Kisah Para Pendekar Pulau Es -3 | Kho Ping Hoo



Buku 3

Jai-hwa Siauw-ok ini di waktu mudanya bukanlah seorang jai-hwa-cat, walaupun dia tak dapat dibilang seorang yang berkelakuan baik. Namanya adalah Ouw Teng dan sejak muda dia memang seorang yang suka bermain-main dengan wanita. Sejak muda diapun suka belajar ilmu silat, namun belum pernah dia mempergunakan kepandaian silatnya untuk memaksa seorang wanita atau memperkosanya. Dia berwajah tampan dan putera seorang kaya, maka dengan modal wajah ganteng dan kantong padat, mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita-wanita yang disukainya. Akan tetapi, semenjak dia menikah dan dalam waktu setahun setelah menikah dia menangkap basah isterinya yang berjina dengan seorang pelayan pria dalam rumah mereka sendiri, wataknyapun berubah. Dia membunuh isteri dan pelayan itu dan melarikan diri meninggalkan rumah, menjadi buronan yang berwajib. Kemudian diapun bertemu dengan Ji-ok, nenek sakti yang menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ji-ok mengambilnya sebagai kekasih dan murid dan karena pandainya Ouw Teng merayu nenek yang tubuhnya masih seperti orang muda itu, dia dikasihi dan diberi pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi. Bahkan Ji-ok mengajarkan ilmu-ilmu yang dicurinya dari saudara-saudaranya sehingga Ouw Teng dapat mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain, walaupun tidak begitu sempurna karena curian. Dan sejak itulah dia menjadi seorang jai-hwa-cat yang amat kejam! Watak ini pula yang membuat Ji-ok makin suka kepadanya, karena memang begitulah seharusnya watak murid dari seorang tokoh sesat yang dianggap jahat seperti iblis!

Demikianlah riwayat singkat dari Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Kini usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia masih pesolek dan masih ganteng. Dan tentu saja kini ilmu-ilmunya sudah matang dan di antara lima tokoh jahat yang menyerbu Pulau Es, dia merupakan orang ke dua setelah Hek-i Mo-ong. Dan ternyata hanya dia seoranglah di antara empat orang rekan Hek-i Mo-ong yang selamat dan terhindar dari kematian ketika mereka melakukan penyerbuan itu. Dan kini dia malah memperoleh hasil gemilang yaitu dengan berhasilnya dia menawan cucu perempuan dari Pendekar Super Sakti.

Ketika siuman, Suma Hui menggerakkan kaki tangan hendak menggeliat, akan tetapi kaki dan tangannya tak dapat digerakkan karena terbelenggu. Ia mengeluh lirih dan membuka matanya yang segera terbelalak ketika ia mendapatkan dirinya telah terbelenggu dan rebah terlentang di atas perahu kecil. Iapun teringat segalanya dan cepat menengok kepada pria yang duduk di dekatnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal pria itu yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikenalnya sebagai seorang di antara tokoh-tokoh penyerbu Pulau Es yang berwatak kasar dan juga kotor dan cabul.

“Aih, nona manis, engkau sudah sadar? Mari makanlah, minumlah....!” Jai-hwa Siauw-ok berkata dengan ramah sambil meraih tempat makanan dan minuman. “Bukalah mulutmu, biar kusuapi engkau makan dan minum,” katanya.

Akan tetapi Suma Hui membuang muka.

“Marilah, nona....” Siauw-ok mendekatkan sepotong daging ke mulut nona itu dengan sumpitnya dan ketika dara itu tidak mau membuka mulutnya, Siauw-ok menggeser-geserkan daging itu di antara bibir Suma Hui. Perbuatan ini saja sudah membuat berahinya timbul dan diapun tersenyum-senyum. “Bukalah mulutmu, daging ini enak sekali....”

Tiba-tiba Suma Hui menggerakkan kaki tangan dengan pengerahan sin-kang, akan tetapi ia mengeluh ketika merasa betapa kaki tangannya tidak bertenaga. Tahulah ia bahwa ia dalam keadaan tertotok.

“Mari, makanlah nona....”

“Tidak sudi!” Suma Hni membentak dan biarpun tubuhnya lemas, ia membuang muka dan menjauhkan mulutnya dari daging di ujung sumpit itu.

“Ah, jangan begitu, nona. Aku tdak ingin melihat engkau mati kelaparan atau kehausan....”

“Engkau sudah menawanku dengan kecurangan, nah, kalau mau bunuh, kau bunuhlah! Siapa takut mati?” Suma Hui membentak.

“Membunuh engkau? Aihh, sayang kalau dibunuh!” Siauw-ok menggoda.

“Kulau begitu, bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai mampus!” tantang Suma Hui.

“Ah, nona manis. Aku cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau mati seperti tiga orang muda itu....”

Tentu saja Suma Hui terkejnt bukan main mendengar ini. Ia memandang dengan muka pucat dan biarpun ia membenci orang ini dan tidak ingin bercakap dengan dia, akan tetapi kini terpaksa ia bertanya, “Apa.... apa yaug telah terjadi dengan mereka....?”

Siauw-ok tersenyum, lalu mengacungkan daging di sumpit itu kembali. “Engkau makan dan minumlah lebih dulu, baru aku akan menceritakan tentang diri mereka.”

“Tidak sudi!” Suma Hui membuang muka dan cemberut. Siauw-ok mengangkat kedua pundaknya dan diapun makan minum sendirian sambil tersenyum-senyum. Dia merasa cukup berpengalaman untuk menundukkan gadis yang keras hati. Menundukkan seorang gadis yang keras hati harus pandai, pikirnya. Pandai mempergunakan muslihat kasar dan halus yang dicampuradukkan. Kadang-kadang halus merayu, kadang-kadang kasar mengancam dan kadang-kadang membiarkannya penasaran dan kecewa, kadang-kadang membiarkannya kegirangan.

Suma Hui merasa tersiksa bukan main. Ingin ia menjerit dan bertanya tentang nasib kedua orang adiknya dan Cin Liong. Tidak ada orang lain yang dapat ditanyainya kecuali laki-laki yang dibencinya ini. Iapun melirik dan melihat laki-laki itu makan minum dengan tenangnya. Bagaimanapun juga, melihat orang makan dan minum sedemikian lahapnya, ia terpaksa menelan air liurnya. Harus diakuinya bahwa perutnya lapar sekali dan kerongkongannya kering dan haus. Akan tetapi, ia akan mampu melupakan semua itu, mampu mempertahankan diri dan kalau perlu mati kelaparan atau kehausan. Hanya, sukar baginya untuk dapat menahan keinginan tahunya tentang nasib Cin Liong dan terutama kedua oraag adiknyya. Makin ditahannya, makin hebat keinginan tahu itu mendesak dan akhirnya ia menoleh dan memandang kepada laki-laki itu.

“Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan adik-adikku? Katakanlah, tidak ada ruginya engkau menceritakannya kepadaku.”

Siauw-ok memandang wajah manis itu dan tersenyum, di dalam hatinya bersorak karena merasa menang. “Tentu saja aku akan menceritakan padamu, nona. Aku tidak ingin melihat engkau sengsara, maka akupun tidak ingin melihat engkau kelaparan. Nah, engkau makan minumlah dan aku akan menceritakan keadaan mereka.”

“Baik, lepaskan belenggu kedua tanganku dan totokanku, dan aku akan mau makan dan minum.”

“Aihh, mana mungkin aku sembrono seperti itu, nona? Engkau adalah cucu Pendekar Super Sakti. Aku tahu engkau memiliki kepandaian hebat dan aku tidak tahu kapan engkau akan dapat membebaskan totokanku itu. Kalau kedua tanganmu tidak dibelenggu dan akhirnya totokan itu dapat kaupunahkan, tentu aku celaka. Tidak, aku belum dapat melepaskan belenggumu dan biarlah aku yang menyuapkan makanan dan minuman padamu.”

Suma Hui sudah hendak memaki dan marah-marah lagi, akan tetapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya dan keinginan tahunya untuk mendengar tentang nasib adik-adiknya membuat ia akhirnya mengalah. Ketika sumpit yang membawa potongan daging itu didekatkan pada mulutnya, iapun membuka mulut dan menyambutnya. Tentu saja Siauw-ok merasa girang bukan main. Diapun mulai bercerita, akan tetapi dia bercerita secara lambat-lambat sehingga terpaksa Suma Hui menerima makanan dan minuman yang cukup banyak untuk dapat mengikuti penuturan itu.

Setelah menceritakan jalannya pertempuran yang tidak begitu penting bagi Suma Hui, akhirnya Siauw-ok lalu berkata, “Aku melihat betapa pemuda yang menurut Hek-i Mo-ong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir itu terlempar ke lautan. Laut sedang dilanda badai mengganas, maka biar seorang yang amat pandai bermain di air sekalipun tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari amukan badai seperti itu! Dia sudah pasti terseret ombak dan tenggelam atau disambut oleh ikan-ikan hiu yang ganas. Belum lagi bahayanya kalau dihempaskan oleh ombak ke tubuh perahu, tentu akan lumat-lumat tubuhnya. Pemuda itu sudah pasti tewas, hal ini tak dapat disangsikan lagi.”Suma Hui membayangkan dengan hati penuh duka. Keponakannya itu adalah seorang yang gagah perkasa dan sudah banyak membela keluarga Pulau Es, tak disangkanya akan mengakhiri hidupnya secara demikian menyedihkan. Apalagi kalau ia teringat betapa ia pernah membalas segala pertolongan dan pembelaan pemuda itu dengan tamparan-tamparan yang diterima oleh pemuda itu dengan mengalah. Tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dengan kekerasan hatinya, dilawannya rasa duka itu sehingga ia dapat membendung keluarnya air matanya.

Siauw-ok adalah seorang laki-laki yang sudah berpengalaman. Dia dapat melihat kedukaan membayang di wajah yang ayu itu, dan melihat pula betapa dara itu menggunakan kekerasan hati membendung air matanya. Hatinya merasa panas oleh cemburu.

“Nona, apamukah pemuda putera Naga Sakti Gurun Pasir itu? Mengapa dia membela keluarga Pulau Es secara mati-matian ?” tanyanya penasaran.

Suma Hui tidak menjawab pertanyaan ini, hanya berkata, “Hemm, lihat saja nanti bangkitnya Naga Sakti Gurun Pasir untuk membalaskan kematian puteranya!”

Mendengar ucapan ini, bagaimanapun juga Siauw-ok bergidik ngeri. Dia belum pernah bertemu dengan Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dia sudah mendengar nama besar pendekar itu yang sejajar dengan keluarga Pulan Es!

“Ah, bukan aku yang membunuhnya....” Ucapan ini dihentikannya di tengah jalan karena dia sadar bahwa ucapan itu membayangkan rasa takutnya. Maka diapun lalu menyuapkan sepotong besar daging ke mulut itu dan melihat dengan penuh gairah betapa mulut yang kecil dengan bibir merah dan deretan gigi putih itu terbuka menerima daging, nampak bagian dalam mulutnya yang lebih merah lagi. Suma Hui mengunyah daging itu dengan perlahan.

“Bagaimana dengan kedua orang adikku?” tanyanya setelah daging itu agak lembut dikunyah.

“Ah, jadi dua orang pemuda cilik itu adalah adik-adikmu? Pantas mereka itu hebat-hebat....”

Kembali Suma Hui terpaksa menerima suapan makanan walaupun perutnya sudah merasa kenyang dan sebetulnya ingin ia menyemburkan makanan itu ke muka Siauw-ok. Akan tetapi ia membutuhkan keterangan tentang adik-adiknya sehingga terpaksa ia menahan sabar.

“Nih, minumlah dulu,” kata Siauw-ok dan Suma Hui juga menerima minuman air tawar yang disodorkan ke mulutnya. Bagaimanapun juga, makanan dan minuman itu membuat ia merasa tubuhnya menjadi segar kembali.

“Kedua adikmu itu.... sunggnh sayang sekali, agaknya merekapun tak mungkin dapat hidup, dan besar kemungkinan sekarangpun sudah tewas.”

“Mak.... maksudmu....?”

“Adikmu yang besar itu, seperti juga putera Naga Sakti Gurun Pasir, terlempar ke dalam lautan dan tentu diapun tidak mungkin dapat terhindar dari cengkeraman maut. Sedangkan adikmu yang kecil, setan cilik yang luar biasa itu, mungkin dia ditangkap oleh Hek-i Mo-ong. Entah bagaimana jadinya dengan mereka aku tidak tahu karena aku lebih menyibukkan diri untuk menyelamatkanmu.” Siauw-ok berhenti dan tersenyum ramah. “Coba pikir, di antara empat orang muda, hanya engkau yang selamat, kuhindarkan dari bahaya maut, bahkan kujaga dan kusuapi makanan dau minuman. Bukankah aku orang baik sekali, manis?”

Suma Hui menyemburkan makanan yang masih tersisa di mulutnya, lalu membuang muka dan menangis! Baru sekarang ia dapat melemparkan semua rasa sebal, marah, dan duka di dalam hatinya. Terutama sekali perasaan duka karena kegelisahan mendengar akan nasib kedua orang adiknya, dan juga Cin Liong.

Tiba-tiba ia menghentikan tangisnya ketika merasa betapa rambut kepalanya dibelai orang. Rasanya seperti tiba-tiba ada ular menyusup ke balik bajunya. Ia terperanjat dan juga jijik bukan main, apalagi ketika merasa betapa jari-jari tangan itu bukan hanya membelai rambut, melainkan juga mengusap pipi, dagu dan lehernya. Dan sepasang mata itu! Memandangnya seperti mata seekor harimau yang hendak menerkam kambing.

“Sudahlah, jangan menangis, nona manis. Ada aku di sini yang cinta padamu. Asal engkau suka menuruti segala kehendakku, engkau akan menjadi muridku yang terbaik dan hidupmu akan berbahagia....”

“Tutup mulutmu, iblis terkutuk!” Tiba-tiba Suma Hui memaki dan ketika ia merasa bahwa tenaga atau pengaruh totokan pada tubuhnya mulai mengendur, ia lalu mengerahkan sin-kangnya dan tiba-tiba ia menggerakkan kaki tangannya.

“Brettt! Brettt....!” Tali pengikat kaki tangan dara itu putus semua, tidak kuat menahan pengerahan tenaga sin-kang dari Suma Hui, tenaga aseli dari keluarga Pulau Es!

“Ehhh....!” Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa dara ini adalah cucu dari Pendekar Super Sakti dan memiliki kepandaian yang tidak lumrah gadis lainnya. Akan tetapi sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dapat meloloskan diri secara tiba-tiba seperti itu! Pada saat itu, Suma Hui sudah meloncat bangkit berdiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanannya, menampar ke arah kepala Siauw-ok.

“Hyaaaaatttt....!” Dara itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Karena pukulan dilakukan dari jarak dekat dan perahu itu amat kecil sehingga tidak mungkin bagi Siauw-ok untuk mengelak lagi, maka Siauw-ok terpaksa mengangkat lengannya menangkis, menjaga agar jangan sampai tenaganya terlalu besar dan melukai dara yang membuatnya tergila-gila ini.

“Dukkkkk....!” Tubuh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terjongkok dan menggigil kedinginan!

Kiranya dara itu telah mempergunakan tenaga yang belum lama dilatihnya di Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang amat hebat. Untung bagi Jai-hwa Siauw-ok bahwa gadis itu belum matang benar latihannya karena andaikata demikian, dia akan menderita luka dalam yang parah. Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan mengumpulkan hawa murni untuk melindungi tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Dia merasa salah sendiri karena terlalu memandang ringan sehingga hampir celaka. Bagaimanapun juga, tenaganya masih lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dara itu, maka kalau tadi dia mengerahkan seluruh tenaga, tentu dia lebih kuat.

“Haiiiittt....!” Melihat pukulannya yang pertama hanya membuat lawan terjongkok, Suma Hui merasa penasaran dan iapun sudah menyerang lagi dengan hantaman tangan kanan lurus-lurus ke arah dada lawannya.

Kembali Siauw-ok terpaksa menangkis, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan sin-kang dan mempergunakan tenaga kasar dan panas yang lebih kuat untuk mengimbangi hawa dingin yang terkandung dalam pukulan dara itu.

“Dessss....!” Dua tenaga dahsyat bertemu melalui lengan mereka dan akibatnya, tubuh Siauw-ok terdorong keras dan terpelanting keluar dari perahu.

“Byuuur....!” Siauw-ok yang terjungkal ke air menyelam. Dia terkejut bukan main karena ternyata dara itu tidak lagi mengerahkan tenaga berhawa dingin, melainkan pukulannya tadi mengandung hawa panas dan kekuatan yang amat hebat. Dia tidak tahu bahwa itulah ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang (Taugan Sakti Inti Api). Karena keras bertemu keras dan tenaganya kalah ampuh, ditambah lagi kekagetannya ketika merasa betapa ada hawa panas membakar tubuhnya melalui lengan, maka tubuh Jai-hwa Siauw-ok terlempar dan terpelanting ke dalam lautan. Tentu saja hati Suma Hui merasa lega dan girang sekali dan cepat ia mengambil tali kemudi untuk mengemudikan layar perahu.

“Krakkk....!” Tiba-tiba tiang layar yang tidak berapa besar itu patah. Kiranya Siauw-ok telah muncul di balik perahu dan memukul patah tiang layar itu dengan tangannya.

“Iblis jahat kau!” Suma Hui memaki dan cepat menyambar dayung untuk menyerang kepala yang muncul di permukaan air itu.

“Pratttt....!” Air muncrat ke atasakan tetapi kepala itu lenyap dan dayung hanya memukul air. Suma Hui tidak perduli lagi dan hendak mendayung perahu kccil itu, akan tetapi tiba-tiba perahu itu terguncang keras dan terbalik! Tentu saja dara itupun terlempar dan terjatuh ke air.

“Byuuurrr....!” Air muncrat lagi dan Suma Hui cepat menggerakkan kaki tangannya untuk mencegah tnbuhnya tenggelam.

“He-he-he, nona manis....!” Tiba-tiba ada lengan yang merangkul pingganguya yang ramping.

“Lepaskan, jahanam!” Suma Hui menjerit dan memukul ke belakang, akan tetapi Siauw-ok yang lebih pandai bermain di air itu telah menyelam. Dan tiba-tiba Suma Hui menjerit ketika kakinya ada yang menangkap dari bawah dan terus tangan itu menyeretnya ke bawah permukaan air! Dara itu meronta dan mencoba untuk menendang atau memukul. Terjadi pergumulan di dalam air. Suma Hui melawan mati-matian dan berusaha sedapat mungkin. Namun, ternyata ia jauh kalah mahir sehingga ia gelagapan dan banyak menelan air laut. Apalagi Siauw-ok menggumulnya sehingga di samping ia memang kalah pandai, juga ia merasa jijik dan geli merasa betapa dirinya dirangkul dan dipeluk. Akhirnya ia terkulai pingsan!Masih untung baginya bahwa ambisi Siauw-ok untuk membanggakan kemenangan dan menyombongkan dirinya sedemikian besarnya sehingga biarpun melihat dara itu dengan pakaian basah kuyup nampak amat merangsang, pakaian basahnya melekat ketat pada tubuhnya yang padat, namun penjahat cabul itu tidak menuruti nafsu berahinya dan bertahan diri, tidak memperkosanya. Siauw-ok membawa Suma Hui kembali ke dalam perahu yang telah kehilangan layarnya itu, menotoknya kembali dan kini dengan bersungut-sungut dia mendayung perahunya melanjutkan perjalanan.

Pada suatu senja, perahunya berlabuh di sebuah pantai yang sunyi di sebelah selatan kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung. Siauw-ok menarik perahunya ke pantai lalu memondong tubuh Suma Hui yang masih tertotok, kemudian membawanya lari memasuki hutan yang sudah mulai gelap. Setelah malam tiba, nampak Siauw-ok memasuki sebuah pekarangan depan rumah yang berdiri terpencil di luar kota Ceng-to, rumah itu bercat merah yang mungil. Bagi para laki-laki hidung belang di kota Ceng-to, rumah ini amat terkenal karena rumah ini merupakan rumah milik Ang Bwee Nio-nio, seorang bekas pelacur kenamaan yang kini telah berusia empat puluh tahun dan telah mengalihkan pekerjaannya dari seorang pelacur kenamaan menjadi seorang mucikari kenamaan pula. Hampir semua pelacur di daerah Ceng-to mengenalnya dan pelacur manapun juga akan merasa terhormat kalau dipanggil oleh mucikari ini karena para langganan dari Ang Bwee Nio-nio hanyalah orang-orang besar yang berkedudukan penting atau yang kaya raya saja.

Karena sore tadi hujan turun dan sekarangpun masih gerimis, rumah pelacuran itu sunyi. Memang Ang Bwee Nio-nio tidak pernah menyediakan pelacur di rumahnya. Ia hanya memanggilkan pelacur-pelacur yang dipesan para langganannya saja, menyediakan kamar-kamar yang cukup mewah dan bersih, dan juga melayani makan minum yang cukup lengkap dan lezat. Ia hanya hidup bersama dua orang pelayan yang tinggal di situ, pelayan-pelayan wanita setengah tua.

Ketika Jai-hwa Siauw-ok mengetuk pintu depan, terdengar suara jawaban dari dalam dan tak lama kemudian daun pintu dibuka orang. Seorang wanita berpakaian pelayan memandang dan wajahnya segera berobah ramah.

“Aih, kiranya Ouw-taiya (tuan besar Ouw) yang datang. Tapi.... tapi mengapakah nona ini....?” katanya menunjuk kepada Suma Hui di atas pundak Siauw-ok.

“Jangan ribut. Apakah malam ini banyak tamu?”

“Sepi, taiya, habis hujan.”

“Tutupkan daun pintunya dan malam ini tidak boleh menerima tamu, katakan saja toanio sakit. Mengerti?” Pandang mata Siauw-ok penuh ancaman.

“Baik, taiya....!” kata pelayan itu takut-takut.

“Di mana toanio? Panggil ia keluar.”

Pelayan itu berlari masuk setelah menutupkan daun pintu dan tak lama kemudian nampak seorang wanita datang setengah berlari. Ia sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi masih pesolek. Pakaiannya indah, mukanya berbedak tebal, alisnya dicukur dan dilukis, bibirnya diberi gincu merah, demikian pula kedua pipinya. Memang ia bekas seorang wanita yang cantik menarik. Inilah Ang Bwee Nio-nio, dahulu terkenal sebagai Ang Bwee (Bunga Bwee Merah), pelacur tingkat tinggi di Ceng-to.

“Ahhh, baru sekarang engkau muncul, Ouw-koko....!” Wanita itu segera menghampiri Siauw-ok dan merangkul dengan sikap manja dan mesra. Memang ia adalah kekasih lama Siauw-ok, akan tetapi sudah lama Siauw-ok meninggalkan dan menjauhinya. Ketika dirangkul oleh wanita ini dan mencium bau wangi yang semerbak menusuk hidung, Siauw-ok mengerutkan alisnya dengan sebal dan tangannya mendorong! Untung wanita itu agaknya bukan wanita sembarangan sehingga dorongan yang akan merobohkan setiap orang yang bertubuh kuat itu hanya membuatnya terhuyung dan wanita itupun dapat cepat menggeser kaki memasang kuda-kuda sehingga tubuhnya tidak sampai terpelanting.

“Ouw-koko....!” Dalam seruan ini terkandung rasa penasaran dan kedukaan yang besar walaupun pandang mata wanita itu terhadap Siauw-ok masih terkandung kemesraan dan rasa sayang yang anat besar. “Kenapa kau....”

“Sudahlah, jangan ganggu aku, Ang Bwee. Aku lelah sekali. Kau tahu dari mana aku datang dan siapa adanya gadis ini?” Dan ketika wanita itu menggeleng dan memandang kepada Suma Hui dengan mata terbelalak dan ingin tahu, sambil tersenyum penuh kebanggaan Siauw-ok lalu menyambung, “Aku baru saja kembali dari penyerbuan ke Pulau Es, dan gadis yang kutawan ini adalah cucu perempuan Pendekar Super Sakti.”

“Ahhhh....!” Mata wanita itu terbelalak dan ia nampak terkejut bukan main.

“Nah, jangan ganggu aku. Cepat kausediakan kamar untuk gadis ini dan lebih dulu ambilkan belenggu kaki tangan dari baja. Eugkau masih punya, bukan? Yang biasa untuk membelenggu gadis yang bandel. Cepat ambil sepasang.”

Ang Bwee Nio-nio mengangguk-angguk lalu berlari ke dalam. Tak lama dia sudah keluar kembali dan membawa sepasang belenggu kaki tangan dari baja yang memakai kunci. Belenggu-belenggu itu lalu dikenakan pada kaki tangan Suma Hui dengan cekatan sekali oleh wanita itu.

“Sekarang, bawa dara ini ke kamarnya, kemudian layani aku makan minum sepuasku. Aku akan menceritakan kesemuanya padamu sampai kau puas, Ang Bwee.”

Wanita itu menerima tubuh Suma Hui yang masih dalam keadaan tertotok dan terbelenggu, memandang wajah yang jelita dan meraba tubuh yang padat itu lalu menarik napas panjang. “Seorang gadis yang indah sekali, Ouw-koko.”

“Ha-ha-ha, kaukira bagaimana? Kalau tidak, perlu apa aku bersusah payah membawanya. Sudah, simpan ia baik-baik dan aku mau mandi dan bertukar pakaian dulu.”

Dengan gembira Siauw-ok lalu mandi dan bertukar pakaian, sedangkan wanita itu memondong tubuh Suma Hui, dibawanya masuk ke dalam sebuah di antara kamar-kamar rumahnya dan merebahkan dara itu di atas pembaringan.

Sebetulnya sejak tadi Suma Hui sadar, akan tetapi dara ini berpura-pura tidak sadar dan bergantung lemas. Ketika kaki tangannya dibelenggu, diam-diam ia mengeluh. Selama ini ia selalu mencari kesempatan, akan tetapi semenjak perlawanannya di atas perahu sampai ia ditawan kembali, Siauw-ok selalu memperhatikannya dan amat teliti. Dan sekarang, kaki tangannya malah dibelenggu, dengan belenggu baja sehingga andaikata ia dapat memperoleh kesempatan dan totokan ini tidak lagi menguasai dirinya, sukarlah baginya untuk membebaskan diri dari belenggu ini.

Wanita itu merebahkannya terlentang di atas pembaringan dan betapa kaget rasa hati Suma Hui ketika rantai belenggu kaki tanyannya itu dikaitkan kepada kaitan-kaitan yang sudah tersedia di pembaringan itu sehingga kaki dan tangannya terpentang dengan masing-masing tangan dan kaki terikat pada kaitan di empat penjuru pembaringan! Sebagai seorang wanita kang-ouw yang sudah banyak mendengar tentang kejahatan kaum sesat, ia mengerti bahwa kini dirinya terancam bahaya yang amat hebat bagi seorang wanita. Bahaya pemerkosaan! Dan ia tidak akan mampu mempertahankan diri! Ngeri sekali rasa hatinya membayangkan hal ini, akan tetapi segera kekerasan hatinya dapat menguasai dirinya lagi. Biarlah. Ia akan selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari malapetaka itu, akan tetapi andaikata semua itu terjadi pula, ia akan pura-pura memyerah, kemudian kalau kesempatan terbuka, ia akan membunuh musuhnya sebelum membunuh diri untuk mencuci noda dan aib yang menimpa dirinya!

Setelah mengikatkan kaki dan tangan Suma Hui pada kaitan-kaitan di empat sudut pembaringan, Ang Bwee Nio-nio bersungut-sungut sambil memandangi tubuh gadis itu. “Dasar laki-laki yang tak mengenal budi! Maunya bersenang-senang saja bahkan tidak segan-segan menusuk hatiku dengan menolak diriku dan lebih memilih bocah dari musuh besar. Sungguh merupakan penghinaan yang tiada taranya! Ouw Teng, kalau sekali ini engkau tidak memperdulikan diriku, engkaupun tidak akan dapat menikmati gadis ini....!” Setelah berkata demikian, wanita itu lalu pergi keluar kamar dan menguncikan pintu kamar itu dari luar. Tentu saja Suma Hui yang ditinggal seorang diri itu menjadi gelisah. Sudah dikerahkannya tenaganya untuk membebaskan diri dari totokan, namun belum juga ia berhasil. Kalau sudah bebas dari totokan, setidaknya ia akan dapat berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Memang sedikit sekali kemungkinan akan berhasil, akan tetapi setidaknya ia dapat berusaha dan melakukan sesuatu, tidak seperti sekarang ini, rebah terlentang tak berdaya sama sekali!

Tak lama kemudian, Suma Hui dapat mendengar suara-suara dari sebelah kanan. Ia mengangkat muka dan menoleh dan ternyata suara itu datang dari lubang-lubang angin di dindingkamar. Ia dapat mengenal suara Siauw-ok yang dibencinya dan suara wanita tadi. Mereka sedang pesta makan minum agaknya! Dan terdengar suara Siauw-ok menceritakan tentang penyerbuan di Pulau Es itu diseling suara ketawa-ketawa bangga dan seruan-seruan heran si wanita. Agaknya Siauwok banyak minum arak karena terdengar berkali-kali Ang Bwee Nio-nio memerintahkan pelayan mengambilkan guci arak baru.

Kemudian, setelah cerita itu habis, terdengar suara wanita itu membujuk dan merayu. Lalu terdengar kata-kata keras Siauw-ok menolak. Mereka lalu bercekcok dan lapat-lapat terdengar oleh Suma Hui suara keras seperti orang ditampar disusul jerit tertahan si wanita.

“Pergilah, jangan ganggu aku, ha-ha-ha! Aku harus mengumpulkan tenaga untuk tawananku.” Terdengar Siauw-ok tertawa-tawa keras.

Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati semakin tegang. Sejak tadi ia terus berusaha dan akhirnya kini ia mulai dapat menggerakkan kaki tangannya. Pcngaruh totokan itu sudah mulai berkurang dan sebentar lagi ia akan bebas dari pengaruh totokan! Mulailah ia mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat sin-kangnya dan pada saat ia berhasil mengusir sama sekali pengaruh totokan dan jalan darahnya sudah lancar kembali ke seluruh tubuhuya, tiba-tiba saja daun pintu terbuka perlahan.

“Ahhh....!” Suma Hui menahan jeritnya dan cepat memejamkan mata, mengintai dari balik bulu matanya. Kalau terpaksa ia harus menderita malapetaka hebat itu, ia akan membuat dirinya pingsan dan untuk ini ia sudah siap siaga. Ia tahu bagaimana caranya membuat dirinya pingsan atau mematikan rasa.

Akan tetapi, hatinya terasa lega dan juga heran ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah wanita itu! Dan melihat betapa wanita itu menangis. Air matanya masih membasahi pipi dan mata, dan pipi kanan wanita itu membengkak! Kiranya wanita ini tadi datang untuk melampiaskan dendam terhadap Siauw-ok kepadanya. Bukankah tadi sebelum pergi telah menyatakan bahwa ia akan menghalangi Siauw-ok agar tidak dapat menikmati gadis tawanannya? Bukankah itu berarti wanita ini hendak membunuhnya? Dan ia tidak akan dapat melawan sedikitpun juga, walau jalan darahnya telah pulih kembali. Paling banyak ia hanya akan dapat mengerahkan sin-kang ke arah tubuh yang diserang, membuat bagian tubuh itu kebal. Akan tetapi wanita ini agaknya bukan wanita sembarangan pula dan tentu akan tahu bagaimana untuk membunuh orang yang memiliki kekebalan.

Kini Ang Bwee Nio-nio menghampiri pembaringan dan sejenak berdiri memandangi wajah dan tubuh Suma Hui. Dan terdengarlah suaranya berbisik-bisik, “Aku mendengar bahwa Pendekar Super Sakti sekeluarga adalah pendekar-pendekar yang selain amat sakti juga memiliki watak yang budiman, sudah banyak menolong manusia lain. Aku sendiri sejak kecil bergelimang kejahatan. Biarlah dalam kekecewaan dan penghinaan ini aku melakukan suatu kebaikan, mungkiu aku diperalat oleh Thian untuk membalas segala kebaikan keluarga Pendekar Super Sakti.” Setelah berkata demikian, wanita itu mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Suma Hui sudah bersiap-siap, menyangka bahwa wanita itu tentu akan mengeluarkan senjata tajam.

Akan tetapi, yang dikeluarkan ternyata sebuah kunci dan dengan cekatan wanita itu lalu membuka belenggu kedua kaki dan tangan Suma Hui! Gadis ini tcrkejut, girang dan heran, akan tetapi sekali meloncat, ia telah turun dari pembaringan. Tentu saja Ang Bwee Nio-nio terkejut juga dan makin percayalah wanita ini akan kehebatan gadis cucu Pendekar Super Sakti itu. Siapa duga bahwa gadis yang kelihatan sama sekali tidak berdaya itu, begitu dibuka belenggunya, sudah dapat bergerak sedemikian gesitnya.

“Ssstt, nona. Engkau harus cepat melarikan diri dari tempat ini....” bisiknya.

“Terima kasih atas pertolonganmu,” kata Suma Hui kembali. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa diikuti langkah-langkah kaki menuju ke kamar itu.

“Ssttt, dia datang. Biar aku mencoba mencegahnya masuk,” kata Ang Bwee Nio-nio dan iapun cepat membuka daun pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintunya. Suma Hui yang maklum akan kelihaian Jai-hwa Siauw-ok, sudah meloncat lagi ke atas pembaringan dan pura-pura rebah tak berdaya, memasangkan kembali rantai belenggu seolah-olah masih mengikatnya. Ia harus menggunakan siasat, pikirnya. Menyerang tokoh sesat itu secara berterang, jelas ia tidak akan menang. Biarlah ia akan menyerang tiba-tiba sebelum orang itu tahu bahwa ia telah bebas.

Ia mendengar kembali suara Ang Bwee Nio-nio membujuk-bujuk dan merayu di luar kamar, seolah-olah hendak menyeret Siauw-ok yang setengah mabok itu pergi ke kamarnya sendiri. Akan tetapi terdengar Siauw-ok menolak dan merekapun cekcok lalu terdengar suara perkelahian di luar kamar! Ah, mereka berkelahi, pikir Suma Hui. Inilah saatnya yang baik untuk turun tangan, membantu Ang Bwee Nio-nio mengeroyok Siauw-ok yang lihai. Ia menoleh ke kanan kiri mencari senjata, akan tetapi di dalam kamar yang biasa dipergunakan orang untuk pelesir dan bermain cinta itu mana ada senjata? Ia lalu nekat, dengan tangan kosong ia akan menerjang keluar dari pintu.

Akan tetapi kedatangannya terlambat. Pada saat ia muncul, Jai-hwa Siauw-ok dengan tubuh setengah berjongkok telah memukulkan kedua tangannya ke arah dada Ang Bwee Nio-nio dan wanita itu terjengkang, dari mulutnya muntah darah segar! Siauw-ok telah memukul bekas kekasihnya sendiri itu dengan pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya secara curian dari Su-ok. Pukulan ini jahat sekali dan wanita itu tidak kuat menerimanya, terjengkang, terbanting dan tewas seketika.

Suma Hui yang sudah marah sekali, tanpa banyak cakap sudah menerjang dan menyerang. Karena maklum akan kelihaian lawan, Suma Hui segera mainkan gabungan Ilmu Silat Pat-mo-kun dan Pat-sian-kun, karena baru ilmu inilah yang pernah dipelajarinya secara mendalam. Gerakannya lincah sekali dan kedua tangannya diisi dengan tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berganti-ganti.

“Ha-ha, engkau sudah siap untuk menyambutku, nona manis? Ha-ha, mari kita main-main sebentar sebelum engkau kutangkap dan sekarang harus kupaksa engkau untuk melayaniku, mau atau tidak mau!” Di dalam kata-kata ini terkandung ejekan dan juga ancaman karena tokoh sesat ini benar-benar merasa jengkel melihat betapa gadis cucu Majikan Pulau Es ini berkali-kali dapat melepaskan diri dan merepotkannya saja.

Akan tetapi diapun terkejut melihat ilmu silat yang amat hebat itu. Juga dia harus berhati-hati terhadap sin-kang yang berobah-robah sifatnya itu, dari lembek menjadi keras, dari dingin menjadi panas. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dan Suma Hui masih kurang matang ilmu-ilmunya, maka setelah bertanding selama lima puluh jurus lebih, mulailah dara itu terdesak hebat.

“Ha-ha-ha, menyerahlah, manis. Perlu apa kauhabiskan tenagamu? Masih kaubutuhkan untuk melayani aku nanti, ha-ha-ha!” Kata-kata Siauw-ok semakin cabul karena berahinya semakin bernyala, terdorong oleh arak dan juga oleh perkelahian itu. Beberapa kali Suma Hui terhuyung dan gadis ini diam-diam mengambil keputusan bahwa sebelum ia tertawan, lebih baik ia membunuh diri saja. Ia akan melawan terus sampai napas terakhir. Pendeknya, ia hanya mempunyai dua pilihan. Lolos atau mati, dan tidak akan membiarkan dirinya tertawan kembali!

Tiba-tiba Siauw-ok mengeluarkau suara ketawa dan tubuhnya lenyap, menjadi berpusing seperti gasing! Suma Hui terkejut dan menjadi bingung. Ilmu silat macam apa ini? Tubuh orang itu berpusing sehingga ia tidak dapat melihat jelas bentuk tubuhnya dan dari dalam pusingan itu kadang-kadang mencuat cengkeraman tangan yang hendak menangkapnya dan jari-jari yang hendak menotoknya. Dara itu tidak tahu bahwa itulah Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), ilmu curian yang berasal dari ilmu yang dimiliki Sam-ok. Dan sebelum Suma Hui dapat mengelak, tangan kanannya telah kena ditangkap! Gadis ini terkejut sekali, akan tetapi kembali pergelangan kirinya kena ditangkap! Ia menjadi gugup, tidak dapat ia membunuh diri setelah kedua tangannya ditangkap.

“Jahanam busuk, lepaskan ia!”

Tiba-tiba saja ada angin menyambar dahsyat ke arah kepala Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang datangnya dari belakang. Demikian hebatnya angin itu menyambar sehingga Siauw-ok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa serangan yang ditujukan ke arah kepalanya dari belakang itu merupakan pukulan maut, maka terpaksa dia harus melepaskan cengkeramannya pada pergelangan kedua tangan gadis itu, membalik sambil merendahkan tubuhnya dan menggunakan kedua lengannya menangkis ke depan.“Desss....!” Tubuh Siauw-ok terdorong ke belakang dan diapun terhuyung. Dengan mata terbelalak dia memandang kepada penyerangnya dan bukan main kagetnya ketika mengenal pemuda ini sebagai putera Naga Sakti Gurun Pasir yang dilihatnya telah terlempar ke lautan dalam badai itu!

“Cin Liong....!” Teriakan Suma Hui ini terdengar penuh dengan rasa haru, gembira dan terkejut. Bukankah pemuda itu dikabarkan telah tewas? “Cin Liong, jangan lepaskan jahanam itu!”

Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang agaknya melihat gelagat buruk, telah menggerakkan kedua lengannya ke depan, ke arah dua orang muda itu. Terdengar bunyi bercuitan dan melihat ini, Cin Liong terkejut sekali.

“Hui-i.... awas....!” Dan diapun sudah menubruk maju dan menggerakknn kedua lengan menghadang dan menangkis pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan itu. Itulah Ilmu Jari Pedang atau Kiam-ci yang amat ampuh. Akan tetapi ketika tertangkis, kembali Siauw-ok terdorong ke belakang dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat keluar pintu, menggunakan kesempatan selagi Cin Liong melindungi Suma Hui dan menjauhi pintu tadi.

“Kejar dia....!” Suma Hui yang amat membenci pria itu berteriak dan Cin Liong juga meloncat mengejar. Akan tetapi, karena di luar gelap dan Siauw-ok tidak nampak lagi bayangannya, tidak diketahui ke arah mana larinya, diapun kembali memasuki pondok itu.

Di situ dia melihat dua orang pelayan wanita setengah tua berlutut dan menangisi mayat seorang wanita yang mukanya penuh darah yang dimuntahkan dari mulutnya sendiri, sedangkan Suma Hui juga berlutut dan memeriksa wanita itu. Dara itu bangkit berdiri ketika melihatnya, dan bertanya, “Bagaimana dengan jahanam itu?”

Cin Liong mengangkat kedua pundaknya dan mengembangkan lengannya. “Di luar amat gelap dan dia sudah menghilang seperti setan.”

“Sayang....” kata Suma Hui sambil menudingkan telunjuk ke arah mayat itu. “Ia adalah pemilik rumah ini dan ia telah berusaha menolong dan membebaskan aku.” Lalu Suma Hui mengguncang pundak seorang pelayan sambil bertanya, “Bibi, siapakah penjahat kejam itu tadi? Katakan padaku karena aku akan mencari dan membalaskan kematian majikan kalian.”

“Dia adalah teman lama dari toanio, seorang langganan yang baik. Namanya Ouw-taiya.... Ouw Teng....”

“Dan julukannya adalah Jai-hwa Siauw-ok,” sambung orang ke dua.

Mendengar disebutnya julukan ini, Cin Liong mengerutkan alisnya. “Jai-hwa Siauw-ok....?”

“Engkau mengenal nama itu?” Suma Hui bertanya.

Cin Liong mengangguk lalu berkata, “Hui-i, marilah kita pergi dari sini dan nanti kita bicara.”

Suma Hui mengangguk dan tanpa pamit mereka lalu pergi berloncatan meninggalkan dua orang pelayan wanita yang masih menangisi mayat Ang Bwee Nio-nio itu. Karena Suma Hui telah kehilangan semuanya, bahkan pakaian yang menempel di tubuhnya sudah kotor dan kusut, Cin Liong mengajaknya untuk memasuki kota Ceng-to dan bermalam di sebuah rumah penginapan, menggunakan dua buah kamar yang berdampingan. Suma Hui hanya mengangguk menyetujui, dan hanya dapat memandang dan menerima dengan penuh rasa haru dan terima kasih ketika pemuda itu datang membawakan beberapa stel pakaian baru untuknya, yang dibeli oleh pemuda itu dari toko.

“Cin Liong, sekarang ceritakanlah tentang adik-adikku. Apakah engkau melihat mereka? Bagaimana keadaan mereka?”

Pertanyaan ini sebetulnya sudah sejak ia bertemu dengan Cin Liong ingin ditanyakan, akan tetapi selalu ditahannya karena ia merasa ngeri untuk mendengar yang buruk-buruk. Kini, pertanyaan itu diajukan dengan suara penuh getaran dan sepasang mata itu memandang duka dan gelisah. Semua ini terasa sekali oleh Cin Liong ketika dia mendengar pertanyaan itu. Mereka duduk berhadapan di ruangan luar kamar mereka dan malam itu amat sunyi karena rumah penginapan itupun sepi dan kosong. Mereka menghadapi meja dan saling pandang di bawah penerangan lampu gantung. Wajah gadis itu nampak amat memelas bagi Cin Liong. Rambutnya masih kusut tidak tersisir rapi dan pakaian yang dipakainya itu tentu saja tidak cocok benar karena dibelinya dari toko, agak kelonggaran. Wajah yung cantik itu agak pucat dan matanya membayangkan kegelisahan yang mendalam. Rasa iba menyelubungi hati Cin Liong. Ingin dia memegang kedua tangan yang diletakkan di atas meja itu, ingin dia merangkul dan menghibur gadis ini. Tapi gadis ini adalah bibinya! Bibinya!

Cin Liong menundukkan pandang matanya dan menarik napas panjang. Lalu mengangkat muka memandang dan dari sinar matanya terpancar rasa iba. “Sayang sekali, aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaan mereka, Hui-i. Ketika kalian dikeroyok di atas perahu, aku telah lebih dulu terlempar keluar dan tercebur ke lantan, ditelan badai dan hanya kekuasaan Thian sajalah yang dapat menyelamatkan aku dari bencana maut di lautan yang gunas itu. Aku tidak melihat bagaimana keadaan kedua paman itu.” Lalu dia menceritakan pengalamannya ketika terlempar ke lautan sampai dia berhasil selamat dan akhirnya naik papan dan mendarat.

“Jadi engkau sama sekali tidak tahu bagaimana nasib kedua orang adikku?” Gadis itu memejamkan matanya dan menghapus air mata yang mulai menetes turun. “Menurut penuturan jahanam Siauw-ok itu, mereka.... mereka mungkin telah tewas. Ciang Bun terlempar ke lautan sedangkan Ceng Liong ditawan oleh Hek-i Mo-ong.”

' Ahhh !” Cin Liong mengepal tinju. “ ylereka itu orang - orang jahat. Aku akan mengerahkan pasukan untuk mencari dan mentbasnti mereka semua itu !”

“Akupun tidak akan berhenti sebelum menumpas mereka!” Suma Hui mengepal tinju, teringat akan kehancuran keluarga Pulau Es. Kemudian dipandanguya pemuda perkasa itu dan iapun bertanya, “Bagaimana engkau dapat tiba di pondok itu dan menolongku, Cin Liong?”

“Hanya kebetulan saja, Hui-i. Baru kemarin aku mendarat dan memasuki kota. Setelah berganti pakaian dan memulihkan kekuatan, siang tadi aku mendatangi pantai di luar kota Ceng-to, untuk ntenyelidiki kalau-kalau ada di antara kalian bertiga yang selamat dan mendarat pula. Di dalam penyelidikan itulah, sore tadi, aku mendengar percakapan dua orang nelayan yang katanya melihat seorang kakek memondong tubuh seorang gadis yang pingsan dan katanya kakek itu berlari cepat menyelinap di antara pohon-pohon. Mendengar ini, aku lalu melakukan pengejaran dan akhirnya aku tiba di pondok itu. Ketika aku melihat Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sedang makan minum di dalam pondok, akupun merasa yakin bahwa tentu dia yang dilihat dua orang nelayan itu dan gadis yang pingsan itu tentu engkau. Maka akupun masuk dan kebetulan sekali aku tiba pada saat yang tepat.”

“Cin Liong....” Suma Hui menelan ludah, sukar agaknya melanjutkan kata-katanya.

“Ya Hui-i?”

“Engkau.... engkau baik sekali, Cin Liong. Engkau telah membela kami, bahkan engkau telah berkali-kali menyelamatkan aku.”

“Ah, harap jangan berkata demikian, Hui-i. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku membela keluarga Pulau Es? Bukan keluarga sekalipun tentu akan kubela, karena bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang kejahatan?”

“Ya, tapi.... tapi....”

“Tapi apa, Hui-i?”

Seperti tanpa disadarinya, Suma Hui memegang tangan pemuda itu yang terletak di atas meja pula dan ia meremas jari-jari tangan itu. “Cin Liong.... berkali-kali aku terkenang akan hal itu.... engkau begini baik dan aku.... aku....”

Cin Liong merasa terharu bukan main ketika merasa betapa tangannya dipegang dan diremas-remas oleh gadis itu. Betapa lembutnya telapak tangan gadis itu, lembut hangat dan mengandung penuh getaran yang menggetarkan pula jantung Cin Liong.

“Engkaupun seoraug gadis yang amat baik, Hui-i, baik sekali....”

“Aku telah menamparmu berkali-kali....! Nah, itulah yang selalu terkenang olehku dengan hati perih, Cin Liong. Engkau hampir berkorban nyawa berkali-kali untuk membela kami, dan aku telah menghina dan menyakitimu. Maukah.... maukah engkau memaafkan aku, Cin Liong?” Di dalam suara itu terkandung isak.

Pemuda itu merasa semakin terharu dan diapun balas meremas tangan yang lembut itu sehingga jari-jari tangan mereka saling bertautan. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Hui-i. Sudah sepatutnya engkau menamparku, karena memang aku telah menyakitkan hatimu. Bahkan sekarangpun aku bersedia andaikata engkau hendak menambah beberapa tamparan lagi.”

“Ih, jangan begitu, Cin Liong. Aku sungguh menyesal, dan aku minta maaf. Penyesalan itu selamanya akan mengganggu hatiku sebelum engkau memberikan maafmu.” Sambil berkata demikian, gadis itu memandang kepada wajah Cin Liong dengan sinar mata penuh permohonan.

Cin Liong tidak tega untuk membiarkan gadis itu tenggelam dalam penyesalan diri. “Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Aku maafkan semua perbuatanmu, Hui-i.”

Wajah yang cantik itu menjadi berseri dan tiba-tiba saja, seolah-olah baru melihat betapa tangannya saling cengkeram dengan tangan pemuda itu, perlahan-lahan Suma Hui menarik kembali tangannya. “Ah, engkau memang baik sekali, Cin Liong. Belum pernah selama hidup aku bertemu dengan seorang yang baik seperti engkau.”

“Jangan terlalu memuji, Hui-i. Engkau sendiripun seorang gadis yang teramat baik.”

Suma Hui tersenyum. “Ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau rendah hati. Mana mungkin seorang gadis buruk watak seperti aku ini kaukatakan baik?”

“Sungguh, Hui-i, aku bicara setulusnya, keluar dari dalam lubuk hatiku.”

Wajah yang manis itu menjadi semakin merah dan kini Suma Hui menunduk. “Bagiku, engkau adalah oraug yang paling baik di dunia ini.”

“Bagiku, engkaupun demikian, Hui-i.”

“Ih, benarkah itu? Tidak ada lain gadis yang seperti aku?”

“Banyak gadis di dunia ini, akan tetapi tidak ada yang seperti engkau bagiku, Hui-i.”

Hening sejenak dan gadis itu menunduk, agaknya kini ia hampir tidak berani menentang pandang mata pemuda itu karena ia melihat sesuatu dalam pandang mata itu yang membuatnya menjadi malu dan bingung.

“Cin Liong....”

“Apa yang hendak kaukatakan, Hui-i?”

“Kulihat engkau sndah lebih dari dewasa....”

“Usiaku sndah hampir tiga puluh tahun, Hui-i.”

“Kiranya sndah lebih diri cukup untuk.... menikah.”

“Sudah lebih dari cukup, terlambat malah.”

“Lalu kenapa sampai sekarang engkau belum menikah?” Kini gadis itu berani mengangkat muka memandang dan sebaliknya malah Cin Liong yang kini menundukkan mukanya dan beberapa kali pemuda ini menarik napas panjang. Pertanyaan itu seolah-olah merupakan serangan ujung tombak ke arah hatinya dan membuat dia mau tidak mau teringat kembali kepada Bu Ci Sian, gadis pertama yang pernah merampas hatinya akan tetapi kemudian gagal menjadi jodohnya (baca kisah Suling Emas dan Naga Siluman). Akan tetapi dengan cepat dia mengusir bayangan itu dari ingatannya karena Bu Ci Sian kini telah menjadi isteri orang lain, isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.

“Hui-i, tadinya aku mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya, akan tetapi setelah aku berjumpa denganmu....”

“Ya, bagaimana, Cin Liong?”

“Pendirianku lalu goyah....” Kini Cin Liong yang mengulur tangan dan memegang tangan Suma Hui di atas meja itu, dipegangnya dengan lembut seperti memegang seekor anak burung yang lemah. “Semenjak bertemu denganmu, aku tahu bahwa aku ingin menikah.... aku ingin dapat hidup bersama denganmu selamanya, Hui-i....”

“Cin Liong....!” Tangan dalam genggaman Cin Liong itu menggelepar seperti anak burung ketakutan, akan tetapi tangan itu tidak ditarik seperti tadi dan gadis itu menunduk dengan muka merah sekali, lalu perlahan-lahan menjadi pucat dan dua titik air mata mengalir turun.

“Maafkanlah aku jika aku menyinggung perasaan hatimu, Hui-i,” kata Cin Liong, wajahnya agak pucat karena pemuda ini dilanda kekhawatiran kalau-kalau dia harus mengalami patah hati yang amat pahit untuk kedua kalinya setelah dahulu dia pernah patah hati karena cintanya ditolak oleh Bu Ci Sian.

“Tidak ada yang harus dimaafkan dan engkau tidak menyinggung, Cin Liong. Akan tetapi.... lupakah engkau bahwa.... bahwa aku ini bibimu dan engkau keponakanku? Ayahku, Suma Kian Lee dan ibumu, Yan Ceng, keduanya adalah putera dan cucu dari nenek Lulu. Setidaknya, kita berdua adalah darah dari mendiang nenek Lulu....”

“Itulah yang selama ini menjadi ganjalan hatiku, Hui-i. Kita adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan usiaku lebih tua darimu, akan tetapi.... kenapa engkau menjadi bibiku?”

“Kita harus dapat melihat kenyataan itu, Cin Liong. Kiranya.... tidak mnngkin kalau di antara kita ada ikatan.... perjodohan....”

“Kenapa tidak mungkin, Hui-i? Apa salahnya? Kalau kita sudah sama-sama mencinta, apalagi halangannya? Bagaimanapun juga, hubungan kekeluargaan antara kita terhitung jauh, karena kakek kita berbeda, dan she (marga) kitapun berbeda. Engkau she Suma sedangkan aku she Kao, sungguh sudah amat jauh terpisahnya. Hui-i, terus terang saja, aku cinta padamu, Hui-i, dan kalau aku tidak salah pandang, kalau perasaan hatiku tidak menipuku, engkaupun cinta padaku!”

“Cin Liong....!” Kini gadis itu terisak dan menutupi mukanya dengan tangan.

“Hui-i, harap jangan menangis. Mengapa berduka? Mengenai rintangan itu, kalau memang kita sudah sama-sama mencinta, mari kita hadapi bersama! Apapun kesulitan dan kesukarannya yang akan kita tempuh, kita hadapi bersama. Maukah engkau, Hui-i?”

Suma Hui membuka tangannya dan memandang dengan muka basah air mata, bahkan kini air mata masih bercucuran keluar dari kedua matanya, lalu ia menarik tangannya dan bangkit berdiri, berkata dengan suara lirih dan parau, “Jangan bicarakan hal itu sekarang, Cin Liong. Berilah waktu padaku untuk berpikir. Aku sedang dilanda duka, karena kehilangan keluarga nenek moyang di Pulau Es, karena kehilangan kedua orang adikku yang masih belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Dan kita dihadapkan pula dengan kenyataan adanya hubungan keluarga antara kita. Aku menjadi bingung, berilah waktu padaku, Cin Liong....”

Cin Liong menjura. “Maafkan aku, Hui-i. Memang seharusnya kalau engkau beristirahat. Nah, tidurlah, Hui-i. Urusan ini dapat kita bicarakan kelak, kalau engkau menghendaki.”

Suma Hui mengangguk dan memandang dengan sayu kemudian melangkah lesu memasuki kamarnya.

Akan tetapi, kedua orang muda itu tidur dengan gelisah sekali, tenggelam dalam lamunan masing-masing, lamunan yang tak dapat dikatakan sedap atau menyenangkan. Masalah-masalah berdatangan kepada mereka, bertumpuk dan susul-menyusul. Kedukaan dan kegelisahan bertumpuk-tumpuk. Dan kini mereka dihadapkan kepada kenyataan yang sungguh membingungkan dan mendatangkan rasa duka dan khawatir. Mereka saling mencinta, padahal mereka adalah bibi dan keponakan!

Cin Liong gelisah dan tak dapat tidur. Beberapa kali dia bangkit dan bangun, duduk termenung memikirkan nasibnya. Sebagai seorang jenderal muda, dia dapat dibilang berhasil baik sekaii. Kedudukannya tinggi dan terhormat, dipercaya oleh kaisar. Di bidang ini dia memang beruntung sekali, juga dia tidak pernah kekurangan harta benda. Sesungguhnya, haruslah diakuinya bahwa hidupnya cukup terhormat, mulia, berkecukupan dan menyenangkan. Akan tetapi di bidang cinta, ternyata dia tidak beruntung. Kegagalannya yang pertama ketika dia jatuh cinta kepada Bu Ci Sian sudah terasa amat berat dan luka yang dideritanya, sampai bertahun-tahun masih terasa. Bagi seorang pendekar, perasaan hati merupakan sesuatu yanf teguh. Kalau sekali mencinta, maka cintanya itu tidak akan rapuh melainkan kokoh kuat pula seperti keadaan jasmaninya yang tergembleng. Maka kegagalan cintanya itu membuatnya hampir jera untuk mendekati wanita lain, bahkan dia mengambil keputusan untuk tidak menikah saja. Ayah dan ibunya sudah berkali-kali mendesaknya, akan tetapi dia berkeras menyatakan belum ingin menikah. Bahkan ayah ibunya menganjurkan kepadanya untuk mengambil selir saja kalau belum menemukan seorang gadis yang dianggap cocok untuk menjadi isterinya. Akan tetapi Cin Liong tetap menolak bujukan mereka walaupun dia tahu bahwa ayah bundanya itu sudah rindu sekali untuk menimang seorang cucu!

Di dalam kehidupan terdapat bermacam kebutuhan yang kesemuanya amat penting. Kecukupan lahiriah berupa pangan dan papan. Kesehatan jasmani. Kerukunan dalam keluarga, dan sebagainya lagi. Semua itu merupakan bagian-bagian dari kelompok yang dinamakan keperluan atau kebutuhan hidup. Dan kesemuanya itu perlu, tidak kalah pentingnya dari bagian yang lain. Mementingkan satu bagian saja merupakan kebodohan karena yang satu harus ditutup oleh yang lain. Orang yang hidupnya kaya raya dan serba kecukupan, tetap saja akan menderita dalam hidupnya kalau kesehatannya terganggu. Orang yang sehat sekalipun tetap akan menderita kalau kekurangan makan dan pakaian. Bahkan orang yang sehat dan kaya sekalipun akan hidup menderita kalau tidak mempunyai kerukunan dalam keluarga. Di waktu sakit berat, orang yang kaya akan rela kehilangan semua kekayaannya asalkan dia sembuh. Sebaliknya, orang sehat melupakan segala dan mati-matian mempertaruhkan kesehatannya demi mengejar dan menumpuk harta benda. Demikianlah kenyataannya, hidup ini merupakan sekelompok kebutuhan-kebutuhan yang memang mutlak penting. Akan tetapi, biarpun mementingkan yang satu saja tanpa memperdulikan yang lain merupakan kebodohan, dan mengabaikan kesemuanya merupakan sikap lemah yang bodoh, sebaliknya terlalu mengejar kesemuanya itupun akan menjerumuskan! Banyak orang beranggapan bahwa kalau sudah kaya raya dan berkedudukan tinggi, tentu orang akan hidup bahagia. Karena itu, semua orang berlumba-lumba untuk mengejar kekayaan dan kedudukan. Padahal, semua yang digambarkan sebagai kebahagiaan itu sesungguhnya hanyalah bayangan kesenangan belaka. Dan kesenangan itu selalu hanya dirasakan oleh orang yang belum mencapai atau memilikinya. Kalau kita menjenguk ke dalam kehidupan orang-orang kaya atau orang-orang berkedudukan tinggi, barulah kita akan melihat bahwa gambaran khayal dari kita bahwa mereka itu hidup bahagia adalah keliru sama sekali. Bahkan mereka itu sudah tidak lagi dapat merasakan kesenangan atau menikmati hartanya maupun kedudukannya, atau setidaknya, tidak seindah atau senikmat ketika mereka membayangkanuya sebelum memilikinya. Sesungguhnyalah bahwa kesenangan dapat dicari, namun kebahagiaan tidak! Yang bisa dikejar dan dicari hanyalah kesenangan, namun kesenangan ini amat pendek umurnya dan tempatnya selalu diperebutkan oleh kebosanan, kekecewaan dan kesusahan!

Bukanlah berarti bahwa kita harus menolak kesenangan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bertapa di puncak gunung. Mereka ini justeru mencari kesenangan dengan cara lain, yaitu cara menyiksa diri atau cara menolak kesenangan lahiriah untuk mencari kesenangan batiniah yang pada hakekatnya sama juga! Tidak menolak! Kesenangan hidup adalah kenikmatan yang sudah menjadi hak kita untuk menikmatinya, dan tubuh kita sejak lahir sudah dilengkapi dengan alat-alat untuk menikmati kesenangan hidup melalui panca indra. Bukan menolak, melainkan tidak mengejar-ngejar! Kalau ada kesenangan itu, kita nikmati sebagai anugerah, namun dalam keadaan tetap waspada sehingga kita tidak menjadi mabok kesenangan dan menjadi buta. Namun, kalau tidak ada, kita tidak mengejar-ngejarnya, yang biasanya diberi pakaian kata muluk “cita-cita”. Dan, kalau kita sudah bebas dari pengejaran ini, di dalam segala sesuatu terdapat keindahan, kenikmatan yang menyenangkan itu! Di dalam segelas air sekalipun, di dalam hal-hal yang biasanya dipandang sebagai hal sederhana tak berarti, akan nampak sesuatu yang amat indah, menyenangkan dan mendatangkan nikmat hidup.



***



Di luar kota Cin-an, hanya lima belas li jauhnya dari kota Cin-an, terdapat sebuah dusun yang makmur walaupun rakyatnya hidup sederhana. Dusun ini bernama dusun Hong-cun, terletak di lembah Sungai Huang-ho yang subur. Rakyatnya bercocok tanam, kadang-kadang kalau tanaman sudah tidak membutuhkan penggarapan lagi, mereka pergi mencari ikan sebagai kaum nelayan yang pandai. Di dusun ini tinggal scorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw, akan tetapi karena pendekar ini sejak belasan tahun lamanya tidak pernah menonjolkan dirinya di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang tahu bahwa warga dusun Hong-cun itu adalah seorang pendekar yang pernah menjadi buah bibir semua tokoh dunia persilatan dan disebut-sebut namanya dengan wajah pucat ketakutan sebagai Pendekar Siluman Kecil!

Ya, pendekar itu memang Pendekar Siluman Kecil yang bernama Suma Kian Bu, putera tunggal dari Pendekar Super Sakti dan isterinya, Puteri Nirahai, dari Pulau Es. Suma Kian Bu mirip dengan ayahnya, dengan rambut yang dibiarkan panjang beriapan dan semua telah menjadi putih seperti benang-benang perak. Kini usianya sudah empat puluh enam tahun, namun bentuk tubuhnya masih tegap dan amat gagah perkasa dan kuat seperti tubuh orang muda. Hanya rambut putih itu saja yang membuat dia pantas kalau dikatakan bahwa usianya hampir setengah abad. Isterinyapun bukan orang sembarangan, karena isterinya yang bernama Teng Siang In dan yang telah berusia empat puluh empat tahun itupun dahulu terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Para pembaca serial ceritaSuling Emas sampaiPendekar Super Sakti dan keturunannya tentu sudah mengenal baik siapa Suma Kian Bu ini! Selain berdarah pendekar majikan Pulau Es, juga dari ibunya dia masih berdarah keluarga kaisar karena ibunya adalah seorang puteri dan panglima lagi. Dan pendekar inilah yang merupakan putera Pendekar Super Sakti yang paling lihai. Selain ilmu-ilmu dari keluarga ayahnya, yaitu ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki gin-kang yang luar biasa hebatnya, yang membuat dia dapat bergerak seperti pandai menghilang saja. Isterinya, selain hebat pula dalam ilmu silat, bahkan mempunyai keahlian dalam ilmu sihir.

Memang amat mengherankan, terutama bagi tokoh-tokoh persilatan kalau melihat cara hidup suami isteri pendekar ini sekarang. Mereka hidup sebagai petani sederhana. Biarpun rumah mereka cukup besar, namun sederhana dan keluarga ini hidup sebagai petani yang menggarap sawah, bahkan kadang-kadang suami isteri ini nampak sibuk pula mencari ikan dengan perahu mereka. Bagi para penghuni dusun Hong-cun, keluarga ini amat dihormati dan biarpun keluarga itu tidak pernah menonjolkan kemampuan mereka, namun semua orang sudah dapat menduga bahwa keluarga ini adalah keluarga yang lihai. Apalagi karena setiap kali ada penduduk kampung yang sakit, suami isteri ini dapat menolongnya dan memberi obat. Dan setelah pendekar ini dan keluarganya tinggal di situ, tidak ada lagi terjadi kejahatan. Beberapa orang penjahat yaug tadinya beroperasi di situ, segera lari ketakutan karena terjadi hal-hal aneh menimpa diri mereka. Ada penjahat yang katanya digondol setan dan dilemparkan dari puncak pohon tinggi sekali, akan tetapi sebelum tubuhnya remuk terbanting di atas tanah, “setan” itu telah menyambar tubuhnya dan setan itulah yang mengancam agar dia menghentikan perbuatan jahatnya atau pergi dari dusun itu. Bermacam hal aneh terjadi kepada para penjahat itu dan dalam waktu singkat, dusun itu bersih dari kejahatan, bahkan para penjahat di tempat lain yang mendengar akan angker dan keramatnya dusun Hung-cun, tidak ada yang berani mencoba-coba beroperasi di situ. Inilah sebabnya maka dusun itu menjadi makmur dan semua penghuni dusun, sampai ketua dusun, menghormati keluarga itu sebagai keluarga sakti! Merekapun menyebut Pendekar itu dengan sebutan In-kong (Tuan Penolong), dan isteri pendekar itu disebut Toa-nio.

Di dalam kisahSuling Emas dan Naga Siluman telah diceritakan bahwa sepasang suami isteri pendekar ini, setelah menikah belasan tahun lamanya, baru mendapatkan seorang keturunan. Putera mereka itu mereka namakan Ceng Liong karena mereka berhasil memperoleh keturunan setelah menggunakan obat mustika ular hijau (baca kisah Suling Emas dan Naga Siluman). Dan seperti kita ketahui, Ceng Liong diantarkan oleh orang tuanya ke Pulau Es untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah bimbingan langsung dari Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya, juga untuk menemani kakek dan kedua orang nenek mereka yang sudah tua itu.

Pada siang hari itu, Suma Kian Bu dan Teng Siang In baru pulang dari ladang. Pakaian mereka masih basah oleh keringat dan ujung celana mereka masih berlepotan lumpur. Mereka berdua duduk di serambi depan menikmati air teh hangat yang dihidangkan oleh seorang pelayan mereka.

Sejenak mereka duduk minum teh tanpa berkata-kata. Terasa sunyi sekali oleh mereka semenjak putera tunggal mereka meninggalkan mereka. Sudah enam bulan lamanya Ceng Liong meninggalkan tempat itu dan kadang-kadang Teng Siang In duduk termenung penuh kerinduan kepada puteranya. Bahkan kadang-kadang, kalau sedang seorang diri, dia suka menumpahkan rasa rindunya melalui deraian air mata. Tentu saja Suma Kian Bu tahu akan hal ini. Sudah kurang lebih seperempat abad lamanya dia menjadi suami Teng Siang In, maka tentu saja dia dapat mengikuti setiap perubahan air muka isterinya itu.

Ketika mereka berada duduk minum teh pada siang hari itu, diapun sudah makhim bahwa kemhali isterinya telah kumat rindunya. Di ladang tadipun isterinya sudah diam saja, kehilangan kegembiraannya. Padahal isterinya adalah seorang wanita yang lincah dan biasa bergembira.

“In-moi, kenapa kau diam saja sejak tadi?” tanya sang suami yang bahkan sampai hampir tuapun masih terus menyebut In-moi (dinda In) kepada isterinya, sebutan yang mesra dan penuh kasih.

Teng Siang In menunduk lalu menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah membikin panas kedua matanya, lalu menjawab, “Suamiku, apakah engkau tidak merasakan kesepian yang mencekam hati ini?”

Jawaban itu sudah cukup bagi Suma Kian Bu. Dia mengangguk-angguk. “Kesepian sejak anak kita pergi? Akupun merasakan itu, isteriku dan diam-diam akupun merasakan penderitaan batin yang amat tidak enak ini.”

Pendekar ini maklum akan isi hati isterinya. Bagi dia sendiri, sesungguhnya dia tidaklah begitu menderita dan ucapannya tadi hanya untuk menghibur keresahan hati isterinya. Pendekar ini yang memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya, sudah mengerti bahwa semua bentuk kesenangan mendatangkan ikatan, dan semua bentuk pengikatan ini mendatangkan kesengsaraan. Kalau kita sayang akan sesuatu itu, baik sesuatu itu merupakan benda, manusia, ataupun hanya nama, maka timbullah pengikatan di dalam batin. Kita tidak ingin kehilangan sesuatu yang menyenangkan itu dan kita menjaganya kuat-kuat untuk melawan kemungkinan kehilangan itu, kalau perlu kita siap mempergunakan kekerasan untuk mempertahankan sesuatu itu. Namun, memiliki tidaklah berdiri seiidiri. Memiliki sudah pasti disambung dengan kehilangan dan karena itulah menimbulkan usaha keras untuk menjaga atau mempertahankan agar tidak sampai kehilangan dan di sini menjadi sumber pula dari pada rasa takut. Takut kehilangan sesuatu yang disayangnya, sesuatu yang menyenangkan. Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak mau terikat oleh apapun juga, selalu berada dalam keadaan bebas. Cinta kasih sejati tidaklah mengikat atau diikat. Hanya kesenangan dan nafsu sajalah yang mengikat.

Teng Siang In juga bukan seorang wanita lemah yang cengeng. Agaknya ia merasakan bahwa sikapnya itu tidak semestinya, maka iapun menarik napas panjang. “Suamiku, aku tahu bahwa sikapku ini bodoh. Ceng Liong berada di Pulau Es, di dalam tangan yang kokoh kuat, dekat dengan orang tua bijaksana yang mencintanya sehingga tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan keadaannya. Akan tetapi hati ini, hati ibu ini.... maafkanlah kelemahanku.”

Suma Kian Bu memegang lengan isterinya dan tersenyum menghibur. “Aku maklum, isteriku dan aku tidak menyalahkanmu. Karena kitapun tidak terikat oleh apa-apa di tempat ini, marilah kita berdua pergi ke Pulau Es menengok Ceng Liong sekalian berpesiar.”

Hampir saja Teng Siang In terlonjak kegirangan mendengar usul suaminya ini. Ia meloncat bangun, merangkul suaminya dan mencium pipinya. “Terima kasih....! Ah, betapa girang hatiku! Engkau memang seorang suami yang baik sekali!”

“Siapa bilang aku suami buruk?” Pendekar itu tertawa, rasa gembira di dalam hatinya melihat kegirangan isterinya itu agaknya jauh lebih mendalam daripada kegembiraan isterinya.

“Kapan kita berangkat? Kapan?”

“Kapan saja. Kalau kaukehendaki, sekarangpun boleh.”

“Sekarang? Ah, agaknya aku sudah tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mari kita berkemas, suamiku!” Dan tanpa menjawab wanita itu berlari-lari seperti seorang anak kecil yang kegirangan ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa melakukan perjalanan jauh itu.

Pada waktu suami isteri itu sedang mengemasi pakaian dan bekal yang akan mereka bawa pergi ke Pulau Es, tiba-tiba pelayan mereka memberi tahu bahwa di luar ada dua orang tamu yang ingin bertemu dengan mereka.

“Siapa mereka dan ada keperluan apa?” Teng Siang In bertanya sambil mengerutkan alisnya karena dalam keadaan seperti itu ia tidak ingin diganggu. Pelayan yang sudah membantu mereka sejak lahirnya Ceng Liong itu menjawab dengan wajah berseri.

“Yang seorang adalah nona Suma Hui dan yang seorang lagi saya tidak kenal, dia seorang pemuda.”

“Suma Hui....?” Suami isteri itu saling pandang dengan wajah kaget, heran dan juga gembira. Suma Hui juga pergi ke Pulau Es bersama dengan Ciang Bun dan juga Ceng Liong. Maka, seperti menerima aba-aba saja, keduanya lalu meninggalkan kamar itu sambil berlari dan meninggalkan pelayan wanita setengah tua itu yang menggeleng kepala sambil tersenyum, tidak merasa terlalu heran menyaksikan sikap kedua orang majikannya yang memang aneh itu.

Ketika suami isteri itu tiba di ruangau depan di mana Suma Hui dan Cin Liong dipersilahkan duduk, Suma Hui bangkit berdiri dan segera menubruk Teng Siang In sambil menangis. “Bibi.... paman.... ah, sungguh celaka....!” Dan gadis ini sudah menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siang In yang hanya dapat saling pandang dengan suaminya, terkejut dan juga gelisah.

“Hui-ji (anak Hui).... ada apakah? Apa yang telah terjadi, nak?” Teng Siang In bertanya sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu.

Yang ditanya semakin terisak dan mengguguk. “Bibi.... sungguh celaka, malapetaka telah menimpa kita....” Dan tangisnya membuat ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

Melihat ini, Suma Kian Bu mengerutkan alisnya. “Suma Hui....!” Suaranya membentak penuh wibawa sehingga amat mengejutkan hati Cin Liong. “Sudah patutkah sikapmu itu?” Suara ini penuh teguran karena Suma Kian Bu merasa tidak puas melihat sikap keponakannya sebagai seorang cucu majikan Pulau Es telah memperlihatkan kelemahan yang seperti itu. Akan tetapi, Suma Hui yang telah digulung oleh perasaan duka, tetap tidak mampu mengeluarkan suara dan sesenggukan.

“Suma Hui....!” Suara Suma Kian Bu makin penasaran.

Melihat Suma Hui dibentak dan gadis itu semakin berduka, Cin Liong merasa kasihan dan diapun menjura sambil berkata, “Sesungguhnya begini....”

“Siapa engkau?” Suma Kian Bu memotong ucapan Cin Liong dan memandang tajam wajah yang tampan dan gagah itu, diam-diam dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. “Dan bagaimana engkau dapat datang bersama Suma Hui?” Tentu saja dia merasa tidak senang melihat keponakannya itu, seorang gadis dewasa, muncul bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

Kini Suma Hui yang seperti bangkit dari tangisnya dan menjawab cepat, “Paman, dia adalah keponakanku sendiri....”

“Keponakanmu....?” Teng Siang In memotong, terbelalak, tentu saja terheran dan tidak dapat percaya bahwa Suma Hui bisa mempunyai seorang keponakan yang menurut taksirannya tentu jauh lebih tua daripada gadis itu.

“....namanya Kao Cin Liong,” sambung Suma Hui.

“Ahhh....! Jenderal muda putera Ceng Ceng itu?” Suma Kian Bu berseru, wajahnya berseri. “Jadi engkaukah putera Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

Cin Liong kembali memberi hormat kepada pendekar yang masih terhitung paman kakeknya ini! “Harap maafkan kelancangan saya. Sebetulnya saya baru pulang dari Pulau Es dan mengalami segala peristiwa yang terjadi di sana, sampai dapat datang ke sini bersama dengan bibi Hui....”

“Mari kita duduk di dalam dan bicara.” Suma Kian Bu mengajak Cin Liong dan Teng Siang In juga menggandeng Suma Hui yang masih menangis itu. Mereka berempat lalu duduk di ruangan dalam dan kini Suma Hui sudah mulai dapat menguasai hatinya yang berduka.“Nah, sekarang ceritakanlah semuanya,” kata Suma Kian Bu. Bersama isterinya dia menanti untuk mendengarkan penuturan itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.

Cin Liong memandang kepada Suma Hui seolah hendak bertanya apakah dia yang akan bercerita. Suma Hui yang juga melirik kepadanya menggeleng kepada sedikit lalu ialah yang mulai bercerita. Setelah menarik napas panjang dan mengerahkan tenaga batin untuk menekan perasaan duka yang mencekik, ia lalu memandang kepada paman dan bibinya sejenak, kemudian dengan suara lirih namun jelas, seolah-olah mengatur agar kedua orang tua itu tidak sampai terkejut, iapun berkata, “Paman dan bibi, harap jangan terkejut. Pulau Es telah tertimpa bencana hebat, diserbu oleh puluhan orang penjahat yang dipimpin oleh lima orang datuk kaum sesat.”

“Nanti dulu, katakan siapa lima orang datuk itu?” Suma Kian Bu memotong.

“Menurut penyelidikan kami terutama Cin Liong, kami ketahui bahwa mereka itu adalah Hek-i Mo-ong, Ngo-bwe Sai-kong, Eng-jiauw Siauw-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan wanita yang berjuluk Ulat Seribu....”

Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. Nama-nama besar di dunia hitam, terutama sekali Hek-i Mo-ong.

“Lanjutkan ceritamu.”

“Mula-mula kami bertiga, saya, adik Ciang Bun dan adik Ceng Liong, sedang berlatih silat ketika muncul Ngo-bwe Sai-kong dan anak buahnya hendak membunuh kami bertiga. Nenek Lulu datang dan menghajar mereka. Nenek Lulu dikeroyok dan berhasil memukul mundur musuh, bahkan berhasil menewaskan Ngo-bwe Sai-kong yang lihai. Akan tetapi nenek Lulu.... ia sendiri terluka parah dan setelah dapat masuk ke dalam istana, ia.... ia meninggal dunia karena luka-lukanya....”

“Aihhh....!” Teng Siang In menahan jeritnya dan mukanya menjadi pucat, lalu berobah merah sekali karena marah. Sementara itu, Suma Kian Bu memejamkan matanya, wajahnya tidak menunjukkan sesuatu, hanya nampak dia menarik napas panjang.

“Lanjutkan.... lanjutkan....” katanya tanpa membuka matanya.

“Sisa para penyerbu itu dihajar oleh nenek Nirahai sehingga mereka lari cerai-berai meninggalkan pulau. Malamnya kami tiga orang anak melakukan penjagaan dan muncullah Cin Liong dalam keadaan luka-luka pula. Dia mendarat di Pulau Es dan hampir saja terjadi salah paham karena pada waktu itu kami bertiga tidak mengenal bahwa dia adalah keponakan kami.”

Suma Kian Bu mengangkat tangan dan membuka matanya, memandang kepada Cin Liong. “Hentikan dulu ceritamu, Hui-ji, dan kauceritakanlah bagaimana engkau dapat sampai ke Pulau Es dalam keadaan luka-luka, Cin Liong.”

Cin Liong lalu menceritakan pengalamannya secara singkat namun jelas sekali. Dia menceritakan betapa dia bertugas menyelidiki keadaan dan betapa dia mengikuti rombongan penjahat yang hendak menyerbu Pulau Es, dan betapa di tengah pelayaran dia ketahuan dan hampir saja tewas ketika dia terlempar ke dalam lautan, namun akhirnya dia berhasil juga mendarat di Pulau Es walaupun sedikit terlambat, yaitu rombongan pertama dari kaum sesat telah menyerang ke pulau yang mengakibatkan tewasnya nenek Lulu.

“Demikianlah, saya lalu dibawa menghadap kakek buyut Suma Han dan bersama dengan keluarga Pulau Es saya lalu ikut melakukan penjagaan.” Cin Liong mengakhiri ceritanya.

“Dialah yang banyak berjasa, paman. Kalau tidak ada dia, mungkin keadaan kami akan menjadi lebih parah lagi. Seperti yang telah diduga oleh nenek Nirahai, gerombolan penjahat itu datang lagi menyerbu, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan tiga orang datuk lainnya. Kekuatan mereka berpuluh orang dan kami semua, kecuali kakek Suma Han yang tetap duduk bersila di dekat peti mati nenek Lulu, kami semua dipimpin oleh nenek Nirahai lalu mengadakan perlawanan mati-matian. Namun, pihak musuh terlampau banyak. Walaupun kami sudah merobohkan banyak orang, tetap saja kami kalah kuat. Nenek Nirahai telah berhasil menewaskan Si Ulat Seribu, dan Cin Liong berhasil pula membunuh Eng-jiauw Siauw-ong yang lihai. Kemudian.... sesuai dengan perintah nenek Nirahai, Cin Liong membawa kami bertiga bersembunyi karena keadaan gawat....”

Suma Kian Bu dapat mengerti akan siasat ibu kandungnya. “Hemm, tentu disuruh bersembunyi di ruangan bawah tanah, bukan?”

“Benar, paman. Aku sungguh tidak setuju sama sekali dan ingin aku mengamuk terus. Akan tetapi, Cin Liong mentaati perintah nenek Nirahai dan aku ditotoknya. Memang, kalau tidak disembunyikan, kami bertiga dan Cin Liong tentu telah tewas semua, akan tetapi sedikitnya dapat menambah jumlah kematian pihak musuh.”

“Lanjutkan, lanjutkan....!”

“Setelah kami keluar dari tempat persembunyian, ternyata musuh sudah pergi semua, bahkan mereka membawa pergi teman-teman yang tewas dan luka. Akan tetapi.... akan tetapi.... kami melihat nenek Nirahai telah tewas pula di samping peti mati nenek Lulu....” Sampai di sini Suma Hui tak dapat menahan tangisnya dan kembali ia terisak-isak lalu sesenggukan. Teng Siang In menggigit bibirnya. Wanita ini tidak menangis, artinya tidak mengeluarkan suara menangis walaupun air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya. Juga Suma Kian Bu hanya termenung dengan muka tidak menunjukkan sesuatu. Semua ini terlihat oleh Cin Liong dan pemuda ini teringat akan kegagahan Ceng Liong dan menjadi kagum.

Melihat keadaan keponakannya itu, Suma Kian Bu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyalahkan keponakannya itu. Sebagai seorang gadis, Suma Hui cukup gagah dan pengalaman yang amat menyedihkan itu tentu saja mengguncang perasaan gadis itu.

“Cin Liong, sekarang engkaulah yang melanjutkan ceritanya,” katanya kepada pemuda itu.

Cin Liong memandang kepada Suma Hui yang masih sesenggukan dengan sinar mata penuh kasih sayang dan iba dan hal ini sama sekali tidak lewat begitu saja dari pengamatan Suma Kian Bu, akan tetapi pendekar ini diam saja.

“Ketika kami memasuki ruangan, kami melihat nenek buyut Nirahai telah tewas di dekat peti mati nenek buyut Lulu, sedangkan kakek buyut masih duduk bersila di tempat semula. Biarpun kami tidak melihat dan tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi melihat betapa semua musuh telah pergi dan kakek buyut masih duduk bersila, maka besar sekali kemungkinannya kakek buyut telah berhasil mengusir mereka, entah dengan cara bagaimana. Kami semua melakukan penjagaan dan kemudian baru kami tahu, biarpun ada suara kakek buyut yang memesan agar jenazah mereka kami bakar di kamar sembahyang, dan agar kami semua cepat meninggalkan pulau senja hari itu juga dan kami diharuskan kembali ke rumah masing-masing, baru kami tahu bahwa sesungguhnya kakek buyut Suma Han juga telah meninggal dunia....”

“Ayah....!” Seruan ini pendek saja namun menggetarkan seluruh rumah itu dan Cin Liong merasa terkejut sekali.

“Ayaaahh.... ohh, ayaahhh....!” Teng Siang In menubruk suaminya, menyembunyikan mukanya di dada suaminya. Keduanya menangis tanpa suara!

Cin Liong menatap wajah Pendekar Siluman Kecil itu dan hatinya tergetar. Wajah yang gagah itu nampak menakutkan sekali. Dengan memberanikan diri diapun berkata lirih.

“Mendiang kakek buyut meninggalkan pesan bahwa kematian adalah wajar, tidak perlu diributkan atau disusahkan....”

Terdengar elahan napas panjang dan pendekar itu seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia memandang kepada Cin Liong dan berkata lirih, “Terima kasih, Cin Liong. Begitulah hendaknya. Isteriku, keringkan air matamu yang tiada gunanya itu dan mari kita mendengarkan penuturan mereka ini lebih lanjut.”

Kini Suma Hui yang sudah dapat menguasai hatinya melanjutkan cerita itu. “Paman dan bibi, setelah kami melakukan perintah terakhir dari kakek, kami berempat meninggalkan pulau dengan perahu dan dari jauh kami melihat betapa istana itu terbakar, kemudian.... sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali.... kebakaran itu menjalar terus dan dalam waktu semalam itu, seluruh pulau terbakar habis!”

“Hemmm....!” Suma Kian Bu mengangguk-angguk, kembali dia maklum akan maksud ayahnya yang hendak melepaskan semua ikatan dengan dunia.

“Dan pada keesokan harinya, pulau itu sudah lenyap! Pulau Es telah tenggelam!” gadis itu melanjutkan ceritanya.Kembali Suma Kian Bu mengangguk-angguk. Memang Pulau Es adalah sebuah pulau yang aneh, maka peristiwa itupun tidaklah luar biasa. “Kemudian bagaimana dengan kalian berempat?” tanyanya dan kini ayah dan ibu ini kembali dicekam rasa gelisah karena kenyataannya kini, dari empat orang itu tinggal dua orang, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak ada bersama mereka, ini berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan kedua orang anak itu.

“Kami berempat melanjutkan pelayaran untuk menuju ke daratan besar, akan tetapi di tengah lautan kami dihadang dan dikepung oleh puluhan orang penjahat, sisa mereka yang agaknya melarikan diri dari Pulau Es, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok.”

“Kedua nama jahanam itu takkan pernah kulupakan!” kata Teng Siang In dengan sinar mata berapi-api.

“Kami diserang dan perahu kami digulingkan. Kami membela diri mati-matian, akan tetapi Cin Liong terlempar le laut, demikian pula Ciang Bun, padahal ketika itu badai sedang mengamuk. Saya sendiri tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dibawa lari, sedangkan menurut keterangan Cin Liong kemudian, adik Ceng Liong juga tertawan dan dibawa pergi oleh Hek-i Mo-ong.”

“Ahhhh....!” Teng Siang In meloncat bangun dan mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya mencorong. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anakku, aku bersumpah untuk merobek-robek kulit Hek-i Mo-ong dan mencincang hancur dagingnya!”

“In-moi, tenanglah, tidak baik membiarkan perasaan menguasai batin,” terdengar Suma Kian Bu berkata dan nyonya itu lalu terduduk kembali, wajahnya kini agak pucat akan tetapi sepasang matanya masih berapi-api dan kedua tangannya dikepal. “Hui-ji, lanjutkan ceritamu.”

“Saya dilarikan oleh si jahanam Jai-hwa Siauw-ok dan nyaris mengalami bencana dan aib yang hebat. Untung muncul Cin Liong yang tiba pada saat yang tepat menolongku dan sayang sekali bahwa si keparat itu berhasil melarikan diri dari kejaran kami. Kami lalu langsung pergi ke sini untuk melaporkan kepada paman dan bibi.”

“Dan Ciang Bun? Ceng Liong?” Teng Siang In bertanya.

Suma Hui mengerutkan alisnya, wajahnya diselimuti kedukaan dan ia menggeleng kepala. “Kami tidak tahu, bibi. Yang diketahui oleh Cin Liong hanya bahwa Ciang Bun terlempar ke lautan dan Ceng Liong ditawan Hek-i Mo-ong. Jahanam Siauw-ok itupun bercerita demikian kepadaku.”

“Kita harus mencarinya sekarang juga!” Teng Siang In berkata sambil memandang kepada suaminya dan Suma Kian Bu yang sudah mengenal baik watak isterinya maklum bahwa andaikata dia menolak sekalipun, tentu isterinya akan berangkat sendiri. Memang mereka harus cepat melakukan pengejaran dan mencari Ceng Liong untuk dirampas kembali, dan bagaimauapun juga, mereka memang sudah berkemas-kemas untuk pergi merantau ke Pulau Es.

“Baik, kita mencarinya hari ini juga. Cin Liong dan Hui-ji, kalian hendak pergi ke mana?”

“Paman, saya harus cepat-cepat pulang ke Thian-cin memberi kabar kepada ayah dan ibu.”

“Saya akan menemani bibi Hui.”

Suma Kian Bu mengangguk dan bersama isterinya dia mengantar pemuda dan pemudi itu sampai ke pintu depan. Setelah mereka berdua berpamit dan menjura untuk yang terakhir kalinya, Suma Kian Bu memandang kepada mereka dengan sinar mata tajam, lalu berkata, “Cin Liong dan Suma Hui, jalan yang kalian tempuh penuh rintangan, akan tetapi berjalanlah terus, doa restuku bersamamu dan semoga Thian memberkahi kalian.”

Cin Liong dan Suma Hui balas memandang dan wajah mereka seketika meujadi merah. Mereka menjura lagi dan hampir berbareng keduanya berkata, “Terima kasih....” Lalu mereka pergi meninggalkan suami isteri yang dicekam rasa gelisah karena mendengar putera tunggal mereka ditawan Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang telah mereka dengar akan kekejamannya. Setelah kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan jalan, Teng Siang In menoleh kepada suaminya.

“Engkau juga melihat bahwa mereka itu saling mencinta?”

“JeIas sekali!”

“Dan engkau malah mendorong mereka! Mana mungkin hal itu berlangsung? Mereka adalah bibi dan keponakan!”

“Bukan urusan kita, melainkan urusan mereka berdua. Aku hanya percaya kepada cinta kasih, tidak percaya kepada semua peraturan-peraturan yang kaku. Nah, mari kita berangkat, isteriku.”

Suami isteri pendekar ini meninggalkan pesan kepada pelayan wanita yang membantu rumah tangga mereka, meninggalkan uang juga meninggalkan pesan agar hati-hati menjaga rumah, kemudian merekapun pergi. Karena mereka tidak tahu ke mana Hek-i Mo-ong melarikan Ceng Liong, dan tidak tahu harus melakukan pengejaran ke jurusan mana, maka mereka mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja karena di tempat ramai inilah pusat segala macam berita tentang dunia kang-ouw. Karena mereka melakukan pencarian tanpa arah tertentu, maka mereka melakukan perjalanan lambat, melakukan penyelidikan dengan teliti, menanyai orang-orang dan tokoh-tokoh persilatan di sepanjang jalan, walaupun hati mereka gelisah dan ingin sekali mereka cepat-cepat menemukan kembali putera mereka.



***



Sebagaimana kemudian tercatat di dalam sejarah, Kaisar Kian Liong merupakan kaisar yang paling besar, paling bijaksana, dan paling lama menduduki tahta Kerajaan Ceng dibandingkan dengan semua kaisar Bangsa Mancu. Kaisar ini akan memerintah selama enam puluh tahun! Memang Kaisar Kian Liong inilah merupakan satu-satunya kaisar yang berhasil dalam pemerintahannya. Kebesarannya bahkan menandingi kebesaran kakeknya, yaitu Kaisar Kang Shi (1663-1722). Kalau kakaknya itu memegang kendali pemerintahan dengan kedua tangan besi, Kian Liong menggunakan satu tangan besi dan yang sebelah pula tangan bersarung sutera. Pemberontakan-pemberontakan yang muncul memang ditindasnya dengan tangan besi, akan tetapi kaisar ini mengatur pemerintahan di dalam dengan lembut sehingga sebagian besar rakyat mencintanya. Tentu saja, tidak ada orang yang mampn memuaskan hati semua orang lain. Karena Kian Liong memperhatikan nasib rakyat dan menggunakan kekerasanbukan saja terhadap pemberontakan akan tetapi juga terhadap para penjahat, maka diam-diam para penjahat itu kehilangan tempat berpijak. Hal ini, terutama mereka yang menjadi korban operasi dan gerombolannya dihancurkan, menimbulkan dendam dan sakit hati, juga kebencian terhadap Kaisar Kian Liong yang masih muda. Inilah sebabnya mengapa bukan jarang kaisar ini mengalami serangan-serangan gelap ketika melakukan perjalanan. Ketika dia masih menjadi seorang pangeran, Kian Liong sudah biasa merantau dan menyamar sebagai rakyat biasa sehingga dia mampu menyelami keadaan kehidupan rakyat seperti kenyataannya, bukan hanya mendengar pelaporan-pelaporan saja yang biasanya palsu karena para pejabat yang melapor selalu melaporkan yang baik-baik untuk mencari muka. Dan semenjak masih menjadi pangeran, banyak sudah usaha para penjahat untuk melenyapkan atau membunuh pangeran ini. Akan tetapi, betapapun banyaknya penjahat yang anti, masih banyak mereka yang pro dan yang melindungi dan membela pangeran itu. Apalagi sekarang, sebagai seorang kaisar tentu saja dia selalu dikelilingi dan dilindungi oleh para pengawal istana.

Ketika itu, sudah dua tahun Kaisar Kian Liong menduduki tahta kerajaan dan sudah banyaklah kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam pemerintahannya. Baru saja bala tentara kaisar berhasil melakukan pembersihan ke selatan dan di sepanjang pantai timur. Kini, ada kabar angin yang mendesas-desuskan bahwa di utara dan barat mulai ada gerakan-gerakan pemberontakan dan sang kaisar telah menugaskan panglima yang amat dipercayanya, yaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong, untuk melakukan penyelidikan. Dia percaya bahwa jenderal muda itu akan dapat menemukan kenyataan-kenyataan mengenai berita yang tidak baik itu dan dengan hati tenang, Kaisar Kian Liong pada suatu hari pergi berpesiar ke Telaga Teratai di sebelah selatan kota raja. Dia bermaksud untuk merayakan hasil operasi pembersihan di timur dan selatan itu, karena setiap kali usahanya membebaskan rakyat dari tekanan dan kesengsaraan berhasil, hatinya gembira sekali.Perjalanan dilakukan dengan kereta yang dikawal oleh pasukan pengawal. Dalam perjalanan pesiar ini, Kaisar Kian Liong ditemani oleh belasan orang dayang dan juga tiga orang selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Sampai dua tahun setelah menjadi kaisar, dia belum mempunyai seorang permaisuri, hanya mempunyai tiga orang selir itu yang belum juga ditambahnya walaupun para pembesar dengan usaha mereka mencari muka banyak yang menawarkan dara-dara cantik jelita untuk menambah kumpulan selir-selirnya.

Telaga Teratai itu sesungguhnya adalah sebuah telaga buatan yang mengambil airnya dari Terusan Besar, dibuat sebuah telaga yang indah dikelilingi taman bunga dan telaga itu terhias dengan bunga-bunga teratai yang mekar sepanjang masa. Beberapa buah perahu besar mewah milik istana dipergunakan untuk pesiar oleh Kaisar Kian Liong. Akan tetapi, tidak seperti kaisar lain yang mengutamakan kesenangan dengan hiburan tari-tarian, makan enak, kemudian bersenang-senang dengan para wanita cantik, Kaisar Kian Liong mempunyai cara bersenang-senang yang lain lagi. Kesenangannya amat bersahaja, seperti kesenangan rakyat jelata. Para dayang dan pengawal menahan rasa geli hati mereka tanpa merasa heran sedikitpun ketika perahu kaisar telah tiba di tengah telaga, Kaisar Kian Liong lalu mulai dengan hobbynya, yaitu mengail ikan!

Orang yang tidak biasa mengail ikan, tidak akan mengetahui apa sebabnya banyak sasterawan, filsuf, dan orang-orang besar di jaman dahulu suka mengail ikan. Akan tetapi mereka yang mempunyai hobby ini akan dapat merasakan bahwa di dalam keasyikan mengail ini orang akan menemukan kedamaian hati, ketenteraman, dan kebahagiaan yang hanya dapat dinikmati orang dalam keadaan sunyi dan hening. Orang yang mengail dihanyutkan di dalam keheningan yang penuh harapan, kejutan tiba-tiba yang amat menggairahkan hati apabila umpan pancinguya disambar ikan, ketegangan yang mendebarkan jantung apabila ikan itu meronta-ronta dengan kuatnya untuk melepaskan diri, dan akhirnya kepuasan yang membanggakan apabila ikan itu dapat dinaikkannya ke atas, menggelepar di bawah kakinya, kepuasan seorang pemenang dan hasil daripada kesabaran dan ketekunan. Seorang pengail ikan dapat saja menganggap pekerjaan memburu binatang di hutan sebagai pekerjaan kejam, atau seorang yang mempunyai hobby mengail ikan menganggap kejam orang yang berburu binatang sebagai hobby saja. Berburu binatang merupakan suatu perkosaan, pikir mereka, karena kita berburu binatang tertentu yang dikejar-kejar sampai dapat dan dibunuh di bawah mata dengan darah dingin. Akan tetapi tidak demikian dengan mengail ikan. Kita mengail ikan tanpa ditujukan kepada ikan tertentu, bahkan tanpa kesengajaan untuk menangkap ikan tertentu. Yang terkena umpan adalah ikan yang kebetulan menyambar umpan itu, jadi.... salahnya ikan itu sendiri atau tergantung kepada nasib sang ikan atau juga kepada kerakusannya! Tentu saja ini adalah pendapat seorang yang suka mengail ikan!

Kaisar Kian Liong kelihatan gembira sekali karena ternyata di telaga itu terdapat banyak ikan rakus! Sebentar saja umpan pancingnya disambar ikan yang cukup besar dan setelah dia berhasil menarik ikan itu ke atas perahu dan ikan itu dilepas dari pancing oleh pembantunya, kemudian mata kail dipasangi umpan baru, sebentar saja dia menarik ikan lain. Berturut-turut kailnya mengena dan sebentar saja dia telah berhasil memancing belasan ekor ikan yang cukup besar! Kaisar ini sama sekali tidak tahu betapa sebelum mengail, para thaikam yang selalu berusaha untuk menyenangkan hati kaisar telah lebih dulu melepaskan banyak ikan-ikan hesar di tempat itu. Terjadi pula kelucuan yang tidak diketahui oleh kaisar muda itu, yakni bahwa di antara ikan yang terdapat olehnya itu ada beberapa ekor ikan yang sebetulnya hanya bisa didapatkan di Sungai Yang-ce!

Di tepi telaga buatan itu terdapat banyak rakyat yang sengaja datang untuk nonton perahu kaisar. Bahkan ada pula yang memberanikan diri naik perahu. Memang telaga buatan itu pada hari-hari biasa dibuka dan kaisar memperbolehkan rakyat untuk bermain-main di situ. Bahkan kaisar yang sudah biasa dengan rakyat itu tidak pula melarang rakyat bermain-main pada saat dia sedang berlibur di situ. Hal ini sesungguhnya membuat para komandan pengawal mengerutkan kening karena tidak setuju, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menentang. Sebaliknya, rakyat berterima kasih dan memuji sikap kaisar yang sama sekali berbeda dengan kaisar-kaisar lain, yang biasanya amat congkak dan tidak sudi berdekatan dengan rakyat, apalagi rakyat kecil yang miskin.

Di antara beberapa orang nelayan yang mendayung perahu mencari ikan di telaga itu, terdapat seorang wanita muda yang pakaiannya seperti nelayan, memakai caping lebar untuk melindungi wajahnya yang manis dari sengatan sinar matahari yang mulai naik tinggi. Perlahan-lahan, perahu wanita nelayan ini makin mendekati perahu kaisar. Para pengawal yang awas memasang mata, melihat nelayan wanita ini, akan tetapi karena ia hanya seorang wanita nelayan yang sendirian saja dalam sebuah perahu kecil, asyik memancing ikan pula, maka mereka tidak menaruh kecurigaan. Pula, apa yang dapat dilakukan oleh seorang wanita muda terhadap kaisar yang dijaga ketat oleh para pengawal? Memang benar bahwa kaisar tidak dikerumuni terlalu banyak pengawal, dan di perahu itupun hanya terdapat enam orang pengawal, akan tetapi itupun sudah cukup kalau diingat bahwa mereka berada di atas perahu di tengah telaga, sedangkan di pantai telaga berkumpul pasukan pengawal. Selain itu, juga para anak buah perahu bukanlah orang lemah dan dapat pula membantu jika timbul keadaan bahaya. Kalau terlalu banyak perahu nelayan yang berani mendekat perahu kaisar, tentu para pengawal akan melarangnya. Akan tetapi hanya sebuah perahu kecil seorang nelayan wanita saja tidak menjadi soal.

Akan tetapi para pengawal ini sama sekali tidak tahu bahwa di antara perahu-perahu nelayan yang berada agak jauh dari perahu kaisar itu terdapat penumpang-penumpangnya yang amat mencurigakan. Dari sikap, bentuk tubuh dan pakaian mereka, jelaslah bahwa mereka itu bukan nelayan biasa. Sama sekali bukan nelayan karena mereka adalah orang-orang kang-ouw, kaum sesat yang menaruh hati dendam terhadap kaisar karena mereka adalah orang-orang yang menjadi korban pembersihan, bekas raja-raja bajak dan perampok yang telah kehilangan anak buah dan mata pencaharian mereka, kehilangan kerajaan kecil mereka. Ada lima orang penjahat besar di perahu-perahu kecil terpisah dan para pengawal tidak tahu betapa tak lama kemudian perahu-perahu itu kosong dan para penghuninya lenyap.

Barulah para pengawal itu menjadi panik dan geger ketika tiba-tiba ada lima orang yang pakaiannya basah kuyup berloncatan masuk ke dalam perahu dengan tangan memegang senjata tajam! Pada saat itu, Kaisar Kian Liong sedang menghadapi panggang ikan hasil kailnya tadi dan melihat munculnya lima orang ini, tentu saja kaisar menjadi terkejut dan heran. Namun, bukan baru sekali ini saja kaisar itu menghadapi ancaman bahaya. Ketika masih menjadi pangeran, sudah seringkali dia menghadapi ancaman maut, maka sekali inipun dia bersikap tenang saja. Bahkan kaisar muda ini melanjutkan makan minum sambil nonton betapa enam orang pengawalnya sudah menerjang dan menyambut lima orang penyerbu gelap itu.

Akan tetapi, ternyata lima orang penyerbu ini rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka itu terlalu kuat bagi enam orang pengawal dan berturut-turut, sudah ada tiga orang pengawal yang roboh mandi darah!

“Ha-ha-ha, Kaisar Kian Liong, engkau hendak lari ke mana sekarang?” seorang di antara para penyerbu yang bertubuh seperti raksasa bermuka hitam itu kini mengangkat golok besarnya dan menyerbu ke arah kaisar yang sedang makan daging ikan. Kaisar itu maklum bahwa tidak ada jalan lari baginya, maka diapun melanjutkan makan, bangkitpun tidak dari tempat duduknya!Melihat ketenangan orang itu, si penjahat menjadi termangu-mangu dan ragu-ragu, memandang ke kanan kiri untuk melihat apa yang menyebabkan kaisar begitu tenang seolah-olah ada yang diandalkan. Penjahat ini sudah mendengar betapa kaisar ini sejak menjadi pangeran dahulu selalu dilindungi oleh para pendekar dan menurut dongeng dilindungi oleh dewa-dewa yang tidak nampak!

Kaisar Kian Liong tersenyum, melihat keraguan orang itu. “Orang kasar, apa sebabnya engkau hendak membunuh kami?”

Penjahat itu nampak marah lagi. “Engkau menjadi kaisar bertindak sewenang-wenang terhadap golongan kami, menindas dan membasmi golongan kami. Maka kami harus membunuhmu!”

“Ahh, apa untungnya kalau engkau membunuhku? Tetap saja kalian akan hidup sengsara karena ulah kalian sendiri. Bertobatlah dan bertindaklah di atas jalan yang benar dan kalian akan menemukan kehidupan baru....”

“Tak perlu banyak cakap lagi!” Si penjahat yang agaknya sudah menemukan kembali keganasannya itu melompat ke depan, mengayun goloknya.

“Trrangggg....!” Bunga api berpijar menyilaukan mata kaisar yang melindungi mukanya dengan kedua tangan agar bunga api itu tidak mengenai mukanya. Dia melihat munculnya seorang wanita muda berpakaian nelayan yang memakai caping lebar sehingga sukar bagi kaisar untuk dapat melihat muka wanita itu yang tertutup caping. Wanita itu memegang sebatang pedang dan tadi telah meloncat ke perahu sambil menangkis sambaran golok penjahat raksasa itu.

Kini terjadilah perkelahian di atas perahu. Wanita muda itu lihai sekali permainan pedangnya sehingga penjahat tinggi besar menjadi kewajahan juga. Penjahat itu kalah lincah dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu mendesak dan menghimpitnya, membuat dia hanya mampu menangkis sambil mundur-mundur saja. Akan tetapi, segera datang penjahat-penjahat lain dan karena tak lama kemudian semua pengawal yang berjumlah enam orang itu telah raboh semua, si wanita nelayan terpaksa melawan lima orang penjahat itu dan melindungi kaisar! Ia memutar pedangnya dan berloncatan ke sana-sini menghadang agar mereka tidak dapat mengganggu kaisar.

Betapapun pandai dan gagahnya wanita itu, ia tidak mampu menandingi lima orang penjahat yang ganas itu dan ia telah menerima beberapa kali bacokan sehingga pakaiannya mulai penuh dengan bercak-bercak darah. Melihat ini, kaisar menjadi marah dan tidak tega.

“Kalian berlima ini sungguh orang-orang jahat kejam dan tak tahu malu, mengeroyok seorang wanita. Hentikan pengeroyokan itu!”

Akan tetapi, lima orang penjahat itu menghendaki nyawa kaisar dan si wanita menjadi penghalang, tentu saja mereka tidak memperdulikan bentakan-bentakan kaisar. Karena merasa bahwa ia tidak akan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi, wanita itu lalu berkata dengan suara gemetar.

“Sri baginda, larilah.... larilah dari sini selagi ada kesempatan....!”

Akan tetapi, biarpun dia sendiri bukan pendekar, Kaisar Kian Liong sejak dulu memiliki watak yang gagah. Ada seorang wanita yang membela dan melindunginya terancam bahaya maut, bagaimana mungkin dia mau melarikan diri begitu saja meninggalkan wanita itu sendiri saja menghadapi maut? Dia lalu bertepuk tangan dan berkata kepada para anak buah perahu yang berdiri dengan bingung.

“Jangan diam saja. Bantulah wanita ini menghadapi penjahat!”

Mendengar perintah itu, barulah belasan orang anak buah perahu itu berbondong-bondong maju dengan senjata seadanya. Ada yang membawa tombak ikan, ada yang membawa dayung, dan tukang masak datang bersenjatakan pisau dapur yang besar. Mereka juga bukan orang-orang lemah, akan tetapi tentu saja bukan apa-apa bagi lima orang penjahat lihai itu. Sebentar saja merekapun sudah terlempar ke sana-sini terkena tendangan para penjahat dan kembali wanita itu dikeroyok.

“Desss....!” Sebuah pukulan yang keras sekali dengan sebuah ruyung mengenai punggung wanita itu. Wanita itu mengeluh dan muntah darah, dan pada saat itu, sebatang golok membacok lambungnya. Darah muncrat dan wanita itupun terhuyung. Namun, dengan pedangnya ia masih mampu menghalau sebatang golok yang menyambar ke arah kaisar! Wanita itu sungguh gagah perkasa dan mati-matian melindungi kaisar.

“Bunuh perempuan ini lebih dulu, baru kita sembelih kaisar!” kata si tinggi besar dan kini mereka semua menerjang ke arah wanita yang sudah lemah itu. Si wanita memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi karena tenaganya sudah lemah, ia terlempar ke belakang, jatuh menimpa pangkuan kaisar! Kaisar merangkulnya, tidak perduli akan darah wanita itu yang membasahi lengan dan jubahnya. Dan kaisar terkesiap kaget ketika caping itu terbuka dan wajah yang manis itu nampak.

“Li Hwa....!” Kaisar Kian Liong berseru dan memandang terbelalak. “Kau.... kau.... Li Hwa....!”

Wanita itu mencoba untuk tersenyum. “Ampunkan hamba.... hamba tidak berhasil.... menyelamatkan paduka....”

“Li Hwa....!” Kaisar mendekap kepala itu dan merangkulnya ketat.

Lima orang penjahat itu tertegun menyaksikan peristiwa ini, akan tetapi segera si tinggi besar berseru, “Bunuh mereka!”

Lima orang itu menyerbu, seperti lima ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang, menerjang ke arah kaisar yang duduk memeluk tubuh wanita nelayan itu.

“Wuuuutttt.... blaarrrr....!” Lima orang penjahat itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Mereka merasa seperti disambar halilintar saja dan ketika mereka bangkit berdiri dan menggoyang-goyang kepala mengusir pening, mereka melihat di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh enam tahun, berpakaian sederhana dengan rambut riap-riapan, sepasang matanya mencorong seperti mata naga, dan di sebelahnya berdiri pula seorang wanita berusia beberapa tahun lebih muda, namun masih nampak cantik dan bertubuh ramping padat, berpakaian rapi dan pesolek, di punggungnya tergantung sebuah payung. Sepasang suami isteri ini bukan lain adalah pendekar sakti Suma Kian Bu yang dikenal sebagai Pendekar Siluman Kecil dan isterinya yang bernama Teng Siang In. Akan tetapi karena memang selama belasan tahun Suma Kian Bu dan isterinya tidak pernah berkecimpung di dunia kang-ouw dan tidak membuat nama besar, maka lima orang penjahat itupun tidak mengenal mereka. Dan inilah celakanya bagi para penjahat itu. Kalau mereka mengenal suami isteri pendekar itu, tentu mereka akan lari tunggang-langgang tidak berani melawan, meloncat ke air telaga dan berenang ke perahu masing-masing seperti yang mereka lakukan ketika mengadakan penyerbuan tadi.

Akan tetapi, kini mereka bangkit dan memandang marah, lalu menghampiri suami isteri itu dengan sikap mengancam. Mereka adalah orang-orang kasar yang hanya mengandalkan kekerasan dan kepandaian sendiri saja, tak tahu diri dan tidak melihat bahwa terjangan Suma Kian Bu tadi saja sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka sama sekali bukanlah tandingan pendekar sakti ini.

Mereka sudah hampir berhasil, sudah menyudutkan kaisar yang demikian tidak berdaya lagi. Sekali menggerakkan golok saja sudah cukup untuk membunuh kaisar dan kini muncul dua orang penghalang yang tak disangka-sangka, tentu saja mereka menjadi penasaran. Mereka maju menghampiri dan membagi kelompok, tiga orang menghampiri Suma Kian Bu dan dua orang menghampiri Teng Siang In.

Para anak buah perahu yang tadi dipukul jatuh bangun, kini berdiri berkelompok, dengan tubuh babak-belur mereka memandang ke depan, dengan penuh harapan mereka berpihak kepada suami isteri yang muncul pada saat yang tepat itu.

Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan buas, mereka maju menyerang. Seorang penjahat yang memegang sebatang tombak panjang menubruk dan menusuk ke arah perut Suma Kian Bu. Pendekar ini tidak bergerak dari tempat dia berdiri melainkan menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap ujung tombak dengan mudahnya dan sekali betot, orang itu terbawa mendekat dan begitu kedua tangan pendekar sakti ini bergerak, tombak panjang itu seperti benda lunak saja dilibat-libatkan pada tubuh pemiliknya sehingga penjahat itu terbelit tombaknya sendiri, tidak mampu bergerak seperti ayam ditelikung.

“Plakkk!” Tangan pendekar sakti itu menampar dan tubuh penjahat yang sudah tidak mampu bergerak itu terlempar keluar dari perahu, jatuh menimpa air yang muncrat tinggi dan tubuh itupun tenggelam karena dibebani tombak dan kedua lengannya tidak mampu bergerak!Orang pertama yang menyerang Teng Siang In adalah seorung penjahat berperut gendut dengan kepala botak. Dia memegang ruyung besar dan orang inilah yang tadi menggebuk punggung wanita nelayan itu. Kini, dengan ruyung yang besar dan berat itu dia menyerang kepada Teng Siang In. Nyonya pendekar inipun tidak bergerak dari tempat ia berdiri, melainkan sepasang matanya yang tajam berpengaruh itu menatap ke arah wajah si gendut, mnlutnya yang manis berkemak-kemik dan telunjuk kanannya menuding.

Terjadilah keanehan yang luar biasa dan membuat para anak buah perahu itu bengong terlongong. Si gendut berkepala botak itu tiba-tiba berhenti menyerang, melotot dan ruyung yang dipegang oleh tangan kanannya itu tiba-tiba saja digerakkan memukuli kepalanya sendiri yang botak. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok disusul keluhan dan teriakannya dan kepala botak itu sebentar saja bocor semua, berdarah dan benjol-benjol. Tangan kiri orang itu berusaha mencegah tangan kanan, akan tetapi tetap saja tangan kanan itu menggerakkan ruyung, makin lama semakin keras menghantami kepalanya sendiri. Orang itu kebingungan, ketakutan dan kesakitan, berlari ke tepi perahu akan tetapi ruyung di tangannya masih terus memukulinya, dan pada pukulan terakhir terdengar suara “prakk!” dan diapun terguling keluar dari perahu, menimpa permukaan air dan tenggelam karena pukulan terakhir tadi agaknya membuat kepala botaknya retak-retak! Melihat ini, mulailah para anak buah perahu percaya akan kehehatan sepasang pendekar itu dan merekapun bersorak gembira.

Penjahat ke dua yang menyerang Suma Kian Bu adalah seorang penjahat tinggi kurus yang bersenjata sebatang golok. Melihat betapa kawannya dilempar ke telaga oleh pendekar itu, dia berseru marah dan goloknya ditusukkan ke depan, ke arah perut pendekar itu. Seperti tadi, Suma Kian Bu tidak bergerak dari tempatnya melainkan menggunakan jari telunjuknya menyentil ke arah golok yang segera menyeleweng arahnya dan pemegangnya terhuyung. Namun, penjahat itu membalik dan kembali menusukkan goloknya dari samping ke arah lambung. Kian Bu menggunakan dua jari tangan menangkap atau menjepit ujung golok dan sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua! Sebelum penjahat itu hilang kagetnya, Kian Bu menggerakkan tangannya dan patahan golok yang dijepitnya itu menyambar dan amblas memasuki perut si penjahat yang terbelalak dan berteriak keras. Kian Bu menangkap punggung bajunya dan sekali tangannya bergerak, tubuh penjahat itu menyusul temannya terlempar ke air telaga, terus tenggelam karena patahan golok yang terbenam dalam perutnya itu telah merenggut nyawanya.

Penjahat ke empat yang menyerang Teng Siang In juga mengalami nasib yang sama buruknya. Dia menggunakan sebatang pedang yang diputar-putar ke atas kepala dan ketika dia menerjang maju, Siang In berkata halus, “Monyet busuk, engkau bermain-main dengan seekor ular apakah tidak takut digigit?”

Bagi para anak buah perahu yang enak nonton perkelahian aneh itu, terjadilah suatu pemandangan yang aneh luar biasa. Mereka melihat betapa penjahat berpedang yang menyerang nyonya pendekar itu tiba-tiba menjerit, memandangi pedangnya di tangan yang diangkat tinggi-tinggi, matanya terbelalak ketakutan dan berkali-kali dia menjerit seolah-olah melihat pedangnya sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan! Dan memang sesungguhnya demikianlah. Seperti tadi ketika menghadapi lawan pertama, nyonya pendekar ini tidak mau mengotorkan tangan menandinginya dengan ilmu silat, melainkan sudah menggunakan ilmu sihirnya. Yang pertama tadi, ia membuat si penjahat memukuli kepala sendiri dengan ruyung sampai remuk. Kini, ia menyihir lawan membuat si lawan itu tiba-tiba saja melihat pedangnya yang berada di tangan itu berobah menjadi seekor ular besar ganas yang menyembur-nyembur dan hendak menggigit hidungnya. Tentu saja dia menjadi ketakutan dan panik melihat ular yang dipegangnya sendiri pada ekornya itu. Selagi dia kebingungan, sebuah sepatu runcing menyambar ke arah pusarnya.

“Dukkk!” Penjahat itu berteriak, matanya mendelik dan tubuhnya terlempar keluar perahu menimpa air telaga mengikuti teman-temannya ke neraka!

Si raksasa tinggi besar yang menjadi pimpinan lima orang itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa empat orang temannya tewas dalam keadaan demikian aneh, dan tak disangkanya mereka itu demikian mudahnya jatuh oleh sepasang pendekar setengah tua ini. Matanya terbelalak memandang kepada suami isteri itu bergantian kemudian dia mengkirik dan membalikkan tubuh lalu lari hendak meloncat keluar dari perahu yang mengerikan hatinya itu.

“Eh, eh, nanti dulu! Berikan dulu golok itu padaku!” Teng Siang In berkata halus akan tetapi sungguh aneh sekali, raksasa itu menghentikan langkahnya, membalik dan menghampiri Siang In, menyerahkan golok besar itu seperti seorang anak penurut yang taat sekali! Siang In menerima golok dan orang itu terbelalak, seolah-olah terkejut dan terheran melihat kelakuannya sendiri dan seperti baru sadar, dia lalu membalik dan lari. Tubuhnya melayang keluar dari perahu ketika dia meloncat. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan sebatang golok terbang menyambar ke arah leher penjahat itu. Nampak darah muncrat dan ketika tubuh raksasa itu menimpa air, ternyata kepalanya telah terpisah dari badannya oleh goloknya sendiri yang tadi dilontarkan oleh Teng Siang In.

Para anak buah perahu itu bersorak, akan tetapi mereka juga bergidik ngeri menyaksikan betapa suami isteri ini membunuh lima orang penjahat itu dengan sadis. Mengapa suami isteri pendekar ini menjadi demikian kejam dan sadis terhadap para penjahat? Bukan hanya karena para penjahat itu memang merupakan orang-orang berbabaya yang sudah berani mencoba untuk membunuh kaisar, namun terutama sekali karena telah terjadi perobahan dalam batin suami isteri pendekar ini yang tentu saja mempengaruhi tindakan mereka. Hal ini terjadi semenjak mereka berdua mendengar dari Cin Liong dan Suma Hui tentang terculiknya putera tunggal mereka, Ceng Liong, oleh Hek-i Mo-ong dan terutama sekali mendengar bahwa ayah bunda mereka dan Pulau Es telah terbunuh dan terbasmi oleh datuk-datuk sesat itu. Semenjak itu, mereka berdua merasa sakit hati sekali, mendendam kepada dunia penjahat yang membuat mereka sampai hati melakukan kekejaman tadi.

Dendam membuat kita menjadi kejam. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan melihat sendiri keadaan batin kita. Dendam melahirkan kebencian dan kebencian inilah yang memungkinkan perbuatan kejam karena kebencian membuat kita ingin melihat yang kita benci itu menderita sehebat mungkin! Sekali diracuni dendam, hati seorang pendekar seperti Suma Kian Bu atau Teng Siang In sekalipun, akan berobah menjadi sadis dan kejam, tentu saja kejam terhadap mereka yang menimbulkan dendam itu. Dan kebencian merupakan suatu penyakit. Jangan dikira bahwa setelah orang yang dibencinya lenyap, lalu kebencian itupun akan berakhir atau lenyap dengan sendirinya. Kebencian itu akan tetap ada di batin, tinggal menanti bahan bakarnya saja untuk dapat berkobar lagi. Tentu sekali waktu akan muncul bahan bakar itu yang berupa orang atau golongan yang akan dibencinya lagi. Karena kebencian adalah penonjolan ke-akuan yang paling parah, kebencian timbul karena si aku merasa dirugikan sehingga timbul dendam dan benci yang membuat si aku ingin sekali melihat yang dibenci itu menderita dan “terbalas”.

Setelah menghajar lima orang penjahat itu, Kian Bu dan Siang In membalik dan menghadapi kaisar. Akan tetapi kaisar muda itu memangku tubuh yang sudah lunglai itu sambil menangis dan menciuminya! Kemudian terdengar Kaisar Kian Liong yang sudah mengenal baik suami isteri pendekar itu berkata, “Suma-taihiap, tolonglah, selamatkanlah nyawa kekasihku ini....”

Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan Siang In terkejut, cepat menghampiri, berlutut dan memeriksa keadaan wanita itu. Akan tetapi mereka hanya saling pandang setelah mengadakan pemeriksaan karena keduanya maklum bahwa nyawa wanita itu tak mungkin dapat diselamatkan lagi. Bagian dalam tubuhnya luka hebat oleh pukulan keras, dan juga lambungnya terluka parah oleh bacokan senjata tajam. Belum lagi seluruh tubuhnya yang terhias luka-luka yang cukup dalam dan parah. Mereka berdua memandang dengan hati iba dan diam-diam merekapun heran mendengar betapa kaisar menyebut wanita nelayan itu kekasih.

Memang sesungguhnyalah bahwa wanita itu adalah seorang gadis yang sejak lama menjadi kekasih hati Kaisar Kian Liong, sejak kaisar ini masih menjadi seorang pangeran. Beberapa tahun yang lalu, orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang mendendam kepada Kaisar Yung Ceng, menyerbu istana. Di antara mereka terdapat seorang murid Siauw-lim-pai wanita yang bernama Souw Li Hwa yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun. Iapun mendendam kepada kaisar yang masih terhitung susioknya sendiri karena gurunya menderita sengsara ketika isteri gurunya itu pada suatu hari diperkosa oleh kaisar! Souw Li Hwa ikut rombongan para hwesio Siauw-lim-pai untuk membalas dendam dan menyerbu istana. Akan tetapi, orang-orang Siauw-lim-pai itu rohoh dan tewas semua kecuali Souw Li Hwa yang berhasil melarikan diri. Di dalam istana ini, selagi dikejar-kejar, Souw Li Hwa bertemu dengan Pangeran Kian Liong yang segera menolongnya, menyembunyikannya, bahkan mengawalnya keluar istana sampai selamat. Ternyata sang pangeran itu jatuh cinta kepada Souw Li Hwa. Sebelum berpisah, pangeran itu memberikan sebuah cincin dan sang pangeran berjanji bahwa kelak dia akan berjodoh dengan Souw Li Hwa setelah menjadi kaisar. Peristiwa ini diceritakan dengan jelas dalam ceritaSuling Emas dan Naga Siluman .

Souw Li Hwa masih sadar dan gadis inipun melihat sikap sepasang suami isteri itu. Iapun maklum bahwa dirinya tak mungkin dapat ditolong lagi, maka iapun berkata lemah, “Sudahlah.... sri baginda.... hamba.... hamba tak mungkin dapat hidup....”

“Li Hwa.... ah, Li Hwa, kenapa selama ini engkau tidak datang kepadaku? Ini.... ah, ini cincinku masih kaubawa.... tapi kenapa engkau tidak muncul....?” Kaisar muda itu menarik sebuah tali yang tergantung pada leher Li Hwa dan ternyata cincin pemberiannya tergantung pada tali itu.

“Sri baginda.... hamba hanya seorang.... rendah.... mana berani hamba.... mengganggu.... seorang mulia seperti paduka....?”

“Ahhh, Li Hwa kekasihku. Akulah yang bersalah, aku telah melupakanmu.... terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sampai aku terlupa padamu.... padahal, cintaku padamu tak pernah padam. Li Hwa, kaumaafkan aku....”

“Sudahlah, sri baginda.... hamba merasa bahagia.... pada saat terakhir.... masih dapat berjumpa dengan paduka.... masih dapat membela paduka.... ah, hamba puas.... ternyata paduka masih mencinta....” Gadis itu menghentikan kata-katanya, napasnya terengah-engah.

Melihat wajah itu makin memucat dan tubuh yang dipangkunya makin lemas terkulai, Kaisar Kian Liong menjadi panik. “Taihiap.... ah, tolonglah dia....”

Akan tetapi Kian Bu dan isterinya hanya menarik napas panjang. “Luka-lukamya terlampau parah, sri baginda.”

Jawaban ini cukup bagi Kian Liong. Dia merangkul dan menciumi muka yang pucat itu sambil menangis. “Li Hwa.... ah, Li Hwa, jangan mati.... mari hidup di sampingku sebagai isteri tercinta....”

Souw Li Hwa membuka kembali matanya dan kini sepasang matanya bersinar layu walaupun bibirnya mengarah senyum dan wajahnya berseri. “Sri baginda.... kekasih hamba.... hamba rela mati.... hamba.... berterima kasih.... hamba cinta....” Dan iapun terkulai karena nyawanya telah melayang.

“Li Hwa....!”

“Sri baginda, ia telah tiada....” Siang In berkata halus dan mengambil mayat itu dari pangkuan kaisar. Kaisar Kian Liong memejamkan matanya dan sejenak dia duduk seperti itu, air matanya turun dari kedua mata yang dipejamkan, dan dia menguatkan hatinya. Kemudian dia membuka mata, bangkit berdiri dan melihat betapa para pengawal, sepasukan besar yang tadinya berjaga di tepi telaga, sudah tiba di situ menggunakan perahu mereka, dia cepat memberi perintah, “Tangkap penjahat-penjahat itu dan beri hukuman berat kepada mereka!”

Menerima perintah dari kaisar yang berduka dan marah ini, para pengawal menjadi bingung, akan tetapi mereka segera turun tangan, ada yang meloncat ke air dan menyelam, mencari lima oraug penyerbu tadi. Akan tetapi, mereka hanya mampu menangkap lima mayat saja karena lima oraug penjahat tadi telah mati semua.

Suma Kian Bu dan isterinya mengawal Kaisar Kian Liong kembali ke istana di kota raja, dan jenazah Souw Li Hwa juga diangkut ke kota raja di mana kaisar menganugerahi pangkat selir pertama kepada wanita yang telah mati itu, dan jenazahnya dikubur dengan upacara kebesaran dan dibuatkan nisan yang besar dan megah.

Setelah ikut menghadiri upacara pemakaman sebagai penghormatan kepada Souw Li Hwa, suami isteri Suma Kian Bu mohon diri meninggalkan istana dan merekapun mulai melakukan penyelidikan di kota raja tentang diri Hek-i Mo-ong yang telah menculik dan melarikan putera mereka. Namun, tidak ada orang yang mendengar tentang datuk itu dan tentu saja hal ini makin menggelisahkan hati suami isteri itu. Mereka makin giat menyelidiki dan mengambil keputusan takkan berhenti mencari sebelum mereka berhasil menemukan putera mereka.



***



Peralihan dari kehidupan kepada kematian merupakan rahasia besar yang mentakjubkan. Kalau memang kematian sadah saatnya tiba, maka ada saja yang menjadi lantaran dan kematian itu tidak dapat ditolak dengan cara bagaimanapun juga. Betapapun pandainya manusia, namun semua harus tunduk terhadap hukum alam ini, ialah kehidupan tentu berakhir dengan kematian dan tidak ada kekuasaan yang dapat mencegahnya atau memperpanjang waktu tibanya kematian. Kalau sadah tiba saatnya, biar hendak bersembunyi di lubang semut, tetap saja kematian datang menjemput. Sebaliknya, kalau saat kematian belum tiba, biar kita berada di bawah ancaman maut yang bagaimana hebatpun, yang nampaknya tidak mungkin kita dapat keluar dengan selamat, namun ada saja lantarannya yang membuat kita terluput daripada cengkeraman maut dan masih dapat hidup terus. Sudah terlalu banyak contoh-contoh tentang kematian yang datang tiba-tiba tanpa tersangka-sangka, dan tentang orang-orang yang selamat dan luput dari kematian padahal sadah terkurung maut dan agaknya tak ada harapan untuk lolos lagi.

Ada orang yang sejak mudanya menjadi perajurit sampai tua, puluhan tahun berada dalam kepungan maut, setiap saat mungkin saja maut merenggut nyawanya, namun ternyata dia selamat, terlukapun tidak, sampai dia meugundurkan diri dari pekerjaan sebagai perajurit karena sudah bosan atau lelah. Pulang ke kampung, tergigit seekor nyamuk saja bisa mendatangkan penyakit yang akan memyeretnya ke lubang kubur!

Inikah yang disebut nasib? Terserah. Nasib hanya sebuah kata yang muncul karena kita kehabisan akal untuk dapat mengerti. Dan ada atau tidak adanya yang disebut nasib, yang penting kita harus selalu menjaga diri, bukan karena takut mati melainkan untuk memelihara badan dan batin kita agar tetap sehat dan jauh dari bencana.

Dilihat keadaannya, ketika perahu yang ditumpangi para cucu penghuni Pulau Es itu terguling dan mereka disambut oleh badai yang mengamuk, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan mati semua. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Ceng Liong yang terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat yang kejam dan jahat, ternyata tidak terbunuh, bahkan dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai muridnya! Suma Hui dan Cin Liong ternyata juga tidak tewas walaupun Suma Hui telah dilarikan oleh seorang penjahat cabul yang kejam dan Cin Liong diombang-ambingkan ombak yang membadai. Demikian pula dengan Suma Ciang Bun. Pemuda ini tidak tewas ditelan badai seperti yang dikhawatirkau saudara-saudaranya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, seperti juga Cin Liong, Ciang Bun terlempar keluar perahu dan disambut oleh air laut bergelombang. Seorang ahli renang yang bagaimana pandaipun takkan mungkin dapat melawan gelombang dahsyat dalam badai itu. Apalagi Ciang Bun yang kepandaiannya dalam air terbatas. Dia mencoba untuk berenang mendekati perahu, akan tetapi tubuhnya terseret makin menjauh dari perahu. Dia berusaha mempertahankan dirinya agar tidak minum tcrlalu banyak air laut. Tubuhnya terbawa ombak, diangkat tinggi-tinggi sampai dia merasa diterbangkan ke langit, lalu dihempaskan ke bawah, dalam sekali dan hanya berkat tubuhnya yang terisi tenaga sin-kang kuat saja maka isi perutnya tidak sampai remuk ketika dia berkali-kali dibanting oleh gelombang.

Bagaimanapun juga, tenaga manusia adalah terbatas dan ketika Ciang Bun sudah hampir tidak kuat bertahan lagi, dalam kegelapan tangan kirinya bertemu dengan sepotong papan kayu. Bagaikan bertemu dengan pusaka, tangan kirinya itu mencengkeram kuat-kuat dan dipeluknya papan kayu itu, di mana dia bergantung dalam keadaan setengah pingsan, membiarkan dirinya dibawa ke manapun juga oleh papan kayu yang dipermainkan gelombang membadai itu. Kalau memang belum tiba saatnya untuk mati, dalam ancaman maut, di tengah lautan bergelora yang sedang dilanda badai itu, tiba-tiba ada saja muncul sepotong papan kayu yang menjadi lantaran sehingga memungkinkan Ciang Bun terlepas dan lolos dari cengkeraman maut.

Untung bagi Ciang Bun bahwa agaknya nalurinya timbul pada saat yang gawat itu. Kalau tidak demikian, agaknya tentu dalam keadaan setengah sadar itu dia sudah melepaskan cengkeramannya pada papan kayu itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang menggerakkan pemuda ini sehingga tanpa disadarinya, kedua tangannya tak pernah melepaskan papan kayu itu.

Air lautan tidak mengganas lagi, bahkan amat tenang dan kegelapan telah terganti sinar cerah matahari pagi ketika Ciang Bun sadar betul dari keadaan setengah pingsan itu. Dia teringat bahwa dia terapung-apung di tengah lautan, maka rasa gentar menyentuh hatinya dan cepat-cepat dia menarik tubuhnya ke atas dan dengan sudah payah dia duduk di atas papan kayu yang tidak berapa besar itu. Dia menggigil karena merasa dingin. Cepat-cepat pemuda ini mengerahkan Hwi-yang Sin-kang untuk melawan hawa dingin dan sebentar saja tubuhnya sudah terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi berbareng dengan itu, muncul pula rasa lelah, lapar dan mengantuk.

Di samping perasaan yang bercampur aduk ini, diapun teringat kepada Cin Liong, Ceng Liong dan Suma Hui. Pertama-tama dia membayangkan wajah Ceng Liong dan hatinya merasa berduka sekali karena dia khawatir kalau-kalau adik keponakannya itu tewas. Kemudian, wajah Cin Liong terbayang dan diapun merasa kasihan sekali kepada pemuda perkasa yang telah banyak berjasa terhadap keluarganya itu. Baru kemudian dia teringat kepada encinya, Suma Hui dan kesedihannya bertambah.

Semenjak mereka tinggal bersama di Pulau Es, Ciang Bun merasa lebih dekat dengan Ceng Liong daripada dengan encinya, bahkan dalam setiap percakapan dan perbantahan dia selalu membela kepada Ceng Liong. Kemudian, ketika muncul Cin Liong jenderal muda yang gagah perkasa itu, timbul rasa kagum yang mendalam di hati pemuda itu.

Memang akhir-akhir ini terjadi suatu perobahan dalam batin Ciang Bun, perobahan yang dia sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Ketika dia masih kecil, perasaannya biasa saja, akan tetapi semenjak dia menjadi remaja, semenjak dia tinggal di Pulau Es dan hidup bertiga dengan Ceng Liong dan Suma Hui, tanpa disadarinya timbul suatu perobahan. Dia merasa suka sekali untuk berdekatan dengan Ceng Liong, bahkan ketika Cin Liong muncul, ada daya tarik yang luar biasa pada diri jenderal muda itu baginya, yang membuat dia kadang-kadang merasa malu dan bingung. Selain ini, juga dia ingin selalu kelihatan rapi dan elok seperti encinya. Padahal Suma Hui sendiri termasuk dara yang sederhana sehingga dalam hal berpakaian, Ciang Bun lebih rapi daripada kakaknya. Apakah gejala ini timbul karena sejak kecil dia hanya berdua saja dengan encinya sebagai saudara kandung yang tunggal? Selalu berdekatan dengan kakak wanita sehingga dia meniru-niru encinya dan mempunyai ciri-ciri seperti seorang wanita? Dia sendiri tidak sadar dan juga tidak tahu, akan tetapi yang diketahuinya hanyalah bahwa setelah menginjak usia lima belas tahun, dia merasa tertarik sekali kepada lelaki dan menyukai wajah dan bentuk tubuh laki-laki yang jantan.

“Aduh, lapar sekali perutku....!” Ciang Bun mengeluh dan mengusir renungan memedihkan tentang saudara-saudaranya yang tidak diketahuinya bagaimana keadaannya itu, hidup atau mati.

Tiba-tiba dia mendengar suara orang, teriakan-teriakan gembira. Cepat dia menoleh dan alangkah girangnya ketika dia melihat adanya dua orang muda sebaya dengan dia yang sedang bermain-main di atas air lautan yang tenang. Dan Ciang Bun tertegun, terbelalak, juga mengkirik melihat betapa dua orang muda remaja itu, seorang pria dan seorang lagi wanita, sedang berlari-larian di atas air lautan! Bukan manusia, pikirnya. Mana mungkin ada manusia pandai berlari-larian di atas air? Walaupun dia pernah menyaksikan mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, melakukan hal ini untuk beberapa detik lamanya. Akan tetapi dua orang muda-mudi itu bermain-main, berloncatan dan berlarian sambil tertawa-tawa!

“Kalau bukan sebangsa dewa lautan, tentu peri atau siluman....” bisik Ciang Bun dalam hatinya dan tentu saja dia merasa tengkuknya meremang. Dia mengucek matanya akan tetapi ketika membuka mata dan memandang lagi, pemuda dan dara itu masih ada, bahkan kini mereka mendekat ke arahnya.

“Heii, lihat....! Ada bekas-bekas perahu pecah!” teriak si dara.

“Benar, tentu ada perahu pecah dan tenggelam semalam, dilanda badai. Jangan-jangan para penumpangnya tewas semua.... haiii, lihat, apa itu? Bukankah dia manusia di atas papan itu?”

“Benar, koko! Seorang pemuda dan dia masih hidup!” teriak si dara dan mereka lalu menggerakkan tubuh dan meluncur mendekati Ciang Bun.

Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia tahu bahwa kedua orang itu sama sekali bukan berlari di atas air, melainkan menggunakan alas kaki kayu yang panjang runcing dan mereka itu berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, dan dengan menggerakkan kedua lengan ke belakang dan mengayun tubuh ke depan, alas kaki yang seperti dua perahu kecil itu meluncur ke depan! Akan tetapi, untuk dapat mengatur keseimbangan tubuh di atas dua perahu kecil itu dan untuk dapat bergerak demikian leluasa, tentu membutuhkan keringanan tubuh dan latihan yang hebat, juga tenaga sin-kang amat diperlukan ketika mengayun tubuh ke depan. Jelaslah bahwa dua orang muda itu bukan orang-orang sembarangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kagum dalam hati Ciang Bun. Akan tetapi bukan itu saja yang membuatnya bengong terlongong. Dua orang itu kelihatan demikian eloknya! Yang perempuan berusia sekitar lima belas tahun, tubuhnya yang ramping dan ranum itu amat indah dan Ciang Bun kagum sekali akan keindahan tubuh dara itu yang mengingatkan dia akan keindahan tubuh encinya. Akan tetapi wajah dara itu baginya jauh melampaui encinya dalam hal kecantikan. Seraut wajah yang cantik jelita dan manis sekali, dengan sepasang mata yang seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang amat manis. Akan tetapi, hanya sebentar saja sepasang mata Ciang Bun menatap dan mengagumi wajah dan tubuh dara itu, yang hanya mengenakan pakaian pendek dan ringkas dan basah karena air lautan sehingga pakaian itu menempel ketat pada tuhuhnya, mencetak tubuh yang menggairahkan itu. Namun, semua itu hanya lewat tanpa meninggalkan kesan mendalam di hati Ciang Bun. Kini dia terpesona, ya terpesona, memandang ke arah pemuda yang meluncur di samping dara itu. Pemuda itu berusia dua tiga tahun lebih tua darinya, sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun dan pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut yang terbuat dari kulit harimau. Wajahnya yang agak kecoklatan karena kulitnya terbakar sinar matahari, nampak amat gagah dan tampan, sepasang matanya juga mencorong seperti bintang, hidungnya mancung dan mulutnya juga manis seperti mulut si dara, hanya dagu pemuda ini membayangkan kejantanan yang membuat Ciang Bun benar-benar terpesona. Apalagi tubuh yang telanjang bagian atas itu, nampak demikian gagah, tegap, bidang dan mengandung kekuatan yang mentakjubkan. Baru sekarang Ciang Bun melihat bentuk tubuh yang demikian tegap dan gagahnya, dan tanpa disadarinya, jantungnya berdegup aneh, hatinya tertarik sekali dan tiba-tiba saja dia merasa sungkan dan malu-malu.

“Eh, apa yang kaulihat? Apakah engkau belum pernah melihat orang?” Tiba-tiba gadis remaja itu bertanya sambil terkekeh kocak. Pemuda yang bertelanjang baju hanya memandang sambil tersenyum ramah. Bukan pertanyaan dara itu yang membuat Ciang Bun gugup, melainkan tatapan mata dan senyuman pemuda itu.

“Aku.... aku.... ahh, aku belum pernah melihat orang-orang yang bermain-main di atas lautan seperti kalian ini....”

“Hi-hi-hik....!” Dara itu tertawa terkekeh geli.

“Ha-ha-ha-ha....!” Pemuda itupun tertawa. Sikap mereka demikian gembira, suara ketawa mereka demikian bebas sehingga Ciang Bun yang biasanya pendiam dan serius, terseret oleh kegembiraan mereka dan dia sama sekali tidak merasa tersinggung karena dua orang itu sama sekali tidak seperti mentertawakannya. Maka diapun ikut pula tertawa ha-ha-he-heh walaupun dia tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tertawakan.

“Ha-ha-ha-ha!” Dia tertawa. Melihat pemuda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan muka mengandung keheranan dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa mereka makin keras.

Ketawa itu sepertitangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut semakin keras, akan tetapi akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan tubuh mereka, mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki. Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh mereka goyah dan merekapun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan terpelanting.

“Byuurrrr....!” Air muncrat tinggi.

“Heiii....!” Si pemuda berteriak dan diapun terpelanting dan jatuh pula. Air muncrat semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli sekali dan diapun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.

Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya terhenti sama sekali, matanya terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali! Dua orang yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam? Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air. Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat dia merasa mukanya panas karena malu. Dua orang muda yang disangkanya tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya, agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlumba! Tahulah dia bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka diapun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadimenahan napas. Dengan mengandalkan sin-kangnya, memang dia dapat bertahan lebih lama daripada orang biasa. Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air amat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut itu.

Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya! Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapuya papan itu dan diapun naik kembali ke atasnya, duduk terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya. Dia memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir. Dua orang muda itu sudah demikian lamanya di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sin-kang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak melihat perahu di sekeliling tempat itu dan kembali Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka? Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!

Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu. Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.

“Nih, sobat, kaubawakan ikan-ikanku!” kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk. Ciang Bun memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandinakan dengan dia sendiri kalau berenang, walaupun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan iti menggelepar dan meronta.

Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu. Si dara juga berenang mendekat dau empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan dipegang oleh Ciang Bun.

“Kalau begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai pulau,” kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. “Engkau tentu sudah lapar sekali, bukan?”

Wajah Ciang Bun menjadi merah dan diapun mengangguk. “Ke pulau? Pulau manakah?”

“Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan.”

Ciang Bun terkejut. “Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?”

“Heii, orang muda aneh, apa yang kauketahui tentang Pulau Nelayan kami?” gadis itu bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.

Ciang Bun mengangguk. “Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....”

Dua orang muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.

“Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yaug mengetahui rahasia daerah lautan ini?” tanya pemuda ganteng itu.

“Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”

“Aihhh....!” Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh hormat dan kagum. “Kiranya engkau adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?” kata pemuda itu.

“Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....” sambung si dara sambil terbelalak memandang wajah Ciang Bun.

“Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!” Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana.

“Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!” kata pemuda itu.

Ciang Bun memandang dan mukanya berobah merah. “Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.”

“Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas tahun.”

“Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,” kata Ciang Bun ramah.

“Bun-hiante....!” Lee Siang menyebut girang.

“Bun-koko....!” Dara itupun menyebut dengan sikap agak malu-malu namun iapun tersenyum dan wajahnya yang manis itu berseri.

“Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?” tanya Ciang Bun.

“Hi-hik!” Lee Hiang tertawa. “Bukankah engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?”

“Kereta? Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?”

Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang memalukan.

“Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!”

Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali, agaknya pcmuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.

“Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!” kata Lee Siang berkelakar menyebut papan itu kereta. Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Dua orang kakak beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke depan. Tubuh kedua orang muda itupun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki Ciang Bnn ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.

“Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?” Ciang Bun bertanya.“Apa katamu, Bun-hiante?” Lee Siang balas bertanya sambil menoleh tanpa menghentikan gerakan tubuhnya. Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia mengulang pertanyaannya, sekali ini mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya dapat menembus tiupan angin dari depan.

Ciang Bun menggeleng kepala. “Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dau disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya telah habis.”

Kakek yang bernama Liu Ek Soan itu mengangguk-angguk. “Mungkin begitu dan memang aku sendiripun masih merasa heran mengapa di antara seratus lebih penghuni pulau ini, hanya aku dan dua orang cucuku ini yang selamat secara aneh.”

Kakek Liu Ek Soan lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, pada suatu malam, tanpa diduga-duga badai yang amat dahsyat mengamuk di daerah itu. Belum pernah ada badai sehebat itu dan Pulau Nelayan yang datar itu dilanda badai. Air laut naik tinggi ke pulau, menyapu seluruh pulau dan menyeret apa saja yang berada di pulau itu.

Habis binasalah seluruh penghuni pulau itu. Rumah-rumah merekapun terseret bersih dan pulau itu menjadi gundul dan kosong sama sekali. Akan tetapi, Liu Ek Soan yang menjadi ketua pulau itu, orang yang terpandai di antara semua penghuni Pulau Nelayan, berhasil menyelamatkan diri walaupun dia sendiri terseret sampai jauh sekali ke tengah lautan. Dalam keadaan setengah mati, Liu Ek Soan berhasil kembali ke pulau itu, berduka dan ngeri menyaksikan keadaan pulau. Seluruh keluarga dan tetangganya habis musnah. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan juga girang hatinya ketika pada keesokan harinya muneul sebuah pernau kecil yang ditumpangi oleh dua orang cucunya, yaitu Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun dan empat tahun!

Kiranya dua orang kakak beradik ini, pada sore harinya sebelum badai datang, telah berperahu dan mencari ikan, akhirnya tertahan di sebuah pulau kosong kecil dan tidak berani pulang karena ombak mulai bergelora. Malam itu, sambil menangis keduanya berangkulan di tengah pulau kosong. Badai mengamuk hebat, akan tetapi pulau kosong itu merupakan bukit dan air laut tidak sampai menyapu permukaan bukit. Baru pada keesokan harinya ketika laut tenang kembali, keduanya turun dari atas bukit menuju pantai di mana mereka tidak melihat lagi perahu mereka. Dua orang auak-anak itu sudah biasa dengan lautan, bahkan sebelmn mereka mampu berjalan kaki, mereka sudah pandai berenang! Maka ketika mereka melihat ada perahu kosong lain terapung-apung agak jauh dari pantai, Lee Siang lalu meloncat ke air, berenang dan menuju ke perahu itu. Dia tidak tahu bahwa itu adalah satu di antara perahu-perahu dari Pulau Nelayan yang tersapu air laut dalam amukan badai semalam. Didayungnya perahu ke pautai dan bersama adiknya dia lalu pulang ke Pulau Nelayan. Dan di pulau ini mereka mendapatkan sisa bencana itu, seluruh permukaan pulau menjadi gundul dan hanya ada seorang manusia di situ yang menyambut mereka, yaitu kakek mereka, Liu Ek Soan yang merangkul mereka sambil menangis sesenggukan. Ayah bunda mereka, paman-paman dan bibi mereka, saudara-saudara misan mereka, para tetangga, semua habis lenyap ditelan gelombang samudera mengganas.

“Demikianlah, kongcu. Kami bertiga selamat dan agaknya tidak ada seorangpun yang tahu akan hal ini. Aku merawat dan mendidik dua orang cucuku ini, kami hidup sederhana dan cukup bahagia di pulau kami.”

Ciang Bun memandang kagum. “Berkat pendidikan locianpwe, Siang-twako dan Hiang-siauwmoi ini menjadi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.”

“Ah, Suma-kongcu terlalu memuji. Dalam hal ilmu silat, mana mungkin kami dapat dibandingkan dengan kongcu sebagai cucu Suma-locianpwe di Pulau Es? Kami hanya mempelajari sedikit ilmu dalam air.”

“Itulah yang amat mengagumkan hatiku. Mereka berdua ini dapat bergerak di air seperti ikan saja, begitu kuat menyelam lama dan dapat bergerak di permukaan air sedemikian gesit dan ringannya. Sungguh mengagumkan dan aku ingin sekali mempelajari ilmu itu.”

“Bun-ko, kenapa engkau tidak tinggal di sini bersama kami dan belajar bersama kami?” tiba-tiba Lee Hiang berkata dengan sinar mata berseri.

“Benar, kong-kong tentu akan suka sekali mengajarkan ilmu dalam air kepadamu, Bun-hiante!” Lee Siang menyambung. Pemuda inipun suka sekali kepada Ciang Bun yang tampan gagah dan pendiam itu, apalagi mengingat bahwa selama mereka hidup di pulau itu, jarang mereka bertemu dengan manusia lain, apalagi bersahabat. Dua orang muda itu rindu akan persahabatan dan munculnya Ciang Bun merupakan suatu hal yang amat menggembirakan hati mereka.

Lain lagi yaug dipikirkan kakek Liu Ek Soan. Tadi Ciang Bun menuturkan keadaannya dan kakek ini amat tertarik. Pemuda gagah ini adalah cucu Pendekar Super Sakti, putera Suma Kian Lee keturunan Pendekar Super Sakti dan Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. Pemuda ini adalah keturunan pcndekar besar dan alangkah baiknya, alangkah akan bangga dan puas rasa hatinya kalau cucunya yang terkasih, Liu Lee Hiang, dapat berjodoh dengan pemuda ini! Dia akan berbesan dengan keluarga Pulau Es. Hebat! Dan hal itu bukan tidak mungkin terjadi kalau pemuda ini belajar di Pulau Nelayan. Cucunya itu cukup cantik manis dan usia mereka sebaya, hubungan mereka yang baru sehari itu sudah nampak demikian akrab. Mengapa tidak?

“Tentu saja aku akan merasa gembira sekali dapat membimbing Suma-kongcu dalam ilmu bergerak di air,” katanya dengan wajah berseri. “Dan untuk itu sebaiknya kalau Suma-kongcu sementara waktu tinggal di sini bersama kami. Bagaimana pendapatmu, kongcu?”

Suma Ciang Bun memandang kepada Lee Siang. Dia merasa suka sekali kepada pemuda ini dan rasanya dia akan merasa kehilangan sekali kalau sampai berpisah dari pemuda hebat itu. Dan diapun suka kepada Lee Hiang, sedangkan kakek itu pun amat baik dan mengenal keluarga Pulau Es. Kalau dia memiliki ilmu dalam air seperti mereka, agaknya dia tidak perlu takut lagi menghadapi amukan badai seperti semalam.

“Baiklah, locianpwe. Aku akan senang sekali tinggal di sini untuk sementara dan mempelajari ilmu itu.”

“Tapi, harap kongcu jangan menyebut locianpwe atau suhu kepadaku, sungguh aku merasa malu kalau kausebut begitu, terlalu tinggi bagiku....”

“Lalu aku harus menyebut bagaimana?”

Kakek itu tertawa dan sekali menggerakkan tangan kanan, dayungnya menancap di atas tanah batu karang itu sampai seperempatnya lebih. Ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat! “Ha-ha-ha, engkau sebaya dengan dua orang cucuku, bagaimana kalau engkaupun menyebut kakek kepadaku?”

Ciang Bun menjadi girang sekali “Baik, Liu-kong-koug, akan tetapi karena kong-kong menyebut nama mereka begitu saja, maka kepadaku juga sebaiknya kalau kong-kong menyebut namaku tanpa pakai embel-embel kongcu segala macam.”

“Ha-ha-ha, baik sekali, baik sekali, Ciang Bun, engkau sungguh seorang anak yang baik dan pantas menjadi cucu Majikan Pulau Es.”

Demikianlah, mulai hari itu, Ciang Bun tinggal“Bun-koko, mari kita latihan menyelam dan mencoba untuk menangkap belut laut yang lincah itu. Dasar-dasar ilmu bergerak dalam air sudah kaupelajari dari kong-kong, hanya tinggal mematangkan latihan saja,” kata Lee Hiang yang berdiri di atas perahu kecil itu bersama Ciang Bun, sedangkan Lee Siang melatih diri dengan alas kaki kayunya. Dia berlatih membuat lompatan-lompatan jauh dan nampaknya pemuda ini sudah mahir sekali. Sejak tadi Ciang Bun yang sudah agak letih berlatih itu duduk di atas perahu memandang ke arah Lee Siang penuh kagum.

Mendengar ajakan dara itu, dia mengangguk. “Baiklah, siauw-moi. Akan tetapi belut itu terlalu cepat dan gesit untukku. Pula, tubuhnya amat licin sehingga sukar untuk ditangkap.”

“Aku akan membantumu, koko. Memang belut itu sukar ditangkap dan aku sendiripnn tanpa dibantu takkan dapat menangkapnya. Dia harus dihadang dari depan belakang, dan dalam kebingungan baru dia dapat ditangkap karena kalau bingung dia menyusupkan kepalanya ke dalam lumpur sehingga kita tinggal menangkap ekornya saja. Tapi dia merupakan bahan latihan bergerak dalam air yang baik sekali.”

“Baiklah, mari!” kata Ciang Bun yang sudah bergerak hendak meloncat ke air. Akan tetapi lengannya dipegang oleh jari-jari tangan halus itu. Dia menoleh dan dua pasang mata saling bertemu. Sepasang mata Lee Hiang penuh kemesraan, akan tetapi mata Ciang Bun memandang biasa saja, agak heran.

“Ada apakah, Hiang-moi?”

“Engkau lupa penutup telingamu,” kata dara itu yang tiba-tiba wajahnya berobah merah karena pertemuan pandang mata itu amat berkesan di hatinya yang menjadi berdebar penuh ketegangan aneh.

“Ah, engkau benar. Pelupa sekali aku!” kata Ciang Bun dan diapun memasang alat pelindung telinganya. Untuk melakukan penyelaman sampai lama di dalam lautan, telinga perlu dilindungi dan ditutup agar tidak rusak oleh tekanan air. Setelah itu, kedua orang itu lalu meloncat ke air dan menyelam.

Bagaikan dua ekor ikan saja, mereka menyelam dan berenang di dalam air. Ciang Bun hanya mengenakan sebuah celana pendek yang ringkas dan tubuh bagian atasnya telanjang. Kulitnya putih halus mengkilat ketika tubuhnya meluncur di dalam air itu. Kini, dia telah pandai menyelam dan berenang dalam air, melawan tekanan air dan gerakan ombak. Memang pada dasarnya dia memiliki sin-kang yang amat kuat, maka setelah diberi petunjuk oleh kakek Liu, sebentar saja dia telah menguasai ilmu itu dan berkat sin-kangnya, dia malah lebih kuat menahan napas dibandingkan dengan kakak beradik Liu itu! Hanya dia belum dapat memiliki kelincahan seperti mereka karena kalah biasa dan kalah latihan.

Juga pandang mata Lee Hiang di dalam air lebih tajam dan awas dibandingkan Ciang Bun. Hal inipun karena kebiasaan dan latihan. Mereka berdua mencari-cari dan Lee Hiang menjadi penunjuk jalan. Tiba-tiba dara itu memberi isyarat dan menuding ke depan. Nampak seekor belut merah berenang perlahan di depan. Dari isyarat tangannya, Lee Hiang menyatakan bahwa dara itu hendak menghadang dari depan dan ia menyuruh Ciang Bun menghadang dari belakang. Ciang Bun memberi isyarat bahwa dia telah mengerti. Dara itu lalu mempercepat gerakannya, meluncur dan mengambil jalan memutar untuk mendahului belut itu, kemudian membalik dan menghadang di depan! Belut itu panjang, ada satu meter panjangnya dan sebesar lengan dara itu. Melihat ada mahluk aneh menghadang, belut itu cepat membalikkan tubuhnya. Akan tetapi Ciang Bun mendatangi dan mengembangkan kedua lengannya, jari-jari tangannya terbuka dan siap untuk menangkap kalau belut itu lewat di dekatnya. Melihat ini, belut itu kembali membalik dan paniklah dia ketika melihat di depan dan belakangnya ada mahluk besar yang hendak menangkapnya. Dia meluncur ke kiri, akan tetapi Lee Hiang sudah mendahuluinya dan menyambar dengan tangan kanan. Belut itu mengelak dan membalik, akan tetapi sudah ada Ciang Bun yang menyergapnya. Secepat kilat, Ciang Bun mencengkeram dan berhasil menangkap belut itu pada perutnya. Belut itu meronta, dan membelit hendak menggigit. Akan tetapi Lee Hiang sudah menangkapnya pula, tepat pada lehernya. Karena belut itu kuat dan tubuhnya mengeluarkan lendir yang licin, dua orang muda itu dengan susah payah mempertahankan agar belut itu tidak terlepas kembali. Dalam pergumulan ini, tanpa disengaja tubuh mereka saling merapat dan tahu-tahu lengan Ciang Bun sudah melingkari pinggang Lee Hiang dan lengan dara itu merangkul lehernya. Kemudian tiba-tiba saja mulut Lee Hiang sudah bertemu dengan mulut Ciang Bun.

“Ihhh....!” Pemuda itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menggigil dan diapun melepaskan tubuh belut itu dan mendorong tubuh Lee Hiang! Belut itu tcrlepas dan melarikan diri, sedangkan pelukan merekapun terlepas.

Ciang Bun berenang ke atas dengan jantung berdebar, sedangkan Lee Hiang juga berenang menyusulnya. Tiba-tiba Lee Hiang terkejut sekali melihat sinar putih meluncur dari arah kiri. Sekali pandang saja tahulah apa benda itu, akan tetapi Ciang Bun yang masih belum mengenal benar keadaan di lautan itu, melihat adanya seekor belut putih yang panjangnya ada satu meter akan tetapi lebih kecil daripada yang tadi, timbul kegembiraannya dan cepat dia menyambar dan menangkap belut itu.

“Pratttt!” Belut itu mengelak dan tiba-tiba mencambukkan dirinya ke lengan Ciang Bun. Pemuda itu tersentak kaget dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya seperti dibakar dari dalam dan pandang matanya gelap, dia lunglai tak sadarkan diri. Melihat ini, Lee Hiang cepat menyambarnya, menarik tangannya dan dibawanya berenang naik. Setelah ia menyembulkan kepalanya di permukaan air dan menarik kepala Ciang Bun yang pingsan itu dengan menjambak rambutnya, ia melihat kakaknya duduk di dalam perahu dan beristirahat.

“Siang-ko....! Cepat.... Bun-ko dilecut belut petir! Tolongggg....!”

Mendengar ini dan melihat Ciang Bun yang pingsan, Lee Siang cepat meloncat dan berenang menghampiri, membantu adiknya membawa Ciang Bun naik ke dalam perahu kecil mereka. Melihat Ciang Bun rebah tcrlentang dengan muka pucat kebiruan dan napas nampaknya berhenti sama sekali, matanya terbelalak dan tidak bersinar lagi, Lee Hiang menjerit dan menubruk tubuh itu dan menangis.

“Bun-ko....! Bun-ko.... ah, Bun-ko, jangan mati.... jangan tinggalkan aku, Bun-ko....!” Ia menangis sesenggukan. Tangan Lee Siang yang kuat menariknya dan terdengar suara pemuda itu yang keren.

“Hiang-moi, kong-kong tentu akan memukulmu kalau melihat sikapmu yang cengeng ini! Tenanglah dan aku akan mencoba menolongnya seperti yang pernah diajarkan oleh kong-kong.”

Lee Hiang melepaskan rangkulammya, dan duduk agak menjauh, akan tetapi ia belum berhenti menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama Ciang Bun. Sementara itu, Lee Siang lalu memeriksa nadi lengan Ciang Bun dan dengan lega mendapat kenyataan bahwa urat nadi itu masih berdetak, walaupun lemah sekali. Kalau tidak cepat ditolong, tentu urat nadi itu akau berhenti berdetak pula. Maka tanpa ragu-ragu dia lalu mengangkat kepala Ciang Bun dengan menaruh tangan kiri pada bawah tengkuk, membuka mulut Ciang Bun, menggunakan tangan kanan menutup lubang hidung pemuda itu dan merapatkan mulutnya ke mulut Ciang Bun yang terbuka. Maka ditiupnyalah sekuat tenaga ke dalam mulut Ciang Bun. Dada Ciang Bun bergerak mekar dan ketika tiupan dihentikan dan Lee Siang melepaskan “ciumannya”, dada itu mengempis lagi. Akan tetapi pernapasan Ciang Bun belum juga berjalan. Lee Siang mengulangi tiupannya itu sampai berkali-kali. Akhirnya pernapasan Ciang Bun mulai berjalan, mula-mula amat lemah akan tetapi sudah berjalan kembali, melegakan hati Lee Siang yang menghentikan usahanya.

“Bun-koko.... sadarlah, jangan mati.... aku.... aku cinta padamu, Bun-ko!”

Suara inilah yang pertama-tama terdengar oleh Ciang Bun. Dia sudah sadar kembali akan tetapi belum membuka matanya, bahkan kiri hampir tidak berani membuka matanya ketika mendengar suara Lee Hiang itu. Lee Hiang menangis! Dan bilang cinta padanya! Hatinya merasa tegang dan tidak enak sekali. Lalu dia teringat akan pengalamannya tadi. Dia berhasil menangkap belut bersama Lee Hiang, akan tetapi dara itu menciumnya! Mencium mulutnya! Dan ketika dia berenang hendak naik, dia melihat seekor belut putih yang hendak ditangkapnya lalu tiba-tiba dia merasa dirinya seperti dibakar dan tidak ingat apa-apa lagi.

Ciang Bun membuka matanya, melihat Lee Hiang masih menangis dan melihat Lee Siang Lee Siang merangkulnya. Jantungnya berdebar senang. Begitu senang dia karena rangkulan Lee Siang ini! Akan tetapi dia juga merasa malu dan sungkan, lalu bangkit duduk dan bertanya, “Apakah yang terjadi? Di mana.... eh, belut itu....?”

Lee Hiang memegang tangan kirinya dengan kedua tangan meremas-remas tangan itu. Ciang Bun merasa semakin tidak enak dan ingin menarik tangannya, akan tetapi takut kalau-kalau menyinggung perasaan Lee Hiang, maka didiamkannya saja. “Bun-ko, tahukah engkau bahwa engkau nyaris tewas sehingga aku menjadi amat khawatir?”Ciang Bun memandang wajah yang manis itu, yang kini sudah tersenyum akan tetapi pipinya masih basah, bukan hanya basah air laut melainkan juga air mata. “Apa yang terjadi?”di Pulau Nelayan bersama Liu Ek Soan, Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang. Dengan tekun dia mempelajari ilmu di dalam air, dibimbing dengan penuh perhatian oleh Lie Ek Soan, dan dibantu pula oleh Lee Siang dan Lee Hiang. Seperti yang diidam-idamkan oleh kakek itu, pergaulan antara cucu keluarga Pulau Es dan cucunya itu berjalan lancar dan mereka nampak akrab sekali. Bahkan pada bulan-bulan berikutnya, pandang mata kakek yang sudah berpengalarnan ini dapat melihat dengan jelas bahwa cucunya perempuan, Lee Hiang, telah jatuh hati kepada Ciang Bun! Akan tetapi kakek ini merasa ragu apakah cucu Pendekar Super Sakti itu juga ‘ada hati’ kepada dara itu. Ciang Bun orangnya pendiam dan sukar menjenguk isi hatinya. Sikapnya kepada Lee Hiang memang ramah dan baik, akan tetapi tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemuda ini tertarik kepada dara yang sedang manis-manisnya, bagaikan bunga sedang mekar semerbak itu. Sikap Ciang Bun biasa saja, bahkan nampaknya pemuda ini lebih akrab dan lebih dekat dengan Lee Siang daripada dengan Lee Hiang!

“Belut putih yang kautangkap itu adalah belut beracun yang amat jahat, namanya belut petir. Belut itu tidak menggigit, melainkan melecut dengan ekor dan tubuhnya yang mengandung kekuatan membakar seperti petir. Biasanya, orang yang terkena lecutan belut itu tentu akan mati. Dia tidak pernah menyerang kalau tidak diserang lebih dulu dan karena engkau hendak menangkapnya, maka dia menyerangmu. Ah, kukira tadi engkau sudah.... sudah.... mati, koko. Untung ada Siang-ko yang pernah belajar cara menyembuhkan orang yang belum mati dilecut binatang itu.”

Lee Siang juga menyambung. “Dan untung sekali bahwa engkau memiliki sin-kang yang amat kuat, hiante. Lecutan belut itu mengandung kekuatan membakar yang amat hebat, seperti orang kalau disambar petir. Karena jantungmu amat kuat berkat sin-kangmu, maka hanya pernapasanmu saja yang terhenti, akan tetapi jantungmu masih berdetak lemah. Aku hanya tinggal membantu pernapasanmu saja.”

“Membantu pernapasan?” Ciang Bun bertanya heran.

“Ya, membantu agar pernapasanmu pulih dan bekerja kembali karena tadinya terhenti oleh guncangan hebat akibat lecutan belut petir itu. Kalau jantungmu berhenti, baru aku akan membantu gerakan jantungmu dengan totokan dan pijatan yang kuat. Hal itu amat berbahaya karena mungkin saja dapat mematahkan beberapa ujung tulang igamu! Syukur engkau selamat berkat kekuatan sin-kangmu.”

Ciang Bun memandang dengau kagum. “Ah, kalau begitu aku berhutang nyawa kepadamu, twako.”

Lee Siang menggerakkan tangan dengan jengah “Aih, mengapa engkau begitu sungkan? Sudah sepatutnya kalau aku yang tahu sedikit akan cara pengobatan itu menolongmu.”

“Akupun ingin belajar ilmu itu, twako. Siapa tahu, lain kali aku perlu menolong seorang di antara kalian, atau orang lain.” Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan, “Bagaimana sih cara pengobatan itu? Menggunakan obat? Bagaimana engkau bisa membantu pernapasan orang lain bekerja kembali setelah napas itu berhenti? Apakah dengan totokan-totokan tertentu?”

“Tidak, maelainkan dengau meniupkan hawa ke dalam paru-parumu melalui mulut,” jawab Lee Siang.

“Ehhh....? Bagaimana caranya? Coba kauberi contoh, twako, bagaimana cara engkau menolongku tadi?”

Mendadak saja Lee Siang kelihatan jengah dan malu-malu, sedangkan Lee Hiang tersenyum-senyum aneh.

“Hei, kalian kenapa?”

“Pengobatan itu dilakukan dengan cara mencium....” dara itu berkata jenaka.

“Ehh? Jangan main-main, siauw-moi, aku sungguh ingin belajar dan ingin tahu cara pengobatan yang aneh akan tetapi dapat menyelamatkan nyawa manusia ini.

“Siang-koko, kenapa tidak kauberi contoh saja dia ini. Biar puas hatinya,” Lee Hiang menggoda.

Lee Siang menghela napas. “Baiklah, hiante. Kau rebahlah seperti tadi ketika engkau pingsan.” Setelah Ciang Bun merebahkan diri terlentang, pemuda itu berkata. “Mula-mula engkau periksa pernapasan dan detik nadinya. Engkau tadi dalam keadaan pingsan, pernapasanmu terhenti sama sekali akan tetapi detik nadimu masih berdenyut walaupun lemah. Itu berarti bahwa paru-parumu berhenti bekerja akan tetapi jantungmu masih bekerja. Lalu aku mengangkat lehermu begini, maksudnya agar lubang kerongkonganmu terbuka lebar. Lalu aku menutupi kedua lubang hidungmu dan meniupkan hawa ke dalam paru-parumu begini.” Biarpun sungkan untuk mengajari pemuda itu, Lee Siang lalu menutup mulut Ciang Bun yang dibukanya itu dengan mulutnya sendiri dan diapun meniup keras-keras!

Ciang Bun terbelalak, akan tetapi jantungnya berdebar dan suatu perasaan yang amat mesra merayapi seluruh tubuhnya. Tidak seperti ketika Lee Hiang menciumnya di dalam air tadi, kini dia merasa senang sekali beradu mulut dengan Lee Siang! Akan tetapi dia terbatuk-batuk ketika pemuda itu meniupkan hawa dengan kuatnya ke dalam paru-parunya. Hal ini terjadi karena dia terkejut dan tentu saja timbul perlawanan dari kerongkongannya.

Lee Hiang memandang sambil tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Lee Siang tersenyum saja. “Nah, usaha itu kauulangi terus sampai si korban dapat bernapas sendiri, atau sampai paru-paru itu bekerja kembali, hiante. Sedangkan kalau nadinya sudah tidak berdenyut lagi yang berarti jantungnya terhenti karena guncangan hebat itu, engkau totok dia di sini.” Dia meraba dua jalan darah di pungung dan atas lambung dan menambahkan, “Kemudian engkau tekan dan pijit arah jantung dari dada depan, dan ini mungkin saja akan mematahkan ujung tulang iga, akan tetapi hal itu tidak berbahaya. Usaha ini adalah untuk meughimpit dan mendorong jantung agar jantung yang bekerja seperti pompa itu dapat bergerak dan bekerja kemhali.”

Bersambung ke buku 4