Jodoh Rajawali -20 | Kho Ping Hoo



Buku 20

“Syanti Dewi....!” Dia terhuyung, hampir jatuh, akan tetapi bangun lagi dan terus berlari sambil terhuyung-huyung.

“Dewi.... kauampunkan aku, Dewi....!”
Tek Hoat terus memasuki hutan yang lebat itu, berlari sambil mengeluh dan bersambat, menyebut-nyebut nama Syanti Dewi seperti orang gila. Pemuda ini setelah ditolong oleh Panglima Jayin dan pasukannya, dibawa kembali ke dalam istana. Akan tetapi baru dua hari dia dirawat, begitu siuman dia sudah meloloskan diri lagi, malam-malam dia melarikan diri meninggalkan istana untuk mengejar dan mencari Syanti Dewi.

Akhirnya, kegelapan malam membuat dia roboh tersungkur menabrak batang pohon dalam hutan yang gelap itu. Dia merangkak bangun, lalu duduk dan menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya yang terasa pening berdenyut-denyut. Dia belum sembuh benar, tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya masih pening.

“Syanti.... kalau engkau tidak mau mengampunkan aku, lebih baik kaubunuh saja aku....“ keluhnya.
Pikirannya melayang-layang ke masa lampau ketika dia merasa betapa sengsaranya rasa hatinya, ditinggalkan oleh Syanti Dewi yang marah kepadanya. Syanti Dewi tentu benci kepadanya! Ah, semua ini tentu merupakan hukuman baginya, hukuman atas semua penyelewengannya, atas semua kejahatan yang pernah dilakukannya di masa lampau.

Terbayang kembali semua perbuatannya, yang baru sekarang nampak olehnya betapa kejam, jahat dan terkutuknya. Dia telah melakukan pembunuhan-pembunuhan, perjinaan-perjinaan, perbuatan yang kejam dan jahat sekali di masa lampau (baca Kisah Sepasang Rajawali). Kalau dia membayangkan semua perbuatannya itu, di waktu dia masih muda remaja, maka amatlah tidak patut kalau dia kini dicinta seorang wanita seperti Syanti Dewi! Hal ini merupakan kenyataan yang luar biasa, terlampau baik baginya. Syanti Dewi adalah seorang puteri raja yang demikian cantik jelita, demikian berbudi dan mulia. Sedangkan dia? Hanya seorang bekas penjahat yang terkutuk! Dan dia masih tidak menerima kebahagiaan ini. Dia menghancurkan sendiri kebahagiaan yang tidak patut dimilikinya itu. Dia bahkan berani memaki, berani menghina sang puteri yang demikian mulia, yang terlalu mulia baginya. Menjadi pelayan puteri itu saja masih terlalu mulia baginya. Dia sebenarnya amat tidak berharga, bahkan untuk menggosok sepatu puteri itu saja dia masih terlalu kotor. Namun dia terangkat sebagai kekasih, sebagai calon suami puteri itu! Dan puteri itu mencintanya dengan suci. Puteri itu telah rela hidup sengsara demi untuk dia! Dan dia.... dia malah memaki dan menghina puteri itu! Dituduhnya berjina, padahal dialah sendiri tukang berjina di waktu remaja. Dituduhnya memberontak, padahal dialah yang pernah membantu pemberontak! Dituduhnya keji dan hina, padahal dialah yang jelas seorang manusia keji dan hina!

“Syanti....!” hatinya menjerit dan dia menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Kau layak mampus! Kau layak sengsara!” Dia berteriak-teriak dan menjambak rambutnya, lalu menghempas-hempaskan dirinya, membentur-benturkan kepalanya ke batang pohon itu sampai kulit dahinya luka-luka dan pecah-pecah berdarah dan akhirnya dia roboh pula tak sadarkan diri di bawah batang pohon itu. Malam itu sunyi sekali, sunyi dan gelap, dan tubuh Tek Hoat membujur di bawah pohon, pingsan.

Dia bermimpi. Dia terjerumus ke dalam lumpur. Betapapun dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, selalu tidak berhasil. Lumpur itu menyedot kedua kakinya, makin dia berusaha lolos, makin dalam dia tersedot sampai akhirnya tubuhnya tersedot sebatas pinggang. Dia meronta, kedua tangannya mencakar sana-sini dengan sia-sia. Kemudian muncul Dewi Kwan Im yang berwajah Syanti Dewi, dengan ringannya sang dewi melangkah di atas lumpur tanpa mengotorkan sepatunya yang bersih, lalu sang dewi mengulurkan tangan, hendak menariknya keluar dari dalam lumpur. Akan tetapi pada saat itu dia teringat akan hal yang tak pernah dilupakannya sama sekali itu, ialah ketika Syanti Dewi bercumbu dengan Mohinta, kemudian betapa Syanti Dewi telah berusaha membunuh Raja Bhutan, ayahnya sendiri. Teringat akan ini semua, tangan yang terulur kepadanya untuk menariknya keluar dari dalam lumpur itu malah diludahinya! Sang dewi menangis dan melarikan diri sambil terisak-isak. Tek Hoat yang ditinggalkan di dalam lumpur itu tersedot makin dalam. Lumpur mencapai lehernya, bahkan masih terus saja tubuhnya tersedot ke bawah, kini lumpur mencapai dagunya. Barulah dia, teringat kepada Syanti Dewi, betapa dia mencinta dara itu dan dengan napas terengah-engah seperti ikan dilempar ke darat, dia memanggil-manggil nama Syanti Dewi.

“Syanti Dewi....! Syanti Dewi....!”
Tek Hoat terbangun dengan napas terengah-engah. Dia membuka matanya dengan penuh kegelisahan dan menjadi semakin bingung ketika dia menemukan dirinya sendiri telah rebah di atas pembaringan dalam sebuah kamar yang indah, kamarnya di istana Bhutan! Dan terdengar suara yang tenang dan penuh perasaan iba.

“Tenanglah, Taihiap. Harap engkau suka menguatkan batinmu.”
Tek Hoat menoleh dan ternyata yang bicara itu adalah Panglima Jayin. Dia bangkit duduk dan memegang tangan panglima itu yang dijulurkan kepadanya. “Panglima apakah yang terjadi dengan Syanti Dewi?”

Panglima itu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan beliau, Taihiap.”

“Akan tetapi.... dia.... dia telah mati dan aku.... aku masih bertemu dengannya....“
Panglima Jayin itu tersenyum sedih dan mengira bahwa pemuda ini tentu mengigau. “Taihiap terlalu mendalam memikirkan beliau. Beliau belum meninggal dunia, dan atas perkenan sri baginda raja saya akan menceritakan semua kepadamu, Taihiap. Wanita yang kausangka sang puteri itu, yang datang bersama pengkhianat Mohinta, kemudian berusaha membunuh sri baginda dan akhirnya tewas, sebenarnya bukanlah Sang Puteri Syanti Dewi, melainkan seorang wanita lain yang memalsukan beliau. Sang Puteri Syanti Dewi adalah seorang wanita budiman dan mulia, tidak mungkin melakukan hal rendah seperti itu.”

Tek Hoat meloncat berdiri, wajahnya berseri biarpun masih amat pucat. “Ah, sudah kuduga demikian, hanya hati yang lemah ini, otak yang tolol ini masih saja meragukan kesuciannya! Aku harus pergi mencarinya!”

Panglima Jayin memegang lengannya dan dengan lembut menyuruh pemuda itu duduk kembali. “Ketika engkau menderita luka-luka parah dan rebah tak berdaya, kami tidak berani menceritakan tentang beliau kepadamu. Kemudian, kemarin kami tidak melihatmu di dalam kamar dan setelah kami mencari-cari, kami menemukan Taihiap rebah pingsan di dalam hutan, lalu kami bawa kembali ke sini. Agaknya Taihiap mengigau atau mimpi....“

Tidak, tidak....! Aku tidak mimpi, aku benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi. Ah, aku harus segera mencarinya sebelum dia pergi jauh!”
“Engkau masih lemah, Taihiap.”
“Tidak, biarkan aku menghadap sri baginda, mohon perkenannya. Akan kucari sang puteri sampai dapat!”
Raja Bhutan merasa girang melihat betapa Tek Hoat kelihatan sembuh dan dia pun tidak berkeberatan mendengar permohonan Tek Hoat.

“Memang hanya engkaulah yang kiranya akan mampu menemukan kembali anakku itu, Tek Hoat. Engkau carilah dia, bawa bekal secukupnya, kalau perlu bawa pasukan sebanyaknya, dan jangan kembali ke sini kalau belum bersama anakku.” Demikian antara lain Raja Bhutan berpesan kepada pemuda yang telah diakuinya sebagai panglima muda dan juga sebagai calon mantunya itu.

Demikianlah, untuk kedua kalinya Tek Hoat meninggalkan Bhutan. Akan tetapi sehali ini kepergiannya jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Sekali ini dia pergi dengan doa restu dari Raja Bhutan dan membawa perbekalan secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau membawa pasukan dan pergi seorang diri saja. Dia melakukan pengejaran dan mencari jejak Syanti Dewi yang diketahui penuh keyakinan telah datang menjenguknya, akan tetapi karena ketololannya kembali dia menyakitkan hati puteri itu, sungguhpun tidak seorang pun di Bhutan percaya bahwa sang puteri benar-benar telah pulang untuk waktu singkat sekali itu.

Penderitaan batin yang timbul akibat cinta asmara memang amatlah berat penanggungannya, karena orang akan merasa amat kesunyian, amat nelangsa, hidup seakan-akan kosong tidak ada artinya, lenyaplah semua gairah hidup, lenyap semua kegembiraan, yang terasa hanyalah kelesuan, lemah lunglai rasanya seluruh tubuh, tanpa semangat membuat orang malas dan tak acuh. Semua ini timbul karena perasaan iba diri yang amat mendalam.

Tek Hoat melakukan perjalanan seperti boneka hidup, seorang manusia yang kehilangan semangat dan kegembiraannya. Hanya ada satu saja yang masih membuat dia kuat mempertahankan semua itu, ialah semangat mencari Syanti Dewi sampai dapat! Dia melakukan perjalanan yang susah payah, tak pernah berhenti, hanya makan kalau perutnya sudah tidak kuat menahan lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tak dapat dibuka, dan hanya beristirahat kalau kedua kakinya sudah mogok jalan. Berhari-hari dia menjelajahi seluruh hutan di mana dia mengejar Syanti Dewi, kemudian dia melanjutkan perjalanan ke timur, karena dia merasa yakin bahwa kekasihnya itu tentu pergi ke timur. Ke mana lagi kalau tidak ke sana? Dan dia akan terus mencari, sampai ke ujung dunia sekali pun!

Tanpa diketahuinya, Tek Hoat menuju ke arah tempat di mana Su-ok dan anak buahnya, yaitu para orang cebol itu, berkumpul dan menimbulkan kekacauan di dusun. Pagi itu dia berjalan seenaknya memasuki daerah itu, tidak tahu bahwa gerak-geriknya sudah diintai oleh banyak mata, karena dianggap sebagai hasil pancingan orang-orang pendek yang mempergunakan Yan Hui sebagai umpan! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ouw Yan Hui yang lihai itu dikeroyok oleh anak buah Su-ok dan akhirnya tertawan, dibelenggu di belakang kuil sebagai umpan karena Su-ok merasa yakin bahwa wanita lihai itu pasti datang bersama teman-temannya. Dan pagi hari itu, muncul seorang pemuda yang dari jauh saja sudah dikenal oleh Su-ok! Seperti diketahui, Tek Hoat pernah membantu para pendekar ketika terjadi pertandingan di dalam benteng para pemberontak, dan Su-ok mengenal pemuda ini sebagai Si Jari Maut! Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan terhitung musuh karena bukankah kemudian ternyata bahwa pemuda ini membantu fihak pendekar yang ikut menyerbu benteng? Maka diam-diam Su-ok sudah mempersiapkan lima orang sutenya yang lihai itu, mengikuti gerak-gerik Tek Hoat. Dan tepat seperti yang dia duga, pemuda itu menuju ke kuil, tentu saja untuk menolong wanita tawanan mereka itu! Padahal, Tek Hoat sendiri tidak pernah menduga bahwa di belakang kuil itu ada seorang wanita tertawan, dan kalau dia menuju ke kuil itu adalah karena kakinya telah merasa lelah dan dia hendak beristirahat di dalam kuil itu. Dan karena pikirannya banyak termenung, kewaspadaannya banyak berkurang dan dia tidak tahu bahwa ada beberapa orang mengintai gerak-geriknya.

Maka terkejutlah Tek Hoat ketika tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon, semak-semak dan batu-batu berlompatan keluar lima orang cebol yang dengan buasnya serta-merta menerjang dan menyerangnya tanpa banyak cakap lagi!

“Eh, eh, eh, mau apa kalian ini?” bentaknya sambil mengelak ke kanan kiri.
“Ha-ha-ha, Si Jari Maut, kenapa kelihatan gugup? Hayo kaucoba pecahkan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, ha-ha-ha!”

Mendengar suara orang itu dari atas, Tek Hoat menengok dan segera dia mengenal Su-ok Siauw-siang-cu, orang ke empat dari Ngo-ok yang lihai. Terkejutlah dia dan tahulah dia bahwa dia telah bertemu orang jahat, musuh yang tak mungkin dapat diajak bicara lagi. Maka dia pun lalu mencurahkan perhatiannya untuk membela diri. Kini, dia melihat betapa lima orang cebol itu mengurungnya, melangkah lambat-lambat mengitarinya, wajah mereka yang lucu-lucu dan aneh-aneh itu kelihatan menyeramkan, mata mereka terbelalak dan seperti mata binatang haus darah. Agaknya gerakan mereka itu dipimpin oleh kakek cebol yang brewok, karena empat yang lain selalu melirik ke arah si brewok ini. Maka Tek Hoat yang berdiri tegak di tengah-tengah lingkaran itu juga memperhatikan cebol brewok itu. Dan dugaannya itu memang tepat. Si brewok ini memang merupakan pimpinan dari Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, yaitu barisan lima orang yang amat lihai dan yang kemarin telah merobohkan Ouw Yan Hui itu.

Tiba-tiba, seperti merupakan aba-aba, si brewok itu mengeluarkan bentakan yang parau seperti suara singa kelaparan dan tubuhnya yang pendek itu sudah bergerak. Serangan si brewok cebol itu amat dahsyat, tubuhnya melayang ke atas dan kedua tangannya mencengkeram ke arah mata dan leher Tek Hoat. Namun, dengan tenang Tek Hoat sudah memutar tubuhnya mengelak dan tangannya sudah siap untuk merobohkan lawan ini dengan pukulan dari bawah. Akan tetapi, pada saat itu, dari empat penjuru, empat orang cebol lainnya telah menyerbu dengan gerakan berbareng, dan terpaksa Tek Hoat harus menghadapi mereka semua itu dengan mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak karena masing-masing lawan yang bertubuh kecil pendek itu ternyata melakukan serangan yang cukup ampuh dan berbahaya.

Tubuh Tek Hoat masih belum sembuh betul dari kelemahan yang menyerangnya selama berbulan-bulan, dan selama itu, dia tidak pernah berlatih silat sehingga otot-ototnya kaku. Akan tetapi, begitu menghadapi bahaya, secara otomatis semua syaraf dan otot tubuhnya bekerja dan mulailah dia menggerakkan tubuhnya dengan penuh tenaga sinkang dan kini dia mulai membalas dengan tamparan, pukulan maupun tendangan. Dan setiap tamparannya yang ditangkis lawan tentu membuat lawan itu terdorong, bahkan angin pukulannya yang kuat membuat beberapa orang cebol mengeluarkan teriakan kaget. Tak mereka sangka bahwa lawan ini ternyata lebih lihai daripada wanita cantik itu!

Tek Hoat sama sekali tidak memandang rendah lawan, sungguhpun lima orang cebol yang mengeroyoknya itu seolah-olah hanya merupakan lima orang anak kecil yang nakal. Dengan hadirnya Su-ok di situ, dia dapat menduga bahwa tentu lima orang cebol ini pun berkepandaian tinggi. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan seluruh kepandaian untuk menghadapi lima orang pengeroyok ini. Melihat betapa lima orang itu setiap kali menyerang tentu mengarah nyawanya, Tek Hoat menjadi marah dan dia pun mengerahkan ilmunya yang ampuh, yaitu Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa), ilmu pukulan dengan jari yang membuat dia dikenal gebagai Si Jari Maut. Jari-jari tangan ini bukan hanya menotok jalan darah, akan tetapi sekali mengenai lawan akan langsung mencabut nyawa lawan. Jari-jari itu dapat memutus otot dan tulang, merusak jalan darah, bahkan dapat menusuk kepala!

Perkelahian yang terjadi ini amat hebat. Gerakan Tek Hoat, tidak begitu cepat karena dia yang cerdik, maklum bahwa tidak mungkin dia dapat mengandalkan kecepatan melawan lima orang yang memiliki gerakan teratur dan kerja sama yang amat baik seolah-olah dikemudikan oleh satu kepala saja itu. Dia bersilat dengan tenang, lambat namun gerakannya kuat sekali dan setiap bagian tubuhnya selalu terjaga dan terlindung. Lima orang itu pun mengeluarkan semua kepandaian mereka. Gerakan mereka teratur dan saling membantu, saling melindungi, dengan serangan-serangan yang bertubi dan bergiliran secara teratur sekali, dan serangan mereka itu berubah-ubah dengan tenaga yang berubah-ubah pula sesuai dengan sifat Ngo-heng. Namun, Tek Hoat yang bersikap tenang itu tidak menjadi gugup. Dia bersilat dengan ilmu silat gabungan Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, dan dia selalu mengerahkan tenaga Inti Bumi yang amat hebat sehingga setiap kali beradu lengan dengan seorang lawan, tentu lawan itu terpelanting. Namun begitu terpelanting, empat orang saudaranya telah melindunginya secara otomatis!

Seratus jurus telah lewat dan barisan Ngo-heng-tin itu belum mampu merobohkan Tek Hoat. Kalau tadinya Tek Hoat masih bersilat dengan lambat berhubungan dengan kekuatannya yang belum pulih, kini nampak dia mulai bersemangat, gerakan-gerakannya lebih dahsyat. Hal ini adalah karena Tek Hoat mulai “hidup” lagi semangatnya bertanding. Mengingat bahwa Su-ok merupakan seorang di antara mereka yang berusaha menawan Syanti Dewi dan mengganti kekasihnya itu dengan wanita palsu, semangatnya bangkit dan kemarahannya meluap. “Bagus, kalian semua sudah bosan hidup agaknya!” dia membentak dan kini dari kedua tangan dengan jari-jari terbuka itu keluar hawa yang mengeluarkan suara bercuitan mengerikan!

Begitu dia memutar tubuh dan kedua lengannya dikembangkan, lima orang lawan itu terkejut, ada yang meloncat mundur, akan tetapi dua di antara mereka memberanikan hati menangkis. “Dukkk! Dukkkkk!” Dua orang itu terpelanting dan mereka berloncatan bangun dengan muka pucat. Lengan mereka terluka, kulitnya robek berdarah! Memang luka-luka itu tidak berat, akan tetapi setidaknya membuat mereka terkejut dan jerih sekali terhadap pemuda yang amat lihai ini. Melihat itu, Su-ok marah bukan main.

“Sute semua jangan takut, biar aku membantu kalian merobohkan bocah sombong ini!”

Tubuh yang pendek kecil itu menyambar turun langsung saja menerkam Tek Hoat dengan dahsyatnya. Namun Tek Hoat sudah siap siaga, dengan cepat dia meloncat mundur, kemudian mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh Su-ok. Lima orang cebol menjadi besar hati dan timbul kembali keberanian mereka ketika mereka melihat suheng mereka ikut maju mengeroyok, dan mereka kini menyerang dan menghujani Tek Hoat dengan pukulan-pukulan yang dibantu pula oleh berbagai macam senjata!

Tek Hoat mengamuk terus. Akan tetapi kini dia menghadapi lawan yang amat berat. Su-ok Siauw-siang-cu adalah seorang datuk kaum sesat yang sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sukar dicari bandingannya. Melawan kakek cebol ini sendirian saja masih amat sukar bagi Tek Hoat untuk menang, apalagi kini Su-ok dibantu oleh lima orang sutenya, dan dia sendiri baru saja sembuh dari sakit sehingga betapapun juga, dia belum dapat menguasai kembali seluruh kelincahan dan tenaganya. Betapapun juga, Tek Hoat tidak merasa gentar dan dia terus mengamuk, biarpun kini dia harus lebih banyak berloncatan dan mengerahkan dan untuk menangkis. Dia tidak mempunyai banyak kesempatan lagi untuk membalas serangan.

Tiba-tiba Su-ok meloncat ke depan, tubuhnya berjongkok rendah, kedua tangannya digerak-gerakkan secara aneh dan lima orang sutenya meloncat Ke kanan kiri menjauh! Tiba-tiba Su-ok mendorongkan kedua tangannya ke arah Tek Hoat dan terdengar dari perutnya keluar bunyi berkokok beberapa kali. Angin dahsyat menyambar dibarengi bau yang amis ke arah Tek Hoat. Pemuda ini terkejut bukan main, mengenal ilmu pukulan yang dahsyat dan amat berbahaya, maka dia sudah meloncat jauh ke kanan di mana dia disambut dan dikurung oleh lima orang kakek cebol lairinya. Su-ok mengeluarkan pukulan Katak Buduk ini sebagai selingan dan selalu Tek Hoat meloncat jauh, tidak berani menghadapi pukulan ini dengan langsung, tidak berani menangkis, karena dari sambaran anginnya saja dia tahu bahwa pukulan itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Dia sendiri pun sudah memiliki tenaga ampuh, dan pukulan-pukulan beracun setelah dia mempelajari kitab-kitab peninggalan para tokoh Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Akan tetapi karena dia kalah tingkat dan kalah latihan, maka dia tahu bahwa menghadapi pukulan itu secara langsung amatlah berbahaya. Maka, dia lalu mengamuk dan makin mendesak lima orang sute dari Su-ok itu saja, dan begitu Su-ok datang menyerangnya, dia meloncat menjauhkan diri.

Sementara itu, setelah melihat bahwa penjaganya, Su-ok yang mengerikan itu, telah pergi dan agaknya ada suara perkelahian di sebelah depan kuil, Ouw Yan Hui berusaha untuk melepaskan belenggu kedua tangannya, Namun usahanya itu tidak berhasil. Belenggu dari rantai besi yang kokoh itu terlampau kuat baginya sehingga dia tidak berhasil mematahkannya, bahkan kedua pergelangan tangannya lecet-lecet dan terasa nyeri sekali. Hatinya mulai khawatir. Dia tidak tahu siapa yang datang dan bertanding dengan para orang cebol itu. Melihat betapa sampai lama orang itu dapat mempertahankan diri, jelas bahwa yang datang adalah orang yang pandai. Betapa inginnya untuk dapat bebas dan membantu orang itu, siapapun juga orangnya, untuk menghajar orang-orang cebol yang kurang ajar itu.

“Hui-ci...., sssttttt....!”
Yan Hui terkejut, menoleh dan wajahnya berseri melihat munculnya orang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya akan muncul di tempat itu. Kiranya yang muncul adalah Syanti Dewi!

“Syanti! Cepat.... belengguku ini....” bisiknya kembali.
Syanti Dewi meloncat ke belakang pilar, menggunakan pedangnya untuk mematahkan belenggu yang mengikat kedua tangan Ouw Yan Hui. Setelah bebas, Ouw Yan Hui menggosok-gosok kedua pergelangan tangannya, memandang kepada Syanti Dewi dengan muka merah.

“Syanti.... ah, ternyata engkau malah yang rnenolongku! Mari kita bantu orang itu!” Tanpa menanti jawaban lagi, tubuh Yan Hui mencelat keluar kuil, diikuti oleh Syanti Dewi. Seperti telah kita ketahui, dalam perjalanannya, Syanti Dewi melihat penduduk dusun diganggu sekumpulan orang cebol yang sakti menurut penuturan para perajurit Bhutan yang mengenalnya. Dia menyuruh para perajurit minta bantuan ke Kota Raja, Bhutan, sedangkan dia sendiri lalu melakukan penyelidikan pada pagi hari itu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia tiba di kuil itu dari belakang, dia melihat Ouw Yan Hui terbelenggu pada pilar besar, sedangkan di bagian depan kuil itu terjadi perkelahian yang belum dia ketahui siapa orangnya. Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menolong gurunya, kemudian mengikuti Ouw Yan Hui ketika gurunya itu meloncat keluar kuil untuk membantu orang menghadapi para orang cebol yang sakti.

Ketika dua orang wanita cantik ini tiba di depan kuil, pertempuran antara Tek Hoat yang dikeroyok enam masih berlangsung seru, biarpun kini Tek Hoat hanya mengelak dan menangkis saja, sama sekali tidak mampu lagi membalas serangan. Pemuda itu sungguh hebat, masih dapat mempertahankan diri dan belum dapat dirobohkan.

“Manusia-manusia cebol terkutuk!” tiba-tiba Ouw Yan Hui membentak nyaring dan tubuhnya melesat ke depan, terjun ke dalam medan pertempuran. Semua orang cebol kaget, terutama sekali si brewok yang langsung menerima serangan Ouw Yan Hui. Datangnya serangan demikian tiba-tiba dan pada saat itu, tubuhnya masih terhuyung oleh tangkisan Tek Hoat. Maka tanpa dapat dicegah lagi, tendangan Ouw Yan tepat mengenai lambungnya. Si brewok berteriak dan tubuhnya terlempar, perutnya mendadak menjadi mulas dan dia mengaduh-aduh.

Su-ok adalah seorang yang cerdik, juga licik. Dia tahu bahwa Tek Hoat Si Jari Maut amat berbahaya, bahkan setelah dibantu oleh lima orang sutenya, sampai ratusan jurus dia dan para sutenya belum mampu mengalahkan pemuda ini. Dan sekarang muncul wanita yang memiliki ginkang amat luar biasa itu. Munculnya wanita yang terbelenggu itu membuktikan bahwa tentu ada orang sakti lain yang membebaskannya, maka tentu akan muncul orang-orang sakti lain. Keadaan menjadi berbahaya dan tidak menguntungkan bagi fihaknya, maka dia lalu mengeluarkan teriakan sebagai isyarat dan cepat dia meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para sutenya, si brewok paling belakang karena dia harus berlari sambil memegangi perutnya yang masih mulas!

Tek Hoat berdiri dengan kepala terasa pening, berdenyut-denyut. Dia baru saja sembuh, akan tetapi tadi dia telah terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga kepalanya kini menjadi pening, dan dia tidak mengejar mereka yang melarikan diri. Dia tahu bahwa dia telah dibantu orang pandai, maka biarpun, pandang matanya menjadi agak kabur karena kepeningan kepalanya, dia menengok dan memandang orang yang telah membantunya sehingga musuh melarikan diri. Dia melihat seorang wanita cantik jelita dan seorang wanita lain agak jauh di belakangnya.

“Dewi....! Ah, Syanti Dewi....!” Dia berseru dan seperti orang mabuk dia terhuyung ke depan, menghampiri Syanti Dewi yang sejak tadi berdiri bengong ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang bertanding dikeroyok banyak orang cebol dan dibantu oleh gurunya itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

“Ahhh, engkau....!” Dia terisak lalu sekali meloncat dia telah melarikan diri.
“Syanti....! Syanti Dewi....! Jangan tinggalkan aku....!” Tek Hoat meloncat dan mengejar akan tetapi kepalanya terasa makin pening dan dia tersandung, jatuh terguling.

“Syanti, tunggu dulu!” Ouw Yan Hui yang menyaksikan semua itu menjadi bingung, akan tetapi dia lalu mengejar Syanti Dewi. Syanti Dewi tidak mau berhenti sehingga Ouw Yan Hui terpaksa terus mengejar sambil mengerahkan tenaganya karena muridnya itu telah memiliki ilmu berlari cepat yang hebat dan tidak jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri. Suara panggilan dari mulut Tek Hoat sudah tidak terdengar lagi ketika akhirnya dia berhasil menyusul Syanti Dewi.

“Syanti, tunggulah aku ingin bicara denganmu!” kata Ouw Yan Hui. Syanti Dewi akhirnya berhenti dan mengusap beberapa butir air matanya.

Sejenak Ouw Yan Hui berdiri tertegun di depan muridnya itu. Dia adalah seorang wanita yang sudah banyak pengalaman, dan dia pernah mendengar penuturan Puteri Bhutan ini tentang riwayatnya.

“Syanti, apakah dia itu tadi yang bernama Ang Tek Hoat itu?”
Syanti Dewi masih menunduk, dan dia hanya mengangguk.

“Aih, Syanti, bagaimana engkau ini? Bukankah engkau dahulu mencari-carinya? Bukankah engkau menderita karena perpisahanmu dengan dia? Sekarang, setelah bertemu, mengapa engkau malah menjauhkan dirimu darinya?” Diam-diam Ouw Yan Hui harus mengakui bahwa pria yang dicinta oleh muridnya itu adalah seorang pemuda yang tampan dan memiliki kepandaian tinggi, seorang yang patut menjadi jodoh puteri yang cantik jelita ini.

Akan tetapi Syanti Dewi hanya menangis. Syanti Dewi teringat akan nasibnya yang dianggapnya amat buruk. Harapannya yang mulai timbul kembali hancur berantakan. Kehidupannya yang penuh damai di Pulau Ular di sisi gurunya ini dihancurkan oleh kenyataan keji, oleh kebiasaan gurunya yang menjijikkan dan membuatnya lari ketakutan. Kemudian, pertemuannya dengan Tek Hoat yang menghidupkan kembali harapan dan cinta kasihnya, dihancurkan oleh kenyataan ketika Tek Hoat memakinya. Kini dia tidak tahu lagi ke mana harus pergi, dan apa yang harus diperbuat!

Melihat ini, Ouw Yan Hui merasa kasihan kepada Syanti Dewi dan dengan lembut tangannya menyentuh pundak Syanti Dewi. Akan tetapi, begitu pundak itu tersentuh, puteri itu tersentak kaget dan meloncat ke belakang, mengelak dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak, mata yang amat indah, akan tetapi kini terbuka lebar seperti mata seekor kelinci yang ketakutan.

“Tidak....! Tidak.... jangan sentuh aku....!”
Melihat sikap muridnya ini, Ouw Yan Hui memandang dengan muka pucat, kemudian dia menjatuhkan diri di atas rumput, menutupi mukanya dan menarik napas panjang berkali-kali. “Ahhh, sekarang aku mengerti mengapa engkau melarikan diri dari pulau.... maafkan aku, Syanti, bukan maksudku untuk membuat engkau terkejut dan ketakutan. Maafkan aku.... wanita yang kesepian dan sengsara ini....“ Dan Ouw Yan Hui, wanita yang angkuh dan bersikap dingin itu kini menangis tersedu-sedu!

Syanti Dewi tertegun. Sejenak dia berdiri seperti patung memandang kepada gurunya, kemudian timbul rasa iba di hatinya. Betapapun juga, dia telah berhutang banyak budi kepada gurunya ini, dan harus diakuinya bahwa gurunya ini merupakan sahabat yang amat baik, yang telah banyak melakukan kebaikan kepadanya, banyak menghiburnya, banyak pula mendidiknya, bahkan telah menyelamatkan nyawanya ketika Ouw Yan Hui membawanya lari dari dalam benteng yang terbakar. Akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut di samping gurunya dan memegang lengan gurunya. “Enci.... akulah yang harus minta maaf, telah pergi tanpa pamit.”

Ouw Yan Hui menurunkan kedua tangannya dan memandang melalui air matanya yang memenuhi kelopak matanya, dan dia mencoba untuk tersenyum, senyum pahit sekali. “Tidak, Syanti, engkau tidak bersalah. Tentu engkau jijik dan ngeri menyaksikan apa yang kulakukan itu bersama bibi Maya Dewi....“ Dia menarik napas panjang dan mengusap air matanya.

“Tapi.... kenapa engkau lakukan perbuatan seperti itu, Enci Hui?”
“Ahhh, engkau tentu tidak mengerti, Syanti. Aku adalah wanita yang telah mengalami kehancuran hati karena pria, maka, anehkah kalau aku mencari hiburan antara sesama wanita? Memang aku lemah.... ah, akan tetapi.... sungguh mati aku tidak ingin menyeretmu ke dalam kebiasaan buruk itu. Aku sayang kepadamu, Syanti, seperti kepada adik sendiri. Aku merasa terkejut dan berduka sekali ketika engkau pergi, aku mencari-carimu untuk minta maaf. Dan siapa duga, engkau malah yang tadi telah menyelamatkan aku....”

“Tidak ada artinya, Enci. Engkau pun pernah menyelamatkan aku, bahkan telah melimpahkan banyak sekali kebaikan.”

“Syanti, kalau eengkau memang mencinta pemuda itu, yang kulihat amat baik dan gagah perkasa, mengapa engkau lari meninggalkannya? Kulihat dia masih amat mencintamu, bahkan agaknya menderita karenamu....”

“Tidak! Dia keji, dia menyakitkan hati, biar dia menderita sekarang!” Tiba-tiba Syanti Dewi mengepal tinju dan wajahnya membayangkan kemarahan, biarpun kembali air matanya mengalir keluar. Kemudian dia pun menceritakan semua yang telah dialaminya dengan Tek Hoat, betapa dia dituduh yang bukan-bukan oleh Tek Hoat setelah segala pengorbanan yang dilakukannya demi cintanya kepada pemuda itu. Ouw Yan Hui mendengarkan dengan penuh perhatian dan akhirnya dia pun mengangguk-angguk.

“Ah, pantas engkau merasa sakit hati. Memang sesungguhnya prialah mahluk berhati lemah, bukan wanita! Pria yang suka menyeleweng, yang tidak mempunyai keteguhan hati, tidak mempunyai kesetiaan, mudah tergoda oleh kesenangan! Memang sepatutnya kalau engkau memberi pelajaran kepadanya, Syanti. Mari engkau ikut saja bersamaku ke pulau, bersembunyi di sana dan kita hidup bahagia di sana, jauh dari godaan kaum pria yang mata keranjang dan berhati palsu.”

“Terima kasih, Enci. Memang aku senang sekali tinggal di sana, hanya....“

“Harap kau jangan ulangi lagi hal itu. Kasihanilah aku, Syanti. Aku merasa malu dan menyesal sekali telah membuatmu ketakutan. Aku berjanji bahwa engkau tidak akan melihat lagi hal seperti itu terjadi di pulau....“

“Akan tetapi.... bibi Maya....“
“Jangan khawatir, dia telah pergi dan tidak akan pernah datang lagi ke pulau.”
Syanti Dewi merasa girang dan hatinya terasa lapang. “Aku girang sekali, Enci, akan tetapi aku hanya.... mengganggu kesenanganmu saja....“

“Tidak, kesenangan terkutuk itu memang harus dihentikan. Andaikata aku menghendaki, aku masih dapat melakukannya di luar pulau, di luar pengetahuanmu. Sudahlah, Syanti Dewi, mari kita pergi menikmati hidup berdua di sana.”

“Terima kasih, Enci. Aku pun berjanji tidak akan meninggalkan pulau lagi sampai datang.... dia yang minta-minta ampun kepadaku.”

“Aku mengerti, dan aku akan membantumu, adikku yang manis.”
Maka pergilah kedua orang wanita itu dengan perjalanan cepat sekali, menuju ke Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) dan karena memang ada rasa sayang di antara keduanya, sebentar saja mereka telah akur dan akrab kembali. Di sepanjang perjalanan, semua orang, terutama yang pria, tentu memandang mereka dengan sinar mata penuh kagum karena mereka merupakan dua orang wanita yang luar biasa cantiknya, dengan pakaian yang mewah pula dan Ouw Yan Hui amat royal mengeluarkan uang di sepanjang perjalanan. Seperti dua orang puteri istana saja yang sedang melakukan tamasya tanpa pengawalan!

Sejauh mata memandang yang nampak hanya pasir dan pasir. Itulah permulaan gurun pasir di luar Tembok Besar. Jarang ada manusia lewat di tempat yang sunyi dan liar ini, kecuali pada waktu-waktu tertentu, di musim tenang karena hanya kalau tidak banyak angin bertiup dan panas matahari tidak begitu menyengat saja maka tempat ini sering dilalui rombongan pedagang yang membawa barang-barang dagangan ke utara, dan pulangnya membawa kulit-kulit binatang yang berharga dan hasil-hasil lain untuk dibawa pulang ke selatan. Hanya keledai-keledai saja yang kuat menyeberangkan manusia melalui padang pasir, kecuali tentu saja binatang onta. Di musim yang banyak mengandung angin besar, bahkan kadang-kadang angin puyuh, tidak ada orang berani lewat di daerah ini. Padang pasir itu berubah menjadi lautan pasir, bergelombang, membuat orang tak mampu membuka mata, dan kalau angin besar menyerang, terjadilah “banjir” pasir yang kadang-kadang menimbun apa saja sampai puluhan kaki tingginya!

Akan tetapi di dataran Chang-pai-san, pasirnya tidak begitu tebal, bahkan di sana-sini. nampak batu-batu menonjol keluar dan ada pula tanah yang berpadas. Daerah ini pun sunyi sekali, akan tetapi pada pagi hari itu nampak dua orang berjalan menyeberangi padang pasir menuju ke Bukit Chang-pai-san yang nampak menjulang tinggi di depan. Melihat ada dua orang berada di tempat sunyi ini saja sudah merupakan suatu kejanggalan, apalagi kalau melihat mereka, karena mereka itu sama sekali bukan orang-orang yang pantas melakukan perjalanan jauh sampai ke daerah tandus dan sunyi liar ini. Yang seorang adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, sukar ditaksir berapa usianya, tubuhnya bongkok sekali biarpun agak gemuk, jalannya lambat-lambat malas-malasan dan kepalanya botak sampai licin mengkilap. Sudah tua renta, punggungnya bongkok pula, masih ditambah lengan kirinya buntung! Sungguh merupakan gambaran seorang tua yang patut dikasihani, yang kelihatan cacat dan lemah, maka amatlah mengherankan melihat seorang tua renta cacat ini melakukan perjalanan di tempat seliar itu. Dan temannya? Juga tidak patut menemani seorang tua renta lemah seperti itu karena orang ke dua ini adalah seorang dara yang masih amat muda, cantik jelita dan pakaiannya yang serba hitam itu membuat kulit leher dan tangannya yang nampak menjadi semakin halus dan putih.

Memang merupakan pasangan yang aneh dan juga janggal karena mereka berdua adalah orang-orang lemah nampaknya. Akan tetapi kalau orang mengenal siapa adanya mereka, tentu orang tidak akan merasa heran lagi. Kakek tua renta yang lengan kirinya buntung dan punggungnya bongkok itu bukan lain adalah Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok, penghuni atau majikan dari Istana Gurun Pasir! Seorang datuk besar dalam dunia persilatan dan namanya dihubungkan dengan dongeng-dongeng aneh karena kakek ini lebih dikenal dalam dongeng daripada dalam kenyataan yang jarang dijumpai manusia. Sedangkan dara remaja itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat terkenal, baik oleh golongan pendekar maupun golongan hitam. Dia adalah Kim Hwee Li, yang pernah dikenal sebagai puteri Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau Neraka! Nama dara ini bahkan tidak kalah tenarnya dibandingkan nama Hek-tiauw Lo-mo sendiri.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan gagah berani Hwee Li telah menolong Dewa Bongkok dari bahaya maut ketika kakek yang telah menderita luka parah itu nyaris dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li. Hwee Li sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek yang ditolongnya dan yang kemudian menurunkan ilmu-ilmunya yang aneh kepadanya itu sebenarnya adalah kakek gurunya sendiri. Kakek ini adalah guru dari Kao Kok Cu, suami dari subonya! Memang selamanya, biarpun pernah datang ke Istana Gurun Pasir, Hwee Li belum pernah bertemu dengan kakek sakti ini. Setelah menolong kakek itu, Hwee Li lalu diajak ke dataran Chang-pai-san oleh Dewa Bongkok yang ingin menyaksikan pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan kelima Ngo-ok yang lihai, juga kakek ini ingin bicara dengan Pendekar Super Sakti tentang putera pendekar itu yang telah menyusahkan hati Hwee Li! Di sepanjang perjalanan itu, Hwee Li menerima ilmu-ilmu yang amat hebat, ilmu baru ciptaan kakek itu yang diberi nama Cui-beng Pat-ciang oleh kakek itu. Sebutan Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Arwah) ini dipergunakan oleh Dewa Bongkok bukan untuk memberi kesan menyeramkan seperti yang biasa dilakukan oleh tokoh-tokoh dunia hitam, melainkan untuk memperingatkan muridnya bahwa delapan jurus pukulan sakti itu sungguh amat ampuh dan sekali dipergunakan, amat berbahaya bagi lawan yang bagaimana lihai pun sehingga agar muridnya yang baru ini tidak sembarangan mempergunakannya untuk memukul orang, melainkan lebih condong mempergunakan untuk menjaga diri.

Selain, menurunkan Pat-ciang ini, juga Bu Beng Lojin menyempurnakan ilmu-ilmu silat yang telah dikuasai dara itu dengan menyuruh Hwee Li berlatih silat dan memberi petunjuk-petunjuk dan perbaikan-perbaikan sehingga dalam ilmu-ilmu ini Hwee Li memperoleh kemajuan amat hebat, menutupi kelemahan-kelemahan dan menambah daya-daya serangan dalam setiap jurus. Dasar anak ini berotak tajam dan Si Dewa Bongkok memberi petunjuk secara langsung, maka dalam waktu beberapa bulan saja dalam perjalanan, Hwee Li telah menguasai semua petunjuk, bahkan telah menguasai pula Cui-beng Pat-ciang dengan baik, tinggal mematangkan saja dalam latihan.

Selain itu, yang amat mengharukan hati Hwee Li dan membuat dara ini amat menyayang kakek itu adalah ketika pada suatu malam, kakek tua renta ini memindahkan tenaga sinkang dari tubuhnya ke dalam tubuh Hwee Li! Hal ini tentu saja hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki kesaktian setingkat dengan kakek bongkok ini. Dewa Bongkok mempergunakan ilmu yang disebut Hoan-khi-khai-hiat (Memindahkan Hawa Sakti Membuka Jalan Darah). Tentu saja perbuatan ini amat merugikan dirinya sendiri, mengurangi banyak sekali tenaga saktinya, akan tetapi di lain fihak amat menguntungkan Hwee Li karena dara ini mendapat tambahan tenaga sakti yang berlipat ganda.

Pada pagi hari itu tibalah mereka di tempat yang dituju, yaitu di dataran Chang-pai-san. Dari jauh mereka sudah melihat seorang pria yang bertubuh kurus jangkung, rambutnya putih semua seperti perak, berkibar-kibar tertiup angin, kaki kirinya buntung sebatas paha, berdiri dengan satu kaki ditunjang tongkat bututnya, tak bergerak seperti patung. Biarpun kakek itu hanya berkaki satu dan menimbulkan belas kasihan, namun dalam keadaan berdiri tegak seperti patung itu, terdapat sesuatu yang membuat orang merasa jerih dan kagum. Melihat orang itu dari jauh, Hwee Li merasa bulu tengkuknya meremang dan dia bertanya kepada Dewa Bongkok dalam bisikan, “Locianpwe....” dia tidak menyebut suhu atau kakek kepada Dewa Bongkok setelah dia menerima ilmu-ilmu itu, melainkan menyebutnya locianpwe, “Siapakah orang di sana itu....?” Biarpun mulutnya bertanya, namun batinnya menduga hahwa orang itu, pastilah Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, ayah dari Kian Lee! Ketika masih kecil, nama Pendekar Super Sakti dari Pulau Es merupakan nama dongeng yang menakutkan baginya, seperti juga bagi semua penghuni Pulau Neraka, bahkan ayahnya sendiri, atau ayah angkat, Hek-tiauw Lo-mo, merasa takut sekali mendengar nama itu. Dan sekarang, orang itu di sana, begitu menyeramkan, tentu saja hatinya menjadi gentar sekali.

Go-bi Bu Beng Lojin adalah seorang tua renta yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, maka melihat sikap Hwee Li yang jerih itu dia pun sudah dapat menduganya. Tentu anak ini merasa geiisah bertemu dengan ayah dari kekasihnya, dan tentu anak ini sudah dapat menduga siapa adanya orang itu karena memang amat mudah mengenal Pendekar Super Sakti, melihat kaki buntung dan rambut putih seperti benang-benang perak itu. Dia sendiri memandang kagum ketika dia melangkah mendekati dan diikuti oleh Hwee Li yang agak ketinggalan karena gadis ini merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan kedua kakinya gemetar! Bahkan dia lalu berhenti, membiarkan kakek bongkok itu seorang diri menghampiri kakek berkaki tunggal. Dari jauh Hwee Li melihat betapa kakek berambut putih itu memutar tubuhnya yang hanya berkaki satu, menghadapi kakek bongkok dan keduanya lalu saling memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, entah apa yang mereka ucapkan karena Hwee Li berada terlalu jauh untuk dapat mendengar kata-kata mereka. Akan tetapi, melihat betapa sikap kedua orang itu amat bersahabat, kelihatan saling beramah-tamah dan saling menghormat, timbul keberanian di dalam hatinya dan dia pun mendekati sampai dapat mendengar percakapan mereka, dia berhenti lagi, merasa sungkan untuk makin mendekat dan dia mendengar kakek bongkok berkata dengan suara halus.

“Pertama-tama, aku telah mendengar bahwa Ngo-ok menantangmu untuk mengadakan pertemuan di sini, Taihiap. Aku merasa khawatir karena orang-orang sesat seperti mereka itu dapat melakukan segala macam kecurangan, oleh karena itu aku datang untuk menjadi saksi.”

Pendekar Super Sakti menjura dengan hormat, “Banyak terima kasih atas perhatian Locianpwe, akan tetapi sungguh tidak enak kalau sampai menyeret Locianpwe ke dalam urusan pribadi ini, padahal Locianpwe berada dalam keadaan terluka begitu parah. Biarkanlah saya mengobati Locianpwe....“

“Terima kasih, Taihiap, tidak perlu lagi, sudah terlambat. Memang aku tidak akan dapat membantumu menghadapi mereka, akan tetapi setidaknya, dengan memandang mukaku, mereka tidak akan berani sembarangan melakukan kecurangan. Dan urusan ke dua lebih penting lagi, Taihiap. Aku sengaja menemuimu untuk membicarakan keadaan puteramu yang bernama Suma Kian Lee.”

Pendekar Super Sakti Suma Han nampak terkejut mendengar disebutnya nama Kian Lee. “Ah, ada apakah dengan dia, Locianpwe?”

Kakek itu menarik napas panjang. “Sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, juga tidak semestinya kalau aku mencampuri, akan tetapi mengingat pemuda itu adalah puteramu, putera seorang pendekar yang sudah lama amat kukagumi, perlu kiranya aku membicarakannya denganmu, Taihiap. Suma Kian Lee puteramu itu saling mencinta dengan seorang gadis, akan tetapi akhirnya meninggalkan gadis ini setelah mendengar bahwa gadis itu adalah puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata anak tunggal dari mendiang Kim Bouw Sin yang telah memberontak....“

“Ah, sungguh terlalu dia, mau saja terpikat oleh seorang perempuan rendah! Ada berita yang sampai kepada saya tentang hal itu, Locianpwe, dan saya pun memang hendak mencari dan menegurnya. Bagaimanapun juga, saya tidak akan membiarkan dia merendahkan diri sedemikian rupa berdekatan dengan anak seorang penjahat keji seperti Hek-tiauw Lo-mo, apalagi kalau perempuan itu ternyata anak kandung seorang pemberontak seperti Kim Bouw Sin! Tindakannya itu benar kalau dia meninggalkan perempuan itu.” Pendekar Super Sakti bicara penuh perasaan marah dan penasaran, dan hal ini tidak aneh karena memang semenjak dia mendengar dari Ngo-ok tentang puteranya yang tergila-gila kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo, hatinya sudah penuh dengan kemarahan terhadap puteranya. Maka, begitu mendengar kakek itu menyebut tentang puteranya yang berhubungan cinta dengan gadis itu, kemarahannya berkobar sehingga dia agak lupa diri dan mengeluarkan kata-kata keras. Si Dewa Bongkok sendiri yang tidak kebagian waktu bicara dan sudah didahului oleh kemarahan Pendekar Super Sakti sampai melongo dan hanya memandang wajah pendekar itu dengan alis berkerut. Sementara itu, ketika mendengar ucapan Pendekar Super Sakti, Hwee Li mendadak menjadi pucat mukanya, dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk pisau berkarat. Dia mengeluh dan membalikkan tubuhnya kemudian melarikan diri sambil merintih panjang.

Tentu saja hal ini tidak terlepas dari penglihatan Suma Han dan juga Dewa Bongkok. Keduanya memandang dan selagi Dewa Bongkok hendak memanggil gadis itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengejek, “Seorang pendekar besar tidak mampu mengurus puteranya sendiri, sungguh amat menggelikan!”

Suma Han dan Dewa Bongkok menoleh dan melihat munculnya empat orang di antara Ngo-ok. Yang pertama adalah Ji-ok (Si Jahat Nomor Dua) Kui-bin Nio-nio, wanita yang mukanya selalu tertutup oleh topeng tengkorak tulen yang mengerikan itu, tubuhnya kecil ramping seperti tubuh seorang gadis muda, dari balik mata tengkorak yang berlubang itu mengintai sepasang mata yang amat menyeramkan, mata yang terbelalak lebar, jernih seperti mata kanak-kanak akan tetapi tajam bukan main dan selalu bergerak-gerak bola matanya, sedangkan rambutnya sudah putih semua. Di sebelah kanannya berjalan Twa-ok (Si Jahat Nomor Satu) Su Lo Ti, kakek tinggi besar yang mukanya seperti gorilla itu, pakaiannya sederhana, gerak-geriknya tenang dan halus. Di belakang dua orang ini berjalan Su-ok (Si Jahat Nomor Empat) Siauw-siang-cu yang berkepala gundul seperti hwesio, juga jubahnya seperti jubah hwesio, tubuhnya cebol dan wajahnya selalu menyeringai, bersama Ngo-ok (Si Jahat Nomor Lima) Toat-beng Sian-su, si jangkung kurus yang jubahnya seperti tosu, juga gelung rambutnya. Hanya Sam-ok (Si Jahat Nomor Tiga) Ban Hwa Seng-jin atau Koksu Nepal saja yang tidak nampak. Akan tetapi Pendekar Super Sakti tidak memandang rendah, karena dia dapat menduga bahwa belum tentu kalau hanya empat orang ini saja yang datang, dan kemungkinan besar teman-teman mereka masih bersembunyi. Maka dengan tenang dia lalu menyambut mereka dengan sikap angkuh.

“Im-kan Ngo-ok datang tepat pada waktunya akan tetapi belum lengkap!”

Ucapan Suma Han ini sekaligus memuji dan juga menantang, seolah-olah dia merasa kecewa mengapa musuh-musuhnya tidak datang lengkap! Twa-ok tertawa halus mendengar ini dan dia pun menjura lalu berkata, suaranya ramah-tamah seperti orang yang manis budi bahasanya, “Ah, Pendekar Super Sakti memang gagah perkasa, memenuhi undangan kami. Akan tetapi agaknya keberanian Majikan Pulau Es yang disohorkan orang itu. terlalu berlebihan, karena sekarang dia membawa-bawa seorang teman yang tidak kepalang tanggung. Bukankah Locianpwe ini Si Dewa Bongkok, majikan Istana Gurun Pasir?” Kembali Twa-ok menjura ke arah Dewa Bongkok sambil tersenyum mengejek. Memang orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini pandai sekali berpura-pura, padahal sejak muncul tadi, hatinya sudah gentar bukan main ketika melihat Dewa Bongkok berada di situ bersama Pendekar Super Sakti. Biarpun dia belum pernah bertemu dengan kakek sakti itu, akan tetapi dia dapat menduganya melihat keadaan kakek itu dan mendengar Pendekar Super Sakti tadi menyebut Locianpwe kepadanya. Betapapun juga, sebagai seorang ahli yang pandai dia pun dapat melihat bahwa kakek sakti yang amat ditakuti orang ini sedang berada dalam keadaan luka hebat sekali, hal yang membuatnya diam-diam merasa heran akan tetapi juga girang. Hilang kekhawatirannya karena dia maklum bahwa kakek sakti ini tidak mungkin ikut maju membantu Pendekar Super Sakti.

“Im-kan Ngo-ok, jangan mengukur baju orang dengan bentuk tubuh sendiri!” Dewa Bongkok berkata penuh wibawa. “Aku datang bukan atas ajakan atau undangan Suma-taihiap, melainkan secara suka rela karena aku ingin menonton pertemuan ini dan akan menjadi saksi agar jangan ada perbuatan pengecut dan curang dilakukan di sini!”

“Hi-hi-hik, Twa-ko, perlu apa bicara dengan dia? Tidak peduli siapa dia itu, kulihat dia tiada lain hanyalah seorang kakek tua renta yang sudah menderita luka hebat dan hampir mampus, tapi sombongnya bukan main!” tiba-tiba Ji-ok Kui-bin Nio-nio berkata sambil meludah melalui lubang di antara gigi-gigi tengkorak yang mengerikan itu. Ji-ok bukanlah seorang perempuan muda yang lancang dan sombong, sama sekali bukan. Dia adalah seorang wanita yang cerdik sekali, dan kalau dia tidak melihat betapa kakek tua renta itu memang sudah terluka parah, tentu saja dia akan bersikap lain dan sama sekali tidak berani main-main seperti itu. Mendengar ucapan wanita bermuka tengkorak itu, Dewa Bongkok hanya menarik napas panjang karena memang apa yang dikatakan wanita itu bahwa dia terluka parah merupakan kenyataan. Tentu saja kalau dia mau, sekali dia menggerakkan tubuh dan menyerang dengan ilmunya yang hebat, wanita muka tengkorak itu akan dapat ditewaskannya seketika, akan tetapi pengerahan tenaga itu pun akan mencabut nyawa sendiri. Hal ini dia sadari benar, maka dia pun hanya menarik napas panjang.

Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti maklum akan keadaan Dewa Bongkok, maka dia menggerakkan tangannya, berkata dengan suara lantang, “Kita bukan anak-anak kecil yang datang untuk mengadu mulut. Mari, silakan duduk dan bicara sepatutnya!” Dia lalu duduk bersila dengan sebelah kakinya didahului oleh Dewa Bongkok yang memang perlu banyak beristirahat sambil duduk bersila. Melihat kedua orang itu sudah duduk berdampingan, empat orang di antara Im-kan Ngo-ok itu lalu mengambil tempat duduk pula, duduk di atas tanah berpasir. Twa-ok dan Su-ok di depan mereka, Ji-ok dan Ngo-ok di kanan kiri. Dewa Bongkok sudah duduk diam, memejamkan mata dan melintangkan lengan tunggalnya di depan dada.

Keadaan menjadi sunyi menegangkan. Enam orang itu duduk saling berhadapan membentuk lingkaran dan Pendekar Super Sakti menatap wajah empat orang lawan itu satu demi satu. Kemudian, terdengar suaranya lantang dan suara ini mengandung getaran amat kuat.

“Im-kan Ngo-ok, kalian mengundangku untuk mengadakan pertemuan di tempat ini. Nah, aku sudah datang, kalau ada persoalan lekas kemukakan, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani kalian!”

Diam-diam Dewa Bongkok kagum. Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh yang jauh lebih muda dibandingkan dengan dia, namun pendekar ini telah membuat nama besar sehingga namanya menggetarkan dunia persilatan dan menjadi semacam nama dalam dongeng. Dan ternyata sikap pendekar ini memang amat berwibawa, sungguhpun tadi dia merasa kecewa akan wawasan Pendekar Super Sakti tentang hubungan puteranya dengan seorang gadis. Getaran suara penuh wibawa itu juga mempengaruhi empat orang datuk kaum sesat itu, karena sejenak mereka duduk diam dan tiga orang di antara mereka memandang kepada Twa-ok karena orang tertua atau pertama inilah yang diharapkan untuk menjadi wakil pembicara.

Twa-ok dapat merasakan tuntutan saudara-saudaranya ini, dan dia sendiri pun agak gugup. Menghadapi pendekar yang demikian tenang dan penuh wibawa sikapnya, sungguh mendatangkan kegugupan dan biarpun dia mengerahkan tenaga batinnya untuk menenangkan diri, tetap saja suaranya terdengar agak gemetar ketika dia menjawab, “Kami telah lama mendengar bahwa Majikan Pulau Es adalah seorang datuk yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai, selalu tinggal dengan aman tenteram di Pulau Es. Akan tetapi secara tiba-tiba saja Pendekar Super Sakti muncul di dunia kang-ouw. Hal ini amat mengherankan dan membuat kami merasa penasaran.”

Suma Han mengerutkan alisnya yang sudah bercampur uban. “Im-kan Ngo-ok, sesungguhnya bukan berita kosong yang mengabarkan bahwa kami sudah bertahun-tahun berada di Pulau Es dan tidak mau lagi mencampuri urusan dunia yang penuh dengan permusuhan. Akan tetapi kami keluar dari Pulau Es bukanlah untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mencari kedua orang putera kami. Sebaliknya Im-kan Ngo-ok yang juga terkenal sebagai tokoh-tokoh yang sudah mengundurkan diri dan bertapa, tiba-tiba muncul dan bahkan mengacau dunia dengan perbuatan-perbuatan jahat mereka, bahkan membantu pemberontakan. Andaikata kami mendengar dari Pulau Es, agaknya sudah wajar pula kalau kami sengaja keluar dari sana untuk menghadapi kalian! Sekarang, kulihat pemberontakan telah dipadamkan, dan aku pun tidak mempunyai niat untuk bermusuhan dengan kalian, dan ini bukan berarti bahwa aku takut kepada kalian. Nah, cukuplah, aku harus pergi mencari anak-anakku.”

“Nanti dulu!” Twa-ok membentak dan sekarang orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini sudah mendapatkan kembali keberaniannya. “Pendekar Super Sakti, sudah semenjak dahulu kami ingin sekali berkenalan dengan kelihaianmu, bahkan kami pernah merencanakan untuk mengunjungi Pulau Es, hanya untuk menguji kepandaianmu. Sekarang setelah kita dapat bertemu di sini, dan memang jalan hidup kita selalu bersimpangan, maka kami menantangmu untuk melanjutkan pertempuran antara kita beberapa bulan yang lalu, dan sekali ini kami tidak akan berhenti sebelum satu di antara kita roboh!” Setelah berkata demikian, Twa-ok meloncat bangun diikuti oleh tiga orang temannya. Mereka berempat sudah memasang kuda-kuda dan siap maju menerjang.

Agaknya masa untuk menyukai pertempuran bagi Suma Han sudah lewat. Kalau dulu, tentu dia akan menyambut tantangan ini dengan gembira. Akan tetapi sekarang dia bangkit dengan segan, menarik napas panjang dan merasa malas untuk berkelahi.

“Tanpa alasan kalian menantang orang berkelahi, sungguh kalian ini orang-orang tua sudah kembali seperti kanak-kanak.”

“Ha-ha-ha, Pendekar Siluman, bilang saja engkau tidak berani, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu atau Su-ok yang pendek cebol itu mentertawakan dengan lagak mengejek dan dia sudah memasang kuda-kuda dengan berjongkok, siap untuk melancarkan pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu.

“Majulah, siapa takut kepada kalian?” kata Suma Han, suaranya sama sekali tidak mengandung kemarahan. Dia tidak mudah terpancing lagi untuk terjerumus ke dalam kemarahan yang hanya akan melemahkannya.

“Siancai....! Sungguh inilah yang kukhawatirkan!” Tiba-tiba terdengar Dewa Bongkok berkata halus. “Im-kan Ngo-ok, kalian termasuk datuk-datuk yang sudah memiliki kedudukan dan ilmu kepandaian tinggi, kenapa bersikap seperti tukang-tukang pukul bayaran yang muda saja? Dunia kang-ouw selama puluhan tahun tentu mengetahui hal ini. Sekarang kalian hendak maju melakukan pengeroyokan, apakah itu dapat dinamakan gagah perkasa? Apakah kalian ingin merendahkan diri sebagai jagoan-jagoan pasar saja?”

“Ha-ha-ha!” Su-ok tertawa. “Kalau kau merasa penasaran, majulah, Dewa Bongkok!”
“Su-te, serahkan Si Bongkok itu kepadaku!” Ji-ok menyambung.
Akan tetapi Twa-ok dengan sikap ramah-tamah dan suara halus menjawab, “Locianpwe agaknya tidak tahu bahwa julukan kami adalah Im-kan Ngo-ok dan kami sudah biasa maju bersama, baik menghadapi seorang lawan atau seratus orang lawan! Jumlah sudah tidak masuk hitungan lagi. Kalau Pendekar Super Sakti maju ditemani orang-orang lain, kami pun tidak akan menolak. Nah, Pendekar Super Sakti, apakah engkau berani melawan kami?”

Suma Han berkata kepada Dewa Bongkok, “Harap Locianpwe suka menonton saja di pinggir, saya masih sanggup menghadapi mereka ini.”

Dewa Bongkok menarik napas panjang. Kalau saja dia tidak terluka, tentu akan mudah saja menanggulangi golongan sesat ini. Karena dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu, maka dia lalu melangkah ke pinggir dan memandang penuh perhatian karena dia tahu bahwa pertandingan yang akan terjadi ini adalah pertandingan tingkat tinggi yang tentu amat hebat.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Empat orang Im-kan Ngo-ok itu merupakan tokoh-tokoh tingkat atas yang telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dalam perkelahian mereka itu tidak lagi mengandalkan ketajaman dan kekuatan senjata. Kaki tangan mereka telah menjadi senjata yang amat ampuh. Hanya orang-orang yang benar-benar sudah mencapai tingkat tinggi saja yang tidak lagi membutuhkan bantuan senjata.

Twa-ok Su Lo Ti berdiri dengan kedua lengan terpentang lebar, dan sikunya ditekuk dan tangannya membentuk cakar-cakar, seperti sikap seekor gorilla, yang hendak menyerang. Dan memang kakek bermuka gorilla ini mendasarkan ilmunya kepada gerakan gorilla, hanya bedanya, kalau binatang gorilla atau kera raksasa itu mengandalkan kekuatan otot dan tulang, kakek ini mengisi gerakannya dengan tenaga sinkang yang amat kuatnya, dan bahkan sambaran angin pukulannya saja sudah amat berbahaya bagi lawan, di samping kekebalan kedua tangannya yang mampu menangkis senjata-senjata tajam. Ji-ok Kui-bin Nio-nio amat berbahaya dengan ilmunya yang luar biasa, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang). Apalagi tersentuh atau tertusuk oleh jari-jari tangannya, baru terkena hawanya saja sudah dapat melukai lawan. Su-ok Siauw-siang-cu amat hebat dengan ilmu pukulan Katak Buduk yang berbisa, sedangkan Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang tubuhnya jangkung tidak lumrah manusia itu bersilat dengan jungkir balik, dan memiliki ginkang yang amat tinggi di samping pukulan-pukulan beracun pula. Empat orang itu masing-masing sudah merupakan lawan yang cukup berat, apalagi kalau mereka maju berbareng. Namun, Pendekar Super Sakti Suma Han berdiri tegak dengan sebelah kakinya dengan sikap tenang sekali, tangan kanan memegang tongkat bututnya, tangan kiri disilangkan di depan dada, sikapnya menanti gerakan lawan, menanti saat penyerangan lawan.

Dan saat yang dinantinya itu pun tibalah. Cepat bukan main gerakan pertama yang dilakukan oleh Ngo-ok itu. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba sekali ada dua batang kaki yang panjang dan besar, seperti dua buah cangkul menyerang Suma Han, mencangkul ke arah kepala dan dada pendekar itu. Kecepatannya sukar diikuti dengan pandang mata.

“Plak-plak, wuuuttttt!” Dua batang kaki itu tertangkis oleh tongkat dan cengkeraman tangan Ngo-ok, dari bawah mengarah bawah pusar itu dihindarkan oleh Suma Han dengan meloncat ke kiri.

Akan tetapi, dengan gerakan otomatis, dia disambut oleh Twa-ok yang mencengkeram dari kanan kiri, akan tetapi sebelum lawan sempat menangkis, gerakan mencengkeram itu sudah berubah, yang kanan menampar dan yang kiri menotok ke arah lambung. Sungguh merupakan dua serangan yang amat berbahaya dan satu di antaranya saja mengenai sasaran akan cukup merenggut nyawa dari tubuh! Namun, Pendekar Super Sakti tidak menjadi gugup, dia memutar tongkatnya yang berubah menjadi segulung sinar terang, kemudian dia meloncat ke depan sehingga dia terhindar dari serangan itu untuk menghadapi serangan langsung lagi dari Ji-ok.

Terdengar suara bercuitan ketika jari-jari tangan yang kecil runcing itu bergerak menyambar, seperti ujung-ujung pedang yang menyerang secara bertubi-tubi. Namun, semua tusukan jari tangannya yang menjadi Kiam-ci ini dapat di tolak oleh kibasan tangan kiri Suma Han. Belum juga jari-jari tangan itu tertangkis, sudah ada hawa dingin sekali, lebih dingin daripada hawa Kiam-ci, menolak sehingga tangan Ji-ok terpental. Kini Su-ok menyerang dari bawah dengan pukulan Katak Buduk. Suma Han mengenal pukulan beracun, maka dia pun cepat menggunakan kelincahannya untuk meloncat dan menghindar dengan loncatan tinggi.

Kini, empat orang itu mulai menyerang secara bertubi-tubi, kadang-kadang berbareng dan saling membantu dan terjadilah pertandingan yang amat luar biasa. Suma Han yang mengenal kelihaian lawan, kini sudah mempergunakan ilmunya yang membuat dia amat terkenal, yaitu Ilmu Soan-hong-lui-kun, yang membuat tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar, ke kanan ke kiri, kadang-kadang melesat jauh ke atas, sukar sekali diikuti dan dengan Soan-hong-lui-kun, maka pendekar ini berhasil menghindarkan diri dari semua serangan lawan. Dia pun membalas dengan tamparan dan tusukan tongkatnya, namun empat orang lawannya itu pun mampu membela diri, apalagi karena mereka saling bantu sehingga kedudukan mereka amat kuat. Agaknya, pengalaman bertempur melawan Suma Han tiga bulan yang lalu membuat mereka berhati-hati dan sudah mengatur siasat untuk menandingi pendekar itu, yaitu dengan jalan saling bantu dan tidak melakukan penyerangan sendiri-sendiri, melainkan dengan teratur dan saling terlindung oleh kawan.

Sambil duduk bersila di pinggir, Dewa Bongkok menonton pertandingan itu dengan hati tertarik sekali. Jarang ada kesempatan menyaksikan pertandingan seperti ini, dan dia amat kagum melihat Soan-hong-lui-kun yang hanya didengarnya saja akan tetapi baru sekarang ini dapat dinikmatinya. Dari gerakan-gerakan itu, maklumlah dia bahwa Suma Han telah menemukan suatu ilmu yang hanya mungkin dapat dimainkan secara sempurna oleh orang yang berkaki tunggal. Orang yang berkaki dua jangan harap akan dapat menguasai ilmu itu sebaik seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es itu. Diam-diam dia tersenyum, mengingat bahwa keadaannya hampir sama dengan Suma Han. Dia pun telah menemukan suatu ilmu yang khas untuk seorang yang hanya berlengan satu seperti dia atau seperti Kao Kok Cu, muridnya, yaitu Ilmu Sin-liong-liok-te dan Sin-hong-ciang-hoat. Orang yang berlengan dua jangan harap akan dapat mainkan ilmu ini sebaik orang yang berlengan satu! Dia menonton dengan kagum dan beberapa kali dia memuji kalau melihat gerakan yang amat indah dari Suma Han ketika pendekar ini menghindarkan diri secara cepat dan tepat sekali menggunakan kelincahan tubuhnya yang dapat melesat ke sana-sini seperti ada per-nya itu.

Akan tetapi, setelah menyaksikan mereka itu bertempur sampai seratus jurus, Dewa Bongkok dapat melihat perbedaan antara Ilmu Soan-hong-lui-kun dengan ilmunya, yaitu Sin-liong-ciang-hoat. Ilmu milik Pendekar Super Sakti itu lebih condong sebagai ilmu membela diri atau menghindarkan diri dari serangan lawan, kurang sekali daya serangnya, dan pendekar itu membalas serangan dengan pukulan lain-lain yang tidak sehebat Ilmu Sin-liong-ciang-hoat. Sebaliknya, ilmunya itu lebih banyak menyerang dan lebih kuat daya serangnya daripada daya tahannya.

Dengan Soan-hong-lui-kun, biarpun Suma Han tidak sampai terancam bahaya, namun sukar pula bagi pendekar itu untuk dapat mengalahkan empat orang lawan yang kini dapat bekerja sama dengan amat baiknya itu. Diam-diam Dewa Bongkok lalu mulai berkemak-kemik, menggunakan Imu Coan-im-jip-bit untuk memberi petunjuk kepada Suma Han seperti yang dilakukannya ketika dia membantu Hwee Li. Dia memberi petunjuk mempergunakan gerakan-gerakan dari Sin-liong-ciang-hoat untuk lebih memperkuat daya serangan dari pendekar itu. Diam-diam Suma Han mendengar bisikan-bisikan ini yang memang hanya ditujukan kepadanya. Dia maklum bahwa kakek itu memiliki ilmu yang tinggi, dan dia tidak malu-malu untuk menerima petunjuk ini,

Dan tiba-tiba dia berhenti meloncat, melainkan menggeser ke dalam, memutar tubuh ke kanan kemudian ke kiri tiga kali dan tahu-tahu dia telah berhadapan langsung dengan Su-ok dan cepat dia memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.

“Wusssss....!” Hawa dingin yang tak tertahankan membuat Su-ok terdorong ke belakang dengan muka pucat. Biarpun tiga orang temannya sudah menolongnya dan menyerang dari kanan kiri sehingga pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) itu tidak dapat dilanjutkan karena pendekar itu harus menghindarkan tiga orang penyerangnya, namun hawa pukulan dingin masih menyerangnya dan membuat Su-ok menggigil!

Kembali Suma Han bergerak aneh, kini meloncat ke kiri, kemudian membalik dan tahu-tahu dia telah menyerang dari samping kanan ke arah Twa-ok, dan sekali ini dia menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang amat panas. Kakek itu terkejut dan mengerahkan kedua tangannya ke depan dengan tenaga sinkang sepenuhnya. Tidak urung dia merasa kedua telapak tangannya seperti dibakar dan untung baginya, pada saat yang amat berbahaya itu tiga orang temannya sudah menerjang lagi sehingga terpaksa Suma Han kembali menghindar dan tidak mendesaknya. Demikianlah, dengan petunjuk-petunjuk dari Dewa Bongkok, Suma Han berhasil menyerang dan beberapa kali mendesak empat orang lawannya, sungguhpun selalu dapat digagalkan oleh kerja sama empat orang itu yang saling membantu.

“Mana Sam-te, mengapa terlambat benar?” Tiba-tiba terdengar Ji-ok berseru nyaring.
“Aku datang.... aku datang....!”
Dan bersama dengan suara itu muncullah Sam-ok Ban Hwa Seng-jin, koksu atau lebih tepat lagi bekas koksu dari Nepal itu. Setelah kegagalan-kegagalannya, apalagi setelah tewasnya Pangeran Liong Bian Cu, nama koksu ini tidak terkenal lagi di Nepal, bahkan dia dicurigai dan tidak disuka di kalangan istana Nepal. Dalam keadaan seperti itu, ketika datang Su-ok menyusulnya dan minta kepadanya untuk membantu teman-temannya menghadapi Pendekar Super Sakti, Sam-ok ini lalu meninggalkan Nepal tanpa pamit 1agi, melepaskan jabatan koksu yang dirasakan makin panas dan tidak enak itu. Kedatangannya agak terlambat, akan tetapi belum terlambat benar karena teman-temannya belum ada yang roboh, bahkan kedatangannya tepat sekali di waktu empat orang teman atau saudara segolongannya itu terancam dan mulai terdesak oleh Suma Han yang dibantu oleh Dewa Bongkok yang memberi petunjuk. Begitu datang dan melihat Dewa Bongkok di situ, Sam-ok terkejut setengah mati, akan tetapi dia pun lega ketika mendapat kenyataan bahwa kakek sakti ini sudah menderita luka hebat dan tidak mungkin ikut bertanding.

Sejenak Sam-ok melihat kedudukan teman-temannya. Dia girang bahwa ternyata empat orang teman itu dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka dia lalu mengeluarkan suara gerengan seperti beruang marah dan tubuhnya lalu berputar-putar seperti gasing! Itulah Ilmu Thian-te-hong-i yang hebat, yang dilakukan dengan tubuh berpusing seperti gasing, dan dari putaran tubuhnya itu kadang-kadang mencuat pukulan seperti kilat cepatnya yang amat kuat menghantam ke arah Pendekar Super Sakti!

Melawan empat orang itu saja keadaannya sudah seimbang, apalagi kini dibantu oleh orang seperti Ban Hwa Seng-jin. Kepandaian Sam-ok ini tidak banyak selisihnya dibandingkan dengan kepandaian Twa-ok atau Ji-ok dan masing-masing memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Memang sebenarnya lima orang itu sama sekali tidak mempunyai pertalian persaudaraan, baik kekeluargaan maupun perguruan, maka ilmu mereka masing-masing jauh berbeda dan memiliki keistimewaan masing-masing. Kalau mereka bergabung, adalah karena watak dan kesukaan mereka sama, dan tingkat mereka itu ditentukan oleh pertandingan yang mereka adakan untuk mengukur tingkat masing-masing. Namun selisihnya tidaklah amat banyak.

Kini Suma Han mulai terdesak lagi, bukan terdesak dalam arti kata terancam. Sama sekali tidak. Dengan Soan-hong-lui-kun, jangankan hanya lima orang itu, biar ditambah lima orang lagi seperti mereka, kiranya tidak akan mudah untuk merobohkan Suma Han yang mempergunakan Soan-hong-lui-kun, yang membuat tubuhnya seperti bersayap dan sukar sekali dipukul itu. Akan tetapi, terdesak di sini berarti bahwa dia tidak sempat lagi untuk membalas serangan lawan, dan harus selalu menghindarkan diri dari semua serangan. Tentu saja pertandingan seperti ini berat sebelah dan Suma Han terus didesak dan dikejar-kejar oleh lima orang Im-kan Ngo-ok yang lihai-lihai itu. Dewa Bongkok tidak sempat lagi memberi petunjuk saking cepatnya serangan lima orang yang bertubi-tubi datangnya dan dilakukan dengan gaya ilmu silat yang jauh berlainan itu. Kalau saja dia tidak terluka, tentu dia dapat membantu dan bersama dengan Suma Han, dalam waktu singkat tentu dia akan mampu merobohkan lima orang itu. Suma Han di bagian bertahan dan dia di bagian menyerang! Akan tetapi, apa mau dikata, dia tidak mungkin dapat bergerak mengerahkan sinkang karena hal itu akan berarti kematiannya.

Suma Han juga harus mengakui bahwa lima orang Im-kan Ngo-ok ini benar-benar terlalu berat baginya. Ilmu-ilmu mereka selain tinggi, juga aneh-aneh dan kelimanya mempergunakan ilmu yang berbeda-beda sehingga sukar juga baginya untuk mengenal dasar atau sifat ilmu mereka, dan hal ini membuat dia tidak mungkin melakukan serangan balasan. Serangan mereka bertubi-tubi dan berganti-ganti sehingga dia tidak sempat membalas, dan terpaksa dia harus mengerahkan tenaga menggunakan Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Akan tetapi, tidak mungkin berkelahi hanya dengan mengelak dan menangkis terus-menerus tanpa membalas satu kali pun!

Tiba-tiba Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, diikuti suaranya yang terdengar seolah-olah dari atas langit kemudian berpencar dan bergema di semua penjuru, “Haiii! Aku di sini!” disusul gemanya, “Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini!”

Lima orang Im-kan Ngo-ok mengeluarkan seruan kaget dan mereka bergerak dengan kacau-balau karena mereka melihat betapa Pendekar Siluman itu telah berubah menjadi iima orang! Lima Pendekar Siluman, semua memegang tongkat, dan masing-masing kini menghadapi seorang Pendekar Siluman!

Seketika keadaan menjadi berbalik sama sekali! Kini mereka berlima tidak lagi dapat bekerja sama karena masing-masing menghadapi seorang lawan yang sama kuatnya! Dan kini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu mulai menyerang! Repotlah lima orang itu dan segera mereka terdesak mundur!

Dewa Bongkok memandang dan mengangguk-angguk kagum. Dia sendiri tidak sampai terpengaruh oleh kekuatan sihir itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu Pendekar Super Sakti yang dia dengar juga dinamakan Pendekar Siluman karena pandai bermain sihir itu kini telah mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga lima orang lawan itu menjadi kacau-balau gerakan mereka, nampak ketakutan dan kini Pendekar Super Sakti yang berbalik menyerang mereka satu demi satu, dan lima orang itu kehilangan kerja sama mereka! Kini Dewa Bongkok tidak merasa ragu lagi bahwa tentu Majikan Pulau Es itu akan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran satu lawan lima itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa mengikik, suara ketawa terkekeh-kekeh yang hanya dapat dilakukan oleh seorang nenek tua yang sudah ompong! Dan muncullah seorang nenek tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek itu sedemikian tuanya sehingga tubuhnya seperti telah mengerut menjadi kecil! Nenek itu adalah nenek bangsa India, kulitnya pun hitam seperti pakaiannya dan mulutnya berkeriput terkekeh-kekeh seperti orang gila.

“Heh-heh-heh, permainan kanak-kanak! Hanya satu orang mana bisa berubah lima?” Nenek itu berkata sambil mengacungkan tongkat hitamnya ke atas.

Terjadi perubahan pada pertempuran antara Suma Han melawan lima orang Im-kan Ngo-ok itu! Kini lima orang itu berseru aneh karena lenyaplah empat orang Suma Han yang lain, dan yang ada hanya seorang saja. Tentu saja mereka menjadi girang dan cepat menubruk dan kembali mengirim serangan bertubi-tubi! Keadaan menjadi berbalik kembali.

Suma Han terkejut sekali. Tahulah dia bahwa nenek itu amat kuat dalam ilmu sihir dan kalau dia belum dapat menundukkan nenek itu, tentu akan sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Tak disangkanya bahwa Im-kan Ngo-ok telah bersiap-siap, dibantu oleh seorang nenek ahli sihir. Padahal Durganini, yaitu nenek India yang pandai ilmu sihir itu, sama sekali tidak datang karena diundang oleh Im-kan Ngo-ok, melainkan karena kebetulan belaka. Durganini kebetulan lewat di tempat itu dan nenek ini yang sudah tua dan pikun, begitu melihat orang main sihir terus saja terjun dan menentang karena gembiranya! Dia menemukan permainan yang amat disukanya, maka tanpa peduli siapa orangnya dan apa urusannya, tanpa diminta dia terus saja menentang dan melawan Suma Han dengan ilmu sihirnya, membuyarkan kekuatan sihir Suma Han yang membuat lawannya melihat dia berubah menjadi lima orang itu!

“Heh-he-he-he-he, orang kaki buntung, hayo kau main-main dengan aku sebentar!” kata nenek itu terkekeh-kekeh dan dia melemparkan tongkatnya ke atas. “Hadapilah naga api hitamku ini!”

Im-kan Ngo-ok terkejut setengah mati ketika mereka menoleh dan melihat tongkat hitam itu sudah berubah menjadi seekor naga hitam yang menyemburkan api dari mulutnya! Karena naga hitam itu menubruk dari atas ke arah Suma Han, tentu saja mereka berlima takut kalau-kalau naga itu salah tubruk, maka otomatis mereka berloncatan ke belakang sambil menonton dengan mata terbelalak. Sebagai orang-orang sakti mereka dapat menduga bahwa nenek itu bermain sihir, bahwa naga itu hanyalah hasil kekuatan sihir, akan tetapi mereka tidak mampu membebaskan diri dari pengaruh sihir itu dan mata mereka melihat betapa naga itu seperti benar-benar naga hidup yang amat menyeramkan!

“Hemmm.... lihatlah naga putih ini!” Suma Han membentak dengan suara yang mengandung tenaga hebat sekali sambil melontarkan tongkatnya dan.... Im-kan Ngo-ok melihat tongkat Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu pun berubah menjadi seekor naga putih yang terbang melayang dan menyambut terkaman naga hitam. Terjadilah pertempuran yang amat aneh dan hebat antara naga putih dan naga hitam itu, ditonton dengan mata terbelalak oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Mereka tidak mengenal nenek ini, akan tetapi kedatangan nenek itu sungguh menguntungkan mereka karena mereka tadi sudah merasa bingung dan terdesak oleh lima orang Pendekar Siluman.

Hanya Dewa Bongkok yang duduk bersila dan memandang kagum. Dia tidak terpengaruh oleh sihir kedua orang itu karena kakek ini memiliki kekuatan batin yang amat tinggi, akan tetapi dia dapat merasakan getaran-getaran aneh yang keluar dari dua orang yang berdiri berhadapan dalam jarak kurang lebih lima meter itu. Suma Han berdiri tegak tanpa bergerak, sedangkan nenek hitam itu pun berdiri membungkuk sambil mengeluarkan suara terkekeh kecil seperti ringkik kuda.

Suma Han merasa terkejut sekali ketika mendapatkan kenyataan betapa kuatnya nenek itu dalam ilmu sihir. Beberapa kali dia hampir kalah, kekuatan ciptanya menjadi lemah dan dalam pandangan lima orang Ngo-ok, naga putih itu terdesak dan terus mundur. Suma Han harus mengerahkan seluruh tenaganya dan barulah dia sedikit demi sedikit mendesak mundur kekuatan nenek itu. Sebetulnya, kekuatan sihir yang dimiliki oleh Suma Han adalah kekuatan yang timbul secara wajar dan kebetulan saja, melaiui proses kebetulan yang menimpa jasmaninya di waktu dia masih kecil (baca cerita Pendekar Super Sakti), sedangkan Durganini semenjak muda sampai tua mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu hitam dari India, maka tentu saja nenek ini jauh lebih kuat kalau dibandingkan dengan Suma Han. Akan tetapi, nenek ini sudah tua sekali dan sudah pikun, lahir batinnya sudah tua dan lemah maka tentu saja kekuatan sihirnya juga banyak menurun dan karena ini Suma Han dapat mengimbanginya, bahkan kalau Suma Han hanya harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, nenek itu hanya seenaknya saja, karena biarpun seenaknya dia melawan, hal ini sudah terlalu melelahkannya.

“Kau.... kau bandel, ya....?” Nenek itu berkata dan kedua naga itu lenyap, berubah menjadi dua tongkat yang kembali ke tangan masing-masing. “Lihat ini, aku akan membikin kau beku dengan angin dingin!”

Nenek itu mendorongkan kedua tangan ke depan, mulutnya mengeluarkan teriakan panjang melengking seperti orang merintih dan pada saat itu, Im-kan Ngo-ok merasa ngeri karena bertiup angin yang amat dinginnya, akan tetapi yang paling terasa adalah Suma Han karena inti dari angin dingin ciptaan ilmu sihir itu langsung menyerangnya.

“Api panas tidak takut menghadapi dingin, nenek tua!” Suma Han berkata dan dia bersedakap. Im-kan Ngo-ok terbelalak kagum dan serem melihat betapa kini tubuh Pendekar Siluman itu seperti terbakar, bernyala dan bercahaya, mengandung api panas dan angin dingin itu tidak mempengaruhinya! Padahal Im-kan Ngo-ok harus mengerahkan sinkang mereka untuk menahan hawa dingin yang menyusup tulang-tulang mereka itu.

Nenek itu kembali mengeluarkan teriakan panjang dan kini tidak kelihatan apa-apa di antara mereka, akan tetapi baik nenek itu maupun Suma Han berdiri dengan kedua lengan diluruskan ke depan seperti sedang mendorong dan mereka itu seperti patung-patung saja, hanya kedua tangan mereka saja yang nampak agak tergetar. Sampai beberapa puluh menit lamanya kedua orang itu berada dalam keadaan seperti itu, dan diam-diam Suma Han mengeluh karena nenek itu ternyata keras kepala bukan main dan agaknya hendak mengadu nyawa! Dia sudah merasa lelah sekali, dan dia maklum bahwa setelah melakukan pertandingan mengadu kekuatan sihir seperti ini, dia bisa kehabisan tenaga dan semangat, padahal dia masih menghadapi lima orang lawan tangguh itu!

“Apa-apaan sih mereka itu?” Ji-ok Kui-bin Nio-nio berseru tak sabar. “Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja!” Dan dia pun lalu melompat ke depan, siap untuk menyerang Suma Han dengan pukulan Kiam-ci.

“Ji-moi, jangan....!” Twa-ok Su Lo Ti meloncat, namun tidak keburu karena Ji-ok sudah lebih dulu bergerak, maka dia lalu mendorongkan kedua tangannya untuk mendorong wanita itu ke samping. Masih untung dorongan Twa-ok ini amat kuat karena pada saat itu, terdengar Ji-ok menjerit dan berbareng dengan dorongan Twa-ok, dia terpelanting keras dan bergulingan lalu bangkit berdiri dengan muka pucat, tangan kirinya hitam seperti terkena api! Cepat Twa-ok menghampirinya dan setelah memeriksanya lalu memberi obat. Kiranya ketika Ji-ok menyerang tadi, baru saja tangannya mendekati antara dua orang yang berdiri dengan kedua lengan diluruskan itu, dia merasakan adanya getaran hawa yang luar biasa panasnya akan tetapi yang seperti ada besi semberaninya membetotnya masuk. Kalau tidak didorong oleh hawa pukulan Twa-ok dan dia sampai terbetot masuk di antara dua orang yang mengadu tenaga sihir itu, tentu tidak hanya lengannya yang sedikit hangus, melainkan tubuhnya bisa terbakar habis! Dia bergidik ngeri. Wanita bermuka tengkorak yang biasanya ditakuti orang seperti iblis itu kini bergidik penuh rasa ngeri.

Sementara itu, adu tenaga sihir antara Suma Han dan Durganini masih berlangsung terus. Wajah nenek yang berkulit hitam itu kini nampak pucat, sedangkan wajah Pendekar Super Sakti penuh keringat dan dari kepalanya mengepul uap putih, seperti juga kepala Durganini. Celaka, pikir pendekar itu, nenek ini benar-benar kuat bukan main dan hatinya keras seperti baja, tidak mau mengalah sedikit pun juga. Apakah nenek ini hendak mengadu nyawa? Sungguh terlalu, karena dia merasa belum pernah bentrok dengan nenek ini. Suma Han makin merasa kelelahan karena getaran yang terasa olehnya amat hebat dan kuat sehingga dia harus membantu kekuatan sihirnya dengan sinkangnya yang tentu saja jauh lebih kuat dibandingkan Durganini.

Memang Durganini semenjak mudanya memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan mempunyai watak yang enggan mundur dan pantang mengaku kalah! Apalagi setelah dia berubah menjadi nenek tua yang pikun, kekerasan kepala itu agaknya makin menjadi-jadi. Kini dia merasa penasaran bukan main mengapa dia belum juga berhasil menundukkan “orang muda” itu. Tiba-tiba keluar suara gerengan dari dalam dadanya dan dengan bengong Im-kan Ngo-ok melihat betapa dari uap yang mengepul di atas kepala nenek itu kini bergumpal-lumpai ke atas, membentuk bayangan dan ternyata nampak bentuk nenek itu yang kecil terbungkus uap atau kabut, meluncur ke atas menuju ke arah Pendekar Super Sakti! Inilah puncak dari ilmu sihir itu, yaitu Durganini seolah-olah memisahkan semangat dari tubuhnya dan “semangat” itu kini hendak langsung menyerang Suma Han! Suma Han mengenal ilmu ini dan dia pun sudah dapat melakukan hal yang sama. Akan tetapi sekali ini, kalau dia meniru perbuatan nenek itu, tubuhnya menjadi tidak terlindung sama sekali dan kalau ada yang menyerangnya dia tentu akan celaka. Maka Suma Han menjadi ragu-ragu, bagaimana dia harus menghadapi serangan nenek yang sudah nekat itu!

“Nini....! Jangan....!”
Tiba-tiba di tempat itu muncul seorang kakek tua renta berpakaian sederhana. Begitu tiba di situ dan melihat keadaan Durganini, kakek ini lalu duduk bersila di dekat Suma Han dan tak lama kemudian dari kepalanya juga muncul uap bergulung-gulung yang membentuk bayangan seperti dirinya yang terbungkus uap dan bayangan kecil ini meluncur naik menyambut bayangan nenek itu. Bayangan kakek itu seperti membuat gerakan membujuk agar si nenek kembali, akan tetapi bayangan nenek itu malah menyerangnya dengan hebat! Siapakah kakek itu? Dia adalah See-thian Hoat-su, suami dari Durganini! Seperti telah diceritakan di bagian depan, antara kakek dan nenek ini sebetulnya ada hubungan suami isteri yang saling mencinta dan mesra, akan tetapi, karena watak Durganini yang ku-koai (aneh) mereka itu sering cekcok, sering berpisah, bahkan sering pula berkelahi! Dalam hal ilmu silat, See-thian Hoat-su yang kini menjadi guru Teng Siang In itu masih menang setingkat, akan tetapi dalam ilmu sihir, Durganini menang setingkat. Seperti biasa, begitu bertemu dengan bekas suaminya ini, Durganini tidak mau dibujuk, tidak mau mengalah, malah menyerang mati-matian! Tentu saja See-thian Hoat-su terkejut sekali dan sambil mempertahankan diri, dia berusaha membujuk.

Suma Han duduk bersila dengan bengong dan terheran-heran. Dia tidak berani lancang mencampuri, apalagi melihat betapa kakek itu selalu mengalah biarpun terdesak hebat dan menerima beberapa kali pukulan yang amat berat. Akan tetapi, tak lama kemudian, dua bayangan itu sama-sama meluncur kembali kepada “raga” masing-masing. Keduanya mengeluh dan roboh terguling! Semua orang terkejut karena nenek itu terengah-engah dan memegangi dadanya, sedangkan kakek itu muntah darah, lalu bangkit terhuyung dan menghampiri nenek itu.

“Durganini.... kau.... kau kenapa....?” Pertanyaannya itu diajukan dengan lembut dan penuh cinta kasih. Kakek itu menjatuhkan dirinya berlutut dan merangkul nenek itu, diangkatnya kepala nenek itu dan disandarkan ke dadanya.

“Ah, kau.... kau terluka hebat oleh kekuatanmu sendiri.... kenapa engkau selalu keras kepala....?”
Nenek itu masih terengah-engah, dan suaranya seperti orang tertawa. “Hiiiii.... kau.... kau pun terluka parah.... ah, suamiku.... sakitkah....? Maafkan aku....“

Sungguh aneh, menggelikan dan juga mengharukan melihat kakek dan nenek itu berangkulan dan saling bersikap mesra, kemudian keduanya terguling dan terdengar Dewa Bongkok mengeluh, “Siancai.... siancai, siancai....!”

Suma Han pun tahu bahwa kakek dan nenek itu keduanya telah tewas. Luka-luka yang diderita kakek oleh pukulan-pukulan semangat nenek itu terlampau parah, sedangkan nenek itu agaknya telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga terpukul sendiri dan keduanya menjadi korban dan tewas, atau boleh jadi juga karena usia mereka yang sudah terlalu tua sehingga memang sudah tiba saatnya untuk meninggal dunia. Dia menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. Tubuhnya agak lemas, tenaga sinkangnya banyak terbuang untuk melawan nenek tadi, dan untuk sementara dia tidak akan dapat menggunakan kekuatan sihirnya yang seperti dikuras habis tadi.

“Im-kan Ngo-ok, lihat akibat dari desakan kalian untuk mengadu kepandaian. Sudah ada dua orang luar yang menjadi korban. Sebaiknya kita sudahi saja perkelahian tiada guna ini,” kata Pendekar Super Sakti.

“Apa? Mereka ini datang tanpa kita undang, dan mati karena perbuatan sendiri, apa sangkut-pautnya dengan kami? Kami masih belum kalah!” bentak Sam-ok Ban Hwa Seng-jin dan dia Sudah bergerak lagi membuat tubuhnya berpusing lalu menyerang, diikuti oleh empat orang saudaranya. Terpaksa Suma Han menggerakkan tongkat menjaga diri dan melawan.

Sekali ini Suma Han benar-benar terdesak hebat. Tenaganya sudah banyak berkurang. Tadi pun, biar sudah dibantu dengan petunjuk Dewa Bongkok, masih sukar baginya untuk menandingi lima orang Im-kan Ngo-ok, dan dia baru dapat mendesak ketika dia mempergunakan sihir. Kini, dia tidak lagi mampu menggunakan sihir seperti tadi dan sinkangnya sudah banyak berkurang, maka tentu saja dia hanya mampu mengandalkan Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Napasnya mulai memburu karena dia merasa lelah sekali.

Melihat keadaan lawan, Twa-ok girang sekali. Dia lalu berteriak kepada adik-adiknya, “Adu tenaga....!”

Lima orang itu kini menyerang sekaligus, dengan pengerahan tenaga sekuatnya! Suma Han tidak melihat jalan lain kecuali menangkis dengan dorongan kedua tangannya pula. Terjadilah adu tenaga sinkang tanpa telapak tangan mereka bertemu, akan tetapi dalam jarak yang kurang dari satu meter. Lima orang itu mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga satu lawan lima!

Andaikata Suma Han tidak berkurang tenaganya karena tadi memeras tenaga melawan Durganini, kiranya dia dapat menandingi mereka atau setidaknya dapat meloloskan diri dan meloncat untuk menghindar. Akan tetapi tenaganya sudah berkurang dan dia tidak dapat mengelak lagi, dan kini setelah tenaga mereka bertemu dan melekat, tidak ada lain jalan kecuali melawan keras sama keras.

Dengan menancapkan tongkatnya di atas tanah, Suma Han menggunakan kedua tangannya untuk menolak serangan lawan. Dia menggunakan tenaga gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, gabungan tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi lawannya adalah orang-orang yang amat kuat, dan kini mereka menggabungkan tenaga, maka terasalah oleh Suma Han betapa pertahan-lahan dia mulai kalah tenaga dan keadaannya amat berbahaya!

Tiba-tiba dia merasa ada sebuah tangan menempel di pundaknya dan tangan ini menyalurkan tenaga sinkang yang amat kuat. Pada saat itu, Suma Han sudah berada dalam keadaan berbahaya sekali bagi nyawanya dan dia tahu bahwa tangan ini menyalurkan tenaga untuk membantunya, akan tetapi karena dia tahu bahwa penolong itu adalah Dewa Bongkok padahal kakek itu sudah menderita luka parah, maka dia berseru, “Locianpwe, jangan....!”

Akan tetapi terlambat sudah. Dewa Bongkok sudah mengerahkan tenaganya dan lima orang lawan itu terjengkang ke belakang dan bergulingan dengan muka pucat. Suma Han terlepas dari bahaya, akan tetapi dia melihat kakek berlengan buntung itu terhuyung, lalu duduk bersila dan tak bergerak lagi.

“Locianpwe....!” Suma Han berteriak dan berlutut di dekat tubuh yang bersila akan tetapi sudah menjadi mayat itu! Lima orang lawannya sudah bangkit berdiri lagi. Mereka tidak mengalami luka, akan tetapi hanya terkejut dan terdorong saja ke belakang sampai terjengkang. Kini mereka memandang kepada Suma Han yang perlahan-lahan sudah bangkit berdiri menghadapi mereka dengan sinar mata seperti mata naga berapi-api.

“Im-kan Ngo-ok, lihatlah apa yang kalian lakukan! Sungguh terkutuk kalian! Beliau ini adalah Dewa Bongkok, Penghuni Istana Gurun Pasir, dan sedang menderita luka. Kini, akibat dari perbuatan kalian yang memaksaku bertanding, beliau sampai menjadi korban! Sekarang, aku Suma Han tidak akan mau melepaskan kalian lagi!” Dan dengan kemarahan meluap-luap Suma Han lalu menerjang dengan dahsyat kepada lima orang itu.

Pada saat itu, begitu Suma Han menyebut nama Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, terdengat jerit seorang wanita dan nampak tubuh berkelebat cepat, lalu wanita itu berlutut dan menangisi mayat Dewa Bongkok. Wanita ini adalah Hwee Li. Tadinya, karena merasa sakit hati sekali mendengar ayah dari Kian Lee juga mencaci maki dia sebagai puteri Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin, Hwee Li melarikan diri sambil menangis. Akan tetapi dia segera teringat kepada kakek berlengan satu itu. Tidak, dia tidak boleh meninggalkan kakek yang amat baik kepadanya itu. Dia akan kembali dan mengajak kakek itu pergi meninggalkan Pendekar Super Sakti yang menyakitkan hatinya. Ketika dia tiba di tempat itu, dia melihat pertempuran hebat antara Pendekar Super Sakti melawan Im-kan Ngo-ok, kemudian dia melihat betapa gurunya, atau kakek berlengan satu itu membantu Suma Han, kemudian terhuyung dan duduk bersila kembali. Ketika dia mendengar kata-kata Pendekar Super Sakti bahwa kakek itu telah tewas dan bahwa kakek itu adalah Dewa Bongkok, Hwee Li terkejut bukan main, terkejut dan juga berduka karena kakek yang ternyata adalah masih terhitung kakek gurunya sendiri itu, atau mertua guru dari subonya, telah meninggal dunia. Maka dia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis dan tersedu-sedan.

Kini, Suma Han yang sudah terdesak lagi oleh lima orang lawannya, menjadi makin repot karena berturut-turut muncul pula lima orang cebol sute dari Su-ok bersama Mauw Siauw Mo-li Siluman Kucing. Mereka itu datang-datang terus mengeroyok! Tentu saja Suma Han makin terdesak hebat. Kalau dia mau mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun untuk melarikan diri, agaknya pendekar sakti itu masih akan mampu menyelamatkan diri dan tidak ada di antara lawan-lawannya yang akan mampu mengejarnya. Akan tetapi, pantanglah bagi seorang pendekar besar seperti Pendekar Super Sakti untuk lari meninggalkan gelanggang pertempuran. Dia mempertahankan diri sedapatnya, biarpun dia sudah menerima beberapa kali pukulan dengan tenaga sakti yang membuat tubuhnya terguncang dan tergetar. Namun dia masih mengamuk terus dan ketika melihat dara remaja itu menangisi jenazah Dewa Bongkok, pendekar sakti ini masih sempat berkata.

“Nona, lekas kau menyingkir dari sini selagi ada kesempatan! Lekas kau lari menyelamatkan diri, biar aku menahan mereka!”

Tadinya, hati Hwee Li penuh kemarahan terhadap Pendekar Super Sakti karena sikap dan ucapannya yang menyakitkan hati, biarpun dia tahu bahwa pendekar itu tidak mengenalnya sehingga kata-katanya di depan Dewa Bongkok itu tidak dimaksudkan untuk ditujukan kepadanya. Marah karena mengingat akan sikap Kian Lee dan kini sikap ayahnya yang sama pula. Akan tetapi, begitu mendengar bujukan halus pendekar itu agar dia melarikan diri dan menyelamatkan diri, dia merasa kagum dan terharu juga. Dia dapat melihat dengan jelas betapa pendekar itu dikurung hebat dan didesak oleh para musuhnya, namun pendekar itu tidak memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan mengkhawatirkan keselamatannya dan membujuk agar dia yang menyelamatkan diri! Betapa mengagumkan dan dia teringat akan sikap dan watak Kian Lee yang juga demikian gagah perkasa dan bijaksana. Hanya terhadap dia dan riwayat keturunannya mereka itu amat tidak bijaksana! Kini, dara itu bangkit berdiri, sama sekali bukan untuk melarikan diri. Tidak! Orang-orang ini menjadi penyebab kematian kakek gurunya, atau juga gurunya karena dia telah diwarisi bermacam ilmu silat yang hebat. Mana mungkin dia melarikan diri? Tidak, sebaliknya malah. Dia harus membasmi orang-orang ini untuk membalas kematian Dewa Bongkok!

Tiba-tiba terdengar pekik nyaring melengking tinggi dan tubuh Hwee Li sudah bergerak ke depan. Sekali kedua tangannya bergerak, dua orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu terlempar sampai lima meter jauhnya dan terbanting mati seketika! Dara itu dalam kemarahannya telah mempergunakan satu di antara delapan jurus Cui-beng Pat-ciang yang baru-baru ini diwarisinya dari Dewa Bongkok. Biarpun latihannya belum matang benar, namun dengan sekali pukul saja dia dapat membuat dua orang sute Su-ok terlempar dan tewas, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu pukulan itu dan betapa kuatnya sinkang yang berada dalam diri Hwee Li setelah Dewa Bongkok “mengoperkan” tenaganya kepada dara jelita itu!

Tentu saja tiga orang cebol yang lain terkejut setengah mati, demikian pula Mauw Siauw Mo-li. Terutama sekali Mauw Siauw Mo-li. Dia mengenal Hwee Li dengan baik karena bukankah dara itu masih keponakan muridnya sendiri? Melihat dara itu membantu Pendekar Super Sakti, marahlah dia dan bersama tiga orang cebol yang lain dia sudah menerjang maju, bukan hanya dengan tangan kosong, melainkan menggunakan pedangnya yang bersinar hijau! Akan tetapi, Hwee Li sudah marah sekali, sepasang matanya mencorong dan hal ini adalah berkat tenaga sinkang yang diterimanya dari Dewa Bongkok. Begitu melihat sinar pedang hijau menusuk, dia miringkan tubuhnya dan sekali tangan kirinya menekan ke bawah, terdengar bunyi ”krekkk” dan pedang di tangan Mauw Siauw Moli telah patah! Sebelum wanita cabul itu hilang kagetnya, tangan kiri Hwee Li yang mematahkan pedang itu kini menyampok ke atas, dan kembali terdengar suara “krekkk” disusul robohnya tubuh Mauw Siauw Mo-li yang telah patah tulang lehernya dan tewas seketika! Bukan main hebatnya gerakan-gerakan dari Hwee Li itu, karena dia tidak ingat lagi akan keganasan pukulan-pukulan itu saking marahnya. Dia terus menghadapi tiga orang cebol yang lain, kemudian dia menggerakkan jurus ke empat, tubuhnya merunduk ke bawah, kemudian kaki kiri ditarik ke belakang, tubuhnya seperti hampir bertiarap, akan tetapi kedua tangannya menyambar ke depan. Terdengar teriakan-teriakan mengerikan dan tiga orang cebol itu terpelanting ke kanan kiri tanpa dapat bangkit kembali karena ada yang kepalanya retak, ada yang tulang-tulang dadanya remuk terkena sambaran hawa pukulan jurus mujijat itu!

Sungguh sukar untuk dipercaya! Dalam tiga jurus saja dara remaja itu telah mampu membunuh lima orang cebol yang amat lihai itu dan juga menewaskan Mauw Siauw Mo-li yang merupakan seorang tokoh besar dalam dunia sesat! Bukan hanya Im-kan Ngo-ok yang terkejut setengah mati, juga Suma Han sendiri memandang dengan penuh keheranan, kekaguman, akan tetapi juga agak ngeri melihat keganasan yang luar biasa itu.

Kini Hwee Li menerjang maju ke arah lima orang Im-kan Ngo-ok yang masih mengurung dan mendesak Suma Han yang sudah menderita luka-luka oleh pukulan-pukulan sakti. Melihat ini, Sam-ok alias bekas Koksu Nepal yang merasa sudah mengenal betul tingkat kepandaian nona muda itu, cepat meloncat maju.

“Eh, Nona, mengapa engkau membela musuh? Hayo kau menyerah sebelum terpaksa aku menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Ngo-ok untuk dipermainkan habis-habisan!” Ternyata Sam-ok memandang rendah kepada nona ini. Memang betul bahwa nona ini telah merobohkan enam orang itu, akan tetapi Sam-ok pun memandang rendah kepada enam orang itu. Sambil menyeringai dia mementang kedua lengannya dan melangkah maju, sikapnya menakutkan.

Kemarahan Hwee Li makin memuncak. “Keparat, engkau ini manusia busuk, di mana-mana mendatangkan kejahatan. Engkau harus menebus kematian Locianpwe itu dengan nyawamu yang tak berharga!”

“Huh, bocah tak tahu diri!” Sam-ok Ban Hwa Seng-jin marah sekali dan menubruk ke depan. Gerakannya cepat bukan main dan ada angin berputar yang mengurung diri Hwee Li sehingga dara itu sukar mencari jalan keluar dari serangan ini. Kedua tangannya yang besar itu mencengkeram dari kanan kiri.

Hwee Li memang tidak berniat untuk mengelak. Melihat kedua tangan itu menyambar, dia pun lalu menyambut dengan kedua lengannya pula, menangkis sambil mengerahkan tenaga dari pusarnya.

“Dukkk! Desss....!” Hebat sekali benturan antara sepasang lengan yang besarnya melebihi betis Hwee Li sendiri dengan dua lengan kecil halus dari dara itu. Tubuh Ban Hwa Seng-jin terpental sampai empat meter dan dia terbanting jatuh, debu mengepul dan dia bangkit sambil menyeringai karena tulang lengan kirinya patah!

Melihat ini, Twa-ok terkejut dan dia mengeluarkan bentakan nyaring, menubruk ke arah Hwee Li dengan mengerahankan tenaganya. Kembali Hwee Li menyambut tanpa mengelak, melainkan tiba-tiba dia berlutut dengan kaki kiri, tangan kiri menekan tanah dan tangan kanan dipukulkan atau didorongkan ke depan dengan tangan terbuka. Inilah pukulan dari jurus Cui-beng Pat-ciang, dengan mengandalkan tenaga yang meminjam tekanan pada bumi.

“Desssss....!” Tubuh orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu terputar-putar dan dia nyaris terbanting kalau saja dia tidak cepat meloncat dan membuat salto untuk mematahkan daya luncur tubuhnya. Dia tidak terluka, akan tetapi merasa dadanya sesak dan dia memandang dengan mata terbelalak ke arah Hwee Li! Kemudian, dia membalikkan tubuh dan berseru kepada empat orang saudaranya, “Pergi.... angin keras!” Itulah tanda bahwa fihak musuh terlalu kuat dan lima orang Im-kan Ngo-ok itu pun berlari-larian secepatnya dengan hati jerih.

Suma Han yang menderita luka berdiri sambil memandang dara itu penuh kagum. “Ahh.... sungguh hebat, engkau agaknya telah menerima ilmu-ilmu dari Locianpwe ini, Nona....”

Hwee Li hanya mengangguk, sikapnya dingin. Akan tetapi pada saat itu, wajah Suma Han menjadi pucat dan orang tua ini mengatupkan bibir kuat-kuat menahan nyeri, kemudian tubuhnya bergoyang-goyang. Hwee Li memandang wajah itu dan teringatlah dia kepada Kian Lee. Betapa miripnya wajah itu dengan wajah kekasihnya. Timbul rasa kasihan di dalam hatinya.

“Kau.... kau terluka, Locianpwe....?
Suma Han menarik napas panjang. “Sedikit tidak mengapa. Untung ada engkau yang hebat, Nona. Siapa namamu?”

“Nama saya Kim Hwee Li, Locianpwe”
Hwee Li menanti dengan jantung berdebar, akan tetapi nama itu tidak mendatangkan pengaruh apa-apa terhadap pendekar itu sehingga legalah hatinya. Pendekar ini belum pernah mendengar namanya dan tidak tahu bahwa dialah dara yang tadi dicelanya sebagai puteri penjahat Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin!

“Sebut saja aku paman, Hwee Li. Dengan kepandaian yang kaumiliki, lewat beberapa tahun lagi saja belum tentu aku akan dapat menandingimu, maka jangan menyebutku locianpwe. Kalau tidak ada engkau yang agaknya telah mewarisi ilmu-ilmu hebat dari Dewa Bongkok, kiranya sekarang aku sudah mati pula seperti dia. Ahhh, kasihan, seorang tokoh besar harus tewas dalam kesunyian. Kita harus menyempumakan semua jenazah itu dan memperabukan mereka.”

“Semua?” Hwee Li bertanya, heran. “Juga jenazah delapan orang itu?”
Suma Han mengangguk, berbalik dia bertanya, “Ya, mengapa tidak?”

“Tentu saja aku hanya ingin menyempumakan jenazah Locianpwe itu saja, Lo.... eh, Paman. Delapan jenazah yang lain itu adalah jenazah penjahat-penjahat.”

“Ah, Hwee Li, jangan kau berpendapat demikian. Betapapun jahatnya mereka, kini mereka telah mati, telah menjadi jenazah. Tidak ada jenazah yang jahat, bukan?”

Hwee Li mernandang tajam dan Suma Han diam-diam harus mengagumi sepasang mata yang demikian tajamnya itu. Memang setelah dia mewarisi sinkang dari Dewa Bongkok, sepasang mata dara itu mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti! “Jadi kalau begitu kita tidak boleh membenci semua orang yang telah mati, Paman?”

“Ya, begitulah. Yang jahat itu perbuatannya, bukan orangnya.”
“Biarpun pada waktu hidupnya mereka itu amat jahat sekali?”

“Ya, kita tidak boleh membencinya, bahkan harus mengasihani mereka. Hayo kaubantu aku mempersiapkan pembakaran besar untuk mereka.”

Mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu besar yang kering dan ranting-ranting berikut daun-daun kering, menumpuknya sampai banyak sekali. Kemudian, dibantu oleh dara itu, Suma Han menumpuk jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang kakek cebol ke atas tumpukan kayu, sedangkan jenazah Dewa Bongkok diletakkan di atas tumpukan kayu tersendiri oleh Hwee Li yang berkeras untuk memisahkan jenazah kakek bongkok itu.

“Aku hendak menyimpan abu jenazah beliau, Paman,” katanya sebagai alasan ketika dia hendak memisahkan pembakaran jenazah itu.

“Eh, untuk apa?”
“Untuk kuserahkan kepada yang berhak menerima. Menurut.... cerita beliau sebelum meninggal dunia, beliau mempunyai seorang murid yang bernama Kao Kok Cu. Nah, aku ingin mencarinya untuk menyerahkan abu jenazah beliau kepadanya.”

Suma Han mengangguk. “Memang benar. Muridnya adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu. Engkau sungguh berbakti sekali kepada Dewa Bongkok, Hwee Li.”

Mereka lalu membakar tumpukan kayu di mana jenazah-jenazah itu diletakkan. Sambil menanti jenazah-jenazah itu terbakar menjadi abu, Suma Han mengajak Hwee Li bercakap-cakap. Dia amat tertarik kepada gadis ini, seorang gadis yang selain cantik jelita penuh kelembutan juga mengandung kekuatan hebat, kelincahan, kejujuran dan keberanian dengan hati yang keras, mengingatkan dia kepada Lulu isterinya yang ke dua ketika masih muda.

“Engkau berbakti sekali kepada orang tua itu. Apakah engkau muridnya? Melihat bahwa engkau telah mewarisi ilmu-ilmunya, tentu engkau diambil murid olehnya.”

“Tidak, Lo.... eh, Paman. Kami kebetulan saja bertemu ketika dia dalam keadaan terluka dan akan dibunuh oleh Mauw.... eh, wanita yang telah tewas itu.” Dia menuding ke arah tumpukan jenazah yang terbakar. “Melihat seorang kakek terluka tak berdaya hendak dibunuh, aku lalu melindunginya. Aku tentu kalah oleh wanita itu kalau tidak diberi petunjuk oleh Dewa Bongkok. Kemudian kami melakukan perjalanan bersama dan beliau menurunkan ilmu-ilmunya kepadaku.”

“Berapa lama engkau dilatihnya?”
“Kurang lebih tiga bulan.”
“Ahhh! Tiga bulan dan engkau sudah sehebat itu? Tentu sebelumnya engkau telah memiliki kepandaian lumayan. Dan engkau mengenal wanita yang kaubunuh itu agaknya?”

Hwee Li mengangguk. “Aku pernah melihatnya, dia berjuluk Mauw Siauw Mo-li, seorang penjahat wanita yang amat kejam.”

“Bukan main...., Hwee Li, melihat usiamu tentu tidak lebih dari sembilan belas tahun....“
“Baru delapan belas, Paman.”
“Nah, masih amat muda remaja, akan tetapi agaknya pengalamanmu di dunia kang-ouw sudah amat luas dan engkau memiliki kepandaian begini tinggi! Eh, di manakah tempat tinggalmu dan siapakah orang tuamu?”

Ditanya demikian, tiba-tiba saja, Hwee Li menutupi mukanya dan menangis. Teringat dia betapa dia hidup sebatangkara, betapa dia tidak mempunyai keluarga sama sekali, bahkan Mauw Siauw Mo-li yang dulu dianggap sebagai bibi gurunya baru saja mati olehnya. Dan kekasihnya meninggalkannya, juga subonya agaknya membencinya karena dia keturunan pemberontak. Dan orang yang amat baik kepadanya, kakek berlengan buntung yang ternyata kakek gurunya juga, itu baru saja meninggal dan kini, jenazahnya masih dimakan api. Siapa tidak akan menjadi sedih mendengar pertanyaan itu? Apalagi yang mengajukan pertanyaan adalah orang yang diharapkannya menjadi ayah mertuanya akan tetapi yang tadi mengeluarkan caci maki kepadanya! Makin diingat, makin sedih hatinya, dan dia menangis sampai mengguguk.

Suma Han memandang dengan wajah berseri. Benar-benar serupa dengan Lulu gadis ini, bukan wajahnya yang mirip, melainkan wataknya, begitu mudah menangis! Dia merasa kasihan sekali karena dia dapat menduga bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat atas diri gadis ini, hal-hal yang membuat hatinya merasa sengsara dan berduka. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau seorang wanita menangis karena duka, biarkanlah dia menangis, jangan ganggu, jangan hibur karena selama air matanya belum habis ditumpahkan, hiburan-hiburan bahkan akan makin memperpanjang kesedihannya.

Setelah tangisnya reda, dan menyusuti air mata, bahkan mengeringkan hidung yang menjadi berair karena tangis, begitu saja dengan saputangan di depan Suma Han tanpa malu-malu sebagai seorang gadis yang terbuka dan polos sehingga malah jauh daripada menimbulkan jijik, Hwee Li lalu berkata, suaranya masih terisak, “Aku sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai sanak keluarga, tidak mempunyai tempat tinggal lagi, Paman. Dan harap jangan tanya siapa orang tuaku, karena hal itu hanya membikin hatiku makin sengsara saja.”

Suma Han mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya hatimu menderita penasaran besar, Hwee Li. Katakanlah siapa yang membuatmu penasaran, dan aku berjanji akan membantumu, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memberi penerangan dalam kegelapan hatimu.”

“Ah, benarkah, Paman?” Tiba-tiba dara itu mengangkat mukanya memandang dan ada senyum di bibirnya, dan mata berseri, biarpun masih ada dua titik air mata yang baru saja turun ke atas pipinya! Sungguh tiada bedanya dengan Lulu! Suma Han membayangkan Lulu ketika masih muda, persis seperti dara ini, mudah menangis dan mudah tertawa! “Mengapa Paman hendak membantuku sekuat tenaga? Apakah untuk membalas bantuanku kepada Paman tadi ketika Paman dikeroyok orang jahat?”

“Tidak, Hwee Li. Andaikata engkau tidak pernah membantuku sekalipun, aku akan tetap membantumu dengan sungguh hati.”

“Mengapa, Paman? Mengapa Paman demikian baik kepadaku?” Sepasang mata itu seperti hendak menembus ke dalam dada dan suaranya penuh desakan.

“Karena aku suka kepadamu, Hwee Li. Engkau mengingatkan aku akan isteriku Lulu di waktu dia masih semuda engkau.”

“Ahhh....!” Tiba-tiba kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan agaknya dia menjadi gugup, dan untuk menutupi kegugupannya itu dia berlari mendekati tempat pembakaran jenazah Dewa Bongkok dan menambah kayu kering pada api yang masih berkobar itu.

Setelah mereka duduk kembali di tempat yang sejuk, cukup jauh dari tempat pembakaran itu agar jangan terlalu terserang oleh bau yang keras dari jenazah yang terbakar itu, Hwee Li berkata, “Tidak ada sesuatu yang perlu bantuanmu, Paman. Aku hanya bingung ke mana aku harus mencari murid Dewa Bongkok untuk menyerahkan abu jenazahnya.”

“Aku akan menemanimu dan membantu mencari, Kao Kok Cu, Hwee Li. Setelah apa yang terjadi tadi, dan selama Ngo-ok masih berkeliaran, tentu akan berbahaya sekali kalau engkau melakukan perjalanan seorang diri saja. Memang kepandaianmu hebat, akan tetapi mereka berlima itu merupakan lawan yang amat tangguh. Dengan kepandaian kita berdua, kukira kita akan dapat menanggulangi mereka. Juga aku perlu pergi ke selatan lagi untuk mencari dua orang puteraku.”

“Jadi Paman tidak kembali ke Pulau Es?”
Suma Han menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pulang tanpa disertai putera-puteraku, aku tentu akan menghadapi dua orang wanita yang marah persis engkau.”

Jantung di dalam dada Hwee Li berdebar tegang. Hampir dia bertanya siapakah Lulu itu? Ibu kandung Kian Bu atau Kian Lee? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani bertanya, karena dengan demikian berarti dia akan membuka rahasia dirinya. Mereka harus menanti sampai sehari penuh dan menjelang malam, barulah pembakaran jenazah itu selesai. Abu jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol dikubur di bawah sebatang pohon oleh Suma Han, sedangkan abu jenazah Dewa Bongkok dibungkus kain oleh Hwee Li, kemudian digendongnya di punggung.

Malam itu juga Suma Han dan Hwee Li melakukan perjalanan menuju ke selatan, melintasi gurun pasir dalam cuaca terang bulan yang amat indah. Mereka berhenti di dalam hutan di seberang gurun pasir itu, membuat api unggun dan beristirahat. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li telah menghidangkan panggang ayam hutan untuk Suma Han.

Suma Han tersenyum dan mengelus jenggotnya, memandang kepada dara itu dengan sinar mata penuh kasih sayang. “Terima kasih, anak yang baik, kaumakanlah daging ayam itu.”

“Eh, kenapa, Paman? Aku sengaja menangkap dan memanggangnya untuk Paman. Sejak kemarin Paman tidak pernah makan, tentu lapar. Nah, silakan, lumayan untuk sarapan pagi, Paman.”

“Terima kasih, engkau memang baik sekali. Akan tetapi sayang, aku tidak pernah makan daging lagi selama beberapa tahun ini, Hwee Li. Kaumakanlah sendiri, aku tidak biasa makan daging....“

“Ahhh....! Kalau begitu, biar kucarikan sayur-sayur untuk Paman” Dan sebelum pendekar itu sempat mencegah, dara itu telah meloncat dan lari pergi memasuki hutan. Sampai lama dia pergi dan akhirnya dia datang kembali membawa banyak sekali buah-buahan dan sayur-sayuran yang dapat dimasak.

“Nah, ini buah-buah segar, Paman. Sayang tidak ada tempat untuk memasak sayur-sayuran ini....!”
“Tidak apa, buah-buahan ini cukuplah.”

Mereka lalu makan. Suma Han makan buah-buahan segar dan Hwee Li makan panggang daging ayam. Mereka makan sambil bercakap-cakap. “Paman, mengapa Paman tidak makan daging? Apakah karena agama yang Paman anut melarang Paman makan daging?”

“Tidak, Hwee Li.”
“Lalu mengapa? Apakah Paman menjalani kehidupan suci, sehingga tidak mau makan barang berjiwa?”

Suma Han tersenyum lebar. “Apakah kalau tidak makan barang berjiwa itu lalu menjadi suci? Tidak, Hwee Li, bukan untuk menjalani kehidupan suci.”

“Lalu untuk apa, Paman?” Gadis ini benar-benar keras hati dan belum puas kalau belum dijawab pertanyaannya. Persis Lulu!

“Bukan untuk apa-apa, anak baik. Hanya aku melihat bahwa makan sayur dan buah saja lebih baik untuk diriku lahir batin, karena itulah aku tidak makan daging! Dan sekarang aku telah terlanjur tidak suka, jadi, aku tidak memaksa diri yang tidak suka. Nah, puas sudah?”

Hwee Li terbelalak, akan tetapi lalu mengerti maksud pendekar kaki buntung itu dan baru dia merasa bahwa dia terlalu mendesak. “Ah, maaf, Paman. Aku sudah puas. Paman jujur, tidak seperti orang-orang yang ingin disebut suci dan pura-pura tidak mau makan daging, padahal kalau melihat orang makan daging dia mengilar!”

Suma Han tertawa mendengar ucapan ini. Makin lama mereka melakukan perjalanan bersama, makin suka dia kepada Hwee Li dan di dalam hatinya dia merasa menyesal mengapa putera-puteranya tidak mencari jodoh seperti dara ini! Mengapa mereka, menurut berita dari mulut Im-kan Ngo-ok, malah tergila-gila kepada anak seorang pemberontak? Gila benar! Diam-diam dia mengambil keputusan untuk mengambil dara ini sebagai mantu, entah dijodohkan dengan Kian Bu atau dengan Kian Lee! Akan tetapi sebaiknya dengan Kian Lee, karena Kian Lee orangnya pendiam dan tenang, cocok kalau mendapatkan seorang isteri seperti ini lincahnya! Seperti dia dengan Lulu! Kian Bu wataknya keras, kalau bertemu gadis ini, sama kerasnya, kelak bisa menimbulkan keributan. Ah, bagaimanapun juga, dia harus mengambil dara ini sebagai mantunya!

Beberapa pekan kemudian, mereka melewati Tembok Besar. Bukan hanya Suma Han yang amat tertarik dan suka kepada dara itu, sebaliknya Hwee Li juga amat kagum kepada pendekar ini. Demikian tenang, demikian bijaksana, demikian kuat, dan demikian gagah perkasa, penuh pengertian! Akan tetapi, hatinya masih terasa sakit kalau dia teringat akan pandangan Kian Lee dan juga pendekar sakti ini terhadap dirinya dengan mengingat keturunan orang tuanya. Hwee Li dapat menduga bahwa gurunya dan suaminya tentu masih berada di selatan. Setelah suami gurunya, Kao Kok Cu, murid dari Dewa Bongkok itu berhasil menyelamatkan keluarga Jenderal Kao Liang yang tertawan dalam benteng, tentu dia akan mengatur keluarga yang telah ditinggal mati ayahnya itu. Dan karena kabarnya keluarga itu telah diusir dari kota raja secara halus, maka tidak mungkin kalau keluarga itu kembali ke kota raja, tentu ke kampung halaman dari mana keluarga Kao berasal. Dan dia akan mencari ke sana! Akan tetapi semua ini tidak dia beritahukan kepada Pendekar Super Sakti yang diam-diam juga ingin lebih dulu mencari puteranya untuk.... diperkenalkan dengan dara pilihannya ini!

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di persimpangan jalan. Menurut pengetahuan Hwee Li yang pernah mendengar penuturan subonya tentang kampung halaman keluarga Jenderal Kao, mestinya mereka mengambil jalan yang kanan, yang menuju ke Kang-lam di mana keluarga Kao berasal. Akan tetapi Suma Han ingin mengambil jalan yang kiri. Karena Hwee Li ingin cepat-cepat menyerahkan abu jenazah itu kepada suami gurunya, maka dia membantah dan bertanya, “Mengapa Paman hendak mengambil jalan itu? Apakah Paman sudah mempunyai petunjuk bahwa ke sanalah kita harus mencari murid Dewa Bongkok?”

Suma Han menarik napas panjang. “Jangan khawatir, Hwee Li. Mencari Kao Kok Cu boleh nanti saja dan aku serta anak-anakku pasti akan membantumu. Aku ingin lebih dulu menemukan putera-puteraku, baru kami akan membantumu mencari Si Naga Sakti, Gurun Pasir itu.”

“Ah, urusan kematian Dewa Bongkok merupakan urusan yang amat penting bagi muridnya, Paman. Kenapa Paman tergesa-gesa hendak mencari putera Paman?”

“Karena aku hendak memperkenalkan engkau kepada mereka, anak yang baik.”
Hwee Li terbelalak memandang wajah yang berseri lembut itu. “Eh? Mengapa? Apa maksudnya Paman hendak memperkenalkan aku kepada mereka?”

Pendekar itu menarik napas panjang lalu duduk di tepi jalan itu. “Kau duduklah, Hwee Li, dan dengarkan kata-kataku.” Gadis itu memandang heran lalu duduk di depan pendekar itu, di atas sebuah batu bundar.

“Hwee Li, semenjak berkenalan denganmu, bahkan semenjak melihat engkau dengan gagah perkasa melawan musuh-musuh yang tangguh itu, kemudian setelah melakukan perjalanan bersamamu, terus terang saja timbul rasa suka yang mendalam di hatiku. Engkau makin mengingatkan aku akan isteriku ketika dia masih muda. Maka, semenjak beberapa hari ini, aku telah mengambil keputusan hati untuk.... mengambil engkau sebagai mantuku!”

“Ahhhhh....!” Hwee Li terbelalak memandang, jantungnya berdebar tegang.

“Maafkan, Nak, bukan aku ingin lancang dan memandang rendah kepadamu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau tidak mempunyai orang tua atau sanak keluarga lagi, maka aku bicara begini terus terang kepadamu. Aku yakin bahwa engkau cocok sekali untuk menjadi isteri Kian Lee, puteraku....“

Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat dara itu meloncat bangun seperti disengat kelabang pantatnya. Dara itu berdiri dan memandang kepadanya dengan muka merah sekali, kemudian terdengar dia berkata, “Paman, aku telah mendengar percakapan Paman dengan locianpwe Dewa Bongkok tempo hari. Bukankah puteramu itu telah mempunyai seorang kekasih?”

Kini Suma Han juga bangkit berdiri dan mengepal tangan kanannya. “Tidak! Aku akan memutuskan hubungan yang tidak tepat itu!”

“Mengapa.... mengapa tidak tepat, Paman?” Suma Han tidak dapat melihat betapa suara dara itu agak gemetar, karena dia sendiri sedang marah memikirkan keadaan puteranya.

“Dia harus memutuskan hubungan itu dan menikah denganmu! Aku yakin bahwa aku akan dapat menyadarkan Kian Lee, bahkan menurut Dewa Bongkok, dia pun sudah sadar dan telah meninggalkan gadis anak si jahat Hek-tiauw Lo-mo dan keturunan pemberontak rendah itu!” Sepasang mata Majikan Pulau Es ini bersinar-sinar penuh kemarahan. Dia merasa terhina kalau harus menjadi besan orang-orang seperti penjahat dan pemberontak itu.

Dan terjadilah hal yang aneh, yang membuat Pendekar Super Sakti berdiri terbelalak memandang gadis itu. Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah padam dan kedua matanya basah akan tetapi mengeluarkan sinar kemarahan yang berapiapi, yang ditujukan kepadanya!

“Bagus sekali, Paman! Baru saja beberapa hari yang lalu Paman memberi kuliah kepadaku bahwa kita tidak boleh membenci orang yang telah mati betapapun jahatnya dia, dan kini Paman memperlihatkan kebencian kepada Kim Bouw Sin dan keluarganya yang telah terbasmi dan binasa semua sebagai keluarga pemberontak! Apakah Paman sendiri di waktu mudanya tidak pernah memberontak? Pemerintah Mancu sekarang ini, ketika pertama kali menyerbu ke selatan, bukankah mereka pun pemberontak? Dan Paman juga membenci Hek-tiauw Lo-mo, karena dia itu ketua Pulau Neraka! Lupakah Paman bahwa isteri Paman sendiri, Bibi Lulu itu, ibu kandung dari.... eh, puteramu Kian Lee itu, pernah pula menjadi pemberontak dan juga menjadi ketua Pulau Neraka? Apa hubungannya anak dengan kejahatan atau pemberontakan atau penyelewengan orang tuanya? Mengapa anaknya diikutkan bertanggung jawab dan kebagian nama buruk yang harus Paman benci pula? Adilkah itu? Benarkah itu? Layakkah itu bagi seorang pendekar sakti seperti Paman ini mempunyai jalan pikiran yang demikian picik, dangkal dan tidak adil?”

Wajah Suma Han menjadi pucat, kemudian merah kembali. Tergagap-gagap dia berseru, “Hwee Li, kau....”

Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, demikian kerasnya sampai tanah di sekitar tempat itu terguncang! “Sudahlah! Aku tidak sudi berjodoh dengan anak Paman yang mulia dan setinggi langit itu! Aku adalah anak pemberontak, anak penjahat, sebaliknya Paman dan keluarga Paman adalah keluarga langit! Sudahlah!” Dia terguguk menangis dan melarikan diri secepatnya pergi meninggalkan Suma Han yang berdiri melongo. Hatinya mendorong untuk mengejar, akan tetapi dia teringat dan tidak jadi, menggerakkan kakinya. Gadis seperti Hwee Li ini, seperti juga Lulu dahulu, tidak mungkin ditundukkan dengan bujukan atau paksaan. Sudahlah, dia sendiri yang bersalah! Pendekar ini tersenyum. Sudah setua, ini masih begitu tolol. Tentu saja! Tentu saja Hwee Li adalah gadis yang dicinta oleh Kian Lee itu, gadis anak angkat Hek-tiauw Lo-mo, puteri kandung mendiang Kim Bouw Sin! Mengapa dia begitu bodoh? Gadis itu datang bersama Dewa Bongkok, bahkan telah menjadi murid Dewa Bongkok dan locianpwe itu datang untuk membicarakan urusan perhubungan gadis itu dengan Kian Lee. Pantas saja gadis itu dahulu lari sambil menangis ketika mendengar dia mencela gadis itu sebagai keturunan penjahat dan pemberontak!

Seperti disambar halilintar, pendekar sakti ini sadar! Dia seperti dihadapkan sebuah cermin besar di mana dia memandang kepada dirinya sendiri, melihat betapa dia masih dikuasai oleh watak sombong, ingin mengangkat diri dan keluarga sendiri, mempunyai “gambaran” yang amat agung terhadap keluarga sendiri yang pada hahekatnya perluasan dari diri sendiri pula, sehingga dia memandang rendah kepada golongan lain, terutama yang dianggapnya hina seperti penjahat dan pemberontak! Dan gadis dengan kemarahannya yang khas seperti Lulu itulah yang menyadarkannya!

Sampai berjam-jam lamanya Suma Han berdiri seperti patung di tempat itu, tak pernah bergerak akan tetapi mata batinnya mengamati dirinya sendiri dan dia merasa malu, malu sekali! Aih, betapa Lulu akan marah sekali kalau mendengar akan sikapnya selama ini! Dan kenapa Kian Lee juga memandang rendah kepada gadis yang menjadi kekasihnya itu setelah mendengar bahwa gadis itu anak pemberontak? Mengapa Kian Lee setolol itu? Setolol dia? Apa hubungannya seorang anak dengan penyelewengan orang tuanya? Mereka adalah manusia-manusia lain yang hanya kebetulan saja dihubungkan sebagai ayah dan anak. Akan tetapi, bukankah ayah dan anak merupakan dua orang manusia yang memiliki pikiran sendiri, hati sendiri, kesadaran sendiri, selera sendiri?

Sadarlah kini Suma Han. Sadarlah dia bahwa selama ini, dialah yang kehilangan kewaspadaan sehingga tanpa disadari dia bersikap yang tidak benar. Sikap dan perbuatan yang tidak benar hanya dilakukan oleh manusia yang pada saat itu tidak sadar! Apabila manusia sadar setiap saat, waspada setiap saat memandang dirinya sendiri, setiap gerak-gerik badan dan batinnya sendiri, tidak mungkin dia melakukan sesuatu yang tidak benar! Karena, setiap perbuatan yang tidak benar itu pun akan nampak olehnya dan karenanya tentu tidak akan dilakukannya!

Kewaspadaan bukanlah suatu hal yang boleh dilakukan sekali waktu atau pada waktu-waktu tertentu saja. Kalau dilakukan berselang-seling, maka terjadilah apa yang kita lihat dalam kehidupan manusia ini. Di waktu tidak waspada, melakukan dosa, setelah sadar dan waspada, menyesal dan minta ampun, bersumpah tidak akan lagi melakukan perbuatan itu. Kemudian, dalam keadaan tidak sadar lagi, diulanginya perbuatan itu, lalu sadar dan minta ampun lagi. Demikianlah kita terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya. Kewaspadaan harus selalu ada pada kita setiap saat, timbul dari pengamatan setiap saat, timbul dari perhatian sepenuhnya yang kita curahkan terhadap diri sendiri dalam saat apa pun, selagi melakukan atau mengatakan atau memikirkan apa pun. Pengamatan penuh kewaspadaan, penuh perhatian inilah kesadaran! Kalau kita membiarkan diri kosong tanpa kewaspadaan, maka iblis berupa pikiran yang selalu mengejar kesenangan akan masuk dan menyeret kita kepada kesesatan. Waspada dengan pengamatan tanpa pamrih ingin mengubah, waspada dengan pengamatan tanpa adanya si aku yang mengamati, karena si aku adalah yang diamati pula, waspada terhadap si aku, pikiranku, kedukaanku, kemarahanku, kebencianku, waspada terhadap semua ini tanpa ingin mendapatkan apa pun, inilah satu-satunya yang dapat menimbulkan pengertian.

Lebih dari tiga jam pendekar sakti itu berdiri seperti patung. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak marah oleh sikap dan kata-kata Hwee Li tadi. Bahkan dia berterima kasih, karena dara remaja itulah yang telah menggugahnya dari mimpi yang membawanya kepada kesesatan. Betapa dia telah memberi kuliah kepada Hwee Li, seperti dikatakan dara itu, tentang tidak membenci orang jahat sekalipun yang sudah mati, namun sikapnya menentang hubungan puteranya karena si gadis itu anak penjahat dan pemberontak sudah merupakan suatu kebencian pula yang terselubung! Ahhh, betapa mudahnya memberi nasihat namun betapa sukarnya melaksanakannya sendiri! Ini semua takkan terjadi kalau dia selalu waspada setiap saat mengamati diri sendiri, sehingga dia akan waspada ketika memberi nasihat, waspada pula ketika berbuat!

“Akan kucari Kian Lee, akan kubereskan semua yang tidak benar selama ini!” katanya kepada diri sendiri dan di lain saat pendekar sakti itu telah berkelebat pergi, mempergunakan ilmunya untuk berloncatan dan melakukan perjalanan cepat sekali.

Dugaan Hwee Li memang tepat. Setelah beberapa hari lamanya dia berputar-putar di daerah Kang-lam, akhirnya dia dapat memperoleh keterangan di mana adanya keluarga Jenderal Kao Liang, yaitu di dusun Lok-jung di kaki sebuah bukit kecil yang sunyi. Cepat dia menuju ke dusun itu dan dari jauh dia sudah melihat subonya sedang duduk di depan sebuah rumah yang cukup besar, bersama Kao Kok Cu dan juga Cin Liong. Bukan main girangnya hati Hwee Li, akan tetapi di samping kegirangan ini dia pun merasa terharu karena dia membawa berita duka, dan juga tegang dan gelisah melihat subonya, teringat betapa subonya sudah tidak mau mengakuinya lagi sebagai murid karena dia adalah keturunan pemberontak!

“Enci Hwee Li....!” Cin Liong yang masih mengenal dara yang dulu suka memondongnya dan mengajaknya bermain-main itu segera lari menyambut kedatangan Hwee Li. Suami isteri perkasa itu pun memandang.

Hwee Li merangkul dan memondong Cin Liong, lalu dia menghampiri suami isteri itu, menurunkan Cin Liong dan tanpa terasa lagi air mata membasahi pipi Hwee Li. Dia selalu menganggap subonya sebagai pengganti ibu, akan tetapi mengingat betapa wanita di depannya yang amat dihormatinya, dikaguminya dan juga dicintanya itu kini tidak lagi mau mengakuinya sebagai murid, sungguh membuat hatinya terasa sedih sekali. Apalagi kalau dia teringat akan semua pengalamannya yang pahit. Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan mereka. Dia tidak berani menyebut subo atau suhu kepada mereka, mengingat betapa subonya telah mematahkan pedang dan menyatakan hubungan mereka sebagai guru dan murid telah putus. Tidak, dia tidak akan mengemis minta diakui lagi sebagai murid, bisik hatinya yang keras, kedatangannya bukan untuk itu, melainkan untuk menyerahkan abu jenazah!

Sambil berlutut dan dengan muka menunduk dia lalu berkata. “Harap Taihiap dan Lihiap berdua sudi memaafkan aku kalau aku datang mengganggu.”

Tanpa diketahui oleh Hwee Li, suami isteri itu saling lirik ketika mendengar sebutan lihiap dan taihiap itu sebaliknya, dari subo dan suhu. Kao Kok Cu tersenyum pahit dan pandang matanya menegur isterinya, sedangkan Ceng Ceng kelihatan terharu, namun ditahannya dengan hatinya yang keras. Memang dia sudah menceritakan kepada suaminya bahwa dia memutuskan hubungan dengan Hwee Li karena ternyata bahwa Hwee Li adalah adik dari musuh mereka, yaitu adik dari Kim Cui Yan yang telah menculik Cin Liong, atau juga puteri dari mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Mendengar penuturan isterinya itu, Kao Kok Cu sudah mengingatkan isterinya bahwa tindakan isterinya itu terburu nafsu dan tidak adil, akan tetapi karena ssudah terlanjur maka mereka berdua tak dapat berbuat apa-apa lagi. Dan kini, dara itu datang dengan sikapnya yang masih amat baik, datang-datang berlutut dan menyebut mereka taihiap dan lihiap!

Sejenak mereka bertiga merasakan suasana yang sama sekali tidak enak, karena biasanya pertemuan antara mereka tenntu amat menggembirakan karena Hwee Li adalah seorang dara yang lincah jenaka dan yang selalu menggembirakan suami istri itu dengan sikapnya yang manja. Kini gadis itu berlutut dan menitikkan air mata, menyebut mereka dengan sebutan seperti orang asing! Akhirnya Kok Cu memecahkan kesunyian yang tidak enak itu dengan berkata halus.

“Hwee Li, tentu saja engkau tidak mengganggu. Kau bangkit dan duduklah dan ceritakan dengan tenang apa keperluanmu datang menemui kami.”

Hwee Li bangkit dan duduk berhadapan dengan dua orang itu, dan ketika dia melirik ke arah wajah Ceng Ceng, dia melihat nyonya ini menunduk sehingga dia tidak tahu apakah nyonya itu masih marah kepadanya ataukah tidak. Betapapun juga, suasana ini amat tidak enak terasa olehnya, apalagi dia harus membawa berita yang amat tidak baik. Maka sukarlah baginya untuk bicara dan dia hanya mengelus rambut kepala Cin Liong yang kembali mendekatinya dan anak itu berdiri menyandar kepadanya. “Enci Hwee Li kenapa lama tidak datang dan bermain-main dengan aku? Nanti kita latihan silat, aku sudah mulai dilatih oleh Ayah!”

Melihat sikap Hwee Li, Kok Cu dapat menduga bahwa tentu ada urusan penting, maka dia lalu menyuruh puteranya itu masuk. Cin Liong tidak membantah perintah ayahnya. Setelah anak itu masuk, Kok Cu bertanya lagi, “Nah, ceritakanlah keperluanmu, Hwee Li.”

Sejak tadi Hwee Li sudah menahan air matanya dan hanya beberapa tetes yang terlepas turun, akan tetapi kini mendengar pertanyaan itu, kembali dia berlutut di depan Kok Cu dan menangis, suaranya terputus-putus ketika dia bicara sambil menurunkan buntalan dari atas punggungnya.

“Su.... Taihiap...., aku.... aku datang untuk menghaturkan ini....“ Dia merasa lehernya tercekik dan hanya mengangkat buntalan itu dengan kedua tangan ke atas kepala sambil menangis. Teringat dia akan semua kebaikan Dewa Bongkok yang tidak hanya telah menurunkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadanya, bahkan telah mengoperkan sinkang ke dalam tubuhnya.

“Apakah ini? Apakah isinya buntalan ini, Hwee Li? Dan mengapa kau menangis?” tanya Kok Cu dengan hati merasa tidak enak.

“.... abu jenazah....“ Hwee Li berbisik dan kini Ceng Ceng menengok dan memandang penuh perhatian kepada dara itu dan kepada buntalan yang kini sudah diterima oleh suaminya.

Kok Cu terkejut dan makin merasa tidak enak.
“Abu jenazah? Punya siapa?”
“.... abu jenazah Locianpwe.... penghuni Istana Gurun Pasir....“

“Ahhhhh!” Kok Cu meloncat berdiri dan tubuhnya gemetar, buntalan itu masih dipegang tangan kanannya dan wajahnya agak pucat ketika dia memandang kepada buntalan itu, kemudian kepada Hwee Li. “Hwee Li, hayo ceritakan yang jelas!” bentaknya dengan suara mengandung getaran amat kuat. “Tidak salahkah engkau bahwa ini abu jenazah suhuku, Go-bi Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?”

Hwee Li menentang pandang mata Kok Cu dengan mata basah air mata. “Tidak mungkin salah, karena aku sendiri melihat beliau tewas, dan aku bersama dengan Pendekar Super Sakti yang menyempurnakan jenazahnya menjadi abu dan kubawa ke sini untuk kuserahkan kepadamu.”

“Ahhh....!” Kedua kaki Kok Cu menggigil dan dia lalu cepat menaruh buntalan itu di atas meja, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan buntalan abu itu. “Suhu, ampunkan teecu, karena terlalu memikirkan keluarga sendiri teecu sampai melupakan suhu dan tidak tahu bahwa suhu telah meninggal dunia, ampunkan teecu....“

Sebuah tangan yang halus menyentuhnya setelah beberapa lama dia berlutut tanpa bergerak dengan hati yang amat berduka. Dia menoleh dan ternyata isterinya juga sudah berlutut di sampingnya, dengan mata basah air mata. “Sudahlah, suhu sudah meninggal dengan tenang, tidak baik kalau terlalu disedihkan, lebih baik kita cepat mengatur meja sembahyang untuk beliau,” kata Ceng Ceng. Sementara itu, Hwee Li juga sudah berlutut di belakang mereka.

Dengan bantuan beberapa orang anggauta keluarga, diaturlah sebuah meja sembahyang dan abu itu lalu disembahyangi sebagaimana mestinya. Hwee Li juga ikut sembahyang di depan meja abu itu, dan ketika dia berlutut dia berkata dengan suara sayu, “Locianpwe, untuk yang terakhir kalinya aku menghaturkan terima kasih atas segala kebaikanmu kepadaku.”

Setelah dia bangkit, Kok Cu lalu mempersilakan dia duduk. “Maaf, Taihiap, aku akan terus melanjutkan perjalanan dan tidak akan mengganggu lebih lama lagi,” katanya sambil mengerling ke arah Ceng Ceng.

Ceng Ceng tahu bahwa muridnya ini masih merasa tidak enak kepadanya, seperti juga dia merasa tidak enak. Dia pernah menyakitkan hati muridnya ini dan memutuskan hubungan, siapa kira kini anak itu malah berjasa dengan mengantarkan abu jenazah guru suaminya. Maka dengan suara lirih dia berkata, “Hwee Li, kau duduklah dulu dan ceritakan tentang kematian suhu.”

“Benar, harap kau tidak kepalang dengan pertolonganmu, Hwee Li. Engkau sudah bersusah payah mengantar abu jenazah suhu, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi, bagaimana engkau dapat bertemu dengan suhu dan bagaimana suhu sampai meninggal dunia, apa pula hubungannya dengan Pendekar Super Sakti,” kata Kok Cu dan memang suami isteri ini amat tertarik untuk mengetahui semua itu.

Hwee Li menarik napas panjang. Memang dia harus menceritakan itu semua. Sambil menundukkan mukanya dia mulai bercerita secara singkat, “Mula-mula aku bertemu dengan beliau ketika beliau dalam keadaan terluka parah sekali akan dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li....“

“Bagaimana beliau bisa terluka parah?” Kok Cu bertanya kaget.

“Beliau kemudian menceritakan bahwa beliau terluka karena secara curang dipukul dari depan dan belakang oleh Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo. Mereka berdua tewas akan tetapi, beliau sendiri terluka parah. Melihat beliau yang sudah tidak berdaya dan duduk bersila itu hendak dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li, aku lalu mencegahnya dan melawan Mauw Siauw Mo-li....“

“Kau melawan bibi gurumu sendiri?” Ceng Ceng bertanya, akan tetapi pandang mata suaminya membuat dia sadar bahwa dia masih dikuasai oleh kemarahan terhadap dara ini, maka dia lalu diam saja dan menundukkan muka. Hwee Li melirik ke arah subonya itu dan menggigit bibir tanpa menjawab.

“Hwee Li, harap kau suka lanjutkan,” Kok Cu berkata lembut.
“Kami berdua lalu melakukan perjalanan menuju ke gurun pasir di dataran Chang-pai-san untuk menyaksikan pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok. Selama dalam perjalanan itu beliau bersikap amat baik kepadaku....“ Sampai di sini Hwee Li berhenti karena dia harus menyusut dua butir air mata yang kembali mengalir turun.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar rumah, “Apakah murid Si Dewa Bongkok berada di dalam? Keluarlah menemui kami!”

Mendengar suara ini, sekali berkelebat Kok Cu sudah meloncat keluar, diikuti oleh isterinya, dan Hwee Li juga cepat meloncat keluar. Ternyata di pekarangan rumah itu telah berdiri Twa-ok dan Sam-ok, dua di antara Im-kan Ngo-ok yang paling lihai! Kao Kok Cu mengenal dua orang ini, apalagi Sam-ok yang dulu menjadi Koksu Nepal.

“Heemmm, kalian dua orang manusia iblis mau apakah datang mencari, murid penghuni Istana Gurun Pasir?”

“Bagus, kebetulan sekali engkau berada di sini! Dewa Bongkok telah mati, akan tetapi dialah yang menggagalkan kami ketika kami sudah hampir berhasil membunuh Pendekar Siluman! Karena itu, engkau muridnya harus menebus kesalahannya terhadap kami itu!”

“Keparat!” Teriakan ini keluar dari mulut Hwee Li dan dara ini sudah mendahului Kok Cu dan isterinya, langsung saja dia menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang dilakukan secara aneh, yaitu kaki kiri berlutut, tangan kiri di atas tanah dan tangan kanan memukul ke depan, ke arah dua orang kakek sakti itu.

“Cuiiiiittttt.... desss! Desssss!”
Dua orang kakek itu terkejut ketika melihat munculnya dara yang pernah melawan mereka secara aneh dan hebat membantu Pendekar Super Sakti itu. Tak mereka sangka bahwa gadis luar biasa itu pun sudah berada di situ. Gadis itu adalah Hwee Li, bekas tunangan Pangeran Nepal, anak dari Hek-tiauw Lo-mo yang dulu hanya terbatas saja kepandaiannya, akan tetapi yang kini memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Kini Twa-ok dan Sam-ok tidak berani memandang rendah, cepat mereka menangkis dan akibatnya tubuh mereka terdorong mundur sampai terhuyung-huyung! Dan Hwee Li sudah melayang lagi ke arah mereka, kini kedua kakinya bergerak, dengan tumit diangkat, berdiri di atas ujung jari-jari kaki, kedua lengan diputar sedemikian rupa dan dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi berdesingan seperti dua batang pedang diputar.

Twa-ok dam Sam-ok terkejut, cepat mereka pun mengerahkan tenaga dan menangkis sambaran dua hawa pukulan dahsyat itu.

“Wuuuuut, brettt, brettttt....!” Dua orang kakek itu meloncat jauh ke belakang, muka mereka pucat karena lengan baju mereka telah robek seperti digurat pedang pusaka, dan biarpun kulit lengan mereka thdak terluka, namun tahulah mereka bahwa dara itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan aneh. Menghadapi dara itu saja sudah berbahaya, apalagi kalau Si Naga Sakti Gurun Pasir murid Dewa Bongkok yang lihai itu maju bersama isterinya yang juga lihai! Maka tanpa banyak cakap lagi keduanya lalu memutar tubuh dan melarikan diri!

Sejenak Hwee Li memandang dengan berdiri tegak, tidak mengejar, kemudian dia menoleh dan ketika melihat bekas subonya dan suami subonya memandang dengan mata terbelalak kepadanya, dia menarik napas panjang dan berkata lirih, “Sayang aku tidak berhasil membunuh dua manusia iblis itu.”

Kok Cu sudah cepat melangkah maju dan memegang lengan Hwee Li. “Gerakanmu tadi! Tenagamu tadi! Ah, Hwee Li, aku mengenalnya! Engkau.... engkau telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari mendiang suhu?”

Hwee Li mengangguk. “Beliau amat baik kepadaku, telah menurunkan ilmu-ilmu simpanannya dan juga telah mengoperkan sinkangnya kepadaku....“

“Kalau begitu, engkau termasuk muridnya, engkau menjadi sumoiku!”
Hwee Li menggeleng kepala. “Aku tidak berharga untuk menjadi murid beliau dan aku tidak pernah diangkat murid, aku tidak berani menjadi sumoimu, Taihiap....“

“Kaulanjutkanlah ceritamu tadi,” kata Kok Cu dan mereka lalu kembali duduk di ruangan depan di depan meja sembahyang Dewa Bongkok. Ceng Ceng kini memandang kepada bekas murid itu dengan mata kagum.

“Kami berdua tiba di dataran itu dan Pendekar Super Sakti dikeroyok oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Kemudian muncul pula nenek iblis yang pandai sihir, dan Pendekar Super Sakti terdesak hebat. Dalam keadaan amat berbahaya itu, Locianpwe Dewa Bongkok agaknya tidak dapat berdiam saja, dalam keadaan terluka parah itu beliau lalu membantu Pendekar Super Sakti sehingga pendekar Pulau Es itu terlepas dari bahaya maut, akan tetapi beliau sendiri.... beliau tewas dalam keadaan duduk bersila....“ Kembali Hwee Li mengusap kedua matanya.

“Ahhh, jadi Im-kan Ngo-ok yang menjadi biang keladi kematian suhu. Kalau tadi aku tahu....“ Kok Cu berkata. “Teruskan, Hwee Li, teruskan ceritamu.”
“Setelah beliau tewas, Pendekar Super Sakti mengamuk, akan tetapi terdesak oleh banyaknya lawan karena segera muncul Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol yang lihai. Melihat Locianpwe itu tewas, aku menjadi marah dan aku lalu maju membantu Pendekar Super Sakti. Aku berhasil membunuh Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol, menggunakan ilmu yang kupelajari dari Locianpwe Dewa Bongkok, kemudian membantu Pendekar Super Sakti menghadapi lima orang dari Im-kan Ngo-ok sehingga akhirnya mereka melarikan diri meninggalkan Pendekar Super Sakti yang telah menderita luka-luka karena pukulan mereka.”

“Hemmm, dan mereka menyalahkan suhu dalam kegagalan mereka terhadap Pendekar Super Sakti,” kata Kok Cu. “Dan memang suhulah yang menggagalkan mereka, dengan mewariskan kepandaian suhu kepadamu, Hwee Li. Kemudian, kau membakar jenazah suhu?”

“Pendekar Super Sakti yang melakukannya, aku membantunya, kemudian aku mengumpulkan abu Locianpwe Dewa Bon&kok dan kubawa ke sini untuk kuserahkan kepadamu, Taihiap.”

Kok Cu bangkit berdiri, memandang kepada Hwee Li dengan mata kagum dan berterima kasih. “Hwee Li, aku amat berterima kasih kepadamu. Tidak keliru suhu memilihmu sebagai ahli waris ilmu yang dirahasiakan itu, bahkan kepadaku pun dia tidak menurunkan ilmu itu. Engkau baik sekali dan engkau patut menerima kasih sayangnya.”

“Aku pun berterima kasih kepadamu, Hwee Li, dan kaumaafkanlah sikapku yang lalu....“ Suara Ceng Ceng ini membuat Hwee Li memutar tubuh dengan cepat. Dia melihat subonya telah berdiri dan memandang kepadanya dengan mata basah. Bukan main lega dan girangnya hati Hwee Li, juga terharu sekali dan dia seperti mendapatkan kembali seorang ibu! Dia berlari menubruk Ceng Ceng sambil merintih dan menangis! Ceng Ceng menerimanya dalam pelukan dan sambil menyembunyikan mukanya di dada subonya itu Hwee Li menangis sepuas hatinya sampai sesenggukan.

“Subo.... ah, Subo.... mengapa semua orang membenciku? Mula-mula Subo yang meninggalkan aku karena aku anak pemberontak, lalu dia.... Kian Lee juga menghinaku dan meninggalkan aku.... setelah itu ditambah lagi.... Pendekar Super Sakti juga mencaci maki anak pemberontak dan tidak menyetujui puteranya berjodoh dengan anak pemberontak.... hu-hu-huuuh...., Subo, apa salahku....?” Dia merenggutkan pelukan Ceng Ceng sehingga terlepas, lalu memegang kedua lengan subonya itu, mengguncang-guncangnya penuh penasaran, dengan air mata bercucuran. “Apa salahku, Subo? Apa salahku kalau ayah kandungku seorang pemberontak? Apa salahku kalau orang yang memeliharaku seorang penjahat? Apa salahku kalau Tuhan menentukan aku lahir dari keluarga pemberontak? Mengapa orang menyalahkan aku....? Mengapa....? Hu-hu-huuuuuh....!” Tangisnya menjadi-jadi karena dia teringat betapa Kian Lee meninggalkan dirinya, dan dia kembali sudah berangkulan dengan Ceng Ceng yang juga ikut menangis bersama muridnya karena dia merasa amat kasihan dan terharu. Berbagai hal teringat oleh Ceng Ceng. Kian Lee pernah jatuh cinta kepadanya dan cinta kasih itu gagal karena dia masih terhitung keponakan sendiri dari pemuda itu. Kini pemuda itu mempunyai hubungan kasih sayang dengan muridnya, dengan Hwee Li, apakah harus putus lagi? Tidak, sekali ini, kalau sampai putus, maka kesalahannya terletak pada Kian Lee!

Setelah mencium pipi yang basah air mata itu, Ceng Ceng menghibur, “Sudahlah, Hwee Li, tenangkan hatimu. Aku sudah bersalah dan kaumaafkanlah aku. Akan tetapi, mereka itu tidak boleh bersikap seperti itu kepadamu, sama sekali tidak patut! Kalau aku pada waktu itu marah kepadamu dan memutuskan hubungan, bukan hanya karena aku tidak suka mempunyai murid anak pemberontak, melainkan terdorong oleh kemarahan hatiku melihat engkau melindungi musuh yang telah menculik puteraku. Akan tetapi kemudian aku mendengar bahwa mereka semua yang bersalah itu telah tewas, enci tirimu Kim Cui Yan, bersama suhengnya, dan juga Pangeran Liong Bian Cu, semua telah tewas karena bentrok sendiri. Engkau tidak boleh disamakan dengan mereka, dan kalau sampai Paman Kian Lee dan ayahnya menolakmu karena keturunan atau karena orang tuamu, biarlah aku yang akan menemui mereka dan menegur mereka!”

Hwee Li memperoleh hiburan batin ketika subonya kembali bersikap baik kepadanya. dia tidak menolak ketika Ceng Ceng menyatakan hendak menyertainya mencari Kian Lee dan memperbaiki kembali hubungan yang terputus itu. Hwee Li tidak menolak karena dia pun tidak mempunyai orang yang dapat dipercayanya, dan subonya ini dapat bertindak selaku walinya! Dia pun tidak putus harapan akan hubungannya dengan Kian Lee, karena bukankah Pendekar Super Sakti sendiri sudah menyatakan ingin mengambil dia sebagai mantu untuk menjadi jodoh Kian Lee? Akan tetapi, pemuda itu harus melihat dulu kesalahannya, dan harus minta ampun kepadanya!

Ceng Ceng minta kepada suaminya agar menanti dia di dusun keluarga Kao itu bersama Cin Liong, karena dia ingin menyertai Hwee Li mencari Kian Lee. Kalau sudah selesai urusan ini, baru mereka bersama-sama akan kembali ke Istana Gurun Pasir. Setelah memberi hormat kepada semua keluarga Kao, Hwee Li berpamit kepada Kok Cu dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Taihiap....“

“Hushhh, engkau adalah sumoiku, mengapa menyebutku taihiap?”
Kedua pipi Hwee Li menjadi merah karena jengah. “Ah, mana patut aku menjadi Sumoimu....? Biarlah aku menjadi murid Subo kembali. Tentu Subo akan sudi menerimaku kembali menjadi murid, bukan?” kata Hwee Li dengan manja kepada Ceng Ceng yang sudah berkemas untuk berangkat bersamanya.

“Menjadi muridku? Ihhh! Sungguh tidak patut, tidak patut!” Nyonya itu menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum.
Hwee Li tahu bahwa subonya itu main-main, maka dia pura-pura kaget dan bertanya, “Mangapa tidak patut menjadi muridmu, Subo?”

“Jangan menyebut subo lagi kepadaku, anak nakal. Apa kau hendak mengejek aku? Tentu saja tidak patut, sama sekali tidak patut. Pertama, engkau telah menjadi murid suhu suamiku, maka engkau terhitung sumoiku, mana bisa menjadi muridku? Dan tentang kepandaian, engkaulah yang layak mengajar aku ilmu silat, mana pantas engkau menyebut subo kepadaku? Kemudian, masih ada lagi. Engkau tidak patut menyebutku subo, bahkan semestinya aku menyebutmu.... eh, calon bibiku.”

“Ehhh....?”
“Ingat, Suma Kian Lee adalah adik sekandung dari mendiang ayahku, jadi dia adalah pamanku, maka apa yang harus kusebut kepada calon isterinya?”

“Ihhh, Subo....!” Hwee Li mencubit lengan Ceng Ceng dan mereka semua tertawa. Memang Hwee Li selalu bersikap polos, lincah, jenaka dan tidak pernah mempedulikan tentang ikatan sopan santun yang kaku sehingga bebas saja baginya untuk bersendau-gurau dengan subonya yang usianya tidak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri itu.

Maka berangkatlah dua orang wanita itu dengan wajah berseri karena kini, di samping subonya, Hwee Li memperoleh harapan baru. Dia berjalan sambil bercakap-cakap dan dia menceritakan semua hubungannya dengan Kian Lee dengan selengkapnya, juga tentang sikap Pendekar Super Sakti yang amat baik kepadanya, bahkan telah menyatakan ingin mengambilnya sebagai mantu untuk dijodohkan dengan Kian Lee, dan betapa dia menjadi marah-marah dan meninggalkan pendekar itu ketika pendekar itu mencaci-maki anak pemberontak!

“Aihhh, kenapa engkau demikian keras kepala dan tidak mengaku saja bahwa engkaulah gadis itu kepada beliau?” Subonya mengomel.

“Biar, Subo. Biar mereka itu tahu akan kesalahan mereka.”
“Ya, engkau memang pendendam. Akan tetapi memang sebaiknya kalau orang yang keliru itu menyadari sendiri kekeliruannya, seperti kekeliruan sikapku kepadamu. Jangan khawatir, aku akan menegurnya dan kalau memang dia benar-benar mencintamu, tentu dia pun menderita sengsara sekarang ini.”

Mereka melanjutkan perjalanan dengan kepercayaan penuh kepada diri sendiri.

***

Dugaan Ceng Ceng memang sama sekali tidak salah. Semenjak berpisah dari Hwee Li, Kian Lee mengalami penderitaan batin yang parah. Rasanya jauh lebih parah daripada ketika menderita karena kegagalan cinta pertamanya terhadap Ceng Ceng dahulu itu. Dia merasa menyesal sekali akan kenyataan bahwa dara yang dicintanya sepenuh hatinya itu ternyata adalah keturunan dari pemberontak Kim Bouw Sin! Betapa tidak akan hancur hatinya. Mana mungkin dia akan dapat berjodoh dengan anak pemberontak? Keluarganya selalu menentang pemberontak, bahkan kakaknya, Milana adalah seorang puteri yang menjadi panglima dalam penumpasan pemberontak. Mana mungkin dia, puteri dari Majikan Pulau Es, pendekar yang amat terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang gagah perkasa itu dan terkenal pula sebagai mantu kaisar sendiri, kini bermenantukan seorang puteri pemberontak? Betapa dunia kang-ouw akan mentertawakan hal itu, dan sudah pasti keluarganya tidak akan menyetujui perjodohannya dengan anak pemberontak. Ah, mengapa nasibnya demikian buruk?

“Hwee Li....“ untuk ribuan kalinya dia merintih, menyebut nama dara yang amat dicintanya itu. Tubuhnya menjadi kurus karena dia jarang makan dan jarang tidur, merantau tanpa tujuan lagi, tidak ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi juga tidak tahu ke mana dia harus pergi. Mengapa Hwee Li tidak menjadi anak orang biasa saja? Atau mengapa dia sendiri tidak menjadi anak orang biasa saja? Kalau dia anak seorang petani atau nelayan, atau bahkan anak seorang tokoh dunia hitam, tentu tidak ada halangan baginya untuk berjodoh dengan Hwee Li. Makin diingat, makin terbayang-bayang wajah Hwee Li yang cantik manis, sikapnya yang lincah jenaka dan manja, dan makin perih rasa hati Kian Lee, membuat dia kehilangan gairah hidup.

Mengapa cinta selalu mendatangkan derita sengsara dalam batin manusia? Mengapa demikian banyaknya kisah cinta yang berakhir dalam derita? Mengapa banyak terjadi cinta gagal sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian dan kehancuran? Benarkah cinta demikian kejamnya mempermainkan manusia sehingga cinta itu seperti racun dalam madu yang manis, nampaknya saja membahagiakan namun pada akhirnya menyeret manusia ke dalam kesengsaraan dan penderitaan batin?

Tidak mungkin! Bukanlah cinta kasih namanya kalau mendatangkan derita sengsara! Yang mendatangkan derita sengsara adalah keinginan manusia untukk senang! Bukan cinta kasih! Cinta kasih tidak mengandung pamrih untuk kesenangan atau kepuasan diri pribadi! Kalau mengandung pamrih seperti itu, maka bukanlah cinta kasih namanya. Kalau kita mencinta seseorang, maka sudah tentu kita ingin melihat orang itu berbahagia, tidak peduli kebahagiaannya itu ada sangkut-pautnya dengan kita atau bukan. Cinta adalah ingin melihat orang lain bahagia, tanpa pamrih untuk diri sendiri. Cinta adalah belas kasih terhadap orang lain, tanpa pamrih mendapat imbalan untuk diri sendiri. Dan cinta seperti ini tidak mungkin mendatangkan derita sengsara! Sebaliknya, kalau kita ingin memperoleh kesenangan dari orang yang kita cinta, itu namanya bukan mencinta orang itu, melainkan mencinta diri sendiri dan orang yang katanya kita cinta itu hanya sekedar kita jadikan alat untuk menyenangkan diri kita. Tidakkah demikian? Karena itulah, kalau orang itu tidak menyenangkan kita, kalau orang itu tidak mau mendekati kita, tidak mau menjadi milik kita, lenyaplah kegunaannya sebagai alat menyenangkan kita, dan kita kecewa, kita menderita sengsara, dan tidak jarang cinta kita berubah menjadi kebencian, benci karena orang itu tidak mau menyenangkan kita, karena orang itu mengecewakan kita! Inikah cinta? Jelas bukan!

Namun, semenjak kecil kita telah dididik dan dibentuk untuk beranggapan bahwa demikianlah cinta itu! Penuh derita, dapat menjadi sorga maupun neraka, sumber suka-duka, terisi kesenangan dan pemuasan nafsu yang kita sulap menjadi kebahagiaan!

Bukan berarti bahwa kita harus anti terhadap semua kesenangan, harus anti terhadap sex, terhadap kemesraan antara pria dan wanita. Sama sekali bukan! Bahkan semua kesenangan, sex, kemesraan dan sebagainya itu akan mengalami perubahan hebat sekali kalau di situ terdapat cinta kasih. Dengan cinta kasih, maka segala sesuatu adalah benar dan baik, suci dan bersih! Dan selama manusia menafsirkan cinta kasih semaunya sendiri, disesuaikan dengan seleranya yang tentu berdasarkan pengejaran kesenangan menurut versi masing-masing, maka di dunia ini selalu akan “gagal”. Padahal, tidak ada istilah cinta gagal atau berhasil. Cinta adalah cinta! Kapan lagi kita dapat menyadari hal ini kalau kita tidak mau membuka mata sekarang juga? Menyadari berarti membuka mata memandang dan mengerti, dan pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari lingkaran setan, lingkarang suka duka akibat cinta seperti yang umum artikan itu!

Dalam keadaan kurus dan sakit lahir batin, lahirnya karena kurang makan dan tidur, batinnya karena selalu diperas oleh kekecewaan dan iba diri, Kian Lee berjalan tanpa tujuan di lembah bawah pegunungan itu. Hampir saja timbul niat di hatinya untuk membuang dirinya ke dalam jurang ketika dia melewati lereng gunung tadi. Namun dia masih ingat bahwa, perbuatan itu adalah perbuatan pengecut.

Dia tidak tahu bahwa pada saat itu ada orang yang melihatnya dari puncak bukit, dan kini orang itu berloncatan seperti terbang mengejarnya. Orang ini bukan lain adalah ayahnya sendiri, Pendekar Super Sakti Suma Han yang memang sedang mencari-carinya. Ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan pendekar berkaki tunggal itu sudah berdiri di hadapannya, berdiri tegak dengan tongkat di tangan, mereka saling pandang sejenak dan Suma Kian Lee lalu cepat menubruk ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya itu. Sungguh kemunculan ayahnya ini merupakan hal yang tak terduga-duga olehnya dan sekaligus menggugah kesedihan hatinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi dia lalu mengusap beberapa tetes air mata yang tak dapat dibendung keluar dari matanya.

Melihat keadaan puteranya ini, Pendekar Super Sakti Suma Han menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. “Ah, betapa kecewa hatiku melihatmu, Kian Lee. Beginikah jadinya anakku yang sudah demikian lamanya tiada kabar beritanya, berubah menjadi seorang yang berbatin lemah, yang menangis seperti anak kecil karena iba diri? Bangkitlah, Kian Lee, dan berdirilah seperti seorang jantan, dan hapus air matamu!”

Seperti menerima cambukan, Kian Lee bangkit berdiri dan berhadapan dengan ayahnya. Mereka saling pandang dan terdorong oleh rasa rindu yang sangat, keduanya lalu saling rangkul! Akan tetapi Suma Han sudah melepaskan anaknya lagi, mendorongnya perlahan ke belakang. “Nah, ceritakan mengapa engkau begini menderita lahir batin sampai kurus dan pucat.”

“Ayah....“ Kian Lee tidak berani melanjutkan dan hanya menundukkan muka. Apa yang harus diceritakan kepada ayahnya? Diam-diam Suma Han tersenyum haru. Dia tahu bahwa anaknya ini menderita sesuatu seperti yang pernah dialaminya dahulu. Dan diam-diam dia girang karena keadaan puteranya ini membuktikan bahwa puteranya ini sungguh amat mencinta Hwee Li! Dia dapat menduga pula bahwa agaknya sukar bagi Kian Lee yang biasanya pendiam itu untuk bicara tentang rahasia hatinya, maka dia lalu membantunya.

“Bukankah engkau menderita karena seorang wanita yang kaucinta akan tetapi terpaksa engkau tinggalkan karena sesuatu?”

Kian Lee mengangkat mukanya dan memandang kepada ayahnya dengan mata terbelalak kaget dan heran. “Bagaimana.... Ayah bisa tahu tentang hal itu?” tanyanya bingung.

Suma Han tersenyum. “Tak usah kau tahu bagaimana aku dapat mengetahui hal itu, dan tidak perlu lagi kau memikirkan wanita itu. Aku telah menentukan pilihanku atas diri seorang dara yang amat patut menjadi isterimu. Tidak ada wanita lain yang lebih cocok daripada dara itu untuk menjadi jodohmu, Lee-ji.”

“Ayah....!” Kian Lee terkejut bukan main dan sejenak ayah dan anak ini saling mengadu pandang mata, akan tetapi akhirnya Kian Lee menunduk. Dalam pandang mata ayahnya itu dia melihat keputusan yang tak boleh diganggu gugat lagi di balik kasih sayang yang nampak nyata. Maka selain dia tidak berani menolak, juga dia merasa tidak tega untuk mengecewakan ayahnya yang dia percaya melakukan segala sesuatu demi kebaikannya itu.

“Aku tidak salah pilih, Lee-ji, dan jangan mengira bahwa aku sewenang-wenang hendak memaksakan kehendakku sendiri untuk menentukan calon teman hidupmu. Dara itu bukanlah orang sembarangan, Kian Lee. Dia bahkan telah dengan gagah perkasa membela dan membantuku menghadapi Im-kan Ngo-ok, bahkan dialah yang menyelamatkan nyawaku yang nyaris tewas di tangan Ngo-ok. Dia gagah perkasa, cantik jelita, dan lincah, jujur, keras hati, seperti ibumu ketika masih muda. Aku akan merasa bangga kalau engkau dapat berjodoh dengan dia, Kian Lee.”

“Tapi, Ayah.... perjodohan haruslah dilakukan dengan dasar saling mencinta.”
“Aku berani tanggung bahwa engkau akan jatuh cinta begitu bertemu dengan dia.”
“Tapi.... tapi dia....? Bagaimana kalau tidak cinta kepadaku, Ayah?”
“Kalau begitu, itu salahmu! Engkau harus mencarinya dan mendapatkannya!”

Kian Lee merasa heran bukan main. Biasanya, ayahnya tidak begini watak dan sikapnya. Begini keras dan memaksa orang! Apalagi orang itu adalah anaknya sendiri, dan dalam menghadapi urusan perjodohan pula! Apa yang telah terjadi dengan ayahnya?

“Ayah, bagaimana aku dapat mencari seseorang yang belum pernah kukenal?”
“Mudah, saja! Cari dia, namanya adalah Kim Hwee Li....”
“Ahhhhh....!” Wajah Kian Lee berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ayahnya seolah-olah dia tidak percaya bahwa yang berdiri di depannya adalah ayahnya. “Apa.... apa Ayah bilang....“

“Gadis itu bernama Kim Hwee Li! Dan dia adalah anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo, dan dia adalah anak kandung dari pemberontak Kim Bouw Sin! Ya, ya, benar dia. Dan engkau telah menghinanya, dan engkau telah menghancurkan hatinya, telah menolaknya, telah memutuskan hubungan cinta karena dia anak pemberontak! Bodoh kau! Kaukira ayahmu ini tidak pernah memberontak? Kaukira keluarga kita adalah keluarga langit, sehingga boleh memandang rendah orang lain? Ayahnya boleh jadi pemberontak, ayah angkatnya boleh jadi manusia iblis, akan tetapi dia adalah seorang gadis bidadari yang gagah perkasa!” Tanpa disadarinya, Suma Han mengulang sebagian dari kata-kata Hwee Li sendiri.

“Ayah.... Ayah....!” Suma Kian Lee megap-megap, sukar bicara dan wajahnya perlahan-lahan berubah kemerahan, sinar matanya yang tadinya layu itu kini penuh semangat, wajahnya berseri, dia seperti “hidup” kembali setelah mengalami kematian semangat hidupnya.

“Mengapa gagap-gugup seperti itu? Hayo berangkat, dan awas, jangan kau berani pulang ke Pulau Es kalau tidak bersama Kim Hwee Li calon isterimu itu!”

“Baik, Ayah! Baik, Ayah!” Suma Kian Lee menjawab dengan suara lantang, dan sekali dia memutar tubuh berkelebat, dia telah lari cepat sekali meninggalkan tempat itu!

Pendekar Super Sakti Suma Han berdiri memandang bayangan puteranya sampai lenyap, dan barulah dia mengejap-ngejapkan kedua matanya untuk mencegah runtuhnya air mata yang membasahi matanya. Kemudian dia menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala lalu mengayun tongkatnya, berjalan perlahan menuju ke arah perginya puteranya tadi.

Pantai laut itu sunyi sekali sungguhpun keramaian orang-orang nampak dari situ, agak jauh di selatan, yaitu keramaian para nelayan yang baru datang dari mencari ikan dan pantai di selatan itu menjadi semacam pasar pula, pasar ikan yang cukup ramai karena dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang ikan dari kota-kota di pedalaman. Akan tetapi di pantai agak ke utara itu, amat sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia. Pantai ini amat indah dan bersih karena penuh dengan pasir yang berwarna putih, pagi itu nampak lebih putih dari biasanya karena sinar matahari pagi yang amat cerah. Akan tetapi, di tempat sunyi itu kini nampak seorang dara yang berdiri termenung, berdiri seorang diri sejak tadi dan matanya merenung jauh menyeberangi lautan menuju ke utara. Jauh di sana, sebelah utara, tidak nampak dari situ, terdapat sekumpulan pulau-pulau dan di antara pulau-pulau itu terdapat dua buah pulau yang kini terbayang di depan mata dara itu. Pulau Neraka dan Pulau Es! Dia telah meyakinkan hati Ceng Ceng, bekas subonya yang kini tidak lagi mau disebut subo (ibu guru), melainkan dia harus menyebutnya enci, bahwa dia dapat menjadi penunjuk jalan dan bahwa perahu yang cukup kuat dapat dia layarkan menuju ke Pulau Es. Memang dia sendiri belum pernah mendarat di Pulau Es, akan tetapi dia semenjak kecil hidup di Pulau Neraka dan dia bukan hanya dapat mengetahui di mana letaknya Pulau Es, bahkan sering kali dia dahulu naik perahu dan melihat Pulau Es dari jauh, karena ayah angkatnya, Hek-tiauw Lo-mo, dulu selalu melarang dia untuk mendekati Pulau Es yang dianggap amat berbahaya dan menjadi tempat larangan bagi semua orang dari Pulau Neraka.

Ceng Ceng pergi mencari nelayan yang mau menyewakan perahunya atau yang mau menjual perahunya, dan Hwee Li, dara yang kini berdiri termenung di tepi laut itu, mempergunakan waktu luang itu untuk berdiri termenung dan memandang ke utara. Menurut pendapat Ceng Ceng, sebaiknya mereka langsung saja menuju ke Pulau Es untuk menemui keluarga Suma, daripada susah payah mencari Kian Lee yang belum jelas ke mana perginya itu. Ceng Ceng menenangkan hati Hwee Li yang gelisah bahwa bekas subonya itulah yang akan sanggup menjadi “juru bicara” nanti di Pulau Es! Dan Hwee Li tidak membantah lagi.

“Hwee Li....!”
Gadis itu memutar tubuh demikian cepatnya seperti disengat kelabang, karena dia memang terkejut bukan main mendengar suara itu. Suara Kian Lee! Dan memang benarlah. Di depannya telah berdiri Kian Lee! Agak kurus dan agak pucat, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar membayangkan kebahagiaan karena pertemuan itu. Memang hati Kian Lee merasa bahagia sekali. Dia telah berhasil menemukan jejak Hwee Li dan keterangan-keterangan yang didapatnya membawa dia ke dusun kecil di tepi pantai itu. Dan betapa girang hatinya ketika akhirnya dia melihat dara itu seorang diri saja di tepi pantai yang sunyi ini. Dan betapa cantiknya Hwee Li. Wajahnya segar kemerahan, rambutnya yang dia tahu amat halus dan harum itu agak kusut karena dibelai angin laut. Pakaiannya yang berwarna serba hitam menempel ketat di tubuhnya karena tertiup angin pula, mencetak bentuk tubuhnya yang indah.

“Hwee Li....!” Dia berseru kembali, dan di dalam suaranya terdengar bayangan khawatir dan duka melihat betapa sepasang mata yang amat tajam itu kini mencorong penuh kemarahan.

“Ah, engkau....?” Suara itu tetap merdu seperti biasa, suara yang selalu dirindukan Kian Lee sejak mereka saling berpisah, akan tetapi kini terdengar demikian dingin dan kaku. “Kebetulan sekali, aku tidak perlu mencarimu ke Pulau Es!”

“Kau.... kau tadinya hendak mencariku ke Pulau Es?” Kian Lee berseru girang.
“Benar, akan tetapi kini tak perlu lagi, di sini pun sama saja. Bersiaplah!”
“Apa?” Mata Kian Lee terbelalak, tidak mengerti. “Apa maksudmu, Hwee Li?”
“Bersiaplah, kita selesaikan perhitungan di tempat sunyi ini, dengan perkelahian!”

“Ah, Hwee Li, mengapa begitu? Bukankah kita.... sahabat-sahabat baik? Aku.... aku cinta padamu, Hwee Li....”

“Diam! Lupakah kau bahwa aku keturunan pemberontak! Dan engkau ini putera Majikan Pulau Es, putera Pendekar Super Sakti, keluarga langit? Sedangkan aku ini apa? Hayo, jangan bilang bahwa engkau takut menghadapi anak pemberontak macam aku!”

“Hwee Li, jangan.... aku.... aku....”
Akan tetapi Hwee Li sudah menerjang maju dan memukul ke arah dada Kian Lee. Pukulan itu keras sekali dan Kian Lee hanya mempergunakan sedikit tenaga untuk menangkis. Dia tahu sampai di mana tingkat kepandaian dan tenaga dara ini, maka tentu saja dia tidak mau menyakitinya dan hanya menangkis dengan tenaga terbatas saja.

“Desssss....!” Dan tubuh Kian Lee terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Untung tanah di situ berpasir sehingga dia tidak menderita nyeri, hanya terkejut setengah mati karena tenaga Hwee Li sama sekali tidak seperti biasa, amat kuatnya.

“Hayo bangunlah dan lawanlah aku, kalau engkau bukan pengecut rendah!” bentak Hwee Li yang sudah menghampiri dengan dua tangan dikepal.

“Hwee Li.... jangan.... aku merasa bersalah kepadamu, kauampunkanlah aku.... ah, aku telah gila, aku seperti buta ketika aku merendahkanmu. Aku.... semenjak kita berpisah, aku menderita, Hwee Li, baru aku tahu bahwa aku mencinta engkau, dan engkau adalah Hwee Li, tanpa tambahan lagi, entah anak siapapun juga, tidak ada sangkut-pautnya dengan pribadimu....”

“Cerewet! Kau bangkit dan lawanlah seperti jantan!” bentak Hwee Li dan ketika Kian Lee bangkit berdiri, dia sudah menyerang lagi.

Kian Lee cepat mengelak karena serangan Hwee Li itu cepat dan kuat bukan main, angin pukulannya sampai mengeluarkan suara bersuitan. Dia terkejut sekali dan ketika Hwee Li menyusulkan serangan lain secara bertubi-tubi, dia terus mengelak. Tentu saja dia ingin mengalah terhadap dara ini. Akan tetapi, makin lama, serangan Hwee Li makin kuat dan cepat saja. Kian Lee merasa terkejut dan heran bukan main. Mengapa dalam waktu singkat saja kini dara itu telah memiliki kepandaian yang demikian hebatnya? Jangankan mengalah, biar dia bersungguh-sungguh sekalipun, belum tentu dia akan menang menghadapi serangan-serangan yang demikian cepat dan ampuhnya, terutama sekali tenaga gadis itu kini benar-benar amat mengejutkan.

“Hwee Li, dengarlah, tunggu dulu....” Akan tetapi begitu dia bicara, kewaspadaannya berkurang dan sebuah pukulan keras menyerempet pundaknya, membuat dia terpelanting lagi, ke atas pasir. Akan tetapi Hwee Li tidak menyusulkan serangan, hanya membentak, “Hayo bangun! Bangun....! Ahhh, bangun engkau, pengecut!”

Kian Lee mengguncang-guncang kepalanya yang berkunang-kunang, kemudian dia meloncat bangun, terus meloncat ke belakang. “Hwee Li, hebat kau! Dari mana engkau memperoleh kepandaian seperti ini? Dengar.... aku mengaku kalah, aku mengaku salah....”

“Sambut ini!” Kembali Hwee Li sudah menerjang dengan hebat.
Kian Lee merasa penasaran juga. Tidak mungkin dia mengalah terus karena tingkat kepandaian Hwee Li benar-benar sudah hebat sekali. Akan tetapi, dia tidak tega untuk mempergunakan pukulan-pukulan berbahaya terhadap dara yang dicintanya ini, maka dia hanya mengelak dan menangkis sedapat mungkin terhadap hujan serangan itu. Kini dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena ilmu silat yang dimainkan oleh dara itu amat aneh, gerakan-gerakannya masih kaku tanda bahwa kurang latihan, namun benar-benar hebat gerakan itu dan terutama sekali tenaga yang terkandung dalam setiap pukulan itu benar-benar amat kuat!

Terjadilah perkelahian yang amat seru di tepi pantai yang sunyi itu. Tubuh mereka berputar-putar, berkelebatan ke sana-sini dengan cepatnya sampai sukar diikuti dengan pandang mata. Kian Lee tidak berani bicara lagi karena sekali bicara, dia terancam oleh pukulan yang membutuhkan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri jangan sampai kena terpukul. Dan untuk mematahkan serangan bertubi-tubi itu, dia pun kadang-kadang terpaksa membalas dengan pukulan yang tidak berbahaya, namun yang cukup membuat dara itu membatalkan serangannya untuk balas menangkis atau mengelak.

Saking serunya mereka bertanding, mereka sampai tidak sadar bahwa sejak tadi, muncul dua orang di tempat itu. Pertama-tama yang muncul adalah Ceng Ceng dan wanita ini tadinya terkejut menyaksikan Hwee Li sudah menyerang Kian Lee dengan mati-matian seperti itu dan Kian Lee selalu bersikap mengalah. Akan tetapi Ceng Ceng membiarkan saja mereka berkelahi karena dia pun ingin memberi hajaran kepada Kian Lee yang telah menyakitkan hati Hwee Li. Kemudian muncul pula Pendekar Super Sakti yang tersenyum dan mengelus jenggotnya menyaksikan perkelahian itu. Pendekar ini sudah mengenal pukulan-pukulan aneh dari Hwee Li, dan sekarang, melihat betapa Kian Lee terus mengalah dan dara itu sebaliknya tidak pernah mengeluarkan pukulan-pukulan yang luar biasa dan mematikan itu, tahulah dia bahwa gadis itu menyerang hanya karena dorongan kemarahan saja, akan tetapi sedikit pun tidak mempunyai niat membunuh atau merobohkan Kian Lee dengan luka parah. Dia mengangguk-angguk dan menyaksikan dengan wajah berseri. Dia merasa geli, akan tetapi juga siap dan waspada untuk mencegah kalau sampai timbul bahaya bagi kedua fihak dalam perkelahian itu.

Sudah lebih dari seratus jurus mereka berkelahi dan beberapa kali Kian Lee terkena pukulan walaupun tidak telak dan hanya membuat dia terpelanting atau terhuyung saja. Namun selalu Hwee Li menyuruh dia bangkit lagi dan menyerang lagi. Kian Lee menjadi bingung. Melawan, hatinya tidak tega, tidak melawan, ternyata dara itu terus menyerangnya dengan hebat. Akhirnya dia mendapatkan akal. Ketika Hwee Li menyerang lagi, dia mengerahkan Swat-im Sin-kang, akan tetapi membuat dadanya menjadi lunak dan dia menerima pukulan itu langsung dengan dadanya.

“Bukkk!” Tubuh Kian Lee terpelanting dan roboh terlentang, tak bergerak lagi!

“Hayo bangun! Bangun dan lawanlah aku!” bentak Hwee Li sambil menghampiri. Akan tetapi sekali ini pemuda itu tidak bangkit lagi, melainkan rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan dan sedikit pun tidak bergerak, kedua matanya terpejam dan napasnya terhenti.

“Hayo bangun....!” Hwee Li membentak akan tetapi suaranya bercampur keraguan dan kekhawatiran. Lalu dia membungkuk, wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak, kedua tangan yang terkepal itu kini terbuka jari-jarinya dan dia meraba sana raba sini, meraba dada dan pergelangan tangan lalu dia menjerit.

“Kian Lee....!” Dan dia sudah mengguncang-guncang tubuh itu, sambil menangis sejadi-jadinya.

“Kian Lee....! Kian Lee....! Bangunlah.... ah, jangan kau mati.... uh-huuuuu, Kian Lee....! Kau.... kau.... ah, aku telah membunuhmu.... telah membunuhmu.... huuu-huuu-huuuhhh....!” Dia memeluki tubuh itu, membasahi muka itu dengan air matanya, mengguncang-guncang dan akhirnya dia menangis mengguguk di atas dada Kian Lee.

Dengan langkah lebar Ceng Ceng sudah menghampiri tempat itu. “Hwee Li, apa yang telah kau lakukan ini?” bentaknya dengan kaget bukan main. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa Kian Lee telah mati! Muka pemuda itu pucat kebiruan, napasnya terhenti dan sama sekali tidak lagi membayangkan kehidupan. “Hwee Li, dia.... dia.... mati....?”

Hwee Li menoleh dan menubruk Ceng Ceng. “Subo....! Enci Ceng...., kaubunuh saja aku.... ah, kaubunuh saja aku.... huuu-hu-huuuuuh, aku.... aku telah memukulnya mati.... tidak sengaja, Enci.... ah, sungguh celaka.... bagaimana, Enci, bagaimana....?” Dara itu menangis lagi, menubruk tubuh Kian Lee, lalu menubruk lagi Ceng Ceng, bingung dan menangis seperti anak kecil. Ceng Ceng juga merasa bingung sekali, tak disangkanya perkelahian itu akan berakibat seperti itu. Dia merasa betapa Hwee Li terlalu ganas dan kejam.

“Hwee Li, mengapa kau lakukan ini? Mengapa kau sampai memukulnya mati? Bukankah engkau.... cinta padanya?” Ceng Ceng tak dapat menahan lagi tangisnya melihat pemuda yang pernah mencintanya itu kini rebah terlentang tak bernyawa lagi.

“Aku tidak sengaja.... sungguh, aku tidak sengaja.... dia biasanya demikian kuat.... ah, Enci biar aku mati saja, biar aku mati saja! Kaupukullah aku Enci, kaubunuhlah aku....!”

Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak mau melakukan hal itu dan sebaliknya dia malah memeriksa Kian Lee. Hwee Li menangis tersedu-sedu dan menutupi kedua matanya, mengeluh panjang pendek dan bersambat minta mati. Ketika Ceng Ceng memeriksa detak nadi di pergelangan tangan Kian Lee, dia tidak merasakan denyutan sedikit pun juga, dan ketika dia meraba dada pemuda itu, juga dia tidak merasakan apa-apa. Akan tetapi ketika dia memandang wajah yang pucat kebiruan itu, tiba-tiba saja sepasang mata itu terbuka, lalu yang sebelah kiri berkedip kepadanya dan mulut pemuda itu tersenyum, lalu kedua matanya terpejam lagi! Hampir saja Ceng Ceng menjerit, kemudian dia hampir tak dapat menahan ketawanya. Kiranya pemuda ini tidak mati! Sama sekali tidak, hanya entah dengan ilmu apa pemuda itu dapat bersikap seperti benar-benar mati itu, tanpa detak nadi dan denyut jantung! Bukan main lapang rasa dadanya dan kini dia ingin menggoda Hwee Li.

“Nah, bagaimana sekarang? Engkau selalu keras kepala sih! Sudah jelas bahwa engkau dan dia saling mencinta, akan tetapi engkau memaksa dia untuk berkelahi!” dia mengomeli Hwee Li yang masih menangis.

Tiba-tiba Hwee Li meloncat berdiri dan tahu-tahu dia telah memegang pedang. Ceng Ceng terkejut bukan main. Dara itu telah dapat mencuri pedangnya tanpa dia merasa sama sekali!

“Hwee Li, jangan....!”
“Lebih baik mati menyusul Kian Lee!” Hwee Li berseru dan menggerakkan pedang untuk menggorok leher sendiri.

“Plakkk!” Pedangnya terlepas dari pegangan dan Pendekar Super Sakti Suma Han telah berdiri di situ, memandang Hwee Li dengan sinar mata penuh teguran.

“Membunuh diri hanya tindakan seorang yang rendah dan pengecut!” bentaknya.

Melihat kakek ini, Hwee Li menjerit dan menangis, menubruk kaki Suma Han dan mengguguk, kemudian di antara tangisnya dia merintih, “Paman.... tolonglah.... tolonglah.... atau bunuhlah aku....”

“Tenanglah, Hwee Li. Apakah engkau benar-benar mencinta Kian Lee sehingga engkau mau mati untuknya?”

“Aku cinta padanya, Paman, aku cinta padanya melebihi nyawaku sendiri!”
“Aku dapat menolongnya, dia belum mati dan aku dapat menyembuhkannya. Akan tetapi....”
“Ah, Paman, sembuhkanlah dia.... hidupkanlah dia.... aku berjanji akan melakukan apa pun juga untukmu....!”

Suma Han tersenyum. “Dia itu puteraku, tentu saja sudah semestinya aku menolongnya. Akan tetapi dia dan aku sendiri pernah bersalah kepadamu, maka tidak semestinya dia kuhidupkan. Bukankah dia telah menghinamu, seperti juga aku?”

“Tidak.... tidak...., aku sudah memaafkan dia, Paman.”
“Aku hanya mau menghidupkannya, akan tetapi hanya dengan satu syarat....”
“.... ya? Apa syaratnya....?” Hwee Li memohon.
“Syaratnya, engkau harus mau menjadi isterinya! Bagaimana?”
“Aku mau! Aku mau....!” Hwee Li menangis. “Ohhh, aku mau....!”

Suma Han tidak tega menggoda terus. Dia lalu menghampiri Kian Lee, pura-pura menotok sana-sini, dan meraba sana-sini. Padahal, tidak diapa-apakan pun pemuda itu akan dapat bangkit sendiri! Karena dia “mati” hanya sebagai akal dengan mempergunakan sinkang Swat-im Sin-kang yang sudah mencapai puncaknya sehingga seorang yang lihai seperti Ceng Ceng sendiri pun dapat dikelabui.

Terdengar pemuda itu mengeluh, bergerak dan bangkit duduk. Tanpa mempedulikan orang lain, Hwee Li menubruk dan memeluk pemuda itu. “Kian Lee, kau.... kaumaafkan aku....”

“Kian Lee, kau.... kaumaafkan aku....”
Kian Lee tersenyum dan balas memeluk. “Hwee Li, akulah yang bersalah. Kaulah yang harus memaafkan aku aku pernah mencaci maki padamu....”

Mendengar ini, Hwee Li melepaskan rangkulannya, menjauhkan diri dan cemberut. “Engkau memang terlalu....” katanya dengan muka membayangkan kemarahan. Akan tetapi ketika Kian Lee merangkulnya lagi, dia menangis dan membenamkan muka ke dada pemuda itu!

Mereka berempat lalu mencari sebuah perahu besar yang dibeli oleh Suma Han. Perahu itu cukup besar dan mempunyai layar yang kuat. Mereka bertiga, Suma Han, Suma Kian Lee, dan Kim Hwee Li adalah orang-orang yang berasal dari Pulau Es dan Pulau Neraka, tentu saja mereka itu ahli berlayar, dan mereka bertiga sudah cukuplah untuk melayarkan perahu itu ke Pulau Es. Setelah mengisi perahu dengan perbekalan, mereka lalu naik ke perahu, diantar oleh Ceng Ceng.

Hwee Li merangkul bekas gurunya dan mencium pipi Ceng Ceng. “Banyak terima kasih atas segala kebaikanmu dan pertolonganmu, Subo....”

“Hushhh!” Ceng Ceng mencubit dagu dara yang cantik jelita itu. “Aku bukan subomu! Kelak aku malah ingin mempelajari satu dua macam pukulan darimu. Malu ah mempunyai murid yang lebih pandai daripada gurunya.”

“Kalau begitu, selamat berpisah, Enci Ceng....”
“Ihhh! Bagaimana sih ini? Hai, Paman Kian Lee, dengar nih calon isterimu menyebutku enci! Aku sendiri harus menyebutnya bibi, bagaimana dia boleh menyebutku enci?”

Kini Hwee Li yang mencubit dengan Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah. Memang menyulitkan sekali sebut-menyebut itu. Ceng Ceng sebaya dengan Kian Lee, namun pemuda itu masih terhitung pamannya! Dan biarpun usianya sendiri tidak begitu banyak selisihnya dengan Ceng Ceng, hanya selisih kurang lebih tujuh tahun saja, namun nyonya muda itu pernah menjadi gurunya! Dan kini dia akan menjadi isteri dari paman gurunya itu! Lebih dari itu lagi, dia malah masih terhitung sumoi dari suami gurunya, setelah dia mewarisi ilmu-ilmu dari Dewa Bongkok!

“Enci, kelak engkau harus datang, bersama suamimu dan Cin Liong, kalau aku.... aku menikah. Harus lho!” Hwee Li berkata dan agaknya berat baginya untuk berpisah dengan wanita yang selama ini amat dikasihinya, sebagai pengganti ibu baginya itu.

“Baik, asal aku dijemput perahu karena untuk pergi ke sana sendiri aku tidak berani!” kata Ceng Ceng.

“Jangan khawatir, Ceng Ceng. Aku akan mengirim perahu untuk menjemputmu,” kata Kian Lee memandang wanita yang pernah dicintanya itu.

Ceng Ceng memberi hormat kepada Suma Han dan menghaturkan selamat jalan. Dia masih berdiri di pantai dengan tangan melambai ketika perahu mulai bergerak ke tengah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan dari jauh, “Haiii, tungguuuuu! Kami ikut....!”

“Bu-te....!” Kian Lee berteriak dan mendayung perahu itu ke pinggir lagi, wajahnya berseri penuh kegembiraan melihat dua orang yang berlari cepat seperti terbang menuju ke tempat itu. Dari jauh saja dia sudah mengenal pemuda yang berlari cepat dengan rambut putih panjang berkibar-kibar itu.

“Siang In....!” Hwee Li juga berseru girang mengenal dara cantik yang berlari di samping Kian Bu.

“Kian Bu....?” Suma Han berdiri bengong memandang pemuda rambut putih panjang itu, hatinya seperti diremas rasanya bertemu dengan puteranya yang sudah enam tujuh tahun tak pernah dijumpainya ini dan yang tahu-tahu telah menjadi Siluman Kecil, julukan yang sama diberikan orang kepadanya, karena rambut puteranya itu putih panjang seperti rambutnya pula.

“Ayah....! Lee-ko....!”

Suma Han, Kian Lee, dan Hwee Li berloncatan ke darat kembali dan Kian Bu sudah berlutut di depan kaki ayahnya sedangkan Kian Lee memeluknya. Kemudian Suma Han menarik Kian Bu bangun, dipandangnya puteranya itu dari kepala ke kaki dengan mata basah, lalu dirangkulnya.

Setelah agak reda keharuan yang timbul karena pertemuan itu, dengan girang dan bangga Kian Bu lalu memperkenalkan Siang In yang tadi bercakap-cakap dengan Hwee Li, kepada ayahnya, “Ayah, inilah calon mantu Ayah, calon isteriku, namanya....”

“Teng Sian In! Aku sudah mendengar dari kakakmu, Bu-ji,” kata Suma Han sambil tersenyum memandang dara cantik jelita itu.

Dengan muka berubah merah sekali, Siang In lalu maju dan memberi hormat kepada Suma Han, tanpa berani mengangkat mukanya.

“Ah, tidak kusangka bahwa kakek yang menolongku itu adalah suhumu, Siang In, dan gurumu itu telah....”

“Aku sudah menceritakan hal itu kepadanya, Paman,” kata Hwee Li dan Siang In hanya menunduk saja, dengan kuat dara ini dapat menahan kedukaannya mendengar bahwa gurunya, See-thian Hoat-su, telah tewas sampyuh ketika mengadu alhir dengan Durganini dalam usahanya mencegah Durganini menyerang Suma Han. Gurunya itu sudah tahu akan hubungan cintanya dengan Siluman Kecil, maka gurunya tentu melarang bekas isteri yang pikun itu menyerang calon besannya.

“Mendiang suhu sudah sangat tua dan banyak menderita dari bekas isterinya itu. Sekarang beliau telah tenang dan terima kasih banyak saya haturkan atas budi kebaikan Locianpwe yang telah menyempurnakan jenazahnya,” katanya kepada Suma Han. Pendekar ini mengangguk-angguk dengan girang. Dara ini juga lincah jenaka seperti Hwee Li, akan tetapi memiliki kekuatan batin yang menonjol, agaknya karena telah mempelajari ilmu sihir dari gurunya yang ahli sihir itu. Diam-diam pendekar Pulau Es ini merasa bahagia sekali. Dua orang calon mantunya bukan dara-dara sembarangan!

“Ah, kami akan beramai-ramai pergi ke Pulau Es! Enci Ceng, kenapa kau tidak ikut sekalian?” Hwee Li yang gembira itu berkata.

Ceng Ceng tersenyum dan menggeleng kepala. “Tempatku di daratan sini, bersama suami dan anakku. Kelak aku pasti datang menghadiri pesta pernikahan kalian semua.”

Suma Han tertawa dan menghampiri Ceng Ceng. “Sampaikan kepada suamimu bahwa aku sekeluarga minta bantuannya untuk mengedarkan undangan-undangan kepada handai-taulan kalau sudah tiba saatnya nanti.”

“Tentu saja, Locianpwe,” kata Ceng Ceng, tidak berani menyebut “kakek” walaupun pendekar itu adalah suami dari Lulu, nenek kandungnya!

Tak lama kemudian berangkatlah perahu itu, kini dikemudikan oleh kakak beradik Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda dari Pulau Es yang tadinya meninggalkan Pulau Es dalam usia sekitar enam belas tahun, dan seperti sepasang rajawali perkasa mereka mengarungi daratan besar mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat dalam Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali! Dan kini mereka berlayar kembali ke Pulau Es bersama calon isteri masing-masing. Sepasang Rajawali itu telah menemukan jodoh masing-masing!

Ceng Ceng memandang dari pantai laut sampai akhirnya perahu itu makin menghilang.

Beberapa bulan kemudian, lima buah perahu besar menjemput para tamu yang berkumpul di dusun tepi laut itu untuk menghadiri pesta pernikahan dua pasang pengantin di Pulau Es! Tentu saja berbondong orang-orang kang-ouw berdatangan ke tempat itu. Seperti sebuah dongeng saja. Mengunjungi Pulau Es yang tadinya hanya mereka kenal dalam dongeng saja! Di antara mereka yang ikut hadir dan ikut dalam perahu-perahu besar itu tentu saja terdapat keluarga dari Pulau Es sendiri, dan orang-orang terdekat seperti Milana, Gak Bun Beng dan dua orang anak kembar mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, kemudian Ceng Ceng dan Kao Kok Cu bersama anak mereka Kao Cin Liong. Nampak pula Pangeran Yung Hwa yang mewakili pemerintah atau keluarga istana, dan juga hadir Hek-sin Touw-ong, Sai-cu Kai-ong, Sin-siauw Seng-jin, dan masih banyak tokoh besar lain, termasuk wakil-wakil partai persilatan besar yang tentu saja ingin sekali melihat Pulau Es!

Pesta pernikahan itu cukup meriah, apalagi karena disaksikan oleh banyak tokoh besar di dunia kang-ouw. Muka-muka lama saling jumpa di situ dan suasana menjadi gembira sekali. Ketika dua pasang pengantin itu dipertemukan, suasana menjadi cerah dan penuh khidmat, diikuti oleh semua mata para tamu. Sungguh mengagumkan sekali dua pasang pengantin itu. Kedua mempelai pria tampan dan gagah, Siluman Kecil nampak garang dan aneh dengan rambutnya yang putih mengkilap dan panjang, sedangkan dua orang mempelai wanita amatlah cantiknya, sukar dikatakan yang mana lebih cantik karena masing-masing memiliki kelebihan dan kecantikan yang khas.

Ketika dua pasang mempelai melakukan upacara pai-ciu, yaitu menyuguhkan arak kepada sang mertua dan orang tua, maka dua pasang mempelai itu berlutut di depan Pendekar Super Sakti Suma Han yang duduk diapit oleh kedua isterinya, yaitu Nirahai di sebelah kanan dan Lulu di sebelah kirinya. Dua orang wanita tua itu tak dapat menahan keharuan hati mereka dan mereka menerima suguhan arak dalam cawan sambil bercucuran air mata. Suasana menjadi khidmat dan penuh keharuan, bahkan para tamu wanita banyak pula yang berlinangan air mata, termasuk Ceng Ceng, Milana dan yang lain-lain.

Malamnya indah bukan main. Kebetulan bulan bersinar terang, bulan purnama yang memuntahkan cahaya keemasan di atas pulau itu. Indah sekali! Para tamu menikmati dan mengagumi keindahan Istana Pulau Es, lalu beramai-ramai mengelilingi pulau itu diantar oleh Milana dan Gak Bun Beng sebagai penunjuk jalan mewakili fihak tuan rumah. Sedangkan dua pasang pengantin sudah memasuki kamar masing-masing, tenggelam ke dalam lautan kemesraan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang pengantin pada malam pertama!

Akan tetapi, diam-diam Ceng Ceng yang ikut pula menikmati keadaan di Pulau Es itu merasa kehilangan dan kadang-kadang dia menarik napas panjang kalau teringat kepada kakak angkatnya, yaitu sang puteri dari Bhutan, Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat. Apa jadinya dengan dua orang muda itu? Suaminya telah berusaha keras mencari mereka untuk menyampaikan undangan, namun usaha suaminya gagal! Diam-diam Ceng Ceng merasa kasihan sekali kepada Syanti Dewi! Apakah yang terjadi dengan puteri itu? Apakah puteri itu akan dapat bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat dan dapat berlangsung perjodohan mereka?

Kiranya pertanyaan itu pun terkandung dalam hati para pembaca semua. Juga pertanyaan yang sama tentang Siauw Hong atau Kam Hang, keturunan Pendekar Suling Emas itu, dengan Yu Hwi atau yang dikenal sebagai Kang Swi Hwa atau Ang-siocia, si gadis pencopet dan tukang menyamar itu. Apa yang terjadi dengan mereka?

Cerita ini sudah terlampau panjang, oleh karena itu terpaksa pengarang menutupnya, apalagi karena Sepasang Rajawali Sakti, yaitu yang diumpamakan bagi diri Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, kini telah menemukan jodohnya, bahkan telah menjadi pengantin. Maka selesailah sudah kisah ini. Adapun mengenai nasib Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat, juga Kam Hong dan Yu Hwi, dapat anda baca dalam cerita selanjutnya yang sedang disusun oleh pengarang, yaitu yang berjudul SULING EMAS & NAGA SILUMAN.

Seperti biasa, harapan pengarang semoga cerita ini selain dapat merupakan hiburan bagi pembaca, juga mengandung manfaat yang menggugah kesadaran. Sampai jumpa pula di lain karangan! Terima kasih!

TAMAT