Jodoh Rajawali -3 | Kho Ping Hoo
Buku 3
Si raksasa itu memang bingung dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan ditonjok, akan tetapi dia sama sekali tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya itu. Dia masih berusaha untuk menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk memukul sana-sini, mencengkeram sana-sini, namun hanya menngenai angin saja karena Syanti Dewi sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin kaget dan heran melihat raksasa itu memukul dan mencengkeram tempat kosong di depannya, padahal lawannya berada di sebelah kirinya!
“Takkk! Aughhhhh.... aduhhhhh....!” Raksasa itu mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya dengan tangan dan berloncatan dengan kaki kanan. Hanya orang yang pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang keringnya saja akan mengerti bagaimana perasaan si raksasa di saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh u ung besi sepatu Syanti Dewi, tentu saja nyeri bukan main, kiut-miut rasanya, bernyut-nyutan sampai terasa di dalam sumsum.
“Dukkk....! Aduhhh....!” Dan si raksasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan itu ditendang lagi oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah menjadi biru dan bengkak itu.
Siang In menggerakkan tangannya dan kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi yang berdiri di depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya yang amat mudah itu.
Siang In meloncat ke depan sambil tersenyum. “Nah, jelas bahwa temanku memperoleh kemenangan! Hayo, orang she Jiu. Sekarang kau majulah!”
Jiu Koan masih terheran-heran oleh kekalahan temannya. Dia memandang ke arah Syanti Dewi dengan pandang mata penuh selidik. Apakah yang terjadi, pikirnya. Temannya itu bukan seorang lemah atau tolol, akan tetapi dalam pertandingan tadi, temannya telah bersikap lebih daripada tolol! Setelah dia memberi isyarat dan si raksasa itu oleh teman-temannya diangkat minggir, Jiu Koan lalu berkata, “Kemenangan temanmu mencurigakan!”
“Eh-eh-eh, sudah jelas kawanmu kalah, engkau masih mencari alasan!” Siang In mengejek.
“Benar, akan tetapi sungguh tidak wajar! Tendangan-tendangan yang dilakukan temanmu tadi sebetulnya bukan apa-apa, sungguh tidak mungkin bisa mengalahkan kawanku itu kalau dia dalam keadaan wajar. Mungkin dia sedang sakit atau ada sesuatu, yang mengganggunya“
”Ah, omong kosong! Sudah kalah masih mencari-cari alasan kosong. Orang she Jiu, ketahuilah bahwa kami berdua adalah ahli-ahli menggunakan kaki untuk mengalahkan lawan! Temanku tadi menggunakan keahliannya itu dan telah merobohkan kawanmu, maka jangan banyak alasan. Kalah ya kalah saja, habis perkara!”
Muka Jiu Koan menjadi merah sekali. “Bagus!” bentaknya marah. “Kalau begitu coba kaukalahkan aku dengan keahlian kakimu itu!”
Diam-diam Siang In harus mengakui kecerdikan orang ini, akan tetapi dia tersenyum dan menjawab, “Baik, engkau lihat saja, aku tidak akan menggunakan kedua tanganku untuk mengalahkanmu, cukup dengan kedua kakiku saja!”
Ucapan dara ini dianggap terlalu sombong oleh Jiu Koan, maka kemarahannya meluap dan dia membentak, “Bocah sombong, kau boleh lihat betapa aku akan menangkap kedua kakimu dan merobek celanamu agar kau tidak bersikap sombong lagi!”
Baru saja orang ini berkata demikian, tiba-tiba kaki kiri Siang In yang menjadi marah mendengar kata-kata itu sudah melayang dengan kecepatan yang tidak terduga-duga.
“Plakkk!” Kaki itu sudah menendang dagu Jiu Koan sehingga orang ini terhuyung ke belakang sambil memegangi dagunya, matanya terbelalak kaget dan juga marah. Dia lalu menggereng seperti seekor harimau terluka, kemudian dia menyerbu ke depan dengan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, menghujamkan pukulan dan cengkeraman bertubi-tubi. Namun, kini Siang In sudah mengetahui bahwa lawannya itu lebih besar lagak daripada kepandaiannya, maka dengan mudah saja dia menggunakan ginkangnya yang istimewa untuk mengelak ke kanan kiri. Menghadapi seorang lawan seperti ini saja, memang baginya tidak perlu menggunakan kedua tangan, apalagi menggunakan sihirnya. Dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya dan setiap kali kakinya bergerak, kalau tidak ada bagian tubuh yang tertendang, tentu lawannya itu terhuyung ketika menangkis, karena tendangan kaki dara itu mengandung kekuatan yang amat hebat.
Baru saja berjalan belasan jurus pertandingan itu, Jiu Koan sudah terdesak terus dan tidak mampu menyerang lagi karena kedua kaki lawannya bergerak seperti kilat cepatnya, bergantian kanan kiri menyambar dan menghajarnya. Memang Siang In tadi tidak berkata berlebihan bahwa dia adalah seorang ahli menggunakan sepasang kakinya. Oleh gurunya dia telah diberi ilmu silat yang mendasarkan atas permainan kaki yang dinamakan ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) dan kedua kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang bertubi-tubi.
Terdengar bunyi bertubi-tubi ketika tubuh Jiu Koan dihajar oleh tendangan-tendangan kaki yang kecil mungil itu. Tentu saja kini keadaannya berbeda dengan ketika Syanti Dewi melawan raksasa tadi. Syanti Dewi yang pernah belajar ilmu silat tentu saja mengerti pula bagaimana untuk menggunakan kaki menendang, namun dia sama sekali bukanlah ahli seperti Siang In. Tadi dia dengan mudah menendangi tulang kering kaki lawannya karena lawannya itu tidak dapat melihatnya oleh kekuatan sihir Siang In. Kini, biarpun Jiu Koan berusaha mengelak dan menangkis, namun datangnya tendangan-tendangan yang bertubi dan amat cepat itu sukar dihindarkan dan akhirnya, sebuah tendangan kilat bersarang di perutnya.
“Bukkk!” Dan kini tubuh Jiu Koan terjengkang, terbanting ke atas tanah di mana dia meringis dan mengaduh-aduh, memegangi perutnya yang menjadi mulas dan nyeri bukan main.
“Tangkap mereka! Bunuh....!” Jiu Koan berteriak-teriak sambil bangkit memegangi perutnya, kemudian tangan kanannya mencabut golok yang tergantung di pinggangnya. Juga semua anak buahnya mencabut senjata masing-masing. Melihat ini, Syanti Dewi menjadi cemas juga dan cepat dia mendekati Siang In.
Akan tetapi Siang In malah melangkah maju. “Kalian ini anggauta-anggauta Perkumpulan Hati Naga, apakah tidak mengenal seekor naga aseli? Lihat baik-baik siapa aku!”
Syanti Dewi memandang penuh perhatian kepada tiga belas orang itu dan terjadilah keanehan. Tiga belas orang itu terbelalak memandang kepada Siang In, muka mereka menjadi pucat sekali, kemudian didahului oleh Jiu Koan mereka membuang senjata mereka dan lari tunggang langgang! Syanti Dewi cepat menoleh dan dia melihat betapa dara itu masih biasa saja tubuhnya, akan tetapi kepalanya yang cantik jelita itu kini telah berubah menjadi kepala seekor naga yang menyeramkan! Tentu saja Syanti Dewi juga ketakutan dan menjauhkan dirinya. Karena dia tidak langsung dikuasai sihir, maka dia hanya melihat kepala Siang In saja yang berubah menjadi naga, tidak seperti tiga belas orang itu yang melihat seekor naga yang lengkap, yang mengancam untuk menerkam mereka.
“Enci, kesinilah, aku tidak apa-apa,” kata Siang In tersenyum lucu dan ketika Syanti Dewi menoleh, ternyata Siang In sudah biasa kembali.
“Aihhh, kau menakutkan aku....“ katanya.
Pada saat itu terdengar suara melengking panjang dan suara ini disusul bentakan, “Kembalilah kalian penakut-penakut menjemukan!”
Mendengar suara ini, Jiu Koan dan dua belas orang anak buahnya berhenti dan mereka cepat menjura kepada seorang pemuda yang baru muncul. “Ampun, Kongcu.... ada.... ada siluman....” Jiu Koan berkata akan tetapi dia menoleh dan memandang ke arah dua orang gadis itu, ternyata mereka adalah dua orang gadis cantik yang tadi dan tidak nampak ada naga di situ. Pemuda tampan itu tidak mempedulikan Jiu Koan dan dia segera bertindak menghampiri Siang In dan Syanti Dewi.
Dua orang dara itu pun memandang penuh perhatian dan mereka dapat menduga bahwa tentulah orang ini yang disebut kongcu dan menjadi majikan atau ketua dari Perkumpulan Liong-sim-pang yang markasnya seperti benteng di puncak bukit itu.
Ketika pemuda itu yang bukan lain adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun, melihat bahwa yang ribut-ribut di situ adalah dua orang dara yang demikian cantik jelitanya, diam-diam dia merasa terkejut, terheran dan juga girang sekali. Jantungnya sudah bergoncang hebat karena harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat wanita sedemikian hebat dan cantiknya seperti dua orang dara ini! Sejenak dia bengong dan pandangan matanya seperti terasa oleh dua orang gadis itu, menggerayangi wajah dan tubuh mereka.
Siang In memandang sambil tersenyum, penuh perhatian. Pemuda itu memang tampan, bahkan terlalu tampan dan wajah yang dibedaki putih, alis yang dipertebal dengan cat alis, bibir yang di beri sedikit pemerah bibir, dan pipi yang agak kemerahan itu mendekati kecantikan wajah seorang wanita. Pemuda itu pesolek sekali, pakaiannya serba indah dan terbuat dari sutera mahal, bajunya berkembang-kembang dan biarpun pemuda itu berdiri dalam jarak empat metet darinya, dia dapat mencium bau wangi semerbak datang dari tubuh pemuda itu! Diam-diam Siang In bergidik. Pemuda ini betul-betul mengerikan! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Tang Hun sesungguhnya sudah berusia tiga puluh tahun.
“Enci, mari kita pergi,” kata Siang In, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mengajak untuk turun kembali dari lereng bukit itu karena dia merasa tidak enak menyaksikan pandang mata pemuda pesolek yang mengerikan itu.
“Eh-eh, harap perlahan dulu, Ji-wi Siocia (Nona Berdua)....!” Terdengar suara halus dan ada angin menyambar dari samping mereka. Kembali Siang In terkejut karena ternyata pemuda pesolek itu kini telah berdiri di depan mereka, tanda bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat juga! Kini mereka berhadapan dekat dan bau harum semerbak makin menyengat hidung kedua orang dara itu.
Siang In pura-pura tidak mengenal orang itu dan dia bertanya, “Siapa engkau dan perlu apa engkau menghadang perjalanan kami?”
Hwa-i-kongcu Tang Hun menjura dengan sikap hormat dan dengan tersenyum ramah dia berkata, “Harap Ji-wi Siocia suka memaafkan anak buah kami kalau mereka itu lancang dan membikin Jiwi tidak senang hati.”
“Hemmm, anak buahmukah mereka itu?”
“Benar, Nona. Saya adalah Tang Hun, majikan atau ketua dari Liong-Sim-pang dan di atas itu adalah tempat tinggal kami”.
“Ah, kiranya begitu? Memang anak buahmu tadi kurang ajar terhadap kami, akan tetapi telah kami beri hajaran kepada mereka. Kalau kau hendak membela mereka....“
“Aih, tidak sama sekali, Nona! Bahkan kalau mereka itu berani kurang ajar terhadap tamu-tamu kami yang terhormat, mereka patut dihukum. Jiu Koan, ke sini engkau!” pemuda itu membentak dan Jiu Koan, komandan pasukan itu cepat datang menghampiri ketuanya dengan sikap takut dan hormat.
“Siap, Kongcu,” katanya dengan berdiri tegak seperti perajurit.
“Aku melihat tadi engkau dan seorang lagi bertanding melawan Nona ini. Siapa yang seorang lagi? Panggil sini!”
Jiu Koan berteriak memanggil temannya, si raksasa tadi digajul kedua tulang kering kakinya oleh Syanti Dewi. Raksasa ini pun datang menghadap dengan sikap hormat dan takut.
“Mereka inikah yang telah mengganggu. Ji-wi?” Tang Hun bertanya sambil kini memandang kepada Syanti Dewi. Puteri ini yang dipandang oleh sepasang mata yang mempunyai sinar tajam dan aneh itu bergidik lalu mengangguk. Sinar mata pemuda ini amat tajam dan aneh, hampir setajam mata Siang In, akan tetapi kalau mata Siang In tajam lembut dan jujur, mata orang ini tajam akan tetapi mengandung gairah nafsu-nafsu yang mengerikan.
“Baik, kalian lihatlah, Ji-wi Siocia. Aku menghukum mereka karena kekurangajaran mereka. Kupenggal kepala mereka!”
Syanti Dewi terkejut bukan main melihat pemuda itu mencabut pedang dan dengan satu kali gerakan kilat, pedangnya itu berkelebat membacok ke arah leher dua orang itu.
“Wuuuttttt.... crak-crakkk!” Dan leher dua orang itu terbabat putus, kepala mereka terpental dan darah muncrat-muncrat!
“Ihhh....!” Syanti Dewi menjerit dan meloncat ke belakang dengan hati penuh kengerian. Akan tetapi Siang In memegang lengannya dan berbisik, suaranya berwibawa sekali.
“Tidak apa-apa, Enci. Lihat lagi baik-baik, badut itu hanya membohongi kita.”
Syanti Dewi terheran, mengangkat mukanya dan benar saja. Dia melihat dua orang tadi masih berdiri dan tidak terjadi sesuatu dengan leher mereka! Pemuda itu tersenyum.
“Tang-pangcu, kami bukan anak kecil. Tidak perlu kau menipu, kami dengan sulapan yang hanya pantas kaupertunjukkan di pasar itu. Dan kami pun tidak ingin melihat dua ekor babi ini disembelih!” Berkata demikian, Siang In menggerakkan tangan ke arah dua orang anak buah Liong-sim-pang itu dan kini pesmuda itu terbelalak dan meloncat ke belakang karena tiba-tiba dia melihat dua orang pembantunya itu berubah menjadi dua ekor babi!
“Aihhhhh...., bukan main....!” Dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, kelihatan mengerahkan sinkang dan seluruh tenaga batinnya, barulah dia melihat dua orang pembantunya itu kembali menjadi manusia seperti biasa.
“Hebat....!” Dia berseru lagi dan kini dia saling pandang dengan Siang In. Dia lalu menjura. “Engkau hebat, Nona. Marilah kita naik ke puncak, kita bicara di sana. Ji-wi adalah tamu-tamu agung kami.”
Akan tetapi Siang In menggeleng kepala. “Terima kasih. Kami akan pergi saja”
“Mana bisa begitu, Nona? Bukankah kalian sudah naik sampai ke sini? Kemana lagi kalau bukan hendak mengunjungi Liong-sim-pang?” Pemuda pesolek itu bertanya heran.
Siang In menggeleng kepala dan berkata, “Maaf, sesungguhnya bukan niat kami untuk mengunjungi Liong-sim-pang atau siapapun juga. Dari bawah bukit tadi kami mengira bahwa yang di atas itu adalah sebuah dusun atau kota, maka kami hendak mengunjunginya. Kemudian kami bertemu dengan orang-orangmu dan terjadi salah paham. Sekarang biarkan kami pergi dan kami akan menganggap Liong-sim-pang perkumpulan orang-orang gagah yang tidak suka mengganggu wanita.”
Pemuda itu menjura dengan hormat. “Maaf, Ji-wi Siocia. Mungkin orang-orangku telah berlaku lancang, akan tetapi sekali lagi aku mengundang kalian menjadi tamu kehormatan kami. Hari sudah hampir malam dan Ji-wi akan kemalaman di jalan. Maka sebaiknya bermalam ditempat kami ini.”
Akan tetapi, bujukan ini tidak dapat menundukkan hati dua orang gadis itu. Dari pandang mata pemuda itu saja mereka sudah dapat menduga bahwa pemuda seperti ini tidak boleh dipercaya.
“In-moi, mari kita pergi saja,” Syanti Dewi berkata.
“Pangcu, kami berterima kasih atas undangannmu, akan tetapi kami akan pergi saja. Selamat berpisah.”
Pada saat itu, terdengar suara ketawa yang melengking panjang dan terkejutlah Siang In karena dia mengenal suara ini. Syanti Dewi juga terkejut karena ada suara ketawa akan tetapi tidak ada orangnya. Dia menoleh ke arah Siang In dan mengikuti arah pandangan mata temannya itu. Tampak olehnya ada asap hitam yang bergumpal-gumpal dan bergulung-gulung datang dari atas, kemudian setelah tiba di situ, asap itu membuyar dan tampaklah seorang nenek tua India yang berpakaian serba hitam, sudah tua sekali, berdiri di situ. Syanti Dewi terkejut karena dia pun mengenal nenek ini yang dulu merupakan pembantu dan guru mendiang Tambolon, raja liar yang sakti itu.
“Subo....!” Siang In juga cepat memberi hormat dengan menjura ke arah nenek itu. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek ini. Seorang nenek India ahli sihir yang berilmu tinggi, isteri dari See-thian Hoatsu, yaitu guru Siang In. Oleh karena itu, Siang In menyebut subo (ibu guru) kepada nenek itu.
“Eh, eh, Subo, siapakah Nona ini dan mengapa menyebutmu Subo?” Hwa-i-kongcu bertanya dengan heran, kaget dan juga girang.
“Ho-ho, dia itu adalah murid See-thian Hoatsu,” kata Si Nenek sambil tertawa sehingga mulutnya yang tidak ada giginya sama sekali itu terbuka seperti gua gelap.
“Aih, kiranya masih Sumoiku sendiri!” Tang Hun berseru girang.
“Heh, bocah, siapa namamu? Aku sudah lupa lagi!” Nenek itu dengan kata-katanya yang logatnya kaku bertanya.
“Teecu (Murid) Teng Siang In....“
“Oya, Siang In! Mana tua bangka gurumu itu? Biar kuketuk kepalanya, hoho!” Durganini celingukan ke kanan kiri.
“Suhu sedang bertapa di Gua Tengkorak di Po-hai, Subo....“
“Hi-hik, dia, tentu akan mampus dan menambah jumlah tengkorak di sana.” Tiba-tiba dia memandang ke arah Syanti Dewi yang sejak tadi menunduk dengan jantung berdebar. “Hei! Ini.... bukankah ini Puteri Bhutan itu?”
Siang In terkejut, tidak menyangka bahwa nenek itu mengenal Syanti Dewi. Memang Durganini seorang yang aneh, kadang-kadang pikun sekali, akan tetapi kadang-kadang ingatannya tajam.
“Benar, Subo....“
“Wah, kebetulan. Tang Hun, Inilah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dialah yang paling tepat menjadi permaisurimu. Hayo bawa dia!”
Tang Han juga terkejut dan girang. Memang sudah lama dia mencari wanita yang kiranya cocok untuk menjadi isterinya yang syah, yang dapat dibanggakannya. Ketika tadi dia bertemu dengan dua orang dara ini, seketika dia telah jatuh cinta kepada keduanya dan wanita-wanita seperti mereka inilah yang kiranya pantas menjadi isterinya. Siapa tahu, yang satu masih sumoinya sendiri dan yang lain adalah Puteri Bhutan yang terkenal itu karena pernah nama puteri itu disebut-sebut oleh seluruh dunia kang-ouw sebagai puteri asing yang pernah menggegerkan negara. Kiranya orangnya demikian cantik seperti bidadari dan kini gurunya sendiri menganjurkan agar dia memperisteri puteri itu! Tentu saja tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Tang Hun sudah maju dan mengulur tangan hendak menangkap lengan Puteri Syanti Dewi.
“Tahan....!” Siang In berseru marah.
“Ho-ho, Siang In, kau mau apa? Sudah sepantasnya kau datang membawakan calon isteri untuk Suhengmu! Bawa dia Tang Hun,” kata Durganini.
Tang Hun menyambar lengan Syanti Dewi. Puteri ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu saja. Dia mengelak dan tangannya menampar ke arah muka Tang Hun. Akan tetapi pemuda ini tertawa, membiarkan pipinya ditampar dan pada saat itu juga, dia telah menotok Syanti Dewi yang menjadi lemas dan memondong tubuh yang padat menggairahkan itu.
“Keparat....!” Siang In menerjang maju akan tetapi tiba-tiba dia berhenti karena ada asap hitam menghadangnya seperti tirai. Dia tidak dapat maju, hanya melihat Syanti Dewi dipondong dan dibawa lari oleh pemuda itu naik ke puncak bukit. Sedangkan kini dari atas datang banyak sekali anak buah Liong-sim-pang menuju ke tempat itu.
“Hi-hik, bocah tolol. Apakah engkau mau melawan aku?” Durganini tertawa mengejek.
Hati Siang In mendongkol sekali. Sesungguhnya dia tidak takut menghadapi nenek ini karena dia maklum bahwa biarpun nenek ini memiliki sihir yang amat hebat, melebihi kepandaian gurunya sendiri, namun dalam hal ilmu silat dia dapat mengatasinya dan dia sudah mendapat petunjuk dari See-thian Hoat-su bagaimana untuk melindungi dirinya sendiri dari serangan ilmu sihir lawan yang lebih handal. Akan tetapi, anak buah Liong-sim-pang begitu banyak. Mana mungkin dia seorang diri akan dapat menang? Bahkan dia tentu akan tertawan sehingga celakalah mereka berdua kalau dia juga sampai tertawan. Tidak, dia harus tetap bebas agar dapat mencari akal untuk menolong Syanti Dewi.
“Subo, kau terlalu!” teriaknya. “Kau hanya berani mengganggu aku. Suhu berkata bahwa kalau Suhu bertemu Subo, kalau Subo berani datang ke Gua Tengkorak di pantai Po-hai Suhu akan mengunduli kepalamu!”
Nenek itu menjerit, suaranya melengking saperti suara iblis dari neraka layaknya. Akan tetapi Siang In yang sudah menduga bahwa nenek itu akan marah, telah membalikkan tubuhnya dan mengerahkan ginkangnya untuk lari secepatnya menuruni bukit. Nenek itu mengejar, akan tetapi, seperti telah diduga oleh Siang In, nenek yang sudah amat tua itu tidak mampu menyusulnya dan dari belakang juga tidak mampu menggunakan sihirnya. Dia sudah tahu dari gurunya bahwa nenek Durganini mempunyai pantangan besar, yaitu tidak mau diganggu rambutnya yang dibanggakannya, rambut yang panjang dan sampai dia tua renta pun rambutnya tetap hitam. Maka sengaja Siang In tadi mengatakan bahwa gurunya hendak menggunduli kepalanya, maka tentu saja nenek itu menjadi marah karena merasa dihina dan dengan gemas dia mengejar Siang In. Karena dia tidak mampu menyusul dara yang larinya cepat sekali itu, sehingga napasnya sampai hampir putus tetap saja tidak mampu menyusul, nenek yang marah sekali ini melanjutkan perjalanannya menuju ke pantai Po-hai untuk mencari bekas suaminya, See-thian Hoat-su yang katanya hendak menggunduli kepalanya. Dia hendak membalas penghinaan itu kepada si kakek yang katanya bertapa di Gua Tengkorak. Dan memang inilah maksud Siang In membohongi nenek itu agar si nenek sakti itu meninggalkan benteng Liong-sim-pang!
Malam itu, Siang In duduk dengan bingung dan termenung di bawah bukit, dalam sebuah hutan. Hatinya gelisah sekali dan kadang-kadang dia mengepal tinjunya. Dia bersumpah bahwa kalau sampai pemuda pesolek murid Durganini itu mengganggu Syanti Dewi, memperkosa puteri itu, dia akan menyiksa dan membunuhnya!
Akan tetapi, hatinya agak lapang, ketika dia menyelidiki pada keesokan harinya menangkap seorang penjaga di dekat tembok benteng dan memaksanya mengaku, dia mendengar bahwa Hwa-i-kongcu tidak mengganggu Saang Puteri, hanya mengumumkan bahwa dua minggu lagi Hwa-i-kongcu, akan merayakan pernikahannya dengan Syanti Dewi dan mengundang semua kenalan dan tokoh-tokoh kang-ouw sambil menanti kembalinya Nenek Durganini yang semalam telah pergi entah ke mana.
Mendengar ini, Siang In lalu mencari akal untuk dapat menolong puteri itu dari cengkeraman pemuda pesolek itu. Dia tidak berani sembrono memasuki benteng untuk menolong sendiri, karena selain pemuda pesolek itu juga pandai ilmu sihir sehingga mungkin sihirnya tidak banyak menolong, juga dia mendengar bahwa di dalam benteng itu Hwai-kongcu mempunyai pembantu-pembantu banyak orang pandai dan anak buah Liong-sim-pang juga tidak kurang dai lima puluh orang banyaknya. Dia harus mencari akal dan agaknya, menurut perhitungannya, sebelum hari pernikahan tiba, Syanti Dewi akan aman. Pemuda pesolek itu tentu tidak akan mau merusak keadaan dan suasana pengantin baru, tentu tidak akan memperkosa gadis yang dicalonkannya menjadi isterinya yang syah!
Sekarang kita tinggalkan dulu Teng Sian In yang sedang mencari akal untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi dan marilah kita kembali mengikuti pengalaman Suma Kian Lee yang telah kita tinggalkan, karena dua peristiwa itu sejalan dan agar jangan sampai salah satu di antaranya tertinggal jauh.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, terjadi keributan di taman istana Gubernur Ho-nan, di mana Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan, menyambut datangnya utusan kaisar yang bukan lain adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang masih muda belia itu. Terjadilah keributan di dalam taman ketika terjadi penghinaan dari mereka yang bersikap anti kaisar kepada utusan sehingga mengakibatkan pertempuran antara para pengawal utusan dan fihak yang anti kaisar. Pertempuran yang hebat terjadi antara jagoan-jagoan Ho-nan yang diam-diam menentang kaisar dan para pengawal utusan. Jagoan-jagoan Ho-nan dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo li yang cantik genit, sedangkan para pengawal istana itu dibantu oleh jagoan-jagoan Gubernur Ho-pei yang bertugas sebagai pengiring utusan kaisar ke Honan.
Seperti telah kita ketahui, diam-diam Suma Kian Lee hadir di dalam pesta itu dan menyaksikan pertempuran-pertempuran tanpa campur tangan. Akan tetapi ketika dia melihat Pangeran Yung Hwa, utusan kaisar itu melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia di celah-celah tebing, ketika dia hendak ditangkap tempo hari. Tentu saja Suma Kian Lee tidak dapat tinggal diam 1agi. Betapapun juga, ayahnya adalah mantu kaisar dan dia terhitung adalah cucu kaisar. Biarpun sudah amat jauh karena yang berdarah keluarga kaisar adalah ibu tirinya, ibu Kian Bu, akan tetapi Pangeran Yung Hwa itu masih sedarah dengan Nirahai, ibu tirinya, dengan demikian masih ada hubungan darah pula dengan Suma Kian Bu, adik tirinya! Oleh karena itu harus ditolongnya, apalagi pada saat itu Pangeran Yung Hwa merupakan seorang utusan kaisar yang sebetulnya tidak boleh diganggu oleh siapapun karena mengganggu utusan sama dengan mengganggu yang mengutusnya.
Pada saat itu, Pangeran Yung Hwa hampir terpegang oleh perwira tinggi besar bernama Su Kiat itu yang telah mengulur tangan kanannya yang panjang untuk menangkap pundak Sang Pangeran sambil berseru, “Pangeran, perlahan dulu....!”
“Plakkk!” Kian Lee menampar dari belakang menampar perlahan pundak Su Kiat, akan tetapi cukup hebat akibatnya karena tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan pingsan seketika!
“Keparat, kiranya engkau pun mata-mata dari Ho-pei!” terdengar bentakan keras dan tiba-tiba ada angin menyambar dahsyat dari belakangnya. Kian Lee cepat mengelak dan ternyata yang menyerangnya itu adalah kakek berambut merah tadi, yang menyerangnya dengan guci araknya. Hebatnya, bukan hanya guci arak itu yang menyambar ke arah kepalanya, akan tetapi juga dari mulut guci itu muncrat arak wangi yang seolah-olah hidup, yang menyambar ke arah matanya! Akan tetapi, serangan dari kakek bernama Wan Lok It dan berjuluk Ho-nan Ciu-lo-mo ini dengan cepat dapat dihindarkan oleh Kian Lee.
“Singgg....!” Sinar hijau menyambar dari arah kirinya. Sekali ini Kian Lee terkejut karena pedang yang bersinar hijau itu benar-benar amat berbahaya sangat cepat dan mendatangkan angin dingin. Dia membuang diri dan menggerakkan kaki untuk menendang agar si pemegang pedang tidak dapat melanjutkan serangan. Pemegang pedang itu dengan gesitryya dapat pula mengelak dan ketika Kian Lee memandang, ternyata penyerangnya itu adalah wanita cantik yang agaknya menjadi pembesar para panglima di Ho-nan, yaitu Mauw Siauw Mo-li.
Kian Lee masih diserang oleh beberapa orang lain yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun dia masih dapat mengelak dan balas memukul tanpa menggunakan pukulan maut karena memang dia tidak ingin bermusuhan dengan para jagoan ini dan kalau tadi dia turun tangan hanyalah karena dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dan dikejar oleh Perwira Su Kiat. Sambil menghadapi pengeroyoknya yang lihai dan jumlahnya ada enam orang itu, Kian Lee memperhatikan keadaan di situ dan melihat bahwa Pangeran Yung Hwa telah digandeng oleh Gubernur Kui Cu Kam dari Ho-nan, dan gubernur ini bersikap seolah-olah hendak menghentikan pertempuran dan hendak melerai, kemudian menarik Pangeran Yung Hwa untuk menyelamatkan diri. Juga dia melihat Gubernur Hok Thian Ki, yaitu Gubernur Ho-pei yang sudah tua itu berlari-lari dan dikejar oleh beberapa orang jagoan Ho-nan pula. Kian Lee menjadi bingung akan tetapi karena dia sendiri pun dikepung dan dikeroyok, maka dia harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu.
Pemuda perkasa itu memang tadi salah menduga. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena pangeran ini hendak menyingkir dari keributan dan pertempuran itu. Dan Perwira Su Kiat mengejarnya bukan untuk mencelakai pangeran itu. Gubernur Ho-nan belumlah begitu nekat untuk mencelakakan utusan kaisar, bahkan gubernur itu hendak melindungi Pangeran Yung Hwa agar jangan sampai ikut celaka dalam penyergapan yang ditujukan untuk menawan Gubernur Ho-pei itu. Dia ingin menawan Gubernur Hok Thian Ki dan mempergunakannya sebagai sandera untuk dapat menguasai sebagian daerah Ho-nan di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei.
Gubernur Hok Thian Ki yang melihat bahaya cepat berusaha menyelamatkan diri, lari dan dilindungi oleh Tok-gan Sinciang Liong Bouw, yaitu si mata satu tinggi besar yang merupakan pengawal pribadinya, juga dibantu dua orang pengawal lain. Belasan orang pengawal Ho-nan mengejarnya dan ditahan oleh Tok-gan Sin-ciang, bersama dua orang kawannya, sedangkan Gubernur Hok yang tua itu terus melarikan diri, menyelinap di sebuah lorong gelap dan melihat betapa para pengawalnya terus mundur sambil menahan serbuan para pengeroyoknya. Gubernur Hok cepat menyelinap memasuki sebuah kamar dan cepat-cepat menutupkan pintu kamar itu.
“Taijin, cepat ke sini....“ Suara halus ini mengejutkannya. Gubernur itu tadi tidak memperhatikan dan mengira kamar itu kosong. Akan tetapi ternyata kamar itu kamar tamu yang tinggali oleh Kian Lee, dan wanita muda yang menegurnya itu bukan lain adalah Phang Ciu Lan, yaitu pelayan cantik yang melayani Kian Lee! Gubernur Hok membalikkan tubuh dan siap untuk melawan, akan tetapi ketika melihat bahwa yang menegurnya hanya seorang pelayan muda yang cantik, hatinya menjadi lega.
“Sssttttt.... harap kau diam dan menolongku.... aku hanya bersembunyi.... mereka mengejar untuk membunuhku,” katanya, terengah-engah karena tadi dia berlari-lari dengan hati tegang. Di luar kamar terdengar suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan orang bertempur, akan tetapi masih agak jauh.
“Saya mengerti, Taijin. Biarpun saya hanya pelayan di sini, akan tetapi saya memperhatikan semua dan mengenal Taijin. Bukankah Taijin adalah Hok-taijin, gubernur dari Ho-pei?”
“Benar, anak baik. Biarkan aku bersembunyi di sini sampai aman“
“Justeru kalau bersembunyi di sini tidak akan aman, Taijin. Sebaiknya Taijin cepat dapat pergi dari tempat ini, pergi dari Ho-nan dan kembali ke utara.”
“Tapi.... tapi bagaimana?”
“Saya akan membantu Taijin. Taijin hrus menyamar, marilah, Taijin“ Dengan tabah sekali wanita muda itu lalu membantu Gubernur Ho-pei itu melakukan penyamaran. Dicukurnya kumis gubernur tua itu dan jenggotnya yang panjang dipotong pendek, rambut kepala diawut-awut dan topi kebesarannya dlilepas, lalu rambutnya digelung biasa secara sederhana dan diikat dengan kain kepala yang kotor. Kemudian Cui Lai, menyerahkan seperangkat pakaian tukang kebun dan menyuruh gubernur itu berganti pakaian sebagai tukang kebun.
“Bagaimana dengan Pangeran....?” Gubernur yang setia itu mengeluh dan merasa khawatir sekali.
“Jangan khawatir, Taijin. Saya yakin Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tidak apa-apa“
“Eh, engkau seorang pelayan, bagaimana tahu ?”
“Saya memperhatikan, Taijin, dan saya mendengarkan percakapan mereka, antara gubernur dan Ouw-teetok dan para pengawal. Pangeran tidak akan diganggu, akan tetapi memang Paduka yang akan ditawan “
“Celaka....!”
“Jangan khawatir, kini tidak akan ada yang mengenal Paduka. Mari, saya antar ke luar“ Cui Lan menggandeng tangan pembesar tua itu.
“Nanti dulu....!” Pembesar itu berhenti, lalu membalik kepada Cui Lan dan dirangkulnya dara itu penuh keharuan. “Nona.... kau seorang pelayan akan.... tetapi.... ah, berhasil atau tidak usahamu ini percayalah bahwa aku Hok Thian Ki tidak akan melupakan pertolonganmu ini!”
Cui Lan menjadi terharu. “Sudahlah, Taijin, saya berani melakukan ini karena saya memperoleh suatu keyakinan dari seorang yang saya puja bahwa hidup haruslah diisi dengan perbuatan yang berguna, yaitu antaranya menolong orang yang berada di fihak benar. Marilah!” Dia menggandeng tangan pembesar itu, ditariknya keluar, kemudian mereka menyelinap di antara rumah-rumah, pohon-pohon dan di antara orang-orang yang masih ribut bertempur tanpa ada yang mempedulikan mereka. Siapa yang akan mempedulikan seorang pelayan dan seorang tukang kebun di saat geger seperti itu?
“Kita harus melalui taman....”
“Tempat pertempuran itu?” Gubernur Hok terkejut.
“Benar, akan tetapi hanya di sana terdapat pintu belakang untuk lolos. Pula, sebagai tukang kebun berada di taman, Paduka tidak akan menarik perhatian dan kecurigaan. Mariliah, Taijin....”
Mereka berjalan terus memasuki taman di mana benar saja masih terjadi pertempuran hebat antara para pengawal utusan kaisar, para jagoan Ho-pei dan para perajurit pengawal Ho-nan yang amat banyak. Juga nampak Kian Lee masih dikurung oleh Mauw Siauw Mo-li, Bun Hok Ti pengawal Ouw-teetok yang mata keranjang itu, Ho-nan Ciulo-mo jagoan dari Ho-nan dan banyak lagi tokoh-tokoh pengawal yang berkepandaian tinggi karena mereka melihat betapa lihainya pemuda tampan yang tadinya menjadi tamu mereka akan tetapi ternyata kini membantu fihak Ho-pei itu.
Kian Lee memang sengaja mengamuk untuk menarik tenaga-tenaga yang terkuat dari Ho-nan agar. mengeroyoknya sehingga dengan demikian, fihak Ho-pei akan dapat meloloskan diri. Kalau dia mau, tentu saja dengan ilmunya yang tinggi, dia bisa mengirim pukulan-pukulan maut dan menewaskan banyak orang namun pemuda ini tidak bermaksud membunuh, hanya merobohkan saja beberapa orang tanpa membunuhnya. Akan tetapi menghadapi orang-orang seperti Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo, tentu saja tidak akan mudah merobohkan mereka tanpa membunuhnya.
Sambil menghadapi pengeroyokan itu, menggunakan kaki tangan untuk menangkisi senjata-jsenjata yang menyambar, juga mengelak ke sana-sini, pandang mata Kian Lee masih terus mencari-cari. Bagaimana dengan Pangeran Yung Hwa? Bagaimana dengan Gubernur Hop-ei? Demikian pikirnya dengan hati khawatir juga.
Tiba-tiba dia mengenal wajah Cui Lan. Terkejut dia. Apa yang dilakukan oleh gadis pelayan cantik itu di dalam taman, tempat yang telah menjadi medan pertempuran itu? Dan siapa yang jalan tergesa-gesa bersama pelayan itu?. Pada saat itu, Cui Lan juga menengok dan memandang ke arah pemuda yang dilayaninya tadi, pemuda yang amat baile dan sopan.
“Aiiiiihhh....!” Cui Lan menjerit ketika melihat Si Rambut Merah, yaitu Honan Ciu-lo-mo, dengan dahsyat menggerakkan guci araknya menghantam dan mengenai dada Kian Lee yang agak terpecah perhatiannya memandang Cui Lan.
“Desssss....!” Kian Lee terkejut, tubuhnya sudah terlindung sinkang yang otomatis, dan ia tidak mengalami luka parah, namun tetap saja dia terlempar ke belakang dan karena dia berdiri membelakangi kolam besar di taman itu, otomatis dia jatuh ke dalam kolam.
“Byuuuuurrr....!”
“Aiiiiihhhhh....!” Kembali Cui Lan menjerit dan banyak orang menoleh ke arah suara jeritan itu, akan tetapi karena yang menjerit itu hanya seorang pelayan yang berdiri bersama seorang tukang kebun, mnaka mereka tidak memperhatikan lagi, juga pada waktu itu si tukang kebun sudah memegang tangan Cui Lan dan diajaknya pergi dari situ dengan cepat, menyelinap ke dalam geiap.
Tok-gan Sin-ciang dan dua orang temannya juga sudah mengamuk di dalam taman. Mereka tadi dapat memancing para pengeroyoknya untuk menjauhi tempat di mana Gubernur Ho-pei bersembunyi dan kini, Tok-gan Sin-ciang biarpun hanya bermata sebelah, namun dia mengenal “tukang kebun” yang tadi berdiri di sana bersama pelayan itu. Dia berteriak girang dan terus, mengamuk, agar fihak mnusuh tidak memperoleh kesempatan memperhatikan tukang kebun itu!
Sedangkan komandan pasukan pengawal yang gagah perkasa, yaitu komandan Pasukan Garuda yang melihat betapa pemuda perkasa yang membantu fihaknya itu terjengkang ke dalam air kolam, dia cepat meloncat dan terjun ke dalam air. Komandan ini adalah seorang yang pandai renang, maka dia khawatir akan keadaan pemuda yang membantu fihaknya itu, maka dia ingin menolong.
Akan tetapi, sebetulnya Kian Lee tidak apa-apa dan bagi pemuda yang lahir dan dibesarkan di Pulau Es ini tentu saja bergerak di air bukan merupakan hal yang asing baginya. Melihat komandan yang perkasa itu berenang menghampirinya, Kian Lee berkata, “Tidak apa-apa, Ciangkun!”
“Awas....!” Komandan itu berseru ketika melihat anak panah yang banyak sekali menyambar ke arah Kian Lee. Akan tetapi dengan tenang Kian Lee menggerakkan kedua tangannya dan anak-anak panah itu runtuh semua, membuat Sang Komandan menjadi kagum bukan main.
Akan tetapi sekarang, anak-anak panah itu bukan hanya menyerang Kian Lee, melainkan juga menyerangnya! Terpaksa dia menyelam dan ternyata bahwa di tepi kolam telah berdiri pasukan panah yang siap untuk menyerang mereka berdua dengan anak panah mereka!
Sibuk jugalah Kian Lee dan komandan itu. Biarpun Kian Lee amat lihai, namun berada di air tentu saja gerakannya tidak leluasa. Dia dapat menangkis atau menyelam, juga komandan yang cukup tangguh itu dapat pula menyelam untuk menghindarkan diri dari sambaran anak-anak panah, akan tetapi mereka berdua pun tidak bisa naik ke darat!
“Kita harus mencari jalan ke luar!” Kian Lee berseru dan komandan itu mengangguk lalu menyelam lagi karena dia sudah dijadikan sasaran anak panah. Mereka mulai berenang menjauh ke tengah. Kolam itu cukup luas dan dalam dan ternyata di pinggir timur terdapat pintu air untuk membuang atau menguras air itu agaknya. Kalau airnya tidak sedalam ini, tidak setinggi tubuhnya, tentu dia akan dapat menggunakan dasar kolam untuk berpijak dan meloncat ke dalam, pikir Kian Lee.
Tiba-tiba Kian Lee terktjut bukan main melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li di antara para pernanah itu. Tadi Kian Lee sudah merobohkan beberapa orang anggauta pasukan itu dengan menangkapi anak panah dan menyambitkannya ke arah mereka.
“Hentikan anak-anak panah itu kalian orang-orang tolol. Lihat, aku akan membunuh mereka dengan ini! Dan wanita cantik itu melontarkan sebuah benda ke arah Kian Lee!
“Celaka....!” Kian Lee berseru. Dia mengenal benda itu karena dia tahu bahwa Mauw Siauvv Mo-li, sumoi dari Hektiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka ini selain amat lihai ilmunya, juga mernpunyai senjata rahasia yang amat mengerikan, yaitu senjata peledak! Kalau sampai senjata itu meledak di kolam, dia dan komandan pasukan pengawal Kuku Garuda itu tentu akan celaka dan tewas!
Pemuda ini memang memiliki dasar watak tenang sekali. Biarpun menghadapi ancaman bahaya yang amat besar ini, bahaya maut baginya, namun dia masih dapat bersikap tenang dan ketenangannya inilah yang menyelamatkannya, karena di dalam ketenangan itu terkandung kewaspadaan dan kecerdasan yang luar biasa, yang bergerak lebif cepat dari apa pun juga di dunia ini. Dalam waktu beberapa detik itu saja, ketika benda itu melayang ke arahnya, Kian Lee telah dapat mempergunakan kecerdasannya dan membuat perhitungan yang amat tepat. Dia lalu mengulur tangan, maklum bahwa benda itu akan meledak setiap bertemu dengan benda keras, maka dia mengerahkan sinkang membuat telapak tangannya selunak kapas, kemudian begitu benda itu menempel di tangannya, dia cepat melontarkan benda itu ke arah pintu air di timur!
“Blaaarrrrr....!” Sinar kilat menyilaukan mata memecahkan kegelapan dan api muncrat ketika benda peledak itu menghancurkan pintu air. Karena pintu air yang pecah dengan mendadak ini, air kolam membanjir ke arah pintu air itu, dan arus yang terjadi karena sedotan air yang mengalir turun itu sedemikian kuatnya sehingga seorang yang perkasa seperti Suma Kian Lee sendiri pun sampai tersedot dan hanyut oleh arus yang amat kuat itu. Apalagi si komandan yang biarpun gagah namun masih jauh di bawah Kian Lee tingkatnya. Keduanya tak kuasa menahan diri, hanyut oleh arus air yang amat kuat, melewati pintu air dan terus disedot masuk ke saluran air di bawah tanah yang memang menjadi pembuangan air kolam itu dan semua air yang datang dari seluruh bagian istana.
Suma Kian Lee menangkap tangan komandan yang mengeluh karena terbentur-bentur batu, lalu mereka berdua membiarkan diri mereka hanyut sambil meraba ke depan untuk melindungi diri dari benturan tiba-tiba. Sementara itu melihat betapa dua orang itu selamat, Mauw Siauw Mo-li dan Wan Lok It Si Setan Arak menjadi penasaran sekali.
“Kita hadang mereka di sungai, di mana saluran itu memuntahkan airnya dan kita bunuh mereka di sana kalau mereka belum mampus!” teriak Wan Lok It dan bersama beberapa orang pengawal dia lalu cepat berlari menuju ke tempat itu, yaitu ke sungai yang mengalir di pinggir dan luar kota.
Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda itu terus hanyut dan setelah agak jauh ternyata arus air tidak lagi begitu kencang, dan karena saluran itu mtlebar, maka air pun menjadi dangkal. Hanya setinggi pinggang. Maka mereka lalu berjalan kaki dengan hati-hati di tempat gelap itu, mengikuti aliran air. Gelap pekat di terowongan saluran air ini, sampai tangan sendiri pun tidak dapat mereka lihat.
“Eh, apakah di depan itu?” Tiba-tiba komandan pasukan Kuku Garuda itu berseru.
Kian Lee juga sudah melihat benda-benda yang berkelap-kelip mengeluarkan sinar kehijauan itu. Begitu kecil dan banyak, bergerak-gerak, dan agaknya benda-benda itu tentulah kunang-kunang. Akan tetapi bagaimana terdapat kunang-kunang, di dalam terowongan, di atas air? Biasanya binatang-binatang kecil ini hanya terdapat di kebun-kebun dan ladang-ladang di mana terdapat padi atau gandum. Mereka merasa heran sekali, dan mereka lalu berjalan mendekati makin lama makin dekat dan betapapun mereka membelalakkan mata, tetap saja mereka tidak dapat melihat benda atau binatang apakah yang berkerlapan seperti kunang-kunang itu.
“Eh, baunya....!” Tiba-tiba Kian Lee
tprkejut sekali. Teringatlah dia akan
ular-ular merah di Pulau Es, yang juga
mengeluarkan bau seperti ini, wangi-wangi amis, tanda ular beracun atau sejenis binatang lain yang beracun. “Awas....!”
Akan tetapi terlambat karena komandan itu yang ingin tahu binatang apa yang mengeluarkan sinar berkeredepan itu telah mengulur tangan untuk menangkap seekor, akan tetapi “kunang-kunang” itu bergerak dan tahu-tahu tangannya telah digigit oleh seekor ular!
“Aduhhhhh....!” Dia menangkap dengan tangan ke dua, dari rabaannya tahulah dia bahwa yang menggitnya adalah seekor ular, mnaka diremasnya ular itu sampai hancur. “Celaka, aku digigit ular....!”
Dan memang yang mereka sangka kunang-kunang itu ternyata adalah mata ular-ular yang banyak sekali terdapat di dekat mulut terowongan saluran air itu! Kini ular-ular itu bergerak cepat dan mengeroyok mereka!
“Kerahkan singkang melindungi tubuh!” Kian Lee berseru dan mulailah dia menggunakan kedua tangannya untuk memukul-mukul ke depan sehingga ular-ular yang berdekatan dengan mereka mati semua dan bangkai mereka hanyu oleh air. Kian Lee lalu memasukkan kedua tangannya ke air untuk memungut batu-batu kecil dari dasar terowongan itu, dan dengan batu-batu ini dia menyambiti ular-ular itu yang mudah saja dia ketahui dari mata mereka yang bersinar-sinar. Bagaikan lampu-lampu kecil, setiap terkena sambitan batu, lampu itu padam, tanda bahwa sambitan itu tepat mengenai kepala ular dan membuatnya tewas seketika. Akan tetapi komandan itu tidak dapat membantunya karena lengan kirinya sudah terasa lumpuh dan kaku, tanda bahwa dia telah terkena racun gigitan ular tadi yang mulai memperlihatkan pengaruhnya.
“Celaka....!” seruannya! “Lenganku lumpuh....“
Kian Lee meraba lengan itu kemudian dia menotok pundak dan ketiak sang komandan untuk menghentikan jalan darah agar racun ular tidak terus menjalar ke jantung. Kemudian dia minta pinjam pedang komandan itu, sambil meraba-raba dia merobek kulit daging tangan yang tergigit dan menyuruh komandan itu menyedot dan meludahkan sendiri darah dari luka itu.
“Biarpun bukan merupakan pengobatan yang manjur, namun cukup untuk menyelamatkan nyawamu, Ciangkun,” katanya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di sebelah depan. Di samping suara orang-orang, juga terdengar suara batu-batu besar di lempar dan menimpa air. Telinga Kian Lee yang tajam dapat menangkap suara Si Setan Arak rambut merah, Ho-nan Ciu-Io-mo yang tertawa dan berkata nyaring, “Tutup mulut saluran itu, ha-ha-ha, biar mereka mati seperti tikus-tikus dalam selokan!”
Kian Lee meklum apa yang terjadi.
“Cepat kita harus mencapai mulut terowongan sebelum ditutupi!” Dia berkata sambil menarik tangan komandan itu. Akan tetapi, komandan itu mengeluh dan tidak dapat berjalan cepat di dalam air itu dan ternyata setelah mereka tiba di mulut terowongan, dengan rabaan tangan tahulah mereka bahwa mereka telah terlambat. Terowongan itu telah tertutup oleh batu-batu besar, tidak mungkin lagi dapat mereka lewati dan hanya sedikit air saja yang dapat lolos keluar, karena terbendung air ini, air mulai naik perlahan-lahan! Selain air mulai naik, juga hawa dari ular-ular beracun menimbulkan bau yang menyesakkan dada.
Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan komandan pasukan pengawal istana itu yang terkurung di dalam terowongan yang gelap pekat dan terancam maut dan mari kita mengikuti perjalanan Gubernur Hok Thian Ki dari Ho-pei yang menyamar sebagai tukang kebun dan melarikan diri bersama Phang Cui Lan. Mereka dapat berlari cepat melalui tempat-tempat gelap sehingga dapat lolos dari perhatian para penjaga dan pengawal yang sedang kacau dan sibuk bertempur itu sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota. Karena mereka itu hanya seorang tukang kebun dan seorang pelayan yang diaku anak oleh tukang kebun dalam keadaan ribut-ribut itu semua nafsu kebengalan mereka agaknya padam dan hal ini memudahkan Gubernur Ho-pei dan Cui Lan untuk meloloskan diri dari tembok kota. Pagi-pagi sekali mereka telah keluar dari pintu gerbang kota dan langsung menuju ke utara, ke perbatasan. Kini Gubernur Hok yang memimpin perjalanan dan gubernur ini berkata bahwa kalau mereka sudah melintasi batas propinsi berarti dia akan selamat dan akan dapat menyuruh pejabat setempat untuk mempersiapkan pengawal dan kereta untuk melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, belum jauh mereka berjalan tiba-tiba Gubernur Hok memegang lengan Cui Lan dan menarik gadis itu menyelinap di balik semak-semak belukar karena dia mendengar derap kaki kuda. Benar saja, tak lama kemudian muncul belasan orang pengawal Gubernur Ho-nan yang lewat dengan cepatnya di jalan itu. Setelah mereka pergi jauh, Gubernur Hok menghela napas panjang.
“Berbahaya sekali....“ Dia mencegah Cui Lan yang hendak berdiri. “Kita bersembunyi dulu di sini, siapa tahu mereka segera kembali....“
Cui Lan duduk di atas rumput di balik semak-semak itu. “Habis, bagaimana baiknya, Toijin?”
“Kalau mereka itu sudah kembali, kita boleh melanjutkan perjalanan, akan tetapi kalau belum terpaksa kita harus mencari tempat persembunyian di dekat jalan ini untuk melihat sampai mereka kembali.”
Akan tetapi mereka tidak perlu menanti terlalu lama karena hanya sejam kemudian nampak belasan orang itu sudah kembali menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan mata mereka menengok ke kanan kiri mencari-cari! Ketika lewat di dekat mereka, Gubernur Hok dan Cui Lan mendengar komandan pasukan itu berkata, “Tidak mungkin mereka sudah pergi jauh dari sini! Tidak mungkin! Seorang tua dan seorang gadis lemah tentu mereka bersembunyi dan kita harus terus mengawasi jalan ini. Sewaktu-waktu mereka pasti akan muncul. Si tua itu kita serahkan kepada gubernur dan kita menerima hadiah, sedangkan si pelayan yang kabarnya cantik itu hemmm.... dia harus dihukum karena melarikan Gubernur Ho-pei, dihukum mesra!”
“Eh, Twako. Mana ada hukuman mesra?”
“Engkau tehu sendiri, ha-ha-ha! Kabarnya dia masih perawan!” Dan mereka tertawa-tawa sampai suara mereka lenyap dan mereka pergi jauh. Wajah Cui Lan sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya menggigil ketika dipegang oleh Gubernur Hok yang juga kelihatan pucat.
“Celaka, kalau begitu kita tidak bisa lewat jalan ini. Kita harus mengambil jalan liar, akan tetapi, aku tidak tahu jalan....” kata Si Gubernur tua dengan khawatir. “Baiknya, biarlah aku menyerahkan diri saja agar jalan ini aman. Lalu engkau terus melarikan diri ke Ho-pei. Biar aku mereka tangkap asalkan engkau jangan....”
“Aihhh, mengapa demikian, Taijin? tidak boleh Taijin mengorbankan diri untuk saya....“
“Engkau seorang wanita....“
“Hanya seorang pelayan....“
“Bagiku engkau bukan sekedar pelayan, melainkan seorang penolong, seorang wanita muda yang berani dan berbudi. Nona, siapa namamu?”
“Phang Cui Lan....“
“Nah, Cui Lan, kita berpisah di sini. Aku akan berjalan ke selatan, biar mereka tangkap dan bawa ke Ho-nan. Kemudian engkau boleh melanjutkan perjalanan ke utara dan di sana engkau boleh melapor kepada pembesar setempat bahwa aku ditahan oleh Gubernur Ho-nan. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu kembali, Cui Lan, agar aku bisa membalas budimu.”
Gubernur tua itu lalu bangkit berdiri, meloncat ke atas jalan raya dan melangkah dengan tabahnya menuju ke selatan. Cui Lan memandang dengan mata basah air karena dia merasa kasihan dan khawatir sekali kepada pembesar itu. Baru sekarang dia bertemu dengan pembesar yang demikian manis budi, seolah-olah sikapnya seperti seorang ayah saja baginya.
“Taijin....!” Tiba-tiba gadis itu memanggil dan dia bangkit berdiri.
Gubernur Hok berhenti, membalikkan tubuhnya dan memandang heran melihat gadis itu sudah keluar dari tempat persembunyian, lalu naik ke jalan raya dan menghampirinya.
“Eh, Cui Lan, jangan keluar!”
“Cepat, Taijin, saya mendapat akal “mari!” Gadis itu memegang tangan Hok-taijin dan menariknya kembali ke tepi jalan dan kembali seperti tadi mereka bersembunyi di balik semak-semak belukar yang cukup lebat sehingga dapat menyembunyikan mereka sama sekali dari jalan raya itu.
Dengan suara bisik-bisik Cui Lan berkata, “Taijin, keputusan yang Taijin, ambil tadi terlalu berbahaya. Sudah pasti bahwa jika Taijin tertawan, keselamatan Taijin terancam bahaya hebat. Saya teringat akan pesan seorang yang saya puja-puja, yaitu apabila sewaktu-waktu saya menghadapi bahaya, saya boleh pergi ke rumah seorang pemburu yang bertempat tinggal di tepi hutan, tak jauh dari sini. Saya kira sekaranglah waktunya untuk pergi ke sana dan minta tolong seperti pesan orang itu.”
Gubernur Hok Thian Ki mengerutkan alisnya. “Cui Lan, engkau hendak melIakukan perbuatan berbahaya demi menyelamatkan aku. Akan tetapi justeru aku akan menyeret engkau seorang wanita muda yang tidak tahu apa-apa dan tidak berdosa ke dalam bahaya. Siapakah orang yang meninggalkan pesan itu? Apakah dapat dipercaya?”
“Taijin, saya tidak dapat mengatakan siapa dia, akan tetapi dia boleh dipercaya sepenuhnya, untuk itu saya berani tanggung dengan nyawa saya!”
“Ah.... betapa bahagianya orang itu yang mendapatkan kepercayaan mutlak seperti itu dari orang seperti engkau“
Kedua pipi gadis itu menjadi merah, akan tetapi matanya berseri tanda bahwa dia girang sekali mendengar pujian dari pejabat yang amat tinggi kedudukannya ini.
“Marilah, Taijin, sebelum mereka kembali ke sini!” Dia lalu bangkit, memegang tangan orang tua itu dan kembali mereka berjalan setengah berlari, tersaruk-saruk, tergurat dan kena lecutan semak-semak yanp mereka terjang, melalui jalan liar menuju ke sebuah hutan di lereng gunung yang nampak dari situ. Yang seorang biarpun laki-laki adalah orang yang sudah lanjut usianya dan tidak pernah melakukan pekerjaan berat, yang seorang lagi biarpun masih muda remaja hanyalah seorang gadis lemah, maka ketika mereka akhirnya tiba di dekat hutan, napas mereka memburu terengah-engah, muka dan leher mereka penuh keringat dan kedua kaki mereka gemetar saking, lelahnya.
“Wah, aku tidak kuat lagi....“ Gubernur Hok Thian Ki mengeluh.
“Saya juga capai, Taijin, akan tetapi sudah dekat. Kurasa di sana itulah tempatnya, lihat ada genteng rumah di sana.”
Tiba-tiba terdengar bunyi ramai di bawah dan ketika mereka menoleh, dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat belasan orang mengejar mereka dari bawah lereng gunung.
“Celaka, mereka adalah para pengawal yang mengejar kita!” Cui Lan berseru kaget dan mukanya menjadi pucat sekali. “Mari, Taijin....!” Gadis itu seolah-olah memperoleh semangat baru dan rasa capainya lenyap sama sekali karena dia sudah menggandeng tangan pembesar itu lagi dan menariknya, mengajaknya lari ke arah hutan.
“Heiiiii! Berhenti....!” Teriakan-teriakan para pengejar mulai terdengar dan dua orang pelarian ini makin mempercepat larinya.
“Auhhhhh....!” Tiba-tiba Gubernur Hok tersandung dan terguling roboh. Untung tidak sampai terjerumus ke dalam jurang di dekat mereka karena Cui Lan sudah merangkulnya dan membantunya berdiri.
“Auhhh.... kakiku....“ Pembesar itu terpincang-pincang akan tetapi terus digandeng Cui Lan, dipapahnya menuju ke rumah yang sudah berada di depan mereka.
“Mari, Taijin....!” Cui Lan menariknya dan mereka berdua lari menuju ke rumah yang bentuknya aneh itu. Sebuah rumah yang kokoh kuat, berbentuk segi empat seperti sebuah peti besar. Rumah itu berdiri di tebing sebuah sungai yang airnya tenang dan cukup lebar. Yang luar biasa pada rumah itu adalah bahwa berbeda dengan rumah biasa, rumah ini tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah daun pintunya yang terbuat daripada besi! Benar-benar seperti sebuah rumah penjara saja, penjara yang aneh di pinggir hutan!
Akan tetapi karena para pengejar sudah dekat di belakang mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok tentu saja tidak memperhatikan rumah aneh ini dan langsung saja mereka menghampiri pintu besar yang terbuat daripada besi itu dan menggedor-gedor sekuat tangan mereka dapat bertahan. Akan tetapi, tidak ada yang menjawab dari dalam, apalagi membuka daun pintunya.
“Bukalah.... bukalah....!” Tolonglah kami....!” Berulang kali Cui Lan menggedor daun pintu dengan kepalan tangannya sampai punggung tangannya berdarah!
“Cukup, Nona. Agaknya kosong rumah ini....“ Gubernur Hok memegang tangan yang berdarah itu. Cui Lan menangis terisak-isak dan gubernur itu dengan terharu lalu mencium punggung tangan yang berdarah itu. “Tenanglah, kita masih hidup dan kita akan menghadapi ini bersama....“ bisiknya.
Empat belas orang pengawal itu telah mengurung mereka sambil tertawa-tawa mengejek ketika mereka tadi menggedor-gedor pintu dan tidak ada yang menjawab. Juga mereka mentertawakan gubernur itu ketika dia mencoba untuk menarik dan membuka pintu yang kokoh kuat itu. Ejekan-ejekan dilontarkan ke arah Gubernur Hok dan godaan-godaan kotor dan cabul mereka lemparkan kepada Cui Lan.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring, suara anak-anak yang masih belum pecah suaranya, bening dan halus, “Heiiiii, jangan menghalang di depan pintu orang, aku mau lewat!”
Karena munculnya anak kecil itu begitu tiba-tiba, semua pengawal itu menjadi terkejut dan di luar kesadaran mereka, mereka itu bergerak memberi jalan kepada seorang anak laki-laki kecil yang datang dari belakang mereka. Anak ini menghampiri pintu memandang kepada Gubernur Hok dan Cui Lan, kemudian berkata lirih, “Mari ikut dengan aku!” Anak itu meraba sesuatu di dekat pintu dan terdengar suara berkeret keras, daun pintu besi terbuka dan cepat anak itu menarik tangan keduanya masuk ke dalam. Seperti digerakkan oleh tangan raksasa yang tidak nampak, daun pintu itu menutup kembali dengan suara keras berdetak!
Para pengawal Gubernur Ho-nan itu cepat mengejar. Mereka mendorong-dorong, menarik-narik, menggedor-gedor, namun pintu itu tidak dapat dibuka, dan juga tidak dibuka dari sebelah dalam. Biarpun empat belas orang itu telah menyatukan tenaga, namun tetap saja mereka tidak mampu membuka pintu besi itu.
Marahlah para pengejar itu. Mereka berteriak-teriak bahwa kalau dua orang itu tidak mau keluar, rumah itu akan dibakar! Komandan mereka dengan suara lantang lalu memerintahkan anak buahnya mengumpulkan kayu di sekeliling rumah itu dan setelah cukup lalu dia berteriak lagi, suaranya lantang menembus celah-celah yang ada memasuki rumah itu, “Heiiiii! Kalian yang berada di dalam. Kalau kalian tidak cepat keluar, kalian akan terbakar hidup-hidup di dalam!”
Tentu saja Cui Lan, Gubernur Hok, dan bocah itu mendengar suara ini dari dalam dan Cui Lan yang takut kalau-kalau anak itu akan membuka pintu, segera berkata, “Anak baik, tolonglah kami.... jangan buka pintunya, mereka itu hendak membunuh kami berdua....!”
Bocah itu memiliki sifat-sifat yang gagah. Mendengar ini, dia membusungkan dadanya yang masih kecil sambil berkata dan menepuk dada, “Percaya padaku, aku tidak akan menyerahkan kalian kepada orang-orang jahat itu!”
Mereka yang berada di dalam mendengar suara kayu terbakar dan melihat sinar terang di luar rumah, ada asap masuk dan hawa panas mulai terasa oleh mereka. Anak itu lalu lari mengambil air dan menyiramkan di bagian yang ada sinar api membakar di luar teanbok rumah. Cui Lan dan Gubernur Hok membantunya, akan tetapi usaha mereka itu tidak ada gunanya. Air ita tidak dapat langsung menyerang api yang menyala di luar rumah tembok tebal itu dan memang api tidak dapat masuk pula, akan tetapi hawa panas mulai menyerang makin hebat ke dalam!
Rumah itu kecil saja, terbuat dari tembok tebal dan dibagi menjadi empat buah kamar. Tidak ada pintu lain kecuali pintu depan itu, dan tidak ada jendela. Yang ada hanya lubang-lubang hawa yang amat kecil di bagian atas. Tentu saja kini rumah itu mulai terasa seperti dipanggang.
Tiga orang itu mulai mandi peluh, sekujur tubuh mereka basah, juga pakaian mereka mulai basah kuyup seolah-olah mereka bertiga baru saja jatuh ke dalam air sungai atau kehujanan! Akan tetapi napas mereka mulai megap-megap. Rasa panas hampir tak tertahankan lagi.
“Bukalah.... bukalah.... kalian berdua tidak layak mati untukku...., bukalah....“
“Jangan, Taijin.... Paduka akan celaka....“
“Tidak, Cui Lan, aku akan lindungi kau sedapatku “
Akan tetapi anak itu yang tadi kelihatan berkeliaran dan tidak mendengarkan pembicaraan mereka, kini datang mendekat.
“Harap kalian jangan gugup,” katanya sambil menunjuk ke sebuah kamar. “Ini kamarku dan Ayah, ini kamar kedua orang Pamanku, masing-masing satu, dan kamar yang sudut itu adalah kamar.... Ibuku dahulu! Mari kita dobrak dan buka kamar itu!”
Daun pintu yang satu ini digembok dan dikunci, sukar sekali dibuka. Dengan tenaga seadanya, bocah itu dibantu oleh Cui Lan dan Gubernur Hok berusaha untuk membuka pintu itu, menggunakan segala alat yang ada seperti palu dan linggis untuk merusak gembok.
Mengapa bocah itu berkeras hendak membuka kamar ini? Padahal, sejak kecil ayahnya melarang dia membuka pintu itu yang selalu ditutup dan digembok? Anak ini teringat akan cerita seorang di antara kedua pamannya, yang seperti juga ayahnya adalah pemburu-pemburu yang mencari binatang di hutan-hutan untuk dijual kulit dan dagingnya. Menurut cerita pamannya itu, ayahnya adalah seorang suami yang amat besar cemburunya. Karena cemburunya itulah maka ayahnya membuat rumah aneh seperti penjara itu dan setiap kali ayahnya pergi berburu, rumah itu ditutup dan ibunya seperti dikurung di dalam penjara. Akhirnya ibunya tidak tahan dan setiap kali ayahnya pergi berburu, ibunya itu menggali terowongan sedikit demi sedikit, sampai bertahun-tahun lamanya sehingga akhirnya dia berhasil membuat terowongan dari kamarnya itu menembus ke dinding tebing sungai! Maka, pada suatu hari kaburlah isteri ini meninggalkan anaknya yang masih kecil.
Teringat oleh cerita inilah maka bocah itu lalu berusaha mati-matian untuk membuka daun pintu kamar ibunya itu. Akhirnya, setelah tangan mereka terasa sakit semua, gembok itu dapat dipatahkan. Cui Lan girang sekali, cepat dia mendorong pintu kamar itu dan gadis ini melangkah mundur dengan mata terbelalak karena terkejut melihat tiga orang laki-laki yang bertubuh tegap dan berpakaian kasar berdiri di belakang pintu kamar itu dengan mata terbelalak marah!
“Ayah....! Paman....!” Bocah itu berseru dengan girang, akan tetapi begitu melihat wajah ayahnya yang beringas dan teringat bahwa dia telah melanggar pantangan ayahnya, dia menjadi ketakutan dan mundur-mundur berlindung di belakang Cui Lan!
Ayah bocah itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka bengis sekali. Dia tidak memakai baju, hanya bercelana hitam dan dadanya penuh bulu, cambang bauknya membuat wajahnya makin serem kelihatannya. Tangan kirinya memegang sebatang kapak dan tangan kanannya memegang gendewa besar.
“Keparat, kau berani membuka pintu ini? Kubunuh kau.... dan dua orang asing ini yang berani lancang memasuki rumahku!” Pemburu kasar itu mengangkat kapaknya tinggi-tinggi dan hendak mengejar anaknya. Dia bukan hanya marah kepada anaknya yang dianggapnya telah mendatangkan bencana, rumahnya dikepung pengawal dan dibakar, juga berani membuka pintu kamar yang dirahasiakan, akan tetapi kemarahannya meluap ketika dia melihat Cui Lan yang cantik. Semenjak isterinya minggat, setiap kali melihat perempuan cantik, hati pemburu ini seperti dibakar rasanya dan dia membenci setiap wanita cantik!
“Sabar dulu, Saudara!” Cui Lan melindungi bocah itu dan menentang si pemburu dengan berani. Dia penasaran sekali. Masa ada ayah hendak membunuh anaknya hanya karena membuka pintu kamar itu saja? Kamar itu pun hanya kamar yang kosong! ”Anak ini tidak bersalah. Dia terpaksa membuka kamar untuk menyelamatkan kami. Kalau mau bunuh, bunuhlah aku, akan tetapi aku benar-benar menyesal mengapa aku datang ke sini seperti yang dipesankan oleh Siluman Kecil.”
Mendengar ini, kapak di tangan pemburu itu terlepas ke atas lantai dan mukanya berubah pucat sekali, juga dua, orang paman bocah itu kelihatan terkejut dan cepat melangkah maju.
“Kau.... kau bilang.... Siluman Kecil....?” Suara pemburu tinggi besar itu agak gemetar.
Cui Lan merasa mendapat hati. Jelas bahwa disebutnya Siluman Kecil itu membuat tiga orang itu terkejut dan ketakutan. “Benar!” katanya lantang. “Dahulu Siluman Kecil pernah berpesan kepadaku bahwa jika aku berada dalam kesukaran, aku boleh minta bantuan para pemburu yang datang tinggal di rumah ini!”
“Ah, maaf.... maaf.... kami tidak tahu bahwa Siocia (Nona)....“
“Sudahlah, aku hampir tidak kuat bertahan!” Cui Lan berkata dan cepat dia menggandeng tangan Pembesar Hok. “Dan dia pun sudah tidak kuat! Tolonglah kami terhindar dari malapetaka ini.”
“Mari....!” Ayah bocah itu berkata dan cepat dia membuka sebuah tutup di lantai kamar kecil itu. Ternyata terdapat sebuah lubang seperti sumur, sebuah terowongan dan semua orang lalu memasuki terowongan ini. Tidak terlalu panjang terowongan ini dan kiranya inilah terowongan yang dahulu dibuat oleh ibu bocah itu. Tadi, ketika pulang dari berburu melihat rumah mereka dikurung para pengawal dan dibakar dari luar, mereka terkejut sekali. Mereka adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman, dan melihat bahwa pasukan itu adalah pasukan pengawal, mereka tidak berani sembrono. Untuk menolong puteranya yang berada di dalam rumah, pemburu itu lalu mengajak dua orang adiknya untuk memasuki rumahnya melalui terowongan buatan isterinya dahulu itu dan demikianlah, ketika mereka tiba di dalam kamar, tepat sekali Cui Lan membuka daun pintu kamar yang berhasil mereka rusak gemboknya. Begitu melihat Cui Lan dan kakek itu, dan melihat anaknya merusak gembok daun pintu kamar itu, marahlah si pemburu dan nyaris dia membunuh mereka bertiga kalau saja Cui Lan tidak cepat menyebut nama Siluman Kecil!
Kini mereka tiba di mulut terowongan di tebing sungai. Dengan bantuan mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok dapat meloncat ke dalam air dan karena tempat itu tidak nampak dari atas tebing, maka para pengawal yang masih tertawa-tawa di luar rumah yang mereka bakar itu, mereka dengan mudahnya dapat menyelamatkan diri. Dengan menggunakan sebuah perahu para pemburu, mereka menjauhi tempat itu dan setelah melakukan perjalanan setengah hari keluar dan masuk hutan, akhirnya mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat di mana terdapat sebuah pondok yang dibuat oleh tiga orang pemburu itu dan yang digunakan pada waktu mereka memburu binatang.
Hampir patah-patah rasanya kaki Cui Lan dan Gubernur Hok ketika mereka akhirnya dapat melempar tubuh mereka ke atas lantai pondok yang ditilami daundaun kering itu. Gubernur Hok saking lelahnya sudah tidak dapat bertahan lagi, langsung dia tertidur pulas!
Setelah membuat api unggun, memasak air dan nasi yang memang tersedia di situ, dibantu oleh bocah kecil, pemburu dan dua orang adiknya lalu duduk pula di atas lantai dan bertanyalah ayah bocah itu kepada Cui Lan. “Kami tidak hendak mencampuri urusan Siocia dan Lopek ini, dan karena Siocia mengenal beliau, maka kami akan menolong sampai sekuat tenaga kami, kami ingin kalau Siocia tidak keberatan, kami ingin mengetahui mengapa Siocia dan Lopek ini dikejar-kejar para pengawal itu? Bukankah para pengawal itu adalah pengawal-pengawal dari gubernuran?”
Cui Lan adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Dia bukan seorang pelayan biasa melainkan puteri seorang kepala kampung yang terpelajar juga. Oleh karena itu ditambah pula dengan wataknya yang memang halus dan pribadinya yang tinggi, dara ini dapat bersikap tenang dan cerdik menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga. Dia maklum bahwa mereka masih berada di wilayah Ho-nan, dan sungguhpun bagi dirinya sendiri tidak perlu dia menyembunyikan diri, namun tidak demikian halnya dengan Gubernur Ho-pei ini. Pembesar ini harus disembunyikan keadaan dirinya, maka dia sudah cepat mengarang cerita sambil menjawab pertanyaan itu.
“Benar seperti yang kalian duga. Mereka itu adalah pengawal-pengawal di istana gubernur. Dan aku bernanna Phang Cui Lan, seorang pelayan di istana Gubernur Kui, melayani isteri beliau. Akan tetapi pada suatu hari, aku akan dikawinkan oleh gubernur dengan seorang pelayan beliau. Karena sejak kecil aku sudah ditunangkan, aku tidak mau, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dengan terus terang. Maka aku lalu minggat dengan bantuan Pamanku ini yang menjadi tukang kebun di sana.” Dia berhenti sebentar karena pada saat itu, Gubernur Hok agaknya telah sadar dan mendengarkan cerita itu. “Kami berdua melarikan diri dan berhasil lolos dari kota, akan tetapi ketika tiba di dekat hutan tempat tinggal kalian itu, kami melihat para pengawal istana gubernuran mengejar kami. Maka kami lalu lari ke rumah kalian dan kebetulan sekali putera kalian berada di pintu dan membantu kami masuk. Selanjutnya, kalian ketahui.”
Tiga orang itu mengangguk-angguk dan ayah dari bocah itu mengangkat muka, memandang kepada Cui Lan dengan kagum. “Ahhh, sungguh hebat engkau, Nona. Engkau adalah seorang wanita yang setia kepada tunangan. Aku kagum dan aku merasa girang telah dapat menolongmu. Kemudian, mengenai perkenalanmu dengan beliau itu...., bolehkah kami mendengarnya?”
Cui Lan merasa ragu-ragu untuk menceritakan pengalamannya dengan Siluman Kecil, apalagi karena perasaan hatinya terhadap Siluman Kecil itu akan disimpannya sebagai rahasia hidupnya dan hanya satu kali dia menceritakan rahasia itu kepada Kian Lee! Kini, ditanya oleh tiga orang kasar ini, dia menjadi ragu-ragu, akan tetapi kecerdikannya menolongnya, “Siluman Kecil.... pendekar itu pernah menolong kami ketika kami diganggu perampok....“
“Nona adalah seorang pelayan di gubernuran, bagaimana bisa diganggu perampok?” seorang di antara dua paman bocah itu terheran-heran.
Kini Gubernur Hok yang telah sadar betul dan sejak tadi mendengarkan percakapan itu, bangkit duduk dan berkata, “Kalian tidak tahu. Keponakanku ini baru saja menjadi pelayan di gubernuran, bahkan sejak peristiwa itulah dia menjadi pelayan. Adapun saya yang sudah lama menjadi tukang kebun di taman istana Kui-taijin, Gubernur Ho-nan.” Dia terbatuk-batuk lalu menghirup air teh yang dihidangkan oleh bocah itu, kemudian melanjutkan, “Ketika itu saya mendengar bahwa Nyonya Gubernur membutuhkan seorang pelayan yang boleh dipercaya. Saya lalu menawarkan keponakan saya Cui Lan ini dan karena sudah lama saya bekerja di gubernuran, penawaran saya diterima dan saya lalu pergi ke dusun untuk menjemput keponakan saya ini. Nah, dalam perjalanan kami ke kota itulah kami dihadang segerombolan perampok dan kami tentu celaka kalau tidak ditolong oleh beliau.” Gubernur itu tentu saja tidak pernah tahu tentang “beliau” itu, akan tetapi dari percakapan tadi dia mengerti bahwa yang disebut oleh Cui Lian sebagai “Siluman Kecil” dan oleh tiga orang pemburu disebut sebagai “beliau” itu tentulah seorang pendekar atau seorang yang luar biasa yang pernah menolong Cui Lan dan yang amat ditakuti oleh tiga orang kasar itu.
“Demikianlah,” Cui Lan menyambung hati-hati dan mengerling ke arah “pamannya” sambil tersenyum dengan penuh rasa syukur dan dibalas oleh gubernur yang kini selain menjadi tukang kebun juga menjadi paman itu, “Dalam kesempatan itulah pendekar itu memperkenalkan namanya sebagai Siluman Kecil dan berpesan bahwa apabila aku tertimpa bahaya, aku boleh minta bantuan kalian yang disebutnya sebagai pemburu-pemburu gagah yang tinggal di pinggir hutan itu.”
Tiga orang pemburu itu tersenyum girang dan bangga bukan main karena mereka disebut “pemburu gagah” oleh Siluman Kecil! Tentu saja sebutan itu adalah tambahan Cui Lan sendiri!
“Kami girang sekali telah dapat membantu Nona yang ternyata menjadi sahabat baik beliau,” kata si ayah bocah itu.
“Karena kami telah memperkenalkan diri, yaitu namaku Phang Cui Lan dan Pamanku ini....“
“Aku bernama Hok An, kakak dari Ibu Cui Lan,” sambung sang gubernur.
“Maka kami harap kalian suka menceritakan pula kepada kami siapakah kalian ini dan bagaimana pula kalian dapat berhubungan dengan beliau.” Kini Cui Lan juga menyebut beliau kepada Siluman Kecil, karena dia merasa ngeri juga menyaksikan sikap yang begitu takut kepada pendekar pencuri hatinya itu.
“Maaf, aku dan adikku ini tidak pandai bicara, hanya adikku paling kecil itu yang agak bisa bicara. Kun-te, kau berceritalah!” Pemburu berewok itu menyuruh adiknya yang termuda, dan berceritalah laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh delapan tahun, berwajah cukup tampan dan bertubuh gagah itu sungguhpun tidak sebesar kakaknya yang tertua.
Mereka itu adalah kakak beradik. Yang tertua, yang berewok dan ayah dari bocah itu bernama Sim Hoat dan seperti telah diceritakan oleh puteranya yang bernama Sim Hong Bu tadi, isteri Sim Hoat yang tersiksa batinnya oleh suaminya yang pencemburu itu minggat dan meninggalkannya. Adapun orang ke dua itu adalah adiknya yang bernama Sim Tek. Kalau Sim Hoat berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, Sim Tek berusia tiga puluh tahun sedangkan adik terkecil yang tidak pendiam seperti dua orang kakaknya, yaitu yang bercerita itu adalah Sim Kun, berusia dua puluh delapan tahun. Semenjak kecil mereka itu telah menjadi pemburu-pemburu yang ulung karena mereka memang keturunan pemburu.
Mereka mulai mengenal Siluman Kecil kira-kira dua tahun yang lalu. “Memang munculnya nama beliau sekitar dua tahun yang lalu.” Sim Kun melanjutkan ceritanya. “Tadinya tidak ada nama julukan itu di dunia kang-ouw. Pada waktu itu, terjadi pertikaian dan perebutan wilayah perburuan di antara para pemburu di sekitar perbatasan tiga Propinsi Ho-nan, Ho-pei, dan Shen-si. Ratusan orang pemburu terpecah menjadi tiga kelompok dan saling berebutan, sehingga sering kali terjadi pertumpahan darah untuk memperebutkan wilayah perburuan itu. Kemudian, pada suatu hari, munculiah beliau dan dengan kesaktian yang luar biasa beliau mengalahkan dan menundukkan semua untuk menghentikan permusuhan dan membagi-bagi wilayah perburuan secara adil menurut wilayah propinsi masing-masing. Semenjak saat itulah kami semua mentaati perintah itu karena setiap kali ada pelanggaran, si pelanggar tentu akan menerima hukuman hebat dari beliau dan sampai sekarang kami saling menghormati wilayah masing-masing dan dapat bekerja sama dengan baik. Itulah sebabnya, ketika mendengar bahwa Nona adalah sahabat beliau, kami sangat girang dan kami bersedia membela Nona sampai titik darah terakhir!”
Cui Lan merasa terharu bercampur kagum terhadap kehebatan pendekar yang dipujanya itu. Juga diam-diam Gubernur Ho-pei menyesalkan mengapa dia sebagai gubernur tidak tahu akan adanya hal itu, dan tidak mengenal pula pendekar yang demikian besar jasanya mendamaikan pertikaian antara para pemburu kasar itu.
“Pertolongan kalian bertiga cukup berharga bagi kami dan kami berdua menghaturkan terima kasih,” kata Cui Lan. “Akan tetapi kalau kalian memang suka menolongku, aku minta dengan sangat sukalah kalian menyelidiki tentang seorang penolong kami pula yang dikeroyok di taman istana gubernuran.”
“Tentu saja, kami siap melakukan segala permintaan Nona!” kata Sim Hoat karena dia dan adik-adiknya yakin bahwa kelak mereka tentu akan dipuji oleh Siluman Kecil atas pertolongan mereka terhadap noha cantik ini. Siapa tahu kalau-kalau nona cantik ini selain pernah ditolong, juga menjadi kekasih pendekar ajaib itu! Dan memang sudah sepatutnya karena nona ini cantik sekali!
“Begini, Sim-twako,” Cui Lan yang pandai itu segera menyebut twako sehingga si pemburu yang kasar merasa makin girang dan akrab. “Di taman gubernuran ada seorang pemuda yang terlibat dalam pertempuran. Ketika kami berdua melarikan diri memang sedang terjadi keributan dan hal itu menolong kami, akan tetapi ada seorang pemuda yang baik kepada kami, yang terlibat dalam pertempuran dan dikeroyok oleh para pengawal gubernuran. Harap Samwi (Kalian Bertiga) sudi membantuku menyelidiki bagaimana kabarnya dengan pemuda itu.”
“Ah, mudah saja itu! Siapa namanya?” tanya Sim Hoat.
“Namanya Suma Kian Lee.”
“Suma....?” Tiga orang kasar itu saling pandang.
“Mengapa?” Cui Lan bertanya heran.
“Tidak apa-apa, hanya pernah dahulu beliau bertanya kepada kami semua apakah kami bertemu atau mendengar adanya seorang she Suma. Ah, mungkin hanya kebetulan saja dan pertanyaan itu sudah hampir dua tahun. Baiklah, Nona Phang, kami akan segera menyelidikinya dan harap Nona dan Hok-lopek suka menanti saja di sini dan jangan pergi ke mana-mana. Daerah ini aman dan tidak mungkin para pengawal dapat mencari sampai ke sini. Hong Bu akan melayani semua keperluan kalian selama kami pergi.”
Mereka bertiga segera pergi dengan cepat dan menjelang malam mereka telah kembali membawa berita yang membuat wajah Cui Lan menjadi pucat sekali dan juga Gubernur Hok yang mendengar dari Cui Lan betapa pemuda itu membantunya melawan para pengawal lihai dari Ho-nan merasa khawatir sekali. Berita itu adalah bahwa Suma Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda dari istana terjebak di dalam terowongan saluran air dan bahwa kini kedua mulut saluran air dari kolam di taman istana sampai ke jalan keluar itu telah ditutup dan di jaga oleh banyak pasukan pengawal.
“Padahal menurut pendengaran kami, di dalam terowongan itu terdapat banyak ular-ular beracun.” Sim Hoat melanjutkan ceritanya.
“Aihhhhh....!” Cui Lan mendekap mukanya dengan kedua tangannya dan memejamkan mata, ditahannya tangisnya. Dia ngeri membayangkan betapa pemuda yang amat tampan, amat baik dan yang sikap dan gerak-geriknya mengingatkan dia akan pendekar yang dipujanya itu kini terbenam di air saluran dan dikeroyok ular-ular beracun!
“Apakah kalian tidak dapat menolongnya?” Tiba-tiba Gubernur Hok berkata, suaranya lantang dan penuh semangat. “Percayalah, kalau kalian dapat membantunya kelak aku akan memberi ganjaran yang amat besar kepada kalian!”
“Ganjaran? Lopek memberi ganjaran?” Sim Hoat bertanya dan gubernur itu terkejut dan menyadari kesalahan bicaranya. Akan tetapi kembali Cui Lan yang cekatan dan cerdik itu sudah cepat menolongnya.
“Sim-twako, yang dimaksudkan oleh Pamanku adalah ganjaran dari beliau. Karena tentu kami kelak akan menceritakan kepada beliau betapa hebatnya kalian, betapa gagahnya kalian dan mati-matian telah membantu kami. Tentu beliau tidak akan melupakan jasa kalian dan akan memberi ganjaran....“
“Bagus! Kami tentu saja dapat membantunya kalau mengerahkan teman-teman kami!” Sim Hoat sudah terlampau girang mendengar ucapan Cui Lan itu.
“Tek-te (Adik Tek) hayo cepat kaulepaskan tanda rahasia!”
Sim Tek mengangguk dan dengan gendewa di tangan dia lalu keluar dari dalam pondok, melepaskan anak panah berapi dan tak lama kemudian, berturut-turut dari empat penjuru nampak sinar-sinar kuning melayang di udara sebagai sambutan atas anak panah berapi kuning yang dilepaskan oleh Sim Tek tadi.
Malam itu juga, datanglah dari empat penjuru orang-orang yang bersikap, kasar-kasar menakutkan, para pemburu yang sudah biasa hidup di hutan dan hidup dengan liar. Sampai menjelang pagi, di tempat itu sudah berkumpul dua puluh orang yang terdiri dari macam-macam orang, akan tetapi yang rata-rata berperawakan tinggi besar, kuat dan kasar sehingga Cui Lan merasa ngeri juga.
Akan tetapi, biarpun tadinya banyak di antara mereka yang meringis memperlihatkan gigi seperti seekor harimau bertemu domba ketika melihat Cui Lan yang cantik, begitu mendengar dari tiga saudara Sim bahwa dara itu adalah sahabat “beliau”, otomatis sikap mereka berubah menjadi lunak dan menghormat biarpun sikap hormat ini kasar pula!
Maka berundinglah mereka dan Cui Lan juga menghadiri perundingan itu dengan hati tabah. Diam-diam Gubernur Hok makin kagum melihat sepak terjang Cui Lan. Gadis ini memang mempunyai sifat-sifat yang mengejutkan dan luar biasa. Seorang pelayan saja kini ternyata dapat bersikap sedemikian hebat, bukan hanya suka menolong dia yang tidak dikenalnya sama sekali dengan taruhan nyawa, akan tetapi juga kini memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa kepada seorang yang dianggapnya baik, yaitu kepada Suma Kian Lee. Mulai terbukalah mata pembesar ini betapa selama usianya yang enam puluh lima tahun ini, dia tadinya seperti orang buta saja yang memandang kepada orang-orang yang berkedudukan rendah seperti pelayan dan lain-lain, yang dianggapnya adalah manusia-manusia yang berderajat rendah, berpengetahuan dangkal, berpribudi tipis dan lebih mendekati binatang daripada seorang manusia yang luhur dan mengenal apa artinya hidup dan apa artinya perikemanusiaan dan sebagainya! Sekarang, terbukalah matanya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang tadinya dikira rendah, hina dan bodoh, yang ternyata bahkan lebih manusiawi daripada orang-orang besar, lebih memiliki kejujuran, kesetiaan, kewajaran daripada orang-orang besar yang merasa dirinya penuh pengetahuan dan kepandaian! Bahkan di dalam diri orang-orang kasar seperti para pemburu itu dia menemukan sifat-sifat yang jauh lebih agung daripada sifat para pembesar, bangsawan, cendekiawan yang biasanya menjilat ke atas dan menginjak atau merendahkan ke bawah!
Orang-orang kasar dan liar itu bukan seluruhnya pemburu, bahkan ada yang tadinya menjadi kepala perampok, bajak sungai dan lain-lain. Akan tetapi mereka semua adalah kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin rombongan mereka, dan mereka semua telah tunduk kepada Siluman Keicl, maka begitu melihat tanda anak panah berapi kuning sebagai tanda bahwa seorang “sahabat” Siluman Kecil minta bantuan, mereka cepat datang! Di antara mereka, banyak yang belum pernah berjumpa dan belum kenal, akan tetapi mereka kelihatan rukun karena semua merasa berada di bawah pengaruh Siluman Kecil yang mereka anggap sebagai manusia dewa itu!
Cui Lan tentu saja serem melihat muka-muka liar dan kasar itu mengelilinginya. Di antara mereka itu, dua orang adik Sim Hoat kelihatan tampan dan ganteng, setidaknya bersih dan umum! Kini dara itu yang diperkenalkan oleh Sim Hoat sebagai sahabat Siluman Kecil yang mohon bantuan mereka, segera menceritakan niatnya untuk menyelamatkan Suma Kian Lee yang terjebak ke dalam terowongan saluran air dan terancam nyawanya itu. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menanyakan siapa adanya Suma Kian Lee itu, sungguhpun mereka juga tercengang karena teringat bahwa dulu Siluman Kecil pernah menanyakan she Suma, seperti juga seperti juga yang dialami oleh ketiga orang saudara Sim. Mereka datang untuk membantu nona yang menjadi sahabat Siluman Kecil dan mereka tidak perlu tahu urusan apa itu. Demikianlah kesetiaan mereka terhadap sahabat-sahabat Siluman Kecil, dan andaikata seorang di antara mereka juga mengalami malapetaka, tentu temanteman ini semua juga akan membelanya mati-matian seperti kalau mereka akan membela Siluman Kecil. Demikian dalam Siluman Kecil menanam rasa setia kawan kepada orang-orang kasar ini.
“Tidak mungkin kita akan menang melawan pasukan-pasukan pengawal Gubernur Ho-nan,” Sim Hoat menyatakan pendapatnya.
“Menang kalah sih bukan soal dan kami pun bukannya takut, hanya amat tidak baik kalau golongan kami nanti dicap sebagai pemberontak-pemberontak!” kata seorang yang matanya lebar sekali.
“Beliau tentu akan marah kepada kami kalau kami memberontak terhadap kerajaan, memberontak terhadap Gubernur Ho-nan tiada bedanya dengan memberontak terhadap pemerintah!” sambung seorang yang mukanya seperti monyet besar dan berbulu!
Cui Lan mengangkat tangannya dan mereka semua terdiam! Gubernur Hok makin kagum, kagum kepada pendekar yang berjuluk Siluman Kecil yang ternyata memiliki pengaruh hebat itu, dan juga kagum terhadap Cui Lan yang tadinya hanya seorang pelayan akan tetapi kini memiliki sifat seperti seorang pemimpin!
“Saya tidak mengharapkan saudara-saudara untuk membunuh diri, apalagi untuk memberontak. Saya hanya minta bantuan saudara sekalian untuk menyelamatkan pemuda itu yang terjebak di dalam terowongan yang kedua pintunya telah ditutup itu. Dengan membobol terowongan, kalau dia masih hidup tentu dia akan dapat keluar dari situ.”
“Bagus! Nona cerdik bukan main!”
“Akal yang baik sekali!”
“Aku setuju!”
Mereka bicara lagi tidak karuan seperti sekawan burung tidur dikejutkan sesuatu.
“Akan tetapi mana mungkin membobol terowongan tanpa diketahui oleh para pasukan pengawas.”
Pertanyaan dari seorang diantara mereka ini membungkam mulut mereka semua dan dua puluh pasang mata yang menyeramkan itu semua ditujukan kepada Cui Lan. Bahkan Gubernur Hok sendiri pun menujukan pandang matanya kepada dara itu karena terus terang saja, biarpun dia seorang gubernur, jadi seorang besar yang memiliki kepandaian dan kecerdikan tentunya, kini sama sekali merasa tidak berdaya!
“Saya sudah mengenal jalan terowongan itu. Tempat yang terbaik untuk digali adalah di kebun belakang sebuah kuil.Tempat itu tertutup dan mana ada pengawal akan memeriksa sebuah kuil? Hanya saya khawatir kalau-kalau penjaga kuil tidak setuju!”
“Kita paksa kepala gundul itu!”
“Kita serbu saja kuil ltu!”
Kembali Cui Lan mengangkat tangannya. “Saya harap saudara sekalian tidak berbuat ceroboh. Melakukan perbuatan menolong ini di dalam ibu kota amatlah berbahaya dan harus menggunakan kecerdikan. Tidak boleh bertindak sendiri-sendiri dan saya mengangkat Saudara Sim Kun untuk memimpin kalian. Kalian, biarpun lebih pandai daripada Saudara Sim Kun, harus menurut perintah dan petunjuknya.”
Tentu saja Sim Kun girang bukan main dan memang tepatlah pilihan Cui Lan. Dara ini melihat bahwa di antara mereka, hanya Sim Kun yang tidak begitu liar dan memiliki kecerdikan, maka dia memilih pemuda ini.
“Sekarang kita rundingkan bagaimana kita akan dapat menguasai kuil itu untuk sehari saja,” kata pula Cui Lan.
“Kita serbu!”
“Kita bunuh hwesio-hwesionya!”
Sim Kun mengangkat tangan ke atas dan mereka semua membungkam. Jelas bahwa mereka telah mentaati perintah Cui Lan tadi dan telah menganggap Sim Kun sebagai pemimpin mereka, yaitu dalam urusan menolong pemuda dalam terowongan itu saja tentunya, bukan pemimpin seterusnya!
“Harap kalian jangan mempunyai pendapat sendiri-sendiri dan dengarlah siasat kita bersama yang baik dan tidak ngawur,” kata Sim Kun.
“Tentu Kun-twako sudah mempunyai akal, bukan?” Cui Lan bertanya dengan cerdik melihat sikap pemuda itu yang dia sebut “twako” pula sehingga wajah pemuda itu berseri gembira.
“Begini,” katanya. “Kita harus menyelundup ke dalam ibu kota dan kita menyamar sebagai orang-orang dusun yang hendak bersembahyang di kuil itu. Kemudian, dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kita tangkap semua hwesio dan membuat mereka tidak berdaya, lalu....” Dengan suara bisik-bisik Sim Kun melanjutkan penuturannya tentang rencana siasatnya. Sampai lama semua orang mendengarkan dengan serius, kemudian meledaklah suara ketawa mereka. Gubernur Hok diam-diam menarik napas. Siasat mereka ini tidak kalah oleh siasat kelompok perwira-perwira perang yang mengatur siasat!
“Aku percaya kalian tidak akan gagal, hanya pintaku agar kalian tidak sampai melakukan pembunuhan, apalagi terhadap hwesio-hwesio itu. Saya dan Paman Hok akan menanti di sini bersama Hong Bu,” kata Cui Lan akhirnya.
Siang hari itu juga, berangkatlah serombongan petani dengan berpencar ke kota dan memasuki ibu kota tanpa dicurigai karena mereka itu adalah petani-petani biasa. Seperti yang telah direncanakan, petani-petani yang masuknya berpencar secara berpencar pula memasuki sebuah kuil di pinggir kota, sebuah kuil besar dan karena biasanya orang pergi ke kuil di waktu pagi dan malam, maka siang hari itu agak sunyi. Orang-orang kota yang datang bersembahyang hanya beberapa orang. Mereka ini pun segera pergi meninggalkan kuil, enggan berdesakan dengan orang-orang dusun kasar dan berbau apek yang baru saja memasuki kuil untuk bersembahyang.
Di antara dua puluh orang dusun yang memasuki kuil itu, ada sepuluh orang yang kepalanya tertutup ikat kepala sehingga tidak nampak rambutnya sama sekali. Para hwesio pengurus kuil yang jumlahnya dua belas orang itu sibuk melayani orang-orang dusun ini yang bertanya ini itu dan minta ini itu sehingga mereka sibuk melayani dengan pisah-pisah. Tidak ada suara terdengar ketika hwesio-hwesio itu dirobohkan dengan totokan-totokan, diikat dan sepuluh orang yang kepalanya ditutupi tadi kini menanggalkan ikat kepala dan ternyata bahwa kepala mereka sudah digunduli licin seperti kepala para hwesio! Cepat mereka lalu menanggalkan jubah hwesio-hwesio itu dan munculiah kini sepuluh orang hwesio baru menjaga dan melayani kuil, sedangkan dua belas orang hwesio itu setelah diikat kaki tangannya dan disumpel mulutnya lalu dilempar ke dalam gudang di belakang dan dikunci dari luar!
Hwesio-hwesio baru itu tentu saja canggung dan kaku ketika ada tamu datang bersembahyang, akan tetapi dengan cerdiknya mereka itu menceritakan bahwa mereka memang hwesio-hwesio baru yang dilatih melayani tamu dan kalau ada pelayanan yang kurang memuaskan mereka mohon maaf! Selagi mereka ini sibuk melayani tamu-tamu yang mulai berdatangan karena hari mulai senja, yang lain-lain sibuk menggali lubang di kebun belakang kuil dipimpin oleh Sim Hoat, karena Sim Kun yang cerdik itu pun termasuk seorang di antara “hwesio-hwesio” baru itu!
Sementara itu, keadaan Suma Kian Lee dan komandan Pasukan Kuku Garuda itu benar-benar amat sengsara. Karena di dekat pintu air dekat sungai itu jalan keluarnya telah ditutup dan air makin lama makin naik tinggi, terpaksa Kian Lee lalu kembali ke hilir sambil meraba-raba karena keadaannya sangat gelap. Berbeda dengan tadi ketika berjalan mengikuti aliran air, kini perjalanan kembali amatlah sukarnya. Selain air naik makin tinggi, juga Kian Lee harus memapah komandan yang lumpuh separuh badannya itu. Akhirnya sampai juga dia di pintu air yang dihancurkan oleh senjata peledak tadi, di taman istana gubernuran. Akan tetapi betapa kaget hatinya melihat bahwa lubang di tempat ini pun telah ditutup! Dia dan komandan itu sekarang benar-benar seperti tikus terjebak, tidak bisa keluar lagi dan air di saluran dalam terowongan itu makin lama makin tinggi! Biarpun air dari kolam sudah habis, namun karena saluran itu menampung air pembuangan dari semua bagian istana, tentu saja makin lama makin bertambah, dan yang bertambah jauh lebih banyak daripada yang dapat mengalir keluar melalui celah-celah batu yang menutup mulut terowongan. Maka dengan sendirinya air naik makin tinggi!
Tadi ketika air masih setinggi lutut, bahkan ketika mencapai pinggang, Kian Lee masih dapat ke sana-sini untuk mencari-cari, kalau-kalau terdapat jalan keluar lain di samping dua mulut terowongan depan dan belakang yang sudah ditutup itu. Akan tetapi, yang ada hanya lubang-lubang kecil yang merupakan cabang terowongan dari mana mengalir air dari segala jurusan. Akan tetapi sekarang air sudah sampai di bawah leher! Sukar sekali untuk maju dan dengan setengah berenang, sambil menggandeng tangan komandan itu, Kian Lee tidak mau menyerah begitu saja dan selalu mencari bagian yang dangkal. Dia maklum bahwa kalau air sudah memenuhi saluran itu mereka berdua akan tewas, akan tetapi sebelum mereka mati dia harus berdaya dan mencari jalan keluar.
Mereka tidak mengenal waktu karena di dalam terowongan itu cuaca selalu gelap. Dan melihat betapa pemuda itu tiada hentinya hilir-mudik sambil menggandeng lengannya dengan susah payah, komandan pasukan Kuku Garuda itu berkata lemah, “Taihiap.... tidak ada gunanya lagi.... daripada menghabiskan tenagamu yang tinggal sedikit itu.... lebih baik.... mari kita hadapi maut dengan, tenang....“
“Aku tidak takut mati, Ciangkun. Akan tetapi sebelum hayat meninggalkan badan kita pantang menyerah begitu saja!”
Komandan itu menarik napas panjang, kagum akan semangat pemuda ini yang tak kunjung pandam. “Akan tetapi mati hidup di tangan Tuhan, Taihiap.”
“Mungkin engkau benar, Ciangkun, akan tetapi kita pun diberi perlengkapan untuk berusaha sekuat tenaga mempertahankan hidup dan itu harus kita pergunakan, apalagi menghadapi ancaman maut seperti sekarang ini.”
Terpaksa komandan itu tidak mampu membantah dan dia pun memaksa tubuhnya yang hampir tidak kuat lagi mengikuti kemana pun pemuda itu bergerak. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa sudah dua hari mereka berada di dalam terowongan itu bergulat dengan maut! Tidak tahu bahwa saat itu sudah menjelang malam yang ke tiga!
“Taihiap.... sebelum kita mati.... aku ingin mati sebagai seorang sahabatmu. Perkenalkanlah, saya bernama Souw Kee An.... dan siapakah nama Taihiap?” Panglima Pasukan Kuku Garuda yang sudah bertahun-tahun menjadi komandan pasukan pengawal di istana itu, bahkan dia adalah adik dari pengawal kaisar yang bernama Souw Kee It yang muncul dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali.
Tentu saja Suma Kian Lee tidak merasa keberatan, maka dengan sejujurnya dia menjawab, “Namaku adalah Suma Kian Lee, Ciangkun.”
Panglima itu terkejut dan memandang ke arah Suma Kian Lee sungguhpun dia tidak melihat apa-apa kecuali kehitaman yang padat. “Suma....? Suma Kian Lee....? Ahhh.... Keluarga Suma dari Pulau Es ?”
Kian Lee menghela napas. Tidak perlu menyembunyikan diri lagi, apalagi terhadap seorang panglima pengawal istana. Pula, apa sih bedanya keluarga Pulau Es dengan orang biasa dalam menghadapi kematian secara tidak berdaya itu?
“Kau benar, Ciangkun.”
“Ahhh....! Mataku seperti buta tidak mengenal orang pandai! Ah, Suma-taihiap, kaumaafkan saya....“
“Sudahlah, Ciangkun. Dengar.... aku seperti mendengar sesuatu....!” Tiba-tiba Kian Lee tidak bergerak dan mengerahkan tenaga pendengarannya untuk menangkap suara itu. Komandan Souw Kee An juga tidak bergerak dan memasang telinga mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Dukkk! Dukkk! Dukkk!”
Suara ini terus-menerus terdengar, makin lama makin keras seolah-olah ada sesuatu yang memukul-mukul di atas mereka. Kian Lee belum dapat menduga suara apa yang terdengar itu, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, apa pun menarik perhatian dan lalu bergerak mencari-cari sambil memapah Souw-ciangkun, menuju ke arah suara sampai dia tiba tepat di bawah suara itu. Suara itu makin terdengar keras dan karena bergema di seluruh terowongan maka terdengar menyeramkan sekali.
Tiba-tiba tangan Panglima Souw mencengkeram lengan Kian Lee di dalam air yang sudah mencapai leher mereka itu. “Suara orang menggali di atas kita!” teriaknya dengan suara serak dan tergetar penuh harapan.
“Kita lihat saja apa yang akan terjadi, Ciangkun. Tidak perlu terlalu mengharap karena yang mengharapkan mungkin akan kecewa. Kita tidak tahu siapa yang menggali itu, kawan ataukah lawan. Oleh karena itu kita bersiap-siap saja dan kalau nanti sudah terbuka lubang dan ternyata mereka adalah lawan, kuharap Ciangkun suka bersembunyi di sini saja dulu, dan biarkan aku yang meloncat keluar menghadapi mereka.”
“Baik, Suma-taihiap.”
Suara itu makin keras saja dan akhirnya nampaklah sebuah lubang! Dan terdengarlah suara orang-orang di atas, lalu lubang itu makin lebar. Hawa segar memasuki terowongan itu dan dua orang itu menarik napas dalam-dalam. Di atas lubang itu pun hitam, akan tetapi tidak segelap di bawah, dan setelah lubang itu cukup besar, mulailah nampak bayang-bayang muka orang di atas lubang dan jauh tinggi sekali nampak berkelap-kelipnya bintang-bintang! Pemandangan ini sungguh amat menyedapkan mata kedua orang itu. Akan tetapi mereka tetap tidak bergerak, sungguhpun seluruh urat syaraf mereka menegang. Setiap ada kesempatan harus dia pergunakan sebaiknya, pikir Suma Kian Lee. Kalau yang di atas itu fihak musuh, dia harus menyergap dan menyerbu keluar dan sekarang dia akan melawan mati-matian!
Sebuah kepala nampak di lubang yang besar itu, lalu terdengar suara parau kasar, “Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana?”
Suara ini bergema dengan aneh, seperti suara iblis dari neraka saja layaknya. Kian Lee tidak menjawab, menanti perkembangan selanjutnya karena dia tidak tahu siapakah mereka itu dan mendengar suaranya, di atas itu terdapat banyak sekali orang!
Pertanyaan itu diulang lagi, dengan suara yang lebih keras dan ada lanjutanya, “Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana? Kami diutus oleh Nona Phang Cui Lan, sahabat Siluman Kecil, untuk menolongmu!”
“Suma Kian Lee berada di sini!” Kian Lee menjawab, suaranya nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di atas. Mereka itu kelihatan girang karena ada suara-suara tertawa lega.
“Kalau begitu naiklah melalui tali ini!” terdengar suara yang kasar parau itu lagi, kemudian nampak sehelai tali besar diturunkan dari lubang, seperti seekor ular.
“Taihiap, biarkan saya naik dulu. Kalau ini merupakan jebakan, biarlah saya dulu....“
“Tidak, aku akan naik dulu, Ciangkun.”
“Taihiap, kalau ini jebakan dan kau naik dulu kemudian kau terjebak, berarti kita berdua akan mati. Sebaliknya, kalau aku yang naik dulu dan terjebak, hanya aku yang akan mati karena Taihiap dapat mengetahui dan menghindarkan jebakan itu. Biarkan aku naik dulu!”
“Engkau gagah sekali, Ciangkun. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mudah mereka celakakan di atas sana. Pula, aku yakin mereka itu tentu orang-orang yang hendak menolong, apalagi tadi menyebut nama Phang Cui Lan, dan andaikata mereka itu musuh, perlu apa susah-susah menolong kita? Mereka tentu tahu bahwa membiarkan kita begini saja, kita akan mati sendiri.”
Panglima itu tidak membantah lagi dan Kian Lee lalu menyambar tali dan merayap naik, tentu saja dia sudah siap dengan sinkang melindungi tubuh dan satu di antara kedua tangannya bebas dan siap untuk menghadapi serangan. Tali itu ditarik dari atas dan ketika Kian Lee meloncat ke luar, dia melihat belasan orang laki-laki yang berpakaian seperti petani dan ternyata mereka itu benar-benar hendak menolong karena tidak ada seorang pun yang kelihatan hendak menyerangnya.
Kian Lee lalu menurunkan lagi tali itu ke dalam lubang sambil berseru ke bawah. “Souw-ciangkun, sekarang naiklah!”
Dengan satu tangannya, panglima itu bergantung kepada tali dan ditarik ke atas oleh Suma Kian Lee. Setelah keduanya berada di atas, Kian Lee dan Souwciangkun menjura kepada belasan orang itu dan Kian Lee berkata, “Banyak terima kasih atas pertolongan Cu-wi sekalian. Sekarang, di manakah adanya Nona Phang Cui Lan?”
Tanpa banyak cakap Sim Hoat dan teman-temannya lalu berkata, “Mari kita pergi!” dan Kian Lee berdua panglima itu terheran-heran melihat hwesio-hwesio ikut pula bersama rombongan mereka dan jumlah mereka yang menolong itu ada dua puluh orang! Kiranya hwesio-hwesio yang jumlahnya sepuluh orang itu hanya hwesio-hwesio palsu karena di tengah jalan mereka meninggalkan pakaian hwesio dan di bawah jubah ini ternyata mereka berpakaian seperti petani pula. Kian Lee dan Panglima Souw juga diberi pakaian petani itu, dengan menggotong Souw-ciangkun yang tidak dapat berjalan, berangkat meninggalkan kota. Dengan cepat mereka menuju ke hutan di mana Cui Lan dan Gubernur Hok menanti.
Air mata bercucuran dari sepasang mata Cui Lan yang bening ketika dia melihat orang-orang kasar itu berhasil menyelamatkan Kian Lee, dan pemuda ini pun dengan hati terharu memegang tangan dara itu. “Terima kasih.... terima kasih.... Cui Lan,” katanya berulangulang.
“Jangan kepada saya, Kongcu, melainkan kepada dia....”
“Siluman Kecil?”
Cui Lan mengangguk dan kedua pipinya merah.
“Sekali waktu aku pasti akan bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasihku.”
Souw-ciangkun ketika bertemu dengan Gubernur Ho-pei, yang tidak dikenal oleh Kian Lee, segera menjura dengan penuh hormat sambil berkata, “Syukur bahwa Taijin ternyata dapat diselamatkan, akan tetapi Pangeran....“ Dan komandan pengawal ini mengeluh karena begitu dipakai bergerak, tubuhnya terasa sakit-sakit dan dia tentu terguling roboh kalau tidak cepat disambar oleh Kian Lee dan dibaringkan.
“Engkau harus kuobati dulu, Ciangkun. Kalau tidak bisa berbahaya!”. Kian Lee lalu membawa komandan itu ke dalam kamar di pondok, membaringkannya di atas lantai yang bertilam daun kering, kemudian dia sendiri duduk di dekatnya dan menggunakan sinkang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh panglima itu. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, pendekar muda ini telah berhasil membersihkan hawa beracun dari tubuh Souw-ciangkun, dan biarpun tubuhnya masih terasa lemah, namun Souw-ciangkun sudah sehat kembali. Mereka berdua lalu makan nasi yang dihidangkan oleh Cui Lan dan Hong Bu, makan dengan lahapnya karena selama tiga hari mereka itu sama sekali tidak makan apa-apa.
“Kemanakah perginya orang-orang yang menolong kami semalam?” tanya Kian Lee ketika melihat keadaan yang sunyi di pondok itu.
Cui Lan menggeleng kepala. “Mereka telah pergi semua, tidak mungkin dapat ditahan lagi. Mereka berkumpul dan menolong Kongcu atas permintaanku itu karena nama Siluman Kecil. Setelah tugas mereka selesai, tugas yang akan mereka lakukan dengan taruhan nyawa demi Siluman Kecil, kini mereka lalu pergi. Urusan kita selanjutnya tidak mereka pedulikan karena mereka hanya mau bergerak karena mengingat pendekar itu.” Lalu Cui Lan menceritakan pengalamannya sejak dia melarikan Gubernur Hopei sampai bertemu dengan para pemburu dan nyaris saja dia dan Hok-taijin mati terbakar hidup-hidup.
“Bukan main Siluman Kecil itu!” Kian Lee memuji penuh kagum.
“Akan tetapi bagi saya, yang lebih hebat adalah Nona Phang Cui Lan ini, Taihiap,” kata Gubernur Hok yang sudah mendengar dari Souw-ciangkun tentang kegagahan Suma Kian Lee membantu fihak istana menentang para jagoan Ho-nan. “Dia hanyalah seorang gadis muda yang lemah, namun sepak terjangnya sungguh tidak kalah oleh seorang pendekar yang perkasa!”
“Ah, Taijin bisa saja memuji orang....“
Cui Lan menunduk dengan muka merah.
“Memang, saya pun mengerti, Taijin,” kata Kian Lee. “Memang engkau patut menjadi sahabat baik Siluman Kecil, Cui Lan.”
“Sudahlah, Suma-kongcu. Kalian hanya membuat saya merasa malu saja, sebaliknya sekarang dipikirkan bagaimana dengan nasib Pangeran utusan Kaisar itu dan para pengawal beliau.”
“Aku pun sedang memikirkan hal itu dan karena Souw-ciangkun sendiri masih lemas, biarlah aku sendiri yang menyelidiki ke sana malam ini.”
“Aihhh...., itu berbahaya sekali, Kongcu!” Cui Lan berseru sambil matanya terbelalak penuh kekhawatiran. “Kami dengan susah payah membantu Kongcu keluar dari terowongan maut itu dan sekarang Kongcu malah hendak ke kota yang penuh dengan bahaya itu!
Kian Lee merasa terharu. Dara ini benar-benar seorang wanita yang memiliki watak halus dan berbudi mulia. Berbahagialah pria yang dicintai oleh seorang wanita seperti Cui Lan ini, pikirnya dan diam-diam dia agak iri juga kepada Siluman Kecil dan juga diam-diam berjanji pada diri sendiri bahwa kelak tentu Siluman Kecil akan berhadapan dengan dia sebagai lawan. Hanya seorang yang berhati mati saja yang tidak akan menerima cinta kasih seorang dara berperasaan halus dan berbudi mulia seperti Cui Lan!
“Ah, Cui Lan, engkau belum tahu siapa adanya Suma-taihiap ini! Engkau masih menganggap dia seorang pemuda terpelajar yang lemah. Ha-ha!” kata Gubernur Hok.
“Nona Phang, ketahuilah bahwa Suma taihiap ini tidak kalah saktinya dengan pendekar yang berjuluk Siluman Kecil itu!” kata pula Souw Kee An.
“Ahhh....!” Sepasang mata itu memandang Kian Lee penuh selidik dan pemuda ini tersenyum, diam-diam menyesal mengapa panglima itu lancang mulut sehingga selain mengejutkan juga menurunkan pandangan nona itu yang teramat tinggi terhadap Siluman Kecil.
“Jangan percaya kepadanya, Cui Lan, Souw-ciangkun hanya berkelakar. Nah, aku harus berangkat sekarang juga. Harap Taijin dan Cui Lan menanti di sini, dan kaulindungi dia dulu, Souw-ciangkun. Setelah aku kembali, baru kita berunding lagi bagaimana baiknya. Syukur-syukur kalau aku berhasil menolong dan membawa Pangeran Yung Hwa ke sini.”
Maka berangkatlah Kian Lee, diiringkan pandang mata penuh harapan oleh Gubernur Hok dan Souw-ciangkun, akan tetapi pandang mata Cui Lan penuh kekhawatiran.
***
Tidaklah sukar bagi Kian Lee untuk menyelundup masuk ke dalam kota Lok-yang di Ho-nan. Dengan ilmunya yang tinggi, mudah saja dia meloncati dinding tembok di sekeliling kota dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk menuju ke istana Gubernur Ho-nan.
Malam itu sunyi. Semenjak peristiwa keributan yang terjadi di taman istana, memang keadaan ibu kota menjadi sunyi dan penduduk banyak yang merasa takut keluar malam. Penjagaan diperketat, akan tetapi dengan mudah Kian Lee menggunakan ginkangnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan terus meluncur ke dalam. Dengan sigapnya dia telah menotok roboh seorang penjaga yang sedang meronda di dekat taman, menyeretnya ke semak-semak dan mengancamnya, “Kubunuh kau kalau kau berani berteriak!”
Di dalam keadaan yang remang-remang itu, penjaga ini tidak dapat melihat muka Kian Lee dengan jelas, dan andaikata dapat melihat pun, dia tidak akan mengenal wajah pemuda ini yang baru satu kali datang sebagai tamu dan belum banyak dikenal, kecuali oleh pasukan yang dulu menghadangnya.
“Ampun, Hohan....!” penjaga itu memohon.
“Aku tidak akan membunuhmu asal engkau suka menceritakan di mana adanya Pangeran Yung Hwa!” Kian Lee mengancam
“Ampun.... siapa Pangeran Yung Hwa....? Saya tidak tahu, Hohan....“
Kian Lee mengerutkan alisnya. “Tidak kenal? Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tempo hari....”
“Ah, kalau beliau tentu saja saya tahu. Yang menjadi utusan Kaisar dan kemudian terjadi keributan di taman?”
“Ya, benar. Di mana dia ditahan?”
“Ditahan? Saya sungguh tidak mengerti apa maksudmu, Hohan.”
“Bukankah kau sendiri bilang terjadi keributan di taman ketika Pangeran itu muncul, kemudian diserang dan ditangkap?”
“Ah, sama sekali tidak, Hohan. Memang terjadi keributan antara jagoan-jagoan Ho-nan melawan jagoan-jagoan Ho-pei, akan tetapi tidak ada yang berniat buruk terhadap Pangeran utusan Kaisar. Bahkan pada keesokan harinya pun utusan itu telah kembali ke kota raja dengan pengawalan ketat.”
“Bohong! Kubunuh kau kalau membohong!”
“Saya.... saya tidak berani membohong Hohan!”
Kian Lee menjadi bingung, lalu dia menotok lagi agar orang itu tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, kemudian dia meninggalkannya di balik semak-semak dan karena penasaran, Kian Lee lalu mencari dan akhirnya dia berhasil menyergap dan menangkap seorang perwira pengawal seperti yang dilakukannya kepada perajurit itu. Akan tetapi, keterangan perwira pengawal ini pun sama dengan apa yang didengarnya dari si perajurit. Sungguh mengherankan!
Kian Lee menjadi penasaran sekali. Para perajurit dan perwira, itu tentu saja sudah diperintahkan untuk membuat pengakuan seperti itu setiap kali ada penyelidik datang hendak menolong Pangeran Yung Hwa. Betapa bodohnya dia! Satu-satunya orang yang akan dapat dia paksa membebaskan Pangeran Yung Hwa hanyalah si gubernur sendiri. Dia harus menangkap Gubernur Kui Cu Kam dan memaksanya membebaskan Pangeran Yung Hwa! Dia sudah memperhitungkan bahayanya. Menurut penglihatannya kemarin dulu ketika terjadi pertempuran, yang patut dianggap lawan berat hanya beberapa orang, yaitu Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo serta beberapa orang panglima pengawal saja. Bahkan baginya, hanya dua orang ltulah yang merupakan lawan yang cukup tangguh, namun dia yakin akan dapat mengatasi mereka berdua. Yang dikhawatirkan hanya kalau semua pasukan dikerahkan. Tentu saja tidak mungkin dia dapat menghadapi pengeroyokan ratusan orang pasukan, apalagi di dalam istana yang asing baginya. Kalau sampai demikian halnya, tentu akan gagal usahanya menangkap gubernur itu. Yang penting adalah menyelundup dan diam-diam menangkap gubernur itu, karena kalau gubernur itu sudah ditawannya, tentu yang lain-lain akan mundur teratur. Juga dia akan membawa pula gubernur yang memberontak itu sebagai tawanan ke kota raja!
Dengan keputusan hati yang bulat ini Kian Lee lalu melayang naik ke atas wuwungan istana, mendekam karena khawatir kalau-kalau di atas genteng terdapat penjaga-penjaga pula. Ternyata dugaannya betul. Akan tetapi hanya terdapat dua orang yang menjaga di menara untuk mengamati keamanan di atas genteng-genteng.
“Aku harus merobohkan mereka dulu, baru dapat bergerak dengan leluasa mencari kamar gubernur,” pikir Kian Lee. Bagaikan seekor kucing saja, dia bergerak-gerak di atas genteng tanpa mengeluarkan suara, menghampiri tempat pejagaan di menara itu, sedikit pun tidak diketahui oleh dua orang penjaga yang sedang bercakap-cakap.
“Ahhh, kenapa kita masih harus melakukan penjagaan yang begini ketat? sampai-sampai semua atap harus diawasi seolah-olah ada musuh yang akan terbang ke sini,” seorang di antara mereka mengeluh.
“Ah, siapa tahu!” bantah orang ke dua. “Semenjak utusan Kaisar itu datahg dan pulang, kita harus berjaga-jaga karena sudah paati fihak Ho-pei tidak mau tinggal diam begitu saja. Demikian yang kudengar dari para perwira.”
Kian Lee yang sudah siap untuk menerjang itu menunda gerakannya dan merasa makin heran. Dua orang ini sedang bercakap-cakap tanpa paksaan dia, akan tetapi toh mereka menyatakan bahwa utusan kaisar sudah pulang. Bagaimana ini? Benarkah Pangeran Yung Hwa tidak menjadi tawanan Gubernur Ho-nan?
Dua orang itu kini membalikkan tubuh untuk memeriksa keadaan di sekeliling mereka dan pada saat itu Kian Lee meloncat dan dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga itu roboh pingsan karena tengkuk mereka kena disambar oleh jari tangan Kian Lee. Cepat pendekar ini menotok mereka sehingga untuk waktu yang agak lama mereka akan lumpuh dan menyumpal mulut mereka dengan robekan baju mereka sendiri kemudian dia berloncatan di atas genteng mencari-cari kamar gubernur.
Selagi dia mencari-cari dan mengintai, tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang mengejutkan hatinya. Suara ketawa macam itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki khikang tinggi dan amat kuat! Suara itu bergema dan menggetarkan genteng yang diinjaknya, kemudian dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari arah datangnya suara ketawa itu. Dengan hati tertarik dan amat hati-hati karena dia tahu bahwa ada orang pandai di bawah sana, Kian Lee lalu menghampiri tempat itu dan mendekam di atas genteng lalu mengintai ke bawah. Akan tetapi, berbeda dengan ruangan-ruangan lain, ruangan di bawah ini ternyata rapat dan di bawah genteng itu terdapat langit-langit sehingga dia tidak dapat melihat ke dalam ruangan. Kian Lee mendongkol sekali karena kini dia merasa yakin bahwa sang gubernur yang dicari-cari itu berada di bawah genteng ini! Hal ini dapat dia ketahui karena suara yang besar dan mengandung tenaga khikang amat kuat, agaknya suara orang yang tertawa tadi, berkata dengan nyaring. “Percayalah, Kui-taijin, semua akan berjalan dengan baik menurut rencana!” kemudian mendengar langkah kaki yang berat sekali, seperti gajah berjalan, dan suara itu terdengar lagi, “Harap Taijin beristirahat dan besok kita sambung lagi perundingan kita.”
Kian Lee cepat melayang turun dari atas genteng, bersembunyi di balik dinding dan mengintai. Dilihatnya seorang laki-laki yang tubuhnya amat besar, seperti raksasa, kepalanya botak dan besar sekali, keluar dari ruangan itu. Raksasa ini sukar ditaksir usianya, akan tetapi tentu sudah lebih dari setengah abad, sungguhpun tubuhnya besar sekali namun gerak-geriknya lemas dan gesit, pakaiannya mewah dengan memakai sehelai jubah mantel berwarna merah dan sepatunya memakai tapal baja. Langkahnya lebar dan tetap, kadang-kadang mengeluarkan bunyi seperti seekor gajah lari, kadang-kadang tidak berbunyi sama sekali seperti seekor harimau melangkah. Sebentar saja kakek ini lenyap dan diam-diam Kian Lee menarik napas panjang. Orang itu jelas merupakan lawan yang amat tangguh, taksirnya.
Akan tetapi karena yang dicarinya berada di kamar itu, dia tidak mempedulikan lagi kakek raksasa itu, dan mengintai dari jendela. Ruangan itu luas, merupakan ruangan perundingan agaknya, dengan banyak kursi dan meja yang panjang besar. Hatinya girang bukan main ketika dia melihat sang gubernur kini duduk seorang diri di sudut ruangan itu, di atas kursi dan menghadapi sebuah meja, agaknya sedang menuliskan sesuatu di atas buku yang terletak di atas meja, di depannya. Inilah kesempatan yang baik, pikir Kian Lee. Lebih baik dia cepat turun tangan sebelum ada pengawal datang.
Dengan gerakan kilat, Kian Lee menerobos melalui pintu dari mana kakek raksasa tadi keluar dan sedetik kemudian dia telah berdiri di tengah ruangan itu, memandang kepada Gubernur Kui Cu Kam yang masih duduk di atas kursi. Akan tetapi, tiba-tiba gubernur itu menoleh, memandang kepadanya dan tiba-tiba kursi yang diduduki gubernur itu berikut. mejanya amblas ke dalam lantai!
“Heiiiii!” Kian Lee terkejut dan meloncat, akan tetapi ketika dia tiba di sudut tempat itu, meja dan kursi berikut sang gubernur telah lenyap dan lantai itu telah tertutup kembali!
“Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawa yang menggetarkan seluruh ruangan itu terdengar dan ketika Kian Lee menengok, ternyata kakek botak raksasa itu telah berdiri di ambang pintu, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan perutnya yang besar bergoncang-goncang ketika dia tertawa.
Mengertilah Kian Lee bahwa dia telah tertipu, maka dengan marah dia lalu meloncat ke depan, menggerakkan kedua tangannya mendorong kakek raksasa itu sambil membentak, “Pergilah!”
Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak halus dan dia sama sekali tidak mau membunuh orang begitu saja. Dia tidak mengenal kakek ini, sungguhpun dia tahu bahwa kakek ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan yang agaknya tadi telah mengetahui akan kedatangannya dan mengatur siasat untuk menjebaknya di ruangan itu. Maka ketika dia menyerang untuk meloloskan diri, dia hanya menggunakan setengah tenaga sinkangnya karena dianggapnya itu sudah cukup dan agar jangan sampai dia melukai orang yang membahayakan keselamatan orang itu.
Kakek itu dengan kedua kaki masih terpentang lebar, agaknya memandang rendah kepada pukulan kedua tangan pemuda itu.
Buktinya, dia sama sekali tidak mengelak dari pukulan itu, juga tidak menangkis, melainkan juga menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan pukulan telapak tangan yang didorongkan. Kian Lee terkejut sekali. Dia mengenal keampuhan pukulannya sendiri yang dilakukan dengan tenaga Swat-im-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti Es yang amat ampuh, tenaga sakti dari, ayahnya, yang dilatihnya di Pulau Es. Karena dia tidak ingin mencelakakan orang, maka kembali dia mengurangi tenaganya dengan agak menahan pukulan kedua tangannya yang mendorong itu.
“Desssss....!” Akibat benturan dua pasang telapak tangan itu, tubuh Kian Lee terjengkang dan terlempar sampai jauh ke dalam ruangan itu!
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Kakek raksasa itu tertawa bergelak, suara ketawanya menggetarkan ruangan dan tadi ketika bertemu tenaga sakti, tubuhnya hanya bergoyang sedikit saja! Dan pada saat itu, kelihatan dua orang menubruknya dan mereka ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo! Kiranya dua orang ini juga sudah bersembunyi di balik pintu-pintu rahasia dan begitu melihat dia terjengkang dan bergulingan, mereka kini menubruk dengan serangan maut mereka. Mauw Siauw Mo-li menggunakan pedangnya yang bersinar hijau itu menusuk ke arah dadanya, sedangkan Honan Ciu-lo-mo menggunakan guci arak menghantam ke arah kepalanya!
Akan tetapi biarpun tubuhnya terlempar dan bergulingan, Kian Lee sama sekali tidak terluka. Kalau dia terpental, hal itu hanyalah karena dia hanya menggunakan tenaganya sedikit saja, hanya kurang dari setengahnya dan ternyata, di luar dugaannya, kakek botak raksasa itu benar-benar lihai bukan main! Kiranya kalau dia tadi mengerahkan seluruh tenaganya, baru dia akan dapat menandingi kakek itu! Betapa bodohnya!
Dengan ginkangnya yang amat hebat, yang hanya kalah oleh ilmu mujijat ayahnya yang disebut Gerakan Angin dan Petir, yaitu gerakan khas ayahnya sebagai seorang pendekar kaki tunggal yang terkenal sebagai Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Kian Lee menggerakkan tubuhnya melesat dari bawah sehingga hanya nampak bayangan berkelebat dan dua serangan maut itu hanya mengenai tempat kosong! Nyaris dia celaka, pikirnya dan karena tahu bahwa usahanya gagal sama sekali, tubuhnya mencelat lagi ke arah daun jendela yang masih tertutup.
“Brakkk!” Daun jendela pecah kena terjangan tubuhnya dan terdengar pekik kesakitan ketika empat orang pengawal di luar jendela itu kena diterjang pula oleh kaki Kian Lee sehingga mereka terpental dan terguling-guling. Kiranya di luar ruangan itu telah menanti banyak sekali pengawal! Kian Lee tidak mau membuang waktu lebih lama lagi. Sebelum kakek raksasa yang lihai bersama dua orang lihai tadi keluar, dia sudah meloncat ke atas genteng dan melarikan diri. Teriakan disusul sambaran anak panah sama sekali tidak ada artinya bagi Kian Lee yang melarikan diri secepatnya. Untung bahwa kakek raksasa itu, mungkin karena tubuhnya yang terlalu berat dan besar, tidak memiliki ginkang yang terlalu tinggi sehingga tidak mengejarnya. Di antara mereka, yang ginkangnya paling lihai adalah Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi wanita ini agaknya tidak berani mengejar sendirian karena dia pun maklum bahwa pemuda itu luar biasa sekali dan amatlah berbahaya kalau dia berhadapan seorang diri saja melawan pemuda itu.
Sambil melarikan diri, Kian Lee merasa heran dan menduga-duga siapa adanya kakek yang lihai itu. Ketika terjadi keributan tempo hari, dia tidak melihat kakek itu dan andaikata pada waktu itu terdapat kakek itu di pihak Gubernur Ho-nan, agaknya dia tidak akan dapat lolos dengan selamat, juga Gubernur Ho-pei dan Cui Lan tidak akan dapat lolos demikian mudahnya.
Tentu saja pemuda ini tidak mengenal kakek raksasa itu, bahkan seluruh tokoh dunia kang-ouw agaknya juga tidak ada yang mengenalnya, kecuali mereka yang pernah pergi ke negeri Nepal, jauh di barat, di sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Kakek ini adalah utusan dari negeri Nepal dan selain utusan, juga dia adalah seorang yang berpangkat tinggi di negeri itu, yaitu sebagai kok-su (guru negara). Selain berkedudukan tinggi dan dipercaya oleh Raja Nepal, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat, karena dia masih peranakan Han dan dahulu di waktu mudanya dia memperoleh pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dan setelah dia merantau ke Nepal dia dapat meraih kedudukan tinggi berkat kepandaiannya itu. Ketika mendengar betapa pemberontakan dua orang Pangeran Liong yang gagal itu mengakibatkan kemunduran sinar kekuasaan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua, maka Kerajaan Nepal yang tadinya juga menjadi negara taklukan atau lebih tepat lagi sebagai negara yang mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu), lalu berusaha mendekati daerah-daerah yang menentang kaisar untuk bersekutu! Untuk memberontak sendiri, Nepal merasa kurang kuat, akan tetapi kalau ada gubernur yang memberontak, mereka akan membonceng. Demikianlah, ketika mendengar akan sikap Gubernur Kui Cu Kam dari Propinsi Ho-nan yang kelihatan mulai menjauhkan diri dari pemerintah pusat, raja mengirim utusan untuk mendekatinya.
Utusan itu adalah kakek itu, yang di timur mengaku berjuluk Ban-hwa Seng-jin. Nama ini memang sudah terkenal di wilayah Tiongkok bagian barat, dari Tibet sampai ke wilayah Secuan. Dan baru sekarang Ban-hwa Seng-jin membawa belasan orang pengawal pilihan yang menjadi pembantu-pembantunya untuk berkunjung ke Ho-nan dan kebetulan sekali dia mendengar akan keributan di gubernuran itu.
Tetapi Ban-hwa Seng-jin sedang mengadakan perundingan dengan Gubernur Kui, dia yang berilmu tinggi dapat mengetahui bahwa ada orang pandai datang mengintai, maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada gubernur dan sang gubernur juga cepat membunyikan alat rahasia untuk memberi tahu kepada kepala pengawal. Kemudian diaturlah oleh Ban-hwa Seng-jin untuk menjebak musuh, akan tetapi ternyata pemuda yang lihai itu berhasil juga meloloskan diri.
Cui Lan girang bukan main melihat Suma Kian Lee kembali dalam keadaan selamat, akan tetapi Gubernur Ho-pei dan Komandan Souw Kwe An kecewa melihat pemuda itu kembali seorang diri saja tanpa membawa Pangeran Yung Hwa.
“Bagaimana dengan Sang Pangeran?” Gubernur Hok bertanya gelisah.
Kian Lee lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mendengar pengakuan para pengawal yang ditawannya dan juga percakapan antara dua orang penjaga yang semua menyatakan bahwa Pangeran Yung Hwa telah kembali ke kota raja pada keesokan harinya setelah terjadi keributan di dalam taman! Tentu saja dua orang pembesar itu menjadi terheran akan tetapi juga ragu-ragu untuk percaya berita itu.
“Sebaiknya kalau Souw-ciangkun cepat-cepat kembali ke kota raja,” kata gubernur itu, “Kalau benar Pangeran telah kembali dengan selamat, syukurlah. Kalau belum, maka perlu cepat melaporkan kepada Kaisar agar dapat diambil tindakan terhadap Gubernur Ho-nan yang khianat itu!”
“Sebaiknya begitu,” kata Kian Lee. “Dan saya akan mengantarkan Hok-taijin kembali ke Ho-pei. Perjalanan itu masih amat berbahaya karena saya menduga bahwa sebetulnya yang dijadikan sasaran oleh Gubernur Ho-nan adalah Paduka Gubernur.”
Pembesar tua itu mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau orang she Kui itu hanya mencoba untuk menawan atau membunuh aku, masih tidak mengapa karena memang dia bermaksud buruk terhadap Ho-pei di perbatasan. Akan tetapi kalau dia hendak memberontak, aku akan mengerahkan seluruh kekuatanku untuk menggempurnya!”
“Lalu bagaimana dengan Nona Phang?” tanya Souw-ciangkun yang bagaimanapun merasa berhutang budi kepada nona itu, karena kalau tidak ada bantuan nona itu, belum tentu dia masih hidup saat ini.
“Jangan Sam-wi memikirkan saya....“ kata Cui Lan.
“Ah, mana bisa demikian? Engkau harus dilindungi juga karena engkau tentu dicari-cari oleh Gubernur Ho-nan setelah mereka semua tahu bahwa aku lolos oleh bantuanmu. Kalau kau suka, kau ikut bersamaku, Nona. Engkau.... kalau kau.... suka aku akan mengangkatmu sebagai anakku, anak angkatku!” Ucapan ini keluar dengan suara yang sungguh-sungguh, bahkan sepasang mata orang tua itu berlinang air mata. Melihat ini, Cui Lan menunduk. Dia terharu sekali dan sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya keluar juga suaranya yang lirih dan tergetar saking terharunya.
“Saya.... hanya seorang pelayan.... bagaimana mnungkin menerima penghormatan demikian besar? Menjadi puteri.... seorang gubernur....?”
“Nona Cui Lan! Cepat kau menghaturkan terima kasih kepada Gi-humu (Ayah Angkatmu). Engkau lebih dari pantas untuk menjadi seorang puteri gubernur, bahkan aku melihat engkau tidak kalah oleh puteri-puteri istana!” kata Kian Lee yang merasa girang sekali atas niat yang amat baik dari gubernur itu.
“Dan lagi, bukanlah engkau sendiri yang mengaku saya sebagai paman?” Gubernur itu menggoda.
Dengan air mata berlinang, Cui Lan tersenyum lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gubernur itu sambil berkata, “Gi-hu....“
“Anakku! Cui Lan, kau anakku!” Gubernur itu mengangkat bangun dara itu dan merangkulnya dengan girang.
Souw-ciangkun juga girang sekali dan cepat dia menjura bersama Kian Lee, mengucapkan selamat kepada ayah dan anak itu yang dibalas dengan gembira pula oleh Gubernur Hok dan Cui Lan. Kemudian komandan pasukan pengawal istana itu berpamit dan meninggalkan tempat itu untuk cepat kembali ke kota raja. Biarpun perjalanan ke kota raja melalui Propinsi Ho-pei pula. akan tetapi demi keselamatan mereka sendiri, mereka melakukan perjalanan terpisah karena gubernur itu harus tetap melakukan penyamaran sebelum mereka keluar dari wilayah Propinsi Ho-nan.
Kian Lee lalu mengawal Gubernur Hok Thian Ki dan Phang Cui Lan dengan hati-hati. Dia maklum bahwa tentu Gubernur Ho-nan tidak akan berhenti demikian saja dan terus mengerahkan anak buahnya untuk mencari musuhnya itu. Dan dugaan ini memang benar karena pada hari itu juga, menjelang senja, ketika Kian Lee meninggalkan dua orang itu di dalam hutan dan dia sendiri menyelidiki keadaan, dia melihat sepasukan pengawal gubernur dipimpin oleh Perwira Su Kiat lewat di dekat hutan itu! Maka terpaksa dia melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, melewati hutan-hutan dan gunung-gunung sehingga perjalanan keluar dari Propinsi Ho-nan itu makan waktu jauh lebih lama daripada kalau menggunakan perjalanan biasa.
Biarpun masih muda, usianya baru sekitar dua puluh dua tahun, namun Suma Kian Lee adalah seorang yang telah mengalami banyak hal-hal yang hebat.
Sejak berusia tujuh belas tahun dia sudah meninggalkan Pulau Es bersama adiknya, Suma Kian Bu, dan mengalami banyak hal sampai akhirnya dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu kepandaiannya (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan kini dalam perjalanannya mencari adiknya yang selama itu belum pernah pulang ke Pulau Es, dia juga mengalami hal-hal hebat, bahkan nyaris nyawanya berakhir di terowongan air!
Maka kini dia dapat melakukan pengawalan dengan baik dan teliti terhadap dua orang yang terhormat dan disuka itu, yaitu Hok Thian Ki Gubernur Ho-pei dan Phang Cui Lan, gadis cantik yang biarpun lemah tak berkepandaian silat, namun sesungguhnya memiliki jiwa yang gagah, penuh keberanian, kecerdikan, dan kebijaksanaan itu.
Mereka telah melakukan perjalanan tiga hari, perjalanan yang lambat namun aman, ketika mereka tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur. “Lebih baik kita mengambil jalan melalui sungai, tidak terlalu melelahkan Cui Lan,” usul Gubernur Hok. “Apalagi saya rasa, di sekitar perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei tentu penuh dengan pasukan yang menjaga. Melalui sungai ini, kita akan memasuki daerah Propinsi Shan-tung, kemudian dari situ kita ke barat memasuki Propinsi Ho-pei. Selain lebih aman, juga tidak terlalu melelahkan.”
Sebetutnya Kian Lee kurang setuju karena bagi seorang ahli silat seperti dia, di darat merupakan daerah yang leluasa dan aman baginya kalau menghadapi bahaya, tidak seperti kalau di air. Akan tetapi dia memang melihat Gubernur Hok dan Cui Lan sudah amat lelah melakukan perjalanan kaki itu, sungguhpun dara itu sama sekali tidak pernah mengeluh. Maka dia menerima usul ini dan mereka lalu membeli sebuah perahu yang cukup besar, yang ada biliknya untuk berteduh, dari seorang nelayan sungai.
Perjalanan dengan perahu memang mengasyikkan dan memang kakek dan gadis itu dapat melepaskan kelelahan mereka. Pula, karena per jalanan mereka menurutkan aliran air sungai, maka juga tidak perlu mendayung, hanya mengemudikan perahu saja yang tidak makan banyak tenaga. Baru berlayar setengah hari saja Gubernur Hok telah mulai memancing ikan dengan alat pancing yang di belinya dari nelayan, sedang Cui Lan juga memasak air sambil bersenandung!
Benar juga usul Hok-taijin, pikir Kian Lee. Biarpun perjalanan menjadi memutar, keluar timur melalui propinsi atau wilayah perbatasan dengan Shan-tung, namun tidak melelahkan dan kalau sudah tiba di wilayah Ho-pei, tentu pembesar setempat akan dapat. menyediakan kereta untuk gubernur dan anak angkatnya itu.
Malam itu mereka menginap di sebuah dusun di tepi sungai dan dalam kesempatan ini, Cui Lan berbelanja bahan makanan untuk dimasak di atas perahu. Kemudian, pagi-pagi sekali mereka sudah kembali di perahu mereka. Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka ketika melihat seorang kakek tua yang bertubuh kate kecil bersama tujuh orang laki-Iaki yang kelihatan gagah, kasar dan menyeramkan telah berdiri di dekat perahu mereka itu.
Kian Lee yang seperti juga Hok-taijin dan Cui Lan telah menyamar, memakai pakaian seperti nelayan, cepat mendekati mereka dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Pandang matanya yang tajam dan dapat melihat bahwa kakek kate kecil ini bukan sembarang orang melainkan orang yang biasa mengandalkan tenaga dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Namun dia bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu akan kedatangan mereka, lalu membantu Hok-taijin dan Cui Lan memasuki perahu dan dia sendiri mulai melepaskan tali perahu itu dari akar pohon di pantai.
“Eh, sobat, apakah ini perahumu?” tiba-tiba kakek tua kecil itu bertanya. Aneh sekali, orangnya kecil akan tetapi suaranya besar dan dalam. Matanya yang kecil sipit menatap wajah Kian Lee dengan tajam penuh perhatian.
Kian Lee pura-pura kaget mendengar suara besar nyaring itu dan dia menengok, lalu mengangguk, “Benar, Loya (Tuan Tua).”
“Kamu hendak berlayar ke mana?” tanya Si kakek, sedangkan tujuh orang laki-laki bertubuh kuat itu melirik ke dalam bilik perahu di mana Cui Lan sedang mengatur barang belanjaannya dan Hok-taijin pura-pura menggulung tali pancingnya, padahal kedua orang ini sudah berdebar penuh ketegangan karena mereka mengira bahwa delapan orang itu tentulah mata-mata dari Gubernur Ho-nan.
“Kami hendak ke hilir....“
“Bagus! Kami delapan orang juga mempunyai keperluan untuk cepat pergi ke hilir, maka kami akan nunut perahumu dan kami akan membayar mahal.”
“Maaf, Loya. Kami bukan tukang perahu, kami nelayan-nelayan yang baru habis berbelanja dan....“
“Kami tahu! Akan tetapi perahumu cukup besar untuk dapat memuat kami. Apakah kamu tidak bersedia menolong kami dengan bayaran mahal?”
“Hemmm, Twako, kenapa tidak dorong saja dia ke air?” Seorang di antara mereka yang berkumis tebal berkata marah.
“Hushhh, jangan menggunakan kekarasan, Ang-kwi. Kita bukan di daerah sendiri!” Kakek tua itu menegur Si Kumis Tebal yang disebut Setan Merah itu. “Bagaimana, sobat? Apakah kamu masih juga menolak?”
Kian Lee memutar otaknya. Kalau dia menolak, jelas tentu akan terjadi keributan dengan mereka. Dia tidak takut, tetapi kalau dia merobohkan mereka, terutama kakek yang tentu lihai ini, berarti dia membuka rahasianya sebagai nelayan biasa dan hal ini akan menimbulkan kecurigaan. Masih baik kalau orang-orang ini tidak ada hubungannya dengan Gubernur Ho-nan, kalau mereka melapor, bisa celaka.
“Baiklah kalau memang Loya dan Cuwi sekalian mempunyai keperluan penting,” akhirnya dia berkata dan mengedipkan matanya kepada Cui Lan dan Hok-taijin. Cui Lan lalu duduk di sudut dalam bilik itu, sebagian ditutupi oleh Hok-taijin yang diam-diam merasa khawatir sekali.
Kakek tua itu memasuki bilik dan karena bilik itu sempit, hanya dia dan dua orang termasuk Si Kumis Tebal yang dapat ke bilik, sedangkan lima orang yang lain terpaksa duduk di luar bilik, di papan perahu.
Kian Lee mengemudikan perahu ke tengah. Kalau sampai terjadi keributan, pikirnya, dan hal itu agaknya bukan tidak mungkin melihat sikap mereka dan pandang mata mereka yang penuh nafsu ke arah Cui Lan, sebaiknya dia merobohkan mereka di tengah sungai, jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan oleh orang-orang lain.
Si Kumis Tebal memang sejak tadi memandang kepada Cui Lan, secara terang-terangan tidak seperti teman-temannya yang lain. Kemudian dia memandang kepada Hok-taijin dan bertanya, “Orang tua, apakah dia ini anakmu?”
Hok-taijin mengangguk dan bibirnya bergerak membenarkan.
“Hah, cantik sekali!”
“Dan dia itu mantuku,” kata pula Hok-taijin sambil menunjuk ke arah Kian Lee. Hal ini dia lakukan dengan harapan bahwa kalau mendengar anaknya telah menikah dan menjadi isteri orang lain, tentu Si Kumis Tebal itu akan merasa sungkan untuk menggoda. Akan tetapi agaknya gubernur tua ini tidak tahu dengan siapa dia berhadapan! Dia berhadapan dengan segerombolan bajak sungai!
Kakek kecil kate itu adalah seorang bajak sungai yang amat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho karena dia adalah Huang-ho Lo-cia yang amat ditakuti dan yang mempunyai banyak anak buah! Dia memakai julukan Lo-cia karena biarpun dia sudah tua, namun tubuhnya kecil seperti kanak-kanak, maka dia memakai julukan Lo-cia, tokoh dalam cerita Hong-sin-pong yang memang seorang manusia dewa yang bertubuh anak-anak, namun luar biasa lihainya itu. Dan tujuh orang itu adalah sebagian dari anak buahnya!
Maka, Si Kumis Tebal berjuluk Setan Merah atau Ang-kwi itu menyeringai ketika Hok-taijin memperkenalkan Kian Lee. Dia memandang ke arah Kian Lee, lalu meludah di lantai perahu, “Cuihhh! Mengapa setangkai mawar yang demikian indahnya hanya diberikan kepada seorang nelayan kotor?” katanya. Tentu saja Hoktaijin tidak berani berkata apa-apa lagi dan Cui Lan menjadi merah sekali mukanya merah saking marahnya mendengar penghinaan yang dilontarkan orang kasar itu kepada Kian Lee. Tentu Kian Lee juga mendengar ini akan tetapi pemuda itu pura-pura tidak mendengar apa-apa.
Melihat betapa Kian Lee tetap mengemudikan perahu dan mukanya tidak memperlihatkan suatu perasaan apa pun, diam-diam Cui Lan menjadi makin kagum kepada pemuda ini, juga kasihan. Pemuda itu adalah pelindungnya pada saat itu, juga pelindung Gubernur Ho-pei, maka boleh dibilang jiwa raganya dan jiwa raga ayah angkatnya itu berada di tangan Kian Lee. Kini pemuda itu sudah mengalami penghinaan luar biasa karena dia. Dia maklum bahwa kalau tidak karena dia, penghinaan semacam itu yang dilontarkan oleh seorang kasar seperti itu, tentu tidak akan didiamkan saja oleh pendekar sakti ini.
Cui Lan lalu menuangkan secangkir teh dan keluar dari bilik menghampiri Kian Lee dengan cangkir air teh di tangan.
“Minumlah....“ katanya halus sambil menyodorkan cangkir teh itu.
Kian Lee tersenyum, menerima cangkir teh dan meminumnya. Tanpa menggerakkan bibir, terdengar dia berkata lirih sekali, hanya untuk telinga Cui Lan, “Tenanglah dan jangan takut selama aku berada di sini.”
Tiba-tiba Si Kumis Tebal bangkit berdiri dah dengan langkah gagah dia menghampiri Cui Lan yang masih berdiri di dekat Kien Lee. Mukanya yang merah itu seperti muka orang mabuk dan agaknya muka inilah yang membuat dia dijuluki Ang-kwi (Setan Merah) dan agaknya dia merupakan pembantu yang penting juga dari Huang-ho Lu-cia karena di antara tujuh orang pengikut kakek pendek kecil itu, dialah yang nampaknya paling berani.
“Eh, Manis, kami juga minta secangkir teh! Tidak patut kalau fihak tuan rumah minum sendiri sedangkan tamu-tamu tidak disuguhi. Harganya berapa akan kami bayar, dan kalau dijual dengan orangnya sekalipun akan kubayar tunai, Manis! Heh-heh!” Teman-temannya tertawa mendengar ini dan sikap teman-temannya ini membuat Si Kumis Tebal makin berani.
“Berapa harga secangkir tehmu, Manis? Berapa harga sebuah ciuman di mulutmu itu? Dan berapa harga semalam? Ha-ha-ha!”
“Sobat, harap jangan mengganggu dia!” Kian Lee berkata dan Cui Lan makin mepet kepada Kian Lee untuk minta perlindungan.
“Siapa menggoda siapa!” Si Kumis Tebal mengejek dan tangannya yang besar dan lengannya yang panjang bergerak, jari-jari tangannya dengan kurang ajar hendak mencubit pinggul Cui Lan. Dara ini menjerit dan Kian Lee menggerakkan tangan, tidak tampak oleh orang di situ saking cepatnya dan tahu-tahu Si Kumis Tebal berteriak dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu.
“Byuuuuurrrrr....!” Air mucrat tinggi dan Si Kumis Tebal gelagapan, akan tetapi sebagai seorang bajak sungai tentu saja dia pandai renang dan cepat dia telah menguasai diri, memegang pinggiran perahu.
“He, kenapa Si Ang-kwi....?” Orang-orang berteriak.
“Keparat, kau berani pukul aku?” teriak Ang-kwi yang sudah merangkak naik ke dalam perahu.
“Siapa yang pukul?” Kian Lee bertanya, tersenyum.
“Kau berdiri tidak benar, terpeleset dan jatuh sendiri bilang suamiku yang pukul. Tak tahu malu!” Cui Lan juga berkata.
Teman-teman Ang-kwi tertawa, akan tetapi Ang-kwi masih marah dan melompat tinggi hendak menghajar Kian Lee. Akan tetapi pada saat itu terdengar kakek kecil itu berseru, “Jangan ribut! Lihat di depan itu!”
Tujuh orang anak buahnya memandang ke depan dan melihat tiga buah perahu meluncur dari samping menghadang mereka, akan tetapi masing-masing perahu hanya didayung oleh seorang laki-laki. Melihat perahu-perahu itu dan pendayung tunggalnya, tiba-tiba tujuh orang itu bersorak. Mereka mengenal perahu-perahu mereka itu.
“Ha, itu perahu kita sendiri!”
“Lebih enak daripada perahu sempit ini!”
“Kita pindah saja!”
“Akan tetapi wanita itu baik kita bawa saja!” kata Ang-kwai.
Hok-taijin yang sudah mempelajari cara mengemudikan perahu dari Kian Lee, atas isyarat Kian Lee cepat pergi mendekati pemuda itu, menggantikan Kian Lee memegang kemudi perahu sedangkan Kian Lee sendiri lalu memberi isyarat kepada Cui Lan agar dara ini memasuki bilik yang sudah kosong karena semua orang itu telah keluar dari bilik dan berdiri di kepala perahu. Setelah Cui Lan memasuki bilik, Kian Lee duduk di depan bilik menjaga!
Setelah tiga buah perahu itu berdekatan, mereka berloncatan ke atas perahu-perahu itu. Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika dari dalam bilik-bilik tiga buah perahu itu bermunculan wanita-wanita cantik yang menyambut mereka dengan pedang di tangan!
“Heiii....“
“Celaka....!”
“Kita terjebak!”
“Lawan mereka! Mereka itu adalah orang-orang Hek-eng-pang!” teriak Huang-ho Lo-cia dan dia sendiri lalu meloncat ke sebuah di antara tiga perahu itu untuk menghadapi pimpinan wanita-wanita Hek-eng-pang itu yang bersenjata siang-kiam (sepasang pedang). Kakek ini sudah melolos joan-pian dari pinggangnya, dengan senjata ini dia menerjang wanita itu yang menyambut dengan siang-kiamnya.
Kiranya mereka itu memang benar adalah orang-orang Hek-eng-pang, dan wanita yang memegang siang-kiam itu bukan lain adalah Kim-hi Nio-cu, kepala dari Pasukan Air. Tiga buah perahu itu adalah perahu-perahu milik bajak sungai anak buah Huang-ho Lo-cia yang mereka rampas. Hal ini merupakan pembalasan mereka karena beberapa hari yang lalu dua orang anggauta Hek-eng-pang menjadi korban pembajakan anak buah Huang-ho Lo-cia, bahkan mereka itu selain dirampas senjata dan barang-barangnya, juga telah diperkosa oleh beberapa orang anak buah Huang-ho Lo-cia. Karena itu, kini mereka datang untuk membikin pembalasan, merampas perahu, membunuh beberapa orang bajak, memaksa tiga orang bajak mendayung perahu mereka dan mereka menghadang kedatangan Huang-ho Lo-cia dan tujuh orang pembantunya!
Setiap perahu itu ternyata ditumpangi oleh lima orang wanita Hek-eng-pang dan karena wanita-wanita itu juga memiliki kepandaian lumayan, maka untuk menghadapi setiap orang bajak cukup dilayani oleh seorang di antara mereka, sedangkan yang lain-lain lalu menyerbu dan berloncatan ke perahu Kian Lee! Melihat Kia Lee duduk di depan bilik perahu, mereka lalu menyerang, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika dorongandorongan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga angin dorongannya saja sudah membuat dua orang di antara mereka terlempar ke dalam air!
Sementara itu, pertandingan berlangsung dengan seru dan ternyata bahwa para anggauta bajak itu tidak kuat menahan gerakan lawan mereka yang semua terdiri dari wanita-wanita itu. Seorang demi seorang terlempar ke sungai dan mereka tidak mampu mengganggu perahuperahu itu karena lawan mereka juga mengejar dengan terjun ke air dan menyerang mereka. Kiranya, permainan di air dari wanita-wanita itu pun hebat, tidak kalah oleh para anggauta bajak! Hal ini tidaklah mengherankan karena mereka itu adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang bagian Pasukan Air yang tentu saja terlatih baik untuk berkelahi di air!
Kini hanya tinggal kakek kecil tua itulah yang masih melawan. Kim-hi Niocu harus mengakui keunggulan kakek ini dan biarpun tadi dia dibantu oleh empat orang anggautanya, namun empat orang itu terpaksa mundur dan terluka karena senjata joan-pian di tangan kakek itu hebat juga. Gerakannya cepat dan joan-pian yang merupakan senjata lemas (ruyung lemas) itu menyambar-nyambar seperti ular. Kim-hi Nio-cu terus terdesak hebat, bahkan pahanya telah kena dilecut ujung joan-pian sehingga celananya robek dan kulit pahanya yang putih terluka mengeluarkan darah.
“Pangcu.... harap bantu....!” Akhirnya Kim-hi Nio-cu menjerit dan tersingkaplah tirai di perahu itu dan sebuah kepala seorang wanita berusia lima puluh tahun akan tetapi cantik tampak. Kim-hi Niocu melompat ke belakang dan dengan sikap tenang nenek cantik itu keluar dari bilik perahu, tangan kirinya memegang sebatang ranting yang-liu yang masih hijau segar, masih ada daun-daunnya yang kecil runcing.
“Ehm, agaknya Huang-ho Lo-cia sendiri yang muncul!” tanya nenek itu sambil memandang dan menggerak-gerakkan ranting itu di depan mukanya yang masih cantik. Sementara itu melihat betapa anak buahnya telah terlempar ke air dan kini masih dikejar oleh wanita-wanita itu, Huang-ho Lo-cia menjadi marah. Dia memandang nenek itu dan biarpun belum pernah melihat wajahnya, namun dia menduga bahwa tentu nenek itulah yang terkenal sebagai ketua Hek-eng-pang dan dia membentak.
“Dan engkau tentu Hek-eng-pangcu?”
Nenek itu tersenyum mengejek dan mengangguk. “Engkau memang berhadapan dengan Yang-liu Nio-nio!” katanya dan kembali ranting yang-liu (semacam cemara) itu dipakai membelai mukanya.
“Hek-eng-pangcu! Apa sebabnya engkau dan anak buahmu yang berada di Gunung Cemara, yang tidak pernah ada urusan dengan kami, hari ini merampas perahu dan menyerang kami? Apakah kalian tidak mengenal lagi sopan santun dan setia kawan antar golongan kangouw dan liok-lim?”
“Bajak tua, kau masih belum menyadari dosa sendiri? Anak buahmu mengandalkan banyak orang telah mengeroyok dua orang anak buahku, tidak hanya merampas barang milik mereka akan tetapi juga telah memperkosanya dan menghina mereka! Untuk itu, dalam sehari harus ada dua nyawa anak buahmu yang menebusnya. Sudah lewat empat hari, maka kami telah mencabut nyawa delapan anak buahmu dan merampas perahu. Kebetulan sekarang kita berhadapan, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun kepadaku, mengangguk-angguk tiga belas kali baru aku mau mengampuni nyawa tikusmu!”
Bukan main marahnya kakek kecil itu. Dia memang sudah mendengar akan perbuatan anak buahnya itu dan dia sudah menghukum anak buahnya yang bersangkutan, yang dianggap melakukan perbuatan lancang, berani mengganggu anggauta Hek-eng-pang yang berarti mengganggu orang segolongan dan mencari permusuhan. Akan tetapi, dua orang wanita Hek-eng-pang masih menghinanya dan menuntut agar dia berlutut dan minta ampun. Ini benar-benar merupakan penghinaan yang luar biasa.
“Hek-eng-pangcu, sungguh engkau keterlaluan!” bentaknya dan joan-pian di tangannya sudah bergerak cepat, mengeluarkan bunyi meledak dan menyambar ke arah kepala nenek itu.
“Plak-tak-tak-takkk!” Joan-pian itu tiga kali terpental oleh tangkisan ranting cemara yang kecil itu! Huang-ho Locia terkejut bukan main. Hanya sebatang ranting kecil lemas, namun telah dapat membuat joan-pian di tangannya terpental! Akan tetapi karena sudah tersudut, dia berlaku nekat dan sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring dia menubruk, mengirim serangan yang dahsyat.
“Trak-trak-desssss....!”
Cepat sekali gerakan ranting yang-liu di tangan nenek itu setelah menangkis dua kali, tangan kanannya menghantam dengan jari terbuka dan tepat mengenai dada kakek kate itu sehingga kakek ketua bajak itu terjengkang di atas papan perahu. Dia merasa dadanya panas sekali dan dari mulutnya tampak darah segar mengalir melalui pinggir bibirnya.
“Hemmm, kami sudah membunuh delapan orang-orangmu, itu sudah cukup dan tepat untuk waktu empat hari. Empat kali dua nyawa, karena itu kami tidak membunuhmu, hanya memberi pelajaran agar kelak kalian tidak lancang berani mengganggu Hek-eng-pang. Nah, pergilah!” Kaki nenek itu menendang dan tubuh kakek kate itu terlempar ke air!
Para anggauta Hek-eng-pang yang kini sudah naik ke perahu setelah menghajar babak-belur tujuh orang pembantu Huangho Lo-cia, kini tertawa terkekeh-kekeh, mentertawakan kakek itu yang dengan susah payah karena terluka, berenang ke tepi menyusul anak buahnya.
“Pangcu, di perahu itu terdapat seorang yang telah merobohkan banyak teman kita,”' Kim-hi Nio-cu berkata sambil menuding ke arah perahu Kian Lee yang kini sudah dikepung atau dihadang oleh tiga orang perahu itu. Tadi Kimhi Nio-cu sendiri sudah meloncat ke perahu itu, akan tetapi ketika dia menyerang Kian Lee dengan pedangnya, pemuda itu menangkis dengan dayung perahu dan sekali tangkis saja Kim-hi Nio-cu terkejut dan jerih, maka begitu melihat ketuanya yang juga menjadi gurunya itu telah mengalahkan kepala bajak, dia lalu melaporkan kepada nenek yang lihai itu.
“Ehhh....?” Si nenek berseru dengan alis berkerut, kemudian kedua kakinya yang kecil mengenjot tubuhnya dan mencelatlah tubuhnya itu ke atas perahu Kian Lee. Ketika kedua kakinya turun ke atas papan perahu, sedikit pun tidak terjadi guncangan sehingga pemuda Pulau Es ini maklum bahwa nenek itu memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian para bajak dan para wanita Hek-engpang yang tadi menyerbu ke perahunya. Maka dia bersikap waspada dan cepat bangkit berdiri ketika melihat nenek itu berdiri di perahunya, namun sikapnya tetap tenang.
Ketika nenek itu melihat bahwa yang berada di perahu itu hanya seorang kakek nelayan, seorang nelayan muda dan seorang wanita yang kelihatan ketakutan dan bersembunyi di dalam bilik perahu, hanya si nelayan muda yang berdiri menghadapinya dengan sikap bodoh dan tenang, dia maklum bahwa mereka ini bukanlah anggauta bajak dan bahwa mungkin tadi perahu mereka ini dipakai oleh para bajak dan mereka dipaksa oleh Huang-ho Lo-cia, Maka dia memandang rendah.
“Nelayan, apakah ini perahumu?” tanyanya dengan suara bernada halus karena melihat bahwa tiga orang itu adalah orang-orang biasa saja.
“Benar,” jawab Kian Lee dan si nenek mulai merasa tidak senang akan sikap Kian Lee yang dianggapnya terlalu tenang dan terlalu berani, tidak lekas-lekas berlutut minta ampun kepadanya.
“Kami bukan perampok atau bajak,” kata si nenek lagi, “Harap kau jangan khawatir. Akan tetapi kami memerlukan perahumu ini karena perahu kami yang tiga buah itu terlalu kecil. Mari antarkan kami sampai ke kaki Gunung Cemara, dan kami akan memberi upah selayaknya.”
Kian Lee maklum bahwa biarpun mereka ini bukan bajak, namun dibandingkan dengan para bajak tadi mereka ini mungkin lebih berbahaya lagi! Maka dia menggeleng kepala dan berkata, “Satu kali saja kami membawa orang-orang tadi dan kami menemui kesukaran. Tidak, kami mau melanjutkan perjalanan kami sendiri, harap kalian tidak mengganggu kami.”
Nenek itu memandang dan matanya berkilat. Belum pernah dia dibantah orang, apalagi yang membantahnya hanya seorang nelayan biasa saja! Akan tetapi untuk langsung turun tangan terhadap seorang nelayan juga dia merasa enggan dan hal itu amat merendahkan dirinya.
“Jangan banyak membantah, orang muda. Aku melihat engkau seorang nelayan yang masih muda dan baik. Kalau kau tidak mau mengantarkan kami, terpaksa aku akan memaksa kalian bertiga meninggalkan perahu ini sekarang juga seperti yang telah dilakukan oleh para bajak tadi. Nah, pikir baik-baik. Bukankan lebih baik mengantarkan kami dan menerima upah selayaknya?”
Akan tetapi Kian Lee, seorang pendekar yang tidak biasa mengalah dan merendahkan diri terhadap siapapun juga, yang tidak pernah merasa takut, saat itu lupa bahwa dia harus mengalah demi keselamatan Cui Lan dan Gubernur Hok. Dia merasa betapa dia dipandang rendah sekali, maka dia tetap menggeleng kepala.
Nenek itu mulai penasaran. “Kau tetap membantah? Kalau begitu, biarlah kau terjun ke air dan biar nelayan tua itu yang mengantar kami!” Sambil berkata demikian tangannya bergerak mendorong ke arah Kian Lee. Tentu saja dia tidak menggunakan tenaga terlalu keras karena bukan maksudnya untuk melukai seorang nelayan, hanya untuk menakut-nakutinya saja. Kalau nelayan itu sudah terlempar ke air, tentu akan tobat dan akan suka mengantarkannya.
“Plak!” Kian Lee menangkis dan nenek itu terkejut bukan main. Tangkisan itu membuat lengannya bergetar! Maklumlah dia mengapa tadi Kim-hi Niocu melaporkan bahwa nelayan ini sudah merobohkan beberapa orang anak buahnya. Kiranya ada “isinya” juga pemuda ini, pikirnya. Akan tetapi tetap saja dia memandang rendah dan mengira bahwa pemuda itu hanya seorang nelayan yang pernah memperoleh bimbingan seorang ahli silat maka mempunyai sedikit kemampuan.
“Berani kamu melawanku? Nah, terimalah ini!” Sekarang dia menyerang dengan tangan kanannya, mendorong ke arah dada Kian Lee, akan tetapi juga hanya mengerahkan separuh tenaganya saja karena dia tetap belum berniat membunuhnya. Kian Lee melihat serangan ini dan dia pun mendorongkan tangannya memapaki.
“Desss....! Eihhhhh....!” Hek-eng-pangcu yang berjuluk Yang-liu Nio-nio itu menjerit kaget ketika dia terhuyung ke belakang dan hanya dengan berjungkir-balik saja dia mampu menghindarkan tubuhnya terjengkang. Matanya terbelalak dan kemudian menyipit ketika dia memandang kepada Kian Lee penuh perhatian. Mukanya menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia yang terkenal sekali dan ditakuti banyak orang kang-ouw, yang tadi dengan amat mudahnya membuat kepala bajak Huangho Lo-cia yang tersohor itu roboh dalam satu gebrakan saja, kini dibuat terhuyung oleh seorang nelayan muda!
Dengan suara mendesis seperti seekor ular marah, nenek itu lalu membentak, “Bocah, kau sudah bosan hidup!”
Kini dia menyerang benar-benar! Ranting yang-liu di tangannya, yang amat ampuh dan yang membuat dia dijuluki Yang-liu Nio-nio kini bergerak, berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah kepala Kian Lee. Pemuda itu maklum bahwa biarpun hanya merupakan sebatang ranting yang-liu namun kalau digerakkan dengan pengerahan sinkang yang kuat dapat menjadi senjata yang ampuh, cepat mengelak. Lima kali berturut-turut sinar hijau itu menyambar-nyambar ke arah kepalanya dan selalu dapat dielakkan dengan baik oleh Kian Lee. Tiba-tiba tangan kanan nenek itu memukul dadanya dari depan, sekali ini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena dia kini benar-benar ingin membunuh pemuda yang telah membikin malu padanya, membuatnya terhuyung tadi. Kian Lee juga memapakinya dengan tangan kiri, mengerahkan sinkang Swat-im Sin-kang yang amat dahsyat itu, tentu saja dengan mengendalikan tenaganya karena dia pun tidak ingin membunuh orang.
“Desssss....!” Kini tubuh nenek itu benar-benar terjengkang di atas papan perahu dan dengan mata terbelalak mulutnya mendesis-desis dan tubuhnya menggigil karena dia diserang hawa dingin yang menusuk tulang. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yang-liu Nio-nio. Dia memandang ke arah Kian Lee dengan mata terbelalak.
“Sssss.... siapa engkau....?” tanyanya karena kini dia sadar bahwa nelayan muda itu benar-benar seorang yang amat hebat kepandaiannya, dan dia terheran-heran mengapa orang sehebat ini datang bersama kawanan bajak tadi. Dia khawatir sekali kalau-kalau pemuda ini kawan dari bajak-bajak tadi dan tentu akan membalas dendam.
“Aku? Aku adalah seorang nelayan, engkau sudah mengetahuinya, Toanio,” katanya.
Tiba-tiba Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan tangannya dan Kim-hi Nio-cu mengeluarkan suara melengking. Itulah isyarat untuk anak buahnya dan dengan pimpinan dia sendiri, Kim-hi Niocu dan anak buah atau pasukannya itu meloncat terjun ke air. Kian Lee terkejut ketika merasa betapa perahu yang ditumpangi itu bergerak-gerak dan Cui Lan menjerit ngeri.
“Heh-heh-heh, orang muda yang aneh!” Hek-eng-pangcu berkata. “Bagaimana sekarang, apakah engkau masih hendak berkeras, dan tidak mau menyerah? Kalau begitu, kami akan menenggelamkan perahumu!” Nenek itu meloncat ke perahunya sendiri.
“Tahan!” Kian Lee terpaksa berseru. Dia sendiri tidak takut menghadapi mereka di air sekali pun. Akan tetapi Cui Lan dan Gubernur Hok tentu akan celaka karena mereka tidak pandai renang. Pula, kalau dia melindungi mereka berdua di air sambil menghadapi pengeroyokan orang-orang Hek-eng-pang itu, rasanya berat. juga dan amat membahayakan keselamatan Cui Lan dan Hok-taijin. “Baiklah, aku menyerah.”
“Suruh nelayan tua dan nona itu pindah ke perahu sini dulu!” Nenek yang cerdik itu membentak. Dia memang dapat menduga bahwa pemuda hebat itu hanya mau menyerah karena mengkhawatirkan keselamatan dara muda dan kakek yang kelihatan lemah itu.
Kian Lee terpaksa mengangguk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin karena di atas sungai itu tidak ada lain jalan. Hanya menyerah sajalah yang paling aman. Mereka itu tentu tidak akan mengganggu Cui Lan dan Hok-taijin selama dia tidak melawan, karena yang mereka butuhkan hanya perahu itu saja. Cui Lan dan Hoktaijin lalu meninggalkan perahu itu dan pindah ke perahu si nenek. Betapapun juga, Cui Lan bersikap tenang karena yang menawannya adalah wanita-wanita, bukan laki-laki kasar seperti para bajak tadi. Empat orang anggauta Hek-engpang, dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu sendiri lalu berlompatan ke atas perahu Kian Lee setelah melihat bahwa dua orang kawan pemuda itu berpindah perahu.
“Mari berangkat!” Nenek itu berseru dan bergeraklah empat buah perahu itu meluncur ke depan dengan cepatnya.
Kim-hi Nio-cu mendekati Kian Lee yang memegang kemudi perahu. Sambil tersenyum manis kepala Pasukan Air yang cantik itu menatap wajah Kian Lee dengan penuh kagum. Seorang nelayan muda yang demikian tampan dan gagah, memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi ketua atau gurunya, benar-benar sukar ditemukan di dunia ini! Melihat wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang berpakaian serba hitam yang pakaiannya basah kuyup sehingga pakaian itu melekat di tubuhnya memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh yang sedang masak-masaknya, Kian Lee mengalihkan pandang matanya, tidak mau melihat bentuk tubuh yang agaknya sengaja dipamerkan padanya itu. Melihat ini, Kimhi Nio-cu tersenyum lebar, kemudian terkekeh geli karena dia menganggap sikap Kian Lee itu sikap seorang muda yang masih hijau dan yang malu-malu. Padahal pemuda itu sudah mempunyai isteri! Kemudian dia teringat bahwa isteri pemuda itu berada di perahu lain maka dia menganggap bahwa sikap Kian Lee itu tentu karena marah dan khawatir akan nasib isterinya.
“Jangan kau khawatir, asal engkau tidak membangkang perintah Pangcu, isterimu itu tentu tidak akan diganggu.”
“Isteri? Dia bukan isteriku,” jawab Kian Lee. Karena Cui Lan tidak terancam seperti ketika para bajak laut tadi hendak kurang ajar, maka dia tidak perlu lagi mengaku sebagai suami dara itu, pikirnya.
“Ahhh....!” Kim-hi Nio-cu berseru kaget dan girang. Jadi pemuda ini benar-benar masih perjaka, pikirnya kagum.
“Dan kakek itu?”
Kian Lee teringat bahwa dua orang itu, terutama Hok-taijin, harus menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menjawab cepat, “Dia adalah sahabatku, dan gadis itu puterinya. Kami sedang mencari ikan ketika bajak-bajak itu memaksa kami membawa mereka sampai bertemu dengan kalian.”
“Dan kau begitu gagah dan berkepandaian tinggi....!”
Kian Lee tersenyum mengejek. “Dan tidak berdaya karena kecurangan kalian!”
Kim-hi Nio-cu tertawa kecil dan menutupi mulut dengan gaya genit. “Kami golongan wanita, selain menggunakan ilmu silat juga harus menggunakan akal dan siasat menghadapi kaum pria. Hihik. Eh, pemuda yang lihai, siapakah namamu?”
“Tidak perlu mengenal namaku, kuberitahu pun kau takkan mengenalku.”
“Wah-wah, tanpa nama bagaimana dapat menyebut dan memanggilmu?” Kim-hi Nio-cu tertawa genit karena dia makin tertarik kepada pemuda yang aneh ini.
“Nemmm, sebut saja aku Nelayan” kata Kian Lee yang memang tidak ingin memperkenalkan namanya sembarangan saja.
“Eh, Nelayan Muda, ya, kusebut kau Nelayan Muda, yang tampan dan gagah!”
Kian Lee merasa jemu dan membuang muka, selanjutnya tidak melayani lagi semua kata-kata Kim-hi Nio-cu yang jelas amat tertarik kepadanya.
Pelayaran itu makan waktu lama juga, sampai sehari semalam barulah si nenek memerintahkan semua perahu ke pinggir. Selama itu, Kian Lee, Cui Lan dan Hok-taijin tidak mendapat gangguan, dan diajak makan bersama dengan baik, hanya Kian Lee yang selalu diganggu oleh rayuan Kim-hi Nio-cu yang sama sekali tidak dilayaninya dan karena wanita itu maklum akan kelihaian pemuda itu maka dia pun tidak berani menggunakan paksaan.
Semua orang mendarat dan beberapa orang anggauta Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu menodongkan pedang mereka ke punggung Cui Lan dan Hok-taijin. Karena ini maka Kian Lee tidak berdaya sama sekali dan dia pun ikut mendarat, akan tetapi dia tetap bersikap tenang. Nenek itu kini menghadapinya, memandang dengan penuh perhatian, kemudian berkata, “orang muda, kami merasa kagum sekali padamu dan kami mengundangmu untuk datang berkunjung ke markas kami di puncak Bukit Cemara.” Setelah berkata demikian, nenek itu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk berangkat.
“Tapi, Pangcu....!” Kian Lee membantah.
Kim-hi Nio-cu mendorong Cui Lan dan Hok-taijin ke depan dan dari jauh dia berkata kepada Kian Lee, “Nelayan Muda, tidak ada yang boleh membantah kehendak Pangcu, apalagi beliau mengundangmu dengan baik-baik sebagai sercang tamu. Jangan sampai kami terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap dua orang kawanmu ini.”
Karena Cui Lan dan Hok-taijin di todong, maka terpaksa. Kian Lee mengangguk dan mengikuti perjalanan mereka. Dia maklum bahwa selama dia tidak membantah, tentu dua orang itu selamat dan karena permintaan mereka itu pun bukan hal yang tidak patut, melainkan mengundangnya datang berkunjung, dia pun tidak keberatan. Pula, dia pun ingin mengenal markas perkumpulan yang semua anggautanya terdiri dari wanitawanita yang memiliki kepandaian lumayan ini.
Belum jauh mereka berjalan, baru tiba di kaki bukit, mereka telah disambut oleh serombongan wanita yang dipimpin oleh seorang wanita muda berpakaian serba hitam seperti Kim-hi Niocu, mukanya putih dan manis dan rombongan ini segera memberi hormat kepada Hek-eng-pangcu dengan hormat. Kiranya mereka itu adalah Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li. Tiba di lereng bukit, mereka disambut oleh Pasukan Kayu dan Kian Lee merasa makin kagum. Kiranya perkumpulan Hek-engpang itu sungguhpun merupakan perkumpulan kaum wanita, namun mempunyai disiplin yang baik dan semua anggautanya kelihatan gagah dan patuh kepada pimpinan mereka.
Setelah mereka tiba di puncak di mana terdapat markas perkumpulan itu yang merupakan sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok seperti benteng dan mereka memasuki pintu gerbang, Kian Lee menjura ke arah nenek itu dan berkata, “Saya kira cukup sampai di sini saja dan harap Pangcu suka membiarkan kami bertiga kembali ke perahu kami.”
Hek-eng-pangcu yang tadi merasakan kelihaian pemuda itu sudah merasa tertarik dan ingin sekali dia mendapatkan seorang pembantu selihai itu, maka mendengar ucapan itu dia menjawab dengan suara dingin. “Kami bermaksud baik, hendak menjamu Sicu sebagai seorang tamu yang terhormat. Bawa mereka ke dalam!” perintahnya kepada Kim-hi Niocu yang segera menggiring Cui Lan dan Hok-taijin ke dalam di bawah todongan pedangnya. Cui Lan menoleh dan memandang ke arah Kian Lee dengan alis berkerut dan melihat pemuda itu seperti orang marah, dia khawatir kalau-kalau pemuda itu menjadi marah dan mengamuk, maka dia cepat menggelengkan kepalanya dan tersenyum menenangkan hati Kian Lee. Kian Lee menarik napas panjang dan diam-diam dia memuji Cui Lan yang dalam segala hal selalu bersikap tenang dan tidak putus harapan, sama sekali tidak kelihatan khawatir.
Setelah dua orang itu “disimpan” nenek itu sendiri lalu mempersilakan Kian Lee memasuki ruangan luas di sebuah gedung pusat di mana akan diadakan pesta untuk merayakan kemenangan mereka yang berhasil membalas penghinaan yang ditimpakan kepada dua orang anggauta mereka. Kian Lee dipersilakan duduk di meja nenek itu sendiri dan tak lama kemudian hidangan-hidangan pun dikeluarkan.
“Saya harap Pangcu tidak melupakan dua orang kawan saya, karena kalau mereka itu sengsara, bagaimanapun saya tidak suka makan minum, kata Kian Lee.
“Hemmm, Sicu benar-benar seorang gagah perkasa yang tahu akan setia kawan. Sungguh aku merasa kagum sekali. Jangan Sicu khawatir, dua orang kawanmu itu tidak akan mengalami suatu kesengsaraan apa pun dan mereka saat ini juga dijamu seperti Sicu, hanya tempatnya yang berbeda. Mari minum untuk persahabatan kita, Sicu.”
Tiba-tiba seorang anggauta Hek-engpang datang melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan pangcu.
“Siapa dia? Liong-li, kaulihat siapa dia dan apa niatnya!” .
Liong-li, kepala Pasukan Tanah yang hadir dalam pesta itu bersama empat orang kepala pasukan lainnya, cepat bangkit dan berjalan cepat keluar bersama anggauta yang melaporkan itu dan tak lama kemudian dengan wajah berubah lalu mendekati nenek itu dan berbisik, “Pangcu, dia.... dia itu yang datang.... Si Jari Maut“
“Ahhh....? Persilakan dia masuk!” katanya dengan wajah berubah. Dia dahulu telah mendengar laporan Kim-hi Nio-cu dan Liong-li tentang seorang pemudai lihai bukan main yang memesan kepada wanita itu agar mengatakan kepada ketuanya bahwa dia akan datang berkunjung dan kalau si ketua bertanya disuruh mengatakan bahwa dia adalah seorang yang biasa membunuh dengan jari tangan! Hek-eng-pangcu sudah mendengar bahwa orang muda selihai itu yang biasa membunuh dengan jari tangan tentulah Si Jari Maut yang beberapa tahun yang lalu namanya menggetarkan dunia kang-ouw. Kini ternyata pemuda itu benar-benar muncul! Padahal tadinya, diam-diam di dalam hatinya timbul dugaan bahwa pemuda nelayan itulah Si Jari Maut karena menurut berita, Si Jari Maut itu yang memiliki kesaktian hebat adalah seorang pemuda yang tampan. Sekarang kiranya bukan pemuda yang duduk di depannya ini.
“Aku sudah di sini, Pangcu!” Tiba-tiba terdengar suara tenang, dingin dan tegas. Kian Lee terkejut bukan main ketika dia menoleh dan melihat bahwa orang yang masuk itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
“Saudara Ang...., kau di sini....?”
Tentu saja Kian Lee menegur dengan ragu-ragu dan heran karena sepanjang pengetahuannya, Ang Tek Hoat telah menjadi panglima di Bhutan, bahkan telah menjadi calon suami Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tempat ini dan mengaku lagi julukannya yang telah lama ditinggalkannya itu, julukan ketika Si Jari Maut ini masih menggunakan nama Gak Bun Beng, suhengnya, ketika pemuda ini memburuk-burukkan nama Gak Bun Beng dengan segala macam kejahatan karena menganggap Gak Bun Beng seorang musuh besarnya? Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali diceritakan dengan jelas tentang peristiwa itu.
Pemuda itu memang Ang Tek Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia pernah bertemu dengan Kimhi Nio-cu dan Liong-li ketika dia menolong dua orang putera Jenderal Kao Liang yang terancam keselamatannya oleh dua orang dari Huang-ho Kui-liongpang, kemudian dia mengatakan kepada dua orang kepala pasukan Hek-eng-pang itu bahwa dia akan mengunjungi ketua mereka. Ketika dia memandang kepada pemuda yang menyebutnya pada she-nya itu segera dia mengenal putera Pulau Es itu, putera Majikan Pulau Es! Bahkan dia pun tahu bahwa Suma Kian Lee ini terhitung masih paman tirinya sendiri. Suma Kian Lee adalah putera dari neneknya, Lulu dan Suma Man si Pendekar Super Sakti, sedangkan mendiang ayahnya yang amat jahat itu, Wan Keng In, adalah putera Lulu bersama seorang she Wan. Akan tetapi, mengingat akan pesan ibunya yang kini telah tewas dalam cara yang menyedihkan sekali, biarpun dahulu dia tidak setuju dengan pesan ibunya, yaitu bahwa dia harus membalas dendam kepada keluarga Pulau Es, kini melihat Suma Kian Lee dia teringat akan ibunya dan hatinya menjadi dingin terhadap keluarga yang dibenci oleh ibunya itu. Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh dia mengangguk kepada Kian Lee.
Tentu saja Kian Lee menjadi heran menyaksikan sikap Tek Hoat ini. Bukankah pemuda yang tadinya tersesat itu kabarnya telah menjadi baik kembali? Bukankah pemuda itu sudah maklum bahwa dia masih terhitung pamannya sendiri? Akan tetapi jelas bahwa sikap Tek Hoat seperti sikap seorang musuh! Ada apa pula ini?
“Aihhh.... Ji-wi (Anda Berdua) sudah mengenal?” Hek-eng-pangcu terkejut dan heran, memandang kepada Kian Lee dengan kagum. Kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, bukan seorang nelayan biasa melainkan seorang sahabat dari Si Jari Maut yang amat tersohor itu!
Tek Hoat tersenyum mengejek dan sambil memandang kepada Suma Kian Lee, dia berkata, “Siapa yang tidak mengenal Suma Kian Lee, saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka yang kalian cari-cari itu?”
Mendengar ini, nenek itu dan semua anak buahnya berteriak kaget dan otomatis mereka bergerak mengepung Kian Lee.
“Hemmm, bagus! Kiranya engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang mencuri harta keluarga Jenderal Kao? Kiranya engkau memang sengaja hendak menyelidiki dan memata-matai kami? Hayo katakan di mana harta itu, kalau kau tidak mengaku, jangan harap akan dapat lolos dari tempat ini!” Yang-liu Nio-nio mengangkat tangannya dan seorang anak buahnya melemparkan sebatang ranting pohon yang-liu yang segar kepadanya.
Kian Lee memandang kepada Tek Hoat yang kini tersenyum-senyum duduk di atas sebuah kursi minum arak dan sikapnya sebagai orang yang menonton dan menikmati pertunjukan yang menyenangkan hati. Bermacam perasaan mengaduk hati Kian Lee. Pertama, dia teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin yang masih terancam keselamatannya. Ke dua, dia merasa heran mendengar adiknya, Suma Kian Bu, merampok harta benda Jenderal Kao. Mungkinkah ini? Akan tetapi kalau tidak, mengapa Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerang dia? Benarkah Kian Bu kini telah tersesat dan menjadi seorang perampok? Ke tiga, dia merasa gembira juga mendengar tentang Suma-kongcu yang tentu saja Kian Bu adanya, kalau tidak siapa lagi? Berita itu menandakan bahwa Kian Bu masih hidup dan berada di sekitar daerah ini. Ke empat, dia juga heran dan tidak mengerti melihat sikap Tek Hoat.
“Apa artinya ini? Aku tidak tahu sama sekali tentang harta pusaka Jenderal Kao!” teriaknya penasaran” melihat dirinya dikepung oleh para anak buah Hek-eng-pang.
“Tak perlu menyangkal lagi, orang muda engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka Jenderal Kao, akan tetapi engkau menyamar sebagai seorang nelayan miskin. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa engkau sedang melakukan penyelidikan. Sekarang lekas mengaku, di mana saudaramu itu menyembunyikan harta pusaka itu, kalau tidak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan.”
Kian Lee menjadi marah. Apa pun yang dilakukan andaikata benar adiknya merampas harta pusaka keluarga Jenderal Kao, tentu telah diperhitungkan oleh adiknya itu dan tentu ada alasannya yang kuat. “Pangcu, kau hendak menggunakan kekerasan bagaimana? Silakan!”
Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan ranting pohon yang-liu di tangan kirinya itu dan terdengarlah teriakan nyaring dari mulut lima orang wanita cantik, yaitu Kim-hi Nio-cu, Liong-li dan tiga orang kepala pasukan yang semua telah berkumpul di situ. Lima orang wanita cantik ini maju mengepung diiringi pasukan masing-masing yang terdiri dari dua belas orang sehingga ketika itu ada enam puluh orang wanita mengepung Kian Lee dari lima penjuru, semuanya memegang senjata!
“Hemmm, kalian sungguh nekad dan gila!” Kian Lee membentak. “Aku sungguh tidak tahu-menahu tentang harta pusaka yang kalian maksudkan itu, akan tetapi kalau kalian memaksa dan hendak bertanding, majulah!”
Kembali lima orang wanita cantik itu kini bergerak secara teratur sekali, membentuk lingkaran dan bergerak-geraklah lingkaran yang berlapis dua itu, yang sebelah dalam bergerak dari kanan ke kiri sedangkan yang sebelah luar bergerak sebaliknya dari kiri ke kanan. Senjata mereka berbeda, yang depan menggunakan golok dan pedang akan tetapi barisan lingkaran ke dua menggunakan tombak dan senjata bergagang panjang. Yang-liu Nio-nio dan lima orang muridnya itu hanya berdiri di luar lingkaran, menonton dan mengatur barisan. Ketika Kian Lee melirik, dia melihat Tek Hoat masih duduk minum arak sambil tersenyum-senyum sehingga hatinya merasa mendongkol bukan main.
“Seranggggg....!” Terdengar teriakan nenek itu dan lingkaran dalam itu segera berhenti gerakannya memutari tubuh Kian Lee dan berkelebatanlah pedang dan golok, menimbulkan sinar yang menyilaukan mata menyambar ke arah Kian Lee dari semua jurusan! Pemuda ini tentu saja tidak dapat mengelak ke kanan atau kiri ataubelakang karena senjata-senjata itu datang dari semua jurusan. Namun dia menggunakan keringanan tubuhnya dan tiba-tiba tiga puluh orang wanita dari barisan lingkaran pertama itu terkejut karena pemuda itu telah lenyap dari tengah-tengah mereka. Kiranya Kian Lee telah mencelat ke atas.
Nenek ketua Hek-eng-pang yang memimpin langsung penyerbuan itu berteriak lagi dan kini lingkaran pertama mundur dan lingkaran ke dua maju, menggunakan tombak mereka untuk menyambut tubuh Kian Lee yang melayang turun! Pemuda ini terpaksa menggerakkan kedua tangannya, didorongkan ke sekelilingnya dan lingkaran pemegang tombak dan senjata panjang itu menjadi kalang kabut karena mereka terhuyung-huyung sebelum senjata mereka sempat menyentuh tubuh pemuda itu sehingga Kian Lee dapat turun ke atas lantai dengan selamat, akan tetapi kini dua barisan lingkaran itu telah mengepungnya lagi.
Wajah pemuda itu menjadi merah dan sinar matanya mulai bercahaya. Seperti juga adiknya, Suma Kian Lee memiliki sepasang mata seperti mata ayahnya, Pendekar Super Sakti, yaitu tajam sekali sinarnya. Hanya bedanya, kalau sinar mata Pendekar Super Sakti mengandung keanehan yang mujijat daya sihir yang kuat dan berwibawa, mata dua orang puteranya itu hanya tajam saja, membayangkan kewajaran dan keberanian yang luar biasa.
Bersambung ke buku 4
Label:
Jodoh Rajawali,
Kho Ping Hoo