Kisah Si Bangau Putih -8 | Kho Ping Hoo
Buku 8
“Ciong Siu Kwi....? Bi....” Suma Ceng Liong yang tadinya hendak mengatakan Bi Kwi, menahan ucapannya teringat akan kehadiran anak itu. Suma Ciang Bun maklum dan dia mengangguk, lalu diceritakannya semua yang pernah didengarnya dari Suma Lian tentang anak itu, betapa ayah dan ibu anak itu menjadi tawanan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-long-pang.
Mendengar semua cerita itu, Suma Ceng Liong saling pandang dengan isterinya, kemudian dia menghela napas panjang. Kami sudah mengkhawatirkan bahwa tentu Lian-ji akan terlibat dalam urusan pemberontakan Tiat-liong-pang. Kalau ia mendengar akan gerakan kaum sesat mendukung pemberontakan, tentu ia akan menentangnya. Kami justeru mengkhawatirkan hal itu, Bun-ko. Oleh karena itu, kami tidak akan berlama-lama tinggal di sini. Kami akan segera berangkat untuk mencari puteri kami dan membantunya kalau ia menentang Tiat-liong-pang.”
Suma Ciang Bun mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya begitu, Liong-te. Kaum muda itu memang amat berani, dan kadang-kadang terlalu berani sehingga tidak lagi memakai perhitungan. Aku juga mendengar bahwa gerakan Tiat-liong-pang sekali ini didukung oleh tokoh-tokoh sesat yang amat lihai, bahkan kabarnya Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai ikut pula mendukung, belum lagi pasukan pemerintah yang berkhianat dan orang-orang Mongol.”
Suami isteri itu lalu berpamit dan mereka pun melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari puteri mereka. Sekali ini, tujuan mereka sudah jelas, yaitu perkumpulan Tiat-liong-pang yang pusatnya berada di lereng bukit di kota Sangcia-kou di utara.
***
Di benteng pasukan-pasukan pemerintah Ceng yang berada di perbatasan utara terjadilah peristiwa yang menggegerkan. Selama beberapa minggu sudah ada belasan orang perwira menengah dan perwira tinggi secara tiba-tiba saja hilang tanpa meninggalkan jejak! Mereka yang hilang itu semua adalah para perwira yang setia kepada pemerintah. Karena tidak mungkin pasukan tanpa pimpinan, maka beberapa pasukan yang kehilangan pimpinan lalu dikuasai oleh Coa Tai-ciangkun, seorang di antara panglima yang bertugas di perbatasan utara. Perwira-perwira baru diangkat oleh Coa Tai-ciangkun.
Keadaan seperti itu mencemaskan hati para perwira yang setia kepada pemerintah dan yang masih hidup. Ada beberapa orang di antara mereka nyaris diculik oleh orang-orang berkedok yang berkepandaian tinggi. Mereka ini merasa cemas melihat betapa rekan-rekan mereka lenyap dan kini kekuasaan. Coa Tai-ciangkun atas pasukan-pasukan di utara semakin besar. Padahal, mereka sudah mendengar desas-desus bahwa Coa Tai-ciangkun disangsikan kesetiaannya karena kabarnya mengadakan hubungan dengan kekuatan-kekuatan di luar pasukan. Maka, diam-diam di antara para perwira itu mengirim utusan dengan cepat ke selatan, ke kota raja untuk melaporkan peristiwa yang mencemaskan itu.
Pada suatu pagi yang cerah, di atas puncak sebuah bukit tak jauh dari Tembok Besar nampak dua orang menuruni bukit itu perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah dari puncak bukit. Memang indah bukan main pemandangan dari situ. Tembok Besar buatan manusia yang sudah mengorbankan mungkin jutaan orang manusia dalam pembuatannya dan perbaikan-perbaikannya itu, nampak seperti seekor naga di antara bukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, membuat dua orang itu kadang-kadang berhenti melangkah untuk lebih menikmati pemandangan itu.
Mereka adalah seorang nenek dan seorang kakek. Kakek itu usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, berpakaian sastrawan yang sederhana, bertubuh tinggi agak kurus, namun wajahnya masih membayangkan ketampanan dan tubuh itu masih tegak. Gerak-geriknya halus, dan pandang matanya lembut, walaupun kadang-kadang mencorong penuh wibawa. Adapun nenek itu belasan tahun lebih muda, baru lima puluh tahun lebih, gerak-geriknya masih lincah dan bentuk tubuhnya masih ramping dan cekatan. Keduanya menggendong sebuah buntalan pakaian di punggung dan keduanya nampak gembira, mungkin karena hawa udara yang sejuk nyaman dan pemandangan alam yang amat indahnya itu menyeret mereka ke dalam suasana gembira. Manusia adalah sebagian dari alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari alam, oleh karena itu, betapapun manusia mabuk oleh nafsu duniawi yang membuat mereka selalu tenggelam ke dalam kesibukan mencari uang, mengejar kesenangan, hiburan atau urusan rumah tangga, keluarga, atau juga masyarakat dan negara sekali waktu akan timbul rindunya kepada alam. Dan setelah manusia jenuh daripada segala keduniawian dengan tata kehidupan yang serba mengejar kesenangan ini, misalnya dia berada di puncak bukit atau di tepi samudera, dia akan tenggelam ke dalam kesyahduan alam, ke dalam keheningan yang menghanyutkan, yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian di dalam batin. Timbul suatu pertanyaan masing-masing, dalam batin masing-masing, yaitu : Dapatkah kita bebas daripada segala kebisingan pikiran sewaktu kita berada di dalam masyarakat ramai sehingga kita memperoleh keheningan ketenangan dan kedamaian seperti kalau kita berada seorang diri di puncak gunung atau di tepi samudera?
Biarpun kakek dan nenek itu kelihatan seperti orang-orang biasa saja, namun kalau ada yang mengenal mereka, tentu si pengenal akan terkejut sekali mendapatkan mereka berdua di situ. Mereka bukanlah orang biasa, melainkan pasangan pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu mereka yang tinggi! Kakek itu bernama Kam Hong. Puluhan tahun yang lalu dia pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmunya yang tinggi dan dijuluki Pendekar Suling Emas karena ilmunya mengingatkan dunia persilatan akan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari seorang pendekar ratusan tahun yang lalu yang Juga berjuluk Suling Emas (baca kisah Suling Emas Naga Siluman). Adapun nenek itu adalah isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bernama Bu Ci Sian. Isterinya ini, yang belasan tahun lebih muda dari sang suami, juga masih sumoi dari suami itu, karena mereka berdualah yang telah menemukan kitab ilmu yang amat tinggi dan keduanya mempelajari ilmu itu. Disamping ilmu memainkan suling emas, juga nenek Bu Ci Sian ini memiliki ilmu menaklukkan ular, dan di samping itu, juga pernah menerima gemblengan ilmu gabungan sin-kang Im dan Yang dari pendekar Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti Pulau Es.
Sudah puluhan tahun kedua suami isteri ini tidak pernah terjun ke dunia persilatan, hidup aman tenteram di istana kuno yang pernah menjadi pusat perkumpulan Khong-sim Kai-pang, yaitu di puncak bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, sebelah selatan kota Pao-teng. Bagaimana kini mendadak suami isteri tua yang sakti itu berada di pegunungan utara dekat Tembok Besar?
Sebulan yang lalu, nenek Bu Ci Sian merasa rindu sekali kepada puterinya, yaitu Kam Bi Eng yang telah menjadi isteri Suma Ceng Liong, juga ia ingin sekali melihat dunia luar setelah bertahun-tahun berdiam di rumah saja. Ia mengajak suaminya untuk meninggalkan istana tua itu dan berkunjung ke tempat kediaman puteri mereka di dusun Hong-cun. Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, ternyata Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tidak berada di rumah dan menurut keterangan para pembantu rumah tangga, suami isteri itu meninggalkan rumah untuk pergi mencari nona Suma Lian yang telah pergi lebih dahulu dari rumah. Para pembantu rumah tangga itu tidak dapat memberi keterangan ke mana majikan mereka pergi.
Kakek dan nenek itu tentu saja merasa kecewa dan mereka hanya tinggal semalam saja di rumah puteri mereka yang kosong. Mereka telah mendengar berita tentang gerakan Tiat-liong-pang yang dibantu oleh banyak tokoh sesat, maka kakek Kam Hong menduga bahwa tentu puteri, mantu dan cucu mereka itu pergi ke sana untuk menentang gerakan kaum sesat. Maka, mereka berdua lalu pergi ke utara untuk melihat-lihat keadaan dan mencari puteri dan mantu mereka. Di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan dan makin kuat dugaan mereka bahwa puteri mereka tentu pergi ke utara setelah mendengar bahwa memang banyak pendekar yang melakukan perjalanan ke utara sehubungan dengan berita gerakan kaum sesat di utara yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang itu
Demikianlah, pada pagi hari itu, kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian tiba di puncak bukit, menuruni bukit sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah, kadang-kadang berhenti dan memandang ke empat penjuru dengan penuh kagum.
“Eh, lihat di sana itu!” Tiba-tiba nenek itu berseru sambil menuding ke arah selatan, ke bawah. “Bukankah itu sebuah kereta?”
Kakek Kam Hong cepat memandang ke arah yang ditunjuk isterinya dan mengamati. “Benar, sebuah kereta dikawal oleh belasan orang.”
“Dan para pengawal itu mengenakan pakaian seragam!” Sambung Bu Ci Sian.
“Juga di kereta itu ada benderanya, tidak jelas dari sini, akan tetapi seperti bendera tanda pangkat. Agaknya orang berpangkat yang duduk di dalam kereta itu
“He, lihat! Dari sebelah kanan itu! Dua orang itu seperti hendak menghadang kereta!”
“Siancai....! Benar katamu, dan lihat, mereka sudah bertempur!” kata kakek Kam Hong. “Ah, dua orang itu bukanlah lawan para pengawal, mari kita cepat ke sana untuk melihat apa yang telah terjadi!”
Kakek dan nenek itu bagaikan terbang cepatnya menuruni bukit dan berkat ilmu berlari cepat mereka yang tinggi, tak lama kemudian mereka tiba di tempat pertempuran.
Ketika mereka tiba di tempat itu, belasan orang berpakaian seragam telah rebah malang melintang tanpa nyawa lagi! Hanya tinggal empat orang berpakaian perwira yang masih melindungi kereta itu. Dengan pedang di tangan, empat orang itu repot sekali melindungi dirinya di depan kereta, menahan serangan seorang pemuda yang juga memainkan pedang akan tetapi permainan pedangnya sedemikian hebatnya sehingga empat orang perwira itu terdesak hebat dan agaknya takkan lama lagi mereka dapat bertahan.
Sementara itu, orang ke dua yang menghadang kereta, seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, berpakaian seperti seorang sastrawan, tinggi kurus, dengan gerakan ringan sekali meloncat ke dekat kereta dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan kereta itu pecah berantakan, dua ekor kudanya yang terkejut meronta lepas dan melarikan diri. Dari dalam kereta meloncat ke luar seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, berpakaian sebagai seorang panglima besar dengan tanda pangkat di pundak dan dada. Dengan gerakan cukup sigap panglima ini meloncat turun sehingga tidak ikut terbanting dengan pecahnya kereta. Melihat panglima itu, sastrawan tua tersenyum mengejek sambil mengeluarkan sebuah kipas dan mengipasi tubuhnya.
“Hemmm, kiranya engkau yang disebut Panglima Besar Liu, yang datang dari kota raja untuk menyelidiki keadaan di benteng utara? Jangan harap akan dapat menyelidiki apa pun, karena engkau akan mati di sini seperti yang dialami anak buahmu. Nah bersiaplah untuk mati!”
Panglima Besar yang bertubuh tinggi besar itu tidak kelihatan takut, bahkan mencabut pedangnya, siap untuk membela diri sedapat mungkin walaupun dia tahu bahwa bela dirinya takkan ada gunanya, melihat betapa para pengawalnya yang lihai saja kini nampak repot menghadapi penyerang muda itu.
“Bagus, kini aku mengerti mengapa terjadi geger di benteng utara dan banyak perwira kami yang kabarnya lenyap diculik orang. Kiranya ada musuh yang sengaja bersekutu dengan pengkhianat dan kalau aku tidak keliru, tentu engkau ini yang disebut Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin seperti yang dikabarkan oleh orang-orang kami. Engkau bersekutu dengan Tiat-liong-pang untuk mengadakan pemberontakan, dan membujuk beberapa orang panglima dan perwira kami untuk berkhianat.”
Ouwyang Sianseng menudingkan kipasnya. “Tidak keliru, Liu Tai-ciangkun, dan sekarang tiba giliranmu untuk mati di tanganku!”
“Tahan....!” Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Ouwyang Sianseng telah berdiri seorang kakek tua yang bukan lain adalah Kam Hong sedangkan Bu Ci Sian berkelebat ke arah pemuda yang mendesak empat orang pengawal itu, mengelebatkan suling emasnya. Nampak sinar terang sekali dan disusul suara berdentang nyaring ketika pedang yang dipergunakan oleh Siangkoan Liong untuk mendesak empat orang lawannya itu bertemu dengan sinar kuning emas. Siangkoan Liong terkejut dan meloncat mundur ketika merasa betapa benturan senjata itu membuat tangan kanannya tergetar hebat. Maklum bahwa ada lawan tangguh yang muncul, Siangkoan Liong cepat menghampiri gurunya. Bu Ci Sian juga menghampiri suaminya dan kini suami isteri tua itu berdiri berhadapan dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong.
Ouwyang Sianseng mengamati kakek dan nenek di depannya itu, mengerutkan alisnya dan bertanya kepada muridnya, “Tahukah engkau siapa mereka ini?” Siangkoan Liong juga memandang penuh perhatian, lalu dia menggeleng kepala sebagai jawaban. Ouwyang Sianseng kini menatap wajah Kam Hong dengan penuh perhatian dan diam-diam hatinya diliputi kekaguman. Kakek di depannya ini sebaya dengan dia, dan memiliki sikap yang halus berwibawa. Mengertilah dia bahwa kakek yang pakaiannya juga seperti sastrawan amat sederhana ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan merupakan lawan yang tangguh. Ouwyang Sianseng lalu menjura dengan sikap hormat.
“Selamat berjumpa, Sobat,” katanya dengan suara yang halus, “boleh aku mengetahui, siapakah Ji-wi dan apa pula alasan Ji-wi hendak mencampuri urusan kami yang sedang menentang penjajah Mancu?”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa sikap ramah dan halus dari orang ini membuat dia waspada karena sikap itu hanya menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Apalagi orang ini dengan cerdiknya menempatkan dia di posisi yang buruk, seolah-olah orang itu adalah pejuang dan patriot, sedangkan dia dan isterinya merupakan orang-orang yang membela kaum penjajah! Dengan tenang dia pun tersenyum dan balas menjura dengan hormat, diikuti pula oleh isterinya karena tadi ketika Ouwyang Sianseng menjura, pemuda tampan itu pun ikut pula memberi hormat.
“Maaf, Sobat,” jawabnya halus pula. “Memang di antara kita tidak pernah saling mengenal, juga tidak ada hubungan apa pun. Penjajah Mancu sudah menguasai tanah air sejak hampir seratus tahun dan kami kira panglima ini bukanlah biang keladi penjajahan, melainkan hanya seorang petugas! Kami melihat betapa Ji-wi membunuhi para pengawal dan menyerang kereta, maka hal ini sudah merupakan urusan pribadi, bukan lagi pertempuran dalam perjuangan melawan penjajah! Dan kami tidak biasa membiarkan saja manusia saling bunuh, apalagi melihat yang lebih kuat membunuh yang lemah tanpa sebab.”
Ouwyang Sianseng masih bersikap sabar. “Kami adalah pejuang-pejuang yang berjiwa patriot. Kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, dan kami mulai dari utara ini dengan cara melenyapkan para perwira dan panglima. Barulah kami akan bergerak ke selatan, menyerang ke kota raja dan merampas tahta kerajaan!” Ketika berkata demikian, sinar mata Ouwyang Sianseng mencorong penuh nafsu dan dendam, juga pemuda di sampingnya yang bukan lain adalah Siangkoan Liong, memandang dengan muka berseri penuh semangat.
“Kami percaya bahwa Locianpwe berdua tentulah dua orang berilmu tinggi yang berjiwa patriot pula, oleh karena itu kami akan merasa gembira sekali kalau Ji-wi sudi membantu perjuangan kami untuk menentang pemerintah penjajah Mancu!” kata Siangkoan Liong.
Kam Hong tersenyum, diam-diam memuji kecerdikan pemuda itu, dan dia menjawab dengan cerdik, “Kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang dipelopori oleh Tiat-liong-pang, tidak tahu apakah Ji-wi ada hubungannya dengan Tiat-liong-pang?” Kemudian disambungnya, “Kami pernah mendengar bahwa Siangkoan Tek, ketua Tiat-liong-pang, adalah seorang yang gagah.”
“Dia adalah ayah saya!” kata Siangkoan Liong dengan cepat, girang bahwa kakek itu mengenal ayahnya dan menyebut ayahnya orang gagah.
Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada isterinya, lalu berkata, seolah-olah kepada isterinya, “Sungguh aneh sekali. Sepanjang pendengaran kita, sekarang Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat, bagaimana bisa begitu?”
Bu Ci Sian mendengus. “Huh, kalau perjuangan sudah dikotori dengan masuknya kaum sesat, jelas bahwa perjuangan itu tidak bersih lagi, hanya merupakan pemberontakan yang berpamrih demi kepentingan pribadi atau golongan. Aku tidak bisa percaya gerakan macam itu!”
“Maaf, maaf....!” kata Ouwyang Sianseng. “Dalam gerakan perjuangan tidak terdapat istilah golongan jahat atau golongan baik, kaum hitam atau kaum putih. Yang penting kita haruslah mengumpulkan seluruh kekuatan dari rakyat jelata untuk menentang pemerintah penjajah. Yang penting, tujuan kita adalah baik, yaitu menumbangkan penjajahan, adapun caranya dapat mempergunakan cara apa saja agar berhasil.”
Kam Hong tertawa, merasa bahwa lawannya terjebak. “Ha, sobat baik, bagaimana mungkin cara yang kotor dapat menghasilkan tujuan yang bersih? Yang penting bukanlah tujuannya, melainkan caranya itulah! Kalau caranya kotor, maka kami tidak ingin mengotorkan tangan membantunya, bahkan sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya. Kalau kalian bersekutu dengan kaum sesat untuk membunuhi para perwira dan panglima, maka terpaksa kami akan menentang kalian!”
Habislah kesabaran Ouwyang Sianseng. Kalau tadi dia bersikap sabar hanya karena dia menghargai kakek dan nenek itu dan kalau mungkin menarik orang-orang pandai sebanyak mungkin untuk membantu gerakannya. Kini, mendengar ucapan Kam Hong, dia pun maklum bahwa akan percuma saja membujuk kakek dan nenek itu untuk bekerja sama kalau pendiriannya seperti itu.
“Bagus! Kalau begitu ternyata kalian adalah pengkhianat penjual negara kepada orang Mancu dan layak mati di tanganku!” berkata demikian, Ouwyang Sianseng lalu menggerakkan kipasnya, melakukan totokan bertubi dengan cepat sekali ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian tubuh atas depan dari lawannya. Melihat gerakan serangan ini, diam-diam Kam Hong terkejut dan dia pun maklum bahwa lawannya ini sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sementara itu, melihat betapa gurunya menyerang kakek lawan, Siangkoan Liong juga menggerakkan pedangnya, menerjang ke arah nenek yang sejak tadi memandang penuh perhatian. Bu Ci Sian tidak terkejut melihat datangnya serangan pedang secepat kilat itu. Begitu tangannya bergerak, nampak sinar keemasan berkelebat dan tangannya sudah memegang sebatang suling emas, tidak sebesar milik suaminya, akan tetapi cukup panjang untuk menjadi sebuah senjata yang digerakkan seperti pedang. Siangkoan Liong yang terkejut ketika tiba-tiba saja matanya silau oleh sinar kuning emas yang mengeluarkan suara mendegung mengerikan dan tahu-tahu dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arahnya. Dia harus memutar pedangnya secepatnya untuk menarik serangan dan mengubah gerakannya menjadi gerakan pertahanan, membentuk gulungan sinar seperti payung yang menjadi perisai dan pelindung tubuhnya.
“Trang-cringgg....!” Kembali Siangkoan Liong terkejut karena tangannya tergetar dan pada saat itu, tangan kiri nenek itu sudah mendorong dan keluarlah hawa panas sekali ke arahnya. Siangkoan Liong adalah seorang pemuda perkasa, dengan ilmu silat yang tinggi, maka menghadapi pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang panas ini dia pun cepat mengelak dan mengibaskan lengan kirinya menyampok dan menangkis, lalu pedangnya berkelebat membalas serangan nenek itu dengan tusukan yang dahsyat. Nenek itu juga maklum akan datangnya tusukan maut, maka dengan amat lincahnya, tubuh nenek itu sudah meliuk dan menghindar, lalu dari samping membalas dengan ujung suling yang menotok tiga kali bertubi-tubi ke arah leher, pundak, lalu lambung! Repot juga Siangkoan Liong menghadapi totokan berbahaya ini dan hanya dengan keadaan terhimpit dan terdesak dia mampu menghindarkan diri lalu memutar pedangnya dan membalas dengan gerakan dahsyat dan sengit karena dia merasa penasaran dan marah sekali.
Ketika Ouwyang Sianseng melakukan totokan ke arah tubuh atas Kam Hong dengan gagang kipasnya, tiba-tiba saja kipasnya bertemu dengan sebatang kipas lain yang dipegang oleh tangan kiri Kam Hong. Ouwyang Sianseng terkejut akan tetapi juga kagum dan gembira. Kiranya lawannya ini pun agaknya pandai mempergunakan kipas sebagai senjata! Ouwyang Sianseng lalu mengeluarkan kepandaiannya, kipasnya bergerak-gerak dengan cepatnya. Kipas itu bagaikan seekor kupu-kupu raksasa, beterbangan, kadang-kadang terbuka sayapnya, kadang-kadang tertutup dan kalau terbuka sayapnya, kipas menyambar mendatangkan angin yang kuat, kalau tertutup sayapnya, gagang kipas meluncur dengan totokan-totokan maut! Diam-diam Kam Hong kagum sekali dan dia pun menggerakkan kipasnya dan mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang hebat dan kuat. Dengan ilmu itu, Kam Hong juga ingin menguji ilmu kepandaian lawan.
Ouwyang Sianseng juga kagum. Ternyata lawannya ini memiliki ilmu permainan kipas yang kuat dan tangguh, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya, membantu kipasnya dengan pukulan-pukulan tangan miring yang menjadi demikian kuat tiada ubahnya sebatang pedang, membabat dan mengeluarkan suara bercuitan. Terkejutlah Kam Hong. Sungguh seorang lawan yang amat tangguh. Sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu lawan setangguh ini, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar kuning emas bergulung-gulung, dibarengi suara suling yang melagu seperti ditiup saja. Padahal suling itu mengeluarkan suara hanya karena digerakkan oleh Kam Hong. Sinar terang menyambar bagaikan kilat dari atas mengarah kepala Ouwyang Sianseng. Orang ini terkejut, menangkis dengan kipasnya dan akibatnya, dia terhuyung! Dia segera meloncat ke belakang.
“Tahan!” serunya kaget dan dia memandang penuh perhatian. Kam Hong menghentikan gerakannya, tersenyum menanti, kipas di tangan kiri, suling emas di tangan kanan, sikapnya halus namun gagah sekali, membuat Ouwyang Sianseng merasa gentar juga.
“Kau kau Pendekar Suling Emas....?” tanyanya, suaranya agak gemetar saking tegangnya.
Kam Hong tersenyum, bukan senyum bangga, melainkan merasa betapa lucunya segala macam julukan itu, seperti kanak-kanak manja yang ingin dipuji saja!
“Dulu orang menyebut aku seperti itu, akan tetapi sekarang aku hanyalah seorang tua bangka yang sebetulnya tidak ingin lagi mempergunakan senjata, kalau tidak terpaksa. Serangan-seranganmu berbahaya, engkau seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan terpaksa aku harus mengeluarkan kedua senjataku ini.”
Biarpun belum berkelahi dengan sungguh-sungguh, namun Ouwyang Sianseng merasa gentar. Dia sudah mendengar akan nama besar Pendekar Suling Emas, dan sudah mendengar pula betapa isteri pendekar itu pun merupakan adik seperguruan yang lihai. Ketika dia melirik, dia melihat betapa Siangkoan Liong repot bukan main menghadapi gulungan sinar kuning emas dari suling di tangan nenek itu, maka dia pun membentak, “Siangkoan Liong, mundur dan jangan kurang ajar di depan orang pandai!”
Mendengar bentakan suhunya, Siangkoan Liong merasa heran, akan tetapi juga lega dan dia pun cepat meloncat mundur mendekati gurunya. Dia sudah terdesak hebat dan kini dia dapat menghentikan perkelahian itu tanpa merasa meninggalkan gelanggang karena dia dilarang gurunya! Jadi dia berhenti sebelum kalah. Melihat lawannya mundur, Bu Ci Sian yang kini telah berubah wataknya menjadi penyabar seperti suaminya, lalu tersenyum dan berdiri di samping suaminya. Kalau mengingat wataknya ketika gadis dahulu, tentu ia tidak akan berhenti sebelum lawannya kalah dan akan mendesak terus!
Ouwyang Sianseng berkata kepada muridnya, sekedar untuk membuyarkan suasana penuh pertentangan tadi, “Ketahuilah, bahwa Locianpwe ini bukan lain adalah Pendekar Suling Emas dan isterinya yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia sebagai pendekar-pendekar yang berbudi dan gagah perkasa.” Lalu dia menjura kepada Kam Hong dan isterinya, diikuti pula oleh Siangkoan Liong yang sudah cepat-cepat menyimpan kembali pedangnya.
“Saudara yang perkasa,” kata Ouwyang Sianseng, “kami sudah mendengar bahwa saudara dan isteri saudara adalah pendekar-pendekar perkasa, oleh karena itu, dengan segala kehormatan kami mengundang Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami, bersama-sama menentang pemerintah penjajah dan membasmi mereka untuk menyelamatkan tanah air dan bangsa....”
“Cukup,” kata Kam Hong dengan alis berkerut. “Sudah kami katakan tadi, kalau gerakan kalian itu didukung oleh para tokoh sesat, maka itu merupakan suatu pemberontakan berpamrih demi kepentingan golongan sendiri, dan kami sudah pasti tidak akan suka bekerja sama, bahkan akan menentangnya.”
Ouwyang Sianseng tersenyum pahit. “Terserah kalau demikian penilaianmu! Sudahlah, Siangkoan Liong, mari kita pergi!” katanya dan sekali meloncat, dia pun sudah lenyap, demikian cepatnya gerakan kakek ini. Siangkoan Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar gurunya yang sudah berada jauh di depan.
Kam Hong menarik napas panjang. “Hebat sekali kepandaian orang itu!”
“Orang muda itu pun lihai sekali!” kata pula isterinya.
Panglima yang tadi hampir celaka di tangan guru dan murid yang lihai itu, kini menghampiri mereka dan di depan Kam Hong, dia lalu memberi hormat dengan hati terharu, “Kalau bukan Ji-wi Taihiap yang muncul dan menolong, tentu kami semua telah tewas di tangan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong itu. Kami menghaturkan terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan mohon tanya nama besar Ji-wi. Kami sendiri adalah Panglima Liu, utusan dari kota raja yang hendak menyelidiki peristiwa aneh yang terjadi di benteng pasukan pemerintah di utara.”
Kam Hong dan Bu Ci Sian membalas penghormatan itu dengan sederhana. Bagaimanapun juga, mereka berdua tidak mempunyai perasaan bersahabat dengan para pembesar pemerintah Mancu yang menjajah tanah air mereka. Akan tetapi Kam Hong tertarik juga untuk menyelidiki keadaan para pemberontak yang bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat.
“Liu Tai-ciangkun, sebenarnya apakah yang telah terjadi. Mengapa kedua orang tadi menghadang rombongan Ciangkun di sini dan membunuh?” tanya Kam Hong.
“Di perbentengan utara terjadi kehebohan karena banyak sekali perwira-perwira dan panglima yang setia kepada pemeritah tiba-tiba lenyap, dan kedudukan mereka diganti oleh orang-orangnya Coa-ciangkun yang memimpin sebagian dari pasukan di utara. Coa-ciangkun menurut laporan yang kami terima, dicurigai mengadakan hubungan dengan Tiat-liong-pang yang akan memberontak. Maka, kami diutus dengan wewenang penuh dari raja untuk melakukan penyelidikan dan menangkap mereka yang bersalah dan berkhianat. Kami sudah mendapat laporan lengkap tentang Tiat-liong-pang dan tentang hubungan Coa-ciangkun dengan para pemberontak. Oleh karena itu, kami tahu bahwa dua orang tadi adalah Ouwyang Sianseng atau juga dikenal dengan nama Nam San Sianjin, dan yang muda itu adalah Siangkoan Liong, putera dari Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Tentu saja mereka hendak membunuh kami karena mudah diduga bahwa Tiat-liong-pang atau para pemberontak yang bersekutu dengan Coa-ciangkun itulah yang telah menculik dan membunuhi para perwira dan panglima yang setia kepada pemerintah, untuk diganti dengan kaki tangan mereka sendiri agar pasukan mudah dikuasai untuk membantu gerakan pemberontakan.”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Biarpun dia sendiri tentu saja sama sekali tidak berniat untuk membantu tegaknya pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi gerakan Tiat-liong-pang yang didukung para tokoh dunia hitam ini amatlah berbahaya bagi keselamatan rakyat jelata dan dia harus ikut menentangnya, bukan untuk membantu pemerintah, melainkan untuk membasmi para tokoh sesat yang tentu hendak memancing di air keruh itu.
“Kalau begitu berbahaya sekali. Biarpun Ciangkun sudah terhindar dari bahaya di sini, akan tetapi kedua orang itu tentu akan menghubungi panglima yang menjadi sekutunya dan sebelum Ciangkun tiba di benteng, tentu akan dihadang dan dibunuh.”
Panglima Liu mengangguk-angguk, saling pandang dengan empat orang pengawal pribadinya yang tadi mati-matian mempertahankan keselamatan atasan mereka dari serangan guru dan murid itu.
“Baiklah, kita mencari jalan bagaimana baiknya. Mari, silakan duduk di sana, karena kami mohon bantuan Ji-wi untuk mencari jalan keluar yang baik, sementara empat orang pengawalku biar mengubur jenazah belasan orang anggauta pasukan pengawal itu.”
Panglima besar Liu mengajak Kam Hong dan Bu Ci Sian bercakap-cakap di bawah pohon, sedangkan empat orang pengawal itu menggali sebuah lubang besar untuk mengubur belasan orang rekan mereka yang tewas dalam pertempuran tadi.
Sambil duduk di bawah pohon, panglima besar Liu bercakap-cakap dengan kakek dan nenek pendekar itu, minta pendapat dan nasihat mereka. Setelah mendengar semua penjelasan panglima itu, Kam Hong lalu mengajukan siasat, yaitu agar Liu Tai-ciangkun dan empat orang pengawal pribadinya bersembunyi dulu di dalam hutan, ditemani dan dilindungi oleh Bu Ci Sian. Sedangkan Kam Hong sendiri akan membawa surat panglima itu menemui Pouw-ciangkun, yaitu perwira yang telah mengirim laporan kepada para pembesar di kota raja. Kam Hong akan mengajak perwira Pouw itu keluar dari benteng dan menjumpai Liu Tai-ciangkun dan kemudian akan diatur rencana sebaiknya untuk menyambut kedatangan panglima besar itu agar dapat memasuki benteng tanpa gangguan dari pihak pengkhianat dan pemberontak. Setelah masuk ke dalam benteng, dikawal oleh Kam Hong dan isterinya, maka panglima dan perwira yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang dapat diringkus sebelum mereka dapat melakukan gerakan.
Setelah penguburan itu selesai, Kam Hong dan isterinya mengajak Panglima Liu masuk ke dalam hutan dan memilih tempat yang baik untuk bersembunyi, yaitu di sebuah gua. Kemudian, Kam Hong meninggalkan mereka untuk menyelundup ke dalam benteng. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Kam Hong untuk menyelundup, ke dalam benteng tanpa diketahui para penjaga, melompati pagar tembok benteng dan mencari perwira Pouw!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya perwira Pouw yang sedang tidur di dalam kamarnya seorang dari ketika tiba-tiba saja ada orang mengguncang tubuhnya dan ketika dia terbangun, dia melihat seorang kakek sastrawan sudah berdiri di dekat pembaringannya. Akan tetapi kakek itu memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan suara.
“Tenanglah, Pouw-ciangkun, aku datang bukan dengan niat buruk. Aku adalah utusan dari panglima besar yang datang dari kota raja.”
Wajah Pouw-ciangkun yang tadinya sudah pucat itu menjadi agak merah kembali. Tadinya dia mengira bahwa tentu orang ini masuk ke kamarnya untuk menculik dan membunuhnya, seperti yang telah terjadi pada belasan orang rekannya yang lenyap tanpa meninggalkan bekas. Mendengar kata-kata itu, dia terkejut dan heran, lalu bangkit duduk, masih belum lenyap kekhawatirannya. Kam Hong maklum akan kegelisahan perwira itu, maka cepat dia mengeluarkan sebuah sampul yang ada cap dari Panglima Besar Liu, dan menyerahkannya kepada perwira itu.
“Nah, inilah surat dari beliau untukmu, Pouw-ciangkun.”
Perwira itu menerima sampul, memeriksanya dan hatinya menjadi semakin lega ketika dia melihat bahwa memang benar cap pada sampul itu adalah cap dari Panglima Besar Liu yang dikenalnya sebagai seorang panglima yang jujur dan adil, juga bertangan besi terhadap para pemberontak.
“Akan tetapi, mengapa Liu-tai-ciangkun tidak langsung saja datang bersama pasukan pengawalnya ke sini? Kenapa harus mengutus Locianpwe?” Pouw-ciangkun menggunakan sebutan penghormatan ini karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang berilmu tinggi sehingga malam itu dapat tiba-tiba saja muncul di dalam kamarnya seperti setan. Bagaimanapun juga, dia masih sangsi karena peristiwa ini terlalu aneh baginya.
Kam Hong maklum akan keraguan perwira itu. “Liu-ciangkun dan pasukan pengawalnya dihadang oleh Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong di dalam perjalanan dan belasan orang pasukan pengawalnya tewas semua. Hanya beliau dan empat orang pengawal pribadi yang masih hidup ketika aku dan isteriku datang membantunya. Karena kami maklum bahwa nyawanya masih terancam, maka akulah yang datang mengantar suratnya, dan isteriku melindunginya di tempat persembunyian.”
Mendengar ini, terkejutlah Pouw-ciangkun. Kini dia percaya dan cepat dibuka dan dibacanya surat itu. Ternyata Liu-tai-ciangkun memanggilnya, sekarang juga agar dia ikut dengan kakek sakti ini. Tanpa banyak cakap lagi Pouw-ciangkun lalu diam-diam memanggil tiga orang rekannya, yaitu para perwira lain yang setia kepada pemerintah. Tiga orang perwira itu pun terkejut melihat Kam Hong, akan tetapi ketika mereka mendengar keterangan Pouw-ciangkun, mereka lalu mengatur siasat dengan Pouw-ciangkun.
“Malam ini aku akan pergi menghadap Liu-tai-ciangkun bersama Locianpwe ini dan kalian harus dapat merahasiakan kepergianku ini. Aku akan mengambil jalan rahasia kita, dan mungkin besok malam aku baru kembali.” kata Pouw-ciangkun. Para rekannya menyetujui dan demikianlah, Pouw-ciangkun lalu pergi bersama Kam Hong, melalui jalan rahasia di belakang benteng. Tanpa diketahui orang lain, mereka berdua pergi meninggalkan benteng dan lewat tengah malam, mereka tiba di dalam hutan di mana Liu-tai-ciangkun bersembunyi di dalam gua dijaga oleh empat orang pengawal pribadi dan juga nenek Bu Ci Sian.
Pouw-ciangkun cepat memberi horinat kepada atasannya itu dan mereka bersama Kam Hong dan Bu Ci Sian, segera mengadakan perundingan dan mengatur siasat. Pouw-ciangkun menceritakan betapa keadaan sudah amat berbahaya karena kekuasaan Coa-tai-ciangkun kini menjadi semakin besar. Tidak kurang dari dua puluh orang perwira yang menjadi bawahannya dan yang menyetujui persekutuannya dengan Tiat-liong-pang, termasuk mereka yang diangkat untuk menggantikan para perwira setia yang diculik.
“Bagaimana dengan pasukannya sendiri?” tanya Liu-ciangkun, terkejut juga mendengar akan hal itu.
“Sudah saya selidiki, Tai-ciangkun. Para anggauta pasukan agaknya belum tahu akan niat Coa-ciangkun yang bersekutu dengan para pemberontak. Akan tetapi, pasukan yang bertugas di utara adalah pasukan istimewa yang selalu mentaati perintah atasan tanpa banyak bertanya. Jadi, kalau para perwiranya sudah dapat dikuasai Coa-ciangkun, maka dengan sendirinya pasukannya juga akan taat akan segala perintahnya. Mereka takkan mundur walaupun diperintah untuk menyerbu pasukan pemerintah sendiri!”
“Berapa jumlah seluruh pasukan yung berjaga di tapal batas utara?”
“Yang sudah siap di benteng adalah pasukan-pasukan inti yang jumlahnya kurang lebih selaksa orang. Pasukan cadangan berada di benteng sebelah selatan, akan tetapi mereka itu biasanya kurang siap dan kurang kuat karena merasa jauh dari bahaya, tidak seperti pasukan inti yang berada di tapal batas.”
“Dan berapa banyak yang telah dipengaruhi Coa-ciangkun?”
“Melihat jumlahnya perwira, kurang lebih separuh yang telah dikuasainya. Yang separuh lagi, sebagian masih setia kepada kerajaan, ada sebagian yang bimbang dan gelisah karena adanya penculikan-penculikan itu.”
Liu-ciangkun mengangguk-angguk. “Engkau kembali ke benteng dan hubungi para rekan yang setia, agar mereka siap siaga. Lalu aturlah agar terdapat pasukan khusus yang menyambut kedatanganku yang akan dikawal oleh kedua Locianpwe ini. Dengan adanya penyambutan pasukan khusus yang cukup besar jumlahnya, apalagi adanya kedua Locianpwe ini, tentu para penjahat itu tidak berani turun tangan. Kemudian, di sana aku akan memanggil semua perwira dan panglima untuk berkumpul dan mengadakan rapat. Nah, pada saat itulah aku akan mengumumkan penangkapan terhadap mereka. Engkau harus sudah mempersiapkan pasukan yang setia untuk mengepung tempat pertemuan itu sehingga mereka tidak akan mampu lolos. Kemudian, akan kuangkat perwira-perwira baru yang setia, dan semua gerakan ini harus dirahasiakan, jangan sampai bocor agar jangan diketahui oleh pihak Tiat-liong-pang. Selanjutnya akan kuatur nanti. Demikianlah Liu-tai-ciangkun mengambil keputusan setelah berunding dengan Kam Hong dan Bu Ci Sian.
Untuk menjaga keselamatannya agar semua rencana dapat berjalan dengan lancar, Pouw-ciangkun kembali ditemani Kam Hong ketika kembali ke benteng, juga melalui jalan rahasia di belakang benteng setelah melihat betapa Pouw ciangkun kembali dengan selamat tanpa diketahui siapapun, Kam Hong lalu kembali dan mereka semua menanti datangnya pasukan yang akan mengadakan penyambutan.
Pouw-ciangkun berunding dengan para rekannya, kemudian mengumumkan bahwa Liu-tai-ciangkun akan datang berkunjung ke benteng, maka dia dan para rekannya lalu mempersiapkan dua ratus orang pasukan khusus untuk keluar benteng melakukan penyambutan. Tentu saja diam-diam Coa-tai-ciangkun sudah mendengar dari sekutunya akan datangnya Lui-tai-ciangkun dari kota raja yang pangkatnya lebih tinggi darinya, bahkan yang membawa surat kuasa dari para penguasa di kota raja. Dia tidak berdaya untuk menghalangi kunjungan ini, akan tetapi karena merasa bahwa kekuasaannya di benteng amat besar, dia tidak merasa khawatir, bahkan oleh Ouwyang Sianseng dianjurkan untuk menerima utusan kota raja itu dalam benteng. Nanti kalau gerakan dimulai, akan mudah menyergap Lui-tai-ciangkun, demikian pendapat Ouwyang Sianseng. Andaikata pasukan penyambut tidak begitu besar, tentu Coa-tai-ciangkun dan para rekannya akan turun tangan menghadang dan membasmi pasukan penyambut dan membunuh utusan kota raja itu. Akan tetapi pasukan yang dikumpulkan dan dikerahkan Pouw-ciangkun itu berjumlah dua ratus orang dan merupakan pasukan khusus, maka tentu saja hal ini akan sukar dilaksanakan tanpa terjadi pertempuran besar yang tentu akan mengguncangkan benteng itu dan akan memecah belah pasukan sehingga akan terjadi perang saudara sendiri yang akan menghancurkan seluruh pasukan!
Ketika pasukan khusus itu memasuki hutan, muncullah Liu Tai-ciangkun bersama empat orang pengawal pribadi, ditemani pula oleh kakek dan nenek itu yang selalu siap siaga, menjaga segala kemungkinan. Namun, penyambutan berjalan lancar dan dengan kehormatan, Lui Tai-ciangkun dikawal oleh pasukan itu memasuki benteng.
Begitu memasuki benteng dan disambut oleh semua perwira dan panglima, Liu Tai-ciangkun berkata dengan suara lantang, “Kami datang membawa perintah dari kota raja! Kami akan mengadakan rapat rahasia dengan seluruh pimpinan di benteng ini. Tidak seorang pun dari luar, kecuali kedua Locianpwe ini, yang boleh berada di dalam benteng. Pintu benteng harus ditutup dan dijaga ketat agar tidak ada orang luar dapat masuk. Kuperingatkan pasukan yang menjemputku tadi agar dibagi dan melakukan penjagaan membantu para penjaga di semua pintu benteng! Sekarang, kuperintahkan agar semua perwira dan panglima berkumpul di ruangan rapat pusat!”
Karena utusan dari kota raja itu memperlihatkan pula surat kuasa yang dibawanya dari kota raja, maka tak seorang pun perwira berani membantah, bahkan Coa Tai-ciangkun tidak membantah. Dia merasa lega karena sikap panglima tinggi dari kota raja itu sama sekali tidak memperlihatkan kecurigaan kepadanya, dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa utusan itu akan melakukan tindakan-tindakan. Maka dia pun memberi isyarat kepada para kaki tangannya untuk mematuhi perintah itu, untuk melihat perkembangan selanjutnya sebelum dia mengambil keputusan untuk bergerak.
Semua perwira berkumpul di dalam ruangan rapat yang luas itu, dan diam-diam pasukan yang khusus dipersiapkan oleh Pouw-ciangkun dan para rekannya seperti yang telah direncanakan oleh Liu-tai-ciangkun, mulai mengepung ruangan rapat itu. Ada lima ratus orang pasukan dikerahkan, mengepung rapat tempat itu bukan hanya untuk mencegah mereka yang berada di dalam menerobos keluar, juga untuk menjaga kalau-kalau ada kaki tangan pemberontak yang menyerbu untuk membebaskan mereka yang berada di dalam ruangan rapat! Dan semua ini berlangsung diam-diam tanpa keributan seperti yang diperintahkan Liu-tai-ciangkun sehingga tidak ada seorang pun di antara para perwira yang mengetahui bahwa tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh pasukan. Tentu saja yang mengetahui hanya Liu-tai-ciangkun, Pouw-ciangkun dan para rekan-rekannya yang melaksanakan siasat itu.
Suasana dalam rapat itu tenang setelah semua orang mengambil tempat duduk. Ada tiga puluh orang lebih perwira menengah dan perwira tinggi, dan semua kursi menghadap ke arah panggung di mana duduk Liu-tai-ciangkun yang dikawal hanya oleh kakek dan nenek yang duduk tenang di belakangnya itu. Tidak ada anggauta pasukan pengawal menjaga panglima tinggi ini. Dan kakek nenek itu kelihatannya sudah tua dan lemah, bahkan sama sekali tidak nampak membawa senjata.
Setelah menghitung jumlah perwira. Liu-tai-ciangkun membuka persidangan itu dengan pertanyaan. “Mengapa yang hadir hanya ini? Di mana lagi yang lain? Bukankah di sini terdapat perwira-perwira yang jumlahnya ada lima puluh orang?” Lalu dia memandang ke arah Coa Tai-ciangkun yang duduk di deretan paling depan. “Coa-ciangkun, setelah dua orang panglima lainya tidak hadir, maka engkaulah perwira paling tinggi pangkatnya di sini. Nah, aku ingin mendengar laporanmu di mana adanya belasan orang perwira lainnya itu dan mengapa pula mereka tidak hadir!”
Wajah Coa Tai-ciangkun berubah merah. Dia merasa heran mengapa utusan kota raja ini masih berpura-pura. Dia yakin bahwa tentu ada di antara para perwira yang melapor ke kota raja dan tentu dalam laporan itu sudah disebutkan akan lenyapnya belasan orang perwira secara aneh. Mengapa Liu Tai-ciangkun masih berpura-pura bodoh dan bertanya kepadanya? Namun, dengan sikap tenang dia lalu bangkit berdiri, memberi hormat secara militer dan melapor dengan suaranya yang lantang.
“Lapor kepada Liu Tai-ciangkun! Empat belas orang perwira dan panglima yang pada hari ini tidak hadir, telah lenyap dalam waktu selama dua bulan ini. Mereka lenyap secara aneh dan biarpun kami sudah mencari-carinya, namun tidak berhasil menemukan di mana mereka berada, sudah mati ataukah masih hidup!”
Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya. “Hemmm, mana mungkin ada belasan orang perwira lenyap begitu saja dari dalam benteng tanpa diketahui orang sama sekali ke mana perginya?”
“Kami semua sudah berusaha mencari dan menyebar penyelidik, namun tidak berhasil. Kami telah menunjuk perwira-perwira pengganti untuk sementara, dan karena mereka belum dilantik dan disahkan, maka tidak kami hadirkan di tempat ini.”
“Hemmm, sungguh kacau balau dan menyedihkan! Kehilangan belasan orang perwira tanpa dapat diketahui ke mana mereka pergi hanya menunjukkan kelemahan para pemimpin yang menguasai perbentengan ini. Perlu diadakan perombakan seperlunya! Sekarang kami hendak mengadakan pemilihan, dan perwira yang namanya kami sebut, harap suka berdiri di bagian kiri ruangan ini!? Mendengar suara Liu Tai-ciangkun yang penuh wibawa, semua perwira yang hadir saling pandang dan merasa tegang, bahkan Coa Ciangkun sendiri merasa tidak enak, akan tetapi dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh utusan kota raja itu, maka dia pun tidak dapat berbuat sesuatu kecuali saling pandang dengan para anak buahnya. Selagi masih kebingungan karena tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara Liu Tai-ciangkun yang lantang memanggil namanya!
“Panglima Coa Seng! Silakan berdiri di bagian kiri sana!”
Tentu saja Coa Tai-ciangkun semakin kaget, akan tetapi dia tidak dapat berbuat lain kecuali bangkit berdiri dari tempat duduknya, memandang ke sekeliling, kemudian kepada Liu Tai-ciangkun yang dengan tangannya mempersilakan dia pergi ke bagian kiri ruangan itu, di mana sudah ada bangku-bangku kosong menunggu. Dengan senyum menghias bibirnya dan sikap yang tenang karena dia percaya akan kekuasaannya, Coa Tai-ciangkun yang bernama Coa Seng itu lalu melangkah dan duduk di bangku terdepan dari tempat yang ditunjuk itu.
“Perwira Song Pun Ki!” Disebutnya nama ke dua ini membuat jantung Coa Tai-ciangkun berdebar tegang. Kenapa kebetulan sekali yang disebut sebagai orang ke dua adalah Song-ciangkun, perwira berkumis tebal yang menjadi tangan kanannya dalam persekutuannya degan pihak Tiat-liong-pang? Apakah ini hanya kebetulan saja? Akan tetapi, seperti juga dia, Song-ciangkun tidak dapat membantah dan dia pun lalu bangkit, lalu berjalan dengan langkah lebar, lalu duduk di dekat Coa Tai-ciangkun, sejenak mereka saling pandang, akan tetapi tentu saja tidak sempat untuk bicara.
Nama demi nama dipanggil dan keadaan menjadi semakin menegangkan karena ternyata bahwa nama-nama yang dipanggil ini adalah nama-nama para perwira yang menjadi anak buah Coa Tai-ciangkun, yaitu para perwira yang sudah setuju untuk bersama Tiat-liong-pang melakukan pemberontakan!
Setelah dua puluh dua orang perwira dipanggil dan berkumpul di bagian kiri ruangan itu, panggilan dihentikan oleh Liu Tai-ciangkun dan panglima tinggi ini lalu bangkit berdiri. Sambil memandang ke arah para perwira yang duduk di ruangan sebelah kiri, dan dengan suara lantang, Panglima Liu itu lalu berkata dengan tegas, “Panglima Coa Seng dan semua perwira yang telah berkumpul di sebelah kiri, semua sebanyak dua puluh dua orang, atas nama Kaisar, dengan wewenang yang ada pada kami selaku utusan yang berkuasa penuh, kami menangkap dan menahan kalian dengan tuduhan memberontak!”
Coa-ciangkun, Song-ciangkun dan rekan-rekannya serentak bangkit berdiri, ada pula yang mencabut pedang. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan dua orang berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu, kakek Kam Hong dan isterinya, nenek Bu Ci Sian, sudah meloncat ke arah sekumpulan perwira yang hendak ditangkap itu. Pada saat itu, Coa-ciangkun dan Song-ciangkun sudah siap memberontak bersama rekan-rekannya, dan memberi tanda kepada anak buah mereka yang berada di luar. Bahkan mereka sudah mencabut pedang masing-masing.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Coa-ciangkun roboh terkulai, terkena totokan jari tangan kakek Kam Hong, sedangkan Song-ciangkun demikian pula, roboh tertotok oleh nenek Bu Ci Sian! Para perwira lainnya segera menyerang dan hendak memberontak di ruangan itu, maka kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian bergerak cepat merobohkan beberapa orang. Pada saat itu, pasukan yang sudah siap di luar dan mengepung tempat itu, menerjang masuk dan dengan mudah, tanpa banyak menimbulkan kegaduhan, apalagi karena dibantu oleh Kam Hong dan Bu Ci Sian, dua puluh dua orang perwira pemberontak itu dapat dilumpuhkan, diborgol kedua tangan mereka dan menjadi tawanan! Semua ini berlangsung tanpa diketahui orang luar.
Liu Tai-ciangkun lalu memerintahkan agar menjaga ketat benteng itu dan melarang semua anggauta pasukan keluar dari dalam benteng. Ternyata perintahnya ini membawa hasil dengan ditangkapnya puluhan orang anak buah pasukan, perwira-perwira rendahan yang hendak melarikan diri keluar benteng. Mereka adalah anak buah Coa Tai-ciangkun yang mendengar akan penangkapan-penangkapan itu dan mereka hendak melarikan diri dan melapor kepada Tiat-liong-pang. Namun, berkat kesiapsiagaan sesuai dengan perintah Liu-tai-ciangkun, mereka semua tertangkap dan selanjutnya, dengan memaksa para tawanan ini, dengan mudah rekan-rekan mereka ditangkapi. Ternyata jaringan itu sudah cukup luas karena jumlah orang tawanan ada seratus orang lebih!
Liu-ciangkun lalu mengangkat perwira-perwira baru untuk menggantikan memegang pimpinan di dalam benteng itu, dan membersihkan semua unsur pemberontakan. Para tawanan dikawal dengan ketat oleh pasukan khusus, lalu dikirim ke kota raja untuk diadili. Semua ini terjadi tanpa kebocoran sehingga pihak Tiat-liong-pang sama sekali tidak mengetahuinya. Setelah penumpasan para perwira pemberontak di dalam benteng itu selesai, kakek Kam Hong dan isterinya, nenek Bu Ci Sian lalu meninggalkan benteng untuk melakukan penyelidikan ke Tiat-liong-pang karena mereka menduga bahwa besar sekali kemungkinan puteri mereka juga berada di antara para pendekar yang kabarnya juga bergerak menentang para tokoh sesat yang bersekutu dengan Tiat-long-pang untuk melakukan pemberontakan, seperti yang mereka dengar dari para penyelidik pasukan yang masih setia kepada pemerintah. Liu-ciangkun mengucapkan terima kasih dan ketika panglima ini hendak memberi hadiah berupa barang berharga dan emas, tentu saja kakek dan nenek itu menolak secara halus dan sekali berkelebat keduanya pergi tanpa pamit lagi.
***
Pengalamannya yang pahit ketika dia bertemu dengan kakek sakti Kam Hong dan isterinya itulah yang membuat Ouwyang Sianseng tidak mau membunuh tiga orang pendekar yang tertawan itu begitu saja. Dia tahu betapa di antara para pendekar terdapat banyak sekali orang sakti, dan bahwa dia harus mendapatkan lebih banyak pembantu yang memiliki kepandaian tinggi, karena kalau tidak, hanya mengandalkan pasukan saja akan sukarlah gerakan mereka itu akan berhasil dengan baik. Para pendekar yang menentang gerakannya harus dapat dihadapi dengan kekuatan yang memiliki ilmu silat tinggi pula. Maka, melihat betapa Hong Beng, Kun Tek dan Li Sian ketiganya adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, Ouwyang Sianseng merasa sayang kalau harus membunuh mereka begitu saja. Oleh karena itu, dia berusaha sedapat mungkin untuk membuat mereka bertiga itu tunduk dan takluk, kemudian suka membantu gerakan “perjuangan” mereka menjatuhkan pemerintah Mancu. Setelah memperlihatkan hukuman yang amat mengerikan kepada Cui Bi atau Nyonya Pouw Ciang Hin untuk membuat hati mereka bertiga itu ngeri, Ouwyang Sianseng meninggalkan mereka dan memberi waktu sehari semalam untuk memilih, yaitu mereka bertiga menakluk dan membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang!
Setelah Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong meninggalkan mereka bertiga, tiga orang muda itu saling pandang, Pouw Li Sian bergidik mengenang nasib yang menimpa diri bekas kakak iparnya tadi. Akan tetapi ia dapat membayangkan apa yang terjadi pada diri kakak iparnya itu setelah kakaknya terbunuh. Agaknya Siangkoan Liong menyuruh tangkap wanita itu dan dengan kepandaiannya merayu ditambah ketampanan dan kegagahannya, Siangkoan Liong telah berhasil menundukkan wanita yang agaknya tak dapat mempertahankan kehormatannya dan menyerahkan diri menjadi kekasih atau permainan Siangkoan Liong! Hal ini mudah dilihat tadi ketika kakak iparnya itu mencela dan memakinya, dan sikap wanita itu terhadap Siangkoan Liong. Sungguh pemuda berhati iblis! Ia sendiri telah menjadi korban rayuan pemuda jahat itu! Li Sian merasa menyesal sekali dan diam-diam ia bersumpah untuk membunuh pemuda itu sebelum ia mati.
Tiba-tiba terdengar suara Gu Hong Beng, halus namun penuh kesungguhan, ditujukan kepada ia dan Kun Tek. “Bagaimana pendapat kalian dengan pilihan yang mereka ajukan tadi?”
Mendengar pertanyaan ini, Li Sian meragu untuk menjawab, akan tetapi Cu Kun Tek, dengan suaranya yang besar dan lantang, segera menjawab tanpa banyak pikir lagi. “Pilihan yang mana? Bagiku tidak ada pilihan lain! Lebih baik mati daripada harus takluk kepada mereka! Menyerah dan membantu pemberontakan mereka? Huh, biar mereka membunuh aku seratus kali, aku tetap tidak akan sudi untuk menakluk!”
“Hemmm, jadi engkau memilih mati konyol di tangan mereka, Kun Tek? Bagaimana dengan pendapatmu, nona Pouw?”
Diam-diam Li Sian merasa kagum sekali melihat sikap Kun Tek. Pemuda tinggi besar ini tidak hanya gagah wajah dan tubuhnya, akan tetapi juga wataknya amat gagah perkasa, seorang pendekar perkasa sejati! Ia memandang kagum kepada pemuda itu dan mendengar pertanyaan Hong Beng, ia pun menoleh kepadanya.
“Bagi aku pun tidak ada pilihan lain. Aku tidak sudi menyerah dan menakluk kepada mereka!”
“Bagus sekali! Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona. Kita berdua tidak sudi menakluk, biarlah kalau Hong Beng takut mati dan ingin menakluk. Aku akan menemanimu sampai kita berdua dibunuh, kemudian nyawaku akan menemani nyawamu sampai selamanya. Jangan khawatir, nona Pouw, sekali bicara, aku akan memegang teguh janjiku, disaksikan Langit dan Bumi!”
Mendengar ini, wajah Pouw Li Sian menjadi agak pucat dan ia memandang kepada Kun Tek dengan mata terbelalak. Hatinya seperti ditusuk dan merasa terharu sekali.
“Saudara Cu Kun Tek.... engkau.... mengapa engkau berkata demikian? Mengapa....?” Ia bertanya agak gagap karena ia benar-benar merasa terkejut, heran dan bingung mendengar ucapan Kun Tek tadi. Akan tetapi Hong Beng hanya menahan senyumnya, karena pemuda ini sudah dapat menjenguk isi hati Kun Tek dan tahu bahwa Kun Tek telah jatuh hati kepada Pouw Li Sian.
Kun Tek adalah seorang pemuda yang keras hati, jujur dan dalam hal cinta mencinta, dia dapat dikatakan masih hijau. Selama hidupnya, pernah dia satu kali jatuh cinta, yaitu kepada seorang gadis bernama Can Bi Lan yang sekarang menjadi isteri Pendekar Suling Naga (baca kisah Suling Naga). Ketika cintanya gagal karena dia bertepuk tangan sebelah, dia merasa jera untuk mendekati gadis lagi sehingga sampai sekarang dia tidak pernah lagi mau bergaul dengan seorang gadis, sampai kini dia bertemu dengan Li Sian dan tergila-gila karena jatuh cinta! Saking jujurnya, maka di depan Hong Beng dia pun tidak merasa ragu-ragu lagi untuk membuat pengakuan, apalagi mengingat bahwa mereka menghadapi ancaman maut yang agaknya takkan terelakkan lagi itu.
“Nona Pouw Li Sian, aku kagum padamu, aku kasihan padamu, dan aku.... aku cinta padamu! Nah, lega rasanya hatiku setelah pengakuan ini. Kita akan mati bersama-sama, dan memang sebaiknya sebelum mati engkau mengetahui bahwa aku cinta padamu dan bersedia mati untukmu. Apalagi mati bersamamu, merupakan suatu kebahagiaan bagiku, Nona. Jangan khawatir, sampai mati pun, nyawaku pasti akan tetap mendampingimu, karena kata orang-orang bijaksana, cinta kasih tidak akan mati bersama badan!”
Kini wajah Li Sian berubah merah sekali, lalu berubah pucat lagi, dan merah lagi. Ia merasa begitu terharu sampai tak dapat membendung lagi turunnya air matanya yang deras. Betapa luhur budi pemuda ini, pikirnya, betapa jauh dibandingkan Siangkoan Liong! Cinta pemuda ini demikian murni dan agung, bukan sekedar nafsu terselubung kata-kata manis penuh rayuan, melainkan pernyataan cinta yang tulus dan bersih.
Melihat gadis itu tiba-tiba menangis dengan air mata bercucuran, seketika wajah Kun Tek menjadi pucat sekali. Dia khawatir kalau-kalau pernyataan cintanya yang terang-terangan itu malah menyinggung hati gadis ini yang tidak cinta padanya! Ingin rasanya dia memukul kepalanya sendiri! Dengan suara gemetar dia lalu berkata, “Aih, nona Pouw mohon kaumaafkan aku.... ah, mulutku lancang sekali, aku telah membuatmu menangis. Tentu engkau tersinggung. Aku sudah gila barangkali, bagaimana mungkin seorang kasar seperti aku berani mengaku cinta kepada seorang gadis seperti engkau? Maafkanlah aku, Nona....”
“Tidak, bukan begitu maksud tangisanku, saudara Cu Kun Tek! Ah, aku berterima kasih sekali, aku terharu sekali. Aku menangis karena.... karena terharu dan bahagia. Seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, Cu-taihiap (Pendekar Besar Cu), mencinta seorang gadis seperti aku? Aih, Taihiap, apakah engkau tidak keliru pilih?”
Kalau tadi wajah Kun Tek keruh dan berduka, kini seolah-olah ada sinar mencorong dari dalam, terutama sekali sepasang matanya yang bersinar-sinar!
Dia tertawa-tawa, suara ketawanya bebas lepas dan keluar langsung dari dalam perutnya, melepaskan semua keraguan dan kedukaan, menjadikannya gembira luar biasa dan segala sesuatu nampak indah.
“Ha-ha-ha, ah, nona Pouw, pertama-tama kumohon padamu, janganlah menyebut aku taihiap! Selain itu, jangan engkau merendahkan dirimu. Engkau sendiri seorang gadis perkasa dan tentang ilmu silat, belum tentu aku akan mampu menang darimu! Engkau membuat aku malu saja menyebutku taihiap. Aku tidak keliru, Nona, karena aku mengenal suara hatiku sendiri. Aku cinta padamu!”
“Tapi.... Toa-ko (Kakak), aku tidak berharga mendapatkan cintamu. Aku.... aku adalah seorang gadis yang hina, yang ternoda.... aku.... aku telah....” Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena duka telah menyergap perasaannya lagi ketika ia teringat betapa ia telah menjadi korban kebiadaban Siangkoan Liong.
“Aku tahu, Nona,” kata Kun Tek, suaranya tenang saja seolah-olah yang mereka bicarakan itu tidak ada artinya baginya. “Aku telah mendengar apa yang dikatakan wanita itu, dan aku dapat menduga bahwa engkau tentu telah menjadi korban dari pemuda yang bernama Siangkoan Liong itu.”
Li Sian kini mengusap air matanya, memandang kepada Kun Tek. “Benar....!” katanya tegas. “Biarlah engkau mendengarnya, Cu-toako, dan juga saudara Gu Hong Beng ini mendengarnya. Tak perlu aku menutupi lagi peristiwa itu karena kita semua akan mati. Dengarlah baik-baik pengakuanku. Ketika aku tiba di sini, aku telah terbujuk oleh mereka untuk dapat menemui kakak kandungku yang kemudian mereka bunuh tanpa sepengetahuanku. Dan ketika aku berduka karena kematian kakakku, kesempatan itu dipergunakan oleh manusia iblis Siangkoan Liong itu, untuk merayuku. Dengan bantuan obat-obat, kekuatan sihir, dan rayuannya, juga terdorong oleh kelemahanku, akhirnya aku menyerah, aku menyerahkan diriku kepadanya dan akhirnya aku melihat kepalsuannya, bahwa dia menyuruh bunuh kakakku, bahwa dia hanya mempermainkan aku.... nah, engkau telah tahu sekarang, Toako, bahwa aku memang gadis yang sudah ternoda, bukan perawan lagi, aku seorang gadis hina yang tidak berharga untuk mendapatkan cintamu....” Li Sian menangis lagi.
Kalau saja tidak ada rantai yang menghalanginya, tentu Kun Tek sudah menghampiri untuk merangkul dan menghibur gadis itu. Dia menggerak-gerakkan rantai panjang itu sehingga mengeluarkan bunyi berkerontangan, lalu berkata dengan suara tegas.
“Nona Pouw Li Sian, jangan berkata demikian! Aku cinta padamu, aku semakin kasihan padamu. Yang kucinta adalah engkau seluruhnya, bukan keperawananmu! Engkau sekarang inilah yang kucinta, bukan engkau sebelum engkau menjadi korban kejahatan pemuda itu karena ketika itu aku belum mengenalmu. Akulah yang akan membalas sakit hatimu, Nona. Biarpun andaikata aku dibunuh, nyawaku akan berusaha untuk membalas kejahatan pemuda itu!”
Kata-kata ini seperti sebuah nyanyian merdu bagi Li Sian bukan sekedar menghibur, akan tetapi juga mengangkatnya, dan juga membersihkannya! Ia tidak lagi merasa kotor dan hina rendah dalam pandangan pemuda itu atau bahkan orang lain!
“Terima kasih, Cu-koko...., terima kasih....! Aku akan berbohong kalau sekarang mendadak mengaku cinta padamu. Akan tetapi aku kagum padamu, aku berterima kasih padamu, dan aku berjanji bahwa kalau kita dapat lolos dari maut, kelak aku akan siap untuk menjadi isterimu yang setia, atau kalau kita mati, aku ingin mati bersamamu, dan aku akan girang kalau nyawamu mendampingi nyawaku....”
Kun Tek terbelalak, ingin rasanya dia bersorak, ingin dia berjingkrak-jingkrak saking girang hatinya. Akan tetapi karena tidak mungkin hal itu dia lakukan, kini matanya yang lebar itu hanya mengamati wajah Li Sian dan ada dua butir air mata besar menggelinding keluar dari kedua matanya, menuruni pipinya! Melihat ini, Li Sian terharu sekali bahkan Hong Beng juga merasa terharu dan maklum bahwa cinta pemuda itu memang murni dan hebat! Dia membiarkan saja kedua orang itu saling mencurahkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, seperti kepada diri sendiri.
“Ah, betapa anehnya kalian ini. Saling mencinta dalam menghadapi maut, dan rela mati konyol....! Sungguh, ke manakah larinya kegagahan kalian?”
Mendengar ucapan ini, Kun Tek memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata marah. “Gu Hong Beng, sudahlah engkau jangan mengeluarkan suara karena setiap kali engkau bicara, engkau hanya membuat hatiku muak saja! Sepantasnya pertanyaanmu itu kau ajukan kepada dirimu sendiri, bukan kepada kami. Ke manakah larinya kegagahanmu? Aku mengenalmu dahulu sebagai seorang pendekar gagah perkasa, akan tetapi sekarang engkau hanya seorang pengecut yang takut mati!”
“Kun Tek, engkau bicara tanpa dipikir lebih dahulu. Aku bukan pengecut, bukan pula takut mati. Akan tetapi aku bukan orang tolol yang ingin mati seperti seekor babi, mati konyol tanpa melawan. Kalau toh kita harus mati, sepatutnya kita mati sebagai harimau, mati dalam perlawanan. Akan tetapi, kalau kita dibelenggu seperti ini, bagaimana kita mampu melawan? Kita mati konyol begitu saja!”
“Karena tidak ada pilihan, perlu apa takut mati? Jauh lebih baik mati dibunuh lawan daripada harus menyerah dan takluk! Dan engkau ingin takluk kepada lawan? Bukankah itu hanya untuk menyelamatkan nyawamu dan berarti engkau seorang pengecut?” tanya Kun Tek penasaran.
“Hemmm, nekat dan mati konyol bukan perbuatan gagah perkasa, melainkan perbuatan tolol! Dan menyerah karena keadaan belum tentu pengecut, melainkan perbuatan yang cerdik dan mempergunakan perhitungan.”
“Sudahlah, aku tidak sudi mendengar omonganmu lagi. Terserah engkau mau takluk, mau menjilati sepatu para pemberontak itu, mau masuk menjadi anggauta golongan sesat. Akan tetapi aku dan Pouw-moi lebih suka memilih mati!” kata Kun Tek.
Sejak tadi Li Sian hanya mendengarkan saja. Kini, melihat percekcokan dua orang gagah yang tadinya menjadi sahabat itu, ia lalu berkata, “Cu-koko, kurasa ada benarnya juga apa yang dikatakan saudara Gu Hong Beng. Biarkan dia bicara mengemukakan pendapatnya dan jangan dibantah dulu sebelum dia selesai bicara.”
Kun Tek mengerutkan alisnya, akan tetapi melihat sinar mata Li Sian yang lembut dan senyum manis ditujukan kepadanya, dia pun mengangguk dan menoleh kepada Hong Beng sambil berkata, “Nah, bicaralah!”
Hong Beng menahan senyumnya karena baginya, sikap Kun Tek itu nampak lucu sekali. “Begini, Kun Tek dan nona Pouw. Memang sepintas lalu tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mati sebagai orang-orang gagah yang tidak sudi menyerah. Akan tetapi, kurasa jalan itu amat bodoh karena apa untungnya kalau kita mati konyol? Mereka itu akan melanjutkan gerakan pemberontakan mereka, sehingga rakyat banyak yang akan menderita dan mati pula, juga sakit hati nona Pouw takkan dapat dibalas sama sekali! Dan mereka itu memberi kesempatan kepada kita, karena mereka membutuhkan tenaga kita. Nah, kenapa kita tidak berlaku cerdik? Tentu saja aku sendiri tidak sudi untuk benar-benar membantu mereka! Akan tetapi, mengapa kita tidak mempergunakan kelemahan mereka, yaitu membutuhkan tenaga kita, untuk berusaha meloloskan diri? Kita boleh pura-pura menyerah, dan kita melihat perkembangan selanjutnya. Yang penting, kalau kita dapat bebas dari belenggu-belenggu ini, kita dapat bergerak leluasa. Andaikata kita akan mengamuk juga, sebelum kita mati, kita akan dapat menewaskan banyak lawan sebelum kita mati konyol! Bukankah itu jauh lebih baik daripada mati konyol seperti babi-babi dalam kandang?”
Kun Tek bukan seorang bodoh. Mendengar pendapat Hong Beng ini, dia pun mulai mengangguk-angguk dan melihat kebenarannya. Dia tadi terlalu terburu nafsu menduga bahwa kawannya itu ketakutan lalu ingin menyerah agar selamat. Kini dia tahu bahwa kalau mereka menakluk, hal itu hanya untuk mencari kesempatan agar dapat memberontak dan menghantam musuh dengan leluasa. Dan tentu saja dia setuju sekali!
“Cu-koko, kurasa pendapat saudara Gu Hong Beng ini ada benarnya juga. Kalau aku diberi kesempatan, tentu akan kukerahkan seluruh tenaga dan kepandaianku untuk menyerang dan membunuh si keparat Siangkoan Liong!” kata Li Sian.
Kun Tek mengangguk-angguk. “Memang benar juga. Aku pun setuju kalau kita menyerah pura-pura saja, hanya untuk mencari kesempatan lolos dan menghantam mereka. Akan tetapi terserah kalian yang bicara, kalau aku yang disuruh bicara dengan mereka, kiranya aku hanya dapat memaki dan mencaci mereka!”
“Serahkan saja kepadaku,” kata Hong Beng gembira.
“Aku akan membantu saudara Gu Hong Beng,” sambung Li Sian dan Kun Tek diam saja, namun setuju sepenuhnya. Kalau mereka dapat berhasil lolos, kemudian menghajar para pemberontak, dan akhirnya mereka dapat bebas, dan dia bersama Li Sian tidak mati, alangkah akan bahagianya. Dia akan dapat hidup berdua dengan gadis pujaannya itu, menjadi suami isteri! Bayangan ini saja mendatangkan semangat kepada Kun Tek!
“Sekarang, lebih baik kita memperkuat tubuh. Kita menerima hidangan yang mereka suguhkan, makan sekenyangnya, kemudian kita bersamadhi malam ini menghimpun tenaga baru. Besok, barulah kita menghadapi mereka dan aku sudah mengatur siasat untuk menghadapi mereka. Harap kalian jangan heran dan menyangka yang bukan-bukan kalau aku bersikap ramah kepada mereka. Mengertikah kalian, terutama engkau, saudara Kun Tek?”
Kun Tek mengangguk, setelah melihat Li Sian mengangguk. “Aku akan sekuat tenaga menahan kemarahanku kalau melihat muka mereka!” katanya.
Li Sian menghadiahinya sebuah senyum manis. “Aku percaya engkau akan kuat, Cu-koko. Seorang gagah harus kuat segala-galanya, terutama sekali menekan perasaannya sendiri, bukan?”
Senyum itu cukup sudah bagi Kun Tek. Dia mau menebus apa saja untuk memperoleh senyuman seperti itu. “Jangan khawatir, Moi-moi, demi engkau, aku dapat melakukan apa saja!” katanya bangga dan sekali ini pipi Li Sian menjadi agak merah kedua pipinya karena ia melihat betapa ada senyum mengembang di bibir Hong Beng.
Demikianlah, tiga orang muda ini mulai memperlihatkan sikapnya yang suka bekerja sama ketika mereka menerima hidangan yang disuguhkan, dan mereka melihat bahwa memang pihak lawan agaknya ingin sekali menarik mereka sebagai pembantu. Buktinya, hidangan yang disuguhkan selain banyak, juga masih panas dan cukup mewah, seperti hidangan di rumah makan besar saja! Mereka bertiga makan kenyang, akan tetapi hanya minum arak sedikit saja, lebih banyak minum air teh yang mereka minta dari petugas yang menyuguhkan makanan dan minuman. Setelah itu, semalam suntuk mereka duduk bersila dan bersamadhi, menghimpun tenaga murni untuk memulihkan kekuatan mereka dan melenyapkan kelelahan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ouwyang Sianseng sudah datang berkunjung. Dia tidak diikuti oleh Siangkoan Liong. Ouwyang Sianseng cukup cerdik untuk menjauhkan dulu pemuda itu, mengingat betapa Li Sian mendendam kepadanya. Sebaliknya, dia datang bersama Siangkoan Lohan! Dua orang paling tinggi kedudukannya dalam persekutuan pemberontakan itu, datang mengunjungi tiga orang tawanan muda itu! Hal ini saja sudah meyakinkan hati Hong Beng bahwa mereka itu benar-benar mengharapkan kerja sama, dan hal ini amat baik.
Setelah mengucapkan selamat pagi dengan sikap lembut seperti biasanya, Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Lohan lalu duduk di atas bangku yang berada di kamar tahanan itu, menghadapi tiga orang tawanan yang masih duduk bersila. Kun Tek dan Li Sian hanya mengangguk sebagai jawaban, akan tetapi Hong Beng membalas ucapan selamat pagi itu dengan suara yang cukup ramah.
“Bagaimana, orang-orang muda yang gagah. Apakah Sam-wi (Kalian bertiga) sudah mengambil keputusan dan pilihan yang tepat?”
Hong Beng menjawab dengan suara yang cukup tenang. “Ouwyang Sianseng, aku telah mendapat kepercayaan dua orang kawanku ini, untuk menjadi wakil pembicara mereka. Sebelum kami menjawab, harap jelaskan lagi apakah pilihan yang harus kami pilih itu?”
Ouwyang Sianseng tersenyum. Sikap pemuda itu saja sudah melegakan hati, tidak seperti kemarin di mana mereka bertiga itu memperlihatkan sikap bermusuhan dan tidak ada kompromi. “Hanya ada dua pilihan sederhana saja. Kalian sanggup bekerja sama dengan kami, membantu kami berjuang melawan pemerintahan penjajah Mancu, atau kalian menolak, terpaksa kami akan membunuh kalian sebagai musuh yang berbahaya. Nah, bagaimana keputusan kalian bertiga....?”
“Nanti dulu, Locianpwe,” kata Hong Beng, kini menyebut locianpwe untuk menghormati orang tua yang memang sakti itu. “Kalau kami menolak, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi, kalau kami menerima, lalu bagaimana? Apakah yang harus kami lakukan? Bukankah sekarang belum terjadi perang antara pasukan yang Locianpwe pimpin dan pasukan pemerintah?”
“Lohan, coba jelaskan tentang kedudukan dan rencana kita kepada mereka ini,” kata Ouwyang Sianseng, suaranya ramah dan halus akan tetapi jelas bernada memerintah dan hal ini saja menunjukkan bahwa kedudukan kakek ini masih lebih tinggi daripada ketua Tiatliong-pang itu.
Siangkoan Lohan yang dulunya adalah seorang yang terkenal sebagai ketua perkumpulan orang gagah yang pernah membantu Kerajaan Mancu sehingga dia dihadiahi seorang puteri, dapat mengerti akan siasat rekannya untuk membujuk orang-orang muda berilmu tinggi ini agar mau bekerja sama membantu mereka. Maka dia pun menarik napas panjang dan berkata dengan suara tenang setelah mengisap hun-cwe emasnya dan mengepulkan asap yang berbau tembakau harum.
“Memang menggemaskan sekali kalau mengingat betapa penjajah Mancu yang dulunya kita semua harapkan akan mampu memimpin bangsa kita ke arah kemakmuran kini ternyata malah menindas bangsa kita dan mendatangkan banyak kesengsaraan kepada rakyat, sedangkan mereka sendiri hidup serba berkelebihan! Hal inilah yang membuat kami semua merasa penasaran untuk berjuang menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu! Kalian tiga orang muda yang perkasa, tentu mempunyai jiwa patriot, siap untuk mengusir penjajah dan menyelamatkan bangsa dan tanah air kita. Untuk menumbangkan kekuasaan Mancu yang besar, tentu saja kita membutuhkan bantuan semua tenaga para patriot dan terus terang saja, kami terpaksa menerima uluran tangan dari dunia hitam. Kita membutuhkan tenaga mereka, karena itu, kami tidak mempedulikan perasaan pribadi, yang penting menghimpun tenaga untuk menumbangkan pemerintah penjajah. Tentu saja, kami akan merasa gembira sekali kalau para pendekar dan patriot, seperti kalian, suka membantu perjuangan ini.” Dia berhenti sebentar untuk melihat reaksi dari tiga orang muda itu. Kun Tek yang diam-diam tidak percaya, kalau menurutkan gairah hatinya, ingin memaki-maki dan mengatakan bohong, akan tetapi dia tidak mau melakukan hal itu, demi Li Sian tentu saja, dan dia hanya menundukkan mukanya agar jangan nampak isi hatinya melalui sikap dan pandang matanya. Li Sian lebih mampu menguasai perasaannya, maka dia pun mendengarkan seolah-olah merasa tertarik.
“Akan tetapi, Pangcu.” kata Hong Beng dengan sikap hormat. “Biarpun semua yang Pangcu katakan itu benar belaka, akan tetapi bagaimana Pangcu akan dapat melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pemerintahan yang mempunyai banyak balatentara? Baru pasukan yang berjaga di tapal batas utara ini saja sudah banyak sekali! Dan tiga orang seperti kami ini, dapat berbuat apakah terhadap pasukan pemerintah yang besar jumlahnya?”
Siangkoan Lohan tersenyum bangga. Dia dan Ouwyang Sianseng memang sudah bersepakat untuk menceritakan segalanya kepada tiga orang muda itu. Bukankah andaikata mereka itu menolak, mereka akan dibunuh dan semua rahasia itu akan terkubur bersama mereka? Dan kalau mereka suka bersekutu, berarti mereka adalah orang-orang sendiri yang layak mengetahui keadaan mereka.
“Hemmm, tentu kalian memandang rendah kepada kami. Akan tetapi ketahuilah, kami sudah lama mengadakan persiapan untuk gerakan perjuangan ini.
Kami sendiri sudah mengumpulkan orang-orang yang menjadi anggauta kami, dan yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus orang. Selain itu, kami mengadakan kontak dengan pimpinan bangsa Mongol, bahkan keturunan Jenghis Khan yang perkasa. Mereka sudah siap dengan pasukan yang akan dapat melintasi perbatasan dengan mudah berkat kekuasaan kami yang telah memungkinkan penyeberangan itu tanpa terhalang. Selain itu, kami tidak takut menghadapi pasukan penjaga perbatasan ini, karena mereka itu pun akan membantu kami!”
“Ehhh....?” Hong Beng pura-pura kaget walaupun sudah dapat menduga bahwa tentu orang-orang cerdik ini berhasil pula mengadakan persekutuan dengan para pimpinan pasukan yang berkhianat terhadap negaranya. “Ah, kalau seperti itu keadaannya, sungguh membesarkan hati. Akan tetapi, kami ingin sekali tahu, kalau kami menerima uluran tangan Pangcu dan mau bekerja sama, lalu apakah tugas kami? Terus terang saja, kami bertiga tidak mempunyai kepandaian untuk memimpin pasukan dalam peperangan.”
Ouwyang Sianseng tertawa lembut, hatinya gembira karena sikap tiga orang muda itu agaknya sudah condong untuk mau bekerja sama. Bagaimanapun juga, mereka itu agaknya merasa ngeri dengan terjadinya peristiwa kemarin, dan mereka tidak ingin mati konyol dan tersiksa, memilih hidup dan bekerja sama!
“Ha-ha-ha, orang muda yang gagah. Tentu saja untuk memimpin pasukan, kami sudah mempunyai ahli-ahlinya. Tugas kalian sama dengan tugas para orang gagah yang membantu kami yaitu menghadapi pihak lawan yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi karena fihak pasukan juga tentu mempunyai banyak jagoan. Akan tetapi, sebelum kami menerima penyerahan diri dari kalian, terpaksa kami harus menguji kalian lebih dahulu. Apakah kalian bertiga ini benar-benar jujur untuk bekerja sama menentang pemerintah penjajah, ataukah hanya siasat saja dan mencari kesempatan untuk kemudian melarikan diri atau membalik mengkhianati kami.”
Diam-diam tiga orang muda perkasa itu terkejut, dan Hong Beng memuji dalam hatinya. Kakek ini selain lihai sekali ilmu silatnya, juga ternyata amat cerdik. Dia harus berhati-hati menghadapi kakek ini. Seketika wajah Hong Beng menjadi merah dan sinar matanya mencorong karena marah.
“Locianpwe terlalu memandang rendah kepada kami orang-orang muda!” katanya dengan nada suara marah, “Kami bukanlah pengkhianat bangsa, kami bukanlah penjilat penjajah asing dan kami berani bersumpah bahwa kami di dalam hati selalu menentang penjajahan! Kalau gerakan perjuangan yang Ji-wi pimpin ini bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi membebaskan rakyat jelata dari penindasan penjajah asing, kami akan rela membela dengan pertaruhan nyawa sekalipun!”
Hong Beng memang cerdik. Seperti tanpa disengaja, dia menyinggung cita-cita perjuangan itu. Siapakah orangnya yang mau berterang mengemukakan cita-cita pribadinya? Setiap pemimpin penggerak perjuangan atau pemberontakan sudah pasti menyembunyikan tujuan pribadi, dan menonjolkan cita-cita yang mulia demi bangsa dan tanah air. Demikian pula dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Lohan. Mendengar ucapan itu, Siangkoan Lohan yang sebenarnya memberontak karena ingin mengangkat puteranya menjadi kaisar, cepat berseru.
“Ah, tentu saja! Tentu saja perjuangan ini demi kepentingan rakyat!”
Ouwyang Sianseng yang cerdik lalu berkata, “Bagaimanapun juga kami harus melihat bukti kejujuran kalian. Gu Hong Beng, dari beberapa orang pembantu kami, kami sudah mendengar bahwa sejak dahulu engkau adalah seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Dan sekarang kami ingin melihat bukti kegagahanmu itu, kami mempunyai tugas untukmu. Dua orang temanmu ini akan tetap menjadi sandera, walaupun mereka akan diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, bukan sebagai tawanan. Nah, kalau tugasmu itu berhasil kaulakukan dengan baik, barulah kami percaya dan kalian bertiga akan kami terima sebagai pembantu-pembantu yang kami hargai. Sebaliknya, kalau engkau bermain curang, ingat bahwa dua orang temanmu masih berada di sini sebagai sandera,” Ouwyang Sianseng tentu saja sudah mendengar banyak tentang tiga orang itu dari Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, karena mereka itu merupakan musuh-musuh lama, terutama sekali Hong Beng dan Kun Tek (baca kisah SULING NAGA).
Hong Beng saling pandang dengan dua orang temannya, lalu berkata kepada mereka, “Kalian berdua tenanglah menjadi sandera di sini, karena aku pasti akan mampu melaksanakan tugas itu dengan baik.” Kemudian dia menghadapi lagi Ouwyang Sianseng dan berkata, “Baiklah, Locianpwe. Tugas apa yang diserahkan kepadaku? Akan kulaksanakan dengan baik!” Dia merasa perlu untuk menenangkan hati dua orang temannya, terutama Kun Tek yang keras hati, agar Kun Tek mengerti bahwa tentu Hong Beng akan dapat mencari akal dan jalan yang baik untuk menghadapi tugas itu!
Padahal, tentu saja Hong Beng sendiri belum mengerti bagaimana dia akan dapat keluar dari ujian ini, karena macam ujian itu pun dia belum tahu.
“Begini, orang muda. Seperti telah kukatakan tadi, kami mempunyai hubungan dengan panglima tinggi pemimpin pasukan yang berjaga di tapal batas. Komandan itu adalah Coa-tai-ciangkun dan wakilnya adalah Song-ciangkun. Mereka berdua itulah yang memimpin puluhan orang perwira yang mengepalai pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan! Dan mereka sudah siap membantu kami. Oleh karena itu, engkau kuberi tugas untuk pergi menyelundup ke dalam benteng itu, membawa surat kami untuk disampaikan kepada komandan Coa.”
“Akan tetapi, Locianpwe, kalau memang Locianpwe sudah mempunyai hubungan dengan mereka, apa perlunya lagi aku harus menyelundup ke dalam benteng? Bukankah masuk lewat pintu gerbang pun tidak mengapa, kalau mereka tahu bahwa aku utusan dari Tiat-liong-pang, tentu akan diterima sebagai sahabat,” bantah Hong Beng yang cerdik.
“Ah, engkau sungguh bodoh, orang muda. Memang komandannya dan para perwiranya sudah bersekutu dengan kita, akan tetapi karena hal itu berbahaya tentu saja mereka tidak terang-terangan, dan tidak semua anak buah pasukan tahu akan hal itu. Pasukan hanya mentaati perintah komandannya, maka tidak perlu mengetahui semua hal, takut kalau-kalau hal itu dibocorkannya sebelum gerakan kita berhasil. Sudahlah, engkau membawa surat kami, malam-malam menyelundup masuk ke dalam benteng dan menyerahkan surat kepada Panglima Coa atau Perwira Song. Sanggupkah?”
Hong Beng tersenyum. “Tugas itu tidak berat tentu saja aku sanggup!”
“Masih ada kelanjutannya. Kalau engkau sudah menyerahkan surat kepada Panglima Coa atau Perwira Song, engkau harus siap melaksanakan semua tugas yang diserahkan mereka kepadamu! Ingat, membantah mereka berarti membantah kami pula.”
Hong Beng diam-diam merasa gentar juga, akan tetapi dengan tenang dia mengangguk, “Bagaimana andaikata aku ketahuan orang di dalam benteng dan aku diserang dan hendak ditangkap? Apakah aku harus melarikan diri ataukah....”
“Kalau yang melihatmu hanya beberapa orang saja, bunuh mereka. Kalau banyak orang larilah. Akan tetapi kalau mungkin yakinkan hati mereka bahwa engkau adalah sahabat Panglima Coa. Nah, ini suratnya sudah kami persiapkan, sekarang juga berangkatlah, dan ini peta petunjuk di mana adanya benteng itu.”
Hong Beng menerima surat dan peta itu, lalu sebelum berangkat dia menoleh kepada dua orang temannya. “Harap kalian bersabar dan percayalah kepadaku.”
Li Sian merasa terharu. Tentu saja ia percaya kepada pemuda itu, dan ia merasa betapa beratnya tugas Hong Beng, bukan hanya tugas menyerahkan surat itu, terutama sekali karena pemuda itu bertanggung jawab atas nyawa mereka berdua, seolah-olah nyawa mereka berdua di dalam genggaman tangan Hong Beng, “Berangkatlah dan harap hati-hati, saudara Gu Hong Beng,” katanya.
Kun Tek memandang kepada Hong Beng dan terdengar suaranya yang lantang.
“Hong Beng, sejak dahulu aku selalu percaya kepadamu, dan sekarang pun kami percaya penuh kepadamu!”
Hong Beng mengangguk, kemudian setelah semua rantai yang membelenggunya dilepas dia pun berangkat meninggalkan sarang pemberontak itu, menuju ke benteng pasukan pemerintah seperti yang ditunjukan di dalam peta. Setelah Hong Beng berangkat, Ouwyang Sianseng memegang janji. Dia pun bersama Siangkoan Lohan membebaskan belenggu yang mengikat Kun Tek dan Li Sian, kemudian mengantar mereka, dikawal oleh pasukan penjaga, menuju ke dua buah kamar di mana mereka berdua menjadi sandera. Hidup bebas seperti tamu, akan tetapi selalu dikawal dan dijaga ketat. Ouwyang Sianseng tidak bodoh, maka yang bertugas menjaga kedua orang sandera ini adalah tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin, Thian Kek Sengjin, Ciu Hok Kwi, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Tok-ciang Hui-moko Liok Cit bahkan Siangkoan Liong sendiri selalu berada di tempat dekat sehingga selalu siap kalau-kalau kedua orang sandera itu mencoba untuk memberontak dan melarikan diri. Akan tetapi dengan cerdiknya Siangkoan Liong tidak pernah lagi mencoba untuk menggoda Li Sian, bahkan dia tidak pernah memperlihatkan diri agar gadis itu tidak menjadi marah. Dia pun tahu akan siasat gurunya, dan memang dia harus mengakui perlunya banyak tenaga bantuan para ahli silat. Dia masih ngeri kalau membayangkan akan kelihaian kakek dan nenek yang telah menolong rombongan utusan kota raja itu. Dia pun mengerti bahwa kini gurunya mengutus Hong Beng pergi mengunjungi Panglima Coa juga untuk melihat apa yang telah terjadi di dalam benteng itu, karena sudah beberapa hari Panglima Coa tidak pernah mengirim utusan.
Hong Beng yang melakukan perjalanan seorang diri, dengan hati-hati sekali menyusup-nyusup ke dalam hutan. Beberapa kali dia berhenti dan menyelinap untuk bersembunyi, kemudian memanjat pohon untuk meneliti apakah perjalanannya itu diikuti orang ataukah tidak. Akhirnya dia merasa yakin bahwa fihak pemberontak tidak mengutus orang untuk membayanginya, maka hatinya menjadi lega.
Dengan hati-hati Hong Beng lalu membuka sampul surat yang diserahkan kepadanya oleh Ouwyang Sianseng untuk diberikan kepada Panglima Coa atau Perwira Song. Dalam keadaan seperti itu, dia tidak rikuh lagi membuka surat orang, dan dibacanya surat itu. Isinya penting sekali. Di dalam surat itu, terang-terangan Ouwyang Sianseng memperkenalkan dirinya sebagai pembantu baru yang sedang diuji kesetiaannya! Dan Ouwyang Sianseng menanyakan tentang utusan kota raja kepada Panglima Coa, dan bahwa kalau tidak ada suatu hal yang menjadi penghalang, agar panglima Coa mempersiapkan pasukannya karena pasukan mereka akan mulai bergerak ke selatan! Disebutkan pula bahwa kini Tiat-liong-pang sudah siap, dengan anak buahnya yang berjumlah hampir lima ratus orang banyaknya, dengan Ang I Mopang lima puluh orang, dan agaknya orang-orang Mongol di bawah pimpinan Agakai sudah terkumpul seribu orang! Kalau Panglima Coa sudah siap, harap membawa pasukannya berkumpul di sarang Tiat-liong-pang agar dapat dibagi-bagi pasukan itu untuk melakukan gerakan ke berbagai jurusan!
Hong Beng termenung. Surat ini penting sekali! Dan dia yang menjadi utusan. Bagaimanapun juga, dia tidak dapat mundur, karena di sana ada nyawa dua orang sahabatnya menjadi tanggungan. Dia harus menyampaikan surat ini, dan kembali. Kalau Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek sudah dibebaskan, barulah mereka akan melihat perkembangannya. Sekarang, dia tidak dapat melakukan sesuatu kecuali menyampaikan surat itu kepada Panglima Coa atau Perwira Song.
***
Sin Hong termenung. Malam itu dia dan Suma Lian terpaksa bermalam di hutan lebat, tak jauh dari sarang Tiat-liong-pang. Mereka telah melakukan penyelidikan semenjak mengubur jenazah Kwee Ci Hwa, dan mereka berdua terkejut melihat betapa kekuatan para pemberontak memang besar. Dan kini, agaknya pasukan Mongol sudah pula berkumpul di tempat itu, dan jumlah orang-orang Mongol ini banyak sekali, jauh lebih banyak dari orang-orang Tiat-liong-pang sendiri. Pasukan Mongol yang kelihatan buas ini berkumpul di lapangan luas yang berada di sebelah timur sarang Tiat-liong-pang, membuat tenda-tenda sementara.
Melihat kenyataan ini, Sin Hong dan Suma Lian terkejut sekali dan tentu saja mereka berdua tidak akan mampu melakukan sesuatu terhadap kekuatan yang demikian besarnya. Mereka lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari para pendekar yang kabarnya banyak berkumpul di situ untuk menentang para tokoh sesat agar mereka dapat melakukan gerakan bersama, atau menyampaikan berita tentang gerakan kaum sesat ini kepada benteng pasukan penjaga perbatasan. Malam itu terpaksa mereka melewatkan malam di dalam hutan. Karena melihat Suma Lian kelelahan, setelah mereka makan malam yang terdiri dari roti dan daging kering, Sin Hong mempersilakan gadis itu untuk beristirahat dan tidur, sedangkan dia berjaga di dekat api unggun yang mereka buat.
Sin Hong melamun setelah melihat gadis itu rebah di dekat api unggun sambil berkerudung jubah luar yang lebar. Dia terkenang kepada Ci Hwa dan keterangan yang dikemukakan gadis itu sebelum tewas. Dan Sin Hong mengepal tinju. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa benar-benar Tiat-liong-pang yang mendalangi pembunuhan terhadap ayahnya itu. Dan Ciu Hok Kwi, Ciu Piauwsu yang pernah menjadi pembantu ayahnya, ternyata adalah tokoh Tiat-liong-pang yang pandai. Bahkan orang she Ciu itu pula yang menjadi pembunuh bertopeng, pembunuh orang she Lay yang gendut, dan kalau begitu, Ciu Hok Kwi ini pula yang mengatur segalanya. Dia telah terkecoh. Ketika Ciu Hok Kwi marah-marah dan pergi menantang Kwee Piauwsu, semua itu ternyata hanya sandiwara belaka! Kini jelaslah sudah semuanya bagi dia. Tiat-liong-pang memang membutuhkan perusahan piauw-kiok itu. Dengan adanya perusahaan itu, mudah bagi Tiat-liong-pang untuk mengadakan hubungan dengan sekutunya, orang-orang Mongol di luar Tembok Besar. Tanpa dicurigai pasukan pemerintah yang berjaga di tapal batas utara. Dan usaha mereka telah berhasil karena buktinya kini pasukan Mongol telah dapat diselundupkan ke Tiat-liong-pang dalam jumlah besar tanpa diketahui oleh pasukan pemerintah. Dan dia tidak tahu bahwa kaum sesat, termasuk Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, tentu membantu pula gerakan pemberontakan itu. Sin-kiam Moli berada di sana, tentu dua orang kawannya yang lihai, yaitu Thian Kong Cinjin tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-pai, juga berada di sana. Tiga orang itulah yang masih hidup di antara mereka yang menyerbu Istana Gurun Pasir! Dan dua batang pedang pusaka Istana Gurun Pasir, yaitu Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam, berada di tangan tiga orang itu dan dia harus merampasnya kembali. Dengan demikian, maka semua persoalan yang harus dibereskan berada di Tiat-liong-pang. Urusan ayahnya, urusan guru-gurunya, juga urusan umum! Bagaimanapun juga dia harus bangkit menantang Tiat-liong-pang, demi orang tuanya, demi guru-gurunya dan demi rakyat karena kalau pemberontakan yang dipimpin para tokoh sesat itu terjadi, tentu banyak rakyat yang menjadi korban keganasan mereka.
Terdengar Suma Lian mengeluh dan Sin Hong melirik. Gadis itu bergerak dan kini terlentang. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Cantik jelita, gagah perkasa, pemberani, jenaka dan serba menyenangkan, keturunan keluarga Pulau Es pula! Seorang gadis pilihan dan harus diakuinya bahwa hatinya tertarik sekali begitu dia bertemu Suma Lian. Dia merasa kagum bukan main. Dengan mudah sekali dia akan dapat jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Suma Lian ini. Akan tetapi, dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin, bahkan tidak boleh sama sekali. Dia mendengar sendiri percakapan antara Suma Lian dan paman gadis itu, Suma Ciang Bun. Gadis jelita ini telah ditunangkan, telah dijodohkan dengan murid pendekar itu yang bernama Gu Hong Beng! Tidak, dia sama sekali tidak boleh mengganggu gadis ini! Pantangan besar baginya! Dia tidak akan mengorbankan orang lain, apalagi keluarga para pendekar terhormat itu, demi kesenangan diri sendiri! Dia harus menjauhkan diri dari Suma Lian, secepatnya agar jangan sampai pergaulan mereka menjadi semakin akrab karena dia melihat betapa ada tanda-tanda gadis ini bersikap amat baik dan manis kepadanya. Hal ini harus dicegah!
“Hong-ko, apakah yang kaupikirkan?”
Sin Hong terkejut bukan main mendengar teguran suara halus Suma Lian itu. Dia cepat menoleh dan ternyata gadis itu yang masih terlentang, sudah membuka sepasang matanya yang indah dan kocak itu dan sedang memandang kepadanya dengan penuh selidik, sedangkan mulut tersenyum jenaka.
“Apa? Aku aku tidak memikirkan apa-apa, Lian-moi.”
Suma Lian bangkit duduk. Pita rambutnya terlepas dan rambut yang hitam panjang itu terurai. Disanggulnya rambut itu dan gerakan kedua lengan ketika menyanggul rambut itu sungguh luwes dan indah, membuat Sin Hong terpesona sejenak akan tetapi dia segera menundukkan mukanya agar tidak melihat pemandangan yang menarik itu. Seorang gadis menyanggul rambutnya, betapa luwes dan sedap dipandang!
"Hong-ko, tidak perlu kau menyangkal. Sejak tadi aku melihat engkau melamun, kadang-kadang mengepal tinju, merentang-rentangkan jari tangan, belasan kali engkau menarik napas panjang dan engkau memandangi api seolah-olah seluruh semangatmu melayang-layang ke dalamnya. Dan dari samping aku melihat wajahmu seperti orang berduka. Ada pakah Hong-ko?" Suma Lian selesai menyanggul rambutnya dan ia duduk berhadapan dengan Sin Hong, terhalang api unggun sehingga mereka dapat saling melihat wajah masing-masing dengan jelas. Sin Hong melihat betapa wajah gadis itu kemerahan oleh sinar api, cantik jelita seperti wajah bidadari. Sin Hong merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan kembali dia menundukkan mukanya agar tidak memandang keindahan yang nampak di depannya itu. Sungguh berbahaya sekali, pikirnya. Betapa mudahnya aku jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia sudah ada yang punya! Ia harus menggunakan akal untuk menjauhkan jarak di antara hati mereka.
Dia menghela napas panjang. "Aaah, hati siapa takkan berduga kalau kehilangan seorang yang amat disayangnya? Lenyapnya seorang yang dikasihi agaknya melenyapkan pula rasa bahagia di hati, melumpuhkan semangat...."
Suma Lian tertarik sekali dan memandang penuh selidik. Kerut alisnya menunjukkan bahwa ia terkejut dan juga kecewa bahwa pemuda di depannya ini sudah mempunyai seorang kekasih. Padahal ia mulai tertarik sekali!
"Siapakah orang yang kausayang sedemikian besarnya itu, Hong-ko? Dan kenapa engkau kehilangan? Kemanakah ia pergi?"
"Baru saja ia meninggal dunia secara amat menyedihkan, Lian-moi."
Sepasang mata Suma Lan memandang penuh selidik, kemudian terbelalak ketika ia teringat, "Ohhh! Kaumaksudkan.... gadis yang tewas itu, yang bernama.... Kwee Ci Hwa....?"
Sin Hong memang suka kepada Ci Hwa, akan tetapi bukan gadis itu yang menjatuhkan hatinya, melainkan gadis yang berada di depannya ini. Akan tetapi dia mengangguk. Inilah satu-satunya jalan untuk menjauhkan diri dari Suma Lian, mengaku cinta kepada gadis yang telah tiada! Tidak ada halangannya. Kalau dia mengaku cinta kepada gadis yang masih hidup tentu akan mendatangkan kesulitan baru saja.
Suma Lian merasa betapa kekecewaan menusuk hatinya, membuat ia heran sekali. Mengapa ia merasa kecewa mendengar Sin Hong cinta kepada seorang gadis lain? Dan di samping kekecewaannya, juga terdapat perasaan lega bahwa gadis yang dicintai Sin Hong itu telah tiada!
"Aih, sungguh aku tidak menyangka, Hong-ko. Kasihan sekali gadis itu."
Sin Hong menarik napas panjang. "Memang patut dikasihani. Ia puteri Kwee-piauwsu yang tadinya kusangka menjadi biangkeladi pembunuhan ayahku. Ci Hwa merasa penasaran bahwa ayahnya dituduh, maka ia meninggalkan rumah untuk membantu mencari siapa adanya pembunuh ayahku, bukan hanya untuk membantuku, akan tetapi juga untuk membersihkan nama ayahnya. Dan ia berhasil! Ia berhasil menemukan bahwa pelakunya adalah Ciu Hok Kwi, piauwsu yang dulu pernah menjadi pembantu ayahku, seorang tokoh Tiat-liong-pang yang menyelundup. Ia berhasil mencuci bersih nama ayahnya, dan berhasil membantuku menemukan pelakunya, dengan tebusan nyawanya!" Sin Hong tidak berpura-pura kalau dia nampak terharu dan berduka mengingat akan nasib yang menimpa diri Ci Hwa. Dan diam-diam dia mengepal tinju teringat akan kata-kata terakhir gadis itu yang menyatakan betapa Siangkoan Liong telah menodainya.
"Ah, kalau begitu pantas ia mendapatkan cinta dan kasih sayangmu, Hong-ko. Akan tetapi, ia telah meninggal dunia, tidak perlu diingat dan disedihkan lagi. Di dunia ini masih banyak terdapat gadis-gadis cantik yang akan dapat menggantikan Ci Hwa di dalam hatimu."
Sin Hong menggeleng kepala. "Agaknya tidak mudah, Lian-moi. Seseorang haruslah setia terhadap perasaan hatinya sendiri. Kematian Ci Hwa membuat aku merasa lumpuh lahir batin, tidak akan memikirkan lagi tentang ikatan batin dengan wanita lain sampai entah kapan."
Kembali Suma Lian merasa betapa hatinya tertusuk kekecewaan yang mengherankannya. Dan sekaligus ucapan pemuda itu mengingatkan ia akan keadaan dirinya yang telah dipertunangkan, dijodohkan oleh neneknya sebagai pesan terakhir. Dijodohkan dengan Gu Hong Beng! Dan ia pun termenung.
Tiba-tiba Sin Hong meloncat dan menginjak-injak api unggun sehingga padam. Tentu saja Suma Lian terkejut, akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Sin Hong sudah menaruh telunjuk di depan mulutnya. "Shhhhh lihat di sana...." bisiknya.
Suma Lian yang juga sudah meloncat berdiri itu membalikkan tubuh memandang ke arah yang ditunjuk Sin Hong. Bulan sepotong memberi penerangan yang cukup bagi matanya yang berpenglihatan tajam itu sehingga ia mampu pula melihat adanya bayangan yang berlari cepat, datang dari arah sarang Tiat-liong-pang.
"Aku mau kejar dia!" kata Sin Hong dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, melakukan pengejaran. Sejenak Suma Lian tertegun dan kagum, kemudian ia mengumpulkan buntalan pakaiannya dan buntalan pakaian Sin Hong, dipanggulnya dua buntalan pakaian itu dan dia pun mengejar.
Bayangan yang berlari cepat meninggalkan sarang Tiat-liong-pang itu bukan lain adalah Gu Hong Beng! Seperti kita ketahui, pemuda perkasa ini sedang diuji oleh Siangkoan Lohan untuk mengantarkan surat dari para pimpinan pemberontak itu kepada Panglima Coa, komandan pasukan di benteng pemerintah yang bertugas di perbatasan utara. Komandan Coa inilah tokoh yang bersekutu dengan pihak pemberotak. Gu Hong Beng diuji dengan mengadakan hubungan ke benteng itu, mengantar surat dan dua orang temannya, Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian, masih ditahan dan menjadi sandera.
Selagi dia berlari cepat menuju ke perbentengan, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan di depannya berdiri seorang laki-laki muda yang membentak, "Sobat, berhenti dulu! Siapakah engkau, dari mana dan hendak ke mana? Aku melihat engkau baru keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang!"
Mendengar bentakan ini dan melihat betapa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi yang dapat dilihat dari gerakannya yang cepat, Hong Beng mengira bahwa tentu orang ini seorang pandai yang menjadi kaki tangan pemberontak dan yang menjadi satu di antara mata-mata pemberontak yang banyak disebar di daerah itu. Agaknya orang ini belum sempat mengenalnya, pikir Hong Beng. Untuk menghindarkan kesalahpahaman, dia pun langsung saja mengaku.
"Sobat, harap jangan menggangguku. Aku adalah utusan pribadi Siangkoan Pangcu yang melakukan. tugas rahasia amat penting, maka harap kau suka memberi jalan!"
Akan tetapi sungguh di luar dugaan Hong Beng. Begitu dia menjawab, pemuda itu langsung saja menyerangnya dan menotok ke arah dada dan pundaknya, untuk merobohkannya. Hong Beng cepat meloncat ke belakang sambil menangkis, lalu membalas karena kini dia pun sadar bahwa orang ini berniat buruk kepadanya. Mungkin saja para pimpinan pemberontak itu memang berniat buruk dan sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghadang dan membunuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghadangnya ini adalah Tan Sin Hong, yang tentu saja segera menyerang untuk menangkapnya begitu mendengar bahwa dia adalah utusan pribadi yang membawa tugas rahasia dari ketua Tiat-liong-pang.
"Dukkk! kedua lengan mereka bertemu dan keduanya terkejut. Hong Beng yang terdorong oleh tenaga yang amat kuat, terkejut karena sama sekali tidak menyangka bahwa penghadangnya ini adalah seorang yang demikian lihainya, sebaliknya, Sin Hong juga kagum karena merasa betapa lengannya tergetar oleh pertemuan dua tenaga sakti itu.
Hong Beng yang maklum bahwa lawannya walaupun di bawah sinar bulan redup itu nampak masih amat muda, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tidak mau kalau tugasnya ini terganggu, dan mungkin saja orang ini adalah utusan khusus Siangkoan Lohan yang dikirim ke situ untuk sengaja menghadangnya dan menguji kesetiaannya! Maka, begitu menyerang lagi,dia sudah mengerahkan tenaga sakti dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sin-kang. Ketika tangan kirinya mendorong ke arah dada Sin Hong, maka hawa yang amat dingin menyambar dahsyat. Ketika dia menghadapi pukulan ini, merasakan hawa dingin yang menyengat mendahului pukulan, Sin Hong mengeluarkan seruan kaget dan cepat dia menghindar dengan loncatan ke kiri.
"Haiiiii! Apakah itu bukan Swat-im Sin-kang?" tanyanya heran.
Mendengar pertanyaan ini, Hong Beng juga tertegun. Kiranya lawannya demikian lihainya sehingga mengenal pula pukulan dahsyat dari Pulau Es. Pada saat itu, nampak bayangan lain berkelebat dan ternyata bayangan itu seorang gadis cantik jelita yang menggendong dua buntalan pakaian.
Sejenak Hong Beng menjadi bengong. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak saling bertemu dan ketika dia bertemu dengan gadis itu, Suma Lian baru berusia tiga belas tahun, namun dia tidak pernah dapat melupakan wajah remaja itu, semenjak gadis itu oleh neneknya dijodohkan dengan dia. Apalagi setelah dia mengalami kegagalan dalam cintanya kepada gadis bernama Can Bi Lan yang kini menjadi isteri pendekar Sim Houw (baca kisah SULING NAGA), maka wajah Suma Lian selalu terbayang di dalam hatinya. Kini, begitu bertemu, dia yakin bahwa gadis cantik jelita ini adalah Suma Lian! Di lain fihak, Suma Lian juga mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat, karena ia merasa tidak asing dengan pria yang tadi berkelahi melawan Sin Hong itu.
"Bukankah.... bukankah Nona ini Sumoi Suma Lian....?" Akhirnya Hong Beng berseru, sedangkan Sin Hong menghentikan serangannya setelah tadi mengenal ilmu dahsyat Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) dari keluarga Pulau Es.
"Ah, suheng Gu Hong Beng kiranya....!" Suma Lian teringat begitu pemuda itu menyebutnya sumoi, dan seketika wajahnya berubah kemerahan karena ia teringat akan pesan pamannya, Suma Ciang Bun bahwa murid pamannya ini telah dijodohkan dengannya!
"Sumoi, sungguh tak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Bagaimana engkau bisa berada di sini dan.... dan.... saudara ini siapakah?" Dia memandang kepada Sin Hong yang tersenyum. Kiranya inilah yang bernama Gu Hong Beng, pikir Sin Hong. Tunangan dari Suma Lian! Seorang pria yang tampan dan gagah, pakaiannya biru sederhana dan bicaranya halus. Juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, pantas kalau menjadi suami Suma Lian. Akan tetapi dia teringat akan pengakuan Gu Hong Beng tadi. Utusan Siangkoan Pangcu, membawa tugas rahasia yang amat penting! Oleh karena itu, timbul kecurigaannya dan sebelum Suma Lian menjawab, dia sudah mendahului.
"Lian-moi, hati-hati, bagaimanapun juga, dia adalah utusan dari Siangkoan Lohan, membawa tugas rahasia yang penting!"
Ucapan Sin Hong ini mengejutkan hati Suma Lian dan ia memandang kepada pria yang dicalonkan sebagai suaminya itu dengan pandang mata penuh selidik dan kecurigaan. "Apa? Suheng, benarkah bahwa engkau kini telah menjadi kaki tangan pemberontak yang bergabung dengan para tokoh sesat itu?"
Hong Beng menghela napas pan jang, lalu memperhatikan sekeliling tempat itu. "Mari kita bicara," bisiknya, "akan tetapi harus berhati-hati agar tidak terdengar orang lain."
"Mari ikut denganku," kata Sin Hong yang mengajak Hong Beng dan Suma Lian memasuki hutan di mana dia dan gadis itu tadi membuat api unggun. Tempat ini memang terlindung pohon-pohon, dan berada di tempat agak tinggi sehingga dapat melihat kalau ada orang datang ke tempat itu.
"Nah, di sini kita bisa bicara dengan aman," katanya.
Hong Beng lalu memandang Suma Lian dan kembali sinar kagum terbayang di matanya melihat gadis ini. Betapa cantik jelitanya Suma Lian sekarang dan jantungnya berdebar tegang, bukan hanya tegang karena gembira membayangkan gadis ini ditunangkan dengan dia, akan tetapi juga tegang melihat betapa gadis ini sekarang berdua dengan seorang pemuda yang lihai! Biarpun pemuda itu tidak dapat dikatakan berwajah tampan sekali, namun dia tidak buruk, dan wajahnya cerah, ramah dan menarik.
"Sumoi, apa yang kulakukan ini memang benar, yaitu bahwa aku menjadi utusan Siangkoan Lohan membawa tugas rahasia yang penting sekali. Akan tetapi, hal ini kulakukan dengan terpaksa karena aku sedang bersandiwara untuk menyelamatkan nyawa dua orang sandera. Engkau mengenal baik seorang di antara mereka, karena ia bukan lain adalah nona Pouw Li Sian....”
“Aaaihhh....!" Tentu saja Suma Lian terkejut sekali mendengar nama saudara seperguruannya itu. "Apa yang telah terjadi? Bagaimana Sian-sumoi dapat menjadi sandera di Tiat-liong-pang?"
Hong Beng lalu menceritakan semua yang telah terjadi, betapa tadinya mereka berempat, dia, Cu Kun Tek, Pouw Li Sian, dan juga Kwee Ci Hwa menjadi tawanan dan terancam nyawa mereka. Diceritakannya pula betapa Ci Hwa berhasil membebaskan mereka, entah dengan cara bagaimana, akan tetapi gadis itu lalu lenyap.
"Setelah membebaskan kami, ia pergi entah ke mana...."
"Ia telah tewas!" kata Sin Hong cepat, sengaja untuk memberi kesan kepada Suma Lian bahwa dia berduka atas kematian gadis yang dicintanya. Lalu diceritakannya kepada Gu Hong Beng tentang peristiwa itu, ketika dia dan Suma Lian membantu Ci Hwa melarikan diri akan tetapi gadis itu tewas karena luka-lukanya. Mendengar ini, Gu Hong Beng menarik napas panjang.
"Ah, sungguh kasihan sekali gadis bernasib malang itu...." Dia lalu melanjutkan ceritanya, betapa mereka bertiga tertangkap lagi karena dikeroyok dan dimasukkan tahanan.
"Ouwyang Sianseng yang menjadi pelopor pemberontakan itu, bersama Siangkoan Lohan, lalu menyuruh kami bertiga mengambil keputusan, memilih satu antara dua. Membantu pemberontakan mereka atau dibunuh! Kami tidak takut mati, akan tetapi juga enggan mati konyol. Oleh karena itu, aku bersandiwara, pura-pura menakluk dan aku diuji dengan tugas ini, tugas khusus menyampaikan surat penting kepada Panglima Coa yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sedang mencari jalan bagaimana baiknya untuk dapat menyelamatkan dua orang kawan yang dijadikan sandera, dan tiba-tiba saudara ini menyusul dan menyerangku."
"Suheng, saudara ini adalah Tan Sin Hong. Kami berdua juga sedang melakukan penyelidikan untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang dan yang bersekutu dengan para tokoh sesat itu. Kami tidak tahu bahwa engkau dan juga Sian-sumoi ditawan di sana."
Tiba-tiba Sin Hong berkata, "Lian-moi, harap kau suka membantu saudara Gu Hong Beng, menyampaikan surat dan mencari akal, sedangkan aku sendiri akan menyelundup ke sarang Tiat-liong-pang untuk mencoba kalau-kalau aku akan dapat membebaskan saudara Cu Kun Tek dan nona Pouw Li Sian itu!" Tanpa menanti jawaban, Sin Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
"Hong-ko....!" Suma Lian memanggil, akan tetapi pemuda itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Diam-diam Gu Hong Beng kagum bukan main.
"Dia amat lihai...." katanya.
"Tentu saja, Suheng. Dia adalah murid terakhir dari para locianpwe di Istana Gurun Pasir."
"Ahhh....!" Hong Beng terkejut dan kagum sekali, "Pantas saja dia tadi mengenal Swat-im Sin-kang begitu aku mempergunakan ilmu itu."
"Kasihan, dia berduka karena kehilangan kekasihnya, yaitu gadis yang kami tolong dari dalam sarang Tiat-liong-pang itu."
"Kwee Ci Hwa....?"
"Benar. Sudahlah, Suheng. Bagaimana sekarang? Apakah aku dapat membantumu?"
Hong Beng menjawab ragu. "Aku sendiri masih bingung, Sumoi. Kalau tugas ini tidak kulaksanakan, nyawa Kun Tek dan nona Li Sian terancam bahaya maut. Mereka tentu akan dibunuhnya kalau aku tidak kembali ke sana membawa balasan dari Panglima Coa. Akan tetapi kalau aku melanjutkan tugas ini, berarti aku membantu pemberontakan itu. Isi surat itu amat penting."
Sambil berjalan menuju ke perbentengan, Hong Beng memberi penjelasan kepada Suma Lian agar gadis itu dapat membantunya mencari akal yang baik.
"Sebaiknya kaulanjutkan itu. Biar aku menanti di luar benteng, siap membantumu kalau engkau terancam bahaya kegagalan. Kalau di dalam surat hanya disebutkan engkau seorang sebagai utusan, tentu akan menimbulkan kecurigaan kalau aku ikut masuk ke dalam benteng."
Hong Beng membenarkan pendapat itu. Akan tetapi, selagi mereka berjalan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja bermunculan tiga belas orang berpakaian serba merah, dipimpin oleh seorang yang berpakaian hijau! Mereka ini segera membuat gerakan mengepung Hong Beng dan Suma Lian, dan orang berpakaian hijau yang bertubuh kurus sekali itu, dengan suaranya yang parau menudingkan pedangnya ke arah Hong Beng.
"Hemm, sudah kami duga, tentu engkau berkhianat! Baiknya Mo-li menyuruh aku melakukan penghadangan di sini! Ternyata engkau benar saja menemui kawanmu ini dan hendak berkhianat kepada Tiat-liong-pang!"
Hong Beng tidak mengenal orang itu, akan tetapi Suma Lian segera mengenalnya.
"Hei bukankah engkau Tok-ciang Hui-moko Liok Cit, tikus busuk itu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka si kurus berpakaian hijau.
Orang itu memang Liok Cit, tangan kanan Sin-kiam Mo-li yang bertugas di situ memimpin tiga belas orang anggauta Ang I Mopang atas perintah Sin-kiam Mo-li yang cerdik dan yang meragukan kejujuran Hong Beng. Kini dia pun mengenal Suma Lian, dan wajahnya berubah agak pucat. Celaka, pikirnya. Gadis liar yang amat lihai itu kiranya teman Gu Hong Beng ini! Makin yakinlah dia bahwa Hong Beng memang bersekutu dengan pihak musuh.
"Tangkap mereka berdua, hidup atau mati!" Perintahnya dengan suara lantang. Perintah ini berarti bahwa orang-orang Ang I Mo-pang itu boleh membunuh pemuda dan gadis itu. Maka tiga belas orang itu segera mencabut pedang masing-masing dan membuat lingkaran, membentuk barisan aneh yang berlari-lari mengelilingi Hong Beng dan Suma Lian. Gadis ini sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan marah sekali. Dicabutnya suling emas dari balik bajunya, dan ia berkata kepada Hong Beng dengan sikap tenang sekali.
"Suheng, kauhadapi barisan siluman ini, aku akan menghajar si cacing kurus itu. Biarkan aku menggempur barisan untuk berhadapan dengan tikus itu!"
Mendengar betapa gadis yang lihai itu menyebut Hong Beng sebagai suheng, makin khawatirlah hati Liok Cit. "Hayo gempur mereka!" bentaknya dari luar barisan.
Tiga belas orang anggauta Ang I Mopang ini memang ahli dalam hal pembentukan barisan yang aneh-aneh. Biarpun tingkat kepandaian mereka itu kalau maju seorang demi seorang tidak akan ada artinya bagi para pendekar seperti Hong Beng dan Suma Lian, akan tetapi kalau sudah membentuk barisan, mereka menjadi kekuatan yang dahsyat, yang dapat bekerja sama dengan baik sekali sehingga seolah-olah dikendalikan oleh satu pikiran, dengan tiga belas pasang kaki dan tangan, dengan tiga belas batang pedang!
Barisan itu sambil tetap berlari mengelilingi gadis dan pemuda itu, mulai menyerang, bertubi-tubi dan saling melindungi, susul menyusul, ke arah tubuh Hong Beng dan Suma Lian. Namun Hong Beng yang ketika berangkat melaksanakan tugas memperoleh kembali pedangnya, yaitu sepasang pedang, kini sudah siap dengan sepasang senjata itu, memutarnya dengan ilmu pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat. Sedangkan Suma Lian sudah menerjang ke depan, memutar suling emasnya dengan Ilmu Suling Naga Siluman yang mengeluarkan suara melengking-lengking dan membentuk gulungan sinar kuning emas yang menyilaukan mata.
Hong Beng yang maklum bahwa gadis itu lihai sekali, bahkan dia tahu bahwa gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya, kini memutar sepasang pedang untuk membendung serangan tiga belas anggauta barisan Ang I Mo-pang itu, memberi kesempatan kepada Suma Lian untuk menerjang keluar. Kesempatan ini memang dipergunakan oleh gadis itu. Ia memutar sulingnya semakin dahsyat sambil menerjang ke arah kiri. Anggauta barisan yang berlari di sebelah kiri, cepat menangkis dengan pedangnya ketika ada sinar emas mencuat ke arahnya, dibantu pula oleh teman di kanan kirinya yang menahan serangan Suma Lian dengan tusukan pedang mereka ke arah gadis itu. Namun, Suma Lian memutar sulingnya, menangkis pedang-pedang itu dan tangan kirinya mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang mendorong ke arah mereka. Hawa dingin menyambar dahsyat ke arah tiga orang anggauta barisan itu, dan mereka mengeluarkan teriakan kaget sambil terhuyung ke belakang, namun tempat mereka segera diisi oleh tiga orang teman lainnya sehingga jalan keluar bagi Suma Lian tertutup lagi. Melihat ini, Gu Hong Beng menerjang pula ke bagian itu, sepasang pedangnya menyambar-nyambar, akan tetapi segera sepasang pedang itu disambut oleh tidak kurang dari enam batang pedang lawan.
Tiba-tiba Suma Lian mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya berkelebat meloncat tinggi melampaui atas kepala para pengepungnya! Ketika barisan itu hendak menghalanginya, ia kembali mendorongkan tangan kirinya yang kini mengandung tenaga sakti Hui-yang Sin-kang yang panas dan mereka yang berusaha menghalanginya itu pun terdorong mundur dan berteriak kaget karena merasa betapa hawa panas menyambar ke arah mereka. Barisan menjadi kacau dan Suma Lian sudah tiba di luar barisan. Tanpa membuang waktu lagi, ia pun segera menyerang Liok Cit dengan suling emasnya.
"Tikus pengecut, sekarang kuantar kau ke neraka!" bentak Suma Lian dan Liok Cit yang menjadi ketakutan, cepat menyambut dengan pedangnya dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk membendung serangan suling emas yang sinarnya menyilaukan mata itu.
Sementara itu, Hong Beng juga mengamuk dengan pedangnya. Barisan itu sudah kacau karena enam orang di antara mereka telah dibikin terhuyung oleh pukulan Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang dari Suma Lian tadi. Kini, Hong Beng memainkan ilmu pedangnya dengan dahsyat, mengerahkan tenaganya sehingga tubuh dan pedangnya bagaikan bola api yang menggelinding ke sana ke mari, dan barisan itu pun menjadi semakin kacau dan tidak dapat mempertahankan lagi keutuhan atau kerapian gerakan mereka.
Sementara itu, perkelahian antara Suma Lian melawan Liok Cit terjadi berat sebelah. Liok Cit yang berjuluk Tok-ciang Hui-moko (Iblis Terbang Tangan Beracun) itu ternyata bukan tandingan Suma Lian. Dia tidak berani mencoba-coba untuk mempergunakan sihirnya, karena hal ini hanya berarti menggugah harimau tidur. Gadis itu memiliki kekuatan sihir yang jauh lebih kuat darinya, maka akan percuma saja kalau dia mempergunakan sihir. Satu-satunya jalan bagi Liok Cit hanyalah mempertahankan diri dan sedapat mungkin mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri.
Akan tetapi, agaknya Suma Lian tidak mau melepaskan lagi musuhnya ini. Ia teringat akan perbuatan Liok Cit yang lalu, mencoba untuk menyihirnya, dan menculik Yo Han sehingga mengakibatkan tewasnya ayah ibu anak itu, bahkan dirinya sendiri hampir celaka kalau saja tidak ada Sin Hong yang menolongnya. Maka, Suma Lian mendesak dengan suling emasnya dan tidak memberi jalan keluar sama sekali. Liok Cit melawan mati-matian, sambil terus mundur dan akhirnya, tanpa dapat dihindarkannya lagi, ujung suling gadis itu menyentuh pelipis kirinya. Tubuh Liok Cit terjungkal dan dia tewas seketika tanpa mengeluarkan suara lagi!
Setelah merobohkan Liok Cit, Suma Lian lalu membalikkan tubuhnya dan terjun ke dalam pertempuran membantu Hong Beng yang dikeroyok oleh barisan Ang I Mo-pang. Barisan itu memang sudah kacau balau, bahkan telah kehilangan tiga orang anggauta barisan yang roboh terkena pedang di tangan Hong Beng. Maka, begitu Suma Lian masuk, sisa pasukan menjadi semakin kacau dan gentar. Namun, sepasang pendekar itu agaknya tidak mau melepaskan mereka. Hal ini memang sudah semestinya, karena kalau ada seorang saja di antara mereka lolos dan melapor kepada pimpinan Tiat-liong-pang, tentu rahasia Hong Beng diketahui dan akan celakalah Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera. Maka, mereka mengamuk dan sisa barisan yang berusaha menyelamatkan diri itu sia-sia saja, akhirnya mereka roboh seorang demi seorang dan setelah perkelahian itu berhenti, tiga belas orang anggauta Ang I Mo-pang dan Liok Cit sudah tewas semua, tubuh mereka malang melintang diantara darah yang membasahi tanah.
"Bagus, bagus! Orang-orang muda mempergunakan kepandaian untuk melakukan pembunuhan terhadap banyak orang, sungguh menyedihkan!"
Hong Beng dan Suma Lian cepat membalikkan tubuh mereka, siap siaga menghadapi lawan baru. Juga mereka terkejut karena kehadiran orang yang mengeluarkan suara itu sama sekali tidak mereka ketahui, hal ini saja menunjukkan betapa lihainya orang itu. Dan ketika mereka membalik, mereka melihat dua orang kakek dan nenek sudah berdiri di situ sikap mereka tenang dan berwibawa. Kakek itu sudah tua, usianya antara tujuh puluh tahun berpakaian sastrawan sederhana, sikapnya lembut namun berwibawa, wajahnya masih memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. Adapun nenek itu belasan tahun lebih muda, usianya sekitar lima puluh empat tahun, wajahnya masih nampak cantik dan sepasang matanya bergerak lincah dan penuh semangat.
"Kong-kong dan Bo-bo (Kakek dan Nenek)....!" Suma Lian berseru ketika ia mengenal kedua orang itu. Mereka itu memang kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian yang baru saja meninggalkan benteng pasukan pemerintan setelah mereka menolong Panglima Liu, utusan dari kota raja. Kalau Suma Lian langsung mengenal mereka, kedua orang tua itu tertegun sejenak, akan tetapi mereka pun teringat bahwa gadis cantik dan gagah yang memegang sebatang suling emas itu bukan lain adalah Suma Lian, cucu mereka sendiri!
"Hemmm, kiranya engkau, Lian?" Nenek Bu Ci Sian meloncat dekat dan memegang pundak cucunya. "Sudah begini dewasa, sampai tidak dapat mengenalmu tadi!"
"Dan kini menjadi seorang yang begitu ganas, membunuhi orang seperti membunuh semut saja!" kata pula Kam Hong dengan alis berkerut karena hatinya merasa tidak puas melihat betapa cucunya tadi membunuh semua lawannya.
Suma Lian lari menghampiri kakeknya, memegang tangan kakeknya dan berkata dengan lagak manja, "Aih, Kakek ini! Bertahun-tahun tidak saling jumpa, begitu bertemu langsung memarahi aku! Bukannya memberi hadiah! Ketahuilah, Kong-kong, terpaksa sekali kami harus membunuh semua orang ini. Kalau seorang saja kami biarkan lolos, maka nyawa sumoiku dan nyawa seorang pendekar lain yang menjadi sandera tentu akan melayang!"
"Eh? Apa maksudmu? Dan siapakah orang muda ini?"
"Kakek dan Nenek, dia ini adalah suhengku sendiri, namanya Gu Hong Beng, murid dari paman Suma Ciang Bun."
Kakek dan nenek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Hong Beng dengan kagum. Seorang pemuda yang perkasa, pikir mereka. "Bagus, kalau begitu bukan orang lain," kata Bu Ci Sian.
Hong Beng lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada mereka. "Harap Ji-wi Locianpwe memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat," katanya.
"Lian-ji, sebenarnya apakah yang telah terjadi dan apa artinya kata-katamu tadi bahwa kalau kalian tidak membunuh semua orang ini maka nyawa sumoimu dan seorang pendekar lain akan melayang?"
Suma Lian, dibantu olen Hong Beng, lalu menceritakan semua yang telah terjadi, tentang Hong Beng yang menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menyerahkan surat kepada Coa Tai-ciangkun, tentang Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera dan betapa mereka tadi diserang oleh orang-orang Ang I Mo-pang yang menjadi sekutu Tiat-liong-pang. Hong Beng menceritakan pula akan isi surat rahasia yang telah dibacanya.
Mendengar cerita mereka, Kam Hong mengerutkan alisnya, "Wah, kalau begitu gawat sekali. Surat itu harus diperlihatkan kepada Liu Tai-ciangkun secepatnya!"
"Maaf Locianpwe, yang harus menerima adalah panglima she Coa, bukan she Liu," bantah Hong Beng.
Kakek itu tersenyum, "Engkau belum tahu apa yang terjadi di dalam benteng itu, orang muda. Untung bahwa engkau bertemu dengan kami, kalau tidak, begitu memasuki benteng, tentu engkau akan ditangkap dan dianggap mata-mata yang sesungguhnya dari kaum pemberontak." Kakek itu lalu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa Coa-tai-ciangkun dan antek-anteknya telah ditangkap dan kekuasaan di benteng itu telah dipegang olen pemerintah.
Hong Beng terkejut mendengar keterangan itu. "Wah, kalau sudah begini, lalu bagaimana baiknya, Locianpwe?"
"Kami mengenal Liu-ciangkun dengan baik, mari kalian kami ajak masuk ke benteng menemuinya dan berunding. Peristiwa yang terjadi di dalam benteng itu dirahasiakan sehingga orang luar tidak ada yang tahu, maka pihak pemberontak juga tidak tahu bahwa sekutu mereka yang berada di dalam benteng telah ditangkap semua."
Mereka berempat lalu kembali ke benteng dan karena para penjaga mengenal baik kakek dan nenek yang pernah berjasa besar dalam menggulung komplotan yang berkhianat, maka empat orang ini dapat memasuki benteng tanpa banyak susah, bahkan segera mereka malam itu juga disambut sendiri oleh Panglima Liu yang dibangunkan dari tidur dan diberi laporan.
".... Ah, Jiwi Locianpwe datang kembali tentu membawa berita penting," kata panglima itu dengan ramah, dan dia mengamati Hong Beng dan Suma Lian penuh perhatian, "siapakah Ji-wi yang gagah perkasa ini?"
Kam Hong segera menjawab. "Mereka ini adalah dua orang cucu kami, Tai-ciangkun, dan memang benar bahwa kedatangan kami membawa berita yang amat penting. Orang muda bersama Gu Hong Beng ini, bersama dua orang kawannya yang juga pendekar-pendekar yang menentang gerakan Tiat-liong-pang dan para tokoh sesat, telah tertawan oleh Siangkoan Lohan. Dua orang dijadikan sandera dan dia ini dipaksa untuk menjadi utusan, mengirim surat untuk Coa-ciangkun. Dia melakukannya hanya untuk menyelamatkan dua orang kawannya dan kebetulan sekali dia bertemu dengan kami, maka kami bawa ke sini."
Hong Beng lalu menceritakan kembali semua yang terjadi di Tiat-liong-pang kemudian dia menyerahkan surat yang ditulis oleh Siangkoan Lohan untuk diberikan kepada Coa-ciangkun itu kepada Panglima Liu. Panglima itu membacanya dan dia pun mengerutkan alisnya, lalu memanggil semua perwira pembantunya. Malam itu juga mereka mengadakan rapat, dihadiri pula oleh Kam Hong, Bu Ci Sian, Gu Hong Beng dan Suma Lian. Dalam rapat itu lalu diambil keputusan banwa Gu Hong Beng akan membawa pasukan yang dianggap "sekutu" pemberontak untuk bergabung. Kesempatan ini akan dipergunakan oleh pasukan untuk mengepung Tiat-liong-pang tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga akan memudahkan penyerangan mereka kalau saatnya tiba. Kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian dan cucu mereka, Suma Lian, akan menyelinap ke dalam sarang gerombolan pemberontak dan akan membantu gerakan pasukan itu dari dalam.
"Jangan khawatirkan nasib adik Li Sian," kata Suma Lian kepada Hong Beng. "Aku akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan ia dan kawannya lebih dulu!"
Gu Hong Beng menyetujui. Memang itu satu-satunya jalan terbaik. Dia akan kembali dan membawa pasukan, tentu pihak pemberontak takkan mencurigainya dan pasukan itu akan dapat mengepung pemberontak dengan leluasa dan tanpa dicurigai. Dia sendiri kalau sudah tiba di dalam akan segera berusaha membebaskan dua orang kawannya itu, bergabung dengan Suma Lian. Hatinya lega kalau mengingat bahwa Suma Lian ditemani oleh kakek dan neneknya, dua orang yang dia tahu amat sakti, maka hatinya tidak perlu mengkhawatirkan "tunangannya" yang sekali ini benar-benar menjatuhkan hatinya itu! Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada tunangannya sendiri, setelah bertemu dengan Suma Lian yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik menarik.
Setelah berunding masak-masak, Suma Lian bersama kakek dan neneknya lalu meninggalkan benteng karena mereka akan bergerak terpisah, bahkan kalau mungkin mendanului menyelundupkan ke dalam sarang pemberontak dan membantu pasukan dari sebelah dalam.
***
Kao Hong Li melakukan pengejaran dan mencari jejak Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Namun, sampai di pegunungan dekat dengan sarang gerombolan pemberontak Tiat-liong-pang, gadis ini kehilangan jejak mereka. Ia pun memasuki hutan, mengambil keputusan untuk menyelidiki Tiat-liong-pang karena ia tahu bahwa musuh besarnya itu, Sin-kiam Mo-li yang memimpin rombongan penyerbu ke Istana Gurun Pasir dan membunuh kakek dan neneknya, tentu bersekutu dengan para pemberontak seperti yang sudah didengarnya. Pemberontak Tiat-liong-pang itu kabarnya mengumpulkan banyak tokoh sesat sehingga keadaan mereka kuat sekali.
Karena belum mengenal keadaan daerah itu, Kao Hong Li bersikap hati-hati sekali. Ia tidak berani melakukan perjalanan di waktu malam, maka ia lalu melewatkan malam di dalam hutan, di atas pohon besar. Ia mengisi perutnya dengan roti dan daging kering yang dibawanya sebagai bekal, minum air putih jernih yang dibawanya dalam botol.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kao Hong Li sudah membersihkan tubuhnya di sebuah sumber air kecil di tengan hutan. Ia merasa segar dan tenaganya pulih kembali. Setelah berganti pakaian yang ringkas, ia melanjutkan penyelidikannya. Dengan hati-hati ia hendak keluar dari dalam hutan itu, menuju ke bukit di mana sore kemarin ia sudah melihat perkampungan Tiat-liong-pang.
Ketika ia tiba di pinggir hutan, tiba-tiba nampak bayangan beberapa orang berkelebat dan tahu-tahu ia telah dikepung lima orang laki-laki yang nampaknya gagah.
"Hemmm, engkau tentu kaki tangan pemberontak!" seorang di antara mereka membentak dengan sikap mengancam. "Hayo menyerah untuk kami tawan daripada kami harus mempergunakan kekerasan!"
"Menyerah sajalah, Nona. Kami adalah orang-orang gagah yang segan untuk mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita lemah!" kata orang kedua.
Hong Li adalah seorang gadis yang galak, cerdik dan pandai bicara. Dari sikap dan ucapan mereka, ia dapat menduga bahwa mereka ini bukanlah penjahat, bukan pula anak buah pemberontak. Kalau bukan mata-mata pasukan pemerintah, tentu mereka ini pendekar-pendekar yang menentang gerakan pemberontakan Tiat-liong-pang. Akan tetapi, ucapan mereka yang memandang rendah kepadanya memanaskan perutnya dan mendorongnya untuk menguji kepandaian mereka. Maka ia lalu tersenyum sindir, menghadapi mereka yang mengepungnya itu dengan sikap tenang saja.
"Hemmm, andaikata, benar aku ini kaki tangan pemberontak dan tidak mau menyerah, lalu kalian ini mau apakah? Kalian ini mirip lima ekor anjing hutan yang menggonggong mengancam seekor kucing hutan, akan tetapi tidak berani menyerang!"
Kucing hutan adalah harimau, maka dengan menyebut dirinya kucing hutan dan mereka itu anjing hutan, berarti Hong Li meninggikan dirinya dan merendahkan mereka.
Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, mengerutkan alisnya. "Nona, jangan disangka kami hanya menggertak saja. Kami adalah para pendekar yang siap menggempur para pemberontak, dan kalau engkau mata-mata pemberontak, kami tidak segan-segan mempergunakan kekerasan kalau engkau tidak mau menyerah dengan baik-baik."
Hong Li tersenyum mengejek dan melirik kepadanya, "Hemmm, ingin sekali aku melihat kekerasan yang bagaimana yang hendak kalian lakukan? Apakah kalian ini lima orang laki-laki hendak mengeroyok aku? Pendekar macam apa kalau beraninya hanya keroyokan?"
Si kumis tebal menjadi merah mukanya. "Kawan-kawan, mundurlah dan biarkan aku yang menangkap wanita yang sombong ini!" Teman-temannya yang sudan maklum akan kelihaian jagoan nnuda murid Kun-lun-pai ini, mundur dan membiarkan si kumis tebal untuk menghadapi Hong Li.
Namun, sebagai seorang pendekar, agaknya si kumis tebal masih saja sungkan untuk melawan seorang wanita muda. Dia memasang kuda-kuda dengan gagahnya, kuda-kuda dari silat Kun-lun-pai yang terkenal indah gerakannya itu, akan tetapi tidak segera menyerang, melainkan berkata kepada Hong Li.
"Nona, silakan mulai menyerang!"
Hong Li tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri santai saja, bahkan mentertawakan lawannya. "Eh, kenapa? Bukankah yang hendak menggunakan kekerasan itu engkau? Kenapa aku yang disuruh menyerang? Aku tidak bisa menggunakan kekerasan!"
Teman-temannya tertawa dan si kumis tebal menjadi semakin kikuk. "Kalau begitu, biarlah aku yang mulai dulu. Awas, Nona, aku akan bergerak menangkapmu, maaf!"
Dan orang itu, dengan kedua lengan bergerak cepat, menubruk ke depan, maksudnya hendak menangkap kedua pergelangan tangan Hong Li agar dia dapat menangkap gadis itu tanpa banyak pergulatan.
"Ihhh....!" Hong Li berseru dan dengan gerakan kaku yang disengaja, ia mengelak, akan tetapi cukup untuk membuat tubrukan lawan itu mengenai tempat kosong belaka!
"Wah, sayang luput, ya?" Hong Li mentertawakannya sambil melenggang-lenggokkan tubuhnya yang ramping padat. Kembali terdengar suara ketawa teman-teman si kumis tebal.
"Awas, aku akan menotok dan membuat engkau tidak mampu bergerak, Nona. Maaf!" Dan kini si kumis tebal kembali menyerang, bukan sembarangan lagi menubruk, melainkan mengirimkan totokan dengan dua jari tangan kanan kiri, yang kanan menotok pundak kiri, yang kiri menotok pinggang. Hong Li yang melihat bahwa tingkat kepandaian lawan masih jauh berada di bawah tingkatnya, menyambut totokan-totokan itu dengan dua pasang jari tangannya pula, jari telunjuk dan jari tengah dipergunakan untuk menangkap atau menjepit totokan lawan.
"Cuppp! Cappp!" Si kumis tebal itu terbelalak melihat betapa totokannya itu disambut jepitan jari tangan lawan. Dia berusaha menarik kembali jarinya, namun sia-sia dan terasa nyeri, seolah-olah jari tangannya telah terjapit oleh jepitan besi! Tentu saja nampaknya lucu sekali perkelahian itu dan teman-teman si kumis kembali tertawa. Kaki Hong Li bergerak dan tubuh si kumis tebal itu terpelanting, tidak begitu keras karena Hong Li memang tidak mempergunakan tenaga besar.
Empat orang kawan si kumis tebal kini menghentikan suara ketawa mereka dan baru mereka sadar bahwa gadis cantik itu ternyata bukan orang sembarangan, buktinya si kumis tebal yang mereka kenal sebagai murid Kun-lun-pai yang cukup kuat, dalam segebrakan saja roboh secara aneh! Kini mereka berempat berloncatan menghadapi Hong Li dan seorang di antara mereka membentak,
"Nona, siapakah engkau? Harap jangan main-main dengan kami dan mengaku terus terang apakah engkau seorang mata-mata pemberontak?" Mereka sudah mendengar bahwa gerombolan pemberontak bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat yang tinggi ilmunya.
"Siapakah main-main dengan kalian?" Hong Li menjawab. "Siapa adanya aku tidak ada hubungannya dengan kalian. Aku berjalan seorang diri tidak mengganggu siapapun juga. Adalah kalian yang menghadang perjalananku dan andaikata aku benar mata-mata pemberontak, habis kalian mau apa?"
"Tangkap mata-mata ini!" bentak si kumis tebal yang sudah meloncat bangun kembali dan kini lima orang itu sudah menerjang untuk menangkap Hong Li. Gadis ini dengan lincah sekali lalu berloncatan mengelak. Gadis ini adalah cucu dalam dari Naga Sakti Gurun Pasir, juga cucu luar dari Pendekar Super Sakti Pulau Es. Dari ayahnya ia mewarisi ilmu-ilmu dari Gurun Pasir, dan dari ibunya ia mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, tentu saja ia lihai bukan main. Diserang oleh lima orang pendekar yang tingkatnya masih tengah-tengah tentu saja ia seperti menghadapi pengeroyokan lima orang anak kecil saja. Dengan mudah ia menghindarkan setiap serangan dengan elakan dan setiap kali tangannya menangkis, orang yang ditangkisnya tentu terpelanting! Sungguh mereka itu seperti sekumpulan semut yang mengeroyok jangkrik, beberapa kali terpelanting dan bangkit kembali. Kalau saja Hong Li menghendaki, tentu dengan mudah ia akan membuat mereka roboh untuk tidak dapat bangun kembali. Akan tetapi gadis ini pun tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang baik-baik, dan ia pun hanya ingin main-main saja, menghajar mereka karena mereka memandang rendah kepadanya!
Pada saat itu, berkelebat bayangan orang, bayangan putih dan seorang pemuda berpakaian serba putih tiba di situ. "Tahan....!" katanya kepada lima orang itu yang segera menghentikan pengeroyokan mereka. Mereka terengah-engah, dengan tubuh basah oleh keringat dan babak bundas. Sedikitnya setiap orang sudah terpelanting dua kali dalam pengeroyokan itu.
Melihat kehadiran si baju putih, si kumis tebal cepat berseru girang, "Tan Tai-hiap, cepat bantu kami menangkap mata-mata musuh yang lihai ini!"
Akan tetapi lima orang itu tertegun ketika melihat betapa orang yang mereka harapkan akan membantu mereka itu kini berdiri berhadapan dengan gadis itu, saling pandang dan akhirnya pemuda berpakaian putih itu berseru girang.
"Nona Kao Hong Li....!"
"Eh, engkau.... eh Susiok....!”
Pemuda berpakaian putih itu bukan lain adalah Tan Sin Hong. Baru kemarin dia bertemu dengan para pendekar, ketika para pendekar yang jumlahnya kurang lebih lima belas orang itu dikepung dan dikeroyok, bahkan terancam oleh orang-orang Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai yang bersekutu dengan para pemberontak. Sin Hong turun tangan membantu mereka sehingga mereka berhasil mengusir musuh dari dalam hutan. Dan semua pendekar mengagumi Tan Sin Hong yang mereka sebut Tan-taihiap (Pendekar Besar Tan). Para pendekar itu adalah mereka yang berdatangan karena merasa penasaran mendengar bahwa Tiat-liong-pang melakukan pemberontakan dan bersekutu dengan kaum sesat. Pada waktu itu, masih banyak lagi para pendekar yang berpencaran di sekitar daerah yang dijadikan sarang Tiat-liong-pang, siap untuk menggempur kaum sesat yang berkumpul di atas apabila saatnya tiba.
Mendengar betapa gadis itu menyebut susiok (paman guru) kepada Sin Hong, tentu saja para pendekar itu terkejut dan melongo. Sin Hong lalu menoleh kepada mereka. “Aih, sobat-sobat sungguh kurang cermat. Nona ini adalah nona Kao Hong Li, seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya,bagaimana kalian sangka ia seorang mata-mata pemberontak?"
Kao Hong Li mengerling ke arah si kumis tebal dan kawan-kawannya sambil tersenyum.
"Habis. Kalian tidak memberi kesempatan kepadaku, datang-datang kalian menuduh aku mata-mata musuh sih, jadi aku menjadi marah dan ingin menguji kalian!"
Si kumis tebal dan teman-temannya menjadi malu, dan dengan muka merah mereka memberi hormat, dipimpin oleh si kumis tebal yang berkata. "Maaf, maaf, karena tidak mengenal Lihiap (PendeKar Wanita) maka kami berlaku kurang hormat. Maklumlah, baru kemarin kami diserang oleh gerombolan pemberontak, maka tadi kami menyangka Lihiap seorang di antara mereka. Maaf!"
"Sudahlah," kata Hong Li. "Aku yang minta maaf. Susiok, bagaimara engkau bisa berada di sini?"
Sin Hong memandang kepada lima orang itu dan berkata. "Harap kalian memberi kesempatan kepada kami untuk bicara berdua."
Lima orang itu mengangguk maklum dan mereka pun berloncatan masuk ke dalam hutan dan menghilang di balik batang-batang pohon, Sin Hong lalu menghampiri Hong Li.
"Bagaimana, Nona, apakah selama ini engkau baik-baik saja? Dan kuharap kedua orang tuamu juga berada dalam keadaan selamat dan sehat." katanya dengan sikap sopan.
Hong Li cemberut. "Susiok, bagaimana sih engkau ini? Bukankah engkau ini murid kong-kong, jadi engkau adalah sute dari ayahku dan karena itu, engkau ini susiokku dan aku masih terhitung keponakanmu sendiri, murid keponakan! Kenapa engkau masih menyebut aku nona-nona segala? Lupakah engkau bahwa namaku Hong Li? Kao Hong Li?"
Menghadapi berondongan serangan ini, Sin Hong tersipu. Bagaimanapun juga, dia seorang pemuda yang tidak biasa berhadapan deng-an wanita, apalagi yang galak dan lincah seperti Hong Li ini. Dalam hal kelincahan, kejenakaan dan kegalakan, gadis ini rupanya menjadi saingan berat dari Suma Lian!
"Habis, aku harus menyebut apa kalau bukan nona?"
"Memangnya seorang susiok hendak dijadikan bujang maka menyebut nona kepadaku? Sebut saja namaku!"
"Mana aku berani?"
"Kalau tidak berani, sudahlah. Kita tidak usah bicara. Aku tidak sudi kausebut nona!" Gadis itu membalikkan tubuhnya dan cemberut. Melihat ini, Sin Hong cepat meloncat ke depan gadis itu. "Baiklah, Hong Li. Sebenarnya, aku sendiri pun merasa tidak enak kalau kausebut susiok. Usia kita sebaya, paling banyak aku lebih tua satu dua tahun darimu, akan tetapi kausebut paman guru!"
"Itu kan keharusan! Kalau aku tidak menyebut susiok padamu, tentu ayah akan marah. Sudahlah. Susiok, engkau belum menjawab. Bagaimana engkau bisa berada di sini?"
"Aku pun heran menjumpaimu di sini, Hong Li. Bukankah engkau berada di rumah orang tuamu ketika aku pergi dari sana?"
"Kau dulu bercerita, baru aku akan menceritakan pengalamanku," kata Hong Li sambil duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah. Sin Hong lalu mengambil tempat duduk di atas batu besar. Keduanya berhadapan dan saling pandang.
Sin Hong lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan pertemuannya yang terakhir dengan Suma Lian, betapa dia dan gadis itu pernah memasuki sarang Tiat-liong-pang dan berhasil menolong Kwee Ci Hwa akan tetapi gadis itu tewas oleh luka-lukanya. Dan dia pun menceritakan tentang kemunculan Gu Hong Beng yang kemudian dibantu oleh Suma Lian untuk menyampaikan tugas dari pimpinan pemberontakan yang terpaksa harus dilakukan demi menyelamatkan dua orang kawan yang menjadi sandera.
"Aku sendiri ingin menyelundup kedalam sarang gerombolan itu, untuk mencoba menyelamatkan dua orang sandera itu. Di tengah hutan ini, kemarin, aku melihat para pendekar diserbu para anggauta gerombolan yang dibantu oleh banyak tokoh sesat yang pandai. Kami berhasil mengusir mereka dan aku lalu bergabung dengan para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat yang membantu pemberontakan. Nah, demikianlah pengalamanku sampai aku melihat engkau mempermainkan beberapa orang teman pendekar itu."
Hong Li menarik napas panjang. "Ah, kiranya semua telah berada di sini! Gu Hong Beng masih suhengku sendiri karena gurunya, paman Suma Ciang Bun adalah adik ibuku, Suma Lian adalah adik misanku sendiri. Akan ramai nanti di sini kalau begitu dan aku gembira sekali mendengar mereka semua turun tangan hendak menentang kaum sesat yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sendiri, setelah engkau pergi, Susiok, merasa penasaran. Aku lalu pergi dari rumah dengan maksud mencari para penyerbu Istana Gurun Pasir seperti yang Paman ceritakan itu, terutama Sin-kiam Mo-li. Jejaknya menuju ke sarang Tiat-liong-pang maka aku sampai di tempat ini."
Memang ia merupakan seorang di antara tokoh sesat yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang." Sin Hong lalu menceritakan keadaan Tiat-liong-pang yang amat kuat, terutama sekali karena ternyata gerombolan pemberontak itu bersekutu dengan panglima pasukan pemerintah yang bertugas jaga di benteng utara tak jauh dari situ.
"Ah, kalau begitu kebetulan sekali. Aku dapat membantu para pendekar menentang kaum sesat yang membantu pemberontakan, juga sekalian dapat menuntut balas atas kematian kakek dan nenekku dari Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya!" kata Hong Li penuh semangat sambil mengepal tinju.
Sin Hong menarik napas panjang. "Hong Li, jangan engkau mengira bahwa aku tidak berduka karena kematian tiga orang guruku, akan tetapi justeru dari merekalah aku menerima pelajaran, bukan hanya ilmu silat, akan tetapi gemblengan batin sehingga aku berhasil melenyapkan dendam dari hatiku. Kalau sekarang aku menentang Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, bukan karena aku mendendam kepada mereka, melainkan karena mereka adalah orang-orang jahat yang sudah selayaknya ditentang agar tidak banyak jatuh korban keganasan mereka. Juga aku harus dapat merampas kembali Cui-beng-kiam dan Ban-tok-kiam, dua buah pedang pusaka milik Istana Gurun Pasir yang dirampas mereka, karena selama pedang-pedang itu berada di tangan mereka, maka kejahatan mereka akan meningkat dan dua buah pusaka itu tentu hanya akan dipergunakan untuk kejahatan."
Hong Li mengangguk. "Tadinya aku memang merasa penasaran sekali, Susiok. Kedua orang kakek dan nenekku, juga kakek Wan Tek Hoat tewas di Gurun Pasir, akan tetapi Susiok sebagai murid tunggal dan terakhir mereka, tetap hidup dan agaknya tidak hendak membalas dendam. Akan tetapi sekarang aku mengerti, dan aku setuju dengan pendirianmu. Memang aku pun sudah seringkali mendengar dari ayah dan ibu betapa buruknya membiarkan dendam meracuni batin sendiri. Akan tetapi bagi aku, kalau mengingat betapa jahatnya mereka dan betapa kakek dan nenek yang sudah tua itu mereka serbu dan mereka bunuh, betapa sukarnya untuk tidak menjadi sakit hati dan mendendam."
Sin Hong mengangguk pula. "Aku tidak menyalahkanmu, Hong Li. Memang kelemahan seperti itu adalah manusiawi, akan tetapi kalau kita sudah tahu bahwa hal itu merupakan suatu kelemahan dan kekeliruan, sudah selayaknya kalau kita menghilangkannya, bukan? Aku sendiri kehilangan orang tuaku yang menjadi korban kejahatan orang lain, dan ternyata pembunuh ayahku juga berada di sini karena pembunuhan itu dilakukan sebagai akibat dari usaha pemberontakan .Tiat-liong-pang pula." Sin Hong lalu menceritakan tentang keterangan terakhir Kwee Ci Hwa yang sudah dapat membongkar rahasia pembunuhan Tan-piauwsu itu.
Dua orang muda itu bercakap-cakap dengan asyik sekali, seperti dua orang sahabat lama yang baru saja saling bertemu setelah lama berpisah. Barulah mereka terkejut ketika ada dua orang gagah berlari-lari dari dalam hutan wajah mereka agak pucat dan napas mereka memburu. "Celaka, Tan-taihiap! Kami diserbu dari arah selatan. Musuh kami lihai bukan main seningga ada beberapa orang saudara kita yang sudah roboh! Cepat, harap bantu kami, Tan-taihiap dan Lihiap, kalau tidak, kami semua akan celaka!"
Tanpa menanti keterangan lain lagi, tubuh Sin Hong berkelebat diikuti oleh Hong Li. Keduanya berlari cepat sekali memasuki hutan dan Hong Li hanya mengikuti Sin Hong karena ia tidak mengenal jalan. Sin Hong berlari cepat menuju ke perkampungan darurat yang dibuat oleh para pendekar di dalam hutan itu. Banyak para pendekar dari berbagai kalangan yang berdatangan ke arah daerah utara, tempat pemberontakan Tiat-liong-pang terjadi. Mereka tertarik bukan untuk mencampuri pemberontakan itu, karena bagaimanapun juga, tidak ada pendekar yang dalam hatinya membela pemerintah penjajah. Mereka berdatangan bukan untuk mencampuri pemberontakan itu, karena bagaimanapun juga, tidak ada pendekar yang dalam hatinya membela pemerintah penjajah. Mereka berdatangan untuk menentang kaum sesat yang kabarnya memimpin pemberontakan, karena mereka semua maklum bahwa jika kaum sesat yang memberontak dan berhasil berkuasa, maka rakyat akan lebih celaka lagi, lebih sengsara daripada kalau kekuasaan dipegang penjajah Mancu. Bukan hanya di hutan itu saja terdapat para pendekar yang membuka perkampungan darurat. Di situ hanya berkumpul belasan orang pendekar. Di tempat-tempat lain terdapat banyak pula persembunyian para Pendekar yang juga saling menggabung dan siap menghadapi para tokoh sesat.
Ketika Sin Hong dan Hong Li yang jauh mendahului dua orang pendekar itu tiba di perkampungan dalam hutan, mereka melihat bahwa belasan orang pendekar sedang dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih orang yang melihat pakaian mereka adalah orang-orang Mongol yang tinggi besar, dan mereka di pimpin oleh seorang tosu dan seorang nenek bongkok. Kedua orang inilah yang amat lihai. Tosu itu bertubuh pendek berkepala botak, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dia memainkan sehelai sabuk yang ujungnya dipasangi pisau. Adapun nenek itu, bertubuh bongkok kurus, kulitnya hitam dengan muka buruk berkeriputan, usianya juga enam puluh tahun lebih, tangannya memegang sebuah tongkat hitam butut. Nenek ini takkalah lihainya dibandingkan tosu itu, dan sepak terjangnya ganas sekali, membuat para pendekar kocar-kacir dan terdesak hebat.
Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi maklum bahwa kedua orang itu memang lihai sekali, dan agaknya, melihat bahwa mereka memimpin orang-orang Mongol yang ganas dan kasar menyerang para pendekar, mudah diduga bahwa mereka tentulah kaki tangan pemberontak. Memang dugaan mereka betul karena mereka adalah orang-orang yang menjadi pembantu Tiat-liong-pang, sedangkan pasukan kecil Mongol itu adalah sebagian dari lima ratus lebih orang pasukan Mongol yang dipimpin oleh Agakai dan sudah berkumpul di sarang Tiat-liong-pang. Kakek itu bernama Hok Yang Cu, seorang tokoh Pat-kwa-pai yang banyak melakukan kejahatan, satu di antara para tokoh Pat-kwa-pai yang membantu pemberontakan itu. Adapun nenek itu adalah Hek-sim Kui-bo, seorang datuk sesat yang lihai pula. Dua orang ini memang bersahabat dan pernah kita jumpai mereka ketika mereka melakukan serangan terhadap keluarga Beng-san Siang-eng di puncak Telaga Warna Pegunungan Beng-san. Untung pada waktu itu muncul Suma Lian yang membantu keluarga pendekar itu mengusir dua orang kakek dan nenek ini. Mereka berdua menyerang keluarga Beng-san Siang-eng bukan saja untuk mengganggu keturunan keluarga Pulau Es itu, juga karena Hek-sim Kui-bo ingin menculik Gak Ciang Hun, putera Beng-san Siang-eng yang baru berusia sepuluh tahun.
Melihat kelihaian kakek dan nenek ini, tanpa berunding Sin Hong dan Kao Hong Li maklum apa yang harus mereka lakukan. Mereka melihat sudah ada empat orang pendekar roboh, maka Sin Hong lalu meloncat ke tengah medan pertempuran, langsung saja dia menghadapi tosu yang amat lihai itu. Pada saat itu, Hok Yang Cu sedang menggunakan sabuknya untuk mendesak seorang pendekar yang bersenjata pedang. Sabuk itu berhasil melibat pedang sehingga tidak dapat digerakkan lagi, mereka saling betot dan saat itu dipergunakan oleh Hok Yang Cu untuk menggunakan tangan kirinya menghantam. Hantaman ini amat dahsyat karena dia mengerahkan tenaga sin-kangnya dan kepala lawannya terancam.
"Dukkk!" Tangan terbuka yang dihantamkan ke arah kepala lawan itu bertemu dengan tangan lain dari samping yang menangkisnya, dan akibatnya, tubuh Hok Yang Cu terhuyung dan sabuknya melepaskan pedang. Pendekar itu pun terhuyung ke belakang, girang melihat munculnya Sin Hong yang menyelamatkannya dari ancaman bahaya maut tadi. Sebaliknya, Hok Yang Cu terkejut sekali, cepat memandang dan ternyata orang yang menangkisnya dan membuat dia terhuyung tadi hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih, berpakaian putih sederhana! Dia merasa penasaran bukan main dan cepat dia memutar sabuknya. Terdengar suara mendesir ketika ujung sabuk yang ada pisaunya itu terbang menyambar ke arah kepala Sin Hong. Akan tetapi dengan mudahnya, Sin Hong mengelak dan dia mencium bau amis keluar dari pisau di ujung sabuk, maka tahulah dia bahwa pisau itu beracun! Seorang tosu yang keji, pikirnya dan dia pun membalas dengan desakan pukulan jarak jauh, dengan kedua telapak tangan terbuka yang membuat kakek itu gelagapan dan terus menerus mundur karena hawa pukulan yang keluar dari sepasang telapak tangan pemuda itu bukan main kuatnya!
Sementara itu, Kao Hong Li juga sudan terjun ke dalam lapangan pertempuran dan langsung saja gadis itu menerjang nenek, yang buruk rupa dan yang blihai sekali permainan tongkatnya itu. Nenek Hek-sim Kui-bo kaget bukan main ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan ada hawa pukulan yang amat dahsyat dan mengandung tenaga sakti yang panas menyambar ke arahnya dari kiri. Ia cepat membalikkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya sengaja menangkis, karena nenek ini memandang ringan semua lawannya.
"Desss....!" Lengan kiri nenek itu yang hanya tulang terbungkus kulit bertemu dengan lengan kanan Hong Li yang padat lembut dan berkulit halus. Akibatnya, nenek itu mengeluarkan pekik melengking karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya terasa nyeri. Juga Hong Li terhuyung, maka tahulah gadis ini bahwa lawannya sungguh tak boleh dipandang ringan. Ketika Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam) melihat bahwa yang menyerangnya hanya seorang gadis muda yang cantik, ia marah dan penasaran sekali. Tongkatnya diputar dan nampaklah sinar hitam yang mengerikan, bergulung-gulung dan tiba-tiba dari dalam gulungan sinar hitam itu menyambar ujung tongkat, menotok ke arah dada Hong Li, merupakan serangan maut!
Namun, Hong Li sudah siap siaga karena ia pun dapat menduga akan kelihaian lawan.
Begitu melihat ada sinar hitam mencuat dan menotok ke arah dadanya, dengan sikap tenang namun cepat sekali, tubuhnya miring mengelak, kakinya membuat gerakan melangkah maju dari samping dan tangan kiri menjaga kemungkinan serangan selanjutnya, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka membalas dengan tamparan ke arah kepala nenek itu, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang dipelajarinya dari ibunya. Hwi-yang Sin-kang adalah tenaga sakti milik keluarga Pulau Es, dan baru hawa pukulannya saja sudah mengandung panas yang luar biasa. Nenek itu merasa adanya hawa panas ini, maka ia pun cepat meloncat ke belakang sambil memutar tongkat bututnya untuk melindungi dirinya. Diam-diam ia kaget dan dapat menduga bahwa lawannya tentulah seorang murid atau keturunan keluarga Pulau Es. Selain kaget dan penasaran, ia pun girang karena keluarga Pulau Es dianggap musuh besarnya, maka kalau ia dapat merobohkan gadis ini, berarti ia melenyapkan seorang di antara musuh-musuhnya yang dibencinya. Maka ia pun mengeluarkan suara melengking lagi dan tongkatnya menyambar-nyambar ganas, namun dengan sikap tenang, Hong Li dapat mengatasi desakan tongkat itu dengan kecepatan gerakan badannyn dan dapat pula membalas dengan tak kalah dahsyatnya sehingga membuat nenek itu tak mampu mengembangkan permainan tongkatnya.
Para pendekar juga berkelahi dengan serunya melawan pasukan Mongol. Orang-orang Mongol itu bertenaga besar dan berkelahi dengan nekat, juga jumlah mereka lebih banyak sehingga para pendekar yang tiga belas orang itu harus melawan mati-matian.
Sin Hong mulai mendesak lawannya. Ketika pisau di ujung sabuk Hok Yang Cu untuk ke sekian kalinya menyambar, Sin Hong meloncat ke atas, tinggi dan dari atas, bagaikan seekor burung bangau, tubuhnya meluncur turun. Kembali sabuk itu berkelebat menyambar. Tangan kiri Sin Hong, seperti paruh seekor burung bangau, meluncur ke bawah dan menangkap sabuk di belakang pisau, demikian cepatnya gerakan jari tangannya, seperti gerakan leher burung bangau mematuk leher ular. Sabuk itu tidak dapat dipergunakan lagi, dan tangan kanan Sin Hong menampar ke bawah, ke arah tengkuk lawan. Karena sabuk itu tidak dapat ditariknya, dan tamparan orang muda itu amat dahsyatnya mengarah tengkuk, Hok Yang Cu terkejut dan eepat dia menangkis dengan lengannya.
"Dukkk!" Pertemuan antara kedua lengan itu demikian hebatnya dan akibatnya, Hok Yang Cu terpelanting ke tanah, sabuk yang dipegangnya itu pun putus, bagian yang ada pisaunya tertinggal di tangan Sin Hong! Dia terbanting keras dan cepat menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan.
Pada saat itu, Kao Hong Li juga berhasil menendang paha Hek-sim Kui-bo sehingga nenek ini terjengkang. Namun, dengan bantuan tongkatnya, nenek itu dapat meloncat bangun lagi dan agak terpincang karena pahanya terasa nyeri walaupun tidak patuh tulangnya dun tidak terluka parah daging dan kulitnya.
Bersambung ke buku 9
Label:
Kho Ping Hoo,
Kisah Si Bangau Putih