Kisah Si Bangau Merah -2 | Kho Ping Hoo



Kisah Si Bangau Merah Buku 2 | Kho Ping Hoo
Ang I Moli menjadi penasaran dan marah bukan main. Anak laki-laki itu sama sekali tidak melawan lagi, sama sekali tidak bergerak sehingga seolah-olah sedang menggumuli sebuah batu saja. Dan bisikan-bisikan yang menyebut Tuhan berulang-ulang itu amat mengganggunya, bahan api gairah berahi yang tadi membakar dirinya, perlahan-lahan menjadi dingin. Api gairah itu hampir padam.

“Engkau.... engkau tidak mau melayani hasratku....?” Ang I Moli bertanya, suaranya terengah-engah.

Yo Han tidak menjawab, dalam keadaan tubuhnya telentang dan pakaiannya awut-awutan, dia menggeleng dengan tegas.

“Biarpun dengan ancaman mati? Engkau tetap tidak mau?”

“Mati di tangan Tuhan. Aku tidak mau melakukan hal yang tidak benar!” Jawab Yo Han, suaranya lirih namun tegas dan sepasang matanya bersinar-sinar.

“Plak! Plak!” Dua kali Ang I Moli menampar kedua pipi Yo Han sehingga kepala anak itu terdorong ke kanan kiri dan kedua pipinya menjadi merah. Ang I Moli tidak ingin membunuhnya maka tamparan tadi pun menggunakan tenaga biasa saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri dan panas. Namun Yo Han tetap memandang dengan tabah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.

“Hemm, hendak kulihat sekarang! Karena engkau harus dipaksa, maka engkau akan menderita. Salahmu sendiri! Nah, sekali lagi aku memberi kesempatan. Kalau engkau menuruti kehendakku, engkau akan hidup senang. Sebaliknya, kalau engkau tetap menolak, aku dapat memaksamu dengan obat perangsang dan racun, dan akhirnya engkau pun akan menyerahkan diri kepadaku, hanya saja, engkau akan menderita dan mati!”

“Subo, dengan ancaman siksaan apa pun Subo tidak dapat memaksaku melakukan hal yang tidak benar. Aku tidak takut mati karena kematian berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku harus mati, aku pun akan menyerah dengan rela....”

“Cukup! Tidak perlu berkhotbah! Engkau mau atau tidak?”

“Subo, kuperingatkan Subo. Perbuatan Subo ini tidak benar dan berdosa. Subo akan menerima hukuman dari Tuhan!”

“Tutup mulutmu!” Tangan Ang I Moli bergerak, jari tangannya menotok jalan darah di pundak dan pinggang dan tubuh Yo Han terkulai, tidak mampu bergerak lagi. Hanya kedua matanya yang masih terbelalak memandang wajah wanita itu engan penuh teguran.

“Subo dan aku adalah guru dan murid, tidak sepatutnya....”

“Tukkk!” Kembali wanita itu menotok leher dan suara Yo Han menghilang. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara.

“Hi-hik, bocah cerewet!” Wanita itu kini terkekeh-kekeh dan dalam pandangan Yo Han wanita itu telah berubah sama sekali. Tadinya dia melihat wanita itu sebagai seorang wanita yang berwajah cantik, bersuara lembut dan peramah. Akan tetapi kini, sepasang mata itu berubah seperti mata iblis, juga senyumnya menyeringai mengerikan, suaranya agak parau dan mendesis, wajahnya yang berbedak tebal itu seperti topeng.

“Hi-hi-hik, kita bukan guru dan murid lagi, melainkan seorang wanita dan seorang pria! Dan engkau, mau tidak mau, harus menyerahkan hawa dan darah murnimu kepadaku. Sampai tetes yang terakhir! Engkau akan menjadi seperti seekor lalat yang dihisap habis oleh laba-laba, sedikit demi sedikit darahmu akan kuhisap sampai tinggal tubuhnya mengering tanpa darah. Heh-heh-heh!” Mulutnya berliur membayangkan kenikmatan dan keuntungan yang akan diperolehnya dari anak ini. Kalau saja Yo Han mau menuruti kehendaknya, atau kalau saja anak itu dapat dikuasainya dengan sihir, tentu ia akan dapat memperoleh kenikmatan yang lebih lama. Ia akan menghisap darah murni anak itu sedikit demi sedikit, menikmatinya dari sedikit sampai akhirnya darah murni itu habis. Kini, terpaksa ia harus menggunakan paksaan dengan racun perangsang, dan ia akan menghisap darah itu dengan paksa. Mungkin hanya dua tiga hari anak itu akan bertahan. Ia akan menghisapnya sampai habis dan akan tinggal sampai ia menyelesaikan pekerjaan itu di dalam kuil tua ini. Paling lama tiga hari lagi dan ia akan berhasil. Ia akan siap untuk melatih diri dengan ilmu rahasia itu!

Melihat api unggun mulai mengecil karena kehabisan kayu bakar. Moli lalu menambahkan kayu dan api unggun membesar kembali. Sambil menyeringai dan bersenandung kecil menyatakan kegembiraan hatinya, wanita itu lalu mengambil sebuah bungkusan kain dari dalam buntalan pakaiannya, lalu membuka bungkusan itu dan mengeluarkan tiga butir pel dari dalam botol hijau. Ia duduk di dekat api unggun ketika memilih isi bungkusan. Sisa obat itu ia bungkus kembali dan tiga butir pel berada di tangannya. Yo Han mengikuti semua gerakan wanita itu dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya, maka seperti biasanya dia lakukan, dalam keadaan seperti itu, penyerahan dirinya kepada kekuasaan Tuhan menjadi semakin kuat. Dia merasa yakin bahwa segala sesuatu telah diatur oleh kekuasaan Tuhan! Kalau memang Tuhan menghendaki bahwa dia harus mati di tangan wanita ini, apa boleh buat. Dia hanya dapat menerimanya dengan pasrah karena maklum sedalamnya bahwa segalanya adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Karena kepasrahan yang mutlak ini, sedikit pun tidak ada rasa takut.

Rasa takut adalah perkembangah dari si aku yang diciptakan oleh pengalaman masa lalu melalui pikiran. Si aku yang merasa terancam menimbulkan rasa takut. Takut kalau kesenangan yang sudah berada di tangan itu terlepas dan hilang. Takut kalau kesusahan akan menimpa dirinya, takut sakit, takut mati. Si-aku ingin selalu di atas, ingin selalu menonjol, ingin selalu menjadi yang terpenting, terbesar, terbaik. Rasa takut timbul kalau si-aku merasa terancam kepentingannya, terancam keadaannya, takut kalau dirinya akan kehilangan arti, takut, kalau dirinya akan lenyap oleh kematian, takut kehilangan segala yang dimilikinya, yang menjadikan dirinya penting dan berarti. Takut kehilangan harta, kedudukan, kehormatan, nama, takut kehilangan orang-orang yang dikasihinya karena mereka yang dikasihinya itu menimbulkan kesenangan. Pada hakekatnya, si-aku yang sesungguhnya hanyalah khayalan sang pikiran yang menimbulkan rasa takut.

Yo Han dalam keadaan terancam bahaya maut, terancam siksa dan derita, tidak mengenal rasa takut karena dia sudah menyerahkan segalanya, dengan sebulat batinnya, kepada kekuasaan Tuhan! Si aku dalam dirinya tidak memegang peran lagi dan sebagai gantinya, semua diri seutuhnya, badan maupun batin, telah diserahkan kepada Tuhan dan karenanya, kekuasaan Tuhan sajalah yang membibingnya dan menjaganya.

Moli memasukkan tiga butir pel kehijauan itu ke dalam cawan araknya, kemudian mengambil guci dan hendak menuangkan isi guci ke dalam cawan itu. Akan tetapi segera ditahannya.

“Hah-heh, aku lupa! Engkau tidak suka arak. Kalau dicampur arak engkau sukar memasuki perutmu. Sebaiknya dengan air saja. Bukankah begitu, Yo Han?

Akan tetapi anak itu tidak menjawab. Pada saat itu, semua panca indranya juga bekerja sendiri, tidak lagi dikemudikan oleh hati dan akal pikiran. Karena itu, dia mendengar dan melihat tanpa penilaian, tanpa pendapat. Mendengar dan melihat saja seperti apa adanya, dan karena pikirannya tidak bekerja menimbang-nimbang lagi, maka dia tidak merasa takut. Dia seperti seorang bayi dalam gendongan ibunya, tidak takut apa-apa dan merasa aman! Demikianlah keadaan seorang yang berada dalam “gendongan” kekuasaan Tuhan yang meliputi seluruh alam maya pada ini, meliputi luar dan dalam, segenap penjuru dan di dalam apa saja yang nampak dan tidak nampak, di dalam atau pun di luar dunia, di mana saja yang terjangkau pikiran maupun yang tidak terjangkau. Kalau sudah terbimbing oleh kekuasaan seperti itu, berada dalam gendongan kekuasaan seperti itu, apalagi yang dapat menimbulkan rasa takut?

“Heh-heh-heh-heh!” Moli menuangkan air ke dalam cawan, lalu menggunakan sumpit untuk menghancurkan tiga butir pel di dalam cawan, melarutkannya sampai rata betul. Sambil terkekeh ia lalu mendekati Yo Han yang masih memandang dengan sinar mata yang terang dan tenang.

“Hi-hik, Yo Han. Dengar baik-baik. Tiga butir ini mengandung tiga macam racun yang amat kuat. Pertama, racun perampas ingatan! Begitu meminumnya, engkau akan lupa segala. Semua ingatan tentang masa lampau akan lenyap dan terlupakan. Enak, bukan? Racun kedua mengandung racun perangsang. Begitu meminumnya, engkau akan menjadi seekor kuda jantan dalam berahi! Hi-hik, menyenangkan aku benar! Engkau akan tak pernah mengenal puas dan engkau harus menyalurkan hasrat kejantananmu itu terus-menerus sampai tubuhmu yang tidak kuat lagi. Dan racun ke tiga adalah obat kuat, agar tubuhmu kuat melakukan penyaluran hasratmu itu, sampai habis, hi-hi-hik! Sampai darah murnimu terhisap habis olehku, hawa murni dalam tubuhmu tersedot habis dan menjadi milikku, hi-hik!”

Yo Han tidak merasa ngeri mendengar semua itu. Yang ada hanya keheranan mengapa Ang I Moli kini berubah seperti ini! Seperti bukan manusia lagi. Sekarang baru dia tahu mengapa wanita ini dijuluki Ang I Moli (Iblis Betina Berpakaian Merah). Kiranya memang wataknya seperti iblis betina, seperti bukan manusia lagi, penuh kelicikan dan kekejaman luar biasa.

“Bukalah mulutmu, sayang. Biar kutuangkan minuman sedap ini ke dalam perutmu melalui mulut. Bukalah mulutmu,” kata Moli dengan suara manis merayu.

Tentu saja Yo Han tidak mau membuka mulutnya. Dia memang masih dapat menggerakkan mulut karena yang tidak dapat digerakkan hanya kedua kaki dan tangan saja. Akan tetapi dia tidak sudi menuruti perintah manusia yang sudah menjadi iblis itu.

“Buka mulutmu kataku!” Kini Moli membentak marah, akan tetapi Yo Han hanya memandang dengan mata melotot, bahkan dia merapatkan kedua bibirnya.

“Anak bandel!” Moli berkata, lalu tangan kirinya menangkap rahang Yo Han dan sekali jari-jari tangannya menekan, mulut Yo Han terbuka lebar tanpa dapat ditahannya lagi. Bahkan kini yang memegang rahang Yo Han hanya tiga jari karena jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri Moli sudah di julurkan ke atas dan menekan lubang hidung Yo Han. Anak itu terpaksa menarik napas dari mulut karena hidungnya tertutup dan ketika Moli menuangkan air di cawan yang sudah bercampur tiga butir pil yang sudah larut, dia tidak dapat memuntahkannya keluar dan cairan itu pun tertelan dan masuk ke dalam perutnya.

“Hi-hi-hik, racun itu telah memasuki perutmu, Yo Han. Engkau akan tertidur karena pengaruh racun perampas ingatan, akan tetapi besok pagi-pagi kalau engkau terbangun, engkau akan jinak dan penurut seperti domba, akan tetapi juga tangkas dan kuat seperti harimau. Hi-hik, sungguh menyenangkan sekali. Sekarang, kau tidurlah, sayang....” berkata demikian, Moli membebaskan totokan jalan darah Yo Han sehingga anak itu mampu bergerak kembali. Dia menggerak-gerakkan kaki tangannva yang terasa kaku dan nyeri-nyeri, kemudian bangkit duduk memandang kepada Moli dengan sinar mata penuh teguran.

“Bibi, engkau sendiri yang tadi mengatakan bahwa kita bukan guru dan murid lagi, maka aku tidak akan menyebutmu subo lagi. Bibi, engkau seorang manusia, mengapa engkau melakukan perbuatan yang lebih pantas dilakukan iblis? Ingat, Bibi, perbuatan yang jahat akan menghasilkan akibat buruk bagi dirimu sendiri.” Yo Han menghentikan ucapannya karena. tiba-tiba saja dia merasa kantuk menyerangnya dengan hebat sekali. Tak tahan dia untuk tidak menguap.

Ang I Moli terkekeh genit. “Memang orang menyebutku iblis, Yo Han. Orang menjuluki aku Ang I Moli, kalau aku tidak bertindak seperti iblis, berarti julukanku itu tidak ada harganya dan kosong belaka, heh-heh-heh! Dan engkau sudah mulai mengantuk. Tidurlah sayang, tidurlah....!” Wanita itu terkekeh-kekeh melihat Yo Han kini merebahkan diri miring di atas rumput kering dan segera pulas. Ia pun menambahkan lagi kayu bakar di perapian, dan merebahkan diri di dekat Yo Han, memeluk pemuda remaja itu, dengan mesra. Ia sudah siap. Begitu Yo Han terbangun pada keesokan harinya dan racun-racun itu bekerja, ia sudah siap. Karena ia pun lelah dan mengantuk, sebentar saja Moli pulasjuga. Ia tidak tahu bahwa tak lama kemudian api unggun padam dan hawa dingin menyusup tulang. Ia tidak terbangun, hanya merangkul lebih erat. Yo Han juga tidak pernah terbangun karena dia agaknya terpengaruh oleh racun yang mulai bekerja di tubuhnya.



***

Karena kecapaian dan tidur pulas sekali, Moli yang merangkul bahkan seperti menyelimuti tubuh Yo Han dengan tubuhnya itu, sama sekali tidak tahu bahwa lewat tengah malam, ada sesosok bayangan hitam perlahan-lahan memasuki kuil tua yang kosong itu. Bayangan itu ternyata seorang wanita yang berpakaian longgar, pakaian sutera kuning dengan kepala juga dikerudungi sutera kuning. Karena penerangan hanya datang dari bulan yang muncul lambat sekali, bulan yang tinggal sepotong, maka tidak dapat dilihat jelas wajah wanita berkerudung itu. Namun gerak-geriknya halus walaupun ringan dan cekatan. Langkahnya tidak menimbulkan suara ketika ia memasuki kuil dan tangannya memegang sebatang kayu kering yang membara ujungnya. Ia mengayun kayu itu dan bata itu pun menyala kecil, cukup untuk menerangi sekelilingnya sejauh tiga empat meter. Akan tetapi ia menggunakan tangan kiri menutupi mukanya agar pandang matanya tidak silau oleh nyala api di ujung kayu itu. Ia memilih tempat, mencari bagian yang kering dan bersih, agaknya untuk melewatkan malam.

Bagian depan dan tengah kuil itu agaknya tidak memuaskan hatinya karena memang selain lantainya tidak begitu bersih, juga di bagian depan itu orang akan terserang angin karena terbuka. Di bagian dalam memang terlindung dari angin, akan tetapi tempat itu agak lembab. Ia lalu mengayun lagi kayu yang nyalanya telah padam dan hanya tinggal membara. Sekali ayun, bara itu menyala, kembali dan ia melangkah ke belakang. Diangkatnya kayu itu tinggi di atas kepala dan sekilas ia melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan itu, si perempuan hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang, si laki-laki yang masih remaja juga pakaiannya awut-awutan: Mereka itu tertidur nyenyak, perempuan merangkul laki-laki itu dengan erat sekali.

Ia menurunkan kayu dan nyala di ujung kayu itu pun padam. Ia lalu membalikkan tubuh dan kembali ke ruangan depan, bahkan tidak mau tinggal di ruangan dalam karena terlalu dekat dengan ruangan belakang. Dinyalakannya kembali ujung kayu itu dengan ayunan tangannya, dan ia pun mengumpulkan rumput kering dan menaburkannya di sudut ruangan depan itu. Setelah itu, ia memadamkan kembali nyala api dan duduk bersila. Biarpun angin bertiup dan hawa dingin sekali, ia tidak kelihatan kedinginan. Bahkan nyamuk yang banyak beterbangan di situ, hanya beterbangan di sekitarnya dan agaknya tidak ada yang mencoba untuk hinggap di mukanya, satu-satunya bagian tubuh yang nampak dan dapat digigit. Entah apa yang menyebabkan nyamuk tidak berani hinggap di pipi atau leher itu. Agaknya harum cendana yang keluar dari tubuh itulah yang membuat nyamuk tidak berani mendekat. Atau mungkin juga bau hio berasap yang dibakar oleh wanita itu. Sebatang saja hio (dupa biting) yang nampaknya awet sekali, mengeluarkan asap yang harum. Wanita itu duduk bersila dan memejamkan mata setelah mulutnya mengomel lirih.

“Omitohud.... tega benar menodai tempat suci ini, sungguhpun kuil ini sudah tidak terpakai. Apakah mereka tidak dapat mencari tempat lain yang lebih baik dan tepat untuk bermain cinta? Omitohud....”

Akan tetapi, ia segera melupakan apa yang terlihat olehnya tadi dan sudah tenggelam dalam samadhi yang mendalam. Siapakah wanita ini? Ia seorang wanita yang tidak muda lagi walaupun masih nampak cantik. Usianya sudah empat puluh tujuh tahun, rambutnya sudah berwarna dua. Akan tetapi rambut yang tidak tersisir rapi dan awut-awutan karena perjalanan jauh dan hembusan angin itu halus dan panjang, berkilau tanda sehat, rambut itu digelung secara aneh, tidak mirip gelung orang daerah, lalu kepala itu ditutup kerudung sutera kuning. Wajahnya masih belum diganggu keriput walaupun garis-garis di antara kedua matanya menunjukkan bahwa ia seorang yang telah banyak mengalami pahit getir kehidupan di dunia. Sepasang matanya jeli dan tajam, lebar dan berwibawa. Di antara kedua alisnya terdapat titik merah, suatu kebiasaan di negerinya karena wanita ini berasal dari negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil di sebelah selatan Tibet. Tubuhnya masih padat ramping, tanda bahwa selain sehat, juga wanita ini memiliki tubuh yang kuat dan terlatih.

Kalau ada orang Bhutan melihatnya, tentu orang itu akan bersikap amat hormat kepadanya. Hiasan rambutnya berbentuk burung merak dan pakaiannya yang seperti pakaian pendeta itu sebetulnya menunjukkan kedudukannya yang cukup tinggi di Kerajaan Bhutan. Ia seorang puteri! Seorang wanita ningrat keluarga dekat dari raja Bhutan.

Memang sesungguhnyalah. Wanita cantik ini bernama Gangga Dewi, seorang puteri Kerajaan Bhutan, atau lebih tepat lagi, ia masih cucu raja tua di Bhutan. Ibu Gangga Dewi adalah Puteri Syanti Dewi, puteri raja, dan ayahnya adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dahulu berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, atau kemudian setelah menjadi duda dan sudah tua lalu menjadi seorang pendeta dan berjuluk Tiong Khi Hwesio. Gangga Dewi dilahirkan di Bhutan. Ia dilahirkan setelah lebih dari sepuluh tahun ayahnya menikah dengan ibunya. Ia hidup sebagai seorang puteri di kerajaan itu. Ayahnya menjadi seorang panglima atau seorang penasihat perang. Sejak kecil ia pun menjadi gemblengan dari ayahnya, sampai ia dewasa kemudian menikah dengan seorang panglima muda Bhutan yang telah banyak membuat jasa.

Gangga Dewi hidup berbahagia dengan suaminya dan ia melahirkan dua orang anak. Akan tetapi, ketika dua orang anaknya berusia belasan tahun, ibunya, Puteri Syanti Dewi, meninggal dunia karena sakit tua. Ayahnya, Wan Tek Hoat, seperti berubah ingatan ketika Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya itu meninggal dunia. Seperti orang gila Wan Tek Hoat tidak mau pulang dan tinggal dalam gubuk di dekat makam isterinya, seolah dia ingin menemani isterinya yang sudah berada di dalam kuburan. Akhirnya seorang pendeta tua yang bijaksana dapat menyadarkan Wan Tek Hoat sehingga dia dapat menyadari kebodohannya, menggunduli kepala, mengenakan jubah pendeta dan mempelajari keagamaan, menjadi seorang hwesio (pendeta Buddhis berjuluk Tiong Khi Hwesio. Kemudian dia meninggalkan Bhutan karena setelah isterinya meninggal dunia dia merasa terasing di Bhutan. Puteri tunggalnya, Gangga Dewi, telah menikah dan hidup berbahagia dengan suaminya, seorang Bhutan aseli. Maka dia pun pergi ke timur, kembali ke Tiongkok dan akhirnya berkunjung ke Istana Gurun Pasir dan meninggal di sana bersama saudaranya se-ayah, berlainan ibu, yaitu nenek Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu. (Kisah itu dapat dibaca dalam cerita SI BANGAU PUTIH).

Sepeninggal ayahnya, Gangga Dewi masih hidup dalam keadaan bahagia dan tenteram. Bahkan dua orang anaknya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan, sudah pula menikah dan hidup penuh kemuliaan sebagai keluarga keturunan raja.

Akan tetapi, kehidupan manusia tidak mungkin tanpa perubahan. Nasib manusia selalu berputar, ada kalanya terang ada kalanya gelap seperti keadaan cuaca. Lima tahun yang lalu, terjadi perang di perbatasan antara negara kecil Bhutan melawan tetangganya yaitu Kerajaan Nepal. Sebagai seorang panglima, suami Gangga Dewi memimpin pasukan Bhutan dan berperang melawan pasukan Nepal. Dalam pertempuran ini, suami Gangga Dewi tewas.

Biarpun di waktu masih hidup, suami Gangga Dewi bukan merupakan seorang suami yang lembut, bahkan merupakan seorang militer yang kasar dan bahkan keras, seorang yang terlalu jantan, namun ketika suaminya tewas, Gangga Dewi merasa kehilangan sekali dan ia merasa kehilangan sekali dan ia pun tenggelam dalam duka yang mendalam. Agaknya ia mewarisi watak ayahnya. Dahulu Wan Tek Hoat ketika kehilangan isterinya juga dilanda kedukaan yang hampir membuatnya gila. Kini Gangga Dewi demikian pula. Hidupnya seolah kosong dan merana. Bahkan kehadiran cucu-cucunya dari dua orang anaknya tidak dapat menghibur hatinya. Setelah membiarkan dirinya merana sampai hampir lima tahun, akhirnya ia mengambil keputusan untuk pergi ke timur, mencari ayahnya yang sekian lamanya tiada kabar berita dan tidak pernah pulang pula.

Biarpun perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan yang tinggi, daerah yang sunyi penuh dengan hutan, melalui pula padang tandus banyak pula ancaman datang dari binatang buas dan penjahat-penjahat yang suka merampok, namun Gangga Dewi selalu dapat menyelamatkan dirinya. Kadang dia menggabungkan diri dengan khafilah yang melakukan perjalanan jauh, kadang menyendiri. Namun, ia adalah seorang wanita yang tidak asing akan kehidupan yang keras. Ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, pernah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri. Dan ia pernah menjadi isteri seorang panglima perang. Selain itu, sikapnya berwibawa, kecantikannya agung sehingga jarang ada orang berani iseng mengganggunya. Padahal, biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sebagai wanita ia masih memiliki daya tarik yang kuat sekali, baik dengan wajahnya yang masih cantik jelita maupun dengan tubuhnya yang ramping dan berisi.

Demikianlah, pada malam hari itu, Gangga Dewi tiba di bukit itu dan melihat kuil tua, ia pun memasukinya, sama sekali tidak mengira akan melihat pemandangan yang membuat ia merasa rikuh dan tidak enak hati. Bukan karena melihat seorang wanita tidur berpelukan dengan seorang pria yang membuat ia merasa tidak enak namun melihat bahwa mereka melakukannya di dalam sebuah kuil, walaupun kuil kosong, membuat ia merasa penasaran. Bagaimanapun juga, manusia terikat oleh hukum adat, umum, sopan santun dan tata-susila, juga hukum agama. Hukum-hukum inilah yang membedakan manusia dari mahluk lainnya. Seorang manusia yang sopan, yang tahu akan peradaban, mengenal tata-susila, sudah sepatutnya menghargai sebuah kuil atau sebuah tempat pemujaan, dari golongan atau agama apa pun. Di negaranya, Kerajaan Bhutan, agama amat dihormati, dan biarpun di sana terdapat berbagai agama, di antaranya Agama Kristen, Islam, Buddhis dan lain-lainnya, namun diantara agama terdapat saling menghormati dan saling pengertian. Kerukunan agama mendatangkan kerukunan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Kalau pun ada pertentangan-pertentangan kecil, maka pemuka agama dapat menenteramkannya kembali. Bagaimanapun juga inti pelajaran semua agama adalah hidup rukun di antara manusia, saling mengasihi, saling menolong. Hidup saleh dengan cara tidak melakukan perbuatan jahat, memupuk perbuatan baik dan saling menolong. Hidup beribadat dengan cara memuja Yang Maha Kuasa. Maha Pencipta, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan, maka yang bertentangan adalah manusianya dan pertentangan atau permusuhan itu merupakan pekerjaan nafsu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika sinar matahari telah membakar ufuk timur dan kepadatan malam gelap telah memudar dan cuaca menjadi remang-remang, ketika burung-burung ramai berkicau, sibuk mempersiapkan pekerjaan mereka yang berulang setiap hari, yaitu mencari makan. Ang I Moli terjaga dari tidurnya. Ia menggeliat seperti seekor kucing, akan tetapi segera ia teringat dan membuka matanya, lalu bangkit duduk, memandang kepada Yo Han yang masih tidur nyenyak. ia tersenyum, lalu merangkul dan mencium pemuda remaja itu.

“Bangunlah, sayang. Bangunlah dan peluklah aku....”

Yo Han membuka matanya. Seketika dia tersentak kaget ketika mendapatkan dirinya didekap wanita itu dan mukanya diciumi. Seperti orang dipagut ular, dia meronta dan bangkit berdiri, mukanya berubah merah sekali, matanya terbelalak dan cepat kedua tangannya sibuk membereskan letak pakaiannya yang awut-awutan dan setengah telanjang.

“Apa.... apa yang kaulakukan ini, Bibi?” bentaknya marah.

Wanita itu memandang heran, hampir tidak percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Menurut penglihatan dan pendengarannya, Yo Han sama sekali tidak berubah! Tidak hilang ingatannya, tidak terangsang sama sekali! Ini tidak mungkin! Biar seorang laki-laki dewasa yang kuat sekali pun, tentu akan terpengaruh oleh pel-pel itu! Apalagi Yo Han yang masih remaja, masih boleh dibilang kanak-kanak.

“Yo Han, kau.... kau.... ke sinilah, sayang.” Ia mencoba untuk meraih. Akan tetapi Yo Han menghindarkan diri dengan langkah ke belakang.

“Bibi, apakah engkau sudah menjadi gila?” Suara Yo Han lantang dan penuh teguran. “Ingatlah, perbuatanmu Ini amat kotor, hina dan jahat! Sadarlah, Bibi.”

“Yo Han, ke sinilah, sayang. Engkau sayang kepadaku, bukan? Mari kita menikmati hidup ini....” Kembali wanita itu meraih dan kini, biarpun Yo Han mengelak, tetap saja pergelangan tangannya tertangkap oleh wanita itu.

Yo Han meronta, namun apa artinya tenaganya dibandingkan wanita yang sakti itu? “Lepaskan aku! Engkau perempuan jahat, lepaskan aku! Aku tidak sudi menuruti kehendakmu yang keji dan hina!

Biar kausiksa, kaubunuh sekali pun, aku tidak sudi! Lepaskan aku, perempuan tak tahu malu!”

“Plakk!” Sebuah tamparan mengenai pipi Yo Han, membuat anak itu terpelanting dan di lain detik, dia telah tertotok dan tidak mampu bergerak lagi.

Ang I Moli menyeringai. Gairah berahinya menghilang, terganti kemarahan karena ia dimaki-maki tadi. “Anak tolol! Diberi kenikmatan tidak mau malah memilih siksaan! Kaukira kalau engkau sudah menolakku, engkau akan bebas dan aku takkan berhasil menghisap semua darah dan hawa murni dari tubuhmu? Hemmm, terpaksa aku akan menghisapmu sampai habis sehari ini juga. Darahmu akan kuminum sampai habis. Tulang-tulangmu akan kukeluarkan dan sumsumnya kuhisap sampai kering. Dan engkau akan lebih dulu mampus kehabisan darah! Wanita itu tertawa-tawa seperti orang gila dan bagaimanapun juga Yo Han merasa ngeri. Bukan takut akan ancaman itu, melainkan ngeri melihat wajah wanita itu dan mendengar suaranya. Dia merasa seperti berhadapan dengan iblis, bukan manusia lagi.

“Sratttt....!” Tangan wanita itu menyambar dan kuku jarinya yang tajam dan keras seperti pisau itu telah menyayat leher dekat pundak. Kulit dan daging tersayat, dan darah mengucur. Wanita itu lalu menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisap darah yang keluar!

Pada saat yang amat gawat bagi Yo Han itu, yang hanya terbelalak ngeri namun tidak mampu bergerak, terdengar suara lembut namun mengandung getaran kuat.

“Omitohud.... hentikan perbuatanmu yang amat keji dan jahat itu, perempuan sesat!” Ada hawa pukulan mendorong dari samping dan dengan kaget Ang I Moli meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Bibirnya masih berlepotan darah sehingga nampak mengerikan sekali. Seperti seekor binatang buas, lidahnya menjilati darah yang berada di bibir, dan matanya liar memandang kepada wanita berkerudung yang berdiri di depannya dengan sikap anggun dan berwibawa.

“Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan pribadiku?” Ang I Moli membentak dengan marah sekali, matanya mencorong menatap wajah Gangga Dewi. Ia sama sekali tidak mengenal wanita yang berpakaian longgar serba kuning, dengan kepala berkerudung sutera kuning pula itu, namun dari logat bicaranya, ia dapat menduga bahwa wanita ini datang dari barat dan bukan berbangsa Han.

Gangga Dewi tidak menjawab. Sejak tadi ia memandang kepada anak laki-laki yang masih menggeletak di atas lantai. Tangan kirinya bergerak dan nampak sinar putih menyambar ke arah tubuh Yo Han. Kiranya itu adalah sehelai sabuk sutera putih yang meluncur seperti tombak dan begitu mengenai pundak dan pinggang Yo Han dua kali, anak itu dapat menggerakkan kembali tubuhnya. Yo Han seorang anak yang cerdik. Begitu tubuhnya dapat bergerak, dia segera menggelindingkan tubuh, bergulingan ke arah wanita berkerudung itu. lalu melompat bangun dan berdiri di belakangnya berlindung di belakang Gangga Dewi. “Terima kasih, Locianpwe (Orang Tua Sakti),” katanya.

Gangga Dewi melihat betapa darah masih mengucur dari luka di leher, anak ltu, luka yang tadi sempat dihisap oleh wanita berpakaian merah. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan memberikannya kepada Yo Han.

“Kau obati luka di lehermu dengan bubuk dalam bungkusan ini agar darahnya berhenti mengucur.”

“Heiii, keparat busuk! Siapakah engkau? Katakan namamu sebelum aku mencabut nyawamu!”

Biarpun sikapnya masih lembut, namun pandang mata Gangga Dewi kini berubah keras. Dengan perlahan, kepalanya tegak ke belakang, dadanya membusung dan ia nampak lebih tinggi dari biasanya, anggun dan angkuh, juga mengandung kegagahan yang tersembunyi di balik kelembutannya.

“Perempuan sesat, tidak ada hubungan apa pun antara kita dan aku pun tidak ingin berkenalan denganmu. Akan tetapi, kekejaman dan kejahatan yang kaulakukan terhadap anak ini tidak mungkin kudiamkan saja. Masih baik bahwa aku belum terlambat dan anak ini masih hidup. Maka, pergilah dan bertaubatlah. Masih belum terlambat bagimu untuk menebus dosamu dengan perbuatan baik dan bertaubat!”

“Keparat sombong! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku adalah Ang I Moli dan tidak ada orang dapat hidup terus kalau dia berani menentangku. Kembalikan anak itu kepadaku dan buntungi lengan kirimu, baru aku akan mengampunimu!”

Tiba-tiba Yo Han meloncat ke depan Gangga Dewi menghadapi Ang I Moli dan dia marah sekali. Telunjuk kanannya menuding ke arah wanita berpakaian merah itu dan suaranya lantang penuh teguran. “Ang I Moli! Tidak boleh kaulakukan ini! Bibi ini tidak berdosa, kenapa engkau begitu kejam menyuruh ia membuntungi lengan sendiri? Engkau boleh menyiksaku, membunuhku, akan tetapi tidak boleh mencelakai orang lain hanya karena diriku.” Dia menoleh kepada Gangga Dewi dan berkata, “Locianpwe, harap cepat pergi dan jangan mengorbankan diri hanya karena aku!”

Gangga Dewi terbelalak kagum memandang kepada Yo Han. Bukan main anak ini, pikirnya. Ingin sekali ia mengenal Yo Han lebih dekat dan mengetahui mengapa anak ini sampai terjatuh ke tangan wanita jahat itu.

“Anak baik, ke sinilah engkau!” Tangannya bergerak ke depan dan Yo Han merasa dirinya tertarik kembali ke belakang wanita berkerudung itu. Gangga Dewi kini memandang kepada Ang I Moli lalu mengangguk-angguk.. “Kini aku tidak merasa heran. Kiranya engkau bukan manusia melainkan iblis betina (Moli). Pantas engkau melakukan, kekejaman seperti itu. Ang I Moli, engkau sepatutnya berguru kepada anak ini dan belajar tentang kebajikan dari dia.”

“Engkau memang sudah bosan hidup!” Ang I Moli membentak dan tiba-tiba saja bagaikan seekor harimau yang marah, ia sudah menerjang dengan tubrukan ke arah Gangga Dewi. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring, tubuhnya seperti terbang meluncur dan kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan terbuka membentuk cakar hendak mencengkeram ke arah leher Gangga Dewi. Wanita Bhutan ini mengenal gerakan dahsyat dari serangan yang berbahaya itu, maka ia pun menggeser kaki ke kiri sambil tangannya menyambar lengan tangan kiri Yo Han yang berdiri di belakangnya dan tubuh anak itu terlempar sampai lima meter ke arah kiri. Yo Han terkejut dan dia pun terbanting jatuh, akan tetapi kini berada di tempat aman, di bawah pohon di luar kuil karena lemparan tadi membuat tubuhnya melayang keluar dari jendela ruangan belakang kuil itu. Gangga Dewi sendiri setelah mengelak, lalu meloncat keluar dari ruangan. Ia merasa tidak leluasa untuk menghadapi iblis betina yang ganas itu di dalam ruangan.

“Jangan lari kau, keparat!” Ang I Moli marah sekali ketika terjangannya mengenai tempat kosong. Ia meraih ke arah pakaian luarnya yang ditinggalkannya semalam, mengambil kantung jarum, juga menyambar pedangnya, mencabut senjata itu dan melemparkan sarung pedangnya, kemudian ia melompat keluar melakukan pengejaran.

Akan tetapi orang yang dikejarnya itu sama sekali tidak lari, melainkan menanti diluar, ditempat terbuka. Matahari pagi mulai menerangi dunia sebelah sini, sinarnya kemerahan membakar dan menghalau sisa kegelapan malam. Yo Han berdiri di belakang sebatang pohon sambil menonton, dengan penuh perhatian. Tadi, setelah dia bergulingan akibat ditampar oleh Gangga Dewi, dia bangkit berdiri. Dia melihat bayangan kuning berkelebat dan wanita berambut kelabu itu sudah berada di dekatnya.

“Anak baik, engkau berlindunglah di balik pohon itu. Iblis betina itu berbahaya. sekali.”

Yo Han hanya mengangguk dan dia lalu berlindung di belakang pohon untuk melihat apa yang akan terjadi. Kini dia tidak mengkhawatirkan sekali, maklum bahwa wanita berkerudung itu bukan orang sembarangan dan berkepandaian tinggi. Betapapun juga, dia masih merasa tegang, tidak rela kalau sampai ada orang menderita celaka apalagi sampai tewas karena membela dia.

“Bersiaplah untuk mampus engkau perempuan asing yang lancang!” Ang I Moli membentak lagi dan kini ia menyerang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat. Pedang di tangannya meluncur dengan sinar menyilaukan mata karena tertimpa cahaya matahari pagi. Namun, ternyata lawannya juga memiliki gerakan yang amat ringan dan tangkas. Tidak begitu sukar Gangga Dewi menghindarkan diri dari tusukan pedang itu dengan menggerakkan kaki kirinya, melangkah ke samping dan miringkan tubuhnya. Dari bawah samping, tangannya diputar untuk menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.

“Syuuuttt....!”

Ang I Moli terkejut bukan main dan cepat-cepat ia menarik kembali pedangnya dan melompat ke belakang. Ia tadi melihat lawannya menggunakan jari telunjuk menotok ke arah pergelangan tangannya, gerakannya aneh, cepat dan dari jari telunjuk itu datang angin yang amat dingin. Tahulah ia bahwa lawannya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka ia lalu memutar pedangnya dan menyerang lebih ganas lagi. Pedang diputar sedemikian cepatnya sehingga lenyap bentuk pedang berubah menjadi gulungan sinar yang mendesingdesing dan dari gulungan sinar itu kadang mencuat sinar yang menyambar ke arah Gangga Dewi, merupakan serangan bacokan atau tusukan.

Gangga Dewi terpaksa mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang. Senjata lawan itu demikian cepat gerakannya ia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Dan Ang I Moli yang merasa penasaran itu terus mendesak dan mempercepat gerakannya. Ia tahu bahwa sebelum ia merobohkan dan membunuh wanita berkerudung ini, tak mungkin ia bisa menguasai Yo Han. Padahal, tadi ia sudah mencicipi darah pemuda itu. Segar dan manis menyegarkan dan menguatkan badan rasanya!

Gangga Dewi terus mengelak dengan mengandalkan keringanan tubuhnya. Gerakannya demikian lincah dan indah seperti menari-nari saja sehingga Yo Han merasa kagum. Dia teringat kepada subonya, Kao Hong Li, yang kalau sedang bersilat juga nampak memiliki gerakan yang indah, seperti menari saja! Dia menemukan tiga daya guna dalam ilmu silat. Pertama seni tari yang disukainya, ke dua seni olah raga juga disetujuinya, dan ke tiga seni bela diri dan inilah yang membuat dia tidak suka belajar silat. Bela diri ini mengandung kekerasan sehingga akibatnya bukan sekedar menyelamatkan diri semata, melainkan balas menyerang dan merobohkan lawan. Memukul roboh lawan, bahkan kalau salah tangan dapat membunuh lawan! Kini, dia melihat betapa segi seni-tari menonjol sekali dalam gerakan wanita berkerudung yang menolongnya, dan dia pun kagum.

Akan tetapi, setelah lewat belasan jurus, maklumlah Gangga Dewi bahwa tidak mungkin baginya untuk hanya terus menerus mengelak saja. Kalau dilanjutkan hal itu akan membahayakan keselamatan dirinya. Ia tahu bahwa lawannya lihai. Selisih tingkat kepandaian antara mereka tidak banyak. Ketika kembali pedang lawan mendesaknya sehingga ia harus berloncatan ke belakang, tiba-tiba ia membuat lompatan agak jauh ke belakang dan dalam loncatan ke belakang itu ia bersalto sampai lima kali dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, tangannya telah memegang segulung sabuk sutera putih yang tadi ia lolos dari pinggang ketika ia berjungkir balik di udara. Hampir saja Yo Han bertepuk tangan memuji, bukan memuji kehebatan gin-kang itu, melainkan memuji keindahan gerakan tadi.

“Engkau iblis betina yang haus darah. Sudah sepatutnya kalau engkau dihajar!” kata Gangga Dewi dan sekali tangan kanannya bergerak, gulungan sinar putih itu meluncur ke depan dan menegang, menjadi seperti batang tombak yang kaku. Pada saat itu, Ang I Moli sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya. Gangga Dewi menggerakkan sabuk sutera putih itu menangkis.

“Takkk!” Dan pedang itu terpental, seolah bertemu dengan sebatang tombak besi atau kayu yang kaku dan kuat! Akan tetapi melihat ini, tentu saja Yo Han tidak merasa kaget atau heran. Bagaimanapun juga, dia pernah tinggal bersama sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian silat tinggi dan dia pun sudah banyak mempelajari ilmu silat walaupun hanya mengerti dan dihafalkannya saja. Dia tahu bahwa sabuk sutera di tangan wanita berkerudung itu menjadi kaku karena pemegangnya mempergunakan tenaga sin-kang yang tersalur lewat telapak tangan ke sabuk itu. Dia hanya kagum karena gerakan silat wanita itu selain aneh, juga amat indahnya.

Kini terjadilah pertandingan yang amat seru, tidak berat sebelah seperti tadi ketika Gangga Dewi hanya terus-terusan mengelak. Kini kedua orang wanita yang lihai itu saling serang dan diam-diam Ang I Moli mengeluh. Sabuk sutera putih itu memang hebat. Pedangnya sudah digerakkan sekuatnya untuk dapat membabat putus sabuk sutera itu, namun semua usahanya sia-sia belaka. Setiap kali terbacok, tiba-tiba sabuk itu menjadi lemas dan tentu saja tidak dapat dibacok putus, bahkan ujung sabuk itu beberapa kali sempat menggetarkan tubuhnya karena totokan yang hampir saja mengenai jalan darah dan membuat ia roboh.

“Haiiittt....!” Tiba-tiba Ang I Moli mengeluarkan suara melengking, mengikuti gerakan pedangnya yang membabat ke arah leher lawan. Gangga Dewi merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan dari bawah ia hendak menotok dengan sabuk sutera yang sudah menegang. Akan tetapi tiba-tiba tangan kiri Ang I Moli bergerak dan ada sinar kecil-kecil merah menyambar ke arah tubuh Gangga Dewi. “Uhhh....!” Gangga Dewi terkejut, maklum bahwa ia diserang senjata rahasia yang lembut. Cepat ia melompat ke belakang sambil memutar sabuknya yang membentuk payung di depan dirinya. Beberapa batang jarum kecil merah runtuh.

“Keji....!” Bentak Gangga Dewi dan kini sabuk suteranya meluncur ke depan, menotok ke arah ubun-ubun kepala Ang I Moli. Gerakannya amat cepat karena ia tidak ingin memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menggunakan senjata rahasia secara curang. Ang I Moli melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu, maka ia pun mengerahkan tenaganya untuk menangkis dengan pedang.

“Plakk!” Pedang bertemu sabuk sutera yang segera berubah lemas dan melibat pedang. Bukan hanya melibat, juga ujung sabuk itu masih terus ke depan menotok pergelangan tangan.

“Tukk!” Ang I Moli mengeluarkan teriakan kaget karena tiba-tiba saja lengan kanannya menjadi kehilangan tenaga dan di lain saat, sekali renggut Gangga Dewi telah dapat merampas pedang itu melalui libatan sabuk suteranya! Dan sekali ia membuat gerakan mengebut, pedang yang terlibat ujung sabuk itu melayang jauh dan lenyap di antara semak-semak.

Wajah Ang I Moli menjadi pucat saking marahnya. ”Keparat jahanam engkau! Hayo mengaku siapa namamu sebelum kita mengadu nyawa!”

Gangga Dewi tersenyum dan menggeleng kepalanya, “Aku tidak ingin berkenalan dengan iblis betina kejam seperti engkau. Pergilah dan jangan ganggu lagi anak itu, dan semoga Yang Maha Kasih mengampuni semua dosamu.” Berkata demikian, Gangga Dewi sudah menyimpan kembali sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.

Akan tetapi Ang I Moli terlalu marah untuk mengalah begitu saja.

“Biar kukirim engkau ke neraka!” bentaknya dan kini ia pun sudah menyerang lagi, mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang amat dahsyat, yaitu Pek-lian Tok-ciang (Tangan Beracun Teratai Putih). Ilmu ini merupakan ilmu pukulan beracun yang bercampur dengan kekuatan sihir, yang didapatkannya dari Pek-lian-kauw.

Melihat betapa kedua tangan lawan berubah menjadi putih pucat dan mengeluarkan bau harum-harum keras menyengat hidung, Gangga Dewi mengerutkan alisnya.

“Omitohud, kiranya engkau iblis dari Pek-lian-kauw?”

Akan tetapi, Gangga Dewi tidak merasa gentar. Ketika melihat lawan menyerang dengan kedua tangan yang putih pucat itu melakukan gerakan mendorong, ia pun merendahkan tubuhnya dan menangkis dari samping dengan memutar lengannya.

“Dukkk!” Tubuh Gangga Dewi tergetar dan saat itu, secara curang sekali kakinya melayang ke arah selangkangan Gangga Dewi.

“Uhhh....!” Gangga Dewi berseru dan cepat merapatkan kedua kakinya dan miringkan tubuh. Namun, tetap saja pahanya tersentuh dan terdorong oleh kaki Ang I Moli yang melapisi sepatunya dengan besi di bagian bawahnya, Gangga Dewi terpelanting roboh!

Melihat lawannya roboh miring, Ang I Moli girang sekali, “Mampuslah!” Ia berseru dan menubruk ke depan untuk mengirim pukulan terakhir, pukulan maut yang akan menewaskan lawan yang sudah roboh itu.

“Moli, jangan....!” Yo Han masih sempat berteriak ketika melihat Ang I Moli menyusulkan pukulan maut kepada wanita berkerudung yang sudah roboh miring. Akan tetapi tentu saja Ang I Moli sama sekali tidak peduli akan teriakannya itu dan melanjutkan pukulannya dengan telapak putih pucat dari ilmu pukulan Pek-lian Tok-ciang!

Akan tetapi, ketika ia tertendang dan terpelanting, Gangga Dewi memang sengaja membiarkan dirinya terjatuh miring dan ia sengaja pula bersikap lambat sehingga memberi kesempatan kepada lawan untuk mengirim pukulan terakhir itu. Padahal, setelah kaki tangannya menempel pade tanah, diam-diam ia mengerahkan ilmu simpanan yang dahulu dipelajarinya dari ayahnya. Maka, begitu lawan mengirim pukulan maut, ia pun segera mengangkat kedua tangannya, dengan telapak tangan terbuka ia menyambut pukulan itu.

“Dessss....!” Hebat bukan main pertemuan antara dua tenaga itu. Tubuh Ang I Moli terlempar ke atas seperti layang-layang putus talinya dan ia pun terpelanting jatuh ke atas tanah! Bukan main kagetnya Ang I Moli! Ia tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan wanita berkerudung itu. Ia tidak tahu bahwa itulah Tenaga Inti Bumi! Masih untung baginya bahwa tenaga rahasia yang dimiliki atau dikuasai Gangga Dewi belum mencapai puncaknya. Kalau demikian halnya, ia bukan hanya akan terlempar dan terbanting jatuh, juga mungkin ia akan tewas seketika karena guncangan hebat akan meremukan isi dada dan perutnya.

Ang I Moli bangkit dan wajahnya pucat, matanya terbelalak. Ia merasa gentar sekali, akan tetapi melihat Yo Han keluar dari balik pohon, ia merasa penasaran dan menyesal bahwa ia tidak dapat memiliki pemuda itu. Kekecewaan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian hebat.

“Mampuslah!” bentaknya dan ketika tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar ke arah Yo Han.

“Awas....!” Gangga Dewi berteriak, dan ia cepat meloncat ke arah Yo Han untuk menyelamatkan anak itu. Namun terlambat. Yo Han mengeluh dan roboh terjengkang ketika dadanya disambar sinar merah kecil-kecil itu.

Gangga Dewi tidak mempedulikan lagi Ang I Moli yang melarikan diri sambil terkekeh-kekeh. Ia cepat berlutut dan membuka kancing baju Yo Han. Anak itu roboh telentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, matanya terpejam dan agaknya ia pingsan. Ketika Gangga Dewi menyentuh dadanya, ia terkejut. Bukan main panasnya dada itu, seperti dibakar. Dan ada lima bintik merah di dada anak itu. Ketika ia meraba, tahulah ia bahwa ada lima batang jarum masuk ke dalam dada, masuk seluruhnya dan hanya tinggal ujungnya saja nampak terbenam di kulit. Jarum-jarum itu kecil, tidak merusak isi dada, akan tetapi tentu mengandung racun jahat. Dan racun itu tentu menodai darah anak ini, padahal letaknya demikian dekat dengan jantung! Sungguh berbahaya sekali.

“Anak yang malang....!” katanya dan ia pun bersila di dekat tubuh Yo Han, lalu menghimpun tenaga sakti, menggosok kedua telapak tangannya, kemudian ia menggunakan telapak tangan kanannya ditempelkan di dada, menutupi lima bintik merah itu. Ia mengerahkan sin-kangnya, menyedot dan setelah dahinya basah oleh keringat, dari balik kerudung kepalanya mengepul uap putih, akhirnya ia berhasil. Lima batang jarum itu kini nampak tersembul keluar.

Gangga Dewi menggunakan saputangan sutera, mencabuti lima batang jarum yang amat lembut itu, jarum yang merah kehitaman warnanya. Jelas jarum-jarum itu beracun, pikirnya.

“Iblis betina kejam....!” katanya lirih, kemudian setelah membuang jarum-jarum itu, ia memeriksa luka bekas jarum.

“Omitohud....!” Serunya kaget dan heran. Ia melihat darah merah kehitaman keluar dari lima luka kecil itu, seolah olah darah beracun itu didorong dari dalam! Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sin-kang yang sudah amat kuat. Mungkinkah anak ini memiliki sin-kang yang sedemikian kuatnya sehingga tenaga sakti dari dalam tubuh itu mampu dikerahkan untuk mendorong keluar darah beracun dari luka-luka sekecil itu? Akan tetapi, andaikata benar demikian, hal itu pun sama sekali tidak mungkin. Anak ini jelas dalam keadaan pingsan! Tidak mungkin dalam keadaan pingsan dia mampu mengerahkan sin-kangnya. Kalau bukan tenaga sin-kang, lalu tenaga apa yang demikian hebatnya, yang dapat bekerja selagi orangnya pingsan, mampu mendorong keluar racun dari dalam tubuh?

“Omitohud....!” kembali wanita itu memuji kebesaran Yang Maha Kasih dan matanya terbelalak mengamati dada itu. Kini darah yang keluar dari lima luka kecil itu sudah berwarna merah bersih, berarti bahwa racunnya sudah terdorong keluar semua. Darah merah itu menetes-netes. Ketika ia merabanya, dada itu tidak panas lagi, napas anak itu tidak terengah lagi, dan agaknya dia tidur pulas!

“Omitohud....!” Gangga Dewi terheran-heran dan kagum, lalu mengeluarkan obat dari bungkusan yang dilihatnya berada di dekat anak itu, bungkusan obat bubuk yang tadi ia berikan kepadanya. Ditaburkannya bubuk obat luka itu pada lima luka kecil dan darah pun berhenti menetes. Ia mengenakan lagi baju anak itu yang tadi ia buka, dan diam-diam ia merasa aneh. Kalau menurut perhitungannya, orang yang terkena luka batang jarum beracun seperti itu, di dadanya, kecil sekali harapannya untuk dapat diselamatkan nyawanya. Akan tetapi anak ini, tanpa pengobatan, hanya ia bantu agar jarum-jarum itu keluar, telah dapat sembuh dengan sendirinya, racun berbahaya itu dapat keluar dengan sendirinya, tanpa disengaja, karena anak itu pun masih dalam keadaan pingsan! Sungguh selama hidupnya, belum pernah Gangga Dewi melihat hal seperti ini, bahkan mendengar pun belum pernah. Ilmu apa yang dimiliki anak ini sehingga ada kekuatan mujijat yang melindunginya?

Setelah mengenakan kembali pakaian Yo Han, Gangga Dewi lalu menekan tengah-tengah bawah hidung, sedikit di atas bibir, dengan jari telunjuknya. Yo Han mengeluh dan membuka matanya. Ketika, melihat wajah wanita berkerudung itu, Yo Han segera teringat akan semua yang terjadi dan dia pun bangkit duduk.

“Di mana wanita jahat itu?”

“Tenanglah, anak yang baik. Ia sudah pergi melarikan diri.”

“Aahhhh.... jadi Locianpwe berhasil mengusirnya?” kata Yo Han dengan hati lega. “Aku tadinya sudah khawatir sekali melihat Locianpwe roboh....”

Gangga Dewi tersenyum dan menarik napas panjang. Pahanya yang kena tendang masih berdenyut nyeri. “Ia memang licik dan lihai sekali, akan tetapi untunglah aku berhasil mengusirnya. Bagaimana dengan lehermu?” Gangga Dewi sengaja tidak menyinggung dulu soal luka di dada.

Yo Han meraba luka di lehernya yang tadi dihisap darahnya oleh Ang I Moli. “Sudah kering berkat obat Locianpwe yang amat manjur. Ihhh, wanita itu sungguh mengerikan. Ia.... ia menghisap darahku!”

“Dan bagaimana dengan dadamu?”

“Dadaku? Kenapa, Locianpwe?”

Gangga Dewi menatap tajam wajah anak itu, penuh selidik. “Tidak tahukah engkau bahwa dadamu terluka oleh jarum-jarum beracun?”

“Ahhh...?” Yo Han terkejut. “Aku tidak tahu, Locianpwe.” Dia meraba dadanya dan menggigit bibir.

“Sakitkah?”

“Perih sedikit.”

“Coba bernapas yang dalam dan rasakan, apakah terasa nyeri di sebelah dalam?”

Yo Han menarik napas panjang dan merasakan, lalu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang sakit, Locianpwe.”

Gangga Dewi terheran-heran. Ia masih duduk bersila dan anak itu pun kini duduk di atas rumput. Mereka saling pandang sejenak dan Yo Han lalu berkata,

“Locianpwe telah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman wanita jahat itu. Terima kasih, Locianpwe. Semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi kebaikan Locianpwe ini.”

Gangga Dewi semakin kagum mendengar ucapan Yo Han. Seorang bocah yang luar biasa sekali. “Anak yang baik, siapakah engkau? Siapa namamu dan dari mana engkau datang?”

“Namaku Yo Han, Locianpwe. Aku hidup sebatangkara, yatim piatu dan aku sedang dalam perjalanan mengikuti Ang I Moli.”

“Omitohud, anak yang patut dikasihani. Engkau sebatang kara? Akan tetapi bagaimana engkau dapat bersama-sama seorang iblis betina seperti Ang I Moli?”

“Aku tidak tahu bahwa ia sedemikian jahatnya, Locianpwe. Aku.... aku menjadi muridnya dan sedang ia ajak pergi ke tempat tinggalnya, entah di mana. Setelah tiba di sini, ternyata ia berubah mengerikan dan hendak membunuhku, menghisap darahku...., ihh, mengerikan sekali. Ia seperti bukan manusia lagi.”

“Omitohud! Sudah menjadi kehendak Yang Maha Kasih bahwa kebetulan sekali aku datang ke kuil ini untuk bermalam. Yo Han, sudah berapa lama engkau menjadi murid Ang I Moli?”

“Baru kurang lebih dua minggu.”

“Ehh? Jadi, engkau belum belum belajar ilmu silat darinya?”

“Sama sekali belum dan juga tidak. Aku tidak suka belajar ilmu silat, Locianpwe.”

“Apakah selama ini engkau belum pernah mempelajari ilmu silat?”

“Aku belum pernah latihan ilmu silat,” kata Yo Han. Dia tidak mau berbohong. Memang sudah banyak dia mempelajari ilmu silat, dari suhu dan subonya di Tatung, akan tetapi dia hanya menghafal saja, dan tidak pernah berlatih. Dia tidak mau membawa-bawa nama suhu dan subonya, maka dia mengatakan saja bahwa dia belum pernah latihan silat, dan ini memang benar.

Tentu saja jawaban ini membuat Gangga Dewi menjadi semakin terkejut dan heran. Selamanya belum pernah latihan silat. Akan tetapi, lima batang jarum memasuki dadanya dan dia selamat! Dan anak yang tidak bisa silat ini begitu berani dan tabahnya, berani menentang seorang iblis betina seperti Ang I Moli! Padahal, sekali pukul saja iblis itu dapat membunuhnya! Anak apakah ini?

“Yo Han, keteranganmu sungguh membuat aku menjadi bingung. Engkau tidak suka belajar ilmu silat. Engkau seorang anak yang baik dan tidak suka akan kejahatan. Akan tetapi engkau melakukan perjalanan bersama Ang I Moli sebagai muridnya! Bagaimana ini? Keadaanmu serba bertolak belakang. Kenapa engkau bisa menjadi murid seorang seperti Ang I Moli dan apa yang hendak kaupelajari darinya kalau bukan ilmu silat?”

Yo Han menarik napas panjang. Di antara segala macam kepalsuan yang dilihatnya dilakukan manusia, adalah membohong. Dia tidak suka berbohong. Akan tetapi dia pun tidak suka bicara tentang suhu dan subonya.

“Begini, Locianpwe. Aku terpaksa menjadi muridnya walaupun aku tidak akan mau belajar ilmu silat darinya.”

“Engkau dipaksa menjadi muridnya dengan ancaman?”

“Tidak, akan tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Ketika itu, dua pekan yang lalu, ia menculik seorang anak perempuan. Aku membujuknya untuk mengembalikan anak itu kepada orang tuanya. Ia mau mengembalikan anak itu asal aku mau menukarnya dengan diriku. Anak itu dibebaskan akan tetapi aku harus ikut dengannya, menjadi muridnya. Karena aku ingin anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, maka aku menyanggupi., Demikianlah, anak itu selamat dan aku pun ikut dengannya sampai ke sini.”

“Bukan main! Luar biasa! Omitohud.... belum pernah aku mendengat hal seperti ini....!” kata Gangga Dewi dan ia pun tertegun. Bocah ini, bocah yang usianya baru dua belas tahunan, telah mengorbankan diri untuk menolong seorang anak lain! Dan bocah ini sama sekali tidak pernah belajar silat, akan tetapi memiliki keberanian seperti seorang pendekar sejati! Lebih lagi, bocah ini tidak tewas biarpun terkena lima batang jarum di dadanya, jarum-jarum beracun yang ia tahu amat jahat dan mematikan karena dilepas oleh seorang iblis betina seperti Ang I Moli! Anak apakah ini?

“Ah, Locianpwe. Apanya yang luar biasa? Locianpwe sendiri sama sekali tidak mengenalku, akan tetapi Locianpwe telah turun tangan menolongku sehingga aku terhindar dari bahaya maut di tangan iblis itu. Saling bantu di antara manusia merupakan suatu kewajiban, bukan?”

“Omitohud.... engkau benar sekali, Yo Han. Sekarang aku mulai mengerti mengapa iblis itu ingin sekali menghisap darahmu. Engkau bagaikan Tong Sam Cong, sang perjaka saleh yang melakukan perjalanan ke barat itu. Dalam cerita See-yu, perjaka Tong Sam Cong yang melakukan perjalanan ke barat untuk memperdalam agama dan mencari kitab-kitab suci, juga dihadang oleh segala macam iblis dan siluman yang ingin menghisap darahnya.”

Yo Han tertawa dan kembali Gangga Dewi menjadi terkejut. “Ha-ha-ha, Locianpwe sungguh lucu. Kalau aku dianggap Tong Sam Cong, lalu siapa yang menjadi Sun Go Kong, See Ceng dan Ti Pat Kay?”

“Engkau tahu pula akan cerita See-yu-ki?”

“Locianpwe, aku adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis. Dongeng-dongeng seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang lain telah saya baca semua!”

“Omitohud.... engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua belas tahun telah membaca semua dongeng kuno yang mengandung filsafat itu! Engkua sudah pula membaca Su-si Ngo-keng?”

Dapat dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan menjawab dengan sikap bersahaja, “Juga banyak kitab Agama Buddha, kitab sejarah yang penuh kekerasan.”

Setelah sejenak tak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga Dewi lalu bertanya, “Yo Han, setelah kini engkau terbebas dari Ang I Moli, engkau hendak ke mana? Apa yang akan kaulakukan?”

“Locianpwe, aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak terikat oleh apapun juga. Melihat kejahatan Ang I Moli yang sudah tidak mengakui aku sebagai muridnya lagi, andaikata tidak ada Locianpwe yang menolongku, tentu aku pun tidak suka lagi bersamanya. Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Akan tetapi kalau mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di Propinsi Secuan.”

Untuk ke sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikirnya. Sekecil ini sudah bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.

“Kota Ceng-tu di Se-cuan? Pernahkah engkau ke sana!”

Yo Han menggeleng kepala. “Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Locianpwe. Pernah aku mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bukan? Kalau dari sini, menuju ke barat daya, melalui Propinsi-propinsi San-si, Shen-si, lalu masuk Propinsi Se-cuan.”

Gangga Dewi yang baru saja melewati propinsi-propinsi itu ketika ia meninggalkan Bhutan, tersenyum. Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!

“Anak baik, kalau boleh aku mengetahui. Engkau hendak ke Ceng-tu di Se-cuan ada keperluan apakah?”

“Locianpwe, baru-baru ini aku membaca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu monumen yang didirikan oleh Chang Sian Cung.”

“Ahhh? Batu monumen terkutuk itu? Engkau tahu tentang batu monumen itu?”

“Aku. telah membaca sejarahnya, Lo
cianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf saja, yaitu hurufyang berbunyi BUNUH? Aku ingin melihatnya sendiri.”

“Yo Han, engkau tidak suka akan kejahatan dan kekerasan, kenapa engkau ingin melihat batu monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu?

“Kisah itu amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang telah menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka menggunakan kekerasan untuk mencelakai orang.”

Gangga Dewi bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun lebih yang lalu di Propinsi Se-cuan. Ia pun sudah mendengar akan kisah itu. Seratus tahun lebih yang lalu, dalam tahun 1649, yang berkuasa di Se-cuan adalah seorang penguasa yang bernama Chang Sian Cung. Ketika itu, baru saja bangsa Mancu menguasai Tiongkok dan dalam masa peralihan itu, di mana-mana timbul pengingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam runtuh oleh penyerangan bangsa Mancu. Raja-raja muda, penguasa-penguasa daerah, kehilangan pegangan dan karena melihat betapa kota raja terancam, mereka pun mengumumkan pengangkatan diri mereka sebagai penguasa yang berdaulat penuh, tidak lagi menjadi hamba atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw.

Chang Sian Cung adalah seorang penguasa di Se-cuan yang memiliki watak sedemikian kejamnya sehingga mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orangnya yang tidak berkenan di hati, dibunuhnya! Bahkan pernah dia memerintahkan para perajuritnya untuk membunuh isteri mereka masing-masing, hanya karena dia tidak ingin melihat pengeluaran terlalu besar kalau para perajuritnya diikuti isteri-isteri mereka! Yang tidak mentaati perintah ini, dibunuh sendiri! Chang Sian Cung mengangkat diri menjadi seperti seorang raja, didukung oleh anak buahnya dan dia begitu takut kalau sampai kedudukannya diganggu orang, maka setiap ada orang yang nampak kuat, lalu disuruhnya bunuh. Dalam waktu beberapa bulan saja, hampir semua laki-laki di daerah itu yang bertubuh kuat dan dianggap berbahaya, dibunuh tanpa dosa!

“Omitohud.... mengapa engkau ingin melihat batu monumen yang melambangkan kekejaman yang tiada taranya itu? Ketahuilah, hampir semua orang di daerah itu, terutama kaum prianya yang bertubuh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga sampai kini, lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei dan Shen-si tinggal di Se-cuan, dibandingkan penduduk aselinya yang tinggal sedikit.”

“Aku telah membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian Cung mendirikan batu monumen dengan huruf berbunyi BUNUH itu untuk menakut-nakuti, rakyat. Dan setelah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat dibalikkan agar huruf itu tidak dapat dilihat. Kabarnya, kalau batu monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu dapat terbaca, maka Chang Sian Cung akan lahir kembali untuk melanjutkan kekejamannya di dunia.”

Gangga Dewi mengangguk-angguk dan tersenyum. “Memang benar demikian, akan tetapi yang terakhir itu hanya dongeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehidupan manusia hanya selewatan saja, betapapun baik maupun buruknya. Semua itu lewat dan takkan pernah kembali. Tak mungkin Chang Sian Cung yang sudah mati itu akan kembali melanjutkan kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan dengan jalan hidup yang berlainan pula. Semua perbuatan manusia hanya akan menjadi pengalaman yang lewat dan menjadi contoh mereka yang hidup kemudian. Dan perjalanan ke Se-cuan bukan perjalanan yang dekat dan mudah. Apalagi sekarang di Barat sudah mulai tidak aman, banyak bergolakan dan pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap pemerintah bangsa Mancu di timur.”

“Locianpwe, aku tidak takut menghadapi kesukaran, tidak takut menghadapi pergolakan.”

Gangga Dewi tersenyum. Kalau ia tidak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar sendiri, kalau hanya diceritakan orang lain, tentu ia tidak akan percaya ada seorang anak berusia dua belas tahun seperti ini! Seorang anak yatim piatu, lemah dan miskin, namun memiliki keberanian yang sepantasnya hanya dimiliki seorang pendekar sakti! Anak seperti ini memiliki harga diri yang tinggi, kalau ia menawarkan diri untuk menjadi guru anak ini, belum tentu dia mau menerimanya. Kalau tadinya dia suka menjadi murid seorang wanita iblis seperti Ang I Moli, hal itu adalah karena dia hendak menolong seorang anak perempuan yang diculik iblis betina itu. Anak ini keras hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk menolong siapa saja. Ia harus pandai mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan hatinya yang amat sangat yaitu mengangkat anak ini sebagai muridnya!

“Yo Han, aku telah mendengar tentang riwayatmu, walau hanya sedikit. Engkau sebatang kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan? Nah, engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan.”

“Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha Locianpwe itu.”

Gangga Dewi menghela napas panjang “Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik. Semenjak dewasa aku tidak pernah berkunjung ke timur. Akan tetapi aku sudah lupa lagi dan daerah timur merupakan tempat asing bagiku. Kalau saja engkau suka menolongku, Yo Han.”

“Menolong Locianpwe?” Aku....? Aih, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat menolongmu, Locianpwe? Yo Han bertanya dengan heran, sepasang mata yang jernih itu menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan tetapi pandang mata dan sikapnya mengandung kekerasan itu.

“Yo Han, aku seorang asing di tempat ini. Aku tidak tahu ke mana aku harus mencari ayahku. Aku hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat jauh dan lama, dari Bhutan namun sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku, Yo Han, menemaniku dan membantuku mencari keterangan tentang ayahku itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya.”

Dua pasang mata itu bertemu dan Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh harap, penuh permintaan. Dia merasa kasihan, dan juga baru saja dia diselamatkan oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan. Baru saja orang ini menolongnya, menyelamatkan nyawanya. Kalau sekarang penolongnya ini minta bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana dia akan mampu menolaknya? Kalau dia menolak, berarti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan tidak mengerti budi.

Dengan tegas dia mengangguk. “Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi kalau engkau tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya aku harus mengetahui siapa namanya dan bagaimana rupanya, berapa usianya sehingga aku dapat bertanya-tanya kepada orang lain.”

“Ah, terima kasih, Yo Han. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan suka menolongku, anak yang baik.”

“Bukan menolong, Locianpwe, hanya sekedar membantu mencari keterangan saja. Siapakah nama ayahmu itu?”

“Ayahku bernama Wan Tek Hoat, dahulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari Maut. Usianya sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio (pendeta Buddha) dengan nama Tiong Khi Hwesio....”

“Ahhhh.... Tiong Khi Hwesio....?” Yo Han berseru kaget dan memandang wanita itu dengan mata terbelalak.

“Ya, kenapa, Yo Han?” tanya Gangga Dewi. Anak ini penuh kejutan memang. “Apakah engkau mengenal nama itu?”

“Tentu saja, karena beliau adalah seorang di antara guru-guru dari suhuku.”

“Ehhh?” Untuk kesekian kalinya Gangga Dewi terkejut. Anak ini penuh kejutan yang aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka, seolah tidak ada habisnya segala macam keanehan terdapat pada diri anak ini. “Bukankah gurumu Ang I Moli tadi?”

“Sebelum aku ikut dengan dia untuk menyelamatkan seorang anak perempuan, aku sejak kehilangan orang tua telah dipelihara oleh suhu dan suboku yang pertama, Locianpwe. Mereka itu adalah suhu dan subo, juga pengganti orang tuaku. Mereka adalah orang-orang. sakti, keturunan dari keluarga Istana Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.”

“Wahhh.... Omitohud.... engkau sungguh seorang anak yang luar biasa, Yo Han.

Siapakah suhu dan subomu itu? Katakan, siapa nama mereka?”

“Suhu bernama Tan Sin Hong, dan subo bernama Kao Hong Li. Apakah Locian-pwe mengenal mereka?”

Gangga Dewi menggeleng kepalanya. “Dan kaukatakan tadi bahwa suhumu yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid dari ayahku Tiong Khi Hwesio?”

“Benar, Locianpwe. Suhu pernah bercerita bahwa dia mempunyai tiga orang guru, yaitu Tiong Khi Hwesio, kemudian suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu dan Wan Ceng....”

“Ahhh....! Wan Ceng itu adalah bibiku saudara seayah dengan ayahku yang ketika muda bernama Wan Tek Woat! Omitohud.... kenapa bisa begini kebetulan? Yo Han, ternyata di antara kita masih ada hubungan dekat sekali melalui gurumu! Anak baik, coba ceritakan lebih jelas tentang suhumu dan subomu itu.”

“Suhuku tidak pernah bercerita tentang orang tuanya, hanya bahwa dia juga yatim piatu seperti aku dan sejak kecil dia dirawat dan dijadikan murid tiga orang sakti yang telah kuceritakan tadi.”

“Kalau begitu, suhumu itu terhitung suteku (adik seperguruanku) sendiri, jadi engkau masih murid keponakanku sendiri! Dan subomu? Siapa namanya tadi? Kao Hong Li? She Kao...”

“Subo juga amat lihai. Ayahnya adalah putera dari Istana Gurun Pasir....”

“Ah, kalau begitu, ayah subomu itu masih saudara sepupuku sendiri! Tentu dia putera Bibi Wan Ceng!”

“Sedangkan ibu dari subo adalah seorang wanita dari keluarga Pulau Es.”

“She Suma....?”

“Ya, kalau tidak keliru, nama ibu dari subo adalah Suma Hui....”

“Omitohud...! Ibu dari subomu itu puteri Paman Suma Kian Lee! Ah, ah, jadi engkau murid dari suami isteri yang demikian hebatnya? Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Istana Gurun Pasir dan dari Istana Pulau Es. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahku juga? Hebat! Tapi.... tapi.... kaukatakan tadi bahwa engkau tidak bisa ilmu silat, tidak suka ilmu silat? Bagaimana ini?”

“Aku adalah seorang murid yang tidak baik, Locianpwe....”

“Wah, jangan engkau menyebut aku locianpwe lagi. Kita masih terikat hubungan yang amat dekat, Yo Han. Kalau dihitung dari suhumu Tan Sin Hong itu, maka aku adalah bibi gurumu. Kalau dihitung dari subomu Kao Hong Li yang masih cucu dari Bibi Wan Ceng, maka aku adalah nenek gurumu karena subomu itu terhitung keponakanku sendiri! Kau sebut, saja aku Bibi Gangga Dewi.”

”Baiklah, Bibi. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah seorang murid yang buruk. Suhu dan Subo adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi aku.... aku tidak pernah mau berlatih silat karena aku melihat kekerasan dalam ilmu silat yang tidak cocok dengan bakat dan watakku.”

Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Anak ini aneh, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia memiliki pandangan yang sempit, mendekati sombong malah!

“Tapi mereka berdua itu mengajarkan ilmu silat kepadamu?”

“Tentu saja, Bibi. Selama lima tahun, Suhu dan Subo menggemblengku dan mengajarkan ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, biarpun aku menghafal semua ilmu itu, aku tidak pernah mau berlatih.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak melihat manfaat berlatih silat. Hasilnya hanya akan menanamkan kekerasan dan kekejaman dalam hatiku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga, tidak ingin berkelahi dengan siapapun juga, dan tidak ingin menang dari siapapun. Untuk apa berlatih silat?”

Sombongnya, pikir Gangga Dewi. Kalau saja yang bicara itu seorang dewasa, tentu ia akan marah. Akan tetapi Yo Han masih begitu kecil, masih mentah sehingga ia menganggap bahwa pandangan dan pendapat itu hanya pendapat anak kecil yang belum matang.

“Lalu, kalau suhu dan subomu menjadi pengganti orang tuamu, mengapa engkau meninggalkan mereka dan mengikuti seorang jahat macam Ang I Moli?”

“Sudah kuceritakan bahwa untuk menyelamatkan seorang anak perempuan yang diculik Ang I Moli, aku menggantikannya dan terpaksa ikut dengannya sesuai yang kujanjikan.”

“Tapi, kenapa tidak kaulaporkan suhu dan subomu? Tentu mereka akan mampu mengusir Ang I Moli dan menolong anak perempuan itu. Kenapa engkau meninggalkan keluarga yang amat baik itu?”

Yo Han diam sejenak, kemudian sambil menentang mata wanita itu, dia bertanya, “Bibi tentu tidak ingin kalau aku membohong, bukan?”

“Tentu saja tidak!”

“Nah, kalau begitu, harap Bibi jangan bertanya tentang mengapa aku pergi meninggalkan Suhu dan Subo. Yang penting sekarang adalah aku membantu Bibi untuk mencari tahu di mana adanya ayah Bibi, yaitu Sukong (Kakek Guru) Tiong Khi Hwesio, bukan?”

Gangga Dewi memandang dengan mata terbelalak. Anak ini memang aneh sekali. Akan tetapi keras hati, jujur, dan pemberani. “Baiklah, Yo Han. Sekarang bawa aku ke rumah suhu dan subomu itu, karena mereka pasti tahu di mana adanya ayahku sekarang.”

Yo Han tahu bahwa memang yang paling mudah adalah membawa wanita peranakan Bhutan ini ke rumah suhu dan subonya. Pertama, rumah mereka tidak begitu jauh dari situ, dan ke dua, tentu saja suhunya merupakan orang yang paling dekat dengan Tiong Khi Hwesio dan tentu akan dapat mengatakan di mana bibi Gangga Dewi akan dapat menemui ayahnya. Akan tetapi, tidak mungkin dia kembali ke rumah, suhu dan subonya. Dia telah meninggalkan mereka, karena kehadirannya di rumah itu tidak dikehendaki suhu dan subonya, terutama subonya. Mereka ingin menjauhkan Sian Li darinya. Kalau dia kembali ke sana, tentu suhu dan subonya akan menitipkan dia ke dalam kuil dan dia tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak mau tinggal di kuil, dan dia tidak mau menyusahkan suhu dansubonya.

“Aku tidak dapat pulang ke rumah mereka, Bibi. Akan tetapi aku dapat membawa Bibi ke ada seseorang yang tentu akan dapat pula memberitahu ke mana Bibi harus pergi untuk menemui ayah Bibi itu.”

“Hemm, siapakah orang itu, Yo Han? Dan di mana tempatnya?”

“Dia adalah seorang tua gagah yang kini mengasingkan diri, bertapa di Pegunungan Tapa-san. Aku pernah dititipkan Suhu kepadanya, Bibi. Dan aku yakin dia akan dapat menerangkan di mana adanya ayah Bibi. Dan dia juga anggauta keluarga Istana Pulau Es, namanya Suma Ciang Bun, masih paman dari Subo karena ibu dari Subo adalah kakak dari Kakek Suma Ciang Bun.”

“Suma.... Ciang.... Bun....?” Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu gemetar den wajah itu berubah pucat sekali lalu menjadi jadi merah. Gangga Dewi merasa betapa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi ia cepat menguasai perasaannya. “Dia.... putera Paman Suma Kian Lee. Baik, mari kita pergi mencarinya, Yo Han.”

Pergilah mereka meninggalkan kuil itu. Diam-diam Gangga Dewi merasa girang sekali. Ia amat tertarik kepada anak ini dan ingin mengetahui lebih banyak, bahkan kalau mungkin ia ingin menariknya menjadi muridnya. Apalagi setelah kini terdapat kenyataan bahwa anak ini masih terhitung murid keponakan atau juga cucu muridnya sendiri. Dan pertemuannya dengan Yo Han ternyata juga memudahkan ia menemukan ayahnya yang sudah lama ia rindukan. Yo Han sendiri tidak tahu dan tidak pernah mendengar dari suhunya bahwa tiga orang guru dari suhunya itu telah meninggal dunia semua.

Di lain pihak, Yo Han juga kagum kepada Gangga Dewi. Wanita ini selain gagah perkasa dan tangkas, juga memiliki watak yang tegas. Wanita ini tidak cengeng dan tidak mendesaknya untuk bercerita banyak tentang dirinya, bahkan ketika dia tidak mau menceritakan tentang sebab dia meninggalkan suhu dan subonya, Gangga Dewi sama sekali tidak tersinggung dan tidak mau bertanya lebih jauh mengenai hal itu. Wanita ini pendiam dan tidak cerewet.



***

Kaisar Kian Liong telah berusia enam puluh tahun lebih. Kelak di dalam sejarah dia akan dikenal sebagai seorang Kaisar yang berhasil dalam tugasnya memimpin Kerajaan Mancu, yaitu Wangsa Ceng. Dialah Kaisar ke dua dari bangsa Mancu yang menjadi Kaisar sejak muda sampai lanjut sekali. Sejak berusia sembilan belas tahun dia telah menjadi Kaisar, dan kini sudah empat puluh empat tahun dia memegang tampuk kerajaan dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia akan meninggalkan singgasana. Bahkan dalam usia enam puluh tiga tahun, dia nampak penuh semangat. Harus diakui dalam sejarah bahwa. selama dia berkuasa (1736-1796), yaitu selama enam puluh tahun, pemerintahannya memperoleh kemajuan pesat. Bahkan Kaisar Kian Liong yang dibantu banyak orang pandai berhasil memadamkan api pemberontakan di mana-mana. Juga di daerah barat, pemberontakan dapat dia tundukkan dan daerah barat itu kemudian diberi nama Sin-kiang (Daerah Baru).

Balatentara di bawah Kaisar Kian Liong amat besar dan kuat. Ketika di Tibet timbul kerusuhan, yaitu ketika bangsa Gurkha dari Nepal menyerbu daerah itu, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan yang kuat ke Tibet untuk mengusir penyerbu itu. Bahkan ketika orang-orang Gurkha dari Nepal itu dipukul mundur dan melarikan diri kembali ke negaranya, pasukan Mancu melakukan pengejaran, melintasi Pegunungan Himalaya dan memasuki Nepal.

Balatentara bantuan dikerahkan dari kota raja, dan dengan kekuatan penuh pasukan-pasukan Mancu menyerang bagaikan gelombang yang dahsyat dan menggetarkan seluruh daerah barat. Perjalanan yang jauh dari pasukan itu, melintasi daerah yang amat sulit dari Pegunungan Himalaya, membuktikan kehebatan Kaisar Kian Liong dalam pemerintahannya. Pasukan itu berhasil menaklukkan bangsa Gurkha dan memaksa mereka mengakui kekuasaan yang dipertuan Kerajaan Ceng-tiauw di Cina.

Bukan hanya ke barat balatentara Kaisar Kian Liong memperlihatkan ketangguhannya. Juga ketika terjadi kekacauan di selatan, yaitu ketika bangsa Birma mengacau di Propinsi Yunan bagian barat daya, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan pilihan untuk mengamankan daerah itu. Pasukan ini memukul bangsa Birma kembali ke negara mereka, bahkan terus menyerbu ke Birma. Biarpun sampai dua kali pasukan Mancu menyerbu Birma dan rakyat Birma mempertahankan diri mati-matian sehingga tidak dapat ditundukkan, namun Kaisar Kian Liong sudah cukup puas telah dapat memberi “pelajaran” dan akhirnya bangsa Birma juga mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Cina. Demikian pula negeri An-nam yang pada pemerintahan bangsa Mongol telah ditundukkan, memberontak dan oleh pasukan Mancu dapat ditundukkan kembali.

Bagi rakyat, seorang Kaisar dianggap sebagai orang “pilihan Tuhan” bahkan ada yang menyebutnya wakil Tuhan atau putera Tuhan! Demikian tingginya pandangan rakyat jelata terhadap Kaisarnya sehingga seorang Kaisar selalu didewa-dewakan dan tidak dianggap sebagai manusia lumrah! Padahal, kalau ada yang dapat menjenguk ke dalam istana dan mengikuti cara hidup dan keadaan seorang Kaisar, seperti Kaisar Kian Liong sekalipun akan terbuka matanya melihat kenyataan bahwa seorang Kaisar pun hanyalah seorang manusia biasa! Seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan pribadi, seperti juga manusia-manusia lain di dunia ini, seorang manusia yang pada hakekatnya bertubuh lemah, tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Seorang manusia yang berbatin lemah, tidak kebal terhadap nafsu-nafsu yang menggodanya, yang selalu menjadi korban permainan suka-duka puas-kecewa.

Ketika itu, tahun 1780 dan Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tiga tahun. Permaisurinya telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Namun Kaisar Kian Liong tidak merasa kesepian dengan meninggalnya sang permaisuri itu. Apalagi, sudah lama dia selalu dilayani dan didampingi selirnya yang paling dia kasihi, yaitu Puteri Harum yang setelah menjadi isterinya dikenal dengan sebutan Siang Hong-houw (Permaisuri Harum).

Selir yang kini menjadi pengganti permaisuri ini adalah seorang puteri tawanan. Kaisar Kian Liong memang terkenal sebagai seorang Kaisar yang bijaksana sejak dia pangeran, memiliki pergaulan yang luas dengan para pendekar dan dikenal sebagai seorang yang pandai bergaul, pandai mengambil hati bawahan, bahkan disukai oleh rakyat jelata. Akan tetapi dia pun terkenal sebagai seorang laki-laki yang mudah tergila-gila oleh wanita cantik dan tak pernah berhenti mengejar wanita-wanita cantik.

Setelah dia menjadi Kaisar, disamping mengurus kerajaan dengan tekun dan bijaksana, dia tidak pula melepaskan kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik. Namun, seperti halnya nafsu-nafsu lainnya, nafsu berahi pun seperti api, makin diberi umpan, semakin lapar! Nafsu tak pernah mengenal arti puas dan cukup, yang dikenalnya hanyalah bosan akan yang lama dan haus akan yang baru, tiada hentinya mencari dan mencari demi kehausannya yang tak kunjung habis.

Ketika seorang panglimanya bercerita akan kecantikan seorang puteri di daerah barat, yaitu di Sin-kiang, Kaisar Kian Liong tertarik sekali. Hati pria mana yang tidak akan tertarik kalau mendengar betapa puteri bangsa Uighur itu, cantik seperti bidadari, akan tetapi juga terkenal sekali karena tubuhnya selalu mengeluarkan keharuman yang dapat memabokkan setiap orang pria? Biarpun puteri itu, anak seorang kepala suku bernama Ho-couw telah menikah dengan seorang kepala suku beragama Islam, namun di seluruh Sin-kiang ia terkenal dengan sebutan Puteri Harum! Mendengar berita tentang wanita ini, Kaisar Kian Liong menjadi tergila-gila! Belum pernah selama hidupnya dia mendapatkan seorang wanita yang keringatnya berbau harum! Keharuman pada tubuh wanita-wanita yang menjadi selirnya adalah keharuman buatan, bahkan untuk menutupi bau keringat yang tidak sedap!

Kebetulan pada waktu itu, banyak di antara kepala suku yang memperlihatkan sikap tidak taat kepada kekuasaan Kaisar, maka pasukan besar lalu dikirim ke Sinkiang dan panglima pasukan operasi itu, Jenderal Cao Hui, mendapat pesan khusus dari Sribaginda Kaisar agar dia dapat menawan sang puteri itu dan membawanya ke istana dalam keadaan sehat dan selamat.

Operasi itu berjalan baik. Keluarga Puteri Harum, juga suaminya, terbunuh dan sang puteri dibawa ke Istana Peking sebagai seorang tawanan perang, istimewa. Ketika Jenderal Cao Hui manghadapkan sang puteri di depan Kaisar Kian Liong, Kaisar ini menjadi terpesona menghadapi wanita yang memiliki kecantikan yang khas itu. Dia merasa seperti dalam mimpi, bertemu seorang dewi dari barat. Tubuhnya begitu halus mulus, dengan kulit yang putih bersih kemerahan, dengan lekuk lengkung sempurna, bibirnya merah basah tanpa alat, matanya kebiruan seperti langit jernih, bulu matanya panjang melengkung ke atas, dan yang lebih dari segalanya dari tubuh yang nampak lelah karena melakukan perjalanan amat jauh itu tersiar keharuman yang aneh namun amat sedap bagi hidung dan nyaman bagi perasaan. Ia pasti seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan, demikian kata hati Kaisar itu dan segera mengangkatnya menjadi selir terkemuka, bahkan menjulukinya Siang Hong-houw atau Permaisuri Harum.

Pada bulan-bulan pertama kediamannya di istana Kaisar Mancu itu, Puteri Harum selalu berduka dan tidak mau melayani Sang Kaisar yang sudah tergila-gila. Ia teringat akan keluarganya, teringat akan negaranya dan keadaan lingkungan yang amat berbeda.

Kaisar Kian Liong yang sudah tergila-gila itu menjadi bingung dan dari para penasihatnya, dia lalu menyuruh bangun sebuah istana mungil yang diberi nama Istana Bulan Purnama, dibuat secara khas dan khusus untuk Puteri Harum, juga di situ dibangun sebuah tempat mandi khas Turki yang diberi nama Ruang Mandi Para Bidadari. Bahkan dia memerintahkan para ahlinya untuk membangun sebuah masjid dan bangunan-bangunan khas model Uighur di sekeliling Istana Bulan Purnama itu. Dengan demikian, sang puteri dapat melakukan kebiasaannya seperti ketika masih di Uighur, dan dapat melihat semua bangunan itu dari loteng istananya sehingga dapat mengatasi kedukaan dan kerinduannya akan kampung halaman.

Mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang berlimpah-limpah itu, Puteri Harum merasa terharu dan dengan suka rela ia lalu menyerah dalam pelukan Kaisar Kian Liong dan berusaha untuk membalas kasih sayangnya. Hal ini tidak begitu sukar karena sang waktu membantu Puteri Harum untuk melupakan keluarganya yang telah terbasmi, ditambah pula memang Kaisar Kian Liong adalah seorang pria yang tampan dan menarik, juga berpengalaman dan pandai mengambil hati wanita.

Sebagai seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah, Siang Hong-houw seringkali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kaisar ini pergi berburu ke Yehol, yaitu suatu daerah di Mongolia Dalam. Demikianlah, sejak saat itu, boleh dibilang Kaisar Kian Liong menghentikan semuakesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia menemukan segala-galanya yang dibutuhkan untuk memuaskan nafsu berahinya.

Ketika dia berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar empat puluh tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh pesona, dan keringatnya masih juga berbau harum. Dan ternyata, keharuman keringat Siang Hong-houw memang dari dalam, walaupun bukan tampa usaha. Sejak kecil, wanita ini minum ramuan akar wangi dan sari bunga-bunga harum seperti mawar, bahkan kalau mandi selalu tentu menggunakan air yang diharumkan dengan cendana dan bermacam sari kembang yang harum. Bahkan makannya juga tersendiri, tidak mau makan makanan yang dapat mendatangkan bau tidak enak, melainkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendatangkan bau sedap!

Daya tahan tubuh manusia itu amat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian Liong sejak mudanya menghamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu berahinya, bahkan kadung-kadang dia mempergunakan ramuan obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya. Hal ini baru terasa akibat buruknya setelah dia berusia enam puluh tahun lebih. Kini dia merasa betapa tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin jarang saja dia menyuruh Siang Hong-houw menemaninya, bahkan lebih sering dia menjauhkan diri dari wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih suka membaca kitab daripada bermesraan dengan permaisuri yang dicintanya itu.

Kerenggangan yang menjadi akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kaisar itu memberi banyak waktu luang kepada Permaisuri Harum dan menumbuhkan kembali kerinduannya kepada suku bangsanya sendiri. Biarpun Sribaginda Kaisar tidak melarang ia menunaikan ibadahnya sebagai seorang beragama Islam, namun permaisuri ini merasa kesepian dan ia merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa lebih akrab karena persamaan kepercayaan.

Karena kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca kitab, Siang Hong-houw makin akrab dengan seorang thai-kam vang bernama Mo Si Lim. Laki-laki yang dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan sang permaisuri. Dia seorang peranakan Uighur yang beragama Islam pula. Bahkan namanya merupakan perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang diberikan ayahnva, untuk menandakan bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama Islam. Bahkan Siang Hong-houw pula yang mengusulkan kepada Kaisar agar mempunyai seorang pelayan berbangsa Uighur, maka belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim dijadikan thai-kam. Dengan adanya Mo Si Lim, maka Siang Hong-houw dapat terhibur akan kerinduannya kepada bangsanya. Mo Si Lim melayaninya dan mereka dapat bercakap dalam bahasa mereka, membicarakan tentang keadaan di Sin-kiang. Akan tetapi, beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si Lim mengadakan hubungan dengan orang-orang dari perkumpulan rahasia yang mempunyai cita-cita mengusir penjajah Mancu dari Cina. Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa bangsanya juga tertekan oleh penjajah Mancu, dan banyak kawannya telah tewas ketika daerah barat diserbu oleh pasukan Mancu. Mo Si Lim adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Kesetiaannya jugalah yang membuat dia rela dijadikan thai-kam, agar dia dapet mendekati dan melayani Puteri Harum.

Sore hari itu Siang Hong-houw duduk seorang diri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja ia melakukan sholat atau sembahyang maghrib di dalam ruangan sembahyang yang khas dibuat untuknya. Ketika dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu, ia memerintahkan dayangnya untuk memanggil Mo Si Lim.

"Suruh dia masuk menghadapku, kemudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa saja masuk ruangan ini tanpa kupanggil."

Dayang itu, seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruangan itu, memanggil Mo Si Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian depan istana puteri itu. Setelah dayang itu pergi, Siang Hong-houw duduk di atas kursi panjang yang nyaman. Ia masih amat cantik walaupun usianya sudah empat puluh tahun lebih. Wajah yang putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis lembut di tepi mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia bukan gadis muda lagi, melainkan seorang wanita yang sudah matang. Tubuhnya masih padat dengan lekuk lengkung yang sempurna, tidak dirusak oleh kelahiran anak. Dan dari jarak dua meter orang akan dapat mencium keharuman semerbak yang keluar dari tubuhnya. Ia seorang wanita yang tidak menghambakan diri kepada nafsu berahi. Ketika ia dipisahkan dengan paksa dari suaminya, maka bersama kematian suaminya, mati pula gairah berahinya. Kalau ia melayani Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilakukan karena rasa kasihan kepada Kaisar besar yang amat menyayangnya.Sekarang setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya, Siang Hong-houw merasa lebih enak dan senang.

Ketukan pada pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga kali, pelan keras pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.

"Masuklah, Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur. Thaikam itu membuka daun pintu lalu masuk, menutupkan kembali daun pintu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap sang permaisuri.

"Bangkit dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana, terutama mengenai Thianli-pang. Bukankah engkau sudah menyelidiki Thian-li-pang seperti yang kuperintahkan?"

Mo Si Lim menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, sedangkan Siang Hong-houw kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya amat indah. Mereka berhadapan dalam jarak dua meter, terhalang meja kecil dan orang kebiri itu dapat menikmati keharuman semerbak dari depannya.

"Kebetulan sekali, hamba memang sedang menanti perintah dan panggilan Paduka, Puteri.Untuk langsung menghadap, tidak berani khawatir menimbulkan kecurigaan. Hamba membawa sepucuk surat permohonan dari Ketua Thianli-pang sendiri untuk dihaturkan kepada Paduka."

"Surat Ketua Thian-li-pang? Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw dan sikapnya berubah, cekatan sekali dan penuh gairah kegembiraan.

Mo Si Lim mengeluarkan sesampul surat dari saku dalam bajunya dan setelah menyembah, dia menyerahkan sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek sempulnya dan mengeluarkan sehelai kertas yang memuat huruf-huruf yang indah coretannya. Lalu ia membacanya. Beberapa kali sepasang alis itu berkerut ketika ia membacanya.

"Muslim, apakah engkau sudah mengetahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri setelah dua kali membaca isi surat.

Muslim atau Mo Si Lim menyembah. "Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu mengatakan bahwa Thian-lipang mengajukan permohonan kepada Paduka melalui surat yang harus hamba sampaikan ini."

"Muslim, permintaan mereka yang pertama wajar, akan tetapi yang ke dua sungguh berat untuk dapat kusetujui. Cepat kaunyalakan api di tungku perapian itu, surat ini harus dibakar dulu baru kita bicara." Mo Si Lim melaksanakan perintah itu tanpa bicara dan setelah api bernyala, Siang Hong-houw sendiri yang melemparkan surat dan sampulnya ke dalam api yang segera membakarnya habis menjadi abu dan tidak ada bekasnya lagi. Mereka lalu duduk lagi berhadapan seperti tadi.

"Ketahuilah, Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka memberi sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tidak dapat kusetujui, mereka mohon perkenan dan persetujuanku agar aku suka membantu mereka dalam usaha mereka membunuh Sribaginda Kaisar."

Tidak nampak perubahan apapun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan seorang mata-mata yang pandai bersandiwara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan ketika dia bertanya, "Yang mulia, mengapa mereka hendak melakukan pembunuhan? Apakah mereka menjelaskan alasannya?"

"Mereka bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia Cing dan Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, kalau tidak dibunuh sekarang, tentu beberapa tahun lagi Sribaginda mengundurkan diri dan akan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang di antara kedua pangeran itu. Dan seperti kau ketahui, kedua pangeran itu adalah orang-orang Mancu aseli karena ibu mereka pun wanita Mancu. Kalau mereka bertiga itu tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian Ban Kok yang ibunya orang Kin. Dengan demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka akan mendukung pangeran itu."

Mo Si Lim mengangguk-angguk. "Sekarang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan yang harus saya sampaikan kepada mereka?"

Puteri Harum bangkit dari tempat duduknya, menghampiri sebuah almari dan mengeluarkan sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil hitam itu di atas meja di depannya lalu membukanya. Isinya perhiasan dan gemerlapan.

"Ini perhiasan berharga yang tak pernah kupakai, bawaanku sendiri dahulu dari Sin-kiang. Berikan kepada Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Mengenai permintaan mereka yang ke dua, sekarang aku belum dapat menyetujuinya. Bagaimanapun juga, aku adalah isteri Sribaginda dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku bersekutu dengan siapa pun untuk membunuh suami sendiri. Allah akan mengutukku. Kalau mereka berkeras hendak melakukannya juga, aku tidak ikut campur. Nah, sampaikan semua itu kepada mereka, dan kalau tidak teramat penting, aku tidak mau lagi diganggu mereka walaupun aku mendukung perjuangan mereka."

Mo Si Lim menyembah, lalu mengambil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam saku jubahnya bagian dalam, menyembah lagi dan mengundurkan diri, keluar dari kamar atau ruangan duduk itu. Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri bertepuk tangan memanggil dayangnya dan ia pun memasuki kamarnya untuk membuat persiapan karena tadi sudah ada isarat dari Sribaginda Kaisar bahwa malam ini Sribaginda akan tidur di kamar permaisurinya tersayang.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mo Si Lim sudah meninggalkan istana tanpa ada yang menaruh curiga. Padahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa sebuah peti kecil yang isinya amat berharga. Dia berjalan dengan hati-hati dan berkeliling kota. Setelah merasa yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar dan kuno yang berdiri di sudut kota raja. Rumah ini dahulu, sebelum bangsa Mancu datang menjajah, adalah sebuah istana milik seorang pangeran. Kini rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup kaya dan dijadikan sebagai tempat peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar dan kuno juga tidak begitu terawat maka kelihatan menyeramkan. Apalagi keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang menempatinya, maka rumah itu nampak angker dan didesas-desuskan sebagai rumah yang ada hantunya.

Agaknya Mo Si Lim tidak asing dengan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan, melainkan mengambil jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus kebun di samping rumah. Dia lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki rumah itu melalui pintu samping. Rumah itu nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di ruangan belakang, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Mo Si Lim berhenti melangkah dan memandang kepada laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal orang itu, maka dengan hati-hati dia berkata kepada orang itu,

"Selamat pagi, Sobat.... saya ingin bertemu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada di sini?"

Akan tetapi tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermunculan dan delapan orang itu mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata nampak gagah dan kuat.

"Siapa engkau?" Si Tinggi Besar membentak.

Mo Si Lim adalah seorang yang cerdik. Dia belum tahu siapa adanya delapan orang ini. Pembawa surat Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun menjanjikan akan menantinya di rumah gedung itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi hari ini, saat yang amat penting karena dia membawa sumbangan dan pesan Siang Hong-houw, Ciang Sun tidak muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak dikenalnya ini dengan sikap mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan hendak mengandalkan kedudukannya untuk menggertak mereka dan meayelamatkan diri.

"Aku adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian cepat memanggil Ciang Sun agar menghadap di sini."

"Hemm, engkau tentu seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan Thian-li-pang! Hayo mengaku saja!" bentak Si Tinggi Besar. Namun, Mo Si Lim tidak kalah gertak.

"Siapakah kalian? Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku tidak mengenal apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual beli perhiasan. Kalau kalian tidak tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur dan jangan menghalangi aku. Ataukah aku harus mengerahkan pasukan keamanan untuk menangkap kalian?"

Pada saat itu, muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu berseru, "Saudara Mo Si Lim, selamat datang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka hendak mengujimu, apakah engkau dapat menyimpan rahasia kami!"

Mo Si Lim mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus. "Ah, Saudara Ciang Sun, apakah sampai sekarang engkau masih belum percaya kepadaku? Kalau tidak ada saling kepercayaan, lebih baik tidak ada hubungan saja! Bukankah aku hanya akan membantu Thian-li-pang?

"Sekali lagi maafkan, Sobat. Nah, duduklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari pang-cu (ketua) kami?" tanya Ciang Sun, Si Tinggi Kurus yang menjadi orang kepercayaan Thian-li-pang untuk melakukan operasi penting itu, yaitu mencari dana untuk perkumpulan orangorang gagah yang hendak menentang pemerintah penjajah itu, dan mengatur rencana untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia memperoleh kepercayaan ini karena Ciang Sun merupakan seorang di antara pembantu-pembantu utama yang memiliki kepandaian silat tinggi di samping kecerdikan dan keberanian.

Mo Si Lim duduk di atas kursi, berhadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang anggauta Thian-li-pang berdiri di sudut-sudut ruangan itu, berjaga-jaga dengan sikap gagah. Dengan hati masih merasa mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim lalu mengambil sikap angkuh.

"Saudara Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia Puteri Siang Hong-houw kemarin sore."

"Kenapa baru kemarin sore? Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari yang lalu?" Ciang Sun bertanya tiada suaranya menegur.

"Hemm, kalian ini ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan membawa surat rahasia seperti itu, tentu saja membutuhkan ketelitian dan kewaspadaan. Kalau sampai diketahui orang lain, berarti hukuman mati bagiku, sedangkan kalian enak-enak saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."

"Baiklah, kami mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang Hong-houw?"

Mo Si Lim memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggauta Thian-li-pang yang berdiri seperti patung dan dengan suara mengandung kebanggaan dia pun berkata, "Yang Mulia Siang Hong-houw selalu mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Yang Mulia selalu merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-pang berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan dukungannya, maka permohonan Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang Mulia dan beliau mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang." Dia mengeluarkan kotak hitam kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan kotak itu di atas meja, lalu membuka tutupnya. Semua mata memandang ke arah peti den orang-orang Thian-li-pang itu marasa gembira dan kagum. Sekali pandang saja tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang cukup berharga besar dan akan banyak membantu kebutuhan Thian-li-pang.

Akan tetapi, bagi Ciang Sun, sumbangan ini bukan merupakan tugas utama yang terpenting. "Dan bagaimana dengan rencana besar kami? Apakah Yang Mulia menyetujui dan sudi membantu kami agar tugas kami itu dapat terlaksana dengan lancar?"

Mo Si Lim menarik napas panjang. Orang-orang ini memang mau enaknya saja. Disangkanya membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan cucu Kaisar Pangeran Tao Kuang, merupakan pekerjaan yang mudah! Pangeran Cia Cing merupakan seorang pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki banyak pendukung, sedangkan Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya merupakan calon kalau-kalau ayahnya gagal terpilih. Pangeran Cia Cing berusia empat puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran Tao Kuang berusia dua puluh tahun. Sedangkan Pangeran Kian Ban Kok yang diusulkan oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon Kaisar itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang terkenal royal, mata keranjang dan hanya mengejar kesenangan belaka, sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon Kaisar! Agaknya Thian-li-pang justeru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya, juga merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan Kaisar boneka.

"Sayang sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mulia Siang Hong-houw belum berkenan menyetujui."

"Ahhh! Justeru itulah yang terpenting bagi kami! Kalau usaha itu berhasil, berarti perjuangan kami pun berhasil. Bagaimana mungkin Sang Permaisuri tidak menyetujui kalau beliau mendukung perjuangan kami?"

"Hemm, hendaknya kalian suka mengingat bahwa Yang Mulia Permaisuri adalah isteri dari Sribaginda Kaisar.... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja? Bagi kami, orang-orang yang beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak akan berani melakukannya. Yang Mulia telah bersikap tepat dan benar dalam hal ini dan kalian tidak dapat memaksa beliau!"

"Tapi.... beliau hanya kami minta persetujuannya dan beliau tidak perlu ikut campur, hanya memberi kesempatan kepada kami untuk dapat menyelundup ke dalam istana tanpa dicurigai dan tanpa dilarang, begitu saja!"

"Apa pun yang kalian katakan, tetap Yang Mulia Permaisuri tidak menyetujui niat pembunuhan itu!" Mo Si Lim berkeras.

"Kalau begitu, kita menggunakan siasat ke dua!" teriak Ciang Sun kepada kawan-kawannya sebagai isarat. "Apa boleh buat, Sobat Mo Si Lim, demi perjuangan dan demi berhasilnya rencana kami, terpaksa engkau kami korbankan! Salahnya Siang Hong-houw yang tidak menyetujui rencana kami!" Dan tiba-tiba saja Ciang Sun mencabut pedang dan menyerang Mo Si Lim!

"Ahh!" Mo Si Lim melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Kursi yang didudukinya menjadi korban bacokan pedang di tangan Ciang Sun dan terbelah menjadi dua. Sambil bergulingan Mo Si Lim yang juga memiliki ilmu silat yang lumayan, telah mencabut pedangnya pula. Akan tetapi pada saat itu, delapan orang anggauta Thian-li-pang sudah mengeroyok dan menghujankan serangan kepada thaikam itu. juga Ciang Sun yang lihai sekali sudah menyerang lagi dengan pedangnya.

Mo Si Lim memutar pedangnya membela diri. Namun, melawan Ciang Sun seorang saja dia takkan menang, apalagi dikeroyok sembilan orang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia pun roboh mandi darah dengan tubuh penuh luka dan tewas seketika!

Dan pada siang hari itu, gegerlah di istana ketika ada seorang gagah melapor kepada pasukan pengawal istana bahwa dia telah menangkap dan membunuh seorang pencuri yang membawa perhiasan dari dalam istana. Orang gagah itu bukan lain adalah Ciang Sun yang membawa kepala Mo Si Lim dalam buntalan, bersama peti hitam kecil berisi perhiasan yang amat berharga. Kiranya setelah membunuh Mo Si Lim, Ciang Sun lalu memberitahu kepada anak buahnya bahwa kini terbukalah kesempatan baginya untuk menyelundup ke dalam istana, dengan bertindak sebagai pembunuh pencuri perhiasan itu dan mengembalikan perhiasan itu kepada istana.

"Perhiasan ini memang mahal harganya dan merupakan sumbangan yang besar bagi kita, akan tetapi kematian Kaisar Mancu itu jauh lebih penting. Aku sendiri yang akan mengembalikan perhiasan ini. Kalian boleh pergi ke pusat dan melaporkan kepada Pangcu kita!"

Demikianlah, dengan hati penuh semangat kepatriotan, Ciang Sun membawa kepala dan peti hitam kecil itu ke istana. Tentu saja laporannya menggegerkan panglima pasukan pengawal yang langsung menghadap Kaisar dan melaporkan bahwa ada orang datang mengaku telah membunuh pencuri perhiasan milik Siang Hong-houw! Tentu saja Kaisar Kian Liong terkejut mendengar ini. Dia segera memerintahkan agar pembunuh pencuri itu dibawa menghadap kepadanya, juga dia memerintahkan agar Siang Hong-houw datang pula ketika mendengar bahwa yang dicuri adalah perhiasan milik permaisurinya itu.

Biarpun dia dilucuti dan pedangnya ditahan sebelum menghadap Kaisar, Ciang Sun tetap berjalan dengan gagah dan sedikit pun tidak merasa gentar. Ciang Sun adalah seorang pendekar yang sudah digembleng menjadi seorang patriot yang gagah berani, yang rela mengorbankan apa saja demi cita-citanya, yaitu mengusir penjajah dari tanah air. Semangat ini pun bukan tanpa dorongan sebab yang membuat dia menyimpan dendam dalam hatinya, yang membuat dia membenci pemerintah Mancu. Ayah dan ibunya tewas dalam bentrokan antara ayahnya dan seorang pembesar tinggi bangsa Mancu. Dendam ini membuat ia membenci semua orang Mancu. Apalagi melihat betapa bangsanya diperlakukan dengan tidak adil oleh para penguasa bangsa Mancu, kebenciannya bertambah. Dia sejak muda membantu gerakan pemberontakan di mana-mana.Namun semua usaha pemberontakan itu selalu gagal karena pasukan Mancu terlampau kuat, bahkan di antara pasukan itu terdapat jago-jago silat yang amat lihai, baik orang Mancu sendiri maupun orang-orang Han yang telah diperalat oleh pemerintah Mancu. Saking bencinya, Ciang Sun bahkan bersumpah tidak akan menikah sebelum penjajah Mancu dapat dihancurkan!

Kaisar telah duduk di singasana, didampingi Siang Hong-houw ketika Ciang Sun dikawal pasukan pengawal dalam, berlutut menghadap Sribaginda. Kaisar Kian Liong memandang pria yang tinggi kurus itu, lalu memandang ke arah buntalan kain kuning dan buntalan kain merah yang dibawa Ciang Sun. Setelah mengucapkan penghormatannya dengan ucapan "ban-ban-swe" (panjang usia), Ciang Sun tetap berlutut dan menanti perintah.

"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu. Namamu Ciang Sun dan engkau tetah membunuh seorang pencuri yang membawa sekotak perhiasan. milik Hong-houw?"

"Benar sekali laporan itu, Sribaginda."

"Bagaimana engkau tahu bahwa dia pencuri dan yang dicurinya adalah perhiasan milik Siang Hong-houw?" tanya pula Kaisar Kian Liong.

"Pencuri itu sendiri yang menawarkan barang perhiasannya kepada hamba, dan dia pula yang mengaku bahwa perhiasan itu milik Yang Mulia Siang Hong-houw. Karena hamba ingin berbakti kepada Paduka, maka hamba lalu menyerangnya, membunuhnya, membawa kepalanya sebagai bukti dan hendak mengembalikan kotak terisi perhiasan ini kepada Yang Mulia Siang Hong-houw!" kata Ciang Sun dengan penuh semangat.

Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan menoleh kepada permaisurinya. Wanita cantik itu mengerutkan alisnya, sejak tadi matanya tidak pernah meninggalkan buntalan kuning yang bulat itu.

Kaisar memberi isarat kepada pengawal pribadinya. "Bawa peti itu mendekat sini dan buka agar kami dapat melihat isinya. Siang Hong-houw tentu akan mengenal apakah benar peti berisi perhiasan itu miliknya."

Pengawal memberi hormat, lalu mengambil buntalan kain menah yang ditaruh di atas lantai depan Ciang Sun, membawanya mendekat dan membuka buntalan itu. Siang Hong-houw tentu saja segera mengenal peti hitam kecil miliknya dan tahulah ia apa yang terjadi. Tentu pembantunya yang setia itu telah terbunuh dan ia bergidik melirik ke arah buntalan kain kuning. Dan ia pun segera dapat menggunakan kacerdikannya untuk menduga apa yang terjadi. Penolakannya untuk menyetujui rencana pembunuhan atas diri Kaisar itulah yang menjadi sebabnya. Tentu Mo Si Lim dibunuh untuk di jadikan korban, agar seorang pembunuh dapat menyelundup masuk! Ia melirik ke arah Ciang Sun yang kebetulan juga melirik kepadanya, kemudian ia menangkap sinar mata berkilat dari orang kurus itu ke arah Kaisar. Ia pun dapat menduga. Orang ini pembunuh kejam! Kaisar terancam.

"Buka peti itu," kata Kaisar dan pengawal membukanya. Nampaklah isi peti itu. Perhiasan yang berkilauan dan gemerlapan.

"Hong-houw, milikmukah perhiasan itu?" tanya Kaisar Kian Liong. Siang Hong-houw mengangguk. Kaisar Kian Liong mengerutken alisnya dan marah kepada pencuri yang berani mengambil barang perhiasan permaisurinya yang tercinta.

"Buka buntalan itu. Kami ingin melihat siapa yang berani mencurinya!"

Pengawal lalu menghampiri buntalan kuning dan membukanya. Nampaklah kepala Mo Si Lim dengan mata melotot. Siang Hong-houw mengeluarkan seruan tertahan.

"Dia.... Muslim, thai-kam yang setia!" teriaknya. "Sribaginda, orang ini tentu pembunuh yang berbahaya! Memang hamba menyuruh Muslim untuk menjual perhiasan itu, perhiasan yang dulu hamba bawa dari Sin-kiang, untuk diberikan kepada fakir miskin di Sin-kiang karana hamba mendengar mereka hidup sangsara. Sama sekali bukan perhiasan yang hamba dapatkan dari Paduka, melainkan milik hamba pribadi. Akan tetapi, Muslim dibunuh.... orang ini tentu penjahat. Mungkin dia mempunyai niat jahat terhadap Paduka!" Tiba-tiba Siang Hong-houw meloncat ke dekat Sribaginda. Ia seorang wanita yang pernah belajar ilmu silat dan cepat ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dekat kursi singasana Kaisar.

Ciang Sun marah sekali ketika mendengar betapa Siang Hong-houw yang tadinya diharapkan akan membantunya, dan yang bahkan telah menyatakan dukungannya terhadap Thian-li-pang, kini tiba-tiba membuka rahasianya dan menggagalkan kesempatan yang diperolehnya untuk menyelundup ke dalam istana Kaisar agar dapat membunuh Kaisar. Dia maklum bahwa saatnya hanya sekarang. Kalau dia tidak bertindak sekarang, akan terlambat karena dia tentu akan ditangkap dan dihukum.

"Hidup Thian-li-pang! Mampuslah Kaisar penjajah Mancu!" teriakan ini melengking nyaring mengejutkan semua. orang sehingga para pengawal tertegun dan tidak bergerak ketika Ciang Sun melompat ke arah Sribaginda Kaisar. Biarpun dia bertangan kosong, namun dengan nekat dia meloncat dan menyerang, ke arah Kaisar.

Akan tetapi, Siang Hong-houw sudah memutar pedangnya, merupakan perisai di depan Kaisar sehingga serangan Ciang Sun itu tentu saja tidak berhasil, bahkan terpaksa dia meloncat ke samping. Selagi dia hendak menyerang Hong-houw untuk merampas pedang, kini para pengawal sudah menyerbu dan mengeroyoknya.

"Bunuh penjahat itu!" Siang Hong-houw berseru dan ia lalu menggandeng Kaisar, cepat-cepat dilarikan masuk ke dalam.

Ciang Sun mengamuk. Akan tetapi, yang mengeroyoknya adalah para pengawal dalam yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, bahkan di antara mereka terdapat pula panglima-panglima yang menjadi jagoan istana, maka dalam waktu singkat saja dia telah roboh dan tewas! Cepat para pengawal menyingkirkan mayatnya, juga menyingkirkan kepala Mo Si Lim, dan ada yang menyimpan peti hitam kecil untuk kelak disampaikan kepada Siang Hong-houw.

Tentu saja peristiwa itu menggagalkan rencana orang-orang Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar, bahkan menggagalkan pula usaha mereka mendapatkan sumbangan dari Siang Hong-houw. Dan di lain pihak, Puteri Harum berjasa besar dan Kaisar semakin percaya kepadanya. Namun, peristiwa itu pun diam-diam membuat Siang Hong-houw menjadi bersedih sekali. Bukan saja bersedih karena kehilangan pembantunya yang setia, Muslim, akan tetapi juga bersedih karena ia terpaksa harus melakukan dua hal yang bertentangan dan meresahkan batinnya sendiri. Di satu pihak, ia mendukung Thian-li-pang yang ia tahu merupakan perkumpulan para patriot yang hendak mengusir penjajah Mancu, bangsa yang juga telah membasmi suku bangsanya sendiri, bahkan yang telah membunuh ayahnya dan suaminya. Akan tetapi di lain pihak, ia bersetia kepada Kaisar Kian Liong yang telah menjadi suaminya dan yang secara pribadi bersikap amat baik dan penuh kasih sayang kepadanya. Peristiwa ini demikian mengguncang hati Sang Puteri sehingga semenjak terjadinya peristiwa itu, ia tidak pernah sehat lagi, sakit-sakitan. Ia hidup dengan batin merana sampai kurang lebih delapan tahun dan dalam tahun 1788 meninggal dunia karena penyakit akibat penderitaan batin ini, dalam usia yang belum tua benar.

Demikianlah keadaan kota raja dan istana Kaisar Kian Liong pada waktu itu. Dalam usia tuanya, Kian Liong mengalami kemunduran dalam pemerintahannya dan pemberontakan-pemberontakan timbul di daerah-daerah perbatasan. Biarpun demikian, dia merupakan satu di antara kaisar-kaisar di Cina yang paling lama memegang tampuk kerajaan, yaitu selama enam puluh tahun (1736-1796).



***



"Alangkah indahnya pemandangan alam di pegunungan ini, Yo Han! seru Gangga Dewi. Yo Han yang berhenti melangkah pula, memandang kepada wanita itu. Seorang wanita yang nampak gagah berdiri dengan perkasa, cantik dan agung, wajah berseri dan kedua pipi kemerahan tanda sehat. Angin pegunungan bersilir mempermainkan rambut halus yang terlepas dari ikatan dan bermain di depan dahi. Mulut wanita itu tersenyum cerah dan pandang matanya membelai tamasya alam yang terbentang luas di depan mereka, di bawah sana.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yo Han diselamatkan dari tangan Ang I Moli oleh Gangga Dewi, dan kini Yo Han melakukan perjalanan bersama Gangga Dewi, membantu wanita Bhutan ini untuk mencari Suma Ciang Bun karena Yo Han merasa yakin bahwa Suma Ciang Bun akan dapat memberitahu kepada Gangga Dewi di mana ayah wanita itu berada.

Yo Han ikut melayangkan pandang matanya ke bawah sana. Bagaikan sebuah lukisan mujijat, tamasya alam itu terbentang luas di depan kakinya. Seperti dilukis dengan indahnya lereng bukit itu. Memang indah sekali, akan tetapi Yo Han merasa heran mengapa Gangga Dewi begitu kagum melihat keindahan alam itu. Bagi dia, dimana-mana terdapat keindahan alam itu, biarpun berbeda-beda keadaannya, namun dia selalu menemukan keindahan dimana pun, seperti melihat seribu macam bunga, bentuk dan warnanya berbeda-beda, namun setiap tangkai bunga mengandung keindahan agung!

“Aku sudah mendengar bahwa Pegunungan Tapa-san memiliki tamasya alam yang amat indah. Baru sekarang aku menyaksikan kebenaran berita itu. Betapa bahagianya Suma Ciang Bun itu hidup di tempat yang memiliki lingkungan seindah ini.

Keindahan yang ditemukan oleh nafsu yang bersembunyi di dalam pandang mata tiada lain hanyalah kesenangan. Dan segala macam bentuk kesenangan merupakan permainan nafsu dan selalu membosankan. Nafsu tak pernah mengenal batas tak pernah mengenal kepuasan yang mutlak, selalu meraih dan menjangkau yang belum dicengkramnya. Oleh karena itu , kita cenderung untuk mengagumi dan menikmati sesuatu yang baru kita dapatkan. Namun kalau sesuatu yang baru itu menjadi sesuatu yang lama, akan pudarlah keindahannya sehingga kita tidak mampu menikmatinya lagi. Itulah sebabnya mengapa orang kota dapat menikmati keindahan di alam pegunungan, sebaliknya orang dusun di pegunungan dapat menikmati keindahan kota! Orang kota akan bosan dengan keadaan di kota, sebaliknya orang dusun juga bosan akan keadaan di dusun. Baik orang kota maupun orang dusun selalu mengejar yang tidak mereka miliki. Pengejaran ini memang menjadi sifat nafsu daya rendah. Dan pengejaran inilah sumber penyebab kesengsaraan. Kalau tidak tercapai apa yang kita kejar, kecewa dan duka menindih batin kita. Kalau tercapai apa yang kita kejar, hanya sebentar saja kita menikmatinya, kemudian kita merasa bosan atau juga kecewa karena yang kita capai itu tidaklah seindah yang kita bayangkan semula ketika kita mengejarnya.

Karena itu, orang bijaksana tidak akan mengejar sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Kalau sudah begitu, dia akan menikmati segala yang dimilikinya sebagai yang terindah dan terbaik. Segala keindahan terletak di dalam keadaan batin kita sendiri, bukan terletak di luar badan. Sepiring masakan termahal, akan terasa hambar di mulut kalau batin sedang keruh, sebaliknya sebungkus nasi dengan kecap termurah akan terasa nikmat di mulut kalau batin sedang jernih. Hal-hal yang paling sederhana pun akan terasa nikmat dan indah bagi panca-indra kita kalau batin kita dalam keadaan jernih. Dan batin yang jernih adalah suatu keadaan, bukan hasil buatan pikiran. Keadaan batin yang jernih timbul oleh kekuasaan Tuhan, dan kita hanya dapat menyerah dan pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kalau sudah begitu, apa pun yang terjadi kepada diri kita, kita terima dengan penuh rasa syukur dan dengan penuh keyakinan bahwa semua itu sudah dikehendaki Tuhan dan Tuhan tahu apa yang baik bagi kita! Tidak mabok oleh keadaan yang kita anggap menyenangkan, tidak mengeluh oleh keadaan yang kita anggap tidak menyenangkan. Penyerahan total kepada Tuhan menimbulkan kewaspadaan dan kebijaksanaan sehingga kita dapat melihat bahwa di dalam segala peristiwa terkandung kekuasaan Tuhan sehingga sebaliknya dari mabok kesenangan dan mengeluh kesusahan, kita meneliti untuk menemukan hikmahnya dalam setiap peristiwa.

Setelah sesaat berdiri seperti patung menikmati keindahan alam di sekelilingnya, Gangga Dewi menarik napas panjang, sepanjang mungkin sehingga tubuhnya dapat menampung hawa udara yang bersih dan segar sejuk. Beberapa lamanya ia berlatih pernapasan untuk membuang semua hawa kotor dari dalam tubuh, menggantikannya dengan hawa udara yang jernih dan mengandung kekuatan mujijat itu.

Tiba-tiba Gangga Dewi menangkap pundak Yo Han dan menariknya sambil meloncat ke belakang.

"Singgg....!" Sebuah benda mengkilat menyambar lewat.

"Ada apakah, Bibi?" tanya Yo Han, Gangga Dewi melepaskan Yo Han di belakangnya dan ia pun melangah ke depan, menjauhi tebing. Yo Han mengikuti dari belakang dan kini dia tidak bertanya lagi karena dia sudah melihat pula munculnya tiga orang itu. Seorang di antara mereka adalah Ang I Moli, hal ini dapat dilihat dengan jelas walaupun mereka itu masih agak jauh, karena pakaiannya yang serba merah.

"Itu mereka!" teriak Ang I Moli yang tadi menyambitkan senjata rahasianya yang beracun berupa jarum dan yang telah dielakkan oleh Gangga Dewi. "Akhirnya kita depat menemukan mereka!"

Kini tiga orang itu telah tiba di depan Gangga Dewi yang seolah melindungi Yo Han yang berada di belakangnya. Melihat cara mereka berlari mendaki dengen amat cepat itu, tahulah Gangga Dewi bahwa dua orang yang datang bersama Ang I Moli itu pun bukan orang-orang lemah. Ia memandang dengan penuh perhatian. Dua orang itu adalah lakt-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Yang seorang bertubuh gendut dengan perut seperti perut kerbau dan mukanya bulat, sedangkan yang kedua bertubuh kecil katai seperti anak berusia balasan tahun, akan tetapi mukanya penuh keriput dan kelihatan jauh lebih tua datipada usia sebenarnya. Mereka itu mengenakan jubah pendeta dengan rambut digelung ke atas seperti kebiasaan yang dilakukan para tosu (pendeta To).

Tosu yang gendut dengan muka seperti kanak-kanak selalu tersenyum cerah akan tetapi sinar matanya kejam itu tertawa. "Ha-ha-ha, Moli! Engkau mengganggu ketenangan kami, mengajak kami berlari-lari mengejar, kiranya yang kaucari hanya seorang bocah seperti itu, dapat kita temukan ratusan orang banyaknya di pasar, tinggal pilih. Kenapa susah-susah?"

"Hemmm, engkau mana tahu? Sudahlah, anak itu urusanku, aku mengajak kalian untuk menghadapi perempuan asing ini!" kata Ang I Moli.

"Moli, engkau bilang bahwa engkau tidak mampu mengalahkan perempuan ini? Aneh sekali! Apa sih keahliannya?" kata pula tosu yang katai kecil memandang rendah Gangga Dewi.

Gangga Dewi menegakkan kepalanya dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan, memandang kepada tiga orang itu dengan sikap angkuh.

"Ang I Moli, engkau sungguh seorang iblis betina yang tidak tahu malu! Anak ini tidak sudi ikut denganmu karena engkau jahat, cabul dan keji, dan engkau hendak memakannya, hendak membunuhnya dengan minum darahnya. Aku mencegah terjadinya kekejaman itu dan hanya menghajarmu agar engkau menyadari kesesatanmu. Kiranya sekarang engkau datang mengajak dua orang kawanmu! Hemm, agaknya memang sudah sepantasnya orang macam engkau yang berwatak iblis ini dibasmi dari permukaan bumi!"

"Kwan Suheng dan Kui Suheng, kalian hadapi perempuan asing itu, biar aku yang akan menangkap bocah itu!" Ang I Moli berseru.

"Heh-heh-heh, Moli Sumoi (Adik Seperguruan) yang baik. Kenapa harus repot-repot? Biar kami menundukkan mereka agar mereka menyerah dengan suka rela, tidak perlu merepotkan dan melelahkan badan," kata tosu gendut.

"Benar, kami akan tundukkan mereka dengan sihir!" kata tosu katai. Mereka adalah suheng (kakak seperguruan) Ang I Moli dalam perkumpulan Pek-lian-kauw, yang gendut bernama Kwan Thian-cu, yang katai bernama Kui Thian-cu. Kini keduanya melepas ikatan rambut sehingga rambut mereka riap-riapan, dan Kwan Thian-cu mencabut golok, Kui hian-cu mencabut pedang. Akan tetapi mereka tidak menggunakan senjata itu untuk menyerang, melainkan mereka memegang senjata itu lurus di depan muka seperti mencium senjata itu, mata mereka terpejam, mulut berkemak kemik membaca doa, tangan kiri membuat gerakan melingkar-lingkar di depan dada, kemudian telunjuk kiri membuat coret-coret di udara seperti sedang melukis atau menuliskan sesuatu. Kemudian dengan senjata mereka di kedua tangan, mereka membuat gerakan menyembah ke atas, lalu ke bawah, lalu ke empat penjuru. Barulah mereka membuka mata memandang kepada Gangga Dewi dan Yo Han, dan kini Si Katai mengeluarkan suara yang terdengar penuh wibawa.

"Dengar dan lihatlah, perempuan berkerudung kuning, dan engkau anak laki-laki! Semua kekuatan hitam di empat penjuru membantu kami! Kekuasaan langit dan bumi melindungi kami! Kalian berdua akan tunduk dan menurut kepada kami, melakukan apa saja yang kami perintahkan! Sanggupkah kalian?"

Gangga Dewi terkejut bukan main. Ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang, tanda bahwa ada hawa atau kekuatan yang tidak wajar sedang menyerang dan mempengaruhinya. Kata-kata yang keluar dari mulut Si Katai itu menembus hatinya. Ia tahu bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai dan ia pernah melatih diri dengan menghimpun kekuatan batin untuk menolak pengaruh sihir. Ia sudah mengerahkan tenaga itu, akan tetapi ada dorongan yang amat kuat membuat ia terpaksa membuka mulut.

"Aku sang.... sang...." Ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menghentikan pengaruh itu agar ia tidak mengatakan sanggup. Pada saat ia bersitegang melawan pengaruh yang semakin kuat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa di belakangnya.

"Ha-ha-heh-heh, lihat, Bibi Gangga Dewi! Dua orang tosu itu sungguh lucu. Apa yang sedang mereka lakukan itu? Apakah mereka itu dua orang anak wayang yang sedang membadut?"

Mendengar suara ketawa dan ucapan Yo Han itu, seketika lenyaplah pengaruh sihir yang hampir menguasai dirinya dan lenyap pula "hawa" yang membangkitkan bulu roma tadi.

Dua orang tosu itu terbelalak memandang ke arah Yo Han. Ketika anak itu tertawa lalu bicara, mereka berdua merasa betapa kekuatan sihir mereka yang mereka kerahkan itu membalik seperti gelombang melanda diri mereka sendiri sehingga mereka menjadi sesak napas dan terpaksa menghentikan ilmu sihir itu!

Ang I Moli juga melihat semua ini dan ia berkata, "Nah, sudah kukatakan bahwa anak itu bukan anak sembarangan. Dia terkena jarum-jarumku tapi tidak mati, dan segala kekuatan sihir tidak mempengaruhinya. Sekarang baru kalian percaya? Hayo kalian bunuh perempuan asing itu dan aku yang akan menangkap anak itu!"

Kalau Gangga Dewi, Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu tercengang keheranan melihat peristiwa tadi, Yo Han sendiri tidak merasakan sesuatu yang aneh. Dia memang tidak merasakan apa-apa, dan kalau tadi dia mentertawakan dua orang tosu itu karena memang dia merasa heran dan geli melihat tingkah mereka. Sama sekali dia tidak mengerti bahwa dua orang tosu itu melakukan sihir, dan sama sekali dia pun tidak tahu bahwa suara ketawanya membuyarkan semua pengaruh sihir mereka.

Di luar kesadarannya sendiri, ada kekuatan mujijat dari kekuasaan Tuhan yang selalu melindungi anak ini. Kekuatan mujijat ini mungkin saja timbul karena kepercayaannya yang total kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bukan sekedar percaya di mulut seperti yang dimiliki kebanyakan orang. Kita semua mengaku berTuhan, akan tetapi pengakuan kita itu sungguh amat meragukan, apakah pengakuan itu timbul dari dalam dan sesungguhnya, ataukah pengakuan itu hanya keluar dari pikiran yang bergelimang nafsu. Kalau hanya pengakuan mulut dan pikiran saja, tidak ada gunanya sama sekali. Buktinya, kita mengaku berTuhan namun kita masih berani melakukan hal-hal yang tidak benar. Kita adalah orang-orang munafik yang teringat kepada Tuhan hanya kalau kita membutuhkan pertolongan atau perlindungan saja, hanya teringat kepada Tuhan kalau kita sedang menderita. Kita melupakan Tuhan begitu nafsu mencengkeram kita, begitu kita berenang di lautan kesenangan duniawi.

Sejak kecil sekali, melalui kitab-kitab yang dibacanya, kemudian dikembangkan oleh perasaan yang peka, Yo Han bukan sekedar mengaku berTuhan. Melainkan dia dapat merasakan kekuasaanNya dalam diri, yakin dan selalu ingat, selalu pasrah. Begitu mutlak kepercayaannya kepada Tuhan sehingga ia pasrah dan menyerah. Hanya kepada Tuhanlah dia berlindung karena dia tidak beribu-bapa lagi dan ancaman maut tidak cukup kuat untuk membuat dia takut dan lupa akan kepasrahan dan penyerahannya. Inilah yang membuat dia di luar kesadarannya, selalu diliputi kekuasaan Tuhan. Dan di dunia ini, kekuatan atau kekuasaan apakah yang mampu menandingi kekuasaan Tuhan? Apalagi hanya permainan sihir dari dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, permainan sihir yang bersandar kepada kekuasaan iblis, tentu saja tidak depat menyentuh Yo Han yang sudah dilindungi kekuasaan maha dahsyat yang tidak nampak.

Kwan Thian-cu dan Kui Tuian-cu saling pandang dan mereka merasa betapa tengkuk mereka dingin. Belum pernah selama hidup mereka ada orang yang mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka tanpa pengerahan kekuatan batin.

Kalau hanya lawan yang memiliki kekuatan batin tanggung-tanggung saja, tentu akan menyerah dan tunduk terhadap kekuatan sihir mereka berdua yang disatukan. Akan tetapi anak kecil itu, anak belasan tahun, hanya dengan ketawa polosnya telah mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka? Ataukah wanita peranakan barat itu yang memiliki kemampuan ini? Akan tetapi mereka lihat betapa tadi wanita itu sudah hampir menyerah kepada mereka. Diam-diam mereka bergidik dan jerih terhadap anak kecil itu. Maka, mendengar permintaan Ang I Moli, mereka merasa girang. Lebih nyaman di hati menghadapi dan mengeroyok wanita itu daripada harus menangkap anak ajaib itu! Mereka lalu meloncat dan menyerang Gangga Dewi dengan senjata mereka.

Gangga Dewi mengelak dengan lompatan ke sampihg sambil menggerakkan tangan melolos sabuk sutera putihnya.

Akan tetapi dua orang tosu Pek-lian kauw itu mendesak, dengan serangan-serangan mereka yang ganas. Sungguh janggal sekali melihat dua orang berpakaian pendeta kini memainkan golok dan pedang, menyerang seorang wanita dengan dahsyat dan buas, dengan muka beringas dan nafsu membunuh menguasai mereka, membuat mereka seperti dua ekor binatang buas yang haus darah.

Mutu batin seseorang tidak terletak pada pakaiannya atau kedudukannya. Akan tetapi, kita sudah terlanjur hidup di dalam masyarakat di mana nilai-nilai kemanusiaan diukur dari keadaan lahiriahnya, dari pakaiannya. Pangkat, kedudukan, predikat dan pekerjaan, harta, bahkan sikap dan kata-kata hanya merupakan pakaian belaka. Semua itu dapat menjadi topeng yang palsu. Namun, kita sudah terlanjur suka akan yang palsu-palsu. Kita menghormati seseorang karena hartanya, karena pangkatnya. Kita menilai seseorang dari kedudukannya, dari sikapnya. Padahal, seorang pendeta belum tentu saleh, seorang pembesar belum tentu bijaksana, seorang hartawan belum tentu dermawan, seorang yang bermulut manis belum tentu baik hati.

Kita tersilau oleh kulitnya, sehingga tidak lagi mampu melihat isinya. Hal ini disebabkan karena batin kita sebagai penilai juga sudah bergelimang nafsu, sehingga penilaian kita pun didasari keuntungan diri kita sendiri. Yang menguntungkan kita lahir batin itulah baik, yang merugikan kita lahir batin itulah buruk! Karena kita semua tahu bahwa yang dinilai tinggi oleh manusia adalah pakaiannya, yaitu nama besar, harta dunia, kedudukan tinggi, penampilan dan semua pulasan luar, maka kita pun berlumba untuk mendapatkan semua itu. Kita memperebutkan kedudukan, harta dan sebagainya karena dari kesemuanya itulah kita mendapat penghargaan dan penghormatan. Kita lupa bahwa penghargaan dan penghormatan semua itu adalah palsu, kita lupa bahwa yang dihormati adalah pakaian kita, harta kita, kedudukan kita, nama kita! Kita semua makin hari makin lelap dalam alam kemunafikan.

Kita seyogianya bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita termasuk ke dalam kelompok munafik ini? Bilakah kita akan sadar dari kelelapan kemunafikan ini, menjadi penganut peradaban yang tidak beradab, kemoralan yang tidak bermoral? Pertanyaan selanjutnya, kalau sudah menyadari keadaan yang buruk ini, beranikah kita untuk keluar dari dunia kemunafikan ini dan hidup baru sebagai manusia seutuhnya? Manusia yang patut disebut manusia, makhluk kekasih Tuhan, yang berakal pikir, berakhlak, bersusila, berbudi dan berbakti kepada Sang Maha Pencipta?

Kesadaran seperti itu hanya dapat timbul apabila kita mau dan berani mawas diri, bercermin bukan sekedar mematut-matut diri dan memperelok muka, melainkan bercermin menjenguk dan mengamati keadaan batin kita, pikiran kita, isi hati kita. Berani melihat kekotoran yang selama ini melekat dalam batin kita. Kalau sudah begini, baru dapat diharapkan timbulnya kesadaran dan kesadaran ini mendatangkan perasaan rendah diri di hadapan Tuhan! Pikiran tidak mungkin membersihkan kekotoran ini, karena pikiran sudah bergelimang nafsu, sehingga apa pun yang dilakukannya tentu mengandung pamrih kepentingan diri, demi keenakan dan kesenangan diri, lahir maupun batin. Namun, kerendahan diri membuat kita pasrah, membuat kita menyerah total kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Dan Tuhan Maha Kasih! Pasti Tuhan akan membimbing orang yang menyerah sebulatnya menyerah dengan kerendahan diri sehingga di dalam penyerahan ini, pikiran tidak ikut campur dan karenanya, penyerahan itu mutlak dan tanpa pamrih, penuh kerendahan hati, penuh kerinduan dan cinta kasih kepada Tuhan yang telah mengasihi kita tanpa batas! Dari sini akan timbul gerak hidup yang wajar, manusiawi, tidak palsu dan tidak munafik lagi.

Pertempuran hebat terjadi setelah Gangga Dewi memutar sabuk sutera putih di tangannya. Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu mengeroyoknya dan setelah lewat beberapa jurus saja, tahulah Gangga Dewi bahwa kedua orang lawannya ini lihai sekali. Menghadapi seorang dari mereka saja belum tentu dia akan menang, apalagi dikeroyok dua. Namun, bukan hal ini yang merisaukan hatinya, melainkan keselamatan Yo Han. Anak itu kini menghadapi Ang I Moli, wanita iblis yang amat berbahaya dan keji itu.

Dan memang Yo Han terancam bahaya ketika Ang I Moli menghampirinya dengan mata bersinar-sinar dan mulut menyeringai. Wajahnya yang cantik nampak menyeramkan dan membayangkan kekejaman yang mengerikan. Yo Han juga maklum bahwa dia terancam bahaya namun dia sama sekali tidak merasa takut. Anak berusia dua belas tahun itu sejak mulai ada pengertian, sudah menyerah kepada Tuhan sehingga tidak mengenal arti takut lagi. Dia yakin benar bahwa nyawanya berada di tangan Tuhan dan bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, jangankan baru seorang manusia sesat macam Ang I Moli, biar semua iblis dan setan menyerangnya, dia tidak akan mati! Keyakinan yang sudah mendarah-daging ini membuat dia tabah dan kini dia berdiri menghadapi Ang I Moli yang menghampirinya dengan sinar mata tenang dan jernih.

"Hi-hi-hik, Yo Han, engkau hendak lari ke mana sekarang? Tidak ada lagi yang akan mampu meloloskan engkau dari tanganku, heh-heh!" Ang I Moli menghampiri semakin dekat dan mulutnya berliur karena ia membayangkan betapa seluruh darah dalam tubuh anak ajaib itu akan dihisapnya dan ia akan segera dapat menguasai ilmu dahsyat yang diidamkannya itu.

"Ang I Moli, aku tidak akan lari ke mana pun. Kalau Tuhan menghendaki, maka Dia yang akan meloloskan aku dari tanganmu!"

Mendengar jawaban itu, Ang I Moli tertawa terkekeh-kekeh. "Ha-ha-ha-heh-heh! Tuhan? Mana Tuhanmu itu? Suruh dia keluar melawanku, heh-heh!" ia lalu menerjang ke depan, jari tangannya menotok ke arah pundak Yo Han karena ia bermaksud menangkap anak itu dan perlahan-lahan menikmati korbannya. Yo Han tidak pernah berlatih silat. Biarpun secara teori dia tahu bahwa wanita itu menyerangnya dengan totokan, dan dia tahu pula betapa sesungguhnya amat mudah untuk mematahkan serangan ini, namun karena tubuhnya tak pernah dilatih, maka dia tidak dapat melakukan hal itu dan dia pun diam aaja, hanya pasrah kepada Tuhan.

"Tukk!!" jari tangan Ang I Moli menotok jalan darah di pundak dan tubuh Yo Han tiba-tiba menjadi lemas dan dia terkulai roboh. Ang I Moli terkekeh, akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa dua orang suhengnya itu, walaupun sudah dapat mendesak Gangga Dewi namun belum berhasil merobohkan dan membunuhnya, lalu ia meloncat dengan pedang di tangan untuk membantu dua orang suhengnya.

Tentu saja Gangga Dewi menjadi semakin repot melayani pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai itu. Tadi pun dikeroyok oleh dua orang tosu, ia sudah terdesak dan hanya mampu melindungi diri saja tanpa mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Namun, dengan memainkan gabungan dari ilmu Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) melalui sabuk suteranya, sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi yang kesemuanya itu dahulu ia dapatkan dari gemlengan ayahnya, ia masih dapat membela diri dan sejauh itu belum ada ujung senjata para pengeroyok mengenai dirinya. Namun, kalau ia harus terus mempertahankan diri tanpa balas menyerang, akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan akan roboh juga.

"Heiii, kalian ini orang-orang yang berwatak pengecut sekali! Mengeroyok seorang wanita bertiga. Percuma saja kalian mempelajari ilmu silat kalau hanya untuk mengeroyok secara curang dan pengecut."

Yang paling kaget mendengar bentakan itu adalah Ang I Moli. Ia cepat membalik dan terbelalak melihat Yo Han telah berdiri di situ sambil menuding-nudingkan telunjuk dan mencela ia dan kedua orang suhengnya, seperti seorang kakek yang mencela dan menasihati cucu-cucunya yang nakal dan bandel! Betapa ia tidak akan kaget? Tadi ia telah menotok anak itu, totokan yang ia rasakan tepat sekali sehingga jangankan seorang anak kecil yang tidak tahu silat, biar lawan yang tangguh sekalipun kalau sudah tertotok seperti itu, pasti akan terkulai lemas dan sedikitnya seperempat jam lamanya takkan dapat berkutik. Akan tetapi anak ini tahu-tahu sudah bangkit kembali dan menuding-nudingnya!

"Eh, anak setan, akan kubunuh kau sekarang juga!" Kemarahan membuat wanita iblis itu lupa akan keinginannya memanfaatkan darah anak itu dan saking kaget dan marahnya, kini ia menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Yo Han.

"Singg....!" Serangan itu luput! Ang I Moli terbelalak lagi saking herannya.

Anak itu seperti didorong angin ke samping dan jatuh bergulingan, dan justeru hal ini membuat sambaran pedangnya tidak mengenai sasaran. Ia membalik dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia terhuyung dan hampir terjungkal karena saking tergesa-gesa dan marah tadi, ia kurang waspada sehingga kakinya terantuk batu.

Ketika ia bangkit kembali, ia melihat Yo Han sudah duduk dengan sikap tenang sekali di atas tanah. Anak itu memang sudah tahu bahwa melawan tiada gunanya dan lari pun akan percuma. Maka dia lalu duduk dan pasrah, menyerahkan nasib dirinya kepada Tuhan.

“Anak setan....!" Kini Ang I Moli teringat lagi bahwa ia membutuhkan Yo Han, maka ia pun meloncat dekat dan mengayun tangan kirinya, kini menampar ke arah tengkuk.

"Plakkk!" Tubuh anak itu terguling dan ia roboh pingsan. Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa anak itu sudah pingsan dan tidak akan mudah siuman dalam waktu dekat, ia lalu meloncat lagi dan kembali mengeroyok Gangga Dewi yang sudah kewalahan. Namun pada saat
itu, nampak bayangan orang berkelebat.

"Dunia takkan pernah aman selama ada orang-orang sesat berkeliaran mengumbar nafsunya!" bayangan itu berkata dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sepasang pedang yang bersinar putih mengkilap berada di kedua tangannya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu ke dalam perkelahian itu dan membantu Gangga Dewi! Semua orang memandang dan ternyata bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh satu tahun dengan wajah yang berbentuk bundar, kulitnya agak gelap, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi dan wajah itu tampan dan mengandung kegagahan, gerak geriknya lembut dan sinar matanya tajam.

Baik Gangga Dewi maupun tiga orang pengeroyoknya tidak mengenal orang ini, akan tetapi karena jelas bahwa dia membantu Gangga Dewi, maka Ang I Moli sudah menyambutnya dengan sambitan jarum-jarum beracun merah.

"Hemmm, memang keji!" orang laki-laki itu berseru dan sekali tangan kanan bergerak, pedangnya diputar dan dibantu kebutan lengan baju, semua jarum tertangkis runtuh.

Ang I Moli sudah menyusulkan serangan dengan pedangnya. Orang itu menangkis dan balas menyerang. Mereka bertanding dengan pedang, dan ternyata ilmu pedang orang itu lihai bukan main, membuat Ang I Moli terkejut dan terpaksa ia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh ilmu pedang simpanannya untuk melindungi dirinya dari sambaran sepasang pedang lawan yang lihai itu.

Tentu saja orang itu lihai karena dia adalah Suma Ciang Bun! Pria yang kini hidup mengasingkan diri di Pegunungan Tapa-san ini adalah seorang cucu Pendekar Istana Pulau Es. Biarpun bakatnya tidak sangat menonjol dibandingkan keluarga Istana Pulau Es yang lain, namun karena dia sudah mempelajari ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, maka dia juga menjadi seorang pendekar yang amat lihai. Banyak ilmu hebat yang dikuasainya, dan kini, dengan sepasang pedangnya dia memainkan ilmu pedang pasangan Siang-Mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) dan dalam waktu belasan jurus saja Ang I Moli yang lihai telah terdesak hebat.

Akan tetapi, sambil melawan wanita berpakaian merah itu, Suma Ciang Bun melirik ke arah wanita gagah yang dikeroyok oleh dua orang berpakaian tosu. Dia melihat betapa wanita itu terdesak hebat dan berada dalam bahaya karena selain nampaknya sudah lelah sekali, juga paha kirinya sudah terluka dan berdarah. Maka, setelah mendesak Ang I Moli, tiba-tiba dia meloncat ke dalam arena pertempuran membantu Gangga Dewi yang dikeroyok Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu. Begitu Suma Ciang Bun menerjang dan membantu Gangga Dewi, dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu terkejut karena serangan Suma Ciang Bun amat kuatnya, membuat mereka berdua terpaksa meloncat ke belakang dan menghadapinya, meninggalkan Gangga Dewi yang sudah payah dan kelelahan. Karena kini mendapat bantuan yang kuat, timbul kembali semangat Gangga Dewi.

"Terima kasih, Sobat. Mari kita basmi iblis-iblis Pek-lian-kauw yang jahat ini!" serunya dan biarpun paha kirinya sudah terluka, ia memutar pedangnya dan bersama Suma Ciang Bun mendesak tiga orang lawan itu.

Tiba-tiba dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu membaca mantram yang aneh, kemudian Kwan Thian-cu berseru, "Kalian berdua orang-orang bodoh! Lihat baik-baik siapa kami! Kami lebih berkuasa, hayo kalian cepat berlutut memberi hormat kepada kami!" Dalam suara ini terkandung kekuatan sihir. Agaknya mereka berusaha untuk mencoba sihir mereka kembali untuk menundukkan dua orang lawan tangguh itu. Gangga Dewi terhuyung, akan tetapi Suma Ciang Bun adalah cucu Pendekar Sakti Pulau Es. Dia sudah memiliki kekebalan terhadap sihir. Kakeknya, Pendekar Super Sakti, adalah seorang yang memiliki kepandaian sihir amat kuatnya, dan biarpun ilmu itu tidak dipelajari oleh Suma Ciang Bun, akan tetapi dia memiliki kekebalan terhadap segala macam ilmu sihir. Maka, melihat sikap lawan, Suma Ciang Bun tertawa halus.

"Hemm, kalian tidak perlu menjual segala macam sulap dan sihir di depanku. Dua orang tosu itu terkejut dan pada saat itu, Gangga Dewi yang sudah tak terpengaruh sihir, menerjang dengan hebat, disusul Suma Ciang Bun yang menggerakkan sepasang pedangnya. Tiga orang itu terpaksa memutar senjata dambil mundur. Akan tetapi, Ang I Moli yang licik sudah meloncat ke dekat tubuh Yo Han yang masih pingsan. Ia menyambar tubuh itu dan dipanggul dengan tangan kiri, lalu ia berteriak nyaring,

"Hentikan perlawanan kalian atau aku akan membunuh anak ini!"

Mendengar ucapan itu, Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi terkejut, menahan pedang mereka dan memandang ke arah Ang I Moli. Mereka melihat betapa wanita iblis itu telah memanggul tubuh Yo Han dan mengancamkan pedangnya ke dekat leher anak itu. Melihat ini, Gangga Dewi menarik napas panjang. Ia tahu bahwa kalau ia dan penolongnya ini bergerak, tentu wanita iblis itu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Yo Han.

"Sudahlah, biarkan mereka pergi," katanya lirih, namun tegas dan penuh wibawa. Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. Ketika dia datang tadi, dia melihat anak itu ditampar pingsan oleh wanita berpakaian merah dan dia dapat menduga bahwa wanita yang gagah perkasa itu tentu melindungi Si Anak dan ia dikeroyok. Sekarang, setelah anak itu ditawan, dan diancam, wanita itu merasa tidak berdaya dan terpaksa menyerah.

"Mari kita pergi!". Ang I Moli berkata kepada dua orang suhengnya dan ia pun meloncat jauh membawa tubuh Yo Han yang masih pingsan. Dua orang takoh Pek-lian-kauw juga cepat-cepat mengejar karena mereka juga merasa jerih setelah Suma Ciang Bun muncul membantu Gangga Dewi.

Melihat betapa tiga orang itu melarikan anak yang dipondong Si Iblis Betina berpakaian merah, Suma Ciang Bun merasa gelisah. "Tapi.... mereka membawa pergi anak itu....!" katanya khawatir dan melangkah ke depan dengan maksud untuk melakukan pengejaran.

"Jangan dikejar!" kata Gangga Dewi mantap. "Kalau dikejar membahayakan keselamatan nyawanya. Dan lagi, aku percaya Yo Han mampu menjaga dirinya."

"Yo Han? Yo.... Han....? Anak itu....?"

Gangga Dewi memandang tajam. "Engkau mengenal Yo Han?"

"Kalau benar Yo Han yang kaumaksudkan itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia pernah tinggal bersamaku di sini...."

"Ah, kalau begitu engkau tentu Suma Ciang Bun!" kata Gangga Dewi dengan girang.

Suma Ciang Bun menatap wajah wanita yang gagah perkasa itu. "Benar dan.... kalau boleh aku mengetahui.... siapakah.... eh, Nyonya ini....?"

Gangga Dewi memandang dengan wajah berubah kemerahan, matanya bersinar-sinar dan hatinya dicekam keharuan yang hampir membuat ia menangis. Ingin memang ia menangis! Suma Ciang Bun memang nampak jauh lebih tua daripada tiga puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi masih tampan, masih lembut dan canggung pemalu!

"Ciang Bun.... kau.... benarkah engkau sudah lupa kepadaku?" tanyanya, dan wanita yang berhati keras ini sudah mampu mengendalikan perasaannya. Biarpun hatinya menjerit, namun ia dengan gagah dapat menahan diri. Sungguh hal ini menunjukkan betapa Gangga Dewi kini telah menjadi seorang wanita yang lebih kuat hatinya lagi dibandingkan dahulu. Di waktu mudanya, sebagai seorang gadis yang menuruni jiwa petualang ayah ibunya, ia pernah merantau ke timur dan dalam perantauannya itulah ia pernah mengalami peristiwa bersama Suma Ciang Bun, peristiwa yang membuat ia tidak dapat melupakan pria ini selama hidupnya (baca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES). Dalam perantauannya itu, ketika itu ia baru berusia delapan belas tahun, ia menyamar sebagai seorang pria dan mengganti namanya menjadi Ganggananda. Dan ia bertemu dengan Ciang Bun yang menyangka ia seorang pria. Dan, diam-diam ia jatuh cinta kepada Suma Ciang Bun yang gagah perkasa. Mereka bersahabat. Kemudian, ia pun mendapat kenyataan bahwa Ciang Bun mencintanya, mencintanya bukan sebagai Gangga Dewi, melainkan sebagai Ganggananda! Ternyata cucu Pendekar Sakti Pulau Es itu memiliki suatu kelainan, yaitu tidak suka berdekatan dengan wanita, melainkan suka kepada sesama pria! Ciang Bun jatuh cinta kepadanya secara aneh, yaitu karena ia disangka pria. Ia tahu akan hal itu dari Suma Hui, kakak dari Suma Ciang Bun. Ketika ia menyatakan sendiri, membuka rahasia dirinya kepada Suma Ciang Bun dan mendengar pengakuan Ciang Bun bahwa pemuda itu mencinta dirinya sebagai pria, bukan sebagai wanita, ia lalu melarikan diri. Bagaimana mungkin ia hidup bersama seorang pemuda yang mencintanya sebagai pria, betapa besar pun ia mencinta pemuda itu? Ia lari meninggalkan Ciang Bun, kembali ke Bhutan dengan hati hancur dan luka karena cinta yang gagal. Karena itulah, ia menurut saja ketika ayah dan ibunya menjodohkan ia dengan seorang panglima muda di Bhutan, panglima yang masih murid ayahnya sendiri dan seorang pria Bhutan yang gagah perkasa. Ia berusaha untuk melupakan Ciang Bun. Sampai suaminya tewas di dalam perang dan ia sudah mempunyai dua orang anak yang sudah dinikahkannya pula, kemudian sampai ia pergi lagi ke timur untuk mencari ayahnya, ia sudah hampir tidak pernah ingat lagi kepada Suma Ciang Bun. Siapa kira, ia bertemu Yo Han dan anak itulah yang mengajaknya menemui Suma Ciang Bun untuk bertanya di mana ia dapat menemukan ayahnya. Ketika Yo Han menyebut nama Suma Ciang Bun, dapat dibayangkan betapa rasa kagetnya. Dan kini, ia telah berhadapan dengan bekas kekasih hatinya itu.

Suma Cian Bun menatap wajah Gangga Dewi dengan sinar mata heran dan penuh pertanyaan. Dia tidak dapat mengingat lagi wajah wanita perkasa yang berdiri di depannya ini. Seorang wanita yang cantik dan gagah. Rambutnya sudah beruban, namun wajahnya masih segar dan nampak muda. Pakaiannya, dari sutera kuning, juga rambut beruban yang mengkilap dan tebal panjang itu ditiup kerudung sutera kuning. Namun hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak masih dapat nampak karena kerudung itu tipis. Wajah yang cantik itu membayangkan ketabahan dan semangat yang amat kuat. Namun, ia tetap tidak dapat mengingat wajah ini, apalagi karena jarang ia bergaul dengan wanita. Dia merasa heran sekali mendengar betapa wanita ini menyebut namanya sedemikian akrabnya. Hanya di dalam hatinya ada keyakinan bahwa dia seperti pernah mengenal sinar mata itu, sepasang mata yang lebar dan jernih sekali, juga tajam berwibawa.

"Siapa.... siapakah Nyonya? Aku.... rasanya pernah bertemu, tapi aku lupa lagi di mana dan kapan...."

Gangga Dewi tidak merasa menyesal atau kecewa. Ada baiknya kalau Suma Ciang Bun melupakannya. Dahulu ia selalu teringat kepada Suma Ciang Bun dengan hati penuh iba dan ia selalu membayangkan betapa hancur hati pemuda itu ditinggalkannya, betapa pemuda itu tentu merana dan hidup sengsara. Kalau Suma Ciang Bun dapat melupakannya, maka hal itu sungguh baik sekali.

Akan tetapi, ia melihat betapa sinar mata pria ini jelas menunjukkan betapa dia telah menderita banyak sekali, matanya begitu redup dan ada kesedihan mendalam yang tak pernah hapus dari batinnya.

"Ciang Bun, aku dari Bhutan!" ia membantu ingatan bekas kekasih hatinya itu.

Tiba-tiba mata itu terbelalak, sinarnya penuh pengenalan, wajah itu mendadak menjadi pucat, bibir itu gemetar dan beberapa kali bergerak tanpa suara, kedua tangan dikembangkan dan agaknya Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk akhirnya dapat mengeluarkan suara. Bagaikan air bah yang membanjir karena jebol tanggulnya, dari dalam dadanya menghambur suara yang tidak jelas.

"Gangga.... kau Gangga.... Gangga Dewi....!" Dan dia pun menubruk wanita itu.

Gangga Dewi membiarkan dirinya dirangkul dan ia pun balas memeluk.

"Ciang Bun....!" Ia harus mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk melindungi tubuhnya, ketika merasa betapa dekapan itu amat kuatnya. Akan remuklah tulang-tulang iganya kalau ia tidak mengerahkan tenaga, dan dengan hati penuh iba ia pun berbisik, ".... aku Ganggananda, Ciang Bun,"

"Gangga Dewi.... engkau Gangga Dewi....!" hanya itu yang dapat diucapkan Ciang Bun dan wanita itu merasa jantungnya seperti diremas-remas ketika ia menengadah dan melihat betapa air mata bercucuran dari kedua mata pria gagah perkasa itu. Suma Ciang Bun menangis! Menangis seperti seorang wanita!

Gangga Dewi merasa semakin terharu, Ciang Bun mencium dahi dan rambutnya dan ia dapat merasakan detak jantung yang penuh kasih sayang dalam dada pria itu.

"Ya Tuhan, terima kasih, terima kasih bahwa engkau telah mempertemukan aku kembali dengan Gangga-ku.... Ahhh, Gangga Dewi, betapa aku rindu kepadamu...."

"Aku pun rindu kepadamu, Ciang Bun. Akan tetapi kepada siapakah engkau rindu? Gangga Dewi ataukah Ganggananda....?"

"Sama saja, Gangga, sama saja. Aku mencintamu, mencinta pribadimu, tidak peduli engkau pria atau wanita....” Kembali Suma Ciang Bun mencium dahi Gangga Dewi dengan penuh cinta kasih dan Gangga Dewi merasa betapa air mata membasahi dahinya dan menuruni pipinya. Jawaban itu melegakan hatinya dan ia pun balas merangkul. Betapa keadaan seperti ini seringkali terjadi dalam mimpinya ketika dulu, betapa ia merindukan rangkulan pria ini.

Akan tetapi, tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan keluhan perlahan dan dia pun melepaskan rangkulan, lalu melangkah ke belakang dan ketika Gangga Dewi memandang, ia melihat wajah itu basah air mata yang masih menetes turun, dan wajah itu pucat kembali, mulutnya bergerak-gerak gugup.

"Aih, Gangga Dewi.... kaumaafkan aku.... ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan? Gangga, maafkan aku.... maafkan aku...." Dan kini Ciang Bun menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.

Gangga Dewi memandang dan wajahnya sendiri berubah pucat. Kiranya Ciang Bun masih seperti dulu! Masih menangis cengeng seperti seorang wanita lemah, dan agaknya merasa menyesal atas sikapnya yang penuh kehangatan dan kemesraan tadi karena ia muncul sebagai wanita. Agaknya Ciang Bun teringat lagi bahwa ia seorang wanita dan menyesali perbuatannya tadi. Perasaan kecewa yang membuat hatinya nyeri terasa oleh Gangga Dewi.

"Ciang Bun," katanya dan suaranya kini kering dan tegas. "Katakan mengapa engkau minta maaf? Mengapa? Katakan"

Ciang Bun menurunkan kedua tangannya dan memandang dengan mata merah. Dia pun sudah dapat menguasai hatinya, tidak menangis lagi walau kedua matanya masih basah.

"Gangga Dewi, maafkanlah kelemahanku tadi. Sesungguhnya aku telah lupa diri tadi, saking haru dan girangku bertemu denganmu. Aku telah melakukan hal yang tidak pantas, tidak sopan. Aku lupa bahwa engkau bukanlah Gangga Dewi yang dulu lagi, engkau seorang yang telah bersuami, berumah tangga. Aku telah mendengar bahwa engkau kini menjadi seorang isteri yang berbahagia di Bhutan, dengan anak-anakmu. Ah, aku ikut merasa girang bahwa engkau hidup berbahagia, Gangga."

Gangga Dewi tersenyum. Hatinya senang karena ternyata Ciang Bun tidak minta maaf sebagai tanda bahwa penyakitnya yang dulu masih ada, melainkan minta maaf karena teringat bahwa ia seorang yang telah bersuami. Hal ini wajar, bahkan baik sekali, tanda bahwa pria ini masih dapat menguasai gelora nafsunya.

"Dan engkau sendiri bagaimana, Ciang Bun?" tanyanya, sikapnya tenang, juga Ciang Bun agaknya sudah mampu menguasai hatinya dan kini mereka berdiri saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin menjenguk isi hati masing-masing. Mendengar pertanyaan itu, Ciang Bun menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

"Aku masih hidup sendirian, Gangga. Semenjak engkau pergi, aku telah kehilangan segala-galanya dan aku hidup mengasingkan diri di sini. Gangga Dewi, bagaimana dengan suami dan anak-anakmu? Kenapa engkau melakukan perjalanan seorang diri dan bersama Yo Han?"

"Ciang Bun, aku meninggalkan Bhutan. Aku sekarang juga hidup sendirian seperti engkau. Suamiku telah lama meninggal dalam perang. Kedua orang anakku telah berumah tangga dan hidup berbahagia dengan keluarga masing-masing. Aku kesepian. Ibu telah meninggal dan ayahku telah lama meninggalkan Bhutan. Aku lalu pergi untuk mencari ayahku, dan dalam perjalanan aku bertemu Yo Han. Dialah yang mengajak aku ke sini karena dia berkata bahwa engkau tentu tahu di mana adanya ayahku"

"Ahhh....! Yo Han telah dilarikan orang jahat. Kita harus cepat mengejarnya Gangga. Kita harus menyelamatkannya dari tangan mereka. Nanti saja kita bicara, yang penting sekarang kita harus menolong Yo Han!" Suma Ciang Bun yang teringat kepada Yo Han meloncat jauh ke depan untuk melakukan pengejaran.

"Tahan dulu....!" Suma Ciang Bun melihat bayangan kuning berkelebat mendahuluinya dan Gangga Dewi sudah berdiri di depannya menghalanginya.

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. "Yo Han tarjatuh di tangan orang-orang jahat, nyawanya terancam bahaya dan aku hendak mengejar dan menolongnya. Kenapa engkau mencegahku, Gangga Dewi?"

"Kenapa engkau hendak menolong Yo Han?"

Tentu saja! Aku sayang padanya. Dia pernah tinggal di sini, dititipkan oleh gurunya, Tan Sin Hong. Biar anak lain yang tidak kukenal sekalipun, sudah sepatutnya kubebaskan dari tangan orang-orang jahat itu. Apalagi Yo Han!" Suma Ciang Bun hendak meloncat lagi, akan tetapi Gangga Dewi menghadangnya.

"Nanti dulu, Suma Ciang Bun. Tenanglah dan mari kita bicara dengan kepala dingin. Kaukira aku tidak sayang kepada Yo Han? Biarpun belum lama kami saling berkenalan, namun anak itu sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, bahkan aku suka dan ingin mengambilnya sebagai murid. Justeru karena kita sayang kepadanya, kita tidak boleh melakukan pengejaran secara langsung, karena hal ini bahkan akan membahayakan dirinya. Kalau Ang I Moli yang jahat itu melihat kita melakukan pengejaran, ia tidak akan ragu untuk segera membunuh Yo Han! Kautahu, Ciang Bun, perkenalanku dengan Yo Han justeru ketika aku merampasnya dari cangkeraman Ang I Moli. Tak kusangka hari ini ia merampas anak itu kembali dari tanganku, dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw itu. Jadi, kalau hendak menyelamatkan Yo Han, kita harus menggunakan siasat, tidak boleh sembarangan saja!”

Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan meraba jenggotnya yang terpelihara rapi. Dia berada dalam pemainan gelombang perasaan. Ketika tadi mendengar bahwa Gangga Dewi sekarang hidup seorang diri, sudah menjadi janda, dia merasakan suatu kegembiraan luar biasa di hatinya, kegembiraan yang muncul dengan adanya suatu harapan baru. Akan tetapi kegembiraan ini terganggu oleh kekhawatiran tentang diri Yo Han. Kini menghadapi sikap Gangga Dewi yang demikian tegas dan tenang, dia merasa tak berdaya, seperti seorang bawahan menghadapi atasannya!

"Kurasa engkau benar, Gangga Dewi. Baiklah, aku menurut saja bagaimana baiknya untuk dapat menolong Yo Han."

"Kita membayangi mereka dari jarak jauh dan menjaga agar mereka, jangan sampai tahu bahwa kita membayangi
mereka. Kita mendekati mereka dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan, suatu penyerbuan mendadak sehingga mereke tidak mempunyai kesempatan untuk membunuh Yo Han."

"Akan tetapi, kalau kita berlambat-lambat, aku khawatir mereka akan mengganggu dan membunuh Yo Han dan kita akan terlambat."

Gangga Dewi menggeleng kepalanya. "Engkau, tidak mengenal betul siapa Yo Han. Aku sendiri pun masih terheran-heran dan takjub melihat keadaan anak itu. Dia mampu menjaga dirinya sendiri. Dia memiliki kekuatan yang ajaib. Mari kita mulai membayangi mereka dan akan kuceritakan semua tentang keanehan Yo Han dalam perjalanan."

"Karena pengejaran ini mungkin memakan waktu lama, biarlah aku akan membawa bekal pakaian dulu, Gangga. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Mari!"

Bersambung ke buku 3