Suling Naga -5 | Kho Ping Hoo
Buku 5
Hong Beng tidak mau membantah karena dia tahu bahwa gadis itu sedang jengkel dan marah. “Aku akan membantumu mencari pendeta itu dan minta kembali pusakamu. Biarpun aku belum mengenal nama Sai-cu Lama, akan tetapi seorang dengan ilmu kepandaian setinggi itu tentu dikenal di dunia kang-ouw dan aku akan menyelidiki di mana aku dapat mencarinya.”
“Aku harus cepat melapor kepada subo kalau aku tidak mampu merampasnya kembali. Ah, subo tentu akan kecewa dan marah kepadaku....“ Dengan cemberut Bi Lan dan Hong Beng lalu keluar dari dalam hutan itu.
“Sstttt!” Tiba-tiba Hong Beng berbisik dan menuding ke depan. Dari tempat mereka berdiri, di luar hutan itu, mereka melihat seorang kakek berkepala gundul sedang berjalan perlahan-lahan menuruni lereng.
“Keparat, tentu dia orangnya....!” Bi Lan berteriak dan cepat gadis ini melompat ke depan dan melakukan pengejaran.
“Bi Lan, nanti dulu....!” Hong Beng berseru dan terpaksa mengejar pula dengan cepat karena dia tidak ingin gadis itu salah tangan. Dari jauh dia sudah melihat bahwa biarpun orang yang baru berjalan menuruni lereng itu juga berkepala gundul, akan tetapi jubahnya yang lebar itu berwarna kuning, bukan kotak-kotak merah kuning seperti yang dipakai oleh Sai-cu Lama tadi.
Kini Bi Lan sudah tiba di dekat kakek gundul itu dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah mengirim pukulan dari samping. Hebat sekali pukulan gadis ini, karena saking marahnya, ia sudah mengeluarkan satu di antara pukulan yang oleh subonya sudah dipesan agar tidak sembarangan mempergunakannya, seperti juga pedangnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun). Itulah sebuah pukulan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang tertentu, tidak terlalu keras nampaknya, akan tetapi pukulan ini mengandung hawa beracun yang sudah merendam tangan Bi Lan ketika dilatih oleh subonya!
“Wuuuttt....!” Nampaknya kakek gundul itu hanya bergerak sedikit saja, akan tetapi, nyatanya pukulan Bi Lan itu hanya mengenai tempat kosong.
“Bi Lan, tahan dulu....!” Hong Beng yang sudah tiba di situ cepat memegang lengan gadis itu. ”Lihat, dia bukanlah pendeta tadi!”
Bi Lan juga sudah tahu bahwa orang itu bukanlah Sai-cu Lama. Dia seorang kakek berkepala gundul, bertubuh sedang dan masih tegap walaupun usianya tentu sekitar tujuhpuluh tahun. Jubahnya berwarna kuning, melibat-libat tubuh yang memakai pakaian serba putih dari kain kasar. Seorang pendeta yang sederhana, matanya tajam dan mulutnya seperti tersenyum mengejek. Dia berdiri dan memandang dua orang muda di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik.
“Dia juga seorang yang berjubah pendeta, tentu lihai seperti tadi. Mungkin sekutunya! Para pendeta itu memang bersekutu dan saling bantu dalam melakukan kejahatan. Orang tua jahat, kembalikan pedangku!” Bi Lan kembali menyerang dan melihat sepasang mata pendeta itu demikian tajam dan mulutnya tersenyum mengejek, timbul juga kesan buruk dalam hati Hong Beng dan diapun membantu Bi Lan menyerang. Kalau Bi Lan kini menggunakan pukulan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat, Hong Beng yang dapat menduga akan kelihaian pendeta ini, juga sudah menggunakan tenaganya dan menyerang dengan ilmu ampuh dari Pulau Es, yaitu Hong-in Bun-hoat! Ilmu ini adalah ilmu silat yang amat halus dan indah gerakannya, sesuai dengan namanya, Silat Sastera Awan dan Angin! Tubuhnya bergerak perlahan, kedua tangannya membuat coretan-coretan di udara seperti menulis huruf, akan tetapi jari-jari tangan itu merupakan alat menyerang yang amat ampuh. Kakek pendeta itu nampak kaget juga menghadapi serangan gadis dan pemuda itu.
“Dari mana bocah-bocah tolol ini menguasai ilmu-ilmu ini!” bentaknya dan diapun cepat bergerak ke belakang untuk mengelak, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang, jari-jari tangannya bergerak seperti ujung-ujung pedang membalas serangan dua orang muda itu sehingga Bi Lan dan Hong Beng terkejut dan cepat berloncatan ke belakang karena serangan balasan pendeta itu benar-benar hebat. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hati mereka adalah suara melengking tadi karena mereka teringat bahwa Sai-cu Lama tadipun seperti orang lari terbirit-birit karena terkejut dan takut mendengar suara melengking ini.
Melihat dua orang muda itu tertegun, kakek itu lalu mengangkat tangan kanan ke atas. ”Omitohud, kalian ini bocah-bocah sungguh lancang, mempergunakan ilmu-ilmu yang demikian tinggi dan pilihan hanya untuk menyerang seorang tua tanpa sebab. Sungguh keji!”
Wajah Hong Beng sudah menjadi merah sekali karena malu dan menyesal. Memang sungguh tidak patut menyerang seorang kakek tua renta, berpakaian pendeta pula, tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi Bi Lan memandang kakek itu dengan mata melotot, marah sekali.
“Engkau ini kakek berpakaian pendeta, tentu jahat seperti yang lain! Kepala gundul dan jubahmu itu hanya sebagai kedok untuk menutupi kejahatanmu!” Bi Lan berkata dengan suara lantang.
“Omitohud....!” Kakek pendeta itu berkata lirih dan tersenyum geli. ”Betapa cocok pendapatmu itu dengan pendapatku ketika aku masih muda dahulu. Akan tetapi engkau keliru, nona, seperti kelirunya kebanyakan orang. Ada yang beranggapan bahwa semua pendeta adalah manusia-manusia baik karena mereka itu beribadat dan mentaati agama, sebagian pula menyatakan bahwa mereka hanyalah munafik-munafik. Ada yang beranggapan bahwa golongan ini baik dan golongan itu tidak baik. Semua anggapan itu tidak benar sama sekali. Baik tidaknya seorang manusia tergantung dari diri manusia itu sendiri, bukan dari agamanya, golongannya, bangsanya, kedudukannya dan sebagainya. Kalau ada seorang beragama yang menyeleweng, bukan agamanya melainkan manusianya itulah yang menyeleweng. Agama, kepandaian, kedudukan, golongan, bangsa, semua itu hanya merupakan pelengkap saja, pelengkap kebutuhan hidup bermasyarakat. Baik buruknya segalanya itu adalah si manusia itu sendiri yang menentukan. Jadi, mungkin saja ada seorang pendeta yang menyeleweng, akan tetapi juga tidak kurang yang benar-benar hidup saleh. Jangan menyamaratakan saja karena setiap orang manusia itu memiliki tingkat kesadarannya masing-masing walaupun kedudukannya mungkin sama.”
Hong Beng sudah dapat menduga bahwa pendeta ini tidak sama dengan yang tadi, bahkan melihat sikap Sai-cu Lama tadi, yang kelihatan ketakutan mendengar suara melengking yang jelas dikeluarkan oleh hwesio ini, mungkin di antara mereka terdapat suatu pertentangan. Maka diapun cepat menyentuh lengan Bi Lan dan dia memberi hormat kepada kakek itu.
“Harap locianpwe sudi memaafkan kami orang-orang muda yang kurang pengalaman dan bertindak lancang terhadap locianpwe. Hendaknya locianpwe ketahui bahwa sikap kami itu adalah karena baru saja kami bertemu dengan seorang pendeta seperti locianpwe yang telah merampas pedang pusaka milik sahahat saya ini. Karena itu tadi kami mengira bahwa locianpwe adalah sahahat pendeta itu.”
Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek. Kiranya senyum khas ini adalah kebiasaannya, bukan karena dia memang hendak mengejek. ”Seorang pendeta Lama yang mukanya seperti singa?”
“Benar dia!” Bi Lan berseru. ”Dia mengaku bernama Sai-cu Lama!”
“Omitohud....! Sungguh masih beruntung bagi kalian, telah bertemu dengan dia akan tetapi hanya kehilangan pedang saja. Biasanya dia tidak mau bekerja kepalang tanggung, dan jarang ada orang dapat lolos dari tangan mautnya.”
“Tadipun kami didesaknya dengan pukulan-pukulan maut dan entah apa yang akan terjadi dengan kami kalau dia tidak tiba-tiba melarikan diri setelah mendengar suara melengking yang agaknya dikeluarkan oleh locianpwe.” kata Hong Beng dengan jujur.
***
“Locianpwe, di mana kami dapat mencari si muka singa itu? Aku harus bisa menemukannya dan merampas kembali pedangku yang diambilnya tadi,” kata Bi Lan, kini tidak lagi memaki-maki kakek itu karena iapun sadar bahwa kakek ini bukan sahahat Sai-cu Lama tadi.
“Omitohud.... ! tidak mudah mengejarnya. Pinceng sendiri sudah mengejarnya sejak dari Tibet sampai di sini dan belum juga berhasil menangkapnya. Kalau kalian ingin menemukannya, kalian harus pergi ke kota raja karena ke sanalah dia pergi”
“Kota raja? Wah, perjalanan yang jauh sekali dan kebetulan akupun hendak ke sana, Bi Lan. Mari kita kejar dia dan kita bersama pergi ke kota raja.”
“Biarpun dia lari ke neraka sekalipun akan kukejar. Aku harus dapat merebut kembali pedang pusaka itu, Hong Beng. Kalau tidak, bagaimana aku akan dapat menghadap subo?”
“Omitohud, muda-mudi yang malang, bertemu dengan manusia iblis Sai-cu Lama. Kalau kalian tidak membawa senjata pusaka yang menarik hatinya, biasanya diapun tidak mau gatal tangan mengganggu orang tanpa sebab. Pinceng melihat pukulan-pukulan yang luar biasa ketika kalian menyerang pinceng tadi. Orang muda, apakah engkau masih ada hubungan dengan keluarga Pulau Es?”
Hong Beng terkejut dan makin yakinlah hatinya bahwa dia berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi, yang demikian tajam pandang matanya sehingga baru satu jurus dia tadi memainkan Hong-in Bun-hoat, kakek ini sudah dapat ”mencium” ilmu dari keluarga Pulau Es! Maka diapun cepat memberi hormat lagi.
“Sesungguhnya, guru saya adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es, locianpwe.”
“Aha! Siapakah gurumu itu, orang muda?”
“Suhu bernama Suma Ciang Bun,”
“She Suma? Ha-ha, benar sekali. Dia tentu putera Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu.”
Girang sekali hati Hong Beng. Kiranya kakek ini malah mengenal keluarga Pulau Es!
“Suhu adalah putera sukong Suma Kian Lee.”
“Omitohud....! Benar kiranya bahwa dunia ini tidak begitu besar kalau orang mempunyai banyak kenalan. Berpisah dari Suma Kian Lee sejak muda, sekarang tahu-tahu bertemu dengan murid dari puteranya. Dan kau, nona muda? Dua kali pukulanmu tadi mengingatkan pinceng akan ilmu mujijat dari Gurun Pasir....“
“Mereka adalah suhu dan subo!” Bi Lan berseru. ”Suhu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!”
“Omitohud....! Engkau yang begini muda menjadi murid Kao Kok Cu dan Wan Ceng? Luar biasa sekali! Ha-ha-ha-ha, makin sempit saja dunia ini. Akan tetapi, nona muda. Kalau engkau benar murid mereka, bagaimana sampai pedang dari tanganmu dapat terampas oleh Sai-cu Lama? Walaupun dia memang lihai sekali, akan tetapi agaknya tidak akan mudah mengalahkan murid suami isteri dari Istana Gurun Pasir!”
Wajah Bi Lan berubah merah karena ucapan itu merupakan celaan kepadanya dan harus diakuinya bahwa ia menjadi murid suami isteri sakti itu hanya selama setengah tahun saja. Ia seorang yang jujur dan ia tidak mau menurunkan harga diri dari suami isteri yang amat baik kepadanya itu, maka iapun cepat berkata,
“Andaikata aku belajar ilmu dari suhu dan subo sejak kecil, tentu sekali tonjok saja si muka singa itu akan mampus di tanganku!” Timbul kembali sifat kasar dan liarnya berkat ajaran Sam Kwi sehingga kakek itu memandang dengan mata lebar. ”Akan tetapi sayang, hanya setengah tahun saja aku dilatih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan sebelum itu aku menjadi murid Sam Kwi selama tujuh tahun.”
Kembali kakek itu terbelalak. ”Kaumaksudkan Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup itu?”
“Eh, locianpwe, agaknya locianpwe mengenal semua orang!” Bi Lan kini bertanya kaget dan heran. ”Memang benar mereka itu guru-guruku.”
Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul bersih. ”Omitohud....!” Dia cepat merangkap kedua tangan untuk menghentikan kebiasaannya di waktu muda yang sampai tua masih sukar dilenyapkan itu. ”Bagaimana mungkin orang menjadi murid Sam Kwi dan murid pendekar lengan tunggal Kao Kok Cu? Dan kau tadi bicara tentang pedang pusaka? Jangan-jangan pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng pula yang kau bicarakan itu.”
Kini Bi Lan terbelalak. ”Wah, Locianpwe ini orang apa sih? Bagaimana bisa tahu segala hal? Memang benar pedang yang dirampas muka singa itu adalah Ban-tok-kiam milik subo yang dipinjamkan kepadaku!”
“Siancai, siancai, siancai....! Bagaimana Wan Ceng begitu bodoh untuk meminjamkan pedang itu kepada muridnya yang masih begini hijau?
“Locianpwe, jangan menghina orang!”
“Siapa menghina orang? Pinceng bicara benar. Kau tahu, malapetaka hebat telah terjadi. Kalau tidak memiliki pusaka ampuh, Sai-cu Lama masih tidak begitu membahayakan. Akan tetapi kini Ban-tok-kiam berada di tangannya! Sama saja dengan seekor singa buas tumhuh sayap. Celaka. celaka!”
“Locianpwe, kami mohon petunjuk.” Hong Beng cepat berkata untuk menengahi karena juga agaknya dia tidak menghendaki Bi Lan bersikap kasar terhadap kakek yang ternyata selain sakti, juga mengenal banyak tokoh di dunia kang-ouw itu.
“Karena pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng yang dirampasnya, pincengpun berkewajiban untuk merebutnya kembali. Nona muda, kalau bertemu subomu, katakan bahwa pinceng kelak akan mengantarkan Ban-tok-kiam ke Istana Gurun Pasir kalau berhasil merampasnya dari tangan Sai-cu!” Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ dengan kecepatan yang mentakjubkan!
“Locianpwe, siapa engkau? Bagaimana aku harus melapor kepada subo?” teriak Bi Lan penasaran sambil melihat ke bawah lereng di mana nampak bayangan kakek itu kecil sekali, tanda dia sudah pergi jauh.
“Katakan Tiong Khi Hwesio yang bicara. Ha-haha!”Terdengar suara lapat-lapat disusul suara melengking tinggi nyaring seperti tadi.
Sejenak dua orang itu diam saja, masih terpesona oleh kehadiran kakek pendeta aneh itu. Akhirnya Hong Beng menarik napas panjang.”Sungguh hebat! Dalam sekejap mata saja kita bertemu dengan dua orang kakek yang demikian lihainya. Aku yakin bahwa kalau Sai-cu Lama seorang tokoh jahat sekali, sebaliknya Tiong Khi Hwesio itu tentu seorang tokoh tua di dunia persilatan yang agaknya tidak asing dengan keluarga Pulau Es dan dengan penghuni Istana Gurun Pasir. Bahkan agaknya dia mengenal baik subomu dan juga sukongku. Sungguh aneh.”
“Kalau saja dia menepati janjinya dan dapat berhasil merebut Ban-tok-kiam. Kalau tidak, bagaimana aku berani menghadap subo?”
“Jangan khawatir, Bi Lan. Bukankah locianpwe tadi mengatakan bahwa untuk bisa menjumpai Sai-cu Lama, kita harus pergi ke kota raja? Mari kita pergi ke sana, sekalian aku harus menunaikan tugas yang diberikan suhu kepadaku di sana.”
“Tugas apakah itu? kenapa harus ke kota raja?“ Bi Lan bertanya.
Karena dia tidak begitu percaya lagi akan kelihaian pendengarannya, yang terbukti dengan munculnya Sai-cu Lama yang tidak diketahuinya, maka Hong Beng menoleh ke kanan kiri sebelum menjawab. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada lain orang, dia berkata lirih, “Ini merupakan rahasia, Bi Lan, akan tetapi aku percaya kepadamu. Aku ditugaskan ke kota raja untuk melakukan penyelidikan atas diri seorang pembesar tinggi yang dikabarkan kini mempunyai pengaruh yang amat luasdi istana dan bahkan mempengaruhi kekuasaan kaisar, mempengaruhi jalannya pemerintahan. Kabarnya pembesar itu memunyai niat buruk. Aku harus berhati-hati karena pembesar tiu dibantu orang-orang pandai. Bahkan suhu memesan kepadaku agar aku lebih dahulu minta keterangan dari bekas Panglima Kao Cin Liong, yaitu putera tunggal gurumu, Kao Kok Cu, dan juga minta bantuan dari susiok Suma Ceng Liong, adik dari suhu. Nah, karena aku pergi ke kota raja dan engkaupun agaknya harus ke sana untuk mendapatkan kembali pedang subomu, maka sebaiknya kita pergi bersama. Dengan berdua, kita akan lebig kuat dalam menghadapi kesukaran di perjalanan, bukan?”
Bi Lan mengerutkan alisnya. “Aku sendiri tidak tahu akan pergi kemana setelah aku lari dari suci. Aku hanya mempunyai satu tugas, yaitu mencari pusaka yang sudah kujanjikan kepada suci.”
“Pusaka lagi? Pusaka apakah itu?”
“Pusaka itupun sebuah pedang, akan tetapi pedang pusaka yang menurut Sam Kwi amat penting artinya. Namanya Liong-siauw-kiam, yang usianya sudah ribuan tahun, terbuat dari pada kayu yang diukir menjadi suling berbentuk naga yang indah, keras seperti baja karena direndam obat-obatan rahasia jaman dahulu. Pusaka itu bisa ditiup seperti suling, akan tetapi juga dapat dipergunakan sebagai pedang. Dan sepasang mata naga itu terbuat dari batu permata yang tak ternilai harganya. Pusaka itu dahulu pernah menjadi lambang raja-raja Bangsa Khitan, dan kemudian jatuh ke tangan Kaisar Jengis Khan dan menjadi pusaka kerajaan. Akan tetapi kemudian jatuh ke tangan susiok dari Sam Kwi yang bernama Pek-bin Lo-sian. Pusaka itu turun-temurun berada di tangan perguruan Sam Kwi, akan tetapi celakanya, Pek-bin Lo-sian tidak mau menyerahkan pusaka itu kepada Sam Kwi malah memberikannya kepada seorang pendekar!”
“Eh, aneh sekali!” kata Hong Beng.
“Karena itu, Sam Kwi mengutus suci dan aku untuk mencari pusaka itu dan merampasnya kembali dari tangan pendekar itu.”
“Dan siapakah pendekar itu?”
“Menurut suci, julukannya adalah Suling Naga, mungkin karena dia kini memiliki senjata Liong-siauw-kiam itu, dan katanya dia lihai bukan main. Aku harus mencari Pendekar Suling Naga itu dan merampas pusaka itu seperti sudah kujanjikan kepada suci!”
“Biarpun sucimu telah mengkhianatimu dan bahkan hampir membunuhmu dengan jarum beracun?”
“Janji tetap janji. Ia pernah menolongku dan aku sudah berjanji kepadanya, harus kupenuhi!”
Diam-diam Hong Beng kagum bukan main. Jarang ada orang yang berhati teguh seperti gadis ini. ”Baiklah, akupun akan membantumu mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam. Wah, dengan begini kita harus merampas dua batang pedang pusaka, Ban-tok kiam dan Liong-siauw-kiam!”
“Kalau kau keberatan, jangan membantu. Aku pun tidak minta bantuanmu, Hong Beng!” kat gadis itu dengan ketus.
“Eh, eh, mengapa marah? Tentu saja aku suka sekali membantumu, Bi Lan. Nasib kita sama. Kita sama-sama yatim piatu, tiada sanak saudara. Dan nasib pula yang mempertemukan kita di sini, sejak di warung nasi itu. Marilah kita bekerja sama dan saling bantu, karena perjalanan ke kota raja bukanlah perjalanan yang dekat.”
Mereka berdua lalu menuruni lereng itu dan hati Bi Lan yang tadinya kecewa dan murung karena kehilangan Ban-tok-kiam, mulai terhibur sehingga dalam waktu beberapa hari saja, sudah pulih kembali sikapnya yang gembira dan jenaka.
Kalau saja dua orang muda itu mengenal siapa adanya Tiong Khi Hwesio, tentu mereka akan terkejut dan tidak merasa aneh lagi mengapa hwesio itu mengenal tokoh-tokoh keluarga Pulau Es, bahkan mengenal baik kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng.
Tiong Khi Hwesio bukanlah orang sembarangan. Di waktu mudanya, dia pernah menjadi seorang pendekar yang bersama-sama keturunan keluarga Pulau Es pernah menggegerkan dunia persilatan. Di waktu dia muda dahulu, nama Wan Tek Hoat dengan julukannya Si Jari Maut amat terkenal, bahkan mengguncangkan dunia persilatan dengan wataknya yang keras dan kadang-kadang aneh. Dan diapun bukan keturunan sembarangan. Ayahnya yang bernama Wan Keng In adalah putera nenek Lulu yang kemudian menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Jadi, pendekar sakti itu adalah ayah tirinya. Ilmu kepandaian Wan Tek Hoat ini hebat sekali, sejajar dengan kepandaian para keluarga Pulau Es. Dia pernah digembleng oleh Sai-cu Lo-mo, seorang kakek sakti, kemudian ilmu kepandaiannya meningkat dengan amat hebatnya ketika dia mewarisi kitab-kitab dari Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauwjin dari Pulau Neraka! Para pembaca seri cerita JODOH RAJAWALI dan selanjutnya dapat mengikuti riwayat Wan Tek Hoat yang amat hebat itu.
Kemudian, setelah mengalami kepahitan-kepahitan cinta asmara yang gagal, akhirnya dia berhasil juga menjadi suami wanita yang sejak semula telah dicintanya, yaitu Puteri Syanti Dewi, puteri negeri Bhutan. Bahkan sebagai mantu raja, Wan Tek Hoat terkenal sekali di Bhutan, membantu kerajaan itu dengan ilmu kepandaiannya, melatih para perwira, bahkan dia pernah berjasa sebagai panglima kerajaan menumpas kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negara itu. Dia hidup penuh kasih sayang dengan isterinya, dan suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Tentu saja suami isteri ini amat sayang kepada puteri mereka karena mereka itu dikurniai seorang anak setelah usia mereka mendekati limapuluh tahun. Dan mengenai Wan Hong Bwee atau Gangga Dewi ini, dapat diikuti riwayatnya di dalam kisah Para Pendekar Pulau Es. Di dalam perantauannya, Gangga Dewi bertemu dengan Suma Ciang Bun yang jatuh cinta kepadanya, akan tetapi Gangga Dewi tidak membalas cintanya, bahkan melarikan diri kembali ke Bhutan. Kemudian, Wan Hong Bwee menikah dengan seorang pemuda perkasa di Bhutan yang menjadi murid ayahnya sendiri dan mereka hidup berbahagia karena pemuda itupun menjadi seorang panglima Bhutan yang terkenal.
Ketika Wan Tek Hoat berusia hampir tujuhpuluh tahun, dan isterinya hanya dua tahun lebih muda darinya, Syanti Dewi, isteri tercinta itu, meninggal dunia. Hal ini merupakan pukulan batin yang amat hebat bagi Wan Tek Hoat. Biarpun mereka mempunyai seorang puteri yang sudah mempunyai dua orang anak pula, namun kedukaan Wan Tek Hoat tak tertahankan oleh pendekar ini, membuatnya seperti orang gila. Dia tidak mau lagi kembali ke istana, dan hidup seperti orang gila di dekat makam isterinya! Sampai satu tahun lamanya dia bertapa di dekat makam isterinya, mengharapkan kematian akan segera menjemputnya agar dia dapat bersatu kembali dengan isteri tercinta. Namun, agaknya kematian belum juga mau menyentuhnya dan dia tetap segar bugar setelah setahun hidup di dekat makam. Semua bujukan dan hiburan Gangga Dewi dan suaminya tidak dapat mencairkan kedukaannya. Bahkan dia marah-marah dan tidak ada orang lain kecuali anaknya dan mantunya itu yang berani mendekati makam itu, apa lagi membujuk Wan Tek Hoat yang telah menjadi seorang kakek berusia hampir tujuhpuluh tahun itu. Salah-salah orang yang berani lancang membujuknya akan diserangnya dan celakalah kalau ada orang diserang oleh kakek yang sakti ini.
Akan tetapi pada suatu pagi yang cerah, selagi Wan Tek Hoat seperti biasa duduk termenung di depan makam isterinya, membayangkan segala pengalamannya bersama Syanti Dewi di waktu mereka masih muda, tiba-tiba saja terdengar suara nyanyian seorang laki-laki, suara nyanyian lembut sekali. Mendengar ada suara orang di dekat situ, muka Wan Tek Hoat sudah menjadi merah dan matanya melotot. Kemarahan sudah menguasai hatinya yang setiap hari tenggelam ke dalam duka itu. Akan tetapi, pendengarannya tak dapat melepaskan kata-kata yang terkandung di dalam nyanyian itu. Menurut dorongan hatinya yang sudah rusak direndam racun duka selama satu tahun, ingin dia menghampiri orang yang berani bernyanyi-nyanyi di dekat makam itu dan seketika membunuhnya. Akan tetapi, kata-kata dalam nyanyian itu membuat dia tetap duduk terpukau dan mendengarkan.
“Mana lebih baik siang atau malam?
Mana lebih baik hidup atau mati?
Siapa tahu?
Siapa bilang siang lebih indah daripada malam?
Siapa bilang hidup lebih enak dari pada mati?
Tanpa malam takkan ada siang,
tanpa mati takkan ada hidup.
Hidup dan mati tak terpisahkan.
Mati adalah lanjutan hidup,
dan hidup kelanjutan mati.
Mungkinkah meniadakan kematian?
Seperti meniadakan matahari tenggelam!
Bebas dari segala ikatan lahir batin
berarti hidup dalam mati dan mati dalam hidup
selalu senyum bahagia tidak perduli
dalam hidup maupun dalam mati
demikianlah seorang bijaksana sejati!”
Setelah mendengar semua kata-kata dalam nyanyian itu, Wan Tek Hoat mengerutkan alisnya dan diapun meloncat. Sekali tubuhnya melayang, dia sudah tiba di luar tanah kuburan itu dan berhadapan dengan seorang kakek yang berkepala gundul, memakai jubah hwesio, tangan kiri memegang tongkat, lengan kirinya digantungi sebuah keranjang dan tangan kanannya asyik memetik daun-daun obat yang dikumpulkannya di dalam keranjang.
Sekali mengulur tangan, Wan Tek Hoat sudah mencengkeram jubah pendeta itu pada dadanya dan dengan mudah dia mengangkat tubuh pendeta itu ke atas, siap untuk memukul atau membantingnya. Akan tetapi, wajah pendeta yang usianya lebih tua darinya itu nampak tersenyum demikian lembutnya, pandang matanya sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget atau takut sehingga timbul keheranan dan kekaguman di hati Wan Tek Hoat.
“Kau bilang hidup dan mati tidak ada bedanya? Bagaimana kalau sekarang kubanting hancur tubuhmu dan nyawamu melayang ke akhirat?” bentaknya dengan suara mengejek.
“Siancai....! Orang lemah batin dan hanya kuat lahir, kaukira kau akan mampu melenyapkan kehidupan? Omitohud, semoga penerangan mengusir kegelapan dalam batinmu. Tubuh ini dapat kauhancurkan, tanpa kauhancurkanpun pada saatnya akan rusak sendiri. Mati hidup bukan urusan kita, akan tetapi mengisi kehidupan dengan kesadaran itulah kewajiban kita. Wahai saudara yang lemah batin, kalau kauanggap bahwa dengan jalan menghancurkan tubuhku ini engkau akan dapat terbebas daripada duka, silahkan. Aku tidak pernah terikat oleh apapun, tidak terikat pula oleh tubuh yang sudah tua dan rapuh ini. Silahkan!”
Mendengar ucapan itu, dan melihat betapa benar-benar kakek yang tua renta ini sama sekali tidak gentar menghadapi ancamannya, seketika kedua lengan Wan Tek Hoat gemetar dan diapun menurunkan kakek itu kembali, lalu dia menutupi muka dengan kedua tangannya.
“Saudara yang kuat lahir namun lemah batin, apa manfaatnya bagimu sendiri atau bagi orang lain atau bagi alam ini kalau engkau menenggelamkan dirimu di dalam lembah duka seperti ini? Mengapa kaubiarkan racun kedukaan yang melahirkan kebencian itu menguasai batinmu?”
Air mata menetes-netes turun melalui celah-celah jari tangan Wan Tek Hoat. Dia menangis sesenggukan!
Peristiwa ini merupakan hal yang amat luar biasa. Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar yang berhati baja. Biasanya, tangis merupakan pantangan besar baginya. Hatinya tak pernah menyerah dan tidak pernah memperlihatkan kelemahan. Di depan orang lain, sampai matipun dia tentu merasa malu untuk menangis. Akan tetapi kini, mendengar ucapan kakek itu, dia menangis sesenggukan, tak tertahankannya lagi karena air matanya itu seperti air bah yang tadinya terbendung oleh bendungan yang amat kuat. Akan tetapi kini bendungan itu jebol dan air bah menerjang keluar tak dapat ditahannya lagi. Wan Tek Hoat, pendekar yang pernah dijuluki Si Jari Maut itu kini menangis seperti seorang anak kecil, menutupi muka dengan kedua tangan, terisak-isak, kedua pundaknya terguncang-guncang dan air mata menitik turun melalui celah-celah jari tangannya.
Pendeta berkepala gundul itu membiarkan Wan Tek Hoat menangis seperti anak kecil, memandang sambil tersenyum dan mengangguk-angguk. Kakek yang arif bijaksana ini seolah-olah melihat getaran kekuatan duka ikut terseret keluar melalui banjir air mata itu dan maklumlah dia bahwa tangis yang mendalam ini sedikit banyak akan membebaskan dada si penderita ini dari pada tekanan duka. Tangis akan membebaskan orang dari tekanan duka yang dapat mendatangkan penyakit berat pada tubuh.
Setelah diserang oleh dorongan tangis yang hebat itu, Wan Tek Hoat akhirnya sadar akan keadaan dirinya. Hal ini membuat dia merasa terkejut dan malu, dan cepat dia mengangkat mukanya memandang, karena kemarahan sudah timbul kembali ke dalam hatinya yang keras. Ketika dia mengangkat muka, pandang matanya yang agak kabur oleh air mata, bertemu dengan wajah yang demikian lembut dan mengandung kasih demikian mendalam, pancaran sinar mata yang demikian halus dan penuh pengertian, dan seketika luluh rasa hati Wan Tek Hoat. Semua kemarahannya lenyap bagaikan api disiram air. Dan pendekar tua yang selamanya tak pernah mau tunduk kepada orang lain itupun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki yang bersandal rumput itu.
“Suhu yang budiman, saya mohon petunjuk dan berkah....“
Melihat ini, kakek yang usianya tentu sudah delapanpuluh tahun lebih itu tersenyum, senyum yang tidak bersuara akan tetapi seolah-olah keadaan sekeliling tempat itu ikut terseret dalam senyum bahagia itu.
“Omitohud...., saudaraku yang baik, marilah kita duduk dan bicara dengan baik-baik.” Diapun lalu duduk di atas rumput, di depan Wan Tek Hoat yang juga sudah duduk bersila. Dengan tenang dan sabar kakek itu meletakkan tongkat dan keranjangnya di kanan kiri tubuhnya, membereskan jubahnya dan duduk bersila dengan rubuh tegak lurus dengan enak sekali, tanda bahwa duduk bersila dengan baik merupakan pekerjaan yang sudah dikuasainya dengan sempurna.
Sejenak mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan. Bagi orang-orang yang sudah waspada atau setengah waspada, terdapat suatu hubungan antar manusia tanpa kata. Pandang mata yang didasari sari perasaan yang tercurah sudah cukup mengadakan komunikasi yang mendalam, dan di sini memang kata-kata tidak diperlukan lagi. Akan tetapi, kakek itu melihat betapa batin Wan Tek Hoat masih penuh dengan uap beracun yang dinamakan duka, maka dia menarik napas panjang lagi.
“Omitohud, saudaraku yang baik. Jangan minta petunjuk dari pinceng. Petunjuk sudah ada selengkapnya dan sebijaksana mungkin di sekitar dirimu, di luar dirimu, di dalam dirimu. Engkau hanya tinggal membuka mata, baik mata badan maupun mata batin, membuka dan memandang, mengamati, dan engkau sudah mendapatkan segala macam petunjuk yang kaubutuhkan dalam kehidupan ini. Engkau tidak lagi perlu meminta berkah karena kalau engkau mau membuka mata batinmu, akan nampaklah bahwa berkah itu sudah mengalir berlimpahan sejak kita lahir sampai kita mati, tiada putus-putusnya berkah mengalir kepada kita. Kita tinggal mengulur tangan dan meraih saja. Sayang, betapa banyaknya mata manusia seolah-olah buta, tidak melihat akan limpahan berkah, merengek dan meminta-minta selalu tanpa melihat yang sudah ada. Lihat! Napasku adalah berkah, denyut darahku adalah berkah, kehidupanku adalah berkah, alam semesta adalah berkah. Lalu apa lagi yang harus kita minta? Kita tidak mau melihat itu semua, melainkan merendam diri ke dalam duka, kehilangan, kekecewaan, kesengsaraan. Betapapun bodohnya kita ini!”
Wan Tek Hoat bukanlah seorang anak bodoh, melainkan seorang kakek yang sudah banyak belajar, dan banyak pula mempelajari filsafat dan kitab-kitab suci kuno. Akan tetapi, baru kini dia mendengar ucapan yang begitu sederhana namun menembus batinnya, dan hatinyapun tunduk. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang arif bijaksana, seorang yang patut dijadikan tempat bertanya, seorang yang tidak lagi diperhambakan oleh nafsu-nafsunya dan perasaan-perasaan hatinya.
“Akan tetapi, suhu yang mulia. Saya menderita duka karena kematian isteri saya tercinta. Bukankah hal itupun wajar saja? Saya seorang manusia yang berperasaan, tidak lepas dari pada suka duka, dan saya amat mencinta isteri saya, yang lebih saya cintai dari pada apapun juga di dunia ini. Dan sekarang ia.... ia.... telah meninggal dunia....“
Duka menyesak dadanya sehingga kalimat terakhir itu tersendat-sendat. Kakek itu masih tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu mengangkat muka memandang ke arah awan berarak dan kembali dia bernyanyi.
“Anak isteri ini milik saya,
harta benda itu milik saya,
dengan pikiran ini si dungu selalu tersiksa,
dirinya sendiripun bukan miliknya,
apa lagi anak isteri dan harta benda?”
Wan Tek Hoat membantah, ”Suhu yang mulia, duka ini datang tanpa saya sengaja, bagaimana akan dapat menghilangkan duka selagi hidup di dunia?”
“Omitohud, perlukah hal ini saudara tanyakan lagi?” kata kakek itu dengan ramah. ”Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah orang bijaksana yang tidak akan tersentuh duka.”
“Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, bagaimana pula ini, suhu? Bukankah mempunyai sama dengan memiliki?”
“Mempunyai lahiriah, hal itu terikat oleh hukumhukum lahiriah buatan manusia. Mempunyai badaniah tidak perlu menjadi memiliki batiniah. Keluargaku dengan segala hak dan kewajibannya, hal itu adalah urusan lahiriah yang diperlukan untuk kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, batin tidak perlu memiliki karena sekali batin memiliki, maka akan terjadi ikatan batin dan inilah sumber segala kesengsaraan, sumber segala duka! Harta bendaku hanya kepunyaan badan karena harta benda hanya diperlukan oleh badan. Namun, sekali batin memiliki pula harta benda itu, akan terjadilah kehilangan yang akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan. Ingat, hanya dia yang memiliki sajalah yang akan kehilangan. Batin yang tidak memiliki apa-apa, batin yang bebas dan tidak terikat oleh apapun juga, tidak terikat oleh isteri, oleh anak, keluarga, harta benda dan sebagainya, batin seperti itu bebas dan murni dan takkan tersentuh duka. Lihat, saudaraku yang baik. Badan ini memang punya saya, dan adalah kewajiban saya untuk menjaganya, memeliharanya, membersihkannya, melindunginya. Akan tetapi badan, ini punya saya lahiriah saja. Batin tidak harus memiliki dan terikat karena kewaspadaan bahwa segalanya itu akan berakhir dan ikatan itu hanya menimbulkan duka karena kehilangan dan iba diri. Ikatan batin menumbuhkan akar dan jika tiba saatnya perpisahan, maka akar itu akan tercabut dengan kekerasan sehingga menimbulkan luka berdarah.”
“Akan tetapi, suhu yang mulia, bukankah kalau batin tidak memiliki lalu kita bersikap acuh dan tidak perduli akan segalanya itu? Bagaimana mungkin saya mengacuhkan isteri saya yang amat saya cinta?”
Diserang demikian, kakek itu tersenyum lebar penuh kesabaran seperti seorang guru yang baik hati menghadapi seorang murid yang masih bodoh. Dan memang sesungguhnyalah, menghadapi alam yang menjadi guru, kita manusia ini hanyalah murid-murid yang bodoh, anak-anak kecil yang tubuhnya besar.
“Saudaraku yang baik, justeru karena tidak adanya ikatan batin, maka batin menjadi bebas dan hanya batin yang bebas sajalah yang penuh dengan cinta kasih. Sinar cinta kasih itu akan hidup terus dan dengan adanya sinar cinta kasih, bagaimana mungkin orang menjadi acuh? Sebaliknya, cinta kasih membuat orang penuh perhatian dan waspada terhadap segala-galanya, baik yang terjadi di dalam maupun di luar dirinya.”
“Saya dapat melihat kebenaran dalam semua ucapan suhu. Akan tetapi, saya memang terikat lahir batin dengan isteri saya, dan karena itulah saya menderita dan kehilangan karena kematiannya. Kalau saya tidak mencinta isteri saya, mana mungkin tidak terikat lahir batin saya, suhu?”
“Siancai.... di siniiah letak persimpangan yang membingungkan semua orang. Tentang cinta dan ikatan! Saudaraku, cinta kasih itu hanya ada kalau di situ terdapat kebebasan. Cinta kasih itu kebebasan. Ikatan bahkan meniadakan cinta kasih. Ikatan itu hanya menciptakan duka, dan ikatan itu terjadi karena nafsu, saudaraku! Cinta tidak menimbulkan ikatan, akan tetapi nafsulah yang menimbulkan ikatan. Nafsu timbul karena adanya aku. Cinta kasih yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu yang memakai nama cinta. Dan nafsu itu berarti mencinta diri sendiri. Saudaraku yang baik, apakah saudara mencinta mendiang isteri saudara?”
Mendengar pertanyaan ini, terkejutlah hati Wan Tek Hoat, matanya terbelalak dan sejenak hatinya terasa panas. Ah, betapa tangannya akan bergerak menyerang, mungkin membunuh orang yang berani meragukan cintanya terhadap isterinya! Akan tetapi pertanyaan dari mulut kakek itu dikeluarkan demikian halus dan wajar, sama sekali tidak mengandung ejekan, keraguan atau celaan, bahkan dia merasa seolah-olah batinnya sendiri yang tadi mengajukan pertanyaan.
“Apa.... apa maksud pertanyaan suhu ini?” dia tergagap.
“Maksudku agar engkau melihat sendiri, mengamati sendiri, menjenguk isi hatimu apakah engkau mencinta isterimu, ataukah hanya mencinta diri sendiri,”
“Suhu, tentu saja saya mencinta isteri saya! Ah, suhu tidak tahu betapa besar cinta kasih saya kepada mendiang isteri saya!” Wan Tek Hoat mengemukakan semua pengalamannya bersama isterinya yang dicintanya.
Kakek itu mengangguk-angguk. ”Begitulah anggapan semua orang tentang cinta. Akan tetapi, saudaraku yang baik, marilah kita bersama menyelidiki tentang cinta ini. Kalau benar bahwa engkau mencinta mendiang isterimu, lalu mengapa sekarang engkau menangisi kematiannya, berduka karena kematiannya? Mengapa....?”
Pertanyaan ini mengejutkan hati Wan Tek Hoat dan membuatnya tercengang, sejenak tak mampu menjawab. ”Mengapa? Tentu saja saya menangisi kematiannya karena saya cinta kepadanya, karena saya kehilangan....“
“Nah, berhenti!” Kakek itu mengangkat tangannya menghentikan ucapan Wan Tek Hoat yang belum selasai. ”Itulah, lihat baik-baik dan engkau akan menemukannya. Karena kehilangan! Karena kehilangan isterimu maka engkau berduka, menangis, merasa iba kepada diri sendiri.”
“Tapi.... tapi saya merasa kasihan kepadanya....”
“Saudaraku yang baik. Benarkah itu? Benarkah engkau merasa kasihan kepada isterimu dan karena kasihan itu engkau menangisi kematiannya? Kalau benar demikian, mengapa engkau merasa iba kepadanya? Karena dia mati? Bagaimana mungkin kauapat mengasihani seseorang yang mati kalau kau sendiri tidak tahu bagaimana keadaan orang setelah mati? Yang jelas, ia telah kehilangan badannya yang menua dan rapuh, tidak merasakan lagi gangguan usia tua, bebas dari penanggungan badannya. Tidak, kalau kita mau jujur, akan nampaklah oleh kita bahwa yang kita tangisi dalam kematian seseorang bukanlah si mati, melainkan diri sendiri. Kita menangis karena kita ditinggal, karena kita kehilangan sesuatu yang menyenangkan yang kita peroleh dari orang yang kita cinta itu. Cinta tidak mengandung ikatan, dan karena tidak ada ikatan inilah, maka tidak akan ada duka pada saat perpisahan. Dalam kedukaan saudara ini, yang ada bukanlah cinta, melainkan nafsu dan terputusnya ikatan yang mengakar dalam batin. Duka saudara bukan karena cinta kepada yang mati, melainkan karena iba diri sendiri yang ditinggalkan.
Wan Tek Hoat merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin yang membuatnya gelagapan, akan tetapi juga membuat dia sadar. Hatinya tersentuh keharuan dan diapun menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu.... saya dapat melihatnya sekarang. Saya harap suhu sudi memberi bimbingan kepada saya untuk selanjutnya. Saya akan belajar mencari kebebasan....“
“Omitohud, omonganmu itu keliru, saudara. Jangan katakan mencari kebebasan, karena kebebasan tidak mungkin dapat dicari. Yang penting, patahkan semua belenggu dari batin. Kalau sudah tidak ada ikatan, dengan sendirinya sudah bebas, bukan? Dalam keadaan terbelenggu mencari kebebasan, mana mungkin? Berada di dalam kurungan nafsu keakuan, tak mungkin mencari kebebasan. Kebebasan yang ditemukan di dalam kurungan itu bukanlah kebebasan yang sejati. Hanya kalau kita mampu menjebol kurungan itu dan berada di luar, barulah kita boleh bicara tentang kebebasan.”
“Saya ingin mempelajari tentang kehidupan dari suhu, harap suhu suka menerima saya sebagai murid.”
Kakek itu tersenyum dan mengajak pergi Wan Tek Hoat. Semenjak hari itu, tidak ada seorangpun di Bhutan yang pernah melihat lagi bekas panglima itu. Oleh kakek yang arif bijaksana itu, Wan Tek Hoat diajak merantau ke Tibet, diperkenalkan dengan para pendeta Lama dan para pertapa, memperdalam kewaspadaan dan kebijaksanaan, mempelajari tentang kehidupan, tentang alam. Wan Tek Hoat mencukur rambut kepalanya, mengenakan jubah pendeta sederhana dan memakai nama Tiong Khi Hwesio.
Akan tetapi di Tibet terdapat hanyak aliran keagamaan. Banyak orang-orang pandai di kalangan pendeta itu yang saling memperebutkan kekuasaan sehingga terjadi perpecahan dan ada pula pemberontakan ditujukan kepada Kerajaan Ceng. Hal ini menyedihkan hati Tiong Khi Hwesio. Tak disangkanya bahwa biarpun manusia ada yang sudah berjubah pendeta, namun tetap saja jarang yang benar-henar sudah bebas, dan nafsu masih mencengkeram dalam berbagai bentuk, dengan umpan-umpan yang berbeda pula dengan yang dikejar orang di dunia ramai. Kalau di dunia ramai orang berebutan mengejar harta dan kemuliaan atau kesenangan-kesenangan lainnya, di tempat sunyi itu, para pendeta itu saling memperebutkan kedudukan, yaitu nama dan kehormatan!
Akhirnya, pemberontakan-pemherontakan itu dapat dipadamkan oleh balatentara yang dikirim Kaisar Kian Liong. Keadaan di Tibet menjadi aman kembali. Akan tetapi, ada satu golongan yang selalu memberontak dan mengeruhkan keamanan di Tibet. Golongan ini menamakan dirinya golongan Lama Jubah Merah dan dipimpin oleh Sai-cu Lama yang sakti. Karena para pendeta Lama di Tibet merasa kehabisan akal untuk dapat menundukkan Sai-cu Lama dan anak buahnya, akhirnya Tiong Khi Hwesio yang dikenal oleh para pendeta sebagai seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, dimintai tolong oleh para pendeta itu.
Mula-mula Tiong Khi Hwesio menolak permintaan bantuan ini. Dia sudah berjanii kepada diri sendiri untuk tidak melibatkan diri dalam urusan dunia, apa lagi dia mendapatkan banyak pelajaran dari gurunya, hwesio perantau yang tak pernah dikenal namanya itu yang kini sudah meninggal dunia.
“Aku sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak lagi menggunakan kekerasan untuk menghadapi orang lain,” demikian diamenyatakan penolakannya kepada para pendeta Lamma di Tibet. ”Kekerasan hanya mendatangkan kebencian dan permusuhan, menimbulkan dendam. Tidak, aku tidak akan mau mempergunakan kekerasan lagi, para suhu yang baik,” katanya.
Lama tertua di antara para pendeta itu melangkah maju dan merangkap kedua tangan ke depan dada. ”Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi keyakinan hati saudara yang budiman. Memang, kita semua maklum bahwa menggunakan kekerasan bukanlah perbuatan yang baik. Akan tetapi, saudaraku yang budiman, menjadi kewajiban mutlak bagi kita untuk melindungi diri dari pada ancaman dari luar, terutama sekali melindungi orang lain dari pada ancaman dari luar. Golongan Jubah Merah telah menyebar maut, bertindak sewenang-wenang hanya untuk melampiaskan nafsu-nafsu hewani mereka. Kalau kita menentang mereka, bukan berarti kita suka akan kekerasan, melainkan kita menggunakan tenaga untuk menghentikan perbuatan yang justeru bersifat kekerasan itu. Apakah saudara hendak membarkan saja golongan itu merajalela, menyiksa dan membunuh, merampok dan memperkosa, tanpa ada sedikitpun semangat dalam batin saudara untuk menolong mereka yang tertindas itu? Benarkah dan patutkah seorang pencinta kehidupan seperti saudara ini membiarkan orang-orang merusak kehidupan? Apa lagi kalau diingat bahwa saudara memiliki sarana untuk menghentikan perbuatan laknat itu.”
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang dan membuka mata memandang kepada semua pendeta itu. ”Aih, tidak bolehkah aku menghabiskan sisa hidupku yang tidak seberapa ini dengan penuh ketenteraman dan kedamaian?”
“Bagaimana hati kita dapat tenteram dan damai kalau di sekitar kita terdapat srigala-srigala yang haus darah? Haruskah kita mendiamkan saja srigala-srigala itu menyerang, menerkam dan membunuh banyak orang?”
“Sudahlah, sudahlah.... pinceng akan menemui dan membujuk mereka.... “ akhirnya dia berkata. Para pendeta Lama itu segera menyatakan terima kasih dan rasa bersyukur mereka.
Dengan penuh perasaan gelisah karena dia lagi-lagi harus menghadapi kekerasan, Tiong Khi Hwesio yang dahulunya bernama Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu, segera mendatangi perkampungan para Lama Jubah Merah. Dan apa yang didapatinya di sini membangkitkan jiwa pendekarnya yang sejak lama tidur. Bagaimana dia dapat berdiam diri saja menyaksikan betapa para pendeta Lama ini menjadi budak-budak nafsu mereka yang nampak jelas di dalam perkampungan mereka? Mereka itu berpesta pora atas hasil perampokan-perampokan dan penculikan-penculikan mereka, mengumpulkan harta rampasan, minum-minum sampai mabok dan bahkan ada yang sedang menghina wanita-wanita culikan dengan semena-mena. Tentu saja Tiong Khi Hwesio menjadi marah, akan tetapi dia masih berusaha untuk menemui kepala atau pimpinan kelompok Jubah Merah itu.
Melihat munculnya seorang hwesio di pintu gerbang mereka, beberapa orang Lama Jubah Merah menyambutnya dengan mulut menyeringai. ”Sobat, apakah engkau datang ingin ikut bersenang-senang dengan kami?”
“Pinceng datang untuk bertemu dan bicara dengan pemimpin kalian, Sai-cu Lama.”
“Ha-ha-ha, pemimpin kami sedang bersenang-senang dengan wanita pilihannya yang baru saja kami dapatkan. Beliau tidak suka diganggu pada saat ini. Kalau ada keperluan, bicara dengan kamipun sama saja, kawan. Ada keperluan apakah?”
Tiong Khi Hwesio mengerutkan alisnya yang masih tebal walaupun warnanya sudah putih. Hatiya sedih sekali menyaksikan tingkah polah para pendeta Lama ini, yang sungguh berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan jubah mereka dan kepala gundul mereka.
“Maafkan, pinceng tidak dapat bicara dengan siapapun juga kecuali dengan Sai-cu Lama dan dia harus keluar menyambut pinceng sekarang juga. Kalau tidak ada di antara kalian yang mau memanggilkannya, biarlah pinceng sendiri yang akan mencarinya.” Berkata demikian, Tiong Khi Hwesio melanjutkan langkah kakinya memasuki perkampungan itu.
“Heii, tunggu dulu!” Dua orang pendeta Lama cepat menghadang dan muka mereka menunjukkan kemarahan. Lenyaplah senyum mereka tadi yang ramah, terganti pandang mata penuh curiga. Terpaksa Tiong Khi Hwesio berhenti dan menghadapi dua orang itu dengan sikap tenang. ”Siapakah kamu, berani. hendak mengganggu pimpinan kami? Kamu tidak boleh mengganggu dan pergilah dari sini sebelum kami mempergunakan kekerasan!”
“Omitohud!” Tiong Khi Hwesio menyembah dengan kedua tangan di depan dada. “Pinceng datang bukan untuk mencari pertentangan, melainkan hendak bicara dengan pimpinan kalian. Panggil dia ke luar.”
“Tidak! Apakah kamu belum mengenal para Lama Jubah Merah dan datang mencari penyakit?” Seorang Lama yang bertubuh tinggi besar dan nampak bengis wajahnya membentak dengan sikap mengancam. ”Pergilah sekarang juga. Kami masih memandang kedudukanmu sebagai seorang hwesio, Pergilah atau terpaksa aku akan melemparmu keluar!”
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang.”Siancai.... sekali lagi pinceng katakan bahwa pinceng tidak mencari permusuhan.” Lalu dia mengerahkan khi-kang dan berteriak, suaranya lantang menembus udara dan terdengar sampai jauh di seluruh penjuru perkampungan itu dan mengejutkan semua orang, Sai-cu Lama, keluarlah, pinceng hendak bicara denganmu!”
Melihat ini, dua orang pendeta Lama itu menjadi marah dan mereka sudah menubruk dan hendak menangkap hwesio tua yang datang membuat kacau itu. Akan tetapi, mereka berdua menangkap angin karena yang ditubruk tahu-tahu sudah lenyap dari depan mereka! Tentu saja mereka kaget bukan main dan para pendeta Lama yang lain kini sudah datang mengepung Tiong Khi Hwesio yang tadi dapat mengelak dengan mudah dari tubrukan dua orang lawan itu.
“Tangkap pengacau! Pukul roboh dia!” Terdengar teriakan-teriakan dan kini para pendeta yang semua memakai jubah merah itu mengepung dan menyerang Tiong Khi Hwesio dari segala jurusan. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang amat tinggi, Menghadapi serangan dari semua jurusan ini, Tiong Khi Hwesio sama sekali tidak menjadi gentar. Kalau serangan itu dilakukan terhadap dirinya sepuluh tahun yang lalu saja, tentu dia akan mengamuk dan merobohkan mereka semua tanpa ampun lagi. Akan tetapi, Tiong Khi Hwesio sekarang ini sama sekali berbeda dengan Wan Tek Hoat atau Si Jari Maut. Selama beberapa tahun ini dia hidup di dekat kakek hwesio yang menyadarkannya, dia telah mampu mengalahkan kekerasan hatinya. Kini tidak mudah hatinya tersinggung kemarahan atau emosi yang lain lagi. Dia selalu tenang dan memandang segala hal yang terjadi dengan sinar mata penuh pengertian sehingga keadaan batinnya seperti air telaga yang dalam dan selalu tenang, sikapnya halus dan wajahnya selalu tersenyum. Terjangan yang dilakukan dengan kemarahan oleh para pendeta Lama berjubah merah itu, hanya disambutnya dengan elakan dan tangkisan. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali dia seperti menghilang saja dari kepungan, membuat para pengepung terheran-heran dan keadaan menjadi semakin kacau balau.
“Sai-cu Lama, apakah engkau termasuk orang yang berani berbuat akan tetapi tidak berani bertanggungjawab?” kembali Tiong Khi Hwesio berteriak dengan pengerahan khi-kangnya ketika dia kembali berhasil meloncat keluar dari kepungan dan membiarkan para pengeroyoknya kebingungan mencari-carinya.
Mendengar suaranya, kembali para pendeta yang kini jumlahnya tidak kurang dari duapuluh orang itu sudah menerjang dan menubruknya, bahkan sebagian di antara mereka ada pula yang menggunakan senjata. Tiong Khi Hwesio sedang berdiri tegak ketika duapuluh orang pendeta itu menerjangnya dari depan, belakang dan kanan kiri. Karena tidak mungkin mengelak atau menangkis semua serangan itu satu demi satu, Tiong Khi Hwesio tidak mengelak dan tiba-tiba saja dari mulutnya terdengar suara melengking, kedua kakinya terpentang dan kedua lengannya juga dikembangkan lalu diputar di sekeliling tubuhnya. Akibatnya, para pengeroyok itu terpelantingan seperti diterjang angin puyuh yang amat kuat!
Terkejutlah kini para pengeroyok itu. Tak mereka sangka bahwa hwesio yang datang ini memiliki kesaktian yang demikian hebat, dan sebagai orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa kalau lawan itu menghendaki, tentu mereka semua sudah roboh dan terluka berat, tidak hanya berpelantingan seperti itu. Timbul kekhawatiran hati mereka. Jangan-jangan orang ini sahabat dari pemimpin mereka yang mempuyai keperluan ingin bertemu dengan Sai-cu Lama. Akan tetapi mereka tidak perlu ragu-ragu lagi karena pada saat itu terdengar suara keras dan mengandung getaran parau seperti suara seekor singa mengaum. Mendengar suara ini, para pendeta Lama cepat-cepat menahan napas, bahkan ada yang menutupi kedua telinga karena tidak tahan mendengar suara yang mengandung khi-kang amat kuat dan yang menggetarkan jantung mereka itu.
“Hwesio tolol dari manakah berani main gila di ciepan Sai-cu Lama!” demikian bentakan suara itu dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang kakek bertubuh tinggi besar dan berperut gendut sekali, kepalanya gundul dan jubahnya bukan hanya merah seperti yang dipakai para pendeta di situ, melainkan kotak-kotak berwarna merah kuning. Biarpun kepalanya gundul plontos licin, namun mukanya penuh cambang bauk seperti muka singa karena dari cambang, sampai semua pipi, kumis dan dagunya penuh rambut yang keriting berwarna agak kekuning-kuningan!
Melihat pendeta ini, Tiong Khi Hwesio dengan mudah dapat menduga bahwa tentu inilah orangnya yang berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama Muka Singa) itu. Diam-diam dia kagum melihat kakek yang masih membayangkan kegagahan itu, walaupun usianya tentu sudah enampuluh tahun lebih. Memang muka seperti itu pantas sekali kalau memakai julukan Muka Singa. Sejenak hati kakek ini tertegun. Melihat muka pendeta Lama itu, teringatlah dia akan gurunya yang pertama kali ketika dia masih muda. Gurunya yang pertama adalah seorang kakek yang berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Muka Singa) yang memiliki muka seperti Sai-cu Lama ini, penuh cambang bauk yang bagus dan gagah seperti singa. Hanya bedanya, gurunya yang memakai julukan Ki-mo (Iblis Tua) itu adalah seorang gagah perkasa sebaliknya kakek yang memakai julukan Lama (Pendeta Buddha Tibet) ini malah seorang hamba nafsu yang jahat! Jelaslah bahwa manusia tidak dapat diukur dari namanya, julukannya, apa lagi dari pakaiannya.
Setelah merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan orang yang dicarinya, Tiong Khi Hwesio segera melangkah menghampiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, menjura ke arah kakek bermuka singa itu.
“Omitohud, kalau tidak keliru pinceng berhadapan dengan yang terhormat Sai-cu Lama, benarkah itu?”
Sejenak sepasang mata yang lebar dan penuh wibawa itu memandang Tiong Khi Hwesio penuh selidik. Memang kakek bermuka singa inilah Sai-cu Lama yang amat terkenal di Tibet itu. Mula-mula kakek ini heran mendengar di luar ada orang memanggil-manggil namanya, akan tetapi karena dia sedang sibuk dengan seorang gadis yang dipilihnya di antara para wanita yang diculik, dia tidak memperdulikan panggilan itu dan menyerahkan kepada anak buahnya untuk menghadapi orang yang berani mengganggu kesenangannya. Akan tetapi, dia kemudian mendengar teriakan-teriakan anak buahnya. Dengan ogah dan marah dia keluar meninggalkan korbannya dan terkejutlah dia melihat betapa seorang kakek hwesio yang tua bergerak dengan amat cepatnya menghindarkan semua serangan para Pendeta Lama. Bahkan dia dibuat tertegun melihat betapa sekali menggerakkan tubuhnya, pendeta tua itu berhasil membuat duapuluh orang anak buahnya berpelantingan. Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang berkepandaian, yang bukan merupakan lawan para anak buahnya, Sai-cu Lama lalu menghampiri tempat itu. Kini dia memandang Tiong Khi Hwesio dengan teliti, mencoba untuk mengingat-ingat. Akan tetapi dia merasa heran dan penasaran karena dia belum pernah mengenal hwesio tua renta ini.
“Benar, aku adalah Sai-cu Lama. Setelah mengenalku, engkau masih berani membikin kacau di perkampungan kami. Apakah kau sudah bosan hidup?”
Tiong Khi Hwesio tersenyum halus dan ramah. Sai-cu Lama, pinceng datang sebagai seorang sahabat, bukan hanya karena kita berdua sama-sama murid Sang Buddha, akan tetapi juga terutama sekali karena kita berdua sama-sama manusia yang wajib saling memberi ingat kalau ada yang salah tindak.”
“Dan kau datang untuk memberi peringatan itu?” Sai-cu Lama berkata, alisnya yang tebal keriting itu berkerut dan mulutnya menyeringai seperti seekor singa mencium bau kelenci.
Tiong Khi Hwesio mengangguk. ”Omitohud, betapa sukarnya bagi kita untuk mengenal diri sendiri dan melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Selalu harus ada orang lain yang membantu memberi ingat. Sai-cu Lama, tanpa kuberitahu sekalipun, kiranya engkau sudah tahu bahwa saat ini engkau sedang melakukan penyelewengan dari pada jalan kebenaran seperti yang sudah sama-sama kita pelajari. Engkau menghimpun kawan-kawanmu ini, terkenal di Tibet sebagai kelompok yang selalu mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat. Merampok, mengganggu wanita, membunuh, mengumpulkan kekayaan. Bukankah semua itu merupakan perbuatan yang bahkan harus dipantang oleh orang-orang yang sudah menggunduli kepala dan mengenakan jubah pendeta seperti kita? Sai-cu Lama, pinceng datang untuk memberi ingat kepada kalian semua agar kalian sadar dan mengubah kesesatan itu mulai saat ini juga, dan kembali ke jalan kebenaran.”
“Keparat!” Sai-cu Lama membentak, lalu dia tertawa bergelak. ”Ha-ha-ha, siapakah engkau ini yang berani sekali datang untuk memperingatkan dan mengancam aku? Ha-ha, orang yang bosan hidup, apakah nyawamu rangkap?” Mendengar ucapan dan tawa pemimpin mereka, para pendeta Lama yang mengurung tempat itupun tertawa dan mereka merasa yakin bahwa sebentar lagi mereka akan melihar hwesio tua itu pasti akan dihajar oleh pemimpin mereka sampai mampus.
“Pinceng tidak mengancam, melainkan ingin menyadarkan kalian dari pada kesesatan.”
“Hemmm, tua bangka tak tahu diri. Siapakah engkau? Dari perguruan mana? Dari pertapaan mana?” Sai-cu Lama bertanya, teringat bahwa kakek itu tadi telah memperlihatkan kesaktiannya.
“Omitohud....” Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang, merasa bahwa agaknya tidak mungkin baginya mengingatkan orang seperti Sai-cu Lama ini. ”Pinceng hanyalah seorang perantau biasa, tanpa perguruan bahkan tidak mempunyai pertapaan, nama pinceng Tiong Khi Hwesio. Pinceng mendengar tentang gerakan dari kelompok Lama Jubah Merah dan mendengar ratapan rakyat, maka terpaksa pinceng datang ke sini untuk berusaha menyadarkan kalian.
Muka yang seperti singa itu nampak beringas dan bengis. ”Tiong Khi Hwesio, engkau ini sudah tua bangka, umurmu sudah tidak berapa lama lagi akan tetapi tindakanmu masih jahil dan mulutmu masih usil! Tindakan-tindakan kami sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan tetapi engkau berani tidak memandang mata kepadaku dan berani memperingatkan aku. Dengarlah. Aku mau mendengarkan nasihatmu itu dan mau membubarkan kelompok kami ini kalau engkau mampu mengalahkan aku!”
Terdengar suara di sana-sini mentertawakan Tiong Khi Hwesio. Hwesio ini menarik napas panjang. ”Siancai...., pinceng datang bukan untuk mempergunakan kekerasan.”
“Mau mempergunakan kekerasan atau tidak, masukmu ke perkampungan kami sudah merupakan tindak kekerasan, yang melanggar dan untuk itu, engkau sebagai orang luar sudah dapat dijatuhi hukuman mati. Nah, majulah, kalau engkau tidak mau mati konyol. Aku sendiri tidak suka membunuh orang yang tidak mau melawan.
Tiong Khi Hwesio kini memandang dan sepasang matanya mencorong penuh teguran. ”Sai-cu Lama, belum tentu pinceng dapat mengalahkanmu dalam ilmu silat, akan tetapi ketahuilah bahwa di atas puncak Gunung Thai-san yang tertinggi sekalipun masih ada awan. Bersikap tinggi hati mengandalkan kepandaian sendiri akan mempercepat kejatuhannya....“
“Sudah, tak perlu banyak kuliah lagi, sambutlah ini!” Sai-cu Lama sudah menerjang ke depan, jubahnya berkembang karena gerakan ini mendatangkan angin dan tangan kirinya yang besar itu menyambar ketika dia menggerakkan lengan. Tangan itu dengan jari-jari tangan terbuka mencengkeram ke arah kepala Tiong Khi Hwesio, sedangkan tangan kanannya menyusul dengan dorongan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.
“Wuuuuuttt....!”
Bukan main dahsyatnya serangan yang dilakukan Sai-cu Lama itu. Cepat seperti kilat menyambar dan mengandung kekuatan yang mengerikan. Entah mana yang lebih berbahaya, cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu ataukah hantaman ke arah dada. Kepala dapar hancur berantakan dan dada dapat pecah kalau terkena serangan itu! Tiong Khi Hwesio mengenal pukulan-pukulan ampuh, maka sambil mengeluarkan seruan diapun menggerakkan tubuhnya ke belakang. Cepat dan ringan tubuhnya itu bergerak ke belakang, seolah-olah terdorong oleh angin pukulan lawan dan Sai-cu Lama juga menahan seruan kagetnya. Dia merasa seperti menyerang sehelai bulu saja yang melayang pergi sebelum serangannya mengenai sasaran! Maklumlah dia bahwa lawannya ini, biarpun sudah tua sekali, namun memiliki gin-kang yang istimewa dan sukarlah menyerang orang dengan gin-kang seperti ini kalau tidak mempergunakan pukulan jarak jauh dan kecepatan kilat.
“Haiiiiittt....!” Diapun membentak nyaring dan kedua tangannya didorongkan ke depan dan kini Sai-cu Lama menyerang dengan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya. Pukulannya ini, yang dilakukan dengan kedua tangan terbuka, tidak membutuhkan kontak langsung dengan tubuh lawan. Angin pukulannya saja sanggup untuk merobohkan lawan dengan guncangan yang akan dapat merusak jantung!
“Omitohud...., keji sekali pukulan ini!” Tiong Khi Hwesio berseru dan diapun cepat memasang kuda-kuda, bukannya mundur, bahkan dia melangkah maju dan kedua tangannya juga didorongkan ke depan, menyambut langsung kedua telapak tangan lawan.
“Desss....!” Dua pasang telapak tangan saling bertemu, nampaknya saja empat buah tangan itu memiliki telapak tangan yang lunak, akan tetapi ternyata mengandung tenaga sin-kang yang hebat. Pertemuan tenaga sin-kang melalui dua pasang tangan itu hebat bukan main, sampai terasa oleh semua pendeta Lama yang berada di situ karena udara di sekitar tempat itu seolah-olah tergetar, seperti bertemunya dua tenaga Im dan Yang di musim hujan yang menciptakan kilat dan guntur.
Akibat dari pada pertemuan tenaga dahsyat itu, dua orang pendeta itu terdorong ke belakang, masing-masing lima langkah. Keduanya tidak sampai jatuh, akan tetapi berdiri dengan muka berubah agak pucat. Sejenak keduanya memejamkan mata dan mengumpulkan hawa murni untuk melindungi isi dada dari pengaruh guncangan hebat itu. Hal ini saja membuktikan bahwa keduanya memiliki tenaga sin-kang yang seimbang.
Terkejutlah keduanya. Tiong Khi Hweiso sendiripun terkejut bukan main. Belum pernah dia, kecuali di waktu muda dahulu, bertemu dengan lawan yang sekuat ini, maka diapun bersikap hati-hati, maklum bahwa dia harus berjaga dengan sepenuh tenaga dan kepandaian. Juga Sai-cu Lama terkejut sekali. Dia memang tadinya sudah menduga bahwa lawannya ini lihai, akan tetapi tak pernah disangkanya akan selihai itu, kuat menahan pukulannya tadi yang dilakukan sepenuh tenaga, bahkan tangkisan itu membuat dia terdorong ke belakang sampai lima langkah dengan dada terasa sesak dan panas. Akan tetapi di samping rasa kagetnya, timbul pula perasaan marah yang berapi-api. Inilah kesalahan Sai-cu Lama. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat dan tenaga, dia tidak kalah oleh lawan, hanya dalam satu hal dia kalah, yaitu dalam kekuatan batin. Kalau Tiong Khi Hwesio menghadapi kenyataan akan kekuatan lawan itu dengan sikap hati-hati, sebaliknya Sai-cu Lama menjadi marah menghadapi kenyataan itu. Dan kemarahan merupakan kelemahan yang mengurangi kewaspadaan, bahkan kemarahan menghamburkan tenaga dalam.
Dengan suara menggeram seperti seekor singa. Sai-cu Lama kini sudah meryerang lagi, disambut tangkisan oleh Tiong Khi Hwesio yang segera membalas pula. Tiong Khi Hwesio sudah tidak mempunyai nafsu untuk meraih kemenangan, apa lagi mencelakai lawan, namun menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama yang menyerang dengan pukulan-pukulan maut, kalau hanya melindungi diri sendiri saja akhirnya dia tentu akan terkena pukulan dan roboh. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri hanyalah mengalahkan Sai-cu Lama dan untuk dapat mengalahkannya dia harus membalas serangan lawan yang tangguh itu.
Terjadilah perkelahian yang sengit dan hebat. Saling menyerang dengan jurus-jurus pilihan yang aneh dan dahsyat. Demikian cepatnya mereka bergerak sehingga pandang mata para anggauta Lama Jubah Merah menjadi kabur. Mereka tidak dapat mengikuti gerakan kedua orang kakek itu, hanya melihat bayangan kuning dan bayangan kemerahan dari jubah mereka berdua itu berkelebatan dan berloncatan ke sana-sini. Andaikata para pendeta Lama itu disuruh membantu pemimpin mereka pada saat itu, mereka tentu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, karena sukarlah menyerang lawan yang tidak nampak dan yang bayangannya seringkali menjadi satu dengan bayangan merah. Juga, saking dahsyatnya gerakan dua orang kakek itu, pukulan-pukulan mereka mendatangkan hawa pukulan yang menyambar-nyambar ke segala penjuru, membuat para pendeta yang nonton perkelahian itu terpaksa mundur sampai pada jarak yang cukup jauh dan aman.
Diam-diam Tiong Khi Hwesio merasa kagum bukan main setelah seratus jurus lewat mereka berkelahi belum juga dia mampu menundukkan lawan itu. Jarang dia bertemu dengan lawan yang demikian tangguhnya, yang membalasnya pukulan dengan pukulan, tendangan dengan tendangan, yang menandingi kecepatan gerak dengan gin-kangnya, mengimbangi kekuatan dahsyat tenaga sin-kangnya. Sejak mudanya memang hwesio tua ini suka sekali akan ilmu silat dan selalu menghargai orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi. Hanya keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir sajalah yang benar-benar memiliki kesaktian yang mengagumkan hatinya. Akan tetapi sekali ini, dia bertemu tanding yang benar-benar hebat! Diam-diam dia merasa kagum, juga penasaran dan timbul kegembiraannya, timbul kembali kegemarannya mengadu dan menguji ilmu silat tinggi.
Segala kepandaiannya telah dia kerahkan. Dari ilmu-ilmu silat tinggi Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis), Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) dan penggabungan kedua ilmu itu, ilmu-ilmu dari Pulau Neraka peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang diwarisinya, sampai ilmu-ilmu yang amat lihai dengan tenaga Inti Bumi, semua dikeluarkannya, namun semua ilmu itu hanya dapat mengimbangi kehebatan ilmu-ilmu Sai-cu Lama yang juga merasa penasaran sekali.
Sai-cu Lama sama sekali tidak mempunyai rasa kagum terhadap lawannya. Yang ada hanyalah rasa penasaran dan kemarahan yang makin menjadi-jadi. Berkelahi sampai ratusan jurus melawan seorang kakek tua renta dan dia masih belum juga mampu memperoleh kemenangan, bahkan seringkali terdesak hebat oleh ilmu-ilmu yang aneh dari hwesio itu, apalagi di depan para anak buahnya, merupakan penghinaan baginya. Dia merasa direndahkan karena selama ini dia tidak pernah kalah sehingga para murid dan anak buahnya menganggap bahwa dia adalah orang yang paling pandai di dunia ini. Makin lama, dia semakin merasa penasaran dan karena akhirnya dia maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan hwesio itu melalui ilmu silat, maka timbullah akal liciknya. Bagaimanapun juga, lawannya itu tentu sudah tua sekali, mungkin belasan tahun lebih tua darinya dan hal ini akan menjadi sebab kemenangannya. Kalau saja dia mampu bertahan, tentu akhirnya lawan itu akan kehabisan napas dan tenaga. Dia yang lebih muda tentu akan lebih tahan dibandinglan dengan lawan yang jauh lebih tua itu.
Akan tetapi, ternyata kelicikan Sai-cu Lama yang ingin mengadu daya tahan dan napas ini tidak memperoleh hasil, bahkan dia menjadi semakin penasaran. Mereka telah berkelahi sampai ratusan jurus, entah berapa jam lamanya. Tadi ketika mereka mulai saling serang dipekarangan lebar perkampungan itu, hari telah menjelang senjadan kini telah jauh malam. Para murid yang nonton dari jarak yang cukup jauhdan aman, telah menerangi pekarangan itu dengan obor-obor dan lampu-lampu yang cukup terang. Dan perkelahian itu terus berlangsung tanpa pernah beristirahat sejenakpun! Kini kedua orang kakek itu sudah nampak lelah, keringat sudah membasahi semua pakaian dan muka, juga pernapasan mereka mulai memburu. Dari kepala mereka keluar uap putih yang aneh. Diam-diam, Sai-cu Lama yang tadinya merasa penasaran, ada pula rasa kagum dan gentar. Kiranya kakek ini memang hebat luar biasa! Agaknya memiliki napas melebihi napas kuda dan tenaganya juga tak pernah mengendur, bahkan bagi dia yang mulai lelah, tenaga kakek itu makin lama makin kuat saja agaknya. Dia merasa kagum dan gentar. Seorang kakek yang hebat! Biarpun kini hwesio tua itu mulai nampak kelelahan, akan tetapi dia sendiripun tiada bedanya, mulai lelah dan kehabisan tenaga. Kalau tadi Sai-cu Lama memiliki pikiran untuk menyuruh anak buahnya maju mengeroyok, kini dia menahan pikiran itu. Pertama, menyuruh mereka maju sama saja dengan menyuruh mereka membunuh diri. Mereka bukanlah lawan hwesio tua itu. Dan kedua, melihat kehebatan hwesio itu, dia merasa malu kepada diri sendiri kalau harus mengandalkan pengeroyokan yang hanya tipis harapannya untuk menang itu.
Tiba-tiba Sai-cu Lama mengambil ancang-ancang dan sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, dia menerjang ke depan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya! Dia hendak mengadu tenaga terakhir, kalau perlu nyawanya! Melihat lawannya menerjang dengan kedua tangan mendorong dan kedua lengan itu bergerak-gerak sehingga menimbulkan gelombang hawa pukulan dahsyat, Tiong Khi Hwesio terkejut.
“Omitohud....!” Dia mengeluh, maklum bahwa lawannya yang sudah penasaran itu agaknya hendak mengadu nyawa! Apa boleh buat, diapun terpaksa harus melindungi dirinya dan cepat diapun memasang kuda-kuda, menyambut dengan kedua tangan terbuka, didorongkan ke depan menyambut kedua telapak tangan lawan. Untuk kedua kalinya, dua orang kakek ini mengadu tenaga sin-kang mereka. Akan tetapi berbeda dengan bentrokan tenaga sin-kang melalui telapak tangan yang pertama, bentrokan sekali ini dilakukan dengan mati-matian dan dalam keadaan tenaga mereka sudah mulai mengendur, sehingga tentu saja daya tahan merekapun berkurang dan dalam keadaan seperti itu, bahaya untuk menderita luka dalam atau bahkan kematian lebih besar lagi.
“Desss....!” Bentrokaran tenaga itu hebat bukan main dan akibatnya, dua orang kakek itu terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah! Melihat betapa pemimpin mereka roboh terbanting, akan tetapi juga lawannya terlempar dan terbanting jatuh, empat orang pendeta Lama segera menubruk ke arah Tiong Khi Hwesio dengan maksud untuk menghabiskan nyawa lawan yang tangguh itu selagi lawan itu terbanting dan nampaknya kehabisan tenaga dan tidak berdaya.
“Tahan....!” Sai-cu Lama yang masih merasa lemah dan pening itu mencoba untuk mencegah, namun suaranya yang lemah itu agaknya tidak mempengaruhi empat orang anak buahnya yang sudah menyerang Tiong Khi Hwesio dengan ganas. Mereka menyerang dengan berbareng dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka disusul terlemparnya tubuh mereka sampai jauh, terpental seperti dilempar oleh tenaga raksasa dan mereka itu terbanting tak sadarkan diri! Kiranya, biarpun sudah terbanting roboh, Tiong Khi Hwesio berada di pihak lebih kuat sehingga tenaga sin-kang yang masih besar sekali terhimpun di tubuhnya. Ketika empat orang itu menerjangnya, Tiong Khi Hwesio tidak melihat jalan lain kecuali menggerakkan kedua tangannya mendorong dan akibatnya, empat orang itu terlempar seperti daun-daun kering tersapu angin.
“Anjing-anjing busuk, jangan serang dia!” bentak Sai-cu Lama, bentakan yang bukan dilakukan karena mengkhawatirkan anak buahnya, melainkan karena dia merasa malu kalau dalam keadaan seperti itu dia harus menggunakan tenaga anak buahnya. Para pendeta Lama itupun tidak ada yang berani maju lagi. Empat orang teman mereka masih pingsan, dan tentu saja mereka tidak berani maju untuk bunuh diri!
Dua orang kakek itu kini sudah bangkit duduk bersila, masing-masing mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.
“Omitohud....! Engkau sungguh merupakan lawan yang amat tangguh dan hebat, Sai-cu Lama. Pinceng merasa kagum sekali.... ah, sungguh sayang bahwa kita berdua berada di dua tempat yang bertentangan. Kalau saja engkau suka sadar dan kembali ke jalan benar, betapa akan senang hati pinceng untuk menjadi temanmu bicara tentang ilmu silat.”
Pujian yang diucapkan dengan hati yang tulus itu diterima sebagai ejekan oleh Sai-cu Lama. Bagaimanapun juga, dia merasa bahwa dalam bentrokan tenaga sin-kang terakhir tadi, dia telah terbukti kalah kuat. Kalau saja latihannya belum matang benar, bentrokan tadi saja cukup untuk membuat nyawanya putus! Dan untuk dapat memulihkan tenaga, dia membutuhkan waktu lama, sedikitnya sampai besok pagi barulah dia akan dapat memulihkan tenaganya dan mampu untuk bertanding lagi. Sedangkan lawannya baru saja membuktikan kehebatannya dengan merobohkan empat orang anak buahnya yang melakukan penyerangan serentak.
“Tiong Khi Hwesio, tak perlu berusaha bicara manis kepadaku. Bagaimanapun, aku masih hidup dan ini berarti bahwa aku belum kalah. Aku hanya kelelahan dan kehabisan tenaga, akan tetapi engkau pun jelas kehabisan tenaga. Biarlah kita beristirahat malam ini, dan besok pagi-pagi kita lanjutkan pertandingan ini sampai seorang di antara kita benar-benar kalah.”
“Omitohud.... Sai-cu Lama, apakah engkau belum juga mau menyadari bahwa semua kekerasan ini tidak ada gunanya?”
“Sudah, tak perlu banyak cakap lagi. Sampai besok pagi!“ kata Sai-cu Lama dan diapun memberi perintah kepada anak buahnya untuk tetap mengurung kakek hwesio itu dan jangan mengganggunya. Kemudian dia memejamkan mata sambil duduk bersila dan mengatur pernapasan, tanpa memperdulikan lagi kepada lawannya.
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja bicara dengan Sai-cu Lama. Orang seperti itu hanya dapat diajak berunding melalui kepalan, dan hanya akan mau bicara kalau benar-benar sudah dikalahkannya. Tidak ada lain jalan baginya kecuali memejamkan mata dan mengatur pernapasan pula karena dia tidak ingin besok pagi menjadi bulan-bulan kekerasan Sai-cu Lama. Diam-diam diapun merasa bingung. Tadi dia telah mengeluarkan semua ilmunya, namun semua itu hanya mampu mengimbangi kepandaian lawan. Hanya ada satu ilmu tidak dikeluarkan, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Ilmu ini dianggapnya amat ganas dan dahulu pernah mengangkat namanya sehingga dia dijuluki Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Apakah dia terpaksa harus mempergunakan ilmu itu besok untuk mengalahkan Sai-cu Lama?
Malam itu lewat dalam keadaan yang amat menegangkan. Para pendeta Lama itu tidak ada yang berani mengeluarkan suara karena mereka takut kalau kalau akan mengganggu pemimpin mereka yang sedang istirahat. Empat orang yang tadi roboh pingsan, mereka bawa pergi untuk dirawat dan mereka itu hanya berani bicara di tempat yang agak jauh dari situ. Semua orang merasa tegang karena mereka belum tahu bagaimana keadaan pemimpin mereka dalam perkelahian tadi, yaitu menang ataukah kalah.
Setidaknya, pemimpin mereka itu agaknya terdesak, buktinya Sai-cu Lama minta waktu untuk beristirahat. Mulailah mereka bertanya-tanya siapa gerangan hwesio tua yang demikian sakti itu.
Pada keesokan harinya, ketika dari jauh terdengar kokok ayam hutan jantan dan sinar matahari pagi mulai bercahaya di ufuk timur, Sai-cu Lama sudah membuka kedua matanya memandang kepada lawannya. Tiong Khi Hwesio sejak tadi sudah bangun dari samadhinya dan kini keduanya saling pandang. Ada kekaguman pada pandang mata masing-masing.
“Hei, Tiong Khi Hwesio. Bagaimana kalau kita menyudahi saja perkelahian yang tidak ada gunanya ini?” tiba-tiba terdengar Sai-cu Lama berkata.
Wajah tua itu berseri gembira. “Siancai....! Agaknya Sang Buddha telah mendatangkan penerangan yang menyadarkan batinmu, saudaraku yang baik! Tentu saja pinceng berterima kasih sekali dan girang kalau perkelahian yang tidak ada gunanya ini dihentikan.”
“Bagus, kita hentikan perkelahian ini dan menjadi sahabat. Bahkan bukan hanya sahabat, akan tetapi aku akan mengangkatmu menjadi wakilku, wakil pemimpin kelompok Lama Jubah Merah. Bagaimana, sahabatku?”
Tentu saja Tiong Khi Hwesio terkejut dan mengerutkan alisnya. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Kiranya lawan itu mengajak berhenti berkelahi karena ingin menarik dirinya sebagai sekutu dan pembantu! Dia menarik napas panjang, merasa menyesal sekali sebagai pengganti kegirangannya karena tadi mengira bahwa orang itu telah sadar.
“Omitohud, Sai-cu Lama, kiranya engkau belum juga sadar bahkan ingin menyeret pinceng ke dalam kelompokmu. Betapa sesatnya keinginanmu itu. Pinceng sengaja datang untuk menyadarkan kalian dari pada jalan yang sesat, bukan untuk membantu kalian merajalela dengan kejahatan kalian.”
Sai-cu Lama tersenyum menyeringai. “Heh-heh, Tiong Khi Hwesio, jadi engkau menghendaki diteruskannya perkelahian ini? Hemm, kaukira percuma saja aku beristirahat semalam? Engkau takkan menang kali ini!”
“Terserah kepadamu, Sai-cu Lama. Dalam pertandingan ilmu silat memang hanya ada dua kemungkinan, menang atau kalah, jadi tak perlu diributkan benar.” Diam-diam Tiong Khi Hwesio merasa kecewa dan marah, akan tetapi sikapnya masih biasa, halus dan ramah, dan tenang sekali.
Tiba-tiba Sai-cu Lama meloncat berdiri dan ternyata gerakannya sigap bukan main, tanda bahwa dia telah memulihkan kembali tenaganya dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan dia telah memegang sebatang pedang tipis yang berkilauan. Pedang ini diam-diam diterimanya dari seorang muridnya setelah dia memberi isyarat malam tadi. Kiranya, Sai-cu Lama yang merasa betapa lihainya orang yang menjadi lawannya, diam-diam telah mempersiapkan diri dan kini hendak mencapai kemenangan dengan bantuan sebatang pedang tipis!
Tiong Khi Hwesio juga sudah bangkit berdiri dan dia tetap tenang saja melihat lawannya kini memegang sebatang pedang. Bagi seorang ahli silat tinggi yang memiliki kesaktian seperti dia, menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama, tiada bedanya apakah lawan itu bersenjata ataukah tidak. Kedua tangan dan kaki lawan itupun takkalah ampuhnya dengan pedang yang kini dipegangnya.
“Hwesio tua bangka, makanlah pedang ini!” bentak Sai-cu Lama yang sudah menerjang dengan dahsyatnya. Tempat itu masih seperti semalam, penuh dengan para pendeta Lama yang menjadi penonton dari jarak yang cukup jauh, kini mereka mengharapkan bahwa ketua mereka akan dapat membunuh hwesio tua yang tangguh itu.
Pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar terang yang meluncur dan ketika Tiong Khi Hwesio dapat mengelak dengan lompatan ke kiri, sinar pedang berkelebatan dan bergulung-gulung menyambar ke arah tubuh Tiong Khi Hwesio dari delapan penjuru angin! Tahulah Tiong Khi Hwesio bahwa ilmu pedang yang dimainkan lawan adalah semacam Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin atau Pat-hong Kiam-sut yang telah diubah dan diberi banyak perkembangan. Dia sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan keringanan tubuhnya dia berkelebatan menghindarkan diri, kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi melengking yang menggetarkan semua orang dan Sai-cu Lama sendiri mengeluarkan seruan kaget. Kiranya kini Tiong Khi Hwesio telah memainkan ilmu silatnya yang semalam tidak dikeluarkannya, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci. Jari-jari kedua tangannya seperti hidup, melakukan totokan-totokan dan cengkeraman-cengkeraman dan setiap jari itu mengandung ancaman maut! Itulah sebabnya maka dinamakan Jari Pencabut Nyawa! Dan hebatnya, jari-jari tangan itu diperkuat oleh tenaga yang membuat jari-jari tangan itu demikian kerasnya sehingga dengan tangan kosong Tiong Khi Hwesio berani menangkis pedang lawan!
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sai-cu Lama menghadapi ilmu silat yang luar biasa itu dan permainan pedangnya menjadi kacau. Tak disangkanya bahwa lawannya masih mempunyai simpanan ilmu yang demikian hebatnya, padahal tadinya dia sudah merasa yakin bahwa dia akan dapat menangkan perkelahian itu kalau dia mempergunakan pedangnya. Karena kekacauan permainan pedangnya, maka dia menjadi kurang waspada.
“Tring-tring-crangg.... aughhh....!” tubuh Sai-cu Lama terpelanting dan darah mengucur keluar dari luka di pundak kanannya, sedangkan pedangnya terlempar dan patah menjadi dua potong! Kalau saja Sai-cu Lama tidak memiliki tubuh yang sudah dilindungi kekebalan, mungkin lukanya akan lebih parah lagi. Dua jari tangan Tiong Khi Hwesio mengenai pundaknya dan biarpun pundak itu telah dilindungi ilmu kekebalan, tetap saja terobek sampai dagingnya. Masih untung tulang pundaknya tidak patah dan urat besarnya tidak putus. Akan tetapi, dengan luka di pundaknya itu, untuk sementara lengan kanan Sai-cu Lama tidak dapat digerakkann dan kalau pada saat itu Tiong Khi Hwesio mendesaknya, tentu akan mudah sekali bagi hwesio itu untuk menghabisi nyawanya. Namun, Tiong Khi Hwesio merasa tidak tega! Perasaan tidak tega ini timbul sejak malam tadi, setelah dia merasa kagum terhadap ilmu kepandaian Sai-cu Lama yang sanggup menandinginya sampai selama itu. Kalau saja Sai-cu Lama tadi tidak kacau permainan pedangnya, mungkin perkelahian inipun akan makan waktu yang lebih lama lagi. Dia merasa sayang untuk membunuh Sai-cu Lama dan mengharapkan bahwa kekalahannya itu akan membuat Sai-cu Lama sadar dan kembali ke jalan yang benar.
Sai-cu Lama juga bukan seorang bodoh. Sama sekali bukan, bahkan dia cerdik sekali. Dia tahu bahwa sekali ini dia harus mengakui keunggulan lawan, bahwa dia telah bertemu dengan orang yang lebih lihai darinya. Percuma saja melanjutkan perkelahian itu. Biarpun dia dapat mengerahkan anak buahnya, namun melanjutkan perkelahian sama saja dengan membunuh diri sendiri dan membunuh anak buahnya. Ia sudah tak mampu melanjutkan perkelahian. Untuk sementara, jalan terbaik adalah menakluk, tanpa malu-malu lagi, demi keselamatan dirinya.
Sai-cu Lama bangkit berdiri terhuyung-huyung, menggunakan tangan kiri untuk menekan luka di pundak kanan, mukanya pucat dan keringatnya membasahi mukanya. Diapun menghadapi Tiong Khi Hwesio yang masih berdiri tegak memandangnya.
“Tiong Khi Hwesio, aku mengaku kalah padamu.”
“Omitohud, engkau sungguh lihai bukan main, Sai-cu Lama. Tidak, pinceng tidak merasa menang, hanya kebetulan saja yang membuat engkau terpaksa mengalah. Biarlah kita lupakan saja pertandingan tadi dan sekali lagi pinceng minta kepadamu untuk kembali ke jalan benar dan meninggalkan jalan sesat penuh perbuatan maksiat.”
Sai-cu Lama menarik napas panjang. “Baiklah, aku sudah bertemu dengan orang yang lebih pandai dan akan kucoba untuk mengubah jalan hidupku. Katakan, apa yang harus kulakukan?”
Tiong Khi Hwesio tersenyum, girang bukan main bahwa dia telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia tidak girang atas kemenangannya, melainkan girang sekali melihat Sai-cu Lama mau mengubah jalan hidupnya.
“Saudaralah yang baik, kita adalah orang-orang tua yang sudah menggunduli kepala dan mengenakan jubah pendeta. Tentu engkau sudah tahu apa yang sepatutnya kita lakukan sebagai pendeta. Tentu saja pertama-tama menghentikan dan menjauhkan semua perbuatan yang ditunggangi nafsu. Sebaiknya kalau engkau membubarkan saja kelompok Lama Jubah Merah, dan menghentikan semua perbuatan seperti merampok, mengganggu wanita, mengejar kesenangan duniawi dengan merugikan orang lain.”
“Baiklah, Tiong Khi Hwesio. Sekarang juga akan kububarkan kelompok ini.” Sai-cu Lama lalu menhadapi semua pendeta yang telah berkumpul di situ.
“Kalian telah melihat sendiri, juga mendengar sendiri percakapan antara aku dan Tiong Khi Hwesio. Mulai saat ini, perkumpulan kita kububarkan! Kalian boleh membagi-bagi harta yang ada dengan adil, kemudian pergilah dari sini. Kuperingatkan agar kalian tidak lagi melakukan perbuatan seperti yang sudah-sudah. Kalau aku mendengar ada seorang Lama Jubah Merah melanggar, aku sendiri yang akan mencari dan menghukumnya. Nah, lakukan perintahku dan bubarlah!“
Dengan hati girang dan terharu Tiong Khi Hwesio melihat sendiri betapa para pendeta itu mentaati perintah ini. Para wanita dibebaskan dan diberi pembagian harta, dan setelah membagi-bagi harta yang berada di perkampungan itu, atas perintah Sai-cu Lama, perkampungan itu dibakar dan para pendeta jubah merah lalu berpamit dan pergi dari situ.
“Sai-cu Lama, percayalah bahwa perbuatanmu hari ini merupakan permulaan yang amat baik bagi dirimu. Sayang ilmu kepandaianmu yang tinggi kalau kaupergunakan untuk mengeruhkan dunia. Alangkah baiknya kalau kepandaian itu kaupergunakan untuk menjernihkan dunia, menenteramkan kehidupan umat manusia. Dan maafkan kalau pinceng telah datang dan pernah mempergunakan kekerasan kepadamu!” Demikian kata-kata perpisahan Tiong Khi Hwesio yang dibalas oleh Sai-cu Lama dengan ramah pula.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa besar rasa penyesalan di hati Tiong Khi Hwesio ketika beberapa bulan kemudian dia mendengar bahwa biarpun Sai-cu Lama telah membubarkan kelompok Lama Jubah Merah, namun dia sama sekali belum sadar atau kembali ke jalan benar. Bahkan dia telah membuat kekacauan di antara para pimpinan Lama, dan Sai-cu Lama bahkan melakukan hubungan persekutuan dengan pembesar-pembesar yang mempunyai niat khianat terhadap pemerintah Ceng! Ketika para pemimpin pendeta Lama mencoba untuk memperingatkannya, Sai-cu Lama bahkan turun tangan membunuh dua orang pemimpin pendeta lama, kemudian melarikan diri!
Mendengar berita ini, Tiong Khi Hwesio merasa menyesal sekali. Dia merasa bertanggungjawab terhadap peristiwa itu. Kalau saja dia tidak mengampuni Sai-cu Lama, melainkan membasmi dan membunuhnya, atau setidaknya mencabut ilmu silatnya dengan jalan membuat kaki tangannya cidera berat, tentu Sai-cu Lama tidak mampu melakukan kejahatan lagi. Membunuh dua orang pimpinan pendeta Lama! Dan lebih hebat lagi, melakukan hubungan persekutuan dengan para pengkhianat di kota raja. Dia dapat menduga bahwa tentu Sai-cu Lama kini melarikan diri ke kota raja, bukan hanya untuk menyembunyikan dirinya, melainkan juga untuk mengejar kedudukan dan kemuliaan di sana, bersekutu dengan para pembesar khianat dan pemberontak. Dan hal itu amatlah berbahaya, bukan hanya membahayakan kedudukan kaisar dan pemerintah, melainkan juga membahayakan keamanan hidup rakyat.
Demikianlah, dia lalu cepat melakukanpengejaran sampai dia bertemu dengan Hong Beng dan Bi Lan. Tentu saja dia merasa khawatir sekali mendengar bahwa Sai-cu Lama telah merampas pedang Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan. Dengan pedang yang dahsyat itu di tangan, Sai-cu Lama benar-benar merupakan seorang yang amat berbahaya dan sukar dikalahkan. Setelah meninggalkan Hong Beng dan Bi Lan, Tiong Khi Hwesio lalu melakukan perjalanan cepat melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama menuju ke kota raja.
***
Dusun kecil itu tidak seperti biasanya, nampak meriah dan gembira. Dusun itu biasanya amat sunyi di waktu sepagi itu. Orang-orang sudah pergi ke sawah ladang dan yang tinggal di rumah hanyalah orang-orang jompo, anak-anak dan wanita-wanita yang sibuk bekerja di dalam rumah. Jalan-jalan biasanya sunyi. Akan tetapi pagi itu, suasana meriah dan gembira sekali, karena ada perayaan di rumah sebuah keluarga dusun itu. Ada pesta pengantin! Dan seperti lajimnya di dusun-dusun, penduduknya memiliki keakraban dan penduduk dusun selalu hidup bergotong royong. Tidak seperti kehidupan rakyat di kota-kota besar, di mana keakraban sudah menipis dan kegotong royongan hampir tak terasa lagi. Makin besar kota itu, makin ramai dan makin maju, makin banyak kesenangan dikejar orang dan orang-orang semakin hidup menyendiri, acuh terhadap orang lain, mengurung diri dalam sangkar ke-aku-an yang selalu mementingkan diri sendiri, keluarga sendiri atau kelompok sendiri. Orang-orang dari dusun kalau sudah pindah ke kota, sudah maju dan berhasil mengumpulkan harta benda, segera terseret pula dan tidak memperdulikan orang lain. Memang demikianlah keadaan masyarakat kita di bagian manapun di dunia ini. Manusia, kalau sedang menderita, kalau sedang kekurangan, akan dapat bersatu dan bergotong-royong. Akan tetapi kalau sudah hidup senang dan mulia, serba kecukupan, lenyaplah rasa persatuan dan sifat kegotong-royongan, terganti oleh rasa saling mengiri dan saling bersaing. Hal ini nampak jelas dalam kehidupan masyarakat di dusun-dusun yang biasanya akrab dan bergotong royong, dan dalam kehidupan masyarakat di kota-kota yang acuh dan selalu mementingkan diri sendiri.
Di dalam dusun kecil di mana sedang diadakan pesta pernikahan itu, penduduknya juga tidak berbeda dengan dusun-dusun lain, bergotong royong. Tanpa diminta, mereka pagi-pagi sudah mendatangi keluarga yang hendak merayakan pesta pernikahan anak mereka, untuk mengulurkan tangan membantu. Ada yang membantu menghias ruangan, membuat bangunan darurat untuk menerima tamu, ada pula yang sibuk membantu di dapur yang sedang mempersiapkan hidangan yang akan disuguhkan siang nanti. Sejak pagi, ada pula yang bermain musik untuk memeriahkan suasana. Semua ini mereka kerjakan dengan ikhlas, tanpa mengharapkan balas jasa dan upah.
Suasana menjadi semakin meriah ketika matahari mulai naik tinggi. Para tetangga yang tadi pagi membantu, kini sudah berganti pakaian dan mereka kini datang sebagai tamu. Akan tetapi masih banyak di antara mereka yang sibuk di dapur, dan orang-orang mudanya sibuk pula menjadi pelayan-pelayan tanpa bayaran. Para tamu mulai berdatangan dan suasana menjadi meriah sekali walaupun pesta itu amat sederhana dengan hidangan-hidangan sederhana pula, dengan musik yang dimainkan olen seniman-seniman dusun itu sendiri. Bangku-bangku mulai dipenuhi para tamu.
Kemeriahan memuncak ketika mempelai pria datang untuk menjemput mempelai wanita. Semua orang menjulurkan leher, ada yang berkerumun, untuk menyaksikan pertemuan sepasang pengantin itu. Pengantin perempuannya manis sekali, berusia enambelas tahun paling banyak dan pengantin prianya juga masih muda, belum duapuluh tahun, bertubuh tegap karena biasa bekerja di sawah ladang. Melihat pandang mata kedua mempelai ini, yang nampak bersinar-sinar dan wajah mereka berseri, mulut mereka tersenyum dikulum, mudah diduga bahwa keduanya tidak asing satu sama lain dan bahwa pernikahan ini bukan pernikahan paksaan yang sering kali terjadi di dusun pada jaman itu. Tidak, sepasang mempelai ini adalah muda mudi yang sudah saling mengenal, bahkan saling mencinta walaupun tak pernah ada kata cinta keluar dari mulut masing-masing. Bagi penduduk dusun cinta kasih mereka cukup diwakili oleh kerling mata dan senyum bibir saja.
Akan tetapi, sebelum orang-orang tua yang berwenang memimpin upacara pertemuan pengantin, tiba-tiba terjadi keributan di luar. Seorang laki-laki berusia tigapuluhan tahun, bertubuh gemuk dengan perut gendut, pakaiannya mewah, mukanya dicukur licin dan pakaiannya menghamburkan bau minyak yang amat wangi, masuk diiringkan belasan orang yang bertubuh tegap dan berpakaian ringkas dengan sikap congkak dan jagoan. Semua orang mengenal laki-laki itu karena dia adalah Phoa Wan-gwe (Hartawan Phoa) yang tinggal di sebuah dusun yang lebih besar, tak jauh dari dusun itu. Phoa Wan-gwe adalah orang yang paling kaya dan paling berkuasa di sedikitnya lima buah dusun di sekeliling tempat itu. Dialah raja kecil di dusun-dusun itu karena hampir semua tanah di tempat-tempat itu telah menjadi miliknya! Dialah tuan tanahnya dan sebagai tuan tanah yang berhak atas tanah miliknya, dia dapat menentukan peraturan-peraturan tersendiri di atas tanah yang menjadi hak miliknya. Dan untuk memperkuat peraturanperaturan yang dibuatnya sendiri itu, dia memelihara puluhan orang tukang pukul yang bertugas untuk menjamin dilaksanakannya peraturan-peraturan itu dan menghukum siapa saja yang berani menentangnya. Para petani miskin yang tidak mempunyai tanah, bekerja sebagai buruh tani kepada Phoa Wan-gwe dan karena seluruh kehidupan keluarga para petani itu tergantung dari pemberian si hartawan, maka merekapun semua merasa takut dan tunduk, memandang Phoa Wan-gwe seperti raja mereka. Dan memanglah, hartawan ini, seperti para hartawan yang menjadi tuan-tuan tanah di dusun-dusun, merupakan raja yang sesungguhnya bagi para petani miskin. Kaisar yang dianggap sebagai raja dari negara itu demikian jauh dan tak mungkin dihubungi, dan yang jelas terasa kekuasaannya adalah raja kecil di dusun yang menjadi tuan tanah seperti Phoa Wan-gwe itulah!
Sebagai seorang tuan tanah, Phoa Wan-gwe pandai mengemudikan pemerintahan kecilnya. Dia maklum bahwa tanpa tenaga petani miskin, biarpun memiliki tanah yang amat luas, tidak akan ada artinya. Dia sendiri tak mungkin mengerjakan semua tanah itu. Hasilnya yang didapatkannya secara berlimpah dari tanahnya yang luas, lebih dari cukup dan diapun tidak dapat dikata pelit dalam hal memberi upah kepada para buruh tani. Tidak, dia bahkan kadang-kadang merasa gembira sekali untuk memperlihatkan kedermawanannya kepada para penduduk dusun, dan merasa senang sekali dipuji-puji dan disanjung-sanjung sebagai majikan yang baik hati dan murah hati. Tentu saja, semua yang dibagikannya kepada para petani itu hanya beberapa bagian kecil saja dari hasil yang diperolehnya dari tanahnya berkat cucuran keringat para petani.
Betapapun juga, karena dia amat memperhatikan kebutuhan para petani sehingga para penduduk di lima dusun itu semua dapat makan kenyang setiap hari dan tidak sampai kehabisan pengganti pakaian, maka Phoa Wan-gwe dianggap orang baik dan tidak dibenci oleh para buruhnya. Namun, ada satu hal yang membuat orang-orang takut kepada Phoa Wan-gwe, juga kadang-kadang menimbulkan rasa iri dan benci kepada banyak orang. Pertama, karena dia dapat bersikap kejam, menghukum berat para pelanggar peraturan. Hal ini memang ada baiknya, merupakan cambuk bagi para buruh tani sehingga mereka itu rajin bekerja, dengan pengetahuan bahwa kalau bermalas-malasan mereka berarti melanggar peraturan dan dihukum cambuk, akan tetapi kalau rajin merekapun akan berkecukupan, bukan sekedar makan kenyang dan dapat bertukar baju setiap hari, melainkan juga mungkin bisa mengumpulkan uang simpanan. Hal ke dua yang merupakan cacat dan kelemahan Phoa Wan-gwe adalah sifatnya yang mata keranjang, gila perempuan dan dia tidak pernah mau melepaskan wanita cantik yang sudah diincarnya. Dia berkeluarga, mempunyai isteri dan beberapa orang anak, bahkan telah memiliki tidak kurang dari lima orang isteri muda. Akan tetapi, matanya yang tajam seperti burung elang itu masih selalu mengincar anak-anak ayam.
Kalau dia sedang berjalan-jalan di dusun-dusun yang menjadi wilayah kekuasaannya, banyak orang tua cepat-cepat menyembunyikan anak-anak perempuan mereka. Akan tetapi, tidak percuma Phoa Wan-gwe memiliki banyak kaki tangan yang setiap saat datang memberi laporan tentang adanya gadis-gadis cantik, baik di dalam maupun di luar dusun. Dan kalau dia sudah melihat sendiri gadis yang dipuji-puji kaki tangannya dan dia tergila-gila, dengan cara apapun juga akan diusahakannya agar gadis itu menjadi miliknya. Biarpun bukan menjadi selir, setidaknya untuk beberapa hari, pekan atau bulan gadis itu harus menjadi miliknya! Dan dia terkenal royal dan tidak sayang mengeluarkan uang untuk mendapatkan wanita yang membuatnya mengiler.
Ketika Phoa Wan-gwe muncul di dalam pesta itu, semua orang yang mengira bahwa hartawan itu hendak datang bertamu, menjadi gembira dan juga memuji keluarga yang berpesta. Jarang ada keluarga petani yang dipenuhi undangannya oleh Phoa Wan-gwe yang biasanya hanya mengirim wakil dan mengirim pula sekedar sumbangan. Akan tetapi kini hartawan itu datang sendiri! Akan tetapi, ketika melihat belasan orang tukang pukul, melihat pula betapa wajah hartawan itu keruh dan sikap para tukang pukul itu bengis, semua orang terkejut ketakutan. Mereka bangkit dari duduk mereka, memberi hormat kepada yang lewat dan saling pandang dengan sinar mata bertanya-tanya.
Ketegangan muncul dalam hati para tamu. Melihat kekeruhan wajah Phoa Wan-gwe, jelas bahwa hartawan itu sedang marah, apa lagi dikawal oleh belasan orang tukang pukul. Tentu ada urusan penting. Biasanya, semua urusan, terutama yang mengenai pelanggaran, hartawan itu cukup mengirim jagoan-jagoannya untuk memberi hukuman, menagih hutang dan sebagainya. Mereka yang sudah mengenal cara hidup hartawan ini maklum bahwa hanya satu hal yang mendorong hartawan itu keluar dan menangani sendiri suatu urusan, yaitu urusan yang menyangkut wanita!
Setelah menerobos di antara para tamu, kini Phoa Wan-gwe dan para jagoannya telah tiba di ruangan tengah di mana sedang sibuk dipersiapkan upacara pernikahan. Seorang jagoan berteriak lantang,
“Hentikan semua kebisingan musik itu! Lo Cin! Phoa Wan-gwe datang untuk bicara denganmu. Majulah!”
Semua orang menjadi panik dan memandang dengan hati penuh ketegangan. Suara musik berhenti dan nampak Lo Cin, tuan rumah, muncul dari belakang dan setengah berlari menuju ke ruangan itu, mukanya agak pucat, akan tetapi sambil tersenyum ramah dia segera membungkuk dan memberi hormat di depan Phoa Wan-gwe yang memandang dengan sikap congkak karena dia sedang marah sekali, tidak seperti biasanya dia bersikap ramah kepada para penduduk.
“Ah, kiranya Phoa Wan-gwe yang datang! Maafkan bahwa karena tidak diberi tahu sebelumnya, saya tidak keluar menyambut,” kata Lo Cin dengan senyum lebar dipaksakan karena diapun dapat melihat bahwa hartawan ini sedang marah dan dia sendiri yang tahu mengapa hartawan itu marah-marah. Hal inilah yang mengecutkan hatinya.
Hartawan itu tetap memandang dengan muka keruh, bahkan kini kemarahan berpancar keluar dari sinar matanya. “Lo Cin, kami datang bukan untuk makan hidangan pestamu, melainkan untuk bertanya mengapa engkau berani melanggar peraturan yang telah disetujui olehmu sendiri? Puluhan kali engkau datang merengek minta bantuan, dan selalu aku mengulurkan tangan membantumu, dengan harapan engkau akan menetapi janji, akan membayar pada waktu yang telah disepakati bersama. Akan tetapi apa kenyataannya? Engkau tidak membayar, hanya mengulur waktu terus menerus, dan sekarang, sedangkan hutangpun tidak dibayar, engkau malah menghamburkan uang untuk pesta pora. Uangku yang kauhamburkan itu! Dan engkau berani mengundang aku untuk bersama-sama makan uangku sendiri!“
Wajah tuan rumah itu menjadi pucat dan tubuhnya gemetar. Dia bukan saja merasa takut sekali, akan tetapi juga merasa malu karena semua tamu berkumpul mendengarkan ucapan itu. Dan diapun tahu bahwa kemarahan hartawan itu sama sekali bukan hanya karena dia belum membayar hutang-hutangnya. Sama sekali tidak. Kalau hanya itu persoalannya, Phoa Wan-gwe tidak akan semarah itu dan juga tentu hanya akan menyuruh orang-orangnya datang menagih. Dia teringat akan ucapan seorang di antara jagoan-jagoan hartawan itu yang pernah disampaikan kepadanya bahwa Phoa Wan-gwe menginginkan Cun Si, anak perempuannya! Hal inilah yang mendorongnya untuk cepat-cepat merayakan pernikahan puterinya itu, yang sudah ditunangkan dengan seorang pemuda tani dari dusun lain. Dia harus cepat-cepat menikahkan puterinya sebelun Phoa Wan-gwe sempat mengajukan pinangan atau minta sendiri kepadanya! Dan itulah agaknya yang menyebabkan Phoa Wan-gwe marah-marah sekarang ini.
“Harap tuan suka memaafkan saya,” katanya dengan suara gemetar. “Seperti tuan ketahui, hasil panen kemarin payah, bahkan untuk dimakan keluarga kami sendiripun kurang, panen itu rusak oleh hama, juga oleh air yang terlalu banyak dan karena hasilnya dicuri orang di waktu malam. Adapun pernikahan ini.... kami dapatkan dari hasil pinjaman sana-sini dan bantuan saudara-saudara kami di dusun-dusun lain....“
“Alasan yang dicari-cari!” bentak hartawan itu dan ketika dia menengok dan memandang pengantin perempuan yang nampak ketakutan itu kini dipeluk oleh pengantin pria yang bersikap seperti hendak melindungi, hatinya semakin panas. Gadis itu dalam pakaian pengantin nampak semakin manis dan menggairahkan. “Karena engkau bisa memperoleh pinjaman dari orang lain, lalu memandang rendah kepadaku, ya? Pendeknya, sekarang juga kau harus dapat membayar hutang-hutangmu, kalau tidak, rumah ini dan segala isinya akan kami sita dan kau sekeluargamu harus keluar dari sini!”
“Tuan Phoa.... kasihanilah kami.... setidaknya tunggulah sampai selesai upacara pernikahan anak kami dan setelah itu....“
“Tidak! Harus sekarang diselesaikan! Kesabaranku sudah habis!” kata pula hartawan itu.
“Tuan Phoa, kasihanilah kami....!” Isteri Lo Cin meratap dan menjatuhkan diri berlutut di depan hartawan itu. Lo Cin juga menjatuhkan diri berlutut.
“Persetan dengan bujuk rayumu!” Hartawan itu membentak dan dengan kakinya mendorong tubuh Lo Cin sampai terjengkang. “Bayarlah atau kami akan melakukan kekerasan!”
Sementara itu, para tamu menjadi pucat dan mereka tidak mau ikut terlibat, maka mereka lalu menjauhkan diri, keluar dari ruangan itu, berkelompok di luar rumah, bahkan ada sebagian yang cepat pulang karena mereka inipun merasa masih mempunyai hutang kepada Phoa Wan-gwe dan takut kalau-kalau mereka kebagian kemarahan hartawan itu.
Melihat betapa ayah ibunya berlutut di depan hartawan itu dan ayahnya yang kena tendang itu sudah berlutut kembali, pengantin perempuan itupun menangis dan menjatuhkan diri berlutut di belakang ayahnya. Calon suaminya juga berlutut di sampingnya, memandang bingung karena pemuda inipun sudah mengenal akan kekuasaan Phoa Wan-gwe. Dusunnya termasuk wilayah hartawan ini pula. Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa hartawan itu menginginkan calon isterinya yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi tunangannya.
Sementara itu, kepala pengawal Phoa Wan-gwe yang sudah tahu akan suasana yang menguntungkan bagi majikannya, melihat kesempatan terbuka baginya untuk turun tangan dan membuat jasa baik. Dia lalu mendekati Lo Cin, ikut berlutut dan berkata dengan lirih kepada petani itu.
“Lo Cin, kita semua tahu bahwa tuan Phoa adalah seorang yang murah hati dan bijaksana. Beliau marah karena engkau banyak berhutang kepadanya, sebelum melunasi hutang-hutangmu malah merayakan pernikahan puterimu. Hal ini berarti bahwa engkau kini menghadapi kesulitan karena anak perempuanmu. Karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau menyuruh anak perempuanmu membujuk tuan Phoa agar suka mengampunimu. Biarkan anakmu ikut bersama kami dan akan kuatur agar ia dapat menemui dan membujuk tuan Phoa dan aku yakin pasti akan berhasil. Tentang pernikahan, dapat diundurkan untuk beberapa pekan atau beberapa bulan.” Berkata demikian, kepala pengawal ini memandang dan mengedipkan matanya kepada tuan rumah dengan arti yang tak mungkin disalahtafsirkan lagi.
“Ahh.... ahhh....!” Lo Cin mengeluh dengan bingung, sebentar menoleh ke arah puterinya yang berlutut di belakangnya, memandang isterinya dan memandang Phoa Wan-gwe yang kelihatannya tidak tahu manahu tentang bisikan kepala pengawalnya itu. Akan tetapi Cun Si, pengantin wanita yang tadi menangis sambil menundukkan mukanya, ikut memperhatikan ucapan kepala pengawal itu dan iapun mengerti. Ia sudah banyak mendengar tentang hartawan itu yang suka mengganggu anak bini orang, maka iapun tahu apa maksudnya kepala pengawal itu, menyuruh ayahnya mengirim ia untuk pergi membujuk hartawan itu agar suka mengampuni ayahnya. Pernikahan diundur sampai beberapa pekan atau bulan! Ini saja sudah cukup baginya untuk dapat membayangkan atau menduga apa yang harus ia lakukan.
“Tidak....!” Tiba-tiba ia berkata lirih akan tetapi dengan muka pucat, mata terbelalak dan ia memegang lengan calon suaminya. “Tidak, aku tidak mau ke sana....! Ayah, aku tidak mau. Aku lebih baik mati sekarang juga....“ Dan iapun menangis. Calon suaminya segera merangkulnya tanpa malu-malu lagi dan pemuda inipun maklum mengapa calon isterinya begitu ketakutan dan berduka.
“Tenanglah, tidak ada seorangpun yang akan dapat mengganggumu seujung rambut saja selama aku masih hidup!” Sungguh gagah sekali ucapan itu, terdorong oleh tanggung jawab untuk melindungi dan membela isterinya. Akan tetapi ucapan itu membuat merah muka si kepala pengawal. Dia meloncat berdiri dan dengan alis berkerut dia menghampiri mempelai pria.
“Apa kaubilang? Engkau menjadi pembela gagah berani, ya? Kalau begitu, hayo keluarkan uang, dan bayar semua hutang mertuamu. Itu baru gagah namanya!” Dan kakinya menendang ke depan. Pemuda itu hanyalah seorang pemuda tani biasa, walaupun tubuhnya kuat karena pekerjaannya yang kasar, namun dia tidak pandai ilmu silat. Ketika ditendang, tangannya menangkis begitu saja, akan tetapi tetap saja tendangan itu mengenai punggungnya.
“Bukkk....!” Tubuh mempelai pria itu terguling-guling.
“Jangan....!” Mempelai wanita menjerit dan menubruk tubuh calon suaminya yang kini berusaha untuk bangkit itu. Ada darah keluar dari mulut pemuda itu.
“Bocah lancang ini perlu dihajar!” kata pula kepala pengawal yang agaknya mendapatkan pikiran baru. “Atau akan kubunuh sekali di sini! Bagaimana nona? Kubunuh saja dia atau engkau bersedia untuk menolong keluarga ayahmu?” Agaknya dia memperoleh sasaran lain untuk membantu majikannya, bukan lagi sekedar janji pembebasan hutang atau ampunan, akan tetapi kini dia mengancam akan membunuh pengantin pria kalau gadis itu tidak mau menuhi kehendak majikannya. “Tidak, aku tidak mau lebih baik kaubunuh saja kami berdua!” Mempelai perempuan meratap sambil memeluk calon suaminya.
“Ya, bunuh saja kami. Kami rela mati bersama dari pada mengalami penghinaan,” sambung pemuda itu.
“Jangan bunuh mereka....!” Ayah pengantin perempuan meratap dan memohon sambil berlutut dan menyembah-nyembah.
“Hemm, tidak mau memenuhi permintaan akan tetapi minta diampuni. Mana bisa!” bentak pula kepala pengawal.
Sejak tadi, di antara para tamu yang kini bergerombol di luar sebagai penonton, terdapat seorang gadis bersama seorang pemuda. Mereka itu bukan tamu, melainkan dua orang yang kebetulan lewat di dusun itu, melihat ramai-ramai, tertarik dan mendekat. Mereka berdua itu adalah Gu Hong Beng dan Can Bi Lan yang seperti kita ketahui, melakukan perjalanan bersama menuju ke kota raja. Mereka sejak tadi diam saja dan merasa kagum kepada sepasang pengantin itu yang demikian berani menentang maut walaupun mereka itu hanya sepasang muda mudi dusun yang lemah. Jelas nampak betapa mereka itu saling mencinta dan rela mati bersama Baik Hong Beng maupun Bi Lan belum pernah melihat atau mendengar pernyataan cinta yang demikian mendalam, dan diam-diam mereka merasa terharu sekali.
Melihat betapa kini kepala jagoan itu hendak menyiksa bahkan mengancam hendak membunuh, Bi Lan mengerutkan alisnya. Ia tadi sudah mendengar semuanya dan seperti juga Hong Beng, ia dapat menduga bahwa hartawan itu tentu menginginkan pengantin wanita dan kini mempergunakan kekuasaanya untuk merampas pengantin wanita. Akan tetapi sebelum ia atau Hong Beng meloncat ke dalam untuk membela keluarga pengantin, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Anjing-anjing srigala bermuka manusia sungguh menjemukan sekali!” Dan dari kerumunan orang-orang itu meloncat masuk seorang pemuda yang gagah perkasa. Bi Lan dan Hong Beng memandang dan keduanya kagum. Pemuda itu memang mengagumkan sekali. Tubuhnya tinggi besar dan gagah perkasa. Mukanya yang berkulit agak gelap nampak jantan dan gagah. Usianya sebaya dengan Hong Beng, mungkin hanya lebih tua satu dua tahun, akan tetapi karena tubuhnya tinggi besar dia nampak lebih tua. Di punggungnya terdapat buntalan pakaian seperti halnya Bi Lan dan Hong Beng, dan hal inimenunjukkan bahwa dia adalah seorang yang sedang melakukan perjalanan jauh sehingga membawa bekal pakaian. Akan tetapi ada benda sepanjang kurang lebih tiga kaki di dalam buntalan itu, kelihatan menonjol kecil dan Bi Lan dapat menduga bahwa tentu benda itu sebatang pedang dalam gagangnya.
Pemuda gagah perkasa itu memang bukan pemuda sembarangan. Dia adalah Cu Kun Tek, puteri tunggal pendekar sakti Cu Kang Bu dan isterinya Yu Hwi, pendekar dari Lembah Gunung Naga Siluman di Himalaya! Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, ketika pendekar Sim Houw mengunjungi paman kakeknya, Cu Kang Bu, di lembah itu, pendekar ini telah menerima pedang pusaka Suling Naga dari kakek Pek-bin Lo-sian dan karena senjata itu sudah cukup ampuh baginya, maka pendekar Sim Houw lalu menyerahkan kembali pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang berasal dari lembah itu kepada paman kakeknya. Bahkan dia juga menyerahkan sebatang suling emas kepada keluarga Cu. Ketika itu, tujuh tahun yang lalu, Cu Kun Tek baru berusia duabelas tahun. Kini dia telah menjadi seorang muda perkasa berusia sembilanbelas tahun, telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayah bundanya! Dia mendapat anjuran dari ayah bundanya untuk turun gunung dan menuju ke dunia ramai di timur, untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman. Sebelum berangkat, ayah ibunya memperkenalkan nama-nama deretan pendekar yang mereka kenal, terutama sekali keluarga para pendekar Pulau Es dan lain-lain. Juga ayah bundanya memperingatkan dia akan nama-nama beberapa orang tokoh dunia hitam yang mereka kenal.
“Ingatlah selalu, Kun Tek, bahwa kepandaian silat yang kaupelajari selama ini hanya merupakan sekelumit saja dari ilmu-ilmu yang tinggi yang dimiliki tokoh-tokoh dunia persilatan. Oleh karena itu jangan sekali-kali menonjolkan ilmu silatmu, apa lagi menyombongkannya. Engkau masih harus banyak belajar dan engkau hanya akan dapat belajar dan menambah pengetahuanmu kalau engkau bersikap kosong dan tidak memiliki kepandaian apa-apa. Hannya periuk yang selalu kosong dapat menampung tambahan air dari luar, sebaliknya periuk yang selalu penuh takkan mampu menampung apapun dari luar. Jadilah seperti periuk yang selalu kosong.”
“Akan tetapi, kalau engkau melihat peristiwa yang tidak adil, melihat kesewenang-wenangan dilakukan orang terhadap yang lemah, engkau harus turun tangan membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat. Engkau harus berwatak sebagai seorang pendekar budiman yang gagah perkasa dan pantang mundur untuk membela kebenaran dan keadilan!” kata ibunya.
Mendengar nasihat isterinya kepada putera mereka, Cu Kang Bu tersenyum. Memang isterinya berwatak keras dan gagah perkasa. “Benar kata ibumu, Kun Tek, akan tetapi engkau harus waspada dan kalau tidak perlu sekali, jangan melibatkan diri dalam perkelahian. Ingat, engkau turun gunung untuk mencari pengalaman, bukan mencari permusuhan dengan siapapun juga.”
Ketika Kun Tek berangkat pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja dia tiba di lereng pertama, ibunya menyusulnya. Ibunya menyerahkan pedang Koai-liong Po-kiam kepadanya. “Bawalah pedang pusaka ini, anakku. Di dunia ramai banyak sekali orang jahat yang lihai. Pedang ini boleh kaupergunakan kalau engkau berada dalam ancaman bahaya. Hanya untuk melindungi dirimu, kalau tidak perlu jangan kaukeluarkan, simpan saja dalam buntalan pakaian.”
Kun Tek merasa girang sekali. Memang dia amat sayang kepada pedang pusaka pemberian Sim Houw itu, pedang pusaka yang memang berasal dari keluarga mereka. Ketika dia mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, pedang pusaka itulah yang dia pakai untuk berlatih sehingga dia dapat memainkan pedang itu dengan baiknya. Kini ibunya memberikannya untuk bekal, tentu saja dia merasa girang sekali. Hatinya menjadi lebih besar dan tabah kalau membawa pedang pusaka itu.
Setelah dia berangkat meninggalkan ibunya yang berdiri mengikuti bayangan putera tercinta itu dengan mata basah, tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang wanita itu.
“Hemm, kau menyerahkan pedang pusaka itu kepadanya? Sungguh besar sekali resikonya.”
Yu Hwi membalikkan tubuhnya dan memandang suaminya. “Dia memerlukan pusaka itu untuk membela diri. Banyak sekali penjahat-penjahat lihai di sana.”
“Tapi pedang itu adalah pusaka keluarga kita sejak dahulu, sudah seharusnya disimpan dan dipuja oleh Lembah Naga Siluman. Bagaimana kalau sampai pedang pusaka itu hilang dirampas orang?”
“Aih, apakah engkau kurang percaya kepada putera sendiri? Kun Tek cukup kuat untuk menjaga pedang itu, dan pedang itupun amat berguna untuk melindunginya dari ancaman bahaya, kalau kaki tangannya sudah tidak mampu lagi melindungi dirinya. Pula, pedang itu adalah pedang pusaka keluarga Cu, dan bukankah Kun Tek merupakan keturunan terakhir dari keluarga Cu? Dia berhak memilikinya.”
Cu Kang Bu menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja berbantah dengan isterinya yang keras hati. Pula, perbuatan isterinya itu terdorong rasa cinta dan khawatir terhadap keselamatan Kun Tek. Dengan pedang itu di tangan, memang keadaan putera mereka lebih kuat.
Demikianlah, pada hari itu, seperti juga Bi Lan dan Hong Beng, Kun Tek kebetulan lewat di dusun itu dan melihat peristiwa yang membuat mukanya yang agak kehitaman itu menjadi lebih gelap karena marah. Dia marah sekali dan tidak dapat menahan gejolak hatinya untuk membela keluarga pengantin yang sedang ditekan oleh hartawan dan anak buahnya itu.
Mendengar dirinya dimaki anjing srigala, kepala pengawal itu marah sekali. Dia menoleh dan melihat kegagahan pemuda tinggi besar itu, kepala pengawal ini bersikap hati-hati. Pemuda ini nampak tegap dan kuat, dan kalau sudah berani memaki dia, tentu pemuda ini memiliki kepandaian yang diandalkan.
“Hemm, orang muda yang lancang, siapakah engkau dan dari perguruan mana?” bentaknya, setengah menghardik dan setengah menyelidik.
“Namaku tidak ada sangkut pautnya dengan kalian serombongan srigala yang jahat!” bentak Kun Tek marah, lalu dia menoleh kepada Phoa Wan-gwe dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung hartawan itu. “Dan kau, orang kaya yang hendak memeras dan menindas orang miskin, minggatlah dan bawa anjing-anjingmu pergi, kalau tidak, akan kuhajar kau dan anjing-anjingmu sampai berkuik-kuik minta ampun!”
Sikap pemuda itu benar-benar gagah dan semua ucapannya itu bukan karena kesombongannya, melainkan karena kemarahannya yang memuncak. Memang pemuda ini mewarisi kekerasan hati seperti ibunya. Dari ayahnya dia hanya mewarisi tubuh yang tinggi besar dan tenaga raksasa.
Kepala pengawal itu marah bukan main. Dia seorang yang sudah biasa menggunakan kekerasan memaksakan kehendaknya atau kehendak majikannya dan tidak malu-malu untuk mengandalkan jumlah banyak. Melihat sikap Kun Tek, dia merasa agak gentar untuk maju sendiri, maka dia lalu berteriak memberi aba-aba kepada anak buahnya yang berjumlah empatbelas orang bersama dia itu. “Mari kita hajar bocah ingusan sombong ini!”
Pekerjaan para jagoan, pengawal atau tukang pukul itu adalah untuk memukul dan menganiaya orang. Hanya dengan cara itulah mereka dapat menyenangkan hati majikan mereka, dan untuk keperluan itu pula mereka dibayar. Kini, mendengar perintah dari pemimpin mereka, belasan orang itu bergerak mengepung dan menyerang, didahului oleh dua orang tukang pukul yang berada paling dekat dengan pemuda itu.
Kun Tek tidak bergerak dari tempat dia berdiri, hanya kedua tangannya bergerak cepat dan dua orang penyerang itu terpelanting dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit lagi karena tulang pundak mereka telah patah ketika bertemu dengan jari-jari tangan Kun Tek! Para pengawal lainnya menjadi marah dan terjadilah pergeroyokan yang kacau dan bising. Para pengawal itu berteriak-teriak, dan memang mereka itu sekumpulan orang yang kejam dan ganas. Bi Lan yang nonton perkelahian itu melihat ketepatan makian pemuda itu tadi yang menamakan mereka itu segerombolan srigala. Memang mereka itu mengeroyok seperti srigala-srigala kelaparan, sambil menggonggong membisingkan. Akan tetapi, pemuda tinggi besar itu sungguh mengagumkan sekali. Sikapnya tenang dan kokoh kuat, gerakannya mantap dan tabah penuh wibawa, seperti seekor naga yang dikeroyok. Dan hebatnya, kalau ada pukulan yang mengenai tubuhnya, pukulan itu seperti tidak dirasakannya dan pemukulnya malah mengaduh menggoyang-goyang tangan yang dipakai memukul, sedangkan setiap kali pemuda itu menampar atau menendang, tentu ada tubuh pengeroyok yang terpental atau terpelanting keras.
Perkelahian itu tidak berlangsung lama. Ketika orang terakhir, yaitu kepala pengawal, roboh oleh tendangan kaki Kun Tek, hartawan Phoa sudah cepat melarikan diri. Akan tetapi, Kun Tek yang sejak tadi memperhatikan orang itu, cepat meloncat ke depan dan seperti seekor harimau menerkam kelenci, dia sudah menubruk dan mencengkeram punggung baju orang itu. Ketika dia mengangkat tangan kirinya yang mencengkeram, hartawan itu terangkat keatas. Dengan muka pucat dan mata terbelalak hartawan Phoa memandang kepada pemuda itu.
“Ampun.... ampunkan aku....“ ratapnya, dan dia sama sekali tidak ingat betapa seringnya ratapan minta ampun itu keluar dari mulut orang-orang yang pernah ditindasnya.
Kun Tek tersenyum mengejek. “Pernahkah engkau mengampuni orang lain?” Dan sekali dia membanting, tubuh hartawan itu jatuh ke atas tanah dan dia tetap rebah tanpa berani bangkit lagi, mukanya menjadi semakin pucat. Para pengawal yang sudah mampu bangkit kembali hanya memandang, tidak berani berkutik. “Diantara mereka ada yang menderita patah tulang, benjol-benjol dan babak belur.
Pada saat itu, Lo Cin, si petani menghampiri Kun Tek dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. “Taihiap, harap taihiap sudi mdepaskan Phoa Wan-gwe. Sesungguhnya, dia tidak bersalah. Sayalah yang bersalah, harap taihiap tidak menjadi salah mengerti dan suka membebaskan dia.”
Tentu saja Kun Tek tertegun dan memandang heran. Orang ini bersama keluarganya tadi ditindas dan diancam. Dia turun tangan menghajar para penindas, akan tetapi mengapa orang ini malah memintakan ampun terhadap penindasnya?
“Paman, tidak kelirukah engkau? Bukankah hartawan ini menindasmu dan hendak mengganggu puterimu? Memeras dan mengancam, bahkan tukang pukulnya tadi telah memukul mantumu?”
“Semua itu memang benar, akan tetapi sebabnya adalah karena kesalahan kami, taihiap. Phoa Wan-gwe telah banyak menolong keluarga kami, seperti juga keluarga semua petani di sini. Kaiau kami kekurangan makan dan pakaian, selalu dialah yang mengulurkan tangan menolong kami. Akan tetapi, saya telah berkali-kali melanggar janji, tidak dapat mengembalikan hutang-hutangku yang banyak seperti yang telah saya janjikan. Karena itulah dia marah-marah melihat kami mengadakan pesta sedangkan hutang-hutang kami belum terbayar. Dan saya berjanji, asal Phoa Wan-gwe suka memberi kelonggaran hati, dalam beberapa bulan ini, dibantu mantuku, kami pasti akan membayar hutang-hutang itu.”
Semua orang yang masih menonton di luar mengangguk-angguk. Tak dapat mereka sangkal bahwa memang Phoa Wan-gwe seorang dermawan bagi mereka. Kalau terjadi keributan tadi, hanya karena kelemahannya, yaitu mudah tergila-gila perempuan cantik! Kini merekapun mengerti akan sikap Lo Cin yang melindungi hartawan itu dari hajaran dan hukuman dari pendekar muda itu.
Orang yang merasa paling terpukul batinnya adalah Phoa Wan-gwe sendiri. Tak disangkanya sama sekali bahwa yang menyelamatkannya atau berusaha menyelamatkannya adalah justeru Lo Cin! Dia merasa terharu sekali dan sadarlah dia akan kelemahannya dan kesalahannya.
“Paman Lo Cin, aku minta maaf kepadamu, kepada keluargamu.... biarlah hutang-hutang itu dihabiskan saja sampai di sini dan semua urusan dihabiskan, aku memang bersalah,” katanya.
Mendengar ini, Kun Tek semakin terheran-heran. Benarkah hartawan ini orang baik-baik, ataukah penindas rakyat miskin? Melihat betapa di luar banyak terdapat orang dusun yang kini nonton keributan itu, dengan suara lantang dia berteriak.
“Saudara-saudara penduduk dusun ini, dengarlah! Karena melihat tindakan sewenang-wenang, aku turun tangan meughajar jagoan-jagoan ini dan menangkap hartawan ini. Akan tetapi, keluarga pengantin malah mintakan ampun. Bagaimana, apakah aku harus melepaskan hartawan ini, ataukah dia harus dihajar sampai tulangnya patah-patah agar dia lain kali tidak akan mengulangi perbuatannya?”
Dan Kun Tek melihat hal yang dianggapnya aneh. Sebagian dari orang-orang itu menjatuhkan diri berlutut pula dan berseru kepadanya dari jauh, “Taihiap, harap suka melepaskan Phoa Wan-gwe. Dia dermawan penolong kami.”
Kun Tek mengerutkan alisnya dan memandang kepada hartawan itu. “Sungguh aku tidak mengerti. Engkau tadi jelas mengerahkan anjing-anjing ini untuk melakukan penganiayaan dan ancaman, akan tetapi mengapa orang-orang dusun ini membelamu? Hayo katakan, sebenarnya apa yang telah kaulakukan untuk menguasai mereka?”
Hartawan Phoa bangkit duduk dan memberi hormat. “Terus terang saja, taihiap. Selamanya saya bersahabat dengan penduduk dusun, membantu mereka dan kami bekerja sama dengan baik selama puluhan tahun, semenjak saya masih kecil dan ayah yang berkuasa di sini. Akan tetapi terus terang saja, saya telah bersalah, terlalu menurutkan nafsu dan mudah tergiur oleh kecantikan wanita. Pengalaman hari ini akan menjadi peringatan bagi saya dan mudah-mudahan Tuhan akan membantu saya dan memberi kekuatan untuk melawan godaan setan.” Hartawan itu lalu berkata kepada Lo Cin, “Paman Lo Cin, mari kita lanjutkan pesta ini. Biarlah aku yang membeayai, tambah lagi masakan dan saudara-saudara yang berada di luar, mari kita rayakan pernikahan puteri dari paman Lo Cin!”
Tentu saja sikap dan ucapan hartawan Phoa itu disambut sorakan gembira dari para penduduk dusun karena mereka kini mengenal lagi hartawan itu seperti biasanya kalau sedang memberi pertolongan dan derma kepada para penduduk dusun yang miskin. Para tukang pukul itu disuruh pulang oleh Phoa Wan-gwe untuk berobat dan merawat luka-luka mereka.
Ketika Lo Cin sekeluarga yang merasa gembira sekali itu hendak mengundang pemuda perkasa tadi untuk menjadi tamu kehormatan, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ dan agaknya telah pergi tanpa pamit, menyelinap di antara orang banyak. Hal ini diketahui oleh Bi Lan dan Hong Beng dan mereka kagum bukan main, kemudian merekapun diam-diam pergi dari tempat itu.
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua bercakap-cakap, membicarakan peristiwa yang baru mereka lihat di dusun tadi.
“Pemuda itu tadi luar biasa, bagaimana pendapatmu tentang dia, Hong Beng?” Bi Lan bertanya.
Sambil melangkah dengan tegap di samping gadis itu, Hong Beng memandang ke atas, melihat awan bergerak di hari yang cerah itu. “Dia? Wah, dia memang hebat. Kalau saja ada kesempatan, aku ingin sekali mencoba mengadu kepandaian dengan dia.”
“Ehh....?” Bi Lan terkejut dan menahan langkahnya sehingga Hong Beng terpaksa berhenti juga. Dengan alis berkerut gadis itu menatap wajah temannya dan bertanya, “Kenapa engkau mempunyai pikiran seaneh itu, seolah-olah engkau ingin memusuhinya?”
Ditegur demikian, barulah Hong Beng merasa terkejut dan mukanya berubah kemerahan. Tanpa disadarinya, dia tadi telah mengeluarkan ucapan yang nadanya keras dan bermusuh terhadap pemuda perkasa yang tak dikenalnya itu! “Tidak apa-apa, maksudku.... aku kagum sekali dan ingin berkenalan dengan dia dan di kalangan kita yang suka akan ilmu silat, perkenalan akan lebih akrab kalau diawali dengan adu kepandaian silat.”
“Hemm, dia merupakan lawan yang tidak ringan untuk dilawan, Hong Beng. Aku tidak yakin apakah engkau akan dapat mengalahkan dia,” kata Bi Lan sambil melanjutkan perjalanan itu dengan langkah seenaknya.
Hong Beng melirik ke kiri. Akan tetapi wajah gadis itu tidak membayangkan sesuatu dan pemuda itu menekan perasaannya yang tidak enak. Alisnya berkerut. Gadis ini agaknya sudah tertarik sekali kepada pemuda tinggi besar itu, pikirnya tak senang.
“Akan tetapi aku yakin akan dapat mengatasinya. Biarpun tidak kusangkal bahwa dia lihai, akan tetapi ilmunya masih belum matang. Buktinya tadi dia membiarkan beberapa pukulan mengenai tubuhnya ketika dia menghadapi pengeroyokan itu.”
“Akan tetapi pukulan-pukulan itu sama sekali tidak membuatnya tergoyah, sama sekali tidak dirasakannya!”
“Memang agaknya begitu. Akan tetapi engkau sendiri tentu tahu bahwa membiarkan tubuh terpukul lawan dengan melindungi tubuh menggunakan kekebalan bukanlah cara yang baik untuk membela diri. Mengapa dia tidak menggunakan kelincahan dan kecepatan gerakan untuk menghindarkan pukulan-pukulan itu? Hal itu hanya membuktikan bahwa dalam hal kecepatan gerak tubuh, dia belum berapa hebat. Karena itulah aku merasa yakin akan dapat mengalahkannya.”
“Hong Beng, dia jelas seorang pendekar budiman yang gagah perkasa, bagaimana engkau berani memandang rendah kepadanya, bahkan ingin mencoba kepandaiannya? Apakah engkau ingin bermusuhan dengan seorang pendekar?”
“Akan tetapi dia agak sombong....“
“Kau keliru! Dia sama sekali tidak sombong, bahkan memperkenalkan namapun tidak. Dia tegas dan gagah perkasa.”
Hong Beng merasa betapa perutnya menjadi semakin panas mendengar gadis itu memuji-muji pemuda tinggi besar itu setinggi langit. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan berkata, “Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan dia lagi. Kau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi orang. Yang lebih mengagumkan aku adalah sikap sepasang mempelai itu. Mereka berani menentang maut, menghadapi ancaman hartawan dan anak buahnya itu dengan gagah berani, padahal mereka berdua adalah orang-orang biasa yang lemah dan tidak berdaya melawan.”
“Jangan bilang mereka itu lemah Hong Beng. Mereka berdua itu kuat sekali, lebih kuat dari pada maut....“
“Eh maksudmu Hong Beng terkejut dan heran sampai menghentikan langkahnya, memandang gadis itu dengan mata terbelalak.
Bi Lan tersenyum. “Jangan pandang aku seperti orang melihat setan!” katanya. “Aku katakan bahwa mereka itu tidak lemah, karena mereka saling memiliki, mereka saling mencinta. Cinta itulah yang membuat mereka kuat dan berani menghadapi ancaman maut.”
Pandang mata Hong Beng menjadi lunak dan sayu ketika dia mendengar ucapan ini, jantungnya berdebar. “Bi Lan.... bagaimana kau tahu tentang semua itu?”
“Tentu saja. Siapapun dapat melihat bahwa sepasang pengantin itu saling mencinta, dan dengan bersenjatakan cinta kasih, keduanya berani menentang maut. Lihat betapa pengantin pria yang lemah itu berani melindungi calon isterinya, dan lihat betapa pengantin wanita itu menyandarkan keselamatannya kepadanya, nampak dalam pandang mata mereka, sikap mereka.”
“Bukan itu, maksudku, bagaimana engkau tahu tentang cinta kasih? Kau mengatakan bahwa cinta kasih membuat mereka kuat dan berani. Apakah.... pernahkah.... kau mengalaminya sendiri?”
Wajah gadis yang biasanya polos dan tidak pemalu itu kini berubah agak merah dan matanya memandang marah. “Iihh, prasangkamu buruk! Kaukira aku ini wanita macam apa? Aku tidak pernah jatuh cinta dan takkan pernah!” Kemudian sambungnya lirih, “Laginya, siapa sih yang bisa jatuh cinta kepada orang macam aku ini?”
Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Dengan muka agak pucat kini dia memandang gadis yang berdiri di depannya itu. Sinar matanya seperti hendak menembus dan menjenguk isi hati Bi Lan. Dia merasa betapa kedua kakinya gemetar. Hatinya gentar untuk bicara, akan tetapi ada dorongan kuat sekali yang memaksanya membuka mulut dan suaranya terdengar aneh dan ringan, seperti suara lain datang dari jauh ketika akhirnya dia berkata, “Bi Lan.... dengarlah aku....“
Bi Lan membelalakkan matanya. Ia melihat wajah pemuda itu menjadi aneh, begitu pucat dan sinar matanya begitu sayu akan tetapi juga ada sinarnya yang tajam penuh sdidik, dan yang paling mengherankan hatinya adalah kata-kata itu, dan suaranya yang demikian lembut dan penuh getaran.
“Hong Beng, ada apakah? Sejak tadi aku mendengarkanmu,” katanya mengomel karena ia sendiri merasakan sesuatu yang aneh dan membingungkan dari sikap pemuda itu.
“Bi Lan.... tahukah engkau.... bahwa ada seorang yang jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali melihatmu?”
Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. Bi Lan benar-benar tidak dapat menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu. “Hong Beng, engkau ini bicara apakah? Jangan main gila kau, siapa yang kaumaksudkan itu?”
“Aku....!” Hong Beng mengaku dan hatinya lega setelah dengan nekat akhirnya dia mampu juga membuat pengakuan yang menggelisahkan dan menegangkan hatinya itu. “Aku telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu, maka jangan mengira bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta padamu.”
Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar dengan kacau. Ia tidak tahu apakah ia harus marah atau bagaimana. Ia merasa canggung, tidak malu, hanya canggung dan tidakenak. Ia merasa dibawa ke suatu daerah yang sama sekali asing baginya, diseret ke dalam keadaan yang menggelisahkan karena sama sekali tidak dikenal dan diketahuinya. Ia tidak tahu sama sekali tentang cinta kasih, walaupun tadi dengan mudah saja ia dapat bicara tentang cinta yang nampak antara sepasang mempelai di dusun itu. Setelah kini ada orang mengaku cinta kepadanya, ia menjadi bingung! Apa lagi yang membuat pengakuan ini adalah Gu Hong Beng, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengannya, yang dianggapnya sebagai seorang sahahat baru yang amat baik. Akhirnya, keadaan yang menegangkan dan membingungkan hatinya itu menimbulkan kemarahan! Terlalu sekali pemuda ini, merusak suasana yang begitu baik! Mendatangkan kecanggungan dan perasaan tidak enak saja. Setelah mendengar pengakuan pemuda itu, mana mungkin ia dapat berada di dekat pemuda ini selanjutnya?
“Bi Lan, maafkan kalau keterusteranganku tadi menyinggung perasaan hatimu,” kata Hong Beng dengan halus ketika dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi sebentar pucat dan sebentar merah, dan terbayang kemarahan pada sinar matanya.
“Maaf? Enak saja kau bicara!” Bi Lan mengomel, sengaja bersikap biasa untuk mengusir perasaan tidak enak di hatinya dan membuyarkan suasana tegang yang mencekam di antara mereka. “Kau sudah merusak suasana dan aku tidak mungkin lagi melakukan perjalanan bersamamu.”
“Bi Lan....!”
“Biarlah kita kelak berjumpa lagi kalau ada kesempatan, akan tetapi aku tidak mau lagi melakukan perjalanan bersamamu.” Gadis itu lalu meloncat.
“Bi Lan, tunggu....! “
“Mau apa lagi?”
Dengan satu kali loncatan, Hong Beng sudah berada di depan gadis itu, wajahnya pucat dan membayangkan kegelisahan dan kekecewaan. “Bi Lan, apakah pernyataan cintaku tadi menyakiti hatimu, menyinggung perasaanmu?”
“Tidak menyakiti, akan tetapi tentu saja menyinggung! Aku tidak suka bicara tentang itu!”
“Akan tetapi apakah kau.... menolak cintaku? Bi Lan, berterusteranglah saja agar aku tidak tenggelam ke dalam keraguan dan kegelisahan. Apakah tidak ada cinta di hatimu terhadap diriku? Apakah engkau membenciku?”
Bi Lan membanting kakinya dengan gemas. “Aku tidak suka bicara dengan itu, engkau malah menghujani aku dengan urusan cinta! Huh, aku tidak mencinta siapa-siapa, dan tidak membenci siapa-siapa. Sudahlah, selamat tinggal!” Dan iapun melarikan diri dengan cepatnya meninggalkan pemuda itu.
Hong Beng berdiri bengong dengan muka pucat. Ingin dia mengejar dan dia yakin akan dapat menyusul gadis itu kalau mengejarnya, akan tetapi dia tidak mau membikin marah gadis itu dengan desakannya. Dia hanya berdiri sambil mengepal tinju, diam-diam merasa menyesal kepada diri sendiri yang telah tergesa-gesa menyatakan cinta kasihnya. Tadinya memang dia tidak berniat untuk menyatakan cintanya, walaupun sejak pertemuan pertama dia sudah jatuh hati. Bukan hanya perasaan kagum yang terasa olehnya terhadap gadis itu, melainkan perasaan cinta. Hal ini dia rasakan benar walaupun dia juga belum berpengalaman dalam hal itu. Tadinya dia hanya akan merahasiakannya saja sambil menanti kesempatan baik untuk kelak mengakui cintanya. Akan tetapi, perjumpaan mereka dengan sepasang mempelai yang saling mencinta itu, kemudian membicarakan cinta kasih sepasang mempelai itu, ditambah lagi ucapan Bi Lan yang merasa bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta kepadanya, semua itu mendorongnya dan pernyataan cinta itupun meluncur keluar dari mulutnya sebelum dia sempat menahannya lagi.
Dan kini semua itu telah terjadi. Dia sudah terlanjur menyatakan cinta dan gadis itu menolaknya, bahkan kini meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja! Hong Beng merasa betapa keadaan sekelilingnya tiba-tiba saja menjadi amat sunyi, dia merasa ditinggalkan seorang diri, merasa disia-siakan, merasa tidak ada gunanya lagi. Pemuda itu lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menutupkan kedua tangan di depan mukanya sambil memejamkan kedua matanya. Dia merasa terpukul dan terhimpit batinnya untuk ke dua kalinya selama hidupnya yang delapanbelas tahun ini. Pertama kali ketika dia kehilangan ayah bundanya. Dan kedua kalinya sekarang Ketika dia ditinggalkan Bi tan. Perasaannya menjadi terapung, hatinya kosong, kedukaan menyelimutinya, seperti gelombang besar menerkamnya, menenggelamkannya.
Betapa hebatnya cinta asmara antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, mencengkeram dan mempermainkan manusia seperti badai mempermainkan daun-daun kering yang tak berdaya. Kalau hati sudah dilanda asmara, maka hati itu berarti sudah siap untuk timbul atau tenggelam, siap untuk menikmati kesenangan yang sebesar-besarnya atau menderita kesusahan yang sedalam-dalamnya. Tidak ada kesenangan yang lebih besar dari bersatunya dua hati yang dilanda asmara, akan tetapi juga tidak ada kedukaan yang lebih mendalam dari pada pecahnya dan putusnya pertalian antara dua hati itu. Tidak ada keresahan dan kesepian yang lebih mencekik daripada ditinggal pergi kekasih hati dan tidak ada keputusasaan yang demikian ringkih dari pada orang yang dikasihi tidak membalas cintanya.
Haruskah demikian? Haruskah seseorang yang gagal dalam cintanya menjadi putus asa dan membiarkan diri dibenamkan duka nestapa? Cinta asmara antara pria dan wanita hanya dapat terjadi dan berhasil kalau keduanya menyambutnya. Cinta asmara tidak mungkin terjadi hanya dari satu pihak saja. Bodohlah orang yang membiarkan batin menderita karena orang yang dicintanya tidak menyambut atau membalas cintanya itu. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan pada seseorang. Cinta adalah urusan hati yang amat pribadi.
Cinta kasih yang sejati tidak akan mendatangkan duka. Cinta kasih kepada seseorang berarti rasa belas kasih dan kasih sayang kepada orang itu, dan yang ada hanya keinginan untuk membahagiakan orang itu, atau melihat orang itu berbahagia, baik orang itu menjadi miliknya atau tidak, dekat atau jauh darinya. Cinta kasih tidak mengenal kepuasan diri sendiri. Yang mengharapkan kepuasan diri sendiri, yang mengejar kesenangan hati sendiri, yang ingin memiliki, ingin menguasai, bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu berahi.
Bukan berarti bahwa cinta kasih tidak seharusnya mengandung berahi. Cinta kasih mengandung semuanya, kecuali keinginan menyenangkan diri sendiri walaupun cinta kasih dapat mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Cinta kasih adalah keadaan suatu hati yang penuh dengan sinar Illahi, sedangkan berahi adalah keadaan suatu tubuh yang normal dan wajar, menurutkan naluri badaniah. Bagi hati yang penuh dengan sinar cinta kasih, berahi merupakan sesuatu yang indah dan suci, suatu kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam badan dan batin, suatu gejolak yang digerakkan oleh daya tarik-menarik dari Im dan Yang, suatu sarana untuk penciptaan yang agung karena tanpa itu, tanpa adanya daya tarik Im dan Yang sehingga keduanya saling mendorong, maka alam ini akan berhenti bergerak. Sebaliknya, kalau hati kosong dari cinta, berahi hanya merupakan suatu permainan belaka, kadang-kadang amat kotor dan hanya menjadi sarana untuk memuaskan nafsu di hati.
Hong Beng bukanlah seorang pemuda yang menjadi hamba nafsu-nafsunya. Tidak, bahkan selamanya dia belum pernah berhubungan dengan wanita. Akan tetapi dia belum sadar akan cinta sejati dan sebagai seorang pemuda biasa, dia tunduk kepada keadaan batinnya yang masih dapat menjadi permainan akunya sendiri, di mana nafsu selalu berkuasa dan keadaan hati ditentukan oleh berhasil atau gagalnya nafsu. Diombang-ambingkan antara puas kecewa, harapan dan keputusasaan, senang dan susah. Biarpun dia memperoleh gemblengan yang keras dari gurunya, namun gemblengan itu hanya memperkuat badannya, belum mampu mendatangkan kesadaran kepada batinnya. Karena itu, badannya mungkin tahan pukulan, namun batinnya masih lemah dan mudah terguncang oleh kegagalan dan kekecewaan yang menimbulkan perasaan sesal dan iba diri yang menyengsarakan.
***
Bi Lan melarikan diri dengan cepat. Gadis ini bagaikan seekor burung yang nyaris kena sambaran anak panah. Terkejut, ngeri dan ketakutan. Ia seorang gadis yang masih hijau dalam hal urusan antara pria dan wanita. Yang ia pernah alami mengenai hal itu hanyalah yang buruk-buruk saja. Pernah ia hampir diperkosa oleh tiga orang gurunya setelah hampir menjadi korban penganiayaan dan perkosaan sekelompok orang buas. Kemudian ia bertemu dengan Bhok Gun dan ia melihat sikap yang sama dari Bhok Gun. Sikap laki-laki yang haus dan yang menganggap wanita sebagai barang permainan saja. Dan diam-diam timbul kemuakan dalam hatinya, membuat ia tidak percaya akan kejujuran pria dalam urusan kasih sayang. Yang pernah dialami dan dilihatnya hanyalah kebengisan nafsu berahi yang diperlihatkan pria terhadap wanita. Karena itu ia kagum melihat kemesraan dan kesetiaan antara sepasang mempelai itu. Akan tetapi ketika urusan cinta itu menyerang dirinya sendiri, dilontarkan oleh mulut Hong Beng satu-satunya pria yang mendatangkan kagum dan kepercayaan dalam dirinya, ia menjadi terkejut, ngeri dan ketakutan. Maka iapun melarikan diri, bukan takut terhadap Hong Beng, melainkan takut akan sikap pemuda itu, takut akan dirinya sendiri yang merasa ngeri dan asing dengan urusan hati itu.
Setelah berlari cepat sampai setengah hari lamanya, Bi Lan tiba di sebuah hutan di kaki gunung. Hutan yang penuh dengan pohon cemara, tempat yang indah. Ia merasa lelah dan duduklah ia di bawah sebatang pohon besar yang rindang daunnya. Angin bersilir membuat ia mengantuk dan iapun duduk melamun, memikirkan Hong Beng dari sikap pemuda itu siang tadi. Matahari kini sudah condong ke barat, namun sinarnya yang kemerahan masih menerobos antara celah-celah daun pohon.
Hong Beng seorang pemuda yang amat baik, hal itu tidak diragukannya lagi. Seorang pemuda yang bermuka bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Sikapnya sederhana dan sopan, sinar matanya juga bersih dan jernih, tidak mengandung kekurangajaran seperti pada sinar mata Bhok Gun atau pria-pria lain yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan. Juga ilmu silatnya hebat, apa lagi kalau diingat bahwa pemuda itu adalah murid keluarga Pulau Es! Selain ilmu silatnya tinggi, juga berwatak pendekar, gagah berani dan baik budi. Tak salah lagi, Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang baik, seorang pemuda pilihan! Akan tetapi, apakah ia cinta kepada pemuda itu? Ia tidak tahu!
“Aku suka padanya....“ demikian ia mengeluh. Memang ia mengakui bahwa ia suka kepada pemuda itu, suka melakukan perjalanan bersamanya. Suka bercakap-cakap dengannya, suka bersahabat dengannya. Hong Beng merupakan kawan seperjalanan yang tidak membosankan, tidak banyak cakap, suka mengalah dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, sopan dan ramah. Ia suka menjadi sahabat Hong Beng karena selain menyenangkan, juga Hong Beng merupakan seorang sahabat yang boleh diandalkan. Ia merasa aman dan tenang dekat pemuda itu dan seolah-olah pemuda itu memulihkan kembali kepercayaannya kepada pria pada umumnya. Akan tetapi cinta? Ia tidak tahu. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana cinta itu. Apakah sama dengan suka? Akan tetapi, kalau cinta itu seperti sepasang mempelai yang dijumpainya di dusun itu, ia menjadi ragu-ragu. Tidak ada keinginan di hatinya untuk bermesra-mesraan walaupun ia merasa senang berdekatan dengan pemuda itu. Hanya rasa suka bersahabat, suka berdekatan. Apakah itu cinta? Kiranya bukan! Cinta tentu lebih mendalam lagi, bantahnya dan ia akhirnya menjadi bingung sendiri dengan perbantahan yang berkecamuk di dalam batinnya.
Ia sendiri tidak yakin apakah benar Hong Beng mencintanya seperti yang diakui pemuda itu. Mencintanya? Bagaimana sih rasanya dicinta seorang pria? Tiga orang gurunya, Sam Kwi, jelas amat sayang kepadanya, pernah menyelamatkannya ketika ia masih kecil, kemudian mendidiknya melalui sucinya dengan penuh ketekunan. Kalau tidak sayang kepadanya, tak mungkin tiga orang aneh yang kadang-kadang kejam seperti iblis itu mau memperdulikan dirinya yang yatim piatu. Kemudian, ketika ia dewasa dan hendak berpisah dari tiga orang suhunya, mereka berusaha memperkosanya! Itukah cinta? Jelas bukan. Ia masih merasa heran mengapa tiga orang suhunya yang sudah bersusah-payah mendidiknya, setelah ia dewasa begitu tega untuk memperkosanya setelah melolohnya dengan arak sampai ia mabok. Ia sukar membayangkan apa yang akan dipikirkannya dan bagaimana keadaannya sekarang andaikata Sam Kwi berhasil memperkosanya, andaikata tidak ada sucinya yang menolongnya. Ia dapat menduga bahwa Sam Kwi melakukan hal itu, bukan semata-mata karena ingin memiliki tubuhnya, melainkan lebih condong kepada ingin menguasainya dan memperoleh keyakinan akan kesetiaannya. Ia hendak dijadikan sebagai Bi-kwi ke dua oleh Sam Kwi. Bukan, itu bukan cinta seperti yang dimaksudkan Hong Beng. Juga sikap Bhok Gun itupun amat meragukan untuk dinamakan cinta. Dan bagaimana dengan cinta Hong Beng? Benarkah pemuda itu mencintanya? Akan tetapi ia tidak merasakan apa-apa, hanya merasa kasihan kepada Hong Beng karena ia tidak dapat menerima cintanya, Juga marah karena pemuda itu telah merusak hubungan baik antara mereka. Ia masih ingin sekali melakukan perjalanan dengan pemuda itu, akan tetapi pengakuan cinta itu membuat ia tidak mungkin lagi dapat mendekati Hong Beng.
Bi Lan bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya karena matahari sudah makin condong ke barat. Ia tidak ingin kemalaman di hutan itu. Perutnya terasa lapar dan di dalam buntalan pakaiannya hanya tinggal beberapa potong roti kering dan daging kering saja. Biasanya, Hong Beng yang membawa minuman dan kini setelah ia terpisah dari pemuda itu, ia tidak berani makan roti dan daging yang serba kering itu tanpa ada air di dekatnya. Sialan! Baru berpisah sebentar saja sudah terasa kebutuhannya akan bantuan pemuda itu! Ia harus dapat tiba di sebuah dusun sebelum malam tiba karena selain kebutuhan makan minum, iapun ingin mengaso di dalam rumah, biarpun gubuk kecil sekalipun, agar aman dan tidak terganggu hawa dingin, hujan atau nyamuk.
Ketika keluar dari hutan kecil itu, Bi Lan naik ke atas bukit dan dari situ memandang ke bawah. Hatinya girang melihat dari jauh beberapa buah rumah dengan genteng berwarna merah, tanda bahwa genteng itu masih belum begitu lama. Tentu sebuah dusun kecil, pikirnya dan iapun cepat berlari menuruni bukit itu menuju ke arah rumah-rumah bergenteng merah.
Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, ada beberapa pasang mata mengamatinya dan beberapa bayangan orang berkelebatan turun dari bukit lebih dahulu sebelum ia menuju ke dusun itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada bahaya besar menantinya. Dengan tenang ia memasuki perkampungan kecil dengan rumah-rumah yang masih agak baru itu, dan melihat betapa daun-daun pintu dan jendela rumah-rumah itu tertutup, ia lalu mengetuk pintu sebuah rumah terbesar.
Seorang kakek berambut putih dengan jenggot dan kumis panjang membuka pintu. Melihat bahwa penghuni rumah itu seorang kakek yang nampaknya di dalam keremangan senja itu sudah amat tua, Bi Lan segera memberi hormat.
“Maafkan aku, kek. Aku adalah seorang pejalan kaki yang kemalaman dan membutuhkan tempat untuk mengaso dan melewatkan malam ini. Dapatkah engkau menunjukkan apakah di kampung ini ada tempat penginapan, atau rumah kosong atau orang yang sekiranya mau menolong dan menampungku untuk semalam ini saja?”
Kakek itu tertawa. “Heh-heh, di tempat sunyi ini siapa mau membuka penginapan, nona? Kebetulan aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini, kahu engkau suka, silahkan masuk. Ada kamar kosong untukmu di dalam rumahku.”
Bukan main lega dan girang rasa hati Bi Lan. Penghuni rumah ini hanya seorang saja, biarpun laki-laki akan tetapi sudah amat tua sehingga ia tidak akan merasa terganggu. Ia memasuki rumah itu dan hidungnya mencium bau masakan yang masih panas dan sedap. Tentu saja ia merasa heran sekali. Kakek ini sendirian dalam rumah itu, akan tetapi ia mempunyai masakan yang demikian sedap baunya. Agaknya dia seorang ahli masak, pikirnya. Kakek itu agaknya dapat menangkap keheranan pada wajah Bi Lan yang tertimpa sinar lampu yang tergantung di tembok.
“Heh-heh, jangan heran kalau aku mempunyai banyak masakan yang masih panas, nona. Sore tadi anakku dari kota datang memberi masakan-masakan itu yang dibelinya dari restoran, dan baru saja aku memanaskan masakan-masakan untuk makan malam. Dan engkau datang. Ha-ha, bukankah ini berarti jodoh? Masakan itu terlalu banyak untuk aku sendiri.
“Mari, nona, mari kita makan malam, baru nanti kuantar ke kamarmu.”
“Bukankah engkau hanya sendirian katamu tadi, kek?”
“Ooh? Kaumaksudkan anakku? Dia sudah pulang sore tadi.”
Bi Lan mengikuti kakek itu tanpa curiga sedikitpun menuju ke ruangan dalam di mana terdapat sebuah meja dan empat kursinya dan di atas meja itulah berderet mangkok-mangkok besar berisi masakan yang masih mengepulkan uap yang sedap, juga terdapat seguci arak berikut cawan-cawan kosong bertumpuk.
“Silahkan duduk, nona, silahkan makan. Heh-heh, sungguh girang sekali hatiku mendapatkan seorang tamu dan teman makan untuk menghabiskan hidangan yang terlalu banyak untukku ini.”
Bi Lan tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia melepaskan buntalan dari punggungnya dan meletakkannya di atas sebuah kursi kosong, kemudian iapun duduk di atas kursi sebelahnya. Kakek itu sudah duduk di depannya dan mendorong sebuah mangkok kosong ke depan Bi Lan, juga sebuah cawan kosong. Melihat kakek itu membuka tutup guci arak, Bi Lan segera berkata,
“Maaf, kek, aku tidak suka minum arak. Kalau ada teh atau air putih sekalipun untuk menghilangkan haus, aku akan berterima kasih sekali.”
“Heh-heh, mana bisa begitu, nona? Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Kalau aku sebagai tuan rumah menyuguhkan teh atau air saja kepada tamuku sedangkan aku sendiri minum arak, wah, aku akan dimaki orang paling tak tahu aturan oleh dunia! Ha-ha, nona, engkau tentu tidak akan mau mengecewakan seorang tua renta seperti aku, bukan? Nah, terimalah secawan arak dariku sebagai ucapan selamat datang di gubukku yang buruk ini!” Kakek itu sudah menuangkan secawan arak penuh dan bau arak yang harum itu sudah membuat Bi Lan merasa muak. Akan tetapi, bagaimana ia dapat menolak desakan kakek itu? Kalau ia menolak, ialah yang akan dimaki dunia sebagai seorang muda yang menjadi tamu dan yang tidak tahu aturan sama sekali. Ia merasa kasihan kepada kakek itu dan iapun menerima cawan itu. Sebelum meminumnya, ia berkata,
“Baiklah, kuterima suguhan arakmu, kek. Akan tetapi, ingat, hanya satu cawan ini saja. Kalau engkau kau memaksakan cawan ke dua, biarlah aku tidak minum ini dan aku pergi saja dari rumah ini dan tidur di bawah pohon.”
“Heh-heh, engkau lucu sekali, nona,” kata kakek itu dan dia melihat betapa Bi Lan tersedak ketika minum arak itu. Namun, gadis itu tetap menghabiskan araknya dan kakek itu sudah siap lagi dengan gucinya untuk memenuhi cawan arak Bi Lan.
“Tidak, sudah kukatakan hanya secawan, kakek yang baik!” kata Bi Lan menolak.
Ketika Bi Lan menggerakkan sumpitnya untuk mengambil masakan ke dalam mangkoknya, kebetulan ia mengangkat muka dan terkejutlah ia ketika melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong dan mengeluarkan sinar yang aneh. Akan tetapi hanya sebentar karena kakek itu sudah menundukkan pandang matanya dan terkekeh seperti tadi. “Silahkan, silahkan....“ katanya.
Kakek ini masih sehat dan segar sekali, pikir Bi Lan sambil memasukkan beberapa macam sayur dan daging ke dalam mangkoknya. Sikap dan kata-katannya seperti orang muda saja. Apakah barangkali kakek ini diam-diam memiliki kepandaian tinggi? Jantungnya berdebar ketika berpikir demikian dan iapun waspada kembali, berhati-hati. Bau arak itu masih membuat ia merasa muak dan dari leher ke perut terasa panas. Ia lalu menjepit sepotong sayur dengan sumpitnya dan membawa potongan sayur itu ke mulutnya.
“Ihhhh....!” Bi Lan meloncat dan menyemburkan potongan sayur itu dari mulutnya. Perlu diketahui bahwa gadis ini pernah menjadi murid nenek Wan Ceng atau yang juga bernama Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu! Dari nenek Wan Ceng, yang pernah menjadi murid ahli racun Ban-tok Mo-li, selain menerima pinjaman pedang Ban-tok-kiam, juga gadis ini diberi pelajaran tentang racun. Memang tidak banyak yang dapat dipelajarinya dari nenek ahli racun itu dalam waktu setengah tahun, akan tetapi terutama sekali ia telah mewarisi kepandaian mengenal segala macam racun melalui mulut dan hidungnya. Dengan kepandaiannya itu, sukarlah meracuni nona ini tanpa ia mengetahuinya. Tadi, ketika ia menyuapkan potongan sayur ke mulutnya, cepat sekali mulut dan hidungnya bekerja dan ia telah tahu dengan pasti bahwa sayur itu mengandung racun pembius yang amat kuat! Karena terkejut mendapatkan kenyataan yang sama sekali tidak disangkanya ini, Bi Lan menyemburkan sayur itu dan meloncat berdiri.
“Siapakah engkau?” bentaknya sambil menyambar buntalan pakaiannya, diikatkannya kembali buntalan itu di punggungnya tanpa mengalihkan pandang matanya kepada kakek itu sekejap matapun.
Kakek itu tersenyum lebar dan kini nampaklah oleh Bi Lan bahwa kakek yang rambutnya sudah putih semua, mukanya yang bagian bawahnya tertutup kumis dan jenggot, mempunyai gigi yang berderet rapi dan putih, gigi orang yang masih muda. Kakek itu bangkit berdiri dan tangan kanannya meraih ke mukanya sendiri. Ketika dia menurunkan tangan, tanggallah rambut putih, kumis dan jenggot dari kepalanya dan nampaklah wajah seorang laki-laki muda yang tampan dan yang tersenyum menyeringai kepada Bi Lan.
“Kau....! Keparat busuk!” Bi Lan sudah memak, menyambar sebuah mangkok berisi sayur dan melemparkannya ke arah muka laki-laki yang bukan lain adalah Bhok Gun itu! Laki-laki ini cepat mengelak, akan tetapi kuah sayur itu masih ada yang terpercik mengenai mukanya.
Bhok Gun tidak marah dan menghapus kuah itu dengan saputangannya. “Tenanglah, sumoi....“
“Cih! Aku bukan sumoimu!” Bi Lan membentak, masih marah sekali karena orang yang tadi berhasil memaksanya minum secawan arak kemudian berusaha meracuninya bukan lain adalah Bhok Gun yang amat dibencinya itu.
Tenanglah, nona, tenanglah Bi Lan. Kenapa mesti marah-marah? Aku sengaja menaruh racun dalam sayur itu bukan dengan niat buruk, melainkan hendak menguji kepandaianmu karena menurut keterangan sucimu, Bi-kwi, engkau ahli dan lihai sekali mengenal segala macam racun. Racun yang kupergunakan ini hanya untuk mencoba, sama sekali tidak berbahaya. Buktinya aku sendiripun makan....“
“Cukup! Aku tidak sudi lagi mendengar ocehanmu!”
“Bi Lan, pertemuan ini merupakan jodoh dan agaknya sudah diatur oleh Tuhan. Pertemuan ini mengguncangkan hatiku, Bi Lan, karena terus terang saja, sejak pertemuan kita itu, siang macam aku selalu teringat kepadamu, makan tak lezat tidur tak nyenyak, kalau tidur selalu penuh dengan mimpi tentang dirimu. Aku cinta padamu, Bi Lan, sungguh mati, belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti kepada dirimu....“
“Tutup mulutmu!” bentak Bi Lan dan iapun menendang kursi yang menghalang di depannya lalu melompat keluar dari ruangan itu, mengambil keputusan untuk pergi saja meninggalkan manusia berbahaya dan jahat ini.
Akan tetapi, ketika dara ini tiba di luar pintu rumah itu, di luar telah menanti belasan orang berpakaian seragam merah dengan senjata di tangan, yaitu anak buah perkumpulan Ang-i Mo-pang! Dan Bhok Gun juga mengejar dari luar sehingga kini Bi Lan telah terkurung di pekarangan depan rumah itu. Orang-orang Ang-i Mo-pang itu menyalakan obor dan keadaan menjadi terang sekali. Dengan matanya Bi Lan menaksir bahwa pengepungnya tidak kurang dari duapuluh orang, semuanya bersenjata lengkap! Dengan marah ia membalikkan tubuhnya.
“Bhok Gun, kau mau apa? Jangan ganggu aku kalau engkau tidak mau cari penyakit!“
Bhok Gun tersenyum. “Nona manis, kalau marah menjadi semakin cantik! Terus terang kuajak engkau untuk bekerja sama, menjadi isteriku tercinta dan sama-sama mencari kemuliaan di kota raja, akan tetapi engkau menolak. Nah, sekarang kauserahkan pedang pusakamu itu kepadaku....““
Bhok Gun manusia laknat! Sekali ini kau akan mampus di tanganku!” bentak Bi Lan yang sudah siap hendak menyerang. Akan tetapi para anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang bersama sambil mengepungnya sehingga terpaksa Bi Lan menghadapi penyerangan mereka. Dengan gerakan amat lincah,
Bi Lan mengelak sambil berloncatan ke sana-sini dari sambaran senjata golok, ruyung, tombak dan lain-lain yang datang bagaikan hujan. Karena marah sekali kepada Bhok Gun, Bi Lan bukan hanya mengelak saja melainkan terus membalas. dengan serangan kedua tangannya. Akibatnya hebat. Para pengeroyok itu seperti dilanda badai dan empat orang sudah jatuh tersungkur. Dalam kemarahannya, Bi Lan tidak berlaku sungkan lagi, begitu membalas serangan ia telah memainkan Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun) yang amat ganas. Ilmu ini dipelajarinya dari nenek Wan Ceng. Tenaga sin-kang yang mendorong serangannya amat ganas dan mengandung hawa beracun sehingga para anggauta Ang-i Mo-pang yang terpelanting itu roboh dengan mata mendelik dan bagian yang terkena pukulan menjadi hijau menghitam!
Melihat ini, Bhok Gun segera berteriak, “Kalian semua mundur, kepung saja, jangan ikut menyerang!” Dia tahu bahwa anak buahnya itu sama sekali bukan lawan Bi Lan dan kalau dibiarkan maju, mungkin mereka semua akan tewas di tangan Bi Lan. Mendengar seruan ini, para anggauta Ang-i Mo-pang yang memang sudah gentar menghadapi gadis itu, cepat menahan senjata mereka dan berlompatan mundur, mengepung pekarangan itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak ada yang berani mencoba untuk menyerang Bi Lan. Gadis ini berdiri tegak di tengah kepungan, sepasang matanya saja yang bergerak ke kanan kiri sedangkan seluruh tubuhnya diam tak bergerak seperti patung, namun setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga.
Melihat gadis ini berdiri dengan kedua tangan telanjang, sama sekali tidak memegang senjata dan juga tidak nampak adanya pedang pusaka mengerikan yang amat diinginkannya itu, Bhok Gun memandung heran. Dia merasa yakin benar bahwa Bi Lan tidak membawa pedang itu, tidak berada di pinggang, punggung, juga tidak berada di dalam buntalan pakaian itu.
“Bi Lan sumoi, di mana pedangmu itu? Keluarkan pedangmu dan lawanlah aku!” katanya menantang, tentu saja dengan maksud agar nona itu mengeluarkan pedang pusaka yang pernah membuatnya terkejut dan gentar itu.
“Manusia jahanam tanpa senjatapun aku masih sanggup mengirimmu ke neraka!” Bi Lan membentak sambil terus menyerang dengan dahsyatnya. Gadis ini tetap mempergunakan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat yang amat dahsyat itu. Melihat gerakan tangan yang mendatangkan hawa yang panas ini, Bhok Gun yang lihai cepat melompat kesamping dan dia sudah mencabut sehelai sapu tangan berwarna merah, lalu mengebutkan saputangan itu ke arah muka lawan. Debu berwarna merah halus menyambar ke arah muka Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan hanya meniup pergi debu itu dan membiarkan sebagian kecil mengenai mukanya. Dan kembali Bhok Gun terperanjat. Jelas bahwa ada debu yang mengenai muka gadis itu dan tentu telah tersedot, namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh! Padahal, debu pembius yang berada di saputangannya itu amat keras dan ampuh, sedikit saja tersedot, orang akan jatuh pingsan. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah cucu murid Ban-tok Mo-li dan biarpun dara ini hanya setengah tahun mempelajari ilmu dari nenek Wan Ceng, ia sudah memperoleh ilmu tentang racun dan cara untuk menjaga diri dari serangan racun.
Karena terkejut dan heran, hampir saja Bhok Gun menjadi korban tamparan tangan kiri Bi Lan yang menyambar ganas. Tangan itu menyambar dengan amat cepatnya dan hanya dengan melempar diri ke kiri saja Bhok Gun dapat menghindarkan diri, akan tetapi ketika tangan yang mengandung hawa pukulan panas itu lewat, dia terkejut dan maklum bahwa tangan itu mengandung hawa pukulan beracun! Guru pemuda ini juga seorang ahli racun maka tahulah dia akan bahayanya tangan beracun dari Bi Lan itu dan diam-diam diapun terheran-heran mengapa gadis ini dapat memiliki ilmu aneh dan ganas itu, padahal dia tahu benar bahwa Bi-kwi tidak memiliki ilmu semacam itu. Teringatlah dia akan cerita Bi-kwi bahwa Bi Lan pernah digembleng selama beberapa bulan oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga amat lihai. Dari mereka itukah gadis ini mempelajari ilmu pukulan beracun?
Bi Lan juga merasa lega karena ia tidak melihat munculnya Bi-kwi, sucinya yang lihai itu. Kalau sucinya muncul dan ia dikeroyok dua, rasanya sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri, apa lagi tanpa adanya Ban-tok-kiam di tangannya. Akan tetapi, sucinya tidak juga muncul maka jalan terbaik adalah cepat-cepat merobohkan dulu Bhok Gun. Kalau tidak dikeroyok, ia tidak gentar menghadapi Bhok Gun maupun sucinya. Maka iapun cepat menyerang dengan pukulan-pukulan gencar dan untuk mendesak lawan, ia mengubah gerakannya dan kini ia mainkan Sam Kwi Cap-sha-kun yang lebih ganas lagi itu! Ia tahu bahwa pada dasarnya, mereka berdua memiliki sumber ilmu silat yang sama dan untuk mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari sucinya atau Sam Kwi, tidak akan banyak gunanya menghadapi Bhok Gun. Akan tetapi Sam Kwi Cap-sha-kun adalah ilmu ciptaan baru dari Sam Kwi dan kiranya sucinya juga masih merahasiakan ilmu ini terhadap siapapun. Dugaannya benar karena Bhok Gun terkejut bukan main menghadapi desakannya dan pemuda itu terserempet tamparan pada pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Tangan kiri Bhok Gun bergerak dan sinar-sinar kecil menyambar ke depan.
Bi Lan memiliki penglihatan tajam sekali dan ia pun dapat bergerak lincah. Begitu ada sinar menyambar, ia sudah dengan cepatnya meloncat ke kiri, tangan kanannya menyampok dan runtuhlah tiga batang paku hitam yang beracun! Kalau ia tidak cepat mengelak dan menyampok, paku-paku itu dapat mendatangkan bahaya maut!
Biarpun senjata rahasianya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi setidaknya serangan gelap itu dapat memberi kesempatan kepada Bhok Gun untuk memperbaiki posisinya yang tadi terhuyung oleh serangan Bi Lan. Dia lalu berteriak ke arah rumah ke dua, “Para ciangkun harap suka keluar dan membantu kami menghadapi musuh!”
Terdengar teriakan jawaban dari rumah kedua itu, daun pintunya terbuka dan lima sosok bayangan orang berloncatan keluar dari rumah itu. Kiranya mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh gagah yang memakai pakaian perwira kerajaan dan begitu mereka mengepung dan menggerakkan pedang mereka menyerang, Bi Lan terkejut karena ia memperoleh kenyataan bahwa lima orang ini memiliki ilmu pedang yang kuat dan cepat, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan para anggauta Ang-i Mo-pang. Maka iapun mempercepat gerakannya, menubruk ke samping dan dengan sebuah tendangan dan sambaran tangan, ia berhasil merobohkan seorang anggauta Ang-i Mo-pang dan merampas pedangnya. Dengan pedang ini ia lalu menghadapi pengeroyokan lima orang perwira dan Bhok Gun!
Gadis ini memang hebat sekali. Semangatnya besar, memiliki keberanian dan ketenangan sehingga biarpun dikeroyok enam orang yang lihai, tetap saja ia dapat mengamuk seperti seekor naga betina. Pedangnya berubah menjadi sinar ketika ia mainkan Ilmu Pedang Ban-tok Kiam-sut. Terdengar suara nyaring berdencingan ketika pedangnya itu menangkis serangan para pengeroyoknya dan lewat tigapuluh jurus, pedangnya berhasil melukai dua orang perwira, akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Bhok Gun yang datang dengan amat kuatnya telah berhasil mematahkan pedang rampasan di tangan Bi Lan.
“Krakkk....!” Pedang itu patah menjadi dua dan pada saat itu, dua orang perwira datang menyerang dengan pedang mereka.
“Haiiiittt!” Bi Lan mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya menyambar ke depan seperti terbang, dengan tubuh direndahkan seperti menyeruduk ke depan. Itulah satu di antara jurus Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang dipelajarinya dari Koa Kok Cu! Dan kembali dua orang perwira rebah dan pedang mereka terlempar jauh, tidak tahan mereka menghadapi jurus dari Sin-liong Ciang-hoat yang aneh dan hebat itu. Akan tetapi, dari samping Bhok Gun sudah menggunakkan kakinya pada saat Bi Lan melancarkan serangan tadi.
Desss....!” Pinggang Bi Lan terkena tendangan sehingga tubuhnya terpelanting dan terguling-guling! Sementara itu, empat orang perwira yang roboh, sudah bangkit kembali dan Bi Lan terkepung kembali ketika ia akhirnya dapat pula meloncat bangun. Pinggangnya terasa nyeri dan kepalanya agak pening. Kembali dara itu berdiri tegak dan tak bergerak seperti patung, melirik ke kanan kiri, ke arah enam orang yang kembali sudah mengepungnya dengan wajah beringas karena mereka kini menjadi marah sekali.
Lima orang perwira itu adalah utusan rahasia dari pembesar Hou Seng di kota raja, yang diutus oleh pembesar itu yang sudah berhubungan dengan guru Bhok Gun untuk mengundang Bhok Gun dan para anggauta Ang-i Mo-pang untuk memperkuat kedudukan guru itu menjadi kaki tangan dan orang kepercayaan Hou Seng!
Bersambung ke buku 6
Label:
Kho Ping Hoo,
Suling Naga