Suling Naga -10 | Kho Ping Hoo



Buku 10

Tiga orang pemuda itu mendongkol juga karena olok-olok mereka sama sekali tidak dilayani. Mereka selalu memperoleh kegembiraan dari olok-olok mereka, baik kalau yang dihina itu melawan maupun ketakutan. Akan tetapi pemuda petani itu diam saja, menganggap mereka seperti angin saja! Marahlah mereka.

“Hei, tolol! Apakah kamu tuli atau gagu?”

“Hayo naik ke sini, kau harus bersihkan sepatu kami dengan baik!“

“Kalau tidak, akan kuhajar kamu! Hayo naik ke sini!”

Akan tetapi, pemuda itu tetap diam saja, hanya melirik sedikit dan di dalam hatinya dia mengambil keputusan bahwa kalau tiga orang itu berani masuk ke sawahnya, dia akan melawan mereka, akan membuat mereka berenang di sawahnya dan minum air lumpur!

“Hayo naik kamu, pengecut! Naik ke sini biar kuhajar kau sampai minta-minta ampun!” teriak pula tiga orang pemuda itu sambil mencak-mencak dengan marah. Mereka tidak berani memasuki sawah karena takut kalau sepatu dan pakaian mereka menjadi kotor. Akan tetapi pemuda petani itu tetap diam saja dan melanjutkan pekerjaannya mencangkul dengan tekun.

“Kurang ajar! Serang dia dengan batu kata seorang dari mereka dan mereka bertiga kini mencari batu-batusebesar kepalan tangan dan menyambitkan batu-batu itu ke arah pemuda petani. Pemuda petani itu berusaha untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi masih ada batu yang mengenai kepalanya sampai timbul benjolan besar. Tiga orang pemuda itu tertawa-tawa. Mulai giranglah hati mereka karena mereka dapat menghajar pemuda petani itu. Mereka akan menghujankan batu sampai pemuda itu roboh dan minta-minta ampun!

Melihat keadaan pemuda petani itu, hati Siu Kwi merasa khawatir. Ia sudah marah sekali terhadap tiga orang pemuda berandalan dan kalau ia mau, sekali menggerakkan tangan saja ia akan dapat membunuh mereka dan hal itu tentu sudah dilakukannya sejak tadi kalau saja tidak terjadi perubahan besar dalam hati Siu Kwi. Kini ia keluar dari balik semak-semak dan berseru dengan suara yang sengaja dibikin agar terdengar seperti suara orang ketakutan.

“Jangan sambiti dia.... ah, jangan sakiti dia....!”

Tiga orang pemuda itu terkejut dan menoleh heran. Akan tetapi wajah mereka menjadi terang berseri dan mulut mereka menyeringai nakal ketika mereka melihat bahwa yang berseru itu adalah seorang wanita yang demikian cantik manisnya! Mereka merasa tercengang dan tidak pernah menduga sama sekali bahwa di tempat sunyi itu mereka akan dapat bertemu dengan seorang wanita secantik itu! Tentu saja mereka menjadi girang sekali karena mereka sudah membayangkan kesenangan yang akan mereka dapat dari wanita itu.

“Ahhh....! Tidak mimpikah aku?” teriak si gendut.

“Benarkah di depanku ada wanita secantik bidadari?”

“Luar biasa sekali! Petani tolol busuk itu mempunyai seorang pacar yang begini cantiknya!” kata si kepala besar.

“Hati-hati, kawan. Jangan-jangan ia ini seorang siluman!” kata si kurus kering.

Siu Kwi merasa heran sekali atas perubahan yang terjadi pada dirinya. Kenapa ia tidak marah dan membunuh mereka ini? Dahulu, jangankan sampai menggoda dengan nada menghina, baru memandang secara kurang ajar saja, kalau ia tidak suka kepada laki-laki itu, tentu akan dibunuhnya seketika!

“Dia tidak bersalah apa-apa, kenapa kalian menganggunya?” Hanya itu saja yang ia katakan, itupun dengan nada meminta agar para pemuda itu jangan mengganggu si petani.

Sementara itu, pemuda petani itu terkejut bukan main melihat munculnya wanita cantik itu dari balik semak-semak. Dia tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu tentu tidak akan mau melepaskan wanita itu begitu saja. Karena khawatir kalau gadis itu menderita dari gangguan mereka yang kurang ajar, pemuda petani itu segera melangkah keluar dari dalam sawah, lalu cepat menghampiri mereka dan berdiri di depan gadis itu dengan sikap melindungi.

Kuharap kalian tidak mengganggu gadis ini. Kami adalah orang-orang yang tidak pernah mengganggu kalian, maka kuminta dengan sangat agar kalian tidak mengganggu kami,” kata pemuda itu dengan sikap tenang.

Melihat pemuda yang bertelanjang dada dan berlepotan lumpur ini kini berani melindungi wanita itu, tiga orang pemuda berandalan menjadi marah sekali.

“Petani busuk, mampuslah!” bentak si perut gendut dan dia sudah menyerang dengan pukulan keras menyambar ke arah muka si pemuda petani.

“Desss....!” Pemuda petani itu tidak mengira bahwa dia akan dipukul, maka dia tidak sempat menangkis dan mukanya kena dipukul. Pukulan ini tepat mengenai batang hidungnya, maka segera nampak darah keluar dari lubang hidungnya.

“Plakkk....!” Karena marah, si pemuda petani membalas dan tangannya yang menampar mengenai pipi si gendut. Tubuh si gendut terpelanting. Tamparan itu demikian kerasnya sampai membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut, ditambah rasa panas dan pedih di pipinya. Dua orang temannya segera maju mengeroyok.

Pemuda petani itu mengamuk. Kini dia dikeroyok tiga, dan tiga orang pemuda berandalan itu seperti tiga ekor serigala yang mengeroyok seekor anjing pemburu yang melawan mati-matian. Akan tetapi karena pemuda petani itu tidak pandai silat, hanya mengandalkan kekuatan tubuh yang tahan pukulan dan tenaga besar semangat berkobar, dia menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan tiga orang pengeroyoknya. Biarpun demikian, sungguh dia bertubuh kuat dan biarpun dihujani pukulan dan dikeroyok, dia masih sempat berteriak.

“Nona, cepat kaupergilah dari sini!”

Siu Kwi memandang dengan penuh kagum. Pemuda petani itu kini menjadi seorang yang kegagahannya tidak kalah oleh para pendekar manapun juga. Bahkan mungkin lebih gagah, pikirnya. Kalau seorang pendekar berani membela orang lain, dia mengandalkan kepandaian silatnya dan senjatanya. Akan tetapi, pemuda ini membelanya mati-matian, pada hal pemuda sederhana ini tidak pandai silat. Bahkan dalam hujan pukulan itu dia masih minta kepadanya untuk menyelamatkan diri. Dia benar-benar merasa gembira karena selama hidupnya baru sekaranglah dia bertemu dengan seorang pria yang membelanya mati-matian tanpa pamrih sedikitpun juga! Biasanya, di dalam kehidupannya yang lalu, kalau ada pria membelanya, maka di balik pembelaan itu tentu mengandung pamrih tertentu. Seperti Bhok Gun misalnya. Para pria yang bersikap baik kepadanya tentu mengharapkan imbalan jasa. Akan tetapi pemuda petani ini sama sekali tidak! Mereka tidak saling mengenal, dan pemuda itu jelas tidak mengharapkan apa-apa, bahkan minta agar ia pergi secepatnya. Keharuan, suatu perasaan aneh yang baru pertama ini dikenal Siu Kwi, menyelubungi hatinya dan iapun cepat pura-pura melarikan diri. Akan tetapi ia cepat menyelinap kembali, tanpa diketahui mereka, dan bersembunyi di balik pohon tak jauh dari tempat perkelahian itu terjadi, mengintai dengan hati penuh kagum dan khawatir.

Pemuda tani itu benar-benar hebat! Biarpun tubuhnya menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan sehingga dada yang bidang itu, juga lengannya, menjadi matang biru, bahkan mukanya juga benjol-benjol, namun dia pantang menyerah. Seperti seekor harimau terbuka dia mengamuk terus, tidak sedikitpun keluhan keluar dari mulutnya. Sebaliknya, setiap kali dia membalas dan mengenai tubuh lawan, tentu pengeroyok yang kena dipukul atau ditendang berteriak kesakitan lalu memaki-maki dan membalas dengan serangan membabi buta. Dari keadaan perkelahian itu saja sudah dapat dinilai watak masing-masing.

Pemuda petani itu bertubuh kuat sehingga akhirnya tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan lebih banyak memukulnya itu menjadi kewalahan sendiri. Mereka lalu mencabut pisau belati dan mengepung dengan wajah beringas seperti serigala haus darah. Melihat berkilatnya tiga buah pisau belati di tangan mereka, Siu Kwi mengerutkan alisnya. Pemuda petani itu tentu akan celaka kalau ia tidak turun tangan, pikirnya. Jari-jari tangannya memungut tiga butir batu kerikil dan tiga kali tangannya terayun ke depan.

Tiga orang pemuda yang sudah mencabut pisau belati itu tiba-tiba mengeluarkan pekik kesakitan, pisau mereka terlepas dari tangan dan untuk beberapa detik lamanya mereka tidak mampu bergerak. Kesempatan ini dipergunakan oleh pemuda tani, yang tidak tahu mengapa mereka melepaskan kembali pisau-pisau mereka, untuk maju menghajar mereka dengan pukulan-pukulan keras.

Tiga orang pemuda itu jatuh bangun dan semangat mereka sudah buyar sama sekali. Mereka masih ketakutan karena tanpa sebab mereka tadi merasa tangan mereka nyeri bukan main, pisau mereka terlepas dan mereka tidak mampu bergerak. Teringatlah mereka akan wanita cantik tadi dan kembali timbul dugaan bahwa wanita itu tentu siluman dan kini membantu si pemuda petani. Maka, tanpa dikomando lagi, mereka bertiga lalu melarikan diri tunggang langgang!

Pemuda petani itu berdiri memandang mereka sampai bayangan mereka lenyap di antara pohon-pohon. Dia lalu menyeka darah dari hidung dan bibirnya yang pecah-pecah, menggunakan punggung tangan yang juga matang biru membengkak. Setelah tiga orang lawannya pergi, baru dia merasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan diapun agak terhuyung menghampiri pohon besar di tepi jalan.

“Ah, kau terluka....”

Hampir saja pemuda petani itu menerjang dan menyerang Siu Kwi yang muncul dengan tiba-tiba dari balik batang pohon besar. Dia sudah melupakan wanita itu yang disangkanya tentu sudah melarikan diri ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat itu.

“Ah, kau....?” serunya kaget, juga girang bukan main. Kukira engkau sudah pergi jauh dari tempat ini, nona. Dengan hati merasa lega sekali pemuda tani itu lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, karena tubuhnya kini terasa lelah bukan main, tenaganya seperti hampir habis.

Siu Kwi cepat berlutut di dekatnya. “Ah, tubuhmu luka-luka semua, babak bundas.... ah, tentu nyeri sekali....” katanya dan dengan lembut jari-jari tangan wanita itu menyentuh dada, pundak dan pangkal lengan yang memar dan matang biru.

Sentuhan-sentuhan lembut itu seperti obat yang amat nyaman terasa oleh pemuda tani. Biarpun usianya sudah duapuluh lima tahun, akan tetapi dia belum pernah menikah, bahkan jarang bergaul dengan wanita. Dan kini, tiba-tiba muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya berdekatan dengannya, menyentuh tubuhnya dengan lembut. Jantung pemuda itu berdebar keras sekali dan hal ini mudah nampak oleh Siu Kwi sehingga wanita inipun diam-diam merasa girang sekali. Ia sudah berpengalaman, sudah mengenal banyak pria dan tahu akan keadaan seorang pria. Maka mudah saja ia mengetahui bahwa pria dusun inipun amat tertarik kepadanya dan bahwa pendekatannya membuat pemuda itu berdebar jantungnya. Anehnya, sekali ini ia merasa demikian girang dan bangga akan kenyataan ini!

“Luka-lukamu ini perlu dirawat. Aku biasa merawat luka, marilah kuantar engkau pulang dan akan kurawat luka-lukamu.... ahhh....” Tiba-tiba Siu Kwi teringat dan mukanya berubah pucat dan iapun bangkit dan melangkah mundur.

Pria petani itu sudah merasa girang mendengar bahwa wanita cantik itu akan ikut dia pulang dan akan merawat luka-lukanya, akan tetapi terkejut melihat perubahan sikap wanita itu. Diapun bangkit berdiri, memandang penuh selidik.

“Ada apakah, nona?”

“Kau....ah, tentu di rumahmu ada isteri dan keluargamu yang akan merawatmu....” kata Siu Kwi, memandang penuh pertanyaan dan dengan hati gelisah. Mengapa dia tidak ingat akan hal itu? Seorang pria sedewasa ini, apa lagi hidup di dusun,sudah tentu pria ini sudah menikah dan mungkin sudah mempunyai beberapa orang anak! Hatinya seperti ditusuk-tusuk. Kalau dulu, ia tidak akan perduli apakah seorang laki-laki itu berkeluarga atau tidak, mau atau tidak padanya. Kalau ia suka, dengan halus maupun kasar ia tentu akan memiliki pria itu, atau membunuhnya. Akan tetapi sekarang, ia ragu-ragu, khawatir dan berduka membayangkan bahwa laki-laki ini tentu sudah beristeri!

Pemuda petani itu tersenyum. Senyumnya cerah, wajar dan sehat. “Nona, aku belum pernah menikah. Di rumahku hanya tinggal aku dan ayahku seorang. Ibuku sudah lama meninggal.”

Merasa bagaikan sebongkah batu dilepaskan dari hatinya yang tertindih, Siu Kwi ingin sekali merangkul dan mencium pemuda itu. Namun aneh lagi. Ia merasa malu melakukannya, dan ia menahan gejolak perasaannya itu. “Aih, kalau begitu baru aku berani ikut denganmu dan merawat luka-lukamu.”

Karena pertanyaan wanita itu, kini si pemuda petani juga memandang ragu. Masih nonakah wanita ini ataukah sudah nyonya? Kiranya sukar dipercaya kalau masih nona, karena usianya sudah tidak begitu muda lagi walaupun kecantikannya membuat ia nampak jauh lebih muda. Setidaknya, tidak lebih muda darinya dan wanita seusia ini tak mungkin masih perawan.

“Dan bagaimana dengan engkau sendiri, nona.... atau.... nyonyakah?”

Luar biasa sekali! Siu Kwi merasa mukanya panas dan ia tentu akan terheran-heran kalau dapat melihat betapa kulit mukanya berubah kemerahan seperti seorang perawan yang tersipu malu! Heran sekali ia, mengapa ia merasa begini malu dan canggung ditanya oleh pemuda ini apakah ia masih gadis ataukah sudah menikah? Tentu saja akan tidak enak sekali kalau ia mengaku masih gadis, karena usianya sudah tidak pantas untuk itu.

“Aku.... aku seorang janda yang ditinggal mati suamiku, beberapa tahun yang lalu. Semenjak itu, aku hidup seorang diri saja....”

“Ahh....! Maafkan pertanyaanku kalau aku telah menyinggung perasaanmu dan mendatangkan kembali kenangan yang menyedihkan,” kata pemuda itu, agak terkejut.

Siu Kwi tersenyum, manis sekali.

“Hal itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, kesedihan sudah lama meninggalkan hatiku. Akan tetapi, aku ingin mengetahui siapakah namamu dan di mana rumahmu?”

“Aku she Yo bernama Jin, tinggal berdua dengan ayah di dusun sebelah selatan itu.” Dia menudingkan telunjuknya ke arah selatan di mana nampak dari situ sekelompok rumah dusun.

“Namamu Jin (Welas Asih), pantas engkau berhati mulia, mau membela dan menolong aku yang sama sekali tidak kaukenal. Aku she Ciong, namaku Siu Kwi dan lempat tinggalku tidak tetap karena aku sudah tidak memiliki keluarga lagi.”

Pemuda dusun yang bernama Yo Jin itu memandang dengan sinar mata mengandung iba dan dia menggeleng kepala. Akan tetapi.... apakah sama sekali tidak mempunyai anggauta keluarga? Orang tua, saudara-saudara....“

Akan tetapi Ciong Siu Kwi menggeleng kepala dan ia memang tidakberbohong. Ia sendiri sudah tidak mempunyai sanak keluarga sama sekali ketika dipungut oleh Sam Kwi. “Aku hidup sebatangkara, seorang diri saja di dunia yang luas ini. Aihh, kenapa kita bercakap-cakap saja, engkau perlu dirawat. Mari kuantar engkau pulang.”

Siu Kwi lalu memegang lengan pemuda itu dan membantunya bangkit berdiri. Melihat betapa wanita itu memegang lengannya, kembali jantung Yo Jin tergetar dan diapun masih merasa ragu-ragu. Seorang wanita secantik ini, sudah menjanda dan nampak begitu mewah pakaiannya, hendak menggandengnya!

“Tapi, nyonya....”

“Hemm, Yo Jin. Aku sudah memperkenalkan bahwa namaku Siu Kwi, bukan?”

“Baiklah,.... adik Kwi. Aku.... aku masih sangsi apakah mungkin seorang seperti engkau ini merawatku....?”

Senang hati Siu Kwi disebut Kwi-moi (adik Kwi) walaupun ia yakin bahwa ia lebih tua dari pemuda itu. Diapun sengaja menyebut toako (kakak) untuk mengimbangi sebutan Yo Jin dan untuk menghormati pemuda dusun itu. Kenapa tidak, Jin-toako? Engkau sudah menolongku, menyelamatkan aku dari gangguan tiga pemuda berandalan itu. Budimu terlampau besar dan sudah sepatutnya kalau aku kini merawatmu, sekedar untuk membalas kebaikanmu dan menyatakan terima kasihku. Akan tetapi.... tentu saja aku tidak berani memaksa kalau engkau tidak sudi dirawat oleh seorang janda yang hidup merana dan kesepian Di dalam kalimat terakhir itu terkandung isak dan inipun bukan pura-pura karena memang hati Siu Kwi merasa sedih sekali membayangkan hatinya yang sedang kesepian dan merana itu menderita pukulan karena ditolak oleh Yo Jin. Ia merasa kagum dan suka sekali kepada pemuda ini. Bukan sekedar nafsu berahi yang mendorongnya. Entah bagaimana, melihat sikap pemuda ini yang melindungi dan membelanya mati-matian tanpa pamrih, ia merasa aman sentausa berada di samping Yo Jin. Perasaan sepi lenyap.

“Aih, mana mungkin aku menolak uluran tanganmu, Kwi-moi? Mari, marilah kita pulang.”

“Pulang?” Seperti dalam mimpi Siu Kwi mengulang kata yang terdengar amat luar biasa itu, amat asing namun amat indahnya.

“Ya, pulang! Bukankah engkau tadi mengajakku pulang? Ke rumahku, rumah ayahku.”

“Pulang....?” Kembali Siu Kwi mengulang kata itu, kata yang baginya mengandung makna yang asing dan indah, seolah-olah “pulang” merupakan sebuah tempat milik mereka berada, sebuah sarang yang aman sentausa, yang nyaman dan penuh kedamaian.

Ayah Yo jin adalah seorang kakek petani yang bertubuh tinggi besar, berwatak jujur dan dia menyambut pulangnya puteranya dengan alis berkerut. Tentu saja dia merasa heran bukan main melihat anaknya pulang bersama seorang, wanita cantik berpakaian mewah yang menggandengnya. Mereka nampak demikian mesra! Akan tetapi perasaan heran ini menjadi kekagetan dan kekhawatiran ketika dia melihat betapa muka anaknya itu matang biru dan bengkak-bengkak. Baru dia mengerti setelah Yo Jin menceritakan bahwa dia diganggu dan dikeroyok oleh tiga orang pemuda kota yang berandalan itu dalam membela Ciong Siu Kwi yang hendak diganggu.

“Nyonya.... eh, adik Ciong Siu Kwi menemani aku karena ia hendak merawat luka-lukaku, ayah. Aku tidak dapat menolak maksud baiknya itu.”

Ayahnya mengangguk-angguk dan menatap wajah wanita ini dengan tajam penuh selidik. Pandang mata itu membuat Siu Kwi merasa kikuk sekali, akan tetapi ia hanya menundukkan mukanya.

“Mari, Jin-toako, kucuci luka-luka itu, karena kalau didiamkan saja dan terkena kotoran dapat membengkak dan berbahaya,” katanya halus kepada Yo Jin. Pemuda itu mengangguk dan mulailah Siu Kwimerawatnya. Ia mencuci luka-luka itu, dengan jari-jari tangan menyentuh halus ia menggosok bagian yang bengkak, menaruh obat pada bagian yang memar dan matang biru. Entah mana yang lebih manjur, obat yang dipergunakan Siu Kwi ataukah sentuhan jari-jari tangannya, akan tetapi Yo Jin merasa betapa kenyerian di tubuhnya lenyap seketika. Mau rasanya dia dipukuli orang setiap hari kalau sesudah itu dirawat oleh jari-jari tangan wanita cantik ini! Karena dia memang jujur, maka suara hatinya ini tak dapat ditahannya.

“Wah, aku sungguh beruntung!” katanya, Ayahnya sudah meninggalkan mereka yang berada di ruangan samping.

“Beruntung? Kenapa?” tanya Siu Kwi, ingin tahu sekali.

“Ya, beruntung telah dipukuli orang sampai babak belur dan matang biru.”

Siu Kwi memandang heran. “Eh? Betapa anehnya!”

“Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin aku akan mendapatkan perawatanmu seperti ini?”

Siu Kwi merasa betapa jantungnya berdebar. Ingin ia merangkul pemuda itu, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya. Ia harus bersikap biasa, ia tidak menuruti lagi segala kehendak hatinya seperti yang sudah-sudah. Namun ia tidak dapat terbebas dari perasaan jengah sehingga mukanya berubah kemerahan.

“Jin-toako, masih sakitkah bekas pukulan dan tendangan itu?"

“Tidak, sama sekali sudah lenyap. Sentuhan tanganmu yang lembut mengusir semua rasa nyeri,” jawab Yo Jin sungguh-sungguh.

“Senangkah engkau kurawat begini?”

“Senang sekali! Mau rasanya aku setiap hari menerima pukulan asal engkau yang merawatnya.”

Siu Kwi memandang penuh perhatian. Bersandiwarakah pemuda ini? Apakah dia sebenarnya seorang laki-laki yang pandai merayu hati wanita dan kini berpura-pura sebagai seorang pemuda dusun yang bodoh? Tidak, dia merasa yakin bahwa pemuda ini bukan seorang perayu, melainkan seorang yang amat jujur. Apa yang diraskannya, apa yang dipikirkannya, langsung saja keluar melalui mulutnya. Dan ia merasa betapa ada suatu kegembiraan besar memenuhi dadanya.

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring di luar rumah dan ayah Yo Jin memasuki ruangan itu dengan wajah membayangkan kekhawatiran besar. “Mereka bertiga datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun di timur! Ah, Yo Jin, engkau mencari gara-gara saja. Bagaimana baiknya sekarang?”

Yo Jin mengerutkan alisnya dan diapun bangkit. Sedikitpun dia tidak merasa takut.

“Ayah, mereka itu pengacau-pengacau tak tahu malu. Kalau mereka berani datang untuk membikin ribut di sini, biarlah aku akan menghajar meereka lagi.” Berkata demikian, dengan sikap gagah Yo Jin lalu melangkah keluar.

“Toako, berhati-hatilah....” Siu Kwi berseru dan iapun sudah bangkit dan memegang lengan pemuda itu.

Yo Jin menoleh. “Lebih baik engkau jangan keluar, jangan memperlihatkan diri. Biar aku yang menghadapi mereka.”

“Tapi.... tapi engkau akan dikeroyok lagi, dipukuli....“

Yo Jin tersenyum dan untuk beberapa detik lamanya tangannya menggenggam tangan wanita itu. “Tak perlu dirisaukan! Bukankah di sini ada engkau yang akan mengobati semua bekas pukulan?” Dia lalu melepaskan tangannya dan cepat keluar karena orang-orang itu sudah berteriak-teriak lagi.

Siu Kwi berdiri bengong dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. Ia merasa seperti seorang gadis remaja yang baru pertama kali jatuh cinta! Akan tetapi ia segera mengkhawatirkan keadaan Yo jin dan iapun cepat mengintai dari balik pintu.

Ternyata tiga orang pemuda berandalan itu, setelah melarikan diri. Segera pergi menghadap Lui-kongcu (tuan muda Lui), putera dari kepala dusun tempat asal tiga orang pemuda itu. Mereka memang berkawan dengan putera kepala dusun yang terkenal mata keranjang. Mereka memuji-muji kecantikan wanita yang menjadi pacar seorang pemuda petani di dusun selatan sehingga Lui-kongcu tertarik sekali. Apa lagi mendengar betapa tiga orang pemuda itu yang dianggap sebagai anak buahnya, telah dihajar babak-belur oleh pemuda itu karena memperebutkan wanita cantik, Lui-kongcu merasa penasaran. Mengandalkan kedudukan ayahnya, dia memang sudah biasa merajalela dan suka membikin kacau, menekan para penduduk yang tentu saja takut kepadanya mengingat akan kedudukan ayahnya, yaitu kepala dusun Lui.

Ketika Yo Jin muncul diikuti oleh ayahnya yang memandang khawatir, Lui-kongcu sudah menyambutnya dengan dampratan. “Monyet inikah yang telah lancang tangan berani memukuli tiga orang pemuda dusun kami?” Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Yo Jin. “Siapakah namamu?”

Yo Jin tidak mengenal pemuda yang bertubuh jangkung kurus dan berwajah tampan akan tetapi angkuh ini. Akan tetapi tadi ayahnya sudah memberi tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun timur.Maka dia dapat menduga tetu pemuda tampan jangkung berpakaian mewah ini putera kepala dusun itu.

“Maaf, bukan aku yang memukuli dan mengeroyokku. Aku hanya membela diri saja. Namaku adalah Jin she Yo....”

“Bagus, Yo Jin. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun kami di timur. Engkau telah berani kurang ajar terhadap kami, hayo cepat berlutut minta ampun!”

Bukan watak Yo Jin untuk merendahkan diri karena takut. Dia tidak merasa besalah, maka diapun tidak takut terhadap siapa juga. ”Lui-kongcu, sudah kukatakan bahwa aku tidak bersalah, maka diapun tidak takut terhadap siapa juga. “Lui-kongcu, sudah kukatakan bahwa aku tidak bersalah. Merekalah yang terkenal sebagai pemuda-pemuda berandalan yang suka membikin kacau. Sebaiknya kalau Lui-kongcu sebagai putera kepala dusun, menghukum mereka agar mereka tidak lagi menjadi berandalan-berandalan yang suka mengacau ke kampung-kampung.”

“Tutup mulutmu! Engkau berani membantah dan melawan aku, ya?” bentak Lui-kongcu marah sambil melangkah maju mendekati Yo Jin. “Hayo lekas berlutut!”

“Aku tidak bersalah apa-apa, kenapa harus berlutut?” jawab Yo Jin dengan sikap tenang dan alis berkerut, pandang mata tajam ditujukan kepada wajah kongcu itu.

“Engkau melawanku?” Lui-kongcu membentak, lalu membuat gerakan memasang kuda-kuda dengan gagah dan membentak, “Haiiiit....!” Lalu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya yang dikepal memukul bertubi-tubi.

Yo Jin menyangka bahwa anak kepala dusun ini akan memukulnya, dan dia pun merasa sungkan untuk membalas, maka dia menangkis sedapatnya. Karena tidak membalas, dan karena dia masih lelah, beberapa pukulan mengenai tubuhnya, dan tentu saja terasa nyeri karena mengenai bagianyang memar dan masih biru. Lui-kongcu melanjutkan serangannya sambil berteriak-teriakseperti lagak seorang jagoan tulen.

Karena kesakitan, Yo Jin lalu melawan. Dia membalas dengan pukulan tangan kanan yang mengenai dada Lui-kongcu sehingga tubuh si jangkung ini terpelanting! Kiranya, hanya lagak saja seperti jagoan. Memang dia pernah belajat silat, akan tetapi orang seperti dia mana ada ketekunan belajar secara sungguh-sungguh? Dia belajar hanya untuk berlagak, makayang dihafalnya hanyalah pemasangan kuda-kuda dan gerakan-gerakan yang nampak indah, namun karena dia tidak tekun mempelajari dasar-dasarnya, maka semua gerakannya itu kosong belaka, bagaikan bungkusan indah yang tidak ada isinya. Maka, begitu Yo Jin membalas, diapun terkena pukulan dan terpelanting. Melihat demikian, tiga orang pemuda berandalan itupun maju mengeroyok. Tentu saja Yo Jin yang masih belum pulih kesehatannya, dan masih lelah itu, harus menerima hajaran empat orang pengeroyoknya, dipukul dan ditendang sampai babak belur. Namun, dengan gigih dia membela diri dan melawan, sedikitpun tidak pernah mengeluh.

“Heiii, jangan berkelahi! Jangan pukuli anakku....!” Ayah Yo Jin yang melihat puteranya dipukuli orang lalu maju untuk melerai, akan tetapi ia disambut oleh pukulan-pukulan yang membuat ia roboh terpelanting pula!

Melihat itu, Siu Kwi lalu keluar dari tempat persembunyiannya. “Tahan, jangan berkelahi!”

Mendengar suara perempuan, empat orang pengeroyok itu menghentikan amukan mereka dan Lui-kongcu memandang bengong ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat cantik jelita berdiri di situ. Tiga orang pemuda berandalan itupun memandang an mereka segera mengenal wanita itu.

“Kongcu, itulah pacarnya yang cantik!“

Lui-kongcu tidak perlu diberitahu lagi karena matanya yang berminyak sudah melahap kecantikan yang berada di depan matanya dan diapun sudah dapat menduga bahwa tentu wanita ini yang menjadi gara-gara keributan itu, yang diperebutkan dan dia tidak menyalahkan anak buahnya kalau tergila-gila kepada wanita ini. Memang cantik jelita!

“Yo Jin, aku akan mengampunimu kalau engkau mau memberikan pacarmu ini kepadaku, setidaknya kupinjam dia untuk beberapa malam lamanya!” kata Lui-kongcu tanpa malu-malu lagi.

Dapat dibayangkan betapa panas rasanya hati Yo jin. Dia sudah jatuh cinta kepida Siu Kwi dan kini mendengar kata-kata yang tidak sopan dan kurang ajar itu, yang ditujukan kepada Siu Kwi, tentu saja dia menjadi marah. “Lui-kongcu, andai kata ia itu pacarku, tunanganku atau isteriku, tentu takkan kuserahkan kepadamu, dan akan kuhajar engkau yang berani bersikap kurang ajar! Akan tetapi sayang, ia hanya seorang sahabat baru dan seorang tamuku yang terhormat.”

Mendengar jawaban ini, Lui-kongcu dan tiga orang pemuda berandalan itu saling pandang. Si gendut, seorang di antara tiga pemuda berandalan itu, berseru tak percaya.

“Kau bohong! Kalau bukan pacarmu, kenapa engkau membelanya sampai mati-matian?”

“Hemmm, orang-orang macam kalian ini tentu merasa heran, akan tetapi orang-orang sopan tentu mengerti bahwa sudah sepatutnya kalau seorang pria menghormati wanita, membelanya dan bukan seperti kalian yang hendak menghinanya dan mempermainkannya!”

“Ha-ha-ha, bocah petani dusun tolol! Orung macam engkau mau memberi kuliah kepadaku? Kalau ia bukan apa-apamu, sudah, mundur kau dan jangan turut campur!” kata Lui-kongcu yang diam-diam merasa jerih juga melihat kenekatan Yo Jin yang agaknya tidak mengenal takut dan sakit. Ia menghampiri Siu Kwi dan tersenyum menyeringai sambil memasang aksi.

“Nona cantik, marilah engkau ikut bersamaku. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun di timur yang kaya raya. Engkau tentu akan mengalami kesenangan kalau ikut bersamaku. Jadilah tamuku yang terhormat dan kita bersenang-senang bersama. Marilah, manis!” Dia mengulur tangan hendak memegang tangan Siu Kwi. Agaknya, pemuda ini selalu yakin bahwa setiap orang perempuan tentu akan tunduk dan memyambut ajakannya dengan girang. Wanita mana yang dapat menolaknya? Dia masih muda, tampan dan gagah, kaya raya dan ayahnya menjadi kepala dusun yang hidupnya seperti seorang raja kecil saja di dusunnya! Sudah terlalu banyak wanita yang tunduk kepadanya, seperti kerbau dicocok hidungnya kalau dia merayu dan mengajak mereka.

Siu Kwi ingin sekali tampar menghancurkan kepala Lui-kongcu itu. Akan tetapi ia masih terus sadar dan teringat bahwa ia kini harus menjadi seorang yang baru sama sekali, tidak boleh lagi mempergunakan ilmunya untuk mengulangi lagi kehidupan sesat dan kejam seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi, tentu saja ia tidak dapat memadamkan kemarahan yang berkobar di dalam dadanya melihat sikap anak kepala dusun itu.

“Tidak, aku tidak mau pergi ke mana-mana, tidak mau pergi meninggalkan Jin-toako yang membutuhkan perawatanku. Kalian pergilah dari sini dan jangan membikin kacau!”

Lu-kongcu tertawa dan membelalakkan matanya. “Aih, kenapa begitu, nona manis? Apakah engkau lebih suka tinggal di sini, di tempat yang kotor dan amat tidak pantas bagimu ini? Dan lihat si tolol Yo Jin ini, seorang petani busuk yang kotor dan bodoh. Tidak patut sama sekali engkau bersahabat dengan orang tolol macam ini. Untuk menjadi bujangmupun, dia belum pantas!”

Siu Kwi menjadi marah bukan main. “Huh, toako Yo Jin ini adalah seorang laki-laki sejati. Dia seribu kali lebih baik dari pada kamu dan kawan-kawanmu. Pergilah dan jangan menganggu kami lagi!”

Mendengar ucapan ini, Lui-kongcu menjadi marah. Mukanya merah sekali. Pemuda dusun itu seribu kali lebih baik dari dia? “Hajar mampus petani busuk ini, baru kularikan gadis tak tahu diri itu!” katanya dan diapun sudah menyerang Yo jin dengan marah, dibantu kawan-kawannya. Dan kini, mereka mencabut pisau yang sudah mereka persiapkan lebih dulu.

“Jin-toako, kaupukul mereka sampai puas!” tibatiba Siu Kwi berkata. “Cepat hajar mereka, toako!”

Tentu saja Yo Jin terheran mendengar seruan itu, akan tetapi dia menjadi semakin heran dan girang melihat betapa empat orang pemuda yang mengeroyoknya itu tiba-tiba saja menghentikan gerakan-gerakan mereka dan ketika dia memukul mereka, empat orang itu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis atau mengelak. Dia tidak tahu bahwa dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, Siu Kwi telah membuat mereka untuk sementara lumpuh dengan sambitannya, mempergunakan kerikil-kerikil kecil sekali. Enak saja Yo Jin membabat mereka dengan kaki tangannya, memukul dan menendang sampai mereka itu terguling-guling. Ketika pengaruh totokan sudah hilang dan mereka mampu bergerak kembali, mereka sudah menjadi ketakutan.

Lui-kongcu bangkit berdiri, sempoyongan dan memandang kepada Yo Jin dan Siu Kwi bergantian, kemudian dia memandang kepada ayah Yo jin dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Siu Kwi, “Ia seorang siluman! Ya, seorang siluman betina yang jahat dan akan menghancurkan keluargamu!” Setelah berkata demikian, Lui-kongcu melarikan diri diikuti tiga orang pemuda berandalan. Tadi, tiga orang pemuda itu sudah menceritakan betapa mereka mengalami hal yang aneh ketika mencabut pisau sehingga mereka dihajar oleh Yo Jin. Sekarang, kembali mereka mengalami hal yang sama dan juga Lui-kongcu mengalaminya. Maka, mereka semua condong percaya kepada dugaan pemuda berandalan kepala besar bahwa agaknya Yo Jin dibantu siluman, dan siapa lagi kalau bukan perempuan cantik itu silumannya?

“Mereka sungguh kurang ajar!” bentak Yo Jin marah ketika mendengar wanita yang telah menjatuhkan hatinya dimaki siluman.

“Biarkan mereka pergi, Jin-toako. Mereka adalah anak-anak yang masih bodoh dan hanya mengandalkan kedudukan orang tua dan kekayaan saja. Wah, luka-lukamu lecet kembali, mari kuberi obat lagi.”

“Baik, Kwi-moi dan terima kasih atas kebaikanmu.” Dua orang muda itu hendak masuk kembali ke dalam rumah.

“Nanti dulu!” Tiba-tiba terdengar ayah Yo Jin membentak. Orang tua ini sungguh amat terpengaruh oleh kata-kata yang ditinggalkan oleh Lui-kongcu. Pada jaman itu, memang semua orang amat percaya akan tahyul, percaya akan siluman-siluman yang suka mendatangkan gangguan terhadap kehidupan manusia, percaya pula akan dewa-dewa pelindung dan segala macam tahyul lagi. Mendengar ucapan Lui-kongcu, ayah inipun terkejut dan sejak tadi dia sudah mengamati Siu Kwi penuh perhatian. Seorang wanita yang amat cantik, dengan pakaian mewah dan perhiasan emas permata yang mahal-mahal. Dan wanita seperti itu mau mendekati puteranya, seorang petani biasa! Dan pula, wanita itu muncul begitu tiba-tiba. mengaku tak memiliki keluarga, tak memiliki rumah tinggal. Mana mungkin ini? Seorang wanita gelandangan tidak sekaya ini, apa lagi secantik ini. Dan mengapa Yo Jin tiba-tiba saja menjadi begitu nekat membelanya sehingga anak itu bahkan berani menentang seorang putera kepala dusun? Agaknya anaknya itu sudah tergila-gila kepada siluman ini, yang tentu saja telah mempergunakan ilmunya untuk menundukkan Yo Jin. Puteranya itu walaupun sudah berusia duapuluh lima tahun, akan tetapi dia yakin masih seorang perjaka tulen dan menurut dongeng, siluman memang suka mengubah diri menjadi seorang perempuan cantik untuk menghisap sari tenaga dari tubuh seorang perjaka! Dan menurut dongeng, seorang perjaka yang terpikat oleh siluman, akan mati kehabisan darah, bahkan keluarganya juga akan ikut tertimpa malapetaka!

Mendengar bentakan ayahnya dan kini melihat betapa ayahnya memandang dengan mata terbelalak kepada Siu Kwi, Yo Jin merasa heran. “Ada apakah, ayah?”

“Tidak boleh.... nona ini tidak boleh memasuki rumah kita....!” Lalu orang tua itu menjadi ketakutan ketika teringat bahwa seorang siluman amat sakti dan akan mampu membunuhnya hanya dengan pandang matanya, dan juga amat kejam, maka cepat dia menjura kepada Siu Kwi. “Nona, harap maafkan kami.... harap suka mengasihani seorang tua seperti aku, seorang duda yang hidup berdua dengan anakku Yo Jin. Harap kau suka memaafkan kami dan jangan.... jangan menjadikan anakku korban.... carilah korban lain, masih banyak terdapat perjaka di dusun ini dan dusun-dusun lainnya....”

Biarpun Yo Jin dan Siu Kwi terheran-heran mendengar ucapan yang tersendat-sendat itu, mereka berdua maklum apa yang dimaksudkan oleh orang tua itu. Kakek itu menuduh Siu Kwi siluman!

“Ayah....! jangan begitu....”

“Lopek, aku mengerti apa yang kaumaksudkan. Engkau menuduh aku seorang siluman betina, bukankah begitu?” kata Siu Kwi, suaranya terdengar dingin menusuk. Wanita ini memang marah bukan main. Gatal-gatal kedua tangannya. Ia telah diusir, bahkan dituduh seorang siluman. Kalau dulu, beberapa hari yang lalu saja, tak mungkin ia dapat mengampuni orang yang berani mengusirnya dan menuduhnya siluman. Tentu ia akan membunuh orang itu. Akan tetapi, ia kini hanya merasa marah dan juga berduka sekali. Ayah pria yang menjatuhkan hatinya kini mengusirnya dan menuduhnya siluman.

Kakek itu menjura. “Maafkan.... maafkan kami....”

Siu Kwi tidak dapat menahan kesedihannya. Ia terisak lalu berlari pergi.

“Kwi-moi....! Tunggu, jangan tinggalkan aku, Kwi-moi....!” Yo Jin berteriak dan mengejar.

“Yo Jin, berhenti kau!” Ayahnya menghardik. Selama ini, Yo Jin hanya hidup berdua dengan ayahnya, maka tentu saja dia amat menyayang ayah ini dan mentaatinya. Kini, mendengar bentakan ayahnya, dia seperti tertahan oleh sesuatu yang amat kuat, berhenti berlari, menoleh dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut.

“Ayah...., Kwi-moi....!” Dan pemuda inipun terguling, pingsan. Setelah mengalami pengeroyokan sampai dua kali, menerima gebukan-gebukan yang amat banyak, dan hanya sentuhan dan sikap Siu Kwi saja yang menguatkan hatinya sehingga dia dapat bertahan, kini dia tidak dapat menahan pukulan batin melihat ayahnya menuduh kekasihnya itu siluman dan Siu Kwi pergi meninggalkannya!

***

“Orang she Yo, sungguh besar sekali nyalimu! Engkau membiarkan anakku yang kurang ajar itu untuk memukul dan melukai Lui-kongcu, putera kepala dusun timur! Sungguh, engkau membikin malu aku yang menjadi kepala dusun di sini!” kata kepala dusun Tong kepada kakek Yo. Dia menerima pengaduan dari rekannya, kepala dusun Lui dan karena merusa malu hati terhadap rekannya, maka dia cepat memanggil kakek Yo datang menghadap dan menegurnya dengan keras. “Sekarang juga Yo Jin harus menyerahkan diri agar dapat kuantarkan kepada kepala dusun Lui untuk menerima hukuman!”

Tentu saja kakek Yo terkejut mendengar ini dan dia cepat-cepat memberi hormat. “Mohon beribu ampun dan kebijaksanaan Tong-thungcu,” katanya. “Sesungguhnya anak saya Yo Jin sama sekali tidak bersalah, akan tetapi dia terbujuk oleh siluman betina. Untung bahwa saya telah berhasil mengusir siluman betina itu dan menyelamatkan anakku dari ancaman malapetaka.”

Kepala dusun itu tertegun. “Siluman....? Apa maksudmu?”

Kakek Yo lalu menceritakan tentang munculnya siluman betina yang menyamar sebagai seorang wanita cantik sehingga menjadi perebutan antara anaknya dan Lui-kongcu dan terjadi perkelahian. Akan tetapi, anaknya itu terbujuk oleh siluman dan dalam keadaan tidak sadar.

“Kalau terlambat sedikit saja saya mengusir siluman itu, tentu anakku telah mati. Siluman itu sudah saya usir, dan harap Tong-thungcu suka membujuk Lui-thungcu agar mengampuni anak saya yang sebenarnya tidak salah karena berada dalam pengaruh siluman dan tidak sadar.”

“Ah, jangan mencari alasan dengan cerita yang
gila!” bentak kepala dusun Tong. “Siapa mau percaya omonganmu? Hayo bawa Yo Jin ke sini, ataukah aku harus ke sana sendiri untuk menangkapnya?”

“Ah, Tong-thungcu tidak percaya? Marilah, harap dilihat sendiri keadaan anak saya yang sampai sekarang masih belum sadar benar,” kata kakek Yo. Kepala dusun itu merasa heran dan diapun segera mengikuti kakek Yo, dikawal oleh tiga orang anak buahnya.

Setelah tiba di dalam rumah kakek Yo, kepala dusun Tong melihat betapa Yo Jin benar-benar berada dalam keadaan sakit dan tidak sadar. Pemuda itu berbaring demam gelisah di atas pembaringan di dalam kamarnya. Mukanya merah sekali, tubuhnya panas dan pemuda itu mengigau, memanggil-manggil “Kwi-moi!” berkali-kali.

“Nah, begitulah keadaannya, thungcu. Yang dipanggilnya itu adalah nama siluman itu. Maka harap Tong-thungcu suka mengasihaninya dan suka membujuk Lui-thungcu.” Kakek Yo dengan suara mohon dikasihani minta kebijaksanaan kepala dusun Tong sambil menyerahkan bungkusan yang terisi seluruh simpanan uangnya kepada pembesar itu.

Mula-mula kepala dusun itu berpura-pura menolaknya. Akan tetapi, melihat bahwa isi buntalan itu cukup banyak, diapun menyuruh pengawalnya untuk menerima bungkusan itu sambil berkata, “Sebenarnya, berat bagiku untuk memenuhi permintaanmu. Aku merasa malu hati kepada rekanku, kepala dusun Lui. Akan tetapi, melihat keadaan anakmu, aku percaya dan biarlah saya akan membicarakan hal ini dengan dia.”

Kakek Yo merasa girang dan berterima kasih, dan sambil membungkuk-bungkuk dia mengantar kepala dusun itu meninggalkan rumahnya sampai di luar pekarangan. Dia rela kehilangan semua simpanannya asal anaknya tidak ditangkap.

Kakek Yo benar-benar percaya bahwa anaknya sakit karena berdekatan dengan siluman. Hawa siluman yang menimbulkan sakit panas itu, maka diapun mengundang seorang dukun untuk menyembuhkan puteranya. Dukun itu seorang tosu yang suka mempelajari ilmu klenik dan sang tosu, dengan biaya yang cukup besar tentunya, segera melakukan sembahyangan di situ, menggunakan darah anjing dipercik-percikkan di empat penjuru rumah, berkemak-kemik membaca mantera dan dengan rambut riap-riapan dan pedang di tangan dia berjalan pula mengitari rumah sampai tujuh kali. Akhirnya dia meninggalkan rumah kakek Yo sambil mengantongi hadiah yang cukup banyak, juga sebungkus masakan yang lezat.

Akan tetapi, penyakit Yo Jin tidak menjadi sembuh, bahkan setelah lewat tiga hari, keadaannya menjadi semakin payah. Dan pada malam hari ke tiga itu, setelah kakek Yo tertidur nyenyak saking lelahnya, sesosok bayangan hitam berkelebat di atas genteng rumah itu. Bayangan itu melakukan pengintaian dari atas genteng, membuka genteng di atas kamar Yo Jin dan ia mendekam sambil mengintai ke dalam kamar. Dilihatnya Yo Jin rebah terlentang dengan muka merah akan tetapi kurus sekali, dan pemuda itu bergerak gelisah ke kanan kiri dengan gerakan lemah.

“Kwi-moi.... Kwi-moi.... jangan tinggalkan aku.... Kwi-moi....” Demikianlah dia mengigau berkali-kali, mengulang-ulang nama itu dengan bisikan-bisikan lemah.

“Ohhh....!” Bayangan itu terisak dan menangis. Bayangan itu adalah Siu Kwi dan iapun cepat melayang turun dan memasuki kamar Yo Jin. Ditubruknya Yo Jin dan dirangkulnya tubuh yang panas itu.

Yo Jin membuka kedua matanya dan melihat wajah orang yang dirindukannya, diapun merangkul. “Kwi-moi....!”

“Jin-toako! Aihh.... toako, kau kenapakah....?”

“Kwi-moi, tangan tinggalkan aku lagi....” pemuda itu mengeluh lemah.

“Tidak, tidak ah,.... betapa bodohku telah meninggalkanmu.” Ia mencium dahi pemuda itu. “Hemm, badanmu panas. Engkau demam.” Cepat Siu Kwi memeriksa keadaan Yo Jin dan wanita yang pandai dan banyak pengalaman ini maklum bahwa pemuda itu terserang demam karena luka-lukanya yang tidak terawat kini membengkak dan keracunan! Cepat ia bekerja, mencuci luka-luka itu dan menaruhkan obat luka yang selalu dibawanya, dan juga menyuruh Yo Jin menelan dua butir pel kuning. Setelah menelan pel, Yo Jin tidur pulas dengan kepala di atas pangkuan Siu Kwi.

Siu Kwi duduk di tepi pembaringan, mengelus-elus rambut dikepala Yo Jin yang kusut. Ia memandangi wajah yang kurus itu dan tak terasa dua butir air mata menetes turun, keluar dari kedua matanya. Hatinya diliputi keharuan yang amat mendalam. Selama tiga hari ini, ia sendiri tersiksa sekali. Ia berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, mencoba untuk melupakan Yo Jin, namun tidak berhasil sama sekali. Makin dilupakan, makin teringat dan selama tiga hari ini ia hampir tidak makan dan tidak tidur sama sekali. Akhirnya, iapun tidak kuat dan memaksa diri kembali ke dusun itu dan di waktu malam telah menggelapkan dusun, iapun mendatangi rumah pria yang dicintanya untuk menengok dengan diam-diam. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat Yo Jin ternyata dalam keadaan sakit yang cukup payah. Dan lebih terharu lagi ketika ia mendengar igau pemuda itu dalam sakitnya. Baru ia tahu bahwa sepeninggalnya, Yo Jin jatuh sakit dan terus mencari-cari dan memanggil-manggilnya!

“Ah, Jin-toako.... aku cinta padamu.... aku cinta padamu....“ bisiknya berkali-kali dan ia mendekap kepala di pangkuannya itu seperti mendekap sebuah mustika yang takkan pernah dilepaskannya lagi.

Karena ia sendiri selama tiga hari kurang tidur, setelah kini bertemu kembali dengan Yo Jin, bahkan pemuda itu tertidur di pangkuannya, hati Siu Kwi merasa demikian tenteram sehingga iapun memejamkan matanya, bersandar pada dinding dan dengan kepala pemuda itu masih di atas pangkuannya, iapun tertidur pulas.

Seperti itulah keadaan mereka ketika pada keesokan harinya kakek Yo memasuki kamar anaknya. Dia berdiri terpukau di ambang pintu, terbelalak, bahkan sempat menggosok mata dengan punggung tangan beberapa kali seperti tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Perempuan siluman itu telah berada dalam kamar anaknya!

Agaknya kehadiran kakek ini cukup untuk membangunkan Siu Kwi. Ia membuka matanya dan melihat kakek itu di ambang pintu kamar, ia segera teringat akan keadaannya. Wajahnya menjadi merah sekali dan dengan lembut ia menurunkan kepala Yo Jin dari atas pangkuannya.

“Aku.... aku datang untuk mengobati Jin-toako yang ternyata terserang demam karena luka-lukanya,” katanya lirih kepada kakek Yo. Kakek Yo masih tidak mampu bersuara. Ada perasaan marah akan tetapi juga takut terhadap perempuan di depannya.

Pada saat itu, Yo Jin juga terbangun. “Kwi-moi keluhnya dan ketika dia membuka mata dan melihat Siu Kwi telah berada di dekat pembaringan, dia cepat menangkap tangan gadis itu. “Ah, Kwi-moi, benarkah engkau ini? Engkau telah datang kembali?” tanyanya dengan suara gemetar.

Siu Kwi meremas tangan pemuda itu. “Aku datang untuk mengobatimu, Jin-toako.

“Ah, terima kasih, Kwi-moi. Aku sudah sembuh! Melihat engkau datang saja aku sudah sembuh sama sekali. Lihat, aku sudah bisa duduk!” Seperti seorang anak kecil yang kegirangan, pemuda itu bangkit duduk walaupun dengan tubuh yang masih lemas. Hati Siu Kwi merasa terharu bukan main.

Kakek Yo tidak dapat menyangkal bahwa anaknya benar-benar kelihatan sembuh. Akan tetapi, hal ini bahkan memperkuat dugaannya bahwa Siu Kwi tentulah seorang siluman tulen yang sengaja membuat Yo Jin sakit dan kini kembali untuk mengobati Yo Jin agar dia dapat percaya! Akan tetapi, untuk menuduh demikian, dia tidak berani. Pertama, diapun ingin melihat anaknya sembuh dulu, dan ke dua, dia mulai merasa ngeri dan takut terhadap Siu Kwi.

“Kwi-moi, jangan kau pergi lagi, Kwi-moi....” kata Yo Jin sambil menggenggam tangan wanita itu.

“Tidak, Jin-toako. Aku kembali uutuk menemanimu dan merawatmu sampai sembuh.”

“Sampai sembuh dan engkau akan pergi lagi? Tidak, Kwi-moi, engkau tidak boleh pergi, selamanya, dari sampingku!” Genggaman tangan Yo Jin semakin erat seolah-olah dia benar-benar merasa khawatir kalau-kalau wanita itu akan pergi lagi.

Siu Kwi memandang ke arah kakek Yo. “Kalau saja Yo-lopek mau mengijinkannya.”

“Ayah, biarkan Kwi-moi di sini. Aku.... aku tidak dapat hidup tanpa ia, ayah!” Yo Jin berkata dengan suara lantang dan nekat. Sikap ini sungguh membuat Siu Kwi terharu sekali dan kembali dua titik air mata runtuh dari matanya yang berlinang-linang. Pemuda ini belum pernah menyatakan cinta, akan tetapi setiap katanya, setiap pandang mata, selalu penuh dengan sinar cinta yang mendalam.

Kakek itu menghela napas dan memutar otaknya. Dia tentu saja tidak setuju, akan tetapi tidak berani mengaku terus terang di depan siluman itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berkata, “Baiklah, biar ia merawatmu sampai engkau sembuh. Setelah engkau sembuh, baru kita bicara tentang itu.” Setelah berkata demikian, kakek Yo lalu meninggalkan kamar itu.

Setelah kakek itu memberi perkenan, bukan main lega dan girang rasa hati Siu Kwi. Ia melepaskan tangan Yo Jin dan berkata, “Nah, sekarang engkau harus tidur lagi. Aku akan membuatkan bubur untukmu, engkau harus makan yang banyak, selalu minum obat, dan banyak tidur....“

“Akan tetapi, aku ingin bercakap-cakap denganmu, Kwt-moi....”

“Hsshhh, belum waktunya mengobrol. Ingat, aku perawatmu dan kau harus mentaati semua permintaanku!” Ia mengangkat telunjuknya seperti orang mengancam, dengan sikap yang manja dan genit saking girang hatinya.

Yo Jin tertawa. “Baiklah, baiklah. Aku akan mentaatimu dan menutup mulutku.”

“Heii, jangan ditutup terus. Tidak enak kalau kau kelihatan marah dan tidak mau mengajak bicara padaku.” Mereka tertawa dan di dalam suara ketawa mereka terkandung keriangan. Keadaan hatinya saja sudah merupakan obat yang amat mujarab bagi penyakit Yo Jin.

Selama tiga hari, Siu Kwi merawat Yo Jin dengan amat tekunnya. Ia juga mencucikan pakaian Yo Jin. Kakek Yo tetap tidak mau dibantunya dan bahkan tidak membolehkan Siu Kwi mencucikan pakaiannya yang kotor! Pendeknya, dia tidak mau bersentuhan dengan siluman! Juga segala yang dimasak oleh Siu Kwi, kakek itu tidak mau menyentuhnya. Dia selalu makan di luar, di rumah teman-teman atau di warung nasi selama Siu Kwi berada di rumahnya.

***

Ketahyulan membuat orang dapat melakukan hal yang amat bodoh. Ketahyulan muncul kalau orang mudah percaya kepada diri sendiri, tidak mau melihat kenyataan yang ada melainkan dipermainkan oleh khayal, mengagungkan hal-hal yang dianggap aneh dan berada di luar pengertian mereka. Jelaslah bahwa ketahyulan adalah suatu kebodohan dan orang dapat melakukan segala hal yang tidak masuk akal.

Kakek Yo masih tebal perasaan takut terhadap setan-setan, sebagai akibat dari ketahyulannya. Menghadapi kehadiran Siu Kwi, dia percaya sepenuhnya bahwa wanita itu adalah siluman. Banyak hal yang dianggapnya cukup menjadi bukti bahwa Siu Kwi adalah siluman. Pertama, asal-usulnya yang tidak jelas, kemunculannya begitu saja. Ke dua, kecantikannya yang menyolok dan betapa orang yang secantik dan sekaya itu, melihat kemewahan pakaiannya, dapat jatuh cinta kepada anaknya, seorang pemuda tani dusun. Ke tiga, kepandaiannya mengobati. Ke empat, kemunculannya kembali yang aneh, tahu-tahu berada di dalam kamar! Sungguh seperti setan!

Karena rasa takutnya, kakek Yo lalu melaporkan kembalinya Siu Kwi kepada kepala dusun Tong secara diam-diam dan mendengar bahwa di rumah kakek Yo telah datang siluman yang ditakuti itu, kepala dusun Tong cepat memberi kabar kepada kepala dusun Lui. Terjadilah persekongkolan antara kakek Yo dan kedua orang pejabat itu untuk bersama-sama menghadapi siluman

Si tosu dusun lalu dihubungi dan tosu inilah yang mendatangkan tosu-tosu lain, tokoh-tokoh yang akan membuat dua orang kepala dusun itu sendiri terkejut setengah mati kalau mengenal mereka karena para tosu itu adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-Liuw (Agama Teratai Putih) dan Pat-kwa-kauw (Agama Segi Delapan) yang condong ke arah golongan sesat dan terkenal pula sebagai pemberontak-pemberontak.

Setelah mereka yang bersekongkol itu mengadakan pertemuan mengatur siasat, kakek Yo lalu mendapat tugas untuk membawa Yo Jin ke rumah kepala dusun Lui yang menjadi sarang pertemuan mereka. Mereka akan melihat gelagat dulu sebelum menggunakan kekerasan karena menurut para tosu, siluman dapat memiliki kesaktian yang sukar dikalahkan.

Demikianlah, setelah Yo Jin kelihatan sembuh benar, ayahnya lalu mengajaknya untuk pergi menghadap ke rumah kepala dusun Lui. “Kita harus pergi ke sana, anakku. Memang, dengan bijaksana kepala dusun Lui telah memaafkanmu, akan tetapi yang memintakan maaf adalah aku. Kalau engkau sendiri yang datang menghadap dan minta maaf, tentu dia akan lebih senang hatinya dan selanjutnya, kita tidak akan mengalami gangguan lagi.”

Siu Kwi mendengarkan percakapan itu dan ia mengerutkan alisnya. “Jin-toako, kuharap engkau berhati-hati menghadapi orang-orang seperti Lui-kongcu itu. Orang-orang seperti itu tidak mudah melupakan kekalahan dan selalu menaruh dendam, dan mereka mungkin akan menggunakan siasat untuk menjebakmu. Kurasa lebih baik kalau engkau tidak pergi ke sana.”

Yo Jin tadinya sudah siap mengikuti ayahnya. Mendengar ucapan Siu Kwi, dia menjadi ragu-ragu. “Kurasa benar juga pendapat Kwi-moi, ayah. Mengapa aku harus menghadap ke sana kalau aku tidak bersalah apa-apa terhadap mereka? Pula, mereka sudah diam saja, berarti sudah tidak ada apa-apa. Kuharap saja Lui-thungcu tidak jahat seperti puteranya dan dapat menyadari kesesatan puteranya dan dengan kesadaran itu memaafkan aku. Kalau aku muncul, jangan-jangan dia malah menjadi marah kembali dan melakukan tindakan yang tidak menguntungkan.

Tentu saja kakek Yo kecewa bukan main dan hatinya mendongkol. Puteranya itu selalu taat kepadanya, akan tetapi setelah siluman itu mencengkeram dan menguasainya, kini berani membangkang terhadap perintahnya.

“Yo Jin....,” bentaknya marah. Dia hanya berani memarahi anaknya, sedangkan terhadap Siu Kwi, dia memandangpun tidak. “Selama ini engkau seorang anak penurut, akan tetapi sekarang engkau berani membantah kehendak ayahmu! Baik, engkau boleh tidak menurut kepadaku, akan tetapi selamanya engkau tidak perlu mentaati aku lagi!” Berkata demikian, kakek itu lalu memutar tubuh dan keluar.

“Ayah....!” Yo Jin berseru dengan kaget, cepat dia lari keluar mengejar ayahnya. Setelah tiba di luar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. “Ayah, maafkan aku, bukan maksudku untuk membantah....“

“Cukup, cepat berganti pakaian dan ikut aku ke rumah Lui-thungcu atau.... jangan sebut aku ayah lagi!“

Tentu saja Yo Jin tidak berani membantah. Dia masuk lagi ke dalam kamar dan berganti pakaian sambil berkata kepada Siu Kwi, “Kwi-moi, kaumaafkan aku. Aku terpaksa pergi sebentar ikut ayah. Dia marah dan kau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin menentang kehendaknya.”

Siu Kwi tersenyum sabar. “Aku mengerti, toako. Pergilah, aku akan menanti kembalimu di sini dengan sabar hati.”

Lega rasa hati Yo Jin mendengar dan melihat sikap Siu Kwi itu dan diapun segera pergi bersama ayahnya, meninggalkan dusun mereka yang terletak di sebelah selatan itu untuk berkunjung kepada kepala dusun Lui di dusun sebelah timur. Di sepanjang perjalanan itu, kakek Yo memperoleh kesempatan untuk menasihati anaknya. Dia memperingatkan anaknya tentang bahaya yang mengancam dirinya kalau semakin akrab dan dekat dengan wanita cantik yang menjadi tamu mereka.

“Sadarlah engkau, anakku,” demikian dia menutup nasihatnya yang agaknya tidak diperdulikan oleh Yo jin, didengarkan tanpa dijawab. “Engkau sudah berada dalam cengkeramannya, engkau sudah dibikin mabok oleh hawa siluman. Masih untung bahwa selama ini engkau belum timur bersama siluman itu, karena kalau hal itu terjadi, akan celakalah engkau. Sadar dan mundurlah sebelum terlambat, anakku.”

Biarpun Yo Jin maklum bahwa ayahnya membujuknya untuk menjauhi Siu Kwi terdorong oleh rasa sayang karena ayahnya tidak ingin melihat dia celaka, akan tetapi hatinya terasa panas dan tidak enak mendengar betapa ayahnya yakin bahwa Siu Kwi adalah seorang siluman.

“Ayah, sudah beratus kali kukatakan bahwa Ciong Siu Kwi bukan seorang siluman, melainkan seorang wanita yang patut dikasihani, yang berhati mulia.”

“Tapi tosu itu....“

“Persetan dengan tosu tahyul itu, ayah! Dengar, ayah. Sudah beberapa lama aku mengenal Siu Kwi dan belum pernah satu kalipun ia melakukan hal yang bukan-bukan. Ia selalu sopan dan merawatku dengan teliti dan tekun. Ia suka kepadaku, hal itu amat kuharapkan dan nampaknya begitu, dan aku.... cinta padanya, ayah, akan tetapi selama ini belum pernah ia memperlihatkan perasaannya dengan perbuatannya yang melanggar susila. Ia seorang wanita baik-baik, ayah, seorang wanita yang sudah banyak menderita.”

Kakek itu mengerutkan alisnya. Agak ragu-ragu juga hatinya setelah mendengar ucapan anaknya itu. Memang tidak ada bukti nyata bahwa Siu Kwi seorang siluman. Akan tetapi keganjilan-keganjilan yang terjadi bersama kemunculannya ia meragu dan hanya menggeleng kepala. Biarlah, biarlah Lui-thungcu yang akan menangani persoalan ini. Dia sudah berunding dengan kepala dusun itu. Ajakannya kepada puterannya untuk menghadap kepala dusun Lui ini juga termasuk pelaksanaan dari rencana mereka. Dia harus mengajak Yo Jin ke sana agar para tosu sakti yang sudah berada di rumah Lui-thungcu dapat mengobati dan membersihkan diri Yo Jin dari hawa siluman itu. Hal ini akan lebih mudah kalau dilakukan sewaktu Yo Jin tidak berada di rumah.

Ayah dan anak ini disambut oleh kepala dusun Lui yang didampingi Lui-kongcu dan juga dua orang tosu tua yang memegang tongkat. Tosu pertama memakai pakaian yang longgar berwarna putih dan di dadanya terdapat lukisan bunga teratai putih di atas dasar biru yang berbentuk bulat. Tosu ini usianya sudah tujuhpuluhan tahun, mukanya merah sekali seperti berdarah dan tangannya memegang sebatang tongkat berbentuk naga berwarma hitam. Tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja. Adapun tosu ke dua, tinggi besar dan perutnya gendut. Pakaiannya berwarna kuning dengan lukisan pat-kwa (segi delapan) di dadanya, Berbeda dengan tosu pertama yang rambutnya digelung ke atas, tosu ke dua ini rambutnya dibiarkan riap-riapan dan karena rambutnya sudah putih semua, maka nampaklah dia seperti seorang yang suci. Juga dia memegang tongkat hitam berbentuk ular, lebih kecil dari pada tongkat tosu pertama. Tosu ke dua ini bermuka pucat kekuningan, seperti orang berpenyakitan.

Begitu menghadap kepala dusun ini, kakek Yo yang di tengah perjalanan tadi sudah memberi tahu kepada anaknya apa yang diakukan kalau sudah berhadapan dengan kepala dusun Lui, menyentuh lengan anaknya memberi isyarat.

Yo Jin mengerutkan alisnya. Begitu menghadap kepala dusun itu dan melihat betapa kepala dusun memandangnya dengan sinar mata marah, terutama sekali Lui-kongcu yang jelas sekali kelihatan marah kepadanya dan memandangnya penuh kebencian, hatinya sudah merasa menyesal mengapa dia datang ke tempat ini. Akan tetapi, untuk menyenangkan hati ayahnya, dia lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada kepala dusun itu bersama puteranya, sambil berkata dengan suara lantang.

“Lui-thungcu dan Lui-kongcu, mentaati perintah ayah, maka saya datang menghadap ji-wi untuk mohon maaf atas segala hal yang telah terjadi antara saya dan Lui-kongcu.”

Ayah dan anak yang biasanya dihormati orang dan diagungkan seperti keluarga raja kecil itu, mengerutkan alis lebih dalam karena mereka merasa tidak puas melihat sikap Yo Jin.

“Kenapa tidak dari dulu engkau datang mohon maaf?” bentak Lui-kongcu dengan suara marah.

Yo Jin menoleh kepada ayahnya. Sikap pemuda itu sama sekali tidak diduganya, karena menurut ayahnya, keluarga Lui sudah memaafkannya, akan tetapi mengapa Lui-kongcu masih bersikap demikian keras? Dia melihat ayahnya hanya menunduk, maka dia lalu mengangkat muka menentang pandang mata Lui-kongcu. Dilihatnya kongcu itu memandang kepadanya dengan sikap yang amat angkuh. Bangkitlah rasa penasaran di dalam hati pemuda ini.

“Saya baru saja sembuh dari sakit, dan baru hari ini ayah mengajak saya datang ke sini,” jawabnya, singkat dan suaranya juga sama sekali tidak merendah.

“Brakkk!” Tangan kepala dusun Lui menggebrak meja di depannya. “Yo Jin, engkau sungguh seorang pemuda yang keras kepala! Di depan kami engkau berani bersikap seperti ini? Hayo lekas berlutut!”

Wajah Yo Jin menjadi marah karena penasaran. Ayahnya kembali menyentuh lengannya.

“Anakku, taatilah perintah Lui-thungcu.”

Akan tetapi Yo Jin tidak mau. “Tidak, ayah. Aku tidak bersalah, mengapa aku harus berlutut minta ampun dan mohon dikasihani? Tidak, aku mau pulang saja!”

Berkata demikian, Yo Jin lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi tanpa pamit dari depan kepala dusun itu.

“Eh, bocah laknat, berani kau kurang ajar kepadaku? Kembali kau!” bentak kepala dusun itu dengan marah.

“Henmm, Yo Jin, kembalilah kau!” tiba-tiba terdengar suara parau dan yang mengeluarkan ucapan ini adalah tosu bermuka merah, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dia berkata sambil menggerakkan tangan kiri ke arah Yo Jin Dan terjadilah keanehan! Tiba-tiba saja Yo Jin yang sudah melangkah pergi itu menghentikan langkahnya, menoleh dan memutar tubuh lalu kembali ke depan kepala dusun Lui! Pemuda itu sendiri terkejut bukan main. Mendengar suara parau tadi, seolah-olah ada kekuatan aneh yang memaksanya, bahkan kemauannya seperti membeku dan kedua kakinya, seluruh tubuhnya bergerak sendiri di luar kehendaknya

Dia kini berdiri di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan mukanya menunjukkan kekerasan hatinya yang enggan tunduk. Kembali tokoh Pek-lian-kauw itu menggerakkan tangan kirinya seperti orang melambai.

“Yo Jin, berlututlah di depan Lui-thungcu!”

Sungguh luar biasa sekali. Yo Jin tidak sudi berlutut, akan tetapi tiba-tiba saja kakinya terasa lemas dan diapun jatuh bertekuk-lutut! Terdengar kakek Pek-lian-kauw itu terkekeh girang. Yo Jin mengangkat mukanya memandang, dan terkejut melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong seperti mata kucing.

“Kau.... kau.... bukan manusia, kaulah yang siluman!” bentaknya dan suara ini baru bisa dikeluarkannya setelah dia menguatkan hatinya dan memaksa mulutnya untuk meneriakkan kata-kata ini.

“Bocah kurang ajar kau!” bentak Lui-thungcu sambil menggapai empat orang perajurit pengawal yang berjaga tak jauh dari situ. “Hajar dia!”

“Ha-ha, tak perlu pakai banyak orang, Lui-thungcu. Biar pinto yang menghajarnya!” yang bicara adalah kakek tokoh Pat-kwa-kauw yang bertubuh tinggi besar itu dan sebelum si kepala dusun menjawab, tangan kirinya sudah menyambar ke depan. Angin yang kuat sekali keluar dari gerakan tangan itu dan tubuh Yo Jin terpelanting seperti didorong oleh tenaga yang amat keras! Pemuda itu terkejut, mencoba bangkit kembali, akan tetapi setiap kali tosu Patkwa-kauw itu menggerakkan tangan, diapun terbanting dengan keras. Sampai beberapa kali Yo Jin jatuh bangun dan terbanting keras di atas lantai, bergulingan di depan kepala dusun Lui dan puteranya yang tertawa girang melihat betapa musuh yang dibencinya itu kini menjadi bulan-bulan kesaktian dua orang kakek itu.

Sementara itu, kakek Yo terkejut sekali melihat betapa anaknya disiksa. Diapun cepat maju berlutut di depan kepala dusun Lui. “Lui-thungcu, maafkan anakku. Perjanjian antara kita tidak begini! Harap jangan pukul lagi puteraku!”

Kepala dusun Lui menjadi marah. “Usir tua bangka yang tidak mampu mengajar anak ini keluar dan penjarakan Yo Jin!”

Empat orang pengawal itu maju, memegang lengan kakek Yo dan menariknya bangun. Kakek itu menjadi marah sekali.

“Aturan mana ini? Kita berjanji untuk bersama-sama menghadapi siluman, akan tetapi mengapa anakku disiksa dan aku diusir? Lui-thungcu, apakah engkau sudah melupakan perjanjian antara kita....?”

“Usir dia! Seret dan pukul agar dia tidak banyak cerewet lagi!” bentak kepala dusun Lui. Memang benar bahwa kakek Yo pernah bersekutu dengannya untuk menghadapi siluman yang berada di rumah keluarga Yo, Akan tetapi, kepala dusun itu yang kini dibantu oleh dua orang kakek tosu yang sakti, masih tidak melupakan dendamnya ketika puteranya dipukuli Yo Jin sehingga pulang dengan muka bengkak-bengkak. Kakek Yo hanya melaporkan tentang adanya siluman dan dia akan membasmi siluman itu bersama dua orang tosu sakti. Kakek Yo tidak dibutuhkannya sama sekali, bahkan perlu dihajar karena keluarga Yo pernah menghina puteranya.

Kini kakek Yo menjadi marah. Dia meronta dan melepaskan pegangan, mengamuk dan memukul roboh seorang pengawal. Akan tetapi tiga orang pengawal itu mengeroyoknya dan tubuhnya yang tua dihujani pukulan. Kakek Yo yang tinggi besar dan biasa bekerja berat dan kasar ini, melawan mati-matian dan ternyata tubuhnya memang kuat. Empat orang pengawal itu sampai kewalahan untuk dapat menangkap dan menyeretnya keluar.

“Ha-ha, biar aku yang melemparnya keluar kata tosu Pit-kwa-kauw yang membiarkan Yo Jin yang tadi terbanting-banting itu kini mendekam lemas dan pusing, lalu dia turun dari atas kursinya, menghampiri kakek Yo. Kakek Yo yang sudah menjadi marah sekali, menyambutnya dengan pukulan keras!

“Dukk!” tongkat berbentuk ular itu menotok dan seketika tubuh kakek Yo roboh lemas. Kembali tongkat itu bergerak, mengungkit dan seperti orang melempar kulit pisang menggunakan sebatang tongkat, sekali tangannya bergerak, tubuh kakek yang tinggi besar itu terlempar keluar pintu dan terbanting roboh dengan keras sekali di luar pintu!

Kakek Yo merangkak bangun, dari mulut dan hidungnya keluar darah. Totokan tongkat yang mengenai dadanya tadi membuat dadanya terasa seperti akan pecah dan kekuatan dalam tubuhnya habis. Dia merangkak, tertatih-tatih bangkit.

“Ayahhh....” Yo Jin berteriak melihat betapa ayahnya disiksa. Akan tetapi, empat orang pengawal itu telah menangkapnya, mengikat kedua lengannya ke belakang dan menyeretnya dari ruangan itu untuk dijebloskan dalam kamar tahanan.

“Ayah peringatkan Kwi-moi....!” Yo Jin masih sempat berteriak dan teriakan ini didengar oleh kakek Yo. Kini baru kakek Yo teringat akan semua ucapan puteranya, betapa jahatnya keluarga Lui dan betapa Siu Kwi adalah seorang wanita yang amat baik, seorang janda yang patut dikasihani dan yang agaknya saling mencinta dengan Yo Jin. Timbul penyesalan di dalam hatinya dan kakek ini maklum kini bahwa perlakuan keluarga Lui kepada dia dan puteranya adalah karena Lui-kongcu ingin mendapatkan wanita cantik itu! Wanita itu bukan siluman dan kini terancam bahaya! Dia merasa menyesal sekali telah memusuhi Siu Kwi dan dialah yang mendorong puteranya sehingga kini Yo Jin ditangkap dan Siu Kwi terancam bahaya. Penyesalannya mendatangkan kekuatan baru pada diri kakek ini dan biarpun dia telah menderita luka parah di dalam tubuhnya, namun dia masih mampu mengeluarkan tenaga terakhir untuk berlari pulang secepatnya.

Tenaga kakek Yo habis ketika dia tiba di depan rumahnya dan diapun roboh terguling. Pada saat itu, Siu Kwi yang melihat dia pulang berlari-lari sendirian saja, sudah cepat keluar menyambut. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Siu Kwi melihat kakek itu roboh dan mukanya cepat sekali, napasnya terengah-engah dan dari mulut dan hidungnya keluar darah. Cepat ia berlutut an ketika ia mengangkat tubuh atas kakek itu untuk didudukkan, wanita ini terkejut. Dengan pengalaman dan kepandaiannya, ia dapat melihat bahwa kakek ini telah menderita luka dalam yang amat hebat dan tidak akan dapat disembuhkan lagi! Kakek ini telah menerima serangan orang yang menggunakan ilmu kepandaian tinggi, mungkin totokan atau tamparan. Hatinya mulai merasa gelisah, apalagi karena Yo Jin tidak pulang bersama kakek itu.

“Yo-lopek, kau kenapakah? Apa yang telah terjadi dan mana Jin-toako?”

Kakek itu membuka mulut untuk bicara, akan tetapi yang keluar hanya suara menggelogok diikuti tumpahan darah! Siu Kwi cepat menekan bagian dada kakek itu dan menotok beberapa jalan darah. Kakek itu kini berhasil mengeluarkan suara.

YO Jin.... ditangkap.... Lui-thungcu.... dua tosu sakti....aaahhh....” kakek itu menghentikan kata-katanya, matanya terbelalak, lalu terpejam dan kepalanya terkulai lemas.

Siu Kwi maklum bahwa kakek itu telah tewas. Ia mengangkat tubuh kakek itu dan membawanya ke dalam rumah. Setelah merebahkan mayat itu di dalam kamar kakek Yo, ia lalu melompat keluar dan seperti terbang saja Siu Kwi sudah berlari menuju ke dusun timur. Hatinya gelisah sekali, akan tetapi juga marah. Yo Jin ditangkap dan ayahnya dibunuh!

Hari telah sore ketika Siu Kwi tiba di dusun timur dan ia langsung mencari rumah kepala dusun, Setelah tiba di depan pintu gerbang pekarangan rumah besar itu, Siu Kwi langsung saja masuk. Dua orang penjaga menghadangnya dan dua orang ini senyum-senyum kurang ajar ketika melihat bahwa tamu yang datang adalah seorang wanita cantik.

“Nona hendak mencari siapakah?” tanya seorang di antara mereka sambil melintangkan tombaknya dengan lagak galak, namun sinar matanya seperti hendak menelanjangi wanita yang berdiri di depannya.

“Apakah ini rumah kepala dusun Lui?”

“Benar,” jawab orang ke dua yang perutnya gendut.

“Dan kalian ini penjaga-penjaga di sini?” Siu Kwi bertanya lagi. Dua orang itu mengangguk. Siu Kwi menahan diri agar tidak sembarangan membunuh orang. Kepala dusun itulah yang harus dihadapi, bukan segala macam penjaga rendahan. Maka ia lalu melangkah maju lagi untuk masuk ke dalam rumah itu, mencari kepala dusun Lui.

“Hei, nona, tunggu dulu!”

“Kau tidak boleh masuk begitu saja! Beritahukan nama dan keperluan, dan kami akan lebih dulu melapor ke dalam!”

Siu Kwi memandang kepada dua orang penjaga yang sudah melintangkan tombak di depannya itu. Kesabarannya hilang dan ia membentak, “Pergilah!” Kedua tangannya dipentang seperti orang membuka daun pintu dan tubuh dua orang penjaga itupun terpelanting ke kanan kiri dan terguling-guling sampai jauh!

Siu Kwi tidak memperdulikan lagi dua orang yang merangkak bangun dengan mata terbelalak dan kepala nanar itu, dan ia terus melangkah maju sampai ke ruangan depan. Lima orang pengawal mengejar keluar ketika mendengar suara ribut-ribut dan mereka tadi sempat melihat betapa dua orang rekan mereka terguling-guling dan seorang wanita cantik berjalan memasuki ruangan itu. Cepat mereka mengepung wanita itu.

“Aku tidak mau berurusan dengan kalian. Suruh kepala dusun Lui keluar, atau aku akan mencarinya sendiri dan menyeretnya keluar!” kata Siu Kwi, suaranya dingin sekali karena ia sudah marah. Kalau saja ia masih Siu Kwi sebulan yang lalu, tentu ia tidak akan banyak cakap lagi dan membunuh lima orang ini. Jaga dua orang penjaga tadi tentu kini tak dapat bangun lagi. Akan tetapi sekarang ia menjaga diri dengan ketat agar jangan sampai ia sembarangan saja membunuh orang.

Tentu saja lima orang pengawal itu tidak sudi memenuhi permintaannya. Mereka tadi sudah melihat betapa wanita ini merobohkan dua orang rekannya, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa wanita ini datang sebagai musuh majikan mereka. Betapapun juga, lima orang pengawal ini masih memandang rendah kepada Siu Kwi. Mereka yang sudah mengepung itu langsung mengulurkan tangan dan menubruk, seperti hendak berlumba menangkap dan memeluk perempuan cantik itu.

“Pergilah kalian!” bentak Siu Kwi dan tiba-tiba tubuhnya bergerak dengan kecepatan luar biasa. Terdengar lima orang pengeroyok itu mengaduh dan tubuh merekapun terpelanting ke kanan kiri, roboh berserakan. Sejenak mereka menjadi nanar dan terheran-heran. Mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi sampai roboh. Kedua tangan wanita itu bergerak membagi-bagi tamparan seperti kilat menyambar-nyambar saja. Kini merekapun sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi, maka mereka bangkit lagi sambil mencabut golok dari pinggang. Mereka mengepung lagi dengan besar hati karena keributan itu telah menarik perhatian orang dan kini dari dalam muncul pasukan pengawal berjumlah belasan orang, mengiringkan Lui-thungcu yang datang bersama Lui-kongcu dan dua orang tosu.

Akan tetapi, serangan golok lima orang itupun tidak ada artinya sama sekali bagi Siu Kwi. Ketika melihat lima orang itu menyerang serentak dengan golok mereka, Siu Kwi mendahului mereka. Tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu lima orang itu sudah berpelantingan kembali, golok mereka beterbangan dan kini mereka terbanting lebih keras dari pada tadi sehingga mereka tidak dapat serentak bangun seperti tadi melainkan merangkak-rangkak sambil mengeluh seperti segerombolan anjing kena gebuk!

“Itulah siluman itu!” tiba-tiba Lui-kongcu berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah Siu Kwi. Mendengar ini, kepala dusun Lui segera memberi isyarat kepada tigabelas orang pengawalnya untuk maju.

“Tangkap siluman ini, hidup atau mati!” perintahnya. Tigabelas orang pengawal itu merupakan pengawal-pengawal pribadi yang pilihan dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak seperti lima orang pengawal biasa yang sudah dirobohkan itu tadi. Mereka bergerak hati-hati, mencabut pedang dan perisai baja, lalu mengepung Siu Kwi. Wanita ini melihat bahwa ruangan itu terlampau sempit untuk menghadapi pengeroyokan, maka iapun meloncat turun ke pekarangan yang lebar. Tigabelas orang itu mengejarnya tanpa meninggalkan gerakan barisan yang teratur. Ternyata tigabelas orang pengawal ini bukan orang-orang sembarangan dan mereka bergerak dalam gaya barisan Cap-sha Kiam-tin (Barisan Pedang Tigabelas) yang berubah-ubah seperti garis perbintangan. Karena itu, biarpun Siu Kwi melompat ke pekarangan, tetap saja wanita itu dalam keadaan terkepung.

Kini Siu Kwi berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Kegembiraannya timbul kembali. Sudah terlalu lama ia menganggur dan tak pernah menghadapi perkelahian. Kini, dikepung tigabelas orang yang berpedang, timbul gairahnya untuk berkelahi. Akan tetapi, kesadarannya akan kesesatan yang dimasukinya dalam kehidupannya yang lalu tak pernah meninggalkan batinnya sehingga kini ia menghadapi mereka tanpa ada perasaan benci. Perasaan benci inilah yang membuat orang dapat berbuat kejam, dapat membuat orang membunuh orang lain dengan mudah saja. Tidak, ia tidak akan membunuh orang, biarpun untuk menyelamatkan Yo Jin ia mau berbuat apa saja.

Melihat orang yang mereka kepung itu hanya berdiri tegak sambil bertolak pinggang, tigabelas orang itu menjadi penasaran. Wanita ini sungguh memandang rendah kepada mereka. Orang yang memimpin barisan itu, yang berkumis panjang, mengeluarkan aba-aba dan tiga orang yang berada di belakang Siu Kwi sudah menyerang dengan pedang mereka. Seorang membacok ke arah leher, seorang lagi menusuk ke punggung dan orang ke tiga membabat ke arah kaki! Sungguh merupakan serangan dari belakang yang amat berbahaya karena semua barisan tubuh lawan, atas, tengah dan bawah diserang dengan berbareng. Dan yang diserang masih kelihatan enak-enakan saja.

“Ia akan mampus sekarang! kata kepala dusun Lui melihat serangan itu.

“Heh-heh, dugaanmu keliru, thungcu. Orangorangmu yang akan kalah!” Ucapan ini keluar dari mulut tosu tokoh Pek-lian-kauw yang berada di dekatnya sehingga kepala dusun itu terkejut bukan main.

Memang dugaan tosu itulah yang tepat. Ketika tiga batang pedang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba tubuh Siu Kwi meloncat ke depan sehingga tiga serangan dari belakang itu luput dan wanita itu kini malah menyerang pengepung yang berada di depannya. Empat orang serentak menyambutnya dengan pedang dan perisai. Akan tetapi agaknya Siu Kwi tidak perduli akan ini. Kaki tangannya bergerak cepat sekali dan terdengar suara keras ketika dua perisai baja pecah oleh tendangan Siu Kwi dan kakinya masih terus mengenai dada para pemegangnya, sedangkan kedua tangannya sudah merobohkan dua orang lain lagi. Dalam segebrakan saja, dari keadaan diserang oleh empat orang di belakangnya, wanita itu telah merobohkan empat orang di depannya! Hal ini sungguh sama sekali tak pernah disangka oleh barisan tigabelas orang itu. Mereka kini tinggal sembilan orang dan mereka cepat melangkah mengitari Siu Kwi yang kembali berdiri tegak sambil bertolak pinggang di tengah lingkaran. Tubuhnya sama sekali tidak bergerak, hanya kedua bola matanya yang bergerak mengikuti gerakan sembilan orang pengepung itu.

“Orang she Lui!” Siu Kwi sempat berseru kepada kepala dusun yang berdiri di kepala anak tangga bersama puteranya dan dua orang tosu itu. “Bebaskan Yo Jin dan aku akan meninggalkan tempat ini!”

Akan tetapi pada saat itu, sembilan orang pengepungnya sudah menerjang maju secara serentak. Banyak pedang berkilat dari segenap penjuru, menyerang ke arah tubuh Siu Kwi. Agaknya, sembilan orang itu hendak mencincang tubuh wanita itu menjadi bahan bakso!

Namun, Siu Kwi menyambut serangan itu dengan gerakan tubuhnya yang lincah. Begitu tubuhnya berkelebat, bayangannya saja yang nampak, tubuhnya sudah lenyap saking cepatnya ia bergerak. Sembilan orang itu terus menyerang ke arah bayangan, namun mereka kalah cepat. Bayangan itu sudah menerjang ke kanan kiri, depan belakang dan berturut-turut terdengar pekik kesakitan disusul robohnya seorang pengeroyok. Siu Kwi tak pernah menghentikan gerakannya. Bayangannya terus berkelebatan dan akhirnya, sembilan orang pengeroyok itupun roboh seperti empat orang pertama! Pedang dan perisai berserakan dan mereka itu mengaduh-aduh karena biarpun tak seorang di antara mereka tewas, namun mereka menderita patah tulang atau setidaknya salah urat yang membuat mereka tidak mampu berkelahi lagi. Dengan muka pucat dan mata terbelalak kini memandang gentar, tigabelas orang itu lalu merangkak bangun dan menyusul lima orang rekan mereka yang sudah lebih dulu mengundurkan diri, minggir di tempat aman sambil berusaha untuk mengobati cedera pada tubuh mereka.

Kepala dusun Lui dan puteranya saling pandang dengan muka berubah pucat. Tak mereka sangka bahwa duapuluh orang penjaga dan pengawal semua roboh oleh wanita itu!

“Ia benar-benar siluman! bisik Lui-kongcu yang kini menjadi ketakutan sehingga lenyaplah semua gairahnya terhadap wanita cantik itu.

Akan tetapi, selagi ayah dan anak itu memandang khawatir dan mulai ketakutan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dua orang tosu itu.

“Ha-ha-ha, siluman betina ini memiliki kepandaian yang lumayan! Timbul kegembiraan pinto untuk mencobanya!” Dan tosu bermuka pucat tokoh Pat-kwa-kauw sudah menuruni anak tangga dan menghampiri Siu Kwi.

“Heh-heh, tosu. Hati-hatilah, atau kau akan kalah. Pinto tadi melihat gerakan-gerakan luar biasa dari kaki tangannnya, seperti pernah pinto kenal jurus-jurus yang dipergunakannya,” kata tosu Pek-lian-kauw yang juga menuruni anak tangga.

Siu Kwi yang masih berdiri tegak, kini menghadapi dua orang tosu itu dan memandang tajam penuh selidik. Tosu pertama yang memakai jubah berlukiskan gambar pat-kwa itu memiliki wajah yang pucat kekuningan, hampir sama kuningnya dengan jubahnya. Perawakannya tinggi besar akan tetapi karena mukanya pucat, dia nampak seperti orang yang menderita sakit. Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat berbentuk ular hitam, panjangnya seperti pedang dan ujungnya yang berupa ekor ular itu runcing. Adapun tosu ke dua, usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari tosu pertama, tubuhnya kurus kering, pakaiannya putih dengan tanda gambar teratai di dada. Tosu kurus kering ini mukanya berwarna merah darah sehingga kembali Siu Kwi terkejut. Di tangan tosu ini terdapat sebatang tongkat panjang, sepanjang tubuh tosu itu berbentuk naga hitam.

Biarpun ia tidak pernah bertemu dengan mereka dan tidak mengenal mereka, namun dengan mudah Siu Kwi dapat menduga bahwa tosu pertama tentulah seorang tokoh Pat-kwa-kauw, sedangkan tosu ke dua tentulah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Dan dari warna muka mereka, juga dari sinar mata mereka, tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan dua orang sakti yang tidak boleh dipandang ringan.

“Heii, siluman betina. Sebenarnya siapa kamu? Berterusterangiah kepada pinto, karena kalau engkau bersikap lunak, mungkin pinto dapat pula bersikap lunak kepadamu, heh-heh-heh!” Sepasang mata tosu Pat-kwa-kauw yang mencorong itu kini menjelajahi wajah dan tubuh wanita di depannya. Sekali pandang saja maklumlah Siu Kwi bahwa tosu tua bertubuh tinggi besar dan berperut gendut ini adalah seorang mata keranjang.

“Siancai...., toyu Ok Cin Cu memang suka bersikap lunak terhadap wanita. Memang sebaiknya kalau engkau mengaku terus terang siapa kamu dan apa sebenarnya maksudmu sehingga orang seperti engkau ini membela dan melindungi seorang dusun seperti orang she Yo itu!“ kata pula tosu Pek-lian-kauw.

Tentu saja hati Siu Kwi menjadi panas sekali. Ia dan ketiga orang gurunya adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal takut dan walaupun mereka tidak pernah memilih kelompok, namun ia sendiri tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Pek-lian-kauw ataupun Pat-kwa-kauw.

“Ji-wi totiang (dua pendeta), aku bernama Ciong Siu Kwi dan selamanya aku tidak pernah bentrok dengan Pek-Lian-kauw maupun Pat-kwa-kauw. Jalan hidupku bersimpang dengan jalan hidup ji-wi. Karena itu, demi keutuhan dunia persilatan, kuharap ji-wi tidak mencampuri urusan pribadiku. Aku menbela ia karena aku mencintanya! Nah, aku sudah berterus terang, hendaknya ji-wi juga suka bersikap jujur.”

Dua orang tosu itu adalah orang-orang yang terpandang di dalam golongan masing-masing, bahkan menduduki tingkat tinggi sebagai ketua-ketua cabang perkumpulan masing-masing. Melihat sikap dan mendengar ucapan Siu Kwi, dua orang kakek itu tersenyum lebar dan diam-diam merekapun dapat menduga bahwa wanita yang masih muda ini tentu bukan orang sembarangan. Jelas bukan siluman seperti yang mereka katakan dengan yakin untuk membuat kepala dusun Lui percaya kepada mereka. Dan merekapun tahu bahwa wanita bernama Ciong Siu Kwi ini lihai sekali ilmu silatnya, seorang wanita yang sudah banyak makan asam garamnya hidup di dunia sesat yang penuh kekerasan. Wanita ini bukan golongan pendekar, hal ini dapat diduga oleh mereka. Dan seorang wanita yang keras hati dan jujur sehingga mengaku begitu saja tentang cintanya kepada seorang pemuda dusun, hal yang sendirinya sudah merupakan suatu keganjilan. Aneh sekali selera wanita ini, pikir mereka. Mengapa menjatuhkan pilihan kepada seorang pemuda dusun yang bodoh dan tolol dan amat sederhana? Pada hal, wanita seperti ini, akan mudah saja memilih pacar di antara para kongcu yang kaya dan pandai di kota-kota besar.

“Ho-ho, engkau hendak berkenalan dengan pinto, nona? Pinto memang ketua cabang Pat-kwa-kauw berjuluk Ok Cin Cu. Pinto juga tidak ingin bermusuhan dengan engkau, hanya memenuhi permintaan Lui-thungcu untuk menghadapi siluman, Akan tetapi, pinto tidak membenci siluman, asal ia bersikap manis kepada pinto, heh-heh!” Kakek mata keranjang ini mengedipkan sebelah matanya untuk memberi isyarat kepada Siu Kwi.

“Dan pinto adalah ketua cabang Pek-lian-kauw, berjuluk Thian Kek Seng-jin. Benarlah katamu, nona. Diantara kita orang-orang dunia persilatan tidak perlu pecah belah. Karena itu, mari kita tinggalkan saja urusan lurah Lui dengan keluarga Yo, dan kita memperdalam perkenalan ini. Bagaimana?” Tosu Pek lian-kauw terkekeh.

“Ji-wi totiang memang tidak mempunyai sangkutpaut dengan urusan ini. Akan tetapi urusan ini langsung menyangkut diriku! Orang yang kucinta, Yo Jin, telah ditawan, bahkan ayahnya telah tewas. Aku harus membebaskan Yo Jin, baru aku mau meninggalkan tempat ini bersama dia dan tidak akan memperpanjang urusan.”

“Ho-ho, nanti dulu, nona. Yo Jin sudah berdosa terhadap Lui-thungcu, tidak dapat dibebaskan begitu saja sebelum menerima hukuman. Dan pinto telah membantu Lu-thungcu untuk menangkapnya,” kata Thian Kek Seng-jin sambil tertawa.

“Kalau begitu, aku akan membebaskannya dengan menggunakan kekerasan!” kata Siu Kwi dan tubuhnya sudah meloncat ke samping untuk memasuki rumah besar itu mencari pria yang dikasihaninya dan ditawan di tempat itu.

Akan tetapi nampak sinar berkelebat dan tahu tahu tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu sudah menodong dada Siu Kwi dari samping. “Ha-ha, tidak begitu mudah, nona. Sebaiknya engkau bersikap manis dan menurut saja kepada pinto agar tidak perlu pinto menghadapimu sebagai lawan.”



Kesabaran yang sejak tadi ditahan-tahan oleh Siu Kwi sudah habis. “Tosu keparat!” bentaknya dan iapun menerjang dengan sengit. Tangan kirinya memukul dengan jari terbuka ke arah dada lawan sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala, seperti hendak menjambak rambut putih yang riap-riapan itu.

“Heh-heh, liar juga engkau, nona!” kakek Pat-kwa-kauw itu tertawa mengejek dan dari sikapnya ini jelas bahwa dia memandang rendah kepada lawannya yang hanya seorang wanita muda. Tongkat hitamnya diputar untuk menangkis pukulan ke arah dadanya sedangkan tubuhnya melangkah mundur agar cengkeraman ke arah kepalanya itu tidak sampai.

“Uhhh....“ Sikap memandang rendah dari Ok Cin Cu hampir saja mencelakakan dirinya sendiri ketika tiba-tiba saja kepalanya nyaris kena dicengkeram oleh tangan Siu Kwi yang terus mengejarnya. Lengan wanita itu dapat memanjang dan dapat melanjutkan cengkeraman tangannya walaupun sudah dielakkan! Kalau saja Ok Cin Cu tidak memandang rendah, tentu dia tidak sekaget itu. Kini, terpaksa dia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ketika dia sudah berdiri kembali. Wajahnya yang pucat kuning itu berubah agak merah.

Kini dia tidak berani memandang rendah lagi dan tanpa banyak cakap, dia memutar tongkatnya dan menerjang ke depan. Tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar hitam yang amat kuat. Melihat gerakan tongkat ini, Siu Kwi terkejut juga. Kiranya tongkat itu merupakan senjata pengganti pedang dan permainan pedang lawannya amat lihai. Diam-diam ia merasa menyesal mengapa ia tidak membawa pedang. Semenjak ia bertemu dengan Yo Jin, ia telah menyembunyikan pedangnya dan mengubur senjata itu di dalam hutan tak jauh dari dusun tempat tinggal Yo Jin. Akan tetapi Siu Kwi tidak takut. Ia mengandalkan kelincahan gerakannya dan juga kekebalan yang disalurkan di kedua lengannya untuk menghadapi tongkat lawan dengan tangan kosong. Ia masih tetap memainkan Hek-wan Sip-pat-ciang, ilmu simpanan mendiang Raja Iblis Hitam yang membuat lengannya dapat memanjang. Akan tetapi ilmu tongkat tosu Pat-kwa-kauw itu benar-benar ampuh dan gulungan sinar hitam itu tidak dapat ditembus Hek-wan Sip-pat-ciang.

Wanita yang memiliki banyak macam ilmu silat itu merobah-robah gerakannya dan mainkan berbagai ilmu yang dipelajarinya dari mendiang Sam Kwi. Ia sudah mempergunakan ilmu tendangan Pat-hong-twi yang ampuh, mainkan ilmu silat Hun-kin-tok-ciang yang amat berbahaya, bahkan menggunakan Kiam-ciang (Tangan Pedang). Namun, lawannya memang hebat. Ok Cin Cu adalah seorang di antara tokoh-tokoh besar Pat-kwa-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, juga kakek ini memiliki tenaga yang kuat. Kalau saja Siu Kwi tidak memiliki ilmu kebal Kulit Baja yang diwarisi dari mendiang Iblis Akhirat, tentu ia sudah roboh karena sudah tiga kali tongkat ular hitam itu berhasil mengenai tubuhnya.

Kini dua orang tosu itu benar-benar kagum dan juga penasaran. Hanya karena mereka merasa bahwa kedudukan mereka sudah tinggi yang mencegah mereka melakukan pengeroyokan. Biarpun kadang-kadang merasa kewalahan, Ok Cin Cu merasa malu untuk minta bantuan kawannya, sedangkan Thian Kek Seng-jin juga merasa sungkan untuk turun tangan mengeroyok. Di situ terdapat banyak orang menonton dan apa akan kata dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka berdua mengeroyok seorang wanita muda?

“Takkk....!” Untuk ke empat kalinya, ujung tongkat ular hitam itu menotok dan mengenai lambung Siu Kwi, namun wanita itu hanya terhuyung mundur sedikit dan kini Siu Kwi yang juga merasa penasaran mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya seperti lenyap menjadi bayangan yang bergerak cepat sekali. Dan angin kuat menyambar-nyambar ganas dibarengi suara bercuitan ketika ia maju menyerang! Ok Cin Cu terkejut bukan main sehingga dia terdesak mundur sampai lima langkah!

“Tahan....!” terdengar bentakan Thian Kek Seng-jin dan tongkatnya meluncur ke depan melintang dan menghadang Siu Kwi yang terpaksa menghentikan gerakan serangannya.

“Nona, aku mengenal ilmu-ilmumu. Masih ada hubungan apakah antara engkau dan Sam Kwi? tanya kakek dari Pek-lian-kauw itu.

Siu Kwi tidak ingin memperkenalkan guru-gurunya, akan tetapi karena lawan sudah mengenal ilmu silatnya, iapun menjawab dengan ketus, “Mereka adalah guru-guruku dan seingatku, baik Sam Kwi maupun aku sendiri, tidak pernah bentrok dengan pihak Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw!”

“Siancai....! Kalau begitu engkau tentu yang berjuluk Bi-kwi!” kakek Pek-lian-kauw itu berseru lagi sambil memandang dengan penuh selidik.

Siu Kwi menarik napas panjang. Nama julukan Bi-kwi telah begitu tersohor dan kotor, bahkan lebih terkenal dari orangnya sendiri. Buktinya, tosu Pek-lian-kauw ini tidak mengenal dirinya, akan tetapi telah mengenal nama julukannya. Dan ia sendiri sudah mengambil keputusan untuk membuang nama julukan itu jauh-jauh, tidak akan pernah memakainya lagi. Akan Tetapi kini ia diingatkan bahwa nama julukannya adalah Bi-kwi!

“Nama itu pernah kupakai, sekarang tidak lagi!” jawabnya dengan suara dingin.

“Bagus! Kiranya di antara para antek Hou Seng masih ada yang berkeliaran di sini!” berkata demikian, Thian Kek Seng-jin sudah menerjang maju dengan tongkat panjangnya yang berbentuk naga hitam. Gerakannya nampak lambat, namun mendatangkan angin pukulan yang keras dan didahului oleh suara berdesir.

Siu Kwi cepat mengelak, akan tetapi dari samping, Ok Cin Cu menyambutnya dengan tongkat ular hitamnya Wanita ini meloncat dan menghadapi dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, ia lalu memainkan ilmu silatnya yang paling baru, yaitu Sam-kwi Cap-sha-kun! Ilmu silat ini memang ciptaan Sam Kwi yang paling hebat, diciptakan bersama bersumber dari semua ilmu silat mereka yang pilihan, digabungkan menjadi satu. Dalam ilmu silat ini terkandung gerakan pukulan ilmu silat Hek-wan Sip-pat-ciang, tendangan Pat-hong-twi dan ilmu silat Hun-kin Tok-ciang, juga terkandung Kiam-ciang yang ampuh.

Dua orang tosu itu terkejut menghadapi ilmu silat ini yang memang dahsyat sekali dan beberapa kali mereka sampai terdesak mundur. Akan tetapi, mereka adalah orang-orang yang selain memiliki ilmu silat tinggi, juga banyak pengalaman dalam perkelahian, maka dengan berpencar, kedua tosu itu mengurung dan gerakan tongkat mereka dapat membendung kedahsyatan Sam-kwi Cap-sha-kun. Apa lagi ketika Thian Kek Seng-jin mulai mengeluarkan bentakan-bentakan dengan suaranya yang parau dan penuh wibawa, mengandung tenaga sakti ilmu hitam dan sihir, maka beberapa kali Siu Kwi merasa jantungnya terguncang dan karena itu gerakannya kurang sempurna sehingga hampir saja ia menjadi korban hantaman tongkat.

Siu Kwi mulai terdesak dan setelah lewat limapuluh jurus, tiba-tiba tongkat hitam di tangan tokoh Pek-lian-kauw berhasil menghantam pundak kirinya.

“Bukkk....!” Biarpun tubuh Siu Kwi sudah terlindung ilmu kekebalan, tetap saja ia terpelanting dan hampir terbanting roboh kalau saja ia tidak cepat membuat gerakan jungkir balik beberapa kali. Siu Kwi menggigit bibir menahan rasa nyeri. Biarpun ia tidak terluka, namun kerasnya pukulan itu seolah-olah merontokkan isi dadanya! Dan dua orang kakek itu masih menerjang terus tanpa mengenal ampun. Siu Kwi berusaha mengelak, namun sebuah tusukan dengan tongkat ular hitam dari Ok Cin Ca yang menyambar dadanya, ketika ia mengelak, masih saja menyerempet pangkal lengan kanannya sehingga kulit dan sedikit dagingnya robek dan mengucurkan darah!

Maklumlah Siu Kwi bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan tewas di tangan dua orang kakek sakti ini. Dan kalau ia mati, berarti Yo Jin tidak akan ada yang menolong lagi. Maka, tiba-tiba saja ia melempar tubuh ke atas tanah, bergulingan dan ketika dua orang kakek itu mengejarnya, Siu Kwi menggerakkan kedua tangannya. Sinar hitam menyambar ke arah muka dua orang lawannya. Yang disambitkannya itu hanyalah pasir dan tanah, namun tidak boleh dipandang rendah karena yang diserang adalah muka dan sambitan itu didorong oleh tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga jangankan sampai mengenai mata, baru mengenai kulit muka saja sudah dapat mengakibatkan luka-luka. Dua orang kakek itu terkejut dan cepat memutar tongkat sambil berlompatan ke beiakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siu Kwi untuk melompat jauh dan melarikan diri. Cuaca sudah mulai remang-remang gelap sehingga ia dapat menyelinap hilang di dalam bayangan rumah-rumah dan pohon-pohon. Dua orang kakek itupun tidak melakukan pengejaran.

***

Malam itu gelap dan sunyi sekali di rumah kepala dusun Lui. Agaknya peristiwa sore tadi masih berbekas. Robohnya semua pengawal yang jumlahnya duapuluh orang sungguh membuat gelisah hati keluarga Lui, walaupun kemudian ternyata bahwa dua orang tosu sakti itu dapat mengusir “siluman”. Kini diam-diam kepala dusun Lui mendatangkan pengawal-pengawal baru yang jumlahnya tidak kurang dari limapuluh orang, berjaga-jaga di sekitar perumahan keluarga itu. Terutama sekali di kamar tahanan terdapat penjagaan yang amat ketat karena di situlah tempat Yo Jin ditahan dan kepala dusun Lui tidak ingin melihat tahanan ini lolos.

Walaupun dia berada di dalam tahanan, Yo Jin mendengar dari percakapan para penjaga di luar kamarnya tentang siluman betina yang mengamuk dan merobohkan duapuluh orang pengawal akan tetapi kemudian dapat diusir pergi oleh dua orang tosu. Diam-diam dia merasa heran sekali. Siapakah yang mereka maksudkan dengan siluman betina itu? Benarkah ia itu Siu Kwi? Siu Kwi mengamuk dan mengalahkan duapuluh orang pengawal? Sukar baginya untuk mempercayai berita ini. Siu Kwi demikian lemah-lembut. Alisnya berkerut ketika ia teringat bahwa wanita itu dituduh sebagai siluman, bahkan ayahnya sendiripun menganggapnya demikian. Jangan-jangan memang benar! Dan kini Siu Kwi mengamuk sebagai siluman! Dia bergidik dan cepat mengusir pikiran ini, lalu membayangkan ayahnya. Ayahnya dipukul dan disiksa, dan dia merasa gelisah sekali memikirkan ayahnya. Dia menarik-narik belenggu kaki tangannya, namun tiada guna. Hal itu sudah dilakukannya sejak dia ditahan dan sampai kulit pergelangan kaki dan tangannya lecet-lecet dan nyeri bukan main.

Menjelang tengah malam, sesosok bayangan berkelebatan di luar pekarangan perumahan kepala dusun Lui. Bayangan ini adalah Siu Kwi. Setelah sore tadi ia berhasil melarikan diri, ia bersembunyi di dalam hutan dan duduk bersila, memulihkan tenaganya dan memulihkan pula kesehatannya karena hantaman pada pundak dan tusukan pada pangkal lengannya. Ia sudah mengobati luka di pangkal lengannya. Hatinya gelisah bukan main. Ia belum berhasil membebaskan Yo Jin dan di tempat itu terdapat dua orang lawan yang demikian tangguhnya. Hatinya terasa perih kalau ia teringat kepada pria yang dikasihaninya.

Tak lama kemudian, ia lalu berlari cepat, kembali ke dusun selatan dan dengan bantuan para tetangga, ia mengurus pemakaman kakek Yo. Karena keadaan, maka terpaksa jenazah itu dikubur secara sederhana sekali. Para tetangga juga melakukannya dengan ketakutan setelah mendengar dari Siu Kwi bahwa kakek itu mati karena dipukuli orang-orang kepala dusun Lui, dan juga bahwa Yo Jin ditangkap oleh mereka. Maka, setelah selesai mengubur jenazah itu malam itu juga, para tetangga bergegas pulang ke rumah masing-masing, takut kalau sampai tersangkut urusn itu. Dan Siu Kwi lalu melakukan perjalanan kembali ke dusun timur. Bagaimanapun juga, ia harus dapat menyelamatkan Yo Jin , harus dapat membebaskan pemuda itu dari dalam tahanan.

Sampai lama ia berkeliaran di luar rumah keluarga Lui. Dengan susah payah, tadi ia mengisi perutnya. Ia hampir tak dapat menelan nasi, akan tetapi dipaksakannya karena ia maklum bahwa ia membutuhkan tenaga sepenuhnya untuk dapat menyelamatkan Yo Jin. Kalau ia membiarkan perutnya kosong, tentu tenaganya menjadi berkurang. Kini ia berkeliaran di luar pekarangan, untuk meneliti keadaan. Hatinya terasa girang. Agaknya keluarga Lui menyangka bahwa ia sudah jera untuk datang lagi, sudah takut terhadap dua orang kakek itu, maka kini keadaan di rumah itu sunyi saja, tidak terdapat penjagaan yang ketat. Sunyi dan gelap.

Namun, Siu Kwi bukan seorang bodoh. Ia tidak mau mudah terjebak oleh siasat musuh. Siapa tahu kalau-kalau pihak musuh mengatur jebakan dan sengaja memancingnya. Karena itu ia tidak segera masuk, melainkan melakukan pengintaian dan pemeriksaan dari luar. Ia menanti sampai tengah malam dan setelah melihat bahwa benar-benar tidak terdapat penjaga di sekitar pagar tembok, baru ia meloncat naik ke atas pagar tembok, mendekam di atasnya untuk mengintai ke dalam. Ia merasa heran. Keadaan amat sunyi dan gelap. Benarkah keluarga Lui demikian lengahnya sehingga setelah kemenangan dua orang kakek sore tadi lalu menganggap bahwa ia tidak akan berani muncul kembali? Ataukah setelah ia merobohkan duapuluh orang penjaga itu, lalu tidak ada penjaga lain yang menggantikan karena mereka semua itu lelah dan mengalami patah tulang dan luka-luka? Ia tidak dapat menerima kemungkinan ini. Tak mungkin, pikirnya. Andaikata kepala daerah itu lengah, dua orang tosu lihai itu pasti tidak.

Akan tetapi, mengingat akan Yo Jin, ia tidak perduli lagi. Biarlah mereka mengatur jebakan, ia tidak takut. Ia akan berusaha membebaskan Yo Jin, kalau perlu dengan taruhan nyawa! Setelah meneliti keadaan di dalam dan tidak nampak berkelebatnya orang, ia lalu meloncat turun ke dalam kebun belakang rumah itu. dan menyelinap di antara semak-semak, mendekati bangunan rumah di belakang. Ia menduga bahwa tentu tempat tahanan itu berada di bagian belakang.

Yo Jin mendengar percakapan para penjaga di luar pintu kamar tahanan itu dengan hati khawatir.

“Kalau dombanya dijaga, tentu harimaunya tidak berani muncul. Karena itu maka kita harus bersembunyi.” Demikian antara lain dia mendengar seorang penjaga bicara, kemudian terdengar suara mendesis tanda bahwa pembicara itu disuruh diam. Keadaan lalu menjadi sunyi dan ketika Yo Jin bangkit berdiri dan menjenguk dari jeruji pintu, dia melihat betapa di luar pintu tidak terdapat seorangpun penjaga lagi. Keadaaan amat sunyi, dan tempat itu hanya diterangi oleh sebuah lampu gantung. Agaknya lampu-lampu lainnya telah dibawa pergi atau dipadamkan. Suasana sunyi sekali, tak nampak seorang pun di luar kamar tahanan. Sunyi dan gelap di kebun belakang itu, yang nampak dari dalam kamar tahanan.

Yo Jin menggerakkan kedua kakinya melangkah ke arah pintu. Suara belenggu kakinya terseret memecahkan kesunyian. Dia berdiri di belakang pintu kamar yang terbuat dari besi itu, dan berpegang dengan kedua tangan yang terbelenggu pada jeruji besi, memandang ke luar, termenung. Apakah maksud ucapan penjaga tadi? Diakah yang diumpamakan domba tadi? Dan siapakah harimaunya yang diharapkan akan muncul? Siu Kwikah? Jantungnya berdebar tegang. Dia tidak dapat yakin bahwa Siu Kwi yang dimaksudkan harimau itu, betapapun juga, dia tahu bahwa para penjaga itu sedang mengatur siasat untuk memandang dan menjebak seseorang yang disebut harimau, dengan menggunakan dia sebagai domba, sebagai umpannya. Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Yo Jin meninggalkan belakang pintu. memandang ke luar dengan penuh perhatian. Sepasang matanya seperti ingin menembus kegelapan malam di depan sana.

Entah berapa lama dia berdiri memandang keluar itu. Tiba-tiba pandang matanya menangkap berkelebatnya sesosok bayangan hitam. Dia terkejut dan mengikuti dengan pandang matanya. Bayangan itu melompat dan tahu-tahu di bawah lampu gantung, hanya lima meter dari pintu kamar tahanan, berdiri seorang wanita yang bukan lain adalah Siu Kwi!

“Kwi-moi....!” serunya lirih, matanya terbelalak seolah-olah dia tidak dapat percaya kepada pandang matanya sendiri. “Kaukah itu....?” Dan diapun merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kalau wanita ini benar Siu Kwi, apakah ia benar-benar....siluman? Cara pemunculannya ini!

“Sssttt....!” Wanita itu menaruh telunjuk di depan bibir. “Jin-toako, aku datang untuk membebaskanmu....”

Akan tetapi Yo Jin teringat akan percakapan para penjaga dan wajahnya berubah pucat. Celaka, kiranya harimaunya benar Siu Kwi dan tentu kini Siu Kwi telah terperangkap.

“Kwi moi, awas! Ini sebuah perangkap....!” teriaknya. “Kau larilah, pergilah!”

Pada saat itu, tiba-tiba saja nampak sinar terang disusul suara berisik. Dan ketika Siu Kwi membalikkan tubuh memandang, ternyata tempat itu telah dikepung; oleh puluhan orang bersenjata lengkap di tangan kanan dan dengan obor di tangan kiri. Agaknya mereka tadi bersembunyi dan serentak memasang obor sambil mengepung tempat itu. Dan muncullah dua orang tosu yang sore tadi telah mengalahkannya!

“Ha-ha-ha-ha, siluman betina ini berani muncul lagi. Benar-benar keras kepala dan sudah bosan hidup!” kata Ok Cin Cu dan perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang ketika dia tertawa.

“Ia bukan siluman!” Yo jin membentak marah dari dalam kamar tahanan.

“Heh-heh-heh, siapa bilang bahwa Bi-kwi bukan siluman? Engkau telah mabok oleh rayuannya, orang muda, heh-heh!“

“Tutup mulutmu yang kotor!” Siu Kwi membentak dan menyerang ke arah Thian Kek Seng-jin yang masih tertawa. Panas hatinya mendengar dirinya dihina di depan Yo Jin. Ketika tosu Pek-lian-kauw itu mengelak sambil memutar tongkatnya untuk balas menyerang, Siu Kwi sudah mencahut pedangnya dan menangkis. Ia tadi sudah mengambil senjata ini dan begitu menangkis, iapun menusuk dengan ganasnya.

“Tranggg....” bunga api berpijar ketika pedangnya kini ditangkis dlari samping oleh Ok Cin Cu yang menggunakan tongkat ular hitamnya. Ketua cabang Pek-lian-kauw itupun menerjang dengan tongkat naga hitam, untuk membantu kawannya. Kembali terjadi pengeroyokan. Akan tetapi Siu Kwi mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya.

Yo Jin memandang bengong. Baru dia tahu bahwa wanita yang dicintanya itu sama sekali bukanlah seorang wanita lemah, melainkan seorang ahli silat yang amat lihai! Kini diapun sadar mengapa dalam perkelahian-perkelahiannya, dia selalu menang walaupun dikeroyok, dan kini terjawab pula keanehan ketika para pengeroyoknya mencabut belati akan tetapi tidak sempat mempergunakan senjata itu. Tentu Siu Kwi bukan siluman betina, melainkan seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi!

“Kwi Moi....!” keluhnya dengan terharu. Seorang pendekar wanita telah bersikap demikian baik kepadanya! Kini dia menonton dengan hati yang tidak karuan rasanya. Ada rasa heran, bangga, akan tetapi juga kegelisahan besar melihat betapa kini kekasihnya itu dikeroyok oleh banyak orang.

Para pengawal itu sudah mendengar bahwa banyak rekan mereka sore tadi dilukai oleh wanita ini. Maka, merekapun tidak tinggal diam dan ikut menyerang. Hasilnya sunggh celaka bagi mereka. Begitu ada para pengawal ikut menyerang, gulungan sinar pedang Siu Kwi semakin melebar dan setiap kali ada sinar mencuat dari gulungan cahaya itu, terdengar pekik disusul robohnya seorang pengawal. Dalam waktu sebentar saja, tidak kurang dari tujuh orang pengawal roboh dan terluka oleh ujung pedang di tangan Siu Kwi! Melihat ini, dua orang tosu itu menjadi marah.

“Kalian semua mundur! Biarkan kami berdua yang menangkapnya!” teriak Thian Kek Seng-jin.

Mendengar teriakan ini, para pengawal itu mundur karena merekapun jerih melihat betapa dalam segebrakan saja, setiap orang rekannya yang berani menyerang pasti roboh terluka. Kini mereka mengepung sambil menonton dua orang tosu itu mengeroyok Siu Kwi! Seperti sore tadi, kembali Siu Kwi dikeroyok dua. Kali ini mereka berkelahi lebih mati-matian karena pedang di tangan Siu Kwi kini tidak sungkan-sungkan lagi, mengirim serangan maut yang amat berbahaya. Namun, seperti juga tadi. Siu Kwi belum cukup kuat untuk menghadapi pengeroyokan dua orang tosu yang amat lihai itu, setelah lewat limapuluh jurus, gulungan sinar pedangnya makin menyempit dan iapun terdesak terus oleh dua batang tongkat panjang dan pendek itu. Apa lagi seperti tadi, Thian Kek Seng-jin mengeluarkan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir untuk melemahkan lawan, maka Siu Kwi hamir tidak mampu balas menyerang lagi, melainkan hanya mengelak dan menangkis sambil mundur.

Yo Jin tidak dapat mengikuti perkelahian itu dengan baik karena selain dia berdiri di belakang pintu jeruji yang sempit, juga jalannya perkelahian itu telampau cepat baginya sehingga ia tidak dapat mengikuti dengan andang matanya yang menjadi kabur. Dia hanya melihat gulungan sinar putih dari pedang Siu Kwi dikurung dua gulungan sinar hitam, dan kadang-kadang saja nampak tubuh tiga orang itu atau kaki mereka yang menginjak tanah. Namun, hatinya merasa khawatir sekali.

“Bukkk....!” Sebuah pukulan tongkat Thian Kek Seng-jin mengenai punggung Siu Kwi dan sedikit darah keluar dari mulut wanitaitu. Ia telah terluka. Maka iapun tahu bahwa sekali ini ia juga tidak berhasil. Diputarnya pedangnya dengan nekat sambil membalikkan tubuhnya. Para pengawal yang berada di belakangnya menjadi panik, apa lagi ketika ketika dua orang pengawal roboh. Terpaksa mereka mundur dan membuka kepungan. Siu Kwi menerobos keluar dan meloncat ke dalam kebun, terus meloncat naik ke atas tembok pagar dan melarikan diri. Seperti sore tadi, dua orang tosu itu tidak mengejarnya, melainkan tertawa mengejek.

Terhuyung-huyung Siu Kwi lari memasuki hutan. Ketika tiba di tengah hutan, di bagian terbuka, iapun menjatuhkan diri di atas rumput, menelungkup dan menangis! Ia bukan menangis karena lukanya, melainkan menangis karena tidak mampu manyelamatkan Yo Jin. Kalau ia mengingat kembali betapa Yo Jin berdiri di belakang pintu jeruji dengan kaki tangan terbelenggu dan pucat, ia merasa kasihan sekali dan tangisnya makin mengguguk. Akan tetapi, wanita yang keras hati ini segera dapat menguasai dirinya. Tugasnya masih belum selesai. Yo Jin belum diselamatkan. Dan ia kembali terluka, sekali ini lebih parah karena pukulan dengan tenaga sin-kang itu telah mengakibatkan luka dalam, walaupun tidak amat berbahaya namun membutuhkan pengobatan dengan segera. Diusirnya bayangan Yo Jin yang melemahkan batinnya.

Siu Kwi mengeluarkan obat dan menelan dua butirpil merah Kemudian iapun duduk bersila untuk mengumpulkan hawa murni, mengobati lukanya dan memulihkan tenaganya. Ia terus bersila sampai pagi, kesehatannya berangsur-angsur pulih, dan juga tenaganya mulai pulih kembali.

Matahari mulai meneroboskan cahayanya melalui celah-celah ranting dan daun pohon, namun Siu Kwi masih bersamadhi dengan lelap. Demikian lelapnya sampai ia tidak tahu bahwa di dalam hutan itu muncul dun orang yang sejak tadi mengintainya. Baru setelah dua orang itu melangkah dekat menghampirinya, ia sadar dan cepat ia membuka mata. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal mereka sebagai Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin!

Akan tetapi rasa kaget ini juga dibarengi kemarahan yang meluap-luap karena kedua orang inilah yang telah menggagalkan usahanya untuk membebaskan Yo Jin. Maka ia meloncat dan menghadapi dua orang tosu itu dengan sepasang mata bernyala ganas penuh kebencian.

“Dua tosu jahanam, kalian masih hendak mendesakku? Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!” bentaknya dan iapun sudah memasang kuda-kuda, siap untuk berkelahi mati-matian.

Akan tetapi dua orang tosu itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap bemusuh, bahkan tersenyum.

“Bi-kwi....“

“Namaku Ciong Siu Kwi dan aku tidak mau menggunakan julukan itu lagi!” bentak Siu Kwi memotong kata-kata Ok Cin Cu.

Kakek tinggi besar berperut gendut dengan rambut riap-riapan ini tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, harimau hendak berganti bulu domba, ya? Baiklah, nona Ciong Siu Kwi, kami datang bukan untuk mendesakmu, melainkan untuk berdamai denganmu.”

Siu Kwi memandang dengan mata tajam penuh selidik. Tentu saja ia tidak dapat mempercaya begitu saja kepada orang-orang seperti tosu itu. “Apa kehendak kalian?“ tanyanya singkat, masih bersikap seperti seorang musuh.

“Ha-ha, bukankah engkau menghendaki agar pemuda she Yo itu kami bebaskan?“ kini Thian Kek Seng-jin, ketua cabang Pek-lian-kauw bertanya.

Mendengar pertanyaan ini, sepasang mata Siu Kwi berkilat. Tentu saja timbul gairahnya mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi ia seorang cerdik, dan cepat wajahnya nampak biasa seolah-olah pertanyaan itu bukan merupakan penawaran yang memikat hatinya.

“Hal yang sudah jelas itu mengapa kautanyakan lagi?” Ia balas bertanya.

Kembali dua orang tosu itu tersenyum lebar. “Kita adalah orang-orang segolongan dalam dunia persilatan, karena itu, perlu apa kita harus saling bermusuhan? Sebaiknya kalau kita bekerja sama, saling bantu, bukankah hal itu akan lebih menguntungkan kita kedua pihak?” kata pula Thian Kek Seng-jin yang lebih pandai bicara dibandingkan Ok Cin Cu.

“Kaumaksudkan, kalian akan membebaskan Yo Jin dan sebagai gantinya aku harus melakukan sesuatu untuk kalian?”

“Ha-ha-ha, ia memang seorang wanita yang amat cerdik, toyu!” Ok Cin Cu tertawa girang dan Thian Kek Seng-jin mengangguk-angguk.

“Tepat dugaanmu, nona Ciong. Engkau membutuhkan pembebasan Yo Jin, dan kami berdua juga mempunyai kebutuhan yang kami harapkan akan mendapat bantuanmu agar terlaksana.”

“Katakan, apa yang harus kulakukan untuk membantu kalian?”

“Kami berdua mempunyai kebutuhan masing-masing, dan kami akan membebaskan Yo Jin kalau engkau suka memenuhi dua permintaan kami untuk kebutuhan kami itu. Bagaimana, nona Ciong?” tanya pula Thian Kek Seng-jin.

“Katakan, apa yang harus kulakukan.” jawab Siu Kwi dan di dalam batinnya, wanita ini tentu saja sudah menyetujui permintaan mereka. Apapun akan ia lakukan demi menyelamatkan Yo Jin, pria yang dicintanya itu.

Thian Kek Seng-jin memandang kepada Ok Cin Cu, kemudian kepada Siu Kwi lagi sambil berkata. “ Biarlah sahabat Ok Cin Cu akan menceritakan sendiri permintaannya. Adapun pinto ingin engkau membantu pinto menghadapi seorang musuh besar. Kami sudah maju berdua, namun belum dapat menandinginya. Kulau engkau maju membantu kami, aku yakin akan dapat mengalahkan musuh besar itu.”

Siu Kwi terkejut. Kalau dua orang seperti tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini saja tidak mampu menandingi orang itu, tentu musuh besar Thian Kek Seng-jin itu seorang yang lihai bukan main. Akan tetapi ia hanya membantu mereka berdua, dan hal ini tentu saja tidak berat baginya. Hanya, ia sudah mengambil keputusan tidak melakukan perbuatan jahat, maka iapun ingin tahu lebih dahulu siapa orang yang akan mereka keroyok itu.

“Siapakah orang itu?”

“Dia adalah seorang keturunan pendekar Pulau Es.”

Siu Kwi terkejut dan mengerutkan alisnya. Keluarga Pulau Eslah yang telah menghancurkan semua cita-citanya, dan biarpun tadinya ia sudah tidak mau memikirkan hal itu dan tidak mau menanam persiapan dengan siapapun, akan tetapi sedikit banyak ada perasaan tidak suka terhadap keluarga Pulau Es dalam hatinya. Maka mendengar bahwa musuh besar ketua cabang Pek-lian-kauw ini adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es, iapun tanpa berpikir panjang lagi lalu mengangguk.

“Baiklah! Aku akan membantu kalian menghadapi musuh itu, dan kalian harus membebaskan Yo Jin.”

“Heh-heh, nanti dulu! Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata sambil menyeringai sehingga nampak mulutnya yang tinggal mempunyai beberapa buah gigi yang besar-besar. “Itu adalah syarat yang diajukan sahabat Thian Kek Seng-jin, sedangkan syarat dari pinto masih belum. Kaleu engkau membantu menghadapi musuh itu, berarti baru separuh dari syarat kami kau penuhi. Engkau tentu tidak ingin kami membebaskan separuh badan orang she Yo itu, bukan? Kau memilih dari pingang ke atas atau dari pinggang ke bawah yang harus dibebaskan?”

Siu Kwi tidak mau menyambut kelakar ini. Tentu saja ia tidak mau mendapatkan setengah saja dari badan Yo Jin. “Katakanlah, apa syaratmu!” katanya cepat dan ketus.

Ok Cin Cu menyeringai dan Thian Kek Seng Jin mentertawakan temannya itu. Akan tetapi yang ditertawakan sama sekali tidak merasa malu, bahkan nampak gembir sekali ketika berkata, “Ciong Siu Kwi, sudah lama sekali pinto mendengar akan nama Bi-kwi yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai sekali dalam hal lain mengenai pria. Nah, ilmu silatmu sudah pinto lihat dan rasakan. Akan teapi pinto ingin membuktikan sendiri kelihaianmu dalam hal yang lain itu. Pinto ingin agar engkau tidur bersama pinto satu malam dan melayani pinto. Baru pinto mau membebaskan Yo Jin seutuhnya!”

Kalau lain wanita yang diajukan itu, tentu ia akan merasa malu dan tersinggung sekali. Akan tetapi, bagi Siu Kwi, hubungan dengan pria bukan merupakan hal yang aneh. Sejak remaja ia sudah melayani Sam Kwi, tiga orang gurunya yang juga sudah kakek-kakek, dan selama ia bertualang sebagai Bi-kwi, entah sudah berapa banyak pria yang dipermainkannya uutuk melampiaskan napsunya. Permintaan terang-terangan dari Ok Cin Cu itu dianggapnya biasa saja, walaupun ia merasa terhina karena biasanya, ialah yang memilih laki-laki. Kecuali Sam Kwi, belum pernah ia melayani pria secara terpaksa. Akan tetapi, sekali ini, ia tidak berani marah, ia akan melakukan apa saja untuk pembebasan Yo Jin dan syarat yang diajukan oleh Ok Cin Cu itu, baginya adalah lebih berat dari pada syarat yang diajukan Thian Kek Seng-jin. Menyerahkan badannya bagi Siu Kwi tidak ada artinya, karena hatinya sudah ia serahkan sebulatnya kepada satu orang saja, yaitu Yo Jin! Dan ia melakukan itu bukan karena penyelewengan, bukan karena pemuasan nafsu, melainkan semata-mata untuk menyelamatkan Yo Jin!

“Baik, kuterima syaratmu. Nah, sekarang kalian bebaskan Yo Jin, dan aku akan memenuhi syarat kalian!“

“Ho-ho-ho, jangan tergesa-gesa, nona manis Thian Kek Seng-jin berseru. “Kami yang mengajukan syarat, maka kami harus melihat syarat-syarat itu terlaksana lebih dulu, baru kami akan membebaskan Yo Jin.”

Betapa mendongkolnya rasa hatinya, terpaksa Siu Kwi menurut. Pagi hari itu juga kedua orang tosu mengajak Siu Kwi untuk membantu mereka menghapi musuh besar Thian Kek Seng-jin. Hari telah siang ketika mereka bertiga tiba dilereng sebuah bukit tandus yang penuh dengan batu-batu besar dan guha-guha. Dan di sebuah di antara guha-guha itulah terdapat musuh besar yang dimaksudkan!

Laki-laki itu sedang duduk bersila dimulut guha ketika Ok Cin Cu, Thian Kek Seng-jin dan Ciong Siu Kwi memandang penuh perhatian. Hatinya tertarik untuk melihat orang yang demikian lihainya sehingga dua orang tosu seperti Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sampai tidak mampu menandinginya.

Laki laki itu belum tua benar, paling banyak empatpuluh tahun usianya. Mukanya bulat dengan kulit yang agak gelap, namun bentuk mukanya tampan dan gagah, juga terawat rapi. Rambutnya yang dikuncir mengkilap bersih dan halus karena minyak, wajahnya juga bersih, tidak ditumbuhi brewok karena agaknya dia rajin mencukur kumis dan jenggotnya. Pakaiannya juga baik dan bersih, bahkan agak mewah. Seorang pria yang pesolek, pikir Siu Kwi. Ia belum pernah bertemu dengan pria ini. Di punggung pria yang duduk bersila itu nampak sepasang pedang beronce biru dan sarungnya terukir indah.

Pria yang gagah ini memang benar keluarga Pulau Es. Bahkan dia masih cucu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, karena dia adalah Suma Ciang Bun! Seperti kita ketahui, delapan tahun yang lalu, Suma Ciang Bun menyelamatkan nyawa Gu Hong Beng yang kemudian selama tujuh tahun digemblengnya di pegunungan. Setelah Hong Beng menjadi seorang pemuda yang lihai, Suma Ciang Bun mengutus muridnya itu untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan, pergi ke kota raja untuk melakukan penyelidikan terhadap pembesar Hou Seng. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, akhirnya dengan beryambung bersama para pendekar sakti, Hong Beng membantu runtuhnya kekuasaan yang dibentuk oleh Hou Seng itu.

Sementara itu Suma Ciang Bun sendiri menyepi ke gunung-gunung untuk bertapa. Seperti biasa di sepanjang perjalanannya, kalau melihat hal-hal yang tidak adil, dia pasti turun tangan sebagai seorang pendekar. Dan sudah beberapa pekan lamanya dia berada di pegunungan tandus itu, menanti kembalinya Hong Beng karena dia sudah berpesan kepada muridnya itu agar dua tahun kemudian datang mencarinya di pegunungan tandus itu.

Kehadirannya di dalam guha di gunung itu diketahui oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin. Dua orang tokoh besar Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini segera mengenal pendekar keturunan keluarga Pulau Es ini dan semenjak dahulu memang kedua aliran ini menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh besar. Semenjak jaman Pendekar Super Sakti masih muda, kedua aliran ini, terutama sekali Pek-lian-kauw, sudah memusuhi Pendekar Pulau Es. Melihat Suma Ciang Bun, tentu saja Thian Kek Seng-jin yang kebetulan berada di situ cepat turun tangan menyerang. Akan tetapi, dia tidak dapat menandingi kelihaian Suma Ciang Bun. Bahkan ketika Ok Cin Cu membantunya, dua orang tosu itu tetap saja kewalahan dan akhirnya mereka melarikan diri.

Itulah sebabnya, melihat kelihaian Siu Kwi, Thian Kek Seng-jin lalu mempunyai akal untuk mengajak wanita itu membantunya dengan janji akan membebaskan Yo Jin dan seperti telah diperhitungkannya, Siu Kwi yang benar-benar jatuh cinta kepada Yo Jin, tak dapat menolak syaratnya.

Dengan hati besar karena mereka kini datang bertiga, Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin tertawa melihat musuh besar itu masih duduk bersila. “ Ha-ha-ha, Suma Ciang Bun! Kematianmu sudah berada di depan mata. Bangunlah dan terimalah kematianmu di tangan kami! Thian Kek Seng-jin berseru dengan nyaring sedangkan Ok Cin Cu hanya tertawa bergelak. Siu Kwi tidak bertanya, hanya memandang tajam dan mengamati gerak-gerik orang yang sedang duduk bersila itu. Tiba-tiba saja Siu Kwi berseru, “Awas jarum....!“ ketika Suma Ciang Bun menggerakkan tangan kirinya. Jarum-jarum halus sekali menyambar ke arah mereka bertiga. Dua orang tosu itu terkejut sekali dan merekapun cepat meloncat ke pinggir sambil mengebutkan lengan baju. Siu Kwi sendiri meloncat tinggi sehingga beberapa jarum yang menyambar kearahnya lewat di bawah kakinya. Hebat bukan main serangan jarum-jarum halus itu, dilakukan oleh Suma Ciang Bun yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya. Pendekar itu menyerang mereka hanya mengandalkan pendengarannya saja.

Ketika mereka bertiga sudah berdiri tegak kembali dan memandang, ternyata Suma Ciang Bun kini sudah bangkit, menghadapi mereka dengan alis berkerut. Siu Kwi agak gentar melihat sinar mata yang mencorong itu dan ia dapat menduga bahwa pendekar ini berwatak keras.

Suma Ciang Bun tadi menyerang mereka dengan jarum-jarumnya karena pendekar ini merasa jengkel bahwa samadhinya di ganggu oleh dua orang tosu yang sudah pernah dikalahkannya itu. Akan tetapi dia mendengar seruan seorang wanita dan melihat betapa wanita itu dengan gerakan yang luar biasa ringannya telah meloncat ke atas ketika menghindarkan diri diri sambaran jarum-jarumnya. Tahulah dia bahwa dua orang tosu itu telah datang lagi membawa seorang teman yang amat lihai.

“Siapakah engkau yang membantu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw? Aku tidak pernah bermusuhan denganmu!“ Suma Ciang Bun memandang tajam kepada wanita cantik pesolek itu.

Sebelum Ciong Siu Kwi yang merasa bimbang itu menjawab, Thian Kek Seng-jin sudah mendahuluinya. “Ha-ha, engkau tidak mengenal Bi-kwi murid mendiang Sam Kwi yang tewas di tangan para pendekar Pulau Es?” Memang Thian Kek Seng-jin ini cerdik sekali. Dia sudah tahu akan keadaan Siu Kwi, maka dia segera menghadapkan wanita yang membantunya itu sebagai musuh besar Suma Ciang Bun. Mendengar bahwa wanita itu adalah murid Sam Kwi yang menjadi tokoh-tokoh besar dunia sesat, Ciang Bun tidak merasa heran kalau wanita itu kini membantu musuh-musuhnya.

“Bagus!” serunya marah. “Kalian memang harus dibasmi dan sekali ini aku tidak mau kepalang tanggung!” Berkata demikian, Suma Ciang Bun menggerakkan tangan mencabut sepasang pedangnya. Sepasang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan berada di kedua tangannya dan diapun sudah berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.

Ok Cin Cu sudah melintangkan tongkat ular hitamnya yang dimainkan sebagai pedang, sedangkan Thian Kek Seng-jin menggerakkan tongkat naga hitam sebagai sebatang tongkat panjang yang ampuh. Melihat ini, teringat akan janjinya, Siu Kwi juga melolos pedangnya ikut mengepung pendekar itu.

Ciang Bun sudah pernah bertanding melawan pengeroyokan dua orang tosu itu dan dia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka itu hanya sedikit selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Kalau dia mampu mengalahkan mereka kanyalah karena ilmu silatnya yang luar biasa sehingga dua orang kakek itu menjadi bingung dan kacau dibuatnya. Akan tetapi, tenaga mereka tidak lebih kecil dari pada tenaga sin-kangnya walaupun dia sudah menguasai dua macam tenaga sakti yang bertentangan dari Pulau Es, yaitu Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Sayang bahwa dia tidak pernah berhasil menguasai kedua sinkang itu sampai ke puncaknya. Biarpun tidak begitu mudah baginya mengalahkan pengeroyokan dua orang tosu itu, namun dia percaya bahwa sekali inipun dia akan mampu mengalahkan, bahkan mungkin merobohkan mereka, kalau saja di situ tidak ada si wanita yang memiliki gerakan demikian ringannya. Untuk menguji sampai di mana kehebatan wanita itu, dia lalu langsung menggerakkan tubuhmya menyerang Siu Kwi dengan pedang kanannya yang menusuk ke arah dada disambung dengan gerakan pedang kiri yang dari atas membacok ke arah kepala. Serangan ini cepat dan hebat karena merupakan bagian dari ilmu silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), jurus yang dinamakan Siang-mo jio-cu (Sepasang Iblis Berebut Mustika). Jurus ini dapat dikembangkan dengan serangan-serangan kanan kiri yang berlawanan atau berbeda arahnya dan sambung-menyambung menjadi serangkaian serangan yang amat berbahaya.

Melihat betapa sepasang pedang itu menyerangnya dari depan dan atas, berarti hanya satu jurusan saja, Siu Kwi yang memiliki gerakan cepat itu karena ia telah mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak. Akan tetapi sambil mengelak, ia telah menusukkan pedangnya dari samping ke arah lambung lawan disusul tendangan kilat ke arah lutut. Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan tangguh, maka Siu Kwi bergerak cepat, begitu diserang, mengelak sambil membalas dengan tidak kalah hebatnya.

“Cringgg....!” Ciang Bun terkejut melihat kehebatan wanita itu. Tepat dugaannya bahwa wanita itu lihai, buktinya, menghadapi serangannya tadi, dapat langsung saja membalas. Dia menangkis dengan pedang kirinya dan membabat kaki yang menendang dengan pedang kanan. Akan tetapi Siu Kwi sudah menarik kakinya dan meloncat ke belakang untuk mengatur kedudukannya.

Pada saat itu Ok Cin Cu sudah menyerang dari samping, menusukkan tongkat ular hitam ke arah leher, sedangkan dari belakang, Thian Kek Seng-jin juga menyerang dengan babatan tongkat panjangnya ke arah kaki! Ciang Bnn cepat memutar tubuh, menangkis tongkat yang menusuk leher, kemudian dia meloncat ke atas membiarkan tongkat lewat di bawah kakinya, tubuhnya terus meluncur ke depan, masih menyerang Siu Kwi! Kini sepasang pedangnya itu bergerak dari kanan kiri dengan jurus Siang-mo Koan-bun (Sepasang Iblis Menutup Pintu). Gerakannya ini memang merupakan lingkaran sinar pedang yang menutup jalan keluar lawan. Lawan yang diserangnya tidak akan mempu mengelak ke kanan atau ke kiri lagi sehingga tidak ada kesempatan untuk balas menyerang.

Namun, Siu Kwi mengenal serangan berhahaya. Ia mempergunakan kelincahan tubuhnya, sudah meloncat ke belakang sehingga kembali serangan Ciang Bun yang amat cepat itu luput dari sasaran! Hal ini membuat Ciang Bun penasaran dan pada saat itu, melihat betapa kedua orang tosu sudah menerjangnya lagi dari kanan kiri, dia memutar sepasang pedangnya menyambut. Berkali-kali terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api berpijar kalau pedang di tangan pendekar itu bertemu dengan tongkat lawan. Siu kwi yang melihat berapa pendekar itu agaknya berbalik hendak mendesak dua orang tosu, sudah cepat menerjang dengan serangan-serangan pedangnya yang sinarnya bergulung-gulung. Tentu saja serangan-serangan wanita ini tak dapat dipandang ringan dan memecah perhatian Ciang Bun yang terpaksa harus melayani tiga orang pengeroyoknya yang tangguh.

Kalau ada yang menonton pertandingan ini, tentu orang akan merasa kagum bukan main, walaupun cepatnya gerakan mereka membuat mata biasa sukar untuk dapat mengikuti pertandingan, sukar melihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak. Yang nampak hanya gulungan sinar senjata mereka, dan bayangan tubuh mereka terbungkus gulungan sinar itu, hanya kadang-kadang saja nampak bayangan mereka dan kaki mereka menyentuh tanah.

Suma Ciang Bun adalah seorang keturunan langsung dari keluarga Pulau Es dan dia sudah menguasai ilmu-ilmu yang luar biasa tingginya. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa yang menjadi penentu terakhir mengenai tinggi rendahnya tingkat seorang ahli silat, adalah si orang itu sendiri, bukan ilmunya. Ilmu silat memang ada yang bagus ada yang buruk ada yang lambat ada yang cepat, ada yang praktis tanpa kembangan ada yang memakai banyak kembangan. Namun, setelah dikuasai seseorang, tentu saja sifat-sifat itu terseret oleh keadaan orang itu sendiri. Dan perlu diketahui bahwa sejak kecilnya, bakat ilmu silatnya tidaklah begitu menonjol dan kalah jauh kalau dibandingkan dengan keturunan keluarga Pulau Es yang lain. Ilmu-ilmu silat yang dikuasainya memang hebat bukan main, akan tetapi tidak mencapai tingkat yang terlalu tinggi sehingga menghadapi pengeroyokan tiga orang yang lihai ini, Suma Ciang Bun mulai terdesak hebat.

Perhitungan Thian Kek Seng-jin memang tepat. Dia dan Ok Cin Cu tidak mampu menandingi Suma Ciang Bun dan hal ini membuat dia merasa penasaran bukan main. Dia tidak tahu siapa lagi yang dapat dimintai bantuannya. Ketika dia dan Ok Cin Cu bentrok dengan Siu Kwi dan melihat kelihaian wanita itu, terutama sekali kecepatan gerakannya, tahulah dia bahwa kalau wanita ini dapat membantunya, maka dia tentu akan mampu mengalahkan pendekar Pulau Es itu.

Betapapun juga, ilmu-ilmu silat yang dimainkan Suma Ciang Bun memang hebat sekali sehingga walaupun tiga orang itu mampu mengepung ketat dan mendesak sampai seratus jurus lamanya belum juga mereka bertiga itu mampu mengalahkan Suma Ciang Bun yang masih melawan dengan gigih. Akan tetapi kini pendekar itu lebih banyak bertahan dan melindungi diri dari pada menyerang.

Tiba tiba tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menusuk ke arah leher Ciang Bun dari kiri, dibarengi dengan pukulan tongkat naga hitam ke arah pinggangnya dari kanan Ciang Bun tidak sempat mengelak lagi, terpaksa menggunakan sepasang pedangnya menangkis ke kanan kiri dengan jurus Siang-mo Khai-bun (Sepasang Iblis Membuka Pintu). Jurus ini bukan hanya menangkis, melainkan dilanjutkan dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi pada saat dia menangkis, nampak sinar pedang meluncur ganas dari depan, yaitu pedang yang diserangkan oleh Siu Kwi ke arah dadanya. Serangannya sedemikian cepatnya sehingga Ciang Bun merasa terkejut. Dengan menggunakan pantulan tenaga ketika menangkis tongkat naga hitanm, pedang kanannya mental dan meluncur, memapaki sinar pedang Siu Kwi dari depan, sedangkan pedang kirinya dengan tenaga sin-kang masih menempel tongkat ular hitam.

“Cringgg....!”Siu Kwi mengeluarkan seruan kaget karena pedangnya hampir terlepas dari pegangannya ketika bertemu dengan kerasnya dengan pedang lawan. Akan tetapi pada saat itu, tongkat naga hitam menyambar dari belakang dan tidak dapat dielakkan atau ditangkis oleh Ciang Bun lagi.

“Bukkk....!” Tubuh Ciang Bun terlempar keras, terbanting dan terguling-guling. Dia menderita luka parah oleh pukulan tongkat yang mengenai punggungnya itu, maka ketika dia terguling-guling, dia sengaja bergulingan dengan cepat, kemudian meloncat dan melarikan diri. Pendekar ini maklum bahwa dia telah terluka dan kalau tidak melarikan diri, tentu tiga orang lawan itu akan membunuhnya.

“Kejar dia....!” Thian Kek Seng-jin berseru marah ketika melihat lawan yang sudah terluka itu melarikan diri.

“Kenapa mesti dikejar?” Siu Kwi membantah. “Dia sudah kalah dan lari.”

“Kejar! Kita harus membunuhnya!” Thian Kek Seng-jin berteriak dan diapun mengejar diikuti Ok Cin Cu, Siu Kwi terpaksa ikut mengejar.

“Jangan mencari penyakit!” kembali ia berkata sambil berlari di samping kakek itu. “Jangan mendesak terus. Bagaimana kalau muncul tokoh-tokoh Pulau Es lainnya? Dia hanya tokoh kecil saja! Aku sudah banyak bertemu dengan mereka, yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dia!”

Thiar Kek Seng-jin mencari-cari akan tetapi bayangan Suma Ciang Bun tak nampak lagi. Juga dia mulai jerih mendengar kata-kata Siu Kwi. Baru mengalahkan Suma Ciang Bun sekarang saja sudah demikian repotnya, apa lagi kalau muncul tokoh Pulau Es lainnya yang lebih lihai. Pula, kalau wanita ini tidak mau membantunya, dia dan Ok Cin Cu juga tidak berdaya menghadapi tokoh yang mereka kejar-kejar itu. Maka, biarpun hatinya kurang puas karena dia tidak berhasil membunuh musuhnya, terpaksa dia memghentikan pengejarannya.

Ketika Ok Cin Cu pada malam itu menuntut syaratnya, diam-diam Siu Kwi bergidik memandang kakek berusia hampir tujuhpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan rambut riap-riapan, tubuhnya yang kurang terjaga kebersihannya itu mengeluarkan bau busuk. Akan tetapi, dengan terpaksa Siu Kwi menyerahkan dirinya kepada tosu gendut itu ketika sang tosu membawanya ke sebuah pondok kecil di luar dusun. Ia menyerahkan diri sambil mematikan perasaannya dan dengan tingkat kepandaiannya, hal ini tidak sukar ia lakukan. Yang masuk ke dalam ingatannya hanyalah bahwa ia melakukan pengorbanan untuk pria yang dicintanya. Apapun akan ia lakukan demi keselamatan Yo Jin. Karena apa yang ia lakukan itu tanpa disertai perasaan sedikitpun, maka bagi Ok Cin Cu wanita ini tiada bedanya dengan sesosok mayat saja. Tentu saja hal ini membuat Ok Cin Cu merasa tidak puas dan kecewa, seperti bercinta dengan mayat atau patung dan diam-diam di pun marah sekali.

Pada keesokan harinya, dua orang tosu itu berjanji bahwa malam berikutnya mereka akan membebaskan Yo Jin. “Engkau datanglah ke tempat tinggal Lui-thungcu pada tengah malam dan Yo Jin akan kami bebaskan dengan diam-diam agar dapat kaujemput. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati agar jangan sampai ketahuan oleh keluarga Lui. Biarlah mereka mengira bahwa engkau dan orang-orang lain yang datang membebaskan Yo jin. Kami akan pura-pura melakukan pengejaran dan mencari,” kata Thian Kek Seng-jin dan tentu saja Siu Kwi menyetujui dengan hati penuh harapan.

Malam itu cuaca gelap sekali. Bulan memang belum waktunya keluar dan sedikit bintang yang nampak kadang-kadang tertutup awan hitam yang lewat di bawahnya. Sebelum tengah malam, Siu Kwi telah berada di luar pagar tembok yang mengelilingi kompleks bangunan tempat tinggal keluarga Lurah Lui. Dengan hati berdebar penuh kegembiraan dan ketegangan ia menanti sambil merenungkan semua yang telah terjadi semenjak ia berjumpa dengan Yo Jin. Telah terjadi perubahan besar dalam hidupnya, dimulai sejak ia dan sekutunya kalah dan hancur oleh para pendekar. Akan tetapi perubahan besar baru benar terjadi setelah ia berjumpa dengan Yo Jin. Ia telah berkorban untuk Yo jin. Di luar kehendaknya ia telah membantu dua orang tosu itu memusuhi pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Bahkan di luar kehendaknya ia telah menyerahkan tubuhnya kepada Ok Cin Cu. Kedua hal itu terpaksa ia lakukan karena ia tidak melihat cara lain untuk menyelamatkan Yo Jin yang berada dalam cengkeraman dua orang tosu yang tangguh itu. Hatinya gembira. Betapapun juga, pengorbanan itu tidak berapa berat. Apa artinya menyerahkan badan tanpa perasaan dan hati? Dan ia hanya membantu untuk mengalahkan Suma Ciang Bun. Semua hal itu terlupa karena ia membayangkan betapa gembiranya sebentar lagi ia dapat menyelamatkan dan mengajak pergi Yo Jin. Ia akan hidup berbahagia bersama pria itu. Satu-satunya halangan, yaitu ayah Yo Jin, telah tewas pula. Sejak siang tadi ia sudah membayangkan hal ini dan sudah mengatur rencana. Ia hendak mengajak Yo jin pergi dan hidup di sebuah tempat yang baru di mana tak seorangpun akan mengenalnya. Ia akan hidup sebagai manusia baru di tempat yang baru, bukan sebagai Bi-kwi murid Sam Kwi, melainkan sebagai isteri seorang pria sederhana seperti Yo Jin. Betapa akan berbahagianya mereka, merawat dan mendidik anak-anak mereka. Anak-anak! Ah, belum pernah sebelumnya ia membayangkan tentang rumah tangga, suami dan anak-anak.

Suara berdenting ketika tanda waktu dipukul para penjaga, menciutkan hatinya dan membuatnya sadar dari lamunan. Tengah malam telah tiba! Iapun mendekati pagar tembok dan setelah merasa yakin bahwa keadaan di situ sunyi saja, ia lalu meloncat ke atas pagar tembok, meneliti sebentar keadaan di sebelah dalam yang ternyata juga sunyi seperti keadaan di luar. Maka ia lalu melompat turun dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke bagian belakang.

“Kwi-moi.... aku di sini....! Mendengar suara Yo Jin itu, bukan main girang rasa hati Siu Kwi.

“Jin-koko....!” Serunya lirih dengan suara gemetar dan iapun berlari ke arah suara tadi. Agaknya pria yang dikasihinya itu berada di belakang pondok yang menjadi kandang kuda, menantinya. Betapapun gembira dan tegang rasa hatinya, Siu Kwi tidak pernah mengendurkan kewaspadaannya. Ia berurusan dengan dua orang tosu yang selain tangguh, juga cerdik dan mungkin saja suka bertindak curang, maka ia selalu siap siaga.

Kewaspadaan inilah yang menyelamatkannya. Ketika ia sudah melihat bayangan Yo Jin yang berdiri di belakang kandang kuda, dan ia berlari di antara pohon-pohon di kanan kiri, tiba-tiba saja kakinya terlibat tali sehingga ia terguling. Ia meloncat dan kakinya masih terlibat banyak sekali tali yang agaknya ditarik orang. Karena memang sebelumnya sudah siap siaga, hanya sebentar saja Siu Kwi terkejut dan secepat kilat ia telah mencabut pedangnya dan dengan beberapa kali bacokan saja, tambang-tambang itu sudah putus semua. Untung ia melakukan hal ini karena kalau tidak, tentu tubuhnya akan terlibat semua dan ia tentu tidak akan mampu melawan lagi!

Tiba-tiba keadaan menjadi terang. Obor-obor di nyalakan dan ternyata tempat itu telah dikepung oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sendiri! Dan di kejauhan, ia melihat betapa Yo Jin dengan kaki tangan terikat, berdiri dan terikat pada sebatang pohon. Tahulah ia bahwa memang dua orang tosu itu bersikap curang sekali. Ia sengaja dipancing untuk ditangkap, bukan untuk disuruh menjemput Yo Jin seperti yang dijanjikan. Tentu saja ia menjadi marah sekali dan sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api.

“Tosu-tosu jahanam yang berwatak hina dan rendah!” bentaknya dan iapun menerjang dengan pedangnya ke arah dua orang tosu itu. Akan tetapi, banyak sekali tombak panjang menyambutnya dan sebentar saja ia sudah dikepung dan dikeroyok oleh puluhan orang penjaga yang memegang tombak panjang. Dan kini dua orang tosu itupun menerjang maju sehingga tentu saja Siu Kwi menjadi repot sekali melayani mereka. Namun, ia mengamuk seperti seekor harimau betina terluka, pedangnya berkelebatan dan sudah ada beberapa orang penjaga yang roboh mandi darah. Pedang di tangan Siu Kwi sudah berlepotan darah. Akan tetapi, ia sendiri menerima tusukan tombak dan hantaman tongkat berkali-kali. Pundaknya dan paha kirinya terluka, kulitnya robek dan mengucurkan darah. Pipinya bengkak dan punggungnya juga dua kali menerima hantaman tongkat panjang naga hitam di tangan Thian Kek Seng-jin.

“Kwi-moi...., larilah...., selamatkan dirimu....!”

Teriakan melengking ini menyadarkan Siu Kwi. Itulah suara Yo Jin dan iapun sadar bahwa mengamuk terus berarti mencari mati. Dan kalau ia mati di situ, tentu tidak ada harapan lagi bagi Yo jin. Selain ia seorang, siapa lagi yang akan membela Yo Jin? Hatinya berdarah kalau ia membayangkan Yo Jin yang belum juga dapat diselamatkannya. Akan tetapi, ia akan terus berusaha, dan untuk itu, ia harus mampu keluar dari kepungan ini lebih dahulu. Maka, tiba-tiba ia menerjang ke belakang dan membalikkan tubuhnya. Karena yang berada di belakangnya hanya para penjaga, mereka itu menjadi panik ketika tiba-tiba dua orang di antara mereka roboh mandi darah. Terbukalah pengepungan mereka dan Siu Kwi lalu menerjang ke arah itu. Para pengepung mundur dan keadaan menjadi kacau balau. Dua orang tosu tidak dapat mendesak Siu Kwi karena terhalang oleh para penjaga yang lari ke kanan kiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siu Kwi untuk melompat ke luar pagar tembok dan menghilang di dalam kegelapan malam.



***



Siu Kwi menangis sesenggukan. Tangisnya lebih sedih dari pada tangisnya yang pertama kali sebelum ia berjumpa Jengan Yo jin. Selamanya ia tidak pernah menangis dan pertama kali menangis adalah ketika ia merasa kesepian, setelah persekutuannya hancur. Akan tetapi tangisnya sekarang ini sungguh keluar dari dasar hatinya. Ia menangis sampai terisak-isak dan tersedu-sedan, kadang-kadang menyebut nama Yo Jin. Ia merasa berduka, gelisah, dan menyesal sekali. Bagaimanapun juga, kalau diusut dari semula, ialah yang menjadi gara-gara sampai Yo Jin terpaksa menjadi orang tahanan, bahkan ayahnya tewas dibunuh orang. Kalau Yo Jin tidak berjumpa dengannya, tentu dia tidak akan mengalami semua malapetaka ini. Dan ia sendiri sekarang tidak berdaya sama sekali untuk menyelamatkan Yo Jin. Semua impiannya kemarin kini buyar dan hancur pula, seperti hancurnya semua cita-citanya. Karena kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan ia sendiri sudah menderita luka-luka yang cukup parah, Siu Kwi hanya dapat menangis! Menangis seorang diri di dalam hutan yang sunyi itu.

Pundak dan pahanya masih terluka menganga dan mengeluarkan darah, juga pipinya benjol, bekas pukulan tongkat di punggungnya juga mendatangkan rasa ngilu dan nyeri bukan main. Akan tetapi ia tidak memperdulikan semua itu, tidak perduli akan keadaan dirinya. Yang terpikir olehnya hanyalah Yo Jin!

Dalam keadaan menangis ini, muncullah Siu Kwi sebagai seorang wanita sepenuhnya. Seorang wanita yang normal, mahluk yang lemah dan terbuai perasaan, dan mencari pelarian dari segala derita ke dalam tangis. Dulu sekali, tangis merupakan hal yang memalukan baginya, merupakan pantangan karena perbuatan ini dianggapnya memamerkan kelemahan dan cengeng. Akan tetapi sekarang, setelah merasa tidak berdaya dan bingung memikirkan keadaan pria yang dicintanya, yang tidak mampu ditolongnya, iapun tak dapat berbuat lain kecuali menangis! Dan tangisnya ini adalah pencurahan dari semua penderitaan batin yang sejak dahulu selalu ditekan dan ditahannya. Penderitaan batin ketika ia masih kecil kehilangan ayah ibu, ketika ia terpaksa melayani gairah nafsu tiga orang gurunya, Sam Kwi, yang diterimanya dengan pasrah namun sebenarnya di dasar hatinya timbul pemberontakan yang ditekannya. Semua himpitan batin itu dahulu ia imbangi dengan perbuatan-perbuatan sesat dan kejam, sebagai pelariannya. Akan tetapi sekarang, setelah ia melihat betapa kesesatannya tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya, setelah ia ingin merobah jalan hidupnya, satu-satunya pelarian hanyalah tangis kesedihan.

“Suci....!” tiba-tiba terdengar suara wanita menegurnya.

Siu Kwi mengangkat mukanya yang tadi ditutupi dengan kedua tangannya. Sebuah muka yang membengkak, ujung bibir yang masih berdarah, muka yang basah air mata yang bercucuran dari sepasang mata yang kemerahan. Ketika ia melihat bahwa yang datang menegurnya adalah Bi Lan, Siu Kwi merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan iapun menangis semakin menjadi-jadi sampai mengguguk.

Yang datang itu memang Bi Lan bersama Sim Houw. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah berhasil menghancurkan komplotan kaki tangan pembesar Hou Seng, dibantu oleh para pendekar keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, para pendekar bubaran dan Bi Lan pergi bersama Sim Houw. Kedua orang ini merasa saling tertarik dan terikat satu sama lain, merasa betapa mereka tak mungkin dapat saling berpisah lagi. Memang, selama melakukan perjalanan menuju ke utara, keduanya belum pernah saling mengaku cinta! Sim Houw yang sudah tahu bahwa dia kini mati-matian jatuh cinta kepada Bi Lan, merasa sungkan untnk mengakui cintanya. Dia jauh lebih tua dari pada Bi Lan. Usianya sudah hampir tigapuluh lima tahun, sedangkan Bi Lan belum ada duapuluh tahun! Gadis itu pantas menjadi keponakannya! Biarpun dia sungguh mencintanya, akan tetapi kalau dia mengaku akan hal itu, bukankah dia akan ditertawakan, bahkan disangka bahwa semua kebaikannya terhadap gadis ini berpamrih? Tidak, dia tidak berani mengaku cinta, walaupun hatinya sudah yakin akan hal itu. Di lain pihak, Bi Lan sendiri yang masih hijau dalam soal asmara, hanya melihat Sim Houw sebagai seorang pria yang amat baik kepadanya. Dan iapun merasa amat suka kepada Sim Houw, kagum dan juga bangga dapat mempunyai seorang sahabat seperti pendekar ini. Dan yang lebih dari segalanya, ia merasa aman tenteram penuh kedamaian kalau berada di samping Sim Houw.

Dalam perjalanan mereka ke utara, mereka pada pagi hari ini memasuki hutan dan mereka merasa terheran-heran ketika mendengar isak tangis sampai ke telinga mereka, terbawa angin bersilir. Karena merasa heran dan curiga, menduga bahwa mungkin saja terjadi kejahatan. mereka lalu mempergunakan ilmu meringankan tubuh, berindap menghampiri tempat dari mana suara itu datang. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati Bi Lan ketika melihat bahwa yang sedang menangis terisak-isak itu adalah Bi-kwi! Karena itu, segera ia memanggil dan kini, setelah sucinya itu memandang kepadanya, ia melihat keadaan sucinya yang luka-luka dan mukanya membengkak, dan kini sucinya menangis semakin menjadi-jadi.

“Suci.... kau.... kau menangis....?” Bi Lan menghampiri dan menjadi semakin terheran-heran. Belum pernah ia melihat sucinya ini menangis, apa lagi menangis sampai sedemikian sedihnya. “Apakah yang telah terjadi, suci?” Bagaimana juga, di dalam hatinya, Bi Lan merasa kasihan kepada sucinya, orang yang sejak ia kecil melatihnya dan menemaninya, walaupan sikap Ciong Siu Kwi terhadapnya tak dapat dibilang manis. Juga ia teringat bahwa tanpa pertolongan sucinya, tentu dirinya telah ternoda oleh Sam Kwi.

Mendengar pertanyaan ini, Siu Kwi menjadi semakin berduka. Akan tetapi, ia segera teringat, bahwa kalau sumoinya ini mau membantu, tentu ia akan dapat menyelamatkan Yo Jin! Timbul lagi harapannya, akan tetapi karena khawatir kalau-kalau Bi Lan menolak permintaan tolongnya, iapun menjadi semakin berduka.

“Sumoi.... jangan dekati aku kalau kau tidak mau ketularan segala kesialan yang menimpa diriku.... ahhh, rasanya aku ingin mati saja, sumoi....“ katanya sambil mengusap air mata dari kedua pipinya dan iapun memandang ke arah Sim Houw yang berdiri tak jauh dari situ. Apa lagi kalau orang she Sim itu mau membantunya, sudah dapat dipastikan bahwa Yo Jin dapat diselamatkan!

“Suci, sungguh aku merasa heran sekali melihat engkau dapat berduka cita seperti ini. Apakah yang sesungguhnya telah terjadi? Aku melihat engkau menderita luka-luka. Apakah engkau berkelahi?”

Siu Kwi menarik napas panjang untuk menghentikan tangisnya. “Aku tidak tahu apakah kemunculanmu ini akan merupakan pertolongan bagiku atau tidak, sumoi. Akan tetapi, biarlah kuceritakan semua kepadamu....” Ia kembali menarik napas panjang. Bi Lan kini duduk di atas rumput, di dekatnya sedangkan Sim Houw duduk di atas batu. Agaknya pendekar itupun tertarik untuk mendengarkan ceritanya yang membuat ia sampai menangis sedemikian sedihnya.

“Sumoi, setelah kau membiarkan aku pergi, baru aku merasa betapa sunyi dan merana hidupku, baru aku sadar betapa semua kesesatan yang telah memenuhi hidupku yang lalu tidak pernah mendatangkan kebahagiaan kepadaku. Engkau benar, sumoi, engkau tidak mau mengikuti jejak tiga orang suhu kita yang sesat. Aku ingin merobah hidupku, dan dalam kesadaranku itu, bertemulah aku dengan seorang pemuda petani yang bodoh dan sederhana dan lemah.”

Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Yo Jin, betapa kemudian muncul tiga orang pemuda berandalan yang hendak menganggunya, dan betapa Yo Jin, pemuda dusun yang lemah dan bodoh itu, membelanya mati-matian.

“Bayangkan, sumoi! Dia yang lemah dan bodoh, rela dikeroyok dan dipukuli sampai babak-belur, hanya untuk membela aku yang tidak dikenalnya. Betapa gagahnya dia! Dan aku.... akupun jatuh cinta kepadanya, sumoi....“

Kembali Siu Kwi menangis dan Bi Lan memandang sucinya dengan mata terbelalak. Aneh sekali mendengar cerita dan pengakuan sucinya ini. Biasanya, sucinya mempermainkan pria sesuka hatinya. Pria-pria itu dianggap boneka saja olehnya, atau binatangpeliharaan yang dianggap sebagai penghibur. Akan tetapi kini, terang-terangan sucinya mengaku jatuh cinta kepada seorang pemuda dusun yang sederhana, bodoh dan lemah!

“Dan semua pengorbanannya untuk diriku itu membawa akibat yang amat mencelakakan baginya. Ayahnya sampai terbunuh orang, dan dia sendiri sekarang menjadi tawanan....”

Siu Kwi menceritakan semua hal yang telah terjadi dengan nada suara sedih sekali.

“Aku telah berusaha untuk menyelamatkannya, untuk membebaskannya. Akan tetapi, dua orang tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw itu terlalu tangguh bagiku. Bahkan mereka telah menipuku. Mereka berjanji membebaskan Yo Jin kalau aku mau bekerja sama. Thian Kek Seng-jin minta aku membantunya melawan dan mengalahkan pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Hal ini telah kulakukan dan pendekar itu dapat dikalahkan sampai melarikan diri. Kemudian akupun memenuhi permintaan Ok Cin Cu untuk melayaninya dan tidur bersamanya selama semalam. Semua ini kulakukan dengan pemaksaan diri, di luar kemampuanku demi untuk menolong Yo Jin. Akan tetapi, mereka berdua menipuku, tidak memenuhi janji, bahkan aku dikeroyok banyak orang malam tadi sampai nyaris tewas dan menderita luka-luka inilah, aku hampir putus asa, sumoi. Tidak mengapalah aku mati asal Yo Jin selamat....”

Bi Lan saling pandang dengan Sim Houw. Hampir ia tidak dapat percaya akan cerita sucinya itu. Ia sudah terlalu mengenal sucinya sehingga cerita itu seperti tak masuk akal!

“Suci, sekarang yang terpenting adalah mengobati luka-lukamu. Luka di pundak dan pahamu itu cukup lebar, dan kulihat engkau seperti menderita luka dalam pula. Biarlah kami membantu mengobatimu, suci.“

“Tidak! Tidak perlu aku diobati kecuali kalau.... ahh, mana mungkin kalian suka membantuku?” Dan tiba-tiba Siu Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan sumoinya!

“Sumoi, aku mohon padamu, kaubantulah aku menyelamatkan Yo Jin....“

Tentu saja Bi Lan menjadi terkejut setengah mati dan cepat-cepat ia memegang kedua pundak sucinya, membangunkannya kembali.

“Hal itu nanti kita bicarakan, suci. Sekarang biarlah kami mengobatimu dulu....“

“Tidak, sumoi. Kalau engkau tidak mau berjanji untuk membantuku menghadapi dua tosu jahanam itu dan menyelamatkan Yo Jin, akupun tidak perlu diobati dan biarlah aku mati saja.”

Bi Lan kembali menoleh dan memandang kepada Sim Houw. Ia masih meragukan kebenaran ucapan sucinya ini, akan tetapi Sim Houw mengangguk. Pendekar itu dapat melihat bahwa tak mungkin Siu Kwi berbohong. Apa lagi mendengar bahwa kedua lawan Siu Kwi adalah tosu-tosu dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, tentu saja hatinya condong untuk membantu bekas suci Bi Lan ini. Tentang benar tidaknya cerita Ciong Siu Kwi, hal itu dapat diselidiki nanti.

“Baiklah, suci. Aku berjanji untuk membantumu, akan tetapi dengan syarat bahwa apa yang kauceritakan semua tadi adalah benar.”

Siu Kwi menarik napas panjang dan mengangguk. “Aku mengerti dan tidak menyalahkan kalau engkau masih meragukan kejujuranku, sumoi, Akan tetapi engkaupun tentu belum yakin benar akan keputusanku untuk merobah cara hidupku. Aku telah bertemu dengan pria yang kucinta sepenuh jiwaku, dan aku melakukan apa saja demi untuk dia. Kalau ceritaku tidak benar, boleh engkau mengundurkan diri.”

“Sekarang, yang terpenting mengobati luka-lukamu, suci.”

“Siu Kwi menurut dan tiba-tiba merintih. Baru sekarang ia merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri, luka-luka itu, perih dan panas, di dalam dadanya juga terasa nyeri dan tenaganya hampir habis! Kini, setelah ia merasa mendapatkan bala bantuan, baru ia merasakan semua kenyerian ini.

Bi Lan dan Sim Houw lalu merawat Siu Kwi. Dengan obat luka Siu Kwi sendiri yang amat manjur, luka di paha dan pundaknya dicuci oleh Bi Lan dan diobati lalu dibalut, sedangkan untuk menyembuhkan luka di dalam dada akibat guncangan pukulan tongkat pada punggungnya, ia dibantu oleh Sim Houw yang menempelkan telapak tangan di punggungnya. membantu wanita itu menghimpun tenaga dalam dan memulihkan kesehatannya. Menjelang senja, sembuhlah Siu Kwi. Tubuhnya yang terlatih memang kuat, ditambah lagi semangatnya yang besar dan menyala-nyala akibat timbulnya harapan dalam hatinya untuk menyelamatkan Yo Jin.

Dan pada malam hari itu juga Siu Kwi mengajak Bi Lan dan Sim Houw untuk membantunya membebaskan Yo Jin. Bi Lan memang sudah berunding mengenai hal ini, maka Bi Lan lalu berkata kepada bekas sucinya itu. Suci, bukan hanya karena kurang penuh kepercayaan kami kepadamu, akan tetapi bagaimanapun juga, kami tidak mau bertindak secara sembrono dan melibatkan diri dalam permusuhan, pada hal kami tidak mempunyai urusan apa-apa. Oleh karena itu, kami mau kau ajak pergi ke dusun itu, Hanya saja tidak bertindak sebagai perampas tawanan, melainkan secara damai.”

“Maksudmu bagaimana? Apapun tindakan yang kalian ambil untuk membantuku, terserah. Bagiku yang terpenting adalah keselamatan Yo Jin.”

Diam-diam Bi Lan merasa terharu. Bukan main hebatnya cinta kasih sucinya ini terhadap pria yang bernama Yo Jin itu. Dan ia mulai percaya bahwa semua cerita sucinya itu tidak bohong.

“Kami akan ikut bersamamu menemui lurah Lui dan dua orang tosu itu. Kita minta dengan baik-baik saja agar Yo Jin itu dibebaskan. Kemudian kita lihat bagaimana perkembangannya. Kalau perlu, tentu saja kami akan membantumu membebaskan dia dengan jalan kekerasan, tentu saja setelah kami pertimbangkan urusannya.”

Siu Kwi mengangguk-angguk. “Aku tidak menyalahkan kalian kalau meragukan kebenaran omonganku. Marilah kita berangkat dan kalian lihat sendiri.”

Mereka lalu berangkat menuju ke dusun timur itu, ke tempat lurah Lui di mana Yo Jin ditahan, di bawah pengawasan dua orang tosu yang tangguh. Tidak seperti malam kemarin, malam itu terdapat penjagaan yang ketat sehingga begitu mereka tiba di dusun itu saja, para penjaga sudah melihat dan segera mengenal Siu Kwi. Karena merasa jerih menghadapi wanita itu, para penjaga itu cepat berlari ke rumah lurah Lui dan melaporkan munculnya “siluman” itu. Juga para penduduk dusun itu, yang sudah mendengar akan adanya siluman yang mengamuk di rumah lurah mereka, kini menjadi ketakutan dan cepat-cepat mereka bersembunyi dan menutupkan semua jendela dan pintu rumah mereka ketika mendengar teriakan para penjaga yang berlarian bahwa siluman itu muncul kembali.

Demikianlah, ketika Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw tiba di depan pekarangan rumah lurah Lui, mereka sudah disambut oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh dua orang tosu itu. Banyak obor dinyalakan sehingga keadaan menjadi terang sekali.

Ketika Thian Kek Seng-jin dan Ok Cin Cu melihat bahwa Siu Kwi datang bersama seorang gadis muda yang cantik sekali dan seorang laki-laki yang sikapnya sederhana, mereka berdua memandang rendah. Siu Kwi sudah terluka, pikir mereka dan dua orang temannya itu tak mungkin memiliki kelihaian melebihi Siu Kwi. Pula, di situ terdapat puluhan orang penjaga yang membantu.

“Heh-heh, Bi-kwi, siluman jahat. Engkau berani muncul kembali, apakah engkau ingin menyerahkan nyawamu?” Thian Kek Seng-jin berkata sambil melintangkan tongkat naga hitamnya.

“Ha-ha, barangkali engkau rindu pada pinto, nona manis?” kata si gendut Ok Cin Cu.

Siu Kwi menahan gejolak kemarahan yang memenuhi hatinya. Ia harus dapat meyakinkan sumoinya dan Sim Houw akan kebenaran ceritanya. “Thian Kek Seng-jin dan Ok Cin Cu, aku datang ke sini untuk bicara dengan kalian secara baik-baik. Mengapa kalian berkeras hendak menahan Yo Jin? Dia tidak mempunyai kesalahan apapun. Dia membelaku ketika Lui-kongcu hendak kurang ajar....“

“Dia ditangkap karena berani kurang ajar memukul Lui-kongcu!” kata Ok Cin Cu.

“Akan tetapi Lui-kongcu yang kurang ajar dan lebih dulu menyerangnya. Urusan itu amat kecil, akan tetapi kalian sudah memukul ayahnya sampai tewas. Dan kalian masih belum puas. Kalian membujuk aku untuk membantu Thian Kek Seng-jin mengalahkan Suma Ciang Bun pendekar keluarga Pulau Es, kemudian Ok Cin Cu bahkan memaksa aku melayaninyaselama satu malam, dan berjanji akan membebaskan Yo Jin. Aku telah memenuhi permintaan kalian, melakukan hal itu semua. Akan tetapi kalian melanggar janji, bukan membebaskan Yo Jin, bahkan menjebak dan hendak menangkap aku. Ji-wi totiang, sebagai pendeta, tosu dan tokoh-tokoh kang-ouw, apakah kalian tidak malu atas perbuatan kalian itu? Maka malam ini aku datang untuk minta dengan baik-baik agar Yo Jin dibebaskan, dan akupun tidak akan memperpanjang urusan ini.”

Dua orann tosu itu tertawa bergelak dan para penjaga juga ikut pula tertawa. Riuh rendah suara ketawa mereka dan barulah kebisingan itu berhenti setelah Thian Kek Seng-jin bicara. “Bi-kwi siluman jahat! Engkau adalah pecundang kami, masih berani datang untuk mengajukan tuntutan? Apakah karena engkau membawa dua orang temanmu ini? Kami tidak takut dan kalian bertiga tentu takkan dapat lolos dari pengepungan kami!”

Lega rasa hati Siu Kwi karena ia sudah membeberkan semua persoalan dalam tuntutannya tadi dan iapun menoleh kepada Bi Lan dan Sim Houw, “Sumoi dan Sim-taihiap, kurasa sudah cukup aku bicara.”

Sim Houw melangkah maju menghadapi dua orang tosu itu. “Ji-wi totiang.” Katanya halus. “benarkah apa yang dikatakan oleh nona Ciong tadi, bahwa orang she Yo itu kalian tahan tanpa bersalah, dan kalian telah mengingkari janji terhadap nona Ciong?”

“Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami!” bentak Ok Cin Cu marah.

“Kalau benar, engkau mau apa?” Thian Kek Seng-jin juga membentak.

“Sim-toako, jelas bahwa suci yang benar. Dua orang tosu bau ini memang jahat sekali!” Bi Lan berseru marah.

“Kepung, tangkap atau bunuh mereka bertiga ini!” bentak Thian Kek Seng-jin memberi aba-aba kepada para penjaga yang memang sudah mengepung tempat itu.

“Kalau benar ji-wi adalah Thian Kek Seng-jin ketua cabang Pek-lian-kauw dan Ok Cin Cu ketua cabang Pat-kwa-kauw, maka perbuatan ji-wi ini sungguh patut disesalkan dan amat tercela!” kata pula Sim Houw yang nampak tenang saja walaupun para penjaga sudah bergerak mengepung dengan sikap mengancam.

“Bocah sombong! Kepung dan tangkap, biarkan nona manis yang baru datang ini pinto sendiri yang menangkapnya!” bentak Ok Cin Cu.

“Nanti dulu!” Thian Kek Seng-jin memberi komando kepada anak buahnya. “Pinto merasa penasaran melihat kesombongan bocah ini. Orang muda, siapakah engkau? Pinto tidak ingin membunuh orang yang tanpa nama.”

Sebelum Sim Houw menjawab, Siu Kwi sudah mendahului. “Dia adalah pendekar Sim Houw, Pendekar Suling Naga! Dan ini adalah sumoiku Can Bi Lan!”

Mendengar disebutnya Pendekar Suling Naga, dua orang tosu itu saling pandang. Mereka pernah mendengar akan munculnya seorang pendekar baru yang lihai. Akan tetapi mereka tidak merasa takut dan sambil berteriak nyaring, Thian Kek Seng-jin sudah menggerakkan tongkat naga hitamnya menyerang ke arah Sim Houw, sedangkan Ok Cin Cu yang memandang rendah Bi Lan yang diperkenalkan sebagai sumoi dari Siu Kwi, sudah menubruk dengan tongkat ular naga menotok jalan darah di pundak Bi Lan, sedang tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Serangan ini amat kurang ajar sifatnya sehingga dengan marah Bi Lan lalu mengelak sambil mencabut pedangnya.

Bersambung ke buku 11