Kisah Para Pendekar Pulau Es -15 | Kho Ping Hoo
Buku 15
“Mudah-mudahan begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”
“Aku datang ke tempat ini bersama suhu, dan tadi kami berpisah, masing-masing melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu menyuruh aku memasang mata kalau-kalau tempat ini terdapat orang-orang dari golongan lain yang menyelundup. Aku bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai mabok yang menggangguku.”
Ceng Liong melepaskan rangkulannya dan mereka kini bicara dengan sikap serius, karena perhatian mereka mulai tertarik dan teringat akan keperluan mereka datang ke tempat itu. “Akupun heran mengapa orang- orang seperti mereka itu hadir pula di sini. Kehadiran mereka itu saja sudah membuat aku menjadi semakin ragu- ragu akan kebenaran pertemuan ini.”
“Menurut suhu, Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang paling gigih menentang pemerintah sejak dahulu. Yang kita pandang bukanlah perangai mereka, melainkan semangat mereka menentang pemerintah penjajah. Karena itu tadinya aku banyak mengalah, akan tetapi karena mereka semakin kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka,” kata Bi Eng.
“Sekarang mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-moi.”
“Sebaiknya engkau pergi ke sana dulu, Liong-koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti kita bertemu kembali di Hutan Cemara.”
Menuruti perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan kekasihnya, akan tetapi diapun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin meninggalkan gurunya atau juga calon ayah mertuanya itu begitu saja. “Baiklah, kita saling jumpa di Hutan Cemara, Eng-moi,” katanya dan mereka saling menggenggam tangan dan saling berpandangan dengan penuh perasaan mesra. Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu berlari cepat, lenyap di balik pohon-pohon. Sampai beberapa lamanya Ceng Liong berdiri bengong, kemudian diapun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Cemara.
***
Di Hutan Cemara telah berkumpul banyak sekali orang. Ada seratus orang lebih yang sudah datang berkumpul. Mereka itu rata-rata nampak gagah perkasa dan penuh semangat. Hutan di kaki Pegunungan Tai-hang- san itu nampak ramai walaupun hal ini agaknya tidak diketahui oleh para penduduk dusun yang berada di sekitar Tai-hang-san namun cukup jauh dari tempat pertemuan yang sepi itu.
Pada waktu itu, sudah terdapat beberapa buah perkumpulan yang anti pemerintah, di antaranya yang paling terkenal pada waktu itu adalah Pek-lian-pai atau Pek-lian-pang yang intinya adalah Agama Pek-lian-kauw. Kemudian Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang juga merupakan perkumpulan rahasia yang selalu dikejar- kejar pemerintah karena mereka itu terang-terangan menentang pemerintah Mancu yang berkuasa. Pada mulanya memang cita-cita menentang penjajah ini digerakkan oleh orang-orang yang berjiwa patriot di antara para tokoh mereka. Akan tetapi sungguh sayang, cita-cita ini kemudian dicampuri dengan cita-cita pribadi atau cita-cita kelompok yang lain lagi, yang hanya mementingkan keuntungan diri pribadi atau kelompok, ambisi untuk mencari kedudukan atau keuntungan. Bahkan lebih buruk lagi, di antara para anak buah perkumpulan-perkumpulan rahasia itu ada yang terlalu mengandalkan kekuatan dan kekuasaan atau pengaruh perkumpulannya sehingga seringkali mereka bertindak sewenang-wenang. Bahkan ada pula orang-orang yang memang berwatak jahat menyelundup masuk dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengotorkan nama perkumpulan.
Ketika Ceng Liong tiba di Hutan Cemara, banyak orang sudah berkumpul. Yang amat menyolok adalah tiga buah perkumpulan itu. Mereka datang dengan anggauta yang puluhan orang banyaknya dan nampaklah bendera-bendera mereka berkibar dan pasukan mereka berada di belakang bendera perkumpulan masing-masing. Di depan bendera Pek-lian-pai berdiri seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menunjukkan bahwa tosu yang tua ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Di kanan kirinya berdiri dua orang tosu tua yang tadi ribut dengan Bi Eng. Sikap tiga orang tosu ini angkuh dengan muka ditegakkan menghadap ke depan, kedua tangan di belakang tubuh dan kedua kaki dipentang lebar. Akan tetapi sikap para anak buah Pek-lian-pai tidak teratur dan mereka itu nampak berbisik-bisik dan ada yang tersenyum-senyum dengan mata melirik ke kanan kiri. Pat-kwa-pai dengan benderanya yang angker, bentuk segi delapan dengan garis-garis pat-kwa, dipimpin oleh seorang kakek pula yang bertubuh sedang, berpakaian putih dan kuning seperti pakaian pertapa, dengan rambut, jenggot dan kumis awut-awutan panjang tak terpelihara, diiringkan dua puluh lebih anak buah Pat-kwa-pai yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam dengan gambar pat-kwa di bagian dada. Sikap mereka ini lebih serius dan pendiam daripada para anak buah Pek-lian-pai yang berbendera gambar bunga teratai itu. Berbeda dengan dua perkumpulan terdahulu, Thian-li-pai yang datang dengan anak buah sebanyak lima puluh orang itu dipimpin oleh seorang pria berusia empat puluh tahun, berpakaian ringkas serba hitam dengan sepasang pedang tergantung di punggung. Sikapnya pendiam dan gagah, juga anak buahnya kelihatan gagah dengan pakaian yang serba hitam dan ringkas.
Karena saat pertemuan yang ditentukan telah tiba, maka di dataran tinggi yang dikelilingi para peserta itu muncul seorang pria yang gagah perkasa, yang memakai baju kulit harimau. Pria ini berusia kurang lebih empat puluh tahun dan begitu muncul di dataran tinggi itu pria itu menjura dengan sikap gagah dan hormat ke empat penjuru sambil berseru dengan nada suara yang lantang. “Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat, mohon perhatian!”
Suaranya yang mengandung getaran khi-kang yang kuat itu mengatasi suara berbisik para pendatang yang memenuhi tengah hutan cemara itu dan suasana lalu menjadi tenang dan sunyi karena semua orang menghentikan percakapan masing-masing, dan kini semua mata ditujukan kepada pria itu.
Melihat pria itu Ceng Liong merasa betapa jantungnya berdebar. Andaikata tidak terjadi pertemuan antara dia dan Bi Eng, maka melihat pria ini tentu akan mendatangkan rasa girang, tidak bercampur tegang seperti sekarang ini. Pria itu adalah Sim Hong Bu, pendekar yang mewarisi Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) dengan ilmunya itu. Pendekar yang menjadi guru Bi Eng, juga menjadi calon mertua!
Setelah memberi hormat ke empat penjuru, Sim Hong Bu berkata, nada suaranya masih lantang dan gagah. “Cu-wi yang terhormat, harap maafkan kelancangan saya mewakili para locianpwe dan para sahabat untuk sementara memimpin rapat ini sebelum kita semua memilih pimpinan. Bagi cu-wi yang belum mengenal saya, saya memperkenalkan diri bahwa nama saya Sim Hong Bu. Bagaimana pendapat cu-wi, setujukah kalau saya untuk sementara memimpin pertemuan ini?”
Terdengar teriakan “setuju!” dari mereka yang sudah mengenal pendekar ini, sedangkan mereka yang belum mengenalnya dan masih ragu-ragu pun diam saja, hanya mendengarkan. Agaknya para pimpinan tiga perkumpulan besar yang hadir itupun sudah mengenal pendekar ini karena mereka mengangguk-angguk. Karena sebagian besar di antara yang hadir menyetujuinya, Sim Hong Bu makin bersemangat.
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi. Saya akan menceritakan sedikit tentang timbulnya gagasan mengadakan pertemuan pada hari ini. Beberapa orang locianpwe dan sahabat baik, yang berjiwa pendekar dan mencinta tanah air dan bangsa, mengadakan pertemuan dan membicarakan tentang tanah air kita yang dijajah Bangsa Mancu puluhan tahun lamanya. Sebagai pendekar dan patriot, tentu saja kita tidak mungkin tinggal diam saja. Maka sayapun diberi tugas untuk menghubungi para sahabat dan pendekar yang sehaluan, mengundang mereka untuk mengadakan pertemuan pada hari ini. Maksud dari pertemuan ini adalah untuk menghimpun tenaga dan mengatur rencana bagaimana kita dapat berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah.”
“Harus lebih dulu dipilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)!” terdengar teriakan-teriakan di antara mereka yang hadir.
Sim Hong Bu tersenyum dan mengangkat kedua tangan minta agar mereka itu tenang. Setelah keadaan menjadi tenang, dia berkata. “Memang seperti yang cu-wi kehendaki, pertama-tama kita memilih pimpinan. Karena itu maka tadi saya katakan bahwa saya hanya untuk sementara memimpin pertemuan ini, atau sebagai juru bicara. Kita mengangkat seorang pemimpin dan pemimpin itulah yang kemudian menentukan para pembantunya. Setujukah cu-wi?”
Semua orang kembali berisik menyatakan setuju. Tosu gendut, yaitu yang pernah ribut dengan Bi Eng, mengacungkan tangan ke atas dengan suara yang menggeledek dia berkata. “Kami calonkan ketua kami menjadi bengcu!” Ucapan ini disambut sorak-sorai anak buah Pek-lian-pai.
“Kami usulkan pimpinan kami Giam San-jin menjadi bengcu!” teriak seorang di antara anak buah Pat-kwa- pai dan teriakan inipun disambut sorak-sorai anak buah perkumpulan itu.
“Kami usulkan toako kami Su Ciok menjadi calon bengcu!” teriak anak buah Thian-li-pai disambut sorak- sorai teman-temannya.Kembali Sim Hong Bu mengangkat kedua tangannya ke atas untuk memberi isyarat agar suasana kembali tenang. Setelah keadaan tenang, diapun berkata. “Memang untuk memilih bengcu, harus lebih dahulu diajukan calon- calon. Seorang calon yang diajukan harus memenuhi syarat, dan harus dikemukakan kebaikan-kebaikan apa maka dia dipilih menjadi bengcu. Saya mulai dengan locianpwe Ci Hong Tosu pimpinan Pek-lian-pai yang tadi diajukan sebagai calon. Harapdikemukakan alasan- alasan mengapa dia dicalonkan.” Sim Hong Bu sudah tahu siapa adanya tosu kurus yang memimpin rombongan Pek- lian-pai itu dan dia tahu bahwa biarpun tosu itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi berwatak tinggi hati, bahkan kadang-kadang sombong dan terlalu memandang rendah orang lain.
Tosu gendut yang tadi mengusulkan agar ketuanya dipilih bengcu, berkata. “Suhu Ci Hong Tosu memiliki pengetahuan yang luas disamping itu kepandaian tinggi, dan terutama sekali disamping itu semua, beliau adalah seorang tokoh Pek-lian-pai dan siapakah yang tidak tahu bahwa sejak dahulu Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang selalu berjuang untuk mengusir penjajah?”
“Susiok kami, Giam San-jin belum tentu kalah dibandingkan dengan tokoh Pek-lian-pai!” tiba-tiba terdengar suara dari rombongan Pat-kwa-pai. “Dan mengenai perjuangan menentang pemerintah penjajah, Pat- kwa-pai juga sudah amat terkenal.”
“Dalam hal perjuangan, Thian-li-pai tidak kalah! Dan dalam hal kepandaian, juga toako kami Su Ciok boleh diandalkan!” teriak orang-orang Thian-li-pai. Kembali keadaan menjadi berisik karena tiga golongan ini bicara sendiri semaunya.
Sementara itu, sejak tadi Ceng Liong tidak memperhatikan mereka yang ribut mengajukan calon-calon bengcu karena dia mencari-cari Bi Eng dengan matanya. Begitu melihat munculnya guru dan calon ayah mertua kekasihnya, dia sudah menoleh dan memandang ke sana- sini, mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa gelisah mengapa gadis itu belum juga muncul. Akhirnya dia melihat berkelebatnya bayangan Bi Eng di antara penonton di sebelah selatan, maka diapun menyusup ke sana menghampiri dan Bi Eng yang juga melihatnya lalu bergerak pula menghampirinya. Seperti telah mereka janjikan dan setujui berdua, mereka lalu berdiri di tempat yang tidak begitu berdesak-desak, berdiri berdampingan dan sama-sama memandang ke arah Sim Hong Bu yang memimpin pertemuan itu.
“Suhumu memang gagah perkasa.” Ceng Liong memuji lirih.
“Ya, dan kalau menurut aku, tidak ada yang lebih baik daripada suhu untuk menjadi calon bengcu. Dia penuh semangat dan berilmu tinggi, juga kegagahan dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi,” jawab Bi Eng lirih.
“Kalau begitu, kenapa tidak kauusulkan agar dia dicalonkan pula?”
“Engkau benar! Orang-orang seperti mereka itu dicalonkan, mengapa suhu tidak?” Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan kakinya, gadis itu sudah meloncat ke depan, ke arah bagian tanah yang agak tinggi walaupun tidak setinggi tanah datar di mana gurunya berada, dan dengan pengerahan khi-kang yang membuat suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan ia berkata. “Cu-wi, saya juga mengajukan seorang calon bengcu, yaitu bukan lain guru saya sendiri Sim Hong Bu yang cu-wi semua sudah mengenalnya!”
Usul ini disambut sorakan setuju dari sebagian banyak orang, mungkin lebih tertarik karena melihat kecantikan dan keberanian Bi Eng daripada kepercayaan mereka terhadap Sim Hong Bu sendiri.
Melihat ulah muridnya, Sim Hong Bu tertawa dan mengangkat kedua tangan ke atas. “Cu-wi sekalian, harap maafkan murid saya. Akan tetapi karena ia sudah mengajukan saya sebagai calon, tentu saja terserah kepada cu-wi. Nah, siapa lagi yang akan mengajukan calon?”
Ternyata banyak juga calon yang diajukan oleh para pendekar itu. Di antara mereka bahkan terdapat Bu-taihiap atau pendekar Bu Seng Kin yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti banyak isteri dan kekasihnya itu, yang kini telah berusia enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak ganteng dan gagah! Bu-taihiap hanya tersenyum-senyum saja mendengar betapa dia dicalonkan sebagai bengcu yang memimpin para pendekar dan patriot untuk berjuang menentang pemerintah penjajah. Agaknya pendekar ini merasa gembira bahwa masih ada orang yang percaya kepadanya dan diam-diam dia merasa bangga karenanya. Jumlah para calon itu ada tujuh belas orang!
“Jumlah calon begini banyak, bagaimana harus diadakan pemilihan di antara yang tujuh belas ini?” Sim Hong Bu menjadi bingung sendiri melihat demikian banyaknya calon yang diajukan. Apalagi mereka itu nampak damikian bernapsu untuk menang dalam pemilihan ini.
“Mudah saja diatur! Kita adalah orang-orang yang sudah biasa mengandalkan ilmu silat untuk melewati hidup. Karena itu, untuk menentukan pilihan, sebaiknya kalau dipilih di antara kita yang paling tangguh. Nah, aku sebagai seorang di antara calon-calon sudah maju untuk menandingi calon lain yang merasa berkepandaian tinggi!”
Yang bicara ini adalah seorang pria tinggi besar bermuka hitam yang sudah meloncat ke depan, di tempat datar itu, bersikap menantang. Semua orang memandang kepadanya. Pria ini tadi dipilih oleh kawan-kawannya dan dia terkenal sebagai seorang yang ditakuti di Tai- goan, bahkan di Propinsi Shan-si dia dikenal sebagai jagoan atau tukang pukul yang disegani. Karena dia tidak pernah jahat, walaupun agak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan selalu ingin benar sendiri, maka dia selalu mengangap diri sendiri sebagai seorang pendekar! Pria ini bernama Tang Gun, dan pria yang tinggi besar bermuka hitam ini berusia empat puluh tahun, terkenal memiliki banyak macam ilmu silat di antaranya ilmu-ilmu silat Siauw-lim-si dan tenaganya amat besar.Sebelum yang lain-lain mengemukakan pendapatnya dan sebelum Sim Hong Bu sempat mencegahnya, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Su Ciok, tokoh Thian- li-pai, sudah berada di atas tanah datar itu menghadapi Tang Gun!
“Bagus, engkau hendak menantang pibu? Baik sekali, akulah lawanmu. Lihat seranganku!” bentak Su Ciok sambil menerjang dengan pukulannya yang kuat. Tokoh Thian-li-pai ini memang berwatak keras, tidak banyak cakap namun suka sekali berkelahi. Begitu mendengar usul dan tantangan Tang Gun tadi, dia sudah naik darah dan menyambut tantangan itu tanpa banyak cakap lagi.
“Heh, kau ini tokoh Thian-li-pang tadi?” bentak Tang Gun sambil menangkis dengan pengerahan tengannya yang besar.
“Dukk....!” Pertemuan dua buah lengan yang sama besar dan sama kuatnya itu membuat keduanya terdorong ke belakang sampai terhuyung. Keduanya terkejut, tidak mengira bahwa lawan memiliki tenaga yang demikian besar. Akan tetapi kini Tang Gun marah dan membalas serangan tadi dengan cengkeraman tangan ke depan, disusul hantaman tangan kiri ke arah kepala lawan. Karena kini dia tahu bahwa lawannya juga memiliki tenagabesar, maka melibat datangnya serangan yang kuat berbahaya itu, Su Ciok mengelak dan balas menyerang. Serang-menyerangpun terjadilah dengan serunya.
Dan ternyata dua orang yang sama tinggi besar dan sama kuatnya ini memang memiliki kepandaian dan tenaga seimbang. Berkali-kali lengan mereka saling bertemu dan keduanya selalu terdorong ke belakang. Ketika mereka bertanding sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh ke medan perkelahian itu. Kiranya bayangan itu adalah Giam San-jin tokoh Pat-kwa- pai.
“Plakk! Plakk!” kakek berpakaian pertapa ini menggerakkan tangannya menyambut pukulan dua orang yang sedang berkelahi itu dan demikian kuat tamparan tangannya ketika mengenai lengan mereka sehingga Tang Gun dan Su Ciok yang bertenaga besar itupun terpelanting dan hampir terbanting roboh! Tentu saja keduanya terkejut bukan main.
“Kalian mundurlah!” kakek itu membentak dengan mata mencorong kepada mereka. Dua orang kuat itu terbelalak dan sejenak bimbang. Dari pertemuan tenaga tadi saja merekapun maklum bahwa kakek tokoh Pat-kwa- pai ini memang hebat sekali, maka mereka menjadi ragu dan jerih, lalu mundur untuk membiarkan kakek itu bicara.
Giam San-jin memberi hormat ke empat penjuru, lalu berkata dengan suara halus. “Kami setuju dengan usul untuk menentukan siapa menjadi bengcu melalui ujian kepandaian. Akan tetapi bukan secara kasar dan tak teratur seperti yang diperlihatkan dua saudara tadi. Sebelumnya harus diadakan peraturan agar tidak kacau- balau. Pertama ingin kami mendengar apakah cu-wi yang hadir di sini setuju bahwa untuk menentukan bengcu diadakan ujian kepandaian di antara para calon dan yang paling pandai berhak menjadi bengcu?”
“Siancai....! Itulah yang paling baik. Kami setuju!” Terdengar Ci Hong Tosu tokoh Pek-lian-pai berseru, suaranya tinggi melengking sehingga terdengar jelas karena memang tosu ini hendak memperlihatkan kekuatan khi-kangnya. Selain ketua Pek-lian-pai, banyak pula di antara para tokoh yang tadi dicalonkan menyetujui. Kembali suasana menjadi gaduh karena ada pula di antara para pendekar yang nampaknya tidak setuju dengan usul pertandingan adu kepandaian itu.
Ceng Liong sejak tadi merasa tidak setuju dengan sikap para tokoh yang hendak melakukan pemilihan bengcu melalui adu ilmu silat. Dan diapun melihat sesuatu yang menarik hatinya, yaitu ketika ada seorang pemuda gagah perkasa bercakap-cakap dengan Sim Hong Bu. Bahkan pendekar berbaju kulit harimau itu memeluk pemuda itu. Dia lalu bertanya kepada Bi Eng siapa adanya pemuda yang baru muncul itu. Bi Eng menoleh ketika ia memandang pemuda itu, wajahnya menjadi merah sekali.
“Itulah putera suhu....” katanya lirih.
Jantung dalam dada Ceng Liong berdebar keras penuh ketegangan. Jadi pemuda itukah tunangan kekasihnya? Seorang pemuda yang kelihatan gagah sekali! Akan tetapi Bi Eng tidak mencintanya dan memilih dia!
Selagi semua orang berbisik dan bicara sendiri karena mereka terbagi menjadi dua golongan yang mendukung dan menentang usul diadakannya pibu untuk menentukan siapa yang akan menjadi bengcu, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara ketawa ini mengatasi semua suara berisik sehingga semua orang lalu menoleh dan memandang kepada kakek yang tertawa-tawa itu. Kakek ini sudah berdiri dan karena suara ketawanya yang luar biasa, maka semua orang dengan mudah dapat menemukannya. Dia berdiri sambil bertolak pinggang. Seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluhan tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak ganteng, pakaiannya pesolek dan indah. Di dekatnya sendiri empat orang wanita setengah tua yang kesemuanya cantik- cantik. Mereka yang berada di situ, hanya ada beberapa orang saja yang sudah mengenalnya. Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap atau nama lengkapnya adalah Bu Seng Kin, seorang pendekar besar yang suka bertualang. Kini Bu-taihiap yang hadir bersama empat orang isterinya itu memandang kepada Ci Hong Tosu, masih tertawa, dengan nada mengejek. “Pertemuan macam apakah ini? Pertemuan antara orang-orang yang berjiwa patriot, ataukah pertemuan gerombolan tukang pukul yang hendak pamer kepandaian silat? Ha-ha-ha, sungguh lucu!”
Ci Hong Tosu mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak mengenal siapa adanya kakek itu, akan tetapi dia mengenalnya sebagai seorang di antara para calon karena tadi ada orang yang mencalonkan kakek ganteng ini.
“Siancai...., siapa menyetujui cara kami boleh maju memperebutkan kedudukan bengcu, yang tidak setuju boleh mundur!”
“Harap cu-wi pikirkan baik-baik!” Tiba-tiba Sim Hong Bu maju menghadapi Giam San-jin yang masih berdiri di dataran itu dengan sikap menantang lawan.
“Apa yang harus dipikirkan lagi, Sim-sicu? Bukankah kita berkumpul di sini untuk bicara tentang perjuangan dan sebelum itu harus diangkat dulu seorang bengcu yang akan menjadi pemimpin dan menunjuk orang-orang untuk menjadi pembantu-pembantunya. Nah, calon-calon sudah diambil dan kini tinggal diadakan pemilihan melalui adu kepandaian!”
“Betul! Lebih baik cepat laksanakan pibu!” terdengar beberapa orang berseru. Sebagai ahli-ahli silat, memang biasanya mereka ini suka sekali nonton orang mengadu ilmu silat, apalagi kalau diingat bahwa yang berkumpul di situ sekarang adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan, maka tentu akan menjadi ramai sekali dan mereka berkesempatan untuk melihat ilmu-ilmu silat hebat yang akan dikeluarkan. Mereka akan memperoleh banyak kemajuan dan pengalaman dalam pibu ini.
Sim Hong Bu mengangkat kedua tangan ke atas minta agar semua orang tenang. Kemudian dia berkata kepada Giam San-jin. “Maaf, sobat. Akan tetapi saya kira tidaklah tepat kalau diadakan pibu dalam pemilihan bengcu ini. Dalam pibu, mungkin ada yang akan roboh terluka bahkan mungkin saja akan ada yang tewas.”
Giam San-jin tertawa. “Ha-ha, siapa yang tidak tahu akan hal itu, sicu? Bukankah kita semua ini adalah orang-orang yang sejak kecil sudah berkecimpung dengan dunia persilatan dan sudah biasa dengan kalah menang, luka dan mati? Akan tetapi hal itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang-orang macam kita. Kalau ada orang yang takut terluka atau tewas dalam pibu, mana ada harganya orang itu menjadi bengcu, menjadi pemimpin kita? Karena itu, kami harap agar dapat diputuskan sekarang juga agar pibu segera diadakan untuk menentukan siapa yang patut menjadi bengcu. Ingat, sicu sekarang ini hanya memimpin pertemuan sementara saja sebelum bengcu dipilih, karena itu sicu tidak berhak menentukan sesuatu. Dan banyak saudara yang menyetujui diadakan pibu. Bukankah demikian, cu-wi yang mulia?”
Ucapan ketua Pat-kwa-pai disambut sorak-sorai dan tentu saja dia menang suara karena baru anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai saja sudah hampir separuh jumlah yang hadir. Melihat ini, Sim Hong Bu menjadi bingung dan tidak tahu harus berkata apa lagi. Pada saat itu, Ceng Liong melompat ke depan Giam San-jin dan tentu saja dia tidak mau bertindak lancang dan terlebih dahulu dia menjura kepada Sim Hong Bu.
“Sim-locianpwe, bolehkah saya bicara kepada para hadirin yang terhormat?”
Sim Hong Bu memandang wajah Ceng Liong dan sejenak dia memandang tajam, kemudian dia mengangguk. “Silahkan, dan mudah-mudahan kekacauan ini dapat diredakan,” katanya sambil mundur.
Giam San-jin mengerutkan alisnya memandang kepada pemuda remaja yang berani maju dan hendak bicara itu, akan tetapi Ceng Liong sama sekali tidak memperhatikannya. Pemuda ini menjura ke empat penjuru, kemudian suaranya terdengar menggeledek. “Cu-wi sekalian, perkenankan saya bicara sebentar dan harap cu-wi sudi mempertimbangkan dengan baik-baik.”
Diam-diam Giam San-jin, juga para tokoh yang hadir di situ terkejut. Di dalam suara pemuda ini terkandung getaran yang amat hebat, yang terasa sampai ke jantung mereka, tanda bahwa kekuatan khi-kang pemuda yang bicara ini besar sekali. Karena itu, tentu saja semua orang memandan kepadanya penuh perhatian dan ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan oleh pemuda itu.
Ceng Liong sudah mengambil keputusan untuk menghalangi terjadinya kekacauan dalam pertemuan ini, maka dengan sikap tenang namun tegas diapun mulai bicara, suaranya tetap lantang karena memang dia ingin mengatasi semua kegaduhan agar dapat didengar dengan baik oleh mereka semua.
“Cu-wi yang terhormat. Saya mengajak cu-wi untuk merenungkan sejenak dan menjawab pertanyaan yang kita ajukan kepada diri sendiri, yaitu untuk apakah kita semua ini dari jauh datang berkumpul ke sini dan mengadakan pertemuan ini? Jawabannya tentu mudah dan dapat disetujui kita semua, yaitu bahwa kita berkumpul untuk bersatu padu dan berjuang membebaskan negara dari penjajahan. Dan sekarang, dalam pemilihan bengcu, kita akan berhadapan sebagai orang-orang yang hendak memperebutkan kedudukan! Bahkan untuk memperebutkan kedudukan bengcu, kita tidak segan-segan untuk saling serang, saling melukai dan bahkan saling bunuh! Para saudara yang tidak menyetujui pertandingan pibu memperebutkan kedudukan ini tentu orang-orang gagah perkasa yang juga tidak takut terluka atau mati, akan tetapi tidak setuju karena melihat bodohnya keputusan ini. Tidak setuju karena cara yang dipergunakan untuk memilih bengcu ini tidak baik!”
Ucapan pemuda itu membuat semua orang tertegun, bahkan mereka yang tadinya menyetujui diadakannya pibu kini terdiam. Akan tetapi, Giam San-jin yang memelopori cara pibu yang tadi didahului oleh Tang Gun dan Su Ciok, menganggap pemuda ini menjadi penghalang yang menentangnya.
“Cara apapun yang kita adakan, adalah baik karena untuk suatu tujuan yang baik. Tujuan kita memilih bengcu yang benar-benar patut kita jadikan pemimpin. Apa salahnya cara pibu bagi orang-orang yang menganggap diri pendekar?” demikian kepala rombongan Pat-kwa-pai membantah, juga dia mengerahkan tenaga khi-kang dalam suaranya sehingga terdengar lantang.
“Maaf,” kata Ceng Liong, menjura kepada orang tua itu. “Bukan maksud saya untuk semata-mata menentang pendapat itu, melainkan mengajak semua saudara untuk mempertimbangkan dengan penuh kesadaran. Kita berkumpul dengan maksud untuk bersatu. Dalam menghadapi perjuangan besar, kita perlu bersatu padu. Akan tetapi, cara pemilihan bengcu dengan jalan pibu bukanlah hal yang menguntungkan, bahkan amat berbahaya. Dalam pibu, yang terluka apalagi yang tewas tentu menimbulkan dendam dan hal ini akan memecah-belah persatuan antara kita. Pula, harus diingat bahwa seorang bengcu yang akan memimpin perjuangan, tidak cukup kalau hanya mempunyai kepandaian silat tinggi. Perang lebih membutuhkan ilmu perang, walaupun dalam pertempuran dibutuhkan kemahiran ilmu silat bagi para pejuang yang bertempur. Yang penting adalah caranya untuk bersatu, karena caralah yang menentukan sesuatu, yang menciptakan baik buruknya sesuatu, bukan tujuan.”
Semua orang yang mendengarkan menjadi semakin bingung, terutama yang tadi menyetujui diadakannya pibu. Mereka dapat merasakan kebenaran ucapan pemuda itu, akan tetapi sebagai orang-orang yang suka akan ilmu silat, merekapun ingin sekali kalau pibu diadakan agar mereka dapat menikmati pertandingan-pertandingan yang tentu akan hebat sekali itu. Sementara itu, Giam San-jin sudah marah sekali, merasa bahwa dia disudutkan oleh pemuda remaja yang tidak dikenal itu. Maka diapun melangkah maju menghampiri Ceng Liong dan menegur keras.
“Orang muda, siapakah engkau berani berlagak menggurui kami? Bagaimanapun juga, kami tetap mengambil keputusan untuk memilih bengcu dengan cara pibu! Kalau sudah begitu, engkau mau apa? Kalau kau tidak setuju, boleh angkat kaki dari sini. Dalam urusan penting ini, kami tidak membutuhkan nasihat-nasihat seorang bocah hijau seperti engkau!”Tentu saja ucapan ini merupakan penghinaan yang memanaskan hati. Akan tetapi Ceng Liong tetap bersikap tenang, bahkan dia tersenyum. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak tamu para pendekar sakti dan para locianpwe, tentu dia sudah mempermainkan kakek yang sombong ini. Kini dia harus bersikap dan bertindak tegas kalau dia menghendaki agar pertemuan itu tidak sampai berobah menjadi arena pertandingan yang akibatnya tentu akan memecah-belah kekuatan di antara mereka saja.
“Locianpwe,” katanya dengan sikap hormat. “Bagimanapun juga, saya akan menentang pibu yang diadakan untuk pemilihan bengcu.” Ucapannya itu hormat, akan tetapi tenang dan tegas sekali. Suasana menjadi tegang ketika pemuda itu mengeluarkan ucapan ini. Betapa beraninya pemuda itu, pikir mereka. Atau lancang dan tak tahu diri? Berani menentang seperti itu kepada Giam San-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Bahkan Tang Gun dan Su Ciok yang lihai itupun tadi gentar dan mundur berhadapan dengan kakek berpakaian pertapa ini.
Tentu saja Giam San-jin menjadi semakin marah. Pemuda ini menyebutnya locianpwe, berarti mengakui bahwa kedudukan dan kepandaiannya jauh lebih tinggi, akan tetapi berani menentangnya! “Orang muda, dengan ucapanmu tadi berarti bahwa engkau hendak menentangku, ataukah engkau hendak memasuki pula pertandingan pibu ini melawan aku?”
Ceng Liong menggeleng kepala. “Harap locianpwe tidak salah mengerti. Saya tidak bermaksud ikut pibu memperebutkan kedudukan, bahkan saya menentangnya. Bukan berarti saya hendak menentang pribadi locianpwe pribadi, melainkan yang saya tentang adalah cara yang buruk dan hanya yang membuat perpecahan di antara kita itulah.”
“Hemm, orang muda, omonganmu berliku-liku akan tetapi yang jelas, engkau hendak menentang aku! Kalau aku melanjntkan pemilihan pibu ini, apakah engkau berani menentangku?”
“Demi mencegah terjadinya perpecahan, siapapun juga akan saya tentang kalau memaksakan diadakannya pibu,” jawab Ceng Liong tenang.
“Keparat! Engkau berani menentang aku? Orang muda, sebelum engkau kuhajar, katakan dulu siapa namamu?”
“Nama saya Suma Ceng Liong.”
“Suma? Engkau she Suma? Hemm, apakah ada hubungannya dengan keluarga Suma Han Pendekar Super Sakti Pulau Es?” tanya kakek Pat-kwa-pai itu terkejut.
“Saya adalah cucunya,” jawab Ceng Liong singkat, terpaksa tidak dapat merahasiakan lagi keadaan keluarganya. Pengakuan Ceng Liong itu membuat suasana menjadi semakin tegang karena siapakah yang tidak pernah mendengar tentang keluarga para pendekar Pulau Es? Kini pandang mata mereka terhadap Ceng Liong makin penuh perhatian dan semua orang ingin menyaksikan bagaimana sepak terjang seorang cucu dari Pendekar Super Sakti.
“Ha-ha-ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa lembut disusul suara Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-pai yang tinggi kurus itu. “Cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, ya? Bagus, siapa tidak tahu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es adalah keluarga pendukung kaisar, pendukung pemerintah penjajah Mancu? Siapa tidak tahu bahwa isteri Pendekar Super Sakti adalah Puteri Mancu? Ingat nama Puteri Nirahai, isterinya yang menjadi panglima Mancu, dan Puteri Milana, puterinya yang juga menjadi panglima Mancu. Dan sekarang cucunya berada di sini, siapa tahu dia malah menjadi mata-mata Kerajaan Mancu!”
Tentu saja semua orang menjadi tegang mendengar kata-kata ini dan muka Ceng Liong menjadi merah. Dia mengerti bahwa Pek-lian-kauw dengan perkumpulannya, Pek-lian-pai memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada keluarga kakeknya, karena memang banyak di antara pimpinan Pek-lian-kauw yang menyeleweng dan pernah dihajar oleh keluarga kakeknya itu.
“Totiang, harap jangan sembarangan membuka mulut menyebar fitnah!” bentaknya.
Akan tetapi Giam San-jin sudah mendapat angin dengan ucapan tokoh Pek-lian-pai tadi. Dia sudah menyambar tongkatnya yang dipegang oleh seorang muridnya, sebuah tongkat baja yang kecil panjang dan kedua ujungnya meruncing. Dia memutar tongkatnya dan berteriak, “Mata-mata Mancu atau bukan, engkau berani menentang kami dan berarti engkau harus menandingi aku dalam ilmu silat! Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!”
Ceng Liong tersenyum pahit. Tak disangkanya bahwa dalam pertemuan antara para pendekar dan patriot itu dia akan bertemu dengan orang-orang macam ini dan mengalami hal sepahit ini. Akan tetapi diapun kini maklum bahwa selama ada orang-orang seperti ini mencampuri perjuangan para patriot, maka perjuangan itu yang tadinya bertujuan mulia untuk membebaskan negara dari tangan penjajah asing, akan diselewengkan menjadi tujuan orang-orang yang berambisi mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri maupun gerombolannya. Maka, diapun harus memberantasnya!
“Giam San-jin, akupun sudah banyak mendengar bahwa Pat-kwa-pai, apalagi Pek-lian-pai, hanya namanya saja perkumpulan pendekar dan patriot, akan tetapi sesungguhnya banyak hal-hal jahat dan sewenang-wenang telah kalian lakukan. Kalau engkau memaksa perkelahian, baiklah, aku tidak pernah menggunakan senjata. Majulah, bakan pribadimu yang kulawan, melainkan sikap perpecahan yang buruk itu yang kutentang!”
“Bocah sombong! Engkau yang mencari mati sendiri!” bentak Giam San-jin yang menjadi semakin marah karena dia merasa dipandang rendah oleh pemuda itu. Seorang pemuda remaja berani menantangnya dan kini menghadapinya dengan tangan kosong, padahal dia telah mempergunakan senjatanya yang paling ampuh dan ditakuti, yaitu tongkatnya yang jarang menemui tandingan! Kini dia menerjang maju, tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga nampaklah gulungan sinar yang mengandung banyak sekali ujung tongkat runcing yang mengeluarkan suara berdengung-dengung dan tiba-tiba saja ujung tongkat itu mencuat dan menyerang ke arah jalan darah di tubuh Ceng Liong secara bertubi-tubi! Serangan itu hebat sekali karena makin dielakkan, makin meningkat bahaya serangannya, makin gencar dan makin kuat!
Akan tetapi sekali ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menghadapi Suma Ceng Liong. Biarpun masih muda, akan tetapi Suma Ceng Liong telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan di samping itu dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, menghadapi hujan serangan tongkat yang bergerak dengan amat cepatnya itu dia bersikap tenang saja. Tubuhnya mengelak berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang kalau dia tidak dapat mengelak lagi, dia hanya menggerakkan tangannya dan jari-jari tangan itu menyentil ke arah ujung tongkat yang menotok. Setiap kali ujung tongkat bertemu dengan jari tangannya, terdengar suara berdencing dan ujung tongkat itupun terpental seperti ditangkis oleh benda yang keras dan kuat sekali! Sampai habis jurus itu dimainkan Giam San-jin, tidak satu kalipun totokan-totokannya menemui sasaran!
Tentu saja hal ini membuat kakek itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia sengaja mengeluarkan jurus simpanan ketika menyerang untuk pertama kalinya. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan keluarga pendekar Pulau Es, maka begitu menyerang dia mengeluarkan jurus simpanannya. Akan tetapi ternyata bahwa jurus yang ampuh itu dapat disambut dan dihindarkan oleh pemuda itu tanpa banyak kesulitan! Padahal, ilmu serangannya tadi adalah jurus dari Pat-kwa-pai yang ampuh, yang gerakannya didasari perhitungan pat-kwa dan memenuhi delapan penjuru, menutup semua kemungkinan jalan keluar. Namun, lawannya dapat menyelamatkan diri dengan baiknya, seolah-olah sudah tahu akan rahasia pat-kwa. Dan memang, dia tidak tahu bahwa pemuda ini tentu saja sudah hafal akan rahasia pat-kwa. Di dalam keluarga para pendekar Pulau Es, terdapat ilmu-ilmu Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa) dan Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang kesemuanya berdasarkan garis-garis pat-kwa. Apalagi Ceng Liong, bahkan sudah mempelajari gabungan kedua ilmu itu. Dengan demikian serangannya yang didasari perhitungan pat-kwa tadi baginya seperti permainan kanak-kanak saja.
Dalam kemarahan dan penasarannya, Giam San-jin menghujankan serangan-serangan lain yang kesemuanya merupakan serangan maut yang mengancam nyawa. Ceng Liong sengaja menghadapinya dengan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan saja, bahkan ketika menangkis dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Dia masih merasa segan untuk mengalahkan kakek ini dalam beberapa gebrakan. Bukan maksudnya untuk membikin malu orang dalam pertemuan itu. Bagaimanapun juga, dia hendak mencegah adanya perasaan dendam agar pertemuan itu dapat berlangsung dengan baik.
Akan tetapi, sikap mengalah Ceng Liong ini disalahartikan oleh Giam San-jin. Biarpun kakek ini terhitung seorang yang berkedudukan tinggi dan memilki tingkat kepandaian tinggi sehingga dia sudah dapat melihat dari gerakan-gerakan lawan bahwa lawannya ini biarpun masih muda akan tetapi lihai bukan main, namun sifatnya yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain membuat dia mengira bahwa sikap Geng Liong yang tidak pernah membalas itu bukan mengalah, melainkan takut! Maka diapun menyerang semakin ganas lagi karena dia berpendapat bahwa lawan yang sudah gentar atau takut akan mudah dirobohkan.
Setelah lewat dua puluh jurus dan lawannya tidak mau tahu bahwa dia sudah banyak mengalah, Ceng Liong menjadi gemas juga. Kakek ini memang tidak tahu diri. Biarpun dia masih segan untuk membikin malu, akan tetapi dia mengambil keputusan untuk merampas tongkat lawan agar terbuka mata lawan bahwa dia akan mudah mengalahkannya kalau memang dia mau. Dua puluh jurus sudah cukup lama baginya untuk melihat bagian-bagian gerakan lawan yang mengandung kelemahan.
Pada saat itu Giam San-jin menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan kilat, menyapu ke arah pinggang Ceng Liong. Gerakan ini berbahaya sekali dan karena cepatnya, maka agak sukar bagi pemuda itu untuk mengelak dan kalau ditangkis, diapun akan menghadapi hantaman tongkat yang mengandung pengerahan tenaga sekuatnya dari kakek pertapa itu.
“Hyaaaat....!” Ceng Liong mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandang mata lawan karena dia sudah meloncat ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung terbang saja. Tongkat yang menyambar itu lewat di bawah kakinya dan pemuda ini menggunakan kedua tangannya untuk menotok ke arah kedua pundak lawan. Cepat bukan main gerakannya ini. Giam San-jin terkejut bukan main, akan tetapi diapun bukan seorang lemah. Kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biarpun serangan Ceng Liong yang datangnya tiba-tiba dan tidak terduga-daga itu memang mengejutkan, namun dalam keadaan terancam bahaya itu dia masih mampu menyambut dengan serangan rambut panjang riap-riapan itu ke arah leher Ceng Liong! Rambut itu bergerak seperti ujung cambuk dan menotok ke arah jalan darah maut di tenggorokan lawan. Ini memang merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan kakek itu, dan amat berbahaya karena rambut itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata lain. Dengan pengerahan sin-kangnya, rambut itu menjadi kaku dan menotok jalan darah seperti ujung tongkat atau jari tangan yang keras.
Akan tetapi Ceng Liong sudah waspada. Dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka menghadapi serangan balasan yang mendadak itu diapun bersikap tenang saja. Tangan kiri yang tadi menotok pundak lawan ditariknya untuk menangkis serangan rambut itu sedangkan tangan kanannya masih meneruskan totokan ke arah pundak kiri lawan. Giam San-jin miringkan tubuhnya untuk menyelamatkan pundak. Pundaknya memang terhindar dari totokan yang akan melumpuhkan lengan, akan tetapi tangan kanan Ceng Liong itu masih menyerempet pangkal lengan di bawah pundaknya.
“Plakk....!” Baju di bagian itu robek dan Giam San-jin terhuyung-huyung, mukanya berubah merah sekali.
“Maaf, locianpwe, harap suka menghentikan serangan!” Ceng Liong berkata sambil menjura dengan harapan kakek itu menyudahi pertandingan yanq tidak diharapkan itu.
Akan tetapi kakek itu sudah memuncak kemarahannya sehingga dia menjadi mata gelap dan dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat melihat kenyataan bahwa lawannya jauh lebih unggul dan tangguh. Dia berseru. “Aku belum kalah!” kemudian dia menyerang lagi dengan tongkatnya. Dengan cekatan Ceng Liong melompat ke samping, rasa penasaran mulai menyusup ke dalam hatinya. Kakek ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya.
Pada saat itu Ceng Liong melihat betapa kakek Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-kauw itu, bersama kedua orang tosu pembantunya, telah maju pula. Dia mengira bahwa mereka bertiga itu hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ternyata mereka bertiga segera duduk bersila dan bersedakap, memejamkan mata. Pada saat itu Ceng Liong merasakan adanya gelombang getaran aneh yang melanda dirinya. Tahulah dia apa artinya ini. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu mempergunakan ilmu sihir untuk membantu Giam San-jin dan menyerangnya! Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, putera Pendekar Siluman Kecil dan yang mempunyai ibu seorang ahli sihir, maka tentu saja Ceng Liong tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat dia mengerahkan tenaga batinnya.
Pada saat itu Giam San-jin sudah menyerang lagi. Kakek inipun tahu bahwa tokoh Pek-lian-kauw yang menjadi sahabatnya itu telah membantunya dengan ilmu sihir. Giranglah hatinya dan dia menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika pemuda itu menyahut hantaman tongkatnya dengan kedua tangan yang mencengkeram!
“Braaakkkk....!” Begitu tongkat bertemu kedua tangan Ceng Liong, tokoh Pat-kwa-pai itu merasa tubuhnya tergetar hebat seperti disambar petir dan diapun terpelanting keras sedangkan tongkatnya terampas oleh Ceng Liong. Dia tidak mengenal pukulan pemuda itu dan memang Ceng Liong dalam kemarahannya tadi telah mempergunakan pukulan jari tangan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yaug dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong.Pada saat itu, terdengarlah suara halus. “Suma Ceng Liong, engkau adalah seekor anjing, hayo cepat merangkak dan menggonggong!” Suara yang penuh wibawa ini keluar dari mulut Ci Hong Tosu yang masih duduk bersila bersama kedua orang pembantunya. Mereka bertiga itu menggabungkan tenaga sakti untuk menyihir dan mempengaruhi Ceng Liong, hendakmemasukkan dan memaksa keyakinan pemuda itu bahwa dia seekor anjing yang harus merangkak dan menggonggong. Jelaslah betapa kejinya perangai tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia hendak membikin malu pemuda itu melalui kekuatan sihirnya agar semua orang melihat pemuda itu merangkak-rangkak dan menggongong-gonggong!
Gelombang tenaga yang amat kuat melanda Ceng Liong dan pemuda ini merasa betapa ada tenaga mujijat yang memaksanya agar mentaati perintah tadi. Akan tetapi, dia tahu apa artinya itu. Tiba-tiba dia melemparkan tongkat rampasannya dan menjatuhkan diri duduk di atas tanah, bukan untuk merangkak melainkan untuk bersila dan diapun menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan mengerahkan kekuatan batin untuk melindungi dirinya dari serangan gelombang tenaga yang menyihirnya itu. Terjadilah pertandingan ilmu sihir yang tidak dapat terlihat orang lain. Akan tetapi mereka yang berada di situ dapat merasakan adanya getaran-getaran aneh yang memenuhi tempat itu dan seolah-olah dua tenaga yang berlawanan saling tarik-menarik dengan kuatnya.
Tiba-tiba terjadilah hal yang amat luar biasa. Terdengar suara seperti anjing-anjing menggonggong dan menyalak. Akan tetapi tidak ada anjing di situ dan suara gonggongan itupun aneh, bukan seperti suara anjing-anjing tulen. Dan semua orang terbelalak dengan muka pucat ketika mereka melihat tiga orang Pek-lian-pai itu, yang tadinya duduk bersila, kini sudah merangkak-rangkak sambil menggonggong dan menyalak seperti tiga ekor anjing yang kebingungan! Tentu saja peristiwa luar biasa ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran. Mereka teringat betapa tadi tokoh Pek-lian-kauw itu menyuruh Ceng Liong merangkak dan menggonggong. Kini mereka dapat menduga betapa ilmu sihir yang dipergunakan kakek Pek-lian-kauw itu telah membalik dan terjadi peristiwa senjata makan tuan!
Ceng Liong sendiripun terkejut dan merasa heran. Dia tadi hanya mengerahkan tenaga untuk menolak gelombang tenaga sihir yang menyerangnya dan yang seperti hendak memaksanya mengaku bahwa dia seekor anjing. Akan tetapi kenapa kini mereka bertiga yang tersihir? Apakah kekuatan sihirnya sudah menjadi sedemikian ampuhnya. Akan tetapi tiba-tiba dia tersenyum dan memandang ke kiri. Dia melihat munculnya ayah dan ibunya dan tahulah dia bahwa ibunya yang tadi turun tangan menghajar tiga orang Pek-lian-kauw yang hendak menghinanya itu!
Kiranya di antara para pendekar yang hadir di tempat itu terdapat pula Suma Kian Bu dan Teng Siang In, isterinya yang ahli dalam hal sihir itu. Pendekar ini walaupun sudah mengutus puteranya untuk mewakili mereka, masih merasa ragu-ragu dan mereka berdua pergi tak lama setelah putera mereka berangkat.
“Bagaimanapun juga, kita tidak boleh sembrono ikut bergerak dengan mereka yang hendak memberontak walaupun pada prinsipnya kita setuju,” antara lain Suma Kian Bu berkata kepada isterinya. “Kita harus menyelidiki dulu dengan seksama akan bersihnya cita-cita itu. Pula, aku harus ingat kepada keluarga Pulau Es dan minta pendapat mereka lebih dulu.”
Isterinya setuju. “Memang, akupun merasa khawatir dan sangsi. Sebaiknya kalau kita berunding dulu dengan keluargamu, terutama sekali kakakmu Suma Kian Lee, enci Milana dan juga Kao Cin Liong yang mempunyai kedudukan penting sebagai panglima di kota raja.”
Demikianlah, suami isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke utara. Mula-mula mereka mengunjungi Suma Kian Lee dan mendengar penuturan adiknya, Suma Kian Lee terkejut sekali.
“Bu-te, masalah ini gawat sekali!” kata Suma Kian Lee. “Memang aku sendiripun dapat mengerti tentang jiwa patriot para pendekar yang tidak suka akan penjajahan Bangsa Mancu. Akan tetapi urusan besar itu tidak dapat dilukukan secara begitu sembrono. Apalagi kita sendiri, keluarga Pulau Es, harus berhati-hati. Betapapun juga, nenek-nenek kita adalah wanita Mancu, walaupun kita tahu bahwa enci Milana dan suaminya juga tidak suka akan penjajahan bahkan enci Milana tidak lagi mau membantu pemerintah dan mengundurkan diri bersama suaminya. Sebaiknya kalau kita bicarakan hal yang amat gawat ini dengan Cin Liong. Engkau mengenal dia. Biarpun dia seorang jenderal dan panglima perang di kota raja, akan tetapi dia adalah seorang pendekar.”
Demikianlah, mereka berempat, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka, berangkat ke kota raja. Kebetulan sekali di kota raja mereka berjumpa dengan Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, bahkan Puteri Milana bersama suaminya, pendekar Gak Bun Beng yang sudah hampir tujuh puluh tahun usianya, berada pula di kota raja dan dapatlah keluarga besar para pendekar Pulau Es itu berkumpul.
Dengan hati-hati Suma Kian Bu mengajak keluarganya berkumpul di rumah gedung Jenderal Kao Cin Liong dan dia menceritakan tentang pertemuan para pendekar di Hutan Cemara untuk merencanakan pemberontakan menggulingkan pemerintah penjajah. Tentu saja berita ini amat mengejutkan hati Gak Bun Beng dan isterinya, terutama sekali amat mengejutkan hati Kao Cin Liong yang menerima berita itu dengan gelisah.
Jenderal muda ini mengangguk-angguk. “Saya juga dapat mengerti akan jiwa patriot itu bahkan terus terang saja, kadang-kadang ada pula rasa penasaran dalam hati saya melihat adanya penjajahan. Akan tetapi, dengan jalan mengabdi pemerintah dan melakukan tugas dengan adil dan baik berarti ikut mendorong roda pemerintahan ke jalan yang benar dan tidak menindas rakyat. Saya bingung sekali, tidak tahu harus berbuat bagaimana menghadapi berita ini.”
“Biarlah kami pergi ke sana melakukan penyelidikan lebih dahulu,” kata Suma Kian Bu. “Setelah melihat bagaimana keadaan mereka itu, baru kita dapat menentukan sikap apa yang harus kita ambil.”
Puteri Milana yang usianya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak segar dan gagah itu lalu bicara, suaranya halus akan tetapi tegas. “Kita anggauta keluarga Pulau Es harus melihat kenyataan bahwa dari pihak ibu kita, kita juga berdarah Mancu. Akan tetapi dalam urusan ini kita tidak boleh membiarkan diri terbuai oleh keturunan atau bangsa. Yang penting adalah rasa keadilan dan kegagahan, dan harus bertindak bijaksana. Urusan ini bukan urusan yang remeh, melainkan gawat sekali. Kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang, hal ini bukan hanya menjadi urusan kita atau para pendekar, melainkan seluruh rakyat akan terguncang dan biasanya dalam perang akan terjatuh banyak korban. Hal ini bukan berarti bahwa aku tidak menyetujui cita-cita membebaskan tanah air daripada penjajahan, hanya caranya harus yang wajar dan hati-hati karena menyangkut kehidupan rakyat jelata.”
Setelah mengadakan perundingan dan mengemukakan kebijaksanaan-kebijaksanaan masing-masing selama hampir samalam suntuk, pada keesokkan harinya, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri mereka, berangkat menuju ke Hutan Cemara untuk melakukan penyelidikan dan peninjauan tanpa melibatkan diri sebelum mereka melihat sendiri bagaimana keadaan para patriot yang merencanakan pembebasan tanah air dari tangan penjajah Mancu itu.
Demikianlah, dengan jalan menyelinap diantara para pendekar yang memenuhi Hutan Cemara, dua pasang suami isteri pendekar ini dengan diam-diam mengikuti jalannya pertemuan dan mereka menyaksikan terjadinya kekacauan oleh sikap dan ulah para tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pang. Akhirnya, melihat Ceng Liong maju menentang tokoh Pat-kwa-pai yang kemudian dibantu oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang menggunakan ilmu sihir, Teng Siang In menjadi marah dan nyonya ini mempergunakan keahlian sihirnya untuk membantu puteranya dan memberi hajaran keras kepada tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.
Dengan girang Suma Ceng Liong lalu berlari menghampiri ayah bundanya. Akan tetapi sebelum sempat bicara, tiba-tiba mereka dan semua orang yang berada di dalam hutan itu dikejutkan oleh suara terompet dan tambur yang dipukul dan ditiup dengan gencar. Semua orang memandang ke sekeliling dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu sudah dikurung dari jauh oleh banyak sekali pasukan tentara penyerintah! Hutan Cemara itu sudah dikepung, mungkin oleh ribuan orang tentara!
Bagaimanakah tempat itu begitu saja dikurung oleh ribuan orang tentara? Demikian para pendekar bertanya-tanya dan suasana menjadi panik. Beberapa orang pendekar mengenal dua pasang suami isteri Suma yang baru muncul, maka terdengarlah teriakan-teriakan yang dipelopori olehi Ci Hong Tosu yang sudah sadar kembali dari keadaanaya seperti anjing tadi.
“Pengkhianatan! Keluarga Pulau Es yang berkhianat. Mereka yang membawa pasukan untuk mengepung kita!”
Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dan semua mata ditujukan kepada Ceng Liong, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri. Para pendekar tergugah oleh teriakan Ci Hong Tosu tadi dan kini mereka memandang keluarga Pulau Es dengan alis berkerut.
Sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Benarkah keluarga Pulau Es yang mengkhianati para pendekar yang sedang berkumpul di tempat itu? Seperti telah kita ketahui, hal itu sama sekali tidak benar. Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu datang bersama isteri mereka saja, dan mereka datang untuk menyelidiki, bukan untuk mengkhianati dan membawa pasukan. Akan tetapi, bagaimana tiba-tiba pasukan yang besar jumlahnya itu tahu-tahu telah mengepung tempat itu? Apakah Jenderal Kao Cin Liong yang berkhianat? Juga tidak! Biarpun dia merupakan seorang panglima muda yang setia, akan tetapi diapun berjiwa pendekar dan tidak mungkin mau melakukan kecurangan dan pengkhianatan seperti itu terhadap para pendekar.
Lalu siapa pengkhianatnya? Kiranya tidak sukar untuk menebaknya. Tentu saja, yang menjadi pengkhianat adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah diceritakan di bagian depan, laki-laki yang berwatak buruk dan kotor ini telah menemukan dan merampas surat dari para pimpinan pendekar dan patriot yang ditujukan kepada Gan-ciangkun, seorang panglima di kota raja yang juga mempunyai ambisi besar untuk bersekutu dengan para pemberontak. Seperti kita ketahui, Tek Ciang merampas surat itu dari Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai yang menerimanya dari kekasihnya, Kwee Cin Koan murid Kong-thong-pai yang juga menjadi anggauta para pendekar yang mempunyai prakarsa atas pertemuan di Hutan Cemara. Tek Ciang bukan hanya merampas surat, akan tetapi bahkan memperkosa Can Kui Eng dan kemudian dia membunuh pula Pouw Kui Lok yang masih sutenya sendiri itu, kemudian menjatuhkan fitnah kepada Pouw Kui Lok yang dilaporkannya kepada pimpinan Kun-lun-pai sebagai pemerkosa dan pembunuh Can Kui Eng! Setelah berhasil mengelabuhi para tosu Kun-lun-pai dan mencuri kitab Sin-liong Ho-kang, Tek Ciang lalu menjanjikan untuk mencari kitab itu dan pergilah manusia berhati kejam ini ke kota raja.
Dengan sikapnya yang sopan dan terpelajar, akhirnya Tek Ciang berhasil juga dihadapkan kepada kaisar dan dia melaporkan tentang pemberontakan itu, menyerahkan suratnya kepada kaisar. Tentu saja Kaisar Kian Liong merasa terkejut dan marah bukan main. Dia selalu bersikap baik dan bersahabat kepada para pendekar, maka sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa kini para pendekar sedang mengadakan persekutuan untuk memberontak kepadanya! Dengan kemarahan memuncak, kaisar itu lalu memerintahkan pengawal pergi menangkap Panglima Gan sekeluarga dan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari itu juga perintah ini dilaksanakan dan gemparlah kota raja ketika mendengar berita bahwa Panglima Gan ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan atas perintah kaisar sendiri!
Kaisai lalu memanggil semua menteri dan hulubalangnya. Di depan mereka ini, Tek Ciang mengulang apa yang diketahuinya dan kaisar menyuruh baca surat dari para pendekar yang ditujukan kepada Panglima Gan itu. “Sekarang juga kita harus mengirim pasukan besar ke Hutan Cemara, menangkapi semua pemberontak laknat itu. Panggil Jenderal Kao, dialah orangnya yang akan memimpin pasukan menangkapi para pemberontak!” bentak kaisar.
“Harap paduka sudi mengampunkan kelancangan hamba, akan tetapi hamba rasa menyuruh jenderal itu memimpin pasukan menyergap para pemberontak tidaklah tepat, sri baginda!” Tiba-tiba Tek Ciang berkata dan semua pembesar yang berada di situ terkejut. Orang ini sudah bosan hidup, pikir mereka, berani mencela keputusan sri baginda kaisar. Akan tetapi Kaisar Kian Liong yang sudah merasa berterima kasih kepada Tek Ciang, tidak menjadi marah, hanya merasa heran.
“Louw Tek Ciang, apa maksudmu dengan ucapanmu itu? Jenderal Kao Cin Liong adalah seorang panglima cakap, dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dialah yang akan mampu menandingi para pendekar!”
“Ampun, sri baginda. Hamba berani mengemukakan pendapat hamba atas dasar perhitungan yang matang. Hendaknya paduka ketahui bahwa para pemberontak itu terdiri dari para pendekar dan banyak pula keluarga para pendekar Pulau Es hadir di sana. Seperti paduka ketahui, Jenderal Kao Cin Liong adalah mantu dari seorang pendekar Pulau Es. Maka kalau dia yang memimpin pasukan, hamba berani berkeyakinan bahwa usaha penyergapan itu tidak akan berhasil, mungkin malah gagal dan siapa tahu Jenderal Kao itu diam-diam bersekongkol dengan para pemberontak, atau setidaknya merasa simpati kepada mereka. Maka, akan lebih tepatlah kalau paduka memerintahkan seorang panglima lain yang memimpin pasukan untuk menyergap di Hutan Cemara. Adapun mengenai para pendekar di sana, hamba sendiripun sanggup untuk membantu pasukan menghadapi mereka!”
Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan alisnya berkerut. Dia teringat akan permohonan jenderal Kao Cin Liong untuk mengurdurkan diri. Sudah pernah jenderal muda itu mohon agar diperkenankan mengundurkan diri meninggalkan jabatannya, akan tetapi dia menahannya. Dan sekarang ada pemberontakan para pendekar itu!“Baiklah, kami akan mengutus Jenderal Cao Hui untuk menyergap para pemberontak itu. Jenderal Cao, bersiaplah dengan lima ribu orang tentara dan sergap hutan itu, tangkap semua pemberontak. Akan tetapi sebelumnya, kaucoba dulu Louw Tek Ciang ini apakah cukup tepat untuk membantumu, apakah benar dia ada kepandaian ataukah tidak.”
Jenderal Cao Hui adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh lima tahun. Selain pandai dalam ilmu perang, dia juga pandai ilmu silat dan mempunyai tenaga besar. Pernah dia belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim-pai dan karena itu dia cukup lihai. Setelah menerima perintah kaisar, Jenderal Cao Hui bangkit berdiri sesudah memberi hormat kepada kaisar dan menghadapi Louw Tek Ciang yang masih berlutut.
“Louw-sicu, mari kita mentaati perintah sri baginda.”
Tek Ciang berlutut memberi hormat kepada kaisar yang memberi isyarat dengan tangan agar dia bangkit dan menghadapi jenderal itu. Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan ditonton oleh kaisar dan para hulubalang.
“Louw-sicu, sambutlah seranganku ini!” Jenderal Cao Hui menggerakkan kedua tangannya mengirim serangan sambil mengerahkan tenaga. Kaisar memerintahkan agar dia menguji, maka diapun hanya ingin menguji kecepatan dan kekuatan orang yang melapor tentang adanya pemberontakan dan menjanjikan bantuan kepadanya itu.
“Ciangkun, maafkan saya!” jawab Tek Ciang sambil menggerakkan kedua tangan ke depan menyambut serangan panglima itu. Gerakannya ini cepat bukan main dan ternyata kedua telapak tangannya dengan tepat menerima kedua tangan Cao-goanswe.
“Plakk!” Tubuh jenderal yang tinggi besar itu terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan tubuh Tek Ciang sebaliknya sedikitpun tidak terguncang. Tentu saja jenderal itu menjadi terkejut bukan main. Juga semua panglima yang hadir merasa kagum bukan main. Mereka mengenal jenderal itu sebagai seorang yang memliki tenaga raksasa, akan tetapi kini beradu tangan dengan pemuda itu terdorong dan terhuyung sedangkan pemuda itu sendiri tak tergoyah sedikitpun! Baru segebrakan itu saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang sesungguhnya seorang yang kuat sekali. Hal inipun diketahui oleh Cao-goanswe, maka diapun berlutut lagi memberi hormat kepada kaisar.
“Harap paduka ketahui bahwa ilmu silat dan ketangguhan Louw-sicu ini boleh diandalkan untuk membantu hamba dalam penyerangan itu.”
Kaisar Kian Liong juga bukan seorang yang asing dalam hal ilmu silat. Di waktu mudanya kaisar ini sebagai seorang pangeran suka sekali merantau dan berkenalan dengan orang-orang kang-ouw. Oleh karena itu, sekali melihat pertandingan tadi, walaupun hanya segebrakan, namun dia sudah tahu bahwa Louw Tek Ciang adalah orang yang memiliki kekuatan lebih besar dari pada jenderalnya itu. Tentu saja Kaisar Kian Liong menjadi girang sekali dan segera memerintahkan jenderal Cao dibantu oleh Tek Ciang untuk segera berangkat mempersiapkan pasukan yang kuat agar pada waktunya dapat melakukan pengepungan dan penyergapan.
Berita tentang dipersiapkannya pasukan besar oleh Jenderal Cao ini dan ditangkapnya Gan-ciangkun sekeluarga, sampai pula ke telinga Jenderal Kao Cin Liong. Jenderal muda ini terkejut bukan main, apalagi mendengar bahwa pasukan itu sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia cepat memberitahukan hal ini kepada isterinya dan ayah ibunya yang masih berada di rumahnya, juga kepada Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Mendengar ini, keluarga inipun terkejut sekali. Para pendekar itu harus diselamatkan, apalagi diingat bahwa Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka hadir pula dalam pertemuan di Hutan Cemara itu. Maka, berangkatlah mereka dengan cepat mengejar pasukan pemerintah agar dapat tiba di hutan itu lebih dulu daripada para perajurit pemerintah.
Kita kembali ke hutan itu. Para pendekar yang tahu bahwa hutan itu sudah dikepung pasukan yang besar, sebagian menjadi panik juga. Akan tetapi Sim Hong Bu sudah meloncat ke depan dan berseru. “Harap saudara sekalian tenang dan siap mempertahankan diri. Inilah ujian pertama bagi kita dan demi perjuangan yang suci, kalau perlu kita siap mengorbankan nyawa!”
Ucapan ini disambut dengan gembira dan bangkitlah semangat para pendekar itu. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan siap menghadapi serbuan pasukan besar yang sudah mengepung hutan itu.
“Kita berpencar dan bersembunyi, memecah-belah kekuatan mereka dan membuka jalan darah untuk menyelamatkan diri!” kembali Sim Hong Bu berseru dan ternyata dalam keadaan terancam bahaya itu pendekar ini memperlihatkan ketenangan, ketabahan dan kepandaiannya untuk memimpin.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring. “Tahan dulu....!” dan muncullah Kao Cin Liong, Kao Kok Cu, Wan Ceng, Puteri Milana, Gak Bun Beng yang masing-masing mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua agar tenang. “Saudara-saudara, dengarlah dulu sebelum turun tangan!”
Yang bicara ini adalah Puteri Milana. Wanita yang sudah nenek-nenek ini nampak masih anggun dan gagah, suaranya nyaring penuh wibawa, membuat semua pendekar terkejut dan memandang kepada rombongan yang baru tiba ini. Melihat mereka ini, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka juga bergabung.
“Siapakah mereka itu....?” Bi Eng bertanya kepada Ceng Liong yang masih berdiri di dekatnya. Ceng Liong juga terkejut melihat hadirnya semua keluarganya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun juga kini sudah menggabungkan diri dengan mereka. Hampir lengkaplah keluarga para pendekar Pulau Es berkumpul di situ! Mendengar pertanyaan kekasihnya, Ceng Liong menjawab lirih.
“Mereka adalah keluarga para pendekar Pulau Es....”
“Ahhh....? Yang mana ayahmu dan ibumu....?” gadis itu bertanya penuh kagum karena rambongan itu memang nampak gagah perkasa.
“Itulah ayah dan ibu, dan itu bibi Puteri Milana bersama suaminya, dan di sana itu paman Suma Kian Lee dan isterinya.”
“Siapakah orang gagah berpakaian panglima itu?”
“Dia itu kakak iparku, Jenderal Kao Cin Liong bersama enci Suma Hui, isterinya. Dan kakek berlengan satu itu adalah Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya pula....”
“Ahh....!” Bi Eng tiada hentinya mengeluarkan seruan kaget dankagum. Ia sudah pernah mendengar nama-nama itu disebut dan dikagumi ayah ibunya, dan baru sekarang ia dapat melihat mereka semua.
Munculnya keluarga para pendekar Pulau Es ini memang mengejutkan semua orang, terutama sekali mereka yang sudah mengenal beberapa di antara anggauta keluarga itu. Pimpinan Pek-lian-kauw yang baru saja mengalami kekalahan dan penghinaan, mengenal pula Puteri Milana yang menjadi musuh besar mereka. Ci Hong Tosu bangkit dan mengangkat tongkatnya sambil berseru. “Mereka adalah keluarga Pulau Es! Mereka sudah mengkhianati kita! Merekalah yang membawa pasukan pemerintah. Siapa tidak mengenal Puteri Milana, puteri Mancu yang dahulu sudah banyak membasmi teman-teman kita yang berjuang untuk mengusir penjajah?” Teriakan tosu ini tentu saja membangkitkan amarah di dalam hati para pendekar, akan tetapi karena yang bicara adalah tosu Pek-lian-kauw yang tadi sudah memperlihatkan perangai buruk, sebagian besar para pendekar masih ragu-ragu.
“Saudara sekalian, dengarkan dulu kata-kataku baru kalian boleh mengambil keputusan apa yang akan kalian lakukan!” Puteri Milana berkata lagi dengan lantang. “Rencana kalian untuk memberontak adalah suatu perbuatan bodoh yang tidak tepat pada waktunya. Apa yang akan kalian capai dengan pemberontakan? Hanya perang besar yang akan membuat rakyat jelata menderita. Puluhan ribu orang tewas, rakyat kehilangan keluarga, harta benda dan ketenteraman hidup. Karena itu, sebelum terlambat, kami datang untuk memperingatkan dan menyadarkan kalian agar menyerah dan jangan melawan!”
“Kami adalah patriot-patriot yang tidak takut mati. Kami berjuang untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan Bangsa Mancu. Engkau seorang puteri Mancu tentu saja membela pemerintahan bangsamu!”
“Aku bukan puteri Mancu. Aku puteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....”
“Tetapi ibumu puteri Nirahai, puteri Mancu!” bentak kepala rombongan Pek-lian-pai.
“Cu-wi, dengarlah baik-baik!” Kini Cin Liong yang berseru nyaring. “Lihatlah aku. Aku adalah Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi aku datang bukan sebagai pemimpin pasukan untuk menyerbu kalian, melainkan aku datang untuk menyadarkan kalian. Sebagai seorang panglima aku tahu benar akan keadaan pemerintah. Di bawah pimpinan Sri Baginda Kaisar Kian Liong, harus diakui bahwa negara mengalami kemajuan dan taraf hidup rakyat tidak sengsara. Pula pemerintah ini selalu menentang golongan jahat dan melindungi rakyat.”
“Engkau penjilat orang Mancu! Huh, tak tahu malu!” terdengar pula teriakan dari golongan Pat-kwa-pai dan Thian-lian-pai.
Akan tetapi Cin Liong masih bersikap tenang. “Cu-wi adalah orang-orang yang gagah perkasa, bukan orang-orang ceroboh yang tidak memperhitungkan setiap tindakan. Kita harus memakai perhitungan apa untungnya dan apa ruginya kalau kita bertindak. Camkanlah, kalau kalian melakukan pemberontakan, ruginya sudah jelas. Rakyat akan menderita karena perang, karena perang mengakibatkan kematian dan kehilangan, juga menimbulkan merajalelanya kejahatan karena kurang adanya penjagaan keamanan. Juga, keadaan pemerintah sekarang amatlah kuatnya, setiap pemberontakan sama artinya dengan bunuh diri. Apalagi kalian sekarang sudah dikepung oleh sepuluh ribu orang pasukan! Melawan berarti mati semua. Dan apakah keuntungannya memberontak tidak pada saatnya yang tepat? Cita-cita boleh muluk, akan tetapi andaikata dapat menang, hal yang sungguh tidak mungkin terjadi dalam keadaan seperti sekarang di waktu rakyat belum siap. Andaikata menang, belum tentu kalian akan mendapatkan seorang pengganti kaisar yang baik, sebaik sri baginda kaisar sekarang ini!”
“Aha, enak saja bagimu untuk bicara, Jenderal Kao Cin Liong. Lalu tindakan kami seperti apakah yang akan kauanggap gagah? Apakah kami harus berlutut menyerahkan diri dan minta ampun kepada orang Mancu? Ha-ha, itukah yang akan kauanggap sebagai perbuatan gagah?”
Kao Cin Liong memandang kepada kakek yang bicara ini. Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap! Pernah terjadi sesuatu antara dia dan keluarga ini, suatu perasaan tidak enak ketika dia menolak perjodohan yang dikehendaki keluarga itu antara dia dan Bu Siok Lan, seorang puteri dari Bu-taihiap (baca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman ).
Dengan sikap ramah Cin Liong memberi hormat kepada Bu Seng Kin atau Bu-taihiap. “Harap Bu-locianpwe suka melihat kenyataan dan tidak mendahulukan prasangka. Saya bersama semua keluarga Pulau Es datang bukan untuk menentang cu-wi, juga bukan untuk membantu pemberontakan, melainkan untuk mengingatkan akan bahayanya rencana cu-wi ini.”
“Nanti dulu, orang muda!” Tiba-tiha terdengar suara Sim Hong Bu lantang. Orang gagah ini sudah melangkah maju dan dengan sinar mata mencorong dia menentang rombongan keluarga Pulau Es. “Aku merasa heran sekali melihat betapa keluarga para Pendekar Pulau Es dapat bersikap seperti ini!” Dia menatap tajam ke arah Suma Kian Bu yang pernah dihubunginya. “Kalau kita takut menghadapi bahaya dan kematian dalam suatu perjuangan, berarti kita pengecut dan bukan patriot sejati. Setiap perjuangan tentu akan menjatuhkan korban. Setiap pembaharuan harus berani meruntuhkan lebih dulu yang lama. Siapa yang tidak tahu akan hal ini? Kerugian dan kematian yang diderita dalam setiap perjuangan merupakan pupuk bagi perjuangan itu sendiri!”
Kini Suma Kian Bu yang dipandang tajam oleh Sim Hong Bu, maju dan menjura kepada Sim Hong Bu. “Saudara Sim memang seorang gagah perkasa dan tidak ada seorangpun meragukan kegagahanmu dan jiwa patriotmu. Saudara Sim, seperti pernah kita bicara, aku sendiripun mengerti tentang jiwa patriot yang berkobar di hati kalian. Bahkan aku menyetujui kalau negara dibebaskan dari penjajahan. Akan tetapi, kini akupun melihat bahwa hal itu harus dilakukan dengan perhitungan yang masak, tidak secara sembrono saja. Kita harus dapat melihat keadaan dan ingat, perjuangan ini adalah perjuangan rakyat, bukan perjuangan beberapa gelintir pendekar saja. Dan untuk gerakan yang amat besar itu dibutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar jujur dan mencinta rakyat. Cobalah saudara lihat, apakah orang-orang seperti dari Pek-lian-kauw dan perkumpulan yang lain yang selalu memberontak karena kepentingan pribadi itu dapat dijadikan teman seperjuangan? Nah, karena itu, aku Suma Kian Bu mewakili seluruh keluarga para pendekar Pulau Es untuk minta pengertian dan kesadaran cu-wi dan menyerah saja tanpa perlawanan.”
“Bukan berarti kita takut, melainkan kita sadar dan bertindak bijaksana menghindarkan jatuhnya banyak korban dengan sia-sia,” sambung Suma Kian Lee.
“Saya sendiri yang akan menghadap sri baginda mintakan ampun bagi kita semua!” kata Jenderal Kao Cin Liong.
“Akupun akan menghadap sri baginda, memohon agar sri baginda membebaskan cu-wi semua dan menghabiskan urusan ini karena bagaimanapun juga, cu-wi belum memberontak, baru mengadakan pertemuan dan kalau cu-wi tidak melawan pasukan yang mengepung, maka dosa cu-wi tidaklah begitu besar.”
“Omong kosong!” Tiba-tiba Bu-taihiap berseru keras sekali. “Heh, para keluarga pendekar Pulau Es, dengarlah baik-baik! Aku sudah banyak mendengar akan kehebatan dan nama besar keluarga Pulau Es, juga aku sudah lama mendengar kehebatan nama Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi tidak kusangka bahwa mereka ini ternyata hanyalah penjilat-penjilat kaisar atau pengecut-pengecut lemah. Kalau memang kalian hendak menjadi antek kaisar Bangsa Mancu, majulah, kami tidak takut mati. Mati bagi kami merupakan suatu kebanggaan karena kami mati untuk membela bangsa dan tanah air!”
Ucapan Bu-taihiap ini kembali membangkitkan semangat para pendekar dan mereka bersorak menyambut ucapan ini. Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tidak terbawa emosi dandapat mempergunakan akal budinya untuk melihat kebenaran dalam ucapan para keluarga pendekar Pulau Es tadi. Dan mereka ini menggeser tempat berdiri mereka, mendekati kelompok keluarga pendekar Pulau Es di mana termasuk pula keluarga Kao. Sebagian lagi yang dibakar emosi berdiri di belakang Bu-taihiap yang berdiri gagah bersama empat orang isterinya.
“Kita lawan sampai mati....!” Bu Seng Kin berseru dan kembali disambut sorak-sorai oleh seratus orang lebih mereka yang mendukungnya.
Sim Hong Bu yang sudah terbakar pula semangatnya oleh sikap Bu-taihiap, meloncat ke depan, di samping Bu-taihiap dan menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat mengerikan ketika Pek-kong Po-kiam dicabutnya dan diapun berteriak. “Kita adalah patriot-patriot sejati! Sekaranglah saatnya kita membuktikan bahwa kita berjuang bukan guna kepentingan diri sendiri, bahkan rela berkorban nyawa!” Sikap Sim Hong Bu ini menambah semangat mereka dan kembali para pendekar menyambut dengan sorak-sorai. Melihat ini Sim Houw putera Sim Hong Bu juga melompat ke dekat ayahnya dan bersikap gagah penuh semangat.
“Eng-moi....!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras melihat Bi Eng tiba-tiba saja meloncat pula ke depan, ke dekat guru dan tunangannya. Muka dara itu pucat, akan tetapi sinar matanya penuh semangat dan iapun sudah melolos suling emasnya.
Pada saat itu terdengar bunyi terompet susul menyusul dan pasukan yang mengepung itu mulai bergerak maju memasuki hutan cemara itu. Penyergapan dimulai! Tadi, Kao Cin Liong menemui Jenderal Cao Hui dan minta Cao-goanswe menangguhkan dulu penyergapan karena dia hendak membujuk dan menyadarkan para pendekar. Cao-goanswe amat segan kepada rekannya ini maka dia memberi waktu habis terbakarnya sebatang hio. Dan agaknya waktu yang ditangguhkan itu sudah lewat dan kini terpaksa Gao-goanswe mulai menggerakkan pasukannya menyerbu ke dalam hutan!
Melihat ini, Puteri Milana berseru. “Saudara-saudara yang sadar harap berdiri di belakang kami!”
Mereka yang tadi merasakan benarnya omongan keluarga para pendekar Pulau Es, segera berkumpul di belakang keluarga itu dan Puteri Milana segera minta kepada keluarganya untuk berdiri mengelilingi mereka untuk memberi perlindungnn. Adapun para pendekar lainnya yang mendukung Sim Hong Bu dan Bu-taihiap, sudah mencabut senjata masing-masing dan berpencaran untuk menyambut serbuan para perajurit pemerintah.
“Liong-ji....!” Teng Siang In berseru keras ketika melihat puteranya meloncat dan menyelinap bersama para pendekar yang hendak melawan pasukan!“Ibu, aku harus melindungi Eng-moi!” hanya itulah jawaban Ceng Liong dan ibu ini diam-diam merasa khawatir sekali. Ia tadi melihat betapa puteranya berdiri di dekat seorang gadis gagah yang juga ikut maju bersama para pendekar melawan pemerintah dan tahulah ibu ini bahwa tentu puteranya itu telah jatuh hati kepada gadis pemberontak itu. Diam-diam ia merasa gelisah sekali, akan tetapi karena iapun bertugas melindungi para pendekar yang sudah sadar dan tidak melawan, ia tidak dapat meninggalkan tempat itu. Pula, apa yang dapat dilakukannya kalau memang puteranya itu jatuh cinta kepada gadis pemberontak itu dan kini puteranya hendak melindunginya? Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena pada saat itu pertempuran sudah terjadi dengan amat serunya. Ketika ada pasukan yang menghampiri rambongan mereka yang mengelilingi para pendekar yang tidak ingin melawan, Milana dan Ceng Liong bergantian berseru. “Jangan serang kami! Kami orang sendiri!”
Para perajurit tentu saja mengenal Jenderal Kao Cin Liong dan juga sebagian besar perajurit yang sudah bertugas lama mengenal Puteri Milana, maka pasukan tidak ada yang berani menyerang rombongan yang memang tidak melawan ini. Akan tetapi, pasukan menghadapi perlawanan yang amat hebat dari para pendekar yang dipimpin oleh Bu-taihiap dan Sim Hong Bu! Biarpun jumlahnya jauh lebih banyak, namun kini pasukan itu menghadapi orang-orang yang selain memiliki ilmu kepandaian silat, juga bersemangat tinggi dan para pendekar itu melakukan perlawanan nekat dan mati-matian. Mereka telah terbakar semangatnya oleh sikap dan kata-kata Bu-taihiap dan Sim Hong Bu sehingga mereka itu tidak ingat apa-apa lagi kecuali melawan dan melawan!
Hutan Cemara yang biasanya sunyi dan bersih itu, kini berobah menjadi tempat yang gaduh dan kotor oleh darah! Bagaikan orang-orang membabat rumput saja, para pendekar itu mengamuk dan para perajurit itu roboh bergelimpangan. Terutama sekali amukan Bu-taihiap dan empat orang isterinya. Segera mayat para perajurit berserakan dan bertumpuk-tumpuk di sekitar mereka. Tak kalah hebatnya adalah amukan Sim Hong Bu dan puteranya, Sim Houw. Pedang Pek-kong Po-kiam di tangan Sim Hong Bu bagaikan telah berobah menjadi seekor naga, seekor naga yang haus darah. Darah muncrat-muncrat dan membanjiri tanah ketika pendekar ini mengamuk dengan pedangnya. Sim Houw yang baru saja kembali dari gemblengan yang diterimanya dari pendekar sakti Kam Hong, juga mengamuk hebat. Dia bahkan lebih lihai daripada ayahnya dan biarpun pedangnya bukan merupakan sebuah pusaka yang sehebat dan seampuh Pek-kong Po-kiam, akan tetapi pedang itu dapat bergerak lebih hebat lagi. Hanya saja, agaknya pemuda ini tidak begitu bernafsu untuk membunuh banyak orang, maka gerakannya tidak begitu ganas dan biarpun setiap orang lawan yang menghadapinya tentu roboh, akan tetapi pedangnya tidak menjatuhkan korban sebanyak yang roboh oleh Pek-kong Po-kiam di tangan ayahnya. Pedang Pek-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Putih) memang tidak sedahsyat Koai-liong Po-kiam yang telah diminta kembali oleh Cu Han Bu, akan tetapi pedang inipun bukan pedang biasa. Sim Hong Bu memperoleh pedang ini dari seorang tosu pertapa yang merasa kagum akan semangat perjuangannya.
Sementara itu, Bi Eng juga mengamuk dengan suling emasnya. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu dara ini berhadapan dengan Ceng Liong! “Eng-moi, jangan....!” kata pemuda itu dan Bi Eng terpaksa menghentikan gerakan suling emasnya ketika ia melihat pemuda yang dicintanya itu menghadang di depannya.
“Liong-ko, minggirlah. Biarkan aku membantu para pejuang!” kata Bi Eng, suaranya gemetar dan matanya basah. Gadis ini memang sedang merasa gelisah dan bingung sekali. Tak disangkanya bahwa terjadi perpecahan antara para pendekar, terutama sekali antara gurunya dan keluarga Ceng Liong!
“Eng-moi, jangan.... demi aku.... demi cinta kita, jangan lanjutkan....!” Ceng Liong berkeras menahannya. Suling emas itu digengam erat-erat di tangan kanan Bi Eng dan ia menghadapi kekasihnya dengan muka pucat.
“Koko, kenapa engkau menentangku? Menentang kami? Kenapa....? Jangan halangi aku dan minggirlah, biarkan aku melawan para penjajah, aku tidak takut mati....!”
“Eng-moi, ingatlah, sadarlah. Lihatlah baik-baik. Kalau keluarga Pulau Es memang menentang kalian, tentu kami sudah bergerak dan melawan kalian. Apakah kalian akan mampu berbuat banyak kalau begitu? Lihat, kami diam saja. Kami tidak membantu kalian, akan tetapi kamipun tidak menentang kalian. Eng-moi, marilah. Mari engkau ikut denganku, pergi, Eng-moi. Kita pergi jauh sekali, meninggalkan semua kerusuhan dan keributan, semua bunuh-membunuh yang haus darah ini. Lihat, tidak mengerikankah semua ini....?” Ceng Liong membuka kedua tangannya menunjuk ke empat penjuru. Memang amat mengerikan melihat mayat-mayat berserakan dan darah membanjir di sekitar tempat itu.
Akan tetapi, Bi Eng yang dikuasai semangat perlawanan yang hebat itu tidak mudah dibujuk.
“Koko, aku harus melawan mereka! Aku harus mempunyai setia kawan terhadap para pendekar. Dan engkau.... engkau seorang gagah perkasa, mari berjuang bersamaku, koko!”
“Tidak, Eng-moi, ingatlah, engkau keliru. Mereka semua itu keliru. Sekarang aku sudah sadar bahwa semua ini merupakan perbuatan tergesa-gesa dan gegabah, tidak diperhitungkan masak-masak dan tiada gunanya lagi. Mari kita pergi saja dari sini, Eng-moi....”
“Tidak, koko, aku harus membunuh anjing-anjing Mancu itu, sebanyak mungkin!” Gadis itu menggerakkan sulingnya sehingga nampak sinar berkelebat.
“Aih, Eng-moi, kenapa engkau tidak mendengarkan kata-kataku? Baiklah, Eng-moi kalau memang engkau begitu haus darah, nah, ini dadaku. Kaubunuhlah aku lebih dahulu daripada melihat engkau akhirnya akan tertawan atau terbunuh dan aku menjadi menyesal dan berduka.” Suma Ceng Liong melangkah maju mendekati gadis itu. Wajah Bi Eng menjadi pucat sekali dan suling yang sudah diangkatnya itu turun kembali, matanya terbelalak memandang wajah Ceng Liong. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan akhirnya gadis yang gagah perkasa dan penuh semangat itu menjadi bingung dan gelisah, lalu menangis!
“Kam-siocia (nona Kam), apakah orang ini mengganggumu?” terdengar bentakan dan nampak sinar berkilat menyambar ke arah leher Ceng Liong. Pemuda ini terkejut, tahu bahwa yang menyerangnya adalah seorang yang amat lihai, maka diapun melempar tubuh ke belakang dan pedang itu meluncur bagaikan kilat menyambar.
Penyerangnya itu adalah Sim Houw, pemuda putera Sim Hong Bu yang menjadi calon suami atau tunangan Bi Eng! Dan pemuda itu memang hebat sekali. Begitu serangannya luput, pedangnya sudah membalik dan meluncur lagi seperti kilat menyambar-nyambar, pedangnya lenyap membentuk sinar bergulung-gulung menyilaukan mata. Inilah ilmu pedang gabungan dari Koai-liong Kiam-sut dan Sin-sauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari pendekar sakti Kam Hong. Memang belum sempurna benar dia menggabung kedua ilmu itu, akan tetapi biarpun belum sempurna, keampuhannya sudah hebat. Sinar pedang itu bergulung-gulung dan mengeluarkan suara seperti suling ditiup!
Tentu saja Ceng Liong merasa terkejut sekali dan cepat diapun menggerakkan tubuhnya mencelat ke sana-sini untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut yang memancar dari sinar pedang lawan itu. Dia sudah mengenal kehebatan Sim Hong Bu, akan tetapi tidak pernah disangkanya bahwa putera pendekar itu sedemikian hebatnya ilmu pedangnya.
Juga terjadi semacam keraguan dan kebingungan di dalam hati Ceng Liong. Dia sudah mengenal pemuda ini sebagai calon suami kekasihnya. Maka, kini dia merasa tidak enak hati sekali. Bagaimanapun juga, dia sudah merampas calon isteri pemuda ini, maka ada semacam perasaan bersalah terhadapnya dan kini dia merasa sungkan untuk melawan. Maka, biarpun Sim Houw menyerangnya bertubi-tubi, Ceng Liong hanya berloncatan ke sana-sini untuk mengelak saja, masih merasa ragu-ragu untuk membalas. Padahal, kalau hanya bertahan saja tanpa balas menyerang terhadap seorang lawan seperti Sim Houw, sungguh amat berbahaya sekali. Pedang pemuda itu bagaikan seekor naga mengamuk dan sebentar saja gulungan sinar pedang itu menutup semua jalan keluar Ceng Liong. Pemuda ini masih bertahan, melempar dirinya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.
“Brettt....!” Biarpun kulit tubuhnya belum tersayat, akan tetapi ujung bajunya terobek ujung pedang. Barulah Ceng Liong benar-benar merasa terkejut sekarang. Jarang ada lawan yang akan mampu merobek ujung bajunya dengan pedang, dan hal ini saja membuktikan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh.
“Tringgg....!” Tiba-tiba nampak api berpijar ketika pedang di tangan Sim Houw yang masih terus mengejar Ceng Liong itu tertangkis sebatang suling emas.
“Nona Kam.... kau.... kenapa....?” Sim Houw terkejut sekali dan terbelalak memandang wajah Bi Eng. Biarpun gadis ini dengan resmi menjadi tunangannya, bahkan di antara mereka masih ada hubungan perguruan karena dia digembleng ayah gadis itu dan sebaliknya gadis itu menjadi murid ayahnya, namun mereka berdua tidak pernah bergaul dan Sim Houw adalah seorang pemuda pemalu yang tidak pernah bergaul dengan wanita. Oleh karena itu dia merasa sungkan dan malu dan menyebut gadis itu dengan sebutan “nona”. Tentu saja pemuda ini merasa kaget dan heran sekali melihat betapa tunangannya itu menangkis pedangnya yang hendak menyerang laki-laki yang membuat tunangannya tadi nampak bingung dan menangis!
“Sim-koko, jangan serang dia!” kata Bi Eng dengan mata masih basah dengan air mata. Pada saat itu empat orang perajurit pemerintah datang menerjang. Pedang di tangan Sim Houw dan suling di tangan Bi Eng bergerak membentuk sinar dan robohlah empat orang perajurit itu tanpa dapat bangun maupun bergerak lagi.
“Eng-moi, mari kita pergi....!” kata Ceng Liong. Bi Eng nampak ragu-ragu dan Ceng Liong lalu memegang tangan gadis itu, menariknya pergi dari situ. Melihat ini, Sim Houw memandang bengong dan bingung.
Pada saat itu, terdengar teriakan ayahnya. Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya dan terkejut bukan main melihat ayahnya dikeroyok oleh puluhan orang perwira dan perajurit pemerintah. Di antara para perwira yang rata-rata lihai itu terdapat seorang laki-laki yang gerakannya aneh dan lihai sekali, yang memainkan sebatang pedang, dan membuatnya terkejut karena dia seperti mengenal gerakan-gerakan yang mirip dengan Koai-liong Kiam-sut! Ayahnya bukan hanya terdesak, akan tetapi agaknya sudah terluka parah. Tubuhnya mandi darah dan biarpun pedang Pek-kong Po-kiam masih amat hebat dan merobohkan lagi beberapa orang, namun luka-luka di tubuhnya akibat anak panah dan bacokan-bacokan membuat ayahnya terhuyung-huyung. Kiranya, betapapun lihainya Sim Hong Bu, menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang tak pernah berkurang jumlahnya karena setiap kali ada yang roboh, ada pula penggantinya yang maju, akhirnya kakek ini kehabisan tenaga dan berkurang kecepatannya sehingga dia terluka oleh beberapa batang anak panah dan senjata lawan. Apalagi ketika Louw Tek Ciang membantu belasan orang perwira yang mengeroyok pendekar ini, keadaan Sim Hong Bu benar-benar repot.
“Ayah....!” Sim Houw berteriak dan lari menghampiri tempat dimana ayahnya terkurung ketat itu dan diapun mengamuk. Pedang di tangannya mengeluarkan suara melengking-lengking dan banyak perajurit dan perwira roboh oleh sinar pedangnya. Akibat kehebatan pemuda ini, Tek Ciang sendiri menjadi terheran-heran dan kagum bukan main. Tadipun dia sudah mengenal Kai-liong Kiam-sut. Sebagai murid keluarga Cu, tentu saja dia sudah mendengar tentang Sim Hong Bu yang dianggap murid bahkan mantu durhaka dari keluarga Cu itu. Maka ketika dia mengeroyok pendekar itu, dia mengenal gerakan Koai-liong Kiam-sut yang mempunyai dasar-dasar gerakan mirip dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu, dan melihat suami Cu Pek In itu, timbul keinginan hati Tek Ciang untuk membunuhnya. Guru-gurunya sudah bercerita tentang kehebatan ilmu pedang itu dan kini dia mendapatkan kenyataan betapa lihainya pendekar itu. Akan tetapi setelah dia dan kawan-kawannya hampir berhasil merobohkan Sim Hong Bu, tiba-tiba muncul pemuda yang amat lihai itu.
“Ayah....!” Sim Houw merangkul ayahnya ketika berhasil membuat para pengeroyok ayahnya kocar-kacir.
“Houw-ji.... aku sudah terluka.... tinggalkan aku dan selamatkanlah dirimu.... engkau tidak boleh mati.... engkau harus melanjutkan perjuanganku kelak.... menyusun tenaga baru....” Sim Hong Bu terengah-engah menahan nyeri dan dia tetap gagah, pedangnya melintang di depan dada.
“Tidak, ayah.... aku harus melindungimu....”
Pada saat itu, Louw Tek Ciang yang merasa penasaran karena ingin sekali merampas pedang pusaka, sudah menghimpun pembantu-pembantu yang lihai dan mengepung lalu menerjang ayah dan anak itu. Sim Houw menyambut dan terjadilah perkelahian seru antara Sim Houw dan Tek Ciang. Sim Houw terkejut bukan main mendapat kenyataan betapa lawannya ini amat tangguh, bukan hanya mampu menahan serangan pedangnya, bahkan mampu pula membalasnya dengan amat hebat! Lebih terkejut lagi ketika kini dia dapat melihat semakin nyata bahwa dasar-dasar gerakan ilmu pedang dari orang ini mirip dengan Koai-liong Kiam-sut! Maka diapun memutar pedangnya dan begitu dia mainkan gabungan Koai-liong Kiam-sut dan Sin-siauw Kiam-sut, Tek Ciang mengeluarkan seruan kaget dan terdesak hebat! Suara melengking-lengking yang keluar dari pedang pemuda itu mengingatkannya akan suara tiupansuling keluarga Kam yang pernah membuatnya kalah.
Sementara itu, keadaan Sim Hong Bu semakin payah. Karena terlalu banyak mengeluarkan darah, orang tua yang gagah perkasa ini semakin berkurang tenaganya dan menghadapi pengeroyokan para perwira, biarpun dia masih berbahaya dandapat merobohkan lawan yang terlalu dekat dengannya, namun dia menerima pula beberapa kali tusukan tombak dan tubuhnya semakin terhuyun-huyung.
Melihat keadaan ayahnya ini Sim Houw memutar pedangnya meninggalkan Tek Ciang dan melindungi ayahnya. Pedangnya membentuk gulungan sinar yang panjang dan luas, membuat para pengeroyok Sim Hong Bu kocar-kacir lagi. Akan tetapi, tiba-tiba Tek Ciang bersama kawan-kawannya datang menyerbu. Sim Houw merangkul ayahnya dan ayah ini berkata. “Houw-ji, pergunakan pedang ini, pergunakan Pek-kong Po-kiam....”
Sim Houw bertukar pedang dengan ayahnya dan begitu dia memutar Pek-kong Po-kiam, akibatnya hebat empat orang perwira terjungkal dan Tek Ciang sendiri terpaksa melompat mundur sampai jauh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sim Houw untuk memondong ayahnya yang sudah lemah itu dengan lengan kiri, lalu meloncat pergi.
“Pemberontak, hendak lari ke mana kau?” Tek Ciang yang menginginkan pedang pusaka itu melakukan pengejaran. Akan tetapi Sim Houw bersama ayahnya sudah menghilang di antara banyak perajurit yang masih bertempur dengan seru itu. Tek Ciang menjadi kecewa dan marah, lalu membantu para perajurit yang masih mengepung para pendekar.
Keluarga Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebatnya. Pendekar yang sudah tua ini lihai bukan main, bertempur sambil tertawa-tawa gembira. Juga empat orang isterinya adalah wanita-wanita yang hebat. Tang Cun Ciu yang dahulu terkenal dengan julukan Cui-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa), bekas isteri tokoh keluarga Cu yang lihai, kini biarpun sudah berusia enam puluh tahun, masih ganas dan lihai. Juga Cu Cui Bi yang bekas nikouw itupun mengamuk di samping suaminya. Puteri Nandini, puteri Nepal yang menjadi seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebat. Wanita ini pernah menjadi panglima Nepal dan memang sejak dahulu ia bermusuhan dengan pemerintah, maka kini ia memperoleh kesempatan melampiaskan dendamnya dan mengamuk, membunuh banyak sekali perajurit yang berani mendekatinya. Isteri ke empat adalah seorang bongkok bernama Gan Cui yang juga lihai sekali. Nenek inipun mengamuk dan keluarga Bu yang terdiri dari lima orang ini telah merobohkan puluhan orang perajurit pemerintah.
Selain keluarga Bu ini, juga para pendekar yang tadi tidak dapat dibujuk oleh keluarga para pendekar Pulau Es mengamuk. Termasuk di antara mereka ini adalah orang-orang Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang sejak dahulu memang merupakan musuh-musuh lama pemerintah. Perang kecil itu terjadi di Hutan Cemara dan biarpun ratusan orang perajurit pemerintah roboh dan tewas, namun satu demi satu para pemberontak itu dapat dirobohkan karena kehabisan tenaga atau kehabisan darah dari luka-luka mereka.
Mulailah sebagian dari mereka mencari jalan untuk melarikan diri. Karena melihat bahwa perlawanan mereka akan sia-sia saja, di antara mereka itupun mulai menyelinap dan mencari kesempatan menyelamatkan diri dari pembantaian para perajurit. Akan tetapi Bu-taihiap bersama empat orang isterinya tidak mau mundur selangkahpun! Bu-taihiap yang sudah tua itu agaknya tahu bahwa usianya tidak akan lama lagi dan dia memilih mati sebagai seorang pejuang yang gagah perkasa.Agaknya empat orang isterinya itn amat setia kepadanya dan juga berpendirian sama maka merekapun mengamuk di samping suami mereka itu, sedikitpun tidak ingin mundur.
Akan tetapi, seperti juga para pendekar yang lain, tenaga keluarga Bu-taihiap ini ada batasnya. Biarpun banyak sekali perajurit yang roboh tewas di tangan mereka, akan tetapi saking banyaknya jumlah lawan, merekapun mulai kehabisan tenaga dan mulai terkena senjata lawan sehingga luka-luka. Akhirnya, seorang demi seorang dari empat isteri Bu-taihiap itupun roboh dan Bu Seng Kin sendiri akhirnyapun roboh. Dia dan isteri-isterinya telah mempertahankan diri sampai titik darah terakhir dan tewas sebagai pejuang-pejuang yang amat gagah perkasa. Perihal mereka ini, dan perihal pertempuran di Gunung Hutan Cemara itu akan selalu dikenang oleh para patriot di sepanjang masa. Mereka yang akhirnya berhasil lolos dari Hutan Cemara itulah yang bercerita tentang kegagahan keluarga Bu-taihiap dan pertempuran di Hutan Cemara itu terkenal dengan nama Banjir Darah Di Hutan Cemara.
Di antara seratus lebih orang yang melawan pasukan pemerintah, hanya ada belasan orang saja yang berhasil lolos dan selebihnya tewas dengan tubuh hancur di bawah hujan senjata. Akan tetapi, korban para pejuang yang jumlahnya kurang dari seratus orang itu ditebus dengan nyawa hampir seribu orang perajurit Mancu!
Louw Tek Ciang merasa gemas sekali melihat betapa keluarga Pulau Es berhasil menyadarkan banyak pendekar yang kemudian hanya digiring ke kota raja oleh Jenderal Cao seperti yang diminta oleh Kao Cin Liong dan Puteri Milana. Tek Ciang tidak berani membantah, bahkan dia tidak berani memperlihatkan muka di depan keluarga Pulau Es, melainkan mendahului pasukan pulang ke kota raja.
Barulah ketika keluarga Pulau Es diperkenankan menghadap kaisar bersama para pendekar yang urung memberontak, Tek Ciang menyelinap di antara para panglima. Ketika Cin Liong dan Suma Hui melihat Louw Tek Ciang berada di antara para panglima menghadap kaisar, mereka terkejut bukan main. Juga Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan para keluarga Pendekar Pulau Es inipun diam-diam tahu siapakah yang menjadi pengkhianatnya sehingga pertemuan antara pendekar itu sampai diketahui kaisar dan disergap. Tentu iblis itulah yang menjadi biang keladinya. Akan tetapi keluarga Pulau Es tidak tahu apa yang telah terjadi dan bagaimana iblis itu memperoleh kepercayaan kaisar. Hanya seorang di antara para pendekar yang berada di situ, yaitu Kwee Cin Koan, yang mengerutkan alisnya. Ketika berada di Hutan Cemara, sebelum pasukan menyerbu, dia berkesempatan bertemu dengan wakil Kun-lun-pai dan dia mendengar bahwa kekasihnya, Can Kui Eng, terbunuh oleh susioknya sendiri. Ketika dia bertanya dengan hati hancur tentang surat titipannya yang ditujukan kepada seorang panglima di kota raja, para wakil Kun-lun-pai tidak tahu. Mereka hanya menceritakan bahwa juga sebuah kitab pelajaran lenyap dari kamar perpustakaan Kun-lun-pai.
Ketika keluarga Pulau Es muncul dan menyadarkan para pendekar, Kwee Cin Koan dan lima orang sutenya dari Kong-thong-pai juga ikut sadar dan menggabung dengan keluarga Pulau Es, apalagi karena semangatnya telah menjadi setengah lumpuh oleh berita tentang kematian kekasihnya. Juga wakil-wakil Kun-lun-pai yang dapat melihat keadaan, ikut dalam rombongan keluarga Pulau Es. Ketika berada di dalam rombongan itu dan hanya menyaksikan terjadinya pertempuran, wakil-wakil Kun-lun-pai yang melihat Louw Tek Ciang di antara para perwira, memberi tahu kepada Kwee Cin Koan bahwa orang itu adalah seorang tamu Kun-lun-pai yang menyaksikan terbunuhnya Can Kui Eng.
Karena itulah, ketika mereka semua dibawa menghadap kaisar, Kwee Cin Koan mengerutkan alisnya dan memandang kepada Louw Tek Ciang dengan bermacam perasaan. Orang itulah yang tahu tentang kematian kekasihnya dan agaknya hanya orang itu yang akan dapat memberi keterangan dengan jelas. Para wakil Kun-lun-pai agaknya tidak mau banyak bicara tentang kematian Can Kui Eng dan dia sendiripun merasa sungkan untuk mendesak.
Kaisar Kian Liong merasa sedih mendengar pelaporan tentang penyerbuan di Hutan Cemara. Dia merasa penasaran sekali mendengar betapa tokoh-tokoh pendekar yang dikenalnya, bahkan tokoh-tokoh yang dikagumi dan yang pernah menolongnya ketika dia masih pangeran dahulu seperti Bu-taihiap dan isteri-isterinya, ikut pula menjadi pemberontak dan tewas oleh pasukannya.
“Penasaran! Penasaran!” Kaisar menepuk-nepuk pahanya dengan wajah murung. “Mengapa mereka itu memberontak? Mengapa para pendekar yang dahulu selalu melindungiku, kini malah memberontak dan memusuhi aku?”
“Maaf, sri baginda,” tiba-tiba Puteri Milana berkata sudah memberi hormat. “Sesungguhnya mereka itu sama sekali tidak memusuhi paduka secara pribadi.”
Kaisar memandang kepada nenek itu dengan alis berkerut. “Bibi Milana, engkau yang termasuk pendekar, akan tetapi pernah pula menjadi panglima kerajaan, jelaskanlah apa yang menyebabkan mereka memberontak kalau mereka tidak membenci dan memusuhi aku?”
Wanita itu kembali memberi hormat. “Hamba tahu benar bahwa para pendekar itu pada umumnya sayang kepada paduka, menjunjung tinggi keadilan dan memuji dengan kagum kebijaksanaan paduka di dalam pemerintahan. Akan tetapi, sejak dahulu, para pendekar itu merasa tidak senang melihat betapa tanah air mereka terjajah. Itulah sebabnya mengapa mereka memberontak.”
Kaisar Kian Liong menjadi lemas dan menundukkan muka sampai lama, berulang kali menarik napas panjang. Jauh di lubuk hatinya dia dapat merasakan apa yang diderita oleh para pendekar itu. Dan apakah yang dapat dilakukannya? Penjajahan dari bangsanya, Bangsa Mancu, terhadap selurah Tiongkok ini dilakukan oleh nenek moyangnya dan dia hanya sebagai keturunan yang melanjutkan pemerintahan saja. Namun dia sudah berusaha untuk mendirikan pemerintahan yang baik adil dan bijaksana. Bagaimanapun juga, tidak mungkin dia menghapus rasa tidak suka karena dijajah itu dari hati para pendekar.
“Dan bagaimana dengan para pendekar yang kalian bawa menghadap itu?” tanya kaisar kemudian, dengan sinar mata kesal memandang kepada mereka yang menghadap, berlutut di situ dan menundukkan muka.
“Hamba dan Panglima Kao Cin Liong berhasil menyadarkan mereka dan selanjutnya terserah kepada paduka,” kata Puteri Milana.
Kaisar menoleh kepada panglima muda Kao Cin Liong dan kaisar mengerutkan alisnya. Dia teringat akan laporan Louw Tek Ciang. Tadinya dia sendiri mencurigai Jenderal Kao ini dan keluarga Pulau Es, akan tetapi ternyata sekarang bahwa keluarga Pulau Es yang telah menyadarkan sebagian para pendekar dan karena itu maka pertempuran tidaklah sehebat kalau mereka semua memberontak. Sukar dibayangkan betapa hebatnya dan betapa banyaknya perajurit yang akan tewas sekiranya keluarga Pendekar Pulau Es ikut pula memberontak!
“Bagaimana, Kao-ciangkun? Apa keteranganmu tentang semua peristiwa ini?”
Cin Liong melirik ke arah Tek Ciang, lalu memberi hormat dan berkata dengan suara lantang, sedikitpun tidak kelihatan takut. “Harap sri baginda maafkan kalau hamba bicara secara terus terang saja. Sebetulnya, para pendekar yang mengadakan pertemuan di Hutan Cemara itu sama sekali belum melakukan perbuatan memberontak. Para pendekar itu hanya ingin mengadakan pertemuan dan memilih seorang bengcu di antara mereka. Memang, harus diakui bahwa sebagian besar dari mereka mempunyai jiwa patriot dan merasa tidak suka akan penjajahan. Akan tetapi, ketika mereka mengadakan pertemuan itu, sama sekali belum ada rencana pemberontakan atau gerakan memberontak.”
Kaisar mengangguk-angguk. “Boleh jadi demikian, akan tetapi mereka telah bersekongkol dengan Jenderal Gan!”
“Hamba tidak tahu akan hal itu, sri baginda. Yang hamba ketahui bahwa para pendekar itu mengadakan pertemuan dan begitu hamba mendengar tentang persekutuan dengan Jenderal Gan dan ditangkapnya panglima itu, hamba bersama keluarga Pulau Es segera pergi ke Hutan Cemara untuk menyadarkan mereka. Sayang bahwa sebagian dari mereka tidak mau dibujuk sehingga terjadi pertempuran itu. Akan tetapi, hamba telah berjanji kepada mereka yang sadar untuk memintakan ampun kepada paduka dan hamba percaya akan kebijaksanaan paduka untuk mengampuni saudara-saudara yang sama sekali belum memperlihatkan perbuatan memberontak ini.”
“Hamba juga memohonkan ampun bagi mereka,” kata pula Puteri Milana dan perbuatan ini diturut pula oleh para keluarga Pulau Es.
Kaisar Kian Liong menghela napas panjang. “Baiklah, kami mengampuni mereka, akan tetapi mereka akan dicatat dan kalau sampai ketahuan mengadakan persekutuan untuk memberontak lagi, kami akan bertindak dan tidak akan dapat mengampuni mereka lagi.” Para pendekar menghaturkan terima kasih atas kebijaksanaan kaisar. Mereka lalu diperkenankan keluar dari istana.
Peristiwa di Hutan Cemara itu tidak habis sampai di situ saja. Kao Cin Liong yang merasa betapa sejak itu sikap kaisar berobah terhadap dirinya, dan karena dia sendiripun merasa betapa batinnya terpecah antara kesetiaan kepada kaisar dan setia kawan kepada para pendekar dan patriot, lalu tidak lama kemudian mengajukan permintaan untuk mengundurkan diri. Permohonan yang kedua kalinya ini tidak ditolak oleh kaisar. Bukan hanya peristiwa itu saja yang mendorong Kao Cin Liong mengundurkan diri, melainkan ada sebab lain lagi, yaitu ketika dia mendengar bahwa Louw Tek Ciang diberi anugerah oleh kaisar, diangkat menjadi seorang pembesar militer yang bertugas di utara!
“Si keparat itu!” Isterinya, Suma Hui mengepal tinju dan wajahnya nampak membayangkan kebencian. “Kalau tidak membalasnya sekarang, kalau sampai dia menjadi pembesar, maka usahaku membalas kepadanya tentu akan mudah dicap pemberontak.” Demikian antara lain isterinya mengeluh dan akhirnya Kao Cin Liong memaksakan diri mengajukan permohonan kepada kaisar untuk meletakkan jabatannya. Setelah urusan itu selesai, dia bersama isterinya mulai melakukan penyelidikan dan mencari kesempatan untuk dapat menyergap Louw Tek Ciang dan membalas dendam sebelum oran itu memegang jabatannya di utara.
***
“Ayah....!” Sim Houw mengeluh dengan sedih. Ayahnya terluka berat dan hampir kehabisan darah karena luka-lukanya. Kini dia meletakkan tubuh ayahnya di bawah pohon dan dia sendiri berlutut di dekat ayahnya. Dia berhasil melarikan ayahnya dari hutan di mana terjadi pertempuran dan kini berada di tempat aman, di sebuah hutan di balik bukit yang penuh hutan. “Ayah, bagaimana keadaanmu?”
Sim Hong Bu membuka matanya dan memandang kepada puteranya. Mukanya pucat sekali, sepasang mata itupun sudah kehilangan sinarnya. Dia menggerakkan tangannya dan Sim Houw mendekatkan mukanya. Hatinya seperti diremas melihat ayahnya yang sudah demikian payah keadaannya. Ayahnya menggerakkan bibir dan dia mendengar bisikan-bisikan ayahnya.
“Houw-ji, kau.... kau melihat.... Bi Eng....?”
Sim Houw mengerutkan alisnya, teringat betapa Bi Eng membela pemuda yang dia tahu adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es. “Tadi aku tahu, ayah, akan tetapi ia pergi, entah ke mana.” Hatinya tidak senang. Mengapa ayahnya yang keadaannya separah itu bicara tentang gadis itu?
“Houw-ji.... kau melihat Suma Ceng Liong....?”
“Siapa dia, ayah? Aku tidak tahu....”
“Dia.... dia cucu Peudekar Super Sakti...., dia.... dia saling mencinta dengan Bi Eng.... ahh, aku menyesal sekali.... mengapa dahulu mengikatkan perjodohan antara kalian....”
“Ayah, perlu apa bicara tentang hal itu? Aku sama sekali tidak memikirkan tentang perjodohan itu!”
“Benarkah....? Benarkah itu, anakku? Benarkah bahwa engkau.... engkau tidak mencinta Bi Eng....?”
Sim Houw menjadi semakin heran. Dia mengerutkan alisnya. Apakah karena luka-lukanya yang parah membuat ayahnya berobah pikiran? Kalau tidak demikian, kenapa ayahnya menanyakan hal yang bukan-bukan?
“Ayah, kami belum sempat bergaul dan saling mengenal. Biarpun kami sudah saling bertunangan, akan tetapi tanpa saling mengenal mana mungkin ada cinta?”
Anehnya mendengar ucapan, itu wajah orang tua itu nampak girang! “Bagus, bagus.... ah, senang hatiku mendengar ini.... Houw-ji, engkau.... engkau pergilah menemui pendekar Kam Hong dan.... terus terang saja.... kau putuskan tali perjodohan itu dengan resmi....”
Sim Houw membelalakkan matanya. “Ayah, apa.... apa maksudmu?” Dia masih bingung dan heran, tidak tahu sama sekali mengapa ayahnya membicarakan hal perjodohan yang harus dia putuskan itu.Ayahnya yang sudah payah keadaannya itu memegang lengan puteranya dengan kuat untuk beberapa detik lamanya, lalu pegangannya mengendur. “Dengar baik-baik.... Bi Eng saling mencinta dengan Suma Ceng Liong.... aku melihat dan mendengarnya sendiri.... dan aku tidak menghendaki engkau mengalami nasib yang sama dengan ayahmu.... ingatlah, nak.... aku dan ibumu.... juga menikah tanpa rasa cinta.... dan akibatnya kau tahu sendiri kami berpisah.... sebelum terlambat, putuskan tali perjodohan itu dan.... dan jangan sekali- kali.... menanamkan permusuhan dengan.... keluarga Suma....” Kakek itu tidak kuat lagi, terkulai lemas.
“Ayaaaahhh....!” Sim Houw menjerit dan merangkul ayahnya yang sudah tidak bernapas lagi itu. Baru detik inilah pemuda itu merasakan kedukaan yang hebat, rasa kesepian dan sendirian ditinggalkan pergi satu-satunya orang yang amat dicintanya. Ibunya tidak pernah memperdulikannya, bahkan terlalu galak terhadap dirinya dan semenjak ayah dan ibunya berpisah seperti yang didengarnya dari ayahnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada ibunya yang membiarkan ayahnya terbuang dari Lembah Naga Siluman. Dan kini ayahnya meninggalkannya untuk selamanya, bahkan meninggalkan pesan yang juga menyakitkan hatinya itu. Dia harus melepaskan ikatan jodohnya dengan puteri gurunya! Memang, dia belum pernah jatuh cinta, dan terhadap Bi Eng dia hanya merasa kagum saja, apalagi karena tadinya menganggap gadis itu sebagai calon isterinya. Akan tetapi, dia belum pernah merasa jatuh cinta kepada gadis itu.
“Ayah....!” Kembali dia mengeluh dan menggerakkan jari-jari tangannya, dengan lembut merapatkan mata dan mulut jenazah ayahnya yang masih hangat.
Pada saat itu teringatlah Sim Houw akan sikap Bi Eng dalam hutan cemara itu. Dan sikap pemuda yang diserangnya. Kini dia dapat menduga bahwa tentu pemuda Pulau Es yang dibela oleh Bi Eng itulah pemuda yang bernama Suma Ceng Liong dan oleh ayahnya dikatakan saling mencinta dengan Bi Eng. Mengertilah dia akan sikap Bi Eng sekarang. Tentu tunangannya itu dibujuk oleh pemuda Pulau Es untuk tidak melawan pasukan dan gadis itu berada dalam bingung dan ragu.
“Suhu....!”
Sim Houw menengok kaget. Karena duka dan tenggelam dalam renungan sendiri, pemuda yang lihai itu sampai tidak tahu bahwa ada dua orang menghampirinya. Kiranya Bi Eng dan Ceng Liong sudah berdiri di belakangnya, dalam jarak lima meter. Sim Houw merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar. Rasa duka yang amat hebat bergelombang menerjang hatinya dan diapun memejamkan hatinya, lalu menunduk dan memegangi pundak ayahnya, menahan air matanya yang akan tumpah lagi.
“Suhu....!” Sekali lagi Bi Eng berseru dan kini gadis itupun lari menghampiri, lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat jenazah gurunya, tak dapat menahan air matanya yang menetes-netes turun membasahi pipinya. Sejenak ia terisak. Gurunya adalah seorang yang amat sayang kepadanya, maka kini melihat gurunya rebah menjadi mayat, tentu saja hal ini amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya.
Setelah tangisnya mereda, Bi Eng memandang kepada Sim Houw dengan mata basah. “Apakah yang telah terjadi? Mengapa.... suhu....”
“Tenangkan hatimu, sumoi. Ayah telah tewas sebagai seorang patriot yang berjiwa besar, tewas dalam membela tanah air dan bangsa dari tangan penjajah!” Ucapan Sim Houw itu lantang dan memang dia sengaja bicara keras agar terdengar oleh Suma Ceng Lioug. Sebetulnya, tak perlu dia bicara keras karena sejak tadi Ceng Liong berada di situ, bahkan kini pemuda itu berlutut pula tak jauh dari jenazah itu.
“Sim-locianpwe tewas sebagai orang besar yang gagah perkasa, sungguh makin besar rasa kagum dan hormatku kepadanya,” kata Suma Ceng Liong seperti bicara kepada diri sendiri.
Sim Houw menoleh dan melihat pemuda itu dia bangkit berdiri dan bertanya kepada Bi Eng yang masih berlutut, “Kam-sumoi, aku melihat dia ini yang kaubela di Hutan Cemara. Siapakah dia? Maukah engkau memperkenalkan aku dengannya?”
Wajah gadis itu berobah menjadi merah sekali. Akan tetapi Bi Eng adalah seorang gadis yang memang memiliki dasar watak yang amat gagah dan tabah. Ia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, apapun resikonya ia berani menghadapinya. Maka iapun bangkit dan sejenak ia memandang kepada Ceng Liong, kemudian menghadapi Sim Houw. Ia tidak tahu mengapa Sim Houw yang biasanya menyebutnya siocia (nona) itu kini berubah menjadi sumoi (adik seperguruan), maka iapun menyebut suheng kepadanya.
“Sim-suheng, dia ini adalah.... Suma Ceng Liong, dia dan aku adalah.... sahabat baik.”
Sim Houw memandang kepada Ceng Liong. Keduanya saling pandang dan kini Ceng Liong juga sudah bangkit berdiri. Sinar mata Sim Houw penuh selidik, sedangkan sinar mata Ceng Liong menunduk seperti orang yang merasa bersalah.
“Kam-sumoi, bagaimanapun juga, kita berdua oleh orang tua kita masing-masing telah ditunangkan dan sebagai orang yang dicalonkan sebagai suamimu tentu saja aku berhak mengetahui keadaan sebenarnya dari perasaan hatimu, bukan?”
“Sim-suheng, apa maksudmu?” Bi Eng bertanya, memandang tajam.
“Sumoi, katakanlah terus terang. Apakah engkau mencinta saudara Suma Ceng Liong ini?”
Tentu saja pertanyaan yang merupakan serangan langsung ini amat mengejutkan Bi Eng. Tak disangkanya tunangannya itu akan mengajukan pertanyaan seperti itu, dan karena datangnya pertanyaan begitu tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, ia menjadi terkejut dan sejenak ia bungkam tak mampu mengeluarkan jawaban!
“Sumoi, aku berhak mengetahui, bukan?” Sim Houw mendesak, penasaran.
Bi Eng sudah dapat menguasai lagi hatinya dan ia mengangguk. “Benar, suheng,” jawabnya kemudian dengan suara tegas sehingga Ceng Liong merasa terharu bukan main.
Kini Sim Houw membalikkan tubuh menghadapinya. Ceng Liong sudah siap untuk menghadapi serangan karena dia tahu bahwa pemuda ini merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi Sim Houw tidak membuat gerakan menyerangnya, melainkan bertanya, suaranya tetap tenang dan tegas.
“Saudara Suma Ceng Liong, apakah engkau mencinta sumoi Kam Bi Eng?”
Ceng Liong mengangguk perlahan. “Saudara Sim, terus terang saja, dahulu, di waktu remaja kami pernah saling bertemu dan berkenalan. Baru dalam Hutan Cemara kami saling jumpa lagi dan.... dan kami saling jatuh cinta. Ya, aku memang mencintanya, saudara Sim.”
Sim Houw menarik napas panjang. “Bagus, aku hargai kejujuran kalian berdua. Sekarang bereslah sudah....” dan diapun berlutut kembali dekat jenazah ayahnya.
“Sim-suheng.... kau.... kaumaafkan aku....” Bi Eng mendekati dan berkata lirih dengan hati kasihan.
Akan tetapi Sim Houw menoleh kepadanya dan terseyum, lalu menggeleng kepala. “Sumoi, tidak ada apa-apa yang perlu dirisaukan atau dimaafkan. Akupun harus jujur kepadamu. Sesungguhnya, pertalian antara kita hanya dibuat oleh orang tua kita, sedangkan di antara kita sendiri tidak pernah ada apa-apa. Kita bahkan belum pernah berkenalan atau bergaul, jadi.... bagiku tidak mengapalah kalau diputuskan juga. Akan tetapi, karena hal ini menyangkut nama orang tua, yang memutuskannya haruslah orang tua pula. Maka, aku akan mengurus jenazah ayah, setelah itu aku akan menghadap suhu atau ayahmu dan minta diputuskannya tali perjadohan antara kita.”
Bi Eng dan Ceng Liong menjadi girang sekali. “Suheng, betapa bijaksana hatimu....”
Kembali Sim Houw tersenyum pahit dan menggeleng kepala. “Aku bertindak biasa saja, sesuai dengan pesan terakhir ayahku....”
“Suhu....?” Bi Eng bertanya kaget.
“Dia melihat dan mendengar percakapan kalian, dialah yang memberi tahu kepadaku dalam pesan terakhir bahwa kalian saling mencinta dan dia pula yang menyuruh aku memutuskan tali perjodohan.”
“Ah, suhu.... suhu.... sebelum meninggal.... dia marah kepadaku, suheng?” tanya Bi Eng cemas. Gurunya amat sayang kepadanya dan hatinya akan merasa menyesal sekali kalau sebelum meninggal dunia gurunya itu mengandung hati marah dan menyesal kepadanya. Akan tetapi, legalah hatinya ketika pemuda itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak, sumoi. Ayah adalah orang yang sudah mengalami penderitaan pahit dalam pernikahannya dan karena itu dia menjadi bijaksana. Dia tahu bahwa pernikahan tanpa cinta kasih kedua pihak takkan mendatangkan kebahagiaan, oleh karena itu bahkan ayah yang menganjurkan agar aku membatalkan ikatan perjodohan ini secara resmi.”
“Ah, suhu sungguh bijaksana, semoga arwahnya diterima oleh Thian....” kata Bi Eng terharu sekali, akan tetapi juga girang dan berterima kasih kepada mendiang suhunya.
“Nah, pergilah, sumoi. Pergilah lebih dulu ke rumah orang tuamu, aku akan menyusul kemudian setelah selesai mengurus jenazah ayah.”
“Tidak, suheng. Aku akan membantumu mengurus jenazah suhu.”
“Jangan, sumoi. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri bersama ayah.... ahh, tinggalkan aku.... sendirian bersama ayah....!” Pemuda itu menutupi kedua mukanya. Agaknya kedukaan yang mencekam hatinya sudah memuncak membuat pemuda itu tidak kuat bertahan lagi. Melihat ini, Ceng Liong menyentuh lengan kekasihnya dan memberi isyarat untuk pergi dari situ.
Hidup manusia akan selalu bergelimang duka apabila batin tidak bebas seluruhnya daripada ikatan-ikatan. Ikatan dengan orang lain seperti isteri, anak-anak, keluarga. Ikatan dengan benda, kekayaan, kepandaian, kedudukan, nama dan sebagainya. Selama batin terikat, maka sekali terjadi perpisahan akan timbullah duka. Dan perpisahan ini pasti terjadi, baik dengan jalan orang atau benda yang terikat di batin kita itu mati atau hilang, atau sebaliknya kita sendiri yang meninggalkan mereka ketika kita mati. Dan mati berarti perpisahan, dari semuanya. Maka, apabila batin terikat, kita takut menghadapi kematian, takut akan kehilangan semua itu, takut kehilangan ketenteraman yang kita dambakan.
Cinta bukan berarti pengikatan batin. Cinta tidak akan menimbulkan duka. Pengikatan batin timbul karena nafsu, karena si aku yang ingin memiliki segala yang menyenangkan dan membuang segala yang tidak menyenangkan.
Kebebasan batin dari ikatan bukanlah berarti bahwa kita menjadi tidak perduli terhadap keluarga kita, terhadap orang-orang lain, terhadap pekerjaan, harta milik, nama dan sebagainya itu. Bukan berarti kita tidak acuh terhadap kewajiban-kewajiban kita sebagai seorang manusia yang hidup bermasyarakat, berkeluarga di dunia ramai ini. Sama sekali tidak demikian. Kebebasan batin berarti batin yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan lahiriah itu karena kewaspadaan melihat bahwa ikatan-ikatan ini hanya akan menimbulkan duka, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
***
Rombongan itu jelas sekali dapat dikenal sebagai rombongan pembesar. Kereta-kereta yang megah itu diberi tanda pangkat dan tiga buah kereta yang tertutup itu dikawal oleh pasukan yang jumlahnya tiga losin. Biarpun hanya tiga losin orang perajurit yang mengawal tiga buah kereta itu, namun para perajurit itu nampak tegap- tegap dan memang mereka adalah perajurit-perajurit pilihan dari kota raja yang kini bertugas mengawal Louw-ciangkun, pembesar militer yang baru diangkat oleh kaisar dan kini sedang menuju ke tempat dia bertugas, yaitu di kota Shen-yang, jauh di utara.
Louw Tek Ciang, pembesar militer itu, adalah orang amat cerdik. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya setelah dia mengkhianati para pendekar di Gunung Cemara. Oleh karena itu, sebelum berangkat ke tempat tugasnya, dia telah membuat persiapan yang dianggapnya cukup matang. Dia mengutus seorang perajurit untuk mengundang keluarga Cu ke kota raja. Sambil menanti kedatangan guru-gurunya, diam-diam dia juga mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh yang pernah menjadi persekutuan untuk mencari kedudukan. Mereka itu adalah tokoh-tokoh yang pernah bersekutu dengan Yong Ki Pok, gubernur di Sin-kiang yang memberontak. Gerombolan orang ini masih selalu menanti-nanti saat yang baik dan akhirnya mereka dapat berhubungan dengan Louw Tek Ciang yang sudah memperoleh kedudukan baik itu. Pembesar muda ini dapat mereka pergunakan sebagai tangga atau batu loncatan ke arah kedudukan yang lebih menguntungkan. Di lain pihak, Tek Ciang yang cerdik itu dapat mempergunakan kepandaian mereka untuk melindungi dirinya. Yang berhasil dihubungi oleh Tek Ciang dan sudah menanti di luar kota raja untuk bergabung dengannya adalah Thai-hong Lama, yaitu Lama jubah merah dari Tibet yang lihai sekali itu. Juga Pek-bin Tok-ong, tokoh Go-bi yang tidak kalah lihainya. Bahkan dua orang asing yang merupakan tokoh-tokoh pula dalam persekutuan itu, yakni Siwananda bekas Koksu Nepal, dan Tai-lu-cin raksasa Mongol, juga ikut serta dalam persekutuan bekerja sama dengan Tek Ciang. Empat orang tokoh lihai ini menyelundup ke dalam pasukan pengawal karena Tek Ciang cukup cerdik untuk menyembunyikan mereka, bukan hanya dari mata orang luar yang akan menaruh curiga, akan tetapi juga dari mata Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan juga Cu Pek In yang datang memenuhi undangannya ke kota raja.
Keluarga Cu itu merasa gembira dan bangga sekali melihat kemajuan yang dicapai Louw Tek Ciang. Dua orang tokoh keluarga Cu itu biarpun agak kecewa mendengar bahwa Tek Ciang belum sempat membalaskan kekalahan mereka kepada pendekar Kam Hong, juga merasa menyesal sekali mendengar bahwa murid baru mereka yang ke dua, yaitu Pouw Kui Lok, telah tewas. Akan tetapi kekecewaan ini terobati ketika Tek Ciang menjanjikan bahwa kelak dia tentu akan dapat membalas kekalahan itu karena dia sedang menyempurnakan ilmu Sin-liong Ho-kang untuk melawan lengkingan suara suling dari keluarga Pendekar Suling Emas itu. Juga hati dua orang kakek ini terhibur ketika mereka diajak oleh Tek Ciang untuk ikut pergi ke Shen-yang, tempat di mana dia akan bertugas sebagai seorang panglima baru. Tentu saja Cu Pek In juga gembira bukan main dan tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi wanita ini memperlihatkan kemesraannya terhadap Tek Ciang, kini berterang di depan ayah dan pamannya. Di antara kedua orang ini memang sudah ada hubungan cinta ketika Tek Ciang belajar ilmu di Lembah Naga Siluman. Kini, setelah Tek Ciang menjadi seorang panglima, tentu saja Cu Pek Inmengharapkan untuk menjadi isteri yang sah dari pria yang sepuluh tahun lebih muda darinya itu.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, berangkatlah Louw Tek Ciang bersama rombongannya. Dia duduk di sebuah kereta bersama Cu Pek In dan biarpun hal ini sesungguhnya amat janggal, namun Cu Han Bu yang sudah prihatin melihat hubungan puterinya putus dengan mantunya, dan diam-diam mengharapkan puterinya itu akan dapat menjadi isteri murid barunya yang kini menjadi panglima, pura-pura tidak tahu dan diam saja. Cu Han Bu sendiri bersama adiknya, Cu Seng Bu, duduk di kereta ke dua sedangkan barang-barang mereka ditaruh di dalam kereta ke tiga. Tiga buah kereta ini dikawal oleh tiga losin pasukan pilihan yang sengaja dipilih oleh Tek Ciang dari pasukan keamanan di kota raja.
Ketika rombongan tiba di luar tembok kota raja muncullah empat orang tokoh petualang itu di tempat yang dijanjikan. Tek Ciang keluar sebentar dari kereta untuk menyambut mereka dan empat orang itu lalu diberi kuda-kuda pilihan yang sudah disediakan, kemudian mereka berempat ikut pula dalam pasukan pengawal, diterima sebagai “pengawal-pengawal pribadi” Louw- ciangkun!
Lewat tengah hari, rombongan ini melalui sebuah bukit yang sunyi. Ketika mereka tiba di tanah datar yang diapit hutan, tiba-tiba mereka dihadang oleh beberapa orang yang berdiri di tengah jalan dan mereka mengangkat tangan ke atas memberi isyarat agar rombongan itu berhenti. Ketika para pengawal yang berada di depan mengenal seorang di antara mereka yang berdiri menghadang, mereka terkejut, menghentikan kuda dan memberi isyarat ke belakang agar rombongan berhenti. Seorang perwira pasukan pengawal segera turun dari atas kudanya dan memberi hormat kepada orang yang dikenalnya itu. Orang itu adalah Kao Cin Liong! Biarpun dia kini sudah tidak menjadi panglima lagi, sudah mengundurkan diri dan berpakaian biasa, akan tetapi para perajurit itu mengenalnya dan nama Kao Cin Liong ini amat populer di antara perajurit sebagai seorang panglima yang disegani dan dikagumi. Maka, begitu melihat bahwa yang menghadang dan menyuruh mereka berhenti itu adalah bekas jenderal itu dan beberapa orang tua yang nampak gagah, pasukan pengawal itu segera berhenti.
Ketika kereta terpaksa dihentikan oleh kusirnya karena para pengawal di depan juga menghentikan kuda, Tek Ciang merasa heran dan diapun menjenguk keluar dari jendela. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika dia melihat orang-orang yang menghadang di depan itu. Kao Cin Liong, Suma Hui, Suma Kian Lee dan isterinya, Kao Kok Cu dan isterinya, dan seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Pemuda itu adalah Kwee Cin Koan, murid Kong-thong-pai, kekasih Can Kui Eng.
Celaka, pikirnya. Biarpun dia sendiri memiliki kepandaian tinggi, juga dua orang gurunya she Cu yang lihai berada di situ, bersama Cu Pek In, dan masih dibantu oleh empat orang tokoh yang sakti, namun dia merasa gentar juga menghadapi para penghadang itu, terutama sekali Suma Kian Lee bersama isteri dan Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri. Maka dia lalu menoleh ke belakang, memikirkan jalan lari atau kembali ke kota raja untuk melapor dan mengerahkan balatentara menghadapi mereka itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat jalan mundur sudah dipotong pula. Di situ berkumpul banyak sekali pendekar, agaknya para pendekar yang lolos dari pengepungan di Hutan Cemara!
“Pemberontakan! Serbu mereka....!” Bentak Tek Ciang kepada pasukan pengawalnya. Teriakan ini mengejutkan Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang segera berloncatan keluar. Juga Cu Pek In meloncat keluar mencabut sulingnya, sedangkan empat orang kakek yang menyelinap di antara para pengawal sudah siap-siap pula. Akan tetapi, perwira dan para perajurit pengawal itu sendiri diam saja tidak bergerak!
“Pasukan pengawal, serbu para pemberontak yang menghadang di depan!” Tek Ciang mengulangi perintahnya.
Akan tetapi para perajurit itu tidak bergerak, dan perwiranya tidak memberi aba-aba menyerang, bahkan dia yang sudah turun dari kuda itu lari menghampiri Tek Ciang, lalu berkata. “Ciangkun, mereka itu bukan pemberontak, melainkan Kao-goanswe dan beberapa orang locianpwe yang hendak bicara dengan Louw-ciangkun!”
Dua orang she Cu itu juga sudah menghampiri Tek Ciang dan mendengar pelaporan perwira itu, Cu Han Bu berkata kepada muridnya. “Kalau mereka ada urusan, lebih baik kita temui saja dan dengarkan apa kehendak mereka menghadang perjalanan kita.”
Tek Ciang merasa serba salah dan karena di situ terdapat keluarga Cu, diapun tidak dapat berbuat lain kecuali menurut, akan tetapi lebih dahulu dia membakar hati kedua orang gurunya. “Harap suhu ketahui bahwa kita sudah terkurung dari depan dan belakang. Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah dan mereka tentu akan mengganggu teecu yang baru saja diangkat menjadi panglima.”
“Jangan takut, kalau memang mereka pemberontak, kita hancurkan di sini bersama pasukan pengawal!” kata Cu Han Bu.
“Akan tetapi suhu tidak tahu siapa mereka! Mereka adalah komplotan keluarga yang hendak mencelakakan teecu. Seperti pernah teecu ceritakan kepada ji-wi suhu, isteri teecu dirampas oleh Jenderal Kao Cin Liong dan sekarang dialah yang menghadang di sana bersama bekas isteri teecu, bekas kedua mertua teecu dan juga orang tua jenderal itu. Mereka tentu akan mencelakai teecu.”
Cu Han Bu mengerutkan alisnya. Memang pernah Tek Ciang bercerita bahwa dia pernah menikah akan tetapi isterinya itu dirampas oleh seorang jenderal muda. Isterinya, juga kedua orang mertuanya memilih jenderal itu yang berkedudukan tinggi. Karena Tek Ciang sebagai muridnya yang berbakat itu telah menjadi seorang duda, maka diam-diam mengharapkan agar murid ini dapat berjodoh dengan puterinya yang juga dapat dibilang sudah menjadi janda karena sudah berpisah dari suaminya. Maka, kini mendengar bahwa keluarga bekas isteri dan jenderal yang merampas isteri muridnya itu yang menghadang, tentu saja hatinya sudah diliputi rasa tidak senang.
“Jangan takut, aku akan membantumu!” katanya membesarkan hati dan mereka bertiga, diikuti pula oleh Cu Pek In, segera berjalan menuju ke depan di mana tujuh orang itu berdiri di tengah jalan. Diam-diam, empat orang pembantu Tak Ciang juga sudah mendekati tempat itu, siap untuk membantu kalau diperlukan. Di antara mereka dan Tek Ciang, sudah ada persetujuan bahwa mereka tidak akan sembarangan keluar memperlihatkan diri kalau tidak dimintai bantuan. Hal ini untuk mencegah adanya kecurigaan dari siapapun juga datangnya.
Sejak tadi, Suma Hui hanya memandang kepada Tek Ciang seorang, tidak memperdulikan lain orang yang datang bersama musuh besarnya ini. Dan begitu Tek Ciang dan rombongannya tiba di situ, Suma Hui sudah mencabut keluar sepasang pedangnya dan dengan sikap gagah wanita ini berdiri melintangkan sepasang pedang di depan dada, sambil membentak. “Louw Tek Ciang, kami datang untuk mengadu nyawa denganmu! Bersiaplah!”
Menghadapi Suma Hui, tentu saja Tek Ciang tidak merasa takut sedikitpun juga. Akan tetapi dia merasa gentar menghadapi yang lain-lain, maka dia berusaha menarik sikap angkuh dan membentak. “Keluarga pemberontak! Beranikah engkau menghadang perjalananku? Tahukah kalian bahwa aku adalah seorang pembesar pemerintah, seorang pejabat militer yang sedang dalam perjalanan menuju ke tempat tugas?”
“Louw Tek Ciang, tak perlu banyak cerewet. Engkau tahu bahwa urusan antara kita adalah urusan pribadi, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan pemerintah!” Suma Hui membentak dan kelihatannya wanita ini sudah marah sekali, penuh dendam yang ditahan-tahan sejak bertahun-tahun. Diam-diam keluarga Cu merasa heran sekali. Wanita ini, kalau benar bekas isteri Tek Ciang, telah melakukan perbuatan tidak mengenal malu, lari dari suami untuk menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi wanita itu kini kelihatannya begitu marah dan penuh dendam kepada Tek Ciang, bekas suaminya yang ditinggalkan!
Tek Ciang merasa tersudut, akan tetapi dia tersenyum mengejek dan memandang wajah Suma Hui yang belum pernah menjadi isteri yang sesungguhnya itu. “Hemm, Suma Hui, jangan dikira aku takut melawanmu. Akan tetapi apakah hanya engkau yang akan maju menandingiku, ataukah engkau hendak mengandalkan pengeroyokan orang-orang lain?”
“Keparat Louw Tek Ciang! Fitnah yang kaujatuhkan kepada diriku patut kautebus dengan nyawamu!” bentak Kao Cin Liong sambil mengepal tinjunya dan memandang marah.
“Iblis busuk, akupun sudah terlalu lama menitipkan nyawamu kepadamu, sekarang harus kucabut nyawamu untuk perbuatanmu yang terkutuk terhadap keluarga kami!” Tiba-tiba Suma Kian Lee membentak pula dan sepasang mata pendekar ini mencorong mengeluarkan sinar berkilat.
“Biarkan aku yang akan menghancur-lumatkan kepala iblis jahanam ini!” Kim Hwee Li membanting kakinya dengan marah.
Melihat betapa semua orang memusuhi dan hendak membunuh muridnya, tentu saja Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan juga Cu Pek In menjadi penasaran dan marah. Dua orang kakek Cu sudah melangkah maju dan Cu Han Bu dengan alis berkerut lalu berkata, suaranya lantang berwibawa.
“Bagus! Sudah lama kami mendengar bahwa keluarga Pulau Es adalah orang-orang gagah dan pendekar- pendekar sejati, akan tetapi kiranya hanyalah orang-orang yang mengandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok orang! Sungguh mengherankan sekali!”
“Siapa mau mengeroyok dan siapa mengandalkan jumlah banyak? Cih, tak tahu malu! Lihat saja, siapa yang lebih banyak membawa kawan? Boleh kalian maju satu demi satu, akan kami tandingi satu lawan satu!” Kim Hwee Li sudah membentak dan melangkah maju.
Akan tetapi Suma Kian Lee dapat menduga bahwa dua orang kakek itu tentu bukan orang sembarangan. Dia sudah mengenal kelicikan Tek Ciang dan dia khawatir kalan-kalau Tek Ciang mengelabuhi tokoh sakti untuk diadu domba dengan pihaknya, maka dengan tenang dia meraba lengan isterinya dan memberi isyarat agar isterinya bersabar, kemudian dia sendiri menjura kepada dua orang kakek itu.
“Maaf, saya Suma Kian Lee adalah keturunan Pulau Es. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, saya ingin tahu siapakah ji-wi dan hendaknya ji-wi ketahui bahwa antara kami dan iblis busuk Louw Tek Ciang ini terdapat urusan pribadi yang tidak mungkin dapat dicampuri orang lain.”
Mendengar bahwa pria yang gagah dan bersikap tenang itu adalah Suma Kian Lee, putera Pendekar Super Sakti yang terkenal, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memandang penuh perhatian. Mereka berdua sudah mendengar cerita murid mereka Louw Tek Ciang, bahwa Tek Ciang menjadi murid dan kemudian menjadi mantu pendekar ini, akan tetapi betapa kemudian isterinya itu, dengan persetujuan ayahnya, menyeleweng, bahkan lalu menjadi isteri jenderal Kao Cin Liong. Oleh karena itu, biarpun diam-diam mereka kagum kepada putera Pendekar Super Sakti ini, namun di dalam hati mereka sudah terkandung rasa tidak suka. Karena itu, Cu Han Bu tersenyum pahit.
“Ah, kiranya kami berhadapan dengan pendekar Suma yang terkenal? Maaf, kami berdua hanya orang-orang biasa saja, namaku Cu Han Bu dan ini adikku Cu Seng Bu. Biarpun antara kalian dan Louw Tek Ciang terdapat urusan pribadi, akan tetapi mengingat bahwa Tek Ciang telah menjadi murid kami, maka urusan pribadinya berarti juga urusan kami.”
Suma Kian Lee yang tidak pernah atau jarang sekali merantau, tidak mendengar nama keluarga Cu. Akan tetapi dari sikap mereka dia dapat menduga bahwa dua orang she Cu ini tentu memiliki kepandaian tinggi dan bukan golongan orang jahat. Besar sekali kemungkinannya mereka berdua ini dikelabuhi pula oleh Tek Ciang sehingga mereka sampai mengambil murid seorang jahat macam Tek Ciang.
“Biarkan mereka membantu murid mereka yang jahat, kami tidak takut!” Kim Hwee Li sudah membentak marah, akan tetapi kembali suaminya menyentuh lengan isterinya agar isterinya bersabar.
“Pendapat ji-wi kami hormati, bahwa urusan pribadi murid berarti juga urusan pribadi gurunya. Akan tetapi kami kira para pendekar bijaksana tidak akan ada yang membela muridnya kalau mengetahui bahwa muridnya itu menyeleweng dan jahat, sebaliknya mereka tentu akan menghukum muridnya. Dan kami percaya bahwa ji-wi termasuk pendekar bijaksana, bukan golongan sesat yang saling membantu dalam kejahatan.”
Dua orang kakek Cu itu saling pandang, kemudian mereka menoleh dan memandang kepada murid mereka dengan alis berkerut dan mata penuh selidik. “Tek Ciang, katakanlah, urusan pribadi apakah yang terjadi antara engkau dan keluarga Suma? Mengapa mereka menganggap engkau jahat? Hayo ceritakan semua sejujurnya. Kalau engkau benar, sampai matipun akan kami bela.”
Tek Ciang memandang kepada dua orang gurunya dan jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan perobahan dan dia masih merasa yakin bahwa dua orang she Cu itu tentu akan membantu dan membelanya karena selain dia adalah murid mereka yang mereka andalkan, juga dia tahu bahwa Cu Han Bu mengharapkan dia menjadi suami puterinya yang janda itu.
“Ji-wi suhu, tentu saja mereka menjelek-jelekkan teecu, hal itu tidaklah mengherankan sama sekali. Seperti yang pernah teecu beritahukan kepada suhu berdua, teecu pernah diterima menjadi murid Suma Kian Lee, bahkan diambil mantu, dijodohkan dengan Suma Hui, yaitu wanita itu. Akan tetapi, setelah muncul Jenderal Kao Cin Liong yang kini sudah bukan jenderal lagi, tali perjodohan kami diputuskan dan isteri teecu itu dirampas oleh Kao Cin Liong dengan persetujuan isteri dan mertua teecu sendiri. Agaknya mereka hendak membunuh teecu karena tidak ingin rahasia busuk mereka tersiar dan merusak nama besar keluarga para pendekar Pulau Es!” Dengan senyum mengejek Tek Ciang memandang kepada Suma Hui, Cin Liong dan yang lain-lain, lalu disambungnya. “Coba kalian bantah kebenaran ceritaku tadi. Bukankah Suma Hui telah dijodohkan dengan aku? Bukankah ia kini malah menjadi isteri Kao Cin Liong?” Tek Ciang yang cerdik ini merasa yakin bahwa keluarga Suma itu tidak akan mempunyai alasan lagi untuk membantahnya. Alasan satu-satunya hanyalah menceritakan tentang peristiwa memalukan yang terjadi antara Suma Hui dan dia, dan dia yakin bahwa aib itu sampai mati sekalipun pasti tidak akan diceritakan mereka kepada orang lain.
Kini dua orang kakek Cu itu kembali menghadapi Suma Kian Lee. Dengan hati lega mereka melihat betapa keluarga itu nampak diam saja, seolah-olah menandakan bahwa keterangan murid mereka tadi benar. “Bagaimana sekarang, saudara Suma? Setelah mendengar keterangan murid kami, beranikah kalian menyangkal kebenarannya? Dan kalau keterangannya tadi benar, berarti kalianlah yang jahat, bukan murid kami!” demikian kata Cu Han Bu dengan sikap keren.
Suma Kian Lee sekeluarga saling pandang, juga Kao Kok Cu yang biasanya tenang sekali itupun kini kelihatan merah mukanya. Tiba-tiba Suma Hui melangkah maju dan dengan sikap gagah ia berkata lantang. “Kalian hanya mendengarkan keterangan sepihak. Dengarlah keteranganku akan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Iblis busuk ini, jahanam keji ini, telah....”
“Hui-ji....!” Suma Kian Lee berseru untuk mencegah puterinya.
“Biarlah, ayah. Tidak tahukah ayah bahwa jahanam ini sengaja menceritakan semua itu karena dia mengira bahwa kita tidak akan berani membuka rahasia itu?” Setelah berkata demikian Suma Hui melanjutkan sambil memandang dua orang kakek Cu. “Kalian orang-orang tua yang mudah dikelabuhi jahanam ini, dengarlah baik- baik. Mula-mula jahanam ini mengelabuhi ayah, memikat hati ayah sedemikian rupa sehingga ayah percaya kepadanya, bahkan mengambilnya sebagai murid. Ayah telah mengorbankan semua ilmu dari Pulau Es untuk diberikan kepada jahanam ini. Akan tetapi tahukah kalian apa yang diperbuat jahanam ini? Ayah demikian terpikat dan tertipu sehingga ayah mengikat tali perjodahan antara aku dan dia. Ayah berniat memungut mantu kepadanya! Akan tetapi, aku tidak mencintanya karena aku sudah mencinta Kao Cin Liong. Dan pada suatu malam.... dengan bantuan tokoh sesat Jai-hwa Siauw-ok yang juga menjadi gurunya, jahanam busuk yang menjadi murid kalian ini membiusku dengan asap beracun, kemudian dia.... memperkosa diriku dan sengaja membisikkan nama Kao Cin Liong kepadaku yang berada dalam keadaan setengah sadar.”
“Suhu, jangan percaya obrolan perempuan ini. Seorang isteri yang sudah menyeleweng meninggalkan suami dan menikah dengan pria lain, mana bisa dipercaya omongannya?” Tek Ciang membentak.
“Diam!” Bentak Cu Han Bu kepada muridnya. “Biarkan ia melanjutkan penuturannya, benar maupun tidak!”“Kami sekeluarga terkena tipunya,” Suma Hui melanjutkan. “Sehingga kami sekeluarga memusuhi Kao Cin Liong dan hampir terjadi kesalah-pahaman antara keluarga kami. Aku sendiri bertahun-tahun memusuhi dan mendendam kepada Kao Cin Liong yang merupakan satu- satunya pria yang kucinta. Baru rahasia kebusukannya terbuka ketika kami dinikahkan. Aku melihat tonjolan daging berambut di punggungnya, sama seperti yang terdapat pada punggung orang yang memperkosa diriku! Dan diapun sudah mengaku, akan tetapi dia dapat melarikan diri karena bantuan Jai-hwa Siauw-ok, gurunya....”
“Suhu, jangan percaya! Mereka ini adalah pemberontak-pemberontak, Jenderal Kao Cin Liong sudah berhenti dari jabatannya karena dia bersekongkol pula dengan pemberontak-pemberontak! Keluarga Pulau Es adalah pemberontak-pemberontak! Perajurit pengawal, tangkap mereka!”
“Para perajurit yang gagah, kalian mundurlah!” Tiba-tiba Kao Cin Liong membentak dengan suaralantang . “Kalian sudah mengenal siapa aku, sebaliknya baru sekarang mengenal manusia jahanam ini. Biarkan kami menyelesaikan urusan pribadi, karena tidak ada sangkut-pautnya dengan pemerintah!”
Mendengar bentakan Kao Cin Liong dan melihat bekas jenderal muda itu, para perajurit pengawal menjadi bimbang. Mereka tidak berani menentang bekas jenderal yang mereka kagumi itu.
“Ji-wi locianpwe,” kata Kao Cin Liong kepada dua orang kakek she Cu. “Kami sekalian bukanlah pemberontak....”
“Kalau bukan pemberontak, mereka itu tentu pengkhianat-pengkhianat yang menyebabkan matinya para pendekar yang mengadakan pertemuan di Gunung Hutan Cemara!” Tek Ciang berseru lantang. “Ji-wi suhu, ketahuilah bahwa ratusan orang pendekar dan patriot yang sedang mengadakan pertemuan di Hutan Cemara, telah dikhianati oleh keluarga Pulau Es yang menentang mereka, sehingga mereka terbasmi oleh pasukan pemerintah....”
“Bohong! Ah, manusia keji, penyebar kejahatan dan kebohongan. Tuhan akan menjatuhkan hukuman kepadamu!” Tiba-tiba terdengar bentakan dan majulah seorang pemuda gagah perkasa. Pemuda ini adalah Kwee Cin Koan dan dia segera menghampiri kelompok orang yang sedang bersitegang itu. Tek Ciang mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Kwee Cin Koan, pemuda kekasih Can Kui Eng yang menyerahkan surat rahasia kepada mendiang gadis murid Kun-lun-pai itu. Dia mulai merasa khawatir, akan tetapi semua perbuatannya di Kun-lun-pai tidak diketahui pemuda ini, takut apa?
Kwee Cin Koan memberi homat kepada mereka semua. “Cu-wi locianpwe yang terhormat, saya adalah Kwee Cin Koan, murid Kong-thong-pai yang telah menyelidiki dengan seksama dan tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Cu-locianpwe, saya tahu bahwa ji-wi adalah tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman di barat, dan agaknya, seperti juga Suma-locianpwe, ji-wi telah dikelabuhi oleh iblis Louw Tek Ciang ini. Diapun dapat pula mengelabuhi para tosu Kun-lun-pai sehingga dia diberi pinjam untuk mempelajari kitab Sin-liong Ho-kang. Cu-wi locianpwe, dengarlah ceritaku....”
“Engkau seorang di antara pemberontak yang dapat melarikan diri. Pengawal, tangkap dia!”
“Diam!” Bentak Cu Han Bu dengan marah, lalu memandang kepada para perajurit. “Siapa berani mengganggu dia akan berhadapan dengan aku!” Lalu katanya kepada Kwee Cin Koan. “Orang muda, teruskan ceritamu!”
“Saya berterus terang saja bahwa saya adalah seorang di antara para pendekar dan patriot yang berkumpul di Hutan Cemara. Beberapa pekan yang lalu saya membawa sepucuk surat dari kawan-kawan kami yang ditujukan kepada Gan-ciangkun di kota raja, yang maksudnya mohon petunjuk dan kerja sama dengan panglima itu untuk menentang pemerintah penjajah. Surat itu saya serahkan kepada.... kekasih saya yang bernama Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai dengan pesan agar ia yang membawa surat itu ke kota raja dan menyampaikan kepada Gan-ciangkun setelah ia selesai menjaga Louw Tek Ciang, yang sedang mempelajari kitab Kun-lun-pai itu tanpa meninggalkan kuil.” Pemuda itu berhenti sebentar karena apa yang hendak diceritakan masih amat menyakitkan hatinya. Pemuda ini sudah melakukan penyelidikan ke Kun-lun-pai dan bersama para tosu Kun-lun-pai, akhirnya dia dapat menduga apa yang telah terjadi ketika melihat betapa Louw Tek Ciang membantu pasukan yang menyergap para pendekar. Mudah saja diduga apa yang telah terjadi dan pemuda itu menjadi marah bukan main, mati-matian dan nekat dia hendak menghadang Louw Tek Ciang untuk membalas dendam. Dan kebetulan dia bertemu dan bergabung dengan rombongan keluarga Pulau Es!
“Tidak ada kabar ceritanya kekasih saya itu sampai terjadinya pertemuan di Hutan Cemara dan penyergapan pasukan pemerintah di mana saya melihat jahanam ini ikut membantu pasukan pemerintah. Saya yang ikut menyerah bersama keluarga Pulau Es lalu mengadakan penyelidikan ke Kun-lun-pai dan.... saya mendengar bahwa kekasih saya itu tewas dan diperkosa oleh paman gurunya sendiri bernama Ponw Kui Lok yang kemudian dibunuh oleh Louw Tek Ciang....”
“Apa? Kui Lok kaubunuh....?” Cu Han Bu membentak kaget bukan main mendengar ini.
Wajah Tek Ciang berobah pucat, lalu merah kembali. “Suhu, dia memperkosa gadis murid Kun-lun-pai itu, maka teecu menjadi marah dan kami berkelahi sampai dia terbunuh oleh teecu....”
“Bohong....!” bentak Cin Koan. “Jahanam ini memang pandai berbohong sehingga para tosu Kun-lun-pai sendiri juga tertipu olehnya. Setelah dia muncul dengan pasukan pemerintah, barulah kami semua tahu karena dapat menduga apa yang telah terjadi. Surat kepada Gan-ciangkun itu berada pada Kui Eng, bagaimana bisa terjatuh ke tangan jahanam ini dan dipergunakannya untuk mengkhianati para pendekar? Dia membawa surat itu ke kota raja, menghadap kaisar dan melapor. Setelah penyergapan berhasil, dia mendapat anugerah pangkat. Dialah yang memperkosa kekasih saya, dan dia pula yang membunuhnya, merampas surat rahasia itu. Mungkin perbuatannya itu ketahuan oleh Pouw Kui Lok, maka dibunuhnya orang itu, dan kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang juga dicurinya!”
Wajah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menjadi pucat, dan wajah Cu Pek In merah sekali bahkan kedua matanya menjadi basah.
“Benarkah semua itu? Louw Tek Ciang, benarkah semua yang kudengar itu? Benarkah cerita keluarga Pulau Es dan benarkah cerita pemuda Kong-thong-pai ini?”
“Tidak, orang ini pembohong besar dan harus kubunuh sekarang juga!” Tek Ciang sudah menerjang ke depan, menyerang Kwee Cin Koan dengan hebatnya. Terdengar suara mencicit karena dia telah menyerang dengan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang dahsyat, ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Agaknya dia ingin membunuh pemuda itu dengan sekali pukul. Serangan in dahsyat bukan main dan agaknya betapapun lihainya, Kwee Cin Koan tentu akan roboh kalau saja Cin Liong tidak cepat bergerak ke depan dan menangkis.“Dukkk....!” Cin Liong merasa betapa lengannya tergetar hebat. Dia terkejut. Dia sudah mempergunakan Sin-liong-ciang-hoat yang ampuh untuk menangkis, namun lengannya masih juga tergetar. Memang pada saat itu, kepandaian Tek Ciang sudah mencapai tingkat yang tinggi. Dia pernah digembleng oleh Suma Kian Lee, menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok, kemudian malah digembleng oleh keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, bahkan akhir-akhir ini dia mempelajari ilmu sakti Sin- liong Ho-kang dari Kun-lun-pai.
Melihat majunya Kao Cin Liong, hati Cu Han Bu tidak senang. Muridnya itu, bagaimanapun salahnya, tadi menyerang pemuda yang membeberkan kebusukan, dan majunya Kao Cin Liong dianggapnya sebagai pengeroyokan. “Mengandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok sungguh tak bisa kudiamkan saja!” katanya dan kakek inipun menggerakkan tangannya menyerang ke arah Cin Liong. Angin kebutan lengan bajunya menyambar dahsyat ke depan dan tahulah Cin Liong bahwa kakek yang menyerangnya ini memiliki kepandaian hebat. Maka diapun sudah bersiap- siap. Akan tetapi pada saat itu terdengar angin menyambar pula dari belakangnya.
“Perlahan dulu!” Kiranya Kao Kok Cu sudah pula menggerakkan tangan tunggalnya ke depan. Angin pukulan yang amat kuat menyambar dan bertemu dengan angin pukulan yang dilancarkan Cu Han Bu. Akibatnya, tokoh Lembah Naga Siluman itu merasa betapa hawa pukulannya membalik sehingga dia terkejut bukan main. Dipandangnya laki-laki gagah berlengan buntung itu. Dia tahu betapa lihainya orang berlengan satu, ayah Jenderal Kao Cin Liong ini, akan tetapi dia berkata dengan suara lantang, penuh ejekan.
“Ayah membela anak tanpa melihat kebenaran lagi. Apakah itu gagah namanya?”
Dengan sebelah tangannya, Kao Kok Cu memberi hormat. “Sobat she Cu, perlahan dulu bicara dan pergunakanlah kesadaran dan kewaspadaanmu. Semua cerita tentang muridmu seperti yang kaudengar tadi adalah benar belaka. Perbuatannya atas diri Suma Hui juga benar. Kalau tidak benar, tidak mungkin, tidak mungkin puteraku mengawininya. Muridmu adalah seorang yang berhati busuk dan licik, banyak orang menjadi korban tipuannya. Apakah engkau juga membiarkan dirimu tertipu dan terbawa-bawa oleh kejahatan dan kebusukannya?”
Wajah Cu Han Bu berobah merah sekali. Memang dia sudah merasa bimbang ragu atas diri muridnya setelah mendengar cerita-cerita tadi, akan tetapi kekecewaan membuat dia masih berusaha untuk menghilangkan keraguan itu dan membela muridnya. Kini dia membalikkan tubuh, melotot memandang muridnya.
“Louw Tek Ciang, demi Tuhan, mengakulah sejujurnya! Benarkah semua cerita yang kudengar tadi?”
Tek Ciang menjadi pucat mukanya, sebentar berobah merah lalu pucat lagi. Dia merasa tersudut. Walaupun dia tidak takut karena mengandalkan pasukannya dan empat orang tokoh sakti yang berada di dalam pasukan itu, namun tentu saja dia amat mengharapkan bantuan dua orang gurunya ini untuk menghadapi keluarga Pulau Es yang demikian tangguhnya, apalagi pihak lawan dibantu oleh Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya. Selagi Tek Ciang kebingungan dan belum menjawab pertanyaan Cu Han Bu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan di antara para perajurit pengawal terjadilah perkelahian hebat. Yang berkelahi adalah Kao Cin Liong yang dikeroyok oleh empat orang pembantu Tek Ciang yang menyelundup di antara para pasukan dan menutupi pakaian mereka dengan pakaian seragam pasukan. Kiranya tadi Cin Liong mempergunakan kesempatan untuk mendekati para perwira pasukan dan minta kepada mereka agar jangan bergerak dan jangan mencampuri urusan pribadinya. Dalam kesempatan itulah sang perwira yang masih kagum dan hormat terhadap bekas jenderal muda ini, membisikkan adanya empat orang aneh yang diselundupkan pembesar baru itu di dalam pasukan. Kao Cin Liong merasa curiga lalu mencarinya.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati jenderal muda ini ketika dia melihat empat orang itu. Tentu saja dia mengenal mereka, bekas komplotan pemberontak yang pernah digagalkan pasukan pemerintah. Maka sambil berseru keras diapun maju menerjang dan disambut oleh empat orang itu. Karena empat orang itu memang lihai sekali, dikeroyok empat Cin Liong kewalahan dan mundur terus mendekati kelompok keluarga Pulau Es. Dia meloncat ke depan Cu Han Bu dan berkata. “Lihat, locianpwe. Siapa yang bersembunyi di dalam pasukan pengawal itu? Mereka adalah Thai-hong Lama, Pek-bin Tok-ong, Siwananda, dan Tai-lu-cin, empat orang yang pernah bersekongkol dengan pemberontak! Jahanam Louw Tek Ciang ini telah bersekongkol dengan pemberontak-pemberontak yang terdiri dari golongan sesat!”
Tentu saja semua orang terkejut, akan tetapi yang lebih kaget dan marah adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Bagaimanapun juga, mereka adalah pendekar-pendekar yang tentu saja tidak suka kepada golongan hitam dan kini murid mereka, bahkan yang diharapkan menjadi suami Cu Pek In, telah bersekongkol dengan tokoh-tokoh jahat itu! Kenyataan ini melenyapkan keraguan mereka bahwa memang mereka telah tertipu, mereka telah keliru mengambil murid!
“Pesukan pengawal, maju dan serbu mereka ini....!” Tek Ciang yang sudah terpojok itu memberi aba-aba dengan keras. Akan tetapi, perwira pemimpin pasukan itu diam saja seperti patung dan para perajurit yang melihat komandan mereka diam saja, juga tidak ada yang berani bergerak. Memang hati mereka sudah condong memihak Kao Cin Liong, maka diamnya komandan mereka itu membuat mereka lega. Mereka tidak suka menentang bekas jenderal itu, segan dan takut.
“Louw Tek Ciang, berlututlah engkau di depan kami dan sebagai murid kami, mengakulah terus terang!” Cu Han Bu membentak.
Akan tetapi Tek Ciang yang sudah melihat betapa keadaannya terhimpit dan hanya mengandalkan empat orang pembantunya yang kini sudah berdiri di situ dengan sikap siap berkelahi, tentu saja tidak sudi untuk berlutut dan menyerah begitu saja.
“Ji-wi suhu, kalau tidak mau membantuku, persetan dengan kalian!”
“Louw Tek Ciang, engkau sungguh jahat!” Terdengar teriakan Cu Pek In dengan suara mengandung isak, dan wanita ini tiba-tiba saja menyerang Tek Ciang dari belakang, menggunakan sulingnya menotok ke arah tengkuk. Akan tetapi, biarpun Pek In merupakan puteri tunggal Cu Han Bu, dalam hal ilmu kepandaian ia masih jauh di bawah tingkat Tek Ciang. Serangan berupa totokan maut dengan suling ke arah tengkuk itu dihadapi Tek Ciang dengan tenang saja. Dia memutar tubuh sambil menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari terpentang. Terdengar suara bercuitan dan tiba-tiba saja tubuh Cu Pek In terpelanting dan wanita ini tewas seketika karena ia telah menjadi korban serangan Kiam-ci yang amat hebat, dilakukan dengan kedua tangan dari jarak dekat sekali. Semua orang terkejut dan tidak dapat mencegah karena peristiwa ini begitu tiba-tiba dan tidak terduga-duga.
Sepasang mata Cu Han Bu terbelalak dan wajahnya pucat sekali memandang tubuh puterinya yang menggeletak tak bernyawa, dari lehernya mengucur darah, juga dari dadanya!
“Kau.... kau.... keparat.... kau membunuh puteriku?” Cu Han Bu mengeluarkan teriakan marah lalu menerjang dan menyerang muridnya itu. Cu Seng Bu yang juga sudah marah sekali sejak tadi, melihat kakaknya maju menyerang bekas murid itu, diapun lalu menyerang dengan sengit. Cu Han Bu terkenal dengan julukan Kim-kong-sian dan dia mempergunakan senjatanya yang berupa sabuk emas. Sabuk itu berubah menjadi segulungan sinar emas yang lihai sekali dan karena inilah dia dijuluki Dewa Sinar Emas. Sedangkan adiknya, Cu Seng Bu dijuluki Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) karena memiliki gin-kang yang hebat sehingga ketika dia menyerang maju, tubuhnya lenyap, hanya nampak berkelebatnya bayangannya saja.Akan tetapi, Tek Ciang sama sekali tidak gentar menghadapi serangan kedua orang gurunya ini. Dia mengelak cepat dari sambaran sabuk emas di tangan Cu Han Bu dan pedang lemas di tangan Cu Seng Bu. Bagaimanapun juga, dia sudah mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu. Dan ketika dia membalas, dia mempergunakan ilmu- ilmu pukulan dari Pulau Es yang sama sekali tidak dikenal oleh kakak beradik she Cu itu sehingga mereka berdua terdesak! Karena maklum betapa lihainya dua orang lawan ini, Tek Ciang juga sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan kanan itu bergerak cepat dan lihai sekali karena dia telah menggunakan ilmu silat pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dipelajarinya dahulu dari Suma Kian Lee. Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) ini seharusnya dimainkan dengan sepasang pedang. Akan tetapi karena Tek Ciang hanya memegang sebatang pedang, dia menggunakan tangan kirinya untuk mengimbangi dengan Ilmu Kiam-ci, yaitu Jari Pedang dan tangan kirinya itupun tidak kalah lihainya daripada tangan kanan yang memegang pedang!
Tek Ciang memang amat pandai mengombinasikan ilmu- ilmu yang pernah dipelajarinya dari bermacam aliran. Maka, karena dia sudah mengenal gerakan kedua orang she Cu yang mengeroyoknya sebaliknya dua orang itu tidak mengenal gerakan-gerakannya, biarpun dikeroyok dua, Tek Ciang sebaliknya malah mendesak bekas guru-gurunya itu.
Ketika Cin Liong dan Suma Hui hendak maju, Kao Kok Cu memberi isyarat kepada putera dan mantunya itu untuk menahan diri. Dan Cin Liong mengerti akan isyarat ayahnya. Tentu ayahnya mengingat bahwa Tek Ciang telah diangkat sebagai seorang pejabat tinggi oleh kaisar dan kini ada banyak saksi, yaitu pasukan pengawal yang berada di situ. Biarkanlah pejabat baru itu kini berkelahi, melawan dua orang bekas gurunya sehingga para saksi itu akan melihat sendiri sehingga kelak keluarga Pulau Es tidak akan disalahkan sebagai pemberontak-pemberontak yang membunuh pejabat pemerintah!
Akan tetapi, Suma Hui yang menaruh dendam yang amat besar terhadap Tek Ciang, orang yang nyaris membuat hidupnya berantakan dan rusak, memandang dengan sinar mata berapi-api. Hatinya menjadi semakin panas melihat betapa Tek Ciang menghadapi kedua orang lawannya dengan menggunakan ilmu pedang dari Pulau Es.
Serang-menyerang terjadi dengan amat serunya. Melihat betapa dua orang kakek Cu itu semakin terdesak, bahkan Cu Seng Bu terluka pangkal lengan kirinya, robek bajunya dan berdarah karena sambaran Kiam-ci, hati Suma Hui menjadi semakin marah. Dua orang kakek itu biarpun lihai tidak mengenal gerakan pedang Tek Ciang. Akan tetapi ia tentu saja mengenal baik Siang-mo Kiam-hoat itu dan bahkan ia dapat melihat kelemahan-kelemahannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke udara, dan ketika tubuhnya tiba di atas Tek Ciang, ia membalikkan tubuh meluncur ke bawah dan pedangnya menyambar ke arah ubun-ubun kepala Tek Ciang! Pada saat itu, Tek Ciang sedang menghadapi serangan lawan dan memang ubun-ubun kepalanya merupakan satu-satunya daerah yang terbuka. Terkejutlah Tek Ciang. Kalau dia berusaha menangkis atau mengelak dari serangan di atas itu, tentu dia akan terancam oleh senjata dua orang she Cu. Dia teringat akan ilmu barunya dan tiba-tiba saja mulutnya mengeluarkan suara melengking yang amat hebat. Menggetarkan jantung semua orang yang hadir. Bahkan Suma Hui yang sedang menyerang itu terkejut dan serangannya menyeleweng, tidak mengenai ubun-ubun kepala melainkan mengenai pundak, itupun hanya menyerempet saja sehingga merobek baju dan melukai kulit.
Akan tetapi lengkingan suara yang mengandung Ilmu Sin-liong Ho-kang itu memang dahsyat sekali, demikian hebatnya terasa oleh dua orang kakek Cu sehingga mereka tertegun dan tubuh mereka seperti dimasuki getaran kuat yang membuat mereka lumpuh selama beberapa detik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Ciang sebaik- baiknya. Dia telah dapat miringkan tubuh sehingga pedang Suma Hui hanya melukai pundaknya, dan melihat dua orang kakek itu masih tertegun, pedang di tangan kanan dan jari-jari tangan kirinya menyambar seperti kilat.
Dua orang kakek Cu mengeluarkan teriakan keras. Pedang di tangan kanan Tek Ciang telah menembus perut Cu Han Bu, sedangkan Cu Seng Bu terkena pukulan Kiam- ci tepat pada dadanya. Keduanya merupakan serangan mematikan dan kalau bukan dua orang kakek Cu itu yang terkena, tentu roboh seketika. Akan tetapi dua orang kakek itu hanya berteriak dan dengan mata melotot keduanya menubruk ke depan, dari kanan kiri Tek Ciang. Hal ini sama sekali tidak terduga oleh Tek Ciang dan dia tidak memperoleh kesempatan untuk mengelak sama sekali. Tahu-tahu dua pasang tangan dengan jari-jari yang mencengkeram telah menerkam kepalanya dan dua puluh buah jari tangan menancap ke dalam kepala! Tek Ciang mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuhnya terguling, membawa dua tubuh lain itu dan tubuhnya berkelojotan, dengan kaki dan tangan meregang. Akan tetapi tubuh dua orang kakek itu tidak bergerak, kaku dan kedua tangan mereka masih mencengkeram kepala, dua pasang mata itu masih melotot mengerikan! Akhirnya tubuh Tek Ciang pun diam tak bergerak lagi setelah nyawanya melayang bersama dua orang kakek yang masih terus mencengkeram kepalanya itu.
Suma Hui yang berdiri dekat suaminya berbisik. “Puas sudah hatiku....!”
Kao Cin Liong menarik napas panjang. Dia tahu akan perasaan hati isterinya. Dan dia merasa girang bahwa isterinya tadi hanya membantu saja robohnya Tek Ciang, tidak langsung menjadi pembunuh Tek Ciang. Betapapun juga, harus diakui bahwa robohnya Tek Ciang diawali dengan serangan Suma Hui tadi.
Melihat Tek Ciang roboh, empat orang pembantunya itu menjadi gentar. Mereka tadi sudah melihat betapa pasukan itu tidak taat lagi kepada Tek Ciang dan tidak berani melawan bekas Jenderal Kao Cin Liong. Kini, melihat Tek Ciang tewas, merekapun merasa tiada gunanya melawan lagi dan mereka saling pandang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Cin Liong sudah menghadang mereka.
“Perlahan dulu, sobat. Kalian tidak boleh pergi dan harus menjadi tawanan pasukan!”
Empat orang itu terkejut dan maklum bahwa mereka takkan mungkin lolos kalau tidak menggunakan kekerasan, maka merekapun segera mencabut senjata masing-masing dan menerjang bekas jenderal itu. Akan tetapi Suma Hui, Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng sudah maju dan menghadapi keluarga yang sakti itu, empat orang tokoh sesat itu tidak dapat berbuat banyak. Dalam waktu tiga puluh jurus lebih saja, mereka berempat sudah dapat dirobohkan, dibelenggu oleh pasukan dan dibawa kembali ke kota raja. Atas permintaan Kao Cin Liong, komandan pasukan melapor kepada atasannya yang melanjutkan kepada kaisar bahwa Panglima Louw Tek Ciang di tengah jalan bertengkar dengan dua orang gurunya dan dalam perkelahian itu dia tewas, demikian pula kedua orang gurunya. Dan ditambahkan pula bahwa ternyata pembesar baru itu telah bersekongkol dengan empat orang pemberontak yang dapat ditawan.
***
Suma Ceng Liong bersama Kam Bi Eng pergi ke puncak Bukit Nelayan, menghadap Kam Hong dan Bu Ci Sian. Dengan terus terang dan berani mereka berdua menghadap suami isteri ini dan menceritakan segala hal tentang diri mereka, tentang pertemuan di Hutan Cemara, tentang tewasnya Sim Hong Bu dan juga tentang cinta kasih antara mereka dan tentang pertemuan mereka dengan Sim Houw.
Mula-mula Kam Hong dan isterinya terkejut sekali. Terutama sekali Kam Hong mengerutkan alisnya dan memandang marah. Apalagi setelah kini Sim Hong Bu gugur, dia marah harus memegang teguh perjanjiannya dengan sahabat itu.
“Bi Eng, bagaimana engkau dapat mengharapkan aku melanggar janji terhadap seorang sahabat yang telah meninggal dunia?” katanya dengan nada lebih banyak menegur daripada bertanya.
“Ayah, suhu Sim Hong Bu sendiri yang telah menyetujui seperti yang kami dengar dari Sim Houw suheng.”
“Sudahlah, aku baru mau mempertimbangkannya kalau sudah mendengar sendiri penuturan Sim Houw!”
Biarpun dengan hati yang tidak enak, Suma Ceng Liong tinggal di rumah kekasihnya itu. Sikap tuan dan nyonya rumah yang pendiam membuat dia merasa canggung sekali, akan tetapi demi cintanya terhadap Bi Eng, diapun mempertahankan diri. Apalagi sikap Bi Eng amat manis dan gadis ini selalu membesarkan hatinya.
Akhirnya, saat yang dinanti-nantikanpun tiba. Sim Houw datang berkunjung. Pemuda ini menjatuhkan diri berlutut di depan guru atau juga calon mertuanya dan tak dapat menahan cucuran air matanya. Kam Hong dan isterinya merasa terharu sekali.
“Kami telah mendengar tentang kematian ayahmu, Sim Houw. Akan tetapi, usaplah air matamu. Ayahmu tewas sebagai seorang pendekar dan patriot sejati yang gugur dalam perjuangan yang patut. Tak perlu ditangisi dan bukan sikap seorang pendekar kalau mudah saja mencucurkan air matanya.”
“Maaf, suhu, maafkan kelemahan teecu,” jawab Sim Houw.
Seperti yang sudah direncanakan dengan isterinya, apalagi di situ tidak terdapat Bi Eng dan Ceng Liong yang sedang berburu di hutan, Kam Hong memancing. “Sim Houw, setelah ayahmu meninggal dunia, kami merasa perlu untuk mempercepat pelaksanaan pernikahanmu dengan Bi Eng....”
“Tidak, suhu....! Maafkan teecu, suhu, akan tetapi.... ikatan perjodohan antara teecu dan sumoi itu tidak mungkin dilanjutkan....”
Kam Hong pura-pura kaget dan marah. “Sim Houw! Omongan apa yang kaukeluarkan ini? Apa maksudmu?”
“Suhu, sebelum meninggal, ayah berpesan kepada teecu agar teecu menghadap suhu dan menyatakan bahwa ikatan perjodohan itu agar diputuskan.”
Kam Hong mengangguk-angguk. Kalau begitu puterinya tidak berbohong. “Apa alasannya mendiang ayahmu berpesan seaneh itu?”
“Sederhana saja alasannya, suhu, yaitu bahwa sumoi tidak berjodoh dengan teecu, maksud teecu.... eh, sumoi dan teecu tidak saling mencinta....”
Inilah keterangan yang dikehendaki Kam Hong dan isterinya. “Sim Houw, katakan sekali lagi, apakah benar-benar engkau tidak mencinta Bi Eng?” tanya Bu Ci Sian.
Sim Houw merasa bingung dan takut menghadapi pertanyaan ini. Dia harus mengaku sejujurnya bahwa dia kagum sekali dan suka kepada Bi Eng. Siapa orangnya tidak akan suka dan kagum kepada gadis yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat manis itu? Akan tetapi dia sendiripun tidak tahu apakah dia mencinta Bi Eng, suatu perasaan yang belum pernah dirasakannya. Yang jelas, mendengar bahwa Bi Eng mencinta pemuda lain, dia tidak merasa duka atau marah.
“Subo, maafkanlah teecu. Tentu saja antara teecu dan sumoi terdapat rasa sayang sebagai saudara seperguruan, akan tetapi tentang cinta.... sumoi telah mencinta seorang pemuda lain. Bagaimana teecu dan ia dapat saling mencinta? Dan menurut ayah, jodoh tanpa cinta hanya akan berakhir dengan duka nestapa.”
Mendengar ucapan pemuda ini, wajah Bu Ci Sian berobah pucat. Dahulu, dahulu sekali, ketika Sim Hong Bu, ayah pemuda ini, masih menjadi seorang pemuda, Hong Bu pernah mati-matian jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia tidak membalas cintanya dan ia mencinta Kam Hong. Kemudian Sim Hong Bu menikah dengan Cu Pek In. Iapun menarik napas panjang dan tenggelam dalam kenangan.
Kam Hong merasa lega sekali mendengar ucapan muridnya ini. Jadi benar semua keterangan puterinya. Puterinya saling mencinta dengan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pular Es itu. Dan putusnya tali perjodohan puterinya dengan Sim Houw inipun sudah sah, karena disetujui oleh Sim Hong Bu dan oleh Sim Houw sendiri.
“Baiklah, kalau begitu kami menjadi yakin, Sim Houw. Ketahuilah bahwa sebetulnya kami telah mendengar kesemuanya itu dari Bi Eng.”
“Ah, jadi sumoi sudah pulang dan menceritakan semua kepada suhu dan subo? Dan pemuda itu.... eh, maksud teecu, saudara Suma Ceng Liong....”
“Diapun sudah berada di sini. Mereka berdua sudah menceritakan semuanya kepada kami, akan tetapi kami masih merasa penasaran dan ingin mendengar dari engkau sendiri, Sim Houw.”
Wajah pemuda itu berseri gembira. “Ah, kalau begitu hati teecu menjadi lega dan gembira. Mereka itu betul-betul saling mencinta dan pemuda itu amat gagah dan jujur, menjadi calon jodoh sumoi yang amat baik.”
Sim Houw tidak lama berada di puncak Bukit Nelayan. Setelah bertemu dan beramah tamah dengan Bi Eng dan Ceng Liong dan makan bersama dari hidangan hasil buruan sepasang muda mudi itu, diapun berpamit dan mendapat doa restu dari suhu dan subonya yang merasa terharu dan kasihan, juga kagum terhadap murid itu.
Perjodohan antara Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong tidak mengalami banyak kesulitan. Suma Kian Bu dan Teng Siang In segera datang berkunjung ke puncak Bukit Nelayan setelah mendengar permintaan Ceng Liong untuk mengajukan pinangan dan diterima dengan senang hati dan gembira oleh Kam Hong dan isterinya.
Beberapa bulan kemudian, pernikahan antara kedua orang muda itupun dirayakan dengan amat meriah, dihadiri oleh orang-orang gagah dari segenap penjuru dan di dalam perayaan ini berkumpullah semua keluarga para pendekar Pulau Es dengan lengkap. Kam Hong dan isterinya merasa bangga dan berbahagia sekali dapat berbesan dengan keluarga Pulau Es apalagi setelah mereka mendengar penuturan mantu mereka tentang riwayatnya sampai dia menjadi murid Hek-i Mo-ong dan diajak menyerbu ke Bukit Nelayan. Mereka yang tadinya merasa tidak senang melihat pemuda itu menjadi murid Hek-i Mo-ong, kini berbalik menjadi kagum.
Demikianlah, cerita ini diakhiri dengan kebahagiaan yang dinikmati oleh keluarga Pulau Es. Suma Hui telah menjadi isteri Kao Cin Liong dan hidup bahagia. Suma Ceng Liong hidup berbahagia pula bersama isterinya, Kam Bi Eng. Dan biarpun Suma Ciang Bun masih merasa kehilangan Gangga, akan tetapi dia semakin matang dan semakin dapat mengenal diri sendiri, perlahan-lahan dia membiarkan dirinya berobah melalui kewaspadaan.
Sebagai akhir tulisan dalam cerita ini, pengarang mengharapkan mudah-mudahan di samping menghibur dan menemani Anda di kala senggang, juga cerita ini mengandung manfaat bagi para pembacanya. Sampai jumpa kembali di lain kisah!
T A M A T