Tanah Warisan -buku 6 | SH Mintardja

Buku 6

“Alangkah asyiknya mimpimu Bramanti,” berkata yang lain.

Bramanti menarik nafas. Namun kemudian ia tersenyum.

“Siapakah bunga di dalam mimpimu Bramanti?” bertanya yang lain.

Sekenanya saja Bramanti menjawab, “Kau.”

Terdengar gadis-gadis itu pun tertawa sambil saling mendorong, sehingga salah seorang dari mereka menjerit, “He, jangan. Hampir saja aku terjerumus tebing.”

“Jangan takut,” sahut yang lain. “Masih ada yang akan menolongmu di bawah.”

Suara tertawa gadis-gadis itu pun menjadi semakin riuh.

Namun mereka pun kemudian berlari-larian meninggalkan tebing dan hilang di balik rerumputan di atas tanggul.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Gadis-gadis itu kini bersikap baik kepadanya. Tidak seperti beberapa saat sebelumnya. Namun dengan demikian, Bramanti merasa semakin sepi, karena setiap kali Ratri selalu menanyakan Panggiring.

“Ah, apa peduliku,” ia menggeram. Kemudian ia pun meloncat ke bendungan dan melemparkan bajunya ke dalam air. Sejenak kemudian ia pun telah sibuk mencuci bajunya dengan air lerak.

Untuk meniadakan angan-angannya maka dihentakkannya bajunya itu beberapa kali. Kemudian ditariknya sebuah tembang dengan suara yang sumbang. Adalah kebetulan sekali bahwa ia menembang lagu Asmarandana.

Di malam hari, seperti biasanya, Bramanti selalu pergi ke Kademangan. Meskipun Ki Demang sendiri sudah jarang-jarang sekali keluar dari rumahnya, namun pendapa rumah itu, dan gardu di halaman, masih selalu penuh dengan anak-anak muda dan para pengawal. Apalagi setelah Sapu Angin terbunuh di Kademangan Candi Sari, maka halaman Kademangan itu tampak menjadi semakin sibuk.

Ketika Bramanti memasuki halaman, dilihatnya Temunggul mendekatinya. Sambil tertawa ia berkata, “Bramanti, kau tampak semakin lama semakin segar.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Sapa itu terdengar aneh ditelinganya. Namun ia menjawab juga, “Candi Sari kini telah memberikan tempat yang lapang bagiku Temunggul.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bagaimana menurut penilaianmu keadaan akhir-akhir ini?” bertanya Temunggul pula.

“Baik. Baik sekali. Seandainya terjadi sesuatu, kita tidak akan terkejut karena kita memang sudah siap.”

Sekali lagi Temunggul tertawa. Sambil membimbing tangan Bramanti ia berkata, “Minumlah, mumpung masih hangat.”

Bramanti menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak menolak. Setelah ia duduk di antara beberapa orang pengawal, maka tangannyapun telah memegang sebuah mangkuk minuman.

Sikap Temunggul malam itu terasa terlampau baik bagi Bramanti. Namun Bramanti sama sekali tidak menaruh kecurigaan apapun. Bramanti sama sekali tidak tahu, bahwa di bawah baju Temunggul tersimpan sebuah pisau belati, di samping pedangnya yang tergantung dilambungnya.

“Sekali-kali kita memang harus nganglang,” berkata Temunggul.

Bramanti mengerutkan keningnya, “Kenapa sekali-kali. Bukankah setiap kali kita selalu nganglang di seputar Kademangan ini.”

“Oh,” Temunggul menelan ludahnya. “Ya. Kau benar Bramanti. Kita masing-masing memang sudah terlampau sering memutari Kademangan ini.”

“Lalu, apalagi yang kau maksudkan?”

“Tidak. Aku tidak bermaksud apa-apa.”

Bramanti menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak bertanya apapun lagi. Diteguknya minuman hangat di mangkuknya, kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya.

Sejenak kemudian ia sudah terlibat dalam pembicaraan yang ramai dengan kawan-kawan sebayanya. Kawan-kawan yang selama ini terasa menjadi semakin dekat, setelah terpisah beberapa saat lamanya. Namun Temunggullah yang agak lain dari kebiasannya. Sekali-kali ia menjadi pendiam, namun kemudian seakan-akan dibuatnya, ia berceritera dan tertawa berlebih-lebihan.

Yang belum tampak di antara mereka adalah Ki Tambi. Meskipun ia telah agak lanjut umurnya, namun ia masih juga selalu berada di antara anak-anak muda dan para pengawal bersama Ki Jagabaya. Namun kali ini Ki Jagabaya duduk sendirian terkantuk-kantuk di sudut pendapa. Karena Ki Demang kini tidak tampak di pendapa, maka Ki Jagabaya masih belum mempunyai kawan untuk bercakap-cakap. Ia agak kurang mapan bercakap-cakap dengan anak-anak muda yang kadang-kadang berbicara saja hilir mudik tanpa arti.

Memang kadang-kadang ada juga satu dua orang-orang tua yang datang ke pendapa. Tetapi terlampau jarang. Mereka lebih senang tidur melingkar di rumahnya, berselimut kain panjang, daripada berjalan menyusuri gelap di malam hari.

Meskipun demikian, di hari-hari terakhir, setiap laki-laki di Kademangan Candi Sari selalu meletakkan senjata mereka di pembaringannya.

Pada saat itu Ki Tambi sedang berjalan-jalan menyusuri parit, yang mengalirkan air ke sawahnya. Ia ingin melihat apakah tanamannya tidak kering. Sepeninggalannya, sawah itu kurang mendapat pemeliharaan sehingga tanahnya seakan-akan mengeras seperti padas. Setelah ia kembali, maka mulailah ia berusaha memperbaiki tanah itu dengan memberikan berbagai macam pupuk dan menjaga agar tanah itu tidak kering.

Tetapi ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat sesosok tubuh mengikutinya, berjalan menyusur parit itu juga. Kalau ia mempercepat langkahnya, maka bayangan yang kehitam-hitaman digelapnya malam itu melangkah semakin cepat pula. Kalau ia memperlambat langkah, maka bayangan itu pun menjadi semakin lambat. Bahkan apabila ia berhenti, bayangan itu pun berhenti juga.

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi bercuriga karenanya. Karena itu, tanpa sesadarnya ia meraba senjatanya yang terselip di lambung.

“Siapakah orang itu?” desisnya.

Dan ternyata bayangan itu masih selalu mengikutinya.

“Persetan,” Ki Tambi menggeram. “Apa saja yang akan dilakukan aku sudah siap.”

Dan Ki Tambi itu pun seolah-olah tidak menghiraukannya lagi. Dengan langkah yang tetap ia berjalan langsung menuju ke sawahnya.

Meskipun demikian Ki Tambi tidak menjadi lengah. Ia berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Seandainya orang itu tiba-tiba saja meloncat menerkamnya, ia sudah siap untuk melawannya.

Namun betapapun ketegangan mencekam dadanya. Ia masih sempat memperhatikan air di sawahnya. Ternyata air itu cukup lancar, sehingga tanahnya sama sekali tidak kering.

“Tetapi bagaimana dengan orang itu?” ia bertanya kepada diri sendiri. Namun ia tidak tahu, bagaimana ia harus menjawabnya.

Dalam ketegangan itulah, maka Ki Tambi kemudian berjongkok di samping belahan pematang yang disobeknya untuk mengalirkan air dari dalam parit. Namun demikian tangannya masih saja melekat dihulu senjatanya.

Bayangan yang hitam itu berhenti beberapa langkah daripadanya. Seperti sebuah patung bayangan itu berdiri tegak tanpa bergerak sama sekali.

Tiba-tiba Ki Tambi tidak sabar lagi. Segera ia meloncat sendiri sambil bertanya lantang, “Siapa kau?”

Ketika Ki Tambi maju selangkah bayangan itu pun surut selangkah.

“Siapa kau he?” bentak Ki Tambi. “Dan apakah maksudmu?”

Bayangan itu masih belum menjawab.

Dalam pada itu Ki Tambi menjadi semakin kehabisan kesabarannya. Tiba-tiba saja pedangnya telah berada di tangannya, “Ayo, jawab. Siapa kau?”

Bayangan itu tampak bergerak-gerak. Kemudian surut selangkah pula. Ki Tambi menjadi ragu-ragu sejenak. Apakah orang ini yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat atau yang menamakan dirinya Resi Panji Sekar? Ataukah siapa lagi?

“Kalau orang ini Panembahan Sekar Jagat,” ia berkata di dalam hatinya. “Maka kedatangannya ini pasti di dalam rangka pembalasan dendamnya atas kematian Sapu Angin dan orang-orangnya. Mungkin ia telah menerima laporan dari salah seorang anak buahnya, atau bahkan oleh Wanda Geni yang berhasil melarikan dirinya, bahwa aku termasuk salah seorang yang paling gigih menganjurkan perlawanan atas Panembahan Sekar Jagat itu.”

Ki Tambi itu pun mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun melanjutkannya di dalam hatinya. “Tetapi apa boleh buat. Aku harus menghadapinya. Alangkah dahsyatnya Panembahan Sekar Jagat ini. Ia mempergunakan cara yang khusus untuk membalas dendam. Ia agaknya telah bertekad menemui seorang demi seorang. Setelah aku mungkin segera Bramanti ditemuinya pula. Tetapi agaknya Bramanti akan berhasil menyelesaikannya. Sayang, aku sudah tidak akan dapat melihatnya, karena malam ini Panembahan Sekar Jagat itu sudah akan mencekikku.”

Tetapi Ki Tambi tidak menjadi gemetar dan ketakutan karenanya. Meskipun ia sadar, apabila orang itu Panembahan Sekar Jagat, maka umurnya sudah akan sampai ke ujung.

Namun tanpa disadarinya, tangannya telah meraba kantong ikat pinggangnya. Di dalam kantong ikat pinggang kulitnya itulah tersimpan sebuah lencana yang diterimanya dari Panggiring.

“Apakah lencana ini akan berpengaruh seperti didaerah pesisir Utara?” bertanya Ki Tambi di dalam hatinya, kemudian, “Tetapi menurut salah seorang anak buahnya, Panembahan Sekar Jagat justru pernah mengeluarkan tantangan kepada Panggiring. Jika demikian, maka lencana ini akan mempunyai dua kemungkinan. Sekar Jagat menghormatinya atau justru akan dipakainya sebagai alasan untuk memancing Panggiring.”

Karena bayangan itu masih tetap berdiam diri, maka Ki Tambi pun melangkah maju lagi sambil bertanya pula. “He siapa kau? Hantu, tetekan atau manusia seperti aku?”

Tetapi bayangan yang kehitam-hitaman itu kini tidak melangkah surut lagi. Bahkan setapak ia maju.

Pedang Ki Tambi telah teracung lurus ke depan. Perlahan-lahan ia menjadi semakin dekat. “Sebut namamu,” ia menggeram. Kini ujung pedang Ki Tambi menjadi semakin dekat mengarah langsung kepada bayangan itu. Tetapi bayangan itu masih belum bergerak.

Tetapi semakin dekat Ki Tambi dengan bayangan itu terasa dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Dikedip-kedipkan matanya dan dicobanya untuk mengamati bayangan itu lebih seksama.

“Siapa kau he, siapa?” tetapi nada suara Ki Tambi itu telah berubah.

“Aku paman.”

“Kau, kaukah itu he?”

“Ya, sebenarnya aku telah datang paman.”

“Oh,” sejenak Ki Tambi berdiri tegak seperti patung. Matanya tidak berkedip memandangi orang yang masih j uga berdiri membeku. Namun tiba-tiba Ki Tambi menyarungkan pedangnya dan meloncat maju, menggenggam kedua belah tangan orang itu sambil berdesis, “Kau, kau. Kau benar-benar datang Panggiring.”

Panggiring menundukkan kepalanya. Suaranya menjadi berat. “Ya, aku datang paman.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran melihat Panggiring menundukkan kepalanya. Ketika ia bertemu dengan anak muda itu di pesisir Utara, Panggiring selalu menengadahkan wajahnya, meskipun pada wajah itu tergores beberapa bekas luka senjata. Tetapi ia sama sekali tidak menjadi malu karenanya. Goresan-goresan itu justru menjadi kebanggaannya. Kebanggaan seorang pemimpin perampok yang paling ganas.

Dan kini ia melihat Panggiring itu menundukkan kepalanya.

“Panggiring,” berkata Ki Tambi kemudian. “Aku tidak menyangka bahwa kau benar-benar akan datang. Aku kira kau hanya sekadar berbicara begitu saja tanpa kau pikirkan masak-masak. Tetapi ternyata bahwa kau kini telah berada disini.”

“Sebenarnya paman, waktu itu aku memang hanya berbicara begitu saja. Aku pun pada saat itu sama sekali tidak bermaksud bersungguh-sungguh. Namun agaknya aku memang harus kembali ke kampung halaman setelah sekian tahun meninggalkannya.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia teringat kepada kata-kata salah seorang anak buah Panembahan Sekar Jagat, sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Panggiring, apakah kedatanganmu ini sehubungan dengan tantangan Panembahan Sekar Jagat?”

Panggiring tersentak. Di angkatnya wajahnya yang ditandai dengan bekas luka.

“Darimana paman mendengarnya?”

“Salah seorang anak buah Panembahan Sekar Jagat yang terluka.”

“Apakah ia berkata begitu?”

“Ya, bukankah kau pernah menyampaikan lencana kepada Panembahan Sekar Jagat?”

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. “Sebenarnya aku ingin memenuhi tantangan itu. Tetapi semuanya itu telah berlalu.”

Ki Tambi menjadi heran mendengar kata-kata yang bernada rendah itu. Ia merasakan, bahwa sesuatu telah terjadi pada diri pimpinan perampok yang paling ditakuti itu.

Karena itu tanpa sesadarnya Ki Tambi memandang wajah Panggiring tajam-tajam, seolah-olah ingin diketahuinya langsung, apakah yang tersimpan di dalam kepalanya. Tetapi dalam keremangan malam kesan di wajah Panggiring itu tidak terlampau banyak dapat ditangkap.

Dan perlahan-lahan Ki Tambi bertanya, “Kenapa kau tidak dapat memenuhi tantangan itu Panggiring?”

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ketika aku menerima pesan itu, aku sudah merencanakan untuk datang tepat pada waktunya. datang tepat pada waktunya. Sebulan setelah tantangan itu aku terima. Tetapi ternyata sebulan kemudian aku telah memutuskan untuk meletakkan segala macam senjata dari tanganku yang penuh dengan noda ini.”

“Panggiring,” Ki tambi hampir berteriak. “Apakah artinya?”

Panggiring menganggukkan kepalanya, “Begitulah. Aku sudah meletakkan senjata.”

“Jadi kau sekarang sudah berubah?”

Panggiring menganggukkan kepalanya pula, “Aku sedang berusaha paman.”

Ki Tambi menepuk-nepuk bahu Panggiring yang bidang itu. Ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkumat-kamit. Tetapi terasa tenggorokan orang tua itu seakan-akan tersumbat.

Sejenak mereka saling berdiam diri. Betapa silirnya angin malam, tetapi tubuh Ki Tambi telah dibasahi oleh keringat yang mengembun dari lubang-lubang kulitnya.

Suara kentongan di kejauhan telah membangunkan keduanya dari dunia angan-angannya. Perlahan-lahan Ki Tambi berdesis, “Sudah tengah malam.”

Panggiring mengangguk, “Ya paman. Sudah tengah malam.”

“Lalu bagaimana dengan kau Panggiring? Apakah kau akan segera pulang ke rumah.”

Panggiring tidak segera menjawab. Tetapi terasa bahwa hatinya sedang menerawang jauh. Jauh sekali.

“Panggiring,” suara Ki Tambi tiba-tiba merendah. “Aku harus minta maaf kepadamu.”

“Kenapa paman?”

“Karena aku tidak menyangka bahwa kau akan datang secepat ini, maka aku telah menceriterakan tentang dirimu kepada orang-orang di Kademangan Candi Sari.”

Panggiring mengerutkan keningnya.

“Semula aku hanya ingin mengatakan bahwa aku telah bertemu dengan kau, dan kau telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan aku telah memamerkan lencana yang kau berikan itu pula. Tetapi aku sampaikan juga kepada kenyataanmu di pesisir Utara Panggiring.”

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah merenung sejanak ia berkata, “Aku tidak berkeberatan paman. Aku memang telah menjalani hidup serupa itu. Dan aku sekarang akan menempatkan diriku ke dalam dunia yang lain.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum tahu apakah akan jadinya. Terbayang sekilas diwajahnya sikap Bramanti yang selalu mengelakkan diri dari setiap hubungan dengan Panggiring.

Debar di dada Ki Tambi menjadi semakin tajam. Kini ia seakan-akan melihat dua orang bersaudara, seibu tetapi berlainan ayah, sebagai dua orang laki-laki yang tidak sejalan. Apalagi keduanya adalah orang-orang perkasa yang tidak ada bandingnya.

Sekilas terbayang pula apa yang pernah terjadi beberapa waktu yang lampau . Sebagai seorang yang disegani, Ki Tambi melihat apa yang telah menimpa keluarga itu, meskipun tidak terlampau jelas.

“Paman,” terdengar suara Panggiring berat, “Sesuatu telah memaksa aku untuk menempuh jalan ini. Mudah-mudahan aku tidak mendapat kesulitan atau bahkan membuat kesulitan pada orang lain.”

“Oh, tidak, tidak ngger,” Ki Tambi tergagap. Namun kemudian, “Tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan kau?”

“Ceritera itu mungkin tidak menarik. Tetapi aku sangat berterima kasih bahwa hal itu telah terjadi atas diriku.”

“Apakah kau tidak bekeberatan untuk mengatakannya?”

Panggiring ragu-ragu sejenak, kemudian diangkatkannya kepalanya sambil berkata, “Mungkin ada baiknya juga paman mengetahui.” Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Marilah kita duduk. Aku ingin mendengar ceriteramu itu.”

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika Ki Tambi duduk di atas rerumputan yang basah oleh embun, maka Panggiring pun duduk pula di sampingnya.

“Nah, sekarang kau mulai berceritera tentang dirimu sendiri,” berkata Ki Tambi kemudian.

Panggiring masih berdiam untuk sesaat. Mulutnya serasa menjadi terlampau berat untuk berceritera tentang dirinya sendiri.

“Apakah kau berkeberatan?” bertanya Ki Tambi.

“Tidak paman, tidak,” Panggiring tergagap.

Ki Tambi menjadi semakin heran. Panggiring seolah-olah telah berubah sama sekali. Ia menjadi gugup dan bingung. Beberapa saat yang lalu, Panggiring adalah seorang yang garang, berkepala dingin dan bersikap terlampau tenang, apapun yang dihadapinya.

“Paman,” suara Panggiring merendah dan bergetar, “Pada suatu saat aku merasa bahwa aku adalah seorang yang tidak terkalahkan.”

“Ya. Aku percaya bahwa kau memang tidak terkalahkan di pesisir Utara.”

“Karena itulah aku menjadi kehilangan sifat-sifat kemanusiaanku. Orang yang berani menentang aku dalam segala bentuknya, pasti aku singkirkan.”

“Kau bunuh?”

Panggiring menarik nafas dalam sekali. Katanya, “Ya, aku telah membunuh puluhan orang dengan tanganku. Sehingga akhirnya aku bertemu dengan seorang lawan yang tangguh. Namun dalam perkelahian yang terjadi, aku berhasil membunuhnya, juga dengan senjata yang tergenggam di tangan ini,” Panggiring berhenti sebentar. Tangannya yang gemetar diamati-amatinya. Dan Ki Tambi pun berdesir melihat jari-jari tangan Panggiring yang mengembang, seakan-akan hendak menerkam wajahnya sendiri.

Ki Tambi yang menahan nafas itu berdesah ketika ia melihat tangan itu kemudian terkulai lemah.

“Tetapi paman. Dalam perkelahian itu aku pun telah terluka parah. Aku tidak dapat lagi beranjak dari tempatku. Dan aku hanya dapat menunggu kematian yang ganas akan menerkam aku. Justru kematian yang paling mengerikan. Perlahan-lahan sambil menunggu anjing-anjing liar yang lewat. Karena arena perkelahian yang kami pilih adalah sebuah padang rumput di pinggir sebuah hutan kecil tanpa seorang pun yang menyaksikannya,” Panggiring berhenti sejenak, lalu, “Tetapi yang tidak aku sangka-sangka itu datang. Seorang perempuan tua pencari kayu. Ketika ia melihat aku, maka timbullah ibanya. Diberikannya setitik air bekalnya ke bibirku. Ternyata titik air itu telah menambah kesegaran ditubuhku. Sejak perkelahian itu selesai, menjelang fajar sampai matahari sepenggalah, aku terbaring dalam kesakitan dan kehausan. Karena itu, maka ketika setitik air telah membasahi bibirku, serasa aku mendapat suatu kekuatan. Tiba-tiba saja aku kehilangan sifat-sifat kemanusiaanku itu pula. Dengan serta merta bumbung air itu aku sentakkan dari tangannya. Hampir di luar sadarku, maka air dalam bumbung itu aku tuangkan begitu saja ke mulutku.”

“Jangan,” teriak perempuan tua itu, “Jangan kau habiskan air itu. Aku akan kehausan di hutan itu nanti.”

Tetapi aku tidak mempedulikannya. Air itu aku teguk sampai habis. Ketika perempuan tua itu mencoba merebutnya dari tanganku, maka sebuah hentakan telah membuatnya terpelanting. Sehingga akhirnya air itu terkuras habis, meskipun sebagian tumpah di wajah dan dadaku.

“Kau habiskan air itu?” desis perempuan tua itu.

Aku tidak menjawab. Tubuhku masih terasa sakit dan luka-lukaku menjadi pedih. Apalagi karena percikan air yang tumpah dari bumbung itu.

Aku yang masih terlampau lemah itu melihat perempuan tua itu merenungi bumbungnya yang telah kosong. Kemudian merenungi wajahku.

Di luar dugaan perempuan itu mendekati aku sambil berkata, “Sudahlah. Aku tidak akan menyesali air itu. Apakah kau masih sakit?”

Aku tidak menjawab. “Apa kau berkelahi?”

Aku pun tidak menjawab. Tetapi aku melihat perempuan tua itu mengamat-amati mayat lawanku.
“Sayang ia sudah mati, sehingga tidak ada gunanya lagi menolongnya,” desisnya, “Tetapi yang masih hidup sajalah yang wajib ditolong sebaik-baiknya.” Kemudian ia mendekati aku lagi sambil bertanya, “Apakah kau dapat bangkit?”

Aku tidak tahu kenapa aku menggelengkan kepalaku, seperti anak-anak dihadapan neneknya.
“Aku tidak kuat mendukungmu. Tetapi aku dapat menunggu sampai kau mampu berjalan ke pondokku.”

Perempuan tua itu memang mengherankan sekali. Ia pun kemudian duduk bersimpuh di sampingku terbaring. Dengan sesobek kain ia mencoba menyeka luka-lukaku yang masih berdarah.
Sentuhan tangannya telah membuat perasaanku menjadi aneh. Selama ini aku tidak pernah disentuh oleh tangan yang menyalurkan iba dan kasihan, apalagi kasih yang tulus. Yang biasa aku rasakan adalah sentuhan senjata dan sentuhan tangan-tangan yang kasar bernada maut. Tetapi tangan orang tua itu lain. Lain sama sekali.

Karena itu, aku pun berusaha untuk menemukan sisa-sisa kekuatanku. Perlahan-lahan aku bangkit dan duduk bersandar kedua tanganku.

“He, kau sudah dapat bangkit? Apakah kau dapat memaksa dirimu untuk berjalan setapak demi setapak?”

Orang tua itu merenung sejenak. Kemudian ia berdiri dan melangkah pergi. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Namun sejenak kemudian ia kembali dengan sebatang kayu ditangannya.
“Kau memerlukan tongkat. Ayo, bangun dan berjalan.

Aku benar-benar seperti seorang anak kecil. Dengan susah payah aku bangkit berdiri bersandar pada sebatang kayu itu. Karena aku memaksa diri dengan mengerahkan segenap sisa-sisa kekuatanku, maka akupun berhasil berdiri dan berjalan mengikuti nenek itu, pulang ke rumahnya.
Ternyata rumahnya tidak begitu jauh. Tetapi sampai ke gubug kecil itu, tenagaku telah terperas habis. Karena itu, begitu aku meletakkan diriku di pembaringan, aku langsung menjadi pingsan.
Namun rumah yang kecil dan sederhana itu telah memberikan kekayaan rohani yang tiada taranya bagiku. Orang tua itu terlampau baik hati. Dengan setulus hatinya ia menumpahkan belas kasihannya kepadaku.

Adalah aneh sekali, bahwa aku tidak merasa tersinggung sama sekali, meskipun aku adalah orang yang paling tidak memerlukan belas kasihan orang lain.

Setiap pagi-pagi buta aku melihat perempuan itu menghadap Tuhannya dengan tekun. Di siang, sore dan malam hari. Setiap hari aku mendengar, menyebut kasih Tuhan atas umurnya. Meskipun ia hidup dalam kesulitan, namun ia merasa tentram dan damai.

Saat yang demikian itulah yang selama hidupku tidak pernah aku jumpai. Sejak aku mempunyai seorang ayah tiri, maka aku adalah orang yang tersisih. Tersisih dari semuanya, dan aku telah kehilangan cinta sesama. Aku menjadi semakin jauh dari Tuhanku.

Dalam kedamaian yang terpercik dari kasih orang tua itulah aku mulai berpikir, “Apakah yang hendak aku capai dengan keperkasaan, kemenangan dan tanpa tanding ini? Kalau aku telah menjadi orang yang tidak terkalahkan, lalu bagaimana?


Aku adalah orang yang tidak ada duanya. Tetapi setiap kali aku datang, maka menjauhlah semua orang daripadaku. Setiap aku ada, maka tidak seorang pun yang datang berkunjung ke tempat itu. Setiap kali kemarahanku memang dapat aku tumpahkan dengan membunuh siapa saja yang membuat aku menjadi mata gelap. Tetapi itu sama sekali tidak menolongku. Aku justru menjadi semakin tersisih dan tersisih.

Demikian paman, dalam perawatan perempuan tua itu aku teringat ibu. Ibu yang pasti sudah setua perempuan yang memelihara aku itu pula,” Panggiring berhenti sejenak.

Setelah menelan ludahnya ia melanjutkan, “Akhirnya aku mendengar dari mulutnya sendiri, bahwa ia telah kehilangan anak satu-satunya. Anak itu telah dibunuh oleh seorang perampok yang paling kejam di pesisir Utara. Namanya Panggiring.”

Untuk pertama kali aku merasa ketakutan. Aku takut bahwa orang lain dapat mengenaliku bernama Panggiring. Biasanya aku dengan bangga menengadahkan dada sambil berkata, “Akulah Panggiring.”

Tetapi terhadap perempuan tua itu aku tidak berani berbuat demikian.

Demikian takutnya aku kepadanya, sehingga ketika luka-lukaku telah berangsur sembuh, dan aku sudah dapat bangkit dari pembaringanku, aku merayap mendekati pembaringan perempuan tua itu. Perempuan yang selalu menyayangi aku dengan ketakutan itu harus aku bunuh selagi ia tidur.

Tetapi aku tidak dapat melakukannya paman. Tanganku yang telah sekian puluh kali aku pergunakan untuk membunuh, tiba-tiba menjadi seakan-akan membeku.

Bahkan aku menjadi seperti orang gila. Aku guncang-guncang tubuhnya yang telah berkerut-kerut itu sambil berteriak-teriak. “Ini aku Panggiring Nyai. Aku Panggiring yang telah membunuh anakmu. Kenapa kau tidak membiarkan aku mati saja? Kenapa?”

Perempuan tua itu terperanjat. Namun kemudian dengan tenang ia bangkit dan duduk di pembaringannya.
“Kenapa kau?”

“Bukankah anakmu laki-laki yang tunggal itu telah dibunuh oleh Panggiring, sehingga hidup Nyai menjadi begini pahit? Nah akulah orang yang bernama Panggiring itu. Aku Nyai. Aku. Sekarang Nyai dapat membunuh aku dengan cara yang kau pilih. Meracunku, atau menyobek lukaku ini kembali.”

Perempuan itu termenung sejenak, dan aku teriak lagi, “Akulah Panggiring, apakah kau dengar?”
Aku menjadi semakin terperanjat ketika perempuan itu menjawab, Ya, aku sudah tahu bahwa kau Panggiring. Kenapa?”

Aku tidak dapat mengerti, kenapa ia tidak membunuhku atau membiarkan aku mati. Dan aku masih mendengar ia berkata, “Aku mengerti kalau kaulah yang bernama Panggiring itu sebenarnya. Dan aku sadar, bahwa kau jugalah yang telah membunuh anakku itu sejak kau berbaring di padang itu.”

“Darimana kau tahu?” aku bertanya.

“Ikat pinggangmu. Semua orang tahu, bahwa tanda itu adalah tanda seorang yang bernama Panggiring. Sebuah Candi.”

Tubuh Panggiring menjadi gemetar karenanya. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kalau Nyai tahu bahwa aku Panggiring yang telah membunuh anakmu, kenapa kau menolongku.”

Perempuan itu tersenyum betapapun pahitnya, “Yah,” ia berdesah, “Apakah maksudmu, aku harus mendendam dan membalas setiap pembunuhan dengan pembunuhan betapapun caranya?”
Aku tidak dapat menyahut.

“Tuhan tidak mengajarkan demikian. Dan aku adalah hamba Tuhan yang harus berusaha sejauh mungkin dapat melakukan petunjuk-Nya.”

Jawaban itu serasa ujung duri yang menyentuh-nyentuh dinding jantung. Tajam sekali. Dan perempuan itu berkata, “Dan setiap pembunuhan tidak akan dibenarkan oleh Tuhan, apapun alasannya.”

Ternyata luka di dalam hati ini jauh lebih pedih dari luka-luka ditubuhku. Karena itu untuk melepaskannya aku berteriak, “Omong kosong. Omong kosong. Aku sudah membunuh puluhan orang. Dan aku tidak pernah mendapat kutukan apapun. Aku berkuasa karena aku membunuh.”

Tetapi perempuan tua itu tersenyum. Katanya, Pandanganmu memang terlampau sempit Panggiring. Kau hanya memandang dunia yang kasat mata ini saja. Kau tidak pernah melihat jauh ke seberang hidupmu yang sekarang.”

“Buat apa aku memandang ke daerah yang tidak aku hayati. Dunia yang hanya terbayang di dalam teka-teki dan sekadar untuk menakut-nakuti anak yang nakal?”

Perempuan itu malah tertawa. Katanya, “Kau memang masih sakit. Luka-lukamu masih basah dan setiap saat dapat berdarah kembali. Berbaringlah dan beristirahatlah. Kau akan menjadi lekas sembuh.”

“Tidak. Aku tidak mau mendengar omong kosongmu itu.”

“Tidurlah.”

Dan aku sama sekali tidak dapat melawannya. Melawan tenaga tuanya itu, ketika aku didorongnya kembali ke pembaringanku, sebuah amben bambu yang berderit-derit.

“Kau tidak hanya sekadar luka-luka ditubuhmu, tetapi kau mendapat luka yang cukup parah. Dihatimu,” desis perempuan tua itu dekat ditelingaku, “Kenapa?”

Aku tidak menjawab.

“Hatiku juga luka karena aku kematian anakku satu-satunya. Tetapi aku dekat dengan tabib Yang Maha Pandai. Lukaku berhasil disembuhkannya.”

“Siapa tabib itu?”

“Tuhan. Tuhan mampu mengobati luka di hati. Aku telah diobati-Nya sehingga sembuh sama sekali. Karena aku tidak mendendammu. Kalau kau mau mendekat dan memohon, kau pun akan diobati-Nya. Cobalah,” perempuan tua itu berhenti sejenak, lalu di bertanya, “Kenapa kau luka di hati?”

Sekali lagi aku tidak dapat melawan, dan aku berceritera tentang diriku. Tentang ibuku dan ayahku. Tentang kematian ayah dan kemudian tentang seorang ayah tiri. Bagaimana aku hidup di neraka dan kemudian aku harus pergi meninggalkan semuanya yang aku cintai. Ibuku, adikku dan kampung halaman ini.

“Kau memang sakit anakku,” desah perempuan tua itu. “Karena itu kau harus mohon untuk disembuhkan-Nya. Lahir dan batinmu. Tubuh dan nyawamu yang memang sedang sakit.”
Aku tidak dapat menolak kata-katanya. Meskipun aku tidak berbuat apa-apa, tetapi setiap kali aku melihat orang tua itu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan doa. Setiap kali. Dan yang setiap kali itu seperti titik air di atas batu yang betapapun kerasnya,” Panggiring berhenti pula sejenak. Kepalanya menjadi semakin tertunduk. Di sampingnya Ki Tambi duduk terpekur. Terbayang dipelupuk matanya apa yang telah terjadi atas Panggiring. Berurutan, sejak kanak-kanaknya. Sebagai seorang tetangga yang dekat dari keluarga Panggiring, ia tahu benar apa yang telah terjadi. Persoalan-persoalan yang telah mendorong Panggiring sehingga ia telah membenci keadaan disekitarnya.

“Paman,” suara Panggiring merendah. “Ketika aku sembuh sama sekali dari luka-luka di tubuh, ternyata aku telah mengambil suatu keputusan, bahwa luka-luka di hati inipun harus sembuh pula. Karena itulah maka aku telah meletakkan semua senjataku. Dan aku memutuskan untuk pulang.”

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jadikanlah semua lelakon itu sebuah pengalaman yang dahsyat. Namun pada akhirnya kau berhasil meloncat keluar dari dalam belenggu itu.”

Panggiring masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Paman, apakah aku belum terlambat?”

“O, tidak ada keterlambatan selagi kau masih dapat mengucapkan di dalam hati dan dari mulutmu, bahwa kau memang telah bertaubat dan mengakui segala kesalahan. Pintu rumah Tuhan selalu dibuka bagi mereka yang datang kepada-Nya.”

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Perempuan tua itu pun berkata begitu. Tetapi apakah aku masih akan dapat tidur nyenyak di malam hari, apabila aku selalu ingat bahwa tangan ini pernah membunuh puluhan orang.”

“Itu termasuk luka-luka yang akan dapat disembuhkan-Nya apabila kau benar-benar mendekat kepada-Nya.”

“Paman,” suara Panggiring menjadi lambat, “Aku ingin kembali ke kampung ini. Tetapi aku tidak berani langsung datang menemui ibu. Aku memang sudah menyangka, bahwa seluruh Kademangan telah mendengar apa yang telah kau lakukan. Karena itu, aku minta tolong kepadamu paman.”

“Tentu, tentu aku akan menolongnya. Maksudmu agar aku menyampaikannya kepada ibumu bahwa kau akan pulang?”

“Ya,” sahut Panggiring. “Bukankah Bramanti sekarang sudah ada di rumah pula?”
“Darimana kau tahu?” Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Sudah beberapa hari aku berkeliaran di Kademangan ini seperti sesosok hantu di malam hari. Aku takut bertemu dengan siapapun karena aku merasa betapa kotornya tanganku. Satu-satunya orang yang dapat mengerti tentang aku adalah paman Tambi. Dan baru sekarang aku mendapat kesempatan untuk bertemu.”
Ki Tambi mengerutkan keningnya, “Tetapi apakah kau tahu bahwa Bramanti pernah meninggalkan Kademangan ini?”

“Ya. Aku mendengar banyak tentang Kademangan ini. Orang-orangku kadang-kadang ke Kademangan ini, sehingga aku pun tahu bahwa Kademangan ini sering diperas oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat. Karena itulah maka aku telah mengirimkan seseorang untuk mencoba mencegah perbuatan Panembahan Sekar Jagat. Tetapi agaknya ia menolak dan bahkan memberikan tantangan itu.”

“Jadi orang-orangmu sering juga berkeliaran di sini?”

“Tidak paman. Hanya kadang-kadang apabila aku menyuruh mereka. Kadang-kadang aku merasa rindu kepada kampung halaman. Karena itu, aku mengirimkan orang untuk mengetahui, apakah yang telah terjadi di kampung halaman. Apakah yang telah terjadi dengan ibu, adikku dan orang-orang yang aku kenal di Kademangan ini.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Pada dasarnya Panggiring bukan seorang yang jahat. Tetapi ia telah dibentuk oleh keadaan dan mendorongnya ke dunianya yang hitam kelam.”

“Paman,” berkata Panggiring kemudian, “Aku minta tolong kepadamu. Katakanlah kepada ibu dan Bramanti bahwa aku akan pulang kembali. Aku minta ibu dan Bramanti merelakan sebidang tanah yang sempit saja aku untuk membangun sebuah gubug. Aku akan tinggal di dalam gubug itu sebagai manusia biasa. Sebagai seorang warga Kademangan ini. Aku masih kuat untuk bekerja apapun. Mungkin seseorang mau mengupah aku untuk bekerja di sawah, atau bekerja apapun. Menebang kayu dan mungkin juga mengangkut barang-barang yang akan diperdagangkan.”

Terasa dada Ki Tambi menjadi sesak. Seorang yang bernama Panggiring, yang pernah menjelajahi pantai Utara, kini bersedia untuk menjadi seorang upahan. Namun dengan demikian, Panggiring sudah mendekati kesembuhannya. Meskipun demikian sikap itu telah membangunkan perasaan hari di dalam dada Ki Tambi.

“Ya, ya Panggiring,” jawab Ki Tambi. “Aku akan menemui ibumu dan Bramanti. Aku akan menyampaikan maksudmu, bahwa kau memerlukan beberapa jengkal tanah untuk sebuah gubug kecil.”

“Ya paman. Aku minta kemurahan hati mereka.”

Ki Tambi menepuk bahu Panggiring. Sentuhan pada tubuh itu masih terasa betapa asingnya, seakan-akan tangannya telah menyentuh sekeping besi. Tetapi di dalam tubuh yang masih mengeras itu, tersimpan hati yang sudah menjadi cair.

“Apakah kau akan menemui mereka sekarang?”

“Aku tidak berani paman. Kalau paman tidak berkeberatan, biarlah paman sajalah yang menyampaikan pada mereka. Aku akan menunggu keterangan dari paman.”

“Lalu dimanakah kau tinggal selama ini.”

“Aku berada di hutan disebelah kali Kuning.”

Tambi mengerutkan keningnya, “Di hutan?”

“Sudah terlampau biasa bagiku, tinggal dimanapun juga.”

“Bagaimana kau makan?”

“Di hutan itu ada buah-buahan. Dan aku mempunyai bekal beberapa kepeng, yang dapat aku tukarkan dengan kebutuhan sehari-hari.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak akan heran apabila Panggiring mempunyai bekal yang cukup, karena selama ini Panggiring telah berhasil mengumpulkan apa saja yang tidak dapat dibayangkan dan dihitung dengan bilangan.

Agaknya Panggiring merasakan geteran di dalam hati Ki Tambi itu, sehingga ia berkata seterusnya, “Tetapi aku tidak membawa bekal terlalu banyak. Cukup untuk hidup beberapa hari sambil mencari makanan di sela-sela pepohonan hutan.”

“Lalu, lalu......,” Ki Tambi ragu-ragu.

“Maksud paman, segala macam harta benda itu?”

Ki Tambi menganggukkan kepalanya.

“Aku tidak ingin memiliki lagi. Semuanya telah aku timbun di dalam goa. Tidak seorang pun yang mengetahuinya. Bahkan orang-orangkupun tidak mengetahuinya pula.”

Ki Tambi mengangguk-angguk pula.

“Harta itu ternyata bukan hakku. Karena itu, seandainya aku ingin memilikinya, aku tidak akan dapat menikmatinya. Semuanya pasti akan membuat aku selalu gelisah dan berdebar-debar. Pada akhirnya aku merasa, alangkah tentram hidup seseorang yang mendapat makan dan minumnya sehari-hari atas hasil jerih payahnya. Tidak berarti kita menjadi seorang yang kaya raya, hendaknya kekayaan itu kita temukan lewat jalan yang seharusnya. Tidak seperti cara yang pernah aku tempuh itu.”

Ki Tambi mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk.

“Nah, paman. Aku kira aku sudah cukup lama berbicara dan berceritera. Aku mengharap bahwa paman akan dapat menolongku. Aku mengharap ibu dan Bramanti sudi menerima aku dan memberiku secercah tanah untuk tempat tinggal.”

“Aku akan berusaha Panggiring. Tetapi apakah tidak sebaiknya kau tinggal di rumahku?”
“Jangan paman. Aku rasa belum saatnya aku berjumpa dengan siapapun. Aku memang mengelakkan semua pertemuan selain dengan paman.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Kalau begitu sudah menjadi pendirianmu, terserahlah Panggiring. Tetapi pintu rumahku selalu terbuka. Setiap saat kau dapat memasukinya.”

“Terima kasih paman. Sekarang perkenankan aku pergi. Aku akan menemui paman disini lain kali untuk mendengar, apakah permintaanku dapat diterima oleh ibu dan Bramanti.”

“Baik Panggiring. Aku sering menyusur air di parit ini.”

Panggiring pun kemudian berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah menyusur parit menembus gelapnya malam. Semakin lama semakin kabur di dalam wajah malam yang hitam.

Ki Tambi yang sudah bangkit berdiri pula menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menyangka, bahwa malam ini ia akan bertemu dengan Panggiring. Bahkan ia hampir memastikan bahwa sepanjang umurnya Panggiring tidak akan menginjak kampung halamannya kembali. Tetapi ternyata dugaannya itu salah. Pada suatu saat Panggiring telah terguncang dari dunianya, dan terlempar ke dalam kesadaran yang bening.

Perlahan-lahan Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun meninggalkan sawahnya yang telah penuh dengan air setelah ia menutup kembali pematang yang disobeknya.
Tengah malam menjadi semakin jauh di belakang. Bintang-bintang telah bergeser ke Barat. Ketika tanpa sesadarnya Ki tambi memandang ke langit di sebelah Timur, ia melihat bintang Panjer Rina yang cemerlang.

“Hem,” Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. “Persoalan Panggiring bukanlah persoalan yang mudah diselesaikan. Sikap Bramanti terhadapnya tidak menguntungkan. Tetapi aku harus menjelaskan, bahwa Panggiring telah berubah. Panggiring telah menjadi Panggiring yang lain.”

Sambil melangkahkan kakinya Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku harus berusaha,” desisnya, meskipun ia menyadari bahwa ia pasti akan menemui kesulitan.

Ki Tambi melanggkah terus sambil merenung. Terasa dingin malam menembus kulitnya, sedang pedut yang tipis mengambang semakin merendah.

Sementara itu, anak-anak muda di Kademangan semakin lama menjadi semakin diam. Hanya tinggal satu dua saja di antara mereka yang masih bercakap-cakap. Sebagian besar, telah terbaring di atas tikar pandan di pendapa. Bahkan banyak di antara mereka yang telah tertidur nyenyak.
Tetapi Bramanti masih duduk di gardu sambil mengusap-usap dagunya. Di sampingnya Temunggul duduk bersandar tiang. Dua pengawal yang lain masih juga duduk berjuntai di bibir gardu.

“Agaknya Ki Tambi malam ini tidak datang,” desis Temunggul.

“Ya. Mungkin ia terlalu lelah,” jawab Bramanti.

“Atau mungkin pergi ke sawah.” “Tetapi setiap kali ia pergi ke sawah, ia selalu singgah kemari.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya sambil berkata,
“Aku akan menengok ke sawahnya.”

“Kalau ia pergi ke sawah ia akan datang kemari.” “Kalau begitu ke rumahnya. Mudah-mudahan ia tidak menemui bahaya apapun.”

“Aku kira tidak perlu Temunggul,” berkata Bramanti. “Ki Tambi sudah cukup dewasa, sehingga ia akan mampu menjaga dirinya sendiri.”

“Aku percaya. Tetapi seandainya ia tengah berada di sawah, kemudian disergap oleh beberapa orang Panembahan Sekar Jagat yang mendendam para pengawal Kademangan ini?”

Bramanti mengerutkan keningnya, “Memang mungkin,” desisnya, “Kalau begitu biarlah aku saja yang menengoknya. Aku sudah terlampau lelah duduk disini.”

“Kenapa harus kau? Biarlah kau disini. Kau harus berada di tempat ini setiap saat, sehingga apabila diperlukan, anak-anak tidak usah mencari-cari kau dimana-mana. Biarlah aku saja yang menengoknya.”

“Tetapi bagaimana dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu?”

“Aku akan membawa kentongan kecil ini.” Bramanti mengerutkan keningnya. “Tetapi,” Temunggul berkata kemudian, “Kalau aku tidak segera kembali, sebaiknya kau pun mencari aku ke sudut desa atau ke simpang tiga.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak mempunyai prasangka apapun, sehingga karena itu, maka ia tidak berpikir lebih dari sewajarnya.

“Kalau begitu terserahlah.” “Jangan lupa. Kalau aku tidak segera kembali.”

Temunggul pun kemudian meninggalkan halaman Kademangan. Perlahan-lahan tangannya meraba belati yang disimpannya dibawah bajunya. Dengan belati itu ia akan dapat bergerak cepat tanpa dicurigainya lebih dahulu. Ia harus menusukkan pisau itu sekaligus tepat menyentuh jantung.
Temunggul pernah mempelajari, bagaimana ia harus menusuk seseorang langsung mengenai jantung. Dan ia sampai saat ini masih memahaminya benar-benar.

“Aku dapat memancingnya,” desisnya. “Kemudian mencari kesempatan untuk menikamnya. Ia tidak akan menyangka, bahwa aku menunggunya ditikungan di tenah pedesaan itu. Karena itu Bramanti tidak boleh berteriak atau mengeluh.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Langkahnya pun dipercepat supaya ia segera sampai ke tingkungan, di bawah sebatang pohon ketapang yang besar disudut tikungan itu.

“Ia akan lewat disini. Aku harus meloncat langsung menikamnya. Kalau tidak aku pasti akan gagal. Gagal sama sekali, karena Bramanti memang bukan lawanku.”

Temunggul pun kemudian berjalan semakin cepat lagi. Ketika ia sampai ditikungan segera ia mencari tempat yang baik. Yang terlindung, tetapi tidak terhalang apabila ia ingin meloncat. Loncatannya harus mencapai segala tempat ditikungan itu, dimana pun Bramanti akan lewat.
Dengan dada yang berdebar-debar Temunggul duduk meringkuk dipersembunyiannya. Ia sama sekali tidak memperdulikannya nyamuk dan semut menggigit kaki dan tengkuknya. Kalau ia tidak segera kembali ke Kademangan, maka Bramanti pun akan segera menyusulnya.

“Adalah suatu kebetulan, bahwa malam ini Ki Tambi tidak datang ke Kademangan, sehingga aku mempunyai alasan untuk menjebaknya,” berkata Temunggul di dalam hatinya. “Tentu tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa akulah yang membunuhnya. Aku akan kembali ke Kademangan dan bertanya kepada para peronda, apakah Bramanti tidak pergi menyusul aku? Aku mengharap bahwa arah tuduhan setiap orang Kademangan ini tertuju kepada Panembahan Sekar Jagat.”

Temunggul tersenyum sendiri.

“Aku harus bersabar menunggu disini. Mudah-mudahan tidak segera pergi.“ Namun bintang Panjer Rina di Timur telah membuat jantungnya menjadi berdebar-debar.

Sepeninggalan Temunggul Bramanti turun dari gardu peronda di regol halaman Kademangan. Untuk menghilangkan kantuknya ia berjalan-jalan di halaman. Kemudian ia pergi ke regol butulan di belakang. Tiga di antara lima orang yang berada di gardu itu telah tertidur.

“Apakah kalian berganti-gantian bangun?” bertanya Bramanti.

“Ya. Itu akan lebih baik daripada kita bangun bersama-sama, tetapi kemudian juga tidur bersama-sama.”

Bramanti tersenyum. Ditinggalkannya gardu itu. Langkahnya satu-satu berdesir di atas dedaunan kering yang berguguran di tangkainya.

Ketika ia sampai di gardu depan, Temunggul masih belum tampak kembali. Karena itu maka ia pun segera bertanya kepada para pengawal yang masih duduk di gardu itu. “Apakah Temunggul belum datang?”

“Belum,” jawab mereka sambil menggeleng.

Bramanti mengerutkan keningnya. Desisnya, “Ia pasti baru sampai ke sawah paman Tambi.”
Bramanti pun kemudian naik ke gardu itu pula bersandar dinding. Pandangan matanya jauh menerawang kedalam gelapnya malam. Tetapi ia tidak melihat sesuatu selain pelita dikejauhan, obor dan lampu di pendapa.

Tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang. Mungkin dugaan Temunggul itu benar. Karena dugaan itu memang bukan tidak berdasar. Karena itu maka ia pun menyesal, bahwa ia tidak pergi bersama Temunggul.

“Aku akan menyusul,” berkata Bramanti kemudian kepada para pengawal. “Kemana?”

“Ke sawah. Kalau ia lama tidak segera kembali, aku harus mencarinya ke sudut desa atau ke simpang tiga. Tetapi kalau di tempat itu pun Temunggul tidak ada, aku harus mencarinya ke sawah paman Tambi. Mungkin ia pergi ke sana, tetapi mungkin pula bahwa ia tidak dapat meninggalkan tempat itu, seperti juga Ki Tambi, sebelum ia sempat menyembunyikan tanda-tanda itu,” Bramanti berhenti sejenak kemudian, “Tetapi mudah-mudahan tidak terjadi hal serupa itu. Itu hanya sekadar bentuk yang paling tajam dari kecemasanku saja.”

Para pengawal yang ada di dalam gardu itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kau tidak membawa satu dua orang kawan?”

Bramanti menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak. Biarlah aku pergi sendiri. Kalau misalnya aku harus lari, maka aku hanya akan melarikan diriku sendiri tanpa mendukung orang
lain.”

“Adalah suatu kebetulan, bahwa malam ini Ki Tambi tidak datang ke Kademangan, sehingga aku mempunyai alasan untuk menjebaknya,” berkata Temunggul di dalam hatinya. “Tentu tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa akulah yang membunuhnya. Aku akan kembali ke Kademangan dan bertanya kepada para peronda, apakah Bramanti tidak pergi menyusul aku? Aku mengharap bahwa arah tuduhan setiap orang Kademangan ini tertuju kepada Panembahan Sekar Jagat.”

Denyut jantung Temunggul serasa telah melonjak. Kalau orang itu pergi ke Kademangan, maka Bramanti tidak akan lewat jalan ini seorang diri. Bramanti pasti mengatakan kepada orang tua itu tentang dirinya, dan mereka akan bersama-sama mencarinya.

“Persetan orang tua bodoh itu,” Temunggul mengumpat-umpat di dalam hatinya. “Apakah orang tua ini saja yang aku bunuh sekarang? Ia termasuk salah seorang yang ikut bertanggung jawab atas perlawanan Kademangan ini terhadap Panembahan Sekar Jagat.”

Namun kemudian, “Tetapi aku tidak mendapat manfaat apa-apa. Orang tua itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Ratri. Bahkan dengan demikian Bramanti akan menjadi semakin berhati-hati.”

Tidak habis-habisnya Temunggul mengumpat-umpat di dalam hatinya. Nafasnya justru menjadi terengah-engah, betapapun ia menahan agar Ki Tambi yang kemudian lewat dibawah pohon ketapang itu tidak mendengarnya.

“Tidak ada gunanya aku menunggu Bramanti lewat disini,” desisnya. “Lebih baik aku keluar dari neraka yang penuh dengan binatang-binatang buas ini.”

Namun Temunggul itu mengumpat semakin menjadi-jadi di dalam hati. Belum lagi sepuluh langkah, Ki Tambi tertegun. Kemudian Temunggul mendengar suara Bramanti menyapanya, “Kau paman?”

“He, kemana kau Bramanti?”

Temunggul menggeretakkan giginya. “Kalau orang tua gila itu tidak lewat dijalan ini pula, Bramant pasti sudah menjadi mayat.”

Dan kini Temunggul masih harus tetap bersembunyi di belakang pohon ketapang yang penuh dengan nyamuk dan semut-semut yang semakin banyak.

“Aku mencari Temunggul,” jawab Bramanti. “Kemana anak itu?”

“Temunggul mencemaskan Ki Tambi. Biasanya Ki Tambi pasti datang ke Kademangan. Malam ini tidak. Karena itu, Temunggul ingin menengok paman ke sawah.”

“He, apakah seandainya aku tidak datang semalam aku sudah dapat dianggap memberontak?”
Bramanti tertawa, “Bukan begitu paman,” katanya, “Tetapi Temunggul menjadi cemas, kalau-kalau tiba-tiba saja paman disergap oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat, atau malahan Panembahan itu sendiri.”

“He, apakah Temunggul akan menolong aku dan membunuh Sekar Jagat?”

Bramanti masih tertawa. Jawabnya, “Tetapi maksudnya baik paman. Ia membawa kentongan kecil. Kalau terjadi sesuatu ia dapat memberi tanda kepada kami disini.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, “Kau sekarang akan mencarinya?”

“Ya.” “Tidak ada apa-apa di sawah. Aku datang dari sawah. Tidak ada Panembahan Sekar Jagat, tidak ada Wanda Geni dan tidak apapun juga.”

“Paman berada di sawah sampai hampir fajar begini?”

“Ya. Airnya tidak begitu lancar. Aku menunggu sampai sawahku penuh. Dan...” Ki Tambi berhenti sejenak.

“Dan...” “Tidak apa-apa. Tetapi aku kira kau tidak usah mencari Temunggul. Ia akan kembali lagi ke Kademangan.”

Sementara itu Temunggul mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Bramanti dan Ki Tambi justru bercakap-cakap beberapa langkah saja dari pohon Ketapang itu.

“Sungguh gila,” ia menggeram di dalam hatinya. “Kakiku sudah menjadi panas digigit semut. Tidak saja semut hitam, tetapi pasti ada semut merah pula.” Apalagi ketika ia membayangkan seekor ular yang mungkin tinggal di dalam liang dibawah akar-akar pohon ketapang ini pula.

“Setan, kenapa mereka tidak juga segera pergi?”

Tetapi Bramanti dan Ki Tambi masih juga bercakap-cakap, justru tentang diri Temunggul.
Keringat dingin telah mengalir memenuhi tubuhnya. Kekecewaan, kejengkelan, dan segala macam perasaan panas, gatal dan pedih bercampur baur pada kulitnya.

“Setan, setan,” ia mengumpat-umpat tidak habis-habisnya.

Dan ia masih dipaksa mendengar Bramanti berkata, “Tetapi biarlah aku berjalan-jalan Ki Tambi. Mungkin ia sengaja menunggu aku disudut desa, atau dimanapun.”

Ki Tambi tertawa, “Mungkin ia pergi ke gardu-gardu peronda.”

“Mungkin.” “Ternyata Temunggul adalah anak yang cakap,” Ki Tambi kemudian berdesis.
“Ya,” jawab Bramanti. “Ia telah berhasil menyusun penjagaan yang kuat dan rapi. Aku hormat kepadanya. Jarang sekali anak-anak semuda itu mampu memegang pimpinan demikian tertib.”

“Kau bagaimana?” bertanya Tambi.

“Ah,” desis Bramanti. “Aku kira aku tidak akan dapat serapi Temunggul. Jaring-jaring yang dipasangnya cukup rapat tanpa melepaskan tenaga terlampau banyak. Caranya memimpin pun cukup baik. Tanpa diperintah lagi, anak-anak setiap hari pergi ke Kademangan.”

“Ia akan dapat menjadi pimpinan yang baik kelak,” desis Ki Tambi.

“Mudah-mudahan,” jawab Bramanti.

“Kenapa mudah-mudahan?” bertanya Ki Tambi. “Tidak apa-apa.”

Ki Tambi tersenyum. “Aku mengerti. Tetapi bukan watak Temunggul itu melepaskan sifat-sifatnya hanya karena masalah-masalah yang tidak berarti sama sekali bagi Kademangannya. Aku mengenalnya dengan baik. Anak itu dapat membedakan, yang manakah yang lebih penting bagi Kademangan ini. Ini bukan seseorang yang mementingkan dirinya sendiri.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Ki Tambi. Selama ini Temunggul masih tetap didalam tugasnya, meskipun membayang juga kekecewaan yang membelit hatinya.

Temunggul yang mendengar percakapan itu dari balik pohon ketapang menjadi semakin berdebar-debar. Tanpa disengaja ia mendengar kedua orang itu senang menilainya. Dan setiap kali dadanya berdesir apabila sebuah pertanyaan melonjak dihatinya, “Apakah benar aku mempunyai sifat yang baik seperti yang dikatakan Ki Tambi itu? Apakah benar aku lebih mementingkan Kademangan ini daripada diriku sendiri?”

Tiba-tiba Temunggul menundukkan kepalanya. Kini perasaan sakit dan gatal-gatal seakan-akan lenyap. Segenap perhatiannya sedang tertumpah kepada dirinya sendiri. Kepada penilaian yang telah diberikan oleh Ki Tambi dan Bramanti yang sedang ditunggunya dengan sebilah pisau belati yang akan dihujamkannya langsung kejantungnya.

Temunggul itu pun kemudian tidak mengerti, kapan Bramanti dan Ki Tambi saling berpisah. Ia menyadari keadaan pada saat Bramanti terbatuk-batuk beberapa langkah daripadanya justru berjalan ke arah yang berlawanan dengan Ki Tambi. Lamat-lamat Temunggul masih melihat di arah yang berbeda-beda, keduanya semakin kabur di dalam gelapnya malam.

Sejenak Temunggul masih tetap ditempatnya. Ia ingin meyakinkan bahwa Bramanti dan Ki Tambi telah semakin jauh dari pohon ketapang itu.

Ketika ia sudah tidak mendengar apapun lagi, barulah Temunggul keluar dari persembunyiannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia mengibas-ibaskan pakaiannya.

Tetapi Temunggul sudah tidak mengumpat-umpat lagi. Dengan sungguh-sungguh ia sedang berpikir. Berpikir tentang dirinya sendiri, tentang sikap Ki Demang dan tentang percakapan Ki Tambi dan Bramanti.

“Aku menjadi bingung,” desisnya.

Terbayang wajah Ki Demang yang kecewa menanggapi keadaan. Kemudian wajah Ki Tambi yang dilukiskan oleh garis-garis yang tegas, meskipun umurnya menjadi semakin tua. Kedua orang itu telah memberikan warna yang berlawanan bagi Kademangan ini menghadapi Panembahan Sekar Jagat.

“Seluruh Kademangan ini menggantungkan harapannya kepada Bramanti,” desisnya, “Tetapi kenapa Ki Demang mengharapkan anak itu tersingkirkan?”

Temunggul menjadi ragu-ragu.

Dan tiba-tiba ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Kenapa aku begitu mudah dibujuknya? O, alangkah bodohnya aku. Aku menyangka, bahwa setelah Bramanti, Ki Tambi dan orang-orang lain seperti Panjang, Suwela dan kawan-kawannya, aku akan dapat dengan mudah menyingkirkan Ki Demang itu sendiri? Alangkah bodohnya aku ini. Ki Demang adalah orang yang cukup mempunyai pengalaman. Namun permintaannya kali ini merupakan suatu permintaan yang aneh. Sangat aneh. Baru sekarang aku menyadarinya. Baru sekarang aku merasa bahwa kekecewaanku atas Ratri telah dimanfaatkannya dengan baik.”

Temunggul menjadi bersungguh-sungguh, “Aku memang terlalu bodoh. Hampir saja aku kehilangan kepribadianku karena Ki Demang berhasil menggelitik perasaanku dengan Ratri. Untunglah semuanya belum terjadi,” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Tetapi aku harus mengetahui, apakah sebabnya Ki Demang berbuat demikian.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia pun segera melangkahkan kakinya menyusul Bramanti yang justru sedang mencarinya.
Bulu-bulu tengkuknya meremang ketika dikejauhan ia mendengar suara anjing-anjing liar menyalak. Kemudian lamat-lamat terdengar suara burung hantu yang ngelangut.

Namun disela-sela langkahnya yang tergesa-gesa Temunggul seolah-olah telah menemukan dirinya kembali setelah beberapa saat ia terbius oleh mimpi yang dihembuskan oleh Ki Demang. Ratri, sawah, bekal menjelang kawin, kemudian dibumbuinya sendiri, menyingkirkan Ki Demang itu pula.
“Aku wajib mengucap syukur,” desisnya, “bahwa aku belum terjerumus ke dalam jurang yang mengerikan itu,” namun Temunggul menjadi ragu-ragu, “Apakah aku harus memberitahukannya sama sekali.”

Tetapi Temunggul itu menggeleng, “Belum. Belum waktunya. Aku masih ingin mengetahui, apakah sebenarnya maksud Ki Demang. Aku masih harus berpura-pura menerima tawarannya itu.”
Temunggul pun kemudian mempercepat langkahnya. Bahkan kemudian ia meloncat memotong jalan, lewat beberapa kebun yang kosong, memintas jalan-jalan sempit untuk mendahului Bramanti yang berjalan seenaknya disepanjang jalan padukuhan. Meskipun kadang-kadang kakinya menginjak duri gadung dan bahkan menyenttuh kemarung, namun Temunggul sama sekali tidak menghiraukannya lagi.

Ketika ia meloncati pagar batu terakhir, dan muncul di jalan yang membujur dipinggir padukuhan, ia pun menarik nafas dalam-dalam. Ia belum melihat Bramanti dipojok desa.

“Mudah-mudahan aku mendahuluinya,” desisnya.

Ternyata bahwa baru sejenak kemudian ia melihat Bramanti melangkah satu-satu ke arahnya.
“Hem,” Temunggul berdesis ketika Bramanti telah menjadi semakin dekat, “Kau seolah-olah sedang melihat-lihat daerah yang belum pernah kau kunjungi?”

Bramanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun tersenyum. Jawabnya, “Udara menjelang fajar terasa nyaman sekali.”

“Dingin sekali,” jawab Temunggul yang masih basah oleh keringat. Bramanti tidak segera menyahut. Tetapi ketika ia menepuk pundak Temunggul terasa baju anak muda itu basah. “Apakah kau terjerumus ke dalam parit?” ia bertanya.

Temunggul pun tersenyum pula.

“Kalau malam ini terlampau dingin bagimu, maka kau pasti tidak akan berpeluh sampai seluruh pakaianmu menjadi basah.”

Temunggul tidak segera menjawab. Pakaiannya telah menjadi basah sejak ia tersiksa dibawah pohon ketapang. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tidak dapat mengatakannya. “Kau benar-benar sehat Temunggul. Di malam begini kau dapat juga berkeringat demikian banyaknya.”

“Keringat dingin,” jawabnya.

“Kenapa?”

“Aku menjadi sangat gelisah. Aku tidak menemukan Ki Tambi, kemudian aku kau siksa di pojok desa ini.”

“Maaf,” sahut Bramanti, “Aku telah bertemu dengan paman Tambi. Aku berbicara beberapa saat, sehingga karena itu aku agak terlambat datang.”

“Tidak ada batas waktu.” “Tetapi,” tiba-tiba Bramanti mengerutkan keningnya. “Kalau kau sudah lama ditempat ini, kau pasti bertemu dengan paman Tambi.”

“Belum, belum terlalu lama. Aku berjalan menyusuri pematang. Dan, aku singgah juga melihat sawahku sejenak.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Kalau aku segera menyusulmu, maka akulah yang akan kau siksa disini.”

Keduanya tertawa. Sementara bayangan yang kemerah-merahan telah menyapu langit.
“Fajar,” desis Temunggul. “Ini berarti bahwa semalam suntuk aku tidak tidur.”

“Aku juga,” sahut Bramanti. “Akibat kelambatan paman Tambi,” desis Temunggul sambil tertawa. Dan Bramanti pun kemudian tertawa pula.

Ketika kedua anak muda melangkah kembali ke Kademangan, maka Ki Tambi duduk terkantuk-kantuk di pojok gardu. Ki Jagabaya telah pulang dahulu, karena besok ia masih mempunyai banyak pekerjaan. Namun setiap kali terasa nada Tambi berdesir, apabila teringat olehnya pesan Panggiring yang harus disampaikan kepada Bramanti dan ibunya.

“Bagaimana aku akan memulainya,” katanya di dalam hati. “Bagaimana? Bramanti tampaknya tidak begitu senang kepada kakaknya. Apalagi setlah ia mendengar bahwa Panggiring pernah menjadi seorang penjahat yang sejahat-jahatnya. Aku tidak menyangka, bahwa begitu cepatnya Panggiring berhasrat untuk kembali ke kampung halaman.”

Sambil menguap Ki Tambi menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kepalaku menjadi pusing karenanya. Tetapi aku berhasrat untuk mencari jalan.”

Namun Ki Tambi tidak segera dapat mengatakannya kepada Bramanti. Ketika Bramanti dan Temunggul datang, ia sama sekali tidak mengatakan apapun tentang seseorang yang telah menemuinya ditengah-tengah sawah.

Tetapi Ki Tambi menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar seseorang dengan nafas yang bekejaran berkata, “Aku baru pulang dari sawah.”

“Kenapa?” bertanya Temunggul.

“Aku bersama dua orang kawan sedang berada di dalam gubug ditengah sawah menunggi tanaman yang sedang berbuah. Tiba-tiba aku melihat seseorang berjalan ke arah Barat. Langkahnya belum pernah aku kenal. Dan rasa-rasanya memang bukan orang Kademangan ini. Kami menyangka bahwa orang itu bermaksud jahat, karena ketika kami menyapanya, ia sama sekali tidak berhenti.”

“Lalu apakah yang kalian lakukan?”

“Kami bertiga mengepungnya. Tetapi orang itu hilang seperti hantu. Kami sama sekali tidak menemukannya, meskipun menurut dugaan kami orang itu masih belum meninggalkan tempatnya. Kami menyangka, bahwa ia hanya sekadar bersembunyi disela-sela tanaman. Tetapi setelah kami cari beberapa lama, kami tetap tidak menemukannya.”

Kening Bramanti menjadi berkerut merut. Dengan nada yang berat ia bertanya, “Kau tidak melihat wajahnya?”

Orang itu menggeleng, “Tidak. Kami tidak sempat.”

“Pakaiannya,” menyela Ki Tambi.

“Kami juga tidak dapat melihat dengan jelas. Yang tampak kepada kami hanyalah bayangan yang kehitam-hitaman.”

“Tinggi atau pedek, gemuk?”

“Tinggi, besar.” Terasa sesuatu melonjak di dalam dada Ki Tambi. Orang itu pasti sudah melihat Panggiring. Untunglah bahwa di dalam gelapnya malam orang-orang itu tidak segera dapat mengenalnya.

“Kenapa orang seperti Panggiring masih juga terjebak dalam pengamatan seseorang tanpa dapat menghindarinya, sehingga ia terpaksa bersembunyi setelah dikejar-kejar?” bertanya Ki Tambi di dalam hatinya. “Mungkin Panggiring memang sudah tidak berniat berbuat apapun sehingga ia menjadi lengah terhadap hal-hal serupa itu, atau bahkan dengan sengaja ia mulai menampakkan dirinya.”

Temunggul pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Apakah ada kemungkinan bahwa orang itu adalah salah seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat, atau bahkan Sekar Jagat sendiri?”

Bramanti menggeleng, “Aku tidak tahu.” Dada Ki Tambi menjadi semakin berdebar-debar ketika Bramanti bertanya kepadanya, “Apakah paman tidak melihat seorang pun di sawah?”
Ki Tambi ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak melihat seorang pun.”

Bramanti mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Mungkin salah seorang dari kita. Tetapi karena malam yang gelap, kalian tidak segera dapat mengenalnya. Atau mungkin seseorang dari padukuhan tetangga yang oleh suatu keperluan terpaksa berjalan di malam hari.”

“Tetapi mereka tidak akan melalui jalan-jalan yang sulit atau bahkan lewat pematang.”

“Mungkin orang itu tergesa-gesa sehingga ia memilih jalan memintas.”

“Tetapi ia tidak berhenti ketika kami menyapanya.”

“Kalau begitu hampir pasti, ia sedang tergesa-gesa.”

Orang itu tidak menyahut. Meskipun ia tidak sependapat dengan Bramanti.

“Jangan cemas. Tidak ada apa-apa,” berkata Bramanti kemudian, “Kalau ia orang jahat, ia tidak akan lari atau bersembunyi. Kalian pasti sudah diganggunya. Tetapi ternyata orang itu tidak berbuat demikian.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Memang ia sama sekali tidak diganggu. Orang itu hanya bersembunyi demikian baiknya sehingga seolah-olah telah menghilang begitu saja dibawa angin malam yang dingin.

Tetapi kalau orang itu orang baik-baik, kenapa ia harus bersembunyi?

Namun demikian orang itu masih saja berdiam diri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berusaha untuk mengerti dan menahan pertanyaan-pertanyaan di dalam hati.

“Pulanglah,” berkata Bramanti. “Tidak ada apa-apa yang dapat mencemaskan kita semua.”
Sekali lagi orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, ketika ia keluar dari halaman Kademangan, hatinya masih tetap berdebar-debar. Ia tidak dapat menahan dirinya untuk diam. Karena itu, maka bersamaan dengan terbitnya matahari, ceritera orang itu telah tersebar dari segala mulut ke segala telinga orang-orang padukuhan itu.

“Apakah Panembahan Sekar Jagat sudah akan mulai?” bertanya seseorang.

Yang lain hanya menggelengkan kepalanya. “Entahlah. Tetapi kita sekarang sudah punya Putut Sabuk Tampar. Kita sudah tidak takut lagi kepada Panembahan Sekar Jagat.”

“Tetapi bagaimana kalau Panembahan Sekar Jagat datang bersama orang-orangnya yang buas dan liar?”

“Anak-anak muda kita sudah tidak tidur lagi. Setiap hari mereka mendapat petunjuk dan latihan dari Ki tambi dan bahkan dari Bramanti sendiri. Pada saatnya kita pasti sudah siap untuk melawan. Bahkan kami, laki-laki yang sudah melampaui masa-masa muda kami pun akan mendapat kesempatan untuk memperdalam ilmu bela diri. Setiap saat diperlukan, kami dapat membantu, menurut kekuatan dan kemampuan kami.”

Kawannya berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak dapat melepaskan diri dari kecemasan yang mencekam jantungnya.

Di halaman Kademangan anak-anak muda yang bertugas malam, satu-satu telah meninggalkan halaman. Ada di antara mereka yang sama sekali tidak dapat tidur sekejap pun. Tetapi ada pula yang sama sekali tidak berhasil membuka matanya. Sejak ia berbaring di pendapa, langsung ia tidur nyenyak sampai ayam jantan berkokok di pagi hari.

Namun Ki Tambi, Bramanti dan Temunggul masih juga duduk di tangga pendapa. Mereka lagi asyik membicarakan orang yang dilihat oleh tiga orang yang sedang berada di dalam gubug di tengah-tengah sawah menunggui tanamannya.

“Berita itu tidak boleh mencemaskan rakyat Kademangan ini,” berkata Bramanti. “Meskipun kita tidak dapat tinggal diam, tetapi apa yang kita lakukan jangan langsung dapat dilihat orang, supaya mereka tidak menjadi ketakutan dan kehilangan ketentraman.”

Ki Tambi dan Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita harus membentuk sekelompok kecil di antara mereka yang dapat dipercaya. Mereka akan menjadi pengawas khusus di malam hari. Mereka akan berada di sawah-sawah dan pategalan.”

“Tetapi mereka harus diperlengkapi dengan alat-alat yang dapat mereka pakai untuk mengirim tanda-tanda,” berkata Temunggul kemudian, “Apabila benar orang itu salah seorang dari Panembahan Sekar Jagat, atau bahkan Sekar Jagat sendiri, maka anak-anak itu tidak akan berarti apa-apa baginya.”

“Tentu,” sahut Bramanti, “Mereka harus membawa alat-alat serupa itu.”

Mereka pun kemudian bersepakat untuk melakukan pengawasan langsung ditempat-tempat terbuka. Karena menurut tangkapan mereka, agaknya orang yang menyampaikan kabar itu bukanlah orang yang ingin membuat-membuat persoalan saja.

“Nah,” berkata Bramanti, “Aku sekarang akan pulang dulu.”

“Aku juga,” sahut Ki Tambi.

“Baiklah,” berkata Temunggul, “Aku akan tinggal disini sebentar, sambil menunggu anak-anak yang harus berada disini di siang hari.”

Bramanti pun kemudian meninggalkan Kademangan itu bersama Ki Tambi. Namun mereka itu pun kemudian berpisah menurut jalan ke rumah masing-masing.

Sementara itu Temunggul masih duduk di tangga Kademangan. Sambil bersungguh-sungguh ia menunggu anak-anak muda yang seharusnya berjaga-jaga di siang hari. Tetapi seperti biasanya, mereka tidak dapat datang tepat pada waktunya, tidak seperti apabila mereka bertugas di malam hari.

Temunggul terkejut ketika ia mendengar pintu pringgitan bergerit. Dengan serta merta ia memalingkan wajahnya. Dan dilihatnya sebuah kepala tersembul di antara pintu yang belum terbuka sepenuhnya itu.

“O, Ki Demang,” desis Temunggul.

“Dengan siapa kau tinggal Temunggul,” bertanya Ki Demang.

“Sendiri.”

Ki Demang seolah-olah tidak percaya kepada jawaban itu. Dengan nanar diedarkannya tatapan matanya berkeliling. Namun ia memang tidak melihat seorang pun dihalaman itu selain Temunggul.

Perlahan-lahan Ki Demang melangkah keluar pringgitan. Dengan hati-hati ia berjalan mendekati Temunggul. Meskipun rumah itu adalah rumahnya, tetapi nampaknya Ki Demang seperti orang asing.

“Duduk sajalah,” berkata Ki Demang ketika ia melihat Temunggul berdiri, “Aku pun akan duduk disitu pula.”

Temunggul pun duduk kembali. Di sampingnya Ki Demang meletakkan dirinya sambil berdesah, “Apa kabar Temunggul?”

Temunggul menggelengkan kepalanya, “Aku belum mendapat kesempatan Ki Demang.”

“Kau tidak berusaha.”

“Aku sudah berusaha. Bahkan aku kini membawa pisau dibawah bajuku. Kalau aku mempergunakan pedangku, sebelum aku sempat mencabutnya, leherku pasti sudah disobek oleh pedang pendek itu. Tetapi pisau ini pasti tidak akan diduganya sama sekali. Sehingga dari jarak yang tidak lebih dari sejengkal, apabila kami berjalan bersama-sama, aku dapat tiba-tiba saja menyerangnya.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Ya, ya. Tetapi jangan terlampau lama. Kalau Panembahan Sekar Jagat kehilangan kesabaran, maka ia pasti akan segera bertindak."

Dada Temunggul berdesir mendengar kata-kata Ki Demang itu. Sekilas terbayang sebuah bayangan hitam yang tinggi dan besar berjalan di pematang seperti yang dikatakan oleh orang yang melihatnya.

"Apakah bayangan itu benar-benar Panembahan Sekar Jagat?" ia bertanya di dalam dirinya.

"Temunggul," berkata Ki Demang, "Harus ada seorang yang bersedia berkorban untuk kepentingan Kademangan ini, tanpa mementingkan diri sendiri.

Persahabatan dan kawan baik yang bagaimanapun juga, harus dilupakan. Mungkin kau ragu-ragu karena kau merasa berhutang budi kepada Bramanti. Bramanti memang anak yang baik. Ia tidak membalas sakit hatinya kepadamu, meskipun ia pernah kau perlakukan dengan kasar. Tetapi Bramanti terlampau bodoh. Kebodohannya itulah yang berbahaya bagi Kademangan ini. Kebodohan dan kesombongannya itulah yang harus disingkirkan."

Temunggul tidak menyahut.

"Menurut penilaianku, kau adalah seseorang yang lebih baik. Yang mementingkan Kademangan ini di atas segala-galanya. Selain kau juga akan menemukan kembali gadismu yang kini agaknya semakin dekat dengan Bramanti."

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Sepercik keragu-raguan telah merambat lagi dihatinya. Setiap kali terbayang olehnya Ratri, maka setiap kali dadanya berdesir.

Tetapi Temunggul itu pun kemudian mengatupkan giginya rapat-rapat, "Aku tidak boleh hanyut oleh kata-katanya," katanya dalam hati. "Aku harus yakin, bahwa Ki Demang mempunyai maksud-maksud tertentu. Aku hanya sekadar menjadi alatnya. Apabila sudah tidak diperlukannya lagi, biasanya alat-alat itu akan disingkirkannya pula. Demikian juga dengan aku nanti."

Temunggul berhenti berangan-angan ketika ia mendengar Ki Demang berkata, "Apakah kau dapat berkata, "Apakah kau dapat mengerti Temunggul?"

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya Ki Demang."

"Nah, karena itu, jangan menunda-nunda terlampau lama. Lakukanlah pada kesempatan yang pertama."

"Ya Ki Demang. Tetapi untuk mendapatkan kesempatan itu aku agaknya menemui kesulitan."

"Ah," Ki Demang berdesah, "Meskipun kau tidak dapat disejajarkan dengan Bramanti apabila kau harus melawannya beradu dada, namun kau bukan seseorang yang tidak berilmu sama sekali Temunggul. Ingat, kau adalah pemimpin pengawal Kademangan ini. Itu harus kau sadari."

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Nasib Kademangan ini memang sebagian tergantung di tanganmu Temunggul."

Temunggul masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Nah, itu kawan-kawanmu datang," desis Ki Demang. Temunggul mengangkat kepalanya. Dilihatnya dua orang anak-anak muda memasuki regol Kademangan.

"Aku akan masuk," berkata Ki Demang.

"Kenapa? Kenapa Ki Demang akhir-akhir ini tampaknya agak berubah?" bertanya Temunggul tiba-tiba.

"Tentu," jawab Ki Demang. "Orang-orang Kademangan ini sudah tidak mendengarkan kata-kataku lagi. Sedang aku selama ini selalu prihatin, bagaimana mungkin aku dapat menyelamatkan Kademangan ini dari kehancuran mutlak."

Temunggul tidak menyahut.

"Pikirkanlah Temunggul. Ingat, jangan menunda waktu sampai terlambat. Tidak akan ada gunanya lagi. Kau dengar? Dan kau pun pasti sudah kehilangan gadis itu."

"Ya Ki Demang."

Ki Demang menepuk bahu Temunggul sambil berdiri, "Kaulah satu-satunya orang yang aku harapkan kelak."

Temunggul tidak menjawab. Dipandangiya langkah Ki Demang satu-satu melintas ke pendapa. Kemudian hilang dibalik pintu.

“Aku tidak tahu maksudnya,” desisnya, “Apakah Ki Demang takut bahwa pada suatu saat Bramanti akan mendesak kedudukannya?” Temunggul mengerutkan keningnya. “O, tentu. Ayah Bramanti adalah Demang Candi Sari. Karena itu, maka ia berhak atas jabatan itu.” Temunggul menarik nafas dalam-dalam. “Mungkin inilah sebabnya.”

Tetapi ketika ia berdiri, teringatlah olehnya sesuatu sehingga ia menggelengkan kepalanya, “O, bukan. Bukan ayah Bramanti. Tetapi ayah Panggiring. Ayah Panggiringlah yang pernah menjadi Demang di Candisari.”

Akhirnya Temunggul menuruni tangga pendapa itu sambil berdesah di dalam hatinya, “Aku harus mengerti latar belakang dari tindakan Ki Demang. Seharusnya ia memanfaatkan keunggulan Bramanti untuk kepentingan Kademangan ini. Bukan sebaliknya.”

Temunggul pun kemudian melangkah ke regol halaman. Kedua anak-anak muda yang baru datang itu pun sudah duduk di dalam gardu.

“Kalian baru datang?” bertanya Temunggul.

“Ya,” jawab salah seorang dari mereka.

“Semalam suntuk aku disini tanpa tidur sekejap pun. Aku menunggu kalian.”

Keduanya tersenyum. Salah seorang daripadanya menjawab, “Aku terlambat bangun. Aku pun hampir semalam tidak tidur.”

“Kenapa?”

“Kakak perempuanku melahirkan semalam.”

“O,” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya,” baik-baik semuanya.”

“Ya, semuanya selamat.”

“Syukurlah. Sekarang aku akan pulang. Mandi dan tidur.”

“Baiklah,” jawab yang lain. “Tetapi begitu kau pulang, aku pasti akan sendiri sebelum kawan-kawan yang lain datang. Anak ini sebentar lagi akan segera mendekur.”

Temunggul tersenyum, katanya, “Sebentar lagi mereka akan datang. Mungkin juga Ki Jagabaya.”

Temunggul pun kemudian meninggalkan halaman Kademangan itu, langsung pulang ke rumahnya.

Sementara itu, di rumahnya Ki Tambi berbaring di amben bambu. Tetapi meskipun semalam suntuk ia tidak dapat tidur, namun sama sekali matanya tidak mau terpejam. Yang selalu terlintas di dalam kepalanya adalah pertemuannya dengan Panggiring. Pesan orang itu yang harus disampaikannya kepada keluarganya.

“Aku harus mendapat kesempatan sebaik-baiknya,” desisnya, namun kemudian, “Tetapi aku tidak dapat menunggu terlalu lama. Apabila pada suatu ketika seseorang dapat mengenali wajah Panggiring, dan bahkan terjadi salah paham, maka semuanya akan menjadi semakin kisruh.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia meraba kantong ikat pinggang kulitnya. Diambilnya sebuah lencana bergambar sebuah candi. Lencana Panggiring yang mengerikan di pesisir Utara. Tetapi beberapa saat yang lampau. Ternyata Panggiring sudah lenyap dari dunianya. Diketahui atau tidak diketahui oleh orang-orangnya. Namun pada suatu saat mereka akan segera menyadari, bahwa Panggiring sudah tidak ada lagi di antara mereka.

“Pada suatu saat salah seorang dari anak buahnya pasti akan mencarinya kemari,” berkata orang tua itu di dalam hatinya. “Sebab ada di antara mereka yang mengetahui, bahwa Panggiring berasal dari Kademangan ini.”

“Semuanya harus segera aku lakukan,” desis Ki Tambi.

Tiba-tiba Ki Tambi itu pun bangkit dari pembaringannya. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke sumur mencuci mukanya. Setelah membenahi pakaiannya, maka ia pun segera melangkah keluar rumahnya sambil menyambar senjatanya.

“Sebaiknya aku menemui Nyai Pruwita dahulu. Aku harus memberitahukan kepadanya, bahwa anaknya telah berada di daerah ini meskipun belum bersedia menampakkan dirinya karena berbagai pertimbangan.”

Ki Tambi pun kemudian melangkahkan kakinya disepanjang jalan padukuhan dengan kepala tunduk. Ia masih mereka-reka kalimat yang akan diucapkannya dihadapan ibu Panggiring nanti.

“Bagaimana kalau Bramanti ada dirumah pula?,” ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Terpaksa tertunda lagi. Tetapi aku harus mendapatkan kesempatan itu.”

Ketika ia sampai di regol rumah Bramanti, ia menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi akhirnya ia melompati tlundak pintu regol yang sudah terbuka. “Anak itu tidak ada dibawah pohon sawo. Mungkin ia lelah dan kantuk,” desis Ki Tambi yang pergi perlahan-lahan melintasi halaman menuju ke kandang. Perlahan-lahan Ki Tambi mendekati pintu. Tetapi pintu itu tertutup rapat.

“Anak itu tidak ada di dalam,” katanya di dalam hati, “Aku sama sekali tidak mendengar desah nafasnya.”

Karena itu Ki Tambi tidak membuka pintu itu. Adalah kebetulan sekali kalau Bramanti tidak berada di rumahnya. Ia akan dapat berbicara leluasa dengan ibunya.

Ki Tambi pun kemudian meninggalkan kandang yang kosong itu, langsung naik ke pendapa. Diketuknya pintu pringgitan beberapa kali. Tetapi Ki Tambi menjadi kecewa. Yang didengarnya suara Bramanti menyapa, “Siapa?”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia harus menjawab, “Aku Bramanti. Tambi.”

“O,” dengan tergesa-gesa Bramanti melangkah langsung membuka pintu, “Paman sudah sampai kemari? Apakah paman tidak beristirahat?”

“Masih terlampau pagi untuk tidur,” jawab Tambi sekenanya saja.

“Apakah ada sesuatu yang penting untuk segera dibicarakan?”

“O, tidak. Tidak. Sudah lama aku tidak singgah kemari.”

Bramanti mengerutkan keningnya, namun ia menjawab, “Ya, sejak kemarin.”

“O,” tambi mengerutkan keningnya pula. Kemudian ia tertawa pendek, “Ya, kemarin aku datang kemari. Tetapi maksudku sudah agak lama aku tidak bertemu dengan ibumu.”

“Ibu berada di dapur paman,” sahut Bramanti. “Apakah aku harus memanggilnya.”

“Jangan, biarkan aku pergi ke dapur,” jawab Tambi, “Tetapi kau tidak mempunyai keperluan yang lain?”

“Aku sedang mengumpulkan pakaianku yang kotor paman. Aku akan pergi ke bendungan, mencuci.”

“Ah,” desah Tambi, “Setiap hari kau mencuci. Pakaian yang itu-itu juga yang kau cuci. Bramanti, kalau begitu caramu memelihara pakaian, maka pakaianmu akan lekas rusak. Padahal belum tentu kau dapat membelinya lagi.”

“Tidak setiap hari paman,” jawab Bramanti.

“Setiap hari,” potong Tambi, “Kalau tidak ada pakaianmu yang kotor, maka pakaianmu yang bersih pula yang kau cuci. Jangan kau sangka aku tidak tahu bahwa kau hanya sekadar ingin pergi ke bendungan.”

“Ah, paman selalu mengganggu.”

“Aku pernah semuda kau Bramanti.”

“Itulah ibu,” berkata Bramanti tiba-tiba ketika ia melihat ibunya muncul dari pintu samping. Lalu katanya, Bu, paman Tambi.”

“O, marilah. Marilah, silakan duduk.”

“Terima kasih,” jawab Tambi. Kemudian kepada Bramanti ia berkata, “Kalau kau akan pergi ke bendungan. Pergilah. Kau akan kesiangan nanti, dan anak itu sudah terlanjur pulang.”

“Ah, aku tidak memerlukan siapapun paman,” sahut Bramanti. “Adalah kebetulan sekali kalau bendungan itu telah sepi.”

Ki Tambi tidak menjawab. Tetapi ia tertawa berkepanjangan. Bramanti pun kemudian pergi ke Bendungan. Ditinggalkannya Ki Tambi bersama ibunya, duduk di pringgitan.

“Lama kita tidak saling berbincang tentang apa saja,” berkata Ki Tambi.

“Aku sudah terlampau biasa hidup seorang diri,” desis Nyi Pruwita. “Karena itu, aku sama sekali sudah tidak mengenal kesepian lagi.”

“Tetapi sekarang semua itu akan segera berubah.”

“Kenapa?”

“Ternyata Bramanti berhasil menumbuhkan kepercayaan rakyat Candisari kepada keluarga ini.”

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Aku memang merasakan, lambat laun sikap orang-orang di sekitar rumah ini telah berubah.”

“Bersyukurlah karena Nyai mempunyai anak seperti Bramanti. Ia adalah anak muda yang mengagumkan. Bahkan hampir-hampir sempurna. Ia adalah seorang yang luar biasa. Mumpuni dalam olah kanuragan. Namun kelebihan yang lain, anak itu rendah hati.”

Ibu Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa kebanggaan di dalam dadanya mengembang. Jawabnya, “Mudah-mudahan keluarga kami tidak semakin tenggelam.”

“Tentu tidak. Aku pasti. Kademangan ini pada suatu saat pasti menggantungkan diri kepada perlindungannya. Kini pengaruhnya menjadi semakin dalam, meskipun Bramanti sendiri sama sekali tidak berhasrat mendesak kedudukan siapapun.”

“Tentu. Bramanti tidak ingin kedudukan apapun. Aku selalu berpesan kepadanya, jangan mengecewakan apa lagi merugikan orang lain. Seseorang dapat saja mendorong dirinya sendiri untuk maju di dalam segala bidang, tetapi ia jangan mengorbankan orang lain untuk kepentingan itu.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Dan Bramanti selalu mematahi pesan-pesan itu,” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Kini Bramanti sedang memilih beberapa anak-anak muda yang terbaik, termasuk Temunggul, untuk diajarnya memimpin para pengawal, membela diri mereka sendiri dan Kademangan ini. Setiap kali mereka berada di Kademangan, maka meskipun hanya sebentar, mereka memerlukan waktu. Di halaman belakang yang terpisah, mereka berlatih sebaik-baiknya.”

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali kenangan lamanya membayang dipelupuk matanya. Di halaman rumah ini pun dahulu anak-anak muda selalu berkumpul. Melatih diri dan olah kanuragan. Bukan itu saja. Pendapa ini pun selalu dipakai oleh beberapa gadis dan anak-anak muda yang berlatih menari.

Tetapi ibu Bramanti tidak merindukan masa-masa itu lagi. Sudah dikatakannya, bahwa Bramanti tidak sebaiknya berusaha mendesak kedudukan orang lain. Ia dapat berbuat baik tanpa kedudukan apapun. Dan namanya dapat dikenal oleh setiap orang Candisari tanpa menjadi bebahu Kademangan yang manapun.

Sementara itu Ki Tambi masih saja mengangguk-angguk meskipun kepalanya kini tertunduk. Hatinya serasa menjadi semakin berdebar-debar. Ia sedang mencari kesempatan untuk mengatakan pesan Panggiring kepada perempuan itu.

“Ki Tambi,” berkata Nyai Pruwita kemudian, “Aku juga menitipkan anak itu kepadamu. Bukankah kau sering berada bersamanya di Kademangan? Ia harus tetap menjadi anak yang baik apapun yang pernah dilakukannya.”

“Tentu, tentu,” Ki Tambi tergagap. Namun kemudian ia tertunduk lagi sambil mengangguk-angguk.

Tetapi Ki Tambi merasa bahwa ia tidak akan dapat berbuat serupa itu untuk seterusnya. Ia harus mengatakannya. Lambat atau cepat.

“Nyai,” akhirnya dipaksanya juga mulutnya berbicara, “Ternyata Bramanti telah membuat hati setiap orang berbangga. Bukan saja ibunya, aku dan kawan-kawannya.”

Nyai Pruwita mengerutkan keningnya. Ia merasakan nada suara Ki Tambi agak berubah. Tetapi perempuan tua itu tidak segera menyahut.

“Keluarga ini lambat laun telah menjadi pusat perhatian rakyat Candisari, seperti beberapa puluh tahun yang lampau.”

Ibu Bramanti masih tetap diam.

“Bukankah Nyai mengharapkan demikian? Kesempurnaan yang bulat bagi pulihnya kembali keluarga ini?”

“Ah, itu tidak mungkin Ki Tambi,” sahut perempuan itu, “Yang lampau biarlah lampau. Aku bersyukur dan berterima kasih, bahwa aku kini sudah tidak berpisah lagi dari tetangga di sekitarku. Itu sudah cukup untuk saat ini.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk memulainya. Bahkan agaknya ia sudah hampir tersesat jalan pada langkahnya yang pertama.

“Bukan begitu Nyai,” jawab Ki Tambi. “Sudah tentu keluarga yang bulat, yang masih mungkin dapat dicapai. Yang sudah tidak ada sudah tentu tidak akan dapat kembali. Tetapi yang masih ada itulah yang dirindukannya.”

“Maksudmu?”

“Seandainya, seandainya Nyai, keluarga ini berkumpul kembali, bukankah kebanggaan Nyai akan menjadi sempurna?”

“Maksudmu apabila Panggiring ada di rumah ini pula?”

“Misalnya Nyai.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kepala itu tertunduk. Dengan nada yang dalam ia bertanya, “Kenapa tiba-tiba saja kau bertanya tentang Panggiring?”

Dada Ki Tambi berdesir mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia terdiam, dipandanginya wajah perempuan tua yang berkerut-merut itu. Kemudian dengan hati-hati ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya, begitulah. Tiba-tiba saja aku membayangkan, alangkah senangnya rakyat Kademangan Candisari apabila keduanya ada disini. Keduanya bersama-sama melindungi rakyat yang masih dalam ketakutan ini.”

Wajah perempuan tua itu menjadi semakin berkerut-merut. Secercah kekecewaan mengambang disorot matanya. Sambil menggeleng lemah ia berkata, “Jangan membicarakan anak-anakku. Tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan.”

“Kenyataan yang mana Nyai?”

“Panggiring agaknya menjadi semakin jauh dari keluarga kecil ini. Bahkan dari Kademangan Candisari.”

“Tidak Nyai, Nyai keliru. Panggiring tidak pernah menjauhkan dirinya dari Kademangan ini. Pada saat Kademangan ini dilanda oleh ketakutan, ia sudah berusaha mengirimkan orang untuk menemui Panembahan Sekar Jagat. Ia minta agar Panembahan Sekar Jagat menghentikan perbuatannya, meskipun usaha itu sampai pada saat ini belum berhasil. Tetapi usaha itu baik juga dilakukan, berbareng dengan usaha Bramanti yang lebih nyata di Kademangan ini sendiri,” Ki Tambi berhenti sejenak, kemudian, “Bahkan untuk lebih dekat dari kampung halamannya, ia telah membuat lencana-lencana bergambar candi. Maksudnya sudah jelas, bahwa ia harus selalu ingat tanah yang ditinggalkannya.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Mungkin ia bebuat begitu. Tetapi di samping itu, perbuatan-perbuatannya telah menumbuhkan jurang yang dalam di antara rakyat Candisari dan Panggiring. Itulah bujur lintangnya keluarga kecil ini Ki Tambi. Di satu pihak Bramanti berusaha dengan susah payah, mendekatkan diri kepada rakyat Candisari, di lain pihak Panggiring telah melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Dan jurang itu pun agaknya telah menganga pula di antara kami sendiri. Di antara Bramanti dan Panggiring.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kesulitan yang memang bakal datang.

“Tetapi jalan hidup seseorang kadang-kadang dapat berubah. Aku pernah melihat perubahan-perubahan yang terjadi, bahkan dengan tiba-tiba dan tidak terduga-duga. Panggiring pada dasarnya bukan orang jahat. Garis keturunannya bukan pula orang jahat.”

“Jangan membicarakan keturunan. Jika demikian kau akan menghukum orang-orang yang tidak bersalah hanya karena keturunan.”

“Ya, ya. Aku keliru. Maksudku, bagaimana kalau pada suatu saat Panggiring datang dengan hati yang sudah berubah?”

“Jangan kita pikirkan sekarang, Ki Tambi. Kalau pada suatu saat Panggiring datang dengan wajah dan hatinya yang baru, kita akan menyesuaikan dengan keadaan pada saat itu. Kita akan melihat perkembangan keadaan Bramanti, dan mungkin dengan hati-hati kita dapat menempatkan persoalannya pada tempat yang sewajarnya.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi apakah pada suatu saat Nyai tidak pernah merindukannya.”

Dengan serta-merta Nyai Pruwita mengangkat wajahnya. Sorot matanya serasa langsung menusuk ke jantung Ki Tambi. Terdengar suara perempuan itu gemetar, “Ki Tambi. Sebaiknya kau tidak menanyakan hal itu. Kau bukan seorang perempuan. Karena itu kau tidak merasakan betapa pahit perasaan seorang ibu menghadapi keadaan seperti keadaanku. Tidak ada seorang ibu yang wajar, tidak merindukan anak-anaknya, betapapun juga sifat, keadaan dan kelakuan anak itu. Bahkan seandainya anak itu akan membunuhnya sekalipun.”

“Maaf, maaf Nyai. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Sama sekali tidak,” Ki Tambi berhenti sejenak. Namun ia memutuskan untuk mengatakannya. Ia tidak mau melingkar semakin jauh, supaya ia tidak lebih banyak membuat kesalahan-kesalahan.

Karena itu maka katanya, “Nyai. Apaboleh buat. Tetapi aku harus mengatakannya, bahwa Panggiring sekarang sudah berada di Kademangan ini.”

Kata-kata Ki Tambi itu ternyata telah menggoncangkan hati perempuan tua itu. Sejenak ia mematung. Darahnya serasa telah terhenti mengalir. Karena itu, maka ia sama sekali tidak segera dapat menjawab sepatah katapun.

Tambi pun kemudian terdiam. Ia memberi kesempatan Nyai Pruwita untuk mengendapkan perasaannya yang agaknya sedang terguncang.

Dalam kesenyapan itu terdengar suara burung perenjak berkicau di atas batang-batang perdu di halaman. Melonjak-lonjak dengan riangnya. Meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain.

Sejenak kemudian dengan terbata-bata perempuan tua itu bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya Ki Tambi?”

Ki Tambi mengangguk, “Ya Nyai. Aku berkata sebenarnya.”

Perlahan-lahan kepala Nyai Pruwita tertunduk. Tertunduk dalam-dalam. Betapapun ia bertahan, namun titik-titik air matanya telah jatuh satu-satu di pangkuannya.

“Begitu cepat, Ki Tambi,” desis Nyai Pruwita.

Ki Tambi tidak menjawab.

“Begitu cepat aku harus menjawab persoalan ini.”

Ki Tambi masih tetap berdiam diri. Dan perempuan tua itu pun terdiam pula. Yang terdengar adalah isak halus yang tertahan-tahan.

“Ki Tambi,” berkata Nyai Pruwita itu kemudian. “Adalah suatu kebahagiaan apabila aku dapat menyambut anakku itu memasuki rumah ini.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah hal itu tidak dapat kau lakukan Nyai? Maksudku, apakah Bramanti tidak dapat diajak berbicara dengan baik? Bramanti adalah anak yang rendah hati. Anak yang baik. Mungkin ia dapat mengerti, apa yang kau risaukan.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keragu-raguan masih tetap membayang di wajahnya.

“Dimana anak itu sekarang Ki Tambi?” ia bertanya.

“Ia berada di seberang kali Kuning, Nyai.”

“Disembarang kali Kuning? Pada siapa ia tinggal disana?”

“Tidak ada siapapun juga. Ia tinggal di hutan rindang itu. Tetapi jangan kau cemaskan. Sudah menjadi kebiasaannya hidup disembarang tempat. Hal itu tidak akan membuatnya sakit. Badan maupun hatinya. Tetapi ia menyimpan suatu pengharapan, bahwa ia dapat diterima, hidup di antara masyarakat sewajarnya. Itulah pesan yang harus aku sampaikan kepadamu Nyai.”

“Apakah kau sudah bertemu dengan anak itu?”

“Panggiring menemui aku di tengah sawah tanpa seorang pun yang mengetahuinya.”

Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Kemudian ia pun bertanya, “Apakah katanya?”

“Nyai,” jawab Ki Tambi sambil bergeser sejengkal. “Panggiring ingin hidup seperti manusia sewajarnya. Ia berpesan kepadaku, apakah kau dan Bramanti dapat bermurah hati memberinya secuil tanah untuk mendirikan sebuah gubug kecil? Ia akan tinggal di Kademangan ini. Hidup disini, di tanah kelahirannya. Ia akan bekerja sebagai apapun juga. Menjadi orang upahan di sawah, mengangkut kayu atau apapun juga.”

“Oh,” titik air dari mata Nyai Pruwita menjadi semakin keras. “Bagaimana dengan cara hidupnya yang lama?”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian diceriterakannya tentang perempuan tua yang kehilangan anaknya karena dibunuh oleh Panggiring sendiri. Diceriterakannya, betapa hatinya menjadi luluh.

“Panggiring sebagai seorang perampok yang dahsyat sudah mati,” desis Ki Tambi kemudian.

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku bersyukur kepada Tuhan, bahwa anakku telah direngut-Nya dari dunia yang hitam,” Nyai Pruwita berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bagaimana dengan keluarga ini?”

“Nyai,” berkata Ki Tambi, “Berkatalah kepada Bramanti. Aku mengharap bahwa ia dapat mengerti.”

Nyai Pruwita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang kembali dua dunia yang pernah dihuninya. Terbayang wajah dua orang laki-laki jantan yang pernah singgah dihatinya.

“Alangkah nistanya aku,” tangisnya di dalam hati. “Sekarang aku harus menghadapi persoalan yang paling sulit. Dua orang anak laki-laki jantan seperti ayahnya masing-masing. Tetapi justru perbedaan ayah itulah yang menjadi soal.”

Kembali mereka terlempar dalam kebekuan. Ki Tambi menundukkan kepalanya, sedang Nyai Pruwita sekali-kali mengusap matanya yang basah.

Berbagai kemungkinan telah membayang di angan-angannya. Sekali tampak olehnya wajah Bramanti yang tersenyum, namun sejenak kemudian wajah itu menjadi buram.

“Aku sama sekali tidak dapat menduga, apa yang akan dikatakannya,” desis perempuan tua itu.

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti betapa sulitnya masalah yang dihadapi oleh Nyai Pruwita.

“Tetapi aku adalah ibunya,” berkata perempuan itu kemudian, “Apapun yang akan terjadi, adalah kuwajibanku untuk berusaha.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Itu adalah pendidian seorang ibu. Meskipun anaknya telah dewasa, dan bahkan telah lama tidak pernah dilihatnya, namun pada suatu saat dimana diperlukan, maka seorang ibu masih juga berkata, “Aku adalah ibunya.”

Bahkan seandainya masih juga mungkin, anak itu pasti masih akan ditimangnya di pangkuan.

“Aku berdosa,” berkata Ki Tambi. “Mudah-mudahan tidak akan ada kesulitan apapun juga.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kapan Nyai berkesempatan untuk memberitahukan kepadaku, supaya apabila Panggiring menemuiku setiap saat aku akan dapat memberikan jawabannya.”

“Aku akan berusaha secepatnya Ki Tambi,” jawab ibu Bramanti. “Tetapi aku mengharap kau menemani aku. Mungkin akan mendapatkan kesulitan untuk mengatakannya. Dalam keadaan yang demikian, kau akan dapat membantuku Ki Tambi.”

Ki Tambi tidak segera menjawab. Ia sama sekali tidak berkeberatan untuk membantu Nyai Pruwita menyatakan maksud Panggiring, tetapi kapan?

Nya Pruwita yang masih dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan itu berkata,” Kapan kau dapat datang lagi?”

“Setiap saat Nyai.”

“Semakin cepat memang semakin baik Ki Tambi. Aku akan segera menemukan kepastian. Tidak lagi terumbang-ambing oleh ketidaktentuan seperti saat ini.”

“Ya, itu akan lebih baik.”

“Bagaimana kalau kau menunggu sejenak, sampai Bramanti pulang dari bendungan?”

“Sekarang?”

“Ya sekarang.”

“Apakah kita sudah siap untuk mengatakannya?”

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Aku kira tidak ada bedanya. Kita tinggal mengatakannya. Masalah selanjutnya akan tergantung sekali pada sikap Bramanti.”

Tambi mengangguk-angguk pula, “Ya, memang tergantung sekali pada sikap Bramanti.”

“Jadi bagaimana? Apakah kita akan menunggunya sekarang?”

Tambi menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Baiklah Nyai, mumpung aku tidak mempunyai pekerjaan lain hari ini.”

“Terima kasih Ki Tambi. Kau akan dapat mengatakan apa yang sebenarnya kau dengar dari mulut Panggiring. Sedang aku akan minta kerelaannya, agar ia tidak berkeberatan memberikan sepotong tanah kepada kakaknya.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan mencoba membantumu Nyai.”

“Tetapi kau harus berhati-hati, agar anak itu tidak tersinggung.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Nyai Pruwita pun kemudian terdiam pula. Kepalanya tertunduk dan jantungnya berdebaran. Terbayang betapa Bramanti akan melonjak mendengar permintaan yang tidak akan pernah disangka-sangkanya.

Keduanya terperanjat ketika pintu berderit. Sesosok tubuh melangkah tlundak pintu dengan kepala tertunduk.

“Kau Bramanti?” desis ibunya.

“Ya ibu.”

“Begitu cepat.”

Bramanti mengangguk-angguk.

Sejenak ibunya terdiam. Ditatapnya wajah Ki Tambi yang justru sedang menatapnya.

Tidak seperti biasanya. Bramanti langsung ikut duduk di antara mereka, di atas sehelai tikar pandan di pringgitan.

Ibunya menjadi berdebar-debar. Bramanti hampir tidak pernah berbuat demikian. Biasanya Bramanti selalu berada di luar, dibawah pohon sawo atau di kandangnya. Jarang sekali ia dengan begitu saja langsung duduk menemui tamu ibunya meskipun ia kenal betul dengan orang itu.

Tambi pun melihat sesuatu yang lain pada anak muda itu. Wajahnya tidak secerah wajahnya sehari-hari.

“Apakah sesuatu telah terjadi atasnya,” bertanya Tambi di dalam dirinya. “Apabila demikian, maka lebih bijaksana apabila masalah Panggiring ditundanya lebih dahulu.”

Namun ternyata Tambi tidak mendapat kesempatan. Agaknya ibu Bramanti yang gelisah tidak dapat menahan hatinya lagi, sehingga sebelum mereka membicarakan sesuatu yang lain, Nyai Pruwita dengan suara gemetar berkata, “Bramanti. Mumpung kita dapat bertemu. Ki Tambi agaknya telah menyimpan sesuatu yang perlu kau dengar langsung daripadanya. Aku minta kau dapat menanggapinya dengan tenang. Menurut aku Bramanti, apa yang akan dikatakan oleh Ki Tambi itu perlu mendapat perhatian yang seksama dan bersungguh-sungguh. Dengan demikian keputusan yang kita ambil tidak akan kita sesali di kemudian hari,” perempuan tua itu berhenti sejenak. Sementara Bramanti masih tetap menundukkan kepalanya.

“Apakah kau mau mendengarnya Bramanti?”

Bramanti mengangkat wajahnya. Dipandanginya ibunya dan Ki Tambi berganti-ganti.

“Aku membawa pesan untuk keluarga ini Bramanti,” berkata Ki Tambi dengan hati-hati.

Bramanti masih tetap berdiam diri.

“Seperti pesan ibumu, dengarkanlah pesan itu dengan tenang tanpa prasangka apapun. Kami tahu, bahwa keputusan terakhir terletak ditanganmu. Kalau kau mengiakan, baiklah, dan kami akan berterima kasih. Tetapi kalau kau berkeberatan, apaboleh buat, asal kau telah memikirkannya baik-baik.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja jawabnya telah mengejutkan Ki Tambi dan ibunya, sehingga sejenak merekalah yang kemudian membeku. Bahkan serasa jantung mereka pun berhenti berdetak.

“Aku sudah mendengar semuanya paman.”

Ki Tambi yang membeku itu kemudian berusaha mengatur perasaannya. Ketika dadanya telah mulai menjadi tenang, ia bertanya, “Apakah yang telah kau dengar Bramanti?”

“Kakang Panggiring telah datang. Bukankah begitu? Bukankah ia ingin tinggal di Kademangan ini pula, dan bahkan di atas tanahku ini?”

“Darimana kau tahu?” bertanya ibunya terbata-bata.

“Aku tidak pergi ke bendungan. Ketika aku melihat kelainan sikap paman Tambi, aku mencoba mendengar pembicaraan paman dan ibu. Mula-mula aku tidak bermaksud mendengarkan seluruhnya. Aku hanya sekadar ingin tahu. Tetapi yang paman bicarakan dengan ibu ternyata telah sangat menarik perhatianku.”

Ibu Bramanti itu berdesah. Darahnya menjadi semakin cepat mengalir seluruh tubuhnya.

“Karena itu, aku telah mendengar seluruh pembicaraan ibu dengan paman, sehingga paman Tambi tidak usah mengulanginya lagi.”

Tambi seakan-akan memang telah terbungkam. Dipandanginya saja wajah Bramanti tanpa berkedip.

Ternyata setelah berhadapan langsung dengan anak muda itu, ibu Bramantilah yang berhasil cepat menguasai perasaannya. Karena bagaimana pun juga Bramanti adalah anaknya, sehingga jalinan hubungan di antara mereka, jauh lebih rapat dari pada Ki Tambi. Sehingga dengan demikian, maka betapapun lambatnya, namun Bramanti mendengar ibunya bertanya, “Kalau kau sudah mendengar Bramanti, bagaimanakah jawabanmu?”

Bramanti tidak segera menjawab. Wajahnya menjadi semakin buram, dan dadanya menjadi semakin bergetar.

Pertanyaan serupa itu adalah pertanyaan yang paling sulit baginya. Sekilas terbayang di dalam angan-angannya, seorang perampok berambut panjang, berkumis dan bercambang. Dengan kasar ia merenggut nyawa orang-orang yang telah dipilih menjadi korbannya. Tanpa belas kasihan ia memeras, mengancam, membunuh dan segala macam kekejaman-kekejaman yang lain.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Terngiang di telinganya kata-kata Ki Tambi, bahwa Panggiring kini telah meninggalkan dunianya. Namun ia berkata di dalam hatinya, “Aku tidak yakin, bahwa orang yang telah menghayati hidup seperti kakang Panggiring itu dapat meninggalkan cara hidup yang demikian. Kakang Panggiring adalah perampok yang lebih kasar dan lebih buas dari Panembahan Sekar Jagat. Mungkin ia baru terguncang oleh suatu peristiwa yang dapat menyentuh jantungnya, tetapi pada suatu saat ia pasti akan kambuh lagi. Jika demikian, maka Kademangan ini pasti akan ditelannya. Seluruhnya, dan jauh lebih serakah dari Panembahan Sekar Jagat.”

Bramanti mengangkat wajahnya ketika ia mendengar ibunya mendesah, “Bagaimana Bramanti? Apakah kau dapat mengerti?”

Bramanti mengerutkan keningnya. Sekilas berdesir kecemasan tentang Kademangan, tentang halaman dan rumahnya yang kemudian mengguncang dadanya adalah tentang Ratri.

“Ratri selalu bertanya tentang Panggiring,” katanya di dalam hati. “Gila. Kenapa orang itu yang diharapkannya pulang? Pada saat kakang Panggiring pergi, Ratri masih seorang gadis kecil. Perasaan apakah yang telah membelit dihatinya saat itu sehingga seakan-akan ia telah merindukannya?”

Bramanti mengumpat di dalam hati. Sekali lagi ia menyalahkan Temunggul yang terlampau berprasangka kepadanya.

“Aku kini harus mengalami, disiksa oleh perasaan itu seperti yang pernah dialami oleh Temunggul, dan bahkan yang sampai saat ini masih juga dideritanya.”

Sekali lagi Bramanti menarik nafas ketika ibunya mendesaknya, “Bramanti. Aku mengharap bahwa kau dapat mengerti perasaanku. Aku adalah seorang ibu. Ibumu, namun juga ibu Panggiring.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut. Ia dapat merasakan betapa pedih hati Nyai Pruwita. Tetapi ia tidak dapat membantunya lebih banyak daripada mencoba meyakinkan Bramanti bahwa Panggiring benar-benar akan berusaha memperbaiki dirinya.

“Paman,” berkata Bramanti, “Sebaiknya paman mengatakan kepada kakang Panggiring, untuk kepentingannya dan kepentingan keluarga yang sedang akan bangkit ini, lebih baik ia meninggalkan Kademangan Candisari.”

“Bramanti,” potong ibunya.

Bramanti berpaling. Ditatapnya ibunya yang masih menitikkan air matanya.

“Ibu, aku kira ini adalah jalan yang paling baik buat kita semuanya. Kakang Panggiring sebaiknya berada di tempat yang baru sama sekali, yang belum mengenalnya. Ia akan mendapat penghargaan yang wajar apabila ia benar-benar akan meninggalkan cara hidupnya itu. Ia akan menjadi warga tempat yang baru itu sebagai warga yang baik. Tetapi di sini, setiap orang akan berprasangka kepadanya.”

“Jadi, maksudmu kau telah menolak kedatangan kakakmu di rumah ini?”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sebaiknya, ibu. Sebaiknya kakang Panggiring tidak kembali.”

“Bramanti, itukah keputusanmu?”

Bramanti tidak menjawab. Tetapi kepalanya teranguk kecil.

Tiba-tiba tangis perempuan itu pun seakan-akan tercurah tanpa dapat ditahannya lagi. Betapa ia menyesali semua peristiwa yang pernah dilaluinya. Terbayang kembali berbagai macam tata kehidupan yang pernah dialaminya. Semakin lama menjadi semakin jelas.

Tetapi perempuan itu tidak dapat mengatakannya kepada Bramanti. Ia tidak sampai hati melukai hati anak yang baik itu. Tetapi apakah ia harus melepaskan Panggiring begitu saja dari hatinya?

Di antara isak tangis Nyai Pruwita itu terdengar suara Ki Tambi, “Bramanti, kalau kita lepaskan Panggiring itu ke mana ia kehendaki, maka pada suatu saat ia akan dengan mudah masuk kembali ke dalam dunianya yang hitam. Kita belum tahu, apakah yang dapat ditemuinya di daerahnya yang baru itu. Tetapi di sini, hampir setiap orang sudah dikenalnya. Justru kesediaannya mengakui kesalahannya tanpa bersembunyi itu adalah pertanda bahwa ia telah benar-benar berusaha menghentikan tata cara hidupnya yang kotor itu. Di antara kita, ia akan selalu dapat diperingatkan, bahwa jalannya telah tersesat.”

Tetapi Bramanti menggelengkan kepalanya. Dipandanginya ibunya yang sedang menangis. Tampaklah keningnya menjadi tegang. Perlahan-lahan ia berkata, “Paman. Aku tidak akan dapat mempertanggungjawabkannya. Mungkin sehari dua hari kita dapat memberinya peringatan. Tetapi pada hari-hari berikutnya, apabila ia telah jemu dengan pekerjaan yang didapatnya di Kademangan ini, dan apalagi apabila satu dua orang kawan-kawannya mencarinya, maka Kademangan inilah yang akan menjadi korban,” Bramanti berhenti sejenak, lalu, “Akhir-akhir ini dengan susah payah kita telah berusaha melawan Panembahan Sekar Jagat. Apakah kita akan mengundang lawan di dalam selimut sendiri?”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam sambil menggelengkan kepalanya. Orang tua itu menjadi kehilangan harapan untuk dapat membujuk Bramanti. Karena itu, maka ia pun tidak mendesaknya lagi.

Sementara itu ibu Bramanti masih juga terisak. Hatinya serasa menjadi terluka.

“Ibu,” berkata Bramanti, “Aku sama sekali tidak ingin melukai hati ibu. Namun sebaiknya ibu tidak sekadar berbicara dengan perasaan seorang ibu, tetapi aku berharap ibu memandang ke dalam lingkungan yang lebih luas. Lingkungan keluarga kita yang kecil dan keluarga seluruh Kademangan Candisari.”

Ibunya sama sekali tidak menjawab.

“Aku minta maaf ibu, bahwa kali ini aku terpaksa menyulitkan perasaan ibu. Tetapi aku harap ibu pun dapat mengerti.”

Ibunya masih tetap berdiam diri. Bramanti pun kemudian terdiam untuk sejenak. Betapa berat perasaannya menghadapi persoalan yang ternyata datang terlampau cepat untuk dipecahkannya. Di kepalanya seakan-akan berputar bayang-bayang kakaknya Panggiring, ibunya, Ki Tambi, dan bahkan ayahnya yang sudah tidak ada lagi. Meskipun sudah terlampau lama peristiwa itu terjadi, namun seakan-akan tergambar jelas betapa buruknya hubungan antara kakaknya Panggiring dengan ayahnya itu.

Dan yang semakin jelas pula, mengatasi semuanya adalah bayangan Ratri yang selalu bertanya kepadanya, “Kapan Panggiring kembali?”

“Tidak,” ia menggeram di dalam hatinya, “Panggiring tidak akan kembali.”

Bramanti mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara ibunya di antara isak tangisnya, “Jadi kau sudah mengambil keputusan, Bramanti?”

“Terpaksa ibu. Aku tidak bersikap lain.”

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Apaboleh buat. Kalau ia memaksa Bramanti untuk menerima Panggiring, maka akibatnya akan semakin parah. Seandainya keduanya berkeras hati, maka akan mungkin sekali terjadi benturan di antara mereka. Siapa yang menang dan siapa yang kalah, baginya akan sama saja akibatnya. Keduanya adalah anak-anaknya. Karena itu, biarlah ia mengorbankan dirinya. Ia sendiri yang akan menolak kedatangan Panggiring. Biarlah ia memikul akibat dari penolakan itu. Biarlah Panggiring marah kepadanya. Dengan demikian ia akan dapat menghindarkan pertengkaran antara kedua anaknya.

Karena itu, ketika ia sudah tidak dapat mengharap untuk membuka hati Bramanti, perempuan tua itu pun berkata kepada Ki Tambi, “Ki Tambi, aku sudah berusaha untuk meyakinkan Bramanti, bahwa sebaiknya Panggiring dapat diterima. Tetapi ia mempunyai alasan-alasan untuk menolaknya. Karena itu, maka sebaiknya Ki Tambi mengatakan kepadanya, bahwa sebaiknya ia mencari tempat yang lain. Katakan kepadanya bahwa aku, ibunya, bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia telah meninggalkan dunianya yang kelam itu. Namun sayang, bahwa rumah ini tidak dapat menampungnya lagi.”

Ki Tambi menundukkan kepalanya. Alangkah beratnya untuk mengatakan hal itu kepada Panggiring. Ia adalah orang yang menyebut dengan penuh pengharapan, agar Panggiring dapat mengisi Kademangannya yang sedang selalu diganggu oleh Panembahan Sekar Jagat. Tetapi ia gagal.

Terbersit sepercik kekecewaan Ki Tambi atas Bramanti yang selama ini dikaguminya. Memang, orang tua itu pun menyadari, tidak ada seorang pun yang sempurna, dalam segala hal. Bramanti yang rendah hati, berperasaan halus yang tidak mendendam meskipun ayahnya telah terbunuh dengan cara yang mengerikan, tetapi ia tidak dapat membuka hatinya untuk menerima kakaknya. Kakak seibu.

Tetapi Ki Tambi dan ibunya tidak dapat melihat isi hati Bramanti dalam keseluruhan. Mereka tidak dapat melihat alasan-alasan yang sebenarnya tersembunyi di dalam hati anak muda itu.

“Ki Tambi,” berkata Nyai Pruwita, “Temuilah anak itu sekali lagi. Katakanlah kepadanya, akulah yang berkeberatan untuk menerimanya.”

“Bukan ibu,” potong Bramanti, “Akulah yang berkeberatan.”

“Itu tidak bijaksana Bramanti. Panggiring akan dapat mendendammu. Tetapi tidak demikian kepadaku.”

“Apakah salahnya kalau ia memang akan mendendamku ibu? Aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Bramanti,” suara perempuan itu menjadi parau, “Agaknya kaulah yang mendendamnya.”

Bramanti terperanjat, “Kenapa aku mendendamnya?” Aku tidak mendendam kepada siapapun juga ibu. Bahkan kepada orang-orang yang telah membunuh ayahku.”

“Kalau begitu, kau harus melepaskan setiap persoalan dengan kakakmu. Biarlah aku yang menolaknya,” kemudian kepada Ki Tambi ia berkata, “Ingat Ki Tambi. Akulah yang menolaknya.”
Ketika Bramanti akan menyahut, ibunya cepat-cepat mendahuluinya, “Jangan menolak Bramanti.”
Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

Ki Tambi masih saja menundukkan kepalanya. Tetapi ia menangkap maksud Nyai Pruwita, sehingga karena itu, meskipun ia tidak menjawab, namun kepalanya terangguk-angguk kecil.

“Begitulah Ki Tambi,” berkata Nyai Pruwita kemudian, “Agaknya Bramanti sudah tidak akan merubah pendiriannya.”

“Maaf ibu,” sahut Bramanti, “Aku terpaksa.”

Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Karena itu, biarlah pamanmu Tambi berusaha untuk bertemu lagi dengan Panggiring.”

“Baiklah,” berkata Ki Tambi, “Aku akan menemuinya. Aku akan menyampaikan keputusan kalian seperti pesan Nyai.”

“Terima kasih Ki Tambi,” desis perempuan tua itu.

“Aku minta diri. Aku kira tidak ada lagi yang harus dibicarakan.”

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sudahlah Nyai,” kemudian kepada Bramanti ia berkata, “Baik-baiklah menjaga ibumu Bramanti.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Tetapi ia menangkap kesan yang aneh pada pesan Ki Tambi itu. Dan kesan itu ternyata tetap tergores didinding jantungnya.

Sepeninggalan Ki Tambi, Bramanti pun turun ke halaman. Seperti biasanya ia pergi ke kandang. Tetapi terasa kini betapa sepi halaman rumahnya yang demikian luasnya.

Terbayang wajah Ki Tambi yang kecewa. Dan Bramanti pun kemudian terbaring di atas setumpuk jerami sambil mencoba melihat ke dalam dirinya sendiri.

“Paman Tambi pasti menjadi kecewa,” katanya di dalam hati. “Tetapi apaboleh buat. Aku tidak dapat berbuat lain. Tetapi pada saatnya ia akan menyadari, bahwa aku telah bertindak tepat.”

Namun kemudian terngiang juga suatu tuduhan dalam dasar hatinya, “Kau terlampau mementingkan dirimu sendiri Bramanti. Bukankah kau menjadi cemburu, bahwa setiap kali Ratri selalu bertanya kepadamu tentang Panggiring, dan bukankah kau pernah juga mendengar bahwa ayah Panggiring, suami ibumu sebelum ia kawin dengan ayahmu adalah seorang Demang. Demang Kademangan Candisari.”

“Tidak, tidak.” Bramanti menggeram, “Aku tidak memikirkan itu semua. Aku memikirkan masa depan Kademangan ini.”

Tetapi bagaimana pun juga Bramanti tidak dapat menghindarkan diri dari pergolakan yang terjadi di dalam dirinya. Ia menyadari bahwa dengan demikian ia telah menyakiti hati ibunya. Selama ini ia berusaha untuk menyenangkan hati perempuan tua itu. Menumbuhkan kembali kebanggaan serta kepercayaan kepada diri dan keluarganya. Namun tiba-tiba ia sendirilah yang telah merobek kegembiraan yang sedang mulai dinikmatinya.

“Apaboleh buat, apaboleh buat. Aku telah melakukannya dengan terpaksa sekali.”

Dalam pada itu, Ki Tambi pun melangkah dengan tergesa-gesa pulang ke rumahnya. Ia menjadi kecewa. Kecewa sekali. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada menyampaikannya kepada Panggiring, yang tentu akan menjadi sangat kecewa pula. Anak itu merasa bahwa dunia di luar dunianya yang hitam itu ternyata tidak dapat menerimanya kembali.

“Kalau kekecewaannya itu telah mengguncangkan perasaannya, maka ia akan segera terlempar kembali ke dalam dunianya yang lama, justru dengan dendam yang semakin parah di dalam dirinya, terhadap dunian diluarnya,” berkata Ki Tambi di dalam hatinya.

“Kasihan perempuan itu,” desisnya.

Ketika seseorang menyapanya, Ki Tambi menjadi terperanjat, sehingga terbata-bata ia menjawab, “O, aku baru dari rumah Bramanti.”

Sambil mengerutkan keningnya orang itu bertanya, “Kenapa begitu tergesa-gesa?”

“Tidak. Aku tidak tergesa-gesa.”

Orang itu tersenyum. Dan Ki Tambi pun mencoba untuk tersenyum pula.

Malam-malam berikutnya, dengan dada berdebar-debar Ki Tambi selalu berada di sawahnya, menunggu kalau-kalau Panggiring menemuinya, sehingga hampir setiap malam ia terlambat sekali pergi ke Kademangan.

Perubahan itu ditangkap oleh Bramanti, sebagai suatu pernyataan kecewa Ki Tambi atas sikapnya. Betapapun, namun Bramanti setiap kali harus berdesis, “Apaboleh buat. Apaboleh buat.”

Dengan demikian, maka hubungan antara anak muda itu dengan Ki Tambi menjadi agak kaku karenanya.

Namun Ki Tambi adalah orang tua yang bijaksana. Selagi ia menyadari dirinya, maka ia selalu mencoba menghilangkan semua kesan yang ada padanya tentang kecewa yang tergores di dalam dadanya. Ia berusaha untuk tidak merubah sikapnya, kebiasaan-kebiasaan yang lain-lain, dan pembicaraan-pembicaraan, setiap ia bertemu dengan Bramanti. Tetapi satu yang tidak dapat disembunyikan, bahwa ia menjadi selalu lambat datang ke kademangan. Bahkan kadang-kadang hampir pagi ia baru muncul memasuki halaman.

Beberapa malam berturut-turut dengan gelisah Ki Tambi selalu duduk saja di pematang sawahnya. Kadang-kadang saja ia bangkit dan berjalan mondar-mandir. Namun sampai hari keempat, Panggiring masih juga belum menemuinya lagi.

“Apakah anak itu sudah dapat menduga, bahwa permintaannya itu akan ditolak?” desis Ki Tambi, kemudian, “Kasihan.”

Tetapi pada malam berikutnya, dengan dada berdebar-debar Ki Tambi melihat sesosok tubuh berjalan menyusur pematang mendekatinya. Ternyata bahwa orang itu adalah Panggiring.

“Kau Panggiring?” bertanya Ki Tambi.

“Ya paman.”

“Kemarilah, duduklah.”

Langkah Panggiring yang ragu itu sangat terkesan di hati Ki Tambi. Sama sekali bukan langkah seorang perampok yang pernah menguasai daerah yang luas di pesisir Utara. Langkah itu adalah langkah seorang yang penuh dengan kebimbangan dan kecemasan di dalam dirinya, tanpa kepercayaan kepada diri sendiri.

“Duduklah.”

“Terima kasih paman,” jawab Panggiring sambil duduk.

“Aku menunggumu setiap malam disini,” berkata Ki Tambi.

“Aku ragu-ragu paman,” jawab Panggiring, “Ketika aku menemui paman beberapa malam yang lampau, beberapa orang melihatku dan menyapaku.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Untunglah bahwa aku berhasil bersembunyi.”

Ki Tambi masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kemudian aku melihat pengawasan yang semakin ketat disetiap malam. Sehingga aku memerlukan waktu untuk mencari celah-celah penjagaan dan pengawasan itu.”

“Ya,” jawab Ki Tambi, “Orang itu telah melaporkan kepada Bramanti dan kemudian telah di dengar oleh Ki Jagabaya pula. Temunggul, pemimpin pengawal Kademangan telah mengatur penjagaan yang lebih ketat lagi. Tetapi aku yakin bahwa kau akan dapat menemukan celah-celah dari penjagaan itu, seperti ternyata pada malam ini.”

“Ya paman,” sahut Panggiring, “Aku memang mengharap segera dapat menemui paman. Aku ingin segera mendengar penjelasan ibu dan Bramanti tentang permintaanku.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah paman telah sempat menyampaikannya.”

“Ya ngger. Aku sudah menyampaikan kepada mereka.”

“Lalu?”

Ki Tambi tidak segera menjawab. Debar di dadanya terasa semakin tajam mengguncang-guncang jantungnya.

“Apakah jawab ibu dan Bramanti paman?”

Ki Tambi masih berdiam diri. Terasa tenggorokannya seperti tersumbat. Kalimat-kalimat yang sudah disusunnya sama sekali tidak mampu dilontarkannya lewat mulutnya.

Namun Ki Tambi itu terperanjat ketika ia mendengar Panggiring berkata, “Aku sudah menduga paman, bahwa ibu dan Bramanti tidak dapat menerima aku kembali. Bukankah begitu?”

“Dari mana kau tahu Panggiring?” bertanya Ki Tambi dengan serta merta.

“Aku hanya menduga paman. Tetapi agaknya demikianlah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Tetapi, kau dapat tinggal dirumahku Panggiring. Aku mempunyai rumah meskipun tidak begitu baik dan besar. Tetapi cukup untuk menerima kau. Bukankah kau hanya seorang diri?” Ki Tambi terdiam sejenak, dan suaranya menjadi parau. “Atau, kau dapat mengambil halamanku secukupnya. Halamanku pun cukup luas. Kau dapat membuat sebuah pondok kecil di halaman rumahku. Pondok seperti kau inginkan, yang akan kau buat di halaman rumah Bramanti.”

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada yang dalam, “Terima kasih paman. Aku sangat berterima kasih kepada paman Tambi. Tetapi aku terpaksa tidak dapat menerimanya.”

“Kenapa?”

“Adalah kurang bijaksana bagiku, apabila aku tinggal di rumah orang lain, sedang di Kademangan yang sama keluargaku bertempat tinggal.”

“Tetapi, itu tidak apa Panggiring. Kau sudah mencoba menghubungi keluargamu. Tetapi keluargamu menolak.

“Penolakan ibu dan Bramanti itu wajar sekali paman. Aku sama sekali tidak bersakit hati. Aku memang anak yang sudah terbuang.”

“Ah,” Ki Tambi berdesis, “Tidak. Bukan begitu. Tinggallah di rumahku sehari dua hari.”

“Terima kasih paman.”

“Tetapi, kalau kau menolak tinggal bersamaku, kemana kau akan pergi?”

Panggiring tidak segera menjawab.

“Panggiring,” berkata Ki Tambi. “Sebenarnya penolakan ibumu itu ada juga alasannya. Ibumu ingin agar kau bertempat tinggal di tempat yang sama sekali tidak mengenal kau. Kau akan dapat hidup sewajarnya tanpa prasangka apapun seperti kau tinggal di Kademangan Candisari.”

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ibu memang benar.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Ia yakin akan kata-kata Panggiring itu. Namun kemudian Panggiring meneruskan, “Di Kademangan ini, yang setiap orang sudah mengenal aku di masa aku remaja, pasti akan selalu berprasangka, dan bahkan mencurigaiku,” Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ibu memang bijaksana. Terlalu bijaksana. Akulah yang bodoh, yang selama ini tidak pernah sempat membuka mata dan hati. Aku tidak pernah berbuat sesuatu untuk ibu dan keluargaku. Adalah sepantasnya bahwa aku tidak akan segera dapat diterimanya.”

Ki Tambi menggigit bibirnya menahan haru. Terngiang kata-kata Bramanti, bahwa kakaknya sama sekali belum pernah berbuat apapun untuk ibunya. Meskipun Panggiring tidak mendengar kata-kata itu diucapkan, namun ia telah menyatakan pengakuannya. Pengakuan yang jujur dan bersih.

“Tetapi itu tidak perlu kau lakukan Panggiring. Kau lebih baik tinggal bersamaku. Betapapun besarnya prasangka orang-orang disekitarmu, tetapi kalau kau berhasil membuktikan bahwa kau telah berubah, maka semuanya akan menjadi baik. Seperti juga sikap orang-orang Candisari terhadap Bramanti.”

Panggiring mengerutkan keningnya, “Bagaimana dengan Bramanti?”

“Semua orang berprasangka juga kepadanya. Orang menyangka bahwa ia akan membalas dendam atas kematian ayahnya. Tetapi pada suatu saat, orang-orang menaruh hormat kepadanya, karena ia dapat membuktikan bahwa ia tidak akan membalas dendam seperti yang disangka orang.

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Terima kasih paman. Terima kasih. Aku lebih condongg untuk mendengar nasehat itu. Paman jangan takut bahwa aku akan kembali ke pesisir Utara, dan akan terjun ke dalam dunia yang kotor itu. Tidak paman. Aku sudah berjanji untuk melepaskan senjataku dan mencuci tanganku.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam.

“Namun meskipun demikian paman,” berkata Panggiring, “Apakah paman sudi menolongku sekali lagi?”

“Tentu, tentu Panggiring. Apakah yang kau perlukan?”

“Meskipun ibu dan Bramanti menolak aku tinggal bersama mereka, namun apakah mereka tidak berkeberatan apabila aku berkunjung meskipun hanya sekejap. Aku ingin bertemu dengan ibu dan melihat, betapa Bramanti sekarang, setelah ia menjadi seorang anak muda yang perkasa itu.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya.

“Kalau ibu dan Bramanti tidak berkeberatan, aku akan datang meskipun hanya sekejap. Tetapi kalau ibu dan Bramanti tidak dapat menerima aku, maka biarlah aku menitipkan bakti dan salamku kepada ibu dan Bramanti.”

“Aku akan menyampaikannya Panggiring,” jawab Ki Tambi, “Aku kira, mereka tidak akan berkeberatan apapun. Mereka pasti akan menerimamu.”

“Mudah-mudahan paman. Tetapi sebenarnyalah aku telah menjadi terlampau kotor bagi mereka. Bagi ibu dan bagi Bramanti.”

“Tidak, tentu tidak.”

“Paman terlampau baik kepadaku. Aku tidak akan melupakannya seumur hidupku paman.”

“Ah,” desah Ki Tambi, “Apa yang telah aku lakukan sama sekali tidak berarti dibanding dengan nyawaku yang telah kau selamatkan.”

Panggiring mengerutkan keningnya. “Namun paman telah melihat pula, alangkah kotornya duniaku saat itu.” Panggiring berhenti sejenak, lalu, “Nah, paman. Aku minta diri. Aku akan menemui paman besok malam. Aku mengharap bahwa meskipun untuk sekejap, aku dapat bertemu dengan ibu dan Bramanti.”

“Baiklah Panggiring, aku akan menyampaikannya. Besok aku dapat memberimu penjelasan.”

“Terima kasih paman. Aku minta diri, sebelum ada orang lain yang melihatku, berkeliaran di pematang sawah paman Tambi, supaya paman Tambi tidak menjadi ajang pertanyaan.”

“Baiklah. Hati-hatilah Panggiring.”

Panggiring mengangguk, kemudian melangkah sambil berdesis, “Selamat malam paman.”

Panggiring pun kemudian meninggalkan Ki Tambi yang kini berdiri termangu-mangu. Dipandanginya langkah anak muda itu. Langkah yang gontai. Sama sekali bukan langkah seorang yang berilmu demikian tinggi.

Ketika Panggiring telah hilang di dalam gelapnya malam, maka Ki Tambi meninggalkan sawahnya pula. Dengan kepala tunduk ia berjalan ke Kademangan. Di pojok desa ia bertemu dengan dua orang pengawal yang mendapat tugas untuk mengawasi keadaan, dan bahkan diregol jalan padukuhan ia bertemu dengan Temunggul dan Ki Jabagaya sendiri.

“Malam begini sepi,” desis Ki Jagabaya, “Apakah kau bertemu dengan bayangan hitam yang tinggi dan besar?”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian menggelengkan kepalanya, “Tidak Ki Jagabaya. Aku tidak bertemu dengan siapapun selain dua orang pengawal dipojok desa.”

Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Temunggul pun bertanya, “Sekarang Ki Tambi akan kemana?”

“Aku akan pergi ke Kademangan, siapakah yang ada disana?”

“Bramanti, dan beberapa anak-anak muda.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku akan menemui Bramanti.” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia berdesis, “Ki Tambi. Aku kira Ki Tambi adalah orang yang dekat dengan Bramanti.”

“Kenapa?”

“Tiga empat hari terakhir, anak muda itu kelihatannya agak lain dari kebiasaannya. Ia menjadi murung dan seakan-akan selalu dibayangi oleh kegelisahan.”

“He,” Ki Tambi mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu sama sekali tidak diduganya. Ternyata ia tidak melihat perubahan itu karena hatinya sendiri sedang gelisah. Beberapa malam ia tidak lama berada di Kademangan bersama-sama dengan Bramanti. Ia sendiri lebih sering berada di sawah menunggu Panggiring.

“Apakah kau tidak salah lihat Temunggul?” bertanya Ki Tambi.

“Tidak Ti Tambi. Bukan hanya aku saja yang merasakan kelainan sikap itu. Tetapi beberapa orang anak-anak yang lain.”

“Siapa?”

“Para pengawal.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan menemuinya dan bertanya kepadanya.”

“Silakan Ki Tambi, supaya kami tidak menjadi gelisah pula karenanya. Bramanti adalah anak muda yang paling mungkin kami harapkan untuk melindungi kami seisi Kademangan. Kalau ia kecewa karena sesuatu, maka kami pun akan menjadi kecewa pula.”

“Ya, ya. Aku akan bertanya langsung dan berterus terang kepadanya, supaya kami dapat membantunya.”

Ki Tambi pun kemudian meninggalkan Temunggul dan Ki Jagabaya, dan berjalan dengan tergesa-gesa ke Kademangan. Namun langkahnya kemudian melambat, ketika ia bertanya pada diri sendiri. “Kenapa aku tergesa-gesa? Bukankah aku tidak akan bertanya kepada Bramanti, kenapa ia menjadi murung?”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Dan langkahnya pun kemudian tidak lagi seperti diburu oleh waktu.

Di regol itu Temunggul memandang langkah Ki Tambi sampai hilang dibalik kegelapan. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ki Tambi akhir-akhir ini kelihatannya juga menjadi gelisah.”

Ki Jagabaya mengangguk, “Ya. Aku juga melihat.”

“Kita tidak tahu, apakah yang telah menggelisahkannya. Tetapi seandainya mereka telah mendengar bahwa Panembahan Sekar Jagat sendiri akan datang, kita wajib bersiap-siap.”

“Tetapi mereka pasti akan mengatakannya kepada kita.”

“Mungkin Bramanti menjaga agar kita tidak menjadi gelisah pula karenanya.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menggeram, “Persetan. Mari kita berjalan terus. Kalau-kalau kita bertemu dengan orang yang tinggi besar itu.”

Temunggul tidak menjawab. Diikutinya saja langkah Ki Jagabaya menyusur jalan dipinggir padukuhan.

Sementara itu Bramanti duduk termenung di tangga Kademangan. Beberapa anak-anak muda yang sedang berada di Kademangan itu telah tertidur. Satu dua di antara mereka yang bertugas duduk terkantuk-kantuk di gardu di samping regol.

Ketika angin malam yang dingin menyentuh wajah Bramanti, terasa kesegaran udara seakan-akan merasuk sampai ke tulang. Perlahan-lahan Bramanti berdiri sambil menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia berjalan, kemudian berhenti menatap bintang-bintang yang bertaburan dilangit.

Namun hatinya yang gelisah masih saja menyentuh-nyentuh perasaannya. Ia tidak dapat melupakan kehadiran Panggiring di Kademangan ini. Dan ia tidak yakin bahwa Panggiring akan dengan senang hati menerima penolakannya meskipun Ki Tambi akan mengatakan kepadanya, bahwa ibunyalah yang berkeberatan akan kehadirannya.

Kegelisahan, kepepatan hati itu disimpannya rapat-rapat di dalam dadanya. Namun semakin lama terasa menjadi semakin berat. Tidak ada seorang pun yang dapat dibawanya berbincang. Ki Tambi pun tidak, karena jelas baginya, bahwa kali ini ia berbeda pendirian.

Bramanti mengerutkan keningnya ketika ia melihat Panjang memasuki halaman Kademangan sambil berselimut kain panjangnya. Tampak di lambungnya tangkai pedang mencuat dari kain selimutnya itu.

“Kau belum tidur Bramanti?” bertanya Panjang.

“Darimana kau tahu?” bertanya Bramanti.

“Dari parit disebelah. Aku kantuk sekali. Untuk menghilangkannya aku berjalan dan kemudian mencuci muka. Tetapi dinginnya bukan main.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba dorongan dari dalam dadanya tidak dapat ditahankannya lagi. Masalah Panggiring serasa telah penuh padat tertimbun di dalam dirinya, sehingga anak muda itu memerlukan tempat untuk meluapkan perasaannya itu. Dengan demikian ia akan merasa bahwa bebannya agak menjadi berkurang.

Selain Ki Tambi, Panjang adalah kawannya yang terdekat pula. Karena itu, tanpa dapat melawan dorongan perasaan sendiri, Bramanti yang betapapun kuat dan tangguhnya, namun ia adalah seorang anak yang masih muda, berkata perlahan-lahan, “Kemarilah Panjang.”

Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia bertanya Bramanti telah mendahuluinya melangkah ke pojok pendapa dan duduk memeluk lututnya.

Panjang pun kemudian duduk pula disampingnya. Ia melihat keragu-raguan yang membayang diwajah Bramanti. Meskipun demikian ia tidak mendahului bertanya kepadanya. Dibiarkannya Bramanti merenung sejenak.

Akhirnya Bramanti pun berkata, “Panjang, ada sesuatu yang akan aku katakan kepadamu.”

Panjang menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hatinya, meskipun ia masih tetap berdiam diri.

“Tetapi kau harus berjanji.”

Panjang menjadi semakin heran, “Janji untuk apa?” ia bertanya.

“Aku akan mengatakan sesuatu, tetapi kau harus berjanji bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada orang lain.”

Panjang berpikir sejenak. Kepalanya terangguk-angguk. Dan dari mulutnya terdengar ia berdesis, “Apakah yang akan kau katakan?”

“Berjanjilah bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada orang lain.”

Kepala Panjang terangguk kecil, “Baiklah, aku tidak akan mengatakannya.”

Begitu pepatnya dada Bramanti sehingga seperti bendungan yang terbuka langsung terloncat dari mulutnya, “Panggiring sekarang telah berada disini.”

“He,” Panjang pun terkejut bukan buatan sehingga ia bergeser maju, “Panggiring?”

“Jangan keras-keras,” potong Bramanti. “Ia sudah berada di sekitar Kademangan ini.”

“Apakah maksudnya?”

Bramanti berpaling ketika ia mendengar Panjang bertanya, “Bagaimana pendapatmu Bramanti?”

“Kemungkinan ia memang ada. Tetapi aku belum berpendapat sejauh itu.”

“Tetapi kau harus tetap berhati-hati Bramanti.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya.

Namun pembicaraan itu pun segera terputus ketika mereka melihat Ki Tambi memasuki regol halaman. Langkahnya satu-satu di atas tanah yang dibasahi oleh titik embun.

“Jangan kau tanyakan kepada paman Tambi,” desis Bramanti, “Dan ingat, jangan kau katakan kepada siapapun juga.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Ketika Ki Tambi sampai di tangga pendapa, maka Bramanti pun menyapanya dengan kaku, “Selamat malam paman.”

Ki Tambi tersenyum. Jawabnya, “Kau Bramanti. Apakah kau tidak pergi berkeliling?”

“Temunggul dan Ki Jagabaya telah melakukannya.”

“Ya, aku bertemu dengan mereka dipinggir desa.”

“Apakah paman baru datang dari sawah?”

“Ya,” jawab Ki Tambi pendek. Namun ia segera menangkap pertanyaan yang membayang di wajah Bramanti, “Agaknya paman Tambi telah bertemu lagi dengan kakang Panggiring,” tetapi pertanyaan itu tidak pernah diucapkannya.

Maka Ki Tambi pun kemudian duduk pula bersama Bramanti dan Panjang. Tetapi pembicaraan mereka terasa agak lain dari masa-masa sebelumnya. Ki Tambi tidak banyak lagi berceritera, dan Panjang tidak lagi banyak bertanya. Sedang Bramanti pun kemudian menguap beberapa kali.

“Tidurlah Bramanti,” berkata Ki Tambi. “Kau perlu beristirahat. Akhir-akhir ini kau terlampau banyak bangun di malam hari.”

“Ya paman,” jawab Bramanti pendek. Namun ia pergi juga bersama Panjang ke gardu di samping regol. Kepada para peronda ia berkata, “Kami akan beristirahat. Bangunkan kalau kalian memerlukan.”

Peronda itu mengangguk, “Baik,” jawab salah seorang dari mereka.

Bramanti dan Panjang pun kemudian membaringkan diri mereka di atas tikar sehelai di pendapa Kademangan. Namun ternyata mereka tidak dapat segera tertidur, karena berbagai macam bayangan yang mengganggu angan-anggan mereka.

Ki Tambi sendiripun kemudian pergi pula kegardu di samping regol. Diletakkannya dirinya disudut gardu bersandar dinding sambil berselimut kain panjangnya. Tetapi orang tua itu pun tidak juga dapat tidur.

Ketika Temunggul dan Ki Jagabaya datang, Ki Tambi pun segera bangkit menyongsong mereka.

“Apakah kau sudah bertanya?” bertanya Ki Jagabaya.

Ki Tambi menggeleng, “Belum.”

“Kenapa?”

“Anak itu baru tidur.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bersama Temunggul dan Ki Tambi mereka pergi naik ke pendapa. Sekilas mereka melihat di antara anak-anak muda yang terbaring, Bramanti dan Panjang. Namun mereka tidak mengetahui, bahwa meskipun mata mereka terpejam, tetapi mereka tidak sedang tidur.

Sejenak Ki Tambi, Ki Jagabaya dan Temunggul bercakap-cakap, ketika mereka kemudian mendengar ayam jantan berkokok. Warna semburat merah segera membayang di dedaunan, pada titik-titik embun yang bergayutan di dahan-dahan.

“Fajar,” desis Ki Tambi, “Aku akan pulang. Beberapa malam aku tidak berada di rumah sama sekali.”

“Kenapa?” bertanya Ki Jagabaya.

“Aku berada disini.”

“Kau datang terlampau malam beberapa hari ini. Tidak seperti waktu-waktu sebelumnya.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. “Aku menunggui tanaman di sawah.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya wajah Temunggul. Namun mereka tidak berbicara apapun.

Namun kilasan pandangan mata itu telah memberikan kesan kepada Ki Tambi yang mempunyai perasaan yang cukup tajam. Sehingga ia mengambil kesimpulan, “Mereka melihat sesuatu yang lain dari pada diriku. Bukan sekadar pada Bramanti, meskipun mereka mengharap akulah yang akan berbicara kepada anak muda itu.”

Tetapi Ki Tambi tidak berkata apapun. Ia pun kemudian meninggalkan halaman Kademangan dengan gelisah di dalam dada.

Sejenak kemudian langit pun menjadi semakin terang. Satu-satu anak-anak muda yang tertidur di pendapa itu pun terbangun. Dan satu-satu mereka meninggalkan halaman, pulang ke rumah masing-masing. Bramanti yang tidak dapat tidur sekejap pun segera bangkit pula. Tetapi ketika ternyata Panjang akhirnya tertidur nyenyak, anak itu tidak dibangunkannya. Dibiarkannya Panjang berbaring di pendapa.

“Apakah kau dapat tidur?” bertanya Temunggul.

Bramanti menggelengkan kepalanya, “Kau?”

Temunggul pun menggeleng sambil tersenyum. “Aku pun tidak. Tetapi agaknya Panjang tidur dengan nyenyaknya.”

“Panjang pun belum lama tertidur,” jawab Bramanti.

“Biarlah ia tidur. Aku akan menungguinya,” berkata Temunggul.

“Anak itu tidak akan dimakan hantu.”

Temunggul tertawa dan Bramanti pun tersenyum juga. Namun Bramanti itu pun kemudian minta diri mendahului pulang.

Seperti biasanya Temunggul selalu mengumpat-umpat karena anak muda dan Ki Jagabaya yang semalaman berada di pendapa segera pulang, sedang anak-anak yang harus berjaga-jaga di siang hari masih belum datang. Tetapi kali ini ia masih mempunyai seorang kawan meskipun masih tidur. Panjang. Dan Temunggul sengaja tidak membangunkannya.

Namun akhirnya Temunggul melihat Panjang itu menggeliat sambil berdesah. Kemudian membuka matanya.

“O,” dengan serta merta ia bangkit, “Sudah siang.”

“Belum,” jawab Temunggul, “Masih terlalu pagi untuk bangun.”

Panjang pun kemudian bangkit dan duduk bersila sambil mengusap-usap matanya. Ia sudah tidak melihat seorang pun lagi di pendapa selain Temunggul. Tikar-tikar yang dibentangkan di pendapapun telah digulung seluruhnya. Bahkan halaman Kademangan telah sepi.

“Semuanya sudah pulang?”

“Ya,” jawab Temunggul. “Aku pun hampir saja pulang meninggalkan kau disini.”

Panjang menguap, “Bramanti?”

“Ia telah pulang pula.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya wajah Temunggul yang lelah. Sebuah kesan yang lain tersirat di wajah itu.

“He, Panjang,” berkata Temunggul tiba-tiba, “Apakah kau melihat sesuatu yang lain dari pada diri Bramanti?”

“Kenapa?” bertanya Panjang pula.

“Aku melihat kegelisahan yang selama ini membayanginya.”

Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Apakah ia tidak pernah mengatakan sesuatu kepadamu?”

“Panjang menarik nafas dalam-dalam.