Bu Kek Siansu - buku 10

Mula-mula Swat Hong yang terpengaruh hawa mujijat itu. Hal ini tidaklah mengherankan karena tentu saja Sin Liong memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan sumoinya, juga memang sebelumnya Swat Hong sudah tersiksa oleh perasaannya sendiri, perasaan mesra yang aneh yang sejak tadi menyelinap dan mengaduk hatinya ketika merasa betapa telapak tangan suhengnya menyentuh punggungnya. Karena memang sudah timbul perasaan wajar dari seorang gadis yang normal dan sehat, terdorong oleh rasa cintanya kepada suhengnya itu, maka tidaklah mengherankan ketika diserang oleh kekuatan sihir, Swat Hong mudah sekali terkena. Dia mengeluh dan merintih lirih, tubuhnya gemetar semua, mukanya berubah merah seperti dibakar, napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal dan dia tidak peduli lagi bajunya yang tadi ditahan dengan tangan di bagian depan dadanya, merosot dan terbuka. Setelah gelisah bergerak ke kanan kiri, kemudian dia menoleh, memandang kepada suhengnya yang masih duduk bersila dengan muka menunduk dan mata terpejam.

"Iihhhh.... aahhh.... Suheng....!" Swat Hong mengeluh, lalu membalikan tubuhnya dan serta merta merangkul leher Sin Liong sambil terengah-engah seperti orang hendak menangis.

Sin Liong membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa sumoinya dalam keadaan setengah telanjang karena pakaian bagian atasnya terlepas setelah merangkulnya.

"Su....Sumoi!" Dia berseru dan barulah dia merasa betapa kepalanya seketika menjadi pening, pandang matanya menjadi berkunang dan hidungnya mencium bau yang harum dan aneh sekali. Baru sekarang terasa olehnya betapa tubuh sumoinya mendekap ketat dan jari-jari tangannya merasakan kulit yang lunak halus dan hangat. Jantungnya berdebar dan pada saat itu, dengan isak tertahan Swat Hong telah memperketat pelukannya dan menciumnya. "Suheng....!"

Bagaikan dalam mimpi Sin Liong merasa seolah-olah dia terseret oleh harus yang amat dahsyat, yang membuat bibirnya membalas ciuman itu, yang memaksa kedua lengannya merangkul dan mendekap. Namun, seketika itu juga timbul hawa panas dari pusat di pusarnya, hawa panas yang naik ke atas dan membuyarkan semua hal yang membuat dia pening dan seperti mabok itu. Memang pada dasarnya Sin Liong adalah seorang anak yang ajaib, yang sama sekali tidak pernah dipermainkan oleh lamunan yang bukan-bukan, yang bersih sama sekali, kebersihan yang khas dan wajar, tidak dibuat-buat dan memang pada dasarnya dia memiliki kekuatan batin yang tidak lumrah manusia biasa. Maka begitu dia terserang oleh sihir yang amat mujijat, biarpun dia sendiri belum tahu bahwa ada orang jahil yang mempermainkannya, namun secara otomatis kebersihan hatinya telah meninggalkan hawa panas menolak kekuasaan asing yang kotor itu. Begitu hawa panas naik dan membuyarkan pengaruh jahat, seperti baru terbuka mata pemuda itu. Baru tampak olehnya kepulan asap yang harum, keadaan Swat Hong yang tidak wajar. Seketika tahulah dia bahwa keadaan ini bukan sewajarnya dan pasti dibuat oleh seorang yang jahat. Begitu telinganya menangkap suara gerakan dari kiri, dia cepat menengok dan tampaklah olehnya seorang kakek tua yang duduk bersila dan meluruskan kedua lengannya ke arah mereka, dan dari kedua lengan itu, juga dari kedua matanya, menyambar tenaga mujijat ke arah mereka.

Lengking yang panjang dan nyaring dahsyat dan mengandung getaran tenaga sakti dari dalam pusarnya, keluar dari mulut Sin Liong dan dia sudah meloncat berdiri. Lengkingan yang dahsyat itu menyebar getaran yang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan sihir yang dipergunakan Ouwyang Cin Cu buyar sama sekali, bahkan tubuh kekek itu tergetar. Swat Hong juga terbebas dari cengkeraman sihir itu, dia menjadi pucat sekali, terbelalak, mengeluh perlahan lalu terguling roboh, pingsan!

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ouwyang Cin Cu ketika dia sedang menikmati hasil ilmu sihirnya, melihat betapa muda-mudi itu sudah mulai terpengaruh, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking sedemikian dahsyatnya sehingga dia merasa betapa jantungnya seperti akan copot! Melihat betapa pengaruh sihirnya buyar, dia segera bangkit berdiri.

"Manusia jahat, apa yang telah kaulakukan?" Sin Liong menegur dan melompat ke depan kakek itu.

Kakek itu mengerahkan tenaga mujijatnya, disalurkan melalui tangan kanannya yang dibuka jari-jari tangannya dan diselojorkan ke arah muka Sin Liong, memandang tajam sambil berkata, "Orang muda berlututlah kau di depan Ouwyang Cin Cu....!"

Akan tetapi, untuk kedua kalinya kakek itu mengalami kekagetan. Biasanya, setiap orang lawan akan dapat dibikin tidak berdaya dengan kekuatan sihirnya. Akan tetapi sekali ini pemuda itu hanya memandang kepadanya dengan sinar mata jernih halus dan sama sekali tidak berlutut seperti yang diperintahkannya dengan suara berwibawa itu. Dia memperhebat pencurahan tenaga sihirnya, namun tetap saja pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh. Tentu saja Sin Liong dapat merasakan serangan tenaga mujijat ini, dia merasa betapa ada hawa yang menyerangnya, keluar dari lengan dan pandang mata kekak itu, yang membuatnya tergetar dan seperti ada kekuatan mujijat memaksanya agar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. namun dia mengerti bahwa hal itu tidak semestinya dan tidak sewajarnya, maka dia tidak mau mentaati perintah itu melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran kepada kakek yang dianggapnya jahat itu.

Melihat betapa kekuatan sihirnya sekali ini tidak berhasil, Ouwyang Cin Cu menjadi penasaran sekali . Sihirnya boleh gagal akan tetapi dia masih memiliki ilmu silat dan kekuatan yang dahsyat. Dara itu cantik menarik. Usahanya menikmati tontonan yang tidak senonoh gagal, maka sebaiknya pemuda ini dibunuh saja dan dara itu ditawan!

"Mampuslah kau...." Bentaknya penasaran dan kini dia tidak menggunakan ilmu sihir lagi, melainkan meloncat dan menerkam seperti seekor serigala kepada Sin Liong, tangan kirinya mencengkeram ke arah dahi pemuda itu sedangkan sedangkan tangan kanannya dengan jari terbuka membacok ke arah dada kiri lawan.

"Plak! Desss...."

Sin Liong menangkis dengan kedua tangannya dan akibatnya tubuh kakek itu terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Mata kakek itu terbelalak saking kagetnya. Tak disangkanya bahwa pemuda yang sanggup membuyarkan ilmu sihirnya ini juga berhasil mengankis serangan dan membuat tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh! Maklum bahwa dia berhadapan dengan sorang pemuda yang luar biasa. Ouwyang Cin Cu meloncat, membalikan tubuhnya dan lari! Teringat dia akan sikap takut yang tampak pada wajah bekas Ratu Pulau Es ketika mendengar akan kedatangan pemuda dan pemudi ini dan baru sekarang dia tahu mengapa bekas Ratu itu kelihatan takut-takut. Kiranya pemuda ini memang memiliki kesaktian yang amat hebat! Dia perlu mencari bantuan, karena menghadapi seorang diri saja amat berbahaya.

Sin Liong yang ingin menangkap kakek itu dan mencari keterangan tentang The Kwat Lin, segera mengejar sambil berseru, "Orang tua jahat, kau hendak lari ke mana? Tungu, kau harus menjawab beberapa pertanyaanku!"

Mendengar suara Sin Liong dekat sekali di belakangnya, Ouwyang Cin Cu mempercepat larinya, akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi Sin Liong terus mengejarnya. Setelah keluar dari dalam jalan terowongan itu, di lapangan terbuka yang agak jauh letaknya dari guha di mana Sin Liong meninggalkan Swat Hong tadi, terpaksa Ouwyang Cin Cu tidak dapat melarikan diri lagi karena Sin Liong telah menyusul dekat sekali di belakangnya.

"Kakek jahat, berhenti dulu!" Sin Liong membentak.

"Haaaeeeeeeehhhh!!" Tiba-tiba Ouwyang Cin Cu membalikan tubuhnya dan begitu membalik, segulung sinar biru menyambar ke arah pusar Sin Liong dan sinar putih menyambar ke antara kedua matanya. Sinar biru itu adalah sebatang pedang tipis yang biasanya dibelitkan di pinggang sebagai sabuk oleh kakek itu, sedangkan sinar putih itu adalah jenggot panjangnya yang ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat ampuh!

"Hemmm....!!" Sin Liong yang sudah menduga bahwa kakek yang jahat itu tentu tidak segan-segan bermain curang, sudah menjaga diri maka begitu melihat menyambarnya sinar biru dan putih itu, cepat dia sudah mencelat ke atas. Demikian cepat gerakan pemuda ini sehingga Ouwyang Cin Cu melongo, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang! Akan tetapi gerakan angin menyambar di belakangnya membuat dia membalik dan ternyata pemuda itu telah berada di belakangnya dan tadi ketika mengelak pemuda itu telah mempergunakan ginkang untuk meloncat melalui atas kepalanya. Akan tetapi gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya sehingga dia sendiri sampai hampir tidak melihatnya, hanya melihat bayangan berkelebat dan pemuda itu lenyap. Berdebar jantung kakek itu. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan lawan seperti ini!

"Hiaaaahhh!!" Dia mengusir rasa gentarnya dan mulai mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat cepat. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara bedesing-desing nyaring sekali, dan serangan pedang ini masih dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri dengan telapak tangan terbuka, memukulkan hawa sinkang yang amat kuat. Memang Ouwyang Cin Cu bukan orang sembarangan. Pertapa Himalaya ini selain pandai sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, tenaga sinkangnya amat kuat dan pedang yang dipergunakannya adalah sebatang pedang tipis dari baja biru yang amat ampuh. Akan tetapi satu kali ini dia bertemu dengan batunya! Tubuh Sin Liong berkelebatan dan ke mana pun pedang dan tangan kiri menyerang, selalu hanya bertemu dengan angin belaka.

Dua puluh jurus lebih kakek itu menyerang bertubi-tubi sampai napasnya terengah-engah. Tiba-tiba Sin Liong berseru, "Lepas pedang!"

"Plakk! Desss.....!!"

"Aiiiihhhh....!!" Pedang itu terlepas dari tangan Ouwyang Cin Cu dan jatuh ke atas tanah mengeluarkan suara mendencing nyaring. Ternyata bahwa lengan kanan kakek tua itu kena ditampar oleh jari tangan Sin Liong, mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat, bukan hanya nyeri, akan tetapi juga hawa dingin seolah-olah menggigit daging dan urat, membuat tangan kakek itu tidak kuat lagi memegang pedang.

Untung bagi Ouwyang Cin Cu, pada saat pedangnya terlepas itu, muncul The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li! Bagaikan dua sosok bayangan setan, dua orang wanita sakti ini sudah menerjang ke depan sambil meloncat dan terdengar suara melengking tinggi dari mulut Kiam-mo Cai-li ketika dia menyerang berbareng dengan The Kwat Lin yang juga menyerang tanpa mengeluarkan suara.

"Heeeeeeeeeiiiiiiiiitttttttttt!!! Wir-wirrr......singggg..... singggg!!" Pedang payung di tangan Kiam-m- Cai-li sudah bergerak menyambar menyusul lengkingannya, juga dibarengi dengan menyambarnya rambut panjangnya dan kuku tangan kirinya yang sekaligus menerjang dengan serangan yang amat dahsyat!

Namun Sin Liong lebih memperhatikan sinar pedang mereh yang menyambarnya tanpa suara itu karena dia tahu baha pedang Ang-bwe-kiam di tangan The Kwat Lin yang menyambar tanpa suara itu jauh lebih berbahaya dari pada semua serangan Kiam-mo Cai-li yang banyak ribut itu.

"Hemmmm...!" Sin Liong mendengus dan kaki tangannya bergerak menangkis rambut dan kuku, tubuhnya mencelat menghindari sinar mereh pedang The Kwat Lin dan ujung kakinya yang menendang pergelangan tangan Kiam-mo Cai-li berhasil menangkis tusukan pedang payung.

pada saat itu, dari belakang, menyambar sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu yang ternyata telah menyambar pula pedangnya yang tadi terlepas dan kini ikut mengeroyok.

"Ahhh!" Sin Liong berseru, membiarkan pedang lewat dekat sekali dengan lehernya karena dia memang sengaja berlaku lambat dan begitu pedang lewat, jari tangannya menyentil, kuku jari tangannya bertemu batang pedang biru itu.

"Tringgggg.... Auuhhh....!" Untuk kedua kalinya, pedang biru itu terlepas dari pegangan tangan Ouwyang Cin Cu dan kini melayang jauh dan lenyap kedalam semak-semak!

The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li sudah menerjang lagi, akan tetapi Sin Liong meloncat jauh ke belakang, lalu berkata kepada The Kwat Lin, "Subo, tungu dulu!"

Suaranya halus akan tetapi penuh wibawa sehingga tanpa disadarinya sendiri, Kiam-mo Cai-li menghentikan gerakannya, memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh cahaya kagum. Otomatis hatinya tergerak melihat pemuda yang luar biasa ini, pemuda yang wajahnya mengeluarkan cahaya lembut, sedikit pun tidak membayangkan kekerasan dan yang memiliki sepasang mata yang aneh dan indah.

"Hemmmm, bocah kurang ajar! Engkau masih ingat bahwa aku adalah Subomu (Ibu Gurumu)!" bentak The Kwat Lin dengan suaranya menyindir untuk menutupi guncangan hatinya.

"Subo adalah isteri Suhu, mana teecu berani kurang ajar? Kedatangan teecu bersama Sumoi adalah untuk memenuhi pesan Suhu."

Kembali hati The Kwat Lin terguncang penuh rasa takut dan ngeri, takut kalau-kalau suaminya yang dia tahu amat sakti itu muncul di situ. Akan tetapi mendengar bahwa Sin Liong datang memenuhi pesan suaminya, hatiny lega karena hal itu berarti bahwa suaminya tidak ikut datang!

"Hemm, pesan apakah dari Suhumu?"

Sin Liong yang memang berawatak polos dan tidak suka menyembunyikan sesuatu di dalam hatinya, berkata lantang, "Subo, Suhu minta agar supaya semua pusaka Pulau Es yang Subo bawa pergi, diserahkan kembali kepada teecu untuk teecu kembalikan ke Pulau Es."

Mendengar permintaan ini tanpa menjawab lagi The Kwat Lin lalu menggerakkan pedangnya dan mengirim serangan langsung yang amat dahsyat. Gerakannya memang cekatan sekali dan pedangnya hanya tampak sebagai sinar mereh yang meluncur seperti panah api menuju ke arah tubuh Sin Liong. Pemuda ini kembali mencelat ke belakang berjungkir balik dan berdiri dengan tenang.

"Subo harap dengarkan permintaan teecu. Pusaka-pusaka itu tidak boleh di bawa keluar dari Pulau Es. Teecu tidak suka melawan Subo, akan tetapi kalau Subo tidak mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa teecu...."

"Heiiiiihhh, mampuslah!" bentak The Kwat Lin dan tubuhnya sudah melayang ke depan dengan cepat seperti seekor burung garuda terbang menyambar, didahului oleh sinar mereh pedang Ang-bwe-kiam di tangannya.

Terpaksa Sin Liong mengelak sambil membalas dengan totokan tangan kirinya menuju ke pergelangan tangan yang memegang pedang, namun bekas ibu gurunya itu dengan cepat telah menarik kembali pedangnya dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan jurus-jurus pilihan dari Nga-heng-kiamsut yang dimainkan oleh The Kwat Lin ini hebat bukan main karena diperkuat dengan latihan-latihannya di Pulau Es di bawah bimbingan suaminya, Han Ti Ong yang sakti. Juga berkat latihan sinkangnya di pulau dingin itu, tenaga yang menggerakkan pedang itu pun amat luar biasa sehingga Ang-bwe-kiam menyambar-nyambar dengan hawa dingin yang menyusup tulang lawannya biarpun tubuh belum sampai tercium pedang.

Tentu saja Sin Liong tidak berani memandang rendah. Biarpun dia dapat menghadapi semua serangan subonya dengan mudah, namun dia maklum bahwa di antara tiga orang yang menghadangnya ini, kepandaian subonya memiliki tinggkat yang paling tinggi di samping kepandaian sihir yang berbahaya dari kakek itu. Cepat dia sudah mengelak lagi dan pada saat itu, dari kanan kiri Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li sudah menerjangnya dengan dahsyat pula.

"Wuuuuuttt, plak-palk....! Aduhhh....!" Kiam-mo Cai-li terlempar ke samping dan bergulingan, pundaknya terasa seperti remuk dicium telapak tangan Sin Liong. Tadi ketika dia menyerang dari kiri, tahu-tahu pemuda itu sudah dapat mencengkeram rambutnya yang panjang dan menyentaknya sedemikian rupa sehingga tusukan pedangnya menyeleweng dan tubuhnya miring, kemudian sebelum dia sempat memperbaiki posisinya, pundaknya telah kena tamparan itu yang membuat dia terguling. Dia terkejut bukan main, akan tetapi juga terheran-heran mengapa dia masih selamat. Kalau tamparan tadi naik sedikit saja, mengenai kepalanya, dia ngeri membayangkan akibatnya.

"Singggg....! Singggg....!" Sambil mengeluarkan suara seperti lebah beterbangan , pedang tipis bersinar biru dari Ouwyang Cin Cu juga mengancam, bersama dengan sinar merah pedang Ang-bwe-kiam di tangan The Kwat Lin yang cepat menerjang lagi melihat kawannya terlempar tadi.

"Sing....sing.....siuuuuuut....!"

Tubuh Sin Liong lenyap dan yang tampak hanya bayangannya saja berkelebatan di antara dua sinar pedang itu yang bergulung-gulung mengurung dirinya. Pemuda itu terpaksa mengerahkan seluruh keringanan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kemudian mempercepat lagi gerakannya ketika Kiam-mo Cai-li sudah menerjang juga dengan kemarahan meluap karena kejatuhannya tadi dianggapnya amat memalukan. Tiga orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, ketiganya memegang senjata-senjata pusaka ampuh, mengeroyok Sin Liong dengan mati-matian!

Bukan main hebatnya pertandingan mati-matian itu! Sekali ini, baru sekali inilah, Sin Liong benar-benar diuji semua hasil jerih payahnya mempelajari ilmu silat tinggi di Pulau Es. Diuji hasil warisan hampir seluruh ilmu kepandaian Raja Pulau Es Han Ti Ong yang telah dikuasainya secara matang. Dengan tangan kosong saja dia menghadapi serbuan maut yang dilancarkan secara bertubi-tubi oleh tiga orang lawan yang sakti itu. Sebelumnya, dengan tingkat kepandaian Sin Ling yang sudah luar biasa tingginya, sukar lagi diukur sampai di mana tingkatnya, dengan mudah dia dapat mengikuti semua gerakan tiga orang lawannya dan karena itu dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan. Dengan ilmunya mengenal semua dasar gerakan ilmu silat yang dipelajarinya dari kitab kuno Inti Sari Gerakan Silat, sekali pandang saja dia dapat mengetahui perkembangan gerakan lawan dan bahkan dengan mudah dapat menirunya. Akan tetapi ada dua hal yang penting yang membuat dia repot juga menghadapi pengeroyokan tiga orang lihai itu.

Pertama, harus diakui bahwa biarpun tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dan dia memiliki dasar lebih kuat dan lebih bersih sehingga sinkangnya kuat sekali, namun dia kalah matang dalam latihan. Usianya masih terlalu muda dan dia belum mengalami banyak pertandingan, apalagi melawan orang-orang yang ahli, tidak seperti tiga orang pengeroyoknya yang telah mempunyai pengalaman banyak sekali dalam pertandingan silat. Kedua, dan ini merupakan kenyataan yang paling hebat, adalah bahwa Sin Liong memiliki dasar watak yang halus budi dan penuh belas kasihan. Wataknya ini membuat dia tidak tega menjatuhkan pukulan maut, apalagi membunuh lawannya. Andaikata dia tidak memiliki dasar watak seperti ini, dengan kepandaiannya yang hebat, tentu dia akan mampu membunuh mereka seorang demi seorang. Tadi pun, kalau dia menghendaki, tentu Kiam-mo Cai-li sudah dapat dia robohkan untuk selamanya.

Kini, menghadapi tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan yang berusaha sunguh-sunggu untuk membunuhnya, Sin Liong menjadi repot juga. Apalagi dia hanya mengelak, menangkis, dan kadang-kadang membalas serangan dengan gerakan yang diperlambat dan diperlunak karena takut kalau-kalau salah tangan membunuh orang. Dengan demikian, dia lebih banyak diserang daripada balas menyerang. Seratus jurus telah lewat dan pemuda yang luar biasa ini belum juga dapat dikalahkan oleh para pengeroyoknya. Hal ini membuat mereka bertiga menjadi penasaran, marah dan malu sekali. Biarpun di tempat itu tidak ada orang lain kecuali para anak buah mereka yang kini mulai bermunculan dan mengurung tempat itu, orang-orang katai dan juga para anak buah Rawa Bangkai, namun tiga orang itu tentu saja merasa malu bahwa mereka bertiga maju bersama dengan senjata lengkap sampai seratus jurus tidak mampu membekuk atau menewaskan seorang pemuda yang bertangan kosong! The Kwat Lin yang selama ini merasa bahwa dia tidak menemukan tandingan, biarpun tahu betapa lihainya murid bekas sumoinya ini, namun dia telah dibantu oleh dua orang pandai dan belum juga dapat menang, maka dia merasa penasaran sekali. Kiam-mo Cai-li yang selama ini terkenal sebagai datuk kaum sesat yang lihai, selama hidupnya baru sekali ini dia mengeroyok seorang pemuda dengan dua orang teman yang kepandaiannya lebih tinggi dari dia sendiri, maka dia pun penasaran.Terutama sekali Ouwyang Cin Cu. Sebelum ini sukar membayangkan bahwa dia, yang memiliki ilmu-ilmu luar biasa, akan mengeroyok seorang pemuda seperti itu. Hal ini benar-benar menyakitkan hati dan menghancurkan kebanggaan hati mereka akan ilmu kepandaian mereka masing-masing yang sudah terkenal di dunia kang-ouw.

"Pemuda setan, mampuslah!!" Ouwyang Cin Cu berteriak keras, pedang birunya untuk ke sekian lainya menyambar ganas ke arah leher Sin Liong, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Pada saat itu, Sin Liong baru saja menyingkirkan pedang di tangan The Kwat Lin yang menyambar kakinya dengan cara menendang pergelangan tangan bekas ibu gurunya itu sehingga The Kwat Lin terpaksa menarik kembali pedangnya dan meloncat ke samping.

"Hiaaaaaattttt!!" Kiam-mo Cai-li yang sudah memuncak kemarahannya itu pun membarengi serangan Ouwyang Cin Cu dari belakang, kukunya mencengkeram ke arah punggung Sin Liong sedangkan pedang payungnya berputar-putar mengancam tengkuk.

Dala mdetik berbahaya itu Sin Liong maklum akan datangnya ancaman maut dari depan dan belakang. Tiba-tiba dia berteriak, tubuhnya melesat ke atas dan tak dapat dicegah lagi, pedang payung bertemu dengan pedang biru.

"Cringgggggg.....!!"

Pada saat itulah Sin Liong yang mencelat ke atas itu bergerak cepat bukan main, tubuhnya sudah berjungkir balik, menukik turun dan kedua tangannya menyambar seperti sepasang garuda.

"Plak! Plak!"

Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li mengeluh. Kakek itu terhuyung dan memuntahkan darah segar, sedangkan Kiam-mo Cai-li terguling-guling, kemudian meloncat berdiri dengan muka pucat. Baju di pundak ke dua orang sakti ini robek terkena tamparan tangan Sin Liong!

"Orang muda, lihai ini....!!" Tiba-tiba Ouwyang Cin Cu berseru aneh sekali, pedang birunya diputar-putar merupakan sinar biru bergulung-gulung di depannya.

Sin Liong mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya atau akan menggunakan senjata rahasia, maka dia memandang penuh perhatian. Terkejutlah dia ketika sekali memandang, berarti sekali menuruti kata-kata kakek itu, dia merasa betapa pandang matanya sukar dialihkan lagi dari gulungan sianr biru itu!

"Orang muda, engkau telah lelah, mengasolah.... duduklah kau.....!" kembali suara kakek itu mendengung dengan aneh dan mendatangkan pengaruh yang ajaib.

Sin Liong menggoyang-goyang kepalanya, berusaha mengusir pengaruh yang memaksanya untuk duduk itu. Seketika dia merasa tubuhnya lelah bukan main. Dia maklum bahwa kakek itu kembali menggunakan ilmu hitamnya dan kesadaran ini mendatangkan kekuatan kepada dirinya. Dia mengerahkan sinkangnya untuk menolak pengaruh itu sehingga tubuhnya kadang-kadang diserang kelelahan, kemudian lenyap lagi, datang lagi seolah-olah terjadi "pertandingan" yang tidak tampak.

Akan tetapi, karena terlalu mencurahkan perhatiannya kepada kakek yang menyerangnya dengan sihir, dan menggunakan sinkangnya untuk melawan pengaruh aneh itu, perhatian Sin Liong terhadap dua orang lawan lainya menjadi berkurang banyak.

Dua orang wanita itu tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Melihat betapa pemuda itu kelihatan bengong dan menghentikan gerakannya, Kiam-mo Cai-li cepat menyerang, akan tetapi dia didahului oleh The Kwat Lin yang sudah menusukan Ang-bwe-kiam ke arah lambung Sin Liong, disusul oleh tusukan pedang payung dan cengkeraman kuku tangan kiri Kiam-mo Cai-li, kemudian disusul oleh hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung imkang amat dahsyatnya.

Ketika merasa adanya angin yang menyambar-nyambar menyerangnya, Sin Liong berusaha mengelak. Dengan kedua tangannya yang melakukan gerakan membalik, dia dapat memukul tangan Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin yang memegang pedang dan gerakannya ini hebat bukan main sehingga kedua wanita itu memekik dan pedang mereka terlepas dari pegangan! Akan tetapi, kuku jari tangan Kiam-mo Cai-li yang beracun itu berhasil mencengkeram pundak dekat tengkuk Sin Liong dan pada saat yang hampir sama, tangan kiri The Kwat Lin menghantam punggungnya dengan hebat.

"Plakk! Dessss....!!"

Tubuh Sin Liong terguling, cengkeraman kuku tangan Kiam-mo Cai-li belum tentu akan dapat merobohkan karena secara otomatis hawa sinkang di tubuhnya melindungi tempat yang dicengkeram, akan tetapi hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung tenaga im-kang yang dingin itu terlalu keras bagi Sin Liong yang pada saat itu sedang mencurahkan tenaga melawan sihir Ouwyang Cin Cu. Dia masih terlindung oleh sinkangnya yang otomatis sehingga tidak mengalami luka dalam yang terlalu parah, akan tetapi guncangan yang hebat akibat pukulan itu membuat dia pingsan!

Melihat pemuda yang membuatnya malu dan penasaran itu sudah roboh pingsan, dengan gemasnya ouwyang Cin Cu meloncat dekat, mengangkat tangan kirinya menghantam ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong untuk membunuhnya.

"Wuuuuuttt... plakk! Ehhhh? Kiam-mo Cai-li, mengapa kau menangkis dan melindunginya?" Ouwyang Cin Cu membentak kaget dan melotot memandang kepada kekasih barunya ini.

Kiam-mo Cai-li tersenyum penuh arti, matanya yang indah itu dengan lirikan yang memikat. "Sayang sekali kalau dibunuh begitu saja!" katanya sambil mengusap dagu Sin Liong yang masih pingsan. "Dia adalah sin-tong, kalau aku bisa mendapatkan dia, manfaatnya melebihi seratus orang jejaka lain...."

"Huh, kau memang cabul!" Ouwyang Cin Cu mencela akan tetapi tidak berani turun tangan lagi.

"Tidak, dia harus dibunuh! kalau dibiarkan hidup berbahaya sekali, akan tetapi juga jangan sampai ada bekasnya, jangan sampai ada yang tahu bahwa kita yang membunuhnya. Kita lempar dia di sumur ular, juga gadis itu. Mereka berdua harus mati, akan tetapi tidak boleh meninggalkan jejak!"

"Ah, ya.... gadis itu....!" Ouwyang Cin Cu yang teringat kepada gadis berpunggung putih mulus itu segera berlari ke dalam guha terowongan untuk mencari Swat Hong. Tentu saja dia tidak akan membunuh gadis itu begitu saja sebelum melakukan kecabulan yang sama seperti yang berada di dalam benak Kiam-mo Cai-li!

Akan tetapi tak lama kemudia dia kembali dengan muka berubah. "Dia.... dia tidak ada!"

"Apa....?" The Kwat Lin berseru dengan muka pucat. "Kalau begitu..... lekas kita lemparkan dia ini ke sumur ular kemudian cari gadis itu sampai dapat....!

The Kwat Lin sendiri menggotong tubuh Sin Liong yang masih pingsan itu dan beramai mereka menuju ke sebuah sumur di dalam guha terowongan. Sumur ini lebarnya hanya satu setengah meter, dalamnya sukar diukur karena amat gelap dan dari atas orang dapat menangkap suara mendesis-desis karena sumur itu penuh dengan ular-ular berbisa. Hawa yang memuakkan dapat tercium dari atas, bau yang harum aneh bercampur amis. Tanpa ragu-ragu lagi The Kwat Lin melemparkan tubuh yang pingsan itu ke dalam sumur.

Mereka semua menanti, ingin mendengar keluhan atau rintihan atau pekik ketakutan dari pemuda yang diberikan kepada ular-ular berbisa itu. Namun tidak terdengar sesuatu dan mereka menganggap bahwa tentu pemuda yang pingsan itu tidak sadar kembali dan terus mati karena dikeroyok ular dalam keadaan pingsan.

"Cepat kerahkan orang untuk mencari gadis itu!" The Kwat Lin berkata, dan sibuklah mereka semua mencari Swat Hong, namun sampai habis seluruh lorong terowongan itu dijelajahi dan sampai jauh di luar, di sekitar Rawa Bangkai, tetap saja tidak tampak bayangan gadis itu yang seolah-olah lenyap ditelan bumi!

"Heran sekali, tadi ketika ditinggalkan pemuda itu, dia masih pingsan!" kata Ouwyang Cin Cu ketika mereka bertiga kembali berkumpul di dalam guha di depan sumur ular.

"Kenapa kau pucat sekali? Gadis itu tidak terlalu berbahaya kukira. Andaikata dia berhasil melarikan diri, biarkan dia datang. Pemuda itu yang lebih hebat pun dapat kita basmi," kata Kiam-mo Cai-li ketika melihat betapa The Kwat Lin nampak ketakutan dan mukanya pucat.

"Aihhh... kau tidak tahu....! Lenyapnya Swat Hong begitu aneh...., aku takut kalau-kalau...."

"Mengapa? Apa yang perlu ditakuti?" Ouwyang Cin Cu juga berkata.

"kalau ayahnya yang datang, kita celaka. Baru muridnya saja sudah demikian sukar dilawan, apalagi Gurunya..."

"Bekas suamimu?" Kiam-mo Cai-li bertanya.

"Raja Pulau Es?" Ouwyang Cin Cu juga berkata sambil menengok ke kanan kiri, karena gentar juga mendengar tentang guru pemuda luar biasa tadi.

"Kalau begiu, sebaiknya kita cepat mengunjungi utara dan menghadap An Tai-goanswe," kata Kiam-mo Cai-li.

"Benar, kalau terlalu lama, tentu aku akan ditegur. Beliau telah menanti-nanti!" kata pula Ouwyang Cin Cu karena kini hatinya gentar sekali seperti halnya Kiam-mo Cai-li.

"Memang sebaiknyakita pergi hari ini juga. Akan tetapi hatiku belum puas kalau belum yakin benar akan kematian Sin Liong. Pemuda itu terlalu berbahaya dan lihai, siapa tahu dia masih belum mati di dalam sana."

"Aiihhhh, siapa dapat hidup di lempar ke dalam sumur yang penuh ular berbisa itu?" Ouwyang Cin Cu berkata sambil bergidik karena dia merasa ngeri juga memikirkan hal itu.

Kiam-mo Cai-li tertawa. "The-lihiap, mengapa khawatir? Aku sebagai pemilik tempat ini mengerti betul bahwa sumur itu merupakan sumur maut. Entah sudah berapa banyak..... eh, orang-orang yang kulempar ke situ dan tidak pernah ada yang dapat hidup kembali. Sumur itu dahulunya memang merupakan sarang ular-ular berbisa, kemudian kutambah lagi dengan ratusan ekor ular berbisa lain. Kurasa jangankan baru pemuda itu, biar dewa sekalipun kalau terjatuh ke dalam sumur itu tentu mampus!" Dan memang apa yang diceritakan oleh wanita ini benar. Sudah banyak pria yang dia lempar ke dalam sumur itu, yaitu para pria yang diculiknya dan menjadi korban nafsu berahinya. Setelah dia merasa bosan, para korban itu dilempar ke dalam sumur menjadi mangsa ular-ular berbisa.

"Betapapun juga,aku masih belum yakin benar, Cai-li."

"Kalau begitu, kita runtuhkan saja guha ini agar sumur tertutup dan tidak ada jalan keluar lagi baginya andaikata dia benar masih hidup." Ouwyang Cin Cu memberikan usulnya.

"Memang baik sekali begitu," kata The Kwat Lin.

Kiam-mo Cai-li setuju dan mengerahkan semua anak buah Rawa Bangkai, juga orang-orang katai untuk meruntuhkan guha itu sehingga sumur ular itu tertutup oleh batu-batu besar dan tidak ada jalan keluar dari tempat yang terpendam batu-batu besar itu. Kemudian bergegas tiga orang ini mengajak anak buah mereka meninggalkan Rawa Bangkai dan diam-diam secara terpencar, mereka melakukan perjalanan ke utara untuk membantu pergerakan Jenderal An Lu Shan yang sudah mulai mempersiapkan kekuatannya untuk menyerbu kota raja.

Ke manakah perginya Swat Hong? Apakah dia berhasil siuman dan sempat melarikan diri? Tidak mungkin, Andaikata dia siuman dan melihat Sin Liong dikeroyok, dia pasti akan membantu suhengnya itu, kalau perlu sampai mati bersama. Bukan watak Swat Hong untuk melarikan diri, menyelamatkan dirinya sendiri apalagi suhengnya terancam bahaya.

Tidak, ketika pertolongan tiba, dara ini masih dlam keadaan pingsan. Ketika Sin Liong lari mengejar Ouwyang Cin Cu, muncullah seorang kakek tua renta yang bercaping lebar, berdiri memandang Han Swat Hong samabil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia menghampiri dara itu, membetulkan bajunya yang lepas, lalu memanggul tubuh gadis yang pingsan itu keluar dari dalam guha dengan gerakan yang cepat sekali.

Setelah berada di dalam sebuah hutan yang jauh di luar daerah Rawa Bangkai, kakek itu berhenti, menurunkan Swat Hong dan mengurut tengkuk gadis itu beberapa kali, Swat Hong membuka matanya dan menlihat seorang kakek tua renta, akan tetapi hampir dia jatuh lagi karena tubuhnya masih lemah.

"Duduklah dulu, engkau masih pening dan lemah."

Suara ini sedemikan halusnya sehingga mengelus hati Swat Hong yang menjadi tenang dan sabar kembli. Dia duduk, memejamkan mata sebentar mengusir kepeningannya, lalu mengangkat muka memandang kakek yang berdiri didepannya sambil tersenyum itu.

"Kau.... kau siapakah....?"

"Anak baik, apakah benar namamu Han Swat Hong?"

Swat Hong terbelalak lalu mengangguk.

"Apakah kau datang dari Pulau Es?"

Kembali Swat Hong terkejut dan terheran, akan tetapi untuk kedua kalinya dia mengangguk.

"Kau.... kau siapakah....?"

"Anak baik, apakah benar namamu Han Swat Hong?"

Swat Hong terbelalak lalu mengangguk.

"Apakah kau datang dari Pulau Es?"

Kembali Swat Hong terkejut dan terheran, akan tetapi untuk kedua kalinya dia mengangguk.

"Hemmm.... kalau begitu Ibumu adalah Liu Bwee dan ayahmu Han Ti Ong?"

Swat Hong tak dapat menahan keheranan hatinya. "Bagaimana engkau bisa tahu?"

kakek itu tersenyum, memperlihatkan mulut yang sudah tak bergigi lagi.

"Mengapa tidak tahu kalau Han Ti Ong itu adalah cucuku?"

"Ouhhh...!" Swat Hong terbelalak sebentar, kemudian cepat menjatuhkan diri berlutut. Kiranya dia berhadapan dengan Kong-couwnya (kakek buyut) yang pernah dia dengar telah meninggalkan Pulau Es sebagai seorang pertapa! Kini mengertilah dia bahwa kakek buyutnya ini telah menolongnya.

"ha-ha-ha, kebetulan saja aku mendengar pemuda itu memanggil-manggilmu sehingga aku tertarik akan She Han yang diteriakannya. Melihat engkau berada dalam bahaya, aku segera membawamu keluar dari guha ke tempat ini."

"Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan Kong-couw... akan tetapi, di mana Suheng?"

"Hemm, pemuda yang lihai itu, dia Suhengmu?"

"Benar, Kong-couw, dia adalah murid Ayah."

"Ahh, dia terlalu berbahaya keadaannya. Kau beristirahatlah di sini, pulihkan tenagamu, aku akan kembali ke sana dan melihat keadaannya."

Swat Hong mengangguk dan kakek itu berkelebat pergi dari situ. Swat Hong merasa kagum sekali. Kakek buyutnya itu sudah tua sekali, tentu lebih dari seratus tahun usianya namun gerakannya masih demikian ringan dan cepat. hatinya merasa lega melihat kakeknya itu pergi untuk menolong Sin Liong, maka dia lalu duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan tenaganya. Samar-samar teringatlah dia akan peristiwa di dalam guha dan mukanya terasa panas sekali. Teringatlah dia betapa dia telah menjadi seperti gila di dalam guha itu, ketika suhengnya mengobatinya dan mengusir hawa beracun dari tubuhnya. Kalau dia membayangkan peristiwa itu..... betapa dia tanpa malu-malu memeluk suhengnya, menciumnya.... ah, dia bisa mati karena malu! Namun semua itu hanya teringat seperti dalam mimpi saja, bayang-bayang suram dan dia sendiri masih tidak percaya apakah peristiwa itu benar-benar terjadi, ataukah hanya dalam mimpi belaka? Kalau sungguh terjadi betapa malunya! Dan agaknya tidak mungkin dia berani melakukan hal itu, sungguhpun di sudut hatinya memang terdapat suatu kerinduan yang hebat terhadap suhengnya. Akan tetapi siapa tahu, di dalam guha yang aneh itu. Aihh, kalau benar-benar telah terjadi hal itu , betapa dia dapat bertemu muka dengan suhengnya?

Karena pikiran dan hatinya tak pernah berhenti bekerja dan melamun, waktu berlalu dengan amat cepatnya sampai tidak terasa oleh Swat Hong bahwa kakek buyutnya telah pergi setengah hari lamanya! Baru dia sadar kembali dan teringat akan kakek ini setelah kakek itu datang kembali ke situ tahu-tahu sudah duduk di dekatnya, menghapus keringat dari dahi yang berkeriput itu.

"Aihh...!" Kakek itu menarik napas panjang sambil memandang Swat Hong yang sudah membuka mata dan memandang kakek itu dengan penuh pertanyaan.

"Bagaimana, Kong-couw? Mana Suheng?"

Kembali kakek iru menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Mereka sungguh jahat, Suhengmu biar lihai tidak dapat melawan kelicikan dan kecurangan mereka. Suhengmu tertangkap dan.... terbunuh...."

Sepasang mata itu terbelalak, mukanya pucat sekali. "Tebunuh? Suheng.... terbunuh....?"

"Ya, dilempar ke dalam sumur ular...."

"Aahhhh....!" Swat Hong menjadi lemas dan tentu akan roboh kalau tidak di sambar oleh kakek itu. Dara itu pingsan dengan muka pucat sekali. Kakek itu merebahkannya dan mengerutkan alisnya, merasa kasihan sekali karena dia dapat menyelami perasaan gadis ini, cucu buyutnya yang agaknya mencinta Suhengnya.

Setelah siuman dari pingsannya, Swat Hong menangis dengan sedihnya. kakek itu membiarkan dia menangis beberapa lamanya, kemudian berkata dengan suara halus dan penuh pengertian, "Han Swat Hong, aku tidak menyalahkan engkau berduka dan menangis, karena kematian Suhengmu itu amat menyedihkan. Akan tetapi, kita harus berani membuka mata melihat dan menghadapi kenyataan seperti apa adanya. Suhengmu tewas, hal ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diubah oleh siapa dan oleh apapun juga. Sudah demikianlah jadinya, tidak akan berobah biarpun kita akan berduka sampai menangis air mata darah sekalipun. karena itu lihatlah kenyataan ini dan bersikaplah tenang dan tabah."

Swat Hong menyusut matanya. "Dia.... dia adalah satu-satunya orang.... setelah aku kehilangan Ibu dan Ayah...." Sukar membendung membanjirnya air mata akan tetapi perlahan-lahan, mendengarkan nasihat kakek buyutnya, dapat juga Swat Hong menekan kedukannya dan menghentikan tangisnya.

"Kong-couw, apakah yang terjadi dengan Suheng? Harap ceritakan dengan sejelasnya."

kakek itu menarik napas panjang. "Aku terlambat. Ketika tiba di sana, tempat itu sudah kosong. The Kwat Lin dan teman-temannya sudah melarikan diri dari Rawa Bangkai. Aku menangkap seorang katai yang masih tinggal di sana dan dari orang inilah aku mendengar betapa Suhengmu dikeroyok dan akhirnya dapat ditangkap dan dilempar ke dalam sumur ular."

"Ketika dia dilempar belum mati, apakah dia tidak dapat ditolong?" Swat Hong bertanya penuh harapan.

Kakek itu, yang selama dalam perantauannya setelah meninggalkan Pulau Es, menyebut diri sendiri Han Lojin (Kakek Han), menggeleng kepala. "Guha terowongan itu diruntuhkan oleh Kwat Lin, sumur ular telah tertutup batu-batu besar. Suhengmu tidak mungkin dapat ditolong lagi karena sumur itu penuh ular berbisa dan Suhengmu pingsan ketika dilempar ke situ."

Sepasang mata yang merah karena tangis itu mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangan itu dikepal, "Aku harus bunuh mereka! Aku harus balaskan kematian Suheng! kalau tidak, hidupku tidak ada artinya lagi. Kong-couw, sekarang juga aku akan cari mereka!" Dia sudah bangkit berdiri dan hendak pergi dari situ. Akan tetapi kakek itu memegang lengannya dan berkata dengan suara penuh wibawa, "Tahan dulu!"

Swat Hong memandang kakek itu dengan alis berkerut. "Mengapa engkau menghalangi niatku membalas dendam?"

"Melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa pertimbangan lebih dulu adalah perbuatan bodoh dan sikap yang ceroboh. Karena tidak mengukur kekuatan sendiri, Suhengmu telah membeli dengan nyawanya. Apakah perbuatan bodoh seperti itu hendak kau contoh pula? Aku mendengar keterangan dari si katai itu bahwa mereka itu bersama anak buahnya pergi ke utara, ke Telaga Utara untuk menggabungkan diri dengan pemberontak An Lu Shan. kalau engkau menyusul ke utara, mana mungkin engkau seorang diri akan menghadapi mereka yang mempunyai pasukan ratusan ribu orang? Apakah kau hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia belaka di sana?"

"Aku tidak takut, Kong-couw!"

Kakek itu tersenyum. "Tentu saja tidak takut, akan tetapi bodoh kalau sampai begitu. Kau ini akan membalaskan kematian Suhengmu ataukah akan membunuh diri?"

Swat Hong sadar dan terkejut juga karena baru sekarang terbuka matanya bahwa dia hanya menuruti hati dukan dan sakit. Dia menunduk dan berkata dengan lirih, "Aku harus membalaskan kematian Suheng, dan juga aku harus merampas kembali semua pusaka Pulau Es yang dilarikat The Kwat Lin untuk memenuhi pesan terakhir Ayahku."

"Baiklah, akan tetapi engkau tidak mungkin bisa melaksanakan tugas berat itu seorang diri saja. Marilah pergi bersamaku, aku sudah hafal akan keadaan di Telaga Utara dan biarlah aku yang akan mrnyelidiki di sana nanti."

Swat hong tentu merasa girang sekali memperoleh bantuan kakeknya yang berilmu tinggi dan dia tidak membantah. Maka berangkatlah ke dua orang ini ke utara.

Setelah tiba di dekat Telaga Utara, Han Lojin mulai menyelidiki sebagai sebagai seorang tukang pancing yang bercaping lebar. Swat Hong dia suruh menanti di dalam kuil tua di sebelah hutan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Han Lojin kemudian bertemu dengan cucu mantunya, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok yang dikeoyok oleh orang-orangnya An Lu Shan dan menyelamatkan kedua orang itu. Dia tidak berhasil bertemu dengan The Kwat Lin karena wanita ini, bersama dengan Kiam-mo Cai-li dan juga Ouwyang Cin Cu, telah memperoleh tugas lebih dulu dari An Lu Shan dan telah berangkat ke kota raja untuk menyelundup dan membantu gerakan dari dalam secara rahasia. Oleh karena inilah , maka ketika menyelidiki ke Telaga Utara, Han Lojin tidak pernah mellihat The Kwat Lin dan akhirnya dia malah bertemu dan menyelamatkan cucu mantunya.

Demikianlah, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok ikut bersama kakek sakti itu memasuki hutan.Ketika tiba di kuil, kakek itu berkata kepada Liu Bwee, "Engkau akan bertemu dengan seseorang yang tidak kausangka-sangka, maka bersiaplah engkau menghadapi peristiwa ini."

Tentu saja Liu Bwee menjadi terheran-heran dan tidak mengerti. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara orang , "Kong-couw, aku sudah pulang?" dan munculah Swat Hong!

Tiba-tiba Swat Hong yang berlari ke luar itu berhenti dan seperti telah berubah menjadi patung. Ibu dan anak itu saling berpandangan, keduanya tidak bergerak seperti terkena pesona.

"Ibuuuuu.....!!"

"Swat Hong..... Hong-ji, anakku....!"

Keduanya berlari ke depan, kedua lengan terbuka, air mata bercucuran di wajah yang berseri penuh kebahagiaan, keduanya bertemu, saling rangkul dan saling dekap sambil menangis! Pertemuan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka, pertemuan yang mengundang keharuan hati mendatangkan segala bayangan duka yang dipendam di lubuk hati.

Ouw Sian Kok terbatuk-batuk menahan haru. Teringat dia akan puterinya sendiri, namun diam-diam dia merasa girang bahwa Liu Bwee dapat berjumpa dengan anaknya. Dia saling pandang dengan Han Lojin dan tersenyum sambil mengangguk-angguk, dan pergi menjauh untuk memberi kesempatan kepada ibu dan anak itu saling bertemu dan bicara.

"Ibu...., Ayah.... Pulau Es....."

Liu Bwee mengangguk dan menghusap rambut puterinya. "Aku sudah tahu....."

".......dan Suheng......"

Liu Bwee memandang puterinya dan mengangkat dagu Swat Hong. "Apa maksudmu? Suhengmu kenapa?"

Melihat ibunya belum tahu, Swat Hong terisak lagi menangis. "Hong-ji, tenanglah. Mari kita bicara yang baik. Mengapa Suhengmu? Apa saja yang telah terjadi sejak kita berpisah?"

"Suheng.... Suheng telah tewas, Ibu...."

Liu Bwee terkejut bukan main, terbelalak dan memandang pucat kepada putrinya akan tetapi melihat puterinya menangis penuh duka, dia mendekapnya dan menghibur, "mati hidup bukanlah urusan kita, Hong-ji. tenanglah dan ceritakan semua pengalamanmu kepada Ibumu."

Swat Hong lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ibunya meninggalkan Pulau Es, menceritakan dengan lengkap namun singkat dan didengarkan oleh ibunya penuh perhatian. Ketika puterinya itu bercerita tentang Soan Cu, Liu Bwee menengok dan menggapai ke arah Ouw Sian Kok sambil berseru, "Ouw-twako, ke sinilah. Anakku telah bertemu dengan puterimu, Ouw Soan Cu!"

Mendengar seruan ini, Ouw Sian Kok melompat bangun dan lari menghampiri, berkata kepada Swat Hong, "Aihhh, han-siocia (Nona Han), benarkah kau telah bertemu dengan anakku?" Suaranya agak gemetar karena keharuan hatinya mendengar tentang puterinya.

Swat Hong memandang laki-laki setengah tua yang gagah itu, lalu mngangguk. Kiranya ibunya telah bertemu dan bersahabat dengan ayah Soan Cu, pikirnya! Dia telah mendengar akan ayah Soan Cu yang lari meninggalkan Pulau Neraka semenjak isterinya meninggal dunia. jadi inikah orangnya? Dia lalu melanjutkan penuturannya yang amat menarik hati itu samapai pada peristiwa penyerbuannya bersama suhengnya ke Rawa Bangkai sehingga suhengnya tewas dan dia tertolong oleh kakek buyutnya.

Hening sekali setelah Swat Hong mengakhiri ceritera, hanya isak tertahan gadis itu masih terdengar.

"Hemm, sungguh jahat sekali The Kwat Lin itu!" tiba-tiba Ouw Sian Kok berkata sambil mengepal tinjunya. "Han-siocian, aku Ouw Sian Kok bersumpah untuk membantumu menghadapi iblis betina itu!"

Swat Hong mengangkat mukanya memandang. "Terima kasih, Paman Ouw....."

"Akakn tetapi, aku harus menemui anaku lebih dulu. Di manakah engkau bertemu dengan dia untuk terakhir kalinya?"

"Dia kami tinggalkan di Puncak Awan Merah di Pegunungan Tai-hang-san, di tempat tingal Tee-tok Siangkoan Houw."

"Kalau begitu,biar aku menyusul ke sana!" kata Ouw Sian Kok dengan gembira. "Setelah aku bertemu dengan dia, barulah kita beramai mencari iblis betina itu untuk sama-sama menghadapinya dan menghancurkannya! Bagaimana pendapat Locianpwe?" Dia berpaling kepada kakek Han yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Juga Swat Hong dan Liu Bwee menoleh dan memandang kakek itu karena betapapun juga, mereka mengharapkan bantuan kakek ini, juga keputusannya

Sampai lama Han Lojin diam saja, merenung dan memandang jauh, kemudian menghela napas panjang. "Aihh, tak kusangka akan begini jadinya....! Tadinya, ingin sekali aku melihat kalian berdua melupakan semua hal yang telah lalu, mulai hidup baru dengan aman dan tenteram, menjauhi urusan kekerasan dunia yang hanya mendatangkan dendam dan bunuh-bunuhan antara sesama manusia, sambil mendidik Swat Hong pula. Akan tetapi melihat gejalanya..... mengingat pula hancurnya Pulau Es ..... dan memang sudah seharusnya kalau pusaka-pusaka itu dikembalikan ke tempat asalnya...... ahhhh, aku Si Tua Bangka yang sudah lama mencuci tangan dari urusan duniawi, sekarang terseret pula! Betapa menyedihkan!"

"Locianpwe, kalau kita masih hidup di dunia ramai, betapa mungkin kita menghindarkan diri untuk mencampuri urusan dunia ramai? Yang penting kita selalu berada di pihak yang benar."

Ouw Sian Kok membantah.

Kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Engkau belum mengerti, apa sih artinya pihak yang benar? Apa sih artinya kebenaran? Kebenaran yang dapat disebut dengan mulut, bukankah kebenaran adanya! Ahhh, sudahlah, tanpa adanya kesadaran, mana mungkin dapat mengerti? Engkau hendak mencari puterimu, memang sudah sepatutnya dan semestinya sejak dahulu kaulakukan hal itu. Sekarang aku akan menyertai Liu Bwee dan puterinya ini ke kota raja......"

"Ke kota raja?" Ouw Sian Kok berseru heran.

"Ya, karena The Kwat Lin telah menerima tugas dari An Lu Shan untuk menyusun kekuatan di sana menanti saat pemberontakan tiba. Dan kita tidak perlu terseret oleh pemberontakan, melainkan hanya hendak mencari The Kwat Lin dan minta kembali pusaka-pusaka Pulau Es."

"Dan membunuh mereka untuk membalaskan kematian suheng!" Swat Hong berseru penuh semangat.

Han Lojin tidak menjawab seruan Swat Hong itu, melainkan menoleh kepada Ouw Sian Kok, sambil berkata, "Ouw Sian Kok, kalau kau hendak mencari puterimu, pergilah dan kelah kau boleh menyusul kami di kota raja....."

"Tidak, Locianpwe. Setelah saya mendengar bahwa iblis betina itu berada di kota raja, saya juga harus ikut ke kota raja untuk menghadapinya!"

Liu Bwee memandang kepada tokoh Pulau Neraka ini dan kebetulan sekali Ouw Sian Kok juga memandangnya, maka pertemuan dua pasang sinar mata itu sudah cukup bagi mereka untuk mengetahui isi hati masing-masing. liu Bwee maklum bahwa pria yang gagah itu ingin membantunya karena mengkhawatirkan dirinya, sebaliknya Ouw Sian Kok juga maklum bahwa bekas ratu Pulau Es itu girang sekali mendengar bahwa dia akan membantu. Maka tanpa banyak cakap lagi berangkatlah empat orang ini menuju ke kota raja.

Pada waktu itu, suasana di seluruh negeri telah menjadi panas. Kekacauan terjadi dimana-mana ketika tersiar berita bahwa pemberontakan An Lu Shan mulai bergerak dari utara. Tersiar berita bahwa di tapal batas utara telah di mulai perang saudara antara pasukan pemberontak dan pasukan pmerintah yang tidak kuat membendung datangnya pasukan pemberontak yang seperti air bah membanjir ke selatan. Berita ini sudah cukup untuk membangkitkan semangat golongan sesat untuk bangkit dan mempergunakan kesempatan selagi keadaan negara kacau, rakyat bingung dan pasukan-pasukan ditarik untuk diperbantukan menghadapi pemberontak sehingga keamanan tidak terjamin lagi.

Memang perang telah dimulai. An Lu Shan telah membuka kedoknya dan dengan terang-terangan mulai menggerakkan pasukannya. Pada waktu itu, pasukan pemerintah yang terkuat adalah pasukan penjaga tapal batas utara yang dianggap merupakan bagian atau daerah yang paling penting untuk dijaga dengan kuat, maka otomatis pasukan yang terkuat berada di bawah pimpinan Jenderal ini.

pada jaman itu, kerajaan Tang dipimpin oleh kaisar Beng Ong yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, seorang kaisar yang sayangnya memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu berahi sehingga dia seperti boneka lilin di dalam tangan halus selir Yang Kui Hui. Pada waktu itu, Kerajaan Tang mempunyai dua buah kota raja atau ibu kota. Yang pertama, di mana Kaisar Beng Ong duduk bertahta dan menjadi pusat pemerintahannya, adalah ibu kota Tian-an. Adapun ibu kota yang ke dua adalah Lok-yang.

An Lu Shan yang selain mempunyai bala tentara yang besar jumlahnya dan pasukan-pasukan pilihan, juga dibantu oleh banyak orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Hal ini adalah karena banyak oeang-orang kang-ouw merasa tidak suka kepada Kaisar tua yag berada di bawah telapak kaki selir cantik itu, juga banyak pembesar yang diam-diam merasa dendam kepada Yang Kui Hui karena selir ini dengan mudah begitu saja mempengaruhi Kaisar untuk memecat pembesar-pembesar tinggi dan menggantikan kedudukan mereka dengan kedudukan lebih rendah, semua ini untuk menarik keluarga-keluarganya agar dapat menduduki tempat-tempat penting!

Gerakan pemberontakan An Lu Shan dimulai dari utara di dekat Peking, terus membanjir ke selatan. Dengan mudahnya dia melumpuhkan semua perlawanan yang dilaukan oleh pasukan-pasukan yang masih setia kepada Kaisar, bahkan pasukan yang takluk segera menyerah dan menjadi pasukan pembantunya. Dengan mudah saja pasukan-pasukan pemberontak menyeberangi Sungai Kuning dan menyerbu Lok-yang, ibu kota ke dua dari kerajaan Tang.

Komandan pasukan yang mempertahankan Lok-yang, ibu kota ke dua dari Kerajaan Tang ini adalah seorang panglima yang setia dan dengan gigih dia memimpin pasukannya mempertahankan Lok-yang mati-matian. Akan tetapi, yang amat melemahkan pertahanan itu adalah gangguan-gangguan dari dalam kota itu sendiri yang dilakukan oleh kaki tangan An Lu Shan. Pada saat Lok-yang diserbu inilah rombongan Han Lojin berada di Lok-yang ketika mereka berusaha mencari The Kwat Lin yang dikabarkan membantu An Lu Shan dengan mempersiapkan diri di ibu kota itu. Han Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee dan Swat Hong terkurung di dalam kota Lok-yang ketika ibu kota ke dua ini di serbu pemberontak. Mereka menyaksikan sendiri betapa Panglima Coa Cun dengan gagah berani mempertahankan ibu kota ke dua itu dengan pasukannya sehingga tidaklah mudah bagi pasukan pemberontak untuk menguasai kota raja ini.

Han Lojin dan rombongan yang memang bermaksud untuk mencari The Kwat Lin, ikut hilir mudik bersama parang penghuni yang ketakutan, memasang mata dan ketika terjadi pembakaran di pusat pasar dan serangan-serangan gelap yang ditujukan kepada komandan-komandan pasukan oleh serombongan orang yang gerakannya amat lihai, Han Lojin dan rombongannya cepat mendatangi tempat kekacauan ini. Akhirnya setelah lari ke sana-sini setiap mendengar ada kekacauan yang dilakukan oleh segerombolan mata-mata musuh, di taman belakang istana pangeran muda yang berkuasa di Lok-yang, mereka melihat gerombolan pengacau itu dan serta merta Han-Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee Dan Swat Hong menyerbu dan mencari The Kwat Lin.

Akan tetapi, mereka berhadapan dengan belasan orang pengacau yang dipimpin oleh Kiam-mo Cai-li! Gerombolan itu sedang berusaha untuk membakar istana pangeran dengan panah-panah api dan para pengawal istana itu sudah malang melintang tewas oleh mereka.

"Dialah Kiam-mo Cai-li, pemiliki istana Rawa Bangkai," kata Han Lojin sambil menuding ke arah seorang wanita cantik yang pakainnya mewah dan sedang memimpin belasan orang pembantunya itu untuk menghujankan anak panah ke arah istana. Sebagian dari istana itu mulai terbakar.

Mendengar bahwa wanita itu adalah seorang di antara pembunuh-pembunuh suhengnya, Swat Hong sudah tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia meloncat keluar dari tempat sembunyinya dengan pedang di tangan, serta merta menyerang sambil membentak, "Iblis betina Kiam-mo-cai-li, bersiaplah engkau menebus nyawa Suheng Kwa Sin Liong!!"

"Singggggg... syuuuuuutttt..... aiihhhh.....!" Kiam-mo Cai-li cepat mengelak dengan meloncat ke belakang dan rambutnya yang panjang seperti hidup saja bergerak menyambar ke arah pergelangan tangan Swat Hong. Namun dara ini cukup cekatan. Melihat sinar hitam menyambar, dia sudah membalikan pedangnya membacok sehingga putuslah segumpal rambut, membuat Kiam-mo Cai-li berteriak kaget dan marah.

Ketika dia memandang dan melihat bahwa yang muncul ini adalah gadis teman Sin Liong, gadis dari Pulau Es seperti yang di ceritakan oleh The Kwat Lin, dia terkejut bukan main. Apalagi melihat han Lojin, Ouw Sian Kok, dan Liu Bwee yang jelas membayangkan kelihaian.

"Panah roboh mereka!" Tiba-tiba dia berteriak sambil melompat jauh ke belakang untuk memberi kesempatan kepada dua belas orang pembantunya menyerang empat orang ini.

Dua belas orang itu adalah anak buah Kiam-Mo Cai-li dari Rawa Bangkai yang telah dididik khusus menggunakan anak panah berapi. Ketika mereka mendengar aba-aba ini dan mengenal wajah Swat Hong sebagai gadis yang pernah menyerbu Rawa Bangkai, cepat mereka membidikan anak panah mereka, dan tampaklah sinar-sinar berapi menyambar ke pada empat orang itu.

"Wir-wir-wir....!!"

Mengerikan sekali datangnya anak-anak panah yang ujungnya bernyala itu, dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau anak panah yang bernyala itu mengenai tubuh! Namun, empat orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Dengan amat mudahnya Han Lojin dan Ouw Sian Kok mengebutkan ujung baju meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arah mereka, sedangkan Liu Bwee dan Swat Hong juga sudah meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arah mereka dengan pedang sehingga anak-anak panah itu patah-patah.

"Iblis betina !" Swat Hong meloncat maju, pedangnya diputar cepat dan dia sudah menerjang Kiam-mo Cai-li dengan dahsyat.

"Trangggg! Trik-trikkkk!" Pedang payung di tangan Kiam-mo Cai-li sudah menangkis dan kuku-kuku jarinya yang panjang mengeluarkan suara berjentrik ketika dia mencengkeram ke arah Swat Hong yang dapat dielakan oleh dara ini.

"Kalian hadapi mereka. wanita itu lihai dan berbahaya, aku harus menjaga Swat Hong," kata han Lojin kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Liu Bwee mengangguk dan hatinya lega karena dengan bantuan kakek suaminya itu, dia tidak mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Maka bersama Ouw Sian Kok dia lalu mengamuk dan celakalah dua belas orang anak buah Rawa Bangkai itu karena mana mungkin mereka dapat melawan dua orang lihai dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini? Biarpun mereka semua telah menggunakan pedang dan golok menyerang dan mengeroyok, namun seorang demi seorang roboh dan tidak dapat bangkit kembali.

Adapun pertandingan antara Swat Hong melawan Kiam-mo Cai-li amat seru dan menegangkan. Biarpun pada dasarnya Swat Hong memiliki ilmu silat tinggi yang lebih murni dan kuat, namun menghadapi seorang datuk kaum sesat seperti Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik dan banyak pengalaman, beberapa kali hampir saja dia terkena cakaran kuku panjang beracun itu. Tiga macam senjata Kiam-mo Cai-li amat membingungkan Swat Hong.

Dengan gerakan pedang yang cepat, Swat Hong dapat membendung pedang payung dan kuku-kuku jari tangan kiri iblis betina itu, bahkan dia mulai mendesak dengan permainan pedangnya yang cepat dan mengandung tenaga dingin itu.

"Mampuslah!" Swat Hong membentak dan pedangnya menusuk.

"Tranggg...! Brettt...!!" Pedangnya bertemu dengan pedang payung dan berhasil menembus dan merobek kain payung, akan tetapi pedangnya itu tercepit di antara batang-batang payung sehingga kedua pedang bertemu dan saling melekat.

"Hi-hi-hik, kalulah yang mampus!" Kiam-mo Cai-li berseru, tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah dada Swat Hong. Kalau sampai kena dicengkeram kuku-kuku beracun itu, dada Swat Hong tentu akan berbahaya sekali.

"Plak!" Swat Hong sudah siap dan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan lawan dari bawah. Kini terjadilah adu tenaga karena kedua tangan mereka sudah tidak bebas lagi. Pada saat itu, rambut panjang Kiam-mo Cai-li bergerak menyambar ketika dia menggerakkan kepalanya sambil tertawa. Bagaikan ular hidup saja, gumpalan rambut itu menyambar dengan totokan maut! Swat Hong terkejut bukan main, namun hatinya menjadi lega kembali melihat berkelebatnya bayangan kakek buyutnya.

"plakkkk!!!" Rambut itu disambar oleh tangan Han Lojin.

"Aihhh.... lepaskan....!" Kiammo Cai-li menjerit karena betapapun dia berusaha menarik rambutnya, tetap saja tidak dapat terlepas bahkan semakin erat.

"Swat Hong, lepaskan dia, mundurlah!" Han Lojin berseru.

Swat Hong tidak berani membantah, lalu melepaskan pegangan tangannya dan menarik pedangnya melompat mundur.

"Kiam-mo Cai-li, aku hanya ingin bertanya kepadamu!" Han Lojin berkata, suaranya halus.

Melihat kakek ini yang dia tahu amat lihai, Kiam-mo Cai-li yang cerdik lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, menunduk dan berkata, "Locianpwe, maafkan saya, saya tidak berani melawan Locianpwe yang sakti. Pertanyaan apakah yang hendak Locianpwe (Kakek Gagah Perkasa) ajukan kepada saya?"

Melihat sikap Kiam-mo Cai-li yang begitu ketakutan, Swat Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi Han Lojin mengelus jenggotnya. "Hemmm, semua orang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya. Penyesalan yang disertai kesadaran tinggi mendatangkan pengertian sehingga si penyeleweng akan merasa jijik untuk melanjukan penyelewengannya. Kiam-mo Cai-li, sayang kalau kepandaian seperti yang kaumiliki itu dipergunakan untuk kejahatan. Aku hendak bertanya, di mana adanya The Kwat Lin?"

"The Kwat Lin? Ohh, dia berada di...... neraka bersamamu!" Tiba-tiba wanita itu dari bawah menyerang dengan payung dan kuku beracunnya.

"Cepppp.... bresss....!"

"Keparat....." Swat Hong menjerit dan pedangnya bergerak secepat kilat sebelum Kiam-mo Cai-li sempat mencabut kembali pedangnya dari dada kakek itu.

"Prepppp....! Aihhhh....!!"

Darah muncrat-muncrat dari lambung Kiam-mo Cai-li dan dada han Lojin. Kakek itu masih berdiri tegak sambil tersenyum ketika pedang dicabut keluar dadanya. Kiam-mo Cai-li mengeluarkan teriakan seperti binatang buas ketika dia menubruk Swat Hong dan menyerangnya. namun Swat Hong sudah mengelak dan dari samping kembali pedangnya menyambar.

"Crokkkkk!!" Tubuh Kiam-mo Cai-li yang sudah terhuyung itu tidak dapat mengelak lagi, lehernya tertusuk pedang dan dia roboh terguling, berkelojotan dengan mata mendelik memandang ke arah Swat Hong.

"Locianpwe....!" Ouw Sian Kok yang sudah berhasil bersama Liu Bwee merobohkan dua belas orang itu, meloncat dan merangkul kakek itu karena kekek yang masih berdiri tegak itu mendekap dadanya yang bercucuran darah.

Kakek itu menggelengkan kepala, memandang kepada Swat Hong. "Aihhh, kau ganas sekali, Swat Hong....!"

"Kong-couw.... dia jahat.... patut di bunuh!" Swat Hong berkata, memandang mayat Kiam-mo Cai-li yang kini sudah tidak bergerak lagi itu.

"Hayaaaa.... selamanya belum pernah dirobohkan orang, sekali ini terperdaya kelicikan seorang wanita.... memang sudah semestinya begini...... kalian..... kurangilah atau lenyapkan sama sekali.... keganasan..... kekerasan, bunuh membunuh ini.... karena siapa menggunakan kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula.... nah, selamat berpisah anak-anak....."

Tubuh yang bediri tegak itu masih berdiri akan tetapi kalau tidak dirangkul tentu akan roboh karena pada saat itu juga Han Lojin telah mengembuskan napas terakhir. Memang luar biasa sekali kakek ini. pedang payung yang ditusukan secara curang oleh Kiam-mo Cai-li menembus dada dan menembus pula jantungnya, namun dia masih mampu berdiri tegak dan berkata-kata!

Liu Bwee dan Swat Hong berlutut sambil menangis. Akan tetapi Ouw Sian Kok berkata, "Harap kalian bangkit berdiri dan mari kita lekas membawa pergi jenazah Locianpwe ini keluar kota."

Liu Bwee menyusut air matanyadan menggandeng tangan Swat Hong, menarik gadis itu bangkit berdiri. "Ouw-twako benar, Hong-ji. Kita tidak mempunyai urusan apa-apa lagi di sini, keadaan makin kacau. Tugas kita berada di ibu kota pertama, Tiang-an."

Diingatkan akan ini, bahwa The Kwat Lin berada di Tiang-an, Swat Hong memandang ibunya."Kami tadi telah memaksa seorang di antara mereka itu mengaku di mana adanya The Kwat Lin. Dia berada di Tiang-an, tugasnya sama dengan Kiam-mo Cai-li yaitu mengacau kota raja di waktu pemberontak menyerbu ke sana."

Swat Hong mengangguk, sekali lagi melirik ke arah mayat Kiam-mo Cai-li, rasa lega dan puas menyelinap di hatinya mengingat akan kematian suhengnya yang betapapun juga kini sudah agak terbalas dengan matinya wanita ini, kemudian dia mengikuti ibunya pergi dari tempat itu.

Perang, perang, perang! Selama dunia berkembang, agaknya tiada pernah hentinya terjadi perang di antara manusia. Selama sejarah berkembang, terbukti bahwa di setiap jaman manusia melakukan perang, baik dari jaman batu sampai jaman modern! Agaknya betapapun majunya manusia dari segi lahiriah, sebaliknya dalam segi batiniah manusia bahkan makin mundur! Betapa tidak? Di jaman dahulu, yang dikatakan perang adalah mereka yang langsung menceburkan diri dalam perang campuh, dan mereka ini pula yang menjadi korban, yang membunuh atau dibunuh. Makin lama, perkembangan perang menjadi makin ganas dan makin kejam, makin tidak adil dan makin menjauhi apa yang kita sebut prikemanusiaan. Sekarang, di jaman modern, yang langsung memegang senjata banyak selamat karena dia menguasai teknik perang, pandai menjaga diri, pandai bersembunyi. Sebaliknya, rakyat yang tidak tahu apa-apa mati konyol!

Perang, di sudut mana pun terjadinya di dunia ini, dengan kata apa pun diselimutinya, dengan kata-kata indah macam perjuangan, perang suci, perang membela negara, membela agama, membela kehormatan dan lain-lain, tetap saja perang yang berarti bunuh-bunuhan di antara manusia, membunuh hanya untuk melampiaskan dendam dan kembencian sehingga amatlah buasnya, jauh melampaui kebuasan binatang apapun juga yang hidup di dunia ini.

Kita semua bertanggung jawab untuk ini! Perang yang terjadi antara bangsa, antara golongan, antara kelompok, meletus karena kita! Perang antara bangsa atau negara hanya menjadi akibat dari kepentingan Si Aku, bangsaku, agamaku, kebenaranku, kehormatanku, kemerdekaanku dan sebagainya yang bersumber kepada aku. Perang antara bangsa hanya bentuk besar dari perang antara tetangga dan perang antara tetangga adalah bentuk besar dari perang antara keluarga atau perorangan dan semua ini bersumber kepada perang di dalam batin kita sendiri. Batin kita setiap hari penuh dengan nafsu keinginan, iri hati, dendam, benci dan semua bentuk kekerasan dan kekejaman, kalau semua itu menguasai batin kita semua, menguasai dunia, herankah kita kalau selalu terdapat permusuhan dan perang di dunia ini?

Semenjak sejarah tercatat, setiap pihak yang melakukan perang tidak menganggapnya sebagai suatu hal yang buruk. Sebaliknya malah, bermacam dalih diajukan menjadi semacam kedok di depan wajah perang yang dilakukannya, kedok berupa untuk membela diri, perang untuk keadilan, dan perang untuk perdamaian! Betapa menggelikan. Perang untuk keadilan! Perang untuk perdamaian! Dengan cara membunuh-bunuhi sesama manusia. Kita selalu terjebak ke dalam perangkap penuh tipu muslihat ini yang berupa kata-kata indah. Pendapat bahwa tujuan menghalalkan cara merupakan penipuan diri sendiri dan berlawanan dengan kenyataan. Mungkinkah untuk mencapai tujuan baik menggunakan cara yang jahat? yang penting adalah caranya, bukan tujuannya. Tujuan adalah masa depan yang belum ada, hanya merupakan akibat, sebaliknya cara adalah masa kini, saat ini, nyata!

Dengan dalih "menumbangkan kekuasaan lalim" itulah An Lu Shan memimpin ratusan ribu bala tentaranya menyerbu ke selatan. Pada saat seperti itu, An Lu Shan dan semua pengikutnya menganggap bahwa mereka itu "berjuang" dan mereka sama sekali tidak mau melihat bahwa kelak andai kata mereka berhasil dan memegang kekuasaan, ada pula pihak-pihak yang akan mengecapnya "kekuasaan lalim" yang lain dan yang baru pula! Di lain pihak Kaisar Han Ti Tiong atau Beng Ong yang sudah tua itu bersama para punggawanya yang setia tentu saja melakukan perlawanan yang gigih dengan dalih "menghancurkan dan membasmi pemberontak". Mereka ini lupa bahwa peristiwa pemberontakan itu sesungguhnya timbul karena ulah mereka sendiri.

Kekuatan bala tentara yang dipimpin An Lu Shan memang hebat. Dalam beberapa bulan saja, sekali menyerbu, dia telah menguasai seluruh daerah di sebelah utara Sungai Huangho. Pasukan-pasukannya akhirnya berhasil merobohkan pertahanan Lok-yang yang memduduki ibu kota ke dua itu. Kemudian An Lu Shan kembali mengumpulkan kekuatan passukannya dan melanjutkan penyerbuannya menuju ke kota raja Tiang-an! Kematian Kiam-mo Cai-li membuat Jenderal ini menyesal, tentu saja penyesalan ini didasari bahwa dia kehilangan seorang pembantu yang boleh diandalkan!

Ketika Kaisar yang sudah tua itu mendengar betapa Lok-yang dalam beberapa hari saja terjatuh ke dalam tangan pemberontak An Lu Shan, mulailah terbuka matanya betapa selama ini tidak terlalu mengacuhkan urusan pertahanan dan sebagian besar waktunya hanya dihabiskannya di dalam kamar tidur dan di atas ranjang yang lunak hangat dan harum dari selirnya tercinta, Yang Kui Hui. Bangkitlah semangatnya, semangat mudanya yang kini terlalu lama terpendam itu dan dia berhasil mengobarkan semangat para pasukannya yang dikumpulkannya di Ling Pao di mana kaisar membentuk benteng pertahanan yang cukup kuat. Bahkan sekali ini dia memimpin sendiri untuk berperang menghadapi An Lu Shan dengan hati penuh kemarahan. Hati siapa tidak akan sakit kalau mengingat betapa dia telah memberi anugrah besar kepada An Lu Shan, bahkan selirnya yang tercinta telah menganggap An Lu Shan sebagai putera angkat. Dan kini jenderal itu memberontak!

Perbuatan apa pun yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, tidak lah benar jika di belakangnya bersembunyi pamrih apa pun. Sesuatu perbuatan boleh jadi oleh umum dianggap sebagai perbuatan baik, namun apabila perbuatan itu menyembunyikan pamrih, baik yang disadari maupun tidak, maka perbuatan itu tidak benar. Perbuatan menolong orang lain oleh umum dianggap baik, namun jika hal itu dilakukan dengan pamrih apa pun, itu bukanlah menolong namanya, melainkan hanya memberi pinjam untuk kelak ditagih kembali dalam bentuk pembalasan budi! Selama yang berbuat itu merasa bahwa dia berbuat baik, merasa bahwa dia menolong, di dalam perasaan ini sudah terkandung pamerih! Jelas tidak benar! Dan selama ada pamrih di balik setiap perbuatan, pasti akan mendatangkan penyesalan, kebanggaan, kekecewaan, dendam, penjilat, penindasan dan lain-lain. Setiap berbuatan barulah benar jika didorong atau didasari oleh CINTA KASIH! Demikian pula dengan Kaisar. Karena dia merasa bahwa dia telah menolong An Lu Shan, merasa telah berbuat baik kepada jenderal itu maka timbullah penyesalan, kemarahan dan kebencian karena yang pernah ditolongnya itu tidak dengan kebaikan. Pamrih yang tersembunyi di balik pertolongannya dahulu itu adalah menghendaki pembalasan berupa kesetiaan, penghormatan, atau setidaknya menghendaki agar jangan jenderal itu berani melawannya! Contoh ini tanpa kita sadari terjadi di dalam penghidupan kita sehari-hari. Kita miskin akan cinta kasih sehingga setiap perbuatan kita dicengkeram pamrih. Kalau cinta kasih memenuhi hati kita, maka segala pamrih akan lenyap tanpa bekas dan setiap perbuatan kita adalah wajar dan tentu saja benar karena dasarnya cinta kasih yang melekat pada bibir setiap orang, yang menjadi hampa karena disebut-sebut dan disanjung-sanjung, diberi pengertian lain, dan dipecah-pecah! Di mana terdapat cemburu, benci, sengsara, marah, dan lain-lain, cinta kasih tidak akan ada. Di mana terdapat si "aku" yang selalu mengejar keuntungan dan kesenangan lahir batin, cinta kasih tidak akan pernah ada. karena bagi Si Aku, cinta kasih berarti kesenangan untuk "aku" lahir batin yang berupa ketenteraman, jaminan, kepuasan, dan kenikmatan. Maka, sekali satu di antara yang dikejar itu luput, berakhirlah cinta kasihnya dan berubah menjadi cemburu, kemarahan dan kebencian!

Dengan penuh kemarahan Kaisar memimpin barisan-barisan yang dapat dikumpulkannya, didampingi oleh seorang jenderal yang setia kepadanya, seorang jenderal yang ahli dalam perang bernama Kok Cu It yang menjadi komandan barisan itu. Barisan ini lalu bergerak dari Ling Pao. Bertemulah dua barisan yang bermusuhan itu di pegunungan dan terjadilah perang yang amat dahsyat di sela Gunung Tung Kuan. Perang yang amat mengerikan dan mati-matian, di mana mayat manusia bertumpuk-tumpuk dan berserakan, darah manusia membanjiri padang rumput.

Namun akhirnya, betapapun gigih Panglima Kok Cu It melakukan perlawanan setelah dia menyuruh pasukan pengawal mengiringkan Kaisar lebih dulu menyelamatkan diri ke kota raja, karena kalah banyak jumlah pasukannya, Tung Kuan jatuh ketangan pihak An Lu Shan. Pasukan-pasukan yang masih dapat bertahan segera ditarik mundur ke Ling Pao dan membuat pertahanan di tempat ini. kaisar telah melanjutkan perjalanan kembali ke Tiang-an di mana dia berkemas-kemas dengan hati penuh kekhawatiran.

Tak lama kemudian, Ling pao juga jatuh dan Panglima Kok Cu It terpaksa membawa sisa pasukannya kembali ke kota raja. Melihat betapa gerakan An Lu Shan amat kuat dan tidak dapat dibendung, panglima ini menganjurkan kepada Kaisar untuk pergi mengungsi ke Secuan. Kaisar mengumpulkan semua pembantunya yang setia dan akhirnya, atas desakan mereka pula, kaisar menerima usul itu.

Berangkatlah rombongan Kaisar ke barat. Yang berada di dalam rombongan itu, selain Kaisar sekeluarga tentu saja termasuk selir Yang Kui Hui, juga perdana Menteri Yang Kok Tiong kakak dari selir cantik itu berserta semua keluarganya, para Thaikam (Orang Kebiri) yang setia kepada Kaisar, dan beberapa orang ponggawa tinggi yang menjadi kaki tangan mereka. Rombongan besar ini dikawal oleh pasukan pengawal istimewa dan berangkatlah rombongan Kaisar pergi mengungsi di lakukan di waktu malam agar jangan ada rakyat mengetahuinya.

Pelarian yang dilakukan tergesa-gesa ini pun mencerminkan watak orang-orang bangsawan ini. Selain keluarga mereka, juga mereka membawa harta benda mereka sebanyak mungkin! Tidak ada lagi yang dipikirkan kecuali membawa keluarga dan harta bendanya sehingga mereka lupa bahwa bukan harta benda yang penting untuk dibawa sebagai bekal, melainkan ransum! Mereka melupakan ini dan sibuk membawa harta benda yang mungkin dapat terbawa.

Telah menjadi kelemahan kita manusia dalam penghidupan kita ini bahwa kita selalu melekat kepada benda-benda duniawi. Kita lupa bahwa benda-benda itu yang memang merupakan perlengkapan hidup dan kita butuhkan, hanyalah menjadi hamba kita, menjadi kebutuhan kita selagi hidup. Akan tetapi kita silau oleh benda-benda mati itu, kita mengejarnya dan mengumpulkannya, bukan lagi karena kebutuhan, melainkan karena ketamakan, karena rakus sehingga kita mengumpulkan sebanyak mungkin. Setelah itu, kita menjadi hamba duniawi, kita melekatkan diri dan kita telah merobah batin kita menjadi benda-benda itu! Maka kita selalu mempertahankan duniawi secara mati-matian, kita tidak bisa lagi hidup tanpa dia, lahir maupun batin.

Kehilangan harta benda menjadi hal yang amat hebat dan penuh derita. Mencari dan mengumpulkan harta benda menjadi hal yang paling penting di dalam hidup kita sehingga kalau perlu dalam mengejar duniawi berupa harta benda, kedudukan, kemuliaan dan lain-lain, kita tidak segan-segan untuk sikut-menyikut jegal-menjegal, bunuh-membunuh antara manusia! Maka akan BAHAGIALAH DIA YANG MEMPUNYAI NAMUN TIDAK MEMILIKI, dalam arti kata, mempunyai apa saja di dunia ini karena ada hubungannya, karena ada kebutuhannya, hanya mempunyai lahiriah saja, namun batin sama sekali tidak memiliki, sama sekali tidak terikat atau melekat sehingga punya atau tidak punya bukanlah merupakan soal penting lagi!

Karena ketamakan itulah maka rombongan Kaisar segera mengalami akibatnya setelah rombongan besar itu melarikan diri sampai di pos penjagaan Ma Wei, yang terletak di Propinsi Shen-si sebelah barat, rombongan ini kehabisan ransum yang tidak berapa banyak itu. pasukan pengawal yang menderita kelelahan dan kelaparan, karena sisa ransum yang sedikit diperuntukan Kaisar dan keluarganya serta para bangsawan , menjadi gelisah dan tampaklah wajah-wajah yang membayangkan penasaran dan kemarahan, mulai terdengarlah suara-suara tidak puas di antara para anggauta pasukan.

Perhentian di Ma Wei ini dipergunakan oleh Yang Kok Tiong untuk mengadakan pertemuan dengan orang-orang Tibet. Yang Kok Tiong berusaha untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Tibet untuk membantu Kaisar dalam menghadapi pemberontakan dan membujuk seorang pendeta Lama yang berada di antara orang-orang Tebet itu untuk menyampaikan permintaan bantuannya. Hatinya juga glisah ketika melihat betapa anak buah pasukan pengawal mulai tidak puas. Akan tetapi Kaisar yang sudah merasa lelah dan berduka, tidak tahu akan semua itu dan dia menenggelamkan dirinya yang dirundung kedukaan itu dalam pelukan selirnya yang menghiburnya.

Tidak seorang pun di antara para bangsawan itu tahu betapa di luar terjadi hal yang luar biasa. Seorang laki-laki muda dan seorang gadis cantik menyelinap di antara penduduk setempat, mendekati tempat mengaso para pasukan pengawal dan dua orang muda ini berbisik-bisik dengan para pasukan. Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki! Seperti telah kita ketahui, Liem Toan Ki, jago muda dari Hoa-san-pai itu adalah mata-mata An Lu Shan dan Bu Swi Nio, murid The Kwat Lin, akhirnya juga menjadi pembantu An Lu Shan karena terbawa oleh Liem Toan Ki yang menjadi tunangannya itu. Kini, selagi memata-matai keadaan Kaisar yang melarikan diri, Bu Swi Nio teringat akan kematian kakaknya, maka diambilnya keputusan untuk membalas dendam kepada Yang Kui Hui yang menyebabkan kematian kakaknya, Bu Swi Liang. Setelah berunding dengan kekasihnya, mereka berdua lalu menyelinap di antara penduduk, mengadakan kontak dengan para komandan pasukan pengawal, mulai menghasut mereka itu.

"Lihat, kita bersusah payah, setengah mati kelelahan dan kelaparan menjaga keselamatan Kaisar, beliau sendiri bahkan bersenang-senang dan tidak memperdulikan kita, mabok dalam rayuan Ynag Kui Hui setan kuntilanak itu!" Bu Swi Nio antara lain menghasut.

"Lihat kakaknya yang menjadi perdana menteri itu. Diam-diam mengadakan perundingan dengan orang-orang Tibet. Dialah bersama adiknya ular cantik itu yang menjadi pengkhianat dan menjual negara. Coba ingat, bukankah An Lu Shan diambil anak oleh Yang Kui Hui? Padahal diam-diam menjadi kekasihnya? Negara telah dijual oleh Yang Kui Hui, diberikan kepada kekasihnya, An Lu Shan. Dan sekarang agaknya Yang Kok Tiong hendak menjual keselamatan Kaisar kepada orang-orang Tibet! Aduhhh, sungguh membuat orang hampir mati penasaran. kaisar dipermainkan seperti itu, namun tinggal diam karena mabok oleh kecantikan Yang Kui Hui iblis betina yang keji itu!" demikian Liem Toan Ki menambah minyak dalam api yang mulai dikobarkan oleh Swi Nio.

Memang para anggauta pasukan sudah gelisah dan kehilangan ketenangan. Mereka merasa sengsara dan nasib mereka masih belum dapat ditentukan bagaimana. Mungkin saja mereka semua akan mati konyol jika sampai dapat disusul oleh pasukan-pasukan pemberontak. Mendengar hasutan-hasutan itu, mereka menjadi makin gelisah dan akhirnya terdengarlah teriakan-teriakan yang diam-diam didahului oleh Swi Nio dan Toan Ki.

"Gantung pengkhianat!"

"Bunuh penjual negara!"

"Seret Yang Kok Tiong!"

"Yang Kok Tiong pengkhianat, harus dihukum mati!"

"Sebelum menjual negara itu mampus, kami tidak mau pergi!"

Teriakan-teriakan ini makin hebat dan kini seluruh pasukan sudah bangkit, mengacung-acungkan kepalan dan senjata ke arah bangunan-bangunan di mana rombongan bangsawan itu berada.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kaisar ketika mendengar teriakan-teriakan itu. Juga yang lain-lain menjadi kaget setengah mati, terutama Yang Kok Tiong sendiri. Dia sedang berunding dengan orang-orang Tibet, ketika tiba-tiba Kaisar bersama pengawal-pengawal pribadi memasuki tempat itu. Kaisar kelihatan marah.

"Siapa mereka ini??" bentaknya sambil menuding ke arah tujuh orang Tibet yang berada di situ.

"Hamba....hamba sedang berunding.... minta pertolongan Pemerintah Tibet," jawab Yang Kok Tiong.

"Tangkap orang-orang Tibet itu! Siapa tahu mereka adalah mata-mata perampok!"

Perintah Kaisar ini diturut oleh para pengawal dan ditangkaplah tujuh orang Tibet itu yang tidak berani melakukan perlawanan. Sementara itu, teriakan-teriakan di luar menuntut kematian Yang Kok Tiong makin menghebat. Berbondong-bondong datanglah para pembantu Kaisar, berkumpul di tempat Yang Kok Tiong yang duduk dengan muka pucat mendengar tuntutan para pasukan di luar.

Di depan mata semua orang, tanpa malu-malu Yang Kui Hui menubruk dan merangkul leher Kaisar sambil menangis.

"Sudilah Paduka menolong kakakku.... harap Paduka menyelamatkan kakakku..." Selir itu menangis.

Didekap dan ditangisi selirnya yang tercinta, kaisar yang tua itu segera menghardik kepada kepala pengawal pribadinya, "tangkap si pembuat ribut itu!"

Komandan pengawal itu berdiri tegak dan menjawab, "Ampun, Sri Baginda. Akan tetapi yang ribut adalah seluruh pasukan pengawal!"

"Junjungan hamba ...... tolonglah kakakku..... selamatkan dia ......!" Yang Kui Hui menangis.

yang Kok Tiong juga menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kaisar. "Hamba hanya dapat mengharapkan kebijaksanan Paduka dan menaruh nyawa hamba di dalam telapak tangan Paduka ....!"

"Seret Yang Kok Tiong si pengkhianat keluar!" terdengar teriakan dari luar.

"Keluarkan jahanam itu, kalau tidak kami menyerbu ke dalam!" Suara ini diikuti suara pintu digedor-gedor dari luar.

"Tangkap dia...!!" Kaisar memerintah dan menudingkan telunjuknya kluar.

Komandan pengawal hendak membuka dau pintu, akan tetapi tiba-tiba dari luar meloncat masuk pengawal yang menjaga di luar, mukanya pucat dan tubuhnya menggigil lalu dia menjatuhkan diri di atas lantai menghadap Kaisar sambil berkata, "Mereka .... mereka .....akan menyerbu.....!"

Oleh kepala pengawal, Kaisar dan rombongannyadikawal naik ke loteng. Kemudia Kaisar keluar dan memandang kepada pasukannya yang memberontak di luar itu. Begitu melihat munculnya Kaisar, para anak buah pasuka berteriak kacau balau, menuntut agar Yang Kok Tiong diberikan kepada mereka.

Kepala pengawal yang melihat gelagat buruk, diam-diam lalu menotok perdana menteri itu dan membawanya turun lagi di luar tahunya Kaisar, kemudian dia membuka pintu dan mendorong perdana menteri itu ke luar. Banyak tangan yang penuh dendam kebencian menyambut, tubuh Yang Kok Tiong di seret-seret, hujan pukulan dan makian, penghinaan dan ludah ditujukan kepadanya.

Ketika Yng Kui Hui yang mendengar teriakan-teriakan kakaknya itu keluar mendekati Kaisar dan menjenguk ke bawah, dia menjerit dan merangkul Kaisar, menangis. Kaisar sendiri terbelalak memandang betapa perdana menterinya itu, kakak dari selirnya, disiksa oleh pasukan, dipukuli dan dimaki-maki.

"Tolonglah kakakku..... tolonglah dia...." Yang Kui Hui merintih dan menangis.

Kaisar lalu berseru ke bawah dengan suara lantang, "Haiii! Semua anggauta pasukanku....! Tahan.....! Jangan lanjutkan perbuatan gila itu!"

"Berhenti....! Kalaian iblis-iblis jahat.......! Uh-huuuuhhh-huuuu....!!" Yang Kui Hui juga menjrit-jerit dan akhirnya menutupi mukanya, demikian pula Kaisar ketika melihat betapa Yang Kok Tiong sudah rebah dan tidak berkutik lagi, dengan tubuh hancur dan penuh darah.

Tiba-tiba dari dalam rombongan pasukan dan orang-orang dusun yang banyak berkumpul di tempat itu terdengar suara nyaring seorang laki-laki, "Seret iblis betina Yang Kui Hui....! Dialah biangkeladinya! Dialah yang menjatuhkan kerajaan dengan menggoda Sri Baginda! Semenjak ada dia, kerajaan menjadi lemah dan dikuasai oleh pengkhianat-pengkhianat!"

Disusul suara wanita, "Bunuh kuntilanak itu! Dia siluman betina! Dia Tiat Ki ke dua ....! Dia berjinah dengan An Lu Shan, dia mengumpulkan keluarganya untuk menguasai kerajaan! Dia harus dihukum gantung.....! Suara ini adalah suara Bu Swi Nio yang ingin membalas kematian kakaknya. Dia menyebut-nyebut nama tokoh wanita Tiat Ki, yang dalam dongeng sejarah adalah seekor siluman rase yang menjelma wanita menjadi selir Kaisar dan menyeret kerajaan ke dalam kehancuran pula.

Mendengar teriakan-teriakan menghasut dari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio ini, pasukan yang haus darah dan yang ridak puas itu lalu berteriak-teriak, menuding-nuding kepada Yang Kui Hui sambil menuntut agar wanita cantik itu digantung!

"Tidak....!! Kalian gila semua! Tidaaaakkk....!!" Kaisar memeluk tubuh selirnya yang pucat dan hampir pingsan itu, lalu menariknya masuk, diikuti teriakan-teriakan para anak buah pasukan dan rakyat setempat.

Kaisar dengan muka mereh karena marahnya merangkul Yang Kui Hui yang menangis terisak-isak itu, diikuti oleh rombongan. Semua anggauta rombongan memandang dengan muka pucat, apalagi mereka mendengar suara ribut-ribut di luar rumah dan kini pintu digedor-gedor lagi.

"Gantung Yang Kui Hui.....!"

"Bunuh siluman itu.....!"

"Kalau tidak, rumah ini kami bakar!!"

Tentu saja Kaisar dan yang lain menjadi makin panik. Kaisar menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat dan keringatnya bercucuran membasahinya, sementara itu Yang Kui Hui berlutut di dekat kursi Kaisar, memeluk kaki Kaisar dan memperlihatkan sikap yang memelas (menimbulkan iba) sekali, tubuhnya gemetar karena suara-suara dari luar yang terdengar, suara menuntuk kematiannya itu seperti ujung pedang-pedang yang ditusuk-tusukan ke ulu hatinya.

Gedoran pintu makin keras, teriakan-teriakan makin hebat sementara Kaisar menanti hasil para komandan pasukan pengawal yang tadi keluar untuk menyabarkan anak buahnya. Penantian yang mencekam dan menegangkan urat syaraf. Tiba-tiba, ketik para komandan pasukan keluar dan bicara, suara-suara teriakan dan gedoran pintu terhenti. Hati Kaisar lega, dia menunduk dan saling pandang dengan kekasihnya. Sepasang mata yang indah itu yang tak pernah kehilangan daya pengaruh yang membuat Kaisar terpesona, kini berlinang air mata. Akan tetapi hanya sejenak saja hati mereka terhibur dan harapan mereka timbul, karena tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan lebih keras lagi disusul gedoran pada pintu dan dinding dan tak lama kemudian, kepala pengawal dan para pembantunya masuk dengan muka pucat, serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar.

"Hamba siap menerima hukuman karena hamba sekalian tidak berhasil menundukan kemarahan mereka," kata komandan pengawal sambil menunduk.

Kaisar bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara, "Bunuh siluman Yang Kui Hui! Kalau tidak, mari kita bunuh saja semua!"

"Tidak! Tidaaaaaakkk....! Persetan....!!" Kaisar berteriak dan lengan kirinya merangkul leher selirnya, seolah-olah dia hendak melindungi kekasih tercinta itu.

"Dor-dor-dorrrr...." pintu digedor dari luar.

"Hancurkan saja Raja lalim dan lemah....!"

"Bakar saja rumah ini kalau yang Kui Hui tidak dihukum mati!"

Keadaan sudah amat berbahaya dan menegangkan. Semua bangsawan yang berada di situ sudah menjadi pucat. Pangeran mahkota segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar. "Dalam keadaan seperti ini, mengapa Paduka masih kukuh?" putera mahkota itu menangis.

Para pembesar yang setia kepada kaisar juga membujuk, bahkan kepala thaikam yang menjadi kepercayaan Kaisar dan yang diam-diam secara pribadi memusuhi Yang Kui Hui, berkata, "Harap Paduka suka mempertimbangkan dengan tenang. Memang menyakitkan hati sekali tuntutan mereka. namun, mereka tidak dapat dibendung dan kalau ditolak, tentu Paduka akan terancam bahaya, bahkan seluruh keluarga Paduka. Apakah Paduka hendak mengorbankan keselamatan Paduka sendiri dan seluruh keluarga hanya untuk satu orang yang toh tidak akan dapat Paduka selamatkan juga?"

Putera mahkota menoleh kepada Yang Kui Hui dan berkata, suaranya keras dan penuh tuntutan, "Seorang yang selama puluhan tahun memperoleh kemuliaan dan anugerah kebaikan Kaisar, apakah di waktu terancam lalu melupakan budi yang besarnya melebihi nyawa itu?"

Yang Kui Hui menjadi pucat wajahnya dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar, memeluk kaki Kaisar sambil menangis dan berkata, "Biarlah hamba membalas segala budi kebaikan Paduka....."

"Tidak....! Tidak....ohhh, Kui Hui, tidak....! Jangan....!"

akan tetapi banyak tangan merenggut tubuh selir cantik itu dari pelukan Kaisar, lalu menyerahkannya kepada kepala thaikam. Selir itu diseret oleh kepala thaikam ke atas pagoda dan tak lama kemudian, terdengarlah sorak-sorai para pasukan melihat tubuh selir cantik jelita itu tergantung di pagoda, tergantung lehernya dan berkelojotan sebentar lalu terdiam.

"Hidup kaisar....!!"

"Biang keladi kelemahan telah tewas....!!"

"Kita akan mengawal Kaisar sampai titik darah terakhir!"

Di sebelah dalam, Kaisar yang tadinya menangis itu terbelalak mendengar teriakan yang sama sekali berlainan itu. Dia bingung tidak tahu apa yang terjadi, memandang ke kanan kiri.

"Di mana dia....? Mana Yang Kui Hui....!"

Semua keluarganya menjatuhkan diri berlutut. "Dia..... telah mengorbankan nyawa demi keselamatan paduka sekeluarga...."

"Kui Hui....!!" Kaisar berlari naik ke loteng, kemudian roboh pingsan melihat tubuh kekasihnya yang diam tidak bergerak, tergantung di pagoda itu.

Peristiwa ini merupakan peristiwa bersejarah yang kemudian terkelan di seluruh Tiongkok sampai berabad-abad lamanya. Bagi mereka yang ikut merasa berduka dan terharu mendengar cerita tentang pemutusan hubungan cinta yang amat menyedikan ini, menganggap Kaisar itu lemah dan telah melakukan kesalahan besar. Peristiwa ini menjadi terkenal sekali ratusan tahun kemudian, bahkan dijadikan cerita drama yang dipangungkan dan menjadi bahan karangan cerita tentang peristiwa itu yang tak terhitung banyaknya. Lebih terkenal sekali setelah sastrawan Po Cu I menulisnya dengan judul "Kesalahan Abadi".

Dengan lesu dan penuh duka, rombongan Kaisar melanjutkan perjalanan mengungsi ke Secuan dan kematian selir tercinta itu melumpuhkan seluruh gairah hidup Kaisar yang sudah tua itu. Akan tetapi, di tengah perjalanan, kembali terjadi peristiwa hebat. Ketika rombongan itu sedang beristirahat dan bermalam di sebuah dusun kecil di daerah yang sepi di perbatasan Secuan, malam itu tiba-tiba heboh karena terjadinya pembunuhan atas diri seorang di antara para pengeran yang ikut mengungsi.

pangeran ini adalah adik pangeran mahkota. Di waktu malam yang amat sunyi itu, dua sosok bayangan berkelebat di atas genteng rumah-rumah yang dijadikan tempat mengaso rombongan Kaisar. Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki. Keduanya, sebagai mata-mata An Lu Shan, setelah berhasil mengasut anak buah pasukan pengawal sehingga terbunuhnya Yang Kui Hui dan kakaknya, diam-diam terus mengikuti dan membayangi rombongan itu, mencari kesempatan baik untuk membunuh Kaisar! Inilah tujuan mereka, karena matinya Kaisar akan merupakan kemenangan besar bagi An Lu Shan.

Akan tetapi, mereka berdua salah masuk! Mereka memasuki kamar pangeran muda yang berada di sebelah kamar Kaisar. Ketika dua batang pedang di tangan mereka bergrak, tubuh di atas pembaringan, di dalam kelambu yang tertusuk pedang dan mengeluarkan pekik maut bukanlah tubuh Kaisar, melainkan tubuh pangeran itu! barulah kedua orang ini tahu bahwa mereka telah keliru, dan cepat mereka meloncat dan keluar dari dalam kamar itu melalui jendela.

"Tangkap penjahat!"

"Tangkap pembunuh!!"

Dalam sekejap mata saja kedua orang mata-mata itu dikepung oleh belasan orang pengawal dan disergap. Tentu saja Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki membela diri dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat. Terjadilah pertandingan keroyokan di ruangan yang cukup terang itu dan makin lama makin banyaklah pengawal yang datang mengeroyok. Menghadapi pengeroyokan banyak sekali pengawal yang berkepandaian tinggi, dua orang itu menjadi repot juga.

Dengan berdiri saling membelakangi, Swi Nio dan Toan Ki saling melindungi, pedang mereka bergerak cepat menyambar-nyambar ke depan, kanan dan kiri menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan ke arah mereka. Suara beradunya senjata nyaring diselingi teriakan-teriakan para pengeroyok memecah kesunyian malam di dusun itu. Tidak kurang dari delapan orang pengeroyok roboh oleh pedang mereka dan kini para pengawal atas komando perwira atasan mereka mengurung dan mengatur barisan.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Bu Swi Nio untuk menggeser kakinya mundur sampai punggungnya beradu dengan punggung Liem Toan Ki. Kemudian dia berbisik, suaranya mengandung keharuan, "Maaf, Koko. Aku yang membujukmu ke sini sehingga kau juga menghadapi bahaya maut...."

"Hushhh...., mati atau hidup kita berdua, Moi-moi...."

"Aku tak takut mati, tapi.... aku belum sempat membalas segala kebaikanmu, Koko...."

"Tidak ada kebaikan di antara kita. Kita saling mencinta, bukan? Mencinta sampai kita mati bersama!"

Ucapan Toan Ki ini membangkitkan semangat di dalam hati Swi Nio. Sambil memengang pedang erat-erat dan tangan kirinya dikepal, dia berkata. "Aku akan merasa bangga denganmu, Koko!"

Percakapan bisik-bisik itu dihentikan karena kini para pengeroyok yang tadi mengurung mereka telah mulai menyerang. Kini pengeroyokan mereka teratur, dan serangan datang bertubi-tubi, berantai karena mereka mengelilingi dua orang ini sampai tiga empat baris. Swi Noi dan Toan Ki kembali harus menggerakkan pedang masing-masing untuk menangkis dan melindungi tubuh mereka, namun karena datangnya serangan tidak seperti tadi, kadang-kadang bertubi-tubi dan susul menyusul, mereka berdua menjadi repot sekali dan tiba-tiba terdengar Swi Nio mengeluh perlahan ketikabahu kirinya terkena hantaman gagang tombak.

Biarpun keduanya telah terluka, namun mereka terus mengamuk, pedang mereka menyambar-nyamabar dan kembali robohlah empat orang pengeroyok, sungguhpun mereka berdua sendiri juga mengalami luka-luka bacokan. Maklumlah keduanya bahwa menghadapi pengeroyokan demikian banyak pengawal, Mereka tidak mungkin dapat meloloskan diri, maka mereka mengamuk untuk dapat membunuh sebanyak mungkin musuh sebelum mereka berdua dirobohkan.Mereka berdua sudah bertekad untuk melawan sampai mati.

Akan tetapi tiba-tiba terjadi perubahan. Para pengurung dan pengeroyok menjadi kacau balau dan terdengar suara meledak-ledak nyaring serta disusul pekik-pekik kesakitan dan robohlah beberapa orang pengeroyok yang kena disambar oleh sebatang cambuk berduri. Juga ada para pengeroyok yang dilempar-lemparkan sepasang lengan yang amat kuat.

Swi Nio dan Toan Ki terkejut dan girang sekali karena maklum bahwa ada bala bantuan datang. Mereka tadinya menduga bahwa yang datang tentulah teman-teman mereka, para mata-mata yang disebar oleh An Lu Shan. Akan tetapi mereka menjadi terheran-heran dan kagum sekali ketika menyaksikan bahwa yang mendatangkan kekacauan pada pihak para pengeroyok hanyalah dua orang, seorang pemuda tinggi besar yang gagah perkasa, yang menggunakan kedua tangannya melempar-lemparkan para pengawal, dan seorang dara yang amat cantik jelita dan gagah, dara yang mengamuk dengan sebatang cambuk berduri dan sebatang pedang, gerakannya cepat dan ganas.

Siapakah dua orang yang tidak dikenal oleh Swi Nio dan Toan Ki itu? Mereka adalah Ouw Soan Cu, gadis Pulau Nereka yang lihai itu, dan pemuda tinggi besar Kwee Lun, murid Lam-hai Seng-jin yang tinggal di Pulau Kura-kura di laut selatan.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka berdua saling berjumpa di puncak Awan Merah di Pegunungan Tai-hang-san, yaitu di tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Ouw Soan Cu gadis Pulau Neraka itu datang bersama Sin Liong sedangkan Kwee Lun yang menjadi teman seperjalanan dan sahabat Swat Hong datang pula bersama gadis itu. Tadinya, sebelum Sin Liong pergi bersama Swat Hong untuk mencari The Kwat Lin di Bu-tong-pai, pemuda ini yang merasa kasihan kepada Soan Cu menitipkan gadis itu kepada Tee-tok Siangkoan Houw. Akan tetapi melihat Sin Liong pergi bersama Swat Hong, Soan Cu tidak mau tinggal di tempat itu, lalu dia pun pergi hendak mencari ayahnya. Dan Kwee Lun, yang merasa tertarik kepada gadis cantik jelita dan galak serta jujur itu, segera berpamit dan cepat lari mengejar Soan Cu.

Di kaki pegunungan Tai-hang-san, barulah Kwee Lun mampu menyusul Soan Cu karena gadis itu memperlambat larinya dan berjalan dengan termenung. Setelah kini mulai melakukan perjalanan seorang diri, barulah Soan cu merasa bingung sekali. tadinya, melakukan perjalanan bersama Sin Liong, dia tidak tahu apa-apa, hanya ikut saja dan segeralah hal diputuskan oleh pemuda itu. Setelah kini sadar bahwa dia berada seorang diri di dunia yang luas ini, dia merasa kesepian dan bingung. Dia tidak mengenal tempat dan tidak tahu harus menuju ke mana untuk mencari ayahnya! Teringat akan semua ini, hatinya kecil dan gelisah, juga marah. Marah kepada Sin Liong yang meninggalkanya.

"Nona Ouw, perlahan dulu.....!"

Karena termenung dan hatinya gelisah, Soan Cu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekitarnya maka dia tidak tahu bahwa ada orang membayanginya di belakang. Barulah dia terkejut ketika mendengar seruan itu dan cepat dia membalikan tubuhnya memandang. Dia cemberut melihat bahwa yang memanggilnya adalah pemuda tinggi besar yang pernah bertempur dengan dia di Puncak Awan Merah karena pemuda ini memembela Swat Hong dan dia membela Sin Liong. Teringat akan peristiwa itu, tiba-tiba saja dia merasa gelisah dan menahan ketawanya dengan senyum lebar, lalu menutupi mulutnya.

Melihat gadis itu menahan ketawa, namun jelas sinar mata gadis itu mentertawakannya, Kwee Lun mengerutkan alisnya yang tebal, akan tetapi dia pun tersenyum dan berkata sambil menjura, "Nona Ouw, mengapa engkau menahan ketawa dan menyembunyikan senyum? Menyambut seorang kenalan dengan senyum lebar di bibir merupakan penghormatan paling besar. Senyum adalah seperti matahari pagi, menghidupkan menenteramkan, penuh damai dan bahagia....."

Mendengar ucapan pemuda itu yang diatur seperti orang membaca sajak, Soan Cu tertawa dan dia kagum juga. Terdengar amat indah kata-kata tadi. Akan tetapi timbul pula kenakalannya dan dai menjawab dengan nada mengejek, "Orang She Kwee, aku tertawa bukan menyambutmu, melainkan teringat akan peristiwa yang amat lucu. Engkau datang bersama Han Swat Hong, membelanya mati-matian, akan tetapi sekarang di manakah dia? Engkau ditinggalkan begitu saja! Betapa lucunya! Lucu ataukah menyedihkan?"

Alis tebal itu makin dalam berkerut, akan tetapi kemudian Kwee Lun tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Memang lucu sekali! Ha-ha-ha-ha, lucu sekali!"

Melihat pemuda itu tidak tersinggung malah tertawa-tawa, Soan Cu menjadi penasaran. "Apa yang lucu?" bentaknya.

"Kau..... eh, kita berdua.... yang lucu. Mengapa bisa begini kebetulan?"

"Apa yang kebetulan?" Soan Cu makin penasaran karena ejekannya itu kini agaknya malah dibalikan oleh pemuda itu kepadanya.

"Bukankah kebetulan sekali nasib kita amat serupa? Aku datang bersama Nona Swat Hong dan aku ditinggalkan, sebaliknya engkau pun datang bersama Sin Liong dan engkau ditinggalkan pula. Nasib kita benar serupa, bukankah ini amat lucunya?"

wajah Soan Cu menjadi merah sekali. "Sratttt!" Pedang Coa-kut-kiam yang bersinar-sinar telah berada di tangan kanannya.Kwee Lun terkejut bukan main, hanya memandang bengong karena sama sekali tidak menyangka bahwa gadis yang dianggapnya jujur dan lincah gembira ini demikian mudah tersinggung!

"Eh, Nona Ouw..... kau.... marah oleh godaanku tadi?"

"Siapa marah? Hayo cabtu pedangmu, kita lanjutkan pertempuran kita yang terhenti ketika di Puncak Awan Merah. Aku masih belum kalah olehmu!"

Kwee lun penarik napas panjang, hatinya lega. Tepat dugaannya, nona ini sama sekali bukan tersinggung oleh godaannya, melainkan karena memiliki watak aneh, ingin melanjutkan pertempuran ketika mereka saling membela sahabat masing-masing di Puncak Awan Merah.

"Wah, berat, Nona. Aku terima kalah. Dlam geberakan-geberakan yang pernah kita lakukan itu saja aku sudah tahu bahwa ilmu kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada aku. Pula kita bukanlah musuh. terserah kalau Nona hendak menganggap aku musuh, akan tetapi aku Kwee Lun sama sekali tidak menganggap kau sebagai musuhku. Bahkan sebaliknya, di antara kita, mau atau tidak telah terdapat ikatan persahabatan yang amat erat."

"Hemm, jangan kau mencoba untuk membujuku. Persahabatan dari mana? Enak saja kau bicara!"

""Eh, apakah kau hendak menyangkal bahwa engkau adalah sahabat baik dari Kwa Sin Liong, Nona?"

"memang, dia adalah sahabat baikku, bukan engkau!"

"Nah, kalau engkau sahabat baik dari dari Kwa Sin Liong, berarti engkau adalah sahabat baikku pula. Kwa Sin Liong adalah Suheng dari Han Swat Hong, dan Nona itu adalah sahabatku. Sahabat dari Si Suheng tentu juga menjadi sahabat baik dari sahabat Si Sumoi, bukan?"

"Hemm, kau memang pandai bicara." Soan Cu menyarungkan kembali pedangnya. "Bilang saja bahwa kau tidak berani melawan aku!"

"Tentu saja tidak berani, karena memang pedangku bukan untuk melawan, melainkan untuk membantumu mencari kembali Ayahmu. Bukankah kau heendak mencari Ayahmu, Nona? Tahukah kau ke mana kau harus mencarinya?"

Ditegur seperti itu, Soan Cu menjadi bingung lagi. Memang tadi dia sedang termenung bingung, tidak tahu harus pergi ke mana, dengan matanya yang indah terbelalak gadis itu memandang kepada Kwee Lun dan menggelengkan keplanya, lalu dia berkata, "Apakah kau tahu?"

"Tentu saja aku tidak tahu, Nona. Aku belum mengenal Ayahmu itu. Akan tetapi, sebagai seorang gadis muda, sungguh tidak leluasa bagimu untuk mencari sendiri. Aku dapat membantumu, aku sering merantau dengan guruku dahulu , dan aku banyak mengenal daerah-daerah, tahu pula dunia kang-ouwse sehingga agaknya akan lebih menguntungkan bagimu dan menyenangkan bagiku kalau kita melakukan perjalanan bersama. Tentu saja kalau kau suka....."

Sampai lama Soan Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghela napas, berkata, "Engkau baik sekali, seperti Sin Liong. Tentu saja engkau tidak dapat kuandalkan seperti dia, kepandaianmu tidak sehebat dia. Akan tetapi engkau juga gagah perkasa, jujur dan itu sudah cukup untuk meyakinkan aku bahwa engkau tentu dapat menjadi seorang sahabat."

"Ha-ha-ha, terima kasih, ha-ha-ha! Sudah kuduga bahwa engkau adalah seorang gadis yang luar biasa, polos dan tidak berpura-pura, cantik dan gagah perkasa. Ha-ha-ha!" Kwe Lun tertawa dengan bebas dan terkejutlah Soan Cu ketika ,elihat betapa air mata mengalir di kedua pipi pemuda tinggi besar yang gagah dan tampan ini.

"Eh, kau menangis??"

Kwee Lun menghentikan tawanya, mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya sambil menggeleng kepala. "Ini adalah penyakitku, Nona. Aku selalu mengeluarkan air mata kalau tertawa terlalu gembira. Akan tetapi, kalau dilihat kenyataannya, apa sih bedanya antara tawa dan tangis? Apakah bedanya antara senang dan susah, antara nyeri dan nikmat? Kesemuanya adalah dua muka dari satu tangan, tak terpisahkan. Mencari yang satu, pasti akan ketemu dengan yang ke dua."

"Wah, kau memang seorang manusia aneh, Kwee-toako. Kau gagah perkasa, pemberani, pandai bersajak, pandai filsafat, dan.... cengeng!"

Girang bukan main hatinya mendengar gadis itu menyebutnya toako, tanda bahwa gadis itu benar-benar mau menerima persaudaraan atau persahabatan diantara mereka.

"Ouw-siocia..... atau engkau lebih senang kusebut adik?"

"Sebut saja namaku Soan Cu."

"Bagus! Kau hebat! Soan Cu kau percayalah, aku Kwee Lun bukanlah seorang yang berarti palsu. Engkau tidak akan kecewa menaruh kepercayaan kepadaku dan sudi menerima uluran tangan persahabatan dariku. Aku akan berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencari Ayahmu itu. Siapakah nama beliau?"

"Ayahku bernama Ouw Sian Kok, tokoh besar dari Pulau Neraka yang sudah belasan tahun meninggalakn Pulau Neraka."

Tiba-tiba Kwee Lun memandang dengan mata terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, bibirnya bergetar ketika dia menegaskan. "Pu.... Pulau..... Neraka?"

Soan Cu tersenyum. "Apakah kau masih mau menganggap aku sahabat setelah kau tahu aku adalah seorang gadis dari Pulau Neraka?"

"Eh-eh, jangan salah paham, Soan Cu. Aku..... hanya terkejut sekali mendengar ada pulau yang namanya seperti itu. Pernah guruku, Lam-hai Sengjin mengatakan bahwa di dalam dongeng yang tersebar diantara kaum kang-ouw, terdapat sebutan dua pulau. Pertama adalh Pulau Es....."

"Tempat tinggal Sin Liong dan Swat Hong!"

"Benar, dan aku sudah merasa bahagia bukan main telah bertemu dengan seorang puteri Pulau Es. dan Ke dua, menurut Suhu adalah pulau yng tentu tidak pernah ada dan hanya ada dalam dongeng, adalah Pulau Neraka........"

"Bukan dongeng. Akulah gadis Pulau Neraka." Ouw Soan Cu lalu menceritakan dengan singkat keadaan Pulau Neraka, juga tentang ayahnya yang minggat dari pulau ketika ibunya tewas melahirkan dia.

"Ah, kasihan sekali engkau, Soan Cu."

"Ayahku yang patut dikasihani."

"Tidak! Ayahmu telah melakukan hal yang amat keliru. Perbuatannya lari dari Pulau Neraka itu jelas membayangkan betapa ayahmu hanyalah mngingat akan dirinya sendiri saja."

"Kwee Lun! Apa yang kaukatakan ini? kau berani menghina nama ayah di depanku?" Soan Cu melotot marah.

"Maaf, Soan Cu. Aku sama sekali tidak menghina siapa pun. Aku hanya bicara berdasarkan kenyataan. Ibumu meninggal duni ketika melahirkanmu, apakah beliau itu salah? Engkau sendiri yang dilahirkan dan kelahiran itu mengakibatkan kematian ibumu, apakah engkau pun bersalah? Tentu saja tidak! Mendiang ibumu dan engkau sama sekali tidak bersalah dan kematian itu adalah suatu hal yang wajar, yang sudah semestinya dan lumrah karena hidup dan mati hal yang biasa. Akan tetapi ayahmu. Beliau malah lari meninggalkan pulau, meninggalkan anaknya yang baru terlahir! Apakah perbuatan ini harus kubenarkan saja? Kalau aku berbuat demikian, berarti aku bukan membenarkan secara jujur, melainkan menjilat untuk menyenangkan hatimu."

Lenyap kemarahan Soan Cu. Dia menunduk. "kau aneh, Kwee-toako, aneh dan terlalu terus terang. Habis andaikata benar seperti yang kau katakan bahwa Ayah terlalu mementingkan diri sendiri apakah aku, sebagai anaknya tidak boleh mencari Ayahku?"

"Bukan begitu, Soan Cu. Tentu saja engkau harus mencari Ayahmu dan aku akan membantumu sampai kita berhasil menemukan Ayahmu. Mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena harus diakui betapa akan sukarnya mencari seorang yang tidak kita ketahui berada di mana. Akan tetapi aku percaya bahwa kalau memang Ayahmu yang telah pergi selama belasan tahun itu berada di daratan, sebagai seorang tokoh besar, tentu ada orang kang-ouw yang mengetahuinya."

Demikanlah, kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama dan makin eratlah hubungan diantara mereka. Dalam diri masing-masing mereka menemukan sahabat yang cocok kepribadian yang serasi dengan watak masing-masing, terbuka, jujur dan tidak bisa bermanis-manisan muka. Soan Cu mulai tertarik sekali kepada pemuda tinggi besar yang tampan, jujur, jenaka dan biarpun kelihatan kasar, namun ternyata pandai bernyanyi dan membaca sajak-sajak indah. Di lain pihak, Kwee Lun juga tertarik sekali oleh pribadi Soan Cu, seorang gadis yang kadang-kadang kelihatan liar dan ganas, tidak pernah menyembunyikan perasaan, namun kadang-kadang begitu lembut dan penuh sifat keibuan. makin akrab hubungan mereka, makin terobatlah hati yang tadinya luka oleh asmara. Kwee Lun mulai dapat melupakan Swat Hong yang dikaguminya, sedangkan Soan Cu mulai dapat melupakan Sin Liong.

Kwee Lun bersama Soan Cu melakukan penyelidikan sampai jauh ke barat, karena dia mendengar dari seorang tokoh Kang-ouw bahwa nama Ouw Sian Kok pernah muncul dibarat. Akan tetapi, pada waktu mereka melakukan perjalanan ke barat untuk mencari jejak tokoh Pulau Neraka itu, keadaan sudah kacau balau oleh perang dan arus manusia ke barat amat banyak. Kedua orang muda itu terbawa harus manusia dan mereka pun seperti dua orang yang sedang mengungsi ke barat.

Ketika mendengar bahwa rombongan Kaisar yang melarikan diri berada di depan, mendengar pula tentang kematian selir terkenal Yang Kui Hui bersama kakaknya yang menjadi perdana menteri, Kwee Lun berkata kepada temannya, "Soan Cu, mari kita melihat keadaan Kaisar. Aku tidak mencampuri urusan perang, akan tetapi siapa tahu, rombongan keluarga bangsawan tertinggi yang melarikan itu akan menarik perhatian orang-orang kang-ouw, termasuk Ayahmu."

Seperti biasa selama melakukan perjalanan bersama, Soan Cu hanya menyetujui karena dia sendiri tidak tahu apa-apa. hanya mengharapkan untuk bertemu dengan ayahnya mulai menipis karena sampai saat itu belum juga ada keterangan yang jelas dan meyakinkan tentang diri ayahnya.

Malam itu mereka dapat menyusul rombongan Kaisar yang berada dalam keadaan berduka setelah terjadi peristiwa pembunuhan Yang Kui Hui karena Kaisar selalu murung dan berduka sekali. Dan seperti diceritakan di bagian depan, pada malam itu terjadi lagi peristiwa hebat yang menimpa rombongan Kaisar, ketika Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki diam-diam menyelinap ke dalam temapat penginapan dan hendak membunuh Kaisar akan tetapi salah masuk dan sebaliknya membunuh seorang pangeran muda.

Ketika Soan Cu dan Kwee Lun melihat dua orang muda yang dengan gagah perkasa mengamuk dan dikepung ketat oleh para pengawal, telah menderta luka-luka namn masih terus mengamuk hebat, Kwee Lun menjadi kagum dan berbisik, "Melihat gerakannya, pemuda gagah itu tentu murid Hao-san-pai adalah orang gagah, pendekar sejati, maka sepatutnya kita menolong mereka."

Soan Cu mengangguk."Memang tidak adil sekali dua orang dikeroyok puluhan orang perajurit seperti itu. Gadis itu pun gagah dan cantik. Mari, Toako, kita bantu mereka meloloskan diri."

Mereka lalu melayang turun dari atas pohon dari mana mereka tadi mengintai, dan tak lama kemudian gegerlah para pengeroyok ketika dua orang muda ini menyerbu dari luar kepungan dan merobohkan para pengeroyok dengan amat mudahnya. Kwee Lun tidak mencabut pedangnya, melainkan menggunakan kedua tangannya yang kuat menangkapi dan melempar-lemparkan pengawal yang menghadang di depannya, sedangkan Soan Cu mengamuk dengan cabuk berduri di tangan kri dan sebatang pedang di tangan kanan. Gerakan dara ini bukan main ganasnya, cambuknya meledak-ledak dan setiap ledakan disusul robohnya seorang pengeroyok, pedangnya membuat gerakan cepat sehingga tampak sinar bergulung-gulung yang merontokan semua senjata lawan.

"Harap Ji-wi mundur dan cepat lari, biar kami menahan mereka!" kata Kwee Lun sambil menggerakkan sikunya yang kuat merobohkan seseorang pengawal yang menerjangnya dari belakang.

"Terima kasih atas bantuan Ji-wi (Anda Berdua)!" seru Liem Toan Ki dengan girang karena dia khawatir sekali akan keadaan kekasihnya. Sambil menggerakkan pedang , mereka lalu mundur dan membuka jalan darah, merobohkan mereka yang berani menghadang dan karena kini para pengawal itu dikacaukan oleh Kwee Lun dan Soan Cu, tidak sukar bagi Swi Nio dan Toan Ki untuk meloloskan diri dari kepungan yang sudah terpecah belah itu.

Setelah melihat dua orang itu menghilang, Kwee Lun juga mengajak Soan Cu meninggalkan gelanggang pertempuran dan menghilang di dalam gelap, mengejar bayangan dua orang yang mereka tolong itu.

Menjelang pagi, Soan Cu dan Kwee Lun melihat dua orang yang ditolongnya tadi sedang menanti mereka di luar sebuah hutan besar. Melihat dua orang penolong mereka, Swi Nio dan Toan Ki cepat maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk.

Bersambung ke Bu Kek Siansu -11