Jodoh Rajawali -9 | Kho Ping Hoo



Buku 9

Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengunjungi lembah itu, tadinya dengan maksud menentang Hek-hwa Lo-kwi, dia bertemu dengan Liong Bian Cu, Ban Hwa Sengjin dan para pembantu pangeran itu. Liong Bian Cu berhasil membujuk Hek-tiauw Lo-mo dan akhirnya Hok-tiauw Lo-mo terpikat pula, bahkan lalu masuk dalam persekutuan itu, apalagi ketika dia melihat betapa keadaan Liong Bian Cu sebagai pangeran dan sebagai murid Koksu Nepal, amatlah kuatnya. Dia mendengar bahwa puterinya telah mewakili dia mengunjungi lembah itu, dan giranglah hatinya ketika dalam pembicaraannya dengan Pangeran Nepal itu, dia mendengar bahwa pangeran itu ternyata amat tertarik dan agaknya jatuh hati kepada puterinya! Kalau saja dia dapat menjadi mertua dari Pangeran Nepal ini. Dan kelak, kalau pangeran ini menjadi Raja Nepal, dia menjadi mertua raja! Apalagi kalau pangeran ini berhasil menjadi kaisar, dia menjadi mertua kaisar. Pangkat dan kemuliaan apalagi yang dapat lebih tinggi lagi daripada itu? Maka dia lalu berpamit dari lembah dan pergi untuk mencari puterinya, dengan satu tujuan di dalam benaknya, yaitu dengan cara apa pun dia akan menyerahkan puterinya kepada Liong Bian Cu sebagai Isterinya! Beberapa orang anak buahnya membantunya mencari Hwee Li! dan akhirnya dia menemukan puterinya itu di tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.

Atas petunjuk Hek-tiauw Lo-mo, Hwee Li menyuruh garudanya menukik turun. Dari atas dia sudah melihat lembah itu dan dia memandang heran. Lembah yang dikenalnya sebagal tempat tinggal atau sarang Hek-hwa Lo-kwi itu kini telah berubah. Masih sukar untuk didatangi dari darat tanpa melalui jalan rahasia, akan tetapi kini dari atas nampak betapa lembah itu telah dikurung air!

Ternyata bahwa air yang meluap dan membanjiri lembah akibat ledakan-ledakan alat peledak Siluman Kucing dahulu itu, telah membentuk genangan air seperti telaga di sekitar lembah dan oleh Hek-hwa Lo-kwi, air itu malah dipergunakan untuk memperkuat bentengnya. Dengan adanya air yang mengurung lembah itu, maka makin sukarlah bagi orang luar untuk dapat menyerbu ke lembah. Mereka harus lebih dulu menyeberangi air yang lebarnya lebih dari dua puluh tombak itu, air yang cukup dalam karena oleh Hek-hwa Lo-kwi telah digali dan diperdalam dan tidak ada jembatan yang menghubungkan lembah dengan seberang air seperti sungai atau telaga itu.

Garuda itu menukik turun dan akhirnya hinggap di atas tanah di depan bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Hek-hwa Lo-kwi. Dari atas sudah nampak banyak orang berdiri di luar bangunan itu menyambut kedatangan ayah dan anak yang aneh itu. Ketika Hwee Li dan ayahnya meloncat dari atas punggung garuda, dara ini memutar tubuh dan memandang. Alisnya berkerut ketika wajah pertama yang dilihatnya justeru adalah wajah yang amat dibencinya, wajah Liong Bian Cu sendiri! Laki-laki yang tinggi tegap ini memakai pakaian indah, dan dia sudah menjura dengan hormatnya dan tersenyum penuh keramahan kepada Hwee Li.

"Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, sungguh mengagumkan sekali betapa dalam waktu singkat Locianpwe dapat menemukan puterimu!" katanya kepada Hek-tiauw lo-mo yang tertawa bergelak penuh kebanggaan.

"Nona Hwee Li, selamat datang di lembah dan mudah-mudahan engkau tadi menikmati perjalanan menyenangkan sekali," katanya kepada Hwee Li sambil tersenyum. Giginya putih dan rata, hidungnya yang agak melengkung itu bergerak-gerak. Sesungguhnya pria ini cukup tampan dan juga gagah sekali, akan tetapi entah mengapa, Hwee Li merasa tidak suka kepadanya. Agaknya hal itu ditimbulkan oleh pandang mata yang memang jalang dan menembus itu, yang terpancar dari sepasang mata yang cekung dan tajam bukan main.

"Hemmm....!" Hwee Li hanya mengeluarkan suara dari hidungnya tanpa menjawab.

"Hwee Li, engkau diajak bicara oleh Pangeran. Jawablah, jangan membikin malu Ayahmu seolah-olah engkau tidak pernah dididik kesopanan!" kata Hek-tiauw Lo-mo kepada puterinya.

Makin dalam kerut pada alis dara itu. Dia merasa makan tidak senang dan juga terheran-heran. Sejak kapankah ayahnya menjadi seorang penjilat dan seorang yang mengenal kesopanan? Biasanya, dahulu dia yang sering kali merasa malu karena ayahnya adalah seorang yang sama sekali tidak mempedulikan tata susila atau sopan santun! Karena di situ terdapat banyak orang, dan tentu, saja dia tidak mau membikin malu ayahnya, maka dia lalu balas menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara kaku, "Terima kasih, Ayahku memaksa aku berkunjung ke sini, mudah-mudahan tidak mengganggu siapa pun!" Sambil berkata demikian, dia melirik kepada Hek-hwa Lo-kwi yang dia tahu adalah tuan rumahnya.

Kembali dia terheran-heran, karena Hek-hwa Lo-kwi hanya mengangguk sambil tersenyum saja sedangkan yang menjawabnya adalah pangeran itu, "Ha-haha.... tidak sama sekali, Nona! Saya percaya bahwa Hek-hwa Lo-kwi locianpwe bahkan akan merasa terhormat dan girang dengan kunjunganmu ini. Siapa yang tak kan merasa terhormat dan gembira menerima kunjungan seorang seperti engkau, Nona? Nona tentu telah merasa lelah sekali, maka silakan Nona beristirahat di kamar yang telah kami sediakan, menyegarkan diri baru kemudian kita makan dalam pesta yang kami selenggarakan untuk menyambut kedatangan Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dan Nona Kim Hwee Li!" Pangeran itu bertepuk tangan dan munculiah empat orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu.

"Kalian antar Nona Hwee Li ke kamarnya dan layani baik-baik!" perintah pangeran itu.

"Silakan, Siocia...." seorang pelayan memberi hormat kepada Hwee Li.

Dara ini tadinya hendak menolak. Tidak biasa dia diperlakukan seperti seorang puteri dan dilayani orang, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan mata ayahnya, dia melihat ayahnya menganggukkan kepala dan pandang matanya ayahnya itu seperti dia memaksanya. Dengan gerakan marah dia memutar tubuh lalu mengikuti para pelayan itu memasuki gedung yang besar dan akhirnya dipersilakan masuk ke sebuah kamar yang amat indah. Begitu masuk, Hwee Li terpesona. Hebat bukan main kamar ini. Selain besar dan luas, juga dihias seperti kamar seorang puteri istana saja layaknya.

Dia berdiri dan memandang ke kanan kiri. Sebuah dipan berada di tengah kamar, dipan yang terbuat dari kayu indah terukir dan terhias emas dan permata, terletak di atas permadani merah yang tebal dan berbulu, permadani yang terhampar memenuhi kamar itu. Di dekat pembaringan terdapat meja dengan empat kursinya dari kayu ukir-ukiran dan halus mengkilap amat indahnva, merupakan hassil seni ukir yang mentakjubkan. Pot-pot bunga berukiran gambar naga dan burung dewata menghias sudut-sudut kamar dan di sebelah kiri nampak meja rias yang mungil, dengan piring cermin dari perak mengkilap tergantung di dinding, dan di atas meja itu nampak lengkap alat-alat rias seperti bedak, yan-ci (pemerah pipi), gincu, sisir, tusuk konde emas, minyak wangi dan sebagainya. Dan dari pintu kecil di belakang yang menyambung dengan kamar itu, yang daun pintunya terbuka sedikit, nampak kolam mandi dari batu pualam! Sebuah kamar yang amat indah dan mewah dan dari jendela yang bentuknya seperti bulan purnama dan terhias pot-pot bunga itu dia dapat melihat sebuah kamar kecil yang indah pula di luar kamar. Benar-benar merupakan kamar seorang puteri raja!

"Siocia, mari kami bantu Siocia menanggalkan pakaian...."

"Biar kami membantu Siocia mandi...."

"Rambut Siocia kusut dan agak kotor terkena debu, perlu dikeramasi lalu disikat...."

Empat orang pelayan itu menghampir Hwee Li dan mengulurkan tangan hendak membantu dara itu agar menanggalkan pakaian untuk mandi. Hwee Li membelalakkan matanya dan mengepal tinju, lalu menghardik, "Pergi kalian dari sini!"

Empat orang pelayan itu terkejut, akan tetapi mereka telah menerima perintah dari majikan mereka untuk melayani nona ini sebaiknya, "Siocia, kami...."

"Cukup! Cepat kalian menggelinding keluar dari kamar ini, kalau tidak, akan kulemparkan kalian satu demi satu!"

"Siocia...." Mereka masih nekat. Mereka adalah empat orang di antara para pelayan Pangeran Nepal itu dan mereka adalah pelayan-pelayan terlatih yang menguasai ilmu silat dan ilmu gulat, maka ancaman Hwee Li tidak membuat mereka takut. Mereka sudah terlatih dah sudah biasa menghadapi dara cantik jelita yang dipersiapkan untuk melayani majikan mereka. Dan biarpun mereka udah mendengar bahwa puteri Hek-tiauw Lo-mo ini memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak khawatlr karena mereka mengira bahwa sepandai-pandainya seorang dara remaja seperti ini, mana mungkin dapat mengalahkan mereka berempat? Apalagi mereka melihat bahwa Hwee Li begitu cantik dan masih begitu muda, dan mereka dapat melihat dari sikap Pangeran Liong Bian Cu bahwa pangeran itu benar-benar jatuh cinta kepada dara ini sehingga sebelum dara ini tiba pun kamar yang amat indah itu telah dipersiapkan olehnya! Maka, mereka berempat tentu saja tidak mau meninggalkan Hwee Li, karena kalau mereka mampu membujuk sehingga dara ini dengan hati terbuka mau melayani majikan mereka, mau menerima cintanya, tentu mereka akan menerima ganjaran besar!

"Siocia, kami hanya membantu...."

"Cerewet!" bentak Hwee Li, dan dia menggerakkan tangan kirinya untuk mendorong. Akan tetapi, dengan cepat wanita itu mengelak ke kanan dan tiba-tiba saja tangannya telah menangkap pergelangan tangan kiri Hwee Li. Itulah gerakan seorang ahli gulat yang amat cekatan dan biarpun pelayan itu berlaku hati-hati sehingga tangkapannya tidak akan menyakitkan orang, namun jelas bahwa di bawah kulit telapak tangannya terkandung getaran tenaga yang kuat sehingga tangkapan itu pun erat sekali!

"Kalian mencari mampus!" Hwee Li berseru ketika tiga orang pelayan yang lain juga sudah memegangnya dari kanan kiri dan belakang. Tiba-tiba Hwee Li mengguncang tubuhnya sambil mengerahkan sinkangnya. Tentu saja empat orang pelayan itu sama sekali bukan lawan puteri majikan Pulau Neraka ini. Mereka terguncang dan pegangan mereka terlepas semua, kemudian sebelum mereka tahu apa yang menimpa mereka, tubuh mereka satu demi satu melayang keluar deri pintu kamar mewah itu. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh empat orang pelayan itu terbanting di luar kamar, diiringi keluhan dan rintihan mereka.

Tiba-tiba di luar pintu itu muncul Liong Bian Cu diiringi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu memandang kepada puterinya dan menegur, "Eh, Hwee Li, apa yang terjadi? Apa yang kaulakukan tadi?" Kembali Hwee Li merasa terheran karena jelas bahwa di dalam pertanyaan ayahnya itu mengandung penyesalan terhadapnya dan terkandung rasa sungkan terhadap Sang Pangeran Nepal itu! Diam-diam dia merasa muak dan marah. Mengapa ayahnya menjadi seorang penjilat? Mana kegagahan ketua Pulau Neraka?

"Mereka layak dihajar!" katanya tak acuh dan sama sekali tidak takut menghadapi Pangeran Nepal itu.

Liong Bian Cu tersenyum lebar dan menjura, sikapnya halus memikat. "Maaf, Nona. Apakah empat orang pelayan itu bersikap kurang ajar kepadamu? Apakah mereka tidak menyenangkan hatimu? Kalau begitu, katakanlah dan aku akan membunuh mereka atau menyiksa mereka di depan kakimu sekarang juga!"

Hwee Li cemberut. Sikap ayahnyalah yang membuat dia marah, bukan sikap pangeran itu. Kalau saja ayahnya tidak bersikap seperti itu, berubah sama sekali daripada biasanya, agaknya sikap pangaran ini akan menyenangkan hatinya juga. Maka kemarahannya lalu dia lontarkan kepada pangeran itu dengan kaku dan kasar dia menjawab, "Mereka adalah orang-orangmu. Mau siksa atau mau bunuh terserah, tiada sangkut-pautnya dengan aku!" Lalu dia membuang muka, kedua pipinya merah dan terasa panas karena marahnya.

"Hwee Li!" Ayahnya membentak marah. "Pangeran telah bersikap demikian hormat dan ramah kepadamu, pantaskah sikap dan jawabanmu ini?"

Hwee Li menoleh kepada ayahnya. Mereka saling pandang dan baru sekarang Hwee Li melihat pandang mata ayahnya kepadanya demikian penuh kemarahan. Selamanya, pandang mata ayahnya kepadanya selalu lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi sekarang ayahnya memandangnya dengan mata melotot marah. Hal ini amat menyakitkan hatinya dan tak terasa lagi dua titik air mata membasahi matanya!

"Sudahlah, Locianpwe, jangan marah kepadanya. Nona Hwee Li, kalau para pelayanku tidak menyenangkan hatimu, biarlah aku yang minta maaf kepadamu!" Sambil berkata demikian, pangaran itu benar-benar menjura kepada Hwee Li!

Diam-diam gadis ini terkejut dan merasa heran juga. Pangeran ini ternyata seorang yang amat hormat kepadanya, sungguhpun pandang matanya amat menjijikkan dan membuat dia merasa seperti telanjang bulat kalau berhadapan dengan pangeran itu. Melihat sikap yang amat hormat ini, juga amat merendah, padahal pemuda berusia tiga puluhan tahun ini benar-benar seorang pangeran yang kaya raya dan berpengaruh, pula melihat betapa ayahnya marah-marah kepadanya, maka kemendongkolan hatinya agaknya mereda. Biarpun sikapnya masih acuh tak acuh, namun suaranya tidaklah sekaku dan sekasar tadi ketika dia berkata kepada Liong Bian Cu.

"Mereka tidak apa-apa, hanya aku tidak senang dilayani, aku ingin tinggal sendiri di kamar ini"

"Eh, begitukah? Baiklah, Nona." Dia lalu menoleh kepada empat orang pelayan wanita yang sudah berlutut di situ dengan muka pucat dan sikap ketakutan. Hwee Li percaya bahwa sekali dia bilang "mati", agaknya tak dapat diragukan lagi pangeran itu tentu akan membunuh mereka berempat!. "Hei, dengarkan baik-baik kalian berempat! Kalian sama sekali tidak boleh masuk ke dala, kamar ini, melainkan siap di luar kamar dan baru masuk kalau Siocia memanggil dan membutuhkanmu. Mengerti?" Empat orang itu lalu memberi hormat dengan dahi menyentuh lantai.

"Nah, beristirahatlah, Nona Hwee Li. Sebentar lagi kita bertemu lagi di ruang dalam, di mana akan diadakan pesta perjamuan makan untuk menyambut kedatanganmu." Pangeran itu menjura lagi lalu pergi, diikuti oleh Hek-tiauw Lo-mo yang melirik penuh desakan kepada puterinya.

Setelah mereka pergi, dan melihat empat orang. pelayan itu masih berlutut di situ, Hwee Li menutupkan daun pintu keras-keras dengan hati mengkal. Lalu dia menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kasur itu bergoyang-goyang naik turun, mengayun-ayun tubuhnya. Ternyata pembaringan itu selain berkasur tebal juga dipasangi per sehingga amat enak di tiduri.

Hwee Li memejamkan matanya, lalu membukanya lagi, termenung. Dia sungguh merasa penasaran dan heran melihat perubahan pada watak ayahnya. Akan tetapi, ayahnya adalah seorang yang dikenalnya sebagai orang yang amat cerdik. Tidak mungkin ayahnya menjadi penjilat. Tentu ada apa-apa di balik semua sikap ayahnya itu. Ayahnya sedang bersiasat! Pikiran ini mengusir rasa penasaran di hatinya, dan tak lama kemudian wajah yang cantik itu telah berseri kembali. Sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia duduk di depan meja rias dan memandangi wajahnya sendiri. Dia membuat berbagai gerakan dengan lehernya, menggerakkan kepalanya miring ke kanan dan ke kiri, lalu menggerak-gerakkan alisnya, matanya, hidungnya dan mulutnya. Dia merasa huas. Dia cantik memang! Dan timbul rasa bangga di hatinya.

Pangeran hidung betet itu agaknya tergila-gila kepadanya! Kini baru terasa olehnya betapa mesra pandang mata pangeran itu, betapa halus dan hormat sikapnya. Bahkan pangeran itu tidak segan-segan untuk menjura dan minta maaf kepadanya untuk urusan kecil tadi!

Hwee Li adalah seorang gadis yang mempunyai watak lincah jenaka dan gembira, maka dia tidak bisa lama-lama berada dalam keadaan marah atau berduka. Sesaat kemudian dia sudah merendam tubuhnya di kolam mandi dan terdengar mulutnya bersenadung! Setelah merasa tubuhnya segar sekali, dia keluar dari kolam, mengeringkan tubuhnya dengan kain bersih yang tersedia di situ, kemudian keluar dari kamar mandi, kembali ke dalam kamar dalam keadaan telanjang bulat. Seperti seekor kijang muda dia melangkah kecil-kecil menuju ke depan meja rias, memutar-mutar tubuhnya yang telanjang di depan cermin perak, mengagumi bentuk tubuhnya sendiri yang padat dengan lekuk lengkung sempurna itu, kulitnya yang putih halus, mengagumi dadanya yang sebagian tertutup oleh rambutnya yang hitam halus, membayangkan bukit-bukit dadanya dan timbul kebanggaan di dalam hatinya. Dia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, bagaikan sebutir buah yang sedang meranum. Kesadaran bahwa dia cantik dan memiliki tubuh yang indah, mendatangkan kebanggaan dan dia berjanji dalam hati tidak akan menyerahkan dirinya secara murah kepada siapa pun, apalagi kepada pangeran berhidung betet itu!

Ketika Hwee Li mengambil pakaiannya yang tadi ditanggalkannya dan ditumpuknya di atas pembaringan, alisnya berkerut. Tubuhnya sudah segar dan bersih, akan tetapi pakaiannya itu sudah kusut dan kotor! Dia teringat akan lemari yang berdiri di sudut kamar. Dihampirinya lemari itu dan dibukanya. Penuh dengan pakaian! Pakaian wanita, serba indah dan semua terbuat daripada kain sutera yang mahal! Dipilihya pakaian dalam dan celananya yang terbuat dari kain tipis licin berwarna merah muda, didekatkan kepada tubuhnya. Ukurannya persis! Dia terheran-heran. Milik siapakah pakaian-pakaian ini? Kenapa semua masih baru dan belum ada yang bekas? Dan kenapa pula ukuran tubuh pemilik pakaian itu sama benar dengan ukuran tubuhnya? Dipakainya pakaian dalam itu. Dan memang benar dugaannya. Persis betul seperti memang sengaja dibuat untuk dia! Dipilihnya baju dan celana berwarna biru. Dia paling suka memakai pakaian hitam, akan tetapi pakaian selemari itu tidak ada yang hitam, maka dia memilih yang biru tua, satu-satunya warna yang mendekati warna hitam. Lalu dipakainya pula.

Ketika dia sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias, daun pintunya terketuk dari luar. Hwee Li mencelat kaget. Dia merasa "berdosa" karena telah memakai pakaian orang lain dan tiba-tiba daun pintu terketuk, maka tentu saja dia kaget bukan main.

"Slapa?" bentaknya, karena dia mengira bahwa yang mengetuk pintu tentulah pangeran ceriwis itu, maka disambutnya lebih dulu dengan suara ketus.

"Hwee Li, bukalah pintunya. Aku mau bicara denganmu."

Suara ayahnya! Hwee Li lalu menghampiri pintu dan sebelum membukanya dia bertanya, "Ayah datang dengan siapa? Kalau sendirian baru aku mau membuka pintu."

"Ha-ha-ha, anak bodoh. Tentu saja aku datang sendirian. Bukalah!"

Hwee Li membuka pintu dan ayahnya masuk ke dalam kamar sambil membelalakkan matanya, hidungnya yang besar berkembang-kempis dan dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh kagum. "Hemmm, harumnya! Dan kau begini segar, dan pakaian biru itu pantas sekali bagimu!"

"Ayah, aku lebih senang pakaian hitamku sendiri. Akan tetapi pakaianku kotor dan aku pinjam pakaian orang yang berada di dalam lemari itu...." Dia menuding ke arah lemari di sudut.

"Pakaian orang? Ha-ha-ha, anak bodoh. itu adalah pakaianmu semua! Dan hal itu membuktikan kebaikan hati Pangeran Liong Bian Cu kepadamu, kepada kita! Sungguh, selama hidupku belum pernah aku bertemu orang sebaik dia. Selain kamar ini yang sudah dipersiapkan sebelum kau datang, juga pakaian-pakaian itu telah disuruhnya buat untukmu, Hwee Li"

"Ahhh....!" Hwee Li terkejut sekali. "Dia membuatkan pakaian untukku? Bagaimana bisa, begini pas ukurannya?"

"Ha-ha-ha, tentu. saja aku yang memberi tahu."

"Ayah! Kenapa Ayah begitu.... merendah kepadanya? Kalau ini pakaian yang sengaja dia buatkan untukku, biarlah aku memakai pakaianku sendiri!" Hwee Li sudah memegang bajunya seperti orang hendak menanggalkannya.

"Eh, eh.... jangan begitu Hwee Li. Kau tidak tahu! Duduklah dan dengarkan kata-kataku."

Hwee Li menjadi girang. Tepat dugaannya. Tentu ada apa-apanya di balik sikap ayahnya yang seperti menjilat-jilat pangeran itu. Maka dia lalu duduk menghadapi ayahnya, terhalang oleh meja berukir indah itu.

"Kau tidak tahu siapa Pangeran Liong Bian Cu. Dia adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan ibunya adalah Puteri Nepal, maka dia adalah cucu Raja Nepal sendiri! Dan siapa gurunya? Gurunya Adalah seorang manusia sakti yang tingkat kepandaiannya tinggi sekali, mungkin tidak kalah olehku, dan gurunya itu adalah koksu dari Nepal!"

"Hemmm, aku sudah mendengar akan hal itu, Ayah. Lalu apa artinya bagi kita?" Hwee Li menjawab dan bibirnya berjebi, memandang rendah pangeran itu.

"Artinya? Anak bodoh! Artinya, pangeran itu mempunyai kesempatan besar untuk menjadi Raja Nepal! Bukan itu saja, dia amat cerdik dan pandai, dengan mudahnya dia telah dapat menguasai Gubernur Ho-nan, dia mempunyai banyak pembantu yang amat lihai sehingga aku tidak ragu-ragu bahwa kelak dia akan berhasil menguasai daratan Tiongkok dan menjadi seorang kaisar!"

Hwee Li masih tersenyum mengejek. "Hemmm, habis mengapa? Dia boleh jadi raja neraka sekalipun, apa hubungannya dengan kita?"

Ayahnya membelalakkan matanya sampai lebar sekali. "Oooh-ho-hoh-ho! Engkau sungguh bodoh dan polos, tidak tahu apa-apa, anakku!"

"Tidak, Ayah. Aku tahu semuanya. Aku tahu bahwa Ayah menjilat-jilat karena Ayah ingin memperolah kedudukan kelak di dekat pangeran itu. Bukan begitu?"

Hek-tiauw, Lo-mo mengepal tinjunya. "Kaukira aku orang macam apa yang suka menjilat dan merendahkan diri begitu saja? Akan tetapi, aku makin tua, Hwee Li, dan selama ini aku hidup dalam dunia yang keras dan penuh dengan kesukaran, penuh kemiskinan dan kehinaan. Aku sudah tua. Aku ingin mati sebagai seorang yang terhormat dan mulia,seseorang yang berkedudukan tinggi. Aku tidak ingin kelak mati sebagai seorang liar dari Pulau Neraka. Tidak! Aku ingin mati meninggalkan nama sebagai seorang mulia, seorang bangsawan tinggi!"

"Hemmm, terserah kepada Ayah. Akan tetapi aku tidak sudi menjilat pangeran itu karena aku tidak menghendaki apa-apa darinya, Ayah. Bahkan pakaian ini pun tidak!" Berkata demikian, Hwee Li menyambar pakaian hitamnya sendiri dan lari ke dalam kamar mandi. Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kain dirobek-robek.

"Hwee Li, jangan begitu....! Jangan kau menyia-nyiakan kebaikan orang lain...."

"Peduli!" Hwee Li menjawab dengan marah dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dari kamar mandi, kini mengenakan pakaian hitamnya sendiri sedangkan pakaian bagus berwarna biru dan pakaian dalam berwarna merah muda sudah robek-robek dan berserakan di kamar mandi.

Wajah kakek raksasa itu menjadi merah dan dia bangkit berdiri, memandang kepada puterinya yang juga berdiri di depannya dan menentang pandang mata ayahnya dengan berani. "Hwee Li, engkau adalah puteriku! Apakah engkau tidak mau mentaati perintahku? Apakah engkau hendak menjadi anak yang tidak berbakti?"

Hwee Li mengerutkan alisnya. "Ayah, aku tidak melarang Ayah menghambakan diri kepada pangeran itu, aku tidak menentang Ayah. Akan tetapi aku sendiri tidak mau ikut campur dan aku hendak pergi dari sini sekarang juga agar jangan berhutang budi kepada pangeran atau kepada siapa pun juga."

"Tidak boleh! Engkau harus berada di sini, Hwee Li, membantu usahaku!"

"Akan tetapi aku tidak butuh bantuan pangeran."

"Aku butuh! Dan aku ingin menjadi mertuanya, maka engkau tidak boleh pergi!"

Ucapan itu seolah-olah kilat yang menyambar kepala Hwee Li. Seketika wajahnya menjadi pucat sekali, lalu berubah merah dan matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang ayahnya.

"Apa kata Ayah? Menjadi mertuanya? Jadi aku.... aku....!"

"Engkau akan menjadi isterinya, menjadi permaisurinyai, Dia amat mencintamu, Hwee Li. Dia berterus terang kepadaku bahwa dia telah jatuh hati kepadamu ketika untuk pertama kali bertemu denganmu di tempat ini. Ingat? Dan lihat betapa dia telah menyediakan segala-galanya untukmu. Engkau akan menjadi isteri pangeran, dan kelak menjadi Permaisuri Nepal, kemudian mungkin menjadi permaisuri kaisar! Dan aku mertua kaisar! Ha-ha, bukankah hebat sekali kedudukan kita kelak, anakku?

Akan tetapi Hwee Li sudah tidak mendengarkan kata-kata ayahnya lagi karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat keluar dari situ.

"Hwee Li....!" Ayahnya mengejar.

"Ayah, aku mau pergi dari sini!" terdengar dara itu menjawab.

"Apa kau ingin Ayahmu menggunakan kekerasan?" bentak ayahnya sambil mengejar.

Jantung Hwee Li berdebar keras! Baru sekarang selama hidupnya dia diancam oleh ayahnya sendiri! Ayahnya yang dahulu selalu memanjakannya, yang tidak pernah bersikap keras kepadanya sungguhpun dia tahu ayahnya amat keras kepada orang lain. Dia terisak dan melanjutkan larinya. Dia tidak mempedulikan orang-orang yang memandangnya dengan heran di dalam gedung itu dan dia terus lari keluar dengan cepat, siap untuk menyerang siapa saja yang akan menghalangi larinya. Akan tetapi tidak ada orang yang menghalanginya, kecuali ayahnya yang mengejarnya dari belakang.

Semenjak dia menjadi murid Ceng Ceng dan juga menerima petunjuk dari suami subonya itu, Hwee Li telah memperoleh kemajuan hebat sehingga ginkangnya juga meningkat dengan luar biasa. Maka dia dapat melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan ayahnya. Banyak sekali para anggauta Huang-ho Kui-liong-pang yang melihat gadis ini berlari-lari dikejar ayahnya, akan tetapi mereka hanya memandang dan tidak berani mencampuri. Juga anak buah Liong Bian Cu hanya menonton. Bahkan di dalam larinya, Hwee Li melihat Hekhwa Lo-kwi duduk di bawah sebatang pohon sambil tersenyum melihat Hek-tiauw Lo-mo mengejar-ngejar puterinya.

Hwee Li berlari cepat sampai di tempat lembah dan bukan main kagetnya ketika dia melihat telaga atau sungai menghadang di depannya. Dia berlari terus di sepanjang tepi sungai itu, akan tetapi sungai itu terus saja tiada putusnya karena air itu mengitari lembah! Teringatlah Hwee Li akan pemandangan lembah itu dari atas ketika dia datang bersama ayahnya menunggang garuda, maka dia tahu bahwa tempat itu memang sudah dikelilingi air yang amat luas. Melihat bahwa bayangan ayahnya tidak mengejarnya lagi, tiba-tiba Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring, memanggil burung garudanya. Beberapa kali dia melengking nyaring, akan tetapi garudanya tidak kunjung datang. Padahal biasanya, sekali saja dia memanggil, betapapun jauhnya garuda itu terbang, dia akan mendengar dan akan datang, atau setidaknya menjawab dengan lengking yang sama.

Kembali dia melengking nyaring dan sekali ini ada jawaban, akan tetapi jawaban itu membuat Hwee Li terkejut. Jawaban yang nyaring itu terdengar dari dalam gedung! Dan yang lebih menggelisahkan hatinya lagi, jawaban itu mengandung keluhan yang membuat dia mengerti bahwa garudanya berada dalam keadaan tidak berdaya untuk datang ke situ. Jelas bahwa garuda itu tentu telah diikat atau dikurung sehingga percuma saja dia memanggilnya!

"Hwee Li jangan pergi....!"

Hwee Li meloncat dan lari lagi ketika mendengar suara ayahnya itu. Kini dia lari sambil meneliti dan tiba-tiba hatinya girang melihat sebuah perahu di tepi pantai. Cepat dia menghampiri perahu itu, menyambar dayungnya, lalu mengempit perahu itu sambil mengerahkan tenaganya dan membawanya lari ke air. Dia melontarkan perahu itu ke atas air, lalu meloncat ke dalamnya dan mendayung secepatnya ke tengah!

Hatinya sudah merasa lega dan girang karena dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Begitu terkena air, perahu itu pecah-pecah dan sambungannya terlepas! Tentu saja tanpa dapat dicegah lagi, dia tercebur ke dalam air! Padahal, sungai itu amat luas dan dia baru saja meninggalkan pantai lembah. Untuk berenang menyeberangi sungai itu sama dengan membunuh diri, karena dia bukan ahli, biarpun dia dapat berenang sekedar untuk mencegah agar dia tidak tenggelam saja. Maka terpaksa dia menggerakkan kaki tangannya berenang kembali ke pantai, pantai lembah, bukan pantai di seberang!

Ketika dengan pakaian dan rambut basah kuyup, dengan mulut menyumpah-nyumpah, dia merangkak. keluar dari air, dia disambut oleh suara ketawa ayahnya yang sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bersedakap. Begitu mendongkol hati Hwee Li sehingga kalau saja bukan ayahnya yang mentertawakan, tentu orang itu akan diserangnya atau dimakinya habishabisan. Dia hanya berdiri melotot memandang kepada ayahnya, penuh kemarahan.

"Ayah, kau.... kau kejam!" akhirnya dia berkata dan menangis terisak-isak.

Ayahnya menghampirinya. "Hwee Li, siapa bilang aku kejam? Engkaulah yang terlalu, tidak mau mentaati perintah Ayahmu. Aku ingin mengangkat dirimu menjadi seorang yang mulia dan terhormat, akan tetapi engkau malah hendak menghancurkan rencana hidup Ayahmu. Jangan kira kau akan dapat pergi dari sini, anakku. Mau atau tidak mau, engkau harus menjadi isteri pangeran yang cinta kepadamu."

Watak Hwee Li memang keras. Begitu mendengar kata-kata "harus", dadanya diangkat, kepalanya ditegakkan, dan dia bertanya dengan air matanya bercampur dengan air sungai yang mengalir turun dari rambutnya, "Kalau aku tidak sudi?"

"Kau akan dipaksa! Nah, boleh kaupilih. Engkau menjadi isterinya secara terhormat atau menjadi isterinya dengan lebih dulu dipaksa, seperti seekor kuda betina liar yang dijinakkan!"

Hwee Li membelalakkan, kedua matanya, hampir tidak dapat percaya akan kata-kata ayahnya. Tidak mungkin ayahnya akan berbuat sekeji, itu. "Ayah! Kau.... kau...." dia tidak dapat melanjutkan, hanya menangis keras.

"Tiada gunanya engkau menangis, Hwee Li. Kalau engkau mentaati permintaanku, berarti engkau menjadi puteriku tersayang, akan tetapi kalau kau menentang kehendakku, berarti engkau adalah musuhku! Dan engkau tahu apa jadinya dengan musuh Hek-tiauw Lo-mo!"

"Biar sampai mati aku tidak sudi! Aku mau melihat siapa berani memaksaku!" Tiba-tiba Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya terkepal, pakaiannya basah kuyup sehingga menempel ketat di tubuhnya, membuat lekuk-lengkung tubuhnya nampak nyata.

"Hemmm, engkau tidak akan mati, akan tetapi aku yang akan menundukkanmu, anak bandel!" bentak Hek-tiauw Lo-mo.

"Aku adalah anakmu, aku tidak akan melawan Ayahku sendiri, akan tetapi kalau aku hendak kau umpankan kepadanya, seperti mengumpankan kelinci untuk dimakan srigala, aku akan melawan!" kata Hwee Li.

"Huh, agaknya gurumu telah mendidikmu untuk menjadi anak durhaka terhadap ayahnya. Nah, coba kaulawan aku!" Hek-tiauw Lo-mo lalu menubruknya dan mencengkeram pundak puterinya.

Hwee Li cept mengelak dan balas menyerang dengan dahsyat sehingga ayah dan anak itu lalu saling serang dengan hebat dan serunya di tepi sungai itu! Hwee Li maklum bahwa kalau dia tidak dapat menangkan ayahnya, harapannya untuk lari habis sama sekali, dan entah apa yang akan menimpa dirinya, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh menggunakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, karena hal itu akan percuma saja karena tentu ayahnya lebih mahir. Maka dia selalu bergerak menurut petunjuk Ceng Ceng dan suami subonya itu. Sebetulnya, dari Ceng Ceng, seperti pernah dijanjikan oleh subonya itu dahulu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali), dara ini hanya diberi pelajaran tentang racun-racun yang paling hebat dan penolaknya. Akan tetapi karena Ceng Ceng merasa suka kepada muridnya yang lincah jenaka ini, dia juga mengajarkan Ilmu Pukulan Sin-liong-kun, yaitu semacam ilmu silat yang diciptakan dengan bantuan suaminya, yang disaring dari ilmu-ilmu silat yang dikenalnya lalu ditambah dengan beberapa gerakan yang mengambil dari ilmu mujijat Sin-liong ciang-hoat, ilmu yang hanya dapat dipelajari dan dikuasai oleh seorang yang buntung lengannya seperti Kao Kok Cu.

Akan tetapi betapapun lihainya Hwee Li, tentu saja dia masih belum mampu menandingi Hek-tiauw Lo-mo! Beberapa kali dia sudah kena ditampar oleh ayahnya, yang tidak ingin melukai puterinya, maka yang ditamparnya hanya bagian tubuh yang tidak berbahaya seperti di bahu dan pundak, akan tetapi yang cukup membuat tubuh Hwee Li terpelanting dan terguling-guling. Akan tetapi, setiap kali roboh, Hwee Li meloncat bangun kembali dan menyerang dengan ganas! Dia sudah nekat dan ingin mati di tangan ayahnya sendiri daripada harus menyerahkan dirinya kepada Pangeran Liong Bian Cu!

"Hyaaaaattttt....!" Tiba-tiba dia melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan meluncur lurus ke depan, kedua tangannya menusuk seperti pedang selagi tubuhnya melayang di udara. Inilah jurus yang amat hebat dari Sin-long-kun, yang mengandung unsur ilmu mujijat Sin-liong hok-te dari Kao Kok Cu!

"Ihhh....!" Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main karena dari serangan ini menyambar hawa dahsyat yang membuat dia terjengkang. Akan tetapi, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi yang mengenal pukulan mujijat, dia tidak berani menangkis dan cepat dia melempar tubuh ke belakang terus bergulingan. Dia meloncat bangun dan mukanya berubah. Nyaris dia roboh oleh pukulan mujijat itu.

"Bocah durhaka!" Dia membentak dan menubruk maju begitu melihat Hwee Li melayang turun, tubrukan dari belakang yang dahsyat. Hwee Li bergerak ke samping, kakinya melayang untuk menyambut serangan ayahnya dengan tendangan.

"Plakkk!" Ayahnya menangkis, demikian keras tangkisannya sehingga tubuh Hwee Li terhuyung. Kembali gadis itu melempengkan kedua lengan, untuk mengulangi serangannya yang hampir berhasil tadi. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya sudah menyerang lagi, menyerang dari bawah ke arah kedua kakinya. Melihat hebatnya serangan kaki ayahnya yang menyerampang ini, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas.

"Wuuuuuttttt....!" Hwee Li terkejut. Hendak mengelak namun terlambat dan tubuhnya sudah tercakup oleh sinar hitam yang ternyata adalah jala tipis yang tadi dipergunakan oleh Hek-tiauw Lo-mo selagi tubuh Hwee Li meloncat ke atas.

"Cukup, Locianpwe!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan tahu-tahu di situ telah berdiri Liong Bian Cu dengan sikapnya yang ramah. Pangeran ini berkata, "Andaikata bukan Locianpwe yang melakukan hal ini, terhadap Nona Hwee Li, tentu akan berhadapan dengan aku dan aku belum puas kalau belum menyiksanya!"

Hek-tiauw Lo-mo membungkuk, "Anak ini tidak bisa dibujuk dengan halus, Pangeran. Terpaksa saya sebagai orang tuanya menundukkannya. Sekarang kuserahkan kepada Pangeran untuk menjinakkan dia. Ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo menyerahkan tali jala itu kepada Pangeran Nepal itu.

Liong Bian Cu menerima tali itu, lalu menghampiri Hwee Li yang masih rebah miring di dalam jala. "Marilah, Nona, biar aku merawatmu, Nona...." Dia membungkuk dan hendak memondong tubuh itu.

Hwee Li yang kini mengalihkan kemarahan dan kebenciannya kepada pangeran ini yang dianggapnya sebagai biang keladi perubahan sikap ayahnya, diam-diam menanti dan begitu pangeran itu membungkuk, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya menghantam sekuat tenaga! Akan tetapi, dia merasa pundaknya ditekan dan tenaganya lenyap, pukulannya tidak dapat dilakkan dan terhenti setengah jalan.

"Tenanglah, Nona, dan percayalah bahva aaku tidak tega untuk menyakitimu," kata pangeran itu dengan tenang dan tiba-tiba Hwee Li merasa tubuhnya diangkat dan dipondong oleh pangeran itu, dibawa ke arah gedung. Semua orang yang melihat dan bertemu di jalan, membungkuk dengan penuh hormat kepada pangeran itu yang bersikap seolah-olah tidak melihat mereka, sikap angkuh seorang pangeran! Hwee Li tidak dapat meronta lagi, kedua tangannya seperti lumpuh dan tahulah dia bahwa pangeran yang kelihatan lemah lembut ini memang lihai sekali sehingga dia telah ditotoknya sebelum dapat menyerang. Dia pernah melihat pangeran ini dalam pertemuan dengan para tokoh dan yang dahulu pernah mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat. Dara ini maklum bahwa menggunakan kekerasan akan percuma saja, karena selain pangeran ini sendiri amat lihai, juga di situ terdapat ayahnya yang agaknya siap untuk menggunakan kekerasan terhadap dirinya untuk memaksanya menjadi isteri pangeran ini. Belum lagi diperhitungkan adanya Hek-hwa Lo-kwi di situ, dan banyak anak buah Kui-liong-pang dan anak buah pangeran itu sendiri. Juga, biarpun belum dijumpainya, dia mendengar bahwa di situ terdapat pula guru pangeran ini, koksu dari Nepal yang menurut ayahnya memiliki kepandaian yang amat hebat, mungkin melebihi kepandaian ayahnya dan Hek-hwa Lo-kwi. Jelas bahwa mengandalkan kepandaian silatnya akan sia-sia belaka, maka dia harus berlaku cerdik.

Pangeran itu memondongnya dengan hati-hati dan membawanya kembali ke dalam kamarnya yang mewah. Dengan gerakan lembut dia merebahkan Hwee Li di atas pembaringan setelah melepaskan jala tipis itu. Sejenak dia berdiri di tepi pembaringan memandang wajah Hwee Li yang rebah terlentang. Dara itu gelisah sekali. Dia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya dan dia tidak akan dapat melawan kalau pangeran itu melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Sepasang mata yang cekung dan tajam itu bersinar-sinar ketika menjelajahi tubuh Hwee Li dari rambut sampai ke kakinya. Tubuh yang terbungkus pakaian basah itu kelihatan seperti telanjang saja.

"Ah, betapa kejam ayahmu, Nona.... sungguh kasihan engkau...." kata pangeran itu dengan sikap menyayang sekali dan tangannya lalu memeriksa leher, pipi, dan pundak Hwee Li yang babak bundas karena dibanting-banting tadi. "Aku akan mengobatimu. Ah, kalau lain kali dia berani menyakitimu lagi, tentu akan kuhukum dia!"

Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. Hatinya lega. Biarpun dia masih muda sekali, namun sebagai seorang wanita, Hwee Li dapat merasakan bahwa pangeran ini sungguh mencinta dia. Sikapnya demikian lembut, cintanya demikian halus sehingga agaknya tidak perlu dikhawatirkan bahwa pangeran ini akan melakukan kekerasan terhadap dirinya. Akan tetapi, biarpun dia cerdik, dalam hal seperti ini, mengenai urusan cinta, dia masih asing sama sekali sehinga dia tidak tahu benar bagaimana dia harus bersikap terhadap musuh yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia tahu bahwa dari orang berkulit kehitaman ini mengancam bahaya yang amat hebat terhadap dirinya, namun perasaan wanitanya juga tahu bahwa pria ini amat mencintanya dan tidak akan suka melihat dia sengsara.

"Pangeran.... harap.... harap kau suka membebaskan aku.... dan biarkan aku pergi dari sini. Aku akan berterima kasih sekali kepadamu dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai seorang yang amat baik."

Liong Bian Cu tersenyum, memandang mesra dan menggeleng kepala. "Jangan kita bicara tentang itu. Engkau perlu kuobati, akan tetapi pakaianmu basah. Engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Ah, betapa kejamnya ayahmu.... sakit hatiku melihat engkau disiksa. Aku amat cinta kepadamu, Nona Hwee Li, dan kalau bukan ayahmu yang melakukan ini, pasti dia sudah kubunuh. Biar aku membantumu berganti pakaian...."

Jari-jari tangan pangeran itu menyentuh kancing-kancing di depan dadanya. Biarpun pangeran itu bersikap lembut dan sopan, namun Hwee Li terbelalak dan hampir menjerit. Sayang kaki tangannya masih belum dapat digerakkan, kalau tidak demikian, tentu dia sudah meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.

"Jangan....! Tidak.... jangan buka pakaianku....!" dia meratap.

Jari-jari tangan yang baru berhasil membuka dua buah kancing itu berhenti dan mata yang cekung itu menatap tajam, mulutnya tersenyum dingin. "Mengapa, Nona? Engkau basah kuyup dan dapat jatuh sakit. pakaianmu yang basah harus diganti dengan yang kering, baru, luka-lukamu akan kuobati sendiri...."

Hwee Li melihat sinar gembira di mata pangeran itu dan tiba-tiba jantungnya memukul keras. Agaknya di balik kelembutannya, di balik keramahan dan kesopanannya, pangeran ini memiliki watak aneh yang amat kejam. Agaknya pangeran ini akan bergembira melihat dia digerogoti rasa malu, tersiksa batinnya kalau ditelanjangi. Hwee Li tiba-tiba menekan perasaannya dan mukanya tidak lagi memperlihatkan rasa ngeri dan takut seperti tadi. Suaranya dingin dan tenang ketika dia berkata, "Pangeran, baru saja engkau mengatakan bahwa engkau amat mencintaku, akan tetapi sekarang engkau hendak melakukan penghinaan. Kalau perbuatanmu ini kaulanjutkan, aku akan merasa amat benci kepadamu!"

"Benci?" Pangeran itu mengerutkan alisnya. "Tidak bisa engkau membenciku, Nona, karena engkau akan menjadi isteriku yang terkasih. Aku hendak menolongmu, mengapa engkau membenciku?"

"Di luar banyak terdapat pelayan, mengapa engkau hendak mengganti sendiri pakaianku? Hal itu menandakan bahwa engkau sengaja hendak menghinaku, tidak memandang aku sebagai seorang gadis yang terhormat, yang tentu saja tidak sudi dilihat telanjang oleh seorang laki-laki."

Tangan itu meninggalkan baju Hwee Li dan pangeran itu tersenyum, mengangguk-angguk. "Sikapmu ini menambah besar cintaku, Nona. Engkau memang seorang gadis terhormat dan agung, patut menjadi calon isteriku." Pangeran itu bertepuk tangan dan masuklah empat orang pelayan tadi.

"Kalian bantu Nona Hwee Li berganti pakaian kering. Eh, Nona, engkau memilih pakaian yang berwarna apa?" Pangeran itu bertanya kepada Hwee Li, sikapnya ramah dan biasa seolah-olah gadis itu sedang dalam keadaan biasa, tidak tertotok seperti itu.

"Aku selamanya memakai pakaian hitam," jawab Hwee Li yang ingin mencegah pakaiannya diganti.

"Hei, kau! Cepat kausuruh penjahit membuatkan pakaian dari sutera hitam beberapa stel dan dengan cara kilat. Harus jadi sekarang juga!" Pangeran Liong Bian Cu berkata dan pelayan yang diperintahkannya itu cepat pergi. Lalu dia berpaling kepada Hwee Li. "Karena yang hitam sedang dibikin, harap kau suka memakai yang lain untuk sementara saja, Nona." Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan kakinya menuju ke pintu.

"Pangeran....!" Hwee Li tiba-tiba memanggil.

Liong Bian Cu membalikkan tubuhnya dan memandang dengan wajah berseri.

"Apalagi yang dapat kulakukan untukmu, Nona Hwee Li? Bukankah kau bilang bahwa engkau merasa terhina kalau.... terlihat olehku? Aku tahu engkau malu, biarlah aku keluar dulu dan nanti baru kuobati engkau...."

"Pangeran, engkau tentu maklum bahwa aku tidak akan dapat lolos dari sini. Di sana ada ayahku, ada Hek-hwa Lo-kwi, ada orang-orangmu, dan tempat ini terkurung air. Aku tidak akan mampu lolos dan hal ini aku tahu benar, maka aku pun tidak begitu tolol untuk mencoba melarikan diri."

Pangeran itu mengangguk-angguk. Engkau memang cerdik sekali, Nona. Kecerdikanmu makin mengagumkan hatiku dan makin memperdalam cintaku."

Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran ini mengaku cinta begitu saja di depan tiga orang pelayan yang masih berlutut di atas lantai, maka cepat-cepat dia berkata, "Kalau engkau sudah tahu bahwa aku tidak akan lolos atau melarikan diri, mengapa engkau masih menotokku? Apakah kau ingin menyiksaku, Pangeran? Bebaskan totokan ini...."

Pangeran itu melangkah menghampiri pembaringan. "Dan kau berjanji tidak akan memukul pelayan, tidak akan memberontak?"

"Aku bukan seorang tolol. Memberontak pun apa gunanya? Para pelayan ini tidak salah dan tidak tahu apa-apa. Tidak, aku tidak akan memukul mereka atau memberontak."

"Bagus, aku percaya kepadamu, Nona." Pangeran itu lalu menggerakkan tangan kanannya menotok kedua pundak Hwee Li dan seketika dara itu dapat menggerakkan kembali kedua lengannya. Ketika pangeran itu menotok pula punggungnya dan kedua kakinya juga dapat digerakkan, hatinya lega bukan main. Kaki dan tangannya masih terasa penat dan sakit, maka dia bangkit duduk perlahan-lahan, memandang kepada pangeran yang diam-diam telah siap kalau-kalau dia akan memberontak.

Melihat ini, Hwee Li tersenyum. "Terima kasih, Pangeran. Dan sekarang harap engkau suka keluar, aku hendak ganti pakaian. Dan kalian bertiga juga keluarlah saja, nanti kalau aku perlu bantuan kalian kupanggil."

Tiga orang pelayan itu memandang kepada Liong Bian Cu, ragu-ragu apakah mereka harus mentaati perintah gadis itu. Liong Bian Cu tersenyum dan mengangguk, maka mereka pun pergilah meninggalkan kamar itu bersama Liong Bian Cu. Pangeran itu menutupkan pintunya sambil menjenguk ke dalam dan tersenyum. "Kalau sudah selesai, beritahulah aku, Nona." Hwee Li mengangguk dan daun pintu itu ditutup dari luar oleh Liong Bian Cu.

Setelah mereka semua keluar, Hwee Li cepat menggerak-gerakkan kaki tangannya agar jalan darahnya lancar kembali. Diam-diam dia menyumpah di dalam hatinya dan panaslah rongga dadanya teringat akan perlakukan ayahnya kepadanya. Dia duduk kembali dan memutar otaknya. Keinginan besar untuk melarikan diri ditekannya. Tidak, dia tidak boleh sembrono lagi. Lari dalam keadaan sekarang ini tidak akan ada gunanya, dan dia tentu akan tertawan kembali. Dan kalau sampai dia mencoba lari dan tertawan kembali, tentu pangeran itu tidak akan bersikap demikian baik lagi. Celaka kalau sampai dia ditotok terus atau dibelenggu. Lebih celaka lagi kalau dalam kemarahannya pangeran itu akan melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Lebih baik dia berlaku cerdik, bersikap halus dan mempergunakan cinta kasih pangeran terhadapnya untuk melindungi dirinya.

Hwee Li memilih pakaian hijau dari lemari, karena yang biru sudah dirobek-robeknya. Dia memindahkan dua benda seperti gulungan tali hitam dan segulung kecil tali merah dari saku pakaian hitamnya ke dalam saku baju dalamnya yang baru. Tiga benda yang kelihatan seperti gulungan tali itu sebetulnya adalah tiga ekor ular! Kemudian dia menyisir rambutnya, memakai sedikit bedak di meja rias dan mengganti pula sepatunya yang basah dengan sepatu baru yang berjajar beberapa pasang di bawah lemari.

"Aku sudah selesai, Pangeran!" katanya sambil duduk di atas kursi.

Daun pintu itu segera terbuka, tanda bahwa pangeran itu sejak tadi sudah siap dengan tangan tak pernah melepaskan daun pintu. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar memandang Hwee Li yang bangkit berdiri. Penuh kagum!

"Bukan main....!" Engkau.... engkau sungguh cantik seperti bidadari, Nona Hwee Li! Aih, rambutmu yang masih agak kusut itu, anak rambut yang melihgkar di dahi dan depan telinga, sungguh seperti lukisan saja! Marilah, Nona, mari kuobati luka-lukamu." Pangeran itu mengeluarkan sebuah botol terisi obat kuning dari dalam sakunya.

"Terima kasih, Pangeran. Kurasa tidak perlu karena sudah kuobati sendiri dan luka-luka ini tidak ada artinya." Dia memperlihatkan leher dan tangannya yang tadi lecet-lecet, dan yang kini sudah menjadi kering.

"Ahhh, engkau lihai, ilmu silatmu tinggi, juga engkau memiliki keberanian hebat, engkau cantik jelita dan cerdik. Sungguh, semua keindahan dan kebaikan terkumpul menjadi satu di dalam dirimu, Nona Hwee Li."

"Hanya luka di pundakku ini masih terasa nyeri. Aku khawatir kalau-kalau ada tulangnya yang retak...." Hwee Li meringis ketika tangannya menyentuh pundak kirinya.

"Ahhh....! Benarkah? Celaka! Sungguh kejam Hek-tiauw Lo-mo. Coba kuperiksa pundakmu, Nona. Jangan khawatir, jangankan baru retak, biar sudah remuk sekalipun, aku akan dapat mengobati dan menyembuhkannya!" Pangeran itu datang mendekat.

Dengan hati-hati, sambil kadang-kadang meringis kesakitan, Hwee Li membuka kancing bajunya bagian atas sehingga nampak baju dalamnya yang tipis. Disingkapnya baju di bagian pundak kiri dengan tangan kanannya sehingga nampak kulit pundaknya yang putih halus dan memang di atas pundak itu terdapat warna kebiruan. Ketika melihat pundak kiri setengah telanjang yang berkulit putih halus itu bernoda biru, pangeran itu lalu berseru, "Ahhh, sungguh kejam....!" Tangannya lalu memeriksa dan dengan halus menyentuh pundak itu.

Saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hwee Li. Sudah diperhitungkannya semenjak dia melihat pangeran itu masuk kamarnya. Dara ini tadi sudah mengambil keputusan untuk membunuh pangeran ini. Dia tidak mungkin melarikan diri, akan tetapi dia tahu bahwa yang menyebabkan ayahnya bersikap seperti itu kepadanya adalah pangeran ini. Pangeran inilah biang keladinya, maka kalau pangeran ini dibunuhnya, tentu ayahnya akan bersikap lain. Dan kalau ayahnya tidak lagi mengharapkan bantuan pangeran yang mati untuk meraih kedudukan tinggi, tentu akan lain lagi sikap ayahnya, tentu akan pulih seperti dulu dan kalau sudah begitu, dia dan ayahnya tentu akan dapat saling bantu untuk meloloskan diri dari tempat itu.

Kini, melihat pangeran itu memeriksa pundak kirinya dan agaknya tenggelam dalam pekerjaannya itu, diam-diam Hwee Li mengeluarkan ular merahnya. Ular itu kecil sekali, sebesar kelingking jari tangannya, panjangnya hanya dua jengkal, kulitnya merah seperti darah, matanya juga merah dan lidahnya hitam. Inilah Hiat-coa (Ular Darah) dari Gurun Pasir Go-bi-pai yang merupakan binatang yang sukar sekali dilihat orang, seekor ular janah yang amat berbahaya dan racunnya amat hebat.

"Ssssshhh....!"

Liong Bian Cu terkejut sekali dan cepat dia meloncat mundur ketika dia melihat sinar merah meluncur ke arah mukanya. Matanya terbelalak dan dia berusaha menghindarkan diri, akan tetapi gerakan ular itu lebih hebat dan cepat lagi, seolah-olah burung terbang dan tahu-tahu pundak pangeran itu telah kena digigitnya. Liong Bian Cu mengeluarkan suara melengking nyaring, jeritan maut yang amat lantang, lalu tubuhnya terhuyung dan roboh ke atas lantai.

Melihat ini, Hwee Li girang sekali dan cepat dia meloncat ke arah jendela kamar itu. Akan tetapi, begitu dia meloncat, dari jendela itu muncul dua orang penjaga yang memegang pedang. Hwee Li menggunakan kakinya menendang dari samping untuk menangkis sambaran pedang. Kini tangan kirinya bergerak dan sinar hitam panjang bergerak ke depan. Ular hitam panjang itu mematuk dan dua orang penjaga roboh seketika.

"Bocah setan, berani engkau mengacau lagi?" Tiba-tiba terdengar bentakan dan Hek-hwa Lo-kwi muncul bersama Hek-tiauw Lo-mo!

"Ayah, aku sudah membunuh Liong Bian Cu!" teriak Hwee Li. "Mari kita cepat pergi dari sini!"

"Apa? Anak durhaka, engkau patut dihukum! Hek-tiauw Lo-mo berseru marah sedangkan Hek-hwa Lo-kwi cepat melohcat memasuki jendela dan cepat kakek ini memondong tubuh Pangeran Liong Bian Cu yang sudah menjadi biru mukanya. Hek-hwa Lo-kwi adalah ahli racun yang telah kebagian kitab yang dicuri bersama Hek-tiauw Lo-mo dari Si Dewa Bongkok, bagian tentang racun dan pengobatannya, maka kini dia cepat membawa pergi Liong Bian Cu untuk diobati.

Sementara itu, melihat ayahnya sudah menyerangnya, Hwee Li menjadi marah juga. "Ayah, apa engkau sudah gila?" Dia nemaki sambil mengelak dari sambaran pedang yang amat mengerikan, pedang yang mendatangkan hawa mujijat. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa) yang amat mujajat. Pedang ini dahulu adalah milik Cui-beng Koai-ong, tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, dan akhirnya pedang itu tadinya terjatuh ke tangan Ang Tek Hoat dan kemudian, ketika Tek Hoat tertawan, pedang itu terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang (baca Kisah Sepasang Rajawali). Sambil mengelak, Hwee Li yang sudah marah sekali itu memaki, "Aku adalah anakmu, apakah Ayah hendak membunuhku?"

"Bocah keparat, anak durhaka!" Hek-tiauw Lo-mo yang sudah marah sekali kembali menyerangnya dengan dahsyat.

"Baik! Ayah membela musuh dan melawan anak sendiri! Ayah memaksa aku untuk melawan!" Hwee Li juga mengeluarkan dua ekor ularnya yang panjang itu dan balas menyerang. Bertempurlah anak dan ayah ini untuk kedua kalinya, kini lebih seru dan hebat karena Hwee Li benar-benar melakukan perlawanan mati-matian.

Setelah dara itu melakukan perlawanan nekat dengan menggunakan dua ekor ularnya yang amat berbahaya, Hek-tiauw Lo-mo bergerak dengan hati-hati. Dia maklum bahwa anaknya itu telah menguasai banyak ilmu yang aneh dan hebat. Beberapa kali dia menggerakkan pedangnya untuk membunuh ular-ular itu, akan tetapi dua ekor ular itu adalah mahluk hidup, selain memiliki gerakan sendiri untuk mengelak, juga digerakkan oleh tangan Hwee Li yang mahir. Bahkan beberapa kali hampir saja tangan Hek-tiauw Lo-mo terpatuk oleh ular-ular itu.

"Hemmm, inikah anakmu, Hek-tiauw Lo-mo? Sungguh ganas dan liar dia!" Tiba-tiba terdengar suara besar yang berwibawa dan munculiah dua orang kakek. Yang seorang adalah kakek tinggi besar, sama tinggi besarnya dengan Hek-tiauw Lo-mo, seperti seorang raksasa yang kepalanya botak, pakaiannya indah dan mewah dengan mantel merah, sepatunya pakai lapis baja dan sepasang matanya besar sekali, usianya tentu hampir enam puluh tahun akan tetapi wajahnya masih segar dan kemerahan. Sikapnya amat berwibawa dan di belakangnya berdiri seorang kakek lain yang bersorban, berkulit hitam, jenggotnya panjang sampai ke perut, tangan kiri memegang tongkat cendana dan wajahnya seperti topeng, sama sekali tidak pernah bergerak seolah-olah mati.

Melihat munculnya dua orang kakek ini, Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Itulah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal, dan kakek Nepal bersorban itu adalah Gitananda, pembantunya yang lihai dan pandai sihir.

"Maafkan, Sengjin, anakku kurang ajar dan perlu saya hukum!" teriak Hek-tiauw Lo-mo dan pedang Cui-beng-kiam diputarnya cepat. Melihat ini, Hwee Li menarik kedua ekor ularnya karena tidak ingin ular-ularnya menjadi korban pedang ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu, tendangan kaki Hek-tiauw Lo-mo yang amat cepat datangnya tak dapat dielakkan oleh Hwee Li. Pahanya tertendang dan dara ini hanya dapat mengerahkan sinkang untuk melindungi pahanya.

"Desss....!" Dia terlempar dan terbanting, bergulingan.

"Mampus kau!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan pedangnya menyambar. Hwee Li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ayahnya benar-benar hendak membunuhnya. Pedang itu menyambar ganas dan merupakan serangan maut. Terpaksa dia menggunakan dua ekor ularnya untuk balas menyerang. Dua ekor ular itu meluncur dan kalau pedang Hek-tiauw Lo-mo dilanjutkan untuk membacok tubuh dara itu, tentu dua ekor ular itu akan berhasil pula menggigitnya. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo mengubah gerakan pedangnya, dibabatkan ke samping dua kali.

"Crok! Crokkk!"

"Ihhhhh.... kau membunuh ular-ularku....?" Hwee Li menjerit dengan isak tertahan dan dia berlaku nekat, menubruk ayahnya dengan kedua tangan kosong dan melancarkan pukulan-pukulan beracun.

"Anak setan!" Hek-tiauw Lo-mo menyambutnya dengan tusukan Cui-beng-kiam dan sekali ini, tak mungkin Hwee Li dapat menghindarkan diri dari tusukan maut itu.

Tiba-tiba nampak sinar menyambar. "Trangg....!" Pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kakek itu terkejut dan melompat ke belakng. Kiranya Ban Hwa Sengjin sudah turun tangan menggunakan sebutir kerikil memukul ke arah pedangnya itu dengan sambitannya.

"Dia adalah calon isteri Pangeran, bagaimana kau berani mencoba untuk membunuhnya!" teriak Koksu Nepal itu. "Gitananda, tangkap Nona itu!"

Gitananda membungkuk dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, dia sudah meloncat ke depan Hwee Li. Tiba-tiba tangan kiri kakek Nepal ini mengeluarkan sesuatu dan ada cahaya menyorot ke muka kakek itu. Hwee Li tentu saja tidak mengerti apa yang terjadi dan melihat ada cahaya menyorot ke muka kakek itu, dia memandang. Kiranya kakek itu memegang sebuah cermin dan pantulan sinar matahari menyorot ke mukanya sendiri. Melihat wajah yang berkilauan terkena cahaya itu, Hwee Li memandang terbelalak. Dia seperti melihat wajah yang aneh, wajah dalam dongeng tentang dewa-dewa! Dan betapapun dia hendak mengalihkan pandangannya, dia tidak dapat! Dia tidak dapat menguasai pandang matanya sendiri yang terus menatap wajah kehitaman dengan mata yang tajam berpengaruh itu.

Tongkat Gitananda menyambar dan dengan perlahan mengetuk tengkuk Hwee Li. Gadis itu sama sekali tidak mampu bergerak untuk mengelak, seolah-olah pandang matanya yang melekat pada wajah menyeramkan itu membuat seluruh tubuhnya lumpuh. Ketika tongkat mengenai tengkuknya, dia mengeluh memejamkan matanya dan roboh terguling, pingsan!

***

Kesadaran perlahan-lahan menyusupi dirinya. Mula-mula hanya pendengarannya yang bekerja. Dia mendengar suara berapa orang bercakap-cakap, makin lama makin jelas dan perhatiannya tertuju kepada suara-suara itu karena di antara suara-suara itu dia mendengar suara ayahnya. Matanya masih dipejamkan dan dia masih belum mempunyai keinginan untuk melihat di mana adanya dia dan dalam keadaan bagaimana. Dia masih terlampau lemah untuk itu dan kini dia hanya tinggal diam dengan tenang, hanya membuka telinga mendengarkan.

"Kalau Paduka suka menggunakan obat hamba tentu mudahlah menundukkan dia. Dia akan jatuh cinta, kepada Paduka, dan akan mentaati semua perintah Paduka," terdengar suara parau dan asing, suara yang tidak dikenalnya, namun dapat diduganya bahwa agaknya itu adalah suara orang Nepal yang memegang tongkat itu.

"Ah, Gitananda, aku sudah tahu akan kepandaianmu dan aku percaya bahwa menggunakan obat dan sihirmu, dia akan tunduk kepadaku. Akan tetapi aku tahu pula bahwa kekuatan sihir dan obat itu hanya sementara saja. Dan aku menghendaki agar dia selama hidupnya tunduk dan membalas cintaku!" terdengar suara yang amat dikenalnya, suara halus dan sopan, suara Liong Bian Cu. Ah, jadi pangeran itu belum mampus, pikirnya dengan perasaan menyesal. Biarpun sudah terkena gigitan ular darah, tapi masih hidup Hemmm, tentu Hek-hwa Lo-kwi yang mengobatinya. Dia tahu bahwa kakek itu juga seorang ahli racun yang jempol!

"Dia memang keras kepala!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya. "Anak itu keras kepala dan keras hati, seperti ibunya! Sebaiknya kalau Pangeran menggunakan kekerasan menundukkan dia, seperti menjinakkan seekor kuda betina yang liar. Hanya kalau dia sudah satu kali menjadi milik Pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu. Percayalah kepada saya, Pangeran. Itu satu-satunya cara untuk menjinakkan dia. Paksa saja dia menjadi milik Pangeran malam ini juga, dan besok atau lusa, dia sudah akan menjadi jinak, untuk selama-lamanya!"

Hwee Li hampir menjerit. Dia mengepal tinju dan berniat untuk meloncat turun. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Dia tidak tertotok, kaki tangannya dapat bergerak, akan tetapi tidak dapat dipindahkan dari tempatnya. Cepat dia membuka matanya dan dia makin terkejut. Dia rebah terlentang di atas pembaringannya, kedua kakinya terpentang dan setiap kaki terbelenggu pada ujung pembaringan, demikianpun dengan kedua lengannya, terpentang dan pergelangan lengan terbelenggu dengan rantai baja pada ujung pembaringan. Dia seperti seekor lembu atau domba yang terikat dan siap untuk disembelih!

Dia berada di dalam kamar mewah itu dan orang-orang yang suaranya didengarnya itu bercakap-cakap di luar kamar. Dia mendengarkan lagi. Dan kini dia mendengar suara Hek-hwa Lo-kwi.

"Agaknya memang tepat apa yang diusulkan oleh Lo-mo, Pangeran. Anak itu amat keras hati, membujuknya saja akan sia-sia. Dan kekerasan yang tidak dapat diluluhkan oleh kelembutan, dapat dikalahkan oleh kekerasan pula."

"Akan tetapi.... ah, aku sungguh cinta kepadanya, dan aku ingin sekali agar dia dapat membalas cinta kasihku dengan sewajarnya. Pangeran itu membantah dan mengeluh. "Menggunakan kekerasan? Memperkosanya? Ah, betapa hal itu akan menyiksa hatiku, aku tidak ingin melihat dia berduka...."

"Hemmm, pada mulanya memang dia akan menangis dan berduka, akan membencimu, akan tetapi lambat-laun kebencian itu akan berubah menjadi cinta. Dia persis ibunya...." terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata pula.

"Akan tetapi, melihat dia dibelenggu terus...."

"Hal itu tidak perlu lagi setelah Paduka dapat memaksa dan memilikinya, Pangeran," kata Hek-hwa Lo-kwi. "Dan jangan khawatir dia akan dapat melarikan diri. Dia akan saya beri obat beracun dan racun itu akan mengeram di dalam dirinya, akan membunuhnya dalam waktu satu tahun. Sedangkan obat penawarnya berada di tangan Paduka."

Hening sejenak. Kemudian terdengar lagi suara ayahnya, suara yang mulai mendatangkan kebencian di hati Hwee Li. "Dia amat cerdik dan banyak akalnya, Pangeran. Selama dia belum menjadi milikmu, dia tentu akan menggunakan segala akalnya dan hal itu dapat nenimbulkan kesukaran. Akan tetapi kalau malam ini Paduka berhasil memilikinya, semua daya lawannya akan patah dan luluh. Percayalah."

"Sudahlah, tinggalkan kami berdua. Akan kupikirkan usul-usul kalian."

Terdengar langkah kaki tiga orang kakek itu pergi dan tak lama kemudian, daun pintu kamar itu terbuka dan munculiah Liong Bian Cu. Melihat pangeran itu, Hwee Li membuang muka. Pangeran itu menghampiri dan duduk di dekat pembaringan, di atas sebuah kursi. Sejenak dia diam saja hanya menatap wajah yang miring itu. Kemudian dia menarik napas panjang.

"Ahhhhh, betapa sedih hatiku melihat engkau terbelenggu kaki tanganmu seperti ini, Nona Hwee Li. Betapa perih hatiku yang mencintamu melihat bahwa hal ini terpaksa dilakukan karena engkau ternyata tega hendak membunuhku. Nyaris saja aku tewas oleh gigitan ular merahmu itu. Kalau tidak ada Hek-hwa Lo-kwi, tentu tercapai maksudmu dan aku sudah mati. Akan tetapi tentu engkau pun tidak akan terhindar dari maut."

Hwee Li tidak menjawab dan tidak menoleh. Masih terlalu ngeri hatinya mendengar percakapan tadi. Jantungnya berdebar keras. Mau apakah pangeran ini? Apakah benar-benar hendak melaksanakan usul-usul tadi? Hampir dia pingsan kembali membayangkan hal itu! Ingin dia menangis, ingin dia minta-minta ampun agar dibebaskan saking ngeri dan takutnya, akan tetapi wataknya yang keras dan gagah melarangnya berbuat seperti itu. Dia hendak memperlihatkan, terutama kepada ayahnya, bahwa sampai mati dia tidak takut menghadapi apapun! Akan tetapi, dia tidak boleh nekat begitu saja. Selama dia masih hidup, dia harus berusaha menggunakan kecerdikannya untuk meloloskan diri dari bahaya penghinaan hebat itu!

"Aku memang hendak membunuhmu. Maka sebaiknya kaubunuh saja aku sekarang!" akhirnya dia berkata sambil memutar otaknya mencari akal. Dia masih belum berani memandang, karena dia khawatir kalau sinar mata yang tajam itu akan dapat menjenguk isi hatinya.

Pangeran itu menyentuh lengan tangan Hwee Li, dan membelai lengan yang berkulit halus itu. Hwee Li memejamkan matanya. Rabaan jari-jari tangan pada lengannya itu menimbulkan perasaan jijik dan geli, juga gelisah dan ngeri.

"Ahhh, bagaimana mungkin aku membunuhmu, sayang? Tidak tahukah bahwa aku cinta kepadamu, Nona?"

"Aku sudah berdosa hendak membunuhmu, dan aku kelak akan membunuhmu kalau kau tidak membunuhku sekarang!" Hwee Li memancing.

"Tidak.... tidak....! Engkau masih muda, engkau belum tahu betapa aku amat mencintaimu. Kalau kau tahu, engkau akan menyesal, Hwee Li. Perbuatanmu itu amat kejam, sedangkan aku.... ah, tanpa engkau sebagai isteriku, hidup rasanya akan menjadi hampa...."

"Hemmm, bagus, ya? Siapa sudi percaya obrolanmu tentang cinta? Kalau engkau benar mencintaku, mengapa engkau membiarkan aku dibelenggu seperti ini? Beginikah perlakuan orang yang mencinta?" Hwee Li kini memandang dan menjebikan bibirnya yang merah.

Pangeran itu mengerutkan alisnya dan matanya menjadi sayu, berduka. Kini dia melepaskan lengan Hwee Li dan kini jari-jari tangannya meraba kaki dara itu, mengelus betis yang nampak karena pipa celana kanannya tertarik ke atas. Betis yang berkulit putih mulus kemerahan itu, yang kulitnya kelihatan demikian tipis dan halusnya sehingga urat-uratnya membayang, dirabanya dengan penuh kemesraan dan kegairahan. Kini Hwee Li menggigil. Seluruh bulu di tubuhnya bangkit berdiri, meremang saking ngerinya. Ingin dia menjerit, ingin dia memaki agar pangeran itu jangan mengusap dan membelai betis kakinya. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya.

"Sudah kukatakan tadi, sayang. Hatiku berduka, jantungku berdarah melihat kakimu yang indah dan tanganmu yang halus itu dirantai seperti ini. Akan tetapi, mengapa engkau memperlihatkan kekerasan dan tidak sudi menerima cintaku? Tentu saja, kalau engkau mau menerima dan membalas cintaku engkau tidak akan dibelenggu, bahkan engkau akan menjadi orang paling terhormat dan paling mulia di sini, di seluruh Nepal, dan di seluruh dunia! Engkau akan menjadi permaisuri, menjadi ratu, disembah-sembah! Mengapa engkau tidak mau menjadi kekasihku, sayang? Aku Liong Bian Cu dapat menciptakan sorga untukmu, engkau dapat bergelimang dalam kemewahan, kemuliaan dan kehormatan."

"Hemmm, janjimu terlalu muluk, Pangeran. Bagaimana kalau aku berjanji untuk tidak melawan dan untuk.... hemm, belajar mempertimbangkan cintamu dan mungkin kelak dapat menerima dan membalas cintamu?" kata Hwee Li hati-hati. "Apakah dengan janjiku itu engkau mau membebaskan aku sekarang juga?"

"Tentu saja! Tentu saja akan kubebaskan sekarang juga!" kata pangeran itu penuh gairah kegembiraan.

Dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hati Hwee Li mendengar ini dan dia meraba betapa tangan pangeran itu telah meraba-raba belenggu kedua kakinya. Akan tetapi, timbul kekecewaannya karena jari-jari tangan pangeran itu kembali meninggalkan belenggu dan terdengar pangeran itu berkata, "Nona, aku sungguh mencinta dan kasihan kepadamu. Akan tetapi, bagaimana aku dapat mempercaya janjimu. Betapa aku ingin kita dapat saling percaya dan saling mencinta, akan tetapi apa yang baru saja kaulakukan terhadapku sungguh membuat hatiku meragu. Dan engkau belum berjanji."

Dengan jantung berdebar Hwee Li berkata, "Aku berjanji, Pangeran! Aku berjanji bahwa aku akan mempertimbangkan cintamu dan aku akan belajar membalas cintamu!"

Mulut pangeran itu tersenyum lebar, matanya yang cekung bersinar-sinar, akan tetapi dia belum bergerak membuka belenggu kaki dan tangan Hwee Li. "Kau berani bersumpah?" tanyanya perlahan.

"Aku bersumpah!" jawab Hwee Li sedangkan di dalam hatinya dia mengejek. Apa artinya sumpah baginya? Apalagi bersumpah di depan orang Nepal yang dibencinya ini!

"Ahhh, sumpah dan janji harus disertai bukti, Nona Manis."

"Bukti? Bukti bagaimana maksudmu?" Hwee Li bertanya, penasaran dan kecewa.

"Kalau benar engkau mempunyai maksud hati yang baik dan tidak hendak berlaku curang kepadaku, kalau benar engkau jujur dalam janjimu, engkau tentu mau memperlihatkan kebaikanmu itu untuk menciumku." Pangeran itu tersenyum dan memandang tajam.

Hwee Li merasa betapa wajahnya panas sekali. Dia tidak tahu betapa kedua pipinya menjadi merah seperti udang direbus mendengar permintaan pangeran itu. Ingin dia menjerit, memaki dengan segala macam makian kotor yang pernah didengarnya. Akan tetapi dara yang cerdik ini menekan perasaannya dan dia lalu berkata, "Aku mau...."

Sepasang mata yang cekung itu berkilat. "Benarkah? Aihhh, Nona Hwee Li, kekasihku...., benarkah engkau mau menciumku? Ah, betapa bahagia hatiku dan kalau benar, aku akan mempercayaimu sepenuh hatiku. Nah, kauciumlah aku, sayang." Pangeran itu lalu berlutut di dekat pembaringan dan mendekatkan mukanya pada muka dara itu.

Ketika muka itu mendekati mukanya, Hwee Li merasa ngeri bukan main. Tercium bau wangi yang aneh, agaknya pangeran itu memakai minyak wangi yang asing, bercampur bau badan pria yang mungkin keluar dari keringat, seperti bau binatang liar, dan napas pangeran itu menyapu pipinya, panas dan tersendat-sendat. Hwee Li memejamkan matanya dan dengan cepat menggerakkan mukanya sehingga hidungnya menyapu pipi pangeran itu.

"Ngokkk!"

Pertemuan antara ujung hidung dan sebagian bibirnya dengan pipi yang panas kasar itu membuat Hwee Li mengkirik dan bulu tengkuknya meremang.

"Terima kasih.... ha-ha, ciumanmu seperti ciuman seorang anak kecil. Nona, karena kita kelak akan menjadi suami isteri, maka tiada buruknya kalau kita saling mencium. Dan mengingat betapa Nona adalah seorang dara yang masih murni dari hijau, biarlah saya memberi contoh bagaimana kalau mencium kekasih." Setelah berkata demikian, tiba-tiba pangeran itu merangkul Hwee Li dan sebelum gadis itu dapat membuang muka, tahu-tahu bibirnya telah dicium oleh pangeran itu. Ketika merasa betapa sepasang bibirnya tertawan daham ciuman mulut yang panas itu, hampir saja Hwee Li menjadi pingsan. Dia menggerak-gerakkan kepalanya agar bibirnya terlepas dari ciuman, akan tetapi mulut pangeran itu menempel pada mulutnya seperti seekor lintah yang tidak mau lepas lagi. Setelah napas mereka terengah-engah, barulah pangeran itu melepaskannya.

Wajah Hwee Li menjadi pucat, matanya terbelalak penuh kemarahan dan dua titik air mata meloncat ke luar dari sepasang matanya. Akan tetapi wajah pangeran itu menjadi kemerahan, napasnya tersendat-sendat, tanda bahwa nafsu berahi telah naik ke kepala pangeran itu. Dia memandangi wajah dan tubuh Hwee Li dengan mata merah. "Benar hemm, .... benar usul mereka...." katanya lirih dan kini tangannya meraba baju Hwee Li. Dara itu memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi telah mendengar usul-usul yang dikeluarkan oleh suara ayahnya sendiri dan suara Hek-hwa Lo-kwi, maka tahulah dia apa yang akan dliakukan oleh pangeran itu.

"Jangan...." bisiknya dengan muka makin pucat. "Lepaskan aku....!" Dia meronta, akan tetapi karena kaki dan tangannya terikat, dia hanya dapat menggerak-gerakkan pinggang dan lehernya saja.

"Brettttt....!" Sekali renggut saja robeklah baju Hwee Li sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup pakaian dalam yang tipis.

"Jangan....! Aku akan bunuh diri kalau kaulanjutkan.... aku akan menggigit putus lidahku....!"

Pangeran yang sedang dikuasai nafsu berahi itu terkejut, secepat kilat tangannya bergerak ke arah leher Hwee Li, menotok ke bawah telinga dan seketika gadis itu tidak mampu lagi menggerakkan dagunya, apalagi untuk menggigit!

"Hwee Li, aku terlalu cinta padamu, aku ingin engkau dapat membalas cintaku, maka aku juga tidak segan mempergunakan segala cara...." katanya terengah-engah dan kembali dia sudah menubruk gadis itu penuh nafsu berahi yang berkobar-kobar.

Hwee Li merasa takut sekali. Dia teringat akan jalan satu-satunya untuk membunuh diri. Maka dia melupakan segalanya, menutup ingatannya dan menahan napasnya.

Pangeran itu sudah meraba pakaian dalamnya ketika melihat wajah Hwee Li. Dia terkejut sekali. "Ahhhhh...." Dan cepat dia turun dari atas tubuh Hwee Li yang sudah ditindihnya, kini dia mengguncang-guncangkan pundak dara itu dengan muka pucat. "Hwee LI....! Hwee Li.... jangan.... jangan....aihhh, Hwee Li, aku tidak akan memaksamu.... jangan begitu nekat....!" Dia menggunakan tangannya untuk mengurut leher dan ulu hati gadis itu, dalam keadaan panik dan khawatir itu dia tidak lagi merasakan betapa tangannya tanpa disengaja menyentuh dua buah bukit dada yang sedang mekar itu. Lenyap sama sekali nafsu berahinya karena sama sekali dia tidak ingat lagi akan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kini pikirannya penuh dengan kekhawatiran melihat betapa wajah dara itu kebiruan dan napasnya sama sekali terhenti, dadanya mekar penuh dengan hawa yang ditahan-tahan dan tidak dikeluarkan.

"Hwee Li....!" Dia mengeluh dengan suara seperti orang menangis.

Akhirnya, karena dipaksa oleh pijatan dan urutan tangan Liong Bian Cu, Hwee Li bernapas lagi, terengah-engah dan terbatuk-batuk. Dia sadar kembali, membuka matanya dan melihat bahwa tubuhnya masih tertutup pakaian dalam, tahulah dia bahwa dia belum ternoda. Dia melihat pangeran itu berlutut dan ada air mata di kedua pipi pemuda itu!

"Hwee Li.... ah, Hwee Li, apa yang akan kulakukan tadi? Kauampunkan aku, Hwee Li, percayalah, semua yang kulakukan kepadamu terdorong oleh rasa cintaku yang besar...." Liong Bian Cu meratap.

"Hemmm, kau tahu sekarang bahwa setiap saat aku dapat membunuh diri dan kau sama sekali tidak akan mampu mencegahku? Aku sudah berjanji, dan kau ternyata hendak melanggar, padahal kau pun berjanji akan membebaskan aku."

"Akan kubebaskan.... sekarang juga, akan tetapi kau pun harus berjanji tidak akan membunuh diri...."

Hwee Li tersenyum. "Aku tidak akan begitu bodoh untuk membunuh diri, Pangeran. Akan tetapi, kau tidak boleh menyentuhku, tidak boleh menciumku seperti tadi, apalagi menggunakan kekerasan untuk memperkosa. Kalau kau melakukan satu kali saja, aku akan mencoba untuk membunuhmu, dan kalau aku gagal, aku akan membunuh diri sendiri. Kau boleh memiliki tubuhku sebagai mayat!"

"Tidak...., tidak...., kaumaafkanlah aku, sayang. Nah, lihat, aku akan membebaskanmu sekarang juga." Dia meraba belenggu, akan tetapi berhenti lagi. Diam-diam Hwee Li gemas bukan main. Pangeran ini amat berbahaya, juga amat besar curiga dan hati-hati, amat licin dan cerdik!

"Tapi, kau benar-benar mau menjadi isteriku, bukan? Jawablah, Hwee Li sekarang juga. Karena kalau kau suka berjanji untuk menjadi isteriku, apa pun akan kulakukan demi engkau, sayang. Sebaliknya, aku tidak mau disiksa menantikan sesuatu yang tidak akan terjadi, tidak mau disiksa dengan harapan kosong yang tidak akan terpenuhi. Kalau kau tidak mau, katakan saja tidak mau. Aku tidak akan memaksamu, aku terlalu cinta padamu untuk melihat engkau menderita di bawah tanganku, akan tetapi.... hemmm, kalau tidak mau, aku akan hadiahkan engkau kepada anak buahku!"

Hwee Li merasa ngeri. Dia maklum bahwa gertakan pangeran ini bisa saja dilaksanakan kalau dia membuat pangeran ini putus harapan dan marah. "Aku berjanji, Pangeran. Akan tetapi aku bukanlah seorang wanita sembarangan saja. Aku hanya mau menjadi isterimu dalam pernikahan yang syah, pernikahan yang dirayakan secara meriah dan disaksikan oleh banyak tamu di dunia kang-ouw. Sebelum itu, sekali saja engkau menyentuhku, aku akan membunuh diri! Kehormatanku jauh lebih penting daripada nyawaku. Nah, aku sudah berjanji, terserah kepadamu!"

Bukan main girangnya hati Liong Bian Cu. Dia mengeluarkan kunci dari dalam saku bajunya dan segera membuka kunci belenggu kaki tangan Hwee Li. Dara itu bangkit duduk di atas pembaringan, menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya, bergantian, untuk melancarkan jalan darah yang tadi terganggu oleh himpitan belenggu. Tiba-tiba dia teringat akan peristiwa tadi, betapa mulutnya dicium dengan lahapnya oleh mulut Liong Bian Cu. Teringat akan ini, tiba-tiba saja Hwee Li muntah-muntah!

"Ah, kau sakit....! Kalau pusing, engkau rebahlah, Hwee Li...." Liong Bian Cu terkejut sekali melihat gadis itu muntah-muntah di atas lantai dekat pembaringan, lalu mendekati untuk memijat-mijat tengkuk gadis itu.

"Sudah, aku tidak apa-apa!" Hwee Li berkata sambil melepaskan tangan yang memijit-mijit tengkuknya. Dia menggunakan lengan baju untuk mengusap mulutnya, diusapnya keras-keras karena dia bukan hanya mau menghapus bekas muntah tadi, melainkan hendak menghapus bekas ciuman dari kedua bibirnya.

"Sungguh engkau tidak apa-apa, Moimoi (Dinda)....?" tanya Liong Bian Cu, suaranya penuh kasih sayang dan dia bertepuk tangan memanggil pelayan. Pelayan datang dan segera disuruh membersihkan lantai. Pelayan itu lalu disuruh keluar lagi setelah selesai mengerjakan perintah itu.

"Bekas belenggu itu menyakitkan tanganmu, Hwee Li?" Dia merayu lagi dan mendekati, membantu gadis itu menggosok-gosok pergelangan tangannya. "Biar kulancarkan jalan darahnya dengan urutan tangan dan....!" Tiba-tiba pangeran itu menghentikan kata-katanya, karena dia merasa betapa tangan yang kecil halus namun mengandung tenaga yang amat kuat itu kini telah mencengkeram jalan darah di dekat ulu hatinya, jalan darah kematian!

"Jangan bergerak atau kau akan mampus!" Hwee Li menghardik.

"Aihhh, apa yang hendak kaulakukan ini, Moi-moi....?" Pangeran itu mengeluh, tidak berani bergerak karena sekali saja dara itu mengerahkan sinkang dan mencengkeram, tidak ada yang dapat menolong nyawanya lagi.

"Dengar kau, Liong Bian Cu! Engkau tadi telah menghinaku, dan untuk.... ciuman itu saja engkau sudah layak mampus. Apalagi penghinaan lainnya tadi! Hayo kauantar aku keluar dari lembah ini, kalau tidak, engkau akan mampus sekarang juga."

"Ah, Hwee Li, apa kaukira aku takut mati? Akan tetapi, bukan kematianku yang kutakutkan, melainkan nasibmu. Kalau kau membunuhku, apa kaukira akan dapat lolos dari kematian? Engkau yang masih begini muda remaja, cantik jelita, pasti tidak akan lolos dari kematian di tangan Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo dan semua anak buahku dan anak buah Kui-Liong-pang. Aku mati, akan tetapi engkau juga mati, apa bedanya bagiku? Kita akan berkumpul juga di alam baka! Mati di tangan seorang yang kucinta seperti engkau adalah kematian yang menyenangkan, Hwee Li. Nah, kaubunuhlah dan aku akan menantimu di sana karena aku yakin engkau akan menyusulku cepat, dalam hari ini juga."

"Bohong!" bentak Hwee Li. "Kalau kau mampus, ayah tentu tidak melihat kegunaannya lagi berada di sini dan mengorbankan aku. Ayah tentu akan membantuku melarikan diri. Betapapun juga, dia adalah ayah kandungku sendiri!"

Tiba-tiba pangeran itu tertawa dan Hwee Li memperkuat cengkeramannya sehingga kuku-kuku jarinya sudah mulai terbenam sedikit ke dalam baju dan me nyentuh kulit di dada Liong Bian Cu.

"Ha-ha-ha-ha! Ayah kandungmu? Hwee Li, kalau dia ayah kandungmu, mana mungkin dia sengaja menyerahkan engkau kepadaku, bahkan dia menasihatkan aku untuk memperkosamu? Kalau dia ayah kandung yang mencinta puterinya, mana mungkin dia tega melakukan hal itu? Sedangkan aku saja, seorang pria muda yang mencintamu, masih tidak tega memperkosamu seperti yang kaulihat sendiri tadi. Dia bukan ayah kandungmu, Hwee Li, engkau adalah anak pungut dari Hek Tiauw Lo-mo!"

"Bohong....!" Hwee Li menjerit dan dia lupa dengan ancamannya, kini tangannya bergerak menampar.

"Plakkk!" Pipi Liong Bian Cu ditamparnya dan tubuh pemuda bangsawan itu terhuyung ke belakang. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan mengelus pipinya yang menjadi merah sekali oleh tamparan tadi.

"Bohong kau....! Bohong....!" bentak Hwee Li, wajahnya pucat dan air matanya menitik turun.

"Tidak, Hwee Li, aku tidak bohong. Ayahmu sendiri yang akan menceritakan kepadamu,dan kau boleh bertanya kepadanya. Semua peristiwa itu diketahui Hek-hwa Lo-kwi, dahulu sahabat ayahmu, dan aku mendengar dari Hek-hwa Lo-kwi. Hek-tiauw Lo-mo tidak pernah punyak anak, dan engkau bukan puterinya."

Mata yang indah itu terbelalak, kedua kakinya menggigil. "Bohong...! Bohong...!" Dara itu meloncat ke luar dari kamar dan berlari sambil menutupi mukanya dan menangis terisak-isak.

Malam telah tiba. Di luar sudah gelap. Akan tetapi tidak terlalu gelap karena bulan telah muncul di angkasa timur. Biarpun bukan bulan purnama, namun bulan yang tiga perempat itu cukup mengusir kegelapan dan menimbulkan cahaya remang-remang yang sejuk dan kehijauan. Hwee Li berlari terus sambil menangis dan akhirnya dia baru berhenti ketika tiba di tepi sungai yang mengurung lembah. Dia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis sejadi-jadinya. Ia mengingat akan semua pengalamannya dengan ayahnya, waktu yang belasan tahun itu seperti membayang semua di benaknya. Ayahnya selalu memanjakannya, selalu mencintanya. Hanya akhir-akhir ini berubah. Dan dia mendengar ucapan ayahnya ketika bercakap-cakap di luar kamar tadi. Apa kata ayahnya ke pada Pangeran Liong Bian Cu? Terngiang di telinganya sebagian dari kata-kata. ayahnya yang sukar dia lupakan, "Hanya kalau dia satu kali sudah menjadi milik pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu."

Ah, ayahnya hanya bilang bahwa ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil. Dia sama sekali sudah tidak ingat lagi kepada ibunya. Dan dia percaya! Siapakah ibunya? Siapa pula ayahnya? Apa yang terjadi dengan mereka? Dan bagaimana dia bisa menjadi anak Hek-tiauw Lo-mo dan tinggal di Pulau Neraka?

Hwee Li masih menangis, akan tetapi sekarang pikirannya bekerja. Kalau benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, tentu dia tidak bisa mengharapkan bantuan dari kakek itu. Dia sendirian saja dikurung di dalam lembah itu, bahkan ayahnya itu juga membantu Pangeran Liong Bian Cu. Dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa, dan kalau dia ingin selamat, dia harus mengandalkan dirinya! Akan tetapi, kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, yang amat lihai itu. Satu-satunya yang boleh diminta tolong dan diandalkannya hanyalah otaknya, kecerdikannya. Dia harus cerdik, kalau dia tidak ingin terhina dan mati konyol. Dan dia tidak ingin mati. Dia harus mencari akal!

"Moi-moi....!"

Hwee Li tahu siapa yang datang dan dia menangis makin keras. Dia terisak-isak sambil berlutut di atas rumput, akan tetapi kini tangisnya berbeda dengan tadi. Kalau tadi, dia menangis sepenuhnya terdorong oleh rasa penasaran, marah, kecewa dan duka. Akan tetapi kini tangisnya sebagian besar terkendali oleh kecerdikannya.

"Hwee Li, kaumaafkanlah aku. Aku tidak sengaja melukai hatimu. Akan tetapi percayalah, bahwa satu-satunya orang di dunia ini hanya aku yang dapat kaupercaya, hanya aku yang mencintamu. Jangan kau memikirkan lagi ayah angkatmu itu. Aku akan membahagiakan hidupmu, Moi-moi."

Hwee Li masih menangis, kemudian ketika dia merasa ada tangan menyentuh pundaknya, sentuhan penuh kasih sayang, dia mendorong perlahan tangan itu, bangkit berdiri dan menghadapi pangeran itu dengan muka basah air mata.

"Pangeran, betapa sedih hatiku mendengar bahwa dia bukan ayah kandungku. Dan aku tahu akan kebaikanmu, akan tetapi, engkau pun tahu bahwa aku tidak sudi untuk dijadikan perempuan sembarangan. Kalau kau berlaku sopan, kalau kau dapat menghormati dan menghargai aku sebagai gadis baik-baik, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk kelak menjadi jodohmu."

Tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila dan benar-benar jatuh cinta kepada dara itu menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihat, kekasihku, lihat. Aku Pangeran Liong Bian Cu yang biasa disembah-sembah orang. Aku tidak malu-malu untuk berlutut di depan kakimu. Aku bersumpah akan memenuhi janjiku, tidak akan mengganggumu sebelum kita menikah dan menjadi suami isteri yang syah. Engkau tahu bahwa aku mempunyai cita-cita yang maha besar, dan agaknya, tanpa engkau di sampingku, aku merasa tidak cukup kuat untuk melaksanakan tugas berat itu. Akan tetapi, dengan engkau di sampingku, Moi-moi, aku sanggup untuk menaklukkan seluruh dunia!"

"Baiklah, Pangeran. Aku percaya kepadamu, dan kuharap mulai sekarang aku boleh bebas di tempat ini."

"Tentu saja kekasihku. Akan tetapi, kuharap engkau jangan mencoba untuk melarikan diri karena engkau tahu bahwa hal itu selain tidak mungkin terjadi, juga ketahuilah bahwa dengan jarum beracun pemberian Hek-hwa Lo-kwi, aku telah terlanjur menusukkan jarum itu di tubuhmu sehingga kini racun itu telah berada di dalam tubuhmu. Racun itu tidak akan bekerja sebelum satu tahun, akan tetapi dalam satu tahun, racun itu akan dapat mematikan, Moi-moi. Akan tetapi, jangan khawatir, obat penawarnya selalu berada di tanganku." Pangeran itu bangkit berdiri dan tersenyum. Jadi jelas bahwa mencoba untuk melarikan diri, selain tidak mungkin, juga berarti engkau kelak akan tewas dalam keadaan tersiksa sekali. Maka, kuharap engkau tidak sebodoh itu."

Demikianlah, dalam keadaan tersudut, Hwee Li yang cerdik itu bermain sandiwara, pura-pura menerima kehendak sang pangeran untuk memperisterinya. Setiap hari dia hidup dengan bebas di lembah itu, dihormati semua orang yang tahu bahwa dara cantik jelita ini adalah tunangan Pangeran Nepal itu. Akan tetapi penjagaan terhadap dirinya sungguh amat ketat, apalagi di situ selalu ada Hek-hwa Lo-kwi atau Hek-tiauw Lo-mo yang membayanginya. Selain itu, juga semua perahu selalu dijaga sehingga tanpa memiliki perahu, tidak mungkin dia dapat menyeberangi sungai. Adapun sikap pangeran itu terhadapnya kini tidak begitu merisaukan hati Hwee Li karena pangeran yang amat mencintanya itu benar-benar tidak pernah mau mengganggunya, sikapnya amat manis, ramah dan mesra dan pangeran itu jelas berusaha keras untuk menundukkan hatinya dengan memupuk segala macam kebaikan dan keramahan. Hwee Li mengimbanginya dengan sikap manis sambil selalu mengincar kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Bahkan dia pandai menyimpan penasaran hatinya sehingga dia tidak melontarkan rasa penasaran itu secara kasar kepada Hek-tiauw Lo-mo.

Ketika beberapa hari kemudian Liong Bian Cu mengundang makan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi di taman bunga untuk menikmati bulan purnama bersama Hwee Li, barulah dara ini dengan hati-hati mengajukan pectanyaan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Mereka telah selesai makan dan Hek-tiauw Lo-mo telah minum banyak sekali arak pada malam hari itu.

"Ayah, jangan Ayah merasa heran bahwa aku telah mendengar bahwa Ayah sesungguhnya bukan ayah kandungku."

"Ehhh?" Hek-tiauw Lo-mo menoleh kepada Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut, akan tetapi kakek muka tengkorak yang tinggi kurus itu tidak perduli dan tenang-tenang saja makan manisan angco.

"Sayalah yang menceritakan kepadanya, Locianpwe," tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata. "Untuk melenyapkan rasa penasaran di hatinya."

Hek-tiauw Lo-mo memandang kepada pangeran itu, akan tetapi lalu mengangguk-angguk dan minum arak dari cawannya, kemudian meletakkan cawan kosong dan memandang kepada Hwee Li sambil tersenyum lebar. "Bagus kalau engkau sudah tahu. Kalau Pangeran tidak memberi tahu, sebetulnya aku pun hendak memberitahukan kepadamu, Hwee Li. Engkau sudah dewasa dan sudah waktunya mengetahui riwayatmu."

"Ayah," kata Hwee Li tenang sambil memandang tajam. Dia memaksa diri menyebut ayah, padahal di dalam hatinya dia tidak sudi lagi menyebut kakek yang kejam ini sebagai ayahnya. Semenjak dia bukan kanak-kanak lagi dan sudah mengerti dan dapat membedakan antara baik dan buruk, dia memang sudah merasa kecewa dan tidak senang kepada ayahnya. Sikap ayahnya itulah yang membuat dia tidak kerasan berdekatan dengan ayahnya itu. "Ayah telah memeliharaku sejak kecil dan untuk itu, aku berterima kasih sekali. Akan tetapi, aku berhak untuk mengetahui siapa orang tuaku yang sebenarnya dan di mana adanya mereka." Hwee Li menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan perasaan dan dia menelan kembali keinginannya untuk menangis. Lalu dia menambahkan, "Kurasa Ayah adalah seorang tokoh yang terlalu terkenal dan gagah untuk tidak menyembunyikan semua perbuatan yang Ayah lakukan terhadap orang tuaku itu."

"Ha-ha-ha! Kim Hwee Li, engkau tentu sudah cukup mengenal watakku. Aku bukanlah orang yang suka menyesalkan semua perbuatanku sendiri, dan aku bukanlah orang yang suka mengingkari perbuatan sendiri. Aku berani berbuat dan berani pula bertanggung jawab. Ha-ha-ha! Sekarang dengarlah penuturanku dan setelah kau mendengarnya, terserah apa yang akan kaupikirkan terhadap diriku."

Dengan wajah tenang namun hatinya penuh dengan segala macam perasaan, Hwee Li mendengarkan penuturan kakek itu. Belasan tahun yang lalu, di dalam perantauannya setelah dia menemukan dan menundukkan orang-orang di Pulau Neraka dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka, pada suatu hari Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin yang terkenal sebagai seorang panglima yang suka berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi di dunia kangouw. Karena tertarik akan berita bahwa Kim Bouw Sin amat menghormati orang-orang kang-ouw, maka Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng itu. Benar saja, Panglima Kim Bouw Sin menyambutnya penuh penghormatan, bahkan lalu mengadakan pesta untuk menyambut tamu agung ini. Di dalam pesta itu, Panglima Kim Bouw Sin berkenan menghibur tamunya dengan tari-tarian yang dilakukan oleh seorang selirnya yang terkasih. Selir ini cantik sekali dan masih muda belia, seorang ahli menari yang amat pandai.

Sebenarnya, Hek-tiauw Lo-mo pelarian dari Korea itu, biarpun pernah menjadi raja orang-orang liar, bahkan pernah mempunyai kebiasaan makan daging manusia, amat kejam dan membunuh orang seperti membunuh lalat saja, dia bukan termasuk seorang laki-laki yang lemah terhadap nafsu berahi. Akan tetapi, dalam keadaan setengah mabuk melihat selir panglima itu menari-nari dengan tubuh yang lemah gemulai, dengan dada montok penuh karena wanita muda ini mempunyai anak yang baru tiga bulan usianya, Hek-tiauw Lo-mo menjadi tergila-gila, dan pada malam hari itu, tanpa pamit, lenyaplah Hek-tiauw Lo-mo dari dalam kamar itu dan bersama dia, lenyap pula selir cantik itu bersama anaknya yang baru berusia tiga bulan!

Panglima Kim Bouw Sin terkejut sekali, akan tetapi melihat betapa tamunya yang seperti raksasa itu dapat menculik selir dan anaknya, melarikan diri dari sebuah benteng yang terjaga ketat, tahulah dia bahwa tamunya itu lihai sekali. Dan sebagai seorang panglima yang bercita-cita besar, yang ingin mengambil hati orang-orang berilmu di dunia kangouw, Panglima Kim Bouw Sin tidak mau ribut-ribut tentang penculikan ini, sungguhpun diam-diam dia menggerakkan orang-orangnya untuk mencari tanpa hasil.

Selir muda yang cantik itu menangis ketika dia dibawa masuk ke rumah Hek-tiauw Lo-mo di Pulau Neraka. Mula-mula dia menolak semua bujuk rayu raksasa itu, dan memilih mati. Akan tetapi, ketika Hek-tiauw Lo-mo menangkap anaknya, menempelkan golok gergajinya di leher anak yang baru berusia tiga bulan itu, wanita muda ini menyerah! Demi menjaga nyawa anaknya, dia mau menyerahkan diri setelah Hek-tiauw Lo-mo berjanji tidak akan mengganggu dan tidak akan membunuh anak itu, bahkan mengambil anak itu sebagai anaknya sendiri. Barulah wanita muda itu menyerahkan diri, penyerahan yang dilakukan dengan terpaksa dan dengan hati hancur. Hek-tiauw Lo-mo, raksasa yang kasar itu, mempermainkan wanita itu di luar batas kekuatan si wanita sehingga dalam waktu tiga bulan saja, wanita itu tidak kuat bertahan dan tewas!

Biarpun dia seorang liar dan kejam, namun Hek-tiauw Lo-mo merasa sebagai orang gagah, maka dia pantang untuk menjilat janjinya sendiri. Maka, setelah wanita itu meninggal dunia, dia benar tidak membunuh anak itu dan memeliharanya sebagai anak sendiri. Makin besar anak itu, makin sayanglah dia, apalagi setelah anak perempuan itu memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia kelak akan menjadi seorang wanita yang cantik jelita seperti ibunya!

"Ha-ha-ha engkaulah anak itu, Hwee Li!" Hek-tiauw Lo-mo menutup ceritanya yang dilakukan terang-terangan tanpa menyembunyikan sesuatu untuk membuktikan "kegagahannya". "Melihat engkau menjadi dewasa dan persis ibumu, tadinya aku mempunyai keinginan untuk menarik engkau di sampingku sebagai pengganti ibumu yang kucinta sungguh. Akan tetapi, setelah aku menjadi makin tua, aku kehilangan gairah terhadap wanita, apalagi setelah berjumpa dengan Pangeran Liong, aku mengambil keputusan untuk menyerahkan engkau kepadanya demi kebahagiaanmu, anakku! Ha-ha-haha-ha!"

Dapat dibayangkan betapa muak, benci dan sakitnya hati Hwee Li mendengar semua itu. Biarpun ayahnya mengaku cinta kepada ibunya, namun dia tahu bahwa akibat paksaan ayah angkat atau ayah tirinya inilah maka ibunya sampai tewas. Dan sesungguhnya, orang ini sama sekali tidak pantas dia sebut ayah, bahkan sebagai ayah tiri sekalipun, karena ibunya menjadi isteri orang ini tidak secara suka rela dan tidak syah, melainkan diculik dan dipaksa! Orang ini sama sekali bukan ayahnya, bukan ayah angkat atau ayah tirinya, melainkan musuh besarnya, pembunuh ibunya!

Panglima Kim Bouw Sin? Dia teringat akan peristiwa pemberontakan lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, usianya baru kurang lebih sebelas tahun, akan tetapi dia sudah tahu akan apa yang telah terjadi. Dia mendengar nama Panglima Kim Bouw Sin ini. Bukankah itu panglima pembantu Jenderal Kao Liang yang kemudian memberontak dan bersekutu dengan Pangeran Liong Khi Ong dan akhirnya panglima itu terbunuh? Jadi ibunya dan ayahnya yang sebenarnya, ayah ibu kandungnya, semua telah mati? Dia masih penasaran dan bertanya dengan suara kering, "Dan ayah kandungku....?"

"Panglima Kiam Bouw Sin? Ha-haha, dia sekeluarga telah dihukum mati karena memberontak. Jadi akhirnya engkau malah harus berterima kasih kepadaku, Hwee Li. Karena andaikata aku tidak melarikan ibumu dan engkau ikut, tentu engkau dan ibumu juga akan mengalami nasib yang sama, dihukum mati sebagai anggauta keluarga pemberontak," kata Hek-tiauw Lo-mo.

Dengan muka pucat akan tetapi tidak begitu kentara karena taman itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama yang sudah membuat segala sesuatu nampak pucat, Hwee Li berkata lirih, "Kalau begitu engkau bukan ayahku, Hek-tiauw Lo-mo...."

Pangeran Liong Bian Cu menyentuh tangan Hwee Li dan berkata, "Moi-moi, jangan bilang begitu. Betapapun juga, Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo adalah ayah tirimu dan dia sudah memeliharamu sejak kecil, mendidikmu dengan segala macam ilmu. Aku akan selalu menganggap dia sebagai ayahmu."

Pikiran Hwee Li bekerja. Dia melihat Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepadanya dan di balik pandang matanya itu terdapat ancaman hebat. Dia tahu bahwa kakek itu melakukan semua ini dengan harapan untuk membonceng kemuliaannya kalau dia kelak menjadi isteri Liong Bian Cu. Tentu saja kalau tidak diaku sebagai ayah, harapan kakek itu menjadi hancur dan mungkin saja dia melakukan sesuatu yang akan merugikan dirinya. Selagi dia masih berada di lembah itu, selagi dia masih mencari-cari kesempatan untuk lolos, tidak baik kalau dia menanamkan kebencian dan ancaman baru dalam diri Hek-tiauw Lo-mo.

"Tentu saja, Pangeran. Aku tidak dapat melupakan segala kebaikan Ayah, katanya sambil minum araknya beberapa teguk. Dia melirik ke arah Hek-tiauw Lo-mo dan melihat kakek ini tertawa-tawa senang mendengar ucapannya itu.

***

Demikianlah, Hwee Li yang bagaikan seekor burung telah terkurung dalam sangkar emas itu, terjaga ketat dan sama sekali tidak melihat kesempatan sedikit pun untuk melarikan diri, mulai menggunakan kecerdikannya. Setiap saat dia waspada dan mencari lubang, dan hanya kecerdikannya saja yang membuat dia dapat menahan segala kekhawatirannya dan bersikap biasa, bahkan ramah terhadap Pangeran Liong Bian Cu, seolah-olah dia mulai setuju untuk menjadi isteri Pangeran Nepal ini.

Sering Hwee Li termenung dan hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan. Dia merasa benci sekali kepada Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata adalah seorang musuh besar. Kini lenyaplah harapanaya untuk dapat tertolong oleh kakek itu. Semua orang yang berada di lembah ini adalah musuh-musuhnya, dan Hek-tiauw Lo-mo merupakan musuh utama malah, di samping Pangeran Liong Bian Cu.

"Ingatlah, Moi-moi, engkau adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin dan engkau sudah tahu betapa ayah kandungmu itu dahulu juga bersekutu dengan ayahku dan membantu ayahku, Pangeran Liong Khi Ong. Maka, kalau sekarang engkau menjadi isteriku dan membantuku, sungguh sudah tepat sekali. Orang tua kita bersahabat, dan kini kita berjodoh, bukankah itu baik sekali?" Demikian antara lain bujukan dari Pangeran Liong Bian Cu. Akan tetapi biarpun dia tidak mau membantah, di dalam hatinya dia sangat tidak senang. Ayahnya adalah seorang pemberontak dan karena perbuatannya itu, seluruh keluarga ayahnya binasa. Dia mengerti bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar, dan tentu saja dia tidak sudi mengulang perbuatan itu, apalagi ditambah dengan pengorbanan dirinya menjadi isteri dari Liong Blan Cu yang dibencinya.

Akan tetapi, kesempatan yang dinanti-nantinya itu tidak kunjung datang. Penjagaan terlalu ketat dan dia sama sekali tidak melihat kernungkinan untuk dapat meloloskan diri melalui penyeberangan sungai. Satu-satunya jalan untuk dapat lolos hanya dengan bantuan garudanya, akan tetapi kini garuda itu telah dikurung, dijaga ketat dan kurungannya dikunci.

Hwee Li sudah menggunakan akal untuk bersikap ramah kepada Liong Bian Cu sehingga pergaulan di antara mereka sudah kelihatan akrab dan tidak asing lagi. Bahkan dengan keramahannya itu, Hwee Li mengajak dia bercakap-cakap dan dengan gembira Hwe Li menceritakan tentang kesenangan menunggang burung garuda melayang-layang di angkasa. Mendengar ini dan melihat sikap Hwee Li, Liong Bian Cu berkata, "Jangan khawatir, kekasihku. Kelak kalau kita sudah menikah, aku akan mengajakmu berpesiar naik garuda itu."

"Ah, mana mungkin? Burungku itu tentu akan dibawa pergi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Sekarang pun telah dikurungnya, aku khawatir burung itu akan sakit dan mati."

"Ha-ha-ha, kau tidak perlu khawatir. Ayahmu telah menyerahkan burung itu kepadaku dan ini kunci kurungan itu selalu berada di tanganku. Dan aku sudah menyuruh para pemelihara burung itu baik-baik, memberi makan dan minum secukupnya."

lnilah yang ingin diketahui oleh Hwee Li dan dara ini cepat mengalihkan percakapan. Dia kini sudah tahu bahwa kunci kurungan berada di tangan pangeran ini! Cukuplah itu! Terbuka lagi jalan baginya untuk meloloskan diri. Kalau saja dia dapat merobohkan Liong Bian Cu, merampas kunci itu dan membebaskan garudanya, tentu dia akan dapat lolos dari situ menunggang garudanya!

Liong Bian Cu benar-benar jatuh cinta kepada Hwee Li. Sikapnya baik sekali, dan pemuda ini tidak pernah lagi memperlihatkan kekerasan, sungguhpun sikapnya mesra sekali. Namun, dia sudah puas untuk menggandeng tangan Hwee Li, atau paling jauh dia hanya mencium tangan dara itu, tidak berani bertindak lebih. Akan tetapi, Hwee Li makin gelisah ketika hari yang ditentukan makin mendekat. Liong Bian Cu telah menentukan hari pernikahan mereka, dan tanpa disadari dia telah hampir sebulan berada di situ sehingga waktu pernikahan tinggal satu bulan lagi!

Pada suatu senja, Liong Bian Cu sibuk mencari-cari Hwee Li. Dara ini memang diberi kebebasan untuk pergi ke mana saja di dalam lembah itu, karena Liong Bian Cu merasa yakin bahwa tidak mungkin Hwee Li dapat meloloskan diri. Selain lembah itu terkurung sungai lebar, juga terdapat banyak sekali penjaga ditepi sungai sehingga andaikata Hwee Li hendak nekat menyeberang, dia akan ketahuan pula.

"Hwee Li....!"

"Moi-moi, di mana kau....?"

Liong Bian Cu mencari-cari ke sana-sini sambil berteriak-teriak memanggil. Hatinya merasa agak gelisah. Biarpun dia merasa yakin bahwa tidak mungkin dara itu dapat meloloskan diri, namun setelah agak lama mencari-cari tanpa hasil, dia merasa khawatir juga, khawatir kehilangan dara yang dicintanya itu. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika seorang pengawal memberi tahu bahwa dara yang dicari-carinya itu tadi pergi ke sumber air di tempat yang agak tinggi di sebelah belakang lembah.

Liong Bian Cu cepat pergi ke tempat itu. Dia tahu bahwa dara itu memang suka pergi ke sana dan bahkan suka mandi di sumber air mancur itu, sunggupun di dalam kamarnya telah tersedia kamar mandi dan kolam. Membayangkan kekasihnya mandi di tempat sunyi itu, jantungnya berdebar keras. Betapa sering dia harus menahan gelora nafsunya kalau berhadapan dengan Hwee Li. Nafsunya mendorong untuk menubruk dan memeluk dara itu, seperti seekor harimau kelapar dan menubruk seekor domba muda. Akan tetapi cinta kasihnya melarangnya, karena dia ingin menikmati penyerahan diri Hwee Li sebulatnya, dengan suka rela dan dengan sikap yang membalas perasaan cintanya. Hampir setiap malam dia mimpi bermain cinta dengan tunangannya itu! Kini, membayangkan Hwee Li mandi di sumber air, menimbulkan keinginan besar di hatinya untuk mengintai dan melihat kekasihnya itu mandi. Setidaknya tentu dara itu akan menanggalkan pakaian luarnya! Dengan hati-hati pangeran ini lalu menghampiri sumber air, menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia mendengar suara kekasihnya bersenandung dan mendengar suara air berkecipakan!

Sementara itu, Hwee Li sejak tadi memang, menanti munculnya Liong Bian Cu. Sudah berhari-hari dia mengatur siasat ini. Siasat itu timbul ketika dia lewat di lorong kecil yang menuju ke sumber air itu dan sebuah batu runtuh dari tebing di sebelah kiri lorong dan hampir menimpanya. Dia melihat bahwa tebing itu hampir longsor, tanahnya sudah retak-retak dan di atas tebing terdapat sebongkah batu sebesar kepala gajah! Untung hanya batu sebesar kepala manusia saja yang runtuh dan hampir menimpanya. Kalau batu besar itu yang runtuh, tentu akan membawa semua batu yang berada di atas dan tepi tebing dan dia akan teruruk oleh batu-batu besar karena lorong di tempat itu terhimpit tebing dan sempit sekali.

Peristiwa itu menimbulkan siasat kepada Hwee Li yang cerdik. Berhari-hari dia mempelajari keadaan tebing dan batu besar itu. Ternyata bahwa yang menahan batu besar itu tidak sampai longsor ke bawah adalah sebatang pohon kecil yang tumbuh di tebing, juga ada beberapa buah batu yang tidak begitu besar merupakan pengganjal. Kalau pohon itu diambil, atau batu-batu kecil itu runtuh, tentu pohon itu tidak kuat menahan dan batu besar itu akan runtuh ke bawah. Dia mencari akal dan mulailah dengan diam-diam dia menggali dan melubangi tanah di atas tebing, tepat di bawah batu besar itu, menyingkrkan beberapa buah batu pengganjal dengan hati-hati sekali. Pekerjaan ini dilakukannya secara diam-diam selama beberapa hari. Kemarin, ketika seorang pegawal melihatnya dengan heran di situ, Hwee Li cepat menangkap seekor jengkerik dan bermain-main dengan binatang itu sehingga pengawal yang melihatnya di situ mengira bahwa dara remaja tunangan pangeran itu mencari jengkerik dan bermain-main seperti seorang anak-anak saja. Dan memang dara remaja itu masih bersikap lincah seperti anak kecil!

Setelah membuat persiapan secara menyakinkan, Hwee Li mengikatkan tali pada batang pohon kecil yang kini seolah-olah merupakan pengganjal utama bagi batu besar tadi, lalu menyembunyikan tali panjang itu melalui belakang batu-batu besar, terus menurun dan disembunyikan di dekat sumber air. Dan pada senja hari itu, dia sengaja mandi di situ. Biarpun dia mendengar teriakan-teriakan suara Liong Bian Cu memanggil-manggilnya, dia sengaja tidak menjawab dan membiarkan pangeran itu mendatangi sumber air.

Liong Bian Cu juga bukan seorang yang bodoh. Begitu dia tiba di luar lorong dan mengintai dari jauh, dia melihat dara itu duduk di bawah pancuran air dan benar saja hanya memakai pakaian dalam, akan tetapi dara itu kelihtan tegang dan tidak mandi! Dan dara itu bersenandung sambil matanya diarahkan ke bawah sumber air, seolah-olah menanti kedatangannya! Dia teringat bahwa dia tadi telah menggunakan khikang ketika memanggil-manggil. Mustahil kalau gadis itu tidak mendengar panggilannya. Akan tetapi gadis itu tidak pernah menjawab. Dan kini Hwee Li seolah-olah menantinya, kedua tangannya disembunyikan di dalam air yang membentuk kolam jernih di bawah pancuran. Air terjun kecil itu datang dari sumber air dari batu-batu di atas pancuran. Apa yang akan dilakukan gadis itu? Agaknya akan menyerangnya lagi, pikir pemuda itu. Demikian mencurigakan sikapnya.

Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sepasang mata yang tajam sekali dari Hwee Li telah dapat melihatnya ketika dia menyelinap di balik pohon dan mengintai. Hwee Li juga maklum akan kecerdikan Liong Bian Cu. Mengapa pemuda itu tidak terus naik melalui lorong? Tentu timbul kecurigaannya, pikirnya. Tidak ada gunanya membujuk Bian Cu untuk naik. Satu-satunya jalan adalah memancingnya naik melalui lorong itu dan dia tahu akan umpan terbaik untuk memancingnya, yaitu bukan lain adalah tubuhnya sendiri.

Maka, dengan sikap biasa, setelah pura-pura menengok ke sana-sini untuk meyakinkan bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, Hwee Li lalu mulai menanggalkan pakaian dalamnya dengan berdiri membelakangi tempat di mana Bian Cu mengintai. Nampaklah tubuh belakangnya yang mulus. Melihat adegan strip-tease (tarian menanggalkan pakaian) yang terjadi di alam terbuka ini, Liong Bian Cu berkali-kali menelan ludahnya dan matanya tidak pernah berkedip satu kali pun, pandang matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan tubuh itu bulat-bulat dengan sinar matanya! Liong Bian Cu bukanlah seorang pemuda hijau. Tidak, dia adalah seorang pangeran dan di Nepal sudah biasalah bagi seorang pangeran untuk mengambil selir sebanyak mungkin. Dia sudah banyak bergaul dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi belum pernah dia jatuh cinta seperti yang dirasakannya sekarang terhadap Hwee Li. Kini melihat dara yang dicintanya itu, yang dirindukannya siang malam, melepas busana di depan matanya, tentu saja membuat dia menjadi seperti cacing terkena abu panas!

Lebih-lebih lagi ketika dengan gerakan tanpa disengaja Hwee Li mirngkan tubuhnya sehingga nampak dari samping sebagian dari bukit dadanya, darah Bian Cu tersirap dan seperti terkena pesona, terkena sihir yang amat kuat, dengan semangat seperti terbang meninggalkan tubuhnya, kedua kakinya melangkah ke dalam lorong dan matanya masih tanpa berkedip memandang ke arah tubuh itu. Dia seperti terbetot oleh kekuatan rahasia, kekuatan yang mengandung semberani, yang membuat kedua kakinya bergerak dan berjalan memasuki lorong menuju ke tempat Hwee Li.

Hwee Li yang memutar tubuh miring tadi melirik dan ketika melihat Bian Gu memasuki lorong, dia merasa betapa jantungnya berdebar keras sekali. Dia menanti sampai pangeran itu tiba tepat di bawah batu besar, kemudian tiba-tiba dia menarik tali yang dipegangnya sejak tadi, mengerahkan seluruh tenaganya.

“Braakkk.... bruuuuukkkkk....!” Suara ini disusul suara hiruk-pikuk ketika batu sebesar gajah itu menggelinding menuruni tebing, membawa batu-batu lainnya ikut pula runtuh dan longsor! Pohon kecil itu tadi digerakkan oleh tali dan jebol, tidak kuat lagi menahan batu besar dan karena sebelah bawah batu sudah digerowongi, maka tanpa dapat dicegah lagi batu itu menggelinding turun.

Liong Bian Cu terkejut bukan main, berteriak keras dan berusaha untuk menyingkir. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat meloncat ke kanan atau kiri yang merupakan tebing tinggi, maka jalan satu-satunya baginya hanya meloncat ke belakang. Namun, gerakannya kurang cepat dan biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari tindihan batu sebesar gajah itu, dia tidak dapat terhindar dari hantaman batu-batu kecil lainnya yang datang bagaikan hujan. Dia berteriak lagi, terpelanting dan tubuhnya ditimpa banyak batu yang menguruknya. Debu Mengebul tinggi dan suara hiruk-pikuk dari batu-batu yang runtuh itu terdengar sampai jauh.

Sementara itu, dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Hwee Li sudah cepat mengenakan kembali pakaiannya dan dia lalu berloncatan menghampiri tumpukan batu. Dia melihat sebelah kaki dan sebelah tangan Bian Cu tersembul dari tumpukan batu. Dia bergidik ngeri, mengira bahwa tentu pemuda ini telah tewas. Dan memang demikianlah perhitungannya. Kalau Bian Cu mati, dia tidak lagi terancam bahaya untuk dipaksa menjadi isterinya. Dan banyak kemungkinan dia akan selamat. Pertama, orang-orang tidak akan tahu bahwa kematian Bian Cu disebabkan oleh dia. Ke dua, kalau dia dapat membebaskan garuda, dia akan dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ke tiga, andaikata dia tidak dapat membebaskan garuda, dia akan dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ke tiga, andaikata dia tidak dapat nenbebaskan garuda, setelah pangeran itu mati, orang-orang di lembah itu tentu tidak membutuhkan lagi dia dan mungkin saja dia dibiarkan lolos dari situ. Semua kemungkinan itu tidak mungkin ada selama Liong Bian Cu masih hidup!

Cepat dia berusaha mencari kunci kurungan garuda yang menurut pemuda itu berada di sakunya. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan, “Apa yang terjadi? Minggir kau!” dan tubuh Hwee Li terdorong ke samping. Dara ini terkejut sekali melihat seorang kakek bermantel merah, telah berada di situ. Dorongan dari jarak jauh yang dilakukan oleh Ban-hwa Sengjin, kakek itu amat hebat sehingga Hwee Li terdorong mundur. Kini, dengan kecepatan dan tenaga yang luar biasa, kakek itu membongkar batu dan melempar-lemparkan batu yang menindih tubuh muridnya. Tubuh itu penuh dengan luka-luka dan berdarah.

Ban Hwa Sengjin memondong tubuh muridnya dan lari cepat sekali menuju ke gedung di tengah lembah. Hwee Li berdiri bingung. Kunci itu belum berhasil dia temukan. Akan tetapi, selagi semua orang sibuk mengurus Liong Bian Cu, sebaiknya dia berusaha untuk membebaskan garudanya. Maka berlarilah dia menuju ke taman di belakang gedung untuk rnenuju ke tempat di mana garuda itu dikurung, karena selama ini dia sudah menyelidiki dan tahu bahwa burung itu dikurung di sudut taman di belakang gedung.

Akan tetapi, baru saja dia muncul, bukan pengawal-pengawal yang menyambutnya dan yang sudah dia rencanakan untuk dirobohkan semua baru dia akan berusaha membebaskan burungnya. Yang berdiri di situ adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi! Hwee Li naklum bahwa terhadap dua orang kakek ini, percuma saja kalau dia melawan. Maka dengan suara dibuat gugup dia bertanya, “Bagaimana keadaan Pangeran....?”

Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang kakek itu tiba-tiba menerjangnya!”

Hwee Li terkejut dan berusaha untuk mengelak dan membela diri, namun diserang oleh dua orang sakti itu secara berbareng, tentu saja dia tidak mungkin dapat menyelamatkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat dia roboh terguling, Hek-tiauw Lo-mo mcngempit tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam gedung.

Dapat dibayangkan betapa kaget, kecewa, dan penasaran rasa hati Hwee Li ketika dia dibawa masuk ke dalam kamar besar mewah itu, dilempar ke atas kursi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia melihat Liong Bian Cu serang duduk di atas pembaringan dengan muka pucat dan masih nampak obat kuning di atas luka-luka di seluruh tubuhnya. Akan tetapi dia telah memakai baju hersih dan sinar matanya memandang lembut kepada Hwee Li sedangkan mulutnya tersenyum.

“Kau.... kau....?” Hwee Li menggagap, akan tetapi melihat senyum itu melebar dia melanjutkan, “Kau tidak apa-apa, Pangeran....?”

Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo membentaknya, “Anak durhaka! Engkau hampir saja membunuhnya dan untung Ban Hwa Sengjin masih sempat menyelamatkannya karena beliau kebetulan datang! Kalau tidak, dan Pangeran sampai meninggal dunia, tentu kau sudah kami bunuh sejak tadi!”

“Locianpwe, jangan bicara begitu....!” Tiba-tiba pangeran itu berkata, suaranya lemah menandakan bahwa peristiwa itu benar-benar amat berbahaya baginya dan membuatnya menderita, sungguhpun tidak sampai berbahaya bagi nyawanya. “Hwee Li tidak bersalah!”

“Muridku, Pangeran yang mulia. Saya sendiri melihat dia berada di sana ketika Paduka tertindih batu-batu itu, bagaimana Paduka dapat mengatakan dia tak bersalah?” Terdengar Ban Hwa Sengjin yang duduk di dalam kamar itu pula, menegur, mata kakek ini dengan tajamnya menatap wajah Hwee Li.

“Tidak, Suhu. Dia tidak bersalah dan aku perintahkan agar dia dibebaskan dari totokan. Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, bebaskan dia!”

Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menghampiri dara itu dan membebaskan totokannya. Hwee Li cepat menghampiri pangeran itu dan duduk di tepi pembaringan, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Dia maklum bahwa dengan satu gerakan saja dari pangeran itu, tiga orang kakek sakti itu tentu akan turun tangan membunuhnya.

“Pangeran, maafkan saya. Akan tetapi saya melihat tali mengikat pohon kecil itu. Tentu ada yang menarik tali itu merobohkannya sehingga batu besar itu menggelinding turun!” kata Hek-hwa Lo-kwi.

“Pangeran, harap Paduka tidak membahayakan diri sendiri dan melindungi orang yang berdosa,” Ban Hwa Sengjin juga memperingatkan.

Liong Bian Cu memandang wajah dara itu dan tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan menggoyang-goyangnya, akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.

“Jangan gerakkan lengan kiri Paduka dulu, baru saja sambungan tulang pundak saya benarkan,” kata Ban Hwa Sengjin.

“Sam-wi (Anda Bertiga) harap jangan salah sangka. Sungguh peristiwa itu terjadi karena kesalahan saya. sendiri. Tali itu adalah saya sendiri yang mengikatnya. Saya melihat tempat itu dapat menjadi perangkap yang baik, perangkap rahasia untuk melindungi diri kalau-kalau ada musuh berani datang. Hwee Li cerdik sekali, dia membantuku dan kami sedang mengatur perangkap itu. Akan tetapi, ketika aku mendaki di bawah tebing untuk mencarikan tempat rahasia untuk menaruh tali, dan berpegang pada pohon itu, pohon itu tidak kuat, jebol dan aku jatuh ke bawah, lalu batu-batu itu menimpa turun.”

“Ah, tapi....“ Ban Hwa Sengjin hendak membantah.

Liong Bian Cu mengangkat tangan kanan ke atas menyetopnya. “Sudahlah, Koksu, aku sudah bicara. Peristiwa itu hanya kecelakaan dan aku melarang siapapun untuk menggangu kekasihku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang itu. Sekarang, harap kauceritakan tentang perkembangan usaha kita.”

Kakek bermantel merah itu kembali menoleh ke arah Hwee Li, menarik napas panjang dan berkata, “Baiklah, Pangeran. Saya baru saja mengunjungi Gubernur Ho-nan dan dia sudah menyanggupi untuk melindungi tempat ini dan dia pun setuju kalau tempat ini dijadikan markas untuk sementara. Selain itu, sesuai dengan perintah Paduka, Gitananda sedang pergi menjemput tawanan itu untuk dipindahkan ke sini.”

“Bagus! Memang sebaiknya puteri itu berada di sini. Di sini dia lebih aman dan terjaga, selain itu, juga dia dapat menjadi teman tunanganku. Betapapun juga, dialah orangnya yang dapat mengajarkan kepada Hwee Li tentang tata susila kerajaan dan hal-hal lain yang patut diketahui oleh seorang calon puteri kerajaan.”

Hwee Li tidak turut bicarta sungguhpun semua percakapan tidak ada yang terlewat oleh perhatiannya. Dia masih merasa tegang dan terkejut, dan diam-diam dia merasa heran sekali mengapa pangeran ini menolongnya, padahal sudah jelas pangeran ini tentu tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan kecelakaan, melainkan usahanya untuk membunuh Liong Bian Cu.

Setelah percakapan itu selesai, Liong Bian Cu berkata, “Sekarang harap Samwi meninggalkan kamar ini. Aku lelah dan ingin beristirahat, biar Hwee Li menemaniku.”

Kembali tiga orang itu bangkit dan memandang dengan ragu-ragu. “Maaf, Pangeran. Apakah itu bijaksana?” tanya Ban Hwa Sengjin.

“Berbahaya sekali membiarkan dia di sini sendiri bersama Paduka!” kata Hek-tiauw Lo-mo sambil memandang ke arah dara itu dengan mata melotot. Agaknya dia masih marah sekali atas perbuatan “bekas anaknya” itu.

Akan tetapi pandang mata Liong Bian Cu menjadi keras. “Siapapun tidak boleh menilai calon isteriku! Pergilah kalian!” bentaknya.

Ban Hwa Sengjin dan dua orang kakek itu lalu menjura dan pergi. Biarpun Ban Hwa Sengjin itu seorang Koksu Nepal, seorang yang berkedudukan tinggi, dan juga guru dari Liong Bian Cu, akan tetapi betapapun juga, terhadap pemuda itu dia adalah seorang petugas terhadap atasannya, maka sikapnya selalu menghormat dan taat.

Setelah mereka pergi dan pintu kamar ditutupkan dari luar dengan hati-hati oleh seorang pelayan yang atas isyarat Pangeran Liong Bian Cu lalu ke luar lagi, mereka kini tinggal berdua saja di dalam kamar itu. Hwee Li lalu mundur dan duduk di atas bangku, agak jauh dari pembaringan di mana Liong Bian Cu duduk. Gadis itu mengangkat muka dan memandang Bian Cu. Pemuda ini kelihatan pucat, mukanya hampir penuh dengan warna-warna kuning, yaitu obat cair yang dipergunakan oleh Ban Hwa Sengjin untuk mengobati luka-lukanya. Agaknya obat itu manjur bukan main karena luka-luka itu kelihatan sudah mengering.

Liong Bian Cu juga memandang kepadanya, lalu mulutnya tersenyum dan dia mengejapkan sebelah matanya, seolah-olah memberi tanda kepada seorang sekutunya. Melihat sikap ini, Hwee Li merasa makin heran. “Pangeran, kenapa engkau menolongku?” tanyanya, tidak tahan dia melihat sikap itu. Kalau pangeran itu marah-marah tentu dia akan menerimanya dengan tenang saja, akan tetapi melihat pangeran itu bersikap demikian baik terhadap perbuatannya yang hampir saja mengakibatkan pangeran ini tewas, benar-benar sukar untuk dapat diterimanya.

“Kenapa? Tentu saja karena aku cinta padamu, Hwee Li! Dan kenapa engkau bermaksud membunuhku?”

“Perlukah kujawab itu?”

“Tentu saja. Karena aku merasa penasaran kalau tidak mendengar sebabnya.”

“Karena aku membencimu, Pangeran.”

“Ahhh! Engkau membenciku karena aku mencintamu?”

Hwee Li menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku belum segila itu. Akan tetapi aku benci kepadamu karena engkau memaksa aku untuk menjadi isterimu, karena engkau mengurung aku di sini, karena biarpun engkau bersikap ramah dan baik, akan tetapi pada hakekatnya engkau melakukan penekanan dan paksaan kepadaku.”

“Hemmm, semua itu kulakukan demi cintaku kepadamu, Hwee Li. Tahukah engkau bahwa sebagai seorang pangeran, belum pernah ada wanita yang bagaimanapun menolak cintaku? Dan engkau, tidak saja menolak, bahkan beberapa kali engkau nyaris membunuhku!”

“Dan aku akan masih terus berusaha membunuhmu!” kata Hwee Li terus terang.

“Ha-ha-ha, sikapmu inilah yang membuat aku makin tergila-gila dan makin cinta kepadamu, sayang. Kalau engkau menangis merengek-rengek minta ampun, atau engkau merayuku, agaknya cintaku akan menipis. Akan tetapi tidak, engkau melawan, engkau menggunakan kecerdikan, engkau tabah, berani, cerdik dan gagah. Itulah sebabnya maka aku mau mengorbankan apa saja demi untuk mendapatkan cintamu.”

“Aku tidak akan mencintamu, Pangeran.”

“Ha-ha-ha, kita sama lihat saja nanti. Dengan cintaku yang murni, dengan kebaikan-kebaikan yang kulimpahkan, pada suatu hari aku mengharapkan akan dapat mencairkan kekerasan hatimu, dewiku, dan aku akan mengecap kenikmatan dan kebahagiaan itu sebagai hasil jerih payahku selama ini.”

“Aku akan berusaha untuk minggat!”

Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, Hwee Li. Dan bukankah engkau senang tinggal di sini? Bukankah semua orang mentaati perintahmu dan segala keinginanmu dapat terpenuhi? Bukan itu saja, engkau bahkan akan memperoleh seorang kawan yang tentu akan menyenangkan hatimu, seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal. Dia akan diantar oleh Gitananda ke sini.”

“Siapakah dia?”

“Dia adalah Puteri Syanti Dewi, Puteri Bhutan.”

Diam-diam Hwee Li menjadi terkejut sekali mendengar nama ini. Biarpun dia sendiri tidak pernah mengenal puteri itu, namun nama puteri itu sudah kerap kali didengarnya. Gurunya, Nyonya Kao Kok Cu yang dulu bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng itu, sering kali menceritakan tentang Puteri Syanti Dewi ini yang menjadi kakak angkat gurunya. Akan tetapi di depan Pangeran Nepal itu, dia bersikap tenang saja.

“Apakah dia itu tamumu?” tanyanya.

“Bukan, dia adalah tawanan kami. Dia secara kebetulan dapat tertawan oleh Gitananda, selama ini disembunyikan karena banyak orang pandai mencarinya, dan kini atas perintahku, puteri itu di bawa ke sini untuk menemanimu.”

“Dia kau tawan pula? Pangeran, memang tepatlah kalau dia yang menjadi jodohmu. Engkau pangeran dan dia puteri. Pula, bukankah Nepal dan Bhutan itu bertetangga?”

“Ha-ha-ha, mana mungkin begitu? Aku cinta padamu, Hwee Li. Dan dari kenyataan bahwa Puteri Bhutan itu ku tawan, jelas membuktikan bahwa Bhutan dan Nepal bukanlah sahabat. Mungkin saja kelak dia akan menjadi selirku, tapi ah, sementara ini, aku tidak ingin memandang atau membicarakan wanita lain kecuali dirimu, sayang.”

Semenjak peristiwa itu, biarpun sikap pangeran itu masih biasa, masih ramah kepadanya, namun Hwee Li maklum bahwa penjagaan terhadap dirinya makin diperkuat. Dia selalu dibayangi, kalau tidak oleh Hek-tiauw Lo-mo tentu oleh Hek-hwa Lo-kwi atau para pembantu lain. Dia merasa penasaran dan kebenciannya terhadap Liong Bian Cu tidak berkurang. Biarpun dia telah mencela dirinya sendiri sebagai orang kurang mengenal budi, mengakui sendiri bahwa pangeran itu benar-benar cinta kepadanya, tidak sakit hati biarpun nyaris tewas oleh perbuatannya, namun tetap saja dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan cinta kepada pangeran itu. Bahkan dia merasa makin gemas karena dia menuduh pangeran itu sengaja hendak “melepas budi” agar dia merasa berhutang budi kepadanya. Dan memang dia merasa canggung sekali, sukar baginya kini untuk memperlihatkan sikap kasar terhadap pangeran yang selalu baik kepadanya itu. Dan ini berbahaya, dia tahu akan hal itu. Merasa betapa kebenciannya makin mengendur, Hwee Li menjadi takut dan dia memperkuat pula perasaan benci itu sambil mengingat satu hal pokok, yaitu bahwa kemerdekaannya dihalangi oleh Liong Bian Cu.

Pada keesokan harinya, benar saja Gitananda muncul bersama Syanti Dewi. Seperti telah kita ketahui, Gitananda berhasil menculik Syanti Dewi ketika terjadi perebutan antara Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su karena salah duga sehingga Syanti Dewi tidak terlindung dan mudah diculik dan dilarikan oleh Gitananda. Karena maklum bahwa banyak orang pandai yang akan mengejarnya untuk merampas kembali Syanti Dewi, maka Gitananda lalu menyembunyikan puteri itu di suatu tempat dalam hutan besar, menyuruh anak buahnya menjaga dengan ketat dan dia hanya melaporkan saja kepada koksu, yaitu atasannya. Kemudian koksu menceritakan hal itu kepada muridnya, yaitu Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya Liong Bian Cu memerintahkan agar puteri itu dipindahkan saja ke lembah Sungai Huang-ho itu, selain untuk dapat menjaganya lebih kuat, juga puteri itu dapat menemani tunangannya.

Setelah Syanti Dewi yang kelihatan kurus dan agak pucat itu disambut oleh Liong Bian Cu dengan sikap hormat dan disuruh antar ke kamarnya, Liong Bian Cu lalu mengajak gurunya berunding. Sementara itu, Hwee Li yang sepintas lalu melihat puteri itu, diam-diam merasa kagum sekali. Benar cerita gurunya. Puteri Syanti Dewi amat cantik jelita, sikapnya agung dan tenang. Menurut penuturan gurunya, puteri itu tentu sudah berusia dua puluh tiga tahun lebih, akan tetapi kelihatan seperti dara remaja belasan tahun saja. Hanya sikapnya, pandang matanya dan gerak-geriknya yang lemah lembut membayangkan bahwa puteri itu adalah seorang wanita yang sudah matang, tenang, dan memiliki kepribadian yang amat kuat.

Hwee Li lalu mengunjungi kamar itu. Para penjaga yang berdiri di luar kamar dengan senjata di tangan, cepat memberi hormat dan tidak ada seorang pun berani menghalangi Hwee Li memasuki kamar itu. Hwee Li dianggap sebagai tunangan pangeran dan tidak ada seorang pun yang berani menentangnya, sungguhpun tidak akan ada pula yang berani membantunya andaikata Hwee Li minta mereka membantu dia lolos dari tempat itu. Mereka tahu bahwa sekali saja nona ini mengadu kepada pangeran, tentu pangeran tidak akan segan-segan untuk menghukum orang yang diadukan, atau mungkin membunuhnya seketika!

Hwee Li memasuki kamar dan melihat puteri itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan sikap termenung. Ada dua orang pelayan wanita duduk bersimpuh di atas lantai. Melihat Hwee Li, dua orang pelayan itu cepat memberi hormat.

“Keluarlah kalian berdua dan jangan masuk kalau tidak kami panggil!” kata Hwee Li dengan sikap keren dan dua orang pelayan itu menghormat lalu keluar dari dalam kamar. Mereka bersama para penjaga berkelompok di luar pintu, bingung dan khawatir. Mereka diperintahkan untuk menjaga sang puteri, akan tetapi mereka disuruh keluar oleh tunangan pangeran dan mereka tidak berani membantah karena sudah berkali-kali ditekankan oleh pangeran dan para pembantunya, bahwa tunangan pangeran itu harus ditaati dan jangan sampai marah. Pula, mereka semua tahu bahwa tunangan pangeran itu adalah seorang dara yang memiliki tangan baja, memiliki kepandaian tinggi dan sekali pukul saja dapat menghancurkan kepala mereka!

“Bibi Syanti Dewi....!” Hwee Li melangkah maju dan menjura ke arah wanita yang masih rebah dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik itu.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Dia tidak pernah diganggu selama diculik oleh Gitananda, dan dia tahu bahwa Gitananda adalah kaki tangan Kerajaan Nepal, bahwa dia terjatuh ke tangan musuh negaranya. Maka, biarpun dia merasa berduka karena putus harapannya bertemu dengan kekasihnya, Ang Tek Hoat, namun dia tahu bahwa dia aman berada di tangan orang-orang Nepal ini. Hanya karena terlalu berduka memikirkan Tek Hoat, maka dia tidak suka makan, kurang tidur sehingga badannya lemah dan mukanya pucat. Kini, setelah disambut oleh Pangeran Liong Bian Cu yang dia dengar adalah cucu Raja Nepal, dia tahu bahwa dia akan dijadikan sandera. Maka tentu saja dia terkejut dan terheran-heran melihat munculnya seorang dara remaja yang cantik dan yang menyebutnya bibi ini. Melihat sikap dara cantik ini terhadap para pelayan, dan melihat betapa para pelayan mentaati perintahnya, dia maklum bahwa dara ini tentu orang penting yang besar kekuasaannya di tempat itu. Ditatapnya wajah Hwee Li dengan tajam dan penuh selidik.

“Engkau siapakah, Nona?” tanyanya sambil bangkit duduk.

“Namaku Hwee Li,” jawab Hwee Li sambil tersenyum dan duduk di atas pembaringan di dekat Puteri Bhutan itu. “Engkau tentu tidak mengenalku dan merasa heran mengapa aku menyebutmu bibi. Ketahuilah, Bibi Syanti Dewi, bahwa guruku adalah adik angkatmu yang bernama Lu Ceng atau Candra Dewi.” Dari subonya, dara ini memang sudah mendengar banyak tentang riwayat subonya bersama Syanti Dewi. Candra Dewi adalah nama yang diberikan oleh Puteri Bhutan ini kepada Ceng Ceng yang menjadi adik angkatnya (baca Kisah Sepasang Rajawali).

Mendengar disebutnya nama Ceng Ceng, Syanti Dewi terkejut dan gembira bukan main. Wajahnya berseri dan dia meloncat turun dan berdiri di depan Hwee Li, langsung saja memegang lengan dara itu dan bertanya, “Di mana dia? Di mana Candra Dewi? Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?”

Hwee Li merasa kasihan melihat kegembiraan dan sinar mata penuh harapan dari puteri itu. Dia menarik napas panjang dan menjawab lirih, “Aku tidak tahu di mana adanya Subo sekarang ini, Bibi. Dan aku sendiri pun menjadi seorang tawanan di sini.”

“Ahhhhh....!” Syanti Dewi masih memegang tangan Hwee Li, akan tetapi dia kini duduk kembali di samping dara itu, memandang dengan sinar mata khawatir. Seketika dia sudah melupakan keadaan dirinya sendiri karena semua perhatiannya tercurah kepada dara murid adik angkatnya itu, mengkhawatirkan keadaan Hwee Li yang menjadi tawanan. Demikianlah memang watak Puteri Bhutan ini, mudah melupakan penderitaan sendiri akan tetapi selalu peka terhadap penderitaan orang lain.

Hwee Li lalu menceritakan keadaannya dan bagaimana dia bisa menjadi seorang tawanan di tempat itu, sungguhpun dia, kelihatan sebagai seorang tamu agung yang dihormati dan ditaati oleh para pengawal dan pelayan. Ketika Syanti Dewi mendengar bahwa dara remaja yang cantik jelita ini akan dijadikan isteri oleh Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga kagum. Tentu ada puluhan, bahkan ratusan ribu gadis yang ingin menjadi isteri Pangeran Nepal itu, yang akan menyambut pinangan pangeran itu dengan penuh kebanggaan dan kegirangan hati. Akan tetapi, dara remaja murid Ceng Ceng ini kelihatan sama sekali tidak gembira!

“Aku benci dia, Bibi! Aku ingin membunuhnya dan nyaris aku berhasil, akan tetapi dia memang lihai sekali, apalagi dia dibantu oleh Hek-hwa Lo-kwi yang sakti, belum lagi gurunya yang amat lihai, Ban Hwa Sengjin yang mempunyai banyak pembantu. Bahkan ayahku sendiri kini juga menjadi pembantunya.”

“Ayahmu?” Syanti Dewi bertanya heran. Bagaimana ayah seorang dara yang tidak suka dipaksa menjadi jodoh pangeran itu malah menjadi pembantu pangeran itu?

“Ya, ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo....!”

“Ahhh....!” Bukan main kagetnya hati Syanti Dewi mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah mendengar dan mengenal baik nama ini, raksasa jahat yang banyak mengambil peranan dalam keributan pemberontakan dua orang Pangeran Liong dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Dara cantik jelita ini, yang menjadi murid Ceng Ceng, adalah puteri dari majikan Pulau Neraka itu? Sungguh mengherankan dan mengejutkan sekali. Dan mendengar bahwa dara ini adalah puteri iblis itu, otomatis Syanti Dewi melepaskan pegangan tangannya dan duduk agak menjauh.

Gerakan Syanti Dewi ini tidak terlepas dari pandang mata Hwee Li. Dara itu menarik napas panjang, lalu cepat berkata, “Harap Bibi jangan kaget. Hek-tiauw Lo-mo memang kini menjadi pembantu utama dari Pangeran Nepal itu, dan Hek-tiauw Lo-mo juga memaksaku untuk menjadi isteri Pangeran Liong. Justeru itulah yang dikejarnya. Agar aku menjadi isteri Liong Bian Cu dan dia dapat membonceng kedudukanku dan menjadi seorang yang mulia dan terhormat. Akan tetapi, aku tidak sudi....“

Syanti Dewi mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu, lalu kembali mendekat dan memegang tangan Hwee Li. Makin besar rasa iba di dalam hatinya terhadap dara yang malang ini. Betapa banyaknya dara di dunia ini yang dipaksa oleh ayah mereka dalam urusan perjodohan! Bukan hanya Hwee Li ini, juga dia sendiri malah! Bukankah dia sudah memilih Tek Hoat sebagai calon jodohnya, akan tetapi juga kini gagal karena ayahnya yang tidak menyetujui pemuda pilihannya itu menjadi mantu? Betapa banyaknya gadis dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, harus tunduk kepada ayah mereka dalam urusan memilih jodoh! Dan betapa banyaknya hati yang hancur karena paksaan harus menikah dengan orang lain. Dalam hal perjodohan, biarpun berlainan sifatnya, dia merasa senasib dengan Hwee Li, maka timbuliah rasa sayang dalam hatinya terhadap murid adik angkatnya ini.

“Hwee Li, sungguh engkau patut dikasihani! Aku merasa heran sekali mengapa ayahmu sampai hati memaksamu? Padahal, aku tahu bahwa ayahmu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh besar yang amat terkenal dan berilmu tinggi....“

“Akan tetapi dia jahat, Bibi. Jahat sekali dan aku benci padanya! Aku pun ingin membunuhnya kalau bisa!” Hwee Li mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Hwee Li,” katanya dengan suara keren. “Engkau adalah murid adikku Candra Dewi, oleh karena itu engkau patut mendengarkan kata-kataku pula. Engkau telah menyeleweng dari kebenaran! Mana boleh seorang anak membenci ayahnya sendiri, bahkan hendak membunuhnya?”

“Dia bukan ayahku! Dia bukan ayah kandungku! Dia malah musuh besarku!” Hwee Li berseru dan sepasang mata itu menjadi merah.

“Eh, bagaimana pula ini, Hwee Li?” Syanti Dewi bertanya dan tiba-tiba Hwee Li menangis tersedu-sedu.

Syanti Dewi terkejut. Dia cepat memeluk dara itu dan Hwee Li menangis di atas dada puteri itu. Hwee Li adalah seorang dara yang berhati keras seperti baja. Penderitaan batin yang dideritanya selama ini, apalagi ketika mendengar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, dan betapa soluruh keluarganya, yaitu keluarga Kim, telah binasa, membuat batinnya tertekan oleh duka yang amat besar. Namun, di depan orang-orang yang dibencinya di lembah itu, dia menggunakan kekuatan batinnya, menggunakan kekerasan hatinya, untuk menahan tekanan batin itu. Kini, berhadapan dengan Syanti Dewi yang lemah lembut, yang bersikap begitu baik dan penuh perasaan kepadanya, apalagi mengingat bahwa puteri ini adalah bibi gurunya, Hwee Li merasa seolah-olah menemukan tempat penumpahan segala derita batinnya dan setelah kini bendungan itu dibuka, menangislah dia, sewajarnya tangis yang amat memilukan hati sehingga Syanti Dewi yang lembut hati itu pun tidak dapat pula menahan air matanya dan dia mengusap-usap rambut kepala Hwee Li penuh rasa sayang dan iba. Dia membiarkan dara remaja itu menangis sepuasnya. Syanti Dewi sendiri bukan seorang wanita tua, sama sekali bukan. Usianya baru dua puluh dua tahun, akan tetapi pengalaman dan penderitaan hidup telah menggemblengnya sehingga kini menghadapi Hwee Li yang baru berusia tujuh belas tahun ini, dia merasa seolah-olah menjadi bibi atau ibu dara remaja ini.

Setelah tangisnya mereda dan hatinya terasa ringan sekali setelah dia menangis sepuasnya, Hwee Li lalu menceritakan apa yang didengarnya tentang Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata bukan ayahnya, bukan apa-apanya itu, dan tentang keluarganya yang terbasmi karena dianggap sebagai keluarga pemberontak.

Syanti Dewi mengangguk-angguk. “Aku telah mendengar tentang keluargamu itu. Aku mendengar bahwa ayah kandungmu yang sesungguhnya, Panglima Kim Bouw Sin itu, memang telah memberontak terhadap kerajaan. Betapapun juga, sikapnya itu tentu ada alasannya, dan biarpun oleh kerajaan dia dianggap berdosa, namun sebagai manusia dia tidaklah sejahat seperti halnya Hek-tiauw Lo-mo yang terkenal sebagai seorang manusia iblis itu. Tadi aku sudah merasa heran bagaimana seorang dara seperti engkau, murid adik angkatku, dapat menjadi puteri iblis Hek-tiauw Lo-mo. Kiranya engkau bukan puterinya! Hwee Li, engkau memiliki kepandaian, engkau harus berusaha untuk meloloskan diri dari tempat berbahaya ini!.”

“Ah, tidak mudah, Bibi.” Hwee Li lalu menceritakan keadaan lembah itu dan betapa semua daya upayanya gagal. “Malah Liong Bian Cu sudah bersiap-siap, pernikahan akan diadakan beberapa pekan lagi. Aku khawatir, Bibi, apalagi melihat Bibi ditawan pula. Aku harus dapat menolong Bibi dari tempat ini!”

“Tidak perlu engkau mengkhawatirkan diriku, Hwee Li. Pangeran Liong Bian Cu, sebagai cucu Raja Nepal, adalah musuh dari negaraku. Dia menawanku tentu dengan maksud menjadikan aku sebagai sandera untuk memukul negaraku. Akan tetapi, engkau, engkau menghadapi bahaya langsung yang sudah makin dekat saatnya, maka kau harus dapat lolos dari sini.”

Demikianlah, dua orang wanita itu kini menjadi akrab sekali dan bercakap-cakap mencari jalan untuk dapat lolos dari tempat itu. Akan tetapi, mereka akhirnya maklum bahwa jalan untuk lolos sama sekali buntu. Agaknya, tanpa ada bantuan dari luar, tidak mungkin bagi mereka untuk meloloskan diri. Akan tetapi Hwee Li tidak putus harapan. Dia masih mempunyai harapan untuk lolos, yaitu pada saat pernikahan di mana dia percaya tentu banyak hadir tokoh kangouw yang lihai. Siapa tahu, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang mau membantunya, dan dia percaya pula bahwa orang-orang seperti suhunya dan subonya, seperti Suma Kian Bu si Siluman Kecil, Suma Kian Lee, dan orang-orang gagah lainnya tidak akan tinggal diam kalau mendengar bahwa dia dipaksa menikah dengan Pangeran Liong Bian Cu!

***

Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi dan Hwee Li, dua orang wanita muda yang tertawan di dalam lembah dan sama sekali tidak berdaya untuk meloloskan diri itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, yang bersama-sama dengan Ceng Ceng pergi menuju ke kota Pao-ting. Seperti yang diceritakan oleh Ceng Ceng kepada ayah mertuanya, dia sudah berjanji untuk bertemu di Pao-ting bersama suaminya setelah dia dan suaminya berpisah dan melakukan penyelidikan untuk mencari putera mereka secara berpencar.

Mereka tiba di kota Pao-ting pada waktu senja. Menurut perjanjian antara suami isteri itu, pertemuan di antara mereka di kota ini akan dilakukan esok hari. Karena itu, Ceng Ceng lalu mengajak ayah, mertua dan adik-adik iparnya untuk mencari rumah penginapan. Akan tetapi, tiba-tiba seorang anak kecil, anak laki-laki yang usianya kurang lebih dua belas tahun, seorang anak yang berpakaian pengemis, menghampiri mereka yang sedang berjalan perlahan di atas jalan raya itu dan berbisik kepada Ceng Ceng. Ceng Ceng dan rombongannya mengira bahwa anak itu tentu hendak mengemis, akan tetapi betapa kaget hati Ceng Ceng ketika mendengar anak itu berbisik, “Apakah Toanio mengenal Topeng Setan?”

Tentu saja Ceng Ceng kaget karena Topeng Setan adalah nama julukan suaminya dahulu ketika suaminya belum menikah dengan dia dan suka menggunakan topeng buruk menutupi wajahnya yang tampan (baca Kisah Sepasang Rajawali). “Anak baik, kau membawa berita apa dari Topeng Setan?” tanyanya, berbisik dan membungkuk.

“Saya disuruh menyerahkan surat ini,” jawab anak itu, mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya yang butut.

“Ah, terima kasih!” Ceng Ceng berseru, menerima surat itu dan mengeluarkan beberapa potong uang kecil. “Ini hadiah untukmu”

“Tidak, Toanio. Saya sudah menerima hadiah cukup dari pengirim surat ini.”

Setelah berkata demikian, bocah itu lari meninggalkan Ceng Ceng dan rombongannya. Ceng Ceng lalu menoleh kepada ayah mertuanya dan berkata, “Ayah, lihatlah, seorang anak jembel pun mempunyai kejujuran.”

Jenderal Kao Liang mengangguk dan menarik napas panjang. “Justeru kejujuran biasanya ditemukan pada orang-orang bodoh dan miskin, sebaliknya orang-orang yang mengaku dirinya terpelajar dan pandai, agaknya tidak mengenal lagi kejujuran yang mereka anggap semacam kebodohan.”

Ceng Ceng membuka sampul surat dari suaminya itu dan melihat tulisan suaminya di atas kertas, tulisan yang amat dikenalnya.



“Isteriku, harap ajak ayah dan adik-adik ke kuil kosong di sudut barat kota.”



Ceng Ceng memperlihatkan surat itu kepada ayah mertuanya. Hati bekas jenderal ini girang bukan main dan diam-diam dia kagum kepada putera sulungnya itu yang ternyata telah dapat mengetahui bahwa dia dan dua orang puteranya datang bersama mantunya. Dia membenarkan sikap putera sulungnya yang berhati-hati dan tidak menghendaki pertemuan di tempat terbuka.

“Mari kita pergi ke sana,” katanya kepada Ceng Ceng dan mereka berempat lalu menuju ke barat. Malam telah tiba dan mereka menghampiri kuil yang tua, kosong dan gelap itu.

“Ayah....!” Kao Kok Cu menyambut kedatangan ayahnya dengan memberi hormat sambil berlutut di atas lantai ruangan kuil itu. Ruangan itu luas dan sebagian dindingnya sudah runtuh, atapnya juga sebagian banyak terbuka. Di atas meja butut terdapat dua batang lilin yang dinyalakan oleh pendekar itu dan lantainya dibersihkan.

Bekas jenderal itu mengangkat bangun putera sulungnya dan memandang dengan penuh perhatian dan penuh selidik. Kao Kok Cu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Tubuhnya tinggi dan padat, dan kelihatan agak kurus. Wajahnya yang tampan itu kelihatan agak muram. Lengan kirinya yang buntung tertutup lengan baju yang tergantung lepas. Inilah dia Naga Sakti dari Gurun Pasir, pendekar sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi yang kini bersama isterinya merana dan berduka, mencari putera mereka yang hilang.

“Saya melihat Ceng Ceng muncul bersama Ayah dan adik-adik, maka saya menyuruh anak pengemis mengirim surat,” katanya setelah bangkit berdiri, memandang ayahnya yang kelihatan demikian muram dan berduka, bahkan sepasang mata kakek itu basah. Melihat ini, Kao Kok Cu bertanya khawatir, “Ada apakah Ayah? Apa yang terjadi?”

“Twako....!” Dua orang adiknya berseru dan kini dua orang muda itu menangis sambil merangkul kakak mereka.

“Eh, eh, Adik Tiong dan Han! Ada apakah?” Kok Cu bertanya, makin kaget dan khawatir. “Mari kita duduk di lantai dan bicara!”

Mereka berlima duduk di atas lantai membentuk lingkaran dan berceritalah Jenderal Kao Liang tentang semua peristiwa yang terjadi, tentang malapetaka yang menimpa keluarganya. Semua dia ceritakan dengan jelas, melewati hal-hal yang dianggapnya kurang penting. Sebagai penutup, dia menghela napas panjang dan berkata, suaranya gemetar, “Kami bertiga masih bingung dan tertekan oleh peristiwa hebat itu dan engkau dapat membayangkan betapa gelisah hatiku. Akan tetapi, kemudian kami bertemu dengan isterimu dan mendengar bahwa cucuku juga hilang! Aihhh, Kok Cu, apa yang dapat kita lakukan sekarang?” Ayah itu mengusap ke arah bawah matanya untuk menghapus dua tetes air matanya.

Si Naga Sakti dari Gurun Pasir tidak menjawab, tangan kanannya dikepal, sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api, seperti mata naga ketika tertimpa sinar dua batang lilin yang lemah. Mendengar betapa ibunya, iparnya, bibinya, keponakan-keponakannya diculik orang, betapa keluarga ayahnya, tertimpa malapetaka yang hebat itu, dia menjadi marah bukan main. Anaknya sendiri lenyap dan kini ibunya dan semua keluarganya diculik orang.

Melihat keadaan pendekar itu, ayahnya dan dua orang adiknya memandang dengan kaget dan gentar juga. Memang hebat sekali melihat sepasang mata yang mencorong itu. Menakutkan! Mereka hanya menanti ketika melihat Kok Cu diam saja, wajahnya seperti topeng, keras dan kaku, hanya matanya yang mencorong itulah yang hidup, bergerak seperti mata naga mencari mustikanya. Melihat ini, mengertilah Ceng Ceng bahwa suaminya menderita himpitan batin yang hebat dan betapa suaminya sedang mengerahkan sinkang untuk menghadapi penderitaan itu. Tahulah dia betapa suaminya marah dan andaikata orang-orang yang menyebabkan malapetaka itu berada di situ, berapapun banyaknya, betapapun kuatnya, tentu akan mengalami saat kiamat di tangan suaminya!

“Suamiku, kemarahan adalah sia-sia, hanya melemahkan batin dan mengeruhkan plkiran,” katanya dengan suara halus, tangannya meraba lengan suaminya. Kata-kata itu adalah kata-kata suaminya sendiri yang sekarang dia pergunakan untuk membantu suaminya sadar akan keadaan dirinya.

Perlahan-lahan wajah yang kaku itu bergerak dan hidup kembali. Kok Cu menghela napas panjang dan matanya, biarpun masih mencorong, namun tidak liar seperti tadi ketika dia menoleh dan memandang isterinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi jari-jari tangannya memegang tangan isterinya, tergetar dan Ceng Ceng dapat menerima rasa syukur dan terima kasih yang terpancar melalui getaran jari-jari tangan dan pandang mata suaminya itu. Dia merasa terharu dan dua titik air mata membasahi kedua matanya. Dia menunduk dan dua titik air mata itu menetes turun.

“Ayah, tidak mungkin semua peristiwa ini terjadi secara kebetulan saja. Ayah dipecat tanpa kesalahan, kemudian perjalanan Ayah ke kampung diganggu, keluarga kita diculik dan harta yang dikumpulkan secara jujur, hasil pengabdian Ayah selama puluhan tahun, dicuri dan bukan itu saja, juga cucu Ayah diculik orang. Aku dan Ceng Ceng sudah melakukan penyelidikan, mencari-cari Cin Liong, dan kami sependapat bahwa Cin Liong bukan pergi dan tersesat begitu saja, melainkan tentu ada yang membawanya pergi. Semua ini kurasa ada hubungannya, saling kait-mengait. Bukankan menurut cerita Ayah tadi, di antara para penghadang yang kemudian saling bertempur sendiri, di antara mayat mereka terdapat pengawal-pengawal istana?”

Bekas jenderal itu mengangguk. “Aku sendiri memang sudah menduga demikian, Kok Cu. Akan tetapi, sungguh aneh sekali kalau begitu. Apa perlunya kaisar melakukan semua kekejian itu terhadap kita? Dan siapa yang melaksanakannya? Tadinya kami mengira keluarga Suma, akan tetapi ternyata bukan.”

“Memang bukan. Aku sudah berjumpa dengan kedua orang Paman Suma, dan mereka itu sama sekali tidak tahu, bahkan mereka berjanji akan membantu kita untuk menyelidiki,” kata Ceng Ceng yang percaya sepenuhnya kepada dua orang pamannya dari Pulau Es itu.

“Aku sendiri tidak akan percaya kalau keluarga Pulau Es mencampuri urusan yang keji ini, akan tetapi kita tidak bisa mengandalkan ocang lain. Kita harus menyelidiki sendiri. Karena awal peristiwa ini dimulai dengan pemecatan Ayah di kota raja, maka kurasa semua rahasia ini bisa didapatkan di kota raja. Aku bersama isteriku akan melakukan penyelidikan ke kota raja, Ayah. Sekali kita mengetahui rahasianya, kiranya tidak akan sukar mencari di mana mereka itu menyembunyikan keluarga kita dan anakku“

“Akan tetapi.... ahhh, bagaimana kalau sampai terlambat? Kalau sampai anakku Cin Liong....?” Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi pucat.

“Tidak mungkin!” Tiba-tiba Kok Cu berseru nyaring sekali, mengejutkan Jenderal Kao dan dua orang puteranya. “Kalau terjadi apa-apa dengan anakku dan keluarga kita, mereka semua, siapapun adanya mereka itu, bahkan kaisar sendiri sekalipun, tidak akan dapat terlepas dari tanganku!” Hebat bukan main ancaman ini dan hati Jenderal Kao Liang yang semenjak nenek moyangnya amat setia kepada kaisar, seperti tertusuk. Akan tetapi ayah yang bijaksana ini tidak berkata sesuatu, karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dilanda oleh kegelisahan dan kemarahan, tidak baik kalau menentang putera sulungnya.

“Baiklah, Kok Cu. Engkau pergilah bersama isterimu menyelidiki ke kota raja. Engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin bagi ayahmu untuk kembali ke sana, setelah ayahmu dipecat. Kami bertiga akan melakukan penyelidikan dengan cermat sekali lagi di tempat peristiwa kehilangan itu terjadi. Siapa tahu kami akan bisa menemukan jejak.”

Malam itu mereka tidak tidur, tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan bercakap-cakap saling menceritakan perjalanan mereka lebih jauh. Pertemuan yang amat mengharukan dari keluarga seorang jenderal yang pernah menjadi panglima besar, yang kini mengadakan pertemuan di kuil kosong, sunyi dan kotor. Biarpun keadaannya demikian, agaknya pertemuan itu tentu akan berlangsung penuh kegembiraan kalau saja tidak terjadi peristiwa-peristiwa hebat yang menimpa keluarga mereka. Kini, pertemuan itu menjadi pertemuan yang amat mengharukan dan menyedihkan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Kok Cu dan Ceng Ceng sudah berlutut di depan kaki Jenderal Kao Liang dan bermohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja di mana mereka akan menyelidiki rahasia malapetaka yang menimpa keluarga mereka. Jenderal Kao Liang mengelus kepala mereka seperti memberi berkah, kemudian Kok Cu merangkul kedua orang adiknya. Pergilah suami isteri pendekar ini meninggalkan kuil tua dalam cuaca yang masih gelap.

Jenderal Kao Liang sendiri bersama putera-puteranya lalu meninggalkan kota Pao-ting, menuju ke daerah lembah Huang-ho di mana keluarga mereka lenyap dan mereka pun hendak melakukan penyelidikan yang lebih cermat setelah kini mereka tahu bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka itu.

Pada suatu siang, tibalah mereka di tempat itu, di mana dahulu mereka meninggalkan keluarga mereka yang kemudian lenyap. Mereka berhenti di celah tebing di mana rombongan mereka diserang dan banyak yang mati keracunan oleh balok-balok yang menghadang jalan. Mereka termenung berdiri di situ. Peristiwa yang telah lalu itu seperti baru terjadi dan masih terbayang di mata mereka.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Mereka cepat menoleh dan dari belakang mereka datang sepasukan orang berkuda yang jumlahnya ada dua puluh orang lebih.

“Hati-hati, dan jangan sembarangan turun tangan,” bisik Jenderal Kao Liang kepada dua orang puteranya. Mereka berdiri di tepi jalan dan memandang pasukan yang datang makin dekat itu. Mereka mengira bahwa rombongan yang ternyata bukan pasukan kerajaan, melainkan pasukan yang memakai pakaian aneh, bukan seperti tentara namun memakai seragam berwarna biru gelap, akan lewat. Akan tetapi, ternyata mereka itu menghentikan kuda mereka ketika tiba di situ dan kini mereka melihat sulaman gambar naga di dada baju orang-orang itu! Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus, melompat turun dari atas kudanya dan berdiri di depan Jenderal Kao Liang sambil tersenyum lebar.

Ayah dan anak ini terkejut ketika mengenal orang ini. Inilah orang yang berjuluk Hoa-gu-ji (Kerbau Belang), seorang tokoh dari Kwi-liong-pang dan tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang Kwi-liong-pang, satu di antara gerombolan-gerombolan yang memperebutkan harta benda mereka! Jenderal Kao Liang maklum bahwa orang ini lihai, akan tetapi dia bersikap tenang, walaupun dia dan dua orang puteranya sudah siap untuk menghadapi perkelahian.

Akan tetapi, setelah tertawa, Hoa-gu-ji sama sekali tidak menyerang atau memberi isyarat untuk menyerang. Sebaliknya malah, dia memberi hormat dan menjura kepada Jenderal Kao Liang sambil berkata, “Kao-goanswe, maafkan kalau kami mengganggu. Kami sengaja menemui Kao-goanswe untuk menyerahkan bungkusan ini, harap kau suka menerima dan memeriksa isinya.”

Hoa-gu-jii mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berwarna kuning dan biarpun meragu, Jenderal Kao Liang menerimanya juga. “Siapa yang menyuruhmu?” tanyanya.

“Bukalah, dan engkau akan mengetahuinya sendiri, Kao-goanswe,” jawab Hoa-gu-ji.

Jenderal Kao Liang membuka bungkusan itu, dengan hati-hati karena dia tentu saja tidak percaya kepada orang seperti tokoh Kwi-liong-pang ini. Akan tetapi, begitu isi bungkusan itu nampak, Kok Tiong yang bersama Kok Han ikut pula memperhatikan, berseru kaget.

“Ini tusuk konde isteriku!” teriaknya.

Jenderal Kao Liang mengangguk dan memeriksa sebuah cincin bermata biru, cincin milik isterinya! Ternyata orang telah mengirim dua buah benda itu yang cukup menjadi bukti bahwa keluarga Kao berada di tangan mereka!

“Keparat, kauapakan mereka? Di mana mereka?” Kok Tiong sudah mencabut pedang diikuti oleh Kok Han, akan tetapi Jenderal Kao Liang cepat mencegah mereka dan menyuruh mereka mundur dan menyimpan pedang mereka kembali. Sementara itu, Hoa-gu-ji yang akan diserang itu hanya memandang sambil tersenyum lebar saja.

Jenderal Kao Liang membuka sampul surat yang berada di dalam bungkusan bersama dua buah benda perhiasan wanita itu.



Jenderal Kao Liang,

Kalau engkau ingin bertemu dengan keluargamu, lkutlah bersama utusan kami dan taati semua perintahnya.



Surat itu tanpa tanda tangan, akan tetapi maksudnya sudah cukup dan jelas bagi Jenderal Kao Liang. Dengan adanya tusuk konde mantunya dan cincin isterinya, jelas bahwa keluarganya berada di dalam cengkeraman pengirim surat ini dan kalau dia menghendaki dapat bertemu kembali dengan mereka, bahkan demi keselamatan mereka, dia dan dua orang puteranya harus menyerah!

“Baiklah, kami akan ikut bersama kalian” kata Jenderal Kao, lalu kepada Kok Han dia berkata, “Kao Han, engkau susul twakomu ke kota raja.”

“Baik, Ayah,” kata Kok Han yang tadi juga sudah membaca surat itu. Dia menjura kepada ayahnya, memeluk kakaknya, lalu berlari pergi dengan cepat. Hoa-gu-ji tidak mencegahnya karena menurut perintah, dia hanya disuruh menangkap Jenderal Kao Liang saja. Dia lalu melucuti pedang Jenderal Kao dan Kok Tiong, kemudian mereka berdua dibelenggu dan disuruh naik ke atas punggung kuda, kemudian keduanya dibawa pergi dengan mata ditutup kain hitam.

Ayah dan anak ini tak pernah melepaskan perhatian dalam perjalanan itu.

Akan tetapi, mereka tahu bahwa tidak mungkin mereka dapat melalui bukit-bukit dan hutan-hutan yang dapat mereka ketahui dari jalan yang naik turun dan dari hawa dan suara angin di antara banyak pohon, suara burung dan binatang hutan. Malam itu mata mereka dibuka ketika rombongan berhenti di dalam sebuah hutan yang gelap, dan mereka diberi makan yang cukup baik, diperlakukan dengan sikap yang hormat biarpun Hoa-gu-ji dan seluruh anggauta rombongan tidak pernah bicara.

Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dan kembali mata mereka ditutup. Ketika hari telah panas, mereka berhenti, ayah dan anak ini lalu diturunkan dari punggung kuda, dibawa masuk ke dalam rumah yang luas dan ke dalam ruangan. Mata mereka dibuka dan mereka memandang silau. Ruangan itu luas dan di situ terdapat banyak pintu. Di tengah ruangan terdapat meja besar dan di belakang meja duduk beberapa orang. Ketika Jenderal Kao Liang mengenal Hek-tiauw Lo-mo yang duduk pula di dalam ruangan itu, dia terkejut, akan tetapi, dia diam saja, pura-pura tidak mengenalnya. Dengan adanya Hek-tiauw -Lo-mo di situ, tahulah dia bahwa dia terjatuh ke tangan gerombolan orang dari dunia hitam, orang-orang yang berniat memberontak terhadap kerajaan, karena Hek-tiauw Lo-mo dahulu juga bersekutu dengan pemberontak.

Diam-diam dia memperhatikan, demikian pula puteranya. Di antara semua orang yang berada di kursi-kursi belakang meja itu, yang paling menarik perhatiannya adalah seorang laki-laki muda yang kelihatan berwibawa, berkulit kehitaman dengan hidung melengkung dan mata cekung, gagah dan tampan namun juga aneh dan asing, rambutnya coklat dan pakaiannya indah dan mewah. Dia duduk di tengah-tengah dan di sebelah kanannya duduk seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun bertubuh seperti raksasa, kepalanya botak dan bermantel merah. Pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan kakek botak itulah yang agaknya menjadi orang-orang terpenting di situ, maka Jenderal Kao Liang menujukan pandang matanya kepada mereka.

Dugaannya benar. Pemuda itu lalu bangkit berdiri dan menyambutnya dengan mata bersinar dan mulut tersenyum lebar. “Ah, sungguh merupakan kebahagiaan besar dapat bertemu muka dengan Jenderal Kao Liang yang namanya pernah menggetarkan dunia! Haaii, Hoa-gu-ji, hayo cepat buka belenggu mereka!”

Hoa-gu-ji memberi hormat dan dibantu oleh beberapa orang, dia membuka belenggu tangan Jenderal Kao Liang dan puteranya. Mereka lalu mundur kembali dan kini pemuda berkulit kehitaman itu berkata lagi, “Jenderal Kao Liang, silakan kau duduk bersama puteramu dan menikmati hidangan kami sebagai penyambutan!”

Jenderal Kao Liang melangkah maju mendekati meja, menjura sebagai balasan penghormatan lalu berkata, “Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Aku dan puteraku bukanlah tamu undangan, melainkan tawanan. Oleh karena itu, harap segera memberi penjelasan. Apakah sebabnya engkau menawan keluarga kami dan siapakah engkau?”

“Ha-ha-ha, sungguh hebat dan tegas!” Tiba-tlba kakek botak itu berkata dan matanya memandang penuh kagum. “Memang tepat menjadi seorang jenderal yang pandai!”

“Suhu, tidak percuma dia pernah menjadi panglima besar,” kata pula orang muda itu, lalu dia berkata lagi kepada Jenderal Kao Liang. “Memang engkau benar, Jenderal Kao. Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Memang, kami yang telah menawan keluargamu. Akan tetapi kami tidak berniat buruk, melainkan hendak mengajak engkau untuk bekerja sama dengan kami.”

Jantung Kao Liang berdebar tegang. Jadi, keluarganya masih hidup? Semua selamat? Akan tetapi, mendengar betapa orang muda asing ini mengajak dia bekerja sama, dia merasa curiga sekali. Kerja sama dalam hal apa? Betapapun juga, Kao Liang adalah bekas panglima besar dan sudah sering kali menghadapi urusan-urusan besar, sungguhpun belum pernah dia menghadapi ancaman hebat bagi seluruh keluarganya seperti sekarang ini yang membuat hatinya tegang luar biasa. Sebelum melanjutkan percakapan, dia harus melihat buktinya lebih dulu, bukti bahwa keluarganya dalam keadaan selamat semua.

Dengan sikap tenang dan air muka sama sekali tidak berubah, bekas jenderal itu lalu berkata dengan sikap hormat pula, “Soal kerja sama dan yang lain-lain baru bisa dibicarakan dengan hati terbuka kalau kami sudah diperbolehkan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa keluarga kami berada di sini dalam keadaan selamat. Sebelum itu, engkau tentu mengerti bahwa kami tidak mungkin dapat melakukan percakapan dengan hati terbuka.”

Kembali Liong Bian Cu tertawa. “Benar sekali kata-katanya itu, bukan, Suhu?”

Ban Hwa Sengjin mengangguk. “Dia memang laki-laki sejati!”

“Suhu, harap suka membawa mereka melihat keluarga mereka. Akan tetapi hanya melihat saja karena belum tiba saatnya mereka diperkenankan bicara dan bertemu dengan keluarga mereka.”

Ban Hwa Sengjinkembali mengangguk, lalu bangkit berdiri dan ditemani oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, dia lalu menghampiri Jenderal Kao Liang dan puteranya.

“Goanswe dan Sicu, mari silakan ikut bersama kami.”

Dengan jantung berdebar tegang Kao Liang dan Kok Tiong mengikuti tiga orang kakek itu. Ban Hwa Sengjin berjalan di depan, diiringkan oleh Kao Liang dan Kok Tiong sedangkan dua orang kakek iblis itu mengikuti dari belakang. Mereka melalui lorong berlika-liku di dalam gedung besar itu dan akhirnya Ban Hwa Sengjin berhenti dan memberi isyarat kepada dua orang itu untuk berhenti. Mereka tiba di sebuah ruangan kecil dan tidak jauh di depan terdapat sebuah pintu yang lebar dan di depan pintu ini berdiri enam orang penjaga yang memegang senjata. Melihat kedatangan Ban Hwa Sengjin, mereka lalu cepat memberi hormat.

“Buka daun pintu kayu itu lebar-lebar agar kami dapat melihat mereka yang berada di dalam!” kata Ban Hwa Sengjin kepada kepala penjaga. Perintah ini cepat ditaati, rantai pintu itu dibuka dan pintu itu didorong ke samping. Ternyata di balik pintu kayu itu terdapat pula ruji-ruji besi seperti kerangkeng dan di belakang ruji-ruji ini terdapat sebuah kamar yang besar sekali, dengan beberapa buah pembaringan, meja dan kursi-kursi. Dan di dalam kamar besar yang ditutup ruji dan dijaga ketat itu terdapat beberapa orang wanita dan anak-anak, ada yang sedang berbaring, ada yang duduk membaca, ada pula yang menyulam, ada yang sedang bercakap-cakap.

Melihat mereka itu, Kao Liang dan Kao Tiong memandang dengan mata terbelalak. Mereka itulah keluarga yang hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih lengkap dan kelihatannya memang sehat, sungguhpun di antara mereka ada yang kelihatan pucat dan kurus. Dan biarpun tidak ada yang kelihatan gembira, namun harus diakui bahwa mereka itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik, mereka cukup terjamin.

“Ayah....!” Tiba-tiba seorang anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong.

Semua orang dalam kamar itu menengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para wanita itu sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao Tiong, seolah-olah tidak percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka memanggil dan tangis mereka riuh-rendah. Mereka semua lari ke ruji besi, seperti tawanan-tawanan yang melihat keluarga datang berkunjung.

Ban Hwa Sengjin mengembangkan kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong bergerak hendak maju, sambil berkata, “Cukup sudah untuk membuktikan bahwa keluargamu dalam keadaan selamat, Kao-goanswe.” Lalu dia memerintahkan kepada para penjaga, “Tutup kembali pintunya!”

Kao Liang clan Kok Tiong berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat betapa wajah-wajah orang yang mereka cinta itu lenyap kembali di pintu kayu dan tangis mereka masih terdengar lapat-lapat. Seperti ditusuk-tusuk rasa jantung Kok Tiong mendengar putera sulungnya yang baru berusia empat tahun itu memanggil-manggilnya dari balik daun pintu. Ingin dia memberontak dan memecahkan daun pintu itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang baik dan selamat, maka dia menekan perasaannya dan ketika tangan ayahnya menjamah lengannya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya mengikuti kakek botak kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti mereka sambil tersenyum-senyum.

Begitu tiba di ruangan itu, Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan suara tegas, “Orang muda, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah engkau dan kerja sama yang bagaimana yang kauminta dariku?”

“Kao-goanswe, dan Kao-sicu, duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik,” kata Liong Bian Cu sambil memberi isyarat kepada pelayan. Segera pelayan datang membawa cawan dan meletakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan anak itu, kemudian hidangan dikeluarkan, hidangan yang masih panas.

Liong Bian Cu lalu menuangkan sendiri arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu, mempersilakan mereka untuk minum.

“Maaf, orang muda. Sebelum kami mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan keluarga kami, bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?” Kao Liang berkata lagi dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk tegak dengan mata menatap wajah pemuda berkulit kehitaman itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Liong Bian Cu tersenyum melihat penolakan ayah dan anak itu. Dia minum araknya dari cawan, lalu meletakkan cawan itu di atas meja dan berkatalah dia sambil menatap tajam wajah bekas jenderal itu, “Kao-goanswe, saya bernama Liong Bian Cu dan biarpun engkau belum pernah bertemu dengan saya dan belum mengenal saya, akan tetapi saya kira engkau tentu sudah mengenal baik mendiang ayah saya.”

Kao Liang mengerutkan alisnya. “She Liong....?” dia berkata lirih dan mengingat-ingat karena setahunya, yang she Liong adalah pangeran-pangeran dari Kerajaan Ceng!

“Benar, Goanswe, mendiang ayah saya adalah Pangeran Liong Khi Ong!”

“Ahhh....!” Bukan main kagetnya Kao Liang mendengar ini, juga Kok Tiong terkejut dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya. Mendiang Liong Khi Ong adalah seorang pemberontak besar dan ayahnya adalah bekas panglima yang telah membasmi kaum pemberontak. Kenyataan ini saja sudah amat jelas berbicara mengapa keluarga Kao diculik dan ditawan!

“Antara mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan saya memang terdapat pertentangan” akhirnya Kao Liang berkata dengan suara berat, “Akan tetapi itu bukan merupakan permusuhan pribadi, melainkan dalam kedudukan saya sebagai panglima perang abdi negara. Maka saya tidak melihat dasar-dasar yang kuat mengapa Kongcu mengambil tindakan terhadap keluarga saya yang tidak tahu-menahu tentang pertentangan antara mendiang ayahmu dan saya itu.”

Liong Bian Cu tersenyum lebar. “Tenanglah, Goanswe. Sudah kukatakan tadi bahwa kami menawan keluargamu sama sekali bukan dengan niat yang buruk! Dan saya sama sekali tidak menaruh dendam pribadi kepadamu. Saya bukanlah seperti orang biasa yang mabuk oleh dendam dan sakit hati pribadi. Saya adalah seorang pangeran, cucu dari raja besar di Nepal.”

Kao Liang rnengangguk-angguk dan mendengar bahwa putera Pangeran Liong Khi Ong ini juga merupakan cucu Raja Nepal, tahulah dia dan teringatlah dia bahwa Pangeran Liong Khi Ong memang mempunyai seorang selir, yaitu puteri Raja Nepal. Jadi pemuda inikah keturunannya dari puteri Nepal itu? Dia lalu memandang kepada kakek botak dan kedua kakek lain yaitu Hek-tiauw Lo-mo yang seperti raksasa menyeramkan, dan kakek muka tengkorak yang tidak kalah mengerikan itu.

“Dan saya memperkenalkan Locianpwe ini adalah guru saya, juga beliau adalah koksu dari Nepal, berjuluk Ban Hwa Sengjin, ”Liong Bian Cu berkata dan kakek botak itu bangkit berdiri.

Kao Liang makin kaget dan cepat dia bangkit berdiri memberi hormat yang dibalas oleh kakek botak itu. Kiranya Pangeran Nepal ini berada di situ bersama Koksu Nepal! Tentu ada apa-apa di balik ini semua, ada sesuatu yang amat penting! Akan tetapi dia menekan keheranannya dan tetap bersikap tenang.

“Mereka berdua ini adalah dua di antara pembantu-pembantu kami, Goanswe. Beliau ini adalah Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi, dan Locianpwe ini adalah Hek-tiauw Lo-mo.”

“Ha-ha-ha, Jenderal Kao Liang sudah mengenalku!” kata Hek-tiauw Lo-mo sambil tertawa dan minum araknya.

“Kiranya Kongcu adalah pangeran dari Nepal dan lengkap dengan para pembantu yang amat lihai. Akan tetapi apa hubungannya itu dengan keluarga saya? Kerja sama apa yang dapat saya lakukan untuk Kongcu?”

“Kami tahu bahwa Goanswe adalah seorang ahli dalam ilmu perang. Mungkin untuk seluruh Tiongkok pada waktu ini, Goanswe adalah orang yang paling pandai! Kami amat membutuhkan bantuanmu, Kao-goanswe. Kami ingin agar engkau suka memimpin orang-orang kami, menjadikan tempat ini, lembah ini sebagai benteng yang amat kuat. Terus terang saja, kami berniat untuk menentang kaisar, dan kami sudah menerima janji bantuan dari Gubernur Ho-nan dan banyak pula pembesar lain, baik sipil maupun militer.”

Berubah wajah bekas jenderal itu. Keluarga Kao sejak turun-temurun adalah pahlawan-pahlawan yang setia! Kini, Pangeran Nepal ini mengajak dia bersekutu untuk memberontak terhadap kerajaan! Hampir saja Kao Liang menghantam meja di depannya saking marahnya, matanya mendelik dan kumisnya seolah-olah berdiri. Dia tidak mampu bicara saking marahnya.

“Engkau berjanji akan membantu kami, Kao-goanswe, dan kami pun akan berjanji untuk menjamin keselamatan jiwa raga keluargamu. Bukankah itu sudah adil sekali?” Liong Bian Cu kembali berkata dengan suaranya yang tenang dan halus.

“Tidak....! Tidak sudi aku....!” Tiba-tiba Jenderal Kao berteriak dan bangkit berdiri, mengepal tinjunya, mukanya merah dan matanya mendelik.

“Ayah....!” Kok Tiong berkata lirih penuh kegelisahan. “Ayah, harap Ayah sudi menyelamatkan dua orang cucumu!” Muka dua orang muda ini pucat sekali karena dia maklum bahwa nyawa seluruh keluarga yang dikurung di sana tadi berada di telapak tangan ayahnya!

“Tidak....! Seribu kali lebih baik kita mati semua!”, kembali Kao Liang berseru keras dan pada saat itu terdengar jerit tertahan dari balik sebuah pintu.

“Gihu (Ayah Angkat)....!” Dan munculiah Syanti Dewi bersama Hwee Li dari balik pintu itu. Syanti Dewi lari menghampiri Kao Liang. Bekas jenderal ini terkejut, menoleh dan segera memeluk Syanti Dewi yang sudah merangkulnya dan menangis di atas dadanya yang bidang.

“Kau....? Dewi....? Kau.... juga di sini?” bekas jenderal itu berkata heran dan juga bingung, penuh kekhawatiran.

“Gihu, saya menjadi.... tawanan perang di sini. Baru hari ini saya mendengar bahwa keluarga Gihu semua juga menjadi tawanan di sini.... harap Gihu tidak menggunakan kekerasan dan bersikap bijaksana untuk menyelamatkan keluarga Gihu....!”

“Syanti Dewi, biarpun kami memberi kebebasan kepadamu, akan tetapi perbuatanmu ini lancang sekali dan tidak tahu tata susila. Harap kau suka meninggalkan ruangan ini,” kata Liong Bian Cu dengan sikap halus. Syanti Dewi melepaskan pelukan ayah angkatnya dan mundur dengan kedua pipi kemerahan.

“Semua ini tentu gara-gara Hwee Li!” Hek-tiauw Lo-mo membentak, lalu berkata kepada dara itu dengan nyaring, “Hwee Li, hayo kauajak Sang Puteri pergi dari ruangan ini!”

Dara cantik jelita yang datang bersama Puteri Bhutan itu berdiri tegak, bertolak pinggang menghadapi Hek-tiauw Lo-mo lalu berkata, “Memang benar aku yang mengajaknya ke sini! Habis, kau mau apa?” Sikapnya menantang sekali, mengherankan Kao Liang dan puteranya. Betapa berani sikap dara cantik jelita ini, dan anehnya, Hek-tiauw Lo-mo yang biasanya amat angkuh, kejam dan ganas, sekali ini tidak menjawab apa-apa atas tantangan itu!

Pangeran Liong Bian Cu cepat bangkit berdiri dan dengan suara yang amat ramah dan halus dia berkata kepada dara itu, “Hwee Li, kekasihku, harap engkau tidak membuat ribut di sini. Kami sedang membicarakan urusan besar, harap kau suka mengajak Syanti Dewi ke taman, Sayang”

Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran itu memperlihatkan sikap demikian ramah dan mesra kepadanya di depan banyak orang. Dia ingin marah, akan tetapi dia takut kalau-kalau pangeran itu akan makin bersikap mesra, maka dia lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajaknya pergi cepat-cepat dari ruangan itu. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum lebar, puas akan hasil dari kecerdikannya. Dia tahu benar harus bersikap bagaimana untuk mengalahkan dara yang dicintanya itu.

“Maaf atas gangguan tadi, Kao-goanswe. Sungguh saya tidak mengira bahwa Syanti Dewi adalah anak angkatmu. Dan gadis tadi adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, atau tunangan saya.”

Diam-diam Kao Liang merasa heran dan juga terkejut. Dara cantik jelita tadi tunangan pangeran ini? Puteri Hek-tiauw Lo-mo? Kini dia mengerti mengapa Hek-tiauw Lo-mo membantu pangeran ini. Dan biarpun dia kagum akan kecantikan dan keberanian dara itu, namun diam-diam dia bergidik mengingat akan sikap dara itu terhadap ayahnya! Dasar ayahnya seorang laki-laki iblis, anaknya pun sikapnya demikian kurang ajar terhadap ayahnya sendiri! Akan tetapi, yang amat mengherankan hatinya, bagaimana Syanti Dewi yang memiliki watak mulia dan lemah lembut itu kelihatan begitu akrab dengan dara iblis tadi?

“Kao-goanswe,” tiba-tiba Koksu Nepal berkata kepadanya dengan suaranya yang asing karena Ban Hwa Sengjin memang seorang aseli Nepal, sungguhpun dia telah mempelajari bahasa Han dengan baik dan dapat bicara dengan lancar. “Kita sama-sama adalah orang-orang yang tahu akan tata negara, tahu akan kebijaksanaan dan kesetiaan terhadap pemerintah. Seorang bijaksana akan setia kepada tanah air dan bangsa melalui kesetiaannya terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalau melihat betapa pemerintah dipimpin oleh orang-orang yang lemah dan tidak bijaksana, benarkah kalau dia mengekor saja dan berarti menambah beban penderitaan rakyatnya? Tentu tidak, dan seorang bijaksana akan menentang pemerintah yang demikian, demi kebaktiannya kepada rakyat dan tanah airnya.”

Kao Liang memandang wajah kakek botak itu dan sejenak mereka beradu pandang. Diam-diam bekas jenderal itu terkejut melihat sinar mata yang tajam bersinar-sinar dan penuh wibawa itu, maklumlah dia bahwa selain pandai, juga Koksu Nepal itu tentu bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kemarahan hebat yang tadi membakar dadanya kini sudah mereda setelah munculnya Syanti Dewi yang tak disangka-sangkanya.

“Ban Hwa Sengjin, ke manakah tujuan kata-katamu itu?”

“Kao-goanswe, seperti yang dikatakan oleh Puteri Bhutan tadi, seorang bijaksana akan lebih dulu mengutamakan keselamatan keluarganya dan dalam hal ini, Goanswe adalah seorang yang akan menentukan mati hidupnya keluarga Goanswe, termasuk pula Syanti Dewi.”

“Hemmm, engkau hendak mengancam keselamatan mereka demi untuk memeras dan memaksaku, Koksu?” bekas jenderal itu mengejek.

“Bukan ancaman kosong, Kao-goanswe! Dengan sekali isyarat, saat ini pun aku sanggup menyuruh algojo memenggal leher keluargamu di depan matamu!” Pangeran Liong Bian Cu berkata tenang dan halus, namun isi kata-katanya itu penuh ancaman yang mengerikan sehingga pucatlah wajah Kok Tiong mendengar ini.

“Bukan sekedar mengancam untuk memaksa, Jenderal Kao Liang!” kata pula Ban Hwa Sengjin dengan sinar mata tajam. “Sebagai seorang ahli perang engkau tentu dapat mengetahui kalau keadaanmu sudah tersudut dan kalah total. Engkau sudah kalah dan kami yang menang, karena itu kami menggunakan hak kami sebagai pemenang dan sudah selayaknya kalau engkau tahu diri. sebagai fihak yang kalah. Akan tetapi, selain kenyataan ini aku ingin membuka mata dan kesadaranmu akan kenyataan lain, yaitu bahwa engkau tidak mempunyai pilihan lain.”

Kao Liang menegakkan kepalanya dan mengangkat dadanya. “Bagiku, tetap saja ada pilihan, Koksu, karena aku lebih menghargai kehormatan daripada nyawa. Ancamanmu terhadap keluargaku, sama sekali tidak akan membutakan mataku terhadap nilai kehormatan kami!”

Bersambung ke buku 10