Lebaran di Lampung



Hari raya idul fitri 1430 H, kami sekeluarga berlibur lebaran di Lampung.
Berikut foto-foto keluarga di Lampung:



Selengkapnya...

Jodoh Rajawali -1 | Kho Ping Hoo



Buku 1

Kaisar pertama yang bertahta di Kerajaan Ceng-tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mancu yang menguasai Tiongkok, merupakan kaisar yang sampai puluhan tahun dapat mempertahankan kedudukannya, mengatasi banyak pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Kaisar tua ini mulai bertahta dalam tahun 1663 dan dapat mempertahankan kedudukannya ini selama lima puluh sembilan tahun!

Pada awal tahun 1700 terjadilah pemberontakan dua orang pangeran kakak beradik, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, adik-adik tiri kaisar pertama itu, ialah Kaisar Kang Hsi. Dua orang pangeran yang mencoba untuk berkhianat terhadap kaisar itu melakukan pemberontakan yang nyaris menggulingkan kedudukan kaisar, atau sedikitnya telah menggegerkan kota raja. Akan tetapi akhirnya berkat bantuan para menteri dan panglima yang setia, apalagi karena bantuan Puteri Milana yang terkenal gagah perkasa dan pandai, pemberontakan itu dapat digagalkan, bahkan dua orang pangeran pengkhianat itu dapat ditewaskan.

Akan tetapi, pemberontakan ini dengan segala akibatnya menggores hati kaisar yang sudah tua itu, karena, pertama dia merasa kecewa dan terkejut melihat kenyataan betapa dua orang adik tiri yang dipercayanya itu betul-betul melakukan pemberontakan terhadapnya. Ke dua, melihat bahwa dia terpaksa membiarkan dua orang adiknya itu tewas. Dan ke tiga, perpecahan-perpecahan yang diakibatkan oleh pemberontakan itu diantara ponggawa dan pembantunya.

Lima tahun telah lewat sejak pemberontakan itu dapat ditumpas. Namun, biarpun pemberontakan telah dipadamkan dan dua orang pangeran tua itu telah tewas, peristiwa yang mengakibatkan perpecahan di kalangan atas, dan mengakibatkan timbulnya sikap curiga-mencurigai di antara mereka, mempunyai pengaruh besar terhadap para pembesar atasan yang mempengaruhi pula para anak buah mereka dan terasa pula ketegangan-ketegangan yang timbul di antara kelompok satu dan kelompok lain sehingga rakyat pun merasa gelisah.

Peristiwa itu banyak mengurangi kedaulatan dan wibawa Kaisar Kang Hsi. Kaisar tua itu tidak kuat lagi mengendalikan kemudi pemerintahannya yang dilanda gelombang perpecahan itu. Banyak raja-raja muda, gubernur-gubernur dan panglima-panglima komandan barisan di perbatasan yang menguasai daerah propinsi yang jauh letaknya dari kota raja, sedikit demi sedikit dan secara halus tidak menyolok mulai memisahkan diri dari pusat. Mereka itu masing-masing menyusun kekuatan dan berusaha mengatur daerah kekuasaan masing-masing seperti seorang raja. Semua hasil pemungutan pajak dan lain-lain mereka simpan sendiri, dan kalau pun sebagai basa-basi mereka masih mengirimkan hasil daerah mereka ke kota raja, maka yang dikirim itu tidak ada artinya dibandingkan dengan hasil yang masuk.

Tentu saja tidak semua pembesar bersikap demikian. Banyak pula yang semenjak semula berpihak kepada kaisar, masih merupakan pembesar yang setia. Oleh karena itu timbullah pertentangan diam-diam antara para pembesar dan pertentangan ini tentu saja menimbulkan keadaan yang kacau dan tidak aman. Biarpun dari pusat sendiri tidak atau belum ada tindakan apa-apa, namun antara para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang hendak memisahkan diri, terdapat pertentangan baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan sehingga sering pula terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara pembesar yang mempertahankan daerah kekuasaannya masing-masing hanya karena urusan perairan, urusan perdagangan dan lain-lain.

Semua bentuk permusuhan, baik dimulai dari permusuhan perorangan sampai kepada perang dunia, adalah pencetusan dari sifat mementingkan diri pribadi dan manusia. Sifat mementingkan diri pribadi ini yang didorong oleh keinginan mengejar kesenangan, menimbulkan ambisi-ambisi pribadi dan dalam pengejaran ambisi-ambisi pribadi inilah terjadi kekerasan, saling menjegal, saling merobohkan dan saling membunuh demi mencapai ambisi pribadi. Kalau hanya begitu saja kiranya masih mending, akan tetapi yang lebih celaka lagi adalah kenyataan bahwa di dalam pengejaran ambisi pribadi itu, dalam menghadapi saingan, mereka tidak segan-segan untuk mempergunakan tenaga orang lain, bahkan tidak segan-segan mengorbankan orang-orang lain yang tak terhitung banyaknya, dengan menggunakan kedok perjuangan dan sebagainya yang muluk-muluk untuk menutupi dasar perbuatan mereka yang sesungguhnya, yaitu demi kepentingan diri mereka sendiri! Hal seperti ini merupakan kenyataan dalam kehidupan manusia, kenyataan yang terjadi berulang-ulang selama ribuan tahun lamanya, namun sampai kini pun masih ada saja manusia yang berhati srigala bermuka domba, mengorbankan banyak orang demi tercapainya cita-cita atau ambisi mereka dan menggunakan slogan-slogan muluk, dan anehnya masih banyak pula orang-orang yang begitu bodohnya, mudah saja diperalat oleh beberapa gelintir orang dengan umpan slogan muluk-muluk.

Demikianlah, daerah-daerah yang berbatasan antara propinsi, bahkan antar karesidenan atau kabupaten, sering kali terjadi kekacauan dan permusuhan karena perpecahan itu. Dan siapakah yang menderita? Lagi-lagi rakyat jelata. Di waktu perang terlanda oleh kejamnya peperangan, dirampok dan dibakar. Di waktu damai terlanda kejamnya para pembesar atau penguasa yang korup. Demikianlah nasib rakyat kecil yang tidak berdaya. Akibat pertentangan-pertentangan antara pembesar yang memperebutkan kebenaran mereka sendiri itu tentu saja melalaikan penjagaan dan muncullah segala macam orang yang biasa mempergunakan kekacauan untuk mengail di air keruh,yaitu kaum maling, rampok, bajak dan sebagainya. Hal seperti ini tentu saja mendatangkan perasaan prihatin dalam hati para pembesar yang berjiwa pahlawan, yang berjiwa pemimpin dan yang benar-benar mementingkan kehidupan rakyat jelata.

Akan tetapi, Kaisar Kang Hsi yang sudah tua itu sama sekali tidak menyadarinya. Bahkan kematian dua orang adlk tirinya itu, pemberontakan mereka itu membuat dia merasa tidak suka kepada orang-orang yang menentang dua orang adiknya yang memberontak itu, karena dianggapnya bahwa merekalah yang membuat dua orang pangeran itu tidak suka dan memberontak. Mulailah kaisar ini menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya ini, orang-orang yang dengan gigih menentang dua orang pangeran pemberontak. Sikap kaisar seperti ini tentu saja mengakibatkan terpecahnya para pembantu yang dekat dengannya, yaitu mereka yang prihatin melihat ulah kaisar, dan mereka yang menggunakan kesempatan ini untuk menjilat. Penjilatan ini pun hanya merupakan percerminan dari keinginan menyenangkan diri pribadi yang ingin mencari kedudukan, dan penjilatan itu hanya merupakan “cara” mereka untuk dapat mencapai ambisi mereka. Mulailah bermunculan “jari-jari maut” dan “bibir-bibir berbisa” yang tunjuk sana-sini, bisik sana-sini untuk menjatuhkan fitnah kepada orang-orang yang dibenci.

Melihat keadaan ini, para pembesar yang setia kepada negara mulai melakukan gerakan halus, diam-diam mereka mencalonkan seorang kaisar baru untuk menggantikan kaisar yang lalim itu. Mereka ini tidak rela melihat pemerintah dan rakyat dirusak oleh ulah kaisar tua yang agaknya sudah pikun.

Akan tetapi, orang yang paling merasa sengsara hatinya adalah seorang panglima besar yang merupakan orang paling tinggi pangkatnya di dalam angkatan perang Kerajaan Ceng-tiauw. Orang ini bukan lain adalah Jenderal Kao Liang, yang diangkat menjadi panglima besar setelah pemberontakan itu dapat ditumpasnya. Akan tetapi, melihat sepak terjang kaisar, Jenderal Kao yang jujur itu tidak rela dan tidak dapat diam saja. Pada suatu hari, dengan terang-terangan dia menghadap kaisar dan memperingatkan kalsar akan penyelewengannya.

Aklbatnya hebat! Karena marah, terutama karena suara-suara hasutan dari kanan kiri, kaisar yang tidak berani menghukum panglima terkenal ltu secara berterang, lalu menggunakan siasat halus. Jenderal Kao di “pensiun”! Jenderal Kao diberhentlkan dengan hormat dan dipersilakan untuk “beristirahat” menikmati hari tua dan diberi bekal banyak harta benda oleh kaisar.

Sungguh kaisar tua itu telah linglung. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghentian Jenderal Kao ini membuat para panglima dan gubernur yang berkuasa di propinsi-propinsi yang berjauhan, yang menganggap diri sendiri sebagai raja-raja, bersorak kegirangan dan menjadi lega hati mereka. Betapa tidak? Jenderal Kao seoranglah yang mereka takuti sehingga mereka masih belum berani memisahkan diri secara berterang. Mereka merasa ngeri kalau membayangkan betapa Jenderal Kao yang galak dan pandai itu membawa pasukan menghukum mereka. Akan tetapi kini Jenderal Kao sudah dihentikan dari jabatannya, sudah dipensiun dan menjadi rakyat biasa! Jenderal Kao tanpa pasukan bukan merupakan tokoh yang menakutkan lagi.

Malam itu bulan purnama tersenyum cerah di angkasa. Tiada awan nampak menghalangi sinar bulan yang lembut dan bulan yang bundar itu seperti sebuah bola emas tergantung di langit biru. Malam hening dan sejuk sungguhpun tiada angin menggerakkan daun-daun pohon yang mengapit lorong di dalam hutan itu. Dan celah-celah daun, sinar bulan menerobos dan menerangi lorong yang ditilami daun-daun kering yang lunak dan agak lembab di malam itu.

Malam sudah agak larut, akan tetapi di lorong itu masih ada serombongan orang yang bergegas jalan tanpa berkata-kata, di tengah-tengah mereka terdapat beberapa orang yang memikul tandu-tandu. Kalau datang dari jurusan ini, lorong melalui hutan itu merupakan jalan satu-satunya yang terdekat untuk memasuki daerah Kang-lam. Melihat orang-orang yang berjalan di depan dan di belakang rombongan tandu itu berpakaian seragam, dan selalu siap memegang golok dan tombak,, mudah diduga bahwa rombongan itu tentulah rombongan pembesar dan mereka itu tentu pasukan pengawal.

Dugaan ini memang tidak keliru karena rombongan itu adalah rombongan Jenderal Kao Liang dan keluarganya. Setelah dipensiun dan dihentikan dari jabatannya, jenderal ini maklum bahwa dia tidak berdaya lagi untuk bertindak sebagai jenderal, maka dia lalu mengumpulkan semua harta miliknya, dan mengajak keluarganya untuk menlnggalkan kota raja, kembali ke tempat kelahirannya atau tempat kampung halamannya, yaltu di daerah Kang-lam. Dan ingin mendinginkan hati dan pikirannya yang panas, kemudian baru hendak memutuskan apa yang dapat ia lakukan untuk negara dan bangsanya dalam keadaan seperti itu.

Tiba-tiba tirai penutup tandu yang paling depan tersingkap dan terdengarlah suara yang berat dan penuh wibawa, yang ditujukan kepada seorang bertubuh tinggi kurus yang memakai pedang di pinggangnya, yaitu kepala pengawal yang jumlahnya dua losin orang itu.

“Kepala pengawal! Kita berhenti sebentar di sini agar para pemikul tandu dapat beristirahat.”

Kepala pengawal itu sambil masih berjalan mengiringkan tandu itu membungkuk dan berkata, nada suaranya sungguh-sungguh, “Yang Mulia, tidakkah lebih baik kalau kita melanjutkan perjalanan sampai kita keluar dari hutan ini baru beristirahat? Di dalam hutan begini keadaannya amat berbahaya karena bahaya dapat muncul dari mana-mana tanpa kita ketahui, tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, berbeda kalau berada di tempat terbuka di mana kita dapat menghadapi ancaman bahaya secara terbuka. Daerah ini terkenal sebagai daerah yang sering diganggu oleh penyamun-penyamun yang berkepandaian tinggi.”

“Hemmm.... siapakah yang kaumaksudkan dengan penyamun-penyamun berkepandaian tinggi? Mana ada penyamun berkepandaian tinggi kalau mereka itu bukan bekas orang-orangnya Tambolon? Ataukah dari golongan lain? Bukankah kabarnya mereka semua sudah dihalau dan dibasmi oleh Pendekar Super Sakti dan kedua anak dan mantunya, Puteri Milana dan pendekar sakti Gak Bun Beng?”

“Paduka belum mengetahui perkembangan yang terjadi di dunia hitam selama satu dua tahun ini. Di daerah ini pernah terjadi bentrokan-bentrokan hebat antara dua golongan hitam, yaitu golongan perampok Gunung Cemara di sebelah selatan lembah melawan golongan bajak di timur lembah, di sepanjang Sungai Huang-ho.”

“Hemmm, sungguh menarik ceritamu. Lalu bagaimana akhir pertempuran di antara mereka?” tanya orang tua bersuara berat dan berwibawa itu yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang sendiri.

Pertempuran itu hebat dan makan banyak korban di antara kedua fihak, akan tetapi setelah muncul seorang Pendekar berambut putih yang sangat lihai dan melerai di antara mereka, pertempuran segera berhenti dan berakhir.”

“Pendekar rambut putih? Ho-ho, itulah Pendekar Super Sakti!” Jenderal Kao Liang berseru sambil tertawa girang.

“Bukan, Yang Mulia. Bukan beliau. Pendekar itu masih sangat muda, dan kakinya utuh, tidak buntung sebelah seperti kaki Pendekar Siluman”

“Ehhhhh? Bukan Pendekar Siluman?” Jenderal Kao makin terheran dan ingin sekali tahu.

“Benar, bukan Pendekar Siluman. Akan tetapi karena kepandaiannya juga hebat luar biasa seperti bukan manusia, apalagi rambutnya juga putih terurai bagaikan benang perak seperti rambut Pendekar Siluman, maka orang menamakan dia Pendekar Siluman Kecil.”

“Hemmm.... sungguh luar biasa. Bagaimana mukanya, apakah wajahnya tampan ataukah buruk mengerikan?”

“Itulah yang aneh, Yang Mulia. Orang tidak pernah bisa melihat wajahnya dengan jelas karena sebagian dari mukanya tertutup oleh rambutnya yang terurai itu, dan gerakannya amat cepat saperti menghilang saja.”

Jenderal Kao mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang seperti orang termenung. “Bukan main! Memang di dunia ini banyak orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan watak yang aneh-aneh.”

“Benar, Tuanku. Bahkan putera sulung Paduka sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat dan kabarnya tidak kalah dibandingkan dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Siluman itu sendiri.”

“Hemmm.... agaknya begitulah. Akan tetapi sayang dia tidak berada di sini. Sudahlah, kau hentikan perjalanan ini,jangan takut, kita tetap beristirahat di sini. Sejak dahulu aku tidak pernah bermusuhan dengan golongan sesat secara pribadi, maka perlu apa kita mengkhawatirkan gangguan mereka?”

Kepala pengawal itu tidak berani membantah lagi dan dia pun maklum akan kelihaian jenderal tua ini, apalagi di dalam rombongan itu terdapat pula dua orang puteranya yang biarpun tidak sepandai putera sulung Jenderal itu, namun juga bukanlah orang-orang lemah. Selain itu, dia sendiri pun mempunyai dua losin anak buah yang cukup kuat, maka perlu apa mereka takut beristirahat di dalam hutan ini? Dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, mengeluarkan aba-aba yang cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua anak buahnya, “Berhentiiiii....! Kita beristirahat di sini....!”

Rombongan itu berhenti dan para pemikul tandu menjadi lega hatinya karena memang mereeka sudah merasa lelah sekali, membutuhkan peristirahatan yang cukup untuk mengumpulkan kembali tenaga mereka. Para pengawal lalu bergerak memenuhi perintah kepala pengawal, ada yang mencari kayu-kayu kering dan ada yang membuat api unggun, ada pula yang mulai menyedu air dan sebagian dari mereka melakukan tugas menjaga di sekitar tempat itu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih dan semua bekerja sesuai dengan tugas mereka yang telah dibagi-bagi oleh kepala pengawal.

Jenderal Kao Liang turun dari atas tandunya yang telah diletakkan di atas tanah. Jenderal ini usianya sudah hampir enam puluh tahun, akan tetapi berdirinya tegak, dengan dadanya yang bidang itu menonjol ke depan, perutnya besar akan tetapi kokoh, rambutnya sudah setengah putih, dan biarpun dia kini bukan seorang panglima lagi, namun dari sikapnya jelas dapat dilihat bahwa dia adalah seorang yang biasa mengatur banyak orang, memiliki wibawa dan ketegasan. Kini jenderal itu duduk di atas sebuah batu besar. Bulan purnama yang sinarnya gemilang itu sudah berada di atas kepala, sebagian sinarnya menerobos di antara daun-daun pohon menimpa tempat yang dijadikan peristirahatan rombongan ini. Dua orang pemuda yang berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah berdiri di belakang bekas jenderal ini. Yang seorang berusia dua puluh satu tahun, bernama Kao Kok Tiong, putera ke dua dari jenderal itu, sedangkan pemuda yang ke dua berusia delapan belas tahun, bernama Kao Kok Han, putera ke tiga atau bungsu dari Jenderal Kao Liang. Agaknya dua orang putera ini maklum pula bahwa tempat itu mencurigakan dan berbahaya, maka mereka siap di dekat ayah mereka untuk sewaktu-waktu membantu apabila tenaga mereka diperlukan. Sedangkan para keluarga wanita dan anak-anak yang ikut di dalam rombongan itu tetap berada di dalam tandu-tandu yang dikumpulkan di tempat terbuka di antara pohon-pohon di tengah-tengah tempat itu dan terlindung oleh para pengawal yang melakukan penjagaan di sebelah tempat peristirahatan itu. Segera api unggun bernyala besar, menerangi dan menghangatkan tempat itu,juga mengusir nyamuk yang mulai beterbangan menyerang mereka.

Kepala pengawal tinggi itu menghampiri Jenderal Kao, memberi hormat dan berkata, “Karena perbekalan air habis, saya mohon perkenan Paduka untuk mencari air bersih.”

Jenderal Kao mengangguk. “Pergilah.”

Kepala pengawal bersama lima orang anak buahnya yang membawa guci-guci tempat air, segera pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan untuk mencari air jernih dengan bantuan sinar bulan purnama yang masih terang tidak terhalang awan sedikit pun. Para pengawal lainnya, sambil berjaga-jaga, melepaskan lelah dan duduk di tempat penjagaan masing-masing mengelilingi tempat itu sambil membuat api unggun sendiri.”

“Ayah, silahkan minum.” Kao Kok Tiong mengeluarkan tempat airnya dan memberikan kepada ayahnya.

“Kok Han, kaulihat apakah ibumu baik-baik saja, dan beri ibumu minum dan tawarkan kalau-kalau dia lapar dan ingin makan atau ingin sesuatu,” kata Jenderal Kao Liang sambil menerima tempat minum puteranya yang ke dua, minum beberapa teguk dan mengembalikannya kepada Kok Tiong. Sedangkan Kok Han lalu menghampiri tandu ibunya dan kelihatan dia bicara dengan nyonya tua di dalam tandu, kemudian pemuda ini pun memeriksa tandu-tandu lain.

Jenderal Kao Liang ditemani dua orang puteranya lalu duduk melepaskan lelah di dekat api unggun, wajah jenderal itu muram karena dia teringat akan keadaan dirinya. Negara sedang kacau, terjadi perpecahan dan pertentangan diantara para kaki tangan pemerintah, dan dia, yang sesungguhnya amat dibutuhkan di saat negara menghadapi bayangan ancaman pemberontakan, dia malah dihentikan! Dia mengerti bahwa penghentiannya itu adalah fitnah atau hasil bujukan mulut beracun kepada kaisar. Akan tetapi kaisar sendiri yang memutuskan itu, tentu saja dia tidak berdaya dan tidak berani atau lebih tepat, tidak mau membantah. Dia adalah seorang jenderal yang setia, yang rela mempertaruhkan jiwa raganya demi negara. Maka baginya, kehilangan kedudukan itu bukan apa-apa. Dia sama sekali tidak mementingkan diri pribadi, akan tetapi dia merasa prihatin melihat betapa kedudukan kerajaan amat lemah dan bahaya mengancam dari setiap penjuru. Jenderal Kao Liang mengepal tinjunya yang besar dan keras. Biarpun dia sudah bukan panglima lagi, akan tetapi dia tidak akan membiarkan para pengkhianat memberontak. Kalau terjadi hal itu, dia akan membantu negara dan akan membersihkan para pemberontak! Demikian tekad hatinya. Akan tetapi dia harus menyelamatkan keeluarganya dulu, membawa mereka ke kampung halamannya di mana mereka akan hidup tenteram. Setelah itu, dia akan bebas berbuat apa saja, dan dia akan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di kota raja.

“Ayah, sungguh mengherankan sekali, mengapa Cio-ciangkun belum juga kembali dari mencari air,” tiba-tiba Kok Tiong berkata dan memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut karena pemuda ini merasa tidak enak hati. Sudah hampir setengah jam kepala pengawal she Cio itu pergi mencari air bersama lima orang anak buahnya, namun belum juga kembali.

“Mungkin sukar mencari air di sini,” kata Jenderal Kao Liang.

“Akan tetapi, belum lama tadi rombongan kita melewati sebuah sumber air, dan untuk pergi mengambil air ke sana makan waktu sebentar saja,” bantah Kok Tlong.

“Hemmm, kalau begitu suruh wakilnya pergi menyusu!”

Kok Tiong lalu mencari wakil kepala pengawal dan wakil ini segera mengajak dua orang anak buahnya untuk pergi menyusul atau mencari komandan Cio yang sejak tadi pergi mencari air. Kok Tiong yang sudah mulai bercuriga itu menanti dengan hati tegang. Sampai setengah jam kemudian, wakil itu pun belum juga kembali, demikian pula Cio ciangkun belum juga kembali.

“Ayah, saya khawatir terjadi sesuatu dengan mereka,” Kok Tiong berkata dan kini Jenderal Kao juga mulai merasa curiga. “Biar saya pergi membawa pasukan pengawal untuk mencari mereka.”

Jenderal Kao Liang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Jangan! Kalau benar ada terjadi sesuatu yang tidak beres, jelas bahwa fihak sana hendak memecah belah kita. Agaknya selagi kita bersatu mereka tidak berani turun tangan, maka kalau kau pergi membawa pasukan, berarti siasat mereka untuk memecah kekuatan kita berhasil.”

Kok Tiong mengangguk-angguk, diam-diam kagum akan kecepatan pikiran ayahnya dalam menghadapi keadaan yang mencurigakan itu. “Lalu bagaimana baiknya, Ayah? Ibu juga sudah menaruh curiga dan tadi sudah beberapa kali menanyakan mengapa pengawal-pengawal yang pergi mencari air belum juga kembali.”

“Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan saja, selain untuk keluar dari hutan ini, juga agar ibumu tidak menjadi gelisah. Siapkan semua pasukan pengawal,dan kauwakili Cio-ciangkun.”

Kok Tiong, dibantu oleh Kok Han adiknya, cepat melakukan perintah ayahnya dan tak lama kemudian berangkatlah rombongan itu dikawal oleh pasukan pengawal yang kini berkurang dengan sembilan orang jumlahnya. Malam sudah agak larut, sudah hampir tengah malam, bulan sudah berada di atas kepala dan tak lama kemudian rombongan ini sudah mulai tiba di pinggir hutan karena pohon-pohon sudah mulai jarang. Cuaca makin terang karena pohon-pohon tidak sebanyak tadi, kanan kiri lorong tidak selebat tadi. Akan tetapi karena peristiwa menghilangnya sembilan orang itu membuat semua orang merasa curiga dan tegang, mereka melakukan perjalanan dengan diam-diam dan suasana menjadi sunyi bukan main, yang terdengar hanya daun-daun kering terinjak kaki dan napas pemikul tandu.

Tiba-tiba semua orang terkejut dan Jenderal Kao cepat membuka tirai tandunya dan mengulurkan tangan ke luar sambli berseru, “Berhenti....!”

Tanpa komando sekalipun, semua orang memang sudah berhenti dengan kaget karena mereka semua mendengar suara hiruk-pikuk, teriakan-teriakan bising seperti suara banyak orang sedang bertempur di luar hutan itu. Jenderal Kao Liang sudah meloncat ke luar dari tandunya dan memberi isyarat dengan tangan agar semua pasukan pengawal berkumpul, mengelilingi tandu-tandu yang dikumpulkan di situ dan siap siaga. Semua pengawal mencabut golok masing-masing dan berjaga-jaga dengan hati penuh ketegangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak merasa takut, karena di situ terdapat Jendera Kao Liang dan dua orang puteranya. Bagi para pengawal itu, lebih baik langsung menghadapi musuh daripada keadaan penuh rahasia seperti lenyapnya sembilan orang kawan mereka tadi.

“Ayah, biar saya pergi menyelidiki.” kata Kok Tiong.

“Saya akan menemani Tiong-ko,” kata pula Kok Han.

Jenderal Kao Liang menggeleng kepalanya. “Jangan, kita tunggu saja di sini. Kita sudah kehilangan sembilan orang pembantu, sebaiknya kita bersatu menghadapi musuh. Biarkan mereka menyerang, kita siap saja menyambut, akan tetapi lebih dulu biar aku yang bicara dengan pemimpin musuh.”

Dua orang pemuda itu tidak membantah, akan tetapi menanti di situ sambil mendengarkan suara pertempuran yang tidak kelihatan itu menegangkan hati juga. Di dalam hati Jenderal Kao Liang sendiri, timbul berbagai pertanyaan. Dia merasa yakin bahwa pertempuran yang terjadi di luar hutan itu tentu ada hubungannya dengan lenyapnya Cio-ciangkun dan delapan orang anak buahnya, akan tetapi apa yang terjadi sesungguhnya dia tidak dapat memastikan. Apakah pertempuran di luar hutan itu hanya merupakan pancingan belaka? Apakah memang ada golongan hitam yang mengincar rombongannya? Sebagai seorang bekas panglima besar yang pensiun dan kini menuju ke kampung halamannya, tentu saja rombongannya membawa harta benda yang cukup banyak. Mungkin saja ada golongan hitam yang memang mengincar dan hendak merampas harta yang dibawa rombongannya. Ataukah Cio ciangkun dan anak buahnya yang menghilang itu mungkin berkhianat dan bersekongkol dengan golongan hitam? Mereka itu telah menjadi korban dan tewas oleh golongan hitam, ataukah diam-diam bersekongkol dengan mereka? Dan siapa yang bertempur di luar hutan itu?

Tiba-tiba saja, seperti terdengar tadi, suara hiruk-pikuk pertempuran itu berhenti. Berhenti sama sekali dan tidak terdengar suara sedikit pun. Suasana kembali menjadi sunyi. Bahkan terasa jauh lebih sunyi daripada tadi sebelum ada suara pertempuran. Kini sunyi yang menyeramkan. Beberapa orang pengawal menggigil, sebagian karena dingin hawa malam itu, sebagian besar pula karena merasa seram. Memang amat menyeramkan kesunyian tiba-tiba itu setelah tadi mereka dicekam ketegangan suara pertempuran di luar hutan. Jenderal Kao menanti sejenak, khawatir kalau-kalau fihak musuh memang sengaja memancing dan hendak menjebak. Akan tetapi sampai lama tidak terdengar suara apa pun dan kini daun-daun mulai berkelisik karena mulai tengah malam itu angin menggugah daun-daun pohon yang tadinya tidur.

Setelah ternyata benar-benar tidak terdengar lagi suara, Jenderal Kao lalu memanggil Kok Han, puteranya yang bungsu, “Kok Han, kaubawa sepuluh orang perajurit pengawal dan selidiki di luar hutan depan itu. Akan tetapi jangan melibatkan diri dalam pertempuran. Kalau ada penyerangan, tarik kembali pasukanmu ke sini.”

“Baik, Ayah.” Kok Han lalu mengajak sepuluh orang pengawal, berindap keluar dari tempat itu menuju ke tempat dari mana tadi terdengar suara pertempuran, yaitu di sebelah depan. Jenderal Kao Liang tidak mengutus puteranya yang leblh besar karena penjagaan di situ lebih penting diperkuat daripada rombongan penyelidik itu.

Kao Kok Han membawa sepuluh orang pengawal keluar dari hutan dan tak lama kemudian tibalah dia di tempat pertempuran tadi, di luar hutan. Akan tetapi tidak kelihatan seorang pun manusia di situ. Yang ada hanya bekas-bekas pertempuran yang agaknya memang hebat dan seru. Beberapa batang pohon roboh dan darah berceceran di mana-mana, akan tetapi tidak ada sebuah pun mayat tampak di situ. Sungguh mengherankan sekali, seolah-olah yang melakukan pertempuran tadi bukan manusia, melainkan setan-setan dan siluman-siluman penghuni hutan dan yang kini semua telah menghilang kembali.

Setelah memeriksa dengan teliti, Kok Han lalu mengajak pasukan kecil itu kembali ke dalam hutan menghadap ayahnya. Jenderal Kao Liang juga merasa terheran-heran mendengar pelaporan puteranya itu.

“Tidak ada mayat sebuah pun? Jangan-jangan itu hanya pancingan dan jebakan, kata Jenderal Kao Liang sangsi.

“Akan tetapi jelas ada tanda-tanda bekas pertempuran hebat, Ayah,” Kok Han berkata. “Darah berceceran di mana-mana dan senjata-senjata golok dan pedang berserakan di sekitar tempat itu, bahkan ada pohon-pohon yang tumbang. Melihat bekas-bekasnya, tentu itu merupakan haslil kerja seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat.”

Suasana menjadi makin tegang, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera menghentikan dugaan-dugaan di dalam hati semua pengawal itu dengan kata-kata yang nyaring dan tegas, “Apapun yang terjadi, harap tenang dan menanti komando. Sekarang kita melanjutkan perjalanan, tidak perlu tergesa-gesa dan semua pengawal harap waspada dan siap siaga.

Rombongan bergerak lagi dan kini Jenderal Kao Liang sendiri tidak naik tandu melainkan ikut berjalan kaki, bahkan berada di bagian paling depan bersama Kao Kok Han, sedangkan Kao Kok Tiong menjaga di bagian belakang melindungi rombongan itu.

Tidak terjadi sesuatu sampai rombongan ini tiba di tempat pertempuran yang tadi telah diselidiki oleh Kok Han. Jenderal Kao Liang yang mengkhawatirkan adanya jebakan, mengangkat tangannya dan rombongan itu pun berhenti lagi. Tempat pertempuran ini sudah berada di luar hutan, di tempat terbuka sehingga dapat menampung sinar bulan sepenuhnya. Semua orang memandang ke kanankiri ke arah batang-batang pohon dan semak-semak belukar, semua mata terbelalak mencari-cari sesuatu, semua telinga memperhatikan setiap suara yang mungkin terdengar.

Tiba-tiba semua orang menengok ke kiri karena mereka mendengar sesuatu. Juga para wanita dan anak-anak yang menyingkap tirai tandu mengintai, menengok ke kiri dan terdengarlah jerit-jerit tertahan dari para wanita dan anak-anak itu ketika mereka melihat seorang yang berlumuran darah merangkak keluar dari semak-semak!

“Dia.... Hun Kai....!” Tiba-tiba seorang di antara para pengawal berseru ketika dia mengenal wajah yang berlumuran darah itu.

Jenderal Kao yang kini juga mengenal seorang di antara para pengawal yang lenyap tadi, cepat memandang penuh selidik ke arah belakang orang itu, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri orang yang sudah terguling di atas rumput itu, lalu berjongkok dan bertanya, “Apa yang telah terjadi?”

“....Yang Mulia.... hati-hatilah.... ada.... seorang akan.... membunuh seluruh.... rombongan.... i.... ni.... aughhh....!” Dia terkulai dan tewas di saat itu juga.

Semua orang mendengar ucapan itu dan banyak wajah menjadi pucat seketika. Para wanita menjadi panik dan memeluk anak-anak mereka, para pengawal dengan geram memutar tubuh memandang ke empat penjuru. Jenderal Kao Liang berdiri dan berkata, suaranya lantang, “Jangan takut dan panik. Tenanglah! Apapun yang terjadi, kita masih hidup dan selamat, dan tidak seekor setan pun yang akan dapat dengan mudah membunuh kita selama aku masih berdiri di sini!” Jelas bahwa jenderal tua ini menjadi marah sekali dan dia menduga bahwa semua pengawal tadi tentu tewas. Sayang bahwa pengawal yang bemama Hun Kai itu tewas sebelum dapat menceritakan dengan jelas apa yang terjadi.

“Paman.... Paman Hun Kai.... ceritakanlah, di mana adanya teman-teman yang lain?” Kok Han mengguncang-guncang tubuh pengawal itu, berusaha untuk menyadarkannya agar pengawal itu dapat menceritakan sejelasnya. Akan tetapi tubuh yang diguncang-guncang itu terkulai lemas dan tidak dapat memberi jawaban.

“Sudah, Kok Han, tidak ada gunanya lagi. Dia sudah mati,” kata Jenderal Kao Liang. “Hayo cepat gali lubang kuburan untuk dia!” perintahnya dan kini para pengawal cepat menggali lubang kemudian mengubur mayat itu. Setelah itu, Jenderal Kao Liang memerintahkan agar rombongan melanjutkan perjalanan. Kini jumlah pengawal hanya tinggal enam belas orang saja, dipimpin sendiri oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya.

Adapun jumlah tandu semuanya ada enam buah yang memuat isteri dari Jenderal Kao Liang, isteri dari Kao Kok Tiong, bibinya, yaitu adik perempuan Nyonya Jenderal yang sudah menjadi janda bersama dua orang anaknya, laki-laki dan perempuan yang sudah remaja, kemudian dua orang anak Kok Tiong sendiri, dan dua orang inang pengasuh perempuan. Tandu bekas tempat Jenderal Kao Liang dibiarkan kosong dan masih dipikul oleh dua orang pemikul tandu. Jadi bersama dengan enam belas orang pengawal, masih ada dua puluh empat orang pemikul tandu karena tandu-tandu yang memuat orang dipikul oleh empat orang.

Setelah malam lewat dan tidak terjadi sesuatu, Jenderal Kao memerintahkan rombongannya berhenti di kaki bukit untuk beristirahat dan menggunakan kesempatan itu untuk tidur secara bergiliran. Sampai matahari naik tinggi mereka mengaso dan setelah mereka semua makan, perjalanan dilanjutkan dengan mendaki bukit yang cukup sukar. Lorong kecil pendakian itu diapit-apit tebing tinggi dan batu kapur.

Ketika rombongan membelok di atas lorong yang tertutup tebing tinggi di kedua tepinya itu, merupakan tempat yang amat berbahaya, tiba-tiba mereka berhenti lagi dan suasana mulai tegang. Lorong itu tertutup oleh sebatang balok besar sekali yang melintang di jalan! Kembali hati mereka menjadi tegang karena jelaslah bahwa balok besar itu tidak mungkin bisa berada di situ tanpa ada yang menaruhnya, dan melihat balok itu melintang menghalang jalan, jelaslah bahwa itu tentu perbuatan mereka yang hendak menentang rombongan atau setidaknya mempunyai niat buruk. Jelas bahwa gerombolan orang jahat sudah mulai memperlihatkan gerakan dan tentu sebentar lagi akan muncul. Semua orang siap siaga dan Jenderal Kao Liang sendiri sudah meraba gagang pedangnya. 8ahkan Kok Tiong dan Kok Han sudah mencabut pedang masing-masing dan berdri di kanan kiri ayah mereka.

Akan tetapi, semua ketegangan urat syaraf itu temyata sia-sia belaka, karena ditunggu sampai lama sekali, tidak ada terjadi sesuatu. Sampai capai rasanya mata mereka karena jarang berkedip memandang ke kanan kiri, depan belakang dan atas bawah, namun tidak terdengar sesuatu dan tidak nampak sesuatu yang bergerak. Hati mereka menjadi kesal juga, akan tetapi diam-diam mereka bersyukur bahwa tidak ada musuh datang menyerbu. Karena kalau hal itu terjadi, sungguh amat berbahaya. Tempat itu sangat berbahaya dan tidak menguntungkan bagi mereka untuk menghadapi musuh. Berada di lorong yang diapit-apit dinding batu tinggi terjal itu, mereka amat lemah dan andaikata ada beberapa orang musuh melempar-lemparkan batu dari atas tebing, mereka akan tak berdaya dan akan terkubur hidup-hidup.

Setelah jelas ternyata bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, dan tidak ada tanda-tanda bahwa ada musuh akan menyerbu, Jenderal Kao Liang segera memerintahkan sepuluh orang pemikul joli yang bertubuh kuat-kuat untuk menyingkirkan balok besar yang melintang di tengah jalan itu. Pekerjaan itu dilakukan tanpa ada kesukaran apa-apa, dan karena tidak ada tempat untuk membuang balok itu, maka sepuluh orang tukang pikul tandu itu lalu meletakkan balok perintang itu di tepi lorong. Kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan dengan hati-hati.

Akan tetapi belum ada sepuluh langkah mereka bergerak, tiba-tiba dua orang pemikul tandu kosong berteriak aneh dan roboh, disusul oleh teriakan-teriakan delapan orang pemikul tandu lain yang juga terguling roboh dan menyebabkan orang-orang yang naik tandu itu pun berteriak-teriak kaget dan kesakitan. Jenderal Kao Liang cepat meloncat mendekati dan dengan mata melotot dia melihat betapa sepuluh orang ini adalah sepuluh orang yang tadi menyingkirkan balok besar. Kini tangan mereka membengkak, tubuh mereka kejang dan berkelojotan, tak lama kemudian mereka itu terkulai mati dengan tubuh di jalari warna hitam dari tangan sampai ke muka mereka.

“Jangan pegang....!” Jenderal Kao membentak kepada para pengawal, pemikul tandu, dan dua orang puteranya ketika mereka ini mendekat. “Mereka keracunan!”

Keadaan menjadi makin panik dan dua orang putera jenderal itu segera menolong dua orang inang pengasuh yang tandunya terbalik. Kemudian dengan muka merah padam saking marahnya, Jenderal Kao Liang mengajak dua orang puteranya untuk naik ke atas tebing. Jenderal yang sudah tua masih gagah sekali dan dengan mudahnya dia mendaki tebing yang amat terjal itu, diikuti oleh Kok Tiong dan Kok Han yang harus mengerahkan ginkang mereka untuk dapat mengikuti ayahnya mendaki tempat yang amat berbahaya itu. Gerakan mereka cepat dan gesit, dan mereka itu terus mendaki naik, diikuti oleh pandangan mata mereka yang merasa gelisah dan tegang dari bawah.

Setelah tiba di atas tebing di bukit itu, Jenderal Kao Liang dan putera-puteranya melihat ke kanan kiri dan tampaklah oleh mereka seorang laki-laki yang kelihatan masih muda sedang duduk di atas sebongkah batu besar, membelakangi mereka, tidak jauh dari tempat itu dan mereka mendengar betapa laki-laki yang masih muda itu sedang bersenandung, senandung yang terdengar menyedihkan seperti orang berkeluh-kesah, sambil berdongak memandang awan berarak di angkasa.

Karena di tempat itu sunyi tidak ada orang lain kecuali orang muda yang bersenandung itu, Jenderal Kao Liang tidak merasa syak lagi bahwa tentu inilah orangnya yang mengganggu rombongannya, maka dia lalu cepat menghampiri, diikuti oleh Kok Tiong dan Kok Han. Akan tetapi agaknya orang itu merasa atau mendengar kedatangan mereka. Dia menoleh sehingga nampak separuh mukanya, kemudian orang itu bangkit, menghentikan senandungnya dan melangkah perlahan menjauhkan diri. Tentu saja Jenderal Kao dan dua orang puteranya meloncat dan cepat melakukan pengejaran. Mereka bertiga menggunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar dan menangkap orang itu.

Akan tetapi, sungguh aneh bukan main! Kelihatannya saja orang itu melangkah perlahan-lahan, akan tetapi mereka bertiga tidak pernah dapat mendekatinya. Hal ini membuat Jenderal Kao menjadi penasaran sekali, penasaran dan marah. Tahulah dia bahwa pasti orang itu yang mengganggunya, atau setidaknya tentu merupakan seorang di antara gerombolan yang mengganggu rombonganya. Maka dia mempercepat larinya mengejar dengan geram. Akan tetapi, begitu jarak mereka mulai berdekatan dan mereka mulai dapat menyusul, tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan sebuah loncatan yang mentakjubkan hati Jenderal Kao dilakukan orang itu. Tubuhnya melayang seperti seekor burung terbang melayang saja dan sekali melompat sudah meninggalkan mereka, kemudian berjalan lagi dengan tenangnya.

Orang itu naik turun tebing dan akhirnya lenyap ke dalam hutan di depan. Jenderal Kao Liang terkejut bukan main, kalau dikehendaki, orang itu dengan mudah saja dapat melenyapkan diri sejak tadi, akan tetapi kenapa agaknya sengaja memancing mereka untuk mengikuti sampai jauh? Celaka, terlalu ini pancingan yang dalam ilmu perang disebut “memancing” harimau meninggalkan sarangnya”. Dia dan dua orang puteranya sengaja dipancing meninggalkan rombongannya yang kini hanya dilindungi oleh para pengawal yang sudah kehilangan kepalanya.

“Cukup! Tidak perlu mengejar terus. Mari kita cepat-cepat kembali!” Jenderal Kao Liang yang merasa curiga dan khawatir itu berkata kepada dua orang puteranya. Mereka bergegas kembali ke tempat tadi, di mana rombongan mereka tadi mereka tinggalkan. Ketika mereka akhirnya dapat menuruni tebing terjal dan tiba di tempat tadi, dari atas jantung mereka sudah berdebar keras penuh kekhawatiran dan ketegangan, setelah tiba di tempat itu, mereka memandang dengan mata terbelalak dan kedua tangannya mengepal tinju, kumis dan jenggotnya seolah-olah berdiri saklng marahnya. Dua orang puteranya juga terbelalak, menoleh ke kanan kiri, kemudian memandang kepada ayah mereka dengan sinar mata bingung dan gelisah.

Betapa mereka tidak akan bingung dan gelisah? Semua tandu telah lenyap dari situ, tandu-tandu yang membuat Nyonya Kao Liang, Nyonya Kao Kok Tiong, bibi mereka, anak-anak Kok Tiong, anak-anak bibi mereka, dan dua inang pengasuh, serta harta benda mereka semua telah lenyap. Dan di tempat itu menggeletak berserakan mayat-mayat para pengawal mereka, dan para tukang pikul tandu-tandu itu. Tidak ada seorang pun diantara mereka itu yang masih hidup, semua telah tewas dalam keadaan mengerikan!

“Keparat....! Bedebah....!” Jenderal Kao Liang memaki-maki, kemudian dia menjambak rambutnya sendiri penuh penyesalan. “Bodoh kau! Tolol kau!” Dia memaki diri sendiri, kemudian menjatuhkan dirinya di atas tanah sambil bertopang dagu. Betapa dia tidak akan menyesal? Jenderal Kao Liang telah berpuluh tahun berkecimpung di dalam bidang kemiliteran, entah sudah berapa ratus kali menghadapi lawan-lawan tangguh dan lihai, sudah biasa bersiasat dan mengadu kepintaran dengan fihak lawan. Dia merupakan seorang ahli siasat yang biasa mengatur puluhan, bahkan ratusan ribu perajurit di medan perang. Dia ditakuti dan disegani oleh musuh di medan perang karena kemahirannya bersiasat. Akan tetapi kini, menghadapi perjalanan rombongan keluarganya, menghadapi gangguan seperti itu saja dia telah terkecoh dan dipermainkan orang secara habis-habisan, sampai seluruh anak buah pengawalnya tewas semua dan seluruh anggauta keluarganya diculik orang, semua harta benda yang dibawanya dicuri orang. Dan dia tidak tahu bagaimana hal itu dilakukan, tidak tahu pula siapa yang melakukannya dan ke mana keluarganya dibawa pergi. Sungguh memalukan dan menggemaskan sekalil

“Ayah....!” Tiba-tiba terdengar Kok Han memanggilnya.

Jenderal Kao menoleh dan dia melihat puteranya yang bungsu itu sedang jongkok di depan sesosok di antara mayat-mayat yang berserakan di situ. Melihat sikap puteranya, dan kini Kok Tiong juga lari menghampiri adiknya, Jenderal Kao lalu bangkit dan menghampiri tempat itu.

Jenderal Kao Liang juga terheran-heran ketika dia melihat mayat yang ditunjuk oleh puteranya itu. Mayat seorang wanita! Bukan anggauta keluarganya, dan tentu saja bukan seorang diantara para pengawal. Mayat wanita yang menindih seorang laki-laki, kedua tangan wanita itu mencekik leher laki-laki itu, demikian hebatnya sampai kuku-kuku tangan wanita itu terbenam ke dalam leher! Akan tetapi, tangan laki-laki itu memegang golok kecil dan agaknya ketika wanita itu mencekiknya, laki-laki itu berhasil menghujamkan golok kecil itu ke lambung si wanita sampai masuk dalam sekali. Terang bahwa mereka tadi bertempur dan keduanya tewas dalam pertempuran ini.

“Sungguh aneh....” Jenderal Kao Liang berkata. “Aku tidak pernah melihat wanita ini.... dan entah siapa pula laki-laki di bawahnya itu.” Dengan ujung sepatunya, Jenderal Kao Liang membalikkan tubuh wanita itu sehingga terpisah dari mayat laki-laki yang ditindihnya. Tampaklah kini seorang laki-laki yang berpakaian seperti seorang petani, seorang yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat, sedangkan wanita itu berwajah kejam dan usianya sudah tiga puluh tahun lebih.

“Heee! Bukankah dia ini.... seperti.... seperti Hok-ciangkun!” Tiba-tiba Kok Tiong berseru heran.

Jenderal Kao Liang mengangguk. “Sungguh aneh! Dia memang Hok-ciangkun, pengawal istana kepercayaan Kaisar. Kenapa dia sampai berada dl sini? Siapa pula wanita ini? Terang bahwa dia berkelahi dengan Hok-ciangkun, akan tetapi kenapa? Dan mengapa pula Hok-ciangkun berpakaian menyamar seperti petani?”

Jenderal Kao dan dua orang puteranya menjadi bingung. Siapakah orang-orang yang telah memusuhi mereka? Kenapa mereka membunuh para pengawal dan menculik wanita-wanita dan anak-anak? Dan kenapa pula agaknya terjadi perkelahian antara mereka sendiri? Jenderal Kao dan dua orang puteranya lalu mulai memeriksa dan makin heranlah mereka bertiga ketika melihat bahwa temyata di antara mayat-mayat itu terdapat pula mayat-mayat yang tidak mereka kenal di antara tumpukan mayat-mayat pengawal mereka sendiri dan tukang-tukang pikul tandu.

“Kita harus mencari keluarga kita!” Jenderal Kao mengepal tinju. “Aku harus bisa berhadapan dengan pengecut-pengecut itu!” Dia marah sekali, akan tetapi ke mana dia harus mencari? Lorong itu berbatu sehingga sukar mencari jejak mereka yang membawa pergi tandu-tandu itu.

“Apa ini....?” Jenderal Kao Liang membungkuk dan dengan hati-hati memeriksa sebuah benda putih mangkilap yang terletak di dekat mayat si wanita tadi. Teringat akan racun hebat yang agaknya dilumurkan pada balok, Jenderal Kao Liang memeriksa dengan teliti sebelum mengambilnya. Setelah yakin bahwa benda itu tidak beracun, dia mengambil dan mengamat-amatinya. Benda itu bentuknya bulat seperti sebuah lencana. Di tengah-tengahnya terlukis seekor burung garuda berwarna hitam sedang mementang sayap dan di bawah gambaran burung itu terdapat dua buah huruf yang berbunyi “BHOK TIN” (Pasukan Kayu). Lencana itu sangat indah buatannya, dari perak murni. Milik siapakah lencana ini? Wanita itukah? Apa artinya lencana ini? Jenderal Kao tidak dapat memecahkan rahasia ini dan dia mengantongi lencana perak itu, lalu berkata kepada kedua orang puteranya yang tentu saja merasa bingung dan berduka sekali, “Mari kita berusaha mencari mereka!”

Dua orang muda itu hanya mengangguk lesu dan mereka segera berjalan cepat untuk ke luar dari jalan bertebing tinggi itu. Akan tetapi ketika mereka tiba di jalan tikungan dan sudah ke luar dari lorong bertebing, mereka dikejutkan oleh penglihatan yang mengerikan. Di jalan itu bertebaran mayat-mayat orang yang memenuhi jalan, banyak sekali jumlahnya, kurang lebih ada seratus buah mayat! Seperti dalam perang kecil saja.

Jenderal Kao berhenti dan memandang ke sekeliling dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia tidak merasa ngeri melihat ini. Sudah biasa dia menyaksikan pemandangan seperti ini di medan perang, bahkan pernah melihat puluhan ribu mayat berserakan. Akan tetapi rasa hatinya tidak seperti sekali ini karena sekarang, keluarganya yang langsung terlibat.

Mereka lalu memeriksa mayat-mayat itu dan di antara mayat-mayat itu terdapat beberapa mayat wanita yang memakai seragam hitam dengan gambar cacahan (tatoo) berbentuk burung garuda di telapak tangan mereka.

“Heiii! Ini seperti penjaga gardu di depan gerbang istana!” teriak Kok Tiong sambil menuding sebuah mayat yang menggeletak miring dengan kepala pecah.”Dan ini juga! Itu ada pula pengawal Hok-ciangkun!”

“Jelaslah sudah bahwa ada pasukan pengawal istana bertempur di sini. Akan tetapi mengapa pasukan pengawal istana berkeliaran di sini? Apakah tugas mereka? Dan sungguh aneh, mengapa mereka tidak memakai pakaian seragam dan menyamar sebagai orang-orang biasa? Peristiwa apakah yang menyebabkan Kaisar mengerahkan pasukan-pasukan pengawal istana ke tempat ini?” Jenderal Kao berkata perlahan seperti bertanya-tanya kepada diri sendiri, sedangkan dua orang puteranya juga ikut memikirkan pertanyaan ayahnya itu. Sungguhpun mereka tidak dapat mencari alasan-alasan dan sebab-sebabnya, akan tetapi di dalam hati mereka timbul dugaan bahwa adanya pasukan-pasukan pengawal istana di tempat itu tentu ada hubungannya dengan berangkatnya rombongan keluarga mereka meninggalkan kota raja menuju ke kampung halaman mereka.

Suasana tempat itu sungguh mengerikan. Matahari sudah condong ke barat, beberapa saat lagi senja akan tiba. Mereka bertiga duduk kecapaian di atas batu di antara. mayat-mayat yang berserakan. Mereka merasa lelah sekali, lelah lahir batin. Mereka menghadapi misteri yang tak dapat mereka pecahkan. Keanehan-keanehan yang terjadi bertubi-tubi ditambah lenyapnya keluarga mereka membuat pikiran Jenderal Kao Liang yang biasa tenang dan cerdik itu menjadi keruh. Jenderal yang gagah perkasa itu kelihatan lebih tua sepuluh tahun dari keadaan biasanya karena tekanan batin yang hebat, karena kekhawatiran akan keselamatan isteri dan keluarganya. Ingin mereka itu mengejar dan kalau perlu berkelahi mati-matian untuk melindungi keluarga mereka, akan tetapi mereka tidak tahu harus mencari ke mana. Mereka tidak tahu siapa penculiknya, di mana tempatnya, bahkan tidak tahu pula mengapa keluarga mereka diculik. Kalau mereka itu menghendaki harta benda, tentu hanya harta benda saja yang dirampas, tidak perlu menculik keluarga mereka. Kalau mereka itu musuh yang mendendam, tentu keluarga mereka sudah dibunuh seperti halnya para pengawal,dan tidak diculik seperti sekarang ini.

Mungkinkah pemuda aneh yang lihai dan yang bersenandung sedih itu yang melakukan penculikan? Ah, tidak mungkin. Karena mereka bertiga cepat-cepat menghentikan pengejaran dan kembali ke tempat rombongan. Kalau bukan pemuda itu, siapa? Apakah wanita-wanita yang bertanda cacahan burung garuda di tangan mereka? Akan tetapi mereka itu agaknya bertempur mati-matian dengan rombongan Hok-ciangkun, pasukan pengawal istana yang menyamar itu. Apakah anak buah si pemuda lihai? Mungkin begitu, dan kalau begitu agaknya ada tiga rombongan bertindak pada waktu itu. Demikianlah Jenderal Kao memutar-mutar otaknya yang sudah penat. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menemukan jawaban atas pertanyaan di benaknya yang bertubi-tubi.

Suasana menjadi sunyi sepi, dan menjadi kebalikan dari pikiran mereka yang ramai dengan pertanyaan-pertanyaan dan dugaan-dugaan yang menggelisahkan. Tiba-tiba terdengar suara suling mengalun memecah kesunyian dan menghentikan lamunan mereka yang penuh kegelisahan itu. Suara suling itu menggetar-getar halus, penuh perasaan, dan suara suling seperti itu hanya dapat ditiup oleh peniup yang mencurahkan seluruh perasaan hatinya terhadap tiupannya. Hawa yang keluar dari mulutnya agaknya langsung keluar dari hatinya sehingga ketika menyelinap di dalam tabung bambu suling itu mencipta suara yang mengalun penuh perasaan, melagukan irama lagu sedih, lagu seorang yang patah hati, gagal dalam asmara, atau seorang yang merasa kerinduan hebat terhadap seorang kekasih yang pergi meninggalkannya. Tentu saja jiwa dari lagu ini terasa oleh Jenderal Kao Liang dan kedua orang puteranya yang sedang merana ditinggalkan oleh keluarga mereka yang tidak mereka ketahui bagaimana nasibnya, ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka kasihi. Terutama sekali Kok Tiong yang teringat kepada isteri dan dua orang anaknya yang masih kecil sehingga orang muda ini cepat membuang muka membelakangi ayahnya agar Si Ayah tidak sampai melihat dua titik air mata.

Di antara pengaruh suara suling yang ditiup penuh perasaan itu, Jenderal Kao Liang segera cepat menyadari keadaan. Lagu yang ditiup suling itu adalah lagu sedih, kiranya mudah diduga siapa peniupnya. Siapa lagi kalau bukan pemuda yang tadi pun bersenandung lagu sedih? Tentu Si Pemuda lihai tadi. Dan siapa tahu, boleh jadi pemuda itu yang menjadi biang keladi semua peristiwa ini, atau setidaknya, pemuda aneh itu tentu tahu-menahu akan peristiwa yang menimpa keluarganya ini.

Dengan muka merah dan mengepal tinjunya, Jenderal Kao Liang bangkit berdiri lalu melangkah pergi dengan cepat menuju ke arah suara suling diikuti oleh dua orang puteranya yang sudah mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi sungguh aneh, suara suling itu amat luar biasa, begitu dldekati seolah-olah berpindah tempat. Mereke bertiga terus mengejar, akan tetapi mereka berputaran dan belum juga dapat melihat pemain atau peniupnya. Setelah berputaran sampai beberapa kali, akhirnya Jenderal Kao Liang menjadi naik darah, sungguhpun dia masih dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi Kok Han yang masih muda belia itu tak dapat menahan kemarahannya dan berteriaklah dia menantang, sungguhpun dia tahu pula betapa lihai si peniup suling itu.

“Heeeiiiii....! Keluarlah engkau peniup suling sialan! Jangan main sembunyi-sembunyi kalau engkau memang jantan! Ayo, keluarlah dan lawanlah aku, engkau akan mampus kalau tidak kaukembalikan keluarga kami!”

“Sssttttt....!” Jenderal Kao mencegah puteranya akan tetapi tantangan telah dikeluarkan dan mereka kini berdiam, memperhatikan semua penjuru. Suara suling tiba-tiba berhenti keadaan menjadi makin sunyi mencekam dan menyeramkan. Lalu terdengar suara orang menguap panjang dan disusul suara langkah kaki orang tersaruk-saruk.

Selagi tiga orang ayah dan anak itu saling pandang, terdengar suara orang bergumam, “Hahhhhh perutku lapar dan kakiku capai. Sebentar lagi malam tiba dan aku belum beristirahat barang sekejap pun. Lebih baik mencari warung di depan, makan bubur hangat, mandi air sejuk lalu tidur mendengkur!”

Jenderal Kao dan dua orang puteranya cepat meloncat dan mencari ke arah datangnya suara itu. Dari jauh kelihatan berkelebatnya seorang dengan cepat. Bajunya yang putih itu tampak menyolok dengan cuaca yang sudah mulai suram karena senja. telah tiba. Sebentar saja bayangan itu berkelebat dan lenyap, seperti setan menghilang saja.

“Kejar!” Jenderal Kao Liang berbisik dan ketiganya lalu mengerahkan ginkang, meloncat lalu berlari mengejar secepat mungkin. Jenderal itu merasa yakin bahwa orang di depan tadi tentu tahu akan segala peristiwa yang terjadi, maka dia tidak mau kehilangan orang itu.

Akan tetapi, bayangan itu telah lenyap dan mereka mengejar sampai malam tiba, belum juga dapat menyusul. Tentu saja ketiganya merasa mendongkol dan malam itu berbeda dengan malam tadi. Awan mendung berkumpul di langit sehingga keadaan menjadi gelap pekat, sedangkan mereka tidak mengenal jalan. Maka terpaksa mereka menghentikan pengejaran sia-sia itu dan melewatkan malam di tepi jalan di kaki bukit yang sunyi, membuat api unggun dan semalam suntuk mereka tidak dapat tidur, menanti datangnya fajar untuk melanjutkan pengejaran dan pencarian mereka.

“Orang itu agaknya sengaja menyebut tentang sebuah warung di depan. Biar dia memancing sekalipun, kita harus pergi mengejarnya dan mencari warung itu!” demikian Jenderal Kao berkata.

Ketika fajar mulai menyingsing dan cuaca tidak begitu gelap lagi, ketiganya sudah meninggalkan api unggun yang sudah tidak bernyala, tinggal berasap saja dan mereka bergegas menuju ke depan melanjutkan perjalanan semalam yang terganggu oleh kegelapan malam. Ketika mereka mulai bertemu dengan para petani yang menuju ke sawah, tiga orang ayah dan anak ini mempercepat langkah kaki mereka, tidak mempedulikan pandang mata para petani yang terheran-heran melihat mereka berjalan cepat itu. Di mana ada petani tentu ada dusun, pikir Jenderal Kao Liang dan dia melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat.

Benar saja dugaan mereka. Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun. Matahari pagi dengan cerah dan riangnya menyinari sebuah warung makan di dusun itu dengan hati berdebar Jenderal Kao mengajak anak-anaknya memasuki warung. Akan tetapi, warung itu masih sunyi dan belum ada pengunjungnya, maka duduklah mereka dengan hati kecewa. Jenderal Kao memesan bubur hangat tiga mangkok yang dilayani oleh pemilik warung dengan ramahnya.

“Kami mencari seorang teman, dia masih muda dan berpakaian putih. Apakah dia sudah tiba di sini? Malam tadi atau tadi? Katanya dia ingin makan bubur panas” kata Jenderal Kao kepada pemilik warung secara sambil lalu.

Akan tetapi sungguh tidak disangka, mendengar pertanyaan ini wajah Si pemilik warung menjadi berseri. “Aih, tentu Tuan maksudkan Suma-kongcu (Tuan Muda Suma)! Memang dia sering makan di sini, dan baru saja dia pergi, setelah makan bubur panas. Lihat, mangkoknya juga masih di meja itu, belum saya bersihkan!”

Ketiganya cepat bangkit. “Di mana dia? Ke mana perginys?” Jenderal Kao bertanya, suaranya keras, mengejutkan pemilik warung.

“Eh mana saya tahu? Tadi saya lihat ke jurusan selatan sana”

Tukang warung itu menjadi bengong ketika tiga orang itu berkelebat dan lari pergi meninggalkan warungnya.

“Eh, ini bubur pesanan....!”

Akan tetapi Jenderal Kao dan anak-anaknya sudah pergi jauh dan pemilik warung itu hanya menggeleng kepala. “Suma-kongcu orang aneh, teman-temannya pun aneh bukan main!”

Sementara itu, Jenderal Kao Liang sambil berjalan cepat bersama dua orang puteranya menuju ke selatan, berkata dengan desis terheran-heran, “Suma-kongcu!? Tidak banyak orang di dunia ini yang ber-she Suma dan memiliki kepandaian tinggi! Siapa lagi kalau bukan keluarga Suma, Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti? Dan setahuku, ada dua orang Suma-kongcu! Akan tetapi, mengapa menculik keluarga kita? Bukankah kita bersahabat erat seperti keluarga sendiri dengan mereka?” Jenderal Kao menduga-duga dengan hati penasaran.

“Itu kan dahulu, Ayah!” kata Kok Tiong dengan suaranya mengandung kegemasan. “Dahulu ketika Ayah masih terpakai oleh Kaisar. Akan tetapi sekarang? Keadaan Ayah seperti juga disingkirkan oleh Kaisar, sungguhpun sebagai basa-basinya Ayah disuruh istirahat dan dipensiun, diberi harta benda sebagai bekal. Lihat saja betapa pasukan pengawal istana bermunculan di sini, seolah-olah menghadang perjalanan kita. Siapa tahu, tidak mustahil kalau Kaisar mengkhawatirkan keadaan Ayah, takut Ayah akan menimbulkan huru-hara. Menurut pendapat saya, agaknya Kaisar memang berusaha untuk membasmi, keluarga kita agar aman, karena Ayah adalah seorang yang tidak boleh dipandang ringan. Hemmm, tidak salah lagi, demikianlah keadaannya! Maka, Hok-ciangkun yang memimpin pasukan pengawal menyamar sebagal petani, tentu diutus oleh Kaisar untuk membasmi kita. Akan tetapi mereka tahu, keluarga kita bukanlah keluarga sembarangan. Apalagi ada Kok Cu koko, maka Kaisar tentu telah minta pertolongan keluarga Pulau Es, keluarga Suma. Bukankah keluarga Suma masih termasuk keluarga Kaisar juga? Bukankah Pendekar Super Sakti, Paman Suma Han adalah cucu mantu dari Kaisar?”

“Ehhhhh....?” Jenderal Kao Liang berteriak dan menghentikan langkahnya.

Kalau dalam keadaan biasa, tentu kata kata Kok Tiong itu akan cukup membuat dia turun tangan menampar mulut puteranya yang berani berkata demikian, mencela kaisar, menuduh yang bukan-bukan, bahkan berani mencurigai keluarga Pulau Es. Akan tetapi dia tidak jadi menggerakkan tangan, karena kata-kata itu membangkitkan kecurigaannya pula dan dia termenung.

Suma-kongcu, kata tukang warung itu. Tentu kalau bukan Suma Kian Lee, ya Suma Kian Bu, seorang di antara dua putera Majikan Pulau Es.

Majikan Pulau Es adalah Suma Han yang terkenal sebagai Pendekar Pulau Super Sakti bagi yang memujanya dan Pendekar Siluman bagi yang membencinya, dan Suma Han ini menikah dengan Puteri Nirahai sebagai isteri pertama, Puteri Nirahai cuku kaisar! Ucapak Kok Tiong tadi biarpun agaknya tidak masuk di akal mengingat akan watak keluarga Pulau Es yang sakti dan budiman, namun beralasan juga. Jenderal ini tahu bahwa di dalam pergolakan politik kerajaan, segala hal dapat saja terjadi. Buktinya, dua orang Pangeran Liong yang menjadi adik-adik tiri kaisar sendiri, memberontak karena politik, karena pengejaran ambisi pribadi. Siapa tahu, kaisar benar-benar menganggap dia berbahaya dan hendak menumpas keluarganya. Dan siapa tahu, mungkin pandangan putera Pendekar Super Sakti yang sudah dipengaruhi politik juga berubah terhadap dirlnya!

“Akan tetapi....!” bantahnya dengan suara meragu, bantahan yang timbul langsung dari suara hatinya, “Andaikata demikian halnya, mengapa mesti mengambil cara berbelit-belit? Andaikata benar Kaisar menghendaki nyawaku, cukup beliau memerintahkan perajurit untuk menangkap aku dan menjatuhkan hukuman mati. Mengapa harus memakai cara penuh rahasia ini, dengan bermacam muslihat? Aku siap untuk menyerahkan nyawaku kalau diminta oleh Kaisar, demi negara!”

“Saya kira persoalannya tidak semudah itu, Ayah. Kalau Kaisar melakukan hal itu terhadap Ayah, tentu beliau akan banyak menerima celaan dan tentangan. Tentu beliau tidak ingin perbuatan beliau itu diketahui oleh umum. Rakyat jelata dan semua pembesar tahu belaka siapa Ayah, dan betapa besar jasa Ayah terhadap negara dan bangsa. Agaknya Kaisar ingin agar kita sekeluarga seolah-olah terbasmi oleh penyamun atau, oleh golongan hltam dan hal ini pun bukan tak boleh jadi, mengingat betapa Ayah sudah banyak melakukan pembersihan terhadap mereka.”

Mendengar ucapan puteranya yang ke dua itu, Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk dan tiba-tiba hatinya menjadi berduka sekali. Dia mengepal tinjunya, giginya mengeluarkan bunyi berkerotan. “Ini tentu hasil dari fitnah dan hasutan para pengkhianat yang hendak melemahkan kerajaan! Sri Baginda Kaisar telah tertipu!”

Kok Tiong menarik napas panjang. “Lihat, betapa patriotnya jiwa Ayah, bahkan di waktu keluarga sendiri terancam bahaya maut, Ayah masih mementingkan kerajaan.”

Jenderal Kao termenung, sadar akan kebenaran ucapan puteranya dan dia teringat lagi akan keadaan keluarganya. “Akan tetapi kalau memang benar dugaanmu itu, semoga saja, kuminta kepada Thian, Kaisar tidak sampai tertipu sedalam itu, andaikata benar demikian, mengapa keluarga kita tidak dibunuh saja? Kenapa diculik mereka itu? Di mana adanya ibumu, isterimu, anak-anakmu?”

“Itulah yang amat membingungkan, Ayah. Menghilangnya kepala pengawal, dan mayatnya pun tidak kita lihat, lalu disusul pertempuran di luar hutan antara orang-orang yang tidak kita kenal, yang kabur semua ketika kita dekati. Kemudian bentrokan antara tiga kekuatan di dalam celah itu, antara pasukan kita, wanita-wanita berlencana dan bercacah lukisan garuda serta orang-orangnya Hok-ciangkun. Mereka itu mati semua, tiga rombongan yang saling bertempur itu, akan tetapi keluarga kita dapat melarikan diri. Agaknya tidak mungkin pula kalau dibawa oleh sisa orang-orangnya Hok-ciangkun, karena kalau benar dugaan kita, Hok-ciangkun tentu bertugas untuk membasmi dan membunuh keluarga kita. Dan kalau harus diculik dulu, tentu terlalu merepotkan. Pula, kalau dibunuh di tempat itu, malah menimbulkan kesan seolah-olah dibasmi penyamun. Lalu ke mana mereka itu? Siapa yang menculik mereka, kalau memang benar diculik? Dan mengapa pula? Benar-benar saya menjadi bingung, Ayah.”

“Agaknya oleh orang-orang yang bercacah lukisan garuda di tangannya itu. Kita belum tahu jumlah dan kekuatan mereka, belum mengenal pula siapa mereka,” kata Kok Han.

“Kurasa tidak mungkin, Han-te. Seperti kau lihat, Suma-kongcu yang lihai itu masih ada. Kalau dia, seperti kurasa begitu, ditugaskan oleh Kaisar untuk membantu pasukan Hok-ciangkun, melihat keluarga kita dibawa oleh wanita-wanita garuda itu, tentu dia akan turun tangan, tak mungkin dia diam saja tugas Hokciangkun digagalkan oleh wanita-wanita garuda itu. Kaulihat juga, dialah satu-satunya orang yang masih hidup di tempat tadi. Agaknya rombongan para wanita garuda itu dibunuhnya pula semua.”

“Tapi, kalau benar begitu ke mana perginya ibu dan lain-lain? Kenapa dia tidak membunuh kita juga setelah dia melihat kita bertiga tadi? Aihhh, bingung aku setelah mendengar dugaan-dugaanmu Koko.!”

“Sudahlah,” Jenderal Kao menyela. “Tidak peduli itu semua, yang penting, kita harus dapat membekuk pemuda gila itu dan semuanya akan menjadi terang. Mari kita kejar dan cari dia!”

Kembali tiga orang yang sedang dicekam kegelisahan karena kehilangan keluarga itu melanjutkan pencarian mereka, keluar dari dusun menuju ke selatan. Mereka tiba di tepi sebatang sungai yang cukup besar yang menjadl cabang Sungai Huang-ho. Terhalang oleh sungai ini, Jenderal Kao termangu-mangu. Benarkah pengejaran mereka? Apakah Suma-kongcu lewat ke sini?

Selagi dia bingung dan tidak tahu harus melanjutkan pengejaran ke mana, tiba-tiba mereka melihat sebuah perahu meluncur di tengah sungai dan dengan cepatnya perahu itu meluncur ke pinggir, ke arah di mana mereka berdiri. Seorang bertubuh tinggi kurus mendayung perahu itu dan benar-benar luar biasa tenaganya karena kekuatan mendayungnya mampu melawan arus sungai yang cukup kencang di bagian yang menikung itu.

Perahu itu bercat hitam, di ujungnya berkibar sebuah bendera kecil hitam pula. Dengan tangkas, orang tinggi kurus itu melemparkan sehelai tali yang dengan tepatnya mengait akar pohon di tepi sungai, kemudian, dalam jarak yang masih ada empat tombak jauhnya, sekali menggerakkan kakinya orang tinggi kurus itu telah meloncat ke darat. Jenderal Kao Liang terkejut dan diam-diam dia memuji. Ginkang yang luar biasa!

Akan tetapi, sebelum Si Tinggi Kurus itu mengeluarkan suara, dan dia sedang memandang kepada Jenderal Kao bertiga sambil menyeringai, dari dalam perahu terdengar suara yang tinggi nyaring melengking, “Inikah ikan-ikan itu, Hoa-gu? Mana yang lain-lain? Kelihatan ikan-ikan ini sudah kehilangan sisik-sisik dan sirip-siripnya, untuk apa lagi? Tidak ada gunanya. Mungkin kita sudah didahului nelayan-nelayan lain!” Ucapan,, itu seolah-olah percakapan nelayan, akan tetapi Jenderal Kao Liang yang memliiki banyak pengalaman itu maklum bahwa maksudnya bukan demikian. Pembicara itu menganggap mereka bertiga seperti ikanikan yang sudah kehilangan sisiknya, artinya orang-orang yang sudah tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Dan sebutan terhadap Si Tinggi Kurus itu pun aneh. Hoa-gu, berarti Kerbau Belang dan Si Tinggi Kurus itu kulit muka dan lehernya belang-belang, agaknya menderita penyakit panu yang sudah menahun dan sudah tak dapat disembuhkan lagi. Akan tetapi, biasanya orang-orang yang menggunakan julukan aneh-aneh memiliki kepandaian yang aneh pula, apalagi tadi Si Tinggi Kurus sudah mendemonstrasikan ginkang yang hebat. Maka dia berhatihati dan memberi isyarat kepada dua orang puteranya agar berhati-hati.

“Hemmm, tidak salah lagi, agaknya wanita itu yang sudah mendahului kita, Khiu-pangcu!” kata Si Tinggi Kurus sambil menoleh ke arah perahu. Jenderal Kao makin waspada. Orang di dalam perahu itu dipanggil pangcu, tentu seorang ketua dari perkumpulan golongan hitam.

“Ahhh, itu salahku sendiri, Hoa-guji! Kenapa kau tidak becus mengalahkan perempuan itu kemarin. Tapi lebih baik kautanyakan mereka, kemana larinya wanita-wanita itu, agar kita dapat mengejar dan mencegat mereka sebelum mereka kembali ke sarang mereka!”

Tiba-tiba ada bayangan berkelebat. Jenderal Kao Liang menjadi kaget ketika tahu-tahu bayangan yang mencelat dari dalam perahu itu telah berdiri di depannya dan ternyata orangnya tidak seberapa, hanya seorang kakek tua yang bertubuh pendek kecil dan kelihatan lemah. Agaknya dengan sekali tamparan tangannya yang kuat, tubuh si kecil tua itu akan remuk! Akan tetapi tentu saja Jenderal Kao tidak setolol itu dan dia tahu bahwa si kecil ini malah lebih berbahaya daripada Si Tinggi Kurus!

Jenderal Kao pura-pura tidak mengerti akan arti percakapan mereka tadi, maka dia mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata, “Harap maafkan, kami ingin sekali bertanya kepada Ji-wi, apakah Ji-wi ada melihat seorang pemuda berpakaian putih lewat di sini? Kami sedang mencarinya.”

Kakek kecil itu tertawa dan melangkah maju. “He-he, kami tidak melihat orang lain di sini, dan bukankah engkau ini Jenderal Kao Liang yang sudah ditendang keluar dari kota raja? He-hehe!” Kata-kata dan sikap kakek ini menghina sekali.

Kok Han sudah melangkah maju hendak mendamprat, akan tetapi ayahnya melarangnya dan Jenderal Kao Liang dengan tenang menjawab, “Aku adalah Kao Liang, tepat seperti dugaanmu, sobat. Siapakah engkau, kudengar kau disebut pangcu. Engkau ketua dari perkumpulan apakah?”

“He-he, aku orang she Khiu hanya ketua yang ke dua, mewakili Twako (Kakak) untuk mengambil hartamu yang kaubawa dari kota raja. He-he, jenderal bekas, lekas kaukatakan, di mana hartamu itu dan siapa yang membawanya?”

“Iblis hina dan busuk!” Kok Han tak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar ayahnya dihina seperti itu dan dia sudah menerjang ke depan dengan pedangnya, menusuk kakek kecil itu dengan jurus maut Tit-ci-thian-lam (Menuding ke Arah Selatan), pedangnya langsung meluncur ke, arah ulu hati kakek itu dengan kecepatan kilat sehingga nampak sinar berkelebat menyilaukan mata.

“He-he, bocah, kau boleh juga!” Kakek kecil itu terkekeh, miringkan tubuhnya dan jari tangannya menyentil.

“Tringgggg....!”

“Ahhhhh!” Kao Kok Han berseru kaget dan cepat dia meloncat ke belakang mengikuti ke mana pedangnya terpental karena pedang yang kena disentil oleh kuku jari tangan kakek itu hampir saja terlepas dari pegangannya.

“Iblis tua bangka!” teriak Kok Tiong yang menjadi marah dan orang muda ini pun telah menyerang dengan pedangnya dengan hebat. Namun dengan mudahnya kakek kecil itu mengelak, kemudian kakinya yang pendek kecil itu mengelak, hampir saja mencium lambung Kok Tiong kalau saja dari samping Jenderal Kao Liang tidak cepat menangkis dengan tangan kirinya.

“Dukkkkk!”

Jenderal Kao Liang merasa betapa lengannya yang bertemu dengan kaki itu merasa nyeri dan kesemutan, maka dia terkejut sekali, maklum bahwa kakek itu benar-benar amat lihai.

“He-he-he! Kiranya bekas Jenderal Kao masih belum kehilangan kepandaiannya! Akan tetapi seorang jenderal tanpa pasukan, mau bisa apakah?” Kakek kecil itu mengejek dan kini Jenderal Kao Liang menjadi marah sekali.

“Engkau tentu seorang pangcu dari golongan perampok busuk!” teriaknya. “Biarpun aku tidak memegang jabatan apa-apa, sudah menjadi kewajibanku untuk membebaskan rakyat dari gangguanmu!”

Jenderal itu sudah meloloskan pedangnya yang panjang, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menerjang dengan gerakan yang amat kuat dan cepat. Kakek kecil ini pun tidak berani memandang rendah, cepat dia rnengelak dan balas menyerang, akan tetapi dia masih saja terkekeh dan menghadapi jenderal tua ini dengan tangan kosong belaka.

Kok Tiong dan Kok Han menerjang maju, akan tetapi mereka dihadang oleh kakek tinggi kurus yang sudah memegang sebatang dayung. Melihat ini, dua orang muda itu cepat memutar pedang mereka danmenyerang. Si Tinggi Kurus memutar dayungnya pula menangkis.

“Cringgggg! Tranggggg....!” Bunga api berpijar dan dua orang muda itu maklum bahwa selain kakek tinggi kurus ini bertenaga besar, juga dayungnya itu ternyata bukan dayung kayu seperti biasa, melainkan dayung baja yang amat kuat pula.

Terjadilah pertempuran hebat dan seru di tepi sungai itu. Jenderal Kao Liang memang seorang yang memilikl tenaga besar sekali, akan tetapi ilmu silatnya biarpun cukup tinggi, masih tldak selihai ilmu perangnya. Dia memutar pedangnya dengan cepat dan kuat sampai terdengar suara berdesingan dan pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi ternyata kakek kecil itu memiliki ginkang yang luar biasa, tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang seperti lenyap dari pandang mata Jenderal Kao sehingga membuat jenderal tua ini terkejut dan juga bingung. Betapapun juga, kakek kecil yang memandang rendah dan bersikap sombong itu, yang menghadapi Jenderal Kao Liang dengan tangan kosong belaka, juga tidak mudah merobohkan Sang Jenderal yang tubuhnya terlindung oleh sinar pedangnya.

Lima puluh jurus telah lewat dan Jenderal Kao Liang masih terus menyerang lawannya dengan kemarahan yang berkobar-kobar. Dia maklum bahwa lawannya ini sedikit banyak tahu akan semua peristiwa yang menimpa keluarganya, maka ingin dia merobohkan lawan ini, kalau bisa tidak sampai membunuhnya agar dia dapat memaksanya mengaku. Akan tetapi, tubuh lawan ini terlalu cepat bergerak.

“He-he-he, jenderal yang tidak terpakai! Kau masih berani melawan terus?” Kakek kecil itu mengejek dan kini dia berdiri dekat sekali dengan tepi sungai, membelakangi sungai.

Melihat ini, Jenderal Kao Liang yang menjadi marah sekali melihat kesempatan baik. Lawannya sudah berada di tepi sungai, tidak ada jalan untuk mengelak lagi, maka dia lalu mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau, pedangnya menusuk dengan kuat sekali ke arah dada lawan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Si kakek kecil itu lenyap. Demikian cepat gerakannya ketika menjatuhkan diri sehingga tidak kelihatan oleh Jenderal Kao. Tahu-tahu kakek kecil itu dari bawah menangkap lengan tangan Jenderal Kao yang memegang pedang dan secepat itu pula kakinya dua kali bergerakmenendang. ke arah lutut Jenderal Kao. Jenderal ini berseru kaget, kedua kakinya terasa lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, kakek kecil itu telah menyentak tangannya, menariknya ke atas membuatnya terlempar ke atas, melampaui kepala kakek kecil itu dan terlempar ke tengah sungai!

“Byuuuuurrr....!” Tubuh yang tinggi besar itu menimpa air yang muncrat tinggi. Jenderal yang kehilangan pedangnya itu mencoba untuk berenang akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan betapa dua buah kakinya belum dapat digerakkan, masih setengah lumpuh oleh totokan ujung sepatu kakek kecil itu. Terpaksa dia hanya menggunakan kedua tangannya untuk digerakkan menahan agar tubuhnya tidak tenggelam dan kini tubuhnya dibawa hanyut, terseret oleh arus sungai yang kuat.

“Ayahhhhh....!” Kok Tiong berseru kaget sekali. Akan tetapi dia dan adiknya masih belum mampu mengalahkan lawan yang memegang dayung, bahkan mereka terancam oleh sinar dayung yang berkelebatan. Kiranya orang yang berjuluk Kerbau Belang ini kuat sekali, dan kadang-kadang dari tenggorokannya keluar suara seperti seekor kerbau marah dan tiap kali terdengar suara ini, tenaga yang menggerakkan dayungnya menjadi berlipat ganda kuatnya, membuat dua orang saudara Kao ltu kewalahan. Namun dengan kerja sama yang rapi, mereka berdua masih dapat saling melindungi dan menahan amukan kakek tinggi kurus yang memutar dayungnya secara istimewa.

“He-he-he, Hoa-gu-ji, engkau benar-benar mengecewakan. Masa menghadapi dua ekor ikan kecil saja masih belum mampu menangkapnya?” Kakek kecil yang telah berhasil melontarkan tubuh Jenderal Kao Liang ke tengah sungai itu tertawa, tubuhnya berkelebat dan dengan cepat sekali, menggunakan kesempatan selagi dua orang saudara Kao itu menangkis dayung dengan pedang mereka, dia menotok jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kiri mereka sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, Kok Tiong dan Kok Han mengeluh dan roboh lemas.

Hoa-gu-ji menggerakkan dayungnya ke arah kepala mereka.

“Wuuuuutttttt.... plakkk!” Dayung itu terpental, bertemu dengan telapak tangan Si kakek kecil. “Gilakah kau, Hoa-guji? Kita membutuhkan mereka, mengapa hendak kaubunuh?”

Hoa-gu-ji cemberut dan dia teringat, maka cepat dia mengambil tali dari perahu dan mengikat kedua tangan Kok Tiong dan Kok Han. Dia tadi marah sekali karena merasa malu bahwa dia tidak mampu merobohkan dua orang musuh itu, maka dalam kemarahannya hampir dia membunuh mereka. “Maafkan, Pangcu, hampir saya lupa,” katanya setelah mengikat mereka dan melemparkan tubuh mereka ke atas perahu.

Tak lama kemudian, perahu yang kini membawa dua orang tawanan itu sudah meluncur lagi ke tengah sungai mengikuti arus. “Hayo katakan, di mana adanya harta benda Ayah kalian! Kalau tidak mau mengaku, terpaksa kalian akan kami jadikan makanan ikan di sungai ini!” Kakek kecil itu membentak.

“Persetan dengan kamu, iblis tua bangka!” bentak Kok Han dengan marah, sedikit pun juga tidak takut atau jerih menghadapi ancaman kakek kecil itu. Akan tetapi, Kok Tiong yang lebih cerdik tidak ingin mati konyol begitu saja. Tidak, mereka berdua harus hidup, apalagi sekarang setelah ayah mereka pun lenyap, hanyut ditelan air sungai. Mereka harus mencari keluarga mereka lebih dulu dan tidak boleh mati begitu saja.

“Pangcu, engkau telah keliru menyerang orang,” katanya tenang. “Ayah kami memang membawa harta benda, akan tetapi kemarin kami telah diserbu orang-orang yang tidak kami ketahui siapa, keluarga kami ditawan dan harta benda itu pun ikut pula terbawa. Kami bertiga sedang mencari mereka ketika bertemu dengan engkau di tepi sungai.”

“Wah, celaka, benar-benar ada orang mendahului kita, Hoa-gu-ji. Orang muda, ceritakan semua dengan jelas.”

Kao Kok Tiong lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpanya, tentu saja tanpa menceritakan dugaannya tentang utusan kaisar dan tentang keluarga Suma. Kakek kecil itu mendengarkan dengan alis berkerut dan dia menarik napas panjang. “Celaka, siapa lagi kalau bukan perempuan-perempuan iblis garuda hitam itu? Hoa-gu-ji, hayo cepat kita ke hilir, kita harus dapat mencari mereka!”

Perahu meluncur makin cepat karena kini selain digerakkan oleh kekuatan arus air, juga dlbantu oleh kekuatan dayung yang digerakkan oleh Hoa-gu-ji. Dua orang saudara Kao yang rebah di atas perahu dengan kedua tangan terbelenggu, merasa miris juga melihat perahu meluncur demikian cepatnya, apalagi karena mereka memang tidak biasa bermain di air. Diam-diam mereka mengkhawatirkan keadaan ayah mereka yang tadi mereka lihat terlempar ke air dalam keadaan masih hidup dan berusaha berenang namun terseret oleh arus air.

Khiu-pangcu dan Hoa-gu-jin kini kelihatan bersikap waspada dan siap siaga di atas perahu ketika perahu itu melewati sebuah hutan yang liar dan hebat. Mendadak tampak sinar berkelebat diikuti suara berdesing dan tahu-tahu sebatang anak panah menancap di kepala perahu. Anak panah itu ditempeli sebuah lencana perak bergambar garuda hitam dan di bawahnya terdapat dua buah huruf berbunyi SUI TIN (Pasukan Air). Melihat ini dari tempat ia rebah, Kok Tiong dan Kok Han teringat akan lencana yang mereka dapatkan di dekat mayat wanita berpakaian hitam karena memang sama gambar dan bentuknya, hanya lencana yang mereka temukan itu memakai huruf Pasukan Kayu, sedangkan yang menempel di anak panah ini huruf-hurufnya berbunyi Pasukan Air.

Khiu-pangcu terkekeh, lalu mencabut anak panah itu dan melemparkannya ke sungai.

“Singgggg....!” Cepat sekali anak panah itu meluncur seperti terlepas dari gendewa dan anak panah itu menancap di batu karang di tepi sungai, masuk sampai sepertiganya ke dalam batu karang itu. Hal ini saja membuktikan betapa hebat sinkang dari kakek kecil itu, kekuatan lemparannya tadi jauh lebih kuat daripada kalau anak panah itu meluncur dari sebatang gendewa!

Kini kakek kecil ltu bangkit berdiri di atas kepala perahu, kakinya terpentang lebar dan kedua lengannya bertolak pinggang, lalu terdengar suaranya yang tinggi melengking nyaring, bergema di dalam hutan di seberang sungai, “Haiiiii....! Kenapa hanya pimpinan Pasukan Air saja yang keluar menyambutku? Mana keempat pasukan yang lain? Hayo keluarlah kalian menyambut Khiu-pangcu yang sudah datang ke sini! Malam kemarin kepala Pasukan Kayu telah berani menghina seorang anggauta kami, hayo suruh dia keluar pula kalau berani!”

Siapakah pelempar anak panah yang menancap di perahu itu? Dan siapakah mereka yang memakai lencana garuda hitam itu? Mereka itu adalah anggauta-anggauta dari perkumpulan Hek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Hitam) yang berpusat di puncak Gunung Cemara. Perkumpulan ini terdiri dari wanita-wanita yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi, dan tangan mereka semua dicacah gambar burung garuda. Di antara mereka dibagi menjadi pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Api, Pasukan Air, Pasukan Tanah, Pasukan Besi dan Pasukan Kayu, masing-masing memiliki keistimewaan sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu di seberang sungai, “Kakek sombong, jangan tekebur, kau!” Dan munculiah seorang wanita cantik berusia kurang lebih tiga puluh tahun dari balik semak-semak, seorang wanita yang pakaiannya serba hitam dan yang memegang sepasang pedang. “Tidak perlu saudara-saudara kami maju, cukup kami saja yang akan melawanmu dan akan membunuhmu, kecuali kalau kauserahkan tawananmu itu kepadaku, kami akan membebaskan engkau!”

“He-he-he-he, perempuan cantik suaranya nyaring!” Kakek kecil itu tertawa dan perahu lalu didayungnya ke pinggir. Kakek tinggi kurus mengikat perahu di tepi, kemudian bersama Khiu-pangcu dia lalu meloncat ke darat, dengan sikap angkuh dan tersenyum simpul.

“He-heh-heh, Nona cantik. Engkau tentu kepala dari Pasukan Air, bukan? Percuma saja kau membahayakan kulitmu yang halus, lebih baik suruh semua pasukan maju mengeroyok aku.”

Wanita itu menudingkan pedang kirinya ke arah muka kakek kecil sedangkan pedang kanannya melintang di depan dada, sambil berkata, “Khiu-pangcu, jangan kau sombong. Saat ini aku Kim-hi Nio-cu (Nona Ikan Emas) yang bertugas dan berjaga di sini, maka cepat kauserahkan tawananmu itu kepadaku sebelum terpaksa aku turun tangan menggunakan kekerasan.”

“Ha-ha-he-heh, sungguh gagah! Mari, mari, Nona manis, mari kita main-main sebentar, hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu!” Khiu-pangcu lalu meraba pinggangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika dia telah meloloskan sabuk atau ikat pinggangnya yang panjang dan ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata cambuk yang ada gagangnya dan yang ujungnya bercabang-cabang itu.

“Kau bosan hidup!” Wanita cantik yang berjuluk Nona Ikan Emas itu membentak, pedangnya berkelebatan dan dalam gebrakan pertama, sepasang pedangnya telah menyambar-nyambar dan menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata. Gerakan nona ini cepat sekali dan agaknya dia memiliki ginkang yang amat hebat, sehingga dia menjadi lawan yang sama cepatnya dengan kakek kecil itu. Akan tetapi, Khiu-pangcu tertawa mengejek dan begitu dia menggerakkan cambuknya, terdengar suara bersuitan menyakitkan telinga, diselingi ledakan-ledakan kecil dan setiap ledakan itu mengakibatkan mengepulnya sedikit asap putih, tanda bahwa gerakan cambuk itu memang kuat sekali.

Kim-hi Nio-cu menyerang ganas, sepasang pedangnya merupakan sepasang cengkeraman maut yang mengintai nyawa, akan tetapi dua gulungan sinar pedang itu selalu terbendung dan terpental kalau bertemu dengan lingkaran hitam dari cambuk di tangan Khiu-pangcu, bahkan sering kali terdengar ledakan-ledakan kecil di atas kepala si Nona Ikan Emas, membuat wanita itu kadang-kadang menjerit kaget dan disusul suara tertawa mengejek dari Khiu-pangcu.

Tiba-tiba Kim-hi Nio-cu mengeluarkan suara bersuit dan munculiah lima orang wanita anak buahnya yang semua memegang pedang di tangan. Akan tetapi, kini Hoa-gu-ji tertawa dan menghadang dengan dayungnya yang panjang, dan begitu lima orang wanita itu maju menyerbu, dayungnya diputar dan lima orang wanita itu tertahan gerakannya tidak dapat membantu Kim-hi Nio-cu yang terpaksa melayani sambaran-sambaran cambuk yang amat lihai dari Khui-pangcu itu.

Tak lama kemudian, ketika Kim-hi Nio-cu sudah terdesak hebat, demikian pula lima orang anak buahnya, terdengar suitan dari jauh dan munculiah seorang wanita lain yang usianya juga tiga puluh tahunan, yang cantik tidak kalah dengan Kim-hi Nio-cu, bahkan kulitnya lebih putih sehingga pakaian hitam itu membuat wajahnya putih halus seperti salju. wanita ini bersenjatakan sebatang golok kecil lebar yang mengeluarkan sinar gemerlapan. Inilah kepala dari Pasukan Tanah.

“Adik Liong-li, bantulah aku!” teriak kepala Pasukan Air dengan girang.

Tanpa diminta untuk kedua kalinya, wanita cantik yang disebut Liong-li itu segera menerjang maju dengan goloknya membantu Kim-hi Nio-cu mengeroyok Khiu-pangcu sambil berkata, “Kiranya Khiu-pangcu, Si tua bangka keparat!”

“He-he-he, cantik.... cantik....!” Gunung Cemara sarang bidadari, sebetulnya menjadi sumber kenikmatan dan kesenangan, sayang malah menjadi sumber kejahatan dan kekacauan! He-he-he!” Khiu-pangcu masih sempat tertawa ketika dia mengelak dari sambaran sinar kilat dari golok di tangan Liong-li.

Pertempuran menjadi makin hebat, akan tetapi ternyata bahwa tingkat kepandaian dua orang wanita itu masih kalah jauh dibandingkan dengan tingkat kepandaian Khiu-pangcu. Lewat lima puluh jurus, sinar hitam dari cambuknya mengurung dan menghimpit, membuat dua orang wanita itu mandi keringat dan tak lama kemudian, Khiu-pangcu berhasil merobohkan mereka dengan totokantotokannya yang lihai. Juga Si Tinggi Kurus Hoa-gu-ji berhasil merobohkan lima orang pengeroyoknya yang cepat meloncat ke air, menyelam dan lenyap.

“He-he-he, percayakah kalian sekarang?” Khiu-pangcu tertawa mengejek, menyimpan sabuknya dan memandang dua orang wanita yang roboh terlentang dan tak dapat bergerak karena tubuhnya lumpuh, hanya mata mereka memandang dengan mendelik marah kepada kakek kecil itu. “Seharusnya kalian mengajak semua saudara kalian ke sini baru bisa agak seimbang melawan aku. Nah, sekarang katakan, di mana adanya harta rampokkan milik keluarga Jenderal Kao itu? Katakan sebenarnya, kalau tidak kalian akan kubunuh, kemudian akan kutantang ketua kalian biar peristiwa dua tahun yang lalu terulang kembali. Sayang, ketika itu muncul Pendekar Siluman Kecil sehingga pertempuran terhenti dan nyawa Perkumpulan Hek-eng-pang selamat.”

“Bedebah tua bangka! Siapa takut mati? Mau bunuh lekas bunuh, akan ada teman-teman kami yang membalaskan kematian kami, yang akan melumatkan perkumpulanmu dan meratakan sarang kalian dengan bumi. Hayo, bunuhlah!” Kim-hi Nio-cu menantang.

“Tua bangka gila, namaku bukan Liong-li kalau aku takut mampus!” Kepala Pasukan Tanah juga menantang dengan pandang mata menghina.

Khiu-pangcu menggaruk-garuk kepalanya. “Wah, wah, hebat sekali. Hoa-guji, kalau anak buah kita tidak setabah mereka ini, sungguh kita harus merasa malu.”

“Ji-pangcu (Ketua Ke Dua), boleh jadi mereka tidak takut mati, akan tetapi apakah Pangcu lupa bahwa ada sesuatu yang lebih ditakuti wanita daripada maut?” Hoa-gu-ji berkata sambil tertawa menyeringai, memperlihatkan gigi yang sudah keropok dan kuning dekil.

“Hah? Ohhh.... he-he-hea....kau memang cerdik!” Khiu-pangcu berkata dan sambil tertawa-tawa dia lalu berjongkok mendekati tubuh Kim-hi Niocu, menggunakan kedua tangan menggerayangi tubuh wanita cantik itu sambil mulai melepas-lepaskan pakaiannya. Sedangkan Hoa-gu-ji dengan lagak menjemukan juga menggerayangi tubuh Liong-li dan melepaskan kancing-kancing baju wanita cantik itu.

Kim-hi Nio-cu dan Liong-li menjerit.

“Tua bangka! Apa yang kaulakukan ini? Lepaskan aku!” Kim-hi Nio-cu berteriak.

“Keparat tak tahu malu, lepaskan aku!” Liong-li juga menjerit-jerit, akan tetapi karena tak dapat bergerak, maka dia hanya terbelalak penuh kengerian.

“He-he-he, hendak kulihat, kau lebih suka dicemarkan atau berterus terang!” Khiu-pangcu mengejek dan sudah mulai menanggalkan pakaian luar Kim-hi Nio-cu sehingga mulai nampaklah bentuk tubuhnya yang padat membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis, dan nampak pula kulitnya yang putih halus dan menggairahkan itu.

“Jangan....! Kami.... akan berterus terang....!” Akhirnya Kim-hi Nio-cu berteriak dengan suara lemah, tanda bahwa dia tidak mempunyai semangat untuk melawan lagi. Menghadapi kematian dia masih tabah, akan tetapi kalau harus dihina lebih dulu oleh kakek yang menjijikkan ini, benar-benar hebat dan dia tidak sanggup menghadapinya. “Akan tetapi kau harus berjanji demi kedudukanmu bahwa kalau kami mengaku terus terang, kau tidak akan mencemarkan kehormatan kami.”

Khiu-pangcu bangkit berdiri. “He-he-he.... siapa sih yang masih haus akan tubuh perempuan muda? Aku sudah muak!”

“Tapi.... dia.... dia ini....!” Liong-li menjerit. Hoa-gu-ji yang agaknya sudah bangkit berahinya itu mulai meraba celana dalam berwarna hitam yang amat kontras dengan paha yang putih mulus dari Liong-li.

“Hoa-gu-ji, kau benar-benar seperti kerbau! Hayo mundur!” Khiu-pangcu membentak dan kakek tinggi kurus itu tersentak kaget, lalu bangkit dan mundur dengan muka merah menarik napas menahan nafsu berahinya yang berkobar dan jelas dia amat kecewa.

“Nah, ceritakanlah!” Khiu-pangcu menghardik kepada Kim-hi Nio-cu.

“Harap.... bebaskan dulu kami.... bicara begini tidak enak....”

“Huhhh, dasar perempuan. Cerewet amat!” Khiu-pangcu mengomel, akan tetapi tetap saja tangannya bergerak dua kali dan dua orang wanita muda cantik itu dapat bergerak, lalu cepat-cepat mereka memakai kembali pakaian luar mereka yang sudah ditanggalkan oleh dua orang kakek itu. Setelah, itu, barulah Kim-hi Nio-cu bercerita dengan suara lirih, karena sesungguhnya dia terpaksa mengalah.

“Kami belum mendapatkan harta Jenderal Kao. Kami bertemu dan bentrok dengan pesukan asing yang lihai, bahkan adik kami kepala Pasukan Kayu telah tewas ketika bertanding dengan pemimpin pasukan asing itu. Karena kami belum mendapatkan harta itu, maka kami mengejar Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang kautawan itu untuk menanyakan di mana adanya harta benda mereka yang tadinya mereka bawa dalam rombongan mereka dari kota raja.”

“Aih, begitukah? Kalau begitu kita semua telah dipermainkan oleh keluarga Kao itu!” Khiu-pangcu berkata marah. “Hoa-gu-ji, seret mereka keluar dari perahu dan bawa ke sini!”

Hoa-gu-ji yang masih kecewa itu kini dengan kasar menyeret tubuh Kok Tiong dan Kok Han keluar dari perahu dan melemparkan tubuh mereka yang terbelenggu itu ke atas tanah di depan kaki Khiu-pangcu. Dua orang muda itu menggulingkan tubuh agar terlentang dan dapat melihat orang-orang yang menawannya. Mereka melihat dua orang wanita cantik itu dan menduga-duga siapa adanya mereka.

“Hayo katakan yang sebenarnya, di mana kalian menyembunyikan harta Ayah kalian yang tadinya kalian bawa dalam rombongan itu! Kalau tidak, jangan mengatakan Khiu-pangcu berlaku kejam, kalian tentu akan kusiksa di sini!” Khiupangcu membentak marah karena dia merasa dipermainkan.

Kok Han memandang dengan mata melotot. “Sudah kukatakan padamu, terserah kamu percaya atau tidak!” Pemuda ini membentak juga. “Mau siksa, mau bunuh, siapa sih yang takut?”

Kok Tiong cepat berkata, “Pangcu, kami adalah putera-putera seorang besar dan keluarga kami semenjak puluhan tahun terkenal sebagai keluarga pahlawan yang pantang untuk membohong, apalagi memberatkan harta benda! Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu siapa yang merampas harta kami, siapa pula yang menculik keluarga kami.”

“Hemmm, agaknya kalian perlu diberi rasa sedikit. Bocah-bocah keras kepala, biarpun kalian putera-putera bekas Jenderal Kao Liang, akan tetapi agaknya kalian belum mengenal siapa aku, ya? Dan kalian belum mendengar tentang senjata rahasiaku Touw-kut-tok-ciam (Jarum Beracun Penembus Tulang)! Apakah kalian mau merasakannya?”

“Khiu-pangcu, kami kira mereka ini tidak berbohong. Perlu apa menggunakan jarum beracunmu yang mengerikan itu?” Tiba-tiba Kim-hi Nio-cu mencela kakek itu.

“Ha-ha-he-he, agaknya kau sayang melihat ketampanan mereka, ya? Hoh ho, biar kalian juga melihat betapa hebatnya jarum Touw-kut-tok-ciam dari Khiu-pangcu, agar lain kali kalian bocah-bocah tidak berani kurang ajar melawan aku!”

Akan tetapi tiba-tiba kakek ini tidak melanjutkan tangannya yartg hendak merogoh saku mengeluarkan jarum beracunnya, karena pada saat itu terdengar suara orang bersenandung, Ialu lewatlah seorang pemuda berpakaian abu-abu di tempat itu. Dua orang putera Jenderal Kao yang terlentang melihat pemuda ini dan hampir saja mereka mengira bahwa yang lewat itu adalah Suma-kongcu yang mereka cari-cari, karena suara itu hampir sama dengan suara senandung yang mereka dengar di atas tebing kemarin dulu. Akan tetapi orang ini pakaiannya abu-abu, tidak putih-putih, dan ketika mereka berdua memandang wajah itu, mereka tahu bahwa orang ini bukanlah Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu yang pernah mereka lihat dan mereka kenal.

Pemuda berpakaian abu-abu itu menghentikan senandungnya dan bahkan berhenti melangkah, lalu menghampiri mereka dengan wajah heran. “Eh, ada terjadi apakah di sini? Mengapa kalian berdua tiduran di tanah yang kotor? Eh, bukankah kalian ini putera-putera Jenderal Kao Liang?” Pemuda itu laiu menoleh dan memandang bergantian kepada dua orang wanita Garuda Hitam dan kepada Khiu-pangcu dan Hoa-gu-ji, kemudian dia mengerutkan alisnya dan menegur. “Heiii, kenapa kalian menawan dua orang putera Jenderal Kao Liang ini? Ehem, tentu kalian mengincar harta benda mereka, bukan? Tolol, mereka itu adalah keluarga yang gagah perkasa dan bersih, harta benda mereka bukanlah hasil korupsi. Sama sekali bukan, melainkan harta yang bersih, hasil dari jerih payah dan keringat mereka sendiri. Ho-ho, kalian memang tolol, karena kalian sudah terlambat semua, harta itu telah berada pada Suma-kongcu.”

“Eh, bocah lancang, kau tahu apa?” Khiu-pangcu membentak marah, tangannya melayang. Dalam kemarahannya karena dia tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda ini, yang bahkan memakinya tolol, di dalam tamparan itu Khiu-pangcu mengerahkan sinkangnya sehingga tamparan itu mengandung tenaga yang amat kuat, yang bahkan cukup kuat untuk menghancurkan batu karang, apalagi kepala pemuda yang kelihatan lemah itu.

“Wuuuuuttt.... plakkkkk.... aughhh....!”

Sungguh mengherankan sekali. Pemuda itu agaknya dengan acuh tak acuh, dengan gerakan sembarangan saja, mengangkat tangan menyambut tamparan itu sehingga dua tangan itu bertemu, dan akibatnya, Khiu-pangcu terhuyung ke belakang memegangi tangannya dan meniup-niupnya karena terasa panas seperti dibakar!

“Bangsat cilik keparat!” Kakek itu marah sekali dan memandang dengan mata terbelalak, kemudian dia sudah menerjang dengan kedua tangannya digerakkan, yang kiri menotok ke arah tengah-tengah antara mata dan yang kanan mencengkeram ke arah pusar pemuda berpakaian abu-abu itu. Jelas betapa marahnya Khiu-pangcu karena, serangan yang dilakukannya ini adalah serangan maut yang amat hebat, yang sukar dihadapi oleh yang tangguh sekalipun, apalagi oleh orang muda tidak ternama yang berpakaian sederhana seperti seorang pemuda gunung biasa itu.

“Wuuuttttt, plak-plak, desssss....!” Dan semua orang terbelalak melihat Khiu-pangcu roboh terjengkang.

“Blukkk!” Pantat yang tipis dari Khiu-pangcu terbanting ke atas tanah, debu mengebul dan kakek kecil itu meringis kesakitan, juga keheranan.

“Siuuuuuttttt....!” Sebatang dayung panjang meluncur dan menghantam ke arah kepala pemuda berpakaian abu-abu itu. Itu adalah penyerangan yang dilakukan oleh Hoa-gu-ji, yang menjadi marah melihat betapa ketuanya sampai dua kali dibikin malu oleh pemuda itu. Hantaman dayungnya itu amat kuat, mengandung tenaga ratusan kati dan akan menghancurkan batu karang kalau mengenainya. Akan tetapi, tanpa menoleh pemuda itu mengangkat tangan kirinya menangkis, gerakan tangannya jelas menunjukkan bahwa sekali ini dia mengerahkan tenaganya.

“Krakkk!” Dayung itu bertemu dengan lengan tangan pemuda itu dan patah! Hoa-gu-ji melongo, akan tetapi dia terkejut sekali karena pemuda itu sudah menyambar sepotong dayung yang patah tadi dan memukulkannya ke arah kepalanya. Pukulan sembarangan saja, seperti seorang yang memukul seekor anjing. Hoa-gu-ji cepat mengangkat sisa potongan dayung, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Bukkk!” Sungguh aneh, biarpun ditangkis, tetap saja potongan dayung itu mengenai punggungnya dan robohlah Hoagu-ji, mulutnya memuntahkan darah segar dan dia sibuk berusaha untuk mengelus punggung dengan kedua tangan, melalui atas dan bawah pundak sambil mengerang kesakitan.

Kalau saja dia tidak begitu marah, tentu Khiu-pangcu sudah dapat mengerti bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, bahkan memiliki kepandaian yang amat hebatnya. Akan tetapi kemarahannya membuat dia seolah-olah menjadi buta. Dengan teriakan nyaring tangannya bergerak dan beberapa sinar putih meluncur ke arah pemuda itu dan menyerang beberapa bagian tubuh yang berbahaya, di tenggorokan, ulu hati, dan pusar. Itulah tiga batang jarum Touw-kut-tok-ciam yang amat berbahaya, yang menyambar dari jarak dekat. Serangan tiba-tiba itu sama sekali tidak dapat dihindarkan lagi oleh pemuda itu, kecuali dua, yaitu yang menyambar ke arah tenggorokan dan pusar. Kedua tangannya bergerak menangkap dua batang jarum itu dengan menjepitnya antara jari tengah dan telunjuk, sedangkan jarum yang meluncur ke arah dadanya, dia terima begitu saja.

“Cappp!” Jarum itu menancap di bajunya dan kedua orang putera Jenderal Kao sudah terbelalak ngeri, apalagi dua orang wanita Garuda Hitam yang sudah mengenal kehebatan jarum beracun itu. Tentu pemuda lihai itu akan celaka karena dadanya telah termakan oleh sebatang jarum yang amat berbahaya itu. Akan tetapi sungguh luar biasa sekali. Pemuda berbaju abu-abu itu seperti tidak merasakan sama sekali, malah sambil tersenyum mengejek dia berkata, “Orang sinting! Kau makanlah sendiri jarum-jarummu!” Dan tangannya yang menjepit jarum-jarum itu meluncur ke bawah, ke arah Khiu-pangcu! Kakek itu berusaha meloncat dan mengelak, akan tetapi dia roboh kembali karena dua batang jarumnya telah menancap di kedua betis kakinya, menembus tulang! Dia terkejut sekali, tergopoh-gopoh dia mengeluarkan sebungkus obat dan cepat-cepat dia menelan empat butir pil hitam, mencabut dua batang jaram itu dan menggosokkan obat pada bekas luka tertusuk jarumnya sendiri. Dia selamat dari bahaya maut, akan tetapi tetap saja dia mengaduh-aduh karena rasa yang menusuk-nusuk tulang akibat bekerjanya racun jarum itu. Pemuda itu dengan sikap tidak peduli lalu mencabut jarum yang menancap di baju dadanya, melemparkan jarum itu jauh ke tengah sungai. Kiranya yang tertembus jarum hanya bajunya dan agaknya kulitnya tidak tertembus, buktinya dia tidak merasakan apa-apa. Sungguh seorang pemuda yang berkepandaian luar biasa sekali.

“Pergilah kalian!” kata pemuda itu kepada dua orang kakek yang telah dirobohkan itu. “Cepat, kalau tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!”

Tergopoh-gopoh Hoa-gu-ji yang punggungnya masih sakit itu memanggul Khiupangcu yang tidak dapat berdiri, lalu dengan susah payah memasuki perahu dan mendayung perahu ke tengah sungai. Mereka ketakutan dan bahkan tidak berani bertanya siapa adanya pemuda baju abu-abu yang amat lihai itu.

Pemuda berpakaian abu-abu itu lalu membungkuk, kedua tangannya bergerak dan dengan amat mudahnya seperti memutus benang-benang saja, dia telah menggunakan jari-jari tangannya untuk mematahkan belenggu kaki tangan dua orang saudara Kao. Mereka itu bangkit berdiri dan menjura untuk menghaturkan terima kasih. Akan tetapi pemuda baju abu-abu itu menggerakkan tangan, agaknya tidak senang melihat orang menghaturkan terima kasih dan ia berkata, “Sudahlah, kalau kalian ingin mencari kembali harta yang hilang, kalian cari saja Suma-kongcu. Yang lain-lainnya aku tidak tahu.”

Dua orang saudara Kao itu mengangguk, mereka masih merasa tegang dan kagum, juga terheran-heran memandang pemuda yang luar biasa ini. Akan tetapi pemuda itu tidak lagi mempedulikan mereka, malah menoleh kepada Kimhi Nio-cu dan Liong-li sambil berkata, “Kalian pun boleh pergi, jangan mengganggu dua orang pemuda ini. Laporkan kepada ketua kalian bahwa aku ingin menemuinya.” Setelah berkata demikian, pemuda baju abu-abu itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ sambil bersenandung.

“Maaf, Taihiap! Bagaimana kami akan melapor ketua tanpa mengetahui nama Taihiap?” Kim-hi Nio-cu berseru dengan sikap hormat.

Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Wajahnya tampan sekali ketika tersenyum, mengusir kemuraman yang membayangi wajah itu. “Katakan saja kepada ketuamu bahwa aku biasa membunuh dengan jari-jari tanganku ini, tentu dia akan mengenalku. Nah, aku pergi!” Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap! Dua orang wanita yang lihai itu menjulurkan lidah penuh rasa kagum , dan ngeri, kemudian mereka pun pergi setelah melirik ke arah dua orang putera Jenderal Kao yang masih berdiri terlongong di tepi sungai.

“Eh, Nona, harap tunggu dulu!” Tiba-tiba Kok Tiong berseru ketika dia melihat dua orang wanita itu pergi meninggalkan tempat itu tanpa bicara apa-apa.

Kim-hi Nio-cu dan Liong-li berhenti, membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Dua orang pemuda putera Jenderal Kao itu gagah dan tampan, tentu saja hati mereka tertarik, akan tetapi teringat akan pesan pemuda berbaju abu-abu, mereka berdua merasa ngeri dan tidak berani mengganggu sedikit pun.

“Ada apakah, Kongcu?” Kim-hi Niocu berkata sambil tersenyum manis, matanya yang jernih memandang tanpa menyembunyikan rasa kagumnya.

“Kami dapat menduga bahwa Nona berdua tentulah anggauta-anggauta perkumpulan yang amat terkenal di daerah ini. Akan tetapi kami tidak tahu, Nona berdua dari golongan apakah? Kami mendengar bahwa ada dua golongan di daerah ini, dan Nona ini dari Gunung Cemara ataukah dari seberang lembah?”

Kim-hi Nio-cu tertawa kecil. “Dua orang tua tadilah yang datang dari lembah,” jawabnya dengan suara merdu. “Mereka itu adalah tokoh-tokoh Huangho Kui-liong-pang (Perkumpulan Naga Setan dari Huang-ho), sedangkan kami adalah kepala-kepala pasukan dari perkumpulan Hek-eng-pang dari Gunung Cemara.

“Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat, Nona. Kiranya Ji-wi (Anda Berdua) adalah kepala-kepala pasukan dari perkumpulan besar Hek-eng-pang. Akan tetapi, Nona tentu tahu ke mana perginya para wanita dan anak-anak, yaitu keluarga kami?”

Kim-hi Nio-cu memainkan matanya, mengerling tajam penuh daya tarik, kemudian sambil meremas-remas jari tangannya, sikapnya seperti seorang dara tujuh belas tahun saja, dia berkata, “Saya tidak bisa bicara banyak. Hoa-gu-ji itu bentrok dengan adik kami, kepala Pasukan Kayu di luar hutan malam kemarin untuk memperebutkan harta, keluarga kalian. Hoa-gu-ji kalah, lalu pergi. Kalian adalah bagian kami. Akan tetapi muncul pasukan asing di tebing ketika kami hendak turun tangan, terjadi perang dan kami menang, sungguhpun kepala Pasukan Kayu, adik kami itu tewas. Sayangnya, harta itu telah dirampas oleh seorang pemuda tampan yang luar biasa sekali, demikian menurut keterangan keluarga kalian, katanya pemuda yang merampas harta itu adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih.”

Kok Tiong bertukar pandang dengan Kok Han, keduanya menduga bahwa tentu itulah Suma-kongcu seperti yang disebut-sebut oleh tukang warung bubur hangat dan oleh pemuda berpakaian abu-abu yang lihai tadi. “Kalau begitu, ke manakah perginya keluarga kami?” tanya Kao Kok Han dengan suara penasaran.

Kembali Kim-hi Nio-cu memainkan matanya, mengerling tajam dan tersenyum manis penuh daya tarik. “Hi-hikkk.... Ji-wi Kongcu yang baik, asal Ji-wi (Anda Berdua) dapat menemukan harta benda itu, yang katanya dibawa oleh pemuda yang bernama Suma-kongcu, dan menyerahkan harta itu kepada kami, hemm.... selain kami akan berterima kasih sekali, akan menjamu Ji-wi sebagai tamu-tamu kehormatan dan tamu-tamu agung, juga kami akan mengatakannya di mana mereka itu. Bagaimana? Nah, Ji-wi carilah pencuri itu sampai dapat, dan kami menanti di puncak Gunung Cemara. Sampai jumpa, Ji-wi Kongcu yang tampan, kami pergi dulu. Marilah, Adik Liong-li!” Kim-hi Nio-cu menggandeng tangan Liong-li, kemudian sambil tertawa-tawa dan dengan lenggang yang memikat, kedua orang wanita cantik yang nyaris diperkosa oleh dua orang kakek tadi, meninggalkan dua orang putera Jenderal Kao yang berdiri bengong dan bingung.

Tentu timbul pertanyaan di hati para pembaca budiman. Siapakah pemuda berpakaian abu-abu yang sederhana, tampan dan amat lihai itu? Bagi para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali, pemuda ini bukanlah seorang asing karena dia merupakan seorang diantara tokoh-tokoh besar cerita itu. Dia bernama Ang Tek Hoat! Pemuda ini adalah putera yang tidak sah dari mendiang Wan Keng In dan Ang Siok Bi. Ibunya itu, Ang Siok Bi, ketika masih gadis telah diperkosa oleh Wan Keng In dan mengandung. Dialah anaknya dan karena dia bukan anak sah dari Wan Keng In, maka ibunya memberi she ibunya dan she itu tetap terus dipakainya. Setelah melalui perjalanan hidup yang berliku-liku, yang dituturkan secara menarik dan menegangkan dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, akhirnya Ang Tek Hoat diaku sebagai seorang pahlawan di negara Bhutan dan ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, seorang puteri yang cantik jelita dan berbudi mulia, yang akhirnya jatuh cinta kepada Ang Tok Hoat, biarpun pemuda ini pernah menjadi seorang yang sejahat-jahat dan sekejam-kejamnya.

Mengingat bahwa ayah kandung Tek Hoat yang bernama Wan Keng In adalah anak tiri dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, maka Tek Hoat terhitung keluarga Pulau Es yang terkenal, karena dia masih cucu tiri dari Pendekar Super Sakti. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Ang Tek Hoat telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari dua orang datuk Pulau Neraka, dan kini dia memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan sukar memperoleh tandingan.

Akan tetapi mengapa pemuda perkasa yang telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, yang diaku sebagai pahlawan negara Bhutan karena pembelaannya ketika negara itu diserang oleh musuh-musuh, kini berkeliaran di lembah Sungai Huang-ho seorang diri? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita mengikutinya sejenak semenjak empat tahun yang lalu, ketika dia terpaksa meninggalkan negara Bhutan.

Seperti telah dituturkan di dalam bagian terakhir dari cerita Kisah Sepasang Rajawali, Ang Tek Hoat telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi dan tinggal di Bhutan sebagai seorang pahlawan yang diangkat menjadi panglima. Dia telah menjadi seorang panglima muda yang terhormat, bahkan terkenal sebagai calon mantu raja, tunangan Puteri Syanti Dewi yang dipuja-puja oleh rakyat Bhutan. Hari pernikahan mereka hanya tinggal menanti keputusan raja saja, yang masih menangguhkannya mengingat bahwa Bhutan baru saja mengalami perang dan bahwa baru saja Puteri Syanti Dewi kembali ke istana Bhutan setelah beberapa tahun lenyap (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali).

Akan tetapi, tidak ada kesenangan yang kekal bagi manusia yang hidup di dunia ini. Di mana terdapat kesenangan, di situ pasti terdapat pula kesusahan. Susah dan senang, puas dan kecewa, suka dan duka, agaknya merupakan pasangan-pasangan yang tak dapat dipisahkan yang menghias kehidupan manusia. Kesenangan yang dinikmati oleh Ang Tek Hoat pun ternyata tidak kekal adanya. Terjadi hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.

Beberapa bulan sudah Ang Tek Hoat tinggal di Bhutan, di sebuah gedung kecil yang amat megah dan indah, sebuah bangunan istana yang tidak jauh dari istana raja. Hampir setiap hari dia dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dan dalam beberapa bulan saja, tubuh Tek Hoat kelihatan segar, sehat dan agak gemuk. Akan tetapi diam-diam dia mulai tidak kerasan, karena kehidupan yang dialaminya sehari-hari terlalu enak, terlalu menganggur dan membuatnya malas. Dia sudah biasa hidup merantau, sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan, yang memerlukan kecerdikan dan ketangkasannya untuk menghadapinya. Kini, dia tinggal di istana indah, tidak ada kerjaan apa-apa kecuali kadang-kadang menghadiri sidang di dalam istana, membicarakan urusan kenegaraan yang tidak begitu dimengerti dan dipedulikannya. Jiwa petualangan di dalam dirinya meronta dan membuat dia tidak kerasan. Namun perasaan ini tentu saja ditahan-tahannya, demi cintanya terhadap Syanti Dewi.

Hari masih pagi sekali dan baru saja Tek Hoat mandi pagi dan bertukar pakaian ketika seorang pengawal menghadapnya dan melapor bahwa terjadi keributan di luar pintu gerbang istana karena ada seorang wanita yang memaksa hendak bertemu dengan Panglima Ang!

“Siapakah dia?” tanya Tek Hoat dengan alis berkerut, akan tetapi hatinya berdebar girang karena baru sekarang terjadi hal yang menegangkan, berbeda dari biasanya yang lewat dengan aman dan mulus tanpa peristiwa berarti.

“Dia tidak mau mengaku namanya, hanya mengatakan bahwa dia harus bertemu dengan Panglima Ang. Ketika di cegah, dia malah merobohkan dua orang perajurit pengawal dan karena dia mengaku kenal baik dengan Paduka, maka para komandan jaga tidak berani lancang turun tangan dan menyuruh hamba datang melapor.

Tek Hoat lalu bergegas meninggalkan gedungnya danpergi ke pintu gerbang di mana para perajurit sedang menghadapi seorang wanita yang marah-marah. Jantungnya berdebar keras ketika mendengar suara wanita itu, cepat dia lari menghampiri dan menguak para perajurit, melangkah ke depan wanita itu.

“Tek Hoat !”

“Ibu....!”

Semua orang melongo ketika melihat betapa panglima baru mereka itu berpelukan dengan wanita galak tadi. Kiranya wanita yang pakaiannya kusut dan kotor, yang galak dan angkuh itu adalah ibu dari panglima besar mereka, ibu dari calon mantu raja mereka, ibu dari tunangan Puteri Syanti Dewi mereka! Tanpa banyak cakap lagi karena di situ terdapat banyak orang, Tek Hoat lalu menggandeng ibunya, diajak ke istananya.

Setelah tiba di istana, kembali wanita itu yang bukan lain adalah Ang Siok Bi, memeluk puteranya sambil menangis sesenggukan. “Terlalu kau.... Tek Hoat, kau sampai bertahun-tahun tiada berita, aku sampai susah payah, sengsara mencari-carimu kiranya engkau menjadi seorang besar di negara asing ini hu-hu-huuuh....”

“Sudahlah, Ibu. Harap kau suka ampunkan aku. Aku mengalami banyak liku-liku dalam hidup, bahkan sampai terseret arus hidup ke tempat ini, dan baru saja hidupku teratur maka aku belum sempat menengok ibu di puncak Bukit Angsa. Sudahlah, ibu harap jangan menangis.”

Setelah rasa penasaran dan keharuan hatinya mereda, Ang Siok Bi lalu mendengarkan penuturan puteranya, semenjak Tek Hoat meninggalkan lembah Huangho sampai dia menjadi panglima besar di Bhutan. Tentu saja semua itu dituturkannya secara singkat dan hanya garis-garis besarnya saja.

“Dan aku memperoleh kenyataan yang pahit, Ibu, yaitu bahwa musuh kita bukanlah Gak Bun Beng “

“Hemmm, aku juga sudah tahu!” tukas ibunya. “Dan sekarang, setelah engkau enak-enak saja di sini sedangkan musuh ibumu masih enak-enak hidup dan engkau belum membalaskan dendam dan sakit hati ibumu? Anak macam apa engkau ini? Mau enak-enak saja di sini menjadi panglima?”

Tek Hoat terkejut. “Ibu! Bukankah Ibu sendiri sudah tahu bahwa Paman Gak Bun Beng bukanlah musuh Ibu? Hampir saja aku berdosa besar dengan memusuhi Paman Gak Bun Beng yang ternyata adalah seorang pendekar budiman yang berbudi mulia, sama sekali bukan musuh kita, dan Ibu tentu sudah tahu pula bahwa musuh kita itu telah tewas.”

“Maksudmu ?”

“Wan Keng In itu.... Ayah.... kandungku.... Si keparat jahanam yang memperkosa Ibu...., ahhh, mengapa dahulu Ibu menceritakan yang bukan-bukan kepadaku? Kiranya Wan Keng In yang memperkosa Ibu, akan tetapi dia menggunakan nama Gak Bun Beng sehingga Ibu mengira Gak Bun Beng yang menjadi Ayah kandungku dan Ibu membohongiku dengan cerita lain agar aku membunuh.... Ayah kandungku. Sekarang, syukur bukan Paman Gak yang berdosa, dan orang yang berdosa, she Wan itu dia telah mati. Habislah sudah riwayat busuk itu, Ibu.”

“Siapa bilang habis? Aku, Ibumu, tidak akan merasa puas sebelum dapat membalas dendam yang kutanggung selama hidupmu ini.”

“Maksud Ibu?”

“Wan Keng In si keparat sudah mati, akan tetapi Ibunya masih ada! lbu kandung keparat itu masih hidup!”

“Ihhhhh....!” Tek Hoat berseru kaget dan membelalakkan matanya. “Ibu tahu siapa Ibu Wan Keng In Itu?”

Ang Siok Bi mengangguk. “Dia bernama Lulu, dia adalah isteri ke dua dari Majikan Pulau Es.

“Dan Majikan Pulau Es adalah Pendekar Super Sakti dan isterinya yang ke dua itu adalah Nenekku! Ibu, betapa mungkin kita harus membalas kepada Nenek yang tidak berdosa apa-apa itu!”

“Tidak peduli! Wan Keng ln sudah mampus, maka Ibunya, wanita yang mengandung dan melahirkan manusia iblis itu harus kita bunuh! Dan engkau sebagai anakku harus membantu Ibumu!”

“Ibu....!” Tek Hoat menutupi muka dengan kedua tangannya, mukanya menjadi pucat sekali.

Ang Siok Bi meloncat berdiri, lalu menyergap anaknya, memegang pundaknya dan mengguncangnya keras-keras. “Apa? Kau.... kau takut? Kau jerih menghadapi keluarga Pulau Es? Baik, Ibumu akan pergi sendiri!”

“Ibu, jangan....! Bukan begitu maksudku. Akan tetapi aku.... aku telah menerima kebaikan Sri Baginda di Bhutan ini, aku....”

“Kau sudah mabuk kemewahan? Tugas hidupmu paling utama, membalas dendam Ibumu paling perlu, setelah itu terserah kau mau hidup bagaimana, aku tidak peduli lagi.”

“Bukan itu, Ibu, akan tetapi aku.... aku telah bertunangan dengan puteri Raja Bhutan, dengan Puteri Syanti Dewi.”

“Huh, lain kemewahan lagi!”

“Jangan Ibu berkata demikian,” Tek Hoat berkata dengan nada agak keras karena dia merasa tersinggung. “Ketahuilah, Ibu. Biarpun Syanti Dewi itu puteri raja, akan tetapi aku cinta padanya dan dia cinta padaku. Kami sudah saling mencinta dan dia adalah seorang gadis yang berbudi dan amat baik. Aku akan menikah dengan dia karena cinta, bukan karena dia puteri raja.”

Ang Siok Bi mengangguk-angguk tak sabar. Baiklah, baiklah, kau cinta padanya, dan dia cinta padamu. Karena itu, kau boleh menikah dengan dia sekarang juga, lalu kaubawa dia pulang ke Bukit Angsa. Dia bukan menjadi halangan bagi kita untuk membalas ibu si keparat Wan Keng In!”

“Akan tetapi tidak mungkin itu, Ibu!” Tek Hoat berkeras menolak.

“Tidak mungkin katamu? Mengapa?”

“Terlalu banyak hal-hal yang membuat aku tidak mungkin melakukan permintaanmu itu.”

“Huh! Begitu? Coba katakan, apa hal-hal itu?”

“Pertama, tidak mungkin Sri Baginda membolehkan puterinya kubawa pergi dari sini karena beliau amat mencinta puterinya. Ke dua, aku telah diangkat menjadi panglima dan tenagaku dibutuhkan di Kerajaan Bhutan ini, dan karena aku telah berhutang budi terpaksa harus kulakukan. Ke tiga tidak mungkin aku memusuhi keluaraga Pulau Es.

“Ehhhhh? Kau.... kau takut?”

Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Biarpun mereka itu amat sakti, aku tidak takut. Aku hanya segan, karena mereka itu adalah keluarga pendekar yang sakti dan budiman, dan aku.... aku bahkan bangga dapat menyebut Pendekar Super Sakti sebagai Kakek tiriku.”

“Cih! Pengecut!”

“Ibu....!”

“Engkau anakku, engkau harus menurut kepada Ibumu!”

“Maaf, Ibu. Akan tetaipi tidak mungkin, aku malah mohon agar Ibu suka tinggal di sini bersamaku, hidup tenteram dan damai sampai hari akhir. Ibu, mengapa Ibu mendendam kepada keluarga Pulau Es, padahal yang berdosa telah meninggal? Ibu, kumohon padamu jangan....”

“Cukup!” Ang Siok Bi bangkit berdiri. Pada saat itu, seorang pelayan wanita datang membawa cangkir-cangkir dan poci teh, akan tetapi sekali menggerakkan kaki, Ang Siok Bi menendang sehingga baki itu terlempar, cangkir-cangkir dan poci pecah, air teh berhamburan, si pelayan menjerit dan lari masuk. “Aku tidak sudi minum air tehmu! Kau anak durhaka! Kau anak tidak berbakti, kau anak terkutuk! Baik, aku akan pergi dari sini, kembali ke Bukit Angsa dan lebih baik aku mati kelaparan di sana daripada hidup bermewah di sini bersama anak durhaka!” Ang Siok Bi marah sekali dan dia lari keluar.

“Ibu....!” Tek Hoat berteriak akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya sehingga pemuda yang gagah perkasa ini menjatuhka diri di atas kursi dengan muka pucat sekali. Tak disangkanya akan terjadi peristiwa seperti itu dan dia menyesal, menyesal sekali, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan?

Tek Hoat tidak tahu bahwa semenjak dia diangkat menjadi panglima dan menjadi calon mantu Raja Bhutan, di samping banyak yang menerimanya dengan girang, ada pula yang menerimanya dengan hati penuh iri dan penasaran. Puteri raja yang mereka puja-puja dan agungkan itu hendak dikawinkan dengan seorang asing dari timur? Seorang yang bukan keturunan bangsawan pula, bahkan kabarnya seorang petualang! senang ini, terdapat seorang panglima muda bernama Mohinta, putera dari panglima pertama Kerajaan Bhutan, panglima tua Sangita. Panglima muda Mohinta ini sudah lama menaruh harapan akan dapat diambil mantu oleh raja. Dia adalah teman bermain Syanti Dewi di waktu kecil dan diam-diam dia jatuh cinta kepada puteri itu, apalagi ketika puteri itu kembali ke Bhutan dan dia melihat betapa puteri itu kini demikian cantik jelitanya. Diam-diam dia merasa cemburu dan iri hati, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menanti saat-saat yang baik untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan dirinya, menanti kesempatan untuk “menjatuhkan” saingannya yang dia tahu amat sakti itu.

Dan pada hari itu, tibalah kesempatan yang dinanti-nantinya itu, yang dianggapnya sebagai anugerah dewata. Ketika mata-matanya memberi tahu tentang munculnya seorang wanita kasar yang mengaku “ibu” dari Panglima Ang Tek Hoat, Panglima Mohinta segera mendengar tentang perselisihan antara Tek Hoat dan ibunya, dan dia segera mencegat ketika mendengar bahwa ibu Tek Hoat pergi dengan marah.

Ang Siok Bi masih marah-marah ketika dia dihadang oleh seorang Panglima Bhutan yang muda dan tampan, yang memberi hormat dengan sikap amat menghormat kepadanya, kemudian panglima muda itu berkata, “Harap Toanio suka bersabar dulu. Saya adalah Mohinta, sahabat baik dari putera Toanio dan saya selalu siap untuk menolong, terutama kepada Toanio sebagai Ibu sahabat saya.”

“Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan sahabat-sahabat anakku yang durhaka itu!” Ang Siok Bi hendak melangkah terus, akan tetapi Mohinta kembali menjura dan berkata dalam bahasa Han yang fasih.

“Toanio, bukankah Toanio menghendaki agar putera Toanio itu dapat kembali ke timur bersama Toanio? Kalau hanya begitu, mengapa repot-repot? Saya dapat menolong Toanio”

Ang Siok Bi yang sudah hampir putus asa itu memandang tajam penuh selidik, lalu bertanya ragu, “Benarkah? Aku sebagai Ibunya sudah tidak dapat membujuknya, apalagi engkau yang hanya sahabatnya.”

“Toanio, ada peribahasa di negeri kami yang menyatakan bahwa apabila kekuatan tak berhasil menolong kita, kita harus menggunakan akal, dan bahwa kita dapat mengatasi kekerasan dengan kelunakan. Saya tahu mengapa Saudara Tek Hoat tidak dapat meninggalkan Bhutan, tidak lain karena adanya Puteri Syanti Dewi. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya, Sri Baginda tidak begitu berkenan hatinya mengambil mantu putera Toanio. Maka, apabila Sri Baginda mendengar sesuatu tentang diri Saudara Tek Hoat, yang tidak berkenan di hatinya, besar harapannya pertunangan itu akan dibatalkan dan tentu Saudara Tek Hoat akan suka pergi bersama Toanio kalau tidak ada lagi pengikatannya dengan puteri raja.”

“Hemmm, kalau memang Raja Bhutan tidak suka kepada anakku, kenapa akan diambil mantu?” Ang Siok Bi bertanya marah.

“Sri Baginda hanya memandang kepada keluarga Suma, Majikan Pulau Es yang kabarnya masih keluarga Kaisar. Karena putera Toanio kabarnya masih keluarga Majikan Pulau Es, dengan sendirinya putera Toanio masih berdarah keluarga Kaisar, maka Sri Baginda mau menerimanya. Kalau halnya tidak demikian, tentu pertunangan itu akan dibatalkan.”

Wajah wanita itu berseri dan dia cepat berkata, “Kalau begitu, biar aku bertemu dengan raja!”

Memang cerdik sekali Panglima Mohinta. Tadi dia mendengar dari mata-matanya tentang perselisihan Tek Hoat dengan ibunya, melalui pelayan dalam istana Tek Hoat, dan dia tahu pula tentang percakapan antara ibu dan anak mengenai keluarga Pulau Es. Oleh karena itu, dia sengaja mengemukakan hal keluarga itu kepada Ang Siok Bi. Dan wanita ini memang sama sekali tidak peduli tentang kedudukan puteranya, atau tentang raja dan puterinya. Yang penting baginya adalah dapat mengajak puteranya untuk kembali ke timur dan membantunya membalas dendam kepada Wan Keng In, atau lebih tepat, kepada ibu Wan Keng In, yaitu Nyonya Suma di Pulau Es!

Berkat bantuan dan usaha Mohinta, akhirnya Ang Siok Bi berhasil pula dihadapkan kepada Raja Bhutan. Raja ini sudah mengerutkan alisnya dan hatinya merasa tidak senang ketika melihat wanita setengah tua yang biarpun cantik dan gagah, namun kasar dan tidak hormat itu, yang gerak-geriknya jelas membayangkan kekerasan dan kekasaran, sama sekali tidak patut menjadi besannya! Wanita dusun ini adalah ibu calon mantunya!

Akan tetapai sebagai basa-basi, dia mempersilakan nyonya itu untuk duduk, kemudian berkata, “Kami mendengar bahwa Nyonya adalah Ibu kandung dari Panglima Ang Tek Hoat, dan mohon menghadap kami. Benarkah itu dan siapakah nama Nyonya?”

“Nama saya Ang Siok Bi, tinggal di Bukit Angsa, di lembah Sungai Huangho,” jawab Ang Siok Bi.

“Hemmm, kalau Nyonya she Ang, kenapa putera Nyonya she Ang juga. Siapakah Ayah Panglima Ang Tek Hoat? Bukankah Ayahnya masih keluarga dengan Majikan Pulau Es yang terkenal itu?”

Tiba-tiba Ang Siok Bi berkata dengan suara keras, “Persetan dengan keluarga Pulau Es! Anakku tidak mempunyai ayah!”

Raja makin terkejut dan makin tidak senang. Apa maksud Nyonya?”

“Dengarlah, Sri Baginda! Ada seorang anggauta luar keluarga Pulau Es yang bernama Wan Keng In, dan manusia jahanam itu telah memperkosa saya ketika saya masih gadis, dan saya mengandung lalu melahirkan Tek Hoat itulah. Maka dia adalah anak saya sendiri, tidak mempunyai ayah yang sah. Saya mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung, sedalam lautan, seluas langit terhadap keluarga Wan Keng In itu, dan saya tidak rela kalau putera saya dikurung di sini, karena saya harus mengajaknya untuk membalas dendam. Maka, saya mohon kepada Sri Baginda untuk membebaskan putera saya itu!”

“Cukup....! Pengawal, suruh dia pergi....!” Sri Baginda menjadi marah sekali dan dia memerintahkan pengawal untuk mengusir Ang Siok Bi. Wanita ini tidak melawan dan dia hanya memandang dengan mata mendelik kepada Panglima Mohinta, kemudian dia keluar dari istana, bahkan terus digiring oleh pasukan pengawal, keluar dari daerah Kerajaan Bhutan, kembali ke timur.

Pada hari itu juga, Tek Hoat menerima panggilan dari raja. Ketika pemuda ini keluar dari istananya, dia terheran-heran melihat banyaknya pengawal di sekitar istananya, dan di istana raja pun terdapat banyak pasukan, seolah-olah kerajaan menghadapi perang! Tergesa-gesa dia memasuki istana dan tiba di ruang persidangan, di mana dia melihat raja sudah duduk dihadap oleh para panglima dan pejabat tinggi dan juga di tempat ini terjaga oleh pasukan-pasukan pengawal dengan ketat. Cepat dia memberi hormat dengan berlutut dan dengan suara kaku Sri Baginda lalu menyuruh dia duduk.

“Hamba terkejut sekali mendengar panggilan tiba-tiba ini dan melihat persiapan-persiapan. Ada terjadi hal penting apakah, hendaknya Paduka memberi tahu kepada hamba dan hamba yang akan menghalau semua bahaya!” Tek Hoat berkata, akan tetapi hatinya merasa tegang karena dia melihat betapa pandang mata semua panglima dan pejabat ditujukan kepadanya dengan tak senang.

“Ang Tek Hoat, kami memanggilmu untuk mendapat keterangan sejelasnya dan sejujurnya darimu,” Sri Baginda berkata. “Maukah engkau menjawab semua pertanyaan kami dengan jujur?”

“Hamba siap untuk menjawab semua pertanyaan dengan sejujurnya,” jawab Tek Hoat dengan hati tidak enak.

“Pertama, benarkah engkau masih ada sangkutan keluarga dengan keluarga Pulau Es seperti yang dikabarkan orang dan bagaimanakah sangkutan keluarga itu?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hemm, apakah artinya pertanyaan aneh ini? Apa hubungannya dengan keadaan dirinya? Akan tetapi dengan tenang dia menjawab, “Memang benar demikian, Sri Baginda. Isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti adalah Nenek hamba, dan Majikan Pulau Es itu sendiri adalah Kakek tiri hamba.”

“Siapakah nama Ayah kandungmu?”

Tek Hoat terkejut. Tak disangkanya akan ditanya sampai begini melit tentang keluarganya. “Ayah hamba bernama Wan Keng In, putera dari Nenek hamba itu.”

“Kalau Ayahmu she Wan, kenapa engkau she Ang?”

Kembali Tek Hoat terkejut dan merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia sudah berjanji akan menjawab sejujurnya! Dan andaikata yang bertanya ini bukan raja, calon ayah mertuanya, tentu dia sudah marah sekali.

“Itu adalah kehendak Ibu hamba yang bernama Ang Siok Bi.”

Kini Raja Bhutan memandang tajam, tubuhnya agak mendekat dan suaranya terdengar lantang, “Ang Tek Hoat, pernahkah Ibumu menikah dengan Ayahmu ltu? Siapakah Ayahmu yang sah?”

Kalau ada petir menyambar, kiranya Tek Hoat tidak akan terkejut seperti pada saat mendengar dua pertanyaan itu. Dia marah sekali, mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Semua petugas dan pengawal yang menjaga di situ menjadi gentar dan siap siaga kalau-kalau panglima muda yang ditakuti itu akan mengamuk. Akan tetapi Tek Hoat lalu berkata, suaranya menahan kemarahannya, “Hamba tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Itu adalah urusan hamba pribadi dan siapapun tidak dapat memaksa hamba untuk menjawabnya.”

Raja Bhutan menggebrak meja di depannya. “Brakkk! Ang Tek Hoat! Kami tahu bahwa engkau telah berjasa bagi negara ini, kami tahu pula bahwa antara engkau dan puteri kami terdapat perasaan cinta kasih. Akan tetapi, apakah itu cukup untuk mengangkatmu sebagai calon mantu kerajaan? Riwayatmu tidak terang dan agaknya tidak bersih, maka engkau pun harus mengerti betapa sulitnya bagi kami untuk mempunyai seorang mantu dan panglima yang tidak jelas riwayat hidup dan keturunannya. Bagaimana kami akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara tetangga? Hal itu akan menyeret kami dan keharuman nama keluarga kerajaan kami ke dalam lumpur!”

Makin merah wajah Ang Tek Hoat. Kalau dia tidak ingat kepada Syanti Dewi, tentu dia sudah mengamuk dan membunuh raja serta semua yang melindunginya. Akan tetapi dia masih ingat dan dapat membayangkan betapa akan berduka dan hancur rasa hati kekasihnya itu kalau dia melakukan hal itu. Pula, semua penderitaan hidupnya selama ini membuat dia makin kuat dan tahan menerima pukulan-pukulan batin yang hebat ini, dan dia dapat merasakan pula kebenaran bagi fihak keluarga raja. Maka perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berkata tenang.

“Sri Baginda, sebagai seorang laki-laki hamba sudah biasa menerima segala sesuatu secara terang-terangan. Harap saja Paduka juga berlaku terang-terangan menyatakan niat hati Paduka kepada hamba. Kalau sudah menjadi kenyataan bahwa hamba bukanlah keturunan ningrat, bukan pula keturunan orang terpelajar atau pun kaya, lalu bagaimana kehendak Paduka?”

“Ikatan jodoh dengan puteriku harus batal! Kami tidak mungkin mengambil mantu seorang seperti engkau, Ang Tek Hoat. Dan jasamu terhadap negara Bhutan pun tidak dapat dibalas dengan pengangkatan sebagai panglima. Engkau bukan bangsa kami dan jasa-jasamu itu akan kami balas dengan anugerah berupa harta benda yang boleh kaubawa pulang ke negerimu!”

Rasanya seperti hampir meledak dada Ang Tek Hoat. “Sri Baginda! Ini sudah keterlaluan! Siapa yang menghendaki balas jasa? Siapa yang menghendaki pangkat? Siapa pula yang menghendaki kedudukan sebagai mantu raja yang terhormat? Hamba mencinta Puteri Syanti Dewi, hal itu sudah jelas, akan tetapi yang hamba cinta adalah pribadinya sebagai manusia, bukan kedudukannya sebagai puteri kerajaan! Hamba pun tidak membutuhkan pangkat ini!” Dengan gemas Tek Hoat merenggut hiasan kepala dan melemparkannya ke atas lantai, lalu mencopot-copoti semua tanda pangkat dan melemparkannya ke atas lantai. “Mulai saat ini hamba bukan lagi Panglima Bhutan, bukan lagi hamba Bhutan dan hamba pun tidak mengharapkan balas jasa sejemput batu sekali pun!”

Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan dada panas Tek Hoat melangkah keluar persidangan, mengangkat dadanya dan siap untuk mengamuk apabila ada yang turun tangan. Akan tetapi untung, di antara para panglima dan pengawal, tidak ada yang mau turun tangan sehingga dengan leluasa, Ang Tek Hoat keluar dari istana itu. Ketika dia hendak mengunjungi Syanti Dewi, dia melihat betapa Istana di mana puteri itu tinggal terkurung rapat oleh pasukan yang jumlahnya ada seribu orang! Tahulah dia bahwa raja tidak menghendaki dia berjumpa dengan kekasihnya itu, dia tahu pula bahwa mengamuk seorang diri menghadapi bala tentara senegara merupakan hal yang bodoh dan tidak mungkin. Pula, kalau keluarganya tidak menghendaki, apa perlunya dia memaksa-maksa? Dia hanya akan membuat Syanti Dewi menjadi sengsara dan berduka saja.

“Syanti Dewi, selamat tinggal....!” Dia berbisik, lalu pergilah Ang Tek Hoat dari istana itu, bahkan terus keluar, dari negara Bhutan pada hari itu juga. Diam-diam dia merasa berduka karena terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, meninggalkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh jiwa raganya. Dan dia tahu bahwa hal ini terjadi karena gara-gara ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang menimpanya ini? Sungguh terlalu! Ibunya sendiri pun agaknya tidak ingin melihat dia hidup bahagia di samping Syanti Dewi! Dengan hati penasaran Ang Tek Hoat mulai dengan perjalanannya kembali ke timur.

Perjalanan yang amat menyedihkan. Makin jauh dia menuju ke timur, makin merana rasa hatinya yang direnggutkan dari kekasihnya yang tercinta. Sering kali, di waktu beristirahat, dia termenung seperti arca, dengan muka pucat dan wajah muram, dengan rambut awut-awutan dan pakaian kusut mengenangkan wajah Syanti Dewi dan dia merasa betapa hatinya perih sekali. Kadang-kadang, kalau rasa rindunya terhadap Syanti Dewi sudah tak tertahankan lagi, dia bersenandung, maksudnya untuk melupakannya, akan tetapi yang terdengar hanyalah senandung sedih penuh duka, sebagai pengganti tangis yang diharamkannya.

Akhirnya setelah melakukan perjalanan yang jauh dan lama, juga merupakan perjalanan paling pahit dan paling menyedihkan bagi Tek Hoat, sampailah pemuda itu di puncak Bukit Angsa, di lembah Sungai Huang-ho. Dari jauh dia sudah melihat pondok ibunya di puncak itu, pondok yang menjadi kampung halamannya, tempat dia bermain-main di waktu kecil. Ada rasa hati menyentuh perasaannya, akan tetapi kembali dia teringat akan kedukaan hatinya terpisah dari Syanti Dewi yang agaknya disebabkan oleh ibunya, maka lenyaplah perasaan haru itu, terganti rasa penasaran. Dia mempercepat langkahnya. Dia harus bertemu ibunya, harus menegur ibunya. Ibunya tidak berhak merusak hidupnya, merusak kebahagiaannya!

“Ma (Ibu)....!” Dia memanggil ketika dia tiba di depan pintu pondok yang tertutup.

Tidak ada jawaban. “Ibu....!” Dia memanggil lagi, kini dia mendorong pintu pondok. Bau yang tidak enak menyambutnya, membuatnya terhuyung mundur dan membuatnya waspada. Bau yang seperti racun, atau bau seperti bangkai busuk! Ditendangnya daun pintu terbuka. Gelap di dalam karena memang matahari sudah condong ke barat, dan di dalam pondok itu tidak memperoleh sinar lagi. Dia tidak berani sembarangan masuk dan dengan memutar dia menghampirl jendela kamar di sebelah barat rumah kecil itu. Daun jendela juga tertutup. Ditolaknya dari luar. Daun jendela terbuka dan Tek Hoat cepat mengelak karena begitu daun jendela terbuka, dari dalam menyambar jarum-jarum beracun berwarna hitam. Dia cepat memandang ke dalam. Kini ada sinar matahari senja menyorot masuk melalui lubang jendela. Jantungnya berdebar tidak karuan karena dari luar tadi dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, kemudian berdebar-debar. Setelah dia tiba di depan pembaringan kayu itu, jelas tampak olehnya benda yang membuat jantungnya berhenti berdenyut tadi. Rangka manusia! Rangka manusia yang terbungkus pakaian, pakaian ibunya seperti ketika datang mengunjunginya di Bhutan! Rambut ibunya yang berada di dekat tengkorak itu, dengan sanggul yang masih dikenalnya dan ada hiasan rambut berupa kembang teratai emas milik ibunya! Dia bergidik.

“Ibuuuuu....! Mula-mula dia berbisik, lalu disambung dengan teriakan panjang.

“lbuuuuuu....!” Dia tidak syak lagi. Rangka itu adalah rangka ibunya yang telah tewas. Mati sakit? Ataukah mati terbunuh? Timbul kecurigaan di hati Tek Hoat. Tidak mungkin sakit. Baru saja ibunya bisa melakukan perjalanan ke Bhutan, perjalanan yang demikian sukar dan jauh. Ibunya sehat ketika itu, sehat dan masih kuat. Teringat dia akan jarum-jarum ibunya. Dia memeriksa jendela dan melihat alat rahasia yang melontarkan jarum-jarum itu. Agaknya sebelum mati, ibunya memasang alat itu pada daun jendela, untuk menyerang dan menjebak lawan yang membuka jendela. Jelas bahwa ibunya telah bersiap-siap menanti kedatangan musuh gelap. Pedang ibunya juga terhunus dan terletak di atas meja dalam kamar. Akan tetapi ibunya telah tewas, menjadi rangka yang tidak rebah lurus di atas pembaringan, melainkan miring dan agak melingkar. Bukan tubuh yang tertidur.

Tek Hoat memeriksa lagi dan pandang matanya tertarik oleh coret-coret di kayu pembaringan, huruf-huruf kecil. Tulisan ibunya! Dia kenal betul tulisan ibunya, sungguhpun tulisan ltu dilakukan dengan menggunakan benda runcing, mungkin jarum yang digores-goreskan. Dia cepat memasang lilin yang masih ada di sudut meja, dan mendekatkan lilin bernyala itu pada pinggir Pembaringan, di mana terdapat tulisan itu.



“Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan mampus....”



Agaknya tulisan itu akan menuliskan lanjutannya, mungkin akan menyebutkan nama musuh yang ditunggu-tunggu ibunya, akan tetapi coretan itu hanya merupakan coretan dari atas ke bawah, agaknya pada saat itu musuh datang menyerang ibunya. Dan melihat jendela masih dipasangi alat rahasia, tentu musuh itu bukan datang dari jendela, melainkan dari pintu depan, atau boleh jadi juga dari atas genteng! Akan tetapi siapa?

Tek Hoat berlutut, tak dapat ditahan lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Baru sekarang dia dapat menangis, biarpun hanya beberapa tetes air mata. Dia teringat akan ibunya, akan penderitaan ibunya sejak masih gadis, sejak diperkosa orang! Semenjak saat yang laknat itu, ibunya hidup menderita tekanan batin. Pantas saja ibunya menanggung dendam yang tak pernah terbalas itu, dan tak pernah dapat melupakan dendamnya, mula-mula kepada Gak Bun Beng karena disangka orang itulah pemerkosanya, kemudian kepada Wan Keng In dan karena Wan Keng In sudah mati, maka dendamnya beralih kepada keluarga Wan Keng In, kepada keluarga Pulau Es dan terutama kepada ibu kandung Wan Keng In. Salahkah sikap ibunya itu? Tidak, tidak! Kehidupan ibunya telah rusak oleh peristiwa pemerkosaan itu dan ibunya hanya dapat bertahan hidup untuk membalas dendam! Dan setelah tahu bahwa dendamnya sukar dibalas karena dia berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang sakti, ibunya jauh-jauh datang ke Bhutan, mencarinya untuk minta bantuannya. Dan dia telah menolaknya!

“Ibu.... ahhh, Ibu, ampunkan anakmu.... ini!” Dia meratap dan merasa menyesal sekali. Mengapa justeru kepada keluarga Pulau Es ibunya menaruh dendam?

Betapa mungkin dia memusuhi keluarga yang bijaksana itu? Teringat dia akan semua pengalamannya. Mereka semua itu, Gak Bun Beng, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, Pendekar Super Sakti, mereka semua adalah orang-orang yang bijaksana, budiman dan sakti. Yang berdosa terhadap ibunya hanyalah Wan Keng In, putera tiri Pendekar Super Sakti, sedangkan keluarga itu sama sekali tidak tahu apa-apa!

Dan ibunya yang belum berkesempatan membalas dendam itu kini telah terbunuh oleh orang lain! Entah siapa yang membunuh ibunya. Inilah musuhnya! Inilah orang yang harus dicarinya, bukan keluarga Pulau Es! Akan tetapi ke mana dia harus mencar!? Kepada siapa dia harus bertanya? Ibunya telah tewas, telah menjadi rangka yang mengerikan.

Dengan hati penuh duka Tek Hoat lalu menggali lubang di puncak itu dan mengubur sisa-sisa jenazah ibunya, berikut semua milik ibunya, kecuali pedang dan hiasan rambut teratai emas itu. Setelah dia mengubur sisa jenazah ibunya dan berkabung tiga hari, lamanya, mulailah dia mencari-cari dan berkeliaran di sepanjang lembah Sungai Huang-ho, di sekitar daerah itu untuk mencari jejak ibunya, mencari jejak pembunuh ibunya.

Demikianlah riwayat Ang Tek Hoat semenjak dia berpisah dari Syanti Dewi, empat tahun yang lalu! Kini dia hidup seorang diri di lembah Sungai Huangho sampai pada hari itu dia bertemu dengan dua putera Jenderal Kao Liang, yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han dan dapat menolong dua orang pemuda itu dari bencana.

***

Kita mengikuti pengalaman Jenderal Kao Liang, jenderal tua yang terlempar ke tengah sungai dan hanyut terbawa arus sungai yang kuat itu. Sampai lama jenderal itu terseret arus karena kedua kakinya tak dapat dia gerakkan, dan kalau hanya dengan kekuatan kedua tangan saja dia tidak mampu berenang ke tepi. Padahal air sungai itu makin lama makin kuat arusnya dan makin melebar, sampai akhirnya air itu tiba di Sungai Huang-ho yang amat luas.

Akan tetapi, betapapun nyawa sudah tergantung di sehelai rambut umpamanya, kalau memang belum tiba saatnya dia mati, orang akan dapat terhindar dari maut. Demikian pula, dengan Jenderal Kao Liang. Dia sudah pasrah karena tidak berdaya, pula ditambah dengan himpitan batin yang amat berat karena dia selain memikirkan keluarganya yang hilang, juga mengkhawatirkan keselamatan dua orang puteranya yang harus menghadapi musuh amat lihai itu. Dalam keadaan setengah pingsan itu tiba-tiba ada bintang penolong berupa seorang nelayan yang sedang mendayung perahunya, hendak berangkat mencari ikan.

Nelayan ini terkejut ketika melihat orang hanyut, maka cepat-cepat dia menolong Jenderal Kao yang hampir pingsan itu, dinaikkan dengan susah payah ke dalam perahunya. Begitu tubuhnya terguling ke dalam perahu, Jenderal Kao Liang pingsan. Nelayan itu cepat mendayung perahunya ke pinggir, kemudian dengan bantuan teman-temannya dia membawa jenderal itu pulang ke rumahnya di dalam sebuah dusun kecil di tepi Sungai Huang-ho.

Jenderal Kao jatuh sakit, menderita demam dan sampai dua hari dia tidak ingat apa-apa, dalam keadaan tidak sadar. Nelayan itu bersama isterinya merawatnya dengan teliti dan akhirnya, pada hari ke tiga, jenderal itu dapat bangun, dari pembaringan dan dia menghaturkan terima kasih kepada nelayan itu. Tanpa ragu-ragu lagi jenderal ini berlutut dan menghormati nelayan dan isterinya yang setengah tua itu sehingga si nelayan sederhana sibuk membangunkan Jenderal Kao Liang yang disangkanya seorang kota yang celaka di sungai itu.

Jenderal Kao Liang diam-diam merasa kagum akan perjalanan hidupnya. Dahulu dia adalah seorang jenderal besar, seorang panglima perang Kerajaan Ceng yang dihormati orang seluruh negeri. Kini, dia berlutut menghaturkan terima kasih kepada seorang nelayan melarat dan dirawat di dalam gubuknya yang miskin! Bahkan kini dia dijamu dengan makanan yang amat sederhana dan barulah dia tahu betapa miskinnya keadaan hidup seorang nelayan. Hatinya terharu bukan main. Dibandingkan dengan makanan sehari-hari yang dia berikan kepada anjing peliharaannya dahulu saja, makanan nelayan ini masih lebih sederhana! Betapa orang-orang besar di atas seperti buta, tidak melihat keadaan rakyat jelata yang begini miskin. Orang-orang besar itu, para pembesar, para hartawan, orangorang kota, hidup berlebih-lebihan, sedangkan mereka itu sama sekali tidak pernah tahu atau tidak mau tahu bahwa ada manusia-manusia sebangsa yang hidup begini miskin dan kekurangan. Dan toh orang-orang itu, pembesar-pembesar, para hartawan-hartawan, dan orang-orang kota itu membanggakan diri sebagai orangorang yang beradab, orang-orang yang berkebudayaan, orang-orang yang ber-Tuhan, yang berperikemanusiaan! Betapa palsu dan munafiknya semua itu, termasuk dia dahulu!

Setelah sehat benar, pada keesokan harinya Jenderal Kao lalu berpamit, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Dia kini mengambil keputusan untuk pergi ke utara, untuk mencari putera sulungnya, yaitu Kao Kok Cu yang memiliki kepandaian hebat, menjadi seorang sakti yang menjauhi keduniawian, hidup berbahagia di tempat sunyi bersama isterinya yang tercinta. Putera sulungnya itu terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, murid dari manusia dewa Si Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Gurun pasir Go-bi! Kiranya hanya puteranya itu saja yang akan sanggup menolong keluarganya dan dia harus pergi ke sana karena untuk menyelidiki seorang diri, jenderal tua ini tidak sanggup lagi. Kembali dia terheran-heran betapa kehidupannya telah berubah sama sekali. Sebelum tahun lalu, sebagai seorang panglima besar, dia dapat mengerahkan laksaan perajurit untuk mencari keluarganya! Bahkan, tidak ada hal yang tak dapat dia lakukan. Akan tetapi sekarang dia hanyalah seorang tua yang mulai lemah, yang menderita tekanan batin dan merasa tidak berdaya!

Akan tetapi baru saja dia keluar dari dusun di tepi Sungai Huang-ho itu, dari jauh dia melihat dua orang laki-laki berjalan mendatangi dan setelah dekat, dia terkejut dan girang bukan main.

“Kok Tiong! Kok Han....!” Dia berteriak sambil berlari ke depan.

“Ayahhhhh....!” Dua orang muda itu pun sudah mengenal ayah mereka dan mereka pun berlari-lari. Pertemuan itu sungguh menggirangkan hati mereka bertiga dan mereka segera duduk di tepi jalan sambil saling menceritakan pengalaman mereka. Ketika Jenderal Kao mendengar penuturan dua orang puteranya tentang pemuda berpakaian abu-abu yang amat lihai, dan betapa pemuda itu menyatakan kepada dua orang wanita Garuda Hitam bahwa dia biasa membunuh orang dengan jari tangannya, dia menepuk pahanya. “Aihhh! Dia itu tentu Si Jari Maut! “

“Siapa, Ayah?”.Kok Tiong dan adiknya bertanya.

“Siapa lagi kalau bukan dia! Dia tentu Ang Tek Hoat, pemuda yang memang memiliki kepandaian hebat, yang telah membunuh Tambolon dan kaki tangannya. Akan tetapi, bukankah dia diangkat menjadi Panglima Bhutan dan menikah dengan Puteri Syanti Dewi di Bhutan? Mengapa dia muncul di sini? Sungguh aneh”

“Menurut dia, yang merampas harta benda kita adalah Suma-kongcu, Ayah. Jelaslah sekarang, tepat seperti dugaanku bahwa tentu Suma-kongcu dipergunakan oleh Kaisar untuk mencelakakan kita,” kata Kok Tiong.

“Hemm.... si keparat kalau begitu!” Jenderal Kao Liang mulai percaya dan sungguhpun hal ini amat mengherankan hatinya, namun dia menjadi marah juga, tidak mengira bahwa putera Pendekar Super Sakti mampu dan sampai hati melakukan perbuatan yang jahat itu. Kalau hanya merampas harta benda, mengapa harus menculik keluarganya? Kalau memang disuruh merampas, mengapa tidak terang-terangan saja?

“Tidak ada jalan lain, anak-anakku. Kita menghadapi keluarga Pulau Es yang amat sakti. Keluarga kita dalam bahaya, kalau tidak sudah terbasmi. Maka satu-satunya jalan hanya pergi minta bantuan kakak kalian.”

“Cu-twako (Kakak Terbesar Cu)!” kata Kok Tiong dan Kok Han berbareng.

“Benar, hanya dia saja yang akan mampu menghadapi keluarga Pulau Es!” Jenderal itu mengepal tinju dan bangkit berdiri. “Hayo kita kembali ke utara, mencari Kok Cu.”

Maka berangkatlah ayah dan anak yang prihatin dan gelisah ini, mengambil jalan kembali ke utara, jalan yang mereka lalui selama ini karena selain hendak mengunjungi Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir, juga mereka hendak menyelidiki kalau-kalau dapat menemukan jejak keluarga mereka. Mereka lalu menuju ke jalan kecil di bukit, jalan yang diapit-apit tebing tinggi di mana malapetaka itu menimpa mereka.

Ketika mereka tiba dekat jalan yang menuju ke mulut tebing itu, mereka merasa ngeri karena mengira bahwa tentu mereka akan melihat mayat-mayat yang membusuk dan berbau. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil jalan lain karena mereka hendak menyelidiki kembali. Akhirnya mereka tiba di mulut tebing di mana tadinya terdapat banyak sekali mayat orang. Akan tetapi, betapa heran hati mereka ketika melihat tempat itu sudah bersih, tidak nampak sebuah pun mayat manusia dan sebagai gantinya, di situ terdapat gundukan tanah yang amat besar, yang merupakan sebuah kuburan raksasa! Agaknya semua mayat itu dikubur menjadi satu. Siapa yang mengubur? Tempat itu jauh dari dusun dan sunyi sekali.

Mereka tidak terlalu mempedulikan hal ini dan melanjutkan perjalanan memasuki lorong yang diapit-apit tebing tinggi, di mana juga terdapat mayat-mayat ketika mereka pergi, yaitu mayat-mayat dari para pengawal mereka dan para tukang pikul tandu. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka terkejut melihat seorang pemuda berpakaian putih-putih sedang mengubur mayat-mayat itu ke dalam sebuah lubang besar. Mereka terheran-heran, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera mengenal pemuda itu dan dengan marah sekali jenderal ini mencabut sebatang pedang yang diambilnya dari pinggir jalan dekat tempat pertempuran tadi, kemudian dia menyerang pemuda berpakaian putih itu sambil membentak, “Kiranya kau.... kau keparat, penjahat muda Suma!”

Kini dua orang putera Jenderal Kao Liang juga mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Suma Kian Lee, putera Pendekar Super Sakti. Maka mereka pun cepat mencabut pedang dan menyerangnya.

Suma Kian Lee terkejut dan terheran-heran bukan main. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, apalagi mereka menyerangnya dengan penuh kemarahan itu.

“Eh.... eh.... Kao-goanswe (Jenderal Kao) ada apakah?” Dia cepat mengelak ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran tiga batang pedang itu. Gerakannya tenang, akan tetapi cepat seperti terbang. “Tahan dulu, jangan terburu nafsu”

Akan tetapi, Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah menjadi marah sekali karena mereka merasa yakin bahwa pemuda inilah yang telah melakukan penculikan keluarga mereka, sudah menyerang lagi, bahkan kini secara berbareng dari tiga jurusan, pedang mereka menusuk ke arah dada pemuda itu. Suma Kian Lee mengenjot tubuhnya dan lenyaplah bayangannya dari kurungan tiga orang itu yang menjadl terkejut, dan ketika itu pedang mereka sudah menusuk, seakan-akan saling bertemu di tempat bekas Suma Kian Lee berdiri tadi dan tahu-tahu dari atas tubuh Suma Kian Lee sudah turun dan kini kedua kaki pemuda berpakaian putih itu menginjak tiga batang pedang tadi! Dengan mengerahkan ginkang sehingga tubuhnya ringan, dan menggunakan sinkang disalurkan kepada kedua kakinya sehingga tiga batang pedang yang diinjaknya itu seolah-olah menempel dan melekat di kakinya, Suma Kian Lee telah berdiri di atas tiga batang pedang itu dan berkata, “Kao-goanswe, harap sabar dulu dan mari kita bicara”

“Mau bicara apa lagi, keparat keji!”

Jenderal Kao membentak dan dia lalu menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram.

“Bangsat rendah!” Kok Tiong juga menggunakan tangan kiri mencengkeram karena seperti juga ayahnya dan adiknya, dia tidak mampu menarik kembali pedangnya.

“Mampuslah kau, setan jahat!” Kok Han juga membentak sambil memukul dengan tangan kiri ke arah kaki yang menginjak pedang.

“Ahhhhh....!” Tubuh Suma Kian Lee mencelat dan ternyata dia sudah menghindarkan serangan-serangan tangan kiri itu dengan lompatan jauh sekali, lalu melarikan diri.

Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya cepat mengejar dengan marah, namun sia-sia belaka karena pemuda berpakaian putih itu telah menghilang. Jenderal Kao menarik napas panjang. “Ahhhhh, betapa saktinya dia! Jelas bahwa kekuatan kita tidak akan mampu menghadapinya, hanya Kok Cu yang akan sanggup menandinginya. Percuma mengejar dia, lebih baik kita melanjutkan perjalanan mencari Kok Cu.”

Siapakah pemuda lihai berpakaian putih yang memiliki kesaktian hebat, dan yang bernama Suma Kian Lee itu? Para pembaca Kisah Sepasang Rajawali Sakti tentu mengenal baik tokoh ini pula. Suma Kian Lee adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, mukanya agak bundar, bermata lebar jernih dan sinarnya tajam namun halus, sikapnya tenang, teliti dan, sabar, namun dia selalu bersikap pendiam dan serius. Inilah putera pertama dari Pendekar Super Sakti yang lahir dari isterinya yang ke dua, yaitu Lulu bekas ketua Pulau Neraka atau adik angkat sendiri dari Pendekar Super Sakti.

Sebagai putera bekas ketua Pulau Neraka yang memiliki kepandaian yang mengerikan dan putera Pendekar Siluman yang memiliki kesaktian hebat, tentu saja Suma Kia Lee juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.

Seperti telah diceritakan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Suma Kian Lee mengalami patah hati, mengalami kegagalan kasih tak sampai karena dia jatuh cinta kepada seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, yang kemudian ternyata adalah masih keponakannya sendiri karena Ceng Ceng adalah anak tidak sah dari kakak tirinya seibu, yaitu mendiang Wan Keng In, seperti halnya pemuda Ang Tek Hoat. Tentu saja tidak mungkin dia berjodoh dengan keponakannya, yang masih sedarah dengan dia, masih keturunan ibunya. Hal ini tentu saja membikin luka perasaan hatinya yang masih muda. Cinta itu adalah cinta pertama dan dia telah gagal! Akhirnya, seperti telah dituturkan di dalam Kisah Sepasang Rajawali, dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya.

Akan tetapi, setelah dia sembuh lahir batin, dia meninggalkan Pulau Es lagi untuk merantau di daerah utara, memperdalam kepandaiannya. Beberapa tahun kemudian, dia merasa rindu kepada adiknya, yaitu Suma Kian Bu, yang masih belum pulang dan telah meninggalkan Pu1au Es selama bertahun-tahun. Sudah lima tahun dia berpisah dari adiknya yang dia cinta itu, maka dia lalu pergi ke selatan untuk mencari adiknya. Seperti juga dia sendiri, lima tahun yang lalu adiknya itu telah mengalami patah hati karena cinta kasih yang gagal.

Kini usianya telah cukup dewasa, telah dua puluh dua tahun dan kalau dia mengenang masa lalu dia menjadi malu sendiri. Mengapa dia begitu bodoh, begitu mudah patah hati? Diam-diam dia malah girang bahwa dia gagal berjodoh dengan Ceng Ceng yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu, dan diam-diam dia hanya mendoakan agar Ceng Ceng yang kabarnya berjodoh dengan orang yang dikasihinya, yaitu putera Jenderal Kao, putera sulung yang amat sakti itu, hidup bahagia.

Dia akan mencari adiknya dan membayangkan pertemuannya dengan adiknya saja sudah merupakan kegembiraan tersendiri. Kini adiknya itu pun tentu telah dewasa, bukan setengah anak-anak seperti dahulu lagi. Betapa nakalnya Kian Bu! Tukang menggoda orang, tukang menggoda wanita yang akhirnya tergoda hatinya oleh seorang wanita cantik jelita, Puteri Syanti Dewi sampai hati adiknya itu menjadi remuk!

“Bu-te (Adik Bu), kasihan engkau....!” Gerutunya setiap kali dia teringat kepada adiknya. Ketika dia teringat akan kepatahan hati adiknya, dia lalu menduga bahwa boleh jadi adiknya itu masih berkeliaran di sekitar daerah yang berdekatan dengan tempat tinggal Syanti Dewi, yaitu di Bhutan. Tidak ada petunjuk lain baginya, maka dia lalu menuju ke selatan, hendak ke Bhutan mencari Suma Kian Bu.

Ketika dia tiba di dekat Sungai Huangho di celah tebing itu dia melihat banyak sekali mayat manusia berserakan. Hatinya menjadi terharu sekali. Pemuda ini adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, seorang pendekar yang selain sakti juga bijaksana dan budiman, maka tentu saja melihat begitu banyak mayat manusia berserakan tidak diurus, hatinya menjadi terharu dan kasihan. Maka ia lalu turun tangan menggali lubang besar dan menanam semua mayat itu. Kemudian ketika dia melihat pula mayat-mayat di lorong yang diapit-apit tebing, dia pun cepat menggali lubang dan mengubur mayat-mayat yang hampir membusuk itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika secara tiba-tiba dia diserang oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya!

Diserang mati-matian dengan maki-makian dan agaknya dia dituduh melakukan hal-hal yang amat jahat, Suma Kian Lee menjadi bingung dan karena mereka itu tidak mau diajak bicara, terpaksa dia melarikan diri. Memang ada rasa enggan di hatinya untuk bertemu dengan keluarga Kao ini. Bukankah Ceng Ceng menjadi mantu jenderal itu, berjodoh dengan Kao Kok Cu yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Pasir? Selain enggan bertemu juga dia diserang tanpa diberi kesempatan membela diri, maka lebih baik dia menyingkir.

Akan tetapi, sejak kecilnya Kian Lee adalah seorang yang memiliki sifat sabar, tenang dan teliti. Dia selalu berpikiran cermat, maka dia pun tidak menjadi marah melihat sikap Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang telah memaki-makinya dan menyerangnya untuk membunuh, tadi. Di dalam peristiwa ini tentu ada rahasianya, dia merasa yakin. Tentu ada kesalahpahaman besar. Tentu ada sesuatu yang membuat keluarga Kao itu membencinya sehingga melakukan perbuatan itu. Dan dia harus menyelidiki hal ini!

Setelah Kian Lee kembali ke tempat tadi dan mengintai dengan sembunyi, melihat bahwa Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang mengamuk tadi benar-benar telah pergi, dia lalu melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertunda, yaitu mengubur mayat-mayat itu di dalam sebuah lubang kemudian menimbuninya dengan tanah sampai merupakan sebuah kuburan raksasa yang terisi puluhan mayat orang. Setelah selesai, Kian Lee hendak melanjutkan perjalanannya, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba bermunculan pasukan yang jumlahnya kurang lebih seratus orang, yang sudah mengurungnya dari depan dan belakang diapit-apit tebing tinggi itu!

“Hemmm....!” Geramnya, akan tetapi dia masih belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah Jenderal Kao Liang benar-benar hendak mencelakakannya dan kini mengerahkan pasukannya? Kalau begitu, dia harus berkeras menuntut penjelasan mengapa jenderal itu bersikap seperti itu.

Dia berdiri di tengah-tengah, sikapnya tenang dan ketika dia melihat seorang Kakek tinggi besar yang berpakaian perwira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu, Kian Lee melangkah maju menghampiri.

“Apa artinya ini?” tanyanya dengan sikap tenang, menduga bahwa perwira ini tentulah anak buah Jenderal Kao Liang yang masih belum muncul.

Perwira tinggi besar itu usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi kelihatan tubuhnya kokok kekar penuh dengan tenaga. Mendengar pertanyaan Kian Lee, dia tertawa. “Ha-ha-ha, kau masih menanyakan artinya? Artinya, orang muda, bahwa engkau harus menyerah kami tangkap.”

“ Hemmm, mudah saja menangkap orang, Ciangkun. Akan tetapi, setiap menangkap orang harus lebih dulu jelas akan kesalahannya, bukan? Bolehkah aku tahu, apa kesalahanku maka engkau memimpin pasukan hendak menangkap aku?”

“Ho-ho, orang muda yang pandai bicara! Sudah jelas engkau membunuh banyak orang dan hendak menyembunyikan perbuatanmu dengan mengubur mereka, kini engkau masih pura-pura bertanya apa salahmu? Hayo menyerah, jangan sampai aku turun tangan dengan kekerasaan!”

Kian Lee mendengar ini dengan perasaan heran. Dia mengubur mayat-mayat yang berserakan itu karena kasihan, ternyata malah dituduh membunuh mereka itu! Akan tetapi, Jenderal Kao Liang tadi tidak menyatakan tuduhannya itu? Andaikata Jenderal Kao Liang menuduhnya demikian, mengapa jenderal itu dan dua orang puteranya serta merta menyerang tanpa bertanya lebih dulu?

“Apakah engkau diutus menangkap aku oleh Jenderal Kao?”

Perwira itu membelalakkan matanya, agaknya terheran mendengar ucapan dalam pertanyaan ini. “Jenderal Kao? Siapa yang kaumaksudkan.” Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang dimaksudkan dalam pertanyaan pemuda itu adalah Panglima Besar Kao yang telah dipensiun, dan mengira bahwa pemuda itu maksudkan seorang jenderal lain yang she Kao. “Jangan banyak cakap yang bukan-bukan, orang muda. Aku adalah Perwira Su Kiat yang bertugas menjaga daerah utara dari Propinsi Ho-nan ini. Engkau telah melakukan banyak pembunuhan, maka kami harus menangkapmu untuk kami hadapkan kepada Gubernur di Ho-nan untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu.”

Diam-diam Kian Lee menjadi makin heran. Jelas bahwa perwira ini tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan Jenderal Kao Liang! Dia hendak ditangkap karena semata-mata kelihatan mengubur mayat-mayat itu dan dituduh membunuh mereka.

“Su-ciangkun, maafkan aku, akan tetapi aku tidak membunuh mereka itu! Ketahuilah, aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan melihat adanya banyak mayat manusia berserakan tak terurus, aku menjadi kasihan dan aku lalu mengubur mereka. Jangan kau me nuduh aku membunuh”

“Ha-ha-ha!.... Ho-ho! Kalian dengar itu? Betapa lucunya! Mana ada orang begitu gatal tangan mengubur mayat-mayat yang begitu banyak kalau dia tidak berkepentingan langsung? Tentu kau mengubur mereka untuk menutupi perbuatanmu yang kejam. Heh, siapa namamu, orang muda?”

“Namaku adalah Suma Kian Lee.”

“Hayo kau berlutut, dan menyerah kami tangkap!”

Kian Lee mengerutkan alisnya dan mengangkat dadanya. “Su-ciangkun, aku tidak merasa bersalah bagaimana mungkin aku harus menyerah?”

“Jadi engkau hendak melawan?” Suciangkun membentak marah.

“Aku tidak hendak melawan dan bermusuhan dengan siapapun,Ciangkun. Akan tetapi aku tidak pernah membunuh orang, maka kalau aku hendak ditangkap dengan tuduhan membunuh orang, tentu saja aku tidak mau menyerah.

“Bagus! Engkau memang pembunuh besar dan engkau bernyali besar berani menentang perintah Perwira Su Kiat!” Perwira tinggi besar itu menengok ke kiri di mana terdapat batu menonjol dari dinding tebing. “Lihat, apakah kepalamu lebih keras daripada ini?” Dia mengayun tangan kanannya menampar ke arah batu menonjol itu.

“Prakkk!” Batu itu pecah berhamburan!

Melihat cara perwira itu menampar batu tahulah Kian Lee bahwa perwira itu adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang mengandalkan kerasnya kulit dan kuatnya otot. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Entah berapa tahun lamanya engkau melatih tanganmu sehingga sekuat besi, Su-ciangkun. Akan tetapi apakah latlhan bertahun itu hanya untuk memukul pecah batu dan menakut-nakuti orang? Kalau aku memang bersalah, tanpa kaugertak pun aku akan menyerahkan diri dengan suka rela. Akan tetapi aku tidak berdosa dan tidak takut akan gertakanmu.”

“Keparat, kau menantang?” Su-ciangkun lalu menerjang ke depan, kedua tangannya menyerang dari kanan kiri sambil mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar.

Kian Lee tidak mau membuang waktu lagi. Melihat sambaran kedua tangan itu, dia memakai dengan tamparan tangannya ke arah pergelangan tangan yang besar itu.

“Plak! Plak! Aduhhhhh....!” Perwira Su Kiat mengaduh-aduh karena kedua lengannya terasa panas dan lumpuh seketika. “Hayo tangkap! Bunuh!” teriaknya sambil mengaduh-aduh. Anak buahnya lalu mengepung dan mulai menyerbu dengan senjata mereka. Melihat ini, Kian Lee merobohkan beberapa orang dengan tamparan dan tendangannya, tanpa melukai berat, kemudian dia meloncat, tubuhnya tiba di dinding yang terjal dan di lain saat, semua orang melongo ketika melihat betapa tubuh pemuda berpakaian putih-putih itu seperti seekor cecak merayap di tembok saja. Demikian cepat gerakannya seolah-olah dia berjalan di tanah datar padahal tebing itu terjal sekali!

Melihat pemuda itu dengan mudahnya melarikan diri melalui tebing yang terjal sehingga tidak ada kemungkinan lagi bagi dia dan anak buahnya untuk mengejar, Su-ciangkun lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alat tiup dari kantung bajunya karena kedua tangannya masih lumpuh dan untuk mentup alat itu dengan keras.

Terdengar suara bersuitan berkali-kali dari lorong celah tebing itu, akan tetapi Kian Lee tidak peduli dan merayap terus sampai dia tiba di atas tebing. Akan tetapi baru saja dia melompat beberapa langkah, tiba-tiba di depannya berdiri seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambutnya yang kemerahan itu awut-awutan dan tangannya memegang sebuah guci arak, mulutnya berbau arak dan bibirnya masih basah oleh arak yang menetes-netes. Di sebelah kakek aneh ini berdiri dua orang perwira tinggi yang usianya juga sudah enam puluhan. Kakek berambut kemerahan itu memandang Kian Lee dengan sikap acuh tak acuh, akan tetapi dua orang perwira tinggi itu memandang dengan mulut tersenyum, kemudian mereka menjura ke arah Kian Lee dengan sikap hormat.

“Tidak kelirukah pendengaran kami tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee? Seorang dua perwira tinggi itu bertanya dengan sikap hormat.

“Tidak kelirukah pendengaran kami tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee?” Seorang di antara dua perwira tinggi itu bertanya sambil menjura.

Kian Lee yang melihat sikap hormat itu membalas dengan menjura sambil menjawab, “Benar.”

“Ah, kalau begitu harap Taihiap sudi memaafkan akan kelancangan Su-ciangkun terhadap Taihiap. Tentu Suma-taihiap dapat memaklumi kecurigaan Su-ciangkun yang menghadapi pembunuhan besar-besaran yang terjadi di daerah ini, dan mengira Taihiap yang melakukan pembunuhan itu. Apakah Taihiap mengerti siapa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?”

Kian Lee menggeleng kepalanya. “Saya kebetulan lewat di daerah ini dan melihat tumpukan mayat, maka saya lalu menguburnya.”

“Heh-heh, bijaksana bijaksana....” Kakek yang berambut kemerahan itu berkata kepada diri sendiri, kemudian menenggak arak dari gucinya sampai mengeluarkan suara menggelogok. Akan tetapi dua orang perwira tinggi agaknya sudah biasa dengan sikap aneh ini, mnaka mereka tidak memperdulikan, melainkan berkata lagi kepada Kian Lee dengan sikap hormat.

“Kebetulan sekali Suma-taihiap lewat di daerah kami dan Paduka Gubernur kami memang memesan kepada kami agar setiap orang pendekar besar yang lewat agar dipersilakan untuk singgah, selain Paduka Gubernur hendak berkenalan dengan orang-orang handal, juga untuk menghadari pesta yang akan diadakan untuk menyambut utusan Kaisar dari kota raja. Banyak sekali tamu yang akan hadir, juga dari kalangan kang-ouw, maka kami atas nama gubernur mengundang Taihiap untuk singgah pula.”

Kian Lee berpikir cepat. Dia menghadapi rahasia besar, keanehan sikap Jenderal Kao Liang, kematian banyak orang yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, dan undangan Gubernur Honan yang juga aneh. Kalau Gubernur Ho-nan yang mengadakan pesta, tentu dan pasti Jenderal Kao Liang akan hadir pula, karena jenderal ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Mungkin dia akan mendapat keterangan tentang semua rahasia ini di gubernur, dan bukan tidak mungkin pula dia akan dapat mendengar sesuatu tentang adiknya, karena dia akan bertemu dengan banyak tokoh kang-ouw di rumah Gubernur Ho-nan itu.

“Terima kasih atas undangan Ji-wi Ciangkun, dan tentu saja saya akan suka sekali.”

Dua orang perwira tinggi itu menjadi girang sekali dan seorang di antara mereka segera memperkenalkan diri, dan memperkenalkan kakek peminum arak berambut kemerahan itu, “Lo-enghiong ini adalah seorang tokoh pengawal kepercayaan Paduka Gubernur Ho-nan, dia terkenal dengan julukannya Ho-nan Ciulo-mo (Setan Arak Tua dari Ho-nan) “

“Heh-heh, julukan kosong! Namaku adalah Wan Lok it!” Kakek berambut merah itu menyela dan membalas penghormatan Kian Lee dengan anggukan cepala acuh tak acuh. Kian Lee tidak menjadi kecil hati melihat sikap tidak pedulian ini karena pemuda ini sudah kenyang akan pengalaman bertemu dengan orang-orang sakti di dunia kang-ouw yang memang banyak yang berwatak aneh dan tak acuh. Mereka lalu berangkat, diiringkan oleh Su-clangkun yang sudah naik ke tebing dengan jalan memutar, dan anak buahnya yang seratus orang banyaknya itu, kembali ke kota Lok-yang di mana Gubernur Propinsi Ho-nan tinggal. Untuk menuju ke Lok-yang, mereka menyeberangi Sungai Kuning dan ternyata di sebuah pantainya telah tersedia perahu-perahu pasukan itu sehingga perjalanan itu dapat dilakukan dengan mudah.

Pada waktu itu, yang menjadi gubernur di Ho-nan, propinsi di sebelah selata Sungai Kuning itu, adalah seorang bertubuh kecil kurus, berusia lima puluh tahun bernama Kui Cu Kam. Gubernur Kui ini pun merasa tidak senang kepada kaisar banyak menggeser dan menyingkirkan orang-orang penting yang tadinya berjasa untuk kerajaan. Timbuliah rasa tidak senangnya dan jiwa kepahlawanan gubernur ini, yang menganggap Kaisar bangsa Mancu yang menjajah tanah airnya itu sudah keterlaluan. Dia sendiri adalah seorang Han tulen yang kebetulan saja masih mendapatkan kepercayaan untuk menjadi gubernur, hal yang sudah langka terjadi. Ketika mendengar betapa Jenderal Kao Liang juga dipensiun, hatinya makin panas dan mulailah gubernur ini berpikir untuk memisahkan diri dari kedaulatan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan mulai bertindak sewenang-wenang itu.

Memang pada waktu itu Gubernur Kui sedang menantikan datangnya utusan kaisar dari kota raja. Untuk menyelimuti dan menyembunyikan niatnya untuk memisahkan diri dan berdiri sendiri, yang akan dilakukan lambat-laun setelah dia dapat menyusun kekuatan, maka Gubernur Kui mengadakan penyambutan besar-besaran. Jauh hari sebelum utusan itu tiba, istana Gubernur telah dihias dengan megah. Tamu-tamu dari seluruh propinsi, yaitu para pembesar sipil dan militer, kaum hartawan dan terkemuka, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan, semua menerima undangan.

Dua orang perwira tinggi yang mewakili gubernur yang tentu saja sibuk sekali itu lalu mempersilakan Kian Lee untuk tinggal di sebuah kamar dekat taman, sebuah di antara kamar-kamar tamu yang banyak disediakan untuk para tamu yag dihormati. Sedangkan Si Rambut Merah dengan guci araknya yang sudah kosong itu segera meninggalkan taman untuk bertugas di dalam, sebagai pengawal pribadi gubernur.

Ditinggal seorang diri, Kian Lee memeriksa kamarnya yang memang megah dan indah. Dia diberi tahu tadi bahwa pesta akan diadakan malam nanti di waktu bulan purnama untuk menyambut tamu agung dari kota raja, dan dia dipersilakan mengaso di dalam kamar ini dan akan dikirim seorang pelayan yang akan melayani segala keperluannya.

Kamar itu memang menyenangkan, terpisah dari kamar-kamar lain dan ketika Kian Lee ke luar ke depan, ternyata, kamarnya itu menghadapi taman dan dari situ nampak banyak kamar-kamar yang sebagian sudah ditempati orang-orang lain yang agaknya juga tamu-tamu dari tempat jauh yang telah datang lebih dulu. Terdengar suara nyanyian merdu diiringi yang-kim, (alat musik bersenar) dari beberapa buah kamar tamu itu, diseling suara ketawa. Kian Lee lalu masuk lagi ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan daun pintu karena dia ingin beristirahat sebelum menghadapi pesta itu di mana dia harapkan akan dapat memecahkan rahasia peristiwaperistiwa aneh yang tadi dan kalau mungkin mendengar berita tentang adiknya. Hari telah siang dan dia masih mempunyai waktu setengah hari untuk mengaso.

Akan tetapi belum lama dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringan yang lunak dan hampir pulas, tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara ketukan halus pada daun plntu kamar itu. Dia cepat bangkit duduk lalu melangkah ke pintu dan dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Terkejutlah dia ketika melihat seorang wanita muda yang amat, cantik, akan tetapi melihat wanita itu membawa sebuah baki berisi makanan dan minuman, dia dapat menduga bahwa wanita ini, biarpun kelihatan cantik sekali, adalah seorang pelayan.

“Maaf, Kongcu. Saya bertugas melayani Kongcu dan mengantar makanan dan minuman untuk Kongcu.”

Kian Lee merasa agak canggung. Belum pernah dia berada di dalam kamar bersama seorang wanita muda yang cantik seperti itu, sungguhpun wanita itu hanyalah seorang pelayan. Tidak mungkin dia menolak, maka dia mengangguk dan mundur, memberi jalan kepada wanita itu yang melangkah masuk. Masih tercengang Kian Lee mengawasi wanita yang membawa baki itu berlenggang dengan halus, seperti lenggang seorang puteri saja, menghampiri meja, kemudian jari-jari tangan yang halus meruncing itu menurunkan mangkok piring dan masakanmasakan ke atas meja, mengatur hidangan di atas meja dengan sikap halus namun cekatan.

“Kongcu, silakan makan dan minum!” katanya lagi, suaranya merdu dan halus, juga sopan teratur, seperti kata-kata yang keluar dari seorang yang terdidik baik.

“Terima kasih,” Kian Lee menjawab lalu menghampiri meja makan yang bundar kecil itu. Masakan-masakan itu masih mengebul panas, nasinya putih dan di situ terdapat arak dan air teh. Cukup lengkap dan baunya sedap menimbulkan selera, apalagi karena perutnya memang sudah lapar.

Akan tetapi pemuda itu tidak jadi mengambil mangkok untuk diisi masakan ketika dia melihat wanita muda itu dengan langkah-langkah yang gontai menuju ke pintu, kemudian bukannya keluar dari pintu dan pergi, melainkan menutupkan daun pintu dengan perlahan, kemudian dia melangkah kembali dan berdiri tak jauh dari meja dengan sikap menanti!

Kian Lee menelan ludah, merasa kikuk, lalu menoleh. “Eh, kau.... kau.... tidak pergi?”

Wanita itu memandang dengan sinar matanya yang halus, lalu tersenyum. Bukan main manisnya senyum itu, senyum yang sopan karena agaknya nona itu geli hatinya melihat pemuda yang gagap gugup ini. Lalu dia menggeleng kepala dan berkata, “Kongcu, mengapa saya mesti keluar? Saya telah ditugaskan untuk melayani Kongcu di sini. Silakan Kongcu makan, saya akan menanti di sini untuk melayani segala keperluan Kongcu. Silakan dan jangan malu-malu!” Kembali dia tersenyum.

Kia Lee mengangguk, kemudian dia mengambil mangkok kosong dan mengisi mangkok dengan nasi putih. Ketika dia mengambil sepasang sumpit dan hendak mulai menyumpit, dia mengerling dan melihat wanita itu berdiri memandangnya, dia kembali menelan ludah.

“Eh, mari kau duduk dan makan bersama!” katanya.

Wanita itu kaget sekali, terbelalak, mukanya yang cantik dan putih halus itu menjadi kemerahan, kelihatan dia malu sekali. “Aih, Kongcu mana saya berani? Silakan Kongcu makan “

“Ah, mengapa tidak? Tidak enak sekali makan sendiri dan kau.... kau hanya menonton. Mari kita makan bersama.” Kian Lee yang masih belum banyak pengalaman sehingga dia tidak tahu bahwa mengajak makan bersama seorang wanita muda mempunyai arti yang lain lagi, yang lebih mendalam! Tentu saja pelayan itu menjadi malu sekali dan mukanya makin merah.

“Harap Kongcu tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan” katanya halus dan suaranya tiba-tiba menjadi demikian menggetar seolah-olah mengandung kedukaan dan kegelisahan besar.

Kian Lee terkejut dan meletakkan mangkoknya. “Eh, Nona, harap jangan salah kira. Aku tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan, melainkan sejujurnya mengajak engkau makan. Aku.... aku tidak biasa dilayani seperti ini, dan aku mengajak, engkau makan seperti seorang sahabat, apa salahnya?”

Sejenak sepasang mata yang indah jernih memandang dengan bengong dan terheran-heran, seolah-olah menjelajahi dan menyelidiki wajah Kian Lee. Kemudian wanita muda itu menghela napas panjang dan menjura. “Maaf, Kongcu, saya memang tadi salah duga. Kongcu baik sekali. Terima kaslh. Akan tetapi saya sudah makan, maka silakan Kongcu makan sendiri. Kalau Kongcu tidak biasa ditunggu seperti ini, biarlah saya main yang-kim selagi Kongcu makan, agar tidak terganggung.”

Kian Lee mengangguk-angguk dan ketika dia melihat wanlta itu kini mengambil sebuah alat musik yang-kim yang tergantung di dinding, kemudlan menyetel senar-senarnya dan duduk di atas sebuah bangku kecil di sudut kamar, agak di belakangnya, maka dia pun mulai makan. Biarpun dia makan, akan tetapi sebagian dari perhatiannya tercurah ke belakang, ke arah suara yang dibuat wanita itu, melalui pendengarannya. Tadinya dia hanya mendengar suara senar yang-kim disetel, kemudian terdengar senar-senar itu dimainkan, perlahan-lahan dan merdu suaranya.

Kian Lee tersenyum seorang diri. Sungguh aneh pengalamannya. Pagi tadi mengalami hal tidak enak, kini begini enaknya. Makan masakan yang lezat-lezat, diiringi musik yang merdu! Bukan main! Dia merasa dimanja. Di Pulau Es pun tidak seperti ini hidupnya. Bahkan ketika dia berada di istana Puteri Milana, kakak tirinya, dia pun tidak dimanja seperti ini!

Akan tetapi tiba-tiba perhatiannya makin banyak tercurah ke belakangnya, ketika dia mendengar suara nyanyian yang halus merdu, nyanyian yang dilakukan dengan perlahan namun cukup jelas oleh pendengarannya, nyanyian yang diiringi oleh berkentringnya senar-senar yang-kim. Nyanyian itu memang indah, suara lirih itu setengah berbisik-bisik amat merdunya, namun yang menarik perhatiannya adalah kata-kata dari nyanyian itu.

“Tiada ayah tiada bunda
tiada sanak keluarga
badan sendiri nyaris binasa!

Apa daya si dara lemah
cintanya bertepuk tangan sebelah
mengubur diri dalam keluh-kesah!

Pendekar sakti penolong nyawa
yang disanjung dan dipuja
telah jauh meninggalkannya!”

Nyanyian itu demikian menyedihkan, suara itu menggetar penuh perasaan sehingga Kian Lee tak dapat menahan diri untuk tidak menoleh. Betapa heran hatinya ketika dia melihat gadis yang masih mainkan yang-kim akan tetapi sudah tidak bernyanyi lagi itu menunduk dan kedua pipinya terhias butiran-butiran air mata! Gadis itu bernyanyi sambil menangis!

Kian Lee mengakhiri makannya, meneguk secangkir air teh, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi gadis pelayan yang masih bermain yang-kim sambil menunduk itu.

“Nona....!” dia memanggil.

Gadis itu masih terus bermain yang-kim dengan perlahan, tidak menjawab seolah-olah semangatnya melayang jauh mengikuti alunan suara yang-kim.

“Nona...., hentikan permainan yang-kim itu!” Kian Lee kembali menegur.

Suara yang-kim tiba-tiba berhenti. Nona itu kelihatan terkejut, cepat mengusap pipinya dengan ujung lengan baju dan bangkit berdiri, menggantungkan yang-kimnya dan menghampiri meja. “Maaf apakah Kongcu telah selesai makan?” tanyanya, suaranya masih setengah berbisik dan mengandung isak tertahan.

Kian Lee mengangguk dan memandang gadis itu membereskan mangkok, piring, menumpuknya di atas baki, kemudian berkata, “Saya menyingkirkan mangkok piring dulu, sebentar saya kembali. Apakah Kongcu perlu diambilkan sesuatu?”

Kian Lee menggeleng dan hanya memandang ketika wanita itu keluar dari kamarnya. Dia termenung, masih terngiang di telinganya isi nyanyian kuno tentang seorang wanita ditinggalkan kekasihnya. Akan tetapi mengapa gadis itu bernyanyi sambil menangis? Dia memandangi yang-kim yang kini tergantung di dinding, semuanya melayang-layang dan terbayanglah dia kepada wajah Ceng Ceng, , keponakannya atau bekas kekasihnya, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, cinta pertamanya yang gagal.

Nyanyian gadis pelayan itu menbangkitkan kenang-kenangan ini dan berulang kali Kian Lee menghela napas. Di dunia ini mengapa terdapat begitu banyak orang yang menderita sengsara karena cinta? Memang cinta banyak mendatangkan derita? Cintakah yang mendatangkan derita itu? Ataukah kegagalannya? Lebih tepat lagi, bukankah karena keinginan hati tak tercapai itulah yang mendatangkan hati sengsara? Sengsara yang timbul karena kecewa, karena harapan hampa.

Daun pintu terbuka halus dan gadis itu melangkah masuk, menutupkan kembali daun pintu.

“Mengapa ditutup?” Kian Lee menegur.

“Agar tidak nampak dari luar, kalau Kongcu merasa gerah, bagian atas daun jendela dapat dibuka,” jawabnya halus dan tanpa diperintah, gadis itu lalu membuka daun jendela bagian atas sehingga pemandangan di luar dapat nampak sebagian.

“Nona, kenapa kau kembali ke sini? Aku sudah selesai makan dan aku tidak butuh apa-apa lagi. Nona boleh beristirahat di tempat Nona sendiri.”

Gadis itu memandang Kian Lee, kemudian menjawab sambil menunduk, “Saya bertugas melayani Kongcu sambil menanti datangnya saat pesta dimulai. Dan saya.... saya senang di sini melayani Kongcu....”

Bersambung ke buku 2


Selengkapnya...