Suling Naga -2 | Kho Ping Hoo



Buku 2

Kakek kurus kering itu terkekeh. “Heh-heh-heh, kau bocah kemarin sore tapi omonganmu berisi! Agaknya dirimu berisi kepandaian pula. Dengarlah, aku disebut orang Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih), seorang pertapa di puncak bukit sebelah utara yang nampak dari sini itu.” Dia menuding ke arah sebuah puncak bukit yang nampak samar-samar dari lembah itu, terhalang kabut mengawan. “Aku sudah tua, sudah mau mati, akan tetapi aku takkan dapat mati dengan mata terpejam sebelum pusaka yang berada padaku kuserahkan kepada orang yang pantas memilikinya. Dan yang pantas memilikinya hanyalah seorang pendekar yang mampu menandingiku. Kalau aku tidak menemukan orang itu, pusaka itu tentu akan terjatuh ke tangan tiga orang murid keponakanku yang seperti setan, dan aku tidak rela, sungguh tidak rela! Karena itulah aku datang ke sini karena aku mendengar bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar yang sakti. Akan tetapi ternyata kepandaian mereka hanya begitu saja, sungguh mengecewakan hatiku.”

“Locianpwe, mengapa bersusah payah menetapkan syarat begitu aneh dan berat? Kalau memang locianpwe tidak rela memberikan pusaka kepada orang lain, perlu apa mencari-cari? Kepandaian locianpwe begitu tinggi, siapa yang akan sanggup mengalahkannya? Dan kalau memang locianpwe berhasrat mewariskan pusaka itu kepada orang lain, berikan saja kepada siapa yang locianpwe sukai, tidak perlu dengan syarat yang aneh-aneh. Pula, kami keluarga Lembah Naga Siluman juga tidak kepingin memperoleh pusaka apapun juga.”

Kakek itu menghela napas panjang. “Orang muda, enak saja kau bicara. Kalau aku memberikan kepada sembarang orang, berarti menyuruh dia mampus dan pusaka itu akhirnya akan terampas pula oleh tiga orang murid keponakanku. Mengertikah kau? Aku sudah menjatuhkan pilihanku kepada penghuni lembah ini, kalau tidak ada yang mampu mengalahkan aku, berarti mengecewakan hatiku dan karenanya akan kubunuh semua!”

Sim Houw menjadi marah. “Hemm, watak locianpwe begini aneh dan jahat, pantas murid keponakan locianpwe juga jahat seperti setan. Nah, biarlah saya mewakili keluarga Cu untuk menghadapi locianpwe!” Sambil berkata demikian, karena maklum bahwa lawannya yang sudah mengalahkan cek-kongnya bersama isterinya tentu amat sakti, dia sudah mencabut keluar sebatang suling dari balik jubahnya. Begitu suling d cabut, nampak sinar emas berkelebat dibarengi suara melengking dari suling itu seolah-olah ditiup. Melihat dan mendengar ini, kakek itu terbelalak.

“Ihhh....? Itu.... itu senjatamu? Sebatang suling emas?” tanyanya kaget dan memandang ke arah sebatang suling terbuat dari pada emas yang berada di tangan pemuda itu. Memang suling ini sebuah suling emas, pemberian pendekar sakti Kam Hong, sebatang suling yang merupakan duplikat dari suling emas di tangan pendekar itu, yang dipergunakan oleh Sim Houw untuk berlatih ketika digembleng oleh bekas calon mertuanya itu.

“Aneh....!” Kakek itu berkata, matanya yang sipit itu agak terbelalak lebar dan mulutnya tersenyum, wajahnya yang tadinya keruh nampak berseri penuh harapan. “Lihat seranganku!”

Tiba-tiba kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya dan Sim Hoaw merasa betapa ada angin yang amat kuat menyambar ke arahnya dari kanan kiri. Kakek itu telah menyerang dengan pukulan-pukulan yang ampuh, aneh datangnya, melengkung dari kanan kiri dan dari angin serangan itu saja dapat diketahui bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang amat kuat!

Akan tetapi, yang diserang oleh Pek-bin Losian adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah matang kepandaiannya. Pemuda inilah merupakan satu-satunya orang yang telah mewarisi dua ilmu kesaktian yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Koai-liong Kiam-sut dari keluarga Cu dan juga Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dari pendekar Kam Hong! Kini dua ilmu itu telah mendarah daging pada dirinya. Hanya ada satu orang lagi yang pandai menggabung kedua ilmu itu, ia adalah Kam Bi Eng, bekas tunangannya, puteri tunggal pendekar sakti Kam Hong yang kini menjadi isteri dari Suma Ceng Liong, cucu dari majikan Pulau Es. Memang terdapat perbedaan antara kepandaian yang dikuasai Sim Houw dan yang dikuasai Kam Bi Eng. Sim Houw, menggabungkan kedua ilmu itu dengan dasar Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang dipelajarinya pertama kali dari ayahnya, sebaliknya Bi Eng mendasari penggabungan itu dengan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisi dari ayahnya. Ketika mereka dipertunangkan, Sim Houw digembleng oleh Kam Hong, lekas calon mertuanya, sebaliknya Bi Eng digembleng oleh Sim Hong Bu, ayah Sim Houw. Keduanya kini telah menguasai penggabungan kedua ilmu itu, akan tetapi sayang, karena tidak adanya cinta kasih kedua pihak, maka pertunangan itu putus dan mereka tidak menjadi suami isteri.

Menghadapi serangan aneh dari Pek-bin Lo-sian, dengan tenang akan tetapi dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan, Sim Houw memutar sulingnya kekanan kiri dan ujung sulingnya itu mengancam kedua lengan lawan dengan totokan-totokan maut ke arah pergelangan tangan. Kalau dilanjutkan serangan kakek itu, sebelum kedua tangannya menyentuh tubuh lawan, maka lebih dulu kedua pergelangan tangannya akan tertotok suling emas!

“Ohh....!” Dia terkejut, akan tetapi juga girang. Tadi dia sengaja mengeluarkan jurus serangannya yang ampuh untuk menguji kepandaian pemuda aneh yang bersenjata suling emas itu, dan kini ternyata pemuda itu tidak hanya mampu membuyarkan serangannya, bahkan berbalik mengancam kedua lengannya! Dia cepat menarik kembali kedua tangan itu dan mulailah kakek itu berloncatan dan bergerak cepat, melakukan serangan bertubi-tubi kepada Sim Houw.

Sim Houw juga tidak mau berlaku sungkan lagi. Suling emasnya bergerak semakin cepat menghadang setiap serangan sehingga kini kakek itu yang berbalik terserang olehnya. Beberapa kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Suling itu berobah menjadi sinar keemasan bergulung-gulung disertai suara melengking-lengking seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang. Hal ini membuat Pek-bin Lo-sian kagum bukan main. Pernah dia mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, dan sekarang dia merasa seolah-olah berhadapan dengan pendekar yang pernah terkenal di seluruh dunia persilatan itu! Dia tidak tahu bahwa memang yang dihadapinya adalah murid dari Pendekar Suling Emas Kam Hong. Belum sampai limapuluh jurus, kakek itu sudah terdesak oleh gulungan sinar yang melengking-lengking itu.

Cu Kang Bu dan isterinya yang nonton pertandingan itu, menjadi kagum bukan main. Tak mereka sangka bahwa putera mendiang Sim Hong Bu dan Cu Pek In kini telah menjadi seorang pendekar yang demikian hebat ilmu silatnya.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan nampak sinar hitam berkelebat, dan tahu-tahu dia telah memegang sebuah pedang yang aneh sekali Senjata itu disebut pedang, karena dipegang dan dimainkan seperti orang memainkan pedang, akan tetapi bentuknya adalah seekor naga yang merupakan ukiran indah sekali dan warnanya hitam pekat, akan tetapi tubuh pedang berbentuk naga itu terdapat lubang-lubang seperti pada sebuah suling! Dan ketika kakek itu menggerakkan senjata aneh ini, nampak sinar hitam berkelebat dan terdengar pula suara melengking kacau, sama sekali berbeda dengan lengking suara yang keluar dari suling emas di tangan Sim Houw yang terdengar merdu seperti melagu.

“Cringgg....!” Nampak bunga api berpijar ketika senjata aneh itu bertemu suling emas dan Sim Houw merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Akan tetapi pemuda ini tidak menjadi gentar. Cepat dia memindahkan suling emas di tangan kiri dan begitu tangan kanannya bergerak ke bawah jubahnya, nampak sinar berkilat menyeramkan, sinar biru yang menyilaukan mata dan mendengar suara mengaum seperti seekor singa. Itulah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) peninggalan ayahnya! Dan kini dia menggerakkan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri. Bukan main hebatnya karena pedangnya itu memainkan jurus-jurus ampuh dari Koai-liong Kiam-sut sedangkan suling emasnya memainkan jurus-jurus pilihan dari Kim-siauw Kiam-sut! Menghadapi gabungan dua ilmu yang sakti dan ampuh ini, si kakek kembali mengeluarkan suara terkejut bukan main dan dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak hebat.

Kini kakek itu benar-benar kagum bukan main, berkali-kali mengeluarkan seruan memuji, akan tetapi diapun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan pemuda yang amat menarik perhatiannya itu. Dan memang ilmu silat kakek ini aneh sekali. Beberapa kali hampir saja Sim Houw tertipu dan terpancing, akan tetapi berkat keampuhan dua ilmu silat yang digabung itu, serangan-serangan kakek itu selalu gagal. Sim Houw diam-diam merasa bingung juga. Dia tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan kakek ini, maka tadinya dia hanya ingin menandingi dan kalau mungkin mengalahkan tanpa melukai kakek itu. Akan tetapi, kini ternyata bahwa ilmu kepandaian kakek ini benar-benar hebat sehingga tidak mungkin kiranya tanpa melukai. Bahkan kalau dia terlalu mengalah, jangan-jangan dia sendiri yang akan roboh akhirnya! Maka, terpaksa diapun lalu mengeluarkan jurus-jurus terampuh yang digabung sehingga keadaan kakek itu benar-benar terkurung oleh sinar keemasan dan sinar biru yang dahsyat. Tiba-tiba sinar biru menyambar dahsyat menyambut pedang naga hitam itu, didukung tenaga sin-kang yang amat kuat.

“Krekkk....!” Kini patahlah senjata ampuh kakek itu, terbabat Koai-liong Po-kiam yang ampuh dan pada saat itu juga, suling di tangan kiri pemuda itu sudah menotok ke arah tenggorokan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

“Ahhh....!” Kakek itu terkejut melihat senjatanya patahs sehingga kurang waspada dan tahu-tahu ujung suling sudah meluncur ke arah tenggorokannya. Melihat ini, Sim Houw yang tidak ingin membunuh, cepat mengurangi tenaga pada totokannya. Hanya itulah yang mampu dilakukan, karena menarik kembali tidaklah mungkin melihat kedudukannya, karena tangan kiri kakek itu dapat saja melakukan pukulan kalau ia menarik kembali totokan sulingnya. Kakek itupun biar terlambat masih dapat membuang tubuh ke samping.

“Tukk....!” Tetap saja ujung suling masih menotok pundak kirinya dan kakek itu mengeluh, lalu terpelanting! Bukan main girang kagumnya rasa hati Cu Kang Bu dan isterinya melihat betapa akhirnya cucu keponakan merekaitu berhasil mengalahkan kakek gila yang amat lihai itu.

“Aihh, locianpwe, maafkan saya....!” Sim Houw terkejut dan menyesal, menyimpan sepasang senjatanya dan menjura.

“Sudahlah, aku kalah....” kakek itu mengeluh dan bangkit berdiri, napasnya terengah-engah dan dia menekan pundak kirinya. Jelas bahwa totokan itu telah mendatangkan luka di dalam dadanya. Sampai beberapa lamanya kakek itu menatap wajah Sim Houw, kemudian dia mengangguk-angguk.

“Ah, takkusangka bahwa akhirnya Suling Naga bertemu dengan majikannya. Orang muda, engkaulah orangnya yang patut sekali memiliki Liong-siauw-kiam. Engkau memiliki dua ilmu dengan pedang dan suling, dan kalau engkau mempergunakan Liong-siauw-kiam, berarti engkau dapat memainkannya dengan dua ilmu itu. Engkau telah mengalahkan aku, pusaka itu akan kuserahkan kepadamu.”

“Hemmm, kakek jahat. Pusakamu itu telah patah dua, untuk apa diberikan kepada cucu keponakan kami?” Yu Hwi mencela sambil menuding ke arah senjata hitam yang patah terbabat pedang Koai-liong-po-kiam tadi.

Kakek itu tertawa, akan tetapi tiba-tiba menahan ketawanya dan menyeringai kesakitan.

“Locianpwe, engkau telah terluka. Marilah kubantu meringankan penderitaanmu,” kata Sim Houw sambil melangkah maju. Akan tetai kakek itu mundur ke belakang.

“Jangan! Aku sudah terluka dan itu adalah resiko pertandingan. Kalau engkau yang kalah, engkau bukan hanya terluka melainkan mampus, orang muda! Dan siapa bilang bahwa pusaka itu benda yang patah itu? Heh-heh, kaukira aku begitu bodoh membawanya ke mana saja? Memang sama bentuknya, akan tetapi yang ini adalah buatanku sendiri, yang palsu. Yang aseli mana mungkin dapat dipatahkan, dengan senjata pusaka yang bagaimana ampuhpun juga? Mari, orang muda, engkau berhak memiliki Liong-siauw-kiam. Mari kau ikut denganku mengambilnya di tempat persembunyianku.”

Sim Houw percaya sepenuhnya kepada kakek aneh yang amat lihai itu, maka diapun mengangguk dan menjawab, “Baiklah, locianpwe.”

“Sim Houw, jangan mudah percaya omongannya!” Tiba-tiba Yu Hwi berseru. “Orang macam dia ini mana bisa dipercaya? Jangan-jangan engkau dipancing untuk memasuki perangkap!

Kakek itu memandang kepada Yu Hwi dan mengangguk-angguk sambil tersenyum aneh. “Nyonya ini memiliki kecerdikan yang boleh juga, heh-heh. Terserah kepadamu, orang muda, apakah engkau berani atau tidak ikut bersamaku. Kalau tidak, sungguh aku akan mati dengan mata terbuka karena kecewa dan penasaran.”

“Biarlah, cek-kong berdua harap jangan khawatir. Saya dapat menjaga diri,” kata Sim Houw dan diapun lalu mengikuti kakek itu yang sudah membalikkan tubuh dan pergi sambil tertawa mengejek. Cu Kang Bu dan isterinya mengikutinya dengan pandang mata khawatir, akan tetapi Cu Kun Tek berkata dengan kagum.

“Hebat sekali Sim Houw itu. Kalau aku menjadi dia, akupun akan pergi mengambil pusaka yang dijanjikan kakek itu.”

Dua orang itu lalu menyeberangi tambang dan dengan cepat sekali kakek yang mengaku bernama Pek-bin Lo-sian itu lalu berlari seperti terbang. Agaknya dia masih ingin menguji kepandaian Sim Houw. Akan tetapi, setelah berlari secepatnya dan napasnya mulai memburu dia menoleh ke belakang, dia melihat betapa pemuda itu berada tepat di belakangnya, sedikitpun tidak tertinggal, bahkan tidak nampak letih seperti orang berjalan seenaknya saja. Kakek itu kagum sekali dan menahan larinya, menjadi langkah biasa untuk mengatur pernapasannya. Wajahnya menjadi semakin pucat.

“Locianpwe, mengapa tergesa-gesa? Tidak baik untuk kesehatan locianpwe yang menderita luka.” Sim Houw berkata dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa pengerahan tenaga gin-kang tadi memang amat berbahaya bagi kakek yang sudah menderita luka di dalam tubuhnya.

“Marilah, kita sudah dekat....!” kata kakek itu dengan napas terengah-engah dan dia mendaki bukit itu. Dan karena luka yang diderita oleh Pek-bin Lo-sian semakin parah, kini kakek itu hampir tidak kuat mendaki bukit itu.

Melihat ini, Sim Houw berkata, “Locianpwe terluka, marilah saya membantu locianpwe untuk meringankan penderitaan itu.” Pemuda ini bermaksud untuk mengobatinya dengan pengerahan sin-kangnya. Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala.

“Tidak ada gunanya, hanya menghilangkan nyeri sebentar akan tetapi tidak akan mampu menyembuhkan.”

Sim Houw juga maklum akan hal ini dan dia merasa menyesal sekali. “Maafkan saya, locianpwe. Bukan maksud saya untuk.... akan tetapi saya terdesak dan terpaksa....”

“Sudahlah, begini lebih baik. Roboh di tangan seorang pemuda seperti engkau tidak membikin hatiku penasaran. Kalau kau mau.... kau gendong saja aku sampai ke puncak, aku khawatir akan putus nyawaku sebelum berhasil menyerahkan pusaka itu.

Sim Houw tidak ragu-ragu lagi lalu menggendong kakek itu di belakang punggungnya. Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba kakek yang tadinya nampak loyo itu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah tengkuk Sim Houw.

“Tolol kau! Mencari mampus sendiri!” Akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan kaget karena tengkuk yang dicengkeramnya itu lemas seperti tidak berotot atau bertulang sehingga cengkeramannya meleset dan tenaga yang dipergunakannya seperti tenggelam ke dalam air saja. Tahulah dia bahwa pemuda itu tidak setolol seperti yang disangkanya karena diam-diam pemuda itu telah siap melindungi dirinya dengan ilmu Ikiong-hoan-hiat, yaitu Ilmu Memindahkan Jalan Darah yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Dan sebelum dia sempat melakukan hal lain lagi, tahu-tahu tubuhnya sudah tak dapat digerakkan karena pemuda itu telah menotoknya dan membuat kaki tangannya lumpuh! Diam-diam dia kagum dan girang sekali.

“Bagus! Baru yakin hatiku bahwa engkau memang paling pantas menjadi pemilik Liong-siauw-kiam, karena selain lihai engkaupun cerdik sekali.” Dia lalu menunjukkan jalan bagi Sim Houw yang tidak menjawab melainkan berlari dengan cepat mendaki bukit itu sambil menggendong tubuh kakek yang sudah tidak mampu bergerak lagi itu.

Setelah kakek itu menyuruhnya berhenti di depan sebuah guha besar, baru Sim Houw menurunkan tubuh kakek itu dari gendongan dan membebaskan totokannya sehingga kakek itu mampu bergerak lagi. “Maafkan saya yang terpaksa menotokmu, locianpwe,” katanya dengan sikap tetap menghormat.

Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengangguk-angguk. “Kalau engkau tidak cerdik dan tidak melindungi tubuhmu, tentu cengkeramanku akan mematikanmu. Dan memang lebih baik engkau mati kalau tidak mampu melindungi diri dari ke curangan seperti itu. Musuh-musuhmu yang akan kauhadapi puluhan kali lebih curang dari pada yang kulakukan tadi. Tadi aku memang mengujimu. Kalau kau gagal, kau mampus, dan karena kau lulus, maka aku merasa lebih yakin kau akan mampu mempertahankan Liong-siauw-kiam.” Tiba-tiba kakek itu batuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya.

“Locianpwe, harap kau beristirahat....!” kata Sim Houw dengan kaget karena muntah darah itu menunjukkan bahwa luka yang diderita kakek itu sudah amat berat.

“Heh-heh-heh....!” Pek-bin Lo-sian mengusap darah dari bibirnya sehingga ujung lengan bajunya menjadi merah semua. “Kau.... kau tunggu.... akan kuambil pusaka itu....“ Dan terhuyung-huyung dia memasuki guha yang lebar dan dalam itu. Sim Houw menanti di luar dengan hati tegang. Hatinya tidak merasa gembira. Tanpa sebab, tanpa permusuhan apapun dia telah menyebabkan seorang kakek yang memiliki kesaktian luar biasa menderita luka parah, luka yang dia tahu akan membawa maut bagi kakek itu. Dan sesungguhnya dia sama sekali tidak menginginkan pusaka orang, walaupan sikap dan kata-kata kakek itu tentang pusaka yang disebut Liong-siauw-kiam menarik perhatiannya.

Tiba-tiba dia melihat kakek itu keluar lagi, dan jalannya semakin terhuyung-huyung, bahkan ketika tiba di depan guha, kakek itu terguling roboh dan kembali muntahkan darah segar.

“Locianpwe....!” Sim Houw meloncat dan berlutut dekat kakek itu.

Akan tetapi kakek itu sudah bangkit duduk bersila, mengusap darah dari bibirnya dan dia mengangkat tinggi sebuah benda hitam yang ternyata sama benar bentuknya dengan senjata kakek itu yang pernah patah oleh pedang Koai-liong Po-kiam.

“Inilah Liong-siauw-kiam, pusaka ampuh itu yang akan kuserahkan kepadamu, Sim Houw.”

Pemuda itu memandang dengan sinar mata ragu. Benda itu serupa benar dengan senjata kakek tadi, dan tentu saja dia meragukan keampuhannya. Hanya sebuah benda sepanjang kurang lebih tiga kaki, terbuat dari kayu hitam yang diukir membentuk seekor naga, dengan ekor meruncing dan tepinya tajam seperti pedang, di tengahnya yang tebal terdapat lubang-lubang seperti suling. Sebatang Pedang Suling Naga? Kalau hanya terbuat dari kayu, mana dapat menjadi senjata yang ampuh? Mana mungkin dapat dibandingkan dengan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam?

Agaknya Pek-bin Lo-sian dapat menduga apa yang diragukan pemuda itu. “Sim Houw, coba keluarkan pedangmu dan kaubabatlah pusaka ini untuk membuktikan bahwa pusaka ini tidak kalah dibandingkan dengan pedangmu itu.”

Wajah Sim Houw berobah agak merah karena isi pikirannya ternyata dapat ditebak dengan tepat oleh kakek itu. Dia lalu mengeluarkan Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar biru berkelebat menyeramkan. Pek-bin Lo-sian sendiri memandang kagum dan mengangguk-angguk. “Pedang itu memang hebat, akan tetapi cobalah diadu dengan pusaka ini.” Dia lalu mengacungkan Liong-Siauw-kiam itu dan memegang dengan kedua tangannya. “Babatlah dan pergunakan tenagamu. Aku sendiri ingin menguji keampuhan pusaka ini!”

Sim Houw lalu bangkit berdiri, mengerahkan tenaganya dan mengayun pedangnya. Sinar biru berkelebat dan pedang itu membacok Suling Naga itu dengan kuatnya karena didasari tenaga sin-kang.

“Cringggg....!” Bunga api berpijar keras dan Sim Houw merasa betapa pedangnya bertemu dengan benda seperti baja kerasnya sehingga pedangnya membalik. Akan tetapi karena tenaganya amat besar dan kakek itu sudah lemah, hampir saja pusaka itu terlepas dari kedua tangannya. Sim Houw memandang dan ternyata benda itu sama sekali tidak rusak, lecetpun tidak! Tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Jangankan hanya kayu, biar baja sekalipun, kalau bukan baja terbaik, tentu akan patah terbabat Koai-liong Po-kiam. Akan tetapi suling atau pedang kayu hitam itu sama sekali tidak rusak.

“Heh-heh-heh....!” Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengulurkan tangannya. “Nih, terimalah Liong-siauw-kiam, mulai saat ini menjadi milikmu, Sim Houw.”

Sim Houw menerima benda itu. “Terima kasih, locianpwe....” Dan ketika menerima pedang dia menyentuh jari-jari tangan kakek itu, dia menjadi terkejut bukan main karena jari-jari tangan itu terasa amat panas seperti api! “Ah, kau.... kenapa locianpwe?”

Kakek itu tidak menjawab dan kembali muntah-muntah darah. Wajahnya pucat bukan main dan ketika Sim Houw hendak menolongnya, dia menolak dengan tangannya. “Tak perlu ditolong lagi. Kau pergilah, bawalah pusaka yang memanjadi milikmu itu, pertahankan dengan nyawamu, dan berhati-hatilah. Ada tiga orang murid keponakanku yang amat lihai mengincar pusaka itu.... kau.... kau harus dapat melawan mereka....”

“Siapakah mereka, locianpwe?”

“Sam-kwi.... mereka.... ah, sudahlah, pergilah dan tinggalkan aku sendiri.” Pek-bin Lo-sian menggerakkan tangannya mengusir Sim Houw. Terpaksa pemuda itu menjura dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, baru dia pergi dengan berlari cepat sekali turun dari bukit itu sambil membawa Liong-siauw-kiam. Dia adalah seorang pemuda yang berhati-hati sekali karena telah lama merantau di dunia kang-ouw, di mana terdapat banyak sekali kaum sesat yang licik dan curang. Dia dapat menduga bahwa melihat sikap dan perbuatannya, Pek-bin Lo-sian tentulah seorang datuk sesat pula yang mengasingkan diri, maka tadipun dia tidak sampai kena diserang secara menggelap karena dia sudah siap siaga. Kini pun dia belum mau menelan begitu saja semua keterangan kakek itu dan dia masih memegang pusaka itu dengan hati-hati. Dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk meneliti apakah benda itu dilumuri racun dan setelah mendapat kenyataan bahwa benda itu bersih dari racun, dia tetap masih memegangnya dengan hati-hati, khawatir kalau-kalau di situ tersembunyi senjata rahasia yang akan membahayakan dirinya.

Setelah menuruni bukit itu, barulah Sim Houw memeriksa pusaka yang baru saja diterimanya dari Pek-bin Lo-sian. Dia memeriksa dengan teliti dan merasa kagum sekali. Benda itu benar-benar terbuat dari pada kayu, akan tatapi kayu hitam itu luar biasa keras dan kuatnya, tidak kalah dengan baja aseli! Dan ukirannya demikian indah dan halus. Ketika dia memegang bagian kepala yang menjadi gagang dan mencoba untuk memainkannya, dia terkejut sendiri dan jaga girang. Benda itu enak benar dimainkan sebagai pedang, dengan bobot yang tepat dan ketika dia mencoba satu dua jurus, benda itu mengeluarkan suara merdu, tidak kalah oleh suling emasnya! Lalu dia mencoba untuk meniupnya, ternyata benda itu merupakan sebuah suling yang suaranya amat merdu!

Dengan hati girang luar biasa Sim Houw lalu kembali ke Lembah Naga Siluman. /*Setelah dia menyeberang dan bertemu dengan Cu Kang Bu dan isterinya, dia menceritakan pengalamannya dan memperlihatkan pusaka itu. Suami isteri itu kagum bukan main dan juga merasa amat gembira.

“Ah, engkau sungguh beruntung, Sim Houw,” kata Cu Kang Bu dengan kagum sambil mengembalikan pusaka itu. “Ternyata kakek aneh itu tidak membohongimu dan engkau telah mendapatkan sebuah pusaka yang amat hebat”

“Dengan demikian engkau memiliki tiga buah pusaka ampuh, Sim Houw,” kata Yu Hwi dengan suara yang jelas mengandung iri. “Sebuah suling emas, sebuah pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dan sekarang pusaka Liong-siauw-kiam!”

Cu Kang Bu dapat mendengar suara mengandung iri dari isterinya, maka dia cepat berkata dengan suara lantang. ”Tentu saja dan memang dia berhak memiliki semua itu. Suling emasnya adalah tanda bahwa dia murid Pendekar Suling Emas Kam Hong, pedang Koai-liong-kiam adalah warisan ayahnya, sedangkan Pedang Suling Naga ini adalah pemberian Pek-bin Lo-sian setelah Sim Houw berhasil menundukkannya. Semua itu adalah haknya!”

Akan tetapi, sebelum menghadap suami isteri itu, dalam perjalanannya meninggalkan kakek itu, setelah mencoba Liong-siauw-kiam dan tahu benar bahwa pusaka itu memang ampuh, Sim Houw sudah mengambil satu keputusan.

“Cek-kong berdua, Long-siauw-kiam ini dapat dipergunakan sebagai suling dan juga sebagai pedang. Dengan sendirinya, pusaka ini seperti pengganti suling emas dan Koai-kong Po-kiam menjadi satu. Bahkan penggabungan kedua ilmu dapat lebih mantap kalau dimainkan dengan pusaka ini, hanya tinggal melatih saja. Karena itu Koai-liong Po-kiam dan suling emas akan saya tinggalkan di sini, saya serahkan kepada cek-kong sekeluarga.”

“Ah, apa maksudmu dengan keputusan ini?” Cu Kang Bu yang berwatak keras dan jujur itu bertanya dengan suara lantang dan sinar matanya menatap wajah Sim Houw penuh selidik.

“Cek-kong Cu Kang Bu, harap jangan salah mengerti. Saya sudah mendengar bahwa lembah ini dahulunya bernama Lembah Suling Emas, dan bahwa pusaka suling emas yang terkenal itu berasal dari tempat ini. Juga sekarang. lembah ini di ganti dengan nama Lembah Naga Siluman, dan pedang pusaka Naga Siluman juga berasal dari tempat ini. Biarpun suling emas di tangan saya bukan suling emas yang aseli, melainkan hanya tiruan saja, akan tetapi biarlah saya serahkan kepada keluarga Cu berikut pedang pusaka Naga Siluman, dengan demikian terhapuslah sudah, semua rasa penasaran dan kedua pusaka itu kembali ke tempat asalnya.”

“Akan tetapi....” Cu Kang Bu hendak membantah.

“Aih, kenapa engkau hendak menolak niat baik dari Sim Houw? Niatnya itu membuktikan bahwa dia adalah seorang gagah sejati, yang tahu akan jalannya sejarah dan mengenal pula sumbernya.

Keluarga Cu adalah keluarga yang tadinya berhak atas kedua pusaka itu. Dan keluarga Cu masih belum habis, masih ada engkau dan sekarang ada pula Cu Kun Tek, puteramu. Tidak pantaskah puteramu kelak mewarisi pusaka-pusaka lembah yang turun-temurun dihuni oleh keluarga Cu ini?” kata Yu Hwi dengan penuh semangat.

Cu Kang Bu masih mengerutkan alisnya yang tebal. “Sim Houw, apakah tidak ada maksud-maksud tersembunyi di balik niatmu ini? Apakah engkau tidak akan menyesal kelak? Ingat, yang menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut adalah engkau seorang, jadi kedua pusaka itu memang sudah menjadi hakmu.”

Sini Houw mencabut keluar suling emas dari pinggangnya dan meloloskan sabuk pedang Koai-liong Po-kiam dari punggungnya, kemudian menyerahkan kedua pusaka itu kepada Cu Kang Bu dengan sikap hormat dan wajah penuh keramahan.

“Saya menyerahkannya dengan hati ikhlas dan rela, cek kong. Biarlah kedua pusaka ini, walaupun suling emasnya hanya tiruan, menjadi pusaka-pusaka keturunan keluarga Cu.”

“Wah, aku senang sekali kalau punya dua senjata itu!“ Tiba-tiba si kecil Kun Tek berseru girang. “Kelak aku ingin bisa menjadi seperti Sim Houw!”

“Hemm, enak saja kau bicara!” ayahnya menegur, “Tanpa memiliki ilmu-ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, mana bisa seperti Sim Houw?

“Jangan khawatir, Kun Tek.” Ibunya menghibur. “Ayahmu dapat mengajar ilmu dengan suling emas, dan aku akan mengajarkan ilmu pedang padamu.”

Nyonya ini bukan hanya membual. Ia adalah seorang ahli pedang, bahkan ia memiliki Ilmu-ilmu Kiam-to Sin-ciang, yaitu ilmu yang membuat lengannya dapat digerakkan dengan ampuh seperti berobah menjadi pedang dan golok. Di samping ini, juga ia ahli ilmu Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Depalan Penjuru) dan ilmu ini dapat pula dimainkan dengan pedang menjadi Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin.

Karena melihat kesungguhan hati dan kerelaan Sim Houw, dan mengingat bahwa memang keliru alasan Sim Houw yang mengatakan bahwa kedua pusaka itu berasal dari lembah mereka akhirnya Cu Kang Bu menerima juga penyerahan dua pusaka itu dengan hati girang.

“Aku akan menyimpan benda-benda ini sebagai pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman dan mudah-mudahan kami akan mampu menjaganya.” katanya dengan hati lega. “Dan banyak terima kasih kepadamu, Sim Houw. Engkaulah yang telah menyatukan kembali keretakan yang pernah terjadi pada mendiang ayah dan ibumu.”

Setelah tinggal di lembah itu selama tiga hari, Sim Houw lalu berpamit dan diantar oleh keluarga Cu ayah ibu dan anak itu sampai ke tepi jembatan tambang. Dia lalu meninggalkan lembah itu dan mulai dengan perantauannya. Selama tiga tahun ini, banyak sudah dia lakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar. Karena dia tidak pernah meninggalkan nama, atau jarang sekali memperkenalkan diri, akhirnya yang lebih dikenal di dunia kang-ouw hanyalah senjata barunya itu dan mulailah dia dijuluki orang Pendekar Suling Naga.

Demikianlaih peristiwa tiga tahun yang lalu itu, semua terbayang di dalam benaknya ketika Sim Houw beristirahat ditepi Sungai Wu-kiang duduk di atas rumput hijau tebal yang bersih itu. Alam di sekelilingnya amat indahnya dan setelah Sim Houw menghentikan lamunannya, dia mulai masuk ke dalam keheningan yang penuh dan maha luas itu. Pagi yang indah cerah, sinar matahari kuning emas yang menerobos celah-celah daun dan dahan nampak seperti garis-garis lurus yang amat indah. Sebagian sinar matahari sempat menimpa permukaan air sungai yang membentuk jalan lurus panjang berwarna kuning kemerahan. Dia merasa betapa kulkit pinggul dan belakang pahanya dingin, karena embun yang tadinya menghias ujung rumput yang didudukinya meresap melalui celana dan membasahi kulitnya. Semilir angin pagi yang membuat rambut kepalanya berkibar lembut mendatangkan rasa nyaman seperti membelai-belai leher dan dagunya.

Dengan kesadaran sepenuhnya akan keadaan sekeliling dirinya, Sim Houw melihat keindahan yang tiada taranya. Sukar untuk dapat diceritakan karena kata-kata amatlah terbatas, kata-kata hanya dapat menceritakan hal-hal yang telah lalu saja, tidak mungkin dapat menggambarkan keadaan SAAT INI. Keindahan dalam keheningan itu hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya pada saat itu juga. Cerita yang dituturkan kemudian sama sekali berbeda denga kenyataan pada saat itu. Kenyataan yang demikian indahnya, yang menimbulkan rasa bahagia dan keharuan yang mendalam sehingga tak terasa lagi ada air mata membasahi kedua mata Sim Houw. Bukan air mata kesenangan atau air mata kesedihan, melainkan air mata yang muncul ketika batinnya yang paling dalam tersentuh oleh sesuatu yang halus, yang mendekatkan batinnya pada HIDUP yang sejati, bukan kehidupan di dunia fana yang penuh dengan permainan emosi ciptaan sang aku. Sang aku tidak ada pada saat seperti itu, dirinya telah lebur menjadi satu dengan segala sesuatu, dengan alam, dengau keheningan. Berkericiknya air sungai, berkicaunya burung-burung di dalam pohon, semua itu termasuk di dalam keheningan yang maha luas itu. Hening, tapi bukan kesepian. Keheningan yang nyaman karena tidak adanya pikiran, tidak adanya sang aku, namun bukan pula tidur lelap, bukan pula termenung atau tenggelam ke dalam sesuatu. Sadar sesadar-sadarnya, segalanya terbuka, wajar, tanpa pamrih.

Seperti otomatis, Sim Houw mengeluarkan suling naga dari balik jubahnya. Benda ini selalu berada pada dirinya, tersembunyi aman tak nampak dari luar diselipkan di ikat pinggang, tertutup baju. Keharuan selalu timbul dalam keadaan seperti itu, dan selalu mendorongnya untuk meniup suling! Getaran batin dapat disatukan melalui suara suling yang ditiup. Segera melayanglah suara merdu dari suling itu ketika Sim Houw mulai meniup sulingnya. Pemuda ini memang telah menguasai ilmu-ilmu dari Kam Hong yang pernah menjadi gurunya dan juga bekas calon ayah mertuanya dan bukan hanya pelajaran ilmu kesaktian Kim-siauw Kiam-sut saja yang dipelajarinya, melainkan juga ilmu meniup suling, baik meniup dengan mulut biasa untuk menciptakan lagu maupun tiupan dengan pengerahan khi-kang untuk menyerang lawan yang tangguh.

Suara suling itu mengalun dan kadang-kadang melengking tinggi sekali sampai tidak tertangkap telinga manusia biasa, kemudian merendah dan menggereng sampai lenyap dari pendengaran pula, merdu dan sesuai sekali dengan suara yang ada, dengan gemersik daun-daun yang terhembus angin pagi, dengan kicau burung, dengan gemerciknya air di tepi sungai, dengan detak jantungnya sendiri. Getaran hatinya hanyut dalam aliran suara suling yang merdu.

Demikian asyiknya Sim Houw meniup suling sehingga seluruh keadaan dirinya lahir batin seperti masuk ke dalam suara itu, dia seperti melayang-layang bersama suara sulingnya.

“Heiiii....! Bising sekali suara sulingmu!” Tiba-tiba terdengar suara orang menegurnya, suaranya berteriak melengking tak kalah nyaringnya menyaingi suara suling.

Sim Houw melihat meluncurnya sebuah perahu di atas air sungai dan di atas perahu itu terdapat seorang wanita muda yang memegang tangkai pancing. Gadis itulah yang berteriak menegurnya. Akan tetapi Sim Houw bersikap tenang, melanjutkan tiupan sulingnya sampai lagunya habis barulah dia menghentikan tiupan sulingnya. Kini perahu kecil itu sudah berada di tepi sungai di depannya dan seorang gadis yang duduk di dalam perahu sambil memegang tangkai pancing itu memandang kepadanya dengan mata melotot. Lalu gadis itu menuding ke arah Sim Houw dengan tangkai pancingnya sambil berseru marah, “Kebisingan sulingmu itu menggangguku! Kalau mau menyuling jangan di sini, mengganggu aku yang sedang berlatih!”

Sim Houw memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang gadis yang menarik sekali, wajahnya manis sekali, kecantikan yang aseli karena gadis itu tidak merias mukanya. Sikapnya gagah dan rambutnya diikat ke atas dengan pita dan ujungnya digelung secara sederhana. Pakaiannya yang ringkas membayangkan bentuk tubuhnya yang penuh dan padat, di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce merah muda. Melihat keadaan gadis ini, Sim Houw sudah dapat menduga bahwa nona di atas perahu itu adalah seorang gadis ahli silat. Apalagi ketika gadis itu menuding dengan tangkai pancing dan ketika mengangat tangkai itu, ujungnya hanya terdapat sehelai tali tanpa pancing, diapun dapat menduga bahwa gadis itu sebenarnya bukan memancing, melainkan melakukan semacam latihan dengan bantuan tangkai pancing itu. Dan diapun kagum katika dia menduga bahwa tentu gadis itu sedang berlatih samadhi dengan bantuan tangkai pancing. Banyak macam orang bersamadhi dengan maksud mengumpulkan konsentrasi pada suatu hal saja dan orang mengggunakan bantuan api lilin yang dipandangnya terus, atau sebuah gambar lingkaran dengan titik di tengah, atau gambar pat-kwa, ada pula yang menggunakan patung dan sebagainya. Semua itu hanya dipergunakan sebagai alat untuk menujukan seluruh perhatian. Dan gadis ini agaknya menggunakan tangkai pancing dengan tali yang tidak ada pancingnya, melainkan diikatkan ujungnya pada sepotong batu. Dan gadis itu tentu berlatih konsentrasi sambil mencurahkan seluruh perhatiannya pada tangkai pancing yang dipegangnya dan air di mana nampak tali pancing ini tenggelam. Sebuah cara melatih perhatian yang amat aneh akan tetapi juga istimewa. Teringatlah Sim Houw akan sebuah dongeng tentang Sang Bijaksana Kiang Cu Ge di dalam dongeng Hong-sin-pong, ketika Kiang Cu Ge memancing seperti yang dilakukan gadis itu, dengan sebatang tangkai, sehelai benang dan di ujung benang terdapat pancing yang lurus tanpa umpan! Tentu saja tidak akan mendapatkan ikan! Cara memancing Kiang Cu Ge itu hanya kiasan saja karena yang dipancing bukan ikan melainkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin rakyat yang bijaksana. Dan tentu saja juga dipergunakan untuk melatih konsentrasi itulah karena pencurahan perhatian amat penting dalam ilmu silat.

“Eih, nona, kenapa di ujung tali itu tidak ada mata pancingnya?” Dia pura-pura tidak mengerti dan bertanya heran.

Gadis itu juga tadi memandang ke arah Sim Houw dengan penuh perhatian. Tadinya ia menyangka bahwa pria yang dapat meniup suling dengan suara menggetar-getar itu tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi hatinya kecewa melihat betapa pria itu nampak sederhana saja, tidak memperlihatkan sifat gagah seorang pendekar dan agaknya hanya seorang dusun yang pandai meniup suling saja. Juga dari atas perahunya ia tidak melihat sesuatu yang aneh pada suling yang kelihatan hitam itu, hanya sebatang suling yang bentuknya agak aneh, batangnya berlekak-lekuk seperti tubuh ular. Dan pertanyaan pemuda itupun menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang biasa saja yang tidak tahu apa-apa tentang pancingnya.

“Hemm, kuberitahu juga engkau tidak akan mengerti, Sudahlah, engkau jangan meniup suling itu lagi.”

“ Kenapa, nona?”

“Suaranya tidak sedap didengar dan menggangguku! Mengerti? Tidak usah bertanya lagi, sebaiknya kau pergi saja dari sini dan jangan meniup sulingmu karena kalau kaulakukan lagi, aku akan mematahkan sulingmu itu dan membuangnya ke tengah sungai!” Setelah berkata demikian gadis itu menggunakan sebuah dayung dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap memegang tangkai pancing, dan menggerakkan dayung itu. Hanya dengan sebelah tangan saja ia mendayung, akan tetapi hebatnya, perahu itu meluncur menentang arus dan laju bukan main.

Sim Houw tersenyum seorang diri. Seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa dan agaknya memiliki kepandaian yang lumayan, seorang gadis yang agaknya suka pula akan keheningan dan berada di tempat sunyi dan liar itu seorang diri saja! Sinar mata gadis itu demikian tajamnya dan suaranya demikian merdu! Sim Houw tersenyum dalam renungannya sendiri. Akan tetapi dia terkejut ketika melihat berkelebatnya lima orang kakek di tepi sungai dan lima orang itu agaknya mengejar ke arah perginya perahu gadis itu tadi. Entah apa sebabnya dia menduga bahwa lima orang itu membayangi gadis di dalam perahu akan tetapi hatinya merasa tidak enak dan diapun cepat bangkit dan berdiri membayangi lima orang kakek itu. Perahu gadis itu meluncur dengan amat cepatnya, dan lima orang kakek itupun berlari dengan mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga Sim Houw menjadi semakin curiga. Akan tetapi, karena tidak mengenal lima orang itu, juga tidak mengenal siapa adanya gadis itu, diapun hanya membayangi dari jauh, saja.

Kecurigaan dan kekhawatiran hati yang mendorong Sim Houw untuk membayangi lima orang kakek itu memang tidak sia-sia. Dia melihat betapa gadis itu mendayung perahunya menepi, di seberang sini dan secara lincah sekali ia meloncat ke darat, menyeret perahunya dan mengikatkan tali perahu pada sabatang pohon. Tepi itu merupakan kaki sebuah bukit kecil dan nun di atas puncak bukit itu nampak sebuah pondok yang terpencil, dikelilingi ladang sayuran dan di sebelah kanan pondok itu tumbuh pohon-pohon buah dengan suburnya. Dan begitu gadis itu selesai mengikatkan perahunya, tiba-tiba saja lima orang kakek itu berloncatan keluar dari balik semak-semak dan mengepung si gadis yang memandang dengan tajam akan tetapi sikapnya tenang, bahkan senyumnya mengejek. Sim Houw segera mendekam di balik semak belukar untuk nenonton pertemuan antara lima orang kakek dan gadis itu dengan hati tegang. Nampak jelas olehnya betapa sikap lima orang kakek itu membayangkan niat yang tidak baik terhadap si gadis.

Melihat sikap lima orang kakek itu, si gadis mengerutkan alisnya. Lima orang itu membentuk setngah lingkaran menghadapinya, seolah-olah mengurung dan sikap mereka tidak bersahabat, bahkan alis mereka berkerut dan sinar mata mereka mengandung kemarahan dan ancaman.

“Kalian lima orang tua ini siapakah dan mengapa menghadang perjalananku?”

Seorang di antara lima kakek itu, yang berjenggot panjang berwarna putih dan agaknya menjadi orang paling tua di antara mereka, memandang tajam, tangan kiri mengelus jenggot, tangan kanan kini menunjuk ke arah nona itu dan bertanya, suaranya halus namun tegas dan mengandung kemarahan.

“Apakah nona yang bernama Souw Hui Lan?”

“Benar sekali, dan siapa kalian?” Gadis yang bernama Souw Hui Lan itu menjawab, sikapnya masih angkuh dan seperti orang memandang rendah, membuat lima orang kakek itu saling pandang dan mereka menjadi semakin marah.

“Engkau murid dari Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?” tanya pula kakek berjenggot.

Kini Hui Lan mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu. “Kalau sudah tahu kenapa kalian berani menghadang perjalananku? Kalian siapa?”

“Kami adalah Bu-tong Ngo-lo (Lima Kakek Bu-tong-pai).”

Mendengar sebutan Beng-san Siang-eng tadi Sim Houw tidak pernah mendengarnya, akan tetapi mendengar sebutan Bu-tong Ngo-lo, dia terkejut, Lima orang kakek Bu-tong-pai itu pernah terkenal sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi juga terkenal sebagai pemberantas penjahat-penjahat, bahkan mereka berlima pernah mengobrak-abrik perkumpulan Hui-to-pang (Perkumulan Golok Terbang) yang berkedok sebagai perkumpulan para patriot akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan orang-orang jahat yang amat kejam. Karena perbuatannya membongkar keburukan Hui-to-pang dan membasminya, maka nama Bu-tong Ngo-lo ini dipuji dan dikagumi orang-orang di dunia persilatan, terutama di kalangan para pendekar. Sim Houw sudah banyak mendengar nama lima kakek itu, akan tetapi baru sekarang melihat orang-orangnya dan diapun menjadi semakin ragu-ragu melihat betapa lima orang kakek ini agaknya memusuhi gadis yang bernama begitu indah dan yang katanya murid Sepasang Garuda dari Beng-San.

Sementara itu, mendengar disebutnya nama lima orang kakek itu, si gadis tidak menjadi kaget, bahkan tersenyum mengejek.

“Hemmm, tidak perduli lima kakek dari Bu-tong atau dari Neraka, tanpa ijin kami, tidak boleh sembarangan melanggar wilayah kami. Bu-tong-san amat jauh dari sini dan kami tidak pernah ada urusan dengan Bu-tong-pai, kenapa kalian ini lima kakek dari Bu-tong-pai hari ini menghadang perjalanan orang dan melanggar daerah kami tanpa ijin?”

Sim Houw tercengang. Gadis ini masih muda, paling banyak duapuluh tahun usianya dan melihat sikapnya tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian, akan tetapi mengapa sikapnya demikian tekebur dan angkuh? Bahkan nama Bu-tong Ngo-lo yang dihormati dan dikagumi para pendekar juga tidak dipandangnya sama sekali.

Mendengar teguran itu, lima orang itu nampak jengah, akan tetapi kakek berjenggot putih panjang segera menudingkan telunjuknya kepada Hui Lan. “Memang kami melanggar daerah orang tanpa ijin dan ini merupakan suatu kesalahan, akan tetapi semua ini gara-gara engkau, nona jahat. Engkau mengatakan tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai, akan tetapi tiga bulan yang lalu engkau telah membunuh seorang murid Bu-tong-pai bernama Ji Kang, dan gurumu membunuh seorang tokoh perguruan kami bernama Kui Siok Cu.”

Gadis itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. “Kami memang pernah bertanding dengan dua orang itu, akan tetapi sama sekali tidak ada urusannya dengan Bu-tong-pai. Mereka datang sebagai pelamar yang gagal, sama sekali tidak mewakili Bu-tongpai dan tidak ada urusan dengan perkumpulan itu. Juga kami tidak membunuh siapa-siapa. Kalau mereka kalah, menderita luka-luka dan mungkin kemudian tewas, apakah hal itu lalu menjadi alasan kalian untuk menyalahkan kami? Bagaimana kalian dalam pertandingan waktu itu kami yang kalah, luka-luka lalu mati? Apakah kalian juga akan menyalahkan mereka? Hayo jawab!”

Sim Houw tidak tahu apa urusan yang telah timbul di antara mereka, akan tetapi jawaban gadis itu membuatnya menduga-duga bahwa tentu pernah terjadi masalah pribadi antara murid dan tokoh Bu-tong-pai yang mengakibatkan perkelahian di antara mereka dengan akibat terluka dan tewasnya orang-orang Bu-tong-pai. Dan agaknya kini Bu-tang Ngo-lo datang untuk membalas dendam.

Lima orang kakek itu kembali saling lirik. Jawaban gadis itu agaknya membuat mereka sejenak bingung dan tidak mampu menjawab walaupun tidak mengurangi kemarahan mereka. Akan tetapi akhirnya si jenggot panjang berkata, suaranya tegas sekali. “Oho, kiranya selain pandai membunuh, engkau pandai pula berdebat! Kami selamanya tidak akan membela yang salah, melainkan selalu menentang yang jahat dan sewenang-wenang. Kami datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi kalau perlu membasmi gadis pembunuh yang berhati kejam, yang telah menewaskan banyak pemuda gagah perkasa dengan kecantikanmu dan dengan pedangmu!”

Gadis itu menjadi marah sekali. “Ngaco! Enak saja kalian bicara! Kalian kira aku takut kepada nama Bu-tong Ngo-lo? Kalian datang mau membasmi aku? Hemm, majulah, hendak kulihat sampai di mana kehebatan kalian, apakah sepadan dengan kesombongan kalian!” Hui Lan berkata dengan marah sekali, mukanya merah, alisnya terangkat dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Memang, siapakah orangnya yang dapat melihat keangkuhan diri sendiri seperti mudahnya melihat kesombongan orang lain?

Dalam perselisihan ini, Sim Houw yang nonton tanpa berpihak itu memperoleh pelajaran yang amat mengesankan hatinya. Kakek yang lima orang itu, yang namanya sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh tua penentang kejahatan, menuduh gadis itu sebagai pembunuh kejam dan mereka datang untuk membunuh gadis itu! Sebaliknya, si gadis menuduh mereka sombong dengan sikap angkuh pula. Agaknya sukar mencari orang di dunia ini yang mau membuka mata untuk mengenal diri sendiri, sikap dan isi hati dan pikiran sendiri karena mata itu selalu sibuk untuk meneliti orang lain! Meneliti orang lain hanya akan menimbnlkan suka atau benci, sedangkan meneliti diri sendiri akan menimbulkan kesadaran.

“Siancai....! Gadis ini adalah setan yang patut dibasmi!” bentak seorang di antara lima orang kakek itu dan orang ini bertubuh tinggi besar dengan muka hitam. Setelah berkata demikian, dia langsung menerjang dan mengirim pukulan dengan tangan kanan yang dimiringkan ke arah kepala Hui Lan.

“Wuuuutt....!” Angin pukulan yang amat kuat menyambar. Pukulan itu bukan main-main, melainkan pukulau membacok dengan tangan miring yang dilakukan dengan tenaga sin-kang amat kuatnya. Diam-diam Sim Houw terkejut juga dan merasa khawatir terhadap gadis yang masih muda itu. Dia mengira bahwa gadis itu tentu akan mengelak, karena dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki gerakan yang gesit sekali. Akan tetapi, heranlah dia ketika melihat betapa gadis itu menggerakkan kedua tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan membalas dengan totokan ke arah pangkal leher.

“Dukkk....!” Pukulan tangan kakek itu kena ditangkis dan agaknya gadis itupun sama sekali tidak terguncang, tangkisannya mantap dan kuat sehingga dua lengan yang bertemu itu saling terpental, akan tetapi jari tangan kanan gadis itu meluncur ke arah leher dangan kecepatan kilat.

“Ihhhh....!” kini kakek bermuka hitam itu yang terkejut dan cepat dia melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik. Hanya dengan cara beginilah dia dapat menghindarkan totokan pada pangkal lehernya tadi yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Dia terhindar dari malapetaka, akan tetapi segebrakan ini saja sudah senunjukkan betapa dia terdesak.

“Wuuuttt....!” Angin pukulan menerjang Hui Lan dari kanan dan kakek ke dua sudah menyerang Hui Lan dengan cengkeraman ke arah lambung dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan kakek itu juga mencengkeram ke arah kepala. Serangan berganda yang dilakukan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, amat berbahaya karena jari-jari tangan itu sudah terlatih, kini penuh dengan tenaga sin-kang dan dapat mencakar hancur batu karang sekalipun!

Namun, Hui Lan tidak menjadi gentar atau gugup menghadapi serangan berbahaya itu. Sekali ini ia tidak menangkis, akan tetapi tubuhnya meliuk dengan lemas dan cepatnya, tubuh bawah ke kiri dan tubuh atas ke kanan, tubuhnya melipat dengan amat lemasnya sehingga dua serangan itu pun luput, akan tetapi seperti juga tadi, Hui Lan membarengi gerakan mendadak itu dengan gerakan menyerang pula, yaitu dengan kedua tangannya yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menotok ke arah jalan darah di ulu hati! Kakek ke dua itu, terkejut dan terpaksa harus meloncat beberapa langkah ke belakang karena sama sekali dia tidak menduga bahwa orang yang menyerangnya itu berbalik menyerang pada saat yang sama atau hanya satu dua detik berikutnya! Dan kini Sim Houw memandang kagum. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya, memiliki tingkat kepandaian yang sama sekali tidak pernah diduganya. Yang amat mengagumkan adalah caranya berkelahi, menangkis atau mengelak sambil sekaligus menyerang, bahkan membalas kontan serangan lawan. Hal ini merupakan cara berkelahi yang membutuhkan pencurahan perhatian, membutuhkan gin-kang yang amat cepat dan juga membutuhkan kesempurnaan gerakan. Serangan yang dilakukan sambil menangkis atau mengelak itu memang amat berbahaya. Orang yang menyerang tentu saja agak lemah daya tahannya, karena pencurahan perhatiannya ditujukan pada serangannya sehingga kalau tiba-tiba yang diserang membarengi dengan serangan, tentu saja dia terkejut dan kedudukannya menjadi lemah.

Akan tetapi kini kakek ke tiga sudah menerjang lagi sebagai lanjutan serangan kakek ke dua. Ketika Hui Lan juga berhasil mengelak dan balas menyerang yang membuat kakek ini terdesak, kakek ke empat lalu menyerang, disusul kakek ke lima. Kiranya lima orang kakek itu walaupun tidak mengeroyok secara berbareng telah maju semua secara beruntun! Dan melihat betapa gadis itu terlampau kuat kalau dilawan satu demi satu akhirnya mereka mengurung dan mengeroyok Hui Lan dengan serangan-serangan mereka yang penuh! Agaknya lima orang kakek itu sudah tidak lagi melihat kenyataan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh tua Bu-tong-pai dan yang mereka hadapi hanyalah seorang gadis berusia duapuluh tahun. Dalam keadaan biasa, andaikata mereka melakukan pibu (pertandingan silat) tentu mereka tidak akan mau melakukan pengeroyokan, karena hal itu akan memalukan sekali. Akau tetapi kini mereka datang dengan niat membasmi gadis yang mereka anggap jahat dan berbahaya, maka mereka tidak lagi memakai banyak pertimbangan atau aturan lagi. Mereka datang untuk membunuh dan mengenyahkan kejahatan dari muka bumi, bukan untuk mengadu ilmu dan gadis itu ternyata memang lihai bukan main sehingga perlu dikeroyok oleh mereka berlima. “Hemm, tidak mudah mengambil nyawaku, tuabangka-tuabangka tak tahu malu!” Hui Lan membentak dan nampaklah sinar terang berkilauan ketika ia telah mencabut pedang dari punggungnya.

“Sing-sing....!” Sinar pedangnya menyambar-nyambar, membuyarkan pengepungan lima orang kakek itu.

“Siancai....! Inilah pedang yang sudah membunuh banyak orang itu. Terpaksa kami menggunakan senjata pula!” Kata kakek yang berjenggot panjang dan lima orang kakek itu meraba ke bawah jubah mereka dan nampaklah senjata berkilauan di tangan. Tiga orang di antara mereka memegang pedang dan yang dua orang lagi masing-masing memegang sebuah rantai baja yang panjangnya ada enam kaki. Rantai itu tadinya menjadi ikat pinggang, sedangkan pedang para tosu Bu-tong-pai itu tadi tersembunyi di balik jubah mereka. Lima orang kakek itu adalah pendeta-pendeta tosu dari Bu-tong-pai. Walaupun mereka bukan para pimpinan Bu-tong-pai, namun mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai dan di perkumpulan persilatan yang besar itu mereka termasuk tokoh-tokoh besar.

Hui Lan tidak mau banyak cakap lagi. Melihat betapa lima orang kakek itu benar-benar lihai dan kini mereka semua memegang senjata, iapun lalu mengeluarkan teriakan nyaring melengking dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan, didahului sinar pedangnya yang bergulung-gulung.

Kembali Sim Houw tertegun kagum. Gadis itu benar-benar lihai. Kini setelah memegang pedang, ternyata gadis itu lebih hebat pula. Ilmu pedangnya aneh dan amat cepat gerakannya, lebih lihai dibandingkan ilmu silat tangan kosongnya tadi. Sim Houw berusaha untuk mengenal ilmu pedang ini seperti tadi dia berusaha mengenal ilmu silat gadis itu, namun kembali dia gagal. Dia merasa seperti pernah melihat corak ilmu silat dengan gaya seperti yang dimainkan gadis itu, namun dia lupa lagi di mana dia pernah bertemu ilmu silat seperti itu, dan dia sama sekali tidak mengenalnya. Kalau ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang lima orang kakek itu tidak asing baginya. Dia sudah mengenal ilmu silat dari Bu-tong-pai, dan karena dia tahu betapa indah dan lihainya ilmu pedang dari perkumpulan itu, yaitu Bu-tong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bu-tong-pai), walaupun hatinya merasa semakin tegang, dia memperhatikan dengan penuh perhatian.

Ilmu pedang Bu-tong-pai memang hebat, apa lagi dimainkan oleh lma orang ahli yang tingkatnya sudah tinggi. Perlahan-lahan gadis itu mulai terdesak dan kini ia hanya dapat memutar pedangnya menjadi gulungan sinar yang melindungi seluruh tubbuhnya saja. Andaikata gadis itu disiram air, atau hujan turun, tentu ia tidak akan basah karena tubuh itu terlindung oleh benteng sinar pedang! Hebatnya, ketika seorang di antara lawannya lengah, yaitu kakek muka hitam, tangan kiri gadis itu mencuat keluar dari gulungan sinar pedangnya dan tangan yang kecil nampak lunak itu menampar ke arah kepala kakek ini. Si kakek muka hitam terkejut bukan main karena tidak menyangka gadis yang sudah didesak hebat itu akan mampu melakukan serangan yang demikian tiba-tiba. Tamparan ke arah kepalanya itu berbahaya, maka dia cepat mengelak.

“Plakkk!” tetap saja telapak tangan kiri Hui Lan menyentuh pundak si kakek muka hitam dan dia menggigil seperti orang kedinginan, lalu cepat-cepat dia berhenti berdiri dan menghimpun tenaga dalam untuk melawan hawa dingin menusuk yang timbul ketika pundaknya kena ditampar tadi.

Melihat ini, tiba-tiba saja Sim Houw teringat dan hampir dia meloncat ke luar dari balik semak-semak. Benar! Hanya ada satu cabang persilatan saja di dunia ini yang dapat memainkan ilmu silat yang sekaligus dapat mengerahkan sin-kang keras dan lunak, panas dan dingin, Yang-kang dan Im-kang dan satu-satunya itu adalah persilatan keluarga Pulau Es! Dia pernah melihat pendekar-pendekar keluarga Pulau Es dan kini dia ingat benar bahwa corak ilmu silat dau ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Souw Hui Lan ini mengandung sifat-sifat dari ilmu silat keluarga Pulau Es. Dia hampir yakin akan hal ini walaupun dia sendiri tentu saja tidak mengenal ilmu silat keluarga itu secara mendalam. Akan tetapi, setiap cabang ilmu silat mempunyai ciri-ciri khas tertentu dan di antara ciri khas ilmu keluarga para pendekar Pulau Es adalah penggunaan sin-kang yang saling berlawanan itu.

Betapapun lihainya Hui Lan dengan pedangnya, karena dikeroyok lima orang tokoh besar Bu-tong-pai, akhirnya ia kewalahan juga. Si muka hitam tadi sudah pulih kembali dan kini, sudah maju mengeroyok dengan sikap lebih hati-hati. Gadis itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk membalas lagi dan repot menghadapi hujan serangan dari lima orang lawannya. Tentu saja memutar terus senjatanya untuk melindungi tubuhnya memeras tenaganya sehingga makin lama ia menjadi semakin lelah dan putaran pedangnya makin berkurang kecepatannya. Akhirnya sebuah sabetan rantai baja menyerempet paha Hui Lan. Kain celana paha kiri itu terobek, nampak kulit paha yang putih itu terhias jalur merah ketika terkena sabetan rantai baja. Walaupun gadis itu telah dapat melindungi pahanya dengan sin-kang sehingga tidak terluka, namun ia terhuyung dan pada saat itu, sebatang pedang menyambar dari belakangnya, membabat ke arah lehernya, dan sebatang pedang lain menusuk dari kiri ke arah dadanya.

Sim Houw terkejut sekali. Sejak tadi dia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan di antara gadis dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu sehingga merasa tidak enak untuk mencampuri perkelahian mereka. Akan tetapi kini melihat nyawa gadis itu terancam maut, tubuhnya sudah menjadi tegang dan hampir dia bergerak meloncat untuk mencegah pembunuhan. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Bagaikan dua ekor burung raksasa saja dua bayangan itu meluncur dari atas, menyambar ke arah perkelahian itu.

“Tring! Tranggg....!” Dua orang kakek yang sudah menyerang Hui Lan dengan pedangnya, terpental ke belakang dan mereka terkejut sekali. Ketika lima orang kakek itu memandang, ternyata di situ telah berdiri dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan sejenak mereka tertegun karena melihat bahwa dua orang pria itu mempunyai wajah yang serupa. Usia mereka antara empatpuluh tahun, dengan pakaian ringkas dan sikap gagah. Mudah diduga bahwa kedua orang pria ini adalah sepasang orang kembar. Tidak hanya wajah dan bentuk badan mereka yang serupa, juga pakaian yang mereka pakai, dari potongannya sampai warna dan corak pakaiannya, semua sama! Keduanya menyarungkan kembali pedang yang tadi mereka pakai untuk menolong Hui Lan menangkis dua batang pedang yang mengancam nyawa gadis itu.

Hui Lan agak terpincang ketika menghampiri dua orang pria itu. Dengan nada suara manja ia berkata, “Suhu, mereka ini adalah Bu-tong Ngo-lo yang tidak tahu malu mengeroyokku....”

“Kami mengerti, mundurlah kau,” kata seorang di antara dua pria kembar itu. Hui Lan melangkah mundur sambil menyimpan pedangnya dan ia mengusap keringat yang sudah membasahi dahi dan leher, bahkan pakaiannya juga kusut dan basah oleh keringat. Perkelahian tadi amat melelahkan tubuhnya dan hantaman pada paha kirinya tadi juga menyakitkan. Robek pada celananya tidak diperdulikan dan kini dengan penuh perhatian Hui Lan nonton dua orang suhunya yang berhadapan dengan Bu-tong Ngo-lo. Kalian akan mampus, demikian agaknya ia berpikir di balik senyumnya yang mengejek.

Dua orang pria kembar itu kini melangkah maju dan memandang kepada lima orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Lalu seorang di antara mereka bertanya, suaranya tegas dan mantap, namun halus, “Bu-tong Ngo-lo adalah lima orang tokoh Bu-tong-pai, patutkah mengeroyok seorang wanita muda seperti murid kami? Apa maksud pengeroyokan yang tidak pantas ini?”

Lima orang kakek itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Bagaimanapun juga, mereka merasa malu karena telah maju mengeroyok seorang gadis semuda itu yang pantasnya menjadi cucu murid mereka, dan yang lebih memalukan lagi, biar mengeroyok, mereka ternyata tidak berhasil merobohkannya! Kakek berjenggot panjang lalu menjawab dengan sikap galak, “Apakah kalian ini yang berjuluk Beng-san Siang-eng, Sepasang Garuda dari Beng-san?”

Dua orang kakek itu mengangguk.

“Bagus!” kata kakek berjenggot panjang. “Kami datang untuk membunuh kalian guru dan murid agar tidak jatuh lagi korban orang-orang tidak berdosa. Kalian adalah orang-orang kejam yang sudah melakukan banyak dosa dan harus dienyahkan dari permukaan bumi ini!”

Seorang di antara dua pria kembar itu tersenyum. “Hemm, katakan saja bahwa kalian datang untuk membalas dendam, ataukah kalian datang dengan maksud yang sama seperti orang-orang Bu-tong-pai itu?”

“Tidak! Kami datang sengaja uutuk mencari kalian guru dan murid yang berdosa, untuk menghukum dan membunuh kalian!” Bentak kakek berjenggot panjang dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju bersama empat orang saudaranya, menyerang dengan senjata mereka dengan dahsyat.

Akan tetapi sekali ini lima orang kakek Bu-tong-pai itu berhadapan dengan dua orang lawan yang jauh lebih lihai dibandingkan dengan Hui Lan tadi. Dua orang pria kembar itu menghadapi lima orang pengeroyoknya dengan tangan kosong saja, walaupun tadi ketika menyelamatkan Hui Lan, mereka menggunakan pedang. Akan tetapi, walaupun tanpa senjata, keduanya dapat bergerak dengan bebas dan lincah sekali. Gerakan mereka memang cepat dan pantas mereka dijuluki Sepasang Garuda. Tubuh mereka berloncatan ke atas dan menyelinap di antara sinar senjata lawan dan mereka juga sempat membalas dengan serangan-serangan mereka yang biarpun hanya dilakukan dengan tangan dan kaki, namun tidak kalah dahsyatnya dari senjata lawan. Terjadi perkelahian yang amat seru dan Sim Houw yang nonton perkelahian itu kini merasa yakin benar bahwa sepasang pria kembar itu memang ahli dalam ilmu silat keluarga para pendekar Pulau Es.

Begitu melihat gerakan dua orang laki-laki kembar itu, Sim Houw maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada tingkat Bu-tong Ngo-lo dan biarpun dua orang kembar itu tidak memegang senjata, namun mereka tidak akan kalah. Keduannya menguasai gin-kang dan sin-kang yang amat tinggi, bahkan kadang-kadang mereka berani menangkis pedang dan rantai baja dengan tangan kosong saja! Makin benar keyakinan. hatinya bahwa dua orang kembar itu tentu murid para pendekar Pulau Es dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Pulau Es.

Dugaan Sim Houw ini memang tidak meleset. Dua orang kembar itu masih cucu luar dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mendiang Pendekar Super Sakti Suma Han mempunyai seorang puteri dari isterinya yang bernama Puteri Nirahai dan puteri ini diberi nama Puteri Milana yang kemudian menjadi isteri seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng. Mereka berdua kini telah tua sekali dan tinggal di puncak Pegunungan Beng-san, hidup sebagai petani-petani sederhana. Mereka mempunyai sepasang anak kembar yang mereka beri nama Gak jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu dua orang pria inilah.

Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, gagah perkasa dan juga memiliki jiwa patriot. Akan tetapi dia saling jatuh cinta dengan Milana yang mempunyai ibu puteri Mancu. Milana sendiri, sebagai puteri Pendekar Super Sakti, tahu bahwa ia mempunyai ibu puteri Mancu bahkan karena tertarik oleh ibunya, ia pernah berapa kali membantu pemerintah Mancu memimpin barisan dan menjadi panglima untuk membasmi pemberontakan. Setelah semakin tua ia dapat melihat bahwa suaminya mulai diasingkan dan dipandang sebagai musuh oleh banyak orang gagah di dunia sebagai seorang pendekar yang berpihak kepada pemerintah penjajah Mancu! Padahal, Milana tahu benar bahwa suaminya sama sekali tidak berpihak kepada pemerintah Mancu. Ia melihat betapa terjepitnya kedudukan suaminya yang oleh para pendekar dan patriot dianggap sebagai seorang pengkhianat atau antek penjajah. Oleh karena itulah, maka iapun menyetujui keputusan suaminya untuk menyembunyikan diri menjadi setengah pertapa, di puncak Beng-san dia tidak mencampuri lagi urusan dunia. Karena itu lah, maka kehidupan suami isteri ini menjadi terasing dan nama mereka seperti terhapus di duna kang-ouw dan tidak ada orang mengetahui bagaimana dengan keadaan mereka.

Suami isteri Gak Bun Beng dan Puteri Milana ini, tentu saja mendidik anak kembar mereka dengan tekun. Akan tetapi, keduanya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi itu dapat melihat bahwa bakat anak kembar mereka dalam ilmu silat tidaklah menonjol, betapapun juga karena ketekunan mereka menggembleng putera-putera mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat juga menguasai sebagian dari ilmu-ilmu ayah bunda mereka dan menjadi orang-orang yang dapat dibilang memiliki ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingan mereka.

Akan tetapi, setelah sepasang bocah kembar itu menjadi dewasa, Gak Bun Beng dan Milana mengalami kekecewaan yang amat besar. Dua orang pemuda Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu tidak mau menikah! Mereka bahkan marah-marah kalau orang tua mereka mengajak mereka bicara tentang pernikahan! Di antara mereka, terdapat hubungan batin yang aneh sekali, yang menimbulkan perasaan iri hati dan cemburu satu kepada yang lain dalam segala hal. Pakaianpun harus diberi yang serupa dan mereka tidak boleh dibeda-bedakan karena hal ini akan menimbulkan perasaan iri yang membuat mereka marah. Juga dalam perjodohan. Yang seorang akan menjadi iri hati dan cemburu kalau yang lain dijodohkan dengan seorang gadis. Karena inilah, maka kedua orang pria kembar ini tidak pernah menikah. Pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya akhirya putus asa dan setelah capai membujuk tanpa hasil, akhirnya merekapun diam saja dan lebih banyak menyepi di dalam pondok mereka di puncak Beng-san.

Betapapun juga, akhirnya orang mengenal kelihaian dua saudara kembar itu ketika beberapa kali terjadi peristiwa di mana dua saudara kembar itu terpaksa memperlihatkan kelihaian mereka. Bahkan orang tua merekapun membujuk mereka untuk sering melakukan perantauan untuk memperluas pengalaman. Akhirnya, orang mengenal mereka sebagai Sepasang Garuda dari Beng-san!

Ketika mereka berusia duapuluh empat tahun, mereka melakukan perjalanan ke selatan di mana terjadi pemberontakan. Mereka, sesuai dengan pesan ayah ibunda mereka, tidak diperbolehkan mencampuri urusan pemberontakan, tidak boleh membantu pemberontakan juga tidak boleh membantu pemerintah. Mereka melihat pemberontakan dengan sikap pasip saja, hanya mereka turun tangan menolong mereka yang lelah dan pantas diselamatkan. Ketika mereka melihat sebuah keluarga dirampok dan dibunuh oleh gerombolan pemberontak, mereka turun tangan membela. Namun dua orang saudara kembar ini agak terlambat dan hanya berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan keluarga Souw itu, sedangkan keluarga itu selebihnya terbasmi dan terbunuh oleh gerombolan perampok. Anak perempuan she Souw itu berusia empat tahun dan semenjak itu, Souw Hui Lan, anak yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lainnya, dibawa oleh Beng-san Siang-eng dan menjadi murid mereka berdua! Bahkan dalam mengajarkan ilmu kepada Hui Lan merekapun bersaing dan mereka berdua amat menyayang anak ini sehingga memperlakukannya tidak hanya sebagai murid, bahkan sebagai adik atau puteri mereka sendiri. Tentu saja hal ini membuat Hui Lan menjadi lihai sekali, akan tetapi juga amat manja!

Baru lima tahun mereka meeninggalkan Beng-san dan akhirnya menetap di bukit di tepi Sungai Wu-kiang itu, tempat yang sunyi terpencil dan amat indah pemandangannya. Beberapa tahun kemudian, setelah Hui Lan berusia tujuhbelas tahun, mulailah datang godaan-godaan. Gadis itu menjadi seorang dara yang cantik manis dan gagah perkasa sehingga tentu saja, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum dan mengandung madu yang amat manis, mengundang datangnya kumbang-kumbang berupa pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan yang menginginkan jodoh seorang dara perkasa pula. Mulailah berdatangan lamaran-lamaran yang diajukan oleh tokoh-tokoh persilatan terhadap dara itu, baik untuk murid atau anak mereka sendiri.

Dan begitu muncul pinangan-pinangan ini, dua orang guru dan seorang muridnya itu lalu menentukan syarat yang amat berat, yaitu calon jodoh Hui Lan harus seorang pemuda yang mampu mengalahkan Hui Lan, dan selain syarat berat ini, ditambah syarat yang lebih berat lagi yakni bahwa pemuda calon jodoh Hui Lan itu harus mengajukan guru atau orang tuanya yang mampu mengalahkan Beng-san Siang-eng!

Orang yang tergila-gila kepada seorang wanita biasanya suka melakukan apapun juga, siap untuk berkorban. Demikianlah, banyak pemuda gagah perkasa berdatangan, hanya untuk dikalahkan oleh Hui Lan, dan guru atau orang tua jagoan mereka tidak ada seorangpun mampu mengalahkan dua orang pria kembar itu. Dan yang mengejutkan, guru dan murid ini agaknya berdarah panas sehingga dalam setiap pertandingan untuk memenuhi syarat itu, mereka menjatuhkan para peminang dengan pukulan-pukulan maut sehingga banyak di antara para peminang yang kalah dengan membawa luka-luka parah, bahkan ada pula yang sampai tewas!

Seorang pemuda Bu-tong-pai yang pandai, maju pula bersama seorang susioknya, dan dia dikalahkan oleh Hui Lan, juga tosu yang menjadi susioknya dan merupakan tokoh Bu-tong-pai, juga terluka hebat oleh Beng-san Siang-eng. Mereka berdua meninggalkan tempat itu sebagai penderita kekalahan, membawa luka dalam yang berat dan akhirnya keduanya tewas setelah menderita sakit beberapa pekan lamanya! Selama tiga tahun kurang lebih, sudah puluhan kali murid itu mengalahkan pelamar dan sudah belasan orang tewas di tangan mereka!

Demikian sedikit catatan tentang Beng-san Siang-eng yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu, dan karena itu pula pada hari itu muncul Bu-tong Ngo-lo yang berniat membunuh guru dan murid yang dianggap kejam dan jahat itu. Lima orang tokoh Bu-tong ini memang bukan hanya datang untuk membalas kematian dua orang Bu-tong-pai itu, akan tetapi juga untuk mengenyahkan guru dan murid yang dianggap jahat itu agar tidak jatuh korban lagi.

Sim Houw mengikuti jalannya perkelahian itu penuh perhatian. Hatinya merasa semakin tegang lagi. Perkelahian itu adalah perkelahian mati-matian di mana Bu-tong Ngo-lo makin lama makin terdesak hebat oleh dua orang pria kembar itu. Mereka berkelahi untuk saling bunuh, bukan sekedar mengalahkan lawan. Jurus-jurus maut dikerahkan dan diam-diam dia merasa khawatir sekali. Mereka adalah orang-orang gagah, orang-orang berilmu yang agaknya tentu saja bukan termasuk kaum sesat. Dua orang pria kembar itu memainkan ilmu silat Pulau Es, tentu bukan penjahat dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu tentu juga bukan orang-orang sesat. Kini mereka berkelahi mati-matian untuk saling bunuh. Dia sendiri tidak dapat berpihak, karena dia tidak tahu siapa antara mereka yang bersalah. Akan tetapi, membiarkan saja mereka berkelahi, hatinya merasa tidak tega karena dia tahu bahwa satu pihak tentu akan roboh, terluka parah dan mungkin saja tewas.

Tiba-tiba dua orang kembar itu mengeluarkan teriakan nyaring melengking panjang, disusul bentakan seorang di antara mereka, “Bu-tong Ngo-lo, rebahlah kalian!” Hebat bukan main serangan dua orang itu. Biarpun lima orang lawan mereka sudah bersiap siaga, tetap saja terjangan mereka yang dahsyat itu membuat mereka berlima terdorong dan terjengkang, senjata mereka terlempar dan mereka terbanting keras ke atas tanah dalam keadaan terlentang! Dan dua orang kembar itu melangkah maju, agaknya siap untuk menurunkan pukulan terakhir, pukulan maut.

Tiba-tiba terdengar suara melengking yang aneh, suara suling yang ditiup secara aneh dan suaranya begitu mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang pria kembar itu sendiri tertegun dan menghentikan langkah mereka lalu menengok seperti orang yang terpesona. Mereka berdiri ternganga memandang ke arah seorang pemuda yang tiba tiba saja muncul di situ sambil meniup sebatang suling.

Sim Houw yang tadi melihat betapa nyawa lima orang kakek Bu-tong-pai itu terancam maut, cepat meniup sulingnya dan keluar dari tempat persembunyiannya sambil terus meniup sulingnya. Tiupan pertama tadi dilakukan dengan pengerahan khi-kang dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut sehingga suling itu mengeluarkan suara yang mengandung pengaruh dan wibawa amat kuatnya! Dua orang cucu dari Pendekar Super Sakti itu sendiri sampai terpesona dan tertahan dari niat mereka membunuh lima orang Bu-tong-pai yang sudah tidak mampu melindungi diri sendiri itu.

Kini Sim Houw sudan berjalan menghadapi dua orang saudara Gak itu, menghalang di antara mereka dan lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah merangkak bangun dengan muka pucat. Lalu Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan menjura ke arah dua orang pria kembar. Begitu suara suling berhenti, semua orang merasa seolah-olah terlepas dari himpitan yang membuat mereka seperti tidak mampu bergerak tadi.

“Ji-wi locianpwe harap jangan menyiksa lima orang kakek ini lebih lanjut. Kasihanilah mereka dan kalau mereka telah melakukan kesalahan, biarlah saya yang mintakan ampun untuk mereka.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban dua orang pria kembar itu, Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya menghadapi Bu-tong Ngo-lo, “Kalian berlima telah diampuni oleh dua orang locianpwe ini, tidak lekas pergi apakah yang ditunggu lagi?” Berkata demikian Sim Houw mengedipkan matanya dan lima orang kakek itu yang sudah maklum bahwa mereka tidak akan mampu menang, apa lagi kini sudah menderita luka dalam yang dirasakan di dalam dada, rasa yang dingin sekali, tanpa banyak cakap lagi mereka lalu memungut senjata masing-masing dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit!

“Kalian hendak lari ke mana?” Tiba-tiba Hui Lan membentak marah dan siap mengejar. Akan tetapi Sim Houw sudah berdiri di depannya dan mengembangkan kedua lengannya.

“Nona, ji-wi locianpwe ini sudah memberi ampun, jangan kejar mereka!”

Hui Lau melihat betapa pemuda itu mengembangkan lengan seperti hendak memeluknya, menjadi marah. Apa lagi ketika dara ini mengenal Sim Houw sebagai penyuling yang tadi dianggap mengganggu ketenangannya, ia menjadi semakin marah.

“Enyahlah kau!“ bentaknya sambil menampar kepala pemuda itu.

“Wuuuttt....!” Tamparan tangan halus ini dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala manusia.

“Eh, eh.... jangan pukul....!” Sim Houw berseru gugup dan mengangkat sebelah lengannya seperti melindungi kepalanya dengan gerakan amat kaku, sama sekali bukan gerakan silat.

“Plakk!” Akibat tamparan tangan yang mengenai pangkal lengannya itu membuat Sim Houw terlempar dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia bergulingan memotong jalan sehingga gadis itu tidak dapat melakukan pengejaran terhadap lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah melarikan diri.

“Keparat, engkau selalu menggangguku!” Hui Lan meloncat dan hendak menendang tubuh Sim Houw yang masih bergulingan.

“Hui Lan, jangan pukul dia!” tiba-tiba terdengar suara Gak Jit Kong dan gadis itupun menahan gerakan kakinya sehingga Sim Houw terhindar dari tendangan maut.

Sim Houw melirik ke arah lima orang kakek Bu-tong-pai dan merasa lega melihat bahwa lima orang kakek itu telah melarikan diri dengan cepat dan lenyap dari situ. Dia lalu bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor terkena debu. Hui Lan biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun ia belum berpengalaman dan gadis yang berwatak manja ini memang tidak pernah menghargai orang lain, maka iapun tidak sadar betapa tamparannya yang amat kuat tadi dapat ditangkis oleh pemuda penyuling ini! Padahal, kalau ia teringat, tentu ia akan terkejut melihat kenyataan betapa tamparannya itu ,tidak meremukkan tulang pangkal lengan pemuda itu.

Beng-san Siang-eng mengira bahwa murid mereka idak menyerang dengan sungguh-sungguh kepada pemuda yang kelihatannya tidak memiliki kepandaian silat ini dilihat dari gerak-geriknya dan Gak Jit Kong lalu bertanya, “Orang muda, kenapa engkau mencampuri urusan kami dan menghalangi kami membunuh lima orang musuh tadi?”

Sim Houw kembali menjura dengan sikap hormat. Sulingnya sudah sejak tadi diamankannya di balik bajunya, terselip di pinggang. “Ji-wi locianpwe, saya pernah mendengar, kata orang bahwa seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak melawan dan tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya. Dan saya melihat bahwa mereka itu tadi sudah tak berdaya....“

“Omong kosong!“ bentak Hui Lan. Kalau kalah, mereka tentu akan membunuh kami. Suhu, tidak perlu kiranya berdebat dengan pengacau ini!”

Akan tetapi Gak Jit Kong agaknya tertarik. “Orang muda, tahukah engkau bahwa seandainya kami kalah, lima orang Bu-tong Ngo-lo itu akan membunuh kami tanpa ragu lagi?”

“Ji-wi locianpwe, haruskah orang membalas pembunuhan dengan pembunuhan, membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau begitu, apa bedanya antara kita dengan si penjahat?”

“Jadi sudah sejak tadi engkau melihat perkelahian antara kami dan mereka?” tanya pula Gak Jit Kong, memandang penuh selidik.

“Saya kebetulan berada disini, karena ketakutan melihat perkelahian lalu saya bersembunyi di dalam semak belukar, nonton perkelahian. Melihat mereka sudah tidak berdaya dan khawatir ji-wi membunuh mereka, maka saya keluar....“

“Kenapa membunyikan suling?” kini Gak Goat Kong mendesak.

“Saya tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mencegah dilanjutkannya perkelahian itu, dan karena saya hanya bisa meniup suling, maka dalam kegugupan saya lalu meniup suling saya untuk menarik perhatian. Syukur saya berhasil....“

“Siapakah namamu dan engkau dari perguruan silat mana?” Gak Jit Kong bertanya lagi.

“Nama saya Sim Houw dan bukan dari perguruan silat, saya hanya bisa meniup suling, tidak bisa apa apa selain itu, locianpwe.”

“Bohong! Engkau selalu mengacau dengan suara sulingmu, tentu engkau mengerti sedikit ilmu silat. Biar kuselidiki dia datang dari perguruan silat mana suhu!” kata Hui Lan dan gadis itu sudah meloncat ke depan dan tangan kirinya menyambar, jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri itu menotok ke arah pundak kanan Sim Houw. Sim Houw tahu bahwa, jalan darah Kian-keng-hiat-to di pundaknya akan ditotok dan akibatnya amat hebat karena jalan darah itu merupakan satu di antara jalan darah besar. Akan tetapi dia diam saja sedikitpun tidak berkutik, tidak mengelak atau menangkis, seolah-olah dia tidak tahu bahwa nyawanya terancam oleh serangan itu.

“Hui Lan, jangan....!” Gak Goat Kong berseru kaget melihat betapa muridnya hendak membunuh pemuda yang agaknya memang tidak menyadari akan bahaya itu. Tentu saja Sim Houw sadar sepenuhnya, bahkan dia tahu bahwa tidak ada bahaya yang mengancam dirinya. Gadis itu hanya menggertaknya saja dan sama sekali tidak berniat melakukan totokan secara sungguh-sungguh, dan andaikata demikian, diapun dapat menyelamatkan dirinya dengan ilmu memindahkan jalan darah! Dan benar saja dugaannya, tanpa dicegah oleh gurunya sekalipun, Hui Lan memang tidak mau membunuhnya. Gadis itu hanya ingin memaksanya mengeluarkan ilmu silatnya untuk membela diri agar ia dapat mengenal ilmu silatnya. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan totokan maut, gadis itu merasa sebal dan totokannya berobah menjadi dorongan atau tamparan pada pundak pemuda itu.

“Plakkk....!” Dan tubuh Sim Houw terpelanting! Namun, Hui Lan juga terkejut dan heran sekali, menahan rasa nyeri pada telapaktangannya. Ia tadi merasa seperti menampar benda yang lunak sekali akan tetapi dari dalam kelunakan itu muncul tenaga yang membuat tenaga tamparannya membalik sehingga ia terpukul tenaga tamparannya sendiri yang menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi buktinya, pemuda itu terpelanting keras oleh tamparannya!

Sebelum Hui Lan sempat menyatakan keheranannya, tiba-tiba dua orang gurunya berseru. “Hui Lan, hati-hati! Banyak musuh datang!”

Gadis itu cepat menggerakkan tubuh menoleh Dan benar saja. Sedikitnya duapuluh orang yang dipimpin oleh seorang wanita cantik berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat itu. Sim Houw juga sudah bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor dan berdirii di belakang tiga orang itu. Diam-diam dia merasa mendongkol juga karena gadis itu sungguh sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Seorang gadis yang selain cantik manis dan gagah perkasa, juga manja, angkuh dan ringan tangan!

Duapuluh empat orang itu semua berpakaian serba merah sehingga amat menyolok sekali. Mereka terdiri dari laki-laki yang usianya antara tigapuluh sampai limapuluh tahun, dipimpin seorang kakek berusia limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat. Laki-laki ini berada di depan bersama seorang wanita yang lebih menarik perhatian lagi. Wanita ini cantik dan berpakaian merah, bukan serba merah seperti yang lain. Memiliki sepasang mata yang amat tajam dan gerak-geriknya lincah. Sebatang pedang tergantung di punggungnya.

Sim Houw tidak mengenal semua orang itu. Juga agaknya Beng san Siang-eng dan murid mereka tidak mengenal wanita cantik yang usianya kurang lebih duapuluh lima tahun itu, apa lagi duapuluh empat orang yang berpakaian serba merah. Wanita itupun agaknya belum mengenal pihak tuan rumah, karena begitu berhadapan, ia sudah bertanya dengan suara lantang” Siapakah di antara kalian yang berjuluk Pendekar Suling Naga?”

Sepasang Garuda Beng-san itu saling pandang dengan murid mereka. Hui Lan menggerakkan pundak dan gadis ini sudah marah sekali melihat sikap wanita yang datang bersama segerembolan orang berpakaian serba merah itu dan ia sudah menudingkan telunjuk kanannya sambil membentak, “Dari mana datangnya perempuan liar yang membawa gerombolan bajak atau rampok ini?”

Akan tetapi, wanita cantik itu hanya mengeluarkan senyum mengejek, agaknya tidak memperhatikan kemarahan Hui Lan. Sekali lagi ia bertanya, “Siapakah Pendekar Suling Naga?” Dan kini pandang matanya ditujukan kepada Sim Houw dan ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik. Juga duapuluh empat orang berpakaian serba merah itu memandang kepada empat orang itu bergantian dengan sinar mata mengancam. Wanita cantik itu bukan sembarang orang. Ia bukan lain adalah Giong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), murid pertama Sam Kwi (Tiga Iblis). Seperti telah diceritakan di bagian depan Siu Kwi atau Bi-kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari seorang gadis yang lihai bukan main, telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari ketiga gurunya. Ketika ia pulang menjumpai guru-gurunya, ia melaporkan akan kegagalan dua macam tugas yang dipikulnya. Pertama, ia telah gagal mencari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es karena pendekar sakti itu telah tewas, kemudian tugas ke dua, yaitu mencari Pek-bin Lo-sian untuk minta senjata pusaka Liong-siauw-kiam juga gagal.

Ketika wanita itu menghadap Pek-bin Lo-sian yang menjadi paman guru dari ketiga Sam-kwi, ia mendapatkan kakek tua renta itu dalam keadaan sakit berat dan napasnya tinggal satu-satu! Siu Kwi atau Bi Kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari Pek-bin Lo-sian yang dijawab oleh Pek-bin Lo-sian bahwa pusaka itu telah dia berikan kepada orang lain karena dia tidak suka kalau pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, tiga orang keponakan seperguruannya sendiri yang jahat! Mendengar jawaban ini. Bi-kwi memaksa kakek tua renta itu untuk menunjukkan siapa orang yang diserahi pusaka itu. Namun kakek yang sudah menderita penyakit berat itu hanya tersenyum mengejek, tidak mengaku. Bi-kwi marah, lalu menggunakan kekerasan terhadap kakek itu yang sebenarnya masih susiok-kongnya sendiri. Disiksanya kakek itu, akan tetapi Pek-bin Lo-sian tetap tidak mau mengaku. Tubuhnya yang sudah tua dan menderita penyakit berat itu tidak dapat menahan siksaan yang dilakukan Bi-kwi dan kakek itupun tewas tanpa menyebut nama Sim Houw yang telah diserahi pusaka Suling Naga atau Siauw-liong-kiam.

Seperti kita ketahui, Bi-kwi pulang dengan hati mengkal dan uring-uringan karena ia pulang dengan tangan kosong. Akan tetapi ia mendengar berita akan munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Sebelum pulang menyampaikan laporan kepada tiga orang gurunya, lebih dulu ia menemui perkumpulan Ang-i-mo (Setan Berbaju Merah), yaitu perkumpulan sesat yang telah ditaklukkannya. Perkumpulan itu dipimpin oleh seorang datuk sesat bernama Tee Kok yang berusia limapuluh tahun sebagai ketuanya. Ketika mereka bentrok dengan Bi-kwi, mereka kalah dan Tee Kok merajuk, menyatakan kalah dan menyerah. Melihat kehebatan mereka, Bi-kwi dengan cerdik mengampuni mereka dan menyuruh mereka berjanji untuk membantunnya dalam segala macam hal kalau dimintanya, Tee Kok menyanggupi.

Bi kwi lalu memerintahkan Ang-i-mo untuk melakukan penyelidikan, mencari adanya pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan kalau ada beritanya agar cepat memberi kabar kepadanya di puncak Thai-san, di mana ia tinggal bersama Sam Kwi. Setelah itu barulah ia pulang ke Thai-san, di mana ia terpaksa menerima Bi Lan sebagai sumoi atau murid guru-gurunya yang baru, bahkan ia lalu dengan cerdik menyediakan dirinya untuk melatih sumoinya itu menggantikan guru-gurunya.

Baru beberapa bulan kemudian, datang Tee Kok bersama anak buahnya yang pilihan, berjumlah duapuluh empat orang bersama dia, berkunjung ke Thai-san dan melaporkan bahwa mereka mendengar akan munculnya Pendekar Suling Naga di daerah selatan. Mendengar ini, cepat Bi-kwi meninggalkan Thai-san, bersama duapuluh empat orang itu cepat-cepat melakukan pengejaran dan pencarian ke selatan. Akhirnya, mereka mengikuti jejak orang yang dicari di sepanjang pantai Sungai Wu-kiang dan tiba di kaki bukit yeng menjadi tempat tinggal Beng-san Siang-eng bersama murid mereka.

Tee Kok dalam pelaporannya kepada Bi-kwi hanya mengatakan bahwa anak buahnya belum pernah ada yang berjumpa dengan pendekar yang dicari, hanya mendapat keterangan bahw pendekar itu masih muda dan lihai sekali. Maka, ketika mereka tiba di tempat itu, perhatian Bi-kwi dan kawan-kawannya tertarik kepada Sim Houw. Akan tetapi, mereka merasa ragu-ragu karena pemuda itu tadi mereka lihat didorong oleh gadis cantik itu saja terpelanting, mana mungkin orang lemah itu yang dinamakan Pendekar Suling Naga? Karena itu Bi-kwi lalu mengajukan pertanyaan kepada mereka, dengan sikapnya yang angkuh, siapa di antara mereka yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Biarpun Hui Lan telah membentaknya dengan ucapan menghina, ia tetap tidak perduli dan mengulangi pertanyaannya.

“Siapakah Pendekar Suling Naga? Hayo mengaku, kalau tidak kalian berempat tentu akan menjadi setan-setan tanpa nyawa!” Sekali lagi ia menghardik, sekali ini sinar matanya berkilat mengeluarkan ancaman yang mengerikan.

Kalau sepasang saudara kembar Gak itu masih bersikap sabar, murid merekalah yang sudah kehabisan kesabaran lagi. “Perempuan hina! Berani engkau mengancam kami di rumah kami sendiri? Apa kaukira aku takut kepadamu dan gerombolanmu, badut-badut berpakaian merah ini? Bukalah matamu dan lihat dengan siapa kau berhadapan!”

Bi-kwi memang orang aneh. Iblis betina ini tidak mudah marah, atau tidak mau menurutkan emosi dan kemarahannya, kalaupun ada, disimpan di dalam hati saja. Hanya sinar matanya yang menyambar ketika ia menjawab, “Tidak perduli siapa orangnya. kalau tidak mau memberi tahu kepadaku di mana adanya Pendekar Suling Naga, tentu akan kami bunuh!”

“Keparat! Kami tidak mengenal Suling Naga atau Suling Ular atau Suling Cacing! Akan tetapi kedua orang suhuku ini adalah Beng-san Siang-eng!” Maksud Hui Lan memperkenalkan julukan kedua orang gurunya adalah untuk balas menggertak agar wanita itu menjadi terkejut dan gentar. Siapa yang tidak mengenal nama Beng-san Siang-eng.

Bi-kwi memang terkejut, akan tetapi bukan terkejut lalu gentar, bahkan terkejut lalu wajahnya berseri dan senyumnya makin mengejek. “Ahh! Ini namanya mencari bandeng mendapatkan kakap! Jadi kalian inikah Beng-san Siang-eng, keluarga Pulau Es?” katanya sambil memandang kepada dua orang pria kembar itu penuh perhatian.

Dua orang pria kembar itu membalas pandang mata tajam itu dengan alis berkerut. Gadis cantik ini masih muda namun sikapnya demikian angkuh dan memandang rendah, tentu bukan orang sembarangan. “Kami berdua saudara Gak memang masih cucu luar dari kakek kami Suma Han dari Pulau Es. Akan tetapi kami tidak merasa pernah berurusan denganmu. Siapakah engkau, nona dan ada urusan apakah engkau bersama rombonganmu datang ke tempat kami?”

Ciong Siu Kwi meraba gagang goloknya dengan sikap angkuh, tanpa mencabut senjata itu, dan memandang kepada dua orang kakek itu dengan mata tajam. “Beng-san Siang-eng, aku disebut orang Bi-kwi dan aku datang mewakili guru-guruku, Sam Kwi untuk mencari Pendekar Suling Naga. Akan tetapi dia tidak ada dan yang ada ialah kalian cucu dari Majikan Pulau Es. Hemm, sungguh kebetulan sekali karena akupun mempunyai tugas mewakili guru-guruku untuk membunuh semua keluarga Pulau Es setelah Majikan Pulau Es sendiri meninggal dunia!”

Dua orang pria kembar itu mengerutkan alis lagi. “Nanti dulu, Bi-kwi. Memusuhi orang dengan niat membunuh bukan merupakan hal yang tidak ada sebabnya. Mengapa guru-guru kalian memusuhi kami orang-orang Pulau Es?”

“Kakekmu itu pernah mengalahkan guru-guruku, dan sudah bersumpah untuk membalas kekalahan itu. Akan tetapi kakekmu sudah mati, maka yang harus menebus dosanya adalah keluarga dan keturunannya. Nah, bersiaplah kalian untuk mati, juga bocah perempuan sombong ini dan pemuda itu siapa dia?” Telunjuk kiri Bi-kwi menuding ke arah muka Sim Houw dan diam-diam hatinya berbisik betapa tampannya pemuda sederhana itu.

“Jangan ganggu dia. Kami tidak mengenalnya. Dia seorang yang baru saja datang, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kami. Jangan kira akan mudah saja membunuh kami, bahkan kalau boleh kunasihatkan agar kamu yang masih muda ini pulang saja dan biarlah ketiga orang suhumu itu yang datang membuat perhitungan dengan keluarga para pendekar Pulau Es,” kata Gak Jit Kong yang merasa tidak enak juga kalau dia bersama adik kembarnya harus berhadapan mengadu ilmu dengan seorang gadis yang masih muda itu. Memang semua tokoh persilatan yang sudah ada nama tentu akan merasa ragu untuk mengadu ilmu melawan seorang gadis muda. Kalau kalah amat memalukan, kalau menangpun akan ditertawakan orang!

“Beng-san Siang-eng, kematian sudah di depan mata, tak perlu banyak cakap lagi! Bersiaplah untuk mampus!” bentak Bi-kwi dan nampak sinar berkilat menyilaukan mata ketika wanita ini mencabut pedangnya.

“Suhu, biar aku yang menghadapi iblis wanita ini!” Hui Lan juga mencabut pedangnya dan ia meloncat ke depan gurunya, menghadapi Bi-kwi. Dua orang pria kembar itu tidak melarang murid mereka. Memang sepatutnyalah kalau Hui Lan yang menghadapi wanita itu, dan mereka sendiri akan berjaga-jaga karena kalau duapuluh empat orang berpakaian seragam merah itu mengeroyok, mereka akan menghadapi pasukan merah itu.

Akan tetapi, Bi-kwi yang sudah menghunus pedang itu memandang kepada Hui Lan dengan alis berkerut. “Bocah sombong, engkau bukan lawanku. Guru-gurumu itulah lawanku dan engkau nonton saja, jangan tergesa minta mampus, tunggu giliranmu tiba!”

Ucapan itu sungguh menghina sekali. Hui Lan mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia sudah maju menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi Bi-kwi tersenyum saja dan hanya nonton ketika dari samping, Tee Kok ketua Ang-i-mo telah menggerakkan sepasang goloknya ke depan menangkis.

“Tranggg....!” Nampak api berpijar ketika pedang Hui Lan bertemu dengan golok di tangan laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu.

“Ciong Siocia (Nona Ciong), biarkan aku menghadapi gadis ini!” kata Tee Kok.

Biarpun ucapan ini ditujukan kepada Tee Kok, matamu sudah menjadi hijau melihat perawan mulus ini, ya? Baik, kalau bisa, tangkaplah bocah itu dan boleh menjadi milikmu sebelum kaubunuh!”

Biarpun ucapan ini ditujukan kepada Tee Kok. akan tetapi tentu saja Hui Lan menjadi marah bukan main, demikian pula dua orang gurunya karena omongan wanita itu sungguh kasar dan kotor.

“Kalian adalah manusia-manusia busuk!” kata Gak Jit Kong yang segera menghunus pedangnya, diikuti oleh adik kembarnya.

“Bagus! Mari kita ramai-ramai basmi keturunan Pulau Es!” Bi-kwi berseru dan iapun menerjang maju disambut oleh sepasang pria kembar yang sudah memegang pedang masing-masing. Dan dalam gebrakan pertama, kedua orang she Gak itu terkejut bukan main. Mereka memang sudah menduga bahwa wanita ini tentu jahat dan juga amat lihai, akan tetapi tidak mereka sangka bahwa ketika pedang mereka bertemu dengan pedang Bi-kwi, mereka merasa betapa lengan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat dan ada hawa panas menyambar ke arah mereka melalui pedang di tangan gadis itu! Tahulah mereka bahwa gadis itu benar-benar amat lihai maka merekapun cepat mengurung dengan pengerahan tenaga dan kepandaian mereka. Segera terjadi perkelahian yang amat seru di antara Beng-san Siang-eng dan Ciong Siu Kwi atau Iblis Cantik itu.

Hui Lan juga segera merasakan ketangguhan lawannya. Sepasang golok lawannya bergerak menyambar-nyambar dari dua jurusan yang berlawanan, seperti hendak mengguntingnya dan ternyata si tinggi kurus bermuka pucat inipun memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat!

Boleh jadi Bi-kwi yang telah digembleng sejak kecil oleh tiga orang gurunya sekaligus kini telah menjadi seorang wanita yang lihai bukan main. Hampir seluruh ilmu dari Sam Kwi telah diresapinya dan ia memang memiliki bakat yang amat baik. Akan tetapi, kini ia melawan dua orang pria kembar yang masih cucu luar Majikan Pulau Es, maka segera ia mendapatkan kenyataan bahwa tidak akan mudah baginya untuk dapat mengalahkan dua orang pria kembar itu dan paling-paling hanya akan dapat mengimbangi ketangguhan mereka. Maka wanita itu lalu memberi aba-aba kepada pasukan Ang-i-mo itu untuk maju dan membantu!

Hui Lan merasa terkejut sekali. Baru melawan si tinggi kurus seorang diri saja sudah terasa berat, apa lagi kalau lawannya dibantu oleh anak buahnya yang amat banyak. Tidak disangkanya bahwa si baju merah itu dapat memainkan sepasang goloknya sedemikian lihainya. Ia tidak tahu bahwa Tee Kok itu adalah bekas anak buah Hek-i-mo (Iblis Pakaian Hitam), yaitu perkumpulan yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong, datuk besar kaum sesat yang duapuluh tahun lebih yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan. Hek-i-mo telah dihancurkan oleh para pendekar, terutama oleh para pendekar Pulau Es. Perkumpulan Hek-i-mo atau Hek-i Mo-pang sudah tidak ada, akan tetapi masih ada belasan orang anggauta yang dapat meloloskan diri, dipimpin oleh Tee Kok. Dia ini pernah menerima pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi langsung dari mendiang Hek-i Mo-ong, maka tentu saja ilmu silatnya cukup tinggi. Dan Tee Kok ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan lain yang diberi nama Ang-i Mo-pang dan semua anggautanya mengenakan pakaian seragam merah dan dia mengangkat diri menjadi ketuanya. Belasan tahun lamanya dia dan anak buahnya merajalela sampai pada suatu hari mereka berjumpa dengan Bi-kwi dan kalahkan oleh wanita cantik ini! Karena mereka itu segolongan maka ada kecocokan di antara mereka. Bi-kwi tidak membunuh mereka, bahkan meraih mereka menjadi teman dan anak buah.

Kini duapuluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang rentak bergerak mengepung, membantu Bi-kwi dan Tee Kok. Tentu saja Beng-san Siang-eng dan Hui Lan menjadi terkepung dan terdesak hebat. Mereka berada dalam keadaan gawat dan terancam sekali. Akan tetapi dengan semangat meluap-luap, guru dan murid ini melawan mati-matian dan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Lan dan dua orang gurunya itu, tiba-tiba terdengar suara suling melengking nyaring. Semua orang yang sedang berkelahi terkejut bukan main karena suara suling itu seperti menusuk telinga mereka dan langsung menyerang jantung sehingga jantung mereka terguncang. Bahkan beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah terpelanting jatuh dan mengeluh sambil menutupi kedua telinga mereka dengan tangan. Beng-san Siang-eng dan Souw Hui Lan juga cepat meloncat ke belakang, lalu mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi jantung mereka. Tidak terkecuali Bi-kwi dan Tee Kok yang juga terkena serangan suara melengking itu sehingga merekapun terpaksa meloncat ke belakang dan menengok ke arah suara suling seperti yang dilakukan semua orang yang berada di situ.

Kiranya yang mengeluarkan bunyi melengking menyakitkan jantung dan menusuk-nusuk anak telinga itu adalah Sim Houw. Pemuda itu kini sudah duduk bersila dan menyuling sambil memejamkan kedua matanya, mengerahkan khi-kang kuat sekali ke dalam tiupan sulingnya untuk membubarkan perkelahian yang tidak adil itu. Melihat suling berbentuk naga yang ditiup pemuda itu, Bi-kwi terkejut dan tak tertahan lagi ia berteriak, “Suling Naga!”

Semua orang terkejut mendengar teriakan ini, termasuk Hui Lan dan dua orang gurunya. Merekapun memandang ke arah Sim Houw dengan perasaan tegang dan penuh keheranan. Mendengar teriakan ini, Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan membuka matanya lalu bangkit berdiri. Suling itu masih dipegangnya, dipegang pada bagian ekor naga seperti kalau menyuling.

Bi-kwi sudah dapat menekan guncangan hatinya. Ia melangkah maju menghampiri Sim Houw, pandang matanya tajam penuh selidik, wajahnya berseri karena ada rasa girang di dalam hatinya bahwa akhirnya ia dapat berhadapan dengan orang yang telah menerima Liong-siauw-kiam dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Suara suling yang menusuk telinga dan mengguncangkan jantungnya tadi dianggapnya sebagai keampuhan suling itu, bukan karena peniupnya yang memiliki kepandaian tinggi. Bi-kwi termasuk orang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan selalu meremehkan orang lain. Ia sudah mendapat gambaran yang jelas dari Sam Kwi tentang macamnya Pedang Suling Naga, maka melihat suling di tangan pemuda itu ia tidak merasa ragu lagi.

“Hemm, jadi engkau inikah yang berjuluk Pendekar Suling Naga? Engkaukah orangnya yang menerima suling pusaka itu dari tangan mendiang Pek-bin Lo-sian di Himalaya?” tanya Bi-kwi dengan suara lantang. Pertanyaan ini menarik perhatian semua orang yang berada di situ sehingga mereka semua seakan-akan telah lupa akan perkelahian tadi dan semua orang memandang kepada Sim Houw.

Sim Houw mengamati suling di tangannya dan alisnya berkerut. “Benar, akan tetapi tidak kusanga bahwa Pek-bin Lo-sian telah meninggal dunia.”

“Siapa namamu?” Tiba-tiba Bi-kwi bertanya sambil menatap wajah yang tampan itu.

“Aku she Sim bernama Houw, dan secara kebetulan saja Pek-bin Lo-sian memberikan suling ini kepadaku dengan suka rela. Mengapa engkau mencari-cari aku?”

“Orang she Sim, dengarlah baik-baik. Lion siauw-kiam itu adalah milik nenek moyang tiga orang guruku yang dikenal dengan julukan Sam Kwi. Pek-bin Lo-sian adalah susiok-kongku sendiri. Orang tua yang tak tahu diri itu secara lancang telah memberikan pusaka keluarga perguruan guru-guruku kepada engkau, seorang asing. Karena itu, dia layak mati di tanganku. Sekarang, serahkan pusaka itu kembali kepadaku yang berhak memilikinya, dan baru aku akan mempertimbangkan apakah engkau harus dibunuh ataukah tidak.”

Diam-diam Sim Houw terkejut dan marah. Kiranya kakek itu telah dibunuh oleh wanita kejam itu dan tentu saja dia sudah mendengar tentang Su Kwi. Justeru karena tidak ingin pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, murid-murid keponakan Pek-bin Lo-sian itu, maka kakek itu memberikan pusaka itu kepadanya dan berpesan agar dia berhati-hati menghadapi Sam Kwi. Sekarang murid dari Tiga Iblis itu telah muncul dan memang benar gadis ini memiliki kepandaian yang tinggi, belum lagi duapuluh empat orang pembantunya itu.

“Bi-kwi, julukanmu itu tepat sekali. Memang engkau cantik, akan tetapi watakmu seperti iblis yang kejam. Engkau Iblis Cantik bahkan telah membunuh susiok-couw sendiri. Pusaka ini diberikan kepadaku oleh mendiang Pek-bin Lo-sian memang dengan maksud agar jangan sampai terjatuh ke tangan Sam Kwi. Aku menerimanya dari Pek-bin Lo-sian dan hanya kakek itu seorang yang berhak memintanya dari tanganku. Baik engkau, maupun Sam Kwi tidak berhak.”

“Keparat, berani engkau menentang Bi-kwi?” bentak Bi-kwi dan pedang di tangannya tergetar sampai mengeluarkan suara berdengung.

“Ciong Siocia, biar kurebutkan pusaka itu untukmu!” Teriak Tee Kok dan pria tinggi kurus bermuka pucat ini sudah menerjang maju, sepasang goloknya membuat gerakan bersilang, yang satu membacok ke arah pergelangan tangan Sim Houw yang memegang suling sedangkan yang ke dua menyambar ke arah pundak kiri pemuda itu. Sungguh merupakan serangan maut yang berbahaya, sekaligus hendak merampas suling dengan membacok tangan kanan lawan ambil berusaha membunuhnya!

Akan tetapi, Sim Houw kelihatan tenang saja menghadapi serangan maut ini. Dengan sedikit gerakan tubuh dan geseran kaki, dua serangan itu telah meluncur lewat dan mengenai tempat kosong, dan di detik berikutnya, ujung suling itu telah membalik di tangannya, kini yang dipegangnya adalah bagian kepala suling naga yang menjadi gagangnya dan kini ekor naga itu yang merupakan ujung mata pedang telah menusuk ke arah paha Tee Kok dengan kecepatan kilat. Tee Kok terkejut dan cepat menarik kakinya, akan tetapi pada saat itu, angin keras menyambar dan ternyata angin itu keluar dari lengan baju kiri Sim Houw yang sudah menyusulkan tamparan ke arah kepala lawan. Tee Kok mengelebatkan goloknya yang kanan untuk membacok tangan kiri lawan,akan tetapi kembali tangan itu mengelak dan melanjutkan serangan dengan totokan jari ke arah dada.

“Eh....!” Tee Kox terkejut sekali. Demikian cepat gerakan lawan sehingga dalam segebrakan saja dia sudah dihujani serangan. Sebagai bekas murid mendiang Hek-I Mo-ong yang lihai tentu saja dia masih dapat menghindarkan diri diri totokan itu degnan cara meloncat ke belakang. Kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa yang dihadapinya adalah seorang lawan yang amat tangguh. Dia mengeluarkan suara menggereng dan kedua goloknya diputar-putar membentuk dua lingkaran sinar bergulung-gulung yang menyerang ke arah Sim Houw. Karena agaknya kini sadar akan kelihaian lawan, Tee Kok mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus ilmu sepasang goloknya yang paling ampuh. Untuk dapat merebut suling pusaka itu seperti yang dijanjikannya kepada Bi-kwi, dia harus terlebih dahulu dapat membunuh pemuda ini.

“Hemm,” Sim Houw mengeluarkan seruan dari hidungnya dan tiba-tiba sulingnya itu mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup ketika dia memutarnya. Mendengar suara melengking tajam ini, entah bagaimana tahu-tahu dua gulungan sinar golok itu terhenti sebentar seperti tertahan sesuatu dan saat itu, ujung ekor suling naga telah meluncur dan menusuk ke arah Tee Kok, tepat di antara kedua matanya. Tee Kok mengeluh kaget dan sepasang goloknya bergerak ke depan untuk menangkis dan menggunting suling lawan, akan tetapi suling itu telah bergerak ke belakang dan pada saat yang sama, sebuah tendangan mengenai dada Tee Kok.

“Bukk!” Tee Kok tidak melihat datangnya tendangan ini karena tadi matanya terancam tusukan pedang suling sehingga seluruh perhatiannya tercurah untuk menyelamatkan kedua matanya. Kini tendangan itu mengenai dadanya yang sudah dilindungi dengan kekebalan, akan tetapi tetap saja tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Tee Kok merasa betapa tulang pinggulnya seperti remuk, akan terapi dia sudah dapat terus bergulingan seperti seekor trenggiling dan sudah meloncat bangun lagi dengan muka semakin pucat dan mata berapi-api.

Tentu saja Hui Lan dan dua orang gurunya terkejut bukan main, terkejut dan penuh rasa kagum. Pemuda tukang suling yang tadinya mereka pandang rendah, mereka remehkan sebagai seorang pemuda lemah, ternyata dalam dua tiga gebrakan saja mampu menendang jatuh Tee Kok yang tadi dirasakan sebagai lawan yang amat tangguh oleh Hui Lan. Gadis ini teringat betapa tadi ia pernah mendorong Sim Houw sampai terguling-guling dan teringat akan hal itu, mukanya berobah merah sekali. Tahulah ia kini bahwa tadi Sim Houw hanya berpura-pura saja dan baru sekarang terpaksa pemuda itu memperkenalkan diri hanya karena melihat ia dan dua orang gurunya tadi terancam bahaya maut.

Sementara itu, melihat mereka berkelahi dalam dua tiga gebrakan saja dan melihat pembantunya tertendang roboh, Bi-kwi juga terkejut. Baru terbuka matanya bahwa pemuda yang menerima benda pusaka itu, yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga, ternyata adalah seorang yang amat lihai. Ia mengenal tingkat kepandaian Tee Kok yang pernah dikalahkannya itu. Cukup tangguh. Ia serdiri baru akan mampu mengalahkan Tee Kok setelah bertanding sedikitnya limapuluh jurus. Akan tetapi pemuda ini dalam tiga gebrakan saja sudah mampu membuat pembantunya itu terjatuh.

“Kembalikan Liong-siauw-kiam kepadaku!” bentaknya dan Bwi-kwi juga menerjang ke depan, menyerang Sim Houw untuk membantu Tee Kok yang sudah siap pula dengan sepasang goloknya. Melihat betapa Bi-kwi yang diandalkan itu maju, besarlah hati Tee Kok dan diapun sudah maju lagi, memutar sepasang goloknya mengeroyok Sim Houw. Akan tetapi tiba-tiba badan pemuda itu lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang terbungkus gulungan sinar hitam dari sulingnya. Dan dari dalam gulungan sinar itu muncul suara berdengung-dengung dan melengking-lengking yang membuat dua orang pengeroyoknya terpaksa harus mengerahkan sin-kang, kalau tidak mau roboh oleh serangan suara mujijat itu. Terjadilah perkelahian yang amat menarik. Hui Lan dan dua orang gurunya terbelalak penuh kagum dan ketegangan. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu sedemikian lihainya sehingga akan mampu menghadapi pengeroyokan dua orang tangguh itu. Padahal tadi, dikeroyok oleh Beng-san Siang-eng saja, Bi-kwi dapat menandinginya tanpa merasa kewalahan. Dan ini, wanita sakti itu bersama pembantunya yang lihai pula, mengeroyok Sim Houw!

Begitu Bi-kwi memasuki gelanggang perkelahian, Sim Houw terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya. Suara sulingnya semakin dahsyat, gerakannya semakin cepat dan tiba-tiba terdengar suara nyaring ketika suling itu menghantam pedang Bi-kwi dilanjutkan dengan menangkis sepasang golok Tee Kok. Suara nyaring itu disusul teriakan kaget dua orang pengeroyok itu dan Semua orang yang melihat perkelahian itu menjadi terheran-heran melihat betapa Bi-kwi terhuyung ke belakang sampailima langkah sedangkan Tee Kok untuk kedua kalinya terjengkang dan terbanting keras! Padahal, perkelahian itu baru berlangsung paling banyak limabelas jurus saja.

Hampir berbareng, Bi-kwi dan Tee Kok mengeluarkan seruan rahasia dan duapuluh tiga orang anak buah Tee Kok itu serentak maju mengeroyok, dipimpin oleh Bi-kwi dan Tee Kok yang sudah menyerang lagi.

Sepasang saudara kembar Gak saling pandang dengan penuh keheranan. Baru sekarang ini mereka menyaksikan kepandaian yang demikian hebatnya seperti yang dimiliki pemuda itu. Akan tetapi melihat betapa kini semua anak buah pasukan baju merah itu maju mengeroyok, mereka menjadi marah.

“Manusia-manusia curang!” bentak Gak Kong dan bersama adik kembanya diapun menerjang ke depan, diikuti pula oleh Souw Hui Lan. Mereka bertiga mengamuk di antara duapuluh tiga orang anak buah Ang-i Mo-pang sehingga mereka tidak memperoleh kesempatan mengeroyok Sim Hou yang sudah dikeroyok lagi oleh Bi-kwi dan Tee Kok.

Belasan di antara duapuluh tiga anggauta Ang-i Mo-pang itu adalah bekas anak buah Hek-i Mo-pang yang sudah biasa berkelahi, banyak pengalaman, lihai dan kejam. Akan tetapi kini mereka diamuk oleh tiga orang ahli silat keturunan keluarga Pulau Es, maka rusaklah pertahanan mereka dan mereka dibikin kocar-kacir oleh tiga batang pedang yang bergerak cepat dan amat kuat itu. Dalam waktu tidak terlalu lama, sudah ada beberapa orang di antara mereka roboh dan terluka, bahkan ada pula yang tewas.

Sementara itu, karena tidak memperoleh bantuan anak buahnya yang diamuk Hui Lan dan dua orang gurunya, Bi-kwi dan Tee Kok kembali terdesak hebat oleh pedang suling di tangan Sim Houw. Untung bagi mereka bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar yang berhati lembut sehingga tidak tega untuk membunuh dua orang yang sebetulnya bukan musuhnya itu. Dia hanya mempermainkan mereka dengan pukulan-pukulan suling yang tidak sampai membuat mereka terluka parah atau sampai tewas. Kini Bi-kwimelihat jelas bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, ia akan menderita kekalahan, terluka parah atau mungkin juga akan tewas. Ia tidak perduli apa yang akan terjadi dengan para pembantunya. Orang seperti Bi-kwi ini tidak pernah memusingkan keadaan orang lain. Yang terpenting adalah dirinya sendiri. Kalau ia selamat, masa bodoh dengan orang lain. Maka, gadis yang cerdik ini segera mengambil keputusan sebelum terlambat. Pedang suling di tangan Sim Houw sungguh hebat bukan main. Gerakannya aneh dan dahsyat, mengandung tenaga mujijat dan terutama sekali suara melengking-lengking dan mengaum-ngaum itu membingungkan hatinya.

“Aku pergi dulu! Lain waktu masih banyak kesempatan untuk membunuh Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pusaka itu!” Setelah berkata demikian, wanita itu meloncat jauh ke kiri dan melarikan diri lenyap di antara pohon-pohon. Melihat ini, Tee Kok terkejut bukan main. Kekagetannya membuat dia lengah dan sebuah tendangan mengenai pahanya dan sinar hitam menyentuh pundaknya. Tubuhnya terpental dan dia roboh terbanting, lalu bangkit lagi dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.

“Kita pergi....!”

Dia sendiri lalu terpincang-pincang melarikan diri. Golok kirinya lenyap dan lengan kirinya sengkleh (lumpuh terkulai) karena tulang pundaknya retak-retak terkena pukulan suling. Anak buahnya yang sejak tadi memang sudah merasa gentar menghadapi amukan gadis dan dua orang gurunya itu, begitu mendapatkan aba-aba, cepat menyambar tubuh teman yang luka atau tewas, berbondong-bondong melarikan diri dari tempat itu. Sim Houw, Hui Lan, dan Beng-san Siang-eng hanya memandang saja dan tidak melakukan pengejaran. Sedikitnya ada enam orang pengeroyok yang tewas dan banyak yang luka-luka.

Setelah semua penyerbu itu lenyap dari pandangan dan tidak terdengar suara mereka lagi, barulah dua orang saudara kembar itu menghadapi Sim Houw dan menjura dengan sikap hormat. “Ah, kiranya engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Terima kasih atas pertolongan Sim-taihiap kepada kami bertiga....“

Sim Houw cepat-cepat memberi hormat. “Ah, ji-wi locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Mereka itu memang mengejar dan mencari saya. Ketika tadi aku dikeroyok, bahkan sam-wi yang telah membantu saya. Maaf kalau saya bersikap kurang hormat kepada ji-wi locianpwe yang ternyata adalah keluarga para pendekar Pulau Es yang saya kagumi dan hormati.”

“Sim-taihiap terlalu merendahkan diri. Ilmu silatmu sungguh membuat kami merasa kagum sekali. Gerakan pedang suling yang seperti amukan naga itu sungguh dahsyat dan juga lengkingan suara suling itu benar-benar merupakan kekuatan khi-kang yang sudah mencapai puncaknya. Kemahiranmu bermain suling mengingatkan kami akan seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Suling Emas Kam Hong. Hanya dialah yang kabarnya memiliki khi-kang seperti yang telah kauperlihatkan tadi.”

“Dia adalah guru saya.”

“Ah, pantas! Dan gerakan ilmu pedangmu yang seperti naga mengamuk itu mengingatkan kami akan cerita orang tentang Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hanya dimiliki oleh pendekar Sim Hong Bu dari Lembah Gunung Naga Siluman....”

“Dia adalah mendiang ayah saya.”

Dua orang saudara kembar itu menjadi girang sekali. “Kiranya begitu? Ah, kalau begitu di antara kita terdapat hubungan yang cukup erat. Bukankah engkau mengenal baik anak paman-paman kami, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong?”

Sim Houw tersenyum dan mengangguk. Tentu saja! Bahkan wanita yang kini menjadi isteri pendekar Suma Ceng Liong, yaitu Kam Bi Eng, pernah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya. Akan tetapi Bi Eng mencinta Ceng Liong dan melihat kenyataan ini, dengan hati rela dia mundur, sesuai dengan anjuran mendiang ayahnya yang bijaksana.

“Locianpwe, kalau boleh saya bertanya, urusan apakah yang membuat orang orang Bu-tong-pai tadi datang memusuhi sam-wi? Menurut pendengaran saya, orang-orang Bu-tong-pai biasanya adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, maka amat mengherankan kalau di antara sam-wi dan mereka terjadi bentrokan dan permusuhan.”

Dua orang pria kembar itu saling pandang dengan Hui Lan. Wajah gadis ini berobah merah sekali dan ia menundukkan mukanya. Gak Jit Kong lalu berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. “Semua itu timbul karena pibu dalam pinangan.” Dan diapun berhenti, agaknya ragu-ragu untuk melanjutkan.

Sim Houw tadi sudah mendengarkan percakapan antara Bu-tong Ngo-lo dan tiga orang ini dan dia sudah menduga-duga, akan tetapi belum yakin benar dan hatinya merasa amat tertarik. “Pibu dalam pinangan? Apa artinya itu, locianpwe?”

Kembali Gak Jit Kong menarik napas panjang sebelum menjawab. “Sudah kurang lebih tiga tahun, semenjak datangnya lamaran-lamaran terhadap diri murid kami yang sudah mulai dewasa, kami mengadakan semacam sayembara, yaitu, calon suami murid kami haruslah seorang pendekar yang mampu mengalahkannya dan juga dari keluarga yang mampu mengalahkan kami. Kami berpendapat bahwa hanya seorang pemuda yang benar-benar lihai sajalah yang akan dapat menjadi jodoh yang cocok dan dapat membahagiakan murid kami. Dan dalam pibu itu, tentu saja tak dapat dicegah jatuhnya korban di antara mereka, dan satu di antara korban itu adalah seorang pemuda Bu-tong-pai dan susioknya.”

Sim Houw tadi sudah melihat sikap Hui Lan yang manja dan angkuh, juga bertangan kejam, maka kini dia mengerutkan alisnya. Dua orang saudara kembar ini walaupun telah berhasil menggembleng muridnya dengan ilmu silat tinggi, akan tetapi agaknya gagal dalam mendidiknya. Diapun menarik napas panjang, teringat akan keadaan dirinya sendiri, akan tali perjodohannya yang putus.

“Maaf, ji-wi locianpwe. Akan tetapi, saya kira perjodohan hanya akan mendatangkan kebahagiaan kalau didasari cinta kedua pihak saja. Tanpa cinta, perjodohan itu tentu akan gagal. Kepandaian atau kedudukan tinggi, harta yang besar, tidak menjamin terciptanya kerukunan dalam perjodohan. Kenapa ji-wi hendak memaksakan hal itu? Bukankah perjodohan itu baru dapat berlangsung dengan baik kalau dilandasi cinta kasih dan niat dari kedua pihak saja? Maafkan kelancangan kata-kata saya, locianpwe, saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi ji-wi dan nona. Selamat tinggal, saya harus melanjutkan perjalanan saya.” Setelah berkata demikian, Sim Houw memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menggunakan ilmunya untuk meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Gak Jit Kong, Gak Goat Kong, dan Souw Hui Lan berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah perginya pemuda perkasa itu. Ucapan pemuda itu seperti masih terngiang dalam telinga mereka. Mereka lalu saling pandang dan menundukkan muka.

“Pemuda itu berkata benar.” Akhirnya Hui Lan berkata halus. “Perjodohan hanya dapat mendatangkan kebahagiaan kalau berlandaskan cinta kedua pihak. Ji-wi suhu dan aku telah menipu dan menyiksa diri sendiri. Untung belum muncul seorang peminang yang memiliki kepandaian seperti Sim Houw itu, kalau sampai kita dikalahkan dan aku terpaksa menjadi jodoh orang lain, bukankah kita bertiga akan menderita batin semua? Suhu, kita tidak perlu menipu diri lagi, tidak perlu berpura-pura lagi....“

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong saling pandang dan muka mereka berobah menjadi merah sekali, sinar mata merekapun membayangkan kegugupan.

“Hui Lan, apa maksudmu....?” Gak Jit Kong bertanya lirih.

“Suhu berdua secara mati-matian mempertahankan diriku, dengan dalih mencarikan jodoh yang berilmu tinggi, sebenarnya menentang agar tidak ada orang yang lulus ujian atau menang sayembara. Suhu berdua tidak ingin melihat aku menjadi jodoh orang lain. Hal itu hanya berarti bahwa suhu berdua cinta kepadaku.”

“Hui Lan....!” Gak Goat Kong berseru.

“Hui Lan, tentu saja kami cinta padamu, sayang kepadamu karena engkau adalah murid tunggal kami yang kami sayang seperti anak kami sendiri.” Gak Jit Kong berseru pula.

“Tadinya memang begitu, akan tetapi cinta itu lambat laun berobah, mengalami bentuknya yang asli. Tidak perlu suhu berdua menyangkal lagi. Aku adalah seorang wanita dan naluriku membisikkan cinta kasih suhu berdua itu. Mulanya aku memang tidak menyangka demikian, hanya seringkali termenung dan menduga-duga. Akan tetapi sekarang, setelah muncul Sim Houw tadi, aku tahu dan aku yakin.”

“Hui Lan, jangan mengira orang tidak-tidak! Kami adalah guru-gurumu, mana mungkin....“ kata pula Gak Goat Kong, seperti juga kakak kembarnya, mukanya tiba-tiba menjadi pucat dan matanya terbelalak.

“Mengapa tidak mungkin? Suhu berdua adalah pria sejati, dan aku hanya seorang wanita. Dan sekarang aku makin yakin lagi bahwa aku.... sesungguhnya akupun tidak menghendaki menjadi isteri siapapun juga karena aku.... akupun sejak dahulu cinta kepada ji-wi suhu....”

“Hui Lan....!” Kini dua orang kembar itu berteriak secara berbareng.

Namun Hui Lan tidak perduli lagi. “ Ya-ya-ya, aku cinta kepada ji-wi suhu. Sejak masih kecil, aku cinta kepada ji-wi suhu. Mungkin tadinya seperti cinta seorang anak terhadap orang tuanya, seperti adik terhadap kakak, seperti murid terhadap guru. Akan tetapi setelah aku dewasa.... aku yakin tidak ada manusia lain di dunia ini yang akan dapat kucinta seperti aku mencinta ji-wi. Aku hanya mempunyai ji-wi di dunia ini, sebagai guru, sebagai saudara, sebagai ayah ibu, sebagai teman dan.... sebagai orang yang akan kutemani selama hidupku. Aku tidak akan dapat meninggalkan ji-wi, tidak mungkin menjadi isteri orang lain, dan demikian juga perasaan ji-wi terhadap diriku. Ji-wi suhu, kenapa kita harus berpura-pura lagi, menipu dan mempermainkan diri sendiri?” Dan gadis itu kini menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu menangis!

Dua orang kembar itu saling pandang dengan muka pucat, lalu mereka memandang ke arah Hui Lan yang berlutut dan tunduk menangis, pundaknya terguncang, isak tangis keluar dari muka yang ditutupi.

Dan dua orang kembar itupun mengusap beberapa butir air mata dari pelupuk mata mereka. Hati mereka seperti dikupas dan ditelanjangi oleh murid mereka. Mereka saling pandang dan tahu bahwa semua yang dikatakan Hui Lan itu benar adanya. Dan mengertilah sekarang mereka mengapa selama ini mereka tidak mau melihat gadis lain, tidak mau memikirkan tentang perjodohan mereka. Cinta mereka terhadap Hui Lan bertumbuh bersama dengan tumbuhnya anak perempuan berusia empat tahun itu sampai kini Hui Lan menjadi seorang gadis dewasa berusia duapuluh tahun. Cinta mereka tumbuh dan menjadi pohon yang kokoh kuat, berakar dalam-dalam di hati mereka. Oleh karena itu mereka takut kehilangan Hui Lan. Untuk menyatakan terus terang, mereka tentu saja merasa tidak enak hati, malu dan tidak berani. Akan tetapi mereka tanpa lebih dulu berunding telah mengambil keputusan untuk menentang siapa saja yang mau menjadi suami Hui Lan, dengan jalan mengadakan syarat dan sayembara yang berat itu. Dan terhadap setiap orang pria yang mencoba untuk memasuki sayembara, meminang Hui Lan, timbul rasa cemburu, benci yang mendorong mereka bersikap keras mengalahkan orang-orang itu!

“Tapi.... tapi, Hui Lan....“ Gak Jit Kong mencoba untuk membantah dengan muka pucat dan suara gemetar. “Bagaimana mungkin ini? Kata-katamu membuka rahasia yang terpendam paling dalam di lubuk hati kami.... dan kami mengaku.... memang kami amat mencintamu.... kami tidak menghendaki kehilangan engkau kalau engkau menjadi isteri orang lain. Tapi di samping itu, kami juga melihat betapa tidak mungkinnya.... bukan hanya karena engkau adalah murid kami, akan tetapi.... kami adalah dua orang dan engkau....“ Gak Jit Kong tidak berani melanjutkan dan agaknya untuk mencari kekuatan, tanpa disadarinya tangan kanannya mencari dan menggenggam tangan kanan adik kembarnya. Dan tangan yang saling genggam itu seolah-olah saling mencari bantuan dan mereka menggigil.

Sejenak Hui Lan masih sesenggukan, kemudian ia mengeraskan hatinya dan mengusap air matanya. Ketika ia melepaskan kedua tangan dan mengangkat muka memandang kepada suhu-suhunya, wajahnya juga nampak pucat dan kedua matanya merah basah. “Ji-wi suhu, aku kini berpegang kepada ucapan Sim Houw tadi. Bahwa perjodohan harus berlandaskan cinta kasih antara kedua pihak. Kalau ada cinta kasih antara kedua pihak, apa lagi yang tidak mungkin? Kita saling mencinta, hal ini kita sudah sama merasa yakin akan kebenarannya. Dan tentang ji-wi berdua, bagiku hanya merupakan dua tubuh akan tetapi dengan hati, pikiran dan perasaan yang satu. Bagiku, ji-wi bukanlah berdua, melainkan satu. Tidak ada bedanya antara satu dengan yang lain. Dan aku.... aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau berada di antara ji-wi, kalau selalu berdekatan dengan ji-wi.”

Dua orang kembar itu saling pandang, dengan dua tangan kanan masih saling genggam.

“Akan tetapi.... kita.... akan menjadi.... bahan tertawaan dan pergunjingan orang....“

Melihat betapa dua orang suhunya itu kini hanya mencari alasan yang lemah saja, Hui Lan tersenyum melalui air matanya. Ia lalu bangkit berdiri, dengan lembut memegang dua tangan yang saling genggam itu, melepaskan genggaman, kemudian ia menggandeng tangan kedua orang suhunya, Gak Jit Kong di sebelah kanannya dan Gak Goat Kong di sebelah kirinya, lalu ia mengajak dua orang itu berjalan perlahan.

“Marilah kita pulang, suhu. Omongan orang lain.... ada sangkut-paut apakah dengan kehidupan kita? Kita sendirilah yang tahu bagaimana seharusnya dan sebaiknya bagi kehidupan kita sendiri, bukan? Mari kita bicarakan hal penting ini di rumah. Mulai sekarang kita tidak boleh menerima pinangan orang lain lagi. Aku akan mengatakan bahwa sekarang aku telah memperoleh jodoh, dan bahwa aku adalah calon isteri suhu berdua.”

Dua orang pria kembar itu masih termangu-mangu, akan tetapi senyum kebahagiaan mulai mekar di mulut mereka. Kini mereka tahu bahwa inilah yang selama ini mereka cari dan harapkan, yaitu hidup bersama Hui Lan, bertiga, tak pernah berpisah lagi. Inilah yang membuat mereka kadang-kadang gelisah di tengah malam, membuat mereka menjadi pemarah dan pembenci orang yang datang melamar, membuat mereka bahkan kejam melukai dan membunuh orang. Kini seolah-olah ganjalan yang selama bertahun-tahun menindih batin mereka telah dilepaskan dan mereka merasa dada mereka begitu lapang, begitu ringan, begitu bahagia!

“Engkau benar, Hui Lan. Dengan bertiga, kita sanggap menghadapi apapun juga,” kata Jit Kong.

“Kita akan pergi menghadap ayah ibu, kita harus berterus terang,” kata pula Goat Kong.

Sejenak kemudian, dengan hati-hati Jit Kong berkata lagi, “Hui Lan, sudah yakin benarkah hatimu?

Hui Lan menoleh ke kanan. pandang matanya memancarkan ketulusan hati. “Aku yakin benar, apakah suhu masih belum yakin seperti aku?”

“Aku.... kami sudah yakin tentang cinta kasih antara kita, dan ketulusan hatimu, kebulatan tekadmu, membuat kami berani dan bersemangat. Hanya ada satu hal yang masih meragukan kami....“

Hui Lan membelalakkan matanya dan menoleh ke kiri, melihat betapa Gak Goat Kong juga mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kakak kembarnya. “Ji-wi masih ragu lagi? Apa lagi yang diragukan?”

“Hui Lan, kami berdua adalah laki-laki yang tidak muda lagi. Kami berusia empatpuluh tahun sedangkan engkau.... engkau baru duapuluh tahun, pantas menjadi anak kami....“

“Suhu!” Hui Lan berseru penuh rasa penasaran. “Cinta kasih tidak memandang umur, tidak memandang kepandaian, kedudukan atau harta. Cinta kasih adalah urusan hati kedua pihak. Umur tidak masuk hitungan.”

Jawaban ini agaknya melegakan hati dua orang pria kembar itu dan mereka bergandeng tangan dengan wajah berseri-seri, menuju ke pondok mereka, untuk membicarakan urusan mereka itu dengan lebih mendalam lagi.

Cinta kasih adalah sesuatu yang ajaib, penuh rahasia. Tidak mungkin menggambarkan bahwa cinta kasih itu begini, atau begitu. Tidak dapatdirumuskan . Tidak dapat menilai cinta kasih seseorang. Hanya orang itu sendiri yang dapat merasakannya. Cinta kasih yang hinggap di hati manusia adalah cinta kasih yang tidak terpisahkan dari nafsu berahi. Tak dapat disangkal pula bahwa cinta kasih antara pria dan wanita mengandung kemesraan sexuil, suatu hal yang wajar karena daya tarik alami antara keduanya ini amat dibutuhkan untuk sarana pembiakan. Karena tak terpisahkan dari nafsu berahi yang membutuhkan kemesraan, maka di dalam cinta kasih yang biasa disebut asmara ini terdapat pula cemburu, terdapat pula perasaan ingin memberi, ingin diberi, mencinta dan dicinta, ingin menguasai dan dikuasai, memonopoli dan dimonopoli, ada pula perasaan iba, dan kesemuanya ini tentu saja menimbulkan tawa dan tangis, puas dan kecewa, juga penderitaan batin. Anehnya, penderitaan cinta kasih kadang-kadang terasa seperti indah, kadang-kadang yang paling buruk, dan agaknya hidup menjadi hampa tanpa adanya cinta yang sesungguhnya adalah cinta berahi, yang sesungguhnya hanyalah pelarian manusia karena takut akan kekosongan hati, takut akan kesepian, takut akan kehilangan pegangan, takut karena merasa hidup tidak ada artinya, maka ingin mengisinya dengan cinta berahi. Juga karena dorongan naluri badaniah.

Perasaan dua saudara kembar Gak itu tumbuh dari rasa iba terhadap seorang anak perempuan cilik, berusia empat tahun yang hidup sebatang kara. Rasa iba ini menjadi rasa sayang karena anak itu amat menyenangkan hati, berbakat baik dalam ilmu silat dan menjadi penawar rasa kesepian mereka, mengikatkan mereka karena mereka merasa mempunyai seseorang yang patut disayang. Rasa sayang terhadap seorang anak kecil! Akan tetapi karena anak kecil itu adalah anak perempuan, ketika anak itu tumbuh menjadi semakin besar, rasa sayang itupun bertumbuh dan berobah, terdorong oleh naluri badani, oleh nafsu berahi yang ditekan-tekan. Ikatan di batin menjadi semakin kuat dan dua orang itu tidak berani lagi menghadapi kenyataan bahwa mereka akan saling berpisah kalau anak itu menjadi dewasa dan menjadi isteri orang lain. Rasa sayang menjadi bertambah besar dan berobah menjadi cinta seorang pria terhadap seorang wanita.

Cinta asmara tak dapat disangkal lagi mengandung nafsu berahi, namun cinta bukanlah nafsu berahi semata! Karena cinta asmara sarat dengan Im dan Yang, penuh dengan hawa-hawa yang saling bertentangan, maka dapat melahirkan tawa atau suka dan duka, puas dan kecewa. Dapat menimbulkan cemburu, iri, dengki, dendam dan benci. Dapat pula menimbulkan iba, mesra, sabar, toleransi dan kesetiaan!

Betapapun juga, dapat kita lihat bahwa cinta asmara memegang peran terpenting, bahkan menguasai kehidupan seluruh manusia di permukaan bumi ini! Bayangkan saja apa akan jadinya kalau hidup ini tanpa cinta asmara! Dunia akan terasa lenggang, dan hubungan antara pria dan wanita, hubungan yang menjamin perkembangbiakan manusia, akan tidak ada artinya sama sekali, seperti hubungan antara binatang. Karena itu, hubungan sexuil baru dapat dianggap sebagai suatu hal yang suci kalau di situ disertai dua buah hati yang saling mencinta! Bukan sekedar dua hati yang dibuai oleh nafsu berahi semata.

Cinta asmara yang tumbuh dalam hati Hui Lan juga merupakan hal yang tidak terlalu aneh. Sejak berusia empat tahun, anak ini hidup bersama Beng-san Siang-eng. Ia terhindar dari malapetaka, melihat bagaimana keluarganya terbasmi dan betapa dirinya diselamatkan oleh dua orang pria itu. Ia hidup dan tumbuh bersama dua orang pria yang amat menyayangnya. Dua orang pria itu merupakan guru-gurunya, juga pengganti orang tua, sahabat-sahabatnya, dan hal ini menggugah perasaan kewanitaannya yang halus, yang selalu haus akan kasih sayang, yang ingin dimanja, yang ingin dikuasai. Semua ini didapatinya dalam diri dua orang pria itu, maka tidaklah aneh kalau lambat laun ia jatuh cinta kepada dua orang gurunya yang dianggap sebagai satu orang dengan dua tubuh itu. Mungkin juga keadaan yang istimewa, menjadi isteri dari dua orang yang serupa badan dan batinnya, keanehan dan hal yang takkan dirasakan wanita lain, menggugah pula rasa ingin tahunya, menggugah gairahnya dan yang akan dijadikan sumber kebanggaannya.

***

Pagi itu matahari bersinar cerah sekali, tanpa adanya pengganggu berupa awan di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Thai-san. Puncak yang ini amat sunyi, bahkan dianggap sebagai tempat yang gawat dan berbahaya oleh para pemburu binatang sehingga sudah bertahun-tahun lamanya tidak ada pemburu yang berani mendaki puncak ini. Puncak yang pada akhir-akhir ini dikenal sebagai puncak maut karena banyak sudah para pemburu yang kedapatan tewas dan mayat-mayat mereka dilempar ke bawah puncak. Menurut kepercayaan pera pemburu dan para penghuni dusun-dusun di sekitar Pegunungan Thai-san, puncak itu dihuni oleh iblis-iblis jahat dan binatang-binatang buas yang amat kuat. Akan tetapi, orang-orang kang-ouw dapat menduga bahwa di puncak itu tentu tinggal datuk-datuk sesat yang berilmu tinggi dan yang menganggap puncak itu sebagai miliknya dan tidak mau diganggu orang lain.

Dugaan para ahli silat di dunia kang-ouw yang tidak mudah percaya akan cerita-cerita tahyul ini memang tepat sekali. Puncak itu menjadi tempat pertapaan Sam Kwi dan dua orang muridnya. Semenjak murid pertama mereka, yaitu Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), pulang dengan lapopran yang amat mengecewakan bahwa murid pertama yang amat diandalkan itu kalah oleh Pendekar Suling Naga, tiga orang kakek itu merasa prihatin sekali. Mereka telah mewariskan semua ilmu mereka yang paling tinggi kepada Bi-kwi, dan gadis yang boleh dikatakan memiliki bakat yang besar itu kini boleh dibilang tak kalah lihai dibandingkan dengan mereka. Akan tetapi, Bi-kwi kalah jauh, demikian menurut pelaporan murid itu. Bi-kwi merengek kepada tiga orang kekasihnya itu agar mereka suka mengajarkan ilmu baru yang lebih hebat agar ia dapat kelak mencari Pendekar Suling Naga untuk membalas kekalahannya dan merampas pusaka Suling Naga.

Tiga orang kakek itu menghela napas kehabisan akal dan Im-kan-kwi atau Iblis Akhirat itu berkata, “Bi-kwi, ilmu apa lagi yang dapat kami ajarkan kepadamu? Raja Iblis Hitam sudah menurunkan Hek-wan Sip-pat-ciang kepadamu, ilmunya yang paling akhir. Aku sendiri sudah mengajarkan Toat-beng Hui-to, golok terbang pencabut nyawa itu, dan Iblis Mayat Hidup sudah mengajarkan Hun-kin Tok-ciang yang hebat itu. Kalau dengan ilmu-ilmu itu kau masih kalah, lalu ilmu apa lagi yang dapat kaupelajari?”

“Tentu saja aku tidak sempat mempergunakan semua ilmu itu satu demi satu. Akan tetapi dia sungguh lihai, Suhu. Biar dibantu Tee Kok dan duapuluh orang lebih anak buahnya, aku tidak mampu mengalahkannya, bahkan hampir saja celaka di tangannya. Dia lihai sekali. Pusaka suling naga itu dapat menjadi pedang yang mengeluarkan suara mengaum dan juga suara suling itu melengking-lengking mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat.” keluh Bi-kwi.

Tiga orang kakek iblis itu merasa penasaran sekali. Tadinya mereka beranggapan bahwa murid dan kekasih mereka itu merupakan orang yang paling lihai dan tidak terkalahkan. Oleh karena itulah maka mereka percaya kepada Bi-kwi untuk melaksanakan tugas berat, yaitu mencari dan menandingi Pendekar Super Sakti dan mencari susiok mereka Pek-bin Lo-sian untuk merampas pusaka Suling Naga. Akan tetapi, siapa sangka, murid yang dipercaya dan diandalkan ini pulang sambil mengomel, menceritakan kekalahannya terhadap orang yang kini menguasai Siauw-liong-kiam!

“Baiklah, sekarang begini saja, Bi-kwi,” kata pula Iblis Akhirat dengan suara gemas dan dia mengepal tinju. “Kami bettiga akan bertapa bersama-sama, kami akan mencoba untuk menciptakan sebuah ilmu baru dengan pengerahan tenaga dan pikiran kami bertiga digabung menjadi satu. Sementara itu, engkau latihlah sumoimu agar ia kelak dapat membantumu. Setelah ia pandai dan kami menemukan ilmu baru, kami akan mengajarkan ilmu itu kepadamu. Kemudian, kita berlima akan pergi mencari Pendekar Suling Naga. Kalau kita masih juga tidak mampu merampas pusaka itu dan membunuhnya, biarlah kami yang mati di tangannya!”

Girang sekali hati Bi-kwi. Keputusan yang diambil tiga orang gurunya itu mendatangkan banyak keuntungan dan kesenangan baginya. Pertama, tentu saja ia girang kalau sampai dapat menerima ilmu baru yang tentu hebat sekali kalau diciptakan oleh penggabungan tiga orang sakti itu. Ke dua, hatinya lega karena tentu ia akan terbebas untuk waktu lama dari mereka bertiga, tidak perlu melayani mereka yang sedang bertapa. Kini ia mulai merasa bosan dan muak kalau harus melayani tiga orang gurunya yang sudah tua dan sama sekali tidak menarik hati lagi itu. Ia dapat menghibur diri dengan mencari pria-pria-muda yang tampan di dusun-dusun sekitar pegunungan itu! Dan ke tiga, di luarpengawasan tiga orang suhunya, ia makin bebas untuk menyelewengkan pelajaran ilmu-ilmu silat kepada sumoinya yang diam-diam dibencinya karena dianggap sebagai saingan itu. Akan tetapi, hatinya yang penuh kepalsuan itu membuat ia berpura-pura ketika ia menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang gurunya.

“Budi suhu bertiga sudah bertumpuk-tumpuk terhadap diriku dan kini suhu akan bersusah payah pula menciptakan ilmu baru untukku. Sampai matipun budi ini tidak akan kulupakan dan aku berjanji akan menanti sampai suhu bertiga berhasil, walaupun aku akan hidup kesepian dan berjanji kelak akan mempelajari ilmu baru itu dengan sempurna.”

“Hemm, tak perlu kesepian karena ada sumoimu, Bi-kwi,” kata Hek Kwi-ong.

“Aku akan mengerahkan semua tenaga untuk melatih sumoi dengan baik, suhu,” jawab Bi-kwi.

Demikianlah, sejak pulangnya Bi-kwi yang menderita kekalahan dari Sim Houw si Pendekar Suling Naga, Sam Kwi lalu mengundurkan diri ke dalam sebuah ruangan tertutup di mana mereka tekun bertapa dan mengerahkan semua kepandaian untuk menggabungkan pikiran mereka untuk menciptakan sebuah ilmu yang baru dan ampuh. Mereka tidak pernah keluar, dan setiap hari Bi-kwi sendiri yang memasukkan makanan dan minuman untuk mereka dari sebuah lubang di pintu. Ada kalanya ia menyuruh sumoinya, Can Bi Lan untuk menyuguhkan makanan dan minuman itu.

Bi Lan adalah seorang anak perempuan yang sama sekali belum memiliki pengalaman tentang ilmu silat. Akan tetapi semenjak ia mengalami peristiwa yang amat mengguncang batinnya, melihat betapa ayah dan ibunya tewas disiksa gerombolan, kemudian melihat pula dirinya terancam bahaya yang mengerikan, lalu betapa Sam Kwi membunuhi semua anggauta gerombolan dan menyiksanya dengan sadis, terjadi perobahan pada batinnya. Ia merasa seperti seorang yang bangkit kembali dari kematian, dan hal ini membuat ia memiliki keberanian yang luar biasa. Dan melihat betapa banyaknya orang jahat di dunia, betapa hidup ini penuh dengan ancaman bahaya maut dan bahaya penghinaan, iapun bertekad untuk mempelajari ilmu silat dari tiga orang gurunya.

Biarpun diam-diam ia merasa tidak suka dan takut kepada sucinya, akan tetapi karena tiga orang gurunya menyerahkan ia untuk dilatih oleh sucinya, Bi Lan juga menerima keputusan ini tanpa banyak membantah. Bahkan ia menurut secara membuta segala latihan yang diberikan Bi-kwi kepadanya. Ia tidak memperdulikan kedua telapak tangannya sampai rusak-rusak karena sucinya menyuruh ia berlatih mengeraskan tangan dengan setiap pagi dan petang menggunakan kedua telapak tangan untuk memukuli pasir panas yang dicampur bubuk besi. Mula-mula memang telapak tangannya luka-luka dan melepuh, akan tetapi anak ini memiliki tekad yang besar sehingga akhirnya ia dapat mengatasi semua kesulitan. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Bi-kwi, oleh si Iblis Cantik ini memang sengaja diselewengkan sehingga jurus-jurus yang diajarkan itu tidak sempurna lagi, bahkan dikacau dengan gerakan-gerakan lain sehingga ilmu silat yang dipelajari oleh Bi Lan tidak lagi murni! Bukan hanya ilmu silat, bahkan ketika anak itu mulai diberi pelajaran samadhi dan melatih tenaga dalam, latihan inipun diselewengkan oleh Bi-kwi. Akibatnya, Bi Lan dapar menghimpun tenaga yang sesat dan lebih celaka lagi, latihan-latihan ini membuat batinnya terguncang dan pikirannya menjadi kacau!

Bertahun-tahun, sewaktu tiga orang kakek itu bertapa dan menggabungkan diri untuk bersama-sama menciptakan ilmu baru, Bi Lan mempelajari ilmu-ilmu yang disesatkan oleh Bi-kwi. Banyak sudah ilmu silat yang dipelajarinya, akan tetapi tidak satupun yang murni!

Akan tetapi, anehnya, anak yang kini mulai tumbuh menjadi seorang gadis itu, melalui latihan-latihan yang keliru, berhasil menghimpun tenaga yang aneh pula, yang kadang-kadang timbul dengan hebatnya akan tetapi tiba-tiba pula lenyap membuat ia sama sekali tidak bertenaga. Dan juga ilmu silatnya aneh, hanya menurutkan naluri dan perasaan saja, karena semua ilmu silat yang dipelajarinya itu tidak lengkap dan diselingi gerakan-gerakan ngawur yang membuat jurus-jurusnya kadang-kadang malah membahayakan diri sendiri. Akibatnya, Bi Lan menjadi seorang gadis yang ilmu silatnya aneh, tenaga dalamnya juga aneh.

Yang mengesalkan hati Bi-kwi adalah ketekunan gadis itu, yang menuruti segala perintahnya sehingga tidak ada alasan baginya untuk memarahinya, dan yang lebih menjengkelkan dan mengkhawatirkan hatinya lagi adalah melihat betapa Bi Lan kini tumbuh menjadi seorang gadis yang amat cantik manis! Ia sengaja memberi pakaian-pakaian tua kepada gadis itu, pakaian-pakaiannya sendiri yang sudah tua, dan sengaja dipotoog sedemikian rupa sehingga pakaian itu menjadi aneh, lapuk dan bahkan ada yang tambal-tambalan. Akan tetapi celakanya bagi Bi-kwi, pakaian buruk apapun yang melekat pada tubuh Bi Lan menjadi pantas dan indah! Hal ini adalah karena Bi Lan tumbuh menjadi seorang gadis dewasa, atau remaja, dan tubuhnya mulai mekar indah sehingga tentu saja segala macam pakaian menjadi pantas dan menarik. Apa lagi, gadis ini sejak kecil memang suka sekali akan kebersihan, seringkali membersihkan tubuhnya dan mencuci rambutnya sehingga biarpun pakaiannya buruk nampak bersih dan segar selalu. Kedua pipinya yang tidak pernah mengenal bedak, karena dilarang oleh Bi-kwi, nampak segar kemerahan seperti kulit buah apel, sepasang matanya lebar dan jeli, rambutnya hitam panjang dan gemuk. Terutama sekali sepasang lesung pipit di kanan kiri mulutnya membuat gadis itu bertambah manis kalau tersenyum. Sayang, guncangan batin dan pikirannya akibat latihan-latihan yang sesat itu membuat Bi Lan juga memiliki kebiasaan aneh. Kadang-kadang tersenyum-senyum seorang diri, kadang-kadang menangis. Pendeknya, gadis ini menunjukkan gejala bahwa otaknya agak miring!

Semua kejengkelan hati Bi-kwi karena melihat betapa sumoinya menjadi semakin cantik dan mengalahkan dirinya, terhibur juga oleh kenyataan bahwa sumoinya seperti orang gila itu. Dan sesungguhnya gejala-gejala kegilaan inilah yang menyelamatkan nyawa Bi Lan. Andaikata ia tidak demikian, tentu kebencian Bi-kwi akan menjadi-jadi karena iri akan kecantikannya dan bukan tidak mungkin iblis betina itu akan membunuhnya!

Sambil menanti tiga orang gurunya yang masih juga belum keluar dari tempat pertapaannya, Bi-kwi setiap hari berlatih silat memperdalam ilmu-ilmunya. Ia tidak memperdulikan kepada Bi Lan yang dianggapnya seorang gadis yang miring otaknya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa di samping kelainan pada pikirannya yang terguncang itu, juga terjadi perobahan aneh, yaitu otak Bi Lan mampu menangkap dan mencatat segalanya dengan kuat sekali. Ia tidak tahu bahwa setiap kali ia berlatih silat, Bi Lan nonton dan gadis ini mampu mengingat semua jurus itu dan kalau sedang seorang diri, Bi Lan melatih diri dengan gerakan-gerakan yang dilihatnya pada sucinya ketika berlatih. Dengan demikian, hampir semua gerakan ilmu silat yang dimainkan Bi-kwi diam-diam dikuasai oleh Bi Lan!

Pada suatu hari, Bi-kwi baru pulang setelah pagi hari dan wajahnya muram, alisnya berkerut dan hatinya penuh diliputi kejengkelan dan kemarahan. Semalam ia bertemu dengan seorang pria muda jauh di selatan. Hatinya tertarik dan dengan berbagai usaha ia membujuk pria itu setelah pria itu diculiknya dan dibawa ke tempat sunyi, agar pria itu mau menyambut hasrat hatinya. Akan tetapi, pria itu bahkan memaki-makinya, menolaknya dan menyebutnya perempuan hina tak tahu malu. Karena bujukan kasar dan halus ditolak oleh pria itu, setelah semalam suntuk ia gagal membujuk, akhirnya ia membunuh pria itu dan pulang dengan hati kesal karena kekecewaan.

Tidak ada orang lain kecuali Bi Lan seorang yang dapat dijadikan tempat pelontaran kemarahan hatinya. “Siauw-kwi....!” Ia memanggil.

Bi Lan datang berlari-lari dengan muka dan kepala masih basah. Ia tengah berada di sumber air dan mandi ketika sucinya memanggil. Tergesa-gesa ia mengenakan pakaian dan dengan muka dan rambut masih basah iapun datang menghampiri sucinya. Melihat betapa wajah sumoinya itu berseri-seri, dengan senyum yang manis dihias sepasang lesung pipit itu, melihat sepasang pipi kemerahan dan segar sekali, hati Bi-kwi menjadi semakin panas!

“Siauw-kwi, sudah lama kita tidak berlatih silat. Hayo, siapkan dirimu untuk berlatih silat denganku!“

Sepasang mata itu terbelalak, nampak ketakutan. “Aihh, suci yang baik. Jangan pukul aku lagi. Apapun perintahmu akan kutaati, akan tetapi jangan memukuli aku dalam latihan. Aku sudah kapok!” Bi Lan memang merasa tersiksa sekali kalau diajak berlatih karena namanya saja berlatih, akan tetapi pada hakekatnya ia menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan sucinya sampai tubuhnya babak belur dan matang biru, sakit-sakit semua kalau sudah selesai berlatih.

“Ihhh....? Kau berani membantah? Hayo cepat bersiap!” bentak Bi-kwi. Sebelum Bi Lan menjawab, ia sudah menerjang maju dengan tamparan ke arah pipi sumoi itu. Kemarahan karena iri hati melihat pipi yang halus merah dan segar itu membuat ia menampar pipi itu dengan kuat sekali.

Bi Lan menggerakkan lengan kirinya dengan gerakan refleks untuk menangkis tamparan itu.

“Plakkk!” Pipi kanannya yang kena tampar oleh tangan kiri Bi-kwi yang bergerak cepat sekali dan tangkisan itu membuat tubuh Bi Lan terhuyung.

“Auhhh....! “ Gadis itu mengeluh dan mengusap pipi kanannya yang menjadi merah sekali.

Melihat betapa pipi itu menjadi makin merah dan bahkan semakin segar menarik, hati Bi-kwi makin marah. “Lihat serangan!” katanya dan ia pun maju menerjang dengan jurus-jurus yang paling sulit.

Bi Lan meneoba untuk mengelak, berloncatan ke sana-sini seperti diajarkan sucinya, dan menangkis pula. Akan tetapi, kaki Bi-kwi menendang dengan sebuah jurus dari Ilmu Tendang Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) yang lihai itu dan paha Bi Lan terkena tendangan. Tubuhnya terlempar ke belakang.

“Brukkk! AduhhGadis itu terbanting keras dan mengeluh, lalu bangkit berdiri, tangan kiri mengusap pipi, tangan kanan mengusap paha. “Sudah, suci. Pipi dan pahaku sakit!”

“Hayo lawan! Kalau tidak latihan, mana engkau bisa maju? Lawan atau engkau akan kujadikan sasaran pukulan dan tendanganku!” bentak Bi-kwi yang mulai merasa senang hatinya dapat menumpahkan kemarahannya kepada sumoinya itu. Kembali ia menerjang dan menotok pundak sumoinya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah kepala.

“Wuuutt.... dukkk!” Kini Bi Lan mampu mengelak dan menangkis dengan baiknya! Bi-kwi merasa penasaran. Yang dipergunakannya untuk menyerang tadi adalah sebuah jurus pilihan dari ilmu silatnya, akan tetapi sumoinya ternyata mampu mengelak dan menangkis dengan baiknya, seolah-olah sumoinya mengenal jurus itu dengan baik. Ia lalu menyerang lagi, kini menggunakan sebuah jurus dari Hek-wan Sip-pat-ciang, itu ilmu silat tangan kosong yang hebat dari Hek Kwi-ong. Lengan Bi-kwi dapat mulur dengan panjang ketika ia melakukan gerakan jurus ini.

“Wuuuttt.... plak! plak!” Kembali Bi Lan dapat menangkis dua kali dengan baiknya sehingga jurus itupun tidak berhasil. Bi-kwi menahan seruannya. Sumoinya mampu menangkis jurus itu? Sungguh aneh dan sukar dapat dipercaya. Jurus pilihan dari Hek-wan Sip-pat-ciang itu merupakan jurus ampuh dan sukar dilawan, akan tetapi sumoinya yang mempelajari silat dengan kacau-balau itu kini dapat menyambutnya seolah-olah sudah mengenal jurus itu dengan baik.

Ia mengeluarkan lagi beberapa jurus dari ilmu silat ini, akan tetapi ternyata Bi Lan mampu mengelak dan menangkis dengan baik, bahkan gerakan-gerakannya juga tepat sekali seolah-olah gadis itu sudah mempelajari Hek-wan Sip-pat-ciang dengan sempurna! Bi-kwi menjadi terkejut dan heran, lalu menyerang lagi, kini menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Iblis Mayat Hidup, yaitu Ilmu Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) yang amat dahsyat.

“Plak-plak.... wutttt....!” Kembali Bi Lan mampu menghindarkan diri dari jurus ini, dan gerakannya juga tepat sekali!

“Ehhh....!” Bi-kwi begitu terheran-heran sampai menghentikan serangannya dan memandang sumoinya dengan sinar mata berapi. “Dari mana kau mengenal ilmu-ilmu itu?” bentaknya.

Bi Lan yang merasa senang karena beberapa kali mampu menghindarkan diri dari gebukan dan tendangan, tersenyum manis sekali. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang mengajarku, suci? Bagaimana, baikkah gerakan-gerakanku?”

Bi-kwi terpaksa mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa sumoinya ini tidak mampu berbohong maka jawaban sumoinya itu sungguh membuat ia terheran-heran dan juga khawatir sekali.

“Kalau begitu, coba temani aku berlatih, jangan sembunyikan apa-apa, segala yang kauketahui harus kaukeluarkan dan kau boleh membalas serangan kepadaku, jangan hanya membela diri, mengerti? Awas, kalau tidak, engkau akan kuhukum dengan tamparan dan pukulan!“

Bi Lan tersenyum dan senyum gadis ini memang manis sekali karena senyumnya keluar dari hati yang polos dan wajar walaupun aneh sekali karena ia diancam malah tersenyum. Hatinya merasa girang karena ia diperbolehkan membalas serangan dan ia ingin memperlihatkan kemajuannya kepada sucinya itu.

Melihat Bi Lan hanya tersenyum-senyum dan tidak segera bergerak, Bi-kwi membentak, “Siauw kwi. kenapa hanya senyum-senyum? Hayo serang!”

“Serang bagaimana, suci? Kaulah yang bergerak dulu, baru aku akan tahu gerakan apa yang harus kulakukan,” jawab Bi Lan.

Mendengar jawaban ini, Bi-kwi lalu menerjangnya dengan tendangan Pat-hong-twi yaitu semacam ilmu silat tendangan yang dipelajarinya dari Im-kan Kwi Si Iblis Akhirat. Tendangan itu hebat sekali, merupakan bagian dari Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin, datangnya susul-menyusul dan amat cepatnya.

Akan tetapi, Bi Lan mengenal ilmu ini dan iapun cepat mengelak dan hal ini mudah dilakukan karena ia telah lebih dulu mengetahui ke mana kaki lawan itu akan bergerak. Bahkan ia lalu membalas dengan tendangan yang sama setelah semua jurus tendangan sucinya dapat dielakkan. Karena tendangan mereka sama, maka merekapun beradu tulang kaki beberapa kali.

“Dukk! Takk!” Bi Lan meloncat ke belakang. meringis dan mengusap tulang kering kakinya. “Aduhh.... tulang kakimu keras sekali, suci. Kakiku sampai sakit semua dibuatnya!”

Akan tetapi Bi-kwi sudah tidak memperhatikan lagi sikap sumoinya, bahkan ucapan itu baginya merupakan ejekan karena semua tendangannya menurut Ilmu Tendangan Pat-hong-twi tidak berhasil. Hal ini berarti bahwa sumoinya sudah hafal akan ilmu itu.

“Jangan cerewet, sambutlah ini!” Iapun kini maju menyerang dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya, menukar-nukar jurus dari ketiga orang suhunya. Akan tetapi ia semakin terheran-heran karena semua jurus itu, biarpun diselang-seling, telah dikenal oleh Bi Lan yang dapat menghindarkan diri, bahkan membalas dengan serangan yang sama! Saking herannya, Bi-kwi mengeluarkan ilmunya yang paling ampuh, yaitu Kiam-ciang (Tangan Pedang). Ilmu ini dapat membuat kedua tangannya seperti pedang telanjang, dengan tangan mampu membacok dan menusuk lawan dengan kekuatan dahsyat. Akan tetapi, kembali Bi Lan dapat mengelak ke sana-sini dan menangkis!

Akhirnya Bi-kwi yang memang hanya ingin menguji, tahu dengan pasti bahwa sumoinya memang telah mengenal semua ilmunya, menguasainya dengan cukup baik, maka iapun meloncat ke belakang sambil membentak, “Tahan dulu!”

Bi Lan tersenyum senang. “Wah, kalau diteruskan aku akan celaka, suci. Engkau hebat sekali, gerakanmu demikian cepat dan kuat,” kata Bi Lan sejujurnya. Akan tetapi sucinya tidak perduli akan pujian ini melainkan memandang dengan sinar mata penuh selidik.

“Hayo katakan, dari mana engkau mempelajari semua ilmu tadi?” bentaknya.

“Aih, suci, dari siapa lagi kalau bukan darimu sendiri?”

“Bohong! Tentu tiga orang guru kita yang telah diam-diam mengajarmu. Hayo katakan, betulkah begitu?”

“Suci, bukankah ketiga suhu sedang bertapa, bagaimana bisa mengajarku? Hi-hik, suci, engkau mau membohongi aku, ya? Tidak, aku hanya belajar kalau melihat engkau berlatih, lalu kutiru. Bagaimana, baik atau tidak?”

Diam-diam Bi-kwi terkejut. Adik seperguruannya ini hanya menonton kalau ia berlatih, dan sudah dapat menirukannya demikian baiknya? Sungguh luar biasa sekali! Dan kini Siauw-kwi telah menguasai semua ilmu silatnya! Ini berbahaya sekali. Ia mendapatkan sebuah pikiran, lalu melangkah maju dan tiba-tiba tangan kirinya menampar muka adiknya, tanpa gerak silat sama sekali.

Bi Lan nampak bingung, akan tetapi karena tamparan itu biasa saja, ia dapat pula mengelak dan pada saat ia mengelak itu, Bi-kwi menyambut dengan pukulan tangan kanan yang menampar.

“Plak!” Kini pipi kiri Bi Lan kena ditamparnya dengan keras dan gadis itu mengaduh.

Hati Bi-kwi menjadi girang. Ia maju lagi, memukul, menampar dan menendang tanpa gerakan silat tertentu, ngawur saja, akan tetapi malah hasilnya baik sekali. Tubuh Bi Lan bertubi-tubi menjadi sasaran tendangan, pukulan atau tamparan yang membuat gadis itu jatuh bangun dan tubuhnya menjadi babak belur! Bi Lan mencoba untuk mempergunakan ilmu-ilmu silat yang selama ini dipelajarinya dari Bi-kwi. Akan tetapi ilmu silat itu memang disesatkan oleh Bi-kwi, dan karena Bi-kwi mengenal semuanya, pertahanan dirinya sama sekali tidak ada artinya karena tidak sejalan dengan jalan serangan Bi-kwi yang ngawur.

Bi-kwi tidak perduli biarpun Bi Lan sudah mengduh-aduh dan minta berhenti. Ia terus menghajar untuk melampiaskan kemarahan hatinya, kemarahan karena kecewa oleh pemuda yang semalam diculiknya, kemudian kemarahan karena melihat betapa Bi Lan tanpa disadari telah menguasai semua ilmu silatnya.

Bi-kwi menghajar terus. Baiknya tubuh Bi Lan sudah sejak kecil digembleng oleh Sam Kwi, walaupun ilmu silatnya diajarkan oleh Bi-kwi, sehingga tubuh itu memiliki kekebalan dan tidak sampai menderita luka dalam oleh hajaran Bi-kwi yang keras itu. Betapapun juga, karena ditendang dan dipukuli semena-mena, akhirnya gadis itu rebah terkulai dan pingsan! Baru Bi-kwi menghentikan pemukulannya karena ia khawatir kalau-kalau sumoinya tewas dan kalau hal ini terjadi, tentu tiga orang suhunya menjadi marah sekali dan ia tidak berani mempertanggungjawabkannya. Diambilnya seember air dan disiramkan ke atas kepala Bi Lan.

Bi Lan membuka kedua matanya dan melihat Bi-kwi memegangi ember, ia tersenyum dan berkata, “Aih, suci main-main, ya? Masa aku disiram air begini? Lihat, basah semua !”

“Hayo bangkit, anak malas ! Persediaan kayu sudah hampir habis dan musim hujan akan tiba. Kalau engkau malas, akan kuhajar lagi!”

“Baik, suci.” Dan larilah Bi Lan ke dalam hutan. Ia mulai mencari kayu untuk mengisi gudang yang besar itu sehingga mungkin selama satu bulan ini ia harus setiap hari mencari kayu!

Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali Bi Lan sudah pergi meninggalkan tempat tinggal ketiga suhunya untuk memasuki hutan. Ia harus bekerja keras, akan tetapi ia memang suka sekali pergi ke hutan seorang diri. Di tempat ini ia merasa aman, jauh dari sucinya yang galak, yang selalu main pukul saja terhadap dirinya. Di tempat ini ia dapat melihat bunga-bunga indah, pohon-pohon besar, melihat binatang-binatang hutan yang lucu sehingga hatinya terhibur dan merasa gembira sekali. Seringkali ia berkejaran dengan kelenci sambil tertawa -tawa, atau bernyanyi-nyanyi menirukan suara burung dan kadang-kadang iapun melatih ilmu silat seperti yang ditontonnya dari sucinya di atas hamparan rumput hijau yang segar dan basah oleh embun.

Pada pagi hari itu, karena masih agak pagi, Bi Lan berjalan-jalan dan tersenyum-senyum melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan sambil berkicau ramai menyambut datangnya pagi yang amat cerah. Matahari baru saja muncul dengan sinarnya yang merah kekuningan, seperti warna emas kemerahan. Sinar matahari yang masih lembut itu menerobos melalui celah-celah daun dan ranting, menerobos di antara kabut sehingga nampak indah sekali, berupa garis-garis terang di antara kabut yang keputihan. Bi Lan menirukan suara burung berkicauan, mulutnya yang kecil mungil dengan bibir kemerahan segar itu meruncing ketika ia menirukan suara burung. Kemudian, melihat larinya tiga ekor kelenci, iapun mengejarnya. Larinya cepat, loncatannya ringan karena gadis ini sudah mempelajari gin-kang yang hebat walaupun dengan latihan pernapasan yang terbalik seperti yang diajarkan sucinya. Akan tetapi karena tiga ekor kelenci itu lari cerai-berai, Bi Lan menjadi bingung, lari ke sana-sini sambil terkekeh-kekeh. Memang bukan maksudnya untuk menangkap kelenci-kelenci itu, hanya untuk mengajak mereka bermain-main. Gadis yang sejak kecil ikut dengan Sam Kwi ini, yang kemudian dilatih oleh sucinya secara menyesatkan dan keras, tidak pernah memperoleh kesempatan untuk berkawan, maka kini ia mencari sendiri kawan-kawannya di antara binatang-binatang di hutan.

Setelah tiga ekor kelenci itu menghilang ke dalam semak-semak, Bi Lan lalu bersilat di atas lapanganrumput. Ia bersilat dengan penuh perhatian, dengan pengerahan tenaga dan berturut-turut ia bersilat ilmu silat yang dilihatnya suka dilatih oleh sucinya!

Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, sejak ia menirukan suara burung lalu mengejar-ngejar kelenci dan kini berlatih silat, ada dua bayangan orang yang membayanginya dan mengintainya. Dua bayangan orang itu menjadi bengong dan kadang-kadang saling pandang dengan sinar mata penuh kekaguman dan keheranan. Melihat gerakan dua orang itu, mudah diduga bahwa mereka adalah dua orang berilmu tinggi, karena mereka membayangi Bi Lan dengan kecepatan luar biasa dan dengan keringanan tubuh sedemikian rupa sehingga jejak kaki merekapun tidak mengeluarkan suara.

Dua orang itu adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua sekali. Kakek itu berpakaian serba kuning, berjenggot dan berambut putih, jenggotnya berjuntai sampai ke dada, sepasang matanya mencorong aneh dan sikapnya lemah lembut, akan tetapi ada satu hal yang amat menarik, yaitu bahwa lengan kiri kakek itu buntung di atas siku sehingga lengan baju kirinya tergantung lemas terkulai. Usia kakek ini tentu sudah mendekati delapanpuluh tahun, sedikitnya tujuhpuluh delapan tahun usianya. Namun wajahnya masih nampak kemerahan tanda bahwa kesehatannya masih amat baik. Nenek itupun mengenakan pakaian berwarna kuning, berkembang biru muda, dan seperti si kakek, pakaiannya sederhana dan iapun sudah tua sekali, sedikitnya tujuhpuluh tahun usianya. Rambutnya juga sudah putih semua, akan tetapi wajahnya masih penuh kelembutan dan masih nampak garis-garis bekas wajah yang cantik jelita. Di balik jubah wanita tua ini nampak tersembul sebuah pedang dengan sarung pedang yang indah.

Kakek ini bukan orang biasa, melainkan seorang tokoh persilatan yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Di dunia persilatan, dia dijuluki Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nama julukan ini tidak kalah besarnya dibandingkan dengan nama julukan para pendekar keluarga Pulau Es! Nama pendekar tua ini adalah Kao Kok Cu. Adapun nenek itu adalah isterinya yang dahulu bernama Wan Ceng atau juga Candra Dewi karena wanita ini diangkat saudara oleh seorang puteri Bhutan dan wanita inipun bukan orang sembarangan karena ia masih terhitung cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Apa lagi setelah menjadi isteri Pendekar Sakti Gurun Pasir, ilmu kepandaian wanita ini meningkat dengan pesat dan kini ia juga termasuk seorang tokoh yang sakti.

Di dalam KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES telah diceritakan bahwa putera tunggal suami isteri sakti ini yang bernama Kao Cin Liong, sejak muda menjadi panglima yang amat terkenal di kota raja, telah menikah dengan Suma Hui, cucu Pendekar Super Sakti dan atas desakan isterinya, Kao Cin Liong telah mengundurkan diri dari kedudukannya dan tidak lagi menjadi panglima. Kao Kok Cu dan isterinya yang merasa sudah tua, menghendaki agar Kao Cin Liong dan isterinya tinggal di tempat mereka, yaitu jauh di utara, di sebuah dataran yang indah dan subur di tengah-tengah padang pasir di mana mereka mempunyai sebuah gedung istana kuno yang dinamakan Istana Gurun Pasir. Akan tetapi kedua suami isteri muda itu tidak mau karena merasa tidak betah tinggal di tempat sunyi itu. Mereka memilih tinggal di dekat kota raja di mana keduanya berdagang rempah-rempah dan keadaan mereka cukup makmur. Suami isteri tua Kao Kok Cu tidak dapat memaksa dan mereka merasa kesepian. Oleh karena itu, mereka berdua lalu banyak melakukan perjalanan merantau, menikmati tempat-tempat indah di seluruh tanah air.

Demikianlah, pada pagi hari itu, mereka berdua merantau sampai di sebuah di antara puncak Pegunungan Thai-san di mana mereka melihat Bi Lan. Malam tadi mereka bermalam di lereng gunung dan pagi itu pagi-pagi sekali mereka sudah naik ke puncak untuk menikmati keindahan matahari terbit. Akan tetapi, mereka melihat Bi Lan dengan gerak-geriknya yang amat aneh, membuat suami isteri tua itu tertarik dan diam-diam mereka membayangi gadis muda yang cantik namun gerak-geriknya aneh itu.

Ketika melihat Bi Lan memoncongkan mulut menirukan suara burung-burung yang sedang berkicau, nenek Wan Ceng menutupi mulutnya menahan ketawa, dan sepasang suami isteri itu ikut merasa gembira, menganggap hahwa gadis itu manis dan lucu sekali, dapat menikmati keindahan alam di tempat sunyi seperti itu, kenikmatan yang sudah jarang terdapat dalam batin kebanyakan manusia. Kemudian, melihat betapa Bi Lan mengejar-ngejar kelenci sambil tertawa-tawa, hanya mempermainkan kelenci bukan sungguh-sungguh menangkap, melihat gerakannya yang demikian cepatnya, tanda bahwa gadis itu memiliki gin-kang yang lumayan, mereka tercengang. Mereka terus membayangi gadis itu dan ketika Bi Lan mulai berlatih silat, nenek itu mencengkeram lengan suaminya. Keduanya bengong mengamati setiap gerakan gadis itu, dengan mata terbelalak karena mereka mengenal ilmu silat yang tinggi dan aneh, walaupun mereka berdua maklum bahwa ilmu-ilmu yang dimainkan gadis itu termasuk ilmu yang sesat, penuh dengan gerak tipu dan mengandung hawa pukulan yang aneh-aneh. Akan tetapi, yang membuat mereka terheran-heran adalah ketika mereka melihat betapa makin lama wajah gadis itu menjadi semakin merah, kemudian tiba-tiba menjadi pucat dan pernapasan gadis itu terengah-engah tidak karuan. Akhirnya gadis itu menghentikan gerakan-gerakan silatnya dan segera berjungkir balik, berdiri dengan kepala di atas tanah dan mengatur kembali pernapasannya.

Melihat hal ini, tentu saja kedua orang suami isteri itu terkejut dan khawatir sekali. Mengatur pernapasan selagi terengah-engah dan kelelahan dengan cara membalikkan tubuh seperti itu amatlah berbahaya! Akan tetapi aneh. gadis itu agaknya sudah terbiasa dan sebentar saja pernapasannya normal kembali dan gadis itu kini berjungkir balik, berdiri lagi, lalu duduk di atas rumput hijau sambil tersenyum-senyum, akan tetapi mukanya masih pucat.

“Anak baik, caramu mengatur pernapasan terbalik!” Wan Ceng tidak dapat lagi menahan kekhawatiran hatinya dan nenek ini sudah meloncat ke luar dan menghampiri Bi Lan.

Gadis itu mengangkat mukanya, terkejut sekali. Senyumnya tiba-tiba menghilang dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan tiba-tiba ia meloncat bangun lalu menyerang dengan tangan kanannya ke arah nenek itu, mencengkeram ke arah dada dengan gerakan yang ganas dan dahsyat sekali.

“Hemmm....!” nenek Wan Ceng dengan mudah mengelak. Akan tetapi gadis itu menyerang terus sebagai lanjutan serangannya tadi dan serangkaian serangan yang terdiri dari pukulan dan cengkeraman yang ganas dilancarkan ke arah lawan. Nenek Wan Ceng terkejut, akan tetapi dengan tenang ia menghindarkan diri dengan loncatan ke sanasini dan kadang-kadang menangkis dengan kibasan tangannya.

Melihat betapa gadis itu menyerang isterinya seperti orang mengamuk, kakek Kao Kok Cu juga meloncat dekat dan berkata dengan suaranya yang tenang, halus dan penuh wibawa, Nona, tenanglah, kami datang bukan dengan niat buruk!”

Akan tetapi tiba-tiba saja Bi Lan berbalik menyerang kakek itu kalang-kabut, dan kini ia menggunakan tendangan-tendangan berantai yang ganas sekali. Tentu saja serangan-serangan yang masih mentah itu tidak ada artinya bagi Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan dengan sedikit menggerakkan tubuhnya, tendangan-tendangan itu hanya mengenai angin belaka. Ketika kakek itu menggerakkan kakinya, kaki Bi Lan yang tidak menendang kena disapu dan tubuhnya terpelanting jatuh ke atas rumput lunak.

Akan tetapi, gadis itu meloncat bangun lagi dan kini ia menyerang lagi dengan lebih dahsyat, mengeluarkan semua ilmu yang dipelajarinya dengan menonton sucinya berlatih. Ilmu-ilmu itu adalah ilmu ilmu yang hebat, ilmu silat yang menjadi kebanggaan Sam Kwi, kini dikeluarkan semua oleh Bi Lan untuk menyerang kakek dan nenek itu ! Karena tertarik akan keistimewaan ilmu-ilmu itu, kakek Kao Kok Cu dan Wan Ceng sengaja membiarkan gadis itu menerjang kalang-kabut. Baru setelah melihat betapa pernapasan gadis itu memburu dan terengah-engah, mereka merasa kasihan dan sebuah totokan jari tangan kakek itu membuat Bi Lan roboh dengan tubuh lemas, tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.

Bi Lan berusaha untuk bangkit, akan tetapi setelah maklum bahwa kaki tangannya tidak dapat digerakkan, ia memandang kepada nenek Wan Ceng dan berkata, “Jangan pukul aku lagi, ahhhh.... aku sudah lelah sekali....“

Kakek dan nenek itu merasa kasihan sekali dan mereka lalu berjongkok dekat tubuh Bi Lan. Kakek Kao Kok Cu bertanya, suaranya halus dan penuh kesabaran, “Nona, kenapa engkau menyerang kami?”

“Kenapa....?” Bi Lan memandang bingung.

“Aku tidak tahu kenapa tapi suci yang menyuruhku, ia bilang bahwa kalau ada orang-orang datang ke tempat ini harus kubunuh mereka, karena kalau tidak, merekalah yang akan membunuhku. Karena itu aku menyerang kalian.”

Suami isteri itu saling lirik. “Dan kaulihat bahwa kami sama sekali tidak mengganggumu tadi, bukan? Kami tidak ingin membunuhmu, menyerangmupun tidak. Adalah engkau yang menyerang kami dan sekarang terpaksa kami merobohkanmu. Nah, lihat, kami membebaskanmu,” kata Wan Ceng sambil membebaskan totokan dari tubuh Bi Lan. Begitu terbebas, Bi Lan berjungkir balik dan mengatur pernapasan seperti tadi. Melihat ini Wan Ceng hendak mencegah, akan tetapi suaminya menyentuh lengannya dan memberi isyarat agar isterinya jangan mengganggu gadis itu. Mereka berdua hanya memandang penuh perhatian kepada Bi Lan dan tak lama kemudian secara aneh sekali gadis itu telah mampu memulihkan pernapasannya walaupun mukanya masih pucat sekali.

“Nah, sekarang engkau percaya bahwa kami tidak berniat buruk kepadamu, bukan ?”

Bi Lan menatap wajah nenek itu dan agaknya wajah dua orang tua itu mendatangkan kesan baik di dalam perasaannya karena ia merasa aman berada di dekatmereka. Ia menggeleng bingung, “Aku tidak tahu, suciku yang menyuruhku.”

“Siapakah sucimu itu?”

“Ia disebut Bi-kwi....”

“Setan Cantik?” Nenek Wan Ceng bertanya, alisnya berkerut mendengar julukan seperti itu.

Kini Bi Lan sudah merasa gembira kembali, ia tersenyum dan nampaklah oleh suami isteri itu betapa manisnya wajah gadis ini kalau tersemyum, dan nampak pula bahwa pada dasarnya gadis ini memiliki wajah yang membayangkan kelembutan walaupun dipenuhi dengan bekas-bekas penderitaan batin. “Hi-hik, memang suci cantik sekali, akan tetapi iapun jahat seperti setan.”

“Nona, siapakah yang mengajarkan ilmu silat kepadamu?” tiba-tiba Kao Kok Cu bertanya.

“Siapa lagi kalau bukan suci,” jawabnya pasti.

Bersambung ke buku 3