Kisah Si Bangau Merah -9 | Kho Ping Hoo



Kisah Si Bangau Merah Buku 9 | Kho Ping Hoo
"Bibi dan Saudara Gak Ciang Hun, sesungguhnya saya tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan keluarga Pulau Es yang terhormat dan yang berilmu tinggi. Akan tetapi di waktu saya kecil, saya pernah menerima pertolongan orang tua Adik Tan Sian Li, bahkan saya yang sudah yatim piatu ditampung oleh mereka. Saya diaku sebagai murid, maka hubungan saya dengan Adik Sian Li seperti saudara saja." Dia berhenti, tidak tahu harus menceritakan apalagi. Melihat ini, Sian Li membantunya.

"Kakak Yo Han ini tiga belas tahun yang lalu berpisah dariku, Bibi. Dia mengorbankan diri, menggantikan aku menjadi tawanan seorang iblis betina, dan sejak itu kami saling berpisah. Ketika itu usiaku baru empat tahun. Sekarang, tiga belas tahun kemudian, kita saling bertemu di tempat ini! Bukankah hal itu amat mengherankan dan membahagiakan?

Souw Hui Lian mengangguk-angguk. "Sungguh mengherankan sekali. Kalian yang keduanya datang dari timur, bagaimana dapat secara aneh saling jumpa di sini? Tentu menarik sekali ceritanya!"

"Nanti dulu, Ibu. Sebaiknya SaudaraYo Han menceritakan dulu siapa gurunya kalau bukan keluarga Pulau Es," kataCiang Hun.

"Ah, guru saya seorang yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri, dan saya tidak dapat dibandingkan dengan para murid Pulau Es...." kata Yo Han merendah.

Sikap ini membuat Sian Li mengerutkan alisnya. "Bibi, Gak-toako (Kakak Gak) belum lama tinggal di sini, akan tetapi dalam perjalanan ke barat, kurasa pernah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap, bukan? Ataukah belum pernah?"

"Pendekar yang penuh rahasia itu, yang bersikap lembut terhadap para penjahat, yang menundukkan banyak tokoh dan datuk jahat itu? Kami pernah mendengarnya, dan tak mengetahui siapa sebetulnya pendekar itu karena selalu menyembunyikan mukanya dibalik tirai caping lebarnya," kata Ciang Hun.

"Nah, inilah orangnya!" kata Sian Li dengan bangga sambil menunjuk kepada Yo Han. Pemuda ini mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan.

"Saya tidak sengaja menggunakan nama julukan seperti itu...."katanya. Dan saya mohon Jiwi setelah mendengar pembukaan rahasia dari Adik Sian Li, akan menyimpannya sebagai rahasia. Saya tidak ingin dikenal sebagai Sin-ciangTai-hiap."

Ibu dan anak itu tercengang. Mereka sudah mendengar bahwa pendekar yang penuh rahasia itu memiliki kesaktian yang luar biasa, dan kini orangnya berada di depan mereka, seorang pemuda yang sederhana, ramah bahkan pemalu! Kalau bukan Sian Li yang memberitahu, tentu mereka tidak akan percaya.

Ciang Hun cepat bangkit dan memberi hormat kepada Yo Han. "Ah, kiranya kami berhadapan dengan seorang pendekar besar, maafkan kami dan terimalah hormatku, Taihiap!"

Yo Han cepat membalas. "Gak-toako, harap jangan bersikap seperti itu kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) menghen daki bersahabat dengan saya."

"Gak-toako, bersikaplah biasa saja. Biarpun Han-ko ini memiliki ilmu silat yang tinggi, namun dia tidak suka ditonjolkan. Itulah sebabnya dia menyembunyikan keadaan dirinya dan selalu menutupi muka dengan tirai caping dan rambut. Dan biarpun dia penentang kejahatan yang gigih, namun dia tidak suka akan kekerasan. Apalagi membunuh manusia, membunuh seekor ayam pun dia tidak tega!"

"Ih, Li-moi, jangan goda aku," kata Yo Han. Ibu dan anak itu memandang penuh kagum.

"Sekarang, ceritakan apa yang membawa kalian ke bukit ini, dan bagaimana kalian dapat saling jumpa di tempat terasing ini," kata Nyonya Gak.

"Bibi, aku bersama seorang Suhengku,murid Paman Kakek Suma Ceng Liong bernama Sian Lun...."

"Ah, kakakmu?" tanya Ciang Hun.

"Bukan, Toako, biarpun namanya mirip. Dia bernama Liem Sian Lun dan menjadi suhengku. Kami berdua ikut Paman Kakek Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi pergi ke Bhutan."

"Aku tahu Suma Ciang Bun, akan tetapi siapa Gangga Dewi?" tanya Nyo nya Gak.

"Nenek Gangga Dewi adalah puteri mendiang Kakek Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi." Sian Li menjelaskan.

"Aihhh...! Kiranya begitu? Menarik sekali. Lalu, di mana sekarang suheng mu itu?"

"Inilah persoalan yang kami hadapi, Bibi Gak. Aku dan Suheng, dalam perjalanan dari Bhutan hendak kembali ke timur, bertemu dengan gerombolan persekutuan orang Nepal, orang-orang Hek I Lama dan para anggauta pengemis tongkat hitam. Kami bentrok dengan mereka, dan Suheng tertawan. Kalau tidak muncul Sin-ciangTai-hiap yang kemudian kukenal sebagai Han-ko ini, tentu aku pun telah mereka tawan."

"Wah, kalau begitu kita harus cepat menolong suhengmu itu! Kita harus membebaskannya dari tangan mereka!" seru Ciang Hun dan mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa girang dan kagum. Gak Ciang Hun ini seorang pemuda yang gagah berani.

"Benar, kita harus cepat membebaskan suhengmu, Sian Li!" kata pula Nyonya Gak.

"Itulah persoalannya, Bibi,"kata Sian Li sambil menghela napas. "Jumlah mereka banyak sekali, merupakan persekutuan, dan diantara para pimpinan Hek I Lama terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi."

Mendengar suara gadis itu penuh kegelisahan, Yo Han merasa iba dan dia semakin yakin bahwa gadis yang ketika kecil diasuhnya dan digendongnya ini agaknya memang jatuh cinta kepada suhengnya sendiri. "Li-moi, jangan khawatir. Aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan suhengmu," katanya dengan nada suara penuh keyakinan.

"Kebetulan kita dapat saling jumpa di sini," kata pula Nyonya Gak. "Mari kita serbu sarang mereka. Dengan tenaga kita berempat, kita paksa mereka membebaskan suhengmu itu, Sian Li."

"Terima kasih atas uluran tangan Bibi dan Gak-toako. Akan tetapi, Ketua Hek I Lama telah menantang Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadu ilmu di puncak bukit ini, dengan taruhan bahwa kalau dia ka lah, dia akan membebaskan Suheng dan menyerahkan mutiara hitam milik guru Han-ko. Sebaliknya kalau Sln-ciang Tai-hiap kalah, dia harus membantu perjuangan gerombolan itu menentang penjajah Mancu."

"Ah, jadi mereka akan datang ke puncak ini?" tanya Ciang Hun.

"Benar,Toako. Han-koko memilih puncak ini untuk tempat mengadu kepandaian, tentu saja kami tidak tahu bahwa Bibi dan Toako berada di sini. Dan untuk menghadapi Ketua Hek I Lama, Han-koko akan menyamar sebagai Sin-ciang Tai-hiap."

"Kapan pertandingan itu diadakan?" tanya Nonya Gak.

"Hari ini juga. Kami sengaja mendahului mereka untuk melihat keadaan disini, jangan sampai kami terjebak dan terkepung."

Nyonya Gak bangkit dari bangkunya dan ia nampak penuh gairah dan semangat, seolah lenyap semua bayangan duka dan kemuraman dari wajahnya, bagaikan seorang pemimpin mengatur siasat, ia berkata kepada puteranya yang juga sudah bangkit berdiri dan siap siaga. "Ciang Hun, cepat kau periksa keadaan sekeliling puncak dan persiapkan tangga tali yang kita buat itu di tepi jurang! Kau tahu apa yang harus kaulakukan!"

"Baik, Ibu!"kata Ciang Hun dan pemuda tinggi besar itu sekali melompat sudah keluar dari dalam pondok untuk melaksanakan perintah ibunya.

"Kita harus siap siaga, bukan hanya bagaimana harus melawan mereka, akan tetapi juga mempersiapkan diri agar dapat terhindar dari bahaya. Ciang Hun sudah membuat persiapan sehingga sewaktu-waktu kita dapat meloloskan diri dari bahaya," wanita gagah itu menerangkan.

"Aih, Bibi Gak, kenapa begitu? Han-ko dan aku tidak akan melarikan diri! Memalukan sekali kalau harus melarikan diri, apalagi kita sudah berjanji bahwa ini sebuah pertandingan dengan taruhan. Yang ada bagi kami hanyalah kalah atau menang. Kalau menang, suheng akan di bebaskan dan mutiara hitam diberikan kepada Han-ko, kalau kalah, terpaksa kami harus memenuhi atau membayar kekalahan kita dengan menepati janji untuk membantu perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu."

Wanita itu terbelalak. "Akan tetapi mana mungkin itu? Kalian adalah keturunan atau murid-murid pendekar sakti, kalian adalah pendekar yang harus menentang kejahatan. Bagaimana mungkin kalian akan bekerja sama dengan orang-orang jahat dan sesat itu? Bukankah hal itu berarti kalian akan mencemarkan nama baik leluhur dan guru-guru kalian?"

Sian Li menoleh kepada Yo Han. "Bibi Kakak Yo Han yang sudah menentukan syarat atau taruhan itu."

"Memang benar, Bibi yang baik. Akan tetapi taruhan saya adalah kalau saya kalah, saya akan membantu perjuangan melawan atau menentang penjajah Mancu bukan bekerja sama dalam hal melakukan kejahatan! Kalau mereka melakukan kejahatan dan saya mengetahuinya, tentu akan saya tentang kejahatan merekaitu! Dan saya kira, berjuang melawan penjajah Mancu bukanlah perbuatan jahat. Karena itulah saya menerima taruhan itu. Mereka hanya mengatakan membantu perjuangan menentang penjajah, bukan bekerja sama melakukan kejahatan."

Sian Li tersenyum. "Bagus! Akupun memang berpendapat demikian, maka aku menyetujui taruhan itu. Nah, Bibi Gak, tidak ada permasalahan lagi dan tidak perlu lagi kita mempersiapkan diri untuk lari, bukan?"

"Hemm, kalian memang cerdik, akan tetapi kalian masih kurang pengalaman dan tidak cukup berhati-hati maka suhengmu sampai dapat tertawan. Di dalam dunia kang-ouw, kalian akan bertemu dengan orang-orang yang bukan saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licik bukan main, penuh tipu muslihat dan kecurangan. Menghadapi orang-orang macam ini, tidak dapat kalian hadapi hanya dengan mengandalkan ilmu silat saja. Harus kita hadapi dengan siasat pula."

"Akan tetapi, Bibi, bukankah pendapat itu bertentangan dengan kehormatan seorang pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan? Seorang pendekar lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang melawan dengan gagah berani dari pada hidup sebagai se ekor babi yang menguik-nguik melarikan diri dengan pengecut! Kami akan menghadapi lawan sampai kalah atau mati, tidak akan melarikan diri. Bukankah begitu, Han-ko?"

"Memang benar begitu, Li-moi, akan tetapi sebaiknya dengarkan pendapat Bibi Gak yang terhormat ini," kata Yo Han yang melihat betapa nyonya setengah tua itu memandang dengan sinar mata berkilat.

"Pendapatmu itu memang benar. Apa kau kira aku tidak memiliki kegagahan dan sudi melarikan diri seperti seekor anjing digebuk atau, seekor babi yang hendak disembelih? Engkau salah sangka, Sian Li. Kalau bertanding secara jantan dan gagah, memang seorang pendekar pantang melarikan diri dan akan melawan sampai kalah atau tewas. Akan tetapi, kalau pihak lawan menggunakan kecurangan, misalnya menjebakmu atau mengeroyokmu dengan jumlah yang besar dan tak mungkin kautandingi, maka berlaku nekat melawan sampai mati hanya merupakan perbuatan tolol, akan mati konyol dan sama sekali bukan perbuatan gagah! Menyelamatkan diri dari ancaman lawan yang menggunakan kecurangan, bukan pertandingan jantan, menandakan kecerdikan, bukan ketakutan atau sikap pengecut. Engkau harus dapat membedakan kedua hal itu!"

Sian Li mengerutkan alisnya. Ia seorang gadis yang cerdik, maka tentu saja ia dapat mengerti, dan ia pun mengangguk-angguk. "Ah, benar sekali pendapat Bibi itu. Menghadapi kecurangan musuh dengan nekat sampai mati, hanya menunjukkan ketololan dan juga kesombongan yang sia-sia belaka. Baiklah Bibi, terima kasih atas persiapan itu. Mudah-mudahan saja Ketua Hek I Lama tidak menggunakan kecurangan agar kita tidak perlu melarikan diri."

Sian Li teringat bahwa Yo Han juga mengajaknya melarikan diri ketika dike royok oleh gerombolan itu dan Yo Han terluka. Andaikata mereka gagah-gagahan dan nekat melawan terus sampai mati, maka akan sia-sialah kegagahan mereka itu, mereka akan mati konyol dan suhengnya tentu tidak ada yang akan menolongnya lagi.

Tiba-tiba Ciang Hun masuk ke pondok dan wajahnya nampak tegang. "Ibu, mereka sudah naik ke puncak!"

"Apa yang kaulihat?" tanya nyonya itu.

"Ada dua orang pendeta jubah hitam bersama seorang pemuda naik ke sini melalui jalan depan."

"Hanya itu? Kau tidak menyelidiki kemungkinan lain?"

"Dari jalan kiri dan jalan kanan nampak puluhan orang naik secara sembunyi dan menyusup-nyusup."

"Jahanam!" Sian Li mengepal tinju. "Ternyata mereka memang hendak melakukan kecurangan!"

Nyonya Gak bersikap tenang. "Sudah kuduga demikian. Ingat, kalau mereka mulai memperlihatkan kecurangan, hendak mengeroyok dengan jumlah besar, kalian harus lari ke belakang pondok, lurus saja dan kalian akan tiba di tepi jurang. Di sana sudah terpasang tangga tali dan kita dapat melarikan diri dari situ tanpa dapat dikejar musuh. Sekarang biar Sin-ciang Tai-hiap yang keluar menandingi Ketua Hek I Lama sesuai dengan perjanjian. Kita bertiga akan turun tangan apabila mereka bersikap curang. Kita bersembunyi dalam pondok untuk membuat mereka terkejut dan kacau kalau kita muncul tiba-tiba nanti. Yo Han, kausambut mereka di pekarangan pondok di mana engkau tidak mungkin diserang secara menggelap."

Yo Han dan Sian Li kagum. Nyonya Gak memang seorang kang-ouw yang berpengalaman. Bersikap tenang dan dapat mengatur segalanya dengan teliti dan tegas. Sementara itu, Yo Han sudah cepat mengurai rambut, mengenakan capingnya yang bertirai dan dia pun keluar dari pondok dengan langkah tenang, diikuti pandang mata penuh kagum dari ibu dan anak itu yang baru sekarang melihat kenyataan yang tadi membuat mereka hampir tidak dapat percaya. Inilah Sin-ciang Tai-hiap yang namanya menggetarkan dunia perbatasan itu!

Yang datang menuju ke pondok itu dari arah depan adalah Dobhin Lama yang berjalan dibantu tongkatnya, Lulung Lama, dan Cu Ki Bok. Biarpun Dobhin Lama berjalan dibantu tongkatnya yang panjang, namun ternyata mereka bertiga dapat tiba di pekarangan itu dengan cepat seolah mereka berlari saja! Dengan sikap tenang,Yo Han yang kini telah menjadi Sin-ciang Tai-hiap berdiri di tengah pekarangan, menanti kedatangan tiga orang itu.

Biarpun dia sudah menyamar sebagai Sin-ciang Tai-hiap, Yo Han tidak melupakan sikapnya yang selalu sopan dan menghormati orang lain. Apalagi yang muncul di depannya adalah Ketua HekI Lama dan wakilnya, dua orang pendeta Lama yang sudah tua. Dia menyambut dengan kedua tangan depan dada, mem beri hormat dan membungkuk.

"Selamat datang,Jiwi Locianpwe. "Dia hanya memberi hormat kepada dua orang pendeta tua itu, tidak kepada Cu Ki Bok yang berdiri dengan sikapnya yang angkuh! Pemuda itu memandang ke arah pondok dan pandang matanya mencari-cari. Yo Han tahu bahwa pemuda itu mencari Sian Li dan dirinya, karena tentu mengira bahwa dia adalah Sin-ciang Tai-hiap!

Lulung Lama yang memegang dua buah gelang atau rada besar bersirip dengan tangan kirinya, tertawa bergelak dan dialah yang mewakili suhengnya bicara.

"Ha-ha-ha-ha! Omitohud, kiranya Sin-ciang Tai-hiap, selain lihai ilmu silatnya, juga mengenal aturan. Kami akan merasa bangga dan senang sekali kalau dapat bekerja sama denganmu!"

"Nanti saja kita bicara tentang kerja sama, Locianpwe. Sekarang, kita bicara tentang tantangan Ketua Hek I Lama kepadaku. Siapakah yang akan maju memberi pelajaran kepada saya?" Dia menatap ke arah wajah Dobhin Lama yang sudah tua itu. Kakek tinggi kurus yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun ini nampaknya saja lemah, akan tetapi Yo Han dapat menduga bahwa diantara mereka semua, Ketua Hek I Lama inilah yang paling lihai sehingga dia harus berhati-hati kalau bertanding melawan kakek tua ini. Dan yang paling licik tentu saja Lulung Lama dan muridnya itu.

Pandang mata Sin-ciangTai-hiap yang nampak di balik tirai itu mencorong dan jelas kelihatan betapa Cu Ki Bok menjadi gentar. Bahkan Lulung Lama yang sakti itu pun kelihatan tegang karena tokoh ini maklum bahwa menghadapi pendekar yang satu ini, dia tidak boleh memandang rendah sama sekali. Andaikata dia tidak kalah sekalipun, kiranya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan pendekar itu, maka dia diam saja menanti perintah suhengnya.

Dobhin Lama yang tua ini memang ingin sekali menguji ilmu kepandaian Sin-ciang Tai-hiap. Tantangan ini merupakan siasat dari Lulung Ma, dan dia menyetujui pertandingan itu, bahkan memesan agar sutenya itu jangan melakukan apa-apa sebelum dia berkesempatan menguji kepandaian Sin-ciang Tai-hiap. Kini dia sudah berhadapan dengan pendekar aneh itu, dan timbul kegembiraannya. Sudah bertahun-tahun, Dobhin Lama tidak pernah bertemu lawan yang dianggapnya cukup tangguh dan pantas menjadi lawannya. Bertahun-tahun dia tidak pernah turun tangan sendiri, merasa dirinya terlalu pandai dan terlalu tinggi untuk melawan orang-orang yang dianggapnya tidak patut menjadi lawannya. Dan kini, dia merasa gembira dan timbul semangatnya. Pertandingan seperti ini, melawan musuh yang tangguh dan terkenal, membua tlatihannya selama ini tidak sia-sia.

"Omitohud....!" Dobhin Lama berseru, suaranya lirih dan gemetar seperti suara seorang kakek tua pikun yang lemah. "Pinceng (Aku) yang menantangmu, Sin-ciang Tai-hiap. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar."

Yo Han melangkah maju menghadapi kakek bertongkat panjan gitu dan dia pun memberi hormat. "Merupakan suatu kehormatan besar sekali bagi saya, Locianpwe, untuk dapat menerima pelajaran darimu. Akan tetapi sebelum kita mulai, saya ingin mendengar dulu janji Locianpwe bahwa kalau saya berhasil menang dalam adu kepandaian ini, Locianpwe akan membebaskan Liem Sian Lun dan menyerahkan kembali mutiara hitam yang Locianpwe terima dari Thong Nam itu kepada saya."

"Heh-heh, tentu saja. Akan tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah, orang muda?"

"Sesuai dengan janji, kalau saya kalah saya akan membantu perjuangan menentang penjajah Mancu!"

"Bagus, janji seorang pendekar pasti dapat dipegang teguh dan dipercaya. Nah sekarang majulah, Sin-ciang Tai-hiap, pinceng ingin sekali membuktikan apakah kepandaianmu sama tingginya dengan nama besarmu.." Kakek itu berdiri tegak, tangan kiri tegak lurus dengan jari terbuka menempel miring di depan dahi, lengan kanan menjepit tongkat panjangnya di bawah ketiak. Yo Han tidak berani memandang rendah lawan. Pernah dia mendengar dari Kakek Ciu Lam Hok bahwa tokoh-tokoh dari Tibet dapat menjadi lawan yang amat berbahaya karena kekuatan sihirmereka. Dalam hal ilmu silat, tokoh-tokohTibet hanya mengandalkan tenaga sakti yang mengandung kekuatan sihir, sedangkan mengenai gerakan silatnya, tidak berapa hebat. Gerakan tokoh Tibet tidaklah selincah ilmu silat dari timur. Akan tetapi karena setiap gerakan me ngandalkan sin-kang yang diperkuat oleh ilmu sihir, maka gerakan itu menjadi amat kuat dan berbahaya sekali. Oleh karena itu, diam-diam dia pun menghimpun tenaga sakti yang pernah dipelajarinya dari ilmu Bu-kek-hoat-keng, yaitu ilmu kesaktian yang menjadi andalan mendiang gurunya. Sesuai dengan wataknya, Yo Han tidak pernah mau mempergunakan senjata dari baja, karena dia tidak mau melukai orang, bahkan dia pantang membunuh orang. Senjata pelindung diri hanya kaki tangan dan ilmu-ilmunya. Namun, dengan menguasai Bu-kek-hoat-keng, memang dia tidak membutuhkan lagi segala macam senjata. Tenaga sin-kang yang ditimbulkan oleh ilmu itu membuat tubuhnya, terutama kedua lengannya, menjadi kebal dan dapat menangkis senjata tajam yang bagai mana ampuh pun. Tentu saja kekebalan ini hanya pada bagian tubuh di mana dia menyalurkan sin-kangnya. Bagian yang tidak dilindungi sin-kang yang dia salurkan, tentu saja tidak kebal. Kekebalannya bukan karena ilmu hitam, melainkan karena lindungan tenaga sakti dari dalam yang dikerahkan ke bagian tubuh itu.

"Locianpwe, saya sudah siap," katanya dan dia pun berdiri dengan sikap tenang, kedua kaki terpentang dan tubuhnya agak miring menghadapi lawan, kedua tangan dirangkap seperti menyembah di depan dada kiri. Inilah jurus yang oleh gurunya dinamakan jurus "Menyembah Tuhan dengan Hati Tulus".

"Sin-ciangTai-hiap, pinceng hendak mempergunakan tongkat. Keluarkan senjatamu!"

Yo Han menggeleng kepala. "Locianpwe, senjata dibuat hanya untuk membunuh orang. Saya tidak ingin membunuh siapapun, dan untuk melindungi diri, Tuhan telah melengkapi tubuh saya ini dengan lengkap dan sempurna. Saya sudah siap, silakan Locianpwe."

"Omitohud, engkau seorang pendekar yang hebat, ataukah yang tinggi hati? Nah, pinceng telah mendengar ucapanmu.Sambut serangan pinceng ini!"

Kakek berjubah hitam itu mulai menggerakkan tongkat yang tadinya dijepit di bawah ketiak dan terdengarlah sambaran angin yang terdengung seperti ada ratusan ekor kumbang terbang menyerang! Yo Han sudah menduga bahwa kakek itu tentu mengandalkan tenaga dan kekuatan sihir untuk menyerangnya, maka dia pun sudah siap siaga. Tubuhnya bergerak ke kiri ketika kakinya digeser dan sambaran tongkat itu lewat dan luput, namun angin pukulannya yang menyambar terasa olehnya amat kuat dan mengandung hawa panas.

Dia harus menghormati lawannya yang sudah tua, yang pantas menjadi kakeknya Maka, Yo Han membiarkan Dobhin Lama menyerangnya sampai tiga kali tanpa membalas. Serangan itu datang bertubi, makin lama semakin kuat dan berbahaya sekali. Namun,Yo Han tetap hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Sambaran tongkat yang ke tiga kalinya hampir saja membuat dia terpelanting, karena hawa pukulan tongkat itu sedemikian kuatnya, membuat rambutnya yang panjang berkibar dan hampir saja capingnya yang lebar itu diterbangkan! Dengan terhuyung Yo Han masih sempat memegang capingnya sehingga tidak sampai terbuka dan memperlihatkan mukanya.

Setelah tiga kali serangannya dapat dielakkan lawan tanpa membalas, Dobhin Lama mengerutkan alisnya yang putih dan dia merasa penasaran. Apakah pendekar muda ini berani memandang rendah kepadanya sehingga hanya mengalah saja, tidak membalas?

"Sin-ciang Tai-hiap, balaslah serangan pinceng! Apakah engkau menganggap pinceng seorang lawan yang terlalu lemah bagimu?"

"Sama sekali tidak, Locianpwe. Kalau saya selama tiga jurus tidak melawan, hal itu saya lakukan untuk menghormati Locianpwe yang merupakan golongan jauh lebih tua dari pada saya. Sekarang saya akan membalas, Locianpwe."

"Bagus! Nah, sambutlah ini!" Kakek itu kembali menyerang, tongkatnya membuat gerakan terputar, ujungnya membentuk lingkaran lebar, makin lama semakin cepat dan mengecil lalu ujung itu meluncur ke arah dada Yo Han!

Sekali ini Yo Han tidak mengelak, melainkan menggunakan ilmu Bu-kek-hoat-keng untuk memutar lengan kanan dan menangkis luncuran tongkat ke arah dadanya itu, ilmu ini adalah ilmu kesaktian yang amat hebat. Satu diantara keampuhannya adalah hadirnya tenaga mujijat yang menolak semua hawa kebencian yang datang dari lawan, terkandung dalam serangan lawan. Betapa kuat dan tinggi ilmu lawan, kalau lawan menyerang dengan kandungan hati membenci, maka serangannya itu akan membalik dan mungkin mengenai diri sendiri!

"Plakkk!"

Tangkisan yang disertai tenaga sin-kang amat kuat itu ternyata tidak membuat tongkat itu membalik dan menyerang pemiliknya sendiri dan ini merupakan bukti bahwa tidak ada kebencian terkandung dalam serangan itu! Akan tetapi, akibat benturan kedua tenaga sakti membuat Yo Han terhuyung ke belakang, dan Dobhin Lama juga terdorong ke belakang beberapa langkah! Keduanya saling pandang dengan kagum. Bagi Dhobin Lama, baru sekarang ada seorangmuda yang mampu menangkis tusukan tongkatnya tadi, dan bagi Yo Han, juga pendeta itu merupakan lawan yang paling tangguh yang pernah dilawannya. Tangguh dan tidak ada kebencian di hatinya! Diam-diam dia merasa girang dan diapun mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya untuk menandingi lawan yang hebat itu.

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Kadang berjalan cepat, kadang lambat. Bumi di pekarangan itu tergetar, daun-daun pohon yang berada di dekat situ rontok. LulungLama dan muridnya, Cu Ki Bok, menonton dengan mata ter belalak dan penuh kagum. Mereka merasa beruntung bahwa mereka tadi tidak maju melawan Sin-ciang Tai-hiap, karena kalau hal itu terjadi, mereka pasti kalah. Apalagi Cu Ki Bok, bahkan gurunya, Lulung Lama, setelah menyaksikan pertandingan itu, maklum bahwa dia takkan menang melawan pendekar aneh yang amat lihai itu.

Makin lama, kedua orang yang bertanding itu menjadi semakin kagum kepada lawan. Yo Han juga kagum bukan main. Biarpun lawannya sudah tua sekali, akan tetapi semua serangan balasannya seperti membentur tembok baja yang amat kuat, yang sukar ditembus. Mereka saling serang dan saling desak, namun tidak pernah dapat membobolkan benteng pertahanan lawan sehingga tanpa terasa lagi, seratus jurus lebih telah terlewat! Dan selama itu, keduanya tidak pernah mengendurkan tenaga, karena siapa yang mengendur pasti akan kalah. Karena semua jurus yang mereka mainkan tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, maka mereka kini tidak lagi mengandalkan jurus silat, melainkan lebih mengandalkan kekuatan sin-kang.

Akhirnya, keadaan usia menguntungkan Yo Han. Kalau dia hanya merasa lelah saja, lawannya kini sudah mandi keringat dan napasnya agak terengah saking kehabisan tenaga. Bahkan dari kepala yang tidak berambut itu sudah mengepul uap putih yang agak tebal, tanda bahwa tubuhnya telah menjadi panas sekali.

Maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya kalau dilanjutkan, maka Dobhin Lama lalu mengeluarkan jurusnya yang paling hebat, yaitu Jurus Gunung Runtuh! Dia mengeluarkan pekik yang dahsyat, tongkatnya menyambar dari atas ke arah kepala Yo Han dengan tenaga sepenuhnya yang masih tersisa.

Melihat ini, Yo Han juga mengerahkan seluruh tenaganya, menangkis dengan kedua lengannya, mendorong ke atas. Bertemulah tongkat dengan kedua lengan pendekar itu.

"Brakkkk....!" Yo Han terhuyung, akan tetapi tongkat di tangan Dobhin Lama patah menjadi tiga potong! Kakek itu nampak pucat dan dia menghela napas panjang sambil melempar potongan tongkatnya ke atas tanah.

"Omitohud....pinceng mengaku kalah....!" Dia lalu duduk bersila di atas tanah, berkata kepada Lulung Lama. "Su te....bebaskan pemuda itu...." Dia mengeluarkan sebuah kalung dari saku jubahnya kalung dengan mainan sebuah mutiara hitam dan melemparkan benda itu kepada Yo Han. "Nah, terimalah mutiara hitam ini!"

Yo Han menerima sambaran mutiara hitam itu dan dia pun memberi hormat, hatinya merasa terharu dan juga kagum. "Banyak terima kasih bahwa Locianpwe telah mengalah dan menepati janji."

Lulung Lama bertepuk tangan dan dari lereng bukit itu muncullah Sian Lun yang diiringkan dua orang pendeta Lama jubah hitam. SianLun agaknya dalam keadaan tertotok dan dia dibimbing dua orang pendeta itu. Lulung Lama lalu mendorong tubuh Sian Lun sehingga pemuda ini roboh tertelungkup.

Dari dalam pondok, muncul Sian Li yang dengan sekali lompatan berada didekat Yo Han. Melihat munculnya sumoinya, Sian Lun berkata lirih, "Sumoi, tolonglah aku...."

Sian Li menghampiri Sian Lun, berlutut dan meraba pundak suhengnya itu untuk memulihkan kesehatannya, membebaskannya dari totokan. Akan tetapi pada saat itu, Sian Lun tiba-tiba saja menggerakkan tangan dan menotok jalan darah di punggung sumoinya! Gerakkannya ini sama sekali tidak terduga oleh Sian Li sehingga gadis itu sama sekali tidak dapat menjaga dirinya. Tahu-tahu ia sudah tertotok dan lemas, dan Sian Lun sudah merangkul pinggangnya dan membawanya meloncat ke belakang Lulung Lama dan Cu Ki Bok!

Dari dalam pondok, Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, sejak tadi mengintai dan begitu melihat Sian Li ditangkap oleh suhengnya sendiri, seperti juga Yo Han, mereka tertegun heran. Akan tetapi Nyonya Gak lalu meloncat keluar, diikuti puteranya.

"Sin-ciang Tai-hiap, mereka bertindak curang!" teriak nyonya itu. Yo Han memang tertegun dan bingung melihat betapa Sian Lun tiba-tiba malah menangkap sumoinya. Akan tetapi pada saat itu,muncullah puluhan orang dari depan, kanan dan kiri. Mereka adalah para pendeta Lama Jubah hitam, dibantu oleh para anggauta pengemis tongkat hitam dan beberapa orang Nepal. Bahkan nampak pula Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang kuat itu, bahkan muncul pula tiga orang wanita cantik dari Pek-lian-kauw, yaitu Pek-lian Sam-li yang lihai.

"Lulung Lama, kalian curang! Bebaskan mereka berdua itu!" Yo Han berseru dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan untuk menolong Sian Li dan Sian Lun, karena dia masih bingung dan mengira bahwa Sian Lun tentu dipaksa oleh mereka. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawa Sian Li meloncat ke belakang para penyerbu dan lenyap. Terpaksa dia menyambut pengeroyokan banyak orang itu, dibantu oleh Nyonya Gak dan Gak Ciang Bun yang sudah mengamuk.

"Locianpwe Dobhin Lama, apakah Locianpwe hendak melanggar janji sendiri?" teriak Yo Han penasaran. Akan tetapi, Dobhin Lama yang duduk bersila dan memejamkan mata itu tidak menjawab, juga tidak bergerak.

Terpaksa Yo Han mengamuk, namun dia tidak membiarkan diri dikuasai dendam dan kemarahan. Dia tetap hanya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh mereka. Tidak seperti Nyonya Gak dan puteranya yang mengamuk dengan pedang mereka, menewaskan beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, di pihak lawan terdapat banyak orang pandai, dan jumlah mereka semakin bertambah banyak sehingga bagaimanapun juga, tiga orang itu mulai terdesak.

"Mari kita pergi!" tiba-tiba Nyonya Gak berseru kepada puteranya dan Yo Han. Yo Han maklum bahwa melanjutkan perkelahian tidak ada gunanya, bahkan amat berbahaya. Padahal, dia harus dalam keadaan sehat dan selamat untuk dapat menolong Sian Li kemudian. Kalau sekarang dia nekat sekalipun, belum tentu dia akan dapat menemukan Sian Li yang telah dilarikan Sian Lun. Pula, dia belum tahu apa yang telah terjadi, dan mengapa Sian Lun bersikap seperti itu. Siapa tahu itu merupakan siasat pemuda itu untuk menolong sumoinya. Yang penting, dia harus menyelamatkan diri. "Baik, Bibi Gak!" katanya dan dia pun membuka jalan dengan berkelebatan diantara para pengeroyok yang roboh satu demi satu. Nyonya Gak dan puteranya juga memutar pedang sedemikian rupa sehingga tidak adapengeroyok berani mendekati mereka. Mereka berlari ke belakang pondok, dipimpin oleh Nyonya Gak dan benar seperti keterangannya tadi, mereka tiba di tepi jurang yang amat dalam sehingga tidak dapat dilihat dasarnya. Nyonya Gak dan puteranya telah mengambil tangga-tangga tali dari balik semak belukar dan cepat memasang tangga-tangga tali itu, mengikatkan pada akar pohon di belakang semak di tepi jurang.

"Mari, kita lari melalui tangga ini! Yo Han, kau ikutilah aku!" kata Nyonya Gak, sedangkan Ciang Hun sudah menuruni tangga tali yang lain.Yo Han tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti Nyonya Gak menuruni tangga tali menuruni tebing jurang yang amat terjal dan dalam itu.

Tangga tali itu panjangnya ada dua puluh meter dan ternyata mereka mendarat di sebuah guha besar. Setelah mereka bertiga tiba di guha, ibu dan anak itu segera menarik tangga-tangga tali itu dengan sentakan tiba-tiba yang membuat kaitan di ujung tangga pada akar pohon terlepas.

"Tidak ada seorang pun manusia yang dapat menuruni tebing ini tanpa tangga tali, kecuali kalau dia mampu terbang seperti burung," kata Nyonya Gak. "Dari guha ini terdapat jalan setapak melalui tepi tebing menuju ke lereng bukit. Jalan ini kami temukan dan kami buatkan lorong menembus guha sehingga kecuali kami berdua, tidak ada yang mengetahuinya."

Yo Han duduk di atas batu dalam guha, termenung. "Akan tetapi, mereka menawan adik Tan Sian Li," suaranya mengandung kekhawatiran.

Ciang Hun berkata dengan suara marah."Tentu kita akan berusaha sekuat tenaga untuk menolongnya! Yang kuherankan, kenapa suheng dari adik Sian Li bersikap seperti itu? Jelas bahwa dia tadi berpura-pura ketika didorong dan tersungkur. Ketika adik Sian Li hendak menolongnya, dia malah menotoknya, dan menawannya. Apa artinya ini?"

Nyonya Gak juga berkata, "Pemuda itu tidak dapat dipercaya! Yo Han, bagaimana sih hubungan Sian Li dengan suhengnya dan orang macam apa suheng nya itu?"

Yo Han menggeleng kepalanya. "Saya sendiri belum mengenalnya dengan baik, Bibi. Ketika Li-moi dan suhengnya itu dikeroyok oleh persekutuan gerombolan itu, saya menolong mereka, akan tetapi hanya dapat melarikan Li-moi, sedangkan suhengnya yang bernama Liem Sian Lun itu tertawan. Kalau mengingat bahwa pemuda itu adalah suheng Li-moi, murid dari Locianpwe Suma Ceng Liong, rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki watak palsu dan jahat."

Nyonya Gak mengerutkan alisnya. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda itu. Para pendeta Lama itu lihai dan di antara mereka banyak yang memiliki ilmu sihir. Siapa tahu pemuda itu berada di bawah pengaruh sihir."

"Bagaimanapun juga, saya harus cepat melakukan penyelidikan dan menolong mereka, terutama adik Tan Sian Li, Bibi."

"Yo Han, aku percaya bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Hal itu sudah kubuktikan tadi ketika engkau berhasil mengalahkan Ketua Hek I Lama," kata Ciang Hun dengan kagum. "Akan tetapi perlu kau ingat bahwa bagaimanapun juga, kepandaianmu ada batasnya. Bagaimana mungkin engkau akan melawan mereka yang memiliki anak buah sebanyak itu? Ibu dan aku akan membantumu, kalau perlu dengan taruhan nyawa, akan tetapi kita harus berhati-hati dan menggunakan siasat yang baik."

"Benar ucapan anakku,Yo Han. Menghadapi gerombolan yang demikian banyak, kita harus menggunakan siasat. Kalau hanya nekat, kita akhirnya tidak akan berhasil menolong Sian Lun dan Sian Li, sebaliknya malah tertawan atau tewas konyol," kata Nyonya Gak.

"Saya akan minta bantuan beberapa tokoh kang-ouw di perbatasan yang telah sadar dan kini menjadi orang baik-baik. Mereka mempunyai banyak kawan dan saya yakin mereka suka membantu saya," kata Yo Han. Ibu dan anak itu memandang kagum. Mereka sudah mendengarkan sepak terjang Sin-ciang Tai-hiap yang tidak pernah membunuh para penjahat, melainkan menaklukkan mereka dan menasehati, dengan kasar maupun halus berhasil membuat banyak penjahat mengambil cara hidup yang sama sekali berubah, dari jalan sesat ke jalan yang benar. Mereka lalu mengatur siasat, membagi tugas sebelum meninggalkan guha itu, melalui sebuah terowongan bawah tanah pendek yang dibuat oleh ibu dan anak itu. Terowongan ini menembus ke lereng bukit melalui pintu rahasia yang dari luar nampak seperti batu besar biasa.

***

Apakah yang terjadi dengan diri Sian Lun? Kenapa dia yang akan ditolong Sian Li, bersikap seperti itu, berbalik menotok dan menawan Sian Li, dan menghilang di antara para anak buah gerombolan?

Liem Sian Lun telah terjatuh ke tangan Pek-lian Sam-li! Tiga orang wanita Pek-lian-kauw ini adalah tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berwatak cabul. Pek-lian Sam-li sudah terkenal sebagai kakak beradik yang genit, mata keranjang dan mesum. Setiap kali bertemu dengan pria tampan mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk merayunya bahkan kalau pria itu menolak, memaksanya. Mereka selain lihai sekali ilmu silatnya, juga mereka pandai ilmu sihir, ahli racun sehingga dengan berbagai cara tidak ada pria yang akhirnya tidak tunduk kepada mereka. Ketika mereka berhasil menawan Liem Sian Lun, tentu saja sudah terbakar gairah mereka untuk menguasai pemuda tampan dan gagah itu, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah murid Pulau Es! Mereka akan mendapat banyak keuntungan kalau berhasil menguasai pemuda ini. Pertama, pemuda ini masih muda, baru berusia dua puluh tahun, seorang perjaka tulen, tampan dan bertubuh kuat. Ke dua, dengan menundukkan pemuda itu, berarti mereka dapat membalas semua dendam dan kebencian mereka terhadap musuh besar Pek-lian-kauw, yaitu para pendekar Pulau Es karena pemuda itu merupakan murid Pulau Es. Dan ke tiga, mereka dapat menyenangkan hati sekutu mereka, yaitu para pendeta Lama jubah hitam yang hendak mengumpulkan orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi seperti pemuda itu, karena setelah menguasai Sian Lun, tentu pemuda itu akan suka menjadi sekutu mereka pula.

Sian Lun pada dasarnya bukanlah seorang pemuda yang berhati teguh. Semenjak dewasa, sudah seringkali dia termenung, membayangkan hal-hal yang menimbulkan berahinya. Dia pun sudah seringkali memandang kepada sumoinya, Sian Li, dengan pandang mata penuh gairah berahi. Apalagi setelah dia mendengar percakapan suhu dan subonya, yang ingin menjodohkan dia dengan SianLi, seringkali dia membayangkan betapa senangnya kalau dia bermesraan dengan sumoinya yang cantik itu sebagai suami isteri! Dia jatuh cinta kepada Sian Li, dan makin dibayangkan, semakin dalam dia tenggelam dalam cinta. Bahkan sering kali terbawa dalam mimpi. Ketika mereka melakukan perjalanan bersama, kalau saja dia tidak takut kepada sumoinya yang dalam hal ilmu kepandaian silat lebih tangguh darinya, tentu sudah dinyatakan perasaan hatinya itu dengan perbuatan. Rasanya amat menyiksa baginya, seperti seorang kelaparan melihat makanan lezat tanpa boleh memakannya, atau seorang kehausan melihat air jernih tanpa boleh meminumnya. Berkobarnya nafsu berahi yang sering kali menggodanya itu masih dapat dilawan dengan dua keyakinan, yaitu pertama bahwa menuruti nafsunya itu adalah tidak benar, dan kedua menuruti nafsunya itu tentu dia akan celaka karena sumoinya yang cantik itu amat galak dan lihai!

Nafsu berahi, seperti segala macam nafsu yang dimiliki manusia, adalah sesuatu yang wajar, bahkan yang terbawa lahir, merupakan alat bagi manusia hidup di dunia. Nafsu berahi merupakan sesuatu yang teramat penting, bahkan mutlak se bagai pendorong agar manusia tidak akan musna, agar dapat berkembang biak.Segala macam ciptaan Tuhan yang terdapat di dunia ini, disertai nafsu seperti ini, yaitu nafsu yang mendorong bersatunya dua kelamin yang berlawanan untuk bersatu dan dari persatuan ini terciptalah manusia atau mahluk sejenis yang baru, yang dinamakan anak bagi manusia dan hewan, dinamakan buah bagi tumbuh-tumbuhan. Anak menjadi manusia baru dan buah-buah menjadi calon bibit tumbuhan baru.

Tuhan Maha Kasih! Di dalam nafsu berahi, disertakan rasa nikmat sehingga semua mahluk termasuk manusia terdo rong untuk melakukan persatuan itu dengan suka rela. Dan di dalam rasa nikmat inilah setan menyusup! Rasa nikmat ini yang dijadikan alat oleh setan untuk menggoda manusia sehingga manusia menjadi lupa diri. Karena mengejar perasaan nikmat itu maka bukan lagi manusia memperalat nafsu, melainkan terjadi kebalikannya, nafsu yang memperalat manusia! Bukan manusia menjadi majikan daripada nafsu berahi, malah nafsu berahi yang menjadi majikan dan manusia menjadi budak nafsunya sendiri. Dan kalau sudah begini, terjadilah perbuatan sesat atau perbuatan yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain atau bahkan yang akibat panjangnya akan merusak dirinya sendiri. Semua agama dan filsafat yang dicetuskan orang-orang budiman, pelajaran agama yang diwahyukan oleh Tuhan, semua bertujuan untuk mengingatkan manusia agar sadar akan bahayanya pengaruh nafsu sendiri dalam diri. Namun, jarang ada orang yang mampu menguasai nafsunya sendiri, karena hati dan akal pikiran kita pun sudah dicengkeram nafsu sehingga usaha apapun yang klta lakukan, di situ terkandung keinginan nafsu. Kenyataan ini dapat kita lihat buktinya dalam kehidupan ini, kalau kita melihat dan meneliti keadaan dirikita sendiri.

Betapa banyaknya kebiasaan-kebiasaan kecil atau besar yang kita lakukan, kita ketahui dan mengerti benar bahwa perbuatan itu tidak benar atau tidak baik, namun kita tidak berdaya untuk mengubahnya! Kita tahu benar bahwa amarah itu tidak benar dan tidak baik, akan tetapi sekali kemarahan muncul, kita tidak berdaya untuk mengatasinya dan kita terseret oleh kemarahan kita. Demikian pula dengan permainan nafsu yang lain, keterikatan kita kepada benda, kepada makanan, kepada orang lain. Semua itu menimbulkan kesenangan yang selalu dikejar-kejar nafsu, yang menjadi pemikat bagi kita sehingga sukarlah bagi kita untuk mengubahnya.

Nafsu merupakan pembawaan yang diikutsertakan ketika kita lahir, dan nafsu merupakan alat yang teramat penting bagi kehidupan kita. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan dapat hidup seperti manusia yang wajar. Namun, disamping kepentingannya yang mutlak, nafsu juga merupakan bahaya yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan, yang akan menjauhkan kita dari kewajiban utama manusia, yaitu mendekati Tuhan yang menciptakan kita dan seluruh keadaan di alam maya pada ini. Nafsu penting bagi kita, akan tetapi juga berbahaya bagi kita. Lalu bagaimana? Sudah sejak jaman pra sejarah, manusia sadar akan bahayanya nafsu, dan sejak itu manusia sudah berusaha untuk menalukkan nafsu, mengekang dan mengendalikan nafsu. Ada yang dengan cara bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, ada yang dengan jalan menyiksa diri, dan seribu satu macam cara lagi. Namun, semua cara itu adalah usaha hati dan akal pikiran, maka terjadilah pertentangan sendiri di dalam batin, tarik menarik antara keinginan, bersenang-senang menuruti gejolak nafsu, dan keinginan menolak gejolak nafsu karena sadar akan akibatnya yang akhirnya tidak menyenangkan. Jelaslah bahwa pada dasarnya, di antara kedua keinginan itu sama, timbul dari hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, yaitu keinginan mengejar kesenangan, dan keinginan menjauhi kesusahan yang timbul karena pengejaran itu! Dan pertempuran ini tidak ada habisnya selama kita hidup. Kadang nafsu yang menang dan berkobar membakar, kadang nafsu dapat ditundukkan untuk sementara, seperti api di dalam sekam yang setiap waktu akan berkobar lagi.

Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kita tidak mungkin dapat menundukkan nafsu, karena "kita" inilah nafsu itu sendiri. Kita adalah hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, maka apa pun yang kita usahakan, pada dasarnya hanya untuk mengabdi kepada nafsu, untuk pemuasan nafsu dengan segala cara, ada yang kasar, ada yang halus, bahkan ada cara yang dipulas seolah-olah cara itu bukan buatan nafsu. Setan memang teramat licik dan pandai, penuh tipu muslihat dan memang sudah menjadi tugasnya untuk menggoda kita. Kalau kita manusia hanya mengandalkan hati akal pikiran saja, takkan mungkin kita dapat mengalahkan setan! Jalan satu-satunya hanyalah berpaling kepada Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat menundukkan segala yang ada yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata kita, termasuk setan. Betapa tidak? Setan dan nafsu pun diciptakan oleh Tuhan!

Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Menyerah tanpa syarat, menyerah dengan total, mutlak, menyerah dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan seluruh batin kita, hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan mampu mengembalikan nafsu dalam tugas yang sebenarnya, yaitu menjadi abdi jiwa manusia, membantu kehidupan manusia di dunia dan tidak lagi majikan yang kejam, tidak lagi menjadi pemikat dan pembujuk yang menyeret kita ke dalam kesesatan. Menyerah tanpa syarat, bukan "menyerah demi memperoleh sesuatu" karena kalau demikian halnya, maka yang dinamakan penyerahan ini pun hanya tipu muslihat dari nafsu belaka dan kita akan tetap berada dalam lingkaran setan permainan nafsu daya rendah! Menyerah tanpa pamrih, dengan ikhlas dan tawakal saja!

Sian Lun yang masih, hijau itu, tidak kuat menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik seperti Pek-lian Sam-li. Apalagi tiga orang wanita cabul itu bukan sekedar merayu biasa. Mereka pun mencampurkan racun pembius dan perangsang dalam minuman yang disuguhkan kepada Sian Lun, bahkan ditambah lagi dengan kekuatan sihir mereka! Sian Lun jatuh dalam pelukan mereka. Bahkan Pangeran Gulam Sing yang kini menjadi sahabat baik dan rekan pengumbar nafsu berahi dari tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, juga membantu dengan ilmu sihirnya, membuat Sian Lun menjadi kehilangan kesadaran sama sekali. Pemuda itu benar benar runtuh dan kalau tadinya dia seperti seekor harimau jantan yang ganas, kini di tangan tiga orang wanita itu dia berubah menjadi seperti seekor domba jinak! Dia merasa seolah-olah dia telah mendapatkan kebahagiaan hidup yang selama ini didambakan dan diimpikannya. Dia percaya bahwa tiga orang wanita kakak beradik itu amat mencintanya dan memanjakannya sehingga dia dengan amat mudahnya melupakan Sian Li, gadis yang biarpun pernah membuatnya tergila-gila namun yang tak terjangkau olehnya itu!

Dalam waktu satu malam saja, Sian Lun telah berubah sama sekali. Dia kini telah menyerah, dan di dalam pelukan tiga orang wanita itu, dia bersumpah untuk bekerja sama dengan mereka, mentaati semua keinginan tiga orang wanita yang dianggapnya amat mencintanya dan yang dapat membuat dia seperti terbuai dalam kemesraan dan kenikmatan yang tanpa batas. Dalam keadaan seperti ini, Pangeran Gulam Sing mendekatinya dan menjanjikan kedudukan tinggi, pangkat yang besar di Nepal kalau perjuangannya kelak berhasil! Dan Sian Lun menganggap ini sebagai suatu cita-cita yang teramat besar dan mulia.

Demikianlah, ketika dia dalam keadaan terpengaruh sihir, diperintah oleh Pek-lian Sam-li untuk berpura-pura menjadi tawanan dan agar dia menawan sumoinya sendiri, dia melakukannya dengan rela dan senang hati. Dia ingin membuat jasa untuk menyenangkan hati Pek-lian Sam-li dan juga para pimpinan Hek I Lama dan Pangeran Gulam Sing.

Sian Li tentu saja merasa terkejut bukan main, juga merasa heran ketika tiba-tiba suhengnya menotoknya. Karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya yang hendak ditolongnya itu malah menotoknya, gadis itu dapat dirobohkan dengan mudah dan Sian Li hanya dapat merasa heran dan penasaran sekali ketika tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya itu dipondong dan dilarikan Sian Lun.

Makin besar keheranan Sian Li ketika ia dibawa oleh suhengnya ke sarang Hek I Lama! Dalam perjalanan tadi, ketika suhengnya melarikannya, ia masih diam saja karena mengira bahwa suhengnya tentu bermaksud menyelamatkannya, mengira bahwa suhengnya akan melarikannya ke tempat yang aman. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat Sian Lun membawanya masuk ke pintu gerbang sarang perkumpulan pendeta Lama Jubah hitam itu!

"Suheng, apa yang kaulakukan ini?" tanyanya dengan suara lemah karena totokan itu selain melumpuhkan kaki tangannya, juga membuatnya lemah sehingga untuk mengeluarkan suara pun tidak dapat keras.

"Diam sajalah, Sumoi. Semua ini kulakukan demi kebaikan kita," jawab Sian Lun. Anehnya, para pendeta Lama yang berada di situ, ketika melihat Sian Lun masuk memondong tubuh gadis yang lemas itu, hanya menonton saja, bahkan ada di antara mereka yang tersenyum atau menyeringai. Dan agaknya Sian Lun sudah hafal akan tempat di situ. Dia langsung saja membawa sumoinya ke sebuah kamar dan merebahkan tubuh gadis itu ke atas sebuah pembaringan dalam kamar itu.

Sian Li membelalakkan matanya ketika melihat suhengnya mengambil sehelai tali sutera dan mulai mengikat pergelangan kaki dan kedua tangannya.

"Suheng, apa yang kaulakukan ini?" kembali ia bertanya dan kini suaranya mulai menguat, tanda bahwa pengaruh totokan itu mulai mengendur, juga ia mulai dapat menggerakkan kaki tangan walaupun masih lemah. Namun, ikatan tali sutera itu kuat bukan main dan ia pun tidak mampu melepaskan diri.

Sian Lun tidak menjawab, melainkan melanjutkan pekerjaannya. Setelah dia merasa yakin bahwa ikatan kaki tangan sumoinya itu kuat, barulah dia berkata, suaranya datar saja, seperti tanpa perasaan. "Sumoi, terpaksa aku mengikat kaki tanganmu agar kalau sudah pulih dari totokan, engkau tidak melakukan kebodohan dan memberontak."

"Suheng, lepaskan aku! Sudah gilakah engkau? Apa artinya semua ini, Suheng?"

Pemuda itu menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata sumoinya dengan langsung! Bagaimanapun juga, masih tertinggal kesan lama, dan dia merasa canggung dan salah tingkah, walaupun di dalam hatinya dia membenarkan tindakannya ini.

"Sumoi, tidak ada pilihan lagi bagi kita. Kita harus membantu perjuangan mereka menentang penjajah Mancu. Tidak percuma kita sejak kecil mempelajari ilmu silat kalau kita pergunakan untuk membela negara dan bangsa."

Sian Li membelalakkan matanya. Kini totokan itu sudah pulih, jalan, darahnya telah normal kembali. Akan tetapi tentu saja ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu. Dicobanya mengerahkan tenaga untuk membikin putus belenggu pergelangan kaki tangan itu, namun sia-sia. Sian Lun maklum bagaimana harus membuat sumoinya tidak berdaya. Tali sutera itu lentur, tidak mudah dibikin putus. Andaikata belenggu itu dari rantai baja yang tidak terlalu kuat saja, mungkin Sian Li dapat mematahkannya. Akan tetapi tali sutera yang lentur? Tidak mungkin dibikin putus, kecuali dengan senjata tajam. Dan senjatanya juga sudah dilucuti suhengnya.

Pada saat itu, terdengar langkah kaki dan masuklah tiga orang wanita yang bukan lain adalah Pek-lian Sam-li, yaitu tiga kakak beradik tokoh Pek-lian-kauw. Ji Kui yang hitam manis, yang paling tua, tersenyum dan menepuk pundak Sian Lun.

"Bagus, engkau telah berhasil baik, Sian Lun."

"Tentu saja berhasil, kalau tidak, percuma dia menjadi kekasihku," kata pula Ji Hwa yang putih mulus, orang ke dua, dan dengan mesra ia lalu merangkul Sian Lun dan mencium pipi pemuda itu penuh gairah dan dengan sikap genit.

"Nih upah untuk kekasih yang gagah!" kata pula Ji Kim yang termuda, cantik jelita dan ia pun dengan sikap genit mencium Sian Lun pada bibirnya. Sian Li terbelalak, akan tetapi gadis yang cerdik ini sekarang tahu atau dapat menduga apa yang kiranya telah terjadi. Suhengnya telah jatuh ke tangan tiga orang wanita genit mesum ini. Suhengnya yang selama ini sebagai murid paman kakeknya bagaikan seekor srigala berbulu domba, kini meninggalkan kulit domba dan nampaklah keasliannya! Ia pun memandang kepada Sian Lun dengan mata melotot.

"Jahanam busuk! Liem Sian Lun, kiranya engkau hanyalah seorang murid murtad, seorang keparat berhati busuk yang selama ini berpura-pura menjadi pendekar! Phuh, muak aku melihat mukamu!" Dan Sian Li membuang muka, tidak sudi lagi memandang wajah suhengnya yang merupakan pria pertama yang hampir menjatuhkan hatinya.

"Sian Lun, sudah jangan pedulikan bocah ingusan ini!" kata Ji Kui sambil menggandeng tangan Sian Lun, "Biarkan saja Pangeran Gulam Sing yang menjinakkannya." Tiga orang wanita itu terkekeh genit dan mereka bertiga menggandeng Sian Lun, diajak meninggalkan kamar. Ketika Sian Li melirik ke arah pintu, ternyata kini nampak beberapa orang bertubuh tinggi hitam, orang-orang Nepal, berjaga di luar pintu kamar.

Sian Li berusaha sekuatnya untuk melepaskan ikatan pada pergelengan tangan dan kakinya, namun hasilnya sia-sia belaka. Akhirnya, ia maklum bahwa usahanya itu hanya akan menghabiskan tenaga, maka ia pun diam saja, bahkan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan tenaga dan ia termenung. Hal yang amat menyakitkan hatinya adalah kalau ia teringat kepada Sian Lun. Suhengnya telah menyeleweng! Kalau paman kakeknya mendengar, tentu dia dan isterinya akan marah sekali. Akan tetapi bagaimana mereka akan dapat mendengar akan hal ini? Hanya ia seorang yang tahu dan dapat melaporkan, dan untuk itu ia harus dapat membebaskan diri. Akan tetapi bagaimana?

Sian Li tidak merasa gentar, tidak merasa putus asa. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia pun tahu bahwa gerombolan itu tidak ingin membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu ia sudah sejak tadi dibunuh. Tidak, mereka tidak akan membunuhnya, dan yang jelas, mereka akan membujuknya agar ia suka membantu mereka, bekerja sama dan menjadi sekutu mereka. Seperti Sian Lun! Akan tetapi ia tidak sudi! Hanya ada satu hal yang membuat hatinya terasa cemas dan ngeri juga, yaitu ucapan tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi bahwa ia akan diserahkan kepada Pangeran Gulam Sing untuk dijinakkan! Bergidik juga ia kalau teringat kepada pangeran Nepal itu. Memang seorang pria yang tinggi besar, brewok dan gagah, nampak jantan. Akan tetapi matanya sungguh menyeramkan, seperti mata seekor harimau kelaparan melihat domba!

Sian Li menghela napas panjang. Ia tidak perlu membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Membayangkan hal-hal mengerikan yang belum datang hanya akan menimbulkan rasa cemas saja. Ia masih memiliki kemampuan untuk membela diri, dan di sana masih ada Yo Han! Yo Han dibantu oleh Nyonya Gak dan juga Gak Ciang Hun. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti, tidak mungkin kalau sampai tertawan musuh. Bukankah Bibi Gak telah mengatur pelarian untuk mereka kalau bahaya mengancam? Pula, ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han! Dobhin Lama sendiri yang demikian sakti masih tidak mampu menandinginya! Sungguh mangherankan sekali kenyataan itu. Yo Han, yang dahulu tidak pernah mau belajat silat, yang membenci kekerasan, kini tiba-tiba saja muncul sebagai Sin-ciang Tai-hiap yang demikian saktinya.

Terdengar suara laki-laki di depan pintu bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengertinya dan beberapa orang Nepal itu meninggalkan pintu kamar. Jantungnya berdebar tegang. Apakah pangeran itu yang muncul? Ketika orang itu berdiri di ambang pintu, ternyata bukan pangeran Nepal yang datang melainkan Cu Ki Bok, pemuda peranakan Han Tibet, murid Lulung Lama. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu berdiri di situ memandang kepadanya. Sian Li yang menghadap ke arah pintu juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian. Pemuda itu tersenyum, melirik ke kanan kiri lalu melangkah memasuki kemar dengan ringan dan cepat. Dia duduk di tepi pembaringan lalu berbisik.

"Nona, dengarkan baik-baik dan jangan membantah. Dengar, engkau telah tertawan dan aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu. Akan tetapi, engkau harus bersikap damai, tidak memberontak karena percuma saja kalau engkau hendak melarikan diri. Di sini terjaga kuat dan kami berjumlah banyak. Engkau tidak akan diganggu, dan aku bertugas mengawasimu. Nah, kalau engkau berjanji tidak akan memberontak atau lari, aku akan melepaskan ikatanmu. Maukah engkau berjanji?"

Sian Li mengerutkan alisnya. Ia tahu akan benarnya ucapan pemuda itu, walaupun ia tidak dapat percaya sepenuhnya karena menduga bahwa sikap dan ucapan ini tentu sebuah tipumuslihat. Ia harus berhati-hati. Akan tetapi, tentu saja lebih baik kalau kaki tangannya tidak terikat. Setidaknya ia dapat leluasa dan dapat membela diri lebih baik kalau terancam bahaya.

Melihat keraguan gadis itu, Cu Ki Bok melanjutkan bisikannya. "Nona tentu mencurigaiku. Akan tetapi ingatlah, kalau Nona dalam keadaan terbelenggu, bagaimana engkau akan dapat membela diri kalau Pangeran Gulam Sing datang dan mengganggumu? Pula, dalam keadaan terbelenggu, bagaimana mungkin engkau akan membebaskan diri? Berjanjilah bahwa engkau tidak akan memberontak atau lari, dan aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu dan kau akan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat."

Sian Li mengangguk. "Aku berjanji, akan tetapi janjiku ini bukan berarti bahwa aku tidak akan membebaskan diri dan lari dari sini kalau ada kesempatan."

Cu Ki Bok memandang kagum. Gadis ini terlalu gagah untuk berbohong, maka berjanji pun dengan terus terang karena tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Bukan main!

"Tentu saja, Nona. Dan aku sendiri akan membantumu kalau kesempatan itu tiba. Untuk itu engkau harus memperlihatkan sikap lunak agar para pimpinan percaya bahwa kau tidak akan memberontak dan lari." Pemuda itu lalu melepaskan ikatan tali sutera dari kaki dan tangan gadis itu.

Sian Li bangkit duduk, mengurut-urut pergelangan tangan dan kakinya untuk memperlancar jalan darah sambil mengamati wajah Cu Ki Bok dengan tajam dan penuh selidik. Karena merasa tidak enak bicara dengan pemuda itu selagi ia duduk di atas pembaringan, gadis itu lalu berpindah duduk di atas kursi yang terdapat di kamar itu.

"Cu Ki Bok, apa artinya ini?, Katakan terus terang, mengapa engkau menolongku? Dengan pamrih apakah? Kalau ini merupakan siasat busukmu, lebih baik aku mengamuk sekarang dan tewas di tangan kalian!"

"Sabar dan tenanglah, Nona. Percayalah, sekali ini aku tidak bersiasat. Apa perlunya bersiasat dan membebaskanmu dari belenggu kalau tadi engkau sudah tidak berdaya?"

"Lalu, kenapa engkau membebaskan aku dari ikatan kaki tanganku?"

Tentu saja Cu Ki Bok tidak berani menyatakan secara terang bahwa sejak pertama kali berjumpa, dia sudah jatuh hati kepada gadis muda perkasa ini. Tak mungkin dia mengaku cinta begitu saja, karena selain hal itu mentertawakan, juga sudah pasti gadis itu tidak akan percaya dan menganggap dia merayu atau bersiasat.

"Ada dua hal yang memaksa aku tidak dapat membiarkan engkau tertawan dalam keadaan tersiksa dalam belenggu, Nona. Pertama, engkau seorang pendekar gagah perkasa, bukan penjahat, bahkan tenagamu dibutuhkan oleh rakyat untuk membebaskannya dari belenggu penjajahan. Kalau pun menjadi tawanan, engkau patut diperlakukan dengan hormat dan tidak dibelenggu seperti itu. Dan ke dua, terus terang saja aku merasa muak dan tidak suka melihat cara engkau ditawan oleh Liem Sian Lun."

Bagaimanapun juga, hati Sian Li masih merasa curiga dan ia tetap waspada terhadap pemuda tampan murid Lulung Ma itu. "Apa yang terjadi dengan Liem Sian Lun? Kenapa dia bersikap seperti itu, berpihak kepada kalian dan mengkhianatiku?"

Cu Ki Bok menghela napas panjang. "Ia bukan seorang jantan. Dia lemah dan bertekuk lutut terhadap rayuan Pek-lian Sam-li yang bekerja sama dengan Pangeran Gulam Sing. Berjuang menentang penjajah Mancu memang tugas seorang gagah dan boleh saja dia bergabung dengan kami untuk bersama-sama menentang penjajah Mancu. Akan tetapi dia bukan orang gagah, dia menaluk karena terbujuk rayuan tiga orang wanita itu."

"Hemmm, kau sendiri, orang baik-baikkah? Kenapa engkau menjadi antek para Lama dan juga bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal?"

"Aku murid Suhu Lulung Lama, tentu saja aku membantu Suhu. Kami memang pejuang, akan tetapi bukan penjahat. Kerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal hanya kerja sama di bidang menghadapi musuh, bukan untuk urusan lain. Aku tidak suka cara-cara pengecut dan curang."

Sian Li mengamati wajah pemuda itu dengan tajam penuh selidik, Ada benarnya pula ucapan pemuda itu. Jujurkah dia dalam usahanya menolongnya? Memang benar juga bahwa tidak ada gunanya mempergunakan muslihat. Ia tadi sudah tidak berdaya. Andaikata terdapat muslihat di balik pertolongan pemuda ini tentu hanya untuk menyenagkan hatinya agar ia mau bekerja sama, membantu mereka dalam perjuangan melawan penjajah Mancu. Dan seperti juga Yo Han, ia tidak melihat sesuatu yang buruk dalam urusan membantu menentag pemerintah Mancu.

"Hemm, kalau begitu, sekarang aku menjadi tawanan, dan tidak boleh keluar dari tempat ini? Apakah aku boleh keluar dari kamar ini dan dengan bebas melihat-lihat keadaan di dalam sarang kalian ini?"

"Nona, akulah yang bertugas menjaga dan mengamatimu, dan aku sudah memberitahu kepada semua anggauta Hek I Lama agar engkau dibiarkan tinggal di sini dengan bebas, asal engkau tidak membikin ribut, tidak pula berusaha melarikan diri. Akulah yang bertanggung jawab atas dirimu, maka kalau Nona melarikan diri, berarti membikin susah padaku. Aku sudah berusaha menghindarkan dirimu dari keadaan yang tidak enak, maka kuharap engkau juga suka menjaga agar aku tidak sampai mendapat kesusahan karena engkau lari."

Sian Li mengangguk-angguk. "Baiklah, Cu Ki Bok. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan Liem Sian Lun, jahanam itu. Aku harus membuat perhitungan dengan dia!" Sian Li mengepal tinju, marah sekali kalau teringat kepada suhengnya itu.

Cu Ki Bok mengerutkan alisnya. "Nona Sian Li, tentu saja kalau kebetulan engkau bertemu dengan suhengmu itu...."

"Dia bukan suhengku lagi! Mungkin aku akan membunuh jahanam itu kalau bertemu dengan dia!"

"Nah, itulah yang kurisaukan. Kalau Nona bertemu dan bicara dengan dia, hal itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau sampai Nona menyerangnya, padahal kini Sian Lun telah menjadi sekutu kami, tentu semua orang akan membantunya dan Nona akan dipersalahkan. Oleh karena itu, mengingat bahwa urusan antara Nona dengan Sian Lun merupakan urusan pribadi, sebaiknya Nona bersabar hati dan menunggu sampai kelak setelah kalau kalian berada di luar lingkungan kami, barulah Nona dapat membuat perhitungan. Jangan di sini, Nona.”

Sian Li mengangguk-angguk. Benar juga, Pikirnya. Sian Lun telah menjadi sekutu mereka. Kalau ia menyerang Sian Lun, tentu mereka akan membantunya, bahkan pemuda di depannya ini tentu saja terpaksa harus berpihak kepada Sian Lun pula.

"Baiklah, aku tidak akan menyerangnya. Akan tetapi setidaknya ajaklah dia ke sini agar aku dapat bertanya sendiri kepadanya. Baru akan puas hatiku dan yakin bahwa dia benar-benar telah menyeleweng."

"Akan kuusahakan, Nona."

Pemuda itu lalu mengajak Sian Li keluar dari kamarnya. Dan kini, dalam keadaan sadar dan tidak terbelenggu, gadis itu mendapat kesempatan mengamati keadaan di sarang Hek I Lama itu. Tempat itu merupakan perkampungan besar dan di tengah-tengah terdapat bangunan induk yang bentuknya seperti kuil. Bangunan induk itu besar sekali, sedangkan tempat dimana ia dikurung merupakan bangunan disebelah kiri bangunan induk. Di dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah-rumah yang bentuknya sama, dan itulah tempat tinggal para anggauta Hek I Lama. Terdapat pula bangunan baru berupa pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anggauta pasukan Nepal, juga tempat para tamu dari pengemis tongkat hitam.

Setelah keluar dari rumah tempat ia di tahan, nampaklah oleh Sian Li betapa melarikan diri dari situ merupakan hal yang tidak mungkin. Banyak sekali anggauta gerombolan itu berkeliaran, dan penjagaan juga diadakan dengan amat ketatnya. Baru rumah di mana ia dikurung itu saja dijaga oleh sedikitnya dua puluh orang! Tak mungkin ia dapat pergi tanpa diketahui dan sekali ketahuan, tentu ia akan dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang. Cu Ki Bok berkata benar. Bodoh sekali kalau ia berusaha melarikan diri. Sebaiknya bersabar menanti kesempatan yang lebih baik. Selama ia tidak diganggu, ia akan tinggal di situ, menanti kesempatan melarikan diri, atau menanti sampai munculnya Yo Han karena ia merasa yakin bahwa Yo Han pasti tidak akan membiarkan saja ia menjadi tawanan gerombolan. Teringat akan Yo Han, Sian Li tersenyum. Bekas suhengnya itu hebat bukan main!

"Kenapa Nona tersenyum?" tanya Cu Ki Bok dan ketika gadis itu memandang kepadanya, pemuda itu pun tersenyum. "Senang melihat Nona gembira," sambungnya.

"Tempat ini indah sekali, dan penjagaannya amat kuat. Engkau benar sekali, Ki Bok. Aku harus menanti dengan sabar dan tidak akan mencoba kebodohan melarikan diri. Dan kalau engkau beritikad baik, jangan sebut Nona kepadaku. Namaku Sian Li."

Wajah pemuda itu berseri. "Aku tahu bahwa engkau adalah gadis yang selain gagah perkasa dan cerdik, juga berhati mulia, Nona.... eh, Sian Li. Sungguh aku akan merasa bahagia sekali kalau akhirnya akan dapat menjauhkanmu dari bencana dan ancaman bahaya. Nah, sekarang engkau akan kutinggalkan. Akan tetapi sekali lagi kuperingatkan, jangan mencoba untuk membuat keributan. Nona.... eh, kau akan selalu diawasi, Sian Li. Dan seperti kukatakan tadi, aku yang diserahi tugas menjagamu dan bertanggung jawab."

Sian Li mengangguk tegas. "Baik Ki Bok. Dan aku sudah berjanji, bukan? Aku tidak akan suka melanggar janjiku sendiri."

Ki Bok tersenyum dan pergi meninggalkannya. Hemm, pemuda itu semakin tampan kalau tersenyum, pikir Sian Li. Sayang pemuda sebaik itu berada di tengah orang-orang Hek I Lama, tempat yang sungguh tidak sesuai dengan dirinya. Dan ia teringat betapa Ki Bok juga telah menguasai ilmu kepandaian silat yang tangguh.

Sian Li berjalan-jalan, dan kemana pun ia pergi di dalam kampung para pendeta Lama itu, ia tahu bahwa semua matamengamatinya. Ia selalu dibayangi secara diam-diam. Ketika ia tiba di pintu gerbang, satu-satunya pintu gerbang di perkampungan itu, ia melihat betapa di situ terdapat puluhan orang penjaga! Dan perkampungan itu dikelilingi pagar tembok yang tinggi, bahkan di sudut-sudutnya terdapat menara di mana terdapat penjaga pula. Seperti benteng saja. Belum lagi perondaan yang ia lihat dilakukan pasukan kecil Hek I Lama. Sukarlah untuk dapat melarikan diri dari perkampungan itu, dan agaknya lebih sukar lagi untuk menyusup masuk! Biarpun demikian, ia yakin bahwa Yo Han akan dapat menyerbu masuk dan menemukan dirinya.

Benar seperti dikatakan Ki Bok, kemana pun ia pergi, sampai ke pintu gerbang pun, tidak ada orang yang melarangnya, namun makin dekat dengan pintu gerbang, semakin banyak orang membayangi dan mengamatinya. Agaknya semua anggauta Hek I Lama sudah mendapat perintah untuk mengamatinya akan tetapi tanpa mengganggunya. Diam-diam ia bersukur dan berterima kasih kepada Cu Ki Bok. Akan tetapi karena teringat betapa ia ditipu Sian Lun, bahkan lalu dibelenggu oleh bekas suhengnya itu, ia amat membenci Sian Lun. Ia berusaha untuk menemui bekas suheng itu, sekarang ia tidak sudi lagi mengaku suheng kepadanya, namun usahanya sia-sia saja. Ia sampai pula di pemondokan para orang Nepal, dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu lagi ketika melihat betapa mata orang-orang Nepal itu memandang kepadanya seperti sekumpulan srigala memandang seekor domba muda yang gemuk. Juga ia merasa jijik ketika melihat sekelompok anggauta pengemis tongkat hitam yang berpakaian butut dan dekil, kotor sekali dan jorok.

Dengan berindap-indap ia kini menghampiri bangunan yang berbentuk kuil. Baru tiba di pekarangan saja sudah mendengar suara orang berdoa, diiringi ketukan kayu berirama. Dan ketika ia tiba di ambang pintu gerbang masuk, nampak asap tebal mengepul tebal dari ruangan depan yang menjadi ruangan sembahyang seperti pada kuil-kuil biasa. Kiranya bangunan induk ini di bagian depannya memang merupakan kuil yang luas dengan ruangan sembahyang yang mewah. Dan di tempat ini, penjagaan lebih ketat lagi walaupun penjaganya tidak tampak berjaga, melainkan para pendeta yang bertugas di situ.

Ia dibiarkan masuk ke ruangan ke dua di belakang ruangan sembahyang dan ternyata ruangan ini lebih luas lagi. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia melihat sebuah peti mati berada di tengah ruangan ini, engap dengan meja sembahyang dan dikelilingi pendeta-pendeta Lama yang berdoa. Ada orang mati di sini! Dan setelah ia menjenguk ke dalam, baru ia tahu mengapa tadi dalam perjalanan berkeliaran di perkampungan itu, ia tidak bertemu dengan tokoh-tokoh persekutuan itu. Kiranya mereka samua berkumpul di ruangan ini, agaknya melayat yang mati! Dan semua orang itu agaknya tidak mempedulikan Sian Li yang berada di luar pintu. Dengan terang-terangan Sian Li memandang ke arah kelompok yang duduk di ruangan itu. Ia melihat mereka lengkap semua! Lulung Lama, Cu Ki Bok, Hek-pang Sin-kai ketua perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam, Pangeran Gulam Sing dengan dua orang jagoannya yaitu Badhu dan Sagha, ada pula Pek-lian Sam-li bersama Liem Sian Lun yang duduk di tengah-tengah antara mareka. Akan tetapi tidak nampak di antara mereka. Siapa lagi kalau bukan ketua para Lama Jubah Hitam itu yang berada di dalam peti mati? Tentu kakek tua renta itu tewas setelah bertanding melawan Yo Han!

Ia melihat lagi ke arah peti mati besar itu. Aih! Semua orang melayat dan Dobhin Lama tidak nampak di antara mereka. Siapa lagi kalau bukan ketua para Lama Jubah Hitam itu yang berada di dalam peti mati? Tentu kakek tua renta itu tewas satelah bertanding melawan Yo Han!

Ia melihat Sian Lun mengangkat muka memandang kepadanya, akan tetapi suhengnya itu menunduk kembali. Sian Li ingin menghampiri bekas suheng itu, memaki-makinya, atau menyeretnya dan menyerangnya. Akan tatapi ia teringat akan janjinya kepada Ki Bok dan pada saat itu, ia melihat Ki Bok juga memandang kepadanya. Bahkan pemuda itu lalu bangkit, dan dengan tenang menghampirinya, keluar dari pintu dan berkata dengan suara lirih

"Harap jangan memasuki ruangan berkabung ini, Sian Li. Kecuali kalau angkau ingin melayat.”

“Dobhin Lama?" tanya Sian Li, juga berbisik sambil memandang ke arah peti mati.

Ki Bok mengangguk. "Supek sudah terlalu tua. Pertandingan dengan Sin-cing Tai-hiap menghabiskan tenaganya.

Dia meninggal karena kehabisan tenaga dan napas, tidak terluka. Pendekar aneh itu terlalu lihai baginya...."

Diam-diam Sian Li merasa bangga dan girang bukan main. Akan tetapi diam saja, lalu melirik ke arah Sian Lun yang masih menunduk, dan berkata, "Aku masih ingin bicara dengan jahanam itu."

Ki Bok mengangguk. "Akan kuusahakan, akan tetapi tidak sekarang. Setelah selesai pengurusan jenasah Supek. Engkau tidak hendak melayat dan duduk di dalam?"

Sian Li menggeleng kepala. Untuk apa masuk ka ruangan itu dia melihat Sian Lun di antara tiga wanita cabul itu? Ia khawatir tidak akan dapat menahan hatinya untuk tidak menyerang bekas suheng itu. Pula, tidak perlu berkabung terhadap kematian Ketua Hek I Lama yang menyebabkan Sian Lun tersesat dan ia sendiri tertawan. Ia lalu meninggalkan ruangan itu, keluar lagi.

Senja telah mendatang, dan lampu-lampu penerangan mulai dipasang di perkampungan itu. Sian Li kembali ke kamarnya dan seorang pelayan wanita setengah tua menyerahkan pakaian pengganti kepadanya, juga mempersiapkan air untuk mandi. Sian Li merasa senang. Ternyata Ki Bok memegang janjinya. Ia diperlakukan seperti seorang tamu terhormat, dilayani semua keperluannya walaupun diam-diam ia tidak pernah dilepaskan dari pengamatan tajam. Kepada pelayan itu ia pun dapat memesan semua keperluannya, minta disediakan makan malam.

Bagaimanapun juga, Sian Li tetap berhati-hati, memeriksa semua makanan dan minuman lebih dahulu sebelum memakan dan meminumnya. Penerangan dalam kamarnya juga cukup terang dan suasana cukup menyenangkan.

Malam itu sore-sore bulan sudah muncul. Udara cerah dan langit bersih, bulan tiga perempat menyinarkan cahaya lembut. Sian Li tidak betah berada di kamarnya. Ia keluar dan berjalan-jalan di taman bunga dalam perkampungan itu. Sebuah taman yang cukup luas dan terpelihara baik-baik. Agaknya, para pendeta Lama ini bukanlah orang-orang kasar, melainkan suka pula akan kedamaian dan keindahan.

Agaknya para tokoh masih berada di ruangan berkabung, dari mana terdengar doa-doa untuk si mati. Sian Li melihat banyak pula penjaga di taman itu, bahkan ia dapat menduga bahwa begitu ia memasuki taman, maka tempat itu telah dikepung para anggauta Hek I Lama yang bertugas mengamatinya. Ia menduga-duga apakah Ki Bok juga ikut mengamatinya, ataukah pemuda itu sudah begitu percaya kepadanya sehingga ikut berkabung di ruangan itu.

Di dekat empang ikan emas terdapat bangku-bangku yang dilindungi atap. Sian Li duduk di satu, termenung. Bulan menari-nari di air yang digerakkan perlahan oleh ikan-ikan yang berkejaran. Ia teringat akan Yo Han dan kembali bibirnya tersenyum, senang sekali mengingat pemuda itu, orang yang ketika ia masih kecil paling disayangnya. Dan sekarang setelah mereka kembali saling berjumpa dalam keadaan sudah sama dewasa, ia tidak tahu! Yang jelas, penyelewengan Sian Lun hanya membuat ia marah, tidak membuat ia bersedih. Diam-diam ia malah merasa gembira bahwa hal ini membuktikan bahwa biarpun tadinya ia sayang kepada Sian Lun, kesayangan itu adalah keakraban antara kakak beradik seperguruan yang selalu ingin akrab dalam pergaulan, dalam latihan bersama. Ia tidak pernah mencinta Sian Lun! Dan Yo Han? Ia tidak tahu, yang jelas, ia merasa bangga, kagum dan juga senang sekali dapat bertemu kembali dengan Yo Han!

Yo Han takkan membiarkan ia terancam bahaya! Ia yakin bahwa pemuda itu pasti akan datangmenyelamatkannya. Ia teringat betapa sejak kecil, ketika ia baru berusia empat tahun, dan Yo Han juga hanya seorang anak remaja yang lemah, Yo Han sudah berani membelanya mati-matian, bahkan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri dengan menukar dirinya menjadi tawanan iblis betina Ang I Moli. Yo Han pasti akan menolongnya! Kini ia mencoba mengenang kembali apa yang dapat diingatnya ketika ia masih kecil, ketika Yo Han masih menjadi murid ayah ibunya. Samar-samar masih teringat olehnya betapa dahulu ia sering digendong Yo Han, diajak bermain-main, dihibur dan selalu disenangkan hatinya.

"Nona, alangkah cantiknya engkau....!"

Tentu saja Sian Li terkejut dan serentak sadar dari lamunan ketika tiba-tiba mendengar kata-kata pujian yang lembut itu. Ia meloncat berdiri dan membalik karena suara itu tadi datang dari belakang dan ia berhadapan dengan pria tinggi besar gagah perkasa itu. Pangeran Gulam Sing! Kalau saja ia tidak ingat akan janjinya kepada Cu Ki Bok, tentu Sian Li sudah menerjang dan menyerang pangeran Nepal yang dibencinya ini.

"Mau apa engkau? Pergi, aku tidak ingin bicara denganmu!" bentanya, lalu ia duduk kembali, membelakangi pangeran itu.

"Aduh, alangkah cantiknya! Marah-Marah semakin cantik jelita. Bukan main!" Kata-kata itu diucapkan dalam bahasa Han yang patah-patah sehingga terdengar lucu, namun cukup membuat kedua pipi Sian Li menjadi merah oleh perasaan malu dan marah.

"Manusia biadab! Jangan mencari perkara, atau aku akan kehilangan kesabaran dan akan membunuhmu! Sian Li membentak lagi, kini memutar duduknya menghadapi pangeran itu dangan air mata barapi. Wajahnya tertimpa sinar bulan dan nampak cantik bukan main, Pangeran itu mengerutkan alisnya. Sebelum bangsa Han dijajah Mancu, memang Kerajaan Beng menganggap orang asing adalat bangsa biadab. Maka tentu saja Pangeran Gulam Sing merasa dihina sekali. Akan tetapi dia malah tertawa, suara tawanya bening dan aneh.

"Nona Tan Sian Li, aku seorang pangeran! Pandanglah wajahku baik-baik, aku seorang pangeran Nepal, bukan bangsa biadab. Seluruh bangsa Nepal kalau melihatku, menghormati dan memuliakan aku, bahkan tidak mampu bergerak. Engkau juga, Nona! Pandang aku baik-baik, aku seorang pangeran dan engkau harus tunduk kepadaku!"

Pangeran tinggi besar itu kini melangkah maju menghampiri Sian Li, Gadis itu hendak meloncat bangun, akan tetapi aneh, ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya! Terngiang di dalam telinganya perintah pangeran itu bahwa ia harus tunduk dan tidak mampu bergerak. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga sin-kangnya pada saat pangeran itu sudah memegang kedua tangannya dan menariknya bangkit berdiri. Di lain saat, ia sudah didekap dalam pelukan kedua lengan yang panjang dan besar itu, dan iamencium bau keharuman yang aneh keluar dari dada pangeran itu, di mana wajahnye didekap rapat.

"Pangeran, lepaskan nona itu!" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Pangeran Gulam Sing terkejut, lalu menoleh. Kiranya Cu Ki Bok yang membentak itu. "Nona Tan Sian Li, mundurlah engkau!" Sungguh eneh, baru sakarang Sian Li dapat bergerak, seolah tenaga tak nampak yang tadi mampengaruhinya telah lenyap. Tahulah ia bahwa ia tadi dipengaruhi sihir pangeran Nepal itu, dan agaknya Cu Ki Bok yang membebaskannya dari pengaruh sihir.

"Pangeran Iblis! Keparat busuk engkau!" Ia pun membentak dan ia sudah menerjang dan menyerang Pangeran Gulam Sing. Pengeran itu mengelak dengan loncatan ke belakang dan ketika Sian Li hendak menyerang lagi, Ki Bok telah menghadang di depannya.

"Sian Li, ingat akan janjimu. Jangan membuat keributan di sini!"

Sian Li teringat dan ia pun menahan diri, mukanya merah dan matanya masih berkilat. Sementara itu, Pangeran Gulam Sing tertawa, "Ha-ha-ha, saudara Cu Ki Bok, engkau malah membela Si Bangau Merah ini? Sungguh aneh sekali!"

"Pangeran." kata Cu Ki Bok dan suaranya mengandung kemarahan. "Kalau Ketua Hek I Lama mendengar akan apa yang kau lakukan ini, tentu beliau akan menjadi tidak senang."

"Hem, Ketua Hek I Lama sudah mati, petinya juga belum diangkat dan ruangan berkabung!” kata pangeran itu membantah.

"Pangeran! Engkau tentu tahu bahwa wakil ketua adalah guruku, Lulung Lama dan setelah kini Supek Dobhin Lama meninggal dunia, gurukulah yang menjadi ketua! Nona Tan Sian Li ini menjadi tamu yang dihormati, dan Ketua Hek I Lama yang menugaskan aku untuk menjaganya. Kuharap Pangeran tidak membuat keributan di sini dan bersikap sebagai tamu dan sahabat yang baik."

"Aku protes!" Pangeran itu marah-marah. "Saudara Liem Sian Lun dan ketiga Pek-lian Sam-li telah berjanji akan menghadiahkan gadis ini kepadaku, dan sekarang engkau hendak menghalangiku! Beginikah sikap seorang sahabat?"

"Pangeran, lupakah Pangeran siapa Liem Sian Lun dan Pek-lian Sam-li? Mereka pun hanya tamu-tamu dari Hek I Lama seperti juga engkau. Nona ini adalah seorang tawanan kami, dan yang berhak memutuskan mengenai dirinya adalah ketua kami. Ketua kami menganggap Nona ini seorang pendekar wanita gagah perkasa yang patut diajak bekerja sama berjuang menentang orang Mancu. Bagaimana mungkin para tamu seperti Liem Sian Lun dan Pek-lian Sam-li dapat menghadiahkan Nona ini kepadamu? Mereka tidak berhak!"

"Orang muda, berani engkau bersikap seperti ini terhadap aku? Bagaimana kalau aku memaksa untuk memiliki gadis ini?"

Sepasang mata pemuda itu berkilat. Dia meraba pinggangnya di mana terdapat sabuk bajanya yang kedua ujungnya dipasangi pisau, senjatanya yang ampuh dan dia berkata dengan tegas.

"Pangeran, aku adalah utusan Ketua Hek I Lama dan aku melaksanakan tugas yang diperintahkan untuk menjaga Nona ini. Kalau ada yang berani mengganggunya, berarti dia melanggar peraturan di sini dan aku akan menghadapinya sebagai wakil ketua Hek I Lama!"

"Bocah sombong....!" Akan tetapi pada saat itu, entah dari mana datangnya, nampak beberapa orang pendeta Lama Jubah hitam bermunculan. Mereka hanya berdiri memandang, akan tetapi sikap mereka jelas siap untuk membantu Cu Ki Bok. Melihat ini, Pangeran Gulam Sing sadar bahwa dia berada di tempat orang sebagai tamu. Dia memandang kepada Sian Li dan mengepal tinju. Daging lunak yang sudah berada di depan bibir, terpaksa harus dia lepaskan! Dengan bersungut-sungut, memaki-maki dalam bahasanya sendiri, dia pun meninggalkan taman itu. Beberapa orang pendeta Lama itu pun, seperti bayangan-bayangan saja, lenyap dari dalam taman. Tahulah Sian Li bahwa andaikata Cu Ki Bok tidak berada di situ pun, para pendeta Lama itu tentu akan melihat ulah Pangeran Gulam Sing dan mereka akan turun tangan membantunya dan melapor kepada Cu Ki Bok. Betapapun juga, ia berterima kasih kepada pemuda ini dan ia bergidik kalau teringat betapa tadi ia didekap oleh pangeran Nepal yang tinggi besar itu tanpa mampu berkutik! Sian Li mulai percaya kepada Cu Ki Bok bahwa pemuda murid Lulung Lama ini memang benar-benar hendak melindunginya.

"Ki Bok, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Apa yang telah terjadi denganku tadi? Kenapa aku tidak mampu bergerak! Apakah jahanam itu mempergunakan sihir?"

"Benar, Sian Li. Maafkan, aku agak terlambat. Akan tetapi, seperti kaulihat tadi, selalu ada beberapa orang anggauta Hek I Lama yang membayangimu sehingga engkau selalu aman. Para anggauta tadi tidak mengira bahwa pangeran itu akan menggunakan sihir."

"Kalau begitu, engkau pun ahli sihir. Ki Bok?" tanya Sian Li dan pemuda itu tersenyum, merasa girang bukan main melihat sikap gadis itu terhadapnya kini berubah, tidak lagi angkuh dan ketus seperti sebelumnya, kini nampak ramah bersahabat!

"Sian Li, engkau tahu bahwa aku murid Suhu Lulung Lama, murid seorang tokoh pendeta Lama. Oleh karena itu, selain ilmu silat, aku pun mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan juga ilmu kebatinan sehingga tidak aneh kalau aku pun mempelajari ilmu sihir."

"Hemm, kata orang tuaku dan juga paman kakek yang menjadi guruku, ilmu sihir dapat membuat orang menjadi sesat. Kenapa engkau mempelajarl ilmu seperti itu, Ki Bok?"

Pemuda itu tertawa. "Aihh, engkau ini yang aneh sekali, Sian Li. Engkau sendiri masih keturunan keluarga para Pendekar Pulau Es, bahkan juga pendekar Gurun Pasir! Padahal, menurut yang kudengar, dahulu Pendekar Super Sakti Pulau Es adalah seorang sakti yang selain hebat ilmu silatnya, juga ahli dalam ilmu sihir!"

Sian Li tersenyum. "Memang engkau benar, akan tetapi menurut orang tuaku, mempelajari ilmu sihir amatlah berbahaya karena ilmu seperti itu condong untuk menyeret orangnya kepada kesesatan."

Pemuda itu kini duduk di bangku, berhadapan dengan Sian Li yang juga sudah duduk. "Segala macam ilmu mengandung daya tarik yang dapat menyesatkan orang, Sian Li. Ilmu apapun juga membuat orang merasa lebih pandai daripada orang lain, dan ada kecondongan mempergunakan ilmu yang dikuasainya itu untuk berkuasa atau mencari pengaruh atas orang-orang lain. Ilmunya sendiri tidak baik atau pun buruk. Baik buruknya tergantung dari dia yang mempergunakannya. Betapa baik pun sebuah ilmu, kalau dipergunaken untuk mencelakai orang lain ilmu itu menjadi jahat. Sebaliknya, ilmu yang dianggap jahat, kalau dipergunakan untuk menolong orang lain, akan menjadi ilmu yang baik. Bukankah begitu?"

Sian Li pernah mendengar ini, maka ia pun mengangguk dan kini pandangannya terhadap pemuda itu sama sekali berubah. Ia tidak tahu benar bahwa semua agama di dunia ini mengajarkan orang agar hidup bijaksana dan baik. Pelajaran agama yang dipelajari Ki Bok dari pendeta Lama, tentu saja juga mengatakan yang baik-baik. Kalau terjadi kejahatan dilakukan orang beragama, maka hal itu berarti bahwa orang itu telah menyeleweng daripada pelajaran agamanya sendiri.

Tidak ada agama di dunia ini yang mengajarkan orang untuk menjadi jahat. Justeru yang dinamakan agama adalah pelajaran tentang budi pekerti, mengajarkan orang untuk menjadi manusia yang baik dan berguna bagi manusia lain. Cu Ki Bok yang sejak kecil menjadi murid pendeta Lama, tentu saja juga membaca kitab-kitab agama yang pada hakekatnya tiada bedanya dengan kitab-kitab agama lain, yaitu menuntun manusia ke arah jalan hidup yang benar.

"Sebenarnya, oleh orang tuaku dan paman kakekku, aku pun telah menerima latihan kekuatan batin yang dimaksudkan menolak pengaruh sihir. Akan tetapi, tadi aku sama sekali tidak mengira bahwa pangeran Nepal itu akan mempergunakan sehingga aku menjadi lengah. Ki Bok, apakah kau kira Sian Lun juga terpengaruh sihir?" Tiba-tiba timbul dugaan ini dalam pikiran Sian Li.

Ki Bok menarik napas panjang. "Mungkin saja, akan tetapi yang jelas suhengmu itu seorang pria yang lemah dan mudah dirayu. Sungguh sayang sekali karena sesungguhnya dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau dia bekerja sama dengan kami untuk menentang penjajah Mancu, hal itu baik-baik saja. Aken tetapi aku khawatir kalau dia sampai terseret oleh Pek-lian-kauw, melakukan hal-hal yang tidak patut."

Hening sejenak. Kemudian Sian Li mengangkat muka memandang pemuda itu. "Ki Bok, engkau kini kuanggap sebagai seorang sahabat. Aku percaya kepadamu. Katakanlah, apa maksud gurumu dengan menahanku di sini? Berterus terang sajalah agar hatiku tidak menjadi ragu kepadamu."

"Mudah sekali diduga, Sian Li. Engkau tahu bahwa Hek I Lama sedang menyusun kekuatan...."

"Hemm, untuk memberontak kepada pemerintah Dalai Lama di Tibet?"

"Benar, akan tetapi selain hal itu merupakan urusan dalam para pendeta Lama, juga satu di antara sebabnya kerena pemerintah Tibet mengakui kekuasaan pemerintah Mancu. Nah, Hek I Lama dianggap memberontak karena tidak menyetujui hal itu. Karenanya, Hek I Lama yang kini dipimpin oleh Suhu Lulung Lama menyusun kekuatan dan mengharapkan bantuan orang-orang kuat, untuk bersama-sama menentang penjajah Mancu, juga untuk menentang pemerintah Tibet yang mau menjadi taklukan orang Mancu."

"Jadi aku ditahan untuk dibujuk agar mau bekerja sama dengan Hek I Lama?"

"Begitulah. Suhu mengharapkan engkau akan membantu pula. Bukankah penjajah Mancu merupakan penjajah yang menindas bangsa kita? Aku sendiri pun mempunyai darah Han, Sian Li. Aku akan merasa gembira sekali kalau engkau suka bekerja sama dengan kami."

"Dan bagaimana kalau aku menolak kerja sama? Apakah aku akan dibunuhnya?”

Cu Ki bok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala keras-keras.

"Suhu tidak akan memaksa orang untuk bekerja sama. Paksaan itu akhirnya hanya akan merugikan kami sendiri, karena orang yang dipaksa bekerja sama akhirnya mudah saja menjadi pengkhianat. Tidak, engkau tidak akan dipaksa. Andaikata ada yang akan memaksa atau mengganggumu, demi Tuhan, aku akan membelamu dengan taruhan nyawaku, Sian Li!" Pemuda itu bicara penuh semangat, membuat Sian Li terheran dan ia menatap wajah pemuda itu penuh selidik. Namun, sinar bulan tidak cukup terang sehingga tidak melihat betapa wajah pemuda itu berubah kemerahan.

"Akan tetapi.... kenapakah, Ki Bok? Kenapa engkau hendak membelaku seperti itu? Kenapa engkau begini baik kepadaku? Padahal, bukankah sejak pertama kali saling bertemu, kita berhadapan sebagai musuh?"

Pemuda itu menggeleng kepala. "Hanya salah paham, Sian Li, hanya karena saling memperebutkan kebenaran masing-masing. Sudahlah, sebaiknya engkau kembali ke dalam kamarmu untuk beristirahat. Besok, setelah jenazah Supek diperabukan, mungkin Suhu akan bicara denganmu tentang ajakan bekerja sama itu."

"Apa yang harus kujawab?"

"Sudah kukatakan, kalau engkau suka bekerja sama, aku akan merasa berbahagia sekali, Sian Li."

"Kalau aku menolak?"

Pemuda itu menghela napas panjang. "Aku akan merasa kecewa sekali. Akan tetapi tentu saja terserah. kepadamu, dan aku yang akan membantumu agar dapat pergi dari sini dalam keadaan bebas dan aman."

Tentu saja hati Sian Li menjadi girang bukan main. "Sungguh mati, amat sukar menilai keadaan hati atau watak aseli seseorang," katanya. "Tadinya kukira engkau seorang yang amat jahat, Ki Bok, tidak tahunya engkau adalah seorang yang berhati mulia. Sebaliknya, suhengku yang kunilai sebaik-baiknya orang, ternyata malah seorang manusia yang budinya rendah!"

Pemuda itu tersenyum. "Karena itu, jangan tergesa-gesa menilai seseorang, Sian Li. Yang hari ini kaunilai baik, mungkin besok akan kaucela, sebaliknya yang kemarin kaucela, hari ini akan kaupuji. Mungkin kalau hari ini aku kaunilai baik, besok lusa akan kaunilai jahat lagi, siapa tahu?"

Sian Li tertawa. "Aku mengerti, Ki Bok. Penilaian seseorang tergantung daripada kepentingan si penilai, kalau diuntungkan, tentu menilai baik, kalau dirugikan, akan menilai buruk. Akan tetapi, juga tergantung kepada orang yang dinilai. Setiap perbuatan baik tentu mendatangkan kekaguman, dan perbuatan buruk mendatangkan celaan. Bukankah demikan?"

"Engkau memang cerdik, Sian Li. Nah kau bersabar dan tenanglah saja, dan harap menjaga diri agar jangan sampai terpancing keributan sebelum Suhu Lulung Lama bicara denganmu. Selamat malam dan selamat tidur."

Sian Li yang sudah bangkit, tersenyum. "Selamat bermimpi, Ki Bok."

Mereka berpisah dan Sian Li sama sekali tidak mengira bahwa ucapannya tadi sungguh terjadi. Ia mengatakan selamat bermimpi hanya untuk berkelakar, tidak tahunya malam itu Ki Bok benar-benar bermimpi semalam suntuk, mimpi bertemu dengannya dan berkasih sayang dengannya!

***

Gak Ciang Hun, ibunya, dan Yo Han bekerja dengan cepat. Yo Han segera menghubungi para tokoh di perbatasan yang pernah disadarkannya, sedangkan Nyonya Gak dan puteranya pergi menghadap para pendeta Lama dan pasukan pemerintah yang berada di benteng daerah perbatasan tak jauh dari tempat itu.

Panglima yang menjadi komandan pasukan Tibet itu menerima laporan Gak Ciang Hun dan ibunya. Dia segera berunding dengan para pendeta Lama. Tentu saja mereka sudah mendengar akan adanya gerakan Hek I Lama, akan tetapi karena gerombolan itu tidak melakukan kekacauan, pasukan pemerintah pun tadinya mendiamkan saja. Bagaimanapun juga para pimpinan Hek I Lama dahulunya adalah tokoh-tokoh pendeta Lama yang terkenal. Akan tetapi, ketika mendengar laporan Gak Ciang Hun dan ibunya bahwa gerombolan pendeta Lama jubah hitam itu kini bersekutu dengan orang-orang Nepal yang menjadi pelarian dari negara mereka, juga bersekutu dengan kaum pengemis sesat dan orang-orang Pek-lian-kauw, komandan itu merasa khawatir dan dia pun cepat mengerahkan pasukan, siap untuk melakukan penyerbuan terhadap gerombolan yang kini merupakan persekutuan besar dan hendak melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Tibet itu.

Sementara itu, para tokoh sesat yang kini telah sadar akibat kebijaksanaan Sin-ciang Tai-hiap, ketika pandekar aneh itu minta bantuan mereka tentu saja mereka menjadi gembira dan mereka seakan berlumba untuk membuktikan bahwa kini mereka bukanlah penjahat-penjahat lagi, melainkan orang-orang gagah yang siap mengganyang pemberontak dan penjahat yang mengganggu ketenteraman.

Setelah menerima kesanggupan para tokoh kang-ouw itu, Yo Han yang ketika menemui mereka mengenakan capingnya yang menyembunyikan mukanya dan mengurai rambut, cepat kembali ke bukit yang dijadikan sarang Hek I Lama. Dia pun menanggalkan penyamarannya dan ketika dia muncul di depan pintu gerbang yang seperti benteng itu, dia sudah menjadi seorang pemuda biasa, bukan lagi pendekar yang selalu menyembunyikan mukanya itu. Yo Han maklum bahwa dia tidak perlu menyamar kalau ingin memasuki perkampungan yang menjadi sarang gerombolan itu dengan aman. Pemuda murid Lulung Lama itu pernah melihat dia bersama Sian Li, pernah pula bicara dengan dia. Oleh karena itu, ketika para penjaga pintu gerbang menghadang dan membentaknya, dia pun berkata dengan suara tenang.

"Aku bernama Yo Han, dan aku ingin bertemu dengan saudara Cu Ki Bok. Aku sudah mengenalnya."

Yo Han dipersilakan menunggu dan dua orang penjaga lalu berlari masuk untuk memberi kabar kepada Cu Ki Bok. Selama dua hari ini, sejak jenazah Dobhin Lama diperabukan, ketua baru mereka, Lulung Lama, memerintahkan agar penjagaan diperketat dan semua anggauta Hek I Lama diharuskan bersiap siaga. Lulung Lama maklum bahwa Sin-ciang Tai-hiap tentu tidak akan tinggal diam dan akan datang menyerbu untuk membebaskan Tah Sian Li. Oleh karena ingin memancing munculnya Sin-ciang Tai-hiap inilah maka dia memerintahkan agar gadis itu tetap menjadi tawanan, walaupun diperlakukan dengan baik. Dia sudah membujuk agar gadis itu suka membantu perjuangannya, dengan harapan kalau gadis itu mau bekerja sama seperti halnya Sian Lun, mungkin Sin-ciang Tai-hiap akan mau pula membantunya. Dan mengingat bahwa gadis itu dan suhengnya adalah murid keluarga Pulau Es, maka kalau mereka bekerja sama dengan perkumpulannya, tentu lebih mudah menarik tokoh-tokoh kang-ouw untuk bekerja sama pula.

Ketika dua orang penjaga itu melapor bahwa ada orang bernama Yo Han mencarinya, Cu Ki Bok yang sudah lupa lagi akan nama itu, menduga-duga siapa orang yang mencarinya di tempat itu. Apalagi nama orang itu menunjukkan bahwa dia tentu orang Han. Dia sedang bingung memikirkan Sian Li. Gurunya tidak berhasil membujuk gadis itu untuk bekerja sama. Sian Li selalu menolak, dengan halus maupun kasar. Akan tetapi gurunya tetap belum mau membebaskan Sian Li. Menurut gurunya, gadis itu sengaja di tahan untuk memancing datangnya Sin-ciang Tai-hiap. Agaknya Lulung Lama masih penasaran dan belum puas kalau belum mendapatkan bantuan pendekar aneh itu.

Sian Li juga bertahan, tidak mau bekerja sama. Ia selalu mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri, dan harapan satu-satunya hanya pada Cu Ki Bok yang selama ini bersikap baik dan tidak mencurigakan. Kemarin, ketika ia kebetulan bertemu dengan Sian Lun di taman bunga, ia tidak mampu mengendalikan kemarahannya.

"Keparat busuk, penghianat jahanam!” Bentaknya, “Orang macam engkau layak mampus!" Dan Sian Li langsung saja menyerang bekas suhengnya itu dengan penuh kebencian. Saking dahsyatnya serangan gadis itu, biarpun Sian Lun sudah menangkis, tetap saja dia terhuyung ke belakang.

"Sumoi, nanti dulu....!" teriaknya.

"Siapa sumoimu? Aku tidak sudi menjadi sumoi seorang pengkhianat jahanam!" Dan Sian Li sudah menyerang lagi, mengerahkan tenaganya dan kembali Sian Lun terhuyung ke belakang.

"Sumoi....!"

Sian Li tidak memberi kesempatan kepada bekas suhengnya untuk banyak cakap lagi karena ia sudah menerjang lagi, dengan serangan-serangan yang dimaksudkan untuk membunuh! Ia bukan hanya membenci Sian Lun karena telah mengkhianatinya, membantu pihak musuh untuk mencurangi dan menangkapnya, akan tetapi juga karena ia mendengar dan melihat sendiri betapa bekas suheng itu telah bermain gila dengan tiga orang wanita cabul dari Pek-lian-kauw!

Pada saat Sian Lun terhuyung dan Sian Li terus mendesaknya, dan berhasil menendang paha Sian Lun sehingga pemuda itu terpelanting, tiba-tiba muncul Pek-lian Sam-li yang segera turun tangan membantu Sian Lun dan mengeroyok Sian Li!

Melihat munculnya tiga orang wanita yang memang dibencinya ini, Sian Li menjadi semakin marah dan ia pun mengamuk. Akan tetapi, tiga orang wanita itu juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, apalagi mereka maju bertiga sehingga begitu mereka membalas dan mendesak, Sian Li mulai terdesak mundur.

"Tahan! Jangan berkelahi!" Tiba-tiba muncul Cu Ki Bok melerai. "Sam-li, ajak Sian Lun manyingkir," katanya. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah. Mereka tahu bahwa Ki Bok adalah seorang pemuda yang berdisiplin dan setelah kini Lulung Lama menjadi Ketua Hek I Lama, maka pemuda itu berarti menjadi wakilnya. Mereka bertiga lalu menggandeng tangan Sian Lun dan diajak pergi dari situ. Sementara itu, Ki Bok menghampiri Sian Li dan menghiburnya.

"Sian Li, apa gunanya membuat ribut dengan bekas suhengmu itu? Kalau engkau sudah tidak menyukainya dan tidak mau berhubungan dengannya, lebih baik kaudiamkan saja dia. Membikin ribut di sini sungguh tidak menguntungkan dirimu, dan pula, jangan-jangan orang akan menganggap engkau...."

"Menganggap aku kenapa?" Sian Li mendesak, mukanya masih kemerahan karena marah.

"Maaf, mungkin saja orang akan menganggap engkau cemburu melihat keakrabannya dengan Pek-lian Sam-li...."

"Gila! Akan kuhancurkan mulut orang yang menganggap aku cemburu! Siapa yang cemburu? Biar dia menggandeng seratus orang perempuan, apa peduliku? Biar dia mampus! Yang membuat aku marah adalah karena dia adalah murid paman kakekku. Kalau guru-gurunya mengetahui akan kelakuannya, tentu dia pun akan mereka hukum berat!”

“Sudahlah, kelak dapat saja engkau membuat laporan kepada guru-gurumu, atau boleh saja engkau menghukum dia, akan tetapi kalau kalian sudah tidak berada di sinif. Kalau engkau membuat ribut di sini, tentu aku akan ikut repot menanggung akibatnya."

Demikianlah, sampai hari itu, Lulung Lama belum memberi keputusan mengenai diri Sian Li. Dan Ki Bok sedang menimbang-nimbang dan mencari jalan terbaik untuk membebaskan gadis itu. Dia jatuh cinta kepada Sian Li, akan tetapi kalau gadis itu tidak mau bekerja sama dengan Hek I Lama, terpaksa mereka harus berpisah dan dia harus mencarikan jalan terbaik agar gadis itu dapat keluar dari perkampungan yang menjadi pusat Hek I Lama itu secara aman. Ketika dua orang penjaga melapor tentang munculnya seorang bernama Yo Han mencarinya, Ki Bok segera menuju ke pintu gerbang.

Begitu melihat Yo Han, teringatlah dia akan pemuda yang dia temui bersama Sian Li tempo hari. Pemuda yang menjadi perantara menyampaikan tantangan mendiang Dobhin Lama kepada Sin-ciang Tai-hiap. Alisnya berkerut karena pertemuan ini sungguh mengejutkan hatinya, akan tetapi dia pun diam-diam merasa girang dan menaruh harapan untuk dapat mengadakan hubungan dengan Sin-ciang Tai-hiap melalui "perantara" ini.

"Kiranya saudara Yo Han yang datang berkunjung! Selamat datang, dan benarkah bahwa engkau hendak bicara dengan aku?" tanya Ki Bok.

Yo Han memberi hormat. "Benar sekali, dan saya datang untuk bicara tentang nona Tan Sian Li."

"Silakan masuk, saudara Yo Han, kita bicara di dalam," ajak Ki Bok, mempersilakan tamunya untuk memasuki pondok penjagaan di dekat pintu gerbang. Dengan lagak seorang yang jujur dan tidak curiga, Yo Han melangkah masuk mengikuti pemuda tinggi tegap yang tampan gagah itu, dan mereka lalu duduk berhadapan di atas bangku, di dalam pondok atau gardu penjagaan. Ki Bok sudah memberi isyarat kepada para petugas jaga untuk menjauhi gardu agar mereka berdua dapat bicara dengan leluasa tanpa terdengar orang lain. Karena pemuda itu merupakan seorang tokoh penting dalam perkumpulan Lama Jubah Hitam, maka para petugas menghormatinya dan mentaati perintahnya.

"Saudara Yo Han, selamat datang dan aku girang sekali menerima kunjunganmu ini. Angin baik apakah yang membawamu ke sini? Diam-diam Yo Han mendongkol akan tetapi juga waspada sekali. Pemuda di depannya ini sudah dia kenal ilmunya, dan ternyata selain lihai, juga cerdik dan licin bagaikan ular, pendai bersikap manis budi seperti ini.

Yo Han mengerutkan alisnya. "Aku datang karena diutus oleh Sin-ciang Tai-hiap," katanya sengaja berhenti, untuk melihat tanggapan orang itu.

Wajah Ki Bok nampak berseri mendengar disebutnya pendekar itu. Agaknya harapannya akan semakin besar dan kesempatan semakin etrbuka untuk dapat mengajak pendekar sakti itu bekerja sama. “Aih, sungguh merupakan kehormatan sekali dan terima kasih atas perhatian Sin-ciang Tai-hiap yang kami kagumi.”

Sudahlah tidak perlu bersandiwara,” kata Yo Han. “Tai-hiap marah sekali karena kecurangan kalian. Tidak kami sangka bahwa Hek I Lama,
perkumpulan besar yang terhormat itu dapat melanggar janji dan melakukan kelicikan dan kecurangan. Bukankah janjinya sebelum bertanding, kalau ketua kalian kalah oleh Tai-hiap, maka Sian Lun
akan dibebaskan dan mutiara hitam akan dikembalikan. Mutiara itu memang telah dikembalikan kepada Tai-hiap, akan tetapi kenapa Sian Lun tidak dibebaskan, sebaliknya adikku Sian Li malah ditangkap pula? Pantaskah hal securang itu dilakukan oleh orang-orang Hek I Lama yang gagah? Sepatutnya hanya dilakukan orang-orang pengecut, bukan anggauta perkumpulan pejuang yang menganggap dirinya pahlawan.”

Ki Bok tidak marah mendengar umpat caci ini dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia memang cerdik dan mampu mengendalikan perasaan hatinya. Dia malah tersenyum ramah.

“Harap tenang dan bersabarlah, saudara Yo Han, atau lebih baik kusebut Yo-toako (Kakak Yo) saja karena tadi engkau mengatakan bahwa engkau adalah kakak Nona Sian Li. Benarkah itu?”

Yo Han mengangguk. “Aku adalah kakak misan Tan Sian Li,” jawabnya. Dia tidak berterus terang, akan tetapi juga tidak terlalu membohong, karena bukankah dia termasuk kakak dari gadis itu, walaupun bukan kakak misan melainkan kakak seperguruan? Dia juga merasa seperti anak sendiri dari orang tua gadis itu, maka sepatutnya saja kalau dia mengaku gadis itu sebagai adiknya.

“Bagus, kalau begitu aku dapat bicara terus terang. Sesungguhnya, Sian Lun telah setuju untuk membantu perjuangan kami menawan orang-orang Mancu. Oleh karena itu, dia sengaja menawan sumoinya agar suka pula bekerja sama dengan kami. Sekarang, Nona Sian Li menjadi tamu kami, bukan tawanan dan diperlakukan dengan baik dan terhormat. Kami menunggu sampai Nona Sian Li juga menyetujui sikap suhengnya, dan mau pula bekerja sama dengan kami. Bahkan kami mengharapkan agar engkau suka menyampaikan himbauan kami kepada Sin-ciang Tai-hiap untuk bergabung dengan kami, bersama-sama menentang penjajah, Mancu.”

“Hemm, aku tidak tahu apakah Taihiap suka menerima ajakan itu atau tidak. Yang jelas, dia marah sekali karena janji yang merupakan taruhan pertandingan itu dilanggar. Pula, bagaimana aku dapat percaya bahwa adikku Sian Li diperlakukan dengan baik di sini sebelum aku bertemu dengannya dan melihat sendiri?”

“Engkau ingin bertemu dengan adikmu itu, Yo-toako? Baik, baik, tentu saja engkau boleh dan dapat bertemu dengannya. Akan tetapi tentu saja kita harus lebih dahulu menghadap Suhu dan minta persetujuannya.”

“Menghadap ketua kalian Dobhin Lama?”

“Tidak, menghadap Suhu Lulung Lama,” jawab Ki Bok singkat. Yo Han merasa heran akan tetapi diam saja tidak bertanya lagi dan dia mengikuti Cu Ki Bok yang mengajaknya memasuki perkampungan itu. Di rumah induk, dia dibawa Lulung Lama di ruangan depan rumah besar itu dan di situ Yo Han tidak saja melihat Lulung Lama akan tetapi juga para tokoh lain di tengah ruangan depan itu terletak sebuah peti mati. Diam-diam Yo Han terkejut. Kini mengertilah dia mengapa dia diajak menghadap Lulung Lama, bukan Dobhin Lama. Kiranya ketua perkumpulan Hek I Lama itu telah meninggal dunia! Padahal, kemarin masih bertanding dengan dia. Kalau begitu, agaknya kakek yang sudah tua renta itu terlalu memaksa diri mengerahkan tenaga ketika bertanding sehingga tubuh yang sudah tua itu kehabisan tenaga dan tewas. Mungkin ketika dia duduk bersila ketika selesai bertanding kemarin, dan diam saja melihat kecurangan anak buahnya yang mengeroyok, kakek itu sudah tewas. Kalau benar demikian, bukan Dobhin Lama yang curang, melainkan Lulung Lama dan anak buahnya. Juga penangkapan atas diri Sian Li tentu diatur oleh Lulung Lama, karena buktinya ketika Dobhin Lama merasa kalah, kakek tua itu mengembalikan mutiara hitam dan menyuruh Lulung Lama membebaskan Sian Lun.

“Siapa ,yang meninggal dunia itu?” tanya Yo Han, pura-pura terkejut dan tidak tahu.

“Dia adalah ketua kami....“

“Dobhin Lama yang bertanding melawan Sin-ciang Tai-hiap?” Yo Han bertanya. Cu Ki Bok mengangguk dan kesempatan ini dipergunakan oleh Yo Han untuk cepat menghampiri peti mati dan berlutut di depan peti mati sambil mengeluarkan kata-kata yang bernada sedih penuh penyesalan.

“Losuhu, maafkan saya. Sungguh saya menyesal sekali bahwa Losuhu tewas karena pertandingan melawan Sin-ciang Tai-hiap. Bagaimanapun, saya merasa menyesal karena saya yang menjadi perantara. Akan tetapi, Tai-hiap tidak sengaja melukai Losuhu, Tai-hiap tidak pernah mau membunuh lawan. Sayangnya, setelah Losuhu tidak ada, anak buah Losuhu berbuat curang, tidak menepati janji. Bukan saja Sian Lun tidak dibebaskan, bahkan adikku Sian Li ditawan. Losuhu, saya menyesal sekali. Andaikata Losuhu tidak meninggal, tentu adik saya tidak ditawan....“

Sementara itu, Ki Bok telah mendekati gurunya dan menerangkan siapa adanya pemuda yang berlutut di depan peti mati itu. Setelah mendengar keterangan muridnya, Lulung Lama bangkit dan menghampiri Yo Han.

“Saudara Yo, bangkitlah. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan tidak ada yang perlu disesalkan. Juga kami tidak melanggar janji. Ketahuilah bahwa Liem Sian Lun dengan sukarela berada di sini, bukan kami tawan. Dia memang sudah sadar dan ingin berjuang bersama kami menentang penjajah Mancu. Dialah yang menghendaki agar sumoinya ikut pula membantu perjuangan kami yang suci. Maka, tidak salah kiranya kalau engkau suka membujuk Sin-ciang Tai-hiap agar suka bekerja sama pula dengan kami.”

Yo Han bangkit dan memberi hormat kepada Lulung Lama, lalu berkata dengan suara mengandung penasaran. “Saya datang sebagai utusan Tai-hiap yang menuntut agar Liem Sian Lun dan adikku Tan Sian Li dibebaskan dari sini, sesuai perjanjian.”

“Omitohud, sudah pinceng katakan bahwa kami tidak menawan Liem Sian Lun dan....”

“Bagaimana saya dapat percaya kalau tidak bertemu sendiri dengan adik saya?”

Lulung Lama yang sudah mendengar penjelasan muridnya, tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, saudara Yo Han. Engkau boleh bertemu dengan adikmu itu. Ki Bok, antarkan dia bertemu dengan Nona Tan Sian Li.”

Cu Ki Bok, mengajak Yo Han meninggalkan ruangan itu. Yo Han girang bahwa mereka itu agaknya sama sekali tidak pernah mengira bahwa dialah sebenarnya Sin-ciang Tai-hiap. Kini Ki Bok mengajaknya ke bagian belakang perkampungan yang luas itu dan akhirnya dia melihat Sian Li yang duduk seorang diri di ruangan depan sebuah pondok. Ketika tadi diajak pergi ke tempat itu, diam-diam Yo Han memperhatikan dan dia tahu bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali orang yang diam-diam melakukan penjagaan sehingga untuk mengajak Sian Li dan Sian Lun melarikan diri dari tempat itu bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Dia juga tadi melihat bahwa di ruangan perkabungan terdapat banyak sekali orang yang tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia melihat pula orang-orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, orang-orang Han yang melihat pakaian mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw.

Ketika Sian Li yang sedang termenung memikirkan sikap Sian Lun yang aneh, berubah sama sekali dan menjadi seperti boneka yang memuakkan di bawah pengaruh Pek-lian Sam-li, melihat ada orang datang menghampirinya, ia mengangkatmuka. Ia girang melihat Cu Ki Bok yang amat baik kepadanya itu, akan tetapi ketika ia melihat orang ke dua, ia terbelalak saking kagetnya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Yo Han akan muncul begitu saja, secara terang-terangan, di tempat itu. Karena ia tidak tahu bagaimana maksud Yo Han dengan kemunculannya, maka ia pun tidak berani lancang membuka suara dan hanya memandang dengan mata terbelalak.

“Li-moi, sukur engkau dalam keadaan selamat dan sehat!” teriak Yo Han sambil menghampiri dan memegang kedua tangan gadis itu.

Melihat sikap Yo Han yang wajar saja Sian Li merasa lega, apalagi ia pun percaya bahwa Cu Ki Bok adalah seorang pemuda yang baik dan yang ingin menolongnya. “Han-ko, bagaimana engkau bisa datang ke sini?”

“Aku menjadi utusan Sin-ciang Tai-hiap untuk menyampaikan tuntutan kepada Hek I Lama agar engkau dan suhengmu itu dibebaskan, Li-moi. Mereka mengatakan bahwa Sian Lun dan engkau mau bekerja sama dengan mereka dan tidak ditahan, maka aku minta agar dapat melihat dengan mata sendiri dan dapat bicara denganmu.”

“Aku memang diperlakukan dengan baik di sini, Koko, sebagai tamu. Adapun Suheng....” ia ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya.

Yo Han memotong dan berkata kepada Cu Ki Bok, suaranya mengandung penasaran. “Aku menuntut agar adikku dibebaskan sekarang juga. Kalau tidak, aku tidak akan pergi dari sini, aku harus menemani adik misanku ini!”

Ki Bok tersenyum. “Yo-toako, engkau melihat sendiri bahwa Nona Tan Sian Li dalam keadaan sehat dan selamat. Sebaiknya kalian bicara berdua di sini, untuk membuktikan bahwa kalian di sini diberi kebebasan dan bukan menjadi tahanan.” Setelah berkata demikian, Ki Bok meninggalkan mereka berdua di ruangan depan pondok itu.

Setelah Ki Bok pergi, Sian Li berkata “Han-ko, duduklah. Kautahu, Cu Ki Bok itu ternyata baik sekali. Dia bersungguh-sungguh hendak menolongku,” ia lalu menceritakan tentang pertolongan Ki Bok ketika ia hendak dinodai pangeran Nepal. Setelah menceritakan pengalamannya sejak ia ditangkap oleh suhengnya sendiri ia bertanya, “Akan tetapi kenapa engkau malah muncul di sini secara berterang, Han-ko? Bagaimana kalau mereka tahu siapa sebenarnya engkau?”

“Aku sengaja masuk ke sini agar dapat membantu nanti kalau orang-orang kang-ouw yang sudah kuhubungi datang menyerbu. Kita sendiri tidak mungkin dapat melawan mereka yang banyak jumlahnya. Aku sudah minta bantuan orang-orang kang-ouw, sedangkan saudara Gak Ciang Hun dan ibunya melapor kepada para pendeta Lama dan pasukan pemerintah di Tibet tentang usaha pemberontakan Lulung Lama. Dan bagaimana kabarnya dengan suhengmu? Di mana dia sekarang?”

Mendengar pertanyaan ini, wajah Sian Li berubah muram dan ia mengepal tinju tangannya. “Dia telah tersesat, menyeleweng dan kalau ada kesempatan akan kuhajar dia!”

Yo Han terkejut. “Li-moi, apa yang terjadi?”

“Hah, jahanam keparat itu, pengkhianat busuk itu, dia telah merendahkan diri menjadl antek mereka, dia terbujuk oleh perempuan-perempuan hina Pek-lian-kauw, dan dia malah menipuku, menangkapku ketika aku hendak menolongnya.”

Melihat gadis itu seperti akan menangis, Yo Han dapat menduga betapa sakit rasa hati gadis itu. Tentu Sian Li mencinta suhengnya dan kini amat kecewa melihat ulah suhengnya.

“Li-moi, bagaimana watak dan sikap suhengmu selama ini, sebelum dia tertawan gerombolan ini?”

Sian Li mengerutkan alisnya. “Selama ini dia baik, setia dan membelaku. Akan tetapi agaknya dia telah tergila-gila kepada Pek-lian Sam-li, dan agaknya demi perempuan-perempuan itu, dia tidak segan untuk mengkhianatiku.” Muka Sian Li merah sekali dan jelas bahwa dia menahan diri agar tidak menangis karena ia memang merasa penasaran dan kecewa bukan main kalau mengenang sikap Sian Lun kepadanya.

Yo Han merasa kasihan kepada gadis itu. “Li-moi, jangan khawatir, aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan dia.”

Sepasang mata itu terbelalak. “Apa maksudmu? Untuk apa bersusah payah memikirkan dia? Dia tidak minta dibebaskan.... hemmm, aku hanya ingin menghajarnya, membunuhnya!”

“Li-moi, tenang dan bersabarlah. Ada sesuatu yang aneh dengan sikap suhengmu itu. Kalau biasanya dia berwatak baik, maka sikapnya sekarang ini tidak wajar. Aku menduga bahwa dia tentu berada di bawah pengaruh sihir. Ingat, para pendeta Lama, orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Nepal adalah ahli-ahli sihir yang pandai.”

Sian Li termenung dan menundukkankepalanya. Ia pun sudah menduga akan hal itu, akan tetapi bagaimanapun hatinya tetap merasa panas dan tidak senang melihat sikap Sian Lun yang demikian akrab dan mesra terhadap tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu. Wajahnya menjadi semakin merah karena sekarang ia teringat akan ucapan Cu Ki Bok bahwa sikapnya itu dapat disangka orang sebagai tanda bahwa ia cemburu. Cemburukah ia terhadap Pek-lian Sam-li yang demikian mesra dengan Sian Lun? Bagaimanapun juga, tentu saja ia merasa tidak enak, Sian Lun telah dianggapnya sebagai suhengnya yang baik dan setia, bahkan ia tahu bahwa suhengnya itu jatuh cinta kepadanya. Baik ia membalas cinta itu ataukah tidak, tetap saja hatinya tidak enak sekali melihat betapa suhengnya menjadi kekasih tiga orang Pek-lian-kauw dan telah mengkhianatinya.

“Ingatlah, Li-moi, engkau tadi menceritakan bahwa engkau juga terkena pengaruh sihir pangeran Nepal itu dan untung ada Cu Ki Bok yang menolongmu. Nah, kuat dugaanku bahwa demikian pula hannya suhengmu itu. Karena pengaruh sihir, dia mau melakukan apa saja. Kita lihat saja nanti kalau dia sudah sadar dan tidak lagi terpengaruh sihir mereka.”

“Kapankah penyerbuan itu akan terjadi?” tanya Sian Li yang mulai ragu-ragu tentang keadaan suhengnya walaupun ia yakin bahwa setelah melihat sikap Siam Lun, kiranya tidak akan mungkin lagi baginya untuk membalas cinta pemuda itu.

“Menurut perhitungan, malam ini mereka akan datang mengepung tempat ini dan menyerbu. Kita harus membantu dari dalam untuk membebaskan suhengmu dari cengkeraman mereka, baru melarikan diri keluar ketika penyerbuan terjadi.”

Mereka menghentikan percakapan ketika nampak Cu Ki Bok datang menghampiri ke arah mereka. “Dia orang baik Han-ko. Kurasa hanya dialah yang mempunyai landasan bersih dalam perjuangan melawan orang-orang Mancu.”

“Akan tetapi bukankah dia murid Lulung Lama?”

“Benar, akan tetapi dia mengatakan bahwa andaikata aku tidak mau bekerja sama dengan mereka, dia tetap akan mencarikan jalan agar aku dapat lolos dari tempat ini.”

“Hemm, agaknya dia cinta padamu, Li-moi.”

Sian Li mengerutkan alisnya. “Entahlah, akan tetapi aku yakin dia orang baik.” Percakapan terpaksa dihentikan karena Ki Bok yang berjalan santai menghampiri mereka telah tiba di situ. Dia tersenyum ramah.

“Bagaimana, Yo-toako. Sudah yakinkah engkau sekarang bahwa kami tidak menganggap adikmu sebagai tawanan melainkan sebagai tamu?”

Yo Han bangkit berdiri dan memandang marah. “Biarpun diperlakukan dengan baik dan dianggap sebagai tamu, tetap saja adikku ini adalah tamu yang dipaksa dan ditahan di sini. Aku menuntut agar adikku dibebaskan sekarang juga dan ikut dengan aku pergi. Kalau tidak, terpaksa aku akan tinggal di sini menemaninya!”

Melihat sikap ini, Ki Bok lalu mendekati Yo Han dan berkata dengan suara perlahan. “Yo-toako, apakah adikmu belum menceritakan semua? Sebaiknya engkau tidak membuat keributan karena kalau terjadi hal itu, aku sendiri tidak akan dapat melindungimu. Ketahuilah bahwa perkumpulan kami adalah pejuang-pejuang yang gigih dan kalau ada yang menentang akan dibunuh. Suhu sedang mengharapkan agar Sian Li suka bekerja sama membantu perjuangan, demikian pula Sin-ciang Tai-hiap. Andaikata Sian Li tidak maupun, tidak perlu menggunakan kekerasan dan percayalah, aku yang akan menjamin bahwa Sian Li akan dapat lolos dari sini dengan selamat.”

Yo Han memandang penuh selidik. “Hemm, engkau adalah seorang tokoh di sini, bagaimana engkau hendak melindungi Li-moi? Apa maksudmu melindunginya mati-matian? Tanpa sebab yang jelas bagaimana kami berdua dapat mempercayaimu?”

“Han-ko, aku percaya padanya. Dia sudah membuktikannya!” kata Sian Li yang merasa tidak enak terhadap Ki Bok.

“Justeru perlindungannya itu patut dicurigai, Li-moi. Bukankah dia seorang di antara mereka yang memusuhi engkau dan suhengmu? Tanpa alasan yang kuat, bagaimana mungkin dia melindungimu tanpa pamrih yang buruk?”

Mendengar ucapan Yo Han itu, Ki Bok segera berkata dengan terus terang, “Baiklah, Yo-toako, aku membuat pengakuan. Aku bersedia melakukan apa pun untuk Sian Li dengan taruhan nyawaku karena aku jatuh cinta padanya.”

“Ki Bok....!” Sian Li berseru kaget dan memandang wajah pemuda peranakan Tibet itu. Tadinya ia hanya menganggap Ki Bok seorang yang baik sekali kepadanya, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya. Dan kini pemuda itu membuat pengakuan sedemikian jujurnya di depan Yo Han!

Cu Ki Bok menghela napas panjang sambil memandang kepada gadis itu. “Maafkan aku, Sian Li. Terpaksa aku harus berterus terang. Aku merasa kagum dan jatuh cinta padamu, dan tidak peduli apakah engkau akan membalas cintaku, tidak peduli apakah akan menerima atau menolak ajakan kerja sama, tetap saja aku harus membebaskanmu. Karena itu, kuharap kalian berdua bersabar dan tidak membuat keributan. Aku akan mencarikan kesempatan sebaik dan seamannya untuk kalian.”

Yo Han mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku akan tinggal di sini menemani Li-moi, harap saudara Cu Ki Bok menyampaikan kepada pimpinan di sini.”

“Baik, Yo-toako, aku akan melaporkan kepada Suhu,” kata Ki Bok yang segera meninggalkan mereka. Ketika melihat para penjaga mendekat, dia berbisik kepada mereka agar melakukan penjagaan yang ketat, dan juga memberitahu bahwa Yo Han adalah kakak misan Sian Li yang tinggal di situ pula untuk menemani adiknya.

Di pondok itu memang terdapat dua buah kamar, maka Yo Han dapat menempati kamar yang ke dua. Akan tetapi setelah Ki Bok pergi, Yo Han dan Sian Li yang sejak tadi diam termenung, masih bercakap-cakap di ruangan depan.

“Kiranya dia jatuh cinta padamu, Li-moi,” kata Yo Han melihat gadis itu termenung saja.

Sian Li menarik napas panjang. “Sungguh sama sekali tidak pernah aku memikirkan hal itu, tak pernah menduganya. Begitu beraninya mengaku cinta!” Wajah gadis itu berubah kemerahan.

“Jangan marah kepadanya, Li-moi. Aku bahkan kagum, karena dia seorang laki-laki yang jantan, gagah dan jujur. Sekarang yang penting kita harus mencari di mana adanya suhengmu. Aku ingin bertemu dengannya dan kalau mungkin akan kusadarkan dia dari pengaruh sihir.”

“Bagaimana kalau dia tidak terpengaruh sihir, melainkan kalau dia memang menyeleweng dan tersesat, Han-ko? Menurut keterangan Ki Bok, Suheng memang telah terpikat oleh Pek-lian Sam-li.” Di dalam suara gadis itu masih terkandung kemarahan terhadap Sian Lun.

“Kalau memang demikian, aku akan berusaha untuk menyadarkan dan mengingatkannya agar kembali ke jalan benar. Bagaimanapun juga dia adalah suhengmu dan perlu diingatkan kalau dia tergoda, Li-moi.”

“Terserah kepadamu, Han-ko. Akan tetapi, kita harus berhati-hati sekali karena biarpun aku kelihatan bebas namun setiap gerak-gerikku diamati dan sedikit saja mereka itu curiga, tentu mereka akan mengepung dan mengeroyok kita. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Han-ko, karena kalau mereka tahu bahwa engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap, tentu mereka tidak akan memberi ampun. Engkau telah membunuh Dobhin Lama.”

Yo Han menggeleng kepala. “Aku tidak membunuhnya. Ketika kami bertanding, biarpun aku dapat mematahkan tongkatnya, akan tetapi aku tidak melukainya. Dia tewas karena usianya yang sudah tua, dan agaknya dia telah terlalu memaksa diri sehingga kehabisan tenaga. Tentu saja aku akan berlaku hati-hati sekali untuk menyelidiki suhengmu. Sebabaiknya engkau gambarkan keadaan perkampungan ini dan di mana aku dapat mencari Sian Lun.”

Mereka berbisik-bisik dan Sian Li memberi gambaran tentang perkampungan di situ. Setelah mendapat keterangan jelas, mereka lalu memasuki pondok.

***

Perkampungan di dalam rimba itu terdiri dari beberapa buah bangunan yang cukup besar dan perkampungan itu dikelilingi pagar bambu runcing dan dijaga ketat. Yo Han termenung di dalam kamarnya, memikirkan jalan baik untuk dapat menyelamatkan Sian Li dan Sian Lun.

Pemuda ini merasa prihatin sekali. Dia maklum bahwa serbuan orang-orang kang-ouw dan terutama sekali para pendeta Lama dan pasukan Tibet akan menimbulkan perang atau pertempuran mati-matian di tempat itu. Dia membayangkan dengan hati sedih bahwa pertempuran itu tentu akan mengakibatkan tewasnya banyak orang. Dia sendiri tidak pernah mau menggunakan ilmu kepandaiannya untuk membunuh orang lain. Dia tidak pernah menilai jahat kepada orang lain karena dia maklum bahwa seorang yang dianggap jahat dan melakukan perbuatan yang jahat, sebetulnya hanya orang yang sedang menderita penyakit saja. Orang yang menyeleweng daripada kebenaran adalah orang sakit. Bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Akan tetapi, seperti juga penyakit badan, penyakit batin ini suatu waktu akan dapat sembuh. Sedangkan orang yang sehat batinnya, sekali waktu mungkin saja jatuh sakit.

Setiap orang mengakui bahwa tidak ada seorang pun manusia yang sempurna. Yang sempurna hanyalah Tuhan. Setiap orang manusia sudah pasti mempunyai kesalahan, setiap orang manusia berdosa. Dan kita sendiri, setiap orang dari kita, juga seorang manusia, karenanya kita masing-masing ini adalah orang berdosa dan bersalah. Oleh karena itu, pantaskah kita mencela orang lain yang bersalah? Orang itu sama saja dengan kita, hanya macam kesalahan atau meacam dosanya saja yang berbeda, ada yang kadarnya besar ada yang kecil. Akan tetapi, kita ini senasib sependeritaan, takkan dapat lepas daripada kesalahan, daripada dosa. Seyogianya kalau melihat orang lain berdosa, kita membantunya dengan petunjuk dan peringatan, seperti melihat orang lain sakit, sepatutnya kita memberi obat dan hiburan. Jangan melihat orang lain terperosok ke dalam lumpur, malah kita injak kepalanya! Uluran tangan untuk menariknya keluar dari lumpur merupakan kewajiban luhur.

Yo Han teringat kembali akan ancaman pertempuran. Dia menghela napas panjang. Apa yang dapat dia lakukan? Di dunia ini penuh dengan perang. Perang merupakan korban api besar yang timbul dari percikan api kecil. Dimulai dari konflik atau pertentangan dalam batin setiap orang manusia sendiri. Konflik yang timbul karena adanya keinginan-keinginan yang tak ada habisnya. Konflik dalam batin sendiri ini mencuat keluar menimbulkan konflik antar pribadi, karena bentrokan kepentingan, bentrokan keinginan, saling berebut kebenaran, berebut keenakan sendiri. Konflik-konflik antar pribadi ini dapat membengkak menjadi konflik antar keluarga, antar golongan, kemudian berkobar menjadi konflik antar bangsa dan antar negara yang menimbulkan perang.

Yo Han sudah memesan kepada para orang kang-ouw untuk membantunya membebaskan Sian Lun dan Sian Li, dan dia sudah minta kepada mereka agar jangan membunuh dan setelah kedua orang muda itu dapat diselamatkan, agar para orang kang-ouw tidak mencampuri perang yang terjadi antara pasukan Tibet dan para pemberontak. Dia sendiri pun tidak akan ikut campur dengan pertempuran itu. Dia hanya ingin melindungi Sian Li dan Sian Lun agar dapat lolos dari tempat itu dengan selamat.

Setelah Ki Bok melaporkan tentang Yo Han yang berkunjung sebagai utusan Sin-ciang Tai-hiap dan sekarang pemuda itu tidak mau pergi karena menuntut di bebaskannya Sian Li, Lulung Lama segera memanggil semua pimpinan dan pembantunya untuk mengadakan perundingan. Mereka semua berkumpul di bangunan induk, di ruangan yang luas di mana selalu dipergunakan untuk mengadakan pertemuan. Mereka semua berkumpul dan karena waktu itu sedang terjadi perkebungan kematian Dobhin Lama, maka seluruh pimpinan dan pembantu yang tadinya bertugas di luar, sudah berkumpul pula untuk berkabung. Lengkaplah mereka yang kini berada di ruangan itu. Lulung Lama yang ditemani muridnya, Cu Ki Bok, duduk di kursi pimpinan. Belasan orang pendeta Lama jubah hitam yang menjadi pembantu-pembantunya hadir pula, Gulam Sing. Pangeran dari Nepal itu pun hadir bersama para pembantunya, termasuk Badhu dan Sagha. Dari pihak Pek-lian-kauw, hadir selain Pek-lian Sam-li, juga tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang datang melayat. Hek-pang Sin-kai juga hadir bersama empat orang rekannya. Jumlah mereka yang berada di ruangan itu tidak kurang dari empat puluh orang. Di dekat Pek-lian Sam-li duduk pula Liem Sian Lun.

Wajah tampan Sian Lun yang biasanya cerah itu kini nampak agak muram. Kerut merut di antara kedua alisnya, pandang matanya yang sayu, mulutnya yang agak cemberut itu menggambarkan betapa dia tidak tenang dan tidak senang.

Pek-lian Sam-li agaknya salah perhitungan terhadap pemuda ini. Memang dalam kesempatan pertama, Sian Lun yang masih hijau dalam hal pengalaman itu mudah mereka rayu dan mereka jatuhkan. Sian Lun dibakar nafsunya sendiri. Apalagi tiga orang wanita Pek-lian-auw itu menggunakan kekuatan sihir. Pemuda itu bertekuk lutut dan melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Bahkan dia mentaati ketika mereka menyuruh dia menawan sumoinya sendiri, wanita pertama yang pernah menjatuhkan hatinya! Dan dia bahkan menganggap perbuatan itu sebagai bagian dari perjuangan mereka, karena para pimpinan itu menghendaki agar dia menawan dan membujuk Sian Li sehingga gadis itu mau pula membantu perjuangan mereka.

Kesalahan perhitungan Pek-lian Sam-li adalah bahwa mereka mengira Sian Lun sudah benar-benar setia kepada mereka, mengira bahwa mereka telah dapat menundukkan pemuda itu dengan kecantikan mereka sehingga mereka menjadi lengah dan tidak lagi menggunakan kekuatan sihir untuk menguasai Sian Lun. Dan dalam keadaan sadar sepenuhnya inilah dia mulai merasa menyesal. Nafsu bagaikan gelembung sabun. Kesenangan yang didatangkannya hanya selewat saja, disusul kebosanan karena nafsu mendorong kita mengejar yang baru, yang belum kita miliki. Kita dipermainkan nafsu seperti anak kecil dipermainkan mainan-mainan. Mainan lama yang dahulunya amat disenangi, mendatangkan bosan dan diganti mainan baru yang mengasyikkan.

Daya tarik tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu berkurang kekuatannya sehingga Sian Lun mulai dapat melihat betapa perbuatanaya selama ini amat memalukan. Dia telah membiarkan dirinya menjadi boneka, menjadi permainan tiga orang wanita itu. Bahkan dia begitu buta sehingga tidak melihat bahwa dia diperalat. Dia mau saja melakukan penipuan untuk menawan Sian Li secara amat curang. Padahal dia amat mencinta sumoinya itu. Dia merasa malu, malu kepada Sian Li, malu kepada diri sendiri dan kalau dia membayangkan betapa guru-gurunya akan mendengar tentang dirinya, betapa kedua orang gurunya yang sudah melepas budi besar kepadanya, yang menganggap dia seperti anak sendiri, akan merasa berduka, kecewa dan menyesal, ingin Sian Lun menjerit-jerit dan menangis. Namun, semua telah terlambat. Dia telah mengkhianati sumoinya. Perjuangan menentang penjajah Mancu memang baik, dan setiap orang pendekar sepatutnya bangga kalau membantu perjuangan membebaskan rakyat dan tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu. Akan tetapi, bagaimana mungkin perjuangan itu dapat melalui jalan yang benar kalau dipimpin orang-orang sesat seperti Pek-lian Sam-li dari Pek-lian-kauw, para pemberontak Nepal dan pemberontak Tibet?

Malam tadi, biarpun ada Pek-lian Sam-li yang menemaninya, dia tidak dapat tidur memikirkan Sian Li. Dia merasa bersalah kepada sumoinya itu dan merasa menyesal sekali. Dia harus dapat membebaskan sumoinya, dan sudah mengambil keputusan untuk minta kepada Lulung Lama agar Sian Li dibiarkan bebas. Kalau permintaannya ditolak, dia pun akan menyatakan tidak mau lagi membantu mereka! Dan sore hari ini, Lulung Lama memanggil semua sekutunya untuk mengadakan pertemuan di ruangan luas itu.

Setelah memberi salam kepada semua orang, Lulung Lama berkata dengan suara lantang, “Kita sudah mengadakan persiapan dan penjagaan untuk menyambut datangnya Sin-ciang Tai-hiap yang pasti akan datang ke sini untuk membebaskan Nona Tan Sian Li. Akan tetapi sampai hari ini, dia tidak muncul dan mengirim utusan untuk menuntut agar nona itu kita bebaskan. Padahal, seperti kalian ketahui, kita menghendaki agar Nona Tan Sian Li dan juga kalau mungkin Sin-ciang Tai-hiap sendiri, suka bekerja sama dengan kita menentang penjajah Mancu. Kalau dia tidak mau kita tidak dapat membebaskan Nona Tan Sian Li karena ia sudah mengetahui semua rahasia pergerakan kita. Bagaimana pendapat anda sekalian?”

Pangeran Gulam Sing, melalui penterjemahnya, berkata, “Siapakah utusan Sin-ciang Tai-hiap itu? Di mana dia sekarang? Seharusnya dia itu ditangkap ketika datang ke sini.”

“Suhu, biar teecu (saya) yang menjelaskan, karena teecu mengetahui dengan jelas,” kata Cu Ki Bok kepada Lulung Lama yang mengangguk setuju. Setelah mendapatkan persetujuan gurunya. Ki Bok memberi keterangan. “Utusan itu bernama Yo Han dan dia adalah kakak misan Nona Tan Sian Li. Dia pula yang menjadi perantara ketika aku mengajukan tantangan kepada Sin-ciang Tai-hiap untuk bertanding melawan ketua kita mendiang Dobhin Lama. Ketika dia mendengar bahwa kita tidak akan membebaskan Nona Tan Sian Li, Yo Han berkeras tidak mau pergi dan hendak menemani Nona Tan Sian Li di sini. Sekarang, dia masih berada di sini, di pondok yang menjadi tempat tinggal nona itu. Aku sudah memesan kepada para penjaga agar melakukan pengawasan yang ketat.”

Gulam Sing yang masih merasa penasaran karena dia gagal memperkosa Sian Li, berkata, “Kalau begitu, Yo Han itu dan juga gadis itu harus dihadapkan ke sini sekarang juga! Kita paksa nona itu bekerja sama, dan kita paksa utusan itu untuk membujuk Sin-ciang Tai-hiap agar mau datang ke sini dan bekerja sama pula. Kalau mereka tidak mau, kita bunuh saja mereka!”

Karena pendapat ini dianggap benar, demi keselamatan dan kepentingan mereka agar rahasia persekutuan mereka tidak sampai terbongkar, semua orang mengangguk setuju. Juga Lulung Lama mengangguk-angguk. Tentu saja Cu Ki Bok menjadi khawatir sekali. Dia tahu bahwa akan sukar bahkan hampir tidak mungkin membujuk Sian Li agar mau bekerja sama. Nasib gadis itu terancam bahaya maut. Dan mungkin saja untuk menyenangkan hati Pangeran Gulam Sing, sekutu yang dianggap kuat dan dapat diandalkan itu, gurunya akan menyerahkan Tan Sian Li kepadanya. Dapat dia membayangkan betapa ngerinya nasib gadis yang dicintanya itu kalau terjatuh ke tangan Gulam Sing. Akan tetapi sebelum dia sempat menemukan kata-kata untuk membantah dan membela Sian Li, tiba-tiba Sian Lun sudah bangkit berdiri.

“Losuhu, biar aku yang memanggil mereka ke sini!” tanpa menanti jawaban, Sian Lun sudah melangkah cepat, keluar dari ruangan itu.

Cu Ki Bok sudah tahu bahwa Sian Lun telah mengkhianati Sian Li dia amat dibenci gadis itu. Kalau Sian Lun yang memanggil Sian Li dan Yo Han, tentu akan terjadi keributan, apalagi dia tidak suka dan tidak percaya kepada pemuda yang mudah begitu saja terjatuh ke dalam bujuk rayu tiga orang wanita seperti Pek-lian Sam-li.

“Dia tidak semestinya pergi. Dia belum dapat dipercaya benar!” serunya.

“Ha-ha-ha, biarlah aku yang memanggil mereka!” kata Pangeran Gulam Sing yang segera berlari keluar, diikuti oleh Badhu, Sagha dan beberapa orang pembantunya.

Bersambung ke buku 10