Tanah Warisan -buku 5 | SH Mintardja

Buku 5

Ki Tambi dan Bramanti yang sedang berada di dalam kandang terkejut mendengarnya. Tiba-tiba saja keduanya meloncat berdiri.

“Siapa mereka?” desis Ki Tambi.

Bramanti termenung sejenak. Namun kemudian jelas baginya, suara yang paling dikenalnya adalah suara Temunggul.

“Mereka benar-benar datang,” desis Bramanti.

“Begitu cepat,” sahut Ki Tambi.

Bramanti menjadi bingung. Sebenarnya bingung. Karena itu maka dengan suara gemetar ia bertanya, “Apakah yang sebaiknya aku lakukan paman?”

“Terserah kepadamu. Tetapi kau adalah laki-laki. Kau sudah tahu apakah yang sebaiknya dilakukan oleh seorang laki-laki.”

Jawaban Ki Tambi itu menjadi semakin membuat Bramanti semakin bingung sehingga karena itu, maka justru ia berdiri saja mematung.

Ketika suara itu menjadi semakin riuh, maka Ki Tambi lah yang pertama-tama keluar dari dalam kandang. Langkahnya tertegun ketika ia mendengar seseorang berkata, “Itulah dia. Itulah.”

Namun segera disahut oleh yang lain. “Bukan, bukan anak itu.”

Dan yang lain lagi, “Ki Tambi. He, kau berada disini Ki Tambi.”

Ki Tambi tidak menyahut. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Sementara itu Temunggul berjalan tergesa-gesa mendapatkannya, “Apakah yang paman lakukan disini? Kami mencari Bramanti. Apakah ia ada dirumah?”

Tetapi Ki Tambi tidak menyahut. Ia berjalan terus ke arah Ki Demang yang berdiri di depan regol.

“Paman,” panggil Temunggul. “Kenapa paman diam saja.”

“Aku akan berbicara dengan orang-orang tua,” sahut Ki Tambi.

Temunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut. Meskipun demikian ia mengikuti langkah Ki Tambi mendekati Ki Demang.

“Ki Demang,” berkata Ki Tambi. “Kenapa kau bawa anak-anak ini kemari? Apakah dengan demikian kau sudah berlaku bijaksana?”

“Anak itu perlu peringatan,” yang menyahut adalah Ki Jagabaya. “Kalau dibiarkan maka ia akan membuat malapetaka bagi Kademangan ini.”

“Apakah yang telah dilakukannya?”

“Sebaiknya kau tidak usah ikut campur Ki Tambi. Selama ini kami selalu menghormati kau. Tetapi selanjutnya kau terlalu banyak mencampuri persoalan Kademangan ini,” sahut Ki Demang.

“Aku adalah penduduk Kademangan ini Ki Demang. Aku berhak berbuat sesuatu yang aku anggap bermanfaat bagi Kademangan ini. Karena itu, maka aku pun berkepentingan dengan persoalan kalian, karena itu juga persoalanku.”

“Minggir Ki Tambi,” berkata Ki Jagabaya. “Kau akan mendengar nanti. Persoalan apakah yang tengah kami selesaikan sekarang ini.”

“Tetapi adalah tidak pantas sama sekali, bahwa kalian orang-orang tua, telah membawa anak-anak dalam gerombolan serupa ini di Kademangan kita sendiri.”

“Bukan maksudku,” jawab Ki Demang. “Aku justru ingin mengawasi, apakah yang akan dilakukan oleh anak-anak muda ini. Justru karena aku tidak menghendaki bahwa persoalan ini akan menjadi semakin parah.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah yang telah terjadi sehingga kau perlu mengawasi anak-anak itu langsung?”

“Bramanti sudah mulai.”

“Apa yang dilakukannya?”

“Bertanyalah kepada Temunggul.”

Ki Tambi berpaling. Dan sebelum ditanya Temunggul telah berkata, “Lihat paman, anak itu menjadi luka parah ketika tiba-tiba saja Bramanti melemparkannya ke tebing di samping gerojogan.”

“He,” Ki Tambi terperanjat.

“Agaknya Bramanti telah mulai dengan pembalasan dendam yang sebenarnya. Ia menganggap ayah anak itu ikut membunuh ayahnya kira-kira sepuluh tahun yang lalu.”

“Pikiran gila,” desis Ki Tambi. “Apakah kau kira Bramanti sudah menjadi gila? Dengan demikian ia pasti menyadari bahwa akibat perbuatannya itu akan berekor panjang. Seandainya ia benar-benar ingin membalas dendam, maka aku kira bukan begitu caranya.”

“Mungkin ia mengharap anak itu mati seketika, atau setidak-tidaknya terluka parah sehingga tidak dapat pergi dari tempatnya sampai saatnya ia mati, karena gerojogan itu jarang sekali dijamah orang.”

“Sebodoh-bodoh Bramanti, ia tidak akan membuat perhitungan begitu dungu,” kemudian kepada Ki Demang ia berkata, “Nah, apakah kau percaya akan hal itu Ki Demang?”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

Yang menyahut adalah Temunggul. “Paman, adakah paman sudah bertemu dengan Bramanti? Nah, aku kira Bramanti telah meracuni paman dengan keterangan-keterangan palsu. Maaf paman, kedatangan kami kemari karena kami ingin bertemu dengan Bramanti.”

Ki Tambi untuk sejenak berdiri diri. Tidak bijaksana baginya apabila ia menahan anak-anak muda itu. Dengan demikian, maka ia sendiri pasti akan dilawannya. Apabila demikian, maka harga dirinya akan turun dimata anak-anak itu.

Sementara itu, ibu Bramanti terkejut pula mendengar hiruk pikuk di halaman. Sejenak ia mengintip dari balik pintu. Dilihatnya Ki Tambi sedang berbicara dengan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Temunggul. Namun terasa hatinya bergetar. Ia menjadi cemas, bahwa agaknya telah terjadi sesuatu dengan anaknya.

Apalagi ketika ia mendengar Temunggul berkata keras memanggil nama anaknya.

“Bramanti, dimana kau Bramanti?”

Perempuan tua itu menjadi gemetar. Sehingga tubuhnya menjadi lemah. Ketika ia mencoba keluar, maka langkahnya pun menjadi terhuyung-huyung. Dengan suara tersendat-sendat ia bertanya dari muka pintu rumahnya, “Kenapa kalian mencari Bramanti?”

Orang-orang yang berada di halaman itu berpaling. Ketika dilihatnya perempuan tua itu, beberapa orang segera memalingkan wajahnya.

Yang menjawab adalah Ki Jagabaya. “Kami memerlukan anakmu Nyi Pruwita. Kami ingin berbicara sebentar.”

“Kenapa dengan anakku.”

“Jangan bingung. Kami hanya ingin sekadar menemuinya.”

“Ya, tetapi kenapa dengan anakku. Apakah ia berbuat salah?”

“Tentu,” jawab Ki Jagabaya. “Karena itu jangan ikut campur. Anakmu sudah cukup dewasa untuk bertanggungjawab.”

“Tetapi ia anakku. Satu-satunya anakku yang ada.

“Jangan ikut campur,” desis Ki Demang. “Ki Jagabaya sudah memperingatkan. Kau tidak terlibat dalam persoalan anakmu.”

“Tapi ia anakku.”

“Diam,” bentak Ki Demang.

Perempuan itu menjadi semakin gemetar. Kakinya yang lemah menjadi semakin lemah. Tetapi ia mencoba berjalan melintasi pendapa. Bramanti adalah satu-satunya anaknya yang ada disampingnya. Sedang anaknya yang lain, menurut Ki Tambi telah terjerumus ke dalam dunia yang hitam pekat.

“Sebaiknya kau pergi. Pergi,” berkata Ki Jagabaya pula.

Tetapi Nyai Pruwita itu tidak pergi. Ia menyadari, bahwa kebencian orang-orang Kademangannya kepada suaminya sampai saat ini belum padam. Dan ia menyadari bahwa kebencian itu sebagian telah dilemparkannya kepada anaknya. Tetapi ia tidak pergi. Ia tidak akan membiarkan anaknya diperlakukan tidak baik.

Ki Tambi yang melihat perempuan tua itu berjalan tertatih-tatih, segera mendekatinya. Sambil membantunya ia berkata, “Sudahlah, sebaiknya kau masuk saja Nyai.”

“Tetapi anakku.”

Perlahan-lahan Ki Tambi berbisik, “Serahkan kepadaku. Anakmu pasti dapat mengatasi kesulitan yang akan menimpanya. Jangan cemas. Aku ada di halaman ini. Dan kau lihat Panjang ada bersama dengan mereka, sehingga kalau perlu aku akan minta bantuannya.”

Perempuan tua itu mengerutkan keningnya sejenak.

“Kalau kau berada di sini Nyai, maka keputusan Bramanti untuk mengambil sikap akan sangat terpengaruh. Karena itu, masuklah. Percayalah kepadaku, dan berdoalah.”

Perempuan tua itu memandang wajah Ki Tambi dengan penuh pengharapan. “Apakah kau dapat aku percaya?”

“Aku akan mencoba memenuhi kepercayaanmu.”

“Kau berjanji?”

“Aku janji.”

Perempuan tua itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku serahkan keselamatan anakku kepadamu.”

“Ya. Semoga.”

Maka perempuan itu pun kemudian dibimbing oleh Ki Tambi masuk kembali ke dalam pringgitan. Perlahan-lahan Ki Tambi menutup pintu sambil berdesis, “Nyai, anakkmu ternyata bukan sembarang orang. Percayalah.”

Perempuan itu tidak sempat menjawab, karena pintupun segera tertutup rapat.

Sementara itu, Bramanti masih berada di dalam kandang. Ia memang sengaja tidak beranjak dari tempatnya sampai ada seseorang menjenguk dan memaksanya keluar. Namun ketika terdengar orang-orang di halaman itu membentak-bentak ibunya, terasa hatinya tergetar. Ia tidak akan kehilangan pengamatan diri apabila orang-orang itu membentak-bentaknya bahkan memukulnya. Tetapi orang-orang itu ternyata membentak-bentak ibunya yang sudah tua. Karena itu, terasa darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir.

Namun ketika bentakan-bentakan itu terdiam, Bramanti mencoba mengatur perasaannya kembali. Bahkan pertanyaan itu timbul lagi di dalam dadanya, “Apakah yang akan kulakukan?”

Dalam pada itu, ia masih mendengar Temunggul memanggilnya. “Bramanti, dimana kau bersembunyi?” Seluruh halaman rumahmu sudah diawasi. Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi kali ini.”

Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Nafasnya serasa tertahan di kerongkongan ketika ia melihat dari sela-sela pintu kandang yang tidak merapat itu, dua orang berjalan ke kebun rumahnya.

“Kalau kau tidak keluar Bramanti,” suara Temunggul terdengar lagi. “Aku akan memasuki rumahmu dan mencari kau di dalamnya. Karena itu, supaya ibumu tidak menjadi semakin ketakutan, sebaiknya kau keluar.”

Kata-kata itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Kalau orang-orang itu memasuki rumahnya, maka ibunya memang akan menjadi semakin ketakutan. Karena itu, maka ia berbimbang sejenak, apakah tidak sebaiknya ia menampakkan diri. Tetapi sesudah itu lalu bagaimana?”

Ki Tambi kini telah berada di halaman rumah itu lagi. Sekilas ia memandang wajah Panjang. Ia melihat wajah itu pun menjadi tegang. Namun ketika mereka beradu pandang Panjang menggelengkan kepalanya.

“Apakah maksud anak itu mengatakan bahwa ia tidak ikut campur?” bertanya Ki Tambi di dalam hatinya.

Namun ia masih mengharap, satu-satunya kemungkinan bagi Bramanti adalah berbuat jantan. Kalau ia ternyata seperti yang diduganya, maka mata orang Kademangan itu pasti akan segera terbuka, dengan siapa mereka berhadapan.

“Tetapi kalau tidak?” Ki Tambi menjadi ragu-ragu. “Kalau Bramanti itu sebenarnya Bramanti seperti yang tampak sehari-hari?”

Ki Tambi mulai dirayapi oleh kecemasan di dalam hatinya. Namun kemudian ia berkata di dalam hatinya. “Aku sudah berjanji untuk melindunginya. Apapun yang terjadi. Akan sia-siakah perjalananku selama ini, kalau aku tidak berhasil melepaskan Bramanti dari tangan mereka. Aku yakin bahwa tidak semua orang akan berpihak kepada Temunggul. Setidak-tidaknya Panjang. Bahkan mungkin aku akan dapat menakut-nakuti orang-orang ini dengan lencana Panggiring. Kalau terjadi apa-apa atas Ki Tambi yang telah mendapat lencana Candi ini, Panggiring tidak akan tinggal diam. Dan Panggiring adalah kakak Bramanti betapapun hubungan yang kurang serasi di antara mereka.”

Keputusan itu telah memantapkan sikap Ki Tambi, sehingga kini ia tidak lagi menjadi gelisah. Ia berdiri dengan kaki tegak di halaman beberapa langkah dari Ki Demang.

Dalam pada itu beberapa anak-anak muda telah berkeliaran di halaman mencari Bramanti dan mengawasi setiap kemungkinan untuk melarikan diri. Namun sampai begitu jauh mereka sama sekali belum memasuki sebuah bangunan pun rumah, kandang dan lumbung yang kosong.

Dan sekali lagi Temunggul berkata, “Bramanti, kalau kau tidak keluar dalam hitungan ke sepuluh, aku akan masuk dan mencari kau di dalam rumahmu.”

Bramanti yang mendengar teriakan itu menjadi semakin gelisah. Yang digelisahkan adalah justru ibunya yang sudah tua. Kalau saja di rumah itu tidak ada ibunya, maka ia akan tetap berada di dalam kandang itu sampai seseorang menjenguknya dan memaksanya keluar. Tetapi, kini ia harus memperhitungkan ibunya itu pula.

Tanpa sesadarnya Bramanti menengadahkan wajahnya. Dipandanginya blandar yang membujur di atas tiang kandangnya. Di atas blandar itu ia menyimpan senjatanya. Sebuah pedang pendek.

“Apakah aku akan mengambilnya,” desisnya. “Ah tidak. Kalau mereka melihat aku bersenjata, mereka akan menjadi semakin gila.”

Bramanti menjadi semakin gelisah ketika ia mendengar hitungan Temunggul telah sampai ke angka lima. “Enam, tujuh....”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Keringatnya telah membasahi seluruh pakaiannya.

“Delapan........”

Bramanti tidak dapat membiarkan ibunya dicekik oleh ketakutan. Karena itu, maka ketika Temunggul mengucapkan hitungan ke sembilan, maka segera ia melangkah keluar dari kandang sambil berkata, “Aku disini Temunggul.”

Semua mata berpaling ke arahnya. Ki Tambi pun memandanginya dengan wajah yang tegang.

“Ha, bukankah kau berada disitu,” berkata Temunggul. “Aku sudah pasti bahwa kau berada di dalam kandang karena Ki Tambi keluar dari tempat itu juga. Kau sengaja akan menjebak kami?”

“Kenapa kau tidak masuk saja ke dalamnya,” potong Ki Tambi. “Dan kenapa kau pakai cara itu untuk memancingnya keluar? Setiap orang yang waras memang tidak akan tega membiarkan ibunya diburu oleh ketakutan. Hanya orang-orang yang tidak berperikemanusiaan sajalah yang mempergunakan orang-orang tua untuk kepuasan hati.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Ia hanya melihat sikap Ki Tambi yang agak justru berpihak kepada Bramanti. Namun ia masih menaruh hormat kepada orang tua itu. Karena itu, ia hanya memandangi Ki Demang dan Ki Jagabaya, seolah-olah menyerahkan Ki Tambi kepada mereka.

Karena itu Temunggul malahan tidak memperhatikannya lagi. Kini perhatiannya dipusatkannya kepada Bramanti yang masih berdiri dimuka kandang.

“Kemarilah Bramanti,” berkata Temunggul. “Di sini tempat lebih luas.”

Bramanti melangkah maju beberapa langkah. Wajahnya yang tegang memancarkan berbagai macam nada yang dalam dirinya penuh dengan teka-teki bagi Ki Tambi. Namun langkah Bramanti kali ini ternyata telah menumbuhkan debar di dalam dada orang tua itu.

“Nah, apakah kau sekarang masih akan ingkar Bramanti. Anak yang kau jerumuskan ke dalam jurang itu kini ada disini,” berkata Temunggul lantang.

Bramanti tidak menjawab. Ia melihat anak muda itu tertatih-tatih dibantu oleh dua orang kawannya maju ke dekat Temunggul.

“Ki Demang dan Ki Jagabaya akan menjadi saksi persoalan ini. Aku sebagai pemimpin pengawal mendapat tugas untuk menyelesaikannya. Untunglah, bahwa tugas yang diberikan kepadaku adalah sekadar memberimu peringatan dan sedikit cara untuk membuatmu jera.”

Bramanti masih belum menjawab. Tetapi adalah diluar dugaan bahwa ia justru melangkah maju. Tatapan matanya kini langsung menusuk ke wajah anak yang terluka itu.

“Kau telah menjerumuskan aku,” anak yang terluka itu berbisik.

Bramanti masih tetap berdiam diri. Kini ia berdiri di dalam sebuah lingkaran yang menebar di halaman rumahnya.

“He, bukankah kau telah mendorong aku masuk ke dalam jurang?”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi ketika ia melangkah maju, anak muda itu tiba-tiba menjadi gemetar.

“Bramanti, jawablah,” bentak Temunggul.

“Temunggul,” nada suara Bramanti terdengar berat dan dalam. “Sebenarnya kau tidak perlu bertanya kepadaku. Kau tahu persoalan yang sebenarnya terjadi. Ayo, katakanlah. Apa yang telah terjadi sebenarnya. Kalau kau benar-benar seorang pemimpin dan lebih dari itu, kau memang seorang lelaki jantan, maka kau pasti akan berani berkata yang sebenarnya.”

Jawaban Bramanti itu sama sekali tidak diduga-duganya. Tatapan mata Bramanti yang lurus dan kata-katanya yang tegas, telah membuat dada Temunggul menjadi berdebar-debar. Sejenak ia terdiam. Namun sejenak kemudian, dipaksanya dirinya untuk mempertahankan tuduhannya. Ia tidak dapat mundur lagi. Di halaman itu berdiri banyak orang yang akan menjadi saksi.

“Aku tidak usah mengulanginya. Anak itu telah mengatakannya.”

Kini wajah Bramanti menjadi merah. Darah mudanya mulai bergolak di dalam dirinya. Ia telah merasakan banyak sekali penghinaan. Tetapi tuduhan yang licik ini membuat jantungnya mengelak. Telah sekian lama ia dihinakan. Sampai kapan? Ya sampai kapan? Seperti yang selalu di tanyakan oleh Ki Tambi kepadanya.

Namun sebelum Bramanti menyahut, semua orang berpaling ke arah sebuah suara, “Aku meragukan keterangannya.”

“Panjang,” desis Temunggul. “Kau Panjang? Apakah kepentinganmu dengan kata-katamu itu? Kau tidak melihat peristiwa ini terjadi.”

“Apakah kau juga melihat Temunggul?” bertanya Panjang.

Pertanyaan itu pun telah mendebarkan dada Temunggul. Ia tidak dapat segera dapat menyahut. Namunterbata-bata ia berkata, “Tidak. Aku tidak melihat. Tetapi bukankah anak ini telah mengatakannya.”

“Justru kata-katanyalah yang aku ragukan.”

“Tutup mulutmu,” bentak Temunggul. “Apakah kau juga harus mendapat hukuman seperti Bramanti?”

“Aku hanya ingin melihat kebenaran. Menurut keyakinanku, bukan itulah yang terjadi sebenarnya. Tetapi aku tidak tahu, apakah yang telah terjadi itu. Bahkan aku lebih percaya kepada Bramanti, bahwa seharusnya kau tidak usah menanyakannya kepadanya, karena kau mengetahui persoalan yang sebenarnya.”

“Diam,” Temunggul berteriak keras-keras.

Tetapi Panjang justru melangkah maju. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika Ki Jagabaya membentak, “Kau berhenti disitu Panjang. Kau jangan mengacaukan persoalan ini. Persoalan ini adalah persoalan Temunggul dan Bramanti.”

“Tidak,” yang menjawab adalah Ki Tambi. “Persoalan ini adalah persoalan kita semua. Apakah kita berani melihat kenyataan, ataukah kita ingin selalu dibayangi oleh mimpi dan tidur yang lelap. Nah, Ki Jagabaya. Kau adalah orang yang paling berkepentingan disamping Ki demang. Sekarang, cobalah, beranikan dirimu mendengarkan tidak hanya suara Temunggul dan orang-orang yang selalu dekat padamu. Kau harus berani mendengarkan suara orang lain. Suara Panjang, suaraku, suara Bramanti dan suara orang-orang lain lagi.”

Ki Jagabaya menjadi gemetar mendengar kata-kata Ki Tambi itu. Dengan wajah yang merah ia berkata, “Akulah Jagabaya disini. Bukan kau.”

“Aku tahu. Dan justru karena itulah maka kau harus berdiri tegak di atas alas yang adil. Kaulah yang justru harus berani mendengar banyak keterangan dan kemudian mempertimbangkan, manakah yang meyakinkan dan dapat dipercaya.”

Ki Jagabaya menggeram. Tetapi ia tidak segera menjawab. Kata-kata Ki Tambi itu dapat menyentuh perasaannya, sehingga karena itu ia seakan-akan membeku ditempatnya.

“Nah, sebaiknya siapa yang akan berbicara, berbicaralah,” berkata Ki Tambi selanjutnya.

Halaman itu justru menjadi sepi. Beberapa orang saling berpandangan, dan beberapa anak-anak muda menjadi bimbang. Tidak pernah terjadi selama ini, kata-kata Ki Jagabaya dan Temunggul diragukan, apalagi dibantah. Anak-anak muda Kademangan Candi Sari seakan-akan terlampau patuh kepada pimpinan pengawalnya. Kata-kata Temunggul merupakan keputusan yang hanya dapat dibatalkan oleh Ki Jagabaya dan Ki Demang saja. Tetapi kini Panjang telah mulai mempersoalkannya.

Sekilas mereka teringat, bahwa Temunggul pernah marah kepada anak muda itu karena kelakarnya yang dianggap berlebih-lebihan. Namun mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja Panjang bersikap terlampau berani justru dihadapan Ki Demang dan Ki Jagabaya.

Namun yang mengherankan pula adalah sikap Ki Tambi. Seperti Panjang, sikapnya seakan-akan berpihak kepada Bramanti yang mereka sangka sedang mempersiapkan rencana yang mengerikan. Pembalasan dendam. Dan pembalasan dendam itu sudah dimulainya.

Kesepian itu menjadi terlampau tegang. Wajah-wajah yang kemerah-merahan, sikap yang kaku dan sorot mata yang membara. Sementara matahari serasa telah membakar halaman rumah itu.

Kesepian itu kemudian dipecahkan oleh suara Ki Demang lantang. “Aku percaya kepadanya Temunggul, kepada anak yang terluka itu. Nah, sekarang terserah kepadamu apakah yang akan kau lakukan.”

Beberapa orang terkejut mendengar keputusan yang tiba-tiba itu. Apalagi Ki Tambi, Panjang dan Bramanti sendiri. Sejenak mereka memandang wajah Ki Demang dengan tajamnya. Mereka melihat sesuatu yang tidak wajar pada wajah itu. Tetapi mereka tidak mengerti, apakah sebenarnya yang tersirat dalam keputusan itu.

“Terima kasih,” sahut Temunggul. “Sekarang tuntutan bertambah. Selain Bramanti, agaknya Panjang pun telah melakukan perlawanan atas pimpinannya.”

Panjang memandang wajah Temunggul dengan mata yang merah karena kemarahannya. Tetapi ia masih cukup sadar, bahwa Ki Demang adalah orang yang paling berkuasa di dalam Kademangan ini.

Yang mengherankan adalah pertanyaan Ki Tambi, “He, Temunggul. Kau telah melupakan aku. Apakah aku tidak kau hukum sama sekali?”

Juga pertanyaan itu tidak disangka-sangka sama sekali. Karena itu Temunggul tidak dapat segera menjawab. Di pandanginya saja wajah Ki Demang dan Ki Jagabaya, seolah-olah minta pertimbangan kepada mereka, apakah yang sebaiknya dilakukannya.

Ki Demang menangkap perasaan yang terpancar di mata Temunggul. Karena itu maka katanya, “Serahkan yang tua kepada yang tua. Aku akan dapat memberinya penjelasan, apa yang sebenarnya telah terjadi.”

Tetapi yang lebih mengejutkan lagi justru karena Ki Tambi tertawa, “Penjelasan apakah yang dapat kau berikan Ki Demang? Aku kira kau hanya akan mengulangi kata-kata anak muda yang terluka itu dengan sedikit penjelasan, alasan-alasan dan mungkin pertimbangan sekadarnya. Tetapi seperti Panjang, aku meragukan keterangan itu. Aku meragukan keterangan Temunggul. Sayang, Temunggul selama ini aku kenal sebagai seorang anak muda yang bertanggungjawab. Namun tiba-tiba saja ia telah berubah. Aku tidak tahu pasti, apakah sebabnya.”

Temunggul menggeram. Betapa ia menahan dirinya, supaya tetap menghormati orang tua yang itu, namun hampir-hampir ia tidak dapat mengendalikan dirinya. “Jangan hiraukan Temunggul,” berkata Ki Demang, “Lakukanlah pekerjaanmu. Aku adalah penguasa tertinggi di Kademangan ini.”

“Jadi dengan demikian, apakah kau dapat berbuat mu dengan kekuasaan itu? Kau salah Ki Demang. Kekuasaanmu itu berasal dari kami sekalian. Kau tidak dapat menggunakan kekuasaan itu hatimu tanpa menghiraukan pendapat kami.”

Wajah Ki Demang menjadi semakin merah karenanya. Meskipun ia tampak berusaha untuk mengekang diri, namun terloncat pula kata-katanya, “Ki Tambi. Kami semuanya menghormati kau sejak sebelum kau meninggalkan kampung halaman. Tetapi tiba-tiba kau berbuat sesuatu yang dapat menggoncangkan perasaan kami.”

“Aku berbicara atas keyakinan Ki Demang.”

“Aku berhak berbuat lebih banyak lagi atas Bramanti dan juga atasmu.”

“Apa yang dapat kau lakukan atasku.”

“Sekehendakku. Menangkap kau dan apabila aku kehendaki aku dapat menghukum kau tanpa batas.”

“Kau tidak akan berani melakukannya.”

“Kenapa? Apakah kau sangka di Kademangan ini tidak ada seorang pun yang dapat melakukan atasmu? Seandainya aku atau Ki Jagabaya tidak mampu, maka kami dapat bersama-sama melakukannya.”

“Kalian tidak akan berani.”

“Kenapa?”

“Aku mempunyai lencana Panggiring. Kalau terjadi sesuatu atasku, kalian akan berhadapan dengan Panggiring pula. “Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Nah, kau dapat membayangkan. Kademangan ini akan menjadi kering. Saat ini Panembahan Sekar Jagat masih mencengkam Kademangan ini, kemudian telah kalian lihat bayangan seseorang yang menyebut dirinya Panji Sekar, Resi Panji Sekar dengan seorang Putut yang perkasa, Putut Sabuk Tampar. Kemudian akan datang pula Panggiring dari pesisir Utara.”

Wajah Ki Demang yang merah menjadi semakin merah. Tetapi sejenak ia membeku ditempatnya. Bayangan itu memang terlampau mengerikan.

Ki Jagabaya, Temunggul, Panjang dan anak-anak muda yang lain pun terdiam ditempatnya, seakan-akan dicengkam oleh kecemasan yang dahsyat.

Namun kediaman itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara Bramanti, “Maaf paman Tambi. Aku tidak ingin melihat kita bernaung di bawah perlindungan Panggiring. Aku sudah menganggapnya hilang dari keluargaku. Apalagi kini ia telah berada di dalam dunia yang sama sekali tidak aku kehendaki.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Bramanti itu. Sebagian ia menjadi heran, begitu jauh jarak yang telah memisahkan dua bersaudara seibu itu, sehingga dalam keadaan yang gawat itu pun Bramanti masih juga menolak pengaruh nama kakaknya. Namun di bagian lagi ia menjadi sedikit berpengharapan, bahwa dengan demikian Bramanti akan berdiri di atas kemampuannya sendiri. Karena itu, maka setelah mempertimbangkan beberapa lama ia menjawab, “Baiklah Bramanti. Aku cabut keteranganku tentang lencana Panggiring. Biarlah kita berpisah daripadanya. Namun meskipun demikian, aku tetap pada pendirianku, bahwa aku tidak dapat mengerti, kenapa kalian begitu cepat mempercayai anak itu. Aku juga heran, kenapa Temunggul juga segera terpengaruh pula olehnya.”


Ki Demang, Ki Jagabaya, Temunggul dan yang lain tidak segera menyahut. Mereka pun masih juga dibelit oleh berbagai macam pertimbangan. Bahkan mereka pun menjadi heran, kenapa Bramanti menolak sekadar pengaruh nama Panggiring.

Namun, meskipun demikian, nama itu masih tetap menggema di dalam setiap dada. Mungkin Bramanti benar-benar menolaknya, tetapi bagaimana dengan Ki Tambi? Kalau terjadi sesuatu atasnya, apakah Panggiring tidak merasa berhak ikut campur?

Dengan demikian, maka halaman rumah Bramanti itu kemudian dipenuhi oleh keragu-raguan. Setiap orang merasa ragu-ragu untuk bertindak, sehingga yang satu menunggu sikap yang lain.

Dalam kesepian itulah mereka mendengar dengan jelas degup jantung masing-masing. Degup yang membayangkan kecemasan, keragu-raguan dan tidak ketentuan sikap.

Namun dalam pada itu, dendam Temunggul kepada Bramanti masih belum mereda dari dadanya. Ia masih menunggu kesempatan yang akan diberikan oleh Ki Demang apapun akibatnya. Ia ingin berkelahi seorang melawan seorang dengan Bramanti, supaya ia mendapat kepuasan untuk berbuat sesuka hatinya.

Tetapi Ki Demang tidak segera memberikan isyaratnya. Agaknya ia benar-benar terpengaruh oleh kata-kata Ki Tambi tentang beberapa pihak yang seakan-akan sedang membayangi Kademangan ini dengan cara dan kepentingan masing-masing.

Namun ternyata Temunggul itu tidak dapat menahan hati lagi. Karena Ki Demang masih saja berdiam diri, maka Temunggul pun bertanya kepadanya, “Bagaimana dengan anak ini Ki Demang?”

Ki Demang masih saja ragu-ragu. Namun kemudian ia menganggukkkan kepalanya sambil berkata, “Lakukanlah.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya, sedang Panjang bergeser selangkah maju. Tetapi mereka tidak segera berbuat sesuatu. Meskipun mereka berpijak pada alasan yang berbeda, namun keduanya mengharap, bahwa Bramanti kali ini tidak akan sekadar membiarkan dirinya terhina.

“Nah, bukankah kau sudah mendengar Bramanti,” desis Temunggul kemudian sambil melangkah maju. “Tetapi aku bukan pengecut. Aku tidak akan melakukannya seperti seorang yang menghukum pencuri ayam di kandang tetangga. Tidak. Aku akan berbuat seperti seorang laki-laki. Aku minta kita berkelahi.”

“Aneh,” desis Bramanti. “Kalau kau anggap aku bersalah, dan kau sudah mendapat wewenang untuk melakukannya hukuman atasku, kenapa kau memilih jalan yang sulit itu? Bukankah kau tinggal memilih, cara apakah yang kau kehendaki? Apakah kau ingin membawa aku ke tebing itu dan menjerumuskannya? Atau cara apapun yang kau ingini.”

Dada Temunggul berdesir. Kali ini ia menjumpai banyak hal yang tidak terduga-duga. Kali ini ia tidak melihat wajah Bramanti yang ketakutan dan kakinya yang gemetar. Kali ini ia tidak melihat anak itu merenggek-rengek seperti perempuan cengeng. Tetapi kali ini ia melihat sorot mata Bramanti memancar langsung menembus ke pusat jantungnya. Bahkan ketika ia melangkah selangkah maju, Bramanti pun maju selangkah.

“He, apakah Bramanti telah menjadi gila,” bertanya Temunggul kepada diri sendiri.

“Temunggul,” terdengar suara Bramanti yang berat. “Cepat, lakukanlah supaya kau mendapat kepuasan. Tidak usah dengan perkelahian dan segala macam alasan tentang seorang laki-laki. Bukankah kau sudah mendapat kepastian bahwa aku tidak akan dapat melawanmu. Kau sudah melihat beberapa kali, aku tidak dapat melawan siapapun di Kademangan ini. Bahkan terhadap Suwela pun aku tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia mencambuk aku di arena. Apalagi kini kau sendiri yang akan melakukannya. Bukankah itu tidak akan berarti apa-apa? Apakah kau sekadar ingin mendapat julukan bahwa kau berbuat dengan jujur sebagai seorang laki-laki tanpa mempergunakan pengaruh kekuasaanmu?”

Pertanyaan itu bertubi-tubi memukul dada Temunggul, sehingga Bramanti masih saja mengucapkan kata-kata itu, Temunggul berteriak, “Diam, diam kau.”

“Kenapa Temunggul,” bertanya Bramanti. “Kenapa kau tidak berani mendengarkannya? Sudah tentu bahwa kau tidak akan berbuat demikian. Sudah tentu kau tidak hanya akan sekadar memanfaatkan kemantapan anggapanmu bahwa aku pasti tidak akan mampu melawan. Apakah memang kau hanya berani berbuat demikian terhadap aku dan orang-orang yang tidak berdaya lainnya?”

“Diam.”

“Kalau tidak, maka kau pasti akan mengambil jalan lain yang lebih mudah bagimu. Mengikat aku, kemudian memukuli sepuasmu. Tidak usah dengan sebuah barisan seperti hendak pergi ke peperangan, karena kau tidak memerlukan orang yang akan melihat pameran kemenanganmu. Tapi sayang, kemenangan atas seseorang yang memang sudah diketahui tidak berdaya.”

“Diam kau, diam!” Temunggul tidak dapat menahan diri lagi. Dengan tangkasnya ia meloncat dan menampar mulut Bramanti sekuat-kuat tenaganya.

Bramanti terdorong selangkah surut. Tetapi kemudian ia berdiri tegak. Kedua kakinya yang renggang seakan-akan jauh terhujam ke dalam tanah. Meskipun demikian Bramanti tidak bersikap untuk melawan. Bahkan ia masih berkata, “Lakukanlah sepuasmu. Aku tidak akan melawan. Kejantanan yang kau sebut-sebut sudah tidak berarti lagi. Setidak-tidaknya bagiku, bagimu sendiri dan bagi anak yang terluka itu, karena mereka mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi biarlah orang-orang yang dapat kau kelabuhi itu memuji di dalam hatinya, bahwa pimpinan pengawal Kademangan Candi Sari adalah seorang laki-laki.

Temunggul menjadi gemetar. Tetapi justru ia mematung ditempatnya.

Tambi yang menahan nafas melihat pukulan pertama Temunggul, menjadi semakin berdebar-debar. Ketika ia melihat sikap Bramanti, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Orang tua itu berdesis didalam hatinya, “Anak itu bukan saja anak yang luar biasa. Pukulan Temunggul sekuat-kuat tenaganya itu seolah-olah sama sekali tidak terasa. Tetapi anak itu adalah juga anak yang bijaksana. Ia mampu bersikap jantan tanpa mengadakan perlawanan. Ia mampu menahan diri dalam sikapnya, sampai suatu batas tertentu. Bukan main. Aku tidak akan mampu berpikir sejauh itu dan menempuh kebijaksanaan sedemikian.”

Di tempat lain Panjang mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang aneh telah terjadi. Meskipun Bramanti sama sekali tidak melawan, tetapi justru ia melihat kemenangan terpancar di wajahnya. Dan justru Temunggullah yang menjadi gelisah dan kebingungan, sehingga ia masih saja berdiri gemetar ditempatnya.

Ki Demang dan Ki Jagabaya mengikuti perkembangan keadaan itu dengan seksama. Sejenak mereka mengerutkan keningnya, namun sejenak kemudian terasa sesuatu bergetar di dalam dada.

Ki Jagabaya yang tidak suka terlampau banyak berpikir itu, kali ini tidak dapat melepaskan diri dari persoalan yang tengah dihadapinya. Mau tidak mau ia harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Dan hampir di luar sadarnya ia berdesis, “He, aku menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebenarnya terjadi?”

Kata-kata Ki Jagabaya itu benar-benar telah mengejutkan semua orang yang berada di halaman itu. Serentak mereka berpaling memandangi wajah Ki Jagabaya yang bimbang.

Tetapi Ki Jagabaya adalah memang seorang yang lugu. Seorang yang berterus terang. Karena itu, maka ia pun segera melangkah maju dan bertanya kepada Temunggul. “He, Temunggul. Aku memang tidak mampu berpikir berbelit-belit. Tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi?”

Wajah Temunggul menjadi merah padam. Sejenak ditatapnya wajah Ki Jagabaya, namun sejenak kemudian dipandanginya wajah Ki Demang.

“Ki Jagabaya,” berkata Ki Demang. “Jangan kau bingungkan anak itu dengan pikiran-pikiran yang tidak mapan. Kemarilah. Biarkan mereka menyelesaikan persoalan anak-anak, asal masih dalam batas-batas yang wajar. Kita hanya akan mengawasinya dan mencegah persoalan-persoalan yang akan berkepanjangan.”

“Tetapi aku memang merasakan sesuatu yang tidak wajar sejak permulaan,” jawab Ki Jagabaya.

“Kemarilah. Jangan terlampau ribut memikirkan masalah anak-anak itu. Mereka mempunyai cara untuk menyelesaikan masalah mereka.”

Ki Jagabaya menarik nafas. Sebagai biasanya ia selalu patuh kepada pimpinannya. Meskipun ia adalah bebahu Kademangan yang dalam keadaan genting itu merupakan orang terpenting, tetapi ia tidak dapat melampaui kekuasaan demangnya.

Ki Tambi hanya dapat menarik nafas. Tetapi ia justru ingin melihat kelanjutan dari persoalan itu. Kini ia mencemaskan lagi nasib Bramanti. Ia agaknya telah mempunyai sikap yang mantap meskipun secara tiba-tiba.

Namun kini Temunggullah yang masih mematung. Berbagai macam perasaan berbenturan di dalam hatinya. Kata-kata Bramanti telah menusuk jantungnya dan membuat luka yang pedih.

Tiba-tiba Temunggul itu melihat kepada diri sendiri. Seakan-akan terbayang kembali, apakah yang telah terjadi di tebing di dekat gerojogan itu. Dan bayangan itu telah membuatnya menjadi semakin bimbang.

Dengan demikian, maka sekali lagi halaman rumah itu diterkam oleh kesenyapan. Kesenyapan yang tegang. Masing-masing berdiri tegak di tempatnya sambil menahan nafas. Bahkan anak muda yang terluka itu seakan serasa tengah berdiri di atas bara. Kalau kemudian Temunggul mengingkari keterangannya, maka ia akan terlempar ke dalam keadaan yang sangat sulit. Ialah yang dianggap sebagai sumber masalah. Kalau tiba-tiba orang-orang yang berada di dalam halaman itu mengetahui, bahwa ia telah berbohong, maka sudah tentu ia tidak akan dapat menghindari kemarahan mereka. Apalagi Ki Jagabaya. Ki Jagabaya yang selama ini dikenalnya sebagai seorang yang selalu bertindak tegas terhadap siapapun, meskipun kadang-kadang agak kurang pertimbangan, sehingga ia mudah sekali digerakkan tanpa mempergunakan pikirannya.

Namun kesenyapan itu tiba-tiba telah dihentakkan oleh suara di kejauhan. Suara derap beberapa ekor kuda. Dan suara derap kuda itu telah menyusup ke dalam setiap telinga.

Serentak orang-orang di halaman itu mengangkat wajahnya. Sejenak mereka seakan-akan dicengkam oleh pesona yang tidak dapat dihindarkan. Namun kemudian setiap wajah menjadi pucat, selain beberapa orang yang justru menjadi berdebar-debar.

“Aku dengar derap kaki-kaki kuda,” terdengar Ki Demang berdesis.

“Ya. Aku telah mendengarnya pula,” sahut Ki Jagabaya.

“Panembahan Sekar Jagat,” sambung Ki Demang.

Dan hampir setiap mulut kemudian berdesis, “Panembahan Sekar Jagat.”

“Ya. Panembahan Sekar Jagat.”

Tanpa disadarinya, maka anak-anak muda yang menebar itu bergeser. Semakin lama menjadi semakin rapat yang satu dengan yang lain.

“Kita harus menghindar,” desis seseorang.

“Ya, kita harus menyingkir.”

Dan tiba-tiba saja anak-anak muda itu telah bersiap untuk melarikan dirinya. Bahkan beberapa orang telah berkisar beberapa langkah dan siap untuk meloncat berlari ke kebun di belakang rumah.

Namun langkah mereka tertegun ketika terdengar suara Ki Tambi, “He, akan kemanakah kalian?”

Beberapa orang saling berpandangan.

“Kita perlu menyingkirkan diri,” terdengar suara Ki Demang. “Kita tidak ingin mengalami perlakuan yang tidak wajar dari mereka.”

“Kalau kita bersimpuh di hadapan mereka, maka memang akan terjadi perlakuan yang tidak wajar itu. Tetapi lihat, bukankah kalian bersenjata dilambung kalian. Hanya satu dua orang yang tidak membawanya, dan kalian dapat memungut apa saja yang dapat kalian pergunakan untuk senjata. Slumbat kelapa, pemukul kentongan atau ujung pering itu.”

“He, apakah kita akan melawan?” bertanya Ki Demang.

“Inilah yang belum pernah kita lakukan. Sebaiknya kita mencoba selagi kita berkumpul. Bukankah sebagian dari para pengawal ada disini. Selebihnya harus dipanggil dengan kentongan.”

“Gila, itu teramat gila,” Ki Demang menjadi gemetar. “Tidak mungkin. Tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin. Aku tidak ingin Kademangan ini menjadi hancur lebur menjadi abu, hanya karena kebodohan kita.”

“O, jadi apakah sebenarnya tugas para pengawal itu? Hanya sekadar menakut-nakuti kawan sendiri seperti yang baru saja terjadi ini? Itukah tugas Temunggul dan anak-anak muda yang lain. Mereka hanya sekadar kau jadikan ayam aduan di antara sesama? Bodoh. Kaulah yang bodoh. Dalam keadaan seperti ini, aku berhak menentukan sikap sebagai laki-laki di Kademangan ini. Laki-laki. Disinilah penilaian yang sebenarnya, siapa laki-laki jantan dan siapa yang sekadar ingin dirinya disebut pahlawan di antara sesama. yang hanya berani memukul anak-anak kita sendiri yang memang sedang ketakutan. Inikah yang disebut pengawal, pelindung dan sebutan apa lagi yang diingini?”

Sejenak Ki Demang terbungkam. Dipandanginya wajah Ki Tambi dengan tajamnya. Namun Tambi tetap menengadahkan kepalanya. Bahkan ditatapnya wajah anak-anak muda yang berdiri di halaman itu seorang demi seorang, seakan-akan orang tua itu ingin melihat, apakah yang tersimpan di dalam hati mereka masing-masing.

Namun suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat.

“Pergi, pergi,” tiba-tiba Ki Demang berteriak.

Tetapi tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Apalagi ketika mereka melihat Ki Tambi tersenyum sambil berkata “Sekarang kita mendapat kesempatan untuk menyatakan diri, apakah kita benar-benar seorang pengawal Kademangan yang baik atau hanya sekadar seorang pengecut yang salah tempat. Justru kali inilah pendadaran yang sebenarnya bagi para pengawal. Bukan sekadar di arena.”

Tetapi Ki Demang berteriak semakin keras, “Pergi kalian. Jangan gila. Perlawanan hanya akan membuat Kademangan ini menjadi abu.”

Tetapi semuanya masih berada ditempatnya. Ternyata mereka sedang dibakar oleh kebimbangan. Tidak seorangpun dari anak-anak muda yang dapat memutuskan, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Bahkan Panjang pun masih saja berdiri seakan-akan membeku. Tatapan matanya sekali menyambar Ki Tambi yang tetap tenang, kemudian dipandanginya Ki Demang yang gelisah.

Ketika ia memutar kepalanya, maka pandangan matanya membentur seorang anak muda yang berdiri tegak seperti tonggak. Bramanti. Betapa wajahnya menjadi tegang sehingga matanya seolah-olah menjadi semerah bara. Bibirnya terkatup rapat-rapat, dan tangannya mengepal.

Kini Bramanti itu dihadapkan pada suatu keadaan yang paling sulit. Ia sadar, bahwa yang datang itu pasti Wanda Geni dan orang yang lebih tinggi kedudukannya. Bahkan mungkin Panembahan Sekar Jagat sendiri. Kalau dalam keadaan serupa ini ia menyingkir dengan alasan apapun, maka korban pasti akan berjatuhan. Apalagi Ki Tambi agaknya telah berhasil menahan para pengawal itu untuk tidak melarikan diri.

Seandainya mereka tidak tetap berada di halaman itu, maka ia akan dapat menyongsong pasukan berkuda itu dengan caranya. Tetapi kini kesempatan itu sama sekali tidak ada.

Seperti anak-anak muda yang lain, sebenarnya Bramanti pun sedang dicengkam oleh kebimbangan dan keragu-raguan, meskipun berbeda sifat dan bentuknya. Namun meskipun demikian, ia tidak juga segera dapat mengambil kesimpulan sehingga terasa kakinya menjadi gemetar.

Dadanya tergetar ketika ia mendengar tiba-tiba Ki Jagabaya yang selama ini terlampau patuh kepada Ki Demang berkata lantang, “Kita tetap disini. Kita akan melawan meskipun akibatnya akan membuat Kademangan ini menjadi karang abang. Itu adalah kemungkinan yang tidak dapat kita hindari. Tetapi kalau kita berhasil, maka untuk seterusnya kita akan terlepas dari permasalahan yang tidak semena-mena.”

“Ki Jagabaya,” potong Ki Demang, “Apakah kau sadari pendirianmu itu.”

Sebelum Ki Jagabaya menjawab, terdengar suara seorang anak muda, “Aku berdiri dibelakang Ki Jagabaya. Memang sudah saatnya kita berbuat sesuatu, meskipun akibatnya dapat menjadi terlampau parah. Tetapi kita tidak dapat membiarkan semuanya ini terjadi.”

“Tetapi mereka kali ini tidak akan merampas kekayaan kita,” teriak Ki Demang.

“Apa yang akan mereka lakukan?”

“Mereka akan mencari seseorang, yang disangkanya berada di Kademangan ini.”

“Putut Sabuk Tampar?” bertanya Ki Tambi.

“Ya.”

“Darimana Ki Demang tahu?” desak Tambi.

Ki Demang terdiam sejenak. Namun dalam kediaman itu terdengar derap kaki-kaki kuda itu sudah terlampau dekat. Meskipun demikian Ki Demang masih terdengar, “Menurut perhitunganku.”

“Tetapi kami akan melawan kali ini,” geram Ki Tambi.

“Ya, saatnya memang sudah sampai.”

“Sekarang. Kita bukan pengecut. Dan kita tidak akan membiarkan benalu terus hidup pada tubuh kita.”

“Aku bersamamu Panjang,” teriak seorang anak muda yang lain lagi. Ketika anak muda yang pertama-tama menyatakan niatnya untuk melawan yaitu Panjang, berpaling, maka dilihatnya Suwela mengacungkan tangannya.

Tiba-tiba anak-anak muda yang lain pun serentak berkata, “Aku ikut serta. Aku juga.”

Bramanti menjadi semakin tegang. Kini ia tidak dapat berbuat lain daripada tetap tinggal ditempat itu. Kalau ia menyingkir, maka akibatnya pasti akan benar-benar parah bagi para pengawal itu.

Sementara itu, derap kaki kuda dijalan telah menjadi terlampau dekat. Sejenak kemudian mereka mendengar langkah kaki-kaki kuda itu berhenti, dan sejenak kemudian mereka melihat beberapa ekor kuda menyusup beserta penunggangnya memasuki regol halaman.

Semua mata terpaku kepada penunggang kuda yang berjumlah hanya enam orang itu. Namun di antara mereka terdapat seorang yang bernama Wanda Geni. Tetapi agaknya bukan ialah yang paling berkuasa saat itu. Bukan Wanda Genilah yang memimpin pasukan kecil yang memasuki regol, karena seorang yang lain, tampaknya lebih berkuasa daripadanya.

Semua dada menjadi berdebar-debar dan bertanya-tanya di dalam hati. “Apakah orang ini yang bernama Panembahan Sekar Jagat?”

Sejenak kemudian Wanda Geni mendorong kudanya maju beberapa langkah. Dengan suara lantang ia berkata, “Kali ini aku mempunyai maksud lain. Kami tidak akan mengambil upeti seperti biasanya, karena waktunya memang belum tiba,” Wanda Geni berhenti sejenak lalu, “Tetapi kedatangan kami adalah sekadar untuk memperkenalkan saudara tua kami yang mendapat tugas memimpin sepasukan kecil,” sekali lagi Wanda Geni berhenti. Diedarkan tatapan matanya untuk melihat akibat yang mengusik setiap dada. Namun Wanda Geni menjadi heran. Ia tidak melihat wajah-wajah yang ketakutan seperti setiap kali ia saksikan apabila ia datang bersama beberapa orang untuk mengambil upeti. Bahkan kini ia melihat sorot-sorot mata yang kemerah-merahan dan gigi yang terkatup rapat.

“Apakah orang ini menjadi liar,” desisnya di dalam hati. “Dan kenapa tiba-tiba saja mereka telah berkumpul di halaman ini? Tetapi justru kebetulan sekali. Mereka akan melihat suatu permainan yang sangat menarik, yang akan membuka mata mereka, bahwa Panembahan Sekar Jagat memang mempunyai kekuatan yang tidak terlawan oleh siapapun.”

“Dengar,” teriak Wanda Geni pula. “Aku datang bersama kakak Sapu Angin.”

Orang-orang yang berdiri di halaman itu masih tetap berdiam diri.

“Tetapi jangan takut Kakang Sapu Angin tidak ingin mencari persoalan dengan kalian. Ia hanya ingin melihat salah satu dari Kademangan yang telah menyatakan diri bersedia bekerja bersama-sama dengan Panembahan Sekar Jagat.”

Tidak seorang pun yang menyahut.

Dan Wanda Geni meneruskannya. “Namun kedatangan kami telah membawa keperluan yang lain pula. Kami ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Salah seorang dari kami melihatnya, ia berada di regol halaman rumah ini.

Orang-orang yang berada di halaman rumah itu terperanjat. Rumah ini adalah rumah Bramanti. Karena itu, maka serentak mereka berpaling. Tetapi tempat Bramanti tadi berdiri telah kosong. Mereka sama sekali tidak melihat, kapan ia meninggalkan tempatnya. Begitu tegangnya mereka memandangi Wanda Geni dan Sapu Angin bersama-sama kawan-kawan mereka, sehingga mereka tidak melihat, perlahan-lahan Bramanti bergeser tempat pada saat orang-orang Penembahan Sekar Jagat itu memasuki regol halaman.

Dada Ki Tambi menjadi berdebar-debar. “Kenapa tiba-tiba saja Bramanti meninggalkan halaman? Apakah ia melarikan diri dan bersembunyi?”

“Nah,” berkata Wanda Geni kemudian. “Dimanakah Putut Sabuk Tampar itu?”

Sejenak para pengawal saling berpandangan. Mereka tidak mengerti maksud Wanda Geni. Namun mereka mengerutkan kening ketika terdengar Wanda Geni berteriak. “He, dimana Sabuk Tampar? Apakah kalian datang kemari sengaja untuk melindunginya? Kalau demikian, maka kami harus memaksa kalian untuk berbicara.”

Masih belum ada seorang pun yang menyahut.

“Ayo, katakan. Dimana Putut Sabuk Tampar.” Wanda Geni berteriak semakin keras. “Apakah kalian memang sengaja berkumpul di halaman ini untuk menunggu kedatangan kami?”

Halaman itu menjadi hening sejenak. Namun kemudian terdengar suara Ki Demang yang membuat orang-orang di halaman itu berdebar-debar. “Tidak. Tidak sama sekali. Kami sedang mencari seseorang yang kami anggap telah melanggar tata cara kehidupan kami di sini.”

Wanda Geni mengerutkan keningnya. Ditatapnya setiap wajah orang-orang Candi Sari yang berada di halaman itu, seakan-akan ingin meyakinkan, apakah yang dikatakan oleh Ki Demang itu benar. Dan ternyata memang setiap wajah yang disambar oleh tatapan matanya yang tajam, segera tertunduk.

Tetapi tiba-tiba dada Wanda Geni berdesir ketika terpandang olehnya mata Ki Tambi yang membara. Di wajah itu sama sekali tidak terbayang ketakutan dan kecemasannya menghadapi orang-orang Panembahan Sekar Jagat, yang justru kali ini bersama seorang yang paling dipercaya, Sapu Angin.

Sejenak Wanda Geni memandang mata Ki Tambi yang menjadi kemerah-merahan. Dan mata yang kemerah-merahan itu telah membuat darahnya mengalir lebih cepat.

Ki Demang agaknya melihat keadaan itu, sehingga cepat-cepat ia berkata, “Kami datang untuk memberikan sebuah peringatan kecil kepada anak yang tinggal di rumah ini.

“Apa yang telah dilakukannya?” bertanya Wanda Geni.

“Ia telah menyerang kawannya sendiri dengan licik.”

“Siapa anak itu?”

“Namanya Bramanti.”

Wanda Geni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas di pandanginya wajah Sapu Angin yang tegang dan dalam. Tetapi Sapu Angin itu sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun.

Dalam kesepian yang menyambar sesaat itu, seseorang kawan Wanda Geni mendekatinya. Kemudian orang itu berdesis perlahan-lahan. “Orang itulah.”

“He,” bertanya Wanda Geni.

“Orang itulah yang mengancam aku akan membunuhku sama sekali.”

Wanda Geni mengerutkan keningnya, “Yang mana?”

Orang itu ternyata sudah tidak segan-segan lagi. Jari tangannya kemudian menunjuk Ki Tambi yang berdiri tegang, “Itu.”

“O, yang matanya merah seperti mata burung pelatuk itu.”

Dada Ki Tambi berdesir. Orang yang menunjuk kepadanya itu adalah orang yang ditangkapnya selagi ia terluka parah dan dibawanya ke Kademangan. Ternyata ia masih tetap mengenalnya, dan bahkan kini agaknya ia akan melepaskan sakit hatinya, karena kekalahan yang dialaminya pada saat ia melawan Putut Sabuk Tampar.

“He,” bentak Wanda Geni. “Benarkah kau yang telah menangkap kawanku ini pada saat ia sedang tidak berdaya?”

Ki Tambi masih berdebar-debar. Namun ia tidak akan mengelak apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu maka ia pun menjawab lantang, “Kalian memilih istilah yang tidak aku senangi. Aku lebih baik mengatakan, bahwa akulah yang telah menolongnya, sehingga orang itu tidak mati dipinggir jalan dan menjadi makanan anjing liar.”

Dahi Wanda Geni berkerut. Hampir saja ia berteriak. Tetapi suaranya segera terputus oleh suara tertawa Sapu Angin. “Bagus. Kau mendapat kalimat yang tepat. Yang benar adalah kau. Orang semacam orang ini memang sepantasnya hanyalah menjadi makanan anjing-anjing liar.” Dan suara tertawa Sapu Angin menjadi berkepanjangan.

Namun dengan demikian wajah Wanda Geni dan orang yang memberitahukan kepadanya itu menjadi merah padam.

“Nah, sekarang aku datang untuk melakukan pekerjaan yang lain bagi kalian. Dan aku kira aku bukan sebangsa kelinci makanan anjing jalanan,” berkata Sapu Angin kemudian. “Sekarang katakan, dimanakah anak yang kau cari itu? Anak yang menurut keterangan kalian tinggal di rumah ini, karena kami pun sedang mencari seseorang dihalaman rumah ini.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Ki Demang menebarkan pandangan matanya kesekelilingnya. Kini anak-anak muda Candi Sari yang semula menyebar seakan-akan telah berkerumun berdesak-desakan. Dan tidak seorang pun dari mereka yang mempedulikan Bramanti.

“Dimana Bramanti,” bertanya Ki Demang.

Tidak seorang pun yang menyahut.

“Dimana Bramanti,” Ki Demang berteriak.

Masih belum ada yang menyahut.

Tiba-tiba timbullah akal Ki Demang untuk memanggil Bramanti keluar dari persembunyiannya seperti yang dilakukan oleh Temunggul seandainya ia masih berada dihalaman itu. Katanya lantang, “Kalau Bramanti tidak segera keluar dari persembunyiannya, maka kami akan menangkap Nyai Pruwita sebagai gantinya.”

“Buat apa kami menangkap perempuan itu,” teriak Wanda Geni. Ia telah mengenal perempuan itu, sebagai bekas istri Demang Candi Sari yang dahulu. Bahkan kadang-kadang ia sengaja berteriak-teriak memanggilnya apabila ia lewat di jalan di depan regol halaman rumah ini.

“Bramanti adalah anak dari perempuan itu,” jawab Ki Demang.

“Tetapi kami tidak menghendaki keduanya. Kami mencari Putut Sabuk Tampar.”

“Biarlah anak itu dibawa kami,” sahut Sapu Angin. “Dihalaman ini ada seorang anak muda yang bernama Bramanti. Kalau benar Sabuk Tampar berada di halaman itu pula, kita akan dapat bertanya kepada anak muda itu.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Karena itu, kita memerlukan Bramanti.”

Semua orang, termasuk Ki Tambi menjadi berdebar-debar. Apakah yang kira-kira akan terjadi atas anak muda itu seandainya ia dapat diketemukan dihalaman ini.

Sejenak kemudian Ki Demang berteriak pula, “Bramanti, apakah kami harus menangkap ibumu dan menyeretnya ke Kademangan?”

Tetapi belum seorang pun dari mereka yang melihat Bramanti.

Sementara itu Bramanti sedang berada di dalam kandangnya. Ketika ia bergeser dari halaman rumah itu, ketika anak-anak muda yang lain justru saling mendekat, maka ia pun segera masuk ke dalam kandangnya. Dan kini ia mendengar Ki Demang sedang mengancamnya.

“Bramanti,” sekali lagi ia mendengar suara Ki Demang semakin keras. “Apakah kau menunggu kami menyeret ibumu?”

Kini tubuh Bramanti seakan-akan menggigil karenanya. Ia tidak dapat mengerti, kenapa Ki Demang selalu berusaha mencegah orang-orang Kademangan Candi Sari melawan Panembahan Sekar Jagat dengan alasan itu-itu juga. Untuk kepentingan Kademangan ini agar tidak menjadi lumat.

Dan kini Ki Demang pasti akan mengorbankannya, tanpa belas kasihan. Dengan demikian justru tidak akan ada perlindungan sama sekali bagi warganya. Seharusnya Ki Demang berbuat sebaliknya. Mencoba menyembunyikannya, meskipun nanti setelah orang-orang itu pergi, seandainya ia masih akan menghukumnya dalam persoalan di antara keluarga sendiri itu akan terus dilakukannya.

Ketika terdengar suara Ki Demang lagi, Bramanti sudah tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Kemungkinan yang demikian ini memang sudah diperhitungkannya pula. Karena itulah ia masuk ke dalam kandangnya. Ia sama sekali tidak ingin bersembunyi. Tetapi untuk melawan orang-orang Panembahan Sekar Jagat, bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan sambil menganyam keranjang. Itulah sebabnya maka segera ia memanjat tiang kandang. Tangannya menggapai blandar yang membujur di atas tiang itu. Ketika ia meloncat turun, maka ditangannya telah tergenggam sebuah pedang pendek. Pedang peninggalan ayahnya yang disembunyikannya tanpa seorang pun yang mengetahuinya.

“Mungkin aku memerlukannya,” gumamnya.

Bramanti mengangkat wajahnya ketika sekali lagi Ki Demang berteriak menirukan Temunggul, “Aku akan menghitung sampai sepuluh bilangan Bramanti.Kalau kau tidak keluar, maka ibumu akan menjadi gantinya,” ia berhenti sejenak lalu, “satu...”

Tetapi belum sampai pada hitungan yang kedua, Bramanti telah melangkah keluar dari dalam kandangnya sambil berkata, “Aku disini Ki Demang.”

“Nah, bukankah kau keluar seperti seekor jengkerik dituang air?” desis Ki Demang. “Kemarilah. Hukumanmu masih belum dilaksanakan.”

Bramanti mengangkat wajahnya. Ketika ia melangkah maju, dilihatnya mata Wanda Geni dan kawan-kawannya yang berada disisinya itu terbelalak. Hampir bersamaan keduanya berteriak sambil menunjuk kepada Bramanti, “Itulah dia. Itulah dia.”

“Siapa?” bertanya Ki Demang dan Sapu Angin serentak.

“Sabuk Tampar. Putut Sabuk Tampar.”

“He?” meskipun keduanya, Ki Demang dan Sapu Angin bersama-sama terkejut, namun yang bergolak di dalam hati masing-masing adalah berbeda. Sapu Angin memang sedang mencari Putut Sabuk Tampar sehingga dengan demikian maka ia merasa, bahwa yang dicarinya segera dapat diketemukan.

Tetapi sebaliknya bagi Ki Demang. Ia memandang Bramanti dengan mulut ternganga. Ia tidak dapat percaya pada pendengarannya bahwa anak itulah yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.

Namun bukan saja Ki Demang, tetapi semua orang yang berada di halaman itu serasa mendengar ledakan petir di ujung rambut. Hanya Tambilah yang segera dapat menguasai perasaannya, karena ia memang sudah menduga, bahwa Bramantilah yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Sedang Panjang, masih juga dengan susah payah mencoba menenangkan dirinya.

Dalam kediaman yang tegang itu terdengar suara Sapu Angin, “Apakah kau tidak keliru Wanda Geni.”

“Tidak. Aku tidak akan keliru. Aku berdua adalah saksi yang langsung. Pertemuan kita di malam hari waktu itu memang tidak dapat meyakinkan. Tetapi pertemuan yang kedua, disiang hari, anak itu itu tidak dapat lagi menyembunyikan dirinya.

Sapu Angin mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Bramanti dengan tajamnya. Dan ternyata Bramanti pun sama sekali tidak menyadari tatapan mata itu.

“Kaukah yang menyebut dirimu Putut Sabuk Tampar?” bertanya Sapu Angin.

Bramanti merasa tidak ada gunanya lagi mengelak. Karena itu maka jawabnya mantap, “Ya. Akulah Putut Sabuk Tampar, utusan Resi Panji Sekar. Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Sapu Angin mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “”Aku ingin bertemu dengan Resi Panji Sekar.”

“Yang ada sekarang adalah Putut Sabuk Tampar. Yang penting bagiku adalah, mengusir kau dari Kademangan ini. Aku sudah muak melihat tingkah laku orang-orangmu. Apalagi kerakusan mereka tidak terbatas kepada harta benda. Tetapi juga terhadap gadis-gadis.

Sapu Angin mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi matanya menjadi seolah-olah menyala.

Dalam pada itu Temunggul serasa berdiri di atas api. Ia menjadi gelisah dan tidak mengerti, apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Seandainya benar Bramanti adalah orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar, maka ia pasti akan terlibat langsung dengan orang itu. Karena itu, maka dalam keragu-raguan hatinya serasa terpanggang di atas api.

“Putut Sabuk Tampar,” desis Sapu Angin. “Kedatanganku memang sengaja untuk mencarimu. Sudah dua kali kau menghalangi orang-orangku. Aku kira Panembahan Sekar Jagat telah terlampau longgar. Biasanya gangguan yang pertama telah cukup menjadi alasan untuk menyingkirkannya. Tetapi kau mendapat kesempatan sampai dua kali. Baru kali ini aku mendapat kesempatan atas nama Panembahan Sekar Jagat menemuimu.”

Bramanti tidak segera menyahut. Dan Sapu Angin berkata selanjutnya, “Tetapi ternyata kau tidak akan mendapat kesempatan selanjutnya.”

Ketika Sapu Angin berhenti berbicara, halaman itu menjadi hening. Tidak seorang pun yang mengucapkan kata-kata. Bahkan Ki Demang merasa seolah-olah mulutnya terbungkam.

Dalam keheningan itulah, setiap dada serasa bergetar. Dengan demikian mereka menyadari, kenapa Bramanti menolak perlindungan Panggiring. Karena ternyata ia sendiri merasa dapat melindungi diri.

Sejenak kemudian maka terdengar suara Sapu Angin berat, “Ki Demang. Kalau memang orang-orangmu tidak ingin berbuat onar, dan tidak ingin melihat kehancuran Kademangan Candi Sari, maka akupun tidak akan mempersoalkannya. Aku hanya sekadar ingin menangkap anak yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar ini.”

Ki Demang tidak bisa segera menjawab. Ia berdiri di simpang jalan yang sulit. Ia tahu bahwa Putut Sabuk Tampar bukan sekadar seorang anak muda yang cengeng seperti yang selalu diperlihatkan Bramanti dalam hidupnya sehari-hari. Kalau ia berterus terang memusuhinya, maka akibatnya belum dapat dibayangkan. Apalagi bila teringat olehnya, Bramanti adalah adik Panggiring, meskipun sampai saat ini Bramanti menolak hubungan itu.

Karena Ki Demang tidak segera menjawab, maka terdengar Sapu Angin berkata lantang, “He, kenapa kau diam saja Ki Demang. Suruhlah orang-orangmu pergi. Biarlah Putut Sabuk Tampar itu tinggal. Aku memerlukan anak itu. Kalau ia tidak terlampau banyak tingkah, maka ia akan aku bawa hidup menghadap Panembahan Sekar Jagat. Tetapi kalau ia menyombongkan diri, melawan kehendakku, maka aku akan terpaksa membunuhnya.”

Ki Demang menjadi semakin bingung karenanya. Namun bagaimanapun juga ia mempunyai pertimbangannya sendiri, sehingga tiba-tiba ia berkata, “Baiklah. Aku akan membawa orang-orangku pergi.”

Namun Ki Demang terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara Ki Tambi, “Sudah aku katakan. Kami telah siap melakukan sesuatu kali ini. Kami berdiri di belakang Ki Jagabaya. Agaknya Ki Jagabaya adalah seorang yang paling bertanggung jawab di Kademangan ini.”

Ki Jagabaya yang semula telah dijalari oleh keragu-raguan mendengar kata-kata Ki Tambi itu tiba-tiba tergugah hatinya. Hampir tanpa sesadarnya ia berkata, “Ya, kita akan berbuat sesuatu.”

“Ki Jagabaya” potong Ki Demang. “Kau masih juga berlaku bodoh. Kau adalah orang yang mabuk pujian. Apakah kau sadari kata-kata Ki Tambi yang ingin menjerumuskan kau kedalam kesulitan?”

“Hanya orang-orang jantanlah yang bertanggungjawab atas kata dan perbuatannya,” sela Ki Tambi sebelum Ki Jagabaya menjawab.

“Tutup mulutmu Tambi,” teriak Ki Demang. “Aku menyesal menerima kau kembali di Kademangan ini. Ternyata kau telah menjerumuskan kami semua ke dalam kesulitan.”

Tetapi tiba-tiba saja Ki Tambi itu tertawa. Di pandanginya wajah anak-anak yang ada di halaman itu. Ketika matanya membentur wajah Panjang, Ki Tambi menganggukkan kepalanya, seolah-olah ia ingin melihat, apakah Panjang benar-benar seorang pengawal yang baik.

Dada Panjang masih juga bergelora. Namun kemudian dengan mantap ia berkata, “Aku berdiri di belakang Ki Jagabaya. Aku adalah seorang pengawal Kademangan. Dan aku merasa ikut bertanggung jawab menghadapi masalah-masalah serupa ini.”

Ki Jagabaya yang mulai ragu-ragu, tiba-tiba mengangkat wajahnya dan berkata, “Marilah. Marilah kita berbuat sesuatu kali ini. Kita bukan budak-budak yang hanya mampu bersimpuh dan menundukkan kepala.”

“Aku sudah menduga,” sahut Ki Tambi cepat-cepat. “Ki Jagabaya pasti akan berdiri ditempatnya, sebagai pelindung rakyat Kademangan ini.”

“Persetan semuanya,” tiba-tiba Sapu Angin berteriak. “Kenapa kalian mengigau seperti orang yang kehilangan kesadaran. Aku, Sapu Angin berada disini. Lihatlah aku. Lihat. Apakah kalian masih berani mengangat wajah kalian menatap mataku? Ingat. Aku dapat berbuat apa saja atas Kademangan ini. Aku dapat membuatnya hancur lumat menjadi debu, apabila aku menghendaki.”

Sapu Angin terkejut ketika Tambi maju selangkah sambil berkata, “Setiap jengkal tanah, setiap ujung rambut perawan dari Kademangan ini, harus dipertaruhkan dengan nyawa. He Sapu Angin, jangan terlampau sombong. Kami sudah siap menghadapi kalian kali ini setelah kami terlena oleh sihirnya angin beberapa saat lamanya.”

“Tutup mulutmu,” bentak Sapu Angin. “Kau belum mengenal Sapu Angin. Tetapi baiklah. Kita akan segera berkenalan. Tetapi maaf bahwa aku kurang dapat mengendalikan diri. Mungkin aku menyentuh seseorang dan membuatnya mati atau cacat seumur hidupnya.”

Kata-kata itu telah membuat bulu-bulu tengkuk berdiri. Tetapi Tambi tidak beranjak dari tempatnya. Matanya menyala dan menatap wajah orang yang menyebut dirinya Sapu Angin.

“Hem,” Sapu Angin menggeram, “Kaulah agaknya biang keladi dari perlawanan ini. Seperti yang dikatakan Wanda Geni.”

Namun sebelum Ki Tambi menjawab, Bramanti melangkah maju. Tiba-tiba saja langkahnya menjadi berbeda. Kali ini langkahnya mantap, sehingga seolah-olah tumitnya telah membuat lubang ditanah yang diinjaknya.

“Jangan sesumbar,” desis Bramanti. “Dengarlah. Aku tetap pada permintaan yang pernah aku sampaikan. Tinggalkan tempat ini dan lepaskan usaha kalian yang sangat merugikan itu. Resi Panji Sekarlah yang akan menertibkan daerah ini dengan caranya sendiri.”

“Omong kosong,” teriak Sapu Angin. “Kau yang menyebut dirimu Putut Sabuk Tampar adalah orang yang pertama-tama harus dibinasakan bersama Tambi,” kemudian kepada kelima orang-orangnya ia berkata, “Jangan hiraukan jumlah orang yang berada di dalam halaman ini. Mereka adalah orang-orang dungu yang tidak mengerti pahitnya peperangan. Siapkan diri kalian menghadapi segala kemungkinan.”

Kelima orang itu mengerutkan kening mereka. Satu-satu dipandanginya anak-anak muda Kademangan Candi Sari. Sebagian besar dari mereka ternyata bersenjata.

“Mereka akan menjadi seperti batang ilalang dirambas pedang. Kasihan juga anak-anak yang masih terlampau muda itu. Tetapi itu adalah salahnya sendiri. Mereka telah berani mengangkat senjata melawan kekuasaan Panembahan Sekar Jagat.”

Tetapi Ki Tambi menjawab, “Kalau kami atau salah seorang dari kami mati, masih juga kami mempunyai kebanggaan. Mati dipeperangan. Tetapi kalau salah seorang dari kalian mati, bagaimanakah orang akan menyebut mayat kalian.”

“Cukup,” Sapu Angin berteriak semakin keras. “Kalian memang tidak perlu dikasihani.”

“Sudahlah Sapu Angin,” berkata Bramanti. Pulanglah. Sampaikan kepada Panembahan Sekar Jagat, bahwa Putut Sabuk Tampar tetap pada pendiriannya.”

“Persetan kalian,” Sapu Angin telah kehilangan kesabaran. Kemudian katanya lantang, “Marilah anak-anak. Kita selesaikan kelinci-kelinci yang sombong ini.”

Kuda-kuda itu pun kemudian mulai bergerak ke arah yang berbeda-beda. Sekejap kemudian orang-orang di atas punggung kuda itu sudah menggenggam senjata masing-masing.

Dengan demikian maka anak-anak muda pengawal Kademangan itu menjadi berdebar-debar. Selama ini mereka hampir belum pernah melakukan suatu tindakan apapun yang berarti, sejak mereka mendapat wisuda menjadi pengawal Kademangan, meskipun mereka harus melalui pendadaran. Karena itu, ketika mereka menghadapi bahaya yang sebenarnya, hati mereka menjadi kecut. Bahkan ada di antara mereka yang mengumpat di dalam hati, kenapa ia tidak lari saja meninggalkan halaman itu.

Apalagi ketika pada saat terakhir anak-anak muda yang demikian itu mendengar Ki Demang berkata, “He anak-anak. Aku masih ingin mendapat kemurahan hati dari utusan-utusan Panembahan Sekar Jagat. Aku masih ingin kalian mendapat kesempatan untuk meninggalkan tempat ini selain mereka yang dikehendaki. Misalnya Bramanti, Ki Tambi dan barangkali juga Panjang. Nah, pergunakan kesempatan yang terakhir ini.”

Begitu Ki Demang selesai, maka Bramanti segera menyahut, “Aku adalah anak muda yang paling cengeng di Kademangan ini. Aku sama sekali tidak berarti jika dibandingkan dengan kalian, para pengawal yang perkasa. Tetapi aku tidak akan lari. Aku akan tetap disini dan mengadakan perlawanan sampai kemungkinan yang penghabisan.”

“Bagus, aku juga tetap disini,” sahut Ki Tambi.

“Aku tetap disini,” geram Panjang.

Dan tanpa diduga-duga Ki Jagabayapun berkata lantang. “Aku tetap disini. Siapa yang ikut aku, tinggallah disini. Siapa yang takut, pergilah.”

Ternyata tidak seorang pun yang meninggalkan halaman itu. Dengan demikian, maka seakan-akan telah bulatlah niat mereka untuk melawan utusan Panembahan Sekar Jagat itu. Meskipun ada satu dua yang masih dijalari oleh kecemasan, tetapi mereka tidak dapat meninggalkan kawan-kawan mereka dalam keadaan itu.

Melihat hal itu Sapu Angin serasa terbakar jantungnya. Kini ia benar-benar akan mulai. Maka diteriakkannya aba-aba. “Habiskan anak-anak monyet ini.”

Serentak kuda-kuda itu pun maju. Tetapi yang dihadapi telah siap pula, meskipun masih agak ragu-ragu.

Namun tiba-tiba dari antara orang-orang Candi Sari itu, seseorang segera melangkah maju dengan langkah yang tetap mendekati Sapu Angin. Orang itu adalah Bramanti.

“Hem, kau memang sudah jemu melihat sinar mata hari,” desis Sapu Angin.

Tetapi Bramanti tidak memperdulikannya. Tangannya yang telah melekat dihulu pedangnya telah menjadi gemetar.

“Peringatan terakhir bagimu,” desis anak muda itu. “Pergi atau kami terpaksa mengusir kalian.”

Sapu Angin tidak menjawab lagi. Didorongnya kudanya, yang kemudian dengan langkah-langkah pendek maju menyongsong Bramanti.

Sejenak kemudian keduanya telah berhadapan. Meskipun Bramanti tidak berada di punggung kuda, tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Melihat sikap Bramanti, maka anak-anak muda Candi Sari pun segera tergugah hatinya. Temunggul yang selama itu diam seperti patung, tiba-tiba merasa ikut bertanggungjawab pula atas Kademangan ini. Kebenciannya kepada Wanda Geni dan kawannya telah merayapi hatinya dan memuncak ketika mereka akan mengambil Ratri dengan paksa. Dan kini ia mendapat kesempatan untuk mencurahkan kemarahannya itu.

Apalagi ketika ia melihat Ki Tambi telah meloncat pula. Kemudian Ki Jagabaya, Panjang dan anak-anak muda yang lain.

Akhirnya, Temunggul pun menarik senjatanya. Dengan tangkasnya ia pun meloncat menyongsong orang-orang berkuda, namun jumlah orang Candi Sari jauh lebih banyak. Wanda Geni mengumpat-umpat ketika ia harus bertempur melawan Ki Tambi dan beberapa anak muda yang lain, sedang Ki Jagabaya, Panjang, Temunggul dan yang lain-lain lagi telah memilih kelompok-kelompok kecil yang terjadi dengan tiba-tiba untuk melawan orang-orang berkuda itu.

Bagaimanapun juga, maka orang-orang berkuda itu segera mengalami kesulitan. Apalagi mereka tidak menyangka sama sekali, bahwa mereka akan menjumpai lawan dalam jumlah yang besar. Mereka telah pernah mendapat jaminan, bahwa rakyat Candi Sari sama sekali tidak mempunyai minat untuk melawan.

Tetapi karena mereka datang bersama Sapu Angin maka mereka seakan-akan mempercayakan diri mereka kepada pemimpinnya. Sapu Angin adalah orang yang tidak terkalahkan disegala medan. Apalagi kali ini ia hanya sekadar berhadapan dengan anak-anak.

Tetapi anak-anak itu adalah Bramanti. Ditangannya kini telah tergenggam sebuah pedang pendek. Dengan pedang itulah ia bertempur melawan Sapu Angin.

Pertempuran di antara keduanya segera berkobar dengan dahsyatnya. Meskipun setiap orang telah mulai bertempur, namun mereka masih sempat melihat, betapa tangkasnya Bramanti melawan Sapu Angin yang duduk di atas punggung kuda.

Sapu Angin terkejut melihat lawannya yang masih sangat muda itu. Ia tidak menyangka, bahwa anak itu mampu bergerak terlampau cepat. Meskipun dari Wanda Geni ia telah mendengar, bahwa Putut Sabuk Tampar adalah seorang yang luar biasa, yang mampu mengalahkan Wanda Geni dengan kawan-kawannya sekaligus, namun ketika ia melihat tandangnya dengan mata sendiri, hatinya menjadi berdebar-debar.

“Dimana anak ini menyadap ilmunya itu?” desis Sapu Angin di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka Sapu Angin tidak dapat lagi menganggap lawannya hanyalah seorang anak muda.

Sapu Angin yang duduk dipunggung kuda itu tiba-tiba merasa tubuhnya terguncang. Ia sadar sepenuhnya ketika kudanya tiba-tiba melengking dan melonjak. Agaknya kudanya telah tersentuh ujung pedang Bramanti sehingga kudanya itu terkejut dan berdiri di atas kaki belakangnya.

Dalam keadaan serupa itulah Bramanti menyerang. Begitu dahsyatnya. Lawannya yang masih berusaha mencari keseimbangan, dengan susah payah berusaha menangkis serangan Bramanti itu. Namun kekuatan Bramanti yang tercurah di tajam senjatanya, telah mendorong Sapu Angin demikian dahsyatnya. Ketika kudanya sekali lagi bergoyang, maka Sapu Angin tidak mampu lagi menahan keseimbangannya. Karena itu, maka ketika pedang Bramanti sekali lagi menyambarnya, letak Sapu Angin telah mulai bergoyah.

Bramanti tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sekali lagi ia menyentuh leher kuda itu dengan pedangnya, sehingga kuda itu pun sekali lagi melonjak.

Sapu Angin benar-benar telah kehilangan keseimbangannya. Karena itu Bramanti menyerangnya dengan garang, tidak ada jalan lain baginya daripada berguling di sisi lain.

Demikianlah Sapu Angin dan Bramanti telah berhadapan dengan kaki di atas tanah. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang tangguh dan memiliki ilmu yang jauh melampaui orang-orang kebanyakan.

Ki Demang yang tidak menyangka, bahwa keadaan akan berkembang menjadi sedemikian buruknya, masih berdiri dalam kebingungan. Sekali-kali ia bergeser, sehingga akhirnya ia berdiri di atas tangga pendapa seperti orang yang kehilangan akal.

Halaman rumah Bramanti itu telah menjadi arena pertempuran yang menjadi semakin seru. Orang-orang Panembahan Sekar Jagat telah berkelahi dengan kemarahan yang meluap-luap. Mereka tidak pernah mendapat perlawanan hampir di semua daerah yang pernah dikunjunginya. Dan tiba-tiba kini mereka harus benar-benar bertempur melawan jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah mereka yang hanya enam itu.

Ketika mereka berangkat dari padepokan Panembahan Sekar Jagat, mereka menyangka, bahwa tugas mereka tidak akan terlampau berat. Sekadar menangkap Putut Sabuk Tampar. Dan pekerjaan itu telah diserahkan kepada seseorang yang memang dapat dipercaya, Sapu Angin. Sedang yang lain hanyalah sekadar mengawasi dan menjaga agar Putut itu tidak sempat melarikan diri. Namun tiba-tiba yang dijumpai adalah anak-anak muda Kademangan Candi Sari yang seolah-olah menjadi wuru dan melawan mereka sejadi-jadinya.

Ki Tambi yang mempunyai pengalaman cukup banyak ternyata memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan Wanda Geni. Meskipun ia tidak dapat menghadapinya sendiri, tetapi ia mampu memimpin perlawanan bersama beberapa anak-anak muda. Dengan demikian, betapa garangnya Wanda Geni, namun menghadapi mereka, hatinya menjadi kecut juga.

Di bagian lain Ki Jagabaya bersama dua orang pengawal berkelahi mati-matian melawan seorang penunggang kuda. Kekuatan tubuh Ki Jagabaya ternyata mampu diandalkan. Meskipun ia tidak setangkas lawannya, namun ternyata kekuatannya merupakan kelebihan yang dapat dibanggakan. Sedang kedua kawannya telah membantunya, mengisi setiap kekurangan yang ada padanya.

Panjang pun telah bertempur mati-matian di dalam sebuah kelompok kecil yang terdiri dari empat orang. Sebagai seorang baru, maka Panjang berusaha untuk tidak mengecewakan. Ternyata bahwa ia memiliki keberanian yang cukup. Seperti pada saat ia mengendap di padang ilalang, menunggu seekor harimau di masa pendadaran. Ia sama sekali tidak mengenal takut. Meskipun pengalamannya masih kurang namun bersama kawan-kawannya ia mampu membuat lawannya kebingungan.

Temunggul ternyata memiliki kelincahan yang cukup. Ia tidak melawan lawannya yang berkuda seorang diri. Dengan tangkasnya mereka meloncat-loncat berputaran, supaya lawannya menjadi bingung dan kadang-kadang kehilangan pengamatan. Dalam keadaan demikian lawannya selalu membawa kudanya berlari beberapa langkah menjauh, kemudian berputar dan menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya terayun-ayun menyambar lawan-lawannya.

Anak-anak muda yang lainpun telah melibatkan diri didalam perlawanan itu. Suwela ternyata gigih juga. Apalagi pengawal-pengawal yang lebih tua daripadanya.

Orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu ternyata telah masuk ke dalam suatu perangkap yang ketat. Sulitlah bagi mereka untuk dapat keluar lagi dari halaman itu. Dengan dada berdebar-debar mereka melihat wajah-wajah anak Candi Sari yang telah menjadi merah membara.

Selama ini mereka telah menekan diri, menahan setiap niat untuk melakukan perlawanan. Kini dada mereka serasa meledak. Ketika keringat telah menetes dari kening dan membasahi hulu-hulu senjata, maka lenyaplah segala keragu-raguan.

Dengan demikian, maka perkelahian di antara mereka itupun menjadi semakin lama semakin cepat. Kedua belah pihak telah terbakar oleh kemarahan yang menyala di dalam dada masing-masing.

Yang setiap saat menumbuhkan pertanyaan adalah Bramanti. Ki Demang yang berdiri kebingungan ditangga pendapa, sekilas melihat betapa Bramanti mampu mengimbangi lawannya yang bernama Sapu Angin itu.

Bahkan sekali-kali Ki Demang menahan nafas. Sama sekali tidak terduga-duga, bahwa Bramanti mampu berkelahi sedahsyat itu. Pedang pendeknya menyambar-nyambar seperti burung sikatan. Cepat dan berbahaya, mengarah kesegenap bagian tubuh lawannya.

Sapu Angin adalah seorang yang menyimpan pengalaman cukup di dalam dirinya. Namun melawan Bramanti yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar, terasa, bahwa ia masih harus berbuat banyak sekali pertimbangan-pertimbangan. Ternyata ia tidak dapat berkelahi sambil tertawa-tawa seperti yang sering dilakukannya. Kemudian berteriak-teriak didesaknya lawannya sampai ke dalam suatu keadaan yang paling sulit. Dengan darah yang dingin, ia selalu membunuh lawannya pada saat lawannya sudah tidak mampu melawan lagi. Perlahan-lahan dihujamkannya ujung pedangnya di dada atau leher lawannya itu. Bahkan kadang-kadang dibiarkannya lawannya tidak segera mati.

Tetapi kali ini yang dihadapi agaknya lain dari yang pernah terjadi. Ia sama sekali tidak sempat tertawa dan apalagi berteriak-teriak. Bahkan setiap usahanya untuk menguasai lawannya selalu tidak berhasil.

Sapu Angin menggeram. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya. Suatu hal yang jarang-jarang dilakukannya.

Tetapi Putut Sabuk Tampar itu benar-benar seorang anak muda yang tangguh. Pedang pendeknya melibat lawannya dari segala arah, sehingga pedang itu seakan-akan telah berubah menjadi puluhan mata pedang yang terbang disekitarnya.

Bukan saja Sapu Angin yang menjadi keheranan dan bahkan kecemasan menghadapi lawannya. Namun yang lainpun mengalami tekanan yang serasa menjadi berat. Wanda Geni yang meskipun masih di atas punggung kuda, namun ia seolah-olah telah terkurung dalam satu lingkaran yang sempit. Semakin lama kudanya bahkan menjadi semakin liar dan sulit dikendalikan.

Meskipun demikian, agaknya kebiasaan yang kasar dan liar dari orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu mempunyai pengaruh juga di dalam perkelahian itu. Perlakuan yang tidak terduga-duga, kadang-kadang membuat anak-anak muda Candi Sari menjadi ngeri.

Ketika perkelahian itu berlangsung semakin seru, maka mulailah senjata-senjata mereka bersentuhan. Tidak saja senjata membentur senjata. Tetapi kadang-kadang terdengar juga keluhan tertahan. Anak-anak muda Candi Sari yang belum berpengalaman itu menjadi bingung ketika mereka melihat kawan mereka mulai dibasahi oleh darah.

Dada mereka berguncang ketika mereka mendengar seorang kawannya yang lain justru memekik tinggi. Pedang seorang pengikut Panembahan Sekar Jagat telah menyambar pundaknya. Tertatih-tatih ia terdorong surut. Hampir saja justru kuda lawannya menginjaknya, apabila ia tidak segera ditarik oleh kawannya. Namun dalam pada itu orang berkuda itu sempat sekali menggoreskan pedangnya. Anak muda yang sedang menolong, melepaskan kawannya dari injakan kuda itu, mengaduh pula. Punggungnya telah tergores oleh pedang lawannya dan membuat luka yang panjang. Darahnya segera mengalir menitik membasahi tanah. Tanah kelahiran.

Namun ternyata hal itu telah mempengaruhi keberanian anak-anak Candi Sari. Pada dasarnya orang-orang Panembahan Sekar Jagat telah merupakan hantu bagi mereka. Kini mereka melihat beberapa orang kawan-kawan mereka itu terluka. Dengan demikian, maka kengerian yang sangat telah merambat membelit hati.

Tambi yang melihat gelagat itu menjadi cemas. Anak-anak itu tidak boleh patah pada saat mereka mulai. Karena itu, untuk menambah gairah perlawanan, Tambi berteriak, “Jangan beri kesempatan mereka melarikan diri.”

Tetapi terdengar salah seorang dari mereka menjawab, “Lihat. Korban telah berjatuhan di kalangan kalian. Apakah kalian masih dapat berteriak dan mengatakan bahwa kami akan melarikan diri?”

Tambi menggeram. Ia menyerang lebih dahsyat lagi. Karena itu maka perkelahian pun menjadi semakin lama semakin cepat.

Halaman rumah dan kebun disebelah menyebelah rumah Bramanti menjadi seakan-akan dibajak. Tanaman-tanaman kecil dan tumbuh-tumbuhan perdu menjadi hancur karenanya. Bukan saja kaki-kaki mereka yang bertempur, tetapi telapak kaki-kaki kudalah yang membuat tanah itu menjadi teraduk.

Semakin lama, maka hati anak-anak muda Candi Sari menjadi semakin sempit. Hanya beberapa orang saja yang masih melawan dengan penuh keberanian. Temunggul, Panjang dan beberapa orang lagi justru menjadi semakin marah, dan mereka berusaha sekuat-kuat tenaga mereka untuk menahan lawannya.

Ki Jagabayapun menjadi marah bukan kepalang. Disentakkannya segenap kekuatannya untuk menahan keganasan lawannya. Ketika ia menyerang sejadi-jadinya, maka anak-anak muda yang membantunya, mencoba untuk menjatuhkan kudanya. Meskipun sebenarnya bukan mereka maksudkan, namun agaknya salah seorang pengawal telah menusuk lambung kuda itu selagi penunggangnya sibuk menangkis serangan Ki Jagabaya.

Tusukan itu ternyata telah membuat kuda itu meloncat tanpa dapat dikendalikan lagi. Dengan demikian, maka penunggangnya menjadi kehilangan keseimbangannya. Sebelah tangannya mencoba menguasai kendali kudanya, sedang tangan yang lain berusaha menangkis serangan Ki Jagabaya.

Tetapi dengan demikian, perhatiannya sudah terbagi. Ketika Ki Jagabaya, menyerangnya sekali lagi dengan ayunan yang kuat, maka penunggang kuda itu tidak lagi mampu bertahan. Benturan yang terjadi telah melemparkannya beberapa langkah dari kudanya, tepat ketika kuda itu meronta sekali lagi.

Nasib orang itu memang terlampau malang. Begitu ia berusaha melenting berdiri, maka kudanya yang seakan-akan menjadi gila karena lukanya telah melanggarnya, sehingga sekali lagi ia terbanting jatuh.

Selanjutnya, orang itu tidak mendapat kesempatan bangkit untuk selama-lamanya. Sebilah pedang telah menghujam ke dadanya langsung menyentuh jantungnya.

Yang terdengar adalah sebuah pekik yang pendek. Kemudian diam.

Wanda Geni dan Sapu Angin yang mendengar pekik itu masih sempat melihat salah seorang anak buahnya menggeliat. Kemudian mereka pasti, bahwa orang itu telah mati.

Kemarahan yang memuncak telah membakar dadanya. Dengan demikian maka mereka pun segera mengerahkan kemampuan yang ada pada mereka untuk segera mengakhiri pertempuran.

Tetapi lawan-lawan mereka pun ternyata berbuat serupa. Mereka tidak membiarkan diri mereka terlibat oleh kemarahan lawan. Sehingga mereka pun telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing.

Dalam pada itu, di dalam rumah, dibalik pintu pringgitan, ibu Bramanti duduk bersimpuh berpegangan tiang. Kepalanya yang tertunduk menyimpan berbagai macam persoalan dan hatinya pun telah dihentakkan oleh peristiwa yang terjadi di halaman itu.

“Bramanti,” desisnya.

Nyai Pruwita telah dilanda oleh kecemasan yang dahsyat. Semula ia mencoba mempercayakan keselamatan anaknya kepada Ki Tambi. Namun keadaan berkembang semakin panas, sehingga hampir saja ia berlari keluar. Terbayang di rongga matanya, betapa ayah Bramanti dahulu berkelahi melawan beberapa orang, sehingga akhirnya suaminya itu terkapar tidak bernyawa lagi. Tak seorang pun menaruh belas kasihan kepadanya, dan bahkan sebagian terbesar dari orang-orang Kademangan ini merasa bersyukur karenanya.

Dan tiba-tiba ia melihat orang-orang Kademangannya mendatangi anak laki-lakinya. Anak Pruwita yang terbunuh itu.

Namun sebelum ia meloncati pintu, terdengar suara derap kaki-kaki kuda memasuki halamannya. Dan sekali lagi ia mendengar nama anaknya dipanggil-panggil.

Betapa gemetar kaki dan tangannya, tetapi ia mencoba untuk mengintip apa yang telah terjadi di halaman.

Namun yang terjadi agaknya telah membingungkannya. Sampai pada suatu saat, di halaman itu telah terjadi perkelahian. Tetapi perkelahian yang terjadi justru antara anaknya bersama-sama orang-orang Kademangan ini, melawan orang-orang Panembahan Sekar Jagat.

Semula hati orang tua itu dicengkam oleh kecemasan yang memuncak. Ia tahu, betapa kuat dan buasnya orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai utusan Panembahan Sekar Jagat.

Namun lambat laun terungkatlah perasaan yang telah puluhan tahun terpendalm di dalam sudut hatinya yang paling dalam.

Sekilas teringat olehnya, bagaimana ia membantu suaminya yang dahulu mencoba membina Kademangan ini. Suaminya yang saat itu menjadi seorang Demang. Dan sebagai istri seorang Demang, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari setiap usaha suaminya untuk kepentingan Kademangannya. Dan ia pun telah ikut serta dengan penuh kebanggaan.

Tetapi kebanggaan itu telah hancur. Hancur dan terpendam untuk waktu yang lama, sejak ia kawin dengan suaminya yang kedua, yang semula merupakan laki-laki kebanggaannya pula.

Namun, pada saat ia melihat Bramanti berkelahi melawan orang-orang Panembahan Sekar Jagat, kebanggaan yang telah hampir terpendam sama sekali itu tiba-tiba terungkat. Seolah-olah ia melihat anaknya sedang memimpin orang-orang Kademangan ini seperti suaminya yang pertama, yang selalu berdiri di paling depan.

Tetapi sebagai seorang ibu, ia sangat mencemaskan nasib anaknya itu. Orang-orang Panembahan Sekar Jagat bukanlah orang-orang yang baru mengenal senjata kemarin sore. Sedang anaknya masih terlalu muda untuk memiliki pengalaman yang cukup.

Karena itu, ia berada di dalam kebingungan. Sekali-kali ia ingin melihat apa yang terjadi. Kadang-kadang ia mencoba mengintip dari celah-celah pintu rumahnya. Namun kemudian ia memejamkan matanya. Perasaan-perasaan yang mengendap dan bergumpal-gumpal tersimpan di dalam dadanya serasa bersama-sama muncul ke permukaan. Kebanggaan seperti yang pernah didambakannya atas suaminya yang pertama, namun juga kecemasan apabila terbayang cara kematian suaminya yang kedua.

Dengan demikian maka Nyai Pruwita itupun kemudian duduk saja serasa membeku bergayut pada tiang di sisi pintu pringgitan.

Suara dentang senjata, ringkikan kuda dan kadang-kadang pekik seseorang, setiap kali terasa tergores didinding jantungnya, membuat luka-luka yang pedih.

Namun bayangan dari akhir pertempuran yang terjadi dihalaman itu, agaknya menjadi semakin lama semakin nyata. Jumlah orang-orang Sapu Angin menjadi kian berkurang. Dua orang telah terbunuh, meskipun di pihak Kademangan Candi Sari juga jatuh beberapa orang korban yang terluka. Tiga orang terluka parah, dan empat orang masih mampu menggenggam senjata mereka untuk melawan.

Kematian dua orang anak buah Sapu Angin telah membakar hati para pengawal. Keadaan sudah terlanjur menjadi demikian buruknya, sehingga tidak ada gunanya lagi untuk berpikir yang lain, daripada berkelahi mati-matian.

Sapu Angin menggeram ketika, sekali lagi ia melihat seorang anak buahnya terpelanting. Tetapi ia masih sempat bangun dan mengadakan perlawanan di atas tanah, meskipun dari punggungnya telah mengalir darah.

Namun lebih dari peristiwa itu semua, yang paling membakar jantungnya adalah lawannya. Seorang anak muda yang bernama Bramanti dan menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Sama sekali tidak disangka-sangkanya bahwa ia akan bertemu dengan anak sekuat dan setangguh itu. Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup, belum pernah Sapu Angin bertemu dengan anak muda yang demikian tangguhnya.

Benturan-benturan senjata mereka telah memperingatkan Sapu Angin, bahwa kekuatan Bramanti mampu mengimbanginya. Kecepatan bergerak dan kemampuan mengatasi setiap kesulitan, benar-benar telah membuat Sapu Angin menjadi heran.

Tetapi ia telah bertekad untuk menghancurkan lawannya. Itulah sebabnya maka ia tidak mempunyai perhitungan lain, selain berkelahi terus sampai Putut Sabuk Tampar itu terbunuh.

Namun dengan demikian, Sapu Angin tidak mau melihat kenyatan. Lawannya yang masih sangat muda itu ternyata tidak dapat dibunuhnya dengan mudah. Bahkan semakin lama semakin terasa betapa beratnya melawan Putut Sabuk Tampar.

Pedang pendek Bramanti ternyata terlampau berbahaya bagi lawannya. Bahkan setiap kali pedang itu berdesing dekat didepan telinga Sapu Angin. Betapa ia mengerahkan tenaganya, namun pedang pendek itu selalu terbang berputar-putar di sekitarnya.

Sapu Angin menggeretakkan giginya. Dengan darah yang mendidih ia merendah. Kini serangannya dipusatkan dibagian bawah tubuh lawannya. Setiap kali senjatanya terayun menyambar lutut, kemudian pergelangan kaki. Sebelum Bramanti menampakkan kakinya ia menghindari senjata itu, Sapu Angin telah berputar di atas telapak tangannya, sedang sebelah kakinya menyambar lambung Bramanti.

Bramanti menggeretakkan giginya. Cara ini agaknya membuatnya terdesak. Namun, sebagai seorang yang mempunyai cukup ilmu, maka Bramanti pun harus menyesuaikan diri.

Kini Bramanti justru berloncat seakan-akan tidak berjejak di atas tanah. Dengan garangnya, pedangnya berputar-putar di atas kepala Sapu Angin yang selalu merendah di atas lututnya.

Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Keringat mereka seperti terperas dari lubang-lubang kulit membasahi pakaian yang melekat ditubuh mereka.

Dan Sapu Angin masih saja mencoba mencari kelemahan di bagian bawah tubuh Bramanti. Senjatanya dan kakinya bergantian menyambar-nyambar, tanpa memberi kesempatan kepada Bramanti untuk tegak barang sekejappun.

Tetapi meskipun Bramanti harus melonjak-lonjak seperti berdiri di atas bara, namun pedang pendeknyapun tidak kalah dahsyatnya menyerang kepala lawannya. Seperti seekor lebah yang buas, beterbangan dengan lincahnya, mencari kesempatan untuk menyengat kepala itu.

Di bagian lain dari perkelahian itu pun menjadi semakin nyata bahwa anak-anak Kademangan Candi Sari akan segera menguasai keadaan. Lawan mereka menjadi semakin sedikit.

Tiba-tiba perkelahian itu seolah-olah terhenti, ketika mereka mendengar Sapu Angin mengumpat keras-keras. Sekali ia berteriak, kemudian wajahnya menjadi tegang. Matanya seakan-akan meloncat dari pelupuknya, sedang tubuhnya menjadi gemetar.

Mereka terperanjat ketika mereka melihat dari sela-sela jari tangan Sapu Angin yang menekan dadanya, meleleh darahnya yang merah, semerah matanya yang memancarkan kemarahan tiada taranya.

“Setan kau, kau,” suaranya terputus-putus. “Jangan lari. Aku cincang kau sampai lumat.”

Dihadapan Sapu Angin, beberapa langkah daripadanya, Bramanti berdiri seolah-olah membeku. Di tangannya tergenggam pedang pendeknya yang telah diwarnai oleh darah.

Sapu Angin terhuyung-huyung maju selangkah. Tetapi darah yang meleleh di sela-sela jari tangannya menjadi semakin banyak. Akhirnya tubuhnya pun roboh menelungkup di atas tanah.

Tetapi Sapu Angin masih mencoba mengangkat wajahnya. Dengan senjata yang masih digenggamnya erat-erat ia menggeram. “Kubunuh kau anak iblis. Kubunuh kau,”

Dan kepala itupun segera terkulai lemah. Ketika kepala itu sekali lagi bergerak, maka terputuslah nafas Sapu Angin yang terakhir.

Kematian Sapu Angin ternyata telah mengejutkan setiap orang di dalam pertempuran itu. Baik orang-orang Kademangan Candi Sari, maupun orang-orang Panembahan Sekar Jagat yang masih hidup. Namun selagi mereka terpukau oleh mata pedang Bramanti yang kemerah-merahan, dua ekor kuda yang membawa Wanda Geni dan seorang kawannya telah menyelinap keluar dari regol dan berlari kencang seperti di kejar hantu. Derap kaki-kaki kuda itu seolah-olah telah menggema memenuhi padukuhan.

Ternyata mereka telah melarikan diri, sambil meninggalkan korban di antara kawan-kawan mereka. Salah satu dari korban itu adalah Sapu Angin sendiri.

Dalam kebekuan yang panas itu, Bramanti merasa sebuah sentuhan dibahunya. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Ki Tambi tersenyum kepadanya. Katanya, “Pundakmu terluka Bramanti?”
Bramanti mengerutkan keningnya. Ketika ia mengamati pundaknya dan merabanya, terasa darah telah membasahi telapak tangannya. Barulah kemudian terasa luka itu menjadi pedih.
“Mungkin kau tidak merasa, karena kau terlampau memusatkan segenap kemampuan, pikiran dan getar di dalam dirimu untuk menghadapi Sapu Angin. Ternyata kau mampu mengalahkannya.”
Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

“Ternyata orang-orang Panembahan Sekar Jagat dapat juga kita lawan, meskipun kita harus minta bantuan dari Resi Panji Sekar, dengan meminjam seorang Pututnya yang bernama Sabuk Tampar.”

Bramanti tidak menjawab.

“Semua mata sekarang tertuju kepadamu Bramanti. Kau tidak dapat lagi berpura-pura seperti seekor anak kambing yang lemah dan cengeng. Kau adalah anak harimau yang akan tumbuh menjadi harimau juga.

Bramanti masih belum menjawab. Hanya sekali-kali tangannya mengusap luka dipundaknya yang semakin terasa pedih.

“Bahkan dugaanku benar,” terdengar sebuah suara yang lain, yang ternyata adalah suara Panjang. “Sejak aku melihat jalur merah di dadamu, sesaat setelah aku berkelahi melawan harimau itu aku sudah bercuriga. Tetapi kau selalu mengelak.”

“Apa maksudmu Panjang?” bertanya Suwela.

“Kau ingat orang yang menolong kita di masa pendadaran?”

Suwela mengerutkan keningnya.

“Ketika tanpa kami ketahui, kami harus berhadapan dengan dua ekor harimau?”
Suwela menganggukkan kepalanya.

“Kalau tidak ada seseorang yang menolong kita waktu itu, kita tidak akan dapat ikut didalam pertempuran ini.”

“Maksudmu, yang menolong kita waktu itu Bramanti?”

“Ya.”

Suwela mengerutkan keningnya. Dipandanginya Bramanti yang berdiri tegak seperti tonggak.
Dada Suwela itu menjadi berdebar-debar. Bramanti yang berdiri dihadapannya ini serasa sama sekali bukan Bramanti yang pernah dilihatnya, yang bahkan pernah dilecutnya di arena tanpa melawannya sama sekali. Tetapi Bramanti yang sekarang adalah Bramanti yang perkasa, dengan sebilah pedang yang telah dibasahi oleh darah lawannya.

Namun tiba-tiba keheningan yang sejenak itu telah dipecahkan oleh suara Nyai Pruwita yang berlari-lari keluar dari pringgitan.

Bramanti berpaling. Dilihatnya ibunya berlari kearahnya. Dan sebelum ia beranjak, maka ibunya telah memeluknya sambil menangis.

“Kau selamat Bramanti.”

“Aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa ibu.”

“Kau luar biasa anakku. Kau dapat mengatasi lawanmu yang tangguh. Kau telah memberi aku kebanggaan seperti masa-masa lampau, semasa aku masih diperlukan oleh orang-orang Kademangan ini.”

Bramanti tidak menjawab, tetapi dadanya berdesir.

“Kau telah berbuat sesuatu untuk Kademangan ini anakku. Kademangan yang telah dibina berpuluh-puluh tahun. Mudah-mudahan bermanfaat bagi masa mendatang,” ibunya berhenti sejenak, lalu, “Bersyukurlah bahwa kau telah diselamatkan oleh Kuasa-Nya.

“Ya ibu,” jawab Bramanti.

“Nah Nyai,” berkata Ki Tambi. “Bukankah anakmu tidak apa-apa.”

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilepaskannya anaknya perlahan-lahan.

Namun kekakuan masih juga mencengkam halaman rumah Bramanti. Kemenangannya itu ternyata telah mengejutkan sekali. Terutama bagi para pengawal. Setelah mereka kehilangan lawan masing-masing, maka kini mereka sempat menyadari keadaan. Mereka sempat membuat pertimbangan tentang Bramanti yang ternyata telah berhasil membunuh Sapu Angin.

Temunggul, pimpinan para pengawal, seakan-akan membeku ditempatnya. Kawannya yang terjerumus ke dalam tebing di dekat gerojogan bahkan telah menggigil ketakutan, karena apabila dikehendaki, maka Bramanti pasti dapat berbuat apa saja atasnya.

Bahkan Ki Jagabaya pun menjadi termanggu-manggu menanggapi keadaan yang terasa aneh baginya.

Dalam kebekuan itu terdengar suara Ki Tambi, “He, kenapa kalian seakan-akan telah berubah menjadi patung batu? Kita telah memenangkan perjuangan kali ini. Kita harus bergembira, bahwa ternyata kita pada suatu saat masih dapat bangkit sebagai pengawal Kademangan kita ini yang sebenarnya. Bukan sekadar pendadaran di arena, berburu harimau, menundukkan kuda liar, tetapi tidak berbuat sesuatu yang terasa manfaatnya langsung bagi rakyat Kademangan ini. Dan sekarang kita sudah berbuat.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka seakan-akan masih saja membeku ditempat masing-masing.

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling halaman sambil berdesis, “Dimana Ki Demang?”

Semua matapun kemudian mencari kesekitar halaman itu. Tetapi tidak seorang pun yang melihatnya.

“Ki Demang harus melihat kemenangan ini. Ki Demang harus melihat, bahwa orang yang bernama Sapu Angin pun dapat kita kalahkan dan terbunuh pula oleh Bramanti.” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Dan kita pun sadar, bahwa lain kali mungkin Panembahan Sekar Jagat sendiri akan datang ke Kademangan ini. Tetapi tidak mengapa. Kita harus harus menyusun pertahanan yang lebih baik dan rapi, sehingga kita akan dapat melawannya dengan baik.”

Tidak seorang pun yang menyahut, dan tidak seorangpun yang beranjak dari tempatnya.

“Hem,” Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. “Kalian masih terpesona melihat kemampuan Bramanti yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Jangan cemas. Ia tidak akan berbuat apapun. Meskipun kini kalian mengetahui, bahwa Bramanti sebenarnya bukan anak kambing yang cengeng, tetapi ia adalah seekor harimau yang garang.”

Wajah-wajah para pengawal pun menjadi tegang. Apalagi Temunggul.

“Aku menjamin, bahwa Putut Sabuk Tampar tidak akan berbuat apapun atas kalian,” sambung Ki Tambi. “Bukankah kalian kini menjadi cemas, bahwa Putut ini akan melepaskan sakit hatinya atas perlakuan kalian? Atau bahkan kalian mencemaskannya, bahwa ia akan membalas dendam atas kematian ayahnya? Tidak. Aku tidak yakin.”

Ketika Ki Tambi memandang wajah Bramanti, anak itu menundukkan kepalanya.

“Bahwa ia telah berpura-pura selama ini, adalah suatu usaha daripadanya untuk menjauhkan segala prasangka buruk tentang pembalasan dendam itu. Kalau ia mau, maka semua sudah terjadi. Bukan sekadar menjerumuskan seseorang dari atas tebing di gerojogan. Itu adalah pekerjaan anak-anak. Sedangkan orang yang bernama Sapu Angin inipun dapat dikalahkannya,” Ki Tambi berhenti sejenak lalu, “Nah, apakah kalian menyadarinya?”

Perlahan-lahan Ki Tambi melihat beberapa kepala mengangguk-angguk. Ki Jagabaya yang mendengarkan kata-kata Ki Tambi itu dengan mulut ternganga, tiba-tiba melangkah mendekati Bramanti sambil berkata, “Aku minta maaf Bramanti.”

Bramanti menarik nafas. Jawabnya, “Kita sama-sama bersalah Ki Jagabaya. Karena itu marilah sama-sama kita lupakan.”

“Terima kasih. Kau memang anak yang baik. Jauh berbeda dengan ayahmu dahulu.”
Dahi Bramanti berkerut. Tetapi ia tahu, bahwa Ki Jagabaya adalah seorang yang berhati terbuka. Ia mengatakan apa yang ingin dikatakannya.

“Nah,” berkata Ki Jagabaya kepada anak-anak muda pengawal Kademangan. “Seharusnya kalian pun minta maaf kepadanya. Aku pernah melihat seseorang menggait kakinya di halaman Kademangan sehingga anak ini jatuh tertelungkup. Kemudian di arena, seseorang dengan sombongnya melecutnya meskipun anak itu tidak melawan. Yang terakhir adalah apa yang baru saja kita lakukan. Beramai-ramai datang ke halaman ini seperti akan menangkap pencuri. Ayo terutama, kau Temunggul. Kaulah yang membuat ceritera tentang balas dendam ini. Bagaimana?”

Terasa darah Temunggul menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi ia harus mengakui kenyataan, betapapun pahitnya. Terlebih pahit lagi apabila dikenangnya hubungan Bramanti dengan Ratri, yang kini pasti tidak dapat dihalangi lagi.

“Apa boleh buat,” desisnya. “Ternyata Ratri pun sama sekali tidak menanggapi perasaannya.

Dengan langkah yang berat Temunggul maju mendekati Bramanti. Dengan suara yang bergetar ia berkata perlahan-lahan, “Maafkan semua kelakuan-kelakuanku Bramanti.”

“Lupakanlah semua. Kita bersama-sama mencoba untuk membuat lembaran baru di dalam pergaulan di Kademangan ini. Bukan saja pergaulan di antara kita, tetapi juga pergaulan keluar. Kita harus berusaha, bahwa tidak ada orang lain yang dapat mengganggu dengan cara apapun.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Aku sependapat.”

“Pengalaman hari ini adalah cambuk untuk mendorong kebangkitan kita bersama. Kita harus bangun dan berkuasa di rumah kita sendiri.”

Sekali lagi Temunggul mengangguk, “Baiklah,” jawabnya. “Aku bersedia.”

“Nah,” berkata Ki Tambi kemudian, “Kita akan menyampaikannya kepada Ki Demang. Kita harus mencarinya. Mudah-mudahan ia tidak diterkam oleh Wanda Geni yang sedang melarikan diri itu.”

“Baik Ki Tambi,” jawab Bramanti. “Tetapi aku akan membersihkan halaman rumah ini. Kita masih harus mengubur mayat-mayat ini, dan mengobati setiap luka. Juga lukaku sendiri.”

“O,” Ki Tambi mengangguk-anggukkan,” sebaiknya memang begitu. Marilah anak-anak, kita bersihkan halaman ini.”

Maka para pengawal yang tidak tersentuh sama sekali oleh senjata, segera membersihkan halaman Bramanti. Mereka yang terluka pun segera diobati. Namun tampaklah bahwa wajah-wajah mereka kini menjadi cerah. Secerah kepercayaan kepada diri sendiri telah mulai merayapi jantung para pengawal itu. Ternyata bahwa Wanda Geni dan bahkan Sapu Angin adalah manusia-manusia biasa yang terdiri dari kulit, daging, tulang dan darah. Mereka sama sekali tidak kebal oleh senjata. Dan mereka sama sekali tidak bernyawa rangkap.

Hampir sehari anak-anak muda Candi Sari sibuk membersihkan halaman rumah Bramanti yang digenangi oleh darah kawan dan lawan. Dan belum sehari, berita tentang perkelahian yang menentukan itu telah tersebar.

“Bramanti, Bramanti anak Nyai Pruwitakah yang dimaksud?” bertanya salah seorang kepada tetangganya yang berceritera tentang Bramanti.

“Ya, Bramanti itulah.”

“Huh, jadi anak penjudi yang terbunuh itu?”

“Ya, tetapi Bramanti bukan penjudi, pemabuk dan penipu licik. Ia justru telah berbuat sesuatu yang sangat berarti bagi Kademangan ini. Seperti yang dikatakannya sendiri, bahwa ia ingin mencuci nama keluarganya yang cemar. Dan cara itulah yang dipilihnya. Sama sekali bukan cara yang kita cemaskan selama ini. Balas dendam.”

“Belum tentu. Siapa tahu, sehari dua hari lagi ia mulai. Dan bagaimanakah anak yang telah dijerumuskannya di tebing itu.”

“Temunggullah yang bohong. Dan seandainya Bramanti benar-benar ingin membalas dendam, maka Dirga tua itulah yang pertama-tama akan mengalami akibatnya. Bagi Bramanti yang mampu membunuh Sapu Angin itu, maka Dirga sama sekali tidak akan berarti apa-apa lagi baginya. Bukankah Dirgalah yang merencanakan pembunuhan itu meskipun dengan meminjam seribu tangan orang lain.”

Keduanya pun kemudian terdiam sejenak. Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang kini mata mereka justru mulai terbuka, bahwa Bramanti sama sekali memang tidak ada niat untuk membalas dendam atas kematian orang tuanya. Setiap kali ia berkata di dalam hatinya. “Bukan begitu caranya berbakti terhadap orang tua. Bukan mati dibalas dengan mati, darah di balas dengan darah. Tidak. Jika demikian maka seluruh permukaan bumi akan hangus dibakar oleh dendam. Tetapi ia mencoba berbakti kepada orang tua dengan jalan ini. Cinta kasih. Kepada sesama, kepada kampung halaman, kepada siapapun dan kepada apapun.

Orang-orang Kademangan Candi Sari mulai mempercayainya, justru ketika mereka mulai menyadari, bahwa Bramanti adalah seorang yang pilih tanding.


Setelah semuanya selesai, maka beberapa orang berusaha untuk menemui Ki Demang. Mereka menyangka bahwa Ki Demang pasti sudah pulang ke rumahnya.

Dugaan itu memang benar. Ki Demang memang telah berada di Kademangan. Ia duduk tepekur seorang diri di pendapa. Keningnya masih basah oleh keringat, dan debar jantungnya pun masih belum pulih sewajarnya.

Ketika Ki Demang melihat beberapa orang datang kepadanya segera ia berteriak. “He, kenapa kalian datang kemari? Apakah kalian menemui kesulitan-kesulitan. Tidak, pergi saja. Pergi sajalah. Aku sudah tidak mau ikut campur lagi.

Tambi yang tertua di antara mereka yang datang ke rumah Ki Demang itu menjadi heran, sehingga justru karena itu, ia tidak segera menjawab.

“Kalau mereka akan menumpas kalian, adalah salah kalian sendiri. Aku sudah memperingatkan, bahwa perlawanan itu sama sekali tidak menguntungkan. Tetapi kalian tidak mendengarkannya. Sekarang kalian berlari-lari mencari aku.”

“Ki Demang,” berkata Tambi sareh. “Kami justru membawa kabar gembira bagi Ki Demang. Kali ini kami telah memenangkan perkelahian itu. Bahkan Sapu Angin telah terbunuh di medan. Bukankah hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi kita penduduk Kademangan Candi Sari?”

“He, apa katamu? Sapu Angin terbunuh?”

“Ya. Apakah pada saat itu Ki demang sudah tidak menyaksikannya lagi?”

“Bohong. Kalian bermimpi. Sapu Angin tidak akan dibunuh oleh siapapun.”

“Tetapi Sapu Angin telah mati.”

“Tidak. Ia tidak mati. Kalian keliru. Ia baru pingsan dan ia pasti akan bangkit kembali.”

“Kami telah menguburkannya.”

Wajah Ki Demang tiba-tiba menjadi pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Siapakah yang berhasil mengalahkannya?”

“Bramanti.”

“Bramanti?” mata Ki Demang terbelalak. Tetapi kemudian kepalanya menengadah. Wajah yang pucat itu tiba-tiba menjadi merah darah. Dengan suara gemetar ia berkata, “Kalian telah membuat suatu kesalahan yang besar sekali. Kematian Sapu Angin akan menjadi bencana yang tidak terelakkan bagi Kademangan ini.”

Tambi menjadi semakin heran. Tanggapan Ki Demang sama sekali tidak seperti yang mereka harapkan. Bahkan agaknya pun Ki Demang telah menjadi sangat marah.

“Aku tidak menyangka,” Ki Demang melanjutkan, “Bahwa kalian dapat berbuat sebodoh itu. Apakah kalian sama sekali tidak membayangkan, bencana yang bakal menghancurkan Kademangan ini?”

“Kenapa Ki Demang? Bukankah dengan demikian maka orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu justru tidak akan berani datang lagi ke Kademangan ini?”

“O, alangkah bodohnya kalian,” Ki Demang berhenti sejenak, lalu “He, Ki Jagabaya. Apakah kau ikut pula?”

“Ya. Aku telah ikut di dalam pertempuran itu. Aku menganggap bahwa jalan itu adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk menghentikan pemerasan yang masih saja berlangsung sampai saat ini.”

“Kalian telah menjadi gila,” Ki Demang itu pun kemudian berdiri, “Apakah kalian tidak dapat membayangkan akibatnya?”

Tidak seorang pun yang menjawab.

“Besok atau lusa, sehari atau dua hari lagi, Kademangan ini akan lebur menjadi abu.”

“Kenapa Ki Demang?”

“Kalau Sapu Angin benar-benar sudah terbunuh, maka pasti Panembahan Sekar Jagat sendirilah yang bakal datang kemari.”

“Kami sudah siap Ki Demang,” tiba-tiba terdengar suara menyahut. “Apapun yang bakal terjadi, namun adalah tugas yang paling mulia bagi kami adalah menyelamatkan tanah ini, Kademangan ini, dan siapapun yang sengaja memeras.”

“Oh, kau itu Bramanti,” desis Ki Demang. “Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam dirimu, sehingga kau mampu melakukannya? Tetapi kau tidak menyadari bahwa karena perbuatanmu itu, besok atau lusa kau akan dicincang bersama setiap laki-laki dari Kademangan ini. Tetapi itu tidak berarti apa-apa seandainya kami tidak mengingat perempuan dan gadis-gadis yang kami tinggalkan. Apakah jadinya dengan mereka itu kelak?”

Mereka yang mendengar kata-kata Ki Demang itu meremang. Sungguh mengerikan. Dan hal itu tidak mustahil bakal terjadi.

Karena itu, satu dua dari antara mereka menjadi ragu-ragu. Apakah mereka sudah pada tempatnya berbangga atas kememangan ini.

Namun dalam pada itu terdengar Bramanti menjawab. “Ki Demang. Seandainya benar demikian yang terjadi, memang, alangkah mengerikannya. Dan kami bersama inilah yang telah bersalah.” Bramanti berhenti sejenak kemudian, “Tetapi kami bukan patung-patung batu yang hanya dapat membiarkan Panembahan Sekar Jagat berbuat sekehendak hatinya. Kami mempunyai tenaga yang dapat kami pergunakan untuk mempertahankan diri. Kami akan bersama-sama menyusun suatu kekuatan untuk melawan Panembahan Sekar Jagat. Dan aku yakin, Panembahan Sekar Jagatpun adalah manusia biasa seperti kita. Kalau tidak ada seorang pun yang dapat melawannya seorang lawan seorang, maka kami, beberapa orang harus bergabung, untuk menghadapi Panembahan Sekar Jagat itu.”

“Huh, kau adalah seorang yang pandai berkhayal,” jawab Ki Demang. “Kau sangka Panembahan Sekar Jagat itu apa? Ia adalah seorang Panembahan yang memiliki ilmu melampaui ilmu manusia biasa. Kalau kalian tidak percaya, baiklah. Marilah kita tunggu bersama-sama.”

“Baiklah Ki Demang,” jawab Bramanti. “Kita akan bersama-sama menunggu. Tetapi kepercayaan tentang Sapu Angin yang tidak dapat terkalahkan telah patah.”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut.

“Namun demikian,” berkata Ki Jagabaya selanjutnya. “Terserahlah penilaian Ki Demang seterusnya. Barangkali Ki Demang mempunyai cara yang baik untuk melenyapkan kegelisahan ini?”

Bramanti menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Ki Jagabaya itu. Akibatnya mungkin akan justru menambah kegelisahan karena kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap Panembahan Sekar Jagat. Karena itu, untuk mengatasinya, maka Bramanti pun berkata lantang, “Tidak ada kegelisahan apapun Ki Jagabaya. Kalau Panembahan Sekar Jagat benar-benar akan datang, dan tidak seorang pun dan bahkan bersama-sama dapat melawannya, maka aku atas nama Putut Sabuk Tampar akan dapat mempersilahkan Resi Panji Sekar untuk secara langsung menghadapinya. Nah, bagi Resi Panji Sekar, Panembahan Sekar Jagat tidak berarti apapun juga.”

Wajah Ki Demang yang merah menjadi semakin merah. Dan ia masih harus mendengar Bramanti berkata seterusnya. “Sapu Angin, orang kepercayaan dari Panembahan Sekar Jagat tidak dapat bertahan menghadapi kita semuanya. Nah, apakah kira-kira Panembahan Sekar Jagat tidak akan mengalami nasib yang sama? Apakah sebenarnya kelebihan Panembahan Sekar Jagat dari kita masing-masing.”

Bibir Ki Demang menjadi gemetar. Untuk meyakinkan Bramanti ia berkata, “Panembahan Sekar Jagat itu tidak saja memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, tetapi ia mempunyai ilmu sihir yang tiada taranya. Ia dapat menciptakan apa yang tidak ada di dalam peperangan. Ia dapat memanggil seekor burung garuda dalam sekejap mata.”

“He,” potong Bramanti. “Kalau begitu ada persamaan antara Panembahan Sekar Jagat dan Resi Panji Sekar. Resi Panji Sekar mempunyai ilmu yang serupa. Bukan saja burung garuda, tetapi Resi Panji Sekar dapat menciptakan petir dan guntur. Api dan hujan, gempa bumi dan bahkan ledakan gunung-gunung berapi.”

Wajah yang merah itu menjadi semakin merah. Terdengar gigi Ki Demang gemeratak. Ia sadar, bahwa Bramanti tidak mempercayainya. Anak muda itu sama sekali tidak percaya akan kemampuan Panembahan Sekar Jagat seperti yang dikatakannya.

Karena itu, maka ia pun menjadi kehabisan akal untuk menakut-nakutinya.

“Ki Demang,” berkata Bramanti kemudian, “Kita tidak perlu cemas. Kita bahkan akan berangsur-angsur menjadi tenang dan tentram. Orang-orang Panembahan Sekar Jagat pasti memerlukan waktu untuk berpikir apabila mereka akan datang kemari. Dan bahkan Panembahan Sekar Jagat sendiri.”

“Terserah kepadamu,” geram Ki Demang. “Aku sudah memperingatkan. Dan kalian mengabaikan peringatanku.”

Ki Tambi menarik nafas. Kemudian katanya, “Ki Demang. Marilah kita tanggung bersama-sama apa yang akan terjadi di Kademangan ini. Aku mengerti betapa hati Ki Demang sendiri selalu di gelisahkan oleh kemungkinan yang tidak kita kehendaki itu sebagai seorang Demang. Namun demikian, sebagai penduduk Kademangan yang punya harga diri, seharusnya kita berani berbuat, apapun akibatnya, selama kita merasa, bahwa kita berjalan di jalan yang lurus dan benar.”

“Persetan,” geram Ki Demang. “Aku tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan kalian.”

“Itu tidak mungkin,” sahut Ki Jagabaya. “Selama kau masih menjadi Demang, maka kau masih tetap bertanggungjawab atas Kademangan ini. Kau kehendaki atau tidak.”

Ki Demang membelalakkan matanya, namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Aku masih tetap sebagai seorang Demang. Aku masih tetap bertanggung jawab atas keselamatan Kademangan ini. Aku akan mencari cara yang dapat kita tempuh tanpa menghancurkan Kademangan ini seluruhnya. Aku akan mencari hubungan Panembahan Sekar Jagat. Aku akan minta maaf atas segala peristiwa yang telah terjadi. Namun mungkin kita harus mengorbankan satu atau dua orang dari antara kita yang dituntut oleh Panembahan Sekar Jagat. Namun dengan demikian seluruh isi Kademangan ini dapat tertolong.”

Tanpa sesadarnya Ki Tambi melangkah maju sambil berkata, “Tidak. Tidak ada hubungan apapun dengan Panembahan Sekar Jagat. Apalagi dengan segala macam pengorbanan. Kita sudah berdiri berhadapan. Dan apa yang sudah kita mulai akan kita teruskan sampai tuntas. Kalau perlu, kita semua akan menjadi korban bersama-sama.”

“Kau memang gila Tambi. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri karena kau takut, bahwa di antaranya kaulah yang diminta oleh Panembahan Sekar Jagat.”

“Seandainya demikian,” jawab Tambi. “Persoalannya sudah jelas. Aku akan melawan siapapun yang akan berusaha mengkhianati kami yang telah mulai dengan perjuangan ini.”

“Terkutuklah kau Tambi,” bentak Ki Demang. “Kau tidak dapat berkeras kepala membela kepentinganmu sendiri. Kalau perlu kau memang harus dicincang, asalkan seluruh Kademangan ini selamat karenanya.”

“Hanya pengecut yang akan berbuat demikian. Aku kira tidak ada di antara kita seorang pengecut serupa itu. Kita akan mati bersama-sama. Tetapi kalau kita berhasil, kita akan menikmati bersama-sama pula.”

Ki Demang ternyata sudah tidak dapat menahan hatinya lagi, sehingga tubuhnya menggigil karenanya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, ia segera meloncat masuk ke dalam rumahnya.

Sejenak kemudian, orang-orang yang ingin menemui Ki Demang itu menjadi termangu-mangu. Kini mereka seakan-akan berdiri tanpa tujuan di halaman Kademangan.

“Aneh,” desis Ki Tambi. “Ki Demang yang sekarang ini sebenarnya bukan termasuk seorang pengecut. Aku kenal sejak masa mudaku. Ia adalah seorang pemberani, tangkas dan mampu mempergunakan otaknya. Itulah sebabnya maka akhirnya pilihan jatuh kepadanya sepeninggalan Ki Demang lama, meninggalkan anak yang sudah dewasa, maka saat itu masih kecil. Seandainya anak itu sudah dewasa, maka ia akan berhak menggantikan kedudukan ayahnya.”

“Hanya mereka yang tidak cacad sajalah yang dapat menjadi seorang Demang,” justru Bramanti yang menyahut. “Kedudukan Demang tidak akan dapat dilintirkan kepada seorang penjahat.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya, dan cepat-cepat ia menjawab. “Ya begitulah. Namun sikap pengecut Ki Demang sekarang sangat mengherankan.”

“Mungkin Ki Demang sangat dipengaruhi oleh kabar-kabar yang tidak benar tentang Panembahan Sekar Jagat, sehingga ia sangat dipengaruhinya,” jawab Bramanti. “Tetapi itu semua sama sekali bukan alasan untuk mencari orang lain dalam keadaan serupa ini.”

Ki Tambi masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terkilas di dalam kepalanya betapa hubungan yang kurang baik telah membatasi kedua saudara laki-laki seibu tetapi berlainan ayah itu. Setiap kali Bramanti selalu menolak hubungan dengan Panggiring. Tentang apapun dan dalam keadaan apapun.

Maka katanya kemudian, “Baiklah. Tetapi kita harus berusaha untuk selalu membesarkan hatinya,” kemudian kepada Ki Jagabaya ia berkata, “Itu adalah tugasmu Ki Jagabaya.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku selalu bersedia berbuat apa saja. Tetapi Demangku itu seperti orang ketakutan saja, setiap ia menghadapi persoalan Panembahan Sekar Jagat.”

“Cobalah menunjukkan kemampuan yang ada di Kademangan ini. Setiap kali. Dan cobalah meyakinkan, bahwa Panembahan Sekar Jagat pun adalah manusia biasa.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Aku akan mencoba. Tetapi tidak sekarang. Aku pasti hanya akan dibentak-bentaknya saja.”

“Ya. Kau harus dapat mencari waktu yang baik dan kesempatan yang baik pula.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, sekarang apa yang akan kita lakukan?” bertanya Tambi kemudian.

Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak ada. Tetapi kita tidak boleh meninggalkan kewaspadaan.”

“Tentu. Dan ini adalah tugasmu Temunggul,” sahut Tambi.

Temunggul yang sejak semula berdiam diri, bertanya. “Apakah tugas itu?”

“Kau harus menyiapkan para pengawal. Sama sekali tidak boleh lengah. Untuk menghadapi kemarahan Sekar Jagat kita harus benar-benar bersiap. Kau harus menempatkan penjagaan di setiap lorong yang memasuki Kademangan ini dari segala penjuru. Mereka harus siap dengan tengara kentongan, misalnya. Setiap orang dari mereka yang melihat kedatangan orang-orang berkuda, mereka harus segera memukul tanda, sehingga kita akan segera dapat bersiap. Kita tidak akan membiarkan diri kita masing-masing diterkam seorang demi seorang,” Tambi berhenti sejenak, kemudian, “Demikian juga setiap orang yang pergi ke sawah. Mereka harus juga membawa kentongan-kentongan kecil.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, kau harus segera mengatur. Kita benar-benar dalam keadaan yang gawat. Kita tidak tahu, sampai kapan kita harus selalu berjaga-jaga. Mungkin kelak, apabila perselisihan antara Pajang dan Mataram telah selesai, dan salah satu daripada mereka menjadi mantap, kita akan segera mendapat perlindungan. Tetapi kita harus mempercayakan keselamatan kita saat ini kepada kemampuan kita sendiri.”

Temunggul mengangguk-angguk pula.

“Bukankah begitu Ki Jagabaya.”

“Ya, ya begitu. Aku akan selalu siap berada di Kademangan. Setiap kali terjadi sesuatu, kalian tidak usah mencari-cari aku.”

“Baiklah,” berkata Ki Tambi. “Sekarang, sekarang kita semua dapat beristirahat.”

“Sejak kapan aku harus berjaga-jaga?” berkata Temunggul.

Tambi mengerutkan keningnya. Terasa tiba-tiba saja Temunggul yang selama ini seorang pemimpin yang cakap menjadi demikian bodoh dan ragu-ragu.

“Sejak sekarang,” jawab Tambi. “Sebab kemungkinan itu tidak dapat kita duga-duga. Kapankah pembalasan itu akan dilakukan oleh Panembahan Sekar Jagat.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aturlah para pengawal. Mulailah dari mereka yang terlampau payah di dalam pertempuran yang baru saja terjadi.”

“Baik. Baik. Aku akan mengaturnya sekarang.”

“Bagus. Hati-hatilah. Lawan kita bukan perampok-perampok kecil yang takut mendengar kentong titir-titir.”

Temunggul mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja wajahnya menjadi kosong. Meskipun demikian hal itu dilakukannya juga. Beberapa orang yang datang kemudian setelah pertempuran selesai, segera mendapat tugas untuk menempati gardu-gardu di setiap lorong masuk. Mereka harus menyediakan alat-alat yang dapat memberikan tanda bahwa Kademangan ini akan dilanda bahaya.

Selama ini penjagaan serupa itu tidak pernah dilakukan. Biasanya mereka membiarkan saja orang-orang Panembahan Sekar Jagat memasuki Kademangan ini. Bahkan mereka berebut dahulu menyingkir dan bersembunyi. Karena itu, maka untuk pertama kali, orang-orang yang ditempatkan digardu-gardu itu pun menjadi berdebar-debar.

“Bagaimana kalau tiba-tiba saja kita dicekik?” bertanya salah seorang penjaga kepada kawannya.

“Kita harus waspada. Karena di gardu ini ada tiga orang, maka kita harus membagi tugas sebaik-baiknya. Setiap saat salah seorang dari kita harus mengawasi lorong ini sebaik-baiknya.”

Demikianlah, maka setiap lorong masuk di Kademangan itu telah dijaga oleh tiga atau empat orang. Mereka harus selalu waspada. kalau tidak maka hidup mereka sendiri terancam dan Kademangan mereka pun terancam pula.

Demikianlah, maka Kademangan Candi Sari serasa telah terbangun dari tidurnya. Anak-anak mudanya, terlebih-lebih lagi para pengawal kini mempunyai tanggung jawab baru. Sebenarnya tanggung jawab seorang pengawal.

Di bantu oleh Bramanti, Temunggul mengatur anak buahnya. Semakin lama menjadi semakin tertib. Bukan saja para pengawal, tetapi setiap anak muda dan laki-laki yang masih mampu menggenggam senjata harus melakukan tugas bersama-sama.

Namun dalam pada itu, kegiatan Kademangan Candi Sari kini seakan-akan telah bergeser. Ki Demang sendiri seakan-akan sama sekali sudah tidak mau tahu, apa yang terjadi di Kademangannya. Ia hanya mengumpat-umpat, marah-marah dan kadang-kadang mengancam. Sedang rumahnya pun kini hampir tidak diacuhkan lagi. Dibiarkannya saja orang-orang yang selalu datang ke Kademangan seperti biasanya. Ki Demang sendiri hampir-hampir tidak pernah menampakkan diri. Demikian juga keluarganya.

“Keluargaku perlu mengungsi,” katanya pada suatu saat kepada Ki Jagabaya.

“Kenapa?”

“Kalau pada saatnya Kademangan ini menjadi abu, biarlah keluargaku selamat, meskipun aku akan ikut menjadi abu juga.”

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Katanya, “Sikap itu akan sangat berpengaruh Ki Demang. Orang-orang lain akan menjadi semakin gelisah. Mungkin mereka pun akan segera mengungsi pula dari Kademangan ini.”

“Apa peduliku. Orang-orang Kademangan ini sudah tidak mau mendengar kata-kataku lagi.”

“Tetapi kau masih tetap seorang Demang disini.”

“Apakah seorang Demang tidak boleh berusaha menyelamatkan keluarganya? Sudah aku katakan, aku sendiri akan ikut menjadi abu disini bersama seluruh Kademangan karena kebodohan kalian. Tetapi tidak dengan keluargaku.”

Ki Jagabaya tidak membantah lagi. Memang itu adalah haknya. Tetapi bagi Ki Jagabaya, hal itu terasa aneh. Bukankah setiap orang sudah bertekad untuk mempertahankan Kademangan ini dengan pengorbanan apa saja.

Tetapi ternyata Ki Demang pun tidak segera melakukan maksudnya. Meskipun dari hari ke hari ia menjadi semakin jarang tampak.

Dengan demikian maka pimpinan Kademangan itu seolah-olah telah berpindah. Orang yang dalam kedudukannya masih selalu bertindak adalah Ki Jagabaya.

Namun Ki Jagabaya tidak pernah meninggalkan Ki Tambi dan Bramanti, karena Ki Jagabaya sendiri adalah seorang yang malas berpikir. Ia terlampau biasa menjalankan tugas-tugas yang telah diatur terlebih dahulu.

Sedang di lingkungan anak-anak muda dan para pengawal pengaruh Temunggul pun menjadi semakin susut. Kini mereka telah meyakini, bahwa Bramanti adalah seorang yang mengagumkan lahir dan batin. Setiap orang Kademangan Candi Sari kemudian menjadi yakin, bahwa Bramanti memang bermaksud baik. Dendam dan kebencian yang mereka cemaskan, semakin lama semakin hilang dari ingatan mereka.

“Kalau ia ingin berbuat demikian, maka Kademangan ini telah dihancurkannya,” desis orang di dalam hatinya.

Demikianlah, maka kedudukan Bramanti semakin lama menjadi semakin mantap. Tidak ada seorang pun lagi yang dapat mengasingkannya lagi.

Namun Bramanti sama sekali tidak merubah cara hidupnya. Ia masih tetap sering duduk di bawah pohon sawo, menganyam berbagai macam barang dari bambu. Keranjang, caping kuwung, dan bermacam-macam lagi. Tetapi kini yang sering singgah ke rumahnya menjadi semakin banyak. Bukan sekadar Ki Tambi dan Panjang. Bahkan Ki Jagabaya pun sering datang ke rumah itu pula.

Dengan demikian, maka semakin banyak pula orang-orang yang sering membawa barang-barang anyaman Bramanti. Namun Bramanti memberikannya dengan senang hati, karena Bramanti sadar, bahwa bukan barang-barang itulah yang sebenarnya dikehendaki. Tetapi mereka hanya sekadar menunjukkan sikap semanak, sikap yang baik kepadanya.

Dalam pada itu, ibu Bramanti tidak henti-hentinya mengamati perubahan yang terjadi pada anak laki-lakinya. Diam-diam mengembanglah suatu kebanggaan di dalam dirinya. Kebanggaan yang selama ini terendam dalam-dalam di dalam dadanya.

Ketika ia melihat kemenangan Bramanti, kemudian disusul dengan sikap yang berubah dari seluruh rakyat Candi Sari, maka kenangan masa lampaunya seolah-olah telah terungkat kembali. Tanpa sesadarnya perempuan itu sering membayangkan, selagi ia masih dihormati oleh seisi Kademangan.

Setelah kebanggaan itu tertekan di dalam dadanya untuk waktu yang sekian panjangnya, sepanjang umur Bramanti, maka tiba-tiba ia melihat anak laki-lakinya telah melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangkanya. Tidak disangka-sangka olehnya dan oleh seluruh Kademangan.

“Mudah-mudahan ia mampu mengembalikan masa kebanggan itu. Masa kebesaran ayahnya,” namun angan-angannya itu tiba-tiba terputus. Kerut merut yang dalam membayang dikeningnya. “Bukan ayahnya. Tetapi ayah Panggiring,” desisnya. “Laki-laki itulah yang pernah menjadi Demang kebanggan Candi Sari. Bukan Pruwita ayah Bramanti.”

Namun dicobanya untuk menghibur dirinya, “Tetapi apakah bedanya? Bramanti adalah anaku pula, seperti Panggiring.”

Meskipun demikian, disela-sela kebanggaan yang mulai mengembang itu, terbersitlah kekecewaan yang semakin lama semakin terasa menggigit jantung.

“Bagaimanakah seandainya pada suatu saat Panggiring itu pulang? Tanah ini dan Kademangan ini akan menjadi persoalan yang dapat meretakkan dada.”

Perempuan tua itu menggelengkan kepalanya, “Tidak. Sekarang Bramantilah yang ada. Bramantilah yang mendapat kepercayaan dari rakyat Candi Sari. Dan kepercayaan itu sama sekali bukan sekadar kepercayaan yang dibuat-buat. Tetapi karena Bramanti pada suatu saat telah benar-benar melakukan sesuatu.”

Meskipun demikian, Nyai Pruwita tidak dapat menghindarkan diri dari kerisauan itu. Kebanggaan yang bercampur baur dengan kecemasan. Harapan dan kebingungan. Kadang-kadang ia merasakan betapa ia merindukan anaknya yang seorang lagi. Tetapi kadang justru ia mencemaskannya kalau anaknya yang seorang itu akan datang kembali ke Kademangan ini.

Namun bagaimanapun juga ia adalah seorang ibu. Ia adalah orang yang melahirkan, betapapun bentuk dan jadinya. Panggiring adalah anaknya seperti juga Bramanti.

Tetapi yang dapat dilihatnya sehari-hari sikap yang semakin baik dari setiap orang di Candi Sari kepadanya. Kepada anaknya dan kepada keluarga yang seakan-akan telah hampir dilupakan itu.

Bramanti sendiri, kini tidak pernah lagi ragu-ragu untuk pergi kemanapun. Semua orang bersikap baik kepadanya. Anak-anak muda dan bahkan orang-orang tua. Hampir setiap hari, apabila ia telah duduk di bawah pohon sawo, dan jemu berbaring di dalam kandangnya maka ia pun kadang-adang pergi juga ke bendungan. kadang-kadang bersama-sama dengan satu dua orang anak-anak muda, tetapi kadang-kadang ia pergi sendiri.

Meskipun demikian, meskipun ia tidak mencemaskan dirinya lagi, namun apabila ia bertemu dengan Ratri hatinya selalu menjadi berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang ia mengumpat sambil berdesis. “Semua ini adalah salah Temunggul. Kalau ia tidak mempersoalkan hubunganku dengan Ratri, aku kira akupun tidak akan terlampau banyak menaruh perhatian kepadanya. Tetapi kini agaknya telah terlanjur.”

Setiap kali ia berpapasan, maka keringatnya menjadi semakin deras mengalir. Apalagi kalau mereka berpapasan di pematang yang sempit.

“Kemana kau Bramanti?” Ratri selalu menyapanya lebih dahulu.

Seperti kanak-kanak yang berpapasan dengan bibi yang kurang dikenalnya. Bramanti selalu menundukkan kepalanya. Dengan jantungnya yang berdebar ia menjawab, “Aku akan ke bendungan Ratri.”

“Sendiri?”

“Ya. Dan kau?”

“Aku sudah selesai mencuci di bendungan. Kau kesiangan agaknya.”

Bramanti tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja.

“Bramanti,” tiba-tiba suara Ratri merendah.

Bramanti mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah gadis itu, tampaklah ia bersungguh-sungguh.

“Apakah kau sudah mendengar berita terakhir dari Panggiring?”

Terasa dada Bramanti berdesir. Setiap kali ia bertemu dengan Ratri, maka setiap kali gadis itu bertanya tentang Panggiring. Ia sama sekali tidak senang mendengar pertanyaan itu. Bukan saja ia kurang senang mendengar nama Panggiring, tetapi lebih daripada itu, Ratrilah yang menyebut nama itu.

Tetapi sejauh-jauh mungkin Bramanti menyembunyikan perasaannya itu, meskipun kadang-kadang terloncat juga lewat kata-katanya.

“Belum Ratri,” jawab Bramanti. “Aku belum mendengar berita tentang kakang Panggiring.”

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia bertanya lagi, “Bramanti, apakah umurmu terpaut banyak dari kakakmu?”

Bramanti mengerutkan keningnya, “Kenapa?” ia bertanya.

“Tidak apa-apa,” jawab Ratri. “Ketika ia pergi, kita masih sama-sama kecil. Tetapi aku masih ingat benar, bahwa Panggiring adalah seorang anak muda yang tegap, meskipun saat ini agak kekurus-kurusan,” Ratri berhenti sejenak lalu. “Ketika aku pertama kali melihatmu Bramanti, aku sangka kau adalah Panggiring.”

Bramanti menarik nafas.

“Hampir seperti kau inilah kira-kira, ketika ia pergi.”

“Tidak,” tiba-tiba Bramanti menjawab. “Masih jauh lebih muda dari aku sekarang.”

“Ya, ya, begitulah,” jawab Ratri. “Tetapi ia memberikan kesan yang lain dari anak-anak muda sebayanya.”

Debar di dada Bramanti menjadi semakin keras.

“Aku tidak dapat membayangkan, bagaimanakah Panggiring sekarang,” desis Ratri.


Bramanti menahan nafasnya. Ketika ia memandang wajah Ratri, tampaklah betapa angan-angan gadis itu membubung menerawang ke alam angannya.

“Bramanti,” tiba-tiba Ratri bertanya lagi. “Apakah kira-kira Panggiring juga setinggi kau? Atau bahkan lebih tinggi lagi?”

Bramanti menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu Ratri. Yang aku ketahui, Panggiring sekarang adalah seorang penjahat. Seorang yang sudah terasing dari pergaulan.”

Wajah Ratri tiba-tiba menjadi suram. Dan terdengar ia bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, “Ya. Panggiring memang seorang penjahat menurut Ki Tambi,” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah menurut dugaanmu seorang penjahat tidak akan dapat menjadi baik Bramanti?”

Tanpa sesadarnya Bramanti menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak. Apalagi seorang penjahat sebesar Panggiring.”

“Jadi apakah dengan demikian kau menganggap bahwa kakakmu itu sudah hilang dan tidak akan kembali lagi?”

Bramanti menjadi ragu-ragu menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka ia menggeleng sekali lagi. “Aku tidak tahu Ratri. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku sudah tidak mengharapkannya kembali.”

Kenapa? Bukankah ia kakakmu satu-satunya?”

“Aku masih terlampau kecil untuk mengerti kenapa Panggiring saat itu tidak mau tinggal bersama kami. Tetapi suatu kenyataan bahwa ia telah pergi meninggalkan aku, ibu dan ayah.” Bramanti berhenti sejenak. Ia masih tetap ragu-ragu untuk mengatakan lebih banyak lagi tentang Panggiring.

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebuah kenangan telah membayang dikepalanya. Kenangan semasa kanak-kanaknya. Sejak ia masih seorang gadis kecil ia telah mengagumi seorang yang bernama Panggiring, yang ketika itu sedang meningkat remaja. Anak muda pendiam yang selalu berwajah muram. Namun pendiam itu sangat baik kepadanya.

Ia tidak menyangka, bahwa anak yang baik dan pendiam itu pada suatu saat akan dapat menjadi seorang perampok yang ganas di pesisir Utara.

Meskipun demikian, ia tidak dapat mengingkari perasaannya. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia telah dibelit oleh suatu keinginan untuk bertemu kembali dengan Panggiring setelah sekian lama berpisah.

Ratri tersadar ketika terasa panas matahari pagi menggatalkan kulitnya. Ketika dilihatnya Bramanti berdiri kaku di hadapannya, maka ia pun tersenyum sambil berkata. “Ah, kau akan semakin kesiangan. Pergilah ke bendungan. Beberapa kawan masih di sana. Aku pulang lebih dahulu karena ibu tidak dapat masak hari ini, sehingga aku harus melakukannya.”

“Kenapa?”

“Pening. Ibu terlampau banyak kepanasan kemarin menunggui jemuran padi.”

“O,” Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku akan lewat,” tiba-tiba Ratri berdesis.


“Oh,” Bramanti tergagap. Namun ketika terpandang olehnya senyum Ratri yang cerah, hatinya menjadi semakin berdebar-debar.

Tanpa menunggu Ratri mengulangi kata-katanya, Bramanti pun kemudian turun ke sawah yang berlumpur, sementara Ratri berjalan di sepanjang pematang.

“Terima kasih Bramanti,” katanya kemudian, “Kau sekarang tidak perlu cemas lagi, bahwa Temunggul akan membentak-bentakmu. Bukankah begitu?”

“Ah.”

Ratri tertawa kecil. Katanya kemudian, “Jangan gusar. Aku hanya bergurau saja,” kemudian agak bersungguh-sungguh Ratri berkata, “Bukankah kau akan memberitahukan kepadaku, apabila kau mendapat kabar tentang kakakmu?”

Terbata-bata Bramanti menjawab, “Ya. Ya.”

“Terima kasih,” desis Ratri sambil melanjutkan langkahnya. Sekali lagi ia berpaling sambil melambaikan tangannya. Namun wajahnya kemudian menjadi kemerah-merahan ketika tiba-tiba seorang perempuan yang sedang mengambil daun lembayung di sawahnya mendeham beberapa kali.

Ketika Ratri berpaling perempuan itu tersenyum.

“Ah bibi,” desah Ratri.

“Kenapa?” bertanya perempuan itu sambil tertawa.

“Bibi mengejutkan aku.”

“Kau terlampau asyik saja.”

“Ah,” sekali lagi Ratri berdesah. “Bibi menggangguku.”

Perempuan itu tidak menjawab. Tangannya telah bermain kembali di atas daun-daun lembayung muda.

“Apakah kau perlu dedaunan untuk masak,” bertanya perempuan itu.

“Terima kasih bibi. Aku sudah menyuruh mengambil pula.”

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Ratri pun kemudian berjalan menyusur pematang, menuju ke jalan pedesaan.

Dalam pada itu di kejauhan seorang anak muda duduk di balik rimbunnya daun jarak di pinggir sawah. Sekali-kali wajahnya menjadi merah, namun kemudian menjadi pucat dan tertunduk lesu. Kadang-kadang ia ingin melihat Ratri yang sedang bercakap-cakap dengan Bramanti di pematang, namun kadang-kadang ia membuang wajahnya, membenturkan pandangan matanya kepada batang-batang padi yang hijau dihadapannya.

Berbagai perasaan sedang bergolak di dalam dadanya. Ia tidak dapat melupakan Ratri begitu saja, betapapun ia sadar, bahwa jurang yang terbentang di antara mereka kini menjadi kian lebar.

Tiba-tiba anak muda itu terkejut ketika ia mendengar suara memanggilnya. “Temunggul.”

Temunggul berpaling. Dan ia terperanjat ketika ia melihat Ki Demang telah berdiri di belakangnya.

“Oh, Ki Demang agaknya,” sapanya sambil berdiri.

Ki Demang tidak segera menyahut. Dipandanginya Ratri yang berjalan di kejauhan. Semakin lama menjadi semakin jauh. Kemudian ketika ia berpaling ke arah yang lain dilihatnya Bramanti seakan-akan hilang ditelah oleh hijaunya dedaunan di sawah, ketika ia turun ke bendungan.

“Anak-anak muda itu telah mengecewakan kau bukan Temunggul?” bertanya Ki Demang.

Temunggul menggigit bibirnya.

“Apakah sekarang Ratri menjauhimu?”

Temunggul masih belum menjawab.

“Kau harus berbuat sebagai seorang laki-laki,” berkata Ki Demang kemudian.

Temunggul terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan serta merta ia bertanya, “Maksud Ki Demang?”

Ki Demang tersenyum hambar. Desisnya, “Bukankah kau mencintai Ratri?”

Temunggul tidak segera menyahut. Tetapi dadanya dijalari oleh keragu-raguan. Dipandanginya saja wajah Ki Demang dengan sorot mata keheranan.

“Benar?” desak Ki Demang.

Temunggul masih belum menjawab. Seolah-olah ia ingin meyakinkan apakah Ki Demang sebenarnya memang bertanya demikian.

“Benar begitu, Temunggul?” desak Ki Demang pula.

Perlahan-lahan Temunggul menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Kalau kau benar-benar mencintainya, kau harus berbuat sesuatu. Kau tidak akan dapat bertopang dagu seperti yang kau lakukan itu. Meratap dan mengeluh. Kemudian bersembunyi dan menelungkup di pembaringan sambil menangis. Tidak Temunggul. Itu adalah laku seorang perempuan. Perempuanpun perempuan cengeng. Sedang kau adalah seorang laki-laki . Seorang pemimpin pengawal Kademangan ini. Apakah kau akan tinggal diam?”

Terasa sesuatu bergolak di dada Temunggul.

“Kau tahu maksudku Temunggul?”

Temunggul tidak menyahut.

“Ada seribu jalan yang dapat kau tempuh. Tetapi tidak menyita diri sendiri seperti yang kau lakukan. Kau harus merebutnya dengan segala macam cara.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera mengerti, jalan manakah yang dimaksud oleh Ki Demang. Suatu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya bahwa ia tidak akan dapat melawan Bramanti. Bahkan lima orang setingkatnya sekaligus.

Temunggul menjadi semakin bingung ketika ia melihat Ki Demang tersenyum.

“Temunggul,” desis Ki Demang. “Ada persamaan persoalan antara aku dan kau, meskipun sasarannya berbeda. Kalau kau kehilangan seorang gadis, maka aku akan kehilangan Kademangan ini.”

“Kenapa?” tiba-tiba Temunggul bertanya.

“Beberapa orang telah berbuat terlampau bodoh. Bahkan kau sendiri telah ikut terseret ke dalamnya. Coba katakan, apakah perlawanan kalian terhadap orang-orang Panembahan Sekar Jagat, dan yang kalian anggap suatu kemenangan itu telah memberikan ketentraman kepada kalian kini?”

Temunggul mengerutkan keningnya.

“Semua itu akan membawa bencana bagi tanah ini. Sebentar lagi Kademangan ini akan menjadi karang abang.”

“Tetapi hal itu telah terjadi beberapa hari sampai sekarang Ki Demang. Dan belum ada tanda-tanda bahwa Penambahan Sekar Jagat akan menuntut balas atas kematian orang-orangnya disini.”

“Itulah kelebihan Panembahan Sekar Jagat. Ia membiarkan korbannya dalam kecemasan untuk waktu yang lama sebelum sampai saatnya ia datang untuk menghancurkannya.”

Tanpa disadarinya Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Adalah kebetulan sekali Temunggul, bahwa orang yang telah merampas gadis itu dari tanganmu, adalah sumber dari bencana yang bakal melanda Kademangan ini. Bramanti, kemudian Tambi dan beberapa orang yang lain yang sama sekali tidak berpengaruh apapun juga.”

Temunggul masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau orang itu tidak ada, maka baik kau maupun aku akan menjadi tentram karenanya. Kau tidak akan kehilangan Ratri, dan aku tidak akan kehilangan Kademangan ini. Bukan aku seorang diri. Bukan aku pribadi, tetapi seluruh Kademangan inilah yang aku maksud. Sehingga apabila kau dapat melakukannya, maka kau adalah sebenarnya pahlawan bagi Candi Sari.”

Temunggul tidak segera dapat menjawab. Sejenak ia merenung. Dibayangkannya apakah yang kira-kira terjadi apabila ia melakukan seperti apa yang dikatakan oleh Ki Demang itu. Tetapi bagaimana mungkin hal itu terjadi?

Ki Demang agaknya melihat keragu-raguan di wajah Temunggul. Karena itu ia menyambung, “Temunggul. Aku tahu, bahwa tingkat ilmumu masih jauh berada di bawah Bramanti. Ternyata Bramanti selama ini telah memalsu dirinya dan berpura-pura. Aku tidak tahu dengan pasti, apakah maksudnya. Namun sebenarnya ia adalah seorang yang luar biasa. Karena itu, kau pasti tidak akan dapat melawannya. Kau harus menemukan kesempatan untuk melakukannya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Kini ia tahu pasti maksud Ki Demang. Ia harus membunuh Bramanti dengan cara yang licik.

“Nah, pertimbangkan Temunggul,” berkata Ki Demang kemudian. “Kau tidak hanya akan mendapat Ratri. Tetapi seluruh Kademangan akan berterima kasih kepadamu. Serahkan Tambi kepadaku, sedang Panjang dan beberapa orang yang lain sama sekali tak akan banyak berarti bagimu.”

Jantung Temunggul serasa berdenyut semakin cepat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa ia akan mendapat tawaran serupa itu. Tawaran yang sama sekali bertentangan dengan sifat-sifatnya. Bagaimanapun juga ia adalah seorang laki-laki. Kalau ia harus bertempur, maka akan lebih baik baginya bertempur berhadapan, meskipun ia harus mati. Tetapi tidak dengan cara yang licik itu.

Namun segera terbayang, betapa Bramanti mampu membunuh seorang yang bernama Sapu Angin. Kalau ia menantang anak muda itu sebagai seorang laki-laki maka itu akan berarti bahwa ia akan membunuh dirinya.

Karena itu, maka Temunggul kini justru berada di dalam kebingungan. Semula ia sama sekali tidak memikirkan kemungkinan untuk merebut Ratri dengan cara apapun. Ia lebih baik duduk bertopang dagu sambil menyesali nasibnya. Karena ia tidak akan dapat ingkar dari kenyataan yang dihadapinya.

Namun hal itu kini menjadi persoalan baginya, justru suatu persoalan baru.

Ki Demang yang masih berdiri di tempatnya tersenyum. Katanya, “Pikirkanlah Temunggul. Kau masih mempunyai cukup waktu. Kau dapat datang ke rumahku setiap saat. Tetapi sudah tentu, jangan terlampau lama. Aku sebaiknya berterus terang kepadamu, bahwa Panembahan Sekar Jagat akan melepaskan tuntutannya atas kematian Sapu Angin, asal kita dapat menyerahkan pembunuhnya hidup atau mati. Nah, bukankah dengan demikian kita akan terlepas dari bencana yang maha dahsyat yang dapat menimpa Kademangan ini, termasuk Ratri.” Ki Demang kemudian berhenti sejenak, kemudian, “Selain semuanya itu Temunggul, kau akan mendapat imbalan yang lain. Apa yang kau ingini sebagai bekal kawinmu? Sawah atau pendok emas?”

Keringat dingin mengalir di seluruh tubuh Temunggul. Namun dengan demikian, maka justru hatinya menjadi pepat. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Dan bahkan ia tidak dapat mengerti, bagaimanakah sebenarnya tanggapannya atas usul Ki Demang itu. Temunggul merasa dirinya sendiri seolah-olah menjadi asing setelah ia mendengar tawaran Ki Demang itu.

“Jangan kau paksa dirimu memutuskan sekarang Temunggul. Kalau kau tergesa-gesa mungkin kau akan keliru. Renungkanlah seperti yang aku katakan. Aku menunggu keputusanmu.”

Sebelum Temunggul menjawab, Ki Demang telah melangkah pergi meninggalkan Temunggul seorang diri.

Sepeninggalan Ki Demang, Temunggul menjadi bingung. Ia tidak pernah dicengkam oleh kebimbangan seperti itu. Kebimbangan yang membuat kepalanya seakan-akan terlepas dari lehernya.

“Tawaran itu cukup baik,” desisnya. “Aku dapat mencari kesempatan yang sebaik-baiknya. Aku dapat berbuat licik sekalipun. Namun aku akan mendapatkan segala-galanya. Ratri dan bekal yang cukup untuk mengawininya. Bahkan aku tidak akan pernah kehilangan kedudukan dan pengaruhku di antara anak-anak muda Kademangan Candi Sari ini.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Dilontarkannya pandangan matanya yang memancarkan kerisauan hatinya, menyapu hijaunya tanah persawahan.

“Aku akan mempunyai segala-galanya,” desisnya.

TIba-tiba Temunggul itu tersenyum, “Persetan dengan kejantanan. Aku akan membunuhnya dengan cara apapun. Mungkin aku akan meracunnya atau menikamnya dari belakang di bendungan, atau dimana saja. Mudah sekali. kemudian aku mendapat sebidang sawah yang subur untuk memperluas sawahku sendiri, atau sebuah perhiasan emas teretes berlian, atau apapun yang aku minta.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bahkan mungkin aku akan menjadi semakin berpengaruh di Kademangan ini. Kini nama Ki Demang telah menjadi semakin susut. Apakah tidak mustahil bahwa suatu ketika aku akan sampai pada kedudukan itu? Seperti menyingkirkan Bramanti, akupun harus dapat menyingkirkan Ki Demang.”

Tanpa sesadarnya Temunggul tertawa.

Untunglah bahwa segera ia menyadari keadaannya. Dengan demikian suara tertawanya itu pun terputus. Dengan nanar ia memandang kesegala arah.

“Apakah ada seseorang yang melihat aku tertawa sendiri?” ia bertanya kepada dirinya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Agaknya tidak ada seorang pun yang melihatnya.

“Aku harus segera pulang dan mempersiapkan diriku lahir dan batin,” desisnya, kemudian, “Aku harus melepaskan segala macam perasaan harga diri dan kehormatanku. Apabila masih ada sepercik keragu-raguan di dalam dada ini, maka semuanya pasti akan gagal. Kegagalan itu hanya akan menambah kepahitan hidupku saja,” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apa boleh buat. Apa boleh buat.”

Langkah Temunggul pun semakin lama menjadi semakin cepat tanpa disadarinya.
Dengan tangan gemetar Temunggul membuka pintu rumahnya, kemudian langsung menuju ke dalam biliknya. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya. Sejenak kemudian, angan-angannya telah terbang menerawang sampai ke lapis tingkat ketujuh.

Bayangan-bayangan tentang masa depannya yang mengawang itu pun seolah-olah senjadi semakin jelas.

Pada saat itu Bramanti masih duduk merenung di atas sebuah batu di bendungan. Ia menunggu beberapa orang gadis yang masih belum selesai dengan cuciannya.

Sekali-kali Bramanti melihat gadis-gadis itu serentak berpaling kepadanya, kemudian tertawa tertahan-tahan. Namun Bramanti tidak mempedulikannya lagi. Ia ingin gadis-gadis itu segera selesai. Kemudian ia sendiri akan mencuci bajunya pula.

Namun sambil menunggu, Bramanti selalu teringat akan pertanyaan-pertanyaan Ratri tentang kakaknya, Panggiring. Setiap kali dadanya terasa seakan-akan tergores seujung duri. Kenapa setiap kali Ratri selalu bertanya tentang Panggiring. Panggiring dan tidak yang lain?

Bramanti mengerutkan dahinya. Bahkan ketika ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Ratri, gadis itu menyangkanya panggiring juga.

“Hem,” Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat memaksa Ratri untuk melupakan Panggiring. Apalagi berterus terang kepada gadis itu.

“Beginilah kira-kira perasaan Temunggul pada waktu itu, dan bahkan mungkin sampai saat ini,” desis Bramanti. “Tetapi apaboleh buat. Sedang akupun telah disiksanya dengan pertanyaan-pertanyaan itu.”

Dan tanpa sesadarnya Bramanti telah mulai menilai kakaknya yang bernama Panggiring itu. Meskipun saat itu ia tidak mengerti dengan jelas, apakah sebenarnya yang telah terjadi, tetapi kebencian ayahnya kepada Panggiring telah membuatnya membenci kakaknya itu pula.

“Kebencian ayah pasti bukan tidak beralasan,” desisnya. “Dan agaknya kakang Panggiring memang mempunyai pembawaan buruk.”

Dengan demikian maka Bramanti pun menjadi semakin jauh dari kakaknya itu. Meskipun mereka saudara seibu, tetapi Bramanti sama sekali tidak merasakan sentuhan apapun dari pada perasaannya.

Namun Bramanti terkejut ketika ia merasakan punggungnya disentuh oleh sebuah batu kerikil. Ketika ia berpaling maka dilihatnya gadis-gadis yang sedang ditunggunya itu berada di atas tebing. Salah seorang dari mereka telah melemparinya dengan kerikil.

“He, apakah kau tertidur?” bertanya salah seorang dari mereka.