Pusaka Pulau Es -7 | Kho Ping Hoo



Pusaka Pulau Es -7 | Kho Ping Hoo
“Mudah saja, Niocu. Kalau engkau mau membantu aku, kelak tentu engkau akan memperoleh pahala yang besar. Aku yang menanggung itu. kita bekerja sama dengan Bu-tong-pai dari dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mengadakan pemberontakan dan menggulingkan pemerintah Mancu. Nah, mudah saja, bukan? Aku sendiri ingin sekali bekerja sama denganmu. Kawan-kawan lain tentu akan bergembira mendengar bahwa Bi-kiam Niocu mau bekerja sama dengan kami!”

Hati Bi-kiam Nio-cu semakin tertarik. Dara ini tidak tahu betapa diam-diam Gu Lam Sang telah mengerahkan ilmu sihirnya sehingga dalam penglihatan Niocu, Gu Lam Sang kelihatan sebagai orang yang amat baik hati dan wajahnya amat menarik hatinya.

Mereka melanjutkan perjalanan. Gu Lam Sang cukup cerdik sehingga dia bersikap sopan sekali terhadap Niocu. Bahkan pada suatu malam yang dingin, ketika mereka terpaksa melewatkan malam di hutan, ketika melihat Niocu seperti orang yang sudah pulas, padahal dia tahu betul wanita itu belum tidur nyenyak, dia melepaskan jubah nya dan dipergunakan untuk menyelimuti Niocu! Niocu tahu akan hal itu, dan dia diam saja karena cara Gu Lam Sang menyelimutinya dilakukan dengan sopan, sedikit pun tangan pemuda itu tidak menyentuh kulit tubuhnya dan Gu Lam Sang berjaga semalam suntuk untuk menjaga agar perapian yang-dibuat dari api unggun itu tidak sampai padam. Demikian pula kalau mereka membutuhkan makanan, Gu Lam Sang selalu mencarikan untuk mereka. Dalam perjalanan bersama ini Niocu melihat bahwa Gu Lam Sang lebih memperhatikan dirinya dibanding Keng Han dahulu. Tanpa kata ia dapat mengerti bahwa Gu Lam Sang jatuh cinta kepadanya! Dan hal ini mendatangkan kebanggaan di hatinya. Kini ia pun sama sekali tidak membenci pria yang jatuh hati kepadanya, semenjak gurunya menyatakan bahwa semua pantangan dan larangan itu telah dihapus. Ia boleh menikah dengan pria yang dicinta dan mencinta dirinya.

Bagi Gulam Sang sendiri, Bi-kiam Niocu merupakan tenaga yang sangat penting baginya. Selain gadis ini cantik jelita sehingga dia akan merasa puas dan senang kalau dapat memperisterinya, juga gadis ini memiliki ilmu yang tinggi sehingga dapat menjadi pembantu yang berharga. Berbeda dengan Liong Siok Hwa yang kini menjadi kekasihnya itu. Siok Hwa juga seorang gadis manis, namun masih kalah dibandingkan dengan Niocu. Dan Siok Hwa hanya memiliki ilmu silat rendah saja, tidak banyak gunanya untuk membantunya. Juga tidak ada orang tahu bagaimana hubungannya dengan Siok Hwa yang kini berada di Bu-tong-pai. Para murid Bu-tong-pai hanya menganggap bahwa Siok Hwa merupakan tamu dari ketua mereka dan sahabat dari Gu Lam Sang!

Ketika mereka tiba di Bu-tong-pai, Gu Lam Sang disambut para murid dengan sikap hormat karena orang ini merupakan tamu kehormatan ketua mereka. Pernah Thian It Tosu, tentu saja sebagai penyamaran Gu Lam Sang memesan kepada para muridnya agar memperlakukan Gu Lam Sang sebagai tamu terhormat karena Gu Lam Sang merupakan kenalan dekat dengan Thian It Tosu!

Bi-kiam Nio-cu sudah mempunyai nama besar maka orang-orang Bu-tong-pai sudah mendengar akan kelihaian pendekar wanita itu maka semua orang menghormatnya. Oleh Gu Lam Sang, Niocu diberi sebuah kamar yang bersih dan lengkap. Ketika Niocu bertanya di mana adanya Thian It Tosu, Gu Lam Sang menjawab bahwa Thian It Tosu kini seringkali mengurung diri di dalam ruangan bersamadhi dan tidak mau diganggu. Pada waktunya dia akan keluar sendiri dari kamar samadhi itu. Sebelum dia keluar, tak seorang pun boleh mengganggunya.

Pada keesokan harinya, benar saja Thian It Tosu keluar dari dalam kamarnya dan murid kepala memberi laporan bahwa keadaan Bu-tong-pai baik-baik saja dan bahwa Gu Lam Sang telah pulang akan tetapi karena ada urusan ke dusun di kaki bukit, pagi-pagi tadi sudah berangkat meninggalkan Bu-tong-pai! Tentu saja tidak ada yang tahu kecuali Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang mengetahui bahwa Gu Lam Sang tidak turun gunung, melainkan menyamar sebagai Thian It Tosu yang dihadap para murid itu. Selain dua orang ini yang diancam bahwa Thian It Tosu yang aseli akan dibunuh kalau mereka membocorkan rahasia, orang ke tiga yang mengetahuinya adalah Liong Siok Hwa yang terpaksa mau dijadikan kekasih Gu Lam Sang. Ia telah ternoda, ayahnya telah tewas dan biarpun bagaimana juga, ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Gu Lam Sang.

Akan tetapi semenjak Bi-kiam Niocu datang bersama Gu Lam Sang dan mendapatkan sebuah kamar yang besar, hati Liong Siok Hwa menjadi tidak enak. Gadis itu terlalu cantik untuk tidak dicurigai. Apalagi melihat sikap Gu Lam Sang terhadap gadis itu yang begitu manis budi dan menghormat, hati Liong Siok Hwa dipenuhi rasa cemburu yang hebat. Ia sudah terlalu mengenal Gu Lam Sang sehingga ia tahu pula bahwa Gu Lam Sang mencinta gadis yang baru datang itu. Dan sejak kehadiran Bi-kiam Nio-cu di Bu-tong-pai, Gu Lam Sang tidak pernah berkunjung ke kamarnya di waktu malam seperti biasanya, seolah Gu Lam Sang telah lupa kepadanya.

Pada hari yang ditentukan, berdatanganlah para tokoh kang-ouw di Bu-tong-pai. Sebuah panggung didirikan dan dikelilingi kursi-kursi untuk para tamu. Thian It Tosu sendiri sebagai tuan rumah duduk di belakang panggung, didampingi oleh Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang merupakan murid-murid kepala dari Bu-tong-pai. Dua orang murid ini sama sekali tidak berani berkutik, apalagi membongkar rahasia Gu Lam Sang karena orang ini telah mengancam akan membunuh guru mereka yang ditahan di ruangan tahanan bawah tanah oleh Gu Lam Sang dan dijaga siang malam oleh orang-orang Pek-lian-pai yang membantu Gu Lam Sang.

Di antara para tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, termasuk ketua-ketua partai dan para datuk, hadir pula di situ Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan puterinya, Yo Han Li. Han Li telah meninggalkan kota raja bersama gurunya, Kai-ong Lu Tong Ki. Han Li mengatakan kepada Kai-ong bahwa sudah tiba saatnya ia harus pulang ke Bukit Naga, pusat Thian-li-pang.

“Engkau telah dapat menguasai ilmu Tongkat Pemukul Iblis, maka tidak perlu lagi mengikuti aku. Pulanglah, Han Li, dan selalu bersikaplah sebagai seorang pendekar wanita yang menegakkan kebenaran dan keadilan.”

“Apakah Suhu tidak ikut bersama teecu ke Bukit Naga dan bertemu dengan ayah bundaku?”

Lu Tong Ki menggoyang-goyang tangan kirinya. Bertemu Pendekar Tangan Sakti dan pendekar wanita Si Bangau Merah? Wah, tidak, aku malu telah mengangkat engkau menjadi muridku.”

“Tidak apa-apa, Suhu. Aku yang menanggung kalau orang tuaku marah kepadaku.”

“Tidak, aku lebih senang merantau dan mencari makanan yang enak-enak. Selamat jalan!” kata kakek itu yang lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan muridnya itu. Han Li merasa kehilangan. Sudah lama ia hidup di dekat kakek itu, menerima pelajaran Tongkat Pemukul Iblis dan ikut pula makan enak di dapur istana Pangeran Mahkota bahkan sampai menjadi tamu pangeran itu selama beberapa pekan. Han Li tidak tahu betapa gurunya itu pergi dengan wajah muram dan hati yang merasa sengsara. Manusia memang sukar membebaskan diri daripada ikatan-ikatan antara manusia, ikatan dengan harta benda, dengan kedudukan, dengan kepandaian. Segala sesuatu yang menyenangkan segera melekat dan mengikat manusia sehingga dia merasa sedih kalau harus berpisah dengan yang menyenangkan itu. Han Li pulang dan banyak sekali yang diceritakan kepada ayah bundanya. Juga tentang orang-orang yang hendak membunuh kaisar dan pangeran mahkota, dan orang-orang itu yang tertangkap hidup mengaku bahwa mereka itu orang Thian-li-paag, padahal kenyataannya mereka adalah orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

“Keparat!” Yo Han marah sekali. “Kiranya begitu permainan mereka? Mereka melakukan fitnah keji untuk memburukkan nama Thian-li-pang. Kalau pemerintah mendengar ini tentu kita akan diserbu pasukan!”

“Harap jangan khawatir, Ayah. Aku sudah menjadi saksi bahwa mereka bukan orang Thian-li-pang karena tidak ada yang mengenal aku dan ketika kurobek baju di dada mereka terdapat tanda-tanda Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai di dada mereka. Baik kaisar maupun pangeran mahkota melihat sendiri sehingga kita bebas dari tuduhan yang merupakan fitnah itu.”

Han Li lalu bercerita betapa ia bertemu dengan Kai-ong Lu Tong Ki dan menjadi muridnya mempela jari ilmu Tongkat Pemukul Iblis dan betapa dengan gurunya itu ia menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota.

“Aku melihat sendiri bahwa Pangeran Mahkota sekeluarganya adalah orang-orang yang baik dan dapat menghargai orang-orang gagah.”

Yo Han yang marah kepada Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ketika mendengar bahwa Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengadakan undangan kepada orang-orang gagah, lalu berangkat dan kini dia ditemani isterinya, Si Bangau Merah, dan puterinya.

Nafsu memang menguasai manusia, tidak peduli orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Nafsu yang semula diikut-sertakan manusia agar manusia dapat hidup bahagia, ternyata nafsu yang tadinya hanya menjadi peserta dan alat, sebaliknya malah menjadi majikan manusia. Dalam segala tindakannya, manusia selalu dikendalikan nafsu. Rasa benci, marah, dendam, iri dan sebagainya adalah akibat dari batin yang dikuasai nafsu. Nafsu menghendaki kesenangan dan kalau kesenangan itu diganggu maka timbullah marah dan benci yang akibatnya melahirkan duka. Sejak jaman dahulu sampai sekarang, orang sudah menyadari akan hal ini. Dan banyak usaha dilakukan manusia untuk mengendalikan nafsu. Melalui agama, melalui bertapa, menyiksa diri dan sebagainya. Akan tetapi semua itu telah gagal. Kegagalan ini terbukti dari keadaan dunia di jaman dahulu sampai saat ini. Permusuhan terjadi di mana-mana, bukan hanya permusuhan antara negara dan bangsa, bahkan permusuhan antara bangsa sendiri, antara rekan, teman dan bahkan keluarga. Padahal mereka itu semua beragama, semua maklum akan bekerjanya nafsu yang menyeret manusia kepada perbuatan jahat dan permusuhan. Mengapa demikian? Karena pengertian mereka hanya sebatas akal pikiran saja. Padahal, nafsu daya rendah sudah menguasai hati dan akal pikiran kita. Dalam keadaan demikian maka hati akal pikiran ini bahkan membela perbuatan-perbuatan kita yang sesat. Kalau dua orang bermusuhan, tentu hati akal pikiran selalu membela diri sendiri sebagai pihak yang benar dan lawannya sebagai pihak yang bersalah! Bahkan seorang pencuri pun, yang tentu tahu bahwa mencuri itu tidak baik atau jahat, dibela hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu yang mengatakan bahwa manusianya mencuri karena kelaparan sehingga mereka membutuhkan uang, karena ini dan itu. Pendeknya, hati akal pikiran membela perbuatan mencuri itu sebagai perbuatan yang tidak jahat.

Karena hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu, maka pengertian tidak ada gunanya, tidak dapat mengekang dan mengendalikan nafsu yang sudah menyusup diri kita sampai ke tulang sumsum, sampai ke pembuluh darah. Buktinya cukup banyak. Orang-orang yang katanya berkepandaian tinggi, berilmu, para sarjana dan cerdik pandai banyak yang melakukan tindakan menyimpan dari kebenaran. Ada yang korup, ada yang menyalah-gunakan kekuasaannya, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pengertian atau kepandaian hati akal pikiran tidak berdaya menghadapi nafsu yang selalu ingin mencari enak, ingin mencari senang dan kepuasan lahir maupun batin.

Kalau sudah begitu, bagaimana kita dapat mengendalikan nafsu? Hanya satu yang dapat mengendalikan nafsu, yaitu Penciptanya. Kekuasaan Tuhan yang dapat menyingkirkan nafsu, yang dapat mengembalikan nafsu ke tempat semula, yaitu menjadi peserta dan pembantu manusia dalam kehidupannya, tidak menjadi majikan dari manusia. Karena itu, jalan satu-satunya bagi kita adalah menyerah kepada Tuhan! Penyerahan yang tulus ikhlas, dengan segala kerendahan hati, dengan tawakal dan kesabaran. Kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, tidak ada hal tidak mungkin dilakukan. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita dan menundukkan nafsu.

Yo Han, isterinya Tan Sian Li, dan puteri mereka Yo Han Li, berangkat meninggalkan rumah untuk pergi berkunjung ke Bu-tong-pai, semua urusan perkumpulan Thian-li-pang diserahkan kepada para murid kepala untuk bekerja seperti biasa dan menjauhkan diri dari pertikaian dan permusuhan.

Cu-wi (Saudara sekalian) yang terhormat tentu sudah mendengar akan berita yang menyedihkan itu, yaitu bahwa bengcu Bhe Seng Kok telah tewas terbunuh orang yang tidak kita ketahui siapa orangnya. Oleh karena kedudukan bengcu sekarang ini sedang lowong, maka pinto(saya) memberanikan diri untuk mengundang Cu-wi hari ini berkumpul di Bu-tong-pai untuk melakukan pemilihan bengcu baru!” demikian Thian It Tosu berkata kepada para tamunya.

“Kami setuju....!!” Banyak seorang orang berteriak. Mereka yang berteriak itu adalah orang-orang kang-ouw golongan sesat yang memang telah diatur terlebih dahulu oleh Gu Lam Sang. Terutama sekali para tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai mereka itu tanpa kecuali segera menyambut dengan teriakan setuju.

Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, melebihi suara banyak orang yang menyatakan setuju. “Tunggu dulu!” Teriakan ini membuat semua orang yang berseru setuju berhenti berteriak dan semua orang menengok ke arah pembicara. Ternyata yang berseru nyaring tadi adalah Yo Han dan pendekar ini melompat naik ke atas panggung di mana Thian It Tosu berdiri.

Melihat ini, Thian It Tosu merangkap kedua tangan depan dada dan berkata lantang, “Siancai! Kiranya Yo-taihiap yang berseru tadi. Mengapa Taihiap berseru agar kami menunggu dulu? Apa lagi yang harus ditunggu?”

Yo Han menjawab, suaranya lantang sehingga terdengar semua orang. “Thian It Totiang, di antara kita telah terjalin persahabatan yang erat dan aku Yo Han mengakui bahwa Totiang adalah seorang ketua yang bijaksana dan para murid Bu-tong-pai adalah pendekar-pendekar yang menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi akhir-akhir ini telah terjadi perubahan besar di Bu-tong-pai. Totiang tidak lagi memegang teguh kependekaran Bu-tong-pai. Seperti dahulu, kini pun aku melihat orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di sini! Mereka dan orang-orang golongan sesat tidak berhak untuk melakukan pemilihan bengcu!”

“Siancai, ucapan Yo-taihiap keterlaluan. Bengcu adalah pemimpin dari dunia kang-ouw tidak hanya milik orang-orang seperti Yo-taihiap. Dunia kang-ouw milik semua orang yang gagah perkasa, ahli-ahli silat di dunia tanpa membedakan golongan.” jawab Thian It Tosu.

“Tidak!” bentak Yo Han. “semua locianpwe dan sahabat dari dunia kang-ouw pasti tidak menyetujui ikutnya golongan sesat dalam pemilihan ini. Terutama sekali Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai! Aku pribadi mempunyai perhitungan dengan kedua perkumpulan sesat itu. Mereka mengirim pembunuh-pembunuh ke kota raja untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota. Hal itu bukan urusan kami, akan tetapi ketika di antara mereka ada yang tertangkap hidup, mereka mengaku sebagai anggauta Thian-li-pang. Itu merupakan fitnah keji dan sekarang kita kebetulan berkumpul di sini, maka aku tantang para pimpinan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai untuk menyelesaikan urusan denganku melalui pertandingan!” Yo Han memang marah sekali karena nama Thian-li-pang difitnah oleh mereka.

Sesosok tubuh melayang ke atas panggung dan seorang tosu telah berdiri di depan Yo Han sambil tersenyum mengejek. “Pinto Koai Tosu adalah seorang di antara pimpinan Pat-kwa-pai. Tidak kami sangkal bahwa Pat-kwa-pai mengirim orang-orangnya untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang. Semua pejuang yang menghendaki berakhirnya penjajahan Mancu tentu akan setuju dengan usaha kami itu. Akan tetapi tahukah Cu-wi, apa yang terjadi di sana? Orang-orang kita itu dihadapi oleh puteri Yo-pangcu! Puteri Yo-pangcu membela pangeran mahkota! Dan tahukah Cu-wi apa artinya itu? Artinya bahwa Thian-li-pang telah menjadi antek penjajah!”

“Tutup mulutmu yang kotor!” Yo Han berteriak lantang, memandang Koai Tosu. “Puteri kami berada di sana sebagai tamu, dan sudah wajar kalau tamu membela tuan rumah yang hendak dibunuh. Sudah kukatakan dahulu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot, akan tetapi kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah bukan dengan cara yang curang dan keji. Justeru puteri kami yang mengetahui bahwa orang-orang yang mengaku orang Thian-li-pang itu sebetulnya adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.”

“Kami mengaku orang Thian-li-pang bukan untuk melakukan fitnah melainkan untuk menggugah semangat perjuangan Thian-li-pang yang agaknya menjadi lemah.” kata pula Koai Tosu penuh semangat.

“Cukup! Di sini sekali lagi kukatakan bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai tidak berhak ikut pemilihan bengcu dan aku menantang kalian untuk menyelesaikan urusan itu dengan pertandingan!” Yo Han berseru dengan tegas.

“Siancai! Agaknya Yo-pangcu menganggap diri sendiri yang paling hebat! Akan tetapi pangcu kami tidak hadir di sini sehingga tidak dapat memenuhi tantangan Yo-pangcu!”

Tiba-tiba Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-pai, juga meloncat dan berdiri di samping Koai Tosu. “Siancai tantangan Yo-pangcu tidak dapat kami sambut karena ketua kami juga tidak berada di sini. Kalau Yo-pangcu merasa penasaran, boleh datang ke tempat kami agar ketua kami dapat menyambut!” kata Thian Yang Ji.

Melihat dua orang tosu ini, Yo Han sudah menjadi marah sekali.

“Kalian berdua pernah mengerahkan anak buah untuk mengeroyok kami dahulu ketika kami meninggalkan Bu-tong-pai.

Kalian menggunakan banyak orang untuk mengeroyok kami. Kalau kalian memang ada kepandaian, kalian berdua boleh mewakili ketua kalian dan sekarang kalian berdua menghadapi aku!”

“Siancaii Ketika itu pun sudah ternyata bahwa ketua Thian-li-pang bersekutu dan menjadi antek penjajah. Ketika itu pun muncul pasukan penjajah membantu Yo-pangcu. Apakah Yo-pangcu akan menyangkal hal itu?

“Sama sekali tidak!” jawab Yo Han. “Akan tetapi pasukan itu bergerak untuk menyelamatkan nona Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota, bukan untuk membantuku!”

Melihat suasana semakin panas, Thian It Tosu maju melerai. “Sudahlah, tempat ini didirikan untuk pemilihan bengcu, sama sekali bukan untuk berkelahi. Urusan pribadi boleh diselesaikan di tempat lain, bukan di Bu-tong-pai. Kalau Samwi (Kalian berdua) masih menghargai Bu-tong-pai sebagai sahabat, harap pertikaian ini tidak dilanjutkan di sini.”

Yo Han menyadari kebenaran ucapan Thian It Tosu maka dia pun memberi hormat dan berkata, “Maafkan aku, Totiang. Ucapan Totiang benar dan aku tidak akan memaksa mereka untuk bertanding di sini. Akan tetapi aku tetap tidak setuju kalau yang dipilih itu orang dari golongan sesat!”

Ketika orang-orang membicarakan ucapan Yo Han yang mereka anggap mewakili para pendekar, di sebelah dalam bangunan induk Bu-tong-pai terjadi hal yang menarik. Ketika semua perhatian ditujukan ke dalam, sesosok bayangan yang cepat seperti seekor burung walet telah menyelinap masuk ke dalam gedung itu tanpa diketahui seorang pun. Bayangan ini bukan lain adalah Keng Han. Pemuda ini datang ke Bu-tong-pai bukan tertarik oleh pemilihan bengcu, melainkan dia hendak mencari ayahnya, Pangeran Tao Seng yang disangkanya bersembunyi di Bu-tong-pai.

Di ruangan tengah dia melihat seorang wanita muda sedang dipegangi dua orang laki-laki yang tinggi besar. Wanita itu meronta dan berteriak, “Aku harus membuka kedoknya! Thian It Tosu itu palsu adanya. Dia adalah Gu Lam Sang!” Akan tetapi baru saja ia mengucapkan itu, seorang di antara dua orang tinggi besar menggerakkan tangannya, dihantamkan ke tengkuk gadis itu yang terkulai lemas. Tewas seketika!

Keng Han yang bersembunyi tertegun. Dia tidak mengenal siapa adanya gadis itu tidak mengetahui persoalannya. Pula, untuk menolong gadis itu sudah tidak keburu lagi, maka dia diam saja. Ucapan gadis itu yang membuat dia tertegun. Thian It Tosu adalah Gu Lam Sang yang menyamar! Kalau begitu, di mana adanya Thian It Tosu yang sesungguhnya? Dan wanita itu dibunuh karena membocorkan rahasia itu.

Dia mencari terus tidak mempedulikan dua orang dan gadis yang dibunuh itu. Setiap kamar dijenguknya, akan tetapi dia tidak melihat adanya ayahnya di situ. Tiba-tiba seorang murid Bu-tong-pai berjalan, agaknya dia yang bertugas menjaga dalam bangunan itu. Keng Han menanti sampai bayangan itu mendekat. Dia meloncat, dan menyergapnya dengan totokan sehingga orang itu tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.

“Cepat katakan, di mana adanya Thian It Tosu?” katanya sambil membebaskan totokan pada leher orang itu sehingga dapat bicara.

“Suhu? Suhu jelas berada di luar, menyambut para tamu.” kata murid itu dengan heran.

“Dan di mana adanya Pangeran Tao Seng?””Tidak ada pangeran di sini!”

Keng Han mengingat-ingat, lalu bertanya, “Apakah di sini ada tempat tahanan rahasia?”

“Ada....” Keng Han lalu menotok lagi lehernya sehingga orang itu tidak mampu bersuara lagi, lalu melepaskan totokan sehingga orang itu mampu bergerak lagi. Dapat bergerak akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.

“Hayo cepat antarkan aku ke tempat tahanan itu! Awas, kalau engkau meronta atau lari, aku akan membunuhmu!” Orang itu mengangguk lalu melangkah ke belakang, tangan kirinya dipegang oleh Keng Han. Dia membawa Keng Han ke belakang bangunan dan di taman terdapat sebuah pondok.

“Di sana tempat tahanan itu?” Orang itu menunjukkan ke pondok lalu ke bawah.

Terpaksa Keng Han membebaskan totokannya pada leher sehingga orang itu dapat bicara lagi. Sebetulnya dia tidak suka melakukan ini karena sekali saja orang itu berteriak, semua usahanya akan gagal! Akan tetapi orang itu sudah menjadi begitu takut sehingga dia tidak berani berteriak.

“Katakan, apakah penjara itu berada di bawah pondok itu?”

“Benar, merupakan penjara rahasia.”

“Bagaimana caranya masuk?”

“Di sana ada arca dan setelah diputar tiga kali ke kanan, akan terbuka pintu yang menuju ke lorong bawah tanah.”

“Kau tidak berbohong?”

“Tidak, akan tetapi kalau engkau hendak masuk ke sana, engkau akan menempuh bahaya. Tempat itu di jaga ketat oleh orang-orang Pek-lian-kauw!”

“Terima kasih! Terpaksa aku membuatmu tidak berdaya sampai aku berhasil keluar lagi.” Kembali jari-jari tangannya bergerak cepat dan orang itu roboh terkulai dan tidak mampu bersuara. Keng Han menyeret tubuh orang itu, disembunyikan di belakang semak-semak dan berindap-indap dia memasuki pondok. Pondok itu kosong dan setelah diperiksanya, benar saja terdapat sebuah arca singa di atas meja. Dia menghampiri arca itu dan memutarnya ke kanan tiga kali, waspada karena dia khawatir itu merupakan jebakan. Akan tetapi tidak begitu, karena terdengar bunyi berderit dan di lantai kamar itu terbuka sebuah lubang dengan tangga yang menurun ke bawah.

Keng Han menuruni tangga dengan hati-hati sekali. Ternyata anak tangga itu menembus sebuah lorong yang diterangi lampu-lampu dinding. Dia melangkah maju terus dengan hati-hati dan berhenti ketika mendengar suara orang bercakap-cakap. Dia mengintai. Di depan terdapat lima orang penjaga yang membawa golok di tangan. Agaknya itulah orang-orang Pek-lian-kauw yang berjaga di situ. Keng Han memperhitungkan dengan teliti sebelum bergerak, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat ke depan dan kedua tangannya yang bergerak cepat sudah merobohkan dua orang! Tiga orang yang lain terkejut melihat munculnya seorang pemuda dan robohnya dua orang rekan mereka. Tiga orang itu lalu menyerang dengan golok mereka. Akan tetapi mereka kalah cepat. Dua orang roboh oleh kedua tangan Keng Han sedangkan yang seorang lagi roboh oleh tendangannya. Keng Han cepat menotok lima orang itu agar jangan mampu bergerak maupun bersuara. Dia maju terus dan akhirnya dia melihat sebuah kamar tahanan dengan pintu besi dan jendela beruji besi. Ketika dia memandang ke dalam, dia melihat seorang tosu tua sedang bersila dan bersamadhi. Dan tosu itu bukan lain adalah Thian It Tosu yang aseli!

“Totiang....!” Keng Han berseru lirih. Akan tetapi cukup untuk menggugah tosu itu dari samadhinya dan dia menoleh ke kanan, ke arah ruji jendela. Dia melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.

“Siapa engkau orang muda?”

“Ssttt, Totiang, saya datang untuk membebaskan Totiang.”

Pendeta itu terkejut dan girang lalu meloncat dari lantai dan berdiri di balik ruji besi. “Pintu ini terkunci kuat sekali, juga jendela ini agaknya terlalu kuat untuk dijebol.” kata kakek itu.

Keng Han teringat. “Akan saya cari kuncinya!” Dia lalu menghampiri kelima orang itu dan memeriksa mereka satu demi satu. Akhirnya dia dapat menemukan kuncinya di dalam saku seorang di antara mereka. Cepat dia menggunakan kunci untuk membuka pintu besi yang tebal dan berat itu.

Melihat para penjaga menggeletak tak mampu berdaya, tahulah Thian It Tosu bahwa penolongnya seorang pemuda yang berilmu tinggi. Padahal orang-orang Peklian-kauw yang berjaga di situ rata-rata merupakan anggauta pilihan yang sudah memiliki ilmu silat yang tangguh! “Ke mana engkau hendak membawa pinto, orang muda? Apakah yang telah terjadi?”

Dengan singkat Keng Han menceritakan. “Gu Lam Sang telah menangkap Totiang dan menyekap dalam penjara itu. Dan dia sendiri menyamar sebagai Totiang. Dia membawa Bu-tong-pai untuk bersekutu dengan orang-orang sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, kemudian dia membawa Bu-tong-pai untuk memberontak, mengirim orang untuk mencoba membunuh Kaisar dan Pangeran Mahkota. Akan tetapi usahanya gagal dan kini dia mengundang para tokoh kang-ouw untuk mencari bengcu baru karena bengcu yang lama telah terbunuh orang tanpa diketahui siapa yaing membunuh. Marilah, Totiang. Kita ke sana dan membuka rahasia penyamaran Gu Lam Sang.”

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Nio-cu telah berada di depan mereka.

“Niocu, kau.... di sini?” Keng Han benar-benar terkejut melihat wanita itu.

“Dan engkau pun mau apa berada di sini? Aku di sini sebagai tamu Thian It Tosu, bukankah demikian, Totiang?”

“Siancai! Pinto tidak pernah bertemu denganmu, Nona.”

“Apa? Baru kemarin dulu Totiang menerimaku sebagai tamu dan sahabat Gu Lam Sang. Bagaimana baru dua hari Totiang sudah lupa lagi padaku?”

“Niocu, engkau telah ditipu orang! Ketahuilah bahwa aku baru saja membebaskan Thian It Tosu dari penjara bawah tanah.”

“Tapi....tapi Thian It Tosu kemarin dulu benar-benar menerimaku. Aku tidak berbohong, Keng Han.”

“Engkau memang tidak berbohong, melainkan dibohongi orang. Thian It Tosu yang kemarin dulu menerimamu itu bukan lain adalah Gu Lam Sang yang menyamar. Gu Lam Sang menguasai Bu-tong-pai dengan menyamar sebagai Thian It Tosu dan dia menahan Totiang ini di bawah tanah.””Ihhh.... rasanya tidak mungkin. Gu Lam Sang adalah seorang yang baik budi dan gagah perkasa.”

“Hemmm, agaknya engkau sudah melupakan sama sekali nasihat gurumu. Di dunia ini memang terdapat banyak pria yang jahat dan Gu Lam Sang merupakan seorang yang paling jahat di antara mereka.”

“Benarkah begitu, dapatkah aku percaya padamu, Keng Han?”

“Buktikan saja sendiri. Kami mau keluar untuk membongkar rahasia ini. Mari kau lihat dan dengar sendiri!”

Pada saat itu, Thian It Tosu penyamaran Gu Lam Sang sedang berdiri di atas panggung dan berkata dengan suara lantang. “Saudara sekalian, bengcu telah dibunuh orang. Untuk menjaga kesat dan ketertiban, kita harus memilih seorang bengcu baru. Kalau sudah mendapatkan bengcu yang baru tentu kita dapat memulai dengan perjuangan kita.”

“Tahan dulu....!” Terdengar teriakan nyaring dan sesosok bayangan melompat ke atas panggung. Ternyata dia Keng Han. Melihat pemuda ini Gulam Sang merasa terkejut sekali.

“Orang muda, telah kami katakan padamu, bahwa gurumu Gosang Lama itu seorang penjahat dan kami dari Bu-tong-pai terkenal sebagai para pendekar! Engkau muncul lagi mempunyai keperluan apakah?”

Keng Han tidak menjawab melainkan berpaling kepada semua orang yang hadir.

“Cu-wi, apakah Cu-wi (Saudara sekalian) mengenal orang ini?” Dia menuding ke arah Thian It Tosu yang palsu.

Banyak orang tertawa menanggapi pertanyaan yang mereka anggap aneh itu. “Heiii, orang muda! Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah Thian It Tosu ketua Bu-tong-pai. Siapapun yang berada di sini tentu tahu akan hal itu. Kenapa engkau menanyakannya?”

“Ketahuilah, Cu-wi yang mulia. Orang ini bukan Thian It Tosu Dia adalah Thian It Tosu palsu!”

“Orang muda, enak saja engkau bicara! Pinto adalah Thian It Tosu, kenapa engkau bilang palsu?”

“Cu-wi menghendaki bukti?” suara Keng Han nyaring mengatasi suara semua orang yang riuh rendah terheran-heran mendengar bahwa Thian It Tosu yang di atas panggung adalah palsu. Keng Han lalu memberi isyarat dengan tangannya dan sesosok tubuh lain melayang dan berada di atas panggung. Ketika semua orang memandang mereka, mereka berseru terheran-heran karena orang itu juga Thian It Tosu! Di panggung itu berdiri dua orang Thian It Tosu yang sama, baik bentuk tubuh, wajah dan pakaiannya!

Selagi semua orang ribut bicara sendiri mengomentari pemunculan dua orang Thian It Tosu itu, Keng Han berkata dengan lantang, “Nah, saudara sekalian telah melihat buktinya. Thian It Tosu yang baru muncul inilah yang aseli, sedangkan Thian It Tosu yang pertama tadi adalah palsu. Dia adalah Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu!”

Tentu saja Gu Lam Sang menjadi marah sekali dan juga bingung. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Keng Han mampu membebaskan Thian It Tosu dan kedoknya terbongkar. Akan tetapi dia masih ingin mempertahankan diri dan dia segera berseru. “Dia itu yang palsu! Lihat ini, Pek-coa-kiam ini jelas milik Thian It Tosu yang aseli. Akulah yang aseli dan dia itu palsu!” Setelah berkata demikian, dengan pedang Pek-coa-kiam di tangan, Gu Lam Sang menyerang dan menusukkan pedangnya kepada Thian It Tosu.

“Tranggg....!” Pedangnya itu tertangkis oleh pedang di tangan Bi-kiam Niocu. Wanita ini marah sekali kepada Gu Lam Sang. Pemuda itu diharapkan untuk menjadi suaminya, akan tetapi ternyata pemuda itu menipu dan membohonginya.

“Niocu, kuharap engkau jangan mencampuri urusan ini, atau bantulah aku membunuh Thian It Tosu yang palsu ini!”

“Engkaulah yang palsu, Gu Lam Sang!” bentak Bi-kiam. Nio-cu. Akan tetapi dara ini terkejut ketika pedangnya yang menangkis pedang Pek-coa-kiam itu terpental dan tangannya tergetar hebat. Pemuda Tibet itu ternyata memiliki tenaga sinkang yang luar biasa.

Keng Han meloncat ke depan Niocu dan berkata, “Mundurlah, Niocu. Jahanam ini musuhku biarkan aku yang menghadapinya! Nah, Gulam Sang, sebaiknya engkau melepas kedokmu itu!”

Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu memandang Keng Han dengan mata mencorong penuh kebencian. “Engkau pengacau sinting, biar kubunuh engkau lebih dulu!” Dengan bentakan ini, Gu Lam Sang menyerang Keng Han dengan Pedang Ular Putih. Serangan itu hebat sekali dan Pek-coa-kiam itu menyambar ke arah leher Keng Han. Akan tetapi Keng Han yang sudah tahu betapa lihainya Gu Lam Sang, sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi, Gu Lam Sang mendesak terus dengan Pek-coa-kiam yang ampuh itu sehingga Keng Han harus berloncatan dan mengelak ke sana sini dan nampak terdesak dan tidak mampu balas menyerang.

Saat itu Bi-kiam Nio-cu berteriak, “Keng Han, pakailah pedangku ini!” Ia melontarkan pedangnya ke arah Keng Han yang menyambutnya dengan tangan. Sekarang dia juga memegang sebatang pedang dan ketika Gu Lam Sang menyerang lagi dengan bacokan dahsyat, Keng Han malah maju menangkis sambil mengerahkan sinkangnya.

“Tranggggg....!!” Sepasang pedang itu bertemu dengan hebatnya dan Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu terdorong mundur ke belakang. Akan tetapi ketika Keng Han melihat pedangnya, ternyata pedang itu telah putus bagian ujungnya! Jelaslah bahwa Pek-coa-kiam di tangan Gu Lam Sang itu sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang amat ampuh.

Namun dari pertemuan tenaga itu dapat diketahui bahwa dalam hal sinkang, ternyata Gu Lam Sang masih belum mampu menandingi Keng Han. Keng Han lalu balas menyerang dengan pedang buntungnya dan dia memainkan ilmu Hongin-bun-hoat, pedang buntungnya seperti menulis dan membuat corat-coret di udara, akan tetapi semua itu merupakan serangan yang dahsyat. Menghadapi ilmu pedang yang aneh ini, Gu Lam Sang terkejut dan kini dia yang terdesak mundur. Beberapa kali dia mencoba untuk memanfaatkan keunggulan pedangnya untuk menangkis dan membabat pedang buntung lawan, akan tetapi usahanya itu tidak pernah berhasil karena Keng Han selalu mengelak kalau diajak beradu pedang.

Di antara para penonton terdapat Yo Han, Tan Sian Li, dan juga Yo Han Li yang menonton pertandingan itu. Yo Han sendiri juga kaget dan tidak mengerti mengapa muncul dua orang Thian It Tosu. Dia masih ragu-ragu siapa di antara kedua orang itu yang aseli dan mana pula yang palsu. Maka ketika Keng Han bertanding dengan Thian It Tosu, Yo Han, isterinya dan puterinya tidak tahu harus memihak yang mana. Akan tetapi ketika Keng Han mainkan ilmu Hongin-bun-hoat, mereka bertiga memandang heran. Pemuda itu mainkan Hong-in Bun-hoat yang mereka kenal sedemikian hebatnya. Bahkan biarpun pedangnya sudah buntung, dia kini mampu mendesak Thian It Tosu yang menjadi kewalahan dan main mundur terus.

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Gu Lam Sang yang didesak terus itu mengeluarkan semua ilmunya, bahkan beberapa kali dia membentak dengan kekuatan sihirnya untuk merobohkan Keng Han. Akan tetapi, ilmu sihirnya tidak mempan terhadap Keng Han karena pemuda ini telah memiliki tenaga sakti yang hebat. Dan setelah mereka bertanding sampai seratus jurus lebih, tahulah Yo Han, isteri dan puterinya bahwa Thian It Tosu itu jelas palsu. Hal ini mudah saja diketahui. Kalau Thian It Tosu aseli, tentu menggunakan ilmu pedang Bu-tong-pai yang sudah mereka kenal. Akan tetapi Thian It Tosu ini sama sekali tidak menggunakan ilmu silat Bu-tong-pai melainkan menggunakan ilmu silat yang aneh dan belum pernah mereka lihat!

Yo Han yang berpengalaman luas itu berbisik kepada isteri dan puterinya, “Ilmu silatnya tentu datang dari Barat. Dan lihat, dia menggunakan sihir dalam bentakan-bentakannya itu. Untung bagi Keng Han, dia memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir itu.”

Tiba-tiba Keng Han mengubah ilmu silatnya. Pedangnya masih membuat gerakan ilmu Hong-in Bun-hoat akan tetapi tangan kirinya memukul dengan jurus pukulan ilmu Toat-beng Bian-kun yang kelihatan lemah lembut namun menyembunyikan kekuatan yang amat dasyat. Dan Gu Lam Sang benar-benar terdesak hebat.

Pada saat itu dari dalam melayang keluar tiga orang kakek yang membentak, “Bocah lancang. Berani engkau menghina tuan rumah kami, ketua Bu-tong-pai?”

Yo Han melihat bahwa mereka itu adalah para datuk sesat yang terkenal, yaitu Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang datuk ini memang sengaja tidak keluar dulu dan hanya mengintai dari dalam, melihat perkembangan keadaan. Ketika melihat Keng Han datang bersama Thian It Tosu, tahulah mereka bahwa Gu Lam Sang terancam bahaya. Apalagi setelah melihat betapa Gu Lam Sang terdesak hebat oleh Keng Han, mereka tidak dapat tinggal diam saja dan ketiganya lalu keluar dan melompat ke atas panggung, meninggalkan Pangeran Tao Seng yang masih bersembunyi di dalam kamar rahasia. Karena mereka berada di kamar rahasia, maka tadi Keng Han gagal menemukan ayahnya ketika mencari di seluruh kamar tahanan dalam rumah induk Bu-tong-pai itu.

Melihat tiga orang datuk itu maju, Bi-kiam Nio-cu yang sudah marah sekali melihat Gu Lam Sang menyamar sebagai Thian It Tosu juga melompat ke atas panggung dan berseru, “Main keroyokan bukan watak orang gagah!” Dan ia sudah siap untuk melawan siapa saja yang hendak mengeroyok Keng Han, biarpun ia bertangan kosong karena pedangnya sudah dipinjamkan kepada Keng Han.

Han Li tadi melihat betapa gadis itu meminjamkan pedangnya kepada Keng Han, maka tanpa ragu lagi ia mencabut pedangnya dan melemparkannya pada Bi-kiam Nio-cu sambil berseru, “Enci pakailah pedangku ini!”

Niocu menyambut pedang itu dengan tangan kanannya lalu menghadapi Swathai Lo-kwi yang juga memegang sebatang pedang. Pada saat itu, dua bayangan berkelebat ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Yo Han dan isterinya, si Bangau Merah Tan Sian Li! Tan Sian Li sudah mencabut suling emas yang diselipkan di pinggangnya, sedangkan Yo Han yang tak pernah bersenjata itu hanya berdiri dengan tangan kosong. Tan Sian Li menghadapi Tung-hai Lomo sambil berkata lantang, suaranya mengejek. “Main keroyokan, ya? Kami juga bisa!” Dan tanpa banyak komentar lagi wanita berusia empat puluh tahun yang masih cantik itu sudah menggerakkan sulingnya untuk menyerang Tung-hai Lo-mo. Terdengar suara berdesing nyaring dan suling itu menjadi sinar keemasan yang melengking-lengking! Terpaksa Tung-hai Lo-mo menyambut dengan pedangnya dan mereka berdua sudah bertanding dengan hebatnya.

Kini tinggal Lam-hai Koai-jin yang belum mendapat lawan. Maka Yo Han menghadapinya dan berkata, “Lam-hai Koai-jin, engkau ingin memperlihatkan kepandaianmu? Majulah dan akulah lawanmu!” Melihat Yo Han, Lam-hai Koai-jin sudah merasa gentar. Dia maklum betapa tinggi ilmu kepandaian Pendekar Tangan Sakti ini. Dan selagi dia meragu untuk menyambut tantangan Yo Han, Thian It Tosu yang sejak tadi hanya menonton saja lalu melangkah maju dan dia berseru lantang, “Cuwi harap menahan senjata dan berhenti berkelahi!”

Mendengar bentakan nyaring ini semua menahan senjata, Thian It Tosu yang palsu sudah terdesak hebat, mandi peluh dan napasnya terengah-engah. Maka seruan untuk, berhenti bertanding itu telah menyelamatkannya. Thian It Tosu lalu menghampirinya dan berkata, “Gu Lam Sang, engkau yang menjadi garagara keributan ini. Pinto tidak ingin Bu-tong-pai menjadi tempat pertempuran. Harap para saudara yang membela Gu Lam Sang dan membelaku suka mundur semua dan biarkan kami berdua yang menyelesaikan urusan ini!”

Sikap Thian It Tosu berwibawa sekali. Tiga orang datuk itu mundur dan melihat ini, Bi-kiam Nio-cu, Yo Han dan Tan Sian Li juga mengundurkan diri. Kini yang berdiri di atas panggung hanya kedua orang yang sama itu, Thian It Tosu berkata dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. “Gu Lam Sang, untuk membuktikan siapa di antara kita berdua yang aseli dan palsu, marilah kita bertanding ilmu di sini, disaksikan semua orang. Akan tetapi, yang namanya Thian it Tosu itu selamanya tidak pernah menyerang lawan yang tidak bersenjata. Nah, beranikah engkau melawan pinto?””Hemmm, engkaulah yang palsu dan jangan mencoba untuk mengelabui orang lain. Aku Thian It Tosu yang aseli. Tentu saja aku siap melawanmu dengan tangan kosong!” Setelah berkata demikian, Thian It Tosu yang palsu itu lalu melontarkan pedangnya ke bawah dan pedang itu menancap di atas papan, bergoyang-goyang saking kuatnya lontaran itu. Kedua orang kakek itu kini saling berhadapan dan semua orang menahan napas menyaksikan peristiwa yang aneh itu. Dua orang Thian It Tosu saling berhadapan untuk saling menyerang. Kalau tadi Yo Han, Keng Han dan dua orang wanita itu menaati permintaan Thian It Tosu adalah karena mereka menghormati Thian It Tosu sebagai tuan rumah. Mereka ini yakin dan percaya kepada Keng Han bahwa yang muncul belakangan itu adalah ketua Butong-pai yang aseli. Juga semua murid Bu-tong-pai yakin dan tahu mana yang aseli dan mana yang palsu dengan melihat cara Thian It Tosu tadi bertanding melawan Keng Han.

“Bunuh saja keparat itu!” demikian banyak orang berteriak-teriak marah. Akan tetapi Thian Yang Cu melarang para murid membunuhnya.

“Gu Lam Sang, permainanmu sudah berakhir. Semestinya engkau dibunuh oleh banyak senjata murid Bu-tong-pai. Akan tetapi kami akan membebaskan engkau kalau engkau suka memberi obat penawar racun dari tubuh ketua kami.”

Gu Lam Sang menyeringai. “Bagus kalau kalian mengetahui dan ingat akan keadaan Thian It Tosu!” katanya dan karena dia sudah ditodong dan tak mungkin melawan lagi, dia merogoh saku dalam di bajunya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Kemudian dia berkata kepada Thian It Tosu, “Tubuhmu sudah penuh racun yang berada dalam makanan dan minumanmu selama ini. Telanlah obat ini dan engkau akan sembuh kembali.”

Thian It Tosu menerima bungkusan itu dan seorang murid mengambilkan air teh. Thian It Tosu membuka bungkusan itu dan menuangkan isinya ke dalam mulut, lalu diminumnya air teh itu. Setelah obat itu memasuki perutnya, di dalam perutnya mengeluarkan bunyi dan dia merasa betapa rasa nyeri di dada dan perut menghilang. Tadi pun dalam keadaan keracunan dia melawan Gulam Sang. Kalau dilanjutkan agaknya dia akan kalah karena kalau mengerahkan tenaga sinkang dadanya terasa nyeri. Kini dia mencoba untuk mengerahkan sinkangnya. Tidak terjadi sesuatu. Itu merupakan bukti bahwa obat itu memang manjur.

“Lepaskan dia!” kata Thian It Tosu kepada para muridnya dan dia sendiri mencabut Pek-coa-kiam yang tadi oleh Gulam Sang ditancapkan ke atas papan.

Biarpun agak enggan, para murid menarik senjata mereka yang ditodongkan kepada Gulam Sang. Dia tertawa menyeringai, lalu menoleh kepada Bi-kiam Nio-cu sambil berkata, “Niocu, maukah engkau pergi dengan aku?””Jahanam busuk! Membunuhmu aku mau, kalau disuruh pergi bersamamu, jangan harap!”

Gulam Sang maklum bahwa dia telah kalah segala-galanya, maka dia sudah melangkah untuk meninggalkan panggung.

“Tahan dulu!!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Semua orang menoleh dan Gulam Sang juga memandang. Ketika melihat bahwa yang datang itu adalah dua orang pendeta Lama berjubah merah, wajahnya menjadi pucat sekali.

"Omitohud....! Dicari ke mana-mana ternyata berada di sini. Gulam Sang, atas perintah Yang Mulia Dalai Lama, kami harus menangkapmu. Menyerahlah engkau agar kami tidak harus menggunakan kekerasan!”

Gulam Sang maklum bahwa kalau dia menyerah, tidak urung dia akan dibunuh. Dia dan ayahnya, Gosang Lama, telah menyebabkan pemberontakan di Tibet. Ayahnya juga sudah terbunuh, dan selama ini dia dapat meloloskan diri dan bersembunyi di Bu-tong-pai. Ternyata pada saat kejatuhannya, dua orang Lama Jubah Merah muncul. Maka, Gulam Sang menjadi nekat.

“Kalian tidak akan dapat menangkapku hidup-hidup!” setelah membentak demikian, dia lalu menyerang kedua pendeta Lama itu dengan amat ganas. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu adalah murid-murid Dalai Lama yang lebih tinggi tingkatnya dibandingkan Gulam Sang. Mereka menyambut terjangan itu dengan pukulan telapak tangan secara berbareng.

“Desss....!” Tubuh Gulam Sang terpental dan bergulingan lalu diam dan tidak bergerak lagi. Ternyata dia telah tewas!

“Omitohud, setiap perbuatan jahat akan berakibat malapetaka bagi dirinya sendiri!” kata pendeta Lama yang perutnya gendut. Kemudian mereka berdua menghadapi Thian It Tosu dan yang kurus berkata dengan sikap hormat.

“Apakah Toyu ketua Bu-tong-pai?”

“Benar.””Kalau begitu, kami mohon dengan hormat untuk mengadakan upacara membakar mayat di sini. Bolehkah?”

“Tentu saja boleh.”

Thian It Tosu dia kini menghadapi semua orang yang berkumpul di situ. “Kami harap agar para tamu yang tergolong sesat seperti perkumpulan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, suka meninggalkan tempat ini. Kalian Semua memang diundang, akan tetapi bukan pinto yang mengundang. Dan hendaknya kalian maklumi, bahwa Bu-tong-pai bukan perkumpulan pemberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Yang tadinya merasa bersekutu dengan Bu-tong-pai di bawah pimpinan ketua palsu, diminta agar juga meninggalkan tempat ini!”

Mendengar ucapan ini, tiga orang datuk segera pergi tanpa banyak cakap lagi. Juga rombongan orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, termasuk mereka yang tadinya disusupkan menjadi anggauta Bu-tong-pai, semua pergi secepatnya dari tempat yang berbahaya bagi keselamatan mereka itu.

Kini yang masih tinggal hanyalah orang-orang kang-ouw yang hidupnya sebagai pendekar dan yang selalu menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Tentu saja termasuk Yo Han, Tan Sian Li dan Yo Han Li yang sudah lama menjadi sahabat baik Thian It Tosu. Juga Bi-kiam Nio-cu masih berada di situ. Keng Han menghampiri Bi-kiam Niocu, mengembalikan pedang yang tadi dipijamkan kepadanya, “Maaf, Niocu, pe dangmu rusak dan patah ujungnya.” kata Keng Han.

“Tidak mengapa engkau telah menyadarkan aku tentang Gulam Sang yang palsu itu.” kata wanita itu sambil menerima kembali pedangnya.

Thian It Tosu menghampiri Yo Han dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada yang segera dibalas oleh Yo Han.

“Terima kasih atas bantuan Yo-taihiap sekeluarga, juga terima kasih kepada Ji-wi yang muda-muda namun berilmu tinggi.” katanya dan ucapan terakhir ditujukan kepada Keng Han dan Bikiam Nio-cu.

“Ah, Totiang. Aku malah minta maaf bahwa aku sama sekali tidak tahu bahwa Totiang telah ditahan dan Thian It Tosu yang memimpin Bu-tong-pai adalah orang palsu! Pantas saja aku merasa heran sekali atas perubahan sikap Bu-tong-pai dan bersekutu dengan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kiranya bukan Totiang orangnya.”

“Totiang, saya ingin mencari orang yang bernama Tao Seng, yang menjadi pimpinan pemberontakan ini. Menurut perhitungan saya, dia pasti bersembunyi di dalam Bu-tong-pai bersama datuk-datuk sesat tadi. Apakah ada murid Totiang yang mengetahui di mana dia bersembunyi?”Seorang murid Bu-tong-pai cepat maju dan berkata, “Memang ada seorang yang kemarin dulu diterima oleh ketua palsu sebagai tamu dan dia disebut Ji-wangwe.”

"Ya itulah orangnya!” seru Keng Han. “Tahukah engkau di mana dia bersembunyi?”

“Tadinya mereka semua bersembunyi di kamar rahasia akan tetapi ketika terjadi perkelahian, Ji-wangwe itu keluar dari kamar rahasia dan melarikan diri melalui pintu belakang.”

“Wah, aku harus mengejarnya!” kata Keng Han dan dia sudah meloncat pergi dari situ dan lari ke belakang gedung, melalui taman dan terus melompat pagar tembok di belakang taman.

Dia mengejar dan mencari terus, namun tidak nampak jejak orang yang dicarinya itu. Tugasnya membela keluarga kaisar sudah berhasil dan kini tinggal menemukan ayahnya dan memaksa ayah itu ikut bersama ke Khitan, menghadap ibunya!

Dia tiba di sebuah bukit kecil. Cepat dia mendaki bukit itu dan di puncak bukit itu dia melihat sebuah rumah menyendiri. Mungkin ayahnya itu bersembunyi di sana, pikirnya penuh harapan.

Akan tetapi ketika tiba di pekarangan rumah itu, tiba-tiba terdengar suara tawa dan tiga orang meluncur keluar dari dalam rumah itu. Mereka itu ternyata adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Swat-hai Lo-kwi sudah memegang pedangnya, Tung-hai Lo-mo sudah memegang dayung bajanya dan Lam-hai Koai-jin memegang ruyungnya. Jelas bahwa kedatangannya itu telah diketahui mereka dan mereka telah siap untuk menghadapinya.

“Ha-ha-ha, orang muda. Beberapa kali engkau menggagalkan usaha kami, sekarang tiba saatnya kami melakukan pembalasan dan membunuhmu di sini!” kata Swat-hai Lo-kwi sambil tertawa.

“Lo-kwi, ingat! Ketika kita berada di Pulau Hantu itu engkau pun berniat membunuhku, akan tetapi sampai sekarang aku masih hidup! Aku tidak takut biarpun kalian bersikap curang hendak mengeroyokku. Aku hanya ingin bertanya, apakah Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji itu berada di dalam? Kalau betul, suruh dia keluar dan aku akan membawanya pergi. Aku tidak ada alasan untuk bertanding dengan kalian!”

Melihat sikap pemuda itu demikian tabah menghadapi mereka bertiga, Tung-hai Lo-mo yang wataknya angkuh itu membentak, “Dia memang berada di sini. Akan tetapi kami melindunginya. Kalau engkau dapat mengalahkan kami bertiga, barulah engkau boleh menemuinya!”

"“Tung-hai Lo-mo, sudah kukatakan bahwa aku tidak butuh bertanding denganmu. Aku hanya menghendaki orang itu. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng itu adalah ayah kandungku!””Ha-ha-ha, jangan engkau membual!” kata Lam-hai Koai-jin. “Kalau dia memang ayah kandungmu, mengapa engkau malah menentangnya sehingga gerakannya gagal?”

“Karena dia berada di pihak yang bersalah. Dia berbuat jahat dan aku tidak ingin melihat dia berbuat jahat!” jawab Keng Han.

“Sudahlah, kawan-kawan, tidak perlu berdebat dengan bocah ini. Mari kita bereskan saja dia!” Setelah berkata demikian Swat-hai Lo-kwi sudah menggerakkan pedangnya menyerang Keng Han. Keng Han menghindarkan diri dengan mengelak ke kiri. Akan tetapi dari sebelah kiri, dayung baja Tung-hai Lo-mo sudah menyapu ke arah pinggangnya! Keng Han meloncat tinggi ke atas sehingga dayung baja itu menyambar di bawah kakinya. Keng Han menginjak dayung itu dan meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali sebelum turun ke atas tanah. Baru saja dia hinggap di tanah, ruyung Lam-hai Koai-jin sudah menyerangnya, memukulkan ruyung yang besar dan berat ke arah kepalanya!

Hebat serangan ini, tapi Keng Han tidak menjadi gentar. Kembali dia mengelak ke kanan dan kini kakinya menendang ke arah Swat-hai Lo-kwi. Lo-kwi mengelak dan Keng Han segera dikeroyok tiga orang datuk itu.

Keng Han telah memiliki tenaga sinkang yang dahsyat dan ilmu silatnya juga ilmu silat tinggi dan sakti dari Pulau Es. Akan tetapi kini dia menghadapi pengeroyokan tiga orang datuk besar di dunia persilatan. Apalagi dia tidak bersenjata, sedangkan tiga orang datuk yang menyerangnya itu menggunakan tiga macam senjata yang berbeda gerakannya. Tubuhnya berkelebatan di antara tiga gulungan sinar dari senjata musuh-musuhnya.

Tiga orang datuk itu mengeroyok sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring, namun Keng Han bukan saja mengelak, bahkan terhadap dayung baja dan ruyung itu beberapa kali dia menangkis dengan tangannya. Setiap kali ditangkis, pemegang senjata itu merasa tangannya tergetar oleh hawa yang dingin sekali kalau yang menangkis itu tangan kiri Keng Han, sedangkan kalau tangan kanan yang menangkis, lawannya merasa hawa yang amat panas menyerang dirinya. Tiba-tiba seorang muncul di depan pintu. Dia itu bukan lain adalah Tao Seng. Melihat betapa itu bukan lain adalah Tao Seng. Melihat betapa puteranya dikeroyok oleh tiga orang datuk itu, tiba-tiba Tao Seng teringat kepada Silani, isterinya yang ditinggalkan di Khitan. Maka dia pun tidak ingin melihat puteranya terbunuh.

“Sam-wi Locianpwe, jangan bunuh dia! Dia itu anakku, jangan bunuh dia!”

Swat-hai Lo-kwi menjadi jengkel mendengar ucapan Tao Seng itu. Baginya, orang itu adalah Hartawan Ji yang membiayai semua usaha pemberontakan itu. Kini, melihat hartawan itu malah melindungi Keng Han, dia menjadi marah. “Kami harus membunuhnya! Dialah yang menggagalkan semua usaha!” Dan dia menyerang semakin gencar kepada Keng Han yang masih terus melakukan perlawanan dengan gigih.

Tao Seng melihat betapa Keng Han terdesak hebat dan kalau perkelahian itu dilanjutkan, tentu akhirnya Keng Han akan tewas! Mati terbunuh di depan matanya. Anaknya! Tiba-tiba dia menghunus pedang dan meloncat ke dalam pertandingan itu, sama sekali bukan untuk mengeroyok Keng Han, melainkan dia menggunakan pedangnya menyerang Swat-hai Lo-kwi!

“Heiii! Apa yang kaulakukan ini, Ji-wangwe!” bentak Swat-hai Lo-kwi sambil menangkis. “Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia!” Tao Seng berteriak-teriak sambil terus untuk membantu Keng Han.

“Keparat!” Swat-hai Lo-kwi berteriak marah sambil membalik dan menyerang Tao Seng. Baru diserang sebanyak lima jurus saja pedang di tangan Swat-hai Lokwi telah menembus dada Tao Seng. Tao Seng berteriak dan roboh terguling.

“Ayahhh....!” Keng Han berseru keras melihat ayahnya roboh dengan mandi darah dia lalu mengamuk. Akan tetapi dia dikeroyok tiga orang datuk yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan semua bersenjata, sedangkan dia sendiri bertangan kosong.

Swat-hai Lo-kwi menusukkan pedangnya ke arah lambung Keng Han dan pada saat itu dayung baja Tung-hai Lo-mo menghantam ke arah kepalanya dan ruyung Lam-hai Koai-jin menghantam punggungnya! Diserang secara serentak seperti itu, Keng Han cepat meloncat tinggi untuk menghindarkan semua serangan dan kedua kakinya menendang dan menangkis dayung baja dan ruyung, kemudian sambil menjejakkan kedua kaki pada dua senjata itu tubuhnya berjungkir balik ke belakang dan selamatlah dia dari tiga serangan yang dilakukan serentak itu. Akan tetapi jantungnya berdebar juga karena serangan berbareng itu sungguh amat berbahaya. Kalau saja tidak melihat tiga orang datuk itu membunuh ayahnya, tentu dia sudah meninggalkan tiga orang lawannya. Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi telah membunuh ayahnya dan dia tidak dapat tinggal diam begitu saja. Dia meloncat ke dekat tubuh ayahnya.

“Ayah, engkau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.

“Keng Han, larilah selagi ada kesempatan....aku.... aku tidak apa-apa....!”

Akan tetapi tiga orang datuk itu sudah mengurungnya lagi dan terpaksa dia melawan sekuat tenaga. Selagi keadaan amat gawat bagi Keng Han itu tiba-tiba terdengar seruan, “Keng Han, terimalah pedangmu ini!”

Ternyata yang datang adalah Cu In! Gadis itu melemparkan pedang bengkok milik Keng Han yang telah diberikan kepadanya. Keng Han menyambut pedang bengkok itu dan melepaskan sabuk sutera putih dan melemparkannya ke arah Cu In. Cu In menyambut senjatanya itu dan langsung saja ia menyerang kepada Tung-hai Lo-mo dengan sabuk suteranya. Di tangan Cu In sabuk sutera itu menjadi senjata yang ampuh, dapat melibat senjata lawan, dapat pula menotok jalan darah dan dengan sin-kangnya ia dapat membuat sabuk itu sebagai pecut yang dapat melecut dengan ganasnya!

Bagaimana Cu In dapat datang pada saat yang amat gawat bagi Keng Han itu! Ternyata berita tentang Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw itu sampai ke kota raja dan terdengar pula oleh The-ciangkun, ayah Cu In. Mendengar ini, Cu In menduga bahwa Keng Han tentu pergi ke sana untuk mencari ayahnya. Maka hatinya merasa tidak enak dan ia berpamit dari ayah ibunya untuk pergi melihat-lihat keadaan di Bu-tong-pai. “Aku dapat sekalian menyelidiki apa yang dikehendaki Bu-tong-pai dengan undangan itu, Ayah.” katanya kepada ayahnya. Ayah dan ibunya tidak melarangnya dan pergilah The Cu In ke Bu-tong-pai, membawa pedang bengkok milik Keng Han yang tidak pernah lepas dari tubuhnya.

Ternyata ia datang terlambat dan pertemuan itu telah selesai dengan terbongkarnya rahasia penyamaran Gu Lam Sang dan ketika ia mendaki bukit Bu-tong-san, ia melihat Keng Han dikeroyok oleh tiga orang datuk itu. Maka ia cepat bertukar senjata dengan Keng Han dan segera menyerang Tung-tiai Lo-mo yang dibencinya karena datuk ini pernah menyingkap cadarnya dan melihat mukanya.

Diserang dengan hebat oleh sabuk sutera di tangan Cu In, Tung-hai Lomo lalu menggerakkan dayung bajanya untuk menyambutnya. Segera terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Lo-mo yang bersenjata dayung baja yang berat itu segera terdesak. Senjatanya terlalu berat dan lamban, sedangkan gadis baju putih itu memiliki gin-kang istimewa. Selain gerakannya amat lincah dan cepat, juga senjata yang ringan itu bergerak dengan kecepatan kilat yang menyambar-nyambar. Biarpun hanya sabuk sutera, namun berbahaya sekali kalau serangannya mengenai tubuh lawan. Tung-hai Lo-mo terpaksa menghindarkan diri sambil mundur terus, didesak oleh Cu In yang penuh semangat untuk merobohkan lawan. Sementara itu, Keng Han juga mengamuk dengan pedang bengkoknya. Setelah menerima pedangnya dari Cu In, Keng Han seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Sepak terjangnya amat dahsyat, membuat dua orang pengeroyoknya kewalahan.

Swat-hai Lo-kwi menjadi penasaran dan suatu saat dia mengerahkan sinkangnya dan memukul dengan tangan kiri terbuka ke arah dada Keng Han. Itulah pukulan jarak jauh yang mengandung hawa dingin. Akan tetapi Keng Han tidak menyingkir. Dia pun merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya didorongkan ke depan dengan tenaga Swat-im Sin-kang yang dilatihnya di Pulau Hantu.

“Wuuuuuttt....!! Desss....!!” Benturan dua tenaga sakti yang hebat itu sampai terasa oleh Lam-hai Koai-jin. Dia merasa ada hawa yang amat dingin, hampir membuatnya menggigil kalau dia tidak cepat mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dirinya.

Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur. Mukanya pucat dan dia pun roboh terguling. Ternyata tenaga dinginnya itu masih kalah kuat. Keng Han sendiri terhuyung sedikit dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lam-hai Koai-jin untuk menyerangnya dengan ruyung. Akan tetapi Keng Han sudah cepat menguasai dirinya dan segera mainkan Hong-in-bun-hoat untuk menghadapi ruyung Lam-hai Koai-jin. Lam-hai Koai-jin adalah seorang datuk dari selatan yang memiliki ilmu ruyung hebat. Akan tetapi, menghadapi Keng Han yang mencorat-corat dengan pedangnya seperti orang menuliskan huruf-huruf itu dia merasa bingung dan sebentar saja sudah terdesak hebat.

Swat-hai Lo-kwi yang telah menderita luka dalam tubuhnya itu, bangkit dan terhuyung meninggalkan tempat itu, tidak mempedulikan lagi kepada dua orang temannya karena dia harus menyelamatkan diri setelah terluka berat itu.

Tung-hai Lo-mo juga kewalahan menghadapi sabuk sutera putih di tangan Cu In. Dia hanya dapat memutar dayungnya sambil kadang-kadang mengelak, namun setelah lewat lima puluh jurus, ujung sabuk itu berhasil menotok pundaknya yang sebelah kanan. Seketika lengan kanannya menjadi lumpuh dan dayung baja itu terlepas dari pegangannya. Selagi dia terhuyung, ujung sabuk sudah menyambar lagi dan mengenai ubun-ubun kepalanya.

Tung-hai Lo-mo berteriak keras dan dia pun roboh, tewas seketika!

Melihat dua kawannya sudah kalah, Lam-hai Koai-jin meloncat jauh ke belakang. “Orang muda, aku mengaku kalah sekali ini. Di antara kita tidak terdapat permusuhan, biarlah lain kali aku mencarimu untuk membuat perhitungan.” Dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri.

“Kau hendak lari ke mana?” Cu In hendak mengejar akan tetapi Keng Han berkata, sambil menghampiri Cu In dan memegang lengannya. “Musuh yang sudah mengaku kalah tidak perlu dikejar!” Mendengar ini Cu In tidak jadi mengejar dan segera kembali menyimpan sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.

Keng Han menghampiri ayahnya dan berlutut. Keadaan Tao Seng payah sekali. Keng Han menotok jalan darah untuk menggugah ayahnya dari keadaannya yang pingsan. Bekas pangeran itu membuka matanya.

“Kau.... Keng Han.... puteraku....?” “Ayah, aku datang hendak mengajak Ayah menemui Ibu di Khitan.” kata Keng Han dengan nada sedih karena dia maklum, bahwa ayahnya tidak mungkin tertolong lagi. Pedang itu agaknya telah menembus jantungnya. “Sudah.... sudah terlambat.... aku berdosa besar kepada ibumu.... Keng Han, maukah.... engkau memintakan maaf kepada Silani? Dan maukah engkau.... memaafkan....aku....?”

Keng Han mengangguk dan mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Walaupun ayahnya telah berbuat jahat karena menuruti ambisi yang muluk namun pada saat terakhir ayahnya itu berusaha untuk menolongnya sampai tewas!

“Tentu saja, Ayah. Ibu pasti akan memaafkanmu....” katanya dengan terharu.

“Terima kasih.... ahhh, terima kasih, Tuhan! Sekarang.... aku dapat....mati dengan tenang....! Leher itu terkulai dan mata itu terpejam, tanda bahwa Tao Seng telah menghembuskan napas terakhir.

“Ayah, ohhh.... Ayah....” Saking sedih dan terharunya, Keng Han menangisi kematian ayahnya.

“Keng Han, ayahmu telah tewas, tidak ada gunanya ditangisi lagi.” kata Cu In sambil memegang pundak pemuda itu dengan suara halus.

Keng Han sadar dan menghentikan tangisnya. Kemudian dia menoleh kepada Cu In. “Kalau tidak ada engkau, agaknya aku pun sudah menemani ayahku tewas. Bagaimana engkau dapat berada di sini, Cu In?”

“Kebetulan saja, Keng Han. Agaknya Thian memang sudah menentukan begitu. Kami di kota raja mendengar akan pertemuan yang diadakan Bu-tong-pai dan aku menduga bahwa engkau akan mencari ayahmu di sini. Maka aku berpamit dari ayah ibuku untuk menyusulmu di Bu-tong-pai. Dan ketika mendaki bukit, aku melihat engkau dikeroyok tiga orang datuk itu.”

Keng Han menoleh ke arah mayat Tung-hai Lo-mo. “Engkau membunuhnya?” Cu In mengangguk. “Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya. Ketika dia bersama Swat-hai Lo-kwi dahulu menawanku, Tung-hai Lo-mo ini hendak memperkosaku, akan tetapi setelah dia menyingkap cadarku, dia tidak jadi bahkan hendak membunuhku. Orang seperti dia itu patut dilenyapkan dari muka bumi agar jangan suka menghina orang lagi.”

“Cu In, aku akan mengubur jenazah ayahku di tempat ini, juga jenazah Tung-hai Lo-mo.”

“Tung-hai Lo-mo? Untuk apa kita bersusah payah mengubur jenazah manusia sesat itu?”

“Jangan berpendapat seperti itu, Cu In. Boleh jadi dia jahat di waktu hidupnya. Akan tetapi dia telah tewas dan yang berada di sini bukan lagi Tung-hai Lo-mo yang jahat, melainkan sebuah jenazah yang perlu diurus dan dikuburkan.”

Cu In menggangguk dan matanya memandang kepada pemuda itu dengan penuh kagum. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan saja gagah perkasa dan bersikap sopan, akan tetapi juga berpemandangan luas dan berbudi luhur.

Keng Han menggali dua buah lubang dan menguburkan jenazah itu di pekarangan depan rumah itu. Dia meletakkan sebuah batu besar di depan makam ayahnya, dan sebuah batu lebih kecil di depan makam Tung-hai Lo-mo. Kemudian dia bersamadhi sejenak di depan makam ayahnya. Cu In juga memberi hormat kepada makam Pangeran Tao Seng itu.

“Sekarang engkau hendak ke manakah, Keng Han?”

“Aku harus kembali dulu ke Khitan, Cu In. Pertama untuk mengabarkan kepada ibuku bahwa ayah telah meninggal dunia seperti seorang jantan karena dia tewas dalam membelaku, dan kedua kalinya aku hendak memberitahu tentang perjodohan kita.”

Tiba-tiba mereka mendengar suara orang memanggil dan melihat sesosok tubuh dengan cepatnya berlari ke arah mereka. Dari jauh saja Cu In sudah mengenal orang itu.

“Itu suci yang datang.” katanya.

Keng Han mengerutkan alisnya karena beberapa kali dia mrengalami kesulitan kalau berdekatan dengan Bi-kiam Nio-cu. Akan tetapi sekali ini Cu In bersamanya, maka apa yang akan dapat dilakukan oleh Nio-cu?

Bi-kiam Nio-cu cepat sekali berlari dan telah tiba di tempat itu. Napasnya tidak terengah, seolah berlari secepat itu tidak melelahkan baginya.

“Aku tadi khawatir kalau engkau bertemu para datuk itu Keng Han. Dan ternyata engkau sudah berada di sini bersama Sumoi. Dan dua makam ini, makam siapakah?”

“Yang itu adalah makam Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji, atau juga ayah kandungku. Sedangkan yang ini adalah makam Tung-hai Lo-mo!”

Bi-kiam Nio-cu terbelalak. “Apa yang sudah terjadi? Bagaimana mereka dapat tewas di sini dan kaukuburkan, Keng Han?”

“Aku bertemu dengan Swat-hai Lokwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin di sini dan aku dikeroyok mereka bertiga. Kemudian muncul ayahku yang membelaku, akan tetapi dia tewas oleh Swat-hai Lo-kwi. Ketika aku masih dikeroyok tiga, datang In-moi yang membantuku. In-moi berhasil menewaskan Tung-hai Lo-mo, dan aku telah melukai Swat-hai Lo-kwi. Kemudian Swat-hai Lokwi dan Lam-hai Koai-jin melarikan diri.” Keng Han menceritakan dengan singkat.

“Aihhh, mereka bertiga begitu sakti, akan tetapi engkau mampu menandingi mereka. Sungguh hebat engkau, Keng Han. Kalau aku tahu, tentu aku akan membantumu.”

“Bukankah sepatutnya engkau membantu Gu Lam Sang, Niocu?” Keng Han mengejek.

Wajah Bi-kiam Nio-cu berubah merah. “Laki-laki jahat dan palsu itu! Hampir saja dia dapat mengelabui aku. Hampir saja aku mabuk oleh puji rayuannya. Tidak, setelah engkau memberi tahu akan kepalsuannya aku sudah membencinya setengah mati. Sayang dia tewas tidak olehku, melainkan oleh Lama-lama Jubah Merah itu? Sumoi, bagaimana engkau dapat berada di sini. Bukankah engkau ikut.... ibu dan ayahmu ke kota raja?”

“Benar, Suci. Akan tetapi di sana aku mendengar akan undangan Bu-tong-pai kepada para tokoh kang-ouw. Aku menduga bahwa Keng Han tentu mencari ayahnya di sini dan aku khawatir sekali. Juga ayah menyuruhku menyelidiki apa yang terjadi di Bu-tong-pai ini. Engkau belum sempat menceritakan kepadaku, Keng Han. Sebetulnya apakah yang telah terjadi di sana?”Keng Han lalu menceritakan pengalamannya betapa dia menyusup ke dalam bangunan induk Bu-tong-pai dan berhasil membebaskan Thian It Tosu yang disekap di penjara bawah tanah oleh Gulam Sang. Betapa selama ini yang berada di Bu-tong-pai adalah Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu.

“Aihhh, pantas kalau begitu mengapa Bu-tong-pai tiba-tiba saja berubah haluan dan bersekutu dengan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai serta dibantu pula oleh para datuk sesat.” kata The Cu In.

Keng Han menghela napas panjang. “Harus diakui bahwa Gulam Sang itu memiliki otak yang cerdik sekali juga memiliki ilmu silat yang tinggi. Sayang dia pergunakan kepandaiannya untuk berbuat jahat.”

“Memang benar. Kalau saja dia itu seorang pemuda Han yang melakukan semua itu demi menghancurkan pemerintah penjajah dan membebaskan rakyat dari penjajahan, masih bagus! Akan tetapi dia melakukan semua itu demi ambisinya untuk menjadi Pangeran Mahkota seandainya berhasil dan Pangeran Tao Seng menjadi Kaisar.” kata Bi-kiam Niocu.

“Sudahlah, sekarang dia telah tewas, tidak perlu lagi membicarakan tentang kejahatannya. Selanjutnya. begini, In-moi. Setelah terbuka kedoknya, Gulam Sang ditangkap oleh orang-orang Bu-tong-pai. Akan tetapi dasar dia cerdik sekali, orang-orang Bu-tong-pai tidak berani membunuhnya karena dialah yang menyimpan obat pemunah racun yang meracuni tubuh Thian It Tosu. Gulam Sang mau menukar obat itu dengan pembebasannya. Orang-orang Bu-tong-pai yang tidak ingin melihat Thian It Tosu tewas, terpaksa menyetujui. Obat diberikan dan Gulam Sang dibebaskan. Tiba-tiba muncul dua orang pendeta Lama Jubah Merah yang diutus oleh Dalai Lama untuk menangkap Gulam Sang. Gulam Sang melawan dan tewas oleh dua orang pendeta Lama itu.”

“Lalu kenapa engkau berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang datuk itu?” tanya pula Cu In.

“Tiga orang datuk itu meninggalkan Bu-tong-pai setelah mereka mengetahui bahwa ketua Bu-tong-pai yang mereka bela itu adalah ketua palsu. Aku lalu mencari ayahku di dalam bangunan Bu-tong-pai, akan tetapi mendapat keterangan bahwa pangeran itu telah pergi. Cepat aku melakukan pengejaran dan tiba di tempat ini. Dan ternyata benar, ayahku berada di sini. Aku dikeroyok oleh tiga orang datuk sesat. Aku kewalahan dan terdesak. Lalu muncul Pangeran Tao Seng, ayahku itu, dia membelaku dan melarang tiga orang datuk itu membunuhku. Akan tetapi hal itu membuat para datuk marah kepadanya sehingga ayahku dibunuhnya. Aku terus mengamuk sampai engkau datang membantuku, In-moi.”

“Kalian memang serasi, selalu saling bantu dan saling menolong. Mudah-mudahan saja kelak kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Sekarang aku hendak kembali ke Beng-san.” kata Bi-kiam Niocu sambil memandang dengan hati iri. Sumoinya yang berwajah cacat dan buruk itu memperoleh calon suami yang begitu baik, tampan dan gagah, juga berbudi mulia. Sedangkan ia, yang mempunyai kecantikan yang dikagumi banyak orang, selalu menemukan orang yang salah. Pertama, ia jatuh cinta kepada Keng Han yang sama sekali tidak membalas cintanya. Kedua, ia tertarik kepada Gulam Sang akan tetapi ternyata pemuda itu adalah seorang jahat yang berbahaya.

“Selamat jalan, Suci. Kuharap kalau engkau pergi ke kota raja, suka singgah di rumah kami.” kata Cu In dengan ramah. Ia dahulu tidak suka kepada sucinya ini karena terlalu kejam terhadap kaum pria. Akan tetapi sekarang ia merasa kasihan kepadanya.

“Selamat berpisah, Niocu. Semoga engkau berbahagia,” kata Keng Han yang juga merasa kasihan karena gadis itu pernah jatuh cinta kepadanya namun tidak dapat dibalasnya.

“Hemmm....!” Bi-kiam Nio-cu mendengus dan sekali berkelebat ia sudah lenyap dari situ. Memang Bi-kiam Niocu memiliki ginkang yang hebat.

“Kasihan....!” Tanpa terasa Keng Han berkata lirih.

“Eh? Kenapa kasihan, Han-ko?” Bukan main senangnya hati Keng Han mendengar gadis itu menyebutnya Han-ko (kanda Han), karena biasanya gadis itu menyebut namanya begitu saja. Dia sendiri pun sudah mendahului Cu In dan menyebutnya In-moi (dinda In).

Tentu saja Keng Han tidak mau menceritakan tentang Bi-kiam Nio-cu yang jatuh cinta kepadanya. “Kasihan karena ia telah keliru memilih pria yang dicintanya. Gulam Sang adalah seorang yang jahat dan kejam. Bahkan dia menyuruh anak buahnya membunuh kekasihnya ketika kekasihnya itu berteriak hendak membuka rahasia penyamarannya. Sucimu itu sudah sepantasnya mendapatkan seorang jodoh yang baik.”

“Kuharap juga begitu. Akan tetapi agaknya itu merupakan hukuman baginya karena dahulu, entah berapa banyak pria yang dibunuhnya hanya karena pria itu berani mencintainya.”

“Apakah engkau dahulu juga tidak seperti sucimu itu, In-moi? Bukankah gurumu.... eh, ibumu mengajar kalian untuk membunuh pria yang menaruh hati kepadamu?”

“Tidak, Han-ko. Untung aku mempunyai wajah yang buruk dan aku selalu menyembunyikan wajahku di belakang cadar sehingga tidak ada orang yang sempat jatuh cinta kepadaku.”

“Siapa bilang tidak ada yang jatuh cinta padamu? Buktinya aku jatuh cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku!”

Dahi gadis itu berubah merah mendengar ucapan ini. “Engkau lain lagi, Han-ko. Engkau adalah seorang pendekar yang tampan dan gagah, akan tetapi bodoh!”

“Bodoh?”

“Ya, bodoh! Kalau tidak bodoh, mana mungkin engkau jatuh cinta kepada seorang gadis yang mukanya cacat dan buruk?”

“Sudahlah, jangan bicara tentang wajah! Aku mencintaimu dengan setulus hatiku, bukan karena baik atau buruknya wajahmu. Sekarang pulanglah engkau ke kota raja, ke rumah orang tuamu.”

“Dan engkau?”

“Aku? Karena ayahku telah tewas, aku akan pulang dulu ke Khitan melaporkan kepada ibu bahwa ayah telah tewas dan juga mohon doa restunya agar aku dapat menikah denganmu.”

“Ah, aku akan ikut, Han-ko! Aku pun ingin berkenalan dengan ibu, calon mertuaku!” kata Cu In dengan suara bersungguh-sungguh.

“Akan tetapi, engkau belum memberitahu kepada ayah ibumu! Tentu mereka akan khawatir sekali kalau sampai lama engkau belum juga kembali ke kota raja!”

“Ibu akan mengerti dan tidak akan mengkhawatirkan aku. Ia pun dapat memberitahu kepada ayah bahwa sejak muda sekali aku sudah sering berkelana di dunia kang-ouw dan selalu pulang dalam keadaan selamat. Apalagi sekarang, melakukan perjalanan bersamamu. Apa bahayanya? Kita pasti akan mampu menanggulangi berdua!”

“Bukan bahaya yang kukhawatirkan, In-moi. Akan tetapi.... seperti para ibu lain di dunia ini, ibuku tentu ingin sekali melihat wajahmu....”

“Biarkan ia melihatnya! Bukankah engkau juga sudah melihatku dan hal itu tidak mengurangi cintamu kepadaku?”

“Ah, itu lain lagi, In-moi. Kalau ibuku melihat wajahmu lalu melarangku berjodoh denganmu, aku tidak akan dapat menyalahkannya. Hal itu wajar saja, bukan? Aku tidak termasuk hitungan karena aku mencintamu dengan hati yang tulus ikhlas. Sebaiknya engkau tidak ikut, In-moi. Aku tidak akan lama tinggal di Khitan. Dan setelah kita menikah baru engkau akan kupertemukan dengan ibuku dan kakekku.”

“Tidak, Han-ko. Aku tidak percaya bahwa seorang ibu yang melahirkanmu akan bersikap sepicik itu. Engkau bijaksana, dan ibumu tentu lebih bijaksana lagi!”

“Ibuku adalah seorang Khitan yang tidak berpendidikan dan tentu saja pikirannya masih kolot. Aku khawatir....”

“Khawatir kalau ia menolakku? Tenangkan hatimu. Aku telah siap menghadapi apa saja. Andaikata ibumu menolak aku menjadi calon mantunya sekalipun, perasaanku terhadapmu tidak akan berubah. Kita harus bersikap jujur terhadap ibumu, Han-ko. Kalau ia menolakku itu sudah wajar. Akan tetapi kalau ia menerimaku tanpa melihatku, bagaimana akibatnya di belakang hari kalau ia menyesal mempunyai mantu seperti aku?”

Keng Han merasa terharu sekali dan dia memegang kedua tangan gadis itu. “Alangkah gagah beraninya engkau dalam menghadapi apa pun juga, In-moi. Aku menghargai sikapmu dan marilah kita berangkat ke Khitan.”

Sepasang orang muda itu dengan bergandeng tangan melanjutkan perjalanan setelah sekali lagi memberi hormat kepada makam Pangeran Tao Seng. Mereka nampak gembira dan bahagia menyongsong masa depan mereka. Cinta kasih di antara mereka membuat mereka merasa kuat sekali.

Cinta kasih yang murni hanya memberi dan sama sekali tidak mementingkan diri sendiri, bersih dari nafsu menyenangkan diri sendiri. Kalau cinta itu didasari menyenangkan diri sendiri, maka cinta itu tidak akan tahan lama. Karena segala makam kesenangan di dunia ini selalu disusul kebosanan dan keinginan mencari yang lebih menyenangkan lagi. Akan tetapi kalau cinta itu didasari pementingan diri orang yang dicinta, kita selalu berusaha untuk menyenangkannya, untuk membahagiakannya karena kebahagiaan dia yang dicinta itu menimbulkan kebahagiaan bagi diri sendiri. Cinta yang terdorong wajah tampan dan cantik, terdorong harta benda atau kedudukan, cinta seperti itu mudah luntur. Menimbulkan kebosanan dan kebencian yang berakhir dengan perpisahan atau perceraian. Cinta nafsu hanya menghendakikeuntungan bagi diri sendiri. Seorang sahabat yang melakukan seribu satu kebaikan kepada kita akan terhapus oleh satu saja keburukan kepada kita. Cinta yang sejati tak lapuk oleh panas tak lekang oleh hujan. Seperti cinta kasih Tuhan kepada semua mahluk ciptaannya. Baik itu berupa tumbuh-tumbuhan, hewan, terutama sekali manusia. Semua mendapatkan berkahNya, semua dapat menikmati hidup. Baru matahari saja, seolah diciptakan Tuhan untuk kehidupan semua mahluk di dunia. Tanpa sinar matahari takkan ada yang dapat hidup. Dan diberiNya tanpa pilih kasih, kepada siapa saja, yang kaya maupun yang miskin, yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah, yang hidup benar dan baik maupun yang hidup buruk dan jahat.

Tuhan memang bukan manusia, akan tetapi kita manusia seyogianya mawas diri dan mengkaji kembali cinta kasih kita kepada kekasih, kepada teman hidup, kepada anak-anak, keluarga, tetangga dan masyarakat. Kalau kita semua hidup dengan cinta kasih kepada sesamanya tanpa nafsu mementingkan diri sendiri, adanya hanya memberi dan membantu, maka kehidupan di dunia ini akan merupakan keindahan sorgawi!

Gadis dan pemuda itu duduk berhadapan di sebuah hutan. Mereka duduk di atas batu dan di bawah naungan pohon yang rindang dan teduh. Mereka adalah Lo Siu Lan dan Gan Bu Tong. Kita masih ingat bahwa Lu Siu Lan adalah puteri dari ketua Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) Lo Cit yang berjuluk Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa). Adapun pemuda itu adalah Gan Bu Tong, suhengnya dan murid dari Toat-beng Kiam-sian. Mereka sedang berburu binatang. Akan tetapi hari itu agaknya mereka sedang sial. Sampai matahari naik tinggi, mereka belum memperolet buruan seekor pun. Karena siang itu panas sekali, mereka lalu beristirahat, duduk di bawah pohon, minum dan bercakap-cakap.

“Sumoi,” kata Bu Tong, suaranya sedih dan penasaran. “Kita bergaul sejak kecil dan engkau tahu sendiri betapa besar kasihku kepadamu. Akan tetapi kenapa engkau tega menolakku kalau aku mengajak bicara tentang perjodohan kita?”

“Karena aku sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan, Suheng. Sudahlah, jangan bicara tentang perjodohan, aku tidak menyukainya!” jawab gadis itu dengan suara agak ketus. Ia seorang gadis berusia kurang lebih sembilan belas tahun, cantik dan berkulit putih mulus, rambutnya hitam panjang diikat ke belakang dengan sanggul manis di atas kepalanya. Lo Siu Lan memang seorang gadis yang sudah dewasa dan menarik hati.

“Akan tetapi ketika pemuda bernama Keng Han itu berada di sini, engkau bersikap lain! Kau tentu tahu bahwa aku mencintaimu sejak lama, Sumoi. Dan selama ini aku melihat bahwa engkau juga suka kepadaku sehingga pergaulan kita akrab sekali.”

“Tentu saja aku suka padamu, Suheng. Bukankah engkau suhengku? Akan tetapi rasa suka itu berbeda sekali dengan cinta. Aku menyukaimu seperti seorang adik menyukai kakaknya, bukan seperti seorang wanita mencinta pria. Mengertikah engkau, Suheng?

Gan Bu Tong adalah seorang pemuda yang sudah berusia dua puluh lima tahun, tampan dan gagah tinggi besar dengan rambut panjang dikuncir tebal. Tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh sumoinya itu. Dahulu pun dia mencinta sumoinya sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Akan tetapi setelah Siu Lan menjadi dewasa, nampak cantik jelita, cintanya sebagai kakak itu berubah menjadi cinta seorang pria terhadap wanita dan mengharapkan sumoinya itu untuk menjadi jodohnya. Dan pada hari ini, berdua saja di dalam hutan itu, dia mengambil keputusan untuk minta ketegasan sumoinya. Mendengar jawaban bahwa sumoinya tidak mencintanya, melainkan hanya menyukainya sebagai seorang kakak, hatinya seperti ditusuk rasanya dan habislah harapannya. Kalau gadis itu menjawab belum ada rasa cinta, hal itu masih ada kemungkinan dan harapan bahwa kelak gadis itu akan tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi kalau gadis itu menyukainya sebagai kakak, tidak mungkin ia dapat mencintanya sebagai kekasih.

Melihat wajah yang murung itu, wajah yang biasanya berseri kini nampak demikian sedih, Siu Lan merasa iba kepada suhengnya itu.

“Suheng, harap jangan berduka. Cinta tidak selamanya berakhir dengan pernikahan, bukan? Kita dapat saling mencinta sebagai saudara, bersikap baik dan saling membantu, saling melindungi.”

“Akan tetapi, kepada Keng Han itu....”

“Terus terang saja, aku amat tertarik kepadanya, Suheng. Dia seorang pemuda yang bagiku amat menarik hati, apalagi kepandaiannya pun jauh lebih tinggi daripada kepandaian kita.”

“Akan tetapi dengan tegas dia menyatakan tidak mau kawin denganmu, Sumoi.”Siu Lan menghela napas panjang. “Itu adalah hak dia! Memang tidak mungkin dua orang menjadi suami isteri kalau cinta itu datangnya hanya sepihak.”

“Agaknya dia mempunyai hubungan erat sekali dengan gadis bercadar itu!” Gan Bu Tong memanaskan hati sumoinya.

Siu Lan tidak marah melainkan menghela napas lagi. “Entah bagaimana wajah gadis bercadar itu. Akan tetapi yang jelas, ia pun lihai bukan main. Agaknya nasib kita sama, Suheng. Kita berdua menjadi korban cinta yang gagal, mencinta seorang yang tidak membalas cinta kita. Agaknya memang bukan jodoh kita. Kita tidak boleh putus asa. Suheng, di dunia ini wanita bukan aku seorang, seperti juga di dunia ini pria bukan hanya Keng Han saja. Kelak kita pasti akan bertemu dengan jodoh kita masing-masing! Mari kita teruskan berburu, Suheng, sudah terlalu lama kita beristirahat. Kalau kita pulang tidak membawa hasil buruan, tentu ayah akan mentertawakan kita.”

“Baiklah, mari kita menyusup ke tengah hutan.” jawab Bu Tong yang mendapatkan kembali kegembiraannya. Betapapun juga, hatinya menjadi lega. Biarpun cintanya gagal, keadaan ini lebih baik daripada sebelumnya, harap-harap cemas. Kini dia telah mengetahui isi hati sumoinya dan yakin bahwa dia tidak boleh lagi mengharapkan sumoinya menjadi isterinya. Hal ini, kepastian ini melenyapkan keraguannya dan malah melegakan hatinya. Dia merasa bebas dari ikatan batinnya sendiri yang mencinta sumoinya, walaupun dia merasakan kepedihan cinta yang gagal. Sebagai seorang gagah dia harus mampu menahan pukulan ini!

Kedua orang muda itu menyusup ke tengah hutan dan tak lama kemudian mereka melihat sekawanan kijang sedang minum di tepi sungai kecil. Kijang-kijang itu berada di seberang sungai dan mereka tahu bahwa wilayah kekuasaan Kwi-kiam-pang hanya sampai di sungai itu.

Akan tetapi kijang-kijang itu berada begitu dekat dan mereka tidak tahu siapa yang menguasai wilayah seberang sungai itu. Kalau mereka tidak salah ingat, kabarnya yang berkuasa di seberang itu. adalah perkumpulan Hek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam). Karena sungai itu kecil saja, dua orang muda yang sudah haus korban buruan itu tidak mempedulikan bahwa kijang-kijang itu berada di seberang sungai. Mereka sudah memasang anak panah pada busur mereka dan begitu melepaskan anak panah, dua ekor kijang terjungkal dan lainnya lari dengan cepat meninggalkan tempat itu.

Bu Tong dan Siu Lan bersorak gembira lalu mereka meloncati sungai kecil itu untuk mengambil hasil anak panah mereka. Akan tetapi baru saja mereka mencabut anak panah dari tubuh dua ekor kijang itu, muncul belasan orang yang berlompatan dari balik pohon-pohon dan semak belukar.

Melihat bahwa orang-orang itu memakai pakaian seragam yang ada gambarnya harimau hitam, tahulah Bu Tong dan Siu Lan bahwa mereka berhadapan dengan para anggauta perkumpulan Hek-houw-pang. Mereka itu dipimpin seorang pemuda yang gagah dan bermata lebar.

“Hemmm, dua orang yang lancang berani berburu binatang dalam wilayah kekuasaan kami?” bentak pemuda bermata lebar itu.

Gan Bu Tong cepat mengangkat tangan ke depan dada dan untuk memberi hormat kepada pemuda itu dan berkata, “Kami adalah dua orang murid dari Kwi-kiam-pang. Aku bernama Gan Bu Tong dan sumoiku ini adalah puteri ketua kami bernama Lu Siu Lan. Kami melihat buruan kami di tepi sungai kecil ini dan memanahnya. Kami sama sekali tidak bermaksud lancang memasuki wilayah orang lain!”

Mendengar perkenalan diri ini, pemuda itu nampak tertegun dan dia memandang kepada Siu Lan dengan penuh perhatian. “Jadi kalian adalah murid-murid Kwi-kiam-pang? Kwi-kiam-pang tidak pernah memandang kami sebagai sahabat. Kami dari Hek-houw-pang tidak mengijinkan siapapun juga untuk memasuki wilayah kami tanpa ijin. Kalian telah melanggar maka terpaksa kami akan menahan kalian, dan kalau Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sendiri yang datang minta maaf, barulah kami dapat melepaskan kalian.”

Kini Siu Lan tak dapat menahan kesabarannya lagi. “Kalian berani berkata demikian? Siapakah engkau yang berani tidak memandang muka ayahku dan bersikap kurang ajar!”

Pemuda bermata lebar itu tersenyum. “Perkenalkan, namaku Tang Hun dan aku adalah putera dari ketua Hek-houw-pang!”

Kini mengertilah dua orang muda dari Kwi-kiam-pang itu. Setahun yang lalu, ketua Hek-houw-pang pernah datang bertamu ke Kwi-kiam-pang dan ketua ini mengajukan usul untuk menjodohkan puteranya dengan Siu Lan. Akan tetapi, karena gadis itu tidak mau, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit menolak dengan halus. agaknya penolakan itu menyinggung perasaan keluarga Tang sehingga kini Tang Hun hendak membalas penolakan dianggap menghina itu. Dia menangkap Siu Lan dan Bu Tong dan baru mau membebaskan mereka kalau ketua Kwi-kiam-pang sendiri yang datang memintakan maaf !

Bu Tong adalah seorang pemuda yang cerdik. “Sobat, kalau engkau menganggap kami bersalah, maka maafkanlah kami dan kami tidak akan mengambil kijang buruan kami ini.”

“Tidak! Siapa berani berbuat harus berani menanggung resikonya. Kami akan menahan kalian dan sebelum ketua Kwi-kiam-pang sendiri yang minta maaf, kami tidak akan membebaskan kalian!” Tang Hun berkata tegas.

“Akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau kalian menahan kami berdua, lalu siapa yang akan memberi kabar kepada suhu? Tangkap dan tahanlah aku, akan tetapi bebaskan Sumoi agar ia dapat melaporkan kepada suhu,” kata pula Bu Tong.

Tang Hun diam sejenak, lalu sambil memandang kepada Siu Lan dia berkata, “Baiklah, aku akan menahan nona Lo di sini, dan engkau boleh pulang untuk melapor! kata-kata itu demikian tegas dan pasti.

“Sobat, sungguh tidak enak dan tidak pantas kalau kalian menahan seorang wanita. Biar aku yang ditahan dan Sumoi....”

“Cukup! Kalian tinggal pilih. Keduanya akan kami tahan atau hanya Nona ini!”

“Suheng, biarlah engkau yang pulang melapor kepada ayah bahwa aku ditawan orang-orang Hek-ouw-pang dan jangan khawatir, mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu kepadaku!” kata Siu Lan sambil meraba gagang pedangnya.

“Akan tetapi, Sumoi....”

“Sudahlah, apakah engkau lebih suka kalau kita berdua yang menjadi tawanan? Siapa yang akan memberitahu kepada ayah?” potong Siu Lan.

Bu Tong menghela napas panjang. “Baik, aku akan pulang. Akan tetapi kalau kalian berani mengganggu sehelai rambut Sumoi, kami akan datang menghancurkan dan membinasakan kalian semua!””Hemmm, engkau boleh menggertak semaumu, Sobat. Kami tidak bersalah. Kami menahan orang yang melanggar perbatasan wilayah kami. Kalianlah yang bersalah, bukan kami!” tangkis Tang Hun sambil tertawa, wajahnya berseri.

Terpaksa Gan Bu Tong meloncati sungai kecil itu dan terus melakukan perjalanan pulang sebelum hari menjadi sore. Dia berlari cepat dan pada suatu tikungan yang tertutup oleh pohon-pohon besar, hampir dia bertabrakan dengan seorang yang berjalan cepat dari depan. Akan tetapi, bagaikan seekor burung saja, orang itu telah melayang melewati kepalanya! Gan Bu Tong terkejut sekali dan juga kagum. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan ternyata orang itu adalah seorang gadis yang cantik sekali. Gadis itu bukan lain adalah Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok. Bu Tong sampai ternganga saking kagumnya. Gadis yang cantik jelita, mukanya berseri dengan senyum tenang, kulitnya putih mulus, kedua pipinya kemerahan, mata dan bibirnya manis sekali, rambutnya agak keriting dan panjang.

“Hemmm, apakah engkau dikejar setan maka berlarian di tengah hutan seperti itu?” kata Niocu sambil tersenyum mengejek. Akan tetapi matanya memandang penuh selidik. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, pikirnya.

“Maafkan aku, Nona. Aku tidak dikejar setan akan tetapi lebih dari itu. Aku hendak melapor kepada suhu bahwa puteri suhu ditawan gerombolan orang-orang Hek-houw-pang!”

Bi-kiam Nio-cu mengerutkan alisnya dan memandang wajah pemuda itu penuh perhatian. “Kulihat engkau bukan orang lemah, kenapa engkau melarikan diri tidak menolong sumoimu itu?”

“Nona, kami telah dikepung oleh belasan orang yang dipimpin oleh putera ketua Hek-houw-pang. Kalau melawan kami pasti kalah. Mereka menyandera sumoi dan mengatakan bahwa mereka akan membebaskan sumoi hanya kalau suhu sendiri yang datang ke sana minta maaf.”

“Hemmm, kesalahan apakah yang kalian lakukan?””Kami sedang berburu binatang dan memanah dua ekor kijang yang berada di seberang sungai kecil, wilayah kekuasaan mereka. Kami telah minta maaf akan tetapi mereka memaksa untuk menawan sumoi.”

“Hemmm, siapa namamu dan siapa nama sumoimu itu?” tanya Niocu yang semakin tertarik.

“Namaku Gan Bu Tong dan sumoi bernama Lo Siu Lan.”

“Kalian dari perkumpulan apa dan siapa suhumu?”

“Suhu adalah ketua dari Kwi-kiam-pang berjuluk Toat-beng Kiam-sian bernama Lo Cit.”jawab Gan Bu Tong dengan bangga karena nama besar. gurunya itu pasti dikenal semua tokoh kang-ouw.

Benar saja dugaannya. Niocu tersenyum mendengar nama ini.

“Ah, kiranya engkau murid kakek pincang itu? Gurumu pernah bersikap baik terhadap muridku, biarlah sekarang aku membantu muridnya. Cepat bawa aku ke tempat sumoimu ditawan. Aku yang akan membebaskannya!”

Girang sekali hati Gan Bu Tong. Agaknya gadis itu tidak hanya membual. Gerakannya ketika meloncat di atas kepalanya menghindarkan tabrakan itu saja sudah membuktikan betapa hebat ginkangnya. Apalagi gadis ini sudah mengenal nama suhunya.

“Baik, Nona. Mari kita pergi ke sana!” kata Bu Tong dan dia pun lari kembali ke tempat tadi secepatnya. Akan tetapi, gadis itu seakan berjalan melangkah seenaknya walaupun kenyataannya dia tidak pernah dapat meninggalkannya. Sungguh merupakan ilmu berlari cepat yang hebat.

Akan tetapi ketika mereka tiba di seberang sungai itu, tidak nampak bayangan Siu Lan. “Tentu sumoi sudah mereka bawa ke sarang mereka!”

“Kita kejar!” kata Niocu dan tanpa menanti jawaban ia sudah melompat ke depan berlari cepat. Bu Tong berusaha mengejarnya akan tetapi sebentar saja dia sudah tertinggal jauh. Niocu yang berlari lebih cepat segera dapat mengejar orang-orang Hek-houw-pang yang menawan Siu Lan. Gadis ini berjalan dengan sikap tenang di tengahtengah mereka. Ia tidak takut. Suhengnya tentu akan melapor dan ayahnya tentu akan datang untuk membebaskannya.

Kini Siu Lan teringat mengapa pemuda itu seperti menaruh dendam kepada ayahnya. Setahun lebih yang lalu, ketua Hek-houw-pang pernah berkunjung ke rumah ayahnya dan dari ibunya ia mendengar bahwa ia dipinang oleh ketua Hek-houw-pang untuk dijodohkan dengan puteranya. Akan tetapi ia berkeras menolak karena belum pernah ia melihat putera ketua Hek-houw-pang itu. Ayahnya lalu menolak pinangan itu dengan halus. Agaknya itulah yang membuat pemuda itu hendak membalas dendam dengan menawannya agar ayahnya datang minta maaf kepada ketua Hek-houw-pang! Kini setelah melihat orangnya, ia harus mengakui bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi matanya yang terlalu lebar itu tidak sedap dipandang, di samping ia belum mengetahui bagaimana watak pemuda itu. Kalau wataknya baik, belum tentu ia menolak pinangannya setelah melihat orangnya.

Selagi Siu Lan melangkah sambil melamun, tiba-tiba nampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan rombongan itu telah berdiri seorang wanita cantik. Wanita itu mernandang dengan matanya yang bersinar tajam dan mulutnya tersenyum mengejek.

“Belasan orang laki-laki menawan seorang gadis muda, sungguh merupakan perbuatan yang tidak tahu malu!” kata wanita itu yang bukan lain adalah Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok.

Tang Hun yang tadinya berjalan dekat Siu Lan, segera melangkah maju menghadapi Niocu. Dia mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan lalu berkata, “Kami tidak mengenal Nona, sebaliknya Nona tidak mengenal kami. Setiap perbuatannya tentu ada sebabnya yang kuat, maka harap Nona jangan mencela dulu dan tidak mencampuri urusan pribadi kami!” Suaranya itu sopan namun nadanya keras. “Tidak mungkin aku tidak mencampuri. Melihat seorang wanita ditawan belasan orang, bagaimana menyuruh aku tidak campur tangan? Cepat bebaskan ia atau aku akan memberi hajaran keras kepada kalian!”

“Wanita sombong. Apa kaukira aku takut kepadamu?”

“Heh-heh-heh, bukankah engkau ini putera Hek-houw Tang Kwi? Daripada engkau babak-belur, lebih baik engkau suruh ayahmu datang ke sini melawanku.”

“Nona, sebetulnya siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan ini? Ini adalah urusan antara Kwi-kiam-pang dan Hek-houw-pang. Nona tidak berhak mencampuri!””Hemmm, bocah seperti engkau hendak melawanku. Ketahuilah bahwa aku yang disebut orang Bi-kiam Nio-cu!”

Mendengar nama ini, Tang Hun terkejut. Tentu saja dia pernah mendengar akan nama Bi-kiam Nio-cu yang kabarnya amat kejam terhadap pria itu. Akan tetapi dia tidak merasa takut. Malu rasanya kalau takut melawan seorang wanita.

“Bagus! Nama Bi-kiam Nio-cu memang sudah terkenal di dunia kang-ouw akan tetapi aku Tang Hun tidak gentar menghadapimu. Engkau yang mencari perkara, bukan kami!” Pemuda itu berkata demikian sambil mencabut pedangnya.

Pada saat itu, Bu Tong sudah tiba di situ. Melihat ini. Bi-kiam Nio-cu berseru kepadanya. “Gan Bu Tong, engkau bantulah sumoimu menghajar orang-orang itu, sedangkan bocah she Tang ini serahkan saja kepadaku!”

“Baik, Nona.” Bu Tong berseru girang dan berkata kepada sumoinya, “Sumoi, mari kita lawan mereka!”

Kalau tadi kakak beradik seperguruan itu tidak berani memberontak adalah karena di situ ada Tang Hun dan belasan orang anak buahnya. Kini, setelah Tang Hun ada yang menghadapi, mereka menjadi berani dan Siu Lan juga mencabut pedangnya. Dua orang kakak beradik ini lalu mengamuk dan dikepung serta dikeroyok belasan orang anak buah Hek-houw-pang.

Sementara itu Tang Hun mencabut pedangnya. Dia sudah mendengar akan kelihaian Bi-kiam Nio-cu, maka dia mencabut pedang lebih dulu lalu menyerang lawannya yang masih bertangan kosong.

Akan tetapi dengan gerakan yang cepat Nio-cu sudah menghindar dari serangan itu dan ia membiarkan pemuda itu menyerangnya sampai sepuluh jurus yang selalu dapat dielakkan oleh Niocu. Setelah membiarkan lawan menyerang sampai sepuluh jurus, barulah Niocu mencabut pedangnya. Pedang ini baru karena pedangnya yang lama patah ujungnya ketika ia pinjamkan kepada Keng Han untuk melawan Thian It Tosu palsu yang mempergunakan pedang Pek-coa-kiam, pedang Bu-tong-pai. Ia membeli pedang baru yang juga baik sekali, terbuat dari baja pilihan.

Begitulah Niocu menggunakan pedang untuk melawan, Tang Hun segera terdesak hebat. Akan tetapi Niocu sekarang bukan seperti Niocu dahulu ketika ia masih liar membenci kaum pria. Ia tidak berniat membunuh Tang Hun, hanya membebaskan Siu Lan saja. Apalagi memang ilmu kepandaian Tang Hun sudah cukup tangguh sehingga biarpun terdesak dia masih dapat melakukan perlawanan!

Setelah pertandingan berjalan kurang lebih tiga puluh jurus, Tang Hun main mundur terus. Pertandingan antara lima belas anak buahnya yang mengepung Lo Siu Lan dan Gan Bu Tong juga berlangsung seru. Biarpun dikeroyok belasan orang, kakak beradik seperguruan ini dapat menggerakkan pedang mereka untuk melindungi diri, bahkan sempat merobohkan beberapa orang dengan tendangan kaki mereka.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Tang Hun, mundurlah, biarkah aku yang menghadapi?”

Tang Hun girang sekali mendengar suara ini karena suara itu adalah suara ayahnya! Memang yang baru datang itu adalah Hek-houw Tang Kwi sendiri, seorang kakek bermuka hitam berusia kurang lebih lima puluh tahun. Begitu tiba di situ dia melihat puteranya didesak hebat oleh seorang wanita cantik. Dia tidak mengenal wanita itu, maka dia cepat menyuruh puteranya mundur dan dia menangkis pedang di tangan wanita itu yang menyambar cepat.

"Tranggggg....!” Keduanya terkejut karena merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang tergetar hebat. Hek-houw Tang Kwi menjadi penasaran dan segera berseru, “Tahan senjata!” Semua anak buahnya yang tadi mengeroyok Siu Lan dan Bu Tong juga menghentikan penyerangan mereka dan semua melompat ke belakang sehingga perkelahian itu terhenti.

“Apa artinya perkelahian ini? Heiii bukankah kalian itu puteri dan murid Toat-beng Kiam-sian Lo Cit? Dan engkau sendiri siapakah Nona?”

“Aku adalah Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok!” Niocu memperkenalkan diri.

“Ahhh....! Bukankah engkau murid Ang Hwa Nio-nio? Kenapa terjadi perkelahian dengan puteraku dan para anggaut kami? Tang Hun, apa yang telah terjadi di sini?” Hek-houw Tang Kwi bertanya kepada puteranya.

“Begini, Ayah. Mula-mula kami melihat puteri dan murid Toat-beng Kiam-sian ini berburu binatang di dalam wilayah kita. Karena mereka memasuki wilayah kita tanpa ijin, kami lalu menahan nona Lo untuk dihadapkan kepada Ayah, dan membebaskan pemuda itu untuk melapor kepada ketuanya. Akan tetapi mendadak pemuda itu datang kembali bersama Bi-kiam Nio-cu dan hendak memaksa kami membebaskan nona Lo. Kami menolak dan terjadilah perkelahian ini.”

Hek-houw Tang Kwi mengerutkan alisnya dan berkata kepada Bi-kiam Niocu, “Bi-kiam Nio-cu, aku mendengar bahwa engkau seorang wanita gagah, akan tetapi mengapa engkau mencampuri urusan pribadi antara Hek-houw-pang dan Kwi-kiam-pang? Apa yang dilakukan puteraku sudah sepantasnya karena kedua orang murid Kwi-kiam-pang melanggar wilayah kekuasaan kami.”

“Hemmm, kalau puteramu itu bertanding satu lawan satu dengan puteri ketua Kwi-kiam-pang, tentu aku tidak akan mencampurinya, akan tetapi melihat belasan orang anak buahmu menggunakan kekuatan banyak orang untuk menawannya, hal ini kuanggap tidak adil dan merupakan tindakan seorang pengecut. Karena itulah aku turun tangan membantu mereka!” Jawab Nio-cu sambil tersenyum mengejek.

“Tang Hun, benarkah engkau menggunakan anak buah untuk menangkap mereka?”

“Tidak, Ayah. Di antara kami dan mereka tadinya tidak ada perkelahian. Kita menangkap mereka dan mereka merasa bersalah, maka nona Lo tidak keberatan kami tawan dan suhengnya itu pun pergi untuk melapor kepada gurunya. Baru setelah Bi-kiam-Nio-cu campur tangan terjadi pertempuran.”

“Beranikah engkau melawan nona Lo, satu lawan satu?”

Wajah pemuda itu berubah kemerahan ketika dia memandang kepada Siu Lan. “Aku.... aku tidak ingin memusuhinya, Ayah.”

Bi-kiam Nio-cu tertawa mengejek.

“Orang muda, katakan saja engkau tidak berani. Hei, adik Lo, beranikah engkau melawan putera Hek-houw Tang Kwi ini?”

Siu Lan menegakkan tubuhnya dan menjawab, “Mengapa tidak berani? Asal jangan main keroyokan!”

“Nah, kau dengar itu, Tang Hun? Untuk menyelesaikan urusan ini, sambutlah tantangan nona Lo. Siapa di antara kalian yang kalah harus minta maaf dan urusan ini habis sampai di sini saja. Bagaimana pendapatmu, Bi-kiam Nio-cu? Atau, apakah engkau ingin kita bertanding terus mati-matian hanya untuk urusan sekecil ini?”

Niocu merasa tidak enak. Sebetulnya ia memang sebagai orang luar yang tidak tersangkut urusan itu sama sekali. Kalau ia membantu, sebetulnya yang ia bantu adalah Gan Bu Tong karena ia tertarik dan suka kepada pemuda itu.

“Bertanding satu lawan satu itu baru adil dan aku tidak akan mencampuri hanya akan menonton agar jangan ada yang main curang.”

“Nah, Tang Hun, engkau sudah mendengar sendiri. Bersiaplah untuk bertanding dengan nona Lo Siu Lan!” kata Hek-houw Tang Kwi. “Akan tetapi, Ayah. Aku tidak ingin melukainya....” kata pemuda itu ragu.

Melihat sikap dan mendengar ucapan Tang Hun, Siu Lan merasa jantungnya berdebar. Tadi ketika ia ditangkap, pemuda itu bersikap sopan padanya, seolah ia bukan seorang tawanan melainkan seorang tamu. Dan kini, pemuda itu mengatakan tidak ingin memusuhinya dan juga tidak ingin melukainya! Hal ini hanya mempunyai satu arti, ialah bahwa pemuda itu suka padanya!

Hek-houw Tang Kwi menjadi marah kepada puteranya. “Engkau tidak berani? Kalau begitu engkau harus minta maaf kepadanya!”

“Minta maaf? Aku tidak bersalah, melainkan mereka yang bersalah. Kenapa aku harus minta maaf? Dan aku tidak ingin berkelahi melawan nona Lo, sama sekali bukan karena takut melainkan....”

“Sudahlah jangan banyak bicara lagi. Layani nona Lo yang menantangmu!” berkata demikian Hek-houw Tang Kwi mendorong punggung puteranya supaya maju menghadapi Siu Lan.

Dengan terpaksa sekali dan sikap apa boleh buat Tang Hun maju menghadapi Siu Lan. Dia menyimpan pedangnya dan berkata dengan lembut. “Nona Lo, terpaksa aku harus bermusuhan, maka kita bertanding dengan tangan kosong saja.”

“Tidak bersenjata boleh, bersenjata juga boleh!” kata Siu Lan yang juga menyimpan pedangnya. Kalau lawan tidak bersenjata tentu ia malu kalau harus melawan dengan pedangnya.

Mereka sudah memasang kuda-kuda akan tetapi Tang Hun belum juga mau menyerang. “Hayo mulai!” kata Siu Lan. “Aku sudah siap!”

“Engkau adalah tamu maka engkaulah yang harus memulai lebih dulu, Nona.” kata Tang Hun.

“Baik, bersiaplah dan sambut seranganku ini!” Siu Lan mulai memukul akan tetapi dapat dielakkan Tang Hun dengan baik. Dua orang itu segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Akan tetapi Bi-kiam Nio-cu dan Hek-houw Tang Kwi keduanya dapat mengikuti gerakan mereka dengan baik dan mereka mendapat kenyataan bahwa dua orang itu tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, Hek-houw Tang Kwi tahu benar bahwa puteranya tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya dan Bi-kiam Nio-cu juga melihat dengan jelas betapa Siu Lan juga tidak menyerang dengan sepenuh hatinya.

Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek yang kaki kirinya timpang dan membawa tongkat.

"Apa yang terjadi di sini!" tanyanya. Ketika melihat puterinya berkelahi melawan Tang Hun, dia menghampiri Hek-houw Tang Kwi dan bertanya, "Eh, Hekhouw, kenapa engkau membiarkan anak kita saling serang seperti itu?"

"Ssstt, lihatlah baik-baik, Kiam-sian. Bukankah kedua anak kita itu serasi dan cocok sekali? Mereka saling serang? Hemmm, kurasa tidak. Mereka hanya latihan saja dan saling mengalah!"

Dan kenyataannya memang demikianlah. Kedua orang muda itu sama sekali tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, dan tidak ingin melukai lawan. Siu Lan melihat datangnya ayahnya, maka ia meloncat jauh ke belakang dan mendekati ayahnya.

"Ayah, mereka hendak menawanku!" katanya dengan manja.

"Apa? Siapa yang hendak menawan anakku?" bentak Toat-beng Kiam-sian dan sekarang barulah dia melihat adanya Bi-kiam Nio-cu di situ.

"Eh, engkau juga berada di sini, Bi-kiam Nio-cu? Apakah engkau yang hendak menawan anakku?" Berkata demikian Lo Cit melangkah maju menghampiri Bi-kiam Nio-cu yang hanya memandang kepadanya dengan senyum mengejek.

"Suhu, tidak sama sekali, Suhu!" Gan Bu Tong meloncat mendekati suhunya. "Nona ini sama sekali tidak mengganggu kami berdua, ia malah datang untuk menolong sumoi yang tadinya ditawan oleh orang-orang Hek-houw-pang!"

"Hemmm, apa yang terjadi di sini? Kenapa anakku ditawan orang-orang Hek-houw-pang?"

Hek-houw Tang Kwi dengan sikap tenang berkata kepada Lo Cit. "Kiam-sian, engkau dengarlah baik-baik keterangan dari anakku. Tang Hun, ceritakan semua kepada pamanmu Lo ini apa yang telah terjadi sebenarnya."

Tang Hun maju memberi hormat kepada Lo Cit lalu berkata, "Sebetulnya begini, Paman. Kami mendapatkan puteri dan murid Paman telah melanggar wilayah kami dan membunuh dua ekor kijang. Karena mereka memasuki wilayah kami tanpa ijin, terpaksa saya menahan nona Lo untuk kami hadapkan kepada Ayah. Ia kami tahan sebagai seorang tamu, bukan sebagai tawanan. Akan tetapi tiba-tiba murid Paman ini datang bersama Bi-kiam Nio-cu dan menyerang kami. Untung ada Ayah, kalau tidak mungkin kita semua akan dibunuhnya!"

"Siu Lan, benarkah apa yang dikatakan Tang Hun itu?"

Dengan kedua pipi berubah kemerahan, Siu Lan menjawab, "Benar, Ayah. Akan tetapi kami hanya melanggar perbatasan sungai itu untuk mengejar kijang."

"Kalau begitu, engkau dan Bu Tong berada di pihak yang salah. Hayo kalian berdua minta maaf kepada pamanmu Tang Kwi!" bentak Lo Cit.

Siu Lan dan Bu Tong terpaksa memberi hormat kepada Hek-houw Tang Kwi sambil berkata, "Harap paman Tang sudi memaafkan kelancangan kami!"

"Ha-ha-ha, semua ini hanya merupakan salah paham saja. Di antara orang sendiri mengapa harus minta maaf? Akan tetapi, Kiam-sian, bukankah engkau sudah melihat sendiri betapa serasi dan cocok adanya putera-puteri kita? Kesempatan ini akan kupergunakan untuk mengulang pinanganku tempo hari. Bagaimana kalau kita menjodohkan mereka?"

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit tersenyum dan bertanya kepada puterinya, "Siu Lan, engkau telah mendengar sendiri usul pamanmu Tang. Nah, bagaimana jawabanmu?" Dengan muka kemerahan Siu Lan bersembunyi di belakang tubuh ayahnya dan berkata, "Ah, urusan itu bagaimana baiknya terserah kepada Ayah saja!"

Jawaban ini saja sudah jelas bagi semua orang. Kalau seorang anak tidak setuju, tentu ia akan marah-marah atau menangis. Kalau ia setuju, tentu ia akan menyerahkan keputusannya kepada orang tuanya dan tersipu malu.

Melihat keadaan puterinya, Lo Cit menjadi girang sekali. Ketika pertama kali Tang Kwi meminang puterinya, sebetulnya dia sudah setuju sekali. Dia merasa suka kepada Tang Hun yang gagah dan tampan. Akan tetapi puterinya itu yang menolak. Kini dia tahu mengapa dulu puterinya menolak. Karena belum pernah melihat Tang Hun. Setelah kini berhadapan, bahkan saling serang dalam pertandingan tadi, ia setuju akan pinangan itu.

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Mari singgah di rumah kami di mana kami dapat menjamu kalian sebagai tamu agung dan kita dapat bercakap-cakap mengenal persoalan ini. Kami juga mengundang Niocu untuk ikut datang sebagai tamu kehormatan."

Bi-kiam Niocu mengerling kepada Gan Bu Tong. Ia melihat betapa pemuda itu juga memandang kepadanya penuh kagum, maka iapun mengangguk. "Baiklah, aku tanpa sengaja telah terlibat dalam urusan kalian, tidak apa menjadi saksi dari hubungan antara kalian yang menjadi baik." Mereka semua lalu menuju ke perkampungan Hek-houw-pang. Dan dalam perjalanan ini dengan sengaja Niocu mendekati Gan Bu Tong dan mengajaknya bercakap-cakap. Dia bertanya-tanya tentang keadaan pemuda itu dan hatinya girang mendengar bahwa pemuda itu sudah yatim piatu dan belum bertunangan apalagi menikah. Dan pemuda itu pun jelas kelihatan amat kagum kepadanya. Juga usia Gan Bu Tong sudah dua puluh lima tahun, berarti dua tahun lebih tua daripada usianya.

Sebaliknya sikap yang amat ramah dan bersahabat dari Niocu membuat dia akrab sekali dengan gadis itu. Tadinya Bu Tong memang agak sungkan terhadap Niocu yang dianggapnya memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada dia, juga namanya sudah terkenal sekali di dunia kangouw sebagai tokoh yang ditakuti. Akan tetapi setelah bercakap-cakap dengan dia, dia mendapat kenyataan bahwa Niocu amat manis budi dan bijaksana sehingga dia merasa cocok dan tidak menjadi rendah diri.

Demikian pula dengan Lo Siu Lan. Ia berterima kasih sekali kepada Niocu yang telah membantu untuk membebaskannya. Maka setelah mereka semua dijamu sebagai tamu kehormatan oleh Hek-houw Tang Kwi yang membicarakan dengan Lc Cit tentang perjodohan antara anak mereka, Lo Siu Lan minta dengan sangat agar Niocu suka singgah di rumahnya. Permintaan ini diterima dengan senang hati oleh Niocu. Setelah tinggal beberapa hari di rumah keluarga Lo, yaitu di perkampungan Kwi-kiam-pang, hubungan antara Niocu dan Bu Tong menjadi semakin akrab.

Pada suatu sore Niocu dan Bu Tong berjalan-jalan di luar perkampungan di Kwi-kiam-pang. Niocu yang mengajaknya dan Bu Tong dengan girang menyambut ajakan itu.

"Tong-ko, aku heran sekali melihatmu." kata Niocu sambil melangkah perlahan.

"Kenapa heran, Niocu?"

"Engkau murid seorang ketua perkumpulan yang terkenal. Engkau memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan hidupmu sudah sebatang kara karena tidak memiliki orang tua atau keluarga lain. Akan tetapi kenapa sampai usia dua puluh lima engkau belum juga menikah?"

Gan Bu Tong tersenyum malu-malu mendengar ini. "Ah, Niocu. Orang seperti aku ini siapa yang suka menjadi isteriku? Pula, aku mengganggap suhu sebagai orang tuaku dan Lan-sumoi sebagai adik sendiri."

"Tidak keliru engkau memilih keluarga gurumu sebagai keluarga sendiri. Akan tetapi apakah engkau tidak ingin membentuk keluarga sendiri, berumah tangga dan mempunyai anak-anak?"

Bu Tong teringat kepada Siu Lan. Dia pernah jatuh cinta kepada sumoinya itu dan ingin memperisterinya, akan tetapi ternyata Siu Lan tidak mencintanya, melainkan suka sebagai seorang kakak. Bahkan Siu Lan agaknya kini tertarik kepada Tang Hun dan perjodohan mereka telah dibicarakan oleh orang tua masing-masing.

Habislah sudah harapannya untuk memperisteri Siu Lan. Sejak pertama kali bertemu dengan Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok, dia memang sudah tertarik dan kagum sekali. Apalagi setelah pergaulan mereka akrab, dia semakin tertarik. Akan tetapi sedikit pun dia tidak mempunyai pikiran untuk jatuh cinta kepada tokoh yang terkenal ini. Dia tidak berani. Siu Lan saja menolaknya, apalagi seorang tokoh besar seperti Bi-kiam Nio-cu!

Setelah menghela napas panjang beberapa kali, dia pun menjawab. "Tentu saja kadang timbul keinginanku untuk berumah tangga, Niocu. Akan tetapi seperti kukatakan tadi, siapa orangnya mau mendampingi aku sebagai isteriku? Aku seorang pemuda yang yatim piatu, tidak mempunyai apa-apa." Kemudian dia teringat bahwa gadis ini bertanya terlalu mendalam, maka timbul keberaniannya untuk bertanya. "Akan tetapi engkau sendiri, Niocu. Kulihat usiamu pasti lebih tua dari sumoi, kenapa engkau juga belIum berumah tangga?"

Bi-kiam Nio-cu tersenyum dan Bu Tong memandang dengan terpesona. Bukan main manisnya wanita ini kalau tersenyum!

"Tentu saja aku jauh lebih tua dari Siu Lan. Usiaku sudah dua puluh tiga tahun. Terus terang saja, entah berapa banyak pria yang meminangku, akan tetapi semuanya itu kutolak. Aku belum menemukan seorang yang cocok untuk menjadi pilihanku. Karena itulah sampai kini aku belum juga menikah."

"Niocu, seorang gadis seperti engkau ini, cantik jelita, berilmu tinggi dan berbudi mulia, bijaksana, tentu saja berhak memilih seorang calon suami yang sebaik-baiknya."

"Ah, jangan terlalu memuji padaku, Tong-ko. Dengarkanlah pendapat dunia kang-ouw tentang diriku dan engkau akan tahu bahwa aku tidak patut dipuji seperti itu. Aku pernah terkutuk, pernah bersumpah bahwa aku akan membunuh pria yang berani mencintaku! Entah sudah berapa orang yang kubunuh karena itu. Akan tetapi aku sekarang telah terbebas dari kutukan, bahkan aku mendambakan cinta kasih yang tulus ikhlas dari seorang pria. Aku tidak memilih yang muluk-muluk, melainkan yang berhati bersih, jujur dan mencintaku tanpa pamrih."

"Niocu....!"

"Ada apakah, Tong-ko?"

"Kalau sekarang ada seorang pria yang jatuh cinta kepadamu, seorang pria yang tidak berharga, miskin dan papa, yang tidak mampu menjanjikan apa pun kepadamu, apakah engkau dapat menerima cintanya?"

"Aku tidak membutuhkan pria yang kaya raya atau pandai dan berkedudukan. Aku membutuhkan pria yang jujur dan baik."

"Niocu, aku...."

”Aku seorang tak berharga, yatim piatu tidak mempunyai apa-apa...." Dia berhenti bicara.

Ya....? Mengapa?"

"Aku yang hina ini telah berani bermimpi tentang bintang yang tak terjangkau oleh tangan...."

"Tidak oleh tangan, melainkan harus dijangkau oleh hati yang penuh cinta kasih."

"Aku.... maafkan aku, Niocu. Aku seperti dalam mimpi. Aku berani jatuh cinta padamu...."

Bi-kiam Nio-cu menjadi merah padam kedua pipinya, jantungnya berdebar karena girang. "Cintamu tidak sia-sia, Tongko!"

Bu Tong terbelalak memandang wajah yang cantik itu. "Maksudmu, engkau tidak marah padaku?"

Niocu menggeleng kepalanya. "Tidak, aku malah merasa girang dan berbahagia sekali karena pria dalam angan-anganku tadi sepertimu inilah, Tong-ko. Engkau jujur, engkau sederhana, engkau rendah hati."

Keduanya sudah berhenti melangkah sejak tadi dan berdiri saling berhadapan. Dua pasang mata saling bertemu bertaut dan dua pasang mata itu menjadi basah karena haru. Bu Tong melangkah maju dan memegang kedua tangan Niocu. "Benarkah semua ini? Bukan mimpi kosong? Niocu, benarkah engkau dapat menerima cintaku? Maukah engkau menjadi isteriku?"

"Kita berdua sama-sama yatim piatu, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Tentu saja aku mau menjadi isterimu, Tong-ko."

Bukan main girangnya hati Bu Tong di saat itu. Dengan kedua lengannya yang tegap itu dia memeluk Niocu demikian kuatnya seolah dia ingin membenamkan kepala yang tersayang itu ke dalam dadanya.

Setelah merasa yakin bahwa dalam hidupnya ada Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok, Gan Bu Tong menjadi pemberani. Dengan terus terang dia mengajak kekasihnya menghadap gurunya.

"Suhu, teecu mohon doa restu dan persetujuan Suhu, karena teecu dan Niocu sudah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri!" Pengakuan ini dia katakan di depan Toat-beng Kiam-sian, isterinya dan juga di depan Lo Siu Lan. Mendengar ini, Lu Siu Lan berteriak girang dan segera menghampiiri Niocu dan merangkulnya.

"Ah, selamat kuucapkan kepada kalian! Enci Bi Kiok, hatiku merasa gembira bukan main mendengar berita yang membahagiakan ini!"

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit juga merasa heran dan gembira sekali. Dia menganggap bahwa muridnya itu berperuntungan baik sekali, dapat menjadi pilihan Bi-kiam Nio-cu untuk menjadi jodohnya.

"Tentu saja kami merasa berbahagia, Bu Tong. Semoga kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Dan karena engkau tidak mempunyai keluarga yang bisa menjadi wali, biarlah kami yang akan menikahkan, berbareng dengan pernikahan Siu Lan dengan Tang Hun!" kata Toat-beng Kiam-sian Lo Cit.

Demikianlah, semenjak hari itu Niocu tinggal di Kwi-san untuk menanti hari baik itu. Perjodohan antara mereka akan dibarengkan dengan perjodohan antara Siu Lan dan Tang Hun.

Di kota raja juga terjadi hal yang berbahagia. Setelah bertemu dengan Tao Kwi Hong, Cia Kun tergila-gila kepada saudara misan itu. Sebaliknya Kwi Hong juga tertarik sekali kepada putera Pangeran Cia Sun itu. Hubungan mereka menjadi semakin akrab dan akhirnya Cia Kun minta kepada ayah bundanya untuk melamarkan Tao Kwi Hong. Pinangan itu diterima baik oleh Pangeran Tao Kuang, karena selain puterinya setuju, juga dia melihat bahwa Pangeran Cia Sun adalah seorang pangeran yang baik. Sebagai seorang pangeran namanya cukup bersih dan terhormat.

Lalu bagaimana dengan Keng Han? Pemuda ini melakukan perjalanan ke Barat Laut dan pada suatu hari sampailah dia di perkampungan Khitan. Ternyata kakeknya, Khalaban, telah meninggal dunia dan yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah Kalucin. Silani, ibu Keng Han dan juga Kalucin yang disebutnya paman menyambut mereka dengan gembira. Bahkan sebuah pesta diadakan oleh Kalucin untuk menyambut pulangnya pemuda itu. Seluruh perkampungan itu bergembira ria.

Semenjak ditinggalkan puteranya, siang malam Silani menanti kembalinya dengan penuh harapan. Bahkan Kalucin sudah beberapa kali mengajukan pinangan kepadanya. Namun Silani selalu menolaknya, dan mengatakan bahwa dia masih isteri Pangeran Tao Seng yang belum diketahui bagaimana nasibnya itu. Sampai berusia empat puluh lima tahun Kalucin masih belum beristeri. Dia benar-benar mencinta Silani dan tidak dapat menikah dengan wanita lain sebelum Silani bertemu kembali dengan suaminya.

Biarpun pulangnya Keng Han amat membahagiakan mereka semua, namun diam-diam Silani kecewa karena suaminya tidak datang bersama puteranya.

Setelah memperoleh kesempatan untuk bicara berdua saja dengan puteranya, Silani tidak dapat lagi menahan keinginan hatinya dan ia bertanya, "Bagaimana, Keng Han, apakah engkau sudah bertemu dengan ayahmu? Kenapa dia tidak ikut datang bersamamu? Apakah dia menyuruh memboyongku ke sana?"

Dihujani pertanyaan itu, Keng Han merasa kasihan sekali kepada ibunya. "Maafkan aku, Ibu. Aku datang tidak membawa berita yang baik. Ayah.... ayah.... telah meninggal dunia."

Silani terbelalak, mulutnya terbuka lalu perlahan-lahan air matanya berjatuhan ke atas pipinya yang menjadi pucat, lalu ia menutupi mukanya dan menangis. Keng Han maju dan merangkulnya dan wanita itu menangis di dada puteranya. Keng Han mengelus pundak ibunya dan menghiburnya.

Setelah tangisnya mereda, dengan muka pucat sekali Silani bertanya apa yang telah terjadi dengan suaminya.

"Ayah memang seorang pangeran, Ibu. Akan tetapi dia bukan Pangeran Mahkota seperti yang diakuinya. Ketika dia meninggalkan ibu dan pulang ke kota raja, dia melakukan perbuatan yang buruk, yaitu dia hendak membunuh Pangeran Mahkota yang menjadi saudaranya sendiri. Dia ingin menjadi Pangeran Mahkota. Akan tetapi usahanya gagal, bahkan dia ditangkap dan dihukum buang selama dua puluh tahun."

"Ah, pantas dia tidak memberi kabar sama sekali. Kiranya dia dihukum...."

"Ketika tiba di kota raja, aku mendapatkan ayah telah menyamar sebagai seorang hartawan she Ji dan kembali dia mendirikan komplotan untuk membunuh Kaisar dan Putera Mahkota karena dia ingin menjadi kaisar. Dan kembali usahanya gagal bahkan ayah terbunuh dalam usahanya itu. Aku dikeroyok oleh tiga orang datuk sakti dan ayah hendak menolong dan membelaku, dan dalam usahanya inilah dia terbunuh. Aku sudah menguburkan jenazahnya di suatu tempat dan sebelum dia tewas dia berpesan kepadaku untuk memintakan ampun darimu, Ibu!"

"Ahhhhh....!" Kembali ibunya menangis.

Setelah tangisnya reda Silani bertanya kepada puteranya. "Akan tetapi mengapa engkau begitu lama pergi? Sampai hampir enam tahun engkau pergi, membuat hati kami semua selalu mengkhawatirkan keselamatanmu."

Mendengar pertanyaan ibunya ini, Keng Han lalu menceritakan semua pengalamannya dengan panjang lebar, betapa selama lima tahun dia terasing di Pulau Hantu dan mempelajari ilmu silat yang dia temukan di sana. Kemudian dia menceritakan semua yang telah dialaminya.

Ibunya memandang kepadanya dengan kagum. "Demikian banyak dan hebat pengalamanmu, anakku. Akan tetapi engkau pulang bersama gadis yang berkerudung itu. Siapakah ia, Keng Han?"

"Ia seorang sahabat baik bernama The Cu In, Ibu. Puteri seorang panglima tinggi di kota raja."

"Hemmm, sahabat baik? Sampai di mana kebaikan itu?"

"Ia sudah seringkali menolongku dari kesulitan dan bahaya, Ibu. Kalau tidak ada ia yang menolong, mungkin sekali aku tidak dapat pulang hari ini."

"Akan tetapi mengapa ia ikut ke sini?"

"Ia ikut agar dapat berkenalan dengan Ibu. Terus terang saja, Ibu, ia bukan sahabat biasa. Kami berdua sudah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri dan aku mengajaknya agar Ibu dapat mengenal calon mantunya." Wajah Keng Han berubah kemerahan ketika membuat pengakuan itu.

"Calon mantuku? Ahhh, aku girang sekali. Akan tetapi mengapa ia selalu menutupi mukanya dengan cadar? Suruhlah ia membuka cadarnya agar semua orang melihat betapa cantiknya calon mantuku!" Jantung Keng Han berdebar tegang mendengar ucapan ibunya itu. Akan tetapi dia teringat bahwa Cu In hanya mau memperlihatkan mukanya kepada ibunya saja, tidak kepada orang lain.

"Ibu, Cu In sudah bersumpah bahwa ia baru akan membuka cadarnya di hari pernikahannya."

"Hemmm, sumpah yang aneh sekali. Bagaimana aku dapat menyetujui pilihanmu itu sebelum aku melihat wajah calon mantuku? Ia harus membuka cadarnya agar aku dapat melihat mukanya, Keng Han." kata Silani dengan tegas.

"Akan tetapi Ibu harus berjanji dulu padaku bahwa betapapun jelek wajah Cu In, aku telah mencintanya dan ingin ia menjadi isteriku, Ibu."

Ibunya memandang wajah puteranya penuh selidik. "Cinta benarkah engkau kepadanya, anakku?"

"Aku mencintanya dengan jiwa ragaku. Bagiku, wajah tidak banyak artinya. Aku mencinta pribadinya, pembawaannya, sikap dan budinya Ibu. Banyak sudah aku bertemu wanita yang wajahnya cantik, akan tetapi aku tidak tertarik kepada mereka."

"Hemmm, dan bagaimana dengan gadis itu? Apakah dia juga mencintamu sebesar cintamu kepadanya?"

"Menurut pengakuannya begitu, Ibu. Dan juga sudah terbukti dari sepak terjangnya ketika menolongku. Aku percaya sepenuhnya kepadanya!"

"Hemmm, cinta memang dapat memabukkan manusia, anakku. Baiklah, aku tidak akan terpengaruh oleh baik buruknya muka calon mantuku. Aku sudah merasa puas asal diperbolehkan melihatnya sendiri dengan mataku.

"Kalau begitu, biar kupanggil ia menghadap Ibu!" kata Keng Han yang segera keluar dari kamar ibunya dan mencari Cu In di dalam kamar yang disediakan untuk gadis itu.

Dia mengetuk pintu. Cu In membukanya dari dalam. "Cu In, apa yang kukhawatirkan telah terjadi." katanya dengan gelisah.

"Apakah itu, Han-ko?"

"Ibu ingin bicara denganmu, ingin bertemu dan ingin melihat wajahmu, In-moi!"

Tadinya Keng Han menduga bahwa kekasihnya tentu akan menjadi gugup dan gelisah pula. Akan tetapi dia kecelik. Cu In sama sekali tidak nampak gugup atau gelisah, bahkan sepasang matanya berseri-seri.

"Kalau memang itu yang ia kehendaki, aku harus menghadapnya sekarang juga, Han-ko." katanya sambil bangkit berdiri.

Keng Han memegang pundaknya. "Tapi kau.... kau harus siap kalau ibuku terkejut, bahkan menolakmu. Jangan sampai perasaanmu tertusuk, In-moi."

"Aku tahu, Han-ko. Dan kurasa ibumu tidak akan begitu. Aku percaya sepenuhnya bahwa ia adalah seorang ibu bijaksana. Nah, biar aku menghadapnya, akan tetapi engkau tidak perlu ikut, Han-ko. Aku ingin berdua saja dengan ibumu."

Keng Han maklum. Gadis kekasihnya ini tidak ingin melihat perasaannya terpukul. Maka dia mengangguk dan menunjukkan di mana kamar ibunya. Akan tetapi dia tidak pergi meninggalkan begitu saja. Dia tetap melihat dari situ, siap untuk menghibur kekasihnya kalau nanti keluar sambil menangis.

Dengan langkah yang tegap Cu In menghampiri Silani dan mengetuk pintunya.

"Siapa?" terdengar wanita itu bertanya dari dalam.

"Saya, Bibi. Saya Cu In, ingin menghadap dan bicara dengan Bibi."

"Ahhh, engkau Cu In, pintunya tidak terkunci, buka saja dan masuklah."

Cu In mendorong pintu kamar dan masuk. Jantung Keng Han berdebar tegang melihat gadis itu memasuki kamar ibunya. Dia memandang pintu kamar itu penuh perhatian, seolah pandang matanya ingin menembus pintu dan melihat apa yang terjadi di dalam. Dia mengira bahwa tak lama kemudian akan mendengar teriakan ibunya, disusul keluarnya Cu In sambil menangis. Akan tetapi tidak terjadi hal seperti yang dia khawatirkan itu. Setelah menanti sampai lama sekali, akhirnya daun pintu terbuka dan Keng Han sudah siap menyambut dan menghibur kekasihnya yang keluar sambil menangis.

Akan tetapi kembali dia kecelik. Gadis itu keluar tidak menangis, bahkan matanya bersinar-sinar, diikuti ibunya yang juga tersenyum-senyum.

Keng Han menyongsong mereka dan bertanya kepada ibunya. "Ibu, apakah Ibu sudah melihat wajah Cu In? Bagaimana pendapat Ibu?

"Keng Han, manusia tidak dapat dinilai dari cantik tidaknya wajahnya, melainkan dari budi pekertinya. Dan aku mendapatkan bahwa calon isterimu ini seorang yang bijaksana. Engkau memang pandai dan cocok sekali memilihnya sebagai isterimu."

"Akan tetapi, wajahnya....?" Saking herannya Keng Han bertanya.

"Jangan mempersoalkan tentang wajah. Melihat ia seorang gadis yang bijaksana sudah cukup bagiku!"

"Terima kasih, Ibu!" Keng Han girang bukan main, "Akan tetapi aku belum meminangnya dengan resmi kepada ayah bundanya, Ibu."

"Kenapa begitu?"

"Karena aku ingin memberi tahu dulu kepada Ibu dan minta persetujuan Ibu."

"Aku menyetujui sepenuhnya dan cepat-cepat engkau melamarnya, Keng Han. Karena ibumu berada di tempat jauh, biar engkau saja melamar sendiri. Kalau sudah menikah saya harap kalian suka menjenguk ibumu."

"Tentu saja, Ibu!"

Demikianlah, setelah tinggal di rumah ibunya sampai dua pekan, Keng Han dan Cu In kembali melakukan perjalanan ke timur, menuju ke kota raja.

Hati Keng Han gembira bukan main. Satu-satunya persoalan yang selama ini mengganggu pikirannya adalah bagaimana kalau ibunya melihat wajah Cu In yang cacat. Dia khawatir kalau-kalau ibunya akan menolaknya. Akan tetapi ternyata tidak. Ibunya menerima kenyataan itu dengan hati terbuka, dengan bijaksana.

Akan tetapi baru saja dia kematian ayahnya. Untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang putera, ketika mereka diterima oleh Panglima The dan membicarakan tentang perjodohannya dengan Cu In, dia mengatakan tentang perjodohannya dengan Cu In, dia mengatakan bahwa untuk melaksanakan pernikahan dia harus menunggu setahun setelah kematian ayahnya. Mendengar ini, Panglima The bahkan mengagumi calon mantunya dan menyatakan setuju. Demikian pula Ang Hwa Nio-nio sepenuhnya menyetujui Cu In sendiri tentu saja merasa senang melihat calon suaminya membuktikan bahwa dirinya seorang anak yang berbakti.

Beberapa bulan kemudian, Keng Han dan Cu In menerima undangan dari Toat-beng Kiam-sian Lo Cit yang menikahkan Lo Siu Lan dengan Tang Hun, dan Gan Bu Tong dengan Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok. Perayaan mempelai kembar itu amat meriah. Mereka juga menghadiri pernikahan yang dirayakan secara besar-besaran antara Cia Kun dan Tao Kwi Hong sebagai mempelai bangsawan.

Setelah lewat setahun meninggalnya Pangeran Tao Seng, maka pernikahan antara Cu In dan Keng Han dapat dilaksanakan. Semua tamu merasa heran karena mempelai wanita tetap memakai cadar. Setelah sepasang mempelai berada dalam kamar berdua saja, Keng Han hendak membuka cadar isterinya. "Jangan dulu, Han-ko!"

"Eh? Kenapa, In-moi? Bukankah engkau berjanji akan membuka cadar setelah kita menikah?"

"Nanti dulu, berjanjilah dulu bahwa engkau akan tetap mencintaku, bagaimanapun juga rupaku?"

"Ha-ha-ha, In-moi. Aku sudah pernah melihat wajahmu. Apakah ada perubahan kau lihat dalam sikapku kepadamu? Aku tetap mencintamu, bagaimanapun juga bentuk wajahmu."

"Benarkah? Engkau berani bersumpah?"

"Aku bersumpah, disaksikan Tuhan, Langit dan Bumi, bahwa aku akan tetap mencintamu, bagaimanapun juga bentuk wajahmu!" kata Keng Han dengan suara tegas.

Terdengar gadis itu terisak. "Dan aku.... aku pun hanya isterimu yang buruk dan bodoh, aku.... aku selamanya mencintamu! Nah, sekarang bukalah cadarku, perlahan-lahan saja, Han-ko!"

Biarpun dia sudah tahu bahwa dari atas hidung ke bawah, wajah isterinya ini cacat menghitam, akan tetapi kedua tangannya gemetar juga ketika dia membuka cadar, disingkapkan ke atas. Setelah cadar dibuka, Keng Han meloncat ke belakang seperti diserang ular.

"Kau.... kau.... kau bukan Cu In!!" Keng Han menatap wajah yang cantik jelita itu. "Siapa kau....?"

Wanita itu menutupkan kembali cadarnya. "Aku adalah The Cu In, Han-ko. Engkau ini mengapakah?"

"Tapi, tapi.... wajahmu itu....!" Kembali dia menyingkap cadar itu, bahkan merenggut lepas dari kepala Cu In. "Engkau.... benarkah engkau Cu In isteriku?"

Cu In bangkit berdiri dan tersenyum manis sekali. "Aku memang Cu In, isterimu. Dan mulai malam ini aku meninggalkan cadarku, juga menghapus penyamaranku" "Jadi selama ini engkau menyamar? Kenapa engkau membohongi aku dengan penyamaranmu sebagai gadis yang cacat mukanya?"

"Aku memang sengaja hendak menguji cintamu, Han-ko. Akan tetapi engkau tetap mencintaku dengan wajahku yang buruk. Aku.... aku bersyukur dan berterima kasih sekali, suamiku...."

Keng Han melangkah maju dan merangkul Cu In yang menyembunyikan mukanya di dada suaminya sambil menangis.

"Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau selama ini menyamar sebagai dara yang cacat mukanya dan mengenakan cadar?"

"Semua ini gara-gara sikap ibuku. Ibuku selalu menceritakan bahwa semua laki-laki itu jahat, bagaikan kumbang yang setelah menghisap madunya kembang lalu meninggalkannya begitu saja. Aku lalu menyamar sebagai gadis yang buruk muka karena cacar, lalu memakai cadar agar jangan ada laki-laki mencintaku. Tidak tahunya muncul engkau, laki-laki bodoh yang jatuh cinta kepadaku! Tidak ada yang mengetahui rahasiaku ini kecuali ibuku. Suciku sendiri pun tidak tahu. Yang mengetahui hanya ibuku dan ibumu."

"Ibuku....?"

"Ya, ibumu. Lupakah engkau betapa ibumu ingin melihat mukaku? Nah, ketika itulah aku melepas penyamaranku sehingga ibumu dapat melihat wajah aselinya. Akan tetapi aku berpesan agar beliau tidak membuka rahasiaku, juga tidak kepadamu."

"Ih, engkau nakal, In-moi!" kata Keng Han sambil menciumnya. "Kenapa engkau terus menyembunyikan dariku pada hal engkau tahu bahwa bagaimanapun rupamu aku tetap mencintamu?"

"Aku ingin menguji cintamu sampai penghabisan, sampai kita menikah. Tidak senangkah engkau melihat aku tidak cacat?"

"Tidak senang? Tentu saja aku bahagia sekali karena kalau begini aku tidak perlu menghajar orang!"

"Menghajar orang?"

"Ya, kalau engkau sudah membuka cadarmu dan ada orang yang mengejekmu, pasti kuhajar orang itu. Akan tetapi sekarang tidak akan, tidak ada yang mengejekmu, yang ada hanya memujimu."

Keng Han lalu merenggangkan dirinya dan memegang wajah itu pada kedua pipinya untuk dipandang dengan penuh perhatian. Hatinya menjadi sebesar gunung karena wajah isterinya benar-benar cantik seperti bidadari.

"Kenapa engkau....?"

"Mengagumi wajahmu yang begitu cantik seperti seorang dewi turun dari kahyangan saja."

"Ihhh, engkau membuat aku malu!"

"Biar, sebagai hukumanmu menggodaku sejak dahulu!" kata Keng Han sambil mendekatkan mukanya dan mencium isterinya.

Sampai di sini selesailah kisah ini yang berakhir dengan kebahagiaan orang-orang yang membela kebenaran dan keadilan, dan berakhir dengan kesengsaraan bagi mereka yang berwatak jahat dan menjadi budak dari nafsu mereka sendiri. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua.

T A M A T