Kisah Si Bangau Merah -7 | Kho Ping Hoo
Kisah Si Bangau Merah Buku 7 | Kho Ping Hoo
Gangga Dewi mendekat dan merangkulnya. “Tentu saja aku akan senang sekali kalau engkau ikut ke Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, kami tidak akan berani.”
Suma Ciang Bun berkata, “Kami telah membeli sebuah kereta. Kalau kami mempergunakan perjalanan dengan kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya sebelum tahun baru Sian Li akan dapat pulang ke sini.”
Suma Ceng Liong memandang kepada kakaknya. Kalau dia membolehkan Sian Li pergi, andaikata dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak kepada mereka. Akan tetapi, kalau dia melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada Sian Li, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Seolah-olah dia tidak percaya kepada mereka.
“Ku-kong Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendiri, tidak bersama Ku-kong Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke barat.” Sian Li berkata dan Suma Ceng Liong tertawa.
“Hemm, engkau memang memiliki hati membaja dan kepala membatu. Orang seperti engkau ini mana mungkin bisa dilarang? Sian Lun, engkau temani sumoimu pergi ke barat.”
“Baik, Suhu!” kata Sian Lun dengan tidak menyembunyikan suaranya yang mengandung kegembiraan besar.
“Sian Li kami membolehkan engkau pergi akan tetapi harus ditemani suhengmu agar kalau engkau pulang, ada yang menemani. Selain itu, kalau orang tuamu datang sebelum engkau pulang, kami dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi menemanimu.”
Sian Li girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan makin menggembirakan hatinya karena suhengnya itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan amat menyenangkan dan juga amat membantu. Ia bersorak, lalu menghampiri Kam Bi Eng dan merangkul nenek itu.
“Terima kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan memperkenankan, karena kalian adalah orang-orang tua yang terbaik di dunia ini!”
Suma Ceng Liong dan isterinya hanya tersenyum. Suma Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya melihat sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari ke mudian, berangkatlah mereka berempat meninggalkan dusun Hong-cun. Suma Ciang Bun menjual keretanya dan sebagai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang baik dan mereka berempat melakukan perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng Liong dan isterinya yang mengantar mereka sampai ke luar dusun, diam-diam ikut girang dan terharu melihat betapa Sian Li, seperti anak kecil, kelihatan gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Dara itu memang berbakat sekali menjadi seorang pendekar. Baru dua hari ia diajar menunggang kuda oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan berani membalapkan kudanya! Bahkan Sian Lun juga kalah sigap. Mereka yakin bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tidak akan marah andaikata mereka datang dan Sian Li belum kembali. Mereka pun merupakan pendekar-pendekar yang biasa bertualang. Apalagi kepergian Sian Li ini bersama kakeknya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula oleh Liem Sian Lun.
Gangga Dewi menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan perjalanan cepat dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati. Karena mereka berempat adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertubuh kuat, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat. Kalau kuda mereka sudah terlalu lelah, Suma Ciang Bun menukarkan kuda mereka dengan kuda yang masih segar dengan menambah uang. Dengan cara demikian, mereka dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi.
***
Pada waktu itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah berhasil mengamankan seluruh negara.. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan yang menjaga tapal batas, dan di semua kota besar terdapat pula benteng pasukan. Pemberontakan-pemberontakan telah dapat dipadamkan, dan biarpun masih terdapat banyak golongan yang anti pemerintah Mancu, namun gerakan mereka hanya di lakukan secara sembunyi, tidak ada yang berani berterang karena pada waktu itu kekuatan pasukan Mancu amat besar. Apalagi karena Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati dan banyak menerima orang-orang Han yang pandai, diberi kedudukan tinggi dan bahkan pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han yang menganggap bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun seorang Mancu, namun mementingkan rakyat jelata.
Kaisar Kian Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, dan dia telah menjadi Kaisar selama lima puluh tahun lebih! Belum pernah ada Kaisar yang memegang tampuk kerajaan selama itu dengan berhasil baik. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong bukan seorang Kaisar yang mabok kedudukan sehingga hanya menjadi pengejar kesenangan sendiri saja. Sejak muda, Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul, bahkan akrab dengan para pendekar, dengan rakyat jelata seringkali melakukan perjalanan secara menyamar dan menyusup di kalangan rakyat jelata sehingga namanya dikenal sebagai seorang yang bijaksana dan ramah tamah. Bukan hanya karena kekuatan angkatan perangnya saja Kaisar Kian Liong dapat mempertahankan kedudukannya, akan tetapi terutama sekali karena nama baiknya itulah. Pribadi seorang pemimpin memang menentukan kelancaran pemerintahannya, karena kalau pribadi itu tidak disukai rakyat, sudah pasti menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati rakyat, bahkan menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang menerima kebudayaan, bahkan bahasa Han menjadi bahasa orang-orang Mancu yang memegang kendali pemerintahan.
Dengan para negara tetangga, biar yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian selatan, Kaisar Kian Liong mengadakan hubungan yang baik dan menghargai kedaulatan masing-masing. Ini pun mengurangi gerakan gangguan di tapal batas dan perdagangan dengan negara lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat pemberontakan, maka hanya terjadi kecil-kecilan dan tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang. Akan tetapi kini kedua perkumpulan itu bahkan bermusuhan, karena Thian-li-pang merupakan perkumpulan pejuang yang gagah dan sungguh membela rakyat, sedangkan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan berkedok agama, bahkan dari Agama Buddha yang sudah menyeleweng daripada agama aselinya, bercampur dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke arah sesat.
Karena kebesaran kerajaan atau Dinasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong, bahkan negara-negara seperti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan diri mengirim upeti setiap tahun kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda persahabatan, sebutan yang diperhalus dari keadaan sebenarnya, yaitu taluk tanpa diserang lagi. Hanya Kerajaan Nepal sajalah yang pernah menentang, akan tetapi negara itu diserbu pasukan besar dan ditundukkan, akan tetapi tidak dijajah dan hanya diharuskan mengirim upeti setiap tahun.
Karena keadaan yang aman itulah, maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa ada gangguan di tengah perjalanan.
Sian Li merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat sebelumnya, melihat perkampungan suku-suku bangsa yang dianggapnya aneh dan amat menarik. Perkampungan-perkampungan yang dilaluinya itu berbeda sama sekali dengan daerah timur berbeda segalanya, dari rumahnya, pakaiannya, bentuk wajah dan bahasa, bahkan makanan pun berbeda! Akan tetapi setelah Gangga Dewi memperkenalkan ia dengan orang-orang asing itu, menterjemahkan percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, Sian Li mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu hanya kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya kebiasaan hidupnya. Pada hakekatnya, jauh di lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan ia atau seluruh bangsa di timur. Mereka suka bersahabat, suka tertawa membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal yang tidak enak. Biarpun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya cara dan campurannya saja. Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu tidak menyukai pahit dan getir. Yang disuka seperti juga di timur, manis asin sedikit asam dan pedas. Mereka pun sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti dirinya juga. Karena merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat akrab dengan mereka walaupun kadang-kadang kedua pihak tertegun heran melihat kebiasaan yang amat berbeda diantara mereka.
Dengan adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk jalan, pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat menyenangkan bagi tiga orang yang lain, terutama sekali bagi Sian Li dan Sian Lun yang baru sekali itu selama hidup mereka lewat di tempat-tempat seperti itu.
Biarpun Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah lupa bahwa sebelum tahun baru tiba, Sian Li sudah harus kembali ke rumah Suma Ceng Liong. Oleh karena itu, ia mengajak mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke Bhutan.
Pada suatu siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan seelah menyeberangi sungai besar yang amat terkenal di Tibet yaitu sungai Yarlung Sangbo atau terkenal pula dengan nama Brahmaputra. Mereka melintasi pegunungan yang paling besar, tinggi dan panjang di seluruh dunia, yaitu Pegunungan Himalaya yang menjadi tapal batas antara Bhutan dan Tibet. Di pegunungan yang amat terkenal ini. Sian Li merasa kagum bukan main. Walaupun perjalanan amat sukar, melalui gunung es yang teramat dingin, namun dara itu selalu nampak gembira dan kagum.
Siang itu, mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak dusun-dusun yang termasuk wilayah Bhutan. Menjelang senja, mereka bertemu dengan pasukan kecil terdiri dari belasan orang. Ketika pasukan itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat turun dari atas kuda mereka dan memberi hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah pasukan keamanan yang menyamar dengan pakaian biasa, melakukan perondaan di daerah perbatasan itu.
Setelah menerima penghormatan mereka Gangga Dewi bertanya. “Apakah yang terjadi? Kenapa kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak berpakaian seragam pula?”
Pemimpin pasukan melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini daerah perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari Nepal memasuki daerah itu. Mereka adalah mata-mata Kekuasaan Nepal, dari pihak keluarga raja yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Ceng di Cina. Mereka ini menghasut rakyat di perbatasan Bhutan dan Tibet, untuk bersama-sama menentang dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang di perbatasan Propinsi Secuan untuk merong-rong Kerajaan Ceng.
“Ah, kalau begitu kalian harus melaksanakan tugas dengan baik. Kita tidak ingin terseret oleh pemberontakan orang-orang Nepal itu, apalagi mereka juga menjadi musuh Kerajaan Nepal yang sah. Mereka bahkan pemberontak pula di Nepal, petualang-petualang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari pergolakan dan kekacauan,” pesan Gangga Dewi. Dua orang di antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thim-phu di Bhutan, sedangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan. Gangga Dewi mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari telah sore. Mereka akan terpaksa bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu malam segera tiba, dan mereka pun sudah cukup lelah.
Memang hari telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun itu. Sian Li dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat betapa mereka disambut oleh penghuni dusun yang berduyun menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian yang menyambut kedatangan Sang Puteri! Kiranya dua orang perajurit tadi telah memberi kabar ke dusun itu, dan kepala dusun segera mengerahkan orang-orangnya untuk menyambut.
Demi menyenangkan rakyatnya, Gangga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira ketika Gangga Dewi merangkul dan mencium anak perempuan yang bertugas menyerahkan seikat bunga kepada Sang Puteri. Sian Li memandang dengan wajah berseri dan Sian Lun mengagumi belasan orang penari yang terdiri dari gadis-gadis Bhutan yang manis, dengan tarian yang lemah gemulai, tubuh mereka meliak-liuk dengan amat lemas dan lenturnya, diiringi musik yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun terdengar demikian asyik dan membuat orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang berirama riang itu.
Ketika mereka memasuki dusun, mereka disambut oleh kepala dusun dan semua sesepuh dan pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas untuk para tamu agung itu mencuci badan, kamar-kamar terbaik di rumah kepala dusun dipersiapkan untuk mereka. Apalagi ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun sebagai suaminya, para penduduk semakin gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu menikah dengan seorang pria Han, bukan merupakan halangan, bahkan merupakan kebanggaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang bernama Syanti Dewi, yang mereka puja-puja dan kasihi, juga menikah dengan seorang pria Han yang kemudian bahkan menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat, ayah Gangga Dewi.
Malam itu, seluruh dusun bergembira dan sebuah pesta besar diadakan di pendapa rumah kepala dusun yang cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir sebagai tamu di panggung, sedangkan di bawah panggung, di sekeliling pendapa, hampir seluruh penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu untuk nonton keramaian, pertunjukan dan untuk melihat puteri mereka, Gangga Dewi yang mereka kagumi sebagai seorang puteri yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian seperti seorang dewi!
Serombongan penari yang cantik manis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya, menari-nari diiringi musik yang sederhana namun menggairahkan seperti musik di daerah itu, yang mempunyai pukulan gendang dan tambur seolah-olah menghidupkan semua syaraf di tubuh untuk bergerak dan menari.
Puteri Gangga Dewi, Suma Ciang Bun Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu kehormatan dan para penari menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu merasa bangga mendapat kesempatan menari di depan Sang Puteri. Biasanya, hanya penari istana saja yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun yang tentu saja tidak pandai menari sehalus dan seindah penari istana, namun gerakan mereka wajar dan polos sehingga bagaikan bunga-bunga hutan yang segar. Beberapa orang di antara mereka mengerling ke arah Sian Lun dengan kerling tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah perkasa dan tampan, apalagi dia adalah anggauta rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para penabuh musik, para penonton, mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah sehingga secara bisik-bisik para pemuda menyebut Sian Li “Dewi Merah”!
Sian Li sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan yang disuguhkan juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi telah memesan kepada kepada dusun agar membuat lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han. Hal ini mudah dilakukan oleh para koki bangsa Bhutan karena memang hubungan antara Bhutan dengan Cina sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau yang disebut Han-Bhutan seperti Gangga Dewi kini berada di Bhutan seperti juga banyak di situ keturunan Nepal, Tibet, dan India. Sebagai negara kecil yang terkepung negara-negara besar Bhutan mempunyai banyak orang-orang berdarah campuran atau peranakan. Banyak pula orang Han berdatangan ke Bhutan sebagai pedagang, sehingga para koki bangsa Bhutan selain pandai membuat masakan khas Bhutan, pandai pula membuat masakan model Nepal, India, Tibet atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut, tidak terlalu menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak dirasakan.
Sian Li juga mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda. Pakaian mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah. Mereka lebih pantas menjadi penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok khas Bhutan di pinggang mereka, dan mereka menabuh musik dengan lagak penari-penari yang lincah. Apalagi penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap. Dia menggulung lengan baju ke atas dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot. Cara dia menabuh tambur sungguh menarik dan gagah, seperti orang bermain silat saja. Kadang-kadang dia melontarkan dua buah kayu pemukul tambur ke atas dan melanjutkan memukul tambur dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua ini dilakukan secara berirama.
Sian Li kagum. Hebat memang pemuda yang usianya kurang leblh dua puluh tahun itu. Cara dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya kembali tanpa melihat karena matanya terus menatap tamburnya, seolah kedua tangannya bermata, sungguh mengagumkan. Dan pukulan tambur itu pun menggetar penuh kekuatan. Rasanya tidak mungkin dia itu tidak memiliki kepandaian silat dan tenaga sin-kang, pikir Sian Li.
Akan tetapi kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih. Tarian gadis-gadis cantik itu sudah selesai dan kini muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun. Kakek ini tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, kepalanya gundul atau botak licin dan pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula! Menyeramkan sekali kakek ini, terutama sepasang matanya yang bulat besar dengan alis yang terlalu tebal sehingga tidak wajar lagi! Kepala dusun memperkenalkan kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan Tibet yang memiliki keahlian sulap dan bermain ular!
Biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu memberi hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian lentur seperti seekor ular besar! Gangga Dewi mengangguk dan tersenyum, lalu berkata, “Mulailah dengan pertunjukanmu dan lakukan sebaik mungkin.”
Para penari dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda pemukul tambur tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma menunjukkan keahliannya. Pemuda itu tetap menahadapi sebuah tambur dan sebuah gendang, dan dengan kedua tangannya, dia mengangkat dua alat musik itu dan mendekati Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah ruangan pertunjukan.
Lulung Ma sudah siap. Ketika dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar menyeramkan, bahkan pemuda yang tinggi tegap itu pun hanya setinggi dagunya! Padahal, pemuda tampan itu sudah termasuk tinggi untuk ukuran biasa. Kini, pemuda itu memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur berdentam-dentam dan berirama, kemudian diimbangi suara suling yang bentuknya aneh, ada kepalanya yang sebesar kepalan tangan. Suling seperti itu disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli ular di India untuk menjinakkan ular yang liar dan berbisa.
Akan tetapi, kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya mengimbangi pukulan tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking, memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang membuat Gangga Dewi dan orang-orang Bhutan di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi Sian Li, lagu itu lembut akan tetapi terasa aneh bagi pendengarannya.
Suara suling berhenti dan kini pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul keras-keras, melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walaupun dari suara gendang dapat diketahui bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gendang. Suara gendang itu bisa terdengar seperti halilintar, bisa seperti riak air atau rintik hujan. Kini, kakek muka hitam itu mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak dimengerti oleh Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang sejak menjadi suami Gangga Dewi telah mempelajari bahasa daerah isterinya itu, menterjemahkan kepada mereka. “Dia berkata bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya yang kosong.”
Sian Li memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton tukang sulap, yaitu ketika ia masih kecil. Melihat tukang sulap mampu mengambil benda-benda dari udara, ia dahulu merasa amat kagum. Akan tetapi ayah bundanya mengatakan bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dibantu pula oleh kecepatan kedua tangannya yang sudah terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam sulapan.
“Jangan-jangan dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiapkan lebih dulu!” katanya, suaranya cukup kersa karena dianggapnya bahwa yang mengerti bahasanya tentu hanya mereka berempat. Akan tetapi wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap itu menengok kepadanya dan berkata dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara raksasa!
“Jangan khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun kecuali kedua tanganku yang kosong ini! Maafkan, Nona cantik seperti dewi, dan suka berpakaian merah, maka aku menyebut Nona Dewi Merah!” Kiranya raksasa muka hitam itu pandai bahasa Han, dengan lancar pula! Dan lebih membuat Sian Li terheran lagi, banyak di antara para tamu dan mereka yang menonton di sekeliling ruangan itu, pendapa yang terbuka menyambut ucapan rakasasa muka hitam itu dengan tawa riuh seolah mereka itu mengerti apa yang diucapkan dalam bahasa Han. Sian Li tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-orang di situ dengan bangsa Han sehingga bahasa Han bukan merupakan bahasa yang asing bagi kebanyakan dari mereka. Apalagi di antara mereka banyak pula terdapat keturunan Han. Segera terdengar seruan-seruan dari para pemuda yang tadi kagum kepada Sian Li.
“Dewi Merah....! Dewi Merah....!”
Gangga Dewi ikut pula bergembira dan ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghentikan keributan itu. Setelah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan suaminya itu, “Ini adalah cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau Merah”
Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan “Dewi Bangau Merah! Dewi Bangau Merah!”
Suma Ciang Bun terseret dalam kegembiraan itu dan dia pun mengumumkan “Sebutan itu memang tepat sekali. Namanya memang Dewi (Sian-li)!” Kembali orang bersorak. Ketika Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun tidak ikut bertepuk tangan, bahkan wajah pemuda itu nampak muram, ia pun menahan senyumnya. Ia segera mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang jatuh cinta kepada sumoinya, akan tetapi juga amat pencemburu sehingga kalau ada orang lain, terutama pria, yang memuji Sian Li, dia akan merasa tidak senang dan cemburu!
Gangga Dewi kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara bising itu pun terhenti. “Lulung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan memberi hadiah bunga-bunga kepada kami semua!”
Lulung Ma, Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti biasa diperlihatkan tukang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu dari udara dan.... tiba-tiba saja di kedua tangannya telah memegang masing-masing setangkai bunga yang segar berikut beberapa batang daunnya, seolah-olah baru saja dia memetiknya dari udara! Akan tetapi, ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun dan juga Gangga Dewi, hanya tersenyum. Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang memiliki penglihatan tajam, berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat gerak cepat dari tukang sulap itu yang mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari dalam lengan baju hitamnya yang longgar. Memang benar, Lulung Ma tidak mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan seperti ucapannya tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya yang dapat bergerak cepat bukan main sehingga tidak nampak oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang panjang itu ditekuk ke dalam dan menjepit dua tangkai bunga dari dalam lubang lengan bajunya.
Sambil menjura ke kanan kiri menyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke panggung kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu kepada Gangga Dewi dan Sian Li sambil berkata lantang.
“Bunga-bunga yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi dan Dewi Bangau Merah!” Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut tepuk tangan para penonton.
Sian Lun yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam itu menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam dan menyapu seluruh tubuh dara itu. Teringat dia betapa tadi Si Hitam ini juga memuji Sian Li cantik seperti dewi. Maka dengan hati panas dia menggunakan kesempatan itu untuk berkata sambil memandang kepada raksasa hitam itu.
“Engkau hanya mengambil bunga-bunga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?”
Sepasang mata yang bulat dan besar itu kini memandang kepada Sian Lun dengan sinar mata tajam mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan rasa tak senangnya.
Lulung Ma lalu bangkit berdiri, memandang kepada seluruh penonton baik yang di atas panggung maupun yang di bawah. “Saudara sekalian, pemuda ini menuduh aku mengambil bunga-bunga itu dari lengan baju. Apakah kalian melihat aku mengambil sesuatu dari lengan baju?
Serentak terdengar jawaban, “Tidak....! Tidak....!”
Lulung Ma lalu tersenyum dan memandang lagi kepada Sian Lun. ”Kongcu (Tuan Muda), apakah engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?”
Sian Lun diam saja. Andaikata di lengan bajunya ditaruhkan bunga lebih dahulu sekalipun, dia tentu tidak akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat orang. Untuk pekerjaan itu dibutuhkan latihan yang lama sampai menjadi ahli benar. Dia menggeleng kepala.
“Suheng, jangan mencari keributan!” Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu.
Gangga Dewi yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata, “Memang dia tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan pertunjukanmu yang menarik ini!”
Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan mendekati tukang gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lambat dan lirih. Akan tetapi Sian Li tadi sempat melihat betapa pemuda jangkung yang tampan itu memandang ke arah Sian Lun dengan sinar mata mencorong seperti orang marah. Lulung Ma kini menggerak-gerakkan kedua tangannya, memetik dari udara, menjambak rambut sendiri, mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap kali tangannya bergerak, nampak setangkai bunga di tangan itu. Akan tetapi sekali ini bukan dua batang bunga segar seperti tadi melainkan berpuluh-puluh bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lampar-lemparkan kepada para tamu dan penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan tepuk tangan meriah dan seruan-seruan keheranan.
Sian Li melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya mempergunakan kecepatan kedua tangannya untuk mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan baju dan saku jubah hitamnya. Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak nampak oleh mata orang biasa yang tidak terlatih.
Setelah membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat mengesankan itu, Lulung Ma lalu memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata, “Sekarang hamba hendak mencoba untuk mengubah kepala hamba menjadi kepala naga, harap Paduka memaafkan hamba.” Mendengar ini, Gangga Dewi mengangguk. Diam-diam puteri ini kagum juga kepada raksasa hitam yang ternyata pandai itu, dan mendengar orang itu hendak mengubah kepalanya menjadi kepala naga, ia pun dapat menduga bahwa Lulung Ma tentu seorang ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang sebelumnya minta maaf kepadanya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan kepandaiannya maka sebelumnya minta maaf. Kini Lulung Ma menghadapi para tamu dan penonton. “Saudara sekalian harap suka tenang, sekarang aku ingin mengubah kepalaku menjadi kepala naga!”
Lalu dalam bahasa Han dia berkata sambil memandang ke arah Sian Li dan Sian Lun, “Dewi Bangau Merah, saya akan mengubah kepala saya ini menjadi kepala naga!” Dan dia memberi isarat kepada pemuda penabuh gendang yang segera mengganti gendangnya dengan tambur dan terdengarlah derap bunyi tambur yang meledak-ledak dan bergemuruh seperti ada badai dan halilintar mengamuk!
Lulung Ma menggerakkan kaki tangannya mengikuti suara tambur, dan makin lama tubuhnya bergetar makin kuat, lalu dia mengeluarkan suara teriakan melengking, “Saudara lihat baik-baik, kepalaku adalah kepala naga, hitam!” Kembali dia mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi yang semakin merendah menjadi gerengan yang menggetarkan seluruh ruangan itu, diikuti suara tambur yang menggelegar.
Semua orang terbelalak, ada yang mengeluarkan teriakan, bahkan banyak wanita menjerit dan Sian Li merasa betapa lengannya dipegang Sian Lun dengan kuat. Ia menoleh dan melihat betapa Sian Lun terbelalak memandang ke arah Lulung Ma. Sian Li tersenyum dan mengerti. Suhengnya itu memang telah memiliki ilmu silat tinggi dan sin-kang yang kuat, akan tetapi tidak pernah mempelajari ilmu yang dapat menolak pengaruh sihir seperti Ia. Ia sejak kecil telah dilatih untuk membangkitkan tenaga sakti dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dan perlahan-lahan sekali, kekuatan itu tumbuh dalam dirinya dan ia pun seperti memiliki kekebalan terhadap sihir. Tadi ia sudah menduga bahwa kakek raksasa hitam itu tentu mempergunakan hoat-sut (sihir), maka ia pun sudah mengerahkan tenaga sakti Pek-ho Sin-kun sehingga ia pun tidak terpengaruh dan melihat bahwa kepala Lulung Ma itu tetap kepala yang tadi, tidak berubah menjadi kepala naga. Dan memang Sian Lun menjadi terkejut dan tegang ketika seperti para penonton lain dia melihat bahwa kepala raksasa hitam itu benar-benar berubah menjadi kepala naga hitam yang amat menyeramkan. Tentu saja bentuk kepala naga itu tidak sama di antara para penonton, tergantung dari khayal mereka masing-masing. Ketika Sian Li mengerling ke arah Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, ia melihat dua orang tua ini memandang ke arah Lulung Ma sambil tersenyum tenang, tanda bahwa mereka pun tidak terpengaruh. Hal ini tidaklah mengherankan. Suma Ciang Bun adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang merupakan seorang sakti dan ahli sihir pula, maka Suma Ciang Bun yang sudah menguasai tenaga sakti Im dan Yang dari keluarga sakti itu, tidak terpengaruh. Demikian pula Gangga Dewi. Ia mewarisi ilmu dari mendiang ayahnya, yaitu Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka begitu melihat kepala itu berubah menjadi kepala naga, dengan cepat wanita ini mengerahkan sin-kangnya dan buyarlah pengaruh sihir itu dari pikirannya.
“Suheng,” bisik Sian Li kepada suhengnya yang masih memegang lengannya dalam keadaan tegang itu. “Tenanglah dan kerahkan sin-kangmu untuk memecahkan pengaruh yang mencengkeram pendengaran dan penglihatanmu. Semua itu hanya ilmu sihir.”
Mendengar bisikan ini, Sian Lun melepaskan pegangannya dan dia nampak memejamkan kedua mata, menahan napas lalu mengatur pernapasan dan setelah dia membuka matanya lagi, dia melihat bahwa kepala Lulung Ma kembali seperti biasa.
“Hemm, kiranya ilmu setan untuk menakut-nakuti anak kecil!” Sian Lun berkata untuk melampiaskan kedongkolan hatinya bahwa tadi dia pun sampai terpengaruh dan sempat terkejut dan gentar.
Lulung Ma memiliki pendengaran yang amat tajam dan dia dapat menangkap ucapan Sian Lun itu. Dia mengeluarkan suara meraung dan bersamaan dengan bunyi tambur yang semakin menurun, orang-orang melihat asap mengepul menutupi kepala naga itu dan ketika asap lenyap, kepala itu sudah kembali menjadi kepala Lulung Ma. Para penonton bertepuk tangan dan bersorak menyambut sulapan itu penuh kekaguman.
Kembali Sian Li melihat betapa pemuda penabuh tambur itu mengirim pandang mata penuh kemarahan kepada Sian Lun sehingga hatinya merasa tidak enak. “Suheng, kuminta engkau jangan mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan. Ingat, kita ini tamu, dan mereka itu hanya menyuguhkan pertunjukan untuk menghibur. Sekali lagi engkau bersikap seperti itu, aku akan marah padamu,” bisiknya. Sian Lun memandang kepadanya dan mengangguk. Dia pun merasa betapa kepanasan hatinya tidak beralasan sama sekali dan dia merasa malu sendiri.
Kini Lulung Ma sudah memberi hormat lagi kepada Gangga Dewi, lalu kepada para penonton. “Sekarang, kami hendak mempersembahkan hiburan berupa permainan dan tari ular!”
Kakek raksasa hitam itu mengeluarkan suling ularnya dan mulai meniup suling dengan suara melengking-lengking. Pemuda penabuh tambur tadi bangkit, menghampiri belasan buah keranjang dan membuka tutup semua keranjang itu, kemudian kembali dia menabuh tambur perlahap-lahan seperti suara rintik hujan.
Suara suling melengking-lengking lembut dan para penonton menjadi tegang dan tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak ketika dari belasan buah keranjang itu muncul kepala ular-ular yang besar! Ular-ular itu mengangkat kepala tinggi-tinggi, seperti menjenguk keluar, mengembangkan leher dan mendesia-desis, lidah menjilat-jilat keluar masuk, kemudian mereka keluar dari dalam keranjang. Melihat ini, para penonton yang berada paling depan, mundur ketakutan, bahkan para tamu yang duduk di panggung juga mengangkat kaki dengan gentar. Ular-ular itu bukanlah ular biasa, melainkan ular kobra yang berbisa! Sekali saja digigit ular berbisa itu, nyawa dapat melayang!
Kini belasan ekor ular itu sudah keluar dari dalam keranjang masing-masing dan merayap menghampiri Lulung Ma. Panjang ular itu dari satu sampai satu setengah meter. Mereka merayap dengan kepala terangkat tinggi, kemudian tiba di depan Lulung Ma, belasan ekor ular itu berhenti, masih mengangkat kepala tinggi-tinggi.
Lulung Ma menggerak-gerakkan lengan kirinya yang menjadi lemas seperti ular, dengan tangan membentuk kepala ular, dan tangan kanannya memegang suling yang masih ditiupnya. Pemuda itu juga memukul tambur dengan irama lirih dan lambat. Kini, ular-ular itu mulai menari-nari, dengan kepala dilenggang-lenggokkan, menoleh ke kiri kanan dan nampak seperti belasan orang penari yang memiliki gerakan lemah gemulai! Para penonton memandang kagum, akan tetapi tidak berani bersorak atau bertepuk tangan, takut kalau mengejutkan ular-ular itu.
Suma Ciang Bun pernah mempelajari ilmu menguasai ular dari mendiang ibunya. Ibunya yang bernama Kim Hwee Li adalah seorang yang memiliki ilmu pawang ular, bahkan Suma Ciang Bun pernah mempelajari cara memanggil ular bukan dengan suling lagi, melainkan dengan suara yang dikeluarkan dari bibirnya seperti suitan panjang. Akan tetapi, kini dia kagum menyaksikan kelihaian Lulung Ma mengatur ular-ularnya untuk menari seperti itu. Hanya ular-ular peliharaan yang sudah dilatih saja yang dapat disuruh menari seperti itu. Belum tentu raksasa hitam itu mampu menguasai dan mengendalikan ular-ular yang liar pikirnya.
Agaknya raksasa hitam itu seperti dapat membaca pikiran Suma Ciang Bun karena kini dengan tangan kirinya, dia memberi isarat kepada tukang tambur. Pemuda itu lalu bangkit meninggalkan tamburnya sehingga tinggal suara suling saja yang melengking dan mengendalikan belasan ekor ular itu. Pemuda itu lalu menuruni tangga panggung dan dengan suara lantang minta kepada penonton di bawah agar “membuka jalan” untuk barisan ular.
“Harap minggir dan membuka jalan. Semua ular di sekitar sini akan dipanggil untuk mengadakan pesta ular!” katanya. Tentu saja orang-orang menjadi ketakutan dan membuka jalan yang cukup lebar seperti dikehendaki pemuda itu. Si Pemuda Jangkung kembali ke atas panggung dan dia lalu menangkapi belasan ekor ular itu dangan tangannya den mengembalikan mereka ke dalam keranjang masing-masing. Cara dia menangkap ular-ular itu saja sudah membuat Suma Ciang Bun, Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa pemuda itu dapat menggerakkan tangan dengan amat cepatnya. Bahkan ketika ular terakhir hendak ditangkap, ular itu mematuk dengan serangan cepat sekali. Akan tetapi, dengan sikap amat tenang, pemuda itu sudah dapat mendahului, jari tangannya menjepit leher ular dengan amat cekatan dan memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya. Diam-diam Sian Li kagum. Gerakan mengelak dan menjepit leher ular dengan telunjuk dan ibu jari itu tadi jelas merupakan gerakan seorang ahli silat yang pandai. Dengan jepitan seperti itu, pemuda itu agaknya akan mampu menangkap senjata rahasia yang menyambar ke arahdirinya. Ia merasa yakin bahwa pemuda jangkung itu tentu pandai ilmu silat.
Kini pemuda jangkung itu sudah menabuh tamburnya kembali, mengiringi bunyi suling yang melengking begitu tinggi sehingga hampir tidak terdengar, namun terasa getarannya. Suma Ciang Bun terkejut. Itulah lengking tinggi memanggil ular yang amat kuat dan berpengaruh. Baru dia tahu bahwa tadi dia memandang rendah. Kiranya raksasa hitam ini bukan saja mampu memanggil ular-ular liar. Jantungnya berdebar tegang. Sungguh berbahaya permainan ini, apalagi di situ berkumpul banyak orang. Bagaimana kalau ular-ular itu tidak dapat dikendalikan dan menyerang orang?
Semua orang juga memandang tegang dan tiba-tiba mulailah terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau amis. Segera terjadi kekacauan ketika para penonton di bawah ada yang berteriak-teriak.
“Ular....! Ular....!”
Pemuda itu sambil terus memukul tamburnya, berteriak dengan suara lantang, “Harap tenang! Jangan ada yang bergerak, dan ular-ular itu tidak akan mengganggu!”
Kini nampaklah ular-ular itu. Memang benar, ketika para penonton tidak bergerak, ular-ular itu tidak mengganggu. Memang mereka datang dari empat penjuru, bahkan melalui dekat kaki para penonton, akan tetapi mereka semua seperti tergesa-gesa menuju ke tangga dan naik ke panggung, menghampiri kakek raksasa hitam yang meniup suling! Banyak sekali ular-ular itu, puluhan ekor, bahkan ratusan ekor banyaknya, ada yang besar sekali, banyak yang kecil namun amat berbisa!
Banyak di antara para tamu bangkit dari tempat duduk mereka karena merasa ngeri dan takut kalau-kalau kaki mereka akan diserang ular. Juga Sian Li dan Sian Lun bangkit berdiri, bukan takut diserang ular, melainkan khawatir kalau ada tamu yang dipatuk ular. Seorang gadis remaja, puteri kepala dusun yang duduk tak jauh dari mereka, nampak pucat sekali dan gadis remaja itu agaknya memang takut ular. Tubuhnya menggigil dan ketika ada dua ekor ular yang panjangnya hanya dua kaki akan tetapi ular-ular itu amat berbisa, lewat di dekat kakinya, gadis remaja itu menjerit. Dua ekor ular itu kaget dan membalik. Melihat itu, seperti berebut saja Sian Li dan Sian Lun meloncat, mendekati gadis itu. Gerakan mereka ini membuat dua ekor ular yang sudah marah dan tadinya hendak menyerang gadis yang menjerit, membalik dan menyerang ke arah Sian Li dan Sian Lun. Ular yang menyerang Sian Lun dan Sian Li itu adalah semacam ular yang suka melompat tinggi. Kini mereka pun meloncat dan menyerang dengan kecepatan anak panah.
Akan tetapi dengan tenang saja Sian Li menggerakkan tangannya, dan sekali jari-jari tangannya menghantam, ular yang menyerangnya itu terbanting dengan kepala remuk dan tewas seketika! Adapun ular yang menyerang Sian Lun, disambut oleh pemuda itu dengan cengkeraman ke arah leher ular itu. Sekali dia meremas, leher ular itu hancur dan ular itu pun mati seketika.
Lulung Ma, melihat hal itu dan alisnya berkerut. Alis yang tebal sekali itu kini seperti bersambung menjadi satu. Tiupan sulingnya menjadi kacau karena hatinya panas melihat dua ekor ularnya mati, dan hal ini membuat ular-ular itu menjadi panik dan kacau pula! Orang-orang menjerit ketika ular-ular itu mulai lari ke sana sini dengan kacau.
Melihat hal ini, Suma Ciang Bun cepat bertindak. Terdengar suara melengking aneh dan meninggi, dan ular-ular itu menjadi ketakutan. Lenyap semua kemarahan mereka dan mereka pun tidak ganas lagi, melainkan ketakutan dan mereka lari secepatnya meninggalkan tempat itu seperti dikejar-kejar sesuatu yang membuat mereka ketakutan!
Lulung Ma menghentikan tiupan sulingnya. Dia dan pemuda jangkung tukang tambur itu menoleh ke arah Suma Ciang Bun, memandang dengan mata terbelalak. Kemudian, setelah semua ular pergi, hanya tinggal dua ekor bangkai ular, Lulung Ma lalu memberi isarat kepada Si Pemuda Jangkung yang segera mengambil dua bangkai ular dan menyimpannya dalam sebuah keranjang. Kemudian Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, tentu saja otomatis ke arah Suma Ciang Bun.
“Harap dimaafkan, karena ada yang menjerit ketakutan, ular-ular itu menjadi panik. Masih untung ada Enghiong (Orang Gagah) yang membantu kami mengusir ular-ular itu sehingga tidak ada korban gigitan. Untuk menyatakan maaf, biarlah murid saya ini bermain silat, dan kami akan memperlihatkan tari silat yang jelek dan hanya sekedar menghibur anda sekalian.”
Akan tetapi sebelum Si Jangkung itu bangkit berdiri, dari tempat para penari yang tadi minggir, berlompatan dua orang yang tadi juga menjadi pemain musik. Mereka berusia kurang lebih tiga puluh tahun, yang seorang bertubuh gemuk, yang ke dua kurus, akan tetapi keduanya tinggi, setinggi raksasa hitam itu dan nampak mereka itu memiliki tenaga otot yang kuat.
Melihat mereka, Lulung Ma tersenyum dan kembali menjura kepada para tamu. “Agaknya dua orang pembantu kami ini ingin pula memperlihatkan kepandaian mereka untuk menghibur para tamu. Badhu dan Sagha, silakan!”
Dua orang itu memberi isarat kepada kawan-kawan mereka dan beberapa orang datang menggotong sebuah keranjang terisi batu-batu sebesar kepala orang.
Setelah meletakkan keranjang itu di depan Badhu dan Sagha, mereka turun kembali.
Badhu yang gemuk dengan perut gendut itu berdiri tegak dengan kedua lutut agak ditekuk, memasang kuda-kuda dan memberi isarat kepada kawannya yang tinggi kurus bernama Sagha. Orang ini lalu mengambil sebongkah batu dari keranjang, lalu sekuat tenaga dia menghantamkan batu itu ke arah perut temannya. Perut yang gendut itu menerima hantaman batu.
“Bukkk!” Pukulan itu membalik. Sagha mundur sejauh dua meter lebih, lalu sekuat tenaga dia melontarkan batu itu ke arah perut kawannya.
“Bukk!!” Batu itu mengenai perut dan mental kembali ke arah Sagha yang menyambut dengan kedua tangan. Kemudian, Sagha melemparkan batu itu menghantam ke arah dada, paha, pundak, bahkan dari belakang mengenai punggung dan pinggul. Akan tetapi batu itu selalu mental kembali. Tentu saja semua orang menjadi kagum. Tubuh Si Gendut itu memang kebal. Kemudian, Badhu juga mengambil sebongkah batu dan menghantamkan batu ke arah Sagha yang kurus. Si Kurus ini menyambut dengan batu di tangannya.
“Darr....!” Dua buah batu itu pecah berhamburan. Mereka mengambil batu lagi dan kini mereka saling hantam, bukan saja di tubuh, melainkan di kepala. Akan tetapi setiap kali batu itu dihantamkan ke kepala lawan, batu itu pecah berhamburan! Tentu saja para penonton menyambut dengan sorak-sorak dan tepuk tangan karena pertunjukan ini benar-benar menegangkan dan juga mengagumkan. Bagaimana kepala orang dapat begitu kebal dan keras sehingga batu besar pun pecah ketika bertemu kepala!
Setelah sepuluh buah batu besar itu pecah, kedua orang itu lalu mengadu kekuatan dengan bergulat! Badhu yang gendut berhasil memegang pinggang Sagha yang kurus dengan kedua tangan, mengerahkan tenaga mengangkat tubuh kurus itu ke atas, memutar-mutarnya dan membanting sekuat tenaga.
“Bukkk....!” Tubuh kurus itu terbanting dan kalau orang lain dibanting sekeras itu, tentu akan patah-patah semua tulangnya. Akan tetapi seperti sebuah bola saja, Si Kurus sudah meloncat bangun kembali, dan kini dia menyergap Si Gendut, menangkap lengannya, dipuntir ke belakang dan dari belakang tubuhnya dia membanting kawannya itu dengan sepenuh tenaga.
“Bukkk!” Tubuh gendut gemuk itu terbanting dan semua orang merasa khawatir. Akan tetapi seperti juga temannya tadi, segera dia bangkit kembali, seolah-olah bantingan tadi sama sekali tidak dirasakannya.
Sekarang mereka tidak bergulat lagi, melainkan berkelahi saling pukul dan saling tendang. Dan agaknya mereka ingin memamerkan kecepatan gerakan mereka. Pukulan dan tendangan mereka elakkan atau tangkis, dan yang sempat mengenai tubuh pun tidak dirasakan karena keduanya memiliki kekebalan. Demikian serunya perkelahian itu sehingga memancing tepuk sorak para penonton yang merasa kagum bukan main karena mereka seperti melihat dua ekor harimau bertarung. Memang hebat sekali perkelahian itu, apalagi diiringi musik tambur dan genderang yang dipiikul secara kuat oleh Lulung Ma dan pemuda jangkung. Akhirnya, Lulung Ma yang memukul gendang memberi isarat dengan pukulan gendangnya yang semakin lambat dan lirih dan akhirnya dua orang yang sedang bertanding itu pun menghentikan pertandingan mereka. Dengan sikap bangga dan dada terangkat, Si Gendut yang bernama Badhu lalu memandang kepada para tamu dan para penonton.
“Saudara sekalian, kurang menarik kalau hanya saya dan adik saya Sagha ini yang bertanding karena kami berdua sama kuat dan tidak ada yang dapat menang atau kalah. Kita semua tahu betapa kuatnya bangsa kita yang hidup di sekitar Pegunungan Himalaya ini, tidak dapat disamakan dengan mereka yang tinggal di timur, yang kerempeng dan berpenyakitan. Akan tetapi, kalau ada di antara saudara yang mengaku orang timur dan merasa memiliki kepandaian yang katanya dimiliki orang-orang di dunia persilatan, silakan maju. Mari kita ramaikan pertemuan ini dengan main-main sebentar untuk membuka mata kita siapa sesungguhnya yang lebih kuat antara orang-orang di Pegunungan Himalaya!” Dengan sikap menantang Badhu dan Sagha berdiri di situ sambil memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li, juga Suma Ciang Bun. Jelas bahwa biar dia tidak menantang secara langsung, akan tetapi di tempat itu yang jelas merupakan pendatang dari timur adalah mereka bertiga itu.
Sian Lun dan Sian Li, saling pandang dan dari pandang mata itu mereka bersepakat untuk menyambut tantangan itu. Sian Li menoleh kepada nenek Gangga Dewi dan bertanya, “Bolehkah kami melayani tantangan mereka?”
Gangga Dewi dan suaminya saling pandang. Diam-diam Gangga Dewi juga marah melihat sikap dua orang pegulat itu yang dianggapnya terlalu sombong dan merendahkan orang-orang Han dengansengaja. Ia mengangguk dan menjawab. “Biar Sian Lun yang maju lebih dulu menghadapi Badhu, dan engkau nanti yang menghadapi Sagha.”
Sian Lun yang sejak tadi sudah mendongkol sekali, segera bangkit dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang ke depan dua orang itu.
“Aku orang dari timur yang kerempeng dan lemah ingin mencoba kehebatan seorang di antara kalian!” kata Sian Lun dengan suara lantang.
Suasana menjadi tegang. Semua orang tahu bahwa pemuda tampan itu adalah anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi dan dari pakaiannya saja jelas dapat diketahui bahwa dia seorang pemuda Han.
Kalau saja Sian Lun bukan anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi, tentu Badhu sudah mengejek dan menghinanya. Akan tetapi mengingat akan kehadiran puteri Bhutan itu, Badhu tidak berani bersikap kasar dan dia pun menjura sebagai penghormatan.
“Saya tidak berani menentang Kongcu, dan yang saya maksudkan adalah mereka yang datang dari timur daerah Se-cuan. Akan tetapi kalau tidak ada yang berani maju kecuali Kongcu baiklah saya akan layani Kongcu main-main sebentar.”
Sagha tersenyum dan Si Tinggi Kurus ini lalu mengundurkan diri ke rombongan penari dan pemain musik tadi. Kini Lulung Ma dan pemuda penabuh tambur memukul tambur dan gendang dengan gencar dan mereka kelihatan gembira sekali. Sian Li yang memandang rendah dua orang pegulat itu, berseru dengan lantang.
“Suheng, jangan sampai membunuh orang!”
Sian Lun mengangguk, dan mendengar ucapan gadis itu, Lulung Ma dengan tangan masih menabuh gendang, menjawab. “Nona Dewi Bangau Merah, pembantuku Badhu ini belum pernah dikalahkan lawan bagaimana mungkin dia dapat dibunuh? Dan jangan khawatir, kami juga tidak mau membunuh orang dalam pesta ini, hanya sekadar menghibur dengan pertunjukan menarik. Badhu, mulailah!”
Dua orang itu sudah saling berhadapan. Sian Lun bersikap tenang walaupun hatinya panas mendengar ucapan Lulun Ma tadi. Namun dia sebagai murid suami isteri yang sakti, tahu bahwa membiarkan diri diseret perasaan amat merugikan. Dia tetap tenang dan waspada, dan dia mengikuti setiap gerakan lawan dengan pandang matanya yang mencorong tajam. Bagaikan seekor biruang, Badhu yang gendut itu mengangkat kedua tangan ke atas kanan kiri kepala, lalu membuat langkah perlahan mengitari Sian Lun. Pemuda itu mengikuti dengan gerakan kakinya tetap waspada.
“Kongcu, silakan menyerang lebih dulu,” kata Badhu yang memandang rendah pemuda yang nampak lemah itu.
“Badhu, engkau yang memantang, engkau pula yang harus menyerang lebih dulu,” jawab Sian Lun dengan sikap tetap tenang.
“Ha-ha-ha, engkau terlalu sungkan, Kongcu. Baiklah, aku akan menyerang lebih dulu. Awas seranganku ini!” Tangan kirinya menyambar dari atas, akan tetapi Sian Lun membiarkan saja karena dia tahu dari gerakan pundak lawan bahwa tangan kiri itu hanya menggertak saja, sedangkan yang sungguh menyerang adalah tangan kanan yang menyambar ke arah pundaknya. Agaknya lawan terlalu memandang rendah kepadanya, disangkanya akan begitu mudah dia tangkap!
Hanya dengan memutar tubuh sedikit saja, tubrukan tangan kanan itu mengenai tempat kosong. Badhu menyusulkan serangannya bertubi-tubi. Kedua tangannya bagaikan cakar biruang menyambar-nyambar untuk menyengkeram dan menangkap. Sian Lun maklum bahwa orang ini memiliki keahlian dalam ilmu gulat, maka dia harus menjaga agar jangan sampai dia dapat ditangkap. Tangkapan atau cengkeraman seorang ahli gulat dapat berbahaya. Maka, dia pun mengelak selalu dan kadang menangkis dari samping tanpa memberi kesempatan kepada jari-jari tangan yang panjang itu untuk menangkapnya.
Ketika Badhu yang mulai penasaran karena semua sambaran tangannya tak pernah berhasil itu menubruk seperti seekor harimau, dengan kedua lengan di kembangkan. Sian Lun menggeser kakinya ke kiri dan tubuhnya mengelak dengan lincah dan begitu tubuh Badhu lewat di sebelah kanannya, dia pun mengerahkan tenaga dan menghantam ke arah lambung lawan.
“Desss....!” Tubuh lawan itu terbanting keras dan bergulingan, akan tetapi seperti bola karet, dia sudah bangkit kembali dan sama sekali tidak kelihatan sakit, bahkan meloncat dan menubruknya lagi. Sekali ini Badhu marah karena biarpun dia tidak terluka, namun dia telah terbanting dan hal ini bisa dianggap bahwa dia kalah oleh para penonton. Kini dia tidak hanya menubruk, bahkan mencengkeram ke arah kepala.
Dia memang kebal, pikir Sian Lun. Kembali dia mengelak dan sekali ini, dia tidak mau menggunakan tenaga untuk memukul lawan begitu saja, melainkan dia menggunakan tangan yang dibuka, dan tangan itu menampar ke arah muka orang. Yang diarah adalah hidung dan mata karena yakin bahwa betapa pun kebal kepala itu, kalau hidung dan mata tidak mungkin dilatih kekebalan.
“Plakkk!”
Tubuh itu tidak terguncang, akan tetapi Badhu mengeluarkan seruan kesakitan dan kedua tangannya menutupi mukanya. Ketika dia menurunkan tangannya, hidungnya menjadi biru dan sebelah matanya juga dilingkari warna menghitam!
Badhu adalah orang kasar yang biasa mempergunakan kekerasan. Kalau dia biasa menggunakan otaknya, tentu dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawanyang jauh lebih tinggi ilmunya dibandingkan dia yang hanya menggunakan kekuatan otot dan keras serta tebalnya tulang dan kulit. Kini, dia menjadi marah sekali dan lupa diri. Dia menggereng seperti harimau terluka dan dia menyerang Sian Lun dengan liar dan membabi-buta. Serangan membabi-buta seperti itu malah berbahaya, pikir Sian Lun. Maka dia pun menggunakan kelincahan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan pukulan-pukulan tangan terbuka yang ditujukan ke arah bagian badan yang tidak mungkin dilatih kekebalan. Berkali-kali tangannya menampar daun telinga, sambungan siku dan pergelangan tangan, kakinya menendang ke arah sambungan lutut kedua kaki lawan.
“Brukk....!” Sekali ini Badhu jatuh dan biarpun dia berusaha untuk bangkit, dia jatuh kembali karena sambungan kedua lututnya telah berpindah tempat! Para penonton menahan napas dan suasana menjadi tegang bukan main. Tidak ada yang berani bertepuk tangan karena selain mereka merasa bangga kepada Badhu juga mereka masih tidak dapat percaya bahwa seorang pemuda yang kelihatan lemah itu benar-benar mampu membuat Badhu bertekuk lutut tanpa mengalami cidera sedikit pun, bahkan belum pernah tersentuh tangan raksasa gendut itu!
Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Sian Li! Biarpun hanya ia seorang yang bertepuk tangan, akan tetapi karena ia sengaja mengerahkan tenaganya, maka suara tepuk tangannya amat nyaring.
Sagha sudah membawa teman-teman pemain musik untuk membantu Badhu meninggalkan gelanggang pertandingan dan dia sendiri menghadapi Sian Lun dengan muka merah.
“Kongcu hebat dapat mengalahkan Kakakku, akan tetapi aku pun ingin mengadu ilmu denganmu. Bersiaplah!”
Sian Lun tentu saja tidak takut. akan tetapi pada saat itu nampak berkelebat bayangan merah. “Suheng, jangan tamak! Yang satu ini bagianku!”
Sian Lun memandang kepada sumoinya dan tersenyum.
“Hati-hati Sumoi, jangan kesalahan tangan membunuh orang, katanya dan dia pun kembali ke tempat duduknya. Semua tamu dan penonton kini memandang kepada Sian Li dan karena mereka tadi sudah kagum kepada gadis jelita itu, kini melihat gadis itu berani manghadapi dan hendak melawan seorang jagoan seperti Sagha, tentu saja mereka semakin kagum, juga perasaan hati mereka tegang. Bagaimana kalau kulit yang halus mulus itu sampai lecet, tulang yang kecil lembut itu sampai patah-patah. Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa tingkat kepandaian dara itu bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian pemuda tampan yang tadi mempermainkan dan mengalahkan Badhu!
Sagha sendiri terkenal jagoan. Karena dia merasa bangga kepada diri sendiri dan jarang menemui tandingan, maka kini dihadapi seorang dara sebagai calon lawan, tentu saja dia merasa sungkan dan tidak enak sekali.
“Nona, aku Sagha adalah seorang laki laki yang gagah perkasa dan tak pernah mundur menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, bagaimana mumgkin aku berani melawan seorang dara yang masih setengah kanak-kanak seperti Nona? Seluruh dunia akan mentertawakan aku, menang atau pun kalah. Lebih baik aku melawan lima orang laki-laki yang mengeroyokku daripada harus bertanding melawan seorang dara remaja!”
Sian Li tersenyum mengejek. “Sagha, katakan saja engkau takut melawan aku. Kalau engkau takut, berlututlah dan cabut semua omongan kalian yang sombong tadi, yang mengejek dan menghina para pendekar dari dunia persilatan di timur! Engkau harus menarik ucapanmu tadi dan mohon maaf, baru aku dapat mengampunimu!”
Mereka yang memahami bahasa Han, menjadi bengong mendengar ucapan gadis itu. Betapa beraninya! Dan mereka yang tidak paham, cepat bertanya kepada teman mereka yang mengerti dan semua orang kini memandang kepada Sian Li dengan kaget dan heran. Seorang gadis yang usianya belum dewasa benar berani bersikap demikian meremehkan terhadap seorang jagoan seperti Sagha yang tadi sudah mendemontrasikan kekebalan dan kehebatan tenaganya! Baru kepala dan tubuh yang lain saja demikian kuatnya, kepalanya mampu membikin pecah batu, apalagi tangannya. Sekali sentuh saja, mungkin kepala gadis remaja itu akan remuk!
Mendengar ucapan Sian Li, Sagha mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi merah sekali. Kalau bukan seorang gadis yang mengucapkan kata-kata tadi, tentu telah dihantamnya. Akan tetapi dia berhadapan dengan seorang gadis anggauta rombongan Sang Puteri Gangga Dewi pula, tentu saja dia tidak berani sembarangan.
“Nona, mungkin saja Nona pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi engkau bukan lawanku. Aku tidak takut kepadamu, melainkan takut kalau dltertawakan orang gagah sedunia. Pula, bagaimana aku berani bertanding dengan engkau yang datang bersama Yang Mulia Puterl Gangga Dewi? Aku takut mendapat marah dari beliau.”
Gangga Dewi yang mendengar ucapan Sagha itu tersenyum. Ia sudah tahu bahwa Sian Li telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, bahkan tingkatnya lebih tangguh dibandingkan suhengnya. Oleh karena itu, tentu saja ia merasa yakin bahwa Sian Li akan mampu menandingi dan bahkan mengalahkan Sagha dengan mudah. Juga ia ingin orang yang sombong itu menerima hajaran karena telah berani mengejek dan menghina para pendekar Han.
“Sagha, engkau boleh bertanding melawan Si Bangau Merah. Kalau engkau mampu menang, baru aku mengaku bahwa engkau memang seorang jagoan yang hebat.”
Sagha memberi hormat kepada Gangga Dewi. “Maafkan saya. Akan tetapi bagaimana kalau hamba kesalahan tangan dan melukai Nona ini? Hamba tidak ingin Paduka nanti marah kepada hamba.”
Gangga Dewi tertawa. “Aku tidak akan marah dan semua orang yang berada di sini menjadi saksinya.”
“Terima kasih, Yang Mulia,” kata Sagha dan kini dia menghadapi Sian Li. “Baik, Nona. Mari kita main-main sebentar.”
“Tidak usah main-main, keluarkan semua kepandaianmu dan seranglah sungguh-sungguh karena aku akan merobohkanmu!” kata Sian Li.
Hemm, bocah ini terlalu memandang rendah kepadaku, pikir Sagha marah. Dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan mengambil keputusan untuk membikin malu gadis itu di depan umum, misalnya dengan merobek baju itu!
“Nona, jaga seranganku ini!” Dan kedua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu sudah bergerak cepat menyambar ke arah tubuh dara remaja itu tanpa sungkan lagi. Dibandingkan Badhu, Sagha yang tinggi kurus ini memang lebih sigap dan cepat.
“Hyaaaahhhh....!” Dia membentak sambil menyerang.
“Plakkk!” Kedua telapak tangannya saling bertemu dari kanan kiri dan mengeluarkan bunyi keras ketika terkamannya itu luput, dan gadis yang tadi berada di depannya itu telah lenyap. Cepat dia membalik dan kembali kedua lengan panjang itu bergerak seperti dua ekor ular, akan tetapi kembali terkamannya mengenai tempat kosong. Makin cepat dia menyerang, semakin cepat pula Sian Li bergerak sehingga semua penonton menjadi bengong saking kagumnya. Tubuh gadis itu lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebatan dengan amat cepatnya, menyambar-nyambar di antara terkaman dan cengkeraman kedua tangan Sagha.
Tiba-tiba, ketika Sian Li menganggap sudah cukup lama mempermainkan lawan, ia berseru nyaring dan jari telunjuk kirinya meluncur bagaikan patuk burung bangau mematuk dengan cepat seperti kilat menyambar.“Haiiitttt....! Tukkk!” Telunjuk kiri itu menotok dua kali ke pundak dan dada dan seketika Sagha tidak mampu bergerak karena dia telah menjadi korban ilmu totok ampuh It-yang Sin-ci yang dipelajari gadis itu dari Yok-sian Lo-kai. Sian Li juga telah menguasai ilmu totok lain seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang hebat dari paman kakeknya, akan tetapi ia menggunakan It-yang Sin-ci untuk mempraktekkan ilmu yang baru saja ia pelajari dari Raja Obat itu. Dan pada saat lawan tak mampu bergerak, kaki Sian Li menyambar ke arah lutut dan Sagha yang tidak mampu mengerahkan tenagalagi roboh terpelanting. Pada saat lawan terpelanting itu, Sian Li membebaskan kembali totokannya.
Para penonton kini tidak mampu lagi menahan kekaguman dan kegembiraan mereka melihat betapa Dewi Bangau Merah telah benar-benar mampu merobohkan Sagha! Terdengar tepuk sorak riuh menyambut kejatuhan Sagha.
“Hemmm, mana kepandaianmu yang membuat engkau sombong dan mengejek para pendekar dari timur? Hanya sebegini saja?” Sian Li mengejek dengan suara lantang, dan kembali terdengar orang menyambut dengan suara riuh. Wajah Sagha sebentar pucat sebentar merah dari dia meloncat berdiri.
“Aku belum kalah!” bentaknya dan dia pun menyerang, kini bukan ingin menangkap dan merobek baju gadis itu, melainkan memukul dan menendang dengan dahsyat! Sagha sudah marah sekali dan lupa bahwa yang dilawannya hanya seorang dara remaja. Dia menyerang bukan lagi untuk mencari kemenangan, melainkan untuk membunuh!
Namun, dia seperti mengamuk dan menyerang bayangan saja. Semua pukulan cengkeraman dan tendangannya hanya mengenai udara kosong sampai terdengar suara bersiutan. Tiba-tiba, begitu melihat kesempatan baik, kembali jari telunjuk tangan kiri gadis itu meluncur dan seperti tadi, seketika tubuh Sagha tidak dapat dia gerakkan dan sekali ini, sambil membentak nyaring Sian Li menendang atau mendorong dengan kakinya sambil mengerahkan tenaga dan tubuh tinggi kurus itu terlempar keluar dari panggung dan jatuh menimpa kawan-kawannya, yaitu para penari dan penabuh musik di mana terdapat pula Badhu yang telah dikalahkan Sian Lun!
Tepuk tangan dan sorak yang riuh menyambut kemenangan Sian Li ini. Akan tetapi ketika Sian Li berjalan kembali ke tempat duduknya, suara tambur dan gendang terhenti tiba-tiba dan kini Lulung Ma dan pemuda tampan jangkung telah berdiri berdampingan sambil bertolak pinggang. Lulung Ma mengeluarkan teriakan yang mengatasi keriuhan di situ, suaranya nyaring sekali dan terdengar oleh semua orang.
“Saudara sekalian! Dua orang pembantu kami telah kalah karena mereka memang bodoh. Sekarang, kami berdua menantang siapa saja yang memiliki kepandaian untuk mengadu ilmu di sini. Kami menantang semua dan siapa saja, tidak terkecuali!”
Pandang mata Lulung Ma ditujukan kepada Suma Ciang Bun, sedangkan pandang mata pemuda jangkung itu ditujukan kepada Liem Sian Lun! Biarpun mereka tidak menuding, jelas bahwa dua orang Han itulah yang mereka tantang!
Tiba-tiba Gangga Dewi yang sudah berdiri seperti yang lain,menuding ke arah Lulung Ma dan terdengar suaranya yang lembut namun lantang. “Lulung Ma, sikapmu menunjukkan bahwa engkau dan orang-orangmu ini agaknya para penyelundup yang hendak mengacau di Bhutan! Menyerahlah untuk kami tawan dan kami periksa!”
Tiba-tiba Lulung Ma mengubah sikapnya yang tadi hormat kepada puteri itu. “Gangga Dewi, engkau puteri Bhutan yang mengkhianati bangsa sendiri, bersekongkol dengan orang-orang Han dari timur! Engkau yang sepatutnya ditawan!”
Dan tiba-tiba raksasa hitam itu meloncat ke tempat duduk kehormatan, diikuti oleh pemuda jangkung yang juga sekali menggerakkan kaki sudah melayang ke situ. Lulung Ma menerjang ke arah Gangga Dewi sedangkan pemuda jangkung itu menerjang ke arah Liem Sian Lun!
“Jahanam busuk!” Suma Ciang Bun meloncat dan melindungi isterinya. Melihat betapa Lulung Ma menyerang Gangga Dewi dengan dorongan kedua telapak tangan terbuka, Ciang Bun memapaki dengan kedua telapak tangannya pula.
“Desss....!” Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya Ciang Bun terhuyung, akan tetapi Lulung Ma juga mundur dua langkah. Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui bahwa Si Raksasa Hitam itu amat kuat dan memiliki sin-kang yang ampuh dan dapat menandingi kekuatan cucu Pendekar Sakti dari Pulau Es itu! Gangga Dewi melolos sabuk sutera putihnya dan cepat membantu suaminya dan suami isteri itu kini mengeroyok Lulung Ma. Gangga Dewi menggunakan sabuk sutera, Suma Ciang Bun sudah menghunus sepasang pedangnya yang bersinar putih, sedangkan Lulung Ma juga sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh dan dahsyat, yaitu sepasang roda atau gelang besar yang dipasangi sirip-sirip tajam dan berwarna kuning keemasan.
Sementara itu, pemuda jangkung tukang tambur tadi sudah menyerang Sian Lun. Tentu saja Sian Lun segera menyambut serangannya dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya.
“Dukkk!” Pertemuan dua lengan membuat Sian Lun hampir terjengkang maka mengertilah Sian Lun bahwa pemuda jangkung itu benar seperti dugaannya tadi, bukan orang sembarangan dan memlliki tenaga sin-kang kuat. Sama sekali tidak bisa disamakan dengan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga otot dan tulang, tenaga kasar. Pemuda jangkung ini memiliki gerakan silat yang lihai, dan dalam pertemuan tenaga pertama kali tadi, Sian Lun jelas kalah kuat. Oleh karena itu, gadis yang lincah dan galak ini meloncat ke depan dan sambil mengeluarkan bentakan, ia sudah menyerang dengan ilmu yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong dan yang paling disukainya, yaitu ilmu totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang).
“Keparat, jangan menjual lagak di sini!” bentak Sian Li dan serangannya itu membuat Si Pemuda Jangkung terkejut. Akan tetapi dia masih dapat menghindarkan diri dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik tiga kali.
“Nona Merah cantik sekali. Mundurlah agar kulitmu yang putih mulus tidak sampai lecet,” pemuda itu berkata dan ternyata penabuh musik ini seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga pandai bicara dan lincah.
Wajah gadis itu menjadi semerah pakaiannya, matanya melotot dan tanpa banyak cakap lagi Sian Li sudah menerjang lagi dengan tusukan-tusukan jari tangannya yang amat berbahaya. Sian Lun juga membantu sumoinya dan pemuda ini bahkan sudah mencabut pedang dan menyerang pemuda jangkung dengan ganasnya.
Si Pemuda Jangkung terkejut. Kiranya dua orang pengeroyoknya itu amat berbahaya, maka setelah berkali-kali dia berloncatan mengelak, dia lalu melolos senjatanya, yaitu sehelai sabuk rantai baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau tajam. Dia memutar senjata itu dan dua batang pisau menyambar-nyambar ke arah Sian Li dan Sian Lun bagaikan dua ekor burung walet menyambari belalang.
Sian Li juga sudah mencabut pedangnya dan bersama suhengnya, ia mengeroyok pemuda jangkung. Bagaimanapun lihainya pemuda jangkung itu, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang murid dari Suma Ceng Liong, cucu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es yang paling tangguh, maka sebentar saja dia sudah terdesak hebat dan kedua pisau di ujung rantai bajanya hanya mampu melindungi dirinya tanpa mampu membalas serangan lawan.
Lulung Ma ternyata memang lihai bukan main. Sepasang senjatanya yang berbentuk gelang besar bersirip itu selain dapat dipegang kedua tangan untuk menangkis dan menghantam lawan, juga dapat dia lontarkan ke arah lawan. Gelang itu berputar menyambar ke arah lawan, dan kalau lawan mengelak, gelang itu berputar dan membalik kembali ke tangannya. Beberapa kali Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi nyaris terkena sambaran senjata yang istimewa itu. Namun, kedua suami isteri ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, keturunan orang-orang sakti, maka betapapun dahsyatnya permainan sepasang gelang atau roda di tangan Lulung Ma, tetap saja mereka dapat mempertahankan diri, bahkan serangan balasan mereka pun seringkali membuat Lulung Ma menjadi repot sekali.
“Kepung tempat ini, tangkap mereka semua. Mereka mata-mata musuh!” Gangga Dewi berteriak lantang. Mendengar aba-aba ini, pasukan keamanan dan para petugas di dusun itu lalu serentak maju mengepung dan mengeroyok. Hanya Lulung Ma, pemuda jangkung dan kedua orang pembantu mereka tadi, yaitu Badhu dan Sagha yang melakukan perlawanan. Para pemusik lain dan juga para penyanyi dan penari berkelompok di sudut dengan ketakutan. Penonton menjadi panik, apalagi ketika empat orang yang dikeroyok itu berloncatan ke tengah penonton. Beberapa orang penonton roboh den ketika Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Sian Lun dan Sian Li melakukan pengejaran, ampat orang itu telah lenyap di antara penonton.
Para pemusik ketika ditanya, menjawab dengan ketakutan bahwa mereka tidak tahu, bahkan tidak mengenal empat orang itu. Pamimpin rombongan itu, seorang kakek yang lemah, akhirnya mengatakan bahwa dia terpaksa menerima empat orang itu sebagai anggauta rombongan.
Kenapa engkau menerima mereka?” Gangga Dewi bertanya.
“Hamba takut menolak, mohon Paduka mengampuni hamba....” kata kakek itu ketakutan. Hamba sama sekali tidak tahu bahwa mereka adalah pemberontak-pemberontak, tidak tahu bahwa mereka adalah orang-orang Nepal yang hendak mengacau.”
“Katakan, bagaimana engkau bertemu dengan mereka dan siapa pula mereka itu,” kata pula Gangga Dewi.
“Pada malam hari ketika hamba menerima perintah untuk meramaikan penyambutan terhadap Paduka, hamba didatangi kakek yang mengaku bernama Lulung Ma itu. Sebelumnya hamba mengenal dia sebagai seorang pendeta yang bernama Lulung Lama, seorang pemimpin dari para pendeta Lama Jubah Hitam di Tibet. Adapun pemuda jangkung itu adalah muridnya, seorang peranakan Han-Tibet yang bernama Cu Ki Bok. Mereka itu.... aughhh....!”
Sian Li yang bergerak paling cepat, sudah meloncat ke kiri dari mana datangnya pisau yang terbang dan menembus dada kakek pemimpin rombongan pemusik itu. Ia masih sempat melihat berkelebatnya bayangan di antarapenonton. Ia mengejar terus, akan tetapi karena banyak penonton yang kembali menjadi panik dan lari ke sana- sini, ia kehilangan jejak bayangan itu. Akan tetapi melihat bayangan itu bertubuh jangkung, ia dapat menduga bahwa bayangan yang melempar pisau membunuh kakek pemimpin rombongan pemusik yang sedang memberi keterangan itu tentulah pemuda jangkung pemukul tambur yang lihai tadi.
Ketika ia kembali ke tempat tadi, di atas panggung, ternyata kakek itu telah tewas tanpa mampu melanjutkan keterangannya. Gangga Dewi mengepal tinju dan ia mengajak suaminya dan dua orang muda-mudi itu untuk segera melanjutkan perjalanan ke kota raja Thimphu karena ia harus segera melaporkan semua hal tyang terjadi itu kepada raja agar dikerahkan pasukan khusus untuk membasmi dan membersihkan jaringan mata-mata orang Nepal dan Tibet yang agaknya bersekongkol itu. Harus mengirim berita pula kepada Kerajaan Nepal dan para pimpinan Lama di Tibet tentang orang-orang Nepal Tibet yang hendak mengacaukan keadaan yang aman tenteram itu.
Tan Sian Li dan suhengnya diterima dengan penuh keramahan dan kegembiraan oleh keluarga raja di Bhutan. Juga semua orang menyambut dengan bahagia bahwa Puteri Gangga Dewi telah bersuamikan seorang pendekar yang gagah perkasa, keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es pula! Sebentar saja, semua orang mengenal dan mengagumi Si Bangau Merah, julukan Sian Li. Selama seminggu tinggal di istana, kedua orang muda itu setiap hari dijamu dan disambut penuh kehormatan dan keramahan.
Setelah selama seminggu tinggal di istana Kerajaan Bhutan, Sian Li dan Sian Lun berpamit dari keluarga kerajaan itu. Mereka tidak berani tinggal terlalu lama di istana Bhutan, di mana mereka disambut sebagai tamu agung itu karena mereka harus sudah tiba kembali di rumah Suma Ceng Liong sebelum sin-cia (tahun baru). Selain itu, mereka juga ingin meluaskan pengalaman dan akan melakukan perjalanan pulang melalui daerah Tibet.
Dengan hati yang berat Gangga Dewi melepas Sian Li pergi. Ia telah merasa amat sayang kepada dara yang lincah itu dan ia memaksa Sian Li menerima bekal emas permata darinya. Selain itu, juga ia menyediakan dua ekor kuda terbaik untuk mereka. Akan tetapi ketika Gangga Dewi hendak menyiapkan pasukan pengawal, Sian Li menolaknya.
“Kami berdua dapat menjaga diri sendiri, kenapa harus dikawal? Pula, pengawalan membuat perjalanan tidak menarik dan tidak leluasa,” demikian Sian Li menolak dan akhirnya, Gangga Dewi, Suma Ciang Bun dan sebagian besar keluarga kerajaan mengantar keberangkatan dua orang muda itu sampai ke pintu gerbang kota raja.
***
Selain mendapatkan hadiah emas permata yang amat berharga, dan dua ekor kuda terbaik, juga mereka menerima sebuah peta penunjuk jalan. Dalam peta itu, yang dibuat oleh seorang ahli di istana Bhutan, disebutkan tempat-tempat yang akan mereka lalui dalam perjalanan ke timur melalui Tibet itu. Juga diterangkan akan bahaya-bahaya yang mungkin mereka hadapi pada setiap tempat. Selain itu, Raja Bhutan berkenan memberi sebuah tanda yang terbuat dari sutera yang dicap tanda kebesaran raja dan dengan tanda ini, kedua orang muda itu akan disambut oleh setiap rakyat di daerah Bhutan sebagai keluarga raja yang harus dihormati. Bahkan para pejabat di daerah Tibet pun akan mengenal tanda keluarga Raja Bhutan yang menjadi tetangga mereka dan akan menghormatinya.
Ternyata kemudian bahwa tanda kebesaran ini amat ampuh dan membuat perjalanan Sian Li dan Sian Lun menjadi aman. Orang-orang Bhutan selalu menyambut mereka dengan penuh penghormatan setiap kali Sian Li terpaksa memperlihatkan tanda itu kalau ada orang yang kelihatan curiga kepada mereka. Tanda kebesaran itu membuat mereka selalu disambut dengan hormat oleh para kepala dusun yang mereka lalui.
Setelah melewati daerah perbatasan dan memasuki daerah Tibet, mereka tiba di derah yang tandus dan gersang. Mereka tahu dari peta bahwa daerah itu cukup jauh dan mereka harus melakukan perjalanan sehari penuh melewati daerah tandus itu sebelum tiba di dusun pertama di daerah yang subur. Oleh karena itu, sebelum melewati daerah ini, mereka telah membawa perbekalan makanan dan terutama minuman karena menurut keterangan dalam peta, di daerah itu, mereka tidak akan dapat menemukan makanan atau minuman bersih.
Mereka berangkat pagi-pagi memasuki daerah tandus itu dan makin dalam mereka memasuki daerah itu, semakin tandus tanahnya. Tidak ada tumbuh-tumbuhan dapat hidup di tanah berbatu keras itu. Yang ada hanya batu dan pasir dan biarpun daerah itu masih cukup tinggi namun hawanya panas sekali. Mengerikan kalau melihat ke sekeliling sedemikian sunyinya. Apalagi manusia, seekor binatang pun tidak nampak. Bahkan burung-burung pun tahu bahwa daerah itu merupakan daerah maut, maka di angkasa pun tidak nampak adanya burung terbang.
Benar-benar merupakan daerah yang mati, sunyi melengang dan mengerikan.
Tepat pada tengah hari, mereka melihat sebuah gubuk dan karena sinar matahari menyengat kulit dengan hebatnya, Sian Li mengajak suhengnya untuk berhenti dan beristirahat sebentar di gubuk itu dan untuk makan roti dan minum air bekal mereka. Sebuah gubuk yang sudah tua, akan tetapi masih cukup kokoh. Hanya merupakan tempat berteduh, tanpa dinding, hanya atap dan empat buah tihang saja. Akan tetapi di bawah atap itu terdapat batu datar yang dapat mereka jadikan tempat duduk.
“Lihat, ada tulisan di sini,” kata Sian Lun sambil menunjuk ke lantai, dekar batu di mana mereka duduk. Sian Li memandang. Di lantai gubuk itu, di atas tanah berpadas keras, terdapat ukir-ukiran beberapa buah huruf yang agaknya dibuat dengan menggunaken senjata tajam. Huruf-huruf itu jelas dan juga indah, tentu diukir oleh seorang yang pandai menulis dan mengukir, seorang sasterawan atau seniman. Mereka lalu meneliti tulisan itu dan membacanya.
“Andaikata aku seorang raja,
aku rela menukar kerajaanku
untuk segelas air jernih!”
Hanya sedemikianlah ukiran huruf-huruf itu, akan tetapi itu saja lebih dari pada cukup. Sian Li dapat membayangkankeadaan Si Penulis itu. Tentu dia seorang yang kehabisan air, sedang kehausan, berada di tengah gurun tandus ini. Sungguh luar biasa sekali. Betapa berharganya segelas air jernih kalau sedang dibutuhkan oleh orang yang kehausan! Lebih berharga daripada sebuah kerajaan!
Betapa besarnya kasih sayang Tuhan Maha Pengasih kepada kita manusia.
Berlimpah-limpah sudah anugerah dan berkah dari Tuhan kepada manusia. Betapa nikmatnya, betapa pentingnya, betapa berharganya segelas air, atau sepotong roti, seteguk hawa udara, bagi kehidupan kita. Dan semua sarana untuk mendapatkan itu demikian mudahnya.
Sudah tersedia. Ada tanah, ada air, ada hawa udara, ada sinar matahari, ada benih! Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih! Berbahagialah manusia yang dapat menikmati semua anugerah yang berlimpahan di sepanjang hidupnya ini.
Namun sayang, nafsu angkara murka dan ketamakan membuat manusia buta akan semua berkah yang dilimpahkan dan sepatutnya disyukuri dan dinikmati ini. Kalau kita mendapatkan segelas air, nafsu angkara murka membisikkan celaannya mengapa tidak ada anggur, mengapa hanya ada air tawar. Dan lenyaplah sudah segala keindahan dan kenikmatan air itu, bahkan menjadi tidak enak, memuakkan, dan mengecewakan. Nafsu memang tak menganal puas, tak mengenal batas. Kalau ada anggur, bisikan beracun itu masih terus berdengung agar kita dapat memperoleh yang lebih hebat lagi, yang lebih enak lagi, yang lebih nikmat lagi. Segala yang tidak ada, yang belum terjangkau tangan, selalu akan nampak lebih indah, lebih nyaman dan lebih menyenangkan daripada apa saja yang sudah kita miliki.
Mensyukuri keadaan yang ada pada kita, mensyukuri segala peristiwa sebagai suatu berkah, sebagai suatu yang sudah dikehendaki Tuhan, merupakan kunci kebahagiaan. Bukan berarti lalu mandeg dan lunglai, bersandar kepada kekuasaan Tuhan belaka. Sama sekali tidak! Hidup berarti gerak, bekerja, berikhtiar, sekuat tenaga sekuat kemampuan. Ini berarti menjalankan semua alat yang disertakan oleh kekuasaan Tuhan kepada kita ketika kita diciptakan sebagai manusia. Kita pergunakan semua alat, anggauta tubuh, hati dan alat pikiran, kita gunakan demi kelangsungan hidup, demi mencukupi semua kebutuhan hidup. Bukan demi meuruti bisikan nafsu angkara murka sehingga untuk mencapai tujuan kita menghalalkan semua cara, melainkan kita kerjakan semua alat demi kepentingan hidup di dunia ini. Dan apa pun hasilnya, apa pun jadinya, dan peristiwa apa pun yang menimpa diri kita, kita terima tanpa mengeluh! Semua kehendak Tuhan jadilah!
Kita hanya dapat menyerah, kita hanya dapat menerima, dan kita wajib membantu pekerjaan kekuasaan Tuhan pada alam ini. Kita tidak akan dapat memperoleh padi tanpa berusaha, walaupun Tuhan sudah menyediakan tanahnya, airnya, udaranya, sinar mataharinya, benihnya. Kita harus membantu mengerjakan semua itu, mencangkul tanah, menanam benih, mengairi sawah, menuai, menjemur, menumbuk dan selanjutnya, sebelum hasilnya dapat menyambung kehidupan kita melalui makanan.
Sian Li tertawa dan ia mengeluarkan bungkusan roti, memberi isarat kepada suhengnya untuk makan dan minum air bekal mereka. Melihat sumoinya tertawa lalu tersenyum-senyum sambil makan roti dan minum air, Sian Lun memandang heran.
“Eh, Sumoi, kenapa engkau tertawa dan tersenyum-senyum?” Dia mengamati wajah yang kemerahan karena sinar matahari itu sehingga kedua pipinya di bawah mata yang agak menjendul itu menjadi merah sekali, mengamati bibir yang bergerak-gerak ketika makan roti. Betapa manisnya wajah sumoinya!
Sian Li tersenyum dan sebelum menjawab, ia minum dulu air dari botol airnya. “Tulisan ini yang membuat aku tertawa,” katanya sambil menunjuk ke arah lantai yang diukir huruf-huruf itu.
“Apanya yang lucu Sumoi? Huruf-huruf itu indah sekali, dan isinya menurut aku mengharukan dan menyedihkan, kenapa engkau malah tertawa?”
“Bukan karena lucu, Suheng, melainkan karena senang dan gembira. Tulisan ini menyadarkan aku betapa bahagianya diriku. Di tempat ini aku tidak kehausan dan kelaparan, bukankah saat ini aku jauh lebih berbahagia dibandingkan seorang yang kaya raya seperti raja namun kehausan dan tidak mempunyai air?”
“Engkau benar, Sumoi. Akan tetapi, andaikata yang menulis ini benar seorang raja, aku yakin dia tidak akan menulis seperti ini. Apa yang akan dilakukan seorang raja yang kehausan di tempat ini dan tidak mempunyai air? Tentu dia akan memerintahkan para pengawalnya untuk segera mencarikan air minum untuknya.”
Sian Li mengangguk. “Pendapatmu itu memang tepat, Suheng. Karena dia bukan raja, maka dia menulis seperti ini. Manusia memang siap melakukan apa saja, bersikap yang aneh-aneh, kalau sedang menghendaki sesuatu yang dibutuhkannya.
Sian Lun mengangguk. “Manusia selalu dipermaihkan oleh keinginannya, padahal yang diinginkan di dunia ini selalu berubah-ubah dan banyak sekali macamnya. Seorang raja yang sakit mungkin mau menukar kerajaannya dengan kesehatan dan keselamatan nyawanya, akan tetapi dalam keadaan sehat, dia akan mempertahankan dan memperebutkan kedudukannya dengan taruhan nyawa!”
Setelah melepaskan lelah dan selesai makan roti dan minum air jernih, kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi baru beberapa menit mereka melarikan kuda, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang. Sian Li yang berada di depan, menahan kudanya dan menoleh. Terpaksa Sian Lun menahan kudanya pula dan mereka melihat serombongan orang berkuda membalapkan kuda mereka dari arah belakang dan melewati mereka.
Rombongan itu terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berwajah bengis menyeramkan. Ketika mengenal dua orang di antara mereka adalah Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang menjadi anak buah Lulung Lama, Sian Lun segera berkata kepada sumoinya, “Sumoi, mari kita kejar mereka!”
Sian Li hendak membantah karena ia merasa tidak ada perlunya mengejar rombongan itu, akan tetapi karena Sian Lun sudah membalapkan kudanya, ia pun terpaksa melakukan pengejaran.
“Suheng, tahan dulul....!” Serunya ketika ia dapat menyusul suhengnya. Sian Lun menahan kendali kudanya dan mereka berhenti.
“Suheng, untuk apa kita mengejar mereka?” tanyanya.
“Aih, bagaimanakah engkau ini, Sumoi. Bukankah dua orang di antara mereka adalah mata-mata yang mengacau di Bhutan? Kita harus membantu Kerajaan Bhutan, bukan?”
“Hemm, Suheng. Kalau kita berada di Bhutan, tentu saja kita harus membantu Bhutan. Akan tetapi, menantang para mata-mata dan pengacau di Bhutan bukanlah tugas kita, apalagi kita sedang melakukan perjalanan menuju pulang. Selain itu, juga engkau harus ingat bahwa kini kita tidak berada di daerah Bhutan lagi, melakukan daerah Tibet.”
Mendengar ucapan sumoinya, baru Sian Lun sadar bahwa dia telah terburu nafsu. Dia mengangguk maklum, lalu berkata, “Betapapun juga, karena kita juga melakukan perjalanan searah dengan mereka tadi, tiada salahnya kalau kita diam-diam memperhatikan dan menyelidiki, apa yang hendak mereka lakukan. Setidaknya, kita dapat mencegah perbuatan mereka yang akan merugikan Bhutan, tanpa menunda perjalanan kita. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?”
Gadis itu mengangguk. “Tentu saja, Suheng. Aku pun hanya ingin mengingatkanmu agar kita berhati-hati. Perjalanan masih jauh dan kita tidak mengenal daerah ini.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan walaupun sudah tertinggal jauh oleh rombongan berkuda tadi, namun mereka masih dapat mengikuti jejak tujuh orang itu dengan mudah, apalagi liar karena memang rombongan itu menuju ke arah yang sama dengan perjalanan mereka.
Setelah matahari condong ke barat, menjelang senja, mereka tiba di daerah yang subur, bukit-bukit yang hijau dan mulai nampak anak sungai mengalir turun. Segera nampak sebuah dusun yang besar, nampak genteng-genteng, rumah dari lereng, cukup banyak dan besar-besar rumah yang berada di dusun itu. Juga jejak kaki kuda rombongan tadi menuju ke dusun itu. Mereka lalu menuju ke dusun untuk melewatkan malam dan juga sekalian untuk melihat apa yang akan dilakukan rombongan Badhu dan Sagha, dua orang ahli silat Nepal yang sombong itu.
Dusun itu memang merupakan dusun yang besar dan ramai, terletak di tepi Sungai Yalu Cang-po atau Sungai Brahmaputra yang mengalir dari Pegunungan Himalaya menuju ke timur. Nama dusun itu dusun Nam-ce. Daerah itu memang luas, tanahnya subur karena dekat sungai, dan juga di sungai itu terdapat banyak ikan sehingga nampak banyak perahu nelayan di situ. Selain ini, dusun Namce menjadi pelabuhan dan orang-orang yang melakukan perjalanan, ke timur, banyak yang mempergunakan perahu melalui sungai yang besar itu.
Biarpun hanya berupa rumah-rumah sederhana, namun di dusun Nam-ce terdapat beberapa buah rumah penginapan dan juga rumah makan yang menjual makanan sederhana. Ada pula pedagang yang menjual bermacam barang keperluan sehari-hari. Semua ini membuat dusun itu menjadi semakin ramai, dan terutama sekali karena lalu-lintas melalui sungai itulah yang mendatangkan kemakmuran kepada dusun Nam-ce. Bahkan mereka yang datang dari Lha-sa, Ibu kota Tibet, yang hendak melakukan perjalanan ke timur, banyak yang melalui Sungai Brahmaputra. Di sebelah selatan luar kota Lhasa terdapat sebuah sungai yang airnya menuju ke Sungai Brahmaputra di dekat Nam-ce, maka banyak yang mempergunakan perahu dari Lha-sa ke Nam-ce, kemudian dari dusun pelahuhan ini melanjutkan perjalanan dengan perahu besar ke timur, mengikuti aliran air Sungai Brahmaputra.
Sian Lun dan Sian Li menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan yang kecil namun bersih dan tempatnya pun agak di pinggir dusun sehingga keadaan di situ tidaklah begitu ramai seperti di bagian tengah dusun, di mana terdapat sebuah pasar yang selalu ramai dikunjungi orang karena tempat ini merupakan pasar perdagangan.
Setelah membersihkan diri yang berlepotan debu dan berganti pakaian, Sian Li mengajak Sian Lun keluar dari rumah penginapan dan mencari kedai makanan. Karena mereka berada di tempat asing, dan orang-orang di sekeliling mereka adalah orang-orang dari suku bangsa daerah itu, hanya kadang saja nampak orang berpakaian seperti mereka, yaitu orang-orang Han yang hampir semua adalah pedagang. Andaikata Sian Li mengenakan pakaian biasa, tentu dua orang muda ini tidak terlalu menarik perhatian, walaupun kecantikan Sian Li tentu membuat banyak pria melirik. Akan tetapi, karena gadis itu selalu mengenakan pakaian yang warnanya kemerahan, baik polos maupun berkembang, maka tentu saja ia amat menyolok dan menjadi perhatian setiap orang. Sian Li mengajak suhengnya untuk memasuki sebuah kedai makan yang berada di jalan yang agak sunyi.
Ketika mereka memasuki kedai, senja hampir terganti malam, cuaca mulai gelap dan kedai itu pun sudah diterangi lampu-lampu minyak yang tergantung dengan kap-kap lampu beraneka warna sehingga nampak terang dan meriah. Seorang pelayan menyambut mereka dan mempersilakan mereka duduk. Sian Li menyapu ruangan itu dengan sinar matanya. Tidak terlalu banyak tamu di situ. Seorang pria yang agaknya menurut pakaiannya adalah bangsa Han duduk di sudut sambil menundukkan muka. Tiga orang bangsa Tibet duduk di tengah ruangan itu, dan masih ada beberapa orang lagi makan di meja sebelah kiri. Tidak ada sepuluh orang tamu yang berada di ruangan itu. Sian Li dan Sian Lun duduk di bagian kanan, sengaja Sian Li memilih bangku yang membuat ia duduk membelakangi para tamu itu. Ia takkan merasa enak makan kalau menghadapi mata banyak laki-laki yang ditujukan kepadanya dengan sinar mata kurang ajar. Sian Lun duduk berhadapan dengannya sehingga pemuda inilah yang menghadap ke tengah ruangan, dapat melihat para tamu. Memang, seperti yang dilihatnya, sejak sumoinya memasuki ruangan rumah makan, semua tamu yang duduk di situ, kesemuanya pria, mengangkat muka dan melempar pandang mata kagum kepada Sian Li. Pandang mata orang-orang itu seperti melekat pada Sian Li, dan biarpun sumoinya sudah duduk membelakangi mereka, tetap saja mereka itu selalu melirik ke arah gadis itu. Kecuali seorang saja, yaitu orang Han yang duduk seorang diri di sudut belakang. Orang itu makan sambil menundukkan muka, dan hanya mengangkat muka memandang sejenak ketika dia dan sumoinya tadi masuk, lalu menundukkan muka kembali, sedikit pun tidak menaruh perhatian lagi.
Setelah makanan yang dipesan datang, dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu makan minum dan baru saja mereka selesai, mereka mendengar suara banyak orang memasuki rumah makan. Mereka menengok dan sinar mata mereka menjadi keras ketika mereka mengenal tujuh orang yang tadi mereka bayangi, yaitu Badhu dan Sagha bersama lima orang kawan mereka!
Sian Li tidak ingin mencari keributan di situ. Ia hanya ingin menyelidiki, apa yang akan dilakukan dua orang anak buah Lulung Lama itu, akan tetapi tidak ingin bentrok secara langsung, apalagi ia tahu bahwa ia dan suhengnya berada di daerah pihak lawan, maka keadaan dapat berbahaya bagi mereka. Ia memberi isarat kepada suhengnya, lalu menggapai pelayan yang segera mendekati mereka. Pelayan lain sibuk melayani tujuh orang tamu yang baru masuk. Sian Lun segera membayar harga makanan dan mereka berdua hendak keluar dari rumah makan itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan kasar. “Heii, kalian berdua, tunggu dulu!”
Sian Li dan Sian Lun berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Badhu dan Sagha sudah berdiri menghadapi mereka, sedangkan lima orang kawan mereka masih duduk. Dua orang Nepal itu lalu menghampiri Sian Li dan Sian Lun yang berdiri dengan tenang dan tegak.
“Hemm, kalian ini orang-orang Han yang sombong, mau apa berkeliaran di sini?” kata Badhu yang berperut gendut.
Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang tajam, lalu mulutnya tersenyum mengejek. Ia melihat betapa beberapa orang Tibet yang berada di situ memandang ke arah mereka.
“Bukan kami orang-orang Han yang sombong dan berkeliaran, karena kami akan kembali ke timur dan hanya lewat di sini. Akan tetapi kalianlah dua orang Nepal yang besar kepala, kalian berkeliaran di sini tentu hanya akan membikin kacau saja!”
Gadis ini memang cerdik. Tadi mendengar seruan Badhu Si Gendut, para tamu orang-orang Tibet memandang kepada Sian Li dan Sian Lun dengan mata curiga. Akan tetapi setelah gadis baju merah itu menjawab dengan suara lantang, pandang mata mereka berubah dan kini mereka memandang ke arah Badhu dan Sagha dengan alis berkerut.
Wajah Badhu menjadi kemerahan ketika dia mendengar jawaban Sian Li, dan dengan marah dia membentak, “Gadis Han yang sombong, jangan bicara sembarangan!”
Sian Li tersenyum. “Siapa bicara sembarangan, engkau atau aku? Coba kausangkal, bukankah kalian sudah membikin kekacauan di Nepal, kemudian di Bhutan dan setelah gagal di sana, kalian hendak mengacau pula, di Tibet ini?”
Badhu menjadi makin marah. “Perempuan sombong! Kaulihat saja pembalasan kami atas semua penghinaanmu!”
Setelah berkata demikian, dia memberi isarat kepada enam orang kawannya dan mereka pun keluar dari rumah makan itu tanpa memesan makanan!
Karena ia memang tidak ingin membikin ribut di rumah makan itu atau di dalam dusun itu, yang hanya akan menimbulkan kekacauan dan juga akan menjadi penghambat perjalanannya, maka Sian Li juga segera meninggalkan tempat itu dan mencegah suhengnya ketika Sian Lun yang nampaknya marah itu hendak melakukan pengejaran. Setelah dua orang muda itu pergi, ramai para tamu membicarakan peristiwa kecil tadi dan semua orang merasa kagum dan memuji nona baju merah yang berani menentang orang-orang Nepal yang kelihatan kuat dan di antara bengis tadi. Hanya seorang di antara mereka yang tidak ikut bicara. Dia adalah laki-laki yang tadi duduk di sudut belakang. Dia tidak pernah bicara, hanya memanggil pelayan, membayar harga makanannya dan dia pun segera meninggalkan rumah makan tanpa meninggalkan kesan.
“Sumoi, kenapa Sumoi melarangku untuk mengejar mereka? Dua orang Nepal keparat itu pantas dihajar!” Sian Lun menegur sumoinya ketika mereka tiba kembali di rumah penginapan mereka.
“Suheng, lupakah engkau bahwa kita ini bukan berada di Bhutan lagi, juga bukan di negara sendiri? Kita berada di Tibet, dan engkau tentu masih ingat bahwa dua orang Nepal itu adalah anak buah Lulung Lama, seorang tokoh yang menjadi pimpinan para Lama Jubah Hitam. Ini tempat mereka dan kalau terjadi keributan, tentu kita yang dianggap sebagai pengacau. Tadi pun aku masih untung dapat membalas serangan fitnah mereka sehingga orang-orang Tibet yang mendengarnya tidak memihak mereka.
“Ah, aku hanya khawatir kalau kita dianggap penakut dan tidak berani kepada mereka. Juga, sekarang ini kita yang diancam dan kita tidak tahu kapan mereka akan turun tangan mengganggu kita.”
“Suheng, bukankah Guru kita, kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, pernah memberitahu bahwa kita tidak boleh tergesa-gesa menurutkan nafsu kemarahan belaka? Bahkan kita diharuskan bersabar setiap menghadapi lawan, kita harus mempergunakan kecerdikan, bukan asal hantam saja! Tanpa ancaman mereka pun, kita harus waspada setiap saat karena bagi seorang pengembara, kita selalu dikelilingi kemungkinan adanya serangan bahaya. Nah, kita sekarang tidur saja dan besok pagi-pagi sekali kita harus sudah melanjutkan perjalanan.”
Biarpun di dalam hatinya Sian Lun masih merasa penasaran dan marah kepada dua orang Nepal yang telah mengeluarkan kata-kata kasar dan kurang ajar terhadap sumoinya, namun alasan yang dikemukakan Sian Li amat kuat dan juga tepat, maka dia pun hanya mengangguk dan meraka memasuki kamar masing-masing.
Malam itu sunyi sekali di rumah penginapan di mana Sian Li dan Sian Lun menginap. Lewat tengah malam, keadaan sudah amat sunyi dan dingin. Petugas rumah penginapan yang berjaga malam ada dua orang dan mereka ini pun sudah meringkuk di meja pengurus, tertidur karena setelah lewat tengah malam, tentu tidak akan ada tamu datang lagi.
Lima bayangan hitam itu menyelinap memasuki rumah penginapan melalui pagar tembok belakang dengan melompatinya. Gerakan mereka ringan dan gesit sekali, menunjukkan bahwa lima orang ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Dengan menyusup seperti lima ekor kucing, tanpa mengeluarkan suara, lima orang ini akhirnya telah tiba di belakang kamar Sian Lun dan Sian Li yang berdampingan. Mereka menghampiri jendela dalam dua kelompok, lalu mengintai ke dalam. Gelap dan sunyi saja dalam kedua kamar itu. Mereka itu adalah Badhu dan Sagha, diikuti tiga orang berkepala gundul berjubah hitam. Tiga orang pendeta Lama Jubah Hitam! Kiranya Badhu dan Sagha hendak memenuhi ancamannya dan sekali ini mereka tidak mau gagal.
Mereka maklum akan kelihaian dua orang muda itu, maka mereka berdua datang mengajak tiga orang tokoh Hek I Lama (Pendeta Lama Jubah Hitam) yang berilmu tinggi. Tiga orang itu adalah para pembantu dari Lulung Lama dan memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dua orang Nepal itu.
Mereka memang sudah membuat persiapan dan sudah mengatur rencana membagi tugas. Anak buah mereka telah mencari keterangan di mana letak kamar pemuda dan gadis itu, dan kini mereka sudah siap melaksanakan rencana mereka. Badhu dan seorang pendeta jubah hitam akan bertugas membius gadis berpakaian merah dengan meniupkan asap pembius ke dalam kamar, sedangkan Sagha dibantu dua orang pendeta jubah hitam akan menerjang masuk ke kamar pemuda Han itu dan membunuhnya!
Setelah memberi isarat, Badhu lalu menghampiri pintu kamar Sian Li, dan dibantu seorang pendeta baju hitam, dia menyusupkan sebuah pipa kecil ke dalam kamar itu melalui bawah pintu. Pipa itu bersambung dengan sebuah kantung kulit yang menggembung. Bersama temannya, Badhu lalu menekan-nekan kantung itu dan asap beracun tertiup masuk kamar melalui pipa.
Sementara itu, Sagha dan dua orang pendeta baju hitam, dengan memegang golok, mencokel jendela kamar itu. Dengan mudah saja daun jendela terbuka dan tiga orang itu berloncatan memasuki kamar yang gelap. Mereka menyalakan lilin dan kaget sekali ketika melihat betapa tempat tidur pemuda itu kosong, tidak ada orangnya! Tentu saja Sagha dan dua orang pendeta jubah hitam itu berlompatan keluar lagi.
“Kamarnya kosong....!” kata Sagha kepada Badhu yang menjadi heran dan kaget bukan main. Kalau kamar pemuda itu kosong, tentu kamar gadis itu kosong pula! Ataukah Si Pemuda itu pindah ke kamar Si Gadis? Badhu tersenyum, menyeringai dan berkata dengan suara mengejek.
“Tentu saja mereka tidur bersama dalam kamar ini! Siapa orangnya mau membiarkan nona merah yang cantik molek itu tidur kedinginan seorang diri?” Mereka tertawa, walaupun suara tawa mereka ditahan agar tidak menimbulkan kegaduhan. “Mereka berdua tentu sudah terbius pingsan sekarang,” katanya lagi dengan girang.
Mereka terlalu memandang rendah kepada Sian Li dan Sian Lun. Tidak percuma dua orang muda ini menjadi murid orang-orang sakti seperti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng. Biarpun dua orang ini telah melakukan perjalanan jauh dan tubuh mereka terasa lelah, namun karena tadi bertemu dengan tujuh orang yang hendak membikin ribut di rumah makan, dan mendengar ancaman Si Gendut Badhu, maka suheng dan sumoi ini tidak tidur begitu saja. Mereka beristirahat sambil duduk bersila sehingga biar tubuh mereka dapat beristirahat, namun kewaspadaan mereka selalu menjaga keselamatan mereka.
Sedikit gerakan lima orang yang mendekati kamar mereka, biarpun tidak menimbulkan suara gaduh, cukup dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Sian Li menjadi curiga dan ketika ia mengintai dari jendela kamarnya, ia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan. Tahulah ia bahwa ada penjahat yang datang. Ia memang sudah siap siaga maka kamarnya berada dalam kegelapan. Sebelum para penjahat itu melakukan sesuatu, ia sudah membuka jendela samping dan meloncat keluar, terus mengambil jalan memutar dan meloncat ke atas genteng. Hampir ia bertubrukan dengan suhengnya di atas genteng! Kiranya Sian Lun juga sudah dapat melihat para penjahat itu dan seperti juga Sian Li, dia keluar dari kamar dan meloncat ke atas genteng.
“Ada dua orang menghampiri kamarku Suheng,” katanya lirih.
“Dan kulihat tiga orang menghampiri kamarku,” kata pula Sian Lun. Mereka berdua sudah mencabut pedang masing-masing dan kini mereka mengintai ke bawah.
Mereka melihat apa yang dilakukan lima orang itu, mendengar pula percakapan mereka yang mengira bahwa mereka berdua tidur sekamar! Mendengar ini wajah Sian Li menjadi merah saking marahnya menerima tuduhan kotor tentang dirinya itu. Juga wajah Sian Lun menjadi merah sekali karena tadi pun, seperti malam-malam yang lalu, dia sering bermimpi tidur sekamar dengan sumoinya yang telah membuatnya tergila-gila sejak sumoinya remaja!
Kini Sian Li sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Ia melayang turun, diikuti suhengnya sambil berseru, “Jahanam bermulut busuk!”
Lima orang yang masih tertawa-tawa itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada dua bayangan orang melayang turun dari atas genteng dan tahu-tahu dua orang muda yang mereka kira sedang tidur bersama dalam kamar itu dan yang kini tentu telah roboh pingsan, kini telah berdiri di depan mereka dengan pedang di tangan.
“Gawat! Lari....!” teriak Badhu yang memimpin gerakan itu. Mereka pun sudah berloncatan ke dalam kegelapan malam, lari ke arah belakang rumah penginapan di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.
“Jahanam busuk, hendak lari ke mana kalian?” Sian Lun berseru marah dan melakukan pengejaran.
“Hati-hati, Suheng!” teriak Sian Li yang juga ikut mengejar, merasa khawatir karena dari apa yang ia pelajari, sungguh berbahaya melakukan pengejaran terhadap penjahat yang lihai atau banyak jumlahnya di malam hari, apalagi di tempat yang tidak dikenal keadaannya.
Akan tetapi ternyata bahwa mereka jauh lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh sehingga sebentar saja, mereka dapat menyusul ketika lima orang penjahat itu tiba di dalam kebun. Dan kini setelah tiba di tempat sepi, agaknya Badhu dan kawan-kawannya sudah siap siaga. Mereka berlima sudah mencabut golok dan tetap dalam pembagian tugas seperti tadi, Badhu dan seorang pendeta jubah hitam menyambut Sian Li dengan golok mereka, sedangkan Sagha dan dua orang pendeta lain menyerang Sian Lun.
Terjadilah perkelahian yang mati-matian di dalam kebun itu, hanya diterangi oleh sinar bulan yang datang agak lambat. Mereka lebih mengandalkan ketajaman pendengaran daripada penglihatan dan untunglah bahwa untuk ilmu ini, Sian Li dan Sian Lun telah mendapat gemblengan dari guru mereka. Biarpun demikian, ketika senjata mereka bertemu dengan golok mereka yang berkepala gundul dan berjubah hitam, Sian Li dan Sian Lun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka itu amat kuat, jauh lebih kuat dibandingkan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga kasar dari otot-otot yang terlatih. Sian Li masih dapat mengimbangi pengeroyokan Badhu dan seorang pendeta jubah hitam. Gadis ini mengamuk dan gerakannya yang indah mirip sekali dengan gerakan seekor burung bangau. Bangau Merah! Biarpun ia sudah menerima gemblengan berbagai ilmu silat tinggi dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, akan tetapi yang menjadi inti dari kepandaiannya adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Bangau Putih) yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri sebelum ia berguru kepada kakek dan neneknya. Dan memang Suma Ceng Liong yang menghendaki agar gadis ini memperdalam ilmu warisan ayahnya itu, hanya kini ilmu silat itu dicampur dengan ilmu lain yang tinggi sehingga ilmu silat yang berdasarkan gerakan burung bangau itu kini menjadi aneh dan lihai, namun masih mengandung gerakan halus dari seekor bangau.
Yang repot adalah Sian Lun. Tingkat kepandaian pemuda ini memang masih kalah dibandingkan sumoinya, dan kini dia dikeroyok tiga orang. Kepandaian Sagha memang tidak ada artinya bagi Sian Lun, akan tetapi dua orang pendeta jubah hitam itu sungguh lihai bukan main. Melawan seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang tangguh, apalagi ada dua orang seperti itu, ditambah dengan Sagha lagi. Sian Lun hanya mampu memutar pedangnya, melindungi dirinya dari sambaran tiga batang golok para pengeroyoknya.
Tiba-tiba terjadi keanehan. Lima orang pengeroyok itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kesakitan dan senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka itu lalu berlompatan jauh ke belakang dan melarikan diri dari Sian Li dan Sian Lun yang tentu saja menjadi bengong terheran-heran. Mereka tidak merasa telah melukai para pengeroyok itu, akan tetapi mengapa mereka berlima itu melepaskan golok dan melarikan diri seperti orang ketakutan?
Sian Lun hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Sian Li memegang tangan kirinya mencegah, “Suheng, mereka itu merupakan lawan berat, berbahaya sekali kalau dikejar. Mari kita kembali ke kamar!” katanya.
“Tapi, apa yang telah terjadi? Kenapa mereka melepaskan senjata dan melarikan diri seperti orang ketakutan?”
Sian Li menggeleng kepalanya, “Entahlah, Suheng, aku pun tidak mengerti. Telah terjadi keanehan malam ini, mungkin ada dewa yang menolong kita.”
Mereka kembali ke rumah penginapan di mana telah berkumpul banyak orang. Kegaduhan tadi membangunkan para tamu, juga para pelayan sehingga kini mereka berkerumun di depan kamar Sian Li dan kamar Sian Lun. Ketika dua orang muda itu muncul, tentu saja mereka dihujani pertanyaan.
“Ada dua orang pencuri hendak memasuki kamar kami berdua,” kata Sian Lun.
“Mereka mempergunakan asap pembius. Harap kalian mundur semua, aku akan membuka jendela agar asap itu keluar. Awas, yang terkena asap itu dan menyedotnya, akan jatuh pingsan.” Ia lalu membuka daun jendela kamarnya, lalu pergi menjauhi kamar itu, demikian pula Sian Lun. Dari dalam kamar itu membubung asap tipis yang tidak berapa banyak lagi karena tadi sebagian asap sudah keluar melalui celah-celah pintu, jendela dan atap. Orang-orang menjauh dan memandang heran. Akan tetapi, setelah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu melarikan diri tanpa membawa barang curian, dikejar dua orang muda itu, pengurus rumah penginapan merasa lega dan para tamu pun berangsur kembali ke kamar maaing-masing. Tentu saja kini mereka tahu bahwa gadis berpakaian merah yang cantik dan pemuda tampan itu adalah dua orang pendekar!
Sementara itu, dari tempat gelap tak jauh dari situ, seorang laki-laki yang bersembunyi dalam gelap, meremas-remas jari tangan sendiri. Pandang matanya penuh ketegangan, keraguan, juga keharuan, bibirnya berkemak-kemik bicara seorang diri dengan lirih. “Benarkah ia? Ah, tidak mungkin. Kenapa ia berada di sini dan siapa pemuda itu? Benarkah ia Sian Li....? Tapi pakaian merah itu.... ah, benarkah ia Tan Sian Li....?” Dengan wajah penuh keraguan dia masih bardiri termangu-mangu di tempat gelap itu sampai Sian Li dan Sian Lun memasuki kamar masing-masing dan tempat itu menjadi sunyi kembali.
Siapakah pria itu? Dan apa pula yang telah terjadi ketika Sian Li dan Sian Lun dikeroyok lima orang lawan yang lihai tadi? Mengapa mereka melarikan diri? Kita ikuti perjalanan mereka selanjutnya.
***
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Sian Lun dan Sian Li telah meninggalkan rumah penginapan dan menuntun kuda mereka ke pasar kuda yang selalu ramai di tempat itu. Tentu saja dua ekor kuda tunggangan mereka menarik perhatian pembeli karena dua ekor binatang itu adalah kuda-kuda pilihan dari kandang kuda istana Bhutan! Dengan mudah saja mereka mendapatkan pembeli yang berani membayar cukup mahal untuk dua ekor kuda itu.
Sian Li dan Sian Lun lalu menuju ke bandar sungai untuk menyewa sebuah perahu yang akan mereka tumpangi sampai ke belokan air Sungai Yalu-cangpo atau Sungai Brahmaputra yang membelok ke selatan. Dari belokan itu, mereka akan mendarat dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki atau berkuda lagi menuju ke timur.
Seorang peranakan Han-Tibet yang mempunyai sebuah perahu yang sedang besarnya, menyanggupi perjalanan itu dengan upah yang cukup memadai. Orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun kulitnya hangus kecoklatan karena setiap hari pekerjaannya sebagai nelayan membuat kulitnya setiap hari terbakar sinar matahari. Kalau tidak karena logat bicaranya, tentu sukar dikenal bahwa dia peranakan Han. Baik wajah dan pakaiannya sudah sepenuhnya orang Tibet. Orangnya pendiam dan juga sopan, maka Sian Li memilih orang ini daripada pemilik perahu lain walau harus membayar lebih mahal.
Perjalanan dengan perahu itu cukup menyenangkan. Perahunya kokoh dan baik imbangannya, tukang perahunya pendiam dan ahli mengemudikan perahu. Air sungai pun tenang dan dalam karena waktu itu musim semi, tidak banyak hujan. Pemandangan di tepi sungai juga amat indah, penuh pohon-pohonan menghijau, diseling bunga beraneka warna dan bentuk. Kadang-kadang sungai itu melewati daerah yang diapit tebing bukit yang menjulang tinggi, kadang melalui ladang yang tanahnya landai dan datar.
Kalau malam tiba, Sian Li menyuruh tukang perahu menghentikan perahunya. Mereka dapat mencoba untuk memancing ikan, menggunakan alat pancing milik tukang perahu dan betapa senangnya hati Sian Li kalau ia berhasil mendapatkan seekor ikan. Mereka membakar ikan hasil pancingan mereka, makan ikan dengan arak ringan yang membuat dua orang muda itu merasa gembira sekali, Apalagi kalau bulan sudah muncul. Duduk di kepala perahu sambil makan ikan bakar, bercakap-cakap di bawah sinar bulan purnama, dihembus angin malam yang lembut, bau daun ilalang di sekitar pantai, dan perahu bergoyang lembut seolah-olah membuat mereka seperti diayun-ayun, sungguh amat menyenangkan. Dia romantis sekali. Keadaan dan suasana itulah yang membuat sinar mata Sian Lun ketika dia memandang wajah sumoinya yang tertimpa sinar bulan, lain daripada biasanya.
Ketika mendadak suhengnya yang tadi bercakap-cakap dengan gembira itu kini diam saja, Sian Li merasakan suatu perubahan pada suhengnya yang membuatnya menatap wajah suhengnya. Dan diam-diam ia terkejut. Suhengnya memandang kepadanya dengan aneh! Sinar mata suhengnya itu! Seolah-olah mata itu dengan lembutnya membelainya, kemudian berusaha untuk menjenguk isi hatinya. Dan pandang mata itu mengandung sesuatu yang membuat jantungnya berdebar aneh, sepasang mata itu tak pernah berkedip.
“Heii, Suheng! Apa-apaan sih engkau ini?” teriaknya untuk menekan guncangan hatinya sendiri, memecahkan suasana yang membuatnya canggung itu.
“Kenapa, Sumoi?” kata Sian Lun dan suaranya pun berubah bagi Sian Li. Suara itu demikian lembut, seperti mengelusnya dan keluar dari dalam dada.
“Suheng, kenapa engkau memandangku seperti itu?” tegurnya. Mereka dapat bicara dengan bebas karena tukang perahu telah tidur di tepi sungai, menggulung dirinya dalam selimutnya yang tebal.
Dalam keadaan masih terpesona, seperti tersihir oleh wajah yang nampak cantik jelita luar biasa ketika bermandikan sinar bulan itu. Sian Lun masih belum sadar dan dia menjawab dengan suara penuh kagum dan penuh kasih sayang. “Engkau.... engkau begitu cantik jelita....“
Dalam keadaan biasa, pujian dari suhengnya itu tentu akan membuat Sian Li tertawa geli, akan tetapi sekarang, sigar mata suhengnya membuat wajahnya menjadi merah sekali ketika mendengar pujian itu. Akan tetapi ia memaksa diri menekan perasaan aneh, rasa senang gembira dan bangga, dan ia pun memaksa diri untuk tertawa. Ia membayangkan dirinya dan suhengnya yang telah berlatih bersama, bermain bersama sejak ia berusia dua belas tahun, ketika ia masih kanak-kanak, dan tiba-tiba suhengnya yang biasanya selalu bersikap sopan dan serius kepadanya, kini memuji kecantikannya. Lucu!
“Hi-hi-hik, heh-heh.... kau lucu, suheng! Kenapa mendadak saja engkau seperti ini? Jangan-jangan engkau kemasukan setan sungai ini yang kabarnya keramat? Kalau mau mengagumi kecantikan, tengoklah ke atas. Lihat, bulan itulah yang cantik jelita penuh senyum.”
Akan tetapi ucapan yang penuh kelakar itu tidak cukup kuat untuk menyeret Sian Lun turun kembali ke dalam keadaan seperti biasa yang wajar. Dia masih terpesona! “Tidak, Sumoi. Kecantikan Sang Bulan tidak dapat disamakan dengan kecantikanmu! Kecantikan bulan itu mati, akan tetapi engkau.... aih, Sumoi, tidak ada wanita di seluruh dunia ini yang dapat menyamai kecantikanmu!”
Kalau tadi Sian Li masih tersenyum-senyum manis, kini senyumnya menghilang dan alisnya berkerut khawatir. Namun bagi Sian Lun, seperti juga semua laki-laki yang sudah jatuh cinta, perubahan wajah gadis itu sama sekali tidak mengubah hasil pandangannya. Tersenyum tertawa, merengut atau menangis atau marah-marah, tetap saja cantik jelita! Bagi hati yang sedang tergila-gila oleh cinta, wajah yang cemberut bahkan bertambah manis! Sebaliknya, bagi hati yang diracuni benci, wajah yang tersenyum dianggap mengejek dan menyebalkan!
“Suheng, sadarlah! Kita sudah bergaul sejak aku kecil, kita biasa berlatih bersama, bermain bersama. Kenapa sekarang engkau bersikap begini? Mengerikan! Hentikan kelakarmu ini, atau aku akan benar-benar marah, Suheng!” katanya dan untuk menyadarkan suhengnya. Sian Li memegang lengan pemuda itu dan mengguncangnya agak keras.
Sian Lun baru menyadari ketidakwajaran sikapnya. Dia menarik napas panjang seperti orang mengeluh, “Maaf, Sumoi, maafkan sikapku tadi.... akan tetapi.... aku seperti mabok, Sumoi. Mabok oleh apa yang kulihat malam ini. Wajahmu disinari bulan purnama, rambutmu, matamu, hidung dan bibirmu.... ah, engkau memang cantik jelita, sumoi dan aku.... aku tak dapat menahan lagi rahasia hatiku, aku cinta padamu, Sumoi, aku cinta padamu....”
Sepasang mata yang indah itu terbelalak, pipi yang tadi kemerahan itu mendadak menjadi pucat, lalu merah lagi dan tiba-tiba saja Sian Li menggerakkan ke dua tangannya mendorong kedua pundak Sian Lun. Pemuda itu terkejut, tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tubuhnya terjengkang keluar dari perahu.
“Byuurrr....!” Air muncrat tinggi dan tubuh Sian Lun tenggelam! Tak lama kemudian, pemuda itu muncul kembali dan gelagapan. Sian Lun bukan tak pandai renang, akan tetapi dia tadi terlampau kaget ketika tubuhnya didorong sumoinya keluar dari perahu, dan kini dia pun harus melawan arus air, kembali ke perahu.
“Peganglah ini!” kata Sian Li yang sudah menjulurkan dayung ke arah pemuda itu. Setelah tadi mendorong tubuh suhengya sehingga terjatuh ke dalam air di luar perahu, Sian Li baru menyesali perbuatannya, dan melihat pemuda itu gelagapan, ia lalu menyambar dayung dsn menolongnya naik.
Sian Lun naik ke perahu dengan pakaian basah kuyup, juga rambutnya basah kuyup. Mereka berdiri berhadapan di kepala perahu, saling pandang. Sian Li marasa kasihan juga melihat suhengnya yang basah kuyup dan nampak bersedih.
“Maafkan aku, Sumoi,” kata Sian Lun lirih.
Hemmm, sudah didorong ke dalam air, malah minta maaf. Sian Li merasa semakin menyesal. “Habis, engkau sih, Suheng, yang aneh-aneh. Aku tidak suka melihat dan mendengar engkau seperti tadi! Engkau Suhengku, kuanggap seperti kakak sendiri, dan aku.... aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal cinta. Jangan sebut-sebut lagi soal itu. Dan kau juga maafkan aku yang tadi mendorongmu karena marah.”
Sian Lun menundukkan mukanya. Didorong ke air oleh Sian Li bukan apa-apa, biar didorong seratus kali dia mau asal gadis yang membuatnya tergila-gila itu suka menerima cintanya. Yang membuat hatinya terasa sedih sekali adalah ucapan sumoinya tadi. Sumoinya tidak mau bicara tentang cinta dan menganggap dia seperti kakak sendiri! Dia menundukkan mukanya dan memasuki bilik perahu untuk bertukar pakaian kering. Sian Li memandang ke arah kain tirai yang menutup pintu bilik dengan hati iba. Akan tetapi ia tidak berbohong dengan ucapannya tadi. Selama ini ia menyayang Sian Lun sebagai suheng, atau sebagai kakak sendiri, sama sekali tak pernah terbayangkan memandang suhengnya itu sebagai seorang kekasih, sebagai seorang calon suami! Lucu dan aneh rasanya kalau ia harus menjadi isteri suhengnya!
Ketika Sian Li sedang melamun, tiba-tiba perahu itu terguncang. Ia terkejut dan menengok. “Heiiii....!” teriaknya ketika melihat ada dua orang berpakaian hitam tiba-tiba saja meloncat dari air ke atas perahunya, dan sebuah perahu meluncur cepat menuju ke situ. Tahulah ia bahwa ada orang jahat yang hendak mengganggunya, maka cepat ia menyambut kedua orang itu dengan serangan kakinya yang melakukan tendangan beruntun.
Tendangan-tendangan kaki Si Bangau Merah Tan Sian Li tidak boleh disamakan dengan tendangan kaki seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang biasa saja. Tendangan itu selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga sin-kang, karena gerakan itu adalah menurut ilmu tendang sakti Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong! Dua orang berpakaian hitam yang basah kuyup itu tidak sempat mengelak, hanya mampu menggerekkan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga mereka.
“Dukk! Plakk!” Tangkisan mereka yang disertai tenaga itu bahkan membuat tendangan itu semakin ampuh. Tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter dan mereka pun terjatuh ke air kembali. Air muncrat lebih tinggi daripada ketika Sian Lun tercebur tadi!
Akan tetapi, dari tepi perahu yang lain telah berloncatan empat orang berpakaian hitam yang lain lagi. Mereka membawa golok dan mereka sudah menerjang Sian Li dari belakang. Gadis itu mendengar sambaran golok dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik tiga kali dan ketika tubuhnya turun, ia telah meluncur dengan kepala di bawah, didahului sebatang pedang yang tadi sudah dibawanya loncat dan dicabut ketika tubuhnya berjungkir balik. Sinar pedangnya meluncur dan menyambar ke arah tiga orang penyerangnya tadi. Gerakannya bagaikan seekor burung bangau merah melayang turun dan paruh yang runcing di bawah, siap untuk mematuk!
Akan tetapi tiga orang itu ternyata lihai juga. Mereka memutar golok untuk melindungi diri dari sinar pedang yang menyambar bagaikan kilat itu.
“Trang-trang-trang....!” Karena tiga kali beradu senjata selagi tubuhnya masih di udara, terpaksa Sian Li berjungkir balik lagi agar jangan sampai terbantingjatuh. Ia dapat turun ke atas perahu, akan tetapi terhuyung karena perahu itu terguncang oleh tenaga tiga orang itu. Dan tiga orang itu, yang agaknya lebih biasa di atas perahu, yang bergoyang-goyang, sudah menerjang maju!
Tiba-tiba, Sian Lun yang sudah berganti pakaian dan mendengar suara gaduh di luar bilik perahu, sudah meloncat dan dengan pedang diputar dia menghadang terjangan tiga orang itu. Terdengar bunyi berdentangan dan bunga api barpijar ketika pedang di tangan Sian Lun bertemu dengan tiga batang golok para pengeroyok yang ternyata cukup lihai itu. Dan Sian Li tidak dapat membantu Sian Lun karena pada saat itu, dua orang lagi sudah meloncat naik dan mengeroyok Sian Li dengan golok mereka.
“Pendeta-pendeta busuk, munafik, jahat....!” Sian Li marah sekali dan sambil memaki-maki, pedangnya digerakkan dengan dahsyat, membuat kedua orang pengeroyoknya itu terdesak.
Akan tetapi, pada saat itu, perahu berguncang keras dan miring! Sian Lun masih sempat meloncat ke tepi sungai, akan tetapi Sian Li tidak sempat lagi kerena selain kedua orang lawannya sudah menyergapnya lagi selagi perahu miring dan hampir terbalik, juga dara ini berada di sisi perahu yang tiba-tiba miring ke bawah. Ia mencoba untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya, akan tetapi dua batang golok menyambar kakinya. Terpaksa Sian Li meloncat dan tak dapat dihindarkan lagi, ia tercebur ke dalam air!
Kepandaian Sian Li di air hanya biasa-biasa saja, hanya sekedar dapat berenang dan tidak sampai tenggelam, maka ketika dua orang penjahat yang sudah biasa bermain di air menyelam dan memegangi kedua kakinya, gadis ini tidak berdaya, meronta dan gelagapan sehingga akhirnya ia tertawan, kedua tangannya dibelenggu ke belakang dan ia diseret ke tepi sungai oleh empat orang! Sementara itu, Sian Lun yang berhasil melompat ke daratan dan tidak sampat tercebur, masih dikepung oleh tiga orang lawan yang cukup tangguh. Pemuda ini mengamuk dan sukarlah bagi tiga orang itu untuk mampu mendesaknya. Akan tetapi ketika Sian Lun melihat becapa sumoinya tertawan, dia menjadi khawatir sekali dan juga marah.
“Lepaskan ia!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dia sudsh meninggalkan tiga orang pengepungnya, langsung saja dia menyambar ke arah empat orang yang menawan Sian Li! pedangnya diputar dan empat orang itu terkejut, cepat mereka menggerakkan golok untuk menangkis, lalu mengepung Sian Lun, Pemuda ini nekat. Dia harus dapat menyelamatkan sumoinya. Gerakan pedangnya amat hebat karena pemuda yang sudah marah dan nekat ini sudah memainkan Ilmu Pedang Koai-liong-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajarinya dari subonya (ibu gurunya). Pedangnya seperti berubah menjadi seekor naga mengamuk dan desing pedang seperti auman naga. Empat orang lawannya terkejut dan terpaksa mundur berpencar. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sian Lun untuk mendekati sumoinya dan sekali menggerakkan pedang, tali pengikat pergelangan kedua tangan Sian Li terbabat putus.
“Awas, Suheng....!” teriak Sian Li ketika melihat betapa empat orang itu, ditambah tiga orang lagi, serentak menyerang Sian Lun dari belakang dan kanan kiri!
Sian Lun membalik sambil memutar pedangnya, dan Sian Li menerjang orang yang merampas pedangnya dengan sebuah tendangan ke arah tangan yang memegang golok, dilanjutkan, tubrukan ke depan untuk merampas kembali pedangnya yang dipegang tangan kiri orang itu. Tubrukannya berhasil ketika orang itu mengelak ke samping, dan di lain saat pedang itu telah dirampasnya kembali.
Akan tetapi, ketika Sian Lun menangkis, terlampau banyak golok menyerangnya sehingga sebuah di antara golok yang menyerangnya, ketika ditangkis putaran pedangnya, masih sempat melukai pundak kirinya sehingga baju di bagian pundak itu terobek berikut kulit pundak yang terluka dan berdarah.
“Suheng, kau terluka?” teriak Sian Li sambil memutar pedang membantu suhengnya.
“Tidak mengapa. Kita basmi manusia-manusia busuk ini!” bentak Sian Lun yang sudah marah sekali dan dengan penuh semangat dia juga memutar pedangnya, menyerang dengan dahsyat. Kedua orang kakak beradik seperguruan itu mempergunakan ilmu-ilmu pedang yang amat hebat. Sian Lun tetap memainkan Ilmu pedang Naga Siluman, sedangkan Sian Li kini memainkan Ilmu Pedang Suling Emas seperti yang ia pelajari dari neneknya, Kam Bi Eng! Dua macam ilmu pedang ini memang merupakan ilmu-ilmu pedang yang dahsyat, dan Nenek Kam Bi Eng telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari ayahnya, Kam Hong yang telah menggabungkan kedua ilmu itu menjadi satu. Maka, ketika kedua orang muda ini memainkan dua macam ilmu itu, mereka merupakan pasangan yang amat kuat sehingga tujuh orang pengeroyok mereka kewalahan dan mereka pun berloncatan ke belakang dan melarikan diri ke dalam hutan gelap di tepi sungai.
“Jahanam, kalian hendak lari ke mana?” Sian Lun melompat dan melakukan pengejaran.
“Suheng, jangan kejar!” Sian Li berseru, akan tetapi suhengnya sudah berlari cepat dan tidak mau berhenti.
“Suheng, berbahaya kalau mengejar mereka!” kembali Sian Li berteriak. Karena Sian Lun tidak menanggapi dan terus berlari, terpaksa ia pun berlari mengejar dengan hati khawatir sekali. Hutan itu gelap dan cahaya bulan hanya menjadi sinar suram muram yang memasuki celah-celah daun dan ranting. Makin gelap saja dan akhirnya Sian Li menjadi bingung karena ia kehilangan jejak tujuh orang itu, juga kehilangan jejak suhengnya. Tadi ia mssih dapat mendengar suara kaki mereka menginjak daun kering. Akan tetapi kini, di sekelilingnya sunyi dan ia, tidak tahu harus mengejar ke mana. Dengan hati-hati ia berjalan ke sana sini, berkeliaran tanpa arah di dalam hutan yang lebat itu, mengerahkan kekuatan mata dan telinga untuk mencari kembali jejak mereka. Namun, usahanya sia-sia, bahkan untuk kembali ke tepi sungai tempat perahu tadi pun ia sudah tidak mengenal jalan lagi! Terpaksa Sian Li menunggu sampai pagi. Tidak lama ia menanti karena tak lama kemudian, sinar bulan semakin muram, sinar matahari mulai membakar langit di timur.
Setelah cuaca tidak gelap lagi, sudah remang-remang, Sian Li bangkit dari bawah pohon dan melanjutkan pencariannya. Ia merasa khawatir sekali. Tiba-tiba ia mendengar teriakan suhengnya.
“Sumoi, pergilah jauh-jauh jangan ke sini!”
Mendengar suara ini, tentu saja Sian Li terkejut bukan main. Ia seorang gadis yang cerdik, maka seruan suhengnya itu membuat ia sejenak termangu. Ia tahu bahwa suhengnya tentu berada dalam bahaya, dan suhengnya tidak menghendaki ia mendekat karena tentu ada bahaya mengancamnya pula kalau ia mendekat! Akan tetapi, bagaimana mungkin ia membiarkan saja suhengnya terancam bahaya? Bagaimana mungkin ia pergi menjauh hanya karena ada bahaya mengancamnya setelah ia tahu bahwa suhengnya dalam bahaya? Tidak, ia harus menolong suhengnya. Terbayang ketika tadi dengan nekat dan mati-matian suhengnya menolongnya ketika ia tertawan, bahkan suhengnya sampai mengorbankan dirinya dan terluka pundak kirinya untuk menyelamatkan dirinya. Ia harus menolong suhengnya, biarlah ia akan menghadapi bahaya apa pun!
Setelah mengambil keputusan tetap, dengan hati-hati namun cepat sekali Sian Li mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari seperti terbang menuju ke arah suara tadi. Suhengnya hanya mengeluarkan kalimat itu saja lalu keadaan kembali sunyi sehingga tentu saja hatinya menjadi semakin gelisah, mengkhawatirkan suhengnya. Ia tidak berani memanggil, karena kalau ada musuh di sana, tentu akan dapat mendengar suaranya. Kalau ia ingin menolong suhengnya, ia harus dapat mendekati tempat suhengnya itu dengan diam-diam dan tersembunyi. Ia harus melihat keadaan dulu sebelum turun tangan.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat dari balik batang pohon yang besar, suhengnya telah terbelenggu di bawah sebatang pohon besar, diikat pada pohon itu dan agaknya suhengnya pingsan atau tertotok karena lehernya terkulai dan kepalanya menunduk dalam. Tali yang amat kuat membelit tubuhnya dari kaki ke dada, kedua lengan ke belakang, dan diikat kepada batang pohon itu! Tidak nampak orang lain di sana! Menurutkan dorongan hatinya, tentu saja ia ingin sekali melompat mendekati suhengnya dan membebaskannya dari ikatan itu, akan tetapi kecerdikannya membuat ia berpikir sebelum bergerak.
Mustahil kalau suhengnya ditangkap, dibelenggu lalu ditinggalkan saja di situ tanpa penjagaan, Tempat itu begitu sunyi, seolah tidak ada orang lain kcuali suhengnya. Mustahil! Ini tentu sebuah perangkap, sebuah jebakan, ia membayangkan, jebakan apa yang mungkin dipasang oleh pihak musuh. Mereka depat bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, siap dengan anak panah atau senjata rahasia di tangan. Kalau ia menghampiri suhengnya, tentu mereka akan menghujanan anak panah atau senjata rahasia. Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya. Kalau mereka ingin membunuhnya, kenapa suhengnya yang sudah tertawan itu dibiarkan hidup? Mereka tentu memasang jebakan untuk menangkapnya hidup-hidup atau jebakan atau perangkap apa yang mungkin mereka pasang? Sebuah lubang di dekat tempat suhengnya diikat? Lubang yang dtutupi rumput agar ia terjeblos ke dalam lubang kalau menghampiri suhengnya? Atau mereka akan keluar dan mengepung tempat itu? Sian Li mendapatkan perasaan yang anehsekali. Ia merasa seperti menjadi harimau yang dipancing dengan umpan! Suhengnya menjadi kambingnya yang diikat di sana, untuk memancing munculnya Sang Harimau.
Apa pun yang akan terjadi, bagaimana nanti sajalah! Yang paling penting, ia harus menolong suhengnya! Ia akan berhati-hati, menjaga segala kemungkinan. Ia akan memperhatikan sekelilingnya, juga memperhatikan tanah yang diinjaknya! Dengan pedang terhunus di tangan kanan, dan sebatang tongkat dari cabang pohon yang dipatahkannya, ia melangkah keluar dari balik pohon, dengan hati-hati ia melangkah maju, mempergunakan tongkat yang dua meter panjangnya itu untuk meraba-raba dan menusuk-nusuk tanah di depannya sebelum ia melangkah. Ia maju selangkah demi selangkah, tongkatnya meneliti tanah yang akan diinjak, matanya waspada meneliti keadaan sekeliling sehingga kalau ada ancaman datang dari sekelilingnya, ia tidak akan mudah dibokong.
Tinggal kurang lebih sepuluh meter lagi dari tempat Sian Lun diikat pada batang pohon. Tiba-tiba ia berhenti melangkah. Ujung tongkatnya menembus lapisan rumput! Di bawah rumput itu ada lubang! Ia menyelidiki dengan ujung tongkatnya. Ada lubang bundar yang garis tengahnya tidak kurang dari satu setengah meter! Lubang yang ditutup lapisan rumput. Kalau ia melangkah atau berlari di atas lapisan rumput, tentu ia akan terjeblos ke bawah. Tepat seperti yang diduganya! Dengan pengerahan tenaga pada tongkatnya, ia mencokel lapisan rumput itu sampai lapisan penutup lubang itu terbuka semua! Kini nampaklah lubang itu, yang dalamnya tidak kurang dari tiga meter! Sekali terjeblos ke dalamnya, tentu ia akan sukar meloloskan diri, karena tentu mereka akan mengepung lubang dan mencegah ia melompat keluar lagi.
Sian Li tersenyum. Untung ia bersikap hati-hati. Dengan ujung tongkat terus meraba, ia melangkah lagi mengitari lubang dan tiba di depan suhengnya tanpa ada rintangan lain. Agaknya hanya lubang itulah perangkap yang dipasang musuh. Sekarang ia harus cepat membebaskan suhengnya.
“Suheng....!” Ia mengguncang pundak suhengnya. Akan tetapi suhengnya tetap lemas seperti tidur, atau pingsan, atau tertotok. Ia harus lebih dulu melepaskan ikatan itu kalau ingin membebaskan suhengnya dari totokan. Totokan yang melenyapkan semua tenaga itu harus dibebaskan dengan totokan dan urutan pada punggung, di pusat tenaga tengah pinggang. Dengan pedangnya, Sian Li lalu membikin putus semua tali pengikat tubuh suhengnya. Ia harus merangkul suhengnya agar tidak sampai tubuh itu terkulai jatuh. Dan pada saat ia merangkul suhengnya itulah jala itu jatuh dari atas pohon! Jala yang lebar, yang siap di atas pohon dan tali-talinya dipegangi beberapa orang yang tersembunyi. Tali-tali dilepas dan jala itu pun jatuh menyelimuti Sian Li dan Sian Lun!
Sian Li terkejut bukan main. Ia tidak menyangka akan datang serangan dari atas. Ada beberapa hal yang membuat dara perkasa ini tidak dapat menghindarkan diri dari serangan jala. Pertama, perhatiannya hanya ditujukan kepada suhengnya dan sekelilingnya. Ke dua, baru saja ia menemukan perangkap lubang tertutup lapisan rumput itu sehingga ia menganggap telah terbebas dari ancaman bahaya jebakan dan membuatnya menjadi lengah, dan ke tiga terutama sekali karena ia sedang merangkul suhengnya yang lemas untuk mencegah tubuh yang lemas itu terkulai jatuh.
Sian Li mencoba untuk melepaskan diri, meronta-ronta, akan tetapi segera muncul tujuh orang berpakaian hitam-hitam itu dan tali-tali jala ditarik semakin kuat sehingga ia dan suhengnya terbelit dan terbungkus jala menjadi satu sampai ia tidak mampu bergerak lagi. Dengan mudah saja orang-orang berpakaian hitam itu meringkusnya dan mengikat tangan dan kakinya sebelum ia dikeluarkan dari dalam selimutan jala, demikian pula kaki dan tangan Sian Lun diikat pula. Kemudian, sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menaikkan tubuh kedua orang muda itu ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, dan dipegangi orang yang menunggang kuda, dan mereka lalu pergi dari situ menunggang kuda, menuju ke timur.
***
Matahari telah naik tinggi ketika rombongan tujuh orang itu berhenti di depan sebuah bangunan yang berada di puncak sebuah bukit. Tempat itu jauh dari dusun dan nampak sunyi, walaupun di kaki bukit tadi terdapat yang ditinggali orang-orang suku Tibet dan ada pula suku Miao.
Sian Lun sadar dan begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di punggung kuda, menelungkup dan melintang di depan seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda itu, dia tahu bahwa dia dibawa pergi dan hatinya merasa lega. Tentu sumoinya telah mendengar teriakannya tadi sebelum dia ditotok pingsan dan sumoinya tidak mau mendekati tempat yang sudah dipasangi jebakan berbahaya itu. Biarlah, biar dia dibunuh sekalipun, asal sumoinya selamat, dia ikut girang.
“Suheng....!”
Sian Lun menengok ke kiri dan terkejut bukan main. Dia terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan suara. Lehernya seperti dicekik dan dadanya seperti hendak meledak. Kiranya Sian Li juga telah tertangkap seperti dia! Diikat kaki tangannya, ditelungkupkan di punggung kuda dan sama sekali tidak berdaya. Sungguh celaka!
Melihat wajah suhengnya menjadi pucat dan matanya terbelalak, Sian Li tersenyum! “Suheng, kita belum mati!” katanya dan ucapan ini membesarkan hatinya. Benar juga. Mereka masih hidup dan selama mereka masih hidup, dia tidak boleh putus asa! Kalau mereka ditawan dan tidak dibunuh, hal itu hanya berarti bahwa para penawan mereka tidak menghendaki kematian mereka. Sementara ini, bahaya maut masih jauh dan masih ada harapan bagi mereka berdua untuk mencari jalan membebaskan diri.
Sian Li memberi isarat dengan kedipan mata lalu memejamkan matanya, dan Sian Lun mengerti, maka dia pun tidak mau bicara lagi. Lebih baik mengumpulkan tenaga untuk bersiap-siaga, di mana ada kesempatan mereka akan membebaskan diri.
Rombongan itu memasuki pekarangan rumah, kemudian dua orang tawanan dipanggul masuk ke dalam rumah, dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di dalam rumah itu terdapat belasan orang, kesemuanya berkepala gundul dan mengenakan jubah hitam. Kiranya tempat itu merupakan sarang Hek I Lama yang menjadi orang-orang buruan pemerintah Tibet!
Sian Lun dan Sian Li dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang berdampingan, dipisahkan dinding terali besi yang kokoh kuat. Mereka dapat saling lihat, akan tetapi dinding pemisah itu kuat bukan main. Juga ruangan tahanan itu mempunyai pintu besar terbuat dari besi berterali yang kokoh, dikunci dari luar.
Ketika dimasukkan ke dalam ruangan tahanan, ikatan kedua kaki mereka dilepes dan kini hanya kedua tangan mereka saja yang masih terbelenggu ke belakang. Setidaknya, mereka dapat bergerak, dapat berdiri atau duduk. Mereka lalu duduk bersila, mengatur pernapasan.
Sian Liberpikir. Ia melihat bahwa tujuh orang tadi sesungguhnya juga para anggauta Lama Jubah Hitam yang menyamar, menutupi kepala gundul mereka dangan kain hitam dan pakaian mereka juga ringkas, tidak mengenakan jubah pendeta. Jelas bahwa ia dan suhengnya tertawan oleh para pendeta Lama jubah hitam yang menurut keterangan dipimpin oleh Lulung Lama. Pendeta Tibet itu merupakan pimpinan golongan pendeta Lama yang tidak sah, yang dimusuhi pemerintah Tibet sendiri, dan golongan ini telah bersekutu dengan gerombolan dari Nepal yang juga merupakan pemberontak di negaranya sendiri. Mereka itu melakukan gerakan menghasut dan mengobarkan sikap anti pemerintah Ceng di Cina, dan agaknya mereka itu hendak melakukan gerakan pemberontakan di Cina dan kini sedang menyusun kekuatan. Semua ini ia dengar dari Gangga Dewi ketika ia masih berada di Bhutan. Akan tetapi kenapa Lama Jubah Hitam menawan ia dan suhengnya?
“Sumoi, kau baik-baik saja?” Tiba-tiba suara Sian Lun ini menyadarkan Sian Li darilamunannya. Ia mengangkat muka memandang dan suhengnya telah berdiri di dekat jeruji pemisah kamar tahanan mereka. Kedua tangan suhengnya juga masih terbelenggu. Ikatan itu longgar saja, akan tetapi tidak mungkin dipatahkan, karena tali untuk mengikatnya adalah dari kulit yang amat kuat, yang dapat melentur sehingga tidak dapat dibikin putus.
“Aku tidak apa-apa, Suheng. Dan mereka tidak melukaimu?”
“Tidak, hanya menotok dan membius. Bahkan lukaku di pundak tahu-tahu telah kering dan mereka obati. Sungguh aneh, apa maksud mereka itu menawan kita?”
“Aku sendiri tidak tahu, Suheng. Akan tetapi mulai sekarang, engkau harus berhati-hati dan jangan terburu nafsu, dapat menahan diri melihat keadaan. Karena engkau terburu nafsu, maka telah berlaku sembrono sehingga kita tertawan.”
“Maafkan aku, Sumoi. Memang aku ceroboh, semestinya aku tidak mengejar mereka. Akan tetapi engkau.... aku berterima kasih padamu, Sumoi. Engkau telah membelaku sehingga engkau sendiri tertawan.”
Melihat pandang mata suhengnya itu penuh kasih dan keharuan, Sian Li menarik napas panjang. “Sudahlah, tidak perlu disebut-sebut lagi. Kita adalah kakak beradik seperguruan, tentu saja saling bantu dan saling bela.” Tiba-tiba Sian Li memberi isarat dengan kedipan mata dan Sian Lun menghentikan percakapan, membalikkan badan untuk memandang ke depan kamar tahanan itu, melalui jeruji di pintu besi. Dia menahan kemarahannya ketika melihat seorang yang amat dikenalnya, yaitu penabuh tambur murid Lulung Lama yang lihai itu! Ingin dia memaki, akan tetapi dia takut kalau dianggap ceroboh lagi oleh sumoinya, maka dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata penuh kebencian, dan menyerahkan saja kepada sumoinya untuk menentukan sikap dan kalau perlu bicara. Dia sudah mendapat keterangan bahwa pemuda ini adalah murid Lulung Lama, bernama Cu Ki Bok, seorang peranakan Han Tibet. Karena dia pernah bertanding melawan pemuda yang tinggi tegap dan gagah ini, dia tahu bahwa murid Lulung Lama ini amat lihai.
“Selamat sore, Nona Tan Sian Li dan sobat Liem Sian Lun. Selamat bertemu kembali!” kata Cu Ki Bok sambil tersenyum dan kini sikapnya sungguh berbeda dengan ketika dia menyamar sebagai tukang tambur itu. Kini sikapnya riang dan ramah, matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum sedangkan pakaiannya juga pesolek sehingga membuat dia nampak makin gagah dan tampan.
“Hemm, kiranya engkau pula yang mengatur semua kecurangan ini! Cu Ki Bok, kalau engkau memang gagah, mari kita bertanding sampai seorang di antara kami menggeletak menjadi mayat, bukan melakukan pengeroyokan dan perangkap yang curang! Engkau pengecut tak tahu malu!” Sian Li memaki-maki.
Yang dimaki-maki tersenyum saja. “Kalau saja Suhu tidak mempunyai rencana lain denganmu, tentu aku akan suka sekali menyambut tantanganmu itu, Nona dengan taruhan bahwa kalau aku kalah, engkau boleh membunuhku, akan tetapi kalau aku menang, engkau harus menjadi isteriku.”
Wajah Sian Li berubah merah sekali dan matanya memancarkan cahaya berapi saking marahnya. “Huh, tak tahu malu! Siapa sudi menjadi jodohmu?, Engkau hanya seorang peranakan Han yang sudah lupa diri, suka menjadi budak orang Tibet dan Nepal, menjadi antek pemberontak!”
“Nona, kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kurobek mulutmu! Coba ingat baik-baik, kalian ini bangsa apakah, Nona Sian Li dan Sobat Sian Lun? Kalian mengaku orang Han, mengaku penduduk aseli, bahkan mengaku sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi apa yang kalian lakukan untuk negara dan bangsa kita yang terjajah oleh bangsa Mancu? Aku memang memberontak terhadap penjajahan orang Mancu, aku seorang patriot, seorang pahlawan sejati! Dan kalian masih memandang rendah dan memaki aku? Padahal, dengan sikap kalian yang tidak menentang pemerintah penjajah, berarti kalian sudah menjadi antek orang Mancu yang menjajah negara dan bangsa kita!” Setelah berkata demikian, Cu Ki Bok meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Sian Li saling pandang dengan suhengnya, ucapan pemuda tinggi tegap peranakan Han Tibet itu tadi seperti ujung pedang yang menusuk-nusuk jantung mereka karena tepat sekali mengenai sasaran, Mereka sudah seringkali mendengar dari guru mereka, Suma Ceng Liong dan Isterinya, bahwa mereka itu kini selalu prihatin melihat betapa tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu. Bahkan Suma Ceng Liong mengakui bahwa di dalam darah keluarga Suma, yaitu keluarga keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengalir pula darah Mancu! Isteri Pendekar Super Sakti Suma Han adalah wanita-wanita Mancu. Inilah sebabnya mengapa sampai sekarang, tidak ada keturunan keluarga Suma yang menentang pemerintah Mancu. Padahal keluarga ini terkenal sebagai keluarga para pendekar yang gagah perkasa!
Dan sekarang, pemuda peranakan Han Tibet yang menawan mereka itu telah mencela mereka. Salahkah mereka? Benarkah pemuda peranakan Han Tibet itu? Sian Li menjadi bingung dan termenung.
“Sumoi, jangan dengarkan dia,” terdengar Sian Lun berkata, “pahlawan macam apa dia itu? Menggunakan orang-orang Tibet dan Nepal, menawan kita secara curang dan pengecut. Seorang gagah sejati tidak akan melakukan perbuatan seperti itu. Jelas bahwa gerombolan itu jahat seperti apa yang dikatakan Bibi Gangga Dewi, mungkin kepatriotannya itu hanya sebagai kedok saja.”
Sian Li memejamkan mata. Memang, neneknya, Gangga Dewi sudah menceritakan tentang Hek I Lama, yaitu kelompok pendeta Lama Jubah Hitam yang dipimpin oleh Lulung Lama. Kelompok pendeta ini telah melakukan penyelewengan. Mula-mula, Lulung Lama adalah orang pendeta Lama Jubah Merah yang memiliki kedudukan cukup tinggi di antara para pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi dia melakukan pelanggaran, mengganggu wanita, bahkan melakukan perbuatan rendah dengan memperkosa wanita. Kejahatan ini diketahui dan dia tidak dapat diampuni lagi, dikeluarkan dari kelompok Lama Jubah Merah di mana dia tadinya menjadi tokoh. Lulung Lama merasa sakit hati dan dia pun lalu membentuk keiompok sendiri dengan mengenakan Jubah Hitam. Baru warna Jubahnya saja sudah berarti bahwa dia tidak segan melakukan perbuatan jahat seperti golongan hitam! Dia segera diikuti oleh golongan hitam di daerah Tibet yang menjadi anak buahnya. Kemudian, Lulung Lama berkenalan dengan Pangeran Gulam Sing, yaitu pangeran dari Nepal yang menjadi orang buruan di negaranya karena dia melakukan pemberontakan. Pangeran Gulam Sing juga mempunyai banyak anak buah. Kedua orang tokoh sesat itu lalu bergabung membuat kekacauan di daerah Nepal, Bhutan dan Tibet, bahkan merencanakan pemupukan kekuatan untuk melakukan serbuan ke timur, menentang pemerintah Mancu dan menghasut orang-orang Han untuk bersekutu dengan mereka dan memberontak terhadap pemerintah Kerajaan Mancu dengan dalih kepatriotan!
“Mungkin engkau benar, Suheng. Bagaimanapun juga, kita harus waspada dan berhati-hati. Cu Ki Bok itu lihai dan gurunya lebih lihai lagi. Ditambah dengan anak buah Hek I Lama yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, kita berada dalam bahaya.”
Tempat tahanan mereka itu tidak pernah lowong dari penjagaan di luar ruangan. Sedikitnya ada empat orang penjaga yang berada di luar ruangan itu, kesemuanya adalah anggauta Hek I Lama dengan ciri khas mereka, yaitu kepala gundul dan jubah hitam. Mereka tidak pernah diganggu oleh para penjaga, bahkan secara teratur mereka mendapatkan makan dan minum yang layak, dimasukkan ke dalam melalui jeruji besi oleh penjaga, di atas sebuah baki. Ada nasi, ada sayur, dan ada air teh.
Malam tiba dan di luar kamar tahanan itu dipasangi lampu minyak. Ada dua buah lampu yang cukup terang. Sian Li merasa tubuhnya segar dan sehat. Ia dan suhengnya diperlakukan dengan baik. Bahkan sore tadi, ia mendapat kesempatan untuk mandi, bertukar pakaian. Dia dikawal ke tempat mandi yang berada di bagian belakang, dikawal empat orang dengan todongan golok, belenggu kedua langannya dilepas dan sebagai gantinya, kaki dan tangannya dipasangi rantai yang cukup membuat ia mampu bergerak untuk mandi, dan lain-lain. Ia tidak begitu bodoh untuk memberontak atau melarikan diri walau kaki dan tangannya dirantai, Kalau ia mau, tentu saja itu merupakan kesempatan. Namun, ia tahu pula bahwa usahanya itu tidak akan berhasil. Terlalu banyak lawan yang tangguh di situ, dan pula, andaikata ia mampu melarikan diri, suhengnya masih tertinggal di sana. Setelah ia membersihkan diri dan berganti pakaian, lalu tiba giliran Sian Lun.
“Suheng, jangan membuat ulah,” pesannya ketika pemuda itu digiring keluar.
Dan ia girang melihat suhengnya datang lagi dengan pakaian bersih dan wajah yang segar. Mereka harus memberi kesempatan yang lebih baik agar keduanya dapat meloloskan diri.
Selagi Sian Li duduk bersila mengatur pernapasan untuk melatih sin-kang, ia mendengar percakapan empat orang penjaga di luar kamar tahanan itu. Ia memperhatikan. Siapa tahu dari percakapan itu ia dapat mengumpulkan keterangan yang penting.
“Heran, kenapa kita harus bersusah payah menjaga dua orang tahanan ini siang malam dan melayani mereka seperti tamu di rumah penginapan saja? Kenapa tidak dibunuh saja mereka agar tidak merepotkan?” terdengar seorang di antara mereka bicara.
“Hushh, bodoh kamu! Apa tidak melihat betapa cantiknya tawanan itu?” kata yang lain.
“Hemm, kalau muda dan cantik, lalu kenapa? Justeru semestinya dimanfaatkan untuk hiburan kita, bukan dijadikan tamu yang hanya merepotkan saja!” omel suara pertama.
“Aih, engkau lancang sekali! Untung tidak terdengar Thai-losu (Guru Besar) atau Cu Kongcu (Tuan Muda Cu). Kalau terdengar bisa diketuk kepalamu!” tegur suara ke tiga.
“Kita senasib sependeritaan, kalau bukan dengan kalian bertiga, mana aku berani sembarangan membuka mulut? Coba siapa berani membantah sejujurnya! Bukankah keluhanku tadi juga menjadi suara hati kalian?” kata orang pertama.
“Sudah, kalian tidak usah ribut-ribut.” kata suara ke empat. “Apa kalian tidak tahu urusan? Dua orang tawanan ini adalah pendekar-pendekar Han, tentu saja diperlakukan dengan baik oleh Thai-losu. Pula, agaknya Thai-losu ingin menyenangkan hati Pangeran Gulam Sing. Mereka berdua besok pagi datang ke sini dan engkau tahu sendiri selera pangeran itu terhadap wanita cantik.” Mereka berempat berbisik-bisik sambil tertawa.
Sian Li mendengarkan dengan alis berkerut dan hatinya menjadi tegang. Bahaya besar mengancam dirinya! Agaknya orang yang mereka sebut Thai-losu tadi adalah Lulung Lama, dan ia akan dihadiahkan kepada seorang pangeran yang bernama Gulam Sing, seorang pangeran Nepal yang haus wanita!
Tentu saja Sian Li merasa khawatir sekali. Jelas bahwa pada malam hari ini, Lulung Lama tidak berada di tempat itu dan agaknya besok pagi baru akan tiba. Yang berada di situ hanya anak buah Hek I Lama dan pemuda murid Lulung Lama itu. Kalau saja ia dan suhengnya dapat keluar dari kamar tahanan dan mematahkan rantai, tentu mereka berdua akan dapat meloloskan diri! Akan tetapi, bagaimana caranya? Ia melirik ke arah suhengnya dan pemuda itu pun sedang duduk bersila dan menoleh kepadanya dengan wajah gelisah. Tentu suhengnya tadi mendengar pula percakapan di luar kamar tahanan itu dan mengkhawatirkan dirinya yang akan dihadiahkan kepada Pangeran Gulam Sing!
Malam telah larut, agaknya sudah lewat tengah malam. Ia melihat suhengnya dengan hati-hati menghampiri pintu, lalu kedua tangan suhengnya mencoba untuk merenggangkan jeruji pintu dari baja itu, ia sendiri pun segera mencoba usaha merenggangkan jeruji pintu. Namun sia-sia. Jeruji pintu dari baja itu terlampau kokoh.
Tiba-tiba empat orang penjaga yang tadi masih terdengar berbisik-bisik itu nampak membuat gaduh. Seorang di antara mereka berseru lantang, “Siapa itu....?”
Akan tetapi, tidak ada jawaban dan suasana menjadi sunyi sekali, bahkan empat orang penjaga itu tidak terdengar lagi suaranya maupun gerakannya. Selagi Sian Li dan Sian Lun merasa heran dan tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan dua buah lampu penerangan di luar kamar tahanan itu mendadak padam. Kini tempat itu hanya mendapat penerangan dari sinar lampu yang agak jauh sehingga remang-remang dan tidak jelas. Sian Li melihat sesosok bayangan hitam itu berkelebat di luar pintu kamar tahanan Sian Lun, dan orang itu, yang mengenakan caping lebar menutupi mukanya, berbisik kepada pemuda itu.
“Tak perlu bertanya-tanya. Cepat dekatkan tanganmu ke sini.”
Sian Lun segera mengerti bahwa orang itu datang untuk menolongnya, maka dia pun menghampiri pintu dan mendorongkan kedua tangannya yang dibelenggu. Terdengar suara berkeretakan dan belenggu kedua tangan Sian Lun terlepas! Bayangan itu menyerahkan dua batang pedang kepada Sian Lun dan berkata lagi.
Bersambung ke buku 8
Label:
Kho Ping Hoo,
Kisah Si Bangau Merah