Jodoh Rajawali -11 | Kho Ping Hoo
Buku 11
Tang Hun telah mendengar bahwa ketua Kui-liong-pang adalah seorang kakek sakti berjuluk Hek-hwa Lo-kwi, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Akan tetapi, dengan adanya tiga orang kakek sakti yang membantunya, tentu saja dia tidak merasa takut. Apalagi setelah kini dia bersama pasukannya mampu mengepung rumah besar itu, mempersiapkan anak panah dan api yang mereka nyalakan secara serentak, merupakan obor-obor yang bernyala terang dan menerangi seluruh tempat itu, Tang Hun merasa yakin bahwa dia akan dapat memaksa tuan rumah mengembalikan pengantinnya. Dengan sikap garang dia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, diapit oleh tiga orang kakek dan para pengawalnya, menghadap ke pintu depan dari rumah besar itu lalu berteriak lantang, “Hek-hwa Lo-kwi, ketua Kui-liong-pang! Keluarlah dan mari kita bicara!”
Di antara cahaya obor yang amat banyak dan amat terang, semua mata ditujukan ke arah daun pintu besar itu dan tiba-tiba daun pintu terbuka dari dalam. Munculiah beberapa orang dari sebelah dalam pintu itu dan Tang Hun memandang dengan terheran-heran ketika melihat bahwa yang memimpin rombongan orang itu adalah seorang kakek botak berjubah merah yang bersikap penuh wibawa, berpakaian indah dan sikapnya seperti seorang bangsawan tinggi. Di kanan kiri kakek botak ini berjalan dua orang kakek lain yang keadaannya mengerikan dan menyeramkan. Yang di kiri adalah kakek tinggi kurus bermuka tengkorak yang dia duga tentulah Hek-hwa Lo-kwi karena dia sudah mendengar akan kakek yang berpakaian serba hitam, mukanya yang seperti tengkorak itu putih seperti kapur. Sedangkan yang berada di sebelah kanan kakek botak itu adalah seorang kakek raksasa yang amat buas kelihatanpya. Dia tidak tahu bahwa itulah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dia segera mengenal kakek berkulit hitam, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut, memegang sebatang tongkat itu. Itulah Gitananda, kakek Nepal yang dulu hadir pula di dalam pesta pernikahannya. Gitananda berjalan di belakang kakek botak itu!
Akan tetapi, Tang Hun tidak mempedulikan mereka semua itu dan dia hanya memandang kepada Hek-hwa Lo-kwi dan sambil mengangkat dada dia berkata, “Hek-hwa Lo-kwi, karena engkau adalah ketua dari tempat ini....“
“Hwa-i-kongcu, biarpun aku adalah ketua dari Kui-liong-pang, akan tetapi pada saat ini yang memimpin kami adalah Ban-hwa Seng-jin, koksu dari Nepal ini, yang mewakili Pangeran Liong Bian Cu. Kau boleh bicara dengan beliau!” kata Hek-hwa Lo-kwi sambil menunjuk ke arah kakek berkepala botak yang bersikap dingin dan tenang itu.
Tang Hun mengerutkan alisnya, merasa bahwa belum apa-apa dia sudah keliru dan salah duga. Akan tetapi mendengar itu, tentu saja perhatiannya kini beralih kepada kakek botak yang kini juga bertanya kepadanya, suaranya tenang dan jelas biarpun masih ada nada asing.
“Jadi engkau adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san? Selamat datang, Tang-kongcu, ada keperluan apakah engkau datang bersama pasukanmu di waktu malam begini tanpa memberi tahu lebih dulu kepada kami?”
Tang Hun merasa serba salah. Kiranya kakek ini adalah koksu dari Nepal! Nama ini mulai terkenal akhir-akhir ini, bahkan ketika dia mengadakan pesta pernikahan, dia mengirim undangan kepada koksu itu yang berada di gubernuran Ho-nan, dan koksu itu diwakili oleh kakek Gitananda. Juga ketika mendengar bahwa kakek ini adalah Ban-hwa Seng-jin koksu dari Nepal, tiga orang kakek yang mengiringkan Hwa-i-kongcu menjadi kaget bukan main. Akan tetapi, karena sudah terlanjur menyerbu dan kini sudah mengurung rumah itu, Hwa-i-kongcu Tang Hun yang ingin merampas kembali pengantinnya, tetap bersikap angkuh dan tidak mau kalah wibawa.
Dia menjura dengan sikap hormat. “Ah, kiranya Ban-hwa Seng-jin koksu dari Nepal yang memimpin tempat ini? Sungguh kebetulan sekali! Seng-jin tentu telah mengetahui akan peristiwa yang terjadi di tempat tinggal saya pada waktu pesta pernikahan saya, karena kalau tidak salah, wakil Seng-jin yang sekarang juga berdiri di belakang Seng-jin, yaitu Kakek Gitananda, pada waktu itu juga hadir. Terjadilah keributan pada waktu itu dan pengantin wanita diculik orang.”
“Hemmm, kami sudah mendengar akan hal itu. Lalu mengapa?” tanya koksu itu dengan sikap tidak acuh.
Sikap itu membuat Tang Hun merasa tidak enak. Kalau koksu ini sudah tahu, tentu tahu pula bahwa dia datang untuk menuntut dikembalikannya Syanti Dewi, akan tetapi koksu itu pura-pura tidak tahu saja!
“Maaf, Ban-hwa Seng-jin,” katanya dan keangkuhannya mulai menurun karena dia benar-benar merasa gentar menghadapi koksu yang berwibawa ini dan tempat itu terlalu sunyi sehingga mencurigakan. “Karena saya mendengar bahwa pengantin saya berada di lembah ini, maka saya datang bersama teman-teman saya untuk menjemput calon isteri saya itu. Harap saja Seng-jin mengingat persahabatan antara kita dan suka menyerahkan pengantin saya kepada saya.”
Ban-hwa Seng-jin mengangkat mukanya, sikapnya makin angkuh dan dia berkata dengan suara yang nadanya menantang, “Memang Puteri Bhutan berada di sini dan kami tidak bersedia menyerahkan dia kepadamu, Tang-kongcu. Sebaiknya Kongcu membawa pasukan Kongcu pergi dari tempat ini!”
Tang Hun mengerutkan alisnya. Jantungnya berdebar tegang. Kiranya benar pengantinnya berada di tempat ini! Hatinya girang akan tetapi juga tegang karena sikap Koksu Nepal ini agaknya hendak menentangnya!
“Ban-hwa Seng-jin! Puteri itu adalah calon isteri saya, pengantin saya. Sudah sepatutnya kalau dikembalikan kepada saya!”
“Kami tidak bersedia menyerahkan beliau kepadamu. Habis engkau mau apa?” Inilah tantangan! Hwa-i-kongcu yang mengandalkan bantuan tiga orang kakek sakti dan anak buahnya, tentu saja mulai menjadi marah. Biarpun kakek botak ini adalah Koksu Nepal yang kabarnya lihai dan berkuasa, akan tetapi pada saat itu dialah yang berada dalam kedudukan menang. Tempat itu telah dikurungnya! Dan dia pun masih mengandalkan gurunya yang biarpun tidak ikut di dalam pasukan itu, namun secara aneh dan diam-diam, gurunya tentu melindunginya pula!
“Ban-hwa Seng-jin, harap suka memikirkan baik-baik. Ketahuilah bahwa kalian semua telah terkepung. Lihat betapa pasukan kami telah siap dengan anak panah dan api, sekali saja saya memberi aba-aba, rumah ini akan dibakar dan kalian semua akan dihujani anak panah. Saya tidak menghendaki hal itu terjadi, maka sebaiknya supaya puteri itu cepat diserahkan kepada kami dan kami akan pergi sekarang juga.”'
“Benarkah itu? Apakah bukan engkau dan pasukanmu yarig sudah berada dalam kepungan kami? Tang-kongcu, tengoklah di belakang kalian dan di atas.” Kakek botak itu berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke belakang pasukan Tang Hun dan ke atas genteng rumah dan pohon-pohon.
Hwa-i-kongcu Tang Hun cepat menengok, demikian pula tiga orang kakek pembantunya dan mereka terkejut bukan main. Ternyata di belakang mereka terdapat pasukan yang lengkap dengan anak panah yang sudah ditodongkan ke arah mereka, dan selain pasukan itu, juga kini muncul banyak orang-orang di atas genteng dan di pohon-pohon sekitar tempat itu, semua mementang gendewa dan menodongkan anak panah ke arah mereka. Karena mereka membawa obor, maka mereka merupakan sasaran empuk sekali sedangkan fihak musuh yang bersembunyi itu memang amat sukar diserang!
Wajah Hwa-i-kongcu menjadi pucat sekali. “Bagaimana, Hwa-i-kongcu? Apakah masih akan dilanjutkan persiapan pertempuran ini? Kalau kami memberi aba-aba, sekali serbu saja akan habislah anak buahmu. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara sebagai sahabat?”
Hwa-i-kongcu memandang kepada tiga orang kakek pembantunya. Mereka pun kelihatan gentar sekali, maka tahulah pemuda ini bahwa dia benar-benar telah kalah sebelum perang!
“Sudahlah, mari kita bicara sebagai sahabat, Seng-jin!”
Mendengar ini, Hek-hwa Lo-kwi tertawa bergelak, dan Ban-hwa Seng-jin berkata ke arah tempat gelap, “Kaogoanswe, fihak lawan telah menjadi kawan, sebaiknya tarik mundur pasukanmu!”
Dari tempat gelap itu muncul seorang laki-laki tua yang tinggi tegap dan gagah sekali. Dengan gerakan yang gagah dia mengangkat sebatang pedang ke atas dan tanpa bersuara, lenyaplah pasukan yang mengepung tempat itu tadi, juga mereka yang muncul di atas genteng dan di pohon-pohon juga lenyap dalam gelap. Diam-diam Hwa-i-kongcu terkejut bukan main. Kiranya fihak musuh sudah siap sedia dan dia bersama pasukannya benar-benar terjebak.
“Hwa-i-kongcu, kalau benar-benar kau datang sebagai sahabat, harap perintahkan anak buahmu untuk melemparkan senjata mereka,” kata Ban-hwa Sengjin.
Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak melihat jalan lain. Melawan berarti bunuh diri, karena mereka telah dikurung. Maka dia lalu mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru lantang, “Buang senjata kalian semua! Kita datang sebagai sahabat!”
Pasukannya tadi pun melihat bahwa merekalah yang terkepung, bukan mereka yang mengepung, maka mereka tadi sudah merasa gentar sekali. Kini mendengar perintah majikan mereka, semua orang membuang gendewa dan anak panah, bahkan banyak pula yang melolos pedang dan golok lalu melemparkannya ke atas tanah.
Melihat ini, Ban-hwa Seng-jin mengangguk-angguk puas. “Tang-kongcu, engkau sungguh dapat melihat gelagat. Tidak tahukah engkau bahwa engkau telah berada di tepi jurang maut? Engkau, belum mengenal tempat ini dan tidak mengetahui keadaan kami, maka berani memandang rendah. Ketahuilah bahwa pemimpin penjagaan benteng kami adalah Jenderal Kao Liang, bekas panglima besar kerajaan. Apakah kau belum mendengar nama besarnya?”
Tang Hun mengangguk-angguk, hampir tidak percaya. Benarkah Jenderal Kao Liang kini berkerja sama dengan mereka ini?
“Engkau sudah melihatnya namun masih belum percaya. Kaukira siapakah panglima yang menjebak dan mengurungmu tadi? Marilah, mari kita bicara di ruangan tamu, dan kami akan memberi penjelasan agar engkau tahu bahwa bersahabat dengan kami akan menguntungkan fihakmu.” Lalu dia memandang. “Suruh pasukanmu beristirahat dan bermalam di dalam rumah ini. Mereka akan menerima hidangan sekedarnya.”
Dengan perasaan yang makin terheran-heran Hwa-i-kongcu mendapatkan kenyataan bahwa rumah besar yang di kurungnya itu adalah rumah kosong! Sama sekali bukanlah bangunan induk, tempat tinggal para pimpinan tempat itu! Melainkan rumah besar yang berada di depan. Dengan mengiringkan rombongan tuan rumah, diterangi oleh obor-obor besar yang dipegang oleh barisan selosin orang, Hwa-i-kongcu dan tiga orang kakek pembantunya lalu meninggalkan pekarangan rumah besar itu setelah menyuruh semua anak buahnya menanti di situ. Dan mereka kini masuk ke dalam lembah, melalui tembok yang tebal dan terjaga kuat, kemudian melewati pagar-pagar tembok lain dan baru setelah melewati tujuh lapis pagar tembok yang semua terjaga dan memiliki liku-liku yang aneh dan tidak mudah dilalui orang luar yang belum mengenal rahasia tempat itu, mereka tiba di pusat lembah itu. Dan Tang Hun mengeluarkan seruan tertahan saking kagumnya. Di tengah-tengah itu, barulah terdapat bangunan-bangunan seperti istana dan keadaan di situ terang benderang karena banyaknya lampu penerangan yang dipasang di seluruh tempat.
Melalui barisan penjaga yang kelihatan gagah dan bertubuh tegap, mereka memasuki ruangan depan sebuah rumah besar. Seorang yang berpakaian perwira menyambut rombongan ini dan setelah memberi hormat kepada Ban-hwa Sengjin, dia berkata, “Pangeran menanti rombongan di ruangan tamu!”
Ban-hwa Seng-jin menoleh kepada Tang Hun. “Hemmm, pangeran berkenan menerima Kongcu, hal ini baik sekali! Silakan.”
Makin terbelalak mata Hwa-i-kongcu Tang Hun ketika dia memasuki ruangan tamu. Dia sendiri adalah seorang kaya raya dan rumahnya seperti istana. Akan tetapi dibandingkan dengan keadaan rumah besar ini, dia merasa iri. Mewah sekali keadaan di rumah ini dan ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang besar, dia melihat seorang pemuda yang berpakaian indah telah duduk seorang diri di situ, di kepala sebuah meja besar. Dia tidak mengenal pemuda itu, akan tetapi melihat kulitnya dan wajahnya, dia menduga bahwa pemuda itu tentu seorang peranakan Nepal. Ketika dia melihat Ban-hwa Seng-jin memberi hormat dengan membungkuk, sedangkan Gitananda yang sejak tadi diam saja memberi hormat sambil berlutut, juga Hek-hwa Lo-kwi dan kakek raksasa yang lain itu semua memberi hormat, sedangkan para pengawal juga memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki kemudian mundur dengan tertib, dia menduga bahwa tentu pemuda ini bukan orang sembarangan dan agaknya dialah yang disebut pangeran oleh perwira tadi.
Hak Im Cu, tosu tinggi kurus, seorang di antara tiga pembantunya yang menjadi penunjuk jalan ke lembah itu karena dia pernah mengunjungi lembah ini ketika di situ diadakan pertemuan, berbisik di belakangnya, “Kongcu, beliau adalah Pangeran Liong Bian Cu, cucu Raja Nepal.”
Ban-hwa Seng-jin mendengar bisikan itu, tersenyum dan berkata, “Benar, hendaknya Cu-wi ketahui bahwa beliau adalah Pangeran Liong Bian Cu, cucu Sri Baginda Raja Nepal.”
Mendengar ini, Hwa-i-kongcu Tang Hun dan tiga orang pembantunya cepat maju memberi hormat dengan menjura sampai dalam. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum ramah dan mengangguk lalu menggerakkan lengan kanannya mempersilakan. “Duduklah, Tang-kongcu dan Sam-wi Lo-enghiong. Duduklah sebagai tamu terhormat dan mari kita bicara sebagai sahabat-sahabat!”
Tang Hun dan tiga orang pembantunya segera duduk. Tiga orang pembantu Tang Hun itu bukanlah sembarang orang. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi dan sudah mengalami banyak hal yang hebat. Namun keadaan di ruangan itu membuat mereka kagum dan juga berhati-hati, karena belum pernah mereka menjadi tamu pangeran dan koksu dari negara Nepal yang serba asing. Mereka memandang ke arah pangeran yang tampan namun aneh itu, dan kepada Ban-hwa Seng-jin yang duduk di sebelah kanan pangeran. Gitananda yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu, dan amat cekung, berdiri di belakang Ban-hwa Seng-jin seperti pengawal dan memang sesungguhnya, Gitananda bertugas sebagai pembantu dan pengawal koksu itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi duduk di sebelah kiri Pangeran Liong Bian Cu, dan pada saat itu, dari luar datang seorang laki-laki tua yang melangkah lebar dengan gagah, setelah tiba di dekat meja, dia memberi hormat kepada Pangeran Liong dengan menjura dan menganggukkan kepala, pemberian hormat yang singkat dan tidak terlalu merendah, kemudian dia mengambil tempat duduk di kursi paling kiri, duduk diam seperti patung. Itulah lenderal Kao Liang dan Hwa-i-kongcu melihat dengan pandang mata kagum akan tetapi juga terheran-heran. Dia tentu saja sudah mendengar akan nama besar jenderal ini. Seorang panglima sejati yang sejak turun-temurun amat setia kepada kerajaan, gagah perkasa dan pandai, telah menghancurkan entah berapa banyak pemberontakan. Akan tetapi kini jenderal itu duduk semeja dengan seorang Pangeran Nepal dan agaknya bekerja kepada pangeran ini!
Sementara itu, Pangeran Liong Bian Cu yang sudah mendengar semua laporan tentang penyerbuan Tang Hun, kini sambil tersenyum memandangi empat orang tamunya satu demi satu. Dia melihat Tang Hun sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, pesolek dan cerdik.
Pemuda ini usianya sudah tiga puluh tahun namun masih kelihatan amat muda, bajunya kembang-kembang indah, sepasang matanya tajam berpengaruh. Rambut kepalanya terhias sebuah hiasan rambut seekor naga kecil dengan sepasang mata mutiara mencorong, juga di bajunya yang berkembang terhias mainan emas terukir berbentuk naga yang sama. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah, terhias emas dan permata, sarungnya ukir-ukiran burung hong dan liong, ronce-roncenya merah dari bulu halus. Seorang kongcu yang hebat, pikir pangeran ini. Kalau saja kepandaiannya sehebat keadaan lahiriahnya, dia dapat menjadi pembantu yang baik, pikirnya pula. Lalu dia melayangkan pandang matanya kepada tiga orang pembantu kongcu itu.
Tosu itu usianya kurang lebih enam puluh tahun. Wajahnya bengis tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya sederhana dan pedangnya tergantung di punggung, gagangnya menonjol di belakang pundak kanan. Kelihatannya sederhana saja, akan tetapi melihat sinar matanya dan gerak-gerik tubuhnya yang amat ringan, dapat diduga bahwa tosu ini tentu pandai sekali ilmu silatnya. Dugaan itu memang benar karena Hak Im Cu, tosu itu, memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ginkangnya yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang saking ringan dan cepatnya.
Orang ke dua adalah seorang kakek yang usianya juga sudah enam puluhan tahun, tinggi besar dengan muka kehitaman. Gerak-geriknya kasar namun tubuhnya membayangkan tenaga yang amat kuat, dan memang Ban-kin-kwi Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Setan Bertenaga Selaksa Kati, adalah seorang yang amat kuat dan mempunyai tenaga gajah. Dia pun seperti Hak Im Cu, menjadi pembantu Hwa-i-kongcu karena dia dapat bergelimang dalam kemewahaan dan kekayaan.
Adapun pembantu ke tiga adalah seorang kakek gundul pendek gemuk akan tetapi melihat pakaiannya, biarpun kepalanya gundul, dia bukanlah seorang hwesio. Kepalanya itu gundul karena penyakit kulit kepala, bukan digundul. Kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun lebih ini juga bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang ahli dalam ilmu bermain di air, dan selain itu, juga dia memiliki sinkang yang kuat, seorang ahli lweekeh yang tangguh.
Setelah puas memandangi empat orang tamunya, sementara itu pelayan datang menyuguhkan arak dan kue-kue. Atas isyarat Pangeran Nepal itu, seorang pelayan segera maju dan dengan sikap menghormat pelayan ini lalu menuangkan arak di dalam cawan-cawan di depan rombongan tuan rumah dan empat orang tamu itu.
“Silakan minum Tang-kongcu dan para Lo-enghiong!” kata Liong Bian Cu sambil mengangkat cawannya, diikuti oleh Koksu Nepal, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi dan Jenderal Kao Liang. Gitananda tidak pernah minum arak, pula dia adalah seorang pengawal pribadi koksu, maka dia tentu saja tidak ikut berpesta melainkan berdiri di belakang koksu itu dengan tenang dan sikap penuh kewaspadaan.
Setelah para tamunya minum arak, Pangeran Nepal itu lalu memandang kepada Hwa-i-kongcu dan bertanya, “Sekarang, harap Tang-kongcu suka mengatakan kepada kami dengan terus terang akan maksud kunjungan Kongcu yang amat mendadak ini.”
Hwa-i-kongcu Tang Hun memandang kepada pangeran itu. Pangeran Nepal itu demikian ramah sikapnya, maka timbul kembali harapannya. Siapa tahu, pangeran yang ramah ini akan dapat memaklumi keadaannya, maka cepat dia menjawab dengan sikap amat menghormat, “Harap Paduka suka memberi maaf kepada kami bahwa kami berani datang berkunjung tanpa lebih dulu minta ijin Paduka. Sesungguhnya, telah beberapa lama saya kehilangan calon isteri saya, yang lenyap ketika sedang diadakan pesta pernikahan kami di tempat kediaman kami, yaitu di Naga Api. Kemudian kami mendengar bahwa isteri saya itu berada di sini, oleh karena itu saya datang dengan rombongan, bermaksud untuk menjemput pengantin saya.” Setelah berkata demikian, wajah pemuda yang tampan pesolek itu memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan penuh harapan.
Pangeran itu tersenyum dan bertanya, “Tang-kongcu, siapakah nama pengantinmu itu?”
“Namanya.... Syanti Dewi....”
Tiba-tiba pandang mata pangeran itu menjadi tajam sekali dan jantung Tang Hun berdebar. Pangeran ini memiliki sepasang mata yang aneh, tajam dan menyeramkan. Sorbannya yang besar itu tengahnya, di atas dahi, dihias dengan sebuah mutiara yang besar dan bercahaya, berkilau-kilauan agak kebiruan. Mutiara yang amat besar dan amat jarang terdapat. Akan tetapi agaknya, dari dua buah mata yang kehitaman itu mencorong sinar yang lebih menyilaukan daripada mutiara itu.
“Tang-kongcu,” kini suara pangeran itu berbeda dengan tadi, tidak lagi ramah dan halus melainkan kaku dan dingin, “Tahukah engkau siapa adanya Syanti Dewi?”
Mendengar pertanyaan itu Tang Hun terkejut dan kini dia melihat betapa ada tiga pasang mata yang memandang dengan sinar mata tajam dan penuh ancaman, yaitu tiga pasang mata dari pangeran itu sendiri, Koksu Nepal dan kakek Gitananda! Dengan gugup dia menjawab, “Saya.... saya hanya mendengar dia dari Bhutan dan....“
“Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal dari Raja Bhutan! Tahukah kau apa artinya ini? Berarti engkau hendak menghina Bhutan dan karena Bhutan serumpun dengan Nepal, maka engkau seolah-olah hendak menghina Nepal!”
“Tidak.... bukan begitu maksud saya,” Tang Hun berkata cepat. “Sebetulnya saya tidak tertarik oleh kebangsaannya, melainkan oleh pribadinya, maka....“
“Cukup, Tang-kongcu!” Tiba-tiba terdengar suara Ban-hwa Seng-jin, Koksu Nepal itu. “Hendaknya Tang-kongcu membuang jauh-jauh pikiran itu kalau Kongcu ingin selamat. Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan adalah menjadi tamu agung kami di sini, apakah Kongcu berani hendak menghina dan mengganggu beliau?”
Tang Hun terkejut bukan main. Tidak pernah terpikir olehnya sedemikian jauhnya. Dia memang mendengar bahwa Syanti Dewi berasal dari Bhutan dan kabarnya seorang puteri, akan tetapi hal itu tidak begitu penting baginya, apalagi karena bagi dia dan sebagian besar di antara bangsanya, bangsa-bangsa asing di barat hanyalah bangsa-bangsa yang derajatnya rendah! Baginya yang terpenting adalah kecantikan Syanti Dewi yang membuatnya tergila-gila. Dia tidak peduli apakah dara itu puteri raja ataukah puteri pengemis! Akan tetapi, ternyata persoalannya tidaklah sesederhana yang disangkanya dan dia kini dianggap melakukan penghinaan, terhadap bangsa Bhutan dan Nepal!
“Ah, maafkan saya...., saya tidak tahu sama sekali akan hal itu.... dan setelah mendengar penjelasan Paduka Pangeran dan Koksu, tentu saja saya tahu diri dan tidak akan melanjutkan keinginan saya.”
“Bagus! Ternyata Tang-kongcu adalah seorang yang bijaksana dan dapat diajak bersahabat!” Pangeran Liong Bian Cu berseru girang. “Kami pun jauh-jauh datang dari barat sekali-kali bukan mencari kawan, melainkan mencari kawan untuk bersama-sama menghadapi Kerajaan Ceng. Bagaimana Tang-kongcu, dapatkah kami mengharapkan bantuan Kongcu dan Liong-sim-pang?”
Wajah Tang Hun yang tadinya agak muram karena lenyapnya harapan hatinya untuk dapat memperisteri Syanti Dewi, kini berseri. Dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk mencari kedudukan dan tentu saja menambah besarnya kekayaannya. Sekarang, biarpun dia kaya raya namun dia tidak memiliki kedudukan, bukan bangsawan melainkan orang biasa. Agaknya hal inilah yang tidak memungkinkan dia menikah dengan seorang puteri! Berbeda tentu kalau dia memiliki kedudukan tinggi di samping harta kekayaan, kekuasaan dan kepandaiannya.
“Tentu saja saya merasa terhormat sekali dan suka membantu perjuangan Paduka Pangeran. Memang telah lama saya mendengar betapa kaisar yang tua amat lemah, kekacauan terjadi di mana-mana dan bahkan kabarnya Gubernur Ho-nan....“ Tiba-tiba dia berhenti dan memandang kepada Jenderal Kao Liang yang duduk sambil menundukkan mukanya seolah-olah sama sekali tidak ingin mencampuri percakapan itu dan tidak ingin mendengarkan pula.
Melihat ini, Pangeran Nepal itu tertawa. “Lanjutkan, Tang-kongcu, dan jangan khawatir terhadap Jenderal Kao karena dia pun menjadi korban kelaliman kaisar yang menjadi boneka di bawah pengaruh pembesar-pembesar jahat.”
Tang Hun menarik napas panjang. “Saya hanya mendengar desas-desus saja bahwa Gubernur Ho-nan juga memperlihatkan sikap menentang kaisar dan banyak komandan di perbatasan yang tidak merasa puas....”
“Berita itu memang benar, Kongcu. Bahkan kami telah mengadakan persekutuan dengan Gubernur Ho-nan.”.
“Ah, bagus sekali....!”
“Kami hanya menanti saat yang tepat saja untuk mulai dengan gerakan kami, gerakan serentak dari segenap penjuru untuk menyerbu kota raja. Maka kalau engkau suka membantu, Tang-kongcu, kami akan menerima dengan kedua tangan terbuka.”
“Tentu saja saya akan membantu, akan tetapi imbalannya kelak?” Tang Hun adalah seorang yang cerdik, maka melihat betapa pangeran ini sudah bersikap terbuka kepadanya, dia maklum bahwa dia tidak akan dapat melepaskan diri dari pengaruh pangeran ini. Setelah dipercaya mendengarkan pengakuan itu semua, tentu Pangeran Nepal itu tidak akan mau melepaskan dia begitu saja dalam keadaan hidup, kecuali kalau dia menyatakan kesanggupannya untuk membantu, akan tetapi dia pun bersikap terbuka dan lebih dulu menanyakan imbalan atau ganjarannya kelak!
Koksu Nepal mengangguk-angguk dan melirik ke arah Tang Hun. “Hemmm, Tang-kongcu memang seorang yang cerdik. Akan tetapi sekali lagi, jangan Kongcu mengharapkan diri Puteri Bhutan, karena ketahuilah bahwa di samping beliau menjadi tamu agung kami, juga Puteri Bhutan adalah seorang sandera yang tidak ternilai harganya. Melalui Sang Puteri itu kami bermaksud menundukkan Bhutan. Maka, siapapun yang mengganggu sandera kami itu, berarti menghalangi perjuangan kami.”
“Ah, Koksu. Setelah mendengar penjelasan tadi, saya sudah membuang pikiran untuk mendapatkan Sang Puteri itu.”
“Bagus, kalau begitu Tang-kongcu boleh melegakan hati. Kalau perjuangan kita bersama ini berhasil baik kelak, tentu kami tidak akan melupakan Kongcu dan andaikata Kongcu menghendaki kedudukan, Kongcu tinggal memilih saja!” kata Pangeran Liong Bian Cu dengan suara dan wajah serius.
Tang Hun menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih. Kemudian dia berkata, “Setelah saya menjadi pembantu pergerakan Pangeran, tentu semua anak buah Liong-sim-pang juga ikut pula membantu. Pangeran boleh mengandalkan mereka, karena mereka adalah orangorang yang telah dilatih dan masing-masing perajurit mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Akan tetapi tiga orang pembantu saya ini harap diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.”
Pangeran Nepal itu kini memandang kepada tiga orang kakek itu penuh selidik, lalu dia berkata dengan suara dingin, “Sebagai pembantu-pembantu pribadi, kami harus memilih orang yang benar-benar lihai seperti Tang-kongcu sendiri. Segala orang yang hanya berkepandaian biasa saja cukup bergabung dalam pasukan Liong-sim-pang sebagai komandan-komandan pasukan. Kami khawatir gagal kalau dibantu oleh sembarangan orang saja.”
“Eh, harap Paduka jangan memandang rendah kepada mereka bertiga ini, Pangeran! Tingkat kepandaian mereka tidak lebih rendah daripada tingkat kemampuan saya sendiri!” Tang Hun berseru dengan khawatir karena dia mengenal tiga orang pembantunya itu orang-orang kang-ouw yang mempunyai keangkuhan sehingga ucapan Pangeran Nepal itu tentu saja amat merendahkan dan menghina.
Akan tetapi, tiga orang pembantunya itu juga bukan orang-orang bodoh. Mereka adalah orang-orang pengelana di dunia kang-ouw yang sudah makan asam garam dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman dan dapat menilai orang-orang pandai. Melihat keadaan Pangeran Nepal itu dan para pembantunya, mereka maklum bahwa mereka berada di gua naga dan biarpun mereka merasa dipandang rendah, namun mereka tidak menjadi marah karena mereka tahu bahwa sang pangeran ini belum mengenal mereka!
“Apa yang dikatakan oleh Pangeran sungguh tepat. Pinto hanyalah seorang tosu miskin yang tidak bisa apa-apa, hanya mengandalkan sebatang pedang untuk hidup, mana bisa diandalkan?” Setelah berkata demikian, Hak Im Cu, tosu berwatak bengis bertubuh tinggi kurus itu mencabut pedangnya. Melihat ini, Ban-hwa Seng-jin dan Gitananda memandang dengan mata memancarkan sinar aneh, akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo, dua orang kakek iblis dari dunia hitam itu, hanya memandang tak acuh.
“Yaaah, pinto hanya dapat mengandalkan pedang untuk mencari sesuap nasi beserta lauk-pauknya!” Pada saat itu, baru saja pelayan-pelayan datang menghidangkan nasi dan sayur mayur memenuhi meja itu. Kini, begitu Hak Im Cu bangkit dan menggerakkan pedangnya, nampak sinar berkelebatan dan seolah-olah ada bayangan puluhan batang pedang menyambar-nyambar dan disusul dengan mulut tosu itu mengganyang semua masakan yang di “dipungut” oleh ujung pedangnya! Pedang-pedang itu dipergunakan seperti sebatang sumpit, ditusukkan ke dalam mangkok-mangkok dan piring-piring yang ada masakannya, demikian cepatnya sehingga pedang berubah menjadi bayangan puluhan batang dan biarpun mangkok yang berdiri di ujung, yang agaknya menurut ukuran tidak mungkin dapat dicapai pedang, dapat juga dijumput! Tiba-tiba tosu itu menghentikan gerakannya dan sudah duduk kembali, mulutnya masih mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya.
Ban-hwa Seng-jin mengangguk-angguk dan Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan memuji. “Bagus, kepandaian Totiang hebat dan patutlah menjadi pembantu kami!” Memang demonstrasi tadi biarpun kelihatan sederhana namun sudah membuktikan bahwa tosu ini memiliki ilmu pedang yang hebat dan ginkang yang luar biasa. Hanya dengan ginkang luar biasa saja dia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga seolah-olah dia tidak meninggalkan tempatnya ketika dia bangkit berdiri, padahal tanpa bergerak dari situ tidak akan mungkin dia dapat mengambil makanan di ujung meja yang agak jauh. Cara dia menusuk setiap makanan dengan ujung pedang, membawanya ke mulut, demikian cepat, dan tidak ada sedikit pun kuah yang tercecer!
“Pinto Hak Im Cu hanya seorang biasa dan terima kasih atas kepercayaan Paduka,” Hak Im Cu berkata sambil mengangguk.
Pangeran Liong Bian Cu tentu saja girang sekali melihat bahwa para pembantu Tang Hun itu ternyata adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka dia menoleh kepada dua orang kakek lain yang duduk di jajaran tamu itu. “Hak Im Cu totiang telah memperlihatkan kepandaian dan mengagumkan sekali, harap Ji-wi Locianpwe jangan sungkan dan suka pula memperlihatkan kepandaian untuk menggembirakan pertemuan ini.”
Ban-kin-kwi Kwan Ok yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah Pangeran Nepal itu. “Saya Kwan Ok hanyalah seorang kasar dan bodoh, hanya mengandalkan tenaga sehingga dijuluki orang Ban-kin-swi. Kalau Paduka memperkenankan, saya akan coba mengangkat arca singa di sudut itu.”
Pangeran Liong Bian Cu memandang dengan mata terbelalak. Arca singa di sudut itu adalah arca yang sangat berat, dan untuk mengangkatnya dibutuhkan tenaga gabungan sedikitnya enam orang laki-laki dewasa yang kuat. Maka dia tersenyum sambil mengangguk dan kakek raksasa itu lalu menghampiri arca singa, diikuti pandang mata semua orang. Hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo yang cuma melirik dan bersikap tidak peduli.
Setelah menghampiri arca, Ban-kin-swi Kwan Ok menyingsingkan dengan bajunya, kemudian membungkuk dan kedua tangannya memegang arca itu, digoyang-goyang seperti hendak menaksir beratnya. Kemudian tiba-tiba dia membentak keras dan hanya dengan tangan kanan memegang kaki belakang arca itu, dia mengangkat, arca itu naik ke atas kepalanya! Melihat ini, Pangeran Liong Bian Cu kagum dan tahulah dia bahwa Ban-kin-swi benar-benar seorang yang memiliki tenaga gajah! Kakek itu kini melempar-lemparkan arca itu ke atas, dilempar, disambut lagi dan mempermainkan benda berat itu seolah-olah baginya hanya merupakan sebuah bola yang ringan saja. Kemudian dia menurunkan arca itu di tempatnya dan menghampiri meja dengan napas dan muka biasa, hanya di dahinya terdapat sedikit peluh.
“Bagus....! Kini Pangeran Liong Bian Cu berseru memuji dan merasa gembira. Senang juga hatinya memperoleh pembantu-pembantu yang sehebat ini. “Kwan-lo enghiong patut pula menjadi pembantu kami.” Pangeran ini lalu menoleh kepada kakek ke tiga, yaitu Hai-Liong-ong Ciok Gu To, kakek berkepala gundul botak, bertubuh gemuk pendek itu.
Kakek gundul yang suka tertawa ini tersenyum lebar, lalu memandang kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun. “Heh-heh-heh, saya hanya seorang tua bangka nelayan yang hanya pandai berenang. Karena tidak memiliki kepandaian apa-apa, saya mengandalkan nasib ke tangan Tang-kongcu. Oleh karena itu sekarang pun saya hanya turut kepada Tang-kongcu saja yang sudah menanam banyak budi kebaikan terhadap saya. Tang-kongcu, saya menyerahkan urusan dengan Pangeran Liong ini kepada Kongcu dan untuk itu, saya menghaturkan terima kasih dengan secawan arak!” Sambil berkata demikian, kakek gundul gemuk ini lalu bangkit berdiri, menyambar guci arak di atas meja dengan tangan kanan, menyambar cawan arak di depan Tang Hun dengan tangan kiri, kemudian dia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan.
Semua orang memandang dan Pangeran Liong terkejut melihat betapa arak di cawan sudah penuh, namun masih terus dituang sehingga arak itu menaik melebihi bibir cawan. Hebatnya, arak itu tidak sampai meluber tumpah! Kelebihan arak di atas bibir cawan itu membulat seperti telur, bergoyang-goyang namun tidak tumpah. Kini kakek itu menyerahkan cawan yang araknya terlalu penuh itu kepada Tang Hun.
“Ha-ha-ha, Hai-liong-ong Ciok Gu To lo-enghiong sungguh membikin saya merasa sungkan dan malu!” Tang Hun juga bangkit berdiri dan menerima cawan itu dengan tangan kanan. Semua orang memandang dengan tegang karena maklum bahwa Ciok Gu To telah mempergunakan sinkang yang amat kuat untuk “menahan” sehingga arak yang terlalu penuh itu tidak sampai meluber, maka kalau sampai cawan itu berganti tangan, tentu araknya akan meluber tumpah dan mengotori lengan baju Tang Hun.
Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu. Kalau Tang Hun menerima cawan itu dan Ciok Gu To melepaskan tangannya, cawan itu berada tangan kanan Tang Hun dan araknya sama sekali tidak tumpah bahkan kini Tang Hun sengaja memiringkan cawan itu dan arak di dalam cawan tetap saja tidak tumpah! Padahal, arak itu sudah hampir keluar dari dalam cawan, seperti telur direbus lunak akan tetapi tertahan oleh sesuatu. Pertunjukan ini saja sudah membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang, pemuda pesolek ini bahkan lebih kuat daripada Hai-liong-ong Ciok Gu To!
“Biarlah arak ini saya minum demi keselamatan Pangeran!” kata Tang Hun sambil mengacungkan cawan, kemudian sekali tenggak arak itu lenyap ke dalam perutnya.
Liong Bian Cu bertepuk tangan memuji. Hatinya girang bukan main dan dia merasa sudah puas dengan semua demonstrasi ringan itu, karena sebagai seorang ahli dia pun sudah dapat menilai bahwa empat orang itu benar-benar bukan orang-orang sembarangan dan akan merupakan pembantu-pembantu yang amat baik. Maka dia lalu mempersilakan mereka semua makan minum dalam suasana yang amat gembira.
Selagi mereka berpesta gembira, dan hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo saja yang bersikap biasa dan sama sekali tidak menghormati tamu, juga Jenderal Kao Liang yang makan minum dengan sikap tidak peduli, munculiah kepala pengawal yang berlutut dan melapor kepada Pangeran Liong bahwa rombongan orang Bhutan yang dipimpin oleh Panglima Mohinta mohon menghadap.
Pangeran Liong Bian Cu mengerutkan alisnya, saling pandang dengan Ban-hwa Seng-jin, kemudian dia berkata kepada Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo.
“Harap Ji-wi Locianpwe suka menemani para tamu bersama Jenderal Kao Liang. Kami bersama Koksu ada kepentingan lain untuk menerima tamu.”
Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lomo mengangguk. Jenderal Kao Liang diam saja dan Liong Bian Cu lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, didampingi koksu yang dikawal oleh Gitananda yang setia.
Panglima muda dari Bhutan, Mohinta itu, telah menanti di ruangan tamu bersama tujuh orang pengikutnya yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi dari Bhutan. Bagaimana tokoh Bhutan muda itu dapat tiba di tempat ini? Seperti kita ketahui, setelah Syanti Dewi berhasil melarikan diri dari Bhutan bersama Siang In, panglima muda yang mencinta Syanti Dewi dan mengharapkan puteri itu menjadi isterinya ini segera melakukan pengejaran dan dia menyebar banyak sekali penyelidik. Dia melakukan pengejaran dengan para penyelidiknya menuju ke timur dan dia selalu didampingi oleh tujuh orang pembantunya yang semuanya memiliki kepandaian cukup tinggi itu untuk mencari jejak Syanti Dewi.
Seperti yang dituturkan oleh Cui Ma, bekas pelayan Ang Siok Bi ibu dari Ang Tek Hoat kepada Kian Bu dan Hwee Li, pelayan yang menjadi gila karena ketakutan dan karena duka itu, dalam pengejarannya mencari jejak Syanti Dewi, akhirnya Mohinta malah menemukan tempat sembunyi Ang Siok Bi. Mengingat bahwa Ang Siok Bi adalah ibu Ang Tek Hoat yang dibencinya, maka Mohinta lalu turun tangan membunuh wanita yang malang itu.
Dia terus melakukan penyelidikan, mendengar bahwa Syanti Dewi terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua Liong-sim-pang di Puncak Naga Api. Dia menyusul ke sana, akan tetapi terlambat karena mendengar bahwa puteri yang dicarinya itu telah diculik orang lagi dari tempat itu. Mohinta mencari terus, tanpa mengenal lelah. Dia bukan hanya mencinta puteri yang memang amat cantik jelita itu, akan tetapi di samping cintanya ini terdapat pula keinginan yang mendorong dia berusaha memperisteri Syanti Dewi, yaitu kalau dia dapat menjadi mantu raja, tentu kelak dia mempunyai harapan besar untuk menjadi Raja Bhutan! Ambisi inilah yang membuat dia tidak mengenal lelah mencari Syanti Dewi dan tidak akan berhenti sebelum puteri itu terdapat olehnya.
Setelah mencari-cari siang malam dan mengerahkan seluruh pembantunya yang banyak tersebar di daerah Ho-pei dan Ho-nan di mana untuk terakhir kalinya dia mendengar akan jejak Syanti Dewi, akhirnya dia mendengar bahwa puteri itu telah tertawan oleh Pangeran Bharuhendra dari Nepal! Berita ini mengejutkan hati Mohinta! Tertawannya Puteri Syanti Dewi oleh pangeran cucu Raja Nepal itu benar-benar amat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatinya. Dia maklum siapa adanya Pangeran Bharuhendra yang juga bernama Liong Bian Cu itu, seorang Pangeran Nepal yang berilmu tinggi dan berkuasa besar. Bahkan dia mendengar bahwa pangeran itu ditemani oleh guru negara, yaitu pendeta Lakshapadma yang juga disebut Ban-hwa Seng-jin, bahkan kabarnya Gitananda, pendeta yang amat lihai itu pun menemani Sang Pangeran Nepal. Hilanglah harapannya untuk merampas Syanti Dewi dengan menggunakan kekerasan. Akan tetapi Mohinta adalah seorang muda yang cerdik dan dia segera memperoleh akal yang amat baik, bukan hanya untuk mendapatkan kembali puteri cantik yang membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi bahkan mendapatkan jalan untuk menguasai Bhutan mengandalkan bantuan Nepal yang selama ini menjadi musuh Bhutan!
Ketika Pangeran Bharuhendra yang kita kenal sebagai Liang Bian Cu itu muncul bersama pendeta Lakshapadma yaitu Ban-hwa Seng-jin, Koksu Nepal dan diikuti oleh Gitananda, Mohinta dan tujuh orang pengikutnya cepat menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Kemudian Mohinta bangkit sebagai seorang militer dan berkata, “Harap Paduka sudi memaafkan kalau hamba dan para pengikut berani mengganggu Paduka di tengah malam begini.”
Pangeran Lian Bian Cu memandang dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Duduklah dan ceritakan siapa engkau, apa pula yang menjadi maksudmu datang kepadaku. Harap bicara secara jujur dan terbuka karena kalau tidak demikian, saat ini juga kami akan menyuruh pengawal membunuh kalian.”
Mohinta lalu menceritakan niatnya, yaitu bahwa dia disuruh oleh Raja Bhutan untuk mencari Syanti Dewi dan bahwa dia tahu di mana adanya puteri itu. Akan tetapi dia siap untuk membantu Pangeran Nepal untuk menguasai Bhutan dengan menggunakan Puteri Syanti Dewi sebagai sandera.
“Dengan adanya puteri itu di tangan kita, Paduka tidak perlu mengerahkan bala tentara untuk menyerbu Bhutan. Cukup hamba yang akan menggulingkan raja dengan bantuan Paduka dan selanjutnya, hamba yang tanggung bahwa Bhutan akan tunduk terhadap Nepal dan memenuhi segala tuntutan dan perintah dari Nepal.” Demikian antara lain Mohinta berkata. Semua penuturannya didengarkan oleh Pangeran Liong Bian Cu dan Ban-hwa Seng-jin. Kemudian Koksu Nepal itu berkata dengan suara tenang, dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Mohinta karena ada persamaan bahasa antara mereka.
“Mohinta, engkau sudah bersiap untuk mengkhianati rajamu sendiri! Engkau sudah berniat hendak membantu kami yang selama ini dianggap musuh oleh Kerajaan Bhutan. Tentu ada pamrih tertentu tersembunyi di dalam pengkhianatanmu ini. Apakah pamrih itu? Apakah yang kauinginkan dalam persekutuan antara engkau dan kami?”
Wajah Mohinta menjadi merah, jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian dan kecerdikan Koksu Nepal itu, maka dia tahu pula bahwa membohongi terhadap mereka amatlah berbahaya. Menghadapi orang-orang Nepal yang amat kuat ini, jalan satu-satunya hanyalah mendekati, bukan memusuhi.
“Maaf, Koksu. Sudah tentu dalam setiap tindakan terdapat pamrih yang mendorongnya, dan benarlah wawasan Koksu bahwa ada pamrih dalam hati saya kalau saya menawarkan diri untuk membantu Nepal menggulingkan Raja Bhutan. Pertama, saya ingin memperoleh Puteri Syanti Dewi sebagai isteri saya kalau kita berhasil. Ke dua, saya mengharapkan kebijaksanaan dan ganjaran dari Raja Nepal agar saya dapat menggantikan kedudukan raja di Bhutan.”
Pangeran Liong Bian Cu tersenyum. “Hemmm, besar sekali ambisimu, orang muda. Lalu, untuk semua anugerah yang kauharapkan itu, apa saja yang dapat kauberikan kepada kami?”
“Ayah hamba adalah kepala panglima di Bhutan. Biarpun ayah hamba tidak akan mencampuri urusan pemberontakan, bahkan mungkin menentang, akan tetapi hamba dapat menguasai sebagian besar dari bala tentara yang dipimpin oleh ayah. Dan hamba adalah seorang kepercayaan dari raja, maka kalau hamba yang berkuasa di Bhutan, tentu hamba dapat membantu Paduka untuk menghadapi Kaisar Ceng, Tibet, dan lain-lain.”
Tiba-tiba Ban-hwa Seng-jin mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua untuk diam, lalu sekali berkelebat kakek ini telah meloncat ke jendela, membuka daun jendela. Akan tetapi tidak ada siapapun di balik jendela itu, maka dia lalu menutupkan lagi daun jendela dan kembali ke ruangan. “Aman,” katanya, “Tadinya saya kira mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.”
Mereka lalu melanjutkan perundingan. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Hwee Li berbisik-bisik di dekat telinga Puteri Syanti Dewi di dalam kamar puteri itu dan Syanti Dewi mendengarkan dengan wajah pucat. Tadi memang Hwee Li yang mencuri dengar ketika Liong Bian Cu mengadakan perundingan dengan Mohinta, dan karena dara ini mengerti bahasa mereka, maka dia dapat mendengar kesanggupan Mohinta untuk menggulingkan Raja Bhutan dan bersekongkol dengan Pangeran Nepal itu. Mendengar penuturan yang dibisikkan oleh Hwee Li, Syanti Dewi terkejut dan marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukannya terhadap Mohinta? Dia sendiri berada di situ sebagai seorang tawanan!
“Bibi Syanti Dewi, apakah kau ingin agar aku memukul remuk kepala Mohinta itu?” tanya Hwee Li ketika dia melihat wajah puteri itu pucat dan tubuhnya agak menggigil.
“Jangan, Hwee Li. Hal itu berbahaya sekali. Kau sendiri seorang tawanan.”
“Aku yakin mudah saja bagiku untuk membunuh pengkhianat itu, Bibi. Dan kalau Liong Bian Cu marah kepadaku, biarlah, malah kebetulan, biar dia benci padaku dan mengurungkan niatnya yang gila untuk menikah dengan aku!”
Syanti Dewi merangkulnya., “Tenanglah, Hwee Li. Kita semua berada di dalam keadaan yang amat gawat. Lihat betapa Jenderal Kao Liang sendiri tidak berdaya, keluarganya masih ditawan di sini semua. Lihat betapa benteng ini dibuat amat kuatnya dan Liong Bian Cu mengumpulkan banyak orang pandai. Bahkan orang-orang Liong-sim-pang itu pun menjadi sahabat mereka! Akan ada peristiwa besar, kegegeran besar dan ancaman berbahaya bagi kerajaan bangsamu. Jangan pikirkan urusanku, urusan kecil saja. Baik sekali engkau telah mendengarkan tadi sehingga aku tahu akan isi perut pengkhianat Mohinta itu. Kalau tiba saatnya Bhutan terancam, aku dapat bertindak dengan tepat. Yang penting, kita harus dapat lolos dari sini, Hwee Lee, itulah yang penting, bukan membunuh orang rendah macam Mohinta itu.”
Hwee Li mengangguk dan berbisik, “Ah, kalau tidak terjadi sesuatu yang mujijat, bagaimana mungkin kita dapat lolos? Penjagaan terlampau ketat, orang-orang sakti terlampau banyak di sini dan setelah benteng ini selesai dibangun oleh Jenderal Kao yang amat ahli dalam hal itu, lenyaplah harapan kita untuk dapat lolos dan keluar dari dalam benteng.”
“Kita tidak boleh putus harapan. Banyak sekali teman-teman kita yang gagah perkasa di luar benteng. Aku yakin bahwa sewaktu-waktu mereka tentu akan muncul, seperti pada waktu yang sudah-sudah. Mereka tidak akan membiarkan kita celaka.”
“Hemmm, mereka siapa?”. tanya Hwee Li.
“Pertama-tama tentulah Siang In yang cantik dan cerdik, dan.... Tek Hoat....“
“Dan Siluman Kecil! Juga Suma Kian Lee! Ah, kenapa aku lupa bahwa mereka itu tentu tidak akan diam saja melihat kita ditawan orang-orang jahat?”
“Dan di sana masih ada pula adikku, Candra Dewi atau Ceng Ceng, dan suaminya yang amat sakti....”
“Ah, kenapa aku pun lupa kepada Subo dan Suhu? Hi-hik, betapa tolol aku. Tentu saja Subo dan Suhu akan dengan mudah mengobrak-obrik mereka semua ini!”
“Dan masih ada lagi Bibi Puteri Milana! Dan pendekar sakti Paman Gak Bun Beng, dan keluarga Pulau Es....“
“Wah-wah, kita mengharap terlampau jauh dan terlalu banyak, Bibi. Bagaimana kalau tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempedulikan kita dan tidak ada yang datang menolong?”
“Mustahil.... akan tetapi.... setidaknya harapan itu menghibur hati kita....“ jawab Syanti Dewi sambil menarik napas panjang lalu duduk termenung, ditemani oleh Hwee Li yang di tempat itu menjadi temannya yang paling baik, paling akrab dan dapat saling menghibur.
Dan memang benar seperti yang dikatakan oleh dua orang dara itu. Setelah Liong-sim-pang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu, pembangunan benteng itu menjadi makin lancar karena anak buah Liong-sim-pang dikerahkan untuk membantunya. Dan juga Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak sayang-sayang atau segan-segan untuk membantu dengan keuangan, membeli bahan-bahan bangunan secara royal.
Mohinta dan para pengawalnya juga tinggal di benteng lembah itu, akan tetapi dia selalu bersembunyi dan tidak mau bertemu dengan Syanti Dewi karena dia menganggap belum waktunya untuk bicara. dengan puteri itu, sungguhpun hatinya merasa amat rindu terhadap dara yang dianggapnya pasti akan menjadi isterinya itu. Rencananya bersama Pangeran Nepal untuk memberontak dan menggulingkan Raja Bhutan, yaitu ayah dari Puteri Syanti Dewi, membuat dia merasa tidak enak untuk bertemu dan bicara dengan Syanti Dewi karena puteri yang menjadi tawanan itu tentu akan merasa heran dan akan mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawabnya, di antaranya mengapa dia berada di situ dan menjadi teman dari Pangeran Nepal dan yang menawan puteri itu.
Hwee Li adalah seorang dara yang amat cerdik. Setelah usahanya yang gagal untuk membunuh Liong Bian Cu, dan melihat betapa pangeran itu tidak mendendam dan tetap mencintanya, dia tahu bahwa usahanya telah mencapai puncak dan jalan buntu. Dia tidak boleh mencoba lagi karena kalau sampai dia menimbulkan rasa benci dalam hati pangeran itu, dia tidak akan tertolong lagi. Kalau hanya dibunuh saja bukan apa-apa baginya, akan tetapi dia merasa ngeri kalau membayangkan betapa dengan kekuasaannya, pangeran itu bisa saja memaksanya dan memperkosanya. Dia kini mengandalkan cinta kasih pangeran itu untuk berada dalam keadaan aman dan tidak terancam keselamatannya. Dia yakin bahwa karena cintanya, pangeran itu tidak akan memaksanya nenyerahkan diri sebelum menikah, dan sebagai seorang pangeran negara besar, tentu pangeran itu akan melaksanakan pernikahannya di negerinya, di Nepal. Maka, masih banyak waktu baginya dan masih banyak harapan untuk meloloskan diri, asal dia pandai membawa diri dan tidak memancing kebencian pangeran itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh bersikap terlalu manis karena kalau sampai pangeran itu memuncak rindu dan berahinya terhadap dia, bisa berabe dan berbahaya!
Karena sikap Hwee Li yang tidak memberontak lagi, juga Syanti Dewi bersikap tenang dan sabar, maka kini mereka diperbolehkan untuk mengunjungi keluarga Jenderal Kao Liang di dalam rumah tahanan mereka. Pertemuan yang amat akrab dan mengharukan dan kini pertemuan-pertemuan itu merupakan hiburan besar bagi kedua fihak. Kao Kok Tiong sering kali nampak termenung di rumah tahanan itu, diam-diam amat mengkhawatirkan keadaan ayahnya. Jenderal ini tidak boleh menemui keluarganya, hanya diperbolehkan melihat dari jauh bahwa keluarganya selamat dan diperlakukan dengan baik. Kok Tiong maklum betapa hati ayahnya tersiksa hebat. Ayahnya terpaksa membantu pemberontak! Demi keselamatan keluarganya!
Dia tahu bahwa andaikata ayahnya belum dipecat dan masih menjadi Panglima Kerajaan Ceng, sampai mati pun ayahnya tidak akan tunduk kepada pemberontak. Biar andaikata seluruh keluarganya disiksa dan dibunuh di depan hidungnya, ayahnya pasti tidak akan sudi untuk membantu pemberontak. Dan sekarang, karena dia bukan Panglima Ceng lagi, dia terpaksa tunduk, untuk menyelamatkan keluarganya, akan tetapi tentu saja dengan batin tersiksa. Kok Tiong sendiri amat dicurigai oleh Pangeran Nepal sehingga dia dimasukkan dalam rumah tahanan keluarganya, tidak diperkenankan keluar dan bicara dengan ayahnya.
Keadaan seperti itu lewat sampai berbulan-bulan dan benteng besar yang dibangun atas petunjuk Jenderal Kao Liang itu, yang dikerjakan siang malam, mulai mendekati kesempurnaannya. Hati para tawanan itu makin gelisah, harapan mereka untuk memperoleh pertolongan dari luar makin menipis, sungguhpun belum habis sama sekali. Selama waktu-waktu itu, untuk menghibur diri, Syanti Dewi memperdalam ilmu silatnya dari Hwee Li, sebaliknya, Hwee Li mempelajari banyak hal dari sang puteri, dari menyulam, melukis, menari dan bernyanyi.
Pelayan rumah penginapan itu buruk sekali mukanya. Tek Hoat sendiri sampai merasa heran dan kasihan mengapa ada seorang pria demikian buruk mukanya, rusak oleh penyakit cacar. Selain muka itu hitam dan bopeng, berlubang-lubang seperti kulit pohon dimakan rayap, juga matanya besar sebelah, hidungnya berbentuk besar dan melengkung, bibirnya tebal sekali dan basah, dahinya sempit seperti dahi monyet. Pendeknya, muka yang sama sekali tidak ada manisnya, biarpun tidak menakutkan, namun sukar menimbulkan rasa suka di hati, apalagi karena sepasang mata itu mempunyai sinar yang liar seperti mata seekor anjing kelaparan.
Akan tetapi pelayan itu ternyata ramah sekali. Setelah Tek Hoat membayar uang sewa kamar di meja pengurus, peraturan yang harus ditaati semua tamu, yaitu pembayaran di muka, pelayan itu lalu mendapat tugas untuk mengantar Tek Hoat di kamar yang disewanya dan melayaninya. Setelah pelayan itu sambil menyeringai dan membungkuk-bungkuk mempersilakan dia mengikutinya, baru diketahui oleh Tek Hoat bahwa pelayan itu pincang kakinya dan ketika dia memperhatikan, ternyata kaki kirinya cacat, ada luka yang sudah mulai mengering di dekat tumit sehingga dia tidak dapat memakai sepatu, melainkan memakai sandal kayu yang mengeluarkan bunyi teklak-teklik ketika dia berjalan timpang.
“Heh-heh, di sinilah kamar Kongcu. Sunyi, karena kebetulan malam ini kurang tamu, Kongcu. Lihat, kamar di kanan kiri Kongcu juga kosong, jadi.... hehheh, aman deh!”
Tek Hoat yang memasuki kamar itu, sebuah kamar sederhana dengan sebuah pembaringan cukup besar untuk seorang saja, sebuah meja dan tempat air cuci muka, cepat menengok dan memandang muka buruk itu ketika mendengar ucapan itu.
“Cukup aman? Apa maksudmu?” tanyanya sambil menaksir usia orang. Sukar, menaksir usia wajah yang buruk itu. Mungkin tiga puluh, mungkin pula sudah lima puluh tahun lebih.
“Heh-heh-heh, aman, tidak akan ada yang mengganggu atau mendengar suara dari dalam kamar ini.”
“Suara? Suara apa yang kaumaksudkan?” Tek Hoat bertanya lagi sambil mengeratkan alisnya.
Kembali orang itu menyeringai lalu mengambil baskom tempat air yang berwarna biru itu. Dia berjalan ke pintu membawa baskom itu, menoleh dan menyeringai sambil tertawa. “Tentu saja orang yang berpacaran mengeluarkan suara, bukan? Dan tentu akan merasa sungkan kalau di sebelah ada orang lain yang ikut mendengarkan.”
Tek Hoat hendak membantah akan tetapi pelayan itu sudah keluar sambil berkata, “Saya akan mengambilkan air. hangat untuk Kongcu.”
Tek Hoat menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan dan termenung. Hatinya masih terasa kesal dan mengkal karena sampai saat itu dia belum berhasil menemukan jejak kekasihnya, yaitu Syanti Dewi. Makin terasalah kini betapa dia amat mencinta Syanti Dewi, betapa sebetulnya dia hanya mempunyai semangat hidup karena puteri itulah.
“Heh-heh-heh....!” Suara ketawa yang jelek ini menggugahnya dari lamunan dan pelayan itu sudah masuk lagi ke kamarnya membawa sebaskom air yang masih mengepulkan uap. Melihat air ini, Tek Hoat segera menghampiri baskom yang telah diletakkan di atas bangku, mengeluarkan sebuah saputangan lebar dari buntalannya dan mencuci mukanya. Terasa segar sekali air hangat itu ketika dia menggosok-gosokkan air di muka dan lehernya. Lenyaplah semua kemuraman yang amat mengganggunya tadi.
“Heh-heh-heh, Kongcu tampan sekali, sungguh cocok kalau berpacaran....“
Tek Hoat mengusap mukanya dengan keras, menggosok-gosok kulit mukanya sampai berwarna merah sekali. Setelah pikirannya kosong, setelah semua kenangan tentang Syanti Dewi lenyap oleh air panas dan oleh gosokan keras pada mukanya, dia merasa betapa segala sesuatu yang dihadapinya menjadi lebih menarik. Dia biasanya tidak pedulian, tidak mengacuhkan segala hal dan orang lain. Akan tetapi baru dia merasa betapa pelayan ini amat menarik hatinya dan menimbulkan ingin tahunya.
“Paman pelayan, jangan kau bicara yang bukan-bukan tentang suara pacaran dan lain-lain itu. Aku berada di dalam kamar ini sendirian tanpa kawan.”
“Heh-heh, karena itulah Kongcu, maka saya menganggap bahwa sayang sekali seorang pemuda tampan seperti Kongcu sendirian saja di kamar ini untuk melewatkan malam yang dingin.”
“Hemmm, aku memang sendirian. Habis bagaimana?”
“Ah, si Teratai Emas itu tentu merupakan lawan dan kawan yang amat cocok bagi Kongcu! Cantik jelita dan harum dia! Dan tidak sembarangan mau diajak orang, akan tetapi kalau Kongcu yang mengajaknya.... hemmm, tanggung puas!”
Sepasang mata Tek Hoat terbelalak. “Apa maksudmu?” Dia amat rindu kepada Syanti Dewi dan kini ditawari wanita untuk menemaninya! Padahal, bujukan dan rayuan seorang wanita cantik seperti Mauw Siauw Mo-li itu pun ditolaknya mentah-mentah!
“Maksud saya? Heh-heh, maksud saya.... Kongcu Muda dan tampan, malam ini di kamar sendiri, dan kamar-kamar di sekitar kamar ini kosong.... heh-heh, dan Teratai Emas itu sungguh cantik.... tentu akan mesra sekali....“
Tek Hoat kini mengerti dan dia cepat memberikan beberapa potong uang kepada pelayan itu. “Pergilah!” katanya singkat karena dia tidak ingin diganggu lagi. Dia tidak melihat betapa pelayan buruk rupa itu memandang ke arah tangan yang menerima uang itu dengan girang sekali, mengangguk-angguk lalu pergi dari situ. Tek Hoat lalu menutupkan daun pintunya. Tubuhnya terasa enak setelah dia mencuci muka, leher, kedua lengan dengan dengan air hangat. Dia sudah makan tadi, dan tubuhnya lelah. Kini terasa segar dan nyaman, membuat dia merasa mengantuk sekali. Direbahkannya tubuhnya di atas pembaringan, terlentang dan menerawang langit-langit kamar itu yang berwarna putih. Wajah Syanti Dewi membayang! Makin dipandang, makin rindulah hatinya. Cuaca mulai gelap karena matahari mulai tenggelam sehingga sinarnya tidak menerangi kamar itu melalui lubang jendela. Akan tetapi dia merasa malas untuk bangkit dan menyalakan lilin, membiarkan saja kamar itu menjadi makin remang-remang gelap.
“Tok! Tok! Tok!”
Tek Hoat tergugah lagi dari keadaan yang hampir pulas. Sialan, pikirnya, siapa lagi yang mengganggu?
“Siapa?” tanyanya, memandang ke arah daun pintu yang hampir tidak kelihatan karena kamar itu sudah mulai gelap.
“Saya, Kongcu....“
Si pelayan buruk rupa sialan lagi! “Ada apa lagi?”
“Ssssst, penting Kongcu. Sudah datang....!”
Tek Hoat yang masih setengah sadar setengah layap-layap itu tidak ingat apa-apa lagi tentang sore tadi. Dia merasa heran dan ingin tahu. “Masuklah, daun pintunya tidak terpalang, katanya.
Bunyi daun pintu berderit ketika dibuka dari luar. Nampak dua sosok tubuh sebagai bayangan memasuki kamar itu. Yang satu adalah bayangan tubuh pelayan muka buruk, dan yang satu lagi bayangan tubuh yang kecil ramping. Tek Hoat menjadi curiga dan biarpun dia masih rebah terlentang, namun dia siap siaga.
“Aih, begini gelapnya, Kongcu. Kenapa lilin yang tersedia di atas meja tidak dinyalakan? Biar saya nyalakan!” Pelayan itu menyalakan api dan lilin dinyalakan. Cuaca remang-remang mulai terusir dan dengan mata terbelalak Tek Hoat memandang dan melihat bahwa orang yang ke dua itu adalah seorang wanita muda yang amat cantik! Pantas saja ada bau harum ketika pintu kamarnya tadi dibuka.
“Kongcu, inilah dia, Kim Lian (Teratai Emas).... heh-heh!” Pelayan itu bergegas keluar dan menutupkan daun pintu dari luar.
Wanita itu mengambil tempat lilin, menaruhnya di sudut meja dekat pembaringan, lalu memutar tubuh menghadapi Tek Hoat. Begitu dia melihat wajah Tek Hoat, sepasang matanya yang indah itu terbelalak dan dia cepat menghampiri.
“Aihhhhh.... kiranya Kongcu benar-benar tampan sekali....! Girang hatiku mempercayai omongan A-khiu bahwa Kongcu amat tampan!” Wanita itu lalu duduk di tepi pembaringan, memandang wajah Tek Hoat, lalu tubuh atas pemuda itu telanjang, kemudian sambil tersenyum wanita itu menjatuhkan dirinya di atas dada Tek Hoat dan mendekatkan mulutnya hendak mencium bibir pemuda itu. Bau harum mendesak hidung pemuda itu.
Tek Hoat miringkan mukanya dan mendorong kedua pundak wanita itu sehingga hampir saja gadis itu terjengkang. “Perempuan tak tahu malu! Perempuan tak mengenal susila!” bentaknya marah sambil menyambar bajunya, terus dipakainya baju itu dan dia meloncat turun ke atas lantai, pandang matanya keras dan muak.
Gadis itu menundukkan mukanya. Seorang gadis yang cantik sekali, usianya paling banyak dua puluh tahun, rambutnya digelung indah mengkilap, terhias bunga teratai dari emas, tubuhnya ramping dan lemah gemulai gerak-geriknya, wajah dan tubuh yang terpelihara baikbaik, terbungkus pakaian dari sutera merah muda yang berkembang, menambah kecantikannya. Kemudian dia mengangkat mukanya yang menjadi merah.
“Kongcu, perlukah seorang wanita seperti saya untuk merasa malu? Haruskah seorang wanita seperti saya untuk mengenal susila?” tanyanya dengan suara halus bernada menegur sehingga Tek Hoat tertegun. Akan tetapi lalu pemuda ini dapat menduga ke adaan wanita itu, maka dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil bersungut-sunsgut.
“Huh, kiranya seorang pelacur! Sampah masyarakat!”
Sepasang mata yang bening indah itu mengeluarkan sinar dan tarikan muka yang manis itu membayangkan rasa penasaran seperti orang yang tersinggung kehormatannya, dan mulut yang bibirnya berbentuk indah itu berkata, suaranya halus namun dingin, “Kongcu, saya memang seorang pelacur, akan tetapi bukan sampah masyarakat.”
Hati Tek Hoat mulai diserang kemurungan lagi dan dia menjadi kesal. Dengan kasar dia menoleh dan memandang wajah cantik itu, kecantikan yang makin membuat dia marah karena wajah cantik itu ternyata diobral kepada siapa saja yang mampu membayar! “Bukan sampah masyarakat? Huh, perbuatanmu sungguh kotor dan hina! Engkau perempuan perusak rumah tangga, perusak pria, penyebar penyakit, engkau perempuan terkutuk, lebih kotor daripada sampah!”
Sepasang mata itu masih terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan tanpa berkedip, dari bawah mata itu menetes-netes turun beberapa butir air mata yang berkilauan tertimpa cahaya api lilin, menimpa sepasang pipi yang halus kemerahan dan mengalir ke bawah. Mata itu masih terbelalak menentang wajah Tek Hoat. “Kongcu.... engkau boleh tidak senang kepada saya.... akan tetapi.... mengapa engkau menghina saya? Apakah dosaku kepadamu? Apakah salahku kepada kaum pria? Hak apakah yang ada pada Kongcu untuk menghina saya seperti itu, untuk menusuk-nusuk perasaan hati saya dengan kata-kata keji itu?”
Tek Hoat menjadi bengong. Wajah yang cantik itu tetap halus, mengingatkan dia akan wajah lembut Syanti Dewi! Betapa miripnya dara ini dengan Syanti Dewi! Sama muda, sama cantik, dan apakah bedanya? Mungkin berbeda karena Syanti Dewi adalah puteri raja dan seorang wanita bangsawan, apalagi wanita yang dicintanya. Sedangkan wanita ini adalah seorang yang pekerjaannya sebagai pelacur. Namun keduanya juga wanita, juga perempuan. Ada perasaan malu dan menyesal mengapa dia tadi bersikap demikian menghina. Melihat wanita ini menangis tanpa dibuat-buat, sepasang mata yang terbelalak seperti mata seekor kelinci yang tak berdaya itu, tiba-tiba saja Tek Hoat merasa kasihan sekali. Di depannya ini adalah seorang wanita! Sama dengan Syanti Dewi, sama dengan mendiang ibunya, seorang manusia!
“Ehhh.... hemmm.... maafkan aku....“
Pelacur itu mencoba untuk tersenyum sambil menghapus air matanya dengan sehelai saputangan, lalu dia berkata, “Tidak apa-apa, Kongcu. Aku sudah biasa dihina orang, dan agaknya aku dapat mengerti bahwa tentu Kongcu pernah dibikin sakit hati oleh wanita, oleh pelacur, maka sekarang menumpahkan kemarahan dan dendam Kongcu kepada diriku.”
Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang, menunduk sebentar lalu mengangkat kembali mukanya, akan tetapi dia tidak memandang kepada wanita itu. Dia teringat akan Siluman Kucing dan agaknya iblis betina itulah yang membuat dia tadi marah dan menghina wanita ini. Iblis betina itu lebih jahat lagi daripada pelacur ini! Lalu dia memandang wanita itu yang juga memandangnya. Harus diakuinya bahwa wanita muda ini amat cantik, tidak kalah cantiknya kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing.
“Namamu Kim Lian” akhirnya dia bertanya.
Wanita itu mengangguk. “Nama aseliku telah kupendam di antara kehinaan yang menguruk diriku, Kongcu. Karena aku suka memakai hiasan teratai emas ini, maka aku dipanggil Kim Lian oleh mereka.” Lalu dia menunduk. Dagunya nampak meruncing halus kalau dia menunduk, manis sekali.
“Kim Lian, engkau menjadi pelacur tentu karena ingin memperoleh uang, bukan?”
“Satu di antaranya alasan itulah.”
Tek Hoat mengeluarkan beberapa keping uang perak dari buntalannya, lalu melemparkan perak itu di atas pembaringan dekat pelacur itu. “Nah, ambiliah uang ini sebagai pembayaran biarpun aku tidak akan menyentuhmu.”
Kim Lian kelihatan terkejut, menoleh kepada uang itu kemudian kepada Tek Hoat, lalu kepada uang itu lagi dan kepada Tek Hoat. Air matanya makin banyak bercucuran, akhirnya dia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri. berlutut di depan kaki pemuda itu sambil menangis!
“Kongcu.... engkau menghancurkan hatiku dengan sikap ini.... lebih baik kaumaki saja aku...., Kongcu.... kaumaki dan pukul aku saja....“
Tek Hoat makin bengong. Dia merasa heran sekali mengapa hatinya tersentuh oleh sikap wanita ini. Seorang pelacur! Mungkin karena dia merasa yakin bahwa pelacur yang satu ini tidak berpura-pura dalam semua sikapnya! Ketika memuji ketampanannya tadi, ketika marah dan ketika berduka sekarang ini, semua adalah wajar dan tidak dibuat-buat. Itulah mungkin yang menggerakkan hatinya sehingga dia merasa kasihan sekali.
“Bangkitlah!” katanya sambil memegang kedua pundak pelacur itu, menariknya berdiri. Pelacur itu bangkit berdiri dan Tek Hoat juga berdiri. Pelacur itu hanya setinggi dagunya. Mereka saling pandang. Pelacur itu masih terisak ketika memandangnya.
“Sudah, jangan menangis, aku hanya ingin bertanya-tanya, dan kuharap engkau suka menjawabnya. Uang itu sebagai pembayaran jawaban-jawabanmu.”
“Kongcu.... Kongcu tidak memandangku dengan hina lagi?” Wanita itu terisak.
Tek Hoat merasa makin tertusuk. Betapa tidak berdayanya wanita ini, berdiri sendiri di dunia yang kejam, tidak ada yang melindunginya dari penghinaan semua orang! Hatinya merasa terharu dan dia mendekatkan mukanya, mencium dahi perempuan itu, ciuman karena iba, bukan ciuman sayang, bukan pula ciuman berahi, lalu dia perlahan-lahan mendorong wanita itu sehingga terduduk kembali di atas pembaringan. Dia sendiri lalu duduk di atas bangku di depan pembaringan.
“Nah, Kim Lian, kita bicara sebagai dua orang sahabat. Aku kasihan kepadamu dan harap kau suka menjawab sejujurnya. Kenapa engkau menjadi pelacur? Siapa yang memaksamu menjadi seorang pelacur, melakukan pekerjaan yang rendah dan hina ini?”
Agaknya Kim Lian sudah dapat menguasai dirinya kembali dan ciuman pada dahinya tadi menyentuh hatinya, membuat dia percaya kepada pemuda aneh ini yang sikapnya amat luar biasa terhadap dirinya, sikap yang selama ini belum pernah dia lihat diantara para langganannya yang tak terhitung banyaknya itu. Maka dia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda luar biasa yang amat baik hatinya terhadap dirinya, dan dia mengambil keputusan untuk bersikap jujur dan untuk menumpahkan seluruh isi hatinya kepada pemuda ini.
“Kongcu, pertanyaan Kongcu itu banyak sekali jawabannya. Kenapa aku mehjadi pelacur? Mungkin karena keadaan karena terpaksa atau juga karena kusengaja! Yang memaksaku adalah kaum pria dan mungkin juga diriku sendiri.”
“Hemmm, jawabanmu merupakan teka-teki, Kim Lian.”
“Bukan, Kongcu, melainkan jawaban sejujurnya. Adalah kaum pria yang mendorongku untuk menjadi pelacur ini dan untuk itu sebaiknya Kongcu mendengar riwayatku secara singkat. Aku adalah anak keluarga miskin. Ibu kandungku mati ketika aku masih kecil. Ayah kawin lagi dan dalam keadaan miskin itu, atas desakan ibu tiriku untuk menyelamatkan mereka dan anak-anak lain dari bahaya kelaparan, aku dijual kepada seorang kaya. Sejak kecil aku menjadi pelayan dalam rumah keluarga kaya itu sampai aku mulai dewasa dan majikanku, laki-laki tua itu, pada suatu malam memaksa aku, memperkosa aku dengan ancaman dan dengan ganjaran. Aku tidak berdaya. Sampai aku mengandung dan majikan perempuan marah-marah lalu menghadiahkan aku kepada seorang pegawai pria dari mereka. Aku menjadi isteri pegawai itu, akan tetapi sering kali majikan laki-laki tua itu masih datang untuk menikmati tubuhku setahu suamiku! Setelah aku melahirkan seorang anak yang mati ketika lahir, majikan laki-laki itu pun meninggal dunia dan suamiku mulai bersikap kasar kepadaku. Aku sering dipukul, dan aku dipaksa untuk melacurkan diri. Aku lari minggat meninggalkan dia. Kemudian aku terjatuh ke tangan beberapa orang pria yang pada pertemuan pertama kelihatan amat mencinta, akan tetapi setelah mereka puas menikmati tubuhku dan menjadi bosan, aku dicampakkan begitu saja! Entah berapa kali aku merasa sakit hati kepada pria, Kongcu. Akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita tua bekas pelacur, aku mendapat nasihat dari padanya untuk membalas kaum pria, untuk menyerahkan badan bukan hati dan untuk menikmati hidup sambil memperoleh hasil yang mudah. Nah, mulai hari itu aku menjadi pelacur sampai sekarang, terkenal dengan nama Kim Lian.”
Tek Hoat berdiam diri saja mendengarkan penuturan singkat itu. Dia merasa kasihan, dan setelah gadis pelacur itu mengakhiri penuturannya, dia menarik napas panjang dan berkata, “Kim Lian, di antara segala pekerjaan di dunia ini yang begitu banyak, mengapa engkau memilih pekerjaan pelacur?”
“Kongcu, pekerjaan apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang wanita lemah dan tidak terpelajar seperti aku ini? Yang kumiliki hanyalah kewanitaanku, kecantikan dan kemudaanku! Menjadi pelayan rumah tangga orang? Sudah kulakukan beberapa kali, akan tetapi hasilnya hanyalah gangguan dari majikan laki-laki, tua maupun muda! Dan dalam pekerjaan sebagai pelacur ini, aku memperoleh dua hal, pertama, uang yang banyak dan mudah. Ke dua, kebutuhan nafsu badan sebagai seorang wanita muda yang sehat dan normal.”
Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Apa artinya uang yang didapatkan dengan jalan hina? Dan untuk kebutuhan ke dua, mengapa engkau tidak berumah tangga saja, menikah dengan seorang pria dan hidup sebagai ibu rumah tangga yang terhormat?”
Sepasang, mata itu memandang dengan penasaran. “Kongcu, bagaimana mungkin seorang wanita berumah tangga dan menikah kalau tidak ada pria yang menghendakinya? Dan pria manakah yang sudi menikah dengan aku? Tidak mungkin wanita memilih pria lalu melamar sebagai suaminya, seperti yang mudah saja dilakukan oleh pria! Dunia ini memang berat sebelah dan tidak adil, Kongcu, engkau pun tentu mengetahui akan hal itu!”
Makin lama dia bicara dengan pelacur muda ini, makin tertariklah hati Tek Hoat. Banyak kenyataan terbuka di depan matanya.
“Akan tetapi, pekerjaanmu ini merupakan dosa besar. Engkau berdosa karena engkau menggoda kaum pria, menyeret mereka ke dalam perbuatan hina, hubungan gelap yang membuat mereka mengkhianati kesetiaan suami isteri, dan engkau juga merusak orang muda yang belum beristeri.
Tiba-tiba gadis itu tertawa dan suara ketawanya membuat Tek Hoat merasa tertusuk jantungnya, karena sukar dibedakan apakah suara itu merupakan tawa ataukah tangis! Kemudian gadis itu berkata, suaranya lantang, “Kongcu yang baik, bicara tentang godaan, siapakah yang menggoda dalam hal ini? Priakah atau wanita semacam kami? Siapakah yang menyeret ke dalam perbuatan hina? Siapakah yang khianat-mengkhianati dalam hubungan antara kami dengan pria-pria itu? Kongcu, kami dan kaum pria sama-sama membutuhkan, akan tetapi kebutuhan kami lebih suci daripada kebutuhan mereka! Kami membutuhkan uang untuk hidup, membutuhkan kepuasan berahi sebagaimana patutnya. Berilah kami seorang suami yang baik dan uang untuk hidup, tidak akan ada seorang wanita pun yang menjadi pelacur, kecuali kalau dia gila! Akan tetapi kaum pria itu, sudah mempunyai isteri, bahkkan sudah mempunyai selir-selir, masih saja melacur! Siapakah yang hina? Siapakah yang rendah? Mereka itu membutuhkan kami, membutuhkan hiburan yang ada pada diri kami, sedangkan kami membutuhkan kesenangan dan uang. Mereka membeli dan kami menjual. Coba tidak ada kaum pria yang mengejar-ngejar dan mencari-cari kami untuk membeli, mana mungkin kami menjual diri?”
“Tapi, Kim Lian, kenyataan dalam hidup adalah bahwa semua orang pria maupun wanita, memandang rendah dan hina kepada pekerjaanmu ini.”
“Biarlah! Akan tetapi buktinya, kami kaum pelacur tidak pernah mengkhianati siapa-siapa, kami bebas bermain cinta dengan laki-laki manapun juga menghendaki kami tanpa paksaan, tanpa sembunyi-sembunyi karena kami tidak mengkhianati siapa-siapa. Merekalah kaum prialah, yang mengkhianati isteri-isteri mereka, yang mencari kami dengan sembunyi-sembunyi dan berani membayar berapa saja kalau sudah tergila-gila kepada kami.” Gadis pelacur itu berhenti sebentar, lalu berkata lagi, “Seluruh pria tentu ingin melihat agar semua wanita di dunia ini, kecuali ibunya, isterinya, anak perempuannya dan keluarga perempuannya, menjadi pelacur semua! Agar semua wanita suka melayaninya di atas pembaringan, agar semua wanita bersedia memuaskan nafsu berahi mereka. Betapa palsu, licik dan munafiknya kaum pria!”
Tek Hoat melongo. Benarkah ini? Diapun seorang pria. Benarkah apa yang dikatakan oleh pelacur ini? Bahwa semua pria menghendaki bahwa semua wanita, kecuali orang-orang tertentu, yaitu keluarganya, bersikap seperti pelacur? Natinya condong mengatakan “ya” kalau dia berani memandang diri sendiri, memandang sampai ke sudut tergelap dari batinnya. Akan tetapi dia merasa “ngeri” untuk mengaku ini.
“Kim Lian, kata-katamu terlalu keras, agaknya karena dendam sakit hati kepada kaum pria. Akan tetapi, bukankah pekerjaanmu melacur ini mencemarkan kaum wanita? Bukankah pekerjaanmu ini dikutuk oleh kaum wanita?”
Kembali Kim Lian tertawa, suara ketawa yang aneh, setengah menangis setengah ketawa, lalu dia berkata lagi, lebih halus suaranya penuh kepahitan, “Mungkin sekali, Kongcu. Dan biarlah mereka itu mengutuk dan mencemoohkan kami kaum pelacur. Kami tahu mengapa mereka mengutuk kami, dan kami kasihan kepada mereka.”
“Eh, apa pula ini? Engkau kasihan kepada mereka yang mengutukmu dan kau tahu mengapa?”
“Memang ruwet lika-likunya, Kongcu. Akan tetapi aku, yang telah digembleng oleh hidup, yang telah direbus oleh api kepahitan, aku dapat melihatnya. Wanita-wanita itu mengutuk kami karena mereka merasa dirugikan....“
“Dirugikan?”
“Ya, dirugikan karena suami, anak mereka, keluarga mereka yang pria lari kepada kami dan menjauhi mereka. Karena kami dianggap mencemarkan dan memalukan mereka. Kemudian karena mereka merasa iri kepada kami”
“Iri?” Tek Hoat berseru kaget. “Kaum wanita baik-baik iri kepada pelacur? Apa maksudmu?”
“Benar, iri hati! Mungkin di bawah sadar mereka, akan tetapi jelas ada perasaan iri hati yang tidak mereka sadari sendiri itu. Lihatlah, wanita mana yang tidak suka bersolek, yang tidak suka mempercantik diri? Mereka mempercantik diri karena dua sebab, pertama agar dipuji oleh umum terutama sekali oleh kaum pria dan diirihatikan kaum wanita lainnya. Mereka itu, di luar sadarnya berusaha untuk menarik hati kaum pria sebanyaknya! Makin banyak pria yang kagum dan tergila-gila kepadanya, makin senanglah hatinya.”
“Ah, masa....?”
“Keadaan membuktikan demikian dan mungkin itu sudah merupakan naluri wanita, Kongcu. Setiap mahluk betina selalu akan berlagak di depan jantan, tentu naluri untuk menarik perhatian. Karena itu, melihat betapa kami, kamu pelacur dapat menarik perhatian banyak pria, bahkan dapat menghibur mereka dalam permainan cinta, bahkan menerima perhatian pria yang rela memberi hadiah dan uang di samping perlakuan cinta, tanpa disadari mereka itu, kaum wanita merasa iri dan karena iri ini tidak dapat dinyatakan secara terbuka, maka perasaan iri itu berubah menjadi benci! Dan munculiah penghinaan mereka terhadap kami! Tentu saja selain itu, juga mereka mendendam karena kami dianggap merusak nama baik kaum wanita pada umumnya”
Tek Hoat memandang penuh perhatian dan makin terheran-heran. “Kim Lian, engkau seorang pelacur, engkau seorang yang buta huruf, akan tetapi heran sekali, kurasa jarang ada orang pandai yang dapat dan berani berpandangan seperti yang kaunyatakan itu. Sekarang ada satu hal lagi, Kim Lian. Sebagai pelacur, engkau dan kaummu dianggap sebagai penyebar penyakit kotor! Hal ini mau tidak mau harus kauakui dan tidak dapat kausangkal lagi!”
Gadis pelacur yang cantik itu menarik napas panjang. “Memang, hukum rimba mengatakan bahwa segala macam sebab kesalahan selalu ditimpakan kepada mereka yang lemah dan yang kalah! Kaum pria mau mencari enaknya sendiri saja, benarnya sendiri saja! Penyakit itu hanya merupakan akibat, Kongcu. Sebabnya adalah hubungan-hubungan gelap itu. Dan siapakah yang mulai dengan pelacuran? Sudah kukatakan tadi, kalau tidak ada pria yang hendak nielacur, apakah di dunia ini ada pelacur? Dan tentang penyakit, siapakah yang menularkan dan siapa yang ditularkan? Dari siapakah pelacur terserang penyakit kalau tidak ketularan oleh seorang langganannya, yaitu seorang pria? Ahhh, Kongcu, persoalan penyakit ini sama saja dengan persoalan siapa yang keluar lebih dulu, telur ataukah ayamnya!”
Tek Hoat bungkam. Beberapa kali dia hendak berkata, akan tetapi tidak dapat keluar dan akhirnya dia hanya dapat menelan ludah. Baru sekarang ini dia mendengar hal-hal seperti itu. Sungguh berlainan dengan segala macam filsafat yang pernah dibacanya tentang susila, tentang kejahatan dan kebaikan dan lain-lain. Kini dia dihadapkan dengan keadaan yang telanjang, tanpa aling-aling lagi, tanpa pulasan dan dia melihat ketelanjangan yang murni, melihat baik buruknya. Dan dia terpesona, juga.... bingung! Dirogohnya buntalannya, diambilnya beberapa keping uang lagi dan ditambahkan pada uang di atas pembaringan.
“Ambiliah semua uang itu, Kim Lian. Dan pulanglah engkau. Terima kasih atas segala keteranganmu. Percakapan kita membuka mataku dan aku tidak berani lagi memandang rendah kepada kaum pelacur karena aku mulai melihat apakah diriku ini tidak lebih rendah daripada engkau, Kim Lian”
Kim Lian turun dari pembaringan, mengambil semua uang dari atas pembaringan, menghampiri Tek Hoat yang sudah berdiri dan meletakkan uang itu di atas meja. “Aku tidak bisa menerima uangmu, Kongcu. Bukan karena aku tidak melayanimu seperti mestinya di atas pembaringan. Biarpun tidak melayanimu, kalau engkau menghinaku, memandang rendah kepadaku, tentu akan kuperas kau sampai habis uangmu dengan Akal bagaimanapun juga. Akan tetapi, engkau begitu jujur, dan percakapan ini telah melegakan dadaku, aku telah menumpahkan segala beban hatiku kepadamu. Engkau telah memberi aku sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang ini ditambah sepuluh kali lipat, Kongcu. Aku akan pergi, Kongcu, hanya.... kalau boleh...., aku ingin menyatakan terima kasihku kepadamu dengan caraku sendiri.”
Tek Hoat makin terharu. Benar-benar bukan gadis sembarangan dia ini, pikirnya, “Silakan, Kim Lian, sungguhpun yang patut berterima kasih adalah aku kepadamu.”
Kim Lian menghampiri makin dekat, lalu merangkul leher Tek Hoat, menarik leher itu sehingga kepala Tek Hoat menunduk, lalu dia berdiri di atas ujung jari-jari kakinya dengan mengangkat tumitnya sehingga bibirnya bertemu dengan bibir Tek Hoat ketika dia mencium mulut pemuda itu. Ciuman yang amat mesra, yang dilakukan dengan sepenuh perasaannya, kecupan seorang wanita yang menyerahkan diri sebulatnya kepada seorang pria, ciuman yang selama hidupnya baru satu kali itu dilakukan oleh Kim Lian terhadap seorang pria! Terdengar suara isak naik dari dada Kim Lian, dia melepaskan ciumannya lalu berlari ke pintu, membuka daun pintu, lalu berhenti, menoleh dengan air mata membasahi pipi sambil berkata, “Pria seperti engkau inilah yang menjunjung tinggi martabat wanita, Kongcu, patut dibanggakan oleh ibumu, oleh semua wanita, patut menerima cinta kasih wanita. Aku selamanya tidak akan dapat melupakan wajahmu, Kongcu. Selamat tinggal.” Dan daun pintu itu ditutup kembali, lalu terdengar langkah-langkah kaki yang diseret dan ringan dari pelacur itu yang pergi setengah berlari.
Tek Hoat menjatuhkan diri di atas bangku, duduk termenung. Dia pria seperti itu? Menjunjung tinggi martabat wanita? Patut dibanggakan oleh ibunya dan semua wanita? Dia? Terbayang kembali segala perbuatannya di waktu dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali), penyelewengannya, perjinaannya dengan isteri orang.
“Ahhh....!” Dia menutupi kedua matanya dengan tangannya, memejamkan mata dan telinganya terus-menerus, mendengar pujian Kim Lian.
“Tidak....!” Kini kedua tangan itu pindah ke telinganya. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan kalau saja hatinya tidak sudah membeku atau membaja, tentu Tek Hoat akan menangis menggerung-gerung di saat itu. Dia merasa dirinya kotor sekali, hina dan jauh lebih rendah daripada Kim Lian si pelacur!
“Kongcu.... heh-heh-heh....”
Tek Hoat tergugah dan dia menoleh. Wajah buruk pelayan itu menyeringai. “Kongcu, saya bertemu dengan Kim Lian, dia menangis dan tidak mau bicara. Ah, dan Kongcu duduk sendiri dengan pakaian lengkap. Apakah Kongcu tidak suka dengan dia? Begitu cantik manis, begitu menggairahkan, seperti buah apel yang sudah masak.... hemmmmm....“ Dan si buruk rupa itu menjilat-jilat bibirnya seperti orang yang mengilar! “Kalau saya semuda dan setampan Kongcu, dan beruang, hemmm, kalau saya diberi kesempatan.... heh-heh....“
Tek Hoat melemparkan beberapa potong uang kepada pelayan itu. Uang itu jatuh ke atas lantai dan dipunguti oleh si pelayan. “Pergilah! Pergilah cepat, kalau tidak, kubunuh kau!”
Pelayan itu terkejut, memandang dengan muka ketakutan, lalu dia mengangguk dan lari keluar, lupa menutupkan pintu kamar itu saking kaget dan takutnya. Tek Hoat tidak peduli dan kembali duduk dengan kedua tangan menopang dahi di kanan kiri, matanya dipejamkan.
“Tek Hoat....!”
Pada saat itu, Tek Hoat sedang membayangkan wajah Syanti Dewi dan timbul keraguan di dalam hatinya apakah orang macam dia itu patut menjadi suami Puteri Bhutan itu. Maka begitu mendengar suara lembut ini, jantungnya seperti berhenti berdetak.
“Syanti....!” Dia berbisik dan mutar tubuhnya.
Seorang wanita berdiri di pintu kamarnya, wanita cantik yang bertubuh ramping. Akan tetapi bukan Syanti Dewi, melainkan.... Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing! Dan anehnya, kedua mata Siluman Kucing itu merah dan basah oleh air mata!
“Mo-li....!” Tek Hoat berkata lirih dan dia agak terkejut melihat kehadiran siluman betina ini dalam saat yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Siluman Kucing menutupkan daun pintu lalu dia melangkah maju dan tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Tek Hoat! Pemuda ini terbelalak dan siap siaga karena dia maklum akan kelihaian dan kelicikan siluman ini. Akan tetapi dia terheran-heran karena Lauw Hong Kui kini benar-benar menangis di depan kakinya!
“Tek Hoat.... maafkan aku.... ah, betapa aku kagum melihatmu, Tek Hoat. Gadis itu demikian cantik, akan tetapi engkau tidak mengganggunya dan memberi uang. Engkau benar-benar seorang pria yang jantan, Tek Hoat. Betapa aku rindu kepadamu. Setelah kau pergi meninggalkan aku, baru terasa olehku, dunia seperti kosong, sunyi.... ah, engkau boleh memukulku, Tek Hoat, engkau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau benci padaku, jangan kau tinggalkan aku.... aku haus akan cintamu, Tek Hoat, kau kasihanlah kepadaku....“
Tek Hoat menahan senyumnya. Perempuan memang mahluk yang aneh, pikirnya dan dia teringat akan semua percakapannya dengan Kim Lian tadi. Benarkah Mauw Siauw Mo-li haus akan cintanya? Benarkah seorang wanita seperti iblis ini mengenal apa artinya cinta? Ataukah hanya menjadi budak nafsu belaka? Ingin dia tertawa, mentertawakan Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi teringat akan kata-kata Kim Lian, dia merasa tidak tega. Biarpun iblis Mauw Siauw Mo-1i ini juga seorang wanita! Sama dengan Kim Lian! Seorang manusia yang berperasaan! Mungkin karena biasanya dapat menundukkan pria dengan mudah, maka setelah bertemu dengan dia dan justeru karena dia tidak dapat ditundukkannya, maka Mauw Siauw Mo-li menjadi tergila-gila dan jatuh cinta! Mungkin tersinggung perasaannya karena ucapan Kim Lian tadi, semua wanita ingin digilai laki-laki, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa wanita itu gila laki-laki. Akan tetapi ingin digilai, ingin dipuji, ingin dikagumi laki-laki manapun juga. Dan karena dia tidak tergila-gila kepada Mauw Siauw Mo-li, hal ini justeru malah membuat wanita ini tersinggung perasaannya dan merasa tidak puas, dan baru akan merasa senang kalau Tek Hoat yang kokoh kuat dan angkuh itu bertekuk lutut. Demikiankah?
“Mo-li, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil. Mari kita duduk dan bicara. Aku maafkan segala kesalahfahaman antara kita. Betapapun juga, engkau sudah banyak membantuku dan kita sudah melakukan perjalanan bersama cukup lama sehingga boleh dibilang kita adalah sahabat.”
“Ah, terima kasih, Tek Hoat!” Mauw Siauw Mo-li bangkit berdiri dan duduk di atas pembaringan, karena di situ hanya terdapat sebuah saja bangku yang diduduki Tek Hoat. Sejenak mereka berpandangan. Di bawah sinar api lilin yang kemerahan, memang harus diakui oleh Tek Hoat bahwa Mauw Siauw Mo-li memang cantik. Mungkin Kim Lian tadi lebih manis, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li lebih matang!
“Mo-li, kenapa engkau menyusulku sampai di sini?” Akhirnya Tek Hoat bertanya karena tidak tahan melihat sinar mata wanita itu yang seolah-olah akan membakarnya dengan nafsu membara, sepasang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.
“Kenapa? Ahhh, engkau tidak tahu betapa aku hampir mati tersiksa hatiku setelah engkau pergi. Aku merasa kesepian dan dunia ini serasa hampa setelah kepergianmu, Tek Hoat. Tidak pernah aku menyangka bahwa aku akan tergila-gila kepadamu. Tidak pernah aku membayangkan betapa cinta dapat begini menyiksa. Apalagi ketika aku teringat betapa kita berpisah sebagai musuh. Ah, tidak, Tek Hoat, aku tidak tahan maka aku menyusulmu.”
“Hemmm, Mo-li, siapa bisa percaya akan rayuanmu? Engkau terkenal sebagai seorang wanita yang bisa mendapatkan pria manapun yang kauinginkan. Seorang wanita seperti engkau ini, mana mungkin bisa jatuh cinta dengan sungguh-sungguh? Engkau hanyalah menjadi hamba nafsu berahimu sendiri....“
“Cukup, harap jangan lanjutkan, Tek Hoat. Aku mengaku bahwa memang hidupku yang lalu penuh dengan petualangan dan aku sudah biasa memandang rendah kaum pria yang kuanggap sebagai permainanku. Akan tetapi sekarang baru aku merasa bahwa aku sesungguhnya seorang manusia biasa, seorang wanita yang juga mempunyai hati dan perasaan. Aku cinta padamu, Tek Hoat, dan aku tersiksa ketika kita saling berpisah.”
Tek Hoat tidak tahu apakah dia merasa terharu ataukah geli mendengar kata-kata wanita ini. Siluman Kucing yang biasa mempermainkan pria sampai pria itu tewas, entah sudah berapa banyaknya pria ini yang tewas olehnya, diajaknya bermain cinta dan sekaligus dibunuhnya, wanita yang seperti iblis betina cantik ini, jatuh cinta kepadanya? Sungguh menggelikan dan sukar untuk dipercaya. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang telah merupakan seorang tokoh di dunia kaum sesat sehingga memiliki keangkuhan besar, maka kiranya tidak mungkin mau merendahkan diri dengan pengakuan cinta dan kelemahannya itu kalau tidak ada kesungguhan di baliknya. Apalagi bahwa wanita ini sudah mengaku sendiri betapa biasanya dia menganggap kaum pria sebagai permainannya dan baru sekarang perasaan wanitanya membisikkan bahwa dia jatuh cinta!
“Mo-li, kita hanya sahabat biasa, bahkan itu pun bukan, hanya kenalan yang kebetulan bertemu di tempat Yang-liu Nio-nio, ketua Hek-eng-pang yang menjadi muridmu itu. Ada waktunya bertemu, berkumpul, tentu ada waktunya pula untuk berpisah. Kita hanya bersimpang jalan dan jalan hidup kita tidak sama.”
Mauw Siauw Mo-li mengangguk, akan tetapi pandang matanya masih terus menatap wajah pemuda itu seolah-olah dia hendak menyihirnya. “Aku pun mengerti bahwa ada waktunya bertemu ada pula waktunya berpisah, Tek Hoat. Akan tetapi aku akan terus menderita kalau harus berpisah denganmu seperti itu, sebagai musuh!”
“Aku sudah memaafkan segala kesalahfahaman antara kita, Mo-li. Kita bukan musuh....“
“Akan tetapi aku ingin berpisah denganmu sebagai seorang kekasih, Tek Hoat.” Dan wanita itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat, merangkul pinggang pemuda itu dan membenamkan mukanya di atas pangkuan Tek Hoat! Kembali dia menangis! “Tek Hoat, kasihanilah aku.... bersikaplah sedikit manis kepadaku untuk kujadikan kenangan selama hidupku....“
Sikap dan kata-kata wanita itu menyentuh perasaan Tek Hoat. Kedua lengan yang merangkul pinggangnya itu begitu mesra, mengusap punggungnya, dan wajah yang cantik yang tadi bersembunyi di atas pangkuannya itu kini diangkat tengadah, memandangnya dari bawah, dengan sepasang mata agak berair dan sayu mesra, cuping hidungnya agak kembang-kempis, bibirnya tergetar, rambutnya yang hitam panjang awut-awutan, sebagian anak rambut menutup dahi dan telinganya. Dari tubuhnya keluar bau khas wanita, bau betina yang merangsang dan di bagian tubuh yang tersentuh oleh tubuh wanita itu terasa panas dan tergetar. Seorang wanita yang cantik dan masak.
Tek Hoat menunduk, memandang wajah itu, nampak jelas rambut alis itu yang tumbuh dengan indahnya, seperti rumput yang teratur sekali, seperti lukisan yang amat tepat dan bagus. Mata itu, hidung itu, mulut itu!
“Engkau memang seorang wanita yang cantik sekali, Mo-li....“ akhirnya dia berkata, ucapan yang bukan pujian kosong belaka melainkan pengakuan yang keluar dari lubuk hatinya.
Sepasang mata itu tecbelalak seperti orang heran, kemudian bersinar-sinar dan wajah yang berkulit putih kemerahan dan halus itu berseri. “Aihhh.... benarkah itu? Tek Hoat, kuminta kepadamu, dalam saat seperti ini.... aku bersungguh-sungguh, jangan kaugoda aku, jangan kaupermainkan aku, benarkah kata-katamu itu?”
“Kau memang cantik sekali.”
“Akan tetapi, orang menyebutku iblis betina....!
“Mungkin kau iblis betina, akan tetapi iblis betina yang cantik,” Tek Hoat membelai rambut panjang yang sanggulnya terlepas itu, “Dan rambutmu amat halus mengkilap dan panjang.”
Makin berseri wajah itu dan bibir yang memang bentuknya manis itu tersenyum. “Ahhh, Tek Hoat, jangan mempermainkan aku....! Aku lebih tua darimu, aku sudah tua sekali, sudah hampir nenek-nenek....“
Tek Hoat juga tersenyum. Dalam percakapan seperti ini, dia menemukan dalam diri Mauw Siauw Mo-li itu seorang manusia wanita biasa! Sama sekali bukan wanita iblis yang jahat dan keji, melainkan seorang wanita yang kalau dipuji oleh pria lalu menjadi bahagia hatinya, menjadi manja dan memancing pujian-pujian berikutnya!
“Usia tidak penting, yang nyata engkau adalah seorang wanita cantik yang kelihatannya tidak lebih dari dua puluh tahun usianya....“
Rangkulan kedua lengan itu mengetat di pinggang Tek Hoat. “Benarkah itu? Tek Hoat...., ah, benarkah bahwa akhirnya ada pula rasa sayang dalam hatimu terhadapku? Benarkah bahwa engkau juga.... cinta kepadaku, Tek Hoat? Ahhh, betapa hatiku menanti jawabanmu seperti rumput kering menantikan turunnya hujan....“
Tek Hoat tersenyum dalam hatinya. Teringat dia akan perasaan hatinya terhadap Syanti Dewi! Tiap kali dia berhadapan dengan kekasihnya itu dan bercakap-cakap, terus saja timbul sifat romantisnya, timbul pula keinginannya untuk bernyanyi, bersajak atau setidaknya mempergunakan kata-kata yang indah-indah! Kini Mauw Siauw Mo-li agaknya pun tidak terluput dari dorongan suasana hati itu. Kata-katanya mulai indah-indah dan muluk-muluk!
“Mo-li, terus terang saja, aku hanya mencinta seorang di dunia ini. Akan tetapi aku suka kepadamu, Mo-li, dan aku tidak berbohong ketika kukatakan bahwa engkau seorang wanita yang cantik sekali.”
Tangan kanan wanita itu melepaskan rangkulan di pinggang dan kini mengusap dagu Tek Hoat dengan mesra dan manja. “Aku masih belum, percaya benar.... apanya yang cantik pada diriku yang tua ini....?” Jelas bahwa wanita ini yang sedang dibuai cinta memancing-mancing pujian lebih banyak lagi!
“Wajahmu, alismu, matamu, hidungmu, mulutmu dan.... hemmm, bentuk tubuhmu juga amat indah menggairahkan....“
“Hi-hik....!” Mauw Siauw Mo-li meloncat berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari. “Engkau menduga-duga saja, untuk menyenangkan hatiku. Engkau kejam, Tek Hoat, engkau hanya mengejek dan mempermainkan aku yang benar-benar tergila-gila kepadamu, yang mencintamu seperti yang belum pernah kurasakan terhadap pria yang manapun!” Dalam hatinya, Lauw Hong Kui merasa bahwa dia berbohong karena sebelum ini pernah dia merasakan cinta yang sama seperti ini, yaitu terhadap Suma Kian Bu (baca Kisah Sepasang Rajawali).
“Tidak, aku tidak mempermainkanmu ketika aku memuji kecantikanmu, Mo-li.”
“Dan tubuhku?”
“Hemmm.... dan tubuhmu.”
“Menggairahkan katamu?”
Wajah Tek Hoat menjadi merah, akan tetapi dia mengangguk. “Ya, menggairahkan.”
Mauw Siauw Mo-li tertawa. Memang manis dia kalau tersenyum atau tertawa, memperlihatkan sekilas pandang giginya yang rata dan putih, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, dengan suara tenggorokan yang ditahan. “Hi-hik! Engkau hanya menduga-duga saja. Engkau belum pernah melihat tubuhku, bagaimana bisa mengatakan bahwa bentuk tubuhku indah menggairahkan?”
Wajah Tek Hoat makin menjadi merah. “Mudah dilihat dan diduga....” Dia menjawab juga.
Mauw Siauw Mo-li melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, menariknya perlahan sehingga Tek Hoat juga berdiri. Mauw Siauw Mo-li lalu merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu, mendekatkan mukanya sampai napasnya terasa oleh pipi Tek Hoat dan dia berbisik setelah mengeluarkan suara erangan kecil seperti kucing diusap kepalanya, “Tek Hoat, aku ingin kau tidak menduga-duga, melainkan melihatnya sendiri bentuk tubuhku. Kaubukalah....“
Akan tetapi Tek Hoat yang mulai terseret oleh rayuan dan suasana romantis yang ditimbulkan oleh sikap dan kata-kata Mauw Siauw Mo-li, menggeleng kepala sungguhpun dia masih tersenyum.
“Hi-hik, kau malu-malu? Engkau memang seorang pemuda hebat. Keras, angkuh, berkuasa, berwibawa, tidak mudah tunduk, mau menang selalu, dan kadang-kadang amat lembut seperti sekarang ini! Dan engkau tidak mudah terayu oleh wanita! Ah, betapa hebat dan kagum sekali hatiku, Tek Hoat. Baiklah, biar aku sendiri yang akan membuka pakaian ini, agar engkau tidak hanya menduga-duga saja dalam menilai tubuhku.” Mauw Siauw Mo-li lalu mendorong tubuh pemuda itu dengan lembut sehingga Tek Hoat terduduk di atas pembaringan. Pemuda ini memandang dan jantungnya berdebar tegang.
Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita cantik yang sudah mahir sekali berlagak dan bergaya untuk memikat hati pria. Dia sudah mengenal betul sifat-sifat pria pada umumnya dan dengan mudah dia dapat pula menjajagi perasaan hati Tek Hoat. Dengan gerakan yang lemah gemulai, genit namun tidak menjemukan, mulailah wanita ini melepaskan kancing bajunya satu demi satu, gerakannya lambat, ragu-ragu, dengan jari-jari tangan gemetar buatan, dengan kerling mata dan senyum bibir malu-malu seperti seorang perawan yang baru pertama kalinya berhadapan dengan pria.
Tek Hoat benar-benar menghadapi rayuan maut yang amat hebat. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika dia melihat pakaian itu tanggal satu demi satu dengan cara penanggalannya demikian memikat, setiap potong pakaian diloloskan dari tubuh secara perlahan, sedikit demi sedikit sampai akhirnya Mauw Siauw Mo-li berdiri tanpa penutup tubuh sama sekali bermandikan sinar api lilin yang kemerahan dan bergoyang-goyang membentuk bayang-bayang aneh di dinding.
“Ihhh.... hi-hik, matamu seperti mengeluarkan api, Tek Hoat....“ bisiknya halus dan wanita ini lalu mengangkat kedua lengannya ke atas, menggunakan jari-jari tangannya untuk membereskan rambut kepala yang awut-awutan. Gerakan ini benar-benar merupakan gerakan khas wanita di bagian manapun di dunia ini dan pengangkatan kedua lengan ke atas itu menonjolkan keindahan bentuk tubuh wanita, dadanya makin menonjol, kerampingannya makin nampak dan tubuhnya makin polos, dan terbuka.
Tek Hoat adalah seorang pemuda normal yang biasa saja. Menyaksikan semua pertunjukan ini, napasnya agak memburu dan mukanya merah sekali.
“Hi-hik, kau kenapa, Tek Hoat?” Mauw Siauw Mo-li lalu melangkah maju, langkahnya perlahan dan seperti orang menari, kemudian tahu-tahu dia telah duduk di atas pangkuan pemuda itu, merangkulkan kedua lengannya ke leher Tek Hoat dan tahu-tahu pula Tek Hoat merasa betapa mulutnya dicium oleh bibir yang panas dan lembut.
Belum pernah selama hidupnya dia dicium wanita seperti ini! Semua bagian mulut wanita itu hidup dan membelai mulutnya. Tek Hoat hanyut dan terseret oleh gelombang nafsu yang ditimbulkan oleh Mauw Siauw Mo-li secara hebat itu dan hampir Tek Hoat tenggelam. Seluruh perasaannya terpusat pada ciuman wanita itu dan belaian tangan Mauw Siauw Mo-li yang mulai menggerayangi tubuhnya dan jari-jari tangan wanita itu mulai menyentuh kancing-kancing bajunya. Ketika Tek Hoat mendengar suara aneh dari kerongkongan wanita itu, suara seperti seekor kucing mengerang-erang, dia merasa seperti disambar petir. Teringatlah dia bahwa yang memeluknya di atas pembaringan ini bukan Syanti Dewi! Dia tadi seperti dalam mimpi, seolah-olah Syanti Dewi yang memeluk dan menciumnya, sungguhpun dia tadi merasa terheran-heran karena seingatnya, Syanti Dewi tidak pernah bersikap ”menyerang” sehebat itu dalam pencurahan kasih sayang. Pernah dia mencium kekasihnya itu, namun sungguh berbeda sekali sikap dan gerak sambutan Puteri Bhutan itu dengan Mauw Siauw Mo-li. Syanti Dewi adalah lambang kesucian dan kehalusan, akan tetapi wanita ini amat ganas!
Erangan seperti suara kucing itu menyadarkan Tek Hoat dan kalau tadi dia menutupkan kedua matanya, kedua tangannya membalas pelukan dan dia membiarkan mulutnya diciumi secara luar biasa itu, kini dia membuka matanya dan ternyata bahwa lilin telah padam sehingga kamar itu menjadi gelap sekali. Kiranya dengan gerakan tangannya, Mauw Siauw Mo-li telah memadamkan lilin di atas meja.
Dengan susah payah akhirnya Tek Hoat dapat melepaskan bibirnya dari cengkeraman mulut Mauw Siauw Moli. Terdengar napas mendengus-dengus, napasnya sendiri dan napas wanita itu setelah ciuman dilepaskan. Rintihan Mauw Siauw Mo-li makin panas, tangannya merenggut lepas tiga buah kancing baju Tek Hoat sekali tarik.
“Nanti dulu.... Mo-li, nanti dulu....“
“Tek Hoat....“ Mauw Siauw Mo-li menahan ketika Tek Hoat hendak bangkit duduk. Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena sudah mengerang lagi seperti seekor kucing. Bulu tengkuk Tek Hoat meremang mendengar suara ini.
“Nanti dulu, Mo-li. Dengar, aku hendak.... hendak ke belakang dulu....“ katanya.
“Ehhh....? Hi-hik.... baiklah, tapi jangan lama-lama, kekasih....“ Kedua tangannya melepaskan pelukan.
Tek Hoat bangkit duduk dan turun dari pembaringan, sudah setengah telanjang. Tidak ingat lagi dia kapan Mauw Siauw Mo-li telah hampir menelanjanginya itu.
Akan tetapi sebelum dia melangkah, Mauw Siauw Mo-li rengerang. “Tek Hoat.... katakan dulu.... benarkah kau menganggap aku cantik menarik?”
“Ya, aku tidak berbohong.”
“Dan kau suka kepadaku?”
“Aku suka sekali....”
“Kalau begitu, coba kaucium aku....“
Di dalam gelap, Tek Hoat tersenyum, lalu dia menghampiri pembaringan dan membungkuk, menggunakan tangannya meraba dan setelah dia menyentuh pundak wanita itu, dia lalu mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita yang panas itu dengan mesra. Dicium semesra itu, Mauw Siauw Mo-li mengerang dan merangkul, hendak menarik lagi Tek Hoat ke atas pembaringan.
“Nanti dulu, sebentar, aku takkan lama, Mo-li....“ Tek Hoat melepaskan rangkulan dua tangan itu, meraba-raba di atas meja dan tak lama kemudian dia membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu, menuju ke belakang, ke kamar kecil!
Terlalu lama bagi Mauw Siauw Mo-li menanti di dalam kamar, akan tetapi membayangkan penyerahan diri pemuda yang membuatnya tergila-gila itu membuat dia bersabar menanti dengan tubuh panas semua karena api berahi telah membakarnya berkobar-kobar. Terdengar daun pintu terbuka, sesosok bayangan masuk dan daun pintu ditutup iagi.
“Ahhhhh.... kekasih.... pujaanku.... kesinilah.... cepat sini....!” Mauw Siauw Mo-li berbisik. Bayangan itu menghampiri pembaringan dan segera disambar oleh kedua tangan Mauw Siauw Mo-li, ditariknya ke atas pembaringan.
Di luar jendela kamar itu, Ang Tek Hoat berdiri dan tersenyum. Tangannya memegang segulungan pakaian, pakaian Mauw Siauw Mo-li yang diam-diam dibawanya keluar tadi. Ketika tadi dia dibelai dan dirayu oleh wanita itu, hampir saja dia terseret dan tenggelam. Akan tetapi, suara mengerang seperti kucing itu menyadarkannya bahwa dia berada dalam pelukan Siluman Kucing! Maka timbuliah akalnya untuk mempermainkan wanita ini. Dia pura-pura hendak ke belakang, akan tetapi diam-diam dia menambah minyak dalam api berahi itu dengan bersikap manis dan memberi ciuman, dan disambarnya semua pakaian Mauw Siauw Mo-li, dibawa keluar. Setelah tiba di luar kamar, Tek Hoat mempergunakan kepandaiannya, mendatangi kamar pelayan berwajah bopeng dan buruk sekali itu. Pelayan ini masih belum tidur dan menjadi terkejut ketika tiba-tiba pintunya terbuka dan pemuda yang dilayaninya tadi berdiri di situ.
“Sssttttt.... Paman, cepat kau ikut aku!”
Pelayan itu mengenal Tek Hoat sebagai tamu yang royal dengan hadiah, akan tetapi juga galak, maka dia cepat turun dari pembaringan.
“Ada apa, Kongcu?”
“Kau mau.... eh, bermain dengan seorang wanita cantik? Lebih cantik dari Kim Lian tadi?”
“Aihhh, jangan main-main, Kongcu. Orang seperti saya mana ada uang untuk....“
“Tak usah bayar, aku sudah membayarnya. Aku lelah, dan kauwakili aku, tapi diam-diam saja jangan keluarkan suara, ya? Kau harus begini....“ Tek Hoat berbisik-bisik di dekat telinga pelayan itu yang membelalakkan mata, terkekeh dan nengangguk-angguk.
Dengan tergesa-gesa, pelayan itu ditarik oleh Tek Hoat sampai ke depan pintu kamarnya, dalam keadaan tidak berpakaian sama sekali! Kemudian, setengah didorong, pelayan itu memasuki kamarnya yang gelap dan pelayan itu segera disambut oleh kedua lengan Mauw Siauw Mo-li yang mulus dan tubuhnya yang hangat. Mauw Siauw Mo-li sedang terbakar nafsu berahi, dalam gelap itu mana dapat membedakan orang? Apalagi, nafsu berahi, seperti nafsu lain, hanyalah merupakan permainan dari dirinya sendiri belaka. Jika nafsu berahi telah berkobar, bantuan dari luar untuk pemuasan nafsu tidaklah merupakan hal yang mutlak penting. Apalagi semua indera dari Mauw Siauw Mo-li seolah-olah telah menjadi tumpul dan buta sehingga dia tidak lagi dapat membedakan orang dan di dalam gelap itu, dia segera menggelut pelayan bopeng yang merasa terkejut, heran, juga amat girang karena dia seolah-olah menjadi seperti seorang kelaparan yang diberi hidangan lezat dan banyak sehingga dia pun makanlah dengan lahap dan rakusnya! Dari luar jendela, Tek Hoat tersenyum mendengar erangan seperti kucing itu, dan bisikan-bisikan yang menyatakan kagum dan pujian terhadap dirinya oleh Mauw Siauw Mo-li. Maka dia lalu meloncat pergi sambil tersenyum lebar. Mudah-mudahan saja besok Mauw Siauw Mo-li akan sadar bahwa cinta tidak dapat dipaksa-paksakan, pikirnya. Kini berkurang rasa bencinya terhadap Mauw Siauw Mo-li. Dia tahu bahwa wanita itu telah menjadi hamba dari nafsu berahinya, yang merupakan semacam penyakit yang mendalam sehingga selama hidupnya, wanita itu akan menjadi tersiksa oleh penyakit itu, hidupnya tidak akan dapat tenteram, nafsu berahinya seperti api yang berkobar dan makin lama makin berkobar, membara dan membakar segala-galanya tanpa pernah mengenal kepuasan. Dalam diri wanita itu seperti telah dicengkeram oleh racun yang amat dahsyat!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah kegelapan dalam kamar terusir oleh sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui lubang-lubang di atas jendela, terdengar teriakan panjang mengerikan dari dalam kamar Tek Hoat. Teriakan ini keluar dari mulut pelayan bopeng, disusul oleh suara maki-makian yang marah dari Mauw Siauw Mo-li. Ketika wanita ini terbangun dan mendapatkan dirinya dalam pelukan seorang laki-laki yang berwajah buruk sekali, dia menjerit dan melemparkan pelayan itu dengan sekali gerakan saja ke atas lantai! Pelayan itu terkejut dan berteriak, akan tetapi teriakkannya memanjang mengantar nyawanya ketika Mauw Siauw Mo-li sudah meloncat dan sekali tangannya terayun, pelayan itu roboh dengan kepala pecah! Mauw Siauw Mo-li mencari pakaiannya dan ketika melihat bahwa pakaiannya hilang, dia memaki-maki dengan kemarahan meluap-luap. Tahulah dia bahwa dia telah dipermainkan oleh Ang Tek Hoat! Dua titik air mata meloncat keluar dari matanya, akan tetapi kini kemarahannya mengatasi kekecewaannya dan dia memaki-maki dan menendang, membanting dan menghancurkan seisi kamar itu.
“Tek Hoat keparat! Jahanam besar kau! Kubunuh kau....!”
Tiba-tiba pintu kamar itu terketuk orang keras-keras dari luar dan terdengar suara ribut-ribut. Itu adalah suara para pelayan lain, dan para pengurus rumah penginapan dan para tamu yang mendengar teriakan mengerikan tadi. Mauw Siauw Mo-li terkejut dan bingung. Dia telanjang bulat!
“Braaaaakkkkk....!” Pintu dijebol banyak orang dari luar. Melihat ini, Mauw Siauw Mo-li terpaksa meloncat keluar dari jendela dalam keadaan telanjang bulat. Akan tetapi, ternyata di luar jendela telah banyak orang pula, bahkan ada petugas keamanan mengurung tempat itu. Tentu saja semua ini adalah perbuatan Tek Hoat yang memberi tahu orang-orang dan petugas itu bahwa di dalam kamarnya terdapat siluman yang suka membunuh orang!
Beberapa orang yang melihat wanita cantik jelita dan telanjang bulat itu menjadi terkejut, akan tetapi ketika melihat pelayan bopeng rebah di atas lantai berlumur darah mukanya dan telah tewas, mereka menjadi marah.
“Tangkap siluman!”
“Dia membunuh orang!”
“Bunuh saja dia! Awas, hadang dia, jangan sampai kabur!”
Banyak orang menyerbu ke dalam kamar, akan tetapi tentu saja dengan sekali gerakan Mauw Siauw Mo-li telah berhasil merobohkan beberapa orang, kemudian dia menerobos keluar jendela, menendang dan memukul roboh mereka yang berani menghalanginya dan dengan beberapa kali lompatan di atas genteng-genteng rumah orang, lenyaplah wanita telanjang bulat yang cantik itu!
Tentu saja peristiwa itu menjadi “dongeng”' yang banyak diceritakan orang yang rnenganggap bahwa wanita cantik itu pasti benar-benar siluman! Kalau manusia, mana mungkin ada seorang wanita yang demikian cantiknya suka bermain cinta dengan seorang laki-laki yang demikian buruknya seperti pelayan itu, yang selain buruk, juga sudah setengah tua dan miskin? Dan pelayan itu dibunuhnya. Siapa lagi wanita itu kalau bukan siluman?
Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li menjadi marah dan sakit hati sekali terhadap Tek Hoat. Akan tetapi ke manakah dia harus mencari Tek Hoat? Pemuda itu sudah pergi jauh, dan selain itu, andaikata dia dapat bertemu dengan pemuda itu, apa yang dapat dia lakukan terhadapnya? Dia tahu bahwa Tek Hoat memiliki kepandaian yang amat tinggi dan dia tidak akan menang melawan pemuda itu. Ingin dia menangis kalau mengingat betapa dia gagal mendapatkan diri pemuda itu. Bagaikan sepotong daging, pemuda itu sudah berada di dalam mulutnya, tinggal menelannya saja, akan tetapi daging itu terloncat keluar dari dalam mulutnya dan dia bukan hanya gagal mendapatkannya, bahkan sebaliknya dia dipermainkan! Hatinya sakit sekali dan dalam keadaan seperti ini, Mauw Siauw Mo-li berjanji dalam hati sendiri untuk mencari jalan agar kelak dia dapat membalas penghinaan itu.
***
Lereng Bukit Tai-hang-san memiliki pemandangan alam yang amat indah. Terutama sekali di lereng gunung di mana berdiri Kuil Kwan-im-bio itu. Sungguh bagian lereng gunung ini merupakan tempat yang subur sekali tanahnya karena sumber air di dekat puncak mengalir melalui lereng ini. Segala macam tanaman rempah-rempah yang mengandung khasiat pengobatan dan racun ampuh dan bunga-bunga indah dan aneh-aneh yang tidak terdapat di daerah lain. Mungkin terpengaruh oleh cara hidup para nikouw (pendeta wanita) yang mendiami Kuil Kwan-im-bio itu, cara hidup penuh ketenteraman, ketenangan dan kedamaian, maka para penduduk di dusun-dusun sekitar daerah lereng ini pun hidup tenteram dan tenang. Bahkan binatang-binatang hutan yang terdapat di lereng itu, burung-burung yang berkembang biak dengan amannya, kelihatan jinak dan tidak takut kepada manusia karena manusia yang tinggal di sekitar daerah itu tidak pernah ada yang mengganggu mereka.
Kuil Kwan-im-bio yang berada di lereng itu dipimpin oleh Kim Sim Nikouw, seorang pendeta wanita yang lemah lembut dan manis budi, yang dikenal oleh seluruh penduduk pegunungan itu sebagai seorang pendeta yang suka menolong mereka yang sedang dilanda kesusahan, dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan juga seorang yang biarpun kelihatan lemah namun sesungguhnya merupakan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga tidak ada orang jahat pernah berani mencoba-coba untuk mengganggu daerah itu. Akan tetapi, Kim Sim Nikouw tidak pernah mau memperlihatkan kepandaiannya, apalagi untuk berkelahi, bahkan dia selalu mengalah dan bersikap manis terhadap siapapun juga sehingga banyak orang jatuh olehnya bukan dengan kekerasan atau kepandaian silat, melainkan oleh sikapnya yang manis budi. Kejatuhan seperti ini bukan merupakan kejahatan yang mengandung dendam dan sakit hati, sebaliknya malah kejatuhan seperti ini mengandung daya tarik yang membangkitkan rasa sayang di dalam hati semua orang terhadap nikouw tua ini.
Usia Kim Sim Nikouw sudah mendekati enam puluh tahun namun wajahnya masih nampak berkulit halus dan kemerahan, tanda sehat dan segar, masih jelas nampak bekas kecantikan wajahnya. Memang nikouw ini dahulu adalah seorang wanita yang amat cantik dan tangkas. Dan ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali karena dia bukan lain adalah bekas suci dari Pendekar Super Sakti yang kini menjadi Majikan Pulau Es (baca cerita Pendekar Super Sakti). Biarpun nikouw ini kelihatan lemah dan manis budi, namun sesungguhnya di waktu mudanya dia pernah menjadi murid seorang datuk kaum sesat yang bertangan kejam sekali.
Bahkan nikouw ini memiliki pula pukulan yang dinamakan Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), di samping tenaga dingin Swat-im Sin-kang yang amat mujijat. Akan tetapi, belum pernah ada orang yang menyaksikan nikouw itu mempergunakan pukulan mengerikan dan tenaga mujijat itu, kepandaian yang oleh nikouw itu sendiri tidak disukainya. Akan tetapi yang pernah nampak oleh orang lain adalah kepandaian berlari cepat dari nikouw ini. Kim Sim Nikouw selama puluhan tahun telah menciptakan ilmu meringankan tubuh yang amat hebat sehingga dia dapat berlari seperti terbang cepatnya dan kedua kakinya seolah-olah menginjak ujung rumput-rumput di atas tanah. Ilmu ciptaannya ini adalah Ilmu Jouw-sang-hui-eng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) dan ada pula gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya dan yang diberinya nama Ilmu Sin-ho Coan-in (Bangau Sakti Terjang Awan).
Sikap dan sifat Kim Sim Nikouw memang membuat dia pantas sekali menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, karena dewi yang dipuja-puja di kuil itu sendiri, yaitu Kwan Im Pouwsat, adalah dewi lambang dari kebijaksanaan dan belas kasih, penolong dan pengampun. Murid-muridnya, yaitu para nikouw yang berada di kuil itu, semua tunduk kepadanya, taat bukan karena takut melainkan karena mencinta pendeta wanita ini. Dan para nikouw itu hanya menjadi muridnya dalam hal keagamaan saja. Satu-satunya nikouw yang menjadi muridnya dalam hal ilmu silat hanyalah seorang, yaitu Liang Wi Nikouw yang usianya malah lebih tua dari padanya! Liang Wi Nikouw telah berusia enam puluh lima tahun sedangkan Kim Sim Nikouw kurang lebih enam puluh tahun!
Akan tetapi, semenjak beberapa bulan ini, Kim Sim Nikouw membawa pulang seorang dara remaja yang usianya baru delapan belas tahun, seorang dara yang bersikap lemah lembut, berwajah cantik dan gerak-geriknya halus. Dara ini bukan lain adalah Phang Cui Lan, puteri mendiang kepala kampung Cian-li-cung di dekat Lok-yang, dara yatim piatu yang hidup sebatangkara dan yang pernah menjadi dayang atau pelayan dari keluarga Gubernur Ho-nan. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, dayang yang muda dan cantik ini, biarpun merupakan seorang wanita lemah, namun dia memiliki keberanian yang amat mengagumkan dan dengan cara luar biasa dia telah berhasil menyelamatkan Gubernur Ho-pei dari ancaman bahaya ketika Gubernur Ho-pei ini tertawan oleh Gubernur Ho-nan yang hendak memberontak. Dan telah dituturkan pula betapa Cui Lan diangkat anak oleh Gubernur Ho-pei dan diajak pulang ke Ho-pei. Akan tetapi di tengah jalan, Cui Lan bertemu kembali dengan satu-satunya, pria yang dipujanya dan yang diam-diam dicintanya, yaitu Siluman Kecil yang bertanding melawan kakek pembawa suling emas.
Sikap Siluman Kecil yang tidak mempedulikannya, membuat hati dara ini hancur dan terluka. Kembali terbukti betapa cinta kasih yang sesungguhnya bukan cinta kasih murni melainkan cinta kasih yang mengikat, yang mengandung pamrih, yang disebut cinta kasih akan tetapi sebenarnya hanya merupakan pengejaran kesenangan diri pribadi, selalu pasti mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan! Betapa banyak terjadi di dalam dunia ini cinta-cinta yang mendatangkan korban tak terhitung banyaknya dan bermacam-macam lika-likunya. Cinta seperti itu yang mendatangkan korban di antara manusia telah terjadi semenjak ribuan tahun, sedang terjadi pula sekarang ini dan mungkin akan terus terjadi selama manusia tidak menyadari betapa palsunya cinta kasih seperti itu. Betapa banyaknya kaum muda-mudi yang saling tertarik, bersumpah saling mencinta ketika mereka masih diombang-ambingkan oleh pengejaran untuk menyenangkan dirinya sendiri itu. Kemudian, setelah datang badai berupa sesuatu yang membuat hati mereka tidak senang, lunturlah cinta kasih itu, bahkan tidak jarang cinta mereka berubah menjadi kebencian! Cinta kasih macam itu tak dapat tiada tentu akan mendatangkan kepahitan, patah hati, kekecewaan, kebosanan, cemburu, dan sebagainya. Karena cinta kasih seperti itu isinya penuh dengan pamrih dan harapan, bayangan untuk kesenangan pribadi, maka apabila ternyata bahwa cinta kasih itu tidak mendatangkan kesenangan lagi, bahkan merugikan dan menyakitkan, cinta kasih itu berubah menjadi penderitaan dan kesengsaraan batin.
Demikian pula dengan Phang Cui Lan. Dia mencinta Siluman Kecil, cinta yang didorong oleh rasa kagumnya terhadap Siluman Kecil yang pernah menolongnya. Cintanya berselubung harapan agar dia menjadi milik pria itu, agar pria itu membalas cintanya, agar dia selalu dapat berdampingan dengan pria itu karena hal ini akan amat menyenangkan hatinya. Demikianlah gambaran yang diharap-harapkannya. Oleh karena itu, karena melihat kenyataan betapa pendekar yang dipujanya itu sama sekali tidak mempedulikannya, sama sekali tidak menerima apalagi membalas cintanya, Phang Cui Lan mengalami pukulan batin yang hebat dan yang membuatnya merana.Untung baginya bahwa dalam keadaan itu dia bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang menaruh kasihan kepadanya dan mengajak dara itu tinggal di kuilnya.
Kim Sim Nikouw merasa tertarik dan sayang kepada Cui Lan, karena dia melihat persamaan nasib antara dia dan dara itu. Dia sendiri di waktu mudanya juga mengalami patah hati yang amat membuatnya sengsara, yaitu ketika cintanya terhadap Pendekar Super Sakti tidak berhasil membuat dia berjodoh dengan pendekar itu. Dia pun pernah mengalami derita batin karena cinta gagal, maka kini menyaksikan keadaan Cui Lan, timbul rasa iba di dalam hatinya. Dara itu pun seorang yang yatim piatu seperti dia, dan gagal pula dalam cintanya. Dulu dia gagal dalam cintanya terhadap Pendekar Super Sakti dan kini Cui Lan gagal terhadap putera pendekar itu.
Hati Cui Lan banyak terhibur dan terobati setelah dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Bahkan dara ini yang telah mengalami banyak hal-hal pahit dan maklum bahwa sebagai seorang wanita muda yang lemah dia terancam oleh berbagai kejahatan di dunia ramai, kini mulai mempelajari ilmu silat dari ketua Kwan-im-bio itu di samping menerima wejangan-wejangan kebatinan yang dapat dia pergunakan untuk mengatasi penderitaan batinnya.
Akan tetapi, bukan hanya menjadi maksud hati Kim Sim Nikouw untuk sekedar mengobati luka di hati Cui Lan, agar dara itu dapat melupakan kedukaannya dan melupakan Kian Bu. Sama sekali tidak! Nikouw ini melihat kenyataan bahwa menghibur hati yang sengsara dengan cara memaksa diri menjadi nikouw bukanlah merupakan jalan yang baik, karena dia sendiri sudah merasakan betapa sampai sekarang pun hatinya kadang-kadang terluka dan perih kembali! Oleh karena itu, dia tidak ingin melihat Cui Lan mencontoh perbuatannya. Tidak, Cui Lan adalah seorang dayang amat cantik dan baik, hal ini sudah diketahuinya benar selama beberapa hari saja setelah dara itu ikut bersamanya. Dara ini baik sekali, cukup baik dan cukup berharga untuk menjadi mantu Pendekar Super Sakti! Karena itu, diam-diam dia akan turun tangan, dia yang akan menjadi wali dan wakil orang tua dara ini untuk menjodohkan Cui Lan dengan Kian Bu!
Cui Lan sendiri hanya dapat menduga-duga saja siapakah sebenarnya nikouw yang kini menjadi gurunya ini. Dia hanya tahu bahwa nikouw ini bersama Kim Sim Nikouw dan menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, akan tetapi dia tidak tahu apa hubungan nikouw ini dengan Siluman Kecil. Dia mendengar ketika dia mengintai bersama Hwee Li betapa Siluman Kecil menyebut nikouw ini “ibu”. Akan tetapi dia tidak berani menanyakan kepada subonya.
Pada suatu hari, setelah kurang lebih tiga bulan dia berguru kepada Kim Sim Nikouw, dan untuk ke sekian kalinya dia mengajukan permintaan agar diterima menjadi nikouw karena di dunia baru ini dia merasa seperti menemukan ketenteraman batin. Kim Sim Nikouw kembali menolaknya dan berkata kepada dara yang berlutut di depannya itu.
“Cui Lan, ketahuilah bahwa engkau tidak berjodoh untuk menjadi pendeta.”
Cui Lan mengangkat mukanya yang tadi menunduk dan memandang kepada subonya dengan sinar mata penuh permohonan. “Akan tetapi, Subo. Teecu telah merasa tenteram dan senang hidup sebagai seorang pendeta. Apakah Subo hendak mengatakan bahwa teecu masih terlalu kotor untuk menjadi nikouw?”
“Omitohud....! Sama sekali tidak demikian muridku.”
“Kalau begitu, kenapakah, Subo? Harap Subo suka memberi penerangan kepada teecu.”
“Engkau ingin tahu mengapa aku melarangmu menjadi nikouw, Cui Lan? Karena.... karena pinni menyayangmu seperti anak sendiri, karena pinni tidak ingin engkau yang begini muda menyia-nyiakan hidupmu dan tidak menikmati hidupmu. Karena pinni tidak ingin engkau menjadi korban dari cinta gagal yang akan membuat hidupmu selalu merana dan sengsara, biarpun hal itu akan kau tutupi dengan jubah pendeta sekalipun!”
Wajah Cui Lan berubah, agak pucat ketika dia memandang kepada nikouw itu dengan sinar mata terbelalak. “Apa.... apa maksud Subo....?”
Nenek itu memandang kepada muridnya dengan sepasang matanya yang bersinar lembut namun tajam dan agaknya dapat menjenguk isi hati yang dipandangnya, “Cui Lan, engkau masih mencinta Siluman Kecil, bukan?”
Wajah Cui Lan berubah menjadi merah dan dia menunduk, akan tetapi lalu menarik napas panjang dan sampai lama baru menjawab, “Teecu.... cinta padanya dan selama hidup teecu akan tetap mencintanya, Subo. Akan tetapi apa artinya semua itu? Tidak ada gunanya dan karena itulah maka teecu mengambil keputusan untuk menggunduli kepala dan masuk menjadi nikouw saja. Harap Subo suka mengabulkan permintaan teecu ini....“
“Tahukah engkau siapa sebetulnya Siluman Kecil itu?”
Cui Lan memandang gurunya. “Teecu tidak tahu, Subo. Dia.... dia diliputi penuh rahasia.... dan teecu pernah mendengar betapa dia menyebut Subo dengan sebutan ibu.... ah, bukan sekali-kali teecu bermaksud untuk menanyakan hal ini kepada Subo, teecu tidak berhak mengetahui....“
“Anak baik, engkau amat sopan dan baik. Akan tetapi jangan khawatir. Dia bukanlah puteraku sungguhpun dia kuanggap sebagai anakku sendiri dan dia pernah mempelajari beberapa macam ilmu dari pinni. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan itu, melainkan bahwa dia itu putera dari Majikan Pulau Es, putera dari Pendekar Super Sakti, dan namanya adalah Suma Kian Bu.”
Cui Lan mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Dia sama sekali tidak pernah mengenal nama Pendekar Super Sakti atau Majikan Pulau Es, akan tetapi nama Suma Kian Bu tidak asing baginya, terutama she Suma itu. Kemudian dia teringat, “Ah, teecu pernah mengenal seorang pendekar perkasa yang amat berbudi dan bernama Suma Kian Lee....“
“Ehhh? Suma Kian Lee? Dia adalah kakak dari Suma Kian Bu atau Siluman Kecil!”
“Ohhhhh....!” Cui Lan terbelalak dan kini dia mengerti mengapa dia merasa kagum dan suka sekali kepada Suma Kian Lee, bukan hanya karena Kian Lee merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi sekarang dia melihat bahwa memang terdapat persamaan antara kedua orang pemuda itu! Banyak sekali persamaan malah. Memang wajah mereka agak berbeda, memiliki ketampanan masing-masing, akan tetapi kini nampak olehnya bahwa memang terdapat persamaan yang kuat sekali, entah di dalam sinar matanya, atau dalam sikap mereka yang gagah.
“Dan ketahuilah bahwa pinni adalah sahabat baik dari ayah mereka. Pendekar Super Sakti. Bukan hanya sahabat baik sekali, Cui Lan, bahkan dia itu dahulu adalah suteku sendiri. Pinni menganggap Kian Bu sebagai anak sendiri dan pinni melihat engkau memang pantas menjadi jodohnya, Cui Lan....”
“Subo....!” Cui Lan menjerit dan mukanya berubah makin merah. “Dia.... dia tidak suka kepada teecu....!”
“Ah, mana mungkin ada orang tidak suka kepadamu, Cui Lan? Dan anakku Kian Bu itu bukanlah pembenci orang.”
“Akan tetapi dia.... dia.... agaknya tidak dapat menerima perasaan teecu, Subo.” Dia berhenti sebentar. “Dia.... tidak mencinta teecu.... tidak mungkin dia sudi berjodoh dengan, teecu.”
“Jangan khawatir, muridku. Aku cukup mengenal anakku Kian Bu. Bukannya dia tidak mencintamu, akan tetapi mungkin ada hal lain yang membuat dia agaknya sengaja menjauhimu. Akan tetapi, biarlah pinni yang akan menemuinya dan kalau perlu pinni yang akan membicarakan urusan perjodohan antara engkau dan Kian Bu dengan ayahnya, Pendekar Super Sakti. Kalau pinni yang bicara, pinni yakin akan ada perhatian dari keluarga mereka.”
Tiba-tiba Cui Lan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya, air mata yang terdorong oleh bermacam perasaan. Ada kesedihan, ada keharuan, akan tetapi juga ada kegirangan yang timbul oleh harapan baru. Hampir dia tidak percaya bahwa dia kelak akan dapat menjadi jodoh Siluman Kecli. Akan tetapi siapa tahu? Nasibnya berada di tangan subonya. Dia lalu memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. “Subo.... teecu menyerahkan mati hidup teecu di tangan Subo, dan teecu hanya akan mentaati segala perintah Subo....“
Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan menggerakkan tangannya, dengan lembut dia mengusap rambut kepala muridnya itu. Tak lama kemudian dia berkata, “Aihhh, betapa cinta kasih di dunia ini mendatangkan banyak korban di antara manusia! Pinni akan berusaha sungguh-sungguh, Cui Lan, karena pinni tidak menghendaki engkau mengalami nasib seperti wanita-wanita yang gagal dalam bercinta sehingga akhirnya hidup menderita selamanya. Pinni sendiri telah menemui kebahagiaan dalam penghambaan diri kepada Pouwsat, akan tetapi betapa banyaknya orang yang hanya menggunakan agama sebagai pelarian belaka? Apalagi kalau pinni teringat kepada sucimu Yan Hui.... hemmm, pinni merasa ngeri....“ Wajah nikouw itu menjadi muram ketika menyebut nama Yan Hui itu.
Cui Lan yang telah mereda keharuannya dan telah mengusap air matanya itu memandang subonya, hatinya tertarik. “Subo, siapakah Suci (Kakak Seperguruan) yang bernama Yan Hui itu?” tanyanya.
Kembali Kim Sim Nikouw menarik napas panjang. “Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, pinni belum mendidik Liang Wi Nikouw sucimu itu sebagai murid, pinni tadinya tidak berniat untuk menurunkan ilmu silat kepada siapapun karena pinni menganggap bahwa ilmu silat hanyalah ilmu yang dipergunakan orang untuk menunjukkan kekerasan belaka. Akan tetapi pada suatu hari, pinni bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi dan dia pinni temui hampir membunuh diri di dalam kamar kuil ini ketika pada suatu malam dia bermalam di sini. Pinni mencegah dia membunuh diri dan memutuskan tali penggantung lehernya. Dara itu bernama Ouw Yan Hui, cantik jelita dan berilmu tinggi. Melihat betapa pinni menggagalkan maksudnya membunuh diri, setelah dia siuman kembali, dia menjadi marah dan menyerang pinni. Kami bertanding dan ternyata ilmunya memang hebat! Kalau saja pinni tidak memiliki ilmu ginkang yang telah pinni latih secara tekun sekali sehingga dalam hal kecepatan pinni dapat mengatasinya, agaknya pinni tidak akan menang menghadapinya.” Sampai di sini nikouw itu berhenti dan memejamkan mata mengingat-ingat.
“Akan tetapi pinni tidak mau melukai orang, apalagi membunuh orang. Maka perlahan-lahan pinni menasihatinya dengan pelajaran agama dan akhirnya dia sadar dan insyaf, lalu dia menangis dan berlutut mohon menjadi murid pinni. Seperti juga engkau, dia ingin menjadi nikouw, akan tetapi pinni yang melihat ada ganjalan hati yang membuatnya keras luar biasa, tidak mau menerimanya, hanya menerimanya sebagai murid. Pinni mengajarkan ginkang itu kepadanya dan ternyata dia berbakat sekali. Dalam waktu tiga tahun saja ginkangnya bahkan sudah melampaui tingkat pinni sendiri!”
“Ah, dia tentu hebat....!” Cui Lan berseru kagum.
“Memang dia hebat! Yan Hui seorang wanita yang hebat sekali. Akan tetapi dia pun menjadi rusak oleh patah hati karena cinta gagal!”
“Ohhh....!” Cui Lan berseru kaget dan kasihan.
“Sebetulnya dia sudah bersuami dan dia amat mencinta suaminya itu. Akan tetapi, selagi dia mengandung tua, suaminya itu menyeleweng dan dia menangkap basah suaminya yang berjina dengan seorang gadis tetangganya. Yan Hui tidak mampu menahan kemarahannya dan dia membunuh suaminya dan gadis itu, menjadi buronan dalam keadaan mengandung tua. Dengan sengsara dia melarikan diri, melahirkan anak seorang diri di dalam kuil tua dan anak itu mati ketika dilahirkan. Dia sendiri hampir saja mati, dan biarpun akhirnya dia dapat memulihkan kembali kesehatannya, namun hatinya telah terluka. Dalam keadaan seperti itulah pinni bertemu dengan dia, ketika dia hendak membunuh diri.”
Cui Lan makin tertarik. “Sungguh kasihan sekali dia Subo, di mana sekarang adanya suci itu?”
Kim Sim Nikouw menghela napas panjang. “Dia tinggal di Pulau Ular Emas, di mana dia hidup sebagai seorang ratu yang amat mewah. Dia berhasil menemukan harta pusaka yang disimpan kaum bajak jaman dahulu di pulau itu. Aihhh.... sungguh menyedihkan. Dia menjadi seorang wanita yang mabuk oleh dendam, menjadi pembenci kaum pria.... menyedihkan sekali, dia berubah menjadi seorang yang kejam, seperti iblis. Pinni tidak berdaya, karena dengan ginkang yang sudah melebihi pinni tingkatnya, mana pinni mampu menghadapinya? Kiranya, hanya Kian Bu saja yang akan sanggup menghadapi sucimu itu.... ah, sudahlah, hati pinni merasa tidak enak kalau membicarakan sucimu Yan Hui itu karena pinni merasa betapa pinni telah menambah sayap pada seekor harimau betina yang haus darah! Karena itulah, Cui Lan, maka pinni tidak ingin melihat engkau menjadi seorang wanita yang putus asa karena cinta gagal. Pinni akan berusaha agar engkau dapat berjodoh dengan Kian Bu karena pinni yakin bahwa baik engkau maupun Kian Bu kelak akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia.”
“Teecu merasa amat berterima kasih atas budi kecintaan Subo kepada teecu,” jawab Cui Lan dan semenjak percakapan itu, dara ini berlatih makin tekun dan wajahnya mulal berseri karena timbul harapan baru dalam hatinya.
***
Gadis itu memang cantik bukan main. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita dengan raut muka yang sempurna, kulitnya berwarna putih kemerahan, terutama sekali di kedua pipinya dan dahinya yang halus seperti lilin diraut, akan tetapi juga tubuhnya yang tinggi ramping itu amat lemas dan memiliki kepadatan dan lekuk lengkung yang tidak dapat disembunyikan oleh pakaiannya yang serba indah. Aneh sekali melihat seorang dara cantik jelita berjalan seorang diri memasuki hutan itu, dengan tangan kiri memegang gagang payung yang terbuka dan yang melindunginya dari sengatan matahari yang terik itu. Setelah memasuki hutan yang penuh pohon dan tedub sekali, dia menurunkan payungnya, menutup payung itu dan mengempitnya di ketiak lengan kiri tanpa menunda langkahnya yang satu-satu dan yang membuat tubuhnya melenggang-lenggok dengan patutnya. Memang seorang dara yang cantik manis dan menggairahkan. Akan tetapi pada wajah yang manis itu terbayang kemurungan hati.
Memang hati Siang In, gadis itu, sedang murung. Sudah lama sekali dia berputar-putar mencari jejak Syanti Dewi tanpa hasil! Dia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Puteri Bhutan itu, karena sesungguhnya dialah yang membantu puteri itu melarikan diri dari istana Kerajaan Bhutan. Akhir-akhir ini dia mendengar bahwa jejak puteri itu menuju ke pantai Po-hai, akan tetapi telah berhari-hari dia mencari-cari di seluruh pantai, tetap saja tidak ada hasilnya.
Dalam perantauannya mencari jejak Syanti Dewi yang kini lenyap seperti ditelan bumi itu, Siang In banyak mendengar tentang keributan dan pergolakan di tapal batas Propinsi Ho-nan. Dia mendengar pula tentang peristiwa yang menimpa diri Pangeran Yung Hwa, betapa pangeran itu tertolong dari Ho-nan oleh pendekar yang namanya dia dengar di mana-mana, yaitu Siluman Kecil. Ketika dia mendengar penuturan orang-orang kang-ouw di sepanjang perjalanan bahwa Siluman Kecil adalah seorang pemuda lihai sekali yang rambutnya sudah putih semua, dia teringat akan pemuda yang bertanding melawan kakek raksasa botak bermantel merah yang amat lihai itu. Teringat dia ketika dia membantu pemuda itu karena melihat betapa kakek raksasa itu mempergunakan ilmu sihir dalam pertandingan. Jadi pemuda itukah yang berjuluk Siluman Kecil dan yang namanya amat terkenal di seluruh tapal batas propinsi, bahkan, terdengar pula sampai ke tempat-tempat terpencil di pantai Po-hai? Dia merasa kagum. Memang, dia teringat betapa pertandingan itu membuktikan akan kelihaian pemuda rambut putih itu. Dan kini dia mengerti bahwa lawan pemuda itu adalah Ban Hwa Seng-jin, koksu dari Nepal!
Dunia begini kacau, pikirnya. Pembesar-pembesar melakukan pergolakan, pemberontakan. Tokoh-tokoh dunia hitam seperti iblis-iblis merayap keluar dari gua-gua tempat persembunyian mereka untuk mendatangkan kekacauan dan mengail di air keruh. Dalam keadaan sekacau ini, tentu saja makin sukarlah untuk mencari Syanti Dewi. Dia makin murung. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia yang mengajak dan membantu puteri itu minggat dari Bhutan, tentu dia tidak akan peduli lagi, tidak mau melanjutkan penyelidikannya mencari Syanti Dewi. Karena Syanti Dewi, maka dia sampai mengesampingkan urusannya sendiri, yaitu mencari pemuda yang selama ini selalu merupakan gangguan dalam hatinya, dalam perasaannya, merupakan duri dalam daging. Pemuda yang kadang-kadang menimbulkan rasa gemas sampai benci, kadang-kadang menimbulkan rasa gembira, malu sampai terasa bahagia, pemuda yang pernah menciumnya! Suma Kian Bu! Dia terpaksa mengesampingkan pencariannya terhadap pemuda itu karena urusan Syanti Dewi.
Apalagi ketika dia yang sudah hafal akan keadaan pantai Po-hai itu mencari-cari tanpa hasil, kemudian malah mendapatkan Gua Tengkorak, tempat pertapaan gurunya di pantai Po-hai juga kosong dan tidak ada pesan apa pun dari gurunya, hatinya makin menjadi murung, sungguhpun pada wajah yang cantik jelita dan manis, itu tidak pernah kelihatan kegembiraan, sikapnya selalu lincah berseri, penuh kegembiraan, sikapnya selalu lincah jenaka, bibirnya selalu tersenyum sehingga sukarlah membayangkan wajah seperti ini berduka atau muram.
Satu-satunya yang membuktikan betapa murung hati dara ini adalah cara dia melakukan perjalanan itu. Sama sekali dia tidak mempedulikan kanan kiri, bahkan tidak lagi mempedulikan ke mana kakinya melangkah dan sama sekali dia tidak pernah berhenti melangkahkan kaki memasuki hutan itu. Sampai matahari telah jauh condong ke barat, sinarnya tidak lagi dapat menembus daun-daun pohon sehingga keadaan dalam hutan mulai gelap sampai kedua kakinya terasa amat lelah dan perutnya lapar, barulah dara ini merasa betapa sejak pagi tadi dia belum makan apa-apa!
“Uhhh....!” Dia melempar payungnya ke atas rumput di bawah pohon besar, diikuti oleh pinggulnya yang mendarat dengan lunaknya ke atas rumput tebal dan Siang In sudah merebahkan diri di atas rumput berbantal kedua lengannya, matanya menerawang daun-daun yang masih menguning tertimpa sinar matahari senja.
Perhatiannya segera tercurah kepada suara burung-burung yang bercuitan, burung-burung yang berkelompok datang beterbangan di atas pohon itu, hingga di ranting-ranting dan dahan-dahan, bersahutan-sahutan kemudian tiba-tiba mereka terbang pergi. Suara sayap mereka terdengar nyata dan sebentar saja mereka sudah jauh, hanya terdengar suara mencicit mereka lapat-lapat. Akan tetapi tak lama kemudian burung-burung itu datang lagi memenuhi pohon. Agaknya mereka masih sangsi dan terkejut melihat ada manusia di bawah pohon yang menjadi tempat mereka bermalam itu.
Tiba-tiba Siang In membuat gerakan cepat dan tubuhnya yang tadi rebah terlentang itu, tahu-tahu sudah meloncat dan bangkit duduk, alisnya berkerut dan pendengarannya dicurahkan kepada suara yang sayup sampai dihembus angin lalu. Demikian penuh perhatian dia akan suara itu sehingga andaikata dia seekor kelinci, tentu daun telinganya bergerak-gerak. Suara orang! Ada orang di tempat sunyi ini, di waktu matahari mulai terbenam! Tentu hal ini amat mencurigakan!
Dengan langkah-langkah ringan sekali. Siang In sudah melangkah berindap-indap ke arah datangnya suara, payungnya telah dipegang gagangnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Suara itu makin jelas, suara seorang saja yang membaca sajak! Sungguh mengherankan. Di tempat sunyi seperti itu, bukan suara harimau atau monyet atau binatang buas lain yang didengarnya, melainkan suara seorang laki-laki membaca sajak! Sungguh tidak umum, tidak lumrah! Orang gila agaknya. Akan tetapi kata-katanya jelas dan lantang, dan isi kata-kata itu amat menarik hatinya, membuatnya berdiri termangu-mangu dan biarpun dia belum melihat orangnya, dia telah mendengar semua isi sajak yang diucapkannya dengan suara lantang itu.
“Bahagia, hanya sebuah kata!
penuh daya tarik, penuh rahasia dikejar, dia lari dicari, dia sembunyi makin dibutuhkan makin manja bahagia, hanya sebuah kata!
Harta benda bukanlah bahagia nafsu berahi bukan bahagia dia bukan pula kebesaran nama bukan pula kedudukan mulia tak mungkin didapat melalui pengejaran
seperti halnya kesenangan!
Yang mengejar bahagia selamanya takkan bahagia yang tidak butuh bahagia adalah orang yang benar-benar bahagia itulah hakekat bahagia hanya sebuah kata belaka!”
Siang In bengong terlongong mendengar ini. Mimpikah dia? Di tempat seperti ini bertemu dengan seorang manusia pun sudah merupakan suatu hal yang langka, suara hal yang aneh dan andaikata bertemu orang pun, pantasnya orang itu hanyalah seorang pencari kayu, seorang pemburu binatang buas atau paling hebat juga seorang perampok! Akan tetapi, dia mendengar orang membaca sajak tentang bahagia! Dan isi kata-kata yang dirangkai seperti sajak itu amat mengesankan hatinya. Mendengar itu, dia termenung, bahkan lalu duduk di atas batu besar di tempat itu dan tak pernah pikirannya dapat melepaskan isi sajak itu. Dia seperti terkena pesona, terkena sihir oleh kata-kata itu dan tanpa disadarinya sendiri, dia pun kini termenung-menung mencari arti dari kata aneh itu. BAHAGIA! Sesungguhnya, apakah bahagia itu? Semua orang di dunia ini seolah-olah berlumba untuk mencari kebahagiaan. Bahkan segala sesuatu ditujukan ke arah pencapaian kebahagiaan itu.
“Yang mengejar bahagia selamanya tidak akan bahagia!” Demikian bunyi baris antara sajak tadi. Benarkah ini? Kalau tidak dikejar, mana bisa dapat? Untuk mendapatkan sesuatu, tentu saja harus dilalui pengejaran, demikian suara hati Siang In membantah. Orang gilakah yang membaca sajak tadi? Dia sendiri pernah membaca banyak kitab kuno, akan tetapi dia tidak pernah mendengar sajak seperti itu. Sajak orang sinting, kata-kata yang dirangkai seperti teka-teki. Teringat dia akan kitab kuno yang menceritakan tentang aliran Agama Beng yang paling suka mempermainkan katakata sebagai jembatan untuk menyelami kehidupan dan filsafatnya, misalnya “kuda putih bukanlah kuda!” “anjing putih adalah hitam”, dan sebagainya. Semua itu menyimpan maksud agar kita tidak terpengaruh oleh keadaan luar seperti warna, sikap, kedudukan, harta, kepintaran dan sebagainya yang kesemuanya itu hanyalah keadaan lahiriah belaka. Kuda putih, yang penting bukanlah putihnya, melainkan anjingnya. Keadaan lahiriah itu berubah selalu, dan tidak menentukan isinya! Agar faktor bendanya, dalam hal ini tentu saja manusianya, yang penting bukan segala keadaan lahiriahnya.
Apakah pembaca sajak itu seorang di antara sisa-sisa penganut kebatinan Beng itu? Akan tetapi kabarnya kini sudah tidak ada lagi sisa pengikut aliran itu yang sudah amat kuno, yang hidup di sekitar jaman Dinasti Cou (abad ke 4 sebelum Masehi). Ataukah dia seorang tosu? Mungkin, pikir Siang In. Pendeta beragama To memang banyak aneh, dan kadang-kadang pendeta agama ini suka mengambil filsafat-filsafat lain aliran ke dalam agamanya. Betapapun juga, siapapun adanya orang itu, sungguh amat aneh dan menarik hatinya. Akan tetapi, sebagai seorang kang-ouw, Siang In juga maklum bahwa orang yang membaca sajak di dalam hutan seperti itu tentu bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati, dia tidak berani muncul begitu saja memperlihatkan diri, melainkan berindap-indap mengintai dari balik sebatang pohon yang besar, sepasang matanya mencoba untuk mencari orang yang tadi bersajak dengan suara cukup jelas itu, di dalam cuaca yang remang-remang dan telah mulai agak gelap itu dia tidak dapat melihat adanya seorang pun manusia di situ. Maka dia lalu bergerak maju pula, dengan pengerahan ginkangnya sehingga daun kering yang terpijak kakinya pun tidak mengeluarkan suara, seperti langkah seekor kucing saja layaknya.
Siang In terus mencari-cari, namun ternyata dia tidak dapat menemukan orang yang tadi membaca sajak itu. Sedangkan malam mulai tiba. Bulu tengkuknya mulai meremang. Setankah yang dia dengar membaca sajak tadi? Kalau manusia, tidak mungkin dapat bergerak secepat itu dan dapat menghilang begitu saja dari pencariannya. Padahal tadi jelas terdengar suaranya tidak jauh dari tempat dia bersembunyi. Kalau bukan setan, kalau manusia, tentu manusia itu memiliki kepandaian yang hebat bukan. Dia tidak lagi melanjutkan pencariannya, mengira bahwa tentu setan atau orang itu tadi hanya lewat saja di hutan itu dan kini telah pergi jauh. Mulailah dia teringat lagi akan perutnya yang lapar ketika perutnya berbunyi. Bunyi perutnya berkeruyuk itu sampai mengagetkan hatinya, karena pada saat itu dia sedang mengerahkan seluruh perhatian pada pendengarannya.
“Ihhh, tak tahu malu!” Siang In menepuk perutnya sendiri ketika dia terkejut mendengar bunyi berkeruyuk itu. Karena menganggap bahwa di hutan itu pasti tidak ada orang lain, karena kalau ada tentu dia sudah dapat menemukannya, maka Siang In lalu mulai mencari sesuatu untuk dapat dimakan. Akan tetapi, hutan itu penuh dengan pohon liar, sama sekali tidak terdapat sebatangpun pohon yang mengeluarkan buah yang dapat dimakan. Dia mencari-cari, selain buah juga mencari binatang hutan yang dapat ditangkap dan dimakan dagingnya, namun hasilnya sia-sia belaka karena malam telah tiba dan cuaca mulai gelap.
“Sialan!” Dia memaki. “Sialan setan yang bersajak tadi!” gerutunya karena dia terpaksa harus melewatkan malam dengan perut lapar dan dia menimpakan kesalahan kepada si pembaca sajak tadi. Kalau dia tidak mencari-cari orang itu, tentu dia dapat mencari makanan selagi cuaca masih belum gelap tadi, pikirnya dengan hati kesal. Siang In lalu mencari tempat yang kering di bawah pohon, duduk dan bersandar batang pohon melepaskan lelah. Dalam keadaan sendirian di tengah hutan yang gelap itu, dengan perut menderita gigitan rasa lapar, Siang In melamun dan terkenang akan keadaan dirinya. Tiba-tiba jantungnya seperti ditusuk rasanya, rasa sedih menyelimuti hatinya.
Teringatlah Siang In akan keadaannya yang sebatangkara itu. Semenjak dia masih kecil, orang tuanya telah meninggal dunia. Dia tadinya hidup berdua dengan encinya yang bernama Teng Siang Hwa, hidup berdua di Lembah Pek-thouw-san. Akan tetapi, encinya itu tewas ketika berhadapan dengan anak buah raja liar Tambolon sehingga dia menjadi sebatangkara sampai dia bertemu dengan See-thian Hoat-su yang mengambilnya sebagai murid. Dia tidak mempunyai siapapun di dunia ini, hanya gurunya itu. Akan tetapi kakek aneh yang menjadi gurunya itu pun tidak pernah mau tinggal diam, bahkan kini pun tidak berada di tempat pertapaannya, di Gua Tengkorak di pantai Po-hai. Entah ke mana perginya gurunya itu. Hanya ada gurunya, kakek tua itu dan.... Siang In melihat bayangan wajah di depan mata hatinya. Wajah seorang pemuda yang tampan, gagah, lincah jenaka dan suka menggoda orang. Wajah yang selama ini sering kali dijumpainya dalam mimpi. Wajah pemuda yang selama ini dicari-carinya sampai dia bertemu dengan Syanti Dewi sehingga pencariannya itu tertunda karena urusan Syanti Dewi. Wajah Suma Kian Bu, pemuda yang pernah mencium bibirnya! Semua peristiwa itu terbayang di dalam benaknya (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali) dan membuatnya merasa amat kesepian. Dia menghela napas dan memejamkan kedua matanya, ingin mengusir semua kenangan itu, akan tetapi sinar mata tajam dan nakal, senyum yang menarik dari wajah pemuda itu malah terbayang makin jelas!
Tiba-tiba Siang In membuka mata dan bangkit duduk dengan tegak, cuping hidungnya kembang-kempis seperti cuping hidung seekor kelinci. Memang hidungnya mencium bau sesuatu, bau yang sedap dan gurih, bau daging panggang!
“Kruuuyuuuuukkk....!”
“Ihhh!” Siang In menepuk perutnya yang kecil dan kosong itu. Akan tetapi dia tidak dapat mencegah air liurnya membasahi mulut. Terpaksa dia menelan ludahnya karena seleranya timbul secara tiba-tiba.
Berindap-indap dia melangkah setelah menyambar buntalan dan payungnya, menghampiri tempat dari mana dia mencium bau sedap gurih itu. Dia harus berhati-hati sekali. Biarpun kini di langit nampak bulan yang sinarnya merah kehijauan di dalam hutan itu, namun keadaan masih gelap karena lebatnya hutan itu. Hanya bau sedap itu yang menjadi penunjuk jalan. Akhirnya dia keluar dari hutan itu dan ternyata di luar hutan itu terdapat sebuah padang rumput yang luas dan nampak indah sekali karena bermandikan cahaya bulan tanpa terganggu bayangan pohon. Dan agak jauh di tengah-tengah padang itu, dia melihat api unggun di antara semak-semak dan dari sanalah datangnya bau sedap gurih tadi.
Siang In mempergunakan kepandaiannya, menyusup di antara semak-semak dan menghampiri tempat itu. Setelah dekat, dia bersembunyi di balik semak-semak bunga dan mengintai. Sinar api unggun menambah terang tempat yang sudah disinari cahaya bulan itu. Di depan api unggun duduk seorang yang rambutnya riap-riapan. Tertimpa sinar api dan sinar bulan, rambut panjang riap-riapan itu mengkilap dan seperti benang-benang perak. Wajahnya agak menunduk, memandang kepada daging paha kijang yang sedang dipanggangnya. Kembali Siang In menelan ludah. Akan tetapi dia termangu dan tidak berani bergerak. Jantungnya berdebar tegang. Bukankah orang itu Siluman Kecil? Melihat rambut panjang riap-riapan yang keputihan itu! Pernah dia melihat Siluman Kecil, ketika pendekar aneh itu bertanding melawan seorang kakek botak yang amat lihai. Ketika itu, dia turun tangan membantu Siluman Kecil karena dia melihat kakek botak mempergunakan sihir, dan dia hanya membuyarkan ilmu hitam itu. Akan tetapi, ketika itu, dia hanya melihat Siluman Kecil dari jarak jauh dan tidak dapat melihat wajah pendekar yang amat terkenal itu dengan jelas. Benarkah orang yang berjongkok dekat api unggun dan sedang memanggang dua buah paha kijang besar gemuk itu Siluman Kecil? Siapapun adanya orang itu, tidak lagi menarik perhatian Siang In benar karena dia lagi-lagi sudah tertarik oleh gumpalan-gumpalan daging yang sedang dipanggang itu.
Bibirnya sudah bergerak, mulutnya sudah hampir dibuka untuk menegur orang itu, untuk minta kebaikan orang itu agar suka membagi sedikit daging kepadanya ketika cepat Siang In menutupkan mulutnya kembali dan menahan napas. Dia melihat munculnya seorang bayangan lain, kemunculan bayangan ini sedemikian cepatnya sehingga dia merasa bulu tengkuknya meremang. Seperti setan saja yang pandai menghilang dan kini tahu-tahu menampakkan diri, demikian cepatnya gerakan orang itu. Kini sinar api unggun dari bawah menyorot ke arah muka bayangan itu dan Siang In melihat seraut wajah wanita yang amat cantik, kemerah-merahan tertimpa sinar api unggun itu. Bayangan wajah wanita yang sukar ditaksir berapa usianya. Saking cantiknya masih kelihatan muda, namun wajah itu sedemikian penuh kematangan sehingga sudah barang tentu juga tidak bisa dikatakan muda lagi. Pakaiannya amat mewah, seperti puteri istana saja, rambutnya digelung malang melintang penuh dengan hiasan emas dan ratna mutu manikam yang gemerlapan. Akan tetapi bajunya itu berlengan besar dan longgar seperti jubah pendeta, dan juga tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu halus dan panjang, gagangnya terbuat dari benda putih berkilauan halus, entah terbuat dari gading gajah ataukah tulang ikan besar. Yang amat mengagumkan, akan tetapi sekaligus juga menyeramkan adalah sepasang mata wanita itu. Sepasang mata itu indah sekali memang, akan tetapi di dalam keindahan itu bersembunyi kebengisan dan kekejaman luar biasa, sinar mata yang tajam seperti menusuk ulu hati dan menjenguk segala isi hati orang!
“Hai! Kamu....!” Suara wanita itu halus merdu ketika menegur laki-laki berambut riap-riapan yang sedang memanggang daging. Lagaknya demikian tinggi hati dan angkuh, seolah-olah dia seorang ratu yang sedang menegur hambanya saja. “Apakah kamu melihat lima orang lelaki bersenjata golok besar keluar dari dalam hutan ini?”
Pria yang sedang memanggang paha kijang itu masih tetap menunduk, sama sekali tidak menjawab, apalagi menjawab, mengangkat muka memandang pun tidak. Dia hanya melanjutkan pekerjaannya dan membesarkan api unggun dengan menambah kayu kering sehingga sinar api unggun makin terang, apinya makin bernyala tinggi. Namun sebagian besar muka orang itu tertutup oleh rambut putihnya yang berjuntai ke bawah sehingga sukar dikenal.
Melihat orang yang ditanya itu diam saja, berkerut sepasang alis yang hitam kecil itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar berkilat. “Heiii, laki-laki jembel, apakah kau tuli? Apakah kau gagu? Hayo jawab!” Wanita itu membentak dan hudtim di tangan kanan itu digoyang-goyangnya. Terdengar suara bersuitan dan diam-diam Siang In terkejut bukan main. Tenaga sinkang dari wanita ini hebat sekali, baru menggoyangkan sedikit hudtim itu saja sudah mengeluarkan suara bersuitan seperti itu! Dengan hati penuh ketegangan Siang In mengintai dan ingin sekali tahu apa yang akan di jawab oleh laki-laki itu, yang disangkanya adalah pendekar sakti Siluman Kecil. Akan tetapi, laki-laki yang sedang memanggang paha kijang itu sama sekali tidak mengangkat muka apalagi menjawab, hanya membolak-bolik daging yang dipanggangnya agar tidak sampai hangus, dan kini terdengar dia bernyanyi atau membaca sajak dengan suara yang berirama!
“Siapa bicara kasar menyakitkan hati orang akan memperoleh jawaban yang kasar pula kelakuan kasar menyakitkan hati hanya akan menimpa diri sendiri! Akan tetapi si bodoh dan tolol! berbuat jahat tanpa melihat akibat seperti si tolol api akhirnya membakar diri sendiri!”
Mendengar itu, Siang In teringat akan suara orang yang pernah didengarnya membaca sajak tentang bahagia tadi. Tahulah dia bahwa orang yang tadi membaca sajak tentang bahagia adalah si pemanggang daging ini. Dua buah sajak yang dinyanyikannya sekarang ini pun bukan sajak main-main. Dia mengenalnya sebagai ujar-ujar yang terdapat dalam kitab-kitab para hwesio, dalam kitab Agama Buddha, kalau dia tidak salah ingat, dalam kitab Dhammapada bagian Hukuman.
Wanita yang memegang hudtim itu pun agaknya terkejut dan agaknya mengenal pula sajak-sajak itu maka kini dia melangkah maju dan memandang wajah orang yang tersembunyi di balik rambut putihnya. Melihat rambut putih itu, tiba-tiba wanita itu berseru, “Ah, apakah engkau ini yang dijuluki orang Siluman Kecil?”
Pria itu memang bukan lain adalah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Siluman Kecil atau Suma Kian Bu. Bahkan di istana kuno milik Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek di puncak Bukit Nelayan itu, dia bertemu dengan Ceng Ceng yang terhitung adalah keponakannya sendiri, dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, bahkan dia melihat pula munculnya Sin-siauw Seng-jin yang mewarisi kepandaian Suling Emas. Dia mendengarkan percakapan mereka itu dari sebelah dalam, dan dia merasa enggan untuk keluar, karena dia segan bertemu dengan Sin-siauw Seng-jin yang pernah menjadi lawannya. Akan tetapi, ketika dia mendengar penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi yang diculik orang, Kian Bu terkejut bukan main dan dia sudah cepat meninggalkan tempat itu tanpa pamit, hanya meninggalkan surat untuk kakaknya dan dia sudah pergi untuk mencari dan menolong Syanti Dewi, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya dan masih dicintanya itu. Dia mencari jejak Syanti Dewi di sekitar pantai Po-hai, namun dia tidak dapat menemukan jejak itu dan pada senja hari itu, setelah merobohkan seekor kijang, dia sedang asyik memanggang paha kijang ketika dia melihat munculnya wanita cantik yang angkuh dan galak itu.
Ketika mendengar pertanyaan yang nadanya meremehkan itu, Kian Bu hanya miringkan mukanya dan melirik ke atas, lalu menjawab tak acuh, seperti melayani seorang anak-anak yang mengajukan pertanyaan yang tidak penting pula, “Kalau benar, kenapa sih?”
Wanita itu mendengus dan suaranya dingin sekali ketika berkata, “Semua laki-laki di dunia ini berhati palsu dan bicaranya mengandung racun seperti ular-ular belang! Akan tetapi selama ini yang kubunuh hanyalah cacing-cacing yang tidak ada gunanya. Orang macam engkau inilah baru seekor ular sendok yang berbahaya. Aku bosan juga membunuhi cacing-cacing kotor, sekarang bertemu dengan ular jahat dan berbahaya macammu, tidak boleh terlepas dari tanganku!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtimnya dan sinar putih menyambar dengan cepat dan dahsyat sekali ke arah leher Kian Bu!
“Wuuuttt....!” Kian Bu sudah cepat mengelak dan tubuhnya tidak berada lagi di depan api unggun. Dan api unggun itu seketika padam tertiup hawa pukulan kebutan itu! Melihat ini, diam-diam Siang In memandang kagum bukan main dan jantungnya berdebar. Kiranya pria itu benar Siluman Kecil adanya! Dan gerakan Siluman Kecil tadi pun luar biasa, ketika kebutan menyambar dari jarak dekat. Tubuhnya seperti dapat menghilang saja.
“Huh, agaknya engkau telah menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan (Ilmu-ilmu Bangau Sakti). Hemmm, aku sudah mendengar bahwa engkau si ular jantan ini berhasil membujuk Kim Sim Nikouw sehingga engkau dapat mencuri ilmu-ilmu itu. Wanita itu hanya mengejek dan cepat menerjang lagi. Kian Bu merasa tidak enak. Dia masih ragu-ragu apakah benar wanita ini adalah orang she Ouw seperti yang pernah dia dengar dari ibu angkatnya. Kalau benar demikian, dia menjadi serba salah. Mau mengeluarkan jurus maut, orang ini masih terhitiang saudara seperguruan dengan dia. Kalau tidak, agaknya sukar baginya memperoleh kemenangan karena wanita ini benar-benar amat lihai sekali.
Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita, suara jeritan yang hanya terdengar lapat-lapat saja karena amat jauh. Namun bagi telinga Kian Bu dan wanita itu, suara ini terdengar amat jelas. Sedangkan Siang In yang mengintai itu hampir tidak mendengarnya sama sekali.
“Huh, mengingat Kim Sim Nikouw, biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas lehermu!” kata wanita itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar emas yahg amat cepat menyambar ke arah leher Kian Bu. Biarpun cuaca amat gelap dan hanya diterangi oleh bulan, namun melihat kehebatan serangan hudtim itu, disamping keheranannya mengapa wanita yang tak dikenalnya ini memusuhinya dan begitu bertemu ingin membunuhnya.
Akan tetapi, wanita itu hanya menjawab dengan kebutannya yang bergerak makin dahsyat, makin lama makin cepat sehingga kini bayangan wanita itu pun tergulung sinar putih dan tidak kelihatan lagi, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suaranya mendengus penuh ejekan dan kebencian, “Huh!”
“Hemmm, kalau begitu engkau adalah seekor ular betina! Baik, kau ingin mengadu ilmu? Nah sambutlah!” Kian Bu kini tidak lagi mau mengalah dan cepat dia menggerakkan rantingnya, selain menangkis juga membalas serangan. Dalam satu gerakan saja, rantingnya telah mengirim totokan yang mengarah sedikitnya tujuh jalan darah di tubuh lawan, sedangkan tangan kirinya juga tidak mau menganggur, melainkan melancarkan dorongandorongan yang mengandung hawa pukulan mujijat, berselang-selang dari pukulan pukulan sakti Pulau Es, yaitu Swat-im-sin-jiu dan Hwi-yang-sin-ciang. Maka menyambarkan hawa panas dan hawa dingin berganti-ganti ke arah wanita itu sehingga wanita itu berkali-kali mengeluarkan pekik kaget. Kian Bu yang tidak mengenal wanita ini tidak merasa bermusuh dengannya, masih tidak tega untuk mengeluarkan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan penggabungan sinkang yang bersifat Im dan Yang, pukulan yang hampir saja pernah menewaskan nyawa kakaknya sendiri itu.
Kian Bu segera mendapatkan kenyataan bahwa biarpun dalam hal ilmu pukulan dan tenaga sinkang, dia mempunyai kelebihan dari wanita itu, namun dia diam-diam harus mengakui bahwa dalam hal ginkang, dia masih kalah setingkat! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut bukan main dan teringatlah dia akan cerita Kim Sim Nikouw yang menjadi ibu angkatnya.
“Tahan dulu! Bukankah engkau ini orang she Ouw?”
“Huhhh! Laki-laki palsu yang cerewet!” “Sialan! Engkau harus mampus dua kali untuk itu!”
Kini wanita itu telah menerjang dengan hebat, hudtim di tangannya berubah menjadi gulungan sinar putih yang amat lebar dan terdengarlah bunyi bersuitan nyaring memekakkan telinga ketika sinar putih itu bergulung-gulung menyambar ke arah Siluman Kecil. Namun, Siluman Kecil sudah meninggalkan dua paha kijang tadi dan sebagai gantinya kini tangannya telah memegang sebatang ranting. Dengan kecepatan kilat, dia pun mengelak sambil balas menotok dengan rantingnya ke arah tengkuk lawan. Namun, wanita itu ternyata dapat bergerak dengan cepat luar biasa sehingga ketika Kian Bu menotoknya, sebelum totokan tiba, dia sudah melesat ke kanan dan kembali gulungan sinar putih itu menyambar dahsyat.
“Hei, siapakah engkau perempuan galak ini?” Kian Bu menghardik karena selain merasa terkejut menyaksikan gerakan wanita ini yang jelas menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan pula, dan juga pandang mata Kian Bu awas sekali. Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa sinar emas yang menyerangnya itu adalah seekor ular yang kulitnya seperti emas berkilauan! Cepat dia mengelak dan rantingnya menyambar ke depan untuk memukul ular itu.
“Wuuuttttt.... syiiittttt....!”
Kian Bu tertegun. Ular itu dapat mengelak dan sabetannya luput! Padahal, sabetan rantingnya tadi belum tentu dapat dielakkan oleh seorang ahli silat umum saja! Dan kini, seperti dapat terbang saja, tubuh ular itu menggeliat dan ternyata dia sudah membalik dan menyerang lagi ke arah muka Kian Bu.
“Ehhh!” seru pemuda itu dan ketika ular itu lewat di dekat mukanya yang dia condongkan ke belakang untuk mengelak, dia mencium bau harum yang amis. Ular itu berbisa dan berbahaya sekali! Akan tetapi kini wanita tadi sudah menyambut kembali ularnya yang seperti burung bisa terbang itu, lalu kakinya meloncat dan dalam sekelebatan saja wanita itu telah lenyap dari tempat itu. Kian Bu merasa penasaran, juga dia cepat mempergunakan gerakan Sin-coan-in, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tahu-tahu sudah jauh sekali dan dia mengejar dengan Ilmu Jouw-sang-huiteng ke arah timur. Siang In memandang bengong. Dia hanya melihat dua orang itu berkelebat dan lenyap, kemudian di timur dia hanya melihat dua titik putih seperti bintang jatuh, lalu lenyap?
Siang In menarik napas panjang, penuh kekaguman. Dia tadi dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, akan tetapi dia tidak pernah dapat melihat wajah Siluman Kecil. Sudah dua kali dia bertemu dengan pendekar sakti yang terkenal sekali itu, namun kedua kalinya dia tidak berkesempatan untuk berkenalan, bahkan melihat wajahnya pun belum, atau sedikitnya tidak jelas sama sekali karena dilihatnya dari samping, itu pun masih tertutup sebagian oleh rambut putih.
Siang In muncul dari tempat sembunyinya dan menghampiri tempat bekas pertempuran tadi. Dilihatnya api unggun telah padam, akan tetapi dua paha kijang masih berada di situ, ditusuk bambu dan sudah matang. Melihat paha kijang, perutnya menjadi lapar lagi dan tanpa mempedulikan siapa yang memiliki daging paha kijang itu, dia lalu mengambil dua paha itu dan mulai menggerogotinya. Sedap sekali! Kiranya Siluman Kecil itu pandai memanggang paha kijang, pikirnya. Diberi bumbu pula dan diberi garam. Bukan main! Siang In cepat membawa dua buah paha kijang yang sudah matang itu kembali ke dalam hutan. Dengan lahap dia makan daging itu. Sudah habis sepotong, dia mulai dengan yang ke dua, akan tetapi kini kelahapannya berkurang. Daging paha itu besar dan menghabiskan sepotong pun sudah kenyang. Akhirnya dia tidak mampu menghabiskan paha ke dua dan melemparkannya ke samping. Perutnya kenyang dan tenaga pulih, akan tetapi rasa kenyang itu menimbulkan kantuk sehingga tak lama kemudian Siang In sudah tertidur pulas di bawah pohon!
Sementara itu, Kian Bu yang melakukan pengejaran, menjadi penasaran bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita itu amat hebat larinya, memiliki ginkang yang mencapai tingkat sempurna sehingga dia sendiri tertinggal jauh dan sebentar saja bayangan wanita itu sudah lenyap dan dia berdiri termangu-mangu karena tidak tahu ke arah mana larinya bayangan yang lenyap itu. Dia merasa menyesal sekali. Betapapun cepat larinya wanita itu, kalau dia mengejarnya di waktu siang, tentu dia akan tahu ke arah mana larinya. Kini, hanya sinar bulan remang-remang saja yang membantunya maka dia kehilangan jejak. Dia hanya ingin mendapat kepastian dari wanita itu apakah benar wanita itu murid ibu angkatnya. Akan tetapi dia segera teringat. Bukankah wanita itu tadi meninggalkannya ketika mendengar jerit wanita dari jauh itu? Dan jerit itu datang dari arah lereng bukit di depan. Teringat akan ini, Kian Bu melanjutkan larinya menuju ke bukit yang nampak remang-remang di depan.
Setelah tiba di lereng bukit itu, kembali Kian Bu menjadi bingung. Dia memperhatikan dan mendengar-dengarkan, namun tidak terdengar suara apa pun. Akhirnya, dengan untung-untungan dia memasuki sebuah hutan kecil. Bulan bersinar sepenuhnya tanpa terhalang mega sehingga sinarnya cukup terang juga. Tiba-tiba dia melihat tubuh lima orang berserakan di atas tanah, di depan sana. Dia teringat betapa wanita lihai tadi sedang mencari-cari lima orang laki-laki yang bergolok panjang. Jangan-jangan....! Dia cepat berlari menghampiri dengan penuh kewaspadaan. Ketika dia tiba di tempat itu, dia mengerutkan alisnya. Di situ nampak mayat seorang wanita muda yang cantik dan empat orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan kasar dan bengis wajah mereka. Akan tetapi empat orang laki-laki itu tewas dalam keadaan mengerikan. Mereka rebah dengan pakaian hancur dan tubuh penuh luka-luka berjalur-jalur merah, seolah-olah seluruh tubuh mereka disayat-savat dengan pisau tajam! Kian Bu teringat akan hudtim yang mempunyai bulu-bulu putih halus itu dan dia merasa ngeri. Betapa kejamnya wanita itu, agaknya dalam kemarahan dan kebencian yang amat hebat, wanita itu telah mencambuki empat orang laki-laki ini dengan bulu-bulu kebutannya yang kalau digerakkan dengan tenaga sinkang hebat tentu berubah menjadi benda yang amat menyeramkan, dapat dipakai seperti puluhan buah pedang tajam yang menyayat-nyayat kulit daging!
Dengan perasaan muak Kian Bu lalu mendekati mayat wanita muda cantik yang agaknya masih utuh tubuhnya itu. Akan tetapi ketika dia mendekat, memandang jelas, dia lalu membuang muka dan mengutuk. Wanita itu setengah telanjang dan dari keadaan tubuhnya yang berlepotan darah, Kian Bu dapat menduga bahwa wanita muda ini tentu telah menjadi korban perkosaan yang amat keji dan buas!
Tiba-tiba, bagaikan seekor kijang melompat tubuh Kian Bu melesat ke kiri dan di lain saat dia telah menyambar tengkuk seorang laki-laki dan melemparkannya ke atas tanah, di dekat mayat-mayat itu. Kiranya tadi dia mendengar ada gerakan di kiri dan cepat dia menyambar, dan ternyata di tempat itu terdapat seorang laki-laki yang bersembunyi. Laki-laki ini tubuhnya juga sudah tersayat-sayat, pakainya robek-robek dan mukanya membayangkan ketakutan sampai bola matanya berputaran memandang ke kanan kiri, kemudian dia bangkit berlutut dan mengangguk-angguk ke depan kaki Kian Bu sambil mengeluarkan suara seperti orang menangis, ”.... ampunnn.... ampunkan saya....” Tubuhnya menggigil.
“Siapa kau?” Kian Bu membentak dengan suara bengis.
“Saya.... saya.... bernama Giam Hok.... harap Taihiap sudi mengampuni saya....“ orang itu meratap. “Harap Taihiap sudi menolong dan menyelamatkan saya.... nama Taihiap sudah terkenal di seluruh kang-ouw.... harap lindungi saya dari.... dari iblis betina itu.... hu-huuhhh....”
Kian Bu mengerutkan alisnya. Orang ini telah mengenalnya sebagai Siluman Kecil. Memang namanya banyak dikenal di kalangan dunia hitam! Dan dia melihat wajah orang ini mirip dengan wajah empat orang laki-laki yang sudah tewas di situ. Maka teringatlah dia akan lima orang saudara she Giam yang terkenal di wilayah selatan.
“Hemmm, apakah engkau dan empat orang ini adalah Ngo Giam-lo-ong dari selatan yang tersohor itu?”
Orang itu mengangguk-angguk. Lalu dia memandang ke arah mayat empat orang saudaranya itu dan menangis mengguguk. Kian Bu meraba dagunnya dan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar akan nama Ngo Giam-lo-ong (Lima Dewa Maut) ini. Bukan tergolong manusia-manusia yang baik, bahkan sering kali mengandalkan kekerasan, memaksakan kehendak sendiri dan berlaku sewenang-wenang. Maka dia pun tertarik sekali. Siapakah pembunuh empat di antara mereka? Wanita cantik itukah? Dan mengapa?
“Siapa yang melakukan pembunuhan terhadap empat orang saudaramu?” tiba-tiba dia bertanya, suaranya bengis penuh wibawa sehingga orang yang sudah habis nyalinya karena takut terhadap orang yang membunuh saudara-saudaranya itu dan kini makin jerih setelah mengenal Siluman Kecil, menjadi makin ketakutan dan menggigil seluruh tubuhnya.
“Yang membunuh adalah.... dia.... Bu-eng-kui....” Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia belum pernah mendengar nama julukan Bu-eng-kui (Setan Tanpa Bayangan) itu. Akan tetapi julukan itu memang tepat bagi wanita yang memiliki gerakan sedemikian gesitnya itu.
“Dia seorang wanita?”
“Begitulah.... yang saya dengar....“
Orang yang bernama Giam Hok itu menjawab ketakutan.
“Dan namanya Ouw Yan Hui?”
“Saya mendengar kabar bahwa dia she Ouw.... akan tetapi tidak tahu jelas....“
“Apa artinya kata-katamu ini?” Kian Bu membentak marah. “Saudara-saudaramu ini jelas dibunuh orang, dan melihat keadaan tubuhmu, agaknya engkau pun nyaris tewas pula, dan sekarang kau bilang hanya mendengar kabar, apakah engkau tidak melihat pembunuh-pembunuh saudaramu ini?”
“Dia.... dia bergerak seperti setan hampir tak dapat saya lihat.... bayangan berkelebat kadang-kadang ada kadang kadang tidak dan yang terdengar hanya
bunyi bersuitan sinar putih bergulung-gulung dan kami.... kami sudah disayat-sayat.... baiknya dia menyangka saya telah mati pula dan dia melesat pergi.
Saya.... saya masih hidup dan cepat bersembunyi sampai Taihiap datang tadi....“
“Dan bagaimana kau dapat menduga bahwa dia itu yang berjuluk Bu-eng-kui dan she Ouw?” Kian Bu mendesak lagi.
“Kami.... saya.... telah lama mendengar akan Bu-eng-kui yang amat kejam dan mengerikan itu.... dan bahwa dia she Ouw.... hidup di Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Tapi saya belum pernah bertemu dengan dia....“
“Kau belum pernah bertemu dengan dia, dan tadi pun tidak dapat kau melihat wajahnya, akan tetapi bagaimana kau tahu dia itu Bu-eng-kui Ouw Yan Hui?”
“Karena.... sebelum berkelebat pergi, saya pura-pura menggeletak mati, dia mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata: Bu-eng-kui tidak dapat mengampuni segala cacing busuk!”
Kian Bu mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu wanita yang menyerang tadi itulah yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan ini. Bu-eng-kui Ouw Yan Hui, murid dari ibu angkatnya, berarti masih sucinya sendiri! Hemmm, seorang pembenci pria yang amat kejam dan ganas!
“Mengapa kalian berlima diserangnya? Hayo katakan, mengapa?”
“Kami.... kami tidak melakukan kesalahan, kami tidak pernah bermusuhan dengan dia...., entah mengapa, dia datang-datang menyerang dengan ganas, seperti setan yang tidak kelihatan, kami tidak diberi kesempatan untuk bicara....“
“Jangan membohong! Atau aku akan menyempurnakan perbuatannya atas dirimu yang masih belum selesai itu! Hayo katakan, siapa mayat wanita muda itu?”
“Dia.... dia....“
“Hayo katakan, siapa dia dan bagaimana dia mati?” Kian Bu menghardik.
“Dia adalah tawanan kami....“
“Hemmm, jahanam-jahanam busuk kalian ini! Dan kalian telah memperkosanya sampai mati, ya?”
Orang itu mengangkat muka dan memandang kepada wajah yang tampan namun menyeramkan karena dikurung rambut putih itu, terutama sekali sepasang mata yang seperti mata naga itu amat menakutkan hatinya. Dia mendengar bahwa Siluman Kecil adalah seorang pendekar sakti yang suka mengampuni orang, bahkan banyak orang golongan hitam yang tunduk kepadanya. Mendengar nama julukan “siluman” itu, tentu pendekar sakti ini juga seorang dari golongan hitam, maka Giam Hok dengan terus terang mengakui, karena menganggap bahwa hal itu tentu tidak aneh bagi pendengaran seorang tokoh kaum sesat seperti Siluman Kecil. “Kami berlima memang sedang bersenang-senang dengan tawanan kami, sudah menjadi hak kami untuk menikmati gadis yang menjadi tawanan kami ketika dia datang dan....“
“Desssss....! Aughhh....!” Tubuh Giam Hok terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Kian Bu berdiri dengan alis berkerut. Dia tadi menendang tubuh di depannya itu saking muak dan marahnya. “Jahanam busuk kau!” katanya dan cepat dia menghampiri mayat gadis itu, memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu, tidak mempedulikannya lagi Giam Hok yang mengaduh-aduh dan berkelojotan. Tendangan itu bukan dimaksudkan untuk membunuh dan orang ini tidak mati, akan tetapi karena dia telah terluka berat oleh sayatan kebutan Bu-eng-kui, kini ditambah dengan tendangan Kian Bu, tentu saja dia menjadi tiga perempat mati!
Setelah mengubur jenazah itu dengan sederhana di dalam hutan, Kian Bu lalu kembali ke tempat tadi untuk mencari paha kijang yang telah dipanggangnya. Akan tetapi, betapapun dia mencari, dua paha kijang itu telah lenyap! Dia menjadi heran sekali, juga penasaran dan bersungut-sungut. Perutnya lapar sekali dan paha-paha kijang tadi kelihatan amat enak! Apakah digondol binatang hutan? Agaknya tidak mungkin, karena binatang liar tentu tidak doyan makanan daging yang sudah dipanggang itu. Dia lalu memasuki hutan dengan maksud mencari kijang lain atau kelinci.
Tak lama kemudian, dia sudah berdiri memandangi gadis cantik yang tidur berbantalkan buntalan pakaian. Bukan hanya gadis cantik yang tidur nyenyak itu yang menarik perhatiannya, melainkan sepotong paha kijang yang tinggal separuh dan yang berada di atas rumput.
“Sialan....!” Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya. Cuaca yang terlalu gelap membuat dia tidak mengenal wajah gadis yang tidur nyenyak itu, maka dia pun lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak mengganggu Siang In yang masih tidur nyenyak.
Sambil berjalan, dia teringat kepada gadis setengah telanjang yang telah mati karena diperkosa dan yang tadi mayatnya telah dia kubur. Dia teringat akan pakaian dalam gadis itu yang koyak-koyak dan kini teringatlah dia bahwa gadis itu bukanlah bangsan Han, setidaknya bukan pakaian gadis Han-lah yang dipakainya itu. Timbul keinginan tahunya. Dari manakah lima orang itu memperoleh gadis asing yang diperkosanya dan tewas tadi? Cepat dia kembali ke bukit yang ditinggalkan. Fajar telah menyingsing dan cuaca telah mulai terang ketika dia tiba di tempat tadi.
Dilihatnya Giam Hok sedang mengubur jenazah empat orang saudaranya dengan susah-payah dan sambil menangis. Diam-diam Kian Bu merasa kasihan juga. Betapapun jahatnya, orang ini telah menerima hukuman yang amat berat. Bayangkan saja! Tadinya dia berlima dengan saudaranya, terkenal di dunia kang-ouw sebagai Lima Dewa Maut dari selatan, dan kini dalam waktu semalam saja, empat orang saudaranya telah tewas semua dalam keadaan mengerikan, dia sendiri pun luka-luka dan kini dia mengubur jenazah empat orang saudaranya itu sambil menangis sedih!
Setelah Giam Hok selesai menguruk lubang kuburan empat orang saudaranya, Kian Bu muncul. Melihat Kian Bu, Giam Hok cepat bangkit berdiri dan kini timbul keberaniannya. Dia bertolak pinggang dan berkata, “Siluman Kecil adalah nama yang bergema di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti yang suka memberi kesempatan kepada para anggauta golongan hitam. Akan tetapi kalau sekarang telah berubah dan hendak membunuh aku, marilah, jangan kepalang. Memang aku pun tidak mempunyai harapan lagi, lebih baik menyusul saudara-saudaraku.”
Kian Bu menarik napas panjang, lalu melangkah dekat. Jantung Giam Hok sudah berdebar keras. Dia maklum akan kelihaian iblis berambut putih ini, maka biarpun dia menantang maut, tidak urung jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi Kian Bu tidak menggerakkan tangan, melainken menunduk, menutupi muka dengan rambut putihnya dan dari celah-celah rambut itu sepasang matanya yang mencorong tajam itu mengerling.
“Giam Hok loheng,” katanya ramah. “Jangan mengira yang bukan-bukan. Biarpun engkau memang sudah layak dibunuh sepuluh kali, akan tetapi aku bukanlah seorang yang haus darah.”
“Kalau begitu, mengapa Taihiap datang lagi menemui saya?” Sikap Giam Hok berubah. Ucapan seorang seperti pendekar ini tentu saja dapat dipercaya, maka timbul lagi harapannya untuk hidup.
“Aku datang hanya untuk bertanya kepadamu asal-usul wanita yang tewas tadi. Dari manakah engkau memperolehnya atau menawannya?”
Tiba-tiba sikap Giam Hok menjadi berubah lagi, dan dia kelihatan takut sekali. Dia menoleh ke kanan kiri dan seolah-olah ingin melarikan diri. Melihat ini, Kian Bu menjadi heran dan tertarik.
“Giam-loheng, jangan takut. Ceritakan sebenarnya. Dari mana kalian memperoleh dia? Kulihat dia bukan seperti orang sini.” Dia berhenti sebentar dan menyambung, “Dia seperti orang dari.... Bhutan. Benarkah?”
Memang keadaan pakaian wanita itulah yang amat menarik perhatian Kian Bu. Pakaian itu mengingatkan dia kepada Puteri Syanti Dewi! Karena itulah maka dia sampai mau menemui lagi orang she Giam itu.
Akan tetapi Giam Hok menggeleng kepala. “Saya tidak tahu.... hanya dia.... dia itu sesungguhnya adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani ehhh....“ Kembali Giam Hok berhenti dan memandang ke kanan kiri, ketakutan.
“Orang she Giam!” Kian Bu membentak tak sabar lagi. “Selagi ada aku di sini, yang engkau takuti siapa lagikah?”
Giam Hok menjadi makin gugup, akan tetapi setelah menelan ludah beberapa kali, dia dapat berkata dengan muka pucat, “Dia adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepala.”
Kian Bu terkejut. Dia pernah bertemu dengan koksu dari Nepal, kakek botak yang amat lihai itu dan kini dia mendengar tentang Pangeran Nepal yang dayangnya tadi ditawan dan diperkosa sampai mati oleh lima orang iblis she Giam itu. Pantas saja pakaiannya mirip dengan pakaian Syanti Dewi, karena memang negera Nepal hampir sama dengan negara Bhutan, merupakan negeri-negeri tetangga di sebelah barat, di Pegunungan Himalaya.
“Hei, bagaimana kalian bisa memperoleh seorang dayang Pangeran Nepal?” tanyanya, tertarik.
Giam Hok menarik napas panjang dan berkata, “Itulah yang menjadi gara-gara sampai empat orang saudaraku tewas semua.” Lalu dia bercerita dengan suara sedih, “Kami berlima mendengar bahwa Pangeran Nepal kini berada di lembah Huang-ho, di sarang Kui-liong-pang dan kami mendengar bahwa pangeran itu royal sekali terhadap orang-orang kang-ouw yang suka bersahabat dengan dia. Kami lalu mengunjungi lembah itu dan memang benar, Pangeran Liong itu mengumpulkan banyak orang pandai, bahkan kabarnya hendak membangun lembah itu menjadi benteng yang amat kuat. Akan tetapi sungguh menggemaskan, terhadap kami lima orang Giam-lo-ong dia memandang rendah dan kami diberi pekerjaan mengepalai orang-orang yang menggali parit untuk dibangun sebagai dasar dari tembok benteng. Kami merasa penasaran akan tetapi tidak berani membantah karena pangeran itu selain sakti juga dibantu oleh banyak orang-orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Maka kami bersikap sabar, sampai kami mendapat kesempatan melarikan diri sambil membawa seorang dayang cantik dari pangeran itu yang kami anggap sebagai hadiah. Hemmm, dayang itu memang cantik jelita dan tubuhnya berbau sedap, sayang dia tidak kuat dan lebih celaka lagi, ketika kami sedang lari, kami berjumpa dangan Bu-eng-kui. Untung kami masih dapat melarikan diri ke dalam hutan, berlindung di kegelapan malam. Akan tetapi, ketika kami sedang menikmati hadiah kami itu, muncul si Setan Tanpa Bayangan sehingga akibatnya.... beginilah....”
Kian Bu tertarik sekali mendengar akan Pangeran Nepal yang berada di lembah Huang-ho, di sarang perkumpulan Kui-liong-pang itu. Mau apa seorang Pangeran Nepal main-main di tempat ini? Bahkan mau membangun sebuah benteng? Hadirnya Koksu Nepal yang lihai itu di istana Gubernur Ho-nan saja sudah amat mencurigakan hatinya, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa gubernur itu memang bermaksud buruk dan hendak membangkang terhadap kekuasaan kerajaan. Suma Kian Bu adalah putera Majikan Pulau Es, dia adalah putera dari Puteri Nirahai yang berdarah keluarga kaisar. Maka tentu saja di dalam batinnya terdapat perasaan setia terhadap kerajaan sehingga berita tentang pangeran asing itu menarik hatinya dan menimbulkan kecurigaannya.
Melihat wajah Siluman Kecil itu kelihatan tertarik sekali, maka Giam Hok lalu melanjutkan, “Memang aneh-aneh yang terjadi di lembah itu, Taihiap. Pangeran Nepal itu dibantu oleh banyak orang pandai dan luar biasa. Bahkan saya melihat kakek raksasa yang amat menyeramkan, yang kabarnya adalah kakek majikan Pulau Neraka yang kesaktiannya melebihi iblis sendiri, akan tetapi yang mempunyai seorang anak perempuan yang seperti bidadari....“
“Ahhh....!” Kian Bu benar-benar tertarik. Kiranya Hek-tiauw Lo-mo telah berada di sana pula, dan puterinya itu, Kim Hwee Li, juga diajak ke tempat itu. Apa maksudnya tokoh jahat itu berada di sana dan apa artinya semua itu? Jangan-jangan di sana menjadi sarang mereka yang merencanakan pemberontakan! Memang tempat itu baik sekali, di perbatasan antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei! Dia harus menyelidikinya!
“Taihiap.... ahhh....!” Giam Hok melongo karena pemuda yang tadinya masih berada di depannya itu tahu-tahu telah lenyap entah ke mana perginya!
***
Bersambung ke buku 12
Label:
Jodoh Rajawali,
Kho Ping Hoo