Kisah Si Bangau Merah -10 | Kho Ping Hoo



Kisah Si Bangau Merah Buku 10 | Kho Ping Hoo
Pek-lian Sam-li yang juga mengkhawatirkan Sian Lun yang kini tidak lagi mereka pengaruhi dengan sihir, bangkit dan berdiri keluar pula. Setelah mereka semua tiba di luar, ternyata Sian Lun telah tidak nampak. Agaknya pemuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Segera mereka semua melakukan pengejaran ke tempat pemondokan Sian Li. Melihat para pimpinan yang tadi mengadakan pertemuan rapat itu kini berlarian ke arah pondok tawanan, para petugas yang melakukan penjagaan menjadi terkejut dan mereka pun mengikuti dari belakang.

Sian Lun memang berlari secepatnya ke pondok di mana Sian Li berada. Dia sudah mengambil keputusan nekat. Dia harus membebaskan Sian Li. Kalau dia berterus terang kepada Lulung Lama, tak mungkin permintaannya akan dikabulkan. Tadi dia sudah mendengar sendiri rencana mereka. Kalau Sian Li tidak mau menyerah dan bekerja sama, mereka akan membunuhnya agar gadis itu tidak membocorkan rahasia persekutuan mereka. Tidak ada jalan lain. Dia harus segera membebaskan Sian Li atau memberi kesempatan kepada Sian Li untuk melarikan diri selagi ada kesempatan, selagi para pimpinan yang lihai mengadakan pertemuan di ruangan itu. Dia akan melindunginya, menjadi perisai, kalau perlu mempertaruhkan nyawa menghadapi para penjaga yang mengejar agar Sian Li dapat lari. Dia sudah melakukan dosa besar dan dia harus menebusnya sekarang juga selagi masih ada kesempatan.

Sian Li dan Yo Han terkejut ketika mereka mendengar orang mendorong pintu pondok terbuka dan ketika mereka berdua keluar dari dalam kamar masingmasing, mereka melihat Sian Lun dengan wajah pucat telah berada di situ.

“Hemm, jahanam busuk, mau apa engkau ke sini!” bentak Sian Li, seketika kemarahannya berkobar begitu ia melihat Sian Lun. Bahkan ia sudah bergerak maju hendak menyerang pemuda itu.

“Li-moi, jangan terburu nafsu, dengarkan dulu apa kehendaknya,” Yo Han mencegah dan menghampiri mereka. Sian Lun memandang Yo Han, tidak mengenal pemuda itu akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu pemuda ini yang tadi dibicarakan sebagai utusan Sin-ciang Tai-hiap. Dia tidak peduli dan memandang kembali kepada Sian Li.

“Sumoi, cepat. Engkau larilah sekarang juga, biar aku yang akan menghadapi para pengejar. Cepat, selagi para pimpinan sedang mengadakan rapat pertemuan di bangunan induk. Cepat, mereka akan membunuhmu kalau engkau tidak mau membantu mereka. Aku telah bersalah, Sumoi, akan tetapi biarlah kesempatan terakhir ini kupergunakan untuk menebus dosa. Cepat larilah engkau dari tempat ini, Sumoi.”

Melihat sikap dan mendengar ucapan suhengnya itu, Sian Litertegun. Ia masih sangsi. Benarkah suhengnya itu telah sadar dan hendak menolongnya? Ataukah ini pun hanya siasat busuk belaka? Agaknya Sian Lun maklum pula akan kesangsian sumoinya.

“Lihat, Sumoi. Aku telah membunuh empat orang penjaga di depan. Engkau larilah melalui pintu belakang, langsung ke pagar bambu sebelah selatan dan lolos dari sana. Kalau ada yang mengejar, biar aku yang akan menghadapi mereka.”

Sian Li berlari ke depan dan ia melihat betapa empat orang penjaga di situ telah menggeletak mandi darah. Diam-diam ia terkejut. Kiranya Sian Lun benar-benar tidak membual. Ia menoleh kepada Yo Han untuk minta pendapatnya. Yo Han juga sejenak tertegun melihat perubahan tiba-tiba pada diri Sian Lun itu. Akan tetapi, Yo Han segera dapat menduga bahwa tentu kini Sian Lun telah sadar, menyesal dan ingin menebus dosanya! Maka dia pun diam-diam merasa girang sekali.

“Kalau memang hendak meloloskan diri, marilah kita bertiga lari bersama selagi ada kesempatan!” kata Yo Han. Akan tetapi pada saat itu, rombongan para pimpinan yang tadi melakukan pengejaran telah tiba pula di depan pondok, dipimpin oleh Pangeran Gulam Sing dan tiga orang Pek-lian Sam-li. Melihat ini, Sian Lun terkejut dan dia pun cepat berkata, “Sumoi, pergilah ke belakang. Cepat!” Dan dia sendiri sudah melompat keluar untuk menyambut para pengejar. Dia tahu bahwa bicara dengan mereka tidak ada gunanya lagi. Dia telah membunuh empat orang penjaga. Tentu mereka tidak akan mengampuninya, apalagi melihat dia berusaha membantu Sian Li melarikan diri. Dengan pedang di tangan dia pun menyerbu ke arah Pangeran Gulam Sing yang berada paling depan.

“Kalian hendak memberontak?” Pek-lian Sam-li membiarkan pemuda bekas kekasihnya itu dihadapi Gulam Sing yang mereka yakin akan mampu menundukkan pemuda itu. Mereka sudah meloncat ke depan Sian Li dan Yo Han, diikuti oleh para pimpinan lain.

Sian Li sudah siap untuk melawan walaupun ia tidak memegang senjata. Akan tetapi Yo Han maklum behwa keadaan mereka tidak menguntungkan. Kini agaknya terpaksa dia harus membuka rahasianya. Dia harus melindungi Sian Li walaupun agaknya sudah terlambat untuk melindungi Sian Lun. Jarak di antara mereka terlalu jauh dan kalau dia meloncat untuk melindungi pemuda itu, berarti dia harus meninggalkan Sian Li dan hal ini berbahaya sekali. Karena mereka berpisah, maka dia tidak mungkin dapat melindungi keduanya dan tentu saja dia lebih memberatkan Sian Li daripada pemuda itu. Dia pun sudah siap membela Sian Li dan dia sudah melangkah maju untuk menghadapi pengeroyokan orang-orang lihai dari persekutuan pemberontak itu.

Sementara itu, tanpa mengeluarkan kata apa pun. Sian Lun sudah menyerang Gulam Sing dengan pedangnya. Kalau tadinya dia memandang Gulam Sing sebagai rekan, keduanya menjadi kekasih Pek-lian Sam-li, kini dia memandangnya sebagai musuh dan serangan-serangan yang dilancarkan Sian Lun adalah serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh. Namun, Gulam Sing ternyata lihai sekali. Tingkat kepandaian pangeran Nepal ini memang lebih tinggi dibandingkan Sian Lun. Dia menggunakan golok melengkung untuk membendung gelombang serangan pedang Sian Lun dan setiap kali golok bertemu pedang, Sian Lun merasakan tangannya tergetar dan pedangnya terpental. Dia kalah tenaga dan sebentar saja dia mulai terdesak hebat.

“Kalian hendak melarikan diri? Jangan harap dapat keluar dari sini dalam keadaan bernyawa!” kata Ji Kui sambil tersenyum mengejek, kemudian, setelah memberi isarat kepada dua orang adiknya Ji Kui yang sudah mengerahkan kekuatan sihir dibantu dua orang adiknya, membentak nyaring. “Tan Sian Li dan Yo Han pandanglah kami dan kalian berdua harus mentaati perintah kami! Berlututlah kalian! Hayo, berlutut!”

Sian Li merasa ada kekuatan aneh yang seperti hendak menariknya untuk menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi karena ia sudah siap siaga sebelumnya, ia dapat mengerahkan sin-kang dan melawan. Tiba-tiba saja kekuatan aneh yang menariknya itu lenyap seperti disapu angin dan tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu mengeluarkan suara terkejut dan heran. Mereka agak terhuyung ke belakang dan terengah-engah. Pengerahan tenaga sihir mereka. membalik dan menghantam isi dada mereka sendiri! Kini mereka siap untuk menyerang, dan ketiganya sudah mencabut pedang. Gerakan itu diikuti oleh kawan-kawannya yang sudah mengepung Yo Han dan Sian Li, akan tetapi sebelum para pengepung itu bergerak menyerang, tiba-tiba terdengar bentakan, “Tahan semua senjata!”

Pek-lian Sam-li menengok dan mereka melihat bahwa yang membentak itu adalah Cu Ki Bok. Tiga orang wanita ini diam-diam merasa tidak suka kepada pemuda ini. Pertama mereka tidak mampu mempermainkan Ki Bok, dan ke dua mereka tidak berani menentangnya mengingat bahwa Ki Bok adalah murid dan kepercayaan Lulung Lama.

“Cu-enghiong (Orang Gagah Cu), dua orang ini jelas hendak melarikan diri, kenapa engkau melarang kami membunuhnya? Mereka hendak memberontak!” kata Ji Kim.

“Itu fitnah belaka,” kata Ki Bok. “Suhu membutuhkan bantuan mereka, juga bantuan Sin-ciang Tai-hiap. Bagaimana kalian dapat lancang membunuh mereka? Pula, mereka sama sekali tidak melarikan diri. Liem Sian Lun itu yang hendak berkhianat.”

“Empat orang penjaga telah mereka bunuh!” kata Ji Kui.

“Tidak mungkin. Lihat, Nona Tan Sian Li dan saudara Yo Han ini sama sekali tidak memegang senjata, dan empat orang penjaga itu jelas tewas karena bacokan dan tusukan pedang. Yang memegang pedang hanyalah Sian Lun, jadi dialah yang membunuh para penjaga, bukan dua orang tamu ini. Atas nama Suhu, aku melarang kalian mengganggunya. Suhu perlu bicara dengan mereka.” Sikap Cu Ki Bok keras dan tegas sehingga para anak buah Hek I Lama tidak berani melanggar, juga para tamu tentu saja tidak berani menentang tuan rumah. Apalagi karena apa yang dikemukakan pemuda itu memang benar. Empat orang penjaga itu tewas karena terluka pedang, sedangkan dua orang itu sama sekali tidak memegang senjata.

“Suheng....!” tiba-tiba Sian Li berseru, terbelalak dan ia pun meloncat dari situ. Ternyata Sian Lun telah terkena tendangan Gulam Sing yang disusul bacokan golok melengkung. Bacokan itu merobek perutnya dan pemuda itu roboh sambil kedua tangan menekan perutnya yang terluka parah untuk menahan agar isi perutnya tidak terburai keluar! Pangeran Gulam Sing tertawa bergelak dengan bangga sambilmembersihkan goloknya, dan Sian Li sudah berlutut di dekat tubuh suhengnya.

Sian Lun mendekap perut dan darah membasahi seluruh tubuhnya. Akan tetapi dia masih sempat memandang Sian Li dan berkata lemah, “Sumoi, kau maafkanlah.... aku.... dan mintakan ampun untukku.... dari Suhu dan Subo.... aku.... aku berdosa....” kepala itu terkulai, kedua tangan terlepas dari perut dan ususnya terburai.

“Suheng....!” Sian Li menjerit ngeri melihat keadaan suhengnya, dan ia pun melompat berdiri, membalik dan menghadapi Pangeran Gulam Sing dengan mata melotot dan muka merah.

“Kau.... kau.... jahanam busuk.... kau telah membunuhnya!” Lian ia pun menerjang dengan nekat, menggunakan tangan kosong sambil mengerahkan sin-kang dingin dari Pulau Es. Sambil tertawa dan memandang ringan, pangeran Nepal itu menangkis dan hendak menangkap kedua tangan gadis itu. Dia terlalu memandang rendah, tidak tahu bahwa dalam serangan itu, Sian Li mengerahkan seluruh tenaga Swat-im Sin-kang dari Pulau Es. Maka, begitu dua pasang tangan bertemu, Pangeran Gulam Sing terdorong ke belakang dan dia pun menggigil kedinginan! Dia terkejut setengah mati dan terpaksa dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan agar tidak menerima serangan susulan lawan. Akan tetapi hal itu tidak perlu karena Yo Han sudah berada di dekat Sian Li, menyabarkan gadis itu.

“Hentikan seranganmu, Li-moi. Serahkan saja urusan ini kepada Sin-ciang Tai-hiap.”

Ucapan itu selain dapat menyabarkan Sian Li, juga membuat para pengepung menjadi gentar karena Yo Han menyebut-nyebut nama Sin-ciang Tai-hiap yang tentu akan marah sekali karena Sian Lun telah dibunuh. Sian Li kembali menghampiri mayat suhengnya dan menangis.

Ki Bok cepat mendekatinya. “Sudahlah Sian Li, tidak ada gunanya lagi ditangisi. Aku akan menyuruh orang-orangku untuk mengurus jenazah suhengmu baik-baik dan memperabukan jenazah itu agar abunya dapat kaubawa kalau kau menghendakinya. Sebaiknya engkau dan Yo-toako berdiam saja di pondokmu malam ini dan jangan keluar.”

Sian Li mengangguk dan merasa berterima kasih sekali. Kalau tidak ada Ki Bok, mungkin ia dan Yo Han juga sudah dikeroyok banyak orang dan entah bagaimana akibatnya. Agaknya, murid Lulung Lama ini memang benar-benar jujur dan hendak menolongnya, tentu saja tidak berani berterang karena kalau hal itu diketahui Lulung Lama, tentu dia sendiri aken celaka dan dianggap sebagai seoretng pengkhianat. Yo Han agaknya mengerti akan keadaan Ki Bok, maka dia pun mengajak Sian Li memasuki kembali pondok mereka.

Peristiwa kematian Sian Lun itu tentu saja. menimbulkan perubahan pada rencana yang tadi telah diputuskan, yaitu untuk menghadapkan Sian Li dan Yo Han dan minta mereka menentukan sikap. Bagaimanapun juga, Sin-ciang Tai-hiap yang pernah mengadu ilmu melawan Dobhin Lama menuntut dibebaskannya Sian Lun dan kini pemuda itu telah tewas. Tentu akan terjadi hal yang lebih gawat, maka atas permintaan Ki Bok, Lulung Lama menunda keputusan itu. Penjagaan diperkuat karena mereka khawatir kalau Sin-ciang Tai-hiap telah mendengar akan kematian Sian Lun itu dan akan datang menyerbu malam itu.

Sementara itu, di dalam pondok Sian Li masih duduk termenung, wajahnya agak pucat dan kedua matanya berlinang air mata. Biar pun tadinya ia marah dan membenci Sian Lun yang mengkhianatinya dan melihat suhengnya itu bermain gila dengan tiga orang wanita Pek-lian-kauw, namun pada akhir hidupnya suhengnya itu telah bersikap gagah, bahkan telah mengorbankan nyawa sendiri demi membelanya. Sian Lun telah bertekad untuk membebaskannya dengan pengorbanan nyawanya. Walaupun usaha membebaskannya itu gagal karena keburu ketahuan para tokoh persekutuan itu, namun tidak urung nyawanya menjadi korban. Pada akhir hidupnya, Sian Lun telah menebus kesalahannya dengan perbuatan gagah dan membuktikan cintanya kepadanya. Terkenanglah ia akan masa lalunya, ketika ia dan Sian Lun masih sama-sama belajar ilmu di bawah pimpinan Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, selama lima tahun lebih. Teringatlah ia betapa Sian Lun selalu bersikap manis dan baik kepadanya, betapa Sian Lun selalu menyayangnya dan teringat akan semua ini, air matanya runtuh kembali.

“Suheng....!” Ia mengeluh.

Yo Han menghampirinya dan duduk di depannya, terhalang meja. “Li-moi, tidak ada gunanya menangisi kematian Sian Lun. Bagaimanapun juga, dia tewas sebagai seorang pendekar yang gagah dan tidak mengecewakan!”

Sian Li mengusap air matanya dan menghela napas. “Dia patut dikasihani, Han-ko.”

Yo Han mengangguk. “Sudah kuduga. Kesesatannya tentu tidak wajar. Dia masih terlalu muda dan kurang pengalaman sehingga mudah saja dikuasai musuh dengan ilmu sihir. Akan tetapi dia telah menebus kesalahannya, telah menghapus dosanya dengan darah dan dia.... dia ternyata amat mencintamu, Li-moi.”

Sian Li mengangguk. Teringat akan pengalamannya di perahu dengan Sian Lun, ketika pemuda itu menyatakan cinta kepadanya dan ia mendorong suhengnya sehingga tercebur di air!

“Memang Suheng pernah menyatakan cinta kepadaku, akan tetapi aku menolaknya karena aku menyayanginya sebagai kakak seperguruan, tidak lebih daripada itu.”

Yo Han menarik napas panjang, melihat kenyataan yang membuat nuraninya mencela diri sendiri. Kenapa hatinya merasa senang mendengar bahwa Sian Li tidak membalas cinta kasih Sian Lun?

“Kita harus waspada malam ini. Kalau tidak meleset perhitunganku, malam inilah penyerbuan itu akan terjadi. Karena Sian Lun sudah tidak ada, kini kita hanya mencari kesempatan untuk melarikan diri saja dari tempat ini. Aku tidak ingin terlibat dalam pertempuran antara persekutuan ini melawan pasukan Tibet. Mengertikah engkau, Li-moi?”

Gadis itu mengerutkan alisnya “Akan tetapi, aku harus membunuh pangeran Nepal jahanam itu, Han-ko!”

Yo Han menatap tajam wajah Sian Li. “Kenapa harus, Li-moi?”

“Pertama, dia pernah hampir memperkosaku, dan untung ada Cu Ki Bok yang menolongku. Ke dua, dia telah membunuh Suheng. Tidak pantaskah kalau aku membalas dendam dan membunuhnya?”

“Li-moi, siapakah kita ini maka boleh membunuh sesama manusia begitu saja? Li-moi, kita mempelajari ilmu bukan untuk menjadi pembunuh. Kurasa ayah ibumu sendiri, juga guru-gurumu tentu telah memberitahu akan kebenaran itu. Kita sebagai manusia tidak berhak untuk membunuh manusia lain, dengan alasan apapun juga.”

“Tapi, Han-ko. Bukankah dia juga telah membunuh Suheng? Bukankah dia hampir memperkosaku dan hal-hal itu saja membuktikan betapa jahatnya dia? Dia layak dihukum, dibunuh agar jangan menambah kejahatannya lagi dan mengganggu orang lain.”

Yo Han menggeleng kepalanya. “Katakanlah dia jahat dan dia telah membunuh suhengmu. Kalau kita membalas dan membunuhnya, lalu apa bedanya antara dia dengan kita?”

“Jelas bedanya, Han-ko! Kita membunuhnya untuk memberantas kejahatan sedangkan dia membunuh Suheng untuk melakukan kejahatan....”

“Tidak begitu, Li-moi. Kalau kita tanya kepadanya, tentu dia memiliki alasan yang cukup kuat mengapa dia membunuh suhengmu. Setiap orang yang melakukan sesuatu tentu akan mempunyai alasan untuk membela diri. Padahal yang mendorong pembunuhan adalah sama, yaitu balas dendam, kebencian dan permusuhan. Kalau engkau hendak membunuhnya, maka jelas dasarnya adalah dendam kebencian.”

“Aih, sekarang aku mengerti mengapa Ayah dan Ibu mengatakan engkau seorang yang baik hati akan tetapi aneh, Hanko.”

“Apa yang dikatakan ayah ibumu tentang diriku?” Yo Han ingin sekali mendengarnya.

“Ayah dan Ibu pernah bercerita kepadaku bahwa engkau memiliki bakat ilmu silat yang luar biasa, akan tetapi anehnya, engkau sama sekali tidak mau mempelajari ilmu silat karena engkau selalu berpendapat bahwa ilmu silat adalah ilmu memukul dan membunuh orang. Sekarang, setelah engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau pantang membunuh orang, betapapun jahatnya orang itu. Aku sudah mendengar sepak terjangmu sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Han-ko, kalau begitu, untuk apa engkau mempelajari ilmu silat sampai begitu tinggi?”

“Untuk apa? Selain untuk membela diri dari ancaman bahaya, untuk menyehatkan dan menguatkan tubuh, untuk menguasai gerakan yang mengandung seni tari yang indah, juga kepandaian itu dapat kupergunakan untuk menolong orang lain yang terancam bahaya. Bahkan dengan kepandaian ini dapat kita pakai untuk menekan orang tersesat agar mereka kembali ke jalan yang benar. Bagaikan obat bagi orang sakit, obat yang keras namun manjur, ilmu silat dapat kita pergunakan menyembuhkan orang sakit batin sehingga dia jera menjadi penjahat dan kembali ke jalan benar.”

Sampai beberapa lamanya, Sian Li berdiam diri, memikirkan apa yang dikatakan Yo Han, lalu ia menghela napas panjang. “Kalau begitu, dalam pertemuan nanti, aku tidak boleh mencari Gulam Sing dan tidak boleh menyerangnya?”

“Dia lihai sekali, Li-moi.”

“Aku tidak takut, dan aku tidak gentar biar terancam maut melawannya!” kata gadis itu dengan sikap gagah.

Yo Han tersenyum. “Aku percaya, Limoi. Dan aku pun tidak akan membiarkan engkau menghadapi dia seorang diri.

Akan tetapi, ingatlah bahwa dia akan memimpin orang-orangnya untuk melawan pasukan Tibet. Kalau kita ikut bertempur berarti kita telah terlibat dalam perang antara mereka. Padahal, aku minta bantuan orang-orang kang-ouw hanya agar kita mendapat kesempatan untuk melarikan diri saja, bukan untuk bertempur dan saling bunuh.”

“Jadi berarti.... aku harus membiarkan saja Gulam Sing itu melakukan kejahatan tanpa dihukum?”

“Li-moi, tidak ada perbuatan tanpa akibat yang menimpa Si Pembuat sendiri. Tidak ada orang yang tidak menuai dan memakan hasil tanamannya sendiri. Tuhan Maha Adil, Li-moi. Ingatlah, seorang yang berjiwa pendekar pantang untuk mendendam, katena perbuatan apa pun yang didasari dendam dan kebencian, maka perbuatan itu sudah pasti sesat dan jahat. Kita menentang perbuatan jahat, tanpa dendam kebencian kepada orang yang melakukan kejahatan itu. Sekali engkau menurutkan perasaan hati dalam tindakanmu, maka engkau akan melakukan hal yang bagi orang lain akan dianggap jahat pula. Musuh yang paling berbahaya bukan terdapat di luar diri kita, melainkan di dalam diri sendiri. Musuh itu adalah kalau nafsu sudah merajalela di dalam hati akal pikiran.

“Aihh, aku menjadi pening, Han-ko. Terserah kepadamu sajalah. Aku ingat bahwa Ayah dan Ibu menganggap engkau seorang yang berbudi mulia, karena itu, apa pun yang kaukatakan tentu benar.”

Dua orang ini sama sekali tidak mengira bahwa pada saat itu, para pimpinan gerombolan itu pun sedang bersiap siaga, dan mereka pun mengadakan pertemuan dan membicarakan kematian Sian Lun dan akibatnya.

“Biarlah Sin-ciang Tai-hiap datang kalau dia marah karena aku membunuh pemuda itu,” kata Pangeran Gulam Sing. “Aku tidak takut kepadanya. Dan kita begini banyak. Kalau kita maju bersama menghadapinya, apakah seorang saja dia akan mampu mengalahkan kita?”

“Ada satu hal yang aneh sekali dan membuat kami berpikir-pikir,” kata Ji Kui, orang tertua dari Pek-lian Sam-li.

“Apakah yang kaumaksudkan?” Lulung Lama bertanya karena suara wanita itu terdengar penuh rahasia dan penuh kesungguhan. Semua orang memandang kepadanya.

“Tentu kalian telah melihat sendiri betapa kami bertiga mempergunakan kekuatan sihir untuk memaksa Sian Li dan Yo Han berlutut kepada kami. Akan tetapi, mereka berdua sama sekali tidak jatuh berlutut, bahkan kami terhuyung oleh pukulan tenaga kami yang membalik Bukanlah ini aneh sekali?”

“Apanya yang aneh?” kata Lulung Lama mendongkol. “Gadis itu adalah keturunan keluarga Pendekar Pulau Es dan Naga Gurun Pasir. Kalau ia dapat menolak kekuatan sihir kalian, tidak dapat dibilang aneh.” Melihat Ketua Hek I Lama yang baru itu marah-marah. Pek-lian Sam-li berdiam diri. Juga semua orang diam. Suasana menjadi sunyi sampai tiba-tiba Pangeran Gulam Sing menggebrak meja.

“Memang aneh!” katanya melalui penterjemahnya. “Aku mengenal kekuatan sihir Pek-lian Sam-li, cukup kuat bahkan lebih kuat daripada kekuatan sihirku. Tidak mungkin nona itu akan dapat bertahan menghadapi serangan sihir mereka, apalagi menolak dan membuat tenaga mereka membalik. Menghadapi sihirku saja, ia tidak tahan dan tunduk....” Dia menoleh kepada Cu Ki Bok, teringat betapa dia sudah hampir berhasil menguasai Sian Li akan tetapi muncul pemuda itu yang menggagalkannya.

“Itulah yang membuat kami berpikir-pikir,” kata Ji Kui yang mendapat angin oleh pertanyaan Gulam Sing itu. “Kami pun tahu akan kemampuan gadis itu. Jelas bukan ia yang menolak kekuatan sihir kami, akan tetapi Yo Han, kakak misannya itu.”

“Hemmm, rasanya tidak mungkin,” kata Cu Ki Bok, Yo Han itu hanya utusan Sin-ciang Tai-hiap, dan sepanjang pengetahuanku, dia seorang pemuda yang lemah dan....”

“Kami sudah mempertimbangkan semua itu dan kami hampir merasa yakin bahwa Yo Han itu adalah Sin-ciang Tai-hiap sendiri!” kata pula Ji Kui dan sekali ini semua orang terlonjak saking kaget hati mereka.

“Omitohud....! Apa maksudmu? Dia.... dia Sin-ciang Tai-hiap?” teriak Lulung Lama.

“Kami hampir yakin akan hal itu,” kata Ji Kui pula sambil menoleh ke arah Pangeran Gulam Sing. “Pangeran, ingatkah engkau betapa mudahnya engkau menundukkan Sian Li dengan sihirmu? Rasanya tidak mungkin kalau sekarang ia bukan saja mampu bertahan terhadap pengaruh sihir kami, bahkan membuat tenaga kami membalik. Jelaslah bahwa yang memiliki kekuatan dahsyat itu tentu pemuda bernama Yo Han itu. Siapa di antara kita yang sudah membuktikan sendiri bahwa pemuda itu lemah? Dan biarpun selama ini Sin-ciang Tai-hiap menutupi mukanya, dan biarpun mungkin suaranya yang diubah, akan tetapi bentuk tubuhnya serupa benar dengan Yo Han itu. Kalau dia pemuda biasa yang lemah, bagaimana dia dapat bersikap sedemikian beraninya, bukan saja mengunjungi adik misannya di sini, bahkan minta ditahan pula di sini dengan alasan menemani gadis itu! Hemm, siapa lagi dia kalau bukan Sin-ciang Tai-hiap?”

“Omitohud....! Kalau begitu, celaka, kita telah kebobolan! Ki Bok, bagaimana hal ini sampai dapat terjadi?” Lulung Lama menegur muridnya.

Wajah Cu Ki Bok berubah, matanya terbelalak. Pendapat Pek-lian Sam-li itu masuk diakal dan dia sendiri pun baru sekarang menyadari kemungkinan itu. Yo Han adalah Sin-ciang Tai-hiap! Kenapa dia tidak memikirkan kemungkinan itu? Biasanya dia amat cerdik dan tidak mudah ditipu. Inilah akibatnya kalau dia tergila-gila! Karena dia mencinta Sian Li, dia tidak ingat apa-apa lagi kecuali untuk melindungi gadis itu. Dia bangkit berdiri. “Suhu, kalau benar demikian, teecu yang akan menangkap Yo Han itu!” Dan dia pun berlari keluar. Akan tetapi di luar dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka yang berada di dalam.

“Kalau dia Sin-ciang Tai-hiap, kita harus menyerbu beramai-ramai, sekarang juga!” terdengar teriakan suhunya. Ki Bok maklum bahwa inilah saatnya dia harus bertindak cepet. Dia harus menyelamatkan Sian Li terlebih dahulu. Mengenai Yo Han, kalau benar dia Sin-ciang Tai-hiap dan tidak mau bekerja sama, dia sendiri akan membantu untuk mengeroyok dan membunuh pendekar yang berbahaya itu. Akan tetapi, yang terpenting baginya, sekarang juga sebelum terlambat dia harus menyingkirkan Sian Li dari situ, harus dapat membiarkan gadis itu lolos. Dia tidak tahu betapa ketika semua orang menyerbu keluar, Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li, mendekati Lulung Lama dan membisikkan sesuatu yang membuat Lulung Lama mengerutkan alisnya dan nampak terkejut dan marah.

Ki Bok mengerahkan seluruh kepandaiannya, berloncatan dengan cepat sekali dan dia mengetuk daun pintu pondok di mana Sian Li dan Yo Han tinggal. Enam orang petugas jaga segera menghampirinya dari tempat penjagaan, juga ada belasan orang muncul dari tempat persembunyian. Ternyata pondok itu dijaga ketat sehingga kalau penghuninya hendak melarikan diri, maka tentu usaha itu akan ketahuan. Akan tetapi ketika para petugas itu mengenal Ki Bok, mereka memberi hormat dan segera mundur kembali setelah Ki Bok memberi isarat.

Sian Li dan Yo Han tidak tidur. Mereka di kamar masing-masing duduk bersila dan menghimpun tenaga, menanti datangnya saat penyerbuan seperti yang diharapkan Yo Han. Ketika mereka mendengar ketukan pada daun pintu depan, keduanya yang memang selalu siap siaga, segera keluar dari dalam kamar. Yo Han memberi isarat kepada Sian Li untuk membuka daun pintu sedangkan dia menyelinap kembali ke dalam kamarnya. Sian Li maklum bahwa Yo Han ingin mengintai apa yang akan terjadi.

“Siapa di luar?” Sian Li bertanya dari balik daun pintu.

“Sian Li, ini aku, Ki Bok. Cepat buka ada urusan penting sekali,” terdengar suara Ki Bok berbisik dari luar pintu.

Mendenger ini, Sian Li cepat membuka daun pintu. Ki Bok masuk dan memandang ke sekeliling, wajahnya cemas.

“Ki Bok, ada apakah? Apa yang terjadi?" tanya Sian Li, memandang tajam.

“Di mana Yo-toako?” tanyanya lirih.

Sian Li menoleh ke arah kamar Yo Han. “Dia masih tidur, ada apakah?”

“Sian Li, keadaan gawat. Mereka hendak datang memaksamu bekerja sama dan kalau engkau menolak, mereka akan membunuhmu. Aku.... aku tidak mungkin dapat menolongmu, tidak mungkin mencegah mereka. Sekarang, kau ambillah keputusan, Sian Li. Maukah engkau membantu kami dan bekerja sama dengan kami?”

Sian Li mengerutkan alisnya. “Engkau sudah tahu akan watakku, Ki Bok. Aku tidak mau bekerja sama dengan siapapun juga.”

Kalau begitu, Sian Li, engkau harus cepat lari, sekarang juga. Mari kubantu engkau lolos dari sini. Cepat, mereka akan mengejar kita!” Ki Bok menyambar tangan Sian Li. “Kita melalui jalan belakang!”

Akan tetapi Sian Li merenggutkan tangannya hingga terlepas. “Aku akan bertanya kepada Han-ko lebih dulu,“ katanya.

Pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar pondok, suara banyak orang datang ke tempat itu. Wajah Ki Bok berubah. “Celaka, mereka sudah datang. Sian Li mari cepat kita lari!”

Pada saat Sian Li meragu, Yo Han muncul dari dalam kamarnya. “Pergilah menyelamatkan diri, Li-moi, biar aku yang akan menghadapi mereka dan menghadang mereka yang akan mengejarmu.”

Tadinya Yo Han sudah siap untuk mengajak Sian Li melarikan diri begitu penyerbuan tiba dan mempergunakan kesempatan selagi terjadi pertempuran sehingga mereka dapat meloloskan diri tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Akan tetapi agaknya kini keadaan berubah. Sebelum serbuan itu tiba, keselamatan Sian Li terancam.

“Tidak Han-ko. Aku akan tinggal di sini membantumu menghadapi mereka,” kata Sian Li.

“Li-moi, jangan bodoh! Musuh terlampau banyak Larilah dulu, aku akan menghalang mereka dan nanti akan menyusulmu. Saudara Ki Bok, kalau benar engkau mencintainya, cepat selamatkan adikku itu!” etelah berkata demikian, Yo Han berlari keluar sambil cepat mengenakan caping lebarnya yang tadi dia lipat dan sembunyikan di balik baju ketika dia memasuki perkampungan itu. Caping lebar yang bertirai itu menyembunyikan mukanya.

Ki Bok mencabut sabuk baja yang kedua ujungnya berpisau, lalu menodongkan sebatang pisaunya ke punggung Sian Li sambil berkata, “Engkau pura-pura menjadi tawananku agar lebih mudah mengelabuhi mereka!” bisiknya. Tangan kanan menodongkan pisau, tangan kiri memegang pergelangan tangan Sian Li. Gadis itu maklum. Ia tidak dapat membantah lagi karena Yo Han telah berlari keluar dan ia mengerti akan maksud Ki Bok. Biarpun hatinya amat mengkhawatirkan keselamatan Yo Han, namun ia harus mentaati keinginan Yo Han. Kalau ia membangkang dan nekat melawan, tentu hal itu bahkan membuat Yo Han harus repot melindunginya. Maka, ia pun menurut saja ketika Ki Bok menariknya melarikan diri keluar dari pondok itu melalui jendela kamar Yo Han yang berada di sudut belakang.

Ketika mereka meloncat keluar dari rumah itu, mereka melihat betapa dibelakang rumah itu pun sudah penuh dengan anak buah Hek I Lama yang memegang senjata. Melihat Cu Ki Bok, mereka tertegun, akan tetapi pemuda itu dengan tenang segera berkata,

“Kalian kepung dan jaga rumah ini, jangan biarkan siapapun keluar. Aku harus cepat mengamankan tawanan ini agar jangan sampai lolos!” Setelah berkata demikian, dengan sikap kasar dia menarik lengan Sian Li sambil menodongkan pisaunya ke tengkuk gadis itu. Para anak buah perkumpulan pendeta Lama yang memberontak terhadap Tibet itu saling pandang, akan tetapi mereka tidak berani mencegah Cu Ki Bok, apalagi mereka masih belum tahu apa artinya semua keributan itu. Mereka hanya melihat para pimpinan berlari menyerbu ke rumah pondok itu dari depan dan mereka mendapat perintah untuk mengepung pondok itu. Mereka hanya mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap sudah menyelundup ke sarang mereka. Hal ini saja sudah cukup membuat mereka tegang. Siapa yang tidak akan merasa gentar mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap, pendekar yang sudah mengalahkan dan mengakibatkan tewasnya Dobhin Lama itu berada diantara mereka?

Sin-ciang Tai-hiap atau Yo Han telah membuka daun pintu depan pondok itu, tepat pada saat semua orang yang tadi lari dari bangunan induk itu ke situ telah tiba di depan pondok. Banyak anak buah Hek I Lama memegang obor sehingga tempat itu menjadi terang. Suara berisik mereka itu seketika lenyap dan mereka orang diam, bahkan ada yang menahan napas saking tegang dan juga jerih. Mereka melihat pria bercaping lebar yang mukanya tersembunyi di balik tirai caping itu berdiri tegak di depan pintu, menentang mereka. Sosok tubuh yang mendatangkan ketegangan dan kegentaran itu sebetulnya biasa saja. Tubuh yang sedang dan tegap, dengan pakaian sederhana pula, tidak memegang senjata apa pun. Rambut hitam panjang terurai lepas. Mukanya sama sekali tidak nampak, akan tetapi sepasang mata di balik tirai tipis itu seperti mencorong menembus tirai tertimpa sinar obor yang bergerak-gerak. Sosok tubuh yang tidak mengesankan, akan tetapi karena semua orang tahu bahwa pendekar ini baru saja menyebabkan Dobhin Lama tewas, maka mereka menjadi gentar. Dari balik tirainya, Yo Han melihat bahwa pondok itu telah di datangi sedikitnya tiga puluh orang dan masih ada puluhan orang anak buah Hek I Lama berada di belakang rombongan itu. Dia melihat Pangeran Nepal Gulam Sing bersama Badhu dan Sagha, juga beberapa orang tosu Pek-lian-kauw, Hek-pang Sin-kai dan anak buahnya, beberapa Pendeta Lama yang agaknya menjadi pimpinan. Akan tetapi dia tidak melihat adanya Lulung Lama, juga tidak melihat Pek-lian Sam-li. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang amat berbahaya karena selain mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, memiliki pula ilmu sihir dan ahli menggunakan racun, juga mereka berjumlah banyak. Kiranya tidak mungkin dia seorang diri saja akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau Sian Li sudah lolos, agaknya bukan tidak mungkin baginya untuk melarikan dan meloloskan diri dari kepungan mereka.

“Omitohud.... kiranya Sin-ciang Tai-hiap yang terkenal itu tidak datang melalui pintu gerbang depan seperti seorang gagah, melainkan secara curang menyelundup masuk seperti maling!” kata seorang pendeta Lama, seorang diantara para pembantu Lulung Lama sambil memegang sebatang tongkat pendeta berkepala naga yang lebih panjang dari pada tubuhnya yang tinggi.

“Losuhu, siapa yang curang agaknya perlu diteliti lebih jauh, aku ataukah perkumpulan Hek I Lama yang terdiri dari pendeta-pendeta yang sudah selayaknya bersikap jujur, adil dan mengharamkan perbuaan sesat. Ketua kalian, Dobhin Lama, telah menantangku untuk mengadu ilmu dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan mengembalikan mutiara hitam dan membebaskan Liem Sian Lun. Kami bertanding dan Tuhan membimbingku sehingga ketua kalian kalah. Dobhin Lama telah dengan gagah mengakui kekalahan dan mengembalikan mutiara hitam, akan tetapi kalian tidak membebaskan Liem Sian Lun, bahkan secara curang sekali menawan Tan Sian Li. Nah, siapa yang curang?”

Tiba-tiba Gulam Sing mencabut goloknya yang melengkung, mengangkat goloknya itu tinggi di atas kepalanya dan dia pun setelah mendengar ucapan Yo Han melalui penterjemahnya, berteriak dalam bahasanya sendiri. “Sin-ciang Ti-hiap, engkau ini manusia sombong! Engkau telah mengalahkan Dobhin Lama, akan tetapi hal itu terjadi karena dia sudah tua dan kehabisan tenaga. Kini engkau berani lancang menyusup ke sini seperti pencuri, jangan harap akan dapat keluar lagi hidup-hidup!”

Ketika ucapan itu hendak diterjemahkan, Yo Han mendahului. “Aku mengerti apa yang kaukatakan, Pangeran Gulam Sing. Dan aku mengerti pula mengapa engkau dan gerombolanmu keluar dari Nepal sebagai orang-orang pemberontak pelarian. Kini engkau bergabung dengan Lama Jubah Hitam yang juga memberontak terhadap pemerintah Tibet, tentu hanya untuk mencari kawan saja agar kelak dapat membalas budi dan membantumu memberontak terhadap pemerintah Nepal!”

“Sin-ciang Tai-hiap, mati hidupmu di tangan kami dan engkau masih membuka mulut besar? Kepung dan keroyok!” teriak seorang pemimpin Hek I Lama dan Pangeran Nepal itu sudah mendahului dengan serangan golok melengkung yang amat tajam itu, disusul rekan-rekannya sehingga dalam beberapa detik saja hujan senjata telah menyerang ke arah tubuh Yo Han.

Yo Han maklum bahwa dia diserang oleh banyak orang pandai, maka dia mengerahkan gin-kangnya dan tubuhnya berkelebat begaikan seekor burung walet cepatnya, berloncatan dan mengelak dari hujan senjata yang menyambar dari segenap penjuru itu. Dia harus memberi waktu kepada Sian Li untuk dapat lolos terlebih dahulu sebelum dia sendiri melarikan diri. Sebaliknya dia memancing datangnya semua tokoh di tempat itu agar pelarian Sian Li dapat berjalan lancar. Sian Lun telah tewas dan tidak perlu dipikirkan lagi. Sambil berloncatan mengelak, kaki tangannya bergerak dengan tamparan dan tendangan. Beberapa orang pengeroyok terpelanting. Usahanya memang berhasil. Semua tokoh yang dirinya memiliki kepandaian yang tinggi saja yang hanya mengepung dengan senjata di tangan, tanpa berani lancang ikut mengeroyok.

Akan tetapi Yo Han tetap merasa khawatir karena belum juga nampak Lulung Lama dan Pek-Sian Sam-Li ikut mengeroyok. Dia khawatir kalau-kalau empat orang yang paling lihai itu menjadi penghalang bagi lolosnya Sian Li yang tadi dibantu oleh Cu Ki Bok.

Kekhawatiran Yo Han itu memang terbukti benar, Cu Ki Bok, berhasil membawa Sian Li lari sampai ke dekat pagar bambu runcing dan tidak pernah ada penjaga yang berani menghalanginya. Mereka berhenti di bawah pagar bambu runcing.

“Nah, engkau loncatlah ke atas dan cepat tinggalkan tempat ini, Sian Li,” kata Cu Ki Bok, suaranya agak gemetar.

Sian Li memegang tangan pemuda itu. Ia dapat mendengar getaran suara itu dan ia pun terharu. “Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Ki Bok? Mereka akan tahu bahwa engkau telah membebaskan aku, dan tentu engkau akan celaka....”

Ki Bok tersenyum dan menggeleng kepala. ”Aku cukup penting bagi perjuangan Suhu dan kawan-kawan. Kesalahanku itu kecil saja karena engkau bukanlah orang Mancu, bukan musuh penting. Sudahlah, aku dapat menjaga diriku sendiri, Sian Li kau pergilah....!”

Sian Li melepaskan pegangan tangannya, melangkah ke arah pagar bambu, akan tetapi terhenti lagi dan menengok. “Ki Bok....” ia meragu.

“Ada apa lagi, Sian Li. Cepat-cepatlah, jangan sampai mereka datang mengejar.”

“Aku hanya ingin minta maaf padamu....”

“Minta maaf? Untuk apa?” Ki Bok memandang heran.

“Engkau begitu mencintaiku dan sudah kaubuktikan dengan pertolongan ini, akan tetapi aku....aku tidak dapat membalas cintamu. Maafkan aku, Ki Bok.”

Cu Ki Bok tertawa, namun suara ketawanya sumbang, “Sudah nasibku Sian Li, cinta tak dapat bertepuk sebelah tangan. Engkau tidak bersalah. Cinta tidak dapat dipaksakan, hanya aku yang tidak tahu diri. Nah, pergilah dan jangan pikirkan aku lagi....”

Tiba-tiba mereka melihat beberapa bayangan berkelebat dan Ki Bok terbelalak ketika melihat bahwa gurunya, Lulung Lama, ketiga Pek-Lian Sam-li dan belasan orang pembantu mereka telah mengepung tempat itu!

“Omitohud, tidak kusangka bahwa muridku yang paling kupercaya, sekarang bahkan mengkhianatiku! Sungguh seperti memelihara anak harimau, ketika kecil dan lemah dirawat dan dipelihara, setelah besar dan kuat hendak menubruk pemeliharanya sendiri. Engkau murid murtad!”

“Suhu, teecu hendak membebaskan Nona Tan Sian Li karena ia tidak bersalah, dan karena teecu tidak tega melihat ia celaka. Suhu, ia bukan musuh kita, dan membebaskannya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan perjuangan kita. Bagaimana Suhu dapat mengatakan bahwa teecu murtad dan pengkhianat? Suhu, kalau Suhu menghendaki agar perjuangan kita mendapat dukungan para pendekar di dunia kang-ouw, sebaiknya Suhu membebaskan Nona ini.”

Terdengar suara tawa merdu, disambung suara Ji Kim, orang ke tiga Pek-lian Sam-liyang cantik manis dan lincah. “Hi-hik, apakah Losuhu masih belum mengerti? Muridmu itu telah tergila-gila kepada gadis ini, dan orang yang tergila-gila seperti dia itu mau berbuat apa saja untuk orang yang dicintainya. Kalau perlu melawan guru sendiri demi membela wanita yang dicintainya, heh-heh!”

“Benar sekali, Losuhu. Muridmu ini tidak ada harganya sama sekali, bahkan berbahaya karena sewaktu-waktu dia dapat mengkhianati kita,” kata Ji Kui.

Cu Ki Bok marah sekali dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka tiga orang wanita itu. “Pek-Lian Sam-li, kalian ini hanya tamu akan tetapi tidak tahu diri! Aku tahu mengapa kalian membenciku, karena aku tidak sudi melayani rayuan kalian, bukan? Kalian sungguh menjemukan, kalian perempuan-perempuan hina yang berkedok pejuang!”

“Ki Bok tutup mulutmu!” Lulung Lama membentak.

Sian Li yang sejak tadi mendengarkan saja, kini melangkah maju dan ia pun berseru nyaring. “Ucapan Ki Bok benar! Tiga orang wanita jalang ini tak tahu malu! Ki bok seribu kali lebih berharga daripada mereka ini, Losuhu.”

“Hi-hik, engkau sudah mau mampus masih banyak lagak!” bentak Ji kui, dan bersama adiknya ia sudah menyerang ke arah Sian Li. Gadis berpakaian merah ini, bergerak cepat, mengelak dan biarpun ia bertangan kosong, ia membalas dengan serangan yang dahsyat.

“Ki Bok, pinceng tidak mungkin dapat membiarkan engkau kelak mengkhianatiku. Nah, terimalah hukumanku ini!’ Pendeta Lama itu menerjang kedepan dan menghantam dengan tangan kanan ke arah kepala murid sendiri.

“Suhu....!” Ki Bok berseru dan cepat melempar tubuhnya ke belakang. Biarpun dia sudah mengelak cepat, namun angin pukulan itu masih menyambar dahsyat dan tubuhnya terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter lebih.

“Ki Bok....! Losuhu engkau tidak boleh membunuhnya!” Sian Li berteriak, akan tetapi tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu sudah menyerangnya dari tiga penjuru dan biarpun ia dapat menangkis dan mengelak, tetap saja ia terhuyung ke belakang. Seorang penjaga yang memegang pedang menyambutnya dengann tusukan pedangnya, Sian Li adalah seorang gadis gemblengan. Biarpun ia kurang pengalaman dan ilmu-ilmunya belum masak benar, namun ia telah mewarisi ilmu-ilmu hebat. Ketika ada angin tusukan pedang menyambar tubuh bagian iga dari samping, ia masih dapat menekuk tubuhnya sehingga pedang lewat dekat iganya, dan kakinya menendang, pergelangan tangan yang memegang pedang itu terkena sambaran ujung kakinya. Tangannya juga cepat merenggut dan pedang itu sudah berpindah ke tangannya! Begitu memegang pedang, senjata menyambar dan penyerangnya tadi pun roboh oleh pedangnya sendiri.

Dengan pedang di tangan, Sian Li mengamuk, memainkan Liong-siauw Kiam-sut dengan pedang rampasan itu. Namun Pek-lian Sam-li yang juga sudah menggunakan pedang, mengepung dan megeroyoknya, membuat Sian Li tak mungkin lagi dapat mendekati Ki Bok lagi.

Pemuda itu bangkit berdiri setelah tadi terguling-guling, hanya untuk melihat suhunya sudah berdiri di depannya, kini dengan sepasang senjata gelang roda besar di kedua tangan, matanya mencorong marah, penuh nafsu membunuh.

“Suhu, ampunkan teecu....” Cu Ki Bok meratap. Dia tidak takut mati konyol di tangan gurunya sendiri, hanya untuk kesalahan sekecil itu. Kalau diingat betapa sejak kecil dia diperlakukan dengan baik oleh Lulung Ma, sungguh penasaran kalau sekarang terancam maut di tangan orang yang selama ini dianggap sebagai pengganti orang tuanya, yang menyayang dan disayangnya.

Agaknya Lulung Lama juga tidak tega untuk membunuh pemuda yang selama ini menjadi tumpuan harapan dan yang disayangnya, selama ini setia kepadanya itu, maka dia nampak ragu-ragu.

“Losuhu, ingat, dia agaknya pun berbaik dengan Sin-ciang Tai-hiap. Dia berbahaya, seperti musuh dalam selimut!” teriak Ji Kim yang merasa kecewa dan sakit hati karena selamanya baru sekali ia dan encinya ditolak pria, yaitu ketika mereka gagal merayu Ki Bok.

Mendengar teriakan ini bangkit kembali kemarahan Lulung Lama. Memang muridnya ini yang menerima Yo Han.

“Mampuslah....!” bentaknya dan dia pun menyerang dengan sepasang rodanya. Ki Bok terkejut bukan main, berusaha untuk mengelak. Dia tetap tidak mau melawan gurunya dan hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Namun, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan gurunya, maka sebuah tendangan kaki Lulung Lama mencium lutut kanannya dan dia pun terpelanting.

“Sian Li, larilah.... cepat....!” Dia masih sempat berteriak sebelum sebuah roda di tangan kiri Lulung Lama menghantam kepalanya dan pemuda itu tewas seketika. Lulung Lama berdiri seperti patung, memandang ke arah pemuda yang kepalanya retak dan tewas itu, dan baru dia merasa menyesal bukan main.

“Ki Bok.... omitohud.... apa yang kulakukan ini? Ki Bok....” dia mengeluh.

Seolah menjawab kata-katanya, terdengar sorak-sorai riuh sekali dan nampak obor-obor dinyalakan di luar pagar bambu kemudian terdengar suara hiruk pikuk ketika pagar bambu yang mengelilingi perkampungan itu dijebol orang dari luar. Perkampungan itu diserbu orang dari luar.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Lulung Lama ketika pagar itu jebol, dia melihat banyak pendeta Lama diantara para penyerbu yang terdiri dari pasukan Tibet!

“Celaka....!” Serunya, maklum bahwa sarangnya diserbu oleh pasukan pemerintah Tibet bersama anak buah Dalai Lama. Dia pun cepat lari ke bangunan induk untuk memimpin anak buahnya mengadakan perlawanan.

Akan tetapi, dengan kaget Lulung Lama melihat bahwa para penyerbu bukan hanya pasukan Tibet dan para pendeta Lama saja yang menyerbu, melainkan juga puluhan orang Kang-ouw. Orang-orang kang-ouw itu kini membantu Yo Han yang dikeroyok dan yang tadi mengamuk. Maklumlah Lulung Lama bahwa dia harus melawan mati-matian, maka sambil mengeluarkan teriakan menantang, dia sudah menyerbu ke arah Yo Han yang kini dia ketahui adalah Sin-ciang Tai-hiap sendiri. Yo Han menyambut senjata roda di tangan Lulung Lama dan terjadilah perkelahian hebat diantara mereka.

Sementara itu, ketika melihat serbuan pasukan Tibet dan para pendeta Lama, juga orang-orang kang-ouw, Sian Li menjadi girang sekali dan ia tidak jadi melarikan diri. Bahkan ia lalu menggunakan suling emasnya yang tadi ia terima kembali dari Cu Ki Bok untuk membantu para penyerbu, mengamuk dan mencari-cari Pangeran Gulam Sing yang amat dibencinya untuk membalas kematian suhengnya. Gadis ini menerima sebuah suling berselaput emas dari Kam Bi Eng, nenek yang menggemblengnya dan biarpun ia juga pandai memainkan pedang namun ia lebih suka kalau memegang suling ini sebagai senjatanya.

Akhirnya Sian Li menemukan orang yang dicari-carinya. Ternyata Pangeran Gulam Sing yang tinggi besar brewok dan gagah perkasa itu, dengan senjata yang mengerikan, yaitu golok melengkung yang amat tajam, sedang bertanding malawan Gak Ciang Hun dan ibunya. Pangeran Nepal itu memang tangguh, dan terutama sekali dia memiliki tenaga raksasa yang membuat Ciang Hun dan ibunya kewalahan. Setiap kali senjata ibu dan anak itu bertemu dengan golok melengkung, tentu pedang mereka terpental. Hanya setelah Ciang Hun mengerahkan tenaga Sin-kangnya, barulah dia berani beradu senjata, akan tetapi ibunya tidak berani mengadu senjata secara langsung, hanya mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengeroyok.

“Pangeran jahanam!” Sian Li berseru dan sekali lompat, tubuhnya menjadi bayangan merah dan suling emasnya mengeluarkan bunyi melengking ketika ia menotok ke arah leher pangeran yang tinggi besar itu.

“Ha-ha-ha, Si Bangau Merah datang. Bagus, mari kita main-main sebentar, nona manis!” kata pangeran itu dalam bahasa yang patah-patah. Goloknya digerakkan dengan pengerahan tenaga, dihantamkan ke arah suling emas yang menusuk lehernya, dengan maksud agar senjata di tangan nona pakaian merah itu terpental dan lepas. Akan tetapi Sian Li bukan seorang gadis bodohh. Ia sudah tahu bahwa lawannya ini memiliki tenaga yang amat besar, maka ia menarik kembali sulingnya dan secepat kilat, sulingnya yang lepas dari tangkisan lawan itu sudah menotok ke arah ulu hati lawan!

Pada saat yang bersamaan, Gak Ciang Hun dan ibunya, Souw Hui Lian atau Nyonya Gak, telah menyerang pula dengana pedang mereka dari kanan kiri. Melihat dirinya diserang ole tiga orang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, Pangeran Gulam Sing mengeluarkan bentakan nyaring, bentakan yang mengandung kekuatan sihir dan tiga orang lawan itu tergetar seperti kehilangan tenaga dan di lain saat, kaki Pangeran Nepal itu sudah merobohkan Nyonya Gak dengan tedangannya yang mengenai paha. Goloknya menyambar ke arah Gak Ciang Hun yang masih sempat melempar diri ke belakang sehingga serangan itu luput, dan tangan kiri pangeran Nepal itu mencengkeram ke arah kepala Sian Li! Gadis ini terkejut. Tadi ketika Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan, ia pun tergetar dan seperti kehilangan tenaga sehingga tusukan sulingnya gagal, dan kini tiba-tiba lengan yang panjang itu telah terjulur cepat dan tangan yang besar itu sudah mencengkeram ke arah kepalanya!

Sian Li cepat miringkan kepala mengelak, dan tangan itu terus menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kirinya dan terdengar pangeran itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha,Nona merah, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku....eh....!” Dia terkejut karena tiba-tiba saja cengkeraman tangannya itu tertolak ke belakang oleh tenaga dahsyat dari sinar emas yang menyambar ke arah tangannya itu.

Dia cepat meloncat ke belakang dan ketika dia mengangkat muka,dia melihat bahwa di situ telah berdiri seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, berpakaian sederhana. Melihat pria ini sama sekali tidak mengesankan, akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh wibawa. Pria itu memandang kepada Sian Li yang tadi terkejut dan juga lega bahwa ada orang yang menyelamatkannya dan terdengar dia berkata, “Nona, biarlah aku yang menghadapi orang Nepal ini.”

Pangeran Gulam Sing yang menjadi marah tidak memberi kesempatan kepada lawan yang tangguh itu untuk banyak bicara. Dengan geram dia sudah mengeluarkan bentakan nyaring disertai kekuatan sihirnya sambil menggerakkan golok melengkung untuk menyerang. Akan tetapi pria itu bersikap tenang saja, agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakan itu dan dia sudah mencabut kembali sebatang suling dari ikat pinggangnya. Suling itu terbuat dari kayu, akan tetapi mengkilap sepeti emas, dan ketika dia gerakkan, maka terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup orang. Dan golok melengkung itu tertolak keras ketika bertemu suling, membuat Pangeran Gulam Sing menjadi terkejut. Dia pun mengamuk dan menyerang membabi buta, dilayani oleh pria yang sederhana itu.

Sian Li, Nyonya Gak,dan Ciang Hun memandang kagum. Terutama sekali Sian Li yang kini melongo dan terheran-heran. Ia dapat melihat dengan jelas bahwa suling itu dimainkan oleh Si Pria tiada bedanya sama sekali dengan permainannya sendiri, itulah Liong-siauw-kiam-sut (ilmu Pedang Suling Naga)! Dimainkan dengan perlahan saja, akan tetapi anehnya, golok melengkung itu sama sekali tidak mampu banyak berlagak lagi setelah berhadapan dengan permainan suling pria itu! Sian Li teringat akan neneknya, yaitu Kam Bi Eng, istri kakek Suma Ceng Liong. Seperti itulah kalau Nenek Kam Bi Eng memainkan sulingnya! Dan biarpun ia sendiri telah digembleng nenek itu dan telah menguasai Liong-siauw-kiam-sut, namun tentu saja tingkatnya masih jauh. Mungkin ia telah menguasai gerakannya, namun “isinya” belum matang sehingga sehingga tenaga yang dikandung dalam gerakannya masih belum begitu kuat.

Akan tetapi, Sian Li tak sempat banyak melamun kaarena seperti juga Ciang Hun dan ibunya, ia sudah harus berkelahi lagi dengan anak buah Pangeran Gulam Sing, yatu orang-orang Nepal yang juga terpaksa harus menggerakkan senjata menyambut para penyerbu. Terjadilah pertempuran hebat di malam itu.

Pria yang baru tiba itu memang hebat. Pangeran Gulam Sing yang gagah perkasa itu pun tidak mampu menandinginya. Belum juga lima puluh jurus, setelah Pangeran Nepal itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dia sudah terdesak dan terhimpit oleh gulungan sinar suling di tangan orang itu. Maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawan ini, tiba-tiba Pangeran Gulam Sing mengeluarkan teriakan nyaring dan kakinya yang panjang dan besar itu melakukan tendangan-tendangannya yang ampuh sekali. Kedua kaki itu bertubi-tubi melakukan tendangan, menyambar dari bawah ke atas, dari kanan kiri dan mendatangkan angin yang menyambar-nyambar.

Namun, lawannya agaknya tidak menjadi terkejut melihat ilmu tendangan yang amat dahsyat itu. Tubuhnya mencelat ke atas dan setelah berjungkir balik, dia pun meluncur turun dan didahului oleh sinar sulingnya, menyambut tendangan kaki Gulam Sing!

“Tukk! Tukk!” Gulam Sing terjengkang, kedua kakinya roboh. Saat itu dipergunakan oleh Sian Li yang sejak tadi mengamati jalannya perkelahian itu sambil menjaga diri dari serangan anak buah Gulam Sing, untuk meloncat ke dekat Gulam Sing. Sulingnya menyambar dan sebelum Pangeran Nepal itu sempat mengelak, suling di tangan Sian Li telah menotok tengkuknya dari samping dan pangeran Nepal itu pun terkulai.

“Awaaas....!” Pria itu cepat menyambar lengan Sian Li dan ditariknya. Untung dia bertindak cepat karena saat itu, dalam keadaan sekarat Gulam Sing masih mampu melontarkan goloknya ke arah Sian Li. Demikian kuat dan cepatnya lemparan golok itu sehingga andaikata Sian Li tidak ditarik orang tadi, tentu dara ini akan menjadi korban sambaran golok. Melihat robohnya Gulam Sing. Anak buahnya menjadi panik dan mereka lari cerai berai, disambut oleh pasukan Tibet.

“Gak-twako dan Bibi, mari kita bantu Han-ko!” kata Sian Li dan ia pun menghadapi pria itu sambil memberi hormat.”Paman yang gagah perkasa, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau Paman suka, kami harap Paman suka membantu kami sampai selesai!”

“Pria itu tersenyum. “Aku hanya kebetulan lewat dan mendengar keributan disini, aku datang dan melihat engkau tadi terancam, Nona. Mari, aku ikut di belakang kalian.”

Sian Li, Ciang Hun, Nyonya Gak dan diikuti pria itu lalu mencari Yo Han. Sementara itu, Yo Han yang tadi bertanding melawan Lulung Lama, tidak menggunakan waktu terlalu lama. Biarpun Lulung Lama dibantu oleh Pek-lian Sam-li namun Yo HaN dapat mendesak mereka dengan gerakan yang aneh. Dia menggunakan ilmu Bu-kek-hoat-keng dan begitu empat orang lawannya menyerangnya, mereka itu bahkan terjengkang sendiri. Makin hebat mereka menyerang, semakin kuat pula mereka tertolak dan terbanting! Memang ilmu yang diwarisi oleh Yo Han dari mendiang Kekek Ciu Lam Hok ini merupakan ilmu yang luar biasa. Ilmu ini dapat menghimpun tenaga sakti yang mengandung daya tolak luar biasa sehingga setiap orang penyerang apalagi kalau hatinya dibakar kebencian dan kemarahan, tentu akan terpukul sendiri oleh serangannya yang membalik.

Pada saat itu, para pendeta Lama telah berdatangan dan melihat Lulung Lama terjengkang berkali-kali setiap menyerang Yo Han, para pendeta Lama itu lalu menubruk dan meringkus pemberontak itu. Akan tetapi terhadap Pek-lian Sam-li, baru pendeta Lama dan pasukan tidak memberi ampun. Tiga orang wanita ini dikeroyok dan di bawah hujan senjata, mereka pun tewas. Demikian pula dua orang pembantu Gulam Sing, yaitu Badhu dan Sagha, juga para tosu Pek-lian-lauw yang menjadi kawan-kawan Pek-lian Sam-li semua tewas.

Ketika Yo Han melihat Sian Li, Ciang Hun dan Nyonya Gak, juga seorang pria sederhana datang hendak membantunya, dia yang sedang meneriaki para orang kang-ouw untuk menghentikan pertempuran, segera berkata kepada mereka. “Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita tidak perlu mencampuri pertempuran antara pasukan Tibet yang menangkapi para pemberontak.”

Orang-orang kang-ouw itu lalu meninggalkan tempat itu, lari cerai berai setelah mendengar perintah dari Sin-ciang Tai-hiap yang mereka taati. Adapun Sian Li, Ciang Hun dan ibunya, juga pria itu, segera mengikuti Yo Han melarikan diri keluar dari kancah ertempuran itu dan mereka menuruni bukit itu. Setelah mereka tiba di kaki bukit, malam mulai berganti pagi dan mereka berhenti di tempat sunyi untuk istirahat.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Li untuk sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada pria yang telah menolongnya. “Paman, terima kasih atas bantuan Paman. Kalau tidak ada Paman, mungkin aku telah menjadi korban golok Pangeran Gulam Sing yang lihai.” Ia mengamati wajah pria itu dengan kagum dan heran sekali, permainan senjata suling dari Paman itu sedemikian hebatnya, padahal gerakannya serupa benar dengan permainanku. Kalau boleh aku mengetahui, siapa nama Paman yang terhormat?”

Tiba-tiba Nyonya Gak berkata, “Sian Li, apakah engkau tidak pernah mendengar tentang pendekar sakti yang berjuluk Suling Naga? Aku berani bertaruh bahwa kita semua kini berhadapan dengan pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw. Benarkah dugaanku itu, saudara yang gagah perkasa?”

Mendengar itu, pria yang sederhana itu lalu mengangkat ke dua tangan depan dada memberi hormat kepada Souw Hui Lian atau Nyonya Gak. “Toanio mempunyai penglihatan tajam dan pandangan luas. Saya yang rendah memang bernama Sim Houw. Kalau boleh saya mengenal, siapakah Toanio dan siapa pula orang-orang muda yang gagah perkasa ini?”

Mendengar bahwa pria itu bernama Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga, Sian Li mengeluarkan seruan girang dan cepat ia lalu memberi hormat. “Aihhh, kiranya Locianpwe yang nama besarnya sudah sering kudengar dari Bibi Nenek Kam Bi Eng!”

Kini Sim Houw tersenyum lebar. “Aha, kiranya engkau menguasai Liong-siauw-kiam-sut dari Sumoi Kam Bi Eng! Nona baju merah, siapakah engkau dan siapa pula orang tuamu?” Sim Houw memandang dengan wajah berseri karena hatinya girang bukan main.

“Locianpwe, kita semua berada diantara orang sendiri. Mungkin Locianpwe tidak mengenal Ayahku. Ayahku bernama Tan Sin Hong....!”

“Ayahnya berjuluk Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih), murid Istana Gurun Pasir!” kata nyonya Gak gembira.

“Hebat!” Sim Houw berseru girang, “Kiranya ayahmu pendekar yang namanya terkenal itu. Sungguh girang sekali aku dapat bertemu denganmu, Nona baju merah!”

“Locianpwe, namaku Sian Li. Tan Sian Li. Adapun ibuku bernama Kao Hong Li....”

“She Kao....? Apa hubungannya dengan bekas Panglima Kao Cin Liong di Pao-teng?”

“Dia adalah Kakekku!” Sian Li berseru gembira.

Sim Houw tertawa bergelak, bukan main girang rasa hatinya. Tiba-tiba dia mengambil sulingnya dan meniup suling kayu berbentuk naga itu dan terdengarlah suara suling yang melengking-lengking, merdu dan halus, akan tetapi mengandung getaran yang amat kuat sehingga menimbulkan gelombang suara yang mencapai tempat jauh. Dan tiba-tiba terdengar suara suling yang lebih lembut dan melengking tinggi, walaupun tidak sekuat suara suling yang ditiup oleh Sim Houw, namun cukup jelas terdengar dari tempat itu. Suara suling yang menjawab itu dengan cepat terdengar semakin dekat dan tak lama kemudian, muncullah seorang wanita cantik. Wanita itu berusia empat puluh tahun, namun nampak manis dan jauh lebih muda, matanya membayangkan kelincahan dan kejenakaan, juga kecerdikan.

“Aih, aku sudah mulai tidak sabar menunggumu dan disini ternyata terdapat banyak orang. Siapakah mereka ini?” tanya wanita itu sambil memandang kepada semua orang satu demi satu.

“Lihatlah, Nona baju merah ini adalah puteri dari Pendekar Bangau Putih, dan ibunya adalah puteri bekas panglima Cin Liong. Juga, ia telah menguasai Liong-siauw-kiam-sut yang dipelajarinya dari Sumoi Kam Bi Eng. Hebat tidak?” kata Sim Houw kepada wanita itu yang bukan lain adalah isterinya yang bernama Can Bi Lan.

Can Bi Lan yang berwatak jenaka dan gembira itu segera maju dan memegang lengan Sian Li. “Aih, betapa gagahnya kau! Siapa namamu, Nona merah?”

Gembira sekali hati Sian Li bertemu dengan suami isteri yang namanya pernah ia dengar dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu. “Bibi yang gagah dan cantik. Namaku Tan Sian Li dan orang memberi julukan kepadaku Si Bangau Merah!”

“Si Bangau Merah? Puteri Pendekar Banagu Putih? Heh-heh, sungguh tepat sekali, Sian Li, siapakah orang-orang yang lain ini? Perkenalkan mereka kepadaku.”

“Aku sendiri pun belum sempat berkenalan dengan yang lain,” kata Sim Houw kepada isterinya. Pertama-tama saya harap Toanio suka memperkenalkan diri. Agaknya Toanio mengenal keadaan keluarga kami, akan tetapi kami tidak tahu siapa Toanio.”

“Kukira Paman dan Bibi tentu mengenal Bibi Gak. Suaminya adalah mendiang Beng-san Sian-eng. Dan ini adalah puteranya Gak Ciang Hun.”

“Aih, kiranya isterinya sepasang Locianpwe kembar, Sepasang Garuda dari Beng-san?” seru Sim Houw, “Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat.” Juga Can Bi Lan memberi hormat kepada Nyonya Gak yang cepat membalas penghormatan itu, diturut oleh puteranya.

“Dan siapakah pemuda ini? Sepintas lalu tadi aku melihat betapa hebatnya dia ketika melawan pengeroyokan lawan yang lihai. Aku yakin dia ini pun bukan orang sembarangan!” kata Sim Houw sambil memandang kepada Yo Han yag sejak tadi diam saja. Akan tetapi diam-diam Yo Han mengamati wajah Can Bi Lan. Pernah dia mendengar cerita mendiang ibunya ketika dia masih kecil tentang seorang Sumoi dari ibunya yang berjuluk Siauw Kwi (Setan Cilik). Mendiang ibunya sendiri pernah manjadi seorang tokoh sesat berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), dan Sumoi dari ibunya itu kalau tidak salah ingat bernama Can Bi Lan. Wanita ini adalah Sumoi dari mendiang ibunya!

Sian Li yang merasa bangga dan suka pamer segera memperkenalkan Yo Han “Pernahkah Paman dan Bibi dalam perantauan kalian mendengar nama besar Sin-ciang Tai-hiap di daerah ini? Nah, inilah orangnya. Namanya Yo Han!”

“Tentu saja kami pernah mendengarnya!” kata Can Bi Lan kagum. “Seorang pendekar yang tidak pernah membunuh, seorang pendekar budiman yang menalukkan orang-orang jahat dan menyadarkan mereka. Masih begini muda? Sungguh tak kusangka!”

“Sin-ciang Tai-hiap, engkau masih begini muda sudah membuat nama besar. Tentu gurumu seorang yang sakti dan terkenal sekali!” kata Sim Houw.

“Dan ayah ibumu tentu juga tokoh-tokoh dunia persilatan!” sambung Can Bi Lan.

Yo Han memberi hormat kepada suami isteri itu dan kemudian berkata kepada Can Bi Lan, “Bibi Guru, teecu Yo Han menghaturkan hormat. Mendiang Ibu adalah Ciong Siu Kwi....”

“Aihhh....!” Bi Lan berseru dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda suci itu. “Suci....? Aku mendengar bahwa Suci menikah dengan seorang pemuda sederhana she Yo.... dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah di tangan para pemberontak. Kiranya engkau .... ah, engkau keponakanku....!” Bi Lan maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, penuh rasa kagum dan juga bangga. “Sukurlah, akhirnya Suci meninggalkan seorang keturunan yang begini gagah perkasa dan berjiwa pendekar! Aku ikut merasa bangga, Yo Han!”

Rombongan itu lalu duduk di atas akar dan batu, bercakap-cakap dengan gembira, saling menceritakan pengalaman masing-masing. Karena mereka adalah orang-orang segolongan, bahkan diantara mereka masih ada hubungan, baik kekeluargaan maupun perguruan, maka tentu saja suasana menjadi akrab sekali. Nyonya Gak atau Souw Hui Lin menceritakan betapa kedua orang suaminya, Si kembar Gak jit Kong dan Gak Goat Kong yang dikenal dengan julukan Beng-san Sian-eng, telah meninggal dunia dan ia hidup berdua dengan putera tunggalnya yaitu Gak Ciang Hun yang ini sudah berusia dua puluh delapan tahun.

“Pertemuan dengan kalian semua membuat aku terkenang kembali ke kampung halaman,” kata Nyonya Gak sambil menghela mapas panjang. “Semenjak kematian suamiku, aku mengajak Ciang Hun merantau, karena aku merasa hidupku kosong. Ternyata aku hanya mengejar bayangan belaka. Kelahiran dan kematian merupakan kodrat Tuhan yang tidak dapat dimengerti oleh kita. Kita hanya menerima dan menjalani saja, tidak kuasa mengatur, maka kematian merupakan hal wajar yang tidak perlu disedihkan terus menerus. Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san.”

Gak Ciang Hun memandang kepada ibunya dengan mata bersinar dan wajah berseri. Selama ini dia menghibur hati ibunya yang menjadi berduka sekali karena kematian kedua orang ayahnya, namun betapa pun dia membujuk, ibunya tidak mau kembali ke Beng-san yang katanya hanya akan membuat ia berduka dan teringat kepada ayah-ayahnya. Akan tetapi sekarang, ibunya sudah menyadari dan bahkan ingin kembali. Tentu saja Ciang Hun menjadi girang bukan main. Kalau ibunya sudah mau kembali ke Beng-san, tentu dia dapat memikirkan untuk berumah tangga, tidak seperti sekarang ini, selama hampir dua tahun hanya merantau ke sana sini tanpa tempat tinggal yang tetap.

“Bagaimana dengan engkau, Sian Li?” tanya Can Bi Lan kepada gadis itu.

Sian Li bercerita tentang pengalamannya, betapa ia bersama mendiang Sian Lun yang menjadi suhengnya meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi berkunjung ke Bhutan bersama Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Betapa kemudian ia dan suhengnya bertemu dengan Lulung Lama sehingga mengalami banyak hal yang hebat.

“Dan di mana sekarang suhengmu itu?” tanya Sim Houw.

Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang kepada Yo Han. Berat rasa hatinya untuk menceritakan penyelewengan yang dilakukan suhengnya itu, apalagi mengingat bahwa dalam saat terakhir hidupnya, Sian Lun telah menyadari kesesatannya dan bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Melihat gadis itu memandang kepadanya seperti orang minta bantuan, Yo Han lalu menjawab untuknya.

“Sayang sekali, dalam pertentangan menghadapi persekutuan pemberontak itu, Liem Sian Lun telah tewas di tangan para pimpinan penjahat yang lihai.”

Gak Ciang Hun dan ibunya menunduk. Mereka dapat menduga bahwa suheng dari Si Bangau Merah itu telah menyeleweng, namun mereka tidak ingin mencampuri urusan itu dan diam saja.

Sim Houw menghela napas panjang. “Memang demikianlah resiko menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Kalau pihak penjahat lebih kuat, mungkin saja seorang pendekar akan mengorbankan nyawanya, mati muda. Akan tetapi kematian seperti itu tidaklah sia-sia, karena dia mati dalam membela kebenaran, dia seorang pahlawan kemanusiaan.”

“Lalu sekarang engkau hendak pergi ke mana Sian Li?” tanya Can Bi Lan yang kelihatan amat sayang kepada gadis berpakaian merah itu.

“Aku ingin segera pulang ke rumah Paman Suma Ceng Liong, Bibi, karena sudah lama meninggalkan dusun Hong-cun. Ayah dan Ibu tentu akan merasa khawatir kalau mereka datang menjemputku dan aku belum pulang. Dan Han-ko akan ikut denganku karena dia pun sudah merasa rindu kepada Ayah Ibuku.”

Mereka semua memandang kepada Yo Han dan pemuda ini mengangguk membenarkan. ”Kasihan kalau adik Sian Li harus pulang seorang diri, padahal ketika pergi ia bersama mendiang suhengnya. Selain itu, saya ingin bertemu dengan ayah ibunya, yaitu guru-guru saya yang pertama.”

“Paman dan Bibi sendiri hendak pergi ke manakah?” Sian Li bertanya kepada suami isteri itu. Dan mereka semua merasa heran karena pertanyaan itu agaknya membuat suami isteri itu seperti termenung, bahkan ada bayangan kesedihan meliputi wajah mereka.

Akan tetapi Can Bi Lan memiliki dasar watak yang lincah dan gembira, maka ia tidak membiarkan wajahnya muram terlalu lama. Segera ia tersenyum lagi dan setelah menghela napas panjang, ia lalu berkata, “Biarlah kami ceritakan keadaan kami karena kalian bukan orang luar, melainkan masih terhitung anggauta keluarga sendiri. Mungkin kalian sudah mendengar tentang nama kami, akan tetapi tentu merasa heran mengapa selama ini kami berdua tidak pernah memperlihatkan diri, bahkan seperti mengasingkan diri dari dunia persilatan. Sesunguhnya ada musibah besar menimpa keluarga kami. Terjadinya kurang lebih dua puluh tahun lalu. Ketika itu, anak tunggal kami, seorang anak perempuan yang baru berusia tiga tahun, telah lenyap dari rumah kami.”

“Ahhh....!” Mereka yang mendengarkan cerita itu berseru kaget. “Apakah sampai sekarang belum juga dapat ditemukan, Bibi?” tanya Sian Li.

Can Bi Lan menggeleng kepala sambil menghela napas.

“Adik Bi Lan, bagaimana mungkin peristiwa seperti itu dapat menimpa suami isteri yang sakti seperti kalian? Apa yang telah terjadi dengan puterimu?” tanya Nyonya Gak dengan terkejut, penasaran dan heran. Sukar membayangkan ada orang berani menculik puteri dari suami isteri Pendekar Suling Naga!

Bi Lan kembal menghela napas. “Ketika itu, anak kami Sim Hui Eng yang baru berusia tiga tahun diasuh oleh seorang pelayan di taman belakang rumah dan tiba-tiba kami mendengar jeritan pelayan kami di taman belakang. Kami cepat lari ke sana dan mendapatkan pelayan kami telah tewas tanpa luka. Setelah kami memeriksa dengan teliti, ternyata ia telah tewas oleh tepukan pada ubun-ubun kepalanya yang merusak isi kepala tanpa menimbulkan luka, dan anak kami lenyap tanpa bekas. Di atas tanah terdapat tulisan yang mungkin sudah ditulis lebih dahulu, yang menyatakan bahwa kalau kami melakukan pengejaran, anak kami akan dibunuhnya seperti orang itu membunuh pelayan kami.” Bi Lan menghentikan ceritanya dan memejamkan mata, agaknya masih ngeri membayangkan apa yang terjadi pada diri anaknya.

“Terkutuk! Bibi, siapakah pelaku yang jahat itu?” Gak Ciang Hun berseru marah.

Kini Sim Houw yang menjawab, suaranya tetap tenang walaupun terdengar jelas bahwa pendekar ini pun menahan kesedihan hatinya. “Kami sampai sekarang belum dapat menduga siapa pelakunya. Kami berdua dengan sangat hati-hati melakukan pencarian, takut kalau ancamannya itu dilaksanakan penculik itu. Namun, ternyata orang itu memang lihai bukan main karena sampai sekarang, dua puluh tahun telah lewat dan kami berdua belum juga berhasil menemukan Hui Eng. Kami tidak tahu pria atau wanita yang menculik anak kami itu, apa lagi namanya. Semua masih gelap bagi kami. Namun kami menduga bahwa perbuatan ini tentu merupakan balas dendam. Di waktu muda kami banyak menentang para tokoh sesat dan tentu mereka itu ada diantaranya yang mendendam kepada kami. Akan tetapi karena banyak sekali tokoh sesat yang pernah kami tentang, kami tidak tahu benar siapa penculik itu. Kami sudah menyelidiki di seluruh penjuru, sampai ke tempat ini, namun tidak pernah berhasil.” Suami isteri itu menunduk dan jelas bahwa mereka menderita tekanan batin yang amat hebat.

“Luar biasa!” Sian Li berseru. ”Kenapa sama benar dengan yang telah terjadi padaku?” Paman dan Bibi, ketika aku masih kecil, berusia empat tahun, aku pun diculik orang dari taman! Akan tetapi untung ada Han-ko ini, kalau tidak, mungkin nasibku sama dengan puteri Paman dan Bibi, sampai sekarang tidak dapat bertemu lagi dengan orang tuaku!”

Sim Houw dan Bi Lan memandang kaget dan heran. “Siapa yang menculikmu ketika itu?” tanya mereka hampir berbareng karena tentu saja mereka merasa tertarik mendengar terjadinya peristiwa yang serupa dengan apa yang terjadi pada diri anak mereka.

“Yang menculik aku adalah Ang I Moli Tee Kui Cu, puteri dari mendiang Tee Kok dari Yunan, ketua Ang I Mo-pang. Akan tetapi Ang I Moli juga menjadi tokoh Pek-lian-kauw dan sekarang ia telah mati dihukum pemerintah karena bersekutu dengan pemberontak. Nah, ketika aku diculik, Han-koko masih tinggal bersama orang tuaku dan dia inilah yang membebaskan aku dari tangan Ang I Moli dengan menggantikan aku aku dengan dirinya sendiri.”

“Aih, Li-moi. Kerika engkau diculik, engkau sedang bermain-main denganku, maka aku merasa bertanggungjawab,” kata Yo Han ketika semua mata memandang kepadanya dengan kagum.

Cerita Sian Li itu membuat suami isteri itu saling pandang dan berpikir. “Hemmm, kami kira memang ada persamaannya. Tentu penculik itu juga mendendam kepada orang tuamu,” kata Sim Houw. “Akan tetapi, kami tidak berhasil menemukan kembali anak kami, padahal kini ia tentu telah berusia dua puluh tiga tahun dan kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengannya.”

“Yang membuat hatiku terasa hancur kalau membayangkan adalah keadaannya yang tidak menentu itu. Kami akan merasa lebih bersedih kalau ia sampai dibawa sesat oleh penculiknya, lebih sedih daripada kalau andaikata ia sudah terbunuh,” kata Bi Lan dan nyonya ini nampak berduka sekali.

Yo Han yang sejak tadi mendengarkan merasa iba sekali. “Maaf, Paman dan Bibi, peristiwa itu telah berlalu selama dua puluh tahun. Kini puteri Jiwi (Kalian) tentu sudah merupakan seorang gadis dewasa berusia dua puluh tiga tahun. Namanya pun mungkin sudah diganti nama baru oleh penculiknya. Bagaimana Paman dan Bibi akan dapat mengenalnya andaikata bertemu dengannya, apalagi kalau ia menggunakan nama baru?”

Bi Lan memandang kepada pemuda itu. “Kami pun sudah berpikir demikian. Nama memang bisa saja diganti, akan tetapi ada dua buah tanda pada tubuh anak kami itu yang tidak mungkin dipunya oleh anak lain. Di pundak kirinya terdapat sebuah tahi lalat hitam yang jelas dan di telapak kaki kanannya terdapat tanda noda merah sebesar ibu jari kaki. Dengan adanya dua tanda itu, kami tentu akan dapat mengenal anak kami.”

Tanpa mengelurkan sepatah pun kata Yo Han mencatat semua itu di dalam hatinya. Dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menemukan Sim Hui Eng untuk suami isteri yang sudah menderita duka selama dua puluh tahun itu.

Tak lama kemudian, mereka terpecah menjadi tiga rombongan. Sim Houw dan Can Bi Lan meninggalkan tempat itu, untuk kembali ke Lok-yang, tempat tinggal mereka, karena sudah terlalu lama mereka meningalkan rumah dalam perantauan mereka mencari anak mereka dan juga untuk menghibur diri. Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga pergi kembali ke Beng-san di mana mereka masih mempunyai sebuah rumah peninggalan Beng-san Siang-eng yang makamnya juga berada di puncak gunung itu. Adapun Sian Li diantar Yo Han melakukan perjalanan pulang ke dusun Hong-cun di luar kota Cin-an.



***



Sore itu, seperti yang mereka lakukan selama beberapa hari ini, Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, duduk di serambi luar dan bercakap-cakap, sambil kadang-kadang mereka melayangkan pandang mata ke jalan di depan rumah mereka. Mereka setiap hari menanti dengan hati mengharap-harap kembalinya murid-murid mereka, yaitu Liem Sian Lun dan Tan Sian Li.

“Kenapa mereka belum juga pulang?” gumam Suma Ceng Liong. “Dalam waktu sebulan lagi, tahun baru tiba dan tentu Sin Hong dan Hong Li akan datang berkunjung untuk menjemput puteri mereka. Sungguh tidak enak kalau mereka datang, Sian Li belum juga pulang.”

“Kenapa mesti merasa tidak enak?” bantah isterinya. “Sian Li bukan pergi sendiri, melainkan diajak oleh Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Pula, ada Sian Lun yng menemaninya agar ia tidak pulang seorang diri. Andaikata mereka terlambat dan ayah ibu Sian Li yang datang lebih dahulu, mereka tentu akan dapat mengerti.”

“Engkau benar. Sin Hong dan Hong Li adalah orang-orang bijaksana. Buktinya biarpun mereka berdua sendiri memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak menolak permintaan kita untuk mendidik anak mereka selama lima tahun. Bahkan sebelum anak dan mantu kita datang, aku akan minta bantuan mereka untuk menyusun daftar nama dari mereka yang hendak kuundang dalam perayaan ulang tahun ke enam puluh yang akan kupergunakan untuk suatu pertemuan besar berikut keluarga mereka semua.”

Isterinya memandang dengan wajah berseri. “Jadikah rencanamu untuk mengumpulkan demikian banyaknya keluarga dari tiga perguruan besar itu?”

“Kenapa tidak? Kalau tidak dikumpulkan agar mereka saling berkenalan, tentu anak cucu mereka tidak akan saling mengenal dan hubungan baik antara ketiga keluarga besar itu akan terputus. Sayang sekali, bukan? Sejak dahulu, nama besar dari keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Gunung Naga telah dikenal diseluruh dunia persilatan. Kini keturunan mereka cerai berai, padahal diantara ketiga perguruan besar itu telah terjalin hubungan kekeluargaan yang amat erat.”

Isterinya mengangguk setuju. Mereka sendiri adalah gabungan dari dua keluarga besar. Suma Ceng Liong adalah cucu dalam dari Pendekar Pulau Es, putera dari Pendekar Siluman Kecil. Sedangan Kam Bi Eng adalah puteri dari Kam Hong Si Pendekar Suling Emas dan Bu Ci Sian yang terhitung murid ayah mertuanya pula.

“Pasti akan menggembirakan sekali dan merupakan peristiwa besar kalau cita-citamu itu sampai terlaksana, “ katanya.

“Kenapa tidak?” Tentu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng, sudah menerima suratku dan tak lama lagi mereka tentu akan tiba di sini. Hubungan kekeluargaan harus diperbaiki, tidak seperti sekarang ini. Bertahun-tahun di antara keluarga tidak sempat bertemu karena terpisah jauh. Ingat saja kematian ayahmu. Sampai-sampai kita sendiri tidak mengetahui! Orang tentu akan menganggap aku seorang mantu yang sama sekali tidak berbakti, ayah mertua meninggal sampai dikebumikan tidak tahu sama sekali.

Isterinya menyentuh lengan suaminya. “Sudahlah, tidak perlu lagi disesalkan hal itu. Ibu sendiri mengatakan bahwa memang sengaja Ibu tidak mengabarkan tentang kematian Ayah, sesuai dengan pesan terakhir dari Ayah. Dan aku mengenal watak Ayah. Dahulu Ayah seringkali bicara tentang kematian sebagai perjalanan pulang kampung! Ayah tidak setuju kalau orang meninggal ditangisi dan dikabungi, yang dikatakan semua itu hanya upacara pura-pura dan palsu belaka. Sepatutnya keluarga bersukur kalau ada orang yang dikasihinya “pulang kampung” karena terbebas dari siksa dunia. “Yah, Ayah memang aneh dan kukira setiap orang berilmu tinggi di dalam ini mempunyai keanehan masing-masing yang tidak mereka sadari bahwa mereka berbeda dengan orang-orang awam.”

“Engkau benar, isteriku. Aku tidak menyesali peristiwa itu, hanya alangkah baiknya kalau sebelum mati, kita selalu memiliki hubungan yang akrab dengan keluarga besar kita.”

Percakapan mereka terhenti seketika karena karena pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke rumah itu. Ketika nampak dua ekor yang ditunggangi Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, suami itu cepat bangkit berdiri dengan wajah berseri. Mereka memang sedang menanti-nanti kedatangan mereka. Setiap tahun sekali, sejak Sian Li berada di situ, Sin Hong dan Hong Li pasti datang berkunjung, yaitu menjelang hari raya sin-cia (tahun baru), dan kunjungan mereka sekali ini adalah untuk menjemput kembali puteri mereka yag sudah tiba waktunya untuk pulang setelah berada di bawah bimbingan kakek dan nenek itu selama lima tahun.

Tan Sin Hong yang kini sudah berusia empat puluh tahun itu masih nampak gagah dengan pakaian yang sederhana berwarna serba putih, yang membuat dia dijuluki Pendekar Bangau Putih di dunia persilatan. Sedangkan isterinya, Kao Hong Li yang berusia tiga puluh sembilan tahun itu masih nampak muda, cantik, lincah dan gagah. Dengan sigapnya mereka berdua meloncat turun dari atas punggung kuda, dan dua orang pelayan yang mengenal kewajiban dan mengenal pula dua orang tamu itu sudah berlari-lari menyambut dan mereka segera mengurus dua ekor kuda itu.

Sin Hong dan Hong Li cepat maju memberi hormat kepada tuan dan nyonya rumah, yang disambut dengan ramah dan gembira. “Aha, kami memang sudah menanti-nanti kalian!” kata Suma Ceng Liong sambil membalas penghormatan mereka. “Mari silakan duduk di dalam.”

“Harap kalian jangan kecewa, Sian Li tidak turut menyambut karena ia masih belum pulang,” kata Kam Bi Eng sambil tersenyum melihat suami isteri itu melihat-lihat ke sekeliling, mencari-cari.

“Bibi, ia pergi kemanakah?” tanya Hong Li heran.

“Duduklah dan nanti kita bicara,” kata Suma Ceng Liong yang mengajak dua orang tamunya duduk di ruangan sebelah dalam. Setelah mereka semua duduk, berceritalah kakek dan nenek itu tentang kunjungan Suma Cian Bun dan Gangga Dewi dan betapa Sian Lun ikut kedua orang itu berpesiar ke Bhutan.“Ke Bhutan?” Kao Hong Li berseru kaget. “Akan tetapi tempat itu jauh dan perjalanannya amat berbahaya!” juga suaminya terkejut mendengar bahwa puteri mereka pergi ke Bhutan melalui pegunungan dan gurun yang berbahaya.

“Sian Li mendesak dan kami tidak dapat mencegahnya. Apalagi ia pergi bersama Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan ia pun ditemani suhengnya, Liem Sian Lun. Kami pikir, mereka berdua sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup dapat menjaga diri. Pula, bukankah amat penting bagi mereka untuk meluaskan pengalaman mereka!” kata Suma Ceng Liong.

Mendengar penjelasan itu, Sin Hong dan Hong Li dapat menerimanya dan mereka pun menjadi tenang kembali. Bagaimanapun juga, mereka berdua dahulu pun merupakan petualang-petualang yang malang-melintang di dunia kang-ouw. Hanya pengalaman di dunia kang-ouw saja yang membuat seseorang menjadi matang, pikir mereka dan mereka pun menghilangkan kekhawatiran mereka.

“Akan tetapi, meurut perhitungan kami, dalam hari-hari mendatang ini ia dan Sian Lun tentu akan segera datang, kata Kam Bi Eng.

“Kalau begitu, biarlah kami menunggu kedatangan di sini, Bibi!” kata Hong Li.

Suma Ceng Liong tersenyum. “Itulah yang kuharapkan karena aku ingin minta bantuan kalian berdua untuk melengkapi catatan daftar keluarga yang akan kami kumpulkan pada hari ulang tahunku yang keenam puluh. Aku ingin agar tidak ada anggauta keluarga yang terlewat. Yang kumaksudkan dengan keluarga adalah keluarga tiga perguruan besar, yaitu keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, keluarga Lembah Gunung Naga, dan sekalian murid-murid mereka.”

Sin Hong dan Hong Li ikut gembira mendengar niat ini. Sebuah niat yang baik sekali dan pasti pesta pertemuan yang amat menggembirakan. Membayangkan saja akan bertemu muka dengan seluruh keluarga tiga perguruan itu sudah membuat mereka merasa tegang dan gembira.

Selama beberapa hari menanti datangnya Sian Li, dan Sian Lun, suami isteri itu membantu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyusun daftar para anggauta keluarga. Tentu saja hanya yang mereka ingat dan kenal. Keluarga dari tiga perguruan itu telah menjadi amat luas dan banyak sehingga untuk dapat mengetahui seluruh anggauta keluarga dengan lengkap memakan waktu lama dan harus bertanya-tanya kepada anggauta keluarga lain.

“Kita mulai dari keluarga Istana Pulau Es,” kata Suma Ceng Liong dengan sikap gembira. Di depan empat orang itu, di atas meja, telah dipersiapkan sebuah buku daftar untuk mencatat nama dan alamat keluarga yang akan diundang.

“Sebaiknya kita susun dari anggauta keluarga paling tua berikut keluarga masing-masing,” usul isterinya.

“Benar sekali,” kata Suma Ceng Liong sambil mengingat-ingat. “Sekarang ini anggauta keluarga Istana Pulau Es yang paling tua tentulah Enci Suma Hui.”

Hong Li mengangguk senang. “Memang agaknya Ibuku yang paling tua diantara keluarga Suma.”

“Nah, kita mulai dengan nama Enci Suma Hui, dan suaminya juga kebetulan merupakan anggauta tertua dari keluarga Istana Gurun Pasir,” kata Suma Ceng Liong. “Kita mulai dengan keluarga mereka di tempat teratas, dan tentu saja anak cucu dan para murid mereka.” Dengan bantuan isterinya dan dua orang tamunya, Suma Ceng Liong mulai menyusun daftar keluarga yang dikirim undangan untuk pertemuan besar itu.

Setelah bekerja beberapa hari lamanya, tersusunlah daftar sementara seperti berikut. Keluarga Istana Pulau Es terdiri dari.

Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, yang tinggal di kota Pao-teng dan anak mereka Kao Hong Li yang bersama suaminya, Tan Sin Hong tinggal di kota Ta-tung bersama puteri mereka, Tan Sian Li.

Suma Ciang Bun bersama isterinya, Gangga Dewi kini tinggal di istana Kerajaan Bhutan, yaitu kota raja Thim-phu. Tidak diketahui apakah keduanya mempunyai murid ataukah tidak.

Kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun luar kota Cin-an, bersama seorang murid mereka bernama Liem Sian Lun. Puteri mereka, Suma Lian bersama suaminya, Gu Hong Beng, tinggal di kota Ping-san, di selatan Pao-teng tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai murid pula.

Nyonya Gak dapat dibilang masih keluarga Istana Pulau Es, karena ia adalah isteri dari dua saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu putera dari mendiang Gak Bun Beng dan Puteri Milana, yaitu masih puteri Pendekar Super Sakti. Maka Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga masuk dalam daftar undangan. Kini ibu dan anak itu tinggal di puncak Beng-san.

Adapun keluarga Istana Gurun Pasir yang tertua adalah Kao Cin Liong, suami Suma Hui yang sudah masuk urutan pertama dari daftar itu. Ayah Kao Cin Liong, mendiang Kao Kok Cu mempunyai murid, yaitu Can Bi Lan yang kini bersama suaminya, Sim Houw, tinggal diLok-yang, dan ada puteri mereka, SimHui Eng, yang kabarnya lenyap ketika berusia tiga tahun, demikian yang diketahui Suma Ceng Liong. Sepanjang yang diketahuinya, Sim Houw dan Can Bi Lan mempunyai seorang putera pertama SimHok Bu, namun anak itu meninggal dalam usia delapan tahun karena penyakit. Kalau pun masih ada murid-murid dari keluarga Istana Gurun Pasir, hal itu tidak diketahui sama sekali oleh mereka berempat dan harus mereka selidiki dulu dengan menanyakan kepada anggauta keluarga lain.

Keluarga lain yang mereka catat adalah keluarga dari Lembah Gurun Naga, atau keturunan dari perguruan Suling Emas. Setelah Kam Hong meninggal dunia, maka yang tertua tentu saja adalah Bu Ci Sian ibu Kam Bi Eng, nenek yang kini tinggal seorang diri di puncak Bukit Nelayan menunggui makam suaminya. Tidak diketahui jelas siapa murid mereka bahkan Kam Bi Eng sendiri juga tidak tahu karena ibunya tdak pernah memberitahu. Kemudian ada Cu Kun Tek yang bersama isterinya, Pouw Li Sian murid Gak Bun Beng, tinggal di Lembah Gunung Naga sebagai pewaris keluarga Cu.Tidak diketahui dengan pasti keadaan mereka dan siapa saja yang masih terhitung murid atau keluarga perguruan Suling Emas dan Naga Siluman ini.

"Jangan dilupakan nama Yo Han," SinHong mengingatkan. "Biarpun dia puteraYo Jin dan Ciong Siu Kwi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ketiga perguruan, namun Yo Han pernah menjadi murid kami berdua, dan dia bahkan pernah kami anggap seperti anak sendiri."

Suma Ceng Liong mengangguk dan dia pun mencatat nama Yo Han. Masih jauh daripada lengkap daftar itu, hanya merekacatat nama-nama yang mereka kenal saja.

Pada hari kelima, muncullah Tan Sian Li bersama Yo Han. Pagi hari itu, Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sedang duduk di serambi depan. Mereka berempat menengok dan begitu melihat Sian Li, mereka melompat bangun dan memandang dengan wajah berseri.

"Ibu....! Ayah....!" Sian Li berteriak begitu melihat ayah ibunya, lalu berlari menghampiri mereka dan di lain saat ia sudah berpelukan dengan ibunya. Mereka gembira bukan main sampai melupakanYo Han yang berdiri termangu, hatinya diliputi keharuan ketika dia melihat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Karena mereka semua sedang asyik dan sibuk, diapun tidak berani mengganggu dan hanya berdiri di bawah, di luar serambi sambil memandang.

Setelah Sian Li memberi hormat kepada ayah ibunya dan kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, barulah dua orang tua ini berseru heran, dan memandang kepada Yo Han."Sian Li,mana Sian Lun? Dan dia itu....siapa dia yang datang bersamamu?" tanya Suma Ceng Liong dengan suara heran.

Kao Hong Li yang masih merangkul puterinya juga memandang kepada Yo Han dan bertanya, "Sian Li, engkau da tang bersama siapakah?"

Dalam perjalanan mereka, Yo Han pernah menasihatkan Sian Li untuk melapor kepada Suma Ceng Liong dan isterinya bahwa suhengnya itu tewas sebagai seorang pendekar dan tidak bercerita tentang penyelewengannya. Kini Sian Li, yang tidak biasa berbohong, dengan muka ditundukkan lalu berkata, suaranya lirih.

"Ayah Ibu, Kakek dan Nenek, dengan menyesal sekali aku harus mengabarkan bahwa Suheng Liem Sian Lun telah.... tewas...."

Tentu saja empat orang itu terkejut mendengar ini, terutama sekali Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mendengar betapa murid mereka tewas, keduanya saling pandang, lalu mengamati wajah Sian Li dan Kam Bi Eng bertanya.

"Tewas? Sian Lun.... tewas? Apa yang terjadi? Siapa yang telah berani membunuhnya?"

"Panjang ceritanya." Sian Li mengeluh kemudian ia menceritakan betapa dalam perjalanan ke Bhutan itu mereka bertemu dengan Lulung Lama dan kemudian, ketika mereka pulang dari Bhutan, mereka bahkan terlibat dan bentrok dengan persekutuan pemberontak yang terdiri dari para Lama Jubah Hitam, Pangeran Gulam Sing dari Nepal, para pengemis Tongkat Hitam,dan orang-orang Pek-lian-kauw.

"Kami terlibat dengan mereka, terjadi bentrokan, bahkan aku sendiri pernah tertawan oleh mereka. Dan dalam pertempuran itu, Suheng tewas di tangan Pangeran Gulam Sing dari Nepal. Kami dibantu oleh pasukan Tibet dan para orang kang-ouw, dan bahkan kami mendapat bantuan dari Bibi Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun. Bahkan di sana kami bertemu dan dibantu oleh Paman Sim Houw, Pendekar Suling Naga." Dengan panjang lebar Sian Li menceritakan tentang pertempuran yang akhirnya dapat membasmi para pemberontak itu.

"Beberapa kali aku terancam behaya maut dan tentu aku sudah tewas pula seperti Suheng kalau saja tidak dibantu olehnya," katanya sebagai penutup sambi lmenuding ke arah Yo Han yang masih berdiri di luar sambil mendengarkan dan menundukkan mukanya.

"Sian Li, siapakah dia?" Kao Hong Li bertanya kepada puterinya sambil mengamati wajah yang menunduk itu.

"Ayah dan Ibu, benarkah kalian tidak mengenalnya?" tanya Sian Li sambil tertawa.

Karena Sin Hong dan Hong Li kini mengamati wajahnya, Yo Han segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada mereka, berkata dengan suara terharu. "Suhu dan Subo, harap maafkan teecu...."

"Yo Han....!" suami isteri itu berteriak. Jadi mereka sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu adalah Yo Han walaupun mereka merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing bagi mereka.

Kini, mereka segera mengenalnya dan keduanya cepat keluar dari serambi danSin Hong dengan girang menarik tanganYo Han dan disuruhnya bangkit berdiri.

"Yo Han, terima kasih kepada Tuhan bahwa engkau dalam keadaan sehat dan baik!" seru Sin Hong, wajahnya berseri karena gembira melihat pemuda itu yang pernah membuat dia merasa prihatin sekali karena kepergiannya. Dia kadang merasa berdosa kepada Yo Jin dan Bi Kwi, ayah ibu pemuda itu yang telah mempercayakan Yo Han kepadanya.

"Yo Han, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa!" seru Hong Li yang sebenarnya juga merasa sayang kepada murid yang pandai membawa diri ini.

"Ayah, ibu, kalian tidak tahu bahwa Han-ko sekarang telah menjadi Sin-ciang Tai-hiap yang memiliki kesaktian hebat! Kalau tidak ada dia, tentu aku tidak akan dapa pulang hari ini!" Sian Li memuji, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.

"Benarkah? Luar biasa sekali! Bukankah sejak kecil engkau tidak suka mempelajari ilmu silat, Yo Han?" tegur Sin Hong.

Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang masih tertegun mendengar kematian murid mereka, segera mengajak mereka semua untuk masuk dan bicara di dalam. Setelah semua duduk di ruangan dalam, barulah Yo Han menceritakan pengalamannya sejak dia dibawa pergi Ang I Moli sebagai penukaran atau tebusan atas diri Sian Li yang dibebaskan oleh iblis betina itu. Betapa dia kemudian menyadari akan perlunya membekali diri dengan ilmu kepandaian agar dapat menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menyadarkan mereka yang mengambil jalan sesat.

"Thian-li-pang?" kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. "Seingatku,Thian-li-pang di Bukit Naga adalah perkumpulan para patriot yang menentang pemerintah. Mereka terkenal gagah perkasa dan diantara para pemimpinnya terdapat orang-orang yang sakti. Akan tetapi, aku pernah mendengar bahwa Thian-li-pang kemudian menjadi perkumpulan yang tidak bersih namanya. Para muridnya suka melakukan hal-hal yang jahat, bahkan kabarnya pernah mengadu domba perguruan-perguruan silat yang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai,-Bu-tong-pai dan Go-bi-pai. Kabarnya perkumpulan itu diselewengkan oleh dua orang tokohnya yang berjuluk Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong. Entah sampai di mana kebenaran berita itu."

Sin Hong dan isterinya terkejut. "Yo Han, benarkah itu? Dan engkau menjadi murid Thian-li-pang yang tersesat itu?" tanya Sin Hong sambil menatap wajah pemuda itu penuh selidik.

"Apa yang diucapkan Suma Locianpwe memang benar, Thian-li-pang adalah perkumpulan yang anti pemerintah, anti penjajah, akan tetapi setelah Ban-tokMo-ko dan Thian-te Tok-ong yang memegang pimpinan, perkumpulan itu dibawa menyeleweng ke jalan sesat. Memang mula-mula teecu dipaksa menjadi murid dua orang datuk itu. Akan tetapi kemudian teecu bertemu dengan orang ke tiga dari para datuk Thian-li-pang yang kemudian menjadi guru teecu yang sebenarnya. Beliau bernama Ciu Lam Hok dan disana beliau menjadi orang hukuman yang disiksa oleh dua orang suhengnya Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong itu. Kaki tangannya dibuntungi dan beliau dihukum di dalam sumur yang amat dalam. Teecu berhasil bertemu dan menjadi muridnya. Seteleh beliau meninggal karena usia tua, teecu berhasil keluar. Ban-tek Mo-ko dan Thian-te Tok-ong saling menyalahkan ketika mendengarkan kematian Suhu Ciu Lam Hok dan mereka saling serang sendiri sampai keduanya tewas. Teecu yang menerima tugas dari mendiang Suhu untuk meluruskan kembali Thian-li-pang, berhasil menundukkan dan membujuk para pimpinan dan sekarang teecu yakin bahwa Thian-li-pang telah kembali kejalan benar."

"Ciu Lam Hok....? Hem, tidak pernah aku mendengar nama itu. Yang terkenal hanyalah Ban-tok Mo-ko danThian-te Tok-ong," kata Suma Ceng Liong.

"Ayah, nama Han-kose bagi Sin-ciang Tai-hiap di daerah barat sudah sangat terkenal. Dibandingkan dengan dia, kemampuanku tidak ada artinya...."

"Aih, Li-moi, harap jangan terlalu memuji. Engkau membua taku menjadi malu saja."

Pujian yang tiada hentinya dari Sian Li membuat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li kagum, akan tetapi juga penasaran. Rasanya tidak mungkin Yo Han memiliki kepandaian yang melebihi Sian Li. Akan tetapi mereka tidak memperlihatkan perasaan-penasaran ini, hanya tersenyum gembira.

"Sian Li, ceritakan yang lebih jelas tentang kematian suhengmu." Kam Bi Eng yang masih belum dapat menghilangkan perasaan dukanya atas kematian Sian Lun, tiba-tiba berkata. Suma Ceng Liong mengangguk-angguk membenarkan permintaan isterinya.

Sian Li mengerutkan alisnya. Berat tugas ini terasa olehnya. Ia seorang yang tidak suka berbohong, tidak biasa membohong akan tetapi sekali ini, terpaksa ia harus berbohong Yo Han yang mengajarkan kepadanya bahwa untuk urusan ini, amat bijaksanalah kalau ia berbohong. Bagaimanapun juga, Sian Lun telah tewas, dan harus ia akui bahwa dalam saat terakhir, Sian Lun telah menebus penyelewengannya dengan perbuatan gagah, yaitu membelanya sampai mengorbankan nyawa. Kalau ia menceritakan penyelewengan Sian Lun, hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya bahkan tentu akan membuat kakek dan nenek itu merasa menyesal bukan main. Bagaimanapun juga, amat sukar baginya untuk berbohong seluruhnya, maka iapun mengambil "jalan tengah".

Sian Li menceritakan lebih jelas semua pengalamannya bersama Sian Lun ketika mereka terlibat dalam pertentangan dengan persekutuan pemberontak itu. "Aku dan Suheng tertawan musuh yang selain lihai juga amat banyak jumlahnya, katanya. "Kemudian merek aitu, dengan kekuatan sihir mereka, menyihir Suheng dan mempengaruhi Suheng sehingga nampaknya Suheng suka membantu mereka. Apalagi mereka itu menggunakan dalih perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, pada saat terakhir, Suheng dapat membebaskan diri dari pengaruh sihir, kemudian Suheng mengamuk dengangagah perkasa. Akan tetapi, lawannya, Pangeran Gulam Sing dari Nepal memang tangguh bukan main sehingga akhirnya Suheng roboh dan tewas. Aku sendiri terbebas dari maut karena ada Han-ko yang mengamuk didekatku dan yang melindungi aku."

Suma Ceng Liong menghela napas panjang. "Sudahlah, memang sudah nasibnya mati muda. Bagaimanapun juga, kita tidak perlu menyesali kematiannya karena dia gugur sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku bahkan kecewa tidak dapat melawan gerombolan itu disamping Sian Lun."

"Hemm, ingin aku mencoba kepandaian pangeran Nepal itu!" kata Kam Bi Eng dengan gemas dan dengan kedua mata agak merah karena ia menahan tangisnya.

“Kita tidak perlu mengingat lagi pangeran itu karena dia sudah tertangkap oleh pasukanTibet dan sudah pasti akan dihukum mati," kata Sian Li.

Setelah tinggal di situ selama dua hari dua malam, Sin Hong dan Hong Li lalu mengajak puteri mereka dan juga Yo Han untuk pulang ke Ta-tung. Mereka berjanji untuk membantu Suma Ceng Liong menyebar undangan kepada para sanak keluarga yang akan diundang menghadiri perayaan ulang tahun sekalian mengadakan pertemuan besar keluarga itu. Di sepanjang perjalanan, Sin Hong dan Hong Li kembali minta kepada Sian Li dan Yo Ha nuntuk menceritakan lagi dengan terperinci semua pengalamannya. Bahkan Yo Han juga harus menceritakan semua pengalamannya, yang didengarkan pula oleh Sian Li karena kepada gadis itu, sebelumnya Yo Han hanya menceritakan garis besarnya saja.


***


Ada rasa khawatir dalam hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ketika mereka melihat sikap yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han di sepanjang perjalanan menuju pulang itu. Mereka melihat betapa mesra dan manisnya sikap Sian Li kepada Yo Han. Memang mereka mengetahui bahwa sejak kecil, Sian Li amat sayang kepada Yo Han yang juga menyayangnya. Akan tetapi, dahulu kesayangan mereka adalah seperti kesayangan antara kakak dan adik, dan hal itu pun tidak aneh karena sejak Sian Li masih bayi, Yo Han yang mengasuhnya dan menjadi teman bermain. Akan tetapi ketika itu mereka masih kecil dan sekarang mereka bukan kanak-kanak lagi. Yo Han telah menjadi seorang laki-laki yang dewasa, sedangkan Sian Li telah berusia tujuh belas tahun, bagaikan setangkai bunga mulai berkembang dan mekar menjadi dewasa. Kemesraan yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han membuat suami isteri itu khawatir, apalagi melihat betapa sinar mata Sian Li kalau memandang Yo Han demikian penuh rasa kagum. Dan Yo Han telah merupakan seorang laki-laki yang tampan, gagah dan halus budi, sifat yang mudah sekali menjatuhkan hati setiap orang gadis. Mereka berdua dilanda kekhawatiran yang sama seperti dulu ketika Sian Li masih kecil. Khawatir kalau Sian Li terpengaruh! Walaupun yang mereka khawatirkan itu berbeda. Dahulu mereka khawatir kalau Sian Li ketularan watak Yo Han yang tidak suka belajar ilmu sllat sehingga Sian Li juga akan malas belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah. Sekarang mereka khawatir kalau puteri mereka itu akan jatuh cinta kepada Yo Han, cinta seorang wanita terhadap seorang pria!

Setiap kali mendapat kesempatan bicara berdua, yaitu di waktu malam dalam sebuah kamar rumah penginapan dimana mereka berdua berada, mereka berbisik-bisik membicarakan puteri mereka dan Yo Han dan keduanya memang sudah sepakat dan satu hati.

"Tidak dapat disangkal bahwa Yo Han memang telah menjadi seorang pemuda yang ganteng, tampan dan halus budi. Kalau dilihat dari keadaan lahiriahnya, memang tidak akan mengecewakan andaikata dia menjadi suami anak kita," kata Hong Li.

"Engkau benar. Dan biarpun aku sendiri belum membuktikan, akan tetapi dari cerita Sian Li, aku percaya bahwa Yo Han memang telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Memang kalau dilihat keadaan wajahnya, tubuhnya, kepandaiannya, kita tidak akan malu mempunyai seorang mantu seperti dia."

Isterinya mengangguk. "Memang sungguh sayang sekali. Sayang bahwa ibunya adalah Bi Kwi. Masih ngeri hatiku kalau mengenang kembali kejahatan yang pernah dilakukan ibunya. Seorang iblis betina yang kejam dan amat jahat, walaupun pada waktu-waktu terakhir dia telah menyadari kesalahannya dan bertaubat. Siapa tahu, sifatnya yang jahat itu akan diwarisi puteranya."

Sin Hong menghela napas panjang."Aku pun merasa berat sekali untuk berpikir seperti itu, akan tetapi apa boleh buat, demi kebahagiaan anak tunggal kita. Tidak mungkin kita membiarkan anak kia kelak hidup menderita kalau suaminya berubah wataknya menjadi jahat. Kita tidak dapat yakin bahwa Yo Han tidak mewarisi watak jahat ibunya. Memang nampaknya selama ini dia mirip dengan watak mendiang Yo Jin, ayahnya yang walaupun petani sederhana dan tidak pandai silat namun berjiwa gagah. Tidak mungkin mempertahankan nasib Sian Li secara untung-untungan.

Hong Li termenung dan nampak khawatir sekali. "Akan tetapi aku melihat sinar mata Sian Li kalau memandang kepadanya. Ah, aku khawatir kalau anak kita telah jatuh cinta kepada Yo Han...."

"Aaahh, kalau pun demikian, cintanya itu hanyalah cinta monyet. Sian Li belum dewasa benar, usianya baru tujuh belas tahun, cintanya, akan mudah goyah dan berubah. Justeru karena itu maka mereka harus cepat dipisahkan, kalau dibiarkan mereka bergaul lebih dekat dan akrab, bukan tidak mungkin mereka akan saling jatuh cinta."

Hong Li menghela napas panjang. "Sebetulnya aku merasa malu dan tidak enak sekali. Yo Han demikian baik, akan tetapi klta.... ah, dahulu kita juga ingin memisahkan mereka, sekarang pun kita masih tidak menghendaki mereka bergaul dekat. Kalau dipandang sepintas saja, kita yang keterlaluan. Akan tetapi, demi kebahagiaan anak kita...."

“Ya, demi kebahagiaan anak kita. Akan tetapi kita harus mencari cara agar tidak kentara, dan terutama sekali agar Yo Han tidak sampai tersinggung."

"Itulah yang merisaukan hatiku. Alasan apa pula yang dapat kita pergunakan sekarang? Dahulu, kebetulan muncul Ang I Moli yang mengajak Yo Han pergi sebagai pengganti Sian Li. Akan tetapi sekarang? Bagaimana mungkin kita mengusir dia begitu saja?"

"Memang tidak boleh kita mengusirnya begitu saja. Dahulu aku sudah berjanji kepada ayah ibunya untuk merawat dan mendidik Yo Han, dan andaikata tidak ada permasalahan dengan Sian Li, janji itu sudah pasti akan kupegang teguh!"

"Lalu bagaimana kita harus bertindak agar pengusiran itu tidak menyinggung hatinya, akan tetapi berhasil baik?"

"Aku ada akal. Ingatkah engkau akan cerita Sian Li tentang puteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw? Nah, hilangnya anak itu dapat kita pergunakan untuk membujuk Yo Han! Ibu anak itu, siapa namanya.... o ya, Sim Hui Eng, ibunya Can Bi Lan adalah sumoi dari Bi Kwi, ibu Yo Han. Aku tahu benar betapa erat dan baiknya hubungan antara suci dan sumoi itu, seperti dua saudara kandung saja. Nah, kita ingatkan kepada Yo Han bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membela keluarga Can Bi Lan yang dulu berjuluk Siauw Kwi itu, sebagai pengganti ibunya. Melihat hubungan yang amat baik antara ibunya dan Can Bi Lan, maka dia seperti keluarga sendiri saja dan sudah sepatutnya kalau dia mempergunakan kepandaiannya untuk berusaha mencari sampai dapat Sim Hui Eng yang hilang itu, atau setidaknya, memperoleh keterangan bagaimana jadi nya dengan anak yang hilang itu."

Kao Hong Li mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. "Memang itu boleh kita jadikan pendorong agar dia pergi. Akan tetapi rasanya masih kurang kuat. Bagaimana kalau aku memberitahu kepadanya, tentu saja dengan lembut dan hati-hati, bahwa sekarangdia sudah dewasa, sudah sepantasnya kalau berdiri sendiri dan bahwa kini Sian Li sudah mulai besar dan dewasa sehingga tidak pantaslah kalau dia serumah dengan Sian Li? Juga dapat kusindirkan dengan halus kepadanya bahwa kita sudah menerima usul dan sedang menjajaki dan mempertimbangkan ikatan jodoh antara anak kita dengan seorang pangeran...."

Tan Sin Hong menatap tajam wajah isterinya. "Pangeran....?"

Kao Hong Li tersenyum. "Lupakah engkau akan Pangeran Cia Sun? Kita pernah berjumpa dengan dia dan aku tidak dapat melupakan betapa engkau kagum kepadanya, dan pernah melontarkan harapan agar anak kita dapat menjadi jodohnya?"

"Ihh, engkau melamun dari mengkhayal, terlalu jauh dan tinggi! Bagaimana mungkin kita mendapat mantu seorang pangeran seperti dia?" Tan Sin Hong tersenyum, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh harapan. Pangeran Cia Sun memang bukan putera mahkota, bukan seorang pangeran yang kelak ada harapan untuk menjadi Kaisar. Biarpun demikian, dia adalah seorang pangeran yang tentu saja hidup mulia dan berkecukupan, juga lowongan jabatan dan kedudukan tinggi terbuka lebar untuk seorang pangeran. Apalagi Pangeran Cia Sun masih muda, terpelajar tinggi, dan pandai ilmu silat, bahkan pernah minta petunjuk kepada mereka tentang ilmu silat. Biarpun belum dapat dinamakan murid mereka karena hanya menerima petunjuk dan dilatih selama beberapa bulan saja ketika suami isteriitu pergi ke kota raja, namun mereka mengenal pangeran itu sebagai seorang pemuda yang baik, berbakat dan pantas menjadi mantu mereka.Yang membuat mereka mengharapkan terjadinya hal ini adalah pernah ayah dari pangeran muda itu, yaitu Pangeran Cia Yan, secara berkelakar mengatakan bahwa dia akan senang kalau dapat berbesan dengan Pendekar Bangau Putih, ketika mendengar bahwa pendekar itu mempunyai seorang puteri yang kini sedang memperdalam ilmu silatnya di rumah paman kakeknya.

Pangeran Cia Sun memang hanya seorang cucu dari Kaisar Kian Liong, namun karena dia pangeran, tentu saja dalam pandangan suami isteri itu, dia lebih segala-galanya daripada pemuda lain.

Akhirnya mereka tiba di kota Ta-tung dan Sian Li merasa gembira sekali tiba kembali di rumah orang tuanya yang telah ia tinggalkan selama lebih dari lima tahun.

***

Sin Hong dan Hong Li mempergunakan kesempatan selagi puteri mereka, Sian Li pergi belanja untuk keperluan menyambut hari sin-cia yang akan tiba sepekan lagi, untuk mengajak Yo Han berbicara. Mereka memanggil Yo Han untuk bicara di ruangan depan. Hal ini mereka maksudkan agar kalau Sian Li pulang, mereka dapat melihatnya dan puteri mereka itu tidak sempat ikut mendengarkan percakapan mereka. Sin Hong memulai percakapan itu dengan suara yang serius namun juga ramah.

"Yo Han, sudah beberapa hari engkau berada di sini, dan setelah engkau beristirahat, barulah hari ini aku ingin membicarakan suatu hal yang sejak kami bertemu kembali denganmu dan mendengar cerita Sian Li selalu menjadi ganjalan di hati kami.

Yo Han memandang Sin Hong dengan sepasang mata yang tajam seperti hendak menembus dan menjenguk hati orang yang dianggap sebagai guru pertama, bahkan sebagai pengganti ayahnya itu. "Suhu, katakanlah apa yang menjadi ganjalan hati Suhu dan Subo, mudah-mudahan teecu dapat membantu melegakan hati Suhu dan Subo."

"Memang hanya engkau yang dapat melegakan hati kami, Yo Han. Ganjalan di hati kami itu adalah ketika kami mendengar tentang hilangnya Sim Hui Eng, puteri bibi gurumu Can Bi Lan. Kami merasa kasihan sekali kepada Pendekar Suling Naga dan isterinya. Putera mereka meninggal dunia ketika masih kecil, kemudian puteri mereka yang menjadi satu-satunya anak yang ada, sejak berusia tiga tahun diculik orang. Kami dapat membayangkan betapa sengsara hidup mereka dan pantaslah mereka itu seperti mengasingkan diri, tidak pernah menghubungi keluarga dan handai taulan. Apakah engkau tidak merasa kasihan, Yo Han?"

"Yo Han, tahukah engkau betapa akrab dahulu hubungan antara mendiang ibumu dengan sumoinya, yaitu Can Bi Lan?" Hong Li ikut bicara.

Yo Han mengangguk. "Tentu saja teecu juga merasa kasihan sekali mendengarkan nasib mereka yang kehilangan anak tunggal. Dan teecu masih ingat bahwa mendiang Ibu amat sayang kepada Bibi Can Bi Lan."

"Syukurlah kalau engkau masih ingat," kata Sin Hong. "Nah, sekarang tentang ganjalan di hati kami itu, Yo Han. Ayah dan ibumu dahulu menitipkan engkau kepadaku, dan aku akan merasa berdosa sekali kalau tidak menganjurkan agar engkau sekarang pergi mencari Sim Hui Eng sampai dapat! Siapalagi kalau bukan engkau yang membantu bibimu Can BiLan itu menemukan kembali puterinya? Dan aku yakin bahwa arwah ibumu akan bersyukur dan berterima kasih sekali kalau engkau dapat melakukan hal itu kepada bibimu Bi Lan. Mereka akan merasa berbahagia sekali, dan kami berdua juga akan merasa bangga. Setidaknya, bukan hal yang sia-sia saja Ibumu dahulu menitipkan engkau kepadaku."

Yo Han mengangguk-angguk mengerti, biarpun diam-diam dia mengeluh karena ke mana dan bagaimana dia akan mungkin dapat menemukan anak yang sudah dua puluh tahun menghilang itu? Dia ingat bahwa anak perempuan itu mempunyai ciri-ciri yang khas di pundak dan telapak kakinya, akan tetapi alangkah akan sukarnya mencari seorang gadis yang mempunyai ciri-ciri di tempat yang tertutup dan tersembunyi itu!

"Ada sebuah hal lagi yang ingin kusampaikan kepadamu, Yo Han. Bagaimanapun juga, kami berdua telah menganggap engkau seperti keluarga sendiri, karena dahulu oleh orang tuamu engkau diserahkan dan dititipkan kepada suamiku. Nah, sekarang usiamu sudah lebih dewasa, kalau tidak salah, usiamu sudah dua puluh lima tahun. Oleh karena itu, kami ingin melihat engkau berumah tangga. Kalau kami berhasil merayakan pernikahanmu, barulah suamiku akan merasa puas dan lega, menganggap bahwa tugasnya merawat dan mendidikmu baru sempurna. Selain itu, karena engkau sudah kami anggap seperti anak sendiri, tidak baiklah kalau sampai adikmu Sian Li menikah lebih dahulu...." kata Hong Li seperti sambil lalu saja.

Yo Han memandang kepada suami isteri itu dengan wajah yang agak berubah kemerahan. Anjuran kepadanya untuk segera menikah dianggapnya wajar saja, akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah berita tentang Sian Li dan pernikahan!

"Tapi....Li-moi....kalau tidak salah baru berusia tujuh belas tahun...." katanya hanya untuk mengucapkan sesuatu agar tidak diam dan bengong saja.

"Sudah mulai dewasa, bukan kanak-kanak lagi, bahkan kami pernah menerima usul perjodohannya dengan seorang pangeran.... ah, hal itu belum resmi, tidak perlu kami beritahukan sekarang," kata Hong Li.

Yo Han merasa betapa dadanya seperti ditekan sesuatu yang berat. Sian Li telah dipilihkan calon suami? Seorang pangeran? Wahh....! Entah kenapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi berita ini sama sekali tidak mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya, bahkan membuat dia merasa tidak tenang.

"Nah, kami harap engkau segera bersiap-siap untuk mulai dengan tugasmu itu, Yo Han, dan tidak mengecewakan kami. Kalau ditunda lebih lama lagi, kami khawatir akan terlambat. Dan ketahuilah bahwa andaikata engkau dapat menemukan puteri bibimu Can Bi Lan itu, selain hal itu akan amat membanggakan hati kami, juga kalau gadis itu memang baik dan pantas, kami akan merasa berbahagia sekali untuk berbesan dengan Pendekar Suling Naga."

"Maksud Suhu....?"

"Akan baik sekali kalau engkau dapat menemukan kembali puteri mereka kemudian engkau menikah dengannya." "Ah, Suhu....!" Yo Han tersipu. Betapa muluknya jalan pemikiran gurunya ini. Mencari saja belum tentu bisa dapat, sudah hendak menjodohkannya. Ayah bunda gadis itu sendiri yang merupakan suami isteri yang sakti, selama dua puluh tahun mencari anak mereka tanpa hasil. Apalagi dia yang sekarang baru hendak mulai.

"Sudahlah, hal itu kita bicarakan kelak saja. Akan tetapi, sanggupkah engkau memenuhi permintaan suhumu untuk mencari Sim Hui Eng sampai dapat?" tanya Hong Li.

"Teecu akan berusaha sekuat tenaga."

"Jadi engkau sanggup?" Sin Hong mendesak.

"Teecu sanggup, Suhu."

"Bagus! Engkau membuat lega hati kami, Yo Han. Andaikata kelak tidak berhasil sekalipun, namun engkau sudah berusaha sekuat tenaga dan itu saja sudah melegakan hati kami terhadap arwah orang tuamu."

"Nah,lebih baik engkau membuat persiapan dan makin cepat dimulai pencarian itu semakin baik, Yo Han," kata Hong Li.

Yo Han mengangguk lalu mengundurkan diri, masuk ke kamarnya membuat persiapan. Dia tidak boleh bersikap lemah. Biarpun hari sin-cia kurang sepekan lagi, akan tetapi rasanya cengeng kalau dia harus menunda tugasnya itu sampai lewat hari sin-cia. Seperti anak kecil saja, padahal tugas itu penting sekali. Akan tetapi dia harus meninggalkan SianLi, dan hal inilah yang membuat dia termenung sedih. Rasanya amat berat untuk berpisah lagi dari gadis itu setelah berpisah selama tiga belas tahun dan kini saling jumpa dan berkumpul kembali. Dan dia tahu bahwa gadis itu pun tentu akan merasa bersedih kalau diatinggalkan lagi.

Selagi dia mengumpulkan pakaian untuk di jadikan buntalan, daun pintu kamarnya diketuk orang. Dia membuka daun pintu itu, mengharapkan Sian Li yang datang walaupun gadis itu tidak pernah mengetuk pintunya melainkan langsung masuk saja kalau hendak bicara. Akan tetapi ternyata yang datang berkunjung adalah Kao Hong Li!

"Subo...."kata Yo Han dengan sikap hormat.

"Yo Han, ada satu hal penting yang tadi kami lupa untuk memesan kepadamu."

"Hal apakah itu, Subo?"

"Engkau tahu, Sian Li kadang-kadang suka kekanak-kanakan, ia lupa bahwa ia bukan kanak-kanak lagi, melainkan sudah menjadi seorang gadis dewasa. Oleh karena itu, mungkin sekali kalau engkau memberitahu kepadanya bahwa engkau akan pergi mencari Sim Hui Eng, ia akan rewel dan ingin ikut. Kalau ia rewel seperti itu, kuharap engkau suka dan dapat membujuknya agar ia tidak ikut pergi. Engkau tentu cukup maklum bahwa tidak mungkin kami membolehkan ia pergi lag imeninggalkan kami, apalagi sekarang ia sudah dewasa. Bagaimana kalau sampai calon suaminya mendengar bahwa ia pergi merantau berdua saja dengan seorang pemuda, walaupun pemuda itu adalah engkau, yang dapat dibilang sebagai kakak angkatnya? Engkau maklum,bukan?"

Yo Han merasa betapa hatinya pedih mendengar ini, akan tetapi tentu saja dia dapat memaklumi apa yang dimaksudkan subonya itu. "Baik, Subo. Kalau sampai Li-moi hendak ikut, tentu akan teecu bujuk ia agar tidak melakukan hal itu."

Akan tetapi, pelaksanaan selalu lebih sulit daripada rencana. Sore hari itu, ketika mereka berdua bicara dalam taman bunga di belakang rumah, Yo Han berpamit dari Sian Li bahwa sore hari itu juga dia akan pergi meninggalkan rumahitu.

Sian Li terbelalak menatap wajah Yo Han. "Pergi? Engkau hendak pergi, Han-ko? Pergi ke mana dan mengapa?" Sian Li menghampiri Yo Han dan memegang kedua tangan pemuda itu. Ia memang selalu bersikap akrab, bahkan manja kepada pemuda itu.

"Li-moi, ingatkah engkau akan Sim Hui Eng?"

Sian Li membelalakkan mata. "Sim Hui Eng? Siapa yang kaumaksudkan? Ahhh, she Sim! Ingat aku sekarang, bukankah ia puteri Paman Sim Houw yang hilang dua puluh tahun yang lalu itu?" Kini matanya memandang tajam menyelidik. "Mengapa engkau tiba-tiba menyebut namanya, Han-ko?"

"Nah, aku harus pergi karena aku berkewajiban untuk membantu Bibi Can Bi Lan menemukan kembali puterinya. Mendiang Ibuku amat akrab dan sayang kepada Bibi Bi Lan, maka arwah Ibuku akan senang sekali kalau aku membantu Bibi Bi Lan untuk menemukan kembali puterinya yang hilang itu."

Sian Li menatap wajah pemuda itu dan mukanya agak berubah. "Han-ko, baru saja kita berkumpul kembali dan engkau akan meninggalkan aku lagi? Sampai berapa lama Han-ko?"

"Entahlah, Li-moi. Engkau pun tahu bahwa aku juga ingin selalu berada disampingmu, akan tetapi tugas ini penting sekali. Pula, tidak ada perjumpaan tanpa diakhiri dengan perpisahan, Li-moi. Eng kau tentu tidak ingin melihat aku menjadi seorang yang tidak mengenal budi dan tidak mau mewakili mendiang Ibu untuk menolong Bibi Bi Lan."

Sian Li merasa kepalanya nanar. Berita kepergian Yo Han demikian tiba-tiba datangnya. Baru saja ia bergembira, berbelanja untuk keperluan sin-cia dan sin-cia kali ini terasa amat istimewa baginya karena di situ ada Yo Han yang akan merayakan sin-cia bersamanya. Dan kini, tiba-tiba Yo Han menyatakan hendak pergi meninggalkannya, entah untuk berapa lama!

"Han-ko, kapan engkau akan berangkat?" tanyanya, suaranya mulai terdengar sumbang.

"Sekarang juga,Li-moi.Aku sudah berkemas dan siap berangkat, tadi hanya menanti engkau untuk berpamit saja."

Sian Li terbelalak dan tiba-tiba ia merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu. "Han-ko, aku ikut engkau pergi!" katanya mantap dan bersungguh-sungguh.

Yo Han terkejut, akan tetapi juga merasa betapa hatinya berdebar penuh perasaan bahagia, girang dan terharu. Dia memejamkan kedua matanya ketika merasa betapa lingkaran kedua tengan gadis itu amat ketat, dan dia menguatkan hatinya agar jangan menuruti kehendak batinnya yang ingin membalas, ingin mendekap kepala yang disayangnya itu ke dadanya.

"Li-moi, jangan begitu. Tidak mungkin engkau ikut bersamaku. Perjalanan ini tidak menentu kapan berakhirnya. Engkau tidak boleh meninggalkan ayah ibumu. Biarkan aku pergi, Li-moi."

"Tidak.... tidak.... aku tidak mau kautinggalkan, aku tidak mau berpisah lagi darimu, Han-ko!" Sian Li berkata, kini gadis itu menangis di atas dada Yo Han dan rangkulannya semakin kuat. Yo Han menjadi bingung, apalagi pada saat itu muncul Sin Hong dan Hong Li!

"Yo Han, apa yang kaulakukan ini?" terdengar Tan Sin Hong membentak marah.

"Suhu, Subo....maafkan teecu...." kata Yo Han tak berdaya karena Sian Li masih merangkulnya.

"Yo Han, sungguh tak pantas kelakuanmu ini. Sian Li, lepaskan dia!" Hong Li juga berseru marah.

Sian Li tidak melepaskan rangkulannya, akan tetapi ia mengangkat mukanya dari dada Yo Han dan menoleh kepada orang tuanya. "Ayah, Ibu, Han-ko tidak bersalah apa-apa....aku.... aku ingin ikut dengannya, aku tidak mau ditinggalkannya lagi...."

Yo Han menguatkan hatinya, melepaskan rangkulan Sian Li dengan lembut. Dia harus mengambil keputusan yang tepat. Tidak boleh dia menyenangkan hatinya sendiri dengan mengorbankan perasaan Sin Hong dan Hong Li, dua orang yang dihormatinya itu.

"Li-moi, lepaskanlah. Aku tidak mau mengajak engkau pergi. Engkau hanya akan menjadi beban saja, dan aku mempunyai tugas penting.”

"Han-ko....!" Sian Li berseru dan dengan mata basah memandang kepada Yo Han seperti orang yang tidak percaya. "Engkau.... engkau....?"

Yo Han menunduk dan menghela napas panjang. "Sudahlah, Li-moi, engkau tidak boleh membikin marah ayah ibumu. Suhu dan Subo, teecu berangkat sekarang Li-moi jaga baik-baik dirimu! Pemuda itu lalu melangkah lebar memasuki rumah, mengambil buntalannya dan akan segera pergi.

"Han-koko...!” Sian Li hendak mengejar, akan tetapi ibunya sudah memegang lengannya.

"Sian Li, sungguh memalukan sekali sikapmu ini!"

Akan tetapi Sian Li meronta, melepaskan pegangan ibunya dan lari kedalam rumah mengejar Yo Han. Ayah ibunya saling pandang, menggeleng kepala lalu berlari mengikuti. Akan tetapi setelah tiba di kamar Yo Han, Sian Li tidak melihat lagi pemuda itu. Yo Han telah pergi dengan cepat sekali. Sian Li mencari ke sana sini dan memanggil-manggil, namun percuma, yang dipanggilnya sudah pergi tanpa meninggalkan bekas.

"Han-ko....! Han-koko....!" Ia berteriak-teriak dan hampir bertubrukan dengan ayah ibunya di ruangan tengah.

"Sian Li!" bentak Sin Hong marah.

"Sian Li, kelakuanmu ini sungguh tidak patut," ibunya juga mengomeli anaknya. "Yo Han sudah pergi,dia pergi melaksanakan tugas. Engkau bukan anak kecil lagi yang begitu saja hendak ikut pergi. Engkau sudah dewasa, seorang gadis dewasa. Bagaimana mungkin seorang gadis pergi begitu saja, berdua dengan seorang pemuda? Memalukan!"

Sian Li memandang ayah dan ibunya, wajahnya pucat dan basah air mata. "Ayah dan Ibu yang melakukan semua ini! Ayah dan Ibu yang mengusahakan agar dia pergi meninggalkan aku. Dahulu, Ayah Ibu pula yang memisahkan kami, sekarang ayah dan Ibu pula yang mengulangi hal itu. Aku ingin dekat Han-ko! Apakah Ayah dan Ibu tidak tahu? Aku cinta kepada Han-ko. Aku cinta padanya....!" Sian Li menjatuhkan diri di atas bangku dan menangis.

Sin Hong dan Hong Li saling pandang, kemudian menggeleng-geleng kepala. Hong Li mendekati anaknya, merangkulnya. Sian Li menoleh, lalu merangkul ibunya.

"Ibu....!" Dan ia menangis tersedu-sedu di dada ibunya.

"Sian Li, kami juga mencinta Yo Han. Akan tetapi engkau dan Yo Han sudah seperti saudara sendiri. Dia cinta padamu sebagai seorang kakak, dan engkau masih terlalu kecil untuk mencinta sebagai seorang wanita. Ingatlah, kitas emua akan ternoda aib kalau engkau sebagai seorang gadis baik-baik pergi merantau bersama seorang pemuda. Tugasnya berat dia harus membantu bibinya mencari puteri mereka yang hilang. Dan kita sendiripun harus membantu pamanmu SimHouw. Kita bertiga juga akan pergi mencari keterangan. Kita akan pergi ke kota raja, siapa tahu kita akan dapat menemukan Sim Hui Eng."

Dihibur ayah ibunya dan dijanjikan akan diajak pergi membantu pencarian Sim Hui Eng, Sian Li menghentikan tangisnya.

"Sian Li, ingatlah bahwa sesungguhnya tidak tepat sama sekali kalau engkau memperlihatkan kecengengan seperti ini. "Sin Hong berkata, "Engkau bukan seorang anak kecil lagi. Engkau seorang gadis hampir dewasa dan usiamu sudah tujuh belas tahun.Lebih daripada itu,engkau telah memilikiilmu kepandaian yang lumayan, bahkan engkau sudah pantas dijuluki Si Bangau Merah sebagai imbangan ayahmu yang di juluki orang Pendekar Bangau Putih. Engkau harus memperdalam ilmu silat keluarga kita, yaitu Pek-ho Sin-kun dan untuk menyesuaikan kesukaanmu akan warna merah dan julukanmu Si Bangau Merah, aku akan mengubah sedikit dalam Pek-hoSin-kun agar lebih tepat dinamakan Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah), khusus untukmu."

Akhirnya Sian Li dapat melupakan kesedihannya, apalagi karena ia mengharapkan bahwa kelak ia akan dapat bertemu kembali dengan Yo Han. Mungkin dalam pesta perayaan dan pertemuan besar yang diadakan oleh Kakek Suma Ceng Liong, atau kalau Yo Han tidak muncul di sana, tentu pemuda itu akan muncul setelah berhasil menemukan Sim Hui Eng. Juga janji ayah ibunya untuk mengajak ia membantu pencarian Sim Hui Eng, dimulai di kota raja, mendatangkan kegembiraan di hatinya yang pada dasarnya memang lincah gembira, tidak dapat menyimpan kesedihan terlalu lama.

Sampai di sini, pengarang sudahi dulu kisah Si Bangau Merah ini untuk bertemu kembali dalam kisah lain yang merupakan lanjutan dari kisah ini dengan judul SITANGAN SAKTI, di mana kita akan bersua kembali dengan para tokoh dalam kisah ini. Semoga kisah ini ada manfaat nyabagi para pembacanya.


TAMAT

Solo, medio Maret 1985