Jodoh Rajawali -18 | Kho Ping Hoo
Buku 18
Raja tua itu terkejut bukan main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, akan tetapi kini dia memandang ke arah Tek Hoat dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia membentak kepada Jayin, “Jayin, kalau engkau membawa berita yang begini hebat dan gawat, mengapa engkau mengajak orang ini? Siapa dia dan apa hubungannya dengan berita ini?”
“Maafkan kelancangan hamba, agaknya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek Hoat dan hambalah yang datang membawa berita ini.”
Kini sang raja benar-benar terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat penuh perhatian, kemudian memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata terheran-heran dan penuh pertanyaan.
“Hamba rnengerti bahwa Paduka tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena Ang-taihiap membawa berita yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba membawanya menghadap Paduka agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat ini.”
Betapapun juga, sri baginda masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek Hoat, bahkan pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bangga mempunyai calon mantu seperti dia. Hanya karena pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang membuat dia berubah membencinya karena merasa malu kalau harus mempunyai mantu seorang anak haram tanpa ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang, dan kini yang datang membawa berita tentang puterinya adalah pemuda itu sendiri!
“Jayin, ceritakanlah apa yang terjadi!” katanya singkat.
Dengan jelas Panglima Jayin lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syanti Dewi yang ditawan oleh Mohinta dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai sandera untuk memaksa sang raja turun tahta, kemudian menggunakan pasukan yang dibantu oleh Kerajaan Nepal untuk merampas kedudukan sri baginda dan mengangkat diri sendiri menjadi raja.
Makin lama Sang Raja Bhutan menjadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak percaya. Setelah Jayin selesai bercerita, dia berkata, “Ah, mana mungkin terjadi hal demikian? Mohinta.... dia putera Sangita.... bagaimana aku dapat percaya akan berita ini?”
“Memang amat mengherankan dan sukar dipercaya, Sri baginda, akan tetapi hendaknya Paduka memaklumi bahwa hamba sendiri percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.”
“Hemmm, bagaimana kalau bohong?”
“Hamba mempertaruhkan nyawa hamba!” kata Tek Hoat cepat-cepat dengan hati penasaran karena dia masih juga belum dipercaya.
“Dan hamba juga berani mempertaruhkan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.”
Sampai beberapa lamanya raja itu menatap kedua orang itu bergantian sehingga suasana di kamar itu sunyi senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata, “Sesungguhnya aku pun tidak dapat menyangsikan omongan kalian berdua, hanya karena berita itu benar-benar mengejutkan dan luar biasa, maka aku ingin meyakinkan hatiku. Kalau benar demikian, keparat sungguh Mohinta itu! Jayin, engkau boleh memimpin pasukan menyambut Mohinta itu, menangkapnya dan menyelamatkan puteriku!”
“Mohon diampunkan kelancangan hamba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perintah Paduka itu dilaksanakan, berarti kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu karena tidak ada bukti. Bahkan mungkin sekali Mohinta akan menyangkal dan kita kehilangan bukti. Sebaiknya dilakukan pembersihan lebih dulu sebelum Mohinta datang, dan di sini dilakukan penjagaan ketat yang terpendam, dan dikirim pasukan untuk menghalau pasukan Nepal di perbatasan yang hendak membantu gerakan Mohinta. Hamba sendiri yang akan melindungi sang puteri kalau sudah dibawa oleh Mohinta ke istana.”
“Usul Ang-taihiap itu tepat sekali, Sri Baginda. Lebih penting memadamkan sumber-sumber api pemberontakan ini lebih dulu sambil menanti sampai Mohinta melakukan gerakannya dalam istana yang diam-diam sudah terjaga ketat dan dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan menangkapi kaki tangan Mohinta yang memang sudah hamba daftar, kemudian hamba akan mencari akal untuk menaruh seorang perwira yang pura-pura akan bersekutu dengan dia agar segala rencananya dapat kita ketahui.”
Raja tua itu menghela napas panjang. “Baiklah.... baiklah, atur saja sebaiknya. Aku sudah malas mengurus segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki keselamatan puteriku!”
“Hamba menanggung keselamatan puteri Paduka dengan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat.
“Baik, nah, kaubawa pedangku ini sebagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini akan menyadarkan semua pembantuku bahwa engkau adalah seorang kepercayaanku, Ang Tek Hoat.” Dua orang itu dengan hormat menerima pedang dan cincin, kemudian diperkenankan mundur untuk mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksanakannya tanpa menanti perintah dari sri baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah merupakan kekuasaan mutlak untuk bertindakatas nama raja!
Dengan tenang namun cepat, tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin menangkapi banyak panglima dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita sendiri. Sebagai panglima nomor dua di Bhutan, tentu saja Panglima Jayin sudah hafal siapa di antara para panglima dan perwira yang condong kepada Panglima Sangita, maka dalam waktu sehari itu dia menangkapi lebih lima puluh orang panglima dan perwira tinggi!
Kemudian dia membawa seorang panglima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri baginda dan yang juga termasuk seorang di antara kaki tangan Sangita, membawanya ke dalam kamar rumahnya sendiri dan di situ dia membebaskan belenggu yang tadinya mengikat kedua tangan panglima tua ini. Di situ dibeberkan semua rahasia pemberontakan Mohinta dan mengapa Sangita dan para pembantunya ditangkapi.
“Mohinta merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bahwa Mohinta adalah putera Sangita, maka Sangita dan mereka yang berfihak padanya ditangkap atas perintah sri baginda.”
“Akan tetapi.... saya tidak tahu menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan, Panglima Jayin, dan sepanjang pengetahuan saya, Panglima Sangita adalah seorang panglima tua yang berbakti kepada negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan pemberontakan, biarpun diatur oleh puteranya sendiri!”
“Aku tahu, akan tetapi demi keamanan negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman-temannya, termasuk engkau diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan seorang warga negara Bhutan yang setia, engkau harus dapat membantu untuk menghancurkan rencana pemberontakan ini.”
“Aku bersedia!” jawab panglima itu sambil berdiri sigap seperti seorang perajurit siap menerima perintah.
Jayin lalu mengatur dan menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah tangan kanan Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah panglima ini jelas memperlihatkan sigap setia kepada negara, Jayin lalu mempergunakannya untuk menjebak Mohinta. Panglima itu dibebaskan kembali dan bahkan disuruh menghadapi dan menyelesaikan segala urusan yang seharusnya ditangani oleh Sangita, sebagai wakil panglima pertama ini.
Panglima Jayin yang bijaksana dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa sehingga peristiwa penahanan para panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan keadaan kota raja tetap tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan fihak pemberontak, sungguhpun. kini kekuatan utama telah diamankan sehingga andaikata ada pasukan-pasukan yang condong untuk memberontak, mereka telah kehilangan kepala dan kehilangan pegangan. Kini mereka tinggal menanti saja munculnya Mohinta. Tek Hoat sendiri sudah bersiap-siap, menjaga dalam istana dan sepasukan pengawal diserahkan kepadanya untuk diatur menjaga istana itu dengan ketat namun juga tidak kentara bahwa terjadi ketegangan-ketegangan. Panglima Jayin sendiri mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi gerakan pasukan Nepal di perbatasan.
Akhirnya saat yang dinanti-nanti penuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang sunyi, seorang perwira utusan Mohinta yang menjadi kurir menyelinap ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Sangita. Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan di dalam gedung itu telah bertukar orang, yaitu orang-orangnya Panglima Jayin. Kemudian oleh penjaga dia dihadapkan kepada panglima tua yang mengaku sebagai wakil dari Panglima Sangita dan mengatakan bahwa Panglima Sangita sedang menjalankan tugas ke luar Bhutan dan telah memberi kuasa kepadanya untuk menerima hubungan dari putera panglima.
Utusan itu lalu menyampaikan pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka menenuinya di luar Bhutan, dalam sebuah hutan tersembunyi untuk bicara. Panglima tua yang kini menjadi pembantu Jayin itu cepat mengikuti utusan itu meninggalkan kota raja dan menjelang pagi sampailah mereka di dalam hutan di mana telah menanti Mohinta dan kaki tangannya.
Mohinta mengenal panglima tua ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya maka dia pun tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk disampaikan kepada ayahnya. Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim pasukan pengawal untuk mengawalnya masuk istana, pasukan yang boleh dipercaya dan kuat untuk menghadapi pengawal-pengawal istana. Kemudian dia minta agar dikerahkan pasukan besar untuk bergerak mengepung istana, dan mengirim pula pasukan untuk menyambut pasukan Nepal di perbatasan dan mengajak pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan sehingga dengan bantuan pasukan Nepal mereka akan dapat menguasai Bhutan seluruhnya.
Tentu saja diam-diam panglima yang tua itu terkejut sekali mendengar rencana ini dan baru dia percaya bahwa putera panglima ini merencanakan pemberontakan hebat, bahkan pengkhianatan dengan bersekutu bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan. Dia menyatakan mengerti dan bergegas kembali ke kota raja untuk “melaksanakan” rencana yang diatur oleh Mohinta itu. Tanpa mengenal lelah panglima tua ini lalu menemui Jayin yang memang sudah menanti dan diceritakanlah semua pembicaraannya dengan Mohinta.
“Bagus! Permintaannya yang pertama harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan pengawal pilihanku sendiri. Dan memang ada pasukan yang akan menyambut pasukan Nepal di perbatasan, bukan untuk diajak bekerja sama, melainkan untuk dihancurkan!” kata Jayin menahan kemarahannya.
Sesuai dengan permintaan Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan seorang “utusan” panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan telah dipersiapkan untuk “mengurung” istana, dan juga dikirim sebuah pasukan untuk menyambut bala tentara Nepal di perbatasan. Tentu saja Mohinta menjadi girang bukan main. Biarpun hatinya juga diliputi ketegangan hebat, namun dia sudah merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera mengawal sang puteri, berikut para pengawalnya sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja menyambutnya, memasuki kota raja dan karena rakyat sudah dikabari akan kembalinya sang puteri, maka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan gembira. “Puteri” Syanti Dewi yang duduk di dalam kereta itu melambaikan tangannya ke kanan kiri sambil tersenyum manis. Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat, diam-diam merasa akan adanya perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak dahulu Puteri Syanti Dewi terkenal ramah terhadap rakyat kecil, akan tetapi keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan pandang matanya lembut. Akan tetapi ketika sang puteri melambaikan tangan dari dalam kereta dan wajahnya nampak sepintas lalu, mereka ini melihat betapa senyum sang puteri itu, biarpun masih tetap manis, mengandung kegenitan dan pandang matanya juga tidak selembut dahulu lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak menimbulkan kecurigaan sesuatu.
Rakyat bersorak-sorak menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan yang sudah lama ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan itu tiba di depan istana, kemudian memasuki halaman istana yang lebar. Rakyat hanya bergerombol di luar halaman yang terjaga. Para perajurit pengawal memberi hormat ketika Mohinta mengawal sang puteri turun dari kereta dan berjalan dengan agungnya memasuki istana.
Sesuai dengan permintaan Ang Tek Hoat sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di ruangan yang luas di tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua orang pengawal pribadi yang memegang tombak. Ketika Mohinta tiba di luar pintu ruangan itu, para pengawal istana melarang para pengawal ikut masuk bersama Mohinta memasuki ruangan itu dan hanya membolehkan Mohinta dan sang puteri berjalan masuk. Karena Mohinta merasa yakin bahwa para pengawal di istana ini pun tentu sudah “diberi” oleh ayahnya dan kaki tangannya, maka dia dengan sikap tenang saja memasuki ruangan itu dengan sikap gagah.
Raja Bhutan duduk di atas kursinya dengan sikap tenang, sungguhpun jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya, sungguhpun dia maklum bahwa Ang Tek Hoat berada di situ pula, entah bersembunyi di mana! Dan melihat betapa raja hanya ditemani dua orang pengawal, diam-diam Mohinta menjadi girang bukan main. Inilah saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia dan Syanti Dewi melangkah maju sampai cukup dekat, tiba-tiba Mohinta mencabut pedangnya, menangkap pundak sang puteri dan menodongkan pedangnya ke leher Syanti Dewi!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati sang raja melihat ini sungguhpun dia telah diberi tahu akan rencana Mohinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget dan marah bukan main hati raja itu melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari kursinya, dengan muka merah dan mata melotot, menudingkan telunjuk kirinya ke arah Mohinta dan membentak, suaranya penuh dengan kemarahan.
“Mohinta, apa yang kaulakukan itu?” Suara sri baginda gemetar.
Dengan wajah beringas Mohinta berkata, “Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan pengawalku sudah mengurung ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku, dan di perbatasan telah menanti pasukan besar Nepal yang akan membantuku! Seluruh negeri Bhutan telah berada dalam genggamanku, dan nyawa puterimu berada di teiapak tanganku pula! Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak melawan!”
Hampir raja itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya. “Pengkhianat busuk! Semenjak beberapa keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari kerajaan, juga telah banyak membuat jasa yang mengharumkan nama keluargamu. Akan tetapi sehari ini semua itu akan dihancurkan oleh kelakuan seorang keturunan macam kamu yang hina dan rendah ini!”
“Sri baginda, tak perlu banyak cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!” bentak Mohinta.
“Apa kehendakmu?” tanya raja, juga membentak.
“Buatkan pernyataan bahwa Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan kepadaku. Paduka telah terlalu tua dan aku sebagai mantu yang akan menggantikan kedudukan di Bhutan!”
“Keparat! Jahanam! Tangkap pemberontak ini!” Raja itu berteriak-teriak dan dua orang pengawalnya bergerak ke depan.
“Mundur kalian! Atau, kubunuh sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri baginda!” bentak Mohinta dan pedangnya makin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat dan gemetar tubuhnya.
Dua orang pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan berkelebat ke arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main ketika bayangan itu menyambar ke arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar pula. Dia mengelebatkan pedangnya, akan tetapi akibatnya, dia berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang karena pedangnya itu membalik dan hampir mengenai mukanya sendiri, sedangkan pergelangan tangannya yang kena pukulan hawa itu terasa nyeri. Ketika dia memandang, seorang pemuda telah berdiri menghadang antara dia dan sang puteri dan semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
Sementara itu, Sri baginda lari menghampiri sang puteri yang segera dipeluknya. “Syanti.... anakku.... ah, anakku....!”
Ang Tek Hoat memandang Mohinta dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apalagi ketika pemuda ini berkata lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta, “Jahanam busuk Mohinta, engkau telah membunuh ibuku dan untuk itu saja akan kuhancurkan kepalamu! Engkau telah menyesatkan Syanti Dewi dan untuk itu akan kupatahkan batang lehermu! Dan engkau merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan untuk itu engkau layak mampus sebagai anjing pengkhianat!”
“Ahhh.... kau.... kau....!” Teriakan raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya. Dia melihat Syanti Dewi dengan pisau di tangan menyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan tetapi lengannya masih tertusuk dan mengeluarkan darah.
“Syanti....! Kau gila....!” Tek Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi mengeluarkan suara ketawa aneh dan terus menyerang raja. Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah bergerak, tombak mereka menghalang dan menyerang dan di lain saat, perut puteri itu sudah ditembus tombak dan robohlah puteri itu dengan mata terbelalak dan ususnya keluar dari lukanya, tubuhnya mandi darah.
“Dewi....!” Tek Hoat berseru lagi dan Raja Bhutan lalu diselamatkan oleh dua orang pengawal melalui pintu rahasia.
Tek Hoat merasa kepalanya pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksikan semua itu. Syanti Dewi menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh pengawal. Semua ini gara-gara Mohinta. Dia memutar tubuhnya, akan tetapi Mohinta telah lari keluar, mempergunakan kesempatan selagi “puteri” itu menyerang raja dan Ang Tek Hoat tidak lagi memperhatikan dirinya. Di luar terjadi keributan, terdengar suara hiruk-pikuk orang berkelahi.
Dengan hati hancur melihat tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai keluar, Tek Hoat mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu, mencabut pedang Cui-beng-kiam dan sinar matanya mengandung hawa maut seperti seekor harimau yang haus darah. Ternyata telah terjadi pertempuran di luar, di seluruh istana sampai keluar istana, yaitu antara para pengikut Mohinta melawan para pengawal.
Mohinta terkejut setengah mati ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia bahwa rencananya gagal. Juga Syanti Dewi palsu tahu akan kegagalan itu maka dengan nekat dia menyerang sang raja sehingga dia menemui ajalnya di ujung tombak dua orang pengawal. Ketika tiba di luar dan melihat betapa pasukan pengawal yang menyambutnya tadi kini malah bertanding melawan para pengikutnya, makin sadarlah Mohinta bahwa dia telah terjebak. Maka dia pun lalu mengamuk dibantu oleh anak buahnya. Dan memang sebelumnya Mohinta telah mempersiapkan diri maka para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, bukan pengikut-pengikut biasa, bahkan di antara mereka terdapat orang-orang Nepal yang menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Mohinta sendiri!
Tek Hoat mengamuk dengan pedangnya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan para pengikut Mohinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak pengikut pemberontak, akan tetapi dia terus berlari keluar mencari dan mengejar Mohinta. Ketika dia tiba di ruangan depan, dia melihat Mohinta dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, di antaranya bahkan ada seorang berkepala gundul seperti hwesio yang amat lihai sedang mengamuk merobohkan para pengawal istana.
“Mohinta keparat, jangan lari!” Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan tetapi dia disambut oleh banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek Hoat harus menggerakkan pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari hujan senjata.
“Kepung! Bunuh!” Mohinta berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa selama pemuda ini belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya.
Anak buahnya berdatangan dan kiranya panglima muda ini memang telah menaruh banyak mata-mata di situ, mata-mata yang berdatangan pada saat Mohinta memasuki istana dan para anak buah itu kini dapat membantunya mengeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang lebih kini mengurung Tek Hoat yang mengamuk seorang diri saja karena para pengawal istana sudah roboh oleh para pemberontak itu. Tek Hoat tidak menjadi gentar dan mengamuk terus sambil berusaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari Bhutan, sebagian dari Nepal dan bahkan ada beberapa orang Han yang telah menjadi kaki tangan panglima muda itu.
Bagaikan seekor naga mengamuk, Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut, kedukaan yang amat hebat menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus keluar itu tak pernah meninggalkan bayangan matanya dan dia mengamuk dengan gerakan nekat dan banyak yang mengawur maka beberapa kali senjata lawan yang mengeroyoknya sempat mengenai tubuhnya. Kedua pahanya luka-luka, celananya robek dan pakaiannya sudah ternoda darahnya sendiri dan darah musuh. Namun, dia merobohkan mereka satu demi satu dan Cui-beng-kiam, pedang pusaka yang mengerikan itu, kini boleh puas minum darah manusia. Berkali-kali pedang ini memasuki tubuh seorang pengeroyok dan keluar lagi telah berwarna merah, dan darah-darah itu seperti mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh!
Biarpun dia sendiri luka-luka dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak merasakan semua itu. Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta dan biarpun dia sudah merobohkan belasan orang pengeroyok, dia masih belum dapat mendekati Mohinta yang selalu menjauhkan diri itu. Kini hanya tinggal lima enam orang lagi saja yang masih mengeroyoknya, di antaranya adalah orang berkepala gundul itu yang amat lihai mainkan tombak bercabang tiga itu, bersama dengan beberapa orang pengawal dari Nepal yang pandai bermain golok dan perisai. Mohinta sendiri hanya menyerang dari belakang setiap kali ada kesempatan, kemudian meloncat mundur lagi kalau Tek Hoat membalikkan tubuhnya. Melihat kecurangan orang yang amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti kesempatan baik sambil memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam orang lihai yang membantu Mohinta itu. Ketika pendengarannya dapat menangkap gerakan Mohinta yang menyerangnya lagi dari belakang, Tek Hoat pura-pura tidak memperhatikannya, akan tetapi setelah serangan itu dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba dia melakukan gerakan meloncat dan membalik, kaki kirinya menginjak tangga lantai. Mohinta terkejut dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Tek Hoat yang berada di belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya telah menggerakkan Cui-beng-kiam ke belakang, ke arah punggung Mohinta melalui bawah lengan kanannya.
“Blesssss....!” Mohinta menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu memasuki punggung, terus ke perut dan menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti babi disembelih.
“Itu untuk ibuku!” teriak Tek Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung-huyung, kembali pedangnya membabat dua kali.
“Crakkk! Crakkk!” Kedua lengan Mohinta putus sebatas siku kena disambar Cui-beng-kiam.
“Itu untuk Kerajaan Bhutan!” kembali Tek Hoat berteriak.
Mohinta kembali menjerit dan matanya terbelalak memandang kedua lengannya yang buntung, kini darah muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang buntung. Akan tetapi Tek Hoat masih belum berhenti menyerangnya. Pedangnya kembali berkelebat, menangkis tombak laki-laki gundul sehingga ujung tombak bercabang tiga itu putus, kemudian pedang itu masih terus membabat ke arah leher Mohinta yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah hampir tidak kuat berdiri lagi itu.
“Crakkk!” Leher Mohinta putus disambar Cui-beng-kiam dan lenyaplah jeritan-jeritan Mohinta yang mengerikan tadi.
“Itu untuk Syanti Dewi!” kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini mengamuk sampai enam orang pengeroyoknya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam. Akan tetapi karena dia sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena batinnya yang tertekan oleh kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang setelah tidak melihat adanya seorang pun lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan Cui-beng-kiam masih di dalam genggamannya, dia roboh pingsan!
Di luar istana juga terjadi pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak buah Mohinta melawan pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu Panglima Jayin. Akan tetapi karena pasukan-pasukan pemberontak itu telah kehilangan pimpinan mereka, yang sudah ditawan terlebih dahulu oleh Jayin, maka perlawanan mereka pun setengah matang, dilakukan setengah hati sehingga belum sampai setengah hari lamanya, mereka telah dapat ditundukkan, dihancurkan dan ditawan. Sebagian besar di antara mereka menaluk. Demikian pula, di perbatasan terjadi pertempuran antara pasukan Nepal yang sudah siap menyeberang dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jayin sendiri. Pertama-tama Jayin mengirim utusan yang menyamar sebagai utusan pemberontak, mempersilakan pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan, setelah tiba di lorong sempit yang diapit dua buah bukit, pasukan Nepal itu diserbu dari kanan kiri dan depan sehingga pasukan itu menjadi panik, akhirnya melarikan diri kembali ke Nepal meninggalkan banyak korban.
Pemberontakan itu berhasil dihancurkan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main karena mereka terhindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak kesejahteraan hidup. Apalagi ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu hanya seorang wanita Nepal yang menyamar!
Akan tetapi, Ang Tek Hoat tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan pingsan, sampai beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya menderita demam panas. Dia jatuh sakit, bukan hanya karena luka-lukanya melainkan terutama sekali karena kehancuran hatinya melihat Syanti Dewi tewas. Untuk kedua kalinya, pemuda ini telah menyelamatkan dan membela Bhutan dengan taruhan nyawa, bahkan telah mengorbankan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini benar-benar merasakan pembelaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih sekali dan dia sendiri yang mengatur agar Tek Hoat memperoleh perawatan sebaiknya dari para ahli pengobatan dalam istana.
Para ahli pengobatan yang pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena luka-luka di tubuhnya. Untuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlampau kebal dan terlatih sehingga luka-luka itu tidak membahayakan keselamatannya. Akan tetapi yang mengkhawatirkan para ahli pengobatan itu adalah guncangan batin yang membuat pemuda itu belum pulih benar kesadarannya.
Memang Tek Hoat menjadi seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang-kadang duduk, diam saja tak pernah mau bicara. Kadang-kadang dia menangis tersedu-sedu menutupi mukanya, memejamkan matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang mati dalam keadaan mengerikan itu. Kadang-kadang selagi tidur dia berteriak-teriak memanggil nama Syanti Dewi dan memaki-maki Mohinta. Para ahli pengobatan merasa khawatir kalau-kalau tekanan batin itu akan mempengaruhi jiwa pemuda itu dan membuatnya menjadi tidak waras. Oleh karena itu, para ahli pengobatan itu menasihatkan kepada sri baginda agar kenyataan bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu sesungguhnya bukan sang puteri, melainkan seorang wanita Nepal yang menyamar. Para tabib ini khawatir kalau-kalau berita yang amat mengejutkan akan mendatangkan guncangan yang terlalu hebat sehingga bahkan membuat penyakit Tek Hoat menjadi makin parah. Sri baginda dapat menerima nasihat ini dan memerintahkan kepada semua pelayan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek Hoat.
Sri baginda cukup bijaksana untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena memang sesungguhnya panglima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja. Sedangkan para panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta, dijatuhi hukuman cukup berat untuk membikin jerih mereka yang masih mempunyai niat untuk memberontak. Pasukan-pasukan yang tadinya terpengaruh oleh Mohinta dan kawan-kawannya, dipecah-pecah dan digabungkan dengan pasukan pemerintah yang setia untuk mencuci bersih batin mereka dari sisa-sisa keinginan memberontak.
Setelah Panglima Sangita yang tua itu dipensiun dan dibebastugaskan, dengan sendirinya Panglima Jayin rmenjadi panglima pertama, dan biarpun belum diadakan pengangkatan resmi, namun Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima muda oleh sri baginda di Bhutan.
Perang terjadi di seluruh dunia semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti-hentinya. Baik yang dinamakan perang dingin atau perang panas, perang politik, ekonomi, kebudayaan, perang halus maupun kasar, tak pernah lenyap dan selalu ada di antara bangsa sebagai letusan-letusan dari kemarahan, kebencian dan permusuhan. Perang yang terjadi antara bangsa, di bagian manapun juga di dunia ini, tidak terlepas dari setiap orang dari kita, karena bangsa merupakan kelompok manusia, oleh karena itu, perang adalah masalah setiap orang manusia di dunia ini, tidak peduli di manapun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada dalam perang atau tidak pada saat itu. Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari keadaan diri setiap orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah kekerasan yang timbul dari keadaan batin yang penuh dengan kebencian, dengan perebutan kekuasaan, perebutan kebenaran, dan pementingan diri sendiri. Perang antara bangsa hanya merupakan gambaran besar dari perang yang setiap saat timbul di dalam hati kita sendiri masing-masing. Setiap saat, setiap hari juga terjadi pertentangan-pertentangan, konflik-konflik yang menimbulkan kebencian, kemarahan, dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang kesemuanya itu didasari oleh keinginan untuk mementingkan diri sendiri, untuk mencari kesenangan atau keenakan bagi diri sendiri sehingga dalam pencarian atau pengejaran kesenangan ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang lain. Demi mencapai cita-cita, mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap akan mendatangkan kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang kita anggap menjadi penghalang tercapainya cita-cita kita itu. Demikianlah keadaan perang di dalam batin kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan kemarahan, kebencian, dan kekerasan dalam permusuhan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat di sekeliling diri kita, atau di dalam diri kita sendiri. Dan selama kita masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar di dunia ini, karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di permukaan bumi ini.
Dapatkah kita hidup tanpa perang? Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara suku, antara kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan antara manusia perorangan, bahkan perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu keinginan kita? Berakhirnya “perang” di dalam batin mengakhiri perang di luar diri, karena lahir dan batin tak terpisahkan, kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi. Bagaimana mungkin kita hidup damai lahiriah dengan orang lain kalau batin kita mengandung kebencian? Mengandung kemarahan, iri hati, rasa takut dan keinginan untuk enak sendiri? Jelas tidak mungkin! Sebaliknya, kalau batin tidak lagi dihuni oleh kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut, keinginan enak sendiri, batin seperti itu adalah batin yang hening dan bersih, batin seperti itu penuh dengan cahaya cinta kasih, dan bagi batin seperti itu tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kekerasan!
Raja Bhutan dan Panglima Jayin tentu saja merasa bahwa mereka telah berhasil membasmi pemberontakan, akan tetapi mereka lupa bahwapemberontakanpemberontakan tidak akan pernah berhenti, baik pemberontakan halus maupun kasar, selama manusia mementingkan kedudukan, harta benda, nama dan kehormatan, pendeknya selama manusia mengejar-ngejar kesenangan dan mementingkan semua itu lebih tinggi daripada si manusia sendiri. Raja Bhutan dan Jayin sama sekali bukan melenyapkan pemberontakan, melainkan hanya memperoleh kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula dijaganya dengan kekerasan, karena kemenangan itu diperoleh dengan jalan kekerasan pula. Ketenangan dan kedamaian yang diciptakan oleh penekanan dan kekerasan bukanlah kedamaian lagi namanya. Manusia tidak lagi melakukan pemberontakan bukan karena dalam batinnya sudah penuh dengan cinta kasih, melainkan karena mereka takut melakukan pemberontakan itu! Dan ketenteraman seperti ini, yang diciptakan dengan menciptakan pula rasa takut, hanya akan bertahan untuk sementara saja, karena sekali waktu, ketenteraman itu akan terganggu oleh pemberontakan yang lain apabila yang takut sudah tidak takut lagi menurut keadaan pada saat itu!
Ketertiban yang sungguh-sungguh ketertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih! Ketertiban yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ketertiban lagi namanya, melainkan ketidaktertiban yang dipulas. Dan ketertiban berdasarkan cinta kasih tidak mungkin dapat diatur, melainkan datang dengan sewajarnya apabila kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh keinginan menyenangkan diri sendiri, apabila tidak ada lagi si aku, si kamu dan si dia. bukan berarti bahwa kita lalu menjadi boneka-boneka hidup yang digerakkan oleh suatu kekuasaan tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat kita kehilangan kepribadian, membuat kita memejamkan mata dan hanya bertindak menurut perintah atau menyesuaikan diri dengan apa yang diajarkan oleh kekuasaan itu! Sama sekali tidak, karena kalau demikian, sama saja kita hidup di bawah penekanan kekerasan dan terjadi konflik-konflik dalam batin yang akhirnya akan tercetus keluar menjadi tindakan kekerasan yang menimbulkan permusuhan antara manusia. Ketertiban, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak bisa disusun atau dibentuk, melainkan timbul sewajarnya kalau segala bentuk kekerasan sudah lenyap sama sekali dari batin.
***
Seperti juga dengan para pendekar yang membantu pemerintah menentang pemberontakan yang didalangi oleh Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu dapat dihancurkan lalu pergi cerai-berai, masing-masing mengambil jalan sendiri, demikian pula dengan para tokoh yang tadinya membantu pemberontakan itu. Seperti kita ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta telah lebih dulu meninggalkan benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksanakan rencana pemberontakan Mohinta di Bhutan. Juga rombongan Liong-sim-pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun telah lolos dari benteng, mengambil jalannya sendiri. Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi, mencari puteri angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi juga sudah pergi mencari keselamatannya sendiri. Bahkan tiga orang pandai yang tadinya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri meninggalkan benteng.
Demikian pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu. Biarpun tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng bersama-sama, namun setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal itu. Mereka tidak mau ikut pergi ke negara Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri, meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama muridnya, Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Kalau tadinya keempat orang di antara Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah karena Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dkn mereka mengharapkan kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain seperti Nepal, maka mereka berempat meninggalkan Koksu Nepal dan mengambil jalan sendiri, sungguhpun mereka berempat masih belum berpencar, masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara.
Pada saat benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu Nepal itu runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di atas tempat itu. Orang-orang yang berada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga tidak ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam yang kini makin membesar sehingga akhirnya nampak bahwa titik hitam itu adalah seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andaikata ada yang melihatnya, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa di atas punggung burung rajawali raksasa itu duduk seorang manusia! Orang yang melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu seorang dewa!
Burung itu sendiri adalah seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di jaman itu, seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara. Burung itu telah tua sekali, namun masih kelihatan kuat ketika menggerakkan sayapnya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia membawa seorang manusia di punggungnya. Manusia itu pun aneh. Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki kanannya saja, pakaiannya sederhana sekali, rambutnya panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang. Wajahnya agak kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu merupakan seorang pria yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia duduk di atas punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang kuda saja, enak dan tenang. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut yang ditempelkannya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang menjadi pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk memberi isyarat ke mana burung itu harus terbang.
Kini burung rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap menghitam bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu. Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu menggerakkan tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan menghitam yang baunya menyesakkan napas itu.
“Hemmm, perang...., lagi-lagi perang.... pertempuran, bunuh-membunuh di antara manusia....!” Kakek itu menggumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih berlangsung. Kakek ini bukan lain adalah Suma Han. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.
Seperti telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isterinya yang tercinta untuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang sudah terlalu lama pergi merantau tanpa ada kabar ceritanya. Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan pulaunya, akan tetapi akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan dan bujukan isteri-isterinya dan pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan pulau dan mulai dengan perantauannya mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.
Ketika dia mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas pemberontakan di Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah benteng di lembah, hatinya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat pula dalam penindasan pemberontakan ini, seperti yang pernah mereka lakukan ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka dia pun lalu menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya yang tua.
Akan tetapi, ketika melihat pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para pemberontak itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini, melainkan menyuruh rajawalinya berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau dia akan melihat dua orang puteranya. Dari tempat tinggi, di antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah dan jantungnya berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu Puteri Milana! Ah, kalau begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya. Kalau tidak demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup tenang dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun ESeng di puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya, tentu puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti itu.
Akan tetapi, melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti adanya bunuhmembunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa enggan untuk turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka dia lalu menyuruh burungnya agak menjauhi benteng. Burung itu agaknya merasa girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat asap hitam bergumpal-gumpal itu maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur.
Tiba-tiba Pendekar Super Sakti terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya aneh-aneh, akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari tempat tinggi itu Suma Han dapat mengenal orang-orang pandai yang memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya menukik dan mendekati. Setelah agak dekat di atas empat orang yang berlari cepat sekali itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dengan dia belum lama ini. Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh mereka, yang dua orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu. Dan kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka tentulah terjadi urusan besar dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah bercerita kepadanya tentang Kian Bu yang katanya rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan katanya bergulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu tahu di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah, dia lalu meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.
Munculnya pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat orang itu tiba-tiba melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka terkejut bukan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang meninggalkan benteng yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka, yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang telah membuang waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi terutama sekali karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama mereka sebagai Ngo-ok! Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal ini menampar muka mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini terkejut, agak gentar akan tetapi juga marah. Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan kesempatan untuk membalas kekalahan mereka karena kini ada Su-ok dan Ngo-ok yang membantu mereka. Rasa penasaran karena pernah dikalahkan, kemudian rasa kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan kepada Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa, yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.
“Ah, kiranya yang terhormat Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung tiba, mari kita sambut dengan penuh kehormatan!” Ucapan ini halus dan menghormat, akan tetapi merupakan isyarat bagi teman-temannya untuk menyerang pendekar berkaki satu itu.
“Maafkan kalau aku mengganggu kalian berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau-kalau Su-wi (kalian berempat) melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.” Dia berhenti sebentar, memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apakah putera-puteraku itu terlibat dalam pertempuran di benteng yang terbakar itu dan apakah....“
Baru sampai di sini pendekar itu bicara, Ngo-ok Toat-beng Sian-su, si tosu yang tingginya dua setengah meter itu, dengan mukanya yang selalu sedih, telah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan dia sudah menerjang dengan kedua tangannya yang berlengan panjang. Serangan ini hebat sekali, dan begitu Pendekar Super Sakti mengelak, dari samping sudah menerjang Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek katai itu yang menggelundung seperti trenggiling, melakukan penyerangan secara diam-diam dan pengecut, menghantam dari bawah ke arah belakang kaki Suma Han! Dan menyusul itu, hampir bersamaan waktunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak dan masingmasing sudah menerjang dengan ganas dan dahsyat!
Mula-mula Suma Han hanya mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi ketika serangan-serangan itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan setiap serangan merupakan jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan tahulah dia bahwa yang dihadapinya adalah orang-orang lihai dengan kepandaian silat tingkat tinggi yang berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan empat orang pengeroyoknya, dan yang nampak hanya bayangannya saja berkelebatan dengan kecepatan seperti kilat menyambar dan ke manapun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang, selalu bayangan itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka. Empat orang datuk kaum sesat itu terheran-heran. Tahulah mereka bahwa lawan ini menggumakan Ilmu Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib yang terkenal sekali dimiliki oleh Pendekar Siluman ini.
Akan tetapi Suma Han tidak ingin mencari permusuhan, maka setelah berkelebatan mengelak ke sana-sini mengandalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri tegak sambil berseru, “Tahan, harap kalian suka dengarkan bicaraku dulu!”
Pendekar Siluman itu berdiri tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat bututnya yang dipergunakan sebagai pengganti kaki kiri, sikapnya tenang sekali namun agung dan berwibawa. Empat orang datuk kaum sesat itu penasaran dan masih belum hilang rasa kaget dan heran menyaksikan gerakan lawan yang tidak lumrah manusia itu. Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah memasang kuda-kuda yang amat aneh, yaitu kedua lengannya diangkat ke atas, kedua lengan itu menggigil dan bergerak-gerak, dari situ memancar hawa dingin, dan dia seolah-olah dengan susah payah menahan kedua tangannya berikut jari-jari tangan yang seperti “hidup” dan hendak bergerak sendiri itu. Twa-ok Su Lo Ti juga memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu, agak membongkok, tangan kanannya membentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka jari telunjuk dan jari tengah, seperti siap untuk menotok atau mencapit! Su-ok Siauw-siang-cu si gundul pendek kelihatan makin pendek karena dia memasang kuda-kuda berjongkok dan itulah kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu pukulan sakti Katak Buduk! Yang paling aneh adalah si jangkung Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di bawah dan kedua kaki di atas. Karena tubuhnya jangkung bukan main, dua setengah meter panjangnya, maka ketika dia berdiri seperti itu, kedua kakinya menjadi seperti dua batang kayu yang menjulang tinggi!
Melihat gaya aneh-aneh dari empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda-kuda mengepungnya dengan membentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja.
“Aku tidak pernah dan tidak ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendaknya Su-wi suka bersabar. Aku hanya ingin bertanya tentang kedua orang puteraku itu. Kalau di antara Su-wi ada yang tahu, harap memberi tahu, kalau tidak ada yang tahu, sudahlah, aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Kita bukan anak-anak kecil yang tanpa sebab dan tanpa alasan berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi tentang kedua orang puteraku itu ataukah tidak?”
Empat orang itu tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka itu tidak mempedulikan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang memutar otak mencari jalan bagaimana baiknya menyerang dan menjatuhkan Majikan Pulau Es yang amat sakti ini.
Selagi Pendekar Super Sakti hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba terdengar pekik aneh di angkasa dan ternyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung garuda! Semua orang melirik ke atas, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan orang yang suaranya parau dan kasar sekali.
“Huh, kalau bapaknya tak tahu malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!” Semua orang menengok, dan Suma Han segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek raksas yang kelihatan menakutkan dan buas. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, penghuni Pulau Neraka!
“Suma Han, engkau tidak bisa mendidik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu sungguh tidak tahu malu, dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku yang akan menghajarnya sampai mampus!”
Tadinya Suma Han tidak mempedulikan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar ucapan itu yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang dicarinya, dia tertarik.
“Hek-tiauw Lo-mo, apakah maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?”
“Kalau aku tahu di mana dia, sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!” jawab ketua Pulau Neraka ini dengan marah. Kakek raksasa ini sudah mendengar bahwa Hwee Li telah dirampas oleh Kian Lee dari tangan Liong Bian Cu, maka dia marah dan memaki-maki begitu melihat Pendekar Super Sakti.
Suma Han menarik napas panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan wataknya yang liar, kasar dan keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu tidak dihiraukannya.
“Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya engkau tentu dapat menceritakan apa yang telah diperbuat oleh puteraku itu sehingga engkau marah-marah seperti ini.”
“Apa yang diperbuatnya? Setan cilik itu telah merampas dan menculik puteriku! Hayo engkau yang menjadi bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa puteramu itu untuk mengembalikan puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup, bahkan sampai ke anak cucumu akan menanggung kecemaran namamu!”
Suma Han mengerutkan alisnya. Segala makian dan omongan keji yang keluar dari mulut kakek raksasa itu tidak dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu orang macam apa adanya ketua Pulau Neraka itu. Akan tetapi yang merisaukan hatinya adalah berita tentang Kian Lee yang menculik seorang gadis itu! Dan dia merasa heran akan bersimpang-siurnya berita itu. Twa-ok belum lama ini menceritakan kepadanya bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil katanya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, dan kini Hek-tiauw Lo-mo sendiri menuduh Kian Lee menculik puterinya! Bagaimana ini? Dia menoleh kepada Twa-ok dan dengan hati kesal pendekar itu berkata.
“Twa-ok mengatakan kepadaku bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang engkau mengatakan bahwa Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang benar dalam memberikan berita ini? Ataukah keduanya bohong?”
“Tidak ada yang bohong! Dua berita itu semua benar. Twa-ok juga menceritakan kenyataan bahwa anakmu bernama Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang bernama Kian Lee kini menculik puteriku, Hwee Li yang manis. Memang dua anakmu itu mata keranjang, gila perempuan!”
“Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Kacang mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Aku mendengar bahwa Pendekar Siluman juga seorang laki-laki mata keranjang, bahkan isterinya dua disembunyikan di pulau kosong. Mana anak-anaknya tidak mata keranjang pula? Ha-ha-ha!” kata Su-ok Siauw-siang-cu yang memang pandai sekali bicara. Kakek berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking gelinya, bahkan dia lalu terguling dan tertawa-tawa sambil bergulingan di atas tanah!
Suma Han mengerutkan alisnya. Sinar matanya menjadi tajam sekali dan betapapun juga, dia mulai marah. “Hemmm, kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa dipercaya omongannya?”
Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena teriakan itu adalah teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia memandang dan dia menahan seruannya ketika melihat betapa burung rajawali dan burung garuda yang tadi bertarung di angkasa itu keduanya kini roboh ke bawah, meluncur cepat sekali, kemudian terbaring berdebuk di atas tanah dan keduanya sudah tidak bergerak lagi. Dengan sekali melompat Suma Han menghampiri dan memeriksa dua bangkai burung itu. Kiranya mereka itu luka-luka parah dan agaknya saling bunuh dalam pertarungan tadi, mati sampyuh karena sama kuatnya dan sama tuanya pula. Suma Han berduka sekali, berjongkok dan mengelus kepala bangkai rajawalinya.
Tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-mo sudah menyerangnya selagi dia berjongkok memeriksa bangkai burungnya.
Kini marahlah Suma Han. Dia melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat, tongkatnya bergerak, bukan hanya untuk menangkis melainkan untuk balas menyerang pula. Hebat bukan main gerakan pendekar ini dan begitu tongkatnya diputar, lima orang pengeroyoknya itu terpaksa mundur untuk mengatur kedudukan lagi, kemudian mereka kembali menyerang dari pelbagai jurusan. Suma Han kini tidak banyak mengalah, dia mengelak, menangkis dan balas menyerang.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat di tempat sunyi itu. Biarpun mereka bertanding tanpa suara, namun debu beterbangan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti dilanda angin besar. Tubuh Suma Han sudah lenyap, yang nampak hanya bayangan tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, hebat sekali karena dari sambaran tubuhnya itu keluar hawa yang kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang juga dingin bukan main. Terpaksa lima orang lawannya itu harus mengerahkan sinkang sekuat tenaga mereka karena kalau tidak, tentu tanpa terkena pukulan pun mereka itu akan tidak kuat menghadapi gelombang hawa yang berubahubah itu.
Twa-ok yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi, merasa menyesal sekali bahwa dalam kesempatan menghadapi seorang lawan seperti Pendekar Super Sakti ini, Sam-ok tidak berada di situ bersama mereka. Biarpun dalam urutan tingkat, Koksu Nepal itu hanya tingkat tiga, namun sesungguhnya Sam-ok memiliki keistimewaan sendiri dan tidak kalah oleh Ji-ok, dan mereka berlima memang telah memiliki kerja sama yang amat baik maka mereka terkenal sebagai Ngo-ok. Belasan tshun yang lalu, ketika di pantai selatan diadakan pertandingan antara datuk, hanya karena mereka berlima dapat bekerja sama sajalah maka Ngo-ok dapat menjagoi dan tidak ada lawan yang dapat mengalahkan lima orang datuk ini, biarpun lawan yang lebih banyak jumlahnya sekalipun, seperti Cap-sha-tin (Barisan Tiga Belas), Pat-kwa-tin (Barisan Delapan) dan lain lagi. Biarpun kini di sini terdapat Hek-tiauw Lo-mo yang membuat jumlah mereka tetap lima, namun Hek-tiauw Lo-mo masih terlampau rendah tingkatnya, dan tidak bisa bekerja sama dengan mereka sehingga bantuan kakek raksasa ini tidak terlalu banyak artinya. Kalau ada Sam-ok, tentu kelima orang Ngo-ok itu dapat mainkan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat dahsyat itu.
Kekhawatiran Twa-ok memang beralasan karena setelah lewat seratus jurus, mulailah lima orang itu terdesak hebat oleh gerakan Pendekar Super Sakti, terutama sekali Hek-tiauw Lo-mo yang sudah beberapa kali sampai terhuyung-huyung terdorong oleh hawa pukulan Majikan Pulau Es itu. Kerja sama antara empat orang itu pun menjadi kacau-balau dan kalau tadinya mereka masih mampu saling bantu membentuk pertahanan dan penyerangan bersama, kini rangkaian itu putus dan mereka kini bergerak sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini amat merugikan mereka karena mereka itu masingmasing sama sekali tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Pendekar Super Sakti yang mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun.
Mcngerti bahwa kalau dilanjutkan tentu fihaknya akan roboh semua, Twa-ok yang cerdik segera memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur, dan dengan sikap halus dan ramah dia menjura ke arah Suma Han yang masih berdiri tegak karena melihat para pengeroyoknya mundur, dia pun menarik kembali gerakannya dan berdiri menanti dengan penuh kewaspadaan.
“Sungguh mengagumkan kepandaian Pendekar Super Sakti, Tocu (majikan pulau) Pulau Es! Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi kami belum merasa kalah sama sekali karena seperti yang Tocu lihat, kami kurang satu orang sehingga kerja sama kami kacau. Kalau memang Suma-taihiap seorang yang gagah perkasa, kami tantang engkau untuk mengadakan pertemuan dan bertanding melawan kami di gurun pasir, di daratan Chang-pai-san. Kalau kelima Ngo-ok sudah hadir, dan kami berlima sudah menggeletak di depan kakimu, barulah kami akan mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti dan kami tidak akan berani lagi memperlihatkan muka di dunia kang-ouw!”
“Ha-ha-ha, Twa-ko, mana dia berani? Sekali ini kebetulan saja Sam-ko tidak ada dan dia lolos dari lubang jarum, mana dia berani mengulang lagi kalau kita lengkap?” tiba-tiba Su-ok berkata untuk memanaskan hati Suma Han.
Tanpa dibikin panas pun tak mungkin Pendekar Super Sakti dapat menolak tantangan seperti itu, apalagi memang dia tahu bahwa kalau Ngo-ok lengkap lima orang, dia tidak akan dapat mengambil kemenangan dengan mudah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja bertemu dengan lawan tangguh merupakan hal yang selalu menarik hati.
“Baiklah, Ngo-ok! Aku menerima tantangan kalian. Akan tetapi karena aku hendak mencari dua orang puteraku, tantangan itu baru akan dapat kulayani dalam waktu tiga bulan lagi. Tepat tiga bulan sejak hari ini, aku akan berada di daratan Chang-pai-san, di gurun pasir, menanti kedatangan kalian berlima!”
“Bagus! Janji seorang gagah lebih berharga daripada nyawa. Jangan khawatir, Suma-taihiap, bukan engkau yang menanti, melainkan kami yang akan siap menantimu di sana!” Setelah berkata demikian, Twa-ok lalu pergi bersama tiga orang saudaranya, dan Hek-tiauw Lo-mo juga ikut pergi karena tentu saja dia merasa gentar sekali kalau ditinggal seorang diri saja berhadapan dengan Majikan Pulau Es itu.
“Hek-tiauw Lo-mo! Katakan dulu padaku di mana adanya Suma Kian Lee!”
Tiba-tiba pendekar itu berseru ketika melihat kakek raksasa itu pun ikut pergi.
“Persetan!” bentak Hek-tiauw Lo-mo dan tanpa mempedulikan pendekar itu, dia melangkah terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu pendekar kaki buntung itu sudah berdiri di depannya!
“Tak boleh engkau pergi sebelum memberitahukan kepadaku!” bentak Suma Han.
“Keparat sombong!” Hek-tiauw Lo-mo tak dapat menahan kemarahannya sehingga dia lupa akan takut, golok gergajinya yang menggiriskan hati itu sudah menyambar dan membacok ke arah dada Pendekar Siluman dengan kecepatan kilat!
Suma Han tidak bergerak mengelak, hanya berkata, “Senjatamu tajam sekali, dapat membelah tubuhku!”
“Crakkk!” Golok itu benar-benar mengenai tubuh Suma Han, dan membelah tubuh itu menjadi dua, akan tetapi apa yang terjadi? Tidak ada darah muncrat, dan tubuh yang terbelah itu “pecah” menjadi dua dan muncullah dua orang Pendekar Siluman yang berdiri berdampingan sambil tersenyum kepada Hek-tiauw Lo-mo!
“Ehhh?” Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia teringat bahwa lawannya adalah seorang ahli sihir, maka dia kembali menggerakkan goloknya dengan dahsyat, membacok ke arah dua orang Suma Han itu.
“Crakkk! Crakkk!” Kembali goloknya membacok dua orang lawan itu sampai terbelah dua dan.... dua kali dua sama sama dengan empat, kini empat orang Pendekar Siluman berdiri dengan senyum-senyum di depannya! Dan sebelum dia mampu bergerak, empat orang Pendekar Siluman imi sudah memeganginya dari kanan kiri dan dia tidak mampu bergerak lagi!
“Hek-tiauw Lo-mo, katakan di mana adanya Suma Kian Lee!”
Biarpun dia seorang manusia iblis yang tidak pernah mengenal takut, sekali ini Hek-tiauw Lo-mo merasa tak berdaya dan dia pun tahu bahwa dia tidak dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka sambil bersungut-sungut dia berkata, suaranya masih kasar dan marah, “Anakmu yang bermuka tebal itu telah menculik anakku dari tunangan anakku, yaitu Liong Bian Cu. Entah ke mana dia pergi membawa anakku itu, aku sendiri ingin sekali mengetahuinya!”
Kini Suma Han percaya bahwa manusia iblis ini tidak membohong, akan tetapi dia pun merasa yakin bahwa tentu ada suatu hal yang memaksa puteranya berbuat seperti itu, melarikan seorang gadis dari tangan Pangeran Liong Bian Cu.
“Sudahlah,” katanya dan dia mendorong tubuh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu hampir terguling, terhuyung lalu lari tanpa menoleh lagi.
Sejenak Suma Han memandang ke arah bangkai dua ekor burung raksasa yang mati sampyuh itu, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ahhh, kalau kalian tidak terjatuh dalam kekuasaan manusia, tentu kalian masih menjadi burung-burung liar dan bebas hidup di dunia kalian sendiri yang lebih murni. Cara kehidupan manusia hanya mendatangkan permusuhan.” Suma Han lalu menggali lubang dan mengubur bangkai dua ekor burung besar itu.
Apa yang diucapkan oleh Pendekar Super Sakti itu memang merupakan kenyataan yang sukar dibantah. Bagi semua makhluk lainnya kecuali manusia, hidup dan mati merupakan dua hal yang tidak terpisah dan kematian bukan apa-apa lagi. Anehnya, binatang-binatang yang masih belum dijinakkan manusia, hidup bebas dan tidak terkurung, seolah-olah tidak lagi mengenal kematian seperti yang kita mengenalnya dengan perasaan was-was. Demikian banyaknya burung terbang di udara di sekeliling kita, namun amatlah sukar bagi kita untuk menemukan bangkai burung menggeletak mati karena penyakit atau karena usia tua! Bahkan sukar kita melihat bangkai semut, kecuali sering melihat binatang peliharaan mati karena sakit atau karena tua, akan tetapi jarang melihat binatang yang bebas sakit atau mati tua. Semua mahluk tidak ada yang mengkhawatirkan tentang kematian, kecuali manusia!
Mengapa kita takut mati? Mengapa manusia merasa ngeri kalau membayangkan kematian? Kematian adalah hal yang belum pernah kita alami, belum kita ketahui, bagaimana mungkin dapat takut terhadap kematian? Mungkin saja ada yang takut terhadap kematian karena selagi hidup kita mendengar dongeng-dongeng tentang sesudah mati, tentang penderitaan sesudah mati, tentang hukuman, dan sebagainya, namun rasa takut kita terhadap itu pun hanya tipis saja, buktinya kalau benar-benar orang takut akan hukuman sesudah mati, tentu dia tidak akan berani melakukan hal-hal yang akan menyebabkan hukuman itu! Kiranya bukan itu yang menyebabkan manusia takut menghadapi kematian.
Bukankah rasa takut terhadap kematian itu timbul karena kita ngeri membayangkan bahwa kita akan lenyap? Semua yang kita alami ini akan berhenti dan berakhir? Bukankah itu yang menimbulkan rasa ngeri terhadap kematian? Kita sudah melekat kepada kesenangan-kesenangan, atau hal-hal, benda-benda yang kita anggap menjadi sumber kesenangan. Kita tidak rela meninggalkan semua itu, kita ingin melanjutkan kesenangan-kesenangan itu sampai abadi. Dan kita tahu bahwa kita tidak abadi, bahwa kita akan mati! Inilah yang menimbulkan rasa takut, mengingat bahwa kita takkan bisa apa-apa lagi, tidak akan dapat mendekati benda-benda yang kita suka atau orang-orang yang kita sayang. Maka timbullah harapan-harapan agar sesudah mati kita masih terus melanjutkan suatu keadaan seperti ketika kita masih hidup ini, yaitu.... mengejar kesenangan lagi, sungguhpun kesenangan itu sudah berubah lagi bentuknya, disesuaikan dengan keadaan baru dari badan kita! Lagi-lagi mengejar hal-hal yang menyenangkan! Padahal, justeru pengejaran terhadap hal-hal yang menyenangkan inilah SUMBER dari mana timbulnya rasa takut!
Setelah selesai menguburkan bangkai dua ekor burung besar itu, Suma Han lalu melanjutkan perjalanannya, kini dengan jalan kaki, untuk mencari dua orang puteranya. Di dalam hatinya terdapat suatu keputusan bulat, yaitu dia akan melarang kedua orang puteranya itu untuk bergaul dengan seorang gadis seperti puteri Hek-tiauw Lo-mo! Dan biarpun dia kini berjalan kaki, namun pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa ini dapat melakukan perjalanan dengan amat cepatnya.
***
Siang In berlari secepatnya untuk dapat menyusul bayangan Kian Bu yang dia lihat melarikan diri keluar dari dalam benteng. Akan tetapi, betapa cepat pun dia lari, betapa hebat dia mengerahkan ginkangnya untuk dapat menyusul pemuda itu, namun usahanya sia-sia belaka karena Kian Bu lari dengan menggunakan ilmunya yang istimewa, yaitu Jouw-sang-hui-teng, yang membuat dia mampu lari secepat terbang! Maka sebentar saja dia sudah kehilangan bayangan pemuda itu dan mau rasanya Siang In menangis ketika dia berhenti mengejar dengan napas terengah-engah itu. Bertahun-tahun sudah dia melakukan perjalanan jauh sekali, menjelajahi semua tempat sebelum dia sampai ke Bhutan dan bertemu dengan Syanti Dewi, dengan maksud mencari pemuda ini! Dan sekarang, setelah belum lama ini dia baru tahu bahwa Siiuman Kecil adalah pemuda yang dicari-carinya, yaitu Suma Kian Bu, setelah dia dapat bertemu muka dengan pemuda itu, bahkan sama-sama berjuang menghadapi pemberontakan, kini pemuda itu sudah pergi lagi sebelum dia sempat bicara! Apakah dia harus merantau lagi, mencari-cari seperti dulu, mulai lagi dengan usahanya sampai bulanan, tahunan untuk dapat bicara dengan Kian Bu?
“Ah, Kian Bu.... begitu sukarkah untuk dapat bicara denganmu?” Dia termenung dan tenggelam dalam lamunannya, membayangkan bagaimana dia harus bicara dengan pemuda itu kalau sampai pada suatu waktu dia berkesempatan untuk bicara dengan pemuda itu.
Siang In menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya, perlahan-lahan karena dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda itu. Dara ini melalui jalan yang naik turun di pegunungan, sampai akhirnya senja pun tibalah dan terpaksa dia menghentikan perjalanannya karena dia tiba di sebuah hutan kecil yang sunyi. Hutan itu kecil, akan tetapi indah sekali karena pohon-pohon yang hidup di situ adalah pohon-pohon yang mengeluarkan bunga, bahkan tanah di situ dipenuhi rumput hijau yang merupakan permadani menutup seluruh permukaan, tanah di dalam hutan. Hutan ini liar, akan tetapi seperti taman yang terpelihara baik saja dan Siang In mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini. Dia memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, membersihkan tempat itu dengan daun-daun, lalu dia duduk melepaskan lelah. Perutnya terasa lapar, akan tetapi dia tidak peduli karena hatinya kesal memikirkan Kian Bu. Rasa lapar dan lelah, ditambah hati kesal membuat dia lesu dan sebentar saja dia sudah tidur nyenyak. Dia duduk di atas rumput tebal, punggungnya bersandar batang pohon, kepalanya miring ke kiri dan napasnya halus tanda bahwa dia sudah pulas benar.
Akan tetapi pulasnya seorang pendekar silat yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi berbeda dengan pulasnya orang biasa. Biarpun dalam keadaan tidur pulas, namun panca inderanya yang sudah terlatih itu seolah-olah selalu berada dalam keadaan siap siaga sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya, yaitu suara yang tidak wajar dan yang mencurigakan.
Demikian pula dengan Siang In. Menjelang tengah malam, dia sadar oleh suara kaki manusia yang berjalan perlahan-lahan menginjak daun kering dan ranting dan begitu terbangun, dara ini sudah meloncat berdiri, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi segala bahaya apa pun yang mengancamnya.
Langkah-langkah kaki itu kadang-kadang berhenti, kadang-kadang bergerak lagi dan dari suara yang ringan itu Siang In dapat menduga bahwa yang berjalan itu tentu seorang pandai, atau sedikitnya tentu orang yang telah memiliki ilmu ginkang sehingga dapat meringankan tubuhnya ketika berjalan. Tiba-tiba timbul harapannya karena siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah pemuda yang dicari-carinya! Siapa lagi kalau bukan Kian Bu yang berkeliaran di dalam hutan pada malam buta begini?
Kalau orang lain, apalagi seorang gadis muda, yang mendengar suara-suara ini di dalam hutan yang demikian gelap, sunyi dan menyeramkan, tentu akan nerasa takut dan pertama-tama tentu akan menyangka ada setan yang muncul untuk menggodanya. Namun Siang In adalah seorang dara yang sejak kecil sudah hidup dalam keadaan penuh bahaya, menyendiri dan sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, seorang diri saja sehingga entah sudah berapa puluh atau ratus kali dia tidur sendirian di dalam hutan, atau di kuil kosong, dalam gua, atau di mana saja! Maka, mendengar suara ini, pertama-tama yang diduganya adalah seorang manusia lain, atau seorang musuh. Belum pernah dia menyangka akan ada setan, karena dia yang sudah merantau bertahun-tahun itu belum pernah bertemu dengan setan sehingga dia yakin benar bahwa setan-setan yang menjadi buah bibir manusia itu hanya hidup dalam dunia khayal dan bayangan pikiran manusia saja.
Karena langkah-langkah kaki itu kini membelok, tidak menuju ke tempat itu, Siang In yang mengharapkan akan bertemu dengan Kian Bu menjadi khawatir kehilangan orang itu, maka dia pun menyelinap dengan hati-hati sekali, mengejar suara langkah kaki itu. Dan biarpun ginkangnya sendiri juga sudah terlatih baik, namun dalam malam gelap itu tidak urung beberapa kali dia menginjak ranting kering dan menimbulkan sedikit suara.
Ketika dia sudah tiba dekat dengan suara langkah kaki itu, mulai nampaklah bayangan orang karena orang di depan itu sudah tiba di tempat terbuka, di mana cahaya bintang-bintang di langit dapat menembus dan memberi sedikit cuaca yang remang-remang.
“Kresekkk....!” Kembali kaki Siang In menginjak ranting dan daun kering karena dia merasa tegang dan gembira, mengira bahwa orang di depan itu tentulah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu, orang yang dicarinya. Bayangan itu menoleh cepat sekali dan agaknya juga melihat bayangan Siang In, karena bayangan itu cepat membalikkan tubuhnya dan menghampiri sambil berseru nyaring, suaranya penuh harapan dan kegembiraan, suara wanita!
“Suma-taihiap! Siluman Kecil.... engkaukah itu....?”
Mendengar suara wanita ini, seketika buyarlah harapan Siang In. Sialan, pikirnya, mengomel di dalam hati, bayangan itu ternyata adalah wanita, dan wanita itu pun, seperti dia, mencari Siluman Kecil! Akan tetapi dia seperti mengenal suara itu, maka dia pun melangkah maju, membiarkan wajahnya tertimpa cahaya bintang yang redup.
“Siapa engkau?” bentaknya.
Bayangan itu pun tercengang. “Ahhh.... kiranya bukan....!”
Kini dua orang dara itu berdiri dekat saling berhadapan dan Siang In tentu saja mengenalnya. Wanita itu bukan lain adalah Ang-siocia atau Kang Swi Hwa, murid dari Hek-sin Touw-ong yang sudah berjasa besar dalam membantu Jenderal Kao Liang untuk melakukan gerakan di dalam benteng.
“Enci Swi Hwa, kiranya engkau!” Siang In berseru, menyembunyikan kekecewaannya.
“Ah, Adik Siang In! Malam-malam begini engkau berada di dalam hutan, mau apakah? Dengan siapa engkau di sini?”
“Dan engkau pun di sini seorang diri! Dan menyangka aku Siluman Kecil!” balas Siang In. “Mau apakah engkau mencari Siluman Kecil, Enci Swi Hwa?”
Siang In tidak dapat melihat wajah dara itu di dalam kegelapan malam, akan tetapi dia mendengar kegugupan gadis itu ketika menjawab, “Aku.... aku sudah kenal baik dengan Suma-taihiap.... dan kusangka dia yang masuk ke sini....“
“Ada keperluan apakah engkau mencari Suma Kian Bu? Atau tidak bolehkah aku mengetahuinya?”
“Ah, tidak.... tidak apa-apa, hanya ada sedikit pesan.... eh, dari suhu...., sudahlah, aku harus cepat kembali kepada suhu, Adik Siang In. Selamat tinggal, aku mau pergi.”
Siang In hanya mengangguk tanpa menjawab. Hatinya penuh tanda tanya. Apa pula urusan Siluman Kecil dengan dara ini? Dara yang cantik manis, lihai dan terutama cerdik bukan main, juga berjasa besar sekali. Suaranya ketika memanggil “Suma-taihiap” tadi, demikian penuh perasaan, penuh harapan dan mesra! Hatinya menjadi panas. Begitu banyak dara yang agaknya jatuh hati kepada Siluman Kecil! Apalagi Hwee Li itu, juga luar biasa cantik jelitanya dan lihai pula. Aihhh, begitu banyakkah saingannya?
“Gila kau!” Dia mencela diri sendiri. Mengapa belum apa-apa dia sudah menganggap semua wanita yang bersikap mesra kepada Siluman Kecil sebagai saingan? Padahal dia masih belum tahu apa yang menyebabkan dia bertahun-tahun ini selalu terkenang kepada Kian Bu, yang mendorongnya untuk mencari Kian Bu sampai jauh di Bhutan!
Setelah pertemuannya dengan Ang-siocia itu, yang mendatangkan rasa kecewa dan kekhawatiran, Siang In tidak dapat tidur nyenyak lagi. Memang dia bisa pulas, akan tetapi tidurnya penuh mimpi yang membuat dia kegelagapan karena dalam mimpi itu dia melihat Kian Bu bermesraan dengan Ang-siocia yang membuatnya terbangun dengan napas sengal-sengal. Kemudian tidur lagi dan mimpi lagi, sekali ini dia melihat Kian Bu bergandeng tangan dan bersendaugurau dengan Hwee Li. Kembali dia terbangun dan memaki diri sendiri yang dianggapnya tolol, memikirkan hal yang bukan-bukan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang In telah meninggalkan hutan itu untuk melanjutkan perjalanannya, sungguhpun dia sendiri tidak tahu ke mana arah perjalanannya itu. Ada dua persoalan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan. Pertama tentu saja, mencari Kian Bu untuk menyampaikan perasaan hatinya yang sudah dipendamnya bertahun-tahun, untuk mencari keyakinan. Ke dua, mencari Syanti Dewi yang kabarnya dilarikan oleh Mohinta, panglima dari Bhutan itu. Seharusnya dia mengejar ke barat karena sangat boleh jadi Puteri Bhutan itu dilarikan ke barat oleh Mohinta, akan tetapi karena dia melihat Kian Bu berlari ke utara, maka dia lebih dulu mengejar pemuda itu yang ternyata kemudian gagal dan sia-sia belaka.
Matahari telah mulai naik meninggi ketika Siang In tiba di lereng bukit dan selagi dia berdiri di atas bagian yang agak tinggi untuk memandang ke seluruh penjuru dengan sinar mata mencari-cari, tiba-tiba muncul seorang kakek bersorban, begitu saja muncul di didepannya seperti iblis. Memang kakek ini sejak tadi bersembunyi dan mengintai gerak-gerik Siang In.
Siang In cepat memandang dengan penuh perhatian dan dia pun segera mengenal kakek ini. Pernah dia bertemu, bahkan mengadu ilmu sihir melawan kakek ini di tempat pesta pernikahan Hwai-kongcu Tang Hun yang ketika itu merayakan pernikahannya dengan Puteri Syanti Dewi! Kakek ini bersorban, kulitnya coklat kehitaman, jenggotnya panjang sampai ke perut dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana. Inilah Gitananda, pendeta bangsa Nepal, pembantu Koksu Nepal, seorang kakek yang memiliki kekuatan sihir yang hebat!
Setelah mengenal kakek itu, Siang In menjadi marah. Bukan saja kakek ini pernah mengganggunya ketika dia berusaha menolong Syanti Dewi yang dulu hendak dipaksa menjadi isteri Hwa-i-kongcu, akan tetapi juga melihat bahwa kakek ini adalah pembantu Koksu Nepal yang mengadakan pemberontakan, dan terutama sekall karena dia sudah mendengar bahwa yang menangkap Syanti Dewi dan membawanya ke dalam benteng sebagai tawanan adalah kakek ini pula.
“Ah, kiranya kakek dukun lepus kaki tangan pemberontak!” Dia memaki.
Gitananda sendiri sejak tadi mengintai gerak-gerik Siang In. Dia sudah merasa heran dan curiga mengapa ada seorang gadis muda cantik yang berjalan seorang diri di tempat itu, maka dia tadi bersembunyi dan mengintai. Kini dia pun mengenal dara ini yang dia tahu mempunyai ilmu sihir yang cukup kuat, maka tertawalah kakek pendeta Nepal itu. Inilah gadis yang menjadi seorang di antara musuh-musuh majikannya, yang telah menggagalkan pemberontakan dan menghancurkan benteng. Juga, dara ini amat cantik jelita, rasanya tidak kalah cantik oleh Puteri Bhutan, maka kalau dia dapat menangkapnya dan menyerahkannya kepada pangeran junjungannya, tentu Pangeran Nepal akan girang sekali. Sebagai seorang hamba yang amat setia, tentu saja dia sudah tahu akan kesukaan Paageran Nepal terhadap kaum wanita.
Melihat pendeta itu tertawa dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan kurang ajar, Siang In menjadi marah sekali dan segera dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu pedang payungnya! Payung itu tertutup dan kini ujungnya yang runcing dan mengkilap itu meluncur ke arah leher Gitananda, mengeluarkan suara mendesing saking cepat gerakannya.
“Hemmm....!” Gitananda menggereng dengan kaget dan cepat menggerakkan tongkat kayu cendana untuk menangkis, bukan menangkis payung, melainkan menghantam ke arah pergelangan tangan yang memegang payung. Tangkisan yang sekaligus merupakan serangan balasan!
Akan tetapi Siang In memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya. Serangan balasan lawan ini sama sekali tidak membuat dia menjadi gugup, sebaliknya malah dia sudah menarik kembali pedang payungnya dan secepat kilat pedang payung itu telah membalik dan menusuk ke arah lambung lawan!
“Uuuhhh....!” Kembali Gitananda berseru kaget dan cepat dia melempar tubuh ke belakang karena untuk menangkis sudah tidak sempat lagi. Kakek ini terjengkang, bergulingan dan meloncat bangun dengan muka berubah pucat, lalu merah, karena penasaran. Dalam dua gebrakan saja hampir dia termakan lawan!
Marahlah Gitananda. Lawannya hanya seorang dara remaja yang masih amat muda, pantas menjadi cucu muridnya, mustahil kalau dia sampai kalah oleh dara ini. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia lalu menyerang, menubruk ke depan dan memutar tongkatnya yang mengeluarkan bau harum kayu cendana. Melihat ini, dara itu tersenyum. Bagus, pikirnya girang, makin marah dan ganas gerakan lawan ini makin mudah baginya untuk mencapai kemenangan. Ilmu silat kakek ini biarpun cukup ganas, namun dasarnya liar dan hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dia merasa sanggup untuk mengatasinya. Yang berbahaya adalah ilmu sihir kakek ini. Maka melihat serangan yang ganas itu, Siang In bersikap tenang saja, memainkan pedang payungnya, menangkis dan mengelak sambil kadang-kadang memutar payungnya sehingga terbuka dan setelah menolak semua serangan tongkat, tiba-tiba dia mengirim balasan yang mengejutkan sehingga beberapa kali kakek itu berseru kaget dan meloncat ke belakang, ditertawakan oleh Siang In.
“Hi-hik, kiranya sebegitu saja tongkatmu penggebuk anjing itu?” Dia mengejek dan pendeta itu menjadi makin marah. Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Makin marah, makin kacaulah permainan silat, hal ini sudah diketahui oleh semua ahli. Kemarahan membuat kewaspadaan banyak berkurang dan gerakan silat tidak lagi mengandung kecerdikan, melainkan semata-mata merupakan peluapan dari kemarahan dan kebencian dan karenanya menjadi lengah. Demikian pula dengan Gitananda. Dia marah bukan hanya karena ejekan Siang In, melainkan terutama sekali karena merasa penasaran bahwa dia, pembantu Koksu Nepal, bahkan orang kepercayaan Pangeran Nepal, kini dipermainkan oleh seorang dara remaja!
Sesungguhnya, tingkat ilmu silat yang dikuasai oleh pendeta itu tidak kalah banyak dibandingkan dengan ilmu silat Siang In. Memang dasar ilmu silat dara ini lebih murni dan kuat, akan tetapi dalam hal pengalaman bertempur, kakek itu lebih menang, maka andaikata Gitananda tidak marah-marah dan penasaran, dan mau bertanding dengan tenang, agaknya tidak mudah bagi Siang In untuk mengalahkanya. Akan tetapi kini, dalam keadaan marah-marah dan kurang waspada, ketika dara itu menggunakan ilmu tendangnya Soan-hong-twi yang amat cepat, kedua kaki kecil itu berputaran dan bertubi-tubi menendang diseling dengan tusukan-tusukan pedang payungnya, Gitananda tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kurang cepat sehingga tendangan kaki kirinya yang meluncur dari samping sempat mencium lambungnya.
“Dukkk!” Gitananda mengeluh dan roboh terguling, terus bergulingan sambil meringis kesakitan dan tongkatnya menyambar-nyambar melindungi tubuhnya yang sedang bergulingan itu.
Setelah dapat meloncat bangkit dan berdiri lagi, wajah kakek itu menjadi merah penuh kemarahan. Dia mengacungkan tongkat kayu cendana itu ke atas dan dia mengeluarkan pekik melengking dahsyat, seluruh tubuhnya menggigil dan tiba-tiba Siang In ikut pula menggigil! Maka tahulah dara ini bahwa lawannya sudah mengeluarkan ilmu sihir, maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya, memusatkan perhatiannya dan mengerahkan kekuatan sihir yang selama bertahun-tahun dipelajarinya dari gurunya. Terjadilah pertempuran yang tidak nampak oleh mata orang, akan tetapi terasa sekali oleh kedua orang itu, getaran-getaran ajaib yang saling menyerang.
“Bocah sombong, lihatlah siapa aku! Aku adalah Gitananda, ahli sihir terkuat di Nepal! Engkau harus tunduk kepadaku!” Kakek itu membentak, suaranya terdengar aneh dan lucu, seperti suara dari jauh, seperti suara setan!
Namun dengan tenang dan berani. Siang In menentang pandang mata lawannya. Dia merasa betapa sinar mata lawan itu seperti dua sinar tajam hendak menembus dan mencengkeram kesadaranya, namun dia mengerahkan tenaga dan dia pun membentak, halus akan tetapi nyaring, “Tua bangka, engkau tidak tahu siapa aku! Aku adalah murid See-thian Hoat-su, ahli sihir kenamaan di seluruh dunia! Aku tidak akan tunduk kepadamu!” Akan tetapi Siang In terpaksa menghentikan kata-katanya karena makin panjang kata-katanya, makin banyak dia membagi tenaga dan perhatian sehingga dia terhuyung!
“Ha-ha-ha....!” Kakek itu tertawa bergelak dan menambah kekuatannya, namun Siang In sudah cepat menguasai keadaannya dan kini dara itu memusatkan perhatiannya menolak pengaruh ajaib yang keluar dari pandang mata lawan itu. Tiba-tiba Gitananda mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia sudah melontarkan tongkatnya ke atas. Seketika tongkat itu mengeluarkan suara auman seperti singa dan memang tongkat itu dalam pandang mata Siang In berubah menjadi singa yang menubruknya dengan dahsyat!
“Dukun lepus, siapa takut permainanmu ini?” bentaknya dan dia memapaki “singa” itu dengan bacokan pedang payungnya.
“Cusssss!” Bayangan singa yang terkena pedang payung itu seketika berubah, menjadi seekor ular yang melibat payung dan membetot dengan kerasnya. Siang In terkejut, merasa tertipu dan dia mempertahankan payungnya. Terdengar Gitananda tertawa dan menggerakkan kedua tangannya ke arah tongkat yang menjadi “ular” dan melibat pedang payung itu.
Siang In tidak mau kalah, tidak mau menyerahkan pedang payungnya begitu saja untuk dirampas lawan, maka sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, dia pun menarik dengan pengerahan tenaga Iweekang.
“Krakkk! Krekkk!”
Pedang payung dan “ular” itu patah-patah dan runtuh ke atas tanah, pedang payung rusak dan patah, juga tongkat itu patah menjadi tiga potong! Dengan terkejut dan marah sekali Siang In membuang gagang payungnya. Gitananda tertawa bergelak, karena biarpun dia sendiri kehilangan tongkatnya, namun dia girang melihat senjata istimewa dari dara itu rusak, karena senjata itulah yang membuat dia tadi repot menghadapi Siang In.
Suara ketawa ini dan hawa yang mengandung kekuatan sihir yang ajaib itulah yang terdengar sampai jauh dan menarik perhatian seorang pemuda yang sedang berjalan di dalam hutan tak jauh dari tempat itu. Siapakah pemuda ini? Dia bukan lain adalah Suma Kian Bu!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kian Bu lari meninggalkan Phang Cui Lan dan Kim Sim Nikouw. Dia merasa amat kasihan kepada Cui Lan. Dia tahu betul sejak dia menolong dara itu dari dalam dusunnya, ketika dusun Cian-li-cung dirampok oleh gerombolan yang mengakibatkan musnahnya keluarga gadis itu, bahwa Cui Lan jatuh cinta kepadanya. Dia dapat mengetahui hal ini dari pandang mata yang mesra dan lembut, dari suara dalam kata-katanya, dan dari senyumnya. Dara itu bersedia menyerahkan jiwa raganya kepadanya. Dan dia juga tahu bahwa dia tidak boleh merusak hati dara ini, dan bahwa dia tidak membalas cintanya maka dia bersikap keras, sengaja untuk membuka mata Cui Lan bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cintanya. Kalau dia melayani Cui Lan, kalau dia memperlihatkan sikap manis, akan makin “parah” penyakit dara itu. Memang dia pun tahu bahwa Cui Lan adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan lemah lembut, juga halus perasaannya dan memiliki jiwa yang gagah berani. Kalau dia menyambut cinta kasih Cui Lan, itu berarti bahwa dia mendapatkan seorang gadis pilihan yang sukar dicari keduanya. Akan tetapi, tentu dia juga akhirnya akan merana karena dia tidak tertarik kepada Cui Lan, tidak mencintanya. Satu-satunya wanita yang pernah dicintanya adalah Puteri Syanti Dewi, dan akhir-akhir ini dia tertarik kepada seorang dara yang cantik jelita dan galak, seorang gadis yang lincah bukan main, yaitu Siang In! Akan tetapi, begitu dia teringat kepada Siang In, hatinya berdebar bingung. Dara itu kelihatan bergaul dengan amat eratnya bersama Kian Lee, bahkan agaknya saling mencinta!
Hal inilah yang membingungkan Kian Bu. Dia tahu betul bahwa Hwee Li mencinta Kian Lee, dara yang amat jujur dan polos itu terang-terangan menyatakan cintanya kepada Kian Lee. Akan tetapi sekarang kelihatannya Kian Lee saling jatuh hati dengan Siang In. Padahal dia sendiri tertarik oleh Siang In. Bingunglah Kian Bu, akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak hendak merintangi kebahagiaan kakaknya. Dia pun tahu bahwa kakaknya itu pernah patah hati, tidak bahagia cintanya terhadap Ceng Ceng. Maka, kini dia tidak ingin melihat kakaknya gagal lagi dalam bercinta, karena dia sendiri sudah mengalami betapa pahit dan sengsaranya mengandung penderitaan rindu karena cinta gagal!
Selagi pemuda itu berjalan sambil melamun karena dia tidak dapat menemukan jejak kakaknya, dia mendengar suara ketawa itu. Hatinya sedang risau karena ke manapun dia mencari, dia kehilangan jejak Kian Lee yang sudah jauh lebih dulu pergi meninggalkan benteng. Maka ketika mendengar suara ketawa aneh itu, dia tertarik dan mengharapkan kalau-kalau suara itu ada hubungannya dengan kakaknya! Maka dia cepat menghampiri ke arah suara yang kedengarannya dari luar hutan. Setelah dekat, dia terkejut bukan main karena suara ketawa itu mengandung getaran aneh yang membuat jantungnya berdebar-debar, dan juga setelah berada di luar hutan, dia merasakan adanya pengaruh mujijat, seolah-olah keadaan di sekeliling tempat itu terdapat dua tenaga sakti yang saling bertentangan, tenaga sihir yang saling dorong! Cepat dia menyelinap dan berindap-indap mendekati, dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat seorang dara yang baru saja dibayang-bayangkan, yaitu Siang In, berdiri berhadapan dengan seorang kakek bersorban, dan kedua orang ini agaknya sedang mengadu ilmu sihir!
Memang demikianlah keadaannya. Setelah melihat betapa senjata pedang payung dara itu yang amat ditakutinya patah Gitananda lalu mengerahkan kekuatan sihirnya. Dia berteriak keras dan kedua tangannya didorongkan ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu itu lurus ke depan, ke arah Siang In, dan jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar-cakar setan hendak mencengkeram. Dan biarpun jarak antara mereka cukup jauh, namun Siang In merasa betapa kedua tangan itu seolah-olah berada di depan mukanya. Maka dia pun lalu melonjorkan kedua lengannya untuk menolak. Kekuatan sihir sepenuhnya terpancar dari dua pasang mata dan dua pasang tangan itu, membuat suasana di sekeliling itu tergetar hebat. Bahkan Kian Bu sendiri, seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya, merasakan getaran ini sehingga diam-diam dia pun mengerahkan sinkangnya untuk bertahan agar jangan sampai dia “terseret” oleh gelombang getaran yang amat kuat itu. Diam-diam dia memandang kagum kepada Siang In, kagum dan juga khawatir karena dia maklum betapa lihainya kakek Nepal itu.
Adu kekuatan sihir itu dilanjutkan dan makin lama Siang In merasa makin lemah. Kedua kakinya sudah gemetar dan tahulah dia bahwa kakek itu lebih kuat dari padanya dan kalau dilanjutkan tentu dia akan celaka. Maka, tiba-tiba saja dia merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya mencengkeram tanah lalu disambitkan ke depan. Sinar hitam dari pasir dan tanah menyambar ke arah kakek itu.
“Ihhh!” Gitananda berteriak kaget. Biarpun yang menyambar itu hanya tanah dan pasir, akan tetapi karena disambitkan dengan pengerahan tenaga sinkang, dapat menembus kulit daging! Dia tidak menyangka bahwa lawannya dapat bergerak secepat itu dan karena dia tadi mencurahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk merobohkan dara yang sudah mulai lemah itu, maka kini dia gelagapan! Namun, kakek ini memang lihai sekali. Dia tidak mau menurunkan kedua tangannya yang mendorong, karena dengan terus menekan dia mengharapkan kemenangan. Kini dia menggerakkan pinggulnya sedemikian rupa sehingga ujung jubahnya yang panjang berkibar ke depan tubuhnya, menyambut tanah dan pasir itu sehingga tidak mengenai tubuhnya, melainkan runtuh oleh sambaran ujung jubahnya.
Akan tetapi Siang In juga bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa kalau hanya mengadu kekuatan sihir, dia akan kalah, maka dia harus mendesak lawan dengan pertandingan yang mengandalkan ilmu silat di mana dia merasa akan dapat mengatasi lawannya. Oleh karena itu, dia hanya menggunakan setengah bagian tenaganya untuk bertahan dalam pertandingan tenaga sihir, dan kini dia sudah menyambar potongan tongkat kayu cendana milik kakek itu dan melontarkannya ke arah lawan.
“Haihllhhh!” Kakek itu membentak dan menuding ke arah tongkatnya dan tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi burung dan terbang ke atas lalu meluncur ke arah Siang In untuk menyerang dara ini. Melihat betapa tongkat pendek itu berubah menjadi burung yang mematuk kearah matanya, Siang In terkejut, menggerakkan tangan kiri dan menyampok sambil membentak, “Kembali menjadi tongkat!” Dan burung itu tersampok jatuh, berubah menjadi tongkat lagi.
“Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lari dariku, Nona. Engkau harus ikut bersamaku, menjadi tawananku, kuhadapkan kepada pangeran....!” kata kakek itu sambil menyeringai. Tiba-tiba dia memekik dahsyat dan terjadilah hal, yang amat aneh. Kian Bu yang tidak mampu pula mengelak dari pengaruh sihir itu, terbelalak memandang betapa jenggot kakek itu yang panjangnya sampai ke perut, kini jenggot itu bergerak dan tumbuh makin lama makin panjang, melingkar-lingkar dan merayap seperti ular-ular yang memenuhi tempat itu! Kian Bu terbelalak dan menahan napas memandang penglihatan yang luar biasa ini. Siang In juga kelihatan terkejut. Dia sudah mencoba untuk mengerahkan tenaga sihirnya, untuk menghentikan penglihatan itu atau untuk menyadarkan matanya bahwa yang dilihatnya itu hanyalah khayalannya sendiri. Akan tetapi percuma saja, dia tetap melihat jenggot itu merayap-rayap dan tumbuh makin panjang. Kemanapun dia melangkah, tentu dia disambut gumpalan-gumpalan jenggot yang melingkar-lingkar seperti benang ruwet, rambut-rambut jenggot yang hidup dan menjijikkan, mengerikan.
Siang In berkemak-kemik, membentak ke arah gumpalan jenggot, akan tetapi sia-sia. Dia lalu bertepuk tangan tiga kali, tepukan tangannya menimbulkan suara meledak dan nampak asap mengepul, dia mengerahkan seluruh tenaga sakti dari ilmu sihirnya, namun kesemuanya itu tidak dapat membuyarkan sihir Gitananda yang membuat jenggotnya makin panjang dan hidup memenuhi seluruh tempat itu. Tempat seluas sepuluh meter persegi itu penuh oleh rambut-rambut bergumpal-gumpal dan yang hidup itu, makin lama makin mulur dan ketat memenuhi tempat itu seperti jaring yang siap menangkap mangsa.
“Hiaaaaakkk!” Gitananda berteriak mengejutkan.
“Syeeettttt.... Syeeeeettttt....!” Jenggot itu kini bersatu dan seperti seekor ular besar meluncur ke arah Siang In! Dara ini terkejut sekali, berusaha mengelak akan tetapi ujung jenggot masih menyapu kakinya dan dia terguling! Kini jenggot itu seperti seekor ular merayap hendak menggulungnya dan Siang In sudah merasa ngeri bukan main. Akan tetapi tiba-tiba ada angin keras dan kuat membawa dan menerbangkan tubuh Siang In yang melayang dan gulungan jenggot itu tidak mengenai tubuh Siang In yang sudah turun agak jauh ke sebelah kanan. Jenggot itu terus menyambar dan melibat sebatang pohon yang tumbuh di sebelah kiri Siang In.
“Brolll!!” Pohon itu terlibat dan tertarik jebol oleh jenggot panjang yang luar biasa kuatnya itu.
Siang In maklum bahwa dia telah dibantu orang pandai karena kalau tidak, mana mungkin dia tadi dapat membebaskan diri dari jenggotnya itu? Kini, melihat Gitananda sibuk melepaskan jenggotnya dari batang pohon yang tumbang, dia cepat meloncat ke depan dan menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Tentu saja Gitananda menjadi sibuk sekali, cepat dia menarik jenggotnya menjadi pendek kembali dan dia melempar tubuh ke belakang, bergulingan dan setelah dia terbebas dari desakan Siang In, tiba-tiba dia melompat dan kini jenggotnya menyambar seperti tongkat!
“Ihhh!” Siang In terkejut dan cepat mengelak, merasa jijik karena ketika jenggot itu lewat di dekat mukanya, dia mencium bau yang apek dan memuakkan. Akan tetapi jenggot itu sudah datang lagi, maka terpaksa Siang In memperlihatkan kelincahannya dan balas menyerang dengan pukulan dan tendangan. Kembali kedua orang ini bertanding dengan seru. Akan tetapi sekali ini, Siang In tidak mampu mendesak seperti tadi ketika dia masih memegang pedang payungnya. Kini dia bertangan kosong dan kakek itu dapat mempergunakan jenggotnya yang panjang sebagai senjata! Dan hebatnya, jenggot itu dapat mulur mengkeret sehingga benar-benar merupakan senjata yang amat berbahaya bagi Siang In.
Akan tetapi, beberapa kali ketika nyaris dara itu terkena totokan atau libatan jenggot ada saja kekuatan tersembunyi yang memukul kembali ujung jenggot sehingga Siang In terlolos dari bahaya. Siang In menjadi penasaran. Dia belum kalah dan dia belum membutuhkan bantuan siapapun juga. Dia harus dapat mengalahkan, kakek Nepal ini, akan tetapi bagaimana akalnya? Sukar menyerang kakek ini kalau jenggotnya masih merupakan senjata yang demikian ampuhnya.
Tiba-tiba Siang In mendapatkan akal yang amat berani. Dia mulai menjauhi kakek itu dan tiada hentinya mengejek, “Jenggotmu seperti jenggot kambing!” Kakek itu menyerangnya dan kembali Siang In meloncat ke belakang.
“Jangan lari kau, bocah setan!” Gitananda membentak setelah beberapa kali serangannya hanya dielakkan sambil main mundur saja oleh dara itu.
“Jenggotmu bau apek, bau tahi kambing, aku tidak tahan!” Siang In kembali mengejek. Kembali kakek itu mengejar dan menyerang dengan jenggotnya, akan tetapi karena memang gerakannya kalah lincah dan kalah ringan oleh dara itu, semua serangannya itu gagal. Akhirnya dia mengeluarkan seruan memekik nyaring seperti tadi dan jenggotnya sudah mulur lagi! Jenggot itu mulur panjang dan dipergunakan untuk menyerang, dan karena jenggot itu panjang sekali, sukar bagi Siang In untuk mengelak lagi. Akan tetapi memang ini yang dikehendaki oleh dara itu, yaitu memancing agar kakek itu memanjangkan lagi jenggotnya. Ketika melihat jenggot itu menyambar dari kiri ke kanan, Siang In sengaja bersikap lambat, akan tetapi ketika ujung jenggot hendak melibat pinggangnya, dia meloncat ke atas dan ketika ujung jenggot lewat di bawah kakinya, dia mencengkeram dan berhasil menjambak ujung jenggot panjang itu. Tanpa membuang waktu lagi, dia mengerahkan ginkangnya dan berlari secepatnya membawa ujung jenggot itu, lari mengitari kakek itu.
“Heee....!” Gitananda berteriak, akan tetapi dara itu tidak peduli, terus saja berlari cepat sekali sehingga jenggot panjang itu mulai melibat tubuh Gitananda sendiri! Kakek itu meronta-ronta dan berusaha melepaskan rambut jenggotnya, akan tetapi Siang In berlari makin cepat, malah dia berloncatan dan terus melibatkan jenggot panjang itu ke leher Gitananda, terus membelenggu kedua lengannya sampai kakek itu tidak mampu berkutik. Siang In masih berlari terus, mengerahkan tenaga sinkangnya untuk menarik sehingga jenggot itu mencekik leher dan ketika dara ini akhirnya melepaskan ujung jenggot, tubuh kakek itu roboh dengan kaku dan lidahnya terjulur keluar, matanya mendelik dan napasnya putus!
“Ihhh!” Melihat keadaan lawannya itu, Siang In bergidik ngeri dan dia lalu melarikan diri, lari neninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Sampai terengah-engah dia lari dan akhirnya dia menjatuhkan diri di atas rumput tebal dalan hutan, dadanya bergelombang dan wajah serta lehernya berpeluh.
Sementara itu, Kian Bu tak pernah berhenti membayangi Siang In. Setelah menyaksikan pertandingan antara dua orang ahli sihir itu, Kian Bu seperti orang terkena sihir! Tersihir oleh setiap gerak-gerik dara itu. Dia mengintai dan semua tingkah dan gerak-gerik Siang In mempesona, membuatnya kagum, membuatnya senang dan kini melihat dara itu menjatuhkan diri di atas rumput, mengusap keringat dan tiba-tiba kedua mata dara itu basah dan Siang In mulai terisak menangis, Kian Bu makin terpesona! Jantung Kian Bu berdebar tegang dan dia bingung melihat gadis itu menangis tanpa sebab. Mengapa menangis? Bukankah gadis itu keluar sebagai pemenang dalam pertempuran yang seru tadi? Apakah gadis itu terluka? Tidak, dia tidak melihat gadis itu terkena pukulan.
Dan memang Siang In bukan menangis karena terluka. Dara ini menangis karena hatinya mengkal dan kesal. Pedang payungnya rusak, dia kehilangan benda yang disayangnya, dan memikirkan betapa dia belum juga bertemu dengan orang yang dicarinya, sebaliknya malah bertemu dengan orang-orang lain seperti Ang-siocia dan Gitananda yang hampir saja mencelakainya, dia merasa sedih dan jengkel. Maka menangislah gadis ini, menangis sepuas hatinya untuk mencurahkan semua kekecewaan dan kesedihan hatinya yang bertumpuk selama ini. Makin dikenang makin sedih dia akan nasib dirinya yang terlunta-lunta seorang diri. Apakah yang menyebabkan dia selalu gagal dan sial? Mencari-cari Kian Bu bertahun-tahun belum juga dapat berkesempatan menyampaikan isi hatinya, setelah bertemu bahkan berpisah lagi. Bertemu dengan Syanti Dewi yang ditolongnya juga kemudian gagal melindungi puteri itu. Kemudian melihat Kian Bu demikian mesra dengan Hwee Li, dan bahkan dicari-cari oleh Ang-siocia. Ah, apakah sebaiknya dia kembali saja ke Gua Tengkorak di pantai Po-hai, bertapa bersama gurunya yang sudah tua, dan membiarkan dirinya menjadi pertapa sampai tua di dalam gua itu? Teringat akan hal ini, kembali Siang In menangis tersedu-sedu. Dara ini biasanya lincah jenaka, murah senyum dan gembira, dan wataknya itulah yang seolah-olah menutupi semua duka dan kecewa sampai kini sudah bertumpuk dan membanjir keluar melalui air matanya di tempat sunyi itu.
Tiba-tiba terdengar langkah halus disusul suara orang yang halus pula, “Nona, mengapa Nona begini berduka?”
Siang In terperanjat seperti mendengar suara setan. Dia sampai terlonjak dari atas rumput di mana dia duduk, cepat memutar tubuh dan memandang dengan muka pucat dan mata basah. Dari balik air matanya dia melihat wajah tampan dikurung rambut putih keperakan itu. Dia mengusap air matanya untuk dapat melihat lebih jelas. Benar! Siluman Kecil yang berdiri di depannya, kini berjongkok dan memandang dengan sinar mata penuh iba kepadanya. Kembali Siang In menggosok kedua matanya seolah-olah dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Jangan-jangan dia masih berada dalam pengaruh sihir kakek Nepal tadi, pikirnya dan setelah membuka mata kembali, ternyata memang Suma Kian Bu yang berada di depannya itu!
Melihat wajah yang demikian cantik jelita dekat di depannya, wajah yang agak pucat, rambut indah hitam awut-awutan, air mata masih menuruni kedua pipinya, Kian Bu terpesona dan hatinya tergerak, penuh keharuan. “Nona.... mengapa engkau menangis di sini seorang diri? Apakah kau terluka dalam pertempuran tadi? Mengapa kau berduka?”
Suara pemuda itu demikian penuh perhatian dan penuh iba sehingga Siang In merasa hatinya tertusuk dan kini dia makin terisak! Dia menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergerak-gerak dan air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya. Suara halus yang menghibur itu malah membuatnya terharu dan makin berduka! Bertahun-tahun dia mencari pemuda ini, setelah dia hampir putus asa, tiba-tiba saja pemuda ini muncul di depannya, seperti dalam mimpi, dan menghibur dia seperti menghibur seorang anak kecil yang cengeng sedang menangis!
Melihat Siang In menangis makin sedih, Kian Bu menjadi bingung. “Kenapakah, Nona? Siapa yang menyakiti hatimu....?” tanyanya.
Akan tetapi Siang In tidak mampu menjawab, tersedu-sedu dan ketika dara itu bingung mencari saputangan di kedua sakunya tanpa hasil, tiba-tiba Kian Bu menyodorkan saputangannya, saputangan sutera berwarna biru muda. Tanpa berkata apa-apa Kian Bu menyodorkan saputangannya dan tanpa berkata apa-apa pula Siang In menerimanya dengan pundak masih terguncang oleh tangis, kemudian dia mempergunakan saputangan itu untuk mengusap air mata dan membersihkan hidungnya! Kian Bu mengikuti semua gerakan ini dengan hati tertarik dan rasa iba makin menebal. Kini Siang In sudah dapat menguasai dirinya, tangisnya terhenti dan air matanya tidak mengucur lagi, sungguhpun mata dan terutama ujung hidungnya masih merah! Tanpa bicara pula dia menyerahkan kembali saputangan biru yang kini menjadi basah itu. Kian Bu menerimanya dan tanpa berkata apa-apa juga lalu menyimpan saputangan basah itu ke dalam saku bajunya.
“Jadi engkaukah kiranya yang menolongku tadi?” Tiba-tiba Siang In bertanya, biarpun suaranya masih agak serak-serak basah karena habis menangis, namun dia benar-benar telah sembuh dari rasa mengkal dan kesalnya, kini memandang kepada Kian Bu dengan sepasang mata yang membuat Kian Bu tidak berani menentang terlalu lama!
Untuk menjawab pertanyaan itu, dia mengangguk. “Kenapa engkau menangis sedih seperti itu tadi?”
Akan tetapi Siang In seperti tidak mendengar pertanyaan itu karena sebaliknya dari menjawab pertanyaan itu, dia malah bertanya, pertanyaan tiba-tiba yang membuat Kian Bu memandang heran, “Sungguh tak pernah kusangka bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu! Apakah engkau Siluman Kecil?”
Kian Bu memandang heran, akan tetapi dia mengangguk.
“Dan engkau Suma Kian Bu?”
Makin heranlah Kian Bu. Dara ini benar-benar aneh bukan main! Begini muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, begini cantik jelita, akan tetapi memiliki kekuatan sihir yang aneh! Juga wataknya begini luar biasa, baru saja menangis begitu sedih, sekarang sudah tidak kelihatan berduka lagi biarpun mata dan hidungnya masih merah. Hidung yang kecil mancung dan tipis itu kemerahan, menambah cantiknya!
“Heiii, bukankah engkau Suma Kian Bu? Apakah bukan? Kenapa diam saja?”
Kian Bu terkejut dan gagap. “Eh.... ohhh.... benar, Nona. Aku bernama Suma Kian Bu. Kenapa Nona bertanya lagi? Apakah kakakku tidak menceritakan kepadamu?”
Siang In hanya mengangguk dan semenjak tadi sepasang matanya tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu, memandang penuh selidik. Sudah bertahun-tahun dia ingin bertemu dengan orang ini, ingin bicara, mencurahkan semua isi hatinya, dan kini setelah berhadapan, timbul rasa takut yang amat besar di dalam hatinya, takut kepada diri sendiri! Bagaimana kalau dugaannya selama ini benar, bahwa.... bahwa dia jatuh cinta kepada pendekar ini? Berubahnya keadaan Kian Bu, rambutnya yang menjadi putih semua, tidak mengubah perasaan hatinya, bahkan timbul semacam rasa iba yang besar, yang mengharukan hati Siang In. Akan tetapi, dia teringat akan hubungan Kian Bu dengan Hwee Li, kemesraan dan keakraban mereka, maka jantungnya berdebar penuh ketegangan.
“Mengapa Nona tadi menangis di sini setelah berhasil mengalahkan pendeta Nepal itu, kalau aku boleh mengetahui?” kembali Kian Bu bertanya agak mendesak karena hatinya masih merasa penasaran.
“Tadi aku menangis karena duka dan jengkel,” jawab Siang In tak acuh.
“Ahhh! Kusangka engkau sakit....“ kata Kian Bu, membayangkan keinginan hatinya bahwa dia ingin tahu mengapa nona itu berduka dan jengkel.
Siang In bangkit berdiri, mengebutkan pakaiannya yang agak kotor karena pertempuran tadi, lalu otomatis kedua tangannya diangkat ke atas untuk membereskan rambutnya yang awut-awutan. Gerakan ini adalah ciri khas wanita, gerakan yang manis sekali karena ketika kedua lengan diangkat itu, tubuh yang ramping dan padat itu makin menonjol dan kedua lengan itu membentuk lengkung-lengkung indah, jari-jari tangan yang lentik itu pun seperti menari-nari di antara rambut yang hitam halus dan panjang. Kembali Kian Bu memandang seperti terpesona. Biasanya, tidak pernah dia memperhatikan wanita, akan tetapi entah mengapa, kini dia memperhatikan setiap gerakan dara ini, seolah-olah setiap gerakan yang betapa kecil pun amat berarti baginya.
“Akan tetapi sekarang aku tidak berduka atau jengkel lagi, dan aku sama sekali tidak sakit. Lihat, aku sudah tidak menangis lagi!” Dan dara itu tersenyum manis. Melihat bibir itu merekah kemerahan, memperlihatkan kilatan gigi berderet rapi yang nampak sekilas, Kian Bu melongo dan tak disengaja atau disadarinya lagi pemuda ini menelan ludahnya.
Bukan main dara ini, bukan main anehnya dan manisnya! Baru saja menangis demikian sedihnya, kini sudah tersenyum secerah itu. Seperti hari hujan lebat tiba-tiba menjadi terang dan matahari bersinar amat cerahnya.
“Eh, Kian Bu, di mana itu temanmu yang cantik?” tiba-tiba saja dara itu bertanya, sampai pemuda itu terkejut dibuatnya.
“Teman cantik? Siapa?” kata Kian Bu.
“Aih, masin pura-pura lagi! Siapa pula kalau bukan Hwee Li yang cantik itu? Bukankah dia itu sahabat baikmu dan bukankah engkau sudah mengejarnya ketika mendengar dia dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu? Apakah engkau tidak berhasil menolongnya?”
Kian Bu menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekhawatiran. Itulah yang menjadi pengganjal hatinya sejak dia mencari kakaknya. Dia tahu bahwa Kian Lee mengejar Pangeran Nepal untuk menolong Hwee Li, akan tetapi sampai kini dia tidak berhasil menemukan mereka dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Hwee Li yang dilarikan Pangeran Nepal. Melihat pemuda itu menarik napas panjang dan wajahnya muram, Siang In tersenyum mengejek untuk menutupi perasaan hatinya yang panas oleh cemburu!
“Engkau tentu mencinta sekali kepada Hwee Li, bukan? Dan engkau khawatir akan keselamatannya?”
Mendengar ini, Kian Bu teringat betapa dara ini amat membenci Hwee Li, atau sebaliknya Hwee Li membenci dara ini karena cemburu, maka mendengar ucapan itu dia cepat menjawab, “Harap Nona jangan salah mengerti. Hwee Li adalah seorang sahabat baikku, tentu saja aku merasa khawatir mendengar dia dilarikan Pangeran Nepal. Akan tetapi tidak ada perasaan saling cinta antara kami seperti yang Nona sangka itu.”
Jawaban ini benar-benar menyenangkan hati Siang In dan senyumnya makin cerah, lalu dia berkata, “Ahhh, kalau begitu aku telah berdosa terhadap Hwee Li! Kiranya dia seorang yang setia terhadap cintanya. Kian Bu, aku sudah salah sangka sehingga aku merasa kasihan kepada Kian Lee dan membenci Hwee Li.”
“Mengapa begitu, Nona?”
“Ih, engkau ini menjemukan! Nona-nonaan segala macam, seperti kita ini belum pernah berkenalan saja!”
Kian Bu menahan senyumnya. Memang dara ini luar biasa sekali, tiada keduanya di dunia ini. Begitu lucu! Padahal, memang dia belum pernah berkenalan dengan dara ini, mengapa sikap dara ini demikian polos terbuka? Akan tetapi, dia tidak mau membikin hati gadis itu tidak senang, maka katanya lagi, “Mengapa tadinya engkau merasa kasihan kepada Lee-ko dan membenci.... Enci Hwee Li?”
“Karena kusangka engkau dan Hwee Li sudah saling jatuh cinta!”
Berdebar rasa jantung Kian Bu. “Andaikata benar begitu, mengapa?” Dia mendesak, menatap wajah yang ayu itu penuh perhatian dan penuh selidik.
Siang In juga memandang. Dua pasang mata bertemu, akan tetapi Siang In lalu membuang muka. “Mengapa? Tentu saja aku kasihan kepada Kian Lee karena cintanya terhadap Hwee Li menjadi sia-sia, dan aku membenci Hwee Li karena berarti dia gadis tidak setia. Akan tetapi syukur, engkau dan dia tidak saling mencinta!”
Ucapan ini membuat jantung Kian Bu makin berdebar girang. “Kalau begitu.... kalau begitu.... kami, aku dan Hwee Li juga salah sangka! Kami mengira bahwa antara engkau dan Lee-ko....“
“Ya, ada apa? Bicara mengapa gagap-gugup begitu? Beginikah Pendekar Siluman Kecil yang terkenal itu? Bicara saja takut!”
“Kami berdua tadinya mengira bahwa kalian sudah saling cinta. Ah, kiranya tidak, sungguh gembira hatiku!” Kian Bu berkata, wajahnya berseri-seri.
Kini Siang In yang memandang penuh selidik, demikian tajam sinar kedua matanya yang jeli dan mempunyai kekuatan sihir itu sehingga Kian Bu teringat akan sinar mata ayahnya.
“Kenapa begitu? Kenapa kau gembira? Kenapa hatimu gembira mendengar bahwa aku dan Kian Lee tidak saling mencinta?”
Kian Bu terkejut. Tentu saja dia tidak berani mengatakan bahwa dia girang karena dengan demikian berarti bahwa hati Siang In masih “bebas”, maka dia cepat berkata, “Sama dengan alasanmu tadi. Aku gembira karena hubungan cinta kasih antara Kian Lee koko dan Enci Hwee Li tidak menjadi putus.”
“Hemmm, kukira....” Siang In menundukkan mukanya, tangannya memetik ujung rumput dan jari-jari tangannya mempermainkan rumput itu.
“Kaukira apa, Nona?”
Sepasang mata itu mengerling tajam penuh tuntutan, Kian Bu terperanjat karena ingat bahwa kembali dia memanggil nona. Akan tetapi dia merasa sungkan untuk menyebut nama gadis itu.
“Eh, kaukira apa?” Dia mengulang, tanpa menyebut nama apa pun di belakang pertanyaan itu.
Siang In tersenyum. “Tidak apa-apa....”
Keduanya terdiam. Siang In masih menunduk dan kini melangkah lambat ke arah sebatang pohon, lalu bersandar ke pohon itu, matanya dipejamkan. Kian Bu juga melangkah mengikutinya, akan tetapi pemuda ini tidak tahu lagi harus berkata apa. Berada di dekat dara ini dia merasa canggung, bingung, akan tetapi juga gembira dan senang sekali. Seolah-olah dia baru mengenal dara ini, akan tetapi juga hatinya was-was karena dia takut kalau-kalau tidak menyenangkan hati dara yang lucu dan aneh ini.
Hening keadaan di situ. Kian Bu memandang wajah yang bersandar batang pohon dengan mata terpejam. Wajah yang cantik molek. Kulit pipinya halus kemerahan, hidungnya kecil lucu, dan dia seolah-olah dapat merasakan napas hangat yang keluar dari hidung dan bibir yang setengah terbuka itu. Tiba-tiba Siang In membuka matanya dan Kian Bu yang sedang bengong memandang wajahnya itu gelagapan, cepat menundukkan mukanya, pura-pura menendang-nendang batu kecil dengan sepatunya. Dia merasa heran mengapa dia menjadi begini kikuk di depan dara ini, padahal dia bukan anak kecil lagi. Sama sekali bukan. Bahkan dia sudah pernah berhubungan erat dengan wanita, dalam arti sedalam-dalamnya, yaitu ketika untuk beberapa lamanya dia tenggelam dalam peluk rayu Siluman Kucing. Dia sudah cukup dewasa, akan tetapi mengapa berhadapan dengan dara ini dia merasa seperti seorang anak kecil?
“Tak kusangka sama sekali bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu,” terdengar dara itu berkata dan Kian Bu cepat mengangkat muka memandang. “Kalau aku tahu, tentu sudah dulu-dulu aku dapat menjumpaimu.”
“Sekarang kita sudah saling jumpa,” kata Kian Bu, mencoba untuk senyum dan membesarkan hatinya mengusir rasa canggung.
Dara itu rnenarik napas panjang. “Kian Bu, tahukah engkau betapa sudah bertahun-tahun lamanya aku menginginkan pertemuan ini? Betapa aku mencari-carimu sampai bertahun-tahun, sampai aku pergi ke Bhutan dan menjelajahi seluruh negeri, mencari-carimu?”
Tentu saja hati Kian Bu merasa heran bukan main mendengar pengakuan ini. Biarpun dia amat tertarik kepada dara ini, begitu bertemu, yaitu ketika dara ini berkelahi dengan Hwee Li secara mati-matian, dia sudah tertarik sekali kepada dara ini. Memang dia tidak pernah dapat melupakan Teng Siang In, dara yang ketika beberapa tahun yang lalu sudah nampak cantik jelita dan lincah jenaka, apalagi karena dia pernah mencium dara ini. Mana mungkin dia dapat melupakan Siang In? Akan tetapi, dia harus mengaku terus terang bahwa selama ini dia tidak pernah lagi memikirkan Siang In, dan peristiwa yang lalu itu dianggapnya sudah lewat begitu saja, sampai pada saat dia bertemu kembali dengan Siang In ketika Siang In bertanding melawan Hwee Li. Barulah perhatiannya tertarik dan pengalaman-pengalaman yang lalu bersama Siang In teringat olehnya, membuat dia merasa canggung sekali. Akan tetapi kini mendengar betapa dara itu mencarinya selama bertahun-tahun jauh ke Bhutan, dia benar-benar merasa terkejut dan heran sekali.
“Engkau? Mencariku selama bertahun-tahun? Sungguh nengherankan sekali! Siang In, ada urusan apakah engkau mencari-cariku?” Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai berkurang rasa canggung yang menghimpit hati Kian Bu, sungguhpun dia masih seperti terpesona oleh segala gerak-gerik dara ini. Dara ini adalah seorang kenalan lama, akan tetapi seperti seorang sahabat baru saja bagi Kian Bu. Dulu, di waktu dia berjumpa dan berkenalan dengan Siang In, dara ini masih merupakan seorang dara remaja, akan tetapi sekarang Siang In telah dewasa, sungguhpun masih belum kehilangan kelincahannya, kegalakannya dan keanehan wataknya. Dulu, dara ini suka sekali menggoda orang, mengejek dan menirukan gerak-gerik orang.
Mendengar pertanyaan Kian Bu itu tiba-tiba saja sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar marah. “Engkau sudah lupa ataukah engkau pura-pura lupa akan perbuatanmu yang biadab beberapa tahun yang lalu, yang kaulakukan kepadaku?”
Seketika wajah Kian Bu rnenjadi merah sekali dan kembali dia menjadi gelisah, gugup dan canggung! Jantungnya berdebar tegang dan tentu saja dia tahu apa yang dimaksudkan oleh dara itu! Ah, celaka sekali. Kiranya ciumannya dahulu itu menggores perasaan dara ini dan agaknya hal itu dijadikan dendam yang hebat oleh Siang In!
Dengan muka masih merah sekali dan pandang mata hampir tidak berani hertemu dengan sinar mata dara itu, Kian Bu berkata, kepalanya menunduk, suaranya terdengar penuh penyesalan besar, “Aihhh.... itukah maksudmu? Memang.... aku menyesal sekali, aku mohon maaf sebesarnya atas kelancangan dan kekurangajaranku itu, Siang In, akan tetapi, hal itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu, ketika kita masih.... eh, sama-sama belum dewasa benar. Aku sungguh menyesal dan harap kau suka memafkanku....“
“Maafkan, setelah selama bertahun-tahun aku tak pernah dapat melupakan penghinaan itu! Maafkan begitu saja? Aih, terlalu enak di situ dan celaka di sini kalau begitu! Susah payah aku mencarimu bertahun-tahun, setelah sekarang dapat saling jumpa, hanya cukup dengan maaf-memaafkan begitu saja?”
Kian Bu menarik napas panjang, hatinya merasa menyesal dan berduka sekali. Siapa duga, kenakalannya di waktu remaja itu agaknya kini akan mempunyai akibat yang hebat pula! Dara yang menarik hatinya ini, yang benar-benar membangkitkan rasa kagum dan suka di hatinya, ternyata mengandung dendam hebat kepadanya dan bahkan tidak bersedia memaafkan! Memang hidupnya selalu dirundung malang dan agaknya memang dia harus selalu menderita dalam asmara. Pertama-tama dia merasakan hati kiamat untuk pertama kalinya ketika cinta kasihnya terhadap Puteri Syanti Dewi tidak terbalas karena Puteri Bhutan itu mencinta Tek Hoat. Kemudian dia terbenam ke dalam pelukan seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li, Siluman Kucing, yang sama sekali hanya mendasarkan hubungan antara mereka karena nafsu berahi semata sehingga dia terseret ke dalam gelombang nafsu berahi yang menghanyutkan. Hal itu pun mendatangkan penyesalan yang amat hebat di dalam hatinya. Setelah itu, dia harus pula melihat kehancuran hati seorang dara yang amat baik, yaitu Phang Cui Lan, karena dia tidak dapat memaksa diri membalas cinta dara yang bijaksana itu. Dan masih ada lagi Ang-siocia yang dia lihat ada gejala jatuh cinta kepadanya pula, dan juga dia tidak mungkin dapat membalas cinta murid Raja Maling itu. Kini, setelah dia tertarik secara hebat kepada Siang In, dara yang di waktu remajanya memang pernah menarik hatinya akan tetapi karena ketika itu Siang In masih merupakan seorang dara remaja, maka hal itu tidak berkesan mendalam di hatinya, setelah kini dia merasa suka sekali, mungkin jatuh cinta kepada Siang In, dara ini malah menyimpan dendam sakit hati kepadanya karena kenakalannya dahulu, yaitu mencium dara ini, ciuman yang sesungguhnya ketika itu tidak berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi yang sekarang, setelah timbul rasa kagumnya terhadap Siang In, agaknya menjadi hidup kembali dan mendatangkan kesan yang amat mendalam.
“Aku sudah salah.... aku sudah berdosa besar, terserah kepadamu, hendak memberi hukuman apa kepadaku kalau engkau tidak dapat memaafkan aku, Siang In,” katanya dengan nada sedih dan muka tunduk sehingga dia tidak melihat betapa sinar mata yang tadinya keras dari dara itu kini melembut, bahkan nampak dara itu seperti terharu.
“Selama bertahun-tahun ini aku mencarimu untuk.... untuk membunuhmu!”
Kian Bu mengangkat mukanya dan terbelalak. “Membunuhku....? Hanya untuk kesalahan.... men.... eh, menciummu itu....? Siang In, engkau agak terlalu keras! Memang aku bersalah dan aku menyesal, aku minta maaf, akan tetapi engkau hendak membunuhku? Ini sih.... keterlaluan....“ Wajah pemuda itu berubah agak pucat karena dia merasa penasaran.
“Memang tadinya aku ingin membunuhmu, sungguhpun aku tahu bahwa tidak mungkin aku akan dapat melakukannya. Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada semua ilmu kumiliki, bahkan guruku sendiri sekalipun takkan mampu menandingimu. Biarpun begitu, aku tetap akan berusaha membunuhmu karena apa yang kaulakukan itu hanya dapat dicuci dengan melayangnya nyawamu atau nyawaku.”
Kian Bu terkejut bukan main, wajahnya menjadi pucat. “Ah, Siang In, mengapa pikiranmu demikian sempit? Urusan yang telah lalu itu terjadi ketika kita masih remaja dan aku.... aku masih belum dewasa. Mengapa kaujadikan soal yang demikian hebatnya? Tidak bisakah engkau memaafkan aku?”
Dara itu menyandarkan punggungnya di atas batang pohon dan sejenak dia menatap wajah Kian Bu penuh perhatian, lalu dia menarik napas. “Memang aku sudah meragu, dan agaknya hanya ada dua pilihan bagiku, membunuhmu atau memaafkanmu. Akan tetapi untuk itu, aku harus yakin dulu dan inilah yang membuat aku selama bertahun-tahun ini ragu-ragu dan selama hidupku akan meragu kalau tidak ada keyakinan sekarang juga selagi kita bertemu. He, Kian Bu! Benarkah engkau menyesali perbuatanmu dahulu itu? Benarkah engkau menyesal dan minta maaf bahwa engkau dahulu pernah menciumku?”
Timbul harapan di dalam hati Kian Bu. Tadinya dia sudah khawatir setengah mati. Dara seaneh Siang In ini mungkin saja melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya, kalau tidak berhasil membunuhnya mungkin saja akan membunuh diri untuk “mencuci aib” dan kalau sampai terjadi demikian, tentu selama hidupnya dia akan merana dan merasa berdosa. Dan dia.... dia mulai tertarik dan mencinta dara ini! Maka, mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siang In!
“Siang In, demi Langit dan Bumi, aku sungguh merasa menyesal dengan perbuatanku beberapa tahun yang lalu itu, dan aku mohon maaf kepadamu atas perbuatanku itu,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh karena memang dia rela minta maaf seperti itu daripada harus melihat dara itu mati di tangannya atau mati membunuh diri! Dia menundukkan mukanya sehingga tidak melihat betapa perbuatannya itu membuat wajah yang cantik itu sejenak berseri dan matanya bercahaya! Akan tetapi hanya sebentar saja karena sambil bersandar kepada batang pohon itu, Siang In berkata dengan suara seperti orang yang sama sekali tidak tertarik atau bahkan kesal melihat sikap Kian Bu yang berlutut kepadanya mohon maaf itu!
“Tidak begitu mudah untuk memaafkan dan menghabiskan persoalan itu begitu saja! Aku harus yakin dulu dan untuk membuktikan penyesalanmu, engkau harus dapat memenuhi permintaanku.” Suaranya terdengar keras dan tenang, akan tetapi suara itu agak gemetar, tanda bahwa di balik ketenangannya, dara itu hendak menyembunyikan perasaan tegangnya.
Mendengar ini, Kian Bu meloncat berdiri, timbul harapannya. “Baik, aku akan memenuhi semua permintaanmu, Siang In! Katakanlah, apa yang harus kulakukan?” Kian Bu maklum sepenuhnya bahwa kesanggupan seperti itu merupakan kebodohan, akan tetapi kesanggupannya itu tidaklah ngawur, karena berdasarkan keyakinan hatinya bahwa seorang gadis gagah perkasa seperti Siang In, yang sudah bersahabat erat dengan kakaknya, tentulah merupakan seorang gadis yang berjiwa luhur dan tidak akan minta dia melakukan suatu kejahatan.
Dengan sikap ditenang-tenangkan, namun matanya sayu dan suaranya gemetar, juga tangan yang menunjuk ke mukanya sendiri itu menggigil, berkatalah Siang In, “Kian Bu.... kau.... kau harus mencium bibirku seperti dulu!”
Wajah Kian Bu menjadi pucat dan matanya memandang terbelalak kepada wajah dara itu, tangan kanan mengusap dagu penuh keheranan. Hampir dia tidak percaya akan apa yang didengarnya keluar dari mulut gadis itu. Minta dicium bibirnya? Bagaimana pula ini? Sedangkan ciumannya beberapa tahun yang lalu itu saja membuat dara ini menjadi sakit hati dan menaruh dendam sampai bertahun-tahun mencarinya untuk membunuhnya. Bagaimana sekarang dara itu minta dicium lagi? Gilakah dara cantik jelita ini? Atau.... jangan-jangan dara ini telah tersesat sedemikian jauhnya, menjadi wanita cabul semacam Mauw Siauw Moli? Celaka? Akan tetapi, dara itu kelihatan wajar saja, sepasang matanya bahkan kelihatan betapa dara itu menahan kengerian, senyumnya hilang dan tubuhnya menggigil, tanda bahwa apa yang dimintanya merupakan hal yang sama sekali asing baginya dan dia merasa ngeri dan takut. Akan tetapi, kalau dara ini tidak gila dan bukan seorang wanita yang cabul, mengapa mengajukan permintaan seperti itu?
“Siang In....“ Kian Bu mendengar suaranya sendiri dengan perasaan heran karena suaranya itu menjadi bisik-bisik dan agak parau penuh perasaan tegang, “.... apa artinya ini....?”
Suara Siang In juga berbisik-bisik dan parau, jelas suara itu menggetar penuh ketegangan, suara yang dipaksakan keluar karena sesungguhnya, saking tegangnya dara itu sudah merasa amat sukar untuk bicara, “Hanya.... ini sajalah.... yang dapat menentukan.... apakah aku akan membunuhmu atau memaafkanmu....“
Setelah berkata demikian, sambil menyandarkan tubuhnya di batang pohon itu, Siang In memejamkan matanya, agaknya tidak kuat lagi dia menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata penuh selidik, penuh pertanyaan, dan penuh keheranan itu.
Kian Bu mengerutkan alisnya, otaknya bekerja cepat. Akhirnya dia tak dapat berbuat lain kecuali menuruti permintaan gila itu. Dia masih belum tahu mengapa dara ini mendasarkan pilihannya kepada ciuman! Akan tetapi karena dia sudah menyatakan sanggup untuk melakukan apa saja yang diminta Siang In, maka tidak mungkin dia menarik kembali janjinya. Dia sudah matang memperoleh “pendidikan” Siluman Kucing sehingga mencium bukan merupakan hal yang terlalu aneh baginya. Akan tetapi, sekali ini, Kian Bu menggigil, tubuhnya terasa panas dingin dan kepalanya terasa puyeng! Dia merasa seperti terkena sihir yang amat kuat, maka cepat dia mengerahkan tenaga sinkangnya untuk mengusir perasaan itu. Namun, dia tidak tersihir, tenaga sinkangnya tidak berhasil mengusir sesuatu karena memang ketegangannya itu sudah sewajarnya, datang dari dalam. Amat berat rasanya melaksanakan tugas ini! Dia tertarik kepada Siang In, bahkan dia merasa jatuh cinta. Tentu saja, untuk mencium dara ini merupakan hal yang amat menyenangkan, jangankan satu kali, biar disuruh menciumnya seribu kali pun dia sanggup. Akan tetapi bukan dalam keadaan seperti ini! Bukan ciuman untuk percobaan atau untuk ujian belaka! Dan dia masih belum juga mengerti mengapa dara yang mendendam sakit hati karena pernah diciumnya lagi untuk meyakinkan hatinya apakah dia akan membunuh atau memaafkan! Sungguh tak masuk akal dan gila! Namun, tidak ada pilihan lain bagi Kian Bu.
Kian Bu melangkah maju, lalu diraihnya kedua pundak dara itu, ditariknya mendekat. Merasa betapa kedua pundaknya disentuh, Siang In makin keras memejamkan matanya, kedua kakinya menggigil dan napasnya terengah-engah, jelas bahwa dara itu merasa tegang bukan main. Wajahnya ditengadahkan, mulutnya agak terbuka karena napasnya tersengal-sengal.
Melihat wajah yang demikian cantiknya, mulut yang demikian menggairahkan, dan kedua pundak yang lembut di bawah telapak tangannya, jantung Kian Bu berdebar. Biar apa pun jadinya, biar akibatnya dia akan dibunuh atau dimaafkan, dia harus mencurahkan segenap perasaannya sekarang juga. Gadis ini minta dicium, baik, dia akan menciumnya dengan sepenuh perasaan hatinya, sepenuh kemesraannya, akan dicurahkan rasa berahi dan kasih sayangnya dalam ciuman itu!
Didekapnya tubuh itu, dirangkulnya sampai tubuh bagian depan mereka bertemu ketat, kemudian Kian Bu mendekatkan mukanya dan perlahan-lahan diciumnya sepasang bibir yang setengah terbuka itu, diciumnya dengan penuh perasaan dan sepenuh kemesraan yang terkandung di dalam hatinya terhadap Siang In. Seketika naik sedu-sedan dari dalam dada Siang In dan kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan, akan tetapi kedua tangan dara itu tiba-tiba merangkul leher Kian Bu dan bibirnya membalas ciuman itu. Keduanya seperti tenggelam bersama ke dalam ciuman itu, merasa seolaholah hati mereka saling bertemu, bertaut dan bersatu.
“Siang In....!” Seluruh lahir batin Kian Bu mengeluh dan memanggil nama ini, ciumannya makin mesra, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu terkejut sekali karena kalau tadinya Siang In merangkulnya dan membalas ciumannya penuh gairah, kini tiba-tiba dara itu menjadi lemas dalam pelukannya. Ketika dia melepaskan ciumannya untuk memandang wajah itu, terdengar dari mulut dara itu keluhan lirih dan wajahnya pucat sekali, matanya terpejam dan tubuhnya lunglai. Melihat bahwa dara itu telah pingsan, Kian Bu terkejut setengah mati!
“Siang In....!” Kini mulutnya yang memanggil nama ini untuk membangunkannya, akan tetapi dara itu tetap pingsan, seperti orang tidur pulas, dan detak jantungnya lemah sekali. Kian Bu cepat memeriksa pukulan nadi dan detakan jantung, dan dia menjadi gelisah ketika melihat bahwa keadaan tubuh dara itu lemah sekali. Cepat dipondongnya tubuh itu, lalu direbahkannya di atas rumput hijau dan dengan penuh kekhawatiran, dia lalu menempelkan telapak tangannya di atas perut, dekat ulu hati dan disalurkannya tenaga yang hangat untuk membantu bekerjanya perjalanan darah dan pernapasan gadis itu yang amat lemah!
“Siang In.... ah, Siang In...., maafkan aku.... maafkan aku....!” Kian Bu meratap penuh kekhawatiran dan sekarang dia yakin benar bahwa dia jatuh cinta kepada gadis ini, bukan hanya baru sekarang, bahkan mungkin semenjak mereka bertemu beberapa tahun dahulu, ketika mereka masih sama remaja, dalam sebuah hutan (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali).
Dia sungguh merasa bingung dan heran terhadap dara ini, apalagi ketika dia melihat bahwa Siang In memegang sebuah pisau yang amat tajam runcing, pisau kecil yang tadi tentu dipegangnya dan kalau dara itu menghendaki, ketika mereka berpelukan dan berciuman tadi, sekali tusuk saja tentu akan tewaslah Kian Bu! Betapapun saktinya dia, dalam keadaan berpelukan dan berciuman tadi, dia tentu menjadi lengah dan sama sekali tidak akan mampu menghindarkan tusukan pisau itu. Akan tetapi, dara ini tidak menyerangnya dan bahkan pingsan! Ini saja sudah menjadi bukti bagi Kian Bu bahwa dara itu tidak hendak membunuhnya, berarti mengampuninya!
“Siang In.... sadarlah...., kaumaafkan aku....“ bisiknya dan sekali ini, terdorong oleh rasa haru dan sayangnya, dia mendekatkan mukanya dan dengan sepenuh kasih hatinya, dia mencium dahi dara itu yang agak basah oleh keringat.
“Kian Bu....“ Suara itu lemah menggetar dan Kian Bu girang bukan main, melihat dara itu telah membuka matanya dan memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, sepasang mata indah itu seperti terkatup, atau setengah terpejam, dan dua sinar mata yang aneh memancar dari balik bulu mata hitam lentik yang setengah menyembunyikan mata itu.
“Siang In.... kau.... kau tidak apa-apa, bukan? Kau.... kaumaafkan aku, bukan?”
Siang In tersenyum. Bukan main manisnya, biarpun wajahnya masih pucat dan bibirnya agak gemetar, seperti seekor kelinci yang baru saja terlepas dari ancaman harimau.
“Kini tak perlu lagi engkau minta maaf, Kian Bu. Lihat, aku tidak akan membunuhmu dan aku memaafkan sudah, aku malah bersyukur akan hal yang telah terjadi itu.” Dan sekali menggerakkan tangannya, pisau tajam runcing itu melesat dan lenyap ke dalam semak-semak.
“Tringgg....!” Pisau itu mencelat, membalik dan meluncur ke arah Siang In dengan kecepatan kilat.
“Ahhh!” Kian Bu menggerakkan tangannya dan sekali mengibaskan tangan, pisau kecil itu melesat ke bawah masuk ke dalam tanah sampai tidak lagi nampak gagangnya. Pemuda ini cepat membalikkan tubuh memandang ke arah semak-semak, dan Siang In juga sudah meloncat bangun dan memandang ke arah semak-semak itu dengan mata terbelalak.
Dari dalam semak-semak itu keluarlah seorang wanita. Siang In dan Kian Bu terlonjak kaget melihat wanita cantik ini, cantik pesolek yang berdiri tersenyum mengejek kepada mereka. Siang In samar-samar masih mengenal wanita ini, dan bagi Kian Bu, perjumpaannya dengan wanita ini benar-benar amat mengejutkan hatinya. Bagaimana dia tidak akan terkejut ketika mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Siluman Kucing?
Mauw Siauw Mo-li yang bernama Lauw Hong Kui itu benar-benar luar biasa sekali. Usianya sekarang tentu sudah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan muda dan cantik jelita. Pakaiannya rapi dan indah, rambutnya digelung halus dan dihias intan permata, mukanya yang cantik itu dibedaki dan yang perlu warna merah dipoles gincu. Tubuhnya masih ramping padat, dan terutama sekali gayanya ketika dia melangkah maju, lenggangnya sungguh memikat seperti lenggang seekor harimau kelaparan! Sepasang matanya seperti hendak menelan Kian Bu bulat-bulat, penuh dengan rayuan.
Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, wanita cantik ini pernah berhasil merayu dan membujuk Kian Bu beberapa tahun yang lalu ketika Kian Bu masih remaja, sehingga pemuda itu terjatuh ke dalam pelukan wanita cabul ini. Akhirnya Kian Bu insyaf dan menjauhkan diri, namun betapapun juga, wanita pertama yang pernah dikenalnya sebagai teman bermain cinta ini tentu saja selalu masih mendatangkan kenangan padanya dan betapapun juga, dia tidak dapat membenci wanita yang dia tahu amat mencintanya lahir batin ini. Maka, melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li, tentu saja Kian Bu menjadi terkejut dan makin khawatirlah dia karena sekarang dia tahu bahwa sejak tadi wanita cabul ini mengintai dan melihat perbuatannya ketika dia saling berciuman dengan Siang In tadi.
Dan Siang In juga ingat akan wanita ini, yang sejak dahulu tidak disukainya, dianggapnya seorang wanita perayu yang cabul dan menjemukan. Dia mengenal wanita iblis cabul yang lihai ini, maka dia pun kaget melihat kemunculannya yang tidak terduga sama sekali dan wajahnya yang tadinya pucat seketika menjadi merah ketika dia teringat bahwa perbuatannya bersama Kian Bu tadi tentu terlihat oleh wanita cabul ini yang sejak tadi telah bersembunyi di balik semak-semak. Kalau saja dia tahu bahwa iblis betina ini tadi bersembunyi di dalam semak-semak itu, tentu dia akan melontarkan pisaunya dengan tenaga sepenuhnya!
Melihat Kian Bu memandangnya dengan alis berkerut dan dara jelita itu memandangnya dengan mata terbelalak, keduanya jelas memperlihatkan sikap tidak senang, Mauw Siauw Mo-li malah tertawa. Suara ketawanya merdu, mengandung suara seperti seekor kucing, dan gayanya memikat sekali, kemudian lidahnya menjilat-jilat bibir seperti seekor kucing habis makan daging dan darah, dan gerakan bibir yang dijilat-jilat lidah ini amat menggairahkan karena memang dimaksudkan untuk membangkitkan berahi pria yang memandangnya.
“Hi-hi-hik, setelah mendapatkan baju baru lalu mencampakkan baju lama, setelah menemukan makanan baru lalu melupakan kelezatan makanan lama, itulah watak laki-laki dan agaknya engkau tidak terkecuali, Kian Bu! Mendapatkan kekasih baru lupa kepada kekasih lama. Hi-hi-hik, dan tak kusangka bahwa pemuda tampan yang kini sudah berjuluk Pendekar Siluman Kecil kiranya hanya seorang laki-laki yang pembosan.”
Sinar mata Kian Bu menyambar dan kalau saja sinar mata itu dapat dipergunakan untuk menyerang, tentu Siluman Kucing itu sudah menghadapi serangan maut! “Mauw Siauw Mo-li, mau apa engkau datang mengacau di sini? Pergilah sebelum aku hilang sabar dan menghalaumu dengan kekerasan!” bentak Kian Bu, mukanya sudah menjadi merah sekali. Dia memang tidak mungkin membenci wanita ini yang bagaimanapun juga pernah menghiburnya, akan tetapi melihat wanita itu bersikap mengejek di depan Siang In, tentu saja dia menjadi marah dan tidak ingin wanita itu bicara yang bukan-bukan seperti itu.
“He-he-he, engkau marah, Kian Bu? Sekarang engkau marah, akan tetapi beberapa tahun yang lalu.... hemmm, di atas kereta itu, lupakah....”
“Tutup mulutmu yang kotor! Dan pergilah!” bentak Kian Bu sambil melangkah maju setindak, kedua tangan dikepal dan sinar matanya penuh ancaman. Tentu saja dia marah karena wanita cabul rtu mengingatkan betapa dulu di atas kereta anak buah Lembah Bunga Hitam, dia dan wanita cabul itu telah bermain cinta dengan mesra (baca Kisah Sepasang Rajawali)! Diingatkan akan hal yang amat memalukan hatinya itu, apalagi di depan Siang In, benar-benar membuat dia naik darah!
“Hemmm, hendak kulihat apakah pendekar yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil itu benar-benar tega membunuhku dan melupakan segala-galanya,” kata wanita itu dan pada saat itu terdengar suara dahsyat dari jauh.
“Sumoi, memang dia itu laki-laki tak tahu malu, perayu jahat! Puteriku pun dirayunya sampai habis-habisan dan sekarang malah puteriku diculik oleh kakaknya. Memang anak-anak Pendekar Siluman Pulau Es ini kurang ajar sekali dan harus dibasmi habis!” Muncullah seorang kakek raksasa yang ganas, yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo!
Melihat munculnya kakek ini, Kian Bu makin marah. “Bagus! Kalian dua orang manusia iblis, selalu melakukan kejahatan di dunia ini dan sudah sepatutnya kalau aku turun tangan melenyapkan kalian!”
“Kian Bu, kalau aku tak dapat mendapatkan tubuhmu, biarlah kuperoleh nyawamu! Suheng, mari kita bunuh dia, baru nanti dara itu kuhadiahkan kepadamu!” Setelah berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li sudah mencabut pedangnya dan menyerang. Sinar hijau pedangnya meluncur cepat ke arah Kian Bu.
Mendengar kata-kata itu, lenyaplah sisa-sisa kenangan dan perasaan lembut di dalam hati Kian Bu terhadap wanita itu dan dengan cepat dia mengelak lalu balas menyerang dengan dorongan tangan kiri ke arah perut wanita itu. Mauw Siauw Mo-li sudah mengenal kelihaian Kian Bu, apalagi setelah pemuda ini berjuluk Siluman Kecil yang sakti dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw, maka dia tidak berani lengah. Cepat dia meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh.
Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo yang membenci semua orang Pulau Es, mengeluarkan teriakan dahsyat dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan golok gergaji di tangan kanan. Bacokan golok yang mempunyai gerakan berputar ini disusul tamparan tangan kiri yang mengeluarkan uap hitam. Tamparan ini bahkan lebih dahsyat daripada senjata golok gergajinya yang mengerikan itu, karena pukulan itu adalah Ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) yang amat ampuh, suatu ilmu yang diperolehnya dari kitab curian milik Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok dari Gurung Pasir Go-bi.
Namun Pendekar Siluman Kecil sudah melesat dan menghindarkan diri dari serangan raksasa itu dengan kecepatan kilat, tubuhnya berkelebat seperti kilat, bahkan dia sudah membalas serangan itu dengan kontan, menerjang dari atas setelah tubuhnya tadi melesat naik seperti burung terbang. Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengelak sambil memutar goloknya, bayangan Kian Bu sudah mencelat ke arah Mauw Siauw Mo-li dan menyerang dengan tendangan kilat yang hampir saja mengenai lengan wanita cabul itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat. Tingkat kepandaian Siluman Kecil Suma Kian Bu pada waktu itu sudah amat tinggi sehingga andaikata dia harus melawan dua orang kakak beradik seperguruan itu satu lawan satu, maka kiranya dia akan berhasil merobohkan lawan dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus. Akan tetapi, dua orang manusia iblis itu maju bersama dan karena mereka itu adalah kakak dan adik seperguruan, tentu saja mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik. Mereka saling mengenal dasar gerakan mereka yang sesumber, maka kerja sama mereka teratur sekali dan kelihaian mereka tentu saja menjadi berganda, membuat Kian Bu harus berhati-hati dan pemuda ini mempergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Sin-ho-coan-in, ilmu yang membuat tubuhnya berkelebatan seperti kilat dengan kecepatan luar biasa sehingga dua orang lawannya menjadi bingung seperti mengejar-ngejar bayangan.
Siang In sejak tadi menonton dengan mata terbelalak. Dia masih kagum dan juga ngeri, kagum kepada Kian Bu yang luar biasa hebatnya itu, dan ngeri menyaksikan keganasan dua orang yang mengeroyok Siluman Kecil itu. Dari gerakan-gerakan mereka, dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaian silatnya mungkin hanya dapat menandingi wanita siluman itu, sungguhpun dia tahu bahwa tidak akan mudah bagi dia untuk merobohkan wanita yang amat lihai itu, dan dia pun tahu bahwa dibandingkan dengan raksasa itu, dia masih kalah jauh. Dan kini, dua orang lihai itu menyerang dengan senjata yang ampuh, namun Kian Bu menghadapi mereka hanya dengan bertangan kosong, dan pemuda itu sama sekali tidak kelihatan terdesak!
Siang In tidak bergerak membantu Kian Bu. Selain bingung menyaksikan gerakan Kian Bu yang mencelat ke sana-sini secepat itu dan takut kalau bantuannya malah akan mengacaukan gerakannya, juga dia merasa tidak enak mendengar ucapan-ucapan Siluman Kucing tadi. Apalagi mendengar ucapan Hek-tiauw Lo-mo bahwa Kian Bu merayu puterinya habis-habisan! Hatinya mulai merasa tidak senang dan kini dia hanya menonton sambil berjaga-jaga untuk membantu Kian Bu apabila perlu, sungguhpun kini dia merasa hampir yakin bahwa Kian Bu pasti akan dapat mengatasi kedua orang lawannya.
Dugaan Siang In memang tidak keliru. Dengan kecepatan gerakan Ilmu Sin-ho coan-in, Kian Bu mulai mendesak kedua orang lawannya. Dia lebih banyak menyerang, karena dua orang lawan itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk menyerang bayangan yang berkelebatan menyambar mereka dari segala jurusan itu. Sedemikian cepatnya gerakan Kian Bu sehingga dia seolah-olah berubah menjadi beberapa orang banyaknya!
“Hyaaaaakkk....!” Hek-tiauw Lo-mo membentak dan tangan kirinya bergerak. Sinar hitam lebar menyambar ke arah bayangan Kian Bu dan itu adalah senjata rahasianya yang amat ampuh dan bebahaya, yaitu jala hitam terbuat dari benang lembut yang amat kuat. Jala itu menyambar cepat sekali, akan tetapi gerakan Kian Bu masih lebih cepat karena dia sudah dapat menghindarkan diri, bahkan tangannya menyambar ujung jala dan ditariknya jala itu ke arah sinar hijau dari pedang Mauw Siauw Mo-li yang menusuknya.
“Brettt....!” Jala itu terobek pedang, akan tetapi pedang hijau di tangan wanita cabul itu pun terbelit jala. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kian Bu untuk menendang. Wanita itu masih berusaha menghindarkan tendangan dengan melempar tubuh ke belakang dan menarik pedang sekuatnya, namun tetap saja pangkal paha kirinya tercium ujung sepatu.
“Aduhhh....!” Wanita itu terpental dan pedangnya sudah terlepas dari libatan jala, kemudian dia terbanting dan bergulingan lalu meloncat berdiri sambil meringis dan tangan kirinya mengelus-elus pangkal paha yang terasa nyeri dan panas. Akan tetapi, hatinya lebih panas lagi daripada pangkal pahanya yang tidak terluka parah hanya nyeri dan panas itu, karena dia mengingat betapa dahulu, bagian tubuh itu pernah diusap dan dibelai sayang oleh Kian Bu, akan tetapi kini ditendang! Dia merasa terhina sekali.
Sementara itu, melihat jalanya robek, Hek-tiauw Lo-mo membentak dan goloknya membacok ke arah Kian Bu, disusul hantaman tangan kirinya. Kian Bu miringkan tubuhnya ke kanan, membiarkan golok menyambar lewat dan melihat tangan kiri lawan yang mengeluarkan asap itu memukulnya dengan tangan terbuka ke arah dada, dia pun cepat memapaki dengan tangan kanannya.
“Desss!” Dua telapak tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terjengkang dan roboh bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Biarpun dia tidak terluka parah, namun tenaga pukulannya yang membalik karena kalah kuat bertemu dengan hawa sinkang lawan tadi telah memukulnya sendiri, membuat napasnya sesak dan tubuhnya gemetar!
Akan tetapi pada saat itu, Mauw Siauw Mo-li yang melihat bahwa dia dan suhengnya takkan mampu mengalahkan Kian Bu, sudah melontarkan beberapa buah benda hitam ke arah Siang In! Dara ini tidak tahu benda apa yang menyambar ke arahnya itu, maka dengan cepat dia hendak menangkis.
“Jangan ditangkis....!” Kian Bu berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Siang In telah dipondongnya dan dibawanya berloncatan ke kanan kiri. Terdengar ledakan-ledakan keras bertubi-tubi, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh Kian Bu yang memondong tubuh Siang In. Setelah ledakan tidak terdengar lagi, tempat itu menjadi gelap oleh asap hitam dan dua orang manusia iblis itu telah lenyap.
Kian Bu beberapa kali melompat jauh, keluar dari lingkungan asap itu, lalu menurunkan Siang In dan mengomel gemas, “Hemmm, lain kali aku tidak akan memberi kesempatan kepada mereka untuk melarikan diri.”
Siang In memandang kagum kepada Kian Bu, lalu menghampirinya dan memegang kedua lengannya, “Kian Bu, engkau hebat sekali....“ katanya.
Mereka saling berpegang tangan, berhadapan dan saling pandang dengan mesra. Ketika pandang mata mereka bertaut, yakinlah Kian Bu bahwa dia benar-benar mencinta dara ini. Semua rasa cintanya terpancar dari pandang matanya, terasa benar oleh Siang In dan membuat bulu tengkuk dara itu meremang dan dia cepat-cepat menundukkan mukanya. Dara lincah yang biasanya suka menggoda orang itu kini kemalu-maluan menatap sinar mata yang demikian penuh cinta kasih.
Akan tetapi Siang In segera teringat akan semua ucapan dua orang manusia iblis tadi, maka alisnya berkerut dan rasa malu, tadi lenyap ketika dia mengangkat mukanya dan bertanya, “Kian Bu, apa artinya ucapan raksasa tadi bahwa engkau merayu puterinya?”
Kian Bu tersenyum. “Puterinya adalah Hwee Li, dan sudah kuceritakan kepadamu tentang Hwee Li. Agaknya dia pun menyangka bahwa antara Hwee Li dan aku ada hubungan yang tidak dikehendakinya, padahal di antara kami hanya terdapat tali persahabatan saja, dan Hwee Li mencinta kakakku....“
“Dan ucapan-ucapan wanita tadi? Dia....“ Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia merasa malu mengingat dan membayangkan arti ucapan wanita tadi.
Wajah Kian Bu menjadi muram dan alisnya berkerut. “Ah, jangan kaudengarkan ucapan iblis betina itu! Dia curang dan bicaranya sama sekali tidak ada artinya, tidak perlu didengar dan dipercaya. Sudah terlalu banyak dia membuat malapetaka.”
Agaknya Siang In percaya dan wajahnya berseri kembali, dan setelah mereka saling pandang kembali timbul kemesraan dan rasa malu, apalagi ketika Kian Bu mendekatkan muka sehingga hidung pemuda itu menyentuh pelipisnya, dia cepat menundukkan mukanya. Seketika Kian Bu sudah melupakan dua orang musuh tadi, kini dia teringat akan ciuman yang membuat dara itu tadi menjadi pingsan!
“Siang In, betapa engkau tadi membuat aku hampir mati karena khawatir. Mengapa engkau menjadi pingsan tanpa sebab? Dan apa artinya pisau yang berada di tanganmu tadi? Mengapa pula engkau.... menyuruh aku.... menciummu? Semua itu merupakan teka-teki bagiku, mengundang banyak dugaan yang membingungkan. Maukah engkau menjelaskan kepadaku, Sayang?”
Mendengar sebutan itu, wajah Siang In menjadi merah sekali dan sambil menunduk dia tersenyum malu-malu dan penuh rasa bahagia. Jari-jari tangannya yang saling genggam dengan jari tangan Kian Bu itu gemetar dan dari jari-jari tangan kedua orang muda ini tersalur getaran-getaran yang penuh arti, terasa sampai ke dasar jantung. Getaran-getaran cinta yang tak perlu lagi dinyatakan dengan kata-kata yang dalam keadaan seperti itu sudah kehilangan arti dan kegunaannya, bahkan hanya mendatangkan kecanggungan belaka. Bahasa cinta melalui getaran sentuhan, melalui senyum dan terutama melalui sinar mata sudah lebih dari cukup mewakili suara hati masing-masing, jauh lebih sempurna daripada kata-kata yang biasanya hampa dan dibuat-buat. Getaran dan sinar mata tidak mungkin dapat dibuat-buat seperti suara melalui kata-kata.
“Kian Bu, sebelum aku menjawab, aku ingin lebih dulu mengetahui isi hatimu. Jawablah, adakah engkau merasakan sesuatu dalam.... dalam.... ciuman tadi?”
“Ahhh....!” Dengan mesra Kian Bu merangkul dan mendekap kepala dara itu ke dadanya, jantungnya berdegup dekat telinga Siang In yang seolah-olah mendengar bisikan hati melalui degup jantung itu. “Siang In.... aku merasakan sesuatu yang ajaib, seolah-olah langit terbuka dan kita berdua terbang ke angkasa, aku.... aku.... ah, sukarlah menceritakan apa yang kurasakan tadi sampai.... sampai aku terkejut melihat engkau terkulai....”
Siang In menyandarkan kepalanya di dada yang kuat itu, lalu bisiknya halus, “....lanjutkan.... lanjutkan....“
“Mula-mula aku merasa heran dan terkejut, lalu takut-takut untuk menciummu seperti yang kauminta, Siang In. Akan tetapi ketika aku melakukannya, ahhh.... dunia seakan kiamat! Aku merasa seperti tidak berpijak di atas bumi lagi.... dan.... dan pada detik itu juga tahulah aku....“ Kian Bu berhenti dan menunduk, mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu.
“Tahu apakah, Kian Bu....?” Suara itu makin lirih, berbisik dan gemetar.
“Aku tahu dan yakin benar, pada saat aku menciummu tadi, bahwa aku cinta padamu, Siang In.”
Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Pengakuan inilah, sungguhpun dia telah merasakan cinta pemuda itu melalui ciuman, melalui tatapan mata, melalui sentuhan ujung jari-jari tangan, melalui degup jantung di dekat telinganya, namun belum puas hatinya kalau belum mendengar pengakuan itu melalui mulut.
Memang demikianlah keadaan kita manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita sudah terdidik dan terbiasa untuk menilai segala sesuatu melalui kata-kata sehingga terjerumuslah kita semua ke dalam dunia penuh kepalsuan yang tersembunyi di balik kata-kata manis! Dan kepalsuan-kepalsuan melalui kata-kata manis dan senyum buatan ini oleh kita dinamai peradaban. Sesungguhnya peradaban yang tidak beradab. Kita namakan pula kesopanan. Kesopanan yang tidak sopan. Kita sudah terbiasa untuk menilai keadaan luarnya saja. Inilah yang menyebabkan kita sering tergelincir oleh kemanisan kata-kata dan sikap palsu. Kita tidak lagi peka untuk mengenal keadaan yang lebih mendalam, karena perasaan kita sudah dibikin tumpul oleh kebiasaan menilai kulitnya saja. Maka diobral oranglah kata-kata “aku cinta padamu” sehingga tidak ada artinya lagi. Diobral orang pula senyum palsu, sikap menghormat, menjilat, yang kesemuanya itu sesungguhnya tidak wajar dan palsu adanya. Hal ini dapat kita lihat jelas sekali terjadi di sekeliling kita, bahkan dalam diri kita, kalau saja kita mau membuka mata memandang dan mengamati apa adanya. Dapatkah kita hidup tanpa menjadi hamba kepalsuan ini?
Demikianlah pula dengan Siang In. Dia sudah yakin benar akan perasaan Kian Bu kepadanya, namun tidak puaslah hatinya kalau dia tidak mendengar pernyataan cinta itu melalui kata-kata, padahal pernyataan macam ini sesungguhnya tidak ada harganya sama sekali, karena apakah artinya kata-kata hampa dibandingkan dengan perasaan yang murni dan agung itu?
Cinta asmara lautan rahasia kemesraan sejuta.
Menciptakan embun sakti menembus lubuk hati.
Anggur semanis madu bunga dan lagu merdu.
Kepuasan yang nikmat sorga yang memikat.
Namun juga membawa bara api menghanguskan hati.
Sepahit empedu maki kutuk menggebu.
Kekecewaan mencekam neraka jahanam!
Cinta asmara, lautan suka-duka....
Sampai lama rasanya ucapan Kian Bu dalam kalimat terakhir tadi, yaitu “aku cinta padamu” bergema di dalam ruang hati Siang In, membuat dia seperti terlena, seperti terayun dalam buaian kasih sayang yang membawanya terbang ke sorga ke tujuh!
“Sekarang akan kuceritakan padamu, Kian Bu. Dengarlah akan tetapi jangan menatap wajahku, aku.... aku malu sesungguhnya untuk menceritakan. Akan tetapi karena engkau cinta padaku, seperti yang baru saja kaukatakan, biarlah kuceritakan kepadamu juga.” Siang In memejamkan matanya dan masih bersandar di dada Kian Bu, kemudian dia melanjutkan dengan suara lirih berbisik-bisik.
“Semenjak engkau menciumku di dalam hutan beberapa tahun yang lalu itu, aku.... tidak pernah lagi dapat melupakanmu, tidak pernah dapat melupakan saat engkau menciumku itu. Ada dua macam perasaan selalu berperang di dalam hatiku, yaitu perasaan terhina yang menimbulkan benci dan perasaan gembira yang sukar dilukiskan. Perasaan-perasaan yang berperang itulah yang menimbulkan suka dan benci kepada bayanganmu. Maka setelah aku selesai mempelajari ilmu dari suhu, aku lalu pergi mencarimu, sampai aku tiba di Bhutan dan di tempat-tempat jauh. Aku mencarimu dengan dua macam niat, yaitu membunuhmu atau memaafkanmu. Dan dua niat itu hanya dapat ditentukan oleh perasaan hatiku kepadamu, apakah benci ataukah cinta! Maka aku mengambil keputusan, yaitu kalau aku bertemu denganmu, sebelum melakukan sesuatu, aku harus lebih dulu yakin, apakah aku benci atau cinta kepadamu, apakah ciumanmu itu mendatangkan duka atau suka. Dan untuk dapat merasa yakin, aku harus minta kaucium sekali lagi! Nah, kini engkau mengerti mengapa aku minta cium padamu.” Siang In masih memejamkan mata karena dia menceritakan ini dengan perasaan malu sekali.
Kian Bu tahu betapa berat dan malu rasa hati kekasihnya itu untuk menceritakan semua ini, maka dia pun tidak mau menambah beban itu dengan menatap wajahnya, melainkan mencium rambut kepala itu dengan mesra. “Ah, engkau memang seorang dara yang luar biasa, aneh, berani, jujur dan.... hebat!”
Biarpun yang dicium hanya rambut kepalanya, akan tetapi Siang In sudah merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar dan jantung berdebar. “Dengarkan dulu ceritaku, Kian Bu.” Dia mengeluh dan agak menjauhkan kepalanya untuk menghentikan pemuda itu menciumi rambutnya.
“Lanjutkanlah, Siang In.”
“Ketika engkau menciumku untuk kedua kalinya, aku diam-diam sudah mempersiapkan pisau itu. Kalau dari ciuman itu aku menjadi yakin bahwa aku benci padamu, maka pisau itu akan menewaskanmu di saat itu juga, karena hanya saat itulah kesempatan satu-satunya bagiku untuk membalas dendam. Dalam keadaan biasa, mana mungkin aku dapat menandingimu? Nah, itulah sebabnya mengapa aku memegang pisau itu.”
“Hebat! Engkau memang pintar sekali!” Kian Bu memuji dan hati Siang In merasa senang sekali. Ah, betapa cinta asmara membuat orang menjadi buta akan kenyataan. Andaikata pada saat itu perasaan Kian Bu terhadap Siang In lain, tentu bukan pujian yang keluar dari mulut pemuda ini. Mungkin sebutan pintar itu akan berubah menjadi sebutan curang atau pengecut! Jelaslah bahwa penilaian terhadap suatu tindakan atau perbuatan itu tergantung dari keadaan batin seseorang. Bagi seorang yang sedang mencinta, maka segala macam perbuatan orang yang dicintanya itu akan nampak baik dan benar belaka. Sebaliknya, bagi seorang yang sedang membenci, maka segala macam perbuatan orang yang dibencinya itu akan nampak jahat dan salah belaka. Oleh karena itu sudah jelas pula bahwa penilaian adalah palsu, karena penilaian didasari atas rasa suka atau tidak suka. Penilaian hanya mendatangkan konflik, karena yang dinilai baik oleh A, belum tentu dinilai baik oleh B, dan mungkin dinilai jahat oleh C, dan selanjutnya. Apa adanya dan yang sesungguhnya tidak baik tidak pula jahat, tidak bagus dan tidak pula jelek, karena baik dan buruk hanyalah hasil penilaian dan kita sudah tahu bahwa penilaian adalah palsu. Pengertian yang mendalam dan menyeluruh tentang kenyataan ini akan membuat kita hanya mengamati belaka tanpa penilaian sehingga kita tidak terseret untuk mengambil kesimpulan, pendapat, melainkan mengamati saja penuh kewaspadaan.
“Sekarang tentang mengapa aku menjadi pingsan. Ohhh, Kian Bu, bagaimana aku dapat menjelaskan itu? Ketika engkau menciumku, aku.... aku merasa.... seperti yang kaurasakan pula, aku merasa bahwa itulah sesungguhnya yang kurindukan selama ini, pelukan dan ciumanmu, dirimu.... dan aku tahu bahwa aku cinta padamu, Kian Bu. Mengingat betapa pisau sudah di tangan, betapa hampir saja aku membunuh satu-satunya pria yang kucinta semenjak bertahun-tahun yang lalu, membuat aku begitu tegang dan terharu sampai aku tidak ingat apa-apa lagi....”
“Siang In, dewiku.... pujaan hatiku....“
Kian Bu merasa terharu sekali dan kini dia mendekap lebih erat, mengangkat wajah ayu itu dan menciuminya dengan sepenuh perasaan cintanya.
Siang In mengeluh lirih dan mandah saja, bahkan kadang-kadang membalas ciuman itu, terdorong oleh perasaan hatinya yang mencinta. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman Kian Bu makin lama makin panas, dara itu lalu menarik dirinya, mukanya merah sekali, pandang matanya setengah terpejam, mulutnya setengah terbuka dan terengah. Ketika Kian Bu hendak merangkulnya, dia menolak halus dengan kedua tangannya.
“Jangan.... sudah cukup, Kian Bu, jangan....“ bisiknya di antara napasnya yang terengah.
Wajah Kian Bu juga merah padam, matanya mengeluarkan sinar aneh. “Kenapa, Siang In? Kenapa....? Bukankah kita saling mencinta....?”
Siang In melangkah mundur dua langkah. “Justeru karena cinta kita, maka kita harus tidak melanjutkan itu, Kian Bu. Tidak baik kalau dilanjutkan. Karena cinta kita, maka kita harus saling menjaga, kita harus mempertahankan, menunda dan menyimpan itu sampai pada saatnya yang tepat, yaitu.... kelak kalau kita sudah menjadi suami isteri, sudah menikah!”
Mendengar ini, seketika sadarlah Kian Bu dan dia merasa malu sendiri. Memang tadi, setelah menciumi wajah Siang In, setelah merasa betapa bibir yang lunak itu membalas ciumannya, dia tenggelam dalam gelombang nafsu berahi yang mendorong-dorongnya untuk bertindak lebih jauh, untuk memuaskan gelora nafsu berahinya! Celaka, semua ini adalah gara-gara Siluman Kucing, keluhnya dalam hati. Dia memandang wajah kekasihnya dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut karena merasa berdosa sekali.
“Ah, betapa bijaksana engkau, dewiku. Betapa murni hatimu, dan aku.... aku memang bersalah. Aku bersumpah tidak akan berani mengganggumu lagi sampai.... sampai kita menikah kelak.”
Siang In tertawa, suara ketawanya merdu dan nyaring karena semua itu amat menyenangkan hatinya. Dia mengulurkan tangan, memegang tangan pemuda itu dan menariknya bangun.
“Sudah, kalau kelihatan orang lain, disangka kita ini sedang berlatih main sandiwara! Kita saling mencinta, dan kita akan menikah! Dua hal ini merupakan rahasia besar dalam batin kita, Kian Bu. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah bundamu.”
“Benar, memang aku pun ingin membawamu pulang ke Pulau Es.”
“Kalau begitu, mari kita pergi. Eh, apakah perutmu tidak lapar?”
Ditanya begitu, Kian Bu terbelalak, lalu tertawa. “Ha-ha-ha, memang benar kata orang bahwa cinta membuat kita lupa makan lupa tidur. Aku sampai lupa bahwa sejak kemarin perutku belum kemasukan apa-apa dan setelah sekarang kauperingatkan, baru terasa betapa lapar perutku!”
“Aku lebih percaya kepada kata-kata orang bahwa cinta membuat kita selalu merasa lapar!”
“Eh, mengapa begitu?”
“Habis, cinta membuat hati menjadi senang, dan hati senang membuat perut selalu merasa lapar dan apa pun yang kita makan terasa lezat. Pendapat ini kudukung karena lebih sehat daripada pendapatmu tadi yang membuat kita kelaparan dan kecapaian. Kalau menurut pendapatmu itu, bisa-bisa orang yang jatuh cinta lekas mati karena kurang makan dan kurang tidur, bukan?”
Kian Bu tertawa. Kekasihnya ini selain cantik jelita, gagah perkasa, penuh keberanian, baik budi dan jujur, juga lincah jenaka dan pandai bicara! Pendeknya, segala macam kebaikan wanita terdapat lengkap dalam diri kekasihnya ini, pikirnya bangga!
“Kau memang hebat, Siang In. Hebat segala-galanya!”
“Hi-hik, engkau belum merasakan masakanku! Kalau engkau sudah menikmati lezatnya masakanku, engkau akan kehabisan kata-kata untuk memujiku. Tunggu saja. Mari kita mencari bahan-bahannya dulu dalam hutan itu.” Digandengnya lengan Kian Bu dan dua orang muda itu sambil tersenyum dan tertawa gembira, bergandeng tangan meninggalkan tempat itu.
Dunia seakan-akan berubah dalam sekejap mata bagi mereka berdua. Penuh keindahan, penuh kegembiraan, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk.
“Uhu-huuuuk-huuu....!” Dara itu menangis mengguguk sambil berlutut di depan kaki gurunya, memeluk kaki itu dan air matanya bercucuran.
Hek-sin Touw-on terkejut bukan main menyaksikan keadaan muridnya ini. Datang-datang muridnya merangkul kakinya dan menangis sedih seperti itu, sungguh membuatnya bingung sekali.
Berkali-kali dia menyuruh muridnya menceritakan apa yang begitu menyusahkan hatinya, namun Kang Swi Hwa atau Ang-siocia tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, hanya menangis mengguguk makin sedih sehingga akhirnya kakek itu maklum bahwa dia harus membiarkan muridnya menangis dulu sampai kedukaan yang menyesak di dada itu terlampiaskan dalam tangisnya.
Dari mana timbulnya duka? Akibat duka sudah jelas, membuat orang menjadi gelap pikiran dan tidak sabar, dan dalam keadaan sesak oleh duka itu jasmani pun bekerjalah untuk menolong dirinya dari ancaman bahaya karena duka, yaitu dengan jalan menciptakan air mata yang bercucuran keluar dan peristiwa ini dapat melampiaskan duka seperti bendungan yang dibuka sehingga genangan duka itu dapat membanjir keluar. Akan tetapi dari manakah timbulnya duka? Jelaslah bahwa duka timbul dari pikiran sendiri. Pikiran dilayangkan kepada hal-hal yang sudah lewat, hal-hal yang dianggap merugikan diri sendiri, dianggap tidak cocok dengan apa yang dikehendaki sehingga hal yang telah terjadi itu mendatangkan kekecewaan yang kemudian menciptakan rasa nelangsa dan iba kepada diri sendiri, menjadi duka. Jelaslah bahwa duka menguasai batin hanya pada saat kita tidak sadar, pada saat kita tidak waspada, pada saat kita membiarkan batin diselubungi kenangan hal-hal yang sudah lewat. Dan kita melakukan sesuatu yang amat keliru, yaitu kita selalu ingin lari dari duka, yang datang menyerang, kita ingin lari dari duka, kita ingin menghibur dan melupakan hal yang mendukakan. Usaha menjauhkan duka ini malah memperbesar duka itu sendiri! Kita tidak pernah mau menghadapi duka itu sebagaimana adanya mengamati duka dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, mengamati betapa kita penuh dengan iba diri, betapa kita mengenang-ngenang hal yang merugikan itu, terus mengunyah-ngunyah kenangan itu sehingga semua kenangan itu seolah-olah merupakan sebuah tangan setan yang meremas-remas hati kita sendiri! Untuk dapat terbebas dari duka, kita harus mengenal duka sebagaimana adanya, kita harus berani mengamati duka, tidak lari darinya. Karena hanya dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan inilah maka akan timbul pengertian yang sedalam-dalamnya tentang duka, dan pengertian ini akan menimbulkan kesadaran yang dengan sendirinya akan melenyapkan duka tanpa kita berusaha menghilangkannya.
Namun sayang, betapa kita semua tidak sadar dan membiarkan diri terseret ke dalam arus suka-duka ini. Kita terseret duka, mengharapkan hiburan, menikmati hiburan yang mendatangkan suka, untuk kemudian diseret ke dalam duka kembali, dan demikian selanjutnya kita terjebak ke dalam lingkaran setan yang berupa suka dan duka. Dan lebih menyedihkan lagi, kita menganggap bahwa memang sudah demikian itulah hidup! Seolah-olah tidak ada jalan lain dalam kehidupan ini kecuali menjadi hamba suka duka yang menyedihkan.
Akhirnya reda juga tangis Ang-siocia, tinggal terisak-isak jarang. Gurunya, kakek Hek-sin Touw-ong lalu mengangkatnya bangun dan disuruhnya murid itu duduk di atas bangku di depannya. Mereka berada di dalam sebuah kuil rusak dan mereka duduk di atas bangku-bangku batu yang kasar. Kuil itu berada dalam sebuah hutan di lereng bukit.
“Swi Hwa, mengapa engkau menangis seperti ini? Sungguh memalukan sekali melihat muridku menangis seperti seorang perempuan lemah yang cengeng. Mana kegagahan yang kugemblengkan pada dirimu selama bertahun-tahun ini?” Kakek itu menarik napas panjang, agaknya dia melihat bahwa betapapun gagahnya, muridnya itu hanya seorang wanita, dan menurut kata pujangga kuno, wanita tidak dapat dipisahkan dari air mata!
“Suhu, maafkan teecu....“ Gadis itu berkata di antara isaknya.
“Hemmm, entah sudah berapa ratus kali selama menjadi muridku engkau minta maaf, dan sebanyak itu pula aku selalu memaafkanmu. Sekarang, ceritakan, mengapa kau menangis?”
“Suhu.... teecu ingin mati saja....!” Gadis itu menutupi muka dengan kedua tangannya dan dari celah-celah antara jari tangannya nampak air matanya menetes.
“Hehhh? Apa-apaan lagi ini? Mana bisa manusia minta mati kalau belum tiba saatnya? Kalau sudah tiba saatnya, tanpa diminta pun akan mati. Hayo bilang, mengapa kau sampai mengeluarkan kata-kata gila ini? Apa yang terjadi dengan dirimu?”
Gadis itu menggeleng kepala, lalu menurunkan kedua tangan dari depan muka. Mukanya yang cantik itu agak pucat dan amat muram, basah oleh air matanya. Hati kakek itu terkejut dan kasihan juga melihat ini karena maklumlah dia bahwa muridnya ini mengalami pukulan batin yang parah juga.
“Tidak terjadi apa-apa dengan diri teecu, akan tetapi telah terjadi hal yang hebat dengan diri.... dia....“ Gadis itu megap-megap seperti ikan di darat.
“Dia? Dia siapa?” Hek-sin Touw-ong bertanya, memandang wajah muridnya penuh selidik karena dia khawatir kalau-kalau kesedihan membuat muridnya ini mengalami guncangan batin yang akan mengganggu ketenangan jiwanya.
“Dia Pendekar Siluman Kecil....!”
Alis kakek itu berkerut. Dia sudah mengerti bahwa muridnya ini tergila-gila kepada pendekar sakti itu.
“Ada apa dengan dia?” desaknya. Siluman Kecil itu menurut muridnya dapat mengalahkan Sin-siauw Seng-jin, berarti memiliki kesaktian setinggi langit yang sukar diukur lagi, maka apakah yang dapat menimpa seorang pendekar sakti seperti itu? Apakah pendekar itu terkena malapetaka maka muridnya menjadi berduka seperti ini?
“Siluman Kecil? Ada apa dengan dia? Apa yang terjadi?”
“Dia.... dia.... mencinta wanita lain, Suhu.... uuuhhhu-hu-huuuhhh....!” Dara itu menangis lagi.
Hek-sin Touw-ong mengerutkan alisnya dan memandang kepala yang menunduk dan pundak yang berguncang-guncang dalam tangisnya itu. Dia menarik napas panjang berkali-kali dan hatinya penuh rasa iba kepada muridnya ini. Terbayanglah semua peristiwa semenjak dia mengambil anak itu sebagai murid. Dia tahu bahwa Kang Swi Hwa adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong yang dititipkan kepada Sin-siauw Seng-jin untuk dilatih ilmu silat. Karena penasaran terhadap Sin-siauw Seng-jin, maka dia menculik anak itu untuk dilatihnya sendiri. Akan tetapi kemudian, maksud yang hanya ingin menimpakan rasa penasaran itu kepada Sin-siauw Seng-jin, akhirnya berubah setelah dia mulai mencinta murid itu sebagai puterinya sendiri! Maka anak itu pun dididiknya terus sampai menjadi dewasa dan dia telah mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya, baik ilmu silat, ilmu maling dan ilmu menyamar kepada dara itu. Dia tahu bahwa muridnya ini adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong, seorang yang sudah dikenalnya dengan baik maka dia pun mendidik muridnya itu sekuat tenaganya sehingga muridnya kini memiliki tingkat kepandaian yang sudah hebat, hampir menyamai tingkatnya sendiri. Maka ketika dia mendengar betapa muridnya itu “dihina” secara tidak sengaja oleh murid Sai-cu Kai-ong, dia terkejut bukan main dan heran mengapa justeru murid dari kakek gadis ini yang bertemu dan “menghina” nya! Maka timbul pula niatnya untuk menjodohkan muridnya dengan pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, dengan demikian, selain untuk menebus kesalahannya terhadap Sai-cu Kai-ong, juga untuk menghapus aib yang telah dialami oleh Swi Hwa. Dia sengaja mengganti nama muridnya yang ketika itu masih kecil sekali sehingga tidak mungkin dapat mengingat apa-apa, mengganti namanya menjadi Kang Swi Hwa, bahkan dia telah menghapus tahi lalat di dagu anak itu agar tidak akan dikenal oleh Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Seng-jin! Dan kini, ternyata muridnya itu mencinta Siluman Kecil dan merana, patah hati, karena Siluman Kecil mencinta gadis lain!
Setelah sejenak membiarkan dara itu menangis lagi, dengan hati terharu Hek-sin Touw-ong lalu memegang kedua pundak muridnya, dan berkata dengan suara menghibur, “Kalau begitu, masih jauh lebih baik bagimu, muridku....“
Mendengar ini, dara itu mengangkat mukanya yang basah air mata itu, memandang gurunya dengan penasaran.
“Lebih baik....? Apa.... apa maksud Suhu?” Dia sedih setengah mati, gurunya malah mengatakan lebih baik! Hati siapa tidak menjadi penasaran?
“Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali menarik napas panjang. “Jauh lebih baik gagal sebelum menikah, daripada gagal setelah menjadi suami isteri.... seperti gurumu ini....“
Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak. Tak disangkanya gurunya akan berkata demikian. Gurunya tidak pernah bercerita tentang diri sendiri, bahkan tidak pernah bercerita tentang riwayatnya, tentang ayah bundanya.
“Apakah Suhu pernah menikah?” tanyanya, hatinya tertarik karena seluruh perhatiannya tertarik akan keadaan suhunya, maka otomatis dia melupakan diri sendiri dan lenyaplah seketika rasa duka di hatinya. Memang, kedudukan bukan lain hanyalah permainan ingatan, permainan pikiran yang mengingat-ingat dan membayang-bayangkan, penuh dengan iba diri. Begitu pikiran meninggalkan semua itu, ditujukan kepada lain hal dengan penuh perhatian, maka duka pun lenyap tanpa bekas!
Kakek itu mengangguk. “Aku pernah menikah, akan tetapi terdapat ketidakcocokan dalam kehidupan rumah tangga kami. Kami hidup menderita, seperti dalam neraka karena percekcokan terjadi setiap hari. Akhirnya, setelah menikah selama tiga tahun tanpa ada keturunan, kami terpaksa berpisah, dan semenjak itu, aku tidak mau lagi menikah....“
Melihat wajah suhunya membayangkan penderitaan batin, seketika lupalah Swi Hwa akan kesusahan hatinya sendiri. Dia memandang kepada suhunya dengan hati penuh perasaan iba. Akan tetapi kakek itu lalu melanjutkan, “Karena itulah, Swi Hwa, kukatakan lebih baik gagal sebelum menikah seperti yang kualami ini. Bayangkan saja kalau kegagalanmu ini terjadi setelah engkau menikah dengan seorang suami yang tidak menaruh cinta kepadamu, tentu akan lebih pahit dan sengsara lagi.”
Dara itu kini menunduk, dia mengerti akan maksud ucapan gurunya itu. “Jadi, dalam pernikahan Suhu itu hanya terdapat cinta sepihak?”
Hek-sin Touw-ong mengangguk. “Ya, hanya dariku adanya cinta itu, tidak dari fihaknya. Maka, kalau Siluman Kecil tidak mencintamu dan mencinta orang lain, apa yang perlu disesalkan? Dunia tidak hanya setapak tangan lebarnya, dan masih terdapat banyak sekali pria yang cukup baik untuk menjadi calon jodohmu. Terutama sekali, kita harus mencari pemuda bernama Siauw Hong itu, karena menurut pandanganku, hanya dialah yang harus menjadi suamimu, karena dia yang pernah melihat tubuhmu!”
Dara itu makin menunduk dan mukanya berubah merah mendengar ucapan ini, karena dia teringat akan peristiwa itu, ketika dia yang menyamar sebagai pria terbuka rahasianya oleh Siauw Hong, ketika Siauw Hong berusaha mengobatinya dan memeriksa dadanya!
“Hanya ada dua pilihan terhadap pemuda itu. Membunuhnya atau menikah dengan dia! Kehormatan dan nama baikmu tergantung sepenuhnya kepada persoalan ini, muridku. Maka, marilah engkau ikut bersamaku pergi mencari Sai-cu Kai-ong untuk membicarakan urusan muridnya itu.”
“Tapi.... Suhu, teecu belum mempunyai ingatan untuk menguruskan persoalan jodoh sebelum.... sebelum teecu mendengar dari Suhu tentang keadaan keluarga teecu. Suhu selalu mengelak dan tidak mau memberi keterangan kepada teecu. Sekarang teecu mohon Suhu suka memberi penjelasan. Siapakah ayah bunda teecu? Apakah mereka masih hidup dan mengapa teecu sejak kecil ikut bersama Suhu?”
Kakek itu menghela napas. “Dalam hal ini aku berdosa kepadamu, muridku. Ketahuilah, bahwa engkau adalah seperti cucu atau anak angkatku sendiri, di samping engkau muridku satu-satunya. Dan terus terang saja, aku tidak dapat menceritakan tentang keluargamu karena memang aku tidak tahu. Hanya ada satu orang saja yang akan dapat menceritakan hal itu kepadamu.”
“Siapa dia, Suhu?”
“Dia adalah Sai-cu Kai-ong....“
“Apa....?” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak lebar. “Kakek sakti guru.... Siauw Hong itu....?”
Hek-sin Touw-ong mengangguk. “Muridku, agaknya sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia yang meliputi dirimu. Akulah yang bertanggung jawab akan semua itu. Maka, mari kau ikut bersamaku menemui Sai-cu Kai-ong, sekalian kita bicarakan urusan muridnya itu.”
Dara itu mengangguk sambil menundukkan mukanya. Dia akan selalu merasa canggung dan malu kalau bicara tentang pemuda yang menjadi pangeran pengemis itu, karena nama Siauw Hong selalu mengingatkan dia akan peristiwa yang dialaminya, ketika rahasia penyamarannya sebagai pria terbuka oleh pemuda itu.
Berangkatlah guru dan murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan kuil tua itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ang-siocia lari mengejar ketika melihat Siluman Kecil pergi, kemudian di tengah perjalanan dia bertemu dengan Siang In. Mereka berpisah dan tanpa disengaja, kembali dia bertemu dengan Siang In yang sedang berkasih-kasihan dengan Siluman Kecil. Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Kang Swi Hwa melihat betapa pria yang dikaguminya dan diam-diam dicintanya itu ternyata saling mencinta dengan seorang gadis lain. Maka dia lalu diam-diam meninggalkan tempat itu sambil menangis. Dia tidak tahu bahwa ketika dia lari meninggalkan benteng yang terbakar, dari jauh gurunya selalu membayanginya dan melihat dara itu menangis, Hek-sin Touw-ong lalu mengejar, menyusulnya dan mengajaknya istirahat di kuil tua itu dan bertanya apa yang disusahkan oleh muridnya. Karena kakek ini membayangi muridnya dari jauh, maka dia tidak ikut menyaksikan apa yang menjadi sebab muridnya berduka, dia tidak melihat betapa Siluman Kecil sedang berkasih-kasihan dengan Siang In.
Beberapa hari kemudian guru dan murid ini sudah tiba di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Dari lereng saja sudah nampak bangunan besar kuno yang dahulunya merupakan bangunan semacam istana megah dari raja pengemis, nenek moyang dari Sai-cu Kai-ong. Berbeda dengan nenek moyangnya, Saicu Kai-ong kini tidak suka menonjolkan diri dan biarpun dia dijuluki Kai-ong dan pengaruhnya masih besar sekali, dianggap sebagai datuk kaum pengemis dan dipuja-puja oleh semua perkumpulan pengemis, namun dia tidak secara langsung memimpin para pengemis itu. Dia lebih senang menyembunyikan diri di dalam bekas istana nenek moyangnya itu, hidup bersunyi di puncak Bukit Nelayan.
Ketika guru dan murid itu telah berdiri di depan rumah kuno yang kelihatan kosong dan sunyi itu, Hek-sin Touw-ong lalu berseru sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya bergema sampai terdengar dari tempat jauh.
“Kai-ong, ini sahabatmu Touw-ong ingin berjumpa denganmu!”
Memang kedengarannya lucu. Touwong (Raja Maling) ingin bertemu dengan Kai-ong (Raja Pengemis)! Suara dari Hek-sian Touw-ong menimbulkan gema yang panjang dari dalam gedung besar itu, dan tak lama kemudian terdengar suara yang nyaring dari dalam gedung.
“Selamat datang, Touw-ong! Pintu rumahku tidak tertutup, harap kau masuk saja!”
Agaknya di antara kedua orang sakti itu terdapat jalinan persahabatan yang sudah akrab, maka mereka menggunakan kata-kata yang ramah dan kasar, tanpa banyak peraturan dan sopan santun yang biasa timbul antara orang-orang yang baru berkenalan. Hek-sin Touw-ong tertawa bergelak, kemudian mengajak muridnya memasuki pintu gerbang besar dari rumah kuno itu.
Hek-sin Touw-ong sendiri hidup sebagai seorang yang kaya, memiliki rumah besar yang terjaga oleh banyak pelayan, maka tentu saja guru dan murid ini tidak asing dengan rumah-rumah besar dan mewah. Akan tetapi, ketika memasuki istana tua ini, dara itu merasa serem juga, dan kagum melihat hiasan-hiasan kuno yang antik dan indah. Rumah kuno yang besar itu nampak sunyi menyeramkan karena kelihatan kosong tanpa ada seorang pun manusia yang menjaganya, kelihatan dingin karena kurangnya manusia di situ. Berindap-indap dara ini berjalan di samping gurunya, memandang ke kanan kiri seperti memasuki sebuah gua yang penuh ancaman bahaya. Akan tetapi Hek-sin Touw-ong yang dahulu sudah sering memasuki gedung ini, berjalan seenaknya dan dengan wajah gembira,sungguhpun terdapat ketegangan yang nampak dari kerutan di antara kedua alisnya. Kakek ini merasa gembira karena dia akan mengejutkan dan mendatangkan kegembiraan besar kepada sahabat lamanya ini dengan mengembalikan cucunya, akan tetapi juga dia merasa tegang karena merasa bersalah telah menculik cucu sahabatnya yang diserahkan kepada Sin-siauw Seng-jin untuk menjadi murid Kakek Suling Sakti itu. Juga hatinya tegang mengingat bahwa pemuda yang pernah “menghina” muridnya adalah murid sahabatnya ini.
Ketika mereka tiba di dalam sebuah ruangan, muncullah seorang kakek yang gagah perkasa, dan biarpun usianya sudah lebih dari enam puluh lima tahun, namun tubuhnya yang tinggi tegap itu masih nampak kokoh kuat, pakaiannya sederhana, pandang matanya tajam dan penuh kejujuran dan kegagahan. Kakek ini, menggunakan sinar matanya menyapu wajah dua orang tamunya dan dia agaknya merasa puas sekali melihat keadaan Hek-sin Touw-ong karena sahabat lamanya itu masih nampak sehat dan sederhana, dengan mukanya yang hitam terbakar matahari dan pakaiannya yang serba hitam pula. Dia tahu bahwa Si Raja Maling ini amat kaya raya, namun pakaian dan sikapnya jelas membuktikan bahwa kakek itu tidak membanggakan kekayaannya. Ketika Sai-cu Kai-ong, kakek tuan rumah itu, memandang wajah Ang-siocia, dia kelihatan tertarik sekali, bahkan seperti orang tertegun dan sinar matanya melekat pada wajah dara itu. Kalau orang tidak mengenal bahwa kakek ini adalah seorang kakek sakti yang gagah perkasa, yang sudah tidak tertarik lagi oleh wanita muda dan cantik, maka tentu orang akan menyangka dia mata keranjang dan terpesona oleh kecantikan Ang-siocia.
Melihat tuan rumah seperti tertegun memandangnya, dengan sinar mata penuh selidik menjelajahi setiap bagian wajahnya, Ang-siocia mengerutkan alisnya dan diam-diam hatinya sudah merasa tidak senang, dan dia menyangka bahwa kakek itu tentu tergolong pria tua yang cabul dan mata keranjang! Akan tetapi tidak demikian dengan gurunya, Hek-sin Touw-ong tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Kai-ong, dia ini adalah muridku, mengapa engkau memandanginya seperti itu? Apakah engkau sudah mengenal muridku ini?” tanya Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.
Kalau memang dia terpesona oleh kecantikan gadis itu, tentu Sai-cu Kai-ong akan merasa canggung dan malu mendengar teguran itu, akan tetapi karena memang dia sama sekali tidak ada pikiran yang tidak patut, teguran itu diterimanya secara sungguh-sungguh dan dia pun menjawab tanpa melepaskan pandang matanya dari Ang-siocia.
“Serasa kukenal dia.... wajahnya serupa benar dengan.... mantuku yang telah menlnggal dunia.... akan tetapi....“ kini matanya meneliti ke arah dagu Angsiocia.
“Ha-ha-ha, pengemis tua bangka, engkau mencari-cari sebuah tahi lalat kecil di dagu?”
Mendengar ini, secepat kilat kakek itu menoleh dan memandang kepada tamunya dengan sinar mata berkilat, wajahnya berubah pucat. “Engkau maling tua, hayo katakan yang sebenarnya, apa maksudmu itu? Dari mana kau tahu tentang tahi lalat di dagu?”
Tiba-tiba mata kakek itu terbelalak dan dia menoleh lagi kepada Ang-siocia, memandang wajah dara itu, kemudian dia menoleh lagi kepada Hek-sin Touw-ong, suaranya gemetar ketika dia berkata, “Touw-ong, demi Tuhan! Siapakah dia ini? Benarkah dia ini....?”
“Kai-ong, mari kita duduk yang baik dan akan kuceritakan sesuatu yang pasti akan mendatangkan kegembiraan besar bagimu.”
Dengan mata masih memandang kepada Ang-siocia, tuan rumah itu membawa dua orang tamunya ke sebuah ruangan dan mereka duduk berhadapan. Kemudian tuan rumah itu memandang wajah Si Raja Maling, dan dari sinar matanya dia mengajukan seribu satu macam pertanyaan.
“Kai-ong, tak perlu kujelaskan lagi, engkau tentu mengenal baik Sin-siauw Seng-jin, bukan? Biarpun engkau belum pernah membongkar rahasia kakek suling sakti itu, namun aku dapat menduga bahwa antara engkau dan dia terdapat suatu ikatan yang amat mendalam. Benarkah demikian?”
Bersambung ke buku 19
Label:
Jodoh Rajawali,
Kho Ping Hoo