Si Tangan Sakti -4 | Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti -4 | Kho Ping Hoo
Kembali Seng Bu mengangkat kedua tangan ke atas, minta agar semua orang tenang dan mendengarkannya. Setelah semua orang diam, Seng Bu berkata, “Kalian percaya atau tidak, akan tetapi aku yakin bahwa Yo Han yang telah membunuh Suhu, Suci dan Suheng.”
“Tapi engkau tidak melihat dia dengan jelas!”
Kini Thio Cu, seorang yang termasuk tokoh Thian-li-pang, masih adik seperguruan Lauw Kang Hui walaupun tingkatnya kalah jauh, Thio Cu ini adalah seorang yang mewakili Thian-li-pang ketika menghadiri pertemuan para tokoh di sarang Pao-beng-pai, dan dia memberi isyarat kepada semua orang untuk tidak membuat gaduh lagi.
“Ouw Seng Bu, bagaimana engkau dapat merasa yakin bahwa Yo-taihiap yang melakukan pembunuhan itu? Coba jelaskan alasanmu!”
Seng Bu mengangguk. “Begini, Thio-sausiok (paman guru Thio). Kita semua mengetahui belaka bahwa Yo Han adalah murid mendiang kakek guru Ciu Lam Hok, bukan? Nah, kakek paman guru Ciu Lam Hok pernah dibuntungi dan dihukum ke dalam sumur tua oleh kedua kakek guru pendiri Thian-li-pang. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau kini kita mencurigai Yo Han. Dia tentu mendendam kepada Thian-li-pang dan kini dia datang membunuh para pimpinannya.”
Semua orang terdiam, akan tetapi Thio Cu mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya. “Alasan itu kurang kuat. Kalau memang dia mendendam kepada Thian-li-pang kenapa tidak dari dulu dia membasmi Thian-li-pang? Dia bahkan menunjuk suhu Lauw-pangcu menjadi ketua. Tidak, Seng Bu. Itu bukan merupakan bukti bahwa pembunuhnya adalah Yo-taihiap.”
Mendengar ucapan Thio Cu ini, para anggauta Thian-li-pang menyatakan persetujuan mereka.
“Kalau minta bukti bahwa pembunuhnya adalah Yo Han? Lihat saja keadaan tiga mayat itu. Tubuh mereka hangus, jelas akibat pukulan beracun yang amat hebat. Aku yakin bahwa itu hanyalah dapat dilakukan oleh orang yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng dan ilmu itu, seperti kita telah mendengarnya, dikuasai oleh Yo Han ketika dia belajar di dalam sumur. Bukti itu sudah amat kuat. Yo Han yang membunuh Suhu, Suci dan Suheng. Dan aku yang kelak akan membalaskan sakit hati ini!”
“Hemmm, Ouw Seng Bu, jangan tekebur kau! Andaikata benar, pembunuhnya adalah Yo-taihlap, jelas bahwa mereka bertiga ini saja tidak mampu mengalahkan Yo-taihiap, apalagi engkau! Pula, tidak ada yang dapat membuktikan bahwa mereka ini tewas karena pukulan Bu-kek Hoat-keng yang dilakuksn oleh Yo-taihiap.”
“Thio-suciok, lupakah engkau bahwa aku adalah pembantu ketua baru, mendiang Lu-suci? Setelah Lu-suci dan Lauw-suheng sebagai ketua dan wakilnya di Thian-li-pang tewas, maka aku sebagai pimpinan ke tiga, berhak untuk menggantikan mereka menjadi pemimpin Thian-li-pang! Nah, dengan demikian, akulah orangnya yang berhak untuk menyelidiki urusan pembunuhan ini.”
Thio Cu mengerutkan alisnya. “Tidak, urusan ini terlalu besar! Pembunuhan ini harus dibongkar! Dan tentang pemilihan ketua baru, sebaiknya kalau kita menunggu munculnya Yo-taihiap agar dia yang mengadakan pemilihan ketua baru!”
“Thio-susiok, aku telah dipilih Suhu untuk menjadi orang ke tiga di Thian-li-pang, dan engkau berani memandang rendah kepadaku? Sekarang begini saja. Siapa di antara para anggauta Thian-li-pang yang menyetujui pendapat susiok Thio Cu, silakan berdiri di belakangnya! Yang menganggap aku sebagai pimpinan Thian-li-pang sehubungan dengan kematian Suhu, Suci dari Suheng, harap jangan mendekati mereka!”
Ada lima orang yang kini berdiri di belakang Thio Cu. Mereka adalah orang-orang yang masih disebut paman guru oleh Seng Bu. Tentu karena mereka merasa lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya sebagai anggauta Thian-li-pang, mereka berpihak kepada Thio Cu. Kini enam orang itu, dipimpin oleh Thio Cu, berdiri berhadapan dengan Seng Bu. Melihat sikap mereka yang menantang, Seng Bu tiba-tiba tertawa dan semua orang terkejut. Suara tawa itu amat menyeramkan, dan kini mereka melihat betapa mata pemuda itu mencorong aneh, senyumnya dingin mengerikan.
“Paman Thio Cu dan lima Paman lain, kalian berenam tetap tidak percaya bahwa Yo Han yang membunuh Suhu, Suci dan Suheng? Tidak percaya bahwa ilmu pukulan Bu-kek Hoat-keng yang telah dipergunakan Yo Han membunuh mereka?”
“Kami tidak percaya karena tidak ada buktinya. Siapa dapat membuktikan tuduhanmu itu?” tanya Thio Cu.
“Akulah orangnya yang dapat membuktikannya! Aku menguasai ilmu itu, bukan hanya Yo Han, maka aku yakin benar bahwa Yo Han menggunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng untuk membunuh mereka bertiga!”
Tentu saja ucapan ini mengejutkan dan mengherankan semua orang. Thio Cu dan kawan-kawannya mengerutkan alisnya, memandang aneh kepada Seng Bu, menyangka bahwa pemuda itu telah menjadi gila. “Ouw Seng Bu, jangan engkau bicara yang bukan-bukan. Siapa dapat mempercayai omonganmu yang seperti orang gila itu?”
Kembali Beng Bu tertawa dan kini dia menoleh ke arah semua anggauta Thian-li-pang. “Kalian semua lihat baik-baik. Thio Cu dan lima orang ini tetap tidak percaya. Biarlah mereka membuktikan sendiri dan kalian menjadi saksi. Aku akan mempergunakan Bu-kek Hoat-keng kepada mereka seperti yang dilakukan Yo Han kepada Suhu, Suci dan Suheng, dan kalian nanti lihat akibatnya!”
“Seng Bu, apakah engkau sudah gila?” Thio Cu berseru lagi.
“Kalian berenam, bersiaplah untuk membuktikan kebenaran tuduhanku!” Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking yang amat menyeramkan, seperti suara iblis dari neraka atau seekor binatang buas sedang menderita hebat, tubuhnya bergerak ke depan secara aneh, kedua tangannya bergerak seperti orang mabuk. Thio Cu dan lima orang saudaranya yang mengira Seng Bu telah menjadi gila, cepat bersiap siaga untuk menangkap dan menundukkan murid keponakan yang mendadak menjadi gila itu.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget perasaan hati mereka ketika mereka dilanda angin topan yang dasyat. Mereka sudah berusaha menangkis, namun semua tangkisan sia-sia belaka, lengan mereka seperti lumpuh dan enam orang itu terkena tamparan tangan kiri Seng Bu pada dada mereka. Bagaikan daun-daun kering dihembus angin badai, tubuh mereka terlempar dan terjengkang, roboh malang-melintang, berkelojotan dan tewas! Dan yang membuat semua anggauta Thian-li-pang terbelalak dan memandang ngeri adalah ketika mereka melihat betapa wajah dan tubuh enam orang itu menjadi kehitaman dan hangus!
Seng Bu telah biasa kembali. Kini dengan penuh wibawa dia berdiri bertolak pinggang, menghadapi semua anggauta Thian-li-pang dan suaranya terdengar halus namun penuh wibawa. “Ada lagi di antara kalian yang tidak percaya kepadaku bahwa pembunuh Suhu, Suheng dan Suci adalah Yo Han? Dan apakah ada lagi yang tidak setuju kalau aku mulai saat ini menjadi ketua Thian-li-pang dan memimpin kalian?”
Tidak ada seorang pun berani menjawab. Peristiwa itu terlampau hebat dan semua orang masih tertegun, seperti patung. “Hayo jawab, apakah ada yang hendak menentangku?” Seng Bu membentak, suaranya kini terdengar menyeramkan, mengejutkan semua orang. Mereka itu serentak menjatuhkan diri berlutut menghadap Seng Bu, seolah-olah takut kalau-kalau pemuda itu menjadi marah dan menjatuhkan tangan saktinya kepada mereka.
“Tidak ada....tidak ada....”
“Kami semua tunduk kepada Pang-cu....”
“Hidup Ouw-pangcu!”
Seng Bu tersenyum, senyum biasa yang membuat wajahnya nampak tampan menarik. “Bagus, aku akan memimpin kalian, membawa Thian-li-pang maju, tidak seperti sekarang ini. Thian-li-pang akan menjadi perkumpulan terbesar! Kalau Yo Han berani datang, aku akan membunuhnya dengan ilmu yang sama! Sekarang, kita bereskan semua jenazah ini. Tidak perlu dikubur, kita mesukkan saja ke dalam sumur tua itu!”
Semua orang terbelalak dan bergidik, akan tetapi tidak ada yang berani membantah. Melihat sikap para anggauta itu ragu-ragu, Seng Bu tidak sabar dan dia menghampiri jenazah-jenazah itu, lalu sekali angkut, kedua tangannya sudah mencengkeram empat batang tubuh, masing-masing tangan mengangkat dua mayat, lalu dengan langkah lebar dia menghampiri semak belukar, dan melempar-lemparkan empat batang tubuh itu ke dalam sumur tua! Dua kali dia membawa delapan mayat, dan mayat terakhir, yaitu mayat Lauw Kang Hui, dibawanya dan dimasukkannya pula ke dalam sumur tua! Semua orang hanya terbelalak, bergidik dan takut sekali kepada pemuda yang biasanya lembut dan ramah itu. Mereka kini memandang Seng Bu seolah-olah pemuda itu kini berubah menjadi iblis yang amat menakutkan.
“Kalian tahu mengapa aku tidak mengubur jenazah mereka dan membiarkan mereka menjadi penunggu sumur tua?” tanya Seng Bu kepada para anah buah Thian-li-pang. Tak seorang pun dapat menjawab, bahkan tidak berani membuka mulut, hanya menggeleng kepala menyatakan bahwa mereka tidak tahu.
“Aku bukanlah orang yang tidak mengenal aturan. Aku melempar semua mayat ke dalam sumur tua dengan makaud tertentu,” kata Seng Bu dengan sikap biasa, ramah lembut dan berwibawa. “Biarlah mereka itu menjadi arwah penasaran, hal ini kusengaja. Nanti kalau aku sudah berhasil menangkap Yo Han, dia akan kulemparkan ke dalam sumur, baik masih hidup atau sudah mati. Dengan demikian, arwah Suhu, Suci dan Suheng akan merasa senang, dapat membalas kepada Yo Han. Juga arwah enam orang anggauta Thian-li-pang semua akan ikut mengeroyok dan menyiksa Yo Han.”
Semua anggauta diam saja, masih tertegun dan masih terkejut dan ketakutan. “Sekarang semua kembali dan berkumpul di ruangan besar. Aku sebagai ketua baru akan mengadakan peraturan baru. Kita harus dapat menjadikan Thian-li-pang sebagai perkumpulan yang besar dan makmur, tidak seperti sekarang ini. Miskin dan tidak pernah melakukan apa-apa yang sesuai dengan perjuangan kita menentang pemerintah Mancu.”
Setelah mereka berada di sarang Thian-li-pang, Seng Bu mengumpulkan seluruh anggauta dan dia membuat peraturan baru yang membongkar semua peraturan lama. Dan mulai haro itu, Thian-li-pang kembali seperti sebelum Yo Han memasukinya, yaitu menjadi perkumpulan yang dengan kedok perjuangan melakukan apa saja untuk dapat mengumpulkan harta. Mereka menguasai tempat-tempat pelesir di kota-kota, menundukkan Jagoan-jagoan yang memimpin kelompok-kelompok penjahat sehingga semua penjahat harus mengakui Thian-li-pang sebagai pimpinan dan menyerahkan sebagian dari hasil kejahatan mereka sebagai tanda menaluk atau pajak. Mereka yang berani menentang, dihancurkan dengan mudah karena selain Thian-li-pang mempunyai banyak anggauta yang tangguh, juga ketuanya adalah seorang yang lihai. Tidak sukar bagi para anggauta Thian-li-pang untuk mengambil cara hidup baru ini, yang sebetulnya hanya merupakan pengulangan atau kambuhan saja dari cara hidup mereka yang terdahulu. Dan memang hasilnya dapat dirasakan oleh para anggauta, yakni kemakmuran dan serba kecukupan, walaupun uangnya didapat dari hasil kekerasan dan kejahatan. Dalam waktu beberapa bulan saja, nama Thian-li-pang semakin tersohor dan perkumpulan ini menjadi perkumpulan yang kaya dan berpengaruh, juga amat ditakuti orang.
Ouw Seng Bu mempunyai alasan sendiri untuk membenarkan tindakannya itu. Pernah dia mengumpulkan semua anggautanya dan dengan panjang lebar dia menandaskan bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Mereka yang tadinya merasa penasaran juga melihat ketua mereka kini menjalin hubungan baik lagi dengan Pek-lian-kauw, Pat-kwa-pai dan gerombolan-gerombolan lain yang di dunia kang-ouw terkenal sebagai gerombolan jahat dan golongan hitam, menjadi hilang perasaan penasaran itu setelah mendengar keterangan ketua mereka yang baru dan masih muda itu.
“Perjuangan menentang pemerintah penjajah Mancu adalah perjuangan yang suci,” demikian antara lagi Seng Bu berkata, cita-citanya hanya satu, yaitu menentang dan menggulingkan pemerintah penjajah, mengusir penjajah Mancu dari tanah air dan membebaskan bangsa dari belenggu penjajah! Perjuangan tidak mengenal golongan putih atau golongan hitam. Yang terpenting adalah cita-cita tercapai. Demi tercapainya cita-cita perjuangan, apa pun boleh kita lakukan, tidak ada pantangan lagi!”
Ucapan Seng Bu disambut dengan gembira oleh semua anak buah Thian-li-pang cara yang dipakai ketua mereka itu tentu saja membuka kesempatan besar bagi mereka untuk memuaskan keinginan mereka sendiri dengan membonceng perjuangan! Mereka dapat saja menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada rakyat, dapat melakukan perampokan atau pencurian karena semua itu menjadi benar dan baik kalau mereka menggunakan alasan demi perjuangan!
Tujuan menghalalkan segala cara! Itulah pendirian mereka yang telah dicengkeram oleh nafsu. Nafsu selalu menghendaki agar keinginannya tercapai, tersalurkan dan terpuaskan. Mengejar keinginan atau ambisi berarti membiarkan nafsu merajalela menguasai diri sehingga kesadaran lenyap, akal sehat menjadi sakit, pertimbangan patah-patah. Nafsu untuk mendapatkan apa yang diinginkan menyeret kita melakukan segala macam perbuatan yang merugikan orang lain, yang sifatnya merusak. Tujuan mengumpulkan harta sebanyaknya menghalalkan kita melakukan penipuan, korupsi, pencurian dan sebagainya, karena harta dianggap sebagai sumber kesenangan. Tujuan memperoleh kedudukan yang dianggap sebagai sumber kemuliaan, kehormatan dan kesenangan menghalalkan kita melakukan pengkhianatan, kelicikan, penipuan dan menghantam siapa saja yang menghalangi kita, kalau perlu membunuh penghalang itu! Semua ambisi, semua keinginan, tidak lain hanyalah pengejaran terhadap apa yang dianggap menjadi sumber kesenangan. Pikiran yang sudah bergelimang nafsu akan membela semua perbuatan itu, dengan memberi istilah yang indah-indah dan muluk-muluk terhadap pengejaran keinginan itu, misalnya perjuangan, cita-cita dan sebagainya.
Yang terpenting justeru terletak kepada cara itu. Cara berarti tindakan, cara berarti saat ini, sekarang. Tujuan hanya merupakan khayal, belum ada. Yang menentukan adalah cara itu, tindakan itu, sekarang ini. Yang sekarang ini menentukan yang nanti, karena yang nanti hanya merupakan akibat dan kelanjutan dari yang sekarang. Tidak mungkin mencapai tujuan yang baik dengan cara yang buruk, tidak mungkin mencapai tujuan yang bersih dengan cara yang kotor. Kalau caranya kotor, akhirnya yang didapat sebagai akibat cara itu pun pasti kotor.
Kalau orang melakukan sesuatu sambil membayangkan tujuan yang hendak dicapai oleh tindakannya itu, maka besar kemungkinan dia terseret oleh nafsu dan dibutakan oleh kemilau tujuan yang hendak dicapai. Tindakan yang benar adalah tindakan yang tidak terbimbing nafsu, melainkan tindakan yang dasarnya penyerahan kepada Tuhan sehingga tindakan itu akan selalu terbimbing oleh kekuasaan Tuhan. Tindakan seperti ini merupakan tindakan yang dilakukan demi tindakan yang penuh kasih terhadap tindakan itu, karena kekuasaan Tuhan berlimpahan dengan kasih. Kalau kita mencintai apa yang kita lakukan, mencintai apa yang kita kerjakan, demi pekerjaan itu sendiri tanpa membayangkan hasilnya, maka apa yang akan kita lakukan itu sudah pasti benar dan baik, sebagai kemampuan kita. Kalau kita belajar dan mencintai apa yang kita lakukan, sudah pasti dengan sendirinya kita memperoleh kemajuan dan ijazah tanpa kita mengejarnya. Ijazah itu hanya merupakan akibat atau buah daripada pohon yang kita tanam sendiri, yaitu mengerjakan pelajaran itu. Sebaliknya, kalau kita belajar demi mendapatkan ijazah, maka kita akan mudah terseret karena yang kita pentingkan hanya ijazahnya, bukan pelajarannya sehingga mungkin kita akan melakukan penyelewengan dengan menyontek, dengan membeli, menyogok dan sebagainya.
Bukan berarti bahwa kita harus menolak kesenangan. Sama sekali bukan. Hidup menikmati kesenangan merupakan anugerah dari Tuhan! Kalau Tuhan tidak menghendaki, tentu kita tidak diberi perlengkapan sebagai sarana untuk dapat menikmati kesenangan itu. Kita berhak menikmati kesenangan karena itu pemberian Tuhan. Akan tetapi kesenangan yang tidak dibuat-buat, tidak dicari-cari, tidak dikejar-kejar. Kesenangan letaknya di dalam perasaan hati, dan rasa senang yang menyelinap di dalam hati, tanpa dikejar-kejar, itulah kesenangan sejati yang biasa kita namakan kebahagiaan. Kesenangan yang dikejar dan diberi adalah kesenangan nafsu. Dan biasanya, kesenangan seperti ini lebih nikmat dikenang dan dibayangkan daripada dialami pada saatnya. Hal ini timbul karena perbandingan dengan apa yang kita kenang, apa yang kita bayangkan. Seolah-olah semua kenikmatan itu sudah menjadi hambar, dihisap habis oleh kenangan dan bayangan masa lalu dan masa depan. Tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, pada saat itu, kalau kesenangan menyelinap di hati, itulah kebahagiaan. Seperti melihat penglihatan indah, mendengar suara merdu, mencium bau harum. Kita memperoleh kebahagiaan pada saat itu, dan habis pula pada saat itu. Kalau kita menyimpannya dalam ingatan, maka kebahagiaan itu berubah menjadi kesenangan. Pikiran, ingatan paling suka menguyah-nguyah pengalaman yang nikmat, lalu membayangkan dengan latar belakang kenangan. Dari sini timbulnya pengejaran, dan kalau yang dikejar sudah dapat, akan terasa hambar karena tidak seindah yang dikenang dan dibayangkan! Kebahagiaan adalah saat demi saat, tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Bahkan hidup adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Yang lalu sudah mati dan hanya kenangan, yang akan datang hanya bayangan khayal.
Ouw Seng Bu telah mendapatkan ilmu yang luar biasa, ilmu yang menjadi aneh karena dia mempelajarinya dari catatan yang tidak lengkap, dipelajari tanpa bimbingan guru sehingga pelajaran yang tidak lengkap dan terbalik-balik itu menyeretnya ke alam yang mendekati kegilaan. Memang dia menjadi lihai bukan main, akan tetapi, ilmu itu pun mempengerahi hati akal pikirannya, membuat dia kadang-kadang kumat seperti orang gila, bahkan lebih mengerikan lagi, seperti iblis sendiri yang menjelma dalam tubuh manusia.
***
“Apa kau bilang? Heh, Sun-ji (anak Sun), lupakah engkau siapa dirimu ini? Engkau adalah cucu Kaisar, tahu? Engkau adalah seorang pangeran, cucu kaisar sendiri! Dan kau katakan bahwa engkau jatuh cinta kepada puteri ketua Pao-beng-pai, kaum pemberontak itu? Gila!”
“Ayah, apakah cucu kaisar itu bukan manusia? Dan puteri Pao-beng-pai juga bukan manusia? Kami berdua sama-sama manusia, pria dan wanita, maka apa yang perlu diherankan kalau kami saling jatuh cinta?” bantah Pangeran Cia Sun di depan ayahnya dan ibunya. Dia baru saja pulang dan langsung melapor kepada ayah ibunya bahwa dia jatuh cinta kepada Siangkoan Eng, puteri ketua Pao-beng-pai dan minta kepada orang tuanya agar meminang gadis itu untuk menjadi isterinya.
“Anakku, bagaimana engkau dapat berkata seperti itu?” Ibunya membujuk dengan lembut dan meletakkan tangannya di pundak puteranya. “Tentu saja engkau tidak mungkin dapat disamakan dengan pemuda biasa yang lain, dapat menikah dengan sembarang gadis saja.”
“Akan tetapi, Ibu. Kami sudah saling mencinta, dan cinta tidak mengenal pangkat atau derajat!” bantah Cia Sun.
“Cia Sun!” Ayahnya, Pangeran Cia Yan, membentak marah. “Ingat, sejak engkau masih kecil, kami telah mengikat tali perjodohanmu dengan puteri Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong. Puterinya itu seorang gadis yang cantik jelita, berbudi, gagah perkasa dan bahkan mendapat julukan Si Bangau Merah. Kami bangga sekali mempunyai mantu seperti gadis itu. Dan baru-baru ini, ayah ibu gadis itu datang ke sini. Mereka menantimu, akan tetapi sia-sia saja mereka menanti walaupun kami telah mengirim orang untuk mencarimu dan memanggilmu pulang. Dalam pertemuan itu ayah ibumu sudah mematangkan urusan itu, dengan resmi kami mengambil keputusan untuk menjodohkan engkau dengan Tan Sian Li. Ialah calon jodohmu, bukan wanita lain!”
“Tapi, Ayah. Aku dan ia tidak saling mencinta, bahkan bertemu muka pun belum pernah!” Cia Sun membantah.
“Sudah cukup!” Pangeran Cia Yan membentak marah. “Engkau yang belum pernah membalas budi ayah ibumu, sekarang bahkan hendak menjadi anak yang murtad dan tidak berbakti? Pendeknya, Tan Sian Li adalah calon isterimu, bukan perempuan lain!”
Ibunya cepat melerai. “Anakku, kenapa engkau menjadi bingung? Tentu saja engkau dapat mengambil wanita lain sebagai selir kalau engkau menyukai gadis-gadis lain....”
Ayahnya memotong. “Tentu saja engkau boleh mempunyai selir, akan tetapi selir-selirmu pun harus gadis baik-baik agar jangan menodai nama keluarga kita. Kita ini keluarga Cia, keluarga Kaisar, tahu? Kalau engkau mencinta gadis lain, tentu boleh kaujadikan selir, dan gadis itu... siapa tadi kau bilang? Ah, puteri ketua Pao-beng-pai? Kaumaksudkan perkumpulan pemberontak yang baru-baru ini mengadakan pertemuan rahasia dengan para pemberontak lain untuk menggulingkan pemerintah? Gila!”
“Tapi Siangkoan Eng tidak seperti ayahnya, Ayah. Ia sama sekali tidak jahat, bahkan ia berjanji kalau menjadi isteriku, tidak akan mencampuri urusan dunia kang-ouw, tidak akan mencampuri urusan pemberontakan lagi....”
“Ihhh, engkau agaknya sudah terkena guna-guna. Dan Pao-beng-pai....? Hemmm, kiranya engkaulah pemuda yang ditawan mereka itu?”
“Ayah tahu tentang itu?” Cia Sun memandang ayahnya dengan heran. “Memang aku telah ditawan mereka, dan kalau tidak ada Eng-moi, tentu aku telah mereka bunuh, atau dijadikan sandera untuk mengacau pemerintah, Ayah.”
“Sudah, jangan bicara lagi tentang gadis Pao-beng-pai itu. Sekarang pun pasukan telah bergerak ke sana untuk membasminya sampai ke akar-akarnya dan membunuh seluruh pimpinannya.”
Cia Sun terbelalak. “Ahhh? Apa yang Ayah katakan?” Pangeran Cia Yan mengangguk-angguk dan tersenyum, merasa menang. Lalu dia berkata bangga, “Apa kaukira pemerintah bodoh? Di antara, para tamu, terdapat mata-mata kita yang diselundupkan. Kalau engkau saja dapat menyelundup menjadi tamu, apalagi mata-mata yang cerdik. Sekarang Ciong-ciang-kun (perwira Ciong) telah membawa pasukan untuk membasmi gerombolan pemberontak itu dan....” Pangeran Cia Yan terkejut melihat puteranya bangkit berdlri dan melangkah pergi.”....Hei, kau mau ke mana?”
Cia Sun menoleh dan berkata, “Ayah, Ibu, aku harus pergi, aku harus menyelamatkan Eng-moi dan ibunya. Mereka tidak bersalah, mereka tidak boleh ikut terbasmi!” Dan pemuda itu pun berlari cepat meninggalkan rumah orang tuanya, tidak mempedulkan teriakan ayah ibunya yang memanggilnya.
Kedua orang tua itu hanya menghela napas panjang dan menggeleng kepala saja. “Itulah sebabnya aku ingin sekali dia menjadi suami seorang wanita perkasa seperti Si Bangau Merah,” kata Pangeran Cia Yan kepada isterinya. “Semenjak dia suka belajar silat, wataknya pun berubah menjadi keras kepala dan berjiwa petualang. Kalau dia tidak mendapatkan seorang isteri yang pandai dan berwibawa, berilmu tinggi, tentu tidak ada yang akan mampu mengendalikannya.”
Cia Sun cepat berlari ke markas pasukan untuk mencari Perwira Ciong yang sudah dikenalnya. Akan tetapi dia terlambat. Perwira itu telah berangkat bersama pasukannya yang berjumlah seribu orang. Cia Sun cepat melakukan pengejaran, menunggang seekor kuda.
Pada waktu itu memang banyak terdapat perkumpulan atau kelompok orang-orang yang melakukan usaha untuk menentang pemerintah kerajaan Mancu. Namun, satu demi satu, perkumpulan pejuang yang disebut pemberontak oleh kerajaan Mancu, dapat dihancurkan. Kekuatan pasukan Mancu masih amat kuat, sedangkan para pejuang itu tidak mempunyai persatuan yang kokoh. Mereka bahkan membentuk kelompok sendiri-sendiri, bukan hanya itu bahkan di antara mereka kadang terdapat bentrokan sendiri yang tentu saja melemahkan kekuatan mereka. Banyak pula bermunculan perkumpulan pejuang yang lebih condong menjadi perkumpulan golongan sesat atau golongan hitam, karena mereka melakukan segela macam bentuk kejahatan.
Pao-beng-pai merupakan satu diantara perkumpulan pejuang yang pada hakekatnya memang membenci, bahkan mendendam kepada kerajaan Mancu. Hal ini adalah karena pemimpinnya atau pendirinya, Siangkoan Kok, adalah seorang keturunan keluarga kerajaan Beng yang telah dijatuhkan oleh bangsa Mancu. Oleh karena itu, gerakan perjuangan Pao-beng-pai ini lebih condong kepada gerakan untuk membalas dendam atau merampas kembali tahta kerajaan Beng yang sudah dirampas oleh bangsa Mancu yang mendirikan kerajaan Ceng. Namun, karena Siangkoan Kok, keturunan keluarga kerajaan Beng itu juga seorang datuk sesat, bahkan isterinya, Lauw Cu Si, juga keturunan pimpinan Beng-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan sesat, maka Pao-beng-pai juga merupakan perkumpulan yang tidak pantang melakukan kekejaman atau kejahatan.
Pihak pemerintah selalu mengamati perkembangan perkumpulan-perkumpulan pemberontak seperti itu. Pemerintah memang maklum bahwa tidak mudah membasmi seluruh pemberontak sampai ke akar-akarnya. Sudah seringkali pasukan pemerintah menghancurkan gerombolan pemberontak, akan tetapi para anak buahnya yang berhasil meloloskan diri, segera bergabung lagi dengan kelompok pemberontak lain. Oleh karena itu, pemerintah hanya memperhatikan kelompok yang besar-besar dan berbahaya saja.
Ketika Pao-beng-pai mengadakan pertemuan dengan para tokoh kang-ouw, tentu saja peristiwa ini tidak terlepas dari perhatian para mata-mata yang disebar oleh pemerintah. Setelah menyaksikan pertemuan itu, mendengar betapa Pao-beng-pai menyusun kekuatan, mengajak semua pihak yang menentang pemerintah untuk bergabung dan bekerja sama untuk melakukan pemberontakan, mata-mata cepat memberi kabar ke kota raja. dan para panglima yang bertugas menumpas setiap pemberontakan segera mengambil tindakan tegas dan cepat. Panglima Ciong, yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan pandai, yang sudah seringkali melakukan pembasmian terhadap para pemberontak, segera ditugaskan untuk memimpin pasukan seribu orang menyerbu dan membasmi Pao-beng-pai di Han-kwi-kok, lembah Bukit Iblis.
***
Siangkoan Kok marah sekali ketika mendengar bahwa puterinya, Siangkoan Eng, pergi dari Ban-kwi-kok tanpa pamit. Selama belasan hari ini dia memang tidak pernah menengok lagi kepada isteri dan puterinya itu, sejak dia marah-marah hampir membunuh Eng Eng. Dia tidak mempedulikan mereka, dan berpengantinan dengan isterinya yang baru, yaitu bekas muridnya yang dipaksanya untuk melayaninya dan menjadi pengganti isterinya.
Dengan kemarahan meluap-luap, pria tinggi besar berusia lima puluh lima tahun ini, pergi mencari Lauw Cu Si, isterinya yang sedang menangis di ruangan belakang. Mukanya merah sekali dan begitu melihat isterinya, yang menangis, dia pun membentak.
“Ke mana perginya anak durhaka itu? Engkau tentu yang sengaja menyuruhnya minggat, bukan?” bentakan ini disertai tangannya menggebrak meja dan bagaikan tergetar seluruh ruangan itu.
Lauw Cu Si yang sedang menangisi kepergian puterinya, dan tadi duduk, segera menghentikan tangisnya dan bangkit berdiri. Nyonya berusia empat puluh tahun ini masih cantik. Kalau biasanya ia selalu tunduk dan penurut, kini ia bangkit berdiri dan tegak menghadapi suaminya, mukanya diangkat dan sepasang matanya bersinar-sinar, menatap wajah suaminya dengan penuh keberanian dan kemarahan, kemudian, telunjuk kirinya ditudingkan ke arah muka suaminya dan terdengar suaranya, suara yang menggetar dan mengandung kemarahan yang hebat.
“Kau....! Kau manusia binatang, kau iblis busuk, engkaulah yang membuat Eng Eng melarikan diri, meninggalkan aku! Engkau yang harus bertanggungjawab. Ia bukan anakmu, bukan darah dagingmu, bukanapa-apamu. Ia milikku, anakku, akan tetapi engkau hampir membunuhnya! Sekarang ia pergi dan engkau yang harus bertanggung jawab!”
Kemarahan Siangkoan Kok meluap-luap. Selama ini, isterinya itu belum pernah memakinya seperti itu. “Perempuan busuk tak mengenal budi! Aku telah mengangkatmu dari lembah kehinaan setelah Beng-kauw hancur, juga memelihara anakmu seperti anakku sendiri. Dan begini balas kalian kepadaku? Kalau tahu akan begini, sudah sejak dulu Eng Eng kubunuh, dan kau juga!”
“Apa? Kauhendak membunuh kami? Cobalah kalau engkau mampu! Kaukira aku takut padamu?” Wanita itu saking sedihnya ditinggal pergi anaknya, menjadi marah dan nekat. Walaupun ia tahu benar bahwa ilmu kepandaiannrya masih kalah dibandingkan suaminya, ia berani menantang!
“Bagus, kalau begitu mampuslah kau Lauw Cu Si, perempuan tak tahu diri!” Siangkoan Kok menerjang isterinya dengan dahsyat. Namun, Lauw Cu Si yang sudah nekat, cepat mengelak dan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Bahkan wanita ini sudah mencabut pedangnya, lalu menyerang bertubi-tubi. Siangkoan Kok juga mencabut pedangnya dan suami isteri ini lalu berkelahi mati-matian. Lauw Cu Si adalah seorang tokoh sesat, keturunan ketua Beng-kauw dan ia memiliki ilmu silat yang dahsyat dan keji pula. Tingkat kepandaiannya sudah tinggi dan ia hanya kalah sedikit saja dibandingkan suaminya, maka tidaklah terlalu mudah bagi Siangkoan Kok untuk membunuh isterinya.Para murid dan anggauta Pao-beng-pai yang melihat perkelahian ini, menjadi bingung sekali. Mereka tidak berani mencampuri. Orang-orang yang mungkin berani mencampuri hanyalah Siangkoan Eng, atau mungkin juga Tio Sui Lan, murid kepala dari Siangkoan Kok yang kini menjadi selirnya itu. Akan tetapi pada saat itu, Eng Eng tidak ada, sudah pergi tanpa pamit, dan ketika para murid mencari Tio Sui Lan, mereka juga tidak dapat menemukan murid utama yang selama beberapa hari ini menjadi isteri ketua mereka. Karena bingung, tidak tahu harus berbuat apa, para murid dan anggauta Pao-beng-pai itu bahkan menjauh, sama sekali tidak berani mencampuri perkelahian antara sang ketua dan isterinya, karena mereka tahu bahwa mencampuri berarti akan mati konyol.
Pada saat semua orang menjadi bingung itu, terdengar suara gaduh di lereng bukit, suara tambur dan terompet, suara sorakan riuh rendah.
Siangkoan Kok sudah dapat menekan dan mendesak Lauw Cu Si. Pedangnya berubah menjadi gulungan sinar kemerahan, dan biarpun Lauw Cu Si sudah melawan dengan nekat saking marahnya, tetap saja ia kalah tingkat dan terdesak, bahkan ia telah menderita beberapa luka karena tusukan dan bacokan pedang.
Suara tambur dan terompet itu mengejutkan Siangkoan Kok. Akan tetapi Lauw Cu Si tidak peduli. Satu-satunya perhatian wanita ini hanyalah ingin membunuh pria yang selama ini dipuja dan ditaatinya, karena pria ini hampir saja membunuh puterinya, dan kini ingin membunuhnya. Namun, Siangkoan Kok yang kini terkejut dan bingung mendengar suara gaduh dan disusul sorak-sorat dan suara pertempuran, cepat menggerakkan kakinya menendang. Karena isterinya memang sudah terdesak oleh pedangnya, maka tendangan itu tidak dapat dielakkan Lauw Cu Si.
“Desss....!” Kaki Siangkoan Kok yang besar dan kuat itu menghantam perut isterinya, dan Lauw Cu Si terjengkang dan terlempar, roboh terbanting dan pingsan! Siangkoan Kok sudah tidak lagi mempedulikan isterinya karena dari teriakan-teriakan para anak buah Pao-beng-pai, dia dengan terkejut sekali mengetahui bahwa sarangnya diserbu pasukan pemerintah!
Pada saat itu, muncul Tio Sui Lan bersama belasan orang perwira! Wanita muda itu menudingkan telunjuknya ke arah Siangkoan Kok sambil berkata, “Inilah si jahanam Siangkoan Kok, si manusia iblis!”
Melihat munculnya murid yang telah dipaksanya menjadi isterinya itu bersama belasan orang perwira, Siangkoan Kok segera tahu apa yang terjadi. Murid ini telah mengkhianatinya! Pantas sejak pagi Sui Lan tidak nampak. Ketika dia bangun tidur tadi, dia tidak melihat Sui Lan di sisinya. Hal ini sudah membuatnya marah-marah, apalagi ketika mendengar bahwa Eng Eng telah minggat meninggalkan Pao-beng-bai, kemarahannya memuncak. Selama ini Eng Eng menjadi puterinya yang patuh, bahkan menjadi pembantu utama, menjadi tokoh kedua sesudah dia di Pao-beng-pai. Kini, tahu-tahu murid yang telah dipaksanya menjadi isteri selama belasan hari itu, tiba-tiba muncul dengan belasan orang perwira pemerintah yang membawa pasukan dan yang agaknya kini melakukan penyerbuan ke situ.
“Pengkhianat kau....!!” teriaknya sambil melotot memandang kepada wanita yang malam tadi masih menjadi kekasihnya tercinta.
Akan tetapi Sui Lan tersenyum mengejek, dan kedua matanya bercucuran air mata! “Engkaulah manusia iblis! Dan ini pembalasanku, Siangkoan Kok!” teriaknya dan dengan nekat Sui Lan yang sudah memegang pedang itu kini menerjang dan menyerang pria yang selama ini menjadi gurunya yang ditaati, kemudian ketaatannya hancur bersama kehormatannya yang direnggut secara paksa oleh orang yang dihormatinya itu.
Para perwira itu terkejut. Tadi ketika mereka memimpin pasukan mendaki lereng Kwi-san menuju Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) setelah semalam mengurung tempat itu, mereka bertemu dengan seorang wanita cantik yang menuruni lereng. Segera wanita itu dikepung. Wanita itu adalah Tio Sui Lan! Ketika melihat bahwa tempat itu telah terkepung pasukan pemerintah, Sui Lan yang tadinya hendak melarikan diri, menjadi girangsekali. Ia lalu menyatakan ingin membantu pasukan menghancurkan Pao-beng-pai. Ia mengatakan bahwa tanpa petunjuk jalan yang mengenal tempat itu, penyerbuan akan menghadapi kesulitan karena di sekeliling Ban-kwi-kok dipasangi jebakan-jebakan yang amat berbahaya. Usulnya diterima dan demikianlah, berkat petunjuk wanita yang menjadi pengkhianat karena sakit hati itu, pasukan pemerintah dapat naik sampai mengurung sarang Pao-beng-pai dengan mudah. Kini, setelah berhasil menyusup dengan diam-diam dan penyerbuan dilakukan serentak sehingga menggegerkan. para anggauta Pao-beng-pai, Sui Lan menjadi petunjuk jalan bagi para perwira untuk mencari pemimpin pemberontakan dan melihat pemimpin pemberontak itu baru saja merobohkan isterinya sendiri. Dan melihat Sui Lan tiba-tiba menyerang Siangkoan Kok, para perwira tentu saja terkejut dan khawatir karena mereka semua sudah mendengar betapa lihainya katua Pao-beng-pai itu. Mereka serentak maju, namun terlambat. Ketika Sui Lan menyerang Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini sedemikain marahnya sehingga dia menyambut bekas murid dan juga bekas kekasin paksaan itu dengan pedangnya. Sambutan yang dahsyat dan penuh keberanian sehingga pedangnya seperti kilat menyambar. “Tranggg.... crakkk!” Pedang di tangan Tio Sui Lan terlempar, disusul tubuhnya yang roboh mandi darah karena pedang di tangan Siangkoan Kok telah menembus dadanya! Wanita yang malang itu tewas seketika karena pedang ketua Pao-beng-pai itu beracun, juga pedang itu menembus jantungnya.
Belasan orang perwira cepat menerjang dan mengeroyoknya. Mereka adalah jagoan-jagoan dari kota raja. Biarpun kalau maju seorang demi seorang, mereka bukan lawan Siangkoan Kok, akan tetapi karena maju bersama, tentu saja ketua Pao-beng-pai menjadi kewalahan dan repot sekali. Apalagi melihat keadaan di luar rumah yang gaduh. Dia ingin melihat keadaan para anggautanya, maka dia pun meloncat ke belakang dan menghilang melalui sebuah pintu yang segera tertutup sendiri ketika belasan orang perwira itu hendak mengejar.
“Itu isterinya, kita basmi saja sekalian!” teriak seorang perwira.
Saat itu, Lauw Cu Si sudah siuman dari pingsannya dan ia sudah bangkit duduk lalu berdiri sambil memegang pedangnya yang tadi terlepas ketika ia roboh tertendang suaminya. Melihat belasan orang perwira itu mengepungnya, ia pun melintangkan pedang di depan dada.
“Hemmm, bunuhlah aku. Aku memang telah terperosok, bodoh sekali menjadi isteri Siangkoan Kok!” katanya dengan sikap gagah walaupun tubuhnya sudah luka-luka oleh pedang suaminya dan terutama sekali, tendangan tadi masih terasa dan melemahkan tubuhnya.
“Bunuh ia!” teriak para perwira dan siap hendak mengeroyok.
“Tahan, jangan serang!” terdengar seruan dan ketika para perwira menoleh, mereka terkejut dan heran mengenal Pangeran Cia Sun sudah berada di situ dengan pedang di tangan. “Lebih baik cepat mengejar ketua Pao-beng-pai dan membasmi anak buahnya!”
Belasan orang perwira itu meragu, Tapi....tapi.... ia dapat berbahaya bagi Paduka....” kata seorang perwira sambil menunjuk ke arah wanita itu.
“Tidak! Aku mengenalnya, ia tidak jahat. Kalian pergilah!”
Para perwira memberi hormat lalu cepat berloncatan keluar dari ruangan itu, untuk memimpin anak buah mereka yang sedang bertempur melawan para angauta Pao-beng-pai,
“Bibi....!” kata Cia Sun. “Di mana Eng-moi....?”
Wanita itu hanya menggeleng kepala, hendak menggerakkan kakinya, akan tetapi ia terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat dirangkul Cia Sun.
“Bibi.... menderita luka-luka....? Oleh para perwira itu?”
Wanita itu menggeleng, hendak bicara, akan tetapi tiba-tiba ia muntah darah. Melihat ini, terkejutlah Cia Sun, maklum bahwa wanita itu terluka parah. Dipondongnya Lauw Cu Si yang setengah pingsan itu dan terpaksa dia melangkahi mayat Tio Sui Lan yang tadinya membuat dia terkejut bukan main ketika pertama kali memasuki ruangan itu, mengira itu mayat kekasihnya. Dia merebahkan tubuh Lauw Cu Si ke atas sebuah bangku panjang.
Kini Lauw Cu Si dapat bicara, walaupun terengah-engah dan menahan rasa nyeri. “Jahanam itu.... Siangkoan Kok.... yang memukulku....”
Tentu saja Cia Sun merasa heran sekali. “Bibi, di mana Eng-moi?”
“Ia sudah pergi kemarin, tanpa pamit. Itu yang membuat Siangkoan Kok marah....”
“Tapi kenapa Eng-moi pergi?”
“Ketika Siangkoan Kok tahu bahwa Eng Eng membebaskanmu, dia menghajar Eng Eng dan hendak membunuhnya. Aku mencegahnya dan membuka rahasia bahwa dia tidak berhak membunuh Eng Eng yang bukan anaknya....”
“Bukan puterinya?” Tentu saja Cia Sun terkejut dan heran.
“Ketika aku menjadi isterinya, aku membawa Eng Eng yang sudah berusia dua tahun lebih....”
“Ah, kalau begitu Eng-moi puteri Bibi dengan suami lain?”
Wanita itu kembali menggelengkan kepala, hendak bicara akan tetapi kembali ia batuk-batuk dan muntah darah, tendangan yang mengenai dadanya itu memang hebat sekali, membuat ia menderita luka dalam yang parah. Sejenak ia terngengah-engah, wajahnya pucat sekali. Cia Sun sudah merasa bingung sekali mendengar bahwa Eng Eng yang ternyata bukan puteri kandung ketua Pao-beng-pai itu telah pergi tanpa pamit. Dia tidak tahu harus berbuat apa terhadap ibu Eng Eng yang keadaannya payah itu.
“Engkau.... benar.... seorang pangeran?”
Cia Sun mengangguk. “Aku memang Pangeran Cia Sun, Bibi, akan tetapi aku mencinta Eng-moi.”
“Kalau begitu, dengar baik-baik....” suaranya makin lemah seperti berbisik.
“Aku.... aku tidak dapat bertahan lama, aku akan mati.... dan inilah saatnya aku membuka rahasia...., dan engkau tepat orangnya yang kuberitahu....dengar, Eng Eng bukan puteri Siangkoan Kok juga bukan anakku....”
“Ehhh? Lalu.... ia anak siapa, Bibi?”
“Ayah ibunya adalah orang-orang yang selalu dimusuhi golongan kami.... golongan Beng-kauw....aku amat membenci ayah ibunya, terutama ayahnya, karena itulah.... aku.... menculik Eng Eng ketika ia berusia tiga tahun. Akan tetapi, aku.... aku amat mencintanya seperti anakku sendiri.... juga Siangkoan Kok menyayangnya sampai engkau muncul....”
“Ahhh....!” bermacam perasaan mengaduk hati pangeran itu. Ada perasaan kaget, heran, akan tetapi juga kasihan dan bahkan ada perasaan girang. Girang bahwa kekasihnya itu bukan anak kandung ketua Pao-beng-pai dan isterinya!
“Akan tetapi.... ke mana aku harus mencarinya, Bibi? Aku harus mencari dan menemukannya, aku mencintanya dan akan mengambilnya sebagai isteriku!”
Cia Sun terkejut melihat wanita itu napasnya sudah empas-empis, dan agaknya sudah tidak mampu menjawabnya, matanya sudah terpejam.
“Bibi....! Bibi....! Katakan di mana Eng-moi!” Cia Sun mengguncang-guncang pundak wanita yang sudah sekarat itu.
Wanita itu membuka matanya yang sudah sayu dan suaranya hanya bisik-bisik saja. “Suling Naga.... itulah ayah kandungnya.... tinggal di Lok-yang....cari.... cari ke sana....” Leher itu terkulai, mata itu terpejam dan wanita itu pun mati.
Cia Sun bangkit berdiri, termenung. Sebutan “Suling Naga” terngiang di telinganya. Dan dia tertegun. Dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Naga yang tinggal di Lok-yang. Kalau dia tidak salah ingat, namanya Sim Houw, seorang pendekar yang sakti, terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat, pedang yang berbentuk suling, pedang suling, atau suling pedang. Jadi Eng Eng adalah puteri pendekar sakti itu! Ketika masih kecil diculik oleh Lauw Cu Si karena wanita itu sebagai orang Beng-kauw menganggap pendekar itu sebagai musuh besar.
“Ahhh....!!” tiba-tiba dia terbelalak. Dia teringat kepada Yo Han. Bukankah Yo Han mencari puteri pendekar itu yang hilang? Kalau begitu, anak yang dicari oleh Yo Han itu bukan lain adalah Eng Eng! Dia mengingat-ingat. Yo Han, yang telah menjadi saudara angkatnya ketika mereka berdua dikurung sebagai tahanan di sarang Pao-beng-pai, pernah menceritakan bahwa anak yang dicari itu mempunyai ciri-ciri yang khas, dan ada noda merah sebesar ibu jari kaki di tapak kaki kanannya.
Mendengar suara pertempuran di luar, Cia Sun khawatir kalau-kalau gadis itu kembali dan ikut pula bertempur membela Pao-beng-pai melawan pasukan pemerintah. Cepat dia menyelinap keluar dan mencari-cari. Pertempuran hampir selesai. Pihak pemberontak tidak mampu menandingi pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya, apalagi dipimpin oleh para jagoan istana. Bahkan Siangkoan Kok juga tidak nampak dan ketika dia tanyakan kepada para perwira, mereka pun tidak tahu ke mana perginya ketua pemberontak itu. Ternyata Siangkoan Kok telah meloloskan diri, tidak mempedulikan anak buahnya yang dibantai pasukan.
Setelah mencari keterangan dan merasa yakin bahwa Eng Eng tidak pernah kembali dan tidak terlibat dalam pertempuran itu, Cia Sun segera meninggalkan tempat itu untuk pergi mencari kekasihnya. Banyak anggauta Pao-beng-pai tewas, sisanya ditawan. Gagallah gerakan Pao-beng-pai, seperti dialami oleh banyak kelompok pemberontak terdahulu.
***
Gadis itu berdiri termenung di lereng itu, memandang ke depan, ke arah bukit menghitam yang dinamakan orang Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan). Memang nampak menyeramkan dari lereng itu, seolah-olah lembah itu memang sepantasnya dihuni oleh setan dan iblis. Para penduduk dusun di sekitar kaki Bukit Setan itu, menganggap Ban-kwi-kok sebagai lembah yang keramat dan tak seorang pun berani mendaki ke sana. Akan tetapi, menurut keterangan para penghuni dusun, baru sebulan yang lalu lembah itu diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Kabar itu mengatakan bahwa terjadi pertempuran besar, kemudian pasukan pemerintah turun dan membawa banyak tawanan, kemudian lembah itu nampak terbakar. Biarpun desas-desus mengatakan bahwa gerombolan yang bersembunyi di lembah itu telah terbasmi habis, dan lembah itu telah kosong, perkampungan gerombolan pemberontak telah dibakar, namun masih saja tidak ada seorang pun berani naik ke sana.
Gadis itu masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya. Cantik manis dan nampak gagah dengan pakaiannya yang sederhana namun serasi dengan bentuk tubuhnya yang padat dan ramping, dan pakaian itu bersih. Wajahnya yang manis, dengan sepasang matanya yang indah dan bersinar tajam, juga sederhana, tidak dipoles bedak dan gincu. Akan tetapi, kulit mukanya memang sudah halus dan putih, dan kedua pipinya kemerahan karena sehat, demikian pula sepasang bibirnya merah tanpa gincu. Biarpun ia muda dan cantik manis, namun di sepanjang perjalanan, tidak pernah atau jarang sekali ada pria yang berani mengganggunya. Hal ini adalah karena penampilannya yang pendiam dan gagah, dengan sebatang pedang di punggung sehingga mudah diduga bahwa ia bukan wanita sembarangan yang boleh diganggu begitu saja, melainkan seorang wanita kang-ouw, seorang pendekar wanita.
Dan memang dugaan itu benar. Gadis muda ini adalah Cu Kim Giok, puteri dari pendekar Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian. Cu Kun Tek adalah pendekar yang merupakan keturunan para pendekar Cu majikan Lembah Naga Siluman. Cu Kun Tek terkenal mewarisi ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), juga ilmu tangan kosongnya Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), dan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) hebat sekali. Adapun ibu gadis itu, yang bernama Pouw Li Sian, bahkan lebih lihai dibandingkan suaminya. Pouw Li Sian ini adalah murid mendiang Bu Beng Lokai yang sakti.
Ketika Cu Kim Giok diajak oleh ayah ibunya menghadiri ulang tahun dan pertemuan tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong, gadis ini merasa gembira bukan main dan bangkitlah keinginannya untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan dengan jalan merantau seperti yang dilakukan para pendekar. Ayah ibunya tidak merasa keberatan. Mereka sendiri adalah pendekar-pendekar yang dahulu di waktu mudanya sudah biasa melakukan penjalanan merantau memperluas pengalaman. Pula, puteri mereka telah mewarisi ilmu kepandaian mereka dan tingkat kepandaian gadis itu hanya sedikit selisihnya dengan tingkat mereka sehingga Kim Giok telah memiliki bekal yang cukup untuk melindungi dan menjaga diri sendiri.
Tentu saja Kim Giok juga amat tertarik dengan peristiwa yang terjadi di rumah Suma Ceng Liong, yaitu munculnya seorang gadis cantik lihai yang mengaku sebagai seorang puteri tokoh Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar, oleh karena itulah pada siang hari itu, ia tiba di Kwi-san dan kini termangu berdiri di lereng itu setelah ia mendengar keterangan penduduk tentang penyerbuan pasukan pemerintah yang membasmi gerombolan Pao-beng-pai di Lembah Selaksa Setan.
Ah, pikirnya, aku datang terlambat. Andaikata tidak terlambat, tentu akan dapat menyaksikan terbasminya gerombolan itu, dan kalau perlu ia akan membantu pasukan. Bukan semata karena ia ingin membantu pemerintah. Ayah ibunya berpesan agar ia tidak melibatkan diri dengan pemerintah Mancu. Akan tetapi, ia dapat mempergunakan kesempatan selagi gerombolan itu ditumpas, untuk membalas sikap sombong dara gadis Paobeng-pai itu terhadap tiga keluargabesar. Ia menduga-duga bagaimana dengan nasib gadis cantik itu. Apakah ikut terbunuh? Atau tertawan?
Tidak ada gunanya lagi mendaki ke lembah yang sudah hancur itu. Tentu tidak ada lagi orang di sana. Cu Kim Giok membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan lereng itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, tiba-tiba pendengarannya yang tajam terlatih mendengar gerakan orang. ia berhenti melangkah dan memandang ke sekeliling penuh kewaspadaan dan tiba-tiba bermunculan lima orang laki-laki yang nampak bengis. Mereka itu berloncatan dari balik semak belukar. Melihat bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang cantik manis, mereka cengar-cengir dan menyeringai dengan sikap kurang ajar, dengan mata yang liar dan bengis.
Kim Giok bersikap tenang, namun matanya yang indah tajam itu menyapu mereka. Lima orang itu berusia antara tiga puluh tahun sampai empat puluh tahun, tubuh mereka rata-rata kekar dan kuat. Pakaian mereka butut dan kotor, tentu telah lama tidak pernah berganti pakaian. Melihat pakaian kotor itu seperti seragam abu-abu, teringatlah ia akan beberapa orang laki-laki yang ikut datang mengawal gadis Pao-beng-pai yang berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong tempo hari. Agaknya mereka ini sisa anggauta Pao-beng-pai, pikir gadis yang cukup cerdik ini. Dan memang dugaannya benar. Lima orang itu adalah mereka yang berhasil lolos dari penyerbuan pasukan pemerintah. Karena takut muncul di tempat umum, lima orang ini bersembunyi saja di Kwi-san, tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai. Mereka mengharapkan dapat bertemu dengan seorang di antara para pimpinan mereka karena mereka tahu bahwa ketua mereka tidak tewas, juga tidak ikut tertawan. Hanya nyonya ketua mereka yang tewas.
Bahkan nona puteri ketua juga tidak ikut tertawan. Ketika dari tempat persembunyian mereka nampak ada gadis yang datang ke tempat itu, mereka tadinya mengira bahwa gadis itu tentulah Siangkoan Eng, dan mereka merasa girang sekali. Akan tetapi setelah mereka muncul, mereka melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan puteri ketua mereka, melainkan seorang gadis lain yang asing sama sekali, akan tetapi gadis itu cantik manis dan menarik.
Seorang di antara mereka, yang berhidung besar dan bermata lebar, agaknya menjadi pimpinan mereka, melangkah maju dan tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu nampak karena bajunya kehilangan kancing dan terbuka. Perut itu terguncang-guncang naik turun ketika dia tertawa.
“Ha-ha-ha-ha-ha, kawan-kawan, alangkah beruntungnya kita hari ini! Kita kedatangan seorang bidadari yang cantik jelita, yang agaknya menaruh iba kepada kita dan datang untuk menghibur kita. Ha-ha-ha-ha-ha!” Teman-temannya ikut pula tertawa. Mereka selama sebulan lebih dicekam ketakutan, kekurangan dan kedukaan. Dan hari ini tiba-tiba, tanpa disangka-sangka, mereka berhadapan dengan seorang gadis cantik! Tentu saja mereka bergembira. Anak buah Pao-beng-pai terdiri dari bermacam orang, akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berjiwa sesat. Kalau membutuhkan, mereka tidak segan untuk melakukan perampokan dan berbagai kejahatan lainnya. Kini, melihat seorang gadis seorang diri di tempat sunyi itu, tentu saja timbul gairah mereka, seperti lima ekor harimau kelaparan melihat munculnya seekor domba seorang diri.
“Heh-heh-heh, Nona manis, siapakah engkau, siapa namamu dan mengapa engkau berada di sini seorang diri? Apakah engkau datang sengaja hendak menghibur kami berlima? Ha-ha-ha!” Si hidung besar kembali berkata dan kini mereka berlima, sambil tersenyum menyeringai, sudah mengambil posisi mengepung gadis itu agar tidak dapat melarikan diri.
Akan tetapi, sebetulnya lima orang itu harus tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang bukan gadis sembarangan saja. Hal ini sebetulnya dapat dilihat dari sikap Kim Giok. Biarpun dikepung lima orang itu, ia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang mengancam dirinya, tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti.
“Aneh....aneh sekali....” Ia tidak menjawab pertanyaan, bahkan bergumam sambil menggelengkan kepalanya.
“Apanya yang aneh, Nona manis? Kami bukan orang-orang aneh, kami adalah laki-laki sejati dan engkau sebentar lagi akan membuktikannya sendiri, heheh!” kata si hidung besar sambil melangkah maju mendekat.
“Aneh mengapa masih ada sisa anak buah Pao-beng-pai, kenapa kalian tidak mampus atau tertawan.” kata Kim Giok, masih tenang saja.
Mendengar ucapan gadis itu, lima orang bekas anak buah Pao-beng-pai nampak terkejut, saling pandang dan kini mengepung lebih ketat dengan sikap bengis mengancam.
“Nona, siapakah engkau sebenarnya dan mau apa engkau datang ke tempat ini?” Suara si hiudung besar galak dan mengandung ancaman, tidak menggoda seperti tadi.
“Namaku tiduk ada sangkut-pautnya dengan kalian. Juga aku tidak mempunyai sangkut paut dengan pembasmian Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Aku hanya heran mengapa kalian tidak ikut mampus atau tertawan. Nah, karena di antara kita tidak ada urusan, minggirlah dan biarkan aku lewat!” kata Kim Giok yang memang tidak ingin mencari keributan dengan bekas anak buah Pao-beng-pai yang sudah hancur itu. Kalau ia bertemu dengan gadis tokoh. Pao-beng-pai yang pernah mengacau di rumah Suma Ceng Liong, tentu akan lain lagi sikapnya.
Akan tetapi ketika ia melangkah, lima orang itu cepat menghadangnya dan tetap mengepungnya. Bahkan kini sikap mereka kembali seperti tadi, dengan pandang mata tidak sopan.
“Hemmm, engkau tidak boleh pergi sebelum menghibur kami, Nona manis!” Dan si hidung besar cepat menggerakkan kedua lengannya yang panjang, jari-jari tangan yang besar panjang itu hendak merangkul.
“Wuuut.... plakkk! Aughhh....!” tubuh tinggi besar si hidung besar itu terjengkang. Ternyata ketika kedua tangannya sudah hampir menyentuh kedua pundak gadis itu untuk merangkul, gadis itu dengan gerakan cepat sekali menyelinap ke samping sehingga tubrukan itu luput dan sekali Kim Giok menggerakkan tangan kiri menampar, leher bawah telinga si hidung besar kena ditampar dan orang itu pun terjengkang dan terbanting, melotot dan meraba lehernya dengan mata terbelalak dan mulut mengaduh-aduh.
Empat orang temannya menjadi kaget dan marah. Mereka berempat cepat menyerbu, seolah-olah hendak berlomba untuk lebih dulu dapat meringkus gadis manis itu. Namun, sekali ini mereka membentur karang. Gerakan Kim Giok cepat bukan main, kaki dan tangannya menyambar-nyambar dan dalam segebrakan saja, empat orang itu pun terpelanting dan roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya!
Lima orang itu mengaduh-ngaduh dan menyumpah-nyumpah. Dasar golongan kasar yang tidak tahu diri dan yang selalu merasa diri mereka paling pandai, lima orang itu tidak melihat kenyataan bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan gadis manis yang mereka sangka domba itu. Mereka tidak menyadari bahwa yang disangka domba itu sesungguhnya seekor singa betina yang amat tangguh! Mereka merasa penasaran dan kini nafsu berahi mereka terbang lenyap, terganti oleh nafsu amarah yang hanya dapat diredakan dengan darah! Mereka mencabut golok mereka dan berloncatan berdiri.
Kim Giok sudah dapat menilai sampai di mana kemampuan lima orang lawannya, maka ia pun tidak mau mencabut pedangnya, hanya berdiri tegak sambil tersenyum manis. Lima orang itu sudah menggerakkan golok mereka dan bagaikan binatang-binatang yang haus darah, mereka sudah menyerang Kim Giok, serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh! Namun, pandang mata mereka menjadi kabur ketika gadis itu bergerak cepat dan lenyap bentuk tubuhnya, hanya nampak bayangannya berkelebat menyambar-nyambar bagaikan seekor capung. Itulah Pat-hong-sin-kun yang membuat tubuh gadis itu seolah-olah bergerak dari delapan penjuru angin! Dan ketika lima orang itu membacok-bacok membabi-buta ke arah bayangan tubuh gadis itu tanpa hasil, Kim Giok kembali membagi tamparan dan tendangan, kini ia menambahi tenaganya sehingga lima orang lawan yang terkena tamparan atau tendangan, roboh untuk tidak dapat bangkit dengan cepat, hanya mengaduh-aduh, ada yang patah tulang, ada yang nanar dan ada pula yang mendadak mulas perutnya!
Kim Giok berdiri bertolak pinggang, memandang lima orang lawan yang masih mengeluh kesakitan itu. “Hemmm, pantas saja Pao-beng-pai terbasmi pasukan pemerintah. Kiranya kalian hanya mengaku sebagai pejuang, akan tetapi sesungguhnya hanyalah segerombolan penjahat kecil yang tak tahu malu. Perampok dan pengganggu wanita. Orang-orang macam kalian ini mengaku pejuang?”
“Nona, ucapanmu lancang sekali!” tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan dalam, juga amat berwibawa karena Kim Giok merasa betapa isi dadanya tergetar oleh suara itu. Ia terkejut dan cepat menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara dan semakin kagetlah ia ketika melihat bayangan mendaki lereng itu dari arah kanan. Kalau orang itu yang tadi mengeluarkan suara, alangkah kuatnya khi-kang dari orang itu. Jelas bahwa dia mampu mengirim suara dari jauh dengan demikian kuatnya, dan hal ini menunjukkan bahwa dia akan berhadapan dengan seorang yang amat lihai.
Gerakan orang itu pun cepat bukan main. Sebentar saja dia telah berada di situ, berdiri tegak berhadapan dengan Kim Giok. Gadis ini memang penuh perhatian. Seorang pria jantan berusia lima puluh lima tahun yang amat gagah, bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat bagaikan batu karang, mukanya persegi merah dan jenggotnya terpelihara rapi, di punggungnya nampak gagang pedang dengan ronce merah.
“Pangcu....!!” lima orang itu segera memaksa diri memberi hormat dengan berlutut kepada. orang yang baru tiba ini dan tahulah Kim Giok bahwa pria ini adalah ketua Pao-beng-pai! Tentu orang ini ayah dari gadis lihai yang pernah mengacau pesta pertemuan keluarga. di rumah Suma Ceng Liong! Biarpun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang amat lihai, namun puteri dari sepasang pendekar Lembah Naga Siluman ini sedikit pun tidak merasa gentar. Hanya ia bersikap waspada.
Pria itu menengok ke arah lima orang anggauta Pao-beng-pai itu dan mendengus, marah, lalu dia menghadapi Kim Giok lagi, pandang matanya tajam mencorong itu mengamati Kim Giok penuh selidik, dari kepala sampai ke kakinya. Seperti telah diceritakan di bagian depan ketika Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah, Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini, dikepung oleh belasan orang jagoan istana yang datang bersama muridnya, Tio Sui Lan, murid utama yang kemudian dia paksa menjadi isterinya setelah dia bercekcok dengan isterinya, Lauw Cu Si. Dia membunuh Sui Lan dan melukai Cu Si, akan tetapi ketika dia menghadapi pengeroyokan belasan orang jagoan istana yang membuatnya terdesak, dan mendengar keributan di luar dengan adanya penyerbuan pesukan pemerintah, dia cepat meninggalkan para pengeroyoknya. Setelah tiba di luar, dia melihat betapa tempat itu diserbu oleh pasukan yang besar sekali jumlahnya. Tahulah dia bahwa semua usahanya telah gagal, gerakannya hancur. Karena maklum bahwa melawan pasukan itu pun tidak akan ada gunanya dan akhirnya bahkan hanya akan membahayakan diri sendiri, dia pun meninggalkan Ban-kwi-kok! Dia melarikan diri bukan karena takut, melainkan karena maklum betapa akan sia-sianya melakukan perlawanan terus. Sebagai seorang yang amat cerdik dan licik, dia tidak mau berlaku nekat dan mengorbankan diri. Tidak, demi cita-citanya, biarpun sekali ini kelompoknya dihancurkan, kalau dia masih hidup, dia dapat membentuk dan membangun kembali Pao-beng-pai, berjuang terus sampai dapat menjatuhkan kerajaan Ceng, mengusir orang-orang Mancu dari tanah air! Karena dia ingin mengetahui keadaan bekas markas Pao-beng-pai yang telah dibasmi dan dibakar, maka siang hari itu dia mendaki Kwi-san dan kebetulan dia melihat dan mendengar apa yang terjadi di lereng itu biarpun dia masih jauh.
“Nona, siapakah engkau yang begitu lancang memaki dan menghina Pao-beng-pai?” bentaknya dengan alis berkerut dan wajah bengis.
Kim Giok adalah seorang gadis yang sejak kecil dilatih ayah ibunya sendiri, bukan hanya ilmu silat tinggi, akan tetapi juga kebudayaan dan ia tahu sopan santun. Menghadapi seorang yang kedudukannya tinggi seperti ketua Pao-beng-pai, ia memang ada menaruh hormat. Akan tetapi mengingat betapa puteri orang ini pernah menghina dan mengacau dalam pertemuan tiga keluarga besar, ia merasa tidak senang dan ia pun tidak memberi hormat.
“Kalau aku tidak salah duga, tentulah engkau ini ketua Pao-beng-pai yang telah dibasmi pasukan pemerintah!” katanya, dan ia pun menentang pandang mata pria itu dengan penuh keberanian.
“Benar, akulah Siangkoan Kok. Sekarang katakan, siapa engkau dan kenapa engkau menghina Pao-beng-pai!”
“Maaf, Pangcu. Aku sama sekali tidak menghina Pao-beng-pai. Bahkan aku akan menghormati Pao-beng-pai kalau memang perkumpulan itu benar-benar merupakan perkumpulan orang-orang gagah yang berjuang menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya saja. Aku mendengar tentang penyerbuan pasukan pemerintah terhadap Pao-beng-pai dan aku ingin melihat keadaan di sini. Aku, Cu Kim Giok, ingin meluaskan pengalaman dan kesempatan ini tidak kulewatkan begitu saja. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Lima orang itu muncul, mengaku sebagai anggauta Pao-beng-pai dan mereka bersikap sebagai penjahat-penjahat kecil, hendak merampok dan mengganggu wanita. Kalau memang anggauta-anggauta Pao-beng-pai seperti itu, lalu apa yang harus kukatakan terhadap Pao-beng-pai?”
Siangkoan Kok melirik ke arah anak buahnya yang kini sudah bangkit berdiri bergerombol sambil memandang penuh harapan, ingin melihat ketua mereka menundukkan gadis yang telah menghajar mereka itu. Lalu dia berkata, “Tidak sembarang orang boleh menilai kami. Nona, aku ingin melihat dulu sampai di mana kepandaianmu, baru aku akan mengambil keputusan, apa yang harus kulakukan terhadap dirimu.”
“Pangcu, kalau engkau membela mereka itu, aku berani mengatakan bahwa memang Pao-beng-pai dipimpin oleh orang yang tidak baik!” kata Kim Giok berani.
“Kita bicara lagi setelah kita mengadu kepandaian. Nah, sambutlah seranganku ini!” Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala gadis itu. Angin yang dahsyat menyambar, disusul angin yang menyambar dari samping karana tangan kedua sudah mengikuti serangan pertama itu dengan mencengkeram ke arah perut.
Kim Giok memang kurang pengalaman bertanding, namun ia telah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil, maka ia segera mengenal serangan yang berbahaya. Cepat ia pun mengerahkan gin-kangnya dan tubuhnya sudahmencelat ke belakang untuk mengelak sehingga serangan kedua tangan Siangkoan Kok yang beruntun itu luput. Diam-diam Siangkoan Kok maklum bahwa gadis ini biarpun masih muda, memang cukup berisi, agaknya tidak kalah dibandingkan dengan mendiang Tio Sui Lan, murid pertamanya. Dia mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berpusing. Kembali Kim Giok menggunakan gin-kang dan mengelak dengan gerakan cepat sekali, membuat tubuhnya hanya merupakan bayangan yang berkelebatan mengelak di antara hujan serangan lawan. Karena maklum bahwa lawannya benar-benar tangguh, Kim Giok mencabut pedangnya dan nampaklah sinar berkilat dan terdengar bunyi desing yang aneh, seperti gerengan binatang buas, seperti auman harimau. Itulah Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman), pedang milik ayahnya yang diberikan kepadanya agar gadis itu dapat melindungi diri dengan baik.
Melihat sinar pedang dan dengungnya yang menyeramkan itu, diam-diam Siangkoan Kok terkejut dan kagum bukan main. “Ahhh, po-kiam (pedang pusaka) yang hebat!” teriaknya dan begitu Kim Giok memainkan pedangnya, dia pun semakin kaget dan cepat mencabut pedangnya sendiri, kaget karena dia maklum bahwa biarpun dia memiliki tingkat kepandaian tinggi, namun terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi pedang seperti itu dengan tangan kosong saja. Apalagi gerakan ilmu pedang gadis itu pun hebat dan dahsyat, bagaikan seekor naga yang mengamuk.
Segera terjadi pertandingan pedang yang amat seru. Setelah lewat belasan jurus, tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat jauh ke belakang dan berseru, “Tahan dulu!”
Kim Giok berdiri tegak, pedang juga tegak lurus di depan dadanya.
“Nona, bukankah itu Koai-liong Kiamsut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang kaumainkan? Dan tentu pedang itu Koai-liong-pokiam! Apa hubunganmu dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman?”
Kim Giok tersenyum. “Namaku Kim Giok, tentu engkau dapat menduganya, Pangcu.”
“Ah, benar! Engkau tentu keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman! Sudah lama aku mendengar tentang keluarga Cu yang gagah perkasa. Ah, sungguh beruntung hari ini dapat menguji kepandaian seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman. Nah, sambutlah seranganku ini dan keluarkan seluruh ilmu pedang Naga Siluman itu, Nona!” Setelah berkata demiklan, Siangkoan Kok menerjang ke depan dengan dahsyat karena dia tahu betapa lihainya pedang dan ilmu pedang gadis muda itu. Dia memang sejak dahulu ingin sekali menguasai semua ilmu silat tinggi di seluruh dunia, maka dia sejak dahulu memancing para tokoh persilatan untuk mengadu ilmu dan dengan cara itu, dia dapat mempelajari ilmu mereka. Kini, berhadapan dengan seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu untuk memaksa Kim Giok memainkan ilmu pedang itu. Justeru kelihaian Siangkoan Kok terletak kepada kekuatan ingatannya sehingga sekali melihat, dia sudah hampir dapat mengingat dan menguasai gerakan itu. Karena pengetahuannya yang luas tentang ilmu-ilmu dari para tokoh besar, maka dia pun tentu saja menjadi lihai bukan main.
Karena didesak lawan yang lihai, tentu saja terpaksa Kim Giok memainkan Kaoi-liong Kiam-sut sepenuhnya, bahkan ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat memang ilmu pedang gadis ini. Pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan mengeluarkan suara mengaung, seolah-olah ada naga yang melayanglayang dan mengamuk. Melihat ini, lima orang anak buah Pao-beng-pai itu diam-diam memaki diri mereka sendiri, seperti buta tidak melihat bahwa gadis itu adalah seorang yang demikian lihainya. Bergidik mereka membayangkan betapa tadi mereka berani hendak kurang ajar kepada gadis itu. Kalau tadi gadis itu mencabut pedangnya, mungkin sekarang mereka telah menjadi setan-setan tanpa kepala!
Betapapun hebatnya ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi ketangguhan seseorang bukan hanya bergantung sepenuhnya kepada ilmu silatnya, melainkan lebih banyak kepada keadaan orang itu sendiri. Dibandingkan Siangkoan Kok, tentu saja Kim Giok kalah segala-galanya, walaupun mungkin ilmu pedangnya tidak kalah dibandingkan ilmu pedanglawan. Ia kalah tenaga, kalah pengalaman bertanding, juga jauh kalah matang dalam gerakan ilmu pedang. Setelah lewat seratus jurus, karena ditekan terus sehingga ia harus berulang kali memainkan ilmu pedangnya, ia sudah mandi keringat dan napasnya mulai tersengal. Tahulah gadis ini bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan roboh oleh pedang lawan. Namun, ia sudah dilatih ayah ibunya untuk tidak mengenal takut dan pantang menyerah kepada seorang yang jahat. Lebih baik mati dengan pedang di tangan daripada menyerah kepada pada seorang yang jahat dan yang tentu akan membuat ia lebih menderita daripada kalau ia roboh dan tewas. Baru lima orang anak buahnya saja sudah seperti itu, apalagi ketuanya! Maka, ia pun terus menggerakkan pedangnya dengan nekat, walaupun tenaganya sudah banyak berkurang.
Makin lama, semakin repotlah Kim Giok, hanya mampu mengelak dan menangkis saja, itu pun setiap kali menangkis, pedangnya terpental dan lengannya tergetar hebat. Pada saat itu, terdengar suara tawa yang aneh, tawa mengejek yang mengandung getaran yang membuat kedua orang yang sedang bertanding itu terpaksa menghentikan gerakan mereka karena mereka merasa betapa jantung mereka terguncang. Mempergunakan kesempatan terlepas dari desakan karena lawan menghentikan gerakan pedangnya, Kim Giok melompat ke belakang dan menengok ke arah orang yang tertawa itu. Juga Siangkoan Kok menoleh.
Yang tertawa itu adalah seorang laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun, gagah dan tampan sekali. Alisnya hitam tebal dan panjang, matanya mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya yang tersenyum itu manis, dagunya juga kokoh dan mukanya bersih. Tubuhnya tegap berisi otot yang membuat dia nampak gagah. Pakaiannya tidak mewah namun rapi dan bersih. Pemuda itu sudah menghentikan tawanya dan kebetulan dia memandang kepada Kim Giok. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, kemudian wajah Kim Giok berubah kemerahan dan ia pun menundukkan mukanya. Hatinya berdebar aneh dan harus diakui bahwa ia merasa amat tertarik kepada pemuda yang tampan dan gagah itu.
Akan tetapi, sebaliknya Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, matanya melotot marah. Tentu saja dia memandang rendah kepada pemuda yang tidak dikenalnya itu, yang berarti tidak terkenal pula.
“Heh siapa engkau berani mentertawakan aku dan mencampuri urusanku?”
Pemuda itu bukan lain adalah Ouw Seng Bu yang belum lama ini telah berhasil menguasai Thian-li-pang dan menjadi ketuanya. Dia mendengar tentang kehancuran Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Dia ingin sekali melihat bagaimana keadaan Pao-beng-pai sekarang karena dia ingin memperkuat Thian-li-pang dengan bersekutu dan bekerja sama dengan para perkumpulan lain yang besar seperti Pek-lian-kauw, Pat-kwapai, dan Pao-beng-pai. Biarpun dia sendiri belum pernah melihat Siangkoan Kok, namun dia sudah menyelidiki dan mendengar bagaimana keadaan ketua Pao-beng-pai itu. Maka, ketika melihat pria setengah tua yang gagah perkasa itu bertanding melawan seorang gadis yang juga lihai, akan tetapi gadis itu terdesak, Ouw Seng sengaja mengeluarkan suara tawa yang dilakukan dengan pengerahan khi-kang sehingga kedua orang yang sedang bertanding itu terkejut dan menghentikan pertandingan mereka.
Mendengar teguran Siangkoan Kok, Seng Bu yang datang untuk mencari kawan, tersenyum. “Bukankah aku berhadapan dengan Siangkoan Kok, pangcu dari Pao-beng-pai?” tanyanya, kini sikapnya sopan dan ramah.
Siangkoan Kok mengamati pemuda itu. Dia seorang yang berpengalaman dan dari suara tawa pemuda itu tadi saja, dia pun dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang lemah. Akan tetapi karena dia tidak mengenalnya, maka dia memandang rendah.
“Engkau sudah tahu namaku, mengapa masih berani lancang mencampuri urusanku?” bentaknya. “Siapa engkau?”
“Namaku Ouw Seng Bu dan seperti juga engkau, aku seorang pengcu (ketua) pula. Aku adalah pangcu dari Thian-li-pang.”
“Bohong!” Siangkoan Kok membentak marah. Sementara itu, lima orang bekas anak buahnya kini sudah memegang golok masing-masing dan siap untuk membantu ketua mereka kalau diperintahkan. Adapun Kim Giok, walau tidak mengenal siapa pemuda itu, akan tetapi di dalam hatinya ia sudah condong berpihak kepadanya sehingga kalau sampai pemuda itu terancam bahaya, tanpa diminta pun ia pasti akan membantunya.
“Ha-ha-ha, orang muda. Jangan engkau mencoba untuk membohongi aku. Kaukira aku tidak tahu siapa ketua Thian-li-pang? Ketuanya adalah Lauw Kang Hui, dan pemimpin besarnya adalah Sinciang Tai-hiap Yo Han. Bukankah begitu? Engkau ini, orang bernama Ouw Seng Bu tidak pernah dikenal. sebagai ketua Thian-li-pang!”
Seng Bu tersenyum dan menggeleng kepala. “Itu menandakan bahwa Pao-beng-pai yang sudah hancur tidak lagi pandai meneliti keadaan di dunia kang-ouw. Engkau agaknya tidak tahu, Pangcu, bahwa Lauw-pangcu dari Thian-li-pang telah tewas dan akulah yang menjadi penggantinya. Adapun Yo Han, ah, dia bukan orang Thian-li-pang dan dia tidak mempunyai urusan apa pun dengan Thian-li-pang.”
Siangkoan Kok masih sangsi, akan tetapi karena dia memang tidak tahu perkembangan di dunia kang-ouw, maka dia tidak membantah lagi. “Kalau engkau benar ketua Thian-li-pang, itu pun tidak memberi hak kepadamu untuk mencampuri urusanku! Nah, mau apa engkau datang ke sini?”
“Pangcu, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah. Begitulah jadinya kalau kita tidak mau bekerja sama antara perkumpulan pejuang. Aku datang hendak mengulurkan tangan kepadamu, mengajakmu bekerja sama. Thian-li-pang sejak dahulu terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih. Beberapa kali kami sudah menyusup ke istana dan biarpun belum berhasil, namun nama kami cukup ditakuti. Akan tetapi setelah tiba di sini, markas Pao-beng-pai sudah hancur, dan aku melihat Pangcu bahkan bertanding melawan seorang gadis muda. Siapakah Nona ini dan mengapa pula bertanding melawan Pangcu?”
“Huh, ia berani berkeliaran di sini dan memukul anak buahku!” kata Siangkoan Kok dengan singkat karena dia tidak menghendaki orang luar mencampuri urusannya. Akan tetapi Seng Bu yang amat tertarik kepada gadis cantik manis yang juga lihai ilmu pedangnya itu, kini sudah menghadapi Kim Giok lalu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat.
“Nona sudah mengenal namaku. Aku Ouw Seng Bu, ketua Thian-li-pang dan kalau boleh aku bertanya, siapakah Nona dan mengapa bertanding melawan Pangcu dari Pao-beng-pai yang amat lihai?”
Kim Giok cepat membalas penghormatan itu dengan senyum ramah, lalu ia menjawab, “Namaku Cu Kim Giok dan aku sedang merantau untuk meluaskan pengalaman. Ketika tiba di sini aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dibasmi pasukan pemerintah, maka aku sengaja hendak melihat bekas-bekasnya di sini. Tiba-tiba muncul lima orang itu yang hendak merampok dan bersikap kurang ajar kepadaku. Aku menghajar mereka. Lalu muncul Pangcu dari Pao-beng-pai ini yang memaksaku untuk bertanding.”
Mendengar ini, Seng Bu kembali menghadapi Siangkoan Kok, “Aih, Pangcu semestinya malu terhadap Cu-siocia (nona Cu) ini. Anak buahmu yang bersalah, sepantasnya engkau yang minta maaf kepadanya dan menghukum anak buahmu, bukan malah menantang Cu-siocia untuk bertanding.” katanya mencela.
Wajah ketua Pao-beng-pai menjadi merah sekali dan matanya mencorong tajam. “Ouw Seng Bu, engkau ini siapa berani berkata seperti itu kepadaku? Kalau engkau mengulurkan tangan ingin bekerja sama dengan aku, setidaknya aku tentu harus tahu orang macam apa engkau ini dan apakah engkau pantas duduk sejajar dengan aku!”
“Hemmm, sudah kudengar bahwa Siangkoan Kok adalah seorang yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah orang lain. Baiklah, akan tetapi bagaimana kalau aku mampu menandingi ilmu silatmu?”
“Ouw Seng Bu, kalau engkau dapat mengalahkan aku, barulah aku mau menjadi sekutumu, bahkan aku akan membantu Thian-li-pang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mampu menandingi aku, engkau harus cepat berlutut minta ampun kepadaku dan tidak mencampuri urusanku lagi. Kalau engkau bukan ketua Thian-li-pang, tentu akan kubunuh engkau.”
“Bagus! Nah, aku sudah siap, Siangkoan Pangcu. Akan tetapi karena aku ingin bersahabat denganmu, bukan bermusuhan, maka sebaiknya kita bertanding dengan tangan kosong saja.”
“Baik, sambutlah seranganku ini, orang she Ouw!” setelah berkata demikian, Siangkoan Kok yang sudah menyimpan pedangnya, menerjang dengan pukulannya yang mengandung tenaga sin-kang yang dahsyat. Karena dia ingin cepat-cepat mengalahkan lawannya, maka dia mengerahkan tenaganya yang disebut Kang-kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi) dan begitu kedua tangan kakinya bergerak menggunakan ilmu ini, terdengar suara berkerotokan pada buku-buku tulangnya!
Lima orang anak buah Pao-beng-pai biarpun masih menderita nyeri, kini memandang dengan wajah gembira karena mereka merasa yakin bahwa ketua mereka yang sakti akan dapat mengalahkan pemuda itu pula. Akan tetapi, Kim Giok memandang dengan sinar mata khawatir. Pemuda itu jelas muncul dan membantunya, bahkan berani menegur bekas ketua Pao-beng-pai untuk membelanya. Dan ia tahu betapa lihainya Siangkoan Kok, apalagi kini mengeluarkan ilmu yang demikian mengerikan. Ia tidak dapat maju membantu, karena satu di antara pesan yang ditekankan ayah bundanya adalah agar ia menjadi seorang yang gagah dan pantang untuk bertindak curang. Dan maju melakukan pengeroyokan merupakan suatu perbuatan yang curang dan ia tidak mau melakukannya. Maka ia hanya menjadi penonton yang risau, dan hanya siap untuk melindungi kalau pemuda she Ouw itu terancam maut.
Menghadapi serangan yang amat dahsyat dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu juga maklum bahwa kalau dia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Lauw Kang Hui saja, dia tidak akan menang. Bahkan mendiang gurunya itu, Lauw Kang Hui, masih kalah setingkat dibandingkan bekas ketua Pao-beng-pai ini. Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa gentar. Dia sudah cepat mengeluarkan ilmu rahasianya, yaitu Bu-kek Hoat-keng! Begitu kedua tangannya bergerak, terdengar bunyi aneh bersiutan dan angin pukulan kedua tangannya mendatangkan angin berpusing. Dengan mudah saja dia menangkis lima kali pukulan lawan yang datang beruntung susul menyusul, kemudian dia pun membalas dengan cepat dan tak kalah dahsyatnya!
Siangkoan Kok terkejut bukan main. Sedikit banyak, dia sudah mengenal ilmu andalan dari Lauw Kang Hui. Biarpun dia belum dapat menirukan, namun dia sudah banyak mendengar dua ilmu andalan Thian-li-pang, yaitu Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang. Dia akan mengenal dua ilmu ini. Dan karena mengenal, setidaknya dia akan lebih mudah menghadapi dan melawannya. Akan tetapi, gerakan pemuda ini sama sekali tidak dikenalnya! Dia hanya merasa ada angin berpusing datang menyambar dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambutnya.
“Plak! Desss....!!” Siangkoan Kok berjungkir balik ke belakang, dan setelah membuat salto tiga kali barulah dia terbebas dari dorongan tenaga yang tentu akan membuatnya terjengkang kalau saja dia tidak membuat salto tadi.
Seng Bu sendiri terkejut dan kagum melihat gin-kang yang diperlihatkan lawan. Akan tetapi dia menyerang terus dan sekali ini, Siangkoan Kok yang maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang mujijat, tidak mau mengadu tenaga secara langsung, melainkan menggunakan kecepatan gerakan untuk menghindar dan membalas serangan itu dengan sepenuh tenaga. Terjadilah perkelahian yang amat hebat! Beberapa kali kalau kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya terdorong mundur. Tanpa diketahui orang lain, terjadi perubahan pada diri Seng Bu, seperti biasa kalau dia memainkan ilmunya itu. Sepasang matanya menjadi liar, senyumnya menjadi dingin mengerikan dan beberapa kali dia mengeluarkan suara tawa yang aneh.
“Siangkoan Kok, engkau takkan menang melawanku!” beberapa kali dia mengeluarkan ucapan ini yang didahului dan diakhiri suara tawa ha-ha-hi-hi-hi seperti orang gila. Hal ini membuat Siangkoan Kok merasa penasaran dan semakin marah. Dia sudah mengerahkan semua jurus yang menjadi andalannya, namun dia tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, biarpun lawannya juga belum mampu merobohkan atau mendesaknya. Mereka memiliki tingkat yang seimbang!
“Ouw Seng Bu, mari kita bertanding dengan senjata!” bentaknya sambil meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya.
Seng Bu hanya terkekeh dan melihat pemuda itu agaknya tidak membawa senjata, Kim Giok cepat menghampiri dan menyodorkan pedangnya.
“Kau pergunakanlah pedangku ini!”
Ouw Seng Bu memandang gadis itu dengan matanya yang mencorong liar sehingga Kim Giok terkejut, akan tetapi pemuda itu menerima juga Koai-liong-kiam, lalu menghadap siangkoan Kok dan tertawa.
“Heh-heh-heh, Siangkoan Kok. Perlukah diteruskan? Kalau aku membiarkan saja pun engkau akan mampus. Lihat baik-baik kedua telapak tanganmu.”
Mendengar ini, Siangkoan Kok cepat memeriksa kedua tangannya dan wajahnya berubah pucat. Kedua telapak tangannya berwarna menghitam dan terasa panas bukan main!
“Kau....! Aku.... keracunan....!” katanya.
“Ha-ha-ha, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak kusedot kembali hawa beracun itu, engkau akan mati. Perlukah dilanjutkan? Atau engkau mengaku kalah?” Siangkoan Kok menarik napas panjang dan menyarungkan pedangnya. Dia harus mengaku kalah, kalau ingin hidup! “Baiklah, Ouw-pangcu. Aku mengaku kalah. Akan tetapi sebelum kita bicara, punahkan dulu racun dari kedua tanganku.”
“Baik, duduklah bersila, Siangkoan-pengcu, dan acungkan kedua telapak tanganmu ke atas, menghadap ke belakang,” kata Seng Bu.
Siangkoan Kok duduk bersila, mengangkat kedua tangan ke atas dan menghadapkan kedua telapak tangan yang menghitam itu ke belakang! Seng Bu yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng secara keliru, memang telah mendapatkan pukulan yang mengandung hawa beracun. Kalau Siangkoan Kok tidak memiliki sin-kang yang amat kuat, tentu dia telah tewas dengan tubuh hangus. Untung bahwa ketua Pao-beng-pai itu memiliki sin-kang kuat sehingga hawa beracun itu berhenti sampai di pergelangan tangannya saja, dihambat oleh sin-kangnya. Kini, Seng Bu menjulurkan kedua tangannya dan ditempelkan pada kedua tangan Siangkoan Kok. Sampai beberapa menit lamanya dia mengerahkan sin-kangnya sehingga tubuh kedua orang itu menggigil dan perlahan-lahan, warna menghitam di kedua tangan Siangkoan Kok menjadi hilang, tersedot ke dalam kedua tangan Seng Bu!
Setelah Seng Bu melepaskan kedua tangannya dan meloncat ke belakang, Siangkoan Kok memeriksa kedua tangannya dan ternyata kedua telapak tangannya sudah bersih, lalu memandang kepada Seng Bu dengan kagum.
“Ouw-pangcu, sekarang aku percaya. Engkau masih muda akan tetapi lihai bukan main, dan aku akan suka menjadi sekutumu. Karena Pao-beng-pai sudah terbasmi pasukan pemerintah penjajah, maka biarlah aku membantumu untuk memperkuat Thian-li-pang dan kita bersama jatuhkan pemerintah kerajaan Mancu!”
“Nanti dulu, Siangkoan-pangcu. Urusan di sini harus dibereskan dulu. Sebaiknya kalau engkau minta maaf kepada Nona Cu, dan memberi hukuman kepada lima orang bekas anak buahmu.”
Siangkoan Kok menghela napas panjang. Dia maklum bahwa pemuda yang mengaku ketua Thian-li-pang itu lihai bukan main, memiliki ilmu pukulan yang amat aneh dan berbahaya. Dia akan melihat keadaan di Thian-li-pang. Kalau memang pantas dia bantu, apa salahnya? Baginya, yang penting adalah menggulingkan pemerintah Mancu! Dan memang tidak menguntungkan kalau dia bermusuhan dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman.
“Nona Cu, maafkan sikapku tadi.” Dia menjura kepada gadis itu. Tentu saja Kim Giok segera membalas penghormatan ketua Pao-beng-pai itu.
“Tidak mengapa, Pangcu, hanya kesalahpahaman saja.” katanya.
Kini Siangkoan Kok menoleh ke arah lima orang anak buahnya yang menyeringai. Ketika dia melangkah maju menghampiri mereka, lima orang itu memandang dengan wajah pucat dan mata ketakutan. Melihat sikap ketua mereka yang sudah amat mereka kenal, mereka ketakutan dan maklum bahwa ketua mereka itu marah kepada mereka. Dengan kaki menggigil, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Siangkoan Kok menggerakkan tangan kirinya lima kali dan lima orang itu pun terjengkang dan tewas seketika! Melihat ini, terkejutlah Kim Giok. Lima orang itu memang jahat dan patut dihajar, akan tetapi hukuman mati itu ia anggap terlalu keras. Akan tetapi karena yang membunuh adalah ketua mereka sendiri, ia pun tidak dapat mencampuri.
Sementara itu, Seng Bu merasa senang dan puas melihat cara Siangkoan Kok membuktikan kesungguhan niat kerja sama dengan dia. Dia kini menghadapi Kim Giok dan berkata, sikapnya sudah pulih ramah dan sopan.
“Nona Cu, secara kebetulan kita saling bertemu dan berkenalan di sini. Mendengar tadi Nona berkata bahwa Nona sedang merantau untuk meluaskan pengalaman, sudikah Nona menerima undanganku untuk berkunjung ke Thianli-pang bersama Siangkoan Pangcu ini? Pasti Nona akan mendapat pengalaman dan pengetahuan lebih luas.”
Karena memang merasa tertarik dan kagum sekali melihat pemuda yang ternyata mampu menundukkan Siangkoan Kok, pula ia pun tahu bahwa tanpa bantuan Ouw Seng Bu, mungkin ia sudah menderita celaka di tangan ketua Pao-beng-pai dan anak buahnya, maka Kim Giok mengangguk dan mengucapkan terima kasihnya.
Akan tetapi, Siangkoan Kok agaknya merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan bersama mereka. “Ouw-pangcu, aku bukan seorang yang suka mengingkari janji. Aku pasti akan datang berkunjung ke Thian-li-pang, karena bukan hanya engkau yang membutuhkan bantuanku, akan tetapi juga aku sendiri amat membutuhkan kerja sama dengan orang sepertimu. Memang engkau benar, tanpa kerja sama antara kekuatan-kekuatan yang ada, perjuangan kita menentang penjajah tidak akan berhasil. Nah, silakan engkau dan Nona Cu pergi dulu, Ouw-pangcu, aku akan menyusul segera berkunjung ke sana.”
Ketua Thian-li-pang itu setuju dan demikianlah, dia mengajak Cu Kim Giok untuk pergi lebih dahulu. Setelah mereka pergi, Siangkoan Kok menjatuhkan diri duduk di atas batu, termenung memandang ke arah mayat lima orang anak buahnya yang malang melintang. Dia mengerutkan alisnya. Terpaksa dia membunuh mereka, untuk memuaskan hati Ouw Seng Bu. Kini hatinya panas bukan main. Ketua Thian-li-pang itu memaksanya membunuh anak buahnya sendiri. Dia, Siangkoan Kok, adalah keturunan kaisar kerajaan Beng, berdarah bangsawan tinggi. Bagaimana mungkin dia begitu direndahkan untuk menjadi pembantu saja dari seorang pemuda ingusan macam Ouw Seng Bu, betapapun lihainya pemuda itu karena menguasai ilmu pukulan beracun yang hebat? Tidak, dia harus menjadi kepala, dia harus menjadi pemimpin, dia harus menjadi yang nomor satu. Dia akan mencari akal untuk mengalahkan dan menjatuhkan Ouw Seng Bu. Dia mengepal tinju, kemudian dia melempar-lemparkan lima buah mayat itu ke dalam jurang yang dalam agar tidak kelihatan terlantar di tempat itu.
***
Siangkoan Kok menuruni lembah Bukit Setan. Tiba di lembah terakhir dia berhenti dan memutar tubuhnya, memandang ke arah Ban-kwi-kok yang nampak menghitam dari situ. Selama bertahun-tahun dia membangun kekuatan di tempat itu. Dan terpaksa, kini dia harus meninggalkan tempat itu yang sudah kosong dan hancur. Selama belasan tahun dia menghimpun tenaga para anak buahnya, hanya untuk hancur dalam waktu sehari saja! Dia merasa berduka dan menyesal sekali, maklum bahwa dia memang telah bersikap bodoh. Dia terlalu mengandalkan kekuatan perkumpulannya. Perkumpulan yang menentang pemerintah, seharusnya menyembunyikan diri, menghimpun kekuatan secara diam-diam pula, tidak memamerkan kekuatan sehingga terbasmi sebelum sempat memberontak. Dia harus mulai dari permulaan, menghimpun pembantu-pembantu yang lebih cakap daripada yang sudah. Akan tetapi dia tahu betapa sukarnya hal itu tercapai. Yang jelas, dahulu dia dibantu oleh isterinya, Lauw Cu Si yang selain setia juga amat lihai ilmunya, sebagai keturunan para pimpinan Beng-kauw. Tidak mudah mencari seorang pengganti isteri seperti Lauw Cu Si yang pandai dan lihai. Kemudian dia berhasil menggembleng Eng Eng yang dianggap seperti anak sendiri sehingga Eng Eng yang tinggal bersamanya sejak berusia dua setengah tahun, menjadi seorang gadis yang memiliki kelihaian melebihi ibunya! Dua orang wanita itu tadinya merupakan pembantu-pembantu yang amat boleh diandalkan, terutam Eng Eng. Akan tetapi sekarang, semuanya telah hancur. Bahkan isterinya telah tewas, dan Eng Eng telah lari, dan dia tahu bahwa sekarang Eng Eng bukan lagi anaknya, melainkan musuhnya! Dan semua pembantu yang telah dididiknya, juga murid-muridnya, telah habis, entah tewas entah ditawan pasukan pemerintah.
Dia hanya seorang diri di dunia ini. Bahkan lima orang bekas anak buahnya tadi pun terpaksa dibunuhnya.
“Aku tidak boleh putus asa,” bisik Siangkoan Kok kepada dirinya sendiri sambil mengepal tinju. “Aku harus mencari lagi pembantu-pembantu yang lebih kuat lagi.” Kalau saja orang-orang seperti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok tadi dapat menjadi pembantu-pembantunya! Kalau Ouw-pangcu tidak muncul, mungkin dia sudah dapat membujuk atau memaksa Cu Kim Giok menjadi pembantunya yang baru, atau menjadi selirnya! Dia bukan tergila-gila karena kecantikan dan kemudaan Kim Giok, melainkan ingin memiliki gadis itu agar dapat menjadi pembantunya yang setia.
Dengan keputusan hati yang penuh harapan, penuh semangat, pria perkasa ini melanjutkan perjalanan, dengan langkah lebar dia menuruni lereng terakhir. Di dalam sakunya masih terdapat banyak emas permata untuk bekal perjalanannya, walaupun hal ini tidak dipentingkan benar karena kalau dia membutuhkan biaya, tidak sukar baginya untuk mengambil dari rumah orang yang manapun.
Ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup ramai di kaki Kwi-san, matahari telah condong ke barat dan cuaca sudah mulai remang-remang, maka Siangkoan Kok mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu. Biarpun dia bekas ketua Pao-beng-pai yang bermarkas di Lembah Selaksa Setan, di lereng Bukit Setan itu, namun penduduk dusun di kaki bukit ini tidak pernah melihatnya. Oleh karena itu, tak seorang pun mengenal pria tinggi besar gagah perkasa yang pada senja hari itu memasuki dusun. Akan tetapi, biarpun dia sendiri belum pernah memasuki dusun itu, Siangkoan Kok sudah mendengar dari anak buahnya bahwa dusun itu cukup ramai, penduduknya hidup cukup makmur karena sawah ladang di daerah itu amat subur, dan bahwa kepala dusunnya kaya.
So-chung-cu (Kepala dusun So) bersama isterinya dan puterinya yang pada sore hari itu sedang duduk di serambi depan, tidak menduga buruk ketika melihat seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, berpakaian cukup pantas seperti seorang kota yang pakaiannya dari kain sutera, memasuki halaman rumah mereka. Bahkan Lurah So segera bangkit berdiri sambil memandang penuh perhatian ketika orang itu datang menghampiri mereka. Akan tetapi dia merasa heran karena merasa tidak mengenal tamu yang datang itu. Kalau seorang pejabat dari kota, kenapa datang tanpa pengawal?
Kini mereka berdiri berhadapan. Juga isteri Lurah So dan puterinya yang berusia delapan belas tahun, bangkit berdiri dan memandang kepada tamu itu. Karena tamu pria itu sudah setengah tua, maka dua orang wanita itu tidak merasa sungkan. Andaikata yang datang itu seorang laki-laki muda, tentu So Biauw Hwa, puteri lurah itu, akan masuk ke dalam bersama ibunya.
“Apakah engkau kepala dusun di sini?” tiba-tiba tamu itu mendahului tuan rumah. Suaranya menggelegar dan sikapnya berwibawa, juga sikapnya tidak menghormat si kepala dusun seperti sikap penduduk dusun di situ pada umumnya. Akan tetapi, So-chung-cu tidak marah karena dia menduga bahwa tentu tamu ini seorang dari kota, mungkin pejabat atau pedagang. Dia hanya memandang sejenak lalu mengangguk.“Benar, saya kepala dusun di sini. Siapakah Saudara dan dari mana hendak ke mana? Ada keperluan apa Saudara berkunjung ke rumah kami?”
Siangkoan Kok mengamati lurah itu. Seorang laki-laki yang sebaya dengannya, tinggi kurus. Isterinya berusia empat puluhan tahun, masih cantik, dan puterinya yang berusia delapan belas tahun itu berwajah manis dan matanya lebar indah seperti mata kelinci. Ruangan depan itu pun memiliki prabot rumah yang cukup mewah, tanda bahwa lurah ini memang cukup keadaannya.
“Saya orang yang kebetulan lewat di dusun ini dan karena kemalaman, saya ingin melewatkan malam di sini, di rumah ini.” kata Siangkoan Kok dengan sikap acuh, seolah-olah dia sudah merasa yakin bahwa permintaannya itu pasti dikabulkan. Mulailah Lurah So mengerutkan alisnya, juga isteri dan puterinya memandang dengan alis berkerut. Tamu ini sungguh tidak sopan, dan permintaannya agak keterlaluan. Tidak memperkenalkan nama, tidak menceritakan maksud kedatangannya, datang-datang menyatakan ingin menginap di rumah itu, bahkan tidak minta diterima!
“Hemmm, kalau ada tamu kemalaman di sini, kami sudah menyediakan tempat umum untuk bermalam, yaitu di balai dusun. Akan tetapi setiap orang tamu harus mendaftarkan namanya, tempat tinggalnya, agar kami tahu siapa yang datang bermalam. Nah, Saudara boleh pergi ke balai dusun, itu di sebelah kiri, tiga rumah dari sini, dan di sana sudah ada petugas yang akan melayanimu. Silakan!” kata tuan rumah itu, mengusir dengan nada halus.
Akan tetapi, jawaban yang diberikan tamu itu sungguh membuat keluarga lurah itu menjadi terbelalak. Siangkoan Kok berkata dengan nada suara marah.
“Lurah So, tidak perlu banyak cakap lagi. Sediakan sebuah kamar terbaik di rumah ini untukku! Sediakan air hangat untuk mandi. Setelah itu, aku ingin makan malam yang enak, sediakan masakan yang lengkap, sembelih ayam dan bebek, dan aku ingin makan dilayani wanita yang muda-muda dan cantik-cantik!” berkata demikian, Siangkoan Kok mengerling ke arah isteri dan puteri lurah itu. Dia bukan seorang mata keranjang, akan tetapi dia ingin memperlihatkan kekuasaannya, ingin dihormati secara berlebihan. Kalau dia pernah memaksa mendiang Tio Sui Lan, muridnya karena dia marah kepada isterinya dan ingin mendapatkan ganti isterinya. Dan Sui Lan yang pada saat itu paling dekat dengannya, maka dia mengambil murid itu sebagai isteri secara paksa. Sebelum itu, dia tidak pernah mengganggu wanita lain karena bukan kepada wanita cantiklah curahan nafsu dalam diri Siangkoan Kok, melainkan kepada pengejaran cita-citanya, yaitu membangun kembali kerajaan Beng dan dia yang menjadi kaisar!
Tentu saja Lurah So marah bukan main mendengar permintaan kurang ajar seperti itu. Seorang pejabat tinggi dari kota pun tentu tidak akan mengajukan permintaan seperti itu secara langsung, seolah-olah dia merupakan abdi dari orang itu!
Lurah So tidak mau banyak cakap lagi, lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima orang dari samping rumah, membawa seekor anjing yang dirantai. Anjing itu besar dan nampaknya menyeramkan. Lima orang itu adalah penjaga atau peronda yang malam itu akan bertugas jaga di dusun itu, melakukan perondaan dan memang rumah samping Lurah So menjadi pusat penjagaan.
“Usir orang yang tidak sopan ini keluar dari dusun!” perintah Lurah So dengan geram sambil menunjuk ke arah Siangkoan Kok. Lima orang itu menghampiri dengan sikap bengis. Para petugas ronda di dusun itu memang dipilih warga dusun yang bertubuh kuat dan masih muda. Biarpun mereka bukan tukang pukul, akan tetapi lima orang itu yang merasa mendapat wewenang, lalu menghampiri Siangkoan Kok dengan sikap bengis mengancam. Sementara itu, isteri dan puteri Lurah So yang merasa ketakutan, sudah lari masuk ke dalam rumah.
“Hayo engkau cepat pergi dari sini!” kata seorang penjaga.
“Kalau tidak cepat pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!” bentak orang kedua.
Siangkoan Kok memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. “Aku tidak mau pergi dan hendak kulihat, kekerasan macam apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku!”
Mendengar kata-kata dan melihat sikap penuh tantangan ini, lima orang penjaga menjadi marah. Mereka berlima maju dan mengulur tangan hendak menangkap orang setengah tua itu. Akan tetapi, begitu Siangkoan Kok menggerakkan kedua tangannya, lima orang itu terdorong dan terjengkang, terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya! Anjing yang tadinya dipegang ujung rantainya oleh seorang dari mereka, terlepas dan anjing itu menggonggong, lalu menubruk ke arah Siangkoan Kok dengan moncong dibuka lebar, memperlihatkan gigi bertaring yang runcing.
Melihat serangan anjing besar itu, Siangkoan Kok menjadi marah. Tangan kirinya, dengan jari terbuka menyambut tubrukan anjing itu, menyambar dari samping ke arah kepala anjing.
“Krekkk!” Anjing itu terbanting roboh dan berkelojotan dengan kepala pecah.
Lima orang penjaga itu terkejut dan mereka sudah mencabut golok masing-masing sambil berloncatan berdiri. Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok menggerakkan kakinya, tubuhnya berkelebat ke depan, kakinya dan tangannya bergerak dan lima batang golok itu beterbangan lepas dari tangan pemegangnya.
“Apakah kalian ingin mampus seperti anjing itu?” bentaknya dan sekali tangan kirinya meraih, dia sudah mencengkeram baju di tengkuk Lurah So.
“Kalau permintaanku yang pantas itu tidak dituruti, aku akan membunuh Lurah So sekeluarganya, dan membakar rumah ini. Kalau ada penghuni dusun ini berani melawanku, akan kubunuh mereka semua!” Dia melepaskan lagi cengkeramannya dan Lurah So dengan muka pucat lalu menyuruh para penjaga itu mundur, kemudian dia membungkuk dan memberi hormat kepada Siangkoan Kok.
“Maafkan kami.... karena tidak tahu kami telah berani membangkang perintah Tai-hiap (Pendekar Besar).”
“Cukup sudah! Cepat sediakan yang kupinta tadi. Kamar terbaik, mandi air hangat, lalu makan malam yang meriah dilayani wanita-wanita muda dan cantik!”
“Silakan, Taihiap.... silakan, biar Taihiap mempergunakan kamar kami sendiri. Silakan!”
Dengan langkah lebar Siangkoan Kok memasuki rumah lurah itu, diiringkan Lurah So yang masih ketakutan. Lima orang penjaga membawa pergi bangkai anjing dan dengan ketakutan mereka menceritakan apa yang terjadi di rumah Lurah So kepada penghuni dusun. Semua orang dusun dicekam ketakutan, akan tetapi mereka tidak berdaya, takut untuk melakukan sesuatu karena keselamatan keluarga Lurah So telah dicengkeram tamu aneh itu.
Terpaksa Lurah So melayani tamunya, memberikan kamarnya sendiri kepada Siangkoan Kok, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi dan memerintahkan juru masak untuk menyembelih ayam dan bebek, membuat masakan dan mempersiapkan makan malam sebaik mungkin untuk tamu aneh yang amat ditakuti itu. Diam-diam dia menyuruh puterinya pergi meninggalkan rumah, mengungsi ke mana saja agar jangan sampai diganggu tamu itu.
Sementara itu, pada sore hari itu juga, seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih juga menuruni lereng Kwi-san. Gadis ini cantik jelita, dengan wajah yang bulat telur, kulitnya putih kemerahan, mata lebar dan sinarnya tajam, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang amat manis karena ujung bibirnya dimeriahkan lesung pipit.
Dari pakaiannya yang serba merah, mudah diduga siapa adanya gadis jelita ini, apalagi kalau nampak sebatang suling berselaput emas terselip di pinggangnya. Ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini hadir pula bersama ayah ibunya di dalam pesta ulang tahun dan pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong. Diam-diam ia kecewa karena tidak melihat Yo Han di sana, kemudian terjadi pengacauan yang dilakukan Eng Eng dari Pao-beng-pai. Hal ini dijadikan alasan oleh Sian Li untuk meninggalkan ayah ibunya dengan diam-diam di rumah Suma Ceng Liong, meninggalkan surat untuk ayah ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han mencari puteri Sim Houw, yaitu Sim Hui Eng, dan juga untuk menyelidiki Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar.
Karena tidak tahu ke mana Yo Han pergi, maka Sian Li mencari tanpa tujuan tertentu. Ke manapun ia pergi, ia bertanya-tanya tentang pendekar yang berjuluk Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti), namun tidak pernah menemukan orang yang dapat menunjukkan di mana adanya pendekar yang dicarinya itu. Akhirnya, ia menuju ke Bukit Setan untuk menyelidiki Pao-beng-pai. Dalam perjalanan menuju ke sanalah ia mendengar akan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap gerombolan pemberontak itu, mendengar betapa Pao-beng-pai dibasmi oleh pasukan pemerintah. Namun, ia tetap pergi ke sana dan berhasil naik sampai ke Lembah Selaksa Setan, melihat betapa bekas sarang Pao-beng-pai telah menjadi puing karena dibakar oleh pasukan pemerintah.
Sian Li sama sekali tidak tahu bahwa ketika dia meninggalkan lembah itu, di lembah sebelah bawah, terjadi perkelahian antara Siangkoan Kok dan Cu Kini Giok yang kemudian dibantu oleh Ouw Seng Bu. Hanya beberapa jam selisihnya ketika ia melewati lembah itu. Ia terus menuruni lembah dan ketika tiba di kaki bukit, ia hendak menuju ke dusun yang tadi dilihatnya dari lembah terakhir.
Pada saat itu memasuki hutan kecil yang berada di kaki bukit, untuk menuju ke dusun di seberang hutan, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya.
“Nona Tan Sian Li....!!”
Sian Li terkejut, menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya memandang. Segera ia mengenal pemuda yang datang berlari-lari menghampirinya itu.
“Twako (Kakak) Gak Ciang Hun....!” serunya girang dan juga heran sekali.
Terakhir ia berjumpa dengan pemuda itu di rumah Suma Ceng Liong ketika diadakan pertemuan antara tiga keluarga besar. “Bagalmana engkau dapat berada di sini?”
Dengan wajah berseri-seri karena gembira dapat menemukan gadis itu, Ciang Hun menjawab, “Aku memang menyusul dan mencarimu setelah kami semua mengetahui kepergianmu.”
Sian Li mengerutkan alisnya. “Kenapa, Gak-twako? Mau apa engkau menyusul dan mencariku?”
Ciang Hun menyadari kesalahannya. Hampir saja dia membuka rahasia hatinya. Tentu saja dia menyusul Sian Li karena msngkhawatirkan gadis itu dan ingin membantunya. Semua ini terdorong oleh perasaan cintanya kepada Sian Li! Akan tetapi, dia tidak berani menceritakan itu. “Aku.... aku pun ingin ikut mencari puteri paman Sim Houw yang hilang sejak kecil, aku ingin pula ikut menyelidiki Pao-beng-pai. Aku sudah mendapat perkenan ibu, maka aku cepat pergi menyusulmu, Nona. Kurasa, dengan tenaga kita berdua, akan lebih kuat dan....”
“Gak-twako, jangan sebut aku nona. Engkau membuat aku merasa sungkan saja. Bagaimanapun juga, di antara kita masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau perguruan. Nah, kalau aku menyebutmu kakak, sepatutnya kau menyebut aku adik, bukan?”
Wajah Ciang Hun menjadi kemerahan dan dia salah tingkah. Memang pemuda ini, walaupun sudah berusia dua puluh sembilan tahun, namun belum berpengalaman dalam pergaulan dengan wanita, maka dia merasa canggung dan rikuh.
“Baiklah, Siauw-moi. Aku memang mencarimu ke Kwi-san, karena engkau ingin pula menyelidiki Pao-beng-pai. Akan tetapi aku menjadi bingung ketika mendengar bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah. Maka aku hanya berkeliaran di sekitar kaki bukit sampai tadi kebetulan sekali aku melihatmu, maka aku mengejarmu.”
Siang Li yang merasa lelah, tidak begitu senang membayangkan dirinya melakukan perjalanan berdua saja dengan Ciang Hun. Bukan Ciang Hun yang diharapkannya, melainkan Yo Han! Dan ia mendapat kesan bahwa pandang mata Gak Ciang Hun terhadapnya begitu penuh kagum, begitu mesra. Ini hanya berarti bahwa pemuda perkasa ini agaknya menaruh hati kepadanya, hal yang sama sekali tidak ia harapkan! Sian Li adalah seorang gadis yang berwatak tegas dan keras. Ia lalu duduk di atas batu, di bawah pohon yang rindang. Matahari sudah condong ke barat, namun sinarnya masih cukup panas dan duduk di tempat teduh itu amat nyaman, apalagi karena ia sudah melakukan perjalanan melelahkan menuruni Lembah Selaksa Setan tadi.
“Gak-twako, sesungguhnya, perjalananku meninggalkan ayah ibu tempo hari terutama sekali untuk mencari kanda Yo Han.” Ia berkata dengan tekanan suara kepada nama pemuda itu, dan matanya memandang tajam.
Ciang Hun mengerutkan alisnya. “Yo Han? Kau maksudkan, Pendekar Tangan Sakti?”
Sian Li mengangguk dan ia semakin yakin akan dugaannya melihat betapa sinar mata pemuda itu menunduk dan alisnya berkerut, jelas nampak dia terpukul. Sebaiknya berterus terang, pikir gadis itu, daripada membiarkan dia berlarut-larut hanyut dalam khayal.
“Benar, Gak-twako. Aku ingin mencari Han-koko. Dia bertekad untuk menemukan puteri Paman Sim Houw yang hilang, maka aku akan mencarinya karena aku tidak ingin ikut ayah dan ibu ke kota raja.”
Ciang Hun yang sudah dapat menguasai kekecewaan mendengar betapa gadis yang sejak pertemuannya pertama kali telah merampas semangatnya ini mencari-cari Yo Han, membuat dia menduga bahwa tentu ada perhatian khusus dari gadis ini terhadap pendekar itu, untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, dia bertanya, “Kenapa engkau tidak ingin ikut dengan orang tuamu ke kota raja, Nona.... eh, Siauw-moi?”
“Hemmm, orang tuaku mengajak aku ke kota raja untuk membicarakan urusan perjodohanku. Aku tidak suka itu. Aku hendak dijodohkan dengan putera Pangeran Cia Yan, bahkan ikatan itu sudah dilakukan sejak dahulu dan kini orang tuaku hendak mematangkan urusan itu. Aku tidak suka menjadi calon mantu pangeran!”
Ciang Hun memandang wajah gadis itu yang nampak cemberut, namun tidak mengurangi kecantikannya. “Akan tetapi, kenapa, Siauw-moi? Bukankah menjadi mantu pangeran merupakan suatu penghormatan besar, engkau akan hidup mulia dan terhormat, dan kurasa putera pangeran itu pun seorang pemuda yang baik maka sampai diterima oleh ayah ibumu....”
“Tidak peduli bagaimanapun baiknya, aku tidak sudi! Ah, Twako, kurasa tidak perlu lagi aku merahasiakan. Hanya ada seorang saja pria yang aku ingin menjadi suamiku, pria yang kucinta sejak dahulu, dia adalah Han-koko....”
“Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?” Ciang Hun bertanya, tidak merasa heran karena hal ini sudah diduganya. Gadis itu mengangguk, merasa puas karena ia memang ingin berterus terang agar Gak Ciang Hun tidak lagi mengharapkannya.
“Dia memang seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku pun kagum dan menghormatinya. Pilihan hatimu tidak keliru, Siauw-moi. Akan tetapi bagaimana dengan pilihan orang tuamu, pangeran itu....?”
“Aku tidak mau! Ayah dan ibu harus dapat mengerti. Aku hanya mencinta Han-ko, aku akan mencarinya.”
“Kalau begitu, aku akan membantumu, Siauw-moi. Aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan Yo Han!” kata Ciang Hun penuh semangat. Dia memang berjiwa pendekar. Biarpun baru saja harapannya hancur lebur, bahwa cintanya kepada Sian Li takkan mungkin terbalas, bahwa dia hanya bertepuk tangan sebelah, namun dia tidak menjadi patah hati. Tidak, dia dapat menerima dan menghadapi kenyataan. Apalagi mendengar bahwa pilihan hati Sian Li adalah Yo Han, pendekar yang dia kagumi, dan dia tahu bahwa Yo Han jauh lebih baik dari dirinya sendiri! Dia tahu bahwa dia bukan jodoh Sian Li, akan tetapi hal ini bukan berarti dia membenci Sian Li. Tidak, dia tetap menyayangnya, karena bagaimanapun juga, di antara mereka masih ada hubungan dan ikatan antara tiga keluarga besar. Dia harus membantu gadis itu, menemukan kekasihnya, calon suaminya, menemukan kebahagiaannya.
Sian Li mengangkat muka memandang wajah yang menunduk itu. Diam-diam ia merasa terharu, dan juga kagum. Saorang pria yang hebat, pikirnya. Betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada pria ini, sekiranya di sana tidak ada Yo Han! Ia mengulur tangan dan menyentuh lengan Ciang Hun.
“Benarkah, Twako? Aih, engkau memang baik hati sekali. Engkau dan ibumu selalu berbuat baik. Terima kasih, Twako!”
Ciang Hun mengangkat muka dan tersenyum melihat Sian Li begitu gembira. Begitu kekanak-kenakan! “Mari kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah condong ke barat. Sebentar lagi gelap, kita harus dapat melintasi hutan ini sebelum malam tiba.”
“Marilah, Gak-twako. Tadi kulihat dari atas bahwa di seberang hutan kecil ini terdapat sebuah dusun. Kita ke sana sebelum malam tiba, Twako.”
Mereka memasuki hutan itu dengan langkah cepat, akan tetapi ketika mereka hampir tiba di seberang, mereka mendengar isak tangis seorang wanita. Mereka terkejut dan heran, bahkan sempat bulu tengkuk mereka meremang karena di waktu senja dan cuaca sudah hampir gelap, terdengar isak tangis di hutan.
Siapa lagi kalau bukan siluman atau iblis yang mengeluarkan suara seperti itu untuk menakut-nakuti mereka? Memang mereka merasa ngeri. akan tetapi mereka adalah dua orang pendekar yang tidak mudah lari ketakutan, Mereka menghentikan langkah dan memperhatikan, suara tangis wanita itu ditanggapi suara seorang wanita lain.
“Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang tahu bahwa kita bersembunyi di sini....”
Orang yang menangis itu berkata dengan suara ketakutan, “Tapi.... Ibu.... bagaimana dengan ayah? Bagaimana kalau dia dipukul atau dibunuh iblis jahat itu....?”
Mendengar percakapan ini, Sian Li cepat menghampiri, diikuti oleh Ciang Hun. Kedua orang wanita yang sedang duduk di dalam gubuk kecil tempat para pemburu beristirahat itu, menahan jerit mereka ketika di dalam cuaca yang sudah remang-remang itu mendadak muncul dua bayangan orang. Akan tetapi mereka tidak jadi menjerit ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadia cantik bersama seorang pemuda tampan.
“Jangan takut, Bibi dan Cici, kami bukan orang jahat. Namaku Tan Sian Li dan ini kakak Gak Ciang Hun. Kami kebetulan lewat di sini dan mendengar percakapan kalian. Kenapa kalian bersembunyi di sini dan siapa yang mengancam keselamatan suami Bibi?”
Melihat sikap Sian Li yang gagah, juga pemuda di dekatnya itu bersikap gagah, wanita itu lalu memberi hormat dan berkata, “Aku adalah isteri Lurah So di dusun sana, dan ini So Biauw Hwa puteri kami. Baru saja rumah kami didatangi seorang laki-laki yang amat kasar dan jahat. Dia dengan paksa hendak bermalam di rumah kami, minta disediakan kamar terbaik, mandi air hangat, dan pesta-pesta, minta dilayani wanita-wanita cantik. Dia memukul para penjaga, dan membunuh anjing kami. Dia menakutkan sekali. Karena takut kalau anakku diganggu, maka ia kuajak melarikan diri dan bersembunyi di sini.”
“Hemmm, apakah orang itu perampok dan banyak temannya?” tanya Sian Li,penasaran dan sudah marah kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang.
Akan tetapi nyonya itu menggeleng kepala. “Dia hanya seorang diri, dan agaknya tidak seperti perampok, pakaiannya pantas, hanya sikapnya yang seperti raja memerintah kami. Ah, kami takut sekali, khawatir kalau sampai suamiku dicelakakan olehnya....”
“Siauw-moi, mari kita ke sana!” kata Gak Ciang Hun yang juga sudah marah mendengar kelakuan tamu yang demikian kurang ajar.“Mari, Bibi dan Cici, mari antar kami ke rumah kalian. Kami akan hajar dan usir tamu tak tahu diri itu!” kata Sian Li. Melihat sikap pemuda dan pemudi itu, ibu dan anak ini menjadi berani dan timbul pula harapan mereka agar cepat terbebas dari ancaman tamu yang jahat itu.
Hari telah menjadi gelap ketika mereka berempat memasuki dusun. Suasana dusun yang tadinya ramai itu kini mendadak menjadi sepi sekali karena semua rumah menutupkan pintu dan jendelanya. Tak seorang pun berani menampakkan diri di luar rumah, mereka semua telah mendengar akan munculnya seorang manusia yang jahat dan amat lihai di rumah kepala dusun, Ketika mereka berempat tiba di rumah Lurah So, dari luar mereka sudah mendengar ribut-ribut, Suara itu datangnya dari ruangan makan seperti yang diberitahukan ibu dan anak itu, dan mereka semua langsung menuju ke ruangan makan di sebeah belakang. Dan mereka melihat betapa laki-laki setengah tua yang tinggi besar itu sedang bertanding melawan seorang gadis yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang). Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat dengan dagu runcing dan rambutnya yang hitam itu lebat dan panjang sekali, digelung dua di belakang kepala. Matanya bersinar lembut dan mulutnya amat indah, dengan bibir yang kemerahan dan lekuknya amat menggairahkan. Tubuhnya ramping dan gadis ini memang cantik manis. Juga ilmu sepasang pedangnya cukup lumayan. Jelas bahwa ia marah sekali, menyerang pria itu dengan mati-matian, Akan tetapi, Ciang Hun dan Sian Li melihat betapa pria itu memang lihai bukan main, Biarpun hanya menggunakan tangan kosong, namun pria itu sama sekali tidak terdesak oleh sepasang pedang lawannya, bahkan dia menggulung lengan baju dan dengan lengan telanjang dia berani menangkis pedang, seolah-olah lengannya terbuat dari baja saja! Sian Li dan Ciang Hun tidak mengenal wanita cantik manis yang biarpun melihat kehebatan lawan, namun tidak nampak gentar dan terus menyerang itu. Karena mereka tidak tahu siapa gadis itu, Juga ibu dan anak itu tidak mengenalnya, maka Sian Li dan Ciang Hun meragu untuk turun tangan.
Gadis yang mulutnya menggairahkan itu adalah Gan Bi Kim! Para pembaca kisah Si Bangau Merah akan mengenal Gan Bi Kim. Ia adalah puteri seorang pejabat tinggi, yaitu kepala gudang pusaka kerajaan dan tinggal di kota raja, bernama Gan Seng. Ketika Yo Han tamat belajar ilmu silat dari kakek yang buntung lengan dan kakinya, yaitu mendiang Ciu Lam Hok, sebelum mati kakek itu memesan kepada muridnya agar suka berkunjung kepada cicinya yang tinggal di kota raja. Cici dari kakek Ciu Lam Hok adalah nenek Ciu Cing, yaitu ibu kandung Gan Seng ayah Bi Kim. Ketika Yo Han berkunjung ke sana nenek Ciu Cing menangisi kematian adiknya Ciu Lam Hok dan ketika menyembahyangi arwah adiknya, di depan meja sembahyang ini nenek itu menjodohkan cucunya, Gan Bi Kim, dengan murid adiknya, yaitu Yo Han. Dan kebetulan sekali Bi Kim jatuh cinta pula kepada Yo Han, walaupun Yo Han sendiri tidak mencintanya karena sejak remaja, Yo Han telah jatuh cinta kepada Tan Sian Li, Si Bangau Merah! Yo Han meninggalkan keluarga Gan di kota raja. Bi Kim merasa penasaran karena belum mendapatkan kepatian dari Yo Han, maka ia pun mendesak ayahnya untuk mengundang jagoan-jagoan istana dan mengajarkan ilmu silat kepadanya. Ternyata ia berbakat dan terutama sekali ia pandai memainkan sepasang pedang.
Setelah ditunggu-tunggu tidak juga Yo Han datang, bahkan tidak ada berita, Gan Bi Kim merasa penasaran. Ia merasa bahwa ia telah menguasai ilmu pedang dan pandai menjaga diri, maka pada suatu hari, ia pun lolos dari gedung ayahnya, meninggalkan sepucuk surat dan menyatakan kepada ayah ibunya bahwa ia pergi untuk mencari tunangannya, yaitu Yo Han!
Pada sore hari itu, kebetulan sekali ia pun tiba di dusunitu. Ia sudah lelah dan ingin bermalam di dusun itu. Akan tetapi betapa herannya melihat semua rumah di dusun itu tertutup pintu dan jendelanya, bahkan di jalan pun tidak nampak seorang pun manusiai Akan tetapi, ia tahu benar bahwa dusun itu bukan dusun kosong. Pekarangan rumah bersih terpelihara, juga sawah ladang dan tanaman di sekeliling perumahan durun. Dan lebih dari itu, ia pun mendengar gerakan orang-orang di dalam rumah-rumah yang tertutup rapat dan, yang tidak dipasangi lampu walaupun senja telah mendatang.
Karena merasa heran dan penasaran ketika mendengar tangis anak kecil dari sebuah rumah dan tangis itu berhenti tiba-tiba seolah-olah mulut anak yang menangis itu didekap tangan, ia tidak sabar lagi dan mengetuk daun pintu rumah itu.“Paman atau bibi, bukalah pintunya. Aku bukan orang jahat, aku seorang gadis yang kebetulan kemalaman dan ingin bermalam di dusun ini. Biarkan aku menginap semalam di rumah kalian, akan kuberi pengganti kerugian!”
Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan berteriak, akhirnya terdengar jawaban seorang wanita dari dalam, tanpa membuka pintu. “Nona, maafkan kami.... tempat kami penuh sesak.... eh, kalau Nona ingin bermalam.... datanglah ke rumah kepala dusun, di sebelah itu, sepuluh rumah dari sini.”
Terpaksa Bi Kim meninggalkan rumah itu, menuju ke kanan sampai ia tiba di depan rumah kepala dusun. Mudah saja menemukan rumah itu karena jauh lebih besar dibandingkan rumah-rumah lain, dan hanya rumah besar ini saja yang daun pintu sebelah depan terbuka, dan di dalam rumah itu dipasangi lampu penerangan yang cukup banyak. Ketika ia memasuki pekarangan, beberapa orang bermunculan dari tempat gelap, agaknya mereka ini pun ketakutan.
“Nona mencari siapakah?” seorang setengah tua bertanya dengan suara gemetar, juga tiga orang temannya nampak ketakutan.
“Aku seorang yang kebetulan lewat dan kemalaman di dusun ini, aku hendak minta pertolongan lurah agar suka menerimaku semalam ini.”
Empat orang itu saling pandang, kemudian menengok ke arah dalam rumah dan orang setengah tua tadi berbisik, “Nona, pergilah dari sini. Di rumah ini kedatangan seorang penjahat yang menakutkan. Dia sedang memaksa lurah untuk menjamunya dengan pesta. Dia jahat sekali!”
Mendengar ini, Gan Bi Kim tersenyum dan meraba gagang siang-kiam yang tergantung di punggungnya, “Aku tidak takut, bahkan kalau ada penjahat mengganggu rumah ini, aku akan mengusirnya.”
Kembali empat orang itu saling pandang. “Kalau begitu, masuklah, pergilah ke ruangan belakang, ruangan makan. Akan tetapi, kami tidak berani mengantarmu, Nona.” kata mereka dan kembali mereka menyelinap ke dalam bayangan-bayangan yang gelap.
Tentu saja Bi Kim merasa heran dan penasaran. Dengan langkah lebar ia memasuki rumah itu. Sunyi saja, agaknya semua orang, seperti empat orang pria tadi, sudah lari menyingkir dan bersembunyi ketakutan. Akan tetapi terdengar suara di ruangan belakang dan ia pun menuju ke sana.
Ruangan itu luas dan terang sekali. Sebuah meja makan besar penuh hidangan yang masih mengepulkan uap berada di tengah ruangan. Seorang pria tinggi besar duduk makan minum seorang diri, dilayani oleh tiga orang wanita muda. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, tinggi kurus, berdiri di sudut, memandang dengan sikap takut-takut.
Mendengar langkah kaki, pria yang sedang makan itu menoleh dan melihat Bi Kim, wajahnya berseri, matanya memandang penuh selidik dan dengan suaranya yang parau berwibawa dia bertanya, “Siapa kau? Mau apa kau masuk ke sini?”
Karena tidak tahu mana, lurah yang ia cari, Bi Kim memandang kepada pria yang sedang makan itu, bertanya, “Aku ingin bertemu dengan lurah dusun ini. Mana dia?”
“Aku.... akulah Lurah So dari dusun ini, Nona....” Lurah So berkata dengan gagap.
Kini Bi Kim menoleh kepada pria tinggi besar yang bukan lain adalah Siangkoan Kok itu. “Hemmm, jadi orang inikah yang datang mengacau?” tanya Bi Kim sambil menoleh kepada Lurah So. Akan tetapi lurah ini tidak berani mengeluarkan suara, bahkan menunduk karena takut membuat marah tamunya. Juga tiga orang wanita muda itu tidak berani bergerak.
“Ha-ha-ha, engkau cantik. manis, Nona, engkau jauh lebih cantik daripada tiga orang perempuan di dusun ini. Sayang puteri lurah ini telah melarikan diri. Biar engkau menjadi penggantinya menemaniku makan minum. Mari, Nona, duduklah di sini, makan minum sepuasnya!”
“Hemmm, kiranya engkau ini jahanam busuk, manusia tak tahu diri, begitu datang ke rumah orang bertindak sewenang-wenang. Setelah aku datang, jangan harap engkau akan dapat menjual lagak lagi. Hayo pergilah cepat meninggalkan rumah ini, meninggalkan dusun ini, atau sepasang pedangku akan membuat engkau menjadi setan tanpa kepala!” Berkata demikian, untuk menggertak, Bi Kim mencabut sepasang pedangnya. Sepasang pedang yang baik karena ayahnya mencarikan sepasang pedang pilihan untuk puterinya. Nampak kilat menyambar ketika gadis. itu mencabut sepasang pedangnya. Akan tetapi, Siangkoan Kok tertawa dan sama sekali tidak kelihatan gentar.“Ha-ha-ha, bagus sekali. Aku memang lebih senang kalau gadis cantik yang menemani aku makan minum bukan seorang wanita lemah. Nah, sekararg kita bertaruh, Nona. Kalau aku kalah olehmu, biar aku pergi tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk. Bagaimana?”
Wajah Bi Kim berubah merah sekali, matanya mencorong penuh kemarahan. “Jahanam busuk!” katanya melihat orang itu bangkit dan menghampirinya. “Engkau memang layak dibasmi!” Dan sepasang pedangnya sudah menyambar ganas. Akan tetapi, Siangkoan Kok dapat mengelak dengan mudah dan dia segera mengenal bahwa ilmu pedang nona ini bukan ilmu sembarangan, melainkan ilmu pedang yang tinggi nilainya. Hal ini tidak mengherankan karena Bi Kim dilatih oleh jagoan-jagoan istana yang lihai. Maka, timbul penyakit lama Siangkoan Kok. Dia tidak segera mengalahkan gadis yang tingkatnya masih jauh di bawahnya itu, bahkan dia menggulung kedua lengan bajunya agar tidak sampai robek, menggunakan kedua lengan untuk menangkis serangan pedang sambil memperhatikan jurus-jurus ilmu pedang itu untuk menambah pengetahuannya yang sudah banyak. Tentu saja Lurah So dan tiga orang gadis dusun yang dipaksa menjadi pelayan tadi merasa ketakutan, apalagi melihat betapa tamu yang ditakuti itu mampu melawan si gadis yang berpedang hanya dengan tangan kosong saja. Juga Bi Kim sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa penjahat ini memang luar biasa, memiliki kesaktian. Apalagi ia, bahkan guru-gurunya belum tentu mampu menandingi kakek ini!
Pada saat pertandingan itu berlangsung, muncullah Sian Li dan Ciang Hun. Akan tetapi karena kedua orang pendekar ini tidak mengenal Bi Kim, tentu saja mereka tidak dapat turun tangan membantu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, siapa gadis ber-siang-kiam itu dan mengapa pula berkelahi melawan kakek, yang amat lihai itu. Seperti yang mereka duga, kakek itu hanya mempermainkan lawannya dan setelah dia mengenal benar ilmu pedang pasangan dari Bi Kim, tiba-tiba Siangkoan Kok membentak nyaring dan tahu-tahu sepasang pedang itu telah berpindah tangan! Dia menyeringai ketika Bi Kim meloncat ke belakang dengan kaget.
“Ha-ha-ha, engkau kalah, Nona. Nah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk!”
“Tidak sudi! Sebelum mati aku tidak akan mengaku kalah!” bentak Bi Kim dan ia pun menerjang lagi, kini dengan tangan kosong. Kini Sian Li dan Ciang Hun tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa gadis itu merupakan orang yang menentang penjahat lihai itu, maka keduanya sudah melompat ke depan untuk mencegah Bi Kim bertindak nekat. Dengan sepasang pedang saja bukan lawan kakek itu, apalagi bertangan kosong.
“Tahan....!” kata Sian Li dan dari samping ia telah menangkap pergelangan tangan Bi Kim dan menariknya ke samping. Bi Kim yang tertangkap pergelangan tangannya, merasa tenaganya lumpuh, maka ia terkejut sekali dan menurut saja ditarik ke samping.Siangkoan kok mengerutken alisnya memandang kepada Sian Li yang berpakaian merah dan Ciang Hun yang gagah. “Huh, siapa lagi ini kalian yang datang mengganggu kesenanganku!” katanya sambil melemparkan sepasang pedang rampasan itu ke arah Bi Kim. Biarpun hanya dilempar sambil lalu saja, namun sepasang pedang itu meluncur bagaikan anak panah ke arah Sian Li dan Ciang Hun! Jelas bahwa kakek yang lihai itu sengaja hendak menguji kepandaian dua orang muda yang baru muncul! Dengan tenang Sian Li menangkap pedang yang meluncur ke arahnya, dari samping dengan jalan menjepitnya di antara telunjuk dan ibu jarinya, seperti anak-anak menangkap capung pada ekornya. Sedangkan Ciang Hun lebih repot, mengelak ke samping lalu memutar tubuh dan menangkap pedang itu pada gagangnya dari belakang! Dari cara menangkap pedang ini saja sudah dapat dinilai bahwa tingkat kepandaian Si Bangau Merah lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Gak Ciang Hun!
Siangkoan Kok agak terkejut. Kiranya dua orang muda ini hebat! Sama sekali tidak boleh dipandang ringan, tidak dapat disamakan dengan kepandaian Bi Kim.
Ciang Hun dan Sian Li menyerahkan sepasang pedang itu kembali kepada Bi Kim, kemudian Sian Li menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Siangkoan Kok. “Engkau ini orang tua yang kelihatan gagah perkasa, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh menjijikkan sikapmu di dusun ini, bertindak seperti perampok kecil saja!”
Wajah Siangkoan Kok berubah kemerahan. “Bocah bermulut lancang!” Setelah berkata demikian, dia menubruk ke arah Sian Li dan mengirim serangan kilat. Namun, nampak bayangan merah berkelebat dan Sian Li sudah dapat mengelak dari serangan dahsyat itu, dan ketika tubuhnya turun, di depan kakek itu, ia sudah memegang sebatang suling berselaput emas, sikapnya gagah dan tenang sekali.
Siangkoan Kok terkejut, apalagi ketika melihat suling emas itu? Alisnya berkerut mengingat-ingat. Pakaian merah! Tentu saja!
“Hemmm, apakah engkau ini yang berjuluk Si Bangau Merah?” tanyanya sambil memandang penuh selidik.
Sian Li menggerakkan sulingnya dan terdengar suara berdesing, disusul ucapannya yang lantang, “Memang benar aku yang dijuluki Si Bangau Merah.”
“Bagus! Ha-ha-ha, hari ini aku sungguh beruntung, dapat bertemu dengan tokoh-tokoh muda dunia kang-ouw. Dan engkau siapa orang muda?” tanyanya. “Tidak mengapa, biarkan aku menebak siapa engkau!” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan tangannya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Ciang Hun. Pemuda ini sama sekali tidak menduga akan diserang, maka dia tidak sempat mengelak lagi, lalu mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menggerakkan kedua tangan terbuka menyambut.
“Dukkkkk!” Keduanya terdorong ke belakang. Ciang Hun sudah berjongkok dan berlutut dengan sebelah kaki, kedua tangannya depan dada, kedua telapak tangannya menghadap ke atas.
Siangkoan Kok terbelalak. “Wah, apakah engkau memiliki sin-kang yang disebut Tenaga Inti Bumi? Engkau mengambil tenaga dari tanah?”
Diam-diam Gak Ciang Hun tertegun dan kagum. Sekali beradu tenaga yang membuat dia terlempar dan terpaksa memasang kuda-kuda Dewa Menyangga Bumi untuk memulihkan tenaga dan siap menghadapi serangan lanjutan lawan, dan kakek itu sudah mengenal dasar ilmunya. Memang dia tadi menggunakan tenaga yang menjadi ilmu warisan keluarga Gak, bahkan mendiang kakeknya, Bu-beng Lo-kai atau dahulu bernama Gak Bun Beng sebelum meninggal dunia telah mengoperkan tenaga kepadanya sehingga biarpun bakatnya tidak sangat baik, namun dia telah dapat menghimpun tenaga ginkang itu.
“Orang muda, apa hubunganmu dengan mendiang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?” tanyanya lagi.
Ciang Hun tidak ingin menyombongkan dirinya akan tetapi dia pun bangga dengan nama besar kedua ayahnya. “Mereka adalah ayah kandungku!” jawabnya gagah sama sekali tidak merasa sungkan mengaku bahwa dia memiliki dua orang ayah kandung! Memang suatu hal yang aneh dalam keluarga itu. Ayahnya adalah sepasang pendekar kembar yang mencintai seorang wanita, maka keduanya menjadi suami wanita itu dan lahirlah Ciang Hun, anak dari seorang ibu dan dua orang ayah.
“Ha-ha-ha-ha-ha, pantas kalian berani mengganggu kesenanganku. Nah, mengingat bahwa kalian keturunan orang-orang pandai, mari kuundang kalian makan minum denganku, Bangau Merah dari orang muda she Gak! Dan engkau juga! Nona. Permainan siang-kiam (sepasang pedang) darimu tadi cukup lumayan, membuktikan bahwa engkau pun telah dilatih oleh guru yang pandai. Ha-ha-ha, marilah orang-orang muda, kita mempererat perkenalan dengan makan minum!” Siangkoan Kok tidak berpura-pura dengan keramahan ajakannya ini. Tadinya dia adalah majikan yang dihormati seperti seorang raja kecil. Akan tetapi sekarang semua kemuliaan itu habislah sudah.anak buahnya dibasmi pasukan pemerintah, Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) telah diobrak-abrik, seluruh hartanya habis.Habislah sudah kesemuanya, bahkan dia kehilangan anak yang disayangnya walaupun hanya anak tiri, kehilangan isteri yang dia bunuh sendiri, juga kehilangan murid tersayang yang diambilnya secara paksa menjadi isteri, juga murid ini dia bunuh. Sekarang, dia sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi. Karena itu, melihat tiga orang muda ini, yang gagah perkasa dan juga dua orang di antaranya adalah gadis-gadis perkasa yang cantik, timbul keinginan hatinya untuk bersahabat dengan mereka. Siapa tahu dia dapat menguasai mereka dan dengan bantuan tiga orang muda seperti ini dia tentu akan mampu membangun lagi perkumpulannya yang terbasmi dan dia akan jaya kembali.
Sejak tadi Sian Li memperhatikan pria yang tinggi besar gagah dan berwibawa itu. Ketika ia melakukan perjalanan untuk menyelidiki Pao-beng-pai, ia telah mencari keterangan tantang perkumpulan itu, tentang ketuanya dan tentang puteri ketua yang pernah datang mengacau pertemuan tiga keluarga besar. Pao-beng-pai telah terbasmi dan di tempat yang tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai, terdapat kakek yang lihai ini.
“Bukankah engkau yang bernama Siangkoan Kok, majikan di Ban-kwi-kok dan ketua Pao-beng-pai yan telah hancur?”
Pertanyaan yang dilontarkan Sian Li ini sungguh amat mengejutkan hati semua orang. Bukan hanya Gak Ciang Hun dan Dan Bi Kim yang terkejut juga Lurah So dan semua orang yang tadi sibuk melayani kakek itu. Lurah So dan para pembantunya menjadi pucat mendengar bahkan kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai, perkumpulan yang mereka takuti. Mereka semua sudah mendengar akan Pao-beng-pai dan ketuanya, yaitu Siangkoan Kok majikan Lembah SelaksaSetan, akan tetapi hanya namanya saja yang mereka ketahui, belum pernah melihat orangnya.
“Ha-ha-ha, engkau hebat, Si Bangau Merah! Tidak percuma engkau mendapat julukan itu karena engkau memang cerdik, lihai dan bermata tajam. Aku memang Siangkoan Kok!”
“Bagus! Kiranya engkau ketua Pao-beng-pai! Dan gadis siluman yang berani menantang keluarga kami itu adalah puterimu. Suruh ia keluar untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya!” Sian Li membentak.
“Sian-moi, kiranya tak perlu bicara lagi dengan iblis seperti ini!” kata Ciang Hun yang sudah mencabut pedangnya.
“Benar, jahanam ini iblis yang kejam dan jahat yang harus dibasmi!” kata pula Gan Bi Kim yang sudah siap dengan sepasang pedangnya pula.
“Ha-ha-ha, kiranya kalian hanyalah pendekar-pendekar muda yang menjadi antek penjajah Mancu!” bekas ketua Pao-beng-pai itu mengejek sambil menertawakan mereka.
Wajah Sian Li berubah merah. “Jahanam busuk! Kalau kami menentangmu, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Bagi kami, engkau bukanlah pejuang, melainkan penjahat busuk yang suka mengganggu rakyat. Bersiaplah untuk mampus!” Sian Li sudah menerjang dengan senjata sulingnya, Ciang Hun dan Bi Kim juga cepat menggerakkan senjata mereka, mengeroyok.
Siangkoan Kok adalah seorang datuk yang lihai sekali. Akan tetapi, sekarang dia menghadapi pengeroyokan tiga orang muda yang tangguh, terutama sekali Si Bangau Merah dan Gak Ciang Hun. Dua orang muda ini adalah keturunan pendekar-pendekar lihai, maka dia tidak berani memandang rendah dan kakek itu sudah mencabut pedangnya, memutar senjata itu menyambut serangan para pengeroyoknya.
Kalau tiga orang muda itu menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, menyerang dengan semangat besar, sebaliknya Siangkoan Kok hanya melindungi dirinya dengan gulungan sinar pedang. Dia tidak bersemangat untuk berkelahi. Apalagi mengingat bahwa dua orang di antara para pengeroyoknya adalah keturunan keluarga pendekar yang tangguh. Dia tidak ingin menambah jumlah musuh di luar pasukan pemerintah yang telah membasmi perkumpulannya, bahkan mungkin dia ingin bekerja sama dengan kelompok lain untuk membalas dendam kepada pemerintah penjajah Mancu, seperti yang telah dijanjikannya kepada ketua Thian-li-pang di Bukit Setan. Selain itu, dia juga merasa gentar kalau-kalau Pendekar Bangau Putih, ayah Si Bangau Merah ini, dan juga Pendekar Tangan Sakti Yo Han akan muncul.
Maka, setelah memutar pedangnya dengan dahsyat, membuat tiga orang pengeroyoknya dengan hati-hati mundur menjaga jarak, tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke kiri dan sebelum tiga orang muda yang mengeroyoknya sempat mencegah, dia sudah mencengkeram leher baju Lurah So dan menempelkan pedangnya di leher lurah yang menjadi pucat ketakutan itu.“Kalau ada yang menyerangku, aku akan lebih dulu menyembelih lurah ini!” bentak Siangkoan Kok sambil mendorong tubuh lurah itu di depannya dan terus mendorongnya keluar rumah.
Ciang Hun, Sian Li, dan Bi Kim tentu saja tidak berani menyerang lagi. Bagaimanapun juga, mereka tidak mau mengorbankan nyawa lurah yang tidak berdosa itu. Mereka hanya dapat memandang ketika lurah itu didorong keluar oleh Siangkoan Kok. Sian Li hanya dapat mengancam ketua Pao-beng-pai itu.
“Siangkoan Kok, kalau engkau membunuhnya, aku bersumpah untuk mengejarmu dan tidak akan berhenti sampai aku dapat membunuhmu!”
Ketua Pao-beng-pai itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, aku sedang malas bertanding, Nona manis, dan aku menangkapnya hanya untuk mencegah kalian mendesakku, bukan untuk membunuhnya. Lurah ini telah begitu baik untuk melayaniku makan minum, tentu aku tidak akan membunuhnya.”
Setelah tiba di luar rumah, Siangkoan Kok berlompatan jauh sambil tetap menggandeng Lurah So dan baru setelah tiba di tepi sebuah hutan dia melepaskan lurah itu dan menghilang ke dalam hutan. Sian Li dan yang lain juga tidak mau mengejar, mengejar seorang seperti Siangkoan Kok yang melarikan diri ke dalam hutan amatlah berbahaya.
Melihat tiga orang muda yang berhasil mengusir ketua Pao-beng-pai, Lurah So yang dilepaskan oleh kakek itu tanpa dilukai, segera menghampiri dan memberi hormat, menghaturkan terima kasih kepada mereka dan memohon agar malam itu mereka suka bermalam di rumahnya.
“Pertama, agar kami sekeluarga sempat menghaturkan terima kasih kepada Sam-wi (Kalian Bertiga), dan kedua, agar hati kami sekeluarga merasa aman dan tenteram. Kalau Sam-wi pergi sekarang, malam ini pasti kami tidak dapat tidur dan ketakutan membayangkan iblis itu kembali ke rumah kami.” Demikian antara lain Lurah So membujuk mereka. Karena alasan itu masuk akal juga, akhirnya Ciang Hun, Sian Li dan Bi Kim menerima undangan itu.
Seluruh penghuni dusun itu bersukaria karena lurah mereka terbebas dari gangguan ketua Pao-beng-pai yang mereka takuti. Dan para penghuni itu memuji-muji pemuda dan dua orang gadis perkasa itu. Keluarga Lurah So juga menghaturkan terima kasih dan mengadakan pesta kecil untuk menyambut mereka.
Sehabis makan minum, akhirnya tiga orang muda itu mendapat kesempatan untuk bicara bertiga saja di ruangan belakang rumah Lurah So. Tidak ada anggauta keluarga yang berani mengganggu mereka bertiga yang sedang bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Gan Bi Kim berkenalan dengan Gak Ciang Hun dan Tan Sian Li.
“Aku berterima kasih sekali kepada Tai-hiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita),” kata Gan Bi Kim. “Aku sungguh tidak tahu diri, dengan ilmu silatku yang masih rendah aku berani menentang ketua Pao-beng-pai yang lihai itu. Kalau Ji-wi (Anda Berdua) tidak datang, entah bagaimana jadinya dengan diriku.” kata Bi Kim.
“Aih, Nona, harap jangan merendahkan diri. Ilmu pedangmu sudah cukup hebat, hanya ilmu kepandaian ketua Pao-beng-pai itu memang luar biasa. Hanya setelah kita bertiga maju bersama, baru dapat mengusirnya.” kata Ciang Hun.
“Benar, Enci, di antara kita tidak perlu sungkan, kita adalah dari golongan yang sama, yaitu menentang perbuatan jahat. Siapakah engkau, Enci, dan bagaimana engkau dapat tiba di tempat ini dan berkelahi dengan ketua Pao-beng-pai itu?”Gan Bi Kim menghela napas panjang. “Aku hanya orang biasa saja, adik yang gagah, tidak seperti engkau yang berjuluk Si Bangau Merah dan kakak ini yang keturunan orang-orang sakti. Ketua Pao-beng-pai itu sampai mengenal kalian dan merasa gentar. Aku bernama Gan Bi Kim berasal dari kota raja dan aku sedang melakukan perjalanan mengembara untuk meluaskan gengalaman setelah aku mempelajari sedikit ilmu silat dari para guru di kota raja sebagai bekal untuk membela diri. Ketika tiba di sini, aku mendengar akan kejahatan kakek. tadi yang menguasai rumah keluarga Lurah So, maka aku datang untuk menegur dan mengusirnya, tidak tahu bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai yang amat lihai. Nah, sekarang aku mengharapkan keterangan tentang kalian, karena aku hanya mendengar julukanmu, tidak tahu siapa namamu dan nama kakak ini.”
“Namaku Tan Sian Li, enci Kim.” kata Sian Li yang segera merasa akrab dengan gadis kota raja yang dari sikapnya saja dapat diduga bahwa ia seorang gadis terpelajar, bahkan ada sikap agung dan anggun seperti gadis pingitan atau gadis bangsawan.
“Dan namaku Gak Ciang Hun, nona Gan,” Ciang Hun memperkenalkan diri dan dia seperti terpesona memandang gadis itu. Ada sesuatu yang amat menarik hatinya pada gadis itu, entah sinar matanya yang lembut, atau mulutnya yang memiliki bibir yang mempesonakan.
“Aih, Gan-toako, kita segolongan dan aku sudah merasa akrab dengan enci Kim. Kiranya tidak perlu bersungkan-sungkan menyebut ia nona segala!” kata Sian Li yang wataknya terbuka dan jujur.
Hi Kim tersenyum dan memandang kepada pemuda itu. “Li-moi berkata benar, Gak-toako. Aku pun merasa seolah-olah sudah mengenal kalian selama bertahun-tahun.”
Ciang Hun tersenyum girang. “Baiklah, Kim-moi (adik Kim).”
“Enci Kim, engkau seorang gadis kota raja, lembut dan pandai, kenapa bersusah-susah bertualang seperti gadis kang-ouw? Kalau aku sendiri lain lagi, memang aku dari keluarga petualang, aku seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa hidup berkelana. Tapi engkau....”
Bi Kim tersenyum dan memegang lengan Sian Li. “Aih, jangan berkata seperti itu, Li-moi. Engkau lebih dalam segala-galanya dibandingkan aku, kenapa mesti memuji-muji aku? Engkau lebih lihai, engkau lebih cantik, lebih muda! Aku mendengar dari para guruku di kota raja tentang dunia persilatan yang luas, mendengar tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, bahkan aku pernah mendengar nama besar Si Bangau Putih dan puterinya, Si Bangau Merah. Maka, aku tertarik dan ingin meluaskan pengalamanku dengan merantau.” Tentu saja Bi Kim tidak mau menceritakan bahwa kepergiannya adalah untuk mencari Yo Han, pemuda idamannya yang telah ditunangkan dengannya oleh neneknya. “Dan engkau sendiri, dari mana hendak ke mana, Li-moi? Dan juga engkau, Gak-toako?”
“Panjang ceritanya,” kata Sian Li. “Beberapa pekan yang lalu, diadakan pertemuan dari tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga Siluman. Aku pun hadir dan dalam pertemuan itu, muncul puteri ketua Pao-beng-pai yang menantangkami. Ia dapat dikalahkan dan pergi. Aku menjadi penasaran dan pergi menyelidiki Pao-beng-pai....”
“Dan karena aku mengkhawatirkan keselamatan siauw-moi Tan Sian Li, maka aku lalu mengejarnya dan berhasil, maka kami melakukan perjalanan bersama.” sambung Ciang Hun.
“Tapi aku mendengar berita bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah,” kata Hi Kim.
“Benar, kami terlambat dan kami. tidak dapat bertemu dengan gadis iblis itu, melainkan dengan, ayahnya di sini.”
“Jadi kalian berdua saja berani datang mencari puteri ketua Pao-beng-pai? Itu berbahaya sekali! Baru ketuanya saja tadi sudah selihai itu. Apalagi kalau perkumpulan itu belum terbasmi dan terdapat banyak anak buahnya.”kata Gan Bi Kim kagum akan keberanian dua orang itu.
“Aku bukan hanya menyelidiki Pao-beng-pai, enci Kim. Sebetulnya, penyelidikan terhadap Pao-beng-pai hanya sambil Lalu saja. yang terutama sekali kepergianku adalah untuk mencari Han-koko....” Sian Li berhenti sebentar sambil memandang kepada Gak Ciang Hun yang nampak tenang saja karena pemuda ini sudah pernah mendengar pengakuan Si Bangau Merah.
“Han-koko? Siapa itu Han-koko?” tanya Bi Kim, tersenyum. Sian Li baru ingat bahwa Bi Kim sama sekali tidak mengenal kekasihnya itu, dan sebagai seorang gadis yang tidak merasa perlu merahasiakan hubungannya dengan Yo Han terhadap seorang sahabat yang dipercayanya, ia pun tertawa.“Aih, aku sampai lupa bahwa engkau belum mengenal Han-ko, enci Kim. Dia berjuluk Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) bernama Yo Han.... eh, engkau kelihatan terkejut, apakah engkau sudah mengenalnya, Enci?”
“Tentu saja aku terkejut,” Bi Kim tersenyum, menahan debaran jantungnya, “Siapa yang tidak pernah mendengar akan nama besar Sin-ciang Tai-hiap? Dan engkau menyebutnya Han-koko? Agaknya engkau mempunyai hubungan yang erat dengan dia. Masih ada hubungan keluargakah, Li-moi?”
Sian Li tersenyum dan tiba-tiba saja kedua pipinya menjadi kemerahan dan sambil menundukkan mukanya dengan tersipu ia berkata, “Boleh dibilang begitulah karena dia.... dan aku.... kami saling mencinta dan mengharapkan kelak menjadi suami isteri.” Karena mukanya ditundukkan ketika mengatakan itu, Sian Li tidak melihat betapa mata Bi Kim terbelalak, mukanya pucat napasnya terengah sejenak. Bahkan ia lalu menunduk dan mengusapkan tangannya ke arah kedua matanya untuk mengusir cepat dua titik air matanya. Akan tetapi, Ciang Hun yang sejak tadi mengamatinya, melihat perubahan ini dan diam-diam dia pun merasa terkejut dan heran, hatinya menduga-duga.
Ketika Sian Li mengangkat muka memandang kepada sahabat barunya itu, Bi Kim sudah dapat menguasai perasaan hatinya. Baru saja ia mengalami guncangan batin yang hebat. Siapa orangnya tidak akan merasa seperti ditikam jantungnya kalau mendengar pengakuan, seorang gadis yang dikaguminya bahwa gadis itu saling mencinta dengan pria yang selama ini dicari dan dirindukannya karena pria itu adalah tunangannya! Menurut gejolak hatinya, ingin ia marah-marah kepada Sian Li. Akan tetapi ia lalu mengingat-ingat kembali, membayangkan sikap Yo Han terhadap dirinya. Pemuda yang ditunangkan dengannya oleh neneknya itu belum pernah menyatakan cinta kepadanya, bahkan minta waktu untuk dapat memberi jawaban dan mengambil keputusan tentang niat neneknya menjodohkan mereka.
“Kau kenapakah, enci Kim? Kelihatan termenung....” kata Sian Li.
Bi Kim mengangkat muka memandang kepadanya dan tersenyum manis! Lalu ia menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa, adik manis, hanya aku merasa terharu mendengar bahwa pendekar wanita Bangau Merah saling mencinta dengan Pendekar Tangan Sakti. Li-moi, melihat usiamu yang masih muda, tentu belum lama engkau berkenalan dengan Pendekar Tangan Sakti.”
Sian Li memandang Bi Kim dengan lucu dan tertawa terkekeh. “Hi-hi-hik, engkau keliru sama sekali, enci Kim. Usiaku memang baru delapan belas tahun, akan tetapi aku telah berkenalan dan akrab dengan Han-ko sejak aku berusia empat tahun!”
Bi Kim terbelalak, memandang kepada Gak Ciang Hun, lalu menatap lagi wajah Sian Li. “Aku.... aku tidak mengerti....” katanya bingung.
Sian Li tersenyum dan memegang lengan Bi Kim. “Tidak perlu heran, enci Kim. Ketahuilah, ketika aku berusia empat tahun, Han-ko ikut orang tuaku, bahkan menjadi murid ayah dan ibu. Kemudian kami berpisah dan baru belasan tahun kemudian kami saling bertemu kembali dan langsung kami saling jatuh cinta, maksudku.... sejak kanak-kanak pun kami sudah saling mencinta, walaupun sifat cinta itu berubah....” Kembali sepasang pipi itu menjadi merah sekali, semerah warna pakaiannya.Setelah mendengar semua itu tahulah Bi Kim bahwa tidak mungkin ia dapat mengharapkan Yo Han menjadi calon jodohnya. Bukan Sian Li yang merampas tunangannya. Gadis ini dan Yo Han sudah saling mencinta, bahkan sejak kecil! Kalau ia berkeras mempertahankan usul neneknya mengenai perjodohan itu, berarti ialah yang merampas kekasih orang! Keangkuhan yang timbul dari harga dirinya sebagai seorang dari keluarga bangsawan, membuat Bi Kim dapat menekan perasaannya dan saat itu juga ia sudah mematahkan hubungan batinnya dengan Yo Han. Ia tidak boleh dan tidak akan suka mencinta Yo Han yang telah menjadi kekasih si Bangau Merah!
Untuk mengalihkan perhatian dan melupakan rasa nyeri seperti ada pisau menikam ulu hatinya, Bi Kim bertanya dengan suara heran, “Adik manis, kenapa engkau mencari kekasihmu itu? Dan kenapa pula dia meninggalkanmu?” Pertanyaan yang wajar saja dari seorang gadis kepada gadis lain, walaupun sesungguhnya pertanyaan itu mengandung keinginan untuk mengetahui lebih jelas tentang hubungan antara Sian Li dan Yo Han.
“Ahhh, banyak sekali yang menyebabkannya, Enci dan sebetulnya hal ini merupakan rahasiaku....”
“Siauw-moi, aku merasa lelah dan mengantuk. Bagaimana kalau engkau lanjutkan percakapanmu dengan adik Bi Kim saja, dan aku beristirahat lebih dulu?” kata Ciang Hun yang merasa tidak enak karena agaknya kehadirannya hanya akan membuat canggung dua orang gadis itu bercakap-cakap secara akrab. Sian Li tersenyum dan mengangguk, diam-diam merasa terharu dan juga senang karena pemuda itu sungguh tahu diri dan dapat memaklumi keadaandirinya. Ia selalu merasa tidak enak kepada Ciang Hun kalau di depan pemuda itu harus menceritakan segala hal mengenai Yo Han, padahal Ciang Hun mencintanya.
“Gak-toako seorang pemuda yang bijaksana dan baik sekali, aku amat kagum dan menghormatinya, apalagi di antara dia dan aku masih ada hubungan kekeluargaan, maksudku, dia masih keturunan keluarga perguruan Pulau Es, sedangkan kakekku keturunan keluarga Gurun Pasir dan nenekku keluarga Pulau Es.” kata Sian Li kepada Bi Kim setelah mereka tinggal berdua saja.
“Aku pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan,” kata Bi Kim. “Akan tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu, aku pun tidak akan memaksamu, Li-moi.”
“Ah, tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk menceritakan, hanya kalau ada Gak-toako...., aku tidak tega untuk banyak bercerita tentang Han-koko dan aku....”
“Tidak tega?” Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, “Kenapa tidak tega?”
“Karena dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat membalas cintanya, walaupun aku suka dan hormat kepadanya. Aku sudah menceritakan tentang hubunganku dengan Han-koko, dan Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan hati lapang. Dia bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin menyinggung perasaannya kalau banyak bercerita tentang Han-ko di depannya.”
Bi Kim semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu jujur, begitu terbuka! “Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit sekali memang kalau orang bertepuk sebelah tangan dalam soal asmara. Nah, sekarang ceritakan, kenapa engkau saling berpisah dengan kekasihmu?”
Sian Li bercerita. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya yang agaknya tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bahkan ayah ibunya telah memilihkan jodoh untuknya, yaitu seorang pangeran!
“Akan tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu, walaupun pangeran itu terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat juga.”
“Siapakah pangeran itu? Mungkin aku sudah tahu.”
“Dia Pangeran Cia Sun.”Diam-diam Bi Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja ia tahu siapa pangeran itu. Seorang pangeran yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja. Setiap orang gadis merindukannya dan mengharapkan menjadi isterinya! Bahkan ia sendiri, sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat pangeran itu dan ia sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini.... Si Bangau Merah ini, malah menolak dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun. Bukan main!
“Hem, menurut penilaianku, dia seorang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para pangeran lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat.”
“Biar seratus kali lebih baik dari itu, aku tidak sudi, Enci. Aku hanya mau berjodoh dengan Han-ko! Nah, ketika ayah dan ibu mengajakku menghadiri pertemuan tiga keluarga besar, aku mengharapkan dapat bertemu dengan Han-koko di sana. Akan tetapi ternyata dia tidak ada. Lalu muncul puteri ketua Pao-beng-pai membuat kekacauan dan menantang-nantang kami. Setelah ia dapat diusir pergi, aku lalu diam-diam meninggalkan ayah ibu karena aku ingin mencari Han-koko dan menyelidiki Pao-beng-pai. Sebetulnya, aku ingin membatalkan niat ayah. dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di kota raja, dan mencari Han-koko sampai dapat.”
“Ke mana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?” tanya Bi Kim, diam-diam merasa heran dan geli juga melihat betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah ini. Ia pun sedang mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia mencari pemuda itu sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat besar bedanya memang, dan kenyataan ini menikam hatinya. Pertunangannya belum resmi itu atas kehendak neneknya, sedangkan saling mencinta tentu saja atas kehendak mereka yang bersangkutan!
“Han-koko menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw yang hilang diculik orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun usianya. Sampai sekarang, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan tak pernah ada berita tentang anak itu. Semua usaha yang dilakukan Pendekar Suling Naga dan isterinya tidak berhasil. Bahkan andaikata anak itu ditemukan juga, anak itu tidak mengenal orang tua kandungnya, dan suami isteri itu pun tidak akan dapat mengenal puteri mereka. Dan Han-koko bertugas mencari anak yang hilang itu!”
“Aih, betapa sukarnya tugas itu. Bagaimana mungkin dapat mencarinya kalau tidak pernah melihat anak yang kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?” kata Bi Kim yang ikut merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintariya akan tetapi yang mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian, sulitnya. Andaikata dapat menemukan gadis itu, bagaimana dapat yakin bahwa ia adalah anak yang hilang itu?”
“Memang ada ciri khasnya, Enci. Menurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua buah tanda yang khas, yaitu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan sebuah noda merah di telapak kaki kanannya. Nah, kurasa di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki tanda-tanda yang serupa seperti itu!”
“Aku akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya.”
“Terima kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Aku merasa bingung harus ke mana mencari kekasihku itu. Aku amat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia sekali kalau dapat mencari gadis itu bersamaku.”
Tanpa disadarinya, ucapan itu menikam ulu hati Bi Kim yang segera berpamit untuk beristirahat di kamarnya. Mereka bertiga mendapatkan masing-masing sebuah kamar di keluarga Lurah So yang amat menghormati tiga orang pendekar itu.
***
Bi Kim rebah di atas pembaringan kamarnya, menelungkup dan menangis menahan isak agar jangan sampai suara tangisnya terdengar oleh orang lain di luar kamar. Ia merasa hatinya seperti diremas-remas, pedih dan perih bukan main rasanya. Ingatannya melayang-layang pada segala peristiwa yang lalu, ketika untuk pertama kali ia bertemu dengan Yo Han. Pertama kali Yo Han datang berkunjung ke rumah keluarga ayahnya sebagai murid mendiang paman-kakeknya Ciu Lam Hok, keluarga ayahnya sedang dilanda malapetaka. Ayahnya yang menjadi penanggung jawab gedung pusaka kerajaan, diancam hukuman berat karena banyak benda pusaka penting hilang dicuri orang. Yo Han menyelidiki dan ternyata yang melakukan pencurian adalah Coan-ciangkun yang sengaja melakukan hal itu untuk memaksa keluarga Gan menyerahkan ia untuk menjadi isteri panglima itu. Yo Han berhasil menyelamatkan Gan Seng, ayahnya dan dalam keadaan berbahagia itu, neneknya yang bersembahyang di depan meja sembahyang paman-kakeknya, menetapkan perjodohannya dengan Yo Han!
Semua itu terbayang kembali olehnya. Ikatan pertunangan itu pula yang mendorongnya untuk dengan tekun tanpa mengenal waktu, melatih diri dengan ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai dari istana atas bantuan ayahnya sehingga kini ia menguasai ilmu kepandaian silat yang lumayan. Semua itu dilakukannya demi cintanya kepada Yo Han yang dianggap calon suaminya. Calon suaminya seorang pendekar besar, maka akan janggallah kalau ia tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Kemudian, karena merasa rindu kepada tunangannya itu yang tak kunjung datang, ia lalu meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mencari Yo Han!
Dan sekarang, Si Bangau Merah Tan Sian Li yang mengagumkan hatinya itu mengaku terus terang bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han, bahkan hubungan mereka jauh lebih dahulu daripada pertemuannya dengan pemuda itu. Pantas saja Yo Han belum dapat menerima usul perjodohan yang diajukan neneknya! Kiranya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih!
Bi Kim terpaksa mendekap mukanya dengan bantal karena tangisnya menjadi-jadi. Nafasnya sampai terasa sesak karena ia menahan-nahan sekuatnya agar jangan sampai terdengar suara tangisnya.
Segala macam perasaan yang mengandung susah senang adalah permainan nafsu. Nafsu memang selalu mempunyai satu arah tujuan, yaitu kesenangan yang dinikmati tubuh melalui panca-indrya.
Kesenangan itu dalam sekejap mata dapat berubah menjadi kebalikannya, yaitu kesusahan kalau penyebab kesenangan itu lepas dari tangan.
Cinta asmara antara pria dan wanita merupakan suatu perasaan manusia yang paling rumit dan aneh. Dalam perasaan yang ada pada tiap diri seorang manusia yang normal ini, yang agaknya memang sudah menjadi anugerah atau peserta sejak manusia dilahirkan, terkandung banyak hal. Ada pengaruh naluri daya tarik antara lawan jenis yang alami, naluri yang ada pada setiap mahluk ciptaan Tuhan, yang bergerak maupun yang tidak, daya tarik yang merupakan syarat mutlak bagi pengembang-biakan mahluk itu. Daya tarik alami ini yang membuat lawan jenis kelamin saling tertarik, saling mendekati lalu terjadi penyatuan yang melahirkan mahluk baru sebagai proses penciptaan yang amat indah dan suci. Di samping naluri, ini yang sifatnya suci dan alami, masuk pula pengaruhi nafsu dan dalam cinta asmara, nafsu memainkan peran sepenuhnya sehingga memberikan kesenangan selengkapnya kepada manusia yang dilanda cinta. Kenikmatan dirasakan manusia melalui kesenangan yang terkandung dalam panca indrya. Kalau orang sedang bercinta, mata melihat keindahan pada orang yang dicinta, telinga mendengar kemerduan, hidung mencium keharuman dan segala macam perasaan, sentuhan dan apa saja terasa teramat indah!
Namun, karena nafsu memegang peran yang begitu besarnya, maka seperti akibat daripada permainan nafsu, semua kesenangan itu setiap saat dapat berubah menjadi kesusahan. Tidak ada kesenangan melebihi senangnya orang bercinta, dan tidak ada kesusahan hati melebihi orang gagal dalam bercinta! Dunia seakan kiamat, harapan seakan-akan hancur lebur, hidup seakan-akan tiada artinya lagi! Dalam saat seperti itu, betapa banyaknya orang yang kurang tabah dan kurang sadar melakukan perbuatan dungu seperti membunuh diri, atau membunuh orang yang menggagalkan cintanya termasuk orang yang dicintanya itu sendiri! Dalam mabuk cinta, kita lupa bahwa segala kesenangan itu ada batasnya, dan tidak abadi! Jelas bahwa nafsu yang bermain di dalam cinta kasih tidak abadi pula. Yang abadi adalah sesuatu yang datangnya bukan dari nafsu yang menggelimangi hati akal pikiran. Yang aseli dan abadi adalah cinta yang tidak dikotori nafsu dan cinta inilah yang menjadi dasar dari segala perasaan yang baik, cinta ini yang mungkin biasa kita namakan kasih sayang! Kasih ini terdapat dalam sinar matahari, dalam titik-titik air hujan, dalam gelombang samudera, dalam bersilirnya angin semilir, dalam merekahnya dan harumnya bunga-bunga, dalam senyum ranum dan matangnya buah-buahan, dalam air mata seorang ibu dalam belaian tangannya, dalam pandang mata seorang ayah, dalam tangis seorang bayi dan masih banyak lagi.Gan Bi Kim menjadi korban dari ulah nafsu itu. Ia merasa seolah-olah hidupnya hancur lebur. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak tahu bahwa kesusahan, seperti juga kesenangan, tidak abadi, bahkan tidak panjang umurnya, walaupun dibandingkan kesenangan, kesusahan lebih lama dirasakan manusia. Tidak mungkin senang terus tanpa kesusahan, seperti tidak mungkinnya susah terus tanpa kesenangan. Bahkan di waktu siang hari pun, tidak selalu terang benderang, kadang-kadang digelapkan awan mendung, dan malam gelap gulita pun kadang-kadang diterangi bulan atau bintang-bintang! Dalam keadaan senang, orang lupa bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu. Dalam keadaan susah, seseorang seolah-olah merasa bahwa tidak ada harapan lagi dan selalu dia akan menderita susah, seperti sakit yang tak mungkin dapat diobati lagi!
Bi Kim merasa semakin tidak tahan. Berduka di dalam kamar yang asing, seorang diri digerogoti kenangan lama, membuat ia merasa sumpek dan pengap. Malam telah tiba dan suasana sunyi. Ia membuka daun pintu dan melangkah keluar, melalui gang masuk ke dalam taman bunga milik keluarga lurah itu. Agak lega rasanya ketika ia berada di luar, di udara terbuka.
Ia melangkah terus. Malam tidak gelap benar karena ada banyak sekali bintang di langit, tak terhitung banyaknya karena langit cerah tanpa mendung sehingga hampir semua bintang bermunculan ada yang tersenyum, ada yang berkedip-kedip. Bunga-bunga di taman itu banyak yang mekar indah karena memang waktu itu musim bunga sudah berumur dua bulan sehingga suasana di taman itu indah sekali, bermandikan cahaya bintang yang kehijauan. Ditambah lagi suara jangkerik dan belalang seperti sekumpulan musik yang mendendangkan lagu malam dalam irama yang bebas namun tidak kacau, bahkan serasi.
Tiba-tiba suasana itu, yang pada mulanya menghibur, kini bagaikan menyentuh perasaannya, mendatangkan keharuan yang mendalam sehingga ia terhuyung, menutupi muka dengan tangannya dan menangis. Kini ia berada di luar rumah dan ia tidak begitu menahan isak tangisnya, dan terdengar rintihan kalbunya keluar melalui mulutnya dalam bentuk tangis lirih dan sedu sedan.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa Gak Ciang Hun yang sejak tadi duduk melamun seorang diri di dekat kolam ikan, kini bangkit dan memandang kepadanya dari sebelah kiri. Pemuda itu menghela napas panjang, dan alisnya berkerut. Dia telah melihat perubahan sikap gadis itu sejak Sian Li mengaku bahwa ia dan Yo Han saling mencinta. Dia melihat betapa Gan Bi Kim terbelalak dengan muka pucat dan napasnya terengah ketika mendengar pengakuan Sian Li itu dan betapa gadis itu berusaha untuk menenangkan diri secepatnya. Dia menduga-duga, akan tetapi tidak menemukan jawabannya. Dan kini, selagi dia melamun seorang diri di dalam taman mengenangkan nasib dirinya yang menderita penolakan cintanya terhadap Sian Li, atau lebih tepat lagi menderita putusnya cinta karena Sian Li mengaku bahwa gadis itu hanya mencinta Yo Han, tiba-tiba saja dia melihat Bi Kim menangis sedih seorang diri di dalam taman! Karena merasa terharu dan iba, bagaikan terkena pesona dan seperti tidak disadarinya, Ciang Hun melangkah perlahan menghampiri. Setelah dekat, dia berkata lirih.
“Adik Bi Kim....”
Bi Kim tersentak kaget, seperti diseret dari dunia lamunan kembali ke dunia kenyataan yang pahit dan membingungkan. Cepat-cepat ia menghapus air mata dengan tangannya, mengucek-ucek kedua matanya, memaksa bibirnya tersenyum. “Aih, kiranya Gak-toako.... kaget sekali aku karena tidak mengira di sini ada orang lain.”
Hati Ciang Hun semakin terharu. Gadis ini jelas sedang menderita batin yang membuatnya berduka, akan tetapi masih berusaha untuk bersikap wajar yang amat canggung. Dia pun tidak berpura-pura lagi karena dia merasa kasihan dan ingin sekali dapat membantunya, kalau memang gadis itu membutuhkan bantuan.
“Kim-moi, sejak tadi aku berada di sini, ingin menikmati malam musim bunga yang indah ini. Malam amat cerah, langit bersih terhias bintang-bintang.
Kenapa engkau malah berduka dan menangis, Kim-moi?”
“Aku.... aku tidak berduka, tidak menangis....” Bi Kim cepat membantah, akan tetapi suaranya membuktikan bahwa ia memang habis menangis, bahkan sisa tangisnya, masih terkandung dalam getaran suaranya.
“Ah, Kim-moi, biarpun kita baru berkenalan hari ini, akan tetapi tentu engkau juga sudah merasakan seperti yang kami rasakan, yaitu bahwa kita adalah satu golongan dan seperti keluarga sendiri. Di antara saudara atau sahabat baik, kalau yang seorang mengalami kesulitan, sudah sepantasnya kalau yang lain membantu, bukan? Andaikata aku yang mengalami kesusahan, apakah engkau tidak bersedia untuk menolongku, Kim-moi?”
“Tentu saja, Toako! Engkau sendiri dan Li-moi tadi pun sudah menolongku dari ancaman ketua Pao-beng-pai. Tentu aku akan mengulurkan tangan membantumu kalau aku bisa.”“Nah, demikian pula dengar aku, Kim-moi. Sekarang aku mengulurkan tangan dan aku bersedia untuk membantumu mengatasi kesusahanmu. Nah, maukah engkau menceritakan mengapa engkau begini bersedih?”
Ditanya orang lain tentang kesedihannya dengan suara yang demikian penuh perhatian dan ikut merasakan, keharuan memenuhi hati Bi Kim dan tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Akan tetapi ia menggigit bibir dan tidak mau mengeluarkan suara tangis. Ia menggeleng kepala dan menghapus air matanya dengan saputangannya yang sudah basah.
“Engkau.... engkau atau siapapun di dunia ini tidak akan dapat menolongku, Toako....memang sudah ditakdirkan bahwa nasibku amat buruk....” kembali ia mengusapkan saputangan ke arah kedua matanya.
Bersambung ke buku 5
Label:
Kho Ping Hoo,
Si Tangan Sakti