Suling Emas & Naga Siluman -14 | Kho Ping Hoo



Buku 14

“Tutup mulutmu yang busuk!” wanita itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan dan tangannya menampar ke arah muka Su-ok. Si Gendut Pendek ini tertawa dan menangkis, memandang rendah.

“Duk! Plakk....“ Tubuhnya terpelanting dan mukanya bengkak terkena tamparan itu. Si Gendut mengaduh-aduh dan merasa terkejut bukan main.

“Hi-hi-hik, matamu sudah buta barangkali, Sute? Lihat baik-baik siapa wanita itu! Lupakah kau kepada Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dari Lembah Suling Emas?” Ji-ok mengejek adik angkatnya yang ke empat.

Tadinya Su-ok merasa penasara dan malu sekali bahwa sekali gebrakan saja dia telah kena ditampar oleh isteri baru Bu-taihiap itu. Kini dia memandang lebih jelas dan dia pun mengenal wanita ini yang pernah dijumpainya, maka rasa penasaran di hatinya agak berkurang, terganti oleh perasaan marah. Kalau tadi dia sampai kena ditampar adalah karena dia tidak mengenal wanita itu dalam cahaya penerangan yang tidak begitu terang dalam ruangan itu sehingga dia memandang rendah dan tidak menjaga diri baik-baik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Bu-taihiap memang hebat dan dia bukan lawan pendekar itu, akan tetapi kalau hanya melawan Cui-beng Sian li ini, kiranya dia tidak akan kalah atau selisih antara tingkat mareka tidak jauh.

“Su-ko, mari kubantu engkau menangkap perempuan ini!” kata Ngo-ok dan Si Jangkung ini secara tiba-tiba saja sudah berkelebat di depan wanita itu. Demikian cepat gerakannya sehingga wanita dari Lembah Suling Emas itu merasa terkejut juga.

“Heh-heh, Ngo-te, kau membantuku ataukah aku yang harus membantu engkau menangkap wanita ini untuk kemudian kauperkosa?, Ha-ha!” kata Su-ok.

Mendengar ucapan ini, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Su-ok dengan pukulan tangan yang mengandung sin-kang kuat sekali sehingga tangan itu mengeluarkan suara bercuitan dan menjadi kuat tidak kalah dengan senjata baja. Su-ok maklum akan kelihaian nyonya ini maka dia pun segera mengelak dan balas menyerang. Ngo-ok yang merasa yakin bahwa sekali ini dia akan memperoleh korban baru yang istimewa karena nyonya ini bukan wanita sembarangan, sudah membantu temannya. Tang Cun Ciu tidak menjadi gentar dan wanita ini sudah memainkan ilmu silat yang amat diandalkannya yaitu Pat-hong Sin-kun.

Melihat betapa dua orang adik angkat mereka menyerang wanita itu, Sam-ok tertawa dan berkata dengan nada suara mengejek, “Bu Seng Kin, sekali ini engkau tidak akan dapat lolos lagi dari tangan kami!”

“Begitukah? Boleh coba!” jawab Bu Seng Kin sambil tersenyum. Dia sudah sering berhadapan dengan tiga orang datuk sesat ini dan dia tahu benar betapa lihainya mereka. Bahkan belasan tahun yang lalu, dia selalu terdesak oleh mereka bertiga ini. Akan tetapi selama belasan tahun itu dia telah meningkatkan kepandaiannya dan kini dia ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa sekarang dia tidak akan kalah lagi. Hanya keadaan isterinya yang membuat dia khawatir. Dia tahu bahwa kalau hanya menghadapi seorang lawan, isterinya masih cukup kuat, akan tetapi dikeroyok dua, berbahaya sekali.

Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok memang amat membenci Bu Seng Kin yang merupakan musuh lama. Kini melihat bahwa pendekar ini menghalangi niat mereka untuk membunuh pangeran mahkota, yang kepada mereka diperintahkan oleh seorang pembesar bekas kaki tangan Sam-thai-houw, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mengambil keputusan untuk sekali ini membunuh Bu Seng Kin dan mereka merasa yakin akan sanggup melakukannya. Biarpun tingkat kepandaian pendekar ini sejak dahulu sudah lebih tinggi daripada seorang di antara mereka. Hal ini sudah seringkali terjadi belasan tahun yang lalu ketika mereka bertiga mengejar-ngejar pendekar ini. Tentu pendekar yang mereka benci ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka bertiga pun sudah meningkatkan ilmu kepandaian mereka, bahkan jauh lebih hebat dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu.

Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu membuka serangan. Mata di balik tengkorak itu yang seperti mata setan, berkilat-kilat menakutkan, dan tiba-tiba dari balik tengkorak itu terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang aneh karena lengking ini seperti suara orang tertawa akan tetapi juga seperti suara orang menangis, dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan, kedua tangannya yang bergerak dengan aneh karena kedua jari telunjuknya menuding sedangkan jarijari lain digenggam. Akan tetapi dari gerakan jari-jari telunjuk ini menyambar hawa dingin yang kuat dan mengandung ketajaman seperti pedang.

“Srattt....! Srattt....!” Bu-taihiap terkejut bukan main dan dia mengenal serangan maut, maka cepat dia mengelak dan balas menendang untuk menahan desakan wanita itu. Dia tidak tahu bahwa orang ke dua dari Im-kang Ngo-ok itu ternyata telah memperoleh ilmu yang dahsyat, yang baru saja dipergunakan untuk menyerangnya, yaitu ilmu Kim-ci (Jari Pedang) yang mengeluarkan hawa dingin dan amat berbahaya itu. Akan tetapi, karena tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi daripada wanita itu, dia tidak merasa gentar dan balas menyerang dengan hebatnya, sungguhpun pukulan-pukulan berat yang mengandung sin-kang kuat sekali sehingga ketika berusaha menangkis pukulan ini, Ji-ok terdorong mundur dan terhuyung.

Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok akan tetapi yang paling cerdik itu, sudah cepat maju membantu temannya. Karena maklum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan, begitu maju dia pun sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), semacam ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing. Bu Seng Kin cepat meloncat untuk menghindar dan balas menyerang dengan cepat melayani dua orang pengeroyoknya. Akan tetapi kini Toa-ok sudah terjun ke dalam arena perkelahian pula, kedua tangannya bergerak sembarangan, akan tetapi lengannya dapat mulur panjang dan cengkeraman-cengkeramannya yang dilakukan seperti serangan gorila itu amat berbahaya karena lengan itu mengandung tenaga yang dahsyat. Maka Bu-taihiap sudah dikeroyok tiga dan terjadilah perkelahian yang amat seru di ruangan itu.

Sementara itu, Su-ok dan Ngo-ok merasa penasaran sekali ketika sampai belasan jurus mereka berdua belum juga mampu menangkap wanita itu, maka Su-ok lalu mengeluarkan ilmunya yang diandalkan yaitu ilmu pukulan Katak Buduk. Dengan tubuh merendah sampai hampir berjongkok, ia mendorongkan kedua tangannya dan dari tenggorokannya keluar suara berkokok aneh. Hawa yang dahsyat dan amis menyambar, membuat Tang Cun Ciu terkejut dan meloncat ke belakang, namun tetap saja ia masih terhuyung. Untuk menyelamatkan diri, wanita ini sudah mencabut pedangnya dan begitu pedang diputar dan tubuhnya menerjang ke depan, nampak gulungan sinar yang amat menyilaukan mata mengurung tubuh Su-ok. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dia pun sudah berjungkir-balik, lalu menyerang dengan kedua kakinya yang panjang, menendang-nendang ke arah lengan kanan lawan untuk merampas pedang. Dihadapi oleh dua orang yang mengeluarkan ilmu-ilmu aneh ini, kembali Tang Cun Ciu terdesak hebat.

Keadaan Bun Seng Kin sendiri tidak lebih baik daripada wanita itu. Dia pun terdesak setelah tiga orang pengeroyoknya mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang hebat itu. Teringatlah dia akan tugasnya memancing para lawan ini menjauhi kuil dan memberi kesempatan kepada teman-temannya untuk melakukan siasat mereka, yaitu menggunakan kesempatan ribut-ribut itu untuk menculik Pangeran sehingga kelak akan mudah menimpahkan kesalahan kepada para penyerbu ini.

“Ciu-moi, mari ke tempat yang lebih luas!” teriaknya dan tiba-tiba Bu-taihiap mengeluarkan seruan nyaring, kedua tangannya menyambar-nyambar dan dia mengeluarkan ilmu pukulan aneh yang hebat. Tiga orang lawannya terkejut dan untuk menjaga diri, mereka mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh pendekar itu untuk menerjang ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang juga mundur untuk menghindarkan serangan dahsyat itu. Dan mereka berdua, Bu-taihiap dan isterinya lalu meloncat cepat keluar, dari ruangan itu.

“Im-kan Ngo-ok, mari kita lanjutkan pertandingan di luar yang lebih luas, di mana sekali ini aku akan membasmi kalian!” teriak Bu Seng Kin.

Im-kan Ngo-ok, yang merasa sudah hampir memperoleh kemenangan itu, tentu saja menjadi penasaran. Kalau orang she Bu ini tidak ditewaskan lebih dulu, tentu akan sukar bagi mereka untuk melaksanakan perintah untuk membunuh Pangeran. Maka dengan marah mereka pun mengejar ke depan, yaitu ke pekarangan kuil yang cukup luas, di tempat terbuka dan cuacanya remang-remang karena penerangan yang ada hanya sinar bulan ditambah lampu gantyng yang berada di depan kuil itu. Namun cukuplah bagi ahli-ahli silat itu yang dalam perkelahian tidak hanya mengandalkan pada mata melainkan juga kepada ketajaman pendengaran mereka.

Setelah Im-kan Ngo-ok tiba di pekarangan luar dari kuil itu, ternyata Bu Seng Kin sudah berdiri saling membelakangi dengan isterinya. Hal ini berarti bahwa mereka bermaksud untuk bekerja sama menghadapi lima orang lawan itu, karena dengan kedudukan saling membelakangi, berarti mereka dapat saling melindungi dan menghindarkan diri dikepung lawan. Dan selain itu, juga tempat itu sudah dikurung oleh tujuh orang hwesio yang dipimpin oleh Ciong-hwesio ketua kuil itu sendiri, dan mereka bertujuh itu sudah memegang senjata masing-masing berupa toya atau tongkat panjang. Melihat ini, Im-kan Ngo-ok tertawa semua. Bagi mereka, lebih banyak jawan yang maju berarti dapat lebih puas membabat dan membunuh lawan. Dan tentu saja, selain Bu-taihiap, mereka memandang rendah kepada yang lain-lain, apalagi hwesio-hwesio itu.

“Heh-heh-heh, bairlah aku yang membasmi kerbau-kerbau gundul itu!” Su-ok terkekeh dan meloncat maju.

“Ihh, lupakah engkau bahwa kepalamu sendiri pun gundul dan engkau pun seorang hwesio gagal?” Ji-ok mengejek orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu. Akan tetapi Su-ok tidak peduli dan dia sudah bergerak mengamuk kalang-kabut, memukul sana-sini ke arah para hwesio itu. Ciong-hwesio yang tahu diri, tahu bahwa dia dan teman-temannya, sungguhpun telah memiliki ilmu silat yang lumayan, namun sama sekali bukanlah lawan Im-kan Ngo-ok, segera memberi isyarat dan mereka bertujuh sudah mengeroyok Su-ok. Lumayan dapat menahan seorang di antara mereka sehingga Bu-taihiap tidak terlalu berat, pikirnya.

Memang ada benarnya pendapat Ciong Hwesio itu. Akan tetapi, biarpun kini mereka dapat saling bantu, dikeroyok empat orang dari Im-kan Ngo-ok merupakan hal yang amat berat dan berbahaya. Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu tetap saja sibuk sekali menghadapi serangan mereka yang bertubi-tubi dan setiap serangan amat berbahaya itu. Cun Ciu sudah berusaha agar ia menghadapi Ngo-ok saja, dan ia selalu memutar tubuh menghadapi lawan ini yang merupakan lawan yang paling ringan di antara tiga orang yang lain. Dan Bu-taihiap juga diam-diam harus mengakui bahwa kalau dia selama ini meningkatkan kepandaiannya, ternyata musuh-musuhnya juga demikian, bahkan kini mereka memiliki ilmu-ilmu yang aneh sekali.

Cara Ngo-ok bersilat dengan jungkir balik itu membingungkan Cun Ciu sehingga ketika dia mengelak, lalu membabat dengan pedangnya ke arah kedua kaki lawan, hampir saja sebelah kaki lawan yang bergerak aneh dapat menendang pergelangan tangan. Memang pergelangan tangannya sudah kena tendang, akan tetapi pedang itu sudah dipindahkannya ke tangan kiri dan pedangnya membacok ke arah kaki. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja serangan jari tangan Kiam-ci dari Ji-ok sengaja diselewengkan ke arahnya. Cun Ciu yang sedang sibuk menghadapi kedua kaki Ngo-ok yang lihai itu, terkejut dan mengelak, lehernya dapat diselamatkan dari sambaran tajam tangan pedang itu, akan tetapi pundaknya kena diserempet hawa yang dingin dan tajam. Dicobanya untuk menangkis dengan tangan kanan yang tidak memegang pedang, akan tetapi ia kalah cepat dan ia mengeluarkan seruan kaget, pundaknya terasa perih dan berdarah seperti terkena sambaran pedang tajam!

Selagi ia terhuyung, tiba-tiba saja tangan Ngo-ok dari bawah menyambar dan hendak mencengkeram kakinya. Serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi, Cun Ciu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia pernah melakukan kegemparan besar di dunia kang-ouw dengan mencuri pedang dari istana. Maka, biarpun pundaknya terluka dan kini tiba-tiba saja tangan Ngo-ok yang berada di bawah itu menyambar untuk menangkap pergelangan kakinya, ia masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menarik kakinya itu, lalu langsung kakinya menendang ke arah muka Ngo-ok yang berjungkir balik itu! Ngo-ok terkejut bukan main, dengan lengannya dia menangkis, akan tetapi dari atas pedang di tangan kiri Cun Ciu menyambar dan membabat ke arah kakinya! Ngo-ok mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang dan mukanya berobah agak pucat karena nyaris kakinya terbacok! Dia maju lagi dengan lebih hati-hati, sedangkan Bu-taihiap sendiri lega hatinya melihat isterinya, akan tetapi dari kanan kiri, Toa-ok dan Sam-ok menyambutnya.

Sementara itu, Su-ok yang dikeroyok tujuh orang hwesio sambil tertawa-tawa mempermainkan tujuh orang hwesio itu. “Heh-heh-heh, omitohud.... bagaimana kalian berani melawan sucouw kalian? Hayo berlutut dan minta ampun, ha-haha!” Dan memang orang cebol ini telah membagi-bagi pukulan kepada tujuh orang itu tanpa mereka dapat membalas, sungguhpun mereka telah menyerang dengan toya mereka. Semua pukulan toya luput, dan kalaupun ada yang mengenal tubuh Si Cebol, toya-toya itu membalik dan setiap kali Si Cebol berhasil menampar, tentu hwesio-hwesio itu terpelanting dan babak bundas. Tentu saja Su-ok sengaja mempermainkan mereka, karena kalau dia mempergunakan tenaga sin-kangnya ketika menampar atau memukul, tentu mereka telah tewas sejak tadi.

“Sute, kau ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak saja. Hayo cepat bereskan mereka dan bantu kami!” Ji-ok menegurnya ketika melihat sikap Su-ok, karena mereka berempat memang belum juga mampu merobohkan Bu-taihiap dan Cun Ciu walaupun mereka berempat sudah dapat mendesak. Pertahanan kedua orang itu cukup kuat dan sukar ditembus.

“Heh-heh-heh, bukankah katamu sendiri bahwa mereka ini adalah rekan-rekanku? Bagaimana aku dapat membunuh mereka? Aku takut dosa dan tidak dapat masuk Nirwana.... ha-ha-ha!”

“Sute, cepat bantu kami!” Terdengar Toa-ok membentak dan barulah Su-ok tidak berani main-main lagi, maklum bahwa kalau toakonya sudah bicara, maka tentu serius dan tentu akan marah kalau dia berkelakar terus.

“Baik, Toako!” katanya dan tiba-tiba dia berjongkok, mengeluarkan pukulan Katak Buduknya, memukul ke arah Ciong-hwesio.

“Wuuuuttt.... dessss....!” Dan tubuh Su-ok terpental dan terguling-guling seperti sebuah bola ditendang! Apa yang terjadi? Su-ok meloncat bangun dan matanya terbelalak memandang kepada seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam yang tadi telah menangkisnya. Bukan main! Tangkisan itu tidak hanya mampu membuyarkan tenaga ilmu pukulan Katak Buduk, bahkan membuat dia terdorong dan terpelanting keras!

Hwesio muka hitam itu lalu berkata kepada Ciong-hwesio dan yang lain-lain, “Harap Ciong-suhu dan saudara-saudara lain mundur,” Ciong-hwesio girang sekali dengan munculnya Lim Kun Hosiang,

Hwesio tinggi besar muka hitam yang mengaku murid Siauw-lim-pai dan yang datang bersama Tan Tek Hosiang yang bertubuh kecil itu. Tak disangkanya bahwa hwesio ini sedemikian lihainya sehingga mampu menandingi Su-ok. Maka dia pun mundur bersama teman-temannya.

Su-ok yang merasa penasaran sekali menjadi marah. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau kelaparan, Si Pendek ini lalu menjatuhkan dirinya dan menggelundung ke arah hwesio muka hitam itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan yang ampuh. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mengelak, melainkan menangkis dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangannya mendorong ke arah lawan yang memukulnya dengan ilmu pukulan Katak Buduk itu.

“Desss....!” Akibatnya hebat sekali. Su-ok kembali terpental dan bergulingan, dan ketika dia mencoba bangun, dia roboh kembali dan dari mulutnya mengalir darah segar. Si Pendek ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena dia telah terluka dalam! Dan hwesio muka hitam itu kini cepat melangkah ke medan pertempuran. Sejenak dia memandang kepada Bu-taihiap dan mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya, akan tetapi ketika dia melihat Cun Ciu yang didesak oleh Ngo-ok dan kadang-kadang menerima serangan Ji-ok dengan Kiam-ci yang berbahaya itu, Si Hwesio Muka Hitam ini maju dan ketika Ji-ok menyerang lagi ke arah Cun Ciu, dia pun maju dan menangkis.

“Plakkk!” Dan Ji-ok terpental dengan kaget sekali. Tangkisan itu kuat bukan main, bahkan jauh lebih kuat daripada tangkisan Cun Ciu dan setingkat dengan tenaga Bu-taihiap! Pada saat itu Si Hwesio Muka Hitam sudah menendang ke arah muka Ngo-ok yang masih berjungkir balik. Ngo-ok cepat menangkis dengan lengannya dan kakinya menendang ke arah tengkuk lawan baru ini. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mempedulikan tengkuknya ditendang. Ketika tendangannya ditangkis, Ngo-ok terkejut karena merasa lengannya nyeri dan ketika tendangannya tiba mengenai tengkuk lawan, kakinya terpental seperti membentur besi. Pada saat itu tangan hwesio tinggi besar muka hitam itu sudah menonjok ke depan, ke arah perutnya. Tentu saja Ngo-ok menjadi terkejut dan tak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri. Untung pada saat yang amat berbahaya sudah menggerakkan kakinya menendang dan tepat mengenai punggung adiknya yang ke lima ini.

“Desss....!” Tubuh Ngo-ok terlempar dan terbanting, akan tetapi, dia terbebas dari ancaman maut pukulan hwesio muka hitam itu.

Toa-ok maklum bahwa lawan yang baru datang ini lihai sekali, maka dia pun cepat menggunakan tangan kanannya untuk memukul dengan tangan terbuka. Di antara suadara-saudaranya, Toa-ok ini memiliki kepandaian yang paling hebat, atau setidaknya setingkat dengan kepandaian Ji-ok. Biarpun gerakan-gerakannya sederhana saja, namun dia memiliki tenaga dahsyat yang sukar untuk dapat ditandingi lawan. Maka pukulannya dengan tangan terbuka ke arah hwesio muka hitam itu pun dahsyat bukan main, sampai mengeluarkan angin bercuitan suaranya. Namun, diserang seperti itu, Si Muka Hitam tidak mengelak, melainkan menangkis dengan tangan terbuka pula.

Jelasnya, Si Muka Hitam ini tidak takut untuk mengadu tenaga dengan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.

“Plakkk!” Dua telapak tangan bertemu dengan amat dahsyatnya dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan agak terhuyung. Terkejutlah Toa-ok. Hwesio yang tak terkenal ini memiliki tenaga yang seimbang dengan dia! Berarti setingkat pula dengan Bu-taihiap.

Sementara itu, mendapat bantuan hwesio yang kosen itu, bangkitlah semangat Bu-taihiap dan dia sudah mendesak Sam-ok dan Ji-ok dengan pukulan-pukulan sakti. Kedua orang itu menghindarkan diri mundur. Pada saat itu, nampak gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan ternyata hwesio muka hitam itu telah memutar sebatang cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya di balik jubah hwesio. Bukan main hebatnya senjata ini dan amat berbahaya, maka melihat ini, Toa-ok yang melihat bahwa dengan bantuan setangguh ini maka pihaknya akan mengalami banyak kerugian, lalu berteriak memberi tanda kepada adik-adiknya untuk melarikan diri. Mereka berlima pun berloncatan dan Ji-ok sudah menyambar lengan Su-ok yang terluka tadi, dibawanya lari dengan cepat sekali.

Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu tadinya tidak tahu siapa adanya hwesio tinggi besar muka hitam yang amat lihai ini, akan tetapi begitu melihat gerakan silatnya dan melihat cambuk baja itu, ia berseru kaget, “Sam-te....!”

Hwesio muka hitam itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.

Mendengar seruan ini, Bu-taihiap yang tadinya merasa ragu-ragu siapa adanya orang tinggi besar yang amat lihai itu terkejut pula, “Ah, kiranya Ban-kin-sian Cu Kang Bu....“

Orang tinggi besar itu membuang muka tidak mau melayani Bu Seng Kin, bahkan lalu meloncat dan lari dari tempat itu, menghilang ke dalam gelap, meninggalkan Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu yang memandang bengong ke arah lenyapnya pendekar itu. Juga Ciong-hwesio menjadi terkejut dan terheran, apalagi ketika mendengar betapa Bu-taihiap dan isterinya sudah mengenal hwesio tinggi besar itu.

“Apa yang terjadi? Siapakah dia itu sebenarnya? Pinceng mengira benar-benar hwesio Siauw-lim-pai.... dan mana Tan Tek Hosiang, yang seorang lagi?” Karena khawatir akan kegagalan siasat yang sudah mereka rencanakan, maka Ciong-hwesio lalu lari ke dalam, diikuti oleh Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu. Akan tetapi hati mereka lega ketika mendengar betapa Sang Pangeran telah berhasil dilarikan oleh para hwesio anak buah Ciong-hwesio, melalui pintu belakang dan menunggang kuda, sesuai dengan rencana, dengan dalih menyelamatkan Pangeran itu.

“Bagus....!” kata Ciong-hwesio, “Kalau begitu sekarang harus cepat-cepat menyiarkan berita bahwa Pangeran yang bermalam di kuil ini telah diculik penjahat-penjahat yang datang bersama Im-kan Ngo-ok!”

Akan tetapi, Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu merasa tidak enak sekali melihat munculnya Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio, “Ciong-suhu, biar kami berdua mengejar mereka dan ikut mengawal Pangeran, sedangkan urusan penyebaran berita tentang penculikan Pangeran oleh orang-orang golongan hitam terserah kepada Ciong-suhu.”

Pendekar bersama isterinya ini cepat meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam, sedangkan Ciong-hwesio bersama para hwesio yang menjadi penghuni kuil itu segera menyiarkan bahwa pemuda yang menjadi tamu kuil itu telah diculik penjahat yang datang menyerbu kuil pada malam itu.

Dan dugaan Ciong-hwesio memang tepat sekali. Begitu berita itu disiarkan, malam itu juga, menjelang pagi, banyak bayangan berkelebat memasuki kuilnya. Bayangan beberapa orang yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw, yang bertanya tentang peristiwa terculiknya pemuda itu. Mereka ini adalah para pendekar yang diam-diam melindungi Pangeran Kian Liong. Karena Pangeran itu bermalam di dalam kuil dan mereka semua mengira bahwa keadaan Pangeran itu aman, maka mereka menjadi lengah. Apalagi karena mereka tidak mungkin ikut-ikutan bermalam di dalam kuil. Justeru pada malam itulah, di waktu mereka lengah, penjahat datang dan Pangeran itu diculik orang!

Ciong-hwesio menyambut mereka semua dengan hormat dan memperlihatkan keheranannya, “Memang, tamu muda pinceng itu dilarikan penjahat yang malam tadi menyerbu ke kuil kami. Akan tetapi.... mengapa Cu-wi-enghiong kelihatan begini gugup? Siapakah Kongcu itu....? Pinceng hanya tahu bahwa dia menyumbang besar dan dia pandai sekali membaca sajak....“

Seorang di antara para pendekar itu memandang tajam lalu berkata, suaranya penuh peringatan, “Losuhu, ingatlah baik-baik, pemuda itu adalah Sang Pangeran Mahkota sendiri yang menyamar!”

“Omitohud....!” Ciong-hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada dan tidak bicara lagi. Dia tentu saja hanya berpura-pura, akan tetapi sebagai seorang pendeta dia tidak mau banyak membohong, maka merasa lebih baik kalau tutup mulut saja.

“Oleh karena itu, lenyapnya Sang Pangeran di kuil ini tentu merupakan bahaya juga bagi kuil ini,” demikian pendekar itu melanjutkan, “Katakan, siapakah yang melakukan penculikan ini?”

“Bagaimana pinceng tahu? Yang pinceng ketahui hanyalah ada lima orang penjahat yang lihai sekali menyerbu kuil. Kami berusaha untuk menghalaunya karena mengira mereka itu perampok-perarnpok biasa. Dan ketika kami sedang sibuk melawannya, pemuda itu tahu-tahu lenyap dilarikan orang. Siapa lagi kalau bukan teman-teman para penjahat itu yang melakukannya?”

“Seperti apa macamnya penjahat-penjahat yang menyerbu itu?”

“Yang lima orang itu? Wah, mereka itu lihai bukan main. Kami semua bukanlah tandingannya, akan tetapi agaknya mereka tidak ingin membunuh kami. Mereka adalah lima orang yang amat menakutkan.... seperti iblis-iblis....“ Ciong-hwesio lalu menceritakan keadaan lima orang itu, yang tentu saja sudah diketahuinya bahwa mereka adalah Im-kan Ngo-ok.

Mendengar cerita kakek pendeta itu, orang-orang kang-ouw yang mendengarkan menjadi pucat wajahnya.

“Im-kan Ngo-ok....!” bisik beberapa orang di antara mereka dengan nada suara gentar.

“Celaka....! Kalau mereka yang menculik....”

Dan para pendekar itu dengan cepat lalu meninggalkan kuil untuk melakukan pengejaran dengan hati penuh kebimbangan dan ketakutan. Ciong-suhu menahan senyumnya. Siasatnya berhasil baik sekali. Teman-temannya tentu telah berhasil mengamankan Pangeran itu untuk keperluan mereka, keperluan rakyat, keperluan perjuangan! Kaisar tentu akan dapat dibikin tidak berdaya kalau puteranya menjadi tawanan kaum patriot. Setidaknya, nasib mereka akan menjadi lebih baik, dan Kaisar harus memenuhi tuntutan mereka!

Akan tetapi ketika kakek ini dengan hati gembira memasuki kamar samadhinya, dia terkejut bukan main melihat ada sesosok bayangan orang berdiri tegak di dalam kamar itu! Bulu tengkuknya meremang. Dia adalah seorang ahli silat yang tak dapat dibilang bertingkat rendah, penglihatan dan pendengarannya masih kuat berkat latihan bertahun-tahun. Akan tetapi, bagaimana ada orang memasuki kamarnya tanpa dia mengetahuinya, tanpa dia dapat mendengar atau melihatnya? Setankah bayangan ini. Ibliskah?

“Omitohud....!” Dia berbisik beberapa kali, memandang dengan tajam ke arah bayangan itu. Bayangan itu yang tadinya di sudut gelap, melangkah maju dan nampaklah seorang pria muda yang sama sekali tidak menyerupai iblis atau setan. Sebaliknya malah, pria muda itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sederhana namun bersih dan rapi, pakaiannya tertutup jubah besar lebar. Sepasang matanya itu saja yang tidak lumrah manusia, seperti mata beberapa orang tertentu, mata Bu-taihiap misalnya, yaitu mengandung sinar mencorong dan tajam sekali. Sikap orang ini pendiam dan agak dingin, akan tetapi senyum bibir dan pandang matanya membayangkan kehalusan budi.

“Siapa.... siapakah engkau....?” Ciong-hwesio bertanya.

“Maaf, Losuhu, tidak perlu benar diketahui siapa saya, akan tetapi saya datang untuk bertanya, benarkah Im-kan Ngo-ok menyerbu kuil ini dan menculik Pangeran Mahkota dari sini?

Pertanyaan yang langsung ini berbeda dengan pertanyaan para orang kang-ouw tadi, dan pemuda ini agaknya tidak takut untuk langsung bertanya tentang Im-kan Ngo-ok, dan penglihatan Ciong-hwesio yang sudah banyak pengalaman itu segera dapat menduga bahwa orang muda ini lain daripada yang lain, dan tentu merupakan seorang pendekar tak terkenal yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

“Benar, Sicu. Mereka menyerbu dan ketika kami sibuk menghadapi mereka yang kami sangka hanyalah pengacau dan perampok biasa, tahu-tahu pemuda yang baru pinceng ketahui ternyata adalah Sang Pangeran itu lenyap diculik orang. Tentu kawan-kawan Im-kan Ngo-ok yang melakukannya.”

Orang muda itu mengangguk dan memandang tajam sekali, seolah-olah sinar matanya mampu menembus dada kakek itu, membuat Ciong-hwesio merasa serem, “Kalau Losuhu dan para hwesio kuil ini dapat menentang Im-kan Ngo-ok dan keluar dengan selamat dari pertempuran, sungguh itu hanya menandakan bahwa Losuhu dan para suhu di kuil ini memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya!”

Ciong-hwesio terkejut sekali dan merasa tersudut, maka sebagai seorang yang banyak pengalaman dan cerdik, dia cepat menggoyang tangan dan menarik napas panjang.

“Omitohud....! Orang seperti pinceng dan para teman yang lemah ini, mana mungkin dapat menandingi mereka? Untung ada Bu-taihiap dan isterinya yang membantu sehingga kami semua dapat keluar dengan selamat dari pertempuran itu.”

Orang muda itu mengangguk-angguk. “Ah, jadi Bu-taihiap dan isterinya yang menghadapi mereka? Akan tetapi, Sang Pangeran tetap saja hilang?”

Ciong Hwesio menjadi waspada. Orang muda ini tidak boleh dipandang ringan, dan memiliki kecerdikan dan ketenangan yang luar biasa. Maka dia pun menjawab dengan merangkapkan tangan di depan dadanya, “Omitohud, beritulah yang terjadi, Sicu. Pinceng sendiri tidak tahu siapa yang menculiknya, hanya menduga siapa lagi kalau bukan teman-teman Im-kan Ngo-ok yang sengaja menyerbu dan memancing kami semua keluar dari kuil menghadapi mereka sehingga Sang Pangeran yang tadinya kami kira tamu biasa, diculik orang dengan mudahnya.”

“Jadi tidak ada seorang pun suhu di kuil ini yang sempat melihat siapa penculiknya?”

Ciong-hwesio menggeleng kepalanya dan orang muda itu lalu menjura, “Terima kasih atas semua keterangan Losuhu.” Orang muda itu berkelebat dan lenyap seperti pandai menghilang saja.

Setelah orang muda itu menghilang, Ciong-hwesio menjadi gelisah. Dia tidak mengenal siapa adanya pendekar muda ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa orang ini lihai sekali. Celakanya, dia tidak dapat menduga di golongan mana pendekar ini berpihak. Di golongan musuh Pangeran seperti Im-kan Ngo-ok yang hendak membunuh Pangeran? Ataukah di golongan kaum patriot? Agaknya tidak mungkin kalau pemuda itu memihak kaum patriot, karena kalau demikian halnya tentu dia telah mengenalnya, dan sikapnya tidak seperti itu, seolah-olah mencurigai dan menyelidikinya. Ataukah di golongan pelindung Pangeran seperti banyak terdapat pada golongan pendekar? Mungkin sekali. Belum lama ini pun, Siauw-lim-pai menganjurkan murid-muridnya untuk melindungi Pangeran yang dianggapnya bijaksana, tidak seperti ayahnya yang kini menjadi kaisar. Akan tetapi, semenjak Kaisar memusuhi Siauw-lim-pai, ada perintah baru dari pihak Siauw-lim-pai, dan siasat yang sekarang ini pun disetujui Siauw-lim-pai, yaitu hendak mempergunakan Pangeran sebagai sandera untuk mengekang kelaliman Kaisar.

Karena sangsi dan khawatir, Ciong-hwesio lalu mengumpulkan anak buahnya dan dia sendiri lalu naik kuda dan diam-diam pada pagi hari sekali itu sudah membalapkan kudanya untuk menyusul rombongan pembantu-pembantunya yang melarikan Sang Pangeran.

Sementara itu, “Sang Pangeran” yang dilarikan oleh lima orang hwesio itu membalapkan kudanya memasuki hutan yang gelap. Setelah tiba di tempat gelap, terpaksa kuda mereka tidak dapat dibalapkan lagi dan seorang di antara para hwesio itu menangkap kendali kuda dan menuntun kuda yang ditunggangi Sang Pangeran ini, berjalan perlahan-lahan menyusup ke dalam hutan.

Setelah munculnya hwesio tinggi besar muka hitam yang ternyata telah dikenal oleh Tang Cun Ciu sebagai Cu Kang Bu, tokoh ke tiga dari penghuni Lembah Suling Emas, maka tentu mudah diduga oleh para pembaca siapa adanya hwesio bertubuh kecil ramping yang ternyata seorang wanita dan yang kini menggantikan kedudukan Sang Pangeran dengan penyamarannya yang persis itu. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Ang-siocia atau Yu Hwi yang pandai melakukan penyamaran seperti itu? isteri Cu Kang Bu ini, bekas murid Hek-sin Touw-ong, selain pandai ilmu silat yang tinggi, juga pandai sekali dalam ilmu mencopet atau mencuri dan di samping ini pandai sekali dalam ilmu menyamar. Tentu saja nenek tua yang berjubel di antara mereka yang bersembahyang di kuil Hok-te-kong siang hari sebelumnya adalah Yu Hwi juga, yang datang sebagai nenek untuk melakukan penyelidikan dan ia telah melihat Bu-taihiap di dalam kuil.

Yu Hwi dan suaminya, Cu Kang Bu, pergi meninggalkan Lembah Naga Siluman, yaitu nama sebutan baru dari Lembah Suling Emas setelah keluarga Cu dikalahkan oleh Kam Hong sebagai ahli waris Suling Emas, karena mereka berdua merasa khawatir akan keselamatan Cu Pek In, keponakan mereka. Tadinya mereka mengira bahwa Cu Pek In hanya akan pergi sebentar saja. Akan tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai sebulan tidak juga gadis itu pulang, Cu Kang Bu merasa tidak enak sekali terhadap twakonya yang kini bersama Ji-konya bertapa di tempat yang terasing. Dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan dara itu, maka dia pun lalu meninggalkan lembah bersama isterinya untuk mencari Cu Pek In yang minggat itu dan membujuknya pulang ke lembah.

Karena jejak dara itu menuju ke timur, maka mereka pun melakukan pengejaran dan akhirnya mereka tiba di kota Pao-ci di mana mereka secara kebetulan mendengar percakapan para pendekar yang melindungi Pangeran bahwa Sang Pangeran yang menyamar sebagai seorang pemuda biasa itu kini menginap di dalam kuil Hok-te-kong. Cu Kang Bu merasa tertarik, demikian pula isterinya. Sudah lama mereka berdua mendengar dalam perjalanan itu tentang keributan di istana, tentang kematian Sam-thaihouw, tentang kelaliman Kaisar yang memusuhi Siauw-lim-pai. Juga tentang Pangeran Kian Liong yang kabarnya amat bijaksana dan mencintai rakyat. Timbul perasaan suka dan kagum dalam hati suami isteri perkasa ini. Akan tetapi ketika secara kebetulan pula mereka melihat Im-kan Ngo-ok berada di kota itu, hati mereka terkejut bukan main dan penuh kekhawatiran. Mereka bukanlah orang-orang yang semata-mata membela Pangeran karena politik, bukan pula menentang kaum patriot. Mereka ini adalah suami isteri yang tidak ingin melibatkan diri dengan semua urusan perebutan kekuasaan itu, akan tetapi mereka berpihak kepada Pangeran hanya dengan dasar bahwa menurut yang mereka dengar, Pangeran adalah seorang pemuda yang bijaksana dan mencinta rakyat. Seorang yang baik, dan kini orang yang mereka kagumi itu agaknya terancam bahaya besar dengan adanya Im-kan Ngo-ok berkeliaran di kota yang sama.

Itulah sebabnya mengapa Yu Hwi menyamar sebagai seorang nenek tua yang ingin bertemu dengan Ciong-hwesio untuk minta diberi nama kepada cucu buyutnya. Kehadiran Bu-taihiap di tempat itu membuat mereka maklum bahwa urusan ini bukan urusan kecil, melainkan urusan yang mengandung politik di mana orang-orang yang memiliki kesaktian ikut pula terlibat. Maka mereka bersikap hati-hati. Bagi mereka yang terpenting adalah menyelamatkan Pangeran Mahkota, baik dari tangan orang-orang yang hendak membunuhnya, maupun dari tangan siapapun juga, yang mempunyai iktikad buruk terhadap Pangeran itu. Demikianlah, dengan kepandaiannya dalam ilmu penyamaran, Yu Hwi berdandan dan mendandani suaminya. Dengan topeng-topeng yang memang selalu siap dalam buntalannya, ia dan suaminya berobah menjadi hwesio-hwesio dan dengan berani mereka menemui Ciong-hwesio, berhasil mengelabuhi semua hwesio dan diterima sebagai rekan-rekan yang boleh dipercaya. Ketika mereka berdua diuji oleh Ciong-hwesio, tentu saja mereka mampu mainkan beberapa jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang umum.

Tentu saja “Pangeran” yang dikawal oleh lima orang anak buah Ciong-hwesio itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Tadinya, Cu Kang Bu dan Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai dua orang hwesio itu, ikut pula mengawal. Akan tetapi tak lama kemudian, sesuai dengan rencana suami isteri itu, Cu Kang Bu mengajak Sang Pangeran itu untuk kembali ke kuil dan menyuruh lima orang hwesio untuk melanjutkan pengawalan mereka.

“Pinceng berdua harus membantu Ciong-suhu menghadapi orang-orang jahat,” demikian Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio tinggi besar muka hitam itu memberi alasan kepada para hwesio anak buah Ciong-hwesio itu. Tentu saja mereka merasa setuju, mengingat, bahwa yang menyerbu kuil adalah tokoh-tokoh sakti seperti Im-kan Ngo-ok itu. Dan demikianlah, Cu Kang Bu mengendong Pangeran dengan cepat lari kembali ke kuil tanpa dilihat oleh para hwesio yang mengawal “Pangeran” itu. Cu Kang Bu lalu menyuruh Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai hwesio itu menanti agak jauh dari kuil bersembunyi di dalam bagian yang gelap, sedangkan dia

sendiri dengan gerakan cepat sekali lari ke kuil dan seperti telah kita ketahui, dia berhasil membantu Bu Seng Kin dan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu memukul mundur Im-kan Ngo-ok.

Karena suaminya pergi bersama Sang Pangeran sesuai dengan rencana, yaitu suaminya akan membawa pergi Pangeran Kian Liong dan mengamankannya dari pengejaran semua orang yang beritikad buruk terhadap Sang Pangeran, maka Yu Hwi yang sekarang menggantikan kedudukan Pangeran itu berada sendirian saja dengan lima orang hwesio yang mengawalnya. Iatidak segera mau bergerak, menanti sampai lama untuk memberi kesempatan kepada suaminya agar suaminya dapat membawa Sang Pangeran ke tempat yang jauh dan aman betul. Ia tidak tahu bahwa ada sedikit perobahan, yaitu bahwa suaminya tidak langsung membawa pergi Pangeran Kian Liong, melainkan kembali ke kuil untuk membantu menghadapi Im-kang Ngo-ok. Hal ini di luar perhitungannya, menyimpang dari siasat mereka. Yu Hwi tidak tahu bahwa melihat bekas twa-so itu harus berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang lihai, hati suaminya tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa membantu.

Kini hati wanita yang cerdik ini menjadi tenang setelah Sang Pangeran berhasil diajak pergi oleh suaminya. Kalau ia mau, tentu pada saat itu juga dengan mudah ia akan dapat meloloskan diri dari “pengawalan” lima orang hwesio itu. Akan tetapi Yu Hwi tidak mau menimbulkan keributan dan membuka rahasia pada malam itu juga karena dengan demikian tentu suaminya yang membawa pergi Sang Pangeran itu belum tiba di tempat seperti yang mereka rencanakan. Menurut rencana mereka, malam itu juga Cu Kang Bu akan membawa Sang Pangeran menuju ke kota besar Sian melalui jalan sungai dan baru pada keesokan harinya, Yu Hwi akan menyusulnya dengan jalan darat. Mereka akan saling bertemu di Sian. Dan Yu Hwi akan meninggalkan para pengawalnya tanpa mereka ketahui kalau mungkin, sehingga para pengawal itu hanya akan kehilangan “pangeran” dan menduga bahwa Pangeran itu tentu diculik orang tanpa setahu mereka. Dan hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Yu Hwi selama mereka berenam masih menunggang kuda di dalam hutan itu. Dan ternyata enam orang hwesio itu membawanya berkuda terus sampai mereka keluar dari hutan itu dan tiba di luar hutan, di sebuah lereng sunyi di tepi sungai, setelah hampir pagi! Di tempat sunyi itu telah disediakan sebuah pondok kayu sederhana dan para hwesio itu mempersilakan Sang Pangeran untuk beristirahat di dalam kamar kayu di pondok itu. Mereka sendiri lalu membuat api unggun karena hawa udara amat dinginnya, dan ada yang memasak air. Ada pula seorang di antara mereka yang beriaga di luar jendela kamar itu dengan toya di tangan.

Yu Hwi merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu yang berada dalam kamar itu. Ia merasa lelah dan mengantuk sekali. Tentu saja ia merasa lelah karena ia harus menunggang kuda hampir semalam suntuk, terutama karena kedua kakinya diganjal agar ia menjadi sejangkung Pangeran.

Akan tetapi, tiba-tiba pendengarannya yang terlatih itu menangkap suara yang tidak wajar, di luar jendela kamarnya. Cepat, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, ia meloncat turun dan mengintai dari lubang celah-celah jendela. Dan matanya terbelalak melihat sosok bayangan yang gerakannya cepat sekali, berkelebat tiba di belakang hwesio penjaga yang memegang toya itu dan sekali bayangan itu menggerakkan tangan menepuk pundak maka hwesio itu tanpa mengeluh menjadi lemas dan pingsan! Bayangan itu lalu menarik hwesio penjaga, merebahkannya dengan posisi duduk bersandar dinding pondok, toyanya bersandar dinding pula, dan nampaknya seperti penjaga itu masih berjaga namun sambil duduk karena lelah dan kantuknya! Kemudian, bayangan itu mendorong daun jendela terbuka dan meloncat masuk. Yu Hwi sudah bersiap-siap, akan tetapi ia menjadi bengong dan begitu besar keheranan dan kekejutannya sampai ia tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara apa pun. Tentu saja ia mengenal bayangan ini setelah memasuki kamar pondok, karena bayangan ini bukan lain adalah Kam Hong!

“Sssttt.... harap jangan bersuara, Pangeran,” bisik Kam Hong. ”Paduka berada dalam bahaya. Hwesio-hwesio itu adalah anggota kaum patriot yang menentang Kaisar. Hamba datang untuk menyelamatkan Paduka” Dan sebelum Yu Hwi kehilangan kagetnya, tiba-tiba saja Kam Hong sudah memondongnya dan membawanya meloncat keluar dari jendela itu, terus berloncatan dengan kecepatan kilat menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang masih remang-remang itu!

Tentu saja Yu Hwi menjadi terkejut, terheran, marah, malu dan entah perasaan macam apa lagi yang mengaduk hatiya ketika ia dipondong oleh dengan tangan Kam Hong seperti itu dan dibawa lari ke dalam hutan! Kalau menurut perasaannya, ingin ia meronta, bahkan mungkin sambil memukul pria muda yang pernah menjadi calon suaminya, menjadi tunangannya yang syah! Akan tetapi ia tidak mau membikin gaduh karena kalau terjadi demikian, tentu para hwesio akan mendengar dan rahasianya bahwa ia bukanlah Pangeran Kian Liong akan terbuka. Oleh karena itu, terpaksa ia menahan dirinya, diam saja membiarkan dirinya dipondong dan dilarikan oleh Kam Hong. Akan tetapi setelah mereka lari jauh ke dalam hutan dan sinar matahari pagi mulai menerobos masuk hutan melalui celah-celah daun pohon, tiba-tiba Yu Hwi tak dapat menahan rasa malunya lagi dan ia menjerit, “Lepaskan aku! Lepaskan!”

Kam Hong terkejut bukan main mendengar jeritan ini. Mengapa suara Pangeran Kian Liong berobah menjadi suara perempuan? Dia melepaskan pondongannya dan memandang dengan kedua mata terbelalak. Orang ini masih Pangeran yang dibawanya lari tadi! Akan tetapi suara itu....!

“Pangeran....” katanya bingung. “Ada apakah maka Paduka....”

“Pangeran! Pangeran! Apakah matamu sudah buta? Tak tahu malu!” Dan Yu Hwi sudah melangkah maju dan kedua tangannya menyambar untuk menampar muka Kam Hong! Tentu saja pendekar ini terkejut dan menjadi semakin heran. Tamparan Pangeran itu bukanlah tamparan orang biasa, melainkan tamparan yang dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Maka tentu saja dia mengelak mundur, masih bingung karena kembali dia mendengar betapa suara pangeran ini mirip suara seorang wanita. Teringatlah Kam Hong kini betapa ketika dia memondong dan melarikan Pangeran tadi, dia mencium bau harum yang lembut dan juga dia merasa betapa tubuh Pangeran itu mempunyai kehangatan dan kelembutan yang membuat dia tadi diam-diam merasa heran. Dia tadi mengira bahwa memang seorang pangeran, seorang pemuda bangsawan tertinggi yang kehidupannya serba mulia dan mewah memang sudah sepatutnya memiliki kelembutan seperti wanita, maka semua itu tidak dipedulikannya. Sekarang baru dia mengerti. Kiranya Pangeran Kian Liong ini seorang wanita! Dan terkejutlah dia. Pangeran itu sudah terkenal sekali dan jelas bukan wanita. Kalau begitu, ini tentu seorang wanita yang menyamar sebagai Pangeran Kian Liong! Dan sepanjang pengetahuannya, wanita yang pandai melakukan penyamaran sehebat itu hanya seorang saja di dunia ini!

“Kau.... kau siapa? Apa artinya ini....?” Dia memandang terbelalak sambil terus mengelak mundur.

“Apa artinya....? Artinya.... engkau buta atau memang kurang ajar, mempergunakan kesempatan....!” Yu Hwi terus mendesak dan kini bukan hanya ingin menampar, melainkan melakukan serangan-serangan pukulan yang dahsyat!

Kam Hong mengelak dan kadang-kadang menangkis. Sekarang dia yakin benar bahwa “pangeran” ini tentu penyamaran Yu Hwi, bekas tunangannya itu! Dan dia disangka telah tahu akan penyamaran itu dan dengan dalih menolong pangeran dia dikira mempergunakan kesempatan itu untuk memondong dan memeluknya!

“Ah kau salah duga.... dengarlah dulu....” Kam Hong berkata. Akan tetapi wanita yang berwatak keras itu menyerangnya terus.

Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, “Hwi-moi, apa artinya ini?”

Mendengar suara ini, Yu Hwi menghentikan serangan-serangannya, menoleh, lalu lari menubruk dan merangkul suaminya sambil menangis! Sedangkan Kam Hong berdiri memandang dengan muka merah, merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa.

“Yu Hwi, ada apakah....?” Cu Kang Bu merangkul isterinya, kemudian mengangkat muka memandang kepada Kam Hong dengan sinar mata berkilat, alisnya berkerut mengandung keraguan dan juga kecurigaan.

Melihat isterinya masih menangis sesenggukan, kembali Cu Kang Bu bertanya, “Aps artinya ini? Hwi-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang telah terjadi?”

“Dia.... dia memondongku.... hu-huuh....!” Yu Hwi akhirnya berkata sambil menangis.

Mendengar ini, Cu Kang Bu terkejut bukan main. Dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Andaikata dia tidak mengenal Kam Hong, tentu ucapan isterinya itu akan diselidiki lebih dulu sebab-sebabnya mengapa isterinya dipondong orang. Akan tetapi dia mengenal Kam Hong sebagai bekas tunangan isterinya, maka ucapan isterinya itu tentu saja membuat mukanya seketika menjadi merah dan sinar matanya mengandung kemarahan besar. Dia melepaskan rangkulannya dan melangkah maju menghadapi Kam Hong.

“Orang she Kam....” suaranya terdengar kaku. “Aku mengenal siapa engkau, tahu bahwa engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan kami pernah dikalahkan olehmu, akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut menghadapi kematian di tanganmu untuk membela kehormatan isteriku! Majulah, kita hanya dapat mencuci penghinaan ini dengan darah!”

Kam Hong menarik napas panjang dan mukanya yang tadinya pucat itu kini menjadi merah. Dia menggeleng kepalanya beberapa kali. Menarik napas panjang lagi, lalu memandang kepada pria tinggi besar itu dengan sinar mata penuh penyesalan.

“Maafkanlah kalau tanpa kusengaja aku telah membuatmu marah, Saudara Cu Kang Bu. Akan tetapi dengar dulu penjelasanku sebelum engkau mengambil kesimpulan dan pendapat yang mungkin keliru dan kelak hanya akan membuatmu menyesal. Kebetulan aku mendengar tentang bahaya yang mengancam Pangeran Kiang Liong di kota Pao-ci dan kebetulan pula aku melihat Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan penyelidikan pagi lewat tengah malam tadi di kuil di mana Pangeran itu mondok. Aku mendengar dari para hwesio bahwa kuil diserbu Im-kan Ngo-ok dan bahwa Pangeran diculik teman-teman Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Akhirnya aku melihat Sang Pangeran di dalam pondok yang dijaga oleh beberapa orang hwesio. Aku lalu memasuki pondok dan aku cepat memondong dan melarikan Pangeran dari pondok itu, khawatir kalau-kalau sampai ada Im-kan Ngo-ok yang mengejar. Aku khawatir kalau harus menghadapi lima orang tangguh itu, tentu aku tidak dapat melindungi Pangeran dengan baik. Sungguh mati aku tidak tahu bahwa yang kupondong adalah seorang pangeran palsu. Sungguh sukar membedakan karena.... karena memang cuaca masih agak gelap dan aku sama sekali tidak menyangka....“

Wajah yang tadinya merah itu kini berseri dan Cu Kang Bu merasa lapang dadanya. Dia menoleh kepada isterinya. “Hwi-moi, benarkah itu....?”

Yu Hwi mengangguk tanpamengeluarkan sepatah pun kata.“Kalau benar, mengapa engkau menangis dan marah-marah?” suaminya bertanya.

Yu Hwi mengangkat mukanya. “Habis, apakah aku harus merasa senang dan tertawa? Dia memondongku, mengertikah engkau? Aku merasa terhina!”

“Ah, Hwi-moi, mengapa pandanganmu begitu dangkal? Kam-taihiap melakukannya karena tidak sengaja, karena tidak tahu bahwa yang dipondongnya bukan Pangeran aseli! Ha-ha-ha-ha!” Cu Kang Bu tertawa karena merasa betapa lucunya peristiwa itu. Yu Hwi masih menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut.

“Aku mohon maaf, baik kepada Adik Yu Hwi maupun kepadamu, Saudara Cu.” kata Kam Hong.

“Ah, kami yang harus minta maaf kepadamu, Kam-taihiap. Isteriku telah bersikap kekanak-kanakan dan tidak adil padamu, sedangkan aku....“ pria tinggi besar itu menghela napas panjang. “Agaknya aku masih harus banyak belajar darimu, Taihiap. Aku masih belum dapat menguasai diri, mudah terseret oleh perasaan dan cemburu. Sungguh memalukan sekali.”

Mendengar percakapan dua orang gagah itu, Yu Hwi kini baru sadar bahwa memang sikapnya tadi amat keterlaluan.

Ia pun dapat mengerti bahwa bekas tunangannya itu tentu saja tidak dapat mengenal penyamarannya. Dan ia pun tadi marah-marah karena dorongan emosi yang timbul karena merasa canggung dan malu. Maka untuk membelokkan percakapan mengenai urusan itu, ia cepat-cepat bertanya kepada suaminya, “Di mana beliau? Kenapa tak kelihatan bersamamu?”

Dan memang membelokkan percakapan ini tepat sekali. Suaminya menghela napas panjang dan kelihatan kecewa dan gelisah sekali setelah teringat akan Pangeran itu.

“Sungguh aku merasa menyesal bukan main. Beliau telah lenyap....”

“Lenyap?” Penegasan ini dikeluarkan oleh dua mulut, yaitu mulut Kam Hong dan Yu Hwi.

Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang. “Salahku....! Ketika aku membawa Pangeran keluar, aku melihat pertempuran antara Im-kan Ngo-ok melawan Bu Seng Kin dan Twaso-ku....”

“Ah, Subo juge ikut....?” Yu Hwi berseru kaget dan heran.

Suaminya mengangguk. “Subomu kini agaknya telah bersatu dengan Bu Seng Kin....” di dalam suaranya terkandung kepahitan, mengingatkan dia akan, kematian twakonya karena perbuatan twasonya itu yang berjina dengan Bu Seng Kin. ”.... melihat kelihaian Im-kan Ngo-ok, dan mengingat akan hubungan antara twaso dan keluarga kita, terutama mengingat bahwa betapapun juga ia adalah gurumu, maka aku lalu menyuruh Pangeran bersembunyi dan aku lalu membantu mereka mengusir Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi setelah berhasil, dan aku kembali ke tempat di mana kutinggalkan Pangeran, beliau telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Aku mencarinya sampai berputar-putar dan akhirnya aku hendak menyusulmu untuk kuajak mencari bersama-sama. Nah, ku jumpai kalian di sini....”

“Saudara Cu, Adik Yu Hwi, selamat berpisah, aku harus mencari Pangeran!” Setelah berkata dengan tiba-tiba saja itu, Kam Hong meloncat dan lenyap. Suami isteri itu merasa kagum dan mereka pun pergi dari situ karena tidak ingin diketahui orang bahwa mereka yang telah melarikan Pangeran Yu Hwi cepat berganti pakaian dan kini suami isteri ini tidak menyamar lagi.

***

Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Ketika Pangeran itu bersama hwesio tinggi besar meninggalkan kuil dan Pangeran itu menyamar sebagai seorang hwesio pula, Pangeran Kian Liong merasa amat gembira dan juga tegang hatinya. Baru sekarang dia mengalami peristiwa yang amat mendebarkan, lucu dan menggelikan. Dia menyamar sebagai hwesio! Hal ini merupakan semacam pengalaman atau permainan baru bagi Pangeran muda yang tabah ini. Dia pernah menyamar sebagai seorang pelajar biasa, seorang pelancong, bahkan pernah dia menyamar sebagai seorang jembel muda ketika dia melakukan perjalanan mengembara untuk memperdalam pengalamannya dan untuk dapat mengenal kehidupan rakyatnya secara lebih dekat lagi. Akan tetapi menjadi hwesio? Baru sekarang inilah! Dia menjadi seorang hwesio gundul tanpa kehilangan rambutnya yang panjang tebal.

Pangeran Kian Liong bersembunyi di dalam bayangan yang gelap ketika hwesio tinggi besar itu meninggalkannya dan memesan agar dia tinggal dulu di situ karena hwesio tinggi besar itu akan melihat keadaan dan membantu para hwesio menghalau pengacau yang datang menyerbu dan yang mempunyai maksud buruk dan jahat terhadap Sang Pangeran.

Akan tetapi, tidak lama kemudian setelah hwesio tinggi besar itu meloncat pergi, Pangeran itu merasa tidak betah tinggal menyembunyikan dirinya di balik bayangan gelap itu. Dia kan sudah menyamar sebagai hwesio? Siapa yang akan tahu bahwa hwesio ini adalah Pangeran Mahkota? Terdorong oleh sifatnya yang pemberani dan juga oleh kesenangannya nonton pertempuran adu silat, tertarik oleh suara-suara perkelahian di dalam kuil itu, Pangeran Kian Liong akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya dan melangkah menuju ke kuil kembali untuk melihat perkelahian! Dan pada saat dia tiba di dinding pagar kuil, tiba-tiba terdengar seruan perlahan memanggilnya, “Paduka di sini, Pangeran?”

Otomatis lupa akan penyamarannya, Pangeran itu menjawab, “Benar, siapakah Anda?”

Pemuda tampan gagah itu tidak menjawab, langsung menyambar dan memanggulnya, dan melarikan diri di tempat gelap. Sebelum Pangeran itu sempat mengeluarkan suara, dua buah jari tengah telah menekan tengkuknya, membuat Pangeran itu tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Dan pemuda itu lari dengan kecepatan yang luar biasa, membuat Sang Pangeran terpaksa harus memejamkan mata karena ngeri juga.

Menjelang pagi, barulah pemuda itu berhenti dan mereka sudah berada jauh di sebelah utara kota Pao-ci, sudah mendekati kota Thian-sui yang berada di luar perbatasan Propinsi Shen-si dan sudah termasuk dalam Propinsi Kan-su. Dan ternyata di sebuah tempat yang sunyi dalam sebuah dusun, di situ telah menanti sebuah kereta dan Pangeran Kian Liong lalu dibawa masuk ke dalam kereta oleh pemuda yang melarikannya itu. Di dalam kereta telah menanti tiga orang wanita cantik, dan kini, setelah “pemuda” itu tidak lari lagi dan dapat dilihat wajahnya, Sang Pangeran baru maklum dan merasa terheran-heran mendapat kenyataan bahwa pemuda itu pun ternyata adalah seorang wanita! Bahkan kini dia pun teringat bahwa dia pernah melihat empat orang wanita cantik ini sebagai pembantu dan pengawal mendiang Sam-thaihouw! Dia tidak mengenal nama mereka, tidak tahu siapakah adanya empat orang wanita cantik ini, akan tetapi dia pernah melihat mereka ini mengawal Ibu Suci Ke Tiga itu. Maka Sang Pangeran pun mengertilah bahwa dia terjatuh ke tangan orang-orang yang sangat boleh jadi memusuhinya, atau setidaknya mereka ini adalah bekas tangan kanan atau pembantu-pembantu Sam-thaihouw yang selalu menganggapnya sebagai musuh.

“Bagus sekali, A-ciu, engkau berjasa besar sekali ini. Memang aku tahu, hanya engkau di antara kita yang paling pandai menyamar.” A-hui, orang pertama dari Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik) itu berkata memuji adiknya yang paling muda.

“Wah, akan tetapi aku merasa tegang dan ngeri, Twa-ci, (Kakak Perempuan Tertua), kalau mengingat betapa orang-orang sakti berada di sana, sedang bertempur menghadapi suhu-suhu kita,” jawab A-Ciu sambil bergidik. “Untung sekali orang sakti, hwesio tinggi besar itu meninggalkan Pangeran seorang diri, kalau tidak, mana aku berani turun tangan?”“Betapapun juga, kita telah berhasil. Mari kita cepat membawanya pergi dari sini,” kata pula A-hui. Mereka itu bercakap-cakap di depan Pangeran, seolah-olah Sang Pangeran itu tidak ada saja, sama sekali tidak peduli bahwa Sang Pangeran mendengar semua percakapan mereka. A-ciu yang masih menyamar sebagai pria itu kini duduk di tempat kusir dan mencambuk dua ekor kuda yang segera lari menarik kereta itu. Sedangkan tiga orang cicinya duduk di dalam kereta bersama Sang Pangeran.

Para pembaca tentu masih ingat akan Su-b- Mo-li, empat orang wanita cantik yang menjadi murid-murld terkasih itu. Ssmpai sekarang pun, kelimanya belum Juga menikah dan masih hidup berempat sebagai petualang-petualang wanita yang namanya ditakuti oleh banyak orang kang-ouw, karena selain mereka ini amat lihai, juge mereka ini kejam dan ganas sekali. Yang tertua bernama A-hui, kini berusia tiga puluh lima tahun dan seperti juga dahulu, ia selalu memakai baju berwarna kuning. Ada tahi lalat di dagunya dan tahi lalat ini di samping mendatangkan kemanisan pada wajahnya, juga mendatangkan bayangan kekerasan hati yang mengerikan. Orang ke dua bernama A-kiauw, berusia tiga puluh dua tahun, selalu memakai baju merah. Orang ke tiga, yang memakai baju biru bernama A-bwee, berusia tiga puluh satu tahun, sedangkan A-ciu, yang termuda berusia tiga puluh tahun, kalau berpakaian, biasa sebagai wanita selalu memakai baju hijau dan A-Ciu ini wajahnya manis sekali, gerak-geriknya lincah dan lebih genit daripada kakak-kakaknya. Mereka semua merupakan ahli-ahli pedang yang lihai dan jarang mereka itu bergerak sendiri-sendiri, selalu tentu berempat.

Di dalam kereta Sang Pangeran menghadapi tiga orang wanita itu. Beberapa saat lamanya dia memandang tajam kepada mereka tanpa kata-kata. Dan tiga orang wanita itu, yang oleh orang-orang kang-ouw dinamakan iblis-iblis betina, orang-orang yang sudah terbiasa dengan segala perbuatan kejam, yang dapat membunuh orang tanpa berkedip mata, kini lebih banyak menundukkan muka, tidak dapat bertahan lama menentang pandang mata Pangeran muda itu. Sikap Pangeran ini sungguh amat mengagumkan dan menimbulkan rasa segan dan takut. Sikap yang sedikit pun tidak membayangkan rasa takut atau khawatir, bahkan dari sepasang mata yang tajam dan jernih itu terdapat pandangan seperti orang dewasa melihat tingkah laku anak-anak nakal, bibirnya mengandung senyum bertoleransi besar, seolah-olah dia maklum sudah mengapa anak-anak di depannya itu berbuat nakal seperti itu dan sudah siap untuk memaafkan!

Akhirnya, menghadapi tiga orang wanita yang duduk bersila di depannya, yang hampir tidak berani lagi mengangkat muka memandangnya karena tanpa setahunya ada wibawa keluar dari dirinya, Sang Pangeran berkata, suaranya halus namun mengandung nada teguran.

“Bukahkah kalian berempat ini pernah menjadi pengawal-pengawal mendiang Sam-thaihouw?”

Tiga orang wanita itu mengangkat kepala untuk saling pandang dan mereka itu nampak bingung dan gugup, akan tetapi terpaksa A-hui, sebagai seorang pertama yang memimpin, memberanikan hatinya yang berdebar untuk mengangkat muka memandang wajah Pangeran itu. “Benar, Pangeran....“ jawabnya, suaranya lirih. Akan tetapi setelah ia memandang mata yang tajam dan peramah itu, keberaniannya mulai timbul kembali dan ia mulai tersenyum manis.

Pangeran Kian Liong yang tahu bahwa tidak ada gunanya lagi baginya untuk menyamar, karena empat orang wanita ini sudah mengenalnya, lalu melepaskan topengnya, yaitu topeng penutup muka dan kepalanya. Kepala gundul itu pun berobahlah menjadi kepala yang berambut hitam tebal, dan wajahnya yang aseli, wajah seorang pemuda tampan, nampaklah. Dan kini A-hui dan dua orang adiknya memandang kagum. Sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam kereta melalui celah-celah jendela kereta, dan melihat pemuda yang tampan dan berwibawa, yang sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut itu, diam-diam mereka kagum dan tunduk sekali. Pangeran Kian Liong menanggalkan pula jubah pendeta dan kini sepenuhnya dia telah menjadi pangeran kembali, sungguhpun dia masih mengenakan sepatu pendeta karena sepatunya sendiri telah dipakai oleh Yu Hwi.

“Nah, katakan, apa maksud kalian melarikan aku ini? Apa yang kalian kehendaki dariku?”

Pertanyaan yang diajukan dengan kata-kata yang jelas, dengan suara yang tenang dan pandang mata yang tajam itu membuat A-hui nampak gugup. “Kami.... kami....“ dan ia tidak mampu melanjutkan kata-katanya, muka sebentar pucat sebentar merah. Hal ini tidaklah mengherankan. Orang yang baginya penuh keinginan, penuh dengan ambisi, adalah orang yang tidak bebas sehingga gerak-geriknya tidak lagi dapat tenang dan wajar, melainkan setiap gerak-geriknya dipengaruhi oleh keadaan batinnya yang penuh keinginan itu. Orang yang demikian inilah yang selalu menjilat-jilat di depan orang yang lebih tinggi atau yang dianggap lebih tinggi, dan selalu bersiap kejam dan menghina terhadap orang yang dianggap lebih rendah.

“Kalian disuruh oleh orang-orangnya mendiang Sam-thaihouw untuk menculikku dan kemudian membunuhku?” Pangeran Kian Liong membentaknya, suaranya masih tenang, sedikit pun tidak nampak rasa takut pada wajahnya.

“Ah, tidak! Tidak sama sekali, Pangeran,” jawab A-hui. “Sesungguhnya.... kami.... eh, menyelamatkan Paduka dari cengkeraman beberapa golongan yang memperebutkan Paduka. Guru-guru kami sendiri tidak tahu bahwa kami telah berhasil.... berhasil menyelamatkan Paduka.”

Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau percaya begitu saja kepada mereka ini. Dari kerling dan senyum mereka, dia tahu orang-orang macam apa adanya wanita-wanita ini. Ada kecabulan dan kegenitan membayang di dalam sinar mata dan senyum mulut mereka. Ada ketamakan besar terbayang dalam sinar mata itu.

“Hemm, begitukah? Ceritakan apa yang terjadi, dan mengapa kalian menyelamatkan aku, dan menyelamatkan dari apa?”

Setelah menarik napas panjang dan batuk-batuk kecil beberapa kali untuk menenangkan hatinya, akhirnya A-hui dapat bercerita dengan lancar, dengan sikap yang manis sekali. “Pangeran, setelah mendiang Sam-thaihouw meninggal, kami keluar dari istana. Para suhu kami, yaitu Im-kan Ngo-ok, masih berhubungan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, akan tetapi kami tidak lagi. Memang benar bahwa guru-guru kami menghendaki kami mengamat-amati Paduka dan membantu mereka untuk memberi laporan dan menanti saat baik agar mereka dapat menangkap Paduka. Dan memang kami yang melaporkan kepada mereka bahwa Paduka berada di Pao-ci, menyamar sebagai pemuda biasa dan bermalam di Kuil Hok-te-kong. Akan tetapi ketika kami melihat guru-guru kami berniat buruk terhadap Paduka, dan ketika guru-guru kami sedang berhadapan dengan orang-orang sakti yang sedang memperebutkan Paduka, yaitu di antara mereka adalah kaum patriot yang membenci Paduka karena kebangsaan Paduka, dan juga orang-orang kang-ouw yang sakit hati terhadap Sri Baginda Kaisar, maka kami mengambil jalan sendiri. Kami melihat Paduka dilarikan seorang hwesio tinggi besar yang amat lihai. Kami dapat menduga bahwa hwesio yang dipanggul itu tentulah Paduka, karena tadinya, hwesio yang mirip penyamaran Paduka adalah seorang hwesio Siauw-lim-pai yang pandai. Maka ketika Paduka ditinggal seorang diri, adik kami A-Ciu lalu melarikan Paduka, sedangkan kami bertiga siap di sini dengan kereta.”

Sang Pangeran mengangguk-angguk. Tentu saja dia maklum sekali bahwa di balik semua itu terkandung keinginan pribadi dari empat orang ini, karena sungguh sangat tidak boleh jadi kalau perbuatan mereka itu sernata-mata hendak “menolong” dia! Melainkan hanya merupakan suatu cara untuk mencapai apa yang mereka lnginkan darinya, tentu saja!

“Sekarang, setelah kalian dapat membawaku, lalu apa yang hendak kalian lakukan? Ke mana kalian hendak membawaku pergi?”

“Paduka masih terancam, karena orang-orang sakti dari beberapa golongan itu tentu masih akan terus mencari Paduka dan kalau mereka itu menemukan kami, tentu saja kami tidak mungkin akan dapat melawan mereka. Di antara mereka itu terdapat golongan guru-guru kami pula! Maka, harap Paduka suka ikut bersama kami dan akan kami sembunyikan di suatu tempat. Setelah keadaan mereda dan aman, barulah kami akan mengantar Paduka kembali ke kota raja dengan selamat.”Sebelum memasuki kota Thian-sui, kereta itu membelok ke kanan dan di lembah Sungai Cing-ho mereka menuju ke sebuah pondok tua yang terpencil dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi sekali. Akan tetapi ketika Pangeran dipersilakan masuk, ternyata pondok itu di sebelah dalamnya bersih dan baru saja dicat, dengan perabot sederhana namun serba baru dan bersih. Agaknya, empat orang wanita ini memang sudah mempersiapkan tempat itu kalau-kalau mereka berhasil menguasai Pangeran dan secara cerdik mereka yang pura-pura membantu guru-guru mereka itu ternyata mempunyai rencana rendiri.

Ternyata bukan hanya isi pondok itu saja yang sudah mereka persiapkan bahkan di situ terdapat bahan-bahan masakan sehingga ketika mereka semua sudah memasuki pondok dan kereta disembunyikan di belakang pondok, empat orang wanita itu sibuk masak-masak sambil bernyanyi dan bersendau-gurau, membiarkan Sang Pangeran beristirahat di dalam sebuah kamar yang cukup bersih pula.

Akhirnya mereka berkumpul lagi di tengah pondok, di mana telah diatur meja makan bundar dan masakan-masakan yang masih mengepul panas memenuhi meja.

“Silakan makan, Pangeran!” kata mereka sambil tersenyum manis. Ada yang menuangkan air teh panas, ada yang mengambilkan masakan dan lain-lain.

Pendeknya, Sang Pangeran dilayani dengan manis budi oleh mereka. Pangeran Kian Liong juga menerima pelayanan itu tanpa banyak komentar, karena dia merasa lapar dan Pangeran ini makan dan minum tanpa sungkan lagi.

Setelah selesai makan dan meja dibersihkan, barulah Pangeran Kian Liong bertanya kepada empat orang wanita itu, yang kini telah membersihkan diri dan bertukar pakaian baru, dan A-ciu yang tadinya menyamar sebagai seorang pemuda itu kini ternyata merupakan wanita yang tercantik di antara mereka.

“Nah, sekarang katakanlah kepadaku. Mengapa kalian bersusah-payah hendak menolongku? Bukankah kalian ini bekas kaki tangan Sam-thaihouw yang selalu memusuhiku? Apa pamrih kalian yang bersembunyi di balik kalian ini? Kalian menghendaki hadiah dariku?”

Empat orang wanita itu saling pandang, kemudian A-hul, sebagai yang tertua dan pemimpin mereka, dengan sikap manis berkata, “Terus terang saja, Pangeran, memang kami berempat mengharapkan anugerah Paduka maka kami mati-matian menentang orang-orang sakti dan berani merebut dan menyelamatkan Paduka dari ancaman mereka.”

“Hemm, anugerah apa yang kalian kehendaki dariku?” Pangeran itu bertanya, tidak merasa heran karena memang sudah diduganya bahwa mereka ini tidak mungkin menolongnya tanpa pamrih. “Uang?”

“Tidak, Pangeran. Kami tidak membutuhkan uang. Kami hanya menghendaki agar.... Pangeran mengambil kami sebagai selir-selir Paduka.”

“Ah....?” Wajah Pangeran itu berobah merah, karena malu dan juga marah. “Apa.... apa alasannya maka kalian ingin menjadi selir-selirku?”

“Sejak lama kami berempat merasa amat kagum kepada Paduka, dan mencinta.... dan kami baru akan merasa berbahagia kalau dapat menjadi selir-selir Paduka yang selalu melayani Paduka dengan penuh kasih sayang....“ kata pula A-hui dengan sikap manis.

Hampir saja Pangeran Kian Liong tertawa bergelak mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara halus ini. Tentu saja isi hati wanita-wanita itu sudah jelas nampak olehnya.

“Hemm, kalian tdak menghendaki uang karena kalian akan mudah saja memperoleh uang kalau kalian kehendaki, maka kalian menginginkan agar memperoleh kedudukan tinggi, dan kelak mungkin akan menjadi seperti Sam-thaihouw, mempunyai kekuasaan besar di istana, Begitukah?”

“Terserah penilaian Paduka. Akan tetapi itulah kehendak kami, menjadi selir-selir Paduka sebagai imbalan pertolongan kami hari ini kepada Paduka, telah menyelamatkan Paduka dari ancaman maut di tangan musuh-musuh Paduka.”

“Kalau aku tidak mau memenuhi kehendakmu menjadi selir-selirku itu?”

“Mau tidak mau Paduka harus memenuhi keinginan kami.” kata A-hui sambil tersenyum.

“Ingat, Paduka berada di tangan kami, dan betapa mudahnya bagi kami untuk membunuh Paduka sekarang juga kalau kami kehendaki!” kata A-Ciu, wanita termuda yang tadi menyamar sebagai pria.

Sang Pangeran tersenyum. “Mengancam lagi. Heh, perempuan-perempuan bodoh, apakah kalian kira aku takut mati? Kalau aku takut mati, tak mungkin aku berada di sini. Entah sudah berapa puluh kali kematian mengancamku. Dan tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat memaksaku melakukan sesuatu yan tidak kusukai.”

Empat orang wanita itu saling pandang dan merekn merasa gelisah juga melihat sikap yang tenang sekali dari Pangeran muda itu. Mereka seperti dapat merasakan bahwa seorang pangeran seperti ini tidak mungkin diancam dan dipaksa, maka jalan satu-satunya adalah bersikap manis dan membujuknya sampai berhasil.

“Harap Paduka maafkan kami, Pangeran, tiba-tiba A-bwe, orang ke tiga yang berbaju biru berkata halus. “Tentu saja kami tidak akan berani mengganggu seujung rambut pun dari Paduka. Akan tetapi, sementara ini Paduka hanya tinggal bersama kami di sini, karena musuh-musuh Paduka masih berkeliaran mencari-cari Paduka.”

Pangeran Kian Liong maklum bahwa orang-orang seperti mereka ini tidak akan segan-segan untuk melakukan kekerasan, bahkan mungkin saja membunuhnya. Dia pun bukan orang bodoh yang nekat dan membiarkan mereka membunuhnya begitu saja. Dia harus mencari kesempatan untuk membebaskan diri atau menanti sampai ada orang gagah yang membebaskannya dari tangan empat wanita ini. Sementara itu, dia harus bersabar, walaupun ini bukan berarti bahwa dia akan merendahkan diri dan menuruti kemauan mereka.

“Boleh saja aku tinggal di sini asal kalian menyediakan kebutuhanku.”

“Apa kebutuhan Paduka?”

“Buku bacaan yang baik, sejarah-sejarah kuno dan kitab-kitab syair. Makan minum setiap hari yang cukup pantas, kemudian, jangan kalian menggangguku dan membiarkan aku sendiri membaca kitab.”

“Baiklah, Pangeran,” kata A-hui sambil berkedip kepada tiga orang adiknya, karena ia tahu bahwa terhadap seorang pangeran muda yang luar biasa ini mereka harus pandai bersiasat dan tidak bersikap kasar. Biarlah Sang Pangeran merasa tenang dulu, hilang marahnya terhadap mereka dan perlahan-lahan mereka berempat akan dapat membujuk dan merayunya. Seorang pria muda seperti itu, mustahil tidak akan jatuh menghadapi rayuan maut mereka berempat, apa lagi kalau dibantu dengan obat-obat perangsang yang dapat dengan mudah mereka campurkan di dalam makanan untuk Sang Pangeran.

Demikianlah, Sang Pangeran Mahkota disembunyikan oleh empat orang wanita itu tanpa ada yang mengetahuinya dan semua pencarian yang dilakukan oleh orang-orang berilmu tinggi itu, baik golongan yang memusuhi Pangeran dan hendak membunuhnya, golongan patriot yang hendak menawannya maupun golongan pendekar yang hendak melindunginya, menjadi sia-sia belaka. Dan tersiarlah berita bahwa Pangeran Mahkota telah lenyap dari kota Pao-ci tanpa meninggalkan jejak dan berita ini yang pernah dibicarakan oleh para pimpinan Kun-lunpai kepada Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Bu Ci Sian.Berita ini pula yang membuat para pimpinan Kun-lun-pai mengutus murid Kun-lun-pai yang pada waktu itu dianggap paling boleh diandalkan, yaitu seorang pemuda bernama Cia Han Beng, untuk mewakili Kun-lun-pai dan ikut mencari Sang Pangeran. Tentu saja pencarian dari pihak Kun-lun-pai ini mengandung maksud lain lagi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang patriotik, maka kalau mereka mencari Pangeran Mahkota, tentu dasarnya lain dan untuk kepentingan usaha mereka yang selalu ingin membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah. Dan wakil mereka, yaitu pemuda Cia Han Beng, adalah seorang pemuda yang disakitkan hatinya oleh Kaisar Yung Ceng. Ayahnya dibunuh dan ibunya dijadikan selir Kaisar! Biarpun dendam telah dienyahkan dari batinnya, yaitu dendam pribadi, diisi dengan cita-cita patriotik untuk bangsanya, namun setidaknya peristiwa itu mempertebal sikapnya memusuhi pihak penjajah yang pada waktu itu dipimpin oleh Kaisar yang telah menghancurkan kelurga orang tuanya.

Dengan berita tentang hilangnya Pangeran Kian Liong, maka bermunculanlah tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti dan mereka ini dapat dibagi menjadi empat golongan. Golongan pertama adalah golongan yang hendak menangkap dan bahkan membunuh Sang Pangeran, yaitu mereka yang dahulunya menjadi anak buah Sam-thaihouw seperti Im-kan Ngo-ok dan yang lain-lain. Golongan ke dua adalah para patriot yang selain hendak menyelamatkan Pangeran yang dianggapnya baik dan menguntungkan rakyat kalau menjadi kaisar kelak, juga hendak mereka jadikan semacam sandera untuk, memaksa Kaisar memenuhi tuntutan-tuntutan mereka. Golongan ke tiga adalah golongan para pembela Pangeran, yaitu selain para pembela resmi, tokoh-tokoh pembesar dan pengawal kerajaan, juga para rendekar yang mencinta Pangeran itu dan hendak menyelamatkannya dari ancaman bahaya musuh-musuhnya tentu saja, sedangkan golongan ke empat adalah golongan orang-orang seperti Cu Kang Bu dan Yu Hwi, yaitu yang membela Pangeran sebagai pendekar-pendekar yang tidak ingin melihat perbuatan jahat dilakukan di depan mereka tanpa mereka menentangnya.

Su-bi Mo-li, empat orang wanita cantik itu, telah melakukan penyelewengan besar dan berbahaya sekali. Mereka berempat itu telah berani mengkhianati atau menyeleweng dari perintah lima orang Im-kan Ngo-ok, yaitu guru-guru mereka. Mereka telah membelakangi lima orang tokoh datuk besar itu dan tidak peduli lagi akan bahaya besar yang mengancam mereka kalau sampai perbuatannya ketahuan. Semua penyelewengan bentuk apa pun juga didasari karena pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan itulah yang membuat kita kadang-kadang menjadi buta, tidak mengenal bahaya, seperti sekelompok laron yang tertarlk oleh sinar api sehingga tidak tahu akan bahaya dan akhirnya mati terbakar api itu sendiri.

Mengapa setiap kesibukan kita, setiap tindakan kita, selalu menyembunyikan suatu pamrih untuk mencapai sesuatu yang kita anggap membahagiakan? Mengapa kita selalu membayangkan telah melihat kebahagiaan tersembunyi di balik sesuatu sehingga kita mengejar-ngejar sesuatu itu dan berani mempertaruhkan segala-galanya untuk mengejar ini?

Kita bisa saja memberi nama yang muluk-muluk kepada pengejaran ini. Namakanlah ia cita-cita, ambisi dan sebagainya. Berilah alasan muluk-muluk pula bahwa pengejaran ini, cita-cita ini yang akan mengatakan kemajuan sukses, dan sebagainya. Namun darimanakah timbulnya pengejaran ini? Pengejaran ini timbul karena adanya suatu tujuan, suatu titik di “sana” yang kita anggap sebagai sesuatu yang akan mendatangkan kesenangan. Keinginan mencapai tujuan yang dianggap menjadi sumber kesenangan tertentu inilah yang melahirkan pengejaran. Ada yang mengejar-ngejar harta benda. Ada yang mengejar-ngejar kedudukan. Tentu saja dengan anggapan bahwa harta benda atau kedudukan itu akan mendatangkan kesenangan yang kadang-kadang dipandang, sebagai kebahagiaan.

Benarkah kita akan berbahagia kalau sudah memperoleh apa yang kita kejar itu? Kepuasan karena terpenuhinya keinginan sesaat itu memang mungkin akan kita rasakan, akan tetapi kepuasan seperti itu sama sekali bukanlah kebahagiaan. Kesenangan itu hanya, bertahan sebentar saja. Segera akan terganti oleh kebosanan, dan kita akan melihat kenyataan bahwa yang tadinya dikejar-kejar dan kini sudah terdapat itu ternyata tidaklah seindah seperti yang kita gambarkan semula ketika kita masih mengejarnya! Dan kita sudah dicengkeram oleh pengejaran akan sesuatu yang lain lagi, yang lebih indah lagi menurut pandangan kita, dan mulailah kita terseret dan hanyut ke dalam arus keinginan yang takkan pernah menanti sebelum kita mati. Dan kekecewaan-kekecewaan, kebosanan-kebosanan silih berganti menjadi ekor dari berhasilnya setiap pengejaran.

Ada pula pengejaran yang tujuannya bukan hal-hal lahiriah, melainkan hal-hal batiniah. Akan tetapi, pada hakekatnya, mengejar sorga dan mengejar uang sama saja. Mengejar Sorga pun, seperti mengejar uang, disebabkan oleh keinginan memperoleh sesuatu yang kita anggap menyenangkan. Semua yang dikejar itu hanyalah kesenangan, tentu saja dapat “dibungkus” dengan pakaian yang bersih-bersih dan muluk-muluk. Dan setiap pengejaran tentu mendatangkan konflik, karena pengejaran itu sendiri sudah merupakan hasil dari konflik, yaitu tidak puas dengan apa adanya dan menginginkan sesuatu yang belum ada. Pengejaran pasti menimbulkan kekerasan, karena dalam pengejaran kita akan menghalau segala sesuatu yang kita anggap sebagai perintang. Juga akan mendatangkan penyelewengan, karena kita ingin secepatnya memperoleh yang kita kejar, dengan cara apapun juga. Dari sini timbullah penghalalan segala macam cara untuk mencapai tujuan.

Kita selalu haus akan kebahagiaan, karena kita merasa tidak bahagia! Kita selalu memandang jauh ke depan, dengan anggapan bahwa di-SANA-lah terdapat kebahagiaan! Semua ini membuat kita menjadi lengah. Kenapa kita tidak mau membuka mata dan menghadapi saat ini, sekarang ini, menyelidiki yang di SINI, dan tidak terbuai oleh khayal dari keinginan akan hal-hal yang belum ada? Mengapa menujukan pandang mata ke seberang sana dan tidak pernah mau mengamati seberang sini? Memang lucu dan menyedihkan sekali hal ini. Kita dapat melihat hal ini jelas tergambarkan oleh keadaan orang-orang yang suka memancing ikan. Mereka yang duduk di seberang sana melempar kail mereka sejauh mungkin mendekati seberang sini dengan anggapan bahwa di seberang sinilah terdapat ikan terbanyak. Sebaliknya yang duduk di seberang sini berusaha melemparkan kailnya sejauh mungkin mendekati seberang sana dengan pendapat yang sama, yaitu di seberang sanalah terdapat ikan terbanyak! Perangai seperti inilah yang membuat mata kita selalu melihat bunga di kebun orang lebih indah daripada bunga di kebun sendiri!

Padahal, kebahagiaan hanya terdapat dalam saat demi saat sekarang, bukan terdapat dalam masa depan. Namun, kita tidak pernah mau menyelidiki kenyataan ini. Pikiran kita selalu penuh dengan kenangan masa lalu dan bayangan-bayangan masa depan, membuat kita buta terhadap saat itu!

Su-bi Mo-li sudah mempersiapkan segala-galanya demi berhasilnya usaha mereka. Mereka bercita-cita untuk menjadi selir Pangeran, agar kelak dapat menjadi selir-selir Kaisar! Dan mereka sudah merasa yakin akan hasil usaha mereka ini. Mereka memperlakukan Pangeran dengan manis budi, setiap hari berusaha membujuk dan merayu Pangeran Kian Liong. Mereka bahkan secara diamdiam memberi obat-obat ke dalam makanan Pangeran itu. Dan semua ini tentu saja berhasil. Sang Pangeran mulai merasakan adanya rangsangan berahi yang hebat, yang setiap hari semakin memuncak. Hal ini menyiksanya dengan hebat. Namun, Pangeran ini adalah seorang pemuda yang luar biasa, seorang laki-laki sejati yang tidak lemah, dan betapapun hebat tubuhnya terpengaruh obat perangsang itu, namun batinnya masih kuat dan dia tidak pernah mau tunduk! Obat perangsang itu hanya mampu mempengaruhi tubuhnya namun tidak dapat menodai batinnya, sehingga betapa pun empat orang wanita itu merayunya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan menolak kehendak mereka yang bermaksud menjerumuskannya ke dalam perjinaan dengan mereka!

Melihat kekerasan hati Pangeran yang sukar diluluhkan ini, Su-bi Mo-li menjadi kecewa sekali. Akan tetapi mereka tidak berani menambah obat-obat perangsang itu karena obat-obat itu kalau terlalu banyak dapat menjadi racun yang akan membunuh Sang Pangeran. Maka, oleh kegagalan bujuk rayu ini mereka mengatur rencana lain.

“Pangeran yang keras kepala itu sukar ditundukkan,” kata A-hui ketika berunding dengan adik-adiknya. “Kita sudah terlanjur bertindak sendiri. Tidak ada lain jalan lagi, kita harus mempergunakannya sebagai jalan untuk memperoleh pengampunan dan memperoleh kedudukan dari Kaisar!

“Ah, apa yang kaumaksudkan, Toaci?” tanya A-ciu terkejut.

“Maksudku? Tiada lain jalan, kita harus menghadap Kaisar, menceritakan bahwa kita telah berhasil menyelamatkan Pangeran dari cengkeraman maut dan untuk itu kita selain minta diampuni sebagai bekas orang-orang Sam-thaihouw, juga minta diberi kedudukan, kalau mungkin sebagai orang dalam istana!”

“Aihh, ngeri aku kalau harus menghadap Kaisar!” kata A-ciu yang tahu bahwa Kaisar bukan orang sembarangan dan betapa dengan gerakan jarinya saja Kaisar bisa menyuruh tangkap dan bunuh mereka seketika tanpa ada setan yang akan menyelamatkan mereka.

“Kita akan ditangkap dan dibunuh!” kata pula A-bwee, orang ke tiga dengan wajah berobah pucat.

“Tapi, Toaci berkata benar,” kata A-kiauw, orang ke dua. “Apakah kalian lebih senang kalau bertemu dengan para suhu dan tewas di tangan mereka?”

Dua orang adiknya bergidik. Mati di tangan guru mereka, apalagi di tangan Ngo-ok, sungguh mengerikan sekali.

“Tiada pilihan lain bagi kita,” kata A-hui, “Bertemu para suhu, kita akan celaka. Akan tetapi kalau menghadap Kaisar dengan membawa Pangeran, masih ada harapan bahwa permohonan kita akan terkabul. Betapapun juga, Sang Pangeran tentu akan menolong dan melindungi kita, bukankah kita selalu bersikap baik kepadanya?”

Para sumoinya setuju mendengar ucapan A-hui ini, dan pula mernang mereka tidak menpunyai pilihan lagi yang lebih baik. Maka beramai-ramai mereka lalu menghadap Pangeran Kian Liong. Sang Pangeran yang sedang asyik membaca kitab itu memandang kepada mereka dan mengerutkan alisnya.

“Hemm, Su-bi Mo-li, kalian hendak melakukan apa lagi terhadap diriku?”

Seperti telah disetujui bersama, A-hui dan para sumoinya lalu menjatuhkan dirinya berlutut menghadap Sang Pangeran. Pangeran Kian Liong terheran. Memang biasanya, empat orang wanita ini selalu bersikap baik, manis, bahkan kadang-kadang terlalu manis dan genit, bersikap membujuk dan merayunya. Akan tetapi belum pernah mereka memperlihatkan sikap begitu menghormat, sampai berlutut seperti sekarang. Maka tahuiah Sang Pangeran yang cerdas ini bahwa tentu ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap ini, maka dia pun bersikap waspada sungguhpun dia tetap nampak tenang-tenang saja.

“Hamba berempat mohon ampun kepada Thaicu (Pangeran Mahkota) kalau ada kesalahan hamba sekalian selama hamba menyembunyikan dan melindungi Paduka di tempat ini,” kata A-hui mewakili adik-adiknya.

Pangeran Kian Liong tersenyum. Sikap dan ucapan ini menunjukkan bahwa mereka ini agaknya sudah kehilangan akal kehabisan daya untuk merayunya, maka dengan cerdik mereka sebelumnya telah mohon ampun dan menonjolkan jasa mereka yang “melindunginya”. Akan tetapi hal itu saja sudah membuat hatinya merasa lega. Agaknya dia tidak akan terganggu lagi oleh rayuan-rayuan mereka, pikirnya.

“Kalau memang kalian merasa telah melakukan sesuatu kesalahan, sadar akan kesalahan itu dan tidak melakukan lagi, maka itulah yang terutama. Bertaubat jauh lebih penting daripada minta maaf.” Lalu dia memandang tajam dan bertanya, “Sekarang, apakah selanjutnya yang akan kalian lakukan terhadap diriku?”

“Hamba bermaksud untuk mengantar Paduka kembali ke istana Paduka di kota raja dengan naik kereta. Akan tetapi.... mengingat bahwa hamba berempat pernah membantu mendiang Sam-thaihouw, maka hamba merasa takut kepada Sri Baginda Kaisar. Siapakah yang akan dapat melindungi hamba sekalian di kota raja kecuali Paduka Thaicu yang bijaksana dan budiman? Oleh karena itu, hamba sekalian menyerahkan mati hidup hamba di tangan Paduka dan mohon Paduka sudi melindungi kami atas kemarahan Sri Baginda Kaisar kepada hamba berempat nanti.”

Pangeran Kian Liong mengangguk-angguk. “Permintaan kalian cukup pantas, akan kupertimbangkan kalau kita sudah tiba di kota raja dengan selamat.”

Biarpun jawaban Sang Pangeran itu belum meyakinkan, namun empat orang wanita itu sudah merasa lega. Mereka sudah tahu akan kebijaksanaan dan kemurahan hati Pangeran ini, maka Pangeran Mahkota yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang pangeran yang budiman ini tentu tidak akan menarik kembali janjinya. Dan memang sikap mereka kini menjadi baik sekali, penuh hormat dan kegenitan mereka pun lenyap. Malam itu mereka menjamu Pangeran dengan masakan-masakan bersih dan lezat, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah mempersiapkan kereta dan mempersilakan Sang Pangeran naik ke dalam kereta, ditemani oleh tiga orang di antara mereka sedangkan A-ciu, yang sudah menyamar sebagai seorang pria, duduk di tempat kusir. Maka berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu untuk mengawal Sang Pangeran kembali ke kota raja. Tentu saja sebelumnya mereka telah melakukan penyelidikan dan melihat bahwa keadaan telah menjadi tenang dan dingin kembali, dan tidak nampak ada orang-orang sakti yang berkeliaran di sekitar daerah itu.

Perjalanan ini dilakukan melalui lembah Sungai Huang-ho yang subur. Di sepanjang perjalanan, Sang Pangeran sempat mengagumi keindahan dan kesuburan tanah di sepanjang lembah sungai ini dan merasa gembira sekali melihat hasil sawah ladang para petani disepanjang perjalanan itu. Su-bi mo-li juga merasa girang dan lega karena selama melakukan perjalanan sampai selama tiga hari, tidak pernah ada gangguan terhadap mereka dan tidak pernah mereka melihat bayangan orang-orang sakti yang pernah mencoba untuk memperebutkan Sang Pangeran di kota Pao-ci. Namun, perjalanan menuju ke kota raja masih jauh dan mereka baru akan merasa aman benar kalau sudah tiba di istana dan kalau Kaisar sudah benar-benar suka mengampuni mereka.

Pada hari ke empat, mereka menyeberangi Sungai Huang-ho. Dengan dua buah perahu besar, mereka membawa kereta menyeberang, dan setelah tiba di seberang, mereka melanjutkan perjalanan memasuki daerah Propinsi Shan-si, dengan maksud menuju ke kota besar Tai-goan. Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di jalan yang di kanan kirinya diapit oleh padang rumput yang luas. Daerah ini merupakan daerah rawa sehingga tidak mudah ditanami oleh para petani. Karena agak rendah maka sering digenangi air sungai kalau sedang naik. Maka yang tumbuh di situ hanya rumput yang membentuk daerah itu menjadi padang rumput yang luas. Akan tetapi jalan itu menuju ke sebuah bukit yang menjanjikan suasana lebih menyenangkan, dengan kehijauan pohon-pohon yang sudah nampak dari padang rumput itu..

“Kita berhenti mengaso di bukit itu,” kata Pangeran Kian Liong setelah dia menyingkap tirai depan. “Aku sudah merasa lelah dan lapar.”

“Baik, Pangeran,” jawab A-hui cepat dan ia menyuruh adiknya, A-ciu yang menjadi kusir itu untuk mempercepat jalannya kereta sampai ke bukit di depan. Pagi tadi mereka sudah menukar kuda mereka dengan kuda-kuda baru yang segar dan kuat, maka perjalanan itu dapat dilanjutkan dengan cepat. Kalau tadi di tepi sungai masih nampak banyak orang, kini makin lama jalan yang mereka lalui menjadi semakin sepi dan akhirnya setelah kereta tiba di bukit dan memasuki daerah berhutan, tak nampak ada seorang pun manusia kecuali mereka berlima.

Ketika melihat ada sebatang pohon besar yang daunnya amat rindang di tepi jalan, A-ciu menghentikan keretanya dan mereka lalu mempersilakan Pangeran Kian Liong untuk beristirahat dan menyuguhkan makan minum kepadanya. Semua ini dilakukan di dalam kereta saja, karena demi menjaga keamanan Sang Pangeran sendiri, Pangeran itu diminta agar tetap tinggal di dalam kereta dan tidak memperlihatkan dirinya. Bahkan tiga orang wanita itu pun hanya berani keluar kalau tidak ada orang lain. Mereka ini juga menyembunyikan diri di dalam kereta, dan hanya A-ciu seorang, yang telah menyamar sebagai seorang pemuda, yang berani memperlihatkan diri di atas tempat duduk kusir.

Mereka makan bersama. Tiga orang wanita bersama Pangeran Kian Liong di dalam kereta sedangkan A-ciu yang berpakaian pria itu di atas kereta, di tempat duduk kusir. Dengan ramah dan sopan, penuh hormat, tiga orang wanita itu melayani Pangeran Kian Liong makan minum, dan Pangeran yang sudah merasa lelah dan lapar itu pun tidak malu-malu lagi, makan dengan enaknya.

Tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan dan kereta itu berguncang. Pangerang Kian Liong hendak menyingkap tirai, akan tetapi lengannya di pegang oleh A-bwee, sedangkan A-hui sendiri lalu mengintai dari balik tirai. Wanita itu hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangannya ketika ia melihat bahwa A-ciu telah tewas dalam keadaan masih duduk di tempat kusir. Darah menetes-netes turun dari sebuah lubang di pelipis kepalanya! Tentu saja A-hui terkejut, juga kedua orang adiknya yang sudah ikut mengintai. Mereka bertiga berloncatan keluar dengan marah bukan main melihat betapa adik seperguruan mereka yang paling muda itu telah dibunuh orang! Begitu melompat keluar, mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi, ketika nampak berkelebatnya beberapa bayangan orang, tiga orang wanita ini menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak, mulut ternganga tanpa dapat mengeluarkan suara apa-apa, hanya memandang bengong kepada lima orang yang bermunculan di depan mereka itu. Im-kan Ngo-ok! Tentu saja tubuh tiga orang wanita ini menggigil dan mereka merasa ketakutan berhadapan dengan lima orang guru mereka yang datang dengan lengkap itu. Mereka memang sudah saling berunding dan mengambil keputusan bahwa kalau hanya satu atau dua di antara guru-guru mereka muncul, mereka berempat akan melakukan perlawanan dengan nekad. Akan tetapi kini mereka berlima muncul semua! Dan di pihak mereka, A-ciu telah di tewaskan! Apa daya mereka? Melawan? Sama dengan membunuh diri! Maka, dengan hati penuh rasa ngeri dan takut, tiga orang wanita itu yang merasa betapa lutut kaki menggigil dan lemas, segera menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu sekalian.... harap ampunkan bahwa teecu telah terlambat.... tapi.... tapi teecu sudah menawan Pangeran dan hendak menyerahkannya kepada Suhu....“ kata A-hui, mewakili dua orang adiknya yang sudah tidak mampu mengeluarkan suara lagi itu.

“Hemm, kalian kira kami tidak tahu bahwa kamu ingin menguasai Pangeran sendiri, kemudian hendak membawa Pangeran ke istana di kota raja, juga demi memenuhi keinginan kalian sendiri? Murid-murid murtad!” bentak Sam-ok.

Mendengar ini, tiga orang wanita itu menjadi semakin ketakutan dan kini mengertilah mereka mengapa A-ciu telah dibunuh oleh para guru mereka ini. Kiranya rahasia mereka telah diketahui oleh lima orang sakti itu! A-bwee yang mengingat betapa Ngo-ok amat mencintanya sebagai seorang kekasih, cepat maju ke depan kaki orang termuda dari Im-kan Ngo-ok itu.

“Ngo-suhu.... ampunkan teecu....!” ratapnya.

Ngo-ok tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. Melihat ini, giranglah hati Abwee. Kalau guru ke lima ini melindunginya, agaknya masih ada harapan baginya untuk terbebas dari kematian di tangan guru-guru mereka ini. Maka ia pun dengan manja, mempergunakan kecantikannya sebagai seorang wanita, bangkit dan menyerahkan diri ke dalam pelukan Ngo-ok merangkul dan membelainya. Jari-jari tangan itu merayap ke mana-mana, sampai ke kukunya dan tiba-tiba A-bwe mengeluarkan jeritan yang menyayat hati, tubuhnya terjengkang dan tangannya, kanan dan kiri, berlepotan darah karena kedua kuku ibu jari tangannya telah dicabut oleh Ngo-ok! Rasa nyeri menyelinap dan menusuk-nusuk jantungnya, membuat wanita itu merintih-rintih memelas.

Akan tetapi lima orang datuk kaum sesat itu sama sekali tidak tergerak hatinya, sama sekali tidak menaruh kasihan kepada bekas murid-murid mereka sendiri. Ngo-ok sudah memasangkan kuku-kuku tadi pada tasbehnya yang aneh, tasbeh yang terbuat daripada kuku-kuku ibu jari para wanita yang pernah menjadi korbannya, ratusan banyaknya!

A-hui dan A-kiauw yang menyaksikan peristiwa itu, menjadi putus asa dan maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat diampuni, maka keduanya lalu meloncat dan hendak melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, Su-ok tertawa dan bersama dengan Sam-ok dia sudah meloncat ke depan, dan sebelum dua orang wanita itu dapat melihatnya, mereka sudah menghadang di depan. Dua orang wanita itu menjadi nekad, menggerakkan pedangnya untuk menyerang. Akan tetapi, beberapa jurus saja mereka sudah roboh terguling dengan kepala pecah dan tewas seketika! Sedangkan A-bwee yang masih belum tewas itu lalu diseret oleh Ngo-ok ke balik semak-semak di mana Ngo-ok mempermainkan sampai akhirnya A-bwee juga tewas.

Ketika Ngo-ok sedang melampiaskan nafsu iblisnya di balik semak-semak, empat orang datuk lainnya menghampiri kereta. Sang Pangeran sejak tadi menonton peristiwa di luar kereta itu dengan hati ngeri dan marah. Mengingat betapa di negerinya terdapat orang-orang yang demikian kejamnya! Mengapa pemerintah tidak turun tangan membasmi orang-orang yang begini jahat? Die mengambil keputusan bahwa kelak, kalau dia sudah menjadi kaisar, dia akan mengerahkan orang-orang pandai untuk menangkapi, menghukum atau membunuh penjahatpenjahat seperti Im-kan Ngo-ok ini, karena kalau orang-orang jahat dan kejam seperti ini dibiarkan berkeliaran di dunia, tentu hanya akan menimbulkan kejahatan-kejahatan yang mengerikan seperti yang ditontonnya sekarang ini. Dalam keadaan seperti itu, Sang Pangeran sama sekali tidak memikirkan dirinya yang terancam bahaya maut maka dia pun sama sekali tidak merasa takut. Baru setelah empat orang kakek itu menghampiri ke arah kereta, Sang Pangeran merrasa ngeri dan teringat bahwa Im-kan Ngo-ok itu muncul untuk menangkap dirinya!

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara berdesing nyaring sekali dan disusul oleh teriakan Ngo-ok. Empat orang kakek itu terkejut dan cepat memutar tubuhnya memandang ke arah semak-semak di mana tadi Ngo-ok menyeret tubuh A-bwee yang masih merintih-rintih itu. Dan mereka terbelalak melihat tubuh Ngo-ok keluar dari semak-semak dalam keadaan masih setengah telanjang dan kakek tosu yang bertubuh jangkung ini mendekap dadanya yang mengucurkan darah, terus mundur terhuyung. Dari semak-semak itu keluar seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, bersikap gagah sekali, memegang sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kemerahan, dan memiliki sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa pemuda itu adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda ini bukan lain adalah Cia Han Seng!

Seperti kita ketahui, pemuda ini adalah murid Kun-lun-pai yang menerima pendidikan langsung dari Ketua Kun-lun-pai Thian Heng Tosu dan merupakan satu-satunya murid Kun-lun-pai yang tinggi dari tosu pertapa Ketua Kun-lun-pai itu. Thian Heng Tosu memang sengaja memilih pemuda ini untuk mewakili Kun-lun-pai melaksanakan cita-cita Kun-lun-pai yang berjiwa patriot, menentang pemerintah penjajah dan membantu para pendekar Siauw-lim-pai yang telah dimusuhi oleh Kaisar itu. Dan tugas pertama dari Cian Han Beng adalah ikut menyelidiki dan mencari Pangeran Kian Liong yang dikabarkan hilang di kota Pao-ci itu.

Ketika Cia Han Beng tiba di tempat itu dan melihat Su-bi Mo-li dibunuh oleh guru-guru mereka sendiri, dia tidak mau mencampurinya. Dia hanya ingin melindungi Pangeran yang diduganya tentu berada di dalam kereta itu setelah dia mendengar percakapan antara Im-kan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li. Akan tetapi, ketika dia melihat Ngo-ok di belakang semak-semak sedang mempermainkan seorang di antara Su-bi Mo-li, pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bagaimanapun jahatnya, Su-bi Mo-li adalah wanita-wanita dan melihat A-bwee yang sudah setengah mati itu dipermainkan secara biadab oleh Ngo-ok sampai mati di belakang semak-semak, Han Beng segera menerjang dan menyerang dengan pedangnya!

Serangan Han Beng itu hebat sekali, dengan jurus rahasia dari Kun-lun-pai. Dan Ngo-ok, seperti biasa. memandang rendah kepada pemuda yang tidak pernah dikenalnya ini, maka dia pun menghadapi serangan itu seenaknya saja. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu pedang itu menerobos dan menusuk dadanya! Dia mengerahkan sinkangnya, namun ternyata tenaga yang dipakai untuk menusuk itu pun kuat bukan main sehingga dia baru dapat melepaskan diri setelah pedang itu menusuk cukup dalam, membuat dia terhuyung ke belakang dan mengeluarkan teriakan kesakitan.

Melihat betapa Ngo-ok agaknya terluka parah oleh pemuda yang tak terkenal itu, empat orang datuk menjadi marah bukan main. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda ini merupakan seorang di antara pendekar yang melindungi Pangeran, maka Su-ok dan Sam-ok sudah menerjang maju dengan dahsyat. Karena mereka berdua maklum bahwa orang yang telah melukai Ngo-ok dalam waktu sesingkat itu tentu memiliki kepandaian tinggi, maka keduanya sudah menerjang dengan pengerahan sin-kang sekuatnya dan begitu menerjang mereka pun sudah mengeluarkan ilmu mereka yang paling hebat. Sam-ok sudah mengeluarkan Ilmu Thian-te Hong-i, yaitu menyerang sambil memutar-mutar tubuhnya seperti gasing itu, sedangkan Su-ok juga sudah mempergunakan pukulan Katak Buduknya yang ampuh.

Akan tetapi pendekar muda dari Kun-lun-pai ini adalah seorang murid yang selama bertahun-tahun digembleng sendiri oleh Thian Heng Tosu, seorang pertapa sakti yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas sekali dalam ilmu silat. Han Beng memiliki pengertian yang mendalam dari pelbagai ilmu silat tinggi, dan dari suhunya dia pernah pula mendengar keistimewaan dari ilmu-ilmu seperti yang kini dihadapinya. Gurunya pernah bicara tentang ilmu silat yang dilakukan dengan badan berputaran itu, juga pernah bicara tentang ilmu pukulan yang dilakukan sambil berjongkok itu. Maka dia pun tidak bersikap ceroboh, maklum akan kelihaian lawan dan dia memutar pedangnya dengan cepat. Dia tidak mau menangkis pukulan Su-ok, dan juga dia menahan bahaya yang datangnya dari Sam-ok dengan sinar pedangnya yang bercahaya kemerahan. Pedang, di tangan pemuda ini bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pusaka dari Kun-lun-pai yang diterimanya dari suhunya. Pedang itu berpamor daun-daun merah maka mempunyai sinar merah dan bernama Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah).

Sinar merah yang bergulung-gulung itu mengeluarkan suara berdesing nyaring dan segera nampak bahwa pemuda dengan pedang pusakanya itu ternyata memiliki ilmu pedang yang amat hebat sehingga tokoh ke tiga dan ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu pun sampai terdesak oleh gulungan sinar pedang! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali. Kalau mereka berlima kewalahan menghadapi Bu-taihiap dan isterinya yang dibantu oleh Ban-kin-sian Cu Kang Bu, hal itu tidak membuat mereka penasaran. Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang telah amat terkenal namanya sedangkan satu di antara isterinya yang tempo hari membantunya bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan perbuatannya yang amat berani, yaitu mencuri pedang Koai-liong-pokiam dari dalam istana. Kemudian yang membantu mereka, Ban-kin-sian Cu Kang Bu, biarpun jarang keluar dari Lembah Suling Emas dan tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun merupakan tokoh penghuni lembah itu, maka kekalahan Im-kan Ngo-ok dari mereka bukan merupakan hal yang perlu dibuat penasaran. Akan tetapi kalau sekarang ini, dalam beberapa gebrakan saja Ngo-ok telah terluka, dan kini Su-ok bernama Sam-ok yang mengeroyok pemuda tak bernama itu malah terdesak, sungguh membuat orang merasa penasaran bukan main.

“Tahan!” teriakan Toa-ok ini amat berpengaruh dan dua orang temannya sudah mundur, juga Cia Han Beng menghentikan gerakan pedangnya, memandang tajam kepada lima orang datuk itu. Ngo-ok masih mendekap dada dengan tangan kiri, akan tetapi tidak mengeluh lagi. Tadi dia telah mengobati lukanya dan biarpun luka itu cukup parah, namun tidak membuat dia roboh. Kini dia pun berdiri sambil memandang dengan muka merah penuh kebencian dan kemarahan kepada pemuda itu.

“Oreng muda, siapakah engkau dan mengapa engkau menyerang kami? Mengapa engkau mencampuri urusan kami?” Toa-ok bertanya karena menyaksikan kelihaian pemuda itu, dia harus lebih dulu mengenal siapa adanya orang ini sebelum turun tangan.

Pemuda itu melintangkan pedangnya di depan dada, memandang jijik kepada Ngo-ok, kemudian menjawab, suaranya lantang namun tenang, “Aku bernama Cia Han Beng dari Kun-lun-pai.”

“Ah, kiranya seorang pendekar Kun-lun!” kata Toa-ok dengan sikapnya yang lemah lembut dan halus itu, sungguh tidak sesuai dengan keadaan muka dan badannya yang mirip gorila, “Kalau benar engkau dari Kun-lun-pai, orang muda, sungguh ada dua hal yang amat mengherankan hati kami.”

“Katakanlah, apa yang mengherankan hati kalian Im-kan Ngo-ok?”

“Hem, bagus, kiranya engkau malah sudah mengenal kami. Di antara Kun-lun-pai dan kami, sejak dahulu tidak perhah ada permusuhan. Engkau sebagai seorang muda dari Kun-lun-pai telah mengenal kami, tentu telah mengenal pula Su-bi Mo-li, murid-murid kami yang kami hukum mati karena berkhianat dan murtad, mengapa engkau mencampuri urusan antara kami dan murid-murid kami? Itulah soal pertama yang mengherankan kami”

“Mudah saja aku menjawabnya,” kata Han Beng. “Biarpun antara Kun-lun-pai dan Im-kan Ngo-ok tidak pernah ada permusuhan pribadi, akan tetapi hal itu tidak menghalangi aku untuk turun tangan apabila menyaksikan perbuatan yang jahat dan kejam. Aku tidak mencampuri urusan antara guru dan murid, sama sekali tidak. Aku tidak peduli apa yang terjadi antara kalian dan empat orang murid kalian yang sama sesatnya itu.”

“Eh, omongan ngacau!” Ngo-ok membentak. “Kalau tidak mencampuri, mengapa engkau menyerangku?”

“Mudah saja jawabnya. Aku melihat seorang laki-laki yang berwatak binatang atau iblis sedang menganiaya dan memperkosa seorang wanita, maka tidak peduli siapa laki-laki itu dan siapa pula wanita itu, aku tidak dapat tinggal diam saja. Aku tidak berpihak, melainkan menentang perbuatan yang amat keji itu, oleh siapa dan terhadap siapa pun dilakukannya!”

“Hemm, hal itu dapat kami mengerti. Akan tetapi urusan ke dua yang kami heran. Di dalam kereta itu terdapat Pangeran Kian Liong, Pangeran Mahkota. Kami hendak menangkap dan membawanya pergi. Apakah engkau juga hendak menghalangi kami?”

“Tentu saja!” jawab Han Beng.

“Dan apa pula alasannya?” tanya Toa-ok. “Bukankah Kun-lun-pai terkenal sebagai tempat para pendekar yang selalu menentang pemerintah penjajah? Apakah sekarang Kun-lun-pai sudah berbalik hati, menjadi anjing penjilat pemerintah penjajah?”

“Tutup mulut kalian yang busuk!” Han Beng membentak marah sekali. “Siapa tidak tahu bahwa Im-kan Ngo-ok yang menjadi anjing penjilat penjajah, dan kini membalik karena keadaan tidak menguntungkan? Ketahuilah, Im-kan Ngo-ok, kami Kun-lun-pai tetap berjiwa patriot, apa pun yang terjadi. Karena itulah maka aku harus melindungi Pangeran Kian Liong dan sama sekali bukan berarti bahwa kami hendak menjadi penjilat penjajah!”

“Bocah sombong!” Terdengar Ji-ok menjerit marah dan wanita ini sudah menerjang ke depan, jari telunjuknya menyerang dengan ilmu yang dinamakan Kiam-ci (Jari Pedang) dan sinar yang tajam mengeluarkan suara mencicit menyambar ke arah leher Han Beng.

“Cringgg....!” Han Beng menggerakkan pedang menangkis dan balas menyerang. Sinar pedangnya meluncur ke arah dada wanita itu yang cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, diam-diam harus mengakui bahwa gerakan pedang pemuda itu sungguh berbahaya sekali. Toa-ok juga tidak tinggal diam, sudah menubruk maju dengan kedua lengannya yang berbulu itu bergerak aneh, akan tetapi dari gerakan itu timbul angin yang keras menyambar ke arah Han Beng. Pemuda itu pun mengelak dan balas menyerang. Dan majulah kelima Im-kan Ngo-ok mengeroyok, berjungkir balik dan mempergunakan kedua kakinya yang panjang untuk menyerang.

Cia Han Beng bukan tidak tahu bahwa lima orang lawannya adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi sekali, maka dia sama sekali tidak memandang rendah, bahkan bersikap amat hati-hati. Pedangnya diputar cepat menutupi dan melindungi seluruh tubuhnya dan dia tidak berani sembarangan menyerang setelah kini dikeroyok lima. Mengurangi sedikit saja daya tahannya akan mendatangkan bahaya, dan menyerang berarti mengurangi pertahanannya. Padahal, menghadapi lima orang itu, dia harus benar-benar melakukan pertahanan yang amat kuat.

Memang harus diakui bahwa Cia Han Beng telah mewarisi hampir semua kepandaian Ketua Kun-lun-pai yang menaruh harapan besar terhadap dirinya. Akan tetapi betapapun juga, pemuda ini masih kurang pengalaman berkelahi menghadapi lawan-lawan tangguh dan kini, begitu keluar dari pertapaan, dia harus menghadapi lima orang Im-kan Ngo-ok sekaligus. Tentu saja hal ini merupakan beban yang terlampau berat baginya. Biarpun dia telah mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang amat terkenal itu, yang telah dikuasainya sampai di bagian yang paling rahasia, namun menghadapi pengeroyokan lima orang datuk kaum sesat ini, perlahan-lahan Han Beng mulai terdesak hebat. Namun, dia masih terus melakukan perlawanan dengan memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga angin pukulan-pukulan aneh dari mereka itu bahkan tidak mampu menembus gulungan sinar yang bertahan itu. Betapapun juga, pemuda itu bukan tidak tahu bahwa kalau dilanjutkan lambat-laun dia akan kehilangan tenaga dan akhirnya akan menjadi semakin lemah. Tidak demikian dengan pengeroyoknya karena dia harus mengeluarkan tenaga lima kali lipat untuk menghadapi lima orang pengeroyok ini. Akhirnya dia akan kehabisan tenaga dan tentu akan kalah akhirnya dan pemuda ini mulai merasa bingung. Dia tidak pernah memikirkan bahaya untuk dirinya sendiri, melainkan bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, bagaimana dia akan mampu menyelamatkan Sang Pangeran yang masih berada di dalam kereta.

Dari dalam keretanya, Pangeran Kian Liong yang menyaksikan itu semua dan hatinya menjadi semakin tak senang, Sepak terjang Im-kan Ngo-ok sungguh membuat hatinya tidak senang. Dia melihat kecurangan dan kekejaman yang luar biasa pada diri lima orang datuk sesat itu. Melihat pemuda gagah perkasa itu dikeroyok lima orang kakek yang sudah menjadi datuk kaum sesat, Sang Pangeran merasa penasaran sekali. Macam itukah watak datuk-datuk yang biasanya membanggakan dirinya? Ternyata merupakan pembunuh-pembunuh dan tukang-tukang pukul tak tahu malu yang suka mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan jumlah besar saja.

“Hei!, Im-kan Ngo-ok, apakah kalian berlima tidak malu? Bukankah kalian adalah orang-orang tua yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw? Bahkan Sam-ok adalah bekas Koksu Nepal, bukan? Mengapa kalian tidak malu melakukan pengeroyokan? Kalian telah membunuh murid-murid kalian sendiri, hayo bebaskan pemuda gagah itu dan aku akan menyerah kepada kalian!”

Teriakan lantang dari Pangeran Kian Liong yang membuka tirai kereta itu amat mengherankan hati Han Beng. Pemuda ini memang sudah banyak mendengar tentang kegagahan ddn kebijaksanaan Pangeran Mahkota ini dan biarpun dia selalu ingat bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, seorang keluarga Kaisar penjajah, namun tetap saja dia merasa amat kagum mendengar ucapan yang mengandung kegagahan luar biasa itu.

Sementara itu, mendengar ucapan Sang Pangeran, Im-kan Ngo-ok merasa malu dan menjadi semakin penasaran dan marah. Su-ok yang sudah mengalami banyak kekecewaan karena Pangeran ini, lalu meninggalkan Han Beng.

“Omitohud, Pangeran itu sungguh telah mendatangkan banyak kepusingan. Biarlah kuhabiskan saja riwayatnya.” Si Gundul Pendek ini lalu menggelinding menuju ke kereta. Melihat ini, Cia Han Beng menjadi khawatir sekali akan keselamatan Sang Pangeran, maka dia memutar pedangnya untuk mencari kesempatan meloncat dan menyelamatkan Sang Pangeran. Akan tetapi, empat orang pengeroyoknya yang maklum akan kehendaknya itu mengepung dan menyerang semakin ketat sehingga terpaksa Han Beng harus menjaga dirinya.

Su-ok telah berdiri di dekat kereta dan melihat Sang Pangeran duduk di dalam kereta, memandang kepadanya melalui jendela kereta yang sudah dibuka tirainya itu. “Heh-heh-heh, Pangeran Kian Liong, engkau telah banyak merugikan kami, dan telah menghancurkan harapan kami untuk memperoleh kedudukan di istana. Oleh karena itu, aku akan membunuhmu sekarang juga.”

“Kakek yang munafik, mati merupakan hal yang jauh lebih bersih daripada hidup akan tetapi seperti engkau ini, berlagak menjadi hwesio akan tetapi hidup sebagai datuk sesat yang jahat. Engkau mencemarkan agama, maka hidupmu tentu akan terkutuk!”

“Heh-heh, ngocehlah selagi engkau bisa, Pangeran. Sekarang bersiaplah untuk mampus!” Berkata demikian, Su-ok lalu merendahkan tubuhnya dan mengerahkah tenaga dari ilmu Katak Buduk, bermaksud menghantam ke arah kereta agar Sang Pangeran tewas bersama hancurnya kereta itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara melengking nyaring dan ada sinar keemasan barkelebat, langsung sinar emas ini menyambar ke arah kepala gundul Su-ok! Su-ok terkejut, karena dia sudah mengerahkan tenaga, maka dia pun lalu memukul dengan ilmu pukulan Katak Buduk ke arah sinar kuning emas yang menyambar itu.

“Dess....” Bukan main hebatnya pertemuan antara tenaga Katak Buduk dan sinar kuning emas itu dan akibatnya.... tubuh Su-ok terguling-guling seperti sebuah bal ditendangt! Tentu saja Su-ok terkejut bukan main, dadanya terasa panas dan nyeri. Ketika dia bangkit berdiri, ternyata di situ telah berdiri seorang dara cantik yang gagah, yang memegang sebatang suling Emas! Bukan main rasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Melihat pemuda Kun-lun-pai itu saja sudah mendatangkan penasaran, sekarang muncul seorang dara yang memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya, sehingga mampu menyambut pukulan saktinya, bahkan membuatnya terpelanting dan terguling-guling sampai jauh dengan dada terasa panas dan nyeri.

Dara itu bukan lain adalah Ci Sian! Ketika melihat Han Beng dikeroyok, tentu saja Ci Sian segera menghampiri dan hendak turun tangan membantu. Akan tetapi melihat Su-ok mendekati kereta dan mengancam Sang Pangeran, ia cepat menyambar dan menyelamatkan Sang Pangeran dengan menyambut serangan Su-ok yang dahsyat itu. Karena ia sudah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, maka begitu terjun ia sudah mengerahkan khi-kangnya ketika menyambut pukulan sakti dari Su-ok yang mengakibatkan Si Gundul itu terlempar.

Su-ok yang sudah bangkit kembali itu memandang bengong. Kini Ci Sian sudah menerjang dan membantu Han Beng, memutar sulingnya dan tanpa mengeluarkan sepatah pun kata ia sudah menyerang Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu. Ji-ok juga terkejut ketika ada sinar emas menyambarnya, dan ketika ia menangkis mempergunakan Kiam-ci, hampir saja ia terguling seperti yang telah dialami oleh Su-ok. Terkejutlah Im-kan Ngo-ok melihat ini dan mereka teringat akan Kam Hong yang juga amat lihai dalam mempergunakan suling emas sebagai senjata. Dan melihat kehebatan dara ini, mengertilah mereka bahwa pihak lawan bertambah dengan seorang yang lihai, biarpun hanya merupakan seorang gadis remaja saja. Maka Su-ok juga cepat terjun ke medan perkelahian dan membantu teman-temannya. Biarlah, Pangeran itu ditinggalkan sebentar. Paling perlu merobohkan dua orang muda ini. Pangeran itu pun tentu tidak akan mampu melarikan diri sampai jauh.

Cia Han Beng merasa girang bukan main melihat munculnya Ci Sian. Bukan hanya gembira karena dia memperoleh seorang kawan yang amat lihai dan boleh diandalkan, akan tetapi juga gembira karena keselamatan Sang Pangeran dapat lebih terjamin sekarang, dan terutama sekali dia merasa gembira memperoleh kesempatan bertemu kembali dengan dara ini! Biarpun pada lahirnya pemuda ini tidak memperlihatkan sesuatu, akan tetapi sesungguhnya dia telah jatuh hati kepada Ci Sian Sian pada pertemuan pertama mereka di Kun-lun-san, terutama setelah keduanya saling menguji kepandaian dalam sebuah pibu persahabatan.

“Nona, terima kasih atas bantuanmu!” serunya dan kini pedangnya makin hebat gerakannya, menjadi gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar dahsyat. Ci Sian tidak menjawab, melainkan juga memutar sulingnya dengan tidak kalah dahsyatnya. Kalau dulu mereka berpibu, kini mereka seolah-olah bersaing mendemonstrasikan kepandaian mereka. Tentu saja yang rugi dalam hal ini adalah Im-kan Ngo-ok! Menghadapi seorang Han Beng saja mereka tadi sudah merasa sukar sekali untuk merobohkannya, apalagi kini ditambah dengan nona yang memiliki kepandaian tidak berada di sebelah bawah tingkat pemuda Kun-lun-pai itu.

Setelah dibantu oleh Ci Sian, kini Han Beng mendesak lima orang datuk itu. Sampai kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba Han Beng mengeluarkan bentakan nyaring.

“Haiiiitttt....!” Pedangnya menyambar ganas, darah muncrat dan robohlah Ngo-ok yang memang sudah terluka dan paling lemah dan lambat gerakannya itu. Kini ujung pedang pemuda itu menembus lehernya maka setelah berkelojotan di atas tanah, matilah Ngo-ok, orang termuda dari Im-kan Ngo-ok!

Hal ini membuat empat orang kakek dan nenek itu terkejut, marah dan berduka sekali. Tak pernah mereka sangka bahwa seorang di antara mereka berlima akan dapat terbunuh orang! Dan pembunuhnya seorang yang masih amat muda lagi. Su-ok yang paling sering cek-cok dengan Ngo-ok akan tetapi sesungguhnya paling mencintanya, menjadi marah sekali dan dengan teriakan setengah terisak dan menerjang kepada Han Beng. Akan tetapi, Ci Sian yang tidak mau kalah oleh kawannya itu telah menyambutnya. Sulingnya mengeluarkan getaran yang melengking-lengking, dan nampak sinar emas itu terpecah msnjadi banyak dan tahu-tahu ujung suling sudah menotok dan mengenai pelipis Su-ok!

“Prokkk....!” Tubuh Su-ok terjenkang dan berkelojotan karena pelipis kepalanya retak. Seperti Ngo-ok, tidak lama dia berkelojotan lalu tewas.Kini tiga orang kakek dan nenek itu baru tahu bahwa pihak lawan mereka memang hebat bukan main dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dan mereka tinggal bertiga, kalau dilanjutkan perkelahian itu, bukan tidak mungkin mereka bertiga akan mengalami nasib yang sama dengan Su-ok dan Ngo-ok. Maka Toa-ok mengeluarkan suara bersuit nyaring dan dua orang adiknya maklum akan isyarat ini. Mereka lalu menyerang dengan sehebatnya, membuat dua orang muda itu terpaksa mundur. Kesempatan itu mereka pergunakan untuk menyambar tubuh Su-ok dan Ngo-ok yang sudah tidak bernyawa. Toa-ok menyambar tubuh Ngo-ok sedangkan Sam-ok menyambar tubuh Su-ok, lalu ketiganya meloncat jauh dan melarikan diri. Ci Sian yang merasa penasaran itu hendak mengejar, akan tetapi Han Beng menahannya.

“Harap jangan kejar, Nona. Lebih penting melindungi Pangeran.”

Teringatlah Ci Sian bahwa Sang Pangeran masih berada di situ dan kalau mereka berdua melakukan pengejaran, memang Pangeran menjadi tak terlindung dan hal ini berbahaya sekali.

“Biar lain kali kubasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok,” katanya.

Melihat sepak terjang dua orang muda-mudi itu, Pangeran Kian Liong merasa kagum bukan main. Dia keluar dari keretanya, lalu menghampiri dua orang pendekar itu dan menjura dengan senyum kagum.

“Ah, sudah banyak aku bertemu dan melihat kepandaian tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa. Akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan dua orang pemuda dan pemudi yang selain gagah perkasa, tampan dan cantik, juga memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya! Sungguh aku merasa kagum bukan main. Bolehkah aku mengenai siapa Tai-hiap dan Li-hiap, agar aku dapat mengucapkan terima kasihku?”

Melihat sikap yang demikian merendah dan lembut dari Sang Pangeran, Ci Sian juga merasa heran dan kagum. Memang Pangeran ini amat hebat, seperti berita tentang dirinya yang sering didengarnya. Seorang Pangeran yang sama sekali tidak tinggi hati, bersikap ramah dan rendah hati.

Akan tetapi, biarpun diam-diam Han Beng juga kagum melihat sikap Sang Pangeran, dia tidak dapat melupakan bahwa Pangeran itu adalah seorang pemuda bangsawan Mancu, keluarga Kaisar penjajah, bahkan menjadi calon pengganti Kaisar penjajah pula. Bahkan, di balik semua itu, masih ada satu hal yang amat mengganjal hatinya, yaitu mengingat bahwa ayahnya tewas oleh ayah Pangeran ini, dan bahwa ibunya telah dirampas pula oleh ayah Pangeran ini! Hanya kebijaksanaannya berkat pendidikan batin gurunya sajalah yang membuat dia tidak merasa mendendam kepada Pangeran ini.

“Kalian telah mengenalku sebagai Pangeran Kian Liong,” kembali Sang Pangeran berkata dengan ramah. “Maka, sudah sepatutnya kalau aku pun mengenal nama kalian.”

Ci Sian sudah membalas penghormatan itu dengan menekuk sebelah kakinya dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya. “Pangeran, nama saya adalah Bu Ci Sian.”

“Ah, Nona Bu, sungguh sangat kagum hatiku menyaksikan sepak terjang Nona tadi, dan terimalah ucapan terima kasihku. Tanpa ada pertolonganmu, tentu aku sudah terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok.”

“Belum tentu, Pangeran. Bukankah di sini ada seorang pendekar yang telah melindungi Pangeran?” kata Ci Sian sambil memandang kepada Cia Han Beng, merasa heran mengapa pemuda itu nampak dingin saja terhadap Sang Pangeran, bahkan tidak membalas ucapan Sang Pangeran.

“Tai-hiap, bolehkah aku mengetahui namamu?”

Han Beng mengerutkan alisnya dan membuang muka, tidak menjawab. Ci Sian hendak menegurnya, akan tetapi ia segera teringat siapa adanya pemuda ini! Ayah, pemuda ini tewas di tangan para pembantu Kaisar! Dan ibunya kabarnya dirampas pula. Dan pemuda ini adalah tokoh Kun-lun-pai yang berjiwa patriot! Tentu saja lain pandangan pemuda ini sebagai seorang patriot terhadap Pangeran Kian Liong, seorang pangeran penjajah, seorang berbangsa Mancu!

“Pangeran, seorang seperti Paduka tidak layak mengenal nama seorang rakyat biasa seperti saya.”

“Ahh....!” Pangeran Kian Liong tertegun dan dari sikap itu saja maklumlah Sang Pangeran orang macam apa yang berada di depannya. Tentu seorang patriot yang anti penjajahan, pikirnya sambil menarik napas panjang penuh hati sesal.

Melihat sikap Pangeran yang tetap halus akan tetapi jelas merasa kesal dan berduka itu, Ci Sian merasa betapa sikap pemuda Kun-lun-pai itu tidak sepatutnya. Ia sendiri tidak peduli akan soal patriot atau bukan patriot. Ia tidak mengerti akan semua itu, dan ia bertindak hanya menurut naluri kemanusiaannya.

“Cia-enghiong,” katanya, suaranya agak dingin. “Mengapa engkau bersikap seperti orang tidak suka kepada Pangeran? Bukankah beliau telah bersikap manis dan ramah kepada kita?”

“Maaf, bagaimanapun juga, aku tidak mampu melupakan kenyataan bahwa dia adalah seorang Pangeran Mancu, penjajah tanah air kita,” jawab Han Beng tanpa mempedulikan bahwa Sang Pangeran sendiri berada di tempat itu mendengarkan kata-katanya.

“Tapi, kalau engkau beranggapan demikian, mengapa engkau melindunginya dari ancaman Im-kan Ngo-ok tadi? Mengapa tidak kaubiarkan saja Pangeran penjajah ini tewas di tangan mereka?” Ci Sian bertanya, suaranya mulai merasa penasaran. Memang sikap dara ini amat terbuka, dan ia selalu siap untuk menentang segala sesuatu yang dianggapnya tidak benar.

“Nona, engkau tahu bahwa kami para patriot tidak membenci pribadi-pribadi atau perorangan. Kami menentang penjajahan, bukan membenci seseorang. Dan kalau aku melindunginya, bukan berarti aku melindungi pribadi Pangeran, melainkan sesuai dengan rencana dan garis perjuangan para patriot. Untuk perjuangan ini, aku rela mengorbankan nyawaku.”

“Lalu apa yang hendak kaulakukan terhadap Sang Pangeran sekarang?” Ci Sian bertanya, suaranya lantang.

“Sesuai dengan tugas yang kuterima, aku harus membawa Pangeran pergi dari sini, menyelamatkannya dari orang-orang yang hendak membunuhnya.”

“Membawanya kembali ke istana di kota raja?”

Pemuda itu menggeleng kepala, “Tugasku bukan demikian, melainkan membawanya ke suatu tempat.”

“Sebagai tawanan para patriot?”

Pemuda itu mengangguk.

“Aku yang menentangmu!” tiba-tiba dara itu berseru dan mengeluarkan sulingnya, melintangkan sulingnya di depan dada.

Pemuda itu tercengang dan memandang dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu, Nona? Nona seorang pendekar yang berilmu tinggi, mana mungkin Nona hendak melindungi Pangeran penjajah dan hendak menentang kami....?”

“Aku tidak peduli akan segala patriot, segala penjajah, segala tetek-bengek! Pendeknya, aku hendak mengantar Pangeran kembali ke tempat tinggalnya, ke istananya di kota raja. Dan siapa pun yang hendak mencelakainya, baik orang-orang jahat macam Im-kan Ngo-ok, maupun orang-orang macam kau yang menamakan dirinya patriot, akan kutentang dan kulawan!”

Han Beng memandang bingung, lalu menarik napas panjang, nampak berduka. “Ah, tidak kusangka sama sekali bahwa kita akan bertemu dalam keadaan seperti ini....“

Pangeran Kian Liong sudah mendengar cukup. Dia melangkah maju sambil tersenyum. “Aku dapat memaklumi keadaan Ji-wi yang gagah perkasa. Akan tetapi sebelum kalian berdua ribut-ribut, marilah kita berbincang-bincang tentang diriku yang hendak di jadikan rebutan. Banyak orang mennilai diriku begini, begitu, hanya dengan memandang diriku sebagai Pangeran Mahkota Kerajaan Mancu! Apa sih salahnya seorang manusia yang dilahirkan sebagai seorang putera Kaisar penjajah Mancu? Seperti juga apa salahnya kalau orang dilahirkan sebagai putera patriot, sebagai anak seorang penjahat, seorang jembel, dan sebagainya lagi? Kita ini masing-masing dilahirkan tanpa kita minta menjadi anak siapa pun! Mengapa setelah terlahir, kita lupa akan hal ini, dan kita memecah-mecah manusia sebagai penjajah, sebagai pejuang, sebagai ini dan itu? Bukankah ketika kita terlahir, kita ini sama? Sebagai seorang orok yang begitu terlahir, telanjang dan menangis? Salahkah kalau aku menjadi putera Kaisar Mancu? Bagiku, yang penting adalah manusianya, bukan embel-embel berupa bangsanya atau keturunannya, hartanya, kedudukannya, atau kepandaiannya, atau agamanya dan sebagainya. Manusia tetap manusia, diberi embel-embel apapun juga, dan yang menentukan apakah dia patut disebut manusia atau tidak bukanlah embel-embelnya itu, melainkan si manusianya sendiri. Aku menjadi Pangeran Mahkota adalah karena keadaanku, dan aku tidak menganggapnya buruk, karena aku tidak pernah menyalahgunakan kedudukan, dan aku berjanji kelak kalau menjadi kaisar, akan menjadi kaisar yang baik, untuk manusia, bukan untuk bangsa ini atau itu, melainkan untuk rakyatku.”

“Mudah memang bagi Paduka untuk bicara demikian, Pangeran,” Han Beng membantah. “Karena Paduka tidak pernah menderita karena penjajahan itu, Paduka tidak pernah merasakan bagaimana rakyat ditindas, tidak merasa betapa ayah Paduka dibunuh, ibu Paduka diperkosa orang, harta Paduka dirampas orang! Bangsa Mancu telah menjajah dan menindas bangsa Han, apakah kami para patriot yang mencinta rakyat dan tanah air tidak seharusnya dan sepatutnya bangkit dan berusaha mengenyahkan penjajah?”

Pangeran itu tersenyum. “Sudah kukatakan, semua itu telah terjadi dan aku tidak bertanggung-jawab. Tanggung jawabku adalah sekarang ini, kalau menjadi pangeran ya jadilah pangeran yang baik, kalau menjadi kaisar jadilah kaisar yang baik dan demikian seterusnya menurut kedudukan masing-masing. Seperti kulihat, bangsa Mancu yang menjajah itu kini malah melebur dirinya menjadi bangsa Han! Mana ada kebudayaan Mancu dipelihara? Mana ada kesusastraan Mancu atau kesenian Mancu? Bahkan bahasa Mancu pun tidak selancar kupergunakan seperti bahasa Han. Bukan aku membela bangsa Mancu, melainkan kenyataannya demikian. Bagiku, semua manusia itu sama saja, bangsa apapun juga adanya. Baik buruk ditentukan oleh manusianya, bukan oleh bangsanya. Membeda-bedakan bangsa hanya akan menimbulkan kebencian dan permusuhan belaka.”

“Hem, Paduka akan bicara lain kalau ayah Paduka dibunuh kaisar, kalau ibu Paduka dipaksa kaisar menjadi selirnya!” kata Han Beng dengan suara penuh kepahitan.

Sang Pangeran terkejut juga mendengar ini dan memandang tajam. Pada saat itu Ci Sian sudah melangkah maju menghadapi Han Beng dan berkata dengan suara menantang, “Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi, Cia Han Beng! Sekarang terserah kepadamu! Aku akan mengawal Pangeran pulang ke kota raja dan siapapun juga yang akan mengganggunya, biar engkau sekalipun, terpaksa akan kuhadapi sebagai lawan! Ingat, aku tidak berpihak kepada kerajaan, juga tidak berpihak kepada kaum patriot. Aku tidak mengerti soal itu dan tidak mau tahu. Aku hanya bertindak sebagai seorang yang ingin menjadi seorang pendekar, membela yang lemah terancam, menentang yang kuat sewenang-wenang. Nah, terserah kepadamu!”

Sejenak Han Beng meragu. Kalau bukan Ci Sian yang berdiri menghalangi, tentu akan diterjangnya dan dilawannya, betapapun lihainya pelindung Pangeran itu. Akan tetapi Ci Sian yang berdiri di depan dan menantangnya. Dia bukan takut melawan dara ini, sama sekali tidak, karena biar pelindung Pangeran lebih lihai daripada Ci Sian sekalipun akan dilawannya. Akan tetapi dia enggan melawan Ci Sian sebagai musuh. Dia telah jatuh cinta kepada dara ini. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menyarungkan pedang Ang-hio-kiam yang sejak tadi masih dipegangnya.

“Sudahlah, aku tidak ingin menghadapimu sebagai musuh, Nona. Sampai jumpa!” Berkata demikian, pemuda itu lalu meloncat dan sebentar saja lenyaplah pemuda itu dari dalam hutan itu.

Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. “Sayang.... sayang hatinya dipenuhi oleh dendam....”

“Akan tetapi dia seorang murid Kun-lun-pai yang baik sekali, Pangeran, dan memang keadaannya.... eh, patut dikasihani.”

Sang Pangeran memandang tajam kepada dara yang mendatangkan rasa kagum di hatinya itu.

“Ah, benarkah bahwa ayahnya terbunuh Kaisar dan Ibunya dirampas....”

Dara itu mengangguk.

Sang Pangeran mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. “Sekarang aku tahu.... selir ayah ada yang katanya bekas isteri seorang pendekar Kun-lun-pai. Hemm, luar biasa sekali, dan pemuda itu, yang sesungguhnya masih saudara tiriku, yang diracuni dendam, bahkan telah menyelamatkan aku dari ancaman Im-kan Ngo-ok.”

“Tidak luar biasa, Pangeran. Ingat, dia seorang pendekar dan seorang patriot.”

“Dan engkau, Nona Bu?”

“Saya? Saya seorang biasa, bukan patriot.”

“Tapi kenapa engkau menolongku, Nona?”

“Karena saya sudah banyak mendengar tentang Paduka sebagai seorang pangeran yang bijaksana, bahkan orang-orang gagah mengharapkan kelak kalau Paduka menjadi kaisar, Paduka akan menghapus segala kelaliman, membasmi segala kejahatan yang terjadi. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau saya melindungi Paduka dari ancaman malapetaka.”

“Hemm, sungguh hebat. Dan sekarang apa yang hendak kaulakukan dengan diriku, Nona?”

“Mengantar Paduka menuju ke kota raja.”

Pangeran itu teringat kepada Su-bi Mo-li dan memandang kepada empat mayat mereka dengan mata ngeri. “Dan kalau kita sudah tiba di kota raja?” Ingin dia mengetahui, pamrih apa yang tersembunyi di balik keinginan dara ini untuk mengawal dan melindunginya.

“Sesudah kita di kota raja? Tentu saja Paduka kembali ke istana Paduka dengan aman.”

“Dan engkau?”

“Saya? Saya akan melanjutkan perjalanan saya.”

“Ke manakah, Nona?”

“Ke mana saya sendiri belum tahu. Saya sedang mencari Suheng saya, Pangeran.”

“Dan kau.... setelah berhasil mengantarku ke istana, engkau tidak menghendaki imbalan jasa apa-apa?”

Ci Sian memandang wajah yang halus itu dengan tajam, tidak mengerti. “Imbalan jasa apa? Saya tidak menghendaki apa-apa, hanya menghendaki Paduka selamat sampai di istana, cukuplah. Imbalan apa? Jasa apa?”

Melihat keterbukaan hati dara ini yang polos dan jujur sekali, Sang Pangeran menjadi kagum bukan main. Seorang dara yang masih murni dan telah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya!

“Kalau begitu, mari kita pergi, Nona. Tidak tahan aku untuk berdiam di sini lebih lama lagi.”

“Baik, Pangeran. Mari kita pergunakan dua ekor kuda itu, jangan mempergunakan kereta karena hal itu akan menarik perhatian orang.”

Pangeran itu tidak membantah dan karena memang dia tidak memakai pakaian pangeran, hanya pakaian pemuda biasa, maka ketika mereka berdua menunggang kuda berdampingan, tidak akan ada yang menyangka bahwa yang pria itu adalah Pangeran Mahkota. Orang tentu akan mengira bahwa mereka hanya sepasang muda-mudi yang melakukan perjalanan belaka, atau sepasang suami isteri yang masih amat muda, atau juga sepasang pendekar.

Melihat sikap Ci Sian yang amat lincah gembira, gagah perkasa dan amat tabah, hati Pangeran itu menjadi makin suka dan kagum. Sebaliknya melihat sikap Pangeran yang amat ramah, lemah-lembut, sama sekali tidak ceriwis, dan setelah bercakap-cakap ia mendapatkan kenyataan bahwa Sang Pangeran memiliki pengetahuan yang amat luas, Ci Sian juga merasa kagum. Hatinya terhibur juga melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang begini pandai, tahu akan segala hal, bahkan tahu akan keadaan di dunia kang-ouw!

“Nona Bu, engkau memiliki ilmu silat yang amat tinggi sekali, maka kukira engkau tentu masih mempunyai hubungan dengan Bu-taihiap, Bu Seng Kin. Bukankah demikian?”

Ci Sian terkejut dan menoleh kepada pemuda yang menunggang kuda di sampingnya itu. Akan tetapi ia tidak mungkin dapat membohong kepada sepasang mata yang jernih tajam itu. Maka ia pun mengangguk tanpa menjawab karena hatinya kesal mendengar disebutnya nama ayahnya.

“Masih ada hubungan apakah, kalau aku boleh bertanya?”

Terpaksa Ci Sian menjawab singkat, “Dia.... dia itu ayah kandung saya.”

“Ah....! Maaf, maaf, kiranya Nona adalah puteri Bu-taihiap? Sungguh luar biasa! Kalian ini keluarga Bu agaknya hendak melimpahi diriku dengan budi-budi yang amat besar. Bukan hanya ayahmu yang pernah menyelamatkan diriku, juga dari tangan Im-kan Ngo-ok, sekarang puterinya juga!”

“Dia.... ayah saya pernah menolong Paduka?”

“Benar, malah dia menolongku disertai tiga orang isterinya dan seorang puterinya. Yang manakah di antara tiga orang isterinya itu yang menjadi ibumu, Nona?”

Ci Sian maklum siapa yang dimaksud dengan puteri ayahnya itu. Tentu Bu Siok Lan, puteri ayahnya dan Panglima Nepal Nandini itu, siapa lagi? Dan tiga orang isterinya itu ia pun sudah dapat menduganya. Siapa lagi kalau bukan Nandini, Nikouw Gu Cui Bi, dan wanita dari Lembah Suling Emas, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu? Ia cemberut, hatinya kesal sekali. Akan tetapi ia harus menjawab pertanyaan Sang Pangeran.

“Ibu saya telah meninggal dunia. Saya tidak mengenal mereka itu!” Dan ia pun cemberut dan mencambuk kudanya sehingga kudanya lari congklang. Sang Pangeran juga mencambuk kudanya untuk mengejar. Pangeran ini biarpun masih amat muda, namun sudah berpengetahuan luas. Dia tahu bahwa dara itu marah.

Agaknya dara itu telah tak beribu dan tidak setuju ayahnya yang mempunyai banyak isteri itu. Dan diam-diam dia pun tersenyum. Dia tahu bahwa Bu-taihiap adalah seorang pria yang suka akan wanita, tampan gagah dan banyak pula wanita yang tergila-gila kepadanya. Seorang pria pengejar wanita, hidung belang akan tetapi bertanggung-jawab. Dia pun menarik napas panjang. Ada perbedaan antara pria seperti Bu-taihiap dengan Kaisar atau pembesar-pembesar yang mengumpulkan banyak selir. Selir-selir itu tiada ubahnya binatang-binatang peliharaan yang dibeli dengan kemuliaan atau harta. Akan tetapi, wanita-wanita yang menjadi isteri Bu-taihiap adalah karena tertarik, dan karena saling mencinta. Keduanya tentu ada baiknya dan ada buruknya. Para selir yang tertarik oleh kemuliaan dan harta, memang dapat hidup rukun akan tetapi mereka melayani suami mereka hanya dengan kemesraan palsu belaka. Sebaliknya, para isteri pria seperti Bu-taihiap itu semua mencintanya, akan tetapi tentu saja tidak dapat hidup rukun satu sama lain, dan akibatnya sang suami yang selalu menghadapi isteri-isteri yang penuh cemburu dan keluarganya menjadi retak. Contohnya adalah keluarga pendekar Bu ini. Puterinya sendiri, dara yang lincah jenaka dan gagah perkasa, yang sebenarnya tentu dapat menjadi seorang puteri yang mencinta ayah kandungnya, kini agaknya membenci keluarga ayahnya.

Dan di dalam perjalanan mereka itu tidak terjadi gangguan. Agaknya setelah Im-kan Ngo-ok kalah, bahkan dua orang di antara mereka tewas, tidak ada lagi yang berani mencari dan mencoba untuk mengganggu Sang Pangeran. Agaknya para tokoh golongan sesat sudah mendengar akan tewasnya dua orang dari Im-kan Ngo-ok. Hal ini amat mengejutkan hati mereka dan mereka menjadi gentar, maklum bahwa Sang Pangeran dilindungi oleh orang-orang yang benar-benar amat sakti.

Pada suatu hari, selagi Sang Pangeran dan Ci Sian berkuda dengan perlahan-lahan seenaknya sambil menikmati pemandangan indah dari lereng sebuah bukit, tiba-tiba Pangeran Kian Liong melihat jauh di bawah sana ada debu mengebul tinggi dan kemudian nampak pasukan besar tentara kerajaan berbaris. Dia merasa heran sekali.

“Hemm, itu adalah pasukan kerajaan yang cukup besar jumlahnya!” katanya kepada Ci Sian. “Dan pemimpinnya bahkan seorang pangeran, dapat kulihat dari corak benderanya.”

“Ada terjadi apakah, Pangeran?” tanya Ci Sian. “Apakah terjadi perang? Dengan siapa?” Ci Sian teringat akan perang antara tentara kerajaan melawan tentara Nepal di daerah Tibet.

“Entahlah. Menurut pendengaranku, tidak ada perang, bahkan tidak ada pemberontakan yang perlu dipadamkan setelah Jenderal Kao berhasil memadamkan pemberontakan di barat.”

“Jenderal Kao Cin Liong?” Ci Sian bertanya.

“Benar! Eh, apakah engkau sudah mengenalnya, Nona?”

Ci Sian tersenyum. “Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran. Bahkan saya bertemu dengan dia ketika dia menyamar dan menyusup ke dalam benteng musuh, yaitu benteng pasukan Nepal.”

“Ahh? Lain kali harap kauceritakan tentang hal itu, Nona Bu. Sekarang, kita harus mengikuti pasukan itu. Ingin kuketahui apa yang hendak mereka lakukan.”

“Bagaimana kalau kita mengejar dan menyusulnya kemudian Paduka dapat bertanya kepada komandannya?”

“Tidak, aku tidak ingin mencampuri urusan mereka, apalagi mereka itu tentu bergerak atas perintah atasan. Aku hanya ingin tahu apa yang akan mereka lakukan.”Dan mereka berdua pun melarikan kuda untuk mengikuti pasukan besar itu. Dan di sepanjang jalan, dengan hati penuh kemarahan dan kedukaan, Sang Pangeran melihat bekas tangan para anak buah pasukan itu. Perampasan-perampasan, pemukulan-pemukulan, perbuatanperbuatan kurang ajar terhadap wanita-wanita. Biarpun belum sampai terjadi perkosaan atau pembunuhan, namun sikap pasukan itu sungguh memalukan, bukan merupakan sikap pasukan yang berdisiplin dan baik, dan sikap seperti itu hanya memancing kebencian rakyat terhadap pemerintah! Diam-diam Sang Pangeran mencatat semua bekas tangan pasukan itu untuk kelak dia laporkan dan dia tuntut agar komandan pasukan yang lengah dan tidak berdisiplin itu menerima hukuman atau setidaknya menerima teguran dan penurunan pangkat, sedangkan para anak buah pasukannya menerima hukuman yang cukup keras. Ci Sian sibuk mengumpulkan data-data dan bukti-bukti tentang keburukan sikap dan sepak terjang para pasukan itu dengan bertanya-tanya kepada para penghuni dusundusun di sepanjang jalan yang dilalui pasukan. Ternyata pasukan itu berjumlah seribu orang dan bersenjata lengkap. Dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal yang berkepandaian tinggi! Mendengarkan ciri-ciri dari Pangeran dan jenderal itu, tahulah Sang Pangeran, siapa mereka. Pangeran yang memimpin itu adalah seorang keponakan ayahnya, seorang pangeran yang usianya sudah tiga puluh lima tahun dan terkenal memiliki ilmu silat cukup tinggi, bernama Pangeran Seng Goan Ong, sedangkan dua orang jenderal itu pun terkenal memiliki kepandaian yang hebat. Yang seorang adalah Jenderal Tang Sen Hoat, yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh tinggi besar. bertenaga gajah, sedangkan jenderal ke dua adalah Jenderal Boan Ciong, seorang jenderal berusia hampir lima puluh tahun yang selain ahli dalam ilmu siasat perang, juga memiliki ilmu silat tinggi pula.

Diam-diam Sang Pangeran merasa heran. Kalau menghadapi pemberontakan, kenapa yang dikirim hanya seribu orang pasukan, akan tetapi pemimpinnya sampai seorang pangeran dan dua orang jenderal? Dan dua orang jenderal itu pun bukan ahli-ahli perang, melainkan pelatih-pelatih. Jenderal Tang adalah seorang pelatih silat, sedangkan Jenderal Boan pelatih ilmu perang. Pangeran Seng Goan Ong juga terkenal sebagai seorang penasihat dalam hal latihan-latihan ketangkasan para pasukan pengawal istana.

Karena ingin sekali tahu, maka Pangeran Kian Liong mengajak Ci Sian untuk terus mengikuti barisan itu sehingga mereka membuat perjalanan menyimpang, bahkan kini makin meninggalkan kota raja. Akan tetapi Ci Sian juga merasa gembira saja karena Pangeran ini merupakan teman seperjalanan yang mengasyikkan, pandai bicara, dan sikapnya amat baik dan menyenangkan. Dia seolah-olah merasa telah mengenal Pangeran itu sejak lama dan mereka seperti dua orang sahabat baik, atau seperti saudara saja.

Hubungan antar manusia memang akan menjadi sesuatu yang amat indah dan akrab kalau yang berhubungan itu adalah dua orang manusianya tanpa mengikutsertakan segala macam embel-embelnya. Akan tetapi sungguh sayang sekali. Kita selalu melupakan segi kemanusiaannya pada seseorang dan kita lebih mementingkan embel-embelnya itu ialah kedudukannya, harta bendanya, kemampuannya, pendidikannya, agamanya, dan sebagainya. Kita selalu menilai manusia dari embel-embelnya itulah, maka tidaklah mengherankan apabila hubungan antara manusia merupakan hubungan yang palsu, hubungan antara dua orang munafik. Yang berhubungan hanyalah gambaran-gambaran yang kita bentuk berdasarkan embel-embel itu, bukan hubungan antara dua manusianya yang sesungguhnya. Hubungan antara dua gambaran manusia ini selalu mendatangkan konflik.

Kalau kita masing-masing menelanjangi diri daripada segala embel-embel itu, kalau kita memandang orang lain tanpa disertai gambaran embel-embel itu, maka yang tinggal hanyalah manusianya, tanpa perbedaan, dan dalam hubungan antara manusia seperti ini, tanpa embel-embel lagi, barulah tercipta sesuatu yang disinari cinta kasih, karena lenyapnya gambaran-gambaran itu melenyapkan pula pamrih yang bersembunyi di balik hubungan itu. Dan sekali timbul pamrih, apapun yang kita lakukan adalah palsu!

***

Biara Siauw-lim-si amat terkenal sejak dahulu. Dari biara inilah keluarnya bukan saja ajaran-ajaran Agama Buddha, akan tetapi juga di situ pula dicetak pendekar-pendekar silat kenamaan yang gagah perkasa. Partai persilatan Siauw-lim-pai merupakan sebuah di antara partai-partai yang besar, bahkan tidak dapat disangsikan lagi bahwa ilmu silat banyak bersumber pada Siauw-lim-pai.

Di jaman dahulu, yang diperbolehkan belajar ilmu silat Siauw-lim-pai hanyalah para hwesio dan orang yang ingin menipelajari ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah lebih dulu menjadi hwesio, mencukur gundul rambut kepalanya dan mengenakan jubah hwesio. Peraturan ini dahulunya dijaga keras, karena menurut pendapat para pimpinan Siauw-lim-pai sejak turun-temurun, hanya seorang hwesio sajalah yang patut mempelajari ilmu silat. Seorang hwesio adalah seorang pendeta, maka dianggap sebagai manusia yang sudah dapat mengendalikan hawa nafsunya dan sudah dapat menjadi seorang manusia baik-baik. Oleh karena itu, apabila ilmu silat dipelajari oleh seorang hwesio, maka ilmu itu tentu akan menjadi ilmu yang baik, tidak akan dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan jahat. Sebaliknya, kalau seorang manusia biasa mempelajarinya, maka manusia itu akan mudah melakukan kejahatan dengan mengandalkan ilmu silatnya. Para hwesio Siauw-lim-pai maklum bahwa manusia amatlah lemah terhadap kekuasaan. Sekali mempunyai kekuasaan, seorang manusia mudah menjadi mabok dan mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Dan ilmu silat dapat merupakan semacam kekuasaan pula.

Memang ada beberapa kali terjadi kekecualian dan Ketua Siauw-lim-pai kadang-kadang menerima murid bukan pendeta. Akan tetapi tentu saja pilihan para pimpinan Siauw-lim-pai itu dilakukan dengan amat teliti, terhadap seorang bukan hwesio yang benar-benar memiliki bakat baik dan juga watak yang bersih.

Akan tetapi, sejak Siauw-lim-pai dimusuhi oleh Kaisar, sejak sebuah cabang Siauw-lim-pai dibasmi oleh Kaisar Yung Ceng, berobahlah peraturan di biara Siauw-lim-pai sebagai pusat Siauw-lim-pai. Melihat bayangan mengancam dirinya, Siauw-lim-pai merasa perlu untuk memperkuat diri, yaitu tentu saja dengan jalan memperbanyak murid-muridnya. Pula, sikap bermusuh yang diambil oleh Kaisar itu mendorong Siauw-lim-pai untuk berpihak kepada patriot.

Ketika mendengar bahwa biara Siauw-lim-si membuka pintunya untuk menerima orang-orang luar, bukan hwesio, menjadi muridnya, berbondong-bondong datanglah pemuda-pemuda dari berbagai kota dan dusun membanjiri kuil atau biara itu. Akan tetapi, ternyata pintu biara yang tebal itu tertutup. Kiranya, biarpun telah merubah peraturannya, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak mau menerima sembarangan orang saja sebagai murid-murid Siauw-lim. Dan juga tidak mau menerima terlalu banyak. Oleh karena itu, mereka lalu mengadakan penyaringan, dan cara pertama adalah membiarkan mereka itu di luar pintu gerbang yang tertutup. ini merupakan ujian pertama untuk melihat ketekunan, ketekadan dan daya tahan mereka. Puluhan orang muda yang berlutut di depan pintu gerbang itu mereka diamkan saja, tidak diterima masuk dan setelah lewat sehari semalam, banyak sudah di antara mereka yang pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kesal. Masih ada sisanya yang tetap berlutut di situ.

Para pimpinan Siauw-lim-pai juga diam-diam mengadakan ujian dengan cara mengeluarkan dan menyediakan makanan dan minuman di depan pintu gerbang. Para muda yang memang sudah kelaparan dan kehausan, setelah berlutut di luar pintu gerbang selama dua hari dua malam, banyak yang tidak tahan melihat adanya makanan dan minuman itu. Mereka menyerbu, makan minum dan muncullah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang menyatakan bahwa mereka yang makan atau minum itu dianggap tidak lulus dan dipersilakan pulang saja. Banyaklah yang gugur dalam ujian pertama ini. Kalau tadinya yang ada seratus orang lebih, setelah lewat empat hari empat malam, hanya tinggal tujuh orang saja yang tinggal di depan pintu gerbang. Mereka itu kepanasan dan kehujanan, kelaparan dan kehausan dan akhirnya, setelah mereka hampir roboh pingsan, barulah seorang hwesio pimpinan keluar dari pintu gerbang dan menyuruh anak murid Siauw-lim-pai untuk menggotong mereka ke dalam biara.

Jangan dikira bahwa ujian itu saja yang dialami oleh para calon murid Siauw-lim-pai ini. Mereka masih diuji lagi, yaitu bakat mereka, ketangkasan mereka, dan juga ketekunan atau kesabaran mereka. Setelah diuji untuk dilihat bakat masing-masing, mereka bukan secara langsung diberi pelajaran ilmu silat. Ada yang disuruh bekerja di dapur di mana setiap hari dilakukan pekerjaan memasak bubur dan sayur banyak sekali untuk makanan para anggauta Siauw-lim-pai yang hampir dua ratus orang banyaknya. Ada yang diberi pekerjaan memikul air, memikul kayu bakar, membelah kayu, membersihkan kuil dan sebagainya.

Bagi yang tidak sabar, tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu menyiksa rasanya. Mereka memasuki Siauw-lim-pai dengan keinginan diajar ilmu silat, akan tetapi setelah diterima, mereka itu hanya disuruh bekerja seperti budak-belian! Mereka itu pada mulanya tidak tahu bahwa pekerjaan sehari-hari itu merupakan pelajaran pokok atau dasar bagi mereka! Para hwesio yang mengepalai bagian masing-masing itu membuat ketentuan dan mengharuskan mereka melakukan pekerjaan dengan cara-cara tertentu pula. Misalnya yang bekerja memikul air harus menggunakan pikulan dari batang-batang penjalin yang diikat menjadi satu dan setelah pemikulnya mulai dapat memikul sambil berlari dan tidak merasa berat lagi, maka batang penjalin itu dikurangi satu. Pengurangan itu terus dilakukan sampai tinggal beberapa batang saja sebagai pikulan itu. Dengan demikian, tanpa disadari, tanpa dirasakan oleh si murid, dia telah mulai berlatih sin-kang dan tahu-tahu dia akan memperoleh tenaga sin-kang yang amat kuat.

Ada yang pula memanggul-manggul kayu bakar. Setiap kali, panggulannya itu ditambah sebatang kayu. Penambahan ia terus dilakukan, sebatang demi sebatang tanpa ia rasakan sampai tahu-tahu dia dapat memanggul sejumlah kayu bakar yang hanya akan dapat dipanggul oleh empat lima orang. Dengan demikian dia telah menghimpun tenaga gwa-kang yang hebat.

Yang pekerjaannya membelah kayu juga diberi golok tajam, akan tetapi dia tidak boleh mengasah goloknya yang makin lama menjadi semakin tumpul dan lambat-laun dia telah memupuk tenaga yang demikian kuat sehingga dengan tangan telanjang saja dia akan mampu membelah kayu.

Yang bekerja memasak bubur harus mengaduk bubur beberapa buah kuali besar. Kalau terlambat mengaduk, buburnya akan gosong. Untuk pekerjaan ini, dia mempergunakan adukan yang bentuknya seperti toya, dan setiap hari mengaduk di tempat panas itu, tanpa disadarainya dia telah memperoleh dasar-dasar gerakan bermain toya, kedua tangan dan lengannya telah memperoleh kekuatan dasar yang luar biasa besarnya. Demikian pula yang bekerja menyapu pekarangan, dia diharuskan menyapu dengan gerakan tertentu, sampai akhirnya dia memperoleh kecakapan untuk menggerakkan daun-daun itu tanpa menyentuhnya, hanya dengan sambaran angin dari sapunya saja. Dan mereka yang diberi pekerjaan menyirami bunga dan sayur-sayuran di kebun belakang, karena sepanjang kebun itu diberi patok-patok, dia harus menyiram sambil berjalan di atas patok-patok itu dan kebiasaan ini ternyata telah memberinya dasar-dasar ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang luar biasa.

Bermacam-macam cara latihan yang diberikan oleh para pimpinan hwesio di Siauw-lim-si. Latihan-latihan itu selain melatih jasmani, juga melatih batin para murid agar tahan uji, kuat daya tahannya, tekun, dan latihan seperti itu disebut “mengasah pedang bermata dua” karena hasilnya ada dua macam. Pertama si murid tanpa disadarinya telah memperoleh kemajuan hebat dan menguasai dasar ilmu yang tinggi. Ke dua, tenaga mereka itu dikerahkan bukan sia-sia karena telah menghasilkan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka semua di dalam biara.

Dengan saringan-saringan yang ketat itu, yang berhasil diterima sebagai murid di pusat biara Siauw-lim-si hanya kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka ini, setelah melewati saringan, tentu saja merupakan pemuda-pemuda gemblengan yang berbakat, berminat dan memiliki batin yang kuat.

Setelah mereka menguasai tenaga-tenaga dasar, barulah para pimpinan Siauw-lim-pai melatih ilmu silat dasar kepada mereka. Pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja memakan waktu lama sekali. Sehari penuh disuruh memasang bhesi, selagi mengipasi api dapur, selagi melakukan pekerjaan apa saja, diharuskan dalam kedudukan memasang kuda-kuda sehingga untuk hari-hari pertama, kedua kaki mereka terasa kaku dan kejang sehingga untuk buang air saja mereka tidak mampu berjongkok dan terpaksa dilakukan sambil kedua kaki memasang kuda-kuda! Setelah mereka kokoh kuat benar dalam memasang kuda-kuda sehingga kalau ditendang atau didorong, kedua kaki tidak ada yang terangkat melainkan bergeser keduanya, seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan bumi, barulah mereka diajarkan ilmu pukulan dan ilmu langkah.

Bermacan ilmu silat yang diajarkan di Siauw-lim-pai itu. Dari ilmu silat yang paling kasar sampai yang paling halus. Ada Kauw-kun (Silat Monyet), Houw-kun (Silat Harimau), Coa-kun (Silat Ular), Ho-kun (Silat Bangau), Liong-kun (Silat Naga) dan masih banyak lagi ilmu silat yang didasarkan pada gerakan-gerakan binatang. Para cerdik pandai dari biara Siauw-lim-si selama ratusan tahun memperhatikan semua gerakan binatang buas dengan tekun sekali. Mereka melihat bahwa setiap binatang liar memiliki gerakan membela diri yang timbul secara naluri, akan tetapi justeru karena naluri membela diri ini, di dalamnya tersembunyi gerakan-gerakan yang amat hebat, yang sesuai dengan kekuasaan alam yang telah memberi kepada masing-masing itu kemampuan untuk membela diri. Hal ini amat menarik hati para cerdik pandai itu dan mereka pun mencatat, mempelajari dan meniru gerakan-gerakan itu, bukan hanya gerakannya, melainkan cara bernapas ketika bergerak, cara mengumpulkan tenaga ketika bergerak, maka terciptalah ilmu silat-ilmu silat yang berdasarkan gerakan-gerakan binatang liar itu. Dan karena para pendeta itu adalah orang-orang yang suka akan sastra dan seni, maka mereka pun tidak melupakan segi-segi keindahan dan kegagahan dari gerakan binatang-binatang itu, maka gerakan ilmu silat yang mencontoh gerakan binatang pada dasarnya itu memiliki sifat-sifat gagah yang indah sekali.

Demikianlah keadaan Siauw-lim-si pada waktu itu. Para pimpinan Siauw-lim-pai tidak tahu sama sekali bahwa di antara pemuda yang diterima sebagai murid, terdapat beberapa orang kaki tangan pemerintah Mancu yang sengaja menyusup dan menyelundup dan diterima menjadi murid pula! Mereka ini ditugaskan untuk memata-matai gerakan Siauw-lim-pai dan dengan masuk menjadi murid, tentu saja mereka dapat mengetahui semua rahasia perkumpulan ini.

Pada suatu hari, ketika dua orang mata-mata ini, yang sebelum masuk menjadi murid Siauw-lim-pai tentu saja sudah memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, sedang memasuki gudang perpustakaan untuk melihat-lihat kitab-kitab Siauw-lim-pai, mereka kepergok oleh Hui San Hwesio, seorang di antara para pimpinan Siauw-lim-pai di waktu itu. Hui Sian Hwesio adalah seorang hwesio yang usianya empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar bersikap angker dan galak.

“Apa yang kalian lakukan di sini!” bentak hwesio tinggi besar itu. Dua orang pemuda itu terkejut sekali dan seorang di antara mereka cepat menyembunyikan sebuah kitab kecil yang sedang dipegang dan diperiksanya. Akan tetapi, Hui Sian Hwesio dapat melihat itu dan cepat dia menghampiri, tangannya menyambar untuk merampas kitab.

“Dukk!” Murid itu menangkis dan ketika kedua tangan itu bertemu, Hui Sian Hwesio terkejut bukan main. Lengan murid itu memiliki tenaga Iwee-kang yang amat kuat! Dia menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menyambar, sekali ini untuk menotok pundak sedangkan tangan kanannya kembali menyambar ke arah kitab yang dipegang oleh murid itu.

“Dukk.... plakk!” Kembali murid itu menangkis dan sekali ini Hui Sian Hwesio yang tadi mengerahkan tenaga sepenuhnya maklum bahwa kekuatan murid ini tidak kalah olehnya! Dia terheran-heran dan memandang dengan alis berkerut, lalu membentak marah,

“Siapa kalian sebenarnya? Hpa yang kalian lakukan di sini!”

Dua orang muda itu saling pandang dan saling memberi isyarat. Kemudian seorang di antara mereka, yang tidak membawa kitab, mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu adalah sebuah tanda bahwa dia, atau mereka berdua, adalah seorang yang memegang kekuasaan sebagai utusan Kaisar! Hui Sian Hwesio mengenal tanda ini dan dia terkejut bukan main.

“Kalian pengkhianat....!” bentaknya dan dengan kuat sekali dia menyerang. Akan tetapi, orang yang memegang tanda kekuasaan itu menangkis dan dengan lihai sekali dua orang pemuda itu telah mengepungnya dari depan belakang, dengan gaya silat dari utara.

“Hui Sian Hwesio!” kata pemegang tanda kekuasaan itu, suaranya mengejek, “Mungkin engkau mati di tangan kami, atau kami berdua mati di sini, akan tetapi ingat, kami adalah utusan Kaisar dan gerak-gerik kami diikuti dari atas. Kalau kami tidak keluar lagi dari sini, kalau kami mati di sini, bagi kami adalah mati dalam melaksanakan tugas. Akan tetapi biara ini akan dibasmi oleh bala tentara Kaisar, dan kalian semua termasuk engkau, akan mati konyol!”

“Hui Sian Hwesio, kami tahu mengapa engkau menjadi hwesio,” sambung orang ke dua yang memeriksa kitab tadi. “Engkau masuk di sini karena patah hati. Engkau masih muda dan kami kira tidak sebodoh tua bangka-tua bangka yang keras hati itu, hendak melawan pemerintah. Kalau engkau suka membantu, Sri Baginda tentu akan suka mengangkatmu menjadi perwira tinggi.”

“Mungkin juga menjadi jenderal, mengingat akan kemampuanmu.”Hui Sian Hwesio berdiri bengong. Memang tidak keliru, dia masuk menjadi hwesio karena wanita, karena patah hati. Kekasihnya menikah dengan orang lain dan karena duka, dia masuk menjadi hwesio Siauw-lim-si. Akan tetapi, ternyata kedudukan itu hanya berumur pendek saja dan sudah lama sekali dia menyesali dirinya mengapa dia masuk menjadi hwesio dan menyia-nyiakan diri sendiri. Kini, terbuka kesempatan baginya! Dan memang dia pun tahu bahwa melawan pemerintah sama dengan membunuh diri. Dia sudah tidak setuju dan sering menentang keputusan suhunya, Ketua Siauw-lim-pai yang menerima murid-murid luar dan yang bergabung dengan kaum patriot penentang Kaisar itu. Kini, kesempatan baik terbuka. Mereka lalu berbisik-bisik dan mulai saat itulah Hui Sian Hwesio, seorang di antara kepercayaan-kepercayaan dan murid-murid terlihai dari Ketua Siauw-lim-pai, diam-diam menjadi pengkhianat dan menjadi kaki tangan Kaisar!

Hui Sian Hwesio mulai dengan usahanya membujuk murid-murid Siauw-lim-si untuk mengikuti jejaknya dan memang dia berhasil membujuk beberapa orang yang siap membantunya dan membantu pasukan pemerintah kalau saatnya tiba, yaitu membantu pasukan untuk membasmi Siauw-lim-si!

Sayang sekali bahwa kebanyakan para pendeta Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, yaitu Sang Ketua dan tokoh-tokoh lain di bawahnya, selain memiliki kepandaian silat tinggi, juga merupakan orang-orang yang terlalu sabar, dan mengalah. Ada beberapa orang di antara mereka yang menaruh curiga terhadap Hui Sian Hwesio, namun mereka ini tidak mau bertindak lebih jauh, lagi. Mereka hanya diam-diam menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada beberapa orang murid Siauw-lim-pai yang mereka pilih dan sukai, menurunkannya secara diam-diam untuk dapat melawan orang-orang seperti Hui Sian Hwesio kelak, dan untuk dipakai membela Siauw-lim-pai. Adapun mereka sendiri, mereka adalah orang-orang yang telah bersumpah untuk selamanya tidak akan mempergunakan kekerasan. Yang bersumpah seperti ini adalah sebagian besar, hampir semua tokoh-tokoh tingkat atas Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya sendiri.

Demikianlah keadaan di Siauw-lim-si yang di sebelah dalamnya telah dihuni musuh-musuh dalam selimut. Dan dalam keadaan seperti itulah, pada suatu hari, seperti yang telah direncanakan oleh Hui Sian Hwesio dan kawan-kawannya, setelah pendeta ini keluar dari kuil pada suatu malam untuk mengadakan pertemuaan rahasia dengan para pimpinan pemerintah, pasukan pemerintah yang terdiri dari seribu orang itu datang untuk menyerbu Siauw-lim-pai! Dan pasukan inilah yang dilihat dan diam-diam diikuti oleh Pangeran Kian Liong dan Ci Sian.

Sekali ini, pasukan Kerajaan Mancu itu datang menyerbu dengan alasan bahwa pendeta Siauw-lim-pai telah menculik Pangeran Mahkota! Hal ini tentu saja merupakan fitnah, akan tetapi bukan fitnah yang berdasar. Bukankah lenyapnya Pangeran Mahkota terjadi ketika beliau menjadi tamu kuil Hok-te-kong di Pao-ci? Dan bukankah kuil itu dipimpin oleh seorang hwesio murid Siauw-lim-pai? Tentu saja, kuil itu sendiri telah dibasmi, para hwesionya ditangkap dan dihukum mati sebagai pemberontak sebelum pasukan besar itu berangkat menyerbu Siauw-lim-pai pusat, dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal.

Ketika pasukan menyerbu, Hui Sian Hwesio sendiri yang membuka-bukakan pintu-pintu berlapis itu. Beberapa orang hwesio murid Siauw-lim-pai yang melihat ini, terkejut dan tentu saja hendak menghalangi, akan tetepi dengan senjata tombak kapaknya, Hui Sian Hwesio membunuh empat orang murid itu! Mulailah Hui Sian Hwesio memperlihatkan mukanya yang sesungguhnya!

Seorang pendekar, yaitu murid Siauw-lim-pai bukan hwesio yang telah menerima latihan-latihan ilmu dari para pimpinan yang telah mempersiapkan mereka untuk membela Siauw-lim-pai, melihat ini mereka cepat mengejar dan menyerang Hui Sian Hwesio, namun terlambat sudah. Pintu gerbang telah terbuka dan pasukan pemerintah, dikepalai Pangeran dan dua orang jenderal yang perkasa, telah menyerbu bagaikan gelombang samudera. Terjadilah pertempuran yang amat hebat! Kurang lebih lima puluh orang murid Siauw-lim-pai yang baru, terdiri dari pemuda-pemuda penuh semangat dan bagaikan harimau-harimau muda, ditambah lagi kurang lebih seratus orang murid Siauw-lim-pai yang menjadi hwesio, melakukan perlawanan mati-matian. Terjadilah pertempuran di semua bagian biara yang besar itu. Di depan, di ruangan tengah, di pekarang, di taman bunga, di ruangan dalam dan belakang. Banjir darah di biara yang biasanya hanya menjadi tempat pemulaan bagi para biarawan itu. Darah para pendekar Siauw-lim-pai, para hwesio Siauw-lim-pai, dan juga sebagian besar darah pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai itu sungguh hebat. Biarpun jumlah mereka hanya kurang lebih seratus lima puluh orang yang menghadapi penyerbuan seribu orang tentara, namun mereka melakukan perlawanan gigih dan setiap murid Siauw-lim-pai baru roboh setelah menjatuhkan sedikitnya dua orang lawan! Hui Sian Hwesio sendiri juga mengamuk, dikeroyok oleh tiga orang murid baru dari Siauw-lim-pai. Juga Sang Pangeran yang memimpin penyerbuan, bersama dua orang jenderal, mengamuk bagaikan binatang-binatang buas.

Para murid Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan dengan cara berlari ke sana-sini, saling bantu dan main kucing-kucingan. Akan tetapi mereka merasa menyesal sekali dan gelisah melihat betapa Ketua Siauw-lim-pai bersama para pucuk pimpinan, sama sekali tidak mau ikut bertempur membela Siauw-lim-pai, melainkan berkumpul di ruang sembahyang, duduk bersila dan bersamadhi, menerima kematian dengan sikap tenang penuh damai! Kalau saja belasan orang pucuk pimpinan itu mau turun tangan, biarpun akhirnya kalah juga karena kalah jumlah, kiranya akan lebih banyak musuh dapat dihancurkan dan ditewaskan.

Pertempuran hebat itu terjadi dengan serunya, dan makan waktu hampir setengah hari. Melihat betapa murid-murid Siauw-lim-pai lebih banyak merobohkan anggauta pasukan dengan cara kucing-kucingan di tempat yang tentu saja lebih mereka kenal itu, Sang Pangeran lalu memerintahkan pasukan panah untuk menghujankan panah api ke biara! Biara mulai terbakar! Karena setiap murid Siauw-lim-pai terlibat dalam perkelahian mati-matian, dan tidak ada seorang pun yang dapat melawan api, maka sebentar saja biara itu menjadi lautan api!

Melihat ini, para pendekar Siauw-lim-pai mengamuk nekad. Mereka itu memang hebat bukan main, merupakan pemuda-pemuda yang sudah berubah seperti menjadi naga-naga muda yang tidak takut mati dan pantang mundur. Akan tetapi, api yang membakar biara itu membuat mereka tidak dapat main kucing-kucingan lagi dan terpaksa mereka itu memusatkan tenaga di pekarangan depan di mana terjadi pertempuran terakhir yang amat dahsyat. Sang Pangeran dan dua orang jenderal yang memimpin pasukan, tewas pula di tangan para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa. Bahkan Hui Sian Hwesio sendiri akhirnya tewas setelah hwesio ini merobohkan sedikitnya lima orang murid gemblengan dari Siauw-lim-pai.

Akhirnya, melalui pertempuran yang merupakan pembantaian terhadap murid-murid Siauw-lim-pai, semua murid Siauw-lim-pai, kecuali delapan orang murid baru, telah tewas. Darah membanjir di mana-mana dan mungkin hanya api itu saja yang akan dapat mencuci bersih noda-noda darah sampai tak berbekas lagi. Andaikata tidak terjadi pembasmian dan kebakaran, tentu tempat itu tidak mungkin lagi dijadikan biara, setelah darah ratusan orang membanjiri tempat itu, setelah ratusan tubuh kehilangan nyawa di tempat itu. Sungguh mengerikan sekali dan juga menyedihkan betapa sebuah biara kini berubah menjadi seperti gambaran neraka!

Melihat penyerbuan itu, Pangeran Kian Liong yang herada di belakang pasukan, beberapa kali berusaha mencegahnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena para pimpinan pasukan telah menyerbu ke dalam. Para pasukan mana mungkin berhenti bergerak tanpa perintah dari atasan mereka. Dan Ci Sian memegangi lengan Pangeran itu dan mencegahnya untuk lari ke dalam karena hal itu tentu saja merupakan bahaya besar bagi keselamatan Sang Pangeran. Di dalam terjadi perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Untuk dia sendiri, tentu saja Ci Sian dapat melindungi dirinya dari senjata-senjata dan pukulan-pukulan yang menyasar, akan tetapi bagaimana Pangeran akan dapat menyelamatkan diri? Untuk melindungi Pangeran di antara pertempuran yang telah menjadi semacam peperangan kecil itu pun kiranya amat berbahaya dan sukar. Maka Ci Sian mencegah Sang Pangeran untuk lari masuk sehingga Pangeran itu hanya dapat menonton sambil membanting-bantingkan kaki dan beberapa titik air mata mengalir turun di atas sepasang pipinya yang pucat.Ci Sian sendiri merasa ngeri menyaksikan pembantaian itu. Makin terbuka matanya betapa buruk akibat daripada kekerasan, dari pihak mana pun datangnya. Dara ini pun memandang semua penderitaan itu dengan mata yang tidak berat sebelah. Ia melihat betapa tentara yang tewas secara menyedihkan itu pun adalah manusia-manusia biasa saja, dan sesungguhnya tiada bedanya antara mereka dan para pendekar Siauw-lim-pai. Manusianya sama, penderitaan mereka pun sama. Dan dasar yang mendorong mereka sampai berbunuh-bunuhan itu pun sama, walaupun namanya saja mungkin berbeda. Para tentara itu pun menganggap kematian mereka sebagai pengorbanan perjuangan, atau setidaknya mereka mengabdi kepada pemerintah dan mereka itu merasa bahwa kematian di pihak mereka adalah kematian gagah perkasa, kematian seorang pahlawan, seorang tentara yang jantan! Di lain pihak, para pendekar Siauw-lim pun memiliki dasar yang sama pula. Mereka itu menganggap diri mereka berkorban demi perjuangan, dan mereka mengabdi kepada suatu citacita, mengabdi kepada gambaran bahwa mereka berjuang untuk rakyat, untuk tanah air, menentang penjajah. Mereka menganggap bahwa pihak mereka mati sebagai pendekar-pendekar perkasa, seorang patriot sejati! Dan kedua pihak dengan dasar yang sama ini, sama-sama merasa benar, telah berbunuh-bunuhan dengan ganas dan garangnya! Betapa menyedihkan ini!

Dan yang lebih menyedihkan lagi, segerombolan manusia yang menjadi penggerak semua bunuh-membunuh ini, semua peperangan ini, mereka itu menggerakkan rakyat yang diperalat itu dari tempat yang paling aman, jauh di belakang sana. Baik gerombolan manusia yang menjadi penggerak pihak penjajah maupun yang dijajah, yang diserang maupun yang menyerang, pendeknya pihakpihak yang saling bermusuhan, mereka itu selalu mengatur pergerakan dari tempat aman. Dengan berbagai cara rakyat telah dapat ditariknya untuk menjadi perajurit, untuk menjadi pejuang, untuk menjadi patriot, untuk menjadi pahlawan dan banyak sebutan muluk lagi. Yang jelas, untuk menjadi alat atau senjata kelompok atau gerombolan itu. Dan kalau pergerakan itu menang, kelompok penggerak yang tadinya mengatur dari tempat aman dan jauh di belakang itu lalu muncul paling depan, dan menepuk dada dan mereka inilah yang akan menikmati buah dan hasil daripada kemenangan itu, lupa lagi kepada rakyat yang menjadi alat mereka, yang biarpun keluar sebagai pemenang namun tetap saja mengalami luka-luka. Rakyat ini lalu dilupakan, atau hanya diberi sekedar pujian-pujian kosong. Dan kalau kalah? Gerombolan pengatur dari belakang itu akan lari lebih dulu, menyelamatkan diri, membawa apa saja yang berharga untuk dibawa, meninggalkan rakyat yang mereka peralat itu menjadi sasaran pembantaian lawan! Hal ini terjadi sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, di bagian mana pun di dunia ini. Akan tetapi sungguh menyedihkan, sampai sekarang pun manusia masih belum mau membuka mata melihat kenyataan ini, karena mabok akan pujian, mabok akan kedudukan, mabok akan kekuasaan yang memang terdapat dalam semua itu. Apalagi selalu didengang-dengungkan sebutan-sebutan muluk dalam slogan-slogan kosong.

Tidak ada rakyat di dunia ini yang mau atau suka perang. Hanya orang gila dan tidak waras otaknya sajalah yang mau untuk perang. Tidak pernah ada rakyat yang menganjurkan perang. Rakyat di seluruh dunia ingin hidup tenteram dan penuh damai. Akan tetapi, ada saja kelompok manusia yang haus akan kekuasaan, menyalahgunakan kesetiaan rakyat, membakar-bakar hati mereka, untuk mencapai ambisi-ambisi pribadi dalam batin mereka yang menamakan dirinya pemimpin-pemimpin rakyat, di seluruh dunia ini. Kapankah rakyat di seluruh dunia ini tidak ada kecualinya, membuka mata dan melihat kenyataan ini, tidak mau lagi dibodohi dengan segala slogan kosong, menolak perang? Betapa kita rindu akan keadaan dunia seperti itu!

Ketika pertempuran sudah mendekati akhirnya, ketika delapan orang pendekar yang menjadi sisa dari kurang lebih seratus lima puluh orang murid Siauw-limpai yang melawan itu masih melawan, sedangkan para pendeta yang bersamadhi di dalam menjadi makanan api yang berkobar, barulah Ci Sian membiarkan Pangeran dengan pengawalannya menerobos masuk ke dalam pekarangan luar itu. Delapan orang pendekar itu telah terkurung rapat dan agaknya betapapun lihai mereka, namun mereka sudah amat lelah, dan tak lama lagi mereka ini pun tentu akan roboh mandi darah dan tewas.

“Berhenti! Hentikan pertempuran gila ini! Di sini Pangeran Mahkota Kian Liong yang bicara!” Pangeran itu berteriak sambil berdiri di tempat tinggi setelah dibawa oleh Ci Sian ke tempat itu.

Para perajurit dan perwira yang mengepung delapan orang pendekar itu berhenti menyerang dan melompat mundur, lalu menoleh. Mereka mengenal pemuda yang sederhana itu, lalu mereka memberi hormat. “Hidup Sang Pangeran!” mereka berseru.

Delapan orang pendekar itu pun berdiri memandang. Mereka semua tidak memakai baju, hanya bercelana panjang saja. Tubuh mereka berkilat oleh keringat dan darah, dan tubuh-tubuh itu membayangkan kekuatan luar biasa. Tubuh pemuda-pemuda yang tidak begitu besar, namun jelas membayangkan kekuatan yang membaja. Celana mereka pun penuh percikan darah dan lengan tangan dan senjata mereka berlepotan darah pula.

Sejenak Sang Pangeran memejamkan kedua matanya, penuh kengerian. Bahkan Ci Sian sendiri, seorang pendekar yang memiliki kesaktian, merasa ngeri. Belum pernah selamanya dia melihat pemandangan seperti ini, walaupun ia pernah menyaksikan peperangan di lereng Himalaya dahulu. Yang mendatangkan kengerian adalah melihat mayat para pendekar yang tewas dalam pengeroyokan yang berat sebelah ini. Dan suasana di situ panas sekali, panas oleh keadaan perkelahian dan panas oleh api yang bernyala-nyala membakar biara. Panas luar dalam.

“Aku, Pangeran Mahkota Kian Liong, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul dan mengundurkan diri dari kuil ini, dan membiarkan sisa orang Siauw-lim-pai untuk pergi dari sini tanpa diganggu!”

Mendengar perintah ini, para sisa pasukan itu tidak ada yang berani membantah. Apalagi mereka sendiri pun sudah merasa lelah, dan gentar melihat banyaknya teman mereka yang tewas, gentar menghadapi delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang amat tangguh itu, turun semangat mereka melihat betapa dua orang jenderal dan pangeran yang memimpin pasukan telah roboh dan tewas pula. Maka, mendengar perintah ini, mereka lalu mundur dan para perwira lalu mulai meneriakkan perintah-perintah, ada yang menolong teman yang terluka, ada yang merawat luka masing-masing. Delapan oang pendekar Siauw-lim-pai itu sejenak memandang kepada Sang Pangeran dan dara yang mengawaninya itu, pandang mata tajam penuh kebencian, penuh permusuhan, penuh dendam, akan tetapi juga penuh pengertian bahwa Pangeran ini lain daripada yang lain, dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah gagah, sedikit pun tidak menengok lagi kepada Sang Pangeran, apa pula menghaturkan terima kasih, walaupun mereka tahu benar bahwa Sang Pangeran baru saja menyelamatkan nyawa mereka.

“Uh, manusia tak tahu diri! Tidak mengenal budi!” Ci Sian marah-marah, mengepal tinju memandang kepada delapan orang pemuda gagah perkasa yang pergi itu.

Bersambung ke buku 15