Jodoh Rajawali -12 | Kho Ping Hoo



Buku 12

Lembah Huang-ho yang menjadi benteng pertahanan Kui-liong-pang itu benar-benar amat hebat! Jenderal Kao Liang benar-benar telah memenuhi janjinya terhadap Pangeran Liong. Sebagai seorang gagah perkasa, Jenderal Kao memenuhi janjinya, membuatkan sebuah benteng yang kokoh kuat dan yang tidak akan mudah diserbu oleh musuh. Benteng itu terletak di Lmbah sungai yang mengalir di belakang benteng dan amat sukarlah untuk menyerbu benteng melalui sungai karena sungai itu lebar sekali dan di bagian itu merupakan bagian yang mengandung banyak pusaran air. Selain berbahaya bagi perahu-perahu yang berani mendatangi benteng dari belakang, juga sebelum musuh dapat mendekati, tentu fihak penjaga benteng sudah dapat menghujankan anak panah ke perahu-perahu itu. Di kanan kiri benteng itu terlindung oleh tebing yang amat curam, juga dari kanan kiri ini sukar sekali musuh dapat menyerbu. Jalan satu-satunya adalah dari depan, akan tetapi tentu saja jalan ini diperketat penjagaannya sehingga dari jarak beberapa li sebelum tiba di benteng, musuh sudah akan nampak dan dapat dikepung karena jalan menuju ke benteng itu melalui jalan terusan yang di kanan kirinya terapit tebing curam. Pasukan musuh yang melalui terowongan atau jalan yang terapit tebing ini sama dengan membunuh diri, karena tentu saja penyerangan dari atas kedua tebing di kanan kiri itu akan sukar sekali mereka tangkis atau balas.

Akan tetapi, biarpun tidak dapat disangkal pula bahwa tempat itu merupakan tempat berbahaya dan sukar ditembus oleh pasukan, namun tidaklah merupakan tempat yang tak mungkin didatangi oleh seorang pendekar yang berkepandaian tinggi seperti Siluman Kecil, Suma Kian Bu yang datang sendirian saja! Menjaga penyelundupan pasukan besar tentu saja mudah, akan tetapi sama sekali tidak mudah bagi para penjaga untuk dapat melihat Kian Bu yang menyelinap masuk dengan pengerahan ilmunya meringankan tubuh. yang membuat dia dapat bergerak seperti burung terbang itu!

Kian Bu juga tidak kurang hati-hati. Dia maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, apalagi karena di situ terdapat orang-orang yang amat sakti seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Koksu Nepal itu. Maka dia tidak berani muncul di siang hari dan menyelundup ke lembah itu, melainkan menanti sampai malam tiba. Bagaikan seekor burung saja ringannya, tubuh Kian Bu berloncatan, mula-mula melalui pohon, sampai ke puncak pohon dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke atas, berjungkir-balik beberapa kali, makin lama makin tinggi sampai dia mencapai puncak tembok benteng! Sukar membayangkan ada seorang manusia dapat berloncatan sampai setinggi itu. Orang lain, betapapun lihainya, tentu akan menggunakan tali untuk memanjat naik. Memang tingkat ginkang yang dimiliki atau dikuasai oleh Kian Bu sudah amat tinggi sehingga untuk waktu itu, jarang ada yang dapat menandinginya.

Akan tetapi, begitu kakinya menyentuh dasar puncak tembok, tiba-tiba saja terdengar suara kelenengan di tempat penjaga yang berada di setiap sudut tembok benteng. Kian Bu terkejut bukan main dan cepat memeriksa bawah kakinya. Kiranya, di atas tembok itu terbentang tali yang amat halus dan karena malam hari itu gelap, maka dia tidak melihat kawat halus itu. Apalagi di waktu malam, bahkan andaikata dia meloncat ke tempat itu di siang hari, belum tentu dia dapat melihat kawat halus yang warnanya sama dengan kawat tembok itu. Dan kakinya hanya menyentuh kawat itu sedikit saja, namun ternyata sudah cukup bagi alat rahasia ini untuk membunyikan kelenengan di pondok penjaga. Memang hebat sekali perlengkapan yang dipasang sebagai penjagaan keselamatan yang diatur oleh Jenderal Kao Liang.

Begitu ada suara kelenengan, maka segera terdengar suara suitan-suitan bersambung-sambung, tidak terlalu keras sehingga tidak akan meributkan penduduk di sebelah dalam benteng atau di lembah itu, namun cukup untuk memberitahu kepada seluruh penjaga yang bertugas di sekeliling benteng! Kian Bu menjadi bingung. Dia masih berada di atas tembok, dan kini dia sudah ketahuan oleh penjaga. Cepat dia lalu meloncat ke sebelah dalam tembok, hinggap di atas atap rumah penjaga dan mendekam di balik wuwungan tinggi, mengintai ke depan. Nampak olehnya betapa para penjaga menjadi sibuk dan banyak sekali pasukan-pasukan kecil hilir-mudik dengan obor-obor di tangan. Celaka, pikirnya, benteng ini benar-benar amat rapi penjagaannya dan melihat pakaian seragam itu, agaknya benteng ini penuh dengan pasukan-pasukan terlatih! Padahal, tidak demikian sesungguhnya. Orang-orang yang membentuk pasukan-pasukan kecil dengan pakaian seragam itu hanyalah anak buah Kui-liong-pang yang mulai terdidik sebagai pasukan-pasukan penjaga. Belum ada rencana Gubernur Ho-nan untuk menempatkan barisan yang dikuasainya ke dalam benteng yang menjadi tempat tinggal Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu.

Dari tempat sembunyinya, Kian Bu melihat berkelebatnya bayangan orang orang. Dia makin terkejut. Ternyata banyak sekali orang pandai di dalam benteng ini. Ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo berlompatan dari genteng ke genteng bangunan lain untuk ikut mencari penyelundup, dia diam saja dan tetap bersembunyi di tempat gelap. Dari arah lain dia melihat pula bayangan yang juga amat ringan, dan ternyata bahwa orang itu adalah seorang kakek tua yang wajahnya amat menyeramkan tertimpa sinar lampu dan obor, muka tengkorak yang menakutkan sekali, pakaiannya serba hitam, dan muka tengkorak yang putih seperti kapur itu kelihatan jelas sekali di atas pakaiannya yang hitam. Itulah Hek-hwa Lo-kwi! Kemudian datang pula seorang laki-laki tinggi besar yang kepalanya tertutup sorban dan jenggotnya sampai ke perut, memegang sebatang tongkat panjang kayu cendana. Kakek bersorban ini gerakannya juga amat hebat sehingga Kian Bu menjadi makin kaget. Yang kelihatan saja sudah ada tiga orang sakti di situ! Ternyata cerita Giam Hok itu benar juga! Tiga orang kakek itu berhenti tak jauh dari tempat dia bersembunyi, dan mereka bercakap-cakap, maka dia lalu mengerahkan pendengarannya untuk menangkap percakapan mereka.

“Jangan membolehkan para perjaga memukul tanda bahaya lebih dulu!” terdengar kakek bersorban berkata dengan suaranya yang kaku. “Jangan sampai mengagetkan pangeran kalau belum jelas persoalannya.”

“Penjaga-penjaga tolol itu! Belum apa-apa sudah ribut sendiri. Hemmm, Lo-kwi, anak buahmu itu benar-benar tidak becus!” berkata Hek-tiauw Lo-mo.

Hek-hwa Lo-kwi memandang marah. “Yang tidak becus adalah Jenderal Kao itu! Alat rahasianya yang menimbulkan geger! Jangan-jangan hanya seekor kucing saja yang melanggarnya sehingga kelenengan berbunyi. Jangan lancang mengatakan anak buahku yang tidak becus, Lomo. Bahkan anak buahku memperlihatkan kesigapan sehingga ada tanda sedikit saja mereka sudah siap!”

“Ataukah panik karena ketakutan?” Hek-tiauw Lo-mo mengejek.

“Kau berani menghina anak buahku?” Hek-hwa Lo-kwi menghardik dengan alis berkerut.

Melihat dua orang kakek ini yang memang seringkali saling berbantahan dan saling tidak mau kalah, kakek Nepal bersorban itu cepat menengahi dan berkata, “Sudahlah, sesungguhnya tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Andaikata benar hanya kucing yang melanggar, maka hal itu membuktikan bahwa hasil pekerjaan Jenderal Kao memang hebat sehingga tempat ini tidak mungkin didatangi musuh tanpa ketahuan. Dan anak buah Kui-liong-pang juga sudah membuktikan kesigapan mereka sehingga membuktikan pula baiknya disiplin yang ditanamkan oleh Jenderal Kao. Hanya jangan sampai hal ini didengar oleh pangeran. Kalau hanya masuknya kucing yang melanggar alat rahasia itu sampai mengagetkan pangeran, kita semua tentu akan menerima teguran keras.”

“Kucing atau tikus yang melanggarnya, kita tidak boleh lengah. Andaikata ada orang pandai masuk, dia tentu hanya mempunyai tujuan untuk coba-coba melarikan tawanan.” kata Hek-hwa Lo-kwi.

“Ah, sekali ini kau benar, Setan Tua! Sebaiknya kita membagi tugas. Aku mengawasi anakku, engkau mengawasi puteri dan biar Gitananda ini yang memperkuat penjagaan keluar Kao di sana,” kata Hek-tiauw Lo-mo.

Kakek bersorban itu yang bukan lain adalah kakek Gitananda pembantu Koksu Nepal, mengangguk dan tiga orang itu lalu melayang, turun dalam tiga jurusan. Kian Bu termenung dan termangu-mangu. Kiranya di tempat ini terdapat tawanan-tawanan dan di antaranya adalah keluarga Jenderal Kao! Akan tetapi, menurut percakapan tadi, benteng ini adalah buatan Jenderal Kao, juga tali kawat halus berupa alat rahasia tanda bahaya yang terlanggar kakinya tadi. Apa artinya ini semua? Namun, dia segera melupakan semua itu karena perhatiannya sepenuhnya tertarik oleh ucapan Hek-tiauw Lo-mo yang menyebut-nyebut tentang “puteri” dan menyuruh Hek-hwa Lo-kwi untuk mengawasi sang puteri. Siapakah itu? Jantungnya berdebar tegang. Apakah yang dimaksudkan itu adalah Puteri Syanti Dewi?

“Besar kemungkinannya demikian,” pikirnya. Menurut Ceng Ceng, Syanti Dewi telah meninggalkan Bhutan dan kini diculik dan dilarikan orang. Bukan tidak aneh kalau Syanti Dewi berada di sini, menjadi tawanan orang-orang Nepal!” Setelah berpikir demikian, dia lalu dengan hati-hati berlari menuju ke arah larinya Hek-hwa Lo-kwi untuk menyelidiki dan kalau memang benar Syanti Dewi yang menjadi tawanan di tempat ini, dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menolong puteri itu keluar dari benteng ini!

Akan tetapi, Kian Bu menjadi bingung karena dia sudah kehilangan bayangan Hek-hwa Lo-kwi dan dia mendekam di atas wuwungan sebuah bangunan terbesar karena dia mengira bahwa agaknya kakek itu tadi lenyap di tempat ini dan agaknya sudah meloncat turun. Dia bersembunyi di balik wuwungan dan melihat bahwa kini para pasukan sudah mulai tenang, agaknya mereka itu pun menganggap bahwa yang melanggar tanda bahaya tadi hanyalah seekor kucing saja. Akan tetapi jauh di bawah, dia melihat bayangan seorang tinggi besar yang dengan suara lantang berkata kepada para pasukan, “Malam ini tidak ada istirahat! Semua harus berjaga secara bergiliran sampai pagi! Baik kucing maupun apa saja yang melanggar alat tanda bahaya, kita harus tetap berjaga!”

Kian Bu terkejut ketika dia mengenal suara itu. Jenderal Kao Liang! Hampir dia tidak dapat menahan suaranya untuk memanggilnya. Akan tetapi dia cepat sadar, sungguhpun dia hampir tidak percaya. Jenderal Kao kini memimpin pasukan menjaga benteng itu? Dan Jenderal Kao ini sekarang menjadi pembantu atau kaki tangan seorang pangeran asing yang agaknya bersekutu dengan Gubernur Ho-nan yang akan memberontak? Sungguh tak masuk di akal dan sukar sekali untuk dapat dipercaya. Padahal nama Jenderal Kao telah terkenal sebagai seorang pahlawan yang amat setia kepada kerajaan!

Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan Hek-tiauw Lo-mo tadi yang menyinggung adanya keluarga Kao yang harus dijaga. Jelas bahwa keluarga Kao Liang yang dikabarkan lenyap diculik orang itu ternyata diculik oleh kaki tangan Pangeran Nepal dan berada di sini menjadi tawanan! Mengertilah dia, sungguhpun pengertian itu juga menimbulkan keheranan di dalam hatinya. Tentu keluarga jenderal itu ditawan dan dijadikan sandera untuk memaksa sang jenderal menuruti permintaan musuh agar jenderal itu suka membangun benteng dan mengatur penjagaan benteng itu. Yang mengherankan hatinya adalah mengapa jenderal itu suka melakukan perbuatan yang sifatnya mengkhianati negara ini hanya demi menyelamatkan keluarganya.

Diam-diam Kian Bu merasa khawatir sekali, Kalau keluarga jenderal itu menjadi tawanan, dan juga Syanti Dewi seperti yang diduganya, maka tidak akan mudahlah untuk menyelamatkan mereka dan meloloskan mereka dari tempat ini. harus diakuinya bahwa benteng ini amat kuat. Dia yang sudah memiliki ginkang istimewa saja masih mengalami kesukaran dan dapat diketahui kehadirannya. Mereka yang biarpun berkepandaian tinggi, kalau tidak memiliki ginkang istimewa, kiranya akan sukar memasuki benteng ini. Dan di dalam benteng masih terdapat begitu banyak orang pandai. Sekarang pun dia tahu bahwa dia tidak bisa mempergunakan kekerasan, karena mana mungkin dia akan berhasil kalau harus menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang pandai yang masih dibantu oleh pasukan pula?

“Aku harus menolong Syanti Dewi,” pikirnya dengan hati bulat. “Apapun yang terjadi, aku harus menyelamatkan dia.” Jantungnya berdebar kalau dia teringat kepada puteri itu. Bayangan wajah yang cantik jelita dan lembut itu membangkitkan semangatnya dan Kian Bu lalu cepat bergerak menyelidiki bangunan besar di mana Hek-hwa Lo-kwi tadi menghilang. Dia memandang ke bawah. Sunyi di pekarangan belakang gedung itu, maka dia lalu melayang turun dengan maksud untuk menyelidiki tempat itu dari bawah. Dengan gerakan yang amat cepat dan ringan, kedua kakinya sudah hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan yang amat mengejutkan hatinya.

“Hei, berhenti! Siapa di situ?”

Bukan main kagetnya hati Kian Bu mendengar bentakan ini. Tadi tidak kelihatan ada seorang pun manusia di bawah ini, mengapa begitu kakinya menyentuh tanah lalu ada orang yang menegurnya? Bayangan orang itu muncul dari balik sebuah pintu maka dia menduga bahwa tentu tempat itu ada alat rahasianya lagi. Akan tetapi, dia cepat mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas dengan kecepatan kilat. Dia mendekam di atas genteng, mendengar langkah kaki beberapa orang di bawah dan terdengar suara orang mengomel, “A-ban, siapa yang kautegur tadi? Tidak ada bayangan seorang pun di sini!”

“Ah, jelas kulihat tadi bayangannya. Kenapa dia bisa lenyap lagi?”

Kian Bu cepat berloncatan di atas genteng menuju ke samping gedung itu untuk turun dari bagian lain. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Maling hina, menyerahlah!” Dan sebuah lengan yang panjang besar, dengan tangan berbentuk cakar, dan kuku-kukunya yang panjang keluar bau amis dan gerakan tangan itu mengandung sambaran angin besar, telah meluncur hendak mencengkeram pundaknya dari belakang.

Kian Bu maklum bahwa tangan itu adalah tangan orang yang memiliki ilmu tinggi, dan juga kuku-kuku tangan itu mengandung racun berbahaya, maka dia mempergunakan kelincahannya, melesat ke belakang dan menyerong ke kanan sehingga cengkeraman itu luput. Dia tidak mau melayani dan terus lari ke depan.

Raksasa yang menyerangnya itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi. Ketika tadi dia mendengar teguran penjaga di belakang gedung, dia tahu bahwa ada orang di sekitar tempat itu, maka diam-diam dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dia langsung saja menerkam. Akan tetapi, Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Terkamannya itu dapat dielakkan sedemikian mudahnya oleh maling itu! Dan kini maling itu dapat berlari sedemikian cepatnya.

“Hendak lari ke mana kau?” bentaknya dan dia pun mengejar dengan cepat.

Kian Bu cepat melarikan diri dan meloncat ke atas genteng rumah lain. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga sebentar saja Hek-hwa Lo-kwi telah kehilangan jejaknya. Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak wuwungan sebuah bangunan lain, tiba-tiba terdengar suara berkerining di dalam bangunan itu, disusul bentakan kasar yang parau dan keras, sekali, “Anjing dari mana berani mengantar nyawa? Ha-haha!” Dan dari sebuah jendela, melayang keluar sesosok bayangan orang tinggi besar yang langsung naik ke atas genteng. Begitu melihat bayangan ini, Kian Bu mengenalnya. Orang itu bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, musuh lamanya!

Kian Bu hendak lari lagi, akan tetapi tiba-tiba ada sinar meluncur ke arah lambungnya. Cepat dia mengelak dan melihat bahwa sinar itu adalah sebatang tombak tulang ikan, senjata ampuh dari kakek raksasa itu, dia mengelak sambil menendang dengan ujung kakinya yang mengenai batang tombak. Tombak itu terpental, akan tetapi tidak sampai terlepas dari tangan kakek raksasa itu. Namun, terpentalnya tombak itu cukup bagi Kian Bu untuk menjejaknya kakinya dan tubuhnya sudah melesat dengan cepat sekali dari situ.

“Ha-ha-ha, kau hendak lari? Tak mungkin! Hek-tiauw Lo-mo mengejar sambil tertawa suara ketawa untuk menutupi rasa penasaran dan kagetnya karena maling itu ternyata mampu mengelak dari senjatanya yang ampuh, bahkan tendangan kaki orang itu hampir saja membuat tombaknya terlepas dari pegangannya!

Tentu saja Kian Bu tidak merasa jerih menghadapi dua orang kakek sakti itu, akan tetapi kedatangannya bukan untuk bertanding dengan mereka, melainkan untuk membebaskan Syanti Dewi. Kalau dia melayani mereka, tentu akan muncul yang lain dan akan sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi yang belum diketahuinya berada di mana itu, bahkan belum diketahuinya dengan pasti apakah benar Puteri Bhutan itu berada di tempat itu sebagai tawanan. Maka dia cepat berlari dan ketika dia melihat bayangan Hek-hwa Lo-kwi mendatangi dari depan sedangkan Hek-tiauw Lo-mo mengejar dari belakang, dia lalu melarikan diri ke kanan. Akan tetapi baru saja dia melompat ke atas genteng bangunan di sebelah kanan, tiba-tiba muncul belasan orang pasukan yang melepaskan anak panah ke arahnya. Kiranya tempat itu telah dijaga dengan barisan panah dan terpaksa dia lalu mempergunakan ginkangnya untuk mengelak ke sana-sini sambil menggerakkan kedua tangan menyampok anak panah yang tak dapat dielakkannya. Melihat bahwa di depan telah dihadang, dia lalu membalikkan diri lagi dan berlari ke jurusan kiri, tempat yang agak terang karena di situ terdapat sebuah bangunan yang amat megah, agaknya merupakan bangunan induk dan tempat itu terang sekali, bahkan di atas genteng juga terang karena ada lampu-lampu besar digantung di tingkat atas.

Celaka, belum juga dia tahu di mana adanya Syanti Dewi, kalau benar dara itu ditawan di situ, dia telah ketahuan. Lebih baik aku menyelamatkan diri lebih dulu, baru kemudian mencari akal untuk menyerbu tempat ini, kalau perlu minta bantuan kakaknya atau teman-teman lain! Berpikir demikian, melihat jalan kanan kiri, dan belakang sudah dihadang musuh, Kian Bu meloncat ke atas bangunan yang megah dan terang itu. Dia mengerahkan ginkangnya dan mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng, kedua kakinya seolah-olah tidak menyentuh genteng dan tubuhnya melesat ke depan, kemudian jarak antara bangunan ini dan bangunan megah itu diloncatinya dengan gerakan yang membubung ke atas, tubuhnya berjungkir-balik beberapa kali dan akhirnya dengan ringan kedua kakinya hinggap di atas wuwungan gedung megah yang terang benderang itu.

“Kraaakkkkk....!”

Tiba-tiba genteng yang diinjaknya itu, yang diinjak dengan ringan sekali, mengeluarkan suara keras dan terbuka, disusul menyambarnya puluhan batang amgi (senjata gelap) berupa jarum, paku, piauw, pisau dan sebagainya lagi! Kian Bu sejak tadi tidak pernah kehilangan kewaspadaannya, maka begitu genteng-genteng itu terbuka dan dari dalam menyambar sinar-sinar senjata gelap itu, dia sudah mendahuluinya meloncat turun dari atas genteng dan karena tidak ada tempat lain yang dapat diloncatinya, terpaksa dia melayang turun ke bawah, sebuah ruangan terbuka yang amat terang dan sunyi, tidak nampak seorang pun manusia.

“Pyarrrrr....!” Sebelum tubuhnya turun ke atas lantai ruangan terbuka itu, lebih dulu Kian Bu melemparkan sebuah genteng yang tadi disambarnya ketika dia meloncat. Genteng itu menimpa lantai dan pecah berantakan, namun tidak ada akibat apa-apa, maka barulah Kian Bu berani turun dan hinggap di dekat pecahan genteng itu. Ternyata ruangan yang lantainya dari batu ini tidak dipasangi alat rahasia, akan tetapi kesunyian tempat itu amat menyeramkan karena begitu kosong, begitu terang dan begitu sunyi!

Sebelum Kian Bu bergerak, telinganya mendengar sesuatu, mendengar gerakan-gerakan di sekeliling tempat itu dan kini bermuncullanlah orang-orang di sekeliling ruangan terang itu, makin lama makin banyak dan ternyata bahwa tempat itu telah terkepung! Tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata lengkap mengepung tempat itu dan kini tempat itu telah tertutup oleh pagar manusia!

Kian Bu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, muka agak menunduk dan sebagian tertutup oleh rambutnya yang panjang riap-riapan dan berwarna putih. Dia kelihatan seperti sebuah arca saja karena tidak pernah bergerak, namun mendatangkan perasaan ngeri di dalam hati para pengepungnya. Hanya mata di balik tirai rambut putih itu saja yang bergerak memandang ke kanan kiri, sikapnya tenang namun jelas bahwa setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga. Melihat pemuda berambut putih ini, sekarang jelas sekali karena penerangan di situ menjadi makin terang dan semua mata ditujukan kepada Kian Bu.

“Siluman Kecil....!” Kian Bu mendengar bisikan-bisikan yang keluar di sana-sini di antara para pengepung itu. Tahulah dia bahwa para perajurit atau anak buah pasukan itu bukanlah orang-orang asing karena ternyata telah mengenalnya. Memang, para penjaga yang kini menjadi pasukan berseragam itu adalah anak buah Kui-liong-pang, maka tentu saja mereka mengenal Siluman Kecil karena biarpun jarang di antara mereka ada yang pernah melihatnya, setidaknya mereka telah mendengar nama pendekar itu dan keadaannya yang aneh menyeramkan.

“Aha, kiranya tempat kami mendapatkan kehormatan, dikunjungi oleh seorang tokoh besar yang namanya menggemparkan dunia persilatan. Sicu, benarkah engkau yang dijuluki orang Siluman Kecil?”

Kian Bu mengerling ke kiri dan melihat bahwa dari sebuah pintu muncul beberapa orang tinggi besar mengiringkan seorang pemuda tinggi tegap yang tampan. Pemuda itu memakai pakaian yang serba indah gemerlapan, kepalanya tertutup sorban yang dihiasi permata besar dan bulu burung dewata, tubuhnya tinggi tegap, kulitnya kecoklatan, matanya yang cekung itu mempunyai biji mata yang amat tajam seperti mata burung hantu, hidungnya panjang melengkung ke bawah seperti paruh betet, rambutnya hitam agak kemerahan, hampir menyamai kulitnya. Usia pemuda ini sekitar tiga puluh tahun dan pembawaannya ramah, namun juga penuh dengan wibawa. Agaknya inilah Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal itu, pikirnya.

Kian Bu memperhatikan orang-orang yang berjalan di belakang pangeran ini. Pertama-tama dia mengenal Hek-tiauw Lo-mo, kakek yang menjadi majikan Pulau Neraka itu. Semenjak dia berusia belasan tahun, dia sudah mengenal kakek ini, bahkan dia bersama kakaknya, Kian Lee, pernah menjadi tawanan kakek itu di Pulau Neraka (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan setelah dia dewasa, dalam peristiwa pemberontakan dua orang Pangeran Liong, dia pun pernah bertemu dengan lawan ini. Bukan itu saja, tadi pun dia telah bertanding segebrakan melawan kakek ini yang kini makin lihai saja. Namun, sebaliknya, kakek yang seperti raksasa itu agaknya tidak lagi mengenal Kian Bu, dan kini memandang dengan penuh perhatian karena hati kakek ini tertarik sekali ketika mendengar bahwa orang yang disangkanya maling dan yang tadi ternyata memiliki kepandaian amat tinggi itu ternyata adalah Siluman Kecil, nama tokoh yang dalam waktu beberapa tahun ini menggemparkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya yang hebat sehingga nama itu ditakuti oleh seluruh tokoh kaum sesat dan disegani oleh semua tokoh golongan putih pula.

Di samping Hek-tiauw Lo-mo berdiri Hek-hwa Lo-kwi, kakek bermuka tengkorak yang menjadi majikan lembah itu atau ketua dari Kui-liong-pang. Juga dia melihat kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut dan memegang tongkat kayu cendana. Selain tiga orang kakek ini, nampak pula banyak orang-orang yang kelihatannya berkepandaian dan yang tidak dikenalnya. Memang banyaklah yang datang mengepung “maling” itu, di antaranya terdapat Khiu Sek, atau yang oleh para anggauta Kui-liong-pang lebih dikenal dengan sebutan Khiu-pangcu, bekas ketua Huang-ho Kui-liong-pang sebelum Hek-hwa Lo-kwi muncul di situ. Juga hadir pula Hoa-gu-ji, yang memegang senjata dayung panjang. Seperti juga Khiu-pangcu, Hoa-gu-ji yang tinggi kurus ini pun merupakan tokoh Kui-liong-pang. Masih ada lagi tiga orang kakek yang bukan orang-orang biasa, karena mereka itu adalah para pembantu Hwa-i-kongcu, tokoh-tokoh Liong-sim-pang yang kini bergabung dan bersekutu dengan Pangeran Nepal. Mereka bertiga itu adalah Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-ong Ciok Gu To. Di samping tiga orang tokoh Liong-sim-pang ini, masih terdapat pula beberapa orang yang berpakaian sebagai orang-orang Bhutan, dan mereka ini adalah para pembantu Mohinta, panglima muda dari Bhutan itu.

Kian Bu maklum bahwa dia kini dikepung oieh orang-orang pandai. Hanya Koksu Nepal saja yang tidak dilihatnya berada di situ, namun orang-orang ini sudah cukup tangguh kalau mereka maju semua untuk mengeroyoknya.

Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh pangeran dari Nepal itu, yang bertanya dengan sikap ramah, Kian Bu yang cerdik maklum bahwa pangeran ini agaknya sedang mencari dan mengumpulkan tenaga yang kuat untuk membantunya! Dia teringat akan sikap dua orang Pangeran Liong yang dulu memberontak. Dua orang pangeran tua itu pun selalu berusaha mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu mereka dalam usaha pemberontakan mereka. Kini, Pangeran Nepal ini agaknya juga bersikap ramah untuk berusaha menariknya agar suka menjadi kaki tangannya! Akan tetapi perhatiannya sebagian ditujukan ke arah sekelilingnya, untuk mencari kemungkinan meloloskan diri andaikata terpaksa harus menggunakan kekerasan. Hatinya merasa tidak enak sekali ketika dia melihat tubuh Jenderal Kao Liang yang tinggi besar itu berdiri di sudut, memimpin pasukan itu dan sikapnya gagah dan tidak peduli, seolah-olah tidak mengenalnya!

Dengan menggerakkan jari-jari kakinya, tanpa mengangkat kaki, Kian Bu telah memutar tubuhnya menghadapi pangeran itu. Sejenak mereka berdua saling pandang dan sang pangeran bergidik juga melihat sepasang mata dari balik tirai rambut putih itu menyambar dengan ketajaman yang menusuk perasaan.

Hebat orang ini, pikirnya, kalau saja aku dapat menaklukkannya!

“Tidak keliru dugaan itu. Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Bharuhendra dari Nepal?” tanya Kian Bu dengan suara lirih namun terdengar jelas sekali oleh semua yang hadir. Semua orang terkejut dan pangeran itu juga tercengang, akan tetapi dia tersenyum lebar dan wajahnya kehilangan kebengisannya kalau tersenyum. Memang dia cukup tampan, bahkan amat tampan bagi ukuran orang Nepal yang menyukai hidung melengkung.

“Ha-ha-ha, sungguh Sicu amat mengagumkan! Dugaan Sicu benar sekali, akan tetapi aku lebih dikenal di sini sebagai Pangeran Liong Bian Cu. Tentu Sicu dapat menduga bahwa ayahku adalah mendiang Pangeran Liong Khi Ong, ibuku seorang Puteri Nepal. Ha-ha-ha, sungguh girang sekali kami dapat berkenalan dengan Sicu dan merasa terhormat bahwa tempat kami ini mendapat kunjungan dari Sicu. Kami harap saja Sicu datang sebagai sahabat, karena memang sudah lama kami telah mendengar nama besar Sicu, hanya tidak tahu bagaimana kami dapat menghubungi Sicu. Silakan, Sicu, marilah kita bicara di dalam sebagai sahabat-sahabat.”

Jelaslah bagi Kian Bu. Memang sudah diduganya demikian. Suruh dia membantu seorang anak pemberontak, seorang pangeran asing yang tak salah lagi tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap pemerintah? Tidak sudi! Dia bukan seorang pengkhianat, bukan pula seorang pemberontak. Dia mengerling ke arah Jenderal Kao Liang dan melihat betapa kebetulan sekali jenderal itu memandang kepadanya. Orang tua itu cepat menundukkan muka dan kelihatan berduka sekali.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk menegur jenderal yang dianggapnya pengecut dan pengkhianat itu. “Pangeran, saya datang bukan sebagai musuh, karena saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Pangeran, akan tetapi melihat betapa Koksu Nepal bersekutu dengan Gubernur Ho-nan, saya mendapatkan kesan kurang baik terhadap orang-orang Nepal. Maaf, Pangeran, bukan maksud saya untuk menyinggung Paduka, akan tetapi saya bukanlah seorang rendah dan hina yang dapat diajak bersahabat kalau yang mengajaknya itu termasuk golongan pembecontak.“

“Uhhh....“ Suara ini lirih saja, akan tetapi Kian Bu maklum bahwa suara itu keluar dari tenggorokan Jenderal Kao Liang. Ketika dia mengerling, jenderal itu sudah mundur dan menyelinap di antara para pasukan.

Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya terlalu marah demi mendengar ucapan Kian Bu itu sehingga mereka tidak mendengar suara yang keluar dari tenggorokan jenderal itu, karena dalam waktu yang bersamaan mereka pun sudah mengeluarkan suara menggereng marah. Namun, Pangeran Liong Bian Cu benar-benar amat cerdik. Dia dapat menekan kemarahannya, memberi isyarat dengan tangan kepada para pembantunya agar jangan turun tangan lebih dulu, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dada, menghadapi Kian Bu dan berkata sambil tersenyum, “Hebat sekali! Sicu masih muda, sudah mengangkat nama besar, dan ternyata memiliki jiwa pahlawan pula! Kalau Sicu berkeberatan untuk datang sebagai sahabat kami, lalu kami harus menganggap Sicu datang ini sebagai apakah?”

Diam-diam Kian Bu kagum juga atas ketenangan pangeran itu. Bahkan para pembantu pangeran itu sudah memandang kepadanya dengan marah, akan tetapi sang pangeran ini sendiri sama sekali tidak kelihatan marah! Dia pun balas menjura dengan hormat dan berkata halus.

“Maaf, Pangeran. Memang kedatanganku ini lancang dan untuk itu aku mohon maaf. Aku datang bukan sebagai musuh dan bukan pula sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang yang mendengar adanya hal yang tidak semestinya dan karenanya terpaksa aku datang untuk minta kepada pangeran agar suka membereskan yang tidak semestinya itu.”

“Hemmm, Sicu mendengar apakah?”

“Bahwa Pangeran telah menawan seorang wanita yang bernama Syanti Dewi, maka aku minta agar Pangeran suka membebaskan dia!” katanya dengan suara tegas.

“Ahhh....! terdengar suara bentakan marah dan sang pangeran menoleh. Yang membentak itu adalah Mohinta sendiri, putera panglima tua di Bhutan. Seperti kita ketahui, Mohinta dan para pembantunya telah tiba di dalam benteng itu dan menjadi sekutu Pangeran Nepal itu pula. Sang pangeran lalu tersenyum dan berkata kepada Kian Bu, “Sicu, perkenalkanlah, inilah dia Saudara Mohinta, panglima muda dari Bhutan yang bertanggung jawab atas keselamatan Puteri Syanti Dewi. Lebih baik dialah yang menjawab permintaanmu tadi, karena dia lebih berhak.”

Mohinta lalu melangkah maju menghadapi Kian Bu yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian. “Siluman Kecil, tahukah engkau siapa adanya nama yang kausebutkan tadi?” tanya Mohinta dengan marah.

“Syanti Dewi? Dia adalah Puteri Bhutan....“ jawab Kian Bu.

“Nah, dia adalah Puteri Bhutan dan junjungan kami! Pada saat ini, akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Puteri. Beliau berada di sini sebagai tamu agung, bagaimana engkau berani menuduh yang bukan-bukan? Hak apakah yang ada padamu untuk menguruskan diri beliau?”

Tentu saja Kian Bu merasa terdesak. Kalau benar orang ini adalah tokoh Bhutan, tentu saja dia tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, dia tentu saja tidak mau mengalah secara mudah. “Aku adalah seorang sahabat baiknya. Bukan aku tidak percaya, akan tetapi aku baru yakin akan kebenaran ucapanmu itu kalau aku sudah dapat berhadapan dan bicara dengan dia sendiri. Persilakan dia keluar dan bicara sendiri denganku.”

“Keparat! Kaukira dia wanita macam apa, mudah saja diajak bicara oleh segala macam orang sepertimu?” Mohinta mendamprat dan dia sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya untuk menghantam muka Siluman Kecil. Pemuda rambut putih ini diam saja, sama sekali tidak mengelak, akan tetapi ketika kepalan tangan Mohinta sudah dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis.

“Krekkk!”

“Aughhh....!” Mohinta terpelanting dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya! Para pembantunya maju dengan senjata terhunus, akan tetapi Pangeran Liong Bian Cu yang tersenyum menyaksikan semua itu mengangkat tangan membentak mereka agar mundur.

“Aku tahu orang macam apa adanya Puteri Syanti Dewi. Dia seorang wanita yang bijaksana agung dan berbudi mulia, tidak seperti engkau manusia rendah yang sombong!” Kian Bu membentak ke arah Mohinta yang sudah dibantu orang-orangnya untuk bangkit berdiri. “Mengingat bahwa engkau adalah orang Bhutan, maka aku memandang nama Puteri Syanti Dewi mengampuni nyawamu.”

Gerakan Kian Bu tadi cepat bukan main, akan tetapi tidak mengejutkan para tokoh yang hadir karena mereka semua tahu bahwa kepandaian Mohinta masih jauh terlalu rendah untuk menyerang seorang tokoh seperti Siluman Kecil.

Pangeran Liong Bian Cu tertawa lagi. “Hebat sepak terjangmu, Sicu. Akan tetapi harus kauketahui bahwa urusan Puteri Bhutan tentu saja kita harus tunduk kepada peraturan Bhutan dan di sini, yang berkuasa mengenai hal itu adalah Panglima Mohinta. Selain itu, apakah masih ada keperluan lain yang mendorong kedatanganmu ini?”

“Selain menuntut agar Syanti Dewi dibebaskan, juga aku menuntut agar keluarga Kao yang ditawan di sini, dibebaskan semua!”

Kembali semua orang terkejut. Alangkah beraninya pemuda ini! Akan tetapi sang pangeran tersenyum saja, lalu berkata tidak acuh, “Engkau menduga yang bukan-bukan, Sicu. Puteri Syanti Dewi dari Bhutan merupakan tamu agung kami yang dikawal oleh Panglima Mohinta sendiri, sedangkan keluarga Kao juga merupakan keluarga yang menjadi tamu kami, bahkan minta perlindungan kami dari pengejaran pasuhan istana yang memusuhi mereka.”

“Hemmm, aku tidak percaya! Biar aku menemui mereka dan bertanya sendiri!”

“Sikapmu terlalu keras dan engkau terlalu tidak mempercayai orang, Sicu. Persoalan keluarga Kao sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kao-goanswe, maka biarlah dia saja yang menghadapimu dan menjawabmu.”

Begitu mendengar ucapan sang pangeran, Jenderal Kao yang tadinya menyelinap di antara para pasukan, kini melangkah maju dua tindak dan berkata, suaranya lantang akan tetapi matanya memandang kosong, tidak menatap wajah Kian Bu, “Siluman Kecil, harap kau jangan mencampuri urusan kami sekeluarga Kao!” Setelah berkata demikian, dia mundur lagi dan berdiri di antara para perajurit dengan muka menunduk, kelihatan berduka sekali. Kian Bu merasa heran bukan main. Timbul keraguan apakah benar orang tua itu adalah jenderal gagah perkasa yang pernah dikenalnya itu? Ataukah hanya orang yang mirip mukanya? Sikapnya demikian aneh dan jelas bahwa orang itu bertindak bukan atas kemauan sendiri, melainkan terpaksa atau tertekan. Benar-benar hatinya merasa tidak puas sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Betapapun juga, dia harus membenarkan bahwa Puteri Bhutan tidak bisa dijumpakan kepada seorang laki-laki asing, dan dalam hal itu tentu saja Panglima Butan yang mengawalnya mempunyai hak penuh untuk menolak permintaannya. Mengenai keluarga Kao, kalau Jenderal Kao Liang sendiri sudah mengatakan demikian, dia dapat berbuat apakah? Dia merasa ragu-ragu, bingung, memandang ke kanan kiri seperti hendak menanyakan pendapat orang lain, kemudian dia mengangkat kedua bahunya dan berkata, “Ahhh.... kalau begitu, kehadiranku tidak dibutuhkan orang lagi. Biarlah aku pergi saja....”

Dia melangkah pergi, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu melangkah maju dan memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. “Sicu, setelah semua urusan beres, maka biarlah dalam kesempatan ini kami mengundang Sicu untuk duduk di dalam dan bercakap-cakap sebagau seorang tamu yang terhormat.”

Kian Bu menahan langkah kakinya. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak sudi untuk bersahabat dengan pangeran asing yang mungkin bersekutu dengan fihak pemberontak ini, akan tetapi dia teringat akan Syanti Dewi. Hatinya bimbang ragu, ingin dia bertemu dengan puteri itu dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa puteri itu selamat, mendengar dengan telinganya keterangan dari mulut puteri itu sendiri bahwa sang puteri tidak terancam bahaya. Kalau dia menerima undangan Pangeran Nepal ini, mungkin saja dia memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan Syanti Dewi, akan tetapi kalau dia memenuhi undangan itu, bukankah berarti bahwa dia telah menerima kebaikan dari seorang musuh negara?

Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara nyaring bening, “Tangkap dia....!”

“Eh, mau apa kau?” Terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo.

Kian Bu menoleh dan dia melihat seorang dara cantik jelita berpakaian sutera serba hitam, dipegangi lengan kirinya oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dara itu meronta dan menudingkan telunjuknya ke arah Kian Bu sambil berseru, “Tangkap dia! Pangeran, dia adalah mata-mata kerajaan! Dia adalah Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti, dia masih cucu dari kaisar sendiri! Karena itu, dia tentulah mata-mata kerajaan, maka harus ditangkap!”

Kian Bu tertegun mengenal dara itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo. Mendengar seruan puterinya ini, Hek-tiauw Lo-mo juga menjadi girang dan melepaskan pegangan tangannya. Dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang golok gergaji di tangan kanan. Kini Kian Bu menggerakkan kepala sehingga rambut putihnya semua terbang ke belakang kepalanya dan mukanya yang tampan nampak. Hek-tiauw Lo-mo segera mengenal wajah ini dan dia pun terkejut. Kiranya putera Pendekar Super Sakti yang dikenal orang sebagai pendekar aneh yang berjuluk Siluman Kecil!

“Benar-benar dia putera Majikan Pulau Es!” teriaknya sambil menerjang ke depan. “Tangkap mata-mata musuh!”

Mendengar ini, Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main. Kalau benar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, cucu kaisar sendiri, maka jelaslah bahwa kehadirannya ini berbahaya bukan main! “Tangkap dia!” perintahnya sambil melangkah mundur ke tempat aman.

Sementara itu, Hwee Li sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menghantam dada Kian Bu yang masih keheranan itu dengan tangan kanan. Pemuda ini tentu saja merasa amat heran melihat sikap Hwee Li. Gadis ini jelas mencinta kakaknya dan ketika membantunya mencari obat, Hwee Li bersikap manis kepadanya. Kenapa sekarang gadis ini membuka rahasianya sehingga dia terancam bahaya? Dia cepat mengelak dan hendak balas mendorong, ketika dia mendengar bisikan gadis. itu, “.... kau tangkaplah aku....!”

“Wuuuttttt....!” Dorongannya diperlemah, namun tetap saja tubuh Hwee Li terdorong ke belakang dan tentu akan terjengkang dan terbanting kalau saja dia tidak berjungkir-balik ke belakang dengan amat lincahnya. Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo telah menyerang Kian Bu dengan golok gergajinya dari depan, sedangkan dari kiri Hek-hwa Lo-kwi telah menyerangnya dengan tangannya yang kini berubah hitam sampai ke siku, tanda bahwa tangan itu mengerahkan tenaga mujijat yang mengandung racun berbahaya sekali.

Namun Kian Bu cepat bergerak dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini, dengan mudahnya dia dapat menghindarkan diri dari dua serangan maut itu. Akan tetapi, ke manapun dia meloncat, dia selalu dipapaki serangan dari semua orang yang telah mengepungnya. Di sebelah dalam kepungan itu, dia dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda, Hwee Li, Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liong-ong Ciok Gu To, tokoh-tokoh Kui-liong-pang dan para pembantu Mohinta, sedangkan di sebelah luarnya dia dikepung oleh puluhan orang anak buah pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Dengan demikian, betapapun dia melesat ke sana-sini, tetap saja dia tidak mampu lolos dari kepungan itu. Akan tetapi, yang membuat Kian Bu makin bingung dan ragu adalah sikap Hwee Li dan bisikan dara itu tadi! Dia tidak mengerti dan menjadi ragu-ragu apalagi melihat betapa dara itu terus mendesaknya, bahkan menjadi penyerang terdepan seolah-olah dara itu amat benci kepadanya dan hendak mengadu nyawa! Akan tetapi, tentu saja dia tidak tega melukainya, maka gerakan Kian Bu menjadi kurang gesit dan ketika akhirnya dia berhasil merobohkan lima enam orang pengeroyoknya, tiba-tiba sinar hitam yang amat lebar menimpanya dan tahu-tahu dia telah tertangkap oleh jala hitam tipis yang dilepas oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kian Bu meronta, namun jala itu memang aneh sekali sifatnya. Amat lemas dan halus tipis sekali sehingga dapat dikepal dalam genggaman tangan, akan tetapi uletnya melebihi baja dan mempunyai sifat mengkerut sehingga kalau yang terperangkap itu meronta, malah makin ketat melibat!

Tiba-tiba Hwee Li menubruknya. “Mampuslah kau, mata-mata hina-dina!” bentaknya dan kini semua orang pengepung berteriak-teriak girang melihat pemuda itu telah tertawan. Dan di antara bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan ini, Kian Bu mendengar suara Hwee Li yang halus sekali, “.... tolol, cepat tangkap aku, jadikan sandera....!”

Kini mengertilah pendekar muda yang sakti itu. Kiranya sejak tadi Hwee Li menunjukkan jalan keluar yang amat cerdik. Akan tetapi apa gunanya menangkap Hwee Li? Bukankah gadis itu sendiri agaknya tidak leluasa bergerak, buktinya tadi dicurigai ayahnya sendiri dan ditangkap lengannya? Dalam keadaan yang berbahaya itu, dia tidak mau banyak membantah, ketika melihat Hwee Li menghantam ke arah kepalanya dengan kepalan tangan kanan, menghantam sekuatnya, dia sengaja menerimanya dengan bahunya.

“Desss....!” Tubuh Kian Bu terguling-guling di dalam gulungan jala itu.

“Ha-ha-ha, bagus Hwee Li anakku, bagus! Hantam dia sampai mampus!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa sambil memegangi ujung tali jala. Tadinya Hwee Li terkejut melihat betapa Kian Bu sengaja menerima hantamannya dengan bahu, akan tetapi dara ini memang cerdik sekali, maka dia segera mengerti akan maksud Kian Bu. Pemuda itu membiarkan dirinya terpukul agar tidak ada orang yang akan mencurigainya nanti. Maka cepat dia menubruk dan memukul lagi. Benar saja dugaannya, sekali ini Kian Bu mengulur tangannya dan menangkap pergelangan tangannya, terus secepat kilat jari tangan pemuda itu menotok jalan darah thian-hu-hiat dan seketika dia menjadi lemas.

“Ayah...., tolong....“ Hwee Li berteriak lirih dengan tubuh lemas dan lengannya masih dipegang oleh Kian Bu.

“Keparat, lepaskan anakku!” Hek-tiauw Lo-mo mendekati dengan golok gergaji di tangan, juga Hek-hwa Lo-kwi dan lain-lain tokoh yang berkumpul di situ melangkah maju.

“Berhenti! Mundur semua atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!” Kian Bu menghardik dan jari tangannya telah terjulur keluar dari celah-celah jala itu, menempel di tengkuk Hwee Li. Hek-tiauw Lo-mo dan semua orang terkejut, maklum bahwa sekali menggerakkan jari tangannya, pemuda itu memang akan dapat menewaskan Hwee Li tanpa ada yang akan sanggup menolongnya karena jari tangan itu telah menempel di jalan darah yang mematikan. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia laiu menerjang maju dengan goloknya.

“Keparat! Kalau engkau berani membunuh anakku, maka aku akan menyiksamu dan akan mencincang tubuhmu!” Agaknya dia tidak peduli akan ancaman terhadap anaknya itu dan masih hendak melanjutkan serangannya. Tentu saja Kian Bu menjadi bingung sekali dan mulai menyesal akan akal yang digunakan oleh Hwee Li, yang ternyata, seperti telah disangsikannya tadi, telah gagal. Orang macam Hek-tiauw Lo-mo yang berwatak seperti iblis itu mana mempunyai rasa sayang kepada anak sendiri? Dia sudah berniat melepaskan Hwee Li dan sedapat mungkin mempertahankan nyawanya ketika tiba-tiba terdengar seruan berwibawa.

“Locianpwe, tahan dulu!”

Hek-tiauw Lo-mo menahan gerakan goloknya dan melangkah mundur. Baru teringat dia bahwa hampir saja dia membahayakan nyawa anaknya. Dia sendiri memang tidak peduli apakah Hwee Li akan mati atau hidup, akan tetapi dia lupa bahwa tentu saja ada orang yang amat mempedulikan hal itu, dan orang ini tentu saja adalah Pangeran Liong Bian Cu yang amat mencinta Hwee Li!

Kini pangeran itu muncul dan memandang kepada Kian Bu yang masih tertawan dalam jala dan yang memegang lengan Hwee Li yang tertotok lemas dan menempelkan jari tangannya di tengkuk dara itu. Dia memandang penuh kekhawatiran, lalu berkata dengan gagap, “Suma-sicu, harap kau suka melepaskan dia.”

Hwee Li menoleh ke arah pangeran itu dan berkata lirih, “Lekas...., lekas.... Pangeran.... kenapa kau tidak cepat menolong tunanganmu ini....? Lekas.... ahhhhh....“

Mengertilah kini Kian Bu. Kiranya Hwee Li adalah tunangan pangeran berhidung betet ini! Hatinya menjadi girang. Memang Hwee Li merupakan seorang sandera yang amat berharga. Akan tetapi di samping kegirangan hatinya, juga timbul keheranan. Kalau Hwee Li menjadi tunangan pangeran itu, mengapa Hwee Li bersikap begini dan agaknya hendak menolongnya? Dia tidak mengerti, akan tetapi dia pun tidak mau banyak pusing menikirkan hal itu.

“Mudah saja melepaskan dia, Pangeran, akan tetapi aku pun berhak minta dibebaskan pula,” katanya.

“Tentu saja! Kaulepaskanlah tunanganku itu, dan kami akan membebaskanmu.”

“Hemmm, kedudukan kalian adalah jauh lebih kuat, maka sepatutnyalah kalau aku yang lebih dulu minta dibebaskan, baru kemudian aku akan membebaskan Nona ini.”

“Kau.... kau tidak percaya kepada omonganku?” Pangeran Liong Bian Cu membentak marah, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang, dan berkata kepada Hek-tiauw Lo-mo, “Lacianpwe, harap kau suka melepaskan jalamu itu dan biarkan dia bebas.”

Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, memandang kepada Kian Bu dengan mata lebar dan melotot penuh kemarahan, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan beberapa kali gerakan, jala yang menyelimuti tubuh Kian Bu itu ditariknya terlepas. Memang jala itu merupakan senjata yang amat aneh, tali pengikatnya berada di tangan kakek ini maka dia dapat menggerakkan jala itu sesuka hatinya.

Kian Bu bangkit berdiri dan masih memegang pergelangan tangan Hwee Li. Dia mengangguk kepada pangeran itu dan berkata, “Biarlah sekarang aku pergi saja dan nanti setelah tiba di luar daerah ini aku pasti akan membebaskan tunanganmu ini, Pangeran.” Tanpa menanti jawaban, Kian Bu lalu memondong tubuh Hwee Li, kemudian meloncat dengan kecepatan seperti terbang saja keluar dari tempat itu. Hek-tiauw Lo-mo bergerak hendak mengejar, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi pangeran itu mengangkat tangan mencegah mereka, lalu berkata lirih, “Jangan ceroboh, Adinda Hwee Li berada dalam kekuasaannya!”

“Ah, tapi siluman itu! Bagaimana kalau dia tidak membebaskan Hwee Li?” Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan alis berkerut.

“Kita harus membayangi dia!” Hek-hwa Lo-kwi juga mengangguk-angguk.

Sang pangeran menjadi bingung, dia berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di belakang pinggulnya, wajahnya agak pucat. Dia amat mencinta Hwee Li dan kini kekasihnya itu terancam bahaya tanpa dia berani mengerahkan orang-orangnya karena kekasihnya itu berada dalam ancaman seorang musuh yang amat lihai.

“Kenapa tidak menggunakan garuda saja....?” Tiba-tiba Gitananda berkata.

“Ah, benar! Hanya dengan cara itu Ji-wi Locianpwe dapat membayanginya dan menjaga keselamatan Adinda Hwee Li!”

Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan wajahnya berseri. “Kenapa aku melupakan garuda itu?” Dia mencela diri sendiri. “Lo-kwi, hayo kaubantu aku menghadapi Siluman Kecil!”

Hek-hwa Lo-kwi sejak dahulu memang selalu tidak mau mengalah terhadap Hek-tiauw Lo-mo, maka kini mendengar ajakan itu, dia membuang muka. “Urusan anakmu sendiri, kenapa kau hendak merepotkan orang lain? Katakan saja engkau tidak berani menghadapi siluman itu sendirian saja!”

“Siapa tidak berani? Biar ditambah engkau sekalipun, aku tidak takut!” Hek-tiauw Lo-mo menghardik.

Melihat dua orang pembantunya yang kukoai (aneh wataknya) itu mulai cekcok sendiri, Pangeran Liong Bian Cu cepat berkata, “Harap Hek-hwa locianpwe suka membantu Hek-tiauw Locianpwe menyelamatkan Adinda Hwee Li.”

Barulah dua orang kakek iblis itu tidak berani banyak ribut lagi dan tak lama kemudian mereka telah menunggang di atas punggung burung garuda besar itu yang mulai mengibaskan sayapnya dan terbang ke atas, memasuki udara yang gelap. Pangeran Liong Bian Cu lalu memerintahkan kakek Gitananda untuk memimpin sepasukan pengawal melakukan pengejaran jalan darat, dan Jenderal Kao mendapat tugas menjaga benteng dengan ketat agar jangan sampai dapat diselundupi musuh lagi.

Dengan pengerahan tenaga dan kepandaiannya, bagaikan terbang cepatnya Kian Bu melarikan diri keluar dari benteng melalui pintu gerbang tanpa ada yang mencoba untuk menghalanginya. Para penjaganya yang sudah menerima perintah itu hanya memandang dengan bengong melihat pemuda itu berlari cepat memondong tubuh dara tunangan pangeran itu keluar dari pintu gerbang dan menghilang di dalam gelap. Hwee Li sendiri memejamkan mata karena ngeri.

Dia sudah biasa menunggang garuda yang terbang tinggi di angkasa dan juga cepat sekali, akan tetapi kini berada dalam pondongan pemuda rambut putih ini yang berlari tidak lumrah cepatnya, dia merasa ngeri juga.

Setelah jauh meninggalkan lembah itu dan tiba di padang rumput yang sunyi, yang diterangi oleh sinar bulan sepotong dan dibantu oleh bintang-bintang di langit, barulah Kian Bu membebaskan totokan yang membuat tubuh Hwee Li lemas tadi, dan menurunkannya dari pondongan. Kemudian dia menjura kepada dara itu sambil berkata, “Nona, sekali lagi engkau telah menolongku, kalau dulu engkau menolongku mencarikan obat untuk kakakku, kini engkau malah menolong aku dan membebaskan aku dari cengkeraman maut. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas budimu yang besar itu.”

”Siapa berterima kasih kepada siapa? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu,” kata Hwee Li.

“Tidak, engkau yang telah melepas budi besar kepadaku, Nona, dua kali malah, dan yang terakhir ini sungguh engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman maut. Aku berhutang nyawa kepadamu.”

“Hi-hik, berhutang nyawa? Lalu kapan kau akan membayar hutangmu itu?”

Kian Bu gelagapan, akan tetapi memang pada dasarnya dia adalah seorang pemuda yang berwatak gembira, maka kini bertemu dengan seorang dara lincah seperti Hwee Li, kumat kembali wataknya itu. “Ah, biarlah aku akan selalu membayangimu dan menanti saat balk. Kalau engkau terancam bahaya maut, aku akan menolongmu sehingga dengan demikian aku akan dapat membayar hutangmu itu.”

“Hemmm....” Hwee Li lalu duduk di atas rumput. Indah sekali suasana di padang rumput itu. Angin malam semilir menggerakkan ujung-ujung rumput yang seperti air laut sedang bergelombang lembut. Bau sedap harum rumput bercampur tanah mendatangkan rasa nyaman dan membuat orang ingin menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya. Sinar bulan lembut menyentuh mesra. Semuanya nampak serba lembut, tidak ada kekerasan yang terbawa dalam sinar matahari siang. “Kau benar-benar ingin membalas budi kepadaku?”

“Benar! Sungguh, Nona, hanya aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku harus membalas kebaikan hatimu dan budi yang telah berkali-kali kaulepaskan kepadaku itu.”

“Kalau ada sebuah permintaanku, benar engkau mau memenuhinya?”

“Benar, pasti akan kupenuhi permintaanmu itu, asal dapat membalas budimu dengan itu.”

“Nah, mulai sekarang, jangan lagi menyebut nona kepadaku.”

“Ehhh....?” Kian Bu melongo. Masa hanya sedemikian sederhana permintaannya? Dan apa maksudnya? Apakah dia harus menyebut namanya saja? Namanya Hwee Li, nama yang indah dan enak diucapakan. “Lalu.... menyebut apa?” tanyanya, ragu.

“Kau harus menyebut aku enci (kakak perempuan).”

“Hehhh....? Tapi.... tapi aku lebih tua daripada engkau....! Usiaku sudah dua puluh tahun lebih, dan engkau paling banyak delapan belas....“

“Tujuh belas!” potong Hwee Li dengan cepat.

“Nah, baru tujuh belas malah!”

“Hemmm, baru permintaan sedemikian saja engkau sudah banyak cerewet. Katakan saja engkau tidak mau! Apalagi untuk membayar hutang nyawa segala....!” Hwee Li bersungut-sungut dan memalingkan muka dari pemuda itu.

“Ah, tentu saja aku mau. Enci Hwee Li, jangan marah. Aku akan menyebutmu enci, cici, kakak ataukah enso (kakak ipar)....?”

“Ihhh! Tak tahu malu!” Hwee Li membentak dan mukanya berubah merah sekali, akan tetapi karena sinar bulan juga mengandung warna kemerahan, maka perubahan warna muka ini tidak dapat kentara. Sebaliknya, Kian Bu termenung dan hatinya terharu, dia tidak mau menggoda lagi. Jelaslah bahwa permintaan dara ini membuktikan bahwa dara ini benar-benar mencinta kakaknya! Dia merasa girang dan terharu. Ah, derita batin kakaknya tentu akan terobati kalau kakaknya memperoleh dara cantik jelita dan lincah jenaka ini sebagai kekasih dan calon isteri!

“Maafkan aku, Enci Hwee Li, aku berjanji tidak akan menyebutmu so-so lagi....“

Hwee Li menoleh dan matanya yang indah itu melotot. “Berjanji tidak akan menyebut akan tetapi terus-menerus mengulang! Kau menantang, ya?”

“Eh, oh.... tidak...., maafkan. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan ketika mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih kepadaku. Engkau sudah berkali-kali menolongku, kalau sekarang mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih, bukankah itu artinya mengejekku?”

“Huh, kau tidak tahu. Apakah kaukira aku begitu ceroboh dan usil untuk mempertaruhkan nyawaku menolongmu kalau hal itu tidak penting bagiku?”

“Maksudmu....?”

“Bukan aku yang menolongmu, melainkan engkaulah yang telah membebaskan aku dari kurungan benteng itu. Aku adalah seorang tawanan pula di sana, mengertikah engkau?”

Tentu saja Kian Bu menjadi terkejut bukan main. Tadi dia mendengar bahwa dara jelita ini adalah tunangan dari Pangeran Nepal itu, dan sekarang mengaku sebagai tawanan. “Tawanan? Bukankah ayahmu juga berada di sana? Kalau Hek-tiauw Lo-mo menjadi pembantu pangeran itu, mana mungkin engkau menjadi tawanan?”

“Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahku, melainkan musuh besarku!”

“Ehhhhh....?” Kan Bu memandang dengan mata terbelalak.

“Dia.... dia bahkan musuh yang telah membunuh ibuku....“ Hwee Li menunduk, hatinya berduka teringat akan riwayatnya itu.

“Ahhh....! Kalau begitu kionghi (selamat) kepadamu, Enci!” Dan Kian Bu benar-benar telah bangkit berdiri dan memberi selamat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk di depan dara itu.

Hwee Li meloncat berdiri. “Engkau.... engkau manusia kejam! Engkau siluman liar!” Dan tiba-tiba dara itu telah menerjang dan menyerang Kian Bu dengan hebatnya! Begitu menyerang, tangannya meluncur menotok ke arah jalan darah di leher Kian Bu, sedangkan kakinya yang kecil itu cepat sekali menyusul dengan tendangan yang juga merupakan totokan dengan ujung sepatu mengarah lambung!

“Eh.... plakkk! Ohhh.... plekkk!” Kian Bu terhuyung-huyung ke belakang karena dia menangkis tanpa mengerahkan sinkangnya sehingga dia terdorong oleh tenaga totokan dan tendangan itu. Dengan penasaran dan marah karena serangannya yang tiba-tiba dan amat cepat itu dapat ditangkis, bahkan tangan dan kakinya terasa nyeri, Hwee Li telah menerjang lagi, seperti seekor naga mengamuk saja. Namun sekali ini Kian Bu telah siap, dan dengan mudah pemuda ini terus-menerus mengelak.

“Eh, nanti dulu.... wah, Enci.... eh, Ciciku yang baik.... tahan dulu....!” Melihat Hwee Li terus menyerang, tiba-tiba tubuh Kian Bu melesat jauh dan lenyap!

Hwee Li termangu-mangu, dan merasa heran, lalu bersungut-sungut, “Tak tahu aturan, adik macam apa dia itu! Orang menceritakan ibunya dibunuh orang malah memberi selamat!”

“Wah, engkau salah sangka, Enci Hwee Li....“ Tiba-tiba Hwee Li membalikkan tubuhnya dan kiranya pemuda berambut putih itu telah berdiri di belakangnya! Kian Bu cepat mengangkat kedua tangan ke atas, tanda takluk dan tergesa-gesa menyambung ucapannya sebelum dara yang galak itu sampai menyerangnya lagi, “Dengarkan dulu! Aku memberi selamat kepadamu bukan untuk itu, melainkan mendengar bahwa engkau bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo! Sejak dahulu pun aku sudah tidak percaya, masa iblis jelek menakutkan macam Hek-tiauw Lomo bisa mempunyai seorang anak yang cantik molek dan manis jelita seperti engkau....“

“Wah, engkau memang seorang adik yang bejat moralnya!”

“Lhoh, kenapa lagi?”

“Engkau memuji-muji kecantikan cicimu, hemmm, ada maksud kotor apa di dalam hatimu?”

Kian Bu tersenyum. “Aihhh, segala yang kuucapkan ternyata kauanggap salah saja. Sudahlah aku minta maaf. Aku tadi memberi selamat saking girang hatiku mendengar bahwa engkau bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo, maka aku memberi selamat dan saking girang hatiku sampai aku tadi lupa bahwa ibumu telah terbunuh oleh iblis itu! Hemmm, jangan khawatir, aku akan membantumu membalaskan dendam orang tuamu itu, Enci Hwee Li. Lalu...., siapakah orang tuamu, kalau aku boleh bertanya?”

Akan tetapi Hwee Li sudah duduk lagi dan tidak menjawab, hanya menunduk. Keadaan menjadi sunyi, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kian Bu memang merasa girang, karena kalau dara ini bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, berarti dara ini makin pantas menjadi jodoh kakaknya. Betapapun cantiknya dan baiknya, kalau dia ini puteri Hek-tiauw Lo-mo, wah, agak sukar juga karena setidaknya, orang tua mereka di Pulau Es tentu tidak akan sudi berbesan dengan iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, melihat Hwee Li tidak menjawab pertanyaannya tentang orang tuanya, dia pun tidak berani mendesak, karena dia mengira bahwa tentu dara itu masih merasa berduka atas kematian orang tuanya di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Di lain fihak, Hwee Li juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia menyuruh Kian Bu menyebutnya enci karena memang dia merasa bahwa pemuda ini adalah adik Kian Lee, maka sudah sepantasnya menyebut enci, bukan enso (kakak ipar) karena memang belum waktunya! Dan kini, sukar baginya untuk mengaku bahwa dia adalah keturunan mendiang Kim Bouw Sin, panglima di perbatasan yang pernah menjadi pemberontak itu! Bagaimanakah keluarga Suma akan memandangnya kalau mereka mendengar bahwa dia adalah keturunan pemberontak Kim Bouw Sin? Padahal, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es adalah keluarga pahlawan, bahkan ibu Kian Bu Siluman Kecil ini adalah seorang puteri istana kaisar! Maka, dia tidak berani mengaku di depan Kian Bu siapa adanya orang tuanya yang sesungguhnya.

Melihat Hwee Li menunduk seperti orang berduka itu, Kian Bu mengira bahwa dara itu teringat akan orang tuanya, maka dia lalu mengalihkan percakapan. “Enci Hwee Li, jadi engkau telah ditahan secara paksa di dalam benteng itu? Akan tetapi aku mendengar bahwa engkau.... eh, engkau adalah tunangan pangeran itu!”

“Tidak sudi! Dia memaksa aku menjadi tunangannya, dia dan iblis tua bangka itu dan para pembantunya. Akan tetapi, siapa sudi menjadi isterinya?”

“Eh, kenapa? Bukankah pangeran itu gagah dan tampan, seorang pangeran kerajaan pula?”

“Tampan? Dia me.... memuakkan....!”

Hwee Li teringat betapa dia pernah diciumi oleh pangeran itu dalam keadaan tak dapat menghindar. “Terutama.... hidungnya! Dan matanya! Seperti burung hantu.... ihhh, menjijikkan!” Dan Hwee Li meludah karena dia teringat akan ciuman-ciuman dahulu itu.

Kian Bu tidak mau mengukur isi hati dara itu lagi. Hatinya girang karena selain dara ini ternyata bukan puteri dari iblis Pulau Neraka itu, juga ternyata Hwee Li bukanlah tunangan pangeran dari Nepal itu, melainkan dipaksa sebagai tunangannya. Sekarang tahulah dia mengapa Hwee Li menolongnya. Memang benar pengakuan dara ini tadi bahwa Hwee Li bukan semata-mata menolongnya, melainkan juga hendak menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri dari dalam benteng. Dan memang perhitungan dara itu amat cerdik. Karena “membiarkan” dirinya ditawan dan dijadikan sandera oleh Kian Bu, maka biarpun tokoh-tokoh lain tidak peduli, namun pangeran itu ternyata merasa khawatir akan keselamatan tunangannya dan membiarkan Kian Bu lolos membawa Hwee Li.

“Kalau begitu, Enci Hwee Li, apakah engkau tidak akan kembali ke sana setelah berhasil lolos bersamaku?” Akhirnya Kian Bu bertanya.

“Kembali ke sana? Apakah engkau gila? Terang aku tidak akan kembali ke sana, akan tetapi.... aku terpaksa harus kembali ke sana.”

“Ehhh? Engkau memang aneh, Enci.” Kian Bu memandang heran. “Setelah berhasil lolos, mengapa hendak kembali lagi ke sana? Katanya engkau membenci sang pangeran?”

“Hushhh, aku bukan hendak kembali untuk dia. Pertama-tama, aku harus berhasil membalaskan sakit hati ibuku terhadap ibliss tua bangka dari Pulau Neraka itu.“

“Hemmm, tidak mudah! Dia lihai sekai!.”

“Takut apa? Dengan adanya engkau di sampingku yang membantuku, apakah kaukira aku tidak mampu membekuk batang lehernya?”

“Aku....? Ah, akan tetapi.... belum tentu aku akan kembali ke sana.”

Hwee Li meloncat bangun, berdiri dan menghadapi Kian Bu dengan kedua tangan menekan pinggangnya yang ramping. Dia membanting kaki kanannya dua kali, tanda bahwa dia merasa kesal dan marah. “Engkau ini seorang adik macam apa? Engkau harus kembali ke sana bersamaku, membantu aku!”

Terlalu sekali bocah ini, pikirnya. Belum apa-apa saja lagaknya sudah begini memerintah dan memaksa. Bagalmana kalau kelak benar-benar menjadi kakak iparku? Wah, kakaknya, Kian Lee harus bekerja keras untuk menundukkan si liar ini!

“Bagaimana kalau aku tidak.... sanggup?” Dia tidak jadi mengatakan tidak mau, khawatir nona itu akah marah-marah dan menyerangnya lagi seperti tadi. Betapapun juga, dia tidak dapat lupa bahwa nona ini pernah menyelamatkan nyawa kakaknya ketika menolongnya mencarikan jamur mujijat itu, kemudian telah menyelamatkan nyawanya sendiri ketika dia tertawan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu tadi.

“Engkau harus sanggup dan engkau harus mau!” jawab Hwee Li. “Tanpa kuminta sekalipun engkau pasti akan kembali ke sana!”

“Eh, bagaimana engkau begitu pasti, Enci....?” Kian Bu terheran.

“Karena ketahuilah bahwa keluarga Jenderal Kao Liang juga menjadi tawanan di tempat itu. Dia sendiri, isterinya, puteranya, cucu-cucunya dan keluarganya. Aku tahu bahwa engkau tentu akan mencoba untuk menolong mereka.”

Kian Bu menunduk dan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali kalau dia mengingat akan jenderal yang dulu amat dikagumi dan dihormatinya itu. Masih berkumandang di telinganya betapa jenderal itu sendiri menolak ketika dia menuntut pembebasan keluarga jenderal itu, apalagi melihat kenyataan kemudian betapa jenderal itu benar-benar telah menjadi pembantu pangeran dari Nepal, seorang musuh negara! Maka dia menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak akan mencampuri urusan Jenderal Kao....“

“Akan tetapi dia melakukan semua itu karena terpaksa, Kian Bu!” Hwee Li berkata dan kini dia telah duduk kembali. “Jangan kau mengira bahwa Jenderal Kao telah menjadi seorang pengkhianat! Keluarganya ditawan dan semua diancam akan disiksa di depan matanya kalau dia tidak menurut, kalau dia tidak mau membangun benteng itu.”

“Huh, laki-laki macam apa itu? Seorang gagah tidak akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Untuk menyelamatkan keluarga lalu menjual diri kepada musuh negara hanya dapat dilakukan oleh orang yang lemah dan pengecut.”

“Akan tetapi dia tidak berkhianat! Dia hanya berjanji untuk membangun benteng dan memimpin pertahanan di benteng itu, dia tidak berjanji untuk menyerang kerajaan. Dia terpaksa, Kian Bu, siapa orangnya yang dapat bertahan melihat keluarganya terancam bahaya maut dan siksaan? Selain itu, di sana masih ada seorang lain yang ditahan dan yang pasti akan kaucoba selamatkan. Dia adalah Bibi Syanti Dewi!”

“Bibi....? Kau menyebutnya bibi?” Kian Bu bertanya heran.

“Tentu saja! Habis disuruh menyebut apa?”

“Dia usianya tidak berselisih banyak denganmu.”

“Dasar kau yang tolol! Apakah sebutan orang itu tergantung dari usianya? Andaikata dia lebih muda daripada aku sekalipun, tetap saja aku menyebut bibi kepadanya. Dia adalah kakak angkat dari guruku, habis suruh aku menyebut apa kepadanya?”

Kian Bu makin terheran dan juga bingung. Bocah ini adalah murid dari Ceng Ceng, dan Ceng Ceng adalah seorang keponakannya, puteri dari mendiang kakak tirinya! Ceng Ceng sendiri menyebut paman kepadanya, jadi semestinya Hwee Li yang menjadi murid Ceng Ceng ini harus menyebutnya susiok-kong (paman kakek guru)! Akan tetapi, malah dia diharuskan menyebut enci kepada dara ini yang masih terhitung murid cucu keponakannya! Dan bagaimana kalau kakaknya sampai berjodoh dengan dara ini? Bukankah hal itu berarti menikah dengan cucu keponakan sendiri? Dan anak mereka kelak? Bukankah anak itu masih cucu buyut keponakan? Wah, dia menjadi bingung sendiri. Persetan segala macam sebutan-sebutan itu!

“Bagaimana, Kian Bu. Engkau tentu akan menyelamatkannya, bukan? Tadi engkau mati-matian datang seorang diri memasuki benteng untuk menolong Bibi Syanti....“

Kian Bu menggeleng kepala. “Sekarang tidak perlu lagi. Dia adalah Puteri Bhutan, dan di sana terdapat Panglima Bhutan yang tentu saja berhak untuk melindunginya. Dan kalau dia berada di sana sebagai tamu....“

“Wah, engkau ini berjuluk Siluman Kecil, namamu menggemparkan seluruh dunia, eh, kiranya hanya seorang bocah yang bodoh belaka! Siapa bilang Bibi Syanti menjadi tamu? Dia pun diculik oleh kakek Gitananda dan menjadi tawanan di sana. Memang si Mohinta yang tak tahu malu itu tadinya hendak minta dibebaskannya Bibi Syanti Dewi, akan tetapi pengkhianat hina-dina itu malah bersekutu dengan pangeran blo’on itu....”

“Eh, kok ada pangeran blo'on segala?”

“Maksudku, pangeran hidung kakatua itu. Mohinta bersekutu, menjadi kaki tangan Pangeran Nepal dan mereka berjanji untuk menggunakan Bibi Syanti sebagai sandera untuk menundukkan Kerajaan Bhutan! Dan kelak Mohinta dijanjikan akan dikawinkan dengan Bibi Syanti Dewi.... Coba, apa kau rela?”

“Ahhh....!” Kian Bu meloncat berdiri dan mengepal tinjunya, mukanya menjadi merah sekali tanda bahwa Siluman Kecil ini marah bukan main. Mereka berani mempermainkan Syanti Dewi? Berarti harus berhadapan dengan dia!

Melihat pemuda itu termenung dan mengepal tinju, kelihatan marah sekali, Hwee Li memandangnya dan tiba-tiba sepasang matanya memandang sayu. “Kian Bu.... dia.... dia.... Bibi Syanti Dewi....“ Dia tidak melanjutkan kata-katanya ketika Kian Bu cepat menoleh kepadanya, lalu menunduk. Ketika berada di dalam benteng, antara dia dan Syanti Dewi terdapat hubungan yang amat akrab dan di dalam percakapan yang penuh kepercayaan, Syanti Dewi pernah menceritakan semua pengalamannya, betapa Kian Bu menderita karena terpaksa ditolak cintanya dan betapa puteri itu merasa kasihan dan berdosa terhadap pemuda Pulau Es yang amat baik itu, betapa sang puteri tidak dapat membalas cintanya karena sang puteri telah mencinta orang lain! Ketika Hwee Li bertanya siapa adanya orang lain itu, sang puteri tidak mau menjelaskan. Kini Hwee Li melihat sendiri betapa Kian Bu masih mencinta puteri yang menolak cintanya itu, dan dia merasa kasihan, tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

“Dia kenapa....?” Kian Bu mendesak bertanya, suaranya agak gemetar.

“Dia.... harus ditolong, kalau tidak, bukan hanya Bibi Syanti Dewi yang akan celaka, dipaksa menikah dengan Mohinta itu, bahkan kerajaan ayahnya tentu akan celaka akibat pemberontakan Mohinta yang dibantu oleh Pangeran Nepal.”

“Ha-ha-ha-ha, lihat Lo-mo, anakmu itu sungguh tak tahu malu!” Tiba-tiba terdengar suara orang dari atas. Kian Bu cepat memandang ke atas, demikian pula Hwee Li dan di langit yang sudah mulai remang-remang menanti datangnya fajar itu nampak seekor burung garuda besar yang ditunggangi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi!

“Tutup mulutmu yang berbau busuk, Lo-kwi, atau kugampar kau sampai jatuh ke bawah!” Hek-tiauw Lo-mo membentak. Burung garuda itu menukik turun dan dengan cepat dua orang kakek itu sudah meloncat ke atas tanah di depan Kian Bu, sedangkan garuda itu sudah terbang lagi ke atas.

“Hemmm, begini sajakah Siluman Kecil yang terkenal hebat itu?” Hek-hwa Lo-kwi mengejek sambil menghadapi Kian Bu. “Ternyata, hanya seorang hina yang tidak dapat memegang janjinya sendiri!”

“Huh, manusia dari Pulau Es mana bisa dipercaya omongannya?” Hek-tiauw Lo-mo menyambung sambil menyeringai penuh kebencian. Bagi bekas tokoh Pulau Neraka ini, segala yang berbau Pulau Es amat dibencinya. Dan biarpun dia tahu bahwa putera Pendekar Super Sakti ini memiliki kepandaian hebat, bahkan telah berjuluk Siluman Kecil yang menggemparkan namanya di sepanjang lembah Huang-ho, namun dia tidak merasa takut. Pernah dia menyaksikan kepandaian pemuda ini ketika jaman pemberontakan dua orang Pangeran Liong beberapa tahun yang lalu dan dia merasa masih sanggup menandinginya. Apalagi kini ada Hek-hwa Lo-kwi yang membantunya. Tentu saja dia belum tahu tentang kemajuan Kian Bu yang telah memperoleh ilmu mujijat itu.

“He, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua ekor anjing tua bangka tak tahu malu!” tiba-tiba Hwee Li membentak sehingga Kian Bu merasa tidak enak sendiri. Bocah ini memaki ayahnya dengan sebutan anjing tua bangka tak tahu malu. Biarpun Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya sendiri, biarpun mungkin saja telah membunuh orang tua Hwee Li, namun harus diakui bahwa semenjak kecil Hwee Li dirawat dan dididiknya, maka makian itu sungguh terlalu kasar dan tidak enak didengar. “Kalian jangan menuduh orang sembarangan saja, ya? Orang gagah seperti dia ini mana bisa disamakan dengan raksasa-raksasa biadab macam kalian yang mengingkari janji dan bersikap khianat? Dia telah memegang janjinya, dia telah membebaskan aku seperti yang dijanjikan kepada pangeran brengsek itu! Hanya akulah yang tidak mau kembali ke sana. Tahukah kalian?”

Dasar Hek-tiauw Lo-mo memang seorang kasar yang sama sekali tidak mempunyai perasaan halus, maka makian-makian yang dilontarkan oleh mulut Hwee Li kepadanya itu sama sekali tidak membekas. Dia hanya tertawa bergelak. Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi yang tidak pernah merasa suka kepada rekannya ini segera membentak, “Lo-mo, perlu apa banyak cerewet lagi? Hayo kita bunuh bocah siluman ini dan seret anakmu pulang ke benteng!” Setelah berkata demikian, Hek-hwa Lo-kwi sudah menggosok-gosok kedua tangannya dan aneh sekali, seketika seluruh tubuhnya menjadi putih seperti kapur. Itulah ilmunya yang baru, yang dilatihnya di Lmbah bersama para pengikutnya, yaitu sisa-sisa anak buahnya yang masih hidup ketika dia dahulu menjadi ketua Lembah Bunga Hitam (baca Kisah Sepasang Rajawali). Ilmunya ini dia namakan Pek-hiat-hoat-lek (Ilmu Sihir Darah Putih), ilmu pukulan yang mengandung hawa mujijat dan racun yang amat berbahaya. Selama berbulan-bulan dia menanam diri di dalam rumah tempurung, diikuti oleh para anak buah bekas perkumpulan Lembah Bunga Hitam yang sudah tinggi ilmunya. Akan tetapi tentu saja para anak buahnya itu tidak dapat mencapai tingkat tinggi yang dicapai oleh Hek-hwa Lo-kwi ini.

“Biar kauhajar Siluman Kecil yang sombong itu Lo-kwi. Di benteng aku pernah menangkap dia, sekarang tunjukkanlah kepandaianmu, hendak kulihat apakah kau juga mampu menangkapnya, biar aku yang membekuk batang leher betina liar ini!”

Hek-tiauw Lo-mo memang licik sekali wataknya. Memang benar ketika Kian Bu berada di dalam benteng, dia berhasil menangkap pemuda itu menggunakan senjata jalanya yang istimewa, akan tetapi hal itu hanya dapat terjadi karena Kian Bu menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Kalau berhadapan satu lawan satu, jangan harap bekas ketua Pulau Neraka ini akan mampu menangkap Kian Bu! Kini, dia sengaja mengejek Hek-hwa Lo-kwi, dan dia sendiri sudah maju menubruk Hwee Li.

Di dalam lubuk hatinya, Hwee Li merasa amat membenci kakek yang pernah menjadi ayahnya ini. Orang ini adalah musuh besarnya, yang telah memperkosa ibu kandungnya sampai mati! Maka, kini melihat bahwa dia tidak mendapat jalan lain kecuali melawan, dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan diam-diam dia telah mempersiapkan dirinya. Selama beberapa tahun dia sedikit banyak telah menerima ilmu-ilmu tentang racun dari gurunya. Dia maklum bahwa kalau mempergunakan ilmu silat, tentu saja dia tidak akan mampu melawan bekas ayahnya ini. Ular-ularnya telah dirampas oleh mereka ketika dia menjadi tawanan di dalam benteng, juga semua senjata rahasia telah dirampas orang. Dia pun tidak memegang senjata apa-apa, maka begitu melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruk, dia cepat menghindarkan diri, meloncat jauh ke kiri dan tangannya menyambar tanah di bawah kakinya. Kini kedua tangannya mengepal segenggam tanah bercampur pasir dan dia telah mengerahkan sinkangnya. Di dalam kepalan tangannya, tanah dan pasir itu berubah menjadi hitam dan telah mengandung racun yang amat hebat! Itulah satu di antara ilmu racun yang diterimanya dari gurunya. Gurunya adalah Ceng Ceng atau Nyonya Kao Kok Cu, murid mendiang Ban-tok Mo-li si Iblis Betina Selaksa Racun! Dan memang dia berguru kepada Ceng Ceng hanya untuk mempelajari tentang racun seperti telah dijanjikan oleh gurunya itu (baca Kisah Sepasang Rajawali).

Melihat tubrukannya dihindarkan oleh dara itu, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. Tugasnya jauh lebih ringan daripada tugas Hek-hwa Lo-kwi yang harus menghadapi Siluman Kecil seorang diri, maka dia pun tidak mau tergesa-gesa. Dia hendak membiarkan dulu Hek-hwa Lo-kwi setengah mati menghadapi lawan tangguh itu, dan dia akan seenaknya saja menangkap bekas anaknya ini yang dianggapnya merupakan pekerjaan mudah. Nanti kalau temannya yang dibencinya itu sudah benar-benar membutuhkan bantuan, barulah dia akan merobohkan Hwee Li dan membantunya. “Heh-heh, bocah kurang ajar, kaukira dapat melepaskan diri dariku? Kalau tidak mengingat pangeran, tentu aku sudah menelanjangimu dan mempermainkanmu seperti aku mempermainkan ibumu dahulu, baru kulobangi kepalamu! Ha-ha-ha!”

Hampir Hwee Li menjerit saking marah dan bencinya mendengar kata-kata itu, akan tetapi dia menahan kemarahannya, dia menggerakkan kaki berputar-putar dan mundur-mundur menjauhi lawan, akan tetapi sepasang matanya mengincar tajam, mencari kesempatan kalau lawan lengah akan diserangnya dengan “senjata” istimewa di dalam genggaman kedua tangannya itu.

Sementara itu, Hek-hwa Lo-kwi juga sudah mulai menyerang Kian Bu. Dengan suara melengking nyaring, dia telah bergerak ke depan, kedua tangannya mengeluarkan suara seperti angin puyuh mengamuk, dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar bau wengur yang mengeluarkan sinar putih. Kian Bu terkejut. Hebat ilmu pukulan itu, pikirnya. Ada serangkum hawa yang amat tajam dan berbau wengur menyambar. Dia maklum bahwa bukan hanya hawa itu yang dapat melukai orang, akan tetapi juga bau itu dapat merobohkan lawan karena mengandung racun berbahaya. Namun, dia sudah cepat mengelak dan membalas dengan pukulan dari samping, dengan telapak tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang. Tenaga berhawa panas membakar ini menyambar dari samping ke arah tubuh Hek-hwa Lo-kwi. Demikian cepat gerakan Kian Bu sehingga pukulan itu tidak mungkin dapat dielakkan lawan lagi. Satu-satunya jalan bagi lawan hanyalah menangkis dan hal ini pun dilakukan oleh Hek-hwa Lo-kwi tanpa ragu-ragu lagi. Dia membalik ke kiri menghadapi pemuda itu dan menggerakkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut pukulan Kian Bu. Serangkum angin dahsyat menyambar dan segulung sinar putih nampak, bertemu dengan hawa pukulan Kian Bu yang tidak kelihatan itu.

“Nyesssss....!”

Kian Bu terkejut bukan main. Hawa pukulannya yang mengandung hawa panas itu seperti terjun ke dalam air dingin saja rasanya, seperti api yang disiram air dingin. Nampak asap hitam mengepul di antara mereka ketika kedua pukulan itu bertemu dan Kian Bu merasa betapa hawa pukulan Hwi-yang Sin-ciang itu membalik, seperti seekor naga yang kembali ke gua karena takut bertemu lawan yang kuat! Namun, pemuda ini sudah menguasai sinkang dari Pulau Es itu dengan sempurna, maka dia dapat menyimpan kembali hawa itu tanpa melukai dirinya sendiri. Dia melihat tubuh kakek bermuka tengkorak itu juga tergoyang, berarti bahwa hawa pukulan kakek itu pun membalik. Maka dia merasa penasaran. Siluman Kecil ini belum mau mempergunakan pukulan gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang dilatihnya atas petunjuk Kim Sim Nikouw, karena pukulannya itu dianggapnya terlalu berbahaya sehingga membahayakan nyawa lawan, padahal dia tidak mau membunuh lawan ini. Bahkan dia sekarang merasa ngeri sendiri mengingat betapa pukulan gabungannya yang amat hebat itu hampir saja menewaskan kakaknya sendiri, maka diam-diam dia berjanji di dalam hatinya bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak mau mengeluarkan pukulan gabungan itu. Kini, melihat betapa Hwi-yang Sin-ciang dapat ditangkis lawan dan tidak berhasil, dia lalu mengganti sinkangnya menjadi Swat-im Sin-kang dan dia lalu memukul lagi, sekali ini dengan pukulan hawa dingin, yaitu Swat-im Sin-ciang. Serangkum angin yang mengandung hawa dingin melebihi salju menyambar ke depan. Kakek itu memandang tajam.

“Bagus....!” Hek-hwa Lo-kwi berseru girang dan seperti juga tadi, dia telah menggerakkan kedua tangan mendorong ke depan. Serangkum angin dahsyat didahului sinar putih bergulung-gulung menyambar serangan Kian Bu itu. Kembali kakek itu menggunakan ilmu pukulannya yang sakti, yaitu Pek-hiat-hoat-lek.

Kembali dua macam hawa pukulan sakti bertemu di udara. “Cesssss....!” Dan sekali lagi nampak asap mengepul, akan tetapi asap itu tidak hitam seperti tadi, melainkan berupa uap putih. Seperti juga tadi, Kian Bu merasa betapa hawa sakti yang dipergunakannya membalik, membuat tubuh atasnya bergoyang. Akan tetapi dia melihat Hek-hwa Lo-kwi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dia sudah merasa girang ketika dengan heran dia melihat kakek itu meloncat bangun sambil tertawa girang. Mendadak Kian Bu berteriak, “Celaka....!” dan dia pun terhuyung. Kepalanya terasa pening dan matanya berkunang, dadanya terasa gatal-gatal dan sesak! Tahulah dia bahwa dia telah terkena racun yang amat hebat.

Memang itulah kelihaian Pek-hiat-hoat-lek! Ketika tadi Kian Bu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang untuk menyerang, kakek itu menangkis dengan ilmunya yang mujijat, yang mengandung racun amat hebat. Dia sudah merasa penasaran dan heran melihat pemuda itu tidak apa-apa, akan tetapi dia segera tahu bahwa pemuda itu tadi menggunakan inti tenaga panas, maka tentu hawa beracun dari pukulannya telah terbakar dan buyar oleh hawa panas itu. Ketika pemuda itu kini memukul kembali dengan penggunaan tenaga dingin, dia merasa girang dan menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dan sekali ini dia berhasil! Memang dalam hal tenaga sinkang dia masih kalah setingkat oleh Kian Bu, akan tetapi pemuda Pulau Es ini tidak tahu bahwa ketika tangan saktinya membalik, tenaga itu sudah mengandung racun dari Pek-hiat-hoat-lek! Kalau tadi hawa beracun itu terbakar oleh panasnya Hwi-yang Sin-kang, kini hawa beracun itu malah menjadi kuat terbawa oleh Swat-im Sin-kang yang kembali dan otomatis tertarik ke dalam tubuh dan melukai dadanya! Hek-hwa Lo-kwi maklum bahwa pukulannya yang beracun itu telah melukai kawan, maka sambil tertawa dia lalu menubruk maju dengan pukulanpukulan itu yang dilakukan dengan bertubi-tubi. Memang hebat sekali ilmu mujijat ini. Angin berpusing-pusing dan sinar putih bergulung-gulung mengejar Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu pun sudah menjadi marah. Cepat tubuhnya berkelebatan dan dia sudah menggunakan Ilmu Sin-ho-coan-in yang membuat tubuhnya seperti kilat menyambar-nyambar saja, mencelat ke sana-sini sampai tak dapat diikuti oleh pandang mata saking cepatnya. Hek-hwa Lo-kwi terkejut dan menjadi bingun, namun dia terus mengejar.

Kian Bu tidak mengerahkan lweekang untuk melakukan pukulan mautnya, yaitu penggabungan Yang-kang dan Im-kang itu, karena dadanya telah terluka dan terkena hawa beracun. Kalau dia mengerahkan lweekang terlalu kuat, maka tentu racun itu akan menjalar dan lukanya akan menjadi parah. Maka kini dia mengandalkan kecepatannya dan berusaha untuk menotok lawan. Namun, dia harus berlaku hati-hati dan gerakannya menjadi kurang gesit karenanya, tidak seperti biasa, sungguhpun kecepatan itu masih membuat Hek-hwa Lo-kwi menjadi bingung.

“Dia sudah terluka! Lo-mo, hayo cepat bantu aku. Sialan kau!” Hek-hwa Lo-kwi berteriak-teriak.

Hek-tiauw Lo-mo tentu saja melihat hal itu. Diam-diam dia juga merasa girang dan kagum terhadap kelihaian ilmu pukulan kawan yang tidak disukainya itu. Maka dia lalu menubruk Hwee Li yang sejak tadi hanya dikejar-kejar dan di desaknya itu. Hwee Li tidak dapat mengelak, lalu menyambut dengan tendangan dan pukulan.

“Dukkk!” Tendangan kakinya mengenai perut bekas ayahnya, akan tetapi tendangan itu membalik dan kakinya terasa nyeri. Cepat dia meloncat ke belakang, kedua tangannya diayun ke depan dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah muka dan dada Hek-tiauw Lo-mo. Itulah “senjata” tanah dan pasir yang telah berubah menjadi senjata beracun itu. Dia memang menanti saat baik dan kinilah saatnya. Bukan hanya karena dia telah terdesak, akan tetapi juga melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruknya sambil tertawa dan kelihatan lengah.

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya. Diserang secara mendadak seperti itu, dia tidak menjadi gugup, bahkan suara ketawanya tidak berhenti, dia hanya menggerakkan kedua lengan yang tadinya hendak menubruk itu, kini digerakkan cepat sehingga ujung kedua lengan bajunya yang lebar itu bergerak seperti bendera berkibar dari mana menyambar angin yang keras dan senjata rahasia hitam yang lembut terdiri dari tanah dan pasir itu tentu saja menjadi buyar dan tertiup ke kanan kiri. Sebelum Hwee Li dapat mengelak, dia telah kena ditendang lututnya dan jatuh terpelanting. Sebuah totokan kilat menyusul dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi, hanya memaki-maki kalang-kabut, “Iblis tua bangka keparat! Anjing babi monyet tua mau mampus!”

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo hanya tertawa dan kini tiba-tiba dia menubruk ke samping, menyerang Kian Bu sambil mencabut keluar dua senjatanya yang hebat, yaitu golok gergaji di tangan kanan dan jala hitam itu dikepalnya di tangan kiri. Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher pemuda itu. Namun, tubuh Kian Bu berkelebat lenyap dan biarpun kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang amat lihai itu, namun mereka berdua tidak pernah dapat memukul atau membacoknya. Tubuhnya berkelebatan terlalu cepat, dan tempat itu luas sekali sehingga leluasalah bagi Kian Bu untuk memainkan ilmunya yang berdasarkan ginkang sempurna itu. Akan tetapi, setelah kini dikeroyok dua, tipislah harapannya untuk dapat merobohkan dua orang lawannya. Dia sama sekali tidak berani mengerahkan sinkang terlalu kuat, padahal kalau hanya mengandalkan ilmu silat biasa saja, sukarlah merobohkan dua orang raksasa ini. Dan rasa gatal dan sesak di dadanya makin menghebat, apalagi melihat betapa Hwee Li telah roboh tertotok, hatinya menjadi agak gelisah dan hal ini makin mengacaukan gerakannya! Hampir saja dia kena disabet golok Hek-tiauw Lo-mo ketika dia melirik Hwee Li, maka dia cepat melempar diri ke belakang dan kini dia tidak mau membagi perhatiannya. Sebetulnya, kalau dia mau pergi dan melarikan diri, dengan mengandalkan ilmu Sin-ho-coan-in, dengan mudah dia dapat meninggalkan dua orang kakek itu dan mereka tidak mungkin dapat mengejar larinya, biar mereka itu menunggang garuda sekalipun. Akan tetapi, dia tidak bisa meninggalkan Hwee Li. Maka kini Kian Bu mencari kesempatan untuk dapat menolong Hwee Li dan membawanya pergi dari situ secepatnya.

Akan tetapi, dua orang kakek itu adalah tokoh-tokoh besar yang selain lihai ilmu mereka, juga amat cerdik. “Ha-ha-ha, Lo-mo, dia sudah terluka, jangan sampai dia melarikan anakmu yang puthauw (tidak berbakti) itu!” kata Hek-hwa Lo-kwi dan setelah berkata demikian, dia menyerang lagi dengan pukulan beracunnya. Untuk ke sekian kalinya, Kian Bu tidak berani menangkis dan hanya mengelak. Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan sebotol benda cair berwarna kuning dan menuangkan benda cair itu di sekeliling tubuh Hwee li yang rebah. Nampak asap mengepul dan tanah yang terkena benda cair itu mendidih!

Melihat ini, agaknya Hek-tiauw Lomo tidak mau kalah. Dia mengeluarkan segenggam paku berwarna hijau dari saku jubahnya yang lebar, lalu sekali tangannya bergerak, paku-paku itu menancap di sekeliling tempat Hwee Li rebah dan anehnya, paku-paku itu menancap berdiri dengan ujungnya yang runcing di atas sehingga siapapun yang akan menolong Hwee Li harus melalui asap beracun dan juga paku-paku beracun itu.

Kian Bu menjadi makin khawatir. Kalau tidak dihalangi oleh dua orang ini, tentu saja dia tidak merasa berat untuk mengeluarkan Hwee Li dari kurungan asap dan paku itu. Merobohkan mereka sementara ini tidak mungkin karena dia tidak dapat mengerahkan lweekangnya yang terlalu kuat. Melarikan diri tanpa membawa Hwee Li juga dia tidak mau melakukannya, maka dia menjadi serba salah!

Tiba-tiba terdengar suara parau, “Benarkah katamu bahwa dia itu Siluman Kecil?”

Pertanyaan parau ini dijawab oleh suara merdu seorang gadis, “Mana bisa keliru, Suhu? Teecu mengenalnya dengan baik.”

Kian Bu yang sedang berloncatan ke sana-sini menghindarkan terjangan dua orang itu, cepat melirik. Dia melihat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bermuka hitam dan berpakaian sederhana berwarna hitam pula, telah berdiri di situ bersama seorang gadis cantik yang pakaiannya serba merah muda, di punggungnya membawa sebatang pedang yang dihias ronce merah tua. Dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Ang-siocia, gadis maling yang pernah mencuri pusaka-pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin itu! Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak pernah mimpi bahwa gadis ini, yang dikenalnya sebagai Ang-siocia, sesungguhnya bukan lain adalah Kang Swi yang pernah menemaninya dalam perjalanan menuju ke Ho-nan, si kongcu royal itu, dan juga gadis inilah nenek penjual sepatu yang telah mencuri uangnya sekantung!

“Hemmm, aneh....!” kata kakek bermuka hitam itu yang bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling Sakti Hitam, guru dari Ang-siocia yang bernama Kang Swi Hwa itu. “Gerakannya demikian hebat dan lincah, dua orang iblis tua ini sama sekali tidak akan mampu memukulnya roboh. Hebat bukan main, akan tetapi mengapa dia tidak balas menyerang?” Setelah menonton pertempuran itu, Hek-sin Touw-ong berkata dengan heran. Dia melihat gerakan pemuda berambut putih itu memang luar biasa sekali. Dia sendiri yang di juluki Raja Maling dan memiliki ginkang yang cukup tinggi, menjadi silau menyaksikan gerakan yang secepat itu. Akan tetapi mengapa pemuda itu tidak balas menyerang, padahal kalau pemuda itu menggunakan lweekang dan balas menyerang, mengandalkan kecepatan gerakannya, dua orang kakek itu mana mampu mengelak atau menangkis? Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kian Bu telah menderita luka dan keracunan di dadanya, juga dia tidak tahu bahwa kecepatan Kian Bu itu belum sepenuhnya, baru tiga perempat bagian saja karena gerakannya sudah menjadi berkurang kecepatannya karena lukanya.

“Suhu, tentu ada sebabnya dia tidak dapat membalas. Dan lihat gadis itu.... ah, dia agaknya terluka, tidak mampu bergerak.... dan dia dikurung asap aneh dan paku-paku hijau.” Kang Swi Hwa mendekati Hwee Li.

“Awas, Hwa-ji, jangan kau menyentuh paku atau terlalu dekat dengan asap itu!” gurunya memperingatkan karena dia merasa curiga.

Hwee Li juga melihat munculnya dua orang ini. Dia tidak mengenal mereka, akan tetapi dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa mereka, terutama kakek itu, tentu memiliki kepandaian. Dan melihat sikap mereka, agaknya mereka itu bukan orang-orang jahat dan bukan pula sekutu dua orang iblis tua itu.

“Heiii, kalian ini apakah orang-orang pengecut, ataukah orang-orang jahat yang menjadi kaki tangan dua orang kakek iblis jahanam ini?” tanya Hwee Li dengan suara lantang.

Kakek itu mengerutkan alisnya dan Swi Hwa yang juga berwatak galak lalu mendamprat, “Kau ini bocah bermulut lancang dan rusak! Rasakan saja sekarang, memang sudah pantas sekali kalau kau mengalami nasib seperti itu. Huh! Mengatakan orang pengecut dan jahat! Manusia seperti engkau ini yang agaknya jahat dan pengecut!”

“Swi Hwa, jangan sembrono dan jangan layani orang!” gurunya memperingatkan, karena dia masih kagum sekali terhadap gerakan orang muda yang telah lama dia kenal namanya sebagai Siluman Kecil itu.

“Kalau kalian bukan pengecut dan bukan orang jahat, mengapa tidak lekas membantu dia yang dikeroyok oleh dua orang iblis tua bangka itu? Mereka hendak memperkosa aku dan dia itu telah membelaku, kalau kalian diam saja berarti kalian membantu dua iblis jahat itu!” Hwee Li berkata lagi.

“Hemmm, kau bocah bermulut jahat ini memang sepatutnya mengalami nasib seperti itu! Aku malah ingin menontonnya!” Kang Swi Hwa balas membentak.

“Wah, kau perempuan cabul....!” Hwee Li memaki dan kehabisan akal. Lalu dia berkata kepada Hek-sin Touw-ong, “Orang tua yang baik, aku melihat engkau bukan orang lemah, apakah kau tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu?”

“Apa? Mereka itu adalah....“

“Benar, Suhu. Kakek yang mukanya seperti tengkorak itu adalah ketua dari Kui-liong-pang di lembah. Dialah Hek-hwa Lo-kwi yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Nepal itu. Dan gadis berpakaian hitam galak itu bukan lain adalah puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka, maka jangan dipercaya omongannya. Mana mungkin Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi ayahnya sendiri itu hendak memperkosanya?” kata Kang Swi Hwa. Seperti kita ketahui, ketika diadakan pertemuan para tokoh kang-ouw, Swi Hwa atau Ang-siocia ini juga hadir mewakili gurunya yang tidak berkenan hadir. Dan di dalam pertemuan di lembah itu, dia juga bertemu dengan Hwee Li yang mewakili ayahnya yang juga tidak dapat hadir.

“Aihhh, kiranya engkau si maling betina itu? Wah, celaka, kiranya kalian ini maling-maling besar dan kecil, tentu cocok sekali dengan iblis-iblis itu! Mampuslah kalian dimakan api neraka!” Hwee Li memaki-maki dan putus harapan. Baru sekarang dia mengenal Ang-siocia. Kalau gadis itu datang bersama gurunya yang dikenalnya sebagai maling tua atau raja maling itu, dan yang dulu datang menghadiri pertemuan di lembah, tentu mereka ini juga menjadi anak buah dari pangeran pula!

Akan tetapi, Hek-sin Touw-ong sudah mencegah muridnya membuka mulut lagi. Dia merasa amat heran. Memang aneh yang dia hadapi ini. Muridnya tidak mungkin bisa keliru. Gadis itu jelas ditotok orang. Sepantasnya, kalau gadis itu benar puteri dari Hek-tiauw Lo-mo yang mainkan golok gergaji secara lihai itu, tidak mungkin gadis itu dirobohkan oleh ayahnya sendiri, apalagi hendak diperkosa seperti yang diceritakan oleh gadis baju hitam itu. Jadi, tentu pemuda rambut putih itulah yang telah menotoknya. Dan kalau pemuda rambut putih itu yang menotok dan hendak memperkosanya, barulah benar dan masuk di akal. Akan tetapi, dia mengenal nama Siluman Kecil sebagai seorang pendekar besar yang amat terkenal, masa sekarang ternyata hanyalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang rendah saja?

“Ha, apakah Lote ini Hek-sin Touw-ong?” Tiba-tiba Hek-hwa Lo-kwi yang merasa penasaran karena dia dan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang belum juga mampu merobohkan Kian Bu, berkata.

“Kebetulan sekali, marilah bantu kami menangkap Siluman Kecil ini yang berani melarikan tunangan Pangeran Liong Bian Cu. Mari bantu kami merobohkan dia dan membawa kembali tunangan pangeran itu ke lembah!”

“Tunangan pangeran....?” Kang Swi Hwa berkata lirih penuh keheranan, lalu dia mengangguk-angguk. “Ahhh, kiranya dia telah diangkat menjadi tunangan pangeran. Cocok sekali!”

“Cocok hidungmu!” Hwee Li membentak dan matanya melotot. “Boleh kaugantikan saja kalau kau sudah ingin sekali menjadi kekasihnya. Kalau aku sih tidak sudi!”

Kang Swi Hwa tidak menjawab. Seperti juga gurunya, dia bingung menghadapi keadaan yang serba runyam dan bertentangan itu. Gadis itu tunangan pangeran, puteri Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi kini tertawan dan tertotok, dan gadis itu malah membantu Siluman Kecil agaknya.

Melihat betapa guru dan murid itu bengong saja, memandang kepadanya dan kepada pertempuran itu seperti orang-orang tolol, Hwee Li menjadi mendongkol sekali. Melihat betapa kakek bermuka hitam itu tidak melayani ajakan Hek-hwa Lo-kwi, timbul harapannya dan dia lalu berkata nyaring, “Hek-sin Touw-ong, biarpun julukanmu Raja Maling, kulihat engkau tidak sejahat muridmu itu. Ketahuilah bahwa aku dipaksa dan ditawan di lembah oleh pangeran brengsek dari Nepal itu yang dibantu oleh anjing-anjing tua termasuk Hek-tiauw Lo-mo ayah palsu dan bukan ayahku itu. Aku dapat diloloskan oleh Siluman Kecil, akan tetapi dikejar dan.... entah mengapa, dia agaknya belum juga mampu merobohkan dua ekor anjing tua bangka itu. Maka, kalau engkau masih mengaku sebagai orang tua yang gagah, yang pantas kusebut locianpwe, harap kau suka membantunya. Lekaslah, Locianpwe!”

“Ha-ha, kita adalah orang segolongan, kalau membantu Pangeran Nepal tentu kelak kita akan memperoleh kedudukan besar. Mari bantu kami menangkap Siluman Kecil yang sombong ini, Hek-sin Toauw-ong!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi.

“Swi Hwa, kaubebaskan totokannya, akan tetapi hati-hati, jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu!” tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata dan dia lalu meloncat ke dalam gelanggang pertempuran, tangan kirinya mengirim serangan dengan tangan dimiringkan seperti pedang dan menyambar ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Si muka tengkorak ini terkejut dan marah sekali melihat si Raja Maling itu ternyata malah membantu Siluman Kecil. Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan mengelak:

“Srattt!” Dan ujung lengan bajunya putus seperti terbabat pedang yang amat tajam!

“Ahhh....!” Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Kiranya maling tua ini memiliki ilmu pukulan yang demikian hebatnya. Teringatlah dia akan kepandaian murid raja maling ini, yang pernah mendemonstrasikan Ilmu Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok). Kalau murid perempuan itu memperlihatkan ilmu itu menggunakan pedang, kini si raja maling ini menggunakan tangan seperti pedang! Dia balas menyerang dan karena Hek-sin Touw-ong juga maklum akan kelihaian ketua Kui-liong-pang ini, maka dia pun cepat mengelak dan balas menyerang. Segera terjadi pertempuran hebat, saling menyerang antara dua orang kakek ini. Masuknya Hek-sin Touw-ong ke dalam pertempuran ini benar-benar amat menolong Kian Bu. Tentu saja dia tidak akan dapat dirobohkan oleh dua orang lawannya, akan tetapi dia pun sama sekali tidak mungkin dapat merobohkan mereka berdua tanpa mengerahkan sinkang. Kini, setelah Hek-hwa Lo-kwi meninggalkannya dan dia hanya menghadapi Hek-tiauw Lo-mo seorang, Kian Bu mempercepat gerakannya sehingga Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung. Dia seperti seekor biruang besar yang menghadapi seekor lebah, dia menyerang ke sekelilingnya dan lebah itu beterbangan mengelilinginya. Beberapa kali jala hltamnya menyambar di antara sinar goloknya yang bergulung-gulung, namun tak pernah berhasil karena gerakan Kian Bu terlalu cepat. Tiba-tiba Kian Bu yang mendapat kesempatan meloncat ke belakang tubuh kakek itu mengulurkan tangan dan menotok tengkuk Hek-tiauw Lo-mo.

“Dukkk....!” Tubuh Hek-tiauw Lomo terguling, akan tetapi karena Kian Bu tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga dalam totokannya tadi, kakek raksasa itu tidak lumpuh sama sekali, hanya sebagian saja dan dia masih berusaha memulihkan jalan darahnya. Kian Bu cepat menyusulkan sekali totokan lagi dan robohlah kakek itu dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi!

Sementara itu, Kang Swi Hwa sudah mendekati tempat Hwee Li rebah. Nona ini boleh jadi lihai dalam ilmu silat, terutama sekali dalam ilmu mencopet dan ilmu penyamaran, akan tetapi tentang racun, pengertiannya baru kelas nol. Maka dia menghampiri lingkaran asap dan barisan paku hijau itu dengan ragu-ragu. Jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu, pesan gurunya. Dengan hati-hati sekali Swi Hwa menghampiri lingkaran itu. Melihat bahwa lingkaran asap dan paku-paku itu hanya memisahkan tempat dara pakaian hitam itu rebah dengan tempat dia berdiri sejauh kurang lebih tiga meter saja, maka dia lalu menggunakan ginkangnya dan melompat melewati lingkaran asap dan paku yang berjajar.

Hwee Li melihat itu semua dan tersenyum. Mampuslah, pikirnya! Akan tetapi dia, diam saja. Dara ini semenjak kecil dirawat dan dididik oleh seorang manusia ganas dan kejam macam Hek-tiauw Lo-mo, maka tentu saja dia pun mempunyai watak yang ganas dan tidak mengenal kasihan, sungguhpun sering pula timbul sifat-sifat baiknya yang banyak tertutup oleh pendidikan Hek-tiauw Lo-mo. Apalagi setelah dia ikut bersama gurunya yang baru, yaitu Ceng Ceng, sering kali dia menerima teguran-teguran dan petunjuk-petunjuk, juga dia melihat sifat-sifat dan watak-watak Ceng Ceng dan suaminya sebagai pendekar-pendekar besar yang gagah perkasa, maka banyak kegagahan yang menular pula kepadanya. Akan tetapi kadang-kadang, timbul keganasannya yang dia bawa dari Pulau Neraka, apalagi kalau dia sedang marah. Dan saat itu dia memang sedang marah. Dia ditotok orang, tak mampu bergerak, lalu muncul gadis baju merah yang menggemaskan hatinya.

Swi Hwa berhasil meloncat ke dekat Hwee Li. Dia mencium sesuatu yang aneh dan kepalanya merasa agak pening, akan tetapi dia tidak tahu sebabnya. “Bocah galak, akhirnya toh engkau membutuhkan pertolonganku....“ kata Swi Hwa akan tetapi begitu dia bicara, rasa pening di kepalanya bertambah.

Hwee Li menjebikan bibirnya yang merah. “Huh, siapa membutuhkan pertolonganmu? Kaulihat saja, bukan aku yang membutuhkan pertolonganmu, melainkan engkaulah yang akan mampus kalau tidak ada aku yang menolongmu!”

Tentu saja Swi Hwa menjadi marah. Ingin dia menampar muka yang cantik itu. Akan tetapi gurunya telah memerintahkan dia untuk membebaskan totokan yang membuat gadis baju hitam ini tak dapat bergerak. Dia tidak berani membangkang terhadap perintah gurunya. Pula, dia kini tahu bahwa gadis ini ternyata bukanlah anak Hek-tiauw Lo-mo, bukan sekutu si pangeran bahkan dipaksa untuk menjadi isteri pangeran itu. Malah gadis ini ditolong oleh Siluman Kecil! Hal ini sedikit banyak membuat dia mengiri juga.

“Huh, manusia macam engkau ini mana pantas ditolong orang?” dia bersungut-sungut akan tetapi kembali kepalanya seperti dihantam orang rasanya kalau dia bicara. Maka dia tidak mau bicara lagi dan cepat dia menggerakkan tangan hendak membebaskan totokan yang melumpuhkan Hwee Li.

“Nanti dulu!” kata Hwee Li. “Totokan ini dilakukan oleh Hek-tiauw Lo-mo, orang macam engkau mana mampu membuyarkannya? Hayo kautotok jalan darah in-thai-hiat. Yang keras, karena ilmu totok iblis tua itu adalah Su-sat-jiu, tidak mudah dibuyarkan!”

Sikap dan kata-kata Hwee Li benar-benar membuat Swi Hwa menjadi mendongkol bukan main. Bocah ini benarbenar sombong, pikirnya. Akan tetapi karena dia tentu akan makin diejek dan makin dipermainkan kalau dia gagal membuyarkan totokannya, maka dia lalu menotok dengan pengerahan lweekangnya ke arah jalan darah in-thai-hiat di punggung Hwee Li.

“Dukkk....!” Totokan itu keras sekali, membuat punggung Hwee Li terasa sakit akan tetapi segera dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebaliknya, Swi Hwa mengeluh dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Hwee Li bangkit berdiri, mengurut-urut lengan dan kakinya yang terasa kaku sambil memandang kepada Swi Hwa dengan senyum mengejek. Tiba-tiba terdengar seruan Hek-sin Touw-ong, “Hei, apa yang terjadi dengan Swi Hwa?” Dia hendak melompati lingkaran asap itu, akan tetapi Hwee Li cepat mencegahnya dengan teriakan, “Touw-ong, jangan meloncat ke sini! Dia juga keracunan setelah meloncat ke sini, biar aku membawanya keluar!”

Kiranya Hek-hwa Lo-kwi juga sudah dapat dirobohkan dengan totokan. Ketika Kian Bu tadi berhasil merobohkan Hek-tiauw Lo-mo, dia melihat betapa pertempuran antara Hek-hwa Lo-kwi dan Raja Maling itu masih berlangsung dengan amat hebatnya. Si Raja Maling itu memang lihai sekali. Ilmu Kiam-to Sinciang membuat kedua tangannya seperti golok dan pedang, bahkan hawa pukulannya saja telah berubah menjadi seperti sinar pedang yang mampu merobohkan lawan tangguh. Sebaliknya, Hek-hwa Lo-kwi juga mengeluarkan ilmunya yang mujijat itu, Pek-hiat-hoat-lek yang telah berhasil membuat Kian Bu terluka dan keracunan. Kian Bu mengkhawatirkan keselamatan si Raja Maling, mengingat akan jahatnya Ilmu Pukulan Darah Putih itu, maka dia cepat meloncat dan mempergunakan kecepatannya untuk menotok jalan darah di tengkuk Hek-hwa Lo-kwi. Kakek itu mengeluh dan terpelanting, dan saat itu dipergunakan oleh Hek-sin Touw-ong untuk menyusulkan totokannya sendiri yang dilakukan dengan kekuatan penuh sehingga Hek-hwa Lo-kwi roboh dan pingsan.

Mendengar ucapan Hwee Li, Hek-sin Touw-ong terkejut dan ragu-ragu. “Harap turut saja kata-katanya, Locianpwe, dia memang ahli dalam hal racun,” kata Kian Bu dan dia sendiri pun cepat duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya untuk mengumpulkan hawa murni dan melawan hawa beracun yang melukai dadanya.

Hwee Li mengempit tubuh Swi Hwa, menggunakan saputangan untuk menutupi mulut dan hidung gadis baju merah itu dengan mengikatkan saputangan di depan muka gadis itu, kemudian dia melompat keluar melalui atas lingkaran asap yang mulai mengecil dan padam itu. Akan tetapi, begitu dia melihat Kian Bu duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya, Hwee Li terkejut dan dia melepaskan tubuh Swi Hwa yang masih pingsan itu ke atas tanah dan tergopoh-gopoh dia menghampiri Kian Bu tanpa mempedulikan lagi kepada Swi Hwa. Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan sibuk memeriksa dan mencoba membuat sadar muridnya yang pingsan itu.

“Kian Bu, kau.... kau kenapa? Apakah kau terluka?” Hwee Li berlutut di dekat Kian Bu dan bertanya dengan penuh kekhawatiran.

Kian Bu membuka matanya, tersenyum. “Hek-hwa Lo-kwi mempunyai pukulan aneh, tanpa kuketahui lebih dulu terkena hawa beracun dari pukulannya...., akan tetapi perlahan-lahan dapat kuusir dengan sinkang....“

“Ahhh? Kau terkena Pek-hiat-hoat-lek! Aku tahu macam apa pukulan iblisnya itu! Dan kau bilang perlahan-lahan? Aku mempunyai obat penawar segala racun, buatan Subo yang amat ces-pleng (manjur) sekali!” Gadis itu segera mengeluarkan buntalan besar dari dalam saku bajunya dan membuka buntalan itu, memilih-milih obat. Kemudian dia mengeluarkan sebungkus obat pulung berbentuk bundar-bundar kecil seperti tahi kambing dan memberikan dua butir kepada Kian Bu. “Kautelan ini dan tentu hawa itu akan mudah terusir!” katanya.

Kian Bu maklum akan kelihaian dara ini tentang segala racun, maka dia percaya, menerima dua butir obat pulung seperti tahi kambing itu dan menelannya sekaligus. Rasanya agak pahit, akan tetapi mengandung manis dan baunya tidak seperti tahi kambing, melainkan agak harum. Begitu dua butir obat pulung itu memasuki perutnya, terdengar perutnya berkeruyuk dan ada hawa panas berkumpul di situ. Kian Bu kaget dan girang sekali. Tak disangkanya obat tahi kambing itu benar-benar hebat sekali, maka dia lalu menggunakan sinkangnya, perlahan-lahan mendorong hawa panas itu ke arah dadanya. Benar saja, hawa panas yang terdorong sinkangnya itu seolah-olah seperti api yang membakar hawa beracun yang menyesakkan dadanya. Hawa beracun itu menjadi asap dan membubung naik melalui hidung dan mulutnya dan dia mencium bau yang amis bercampur bau harum obat tadi. Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang sakti, memiliki sinkang yang amat hebat. Andaikata dia tidak diberi obat sekalipun dengan sinkangnya dia tentu akan mampu mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi hal itu akan memakan waktu agak lama karena dia harus berhati-hati mengerahkan sinkangnya. Kini, obat yang manjur itu membuat dia dalam waktu singkat dapat mengusir hawa beracun dari pukulan Pek-hiat-hoat-lek.

“Taihiap...., Lihiap...., harap Ji-wi (Anda berdua) sudi menolong muridku ini!” tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata sambil mendekati Kian Bu dan Hwee Li setelah dia melihat pemuda itu kini membuka mata dan tersenyum, mukanya juga tidak sepucat tadi tanda bahwa pemuda itu telah sehat kembali. Hek-sin Touw-ong adalah seorang tokoh kang-ouw yang pandai, akan tetapi tentang urusan racun dia pun tidak banyak tahu, maka melihat keadaan muridnya dia merasa khawatir bukan main. Sudah dicobanya dengan segala kekuatannya untuk menyadarkan muridnya, akan tetapi usahanya sia-sia belaka dan wajah Swi Hwa kini malah menjadi kebiruan, maka dia menjadi gelisah dan tanpa sungkan-sungkan dia lalu minta tolong kepada Siluman Kecil dan puteri Hek-tiauw Lo-mo itu.

Hwee Li yang melihat Kian Bu telah sembuh, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Swi Hwa.

“Touw-ong, muridmu ini mulutnya jahat sekali, maka sudah sepantasnya dia menerima hajaran ini, Kuharap saja lain kali engkau suka menjaga agar mulutnya jangan suka menghina orang!”

“Enci Hwee Li, jangan kurang ajar, harap lekas sembuhkan dia!” Kian Bu berkata dengan alis berkerut.

“Hemmm, baru saja kusembuhkan kau sudah lupa lagi, ya? Engkau ini adik macam apa berani bicara kasar kepada encinya!”

Dalam keadaan biasa, tentu Hek-sin Touw-ong akan merasa heran sekali mendengar ucapan mereka berdua itu, akan tetapi karena dia amat khawatir melihat muridnya, dia tidak mempedulikan hal lain dan cepat berkata kepada Hwee Li, “Nona yang baik, harap Nona sudi menolong muridku dan aku Hek-sin Touw-ong tidak akan melupakan kebaikanmu ini.”

Wajah Hwee Li berseri-seri dan mulutnya yang manis itu tersenyum, matanya bersinar-sinar penuh kebanggaan. Biarpun hanya seorang maling, namun kakek ini adalah Raja Maling! Seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal, namanya menjulang tinggi di seluruh perbatasan Ho-nan dan Ho-pei, juga di seluruh pantai Po-hai. Dan kini raja ini, biarpun raja maling, telah minta tolong kepadanya dengan ucapan yang demikian halus dan menghormat! Tentu saja dia bangga sekali!

“Aku akan mengobatinya dan pasti cepat sembuh. Aku mengenal racun-racun itu. Racun yang membakar tanah itu adalah racun yang amat berbahaya, cairan itu kalau mengenai kulit akan membuat kulit daging dan tulang hancur sama sekali, kecuali rambut saja cairan itu tidak mampu menghancurkan. Dan baunya juga berbahaya, karena asap racun itu dapat memabukkan orang. Iblis tua muka tengkorak itu memang paling suka memakai racun cuka busuk seperti itu! Dan tentang paku yang digunakan oleh ayah.... eh, oleh tua bangka Pulau Neraka itu hanyalah mainan kanak-kanak saja bagiku. Kaulihat!” Dia lalu menghampiri paku-paku itu setelah asap beracun itu kini padam, dan menggunakan kedua tangannya, sembarangan saja dia mencabuti paku-paku itu dan melempar-lemparkannya ke samping. Paku-paku itu mengeluarkan bunyi bercuitan, menancap pada batang dua pohon yang berdekatan. Dan seketika, pohon-pohon itu menjadi layu, daun-daunnya melayu dan rontok, menjadi gundul dan mati dalam waktu sebentar saja!

Wajah Hek-sin Touw-ong menjadi pucat. “Bukan main! Ah, Nona yang baik, tolonglah muridku ini....“

“Tapi dia tadi bicara kasar kepadaku....“ Hwee Li berlagak jual mahal!

“Hwee.... eh, Enci Hwee Li! Cepat kauobati dia!” Kian Bu berkata dengan suara keras.

Hwee Li mengerling kepadanya. “Hem, agaknya engkau sudah jatuh tergila-gila kepada seorang gadis berpakaian merah muda, ya? Aihhh, siapa tahu Siluman Kecil kiranya paling suka pada pakaian merah, hemmm....!”

“Enci Hwee Li, jangan main-main begitu! Orang sedang terancam bahaya maut, mengapa kau main-main seperti itu? Ingat, kedatangan mereka berdua ini telah menyelamatkan kita. Engkau tidak membalas budi malah menggoda orang!”

Hwee Li bersungut-sungut ditegur oleh Kian Bu, dan makin segan saja untuk turun tangan mengobati Swi Hwa. Melihat ini, Hek-sin Touw-ong yang sudah berpengalaman itu segera dapat mengenal watak si gadis yang aneh, ganas dan manja ini, maka dia lalu berkata, “Nona, aku berjanji akan menegur muridku dan selanjutnya dia tidak akan berani lagi bersikap kasar terhadapmu.” Kakek itu lalu menjura kepada si gadis galak dan berkata, “Kalau muridku telah berlaku salah, biarlah aku sebagai gurunya mintakan maaf kepadamu!”

Hwee Li memang seorang dara yang aneh. Dia memang dahulunya selalu dimanja oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi pada dasarnya dia mempunyai watak yang baik dan ramah. Kini, melihat kakek itu begitu menghormat kepadanya, dia Cepat-cepat menjura dan berkata dengan muka merah sekali, “Aihhh, Touw-ong.... jangan begitu. Sebetulnya aku pun telah bersikap kasar, kaumaafkanlah aku yang muda. Biar kuobati muridmu sekarang juga.”

Dia lalu berlari menghampiri Swi-Hwa yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan itu. Diambilnya obat bubuk dari bungkusannya, lalu diambilnya pula sebotol obat cair seperti arak. Dengan tutup guci arak yang berbentuk cangkir itu, dia menuangkan arak obat ke dalamnya, mencampurnya dengan obat bubuk itu. Nampak cairan seperti arak itu mengeluarkan suara mendesis dan asap mengepul dari dalam cangkir tutup guci. Kemudian, Hwee Li membuka sebuah bungkusan lain dan menaburkan sedikit bubuk merah ke dalam hidung Swi Hwa, Semua gerakannya ini diikuti penuh perhatian oleh Hek-sin Touw-ong dan Kian Bu. Diam-diam pemuda berambut putih itu merasa kagum dan juga geli menyaksikan sikap Hwee-li yang benar-benar menjadi seorang tukang obat atau seorang yang hendak bermain sulap sebelum menjual obatnya! Jari-jari tangannya begitu cekatan dan sikapnya begitu pasti.

“Haaa.... cinggggg....!” Tiba-tiba Swi Hwa berbangkis dan dia menjadi setengah sadar. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwee Li untuk mengangkat kepala gadis itu dan mencekokkan obat dari cangkirnya. Terdengar suara clegak-cleguk karena Swi Hwa terpaksa menelan obat itu, kemudian Hwee Li merebahkan kembali kepala gadis itu dan bangkit berdiri, membereskan bungkusan obatnya dan menoleh kepara Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.

“Dia sudah sembuh, sudah terbebas dari cengkeraman maut racun itu,” katanya seenaknya, lalu menoleh dan memandang kepada dua orang kakek yang masih rebah tak mampu bergerak karena tertotok jalan darah mereka.

“Eh, akan tetapi.... mengapa dia belum sadar, Nona?” Hek-sin Touw-ong bertanya dengan suara yang nadanya masih khawatir.

Hwee Li menoleh ke arah Swi Hwa dengan sikap tak acuh, lalu berkata, “Dia belum kentut, sih!”

Eh, apa....?” Kakek itu bertanya sambil membelalakkan matanya, bingung dan tidak mengerti, mengira dara berpakaian hitam itu masih marah.

“Racun itu sudah buyar, akan tetapi kalau dia belum kentut, dia tidak akan sadar. Kalau dia sudah kentut, itu tandanya dia sembuh benar-benar dan sadar....“ Sambil berkata demikian, Hwee Li kini melangkah menghampiri Hek-tiauw Lo-mo.

“Enci, benarkah kata-katamu itu?” tanya Kian Bu sambil mengikutinya, khawatir kalau gadis itu melakukan hal-hal yang tak dikehendakinya. Akan tetapi baru saja Kian Bu bertanya demikian, dari sebelah belakangnya terdengarlah suara itu.

“Puiiittttt....!”

Suara kentut yang nyaring. Nyaring dan merdu! Hampir Kian Bu tertawa. Mengapa kentut seorang dara cantik juga cantik terdengarnya? Bisa merdu? Bukan main!

“Suhu....!”

”Ah, syukurlah, kau telah sembuh, Swi Hwa. Dengar, yang menyembuhkanmu adalah Nona berbaju hitam itu, maka jangan sekali-kali kau bersikap kasar kepadanya. Kalau tidak ada dia....“ Selanjutnya Kian Bu tidak lagi mendengarkan kata-kata kakek Raja Maling itu kepada muridnya karena perhatiannya tertumpah kepada Hwee Li. Gadis ini menghampiri Hek-tiauw Lo-mo, berdiri dan memandang sebentar dengan sepasang mata terbelalak dan berapi-api, kemudian dia mengambil golok gergaji milik bekas ayahnya itu dan tanpa berkata apa pun dia lalu mengayun golok itu ke arah leher Hek-tiauw Lo-mo.

“Singgggg.... trakkk....!” Golok itu terpental oleh hantaman batu kecil yang dilontarkan oleh Kian Bu, sabetannya menceng dan hanya mengenai pundak Hek-tiauw Lo-mo sehingga pundak kiri kakek itu terluka dan mengeluarkan darah. Akan tetapi Hwee Li juga tidak mampu memegang gagang golok lebih lama lagi karena hantaman batu itu membuat tangannya tergetar hebat dan terpaksa dia melepaskan golok dan menoleh kepada Kian Bu dengan mata berapi karena marahnya.

“Kau.... kau malah membantu dia?” bentaknya marah, kedua tangannya siap dengan pasangan kuda-kuda, siap untuk bersilat dan menyerang Kian Bu! Kakinya memasang kuda-kuda dengan satu kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat ke lutut seperti jurus Kim-ke-tok-lip, dan tangan kanan dengan telapak ke atas ditarik ke depan pusat, tangan kiri terbuka miring di depan dada. Dia telah memasang kuda-kuda jurus Jeng-pai-kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring), dan menghadapi Kian Bu dengan sikap marah!

Kian Bu sejak tadi sudah merasa curiga dan menduga bahwa tentu gadis itu akan melakukan serangan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kalau orang lain yang melakukan serangan dan membunuh kakek iblis itu, agaknya dia tidak akan mencampurinya dan akan membiarkan saja. Memang kakek iblis Pulau Neraka ini adalah seorang manusia yang berwatak iblis, sudah sepantasnya kalau dibunuh seratus kalipun! Akan tetapi, dia teringat bahwa Hwee Li adalah seorang yang sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakek itu, dan betapa kakek itu amat menyayangi Hwee Li. Maka, kalau dia membiarkan gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo, berarti dia membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia bong-im-pwe-gi (manusia yang tidak ingat budi orang lain). Padahal, dia merasa suka sekali kepada Hwee Li dan bahkan diam-diam mengharapkan agar gadis yang dia tahu mencinta kakaknya ini kelak akan menjadi jodoh kakaknya. Tentu saja dia tidak membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia durhaka dan dia telah menghalangi gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo.

“Enci Hwee Li, tidak sepantasnya kalau engkau membunuh dia!” Kian Bu menegur, suaranya tegas dan berwibawa.

Hwee Li membalikkan tubuhnya menghadap Hek-tiauw Lo-mo dengan mengubah kedudukan kakinya, sikapnya menyerang, akan tetapi dia mengerling ke arah Kian Bu, lalu menggeser lagi kakinya menghadapi pemuda itu, kembali memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang, semua gerakannya dilakukan dengan gerak silat sehingga nampak lucu sekali, akan tetapi wajahnya sungguh-sungguh dan matanya berapi-api.

“Kau tahu apa tentang pantas atau tidak?” Akhirnya dia berkata lantang. “Kau tahu apa tentang balas-membalas? Hutang luka dibayar luka, hutang nyawa dibayar nyawa, hutang kebaikan dibayar kebaikan! Dia telah membunuh ibu kandungku, maka aku harus membunuhnya! Apakah kau hendak menghalangiku?”

Kian Bu menarik napas panjang. “Sama sekali bukan hendak menghalangimu membunuhnya, melainkan menghalangimu menjadi seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi, dan yang namanya akan dikutuk manusia di seluruh dunia selama-lamanya!”

“Eihhh....?” Saking heran dan penasaran, Hwee Li lupa akan kuda-kuda silatnya dan kini dia melangkah biasa menghampiri Kian Bu, lalu berdiri di depan pemuda itu dengan kedua tangannya bertolak pinggang sehingga jari-jari kedua tangannya melingkari pinggangnya dan saling bertemu karena pinggangnya kecil ramping seperti pinggang lebah kemit (lebah hitam coklat yang pinggangnya kecil sekali).

“Aku hendak membunuh orang yang telah membunuh ibuku dan kau bilang aku seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi? Kian Bu, apa artinya ucapanmu itu?” tanyanya, lebih heran daripada marah karena dia tidak percaya bahwa pendekar sakti ini mau mempermainkannya.

“Enci, bukankah kau tadi mengatakan bahwa hutang luka dibayar luka, hutang nyawa bayar nyawa, dan hutang kebaikan....”

“Bayar kebaikan!” sambung Hwee Li melihat pemuda itu berhenti seolah-olah lupa lanjutannya.

“Nah, belasan tahun lamanya Hek-tiauw Lo-mo merawat dan mendidikmu dengan segala rasa kasih sayang, bukankah itu berarti bahwa engkau hutang kebaikan kepadanya? Engkau harus membayar hutang kebaikan itu dengan kebaikan, Enci. Sebaliknya engkau hendak membunuhnya, bukankah itu berarti bahwa Enci akan menjadi orang yang tidak ingat budi?”

Hwee Li tertegun dan melongo, bingung. Akhirnya dia berkata ragu, “Akan tetapi dia telah membunuh ibuku....“

“Heh, siapa membunuh ibumu? Dia mati sendiri, tidak kubunuh!” terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata. Dia adalah seorang manusia iblis, maka biarpun tadi nyaris tewas dan kini pundaknya terluka, dia tidak kelihatan gentar sedikit pun juga.

“Tutup mulutmu yang busuk!” Hwee Li memaki. “Engkau memaksa dia, biarpun tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi engkau yang menyebabkan ibuku mati! Kian Bu, dia menyebabkan kematian ibu, kalau aku tidak membalas, bagaimana kelak aku dapat menghadapi arwah ibuku di alam baka?”

“Enci, sebaiknya engkau memenuhi semua peraturan balas-membalas itu. Engkau memang berhak membalas kematian ibumu, akan tetapi engkau pun harus membalas kebaikannya terhadap dirimu. Kalau sekarang kaubalas kematian ibumu dan kau membunuhnya, mana bisa engkau membalas kebaikannya terhadap dirimu selama belasan tahun itu? Sebaliknya, kalau engkau lebih dulu membalas kebaikannya, lalu kelak engkau membalas kematian ibumu dan membunuhnya, juga belum terlambat.” Kian Bu menggunakan segala akalnya untuk mencegah gadis ini membunuh Hek-tiauw Lo-mo. Dia memang bisa saja menggunakan kepandaian untuk mencegah pembunuhan itu, namun hal itu tentu akan menjadi kurang baik. Sebaiknya kalau dia dapat menginsyafkan gadis ini dengan omongan saja.

“Benar sekali, Adik Hwee Li. Omongannya itu benar sekali! Tak mungkin seorang gadis gagah perkasa dan baik budi seperti engkau sampai tidak membalas budi kebaikan orang!” Tiba-tiba terdengar suara merdu dan ternyata yang bicara itu adalah Swi Hwa. Tadi gadis ini telah siuman dan benar saja, dia telah sembuh sama sekali. Dia mendengar penuturan gurunya bahwa yang menyelamatkan dia adalah Hwee Li. Kemudian dia mendengar percakapan antara Hwee Li dan Kian Bu atau yang dikenalnya sebagai Siluman Kecil. Dia ikut merasa terharu mendengar bahwa ibu gadis itu mati karena Hek-tiauw Lo-mo. Jadi terang bahwa gadis itu bukanlah anak iblis jahat itu. Juga mendengar bahwa Hwee Li disebut “enci” oleh Siluman Kecil, lenyap rasa iri dan tidak senangnya terhadap Hwee Li. Tadinya dia mengira bahwa gadis secantik jelita itu tidaklah mengherankan kalau menjadi pacar Siluman Kecil dan dia merasa iri karena memang dahulu pernah dia kagum sekali terhadap Siluman Kecil.

Hwee Li yang mendengar ucapan ramah itu lalu melirik ke arah Swi Hwa. Kemarahannya terhadap Swi Hwa sudah lenyap dan kini beralih kepada Kian Bu yang hendak menghalangi dia. Akan tetapi uraian Kian Bu yang diperkuat oleh Swi Hwa itu membuat dia menjadi bingung dan ragu-ragu.

“Kalau begitu, apa kauminta agar aku membalas segala kebaikannya selama belasan tahun ini? Dia telah memondong dan menimangku, apakah aku pun harus menggendong dan menimang-nimangnya? Apakah aku harus merawatnya sampai belasan tahun?” Dia makin penasaran.

Kian Bu tertawa. “Tidak usah sejauh itu, Enci Hwee Li. Cukup kalau engkau tidak membunuhnya sekarang, berarti engkau telah melepas kebaikan yang boleh menebus semua kebaikannya itu. Kalau kelak ada kesempatan dan engkau membunuhnya, bukankah berarti hari ini engkau telah menebus kebaikannya itu?”

“Waaahhhhh, terlalu enak buat dia!” Hwee Li berkata dengan alis berkerut. “Kalau begitu, apakah kita harus membebaskan dua orang monyet tua ini dan minta maaf dan menghaturkan selamat jalan kepada mereka, membekali uang untuk mereka sebagai bekal biaya perjalanan?” Karena jengkel Hwee Li mengeluarkan kata-kata yang berlebihan itu.

Swi Hwa adalah seorang yang terdidik. Dia tahu bahwa kejengkelan hati nona berpakaian hitam itu betapapun juga harus dipuaskan. Maka dia lalu maju dan berkata, “Adik Hwee Li, kalau aku boleh mengusulkan, mereka itu tidak perlu dibunuh agar engkau tidak dianggap tak kenal budi, akan tetapi perbuatan mereka pun harus dihukum. Mereka tertotok, bagaimana kalau mereka itu dikubur hidup-hidup di tempat ini?”

“Wah, cocok!” Hwee Li bersorak. Dia merasa mendapat teman untuk menentang Kian Bu,. dan dia sudah mendekati Swi Hwa dan memegang lengannya. “Kau memang orang cerdik, Enci. Nah, Siluman Kecil, kau bisa bicara apa menghadapi dua orang dara yang cerdik seperti kami?”

Siluman Kecil memandang Swi Hwa dengan heran, akan tetapi dia melihat dara berpakaian merah itu berkedip kepadanya, maka dia mengangkat pundak dan berkata, “Terserah, asal kalian tidak membunuhnya.”

“Adik Hwee Li, terang bahwa kau tidak bisa membunuhnya sebelum kau membalas kebaikannya. Nah, kau membebaskan dia dari kematian, itu berarti sudah membalas kebaikannya. Sekarang, mari kita kubur mereka, mengubur hidup-hidup asal jangan sampai mereka mati.”

“Lhoh! Dikubur hidup-hidup mana bisa tidak mampus?” tanya Hwee Li bingung.

“Kita kubur tubuhnya saja biar kepalanya di atas tanah. Bukankah dengan demikian mereka akan tersiksa sekali? Mereka tertotok, kalau sudah tiba saatnya terbebas dari totokan, tentu orang-orang selihai mereka itu akan mampu membebaskan diri. Sementara itu, biar mereka tahu rasa. Dengan demikian engkau telah melaksanakan dua macam pembalasan budi, budi baik dibalas baik dan budi busuk dibalas busuk.”

Hwee Li girang sekali dan bersorak, bertepuk tangan seperti anak kecil mendapatkan mainan baru yang menarik. “Bagus sekali, Enci. Hayo kita kerjakan, kaubantulah aku.”

Dua orang dara yang sama cantik manisnya itu lalu mengerahkan tenaga mereka untuk menggali lubang di atas tanah. Mereka adalah gadis-gadis remaja yang cantik dan halus. Akan tetapi jangan kira bahwa tangan yang berkulit halus itu tidak mampu menggali lubang yang besar dengan cepat. Tangan-tangan halus itu mengandung tenaga Iweekang yang hebat sehingga sebentar saja mereka masing-masing telah menggali sebuah lubang. Kini keduanya menyeret tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi, melempar mereka ke dalam lubang lalu menutupi lubang itu sehingga dua orang kakek iblis itu dikubur sampai ke leher mereka!

Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kalang-kabut. Mereka adalah dua orang kakek sakti dan kalau hanya ditanam seperti itu saja, mereka tidak merasa takut. Biar dikubur seluruh tubuh mereka pun mereka tidak merasa jerih dan tentu akan dapat mempertahankan nyawa. Akan tetapi yang membuat mereka marah besar adalah penghinaan itu! Mereka dipermainkan oleh dua orang gadis remaja!

“Hi-hik, biar mereka digerayangi dan digigiti semut-semut dan cacing-cacing sebelum mereka dapat membebaskan diri!” kata Hwee Li bertepuk-tepuk tangan.

Kian Bu dan Hek-sin Touw-ong mendiamkan saja kedua orang gadis itu. Mereka maklum akan akal Swi Hwa untuk meredakan kemarahan Hwee Li. Setelah dua orang itu selesai mengubur dua orang kakek tadi, mereka kini duduk berhadapan di atas rumput. Swi Hwa merangkul Hwee Li dan berkata sambil tertawa, “Adik Hwee Li yang gagah dan cantik, aku berterima kasih sekali kepadamu atas pertolonganmu tadi dan harap kaumaafkan sikapku yang kasar karena aku belum mengenal siapa engkau.”

Hwee Li memang seorang gadis aneh. Kalau dia diganggu, dia akan berubah menjadi iblis jahat. Kalau dia dijahati, dia akan lebih jahat lagi. Akan tetapi kalau dia dibaiki, dia akan lebih-lebih baik lagi. Maka kini dia mencium pipi halus dari Swi Hwa dan berkata, “Akulah yang telah bersikap kasar. Kaumaafkan aku, Enci yang baik, dan engkau pun tadi telah menolongku, maka akulah yang menghaturkan terima kasih kepadamu.”

Sementara itu, matahari telah terbit dan Hwee Li menjauh dari mereka lalu bersuit panjang dan nyaring disusul suara melengking memanggil-manggil. Tak lama kemudian terdengar lengking panjang sebagai jawaban dan dari atas udara menyambar turun burung garuda tadi. Burung ini memang sudah biasa dengan Hwee Li, malah dia merasa girang karena dia lebih senang melayani Hwee Li yang selalu bersikap manis kepadanya, daripada melayani Hek-tiauw Lo-mo yang suka bersikap kasar dan kejam kepadanya. Hwee Li mengelus kepala burung itu dan berkata, “Paman garuda, kau baik saja bukan? Nah, kau boleh beristirahat dulu, nanti aku mungkin akan membutuhkan bantuanmu.” Garuda itu mengeluarkan suara nguk-nguk seperti seekor anjing jinak, lalu terbang ke atas pohon. Hwee Li lalu kembali ke tempat tiga orang yang sedang bercakap-cakap itu.

Kian Bu, menceritakan bahwa dia baru saja keluar dari dalam benteng lembah, atas pertanyaan Hek-sin Touw-ong. “Sekarang, kami berdua harus kembali ke sana untuk mencoba menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan.” Dia menutup ceritanya dengan singkat karena dia tidak mau banyak menyebut nama puteri itu. Setelah dia mendengar penuturan Hwee Li bahwa Syanti Dewi juga menjadi tawanan, maka hatinya telah bertekad bulat untuk menolong puteri itu, biarpun keadaan di dalam benteng itu amat berbahaya. Kalau perlu, dia siap mengorbankan nyawanya demi menolong puteri itu!

“Suhu, mari kita ikut membantu mereka ini!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata kepada gurunya dan kakek itu pun mengangguk-angguk tanda setuju biarpun alisnya berkerut karena dia merasa sangsi apakah mereka berempat akan sanggup menembus benteng yang dihuni demikian banyaknya orang pandai dan di mana terdapat banyak pula anak buah Kui-liong-pang.

Akan tetapi sebelum kakek itu mengeluarkan, Kian Bu telah lebih dulu berkata dengan suara yang menyatakan ketidaksenangan hatinya, “Terima kasih atas kebaikan Nona hendak membantu kami, akan tetapi kami rasa tidak perlu kalian membantu kami, karena.... karena.... hemmm....“ Kian Bu merasa tidak enak untuk melanjutkan kata-katanya. Dahulu Ang-siocia ini telah mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Urusan itu pun belum diselesaikan, dan bukankah nona ini menantang dia untuk menyusul ke pantai Po-hai? Dengan demikian, antara mereka tidak ada hubungan persahabatan, bahkan ada urusan yang membuat mereka berdiri sebagai fihak yang bertentangan. Akan tetapi, melihat sikap guru dan murid yang baik itu tadi, dia merasa tidak enak kalau harus mengemukakan hal itu. Ang-siocia ini telah mencuri pusaka Sin-siauw Seng-jin, bukan pusakanya! Dan kalau Ang-siocia mencuri, hal itu tentu saja bukan merupakan suatu keanehan karena memang dia murid Raja Maling! Sebetulnya hanya kecil saja sangkut-pautnya dengan dirinya, karena pencurian itu dilakukan sehabis dia memenangkan pertandingan melawan Sin-siauw Seng-jin. Urusan kecil itu mana dapat disamakan dengan perbuatan guru dan murid ini yang sekarang telah menolongnya, bahkan dapat dikatakan telah menyelamatkan Hwee Li pula?

“Aihhh, Kian Bu. Kenapa kau menolak? Enci ini.... eh, siapa namamu tadi, Enci?”

Swi Hwa tersenyum. “Namaku Swi Hwa, she Kang....“ katanya sambil mengerling ke arah Siluman Kecil. Mendengar nama ini, Kian Bu mengerutkan alisnya. Kenapa dia merasa seperti tidak asing dengan nama itu? Seolah-olah nama itu sudah dikenalnya benar, padahal dia tahu betul bahwa baru satu kali saja dia bertemu dengan Ang-siocia ini, yaitu ketika gadis ini mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Ketika itu, dia mengira bahwa nona ini she Ang, tidak tahunya, sebutan “Ang” itu bukan she, melainkan berarti merah dan tentu karena nona ini selalu memakai pakaian berwarna merah.

“Enci Swi Hwa ini lihai sekali, dan gurunya lebih lagi. Di benteng itu terdapat banyak sekali orang pandai dan berbahaya, maka bantuan Enci Swi Hwa dan gurunya amatlah baik dan menguntungkan bagi kita. Kenapa engkau menolak?”

“Aku percaya bahwa mereka ini lihai sekali, akan tetapi....“ dia memandang kepada Swi Hwa dan ada sinar tidak senang menyorot dari pandang mata pendekar itu.

Swi Hwa tersenyum dan menjura kepada Kian Bu, katanya halus, “Ah, tentu Taihiap masih mendendam karena uangnya pernah kuambil dahulu itu, ya? Ketahuilah, Taihiap, aku mengambil uangmu karena ingin memperkenalkan engkau kepada Suhu. Nah, ini uangmu itu, lengkap dengan kantungnya, kukembalikan kepadamu disertai ucapan maaf sebesarnya!” Seperti bermain sulap saja, sekali meroboh sakunya, Swi Hwa telah mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang dan menyerahkannya kepada Kian Bu. “Tidak ada satu sen pun berkurang, Taihiap!”

Kian Bu mengenal pundi-pundi uangnya dan dia terkejut, juga terheran. Jadi, kiranya kantung uangnya dahulu itu pun dicuri oleh gadis maling ini? Bukan main! Bagaimana hal itu dapat dilakukannya padahal dia sama sekali tidak pernah merasa bertemu dengan nona ini dalam perjalanan? Sambil melongo, diterimanya kantung itu dan dia lalu berkata, “Terima kasih, Nona. Memang ini pundi-pundi uangku. Akan tetapi bukan soal kecil inilah yang membuat aku meragu, akan tetapi....“

Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong menjura kepada Siluman Kecil dan berkata, “Taihiap, muridku yang jahat ini pernah bercerita bahwa dia telah mengambil pusaka-pusaka dari dalam rumah Sin-siauw Seng-jin mendahului Taihiap, tentu hal itu yang membuat Taihiap meragu, bukan?”

Hati Kian Bu terasa tidak enak, akan tetapi dia mengangguk. “Muridmu telah mengundang aku untuk berkunjung ke pantai Po-hai, akan tetapi kebetulan kita bertemu di sini.” Kian Bu mengingatkan tantangan Ang-siocia.

“Harap Taihiap sudi melupakan urusan itu karena ketahuilah bahwa kitab-kitab pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua itu dan diambil oleh muridku yang bodoh adalah kitab-kitab palsu. Dan tentang undangan muridku, biarlah di sini aku mintakan maaf kepada Taihiap....“ Dia menjura dan Kian Bu cepat-cepat mengangkat tangan membangunkan orang tua itu. Dia sudah menduganya demikian, maka diam-diam dia mentertawakan Ang-siocia yang memperoleh kitab-kitab palsu.

“Sudahlah, urusan yang lalu biarlah lalu karena semua itu hanya urusan kecil saja. Aku merasa girang bahwa kita sekarang bertemu sebagai sahabat. Akan tetapi, urusan kami di dalam benteng ini adalah amat berbahaya, maka sungguh tidak enak kalau sampai membuat Ji-wi ikut-ikut terancam bahaya.”

“Aku ada rencana yang baik sekali!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata dengan sinar mata bercahaya. “Kalau rencanaku dijalankan, bukan saja kita dapat memasuki benteng itu seperti masuk ke dalam rumah sendiri, akan tetapi juga agaknya mudah saja menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan itu tanpa ada bahaya dan tanpa pertempuran!”

Hwee Li sudah merasa girang sekali mendengar ini. “Bagaimana rencanamu itu, Enci?”

“Engkau lihat dua orang kakek itu, Adik Hwee Li? Nah, biarkan mereka itu membawa Taihiap ini dan engkau pulang ke dalam benteng sebagai tawanan, bukankah dengan begitu mudah saja bagi kalian untuk memasuki benteng?”

“Ahhh....!” Kian Bu sampai mengeluarkan seruan saking kaget dan herannya. Dia, memandang gadis pakaian merah itu dengan alis berkerut. Sudah gilakah gadis ini, pikirnya. Juga Hwee Li yang biasanya cerdik itu, memandang terbelalak kepada Swi Hwa.

“Enci, jangan main-main....!”

Swi Hwa tertawa geli. “Siapa main-main, adikku sayang? Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik daripada itu? Bayangkan saja. Dua orang kakek ini menunggang garuda itu membawa kalian berdua sebagai tawanan. Nah, siapa yang akan menghalangi mereka di dalam benteng?”

“Tapi.... tapi, itu rencana gila! Susah-susah kita tangkap, lalu kini kau mengusulkan agar kita melepaskan dua orang iblis itu dan membiarkan mereka menangkap kami berdua?” Hwee Li sudah mulai marah karena merasa dipermainkan.

Akan tetapi jawaban Swi Hwa mengusir kemarahannya dan membuat dia makin terheran-heran, demikian pula Kian Bu. “Siapa suruh kau membebaskan mereka, adikku? Biarkan mereka digerogoti semut-semut merah! Aku belum gila menyuruh kau membebaskan dia.”

“Eh, bagaimana kau ini? Tadi kaukatakan....“

Swi Hwa lalu mendekati dan merangkul Hwee Li, berkata lirih berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh dua orang kakek iblis yang hanya kelihatan kepalanya saja di atas tanah itu dan yang memandang ke arah mereka dengan mata melotot. “....aku dan Suhu yang menyamar sebagai mereka dan membawa kalian ke dalam benteng....“

Kian Bu terkejut. Sungguh permainan yang amat berbahaya! Menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Mungkin Hek-sin Touw-ong dapat menyamar sebagai salah satu di antara mereka, akan tetapi nona itu?

“Ah, mana bisa hal itu dilakukan? Sebelum kita memasuki benteng, tentu Ji-wi telah ketahuan dan kalau Ji-wi mengalami celaka, kami akan merasa tidak enak sekali,” katanya.

Juga Hwee Li tidak dapat menerima rencana itu. “Enci Swi Hwa, harap jangan kau main-main. Kita bukan menghadapi sekumpulan anak-anak kecil yang mudah kaupermainkan dengan penyamaran. Kita bukan sedang bermain di atas panggung sandiwara....“

“Wah, wah! Kalian memandang rendah kepandaian guruku, ya?” Swi Hwa berdiri sambil bertolak pinggang dan kelihatan marah. Gurunya lalu menyentuh lengannya, memandang penuh teguran dan Swi Hwa menurunkan kedua tangannya kembali dan membuang sikapnya yang marah.

“Apa yang dikatakan oleh muridku ini memang benar. Akal itu memang amat baik dan kami kira kami dapat melakukan penyamaran itu sebaik-baiknya.”

“Suhu, mereka tentu tidak percaya. Lebih baik kita buktikan. Mari kita bersembunyi di sana sebentar, Suhu.” Gadis berpakaian merah itu lalu menarik tangan gurunya, diajak pergi ke belakang semak-semak belukar tak jauh dari situ sambil membawa buntalannya yang agak besar. Hwee Li hanya saling pandang dengan Kian Bu, terheran-heran dan tidak percaya, akan tetapi juga tertarik sekali.

Tempat guru dan murid itu menyelinap lenyap adalah semak-semak belukar yang menyambung dengan pohon-pohon. Tak lama kemudian, terdengarlah dari sebelah kiri, dari balik pohon-pohon, suara seorang nenek-nenek yang agak gemetar menawarkan dagangannya, “Sepatuuuuu.... sepatu rumpuuuuut....! Barang baik harga murah lekas.... beliiiii....!”

“Eh? Di dalam tempat sunyi seperti ini ada orang jualan sepatu rumput?” tanya Hwee Li dan dia memandang heran kepada seorang nenek yang datang terbongkok-bongkok membawa beberapa buah sepatu rumput.

Akan tetapi Kian Bu memandang kepada nenek itu dan mukanya berubah. “Dia....? Dia.... adalah nenek itu....!” Teringatlah dia akan nenek penjual sepatu rumput di daerah Ho-nan itu. Jantungnya berdebar. Nenek ini yang dituduhnya mengambil uangnya sekantung. Dan uang itu tadi dikembalikan oleh Ang-siocia!

“Kau kenapa, Kian Bu? Kau kenal dia....?” Hwee Li bertanya. Akan tetapi Kian Bu yang masih bingung itu memandang dan selagi dia hendak lari menghampiri, nenek itu telah lenyap di balik semak-semak!

Melihat sikap Kian Bu, Hwee Li makin heran. “Kian Bu, siapakah nenek-nenek itu tadi?” Akan tetapi yang ditanya hanya memandang bengong ke arah semak-semak. Jadi gadis berpakaian merah itukah kiranya yang menyamar sebagai nenek-nenek itu dahulu? Bukan main! Dan dia sudah bicara dengan nenek itu berhadapan sampai cukup lama, namun dia sama sekali tidak tahu, bahkan uangnya sekantong pun dicurinya atau dicopetnya tanpa dia merasa. Benar-benar hebat gadis itu. Hebat ilmu penyamarannya, juga hebat ilmu copetnya!

“Hai, bukankah itu engkau, Twako? Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak saling jumpa!”

Kian Bu terkejut dan menoleh ke kanan, juga Hwee Li memandang. Dia melihat seorang pemuda tampan yang bersikap gembira sekali keluar dari pohon sebelah kanan, sikapnya jelas telah lama mengenal Kian Bu.

“Eh, kau di sini, Kang-kongcu....?” kata Kian Bu. Tentu saja dia mengenal Kang Swi, pemuda royal yang menjadi teman seperjalanannya menuju ke Ho-nan tempo hari. Akan tetapi, pemuda itu sudah menyelinap pergi lagi.

“Tunggu, Kang-kongcu....!” Kian Bu hendak menghampiri dan tiba-tiba dia tersentak kaget bukan main ketika teringat akan nama itu. Kang Swi! Dan Ang-siocia bernama Kang Swi Hwa! Ah, pantas saja tadi ketika Ang-siocia memperkenalkan diri sebagai Kang Swi Hwa kepada Hwee Li, dia merasa seperti mengenal baik nama itu. Kang Swi dan Kang Swi Hwa! Kiranya satu orang! Dia makin kagum dan terheran. Nona itu ternyata telah menyamar sebagai nenek-nenek penjual sepatu, kemudian menyamar sebagai pemuda Kang Swi tanpa dia ketahui sama sekali! Penyamaran sebagai nenek penjual sepatu yang mencopet uangnya itu sudah hebat, akan tetapi penyamarannya sebagai pemuda Kang Swi lebih hebat pula! Dia telah berhari-hari melakukan perjalanan bersama “pemuda” itu, melihat Kang Swi memasuki sayembara, sampai pertempuran yang terjadi ketika mereka bertempur memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dan sama sekali dia tidak tahu bahwa “pemuda” itu adalah Ang-siocia pula yang menyamar. Pantas saja ketika mereka kehabisan kamar penginapan, “pemuda” itu tidak mau tidur sekamar dengan dia!

Hwee Li masih bingung. “Eh, Kian Bu, siapakah nenek-nenek penjual sepatu itu tadi? Dan siapa pula pemuda yang menegurmu tadi? Agaknya engkau mengenal mereka, akan tetapi begitu muncul dan melihatmu, mereka terus pergi.”

Wajah Kian Bu menjadi merah. Dia merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat dipermainkan oleh gadis itu! “Mereka.... mereka tadi adalah penyamaran Nona itu....“

“Enci Swi Hwa? Ah, benarkah?” Hwee Li tertegun, akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar suara tertawa.

Hwee Li hampir menjerit mendengar suara ketawa bekas ayahnya itu. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan terbelalak memandang kakek raksasa yang berdiri di depannya. “Ha-ha-ha, anakku Hwee Li yang cantik manis, anakku sayang, marilah engkau ikut ayahmu kembali ke Pulau Neraka....!”

“Tidak, tidak....! Engkau bukan ayahku! Engkau.... heeeee?” Hwee Li teringat, memutar tubuhnya dan melihat betapa kepala Hek-tiauw Lo-mo masih berada di tempat yang tadi, di mana dia menguburkan tubuh kakek itu bersama kakek Hek-hwa Lo-kwi sampai ke leher! Cepat dia membalik dan memandang lagi, akan tetapi jelas bahwa Hek-tiauw Lo-mo benar-benar berdiri di depannya! Bulu tengkuknya meremang dan dia menjerit, “Kau iblis tua bangka! Kau setan....!” Dan dia bergerak hendak menyerang. Akan tetapi, Kian Bu memegang tangannya dan menahannya.

“Nanti dulu, Enci Hwee Li. Lihat dulu baik-baik siapa dia....“

“Ha-ha-ha, anak durhaka kau! Hendak melawan ayah sendiri? Berani engkau melawan Hek-tiauw Lo-mo? Ha-ha-ha!” Dan kini raksasa itu tertawa, nampak giginya yang bertaring dan tangan kanannya sudah mencabut golok gergajinya, sedangkan tangan kirinya memegang jala hitam tipis.

“Sudah kulihat, dia memang iblis tua itu!” Hwee Li berkata sambil memandang terbelalak kepada raksasa di depannya.

“Ehhh, Lo-mo, mengapa banyak membuang waktu? Kita tangkap dua bocah ini dan kita seret ke depan Pangeran Liong Bian Cu, bukankah kita akan memperoleh hadiah yang amat besar dan kedudukan tinggi kelak? Ha-ha-ha, mari kita tangkap mereka!”

Hwee Li terkejut memandang kakek bermuka tengkorak yang baru muncul. Hek-hwi Lo-kwi! Tidak salah lagi. Dia cepat menoleh dan melihat betapa kepala Hek-hwa Lo-kwi masih nampak di sana! Bagaimana dua orang kakek iblis ini mampu membebaskan diri sedangkan kepalanya masih kelihatan di sana? Dia makin bingung dan kini hanya dapat memandang dengan mata terbelalak seperti melihat setan di tengahari!

“Ha-ha-ha, Lo-kwi. Lihat, bukankah anakku ini sekarang sudah besar dan cantik sekali? Pantas Pangeran Nepal itu sampai terkentut-kentut kegilaan kepadanya. Ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo berkata lagi.

Tiba-tiba Kian Bu menjura kepada dua orang kakek itu sambil berkata, “Kepandaian menyamar dari Locianpwe dan Nona sungguh membuat saya merasa kagum dan takluk!”

Mendengar ini, baru Hwee Li sadar. Akan tetapi dia masih belum percaya dan ketika Hek-tiauw Lo-mo melangkah dekat, dia otomatis mundur-mundur. karena jerih.

“Hi-hik, Adik Hwee Li, apakah sekarang engkau merasa takut kepadaku? Sikapmu ini amat menyenangkan, Adik Hwee Li. Nah, apakah sekarang engkau percaya akan kemampuan Encimu ini dan Suhu?”

“Kau.... kau.... Enci Swi Hwa....!” Kini barulah Hwee Li percaya setelah mendengar suara gadis itu. Akan tetapi dia masih terheran-heran bukan main. Kang Swi Hwa adalah seorang gadis cantik yang tingginya hampir sama dengan dia. Bagaimana sekarang telah mengubah diri menjadi seorang kakek raksasa yang tinggi itu? Dengan berindap-indap dia menghampiri Hek-tiauw Lo-mo palsu itu dan meneliti. Memang serupa! Bahkan wajah yang seperti raksasa bertaring itupun sama. Tubuhnya tinggi besar pun serupa. Kulitnya kehitaman juga sama. Hanya kini nampak olehnya betapa tangan Hek-tiauw Lo-mo palsu ini terlalu kecil, tidak sebesar tangan bekas ayahnya, sungguhpun aneh sekali, tangan Swi Hwa yang tadinya berkulit halus itu kini menjadi kasar sekali. Dia makin terheran-heran, berjalan mengelilingi Hek-tiauw Lo-mo palsu itu seperti seorang pedagang sapi sedang memeriksa seekor sapi yang hendak dibelinya.

“Bagaimana, Adik Hwee Li? Apakah masih ada kekurangannya?”

Hwee Li berhadapan dengan Swi Hwa dan memegang tangannya, akan tetapi cepat dilepasnya kembali dengan jijik. Orang ini terlalu mirip Hek-tiauw Lo-mo sehingga menimbulkan jijik kepadanya. “Bagus sekali, Enci. Sayang ada satu perbedaan menyolok.”

“Tanganku terlalu kecil?”

“Bukan itu saja, terutama sekali.... baunya!”

“Baunya?”

“Ya, kau tadi berbau sedap harum, sekarang pun masih harum. Padahal, seingatku bau iblis tua itu amat apek!”

“Ha-ha-ha, Lo-mo, agaknya engkau tadi habis mandi minyak wangi, maka baumu menjadi harum! Hati-hati, lebih baik kauhilangkan bau harum itu dengan menggosok rambutmu dengan bunga tahi ayam!” Terdengar Hek-hwa Lo-kwi berkata. Hwee Li bergidik. Kakek ini memang Hek-hwa Lo-kwi, sedikit pun tiada bedanya! Maka kagumlah dia. Kagum bukan main dan dia pun menjura.

“Hek-sin Touw-ong, aku benar-benar kagum sekali. Kalian memang hebat!”

Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa kini menanggalkan aksi mereka dan bicara dengan suara mereka sendiri. ”Nah, setelah kalian percaya, marilah kalian membiarkan kami berdua membawa kalian ke dalam benteng sebagai tawanan. Dengan cara ini, tentu akan mudah untuk mengelabuhi mereka, dan terbuka kesempatan kita untuk menolong mereka yang ditawan,” kata Hek-sin Touw-ong.

“Nanti dulu, Locianpwe. Aku masih penasaran....“ Kian Bu kini memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo palsu alias Swi Hwa itu. “Jadi kalau begitu nenek penjual sepatu itu....“

“Akulah yang menyamar, Taihiap. Maafkan aku, kalau tidak begitu, mana bisa aku mencopet kantung uangmu?” kata Swi Hwa sambil tertawa. Lucu sekali melihat raksasa Hek-tiauw Lo-mo bersikap seperti itu dan mengeluarkan suara begitu merdu.

“Dan.... Kang-kongcu itu....?”

“Hi-hik, maaf bahwa aku telah mempermainkanmu, Taihiap. Akulah Kang Swi aku memang sedang bertualang mencari pengalaman, maka mendengar tentang sayembara itu aku ingin memasuki dan meluaskan pengetahuan.”

“Akan tetapi.... kau telah membantu Gubernur Ho-nan, Nona, dan tahukah engkau bahwa gubernur itu adalah seorang pengkhianat yang agaknya bersekutu dengan Pangeran Nepal?”

Hek-tiauw Lo-mo palsu itu mengangguk-angguk. “Tadinya aku tidak tahu apa-apa. Tahuku hanya aku telah diterima menjadi pengawal dan tentu saja aku bertindak sebagai pengawal. Setelah aku tahu duduknya perkara, terus saja aku meninggalkan Ho-nan. Tak sudi aku menjadi kaki tangan pengkhianat dan pemberontak.”

Kian Bu mengangguk-angguk dengan hati lega. “Kalau begitu baiklah, mari kita berangkat.”

“Akan tetapi tidak mungkin menunggang garuda kalau berempat,” kata Hwee Li. “Terlalu berat bagi garuda dan juga punggungnya tidak dapat menampung empat orang. Pula, kalau garuda kembali ke sana tentu akan sukar bagi kita untuk meloloskan diri kalau-kalau ada bahaya mengancam, maka biarlah kita jalan kaki saja dan biarkan garudaku terbang di atas benteng agar dia siap kalau sewaktu-waktu kupanggil.”

Semua orang setuju dan Hwee Li lalu membisiki telinga garuda yang dipanggilnya turun, kemudian menepuk lehernya. Garuda itu terbang ke angkasa dan empat orang itu berangkat meninggalkan tempat itu.

***

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Kian Lee, putera dari Pulau Es itu. Telah diceritakan di bagian depan betapa Kian Lee meninggalkan puncak Bukit Nelayan di tepi sungai di kaki Pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal dari Sai-cu Kai-ong untuk pergi mencari Kian Bu. Adiknya itu pergi tanpa pamit dan Kian Lee menduga bahwa adiknya tentu akan pergi ke pantai Po-hai, seperti diceritakan oleh Kian Bu yang akan memenuhi tantangan Ang-siocia yang telah mencuri pusaka palsu yang disimpan Sin-siauw Seng-jin.

Akan tetapi setelah lama mencari-cari di pantai Po-hai, dia tidak dapat menemukan siapa-siapa, juga tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hati Kian Lee mulai merasa tidak enak dan dia menduga-duga ke mana perginya adiknya itu yang kini telah terkenal sebagai pendekar Siluman Kecil yang amat tinggi kepandaiannya. Karena telah melakukan penyelidikan ke seluruh pantai tanpa hasil, akhirnya Kian Lee meninggalkan pantai, masih bingung tidak tahu ke mana dia harus mencari adiknya itu.

Belum jauh dia meninggalkan pantai Po-hai, menyusuri lembah muara Sungai Huang-ho, tibat-tiba dari jauh dia melihat orang-orang sedang bertempur, secara aneh dan dari gerakan mereka yang gesit itu mudah diketahui bahwa yang sedang bertanding adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Cepat Kian Lee berlari menghampiri, akan tetapi dia berlari sambil menyelinap di antara batu-batu dan akhirnya dia tiba di dekat tempat itu, mengintai dari balik sebuah batu besar dan memandang penuh perhatian. Kini dia merasa kagum dan juga terheran-heran. Yang bertanding itu adalah seorang dara cantik jelita yang amat aneh caranya bersilat karena dara ini mempergunakan sebuah senjata istimewa sekali, yaitu sebatang payung yang berkembang! Senjata seperti ini sebetulnya tidaklah terlalu asing bagi Kian Lee, karena ibu tirinya, yaitu ibu kandung Kian Bu, Puteri Nirahai, adalah seorang yang ahli bersilat dengan payung. Akan tetapi, dara cantik ini memainkan payungnya seperti orang menari-nari saja, bukan seperti orang bersilat, apalagi berkelahi! Padahal, saat itu dia dikeroyok oleh dua orang lawan yang amat tangguh dan yang amat tinggi tingkat ilmu silatnya! Kian Lee memandang penuh perhatian kepada dara cantik jelita itu.

Dara itu cantik jelita dan manis bukan main, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya dari sutera yang halus dan indah, yang mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan lekuk lengkungnya yang menonjol dan menggairahkan. Tubuh yang amat menarik dari seorang dara yang sudah dewasa dan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar. Wajahnya manis sekali, sepasang matanya bergerak-gerak jenaka dan sinarnya tajam dan aneh, hidungnya kecil dan mulutnya selalu tersenyum manis, sehingga dalam keadaan bertanding itu dia seperti orang main-main saja. Gerakan tubuhnya cekatan dan aneh, keduakakinya kadangkadang mencuat dengan tiba-tiba, tanda bahwa dara ini memiliki keistimewaan dalam ilmu tendangan yang berbahaya bagi fihak lawan.

Adapun dua orang pengeroyok itu pun bukan orang-orang yang lemah. Sebaliknya malah ilmu kepandaian mereka tinggi sekali, tidak kalah sebetulnya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat dari dara berpayung itu. Mereka adalah seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun dan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Wanita itu berpakaian serba hijau dan gerakannya amat gesit, seperti seekor burung beterbangan saja ketika dia menghadapi lawannya. Wanita muda ini juga cukup cantik, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekerasan hati dan keganasan. Adapun laki-laki yang mengeroyok itu jelas bukanlah orang Han aseli. Matanya agak biru, kulitnya bule dan rambutnya coklat, akan tetapi wajahnya tampan sekali dan wajahnya membayangkan kehalusan budi.

Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main ketika melihat wanita baju hijau itu menggosok-gosok kedua tangannya dan membuat gerakan berputar-putar di depan dada. Dia maklum bahwa gerakan seperti itu tentu mengandung tenaga sinkang mujijat, maka dia sudah siap untuk menolong jika ada yang terancam bahaya.

“Sumoi, jangan!” tiba-tiba laki-laki yang berkulit putih itu mencegah dan wanita baju hijau itu mengurungkan pukulannya yang mujijat. Agaknya laki-laki yang menjadi suheng itu tidak memperbolehkan sumoinya menurunkan tangan maut terhadap dara cantik berpayung itu.

“Hi-hik, kalian ini pembohong-pembohong besar! Penculik-penculik hina! Masih belum mau tunduk kepada nonamu?” Si cantik jelita itu berseru dengan suaranya yang nyaring halus, kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara melengking yang amat aneh namun menggetarkan perasaan. Kian Lee yang bersembunyi di belakang batu itu sampai terkejut bukan main karena tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya ikut tergetar! Tak disangkanya bahwa nona itu memiliki kekuatan khikang yang demikian ampuhnya. Akan tetapi lebih terkejut lagi dia ketika mendengar dara manis itu mulai terkekeh, tertawa geli. Anehnya, dia melihat dua orang pengeroyoknya itu pun mulai tertawa-tawa! Dan karena tertawa-tawa yang agaknya di luar kehendak mereka itu maka gerakan mereka menjadi kacau dan hampir saja pinggang wanita baju hijau kena disambar tendangan dara manis itu dan kepala si laki-laki bule hampir kena dihantam ujung payung yang sebentar tertutup sebentar terbuka itu!

Kian Lee kaget setengah mati ketika tiba-tiba dia pun menyeringai lebar! Tidak sampai mengeluarkan suara tertawa seperti dua orang pengeroyok itu, akan tetapi ada kekuatan aneh yang seolah-olah memaksanya untuk tertawa ketika dia mendengar suara tertawa merdu dari dara itu! Ketika merasa betapa hatinya geli dan mulutnya menyeringai, Kian Lee mengerti bahwa dara cantik berpayung itu ternyata telah mempergunakan ilmu sihir! Sebagai putera Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang terkenal dengan kekuatan sihirnya yang mujijat, biarpun dia tidak mempelajari ilmu itu, namun dia tahu apabila ada orang mempergunakan sihir. Tadinya dia merasa bingung dan tidak tahu harus membantu siapa karena dia tidak mengenal mereka bertiga itu dan tidak tahu urusan apa yang membuat mereka bertempur mati-matian seperti itu. Akan tetapi setelah kini nona berpayung itu menggunakan sihir, hiatinya merasa tidak senang. Nona itu berlaku curang kalau menggunakan sihir, pikirnya. Maka Kian Lee yang melihat betapa kini dua orang pengeroyok itu yang masih terus tertawa-tawa dan kelihatan bingung mendapat serangan hebat oleh dara berpayung, bahkan sudah dua kali mereka itu terkena tendangan yang membuat mereka terhuyung-huyung, akan tetapi dalam keadaan terhuyung tetap saja mereka tertawa terpingkal-pingkal, Kian Lee tidak ragu-ragu lagi untuk turun tangan menentang dara tukang sihir itu.

Dengan pengerahan sinkangnya, Kian Lee mengeluarkan suara melengking yang mengandung khikang, lengkingan suaranya seperti seekor burung rajawali marah, menggetar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu. Dara cantik yang terkekeh-kekeh itu terkejut bukan main dan dua orang pengeroyoknya seketika juga sadar dan tidak tertawa lagi. Kini dengan kemarahan meluap mereka lalu menyerang dara itu.

“Siluman jahat!” bentak wanita baju hijau sambil mengirim pukulan dahsyat yang biarpun dapat dielakkan oleh dara itu namun membuat kuda-kudanya menjadi rusak dan dia terpaksa harus meloncat ke belakang dan menggerakkan payungnya sehingga payung itu terbuka membentuk perisai yang melindungi tubuhnya, sedang kaki kanannya sudah menyambar ke arah dada pengeroyok pria tadi. Namun orang bule itu pun dapat mengelak dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat. Seketika dara berpayung itu kini terdesak hebat!

Siapakah dara cantik berpayung yang pandai ilmu sihir itu? Tentu para pembaca sudah dapat mengenalnya. Dia memang Teng Siang In, dara yang cantik jelita dan jenaka itu, murid terkasih dari See-thian Hoat-su si ahli sihir. Seperti telah kita ketahui, dara ini pun berkeliaran di sekitar pantai Lautan Po-hai untuk mencari Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi usahanya tidak berhasil, bahkan dia tidak dapat menemui gurunya karena kakek itu pun tidak berada di dalam Gua Tengkorak. Maka dengan hati kesal dia terpaksa meninggalkan pantai itu. Ketika pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun dan memasuki rumah makan, hatinya yang kesal menjadi makin jengkel melihat lagak laki-laki yang menjadi kuasa rumah makan itu, yang begitu melihat dia masuk, sudah meninggalkan mejanya dan tersenyum-senyum lebar menyongsong kedatangannya.

“Ah, silakan masuk, silakan, Nona. Kami menyediakan meja terbaik untuk Nona....!” Dan diiringi seorang pelayan yang tersenyum-senyum melihat lagak majikannya ini waktu mempersilakan Siang In untuk duduk di dekat meja kasir di mana kuasa itu duduk! Melihat betapa kuasa restoran itu tidak menyambut tamu lain dan mengistimewakan dia dengan lagak menjemukan, tentu saja Siang In maklum betapa laki-laki itu mencari muka, maka hatinya yang sedang kesal menjadi makin kesal!

“Nona kelihatan lelah sekali, tentu melakukan perjalanan jauh? Bolehkah saya bertanya, dari mana....” Kuasa itu, seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan bertubuh tinggi besar gendut seperti raksasa, tidak melanjutkan kata-katanya karena Siang In sudah bangkit dari bangkunya dan melangkah menghampirinya. Laki-laki itu memandang heran dan girang, mengira bahwa Siang In menyambut sikapnya dan hendak melayaninya, akan tetapi tiba-tiba Siang In mengeluarkan sebuah mata uang dari saku bajunya dan meletakkannya di atas meja kasir.

“Ini untuk harga makanan yang akan kupesan, selebihnya biar untuk menutup mulutmu yang lebar!”

Setelah berkata demikian, Siang In membalikkan tubuh dan kembali duduk di bangkunya, akan tetapi sekarang dia memilih bangku yang membelakangi kuasa atau kasir itu. Laki-laki tinggi besar itu tadinya menjadi merah mukanya, merah karena malu dan marah, merasa dihina orang di depan umum, akan tetapi ketika dia memandang ke atas meja, ke arah uang perak itu dan menggerakkan tangan hendak mengambilnya, wajahnya berubah menjadi pucat sekali karena uang perak itu ternyata telah menancap sampai rata dengan permukaan meja dan tidak dapat diambilnya! Untuk mengambil uang perak itu kiranya harus dipergunakan alat untuk mencongkelnya keluar! Tahulah dia bahwa dara yang cantik seperti bidadari itu adalah seorang pendekar wanita kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga memiliki tenaga mujijat dan sekali tekan saja sudah mampu membuat uang perak itu menancap sampai rata dengan permukaan meja! Hati Siang In merasa puas ketika mendengar betapa kuasa itu dengan suara bisik-bisik lalu memerintahkan pelayan untuk melayaninya dengan cepat dan baik, dan selanjutnya benar saja tidak berani lagi bicara kepadanya sepatah kata pun.

Akan tetapi segera perhatian Siang In tertarik akan bunyi rengek seorang anak kecil. Dia menengok dan melihat seorang anak laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berkulit putih dan bermata kebiruan seperti orang asing akan tetapi yang berpakaian Han, bersama seorang wanita cantik berpakaian hijau yang menuntun seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima tahun memasuki restoran itu.

“Kenapa belum juga sampai?” terdengar anak itu bertanya dengan suara merengek. Melihat anak laki-laki itu, timbul rasa suka di hati Siang In. Anak itu matanya tajam dan penuh keberanian, mulutnya dikatupkan keras-keras tanda bahwa anak ini memiliki kekerasan hati, akan tetapi alisnya berkerut seperti anak yang marah.

“Sssttt, kita makan dulu....“ bisik wanita baju hijau dan kebetulan sekali mereka bertiga, duduk di meja dekat meja Siang In.

Anak itu, duduknya kebetulan menghadap ke arah Siang In. Dara ini yang merasa suka kepada anak itu lalu mengejap-ngejapkan mata dan tersenyum kepadanya. Lalu Siang In mengambil sepasang sumpit yang berada di atas meja, ditiupnya sepasang sumpit itu dan ketika dia mendirikan sumpit dan melepaskan tangan, sepasang sumpit itu menari-nari di atas meja! Anak itu terbelalak, wajahnya lalu berseri dan dia segera turun dari bangkunya dan lari menghampiri meja Siang In untuk nonton sumpit menari!

Melihat ini, wanita baju hijau itu cepat bangkit berdiri. Dia tidak melihat sumpit menari maka melihat anak itu menghampiri meja Siang In, cepat dia memegang tangan anak itu dan berkata sambil menarik muka manis kepada Siang In, “Harap maafkan anak saya yang tidak tahu aturan!” Lalu dia menarik tangan anak itu kembali ke mejanya.

Siang In mengerutkan alisnya. Hemm, kau boleh menipu orang lain akan tetapi tidak bisa membohongi aku, pikirnya. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa wanita berbaju hijau itu biarpun usianya sudah kurang lebih dua puluh dua tahun akan tetapi adalah seorang perawan. Bagaimana bisa mempunyai anak sebesar itu? Akan tetapi, karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka, maka dia tidak dapat mencampuri urusan orang lain. Betapapun juga, dia merasa tidak senang karena dia tahu bahwa anak itu jelas bukan anak wanita itu, atau anak pria itu. Wajah anak itu sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan wanita atau laki-laki itu, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu adalah seorang yang masih perawan, belum menikah, maka jelas tidak mungkin mempunyai anak!

Tadinya Siang In sudah tidak mau memperhatikan lagi karena merasa tidak berhak mencampuri urusan orang. Mungkin saja anak itu adalah anak angkat dari wanita itu, dan hal ini bukannya aneh. Maka ketika masakan yang dipesannya telah datang, dia segera mulai makan.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik lagi kepada wanita baju hijau dan laki-laki bule itu karena dia mendengar mereka bicara dalam bahasa Mongol! Dan kebetulan Siang In mengenal bahasa ini yang dipelajarinya dari gurunya!

“Sudah kukatakan bahwa tidak baik membawa anak ini ke restoran. Bisa menarik perhatian orang saja. Sebaiknya kau beli makanan dan membawa makanan itu ke hutan di timur dekat lembah, kami menanti di sana!” demikian kata wanita baju hijau itu dengan suara lirih dan dalam bahasa Mongol, akan tetapi cukup dapat ditangkap oleh telinga Siang In yang terlatih. Wanita baju hijau itu lalu memondong anak itu dan membawanya keluar dari rumah makan dengan cara tergesa-gesa, meninggalkan laki-laki bule itu memesan masakan dan minta agar masakan-masakan itu dibungkus saja karena hendak dibawanya keluar.

Makin besarlah rasa kecurigaan Siang In. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres atas diri anak kecil itu. Jelas bukan anak mereka dan jelas pula bahwa mereka berusaha menyembunyikan anak itu dari umum! Penculikankah? Siang In cepat menyelesaikan makannya dan ketika laki-laki bule itu membawa keluar makanan yang dibungkus dan meninggalkan restoran dengan cepat, dia pun bangkit dan segera membayangi orang itu. Kecurigaannya makin besar ketika dia melihat betapa laki-laki bule itu setelah tiba di luar dusun lalu berlari cepat sekali, ternyata orang itu memiliki kepandaian tinggi dan ilmunya berlari cepat menunjukkan bahwa orang itu bukanlah orang biasa. Maka dia pun cepat mengejar dan membayanginya terus.

Akan tetapi ketika laki-laki itu tiba di dalam hutan, yang menyambutnya hanya wanita baju hijau itu saja, sedangkan anak tadi entah berada di mana. Dan ternyata bahwa laki-laki itu ternyata tahu pula bahwa dia dibayangi, karena begitu tiba di situ dan bertemu dengan wanita baju hijau, dia bicara berbisik-bisik, dan setelah meletakkan bungkusan makanan di bawah pohon, laki-laki itu lalu mennbalik berseru dengan nyaring, “Nona yang membayangi orang, harap keluar dan bicara!”

Siang In terkejut, akan tetapi sambil tersenyum dia lalu keluar dari balik pohon dan dengan langkah gontai dan tenang dia menghampiri mereka. Dia tidak mempedulikan pandang mata kagum dari laki-laki bule itu. Pandang mata pria seperti itu sudah biasa dia hadapi dan selama laki-laki tidak mengganggunya, dia pun tidak mempedulikan pandang mata mereka penuh kagum itu. Sedikit banyak pandang mata kaum pria seperti itu mendatangkan perasaan nyaman, juga di dalam hatinya dan mempertinggi harga dirinya!

Laki-laki itu cukup sopan dan hormat, karena dia segera menjura kepada Siang In yang mengempit payung hitamnya, tidak seperti wanita baju hijau yang memandang dengan sinar mata penuh selidik dan alis dikerutkan. “Nona, kami melihat bahwa Nona bukanlah orang sembarangan, akan tetapi yang membuat kami heran adalah mengapa Nona mengikuti saya ketika menuju ke sini? Ada urusan apakah yang hendak Nona bicarakan dengan kami?”

Melihat sikap pria asing itu, Siang In juga balas menjura. “Sebenarnya, antara aku dan kalian tidak ada urusan apa-apa, dan aku pun tidak akan berani mengganggu orang tanpa sebab. Akan tetapi ada terjadi hal-hal yang mencurigakan hatiku dan yang tentu akan membuat aku selalu merasa penasaran sebelum memperoleh keterangan dari kalian berdua.”

“Hemmm, bocah yang lancang. Kau menghendaki keterangan apakah?” tiba-tiba wanita baju hijau itu berkata, suaranya jelas mengandung kemarahan.

Akan tetapi Siang In tetap saja tersenyum, dan bukan main manisnya dara ini kalau hatinya sedang tegang dan ditutup oleh senyumnya yang khas. “Aku hanya ingin bertanya, mengapa ada seorang gadis mempunyai anak dan mengapa ada anak disembunyikan dari umum dan di mana pula adanya anak tadi? Biar aku bertanya sendiri kepadanya!”

Mendengar ini, wanita baju hijau itu memandang marah. “Jangan mencampuri urusan orang lain!”

Siang In tersenyum. “Sayang, sudah menjadi watakku untuk mencampuri segala macam urusan yang tidak beres. Mengapa kalian tidak mau menjawab? Apakah kalian menculik anak itu?”

Mendengar ini, wanita baju hijau itu segera menyerangnya dengan pukulan yang datangnya cepat dan kuat sekali. Diam-diam Siang In terkejut bukan main. Kiranya wanita ini pun memiliki kepandaian hebat! Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Segera mereka berdua sudah saling serang dengan dahsyatnya. Melihat ini, laki-laki asing itu pun melompat maju dan berkata, “Sumoi, tidak perlu membunuh dia, robohkan saja agar kita dapat melarikan diri!” katanya.

Menghadapi pengeroyokan mereka, Siang In segera mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya tidak mampu untuk menandingi mereka, maka dia cepat menggerakkan payungnya. Akan tetapi dua orang yang ternyata amat lihai itu sama sekali tidak mengeluarkan senjata, melainkan mengeroyoknya dengan kedua tangan kosong saja. Dan selagi dia terdesak itulah muncul Kian Lee yang mengintai dan menonton pertempuran itu. Ketika Siang In terpaksa mengerahkan ilmu sihir untuk menghadapi dua orang lawan tangguh itu sehingga dia sudah dapat mendesak mereka, niat hati Siang In hanya merobohkan mereka kemudian memaksa mereka mengaku tentang anak itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar bunyi lengking yang luar biasa hebatnya, seperti bunyi lengking seekor burung rajawali sehingga hatinya tergetar dan kekuatan sihirnya membuyar. Dia lalu terdesak hebat dan terancam bahaya, akan tetapi Siang In tidak putus asa dan tidak menjadi gentar. Dengan nekat dia melawan terus, menggunakan payungnya untuk melindungi tubuhnya dari desakan kedua orang lawannya.

Karena tadi mereka berdua hampir saja menjadi korban ilmu sihir dara cantik jelita itu, kini suheng yang bule itu tidak lagi melarang sumoinya mempergunakan ilmu pukulan mujijat tadi. Mereka ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi, putera mendiang Pangeran Liong Bin Ong dengan ibu seorang selir berkulit putih dari pangeran itu, sedangkan sumoinya itu adalah Kim Cui Yan, Si Walet Hijau, yaitu puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin yang pernah memberontak.

Sesungguhnya yang menculik putera Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah kedua orang inilah! Penculikan itu pun didasarkan atas sakit hati mereka atas kemktian orang tua mereka karena kegagalan mereka ketika memberontak. Karena mereka tahu bahwa Kao Kok Cu adalah putera sulung dari Jenderal Kao yang merupakan musuh besar utama mereka, maka kedua orang murid dari nenek iblis Kim-mouw Nio-nio ini lalu menculik puteranya. Mereka tidak berani melakukan hal ini secara terang-terangan karena mereka maklum akan kesaktian Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga memiliki kepandaian hebat, maka mereka melakukan penculikan atas diri putera tunggal mereka untuk menyiksa batin mereka sebagai pembalasan dendam mereka. Semenjak melakukan penculikan itu, hati mereka selalu gelisah, apalagi setelah mendengar betapa ayah dan ibu anak yang mereka culik itu telah melakukan pengejaran, maka tentu saja mereka selalu bersembunyi-sembunyi. Akhirnya mereka mendengar akan pergerakan Gubernur Ho-nan yang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal, maka kini mereka bermaksud untuk mengunjungi pangeran itu yang masih merupakan saudara sepupu dari Liong Tek Hwi. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Teng Siang In sehingga terjadilah perkelahian itu.

Kini Siang In benar-benar terdesak hebat dan mulailah hati dara ini khawatir. Dua orang lawannya ini benar-benar tangguh dan kalau sampai laki-laki yang kini muncul dari balik batu yang tadi membuyarkan kekuatan sihirnya itu turun tangan pula, akan celakalah dia! Dia tidak berani menggunakan sihirnya lagi setelah tadi dibuyarkan oleh lengking penuh tenaga khikang dahsyat itu.

“Mampuslah kau siluman jahat!” bentak Kim Cui Yan sambil menyerang dengan pukulannya yang mujijat dan paling diandalkan, yaitu pukulan sakti Swat-lian Sin-ciang yang mendatangkan hawa dingin itu.

Ketika itu, Siang In sedang terhuyung karena baru saja dia menangkis pukulan Liong Tek Hwi dengan payungnya, akan tetapi tenaga pukulan pemuda itu sedemikian kuatnya sehingga dia terdorong dan hampir roboh. Kini, wanita baju hijau itu menerjangnya sedemikian dahsyatnya sehingga tidak sempat lagi agaknya bagi Siang In untuk mengelak. Dia merasa betapa ada hawa dingin sekali menyambar ke arahnya, maka dia cepat membuang diri ke belakang dan tubuhnya terus dia gulingkan menjauh. Akan tetapi Kim Cui Yan terus mengejarnya dengan pukulan-pukulan Swat-lian Sin-ciang yang amat berbahaya itu.

“Desss....!” tubuh Kim Cui Yan terdorong ke belakang dan wanita baju hijau ini terkejut bukan main. Pukulannya yang berdasarkan Im-kang yang amat kuat itu membalik dan tubuhnya menggigil. Ternyata pemuda tampan yang kini muncul dari balik batu, pemuda yang tadi melengking dan membuyarkan pengaruh sihir dari dara berpayung itu, kini membalik dan menolong dara berpayung dan tangkisannya mengandung hawa yang lebih kuat dan lebih dingin daripada Swat-lian Sin-ciang!

Melihat betapa pemuda tampan itu benar-benar amat hebat kepandaiannya, Kim Cui Yan menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau tempat persembunyian anak yang diculiknya diketahui orang, maka dia berseru, “Suheng, mari kita lari!” Dia berseru dalam bahasa Mongol dan suhengnya yang memang segan untukk bermusuhan dengan orang-orang lihai tanpa sebab, tidak membantah dan keduanya sudah melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu dan melupakan bungkusan makanan yang tadi dibeli oleh Liong Tek Hwi!

“Hayo, majulah! Tak perlu kau pura-pura membantuku, majulah, jangan kira aku takut padamu! Hayo maju dan keroyok sekali, kau manusia tak tahu malu!”

Kian Lee hanya berdiri melongo menghadapi dara yang sudah berdiri di depannya sambil menodongkan payungnya ke arah dadanya itu.

“Eh, Nona aku tidak berniat buruk....“

“Huh, pandai kau pura-pura, ya? Kau tak tahu malu dan curang, kau tadi membantu mereka dengan sembunyisembunyi. Kalau tidak karena engkau, tentu aku sudah dapat membekuk mereka berdua itu! Sekarang mereka dapat lolos dan semua ini karena engkau yang menjadi biang keladinya. Kalau memang kau gagah, hayo kaulawan aku!” Siang In sudah menyerang dengan payungnya, menusuk ke arah dada pemuda itu untuk menotok jalan darahnya.

“Eihhh....!” Kian Lee cepat mengelak dan meloncat mundur. “Sabar dulu, Nona. Harap jangan salah sangka. Kalau tadi aku membantu mereka adalah karena aku tidak tahu urusan antara kalian bertiga, maka aku hanya membantu siapa yang terancam bahaya. Setelah keadaan berbalik dan kau yang terancam bahaya, maka aku lalu membantumu. Aku tidak mempunyai niat buruk....“

“Dasar cerewet, pandai bicara kau, ya? Kaukira aku takut padamu, ya? Kalau memang berani, jangan main keroyok. Nah, teman-temanmu sudah pergi, mari kita bertanding satu lawan satu, hendak kulihat sampai di mana sih tingginya kepandaianmu!”

Sejak tadi Kian Lee memandang wajah dara ini dan dia kagum bukan main. Memang luar biasa cantik dara ini, boleh dibandingkan dengan Hwee Li! Hampir sama pula galaknya, hanya dara ini mempunyai sifat-sifat lucu dan melihat lagak dara ini, teringatlah dia kepada Kian Bu. Ah, kalau saja ada Kian Bu di situ, tentu ramai bertemu dengan seorang dara seperti ini. Sejenak Kian Lee bengong saja, akan tetapi kini melihat dara itu bertolak pinggang dan mengalungkan gagang payungnya yang melengkung itu di leher sendiri sehingga kelihatan lucu, dengan mulut cemberut muka kemerahan akan tetapi matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi yang berseri-seri. Lucu sekali! Manis sekali! Kian Lee tak dapat menahan ketawanya.

Melihat pemuda itu tertawa, sepasang mata Siang In melotot makin besar. Makin besar makin indah, dan makin lucu dalam pandangan Kian Lee sehingga pemuda ini terus saja tertawa. Melihat dara itu bertolak pinggang dan menantang-nantang dengan sikapnya yang dibuat-buat agar kelihatan galak dan menakutkan, entah mengapa, Kian Lee yang biasanya selalu bersikap sopan terhadap wanita, kini tidak dapat menahan geli hatinya. Geli dan gembira. Dan makin pemuda itu tertawa, makin marahlah Siang In.

“Bagus, kau mentertawakan aku, ya? Kaulihat mukaku ini ada apa sih maka kau tertawa-tawa seperti orang gila?” Siang In menuding ke arah dahi di antara kedua matanya. Otomatis Kian Lee memandang ke arah sepasang mata dara itu dan tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya tergetar dan dia tidak mampu mengalihkan pandang matanya. Sebelum dia sadar bahwa dia telah terpengaruh oleh ilmu sihir dari padang mata dara itu, sudah terdengar suara Siang In, suara yang merdu setengah berbisik, akan tetapi mengandung getaran yang kuat sekali wibawanya, “Engkau adalah seekor monyet!”

Seperti orang kehilangan semangat, Kian Lee yang sudah tidak tertawa lagi akan tetapi mulutnya masih tersenyum itu , berkata, “Aku adalah seekor monyet....“ agak meragu suaranya, seperti diusahakannya untuk dilawan, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk perangkap sihir.

“Bagus! Dan kau pandai menari-nari. Hayo kau menari yang baik!” kembali suara Siang In terdengar penuh wibawa dan sepasang matanya yang lebar itu memandang seperti mengeluarkan sinar berpengaruh yang menundukkan Kian Lee.

“Tidak.... tidak....!” Kian Lee berusaha melawan, akan tetapi kaki tangannya sudah bergerak sendiri dan dia menari-nari! Berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari!

“Heiii, menari yang baik! Engkau pandai menari dan seorang penari tidak boleh bersungut-sungut, harus tersenyum! Menari dan tersenyumlah kau!”

Kian Lee tidak dapat membantah. Dia terus menari-nari dan kini mulutnya tersenyum, dan Siang In menonton sambil berdiri bertolak pinggang, akan tetapi sepasang matanya makin lama makin kehilangan kekuatannya karena mata itu kini mulai terbelalak keheranan ketika dia melihat betapa wajah itu mengingatkan dia akan wajah seorang pemuda yang selama ini selalu terbayang di lubuk hatinya, pemuda yang dicari-carinya selama ini, pemuda yang.... dibencinya akan tetapi juga yang tak pernah dapat dilupakannya, yaitu Suma Kian Bu! Setelah pemuda ini menari dan tersenyum, dia melihat persamaan antara mereka, terutama pada sinar matanya! Dan karena Siang In tidak mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan sihirnya, muka Kian Lee yang meronta-ronta dalam batin itu berhasil melepaskan diri. Dia mengeluh, terhuyung dan menutupi muka dengan kedua tangannya, “Aihhh.... Suma Kian Lee.... sekali ini kau dibikin malu oleh seorang anak-anak....”

Mendengar ini, Siang In terkejut bukan main. Suma Kian Lee! Tentu saja masih saudara dari Suma Kian Bu, pemuda yang dicari-carinya! Dia terkejut dan juga menyesal mengapa dia tadi terburu nafsu mempermainkan pemuda ini engan sihirnya.

“Ah.... kau.... kau bernama Suma Kian Lee....?” katanya agak gagap.

Kian Lee menggoyang-goyang kepalanya mengusir kepeningan, kemudian memejamkan mata untuk mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Barulah dia membuka mata menghadapi dara itu, alisnya berkerut karena dia teringat betapa tadi dia dipermainkan sehingga dia terpaksa menari-nari seperti orang gila tanpa dia mampu mencegahnya karena dia sudah terperangkap ke dalam kekuatan sihir yang hebat.

“Hemmm, engkau seorang nona yang amat aneh. Kita tidak pernah saling bermusuhan, akan tetapi engkau tega mempermainkan aku seperti itu. Memang aku Suma Kian Lee, dan siapakah engkau, Nona?”

“Apakah engkau kakak dari Suma Kian Bu?”

Wajah Kian Lee berseri seketika, “Ah, jadi engkau sudah mengenal adikku itu? Tahukah kau di mana dia sekarang?”

Siang In kecewa. Tadinya dia mengharapkan bahwa pertemuannya dengan saudara Kian Bu akan dapat membawa dia bertemu dengan Kian Bu, kiranya orang ini malah bertanya kepadanya di mana adanya Kian Bu! Dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia berada di mana. Aku.... aku sedang mencari Puteri Syanti Dewi yang diculik orang dan kabarnya dibawa ke sekitar daerah ini.”

Kian Lee makin tertarik dan memandang lebih tajam penuh selidik. Dipandang seperti itu oleh pemuda yang bersikap halus dan amat tampan ini, Siang In merasa malu sendiri dan teringat akan kenakalannya tadi, kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya. “Nona, engkau mengenal pula Puteri Syanti Dewi?”

“Mengenal? Dia sahabat baikku, kami sudah seperti saudara saja. Sayang dia sampai dapat lolos dari penjagaanku!”

“Kalau engkau sudah mengenal Kian Bu, dan menjadi sahabat baik Syanti Dewi, berarti engkau seorang sahabatku pula. Siapakah namamu, Nona?”

“Aku Teng Siang In.”

Kian Lee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Teng Siang In....? Siang In....?” Tiba-tiba wajahnya berseru ketika dia mengangkat muka memandang wajah nona itu. “Ah, tahu aku sekarang! Bukankah engkau murid See-thian Hoat-su? Kian Bu pernah bercerita tentang dirimu kepadaku!”

Wajah itu menjadi makin merah dan makin cantik saja. Siang In melangkah maju mendekati Kian Lee, bertanya mendesak, “Benarkah? Apa saja yang diceritakannya tentang diriku kepadamu?”

Kian Lee menggeleng kepala. “Tidak banyak, hanya bahwa engkau dan encimu yang bernama.... ah, lupa lagi aku....”

“Mendiang Enci Siang Hwa?”

“Benar, Siang Hwa yang menurut Kian Bu tewas di perahu. Katanya bahwa engkau dan encimu adalah keturunan atau anak-anak dari mendiang Yok-sin, ahli pengobatan yang amat terkenal di lembah Pek-thouw-san, dan bahwa engkau kemudian menjadi murid See-thian Hoatsu. Ah, pantas saja engkau pandai ilmu silat, ahli dalam ilmu sihir, dan tentu engkau seorang ahli pengobatan pula, Nona.” Kian Lee memandang penuh kagum. “Engkau masih begini muda sudah amat pandai, sungguh mengagumkan.”

Bersambung ke buku 13