperti yang diajarkan Bi-kwi, dan dia memberikan suatu cara berlatih samadhi untuk menghimpun hawa murni di dalam tubuh gadis itu. “Latihan ini selain akan membantu cepatnya semua hawa beracun meninggalkan tubuhmu, juga akan menghimpun tenaga baru untuk menghentikan tenaga sesat yang sudah terhimpun selama bertahun-tahun dalam dirimu.”

Setelah mengalami pengobatan, Bi Lan lalu membawa kayu yag sudah dikumpulkan oleh kakek dan nenek itu. Kakek Kao Kok Cu dan isterinya sudah membangun sebuah gubuk darurat dari kayu-kayu pohon yang mereka robohkan dan dengan tekun mereka berdua mengobati Bi Lan dan disamping mengobati, juga membantu gadis itu menghimpun tenaga sin-kang yang baru dan murni.

Sungguh beruntung sekali nasib Bi Lan sehingga tanpa disengaja ia berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan telah menarik perhatian suami isteri pendekar sakti ini sehingga ia bukan saja tertolong dari cengkeraman maut yang ditanamkan oleh Bi-kwi di tubuhnya, juga gadis itu telah memperoleh latihan menghimpun sin-kang, bahkan suami isteri itu mulai pula memberi petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat tinggi kepadanya!

Penyembuhan perlahan-lahan tentu saja tidak terasa oleh Bi Lan. Ia tidak merasa betapa kini otaknya menjadi bersih dari hawa beracun, jalan darahnya lancar dan ia bertambah cerdik! Dan ia pun kini memperoleh kegembiraan hidup, wajahnya selalu berseri kemerahan, mulutnya yang kecil itu selalu tersenyum manis dan ia kini menjadi seorang dara yang berwatak gembira dan jenaka sekali.

Setelah mengalami pengobatan selama tiga bulan lebih setiap hari tanpa berhenti dan terus-menerus, akhirnya ia sembuh sama sekali dan mulai hari itu, kakek dan nenek yang makin lama makin merasa sayang kepada gadis itu, memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Bi Lan! Melihat bakat yang ada pada diri gadis itu, Kao Kok Cu ingin mengajarkan ilmu yang tangguh, juga isterinya. Maka mereka berunding, kemudian mereka memberitahukan kepada Bi Lan yang sudah menghadap mereka.

“Bi Lan, mulai hari ini, setelah melihat engkau sembuh sama sekali, kami ingin mengajarkan ilmu silat kepadamu. Akan tetapi kami tidak mungkin dapat mengajarkan ilmu kepada orang yang bukan murid kami,” kata Wan Ceng.

Bi Lan adalah seorang gadis yang cerdik. Setelah sembuh dari gangguan hawa beracun, dan setelah jalan darahnya ke kepala kini lancar kembali, kesadaran membuat ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu.

“Aku telah menerima budi kecintaan dari kakek dan nenek berdua telah memperoleh pengobatan dan petunjuk yang penuh kasih sayang selama berbulan-bulan. Ucapan terima kasih saja masih belum ada artinya dibandingkan dengan budi ji-wi. Oleh karena itu, apabila ji-wi sudi menerimanya, biarlah aku menyatakan diri menjadi murid ji-wi.” Ia memberi hormat sambil berlutut dan menyembah-nyembah.

Wan Ceng segera memeluknya dan menariknya bangkit berdiri. “Bagus, engkau memang anak yang baik, Bi Lan. Sejak pertama kali berjumpa kami sudah dapat menduganya dan kalau tidak demikian, untuk apa kami bersusah payah selama ini?” Ia lalu menoleh kepada suaminya karena bagaimanapun juga, nenek ini tidak berani mendahului suaminya untuk menerima gadis itu sebagai murid mereka walaupun mereka tadi telah berunding.

“Bi Lan, kami menerimamu sebagai murid. Akan tetapi kami tidak akan lama lagi tinggal di sini. Setelah engkau sembuh, kami hanya ingin mengajarkan masing-masing semacam ilmu kepadamu, dan setelah itu, kami akan kembali ke utara. Kami sudah tua dan kami akan menghabiskaan sisa usia kami dengan hidup tenang di sana.”

Kembali Bi Lan berlutut. “Suhu, subo.... teecu akan ikut ke utara. Biarlah teecu yang akan merawat kesehatan suhu dan subo berdua sebagai balas budi teecu....“

Kao Kok Cu tersenyum dan berkata halus, “Muridku, jangan sekali-kali engkau mengikatkan dirimu dengan budi, karena kalau engkau mengikatkan dirimu dengan budi berarti engkau mengikatkan pula dirimu dengan dendam. Budi dan dendam tak terpisahkan, sebagai perwujudan dari pada diri yang merasa diuntungkan dan disusahkan. Anggaplah saja bahwa segala yang dilakukan orang lain kepadamu, dan segala yang kaulakukan kepada orang lain, adalah suatu kewajaran yang tidak perlu ada ekornya yang mengikat diri. Mengertikah engkau?”

Tentu saja Bi Lan tidak mengerti! “Teecu selanjutnya mohon petunjuk suhu, karena apa yang suhu katakan tadi berada di luar jangkauan pengertian teecu.”

“Bi Lan, engkau tidak boleh begitu mudahnya melupakan yang lama setelah menemukan yang baru!” tiba-tiba Wan Ceng berkata sambil tersenyum pula. “Begitu engkau menemukan kami sebagai guru baru, engkau lalu akan begitu saja meninggalkan tiga orang gurumu yang lama, yang menurut ceritamu telah bersikap baik kepadamu. Bagaimanapun juga, sejak kecil engkau adalah murid Sam Kwi, dan kami berdua menjadi gurumu hanya untuk memulihkan sin-kangmu, dan memberi pelajaran ilmu silat untuk memperlengkap kepandaianmu atau katakanlah sebagai pengganti tenaga-tenaga sin-kang yang telah lenyap bersama hawa beracun dari tubuhmu ketika kami melakukan pengobatan. Karena itu, sungguh tidak bijaksana kalau engkau lalu meninggalkan mereka begitu saja tanpa mereka setujui.”

“Subo, biarpun Sam Kwi merupakan guru-guruku, akan tetapi kenyataannya mereka tidak pernah secara langsung mendidik teecu sehingga teecu diserahkan kepada suci yang bahkan telah mengajar teecu secara menyesatkan.”

“Sudahlah, Bi Lan. Bukankah ketiga orang gurumu sedang bertapa? Bagaimanapun juga, engkau tidak mungkin ikut bersama kami sebelum mendapatkan ijin dari ketiga orang gurumu. Bukan berarti kami tidak suka kalau engkau ikut dengan kami ke utara. Dan sekarang perhatikan baik-baik, kami akan mengajarkan ilmu kepadamu, dari suhumu semacam dan dariku sendiri semacam,” kata nenek Wan Ceng.

Pendekar sakti itu bersama isterinya lalu mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada Bi Lan. Gadis ini memang memiliki bakat yang amat baik, dan juga bagaimanapun juga, ia telah memperoleh dasar yang kuat juga dari Sam Kwi dan Bi-kwi, maka dengan tekun ia mengikuti petunjuk kedua orang suami isteri itu dan berlatih dengan penuh semangat. Bahkan kini ia makin sering datang ke tempat itu di waktu malam, dan baru pulang kalau sudah memperoleh petunjuk-petunjuk selanjutnya dari kedua orang kakek dan nenek itu.

Tanpa terasa, enam bulan telah lewat semenjak Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya tinggal di dalam hutan sebuah puncak Pegunungan Thai-san itu. Kao Kok Cu telah memberi pelajaran Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti), sedangkan nenek Wan Ceng mengajarkan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun). Karena ketekunannya, ditambah ingatannya yang kuat, Bi Lan akhirnya dapat menguasai kedua ilmu silat ini. Dari kakek dan nenek itu iapun mendengar tentang diri mereka, nama mereka, bahkan ia diperkenalkan pula dengan nama putera mereka, bekas panglima Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui, juga diperkenalkan dengan nama para tokoh pendekar sakti di dunia persilatan.

Terhadap Bi-kwi, Bi Lan bersikap biasa saja, bahkan ia masih pura-pura seperti orang gendeng. Juga kalau sucinya menurunkan pelajaran dan latihan, ia masih berlatih seperti yang diajarkan encinya. Akan tetapi tentu saja kini ia telah memiliki dasar sin-kang yang murni dan sama sekali tidak menghimpun tenaga melalui pernapasan dan cara samadhi yang diajarkan secara kacau dan terbalik oleh sucinya. Di dalam kamarnya sendiri atau di luar, ia tekun melatih diri dengan pernapasan dan samadhi seperti yang diajarkan oleh kakek dan nenek dari Istana Gurun Pasir. Bahkan ia masih pura-pura gendeng dan linglung kalau Bi-kwi melampiaskan kebenciannya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan melalui latihan ilmu silat. Ia akan mempertahankan semua ini, bukan karena takut kepada sucinya, bukan karena berbakti kepada sucinya yang tidak pernah berlaku baik terhadap dirinya, melainkan karena ingin menanti sampai ketiga orang suhunya keluar dari pertapaan mereka. Baru ia akan melaporkan semua perbuatan sucinya itu kepada Sam Kwi dan minta pertimbangan dan keadilan. Kalau tiga orang suhunya itu tidak membelanya, ia akan meninggalkan mereka semua.

Biarpun Bi Lan berlaku cerdik, namun kepura-puraan ini akhirnya menimbulkan kecurigaan hati Bi-kwi yang juga termasuk wanita yang cerdik sekali. Ia teringat bahwa beberapa bulan yang lalu, sumoinya itu sudah menunjukkan gejala-gejala keracunan dengan muka yang pucat, tubuh yang kadang-kadang menggigil, mata yang jelas menunjukan ketidakwarasan otaknya. Akan tetapi akhir-akhir ini ia melihat betapa wajah sumoinya semakin segar saja, kedua pipinya kemerahan seperti buah apel masak, matanya jernih dan jeli, penuh kegairahan hidup, senyumnya semakin manis dan membuat ia semakin iri hati saja, dan tidak ada lagi nampak gejala-gejala seperti dahulu. Biarpun dalam ilmu silat, sumoinya masih bersilat dengan kacau dan kalau ia pukuli dan tendangi masih tidak mampu membalas, akan tetapi hatinya mulai curiga.

Karena melihat betapa sumoinya amat rajin pergi mencari kayu atau memikul air dari sumber yang agak jauh, maka pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika ia melihat sumoinya pergi untuk mencari kayu, diam-diam ia membayangi dari jauh. Baru teringat olehnya betapa banyaknya sumoinya membutuhkan kayu untuk masak. Bahkan di waktu malam, kini sering sekali sumoinya membuat api unggun besar yang menggunakan banyak sekali kayu bakar. Kalau ditanya, sumoinya mengatakan bahwa hawanya amat dingin dan banyak nyamuk maka ia membuat api unggun besar. Ia tidak curiga karena memang menurut perhitungannya, hasil himpunan tenaga sin-kang sumoinya yang dilakukan dengan terbalik dan kacau-balau itu bukan hanya membuat sumoinya tidak akan dapat menahan hawa dingin, bahkan hawa beracun di tubuhnya kadang-kadang bisa mendatangkan rasa dingin sekali. Akan tetapi kini, setelah kecurigaannya semakin besar, ia memperhatikan hal ini dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk membayangi kalau sumoinya pergi mencari kayu.

Ia membayangi dari jauh sekali sehingga Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa ia sejak tadi dibayangi oleh sucinya. Ia mengintai dari balik semak-semak yang cukup jauh ketika melihat Bi Lan berhenti di dalam hutan, di depan sebuah gubuk kayu yang sederhana. Sepasang mata Bi-kwi berkilat penuh kemarahan ketika melihat munculnya seorang kakek dan seorang nenek dari dalam gubuk itu dan melihat betapa Bi Lan berlutut di depan mereka.

Kemarahan membuat Bi-kwi tak dapat menahan diri lagi. Ia meloncat dan dengan cepat sekali telah tiba di dekat sumoinya. “Pengkhianat, kiranya engkau hanya seorang bocah pengkhianat yang tak mengenal budi! Suhu bertiga menyelamatkanmu, memeliharamu dan kami bersusah payah mendidikmu hanya untuk kaubalas dengan pengkhianatan ini?”

Bi Lan meloncat bangun dan memandang sucinya dengan muka agak pucat karena terkejut melihat tiba-tiba sucinya berada di situ, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya. Namun, dua kali tarikan napas panjang saja sudah membuat ia tenang kembali.

“Suci, aku tidak mengkhianati siapa-siapa.”

“Mulut busuk jangan sembarangan ngoceh! Bukankah aku sudah berpesan bahwa siapa saja yang kautemukan di daerah ini harus kaubunuh? Akan tetapi apa yang kaulakukan sekarang? Engkau malah berhubungan dengan mereka ini. Pengkhianat harus mampus dulu kau sebelum kubunuh mereka!” Dan Bi-kwi sudah menyerang dengan ganasnya, sekali ini bukan sekedar hendak menghajar sumoinya seperti yang sudah-sudah, melainkan serangannya ditujukan untuk membunuh! Ia cerdik dan maklum bahwa kalau ia menggunakan jurus ilmu silatnya, kebanyakan sumoinya telah menguasainya dan akan mampu menghindarkan diri, maka sekali ini ia menyerang tanpa menggunakan jurus ilmu silat, akan tetapi pukulannya itu mengandung hawa pukulan maut karena tangan yang menyerang diisi dengan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan tangan itu menyambar ke arah dada Bi Lan dengan kecepatan kilat!

Terdengar suara bercuit nyaring ketika tangan itu menyambar dada dan Bi-kwi sudah membayangkan betapa dada sumoi yang dibencinya ia akan tertusuk tangannya, dan ia akan mencengkeram di dalam dada, menarik keluar jantungnya kalau berhasil. Ia tidak takut lagi dimarahi tiga orang suhunya karena sekarang ia mempunyai alasan kuat untuk membunuh Bi Lan.

“Wuuuttt.... plakkk....!” Dan Bi-kwi terkejut setengah mati. Bukan hanya sumoinya mampu mengelak, bahkan tangkisan tangan sumoinya tadi ketika mengenai lengannya, membuat tangannya yang menyerang terpental kembali dan ada hawa tenaga yang lunak namun kuat sekali keluar dari tangan sumoinya! Rasa kaget, heran dan juga penasaran membuat ia marah sekali.

“Bagus! Keparat jahanam, kau berani melawanku, he?” Dan iapun menerjang lagi. Akan tetapi Bi Lan sudah meloncat ke belakang nenek itu yang mengangkat kedua tangan ke atas.

“Sabarlah, nona....!” kata nenek Wan Ceng kepada Bi-kwi. Dari tadi ia sudah tahu bahwa tentu inilah wanita cantik yang disebut Bi-kwi itu. Kalau saja hal ini terjadi dua tigapuluh tahun yang lalu, melihat seorang wanita yang demikian kejam dan jahat, tentu tanpa banyak cakap lagi nenek Wan Ceng sudah turun tangan menentang dan membasminya. Akan tetapi sekarang ia adalah seorang nenek tua isteri yang bijaksana dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka sikapnya tenang saja ketika ia mengangkat kedua tangan melindungi Bi Lan dan menyabarkan Bi-kwi.

Akan tetapi sebaliknya, Bi-kwi sudah menjadi marah bukan main. Melihat ada orang berani tinggal di tempat yang dianggap masih wilayah kekuasaannya itu saja sudah membuatnya marah, apa lagi mengingat bahwa kakek dan nenek ini agaknya menjadi sahabat sumoinya.

“Tua bangka yang bosan hidup!” bentaknya dan Bi-kwi sudah meloncat ke depan menyerang nenek Wan Ceng dengan pukulan maut dari Ilmu Silat Kiam-ciang!

“Dukkk....!” Sebuah lengan dengan gerakan Ilmu Silat Kiam-ciang juga telah menangkisnya dan keduanya tergetar, akan tetapi Bi Lan yang menangkis itu agak terhuyung sedangkan Bi-kwi hanya melangkah mundur dua tindak. Dengan sikap tegak dan mata menyinarkan perlawanan Bi Lan berkata dengan suara tegas dan berani.

“Suci, jangan kau menyerangnya! Mereka ini tinggal di sini karena mereka hendak menolongku, menyelamatkan aku dari bahaya maut yang menjadi akibat perbuatanmu yang keji! Engkau telah sengaja memberi latihan yang terbalik dan tersesat sehingga latihan-latihan itu menghimpun hawa beracun di dalam tubuhku. Mereka menaruh iba kepadaku dan menyelamatkanku, karena itu engkau tidak boleh menyerang mereka!”



Bi-kwi tertegun sejenak, hatinya terlampau kaget. Pertama, sumoinya berani membela nenek itu dan bahkan dapat menangkis serangannya yang dahsyat tadi dengan jurus yang sama dan ia merasa pula betapa sumoinya kini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, hampir dapat menyamai tenaganya. Pula, ia melihat sikap Bi Lan demikian tegas dan sama sekali tidak terbayang lagi sikap gendengnya, padahal kemarin masih bersikap seperti orang gendeng. Sebagai seorang gadis yang cerdik, iapun dapat menduga bahwa sumoinya itu agaknya pada hari-hari yang lalu telah berpura-pura gendeng untuk mengelabuhinya. Pikiran ini membuatnya menjadi semakin marah.

“Mereka tidak berhak mencampuri urusan kita dan mereka harus mampus!” bentaknya dan ia siap untuk menerjang lagi, siapa saja di antara mereka bertiga yang berada paling dekat akan diserangnya. Ia sudah mengambil keputusan untuk membunuh tiga orang ini.

Sebelum Bi Lan menjawab, nenek Wan Ceng berkata halus, “Bi Lan, minggirlah dan biarkan kami menghadapi iblis betina ini.”

“Baik, subo,” kata Bi Lan dan iapun meloncat ke pinggir membiarkan nenek itu menghadapi sucinya. Ia tahu akan kelihaian sucinya dengan pukulan-pukulan yang keji dan ampuh, maka iapun ingin sekali melihat bagaimana dua orang gurunya yang baru itu menghadapi sucinya. Hanya kalau ia teringat betapa nenek itu sekali cengkeram saja dapat membuat sebatang pohon menjadi hancur di sebelah dalamnya dan tumbang, diam-diam ia bergidik dan tak terasa lagi ia menyambung, “Subo, harap maafkan suci dan jangan terlalu keras menghajarnya!”

Nenek itu melirik kepadanya dan tersenyum maklum bahwa murid barunya itu merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau ia akan membunuh sucinya itu, dan iapun mengangguk. Lalu ia menghadapi Bi-kwi dan dengan suara masih halus berkata, “Nona, tentu engkau yang berjuluk Bi-kwi, suci dari Bi Lan. Ingat, nona, engkau telah bertindak keji dan hendak membunuh sumoimu sendiri perlahan-lahan, dan kini engkau mendengar sendiri betapa Bi Lan masih memintakan ampun untukmu. Maka, sadarlah, nona, ingat bahwa kekerasan hanya akan menyeretmu sendiri ke lembah kesengsaraan.”

“Sudah mau mampus masih cerewet! Terimalah ini!” Dan Bi-kwi sudah memotong kata-kata nenek itu dan menyerang dengan amat hebatnya, ia masih terus mempergunakan Kiam-ciang karena menganggap bahwa ilmu ini yang paling ampuh untuk melakukan penyerangan mendadak.

Bi-kwi sudah merasa girang sekali ketika melihat betapa nenek itu hanya menangkis dengan gerakan lambat saja, tidak mengelak. Ia sudah membayangkan bahwa ia akan berhasil membikin patah atau bahkan buntung lengan nenek itu dengan tangannya yang dapat menjadi seampuh pedang. Bi Lan yang mengenal ampuhnya Kiam-ciang, mengerutkan alisnya dan memandang dengan khawatir juga, walaupun ia sudah yakin akan kesaktian subonya. Tak terelakkan lagi, tangan Bi-kwi bertemu dengan lengan kanan nenek Wan Ceng.

“Dukkk!” Terdengar pula bunyi kain robek dan ternyata lengan baju nenek itu robek seperti dibacok pedang, akan tetapi tangan itu sendiri berhenti ketika bertemu dengan kulit lengan, dan Bi-kwi terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh tenaga yang amat kuat. Bi-kwi terkejut bukan main. Ilmunya memang telah berhasil merobek lengan baju nenek itu, akan tetapi ketika tangan yang dimiringkan tadi bertemu dengan lengan, ia merasa betapa kulit lengan itu lembut dan lunak, dan tenaga Kiam-ciang itu membalik dan membuatnya terhuyung. Di lain pihak, diam-diam nenek Wan Ceng juga terkejut karena tak menyangka bahwa tangan gadis cantik itu sedemikian ampuhnya sehingga dapat menjadi tajam seperti sebatang pedang saja.

Bi-kwi sudah menerjang lagi dan tiba-tiba nenek itu mendapat pikiran untuk memberi contoh kepada Bi Lan bagaimana caranya mempergunakan ilmu silat Ban-tok Ciang-hoat yang diajarkannya kepada Bi Lan untuk menghadapi serangan-serangan Bi-kwi. Melihat namanya, yaitu Ilmu Silat Selaksa Racun, tentu merupakan ilmu silat kaum sesat yang mengandung racun. Memang asal mulanya demikian. Dahulu, di waktu ia masih gadis, nenek Wan Ceng pernah menjadi murid seorang nenek iblis yang berjuluk Ban-tok Mo-li dan dari wanita sesat ini Wan Ceng menerima ilmu-ilmu silat yang mengandung racun amat jahatnya. Akan tetapi, setelah ia menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ia telah menjadi seorang pendekar wanita dan ia tidak mau lagi mempergunakan ilmu silat yang pukulannya mengandung hawa beracun. Dengan bantuan suaminya, ia lalu merobah Ban-tok Ciang-hoat dari ilmu pukulan beracun menjadi ilmu pukulan yang mengandung sin-kang lembut namun di balik kelembutan itu terkandung tenaga yang amat hebat seperti yang pernah diperlihatkan kepada Bi Lan ketika tangannya mencengkeram batang pohon. Kini, Ban-tok Ciang-hoat hanya tinggal namanya saja yang mengerikan, akan tetapi sudah menjadi semacam ilmu silat yang lihai dan bersih, tidak lagi menggunakan racun. Ilmu inilah yang oleh nenek itu diajarkan kepada Bi Lan. Kini, menghadapi serangan-serangan Bi-kwi, nenek itu lalu sengaja memainkan ilmu silat ini untuk memberi contoh kepada Bi Lan.

Melihat ini, Kao Kok Cu maklum akan niat isterinya dan diapun berbisik kepada Bi Lan, “Lihat baik-baik gerakan subomu ketika menggunakan ilmu silat itu.” Bi Lan mengangguk dan gadis yang cerdik inipun segera maklum akan maksud subonya. Ia berterima kasih sekali karena kini ia dapat lebih jelas melihat bagaimana cara mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi serangan sucinya dengan ilmu-ilmu silat yang sudah dikenalnya pula. Hal ini amat penting baginya karena semenjak sekarang ia harus dapat membela diri terhadap serangan-serangan sucinya. Mengandalkan ilmu-ilmu silat yang diperolehnya dari sucinya untuk membela diri, tentu kurang meyakinkan dan kurang kuat, karena tentu saja ia kalah latihan, juga kalah kuat tenaga dalamnya yang dahulu dilatihnya secara keliru.

Perkelahian antara Bi-kwi dan nenek Wan Ceng itu memang seru bukan main. Bi-kwi amat lihai dan ia sudah berlatih secara matang. Ilmu-ilmu silat dari tiga orang gurunya sudah diresapinya benar, juga sudah dilatihnya secara matang. Betapapun juga, kini ia melawan nenek Wan Ceng yang telah menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka ia menemukan seorang lawan berat dan andaikata nenek itu masih belum setua itu, duapuluh tahun yang lalu saja tentu Bi-kwi akan sulit memperoleh kemenangan. Akan tetapi, kini nenek itu sudah tua, selain tenaganya berkurang juga daya tahannya menurun, apa lagi semangatnya untuk berkelahi dan mencari kemenangan sudah lemah, maka setelah lewat seratus jurus lebih, nenek itu mulai kelelahan.

Nenek Wan Ceng merasa sudah cukup memberi contoh kepada muridnya, dan iapun maklum bahwa kalau ia melanjutkan menghadapi gadis yang amat lihai itu dengan tangan kosong saja, keadaannya akan menjadi berbahaya.

“Singgg....!” Tiba-tiba nampak sinar menyilaukan mata dan sebatang pedang yang mengeluarkan hawa mengerikan telah berada di tangan kanan nenek itu. Bi-kwi sendiri terbelalak dan bergidik, maklum bahwa nenek itu telah memegang sebatang pedang yang ampuh dan mengandung hawa aneh.

Itulah Ban-tok-kiam! Dulu pernah pedang ini oleh nenek Wan Ceng diberikan kepada puteranya, putera tunggal yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi setelah Kao Cin Liong menjadi seorang panglima, ia mengembalikan pedang itu kepada ibunya karena ia harus membawa pedang kekuasaan yang menjadi lambang kedudukannya. Pedang Ban-tok-kiam ini adalah sebatang pedang yang dahulu diterima oleh nenek Wan Ceng dari gurunya, nenek iblis Ban-tok Mo-li dan pedang ini adalah sebatang pedang yang terbuat dari pada baja pilihan. Yang mengerikan adalah bahwa senjata ini telah direndam sampai puluhan tahun dalam ramuan racun-racun yang amat kuat, maka diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun). Sedikit saja tergores pedang ini sudah cukup membuat korbannya tewas!

Melihat isterinya mencabut Ban-tok-kiam, Kao Kok Cu cepat meloncat ke depan dan menarik lengan isterinya. “Kau istirahatlah,” katanya halus. Wan Ceng sadar bahwa tidak semestinya ia menggunakan pedang itu, maka dengan muka merah iapun melangkah mundur dekat Bi Lan sambil menyimpan kembali pedangnya.

Sementara itu, Kao Kok Cu menghadapi Bi-kwi dan berkata, “Nona, hentikan kemarahanmu dan tidak perlu kau melanjutkan serangan-seranganmu. Kami datang ke tempat ini bukan bermaksud buruk, melainkan hendak mengobati Can Bi Lan....”

“Mampuslah!” Bi-kwi yang masih marah dan penasaran karena tidak mampu mengalahkan nenek itu, kini sudah menerjang maju, menghantam dengan Kiam-ciang ke arah kepala kakek itu.

“Bi Lan, lihat baik-baik!” kata kakek itu dan diapun sengaja mengelak lalu bersilat dengan Ilmu Silat Sin-Liong Ciang-hoat untuk memberi contoh kepada murid barunya bagaimana menggunakan ilmu silat itu untuk menghadapi Bi-kwi. Kalau dia mau, tentu saja dengan sekali gebrakan dia akan mampu merobohkan Bi-kwi. Tingkat kepandaiannya terlampau jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bi-kwi. Akan tetapi Pendekar Naga Sakti ini tidak mau berbuat demikian karena dia ingin memberi petunjuk kepada Bi Lan. Gadis inipun mengerti dan diamatinya dengan baik gerakan-gerakan suhunya ketika menghadapi Bi-kwi. Bi-kwi agaknya maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini lebih tinggi dari pada si nenek, maka iapun mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya untuk menyerang kakek itu. Berturut-turut ia mempergunakan ilmu-ilmu dari ketiga orang suhunya, ilmu dari Raja Iblis Hitam yang disebut Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapanbelas Jurus Ilmu Silat Lutung Hitam), lalu Ilmu Tendangan Pat-hong-twi dari Iblis Akhirat dan Hun-kin Tok-ciang dari Iblis Mayat Hidup. Akan tetapi, semua ilmu itu seperti permainan kanak-kanak saja ketika dihadapi oleh kakek lengan satu itu dengan Sin-liong Ciang-hoat, semua pukulan dan tendangan dapat dihalau dengan mudah dan setiap kali kakek itu balas menyerang dengan jurus dari ilmu silatnya, Bi-kwi terkejut dan terdesak hebat. Bahkan kalau kakek itu melanjutkan serangannya, tentu Bi-kwi akan terkena pukulan atau cengkeraman. Akan tetapi Kao Kok Cu sengaja tidak melanjutkan serangan balasannya, karena diapun hanya ingin memperlihatkan saja kepada muridnya bagaimana harus mengalahkan Bi-kwi dengan ilmu silat itu. Diam-diam Bi Lan girang bukan main. Jelas nampak olehnya semua itu dan mulailah ia melihat kelemahan-kelemahan pada ilmu-ilmu silat yang dimainkan sucinya dan iapun kagum bukan main karena kalau tadi subonya hanya membuktikan bahwa subonya mampu menandingi sucinya tanpa terdesak, sekarang suhunya benar-benar menguasai keadaan dan kalau suhunya menghendaki sudah sejak tadi Bi-kwi roboh!

Hal ini dirasakan langsung oleh Bi-kwi. Di samping rasa kagetnya, ia juga merasa penasaran sekali. Tadi melawan si nenek, sukar sekali baginya untuk dapat menang dan nenek itu ternyata mampu mengimbanginya. Nenek itu saja ia tidak mampu mengalahkan, dan kini, kakek itu ternyata memiliki kelihaian yang sama sekali tak pernah disangkanya. Hanya dengan sebuah lengan, kakek itu telah menutup seluruh lubang sehingga ia sama sekali tidak mampu menyerang dengan berhasil, bahkan setiap kali kakek itu membalas, ia bingung dan hampir terkena kalau saja kakek itu tidak menghentikan serangannya di tengah jalan. Jelaslah bahwa kakek itu sengaja mempermainkarnya. Ia, Bi-kwi, dipermainkan seorang kakek tua renta! Padahal ialah orang yang telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian Sam Kwi! Untuk kedua kalinya dalam hidup, ia merasa terpukul lahir batin. Pertama ketika ia melawan Pendekar Suling Naga, dan kedua kalinya sekarang inilah! Hampir Bi-kwi menangis saking jengkel dan marahnya. Makin penasaran rasa hatinya dan semakin besar harapannya agar tiga orang gurunya berhasil menciptakan sebuah ilmu yang akan dapat dipakai menghadapi lawan-lawan tangguh seperti kakek ini dan Pendekar Suling Naga. Akan tetapi pada saat itu, kemarahan membuat ia lupa diri dan tiba-tiba ia mencabut pedangnya.

“Srattt....!” Wanita ini jarang mempergunakan pedang karena kedua tangannya saja sudah cukup untuk merobohkan dan membunuh lawan. Tadi kalau si nenek yang tangguh itu terus menyerangnya dengan pedang yang mengerikan itu, tentu iapun akan mengeluarkan pedangnya. Kini, merasa tidak sanggup menandingi kakek yang luar biasa itu, ia mencabut pedangnya. Padahal, ini hanya untuk gertakan belaka. Dengan pedang di tangan, ia tidak akan menjadi lebih lihai. Bahkan tanpa pedang ia dapat memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Satu di antara ilmu Iblis Akhirat, yaitu Toat-beng Hui-to, merupakan senjata rahasia pisau terbang yang tidak dapat dilakukannya dengan pedang dan ia masih belum mempersiapkan pisau-pisau yang cocok untuk dipakai dalam ilmu melempar pisau yang dapat terbang membalik itu.

Melihat gadis itu mengeluarkan pedang, Kao Kok Cu mengerutkan alisnya dan barseru nyaring, “Tak baik main-main dengan senjata! Lepaskan pedang!” Pada saat itu, Bi-kwi sudah membacokkan pedangnya. Kakek itu menangkis dengan tangan kanan, menyambut begitu saja pedang telanjang itu dengan jari-jari tangannya, dan nampak pundak kirinya bergerak dan tahu-tahu lengan baju kiri yang kosong itu meluncur ke depan dan menotok pinggang Bi-kwi. Bi-kwi mengeluarkan seruan kaget tubuhnya lemas dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan ia tak kuat berdiri lagi, lalu jatuh bertekuk lutut!

Bi Lan memandang dengan bengong dan penuh kagum. Ternyata setelah dikehendakinya, kakek itu mampu merobohkan Bi-kwi dan sekaligus membuat pedang terlempar. Bukan main!

Akan tetapi Bi-kwi yang tidak tahu diri menjadi semakin berang sampai mata gelap dan ia lalu meloncat berdiri lagi dan menggunakan tangan untuk menghantam dada kakek itu.

“Desss....!“ Bukan kakek itu yang roboh, melainkan tubuh Bi-kwi yang terjengkang dan terbanting keras sebelum pukulannya mengenai deda, karena kakek itu telah menggerakkan tangan kanannya yang melakukan gerakan mendorong ke depan sehingga tubuh wanita itu diterjang angin pukulan yang amat kuat. Akan tetapi bantingan ini tidak membuat Bi-kwi menjadi jera. Ia sudah melompat bangun lagi, mukanya menjadi pucat saking marahnya dan sambil mengeluarkan suara melengking, tubuhnya sudah meluncur ke atas dan ke depan, ke arah kakek itu dalam sebuah serangan maut yang amat hebat. Dalam serangan ini dua buah tangannya menyerang dua bagian tubuh, juga kedua kakinya melakukan tendangan!

“Hemmm....!” Pendekar Naga Sakti mengeluarkan seruan dari hidungnya dan menggerakkan tangan kanan, disusul lengan baju kirinya yang kosong menyambar ke depan.

“Desss.... brukkk....!” Tubuh Bi-kwi terbanting lebih keras lagi dan kini agaknya ia merasa pening karena ia merangkak dan tidak dapat segera bangkit.

Bi Lan menjatuhkan diri berlutut di depan Kao Kok Cu. “Harap suhu suka mengampuni suci Bi-kwi.” Kemudian gadis ini menoleh ke arah sucinya dan membentak. “Suci, engkau tidak tahu siapa yang kaulawan! Beliau adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Apakah kau masih berani kurang ajar lagi?”

“Ahh....!“ Bi-kwi terkejut bukan main, merasa seperti disambar halilintar kepalanya. Ia mengangkat muka memandang kakek itu, melihat ke arah lengan baju kiri yang kosong dan iapun teringat. Tentu saja ia pernah mendengar nama besar Pendekar Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir, ayah kandung bekas Panglima Kao Cin Liong, nama yang dalam kebesarannya tidak kalah oleh nama Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan ia tadi sudah mati-matian menyerangnya!

“Aihh....!” katanya lagi dan iapun melompat bangun lalu melarikan diri, kembali ke tempat guru-gurunya. Hatinya merasa gentar, juga malu, juga marah dan penasaran.

Setelah Bi-kwi pergi jauh, Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Siancai.... sucimu itu memang lihai dan ilmu kepandaiannya sudah tinggi, agaknya sukar dicari bandingannya untuk waktu ini. Akan tetapi sayang, batinnya tidak semaju lahirnya sehingga ilmu kepandaian itu disalahgunakan untuk mengumbar kejahatan.”

“Akan tetapi sekarang engkau tidak perlu takut lagi menghadapinya, Bi Lan. Engkau sudah melihat tadi betapa Ban-tok Ciang-hoat mampu membendung semua serangannya, dan dengan Sin-liong Ciang-hoat engkau tentu akan mampu membela diri bahkan mengalahkannya,” kata Wan Ceng.

Suami nenek itu menangguk. “Benar, dalam hal ilmu silat, engkau tidak perlu khawatir karena kemampuanmu sekarang masih dapat diandalkan untuk membela diri dari serangan-serangan sucimu, andaikata ia berniat buruk. Akan tetapi, engkau tidak boleh ikut dengan kami sebelum memperoleh ijin dari guru-gurumu. Sekarang kami akan pergi. Engkau kembalilah ke tempatmu, usahakan agar dapat berdamai dengan sucimu. Kalau engkau sudah tidak melihat jalan lain, tentu saja setiap waktu engkau boleh mencari kami ke Gurun Pasir. Akan tetapi, engkau baru dapat menemukan tempat kami itu kalau engkau lebih dahulu mencari putera kami yang bernama Kao Cin Liong dan yang kini tinggal di kota Pao-teng di sebelah selatan kota raja. Dia berdagang rempah-rempah di sana dan mudah dicari rumah orang yang bernama Kao Cin Liong. Nah, selamat berpisah, Bi Lan. Mudah-mudahan kedamaian dan kebahagiaan akan selalu menyertaimu dalam hidupmu.”

Nenek Wan Ceng merangkul muridnya. Nenek ini sudah merasa sayang sekali kepada murid ini sehingga agak berat rasanya harus berpisah darinya. “Bi Lan, bawa dirimu baik-baik dan aku masih merasa khawatir atas keselamatanmu. Karena itu, nih kuberi pinjam Ban-tok-kiam kepadamu. Jangan pergunakan ini kalau tidak terpaksa sekali, dan kelak kaukembalikan kepadaku kalau kau mengunjungi kami di utara.” Nenek itu menyerahkan pedang yang mengerikan tadi, yang kinitersembunyi di dalam sarungnya yang indah.

Sebetulnya, di dalam hatinya Kao Kok Cu tidak setuju isterinya menyerahkan pedang itu kepada Bi Lan. Pedang itu amat berbahaya, dan dapat menimbulkan bencana kalau dipergunakan secara sembarangan. Akan tetapi karena isterinya telah memberikannya, diapun tidak mau mencela.

“Bi Lan, lebih baik engkau sembunyikan pedang itu agar jangan sampai diketahui sucimu dan kalau terpaksa membawanya, sembunyikan di balik baju, karena banyak orang akan berusaha merampasnya kalau mereka tahu akan Ban-tok-kiam itu.” Akhirnya dia memberi nasihat.

“Bi Lan, berhati-hatilah!” Nasihat terakhir Wan Ceng terdengar penuh keharuan.

Bi Lan menjatuhkan dirinya berlutut untuk menghaturkan terima kasih dan hatinya juga merasa berduka sekali harus berpisah dari dua orang gurunya ini. Selama setengah tahun ini berdekatan dengan mereka, ia melihat betapa bedanya watak antara tiga orang gurunya dan sucinya, dibandingkan dengan kakek dan nenek yang halus budi dan berwatak mulia ini. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar angin menyambar dan ketika ia mengangkat muka memandang, ia hanya melihat bayangan dua orang itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Ia terkejut dan penuh kagum, termangu-mangu, lalu memberi hormat lagi sambil berlutut, “Teecu Can Bi Lan takkan melupakan budi kebaikan suhu dan subo.”

Setelah beberapa lama termenung, baru sekarang Bi Lan sadar bahwa sesungguhnya pertemuannya dengan kakek dan nenek itu merupakan suatu peristiwa luar biasa yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut, bahkan bukan itu saja, melainkan ia kini telah memperoleh bekal, menguasai ilmu-ilmu yang dapat melindungi dirinya dari pada ancaman Bi-kwi.

Gadis ini lalu kembali ke puncak tempat kediaman guru-gurunya dan sebelum menampakkan diri di puncak, ia lebih dahulu menyembunyikan Ban-tok-kiam di dalam jepitan dua buah batu besar yang hanya dikenalnya sendiri, tak jauh dari bawah puncak. Tentu saja sebelum menyembunyikan pusaka ini, ia lebih dahulu berlari cepat mengelilingi tempat itu dan menyelidiki bahwa tidak ada seorangpun tahu akan perbuatannya itu. Setelah merasa yakin bahwa senjata itu telah disembunyikan di sebuah tempat yang rahasia, ia lalu menenteramkan hatinya agar tenang dan berlari mendaki puncak. Ia sudah siap andaikata sucinya akan menghadang dan menyerangnya. Ia sudah tahu bagaimana harus melawan sucinya dan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat tadi ia lihat mampu menundukkan sucinya.

Akan tetapi apa yang dilihatnya di tempat tinggal Sam Kwi amat mengejutkan hatinya, walaupun juga amat menggirangkan. Ia melihat bahwa tiga orang gurunya itu kini telah keluar dari tempat pertapaan mereka dan kini tiga orang kakek itu sudah duduk berdampingan di atas bangku-bangku baru mereka, sedangkan Bi-kwi nampak duduk di atas bangku yang berhadapan dengan mereka. Melihat dari jauh betapa tiga orang gurunya itu kini sudah nampak tua-tua sekali, hati Bi Lan diliputi keharuan. Biarpun tiga orang kakek itu berjuluk Tiga Iblis, biarpun ia tahu bahwa mereka itu amat kejam dan suka melakukan hal-hal yang jahat, namun bagaimanapun juga, mereka bertiga itu bersikap baik sekali kepadanya, melimpahkan budi yang amat besar kepadanya, maka mana mungkin ia membenci mereka? Tidak sama sekali, ia tidak membenci mereka, bahkan ada rasa sayang dalam hatinya terhadap mereka dan kini melihat betapa mereka sudah nampak tua dan lemah, sudah tujuhpuluh tahun lebih usia mereka, hatinya diliputi keharuan.

Tak dapat kita sangkal lagi, apa bila kita mau mempelajari segala macam watak manusia melalui pengamatan terhadap diri sendiri, karena watak masyarakat, watak manusia, watak dunia adalah watak kita juga, akan nampaklah kaitan-kaitannya yang tak terpisahkan dari penilaian dan rasa suka dan tidak suka dengan ke-akuan yang selalu mendambakan kesenangan, sang aku yang selalu mengejar kesenangan. Penilaian akan sesuatu ataupun akan seseorang, baik buruknya, juga tidak terlepas dari pengaruh sang aku.

Betapa baikpun seseorang menurut pendapat orang sedunia sekalipun, kalau si orang baik itu merugikan kita, maka otomatis kita akan berpendapat bahwa orang itu tidak baik dan kita tidak suka kepada orang itu, bahkan membencinya. Sebaliknya, biarpun orang seluruh dunia berpendapat bahwa seseorang amatlah jahatnya kalau si orang itu menguntungkan kita, baik keuntungan lahir maupun batin, maka sukarlah bagi kita untuk berpendapat bahwa dia jahat, sebaliknya kita akan menganggapnya orang yang baik dan kita menyukainya. Dengan demikian jelaslah bahwa penilaian itu tergantung sepenuhnya dari pada pertimbangan pikiran, dan pertimbangan pikiran ini selalu didalangi oleh si-aku yang senantiasa diboboti oleh untung rugi. Dengan demikian, maka semua penilaian adalah palsu dan bukan merupakan kenyataan sejati.

Karena itu, tidaklah aneh kalau Bi Lan menganggap bahwa tiga orang kakek yang oleh umum dinamakan Tiga Iblis itu sebagai orang-orang yang baik dan disayangnya. Siapakah yang mengatakan bahwa harimau itu buas dan jahat? Tentulah mereka yang merasa terancam keselamatannya oleh binatang itu. Kelompoknya dan anak-anaknya tidak akan menganggap demikian!

Dengan cepat Bi Lan berlari menghampiri mereka dan setelah tiba di depan tiga orang gurunya, iapun menjatuhkan diri berlutut di depan mereka. Sebelum berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, belum pernah Bi Lan memperlihatkan rasa sayang dan hormatnya kepada tiga orang kakek ini, karena memang pendidikan mereka terhadap Bi Lan tidak demikian. Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang sama sekali tidak pernah perduli tentang segala macam peraturan dan sopan santun sehingga bagi mereka merupakan hal yang biasa saja kalau murid mereka Ciong Siu Kwi atau Bi-kwi selain menjadi murid pertama juga menjadi kekasih mereka!

“Aih, suhu bertiga sudah selesai bertapa? Harap sam-wi suhu berada dalam keadaan baik-baik dan sehat,” kata Bi Lan dengan kegembiraan yang wajar karena memang hatinya gembira melihat tiga orang kakek itu nampak sehat walaupun muka mereka agak memucat karena kurang mendapatkan sinar matahari selama berbulan-bulan. Melihat ulah Bi Lan ini, Sam Kwi memandang heran, termangu dan saling pandang karena belum pernah mereka melihat murid itu demikian sopan.

Akan tetapi Bi-kwi segera menuding ke arah sumoinya dan berkata, “Inilah pengkhianat itu, suhu! Ia telah berhubungan dengan orang luar, bahkan telah berkhianat mengangkat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya menjadi gurunya! Bukankah ini merupakan tamparan bagi muka suhu bertiga? Murid pengkhianat ini harus dibunuh sekarang juga untuk membersihkan muka suhu bertiga dari penghinaan!”

Tiga orang kakek itu saling pandang. Tadi mereka keluar dari pertapaan dan yang menyambut mereka adalah Bi-kwi yang segera menceritakan tentang diri Bi Lan atau Siauw-kwi yang katanya berkhianat itu. Kini mereka dengan pandang mata ragu lalu bertanya, diucapkan oleh Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat.

“Siauw-kwi, benarkah keterangan Bi-kwi itu? Engkau telah menjadi murid orang-orang lain tanpa seijin kami? Apakah engkau tidak puas menjadi murid kami?“

Mendengar pertanyaan yang nadanya penuh ancaman dari Im-kan Kwi yang biasanya amat sayang kepadanya dan bersikap sebagai kakek sendiri, Bi Lan menarik napas panjang menenangkan hatinya yang terguncang, lalu ia berkata dengan suara tegas karena ia sudah mengambil keputusan untuk melawan tuduhan-tuduhan sucinya dengan membuka rahasia sucinya.

“Sam-wi suhu tentu sudah tahu akan isi hati teecu,” kembali tiga orang datuk sesat itu saling pandang karena sikap dan ucapan Bi Lan benar-benar telah berobah, gadis itu nampak halus lembut walaupun sinar matanya memancarkan kegembiraan dan kelincahan yang tadinya tidak pernah mereka lihat. Tiga orang kakek itu benar-benar menyaksikan perobahan yang luar biasa pada diri murid mereka itu. “Teecu merasa berhutang budi kepada sam-wi, teecu merasa sayang dan kasihan kepada sam-wi dan menganggap sam-wi selain guru juga sepertikakek teecu sendiri. Karena itu, mana mungkin teecu akan menghina dan mengkhianati sam-wi suhu?”

Biarpun hati tiga orang kakek itu sudah mengeras dan membatu, namun karena ada rasa sayang kepada murid ini, hati mereka tersentuh pula oleh pernyataan Bi Lan. Mereka maklum bahwa Bi Lan tidak pernah berbohong, sama sekali tidak boleh disamakan dengan Bi-kwi yang tidak akan ragu-ragu untuk membohongi nenek moyangnya sekalipun! Dan kepalsuan, juga kejahatan dan kekejaman Bi-kwi mereka ketahui benar, bahkan hal itu membuat mereka merasa bangga mempunyai murid seperti itu!

“Akan tetapi, Siauw-kwi, menurut keterangan sucimu engkau telah berpaling kepada orang lain, dan mengangkat guru kepada seorang pendekar dan isterinya,” kata Iblis Mayat Hidup penuh teguran.

“Maaf, suhu bertiga. Tidak dapat teecu sangkal akan hal itu, akan tetapi ada sebabnya mengapa teecu berhubungan dengan mereka. Ketahuilah bahwa pada suatu pagi, enam bulan yang lalu, ketika teecu habis dipukuli dan disiksa oleh suci seperti biasa, teecu diharuskan memenuhi gudang kayu. Teecu pergi mencari kayu seperti biasa dan di dalam hutan itu teecu berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya. Mereka berdualah yang melihat bahwa teecu keracunan, bahwa kalau tidak diobati, teecu akan menderita dan tewas. Dan semua ini adalah perbuatan suci Bi-kwi! Suhu bertiga telah mewakilkan pendidikan atas diri teecu kepada suci, dan ternyata suci memberi pelajaran yang menyesatkan, sengaja dibalik dan disesatkan sehingga latihan-latihan itu menghimpun hawa beracun dalam tubuh teecu, bahkan mempengaruhi otak sehingga pikiran teecu menjadi bingung dan nyaris gila. Untung ada mereka berdua yang mengetahui keadaan teecu. Mereka lalu untuk sementara tinggal di hutan itu, khusus untuk mengobati teecu. Karena mereka telah menyelamatkan nyawa teecu, maka tanpa ragu-ragu lagi teecu mengangkat mereka menjadi guru agar teecu menerima latihan-latihan yang dapat mengusir hawa beracun itu. Nah, demikianlah kenyataannya dan terserah kepada keputusan sam-wi suhu,”

Kini tiga orang kakek itu menoleh dan memandang kepada Bi-kwi yang mendengarkan sambil tersenyum-senyum mengejek.

“Huh, anak ini memang tidak mengenal budi!” katanya. “Kalau memang aku tidak pernah memberi pelajaran dengan baik, mana mungkin ia menguasai semua ilmu silat kita, paham dan pandai memainkan Hek-wan Sip-pat-ciang, Pat-hong-twi, Hun-kin Tok-ciang, bahkan Kiam-ciang?”

Kembali tiga orang kakek itu menoleh kepada Bi Lan yang menjawab lantang. “Teecu sama sekali tidak pernah diajari ilmu-ilmu itu, suhu, melainkan diajar ilmu-ilmu pukulan yang menyesatkan, penggunaan pernapasan yang terbalik, penghimpunan tenaga sin-kang yang sengaja disesatkan sehingga teecu keracunan sendiri. Tidak teecu sangkal bahwa teecu mengenal dan paham akan semua ilmu-ilmu suhu itu, akan tetapi hal itu teecu dapatkan dari menonton kalau suci latihan seorang diri. Dari nonton inilah teecu lalu belajar sendiri, dan terpaksa teecu keluarkan ketika suci menyerang teecu dengan ilmu-ilmu itu untuk membunuh teecu.”

Kembali tiga orang kakek itu saling pandang. Iblis Akhirat lalu bertanya, “Siauw-kwi, kau maksudkan bahwa hanya dengan nonton sucimu berlatih, engkau sudah dapat menguasai ilmu-ilmu itu?”

“Benar, suhu“

“Benarkah demikian, Bi-kwi?” tanya pula Iblis Akhirat.

“Bohong! Mana mungkin hanya nonton orang bersilat lalu dapat menguasai ilmu silat itu? Ia bohong, suhu!” bantah Bi-kwi.

Kini Raja Iblis Hitam bangkit dan dia berkata “Perlu dibuktikan kebenaran omongan kalian. Nah Bi-kwi dan Siauw-kwi, aku memiliki sebuah ilmu silat yang belum pernah kuajarkan kepada siapapun juga. Kalian lihat baik-baik, aku akan memainkan ilmu silat itu, akan berlatih dan menghabiskan tiga belas jurus ilmu itu. Ingin kulihat siapa di antara kalian yang dapat menguasainya hanya dengan nonton.”

Setelah berkata demikian, kakek yang tinggi besar seperti raksasa ini lalu bersilat, gerakannya aneh dan mengandung tenaga sampai menimbulkan angin menderu-deru. Bi-kwi dan Bi Lan segera memperhatikan gerakan-gerakan itu. Memanq, sejak ia keracunan, terjadi perobahan pada otak Bi Lan dan ia kini memiliki ingatan yang luar biasa tajamnya.

Setelah selesai memainkan tigabelas jurus ilmu silat aneh yang selamanya belum pernah dilihat oleh dua orang murid itu, Raja Iblis Hitam lalu bertanya Siauw-kwi, coba kaumainkan jurus-jurus ilmu silatku tadi.”

Bi Lan lalu bangkit berdiri, kedua matanya setengah terpejam karena ia memusatkan ingatannya untuk melihat gambaran-gambaran dari jurus-jurus tadi yang dicatat dalam ingatannya, dan kaki tangannya bergerak-gerak. Tiga orang kakek itu menonton dan mereka terbelalak kagum melihat betapa Bi Lan benar-benar dapat menirukan semua gerakan Raja Iblis Hitam. Bahkan si pemilik ilmu ini sendiri menjadi bengong. Memang benar bahwa gerakan itu belum sempurna benar, akan tetapi jelas bahwa Bi Lan mampu memainkan tigabelas jurus ilmu silat itu, dan kalau gadis itu diberi kesempatan nonton dia berlatih silat sampai tiga empat kali saja, bukan hal mustahil kalau Bi Lan sudah akan dapat memainkannya dengan baik!

“Sekarang kau, Bi-kwi,” kata pula Raja Iblis Hitam setelah Bi Lan menghentikan permainannya.

Bi-kwi mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, akan tetapi baru bergerak sebanyak tiga jurus saja, ia sudah lupa lagi akan gerakan jurus-jurus selanjutnya. Ia hanya mampu mengingat tiga jurus, itu saja mengandung kesalahan-kesalahan yang amat besar!

“Aih, suhu berat sebelah! Tentu dulu pernah melatih sumoi dengan ilmu silat itu!” ia merajuk.

Hek-kwi-ong tertawa bergelak dan memandang dua orang rekannya, “Siauw-kwi tidak berbohong. Mungkin saja ia mempelajari ilmu-ilmu kita dengan cara nonton sucinya berlatih.”

Ucapan ini saja sudah cukup bagi dua orang kakek yang lain. “Bi-kwi,” kata Im-kan Kwi Si Iblis Akhirat, “kenapa engkau menyesatkan pelajaran silat kepada sumoimu? Engkau yang membohong bukan Siauw-kwi!”

Tiba-tiba Bi-kwi tertawa terkekeh dan memandang kepada tiga orang kakek itu dengan sikap genit. “Perlukah suhu bertanya lagi? Tentu saja anak ini tidak becus membohong! Mana ia mampu meniru kebiasaan kita? Memang aku telah membohong. Aku iri hati kepadanya, karena ia cantik dan semakin manis saja. Aku sengaja menyelewengkan ajaran-ajaran silat itu agar ia berlatih secara keliru dan menghimpun hawa beracun di tubuhnya, agar ia mati perlahan-lahan tanpa suhu ketahui. Hi-hik, usahaku itu sudah berjalan dengan amat baiknya. Sialan, muncul pendekar brengsek dari Gurun Pasir itu yang menggagalkan segala-galanya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, aku selalu setia kepada suhu bertiga, sedangkan sumoi ini diam-diam telah berguru kepada orang lain. Bukankah ini merupakan penghinaan bagi suhu bertiga?”

Tiga orang kakek itu kini tertawa. ”Ha-ha-ha, engkau memang murid yang baik dan membuat kami bangga! Kamu cerdik dan licik, sayang kurang beruntung sehingga gagal, Bi-kwi! Akan tetapi engkaupun murid yang sukar didapat, Siauw-kwi. Engkau berbakat sekali!”

Mendengar tiga orang gurunya memuji-muji sucinya sebagai cerdik itu, Bi Lan tidak merasa heran. Memang tiga orang suhunya ini orang-orang yang aneh, dan mungkin saja di dunia mereka, kecurangan dan kelicikan merupakan hal yang patut dibanggakan! Sebaliknya, Bi-kwi merasa tidak senang karena merekapun memuji-muji Bi Lan.

“Sekarang suhu bertiga memilih saja, berat aku ataukah berat sumoi!” Ia menantang.

“Wah, berat semua, berat keduanya! ” Tiga orang kakek itu berkata hampir berbareng.

“Bi-kwi, jangan engkau berpendapat demikian!” Tiba-tiba Iblis Akhirat berkata. ”Ingat, tugasmu masih banyak dan berat dan engkau membutuhkan bantuan sumoimu ini. Seorang diri saja, mana kau mampu? Dan kami sudah tua. Apa artinya kami bersusah payah mendidik kalian kalau akhirnya kalian tidak mampu membuat sedikit jasa sedikitpun untuk kami? Kami selama setahun bertapa dan dengan susah payah mempersatukan diri menciptakan serangkaian ilmu silat dan kami akan mengajarkan kepada kalian agar kalian dapat bekerja sama melaksanakan tugas.”

Bi-kwi girang sekali mendengar ini dan lupalah ia akan rasa iri hati dan kebenciannya terhadap Bi Lan. ”Ah, lekaslah ajarkan ilmu itu kepadaku, suhu!”

Bi Lan hanya memandang saja. Sedikitpun ia tidak ingin mempelajari ilmu baru itu karena ilmu itu diajarkan hanya untuk ditukar dengan pelaksanaan tugas. Padahal, sebagai murid yang baik, tanpa diberi pelajaran ilmu baru sekalipun, ia siap untuk membalas budi guru-gurunya melaksanakan tugas yang betapa sukarnya sekalipun.

“Nah, kalian harus berdamai. Bi-kwi, engkau tidak boleh memusuhi sumoimu lagi. Mulai saat ini kalian harus bekerja sama, sumoimu akan menjadi pembantu yang boleh diandalkan,” kata pula Iblis Akhirat.

Bi-kwi adalah seorang yang luar biasa cerdik dan curangnya. Ia tidak melihat keuntungan kalau memusuhi sumoinya, dan memang benar, setelah sumoinya kini ternyata memiliki kepandaian yang cukup tinggi, dapat merupakan seorang pembantu yang amat baik. ”Baiklah. suhu. Sumoi, kita lupakan semua yang pernah terjadi dan mulai saat ini, kau jadilah seorang sumoi yang baik. ”Bi Lan tersenyum, akan tetapi ia tidak membantah, hanya berkata, ”Baik, suci. Asalkan engkaupun menjadi suci yang baik dan tidak menggangguku lagi.”

Bi-kwi mengangkat alisnya seperti orang terkejut. ”Eh, sejak kapan aku menjadi suci yang tidak baik? Coba ingat, kalau tidak ada ulahku, apakah engkau kini mampu menjadi orang pandai dan akan menerima pelajaran ilmu baru dari suhu-suhu kita?”

Kembali Bi Lan tersenyum. Memang keluarga suhu-suhunya itu orang-orang yang aneh sekali dan ia sendiri tidak tahu apa yang baik dan tidak baik bagi mereka. Kalau dipikirkan, memang ada benarnya juga ucapan Bi-kwi. Kalau sucinya itu tidak berbuat sejahat itu, tentu ia tidak akan bertemu dengan Pendekar Naga Sakti dan ia hanya akan menjadi sumoi dari Bi-kwi dengan kepandaian yang tentu saja jauh di bawah sucinya itu.

Melihat keduanya sudah akur, tiga orang kakek itu merasa gembira. ”Nah, kini kalian harus berlutut dan mengucapkan janji dan sumpah bahwa setelah mempelajari ilmu baru dari kami, kalian akan melaksanakan tugas dengan baik. Tugas pertama merampas kembali Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) yang terjatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Tugas ke dua, kalian harus mewakili kami dan mengangkat diri menjadi beng-cu di antara kaum kita, dan untuk itu kalian boleh mengumpulkan bala bantuan, terutama dari Ang-i Mo-pang seperti yang pernah dilakukan oleh Bi-kwi. Setelah dapat merampas pusaka Pedang Suling Naga dan merampas kedudukan beng-cu, barulah tugas-tugas lain menyusul. Bagaimana, sanggupkah kalian dan berani berjanji dengan sumpah?”

Bi-kwi dan Bi Lan sudah berlutut, dan Bi-kwi tanpa ragu-ragu lagi berkata, ”Aku berjanji dan bersumpah untuk melaksanakan semua perintah suhu bertiga!”

“Aku berjanji akan membantu suci, terutama untuk merampas kembali pusaka Liong-siauw-kiam untuk kupersembahkan kepada ketiga suhu Sam Kwi,” kata Bi Lan. Ia tidak tertarik dengan urusan perebutan kedudukan beng-cu, akan tetapi ia sudah mendengar dari suhu-suhunya ini, juga dari sucinya, tentang pedang pusaka yang tadinya milik susiok dari Sam Kwi dan yang kini terjatuh ke tangan orang lain.

Agaknya Sam Kwi sudah merasa puas dengan janji-janji itu dan mereka lalu mengajak kedua orang murid itu ke tengah lapangan rumput. ”Kalian ingat baik-baik,” sebagai juru bicara Sam Kwi, Iblis Akhirat berkata menerangkan, ”ilmu silat yang akan kami ajarkan ini adalah ciptaan kami bertiga selama bertapa setahun lebih dan telah kami kerjakan dengan susah payah. Ilmu ini merupakan inti dari pada ilmu-ilmu kami bertiga, digabungkan menjadi satu. Ada bagian-bagian dari ilmu kami termasuk di dalamnya, dirangkai menjadi tigabelas jurus ilmu silat yang ampuh sekali dan kami kira tidak ada bandingnya di dunia persilatan ini. Karena kami bertiga yang mencipta, maka ilmu silat ini kami namakan Sam Kwi Cap-sha-kun. Namanya sederhana, bukan? Akan tetapi keampuhannya hebat!”

Biarpun namanya sederhana dan ilmu itu hanya terdiri dari tigabelas jurus, akan tetapi kenyataannya tidak mudah untuk dipelajari. Tiga orang kakek iblis itu seorang demi seorang lalu mengajarkan ilmu silat tigabelas jurus, masing-masing ilmu silat itu memiliki dasar gerakan kaki yang sama, akan tetapi memiliki kembangan-kembangan yang berbeda. Dua orang murid itu harus menghafalkan tiga macam ilmu silat itu sampai dapat memainkannya secara otomatis, kemudian mereka harus menggabungkan tigabelas jurus itu dalam gerakan mereka kalau berkelahi. Karena masing-masing orang memiliki daya khayal sendiri-sendiri, dan selera sendiri-sendiri, juga kecerdikan yang berbeda-beda, maka tentu saja kembangan dari penggabungan tiga macam ilmu silat dari tigabelas jurus yang memiliki dasar gerakan kaki yang sama inipun jadinya tentu berbeda-beda pula.

Biarpun Bi-kwi dan Bi Lan merupakan dua orang wanita yang amat cerdik dan besar sekali bakat mereka dalam ilmu silat, namun setelah berlatih selama setengah tahun baru keduanya dianggap telah menguasai Sam Kwi Cap-sha-kun itu. Setelah dinyatakan lulus, tiga orang kakek itu menguji mereka satu demi satu. Dan ternyata ilmu gabungan yang dikembangkan menurut daya khayal murid-murid itu sendiri, amat hebat. Masing-masing kakek dikalahkan oleh Bi-kwi dalam waktu kurang dari limapuluh jurus saja. Ketika tiga orang kakek itu seorang demi seorang menguji Bi Lan, gadis yang amat cerdik ini menyembunyikan kepandaian aselinya. Ia dapat mengembangkan Sam Kwi Cap-sha-kun itu dengan baik, bahkan, lebih baik dari pada sucinya, apa lagi karena di dalam ilmu baru itu secara otomatis dimasuki unsur ilmu-ilmu silat sakti yang dipelajarinya baru-baru ini dari Perdekar Naga Sakti dan isterinya namun ia tidak ingin menonjolkan diri. Ketika ia diuji, ia menjaga sedemikian rupa sehingga akhirnya iapun dapat menang dari ke tiga orang Sam Kwi dalam waktu yang lebih lama dari pada sucinya, yaitu lebih dari limapuluh jurus!

Tiga orang kakek itu girang bukan main. Dengan tigabelas jurus masing-masing, mereka ini tidak mampu menandingi murid-murid mereka yang sudah menggabungkan tiga macam ilmu silat itu. Juga Sam Kwi bukan kakek-kakek yang bodoh, melainkan jagoan-jagoan tua yang sudah banyak pengalaman. Ketika menguji tadi, mereka tahu bahwa dalam hal penggabungan tiga ilmu silat itu, Bi Lan sama sekali tidak kalah oleh Bi-kwi. Kalau Bi Lan hanya mampu menang dari mereka lebih lama dari sucinya, hal itu terjadi karena gadis ini terlalu berhati-hati dan agaknya masih merasa sungkan untuk mengalahkan guru-guru sendiri. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bi Lan benar-benar sengaja mengalah agar dalam hal ujian itu tidak sampai melampaui atau mengalahkan sucinya. Dan akalnya ini berhasil karena Bi-kwi tersenyum-senyum puas. Bagaimanapun juga, kini ia mempunyai senjata ilmu Sam Kwi Cap-sha-kun yang kalau dipergunakannya, lebih hebat dari pada sumoinya dan setiap waktu ia tentu akan dapat menundukkan sumoinya dengan ilmu itu! Rasa unggul dan menang ini menenangkan hatinya dan untuk sementara membuat kebenciannya berkurang!

Penonjolan diri merupakan gejala yang nampak dalam kehidupan kita pada umumnya. Penonjolan diri ini bersemi karena keadaan, karena cara hidup masyarakat kita. Semenjak kecil kita dijejali nilai-nilai, sejak duduk di bangku Sekolah Dasar kelas satu, bahkan sejak kelas nol, di sekolah ada sistim nilai dalam bentuk angka, di rumah ada pujian-pujian dan celaan-celaan bagi yang dianggap baik dan buruk, di dalam pergaulanpun nilai-nilai ini menentukan kedudukan seseorang, dalam olah raga timbul juara-juara. Kita hidup menjadi budak-budak setia dari nilai-nilai. Kita hidup mengejar nilai-nilai sehingga dalam olah raga sekalipun, yang dipentingkan adalah pengejaran nilai, bukan manfaat olah raganya itu sendiri bagi kesehatan tubuh. Bahkan, untuk mengejar nilai, kita lupa diri dan olah raga bukan bermanfaat lagi bagi tubuh, bahkan ada kalanya merusak, karena tubuh diperas terlalu keras untuk mengejar nilai!

Karena sejak kecil hidup di dalam masyarakat dan dunia yang tergila-gila kepada nilai, maka agaknya sudah kita anggap wajar kalau kita selalu berusaha untuk menonjolkan diri. Kalau tidak menonjol, kita merasa rendah diri, merasa hampa dan hina, merasa bodoh dan tidak diperhatikan. Karena sejak kecil sekali kita diperkenalkan dengan pujian dan celaan, maka sejak kecil sekali pula kita berusaha untuk menonjolkan diri, untuk menarik perhatian orang-orang lain, hanya karena kita sudah haus akan nilai, haus akan pujian.

Kalau diri sendiri sudah tidak memungkinkan adanya penonjolan dan penghargaan orang lain atau pujian atau kekaguman, maka kita lalu membonceng kepada kepintaran anak kita, atau teman segolongan kita, atau juga suku atau bangsa kita, bahkan banyak kita lihat penonjolan diri seseorang membonceng kepada burung perkututnya, atau mobilnya, atau bahkan membonceng kepada senjata pusaka, atau batu cincin istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Semua itu nampak jelas kalau kita mau membuka mata mengamati keadaan diri sendiri lahir batin dan mengamati keadaan sekeliling kita.

Demikian pula halnya dengan Bi-kwi. Wanita ini tadinya merasa iri kepada Bi Lan dan membencinya. Hal itu karena penonjolan ke-aku-annya tersinggung, karena ia merasa kalah oleh Bi Lan. Akan tetapi sekarang, karena kekhawatiran akan terkalahkan oleh sumoinya itu dalam ilmu silat terbukti bahwa ialah yang lebih unggul, ia yang dapat menguasai sumoinya, perasaan iri itupun menipis dan terganti perasaan bangga dan puas!

Setelah merasa bahwa dua orang muridnya itu kini cukup boleh diandalkan untuk melaksanakan tugas mereka, Sam Kwi memanggil mereka menghadap. ”Bi-kwi dan Siauw-kwi, kami merasa puas dengan kemajuan kalian dan besok kalian kami perkenankan untuk turun gunung dan mulai dengan tugas kalian. Dan untuk kepergian kalian besok pagi, malam ini kami ingin makan bersama kalian sebagai ucapan selamat jalan dan selamat bekerja. Lekas kalian persiapkan untuk pesta kita,” kata Iblis Akhirat dan dua orang wanita itu tersenyum girang lalu membuat persiapan untuk membuat masakan. Untuk keperluan ini, di tempat tinggal mereka itu terdapat segala macam bumbu masak. Sayur-mayur tinggal ambil di ladang belakang dan keperluan daging dapat dicari seketika di dalam hutan. Tak lama kemudian, tiga orang kakek itu bersama dua orang muridnya sudah duduk menghadapi bangku-bangku kasar dan makan bersama. Sam Kwi nampak gembira sekali. Iblis Akhirat yang pendek bundar itu banyak tertawa gembira, memuji-muji dua orang muridnya. Bahkan Raja Iblis Hitam dan Iblis Mayat Hidup yang biasanya pendiam, malam itupun nampak tertawa-tawa. Hari telah mulai gelap ketika mereka mengakhiri malam bersama itu dan tiba-tiba Iblis Akhirat mengeluarkan sebuah guci arak yang disimpannya sendiri. Guci itu berwarna merah dan dia berkata.

“Bi-kwi dan Siauw-kwi, sebelum kita menyelesaikan pesta ini dan pergi beristirahat, kami bertiga ingin memberi ucapan selamat jalan kepada kalian dengan masing-masing dari kita menghidangkan satu cawan arak!”

Bi Lan mengangkat muka memandang kakek itu, alisnya berkerut akan tetapi mulutnya tersenyum. ”Akan tetapi, suhu tahu bahwa teecu tidak pernah minum arak! Kalau suci memang biasa minum, akan tetapi teecu....“

Tiba-tiba Bi-kwi tertawa dan dengan ramah dan gembira berkata, ”Sumoi, apa salahnya sekali-kali mencobanya? Apa lagi kalau suhu-suhu kita yang menghadiahkan, harus kita terima.”

Tiga orang kakek itu sejak tadi memang sudah minum arak, wajah mereka sudah menjadi merah dan sinar mata mereka yang tertimpa sinar lampu berkilauan. ”Benar kata Bi-kwi, Siauw-kwi. Engkau harus menerima ucapan selamat jalan kami melalui arak!” Iblis Akhirat menuangkan arak dari gucinya itu ke dalam dua buah cawan arak, lalu memberikan dua cawan itu kepada Bi-kwi dan Bi Lan. ”Dan pula arak ini bukan arak yang keras, melainkan halus dan lezat, harum dan manis. Minumlah!”

Bi-kwi sambil tersenyum sudah minum cawannya, sekali tenggak habislah arak itu memasuki perut melalui tenggorokannya. Bi Lan merasa tidak enak kalau menolak, maka ia pun minum arak itu sampai habis. Memang benar kata Iblis Akhirat. Arak itu tidak terlalu keras, harum dan agak manis.

Kini Raja Iblis Hitam dan Iblis Mayat Hidup masing-masing menyuguhkan secawan arak. Tanpa ragu lagi Bi-kwi meminumnya, diikuti oleh Bi Lan. Akan tetapi setelah menghabiskan tiga cawan arak itu, Bi Lan memejamkan mata, merasa kepalanya berat dan agak pening. Dan tiba-tiba saja Iblis Akhirat menubruknya dari belakang dan sebelum gadis yang sama sekali tidak curiga ini maklum apa yang terjadi, gurunya itu telah menotok jalan darah di kedua pundaknya dan iapun menjadi lemas, kaki tangannya tak dapat digerakkannya lagi.

“Suhu, apa yang suhu lakukan ini?” tanyanya heran ketika kini Raja Iblis Hitam yang tinggi besar itu sudah memondong tubuhnya.

Tiga orang kakek itu tertawa dan Bi Lan melihat betapa Bi-kwi tidak pusing seperti ia. Akan tetapi sucinya itu bangkit berdiri dan memandang kepada guru-guru mereka dengan alis berkerut. Anehnya, sucinya itu juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian, mengingatkan ia akan sikap sucinya pada waktu yang sudah-sudah.

“Ha-ha-ha, Siauw-kwi. Engkau belum menjadi Iblis Cilik yang sesungguhnya sebelum menjadi milik kami. Malam ini kau harus melayani kami bertiga, baru engkau benar-benar lulus ujian dan menjadi murid kami yang baik seperti Bi-kwi.”

Bi Lan terbelalak. Biarpun ia kurang pengalaman dan kurang pergaulan, namun nalurinya membisikkan apa arti ucapan gurunya itu. Ia sudah tahu akan keadaan sucinya, yang selain menjadi murid terkasih, juga sucinya itu kadang-kadang tidur dengan guru-gurunya! Karena sudah terbiasa oleh watak Sam Kwi dan Bi-kwi yang aneh-aneh, maka iapun tidak perduli. Akan tetapi sekarang, agaknya tiga orang gurunya yang seperti iblis itu hendak mengorbankan dirinya pula!

“Tidak....! Tidak....!” Ia berseru dengan perasaan ngeri. ”Aku tidak mau! Sampai matipun aku tidak mau!”

Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Iblis Akhirat tertawa dan baru sekali ini Bi Lan mendengar suara ketawa itu sebagai suara yang amat menyeramkan dan baru sekarang ia melihat betapa wajah tiga orang kakek itu mengerikan dengan sinar mata mereka yang menakutkan pula. Baru sekarang ia melihat betapa buruk dan jahatnya tiga orang gurunya ini.

“Heh-heh-heh, Siauw-kwi. Sikapmu begini sungguh tidak pantas, seolah-olah engkau bukan murid kami saja! Sekali waktu, sebagai seorang wanita, engkau tentu akan mengalami hal itu, dan tidak ada kehormatan yang lebih besar dari pada melayani guru-gurumu seperti Bi-kwi!”

“Tidak! Aku lebih baik mati! Suhu bertiga boleh bunuh aku, akan tetapi aku tidak sudi....!” Bi Lan berteriak-teriak dan berusaha untuk meronta, akan tetapi tangannya tak dapat ia gerakkan. Dalam kengerian dan rasa takutnya, juga ia merasa heran dan tak dapat dimengerti mengapa tiga orang suhunya yang tadinya menyayangnya seperti cucu sendiri, kini tahu-tahu berobah seperti tiga ekor serigala yang hendak menerkamnya. Hampir ia tidak percaya dan meragukan apakah ia tidak berada dalam sebuah mimpi buruk.

“Engkau tidak akan mati, akan tetapi melayani kami malam ini, mau atau tidak mau!” tiba-tiba Raja Iblis Hitam membentak dan hal ini juga mengejutkan hati Bi Lan. Di dalam suara ini lenyaplah semua getaran kasih sayang seperti yang biasa ia rasakan dari guru-gurunya ini, yang ada hanya getaran nafsu yang menjijikkan.

“Tinggal pilih, melayani kami dengan suka rela atau harus kami perkosa!” bentak pula Iblis Mayat Hidup dan sepasang mata kakek kurus kering ini yang biasanya sudah mencorong itu kini bertambah seperti ada api menyala di dalamnya.

Bi Lan terkejut bukan main, mukanya pucat dan kedua matanya tanpa disadarinya menjadi basah oleh air mata. Ia tidak melihat jalan keluar dan ia sudah tidak berdaya. Kini terbukalah matanya dan baru ia tahu bahwa tiga orang gurunya itu benar-benar bukan manusia lagi, melainkan tubuh-tubuh yang sudah dirasuki roh-roh jahat yang tidak segan melakukan kejahatan dalam bentuk apapun juga.

“Ha-ha-ha, tak perlu menangis, Siauw-kwi. Kami hanya akan memberi suatu kehormatan kepadamu, membuatmu dewasa. Sepatutnya kau berterima kasih, bukan menangis. Dan yang dikatakan mereka tadi benar. Mau tidak mau engkau harus melayani kami malam ini. Tentu saja kami menghendaki engkau melayani kami dengan suka rela. Kami beri waktu selagi kami memuaskan diri minum arak untuk mempertimbangkan. Kalau engkau tetap menolak, terpaksa kami akan melakukan kekerasan dan hal itu sungguh amat tidak menyenangkan,” kata Iblis Akhirat sambil tersenyum, akan tetapi bagi Bi Lan, senyumnya tidak ramah lagi melainkan seperti iblis menyeringai. ”Bi-kwi, bawa ia ke dalam kamar dan jaga baik-baik sampai kami bertiga selesai minum. Dan heh-heh, jangan khawatir, engkaupun akan mendapat bagian dari kami!”

Bi-kwi mengangguk dan mencengkeram punggung baju Bi Lan, lalu dijinjingnya tubuh Bi Lan seperti orang menjinjing seekor keledai yang akan disembelih. Bi-kwi nampak diam saja karena menghadapi peristiwa yang akan menimpa diri sumoinya, ia tadi termenung dan berpikir keras. Tentu saja ia tidak perduli kalau sumoinya diperkosa oleh ketiga orang guru mereka, tidak perduli apa yang akan menimpa diri sumoinya yang tidak disukanya. Akan tetapi, di dalam menghadapi setiap peristiwa, Bi-kwi selalu memperhitungkan dan mencari kalau-kalau ada hal yang akan dapat menarik keuntungan bagi dirinya sendiri. Ia membayangkan bahwa kalau sumoinya sampai diperkosa oleh tiga orang gurunya, maka mulai saat itu sumoinya telah menduduki tempat yang lebih tinggi lagi, menjadi kekasih tiga orang gurunya. Dan sebagai seorang wanita yang sudah banyak pengalamannya dalam mengenal watak pria dalam hal ini, ia membayangkan betapa setelah memperoleh yang baru dan yang muda, tiga orang gurunya tentu akan mengesampingkan dirinya. Dengan demikian, maka dalam mengambil hati guru-gurunya, ia akan kalah pula oleh sumoinya! Jadi, kalau sumoinya sampai menjadi korban Sam Kwi, walaupun pada mulanya ia merasa puas bahwa sumoi itu menderita malapetaka itu, namun pada akhirnya sumoinya yang akan mendapat keuntungan dan ia malah menderita rugi! Maka ia lalu membayangkan hal sebaliknya dan mencari kemungkinan agar ia memperoleh keuntungan sebanyaknya dari hal sebaliknya itu. Sumoinya sekarang adalah seorang yang cukup lihai, mungkin hanya kalah sedikit olehnya, kalah dalam hal ilmu baru Sam Kwi Cap-sha-kun itu saja. Dengan demikian berarti bahwa sumoinya dapat menjadi pembantunya yang amat berharga, menjadi pembantunya yang tenaganya boleh diandalkan. Dan ia merasa betapa perlunya tenaga seperti itu. Sudah banyak ia mencari pembantu, bahkan Tee Kok ketua Ang-i Mo-pang dapat ditarik menjadi pembantunya, akan tetapi kepandaian orang itu bersama kekuatan anak buahnya belum dapat diandalkan benar. Kalau ia dapat menguasai sumoinya, kalau sumoinya mau membantunya dengan sungguh-sungguh dalam usaha merampas kembali Liong-siauw-kiam, tentu hasilnya lebih dapat diharapkan.

Dengan kasar ia lalu melemparkan tubuh sumoinya yang tak mampu bergerak itu ke atas pembaringan, lalu iapun duduk di dekatnya. ”Hemm, dapatkah kau membayangkan apa yang akan dilakukan oleh tiga orang tua bangka itu terhadap tubuhmu? Tubuhmu yang muda dan mulus itu akan digeluti, akan dinodai dan dipermainkan sampai mereka bertiga puas! Setelah mereka selesai engkau sudah akan rusak sama sekali dan tidak mungkin dapat dipulihkan kembali! Engkau akan merasa terhina, muak dan jijik, akan tetapi setiap kali mereka menghendaki, engkau harus merangkak kepada mereka, seperti anjing kelaparan! Senangkah hatimu membayangkan itu semua?”

Air mata sudah jatuh berderai dari kedua mata Bi Lan ketika ia mendengar ucapan sucinya itu. Ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya menggeleng kepala berkali-kali dengan perasaan ngeri terbayang pada wajahnya. Akan tetapi, ia tahu bahwa sucinya tidak akan mau menolongnya, maka percuma sajalah andaikata ia akan minta tolong juga. Agaknya pikirannya ini dapat diduga oleh Bi-kwi.

“Hayo katakan! Hayo bilang bahwa kau minta tolong padaku!”

Bi Lan berbisik, ”Tidak ada gunanya. Engkau tentu bahkan akan mengejekku. Engkau tentu girang melihat keadaanku, engkau tentu puas karena melihat aku yang kaubenci ini mengalami penderitaan hebat....“

“Hemmm, belum tentu,” kata Bi-kwi. ”Lihat sumoi macam apa engkau ini, baru aku akan mengambil keputusan. Tak perlu kusangkal, memang aku tidak suka kepadamu, sumoi, karena kehadiranmu hanya merugikan aku. Akan tetapi, kalau saja engkau dapat berguna bagiku, tentu saja aku tidak ingin melihat engkau celaka. Ada budi ada balas, tentu engkau mengerti, bukan?”

“Apa.... apa maksudmu?”

“Maksudku, kalau engkau mau melakukan sesuatu untukku, tentu akupun mau melakukan sesuatu untukmu. Ada budi ada balas!”

“Apa yang harus kulakukan dan apa yang akan kaulakukan?”

“Misalnya, engkau berjanji untuk membantuku mati-matian dan sekuat tenaga untuk merampas Liong siauw-kiam, kemudian membantuku sampai aku berhasil menjadi beng-cu....“

“Bukankah itu tugas kita?”

“Tadinya memang begitu, akan tetapi kalau engkau mau berjanji melakukan itu untuk aku, bukan untuk suhu, nah, misalnya engkau mau berjanji melakukan itu, mungkin aku mau membebaskan totokanmu dan mengajakmu lari sekarang juga.”

Berdebar rasa jantung di dalam dada Bi Lan. Inilah satu-satunya kesempatan. Dan menjanjikan seperti yang diminta sucinya itu bukan berarti berjanji untuk melakukan hal-hal yang tak disukainya.

“Baiklah, suci, aku berjanji.”

“Sumpah?”

“Sumpah!”

“Baik, tanpa janji dan sumpah sekalipun, kalau engkau mengingkari, setiap waktu aku akan dapat membunuhmu,” kata Bi-kwi dan iapun cepat membebaskan totokan dari tubuh Bi Lan, kemudian mengajak sumoi itu untuk diam-diam melarikan diri melalui jendela. Tiga orang kakek yang menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Bi-kwi, tidak menduga sama sekali dan mereka masih enak-enak minum arak sambil main tebak jari untuk menentukan siapa pemenang pertama, ke dua dan ke tiga yang berhak menggauli Bi Lan lebih dahulu.

Setelah minum arak cukup banyak, arak yang tadi disuguhkan Bi Lan, tidak mengandung racun atau pembius, melainkan arak yang tua dan amat keras sehingga tadi Bi Lan yang tidak biasa minum arak itu menjadi pening dan setengah mabok. Tiga orang kakek itu lalu sambil tertawa-tawa masuk ke dalam dan menghampiri kamar Bi Lan dengan harapan bahwa murid mereka itu akan menyambut mereka dengan suka rela sehingga mereka tidak perlu mempergunakan paksaan, seperti yang terjadi pada Bi-kwi dahulu.

Dapat dibayangkan betapa heran dan juga marah hati mereka ketika melihat betapa kamar itu sudah kosong. Bi-kwi maupun Siauw-kwi tidak nampak bayangannya lagi! Tanpa mencaripun tahulah mereka bahwa kedua orang murid itu telah pergi tanpa pamit. Mereka lalu duduk berunding.

“Tidak mungkin Siauw-kwi membebaskan sendiri totokannya. Aku yang melakukan totokan dan dalam waktu sedikitnya tiga jam ia tidak akan dapat bebas, kecuali kalau ada yang membebaskannya,” kata Raja Iblis Hitam penasaran.

“Dan yang dapat membebaskannya hanyalah Bi-kwi, satu-satunya orang yang berada di sini.”

“Akan tetapi Bi-kwi tidak akan mengkhianati kita.”

“Mungkin Bi-kwi hanya iri dan tidak ingin melihat kita mendekati sumoinya, maka ia membebaskannya dan mengajak sumoinya pergi tanpa pamit melaksanakan tugas mereka.”

“Itu lebih tepat. Mereka tentu akan melaksanakan tugas mereka dan mereka hanya ingin menghindarkan apa yang kita kehendaki malam ini.”

“Akan tetapi bagaimana kalau mereka benar-benar mengkhianati kita? Habislah harapan kita dan hancurlah semua jerih payah kita.”

“Ah, kita tidak perlu bingung,” akhirnya Iblis Akhirat berkata.”Hanya ada dua hal yang akan terjadi. Pertama, mereka tidak berkhianat dan hanya menghindarkan maksud kita terhadap Siauw-kwi. Kalau benar demikian dan mereka kelak pulang, masih belum terlambat untuk mendapatkan Siauw-kwi yang manis. Ke dua, kalau benar mereka itu berkhianat, kita cari mereka dan kita bunuh mereka.”

“Bagus, dan kita sudah terlalu lama menganggur di sini, mari kita pergi mencari mereka dan menyelidiki apa yang mereka lakukan.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, tanpa tergesa-gesa, tiga orang kakek iblis itupun turun dari Thai-san untuk mencari dua orang murid mereka.

***

Dengan cerdik Bi Lan dapat mengambil Ban-tok-kiam ketika ia diajak pergi oleh sucinya malam itu, dengan alasan bahwa ia hendak kembali sebentar mengambil pakaiannya. Bi-kwi menanti di bawah puncak tanpa curiga dan dengan menyembunyikan pedang itu di balik bajunya, Bi Lan mengikuti sucinya yang membawanya lari menuju ke selatan.

Perjalanan ini mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati Bi Lan. Sejak kecil, dalam usia sepuluh tahun, ia telah ikut bersama Sam Kwi yang membawanya tinggal di gunung-gunung dan di tempat-tempat sunyi. Jarang Bi Lan memperoleh kesempatan bergaul dengan orang lain dan ia hanya mengenal keadaan dunia melalui cerita tiga orang gurunya dan sucinya saja. Paling banyak, ketika ia masih ikut suhu-suhunya, ia melihat dusun-dusun dan bertemu dengan penduduk dusun dan pegunungah yang hidup sederhana. Oleh karena itu setelah kini melakukan perjalanan bersama Bi-kwi, memasuki kota-kota besar, Bi Lan merasa gembira sekali, gembira dan penuh keliaranan memandangi rumah-rumah besar di dalam kota, toko-tokonya dan keramaian kota. Mulai teringat pulalah kehidupan di dunia ramai yang ditinggalkan semenjak ia berusia sepuluh tahun itu.

Kenyataan yang mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika ia melihat kerusakan-kerusakan dan bekas kehancuran sebagai akibat pemberontakan-pemberontakan di selatan, juga ia harus menahan perasaannya ketika ia dan sucinya memasuki kota-kota besar, ia melihat betapa pandang matakaum pria yang ditujukan kepada ia dan sucinya, hampir semua mengandung kekurangajaran dan nafsu berahi yang menjijikkan. Ia melihat seolah-olah kaum pria itu, sebagian besar, memiliki mata serigala yang melihat kelenci-kelenci montok lewat di depan hidung mereka!

Bi Lan adalah seorang gadis berusia tujuhbelas tahun lebih. Walaupun pengalamannya dengan kaum pria dapat dikata nol, akan tetapi naluri kewanitaannya dapat menangkap semua pandang mata kaum pria itu yang membuat gadis ini selain heran juga terkejut dan tidak enak, merasa canggung dan ngeri, seolah-olah dikepung bahaya. Akan tetapi, jauh di dalam batinnya terdapat pula suatu perasaan aneh, perasaan bangga dan senang yang dengan keras ditutupnya. Ia tidak tahu bahwa semua perasaan wanita, semenjak ia dewasa, sama dengan perasaannya itu. Sudah menjadi watak pria yang sesuai dengan naluri dan kejantanan mereka untuk tertarik apa bila melihat wanita muda yang cantik, dan pandang mata mereka selalu akan menempel pada penglihatan itu seperti bubuk-bubuk besi menempel pada semberani sehingga pandang mata mereka mengandung kekaguman dan kemesraan. Dan justeru naluri alamiah wanita adalah butuh akan kekaguman dari kaum pria ini. Tidak ada wanita yang tidak merasa bangga, dan senang dikagumi pandang mata pria, walaupun hukum-hukum kesopanan dan kesusilaan memaksa wanita itu pura-pura tak senang, atau bahkan marah, atau setidaknya akan menyimpan rasa bangga dan senang ini jauh di dalam hatinya sendiri sebagai suatu rahasia pribadinya. Inilah sebabnya mengapa wanita paling mudah jatuh menghadapi rayuan-rayuan mulut manis dan para pria petualang asmara mempergunakan kelemahan wanita ini untuk menjatuhkannya dengan rayuan-rayuan dan pujian-pujian.

Bi-kwi mengajak Bi Lan memasuki Propinsi Yunan di selatan. Pada waktu itu, pemberontakan telah dapat dipadamkan dan Propinsi Yunan sudah menjadi tenang dan tenteram kembali. Rakyat di daerah itu yang paling parah menderita akibat perang pemberontakan, telah kembali ke daerah masing-masing. Yang kehilangan rumah kini mulai membangun kembali dari bawah dan biarpun masih nampak bekas reruntuhan akibat perang, namun agaknya para penghuninya sudah merupakan peristiwa menyedihkan itu dan tidak lagi terbayang ketakutan pada wajah mereka.

Pada suatu pagi, tibalah dua orang wanita itu di kota Kun-ming yang merupakan kota terbesar di Propinsi Yunan. Karena dalam perjalanan itu Bi-kwi memilih jalan terdekat, maka jarang mereka melewati kota besar, hanya dusun-dusun dan kota-kota kecil, maka begitu memasuki kota besar Kun-ming di selatan ini, Bi Lan memandang penuh kekaguman. Ia masih ingat bahwa keluarga orang tuanya juga datang dari Yunan selatan. Ketika perjalanannya membawanya tiba di Propinsi Yunan, mendengar suara percakapan orang-orang di dusun-dusun yang dilewatinya saja sudah mendatangkan keharuan di hatinya, mendatangkan keyakinan bahwa memang ia berasal dari Yunan. Ia mengenal betul logat bahasa daerah Yunan, walaupun ia sendiri kini sudah berlogat lain, namun logat bahasa selatan itu tidak asing baginya, bahasa orang tuanya, bahasanya ketika ia masih kecil.

Hari itu masih pagi, akan tetapi jalan-jalan raya di kota Kun-ming sudah ramai oleh mereka yang pergi ke pasar-pasar. Banyak toko yang masih tutup, akan tetapi toko-toko yang sudah buka merupakan penglihatan yang mendatangkan kagum dam heran di hati Bi Lan. Berkali-kali ia bertanya kepada Bi-kwi arti tulisan-tulisan yang terpampang di depan toko-toko atau rumah-rumah besar sehingga Bi-kwi menghardiknya untuk diam karena ia merasa jengkel harus menerangkan sejak tadi arti tulisan-tulisan yang hanya merupakan nama-nama dari toko yang mereka lewati atau kata-kata reklame toko untuk menarik langganan. Memang Bi Lan seorang gadis buta huruf, ia hanya puteri seorang petani yang tidak sempat menyekolahkannya, dan sejak berusia sepuluh tahun ia ikut dengan Sam Kwi, tiga orang datuk sesat yang sama sekali tidak perduli akan pendidikannya, bahkan menganggap bahwa melek huruf merupakan hal yang tidak ada gunanya bagi wanita! Akan tetapi Bi-kwi sempat mempelajari baca tuiis walaupun hanya secara sederhana.

Ketika mereka melewati sebuah rumah makan besar yang sudah buka, hidung mereka dilanggar bau masakan yang sedap dan perut mereka segera memberi isyarat bahwa sejak kemarin siang mereka belum makan apa-apa. Bi-kwi memberi isyarat kepada sumoinya dan merekapun melangkah ke arah restoran itu.

Bi Lan tersenyum girang. ”Wah, kalau yang ini tak perlu kauceritakan, suci. Aku tahu bahwa di sini tentu dijual makanan enak.”

Mau tak mau Bi-kwi tersenyum juga. ”Engkau memang gadis tolol. Tak perlu banyak bertanya, lihat saja dan kau tentu akan mengerti sendiri.”

Seorang pelayan menyambut dua orang tamu ini dan wajahnya tersenyum gembira ketika dia melihat bahwa tamu-tamunya adalah dua orang wanita yang cantik-cantik dan manis-manis. Dia memandang dengan sinar mata penuh selidik. Seorang wanita berusia tigapuluh tahunan, berpakaian mewah dan indah, sinar matanya genit, wajahnya manis dan bertambah cantik oleh riasan muka, seorang wanita yang matang dan menarik. Orang ke dua adalah seorang yang jelas merupakan seorang gadis yang baru mekar, berpakaian sederhana sekali, bahkan mukanya tanpa bedak, akan tetapi kulit muka itu jauh lebih halus dan mulus dibandingkan dengan wanita pertama, dan bentuk tubuh gadis belasan tahun itu demikian ramping seolah-olah pinggangnya dapat dilingkari empat jari tangan si pelayan.

“Selamat pagi, nona-nona. Apakah ji-wi hendak sarapan?”

Bi-kwi mengangguk.

“Silahkan masuk, ji-wi siocia, silahkan duduk.” Pelayan itu membawa mereka ke sebuah meja di sudut, di mana para pelayan dan pengurus rumah makan dapat melihat mereka dengan jelas, sebaliknya tempat ini menyenangkan hati Bi-kwi karena di sini ia dapat duduk sambil melihat ke semua penjuru, juga ke arah jalan raya di depan restoran. Tidak banyak tamu di restorau itu sepagi ini. Hanya ada lima meja yang terisi, di antara tigapuluh lebih meja di ruangan yang cukup luas itu. Bi-kwi lalu memesan makanan dan minuman. Bi Lan tak pernah membuka mulut, membiarkan sucinya yang memesan makanan apa saja karena ia tidak tahu harus memilih apa. Akan tetapi ia teringat akanminuman dan berbisik.

“Suci, aku minum teh saja, teh panas.”

Mendengar ini, pelayan itu tersenyum lebar dan memandang kepada Bi Lan sambil mengangguk. ”Kami terkenal dengan teh kami yang harum, nona.”

Bi-kwi mengangkat mukanya dan memandang wajah pelayan itu. Sinar matanya menyambar seperti dua batang anak panah dan muka yang tadinya menyeringai dalam senyum ramah itu segera berobah dan si pelayan menunduk dan membungkukkan tubuhnya. Dia terkejut melihat sepasang mata yang jeli itu seperti berapi, dan tahu bahwa wanita itu marah, maka dia tidak berani lagi bersikap main-main.

“Apakah arakmu juga sebaik tehmu?” tanya Bi-kwi ketus.

Pelayan itu membungkuk-bungkuk. ”Tentu, tentu.... nyonya, arak kami....“

“Brakk!” Bi-kwi menggebrak meja sehingga pelayan itu terkejut. Bi Lan menahan ketawanya karena geli melihat sikap sucinya dan pelayan itu.

“Suci bukan nyonya, masih nona,” katanya karena ia dapat menduga mengapa sumoinya marah-marah disebut nyonya.

“Oh.... eh.... nyo.... nona, maafkan saya melihat si pelayan menjadi gagap gugup, Bi Lan tertawa. Suara ketawanya bebas lepas, tanpa menutupi mulutnya karena ia memang tak pernah diajar sopan santun seperti orang-orang kota, seperti wanita-wanita yang dianggap sopan menutupi mulut kalau tertawa. Hal ini tentu saja menarik perhatian para tamu lain yang duduk di situ dan merekapun menengok, lalu ikut tersenyum melihat betapa seorang gadis, agaknya gadis dusun, tertawa begitu gembira.

“Sumoi, diam kau!” Bi-kwi mendesis dan Bi Lan menahan ketawanya. ”Dan kau jangan cerewet dan ceriwis!” bentak Bi-kwi kepada si pelayan. ”Cepat sediakan teh panas, arak baik dan nasi, daging panggang dan dua mangkok sayur yang paling enak!”

Kini pelayan itu tidak berani banyak lagak lagi. Dia membungkuk-bungkuk. ”Baik, nona, baik, nona....“

Akan tetapi saking gugupnya, ketika dia meninggalkan meja itu dan menghampiri meja pengurus untuk melaporkan pesanan, dia lupa berapa banyak sayuran yang dipesan Bi-kwi, maka dengan muka kecut terpaksa dia menghampiri lagi meja dua orang wanita itu. Hal ini tak lepas dari perhatian Bi Lan yang merasa betapa orang ini lucu sekali.

“Maaf, nona. Tadi.... pesanan sayurnya berapa banyak?”

Bi-kwi sudah hampir menghardiknya, akan tetapi didahului oleh Bi Lan yang membentak dengan wajah tersenyum geli. ”Dua mangkok!” Bentaknya nyaring, mengejutkan si pelayan dan kembali menarik perhatian para tamu. Setelah si pelayan pergi, Bi-kwi mengomel kepada sumoinya.

“Tak perlu engkau tertawa dan berteriak-teriak seperti itu. Apakah kau ingin menarik perhatian orang-orang?”

“Maaf, nyo.... eh, nona.... Bi Lan menirukan suara dan gaya si pelayan sehingga Bi-kwi terpaksa menyeringai gemas. Bi Lan adalah seorang gadis yang pada hak dasarnya memiliki dasar watak gembira dan lincah jenaka. Kalau tadinya ia bersikap aneh, hal itu adalah karena ulah sucinya yang memberi pelajaran yang menyesatkan sehingga pikirannya bingung dan agak berobah. Akan tetapi setelah ia menerima pengobatan dari Pendekar Naga Sakti dan isterinya, dan sembuh sama sekali dari pengaruh hawa beracun, dasar wataknya itupun muncul kemba!i. Maka, setelah ia berada di dalam kota dan merasa gembira dapat melihat daerah asalnya, kegembiraannya timbul dan melihat ulah pelayan yang demikian lucu, iapun segera menggodanya.

Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa makanan dan minuman yang dipesan, dan Bi Lan segera menikmati hidangan itu. Memang nikmat, karena selama ini di puncak Thai-san, ia makan masakannya sendiri dan masakan sucinya yang sederhana sekali, asal sudah diberi garam, cukuplah. Dengan lirikan ujung matanya, Bi Lan melihat betapa seorang pemuda yang duduk di sudut ruangan itu, sejak tadi kadang-kadang melirik ke arah mejanya. Pemuda ini belum tua benar, paling banyak duapuluh tahun. Seorang pemuda yang berwajah cerah dan tampan, namun amat sederhana, baik perawatan muka dan rambutnya yang dikuncir tebal itu maupun pakaiannya yang hanya terbuat dari kain kasar berwarna biru dan sepatunya dari kulit. Pemuda itu makan bakmi dengan sumpitnya, dan cara makannya juga sopan, tanda bahwa pemuda itu bukan orang yang suka ugal-ugalan walaupun pakaiannya tidak menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar. Di atas mejanya terdapat sebuah buntalan yang agak panjang, mungkin terisi pakaian dan ini saja menandakan bahwa pemuda itu tentu seorang pendatang dari luar kota pula, bukan penduduk di situ dan agaknya dia baru saja masuk kota, terbukti dari bekal pakaian yang masih dibawanya, seperti juga Bi Lan dan Bi-kwi sendiri yang menaruh buntalan pakaian mereka di atas meja. Juga Bi Lan melihat betapa sucinya beberapa kali mengerling ke arah pemuda itu dan karena inilah sebetulnya maka ia menjadi tertarik dan ikut-ikut melirik. Dari sikap sucinya, ia dapat menduga bahwa sucinya sudah kambuh pula penyakitnya, yaitu penyakit mata keranjang. Tentu sucinya naksir pemuda tampan itu, pikirnya dan kembali ada perasaan tidak enak menekan hatinya. Sejak dahulu, melihat watak sucinya, ia merasa muak dan tidak senang. Akan tetapi karena hal itu adalah urusan pribadi sucinya, iapun pura-pura tidak tahu dan tidak ingin mencampurinya pula.



Tiba-tiba seorang pelayan berseru, “Celaka, dia datang lagi.... !” Dan mendengar seruan ini, pengurus restoran menjadi pucat wajahnya, dan semua pelayan juga nampak gugup ketakutan. Pengurus restoran yang kurus itu lalu mengambil uang dari laci mejanya dan menyembunyikannya di bawah tumpukan bungkusan bumbu-bumbu masakan. Beberapa orang tamu yang melihat hal itu menjadi heran, dan ada juga yang menjadi khawatir karena tentu akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.

Tak lama kemudian, di depan pintu restoran itu sudah muncul seorang laki-laki. Dengan sudut matanya, Bi Lan dan Bi-kwi melirik. Laki-laki itu usianya kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya nampak tegap dan kokoh kuat. Akan tetapi yang menyolok adalah pakaian laki-laki ini yang terbuat dari kain yang berwarna serba merah! Lebih menyolok lagi adalah sepasang golok yang dijadikan satu dan masuk dalam satu sarung, tergantung di pinggang kirinya. Di jaman itu, membawa senjara tajam secara demikian menyolok merupakan hal yang aneh, karena pemerintah sudah lama melarang membawa senjata tajam di tempat umum. Hal ini saja menunjukkan bahwa tentu orang berpakaian serba merah ini adalah seorang jagoan.

Laki-laki baju merah itu memiliki sepasang mata yang lebar dan sikap yang galak. Begitu tiba di depan pintu, matanya lalu menyapu ruangan restoran, melihat ke arah para tamu yang hanya enam meja itu, dan agak lama pandang matanya berhenti pada meja Bi Lan.

”Hemmm, rakyat hidup sengsara dan kekurangan, kurang makan kurang pakaian, dan kalian enak-enak makan lezat di sini. Sungguh tidak tahu perikemanusiaan! Hayo seorang menyumbang seharga makanan yang dipesannya!”

Tentu saja ucapan dan sikap laki-laki ini mendatangkan bermacam reaksi di kalangan para tamu. Ada yang memandang marah, ada yang ketakutan dan suasana menjadi tegang. Pengurus restoran yang kurus itu tergopoh-gopoh lari menghampiri laki-laki baju merah yang sudah melangkah memasuki restoran, tangannya membawa segenggam uang dan dia membungkuk-bungkuk di depan laki-laki itu.

“Harap si-cu (orang gagah) jangan mengganggu para tamu kami. Kemarin dulu, kedatangan si-cu menimbulkan kepanikan dan kalau terus-menerus begini, tamu-tamu dan langganan kami akan takut untuk makan di restoran kami. Harap si-cu maafkan kami dan suka meninggalkan tempat kami, ataukah si-cu ingin makan minum? Mari silahkan....”

“Diam!” hardik orang baju merah itu. ”Dan jangan mencampuri urusanku!”

“Tapi, si-cu, ini adalah tempat kami, tempat kami mencari nafkah.... harap si-cu suka menerima sedikit sumbangan ini. Biarlah kami atas nama para tamu menyerahkan sumbangan ini. ” Si kurus itu dengan tangan gemetar lalu memberikan segenggam uang itu kepada si baju merah. Si kurus melihat segenggam uang itu dan karena uang itu hanya terdiri dari uang kecil, marahlah dia.

“Aku bukan pengemis!” bentaknya dan sekali tangan kirinya bergerak, dia sudah mencengkeram baju si pengurus restoran bagian dadanya, mengangkat tubuh orang itu dan sekali lempar, tubuh si kurus itu terjengkang dan terbanting, uang kecil segenggam itu jatuh berhamburan di atas lantai. Tentu saja peristiwa ini amat mengejutkan semua tamu.

Tiga orang tamu pria yang duduk paling depan, merasa takut dan cepat-cepat mereka membayar harga makanan ke meja pengurus yang kini sudah melangkah ketakutan dan kembali ke belakang mejanya tanpa memunguti uang yang berhamburan tadi, kemudian tiga orang itu hendak melangkah keluar dari restoran. Akan tetapi tiba-tiba orang baju merah itu sudah menghadang mereka dan memalangkan lengan kanannya depan pintu.

“Bayar dulu kepadaku seharga makanan kalian itu, baru kalian boleh keluar dari sini,” katanya.

“Akan tetapi kami sudah bayar makanan kami. Kalau engkau hendak minta sumbangan, seharusnya kepada pemilik restoran, bukan kepada kami!” kata seorang di antara tiga orang itu, sikapnya agak berani karena mereka bertiga dan pengacau itu hanya seorang saja.

“Aku minta kepada pemilik restoran atau tidak adalah urusanku, kalian tidak perlu mencampuri. Aku datang untuk minta pajak kepada kalian, kalau tidak mau beri, terpaksa aku akan mengeluarkan lagi makanan dan minuman yang tadi kalian makan!”

Ucapan ini biarpun berupa ancaman akan tetapi dianggap tak masuk akal, maka tiga orang itu berkeras menolak. ”Engkau sungguh mau enak sendiri saja!” seorang di antara mereka mencela.

Tiba-tiba si baju merah itu bergerak. Cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu tiga orang itu telah dipukul dan ditendangnya, masing-masing satu kali dan tepat mengenai perut mereka bagian atas, bawah ulu hati. Keras sekali pukulan dan tendangan itu, mengguncangkan pencernaan mereka dan tanpa dapat dicegah lagi, tiga orang itu lalu muntah-muntah dan semua makanan yang tadi mereka makan benar saja keluar semua!

“Masih belum mau bayar?” bentak si baju merah. Tiga orang itu dengan menahan rasa nyeri dan ketakutan, terpaksa merogoh saku dan membayar kepada si baju merah sebanyak yang mereka bayar kepada pengurus restoran tadi. Tamu-tamu lain dari tiga meja berikutnya, cepat membayar harga makanan dan tanpa banyak membantah merekapun membayar kepada si baju merah ketika mereka keluar dan terhadang oleh si baju merah. Kini tinggal pemuda yang duduk sendirian dan dua orang wanita yang masih melanjutkan makan minum.

Bi Lan sejak tadi merasa betapa perutnya panas. Ingin sekali ia bangkit dan memberi hajaran kepada si baju merah itu. Akan tetapi ia selalu dididik oleh Sam Kwi dan Bi-kwi agar tidak mencampuri urusan orang lain kalau tidak menyangkut diri sendiri. Biar ada orang membunuh atau menyiksa orang lain, kalau hal itu tidak merugikan diri sendiri, tidak perlu dicampuri, demikian pelajaran yang diterimanya. Biarpun kini ia merasa marah sekali terhadap si baju merah, pelajaran itu yang sudah meresap di hatinya membuat Bi Lan menahan kemarahannya. Apa lagi karena ia melihat betapa sucinya tetap makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di tempat itu. Dan anehnya, ketika melirik ke arah pemuda itu ia melihat pemuda itu juga masih makan bakminya, perlahan-lahan seolah-olah pemuda itu sengaja berlambat makan bakminya dan memberi kesempatan kepada dua orang gadis itu untuk selesai lebih dulu dan membayar lebih dulu! Akan tetapi Bi Lan melihat betapa sucinya juga melakukan hal yang sama, seolah-olah sucinya ingin melihat pemuda itu selesai lebih dulu dan sucinya ingin menjadi tamu yang paling akhir meninggalkan tempat itu.

Karena dua meja yang dinanti-nantinya itu agaknya sengaja memperlambat makan mereka, akhirnya si baju merah menjadi kehabisan sabar. Sejak tadi dia menanti sambil mengumpulkan uang hasil pemerasannya itu ke dalam sebuah kantong kecil. Dia duduk di atas meja paling depan dan memandanq kepada pemuda dan dua orang gadis yang masih enak-enak makan minum seolah-olah dunia ini amat tenteram dan penuh kedamaian! Si baju merah menjadi tidak sabar. Dengan langkah lebar dia masuk ke dalam ruangan itu dan karena meja Bi kwi dan Bi Lan berada lebih dekat dari pada meja pemuda itu, maka si baju merah berhenti dekat meja mereka, kedua matanya yang lebar itu melotot memandang kepada Bi-kwi dan Bi Lan secara bergantian. Akan tetapi dia tidak jadi marah ketika melihat bahwa dua orang wanita itu ternyata lebih cantik dari pada ketika dilihatnya dari depan tadi.

Tiba-tiba Bi Lan yang sejak tadi merasa marah dan mendongkol kepada si baju merah berkata dengan suara lantang, ”Suci, masakan di restoran ini cukup lezat, akan tetapi sayang, ada lalat merah yang mengotorkan tempat ini. Sungguh menjijikkan!”

Tiba-tiba terdengar tepuk tangan dan pemuda yang duduk sendirian itu mengomel seorang diri, ”Tepat sekali, lalat merah memuakkan!”

Tentu saja si baju merah menjadi marah karena dia tahu bahwa yang dinamakan lalat merah itu tentu dirinya. Akan tetapi dia malah tersenyum menyeringai dalam kemarahannya dan berkata, ”Dua nona manis, kalian tidak perlu membayar pajak kepadaku, cukup kalau kalian masing-masing memberi ciuman di bibirku, masing-masing tiga kali. Bagaimana?” Dia terkekeh secara kurang ajar sekali.

Bi Lan melihat api bernyala di kedua mata sucinya dan kalau tadi ia marah kepada si baju merah, kini ia merasa khawatir. Tak dapat diragukan lagi, kalau sucinya bangkit dan turun tangan, tentu si baju merah ini akan mati dalam keadaan mengerikan. Ia sudah mengenal kekejaman hati sucinya kalau sedang marah dan pada saat itu, sucinya marah sekali. Maka ia mendahului sucinya, bangkit berdiri dan menghadapi si baju merah tadi.

Melihat Bi Lan bangkit, si baju merah tertawa girang. ”Heh-heh, nona manis. Engkau yang akan memberi ciuman lebih dulu? Bagus, aku senang sekali!” katanya dan diapun meruncingkan bibirnya yang hitam kasar dan tebal.

“Plakk! Inilah ciumanku!”

“Aduhhh.... !” Laki-laki itu terpelanting ketika pipinya terkena tamparan tangan Bi Lan. Dia merasa seolah-olah kepalanya pecah, demikian kuatnya tamparan itu tadi. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki kepandaian maka berani menamparnya. Kemarahan membuat dia lupa akan rasa nyeri di pipinya yang sudah membengkak merah, hampir sama dengan warna pakaiannya.

“Keparat! Berani engkau memukul aku? Tidak, tahu bahwa aku seorang tokoh Ang-i Mo-pang?” bentak laki-laki itu dan dia sudah mencabut keluar sepasang goloknya.

Tentu saja Bi Lan sudah mendengar nama perkumpulan Ang-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah), karena sucinya pernah bercerita bahwa perkumpulan itu telah ditaklukkan oleh sucinya dan bahkan menjadi pembantunya. Akan tetapi mengapa ada orang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang dan berani bersikap kurang ajar terhadap sucinya? Akan tetapi pada saat itu, orang baju merah itu sudah menggerakkan sepasang goloknya, diputar-putarnya sepasang golok itu di atas kepala, dengan muka beringas dan sikap mengancam dia hendak menyerang Bi Lan.

Pada saat itu nampak cairan putih menyambar ke arah muka si baju merah yang tidak sempat mengelak dan tahu-tahu mukanya sudah kena siram kuah bakso yang panas. Dia gelagapan dan melangkah mundur, mengusap mukanya dan terutama matanya yang terasa pedih itu dengan lengan baju, lalu memandang ke kanan. Kiranya yang menyiram mukanya dengan kuah bakso dari mangkok itu adalah seorang pemuda yang tadi duduk sendirian makan bakmi di meja sebelah dalam. Sepasang mata orang berpakaian merah itu mendelik. Kemarahannya memuncak. Baru kemarahan terhadap gadis di depannya yang telah menampar mukanya saja belum terlampiaskan, kini muncul lagi seorang pemuda yang begitu berani mati menyiram mukanya dengan kuah bakso. Apa lagi ketika dilihatnya bahwa pemuda ini biasa saja, seorang pemuda yang usianya belum ada duapuluh tahun, berpakaian sederhana berwarna biru, tubuhnya sedang-sedang saja dan wajahnya bersih dengan kulit putih sehingga nampak cukup tampan. Tidak ada apa-apanya yang istimewa, juga tidak membayangkan seorang yang terlalu kuat atau yang memiliki ilmu silat tinggi. Agaknya, pemuda itu tadi ketika melihat si baju merah mengeluarkan golok dan hendak menyerang Bi Lan, sudah bangkit dari tempat duduknya, tangan kanan masih memegang sepasang sumpit dan tangan kiri menyambar mangkok bakso yang sudah dimakannya dan tinggal kuahnya, lalu bangkit menghampiri laki-laki itu dan menyiramkan kuah bakso.

“Kau.... kau.... keparat bosan hidup!” bentak si tokoh Ang-i Mo-pang dan kini goloknya yang kanan sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu. Bi Lan yang sejak tadi memandang dengan heran atas keberanian pemuda itu, kini terkejut. Akan tetapi ia tidak mau mencampuri karena ia melihat betapa pemuda itu bersikap tenang sekali. Ketika golok itu menyambar ke arah kepalanya, pemuda itu sama sekali tidak nampak takut atau hendak mengelak, sebaliknya malah mengangkat tangan kanannya yang memegang sumpit dan dengan sepasang sumpit itu dia menyambut sambaran golok.

“Wuuuuttt.... !” Golok menyambar.

“Trakkk.... !” Sepasang sumpit itu menyambut dan tahu-tahu sudah menjepit golok secara cepat dan luar biasa sekali. Tahu-tahu golok itu telah dijepit oleh sepasang sumpit dan tidak bergerak lagi! Si baju merah terkejut bukan main karena tiba-tiba goloknya terhenti gerakannya. Dia cepat mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia belaka. Goloknya seperti telah dijepit jepitan baja yang amat kuat dan sama sekali tidak mampu dia menggerakkan golok itu, apa lagi melepaskannya dari jepitan. Barulah dia dapat menduga bahwa seperti juga gadis cantik itu, si pemuda inipun ternyata bukan orang sembarangan. Akan tetapi dasar wataknya memang sombong, dia tidak mau mengerti akan kenyataan ini, dan bahkan merasa penasaran. Golok di tangan kirinya juga menyambar, dengan cepatnya dia telah menggerakkan golok kiri itu untuk menusuk perut si pemuda baju biru. Pemuda itu kembali tidak mengelak, akan tetapi tiba-tiba mangkok di tangan kirinya digerakkannya ke depan dan tepat memukul pergelangan tangan kiri lawan. Demikian cepat gerakannya sehingga sebelum golok itu menyambar, pergelangan tangan tokoh Ang-i Mo-pang sudah dihantammangkok itu.

“Dukk!” Si baju merah mengeluarkan seruan kesakitan dan golok itu terlepas dari tangan kirinya.

“Mundurlah kau, kami tidak minta bantuanmu!” Tiba-tiba Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi berseru dengan suara dingin. Pemuda itu agaknya terkejut mendengar suara dingin ini dan dia menarik kembali sepasang sumpitnya, lalu melangkah mundur dan menjura ke arah dua orang gadis itu. “Maafkan saya,” katanya, lalu dia kembali ke mejanya, melanjutkan makan bakminya yang belum habis! Pemuda itu bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

“Hemmm, kau masih bengong di situ, tidak lekas berlutut? Kau harus mencium lantai sampai tiga kali dan minta ampun, baru aku akan membiarkan engkau pergi dari sini!” kata Bi Lan dengan sikap galak dibuat-buat.

Akan tetapi, orang yang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang itu agaknya tidak biasa dikalahkan orang sehingga beratlah baginya untuk mengakui kekalahannya. Apa lagi harus berlutut menciumi tanah dan minta ampun kepada seorang gadis muda! Dia tadi memang sudah merasakan kehebatan pemuda itu dan mungkin kalau dilanjutkan pertempuran, dia akan kalah. Akan tetapi gadis ini belum mengalahkannya, baru tadi menamparnya dan hal ini tidak menunjukkan bahwa gadis ini lihai. Untung bahwa pemuda lihai itu sudah kembali ke tempat duduknya dan agaknya tidak mencampuri urusan itu. Dia kini memperoleh kesempatan melampiaskan kedongkolan hatinya kepada gadis ini, sekalian membalas tamparan yang membuat pipinya biru membengkak. Dia memang merendahkan tubuhnya, akan tetapi bukan untuk berlutut, melainkan untuk menyambar golok kirinya yang tadi terlepas dan jatuh di lantai. Kini dengan kedua batang golok di kedua tangan, orang itu lalu menyerang Bi Lan kalang-kabut senerti seekor babi buta. Tentu saja dengan mudah Bi Lan mengelak ke kanan kiri karena baginya, gerakan orang itu masih terlalu lambat.

Bi Lan maklum bahwa kalau berhadapan dengan sucinya, tentu orang ini takkan selamat, tentu akan tewas atau setidaknya akan tersiksa dan terluka parah atau menderita cacad sdama hidup. Dia memang tidak suka kepada orang yang jahat, kejam dan bertindak sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya ini dan sudah selayaknya kalau orang ini dihajar. Akan tetapi, jangan sampai terjatuh ke tangan sucinya yang amat kejam. Dia merasa ngeri juga membayangkan apa yang akan terjadi dengan orang ini kalau terjatuh ke tangan sucinya. Oleh karena itu, ia mendahului sucinya menghajar orang ini agar cepat pergi dan terhindar dari kekejaman tangan sucinya.

Sepasang golok itu menyambar-nyambar dengan ganasnya. Akan tetapi, hanya dengan gerakan kedua kakinya. Bi Lan dapat menghindarkan semua sambaran golok dan tiba-tiba kedua kakinya bergerak bergantian dan terdengarlah seruan kaget si baju merah disusul suara sepasang golok berkerontangan terlempar ke atas lantai. Kemudian, sekali tangan Bi Lan meluncur ke depan, ke arah pundak orang itu, terdengat suara ”krekk” disusul jeritan orang itu yang kemudian terjengkang ke atas lantai dengan tulang pundak patah!

“Nah, manusia sombong, pergilah cepat dan jangan ulangi lagi kejahatanmu memeras orang yang sedang makan di restoran!” kata Bi Lan.

Orang itu memandang kepada Bi Lan dengan mata terbelalak. Baru sekarang agaknya dia sadar bahwa seperti juga pemuda itu, gadis ini lihai bukan main, sama sekali bukan tandingannya. Maka diapun merayap bangun, memegangi pundak kanan yang patah tulangnya dengan tangan kiri, sekali lagi memandang melotot kemudian membalikkan tubuh menuju ke pintu sambil berseru, ”Tunggu pembalasan Ang-i Mo-pang!”

“Heii, berhenti kamu!” Tiba-tiba terdengar suara Setan Cantik, suaranya melengking dan mengandung rasa dingin menyusup tulang sehingga kembali pemuda sederhana yang kini sudah menyelesaikan bakminya itu memutar bangku dan menghadapinya, melihat apa yang akan terjadi.

Si baju merah juga kaget dan menghentikan langkahnya di ambang pintu, lalu memutar tubuhnya menghadapi dua orang gadis itu. Dia sudah kalah, mau apa lagi dua orang gadis itu?

Setan Cantik masih duduk di atas bangkunya dan dua batang golok milik si baju merah yang tadi terlepas dari tangannya kini berada di depan kaki itu. Dengan kaki kirinya yang bersepatu merah, Bi kwi mencokel sebatang golok dan begitu wanita itu menggerakkan kakinya, golok itu terlempar dan jatuh berkerontangan ke depan kaki si tokoh Ang-i Mo-pang.

“Kamu sudah berdosa terhadapku, hayo cepat tinggalkan tangan kananmu!” bentak Setan Cantik dengan suara dingin.

Laki-laki baju merah itu memandang dengan mata terbelalak, belum mengerti apa maksud wanita cantik itu. ”Apa.... apa maksudmu....?” tanyanya, masih penasaran, marah akan tetapi juga jerih.

“Ambil golok itu dengan tangan kirimu dan buntungi tangan kananmu, baru kau boleh pergi membawa nyawa tikusmu dari sini,” kata pula Si Setan Cantik. Orang itu terbelalak dan mukanya menjadi pucat.

“Suci, kurasa tidak perlu begitu!” Bi Lan juga berkata dengan hati ngeri mendengar tuntutan sucinya.

“Diam! Kau anak kecil tahu apa!” bentak sucinya kepada Bi Lan yang tak dapat berkata apa-apa lagi karena tentu saja ia tidak mau ribut dengan sucinya hanya untuk membela orang yang jahat dan kurang ajar itu. Sementara itu, pemuda yang nonton tidak memperlihatkan apa-apa pada wajahnya yang tetap tenang itu.

Si baju merah itu memandang dengan muka berobah merah sekali, akan tetapi kemudian menjadi pucat lagi. Dia merasa terhina dan marah bukan main, akan tetapi juga maklum bahwa kalau dia menyerang lagi, sama saja dengan membunuh diri. Maka dia lalu mendengus tanpa menjawab, lalu membalikkan tubuhnya lagi. Akan tetapi dengan gerakan yang cepat bukan main, Ciong Siu Kwi atau Si Setan Cantik itu sudah menyambar golok ke dua dari atas lantai, kemudian sekali tangannya bergerak, golok itu meluncur ke depan, ke arah tokoh Ang-i Mo-pang yang hendak pergi itu.

“Crakkk.... cappp....!” Golok itu meluncur seperti kilat, menyambar dan mengenai lengan kiri si baju merah, dan setelah membabat putus lengan itu sebatas siku, golok masih meluncur terus dan menancap pada daun pintu!

“Aduhhhh....!” Si baju merah menjerit dan terhuyung-huyung, lalu membalik dan memandang ke arah buntungan lengannya di atas lantai, kemudian memandang kepada lengan kirinya yang tinggal sepotong dan sambil menjerit panjang dia lalu melarikan diri dari tempat itu, meninggalkan darah yang berceceran di sepanjang jalan.

Tentu saja peristiwa ini mengejutkan pengurus restoran dan para pelayan, juga nampak banyak orang nonton di luar restoran itu walaupun mereka hanya berani nonton dari jauh ketika tadi mendengar ada orang berpakaian merah memeras para pengunjung restoran. Akan tetapi Setan Cantik tidak memperdulikan semua itu, malah meneriaki pelayan untuk menambah arak dan menambah satu kilo daging bebek panggang! Wanita ini nampak tenang saja hanya satu kali melempar pandang ke arah pemuda yang juga masih duduk di tempatnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun atau sikap yang merasaheran . Diam-diam Bi-kwi mendongkol melihat pemuda itu yang bersikap tak acuh, seolah-olah perbuatannya tadi tidak hebat dan tidak ada apa-apanya untuk dikagumi.

Melihat para pelayan sibuk dan kelihatan bingung ketakutan memandang ke arah potongan lengan di dekat ambang pintu, Bi Lan lalu berkata kepada mereka, ”Harap kaiian tidak menjadi bingung. Kami sedang menanti kembalinya orang tadi bersama kawan-kawannya!”

Akan tetapi, pengurus restoran itu lalu menghampiri mereka dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bi-kwi dengan tubuh gemetar dan muka pucat. ”Harap ji-wi lihiap suka mengampuni kami....“

Bi-kwi mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyambar ke arah muka pengurus restoran itu. ”Sekali lagi kau menyebut lihiap, kau akan kubunuh!"

Tentu saja pemilik restoran itu terkejut bukan main dan menjadi semakin ketakutan.

“Sebut nona kepada suciku,” kata Bi Lan yang maklum bahwa ancaman sucinya tadi bukan ancaman kosong belaka. Sucinya menganggap semua pendekar di dunia persilatan sebagai manusia-manusia sombong dan sebagai musuh-musuhnya, maka sebutan lihiap (pendekar wanita) yang selalu dimusuhinya merupakan penghinaan bagi dirinya.

“Siocia.... harap sudi memaafkan saya.... kami.... kami tidak berani tinggal di sini lebih lama lagi.... ijinkanlah kami pergi dari, tempat ini....“

Kembali Bi-kwi yang menjawab dengan suara kaku, ”Siapa yang berani meninggalkan tempat ini akan kubuntungi lengannya juga seperti orang tadi!”

Bi Lan cepat mendekati pengurus restoran itu, seorang laki-laki berusia hampir limapuluh tahun. ”Lopek (paman tua), dengarlah baik-baik. Suci hendak tinggal di sini sebentar untuk menunggu kembalinya orang tadi yang tentu akan membawa teman-temannya. Kalian semua tenang-tenang sajalah dan layani permintaan suci. Jangan ada yang keluar dari sini kalau tidak mau celaka.”

“Tapi.... tapi.... dia tadi adalah orang dari perkumpulan Ang-i Mo-pang, aduh akan celaka kita semua....“

“Diam dan kembali ke tempatmu!” Bi Lan kini menghardiknya karena gadis inipun merasa jengkel melihat kecengengan orang itu. Dihardik demikian, kuncup rasa hati si pengurus restoran dan diapun bangkit, lalu melangkah kembali ke tempat duduknya dengan muka tunduk, sedangkan para pelayan berkumpul di belakangnya dengan muka pucat. Akan tetapi, mereka melayani pesanan Bi-kwi dengan cepat.

“Aku minta bebek panggang seperti itu!” tiba tiba terdengar pemuda tadi berseru, suaranya lembut akan tetapi nadanya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia gentar atau heran.

Pengurus restoran dan para pelayan tentu saja khawatir sekali dan diam-diam memaki pemuda yang tidak tahu diri itu. Bagaimana kalau nona-nona galak itu marah dan membuntungi lengannya atau membunuhnya? Akan tetapi anehnya, dua orang gadis itu sama sekali tidak memperdulikan sikap pemuda itu. Hanya Bi Lan yang mengerling dan melihat betapa pemuda itu juga mengerling kepadanya, iapun cepat-cepat mengalihkan pandang matanya. Diam-diam Bi Lan juga menduga-duga siapa adanya pemuda yang lihai itu, dan mengapa pemuda itu agaknya memang sengaja hendak menunggu kelanjutan dari peristiwa ini. Akan tetapi, Bi Lan juga tidak ambil perduli dan iapun makan bebek panggang bersama sucinya.

Mereka bertiga masih makan dengan santai ketika terdengar suara ribut-ribut di luar pintu restoran.

“Inilah restorannya.”

“Dan itu potongan lengan A Pai!”

Muncullah tiga orang laki-laki berpakaian serba merah. Yang paling depan adalah seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun, bertubuh tinggi kurus bermuka pucat dan di punggungnya tergantung sepasang golok melintang. Dua orang lain bertubun tinggi besar dan mereka memegang sebatang pedang terhunus dengan sikap galak. Akan tetapi, begitu mereka memasuki restoran, melangkahi lengan buntung yang menggeletak di atas lantai lalu memandang ke arah Bi-kwi, tiga orang itu terbelalak.

“Ciong-siocia....!” Kakek tinggi kurus muka pucat itu berseru.

Bi-kwi masih duduk saja dan kini ia memandang kepada tiga orang itu dengan sinar mata penuh selidik lalu terdengarlah suaranya yang dingin menyeramkan, ”Hemmm, kalian datang untuk membela lengan buntung itu dan menebusnya dengan kepala kalian?”

Mendengar suara ini, tiba-tiba kakek itu bersama dua orang temannya menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bi-kwi. ”Siocia.... ampunkan kami.... ah, siapa tahu bahwa Siocia malah yang berada di sini? Sungguh pertemuan ini merupakan berkah dari langit, karena siapa lagi yang akan menolong kami selain Siocia?”

Si Setan Cantik memandang dengan alis berkerut. ”Tee Kok! Seorang anak buahmu berani kurang ajar kepadaku dan kini kau datang malah hendak minta tolong? Omongan apa ini? Hayo katakan dulu siapa pemilik lengan itu dan bagaimana anak buahmu sampai tidak mengenal aku?”

“Itulah, Siocia. Dia bukan anak buah kami, dia anak buah orang yang baru datang sebulan yang lalu. Dia datang dan menalukkan saya, kemudian memaksa untuk mengambil alih kedudukan ketua Ang-i Mo-pang, dia bersama belasan orang anak buahnya yang menguasai keadaan. Orang tadi adalah seorang di antara mereka.”

Bi-kwi mengangguk-angguk. ”Hemmm.... begitukah? Siapa dia?”

“Dia tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan teman-temannya juga tidak tahu siapa namanya, akan tetapi memakai julukan Thian-te Siauw-ong dan minta disebut Siauw-ong! Akan tetapi ilmu kepandaiannya amat hebat, Siocia.”

“Apakah dia masih muda?” tanya Bi-kwi sambil menengok ke arah pemuda yang masih duduk di tempatnya semula. ”Semuda dia itu?” Ia menuding ke arah pemuda itu.

Kakek tinggi kurus muka pucat itu adalah Tee Kok, ketua Ang-i Mo-pang yang lihai! Seperti kita ketahui, kakek ini telah menjadi pembantu Bi-kwi dan dia bersama seluruh anggauta Ang-i Mo-pang telah menjadi pembantu Bi-kwi, maka tadi Bi Lan merasa heran melihat ada orang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang berani kurang ajar terhadap sucinya. Setelah mendengar penuturan kakek itu, barulah Bi Lan tahu mengapa terjadi hal yang aneh itu. Kiranya orang yang lengannya dibuntungi sucinya tadi bukan anggauta aseli dari Ang-i Mo-pang, melainkan pendatang-pendatang baru yang mengambil alih kedudukan pimpinan di perkumpulan iblis itu.

Tee Kok mengangkat muka memandang pemuda itu.”Masih muda, akan tetapi tidak semuda itu. Usianya kurang lebih tigapuluh tahun.”

“Hemm, pria-pria muda sekarang ini memang besar kepala, sombong dan berlagak. Pangcu, aku akan segera menemui laki-laki sombong Thian-te Siauw-ong itu, akan tetapi lebih dulu, aku minta engkau suka memberi hajaran kepada laki-laki muda yang jumawa ini!” Kembali ia menuding ke arah pemuda itu.

“Suci, perlu apa mencari perkara? Dia tidak bersalah apa-apa.” Bi Lan menegur sucinya karena ia khawatir kalau pemuda yang sama sekali tidak berdosa itu celaka di tangan sucinya.

“Siauw-kwi, diamlah kau! Orang ini telah kurang ajar sekali, sombong memamerkan sedikit kepandaiannya kepada kita, perlu dihajar. Hendak kulihat apakah kepandaiannya juga sebesar kesombongannya! Kalau dia mampu mengalahkan Ang-i Mo-pangcu, biarlah kuampuni karena kesombongannys itu beralasan. Akan tetapi kalau dia kalah, biarlah dia membawa mati kesombongannya itu. Pangcu hajar dia sampai mati!”

Tee Kok adalah ketua Ang-i Mo-pang, perkumpulan yang tentu saja termasuk golongan sesat. Nama perkumpulannya saja Perkumpulan Iblis Baju Merah! Dan Tee Kok sendiri adalah bekas anggauta perkumpulan Hek-i Mo-pang yang terkenal ganas dan jahat. Maka, kini mendengar perintah Bi-kwi yang ditakutinya itu, dia tersenyum menyeringai, bangkit berdiri dan dengan pandang mata memandang rendah dia menghampiri pemuda yang masih duduk dengan tenang itu. Bagi orang yang sudah biasa melakukan kejahatan seperti Tee Kok, perintah untuk menghajar orang tentu saja dianggap amat menyenangkan. Pertama, dia sendiri memang berwatak sadis dan memperoleh nikmat dari menyiksa orang lain. Ke dua, dia memperoleh kesempatan untuk memenuhi perintah orang yang ditakutinya dan menyenangkan orang itu. Ke tiga, dia mengharapkan bantuan Bi-kwi untuk menentang musuh yang merampas kedudukannya, maka kini dia harus lebih duhulu membuat jasa.

“Orang muda, bangkit dan majulah untuk menerima hajaran dariku, heh-heh!” Tee Kok berkata sambil terkekeh dan diapun sudah melolos sepasang goloknya. Dia bermaksud untuk menyiksa orang ini, tidak segera membunuhnya karena hal ini tentu akan makin menyenangkan hati Si Setan Cantik.

Bi-kwi memang memandang dengan wajah berseri. Sama sekali bukan karena kegirangan hatinya akan melihat betapa pembantunya itu menyiksa dan membantai pemuda itu. Tidak, ia bukan orang yang demikian tolol. Dari gerakan pemuda tadi, ia cukup dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang yang begitu mudah untuk dikalahkan. Dan inilah yang menggembirakan hatinya. Ia akan melihat tontonan yang amat menarik, perkelahian yang seru dan mati-matian.

Sebaliknya, Bi Lan nonton dengan hati gelisah dan alis berkerut. Gadis ini sama sekali tidak menyetujui akan sikap dan tindakan sucinya. Pemuda itu sama sekali tidak berdosa, bahkan kalau tadi pemuda itu maju menentang si baju merah, bukankah hal itu menunjukkan bahwa pemuda itu membela ia dan sucinya? Kenapa hal itu dianggap suatu kesombongan dan kekurangajaran oleh sucinya yang kini demikian kejam untuk menyuruh orangnya membunuh pemuda itu? Tidak, ia tidak setuju dan diam-diam gadis inipun sudah siap untuk mencegah dan melindungi pemuda itu apa bila perlu. Ia kini, tidak perlu berpura-pura takut kepada sucinya lagi. Memang, ia sudah berjanji untuk membantu sucinya, akan tetapi bantuan yang terbatas pada perampasan pusaka Liong-siauw-kiam dan usaha sucinya untuk menjadi beng-cu. Itu saja. Ia tidak akan membantu sucinya dalam hal lain, dan jelas tidak akan membantu sucinya melakukan kejahatan-kejahatan seperti apa yang akan dilakukannya terhadap pemuda ini.

Pemuda itu bangkit berdiri, tangan kanannya masih memegang sepasang sumpit. Melihat Tee Kok dan dua orang temannya yang berpakaian merah-merah, diapun melirik ke arah Bi Lan dan berkata, ”Eh, seekor lalat merah diusir pergi, malah datang tiga ekor!”

Karena merasa bahwa pemuda itu bicara dengan menyangkut dirinya yang menjadi orang pertama yang menggunakan istilah lalat merah, Bi Lan menahan senyumnya, akan tetapi ia segera berkata kepada sucinya, ”Suci pernah bilang bahwa ketua Ang-i Mo-pang yang menjadi pembantunya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau kini mampu mengalahkan pemuda yang tak terkenal ini dengan sepasang goloknya, sungguh itu namanya nama besar yang tidak sesuai dengan kenyataannya.”

Bi-kwi mengerutkan alisnya dan menoleh kepada sumoinya dengan sikapmarah. Ia merasa tidak pernah memuji-muji kepandaian Tee Kok di depan sumoinya dan tahulah ia bahwa sumoinya itu sengaja menggunakan taktik mengangkat lalu membanting, yaitu pura-pura memuji Tee Kok untuk menjatuhkannya. Dan memang taktiknya itu berhasil. Ketika melihat Bi Lan, Tee Kok tidak mengenal siapa wanita muda cantik yang duduk dengan Bi-kwi yang ditakutinya itu. Akan tetapi kini gadis itu menyebut suci kepada Bi-kwi. Maka, kini mendengar pujian tentang kelihaiannya, dia tertawa bergelak dan cepat menyimpan kembali dua buah goloknya dan menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong saja sambil tersenyum lebar kepada Bi Lan! Melihat ini, Bi kwi mengerutkan alis makin dalam dan sama sekali tidak setuju, akan tetapi iapun diam saja.

Bagaimanapun juga, Tee Kok marah kepada pemuda itu yang jelas memakinya sebagai lalat merah, Baiknya, kemarahannya itu disiram oleh kesenangan hati dipuji oleh seorang gadis cantik yang menjadi sumoi Bi-kwi, maka kini dia dapat menghadapi pemuda itu dengan senyum lebar.

“Orang muda, majulah dan mari kau berkenalan dengan kaki tanganku yang sudah gatal-gatal karena beberapa hari lamanya tidak pernah menghajar orang, heh-heh!” katanya dengan sikap jumawa sekali.

Pemuda itu tersenyum. ”Seekor lalat merah sudah kehilangan sengatnya, tinggal suaranya saja mengiang membisingkan.”

Tentu saja Tee Kok menjadi semakin marah. ”Bocah keparat! Kalau begitu aku tidak hanya akan menghajarmu, akan tetapi juga akan membunuhmu!”

Baru saja dia berhenti bicara, tubuhnya sudah menubruk ke depan dengan gerakan cepat dan kuat. Kedua lengannya dikembangkan dan menyerang dari kanan kiri, seperti seekor harimau yang menubruk domba. Tee Kok memang ingin menerkam dan menangkap pemuda itu pada kedua pundaknya, karena dia yakin bahwa begitu dia berhasil mencengkeram pundak dan mencengkeram jalan darah di kedua pundak, pemuda itu tentu takkan mampu berkutik lagi.

Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak tergesagesa menghadapi serangannya. Pertama-tama, sepasang sumpit yang tadi dipegang di tangan kanan, kini dia selipkan dulu di ikat pinggang. Setelah itu, barulah dia menghadapi serangan lawan sementara kedua lengan lawan sudah dekat sekali dan kedua tangan Tee Kok dengan jari-jari tangan terbuka sudah hampir menyentuh kedua pundaknya. Tiba-tiba kedua tangan pemuda itu dari bawah bergerak naik dan kedua lengannya sudah menangkis dua lengan lawan dari bawah, dan begitu menangkis keluar, kedua tangan itu dilanjutkan ke depan menghantam dada.

“Dukk....!” Dada kanan kiri ketua Ang-i Mo-pang terdorong oleh kedua tangan pemuda itu sehingga tubuhnya terjengkang ke belakang. Dia terbanting roboh dan terbatuk-batuk keras karena isi dadanya seperti rontok terkena dorongan kedua tangan tadi. Dia merasa marah dan malu bukan main.

Pemuda itu hanya mempergunakan gerakan yang biasa saja, menangkis dari dalam kemudian mendorong dari dalam seperti itu hanya merupakan gerakan-gerakan dasar yang dipelajari oleh semua orang yang berlatih silat. Akan tetapi hebatnya, justeru gerakan sederhana ini telah berhasil merobohkannya dan dia terbatuk-batuk seperti orang terserang penyakit mengguk, sampai terpingkal-pingkal.

Bi Lan yang masih duduk di atas kursinya mengejek. ”Eh, pangcu. Engkau ini datang mau menghajar orang ataukah mau demonstrasi caranya orang batuk-batuk?”

Pengurus restoran dan para pelayan yang menonton sejak tadi dengan hati penuh rasa takut, hampir tak dapat menahan ketawa mereka. Akan tetapi dengan sekuat tenaga mereka menahan ketawa dan bersembunyi di balik meja dan kursi.

Tee Kok bangkit dengan muka merah dan mata melotot. Dalam segebrakan saja dia telah dirobohkan dan dibikin malu. Akan tetapi, orang yang berwatak sombong selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain. Dia menganggap bahwa kekalahannya tadi hanya terjadi karena dia memandang rendah saja. Pemuda itu tadi merobohkannya bukan dengan ilmu silat yang hebat, hanya dengan gerakan sederhana dan andaikata dia tidak memandang rendah dan tidak bertindak sembrono dalam penyerangannya, tak mungkin pemuda itu akan mampu merobohkannya. Demikianlah pendapat orang yang selalu mengagulkan diri sendiri dan sikap ini jelas merugikan diri sendiri, membuat dia bertindak ceroboh.

“Bocah keparat, bersiaplah untuk mampus!” teriaknya dan dia sudah mencabut lagi sepasang goloknya. Dia tidak dapat tersenyum-senyum lagi sambil melirik ke arah Bi Lan seperti tadi. Sepasang matanya ditujukan kepada pemuda itu dan di dalam pandang matanya memancar nafsu membunuh. Akan tetapi pemuda baju biru itu hanya memandangnya dengan sikap tenang dan tahu-tahu sepasang sumpit tadi sudah berada di tangannya, kini di kedua tangan, masing-masing sebatang sumpit bambu kecil itu.

Golok kanan menyambar disusul golok kiri, yang kanan menabas ke arah leher sedangkan yang kiri menusuk perut. Semua orang yang menonton perkelahian itu, kecuali Bi-kwi, dan juga Bi Lan yang masih terus siap melindungi pemuda itu kalau perlu, merasa ngeri dan membayangkan bahwa tak lama lagi pemuda itu tentu akan roboh menjadi mayat dengan tubuh tidak utuh lagi.

Akan tetapi, terjadilah keanehan. Sepasang golok di tangan Tee Kok itu, sekian kali menyambar ke arah tubuh pemuda itu, selalu terhenti di tengah jalan dan ditarik kembali seolah-olah ketua Ang-i Mo-pang itu tidak tega melukai tubuh si pemuda baju biru! Dan sebagai lanjutan dari sikap tidak tega ini, kakek kurus pucat itu menyerang semakin hebat saja dan semakin marah walaupun semua serangannya itu kemudian terhenti pula.

Hanya Bi-kwi dan Bi Lan yang tahu apa yang telah terjadi dan mereka berdua terkejut, juga Bi-kwi merasa terheran-heran dan Bi Lan merasa kagum sekali. Sama sekali bukan karena Tee Kok merasa tidak tega melukai pemuda itu, melainkan dia terpaksa menahan serangannya karena kalau dilanjutkan, bukan lawannya yang terbacok atau tertusuk golok, melainkan dia sendirilah yang akan celaka. Kiranya, setiap kali dia menyerang, baik dengan golok kanan maupun kiri, sebelum senjatanya itu mengenai tubuh lawannya, tiba-tiba saja sebatang sumpit telah menghadang dan mengancam dekat sekali dengan jalan darah di pergelangan tangan, siku maupun bawah pangkal lengan sehingga kalau dia meneruskan serangannya itu, sebelum senjata menyentuh tubuh lawan yang menjadi sasaran, terlebih dulu ujung sumpit itu akan menotok jalan darahnya! Ke manapun juga dia menyerang, selalu saja sumpit-sumpit itu membayanginya dan mendahului setiap serangannya. Tentu saja hal ini membuat Tee Kok terkejut, keheranan dan juga penasaran lalu menjadi marah bukan main sehingga setiap kali dia terpaksa menarik goloknya lalu dia menyerang lagi dengan lebih ganas! Namun sama saja, agaknya pemuda itu memiliki gerakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga sumpit-sumpitnya selalu menodong ke arah jalan darah yang akan melumpuhkan lengan Tee Kok kalau serangannya dilanjutkan.

Bi-kwi sejak tadi juga nonton perkelahian itu dan diam-diam wanita inipun merasa heran dan penasaran sekali. Ia mengenal tingkat kepandaian Tee Kok. Biarpun tidak terlalu tinggi dan ia sendiri dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja akan mampu merobohkannya, akan tetapi melihat perkelahian itu, ia tahu bahwa kalau pemuda baju biru itu mau, dalam segebrakan saja sumpitnya tentu akan mampu melakukan totokan dan merobohkan Tee Kok. Ia memperhatikan dan ingin mengenal ilmu silat yang dimainkan pemuda itu agar ia akan mengetahui dari perguruan mana pemuda itu. Namun, pemuda itu bergerak sembarangan saja dan agaknya malah tidak bersilat, hanya kedua lengannya yang selalu bergerak cepat melakukan penodongan dengan sumpit-sumpitnya itu melenggak-lenggok macam dua ekor ular saja. Tentu semacam Ilmu Silat Ular, pikirnya, akan tetapi dari cabang manakah? Sebagai seorang tokoh sesat yang berpengalaman, dan sudah banyak bertanding, melawan orang-orang dari berbagai partai persilatan, Bi-kwi banyak mengenal ilmu-ilmu silat dari dunia persilatan. Akan tetapi kini ia mendongkol sekali karena ia sungguh harus mengaku bahwa ilmu silat yang dimainkan pemuda baju biru itu sama sekali tidak dikenalnya.

Sebetulnya, hal itu tidak mengherankan karena ilmu silat yang dimainkan pemuda itu bukanlah ilmu silat biasa, melainkan ilmu silat yang sumber atau asalnya dari keluarga para pendekar Pulau Es! Pemuda itu bukan lain adalah Gu Hong Beng, putera tunggal mendiang Gu Hok, tukang kayu di Siang-nam yang tewas oleh Bong-ciangkun komandan Siang-nam itu. Seperti telah kita ketahui, Gu Hok dan isterinya tewas, akan tetapi putera tunggal mereka yang bernama Gu Hong Beng dan pada waktu itu baru berusia sebelas tahun, diselamatkan oleh pendekar Suma Ciang Bun, seorang pendekar dari keluarga Pulau Es. Anak itu kemudian menjadi murid Suma Ciang Bun. Selama hampir delapan tahun lamanya Hong Beng digembleng dengan keras dan tekun oleh Suma Ciang Bun. Karena dia memang berbakat baik sekali, maka kini dia telah menjadi seorang murid yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es dengan baiknya. Menghadapi Tee Kok yang menyerangnya dengan sepasang golok, Hong Beng mainkan ilmu yang sebenarnya bersumber pada Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang menjadi satu di antara ilmu-ilmu keluarga para pendekar Pulau Es, akan tetapi dimainkan dengan sepasang sumpit. Tentu saja Bi-kwi tidak mengenal ilmu itu!

Kini, setelah lewat belasan jurus dan semua serangan Tee Kok dapat dihentikannya dengan todongan sumpit yang siap menotok jalan darah, mendahului kalau serangan golok dilanjutkan, tiba-tiba Hong Beng menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali dan mereka yang nonton perkelahian itu melihat betapa permainan sepasang golok itu menjadi kacau balau, tidak sempat menyerang lagi melainkan diputar-putar untuk melindungi tubuhnya. Hal ini adalah karena tiba-tiba sepasang mata Tee Kok seperti berkunang-kunang rasanya, melihat betapa sepasang sumpit bambu itu berobah menjadi ratusan batang banyaknya. Tiba-tiba saja ada sebatang sumpit berada di depan matanya, siap menusuk matanya, lalu tiba-tiba saja menempel pada telinga, hidung, leher, dada dan bagian-bagian anggauta tubuh lain yang amat berbahaya. Sekali saja sumpit itu ditusukkan, biarpun hanya terbuat dari pada bambu kecil, tentu dapat menewaskannya.

Tiba-tiba terdengar Hong Beng mengeluarkan suara ketawa tertahan dan tahu-tahu tubuh Tee Kok tak bergerak lagi, berdiri dalam sikap hendak menyerang. Tubuh itu kaku, matanya melotot, golok kanan diangkat tinggi-tinggi dan golok kiri siap menyapu kaki lawan. Kiranya tubuhnya telah tertotok dua kali berturut-turut dan akibatnya, tubuh itu menjadi kaku seperti sebuah arca yang lucu.

Hong Beng tidak berkata apa-apa lagi, lalu berjalan kembali ke kursinya dan duduk sambil minum araknya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Melihat ini, wajah Bi-kwi berobah merah sekali. Pemuda itu memang terlalu besar kepala, pikirnya. Memang lihai, dan berhasil mengalahkan Tee Kok secara mutlak, akan tetapi di depannya bersikap begitu acuh, sungguh menggemaskan. Bi-kwi menggerakkan tangannya, dua kali menepuk pundak dan punggung Tee Kok. Tubuh yang tadinya kaku itu roboh terpelanting, akan tetapi dapat bergerak lagi dan kini Tee Kok yang sudah yakin akan kehebatan pemuda itu, tak berani banyak lagak lagi hanya mengharapkan agar Bi-kwi dapat membalaskan kekalahannya.

Setelah membebaskan totokan tubuh Tee hok, Bi-kwi lalu menoleh kepada Hong Beng, sejenak memandang pemuda yang sedang minum itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sinar putih halus menyambar ke arah telinga kiri pemuda itu.

Tentu saja sebagai murid searang pendekar Pulau Es, Hong Beng tahu akan serangan gelap ini, serangan benda kecil yang agaknva ditujukan untuk melukai daun telinganya. Diapun tahu bahwa penyerangnya adalah wanita cantik yang suaranya kadang-kadang dapat dingin seperti es itu, sinar matanya kadang-kadang tajam menusuk dan panas membara, kadang-kadang lembut dan dingin sejuk, yang oleh ketua Ang-i Mo-pang disebut Ciong Siocia. Hong Beng tidak mengelak, melainkan menggerakkan sebelah tangannya seperti orang hendak menggaruk-garuk kepala dan pada saat tangannya menuju ke kepala itulah dia menangkap benda kecil itu dengan ibu jari dan telunjuknya. Dan betapa kagumnya melihat bahwa benda yang dijadikan senjata rahasia itu hanyalah sebatang biting pencokel gigi! Kalau tidak memiliki tenaga sin-kang yang kuat dan juga kepandaian tinggi, tak mungkin mempergunakan benda sekecil dan seringan itu sebagai senjata rahasia yang ampuh !

“Terima kasih,” katanya seperti kepada diri sendiri. “Akan tetapi gigiku belum ada yang berlubang, tidak membutuhkan tusuk gigi!”

Yang dapat melihat semua ini hanyalah Bi-kwi dan Bi Lan dan kedua orang wanita ini tentu saja menjadi makin kagum. Akan tetapi Bi-kwi semakin marah dan ia sudah melangkah hendak menantang pemuda itu. Bi Lan agaknya maklum akan niat sucinya, maka lebih cepat lagi ia melangkah dan menghadang di depan sucinya, berkedip dan berkata, “Suci, janjimu tadi tidak boleh kaulanggar sendiri, hal itu akan mencemarkan nama besarmu. Selain itu, bukankah di sana menanti tugas yang lebih penting, untuk membantu Ang-i Mo-pang?”

Sejenak, dengan kemarahan meluap, Bi-kwi menentang pandang mata adiknya. Kemudian iapun teringat bahwa tadi ia berjanji bahwa kalau pemuda itu mampu mengalahkan Tee Kok ia akan mengampuni pemuda itu. Kini Tee Kok benar-benar telah dikalahkan, kalau kini ia turun tangan membunuh pemuda itu, berarti ia melanggar janjinva sendiri. Memang menurut wataknya, ia tidak perduli akan segala macam janji. Tidak dikenal kehormatan di dunia kaum sesat! Akan tetapi, melihat adiknya seperguruan menentang, dan mengingat bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan, sedangkan kini Ang-i Mo-pang menanti ia turun tangan terhadap orang yang mengambil alih kedudukan dengan kekerasan, maka sebaiknya memang kalau ia melepaskan pemuda ini. Ia menarik napas panjang dan mendengus.

“Biarlah kuampunkan dia untuk kali ini. Lain kali kalau dia berani kurang ajar lagi dan bersikap sombong di depanku, tentu kepalanya yang kini kutitipkan kepadanya akan kuambil!” Ia lalu mengibaskan lengan bajunya dan keluar dari rumah makan diikuti oleh Bi Lan. Pengurus restoran dan para pelayan tidak berani menghalangi biarpun dua orang wanita itu agaknya lupa untuk membayar harga makanan dan minuman. Bagaimanapun juga, dua orang wanita itulah yang telah mengusir orang berpakaian merah tadi, dan juga yang menaklukkan orang-orang Ang-i Mo-pang yang datang kemudian. Tee Kok yang sudah tidak berani berlagak lagi, cepat menjadi penunjuk jalan, mengajak Bi-kwi dan Bi Lan untuk menemui orang yang telah mengambil alih kedudukannya sebagai ketua Ang-i Mo-pang.

Hong Beng hanya tersenyum mendengar ucapan Bi-kwi tadi. Dia lalu bangkit, memanggil pengurus rumah makan itu. “Hitung sekalian dengan makanan dan minuman kedua orang nona tadi. Agaknya karena sibuk mereka lupa membayar, biarlah aku yang membayarnya sekalian.”

“Si-cu tidak usah membayar, kami bahkan merasa bersyukur bahwa si-cu kebetulan berada di sini tadi....“ kata pengurus rumah makan.

Akan tetapi Hong Beng berkeras membayar harga makanan dan minuman. “Kalian sudah menderita banyak kaget dan rugi, juga harus menyingkirkan benda itu, bagaimana aku tega untuk tidak membayar harga makanan?”

Setelah membayar harga makanan, Hong Beng, cepat meninggalkan restoran itu karena dia mengambil keputusan untuk membayangi dua orang gadis tadi yang agaknya hendak membantu Ang-i Mo-pang yang diambil alih oleh golongan lain. Tentu akan terjadi hal yang amat seru, pikirnya.

Hong Beng selama beberapa tahun terakhir ini bersama gurunya tinggal di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Koa-li-kung, di tepi Sungai Me-kong yang sunyi. Lembah Sungai Me-kong ini amat subur dan di tempat sunyi itu mereka berdua hidup dengan tenteram, mencurahkan perhatian pada latihan silat. Kadang-kadang Hong Beng ditinggal seorang diri oleh gurunya dan ketika untuk terakhir kalinya, beberapa bulan yang lalu gurunya pulang dari perantauan, Suma Ciang Bun menyatakan bahwa muridnya itu sudah belajar lebih dari cukup.

“Segala macam ilmu hanya dapat matang dan sempurna kalau dipergunakan dalam kehidupan,” demikian antara lain Suma Ciang Bun berkata kepada muridnya. “Selain mematangkan ilmu dengan praktek menempuh kehidupan yang keras ini, juga apa gunanya engkau bersusah payah mempelajari ilmu-ilmu silat dariku kalau tidak dipergunakan? Penggunaan ilmu inilah yang terpenting, dan baik buruknya penggunaannya tergantung sepenuhnya kepadamu. Aku memberi sebuah tugas kepadamu, Hong Beng. Sanggupkah engkau melaksanakan tugas yang berat ini?”

Hong Beng yang berlutut di depan suhunya itu menjawab dengan tegas. “Teecu sanggup melaksanakan segala perintah suhu yang bagaimana beratpun.”

“Baik, aku percaya padamu. Selama engkau ikut aku merantau, tentu engkau sudah mengenal keadaan dunia pada umumnya dan engkau tentu dapat berhati-hati dan menjaga diri. Ilmu baca tulis, sedikit banyak engkau telah menguasainya dan hampir semua ilmu silatku telah kuajarkan padamu. Ingat, engkau adalah murid keluarga para pendekar Pulau Es. Sebagai murid Pulau Es, engkau harus dapat menjaga keharuman nama keluarga Pulau Es dan di manapun engkau berada, engkau harus menjadi pendekar sejati. Tugas yang kuserahkan padamu ini berat sekali karena engkau harus pergi ke kota raja dan menyelidiki kehidupan seorang perdana menteri.”

Biarpun dia memiliki watak tenang dan pemberani, juga pendiam, mendengar ucapan suhunya itu, Hong Beng tertegun juga. Menyelidiki seorang perdana menteri di kota raja? Ini hebat! Melihat betapa muridnya terkejut akan tetapi tetap diam saja, Suma Ciang Bun merasa girang dan kagum.

“Hong Beng, selama bertahun-tahun ini pemberontakan terjadi di mana-mana. Memang, kami keluarga Pulau Es tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan. Akan tetapi bagaimanapun juga, pemberontakan-pemberontakan itu membuat kehidupan rakyat menjadi sengsara. Setiap kali terjadi pemberontakan dan perang saudara, yang mengalami pukulan paling hebat adalah rakyat jelata. Dan aku sendiri merasa heran. Dahulu, bahkan sebelum menjadi kaisar, Kian Liong merupakan seorang pemimpin yang amat bijaksana dan baik. Sekarangpun nampak betapa kaisar ini mendatangkan banyak kemajuan, Akan tetapi, menurut kabar yang kutangkap, akhir-akhir ini Kaisar Kian Liong dipermainkan oleh seorang yang kabarnya dapat mempengaruhi kaisar sehingga dari seorang kuli biasa, orang itu terus diberi kenaikan pangkat dan akhirnya dicalonkan menjadi seorang perdana menteri. Hal ini bagiku mencurigakan dan tidak wajar. Nah, inilah tugas yang hendak kuserahkan padamu. Pergilah ke kota raja, selidiki keadaan seorang pembesar yang dicalonkan sebagai perdana menteri. Dia bernama Hou Seng. Selidiki mengapa kaisar dapat jatuh ke dalam kekuasaan orang yang bernama Hou Seng ini dan kalau perlu bertindaklah untuk membasmi segala macam sebab yang menimbulkan adanya kelemahan dalam kendali pemerintahan Kaisar Kian Liong.”

Pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mengangguk dan menjawab, suaranya tenang dan tegas, “Teecu akan melakukan semua perintah dan petunjuk suhu.”

Kembali pendekar itu merasa kagum terhadap muridnya. Dia tahu bahwa tugas ini berat dan asing bagi muridnya yang pengalamannya hanya ketika diajaknya merantau itu saja. Bahkan bagaimana macamnya kota rajapun muridnya itu belum pernah melihatnya. Akan tetapi, sikap muridnya demikian tenang menghadapi tugas seberat itu. Diam-diam selain kagum, diapun merasa kasihan dan khawatir. Memang, tugas ini amat penting bagi kepentingan rakyat jelata dan perlu pula bagi muridnya sendiri untuk menggembleng diri dan memperdalam pengalaman hidup sebagai seorang pendekar. Akar tetapi, kota raja menjadi pusat di mana terdapat orang-orang pandai dari segala macam golongan.

“Hong Beng, untuk tugas ini, sebaiknya engkau mencari susiokmu (paman gurumu) yaitu adikku yang bernama Suma Ceng Liong yang kini bersama keluarganya tinggal di kota Thian-cin. Atau lebih baik lagi engkau mencari ci-huku (kakak ipar) bernama Kao Cin Liong yang bersama keluarganya tinggal di kota Pao-teng. Dari mereka itu engkau mungkin sekali akan memperoleh keterangan yang jelas tentang orang bernama Hou Seng itu. Apalagi ci-hu Kao Cin Liong adalah bekas seorang panglima kerajaan. Justeru setelah dia mengundurkan diri timbul kekacauan dan muncul seorang bernama Hou Seng itu.”

Setelah menerima hanyak nasihat dari suhunya, juga menerima bekal sekantong uang dengan pesan bahwa kalau dia kehabisan bekal dan tidak terpaksa sekali, jangan sampai merugikan orang lain dengan perbuatan yang jahat, melainkan terus terang saja minta bantuan kepada kuil-kuil atau kepada hartawan-hartawan yang dermawan, akhirnya pergilah pemuda itu meninggalkan puncak di Pegunungan Koa-li-kung di daerah selatan Hu-nan. Dalam perjalanan ini, ketika melewati daerah Siang-nam, tidak lupa dia singgah di kuburan ayah ibunya, yaitu di luar kota Siang-nam di mana dia dahulu dibantu oleh gurunya mengubur jenazah mereka.

Semalam suntuk dia duduk bersila di depan kuburan besar terisi jenazah ayah bundanya itu, tidak menangis atau berduka. Semenjak menjadi murid pendekar Suma Ciang Bun, pemuda ini sudah dijejali banyak pengertian tentang kehidupan dan sudah biasa membuka mata melihat kenyataan-kenyataan sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh bayangan-bayangan dan emosi-emosi yang membuat orang mudah berduka. Semua peristiwa yang lalu telah pula berlalu, demikian batinnya berbisik. Dia mengunjungi makam dan berdiam semalam suntuk di situ hanya untuk menghormati peninggalan ayah dan ibunya. Apa lagi, pembunuh-pembunuh ayah ibunya telah dibalas oleh gurunya, sehingga dia tidak mempunyai dendam atau sakit hati lagi.

Harus diakuinya bahwa perantauan seorang diri, terpisah dari gurunya, merupakan hal yang berat dan kadang-kadang menggelisahkan. Akan tetapi ada saat-saat di mana dia merasa bahagia dan gembira, merasa bebas tidak terikat oleh apapun juga, hidup sendirian seperti seekor burung yang terbang bebas lepas di udara!

Demikianlah sedikit tentang diri Hong Beng. Pada pagi hari itu, dia tiba di Kun-ming dan tanpa disengaja dia memasuki restoran dan melihat Bi-kwi dan Bi Lan kemudian terlibat dalam peristiwa dengan orang-orang Ang-i Mo-pang. Dia belum pernah mendengar tentang perkumpulan itu, akan tetapi dari nama perkumpulan itu dia dapat menduga bahwa Ang-i Mo-pang tentulah sebuah perkumpulan penjahat. Rasa heran dan ingin tahu apakah hubungan antara dua orang gadis cantik dan lihai seperti yang dijumpainya di restoran itu dengan perkumpulan sesat membuat dia ingin sekali membayangi mereka.

Dia bersikap hati-hati sekali karena dia maklum bahwa dua orang wanita itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Diapun tidak ingin mencampuri urusan mereka, hanya ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dengan dua orang gadis itu. Ada sesuatu pada diri dua orang gadis itu, terutama pada diri gadis yang disebut Ciong Siocia, amat menarik hati Hong Beng. Selama ini, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita. Sejak kecil dia hidup dengan gurunya dan belum pernah dia melihat gurunya berdekatan dengan wanita, bahkan sikap gurunya terhadap wanita amat dingin. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi dirinya dan diapun belum pernah merasa tertarik kepada wanita. Kalau sekali waktu, ketika dia menjelang dewasa, ada perasaan tertarik ini kalau dia bertemu dengan seorang gadis dalam perjalanannya bersama suhunya, maka perasaan ini segera ditekannya karena dia malu terhadap gurunya. Tentu saja andaikata gurunya itu memiliki sikap pria wajar terhadap wanita, agaknya diapun tidak akan menekan perasaan itu. Dan kini, begitu dia melakukan perjalanan seorang diri, dia bertemu dengan seorang wanita yang amat menarik hatinya, yaitu Bi-kwi! Dalam pandangannya Bi-kwi merupakan seorang wanita yang matang, yang amat menarik semua gerak-geriknya, berwibawa, dan ada sesuatu yang membuat dia merasa kasihan. Sesuatu itu mungkin garis-garis di antara kedua mata wanita itu, yang membayangkan suatu kepahitan hidup yang mengharukan hati Hong Beng. Gadis ke dua yang jauh lebih muda itupun manis sekali, akan tetapi dalam pandangan Hong Beng gadis itu masih kekanak-kanakan, masih mentah.

***

Sebetulnya apakah yang telah terjadi dengan perkumpulan Ang-i Mo-pang? Seperti kita ketahui, perkumpulan itu adalah sebuah perkumpulan penjahat yang dipimpin oleh Tee Kok sebagai ketuanya. Tee Kok adalah seorang bekas anggauta Hek-i Mo-pang yang dahulu terkenal sebagai perkumpulan sesat yang ditakuti orang. Tee Kok mengumpulkan beberapa orang kawan bekas anggauta Hek-i Mo-pang, kemudian ditambah lagi dengan anak buah baru yang terdiri dari orang-orang dari dunia hitam, dia mendirikan Ang-i Mo-pang. Tidak kurang dari limapuluh anak buahnya dan semua anak buah Ang-i Mo-pang memakai pakaian serba merah. Kemudian muncul Bi-kwi yang menaklukkan dan mengalahkan Tee Kok. Akan tetapi wanita ini tidak mau menjadi ketua perkumpulan itu, melainkan menarik perkumpulan itu sebagai pembantu-pembantunya. Semenjak ditalukkan Bi-kwi, perkumpulan itu malah menjadi semakin kuat, dan anak buahnya selalu bertambah. Dalam hal menerima anak buah baru, Tee Kok bersikap hati-hati sehingga dia dapat memilih anak buah yang benar-benar seorang yang selain memiliki kepandaian, juga memiliki setia kawan dalam dunia hitam.

Akan tetapi, sebulan yang lalu, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki muda, berusia tigapuluhan tahun, berpakaian seperti pemuda hartawan dan sasterawan, membawa pengikut sebanyak lima orang. Begitu muncul, pemuda yang mengaku bernama Bhok Gun ini segera menyatakan kehendaknya untuk menggantikan Tee Kok menjadi ketua Ang-i Mo-pang! Tentu saja mula-mula orang ini dianggap gila. Akan tetapi begitu pernyataan ini berakhir dengan perkelahian, Tee Kok dan semua pembantunya kalah dengan mudah oleh Bhok Gun!

“Kalau aku mau, apa sukarnya membasmi kalian semua? Akan tetapi aku tidak ingin membunuh kalian karena aku melihat bahwa Ang-i Mo-pang kelak akan menjadi perkumpulan besar, bahkan yang terbesar, di bawah pimpinanku. Mulai sekarang aku menjadi Pangcu, dan Tee Kok menjadi pembantuku. Siapa yang tidak setuju boleh maju melawan aku!”

Bersambung ke buku 4